Anda di halaman 1dari 234

LAPORAN KOASISTENSI PPDH

ROTASI INTERNA HEWAN KECIL, BEDAH DAN


RADIOLOGI
yang dilaksanakan di
KLINIK HEWAN PENDIDIKAN FKH UB

Oleh
Yesy Vita Adetyara, S.KH
NIM. 150130100111024

PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2016

1
2
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang telah
melimpahkan rahmat dan karuniaNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan kegiatan
PPDH penyusunan laporan. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada:

1. Prof. Dr. Aulanni’am, drh., DES selaku dekan Fakultas Kedokteran Hewan
Universitas Brawijaya atas segala waktu, arahan, fasilitas yang telah diberikan dan
kesabarannya dalam melaksanakan kegiatan koasistensi sampai kepada penyusunan
dan penyempurnaan laporan ini.
2. drh. Viski Fitri Hendrawan, M. Vet selaku koordinator klinik hewan pendidikan
FKH UB, atas segala fasilitas dan bimbingan yang telah diberikan selama
melakukan koasistensi.

3. drh. M. Arfan Lesmana, M.Sc sebagai dosen pembimbing kelompok, atas


bimbingan dan arahan dalam penyempurnaan laporan ini.

4. Seluruh dosen pengajar di Klinik Pendidikan FKH UB yang telah meluangkan


waktu, pikiran dan ilmu selama pelaksanaan koasistensi
5. Jajaran staff Klinik Pendidikan FKH UB yang telah memberikan bantuan atas
kelancaran pelakasanaan koasistensi.
6. Kelompok 3 gelombang 5 FKH UB yang senantiasa bahu membahu dalam
penyelesaian koasistensi.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan laporan kegiatan


ini. Oleh karena itu penulis menerima kritik dan saran yang membangun dalam upaya
perbaikan penulisan ini. Semoga laporan ini bermanfaat dan dapat memberikan informasi
yang berguna bagi kita semua.

Malang, November 2016

Penulis

DAFTAR ISI

3
Halaman

HALAMAN JUDUL..............................................................................................i
LEMBAR PENGESAHAN..................................................................................ii
KATA PENGANTAR............................................................................................iii
DAFTAR ISI..........................................................................................................iv
ARTIKEL ILMIAH
SISTEMA SIRKULASI : Infeksi Ehrlichia Pada Anjing Alaskan Malamute.........1
SISTEMA DIGESTI : Diagnosis And Management Of Cholecystitis In Dogs.....15
SISTEMA MUSKULOSKELETAL: Pseudoachondroplasia In Dogs A Case
Report....................................................................................................................28
SISTEMA RESPIRASI : Acute Respiratory Distress Syndrome Due to Babesiosis
in a Dog: Case Report............................................................................................39
SISTEMA SYARAF : Case Report Spina Bifida in Three Dogs...........................52
SISTEMA UROGENITAL : Bilateral Multiple Cystic Kidney Disease and Renal
Cortical Abscess in a Boerboel..............................................................................65
SISTEMA MATA: Surgical Management Of a Malacic Corneal Ulcer In a
Greater Onehorned Asian Rhinoceros (Rhinoceros Unicornis) Using A Free
Island Tarsoconjunctival Graft -Case Report........................................................76
SISTEMA INTEGUMEN: Malignant Fibrous Histiocytoma in a Dog a Case
Report.....................................................................................................................92
RADIOLOGI
SOFT TISSUE......................................................................................................107
HARD TISSUE....................................................................................................127
INTERNA MANDIRI........................................................................................140
BEDAH MANDIRI
OVARIOHYSTERECTOMY KUCING..............................................................164
OVARIOHYSTERECTOMY ANJING...............................................................189
JURNAL HARIAN.............................................................................................227

ROTASI INTERNA HEWAN KECIL

4
TUGAS SISTEMA SIRKULASI
INFEKSI EHRLICHIA PADA ANJING ALASKAN MALAMUTE
DI RUMAH SAKIT HEWAN JAKARTA

Oleh:
YESY VITA ADETYARA, S.KH
150130100111024

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN


PROGRAM KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2016

5
BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Hewan di Indonesia memiliki kasus kejadian tinggi akan kasus ektoparasit dan
endoparasit. Kasus ektoparasit maupun endoparasit pada anjing dan kucing merupakan
momok bagi pemilik karena dapat membawa dampak yang buruk. Kasus endoparasit yang
di temui di Rumah Sakit Hewan Jakarta berupa kasus Ehrlichia canis yang penularannya
dibawa oleh ektoparasit Rhipicephalus sanguineus. Penyebaran penyakit ini hampir
diseluruh dunia yang ditransmisikan oleh caplak Rhipicephalus sanguineous (brown dog
tick), Haemaphylasis leachi, Haemaphylasis bispinosa dan Dermacentor reticulatus (Mathe
et al, 2006). Penyebaran penyakit ini juga dapat tanpa melalui vector dengan pertukaran
darah selama proses bertengkar, gigitan dan dan transfuse darah (Jefferies et al, 2007)
Beberapa anjing yang biasanya terserang seperti ras Herder, Labrador retriver.
Penyakit Ehrlichiosis dapat menyerang pada anjing dan manusia. Agen penyebab yang
dapat menyerang di manusia ialah Ehrlichia chaffeensis, Ehrlichia ewingii,dan Ehrlichia
muris sedangkan yang dapat menyerang anjing Ehrlichia canis,dan Ehrlichia ewingii
(CVBD, 2010). Anjing yang terserang Ehrlichiosis memperlihatkan gejala yang dibedakan
menjadi tiga fase yaitu fase akut, subklinis, dan fase kronis. Gejala klinis dari ehrlichia
canis yaitu lethargy, berat badan turun, anoreksia, pyrexia, lymphadenomegaly,
splenomegaly, pendarahan yang sering terlihat. Hematologi thrombositopenia, anemia
ringan, leucopenia ringan terlihat pada kondisi akut.

1.2 Tujuan

Kasus ini diulas untuk mengetahui perjalanan penyakit, memahami cara peneguhan
diagnosa dan penanganan serta pengobatan penyakit Ehrlichiosisi pada Anjing.

6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ehrlichiosis
Ehrlichiosis adalah penyakit akut yang ditandai dengan adanya gejala demam yang
disebabkan oleh kelompok organisme kecil berbentuk pleomorphic yang hidup dan
berkembang biak dalam leukosit mononuclear pada hospes terjangkit. Terdapat banyak
spesies Ehrlichia tetapi yang dapat menginfeksi anjing hanya beberapa. Pada pemeriksaan
laboratorium ditemukan adanya leukopenia, trombositopenia serta terjadinya peningkatan
enzim hepatoseluler. Terdapat tiga tahap Ehrliciosis yaitu akut, subklinik dan kronis
(Soeharsono, 2007). Fase akut terjadi pada minggu pertama infeksi dan bisa menyebabkan
kematian. Pada fase subklinis dapat terjadi perbaikan kondisi. Fase kronis dimana
penyakit semakin berkembang dan memperparah keadaan. Gejala klinis dari Ehrlichia
canis yaitu lethargy, berat badan turun, anoreksia, pyrexia, lymphadenomegaly,
splenomegaly, pendarahan yang sering terlihat. Hematologi thrombositopenia, anemia
ringan, leucopenia ringan terlihat pada kondisi akut. Thrombositopenia ringan pada fase
subklinis, pancytopenia pada kondisi kronik. Pada fase kronis biasanya terlihat
pendarahan, epistaksis, periferal edema (Tuna and Ulutas, 2009).
Diagnosa klinik dapat dikonfirmasi dengan Immuno Fluorescence Test (IF test)
dengan menggunakan agen penyebab yang diisolasi dari kultur macrophage. Diagnosa
ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan hasil pemeriksaan laboratorium melalui deteksi
antibodi menggunakan antigen spesifik. Preparat apus darah dan preparat usap dari
endapan buffy coat darah dapat dilakukan untuk menemukan benda inkklusi (morula).
pemeriksaan lain dengan teknik diagnosa immunochemistry contohnya PCR (Nakaghi et
al.,2008).
Ehrlichia canis menginfeksi sel darah dengan melalui vektor Rhipicephalus
sanguineus. Transmisi terjadi melalui vektor yang menginfeksi host dengan kelenjar saliva
yang menyerap darah. Ehrlichia spp akan masuk ke dalam leukosit atau mungkin
trombosit kemudian akan bertahan hidup lalu berkembang dan menyebar ke seluruh tubuh
host melalui aliran darah menuju ke jaringan perifer. Menurut Barr and Bawman (2006)
pada kasus Ehrlichia canis dapat diberikan obat seperti doxycyclin, imidocarb
dipropionate ,glucocorticoid, androgenic steroid

7
2.2 Caplak Rhipicephalus sanguineus
Caplak betina setelah menghisap darah akan berubah bentuk tubuhnya dari pipih
menjadi globular yang besar dan luas pada permukaan badannya. Caplak jantan menghisap
darah sedikit. Caplak Rhipicephalus sanguineus jantan memiliki scutum yang lebih besar
dibandingkan yang betina. Caplak Rhipicephalus sanguineus berperan sebagai ektoparasit
penghisap darah dan sebagai vektor berbagai macam penyakit. Rhipicephalus sanguineus
dapat menularkan berbagai macam penyakit yang disebabkan oleh bakteri, virus, protozoa.
Caplak ini mengakibatkan kerusakan mekanis pada kulit inang seperti dermatosis,
peradangan, bengkak, gatal dan ulserasi akibat infeksi sekunder. Caplak ini juga
menyebabkan anemia hemolitik pada infestasi caplak yang hebat. Caplak ini termasuk
vektor protozoa jenis Theleria sp dan Babesia sp yang merusak eritrosit sehingga
memperparah terjadinya anemia. Caplak yang bertahan selama 2 sampai 4 minggu di inang
dapat menybabkan ehrlichiosis (Vidiansyah, 2009).
Upaya pengendalian dan pencegahan seperti menghindari anjing peliharaan kontak
dengan anjing penderita caplak, anjing dihindarkan bermain di tempat-tempat yang
terdapat caplak. Adanya larva, nimfa dan caplak dewasa di lantai tidak mudah terlihat
sehingga perlunya menjaga kebersihan. Upaya penanggulangan seperti penyemprotan
insektisida di lingkungan sekitar, aplikasi pada anjing dengan mandi, celup, dan bedak
(Adventini, 2006).

8
BAB III
STUDI KASUS
3.1 Anamnesa
Anjing berjenis kelamin jantan bernama Bobo pada tanggal 7 Januari 2016 datang
cek up. Pada bulan November 2015 diketahui Bobo positif terkena Ehrlichia canis
berdasarkan dari Test kit serta pemeriksaan hematologi.

Gambar 3.1 Anjing Bobo


3.2 Signalement
Nama hewan : Bobo
Jenis hewan : Anjing
Ras/Breed : Alaskan malmute
Jenis kelamin : jantan
Umur : 2 tahun

3.3 Status Present


Berat badan : 40 kg
Act : aktif

3.4 Diagnosa

9
Berdasarkan anamnesa,hasil pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang berupa
hematologi dan uji serologi pada bulan November 2015 bahwa anjing Bobo didiagnosa
mengalami Ehrlichiosis.

3.5 Differential diagnosa


Anaplasmosis, Babesiosis, Bartonellosis

3.6 Prognosa
Berdasarkan gejala klinis serta hasil hematologi, kasus ehrlichiosis yang dialami oleh
anjing Bobo memiliki prognosis dubius.

3.7 Tindakan yang diberikan


Pemberian obat:
- imidocarb dipropionat dosis 5 mg/kg Im yang diulang 2-3 minggu
- doxyciclin dosis 5-10 mg/kg

3.8 Pemeriksaan Penunjang


Hasil data penunjang bulan November 2015
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan terhadap anjing Bobo adalah pemeriksaan
hematologi, pemeriksaan kimia darah dan uji serologi menggunakan tes kit Ehrlichia canis.
Hasil pemeriksaan hematologi anjing Bobo

Tabel 1. Hasil Kimia Darah bulan November 2015

Parameter Nilai Nilai normal


Ureum 30,58 15-40
Creatinin 1,76 0,5-1,5

10
Gambar 3.8 Test kit Ehrlichia canis

Tabel 2. Hasil Pemeriksaan Hematologi Bulan November 2015

Parameter Hasil Nilai Normal


WBC (103/µl) 5,4 6,0-17,0
RBC (106/µl) 4,33 5,50-8,50
Hemoglobin (g/Cl) 10,0 12,0-18,0
Hematokrit (%) 29,7 37,0-55,0
MCV (fL) 68,6 60,0-77,0
MCHC (g/dL) 23,1 19,5-24,5
MCH (Pg) 33,7 32,0-36,0
Platelet (103/µl) 1 200-500
Limfosit (%) 26,3 12-30
Monosit (%) 1,7 3-10
Eosinofil (%) 4,9 2-10
Granulosit (%) 67,1 60-80
RDW 14,1 12-16

Tabel 3. Hasil Pemeriksaan Hematologi Bulan Desember 2015


Parameter Hasil Nilai Normal
WBC (103/µl) 11,7 6,0-17,0
RBC (106/µl) 5,92 5,50-8,50
Hemoglobin (g/Cl) 15,3 12,0-18,0
Hematokrit (%) 41,3 37,0-55,0
MCV (fL) 69,8 60,0-77,0
MCHC (g/dL) 25,8 19,5-24,5
MCH (Pg) 37,0 32,0-36,0
Platelet (103/µl) 279 200-500
Limfosit (%) 12,0 12-30
Monosit (%) 2,3 3-10
Eosinofil (%) 7,2 2-10
Granulosit (%) 78,5 60-80
RDW 13,7 12-16

11
Tabel 4. Hasil Hematologi bulan Januari 2016
Parameter Hasil Nilai Normal
WBC (103/µl) 12,4 6,0-17,0
RBC (106/µl) 6,21 5,50-8,50
Hemoglobin (g/Cl) 15,3 12,0-18,0
Hematokrit (%) 44,2 37,0-55,0
MCV (fL) 71,2 60,0-77,0
MCHC (g/dL) 24,5 19,5-24,5
MCH (Pg) 34,6 32,0-36,0
Platelet (103/µl) 245 200-500
Limfosit (%) 16,4 12-30
Monosit (%) 2,4 3-10
Eosinofil (%) 6,8 2-10
Granulosit (%) 74,48 60-80
RDW 14,3 12-16
BAB IV
PEMBAHASAN

Anjing Bobo di bulan Januari cek up dan diketahui berat badan 40 kg. Anjing Bobo
pernah mengalami infestasi ektoparasit dan bulan November 2015 diketahui terinfeksi
Ehrlichia canis. Pemeriksaan lanjutan pada bulan November 2015 dilakukan pemeriksaan
laboratorium yaitu hematologi dan kimia darah. Hasil pemeriksaan darah menunjukkan
adanya penurunan trombosit yaitu 1 x 103/µl dengan kisaran normal pada anjing yaitu 200-
500 x 103/µl. Menurut Tilley dan Smith (2000) proses peradangan yang disebabkan oleh
infeksi dapat menyebabkan kelainan hematologi seperti trombositopenia. Trombositopenia
dapat berkaitan dengan adanya infeksi yang terus menerus diikuti dengan kerusakan imun
mediated trombosit dan penurunan produksi trombosit. Nilai Rbc, Hemoglobin, dan
hematocrit yang turun menandakan bahwa anjing tersebut mengalami anemia. Pada uji
kimia darah didapatkan nilai ureum yang masih dalam batas normal sedangkan nilai
creatinin sedikit mengalami peningkatan. Berdasarkan hasil pemeriksaan hematologi
kemudian dilakukan uji lanjutan yaitu menggunakan Test kit untuk identifikasi antibodi
spesifik terhadap Ehrlichia canis. Hasil rapid Test menunjukkan bahwa anjing tersebut
positif terinfeksi Ehrlichia canis. Deteksi antibodi IgG spesifik menggunakan metode
Indirect Fluorescent antibody Test (IFAT) mengindikasikan adanya patogen ehrlichia dan
sejak fase akut sampai 2 minggu memperlihatkan titer antibodi. Metode PCR tingginya
sensitivitas dan deteksi DNA ehrlichia dimulai dari 4-10 hari setelah infeksi (CVBD,
2010). Hal ini dikarenakan Ehrlichia canis mengeluarkan antiplatelet antibodies yang dapat

12
menyebabkan destruksi pada platelet. Antibodi ini akan terdeteksi pada hari ke 7 setelah
infeksi. Titer antibodi IgG > 1:80 yang dapat digunakan diagnosa. Anjing yang sudah
pernah terinfeksi dan mendapatkan pengobatan yang efektif tidak menjamin kembalinya
perbaikan imun yang permanen sehingga infeksi ehrlichia ini dapat kembali (Dubie,2014).
Pada bulan Desember 2015 serta Januari 2016 keadaan anjing Bobo mengalami perbaikan
yang dilihat dari hasil tes darah.
Ehrlichia canis menginfeksi sel darah dengan melalui vektor Rhipicephalus
sanguineus. Transmisi terjadi melalui vektor yang menginfeksi host dengan kelenjar saliva
yang menyerap darah. Ehrlichia spp akan masuk ke dalam leukosit atau mungkin
trombosit kemudian akan bertahan hidup lalu berkembang dan menyebar ke seluruh tubuh
host melalui aliran darah menuju ke jaringan perifer. Ehrlichia canis menginfeksi monosit
dan limfosit di jaringan. Siklus hidup dari Ehrlichia canis ada tiga tahap yaitu elementary
bodies,initial bodies dan morulae. Selama sel kecil dari elementary bodies berkembang
menjadi initial bodies dan masuk intracytoplasmis menjadi morulae. Organisme tersebut
akan meninggalkan sel dan akan menjadi sel yang hancur atau disebut exocytosis (Dubie,
2014).

Gambar 3. Siklus hidup Ehrlichia (Sumber: Dubie, 2014)


Dinding sel Ehrlichia memiliki sedikit peptidoglikan dan lipopolisakarida yang
menyebabkan resisten terhadap respons imun hospes. Ketidakadaan dua hal tersebut akan
mengurangi kekuatan dari membran sel e.canis. Masa inkubasi dari e.canis berkisar antara
8-20 hari. Ehrlichia tidak memiliki fili sehingga proses masuk ke dalam sel hospes dibantu
oleh outermembran. Setelah bakteri masuk ke dalam sel hospes bakteri akan membentuk
envelop. Setelah masuk ke dalam pembuluh darah e.canis akan menginfeksi mononuklear

13
fagositik sel yaitu monosit. Dalam satu monosit terdapat satu-dua morula. e.canis akan
hidup di dalam endosome sebagai mekanisme pertahanan dari sel hospes.

Gambar 4. Ehrlichia canis di monosit


Patogenesis terjadinya infeksi erlichia ialah diawali dengan adanya Replikasi
didalam hospes terjadi didalam vakuola membran dan terlindungi dari mekanisme
kekebalan dari hospes berupa lisosom. Erlichia akan berkembang biak secara biner ataupun
multiple, erlichia akan dilepaskan untuk menginfeksi sel-sel baru saat sel hospes pecah
yang terjadi pada fase pembentukan morula. Ehrlichia canis yang masuk akan merusak
dinding pembuluh darah kemudian terjadinya vasculitis akan menyebabkan peningkatan
konsumsi trombosit, menghambat agregasi platelet di dinding pembuluh darah.
Peningkatan konsumsi platelet pada kondisi inflamasi pada endotelium pembuluh darah
dan destruksi imunologi yang sangat tinggi dapat menurunkan masa hidup dari platelet.
Penurunan trombosit dapat menyebabkan kebocoran darah secara spontan karena proses
penghentian perdarahan dan pembekuan darah juga akan berkurang. Trombositopenia
pada erlichia kronis disertai dengan adanya antibodi anti platelet yang dihasilkan oleh
erlichia akan berikatan dengan reseptor platelet yang akan meningkatkan destruksi platelet
akibatnya pendarahan yang terjadi akibat infeksi dari erlichia tidak mampu dihentikan oleh
platelet karena jumlahnya tidak mencukupi untuk melakukan kloting. Antibodi terhadap
erlichia akan muncul setelah 15 hari terjadinya infeksi pada hospes (Greene, 2012).
Apabila jumlah trombosit turun petekie akan muncul lebih dahulu. Pada kondisi
akut akan terjadi peningkatan infiltrasi sel plasma ke dalam organ-organ. Hal ini akan
menyebabkan respons imun seluler untuk melawan e.canis berupa granulosit. Menurut
Breitschwerd (1998) pada infeksi e..canis respons imun seluler berperan penting untuk
melawan e.canis sedangkan respons imun humoral tidak berperan penting dalam

14
proteksinya. Spleen berperan penting dalam proses patogenesis dari ehrlichiosis dan
mensuport mekanisme imun patogenesis.
Sel darah merah dan hemoglobin pada pemeriksaan uji darah mengalami penurunan
dan mengindikasikan terjadinya anemia, pada anjing Bobo. Anemia merupakan keadaan
pengurangan sel darah merah, kuantitas hemoglobin, volume padat sel darah merah per
seratus mililiter darah kurang dari normal. Anemia ditandai dengan berkurangnya eritrosit
yang dilepas ke dalam sirkulasi. Kemungkinan anemia pada anjing Bobo dapat disebabkan
oleh pendarahan epistaksis.
Terdapat tiga tahap Ehrliciosis yaitu akut, subklinik dan kronis (Soeharsono,2007).
Gejala klinis dari Ehrlichia canis yaitu lethargy, berat badan turun, anoreksia, pyrexia,
lymphadenomegaly, splenomegaly, pendarahan yang sering terlihat. Hematologi
thrombositopenia, anemia ringan, leucopenia ringan terlihat pada kondisi akut.
Thrombositopenia ringan pada fase subklinis, pancytopenia pada kondisi kronik. Pada fase
kronis biasanya terlihat pendarahan, epistaksis, periferal edema. Hematokrit juga
mengalami penurunan karena adanya anemia. PCV atau hematokrit adalah perbandingan
antara volume total eritrosit dalam 100 milimeter darah (Jain,1986). PCV normal pada
anjing adalah 37-56% (Bush,1991). Nilai PCV > 35% masih bisa digunakan untuk
transfusi (Helm and Knottenbelt, 2010). Faktor-faktor yang mempengaruhi nilai PCV
antara lain umur, ras, jenis kelamin. Nilai PCV anjing umur 4-6 minggu yaitu 24-34%
sedangkan jenis kelamin juga mempengaruhi yaitu nilai PCV anjing jantan lebih tinggi
(32%) dibandingkan anjing betina. Jika nilai PCV diambang batas bawah dari normal maka
gejala dehidrasi, peningkatan jumlah plasma juga terlihat sehingga ditemukan anemia.
Anemia dapat disebabkan karena adanya perdarahan dan sebagai respons terjadinya
perdarahan akut, destruksi eritrosit, berkurangnya atau gangguan produksi proses
eritropoiesis. Berdasarkan gejala klinis yang terlihat anjing Bobo pada bulan November
2015 mengalami epistaksis, lethargy, anoreksia, anemia dan thrombositopenia. Sedangkan
pada bulan Januari 2016 saat check up kondisi Bobo sudah lebih baik dengan aktivitas
yang aktif serta hasil hematologi akan tetapi anjing Bobo tidak mau makan.
Diagnosa dapat dilakukan dengan Immuno Fluorescence Test (IF test) dengan
menggunakan agen penyebab yang diisolasi dari kultur macrophage. Dengan demikian
diagnosa ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan hasil pemeriksaan laboratorium melalui
deteksi antibodi menggunakan antigen spesifik ditandai dengan naik-turunnya titer

15
antibodi sebanyak 4 kali pada pemeriksaan berikutnya. Preparat apus darah dan preparat
usap dari endapan buffy coat darah dapat dilakukan dengan melihat preparat apus darah
untuk menemukan benda inklusi (morula) di limfosit, monosit atau neutrofil. Diagnosa lain
adalah dengan teknik diagnosa immunohistochemistry, PCR (Chin,2000). Differential
diagnosa dari ehrlichiacanis seperti anaplasmosis, babesiosis, bartonelosis. Babesia yang
masuk ke dalam peredaran darah hospes adalah sporozoid dan menginfeksi eritrosit.
Perbedaan utama antara infeksi anaplasma dengan erlichia ialah kebanyakan infeksi
anaplasma berada pada fase akut, dan infeksi anaplasma pada anjing tidak menunjukkan
gejala dan hewan tetap sehat. Perubahan yang nampak pada infeksi anaplasma ialah
terjadinya penurunan trombosit dan hewan mengalami demam selama fase inkubasi.
Infeksi anaplasma dapat berakibat fatal apabila diikuti dengan adanya infeksi sekunder dari
bakteri (Greene, 2012).
Pengobatan yang biasanya diberikan pada kasus ini yaitu doxycyclin, imidocarb
dipropionate. Menurut Barr and Bawman (2006) pada kasus Ehrlichia canis dapat
diberikan obat seperti doxycyclin, imidocarb dipropionate ,glucocorticoid, androgenic
steroid. Glucocorticoid berfungsi sebagai imunosupresive, androgenic steroid yang
berfungsi dalam menstimulasi produksi sumsum tulang. Terapi yang diberikan pada anjing
Bobo yaitu imidocarb diprionate dan Doxycyclin. Imidocarb tidak membersihkan tetapi
mempengaruhi pengambilan inositol oleh eritrosit yang mengandung parasit. Pemberian
imidocarb dengan dosis 5mg/kg diulang setiap 2 sekali. Pemberian doxycyclin dengan
dosis 5 mg/kg. Doxycyclin merupakan antibiotik bakteriostatic dengan cara menghambat
sintesis protein. Doxyxyline adalah antibiotik golongan tetrasiklin yang memiliki sifat
bakteriostatik dan menghambat sintesi protein dengan cara mengikat 30S ribosomal
subunit yang mencegah terjadinya ikatan dengan Ribosom aminoacyl transfer RNA yang
berperan untuk pembentukan sintesis protein pada sel mamalia. Doxycyclin dapat
berfungsi sebagai antibakteri, antiricketsia, antimycoplasma dan antichlamydia.
Doxycyclin lebih efektif untuk mengatasi kasus parasit darah termasuk Ehrlichia canis.
Berdasarkan pemeriksaan hematologi yang lakukan pada bulan Desember dan Januari,
pemberian terapi obat dapat memperbaiki keadaan anemia trombositopenia yang
ditimbulkan dari Ehrlichia canis. Hal tersebut ditunjukkan dari hasil WBC, RBC,
hematokrit, hemoglobin dan platelet yang mengalami peningkatan hingga batas normal.
Hasil dari monosit masih dibawah nilai normal akan tetapi sudah mengalami peningkatan

16
yang dilihat dari hasil hematologi bulan Desember dan Januari. Anjing Bobo merespon
terhadap pengobatan sehingga ada peningkatan sistem kekebalan untuk melawan infeksi
yang disebabkan oleh infeksi parasit darah.

BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Berdasarkan anamnesa, pemeriksaan klinis, pemeriksaan darah, test kit diperoleh
diagnosa untuk anjing Bobo adalah Ehrlichiosis kronis apabila dilihat dari gejala di
bulan januari 2016. Prognosa anjing Bobo adalah dubius.Terapi yang dapat diberikan
adalah pemberian doxyciclin dan imidocarb. Berdasarkan hasil hematologi terjadi
perbaikan dari WBC, RBC,HCT,HGB. Hasil dari monosit juga mengalami perbaikan
tetapi masih dibawah batas normal.

17
DAFTAR PUSTAKA

Adventini M.2006.Beberapa Aspek Biologi Caplak Anjing (Rhipicephalus sanguineus) dan


Pengaruh Pestisida Sumilarv 0,5 G terhadap Larva Caplak. Institut Pertanian Bogor
Breitschwerdt, E.B., The Rickettsioses In: Text Book of Veterinary Internal Medicine, 4th
Edition, Chapter 67 WB Saunders Comp, Philadelphia, 1995,pp. 376–384
Chand, J.N., Shalm's Veterinary Hematology, Fourth edition Lea & Febiger Philadelphia,
1986, pp. 466–484.
Chin J. 2000.Manual Pemberantasan Penyakit Menular Edisi 17.California
CVBD.2010.Canine Ehrlichiosis from Acute Infection to Chronic Disease.Bayer Health
Green, E.C. 2012. Infectious Dieseases Of The Dog And Cat, Fourth Edition Saunders, An
Imprint Of Elsevier Inc: 230-244.
Harvey J. 2005. Veterinary Hematology: A Diagnostic Guide and Colour Atlas.
Meyer D., Harvey J.Veterinary Laboratory Medicine Interpretation and Diagnosis 3 Ed.
Saunders
Nakaghi A.,Machado R.,Costa M.,Andre M.,Baldani C.2008. Canine Ehrlichiosis :
Clinical, Hematological, Serological And Molecular Aspects. Ciencia Rural, Santa
Maria
Robert, Bonita , Joseph, Nina. 2015. Nelson Text Book of Pediatrics.Elsevier
Soeharsono. 2007. Penyakit Zoonotik pada Anjing dan Kucing. Kanisius
Tuna G.and Ulutas. 2009. Prevalence Of Ehrlichia Canis Infection In Thrombocytopenic
Dogs. Lucraci Stiintifice Medicina Veterinara

18
Vidiansyah H. 2009. Gambaran Eritrosit Domba Setelah Divaksin Ekstrak Caplak
Rhipicephalus Sanguineus. Institut Pertanian Bogor

ROTASI INTERNA HEWAN KECIL


TUGAS SISTEMA DIGESTI
DIAGNOSA DAN MANAGEMEN CHOLECYSTITIS PADA ANJING

Oleh:
YESY VITA ADETYARA, S.KH
150130100111024

19
PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN
PROGRAM KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2016

BAB I
PENDAHULUAN

Latar belakang
Anjing memiliki kemampuan yang unik dan habitus yang sering dimanfaatkan oleh
manusia. Pada awalnya anjing hanya digunakan sebagai hewan saat berburu, namun anjing
saat ini sudah mengalami perkembangan dalam fungsi dan pemanfaatannya. dengan
meningkatnya fungsi dan pemanfaatan anjing dalam kehidupan manusia maka peluang
seekor anjing untuk terkena kasus penyakit juga semakin meningkat. Kantung empedu
merupakan bagian dari sistem hepatobiliari yang berperan penting dalam proses
pencernaan makanan, metabolisme nutrisi, detoksikasi, dan sintesis substansi penting bagi
tubuh (Rothuizen dan Meyer, 2000; Silva et al., 2010). Kelainan pada organ hepatobiliari
cukup sering ditemukan pada anjing. Kelainan-kelainan tersebut dapat disebabkan oleh
faktor eksternal maupun internal. Beberapa kelainan yang muncul diantaranya ialah
cholecystitis, hepatitis, cholangitis.
Cholecystitis merupakan keadaan yang menunjukan adanya peradangan pada kantung
empedu dan dapat bersifat akut maupun kronis. Kejadian cholecystitis pada anjing
memiliki frekuensi yang rendah dan jarang . Kolesistitis ditandai dengan adanya statis
cairan empedu dalam kantung empedu yang dapat disebabkan oleh adanya infeksi bakteri.
Cholecystitis dapat menyebabkan terjadinya nekrosis. Gejala klinis pada cholecystitis yaitu
ditandai dengan penurunan nafsu makan yang lama dan sering, kadang disertai dengan

20
muntah, lemah, nyeri abdomen dan demam, cholecystitis akibat syock hipovolemim
ditandai dengan adanya takikardia, takipnea, pulsus yang rendah, CRT yang lambat.
Demi penegakan diagnosa kolesititis perlu dilakukan pemeriksaan lanjutan berupa
pemeriksaan hematologi dan kimia darh serta USG abdomen. USG merupakan diagnosa
penunjang yang memiliki keakuratan yang tinggi untuk medekteksi pada bagian kranial
perut.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Cholecystitis merupakan peradangan pada kantung empedu yang berhubungan dengan


kondisi yang mengarah kepada keadaan statis yang lama dari akumulasi asam empedu
sitotoksik. Pada keadaan normal epitel dari kantung empedu merupakan barier yang kuat
untuk mencegah agen berbahaya yang masuk ke dalam tubuh. Secara fisiologis kantung
empedu akan mengosongkan diri dan akan kembali diisi oleh cairan yang encer yang
berasak dari hepar. Keadaan patologis yang ditandai dengan adanya aliran empedu yang
statis yang tertahan pada lumen kantung empedu akibatnya epitel dari kantung empedu
akan berusaha menyerap terus menerus elektrolit dan air dari empedu sehingga sel epitel
membutuhkan energi metabolik yang relatif tinggi sehingga akan mengakibatkan keadaan
hewan menjadi lemah, anoreksi dan adanya cedera pada dinding sel kantung empedu.
cholesititis dapat disebabkan pula oleh adanya iskemia pada dinding kantung empedu.
kantung empedu hanya memiliki satu sumber perfusi yaitu berasal dari cabang arteri
hepatik sinister sehingga akan membuat kantung empedu mudah mengalami nekrosis
iskemik yang diikuti dengan vasokonstriksi splanchnic yaitu terjadinya hypovolemic atau
syohk pada abdomen. pada anjing yang mengalami nekrotik pada kantung empedu harus
dicurigai adanya kemungkinan riwayat pernah mengalami hipovolemik shock dan adanya
efusi abdomen dengan konsentrasi bilirubin yang tinggi. Emphysematous cholecystitis
adalah jenis cholecystitis yang jarang ditemukan pada anjing dan kucing yang dapat terjadi
sebagai komplikasi pada bagian kantung empedu pada pasien dengan penyakit diabetes.
Mekanismenya diawali dengan terjadinya hiperglikemia secara terus menerus akan

21
menurunkan resistensi terhadap infeksi bakteri yang akan menyebabkan hypomotility dari
sfingter oddi yang akan mengakibatkan melambatnya pengosongan kantung empedu yang
akan meningkatkan resiko terjadinya kolestatis emphsematous (Kumar, 2014).
Gejala klinis pada cholecystitis umumnya tidak menciri yaitu ditandai dengan
penurunan nafsu makan yang lama dan sering, kadang disertai dengan muntah, lemah,
nyeri abdomen dan demam, cholecystitis akibat syock hipovolemim ditandai dengan
adanya takikardia, takipnea, pulsus yang rendah, CRT yang lambat.
Pemeriksaan laboratorium menunjukkan adanya left shift dan adanya leukositosis.
Konsentrasi bilirubin serum dapat meningkat tetapi tidak menunjukkan peningkatan secara
drastis atau memiliki kecenderungan normal. Pada pemeriksaan radiografi tidak begitu
terlihat dan bahkan cenderung terlihat normal pada beberapa pasien. USG merupakan
diagnosa penunjang yang memiliki keakuratan yang tinggi untuk medekteksi pada bagian
kranial abdomen. Pemeriksaan pada kantung empedu dilakukan dengan pemindaian hati di
sebelah kanan dari linea alba Temuan yang didapatkan pada pemeriksaan USG ialah
menemukan adaya penebalan pada dinding kantung empedu. Penebalan dinding kantung
empedu tersebut merupakan salah satu tanda bahwa kantung empedu mengalami
peradangan. Perubahan kantung empedu yang diikuti oleh pembesaran dari common bile
duct berkorelasi langsung dengan kejadian hepatitis (Kemp et al., 2013). Penebalan
dinding kantung empedu pada anjing dan kucing apabila memiliki ukuran lebih dari 2 mm
dapat dikategorikan abnormal dan meningkatkan kecurigaan terhadap terjadinya
cholecystitis. Penggunaan double rim pattern digunakan untuk mengetahui adanya edema
yang berhubungan dengan terjadinya peradangan pada kantung empedu, adanya kongesti
pasif (noviana, 2013)
Terapi yang dianjurkan untuk kasus cholecystitis berupa agen hepatoprotektif
dan antibiotik yang bertujuan untuk menggurangi gejala klinis yaang terdapat pada
cholecystitis agen antimikroba yang sering digunakan berupa ampisilin atau
enrofloxacin karena antibiotik tersebut dapat mencapai konsentrasi tinggi dalam empedu.
pemberian Agen sitoprotektif seperti asam ursodeoxycholic, silymarin dan sorbital
berfungsi untuk membantu pemulihan (Kumar, 2014)

22
BAB III
STUDI KASUS
1. Studi kasus
1.1 Signalament
jenis hewan : anjing
ras : Labrador retriever
umur : 8 tahun

1.2 Anamnesa
anjing dibawa klinik pendidikan dokter hewan Bhoiguda dari CVSc hydreabad di
india dengan keluhan hilang nafsu makan, muntah secara terus menerus sejak
beberapa bulan yang lalu dan Pernah dibawa ke klinik dokter hewan pribadi tetapi
treatmen dihentikan.

1.3 Pemeriksaan Klinis


a. Pemeriksaan fisik yang dilakukan menunjukkan keadaan depresi dengan
kondisi fisik yang buruk, tingkat dehidrasi sedang, mukosa icterus dengan suhu
rektal yang tinggi yaitu 39, 9 C. Pulsus dan frekuensi respirasi normal.

b. Pemeriksaan hematologi dan kimia darah


Hasil pemeriksaan hematologi menunjukkan abnormalitas leukosit yaitu terjadi
leukositosis dengan neutrofilia. Hasil pemeriksaan kimia darah menunjukkan
peningkatan alkaline phospate yaitu 412-546 U/L dengan nilai normal 20-156
U/L, total bilirubin dengan nilai 5,16-5,98 mg/dl dengan nilai normal 0, 1-0,6
mg/dl dan direct bilirubin 4,02-4.12 mg/dl dengan nilai normal 0,2-0,4 mg/dl.
Parameter ALT, AST, BUN dan creatinin berada pada kisaran normal.

23
c. Pemeriksaan USG abdomen.
Hasil pemeriksaan USG pada hepar menunjukkan parenkim hati tidak terdapat
kelainan yang terlihat dengan echogenecity. Pemeriksaan kantung empedu
menunjukkan bentuk kantung empedu oval dengan penebalan dinding yang
simetris yang pada gambaran USG nampak hyperechoeic bila dibandingkan
dengan jaringan hati sekitarnya. Kantung empedu berisi dengan cairan yang
tersedimen seragam echogenic.
Gambar 1. Hasil USG

Gambar 2. USG pada anjing yang mengalami kolesisititis.

1.4 Diagnosis
Berdasarkan anamnesa dan pemeriksaan klinis anjing labrador didiagnosa dengan
cholesistitis

1.5 Terapi
Pemberian asam ursodeoxycholic 5 mg/Kg bb bid PO, tricholine sitrat 5 ml bid PO,
metaclopamide 0,5 mg/Kg bb IM, enrofloxacin 10 mg/kg bb IM bid diberikan
selama dua minggu. infus NS 250 ml bid selama 3 hari.

1.6 Prognosa
Fausta, anjing merespon terhadap pengobatan yang ditandai dengan adanya
perbaikan klinis seperti berkurangnya frekuensi muntah, peningkatan nafsu makan,
perbaikan status hidrasi mulai terlihat dua hari setelah terapi diberikan dan setelah

24
pemberian terapi selama 14 hari keadaan tubuh telah normal yang dibutuhkan
dengan uji hematologi dan kimia darah menunjukkan nilai yang berada pada
kisaran normal. dianjurkan untuk kontrol tiap bulan untuk mencegah kekambuhan.

BAB IV
PEMBAHASAN

Anjing labrador yang dibawa ke klinik pendidikan dengan anamnesa anoreksia,


muntah, adanya ikterus dan nyeri pada abdomen yang disertai dengan kehilangan berat
badan merupakan ciri khas yang menonjol pada anjing yang mengalami gangguan pada
kantung empedu dan disfungsi hepatobilier. Anoreksia diartikan sebagai tidak adanya
keinginan hewan untuk makan dan disertai dengan keengganan menelan makanan.
Anoreksia biasanya merupakan proses dari suatu penyakit yang secara langsung
menghambat atau menekan aktivitas pusat lapar. Aktivitas pusat lapar dikontrol oleh
nuklei hipotalamus lateral. Pusat lapar dirangsang oleh mediator yang dihasilkan oleh
rangsangan vagal atau simpatetik pada reseptor perifer yang memberikan umpan balik
pada nuklei hipotalamus lateral.adanya gannguan pada rongga abdomen seperti radang
pada hepatobilier pankreas, lambung, usus halus dan ginjal akan menghambat aktivitas
pusat makan dengan cara menghambat pengeluaran neurotransmiter neuropetide Y,
serotonin yang akan mempengaruhi pusat lapar.

25
Anamnesa yang lain yang didapatkan dari klien berupa adanya muntah. Muntah
merupakan gejala dari suatu penyakit yang ditandai keluarnya isi lambung dan usus
melalui mulut dengan paksa. muntah biasanya mengindikasikan adanya gangguan pada
saluran pencernaan. Muntah pada umunya didahului oleh rasa mual atau nausea yang
dicirikan oleh muka pucat, salivasi, tachicardia dan pernafasan tidak teratur. Prosesnya
ialah diawali dengan mengendurnya lambung dan di usus halus timbul aktivitas
antiperistaltik yang menyalurkan isi susu halus bagian atas ke lambung, gejala tersebut
diikuti oleh menutupnya glotis, napas yang tertahan, katub esophagus dan lambung
merelaks. Dan akhirnya timbul kontraksi ritmis dari diafragma serta otot-otot
pernafasan disusul oleh lambung memuntahkan isisnya. Muntah diakibatkan oleh
stimulasi dari pusat muntah disumsum sambung yaitu medulla oblongata dan
berlangsung menurut beberapa mekanisme yaitu rangsangan langsung melalui CTZ.
Mekanisme muntah akibat rangsangan langsung dari saluran cerna, bila peristaltik dan
pelintasan lambung tertunda sehingga terjadilah dispepsi yaitu suatu kondisi medis yang
ditandai dengan nyeri atau rasa tidak nyaman pada bagian abdomen yang biasanya
timbul setelah makan yang disertai dengan rasa mual, jika gangguan tersebut
berlangsung dengan parah, maka akan merangsang pusat muntah dirangsang melalui
saraf vagus yaitu saraf otak ke 10 dengan akibat muntah. Pusat muntah dirangsang
apabila terdapat kerusakan pada mukosa lambung dan usus. Proses muntah secara tidak
langsung melalui CTZ (chemo receptor trigger zone ) adalah suatu daerah yang banyak
reseptor yang letaknya berdekatan dengan pusat muntah di medula oblongata dengan
bantuan neurotransmiter berupa dopamin yang akan merangsang reseptor dopmain D2
dan 5TH3 yang akan merangsang reseptor serotonin (5-HT3) pada aferen vagal dari
pusat muntah kemudian akan ditransmisikan melalui jalur saraf cranial V, VII, IX, X,
dan XII ke saluran pencernaan bagian atas, melalui saraf fagal dan simpatis ke saluran
yang lebih bawah, da melalui saraf spinalis ke diafragma dan otot perut.
Pada proses penyakit cholecystitis muntah dapat terjadi akibat mekanisme mual dan
muntah yang disebabkan adanya obstruksi saluran empedu sehingga mengakibatkan alir
balik cairan empedu ke hepar (bilirubin, garam empedu dan kolesterol ) menyebabkan
terjadinya proses peradangan disekitar hepatobiliar yang mengeluarkan enzim ALT dan
AST dalam frekuensi yang sering sehingga bersifat iritatif disaluran cerna sehingga
merangsang nervus vagal dan menekan rangsangan sistem saraf parasimpatis sehingga
terjadi penurunan peristaltik sistem pencernaan di usus dan lambung,menyebabkan

26
makanan tertahan di lambung dan peningkatan rasa mual yang mengaktifkan pusat
muntah di medula oblongata dan pengaktifan saraf kranialis ke wajah, kerongkongan
serta neuron-neuron motorik spinalis ke otot-otot abdomen dan diafragma sehingga
menyebabkan muntah. Anamnesa yang dikeluhkan klien juga terkait adanya ikterus.
Nyeri pada abdomen saat dilakukan palpasi pada keadaan kholesistitis dikarenakan
kantung empedu mengalami distensi sehingga bagian fundus kantung empedu
menyentuh bagian abdomen pada kartilago kostae sehingga merangsang saraf untuk
mengeluarkan bradikinin dan serotonin yang akan membawa implus ke serat saraf
aferen simpatis menuju medula spinalis untuk lokalisasi nyeri kemudian dihantarkan
menuju serat saraf eferen yang berada dihipotalamus sehingga akan mengakibatkan
nyeri pada epigastrium
Ikterus adalah suatu kondisi medis yang ditandai dengan menguningnya kulit dan
sklera. Ikterus terjadi karena adanya hiperbilirubinemia, yaitu keadaan dimana
konsentrasi bilirubin dalam darah sangat tinggi yang dapat disebabkan peningkatan
kadar bilirubin tidak terkonjugasi atau peningkatan bilirubin terkonjugasi ataupun
keduannya. Pada kasus ini berdasarkan pemeriksaan darah menunjukkan hasil
peningkatan bilirubin langsung dan total bilirubin. Bilirubin langsung merupakan
bilirubin yang masuk ke dalam hepatosit dan dikonjugasikan dengan asam glukuronat
dengan bantuan enzim UDP glukuronil transferase untuk membentuk monoglukuronida
dan kemudian menjadi diglukuronida bilirubin terkonjugasi. Tujuan bilirubin
dikonjugasikan ialah agar harus dapat diekskresi melalu membran kanalikular ke dalam
empedu. ikterus pada kasus cholesistitis dapat disebabkan oleh gangguan eksresi
bilirubin ke dalam empedu yaitu adanya statis cairan empedu akan menurunkan
ekskresi bilirubin dalam empedu menuju saluran cerna melalui duodenum sehingga
mengakibatnya peningkatan bilirubin yang kemudian akan diserap dalam sirkulasi
darah. tingginya pigmen bilirubin dalam darah akan mempengaruhi warna mukosa kulir,
selapur lendir akan terlihat berwarna kuning akibat tingginya konsentrasi bilirubin
dalam darah.
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan selain mengecek kadar bilirubin dengan
menggunakan pemeriksaan hematologi menunjukkan hasil adanya abnormalitas berupa
leukositosis dan neutrophilia yang dapat diintepretasikan sedang terjadi peradangan
ataupun infeksi pada kantung empedu, sedangkan pada pemeriksaan kimia darah
menunjukkan adanya peningkatan alkalis phospatase. Alkaline phospatase merupakan

27
enzim yang berfungsi dalam mengkatalisis magnesium atau cobalt yang dibutuhkan
untuk aktifitas enzim, alkaline phospatase memiliki hubungan dengan sintesis protein
pada suatu sel dikarenakan alkaline phospatase memerankan kontrol penteng dalam
sintesis DNA dan pertumbuhan, pada usus halus alkaline phospatase berperan untuk
aktivasi penyerapan asam oleic. Tingginya enzim ALP dalam pemeriksaan darah dapt
disebabkan adanya obstruksi pada empedu yang akan menurunnnya eksresi enzim ALP
melalui saluran kantung empedu, sehingga akan menyebabkan terjadinya regurgitasi
dari serum ALP pada hepar. ALP dapat pula berperan sebagai respon adanya peradangan
pada saluran empedu dan kandung empedu yang mengakibatkan perekrutan sel
inflamasi yang cukup banyak menuju lokasi peradangan yang akan memicu terjadinya
edema yang lama-kelamaan akan menyebabkan adanya obstruksi. Peningkatan suhu
pada pemeriksaan fisik dapat dikaitkan dengan adanya infeksi bakteri berupa E.coli dan
staphlococcus yang akan mengakibatkan cholecystitis pada anjing yang apabila infeksi
tersebut menyebar ke dalam parenkim hati akan memicu terjadinya peningkatan ALT.
Pemeriksaan dengan menggunakan USG menunjukkan hasil berupa penebalan dinding
kantung empedu sehingga terlihat hyperechoeic. Penebalan dinding kantung empedu
dapat disebabkan oleh adanya edema. Normalnya kantung empedu pada pemeriksaan
dengan USG akan terlihat anechoeic, dan memiliki bentuk bulat dengan dinding yang
mulus tidak bergradien (Kumar, 2014; Aissi, 2009).
Diagnosa yang dapat diambil berdasarkan anamnesa dan pemeriksaan lanjutang
dengan menggunakan hematologi, kimia darah dan USG anjing labrador retriver
tersebut mengalami cholesistitis. cholecystitis adalah penyakit yang terjadi pada
kantung empedu yang ditandai dengan adanya infeksi, peradangan atau obstruksi yang
dapat disebabkan oleh adanya infeksi bakteri yang berasal dari saluran cerna melalui
saluran empedu atau melalui peredaran darah. kolesititis memiliki kemungkinan dapat
menyebar ke dalam saluran empedu dan parenkim hati. Cholecystitis pada anjing
umunya merupakan tipe necrotizing. Cholecystitis necrotizing umumnya menyerang
anjing dewasa dan tua. Cholecystitis necrotizing akan merusak dinding kantung empedu
dan akan memicu terjadinya kebocoran cairan empedu ke dalam ruang peritoneum.
Kantung empedu yang berfungsi menyimpan dan memekatkan cairan empedu yang
berada didalamnya dengan cara mengabsorbi air dan elektorik apabila terjadi statis
cairan empedu dalam kantung empedu akan mengakibatkan terjadinya perubahan
susunan kimiawi yang bersifat toksik yang akan menginfeksi kandung empedu.

28
tertahannya cairan empedu dalam kantung empedu akan memicu peningkatan bilirubin.
adanya statis cairan empedu akan menghambat ekskresi bilirubin yang selnajutnya akan
mempengaruhi warna mukosa menjadi berwarna kuning. Tertahannya cairan empedu
akan menginfeksi kantung empedu akibat kerusakan epitel empedu akan mengakibatkan
peradangan dan edema yang terlihat pada pemeriksaan hematologi dan USG (Varshney,
2012; Ward, 2006)
Terapi yang diberikan ialah untuk melindungi dan mencegah terjadinya kerusakan
yang semakin parah pada kantung empedu. terapi yang dilakukan dengan memberikan
pengobatan yang akan memperingan kerja kantung empedu. pengobatan yang diberikan
pada anjing labrador retriver berupa Ursodeoxycholic acid yang memiliki mekanisme
yaitu melindungi cholangiocytes terhadap sitotoksisitas cairan empedu, mengurangi
sitotoksisitas cairan empedu dan penurunan konsentrasi asam empedu di
cholangiocytes. Melindungi hepatosit dari cairan emepadu akibat statis cairan empedu.
Ursodeoxycholic acid menekan sintesis dan sekresi kolesterol dari hati dan juga
menghambat penyerapan kolesterol pada usus. Pemberian thricholine sitrat akan
mengkonversi lemak yang disimpan menjadi lesitin dan fosfolipid yang merupakan
komponen dari HDL, HDL merupakan kolesterol yang akan mengangkut mengangkut
kolesterol bebas dari pembuluh darah dan jaringan lain menuju hati selanjutnya
mengeluarkannya lewat empedu (Paumgartner, 2002). Pemberian Metoclopramide
merupakan obat yang bertujuan menekan rasa mual dan muntah. Pada kasus ini obat
antiemetika yang diberikan adalah obat yang memiliki cara kerja melawan mual dengan
cara menghambat neurotransmiter dari CTZ ke pusat mentah dengan jalan blokade
reseptor dopamin. Metaklopramide memiliki cara kerja mengurangi motilitas lambung
dan usus. Obat ini memiliki efek antidopaminergik di CTZ tetapi sekaligus
meningkatkan motilitas saluran cerna. Anti emetik metoklopramid memiliki sifat
antagonis terhadap 5HT3 dan sifatnya memblok reseptor dopamin. Mekanisme kerjanya
metoklopramid ialah merangsang motilitas saluran cerna bagian atas tanpa merangsang
sekresi lambung, empedu, pankreas tetapi mekanisme kerjanya belum diketahui. Obat
ini meningkatkan tekanan sfingtr esofagus bagian bawah dan meningkatkan kecepatan
pengosongan lambung, obat ini juga meningkatkan tonus dan amplitudo kontraksi
lambung, merelaksasi sfingter pilorus dan bulbus duodenum serta meningkatkan
peristaltik duodenum dan jejenum (Plumb, 2002). Penggunaan antibioti enrofloxacin

29
merupakan antibiotik yang bersifat broad spectrum dan mencapai konsetrasi yang tinggi
dalam empedu.

BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Anjing labrador retriver yang dibawa ke klinik hewan berdasarkan anamnesa, dan
pemeriksaan lanjutan mengalami cholecystitis. Terapi yang diberikan pada anjing
memberikan efek perbaikan terhadap gejala klinis dari cholecystitis.

DAFTAR PUSTAKA

30
Aissi, A And C. Slimani. 2009. Ultrasound Diagnosis Of Cholecystitis In A Dog. (A Case
Report). Global Veterinaria 3 (6): 514-515
Kumar, K.S And D Srikala. 2014. Diagnosis And Management Of Cholecystitis In Dogs.
Int. J. Agric.Sc & Vet.Med. Vol. 2, No. 3: 13-15
Noviana, D., B. J. Widyananta, Dan S. Zaenab. 2013. Studi Kasus Pencitraan Sonogram
Kelainan Organ Hepatobiliari Anjing. Jurnal Kedokteran Hewan Vol. 7 No. 2,
September 2013: 81-86
Paumgartner. G And U.Beuers. 2002. Ursodeoxycholic Acid In Cholestatic Liver Disease:
Mechanisms Of Action And Therapeutic Use Revisited. Hepatology. 2002
Sep;36(3):525-31
Varshney. A. C., S. P. Tyagi, M. S. Kanwar, And S. K. Sharma. Diagnostic Imaging Of
Canine Hepatobiliary Affections: A Review. Hindawi Publishing
Corporationveterinary Medicine International Volume 2012: 1-15.
Ward R (2006), “Obstructive Cholelithiasis And Cholecystitis In A Keeshond”, Can. Vet.J.,
Vol. 47, Pp. 1119-1121.

31
ROTASI INTERNA HEWAN KECIL
TUGAS SISTEMA MUSKULOSKELETAL
PSEUDOACHONDROPLASIA PADA ANJING

Oleh:
YESY VITA ADETYARA, S.KH
150130100111024

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN


PROGRAM KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2016

140
BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Pseudoachondroplasia merupakan penyakit genetik autosomal resesif anjing
, kelainan yang jarang dari osteochondroplasia. Pseudoachondroplasia sering
menyerang pada anjing. Beberapa breed yang sering mengalami achondroplasia
berdasarkan penampilan fenotipe antara lain Basset Hound, Daschund, Bulldog.
Osteochondroplasia terlihat juga di beberapa breed non chondroplasia seperti
Alaskan Malmute, Norwegian Elkhounds, Great Pyrenees, Scootish, Deerhounds,
German Shepherd, Miniature Poodles, dan Iris Setter. Disamping berefek pada
skeletal hal ini juga dapat berefek pada mata seperti kebutaan ditunjukkan pada
anjing Samoyed dan Labrador Retrivers.
Pseudoachondroplasia akan menimbulkan gejala ketidak mampuan untuk
berjalan dan berdiri. Tulang panjang pendek tebal dan membungkuk serta sendi
yang membesar dan kaku. Tulang rusuk terlihat merata sehingga dapat
menyebabkan kesulitan bernafas. Pseudoachondroplasia kepala dan wajah normal,
tetapi ada displasia epifisis dan metafisis. Ketidak mampuan untuk berjalan dan
berdiri..Pada hewan yang lebih tua tulang sepenuhnya kaku tapi pendek dan cacat.
Kejadian ini dimungkinkan terjadi karena adanya mutasi pada salah satu gen.
Disamping berdampak pada susunan rangka, penyakit ini juga dapat berdampak
pada organ lain.
Pseudoachondroplasia berbeda dengan kelainan chondroplastik yang lain
seperti pada kasus chondroplasia pada Alaskan malamute,Norwegian elkhounds
atau ocular chondroplastik pada anjing Labrador dan Samoyed berdasar pada
radiografi dan temuan klinis. Pada kasus Alaskan malamute terjadi abnormalitas
pada tulang panggul tetapi tidak berdampak pada spina tulang rawan. Pada studi
kasus ini ingin mempelajari kejadian pseudoachondroplasia pada anjing bichon.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

141
Pseudoachondroplasia merupakan bentuk dari achondroplasia ditandai
dengan perkembangan abnormal dari tulang yang kemudian tanda itu menjadi
lebih jelas setelah 2-3 minggu. Pseudoachondroplasia dan achondroplasia
memiliki perbedaan antara lain pada pseudoachondroplasia kepala masih
normal sedangkan achondroplasia memiliki kepala besar.
Pseudoachondroplasia memiliki perawakan pendek tidak proposional,
kelainan anggota tubuh belakang yang abnormal, kelemahan sendi.
Pseudoachondroplasia kepala dan wajah normal, tetapi ada displasia epifisis
dan metafisis. Ketidak mampuan untuk berjalan dan berdiri. Tulang panjang
pendek tebal dan membungkuk serta sendi yang membesar dan kaku. Tulang
rusuk terlihat merata sehingga dapat menyebabkan kesulitan bernafas.Pada
hewan yang lebih tua tulang sepenuhnya kaku tapi pendek dan cacat. Secara
histologi tulang rawan hialin terjadi hambatan dalam proses osifikasi.
Komponen skeletal tulang belakang berasal dari lapisan mesoderm yang
terletak pada lapisan kedua embrional. Pada perkembangan ontogenetical
mesoderm berubah menjadi mesenkimal dan berubah menjadi jaringan
pengikat pada hewan dewasa (Martinez et al., 2000).
Jaringan pengikat termasuk selnya dan Extracelullar Matrik (ECM)
mengalami metaplasia yang berupa bentuk respon adaptive dari jaringan
pendukung tulang rawan dan tulang keras. Dibawah pengaruh fisik, kimia ,
syaraf dan faktor humoral jaringan pengikat mempunyai beberapa fungsi
seperti fungsi mekanik, pertahanan, sitogenetik dan sintesis berbagai macam
protein dan karbohidrat yang merupakan penyusun ECM. Colagen merupakan
salah satu protein terpenting yang menyusun ECM memiliki determinasi
spesifik terhadap jaringan tergantung dari tipe kolagen. Penyusunan tulang
dimulai pada periode fetalis dengan dua mekanisme osteogenik. Mekanisme
pembentukan tulang ini dikontrol langsung oleh meteri genetic spesifik. Gen
yang mengkode mutasi formasi serabut kolagen dan protein ECM kartilago
antara lain Cartilage oligomeric matrix protein (COMP), proteoglycans
aggrecan danperlecan biasanya berdampak pada skeletal dysplasia. Skeletal
dysplasia sering ditemukan pada anjing dengan banyak kelainan seperti
abnormalitas pada bentuk dan ukuran tulang panjang, spina dan disproporsi

142
kerangka. Kelainan ini dapat dideteksi dengan radiografi tetapi pengujian
biokimia dan histologi dapat merepresentasikan berbagai macam kelainan
pada tulang. Pseudoachondroplasia merupakan kelainan pada tulang yang
dicirikan dengan disproposional tulang yang mengalami pemendekan,
abnormalitas pada panggul dan spina, kelainan dalam berjalan, kelemahan
pada persendian dan osteoarthritis dini. Gangguan pseudoachondroplasia ini
disebabkan oleh adanya mutasi pada tulang rawan oligomer gen protein
matriks. Diagnosis pseudoachondroplasia berdasarkan temuan klinis dan
pemeriksaan radiografi.

BAB III
STUDI KASUS

143
1. Studi Kasus
3.1 Signalment
Jenis hewan : anjing
Umur : 15 bulan
Jenis kelamin : betina
Ras : Bichon

3.2 Anamnesa
Anjing bichon umur 15 bulan jenis kelamin betina terlihat kesulitan
berjalan sejak berumur 4 bulan.

3.3 Pemeriksaan fisik


Anjing terlihat kesulitan berjalan, nyeri, deformasi anggota badan

3.4 Pemeriksaan Lanjutan


a. Pemeriksaan Radiografi
Gambaran dari radiografi menunjukkan struktur tengkorak yang
normal dan terjadi beberapa perubahan tungkai dan tulang belakang.
Epifisis tulang tidak berkembang dengan baik dan memiliki
penampilan yang tidak teratur dipisahkan dengan garis radiolusen.
Metafisis tulang panjang pada humerus distal, radius dan ulna
memiliki penampilan abnormal. Adanya displasia di epifisis dan
metafisis tulang panjang dan pendek. Karpal dan tarsal juga
menunjukkan perubahan bentuk. Perubahan juga tampak pada
deformasi rongga bahu bilateral. Pada pelvis ditemukan agenesis pada
rongga acetabulum dan epifisis femoralis proksimal. Pada persendian
panggul terdapat perubahan pada siku, lutut dan tulang paha. Pada
persendian terjadi proses degenerasi terutama pada siku.

Gambar 3.4.1 Kiri tampak lateral dan kanan tampak kraniokaudal. Pada tualng
panjang kanan. Pada posisi lateral dapat dilihat perubahan

144
pertumbuhan tulang berupa perumbuhan femur yang tidak
sempurna.. Kaput tulang humerus bagian metafisis lebih luas.
Persendian siku tidak sempurna yang dapat menyebabkan
gangguan pergerakan pada epifisis distal humerus dan epifisis
proksimal radius ulna.. Metapifisis distal radius ulna mengalami
pembesaran dan pertumbuhan yang tidak sempurna pada distal
epifisis radius ulna. Pertumbuhan yang tidaksempurna juga terjadi
pada tulang carpal dan metacarpal. Pada tampak kraniokaudal
terlihat normal pada ekstremitas proksimal dan distal, malformasi
persendian siku, terdapan susunan tulang baru pada medial
epikondilus humerus. Pertumbuhan yang tidak sempurna pada
epifisis radius dan ulna .

Gambar 3.4.2 Kiri lateral dan kanan kraniokaudal. Tampak pada gambar
perubahan pada ekstremitas belakang mirip dengan ekstremitas
depan

Gambar 3.4.3. Tampak ventrodorsal pelvis dan ekstremitas belakang. Dapat


terlihat perubahan epifisis pada lempeng tulang vertebrae. Pada
persendian femur perubahan terjadi pada acetabular cavity dan
caput femoralis tidak terbentuk. Deformasi diafisis femoralis;
epifisis tibia proksimal tidak terbentuk sempurna dan metafisis
tibia proksimal lebih luas.

145
3.5 Diagnosa
Pseudoachondroplasia
3.6 Prognosa
Infausta
3.7 Terapi
-

BAB IV
PEMBAHASAN

Pada pemeriksaan fisik ditemukan bahwa tulang carpal-metacarpal lebih


pendek daripada ukuran normal dengan tingkat sensitivibilitas yang lebih tinggi
pada palpasi persendian dengan gangguan pertumbuhan dan gerakan yang
melambat. Tidak ditemukan perubahan pada kutaneus, ocular dan kraniofacial.
Pada gambaran radiografi mengindikasikan struktur normal pada tulang kranial
tetapi terdapat banyak perubahan pada tulang carpal-metacarpal dan tulang spina.
Hal ini didukung pada pengurangan dimensi pada gambar radiografi menunjukan
perubahan pada tulang bagian epifisis pada tulang vertebrae dan tulang panjang.
Epifisis tidak berkembang sempurna dan memiliki bentuk irregular terpisah dari
tulang tibia yang tampak radiolucent pada gambar radiografi. Pada tulang panjang
bagian metafisis terutama pada tulang humerus, radius dan ulna terjadi perubahan

146
formasi yang tampak seperti flare (pecah) pada gambar radiografi. Pertumbuhan
tulang yang terganggu terlihat tulang humerus bagian medial dan epikondilus.
Lempeng tulang vertebrae tampak tidak teratur dan terpisah dari tubuh tulang
vertebrae. Pada bagian ventral tulang vertebrae tampak terpisah dari badan tulang.
Dan pada intinya tulang vertebrae lebih pendek dari ukuran normal. Tulang tarsal
dan karpal juga terjadi perubahan bentuk. Perubahan juga terlihat pada tulang
bahu.
Pada bagian pelvis terjadi agenesis pada rongga acetabulum dan epifisis
tulang femoralis bagian proksimal. Pada persendian panggul berubah bentuk
seperti pada siku, lutut dan pinggul. Hal ini menunjukkan terjadinya proses
degenerasi yang menyebabkan kerusakan pada pagian persendian terutama pada
bagian persendian. Perubahan ostochondrial juga terjadi pada pada bagian axial
dan rangka apendikular tetapi tidak berdampak pada struktur kraniofacial.
Osteoachondrodysplasia secara umum tampak hasil kegagalan osifikasi
endochondrial yang tampak menjadi dwarfism dan berdampak pada morfologi
rangka apendikular dan axial. Beberapa ras anjing yang memiliki faktor
predisposisi kelainan chondrodysplastic berdasar pada aspek fenotip seperti basset
hound, Dachshund, Bulldog yang telah dikode pada gennya yang tampak kerdil
pada fenotip. Kejadian chondrodysplasia juga pernah terjadi pada ras yang non-
chondrodysplasia seperti Alaskan malamute, Norwegian Elkhhounds, Great
Pyrenees, Scottish Deerhound, German Shepherd, miniature poodle dan iris setter.
Kondisi ini membingungkan antara hereditas dengan ekspresi fenotip. Hal ini
dimungkinkan terjadi mutasi pada salah satu gen. Disamping berdampak pada
susunan rangka, penyakit ini juga dapat berdampak pada organ lain seperti mata
yang mengalami kebutaan yang pernah terjadi pada kasus pseudoachondroplasia
pada labardor dan samoyeds(Breur et al., 2009).
Gambaran radiografik pada rangka memperlihatkan dysplasia secara
umum pada epifisis serta metafisis tulang pinggul dan ventebrae bagian ventral
dan tubuh tulang. Tetapi tidak berpengaruh pada struktur kraniofacial pada kasus
Pseudoachondroplasia (PSACH). Seluruh tulang panjang ukuranya lebih pendek
daripada ukuran normal dan yang paling terlihat dampaknya adalah tulang
humerus dan femur yang tampak seperti rhizomelic dwarfism. Perubahan lain
tampak pada perubahan struktur pada tulang panjang tampak pertumbuhan yang

147
terganggu pada gambar sinar radiografi. Perubahan struktur terjadi karena
perubahan produksi dari tulang periepifizar dan kerusakan pada persendian yang
pada saat dipalpasi terlihat perubahan struktur pada tendon dan ligament.
Diagnosa (PSACH) pertama didasarkan pada sejarah keturunan anjing dan
penemuan pemeriksaan fisik dan radiografi. Ketika ditemukan gen yang
mengkode kelainan skeletal juga dapat dikatakan menderita PSACH.
Pseudoachondroplasia merupakan kondisi dimana terjadi kelainan pertumbuhan
pada osteochondroplasia dan juga abnormalitas pada perkembangan tulang dan
tulang rawan. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa pada anjing yang
menderita PSACH mengalami mutasi gen pada kromosom gen 19p12-13.i yang
mengkode Cartilage oligomeric matrix protein (COMP) protein ECM yang
diekspresikan pada tulang rawan, tendon dan ligament. Pada anjing poodle dan
Scottish deerhound yang mengalami PSACH terjadi perubahan yaitu mengalami
dysplasia epifisis. Abnormalitas skeletal pada PSACH lebih menyeluruh. Pada
penelitian ini digambarkan bahwa abnormalitas pada panggul dan spina tilang
vertebrae pada anjing Bichon merupakan kasus yang jarang terjadi. Penyebab dari
kondisi anjing bichon ini belum ditemukan penyebab pastinya karena tidak
diketahui beberapa data tentang orangtua dan saudara anjing atau kondis saat
terjadi kelahiran anjing. Pada penelitian sebelumnya mutasi genetic menyebabkan
abnormalitas skeletal. .
Pseudoachondroplasia berbeda dengan kelainan chondroplastik yang lain
seperti pada kasus chondroplasia pada Alaskan malamute,Norwegian elkhounds
atau ocular chondroplastik pada anjing Labrador dan Samoyed berdasar pada
radiografi dan temuan klinis. Pada kasus Alaskan malamute terjadi abnormalitas
pada tulang panggul tetapi tidak berdampak pada spina tulang rawan. Epifisis
pada tulang panjang dapat berubah tetapi pada gambar radoigrafi perubahan hanya
pada titik-titik tertentu pada fisis dan metafisis tulang radius dan ulna. Gangguan
pertumbuhan terjadi deformitas angular tulang panjang. Chondroplasia pada
anjing Norwegian elkhounds dicirikan dengan kekerdilan yang disproposional
tetapi pada forelimbs lebih berdampak daripada bagian hindlimb. Pada dasarnya
pemeriksaaan radiologi ditemukan abnormalitas tilang vertebrae dan
persambungan kostokondral tetapi tidak berdampak pada rangka. Pada ras
Labrador ekspresi skeletal pada tulang panjang berbeda dengan ras yang lain bias

148
berupa kerusakan pada ocular seperti katarak, dysplasia retina dan retinal
detachment.

BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Pseudoachondroplasia merupakan bentuk kelainan pada
osteochondroplasia yang dicirikan dengan kekerdilan dan abnormalitas susunan
rangka. Pada pemeriksaan radiografi ditemukan dysplasia menyeluruh pada
epifisis dan metafisis tulang panjang dan tulang pendek. Untuk menghindari
kejadian PSACH perlu dilakukan kontrol breeding dan menghindari kejadian
inbreeding.

149
DAFTAR PUSTAKA

Breur S.A., Zebre C.A.,Slocombe R.F., Padgett G.A., Braden T.D. 2009 Clinical
radiographic osteochondroplasia in Scottish deerhounds. Journal of the
American Veterinary Medical Association, 195; 606-612

Gert J. Breur, Corneila E. Farnum, George A. Padgett and Norman J. Wilsman.


2002. Cellular Basis of Decrease Rate of Longitudinal Growth of Bone in
Pseudoachondroplastic Dogs. Madison; University of Wisconsin-
Madison.

Martínez S et al (2000) Achondroplastic dog breeds have no mutations in the


transmembrane domain of the FGFR-3 gene. Can J Vet Res 64(4):243-
245

Riser WH, Haskins ME, Jezyk PF, et al. Pseudoachondroplastic dysplasia in


Miniature Poodles: clinical, radiographic, and pathologic features. J Am
Vet Med Assoc 1980

Simon Matinez, Valdes Jesus, Alonso A. Rogelio. 2000. Achondroplastic dog


breeds have no mutatios in the transmembrane domain of the FGFR-3
gene. The Canadian Journal of Veterinary Research.

150
ROTASI INTERNA HEWAN KECIL
TUGAS SISTEMA RESPIRASI
RESPIRASI AKUT DISTRESS SINDROM SEJAK
BABESIOSIS PADA ANJING

Oleh:
YESY VITA ADETYARA, S.KH
150130100111024

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN


PROGRAM KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
151
MALANG
2016

BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Babesiosis pada anjing merupakan tick-borne disease yang disebabkan oleh


protozoa darah yang berasal dari genus Babesia. Babesia gibsoni, Babesia canis
canis, Babesia canis vogeli dab Babesia canis rossi merupakan spesies utama yang
telah diisolasi dari anjing. Penyebaran penyakit ini hampir diseluruh dunia yang
ditransmisikan oleh caplak Rhipicephalus sanguineous (brown dog tick),
Haemaphylasis leachi, Haemaphylasis bispinosa dan Dermacentor reticulatus
(Mathe et al, 2006). Penyebaran penyakit ini juga dapat tanpa melalui vector
dengan pertukaran darah selama proses bertengkar, gigitan dan dan transfuse
darah (Jefferies et al, 2007)
Infeksi parasite darah ini dapat berupa beberapa bentuk dari sub klinis sampai
timbul penyakit yang parah. Gejala klinis yang sering muncul antara lain
kepucatan, demam, lymphadenomegaly, splenomegaly, anoreksia, icterus dan
hemoglobinuria. Gejala klinis yang pada darah adalah terjadi hemolilis
intravaskuler dan ekstravaskuler., cidera hipoksia dan inflamasi sistemik
(Jacobsen, 2006).
Komplikasi babesiosis yang telah dilaporkan berupa beberapa manifestasi
antara lain ; hepatomegaly, pancreatitis, Acute Renal Failure (ARF),
Disseminated Intravascular Coagulopathy (DIC)., Immune-Mediated Hemolytic
Amenia (IMHA), Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS), Cerebral
Babesiosis (CB), Systemic Inflamatory Response Syndrome (SIRS) dan Multiple
Organ Dysfunction Syndrome (MODS) (Mathe et al 2006). Pada kasus ini
dilaporkan babesiosis pada anjing dengan komplikasi ARDS dan CB pada anjing
Japanese Spitz usia 5 tahun.

152
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Babasiosis pada anjing merupakan penyakit yang sebabkan oleh parasit darah
(protozoa) melalui darah yang menyerang sel darah merah oleh vektor utama
gigitan caplak, gigitan secara langsung oleh anjing penderita, transfusi darah,
transplasental/induk ke anaknya sehingga mengakibatkan kerusakan dan
kekurangan sel darah merah/anemia, turunnya kadar hemoglobin yang
menyebabkan penyakit kuning (jaundice). Kasus babesiosis pada anjing sebagian
besar terjadi pada musim kemarau dimana terjadi peningkatan jumlah populasi
caplak yang sangat banyak.
Penyakit Babesia lebih banyak terdapat di negara tropis dan subtropis.
Penyakit ini sebetulnya suatu penyakit zoonosis dan manusia tertular karena
digigit sengkenit yang memerlukan darah untuk melangsungkan kehidupannya.
Caplak secara alami hidup pada bintang peliharaaan dan juga binatang buas,
sedangkan manusia sendiri tidak berperan dalam penyakit Babesia. Sebenarnya
banyak penderita yang tertular parasit Babesia tetapi tidak menunjukkan gejala,
maka sulit ditentukan penderita yang terinfeksi Babesia. Babesia infektif
ditularkan oleh beberapa spesies caplak dimana terjadi siklus pembelahan seksual.
Apabila caplak menggigit dan menghisap darah manusia, maka organisme
tersebut akan masuk ke dalam sel darah merah untuk mencapai pertumbuhan pada
tingkat dewasa, sehingga manusia manusia tertular dan menderita Piroplamosis
(Babesiosis).
Babesia menyebar melalui air liur kutu ketika menggigit . Pada tahap nymphal
nya , kutu akan menggigit ke dalam kulit untuk memakan darah . Jika tidak
dihapus , akan tetap melekat selama 3 sampai 6 hari dengan waktu yang lebih
lama yang dikaitkan dengan probabilitas yang lebih tinggi untuk memperoleh
parasit . Parasit ini dapat hidup melalui berbagai tahap perkembangan yang
mengakibatkan semua tahapan berpotensi menular . Beberapa spesies Babesia
dapat ditularkan dari kutu betina keturunannya sebelum bermigrasi ke kelenjar
ludah untuk makan . B. microti , varietas yang paling umum dari Babesia pada

153
manusia namun , belum terbukti untuk menularkan transovaria. Babesia sp.
merupakan parasit intraeritrositik yang akan menyebabkan kerusakan eritrosit.
Gejala Babesiosis pada anjing diantaranya demam, kurangnya nafsu makan,
apatis, hemoglobinuria, bilirubinuria, polichromasia, anemia hemolitik progresif,
spleeno dan hepatomegalia, sakit kuning, muntah dan kematian
(Skotarczak 2005)
Babesia sp. adalah organisme protozoa yang eritro parasitisis,
menyebabkananemia pada inang. Banyak spesies yang berbeda yang ada dengan
berbagai spesifisitas inang. B. canis dan B. gibsoni dua organisme dikenal
menginfeksi anjing. B. canis dan B. gibsoni merupakan spesies babesia yang
paling umum ditemukan pada anjing. Di Amerika Utara, transmisi babesiosis pada
anjing juga dapat diperantarai oleh caplak variabilis Dermacentor yang diyakini
sebagai vektor potensial babesiosis. Selain itu beberapa transmisi hewan ke hewan
secara langsung dapat terjadi ketika anjing mengalami luka gigitan oleh anjing
terinfeksi.Infeksi Babesia canis dapat terlihat subklinis sampai menimbulkan
anemia pada mayoritas anjing yang terinfeksi dan thrombocytopaenia dalam semua
kasus.Sementara itu Infeksi Babesia gibsoni dapat menimbulkan gejala yang
bersifat hiper-akut, akut atau kronis. Gejala akut paling umum ditemukan pada
kasus babesiosis, gejala yang terlihat antara lain demam, lesu, anemia hemolitik,
hemoglobinuria, bilirubinuria, polichromasia, trombositopenia, limfadenopati dan
splenomegaly. Gejala hiperakut ditandai dengan per-akut jarang dan ditandai shock
dan kerusakan jaringan yang luas (Schoeman 2009).
Sebagian besar kasus penularan antara manusia yang dikaitkan dengan
vektor kutu . Namun, pada tahun 2003 Pusat Pengendalian dan Pencegahan
Penyakit mengakui lebih dari 40 kasus Babesiosis dikontrak dari sel darah merah
( RBC ) transfusi dan 2 infeksi didokumentasikan dari transplantasi organ .
Transfusi RBC yang menyebabkan infeksi diidentifikasi melalui pengujian donor
darah untuk antibodi B. microti. Terjadinya transfusi RBC sebagai mekanisme
transmisi Babesia menempatkan tekanan pada organisasi pemerintah, seperti CDC
untuk meningkatkan langkah-langkah standar untuk skrining donor darah .

BAB III
154
STUDI KASUS

Studi Kasus
3.1 Signalement
Jenis hewan : Anjing
Jenis kelamin : Jantan
Usia : 5 tahun
Ras : Japanese Spitz

3.2 Anamnesa
Anjing dibawa ke klinik hewan kecil Universitas Nairobi dengan
riwayat mengalami letargi, lemah, Dypsnoe, penurunan nafsu makan dan
bertindak seperti anjing gila.

3.3 Pemeriksaan Fisik Dan Gejala Klinis.


Hasil pemeriksaan fisik anjing nampak memiliki kondisi tubuh yang
bagus, berperilaku seperti anjing gila, stress repirasi yang parah,
membrane mukosa pucat, temperratur tubuh 39,6oC, tachycardia dan suara
paru-paru yang keras. Selama proses pemeriksaan anjing mengalami
kejang-kejang. Dan pada pemeriksaan ulas darah dengan pewarnaan
giemsa terdapat parasite babesia pada eritrosit.

3.4 Pemeriksaan lanjutan


a. Pemeriksaan Hematologi
Pada hasil pemeriksaan hematologi diindikasikan ajning mengalami
leukositosis ringan, anemia berat dan trombositopenia. Menurut Tilley dan
Smith (2000) proses peradangan yang disebabkan oleh infeksi dapat
menyebabkan kelainan hematologi seperti trombositopenia.
Trombositopenia dapat berkaitan dengan adanya infeksi yang terus
menerus diikuti dengan kerusakan imun trombosit dan penurunan produksi
trombosit.Hasil pemeriksaan hematologi anjing dapat dilihat pada tabel
dibawah ini.
Tabel 1. Hasil Pemeriksaan Hematologi
Parameter Hasil Nilai Normal

White blood cells 20,47 m mm-3 6.0-17.0 m mm-3


155
Lymphocytes 6304,76 1000-4800

Monocytes 1064,44 180-1350

Granulocytes 13100,8 3000-11.500

Erythrocytes 1,41 m mm-3 5.5-8.5 mm-3

Mean corpuscular volume 68,4 fl 58.0-73.0 fl

Hematocrit 9,6% 35.0-55.0%

Mean corpuscular hemoglobin 24,8 pg 19.5-24.5 pg

Mean corpuscular hemoglobin 36,4 g dL -1 28.0 n-40.0 g


concentration dL-1

Hemoglobin concentration 3,5 dL -1 10.0-18.0 g dL-1

Thrombocyt concentration 76 m mm-3 120-600 m mm-3

Berdasarkan hasil hematologi yang dilihat anjing tersebut


mengalami leukositosis serta anemia. Menurut Bijanti dkk (2010)
Leukositosis dapat terjadi akibat dari respon fisiologis untuk melindungi
tubuh dari serangan mikroorganisme. Merespon seperti adanya infeksi,
radang akut. Anemia yang dialami anjing tersebut termasuk tipe anemia
normositik hipokromik. Anemia normositik hipokromik yaitu sel darah
tersebut berukuran dan berbentuk normal tetapi mengandung jumlah
hemoglobin yang rendah. Anemia ini dapat disebabkan defisiensi besi.

b. Pemeriksaan Urinalysis
Tabel 2. Hasil Pemeriksaan Urin
Parameter Hasil Nilai Normal

Warna Kuning Kuning bening

Ph 6 6-7

Berat jenis 1.030 1.015-1.045

Protein 30 mg/100 mL Negatif

156
Glukosa 1000 mg/100 mL Negatif

Badan Keton Negatif Negatif

Darah Negatif Negatif

Bilirubin Negatif Negatif

Urobilinogen 1 mg/100 mL 0,2 (3.5) mg/dL

Kreatinin Negatif Negatif

Sedimen Negatif Negatif

Sel epitel Negatif Negatif

Erytrhocytes Negatif Negatif

Leukocytes 25 µL-1 Negatif

Cast Negatif Negatif

Bakteri Negatif Negatif

Kristal Negatif Negatif

Sperma Negatif Negatif

Pada hasil pemeriksaan urinalisis anjing diduga terdapat patologi


pada ginjal yang ditandai dengan adanya protein dan glukosa dengan kadar
tinggi pada urin. dan juga terdapat leukosit pada urin. Urine normal tidak
mengandung protein, bila ditemukan protein dalam uring dapat berasal
dari protein plasma. Penyebab dari proteinuria seperti adanya anemia
hemolitik, hipertensi, kebocoran glomerulus dan terjadi gangguan absorbsi
protein. Adanya glukosa dalam urin yang sehat dapat disebabkan kadar
glukosa darah melebihi nilai ambang ginjal sedangkan pada renal
glukosuria disebabkan kelainan sel tubulus. Hasil pemeriksaan urin anjing
dapat dilihat pada table dibawah ini.

3.5 Diagnosa
Babesiosis
3.6 Prognosa
Fausta sampai infausta

3.7 Terapi

157
Pada anjing diberikan terapi anti-babesia, diberikan bantuan oksigen 2 %
menggunakan masker gas, pemberian aminophylline 250 mg intravena
slowly dan antiinflamasi deksametason 20 mg intravena. Anti protozoa
yang biasanya digunakan seperti imidocarb propionat, clindamycin,
metronidazol, fenbendazol. Imidocarb memblokir masuknya inositol pada
eritrosit yang mengandung parasit. Inositol merupakan nutrisi esenial yang
dibutuhkan oleh parasit. Tidak adanya inositol menyebabkan parasit mati.
Ketika imidocarb jumlahnya sedikit pada permukaan eritrosit maka tidak
berpengaruh pada parasit. Pemberian imidocarb dengan dosis 5mg/kg
diulang setiap 2 sekali. Pasien anjing kondisinya memburuk, dengan
perilaku yang agresif dan mati dalam satu jam. Kemudian nekropsy untuk
konfirmasi babesiosis.

BAB IV
PEMBAHASAN

Babesiosis adalah infeksi sel darah merah yang disebabkan oleh parasit
Babesia. Babesiosis juga disebut dengan tick fever, sebab ditransfer oleh caplak
dan menimbulkan demam. Beberapa jenis babesia yang paling sering menginfeksi
anjing antara lain B.gibsoni (1,9 x 1,2 mikrometer), B.vogeli, B.canis (5 x 2-3
mikrometer). Anjing biasanya mendapatkan Babesia dari gigitan caplak yang
merupakan hospes alami dari protozoa yang satu ini. Selain dari caplak, babesia
juga bisa disebarkan melalui tranfusi darah dari hewan yang terinfeksi.
Terjadinya Babesiosis pada hospes anjing dimulai saat caplak yang
mengandung Babesia menghisap darah anjing (Gambar 4.1). Penyebaran
penyakit ini hampir diseluruh dunia yang ditransmisikan oleh caplak
Rhipicephalus sanguineous. Saliva caplak akan menularkan sporozoid yang
masuk ke peredaran darah hospes dan menginfeksi eritrosit. Sporozoid akan
berkembang menjadi tropozoid di dalam eritrosit kemudian menginfeksi eritrosit
lain. Tropozoid akan menjadi merozoid serta pregametosit. Apabila caplak
menghisap darah yang telah terinfeksi maka stadium pre gametosit dapat masuk
kedalam tubuh caplak dan berada di epitel usus caplak. Di dalam usus caplak akan

158
terjadi gametogoni kemudian menjadi kinate yang dapat ditransmisi secara
transovarial (Cahuvin et al, 2009).
Setelah terinfeksi, respon imun biasanya dihasilkan. Sistem kekebalan
tubuh tidak dapat sepenuhnya menghilangkan infeksi, dan hewan yang tetap hidup
bersifat sakit kronis dan berperan sebagai karier. Adanya infeksi babesia di
peredaran darah khususnya di eritrosit akan memacu respon imun dari hospes
seperti peningkatan sitokin yang menimbulkan gejala demam. Sitokin yang
berlebih dapat menyebabkan kerusakan sel. Respon imun humoral yang tidak
maksimal umum terjadi pada anak anjing yang lebih muda dari 8 bulan. Transmisi
transplasenta B. canis dapat terjadi dan dapat mengakibatkan anak anjing lemah
(Jacobsen, 2006). Dalam satu contoh, infeksi B. canis didiagnosis pada anak
anjing greyhound berumur 36 jam yang lahir dari induk yang positif terinfeksi
babesiosis. Faktor seperti usia dari inang dan tanggap kebal yang dihasilkan
terhadap parasit atau vektor kutu inang adalah hal yang penting (Kitaa, 2007).

Gambar 4.1 Siklus hidup Babesia (Cahuvin et al, 2009).


Eritrosit yang terinfeksi parasit memasukkan antigen ke permukaan
eritrosit dan menginduksi antibodi dalam tubuh inang yang menyebabkan
pecahnya eritrosit yang terinfeksi oleh sistem mononuklear fagosit (Brandao
2004). Dua sindrom yang dapat terlihat pada infeksi Babesia sp. adalah ditandai
dengan anemia hemolitik dan terjadinya beberapa disfungsi organ yang dapat
menjelaskan sebagian dari tanda-tanda klinis yang diamati pada hewan yang
terinfeksi babesiosis. Menurut Kitaa (2005) Protozoa Babesia sp. umumnya
ditularkan oleh kutu dan mencapai aliran darah ketika kutu menghisap darah
159
inang. Setelah masuk ke dalam tubuh inang, parasit menempel ke eritrosit,
kemudian masuk kedalam eritrosis melalui proses endositosis, mengalami
pematangan, dan kemudian mulai bereproduksi melalui reproduksi aseksual,
yangmenghasilkan merozoit. Eritrosit yang terinfeksi akhirnya pecah dan
merozoit dirilis menyerang eritrosit lain. Patogenesis utama yang terkait dengan
Babesiosis adalah anemia hemolitik. Anemia hemolitik adalah hasil dari cedera
eritrosit langsung yang disebabkan oleh parasit dan juga oleh mekanisme imun.
Selain itu, sebagian besar anjing dengan Babesiosis memiliki trombositopenia.
Gejala klinis yang timbul dari penyakit ini antara anak anjing umumnya lebih
rentan terhadap Babesiosis dan dan memiliki risiko terbesar dari penyakit ini dan
dapat menimbulkan kematian.
Differential diagnosa dari babesiosis yaitu Anaplasmosis, dan Ehrlichiosis.
Anaplasmosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh protozoa darah
intraselular dan ditularkan melalui vektor. Anaplasma marginal dapat ditularkan
oleh lalat penghisap darah (Haematophagous bitting flies). Anaplasma akan
berbentuk titik didalam sel darah merah. Sel darah merah yang menderita
anaplasma menunjukkan karakteristik yaitu berada pada marginal serta central.
Penyakit anaplasma akan menimbulkan gejala penurunan kondisi dengan cepat.
Hewan mengalami sesak nafas, kehilangan nafsu makan dan kehilangan
koordinasi, suhu tubuh lebih dari 41oC dan mukosa menjadi kuning (Stokka,
2010).

Gambar 4.2 Anaplasma marginal dan Anaplasma central


Ehrlichia canis menginfeksi sel darah dengan melalui vektor
Rhipicephalus sanguineus. Transmisi terjadi melalui vektor yang menginfeksi
host dengan kelenjar saliva yang menyerap darah Ehrlichiosis merupakan

160
penyakit yang dapat menginfeksi monosit dan limfosit di jaringan. Ehrlichia yang
dapat menyerang anjing yaitu Ehrlichia canis,dan Ehrlichia ewingii (CVBD,
2010). Gejala klinis dari ehrlichia canis yaitu lethargy, berat badan turun,
anoreksia, lymphadenomegaly, splenomegaly, pendarahan yang sering terlihat.

Gambar 4.3 Ehrlichia menginfeksi monosit


Pada kasus anjing Japanese spitz mengalami babesiosis dengan
manifestasi klinis berupa Acute Respiratory Distress Syndrome, kejang-kejang,
dan gagal ginjal kronis. Kasus ini memiliki gejala klinis yang mirip dengan
ehrlichiosis. Hasil dari pemeriksaan ulas darah terdapat sel darah merah yang
mengalami hemolysis. Jaringan tubuh mengalami hipoksia yang dapat
menyebabkan cidera pada jaringan akibat dari pelepasa faktor imunologi (sitokin,
radikal bebas, nitric oxide dan mediator inflamasi lain) yang menyebabkan
Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS) (Schetters and Klerskens,
2009).
Tingginya suhu tubuh pada anjing selama pelepasan mediator inflamasi
pada jangka waktu yang lama dapat menyebabkan Disseminated Intravascular
Coagulopathy (DIC) dan juga bias menjadi factor terjadinya Multiple Organ
Dysfunction Syndrome (MODS). Perbedaan manifestasi komplikasi tergantung
pada system organ terkaiy (Mathe et al., 2006).
Pada kasus ini peneliti percaya bahwa kesulitan bernafas akut pada pasient
disebabkan kerusakan kapiler paru-paru yang mengganggu proses pertukaran
oksigen yang dapat menyebabkan berkurangnya perfusi otak dan gagal ginjal
akut.
Prognosa komplikasi babesiosis bergantung pada kerusakan pada organ,
umur, dan jumlah organ yang berdampak babesiosis. Keberhasilan pengobatan
kondisi hewan dan penanganan dini. Laporan kasus babesiosis yang berdampak
pada multi organ paling banyak disebabkan oleh Babesia canis (Mathe et al.,
2006).
161
BAB V
PENUTUP

5. Kesimpulan
Pada pemeriksaan ulas darah dengan pewarnaan giemsa merupakan
metode cepat dan mudah yang digunakan deteksi suspect kasus babesiosis.
Bagaimanapun juga penggunaan metode ini bergantung pada keterampilan
klinikus, stadium penyakit dan memiliki sensitivitas rendah. Penggunaan
metode molecular memiliki sensitivitas tinggi dan dapat menentukan
spesiesnya.

DAFTAR PUSTAKA

Bijanti R., Yuliani M.,Wahjuni R.,Utomo R. 2010. Buku Ajar Patologi Klinik
Veteriner Edisi Pertama.Airlangga University Press

162
Cahuvin, A., Moreau, E., Bonnet,S., Plantard, O., and Malandrin , L.,2009.
Babesia and Its hosts: adaptation tolong lasting interactions as a way to
achieve efficient. Vet. Res

CVBD.2010.Canine Ehrlichiosis from Acute Infection to Chronic Disease.Bayer


Health

Holm, L.P., M.G. Kerr, A.J. Tress, J.W. Mcgarry, E.R. Munro and S.E. Shaw,
2006. Fatal babesiosis in untrvelled british dog. Vet. Rec., 159:179-180

Jacobsen, L.S. 2006. The South African form of severe and complicated canine
babesiosis: Clinical advences 1994-2004. Vet. Parasitol., 138: 126-139

Jefferies, R., U.M. Ryan, J. Jardine, D.K. Broughton, I.D. Robertson and P.J.
Irwin. 2007. Blood, bull terriers and babesiosis: Fufher evidence for direct
transmission of Babesia gibsoni in dogs. Aust. Vet. J., 85:459-463

Kitaa, J.A., C.M. Mulei, J.D. Mande and J.K Wabacha. 2005. Clinical laboratory
diagnosis and treatment of Ehrlichia infections in dogs: A review. Kenya
Vet., 29: 71-75

Mathe, A., K. Voros, L. Papp and J. Reiczigel. 2006. Clinical manifestations of


canine babesiosis in Hungary (63 casea0. Acta Vet. Hung., 54: 367-385

Schetters, T.P.M. and J.A. Klerskens, 2009. Systemic response in dogs


experimental infected with Babesia canis: A hematological study. Vet.
Parasitol., 162: 7-15

Stokka GL., Falkner R., Van Boening.2000. Anaplasmosis.Kansas;Kansas State

ROTASI INTERNA HEWAN KECIL


TUGAS SISTEMA SYARAF
SPINA BIFIDA PADA ANJING

163
Oleh:
YESY VITA ADETYARA, S.KH
150130100111024

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN


PROGRAM KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2016

BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
164
Spina bifida merupakan malformasi tulang dimana penutupan tidak
lengkap dari lengkungan tulang belakang dengan atau tanpa tonjolan atau
displasia sumsum tulang belakang. Spina bifida terjadi karenaadanya gangguan
dengan penonjolan meningocele dan meningomyelocele. Meningeal atau tonjolan
saraf tulang belakang tidak mengikuti jaringan subkutan dimana ektoderm saraf
gagal terpisah. Spina bifida dapat terjadi karena faktor genetik, teratogenik, gizi,
ras. Di suatu negara spina bifida lebih sering dialami oleh anjing bulldogs
dibandingkan anjing lainnya.
Etiologi dari spina bifida tidak sepenuhnya ditentukan namun dapat
berhubungan dengan faktor genetik , teratogenik , gizi dan mungkin ras , karena
English Bulldogs memiliki insiden yang lebih tinggi dari spina bifida daripada
jenis anjing lainnya. Pemilik biasanya melihat tanda-tanda ketika anak anjing
yang terkena mencoba untuk berjalan , antara satu dan dua minggu usia . Kelainan
bawaan dari tulang punggung bagian bawah dan sumsum tulang belakang yang
terkenal pada kucing Manx . Meskipun patogenesis embrio dari gangguan ini
belum benar-benar dijelaskan , hiperplasia sel-sel dari dorsal serabut saraf yang
mempengaruhi perpaduan dari serabut saraf dan lengkungan tulang belakang atau
kelainan pembuluh darah yang membatasi aliran darah ke daerah dorsal dari
tulang belakang telah dipelajari sebagai kemungkinan penyebab spina bifida. Pada
artikel ini penulis ingin menjelaskan kejadian spina bifida dan beberapa
komplikasinya pada anjing cocker spaniel dan dua anjing mongrel.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

165
Spina bifida adalah kondisi tidak normal dari tulang belakang. Kondisinya
sangat bervariasi, dari bentuk yang tidak beraturan sampai tulang belakang
terbuka menampakkan jaringan syaraf didalamnya. Spina bifida adalah kelainan
lahir yang melibatkan perkembangan janin yang abnormal dari satu atau lebih dari
vertebrae anjing . Apa yang menyebabkan spina bifida tidak dipahami dengan
baik , meskipun mungkin ada komponen genetik yang kuat . Kekurangan gizi dan
konsumsi racun selama kehamilan mungkin memainkan peran . Vertebrae anjing
dengan kondisi ini tidak benar menyatu , yang mengganggu fungsi tulang
belakang dan disk intervertebralis menyerap goncangan. Cacat ini memungkinkan
sumsum tulang belakang untuk memeras melalui celah-celah pada tulang
belakang , menyebabkan berbagai gejala . Pemilik biasanya melihat tanda-tanda
ketika anak anjing yang terkena mencoba untuk berjalan , antara satu dan dua
minggu usia . Mereka menunjukkan kelemahan bagian belakang ,kemampuan
otot, inkontinensia , inkoordinasi dan penggunaan normal ekor mereka . Mungkin
ada massa kulit di punggung anjing , atas situs cacat tulang belakang .
Jika sumsum tulang belakang tidak terpengaruh oleh fusi tulang yang
rusak yang disebut spina bifida, anjing mungkin tidak akan pernah memiliki
gejala kelainan neurologis, dan kondisi sebenarnya mungkin tidak pernah
didiagnosis. Namun, ketika sumsum tulang belakang terdorong keluar melalui
celah pada tulang belakang yang abnormal, anjing akan terpengaruh pada
pengendalian fungsi kemih dan rektum yang biasanya terkena dampak. Spina
bifida biasanya dapat secara definitif didiagnosis dengan radiografi (sinar-X).
Seringkali, hal ini ditemukan secara kebetulan ketika sinar X-thoracic (dada),
perut atau pinggul yang diambil untuk beberapa alasan yang tidak terkait.
Radiografi biasanya akan mengungkapkan cacat anatomis di bagian atas tulang
yang terkena. Computed tomography (CT scan) dan magnetic resonance imaging
(MRI) yang tersedia di beberapa klinik khusus dan di rumah sakit pendidikan
kedokteran hewan; ini dapat membantu untuk menentukan lokasi yang tepat dan
luasnya kelainan jaringan tulang dan ikat pada anjing dengan spina bifida. Uji
laboratorium dan electrodiagnostic lanjutan lainnya, seperti myelography dan
analisis cairan serebrospinal, yang tersedia jika dokter hewan berpikir bahwa
mereka dapat membantu dalam kasus tertentu (Shamir, 2001).

166
Ada dua teori patogenesis embrio dari kompleks spina bifida.Teori
pertama menyimpulkan bahwa penyebab memulai adalah hiperplasia, atau
pertumbuhan berlebih ,dari sel-sel dorsal tabung saraf mencegah fusi dari tabung
saraf dan lengkungan vertebra yang berdekatan. Teori lain menyebutkan
neuroschisis. Setelah pembentukan tabung saraf , sumbing dapat terjadi dan
bentuk bleb neuroschistic . Jika ini bleb encroaches pada somit yang berdekatan ,
lengkungan tulang belakang gagal bersatu . retensi bleb kemudian dapat
menjelaskan pembentukan cacat dengan sumsum tulang belakang atau membran
penonjolan sedangkan resolusi bleb dapat menyebabkan occulta .

BAB III
STUDI KASUS
1. Studi kasus
3.1 Kasus pertama
167
Signalment
Jenis hewan : anjing
Umur : 2 bulan
Jenis kelamin : jantan
Ras : mongrel

Anamnesa

Seekor anjing jantan mongrel berumur 2 bulan diperiksa di Rumah Sakit


Hewan dari Universidade Estadual de Londrina. Anjing tersebut mengalami
gangguan bergerak.

Pemeriksaan Fisik

Pasien menunjukkan inkontinensia feses dan urin. Pada anjing tersebut


ditemukan kista pada regio sacrocaudal. Kista tersebut konsistensi lembut
dan tidak ada cairan serebrospinal (Gambar 1A). Pada anal sphincter
menunjukkan tidak adanya tonus otot (Gambar 1B dan 1C). Pada sendi
lutut mengalami kontraktur dan meningkatkan sensai pada perineal.

Gambar 3.1.1. Kulit pada daerah sakrokaudalis sebelum mencukur rambut


anjing di wilayah ini . B dan C kontur di kaki belakang dan
kista setelah dicukur . sfingter anal tanpa otot

Pemeriksaan lanjutan

a. Pemeriksaan Radiografi
Pada pemeriksaan radiografi vertebrae L7 terlihat kecil dan
persambungannya rusak pada prosesus spinosus (Gambar 1D).
Myelography dilakukan untuk melihat adanya meningocele pada kista, tiga
hari kemudian hewan mati dengan tanda-tanda meningitis (Gambar 1E).

168
Pembedahan bangkai dilakukan untuk melihat adanya meningomyelocele
dan melihat hubungan antara kulit dengan kantung dural. Setelah dilakukan
pembedahan kemudian diobservasi perkembangan vertebrae L7 yang tidak
sempurna yang mana ukurannya lebih kecil daripada vertebrae lainnya.
Tidak sempurna menutup dorsal dari vertebrae pada daerah lumbosacral dan
coccygeal (Gambar 1G). Observasi pemisahan tidak lengkap pada prosesus
spinosus dan vertebrae T5-T6 dan T7-T8. Adanya ketidak sempurnaan
pembentukan badan vertebrae dari T5-T6 dan T7 (Gambar 1F).
Histopatologi spinal cord tidak dilakukan.

Gambar 3.1.2 . D. Radiografi ventrodorsal tulang belakang L7 vertebra


lebih kecil ( * ) dan kelainan dalam fusi proses spinosus
dorsal vertebra sacral. E. Mielografi dilakukan melalui kista
mengkonfirmasikan adanya meningocele . F. Penampakan
dari kista dan kantung dural melewati pembukaan di tulang
sakral dan coccigeal setelah diseksi parsial .

3.2 Kasus kedua


Signalment
Jenis hewan : anjing
Ras : mongrel
Anamnesa
Seekor anjing mongrel lahir di HV-UEL dilakukan proses caesar dan
mati tak lama setelah lahir.

Pemeriksaan Fisik
Ditemukannya spina bifida dengan celah terbuka di seluruh
lumbosakral. Radiografi ventrodorsal dari colum vertebrae terdapat
abnormal dalam perpaduan prosesus spinosus di L4,L5,L6,L7 dan sakral
(Gambar 2B). Setelah terjadinya maserasi itu mendeteksi terdapat
lengkungan vertebrae pada C2,C7 dan T1 juga sebagian terbuka. Pada
lumbal (L4 ke L7) dan vertebrae sakral juga terbuka (Gambar 3.2)
169
Gambar 3.2.1 Celah dengan spina bifida terbuka di daerah lumbosakral
seluruh pada anjing mongrel yang baru lahir . B. Radiografi
ventrodorsal kolom tulang belakang memperlihatkan
kelainan dalam fusi proses spinosus dorsal L4 , L5 , L6 L7
dan sacral

Setelah terjadinya maserasi itu mendeteksi terdapat lengkungan


vertebrae pada C2,C7 dan T1 juga sebagian terbuka. Pada lumbal (L4 ke
L7) dan vertebrae sakral juga terbuka (Gambar 3.2.2).

Gambar 3.2.2 Vertebrae lumbosacral setelah dimaserasi . lengkungan


tulang belakang dari C2 , C7 dan T1 yang sebagian
terbuka

3.3 Kasus ketiga


Signalment
Jenis hewan : anjing
Ras : English Cocker Spaniel
Umur : 5 bulan
Jenis kelamin : Jantan
Anamnesa
Seekor anjing English Cocker Spaniel di evaluasi di Rumah Sakit Hewan
dari Universidade Estadual de Londrina menunjukkan fecal dan urinary
170
mengalami inkontinensia sejak di sapih. Pemilik mengeluhkan anjing
tersebut memiliki bunny- hopping gait.

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan neurologis menunjukkan adanya ataksia ringan pada kaki
belakang, tidak ada anal dan reflek dari bulbocavernosus. Anjing merasa
tidak nyaman saat dipalpasi pada daerah lumbosacral (Gambar 5) dan
meningkatnya sensasi perineal.

Pemeriksaan lanjutan
a. Pemeriksaan radiografi
Radiografi pada column lumbosacral menunjukkan tidak tertutup
secara sempurna di bagian ekor vertebrae (L7) (Gambar 3.3.1).
Setelah 4 bulan penis menonjol dari preputium dengan adanya
nekrosis dan penonjolan tulang. Tindakan yang diambil yaitu dengan
mengamputasi penis dan pembuatan uretrhrostomy mada daerah
skrotum.

Gambar 3.3.1 Regio Lumbar dari English Cocker Spaniel dengan lesung
pipi di daerah lumbosakral (kiri), Radiografi ventrodorsal yang
menunjukkan penutupan lengkap dari bagian ekor dari vertebra
lumbalis ketujuh ( panah )

Setelah 40 hari dilakukan operasi kemudian dilakukan analisis


cairan serebrospinal dan dilakukan myelography. Jumlah darah serta
cairan serebrospinal pada tulang belakang tidak mengalami kelainan tapi
adanya spina bifida dengan meningomyelocele (Gambar 3.3.2). Terapi
untuk inkontinensia urin dengan memberikan pseudoephedrine
(Actifedrin dan Farmoquimica).
171
Gambar 3.3.2 Ventrodorsal dan lateral myelography dari kolum tulang
belakang lumbosakral . Dalam pandangan lateral
teramati dorsal deviasi sumsum tulang belakang antara
L7 dan S1 dan ruang subarachnoid diperbesar ventral ke
cord .

BAB IV
PEMBAHASAN

Pada puppies menunjukkan kelainan neurologis yang kompleks


dengan sindrom lumbosakral , seorang klinisi harus mencurigai perubahan
bawaan seperti stenosis lumbosakral , sakralisasi vertebral lumbal ,
hemivertebra , pengeblokan tulang belakang, spina bifida dan kelainan terkait
seperti meningocele , meningomyelocele dan dysraphism tulang belakang.
Kebanyakan spina bifida dan terkait meningoceles / meningomyeloceles
terjadi di daerah lumbosakral dan terutama melibatkan serabut saraf dan saraf
tulang belakang dari cauda equina daripada sumsum tulang belakang itu
sendiri , menyebabkan sindrom lumbosakral seperti yang terlihat dalam tiga
anjing yang dijelaskan pada kasus ini.
Manifestasi spina bifida adanya cystica, dan operta adalah sub-
klasifikasi mengindikasikan dampak dari tidak menutupnya prosesus pada
dorsal vertebrae dan keberadaan dari meningocele, myelocele atau
meningomyelocele, dan satu klasifikasi ini diidentifikasi dalam tiga kasus.

172
Spina bifida occulta didiagnosis pada vertebra toraks dan serviks dalam kasus
dua. Sayangnya, studi histologis sumsum tulang belakang tidak dilakukan di
salah kasus, tetapi dalam kasus 1, karena penonjolan kantung kecil di kulit
melalui cacat dalam lengkungan vertebral dari dan myelography dilakukan
melalui tempat ini, diagnosis meningocele bisa dilakukan. Dalam kasus 3,
diagnosis spina bifida dan meningomyelocele dilakukan karena gambar
myelographic, di mana ruang subarachnoid diperbesar ventral ke serabut
syaraf terlihat. kelainan pada lengkung tulang belakang punggung dapat
diamati selama evaluasi radiografi.
Dalam tiga kasus ini, diagnosis spina bifida dan mungkin terkait
meningocele / meningomyelocele didasarkan pada temuan klinis, temuan
radiografi dalam semua kasus dan myelography di dua kasus. Dalam
kedokteran hewan, ketika magnetic resonance imaging tidak tersedia,
myelography merupakan prosedur penting untuk memvisualisasikan kontur
tulang belakang dan kanal vertebral dan itu harus dilakukan untuk
mengkonfirmasikan diagnosis.
Kelainan lain seperti hidrosefalus , hemivertebrae beberapa toraks
dan / atau sakral , juga dapat terjadi pada hewan yang terkena spina bifida .
Selama nekropsi dari kasus pertama , kami mengamati bahwa selain terbuka
spina bifida dan meningomyelocele , ada perubahan bawaan lainnya seperti
pengeblokan toraks dan penutupan tidak lengkap dari beberapa badan
vertebra. Anjing kedua juga memperlihatkan lebih dari satu perubahan
kongenital yaitu spina bifida terbuka pada daerah sakrokaudalis dan spina
bifida occulta baik di ekor serviks dan awal vertebra toraks. Spina bifida
occulta terbatas pada tidak adanya satu bijih lengkungan lebih vertebral dan
sumsum tulang belakang mungkin terlalu normal tetapi displastik
mikroskopis, tapi sayangnya histopatologi tidak dilakukan dalam kasus ini.
Tindakan bedah spina bifida cystica telah jarang dilakukan pada
hewan , namun dalam beberapa kasus, kanal tulang belakang bisa diangkat
dengan operasi ditutup dan kulit dijahit , dalam hal 1, hubungan paten antara
ruang subarachnoid dan kulit memungkinkan penetrasi mikroorganisme ke
dalam cairan serebrospinal mengakibatkan meningitis sebelum operasi bisa

173
dilakukan. Namun, anjing ini tidak akan menunjukkan perbaikan apapun jika
operasi dilakukan, karena tanda-tanda klinis yang terkait seperti inkontinensia
urin dan tinja dan deformasi di keempat anggota badan. Dalam beberapa
hewan dengan meningomyelocele berfistula, ligasi bedah pada saluran
meningocutaneous dapat memperbaiki masalah yang terkait dengan hilangnya
CSF dan tindakan bedah dapat membalikkan beberapa disfungsi neurologis
yang disebabkan oleh sindrom pada serabut syaraf ditambatkan dan mencegah
kerusakan lebih lanjut dari motor, fungsi sensorik dan fungsi urinary.
Sebuah tindakan bedah sebagian berhasil dilakukan dalam Bulldog
Inggris dengan spina bifida terbuka tetapi pasien tidak membaik dari tinja dan
urin inkontinensia . Dalam kasus ketiga, pseudoefedrin, sebuah αagonist yang
meningkatkan sfingter uretra, diberikan untuk membantu mengurangi
inkontinensia urin dan meningkatkan kualitas hidup pasien.
Pengobatan spina bifida terbuka dan meningomyelocele pada manusia
dilakukan setelah lahir untuk menghindari meningitis dan lesi tambahan untuk
sumsum tulang belakang yang terkena, tetapi tanda-tanda neurologis yang
permanen baik pada hewan dan manusia. Saat ini, pengobatan bedah pada
manusia sebelum lahir tampaknya menjadi pilihan yang lebih masuk akal dan
banyak teknik intra-uterine sedang dikembangkan . Dalam pengobatan spina
bifida manusia dengan dysraphism tulang belakang merupakan masalah
kesehatan masyarakat dan frekuensi cacat saraf ini dikurangi dengan asupan
harian asam folat selama kehamilan
Kondisi ini telah dijelaskan dalam banyak spesies , namun itu adalah
suatu kondisi bawaan umum dari dari anjing English Bulldogs , sehingga
laporan ini bertujuan untuk memberikan kontribusi terhadap kejadian spina
bifida di anjing dan anjing Cocker Spaniel , tanpa inferensi pada etiologi
kelainan ini . Karena keterlambatan diagnose spina bifida menyebabkan
gangguan syaraf yang berlebih, sayangnya kedokteran hewan terbatas untuk
memecahkan atau mengurangi tanda-tanda klinis.
Jenis spina bifida ada tiga yaitu spina bifida occulata, meningocele
dan myelomeningocele. Spina bifida occulata yaitu vertebrae tidak menutup
sempurna tetapi spinal cord tidak mengalami kerusakan menyebabkan adanya

174
benjolan lunak yang mana bentuk spina bifida ini didiagnosa setelah nekropsi.
Meningocele yaitu meningen yang melapisi spinal cord menjorok atau
menonjol keluar melalui celah tulang belakang. Myelomeningocele yaitu
meningen, spinal cord dan pembuluh darah menonjol keluar melalui celah
vertebrae. Hiperplasia dari sel syaraf dapat menekan pembentukan dari
vertebrae pada saat embrio yang menyebabkan vertebrae tidak dapat menutup
sempurna. Penurunan aliran darah pada daerah dorsal vertebrae menyebabkan
defisiensi nutrisi pada daerah dorsal vertebrae sehingga menyebabkan
gangguan pembentukan vertebrae yang dapat mengakibatkan spina bifida.

BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Spina bifida adalah malformasi tulang bawaan dengan penutupan lengkap
dari arkus tulang belakang bagian dorsal yang mungkin terjadi dalam
hubungan dengan penonjolan meninges atau sumsum tulang belakang dan
meninges karena cacat tulang belakang. Dalam kasus pertama dan ketiga spina
bifida yang didiagnosa dengan pemeriksaan klinis dan myelography. anjing
pertama dan kedua yang dimaserasi dan diperiksa makroskopik. Dalam kasus
pertama, kami mengamati bahwa selain spina bifida dalam tulang lumbosakral
dan meningomyelocele, ada perubahan kongenital lainnya seperti pengeblokan
vertebrae thoraks dan penutupan tidak lengkap dari beberapa badan vertebra.
Anjing kedua juga memperlihatkan spina bifida terbuka di daerah
sakrokaudalis, dan spina bifida tertutup baik di serviks akhir dan awal

175
vertebra toraks. Dalam kasus ketiga, spina bifida di daerah lumbosakral
dikaitkan dengan meningomyelocele.

DAFTAR PUSTAKA

Shamir M., Rokchin S., Jonhston, D. Surgical treatment of tethered spinal


cord syndrome in a dog with myelomeningocele. Veterinary Record.
2001, 148, 755-756.

Shell L.G., Carrig C.B., Sponerberg D.P., Jortner B.S. Spinal Dysraphism,
Hemivertebra, and Stenosis of the Spinal Canal in a Rottweiler Puppy.
Journal of the American Veterinary Medical Association. 1988, 24,
341-344

Rivas L.J., Hicncliff K.W., Robertson J. T. (1996) Cervical


meningomyelocele associated with spina bifida in a hydrocephalic
miniature colt. Journal of the American Veterinary Medical
Association. 1996, 209, 5, 162-164.

Summers B. A., Cummings J. F., De Lahuta A. Malformations of the central


nervous system. In: Veterinary Neuropathology. Mosby, St. Louis.
1995, pp 85-94

Wilson J. W., Kurzt H. J., Leipold H. W., Lees G. E. Spina Bifida in the Dog.
Vet Pathol. 1979, Mar;16(2):165-79.
176
.

ROTASI INTERNA HEWAN KECIL


TUGAS SISTEMA UROGENITAL
PENYAKIT KISTA GINJAL PADA BOERBOEL

177
Oleh:
YESY VITA ADETYARA, S.KH
150130100111024

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN


PROGRAM KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2016

BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Kista adalah tumor jinak di yang paling sering ditemui. Bentuknya kistik,
berisi cairan kental, dan ada pula yang berbentuk anggur. Kista juga ada yang
berisi udara, cairan, nanah, ataupun bahan-bahan lainnya. Kista termasuk tumor
jinak yang terbungkus selaput semacam jaringan. Struktur kistik di ginjal dapat
diklasifikasikan kista sebagai benar ( membran sel epitel memisahkan mereka dari
jaringan sekitarnya ) atau pseudocysts ( dinding yang terdiri dari granulasi dan /
atau jaringan fibrosa akibat peradangan ).
Kista pada ginjal bisa diperoleh pada saat hidup juga bisa berasal dari
keturunan, bisa bersifat multiple atau soliter.pada salah satu ginjal atau kedua
ginjal. Selain kista ini dapat diklasifikasikan sebagai sederhana atau kompleks
,dalam hal ini mereka mengandung sel-sel , bakteri atau jamur . kista ginjal pada
anjing , tidak seperti pada kucing , biasanya kecil , soliter dan insidental. Bentuk
178
autosomal yang dominan dari bawaan untuk Polycystyc Kidney Disease (PKD)
telah dibuktikan pada kucing Persia dan Bull terriers yang menderita kista ginjal .
Pemeriksaan secara ultrasonografi sederhana dapat seperti neoplasia ginjal dan
abses kortikal dan perinefrik ginjal pada manusia. kista ginjal sederhana biasanya
memiliki penampilan sonografi yang berbeda , yang mencakup bulat untuk kontur
oval , isi anechoic , dinding halus ( dengan peningkatan tembok yang jauh ) dan
ditandai peningkatan akustik distal. Kista dapat memiliki bentuk internal yang
dapat berhubungan dengan perdarahan atau debris selular , atau mungkin artefak
karena sedimen ketebalan irisan artefak meniru dalam kista. Pada manusia
komplikasi seperti infeksi dan ruptur pada kista ini telah sering dilaporkan. Untuk
penegtahuan pembaca , tidak ada kasus sebelumnya melaporkan bahwa infeksi
kista ginjal pada anjing dengan bentuk multiple , polycystic kidned disease yang
soliter atau PKD.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Penyakit ginjal polikistik merupakan kondisi yang diturunkan dari induk


kucing kepada anaknya yang menyebabkan ginjal membesar sehingga pada
akhirnya mengakibatkan gagal ginjal. Kondisi ini diawali dengan munculnya kista
pada ginjal pada anjing yang diturunkan dari salah satu atau kedua induknya.
Kista mulai tumbuh saat anjing Persia berusia 3 hingga 10 tahun (Barrs, et al.
2001).
Polycystic Kidney Disease (PKD) bersifat progresif lambat irreversibel
dan mewariskan penyakit pada keturunannya. serta menyebabkan kista multipel
(Bosje, et al. 1998). Kucing dengan PKD akan mengalami gagal ginjal dengan
gejala klinis mirip dengan kasus gagal ginjal yang lain. Beberapa kista kecil
perlahan-lahan akan tumbuh, sehingga menyebabkan ginjal membesar secara
dramatis. Kista tersebut akan menggantikan jaringan ginjal normal, sedangkan
fungsi ginjal akan terus menurun (Greene, 1998). Kista tersebut bervariasi dalam
179
ukuran, mulai kurang dari 1 mm sampai lebih besar dari 1 cm, semakin tua usia
kucing semakin besar dan lebih banyak kistanya. PKD menyebabkan gejala klinis
gagal ginjal pada kucing, dengan usia rata-rata sekitar 7 tahun meskipun bersifat
progresif lambat di beberapa kucing tidak menyebabkan tandatanda penyakit
ginjal klinis di tubuh kucing. Jumlah kista dan kecepatan pembentukan kista
bervarisi pada setiap kucing (Bosje, 1998). Tanda-tanda klinis PKD tidak spesifik
dan mirip dengan yang terlihat pada kucing yang mengalami gagal ginjal kronis
karena sebab lain seperti lethargi, penurunan nafsu makan atau anoreksia, minum
berlebihan, buang air kecil yang berlebih, penurunan berat badan, dan muntah
sporadik (Ettinger and Feldman, 2010).
Tindakan pencegahan dibutuhkan dalam kasus penyakit PKD yang
berhubungan dengan keturunan adalah dengan mencegah perkawinan terhadap
kucing induk yang positif terkena penyakit PKD atau dengan melakukan
sterilisasi. Hal ini disebabkan karena terdapat studi yang meneliti bahwa kasus
penyakit PKD bersifat cenderung dominan terhadap autosomal (Barrs et al.,
2001). Ini berarti bahwa jika kucing yang terkena dikawinkan dengan kucing
normal, 50% dari keturunannya akan terpengaruh. Kucing didiagnosis dengan
penyakit PKD tidak boleh dibiakkan. Jika kucing ditemukan positif mempunyai
kista, maka indukan, saudara kandung dan anakan harus dievaluasi. Kucing yang
positif mempunyai kista harus dikebiri (spayed) sehingga secara efektif dapat
dihilangkan dari populasi pembiakan agar keturunannya tidak terwarisi penyakit
PKD. Di samping itu peternak harus aktif mengevaluasi adanya kasus penyakit
PKD pada biakkannya dengan menggunakan pemeriksaan USG. Kemungkinan
lain dari penyebab penyakit PKD bisa saja bukan karena keturunan,tapi akibat
reaksi hipersensitifitas karena alergi obat yang nefrotoksik atau overdosis (Bosje,
1998)
Diagnosa Banding PKD antara lain
1. Tumor Ginjal. Gejala khas dari tumor ginjal adalah berupa tiga tanda klasik
yaitu nyeri pinggang, kencing berdarah dan benjolan atau massa pada pinggang
atau perut, yang merupakan tanda tumor dalam stadium lanjut. Hipertensi
(tekanan darah tinggi) dan anemia (kurang darah) tanpa sebab yang jelas
terutama di usia muda, juga merupakan gejala yang penting untuk dicurigai
sebagai tanda adanya tumor ginjal. Terapi tumor ginjal yang masih dalam

180
stadium dini dilakukan nefrektomi radikal yaitu mengambil organ ginjal. Terapi
lain dapat berupa hormon, radiasi dan kemoterapi.
2. Kanker ginjal, Perbedaan kanker ginjal dengan kista adalah dari segi
konsistensi. Kanker biasanya solid atau padat. Pada stadium dini, kanker ginjal
tidak menimbulkan gejala klinis. Kanker yang bersifat ganas biasa disebut
tumor malignant. Sel–sel tumor menyusup dan merusak jaringan disekitarnya.
Penyebab ganasnya sel–sel ini tidak diketahui.

BAB III
STUDI KASUS
1. Studi Kasus

3.1 Signalement
Jenis hewan : Anjing
Jenis kelamin : Jantan
Usia : 5 tahun
Ras : Boerboer
Berat badan : 58 kg

3.2 Anamnesa
Anjing dibawa ke Onderstepoort Veterinary Academy Hospital
(OVAH). Sejarah dari pemilik menunjukkan bahwa anjing adanya
perubahan pada sexsual behavior dengan meningkatnya tendensi pada
lubang kemaluan. Urin berwarna kemerahan pada selama 2 minggu
terakhir

3.3 Pemeriksaan Fisik


Pada pemeriksaan fisik ditemukan ekimosis pada daerah mukosa
penile. Pemeriksaan feces normal

3.4 Pemeriksaan Lanjutan


Urin yang diperoleh dari proses cystocentesis dan dianalisis
diperoleh hasil; berat jenis 1,018, pH 7, protein +1, darah/hemoglobin 3+,
eritrosit 2+ dan sel retikuloendoteal 1+. Pemeriksaan ultrasonografipada
181
daerah abdomen ditemukan kista pada ginjal bagian medulla dengan
ukuran mencapai 13mm. Kelenjar prostat berukuran normal dengan
gambaran hipo sampai anechoic. Pada daerah cranio lateral, prostat lebih
anechoic akibat dari akumulasi cairan yang berdiameter sampai dengan 20
mm.
Hasil sitology pada kelenjar prostat menggunakan aspirasi jarum
menunjukkan bahwa kelenjar prostat mengalami benignan prostat
hyperplasia. Karena kendala keuangan pemilik tidak mengjinkan untuk
melakukan diagnostik lebih lanjut dan tes darah . Kemudian anjing itu
dikastrasi oleh dokter hewan.

3.5 Diagnosa
Kista pada ginjal
3.6 Prognosa
Fausta-dubius
3.7 Terapi
- Pembedahan

182
BAB IV
PEMBAHASAN

Penyakit ginjal polikistik yang didiagnosis pada kucing Persia dan English
bull terrier , West Highland white terrier dan anjing terrier dan kista telah
dilaporkan berasal dari duktus kolektifus dan bagian distal dari nefron.
Sensitivitas dan spesifitas deteksi penyakit PKD pada kucing Persia pada usia tiga
bulan menggunakan pemeriksaan ultrasonografi mencapai tingkat kepercayaan
92,6%. Hasilnya 100 % berulang dan pengembangan penyakit tercatat pada 75 %
dari kucing selama periode 1 tahun tetapi tidak ada data yang dapat ditemukan
untuk penyakit anjing.Terdapat perkembangan dalam kasus yang dilaporkan di
sini dengan kista semakin meningkat dalam ukuran dari sekitar 13 mm sampai 22
mm selama 2 tahun . Meskipun penyakit dalam laporan ini seperti PKD tetapi
potensi penyakit ginjal kistik pada anjing tidak diselidiki. Kejadian abses ginjal
jarang terjadi di anjing dan patofisiologi abses kurang dipahami.
Insiden abses ginjal tidak pasti tetapi pada studi ini tingkat keraguan
menjadi 0,003 % dari semua kasus dilihat selama 15 tahun. Pada pemeriksaan
sonografi abses tampak seperti massa anechoic solid atau massa kompleks dengan
internal echos dan jarak yang tidak beraturan. Gas didalam massa sangat tingggi
kemungkinan terkena infeksi. Secara spesifik harus ditentukan jenis kistanya.
Berdasarkan pada jumlah gas, ini dapat terlihat pada pemeriksaan sonografi yang
terlihat pada peningkatan echogenesitas dengan atau tanpa efek bayangan kotor
yang bergantung pada permukaan abses. Faktor predisposisi pada kondisi
pembetunkan abses renal antara lain diabetes mellitus, nephrolithiasis, tindakan
pembedahan, terpapar toksin dan pyelonephritis. Pada manusia bentuk abses pada
cortico medulla berasal dari infeksi saluran urinary bagian atas. Bakteri yang
sering diisolasi adalah E.coli, Klebsiella dan Proteus spp. Kebanyakan penderita
abses renal cortical tidak memiliki gejala pada saluran pencernaan karena letak
dari abses di bagian korkes yang secara umum tidak berhubungan dengan saluran
ekskretori. Pada penelitian lain dilaporkan hanya 42% hasil positif kultur pada
ginjal manusia dengan renal abses. Penulis berhipotesis bahwa insiden traumatic

183
bisa menyebabkan kerusakan pada kista dan dapat berakibat pada hematuria.
Bakteri berperan penting pada terbentuknya abses yang kemudian berubah
menjadi kista.
Anjing Kembali ke OVAH 20 bulan setelah penampakan awal dengan
riwayat muntah durasi 2 minggu . Anjing telah kehilangan berat badan 12 kg dan
memiliki suhu 40,2 C yang merupakan dampak dari respon terhadap amoksisilin
yang dikombinasikan dengan asam klavulanat ( Ranclav , Ranbaxy , Afrika
Selatan , 625 mg ) tablet dengan dosis 20 mg / kg tid sebagai penjelaskan oleh
merujuk dokter hewan. Sisa dari pemeriksaan klinis adalah juga mal seperti
analisis feses . Urin dikumpulkan melalui cystocentesis dan mengungkapkan hal
berikut : SG 1,026 , pH 6 , protein 3+ , bilirubin 1+ , dan darah / hemoglobin 4+ .
Pemeriksaan sitologi dari sedimen dari sampel berputar turun urin
mengungkapkan 4 + sel darah merah . Sampel darah dikumpulkan melalui pungsi
veni cephalic dan dikirim untuk melihat profil dari hematologi dan biokimia
lengkap . Hasil mengungkapkan neutrophilia moderat kiri shift, trombositopenia
ringan dan hyperglobulinaemia ringan.
Pada saat dilakukan ultrasonografi abdomen dengan pemberian sedasi
menggunakan midine medeto (Domitor, Pfizer, 1 mg / kg) dengan dosis 10 mg /
kg intravena. ginjal kiri diukur 10 × 6 × 7,5 cm dengan margin sedikit tidak rata
(pole kranial lebih besar). Sejumlah kecil cairan subkapsular hypoechoic
mengelilingi ginjal. Beberapa bentukan lingkaran, berbatas jelas, anechoic,
struktur kistik terlihat terutama dimedula dengan beberapa memperluas ke
korteks. Yang terbesar diukur 2,5 × 1,5 × 2 cm. kista ini memiliki tepi bayangan
yang jelas, peningkatan akustik distal dengan jauh dinding tipis tapi yang jelas
hiper echoic (Gambar. 2a, b). Beberapa kista terdapat pada korteks ginjal
hyperechoic specks.Pada beberapa bagian ginjal menunjukkan normoechoic dan
persimpangan corticomedullary itu berbeda. Dua dari kista tiang kranial ginjal
lebih hypoechoic dengan besar 5 × 3 × 3cm hypoechoic berbatas jelas, massa
kista yang terdistorsi kebagian kranial ginjal. Struktur ini memiliki septa
hyperechoic dan beberapa bintik internal yang echoic yang berputar-putar di
ballotment. peningkatan akustik dan tepi bayangan terlihat. Irisan ness tebal
artefak tercatat di mim massa Icking sedimen. Tidak ada gas tercatat di massa.

184
Ginjal kanan diukur 11 × 6 × 5 cm. Beberapa lebih kecil (yang terbesar sekitar 1 ×
1 × 1,5 cm) struktur anechoic hadir terutama di medula (Gambar. 1). Beberapa
kista ini berkomunikasi dengan satu sama lain dan beberapa memiliki beberapa
bintik internal yang hyperechoic. Tidak ada kista yang ditemukan di salah satu
organ perut lainnya, termasuk pankreas dan liver.The diagnosis ultrasonografi
adalah kista atipikal beberapa ginjal dengan dugaan ginjal kranial abses kortikal
tiang kiri besar. kista rumit individu lain tidak dapat dikecualikan. Diagnosa
banding kista pada ginjal antara lain pembekuan darah, darah tidak membeku,
abses tanpa debris, massa limfomatous dan nekrosis berhubungan dengan tumor
atau cystadenocarcinomas.

Gambar 4.1. Gambaran parasagittal ultrasonografi ginjal kiri, tampak adanya


massa anechoic pada medulla (kista) dan terdapat crescent-shape
pada korteks (abses)

Aspirasi cairan yang dibantu dengan USG bertujuan mengambil dari massa
ginjal kiri dan yang tampak seperti darah dan nanah , yang dikonfirmasi dengan
sitologi . kultur baktrei dilakukan untuk melihat resisitensi antibiotok untuk
Escherichia coli terhadap doxycycline , trimethroprim sulfat , enrofloxacin dan
kloramfenikol . Pasien diobati dengan antibiotik oral , 5 mg / kg enrofloxacinsin
( Baytril10 larutan oral % , Bayer , Jerman ) tapi tidak menunjukkan perbaikan
dan menjadi azotaemic . USG - dipandu perkutan aspirasi dari kista terinfeksi
tidak layak karena ukuran anjing dan pembentukan sekat itu, drainase bedah per
dibentuk melalui garis tengah celiotomy ventral .

185
Gambar 4. 2. Gambaran tranversal ultrasonografi ginjal kanan, tampak
adanya massa anechoic pada medulla (kista)
Makroskopik ginjal kiri memiliki bentuk bergelombang dengan lembut ,
kuning massa berfluktuasi diwarnai besar pada daerah kranial ( Gambar . 4 ) .
Ginjal kanan secara makroskopis normal kecuali memiliki kontur bergelombang (
Gambar . 5 ) . Selama pembedahan ginjal kiri abses pecah secara tidak sengaja
dan bahan purulen telah dihapus oleh hisap. Kerusakan pada ginjal memerah,
setelah itu rongga abdomen diflushing dengan ringer laktat(Ringer laktat,
Fresenius Kabi). Sebagia abdomen ditutup dengan meninggalkan bagian
cranialmost insisi terbuka untuk drainase yang digunakan untuk mengerluarkan
eksudat. Setelah drainase anjing itu diterapi pada 5 mg / kg enrofloxacin sid
(Baytril larutan oral 10%, Bayer, Jerman) untuk jangka waktu 3 minggu. rasa sakit
pasca operasi diobati dengan 0,2 mg / kg morfin sulfat (Morfin sulfat Fresenius
PF, Fresenius Kabi, 10mg / m) intravena setiap 4 jam untuk 1 48 jam. perban
diganti setiap hari selama 7 hari, seteliah itu dilakukan penutupan pembedahan .
Selama periode ini tingkat albumin diuji setiap hari dengan tingkat terendah yang
pernah tercatat 21 g / (n = 27-35). anjing membuat pemulihan penuh setelah
operasi dan pireksia dan azotaemia diselesaikan yang diberhentikan penggunaan
antibiotic,.USG sebagai tindak lanjut mengungkapkan peningkatan yang luar
biasa. Ada beberapa kista ginjal residual hingga 22 mm, tetapi tidak ada bukti dari
abses ginjal.

186
BAB V
PENUTUP

5. Kesimpulan

Polycystic kidney disease jarang terjadi pada anjing. Meskipun


infeksi kista pada ginjal manusia sering dilaporkan, tetapi pada anjing
jarang dilaporkan. Laporan kasus ini menyajikan anjing ras besar memiliki
progresifitas yang lambat terhadap penyakit multiple kista ginjal dengan
pembentukan abses fokal padda daearah asal yang tidak dikatahui. Pasien
anjing diterapi dengan pembedahan dan terapi antibiotic.

DAFTAR PUSTAKA
Aronson L R 2002 Retroperitoneal fibrosis in four cats following renal
transplantation. Journal of the American Veterinary Medical
Association 221: 984–989

Barthez P Y, Rivier P, Begon D 2003 Prevalence of polycystic kidney


disease in Persian and Persian related cats in France. Journal of
Feline Medicine and Surgery 5: 345–347

187
Beck C, Lavelle R B 2001 Feline polycystic kidney disease in Persian and
other cats: a prospective study using ultrasonography. Australian
Veterinary Journal 79: 181–184

Biller,D.,S,DiBartola.S.P,,Eaton.K.A,,Pflueger,S,Wellman M.L,Radin , M.,


J. 1996 .Inheritance of polycystic kidney disease in Persian cats.
Journal of Heridity 87: 1–5

Bonazzi M, Volta A, Gnudi G, Bottarelli E, Gazzola M, Bertoni G 2007


Prevalence of the polycystic kidney disease and renal and urinary
bladder ultrasonographic abnor malities in Persian and exotic
shorthair cats in Italy. JournalofFelineMedicineandSurgery 9: 387–
391

Coelho R F, Schneider-Monteiro E D, Mesquita J L, Mazzucchi E, Marmo


Lucon A, Srougi M 2007 Renal and perinephric abscesses: analysis
of 65 consecutive cases. World Journal of Surgery 31: 431–436

O’Leary C A, Mackay B M, Malik R, Edmondston J E, Robinson W F,


Huxtable C R 1999 Polycystic kidney disease in bull terriers: An
autosomal dominant inherited disorder. Australian Veterinary
Journal 77: 361–366

Zatelli A, D’Ippolito P 2004 Bilateral peri renal abscesses in a domestic


neutered shorthair cat. Journal of Veterinary Internal Medicine 18:
902-903

ROTASI INTERNA HEWAN KECIL


TUGAS SISTEMA MATA
ULCER KORNEA PADA BADAK

188
Oleh:
YESY VITA ADETYARA, S.KH
150130100111024

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN


PROGRAM KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2016

BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Organ yang paling penting dalam membantu fungsi sistem saraf dalam
menerima informasi adalah mata. Mata dapat memberikan respon pada tubuh dan
189
menunjukan status kesehatan hewan. Mata merupakan organ yang paling sering
mengalami kerusakan. Kemampuan untuk melihat cahaya dan gerak merupakan
aspek yang yang menentukan perspektif penglihatan, ketajaman dan kedalaman
penglihatan, serta kemampuan untuk melihat warna dan bentuk (Schoster 2009).
Salah satu bagian mata yang sering mengalami kerusakan yaitu kornea. Hal ini
terjadi karena pada bagian kornea sebagian terdiri dari protein dehingga rentan
terhadap bahan kimia yang dapat melarutkan protein. Kornea sangat tipis yang
tebalnya kurang dari satu inci sehingga banyak penyakit yang dapat merusak
ataupun menghancurkan membran tipis tersebut yang kemudian disebut dengan
ulkus atau ulcer (Schoster 2009).
Ulkus kornea adalah terjadinya luka pada kornea yang dapat disebabkan oleh
trauma, kurangnya produksi air mata (keratoconjungctivitis sicca), kelainan bulu
mata, kelopak mata melipat, infeksi sekunder. Ulkus kornea dapat menyebabkan
komplikasi penyakit mata (Prado et al. 2006; ). Infeksi sekunder pada ulser kornea
lebih banyak disebkan oleh bakteri gram negatif (Pseudomonas aeruginosa)
dibandingkan dengan bakteri gram positif (Staphylococcus sp. dan Streptococcus
sp.). Karakteristik individu seperti usia, ras, dan geografis daerah merupakan
faktor-faktor yang erat kaitannya dengan penyakit ocular (Morales et al. 2009).

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Ulkus kornea adalah luka terbuka pada lapisan kornea yang


paling luar permukaan kornea (epitel). Gejala klinis terjadinya ulkus
kornea yaitu sering memicingkan mata, produksi air mata
berkurang atau kering, menjauhkan diri dari sinar, menabrak
benda disekitarnya, ukuran antara pupil kiri dan kanan tidak
sama besar. Corneal ulcer biasanya ditandai dengan gejala sakit yang sangat
pada daerah mata dikarenakan permukaan cornea dipenuhi saraf-saraf reseptor,
190
fotofobia dikarenakan terjadinya peradangan yang tidak nyaman di mata
conjunctiva dan sclera memerah, dan warna cornea menjadi keruh keputihan.
Corneal ulcer dibagi menjadi dua tipe menurut kedalamannya, yaitu
1. Superficial corneal ulcer: corneal ulcer yang terjadi pada permukaan cornea
saja. Biasanya dapat sembuh cepat dalam beberapa hari.
 Indolent corneal ulcer: superficial corneal ulcer yang mengalami
persembuhan yang lambat. Penyebab dari lamanya persembuhan adalah
adanya kelainan pada epithel membran (epithelial basement membrane
disease).
2. Deep corneal ulcer: corneal ulcer yang terjadi pada setengah atau lebih
ketebalan dari cornea. Biasanya memerlukan waktu beberapa minggu untuk
sembuh.
 Descemetocoeles: deep corneal ulcer yang mencapai membran descemet
(La Croic2013). Biasanya disebabkan oleh infeksi sekunder, mata kering, dan
peradangan.
Terapi pada kasus Superficial corneal ulcer hampir sama dengan deep
corneal ulcer, hanya saja pada kasus deep ulcer diberikan terapi antibiotik
sistemik yaitu Dosisiklin (Vibramycin) 5 mg/kg BB secara peroral setiap 8 jam
dan dilakukan tindakan operasi. Operasi berguna mempercepat persembuhan dan
mengurangi lesio bekas deep corneal ulcer. Operasi meliputi transplantasi
conjunctiva, transposisi corneal-scleral, dan transplantasi corneal (Stanley 2007).
Ulserasi kornea dapat dites dengan tes fluorscein, tes schimer. Tes
flourescein digunakan untuk mendeteksi dan mengetahui adanya perlukaan atau
abrasi pada permukaan kornea serta menentukan letaknya. Aplikasi diawali
dengan menganasthesi mata dengan anesthesia lokal (lidokain tetes 4%).
Flourescein tetes diteteskan pada mata atau flourescein strip yang telah dibasahi
terlebih dahulu dengan saline ditempelkan pada mata. Larutan flourescein
berwarna jingga akan mengalir dan menyebar diseluruh permukaan mata. Mata
kemudian dibilas dengan larutan salin untuk membersihkan sisa warna
flourescein. Pewarna flourescein menempel hanya pada area yang terabrasi yang
dapat diamati dengan ophtalmoscope yang diberi pencahayaan sinar ultra violet.
Flourescein yang menempel pada luka kornea akan berwana hijau florescen. Pada
epitel kornea yang utuh, kandungan lipid yang tinggi akan mencegah penetrasi
191
flourscein sehingga kornea tidak terwarnai. Pada epitel kornea yang rusak,
flourscein yang larut air dapat terabsorbsi pada stroma kornea yang hidrofilik. Jika
kerusakan kornea yang terjadi sangat luas, flourescein juga dapat berpenetrasi
sampai dengan aqueous humor (Slatter,2008).
Tes Schimer adalah tes air mata dengan mengukur produksi air mata untuk
memeriksa kelembaban. Tes air mata ini aman dan tidak memerlukan anestesi
apapun. Sebuah strip uji khusus yang menyerupai kertas lakmus ditempatkan ke
kelopak mata hewan dibagian lebih rendah (atau kantung konjungtiva), membuat
kontak dengan kornea hewan yang menderita. Tes air mata Schirmer biasanya
tidak menyakitkan bagi hewan penderita, terutama jika matanya telah mati rasa
sebelum diuji. Setelah strip ditempelkan pada mata, mata tersebut ditutup dan
dibiarkan selama satu menit per setiap 15 mm dari strip tes, dan kemudian
dihapus. Setiap hewan memproduksi air mata, kertas akan menyerapnya dan
menunjukkan jumlah air mata yang dihasilkan. Pengukuran tes Schirmer
ditentukan oleh seberapa banyak warna terlihat pada kertas tersebut. Produksi air
melebihi 30 mm/menit, dapat menjadi indikasi adanya iritasi mata karena antara
lain adanya benda asing, ulserasi kornea, atau silia ektopik (Slatter, 2008).

BAB III
STUDI KASUS

Studi Kasus
3.1 Signalment
Jenis hewan : Badak bercula satu
Umur : 34 tahun
Jenis kelamin : jantan
3.2 Anamnesa
Penjaga melihat tanda-tanda awal seperti lesu, adanya blepharospasm,
ulserasi kornea di mata kiri. Diberikan obat topikal natrium cefazolin,
salep tobramycin topikal,natamycin topikal atropin 1% topikal dan
phenylbutazon peroral 5 hari tetapi tidak dapat mengatasi blepharospasm
192
dan daerah opacity kornea ukurannya meningkat setelah 48 jam diberikan
obat.
3.3 Pemeriksaan fisik
-
3.4 Pemeriksaan Lanjutan
CBC dan serum masih dalam batas normal, tekanan intraokular pada mata
yang mengalami ulser kornea adalah 10 mmHg. Dilakukan pemeriksaan
slit lamp terlihat adanya edema pada kornea.
3.5 Diagnosa
Ulserasi kornea
3.6 Prognosa
Fausta
3.7 Terapi
Bedah

BAB IV
PEMBAHASAN

Badak bercula satu mengalami masalah pada mata dengan menimbulkan


gejala lesu, adanya blepharospasm, ulserasi kornea di mata kiri. Setelah
dilakukan pengobatan topikal dengan topikal natrium cefazolin, salep
tobramycin topikal, topikal natamycin, atropin 1% topical dan phenylbutazon
peroral selama 5 hari tetapi tidak dapat mengatasi blepharospasm. Cefazolin
merupakan antibiotik golongan sefalosporin. Tobramycin merupakan antibiotik
golongan aminoglikosida yang bekerja dengan menghambat sintesis protein dari
bakteri. Antibiotik ini digunakan untuk infeksi gram negatif. Menurut Ramsey
(2008) antibiotik dengan golongan aminoglikosida tidak dianjurkan untuk
pengobatan ulserasi kornea. Antibiotik golongan aminoglikosida baik digunakan
untuk mata apabila dikombinasikan dengan antibiotik golongan sefalosporin.
Natamycin termasuk obat antifungal yang kerjanya dengan mengikat ergosterol
komponen dari sel fungi. Pemberian atropin menyebabkan dilatasi pupil. Obat
193
ini bekerja dengan memblokir asetilkolin pada reseptor muskarinik yang berada
pada saraf parasimpatik dan menyebabkan midriasis. Efek pemberian atropin
yaitu meningkatkan tekanan pada intraokular dan mengurangi produksi air mata.
Pemberian phenylbutazon sebagai antiinflamasi dan analgesik dengan cara
menghambat enzim COX-1 dan mengurangi produksi prostaglandin (Ramsey,
2008).
Kemudian pada daerah opacity kornea ukurannya meningkat setelah 48 jam
setelah diberikan obat. Setelah itu diberikan obat etorphine, detomidin, ketamin
dan guaifenesin. Etorphine termasuk dalam obat analgesik. Detomidin berfungsi
sebagai sedasi. Ketamin sebagai anestesi dan selama menggunakan anestesi
mata harus tetap terbuka. Guaifenesin adalah obat ekspektoran. Dilakukan
pemeriksaan lanjutan dengan mengukur tekanan intraokular pada mata yang
mengalami ulserasi kornea yaitu 10 mmHg normalnya tekanan intraokular pada

badak 32.1 10.4 mmHg. Penyebab penurunan intraokular dapat dikarenakan

penurunan tekanan darah yang mengurangi volume koroid, relaksasi otot


ekstraokuler menurunkan tekanan dinding bola mata, kontriksi pupil
memudahkan aliran aquos.
Pada pemeriksaan slit lamp terlihat adanya edema pada kornea. Penggunaan
slit lamp harus diperhatikan pantulan cahaya saat menggerakan cahaya di atas
kornea, daerah yang kasar menandakan adanya defek pada epitel. Dilakukan
pemeriksaan schimer tear test tetapi tidak menunjukkan perubahan. Pemeriksaan
ini dilakukan karena pada ulser kornea diikuti dengan produksi air mata yang
berkurang. Gangguan dalam produksi air mata bisa menyebabkan perubahan pada
permukaan kornea melalui pengeringan sel epitel kornea. Ulser jenis ini umumnya
superfisial dan berkaitan dengan mata kering. Jika produksi air mata berkurang
maka mata kering dan akan menyebabkan sel-sel permukaan kornea mati dan
membentuk tumpukan pada permukaan kornea. Secara anatomi air mata terdiri
dari tiga lapisan. Lapisan pertama (musin) menempel pada kornea dan dihasilkan
oleh sel goblet. Lapisan kedua di tengah lapisan akuos yang dihasilkan oleh
kelenjar lakrimal. Lapisan ketiga lapisan lemak,jika lapisan ini terganggua kan
menyebabkan mata kering. Kualitas air mata yang baik dengan kuantitas cukup,
lapisan air mata dengan komposisi normal ,kelopak mata yang dapat menutup

194
secara normal, serta kemampuan bekredip secara teratur. Jika kadar air mata
berkurang atau menguap secara berlebihan akan terjadi gangguan pada lapisan air
mata dan kering di permukaan kornea mata.
Pada tepi vascular di daerah pusat ulser terlihat adanya penebalan sekitar 2/3
stroma dan malacic dan pada chamber aqueous flare. Dalam melakukan
identifikasi bakteri dilakukan sitologi kerokan kornea serta mengambil sampel
konjungtiva untuk dilakukan PCR. Dilakukan tes fluorescein terlihat positif yang
menunjukkan adanya ulser pada kornea. Berdasarkan dari perkembangan lesi dan
kedalaman diputuskan untuk melakukan perbaikan dengan bedah menggunakan
teknik cangkok pedicle konjungtiva untuk menyuplai pasokan darah
menggunakan tectonik yang mengalirkan ke area tersebut (Gambar 1).

Gambar 4.1. Terlihat ulser kornea setelah 48 jam pengobatan


Kelopak mata yang ditarik menggunakan spekulum, forniks dan cairan kornea
lavaged 5% pada povidon iodin. Jaringan epithel kendor dan debris jaringan
dihilangkan menggunakan kapas steril. Transplantasi pedicle konjungtiva yang
dibuat dari dorsolateral bulbar konjungtiva dan diputar untuk menutupi
ketidaknormalan mata tersebut. Pedicle bebas dari tekanan dan sedikit lebih besar
diameternya dari yang rusak. Setelah dilakukan pemangkasan agar ukurannya
sesuai, pedicle di jahit menggunakan 6 jahitan (vicryl). Adanya tegangan pada
jahitan tersebut juga ditempatkan pada tempat lain di pedicle (Gambar 2).

195
Gambar 4.2. Saat dilakukan operasi pada konjungtiva
Penempatan pedicle kemudian diberi atropin pada kornea dan di injeksikan
subconjunctival 0,2 ml gentamicin (gentocin 50mg/ml). Gentamisin merupakan
antibiotik golongan aminoglikosida dengan cara kerja menghambat sintesis
protein bakteri. Pemberian antibiotik ini dapat menunda penyembuhan epitel pada
kasus ulserasi kornea dan dapat menyebabkan iritasi lokal pada kornea (Ramsey,
2008).
Pada kuda, terdapat 2 lubang dengan sistem lavage subpalpebrae yang mana
ditempatkan di superior fornix dan di jahit ke kulit pada rostrum. Terapi yang
diberikan secara topikal dapat diterapkan dalam kasus tersebut. Tidak dilakukan
tarsoraphy dengan alasan bahwa reaksi pada hewan besar akan keras untuk
memiliki kelopak mata yang dijahit kemudian tertutup. Hal tersebut dapat
membatasi atau melumpuhkan hewan ketika pasca operasi. Pelaksanaan
tarsoraphy mungkin memerlukan anestesi tambahan etorphine dan detomidine
dengan 350 mg naltrexone secara IV dan atipamezole 10 mg Iv. Naltrexone
termasuk obat antagonis opioid yang dapat memblok reseptor opiat di sistem
syaraf. Pemberian atipamezole sebagai sedatif dengan cara kerja selektif alfa 2
adrenoreseptor antagonist. Pengobatan dengan cefazolin, tobramycin dan
natamycin diberikan 3 jam dan dimulai terapi dengan serum.
Setelah pemulihan hewan menjadi sering menggosokkan mata kiri ke pohon,
mungkin mengalami ketegangan pada tempat yang di cangkok. Memperbaiki
kateter subpalpabrae 2-3 jam post operasi dan pedicle terlepas dari kornea sekitar
48 jam post operasi. Adanya resiko bila mengulangi anestesi sehingga diputuskan
untuk melakukan cangkok tarsoconjunctival (Gambar 3).

196
Gambar 4.3. Pasca operasi tarsoconjunctival
Dilakukan injeksi subconjunctival dengan gentamicin tetapi kateter
subpalpabrae tidak diganti. Pada saat pemulihan hewan menggosok kelopak mata
setelah 48 jam berikutnya kornea tidak terkikis. Pada sitologi kornea didapatkan
adanya peradangan neutrophilic dan terdapat bakteri intraseluler. Pengobatan
dengan natamycin dihentikan karena tidak ada jamur. Pada kultur bakteri
didapatkan Aeromonas hydrophila yang tahan terhadap sefalosporin tetapi sensitif
terhadap gentamicin. Terapi cefazolin dan tobramycin dihentikan dan diberikan
topikal dengan gentamisin. Hasil cangkok terlihat berwarna abu-abu pada hari
ketiga pasca operasi. Dilakukan swab konjungtiva dan diperoleh adanya
pertumbuhan Providencia rettgeri dan koagulase negatif Staphylococcus sp.
P.rettgeri hanya intermediet dan sensitif terhadap gentamisin, sehingga gentamisin
tidak dilanjutkan pemberiannya, terapi topikal diberikan ofloxacin untuk 1
minggu. Ofloxacine merupakan antibiotik golongan fluoriquinolon yang bekerja
dengan menghambat enzim gyrase sehingga menyebabkan kerusakan DNA
bakteri. Aktif digunakan pada mata yang disebabkan oleh infeksi bakteri
Staphylococcus sp dan Pseudomonas aeruginosa. Pencangkokan terlihat menjadi
merah muda (vaskularisari) pada hari ke 21 post operasi. Adanya vaskularisasi
terjadi karena adanya proses inflamasi di lapisan kornea sehingga memicu
pembentukan mediator inflamasi yang menyebabkan pelebaran pembuluh darah
(Vaughan, 2000). Mata terlihat nyaman dan fungsional 6 bulan post operasi

197
Gambar 4.4. Tampilan kornea 6 bulan setelah post operasi

Terdapat beberapa teknik bedah dalam menangani ulserasi kornea antara lain
tarsorrhaphy, eyelid flaps,corneoscleral flaps, bulbar pedicle cangkok konjungtiva,
cangkok tarsoconjunctival dan menembus allograft, dan
autografts jaringan kornea dan corneoscleral. Hewan ini bagian dari program
pemuliaan spesies yang terancam punah dengan memaksimalkan kawin alami.
Manajemen bedah dari ulkus kornea yang terjadi di badak bercula satu
menggunakan cangkok konjungtiva. Dalam aplikasinya teknik yang sering
digunakan pencangkokan. Teknik ini dapat menurunkan pelestarian dan
diperlukan anestesi untuk memotong konjungtiva. Tarsoconjungtiva dalam
menstabilkan ulkus kornea, descemetoceles dan perforasi kornea. Teknik ini
menempatkan jaringan dalam kornea yang rusak.
Pada kuda yang mengalami hal serupa didapatkan hasil isolasi adanya bakteri
Staphylococcus sp.,Streptococcus sp., dan Pseudomonas sp. Bakteri
Staphylococcus sp sebelumnya sudah diisolasi dari ulserasi di kornea, adanya
jamur juga dapat menyebabkan penyakit pada kornea. Berdasarkan prevallensi
adanya jamur yang diisolasi dari lesi mata kuda di berikan pengobatan antijamur
sampai sitologi kornea. Pada badak tidak ada biakan jamur dari lesi ulserasi di
mata. Air mata dan protease kornea termasuk metaloproteinase dan termasuk
protease serin yang tidak terdapat pada luka kornea. Hal tersebut dapat
menurunkan sel epitel di kornea, stroma fibrocyt, sel inflamasi dan beberapa

198
bakteri dari enzim. Pemberian antiprotease dapat mengakibatkan keratomalacia
patologis. Kelebihan protease dapat menyebabkan stroma pada kornea lisis dan
diobati topikal menggunakan disodium ethylenediaminetetraacetic acid (EDTA),
doxycycline, sintetis MMP-inhibitor 'Ilomostat,' atau serum autogenous. Serum
mengandung α2-macroglobulin, yang memiliki aktivitas terhadap MMPs dan
proteinase serin, dan α 1-antitrypsin, yang memiliki aktivitas terhadap proteinase
serin.
Badak termasuk salah satu dari mammalia dimana struktur mata berbeda
dengan hewan lain. Pada mata badak tidak terdapat kartilago pada sclera, tidak
memiliki otot sklera, dichromatic vision, tidak terdapat fovea, terdapat pembuluh
darah pada retina, pada kapsul lensa terbatas akomodasinya.

Gambar 4.5.Struktur mata badak


Kornea terdiri dari lapisan dari luar ke dalam yaitu lapisan epitel, membran
bowman, jaringan stroma, membran descement, endotel. Lapisan epitel terdapat
sel basal menghasilkan membran basal. Membran bowman terletak dibawah
membran basal epitel kornea yang merupakan kolagen. Jaringan stroma terdiri
atas lamel yang merupakan susunan kolagen yang sejajar. Membran descement
merupakan membran batas belakang stroma kornea. Endotel berasal dari
mesotelium yang melekat pada membran descement (Lang, 2000).

199
Gambar 4.6. Lapisan Kornea
Ulkus kornea adalah luka terbuka pada lapisan kornea yang
paling luar permukaan kornea (epitel). Ulkus kornea dapat terjadi akibat adanya
trauma pada oleh benda asing, atau penyakit yang menyebabkan masuknya bakteri
atau jamur ke dalam kornea sehingga menimbulkan infeksi atau peradangan.
Ketika terdapat luka dan infeksi, maka pertahanan pada waktu peradangan
tidak segera datang, seperti pada jaringan lain yang mengandung banyak
vaskularisasi. Pada stroma kornea, makrofag segera bekerja kemudian disusul
dengan dilatasi pembuluh darah yang terdapat dilimbus. Sesudahnya baru terjadi
infiltrasi dari sel-sel mononuclear, sel plasma, leukosit polimorfonuklear (PMN),
yang mengakibatkan timbulnya infiltrat, yang tampak sebagai bercak berwarna
kelabu, keruh dengan batas-batas tak jelas dan permukaan tidak licin, kemudian
dapat terjadi kerusakan epitel dan timbullah ulkus kornea. Kerusakan sel-sel
endotel dalam kornea akan menyebabkan edema kornea dan hilangnya sifat
transparan. Apabila terjadi cedera pada epitel hanya menyebabkan edema lokal
kemudian stroma kornea akan menghilang bila sel-sel epitel telah beregenerasi.
Terjadi penguapan air dari lapisan air mata prekorneal menghasilkan
hipertonisistas ringan pada lapisan air mata. Hal ini mungkin merupakan faktor
dari mempertahankan keadaan dehidrasi.
Adanya gangguan dari epitel kornea yang dikarenakan masuknya
mikroorganisme abnormal ke stroma kornea, dimana akan terjadi proliferasi dan
menyebabkan ulkus. Beberapa bakteri memperlihatkan sifat adhesi yang
membantu penempelan ke sel kornea. Epitel dan stroma pada area yang terluka
dan infeksi dapat terjadi nekrosis selama stadium inisiasi. Sel inflamasi akut
(terutama neutrofil) mengelilingi ulkus awal dan menyebabkan nekrosis lamella
stroma. Infiltrasi produk inflamasi (meliputi cytokines) yang berada di bilik
posterior, menyalurkan sel-sel inflamasi ke bilik anterior dan menyebabkan
adanya hypopion. Toksin bakteri yang lain dan enzim (meliputi elastase dan
alkalin protease) dapat diproduksi selama infeksi kornea yang nantinya dapat
menyebabkan destruksi substansi kornea.
Pemeriksaan lanjutan dapat menggunakan uji fluoresein. Uji fluoresein
merupakan sebuah tes untuk mengetahui terdapatnya kerusakan epitel kornea.
Dasar dari uji ini bahwa zat warna fluoresein akan berubah berwarna hijau pada
200
media alkali. Zat warna fluoresein bila menempel pada epitel kornea maka bagian
akan terdapat defek dan memberikan waran hijau karena jaringan epitel yang
rusak bersifat lebih basa.
Antibiotik yang biasanya digunakan untuk penyakit mata yaitu sulfonamid,
makrolida,chlorampenicol,aminoglikosidadan fluoriquinolon, vancomicin, dan
tetrasiklin.
1. Antibiotik sulfonamid adalah antibiotik spektrum luas dengan penetrasi pada
kornea yang baik, tetapi dapat menyebabkan resistensi selama pengobatan
karena kromosom atau DNA plasmid transferensi. Sulfonamid memiliki efek
sinergis bila dikombinasikan dengan trimetoprim, efektif dalam pengobatan
keratitis dan konjungtivitis.
2. Antibiotik makrolida baik digunakan untuk bakteri cocci gram positif dan
basil, dan beberapa organisme gram negatif apabila digunakan untuk kornea
kurang baik dikarenakan kurang baik kelarutannya. Salep eritromisin baik
ditoleransi dan sering digunakan untuk blepharitis untuk cakupan gram-
positif. Makrolid baru dapat mencapai tingkat jaringan yang lebih tinggi, bisa
juga digunakan untuk Mycobacteria dan Chlamydia. Topikal azitromisin
ophthalmic untuk pengobatan konjungtivitis. Klaritromisin telah digunakan
untuk pengobatan keratitis mikobakteri nontuberculous. Eritromisin dapat
sebagai alternatif untuk tetrasiklin yang digunakan keratokonjungtivitis
phlyctenular. Eritromisin memiliki withdrawal time selama 30 hari.
Azitromisin umumnya digunakan untuk pengobatan trachoma dan
pengobatan konjungtivitis Chlamidia.
3. Kloramfenikol adalah antibiotik spektrum luas yang menghambat sintesis
protein bakteri. Penetrasi epitel kornea dan pembuluh darah pada mata baik.
4. Tetrasiklin adalah kelompok spektrum luas yang berkonsentrasi dalam
kelenjar minyak, sangat berguna pada blepharitis. Antibiotik ini memiliki
withdrawal time selama 10 hari.
5. Aminoglikosida baik digunakan bila dikombinasikan dengan obat yang
mengubah dinding sel, dan dapat meningkatkan penetrasi seperti
sefalosporin,. Terutama antibiotik spektrum sempit, sangat efektif terhadap
organisme gram-negatif, dengan aktivitas yang baik terhadap Pseudomonas.
Amikasin memiliki aktivitas yang baik terhadap Mycobacteria. Gentamisin
201
dan tobramycin juga aktif terhadap S aureus. Antibiotik ini dapat digunakan
untuk konjungtivitis tapi dapat menimbulkan infeksi kornea yang parah.
Amikasin merupakan obat pilihan karena sangat tahan terhadap perubahan
enzimatik.
6. Fluoroquinolones saat ini yang paling populer sebagai antibiotik spektrum
luas untuk pengobatan dan pencegahan infeksi mata karena aman untuk mata.
Penetrasi yang sangat baik ke dalam air dan vitreous, durasi panjang dalam
air mata, dan spektrum yang luas dari gram positif, gram negatif ,Chlamydia,
Mycoplasma, dan beberapa Mycobacteria. Fluoroquinolones dapat menembus
ke jaringan mata dengan baik, dapat digunakan sebagai pengobatan tambahan
untuk keratitis yang disebabkan bakteri.
7. Vankomisin merupakan antibiotik spektrum sempit hanya aktif terhadap
organisme gram positif. Penetrasi jaringan yang buruk mengharuskan
pemberian topikal atau intraocular untuk pengobatan keratitis bakteri.
Pemberian topikal dan intraokular umumnya ditoleransi dengan baik,
meskipun kemungkinan dapat menjadi toksisitas epitel kornea (Jones, 2016).
Pemberian antibiotik dalam kasus ulkus sebaiknya tidak diberikan dalam bentuk
salep karena dapat memperlambat penyembuhan dan dapat menimbulkan erosi
kornea kembali. Dapat juga ditambahkan dengan pemberian sulfas atropin yang
memberikan efek sedatif, dekongsetif yaitu menurunkan tanda peradangan,
menyebabkan paralysis musculus siliaris dan musculus konstriktor pupil.
Lumpuhnya m.siliaris mata akan menyebabkan tidak adanya daya akomodasi
sehingga mata dalam keadaan istirahat. Lumpuhnya m.konstriktor pupil akan
menyebabkan midriasis sehingga sinekia posterior yang ada dapat terlepasdan
dapat mencegah pembentukan sinekia posterior yang baru (Farida, 2015).

202
BAB V
PENUTUP

5. Kesimpulan
Badak Asia bercula satu ( Rhinoceros unicornis) terlihat mengalami
trauma mata kiri , dengan infeksi bakteri sekunder , yang mengakibatkan ulserasi
kornea yang parah dan bersifat progresif. Berdasarkan terapi medis badak
menunjukan respon yang buruk, kemudian hewan itu dibius untuk pemeriksaan
lebih lanjut, dan pemasangan bulbar konjungtiva pedikel dilakukan. Pemasangan
ini gagal pada jam ke 48 pascaoperasi sebagai hasil dari self- trauma. Binatang ini
kembali dibius, dan dipasang kembali dengan metode tarsoconjunctival. Prosedur
kedua ini berhasil dan fungsi mata badak kembali normal.

203
DAFTAR PUSTAKA

Lang, Gerhard K. 2000. Opthalmology :A short Text Book. Thieme Stuttgart:


New York

Morales A, Valinhos MAR, Salvagedo M, Levy CE. 2009. Microbiological and


clinical aspect of corneal ulcer in dogs-530. Reprinted in IVIS with the
permission of WSAVA. 34th World Small Animal Veterinary Congres, São-
Paulo, Brazil.

Prado MR, Brito EHS, Girão MD, Sidrim JJC, Rocha MFG. 2006. Identification
and antimicrobial susceptibility of bacteria isolated from corneal ulcers of
dogs. Arq. Bras. Med. Vet. Zootec., v.58, n.6, p.1024.

Schoster JV. 2009. Complicated Corneal Ulcers Microbial Keratitis. University of


Wisconsin USA

Slatter, D. H., Maggs, D. J, Miller, P. E., Ofri, R. (2008). Slatter's fundamentals of


veterinary ophthalmology. 4th ed. St. Louis, Mo.: Saunders Elsevier

Stanley RG. 2007. Management of corneal ulcers in small animals. Proceedings of


Animal Veterinary Association: Australia.

Vaughan D.2000. Opthalmologi Umum Edisi 14.Widya Medika: Jakarta

Jones S. P.2016.Ocular Antimicrobial Therapy In Small Animal Practice.Michigan


State University

Farida Y.2015.Corneal UlcersTreatment.J.Majority

204
ROTASI INTERNA HEWAN KECIL
TUGAS SISTEMA INTEGUMEN
MALIGNANT FIBROUS HISTIOCYTOMA PADA ANJING

Oleh:
YESY VITA ADETYARA, S.KH
150130100111024

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN


PROGRAM KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2016

205
BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Malignant fibrous hystioma ( MFH ) merupakan sarcoma yang jarang
terjadi pada jaringan jaringan lunak yang ditandai sebagai sarcoma pleomorfik.
Pada laporan sebelumnya MFH telah dijelaskan pada anjing , kucing , kuda dan
sapi. Temuan dari satu laporan ( Waters et al., 1994) menunjukkan bahwa angka
kejadian MFH mencapai 0,34 % dari semua tumor yang terjadi pada anjing .
Tumor ganas ini juga disebut sebagai giant cell epitheloid sarcoma ,
histiocytoma ganas , tumor giant cell pada jaringan lunak dan sarcoma sel
retikulum. MFH tidak sulit dibedakan dengan histiocytosis ganas atau
histiocytosis sistemik ( Macewen dan Withrow, 1996; Affolter dan Moore, 2002) .
Pada manusia , ada lima varian MFH storiform-pleomorfic , giant cell ,
peradangan , myxoid dan angiomatoid ( Hasegawa et al, 2000; . Suh et al , 2000; .
Muler et al, 2002), dan secara klinis, dibagi menjadi bentuk superficial dan
prufundus. Pada hewan domestik, tiga sub jenis MFH telah dilaporkan : storiform
- Pleomorphic, giant cell dan inflamasi ( Hendrick et al, 1992; Morris et al, 2002 .
). Histogenesis dari MFH masih belum diketahui secara pasti , dan sel asal masih
belum jelas ( Ford et al, 1975; . Suh et al, 2000) . MFH diduga berasal dari sel
mesenchymal pluripotential. Pada hewan domestik, MFH telah digambarkan
sebagai tumor invasif dan jarang mengalami metastasises ( Ford et al, 1975;
Gleiser et al, 1979; Macewen dan Withrow, 1996) , tapi Waters et al. (1994 )
melaporkan bahwa tujuh dari 10 anjing dengan MFH mengalami metastase.
Laporan ini menggambarkan MFH dengan keterlibatan beberapa organ dalam
anjing.

206
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Tumor adalah pertumbuhan jaringan tubuh dimana terjadi proliferasi yang


abnormal dari sel-sel. Sinonim dari kata tumor adalah neoplasma. Tumor berupa
massa padat atau berisi cairan yang ukurannya membesar. Tumor kulit disebabkan
oleh berubahnya sifat-sifat penyusun sel kulit normal menjadi ganas, dimana sel-
sel akan terus membelah menjadi bentuk yang abnormal secara tidak terkontrol
akibat kerusakan DNA. Tumor kulit pada anjing dapat disebabkan oleh banyak hal
yang berbeda termasuk infeksi (virus, bakteri, atau jamur), kanker (neoplasia) atau
akumulasi sederhana dan pemadatan lemak. Pada beberapa kasus, tumor kulit bisa
berubah menjadi ganas (menjadi kanker) dan menyebar ke bagian lain dari tubuh
anjing. Bagaimana tumor kulit akan mempengaruhi hewan terutama tergantung
pada penyebab yang mendasari benjolan dan lokasinya.
Tumor kulit jinak pertumbuhannya lambat dan tidak mengganggu pada anjing,
kecuali anjing menjilat atau merasa tidak nyaman (gatal) pada bagian yang
tertumbuh tumor. Tumor ganas biasanya tumbuh lebih cepat dan lebih mungkin
untuk berubah menjadi borok, berdarah, dan biasanya menyakitkan bagi anjing.
Kebanyakan tumor kulit anjing tidak menyebabkan banyak penderitaan bagi
anjing kecuali jika berubah menjadi borok dan menyebar (Elizabeth et al., 2009).
Tumor kulit lebih terlihat saat ukurannya bertambah besar. Massa ini biasanya
terlihat pada daerah tubuh anjing bagian wajah, perut, punggung atau kaki. Pada
anjing berambut lebat, tumor biasanya terlihat saat hendak di grooming atau saat
pemilih membelai rambut anjing (PetWave, 2012). Tumor kulit yang terlihat
biasanya berupa nodul halus, bintil kasar dengan permukaan seperti kembang kol,
terdapat massa pedunkulata yang melekat pada jaringan normal oleh tangkai atau
batang sebagai proyeksi, massa siam seperti anggur, 13 massa yang ditutupi sisik
atau kulit mengelupas, benjolan berbulu, atau bentuk ulserasi dengan pendarahan.
Sel-sel tumor kulit dapat tumbuh baik pada anjing jantan maupun anjing betina.
Bila dilihat dari segi histopatologik memiliki struktur yang tidak teratur dengan

207
diferensiasi sel dalam berbagai tiingkatan pada kromatin, nukleus, dan sitoplasma
(Jasik et al., 2009).
Histiositoma jelas dapat dibedakan dari mastositoma, fibroma, dan sarkoma
sel retikulum. Histiositoma sering ditemukan pada anjing dan lebih umum
terdapat pada anjing muda dengan kejadian makin berkurang sebelum umur tua
dimana tumor terjadi. Umur rata-rata anjing yang terserang yaitu 2 tahun dan
tidak terdapat predisposisi breed dan jenis kelamin. Histiositoma biasanya
terdapat secara soliter tetapi bisa juga multipel. Biasanya terdapat pada kulit atau
subkutis dari axilla, telinga, kaki, telapak kaki, muka ,leher, thorax atau abdomen.
Secara patologi anatomi histiositoma jarang sekali menjadi besar, biasanya
berdiameter 1 cm. Berbentuk kubah atau kancing, papil, peduncle, dan
kemungkinan multinoduler. Mempunyai batas jelas tetapi jarang berkapsul,
berkonsistensi padat, berwarna putih atau abu-abu muda dan kadangkadang
bertitik-titik merah.
Pada permukaan kulit penderita biasanya mengalami pernanahan. Secara
histopatologi dengan pembesaran kecil, histiositoma menyerupai eksudat radang.
Sel-sel neoplasma tersebar diantara serabut-serabut kolagen dan berkumpul di
sekitar kelenjar kulit dan folikel rambut. Sel-sel dapat masuk ke dalam lemak
subkutis, tetapi jarang memasuki epidermis. Disamping sel-sel histiosit terdapat
campuran 18 sel-sel limfosit, neutrofil, sel mast, dan sel-sel plasma. Histiosit yang
neoplastik berbentuk poligonal, fusiform atau spindel. Mengandung sejumlah
bagian sitoplasma yang bersifat sedikit asidofil dan mempunyai batas yang tidak
jelas. Sel-sel bercampur dengan jaringan ikat fibrosa tetapi tidak membentuk
serat-serat. Pada daerah edematosa sel-sel menyerupai makrofag. Inti dari sel
neoplasma ini besar dan bundar, ovoid, atau memanjang. Inti mempunyai satu
nukleolus dan suatu anyaman kromatin yang uniform. Ciri khas neoplasma ini
ialah adanya banyak bentuk-bentuk mitosis. Neoplasma ini tidak mempunyai
banyak stroma dan umumnya mengalami infeksi sekunder dan terdapat jaringan
granulasi pada bagian superfisial. Epidermis penutup kadang-kadang mengandung
lepuh-lepuh. Sulit membedakan histiositoma dengan sel mast yang hilang
granulnya. Sel tumornya adalah sel langerhans pada kulit dengan bentuk bulat
sampai ovoid, indeks mitosisnya 10 per lapang pandang, kadangkadang ada fokal
nekrosis disertai infiltrasi limfosit serta ulcer ditemukan pada permukaan

208
epidermis. Pertumbuhan histiositoma cepat dan tumor ini dapat terjadi dalam
waktu 1-4 minggu. Pertumbuhan cepat ini dengan adanya bentuk-bentuk mitosis
dengan sifat malignan, tetapi belum ada laporan mengenai adanya metastasis.
Kadang-kadang histiositoma ini menghilang dengan sendirinya.

BAB III
STUDI KASUS
Studi Kasus
3.1 Signalement
Jenis hewan : Anjing
Jenis kelamin : Jantan
Usia : 7 tahun
Ras : German shepherd cross dog
3.2 Anamnesa
Anjing dibawa ke klinik hewan Universitas Selcuk, Konya, turkey
dengan keluhan adanya banyak lesi ditubuh anjing.
3.3 Pemeriksaan Fisik

209
Pada pemeriksaan fisik ditemukan multiple nodul subcutaneous
pada daerah abdomen kanan dan paralumbal. Diameter dari nodul
bervariasi antara 0,4 sampai 3,5 cm, dengan ulcera yang menembus di
bawah kulit. Pada ulcer ditemukan debris nekrotik.

Gambar 3.3 . Malignant Fibrous Histiocytoma. Nodul subcutaneous yang


banyak pada daerah abdomen dan para lumbal dengan
bentukan ulcer yang menebus kulit.

3.4 Pemeriksaan Lanjutan


Pemeriksaan radiologis ditemukan hipertropi jantung dan tidak ada
perubahan radiologis ditemukan di paru-paru . Sebuah spesimen biopsi
diambil dan pemeriksaan histopathologic untuk mendiagnosa MFH .
Karena kondisi mulai memburuk , anjing itu dieuhtanasi 2 minggu setelah
biopsi dan dinekropsi. Nekropsi mengungkapkan tumor yang melibatkan
kulit , paru-paru , ginjal , pankreas dan mediastinum kelenjar getah bening.
3.5 Diagnosa
Malignant fibrous histiocytoma
3.6 Prognosa
Infausta
3.7 Terapi
Karena kondisi hewan terus memburuk maka dilakukan Euthanasi

210
BAB IV
PEMBAHASAN

Histiositoma sering ditemukan pada anjing dan lebih umum terdapat pada
anjing muda. Malignan fibrous histiocytoma merupakan sarcoma pada jaringan
lunak. Jaringan lunak yaitu jaringan yang menghubungkan struktur dan organ
tubuh, yang termasuk antara lain otot, lemak, pembuluh darah, saraf. Sarcoma
adalah tumor yang menyerang jaringan tibuh mesoderm namun dapat menyerang
ektoderm. Sarkoma sering terjadi pada jaringan ikat dan sel-sel otot,tulang, dan
pembuluh darah. Penamaan tumor dapat dibagi berdasarkan sifat biologik dan asal
jaringannya. Sifat biologik terbagi menjadi dua yaitu beningna dan malignan.
Beningna (tumor jinak) dinamakan dengan memberikan akhiran “oma”. Malignan
(tumor ganas) dinamakan dengan menambah akhiran “sarkoma”. Berdasarkan asal
jaringan seperti neoplasia epithel dan neoplasia mesoderm. Neoplasia epithel
Epithel permukaan skuamous apabila Jinak dinamakan papiloma, ganas dengan
nama karsinoma. Jaringan ikat (fibroblast) bila jinak diberi nama fibroma, ganas
fibrosarcoma. Histiosit adalah makrofag di jaringan ikat yang menetap atau
bergerak tergantung pada tahap perkembangan sel. Makrofag dijaringan yaitu
pada hepar (sel kupffer), nefron (sel mesengial), tulang (osteoklas).

211
Anjing berumur 7 tahun dengan jenis kelamin jantan dibawa ke klinik
hewan Universitas Selcuk, Konya, turkey dengan keluhan adanya banyak lesi
ditubuh anjing. Pada pemeriksaan fisik ditemukan multiple banyaknya nodul
subcutan pada daerah abdomen kanan dan paralumbal. Diameter dari nodul
bervariasi antara 0,4 sampai 3,5 cm, dengan adanya ulcer yang menembus bawah
kulit. Pada ulcer ditemukan debris nekrotik. Pada pemeriksaan radiologis
ditemukan hipertropi jantung dan tidak ada perubahan radiologis yang ditemukan
di paru-paru. Dilakukan biopsi untuk mengambil spesimen kemudian dilakukan
pemeriksaan histopathologi guna mendiagnosa MFH. Anjing mengalami kondisi
yang memburuk sehingga diambil keputusan untuk dieuhtanasi 2 minggu setelah
biopsi dan dinekropsi. Nekropsi mengungkapkan tumor yang melibatkan kulit ,
paru-paru , ginjal , pankreas dan mediastinum kelenjar getah bening.
Spesimen jaringan yang dikoleksi pada saat dinekropsi dan difiksasi pada
larutan buffer formalin 10%, diproses pembuatan preparat histopatologi, tertanam
dalam parafin, dipotong di 5 mikrometer dan diwarnai dengan hematoxylin dan
eosin ( H & E ), van Gieson dan Masson trichrome. Secara makroskopik, massa
cutaneus terlihat berbatas jelas, tetapi tidak berkapsul. Permukaan nodul yang
kaku dan berwarna kuning. Nodul adalah benjolan pada kulit di bawah kulit.
Nodul terasa kaku dikarenakan adanya proliferasi sel fibrosit berlimpah sehingga
menyebabkan konsistensi menjadi kaku. Nodul berwarna kuning dikarenakan
banyaknya sel radang. Nodul berisi jaringan yang mengalami radang atau
campuran antara jaringan dan cairan. Pada jantung yang mengalami hipertropi
dari pemeriksaan makroskopik terlihat adanya penebalan septum yang asimetris.
Jantung yang hipertropi apabila dilakukan pemeriksaan mikroskopik akan
ditemukan hipertropi pada mikokardium, susunan miokardium yang berubah,
terjadinya fibrosis interstitial dan fibrosis pengganti jaringan yang rusak.

212
Gambar 4.1 Malignant Fibrous Histiocytoma. Massa tumor pada paru-paru
(Panah tipis), Massa tumor pada panckreas (Panah tebal)

Pada nekropsi , terdapat beberapa nodul yang meluas dengan ukuran 0,1-
0,5 cm, banyak nodul terlihat di semua lobus paru-paru ( Gambar 4.1) .
Permukaan dari kelenjar getah bening mediastinum diinsisi dan berukuran 0,5
cm. Massa memiliki konsistensi lembut dan berwarna abu-abu putih dengan
ukuran 0,7 cm diamati pada pankreas ( Gambar 4.1). Permukaan dari kedua
ginjal diinsisi menunjukkan beberapa 2-3 mm nodul abu-abu putih di korteks,
distensi pelvis dan nephroliths juga diamati.
Secara mikroskopis , semua nodul tumor yang berbatas jelas dan tidak
berkapsul. Massa tumor yang terdiri dari tiga kelompok sel. Yang pertama adalah
sel histiocytic oval atau poligonal ditandai dengan inti oval - bulat vesikular
dengan kromatin inti bergranular halus ( Gambar 4.2 ). Sitoplasma berlimpah,
sedikit acidophilic dan, vaskularisasi sanyak. Jenis sel kedua adalah spindle
gemuk berbentuk seperti sel fibroblast. Sel fibroblast seperti ini diatur dalam
jalinan bundel (pola storiform) ( Gambar 4.3 ).

213
Gambar 4.2. Bagian dari Malignat fibrous histiocytoma dari jaringan subkutan .
Sel Oval atau sel histiocytic poligonal dengan inti oval - bulat
vesikuler dan beberapa sel yang berbentuk aneh dengan inti tunggal (
panah ) ; H & E × 450

Gambar 4.3. Bagian dari Malignat fibrous histiocytoma dari pancreas.


Perhatikan spindle berbentuk fibroblast gemuk seperti sel-sel dan
pola storiform ; H & E × 360

Fibroblast aktif mensintesis komponen matriks pada proses penyembuhan


luka dan perbaikan jaringan yang rusak. Fibroblas merupakan bahan dasar
pembentukan jaringan parut dan kolagen yang memberikan kekuatan daya rentang
pada penyembuhan luka jaringan lunak. Pada saat jaringan mengalami
keradangan, maka fibroblas akan segera bermigrasi ke arah luka, berproliferasi
dan memproduksi matriks kolagen untuk memperbaiki jaringan yang rusak. Sel
fibroblas akan membentuk zat dasar yaitu kolagen kemudian terjadi multiplikasi
jaringan kolagen dan jaringan granulasi. Setelah 3 hari terjadi proses proliferasi
pembentukan epithel dan sel fibroblast menjadi hipertropi sehingga terdapat
bentukan spindel. Fibroblas adalah sel yang menghasilkan serat dan substansi
dasar jaringan ikat. Pada saat sedang aktif menghasilkan substansi internal, sel ini

214
memiliki sitoplasma lebar atau tampak berbentuk kumparan. Fibroblas merupakan
sel dengan bentuk tidak beraturan, agak gepeng dengan banyak cabang dan dari
samping terlihat berbentuk gelondong atau fusiform. Sitoplasmanya bergranula
halus dan mempunyai inti lonjong, besar di tengah dengan satu atau dua anak inti
jelas. Fibrosit berbentuk gelendong yang lebih pipih dibandingkan dengan
fibroblast. Fibrosit menghasilkan serabut fibrin.
Di beberapa daerah , terutama di pinggiran nodul tumor, sel tersebut
membentuk pola fibrosarcomatous . Jenis ketiga adalah giant cell berinti
mengandung 2-35 inti dan sitoplasma berlimpah ( Gambar 4.4 ). Beberapa giant
cell berinti memiliki inti gelap dan sitoplasma berlimpah yang berwarna
eosinofilik. Sel-sel ini mirip giant cell osteoclast. Giant cell adalah Beberapa giant
cell lainnya memiliki inti bulat sampai oval dan sitoplasma lebih pucat (Gambar
4.4). Beberapa sel dengan inti berlobulasi tunggal dan sitoplasma berlimpah juga
terlihat (Gambar 4.2). Dalam semua nodul tumor, ada peningkatan yang tinggi
terhadap pleomorfisme selular dengan perubahan bentuk sel yang sangat cepat
dengan gambaran storiform yaitu proliferasi jaringan ikat yang tidak bearturan.
Ada 3-4 angka mitosis di bidang daya tinggi ( 40 × ), beberapa atipikal. Di kulit
dan paru-paru bagian, sel-sel tumor yang hadir dalam lumen dari beberapa
pembuluh darah.

Gambar 4.4 Bagian dari Malignat fibrous histiocytoma dari limfonoduli.


Perhatikan banyak giant cell berinti banyak menyerupai giant cell
osteoclast ( panah tebal ) dan giant cell dengan inti vesikuler oval
dan sitoplasma pucat ( panah tipis ) dan sel histiocytic ; H & E ×
215
360 (kiri). Bagian dari Malignat fibrous histiocytoma dari kulit.
Sebuah embolus tumor besar hadir dalam lumen pembuluh darah ;
H & E × 145. (kanan)

Pola histologis tumor sering bervariasi di berbagai area nodul tumor yang
sama dan dari tumor pada organ yang berbeda. Umumnya, di beberapa bidang,
tumor terdiri dari seperti sel fibroblast atau pola storiform, bagian lain dari tumor
yang sama menunjukkan kelompok sel didominasi histiocytic bercampur dengan
giant cell berinti banyak. Gambar histologis ini diamati dalam nodul tumor di
kulit, ginjal dan kelenjar getah bening. Tumor di paru-paru dan pankreas
menunjukkan didominasi oleh sel mirip fibroblast atau pola storiform. Giant cell
berinti banyak diamati pada tumor di semua organ yang terlibat, tapi membentuk
komponen menonjol dari tumor di kelenjar getah bening. Selain itu, pemeriksaan
histologis dari nodul tumor di kulit dengan pola storiform. Nodul ini mirip
fibromyxosarcoma. Produksi kolagen interseluler ditunjukkan dengan pewarnaan
Masson trichrome dan van Gieson. Proses pembentukan kolagen terdiri dari
bererapa asam amino. Kolagen berisi asam amino spesifik-Glycine, prolina,
hidroksiprolina dan arginin. Asam amino ini memiliki pengaturan yang biasa di
masing-masing rantai tiga subunit kolagen. Selama terjemahan, dua jenis rantai
peptida dibentuk pada ribosom sepanjang kasar retikulum endoplasma (RER). Ini
disebut rantai alpha-1 dan alpha-2. Rantai peptida ini (dikenal sebagai
preprocollagen) memiliki pendaftaran peptida pada setiap akhir dan peptida
sinyal. Preprocollagen kemudian dilepaskan ke lumen RER. Kemudian sinyal
peptida diurai di dalam RER dan rantai peptida yang sekarang disebut pro-alpha
rantai. Hidroksilasi dari prolin dan lisin asam amino terjadi di dalam lumen.
Proses ini bergantung pada asam askorbat (Vitamin C) sebagai suatu kofaktor.
Lebih lanjut glikosilasi residu hydroxylysine tertentu terjadi. Struktur heliks Triple
dibentuk di dalam retikulum endoplasma dari setiap dua rantai alpha-1 dan satu
jaringan alpha-2. Ini disebut procollagen. Procollagen diangkut ke aparat golgi, di
mana itu dikemas dan disekresikan oleh exocytosis.
Meskipun fibril kolagen yang menonjol tidak ditemukan di semua bagian
tetapi ada beberapa yang terdapat sedikit fibril di bidang proliferasi sel yang mirip
fibroblas (pola storiform). Temuan lain menunjukkan nekrosis di pusat nodul
tumor besar , dan seluler ( limfosit , plasmacyte dan neutrofil sesekali ) infiltrasi
216
di dalam dan sekitar nodul tumor. Selain itu, hipertrofi jantung, antracosis dan
pielonefritis kronis juga ditemukan.
Anjing dalam kasus ini berusia 7 tahun ras German shepherd silang. Pada
manusia MFH memiliki lima subtipe ; storiform - pleomorfik, myxoid, giant cell,
inflamasi, dan angiomatoid ( Hasegawa et al , 2000; . Suh et al, 2000; . Muler et
al, 2002). Pada anjing, tiga subtipe telah dilaporkan ; storiform – pleomorfik
(bentuk proliferasi jaringan fibrous yang tidak beraturan), giant cell (sel yang
berinti banyak) dan inflamasi pada saat peradangan terjadi proliferasi fibroblast
sehingga akan menghasilkan banyak serabut kolagen. Berbagai subtipe dapat
ditemukan dalam satu tumor : meskipun, tumor diklasifikasikan berdasarkan ciri
utama mereka. Dalam kasus ini , tumor terdiri dari campuran sel fibroblast -
seperti, sel histiocytic dan sel raksasa berinti banyak. Namun, pola histologis
tumor bervariasi di berbagai belahan satu nodul dan dari nodul tumor di organ
yang berbeda . Dengan demikian , tumor yang dijelaskan dalam laporan ini
tergolong dalam jenis MHF storiform - pleomorfik.. Namun , tidak ada unsur-
unsur tulang dan chondroid . Temuan ini membantu untuk membedakan tumor ini
dari giant cell tumor pada tulang.
Pada anjing , MFH mungkin tumor primer dijaringan subkutan, limpa ,
ginjal, kelenjar ludah dan tulang ( Gleiser et al , 1979; . Thomas , 1988 ; .
Hendrick et al, 1992; Vilafranca et al , 1995; . Perez - Martinez et al., 2000) ,
tetapi daerah dorsal toraks dan scapular adalah yang paling umum untuk tumor ini
( Macewen dan Withrow , 1996). Dalam kasus ini, nodul besar ditemukan di kulit
(subcutaneous), yang diduga menjadi situs utama dari tumor.
MFH umumnya dianggap sebagai invasif lokal, tetapi tidak sangat tumor
metastatik (Gleiser et al, 1979;. Hendrick et al, 1992;. Waters et al., 1994). Dalam
kasus ini, tidak ada bukti dari metastasis paru-paru dalam pemeriksaan radiologis
pada saat diagnosis awal (biopsi), tapi dua minggu kemudian anjing itu
dieuthanasi karena kondisinya mulai memburuk, dan terdapat nodul yang terlihat
di paru-paru. Mungkin, hal ini disebabkan karena ukuran kecil dari massa tumor
di paru-paru, sehingga tidak terlihat dengan jelas saat pemeriksaan radiologis.
Nekropsi mengungkapkan keterlibatan tumor di paru-paru, ginjal,
pankreas dan kelenjar getah bening. Pada pemeriksaan mikroskopis terlihat

217
adanya sel-sel tumor yang terdapat dalam lumen pembuluh darah di bagian kulit
dan paru-paru. Hal tersebut menunjukkan adanya potensi metastasis dari tumor
yang terdapay dalam laporan ini. Dengan demikian, dalam kasus ini adanya
potensi metastasis dari MFH lebih tinggi dari biasanya (Waters et al, 1994;..
Morris et al, 2002).

BAB V
PENUTUP

Kesimpulan

Dalam jurnal ini, kasus malignant fibrous histiocytoma yang terjadi pada
kulit, paru-paru, ginjal, pankreas dan mediastinum kelenjar getah bening.
Mikroskopis, tumor diklasifikasikan sebagai tipe malignant fibrous
hitiocytoma storiform-pleomorfik. Karena kondisi hewan yang telah
memburuk maka dilakukan euthanasia pada anjing.

218
DAFTAR PUSTAKA

Affolter V.K., Moore P.F. (2002): Localized and disseminated histiocytic sarcoma
of dentritic cell origin in dogs. Veterinary Pathology, 39, 74–83.

Hasegawa T., Seki K., Ono K., Hirohashi S. (2000): An giomatoid (malignant)
fibrous histiocytoma: A pecu liar low-grade tumor showing
immunophenotypic heterogeneity and ultrastructural variations. Patho
logy International, 50, 731 –738.

Morris J.S., Mcinnes E.F., Bostock D.E., Hoather T.M., Dobson J.M. (2002):
Immunohistochemical and his topathologic features of 14 malignant
fibroushistiocy tomas from Flat-Coated Retrievers. Veterinary Pathology,
39, 473–479.
Muler J.H., Paulino A.F., Roulston D., Baker L.H. (2002): Myxoid malignant
fibrous histiocytoma with multiple primary sites. Sarcoma, 6, 51–55.

Perez-Martinez C., Garcia-Fernandez R.A., Avila L.E.R., Perez-Perez V. Gonzalez


N., Garcia-Iglasias M.J. (2000): Malignant fibrous histiocytoma (giant
219
cell type) associated with malignant mixed tumor in the salivary gland of
a dog. Veterinary Pathology, 37, 350–353.

Suh C.H., Ordonez, N.G., Mackay B. (2000): Malignant fibrous histiocytoma: An


ultrastructural perspective. Ultrastructural Pathology, 24, 243–250

ROTASI INTERNA HEWAN KECIL


BEDAH DAN RADIOLOGI
Yang dilakukan di
KLINIK HEWAN PENDIDIKAN FKH UB

SOFT TISSUE :
“HERNIA DIAFRAGMA PADA KUCING”

220
Oleh:
YESY VITA ADETYARA, S.KH
NIM. 150130100111024

PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2016

BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kucing merupakan salah satu hewan kesayangan. Kasus yang sering
terjadi pada anjing maupun kucing dengan kronologis tertabrak yaitu hernia
diafragma. Hernia merupakan penonjolan keluar dari suatu organ atau bagiannya
melewati suatu cincin yang masih di dalam rongga anatomis tubuh. Hernia
biasanya terjadi penonjolan keluar dari isi abdomen melewati lubang pada dinding
abdomen, diafragma, atau perineum. Adanya cincin atau dinding yang terbuka
merupakan faktor utama terjadinya hernia. Bagian anatomis terjadinya hernia
221
biasanya digunakan untuk klasifikasi hernia (Read dan Bellenger 2003).
Hernia dapat diklasifikasikan menjadi hernia dapatan maupun kongenital. Hernia
dapatan dapat disebabkan oleh salah satunya adalah trauma bedah atau terbukanya
luka sayatan bedah (Read dan Bellenger 2003). Hernia diafragmatika adalah
masuknya organ-organ abdomen melalui lubang pada diafragma ke dalam rongga
thorax. Membran diafragma yang rubtur dapat mempengaruhi tekanan negatif
rongga dada, akibatnya organ yang seharusnya berada pada bagian peritoneal
masuk ke dalam rongga thorax. Hal tersebut menyebabkan hewan mengalami
dyspnoe karena volume paru-paru berkurang. Hernia dapat berupa omentum atau
hati, lambung, dan limpa. Lokasi dan ukuran kerobekan dafragma tergantung pada
posisi hewan sesaat sebelum kecelakaan dan lokasi organ yang terkena.
Disamping anamnesa dan tanda-tanda klinis, diagnosa juga ditegakkan
dengan pembuatan foto rontgen bagian thoraks dengan posisi lateral. Kasus hernia
diafragmatika ini angka kematiannya cukup tinggi karena adanya perdarahan di
dalam rongga thoraks atau hipoksia. Jika dilakukan palpasi pada bagian abdomen
akan menunjukkan adanya bagian yang kosong. Jika dilakukan perkusi pada
bagian abdomen akan menghasilkan bunyi pekak. Pada saar dilakukan auskultasi
di bagian paru akan menghasilkan bunyi bising Terapi yang dapat dilakukan untuk
menangani kasus ini adalah tindakan pembedahan abdomen ventral medianus
untuk mengeksplorasi cincin hernia (Fossum 2007). Keberhasilan dari tindakan
bedah ini tergantung dari tingkat keparahannya.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Hernia merupakan penonjolan isi rongga melalui defect dari dinding


rongga, serta keluarnya organ jaringan melalui lubang menuju rongga lain
(Rahman, 2010). Hernia terdiri dari cincin, isi dan kantong hernia. Cincin hernia
merupakan lubang pada kantong tempat isi hernia masuk ke dalamnya.
Terdapatnya cincin tersebut disebabkan oleh trauma, congenital atau berupa
bagian distal dari suatu saluran. Hernia terbentuk berdasarkan letak anatomis
tempat hernia yaitu hernia diafragmatika, hernia umbilikal, hernia inguinalis
(Tjahjadi, 2009).

222
Hernia diafragma adalan penonjolan organ abdomen ke dalam rongga
thorax melalui lubang pada diafragma. Hernia diafragma dibagi menjadi dua yaitu
hernia diafragma traumatika dan hernia diafragma peritoneo-pericardial. Organ
peritoneal yang sering masuk mengisi ruang thorax saat terjadi hernia diafragma
traumatika adalah hati, omentum, usus, lambung, ginjal, dan limpa. Tekanan
pleuroperitoneal berkisar antara 7-20 cm H 2O tetapi dapat meningkat hingga 100
cm H2O pada saat inspirasi maksimal. Ketika terjadi kerusakan pada dinding
diafragma maka tekanan intra abdominal akan meningkat. Kasus hernia
diafragmatika memiliki tanda-tanda klinis yang mencolok. Hewan yang
mengalami hernia diafragma akan menunjukkan kondisi dypsnoe dengan posisi
adduksio, tidak mau makan karena obstruksi pencernaan, vomit, hidrothorax,
pneumothorax, dehidrasi. Disamping anamnesa dan tanda-tanda klinis, diagnosa
juga ditegakkan dengan pembuatan foto rontgen bagian thoraks dengan posisi
lateral. Kasus hernia diafragmatika ini angka kematiannya cukup tinggi karena
adanya perdarahan di dalam rongga thoraks atau hipoksia. Jika dilakukan palpasi
pada bagian abdomen akan menunjukkan adanya bagian yang kosong. Jika
dilakukan perkusi pada bagian abdomen akan menghasilkan bunyi pekak. Pada
saar dilakukan auskultasi di bagian paru akan menghasilkan bunyi bising
(Fossum,2005).
Hernia diafragma yang sering terjadi pada anjing dan kucing terdapat dua
jenis yaitu trauma dan congenital. Hernia congenital terjadi pada kasus neonatus
yang disebabkan adanya gangguan pembentukan diafragma. Diafragma dibentuk
oleh membran pleuroperitoneal, septum transversum dan pertumbuhan dari tepi
yang berasal dari otot-otot dinding rongga thorax. Durasi hernia diafragma
berkisar dari beberapa jam sampai tahun. Menurut data 20% didiagnosis lebih dari
4 minggu setelah cedera. Hernia diafragma yang sering terjadi pada hewan kecil
dan berumur 1- 3 tahun. Angka mortalitas pada anjing yang menderita hernia
diafragma akut berkisar 27,8% dan untuk kronis 26,2%. Pada kucing yang
mengalami hernia diafragma akut berkisar 20% dan kronis 11,8% (Besalti,2011).
Pada pemeriksaan penunjang untuk membantu dalam mendiagnosa
dilakukan rontgen. Pada hernia diafragma apabila dilakukan rontgen akan terlihat
hilangnya garis diafragma dan bayangan hitam (radiolucent) pada jantung, rongga

223
abdomen yang tampak lebih besar dan tipis, adanya gas di rongga thorax,
dyspnoe, terjadi pernafasan abdominal (Fossum, 2005).
Pembedahan hanya dilakukan secara darurat karena kompresi paru-paru oleh
organ abdomen (Dennler, 2001). Diperkirakan bahwa sekitar 15 % dari hewan
yang menderita trauma hernia diaphragmatica akan mati sebelum menjalani
diketahui. Hewan yang menajalani operasi akan memiliki kesempatan hidup yang
lebih besar daripada hewan yang tidak menjalanni operasi, tetapi jika ada adhesi
ke organ atau jaringan lain maka kesempatan hidupnya kecil. Tingkat kematian
untuk anjing dan kucing menjalani operasi untuk peritoneal-pericardial
diaphragmatic hernia rendah dan prognosis untuk kembali ke fungsi normal dan
kinerja sangat baik (Sudisma, 2006).

BAB III
STUDI KASUS
Anamnesa
Seorang klien bernama Ashoka datang membawa kucing bernama item ke
Rumah Sakit Hewan Jakarta pada tanggal 17 Desember 2015 dengan keluhan
sesak nafas. Diketahui bahwa kucing ini sedang bunting 53 hari.

224
Gambar 3.1 Kucing Item

Signalment
Nama Hewan : Item
Jenis Hewan : Kucing
Breed : Persia Mix
Jenis Kelamin : Betina
Umur : 1 tahun
Warna Bulu : Smoke Tabby
Tanda khusus : Tidak ada

Status Present
Perawatan : Baik
Habitus : Tulang punggung sejajar
Gizi : Baik
Sikap Berdiri : Menumpu dengan empat kaki
Berat Badan : 3,5 kg
Suhu tubuh :-
Frekuensi nadi :-
Frekuensi nafas :-

Temuan Klinis

225
Berdasarkan pemeriksaan diketahui bahwa kucing Item mengalami
kesulitan bernafas atau sesak nafas.

Diagnosa Penunjang
Diagnosa penunjang yang dilakukan yaitu pemeriksaan radiografi atau X-
Ray. Pengambilan gambar dilakukakn dengan posisi Left Lateral Recumbency dan
Ventrodorsal dan fokus area pada daerah thoraks.

Diagnosa
Diagnosa yang ditetapkan berdasarkan temuan klinis dan pemeriksaan
radiografi yaitu Hernia Diafragmatika.
Diagnosa Banding
Differensial diagnosa dari hernia diafragmatika adalah hidrothoraks,
chylothoraks, pyothoraks, neoplasia, kardiomegali dan efusi perikardium (Bellah
2005).

Prognosa
Prognosa dari penyakit hernia diafragmatika adalah fausta ke dubius.
Terapi
Terapi yang dilakukan dalam kasus ini adalah pertama melakukan operasi
cesar untuk mengeluarkan anak yang berada di dalam kandungannya, yang kedua
adalah operasi ovariohisterektomi, selanjutnya dilakukan operasi hernia
diafragmatika.

BAB IV
PEMBAHASAN

Hernia diafragmatika adalah kondisi masuk atau menembusnya organ


abdomen ke rongga thoraks melalui diafragma yang robek. Hal ini menyebabkan
terjadinya peningkatan tekanan intraabdominal yang dilanjutkan adanya rupture
membran diafragma. Dinding diafragma yang robek dapat mempengaruhi

226
tekanan negatif rongga dada (Shanding 2000). Akibatnya organ-organ yang
seharusnya berada pada bagian peritoneal masuk kedalam rongga dada. Kejadian
ini menyebabkan hewan sulit untuk bernafas karena volume paru-paru berkurang
akibat terdesaknya oleh organ lainnya. Organ-organ peritoneal yang sering masuk
mengisi ruang dada saat terjadi hernia diafragmatika akibat trauma adalah hati,
omentum, usus dan lambung. Saat terjadi kerusakan pada dinding diafragma,
maka tekanan intra abdominal akan meningkat. Keadaan masuknya organ
peritoneal ke dalam rongga dada tidak terjadi secara mendadak tetapi secara
perlahan. Sebanyak 85% kasus hernia diafragmatika yang terjadi pada hewan
kucing disebabkan akibat trauma, seperti yang dialami oleh kucing Item, 5–10%
adalah kasus kongenital, sementara sisanya belum diketahui penyebabnya (Hunt,
2012).
Kausa terjadinya kasus hernia diafragmatika traumatika pada kucing amat
beragam. Sebagian besar merupakan akibat dari trauma seperti tertabrak, jatuh
dari ketinggian, dan pertengkaran dengan hewan lain. Hernia Diafragmatika
akibat trauma biasanya terjadi pada kucing betina yang berumur 1-2 tahun
dengan kondisi bunting. Kondisi ini dikarenakan kucing melompat dari ketinggian
yang menyebabkan terdorongnya tubuh ke depan saat awal kaki depan menumpu.
Pada kucing pada umumnya penyebab paling utama dari hernia adalah akibat
tertabrak (Besalti et al. 2011). Tipe sobekan diafragma beragam dengan
predisposisi yang berbeda. Tipe sirkumferen banyak terjadi pada kucing yaitu
sebanyak 59%, dibandingkan pada anjing (44%). Tingkat mortalitas kejadian
hernia diafragmatika pada kucing bervariasi antara 20% untuk hernia difargmatika
akut, dan 18.8% untuk hernia diafragmatika kronis (Kibar et al. 2006).
Kucing Item memiliki gejala klinis antara lain ritme pernafasan cepat yang
ireguler dan bertipe abdominalis. Kucing ditemukan sulit bernapas dan beberapa
kali bernapas menggunakan mulut yang ditandai dengan mulut terbuka. Studi
yang dilakukan oleh Besalti et al. (2011) menyatakan bahwa dari 52 ekor kucing
yang mengalami hernia diafragmatika traumatika, temuan klinis yang ada
bervariasi. Dapat berupa dyspnea (31 ekor kucing), anoreksia (8 ekor kucing),
bernapas menggunakan mulut (8 ekor kucing), respirasi bertipe abdominalis (5
ekor kucing), tidak mau exercise (5 ekor kucing), tachypnea (1 ekor kucing),

227
batuk (1 ekor kucing), dan muntah (1 ekor kucing). Kibar et al. (2006)
menyatakan bahwa gejala klinis kucing dapat dideteksi langsung sesaat setelah
kucing mengalami trauma, beberapa hari setelahnya, bahkan berbulan-bulan atau
bertahun-tahun setelah kucing mengalami trauma. Gejala klinis tidak terlalu jelas,
namun akan terlihat adalah penyusutan bobot badan yang signifikan bila penyakit
berjalan kronis (Kuehn et al. 2011).
Gejala pernapasan yang terjadi diakibatkan adanya kegagalan rongga
toraks untuk menghasilkan tekanan negatif yang mumpuni untuk bernapas oleh
adanya massa dari rongga abdominal. Gejala pernapasan yang terlihat pada kucing
Item seperti seperti dyspnea dan tachypnea disebabkan oleh sobeknya diafargma
yang berakibat pada hilangnya kontak pleura parietalis dengan paru-paru. Hal ini
memicu sulitnya kemampuan hewan untuk menghasilkan tekanan negatif
intrathoraks. Tekanan antara rongga thoraks dan rongga abdomen menjadi sama
dan otot-otot dinding thoraks bergantian bekerja untuk ventilasi udara. Pada
kucing Item, tidak ditemukan adanya patah tulang ataupun kelainan pada otot dan
tulang dada. Kucing tidak menunjukkan respon sakit pada palpasi regio thoraks.
Kucing dengan rasa sakit yang diduga juga mengalami fraktur os costae akan
lebih beresiko mengalami dyspnea. Dyspnea dapat menyebabkan adanya
hipoventilasi dan hipoksia sebagai akibat atelektasis paru-paru maupun efusi paru-
paru. Kejadia efusi paru-paru paling sering dilaporkan bersamaan dengan kejadian
hernia diafragmatika. Efusi paru-paru dapat terjadi sebagai akibat dari
tersumbatnya drainase limfatik, peradangan organ yang mengalami perubahan
lokasi, dan merembesnya cairan empedu (Hunt 2012). Gangguan kardiovaskular
dan gastrointestinal juga dapat ditemukan pada kasus hernia diafragmatika yang
lebih parah, namun gangguan ini tidak ditemukan pada kucing Item.
Anamnesa pemilik hanya berdasarkan kucing yang sesak nafas tanpa
adanya keluhan bahwa kucing Item sebelumnya mengalami trauma seperti
tertabrak atau jatuh. Sesak nafas bersifat ringan dan kucing sedang dalam keadaan
bunting tua, yaitu usia kebuntingannya diperikirakan berusia 53 hari. Palpasi
terhadap regio abdomen menunjukkan perut yang tegang dan berisi fetus. Kibar et
al. 2006 menyatakan bahwa palpasi abdomen pasien hernia diafragmatika
menunjukkan hasil tidak dapat dirabanya organ-organ abdomen. Hernia

228
diafragmatika dapat diteguhkan dengan pemeriksaan radiografi dan ultrasonografi
(Kuehn et al. 2011). Pemeriksaan penunjang yaitu rontgen dilakukan untuk
meneguhkan dan melihat gangguan pada sistem pernafasan kucing Item dengan
posisi dorsoventral. Hasil menunjukkan tidak adanya garis yang jelas yang
membatasi antara rongga thoraks dan rongga abdomen. Garis diafragma tidak
jelas dan terlihat adanya isi viscera abdomen yang masuk ke dalam rongga thoraks
ditunjukkan dengan adanya perubahan.

Sebagian isi abdomen dapat terlihat di rongga thoraks. Penampakan


jantung menjadi tidak terlalu terlihat jelas dan paru-paru tertutup oleh organ lain.
Diperkirakan adanya ruptur diafragma sehingga diagnosa mengarah pada hernia
diafragmatika traumatika. Posisi lain adalah dengan posisi left recumbency. Pada
posisi ini lebih terlhat jelas adanya organ yang menutupi jantung dan paru-paru,
seperti ditunjukkan pada Gambar 5 oleh garis putus-putus kuning. Trauma
mungkin tidak diketahui pemilik sebelumnya. Hernia diafragmatika yang dialami
kucing Item diperkirakan sudah lama terjadi. Hal ini diperparah dengan adanya
kebuntingan yang membuat adanya peningkatan tekanan abdominal. Jumlah anak
yang terlihat diperkirakan 5 ekor dan kucing baru pertama kali bunting. Tindakan
yang dilakukan selanjutnya adalah operasi reposisi organ dan penjahitan ruptur
diafragma.

Hasil radiografi ditunjukkan pada Gambar 4.1

229
Ossa vertebrales
Diafragma

Gambar 4.1 Hasil pemeriksaan radiografi, batas diafragma tidak jelas

fetus

Gambar 4.2 Hasil gambaran radiografi lateral, terdapat fetus


Pada radiografi daerah radiolucent terlihat tampak lebih delap daripada
daerah radiopak. Gambaran radiolucent terjadi akibat sinar X yang mengenai
struktur jaringan lunak yang kepadatanya kurang maka sedikit sekali sinar X yang
diabsorbsi sehingga sebagian Ag Br pada film akan mengalami ionisasi menjadi
Ag+ dan Br-. Film yang diproses pada saat dilakukan developer akan melepaskan
Br- dalamjumlah yang banyak sehingga tampak foto rontgen berwarna hitam atau
radiolucent.
Gambaran radiografi yang terlihat radiopak terlihat lebih terang atau putih.
Sinar x yang mengenai sturuktur jaringan keras karena kepadatannya akan
230
mengabsorbsi sinar X yang banyak dan sedikit sekali sinar X yang keluar dan
jatuh pada film menghasilkan gambaran radiopak. Hal tersebut menyebabkan
emulsi Ag Br pada film hanya sedikit yang mengalami ionisasi menjadi Ag+ Br+
.Pada saat film dilakukan proses developer akan melepaskan Br- yang jumlahnya
sedikit maka akan menghasilkan warna putih atau radiopak (Haring dan
Jansen,2000).

Tahap Operasi
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam operasi adalah seperangkat alat bedah minor
yang terdiri dari 2 pinset anatomis dan sirurgis, 1 gagang scalpel dan blade, 3
gunting (tumpul-tumpul lurus, tumpul-lancip lurus, tumpul-lancip bengkok), 4
tang arteri anatomis lurus, 2 tang arteri anatomis bengkok, 2 tang arteri sirorgis
lurus, 1 needle holder. Dua set perlengkapan bedah untuk operator dan asisten
operator, tampon, kassa, kain penutup/duk, stetoskop, oximetri, satu set peralatan
anesthesi inhalasi dan oksigen, endo tracheal tube (ETT), alat resusitator, perban,
plester, meja, lampu operasi, timbangan dan syringe 1 mL.
Kucing yang akan dioperasi adalah kucing Persia mix yang terdapat massa
di bawah lidah mandibular kanan. Bahan-bahan yang digunakan yaitu povidon
iodine, alkohol 70%, Zoletil®, Isofluran® 4%.

Pre Operasi
Persiapan Ruang Operasi
Bersihkan ruang operasi dari kotoran dan desinfeksi ruangan dengan
disinfektan. Kemudian ruangan dikeringkan sehingga siap digunakan.

Persiapan Peralatan Operasi


Peralatan bedah minor yang digunakan terdiri atas towel clamp (4 buah),
gagang scalpel (1 buah) pinset anatomis (2 buah), pinset sirorgis (2 buah),
gunting runcing-runcing (1 buah), gunting runcing-tumpul (1 buah), gunting

231
tumpul-tumpul (1 buah), tang arteri anatomis lurus (2 buah), tang arteri anatomis
bengkok (2 buah), tang arteri sirorgis lurus (2 buah), tang arteri sirorgis bengkok
(2 buah), needle holder (1 buah) dicuci dan disikat hingga bersih dengan sabun.
Kemudian alat-alat bedah minor dikeringkan dan dibungkus dengan kain
pembungkus untuk selanjutnya dimasukkan ke dalam oven sterilisasi pada suhu
120°C selama 30 menit.
Persiapan Perlengkapan Operator dan Asisten Operator
Perlengkapan bedah operator dan asisten operator dibungkus kain yang
disusun berurutan dimulai dari gloves, pakaian bedah, lap handuk tangan, sikat,
masker, dan tutup kepala. Kemudian dimasukkan ke dalam oven sterilisasi pada
suhu 60°C selama 30 menit. Selain itu, duk yang akan digunakan disterilisasi
dengan dimasukkan ke dalam oven sterilisasi. Setelah peralatan disterilisasi, maka
peralatan dapat digunakan.
Persiapan Obat-obatan
Obat-obatan yang digunakan pada operasi ini adalah Zoletil® sebagai
induksi dan maintenance menggunakan Isoflurane®. Epinephrin dengan dosis
intravena digunakan untuk memacu denyut jantung apabila terjadi bradhycardi.
Terapi cairan menggunakan asering yang ditambah Adona untuk mencegah
terjadinya pendarahan. Dosis yang diberikan adalah sebagai berikut :

Pembiusan Sediaan Dosis Rute


Bius Aplikasi
Induksi Zoletil® 0.05 Intramuscular
mg/kgBB
Maintenance Isoflurane® 1,5% - 2,5% Perinhalasi

Persiapan Operator dan Asisten Operator


Operator dan asisten operator membersihkan diri termasuk memotong kuku,
rambut tidak boleh menjuntai, tidak boleh menggunakan perhiasan seperti cincin
dan gelang, menggunakan baju yang bersih. Operator dan asisten operator
mencuci tangan menggunakan sabun, selanjutnya mengenakan masker dan sarung

232
tangan. Setelah itu operator dan asisten operator mencuci tangan dengan sabun
dan digosok menggunakan sikat secara berutut dari jari tangan ke arah siku.
Selanjutnya dikeringkan menggunakan handuk kering yang sudah disterilisasi.
Setelah kering dan bersih, menggenakan baju operasi yang sudah disterilisasi.
Setelah itu memakai sarung tangan dan dibasuh dengan alkohol. Selanjutnya
asisten operator menyiapkan peralatan bedah minor (towel clamp, scalpel, pinset,
gunting, hemostat dan needle holder).
Persiapan Hewan
Sebelum dilakukan operasi, dilakukan pemeriksaan secara menyeluruh
terhadap hewan, meliputi anamnesa, sinyalemen, keadaan umum dan diagnosa
penunjang (radiografi).

Diagnosa Klinis : Hernia diafragmatika


Differensial diagnosa : efusi pleura, chylothorax, pyothorax, neoplasia,
kardiomegali, efusi perikardium dan edema
pulmonum
Pemeriksaan lanjutan : Radiografi
Prognosa : Fausta
Terapi/tindakan : Terapi bedah

Operasi

Operasi dilakukan di ruangan bedah Rumah Sakit Hewan Jakarta pada hari
Kamis, 17 Desember 2015 jam 12.00 sampai 13.30 WIB. Setelah hewan diinduksi
menggunakan Zoletil® kemudian hewan dipasangkan ETT kemudian selang yang
dialiri oleh oksigen Isoflurane sebagai maintenance saat dilakukan pembedahan.
Asisten I bertanggung jawa untuk memonitor pernafasan dan menggunakan
resusitator saat dilakukan reposisi organ abdomen pada cincin hernia di
diafragma. Hal ini berfungsi untuk menjaga hewan tetap bernafas dengan manual
saat tekanan negatif yang hilang akibat adanya cincin hernia.
Hewan diposisikan vertebral reccumbency dan dilakukan pencukuran
rambut pada daerah abdomen. Setelah dilakukan pencukuran, area operasi
disemprot menggunakan alkohol 70% kemudian povidon iodin yang berfungsi
233
untuk mensterilkan area tersebut. Setelah itu, operator menutupi daerah tersebut
dengan duk dan difiksasi menggunakan towel clamp.
Bidang sayatan dilakukan pada medianus anterior sekitar 5 cm dari
umbilikalis. Penyayatan kulit dilakukan menggunakan blade hingga lapisan
subkutan dan lemak. Kemudian operator mencari linea alba dan disayat dan
difiksasi menggunakan arteri clamp dan diperlebar menggunakan gunting hingga
terlihat cukup untuk melakukan eksplorasi abdomen. Saat rongga abdomen
terbuka, asisten I mulai memompa alat resusitasi dengan manual karena saat
abdomen terbuka, tekanan negatif akan hilang dan hewan akan kesulitan bernafas.
Eksplorasi abdomen dilakukan untuk mencari cincin hernia pada diagfragma.
Setelah menemukan cincin hernia, operator menarik perlahan organ-organ
abdomen yang masuk ke dalam rongga thorax. Pada kasus ini organ yang masuk
ke dalam rongga thoraks antara lain seluruh jejenum, lobus sinistra hati dan
kantung empedu.
Pada saat melakukan operasi ini, hewan sempat mengalami penurunan
denyut jantung yang signifikan hingga hanya 20 kali per menit. Hal yang
dilakukan operator adalah dengan memberikan epinephrine yang berfungsi
sebagai cardiac resuscitation atau meningkatkan denyut jantung (Plumb 1998).
Setelah keadaan hewan stabil operasi kembali dilanjutkan. Setelah dilakukan
reposisi organ abdomen, cincin hernia yang sepanjang kurang lebih 3 cm dari
processus xyphoideus hingga post caval foramen ini ditutup dengan jahitan
sederhana menggunakan benang vicryl 3-0. Pada jahitan terakhir penutupan cincin
hernia, asisten I memompa paru-paru semaksimal mungkin yang bertujuan untuk
mengeluarkan seluruh udara yang berada di rongga thorax sehingga akan
mengembalikan tekanan negatif rongga thoraks dan kemudian dijahit.
Setelah dilakukan penutupan cincin hernia, hewan terlihat sudah bisa
bernafas dengan normal. Penutupan line alba dilakukan menggunakan benang
vicryl 3-0 dengan tipe jahitan sederhana. Setelah itu penutupan kulit dilakukan
dengan benang vicryl 3-0 dengan tipe jahitan subkutan continuous. Setelah
penjahitan selesai, luka diolesi dengan salep povidon iodin dan ditutup oleh kassa
kemudian plester. Tramadol kemudian diberikan secara intramuscular sebagai
analgesic.

234
Tabel 4.1 Tahapan operasi diafragmatika

Gambar Keterangan
Pemasangan endotracheal tube

Pencukuran rambut hewan

Pemberian povidone iodine

Penyayatan dan pembukaan rongga


abdomen pada medianus anterior

Pelebaran sayatan

235
Pemompaan oksigen untuk menjaga
ketersediaan oksigen dalam paru-paru.
Pemompaan ini dilakukan selama
operasi berlangsung sehingga paru-
paru tetap mendapat asupan oksigen.

Pengeluaran rongga abdomen yang


masuk ke rongga thoraks

Diafragma yang robek setelah


dilakukan pembukaan rongga thoraks
(terlihat setelah dilakukan pengeluaran
rongga abdomen yang masuk ke
rongga thoraks)
Penjahitan lubang diafragma dengan
menggunakan vicryl 3-0

Hasil jahitan diafragma

236
Penjahitan linea alba dan kulit

Post Operasi

Pengamatan post operasi dilakukan setiap hari selama 3 hari dengan


melihat frekuensi jantung, frekuensi nafas, temperatur, makan, minum, defekasi
dan urinasi. Pemberian antibiotik ceftriaxone dengan dosis 20 mg/kgBB sekali
sehari dengan rute intravena bertujuan agar menghindari infeksi sekunder saat
keadaan imun yang menurun pasca-operasi.

Tabel 2 Monitoring hewan post operasi

Hari Parameter
Suhu Frekuensi Frekuensi Urinasi Defekasi Makan/minum
(oC) jantung nafas
(kali/menit) (kali/menit)
Kamis 39,4 160 32 - - -
Jumat 39,2 156 32 - - +
Sabtu 39,0 140 36 + + +
Minggu 38,8 144 32 + + +

Grafik 1 Monitoring frekuensi nafas pada post operasi

237
Grafik 2 Monitoring frekuensi jantung pada post operasi

Grafik 3 Monitoring temperature pada post operasi

BAB V
PENUTUP
Kesimpulan

Berdasarkan hasil pemeriksaan kucing Item, ditemukan adanya kelainan


hernia diafragmatika. Kucing Item mengalami kelainan hernia diafragmatika yang
diduga disebabkan akibat trauma dan tekanan intraabdominal yang besar akibat
kondisi dia yang sedang bunting. Terapi yang efektif adalah dengan melakukan
operasi hernia diafragmatika yaitu dengan mereposisi bagian dari saluran
pencernaan yang masuk ke dalam rongga thoraks.

238
Saran

Pasien dilakukakan pengangkatan ovarium untuk mencegah terjadinya


kasus ini kembali. Pengobatan post operasi dilakukan untuk mempercepat
pemulihan luka serta harus dikontrol kondisinya secara intensif. Pasien juga
sebaiknya dikandangkan untuk meminimalisir gerakan sehingga persembuhan
dapat berlangsung dengan cepat.

DAFTAR PUSTAKA

Besalti O, Pekcan Z, Caliskan M, Aykut ZG. 2011. A retrospective study on


diaphragmatic hernias in cat. Ankara Univ Vet Fak Derg. 58:175-179.
Carlidge PHT.1986. Preoperative stabilization in Diaphragmatica traumatica. Arch
Dis Child. Hal 1225-1228
Fossum TW. 2005. Diaphragmatic Hernias : Surgical Treatment. In: 50°
Congresso Nazionale Multisala SCIVAC. Rimini, Italia
Fossum TW. 2007. Small Animal Surgery, 3rd edition. China: Mosby, Inc. Hal.
324.

239
Harari J. 2004. Small Animal Surgery Secrets. USA: Hanley & Belfus, Inc. Hal.
10.
Haring J. and Jansen L. 2000.Dental Radiography. W.B.Saunders Company,
Philadelpia
Hunt GB. 2012. Diaphragmatic hernia [Internet]. [diunduh 2015 Des 19]. Tersedia
pada:
http://www.sydney.edu.au/vetscience/about/gunt/hernia_diaphragmatica.eh
tml.
Kibar M, Bumin A, Kaya M, Alkan Z. 2006. Use of peritoneography (positive
contrast cheliography) and ultrasonography in the diagnosis of
diaphragmatic hernia: review of 35 cats. Revue Med Vet. 157(6):331-335.
Kuehn NF. Taylor SM, Dyer NW, Hauptman J. 2011. Hernia diaphragmatica
[Internet]. [diunduh 2015 Des 19]. Tersedia
pada:http://www.merckvetmanual.com/mvm/respiratory_system/diaphrag
matic_hernia/overview_of_diaphragmatic_hernia.html
Read RA dan Bellenger CR. 2003. Hernia. Di dalam Textbook of Small Animal
Surgery Vol 1, 3rd edition. Editor: Slatter D. USA: Saunders. Hal. 446
Shanding B.2000.Diaphragmatic hernia. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM,
Nelson WE, Vaughan VC, Penyunting. Nelson Textbook of Pediatrics.
Edisi keempat belas. Philadelphia: W.B. Saunders company. Hal 1032-
1033.
Sudisma, IGN. 2006. Ilmu Bedah Veteriner Dan Teknik Operasi. Pelawa Sari.
Denpasar.

ARTIKEL ILMIAH PPDH


ROTASI INTERNA HEWAN KECIL
BEDAH DAN RADIOLOGI
Yang dilakukan di
KLINIK HEWAN PENDIDIKAN FKH UB

HARD TISSUE :
“ SPINA BIFIDA PADA ANJING”

240
Oleh:
YESY VITA ADETYARA, S.KH
NIM. 150130100111024

PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2016

BAB I
PENDAHULUAN
2. Latar Belakang

Spina bifida merupakan malformasi tulang dimana penutupan tidak


lengkap dari lengkungan tulang belakang dengan atau tanpa tonjolan atau
displasia sumsum tulang belakang. Spina bifida terjadi karena adanya gangguan
dengan penonjolan meningocele dan meningomyelocele. Meningeal atau tonjolan
saraf tulang belakang tidak mengikuti jaringan subkutan dimana ektoderm saraf

241
gagal terpisah. Spina bifida dapat terjadi karena faktor genetik, teratogenik, gizi,
ras. Di suatu negara spina bifida lebih sering dialami oleh anjing bulldogs
dibandingkan anjing lainnya.
Etiologi dari spina bifida tidak sepenuhnya ditentukan namun dapat
berhubungan dengan faktor genetik , teratogenik , gizi dan mungkin ras , karena
English Bulldogs memiliki insiden yang lebih tinggi dari spina bifida daripada
jenis anjing lainnya. Kelainan bawaan dari tulang punggung bagian bawah dan
sumsum tulang belakang yang terkenal pada kucing Manx . Meskipun patogenesis
embrio dari gangguan ini belum benar-benar dijelaskan , hiperplasia sel-sel dari
dorsal serabut saraf yang mempengaruhi perpaduan dari serabut saraf dan
lengkungan tulang belakang atau kelainan pembuluh darah yang membatasi aliran
darah ke daerah dorsal dari tulang belakang telah dipelajari sebagai kemungkinan
penyebab spina bifida.
Spina bifida biasanya dapat didiagnosis dengan radiografi (sinar-X).
Seringkali, hal ini ditemukan secara kebetulan ketika sinar X pada bagian thorax,
abdomen atau pinggul yang diambil untuk beberapa alasan yang tidak terkait.
Radiografi biasanya akan mengungkapkan cacat anatomis di bagian atas tulang
yang terkena. Computed tomography (CT scan) dan magnetic resonance imaging
(MRI) yang tersedia di beberapa klinik khusus. Pada artikel ini penulis ingin
menjelaskan kejadian spina bifida dan beberapa komplikasinya pada anjing cocker
spaniel dan dua anjing mongrel.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Spina bifida adalah kondisi tidak normal dari tulang belakang. Kondisinya
sangat bervariasi, dari bentuk yang tidak beraturan sampai tulang belakang
terbuka menampakkan jaringan syaraf didalamnya. Spina bifida adalah kelainan
lahir yang melibatkan perkembangan janin yang abnormal dari satu atau lebih dari
vertebrae anjing . Apa yang menyebabkan spina bifida tidak dipahami dengan
baik, meskipun mungkin ada komponen genetik yang kuat . Kekurangan gizi dan
konsumsi racun selama kehamilan mungkin berperan sebagai penyebab spina
242
bifida. Vertebrae anjing dengan kondisi ini tidak menyatu, yang mengganggu
fungsi tulang belakang dan intervertebralis. Pemilik biasanya melihat tanda-tanda
ketika anak anjing yang terkena mencoba untuk berjalan, antara satu dan dua
minggu usianya. Mereka menunjukkan kelemahan tulang belakang, kelemahan
otot, inkontinensia, inkoordinasi. Mungkin ada massa di punggung anjing
,menjadi tanda keabnormalan tulang belakang .
Jika sumsum tulang belakang tidak terpengaruh oleh fusi tulang yang
rusak yang disebut spina bifida, anjing mungkin tidak akan pernah memiliki
gejala kelainan neurologis, dan kondisi sebenarnya mungkin tidak pernah
didiagnosis. Namun, ketika sumsum tulang belakang terdorong keluar melalui
celah pada tulang belakang yang abnormal, anjing akan terpengaruh pada
pengendalian fungsi kemih dan rectum. Spina bifida biasanya dapat didiagnosis
dengan radiografi (sinar-X). Seringkali, hal ini ditemukan secara kebetulan ketika
sinar X pada bagian thorax, abdomen atau pinggul yang diambil untuk beberapa
alasan yang tidak terkait. Radiografi biasanya akan mengungkapkan cacat
anatomis di bagian atas tulang yang terkena. Computed tomography (CT scan)
dan magnetic resonance imaging (MRI) yang tersedia di beberapa klinik khusus
dan di rumah sakit pendidikan kedokteran hewan dapat membantu untuk
menentukan lokasi yang tepat dan luasnya kelainan jaringan tulang dan jaringan
ikat pada anjing yang menderita spina bifida. Uji laboratorium dan
electrodiagnostic lanjutan lainnya, seperti myelography dan analisis cairan
serebrospinal, yang tersedia dapat membantu dalam kasus tertentu.
Ada dua teori patogenesis embrio dari kompleks spina bifida .Teori
pertama menyimpulkan bahwa penyebab mulainya spina bifida karena hiperplasia
, atau pertumbuhan berlebih ,dari sel-sel dorsal tabung saraf mencegah fusi dari
tabung saraf dan lengkungan vertebra yang berdekatan.

243
BAB III
STUDI KASUS
1. Kasus pertama
Signalment
Jenis hewan : anjing
Umur : 2 bulan
Jenis kelamin : jantan
Ras : mongrel
Anamnesa
Seekor anjing jantan mongrel berumur 2 bulan diperiksa di Rumah Sakit
Hewan dari Universidade Estadual de Londrina. Anjing tersebut mengalami
gangguan bergerak.
Pemeriksaan Fisik

244
Pasien menunjukkan inkontinensia feses dan urin. Pada anjing tersebut
ditemukan kista pada regio sacrocaudal. Kista tersebut konsistensi lembut dan
tidak ada cairan serebrospinal (Gambar 1A). Pada anal sphincter
menunjukkan tidak adanya tonus otot (Gambar 1B dan 1C). Pada sendi lutut
mengalami kontraktur dan meningkatkan sensai pada perineal.

Gambar 1. Kulit pada daerah sakrokaudalis sebelum mencukur rambut


anjing di wilayah ini . B dan C kontur di kaki belakang dan kista setelah
dicukur . sfingter anal tanpa otot

Pemeriksaan lanjutan
b. Pemeriksaan Radiografi
Pada pemeriksaan radiografi vertebrae L7 terlihat kecil dan
persambungannya rusak pada prosesus spinosus (Gambar 1D). Myelography
dilakukan untuk melihat adanya meningocele pada kista, tiga hari kemudian
hewan mati dengan tanda-tanda meningitis (Gambar 1E). Pembedahan
bangkai dilakukan untuk melihat adanya meningomyelocele dan melihat
hubungan antara kulit dengan kantung dural. Setelah dilakukan pembedahan
kemudian diobservasi perkembangan vertebrae L7 yang tidak sempurna yang
mana ukurannya lebih kecil daripada vertebrae lainnya. Tidak sempurna
menutup dorsal dari vertebrae pada daerah lumbosacral dan coccygeal
(Gambar 1G). Observasi pemisahan tidak lengkap pada prosesus spinosus
dan vertebrae T5-T6 dan T7-T8. Adanya ketidak sempurnaan pembentukan
badan vertebrae dari T5-T6 dan T7 (Gambar 1F). Histopatologi spinal cord
tidak dilakukan.

245
Gambar 2. D. Radiografi ventrodorsal tulang belakang L7 vertebra lebih
kecil ( * ) dan kelainan dalam fusi proses spinosus dorsal vertebra sacral. E.
Mielografi dilakukan melalui kista mengkonfirmasikan adanya
meningocele . F. Penampakan dari kista dan kantung dural melewati
pembukaan di tulang sakral dan coccigeal setelah diseksi parsial .

2. Kasus kedua
Signalment
Jenis hewan : anjing
Ras : mongrel
Anamnesa
Seekor anjing mongrel lahir di HV-UEL dilakukan proses caesar dan mati tak
lama setelah lahir.

Pemeriksaan Fisik
Ditemukannya spina bifida dengan celah terbuka di seluruh lumbosakral.
Radiografi ventrodorsal dari colum vertebrae terdapat abnormal dalam
perpaduan prosesus spinosus di L4,L5,L6,L7 dan sakral (Gambar 2B).
Setelah terjadinya maserasi itu mendeteksi terdapat lengkungan vertebrae
pada C2,C7 dan T1 juga sebagian terbuka. Pada lumbal (L4 ke L7) dan
vertebrae sakral juga terbuka (Gambar.3)

Gambar 3. Celah dengan spina bifida terbuka di daerah lumbosakral


seluruh pada anjing mongrel yang baru lahir . B. Radiografi ventrodorsal
kolom tulang belakang memperlihatkan kelainan dalam fusi proses
spinosus dorsal L4 , L5 , L6 L7 dan sacral

Setelah terjadinya maserasi itu mendeteksi terdapat lengkungan vertebrae


pada C2,C7 dan T1 juga sebagian terbuka. Pada lumbal (L4 ke L7) dan
vertebrae sakral juga terbuka (Gambar 4).

246
Gambar 4. Vertebrae lumbosacral setelah dimaserasi . lengkungan
tulang belakang dari C2 , C7 dan T1 yang sebagian terbuka

3. Kasus ketiga
Signalment
Jenis hewan : anjing
Ras : English Cocker Spaniel
Umur : 5 bulan
Jenis kelamin : Jantan

Anamnesa
Seekor anjing English Cocker Spaniel di evaluasi di Rumah Sakit Hewan dari
Universidade Estadual de Londrina menunjukkan fecal dan urinary
mengalami inkontinensia sejak di sapih. Pemilik mengeluhkan anjing tersebut
memiliki bunny- hopping gait.

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan neurologis menunjukkan adanya ataksia ringan pada kaki
belakang, tidak ada anal dan reflek dari bulbocavernosus. Anjing merasa tidak
nyaman saat dipalpasi pada daerah lumbosacral (Gambar 5) dan
meningkatnya sensasi perineal.
Pemeriksaan lanjutan
b. Pemeriksaan radiografi
Radiografi pada column lumbosacral menunjukkan tidak tertutup secara
sempurna di bagian ekor vertebrae (L7) (Gambar 5). Setelah 4 bulan penis
menonjol dari preputium dengan adanya nekrosis dan penonjolan tulang.
Tindakan yang diambil yaitu dengan mengamputasi penis dan pembuatan
uretrhrostomy mada daerah skrotum.

247
Gambar 5. Regio Lumbar dari English Cocker Spaniel dengan lesung
pipi di daerah lumbosakral (kiri), Radiografi ventrodorsal yang
menunjukkan penutupan lengkap dari bagian ekor dari vertebra lumbalis
ketujuh ( panah )

Setelah 40 hari dilakukan operasi kemudian dilakukan analisis cairan


serebrospinal dan dilakukan myelography. Jumlah darah serta cairan
serebrospinal pada tulang belakang tidak mengalami kelainan tapi adanya
spina bifida dengan meningomyelocele (Gambar 6). Terapi untuk
inkontinensia urin dengan memberikan pseudoephedrine (Actifedrin dan
Farmoquimica).

Gambar 6. Ventrodorsal dan lateral myelography dari kolum tulang


belakang lumbosakral . Dalam pandangan lateral teramati dorsal deviasi
sumsum tulang belakang antara L7 dan S1 dan ruang subarachnoid
diperbesar ventral ke cord .

248
BAB IV
PEMBAHASAN

Pada puppies menunjukkan kelainan neurologis yang kompleks


dengan sindrom lumbosakral ,seorang klinisi harus mencurigai perubahan
bawaan seperti stenosis lumbosakral ,sakral vertebral lumbal ,hemivertebra ,
pengeblokan tulang belakang, spina bifida dan kelainan terkait seperti
meningocele ,meningomyelocele dan dysraphism tulang belakang.
Kebanyakan spina bifida terkait meningoceles atau meningomyeloceles terjadi
di daerah lumbosakral dan terutama melibatkan serabut saraf dan saraf tulang
belakang dari cauda equina. Hal tersebur menyebabkan sindrom lumbosakral
seperti yang terlihat dalam tiga anjing yang dijelaskan pada kasus ini.
Manifestasi spina bifida adanya cystica, dan operta adalah sub-
klasifikasi mengindikasikan dampak dari tidak menutupnya prosesus pada
dorsal vertebrae dan keberadaan dari meningocele, myelocele atau
meningomyelocele, dan satu klasifikasi ini diidentifikasi dalam tiga kasus.
Spina bifida occulta didiagnosis pada vertebra toraks dan serviks dalam kasus
dua. Sayangnya, studi histologis sumsum tulang belakang tidak. Tetapi dalam
kasus 1, karena penonjolan kecil di kulit dalam lengkungan vertebral dan
myelography dilakukan. Dalam kasus 3, diagnosis spina bifida dan
meningomyelocele dilakukan karena gambaran myelographic, di mana ruang

249
subarachnoid diperbesar ventral ke serabut syaraf terlihat kelainan pada
lengkung tulang belakang punggung dapat diamati selama evaluasi radiografi.
Dalam tiga kasus ini, diagnosis spina bifida terkait meningocele atau
meningomyelocele didasarkan pada temuan klinis, temuan radiografi dalam
semua kasus dan myelography di dua kasus. Dalam kedokteran hewan, ketika
magnetic resonance imaging tidak tersedia, myelography merupakan prosedur
penting untuk memvisualisasikan kontur tulang belakang dan kanal vertebral
dan itu harus dilakukan untuk mengkonfirmasikan diagnosis.
Suatu gambaran radiografi dihasilkan dengan melewatkan sinar X
melalui jaringan untuk diperiksa dan akan menghasilkan emulsi fotografi pada
film. Jumlah sinar x yang mencapai film akan menentukan paparan. Jumlah
radiasi yang diabsorbsi oleh struktur akan menentukan radiodensitas dari
bayangan. Gambaran radiolucent terjadi akibat sinar X yang mengenai
struktur jaringan lunak yang kepadatanya kurang maka sedikit sekali sinar X
yang diabsorbsi. Gambaran radiografi yang terlihat radiopak terlihat lebih
terang atau putih. Sinar x yang mengenai sturuktur jaringan keras karena
kepadatannya akan mengabsorbsi sinar X yang banyak
Kelainan lain seperti hidrosefalus , hemivertebrae beberapa toraks dan
atau sakral , juga dapat terjadi pada hewan yang terkena spina bifida . Selama
nekropsi dari kasus pertama ,mengamati bahwa selain terbuka spina bifida dan
meningomyelocele , ada perubahan bawaan lainnya seperti pengeblokan
toraks dan penutupan tidak lengkap dari beberapa badan vertebra. Anjing
kedua juga memperlihatkan lebih dari satu perubahan kongenital yaitu spina
bifida terbuka pada daerah sakrokaudalis dan spina bifida occulta baik di ekor
serviks dan awal vertebra toraks. Spina bifida occulta terbatas pada tidak
adanya satu lengkungan vertebral dan sumsum tulang belakang tetapi biasanya
terjadi displastik pada pemeriksaan mikroskopis. Pada kasus ini tidak
dilakukan pemeriksaan mikroskopik.
Tindakan bedah spina bifida cystica telah jarang dilakukan pada
hewan ,namun dalam beberapa kasus, kanal tulang belakang bisa diangkat
dengan operasi ditutup dan kulit dijahit . Hubungan antara ruang
subarachnoid dan kulit memungkinkan penetrasi mikroorganisme ke dalam

250
cairan serebrospinal yang dapat mengakibatkan meningitis sebelum operasi .
Namun, anjing ini tidak akan menunjukkan perbaikan apapun jika operasi
dilakukan, karena tanda-tanda klinis yang terkait seperti inkontinensia urin
dan tinja dan deformasi di keempat anggota badan. Dalam beberapa hewan
dengan meningomyelocele berfistula, ligasi pada saluran meningocutaneous
dapat memperbaiki masalah yang terkait dengan hilangnya CSF dan tindakan
bedah dapat membalikkan beberapa disfungsi neurologis yang disebabkan
oleh sindrom pada serabut syaraf dan mencegah kerusakan lebih lanjut dari
motorik, fungsi sensorik dan fungsi urinary.
Sebuah tindakan bedah sebagian berhasil dilakukan pada Bulldog
dengan spina bifida terbuka tetapi pasien tidak membaik karena mengalami
inkontinensia. Dalam kasus ketiga, pemberian pseudoefedrin yaitu αagonist
yang meningkatkan sfingter uretra, diberikan untuk membantu mengurangi
inkontinensia urin. Pengobatan spina bifida terbuka dan meningomyelocele
pada manusia dilakukan setelah lahir untuk menghindari meningitis dan lesi
tambahan pada sumsum tulang belakang. Tanda-tanda neurologis tetap muncul
secara permanen pada hewan dan manusia. Dalam pengobatan spina bifida
pada manusia dengan dysraphism tulang belakang dan frekuensi cacat saraf
dikurangi dengan asupan harian asam folat selama kehamilan.
Kondisi ini telah dijelaskan dalam banyak spesies , namun itu adalah
suatu kondisi bawaan umum dari anjing English Bulldogs , sehingga laporan
ini bertujuan untuk memberikan kontribusi terhadap kejadian spina bifida di
anjing dan anjing Cocker Spaniel. Keterlambatan diagnose spina bifida
menyebabkan gangguan syaraf yang berlebih, sayangnya kedokteran hewan
terbatas untuk memecahkan atau mengurangi tanda-tanda klinis.

251
BAB V
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Spina bifida adalah malformasi tulang bawaan dengan penutupan tidak
lengkap dari arkus tulang belakang bagian dorsal. Dalam kasus pertama dan
ketiga spina bifida yang didiagnosa dengan pemeriksaan klinis dan
myelography. Dalam kasus pertama, mengamati bahwa selain spina bifida
dalam tulang lumbosakral dan meningomyelocele, ada perubahan kongenital
lainnya seperti pengeblokan vertebrae thoraks dan penutupan tidak lengkap
dari beberapa badan vertebra. Anjing kedua juga memperlihatkan spina bifida
terbuka di daerah sakrokaudalis, dan spina bifida tertutup baik di serviks
akhir dan awal vertebra toraks. Dalam kasus ketiga, spina bifida di daerah
lumbosakral dikaitkan dengan meningomyelocele.

252
DAFTAR PUSTAKA

Rivas L.J., Hicncliff K.W., Robertson J. T. (1996) Cervical


meningomyelocele associated with spina bifida in a hydrocephalic
miniature colt. Journal of the American Veterinary Medical
Association. 1996, 209, 5, 162-164.
Shamir M., Rokchin S., Jonhston, D. Surgical treatment of tethered spinal
cord syndrome in a dog with myelomeningocele. Veterinary Record.
2001, 148, 755-756.
Shell L.G., Carrig C.B., Sponerberg D.P., Jortner B.S. Spinal Dysraphism,
Hemivertebra, and Stenosis of the Spinal Canal in a Rottweiler Puppy.
Journal of the American Veterinary Medical Association. 1988, 24,
341-344
Summers B. A., Cummings J. F., De Lahuta A. Malformations of the central
nervous system. In: Veterinary Neuropathology. Mosby, St. Louis.
1995, pp 85-94
Wilson J. W., Kurzt H. J., Leipold H. W., Lees G. E. Spina Bifida in the Dog.
Vet Pathol. 1979, Mar;16(2):165-79.

253
ROTASI INTERNA HEWAN KECIL
KASUS MANDIRI
Yang dilakukan di
KLINIK HEWAN PENDIDIKAN FKH UB
ENTROPION PADA KUCING

Oleh:
YESY VITA ADETYARA, S.KH
150130100111024

254
PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN
PROGRAM KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2016

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Mata hewan tidak pernah luput dari berbagai gangguan atau kelainan,
baik secara fisiologis maupun patologis. Oleh karena itu, keadaan mata perlu
diperiksa untuk mengetahui adanya penyimpangan dari keadaan normal
seperti, gangguan penglihatan, kelainan pada permukaan kornea, iris, rongga
muka dari bola mata konjungtiva maupun bagian luar dari mata itu sendiri.
Pemeriksaan mata dilakukan dengan cara melihat bola mata, bulu mata,
maupun kelopak mata.
Pada hewan yang keadaan matanya memperlihatkan kelainan perlu
diperiksa kemampuan melihatnya. Cara memeriksa penglihatan yaitu dengan
menggerakkan tangan di depan mata. Adanya gangguan penglihatan dapat
pula ditentukan dengan cara lain seperti mengamati refleks dari pupil mata
apabila ada rangsangan sinar dari luar. Keadaan rongga mata dari bola mata
juga dapat dilihat dengan ada atau tidaknya darah atau eksudat radang.
Sasaran pemeriksaan mata juga termasuk gerakan mata. Pada hewan
yang sehat gerakan matanya normal. Jadi, apabila pada seekor hewan
ditemukan gerakan mata yang abnormal dan juling, maka dapat di duga hewan
tersebut menderita penyakit syaraf. Gerakan bola mata juga tidak luput dari
perhatian. Pada mata hewan yang sehat sacara normal kelopak mata sekali-kali
berkedip. Gejala yang abnormal akan dijumpai bila kedipannya terlalu sering
255
atau tidak berkedip sama sekali, karena kelopak mata membuka dan menutup
uterus. Kelopak mata yang menutup terus mungkin disebabkan oleh
photophobia (takut cahaya) karena cahaya akan menyebabkan kesakitan pada
mata.
Entropion merupakan suatu kondisi dimana kelopak mata (palpebra)
bagian bawah berbalik ke dalam. Selain palpebra bagian bawah, entropion
juga dapat terjadi pada palpebra bagian atas atau dapat mengalami seluruh
bagian tepi kelopak mata yang masuk kedalam. Sakit pada bagian dalam
kelopak mata dan adanya infeksi merupakan salah satu penyebab entropion.
Entropion mengakibatkan terjadinya iritasi pada kornea. Iritasi pada kornea
dapat menimbulkan pengeluaran leleran mucus, lakrimasi (epifora), keratitis
superfisialis, dan kekejangan palpebra. Serta ulcerasi kornea. Kebanyakan
kasus entropion terjadi karena pengenduran jaringan kelopak mata sebagai
akibat proses penuaan. Beberapa kasus terjadi karena pembentukan jaringan
parut pada permukaan dalam kelopak mata akibat luka bakar kimia dan panas,
peradangan atau reaksi alergi. Kadang entropion merupakan bawaan lahir
karena kelopak mata tidak terbentuk secara sempurna.
Posisi bola mata akan diasumsikan dengan perhatian terhadap bentuk
bulat keseluruhan yang dipastikan melalui posisi dan konsistensi dari plate
tarsal, counter presure dari globe melawan tarsal plate, dan tonus otot
orbicular bola mata. Entropion dapat dihasilkan kapanpun kondisi peradangan
occular terjadi, yang menghasilkan peningkatan tonus otot orbicular dan
deviasi dari bola mata ke arah globus. Kombinasi dari buruknya tarsal plate
yang lebih rendah dengan kekuatan kontraktil yang lebih besar dari segment
inferior otot, diduga kuat salah satu pemicu tingginya kasus entropion pada
kelopak mata pada beberapa hewan.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan kelopak
mata. Entropion harus diperbaiki melalui pembedahan sebelum gesekan
kelopak dan bulu mata menyebabkan kerusakan kornea. Pembedahan biasanya
dilakukan dengan bius lokal dan penderita tidak perlu dirawat. Dilakukan
pengencangan kelopak mata. Setelah pembedahan, mata ditutup selama 24
jam dan diberi salep antibiotik selama sekitar 1 minggu.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah gejala klinis dari entropion?

256
2. Bagaimanakah tindakan terapi pada kasus entropion?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui gejala klinis dari entropion
2. Untuk mengetahui tindakan terapi pada kasus entropion

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Entropion merupakan suatu kondisi dimana kelopak mata (palpebra)


bagian bawah berbalik ke dalam. Selain palpebra bagian bawah, entropion juga
dapat terjadi pada palpebra bagian atas atau dapat mengalami seluruh bagian tepi
kelopak mata yang masuk kedalam. Sakit pada bagian dalam kelopak mata dan
adanya infeksi merupakan salah satu penyebab entropion. Entropion
mengakibatkan terjadinya iritasi pada kornea. Iritasi pada kornea dapat
menimbulkan pengeluaran leleran mucus, lakrimasi (epifora), keratitis
superfisialis, kekejangan palpebral serta ulcerasi kornea.
Entropion bisa bersifat bawaan (kongenital) atau dapatan (spastic entropion).
Kongenital terjadi pada anak kucing sampai kucing muda, biasanya terjadi pada
kelopak mata bawah. Beberapa anak kucing yang menderita entropion akan hilang
dengan sendirinya karena terjadi pembesaran kepala beberapa bulan pada masa
pertumbuhannya. Dengan alasan tersebut maka operasi tidak akan dilakukan
sebelum berumur 6 bulan atau lebih. Sedangkan entropion karena dapatan
disebabkan oleh adanya iritasi pada mata yang ditandai dengan kontraksi spasmus
dari otot orbikularis yang menyebabkan membaliknya batas kelopak mata. Contoh
kasus dapatan (spastic entropion) adalah distichia, trauma wajah dan inflamasi
kronis yang berlanjut menjadi konjuntivitis (Chisholm, 2004).
Gejala klinis yang terlihat adalah keluar air mata yang berlebihan, sering
berkedip, iritasi mata (belekan), sensitif terhadap cahaya, sering menggosok mata,
jika hal tersebut berlangsung lama maka akan terbentuk ulcer dan jaringan ikat
pada kornea, kesakitan yang sangat serta gangguan penglihatan sampai terjadi
kebutaan (Anonimous 3, 2001). Dengan melihat gejala klinis tersebut maka kita

257
dapat menentukan derajat enteropion dari yang ringan, sedang maupun kasus berat
yang ditandai kebutaan. Pada kasus anjing biasanya menderita enteropion yang
bersifat kongenital dengan derajat yang masih ringan dan terjadi pada kelopak
mata bawah.
Penyakit ini bersifat menurun atau heriditer. Penyakit dapat diketahui segera
setelah lahir dan akan menjadi masalah lebih lanjut sejalan dengan umur anjing.
Namun bisa juga entropion timbul karena akibat yang lain, seperti adanya rasa
sakit atau spasmus pada kornea atau penyakit mata yang lain. Bisa juga terjadi
bila mata mengarah ke belakang (enophtalmos) ke arah orbit atau bola mata
mengecil akibat trauma atau infeksi. Namun pada umumnya entropion terjadi
akibat gangguan neurologis pada palpebrae.
Umumnya teknik operasi yang dilakukan dengan cara memperbaiki bentuk
kelopak mata baik secara permanen maupun hanya untuk sementara. Operasi
dilakukan dengan cara menjepit kulit dengan klem kulit disekitar kelopak bawah
kurang lebih 2 cm yang searah dengan arah memanjang mata (horizontal). Setelah
itu sayat dengan skalpel dan dibuang, lakukan jahitan sederhana pada bekas
sayatan dan ditutup perban. Hasil operasi diharapkan kelopak mata akan tertarik
ke bawah dan tidak menempel lagi pada permukaan mata. Pada kasus diatas
dilakukan operasi karena sudah cukup umur untuk dilakukan operasi dengan
prosedur yang sama. Sebelum operasi dapat diberikan ocular lubricant (q12-24
jam) (Tilley, dkk, 1997). Postoperasi dapat diberikan antibiotik secara topikal
misalnya, opthalmic ointment maupun secara sistemik. Pada beberapa kasus
postoperasi hanya diberikan antibiotik Ampcillin IM untuk mencegah terjadinya
infeksi pada luka dan vitamin B kompleks sebagai supportif.

258
BAB III
STUDI KASUS

3.1 Signalment
Nama : Chio
Jenis Hewan : Kucing
Jenis Kelamin : Jantan
Umur : 10 tahun
Berat badan : 5 kg
3.2 Anamnesa
Mata keluar kotoran dan berair ± 1 tahun. Sudah pernah dibawa ke dokter hewan
tetapi belum ada perubahan. Sudah vaksin tetapi belum diberikan obat cacing.
Pada bagian bilateral terdapat bentukan masa bukan cairan dikarenakan ada luka,
kemudian luka tertutup yang menyebabkan pipi membesar. Bentukan tersebut
menyebabkan bulu masuk ke mata.

3.3 Hasil Pemeriksaan Fisik


Sebelum dilakukan pemeriksaan perlu mengetahui berat badan dan suhu. Berat
badan 5 kg, dan suhu 39,1oC.

Status Present :
Keadaan Umum
Perawatan : Sedang
Habitus/tingkah laku : Jinak
Gizi : Baik
Pertumbuhan badan : Baik

Sikap berdiri : Tegak pada empat kaki


Suhu : 39,1oC
259
Frekuensi nafas : 28 kali/menit
Frekuensi jantung : 120 kali/menit

Adaptasi Lingkungan :
Kulit dan Rambut
Aspek rambut : Kusam
Kerontokan : Ada
Kebotakan : Ada
Turgor Kulit : Baik < 2 detik
Permukaan Kulit : Berkerak
Kepala dan Leher
Inspeksi
Ekspresi wajah : tidak nyaman
Pertulangan wajah : Tegas dan simetris
Posisi tegak telinga : Tegak pada keduanya
Posisi kepala : Tegak diatas bahu
Palpasi
Mata dan orbita kiri dan kanan
Palpebrae : melipat ke dalam
Cilia : masuk ke dalam kelopak mata
Conjuctiva : tidak normal
Membrana nikitans : Tersembunyi tidak terlihat
Bola mata kanan dan kiri
Sclera : Putih
Cornea : Bening, permukaan licin
Iris : Hitam
Pupil : Baik
Vasa injectio : tidak ada
Hidung dan sinus – sinus
Bentuk : Simetris
Aliran udara : Bebas keduanya
Mulut dan rongga mulut
Defek bibir : tidak ada defek
Mukosa mulut : Rose, licin, basah dan tidak ada kerusakan

Telinga
Posisi : Tegak keduanya
Bau : Khas serumen
Permukaan daun telinga : Rata
Krepitasi : Tidak ada
Refleks panggilan : Ada
Leher
Perototan Leher : Kompak
Trachea : Teraba
260
Esophagus : Teraba, kosong

Sistem Pernafasan
Inspeksi
Bentuk rongga thoraks : Simetris
Tipe pernafasan : Costal
Ritme : Ritmis
Intensitas : Sedang
Frekuensi : 28 x/menit

Sistem gastrointestinal
Ruang Abdomen
Inspeksi
Ukuran abdomen : Tidak ada perubahan
Bentuk rongga abdomen : Simetris
Palpasi Profundal
Epigastricus : Tidak ada rasa sakit
Mesogastricus : Tidak ada rasa sakit
Hipogastricus : Tidak ada rasa sakit
Anus
Kebersihan : Bersih
Refleks sphincter ani : Ada
Kebersihan daerah anal : Bersih
Kebersihan daerah perianal : Bersih
Alat Gerak dan Extremitas
Inspeksi
Perototan kaki depan : Kompak
Perototan kaki belakang : Kompak
Spasmus otot : Tidak ada
Kuku kaki : bentuk normal
Cara bergerak-berjalan : Koordinatif
Kesimetrisan : Simetris, panjang yang sama

3.4 Hasil Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan penunjang yang dilakukan terhadap kucing Chio antara lain
pemeriksaan hematologi dan pemeriksaan kimia darah.
Tabel 3.4.1 Hasil Hematologi
Hasil Nilai Normal Keterangan
WBC 14,3x103 /uL 6-19,5
LYM 2,1 x103 /uL 0,8-7
MID 0,7 x103 /uL 0-1,9
GRA 11,5 x103 /uL 2,1-15
LYM % 14,7 % 12-45
MID % 4,9 % 2-9
261
GRA % 80,4 % 35-85
RBC 7,56 x106 /uL 4,6-10
HGB 12,3 g/dL 9,3-15,3
MCHC 36,6 g/dL 30-38
MCH 16,3 pg 13-21
MCV 44,4 fL 39-52
RDW-CV 15,6 % 14-18
RDW-SD 34,6 fL 35-56 L
HCT 33,6 % 28-49
PLT 125 x103 /uL 100-514
MPV 10,7 fL 5-11,8
PDW 13,1 fL 10-18
PCT 0,134% 0,1-0,5
P-LCR 38,8 % 13-43

Tabel 3.4.2 Hasil Kimia Darah


Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Keterangan
Kimia klinik
Faal Hati
AST /SGOT 30 U/L 5-55 U/L
ALT /SGPT 38 U/L 28-76 U/L

Faal Ginjal
Ureum /BUN 40/14,7 mg/dL 15- 34 mg /dL
Kreatinin 1,2 mg/dL 0,8 -2,3 mg/dL

3.5 Diagnosa
Enteropion
3.6 Terapi
Drontal
Revolution
Operasi entropion

262
BAB IV
PEMBAHASAN

Pada kasus ini kucing chio mengalami gangguan mata yaitu adanya kotoran
dan berair pada mata selama ± 1 tahun. Pada bagian bilateral terdapat bentukan
masa bukan cairan dikarenakan ada luka, kemudian luka tertutup yang
menyebabkan pipi membesar. Bentukan tersebut menyebabkan bulu masuk ke
mata. Sebelumnya kucing chio sudah pernah dibawa ke dokter hewan tetapi
belum ada perubahan. Sudah vaksin tetapi belum diberikan obat cacing. Kucing
chio dilakukan pemeriksaan hematologi serta kimia darah. Hasil dari hematologi
menyatakan bahwa RDW mengalami penurunan dari angka normal. Hasil RDW
yang rendah menunjukkan variasi ukuran eritrosit yang kecil (seragam). Hasil dari
kimia darah menyatakan bahwa ureum mengalami peningkatan. Peningkatan
kadar BUN dapat menandakan terjadinya hypovolemia. jika kadar BUN
meningkat dan kreatinin serum tetap normal, kemungkinan terjadi uremia non-
renal (prarenal). Uremia prerenal disebabkan oleh gagalnya mekanisme sebelum
filtrasi glomerulus. Mekanisme tersebut meliputi penurunan aliran darah ke ginjal

263
(shock, dehidrasi, dan kehilangan darah) dan peningkatan katabolisme protein.
Pemberian obat drontal (Pyrantel pamoat dan praziquantel) bertujuan untuk
mencegah kucing tersebut dari cacing. Mekanisme kerja dari pyrantel pamoat
yaitu dengan menghambat neurotransmiter cacing sedangkan praziquantel dengan
cara mempengaruhi permeabilitas sel vakuola sehingga akan terjadi kontraksi otot
dan menyebabkan paralisis. Pemberian obat revolution (selamectin) dikarenakan
terdapat kutu. Mekanisme kerja dari selamectin yaitu dengan menghambat
neurotransmiter. Kasus enteropion biasanya dilakukan operasi perbaikan pada
kelopak mata.
Mata merupakan indera yang terpenting dalam mendeteksi cahaya dan
mengubahnya menjadi impuls elektro-kimia pada sel syaraf. Mata terdiri dari
kornea, aqueous humor, lensa, badan vitreous. Pada mata terdapat bagian yang
berpigmen yaitu uvea bagian iris. Kornea adalah lapisan jaringan yang tembus
cahaya. Kornea memiliki bebrapa lapisan yaitu epitel,membran bowman, stroma ,
membran descemet dan endotel. Lensa merupakan jaringan ektoderm yang
terletak di belakang iris. Kelopak mata memiliki peranan penting dan apabila
kondisi kelopak abnormal umumnya membutuhkan tindakan operasi. Kelopak
mata terdiri dari kulit, otot, jaringan ikat dan glandula. Beberapa ras anjing
memiliki variasi ukuran dan bentuk kelopak mata yang berbeda, pada kucing
umumnya hampir sama. Bagian tarsal plate terdiri dari lapisan tipis jaringan ikat
kolagen yang berfungsi sebagai tempat menyatunya otot dibawah kulit, terdapat
pula glandula tarsal. Muskulus pada kelopak mata terdiri dari muskulus levator
palpabrae superior dan muskulus mueller yang berfungsi agar mata terbuka.

264
Gambar 4.1 Anatomi mata
Entropion adalah suatu kondisi dimana kelopak mata bergulir ke dalam
dari semua atau sebagian dan dapat mempengaruhi mana saja dari satu sampai
semua empat kelopak mata. Akibat dari kelopak mata yang inverse adalah rambut
dari kulit kelopak mata bergesekan pada permukaan kornea dan konjungtiva.
Pada kasus yang cukup berat, pasien akan dapat mengalami cedera yang cukup
serius dan rasa sakit pada bagian mata. Kebanyakan dari kasus entropion
disebabkan oleh karena faktor genetik, dimana genetik tertentu membuat
konformasi kepala dan wajah hewan menjadi salah satu predisposisi terjadinya
entropion. Sering kali kasus entropion terjadi pada hewan berumur 6 bulan, pada
anjing biasanya terjadi pada umur 1 tahun.
Entropion pada umumnya dibagi menjadi beberapa jenis yaitu:
a. entropion primer, pada entropion primer disebabkan oleh faktor keturunan,
b. pada entropion sekunder biasanya disebabkan oleh trauma, inflamasi
kronis dan penyakit mata lainnya. Pada kucing, entropion seringkali
disebabkan oleh infeksi virus herpes yang bersifat kronis maupun yang
telah parah.
c. Involutional entropion : sering kali terjadi pada kelopak mata bagian
bawah, dimana hal ini disebabkan oleh karena adanya kelebihan bagian
preseptal dari m.orbicularis oculi terhadap bagian pretarsal
d. Cicatricial : adanya fibrosis pada palpebral conjunctiva yang disebabkan
oleh tracoma, bahan kimia, diphteria
Penanganan kasus entropion ditangani dengan melakukan pembedahan
untuk memperbaiki kondisi tersebut. Ada beberapa metode yang biasanya

265
digunakan untuk penanganan kasus entropion antara lain adalah metode wheeler,
holtz-celcus procedure, wedge resection, arrowhead procedure, dan medial
canthalopsy.

A B
Gambar 4.2 Mata yang mengalami entropion A pada anjing B pada kucing

Gambar 4.3 Entropion


1. Metode Wheeler
Prinsip operasi metode Wheeler adalah membuat pendek M-Orbicularis
oculi dengan cara memotong dan menyambungnya kembali dengan posisi
tumpang tindih dan memindahkan letak muskulus sedikit ke ventral dari aslinya.
Metode wheeler sangat jarang sekali digunakan untuk operasi pada entropion, hal
ini dikarenakan metode ini memiliki beberapa kekurangan, antara lain teknik dan
prosedur yang cukup sulit, pemotongan m.orbicularis oculi yang sering kali
kurang tepat dapat menyebabkan abnormalitas konformasi daerah mata dan
Memerlukan waktu yang cukup lama dan ketelitian tinggi. Berikut adalah

266
langkah-langkah yang dilakukan penggunaan metode Wheelers pada operasi
entropion :
1. Pasien ditidurkan dengan posisi tengkurap
2. Berikan anastesi local
3. Pasang entropion clamp pada kelopak mata

4. Sebuah sayatan kulit melintang dibuat 2mm bawah lipatan kelopak mata,
hingga 2/3

5. Setelah itu maka m.orbicularis oculi akan terlihat, dan bedah hingga ke
batas lipatan

6. Taruh tarsal plate dibawah m.orbicularis oculi

7. Buat strip otot kurang lebih 5mm dari batas superior

267
8. Kemudian potong m.orbicularis oculi tepat ditengah setelah
memasukkan 2 benang vykril berukuran 4/0

9. Kedua ujungnya ditarik terpisah untuk mengekspos tarsal plate

10. Kemudian jahit tarsal plate dari ujung ke ujung dengan 2 potong
benang vykril berukuran 4/0

11. M.orbicularis oculi kemudian diikat menjadi satu dengan posisi


tumpang tindih, apabila ada kelebihan sedikit maka dapat dilakukan
pemotongan.

268
12. Batas dari m.orbicularis yang tadi dibuat tumpang tindih kemudian
ditautkan atau dilabuhkan pada tarsal plate dengan jahitan yang sama

13. Kemudian kulit dijahit dengan benang silk yang ukurannya


disesuaikan dengan jenis hewannya.

2. Kombinasi dari Metode Hotz (Cara Ortodoks)


Persiapan operasi :
Dilakukan restrain yang baik pada hewan, diletakkan pada posisi ventral
recumbency atau berdiri. Anestesi yang dapat digunakan adalah anestesi umum
atau anestesi lokal menggunakan solusio procain HCl 2% yang dikombinasikan
dengan premedikasi sedative. Kulit pada tepi palpebrae dibersihkan dan
didesinfeksi. Peralatan yang digunakan berupa pinset, scalpel, gunting, jarum jahit
berpenampang segitiga berikut benang jahit yang non-absorable.
Teknik operasi
Pada Kucing
1. Kasus entropian pada kucing, premedikasi yang digunakan adalah
Acepromazine 0,0125 mg / kg, metadon 0,2 mg. Anestesi diinduksi dengan
Propofol 6 mg / kg dan dipertahankan dengan oksigen dan isofluorane.
2. Operasi dilakukan dengan cara membuat sebuah sayatan awal yang
dilakukan sepanjang 2 mm sejajar dengan marjin tutup, membentang
sepanjang daerah entropion kemudian ditambah 2-3 mm pada kedua sisi.
3. Sebuah sayatan kulit lengkung kedua dibuat ventral dengan yang pertama,
biasanya 2-3 mm terpisah , tetapi tergantung pada sejauh mana entropion
tersebut.
4. Kulit intervensi itu dipotong dengan kedalaman sampai mengenai otot
orbicularis oculi.

269
5. Luka ditutup dengan 5 / 0 ( 1 metrik ) polygalactin 910 dalam pola
sederhana, pertama menempatkan jahitan pusat, kemudian mengisi sisa
sayatan dengan membagi dua jahitan.
Keuntungan Metode Hotz adalah mudah dikerjakan, tetapi kelemahannya adalah
pemotongan kulit yang terlalu lebar sehingga operasi kurang steril dan dapat
menimbulkan kelopak mata tertarik keluar secara berlebihan yang menyebabkan
ectropion.

Pasca Operasi
Setelah operasi selesai, dapat diberikan salep antibiotik untuk mata
(misalnya tetrasiklin 1%, chlorampenicol 1%, nebacatin 1% dan lain-lain) dan
anestesi lokal coccain 2% selama beberapa hari.Jahitan dibuka setelah 7-10 hari
pasca operasi. Hewan juga harus diberikan elizabeth colar untuk mencegah
hewan menggaruk luka operasi pada matanya

Berikut berbagai macam modifikasi operasi metode Hotz


a. Modifikasi pertama adalah dengan menggunakan forcep hemostatik
1. Kulit yang akan dipotong dijepit menggunakan forcep Halsted atau Crile.
2. Posisikan forcep dengan melepas-pasang jepitan hingga mendapatkan
ukuran yang sesuai untuk dipotong.
3. Setelah mendapat posisi yang sesuai, jepit forcep dengan erat selama 30
detik, lalu lepaskan.
4. Pola jepitan yang terbentuk lalu dipotong dengan gunting.
5. Sangat penting untuk memotong semua jaringan yang terkena jepitan
forcep untuk mencegah trauma atau luka parut pasca operasi.

270
Gambar 4.4 Modifikasi metode Hotz

Teknik operasi Celsus untuk entropion. A. penampakan preoperative dari


entropion. B. kelebihan kulit dilipat dan dijepit dengan forcep hemostatik. C.
aturlah letak sepasang forcep sesuai yang diinginkan untuk membentuk pola.
D. forcep dilepaskan setelah 30 detik. E. potonglah pola yang telah terbentuk
dimulai dari chantus lateral. F. terlihat area yang telah terpotong tanpa melukai
otot orbikularis. G. insisi dijahit dengan pola jahitan simple interrupted dengan
benang 5-0 nonabsorbable monofilament, jarak sekitar 3 mm. Jahitan jangan
terlalu dekat, karena dapt menyebabkan pembengkakan pasca operasi yang
dapat merusak jaringan.

b. Pada modifikasi kedua, yaitu metode insisi.


1. Pertama gunakan spatula Jaeger dibawah kelopak mata untuk
mempertahankan posisi selama insisi dilakukan. Insisi pertama letaknya
sekitar 2 mm dari tepi kelopak.

271
2. Ukuran dan bentuk kecacatan entropion mempengaruhi ukuran dan bentuk
area kulit yang akan dipotong.
3. Umumnya insisi berbentuk seperti bulan sabit. Walaupun dianjurkan agar
otot orbicularis dipotong yang sering dilakukan pada entropion parah, akan
tetapi hal ini dapat mengakibatkan trauma.
4. Kemudian kulit dijahit menggunakan 5-0 sampai 6-0 nylon dengan pola
interrupted. Jahitan berjarak sekitar 2-3 mm tegak lurus dari tepi kelopak
mata dengan simpul menjauh dari kornea.

Gambar 4.5 Teknik operasi metode Hotz dengan insisi

Dengan teknik ini, kemungkinan kecil terjadi overcorrection karena


pembengkakan dan luka umumnya lebih cepat sembuh. Terapi pasca operasi dapat
dilakukan dengan memberikan antibiotic topikal atau tetes mata, collar untuk
menghindari self-trauma, dan analgesik. Kegagalan dalam teknik ini umumnya
diakibatkan karena insisi terlalu jauh dari tepi kelopak mata dan jarak antar jahitan
terlalu jauh.
Bedah entropion Hotz-Celsus. A. gunakan Jaeger untuk menstabilkan kelopak
mata sebelum insisi dilakukan. Insisi kira-kira sepanjang 2-3 mm di bawah tepi
kelopak dan iris secara hati-hati. B-D. gunakan benang monofilament non-
absorbable. Jahitan pertama dilakukan seperti pada gambar hingga membagi luka
272
insisi menjadi tiga bagian. Selanjutnya jahit hingga menutup luka insisi.

c. Modifikasi ketiga umumnya dilakukan pada anjing brachycephalic,


ketika lipatan di sekitar hidung mengiritasi kornea.

Gambar 4.6 Metode operasi pada anjing brachycephalic


Pemotongan lipatan kulit daerah hidung. A. penampakan lateral dari lipatan kulit
daerah hidung. B. pemotongan sebagian lipatan kulit dengan mengguanakn
gunting melengkung. C. bagian lipatan yang tidak terpotong lalu dijahit
menggunakan 5-0 monofilament non-absorbable. D-F. pemotongan secara total
dari kulit daerah hidung.

d. Metode modifikasi Hotz-celsus

273
Gambar 4.7 Metode operasi Hotz-celsus

Prosedur modifikasi dari Hotz celsus dilakukan ketika canthus lateral terbalik A.
Buat bentukan V pada canthus lateral , B tempatkan jahitan horizontal dari fascia
bagian dalam menembus ligamentum orbital sampai fascia kulit, C mulai menutup
kulit dengan cara mengikat bagian tengah insisi dan buat jahitan dengan jarak 2-3
mm
e. Operasi entropion cicatrical

Koreksi dari Y-V untuk entropion cicatrical. A buat insisi bentuk Y dengan lengan
pada Y memanjang pada bagian eyelid. Menggunakan traksi dengan skin flap
sampai jarak eyelid ke posisi normal untuk menentukan panjang dari insisi Y
stem. B lakukan flaping dan menghilangkan jaringan mati C jahit pada titik
flaping pada bagian insisi paling bawah. D fiksasi sisa dari insisi

274
Gambar 4.8 Metode operasi pada entropion cicatric
3. Metode Eyelid Tacking
Jika entropion masih terjadi maka dilakukan tindakan operasi menggunakan
jahitan sementara pengangkatan kelopak mata. Tindakan operasi tersebut
memerlukan anestesi general. Jahitan dengan menggunakan benang
monofilamentnon absorbable seperti 3-0 atau 4-0 polyester atau nylon.

Gambar 4.9 Teknik Jahitan


Menggunakan jahitan lambert pada neonatus sampai ke jarak evert sementara
eyelid. Jarak lubang pertama 5 mm dan dimulai 3 mm dari jarak bagian dalam
eyelid. Posisi lubang kedua 5 mm melewati tepi orbital, melubangi bagian dalam
fascia orbital. Ikat jahitan, sampai balik alur kulit. Teteskan beberapa lem operasi

275
pada alur kulit untuk meminimalisasi tensi jahitan dan membantu
mempertahankan posisinya apabila pasien menggaruk mata.

Gambar 4.10 A metode tacking, B. Pasca operasi


4. Permanen lateral tarsorrhaphy

Gambar 4.8 Metode operasi Lateral tarsorrhaphy


A Insisi bagian tepi atas dan tepi bawah kelopak mata pada canthus lateral,
hilangkan bentuk V pada kulit. B Jahit intradermal atau subcutan untuk
meluruskan sudut pada kulit. C dan D jahit kulit untuk menjamin kelurusan
tepi kelopak dan potongan kulit

BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
276
Kebanyakan kasus entropion terjadi karena pengenduran jaringan kelopak
mata sebagai akibat proses penuaan. Beberapa kasus terjadi karena
pembentukan jaringan parut pada permukaan dalam kelopak mata akibat luka
bakar kimia dan panas, peradangan atau reaksi alergi. Kadang entropion
merupakan bawaan lahir karena kelopak mata tidak terbentuk secara sempurna.
Entropion terbagi menjadi beberapa jenis yaitu entropion primer, entropion
sekunder, invulotional entropion, dan Cicatricial. Penanganan dari kasus
entropion ini adalah dengan tindakan operasi

DAFTAR PUSTAKA

Douglas Slatter. 2003. TextBook of Small Animal Surgery. Saunders-Elsevier

277
Douglas Slatter.2008. Fundamentals of Veterinary Opthalmology Fourth
Edition. Saunders-Elsevier

Fossum. 2012. Small Animal Surgery 4th Edition.Elsevier

Olali C. 2010. Involutional Lower Eyelid Entropion: Combined Wheeler’s and


Wedge Resection of Tarsal Plate. West Africans Journal of Medicine.

ROTASI INTERNA HEWAN KECIL


Yang dilakukan di
KLINIK HEWAN PENDIDIKAN FKH UB
OVARYOHYSTERECTOMY KUCING

278
Oleh:
YESY VITA ADETYARA, S.KH
150130100111024

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN


PROGRAM KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2016

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Organ reproduksi yang telah berfungsi secara optimal akan menghasilkan
anakan apabila terjadi kopulasi dengan pejantan. Organ-organ reproduksi
sekunder atau saluran reproduksi terdiri dari tuba Fallopii (oviduct), uterus,
cervix, vagina dan vulva. Populasi hewan yang semakin meningkat menyebabkan
masalah tersendiri bagi kesehatan manusia, terutama hewan kecil seperti anjing
279
dan kucing karena hewan-hewan tersebut dapat menularkan dan membawa
berbagai agen penyakit.
Guna mencegah peningkatan populasi kucing dapat dilakukan dengan
tindakan sterilisasi pada kucing. Salah satu solusi untuk memecahkan
permasalahan di atas adalah melakukan tindakan sterilisasi baik pada jantan
maupun betina. Sterilisasi merupakan tindakan pembedahan untuk mengangkat
atau menghilangkan ovarium dan uterus yang dinamakan sebagai
ovariohysterectomy. Sterilisasi pada hewan betina dapat dilakukan dengan hanya
mengangkat ovariumnya saja (ovariectomy) atau mengangkat ovarium beserta
dengan uterusnya (ovariohisterectomy). Ovariohisterctomy dapat juga dilakukan
untuk terapi pengobatan pada kasus-kasus reproduksi seperti pyometra,
endometritis, tumor uterus, cyste, hiperplasia dan neoplasia kelenjar mamae.
Efek yang muncul dari dilakukannya ovariohisterektomi adalah akan
munculnya kondisi ketidak seimbangan hormonal untuk sementara waktu. Hal
tersebut dapat terjadi dikarenakan ovarium merupakan kelenjar yang juga
berfungsi sebagai kelenjar endokrin. Namun, keuntungan dari dilakukannya
ovariohisterktomi adalah dapat mencegah terjadinya tumor mamae dan akan
menghilangkan kemungkinan terjadinya kasus pyometra.

1.2 Tujuan
Adapun tujuan dari praktikum ini adalah:
a) Untuk mengetahui pengertian Ovariohisterectomy (OH).
b) Untuk mengetahui persiapan dan penggunaan obat anastesi yang tepat.
c) Untuk mengetahui teknik bedah Ovariohisterectomy (OH).
d) Untuk mengetahui keuntungan dan kerugian dilakukan
Ovariohisterectomy (OH)

280
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ovariohisterektomi
Ovariohisterectomy merupakan tindakan pembedahan untuk pengangkatan
atau pembuangan ovarium dan uterus sekaligus. Operasi ini dilakukan untuk
mensterilkan hewan betina dengan maksud menghilangkan fase estrus atau
untuk terapi penyakit yang terdapat pada uterus, seperti resiko tumor
ovarium, serivks, dan uterus. Keputusan untuk melakukan ovariohisterektomi

281
dipilih ketika berbagai jenis terapi lain sudah tidak memungkinkan. Indikasi
ovariohisterectomy (OH) yaitu sterilisasi, penyembuhan penyakit saluran
reproduksi (pyometra, tumor ovary, cysteovary) tumor uterus (leiomyoma,
fibroma, fibroleiomyoma), tumor mammae, veneric sarcoma, prolapsus uterus dan
vagina, hernia inguinalis, modifikasi tingkah laku agar mudah dikendalikan, lebih
jinak, membatasi jumlah populasi ( Komang WS 2011). Selain itu, tindakan
operasi ini juga dianjurkan dilakukan pada kucing betina yang sudah tua yang
tidak ingin dikawinkan lagi dengan tujuan untuk mencegah terjadinya tumor
kelenjar mamae. Efek yang muncul dari dilakukannya ovariohisterektomi adalah
akan munculnya kondisi ketidakseimbangan hormonal untuk sementara waktu.
Hal tersebut dapat terjadi dikarenakan ovarium merupakan kelenjar yang juga
berfungsi sebagai kelenjar endokrin. Namun, keuntungan dari dilakukannya
ovariohisterktomi adalah dapat mencegah terjadinya tumor mamae dan akan
menghilangkan kemungkinan terjadinya kasus pyometra.
Tindakan operasi yang dilakukan tanpa memperhatikan prosedur dan
kebersihan maka secara tidak sengaja akan menimbulkan berbagai hal diantaranya
terjadi komplikasi akibat perdarahan karena pembuluh darah ovarium yang
rupture ketika ligamentum suspensorium ditarik, terjadinya Ovariant remnant
syndrome sehingga dapat menyebabkan hewan tetap estrus pasca
ovariohysterectomy karena pengambilan ovarium pada saat operasi yang tidak
sempurna, uterine stump pyometra, inflamasi dan granuloma, fistula pada traktus
reproduksi terjadi karena berkembang dari adanya respon inflamasi terhadap
material operasi (benang), urinary incontinence menyebabkan tidak dapat
mengatur spincter vesica urinary karena adanya perlekatan (adhesi) atau
granuloma pangkal uterus (sisa) yang mengganggu fungsi spincter vesica urinary
(Noviana D et al. 2011).
Teknik Ovariohisterectomy dibagi menjadi dua, yaitu teknik
ovariohisterectomy laparotomi dan teknik ovariohisterectomy flank. Teknik
ovariohisterectomy laparotomi yaitu penyayatan kulit dilakukan pada bagian
caudal umbilikal (Fossum, 2007). Menurut Kiani, et al. (2014), teknik
ovariohisterectomy laparotomi lebih sering dilakukan karena efisiensi waktu,
proses kesembuhan yang lebih cepat, dan saat pembedahan lebih mudah

282
menemukan uterus dibandingkan dengan teknik ovariohisterectomy flank. Teknik
ovariohisterectomy flank atau teknik bilateral yaitu penyayatan kulit dilakukan di
bagian flank.

2.2 Anatomi Reproduksi Betina


Anatomi dari organ genital betina meliputi ovarium, uterus, servik, vagina
dan vulva. Secara anatomis organ genital betina terletak didalam rongga abdomen
tetapi organ vagina terletak didalam rongga pelvis.

Gambar 2.2 Anatomi reproduksi kucing betina


Uterus terdiri dari tanduk uterus, badan uterus dan leher uterus (serviks).
Corpus uteri memiliki posisis intrabdominal yang akan berlanjut menjadi dua
kornua yang terletak dilantai abddomen yakni di kedua sisi linea alba.
Ligamentum suspensorium yang arahnya craniodorsal dari ovarium menautkan
ovarium dengan dinding tubuh. uterus menerima suplai darah dari arteri uterina
dexters dan sinister. Corpus uteri yang terletak berdekatan dengan oviduct
divaskularisasi dari cabang arteri ovarium, sementara bagian sisanya
divaskularisai dari canal arteri vaginal. Arteri uterina hanya memberikan suplai
darah pada organ uterus. Ovarium tersusun oleh bagian bagian medula yang
terletak di dalam dan korteks yang terletak diluamya. Komposisi bagian medula
yaitu jaringan ikat fibroelastik, jaringan syaraf dan pembuluh darah yang
berhubungan dengan ligamentum mesovarium melalui hilus. Bagian korteks berisi
folikel-folikel, corpus luteum, stroma, pembuluh darah, pembuluh limfe, dan

283
serabut otot polos. Di bagian paling luar, ovarium dikelilingi oleh epitel germinal
dan terbungkus oleh tunica albuginea (Bencharif, 2010).
Ligamentum utama dari ovarium menautkan ovarium dengan uterus. Arteri
dan vena pada ovarium sangat rapuh dan mudah pecah.Tertetak pada bagian
dorsal dari ovarium. Vaskularisai arteri ovarium berasal dari aorta sedangkan vena
pada ovarium kiri akan mengalir menuju vena ginjal kiri dan kanan yang akan
bermuara pada vena kava kaudal. Setiap ovarium melekat pada ligamentum yang
berada pada kornua uteri dan bergabung dengan ligamentum suspensorium.
Mesoovarium atau pedikel ovarium termasuk ke dalam ligamentum suspensorium
dengan vaskularisai berasal dari vena dan arteri ovarica dan sejumlah lemak dan
jaringan ikat yang menutupinya.

2.3 Premedikasi
Obat-obatan preanastesik yang disebut juga dengan premedikasi
digunakan untuk mempersiapkan pasien sebelum pemberian obat anastesi baik itu
anastesi lokal, regional maupun umum. Manfaat pemberian premedikasi adalah
untuk membuat hewan menjadi lebih tenang dan terkendali, mengurangi dosis
anastesi, mengurangi efek-efek otonomik yang tidak diinginkan seperti saliva
yang berlebihan, mengurangi efek-efek samping yang tidak diinginkan seperti
vomit, dan mengurangi rasa nyeri preoperasi. Agen anastesi digolongkan menjadi
4 yaitu: antikolinergik, morfin serta derivatnya, transquilizer, dan
neuroleptanalgesik. Sementara menurut Sardjana dan Kusumawati (2004), obat-
obat yang digunakan anastesi premidikasi meliputi antikolinergik. Analgesik,
neuroleptanalgesik, transquilizer, obat dissodiatif dan barbiturate. Obat-obatan
premedikasi diberikan maksimal 10 menit atau kurang lebih setengah sampai satu
jam sebelum pemberian anestesi umum atau anestesi lokal. Obat-obatan tersebut
disuntikkan secara intramuskular, subkutan, dan bahkan intramuskular. Menurut
Sardjana dan Kusumawati (2004) pada umumnya obat-obat preanastesi bersifat
sinergis terhadap anastetik namun penggunaanya harus disesuaikan dengan umur,
kondisi dan temperamen hewan, ada atau tidaknya rasa nyeri, teknik anastesi yang
dipakai, adanya antisipasi komplikasi, dan lainnya.

1. Atropin Sulfat

284
Atropin merupakan agen preanestesi yang digolongkan sebagai
antikolinergik atau parasimpatolitik. Atropin sebagai prototip antimuskarinik
mempunyai kerja menghambat efek asetilkolin pada syaraf postganglionik
kolinergik dan otot polos. Hambatan ini bersifat reversible dan dapat diatasi
dengan pemberian asetilkolin dalam jumlah berlebihan atau pemberian
antikolinesterase (Ganiswarna, 2001). Atropin berfungsi utama mengurangi
sekresi kelenjar saliva terutama bila dipakai obat anestetik yang menimbulkan
hipersekresi kelenjar saliva.
Atropin sebagai premedikasi diberikan pada kisaran dosis 0.02-0.04
mg/kg, yang diberikan baik secara subkutan, intra vena maupun intramuskuler
(Plumb,1998), sedangkan menurut Rossof (1994), atropin sebagai premedikasi
diberikan dosis 0,03-0,06 mg/kg. Pada dosis normal, atropin dapat mencegah
bradikardia dan sekresi berlebih saliva serta mengurangi motilitas gastrointestinal.
Atropin dapat menimbulkan efek, misalnya pada susunan syaraf pusat,
merangsang medulla oblongata, dan pusat lain di otak, menghilangkan tremor,
perangsangan respirasi akibat dilatasi bronkus, pada dosis yang besar
menyebabkan depresi nafas, eksitasi, halusinasi dan lebih lanjut dapat
menimbulkan depresi dan paralisa medulla oblongata. Efek atropin pada mata
menyebabkan midriasis dan siklopegia.
Pada saluran nafas, atropin dapat mengurangi sekresi hidung, mulut, dan
bronkus. Efek atropin pada sistem kardiovaskuler (jantung) bersifat bifasik yaitu
atropin tidak mempengaruhi pembuluh darah maupun tekanan darah secara
langsung dan menghambat vasodilatasi oleh asetilkolin. Pada saluran pencernaan,
atropin sebagai antispasmodik yaitu menghambat peristaltik usus dan lambung,
sedangkan pada otot polos atropin mendilatasi pada saluran perkencingan
sehingga menyebabkan retensi urin (Ganiswarna, 2001).

2.4. Anestesi
Pada operasi-operasi daerah tertentu seperti abdomen, maka selain
hilangnya rasa sakit dan kesadaran, dibutuhkan juga relaksasi otot yang optimal
agar operasi dapat berjalan dengan lancar (Ibrahim, 2000). Anestesi umum

285
diperlukan untuk pembedahan karena dapat menyebabkan penderita mengalami
analgesia, amnesia, dan tidak sadarkan diri sedangkan otot-otot mengalami
relaksasi dan penekanan reflek yang tidak dikehendaki (Mycek, 2001). Hampir
semua obat anestetik menghambat aktivitas sistem saraf pusat secara bertahap
diawali fungsi yang kompleks yang dihambat dan yang paling akhir dihambat
adalah medula Oblongata dimana terletak pusat vasomotor dan pusat respirasi
yang vital.
Depresi umum pada sistem saraf pusat tersebut akan menimbulkan
hipnosis, analgesi, dan depresi pada aktivitas refleks. Obat anestesi umum yang
ideal menurut Norsworhy (1993) mempunyai sifat-sifat antara lain: pada dosis
yang aman mempunyai analgesik relaksasi otot yang cukup, cara pemberian
mudah, mulai kerja obat yang cepat dan tidak mempunyai efek samping yang
merugikan. Selain itu, obat tersebut harus tidak toksik, mudah dinetralkan,
mempunyai batas keamanan yang luas, tidak dipengaruhi oleh variasi umur dan
kondisi hewan. Induksi anastesi pada anjing menggunakan kombinasi xylazine
dan ketamin. Setelah sebelumnya diijeksikan premedikasi berupa atropin sulfat.
Pemberian premedikasi sebelum induksi anastesi diberikan dengan tujuan
mengurangi jumlah anastesi yang diperlukan dan meningkatkan batas keamanan
dengan mengurangi efek negatif dari anestesi seperti mengurangi timbulnya
hipersalivasi, bradycardia, muntah sebelum dan sesudah operasi, kecemasan,
memperlancar induksi.

1. Ketamin
Ketamin adalah larutan yang tidak berwarna, stabil pada suhu kamar dan
relative aman dengan kerja singkat. Sifat analgesiknya sangat kuat untuk sistem
somatik tetapi lemah untuk sistem visceral, tidak menyebabkan relaksasi otot lurik
bahkan kadang-kadang tonusnya sedikit meninggi. Ketamin dengan pemberian
tunggal bukan anestetik yang bagus. Ketamin dapat dipakai oleh hampir semua
spesies hewan. Ketamin bersama xylazine dapat dipakai untuk anastesi pada
kucing. Ketamin dengan pemberian tunggal bukan anastetik yang bagus (Sardjana
dan Kusumawati, 2004).

286
Menurut Slatter (2003), penggunaan ketamin mempunyai keuntungan dan
kerugian. Keuntungan penggunaan ketamin, yaitu; (1) dalam pengaplikasianya
ketamin sangat mudah, (2) menyebabkan pendepresan kardiovaskuler dan
respirasi minimal, (3) dapat digunakan dalam situasi darurat dimana hewan belum
dipuasakan, karena refleks faring tetap ada, (4) induksi cepat dan tenang, dan (5)
dapat dikombinasikan dengan agen preanestesi atau anestesi lainnya. Kerugian
dari penggunaan ketamin adalah (1) menyebabkan relaksasi otot tidak maksimal
bila penggunaannya secara tunggal, (2) respon yang bervariasi pada beberapa
pasien, (3) dapat menyebabkan hipotermia, (4) dapat menyebabkan kekejangan
ektremitas, (5) menyebabkan konvulsi pada beberapa pasien, dan (6) recovery
yang lama.

2. Xylazine
Xylazine merupakan senyawa sedatif golongan α2 adrenergik agonis yang
bekerja dengan cara mengaktifkan central α2–adrenoreceptor. Xylazin dapat
menyebabkan penekanan sistem saraf pusat diawali dengan sedasi. Xylazine
dengan dosis yang lebih tinggi digunakan untuk hipnotis, sehingga akhirnya
hewan menjadi tidak sadar dan teranestesi (Zulfadli, 2005). Kombinasi yang
paling sering digunakan untuk ketamin adalah xylazine. Kedua obat ini
merupakan agen kombinasi yang saling melengkapi antara efek analgesik dan
relaksasi otot, ketamin memberikan efek analgesik sedangkan xylazine
menyebabkan relaksasi otot yang baik. Xylazine bekerja pada reseptor
presinapsis dan pos-sinapsis dari sistem saraf pusat dan perifer sebagai
agonis adrenergik. Penggunaan xylazine dapat mengurangi sekresi saliva dan
peningkatan tekanan darah yang diakibatkan oleh penggunaan ketamin.
Penggunaan kombinasi ketamin xylazine sebagai anestesi umum juga mempunyai
banyak keuntungan, antara lain : mudah dalam pemberian, ekonomis, induksinya
cepat begitu pula dengan pemulihannya, mempunyai pengaruh relaksasi yang baik
dan jarang menimbulkan komplikasi klinis (Yudaniayanti dkk, 2010).

287
BAB III
MATERI DAN METODE
3.1 Tempat Dan Waktu
Kegiatan bedah operasi ovariohysterectomy pada saat rotasi bedah dan
radiologi yang diselenggarakan di Klinik Hewan Pendidikan FKH UB pada
tanggal 15 Juni 2016.
3.2 Persiapan Preoperasi
3.2.1 Alat dan bahan
Gunting (tumpul runcing, bengkok, gunting benang), pinset anatomis

288
dan chirurgis, scalpel handle, blade, towel clamp, needle holder, needle
(cutting dan taper point), alice forcep, kocher clamp (arterial clamp lurus
dan bengkok), benang catgut chromic 3-0 dan silk, kateter intravena, kain
drape, tampon steril, perlengkapan alat bedah steril (surgical dress, cap,
gloves, masker), syringe, hypafix sedangkan bahan yang dipergunakan dalam
tindakan operasi ialah Larutan desinfektan ( alkohol 70% dan iodine), cairan
infus NS , xylazine, ketamine, Atropin sulfat, Epinefrine, cefrtiaxone Flush
antibiotik ceftriaxone , Cairan NS.
Perhitungan dosis
1. Atropine Sulfat = dosis/kg BB x BB
Konsentrasi (mg/ml)
= 0,05 mg/kg x 2,5 kg
0,25 mg/ml
= 0,5 ml
2. Ketamin 10% = dosis/kg BB x BB
konsentrasi (mg/ml)
= 10 mg/kg x 2,5 kg
100 mg/ml
= 0,25 ml
3. Xylazine 2% = dosis/kg BB x BB
Konsentrasi (mg/ml)
= 1 mg/kg x 2,5 kg
20 mg/ml
= 0,125 ml
4. Asam tolfenamid = dosis/kg BB x BB
Konsentrasi (mg/ml)
= 4 mg/kg x 2,5 kg
80 mg/ml
= 0,125 ml
5. Ceftriaxone = dosis/kg BB x BB
Konsentrasi (mg/ml)
= 10 mg/kg x 2,5 kg
100 mg/ml

289
= 0,25 ml
3.2 Metode
Beberapa langkah yang perlu ditempuh dalam melaksanakan operasi
ovariohisterektomi diantaranya adalah laparotomi; pencarian dan preparasi
ovarium dan uterus; penjepitan, pengikatan, pemotongan, dan penggantung
ovarium dan uterus; serta penjahitan peritoneum dan kulit. Salah satu jenis teknik
laparotomi yang sering digunakan adalah laparotomi medianus dengan titik
orientasi sekitar 1 cm sebelah posterior umbilikal. Sayatan dibuat pada midline di
posterior umbilikal dengan panjang kurang lebih 4 cm. Lapisan pertama yang
disayat adalah kulit kemudian subkutan. Daerah di bawah subkutan kemudian
dipreparir sedikti hingga bagian peritoneum dapat terlihat. Setelah itu, bagian
peritoneum tersebut dijepit menggunakan pinset kemudian disayat sedikit tepat
pada bagian linea alba menggunakan scalpel hingga ruang abdomen terlihat.
Kemudian, sayatan tersebut diperpanjang ke arah anterior dan posterior
menggunakan gunting dengan panjang sesuai dengan sayatan yang telah
dilakukan pada kulit. Setelah rongga abdomen terbuka, kemudian dilakukan
pencarian organ uterus dan ovarium. Pencarian uterus dan ovarium dilakukan
dengan menggunakan jari telunjuk yang dimasukkan ke rongga abdomen. Setelah
itu, uterus ditarik keluar dari rongga abdomen hingga posisinya adalah ekstra
abdominal. Pada bagian ujung tanduk uteri ditemukan oavarium dan dipreparir
hingga posisinya ekstra abdominal. Saat mempreparir, beberapa bagian yang
dipotong diantaranya adalah penggantung uterus (mesometrium), penggantung
tuba falopi (mesosalphinx),dan penggantung ovarium (mesoovarium). Pada saat
mempreparir uterus dan jaringan sekitarnya, dinding uterus tetap dijaga jangan
sampai robek atau ruptur Penjepitan, pengikatan, dan pemotongan bagian
penggantung ovarium dan corpus uteri dilakukan sebagai berikut. Dengan
menggunakan arteri clamp, dilakukan penjepitan pada bagian penggantung
ovarium dan termasuk pembuluh darahnya.
Penjepitan dilakukan menggunakan tiga arteri clamp yang dijepitkan pada
penggantung tersebut secara bersebelahan. Pada bagian anterior dari tang arteri
yang paling depan, dilakukan pengikatan menggunakan benang catgut chromic.
Setelah itu, dilakukan pemotongan pada penggantung tersebut menggunakan

290
gunting pada posisi diantara dua arteri clamp tadi. Arteri clamp yang menjepit
penggantung dan berhubungan dengan uterus tidak dilepas sedangkan tang arteri
yang satunya lagi dilepas secara perlahan-lahan. Pada bagian uterus sebelahnya
juga dilakukan penjepitan, pengikatan, dan pemotongan dengan cara yang sama.
Setelah kedua tanduk uteri beserta ovariumnya dipreparir, maka selanjutnya
adalah bagian corpus uteri yang dipreparir. Pada bagian corpus uteri, dilakukan
penjepitan menggunakan arteri clamp kemudian dilakukan penjahitan corpus uteri
menggunakan doble benang ke arah lateral. Setelah itu dilakukan pengikatan
dengan kuat melingkar pada corpus uteri menggunakan benang catgut chromic.
Setelah itu, dilakukan pemotongan menggunakan scalpel pada bagian
corpus uteri yaitu pada posisi diantara dua arteri clamp tadi. Kemudian, uterus
dan ovarium bisa diangkat keluar tubuh dan arteri clamp yang satunya lagi dapat
dilepas secara perlahan. Tahap berikutnya adalah penjahitan peritoneum dan kulit.
Sebelum dilakukan penjahitan maka dilakukan penyemprotan antibiotik terlebih
dahulu ke dalam rongga abdomen. Setelah itu dilakukan penjahitan menggunakan
cat gut pada peritoneum dengan tipe jahitan sederhana. Kemudian, dilanjutkan
dengan menjahit kulit menggunakan silk dengan tipe jahitan sederhana.
Penutupan dilakukan menggunakan kain kasa dan sebelumnya telah di tambahkan
dengan betadine. Untuk memfiksir balutan tersebut maka kemudian dipasang
gurita melingkari abdomen.

BAB IV
PEMBAHASAAN
4.1 Ovariohysterectomy
Ovariohistrektomi (OH) adalah tindakan pembedahan untuk melakukan
pembuangan/ pengangkatan sel telur (ovarium), tuba falopii dan uterus pada
hewan betina agar hewan tersebut menjadi mandul, umum dilakukan pada kasus-
kasus penyakit yang menyerang ovarium dan uterus seperti: kista ovarium,
pyometra, torsio uterus, prolaps uterus dan ruptura uterus (pencegahan agar tidak
terjadi hiperplasia vagina). OH dapat dilakukan pada anjing dan kucing yang
berumur kurang lebih 6 bulan, sebelum atau sesudah siklus esterus yang pertama

291
Manfaat OH
1. Kucing tidak akan mengalami esterus dan tidak mengalami menstruasi
2. Pada kucing selain tidak mengalami esterus juga akan menghilangkan sifat
berisik dan kebiasaan mengangkat ekor sebagai petanda ingin kawin.
3. Menurunkan resiko kemungkinan terjadinya/timbulnya tumor payudara
(Mammary adenocarcinoma).
Pada saat hewan akan dioperasi hewan dipuasakan dari makan dan minum 6 jam
sebelum operasi. Di pagi hari menjelang operasi kucing buang air kecil dan air
besar sehingga saat dikuakkan vesica urinaria tidak menutupi ovarium.
Pengosongan vesica urinaria dilakukan guna memudahkan operartor menemukan
ovarium.

4.2 Prosedur Pembedahan

Pre Operasi
Manajemen dari operasi terdiri dari persiapan operasi dan teknik operasi.
Persiapan operasi meliputi persiapan alat, bahan dan ruangan yang digunakan
untuk operasi ovariohysterectomy. Kondisi kesehatan akan berpengaruh pada saat
operasi dan pascaoperasi. Umur kucing betina yang digunakan sekitar 1 tahun
yang dirasa sudah cukup umur sehingga tidak menyulitkan saat pencarian ovarium
dan dipastikan tidak sedang bunting maupun menyusui. Apabila kucing sedang
bunting atau menyusui akan menyulitkan penanganan saat operasi karena
banyaknya pembuluh darah dan akan terjadi ketidakseimbangan secara hormonal.
Persiapan operasi hampir sama dengan persiapan operasi bedah lainnya yakni
persiapan alat bedah yang sudah disteril dan ruangan yang didesinfeksi. Preparasi
alat bedah dilakukan dengan autoclav 121oC selama 15 menit. Pelaksana operasi
memakai masker dan penutup kepala, mencuci tangan dengan sabun, memakai
baju operasi dan memakai glove. Pada hewan dilakukan cukur rambut pada
daerah yang akan dioperasi dan sekitar. Daerah yang sudah dicukur kemudian
dibersihkan dengan desinfektan alkohol 70% dan povidon iodin. Pemberian
Alkohol bertujuan membunuh bakteri gram positif dan gram negatif, termasuk
patogen yang multi drug resistant, Mycobacterium tuberculosis, virus dan jamur.
Diberikan povidon iodin untuk membunuh bakteri gram positif dan gram negatif ,
jamur/fungi, virus dan protozoa (Yunanto, 2005).

292
Pemberian infus Normal saline selama tindakan operatif bertujuan untuk
menjaga kestabilan cairan tubuh dari dehidrasi, pendarahan dan shock sewaktu
operasi berlangsung (Fossum, 2012). Hewan ditempatkan pada meja operasi dan
fiksasi serta pasang drape. Sayatan dilakukan pada garis median abdomen (linea
alba) berdasarkan pada ukuran dan besar hewan, jarak antara umbilikal dan pubis
dibagi 3 bagian. Pada kucing sayatan sebaiknya dibuat di 1/3 bagian cranial
abdomen karena ovarium kucing agak sulit dikeluarkan dibandingkan dengan
uterusnya. Jika uterus membesar atau memanjang maka sayatan lebih
diperpanjang. Pada kucing sayatan sebaiknya dilakukan pada 1/3 bagian medial
abdomen karena lebih mudah mengeluarkan ovarium dibandingkan corpus uterus.
Cornua uterus dikeluarkan (menggunakan spay hook atau jari tangan), kemudian
setelah diangkat akan ditemukan ovarium yang tertahan oleh ligamentum dan
selaput penggantungnya (mesovarium). Kumpulan ligamentum, pembuluh darah
dan mesovarium dan lemak dijepit. Penjepitan sebaiknya dilakukan dengan
menggunakan 3 buah klem terhadap secara berurutan. Benang absorbable (Catgut
chromic) digunakan sebagai pengikat kumpulan ligamentum, mesovarium dan
pembuluh darah di bawah jepitan klem pertama selanjutnya pengikatan kedua dan
ketiga dilakukan sebelum dilakukan pemotongan pada kumpulan tersebut.
1. Setelah pemotongan sebaiknya satu klem jangan dilepas sebagai orientasi
pengontrolan terjadinya perdarahan atau tidak.
2. Hal yang sama dilakukan pada ovarium berikutnya.
3. Pada corpus uterus penjepitan dilakukan di daerah dorsal serviks,
kemudian pembuluh darah (a.v uterina dextra et sinistra) sebaiknya diikat
terlebih dahulu sebelum melakukan pengikatan pada corpus uterus, setelah
2-3 kali pengikatan maka corpus uterus dipotong, permukaan bekas
sayatan pada corpus uterus bila perlu dapat dijahit.
Reposisi uterus dan omentum kedalam rongga abdomen dan lakukan flushing
dengan cairan NS sampai cairan yang dimasukkan menjadi bening, dan
dilanjutkan dengan flushing menggunakan antibiotik ceftriaxone. Penutupan
rongga abdomen dilakukan dengan menjahit lapisan peritoneum dan m. obliqous
abdominis externus dan m. abdominis externus. Penjahitan peritoneum dan
muskulus dikaitankan menjadi satu, guna memberikan kekuatan menahan isi
abdomen agar tidak keluar. Jahitan pada muskulus menggunakan jahttan terputus

293
sederhana dengan benang cat gut chromic 3-0. Jahitan dilanjutkan dengan
menutup bagian subkutan menggunakan metode intradermal dengan benang
catgut chromic 3-0 serta bagian kulit dengan menggunakan terputus sederhana
dan benang silk. Jahitan dibuat dengan rapat dan kuat untuk menghindari adanya
ruptur ataupun hernia. Luka yang telah terjahit diberikan povidone iodine dan
ditutup dengan kasa dan hypavic.

METODE OPERASI
Tabel 4.2.1 Tindakan operasi ovariohysterectomy
No. Gambar Keterangan
Sebelum dilakukan tindakan bedah
1 terlebih dahulu dilakukan premedikasi
dan anestesi pada kucing diberikan
atropin sulfat sebagai premedikasi
kemudian selisih 10 menit diberikan
anestesi ketamin dan xylazine.
Kemudian dilakukan pencukuran
rambut di daerah abdomen. Daerah
abdomen diberi desenfeksi dengan
alkohol dan iodin.
Daerah yang sudah diberi desenfeksi
kemudian di beri kain drape dan towel
clamp. Dilakukan insisi pada linea
294
alba.

Setelah di insisi pada linea alba


2 kemudian di fiksasi dan dibuka
menggunakan alice forceps.

Setelah ovarium dan uterus ditemukan


dilakukan penjepitan pada bagian
3 penggantung ovarium dan termasuk
pembuluh darahnya. Penjepitan
dilakukan menggunakan tiga arteri
clamp yang dijepitkan pada
penggantung tersebut secara
bersebelahan. Pada bagian anterior
dari arteri clamp yang paling depan,
dilakukan pengikatan menggunakan
benang catgut chromic. Setelah itu,
dilakukan pemotongan pada
penggantung posisi diantara dua arteri
clamp tadi.
4 Setelah kedua tanduk uteri beserta
ovariumnya dipreparir, dilanjutkan
bagian corpus uteri yang dipreparir.
295
Pada bagian corpus uteri, dilakukan
penjepitan menggunakan arteri clamp
kemudian dilakukan penjahitan corpus
uteri menggunakan double benang ke
arah lateral. Setelah itu dilakukan
pengikatan dengan kuat melingkar
pada corpus uteri menggunakan
benang catgut chromic. Pemotongan
uterus menggunakan blade.

5 Pemberian antibiotik ke dalam rongga


abdomen. Penjahitan menggunakan cat
gut pada peritoneum dengan tipe
jahitan sederhana. Penjahitan subcutan
dengan intradermal. Kemudian,
dilanjutkan dengan menjahit kulit
menggunakan silk dengan tipe jahitan
sederhana. Penutupan dilakukan
menggunakan kain kasa dan
sebelumnya telah di tambahkan
dengan betadine.

Post Operasi
Keadaan hewan post operatif menunjukkan terjadinya hipotermia
dikarenakan suhu berada pada kisaran 33,5 ºC sedangkan suhu normal pada
kucing 38,0-39,2 ºC. Penurunan suhu pada kucing merupakan efek samping dari
penggunaan anastesi ketamin yakni menyebabkan terjadinya penurunan suhu.
Upaya yang dilakukan untuk meningkatkan suhu yakni dilakukan penyinaran
dengan infrared . Pemberian infrared secara perlahan-lahan meningkatkan suhu
dari kucing. Hewan yang telah sadar menunjukkan tanda untuk makan dan
minum. Pencegahan terjadinya dehidrasi dilakukan dengan tetap mempertahankan
cairan infus sebagai rehidrasi cairan.

296
Gambar 4.2.1. Kondisi jahitan hari ke 6 Gambar 4.2.2. Kondisi jahitan hari ke 9

Kucing pussy tiap hari menunjukkan progress yang semakin baik dan
berespon terhadap pengobatan yang diberikan, yang ditandai dengan berkurang
kebengkakan pada luka sayatan, tidak ditemukannya adanya infeksi dan pada hari
ke 5 luka mulai kering sehingga diputuskan untuk dibuka jahitan pada hari ke 7.

Tabel 4.2.2. Perawatan dan monitoring post operasi


Tanggal Makan Minum Urinasi Feses Terapi

Pagi Sore Pagi Sore Pagi Sore Pagi Sore

15 -06- 2016 - - - - - √ - - Infus NS


Ceftriaxone 10 mg/kg
Tolfen 4 mg/kg
16 -06- 2016 √ √ √ √ √ - √ - Ceftriaxone 10 mg/kg
Tolfen 4 mg/kg
Ganti perban

297
17 --06- 2016 √ √ √ √ √ - √ - Ceftriaxone 10 mg/kg
Tolfen 4 mg/kg
Ganti perban
18 --06- 2016 √ √ √ √ √ - √ - Ceftriaxone 10 mg/kg
Tolfen 4 mg/kg
Ganti perban
19-06- 2016 √ √ √ √ √ √ √ - Ceftriaxone 10 mg/kg
Tolfen 4 mg/kg
Ganti perban
Jahitan kering
20--06- 2016 √ √ √ √ √ √ √ - Ceftriaxone 10 mg/kg
Jahitan kering
21--06- 2016 √ √ √ √ √ √ √ - Ceftriaxone 10 mg/kg
Ganti perban
Buka jahitan
22--06- 2016 √ √ √ √ √ - √ - Povidon iodin
23-06- 2016 √ √ √ √ √ - √ - Povidon iodin
24-06- 2016 √ √ √ √ √ - √ - Povidon iodin
25-06- 2016 √ √ √ √ √ - √ - Povidon iodin
26-06- 2016 √ √ √ √ √ - √ - Pulang

BAB V
KESIMPULAN

Ovariohisterektomi adalah tindakan bedah yang dilakukan untuk


mengangkat uterus dan ovariumnya sekaligus dari tubuh hewan betina. Berbagai
kasus yang memungkinkan diambilnya tindakan bedah ini diantaranya adanya
tumor atau kista pada ovarium dan pada kasus pyometra yaitu penimbunan nanah
pada uterus. Tindakan operasi ini juga dianjurkan dilakukan pada kucing betina
yang sudah tua yang tidak ingin dikawinkan lagi dengan tujuan untuk mencegah
terjadinya tumor kelenjar mamae.

298
DAFTAR PUSTAKA

I Komang W.S, Diah K. 2011. Bedah Veteriner. Pusat Penerbitan dan Percetakan
Unair: Surabaya.
I Komang W.S, Diah K. 2004. Anestesi Veteriner Jilid 1. Gadjah Mada University
Press: Yogyakarta.
I Komang W.S, Diah K. 2011. Bedah Veteriner. Pusat Penerbitan dan Percetakan
Unair: Surabaya.
Katzung BG. 2002. Farmakologi Dasar dan Klinik. Jakarta: Unair Pr.
Noviana D, Gunanti, Jelantik, Hanira NRF. 2006. Pengaruh anestesi terhadap
saturasi oksigen (SpO₂) selama operasi ovariohisterektomi kucing. J Sains
Veteriner. 24(2):267

299
M. Yusuf. 2012. Buku Ajar Ilmu Reproduksi Ternak. Universitas Hasanuddin,
fakultas peternakan : makassar
Muzarok (2012), veteriner blog ilmu bedah khusus veteriner A b "Pyometra". The
Merck Veterinary Manual. 2006.
Plumb’s DC. 2005. Veterinary Drug Handbook. Blackwell Publishing.United
States of America

Saunders. 2003. Text Book Of Small Animal Surgey.Philadelpia: The Curtis


Center Independence square west

Tilley LP dan Smith FWJ. 2000. The 5 Minute Veterinary Consult Canine and
Feline. Williams & Wilkins. USA

WahiD' WeB at Kamis, Januari 14, 2010 I Komang W.S, Diah K. 2004. Anestesi
Veteriner Jilid 1. Gadjah Mada University Press: Yogyakarta.
Yudaniayanti I.,Maulana E.,Ma’rufl A.2010. Profil Penggunaan Kombinasi
Ketamin-Xylazine Dan Ketamin Midazolam Sebagai Anestesi Umum
Terhadap Gambaran Fisiologis Tubuh Pada Kelinci Jantan.Veterinaria
medika Vol.3 No.1

Lampiran 1.
Hasil Pemeriksaan Fisik
Signalement Hewan
Nama hewan : Pussy
Jenis hewan : kucing
Ras/Breed : lokal
Warna bulu dan kulit : dua warna coklat dan hitam
Jenis kelamin : Betina
Bobot badan : 2,5 kg
Umur : ± 1 tahun
Tanda khusus : Tidak ada
Status Present :
Keadaan Umum
Perawatan : Sedang
Habitus/tingkah laku : Jinak
Gizi : Baik
Pertumbuhan badan : Baik
300
Sikap berdiri : Tegak pada empat kaki
Suhu : 38,9oC
Frekuensi nafas : 28 kali/menit
Frekuensi jantung : 120 kali/menit

Adaptasi Lingkungan :
Kulit dan Rambut
Aspek rambut : Cerah, tidak kusam
Kerontokan : Ada
Kebotakan : Tidak ada
Turgor Kulit : Baik < 2 detik
Permukaan Kulit : Bersih dan rata

Kepala dan Leher


Inspeksi
Ekspresi wajah : Segar, ceria
Pertulangan wajah : Tegas dan simetris
Posisi tegak telinga : Tegak pada keduanya
Posisi kepala : Tegak diatas bahu

Palpasi
Mata dan orbita kiri dan kanan
Palpebrae : Membuka dan menutup sempurna
Cilia : Melengkung keluar sempurna
Conjuctiva : Cerah permukaan rata
Membrana nikitans : Tersembunyi tidak terlihat

Bola mata kanan dan kiri


Sclera : Putih
Cornea : Bening, permukaan licin
Iris : Hitam
Pupil : Baik
Refleks pupil : Ada
Vasa injectio : Ada

Hidung dan sinus – sinus


Bentuk : Simetris
Aliran udara : Bebas keduanya

Mulut dan rongga mulut


Defek bibir : tidak ada defek
Mukosa mulut : Rose, licin, basah dan tidak ada kerusakan

Telinga
Posisi : Tegak keduanya
Bau : Khas serumen
301
Permukaan daun telinga : Rata
Krepitasi : Tidak ada
Refleks panggilan : Ada

Leher
Perototan Leher : Kompak
Trachea : Teraba
Esophagus : Teraba, kosong

Sistem Pertahanan
Ln Retropharyngealis : Tidak teraba
Ln Prascapularis : Tidak teraba
Ln Axillaris : Tidak teraba
Ln Popliteus : Tidak teraba

Sistem Peredaran Darah


Inspeksi
Ictus cordis : Tidak ada
Auskultasi
Frekuensi : 120 kali/menit
Intensitas : Kuat
Ritme : Ritmis

Sistem Pernafasan
Inspeksi
Bentuk rongga thoraks : Simetris
Tipe pernafasan : Costal
Ritme : Ritmis
Intensitas : Sedang
Frekuensi : 28 x/menit

Palpasi
Trakhea : Teraba
Batuk : Tidak ada
Penekanan rongga thoraks : Tidak ada rasa sakit
Palpasi M. Intercostal : Tidak ada rasa sakit
Auskultasi
Suara pernafasan : Bersih, nyaring

Sistem gastrointestinal
Ruang Abdomen
Inspeksi
Ukuran abdomen : Tidak ada perubahan
Bentuk rongga abdomen : Simetris
Palpasi Profundal
Epigastricus : Tidak ada rasa sakit
Mesogastricus : Tidak ada rasa sakit
Hipogastricus : Tidak ada rasa sakit

302
Auskultasi
Peristaltik usus : Terdengar 3x/menit
Anus
Kebersihan : Bersih
Refleks sphincter ani : Ada
Kebersihan daerah anal : Bersih
Kebersihan daerah perianal : Bersih

Sistem Urogenital
Vulva : Bersih, tidak ada perubahan
Mukosa vagina : Bersih, rose, tidak ada lendir
Kelenjar mammae : Letak simetris, jumlah 10

Alat Gerak dan Extremitas


Inspeksi
Perototan kaki depan : Kompak
Perototan kaki belakang : Kompak
Spasmus otot : Tidak ada
Kuku kaki : bentuk normal
Cara bergerak-berjalan : Koordinatif
Kesimetrisan : Simetris, panjang yang sama

Palpasi
Struktur pertulangan
Kaki kanan depan : Tegas, tegak dan lurus
Kaki kanan belakang : Tegas, tegak dan lurus
Kaki kiri depan : Tegas, tegak dan lurus
Kaki kiri belakang : Tegas, tegak dan lurus
Konsistensi pertulangan : Keras
Reaksi saat palpasi : Tidak ada reaksi kesakitan
Letak rasa sakit : Tidak ada

Hasil pemeriksaan : Kondisi normal (SEHAT)

Tindakan : Ovariohisterektomi

303
ROTASI INTERNA HEWAN KECIL
Yang dilakukan di
KLINIK HEWAN PENDIDIKAN FKH UB
OVARYOHYSTERECTOMY ANJING

Oleh:
YESY VITA ADETYARA, S.KH
150130100111024

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN


PROGRAM KEDOKTERAN HEWAN
304
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2016

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Organ reproduksi pada hewan betina secara umum terdiri atas organ
reproduksi primer yakni Ovarium yang berfungsi menghasilkan ovum dan
hormon-hormon kelamin betina seperti estrogen dan progesterone. Organ-organ
reproduksi sekunder atau saluran reproduksi terdiri dari tuba Fallopii (oviduct),
uterus, cervix, vagina dan vulva. Keseluruhan organ reproduksi tersebut di atas
terletak di dalam rongga abdomen, tepatnya di ventral rektum dan dorsal dari
vesica urinaria, secara kompleks organ-organ tersebut bekerja fungsional untuk
menjalankan aktivitas-aktivitas reproduksi saat telah mencapai dewasa kelamin.
Organ reproduksi yang telah berfungsi secara optimal akan menghasilkan anakan
apabila terjadi kopulasi dengan pejantan. Jumlah anakan anjing yang tidak
terkontrol dapat memunculkan kekhawatiran dikarenakan anjing dapat berperan
sebagai carier penyakit yang dapat menular sehingga membahayakan kesehatan
manusia seperti Rabies, Toxoplasma, dan Toxocara Canis. Guna mencegah
peningkatan populasi anjing dapat dilakukan dengan tindakan sterilisasi pada
anjing. Sterilisasi merupakan tindakan pembedahan untuk mengangkat atau
menghilangkan ovarium dan uterus yang dinamakan sebagai ovariohysterectomy.

Ovariohysterectomy (OH) merupakan prosedur yang sering dilakukan untuk


mencegah siklus estrus dan kebuntingan yang tidak diinginkan. Selain itu OH
merupakan suatu tindakan preventif yang dianjurkan untuk mencegah terjadinya
piometra dan neoplasia ovarium maupun uterus apabila tindakan bedah
ovariohysterectomy dilakukan pada saat anjing masih muda. Pengangkatan
ovarium pada anjing akan mengakibatkan menurunnya jumlah estrogen, sehingga

305
dapat mengontrol keagresifian anjing dan menurunkan resiko terjadinya kanker
mamae pada anjing.

1.1 Rumusan masalah


Bagaimana tata cara operasi ovariohisterektomi pada anjing?

1.2 Tujuan
Untuk mengetahui tata cara operasi ovariohisterektomi pada anjing?

1.3 Manfaat
Manfaat yang didapatkan dengan mengetahui tindakan operatif
ovariohysterectomy diharapkan dapat diterapkan tidak hanya sebagai langkah
steril pada hewan tetapi pada kasus patologis yang membutuhkan tindakan
penanganan berupa pembedahan dengan tehnik ovariohyterectomy.

306
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ovariohysterectomy
Ovariohysterectomy merupakan suatu prosedur bedah yang terdiri dari tehnik
laparotomi yang dikombinasikan dengan melakukan ablasi pada kedua ovarium
dan uterus. Tindakan ovaryohisterectomy merupakan prosedur yang umunya
digunakan sebagai pengontrol reproduksi hewan, selain itu tindakan
Ovariohysterectomy dapat pula digunakan sebagai penanganan terhadap kasus
patologis organ genital betina seperti adanya tumor pada uterus, adanya lesi pada
uterus yang sifatnya infektif yang dapat disebakan oleh distokia pada saat proses
melahirkan, keadaan patologis lain seperti pyometra, hiperplasia uterus dengan
infeksi sekunder yang mengarah ke metritis kronis.
Menurut Fossum (2007), teknik OH dibagi menjadi dua, yaitu teknik OH
laparotomi dan teknik OH flank. Teknik OH laparotomi yaitu penyayatan kulit
dilakukan pada bagian caudal umbilikal. Menurut Kiani, et al. (2014), teknik OH
laparotomi lebih sering dilakukan karena efisiensi waktu, proses kesembuhan
yang lebih cepat, dan saat pembedahan lebih mudah menemukan uterus
dibandingkan dengan teknik OH flank. Teknik OH flank atau teknik bilateral yaitu
penyayatan kulit dilakukan di bagian flank. Fossum (2007) menyebutkan bahwa
teknik OH flank diindikasikan untuk betina masa laktasi dengan produksi susu
yang tinggi atau karena hiperplasia kelenjar susu. Pelaksanaan operasi
ovariohysterectomy pada anjing betina memiliki keuntungan secara medis berupa:

 Menghilangkan ‘keributan’ hewan pada periode estrus


 Mencegah lahirnya anak anjing yang tidak diinginkan
 Menghilangkan stress akibat kebuntingan.
 Mengurangi resiko terkena kanker mammae, ovarium dan uterus.
 Menghilangkan resiko pyometra dan infeksi uterus lain.
 Terapi terhadap penyakit-penyakit uterus dan ovarium.
Selain tujuan atau kegunaan dilakukan operasi ovariohisterectomi, jenis operasi
ini juga mempunyai kelemahan atau kerugian. Adapun kerugian dari
dilakukannya ovariohisterectomy antara lain:
 Obesitas
307
 Hilangnya potensi breed dan nilai genetic.
 Pendarahan (hemoragi). Hemoragi dilaporkan sebagai kausa kematian
paling umum setelah ovariohisterectomi (Pearson,1973). Pendarahan
dapat disebabkan karena pembuluh ovarium yang rupture ketika
ligamentumsuspensorium ditarik (diregangkan).
 Ovariant remnant syndrome. Sindroma ini menyebabkan hewan tetap
estrus pasca ovariohisterectomi (Osborne,1979). Hal ini disebabkan
karena pengambilan ovarium yang tidak sempurna (tuntas).
 Uterine stump pyometra, inflamasi dan granuloma.
 Fistula pada traktus reproduksi. Fistula tersebut berkembang dari
adanya
 respon inflamasi terhadap material operasi (benang).
 Urinary incontinence.Merupakan kejadian tidak dapat mengatur
spincter
 vesica urinary. Hal ini dapat terjadi karena adanya perlekatan (adhesi)
ataugranuloma pangkal uterus (sisa) yang mengganggu fungsi spincter
vesicaurinary.
2.2 Anatomi organ reproduksi betina
Organ reproduksi pada anjing betina yaitu meliputi ovarium, saluran
kelamin. Saluran kelamin terdiri dari : tuba fallopii (oviduk), tanduk rahim
(kornua uteri), badan rahim (korpus uteri), leher rahim (servik uteri), vagina dan
vulva. organ genital betina terletak didalam rongga abdomen dengan pengecualian
organ vagina yang terletak didalam rongga pelvis. Ovarium merupakan organ
reproduksi yang memiliki fungsi ganda yaitu sebagai alat tubuh yang
memproduksi sel kelamin betina yaitu ovum dan hormon-hormon kelamin
betina yaitu estrogen dan progesteron. Pada anjing ovarium jumlahnya sepasang
dan relatif sangat kecil dibandingkan dengan besar tubuh, serta jumlah sel telur
yang dihasilkan dalam satu kali periode pemasakan lebih dari satu sel telur.
Letak ovarium di daerah lumbal kaudal (ke 3 – 4) dari ginjal dengan bentuk
bulat / oval dengan permukaan tidak rata berukuran panjang 8 – 9 mm. Ovarium
anjing bagian kanan berada lebih cranial dan lebih sulit dijangkau Pembuluh limfe

308
dan serabut-serabut saraf menuju ovarium (Tanudimadja, 1983; Christiansen,
1984).

Gambar 1. Anatomi reproduksi anjing betina

Ovarium tersusun oleh bagian bagian medula yang terletak di dalam dan
korteks yang terletak diluamya. Komposisi bagian medula yaitu jaringan ikat
fibroelastik, jaringan syaraf dan pembuluh darah yang berhubungan dengan
ligamentum mesovarium melalui hilus. Bagian korteks berisi folikel-folikel,
corpus luteum, stroma, pembuluh darah, pembuluh limfe, dan serabut otot polos.
Di bagian paling luar, ovarium dikelilingi oleh epitel germinal dan terbungkus
oleh tunica albuginea (bencharif, 2010).
Ligamentum utama dari ovarium menautkan ovarium dengan uterus. Arteri
dan vena pada ovarium sangat rapuh dan mudah pecah.Tertetak pada bagian
dorsal dari ovarium. Vaskularisai arteri ovarium berasal dari aorta sedangkan vena
pada ovarium kiri akan mengalir menuju vena ginjal kiri dan kanan yang akan
bermuara pada vena kava kaudal. Setiap ovarium melekat pada ligamentum yang
berada pada kornua uteri dan bergabung dengan ligamentum suspensorium.
Mesoovarium atau pedikel ovarium termasuk ke dalam ligamentum suspensorium
dengan vaskularisai berasal dari vena dan arteri ovarica dan sejumlah lemak dan
jaringan ikat yang menutupinya.
Saluran kelamin terdiri dari : tuba fallopii (oviduk), tanduk rahim (kornua
uteri), badan rahim (korpus uteri), leher rahim (servik uteri), vagina dan vulva.
Tuba fallopii terdiri dari infundibulum berikut fimbre, ampula dan
ismus. Gerbang infundibulum disebut osteum tubae abdominal. Fimbre
mengandung jaringan erektil dan pembuluh-pembuluh darah melingkar, fimbre
309
aktif membantu masuknya sel telur yang diovulasikan ke dalam tuba fallopii.
Fimbre berada didekat ovarium, namun tidak melingkupi seluruh ovarium
sehingga terdapat kemungkinan sel ovum yang diovulasikan terlempar keluar
fimbre. Namun kejadian tersebut di alam jarang terjadi karena terdapat substansi
kimia yang menarik ovum untuk mendekat fimbre dan selanjutnya terdorong
masuk ke osteum tubae abdominal. Substansi kimia tersebut belum jelas
diketahui, sedang kemampuan untuk menarik ovum tersebut disebut ovotaksis.
Tuba fallopii digantung oleh alat penggantung yang disebut mesosalping yang
berasal dari mesovarium. Mesosalping bersama-sama ligamentum ovarii dan
ovarium membentuk bursa ovarii dan bentuknya meluas pada anjing sehingga
menyebabkan ovarium tidak terlihat (Tanudimadja, 1983).

Gambar 2. Organ reproduksi dan vaskularisasinya


Uterus merupakan bagian caudal tuba fallopii yang terdiri dari sepasang
rahim / korpus uteri, dan leher rahim / servik uteri. Tipe uterus anjing
adalah duplex, yang terdiri dari dua kornu uteri masing-masing dengan saluran
vagina. Ukuran dan berat dari uterus meningkat sewaktu anjing menginjak dewasa
dan memasuki proestrus dan estrus, mencapai ukuran maksimal selama awal
metestrus. Kemudian menurun sewaktu mulainya anestrus, meskipun tidak
kembali ke ukuran anjing dewasa. Ketebalan dan lebar mencapai maksimal 7 – 9
minggu sesudah mulainya estrus (Junaidi, 2006). Letak uterus seluruhnya dalam
cavum abdomen kecuali servik yang masih mencapai bagian peritoneal dari
cavum pelvis. Alat penggantung adalah ligamentum lata uteri mesometrium yang

310
merupakan otot-otot licin, berserat pipih yang berasal dari bagian dinding cavum
pelvis dari daerah lumbal mencapai uterus. corpus uteri memiliki panjang 3-5 cm
dan memiliki posisis intrabdominal yang akan berlanjut menjadi dua kornua yang
terletak dilantai abddomen yakni di kedua sisi linea alba.. uterus menerima suplai
darah dari arteri uterina dexters dan sinister. Corpus uteri yang terletak berdekatan
dengan oviduct divaskularisasi dari cabang arteri ovarium, sementara bagian
sisanya divaskularisai dari canag arteri vaginal. Arteri uterina hanya memberikan
suplai darah pada organ uterus. Arteri uterina berasal dari arteri illiaca interna
bersama dengan arteri umbilical.
Vagina anjing sangat panjang, diukur berdasarkan panjang total dari vulva ke
servik, termasuk vestibula. Pada anjing dengan berat 12 kg panjangnya mencapai
10 – 14 cm. Vestibula dan vagina meningkat lebarnya selama siklus estrus,dan
saluran genital menjadi tegang dan bengkak (Andersen, 1959). Pada fase proestrus
dan anestrus servik dan vagina membesar, menebal dan oedematus, dan ketebalan
myometrium meningkat. Pada fase anestrus servik dan vagina dalam keadaan
pasif (Junaidi, 2006).
Pada anak anjing, vulva adalah organ yang relatif kecil yang dihiasi oleh
berkas rambut sampai mendekati pubertas. Mulai membesar selama periode
prepubertal (4 -8 bulan) dan setelah memasuki estrus pertama bentuk sudah sama
seperti dewasa (Junaidi, 2006).
2.3 Persiapan Operasi.
a. Alat dan bahan
Persiapan alat dan bahan yang digunakan untuk tindakan ovariohisterectomi
dilakukan untuk memudahkan tindakan yang dilakukan selanjutnya yakni
sterilisasi guna menghilangkan kontaminasi dalam alat dan bahan. Alat yang
disiapkan dalam operasi histerectomi terdiri dari beberapa macam yakni

1. Duk/drape
Drape merupakan alat yang digunakan untuk menjaga area yang akan
dioperasi tetap bersih dan meminimalkan kontaminasi pada area
pembedahan. bahan yang digunakan sebagai duk baiknya merupakan kain
yang tidak menyilaukan mata seperti warna hijau, abu-abu, atau biru.
Kain yang digunakan merupakan kain sejenis katun (oxford) Duk
311
mempunyai ukuran standar lebar 36 inchi dan panjang 60 inchi. Untuk
keperluan operasi besar biasanya digunakan 4 duk, sedangkan untuk
operasi sederhana digunakan satu duk bercelah di bagian tengahnya
(ukuran celah bervariasi dari 1x2, 1,5x3,5, dan 2x5,5).
Drape yang akan disterilkan harus dilipat dengan cara khusu supaya
memudahkan membuka saat digunakan dan meminimalkan kontak dengan
tangan yang bertujuan menjaga sterilitas. Cara pelipatan drape ialah drape
dilipat menjadi dua hingga membentuk garis tengah, buka lipatan drape,
satu bagian drape dilipat menuju bagian luar lakukan pada bagian sisi yang
lainnya hingga lebarnya hingga seperempat. Lipat drape menjadi lebih
kecil lagi dari seperempat lebar semula. Lalu lipat seperti membuat
akordion. Lebar lipatan sekitar 4 cm. Untuk membuka cukup sentuh
bagian lancip ujung drape bagian bawah dan atas.

2. Scalpe dan gagang scalpe


Scalpel merupakan alat untuk mengiris jaringan yang terdiri dari batang
scalpel dan pisau scalpel (blade). Penggunaan scalpel untuk mengiris
jaringan harus diusahakan agar trauma yang ditimbulkan seminimal
mungkin. Untuk memudahkan pengirisan, jaringan yang akan diiris harus
difiksir menyilang dengan arah irisan. lrisan harus tunggal, dan tidak boleh
diulan-gulang karena di samping tidak efisien juga menyebabkan tepi
irisan seperti digergaji. Agar dapat menghasilkan irisan yang baik batang
scalpel harus membentuk sudut 30-40° dari garis irisan yang akan dibuat.
Ibu jari ditempatkan di sebelah lateral batang scalpel, jari tengah dan jari
manis ditempatkan di sebelah lateral dan ventral batang scalpel, sedangkan
jari telunjuk ditempatkan dipunggung pisau scalpel untuk mengendalikan
arah irisan dan memperkirakan dalamnya irisan.

3. Gunting operasi
Gunting operasi merupakan alat yang digunakan untuk menggunting
jaringan dan preparasi tumpul. Pembagian gunting operasi dapat
didasarkan pada ujung gunting yakni gunting tumpul-tumpul, tajam-tajam
dan tajam tumpul. Berdasarkan bentuknya yakni lurus dan bengkok.
Berdasar tepi ketajamannya yakni rata dan bergerigi. pemotongan
312
dilakukan pada bagian distal gunting. Model gunting banyak jenisnya,
tetapi yang paling disukai adalah Mayo, Metzenbaum. Gunting jenis Mayo
dengan mata gunting yang lurus atau melengkung. Sedangkan gunting
Metzenbaum yang ukurannya lebih panjang dan lebih banyak
pemakaiannya dengan lengkungan yang halus pada ujungnya.Model
Metzenbaum lebih tipis dan hanya digunakan untuk operasi jaringan padat.
Gunting operasi disamping untuk menggunting jaringan juga dapat untuk
preparasi tumpul. Gunting bedah yang lurus digunakan untuk menggunting
bagian-bagian alat tubuh yang akan diamati, seperti usus, jantung,
pembuluh darah dan sebagainya. Umumnya digunakan untuk mengadakan
bukaan pertama pada bagian tubuh yang akan diperiksa. Gunting jaringan
(bedah) terdiri atas dua bentuk. Gunting dengan ujung tumpul digunakan
untuk membentuk bidang jaringan atau jaringan yang lembut. Gunting
dengan salah satu atau kedua ujungnya runcing digunakan untuk membagi
jaringan dengan mendorong ujungnya yang runcing di bawah jaringan.
Gunting dengan ujung yang runcing tidak digunakan di dalam rongga
karena dapat melubangi organ atau pembuluh darah.

4. Hemostatic forceps
Hemostatik forceps merupakan alat yang digunakan untuk menjepit
pembuluh darah yang terpotong. Forcpes tersebut dilengkapi box lock,
mempunyai alur transversal pada sisi dalam tips (batang penjepit). Alur
tranversal ada yang hanya sebagian dariujung sampai tengah, dan dari
ujung sampai distal tips. Berdasar bentuk batangnya hemostatik forceps
ada 2 yaitu lurus dan bengkok dan berdasar pola alur dibagi 5 :

 Rochester-pean (alur transversal dari ujung sampai pangkal) untuk


menjepit pembuluh darah besar dan jaringan
 Ochsner (alur seperti Rochester-pean forceps tetapi ujungnya bergigi).
Fungsi gigi untuk mencegah terjadinya slip ketika digunakan untuk
menjepit pembuluh darah besar dan jaringan.

313
 Carmalt (alur memanjang dari pangkal sampai mendekati ujung, tetapi
di bagian ujungnya beralur transversal). Alur transversal di ujung
berfungsi untuk memudahkan melepas forceps setelah digunakan.
 Kelly (alur transversal dari tengah sampai ujung distal) untuk menjepit
pembuluh darah kecil.
 Mosquito (alur transversal dari pangkal sampai ujung distal) untuk
menjepit pembuluh darah kecil.
5. Tissue forceps
Allis forceps merupakan alat untuk menjepit jaringan/organ tidak
berlumen, mempunyai kekuatan menjepit maksimal tetapi hanya
menimbulkan trauma jaringan minimal. Jaringan yang kontak dengan Allis
forceps hanya sedikit dan posisi bagian jaringan yang dijepit dengan Allis
forceps saling tegak lurus.

6. Tissue forceps (pinset)


Tissue forceps merupakan alat yang berfungsi untuk memegang
jaringan pada waktu operasi dan waktu menjahit tepi luka, juga untuk
memegang jarum jahit waktu menjahit tepi luka. Berdasar bentuk
ujungnya pinset dibagi 2 yaitu
 Pinset anatomis (ujung tidak bergigi) merupakan pinset yang berfungsi
untuk memegang jaringan atau organ dalam, dan organ berlumen.
 Pinset chirurgis atau pinset bedah (ujung bergigi) merupakan pinset
yang terutama berfungsi untuk memegang kulit dan jaringan lain,
kecuali organ dalam dan organ berlumen.
7. Needle Holder
Merupakan forceps yang berfungsi untuk memegang jarum, bentuknya
menyerupai hemostatik forceps tetapi tips pemegang jarum lebih pendek,
lebih berat dan mempunyai alur dengan pola menyilang, namun
kebanyakan pemegang jarum mempunyai pola alur memanjang, hal ini
dimaksudkan untuk membantu memperkuat dalam menjepit jarum. Macam
Needle Holder antara lain mayo-heegar (panjang), Metzembaum (panjang)
dan Derfneedle holder (pendek).

314
8. Towel clamp/duk klem
Towel clamp merupakan forceps yang berfungsi untuk menjepit
duk/drapes dan handuk pada kulit pasien supaya posisi drapes dan handuk
tidak bergeser. Dalam menjepitkan klem pada kulit sebaiknya diusahakan
agar kulit yang dijepit sesedikit mungkin. kiem ditempatkan pada ke empat
sudut drapes dengan posisi tengkurap (bagian yang cekung ditempelkan
kulit/drapes), dan membentuk sudut 45° dengan jaringan yang akan diiris.
Ada 2 macam towel clips yaitu Plain Backhaus towel clamps dan
Backhaus towel clamps with ball stop.

9. Needle (jarum jahit)


Jarum jahit yang baik mempunyai sifat sebagai berikut cukup kuat,
kaku, tidak mudah bengkok, tajam untuk menembus jaringan, bersih,
terbuat dari stainlaess staeel yang tahan terhadap korosif, dan
permukaannya halus. Berdasar lubang/mata jarum, jarum jahit dibedakan
menjadi a). Jarum dengan lubang atau mata jarum tertutup (lubang jarum
berbentuk bulat, bujur atau segiempat), b). lubang jarum French (pada
ujung jarum terdapat celah dari bagian sisi dalam lubang), c). lubang jarum
swaged. Lubang jarum swage mempunyai kemampuan untuk memprotek
ujung benang jahit sedemikian rupa sehingga dapat mencegah lepasnya
benang selama digunakan untuk menjahit. Benang yang digunakan hanya
mempunyai yang mempunyai ukuran sama dengan atau mendekati
diameter lubang jarum. Karena posisi benang pada lubang jarum sangat
smooth maka ketika jarum ditusukkan dan dilewatkan di dalam jaringan
hanya menimbulkan trauma jaringan yang sangat ringan, minimal. Body
atau batang jarum jahit juga bevariasi besar, panjang, dan bentuknya.
Batang jarum ada yang berbentuk bulat, oval, datar, sudut (segitiga,
atau ribbed. Batang jarum bentuk bulat atau oval biasanya mempunyai
diameter lebih besar di bagian lubang atau mata jarumnya yang kemudian
diameter tersebut semakin mengecil di bagian ujung (lancipnya). Batang
jarum datar atau segitiga dapat memotong jaringan atau mengiris jaringan.
Bentuk jarum juga ada yang lurus, bengkok atau lengkung dengan sudut
kelengkungan ½ lingkaran, ¼ lingkaran, 3/8 lingkaran, 5/8 lingkaran.

315
Jarum yang lengkung akan memudahkan dalam menjahit jaringan dalam
atau yang tebal. Jarum dengan kelengkungan ½ lingkaran merupakan
jarum yang biasanya digunakan untuk menjahit jaringan superficial
terutama kulit. Untuk memudahkan dalam menggunakan jarum jahit
umumnya jarum dijepit dengan needle holder di bagian tengah jarum, dan
tidak berdekatan dengan lubang atau ujung jarum. Ujung jarum sebaiknya
tidak dipegang dengan needle holder atau tangan yang bersarung tangan.
Ujung jarum umumnya diklasifikasikan sebagai berikut : 1). Taper (untuk
menjahit jaringan lunak, organ berlumen dalam rongga dada dan rongga
abdomen, pembuluh darah, tendo, syaraf), 2). tumpul (jarang digunakan
kecuali untuk menjahit hepar dan ginjal), segitiga, cutting (mempunyai
tepi tajam, biasanya digunakan untuk menjahit jaringan padat, kulit,
fascia).

10. Benang operasi


Benang operasi berfungsi untuk mempertautkan tepi luka dan ligasi
pembuluh darah. Sifat benang operasi yang ideal antara lain tidak
menimbulkan reaksi jaringan atau reaksi jaringan yang ditimbulkan
minimal, mudah dalam perawatan dan penggunaannya, monofilamen atau
nonkapiler, mudah disterilisasi, tidak mudah putus meskipun berukuran
kecii, simpul tidak mudah kendor/lepas, tidak mengiris jaringan, sisa
benang setelah terlarut tidak berbahaya bagi tubuh, dan ekonomis.
Pemilihan benang untuk menjahit tepi luka irisan umumnya didasarkan
pada jaringan yang akan dijahit, laju recovery jaringan yang terluka
(kondisi luka), dan kekuatan benang (mengenal sifat bahan benang).
Selama 3-4 hari setelah luka irisan dijahit, pertautan tepi luka
sepenuhnya masih tergantung pada benang yang digunakan untuk
menjahit, karena jaringan fibroblas tidak akan mencapai perkembangan
maksimumnya sampai hari 10-14. Dalam memilih benang untuk menjahit
luka yang perlu dipertimbangkan adalah 1). kemampuan jaringan untuk
menahan benang sehingga jaringan tersebut tidak robek akibat teriris
benang yang digunakan untuk menjahit, dan 2). kekuatan tarikan benang
untuk menahan jaringan (benang tidak putus). Sebagai contoh jaringan
316
lunak, kulit dan fascia mempunyai kemampuan menahan benang paling
besar, sedangkan lemak kemampuannya minimal. Muskulus mempunyai
kekuatan menahan tarikan benang yang lebih besar apabila jahitan
ditempatkan dalam posisi berseberangan dengan alur serabut muskulus,
dan kekuatannya berkurang apabila dijahit search dengan alur serabut
muskulus.
Ada 2 macam benang operasi yaitu benang diserap dan tidak diserap.
Benang diserap biasanya berasal dari hewan (catgut, kolage, tendo
kanguru dan serabut fascia), dan sintetis (asam poliglikolik, asam
poliglatik, dan poldioksanon). Benang diserap didigesti dan diasimilasi
oleh tubuh selama dan setelah proses kesembuhan. Benang tersebut
didegradasi makrofag ketika kesembuhan berlangsung.

11. Spay hook


Merupakan instrumen bedah yang digunakan untuk mengait dan
menangkap cornua uteri

2.3 Premedikasi
Obat-obatan preanastesik yang disebut juga dengan premedikasi
digunakan untuk mempersiapkan pasien sebelum pemberian obat anastesi baik itu
anastesi lokal, regional maupun umum. Manfaat pemberian premedikasi adalah
untuk membuat hewan menjadi lebih tenang dan terkendali, mengurangi dosis
anastesi, mengurangi efek-efek otonomik yang tidak diinginkan seperti saliva
yang berlebihan, mengurangi efek-efek samping yang tidak diinginkan seperti
vomit, dan mengurangi rasa nyeri preoperasi. Agen anastesi digolongkan menjadi
4 yaitu: antikolinergik, morfin serta derivatnya, transquilizer, dan
neuroleptanalgesik. Sementara menurut Sardjana dan Kusumawati (2004), obat-
obat yang digunakan anastesi premidikasi meliputi antikolinergik. Analgesik,
neuroleptanalgesik, transquilizer, obat dissodiatif dan barbiturate. Obat-obatan
premedikasi diberikan maksimal 10 menit atau kurang lebih setengah sampai satu
jam sebelum pemberian anestesi umum atau anestesi lokal. Obat-obatan tersebut
disuntikkan secara intramuskular, subkutan, dan bahkan intramuskular. Menurut
Sardjana dan Kusumawati (2004) pada umumnya obat-obat preanastesi bersifat

317
sinergis terhadap anastetik namun penggunaanya harus disesuaikan dengan umur,
kondisi dan temperamen hewan, ada atau tidaknya rasa nyeri, teknik anastesi yang
dipakai, adanya antisipasi komplikasi, dan lainnya.
1. Atropin Sulfat
Atropin merupakan agen preanestesi yang digolongkan sebagai
antikolinergik atau parasimpatolitik. Atropin sebagai prototip antimuskarinik
mempunyai kerja menghambat efek asetilkolin pada syaraf postganglionik
kolinergik dan otot polos. Hambatan ini bersifat reversible dan dapat diatasi
dengan pemberian asetilkolin dalam jumlah berlebihan atau pemberian
antikolinesterase (Ganiswarna, 2001). Atropin berfungsi utama mengurangi
sekresi kelenjar saliva terutama bila dipakai obat anestetik yang menimbulkan
hipersekresi kelenjar saliva. Atropin sebagai antimuskurinik mempunyai kerja
menghambat efek asetilkolin pada syaraf postganglionik kolinergik dan otot
polos. Hambatan ini bersifat reversible dan dapat diatasi dengan pemberian
asetilkolin dalam jumlah berlebihan atau pemberian antikolinesterase.
Atropin sebagai premedikasi diberikan pada kisaran dosis 0.02-0.04
mg/kg, yang diberikan baik secara subkutan, intra vena maupun intramuskuler
(Plumb,1998), sedangkan menurut Rossof (1994), atropin sebagai premedikasi
diberikan dosis 0,03-0,06 mg/kg. Pada dosis normal, atropin dapat mencegah
bradikardia dan sekresi berlebih saliva serta mengurangi motilitas gastrointestinal.
Atropin dapat menimbulkan efek, misalnya pada susunan syaraf pusat,
merangsang medulla oblongata, dan pusat lain di otak, menghilangkan tremor,
perangsangan respirasi akibat dilatasi bronkus, pada dosis yang besar
menyebabkan depresi nafas, eksitasi, halusinasi dan lebih lanjut dapat
menimbulkan depresi dan paralisa medulla oblongata. Efek atropin pada mata
menyebabkan midriasis dan siklopegia.
Pada saluran nafas, atropin dapat mengurangi sekresi hidung, mulut, dan
bronkus. Efek atropin pada sistem kardiovaskuler (jantung) bersifat bifasik yaitu
atropin tidak mempengaruhi pembuluh darah maupun tekanan darah secara
langsung dan menghambat vasodilatasi oleh asetilkolin. Pada saluran pencernaan,
atropin sebagai antispasmodik yaitu menghambat peristaltik usus dan lambung,

318
sedangkan pada otot polos atropin mendilatasi pada saluran perkencingan
sehingga menyebabkan retensi urin (Ganiswarna, 2001).
2.4. Anestesi
Pada operasi-operasi daerah tertentu seperti abdomen, maka selain
hilangnya rasa sakit dan kesadaran, dibutuhkan juga relaksasi otot yang optimal
agar operasi dapat berjalan dengan lancar (Ibrahim, 2000). Anestesi umum
diperlukan untuk pembedahan karena dapat menyebabkan penderita mengalami
analgesia, amnesia, dan tidak sadarkan diri sedangkan otot-otot mengalami
relaksasi dan penekanan reflek yang tidak dikehendaki (Mycek, 2001). Hampir
semua obat anestetik menghambat aktivitas sistem saraf pusat secara bertahap
diawali fungsi yang kompleks yang dihambat dan yang paling akhir dihambat
adalah medula Oblongata dimana terletak pusat vasomotor dan pusat respirasi
yang vital.
Depresi umum pada sistem saraf pusat tersebut akan menimbulkan
hipnosis, analgesi, dan depresi pada aktivitas refleks. Obat anestesi umum yang
ideal menurut Norsworhy (1993) mempunyai sifat-sifat antara lain: pada dosis
yang aman mempunyai analgesik relaksasi otot yang cukup, cara pemberian
mudah, mulai kerja obat yang cepat dan tidak mempunyai efek samping yang
merugikan. Selain itu, obat tersebut harus tidak toksik, mudah dinetralkan,
mempunyai batas keamanan yang luas, tidak dipengaruhi oleh variasi umur dan
kondisi hewan. Induksi anastesi pada anjing menggunakan kombinasi xylazine
dan ketamin. Setelah sebelumnya diijeksikan premedikasi berupa atropin sulfat.
Pemberian premedikasi sebelum induksi anastesi diberikan dengan tujuan
mengurangi jumlah anastesi yang diperlukan dan meningkatkan batas keamanan
dengan mengurangi efek negatif dari anestesi seperti mengurangi timbulnya
hipersalivasi, bradycardia, muntah sebelum dan sesudah operasi, kecemasan,
memperlancar induksi.
1. Ketamin
Ketamin adalah larutan yang tidak berwarna, stabil pada suhu kamar dan
relative aman dengan kerja singkat. Sifat analgesiknya sangat kuat untuk sistem
somatik tetapi lemah untuk sistem visceral, tidak menyebabkan relaksasi otot lurik
bahkan kadang-kadang tonusnya sedikit meninggi. Ketamin dengan pemberian

319
tunggal bukan anestetik yang bagus. Ketamin dapat dipakai oleh hampir semua
spesies hewan. Ketamin bersama xylazine dapat dipakai untuk anastesi pada
kucing. Ketamin dengan pemberian tunggal bukan anastetik yang bagus (Sardjana
dan Kusumawati, 2004).
Menurut Slatter (2003), penggunaan ketamin mempunyai keuntungan dan
kerugian. Keuntungan penggunaan ketamin, yaitu; (1) dalam pengaplikasianya
ketamin sangat mudah, (2) menyebabkan pendepresan kardiovaskuler dan
respirasi minimal, (3) dapat digunakan dalam situasi darurat dimana hewan belum
dipuasakan, karena refleks faring tetap ada, (4) induksi cepat dan tenang, dan (5)
dapat dikombinasikan dengan agen preanestesi atau anestesi lainnya. Kerugian
dari penggunaan ketamin adalah (1) menyebabkan relaksasi otot tidak maksimal
bila penggunaannya secara tunggal, (2) respon yang bervariasi pada beberapa
pasien, (3) dapat menyebabkan hipotermia, (4) dapat menyebabkan kekejangan
ektremitas, (5) menyebabkan konvulsi pada beberapa pasien, dan (6) recovery
yang lama.

2. Xylazine
Xylazine merupakan senyawa sedatif golongan α2 adrenergik agonis yang
bekerja dengan cara mengaktifkan central α2–adrenoreceptor. Xylazin dapat
menyebabkan penekanan sistem saraf pusat diawali dengan sedasi. Xylazine
dengan dosis yang lebih tinggi digunakan untuk hipnotis, sehingga akhirnya
hewan menjadi tidak sadar dan teranestesi (Zulfadli, 2005). Kombinasi yang
paling sering digunakan untuk ketamin adalah xylazine. Kedua obat ini
merupakan agen kombinasi yang saling melengkapi antara efek analgesik dan
relaksasi otot, ketamin memberikan efek analgesik sedangkan xylazine
menyebabkan relaksasi otot yang baik. Xylazine bekerja pada reseptor
presinapsis dan pos-sinapsis dari sistem saraf pusat dan perifer sebagai
agonis adrenergik. Penggunaan xylazine dapat mengurangi sekresi saliva dan
peningkatan tekanan darah yang diakibatkan oleh penggunaan ketamin.
Penggunaan kombinasi ketamin xylazine sebagai anestesi umum juga mempunyai
banyak keuntungan, antara lain : mudah dalam pemberian, ekonomis, induksinya
cepat begitu pula dengan pemulihannya, mempunyai pengaruh relaksasi yang baik
dan jarang menimbulkan komplikasi klinis (Yudaniayanti dkk, 2010).
320
321
BAB III
METODOLOGI
3.1 Tempat Dan Waktu
Kegiatan bedah operasi ovariohysterectomy pada saat rotasi bedah dan
radiologi yang diselenggarakan di Rumah Sakit Hewan UB pada tanggal 22
Juni 2016.
3.3 Persiapan Preoperasi
3.2.1 Alat dan bahan
Gunting (tumpul runcing, bengkok, gunting benang), pinset anatomis dan
chirurgis, scalpel handle, blade, towel clamp, needle holder, needle (cutting dan
taper point), alice clamps, kocher clamp (arterial clamp lurus dan bengkok),
benang, kateter intravena, kain drape, tampon steril, endotracheal tube,
perlengkapan alat bedah steril (surgical dress, cap, gloves, masker), syringe,
hypafix sedangkan bahan yang dipergunakan dalam tindakan operasi ialah
Larutan desinfektan ( alkohol 70% dan iodine), cairan infus NaCL 0,9%,
xylazine, ketamine, Atropin sulfat, Epinefrine, cefrtiaxone, cefixime, Cairan
NS.

3.3.1 Persiapan Ruangan Operasi dan alat.


Persiapan ruang operasi dilakukan dengan cara membersihkan kotoran dan
debu dalam ruangan dengan melakukan tindakan mengepel lantai dengan larutan
desinfektan hingga ke sudut ruangan. Meja operasi dibersihakan dengan
disinfektan seperti TH4 dan alkohol, menyiapan alat penerangan sebagai alat
bantu operatif, menyediakan sabun antiseptik guna memudahkan pembersihan
tangan operator.
Alat yang digunakan selama tindakan operatif perlu dilakukan sterilisasi
dengan tujuan meminimalkan kontaminasi pada bidang sayatan. Sterilisasi yang
dipergunakan untuk mensterilkan alat ialah Sterilisasi dengan panas dengan
metode sterilisasi moist heat (autoclaving, tekanan uap) digunakan untuk
mensterilkan semua bahan dan alat operasi kecuali alat tajam. Untuk sterilisasi
alat dan bahan operasi diperlukan tekanan 20 pound, suhu 121 selama 30 oC.
Sterilisasi dengan autoclaving paling banyak digunakan karena mempunyai daya
penetrasi lebih dalam, bersifat bakterisid dan lebih ekonomis. Sterilisasi selain

322
menggunakan panas dikombinasikan dengan sterilisasi dengan gas. Gas yang
digunakan untuk sterilisasi adalah karbon dioksida. Karbon dioksida bersifat
bakterisid dan sporosid, mempunyai daya penetrasi yang tinggi. tidak
menyebabkan tumpulnya alat tajam, dan dapat bekerja efektif pada suhu yang
relatif rendah. Gas tersebut sangat berguna untuk mensterilkan alat bedah dan
bahan operasi yang terbuat dari kulit, wool, kertas, rayon, plastik, dan bahan lain
yang labil terhadap pemanasan, serta alat optik dan elektrik. Alat yang tajam tidak
disterilkan dengan panas karena akan mengakibatkan tumpulnya gunting. Alat
tajan disterilkan dengan menggunakan alkohol 70%.

3.3.3 Persiapan hewan


Persiapan operasi yang dilakukan pada hewan bertujuan untuk mensterilkan
kulit dengan mengurangi jumlah bakteri normal flora yang terdapat pada kulit
anjing seperti Staphylococcus epidermidis, Corynebacterium spp., and
Pityrosporum spp.; S. aureus, Staphylococcus intermedius, Escherichia coli,
Streptococcus spp., Enterobacter spp., and Clostridium spp. Persiapan hewan
yang dilakukan sebelum operasi ialah:
a. Mempuasakan hewan
Pada anjing dewasa, makanan tidak diberikan selama 6-12 jam sebelum
induksi anastersi dengan tujuan mencegah terjadinya emesis dan aspirasi
pneumonia selama intraoperatif dan post operatif. Pembatasan hanya dilakukan
pada makanan, pemberian air minum tetap tidak dibatasi. Khusus hewan muda
puasa dilakukan 4-6 jam sebelum operasi yang bertujuan untuk mencegah
terjadinya hipoglikemia
b. Ekskresi
Sebelum operasi hewan harus dibiarkan untuk buang air besar dan buang
air kecil sesaat sebelum induksi anastesi. Apabila urin tidak dapat dikeluarkan
secara alami maka dapat dilakukan dengan melakukan katerisasi steril.

c. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik pada hewan sebelum tindakan operatif bertujuan untuk
mengetahui status present hewan yang menentukan dapat dilakukannya
tindakan operatif.
323
d. Pencukuran rambut
Pasien yang akan dioperasi harus dengan jelas ditentukan lokasi
operasinya. Lokasi yang dicukur harus diperkirakan dengan tepat guna
memperkirakan lebar sayatan yang harus dibuat serta mengakomodir apabila
lokasi sayatan diperpanjang sepanjang bidang steril. Pemotongan rambut pada
anjing yang akan dilakukan operasi pada bagian abdomen disarankan
sepanjang 20 cm disetiap sisi incisi. Pemotongan rambut dapat menggunakan
cliper listrik dengan no gunting pisau 40. Segera setelah proses pencukuran
selesai, rambut harus segera dibersihkan dari permukaan kulit anjing, dapat
pula menggunakan vakum. Guna memudahkan pemasangan infus IV, lokasi
yang akan diinfus ikut pula dibersihkan. Induksi anastesi
Anastesi merupakan prosedur preoperatif yang bertujuan untuk
menghilangkn sensasi nyeri untuk sementara pada seluruh tubuh dan dalam
keadaan tidak sadar. Induksi anastesi pada anjing menggunakan kombinasi
xylazine dan ketamin. Setelah sebelumnya diijeksikan premedikasi berupa
atropin sulfat. Pemberian premedikasi sebelum induksi anastesi diberikan
dengan tujuan mengurangi jumlah anastesi yang diperlukan dan meningkatkan
batas keamanan dengan mengurangi efek negatif dari anestesi seperti
mengurangi timbulnya hipersalivasi, bradycardia, muntah sebelum dan sesudah
operasi, kecemasan, memperlancar induksi. atropin sulfat merupakan
premedikasi yang memiliki cara kerja sebagai anti cholinergica yang kerjanya
memblokir kerja acetilcholin pada terminal-terminal ganglion dan syaraf
otonom sehingga akan mengurangi kerja kelenjar saliva dan bronkhial serta
meningkatkan kerja jantung. Atropin sulfat yang diberikan pada anjing ialah

Selang 15 menit setelah pemberian premedikasi dilakukan induksi anestesi.


Anestesi yang digunakan dalam operasi ini ialah kombinasi ketamin dan
xylazine. Ketamin hidroklorida merupakan agen disosiatif yaitu agen untuk
324
analgesik dan pada dosis yang lebih tinggi menghasilkan fase anestesi. Kerja
ketamin akan menyebabkan gangguan fungsi seperti pada thalamus dan korteks
serebral menjadi tertekan. Ketamin hidroklorida memperpanjang kerja GABA
(Gamma Amino Butiric Acid) yaitu suatu penghambat neurotransmiter di otak
seperti serotonis, noerpineprin dan dopamin dengan cara menghambat
pengikatnya pada ujung syaraf. Ketamin HCL merupakan anastesi umum yang
memiliki waktu reaksi yang cepat dan sedikit mendepres pada sistem
cardiopulmonary. Ketamin mampu mengeinduksi sampai pada tahap II. Efek
samping ketamin berupa terjadinya hipotermia dengan menurunkan suhu
setalah induksi, Efek pada kardiovaskular seperti peningkatan cardiac output,
tekanan darah, peningkatan tekanan arteri pulmonari, dyspnae, recovery yang
lama, convulsion. Kombinasi yang paling sering digunakan untuk ketamin
adalah xylazine. Kedua obat ini merupakan agen kombinasi yang saling
melengkapi antara efek analgesik dan relaksasi otot, ketamin memberikan efek
analgesik sedangkan xylazine menyebabkan relaksasi otot yang baik .
Penggunaan xylazine dapat mengurangi sekresi saliva dan peningkatan tekanan
darah yang diakibatkan oleh penggunaan ketamin. Penggunaan kombinasi
ketaminxylazine sebagai anestesi umum juga mempunyai banyak keuntungan,
antara lain : mudah dalam pemberian, ekonomis, induksinya cepat begitu pula
dengan pemulihannya, mempunyai pengaruh relaksasi yang baik dan jarang
menimbulkan komplikasi klinis (Ira, 2010).

325
e. Pemasangan infus NaCl 0,9%
Kateter intravena dipasang pada vena chepalica antibrachii dan
disambungkan dengan cairan infus NaCl. pemasangan infus Nacl secara intra
vena tujuannnya ialah untuk terapi maintenance untuk menjaga cairan tubuh tetap
stabil apabila terjadi dehidrasi, pendarahan dan shock sewaktu operasi
berlangsung

f. Pembersihan kulit
Setelah hewan teranastesi hewan dipindah ke dalam ruang operasi untuk
membersihkan bagian kulit sabun antiseptik dan digosok pada permukaan
kulitnya supaya bulu yang menempel dan semua kotoran seperti kerak ataupun
ketombe dan minyak pada daerah kulit terangkat dengan sempurna. Sabun yang
digunakan ialah sabun antiseptik seperi klorheksidin. Khorheksidin merupakan
sabun antiseptik yang berperan untuk merusak membran sel dari bakteri terutama
bakteri gram positif. Pembersihan kulit kemudian dikombinasikan dengan
pemberian alkohol, meskipun penggunaan alkohol tidak efektif terhadap spora
tetapi memiliki keunggulan dapat membunuh bakteri dengan cepat. Persiapan
hewan selnjutnya ialah pemberian antibiotik tetes ataupun salep pada bagian mata
yang berfungsi sebagai pelumas pada kornea dan konjungtiva.

g. Persiapan sterilisasi kulit


Tujuan dilakukan sterilisasi pada kulit sebelum tindakan operasi ialah
membersihkan dari tanah dan mikrobaorganisme sementara dari kulit dan
mengurangi jumlah normal flora dalam waktu singkat guna menekan terjadinya
iritasi pada jaringan. Sterilisasi dilakukan dengan menggunakan kasa steril dan
povidone iodine diletakkan dalam wadah yang steril. Tangan operator yang
digunakan untuk menggosok kasa ke kulit telah memakai sarung tangan yang
steril. Gosokkan dari bagian situs sayatan menuju luar, arah gosokan
menggunakan gerakan melingkar dari pusat situs sayatan ke tepi

h. Draping

326
Setelah pasien telah diposisikan diatas meja operasi dan area kulit telah
dibersihkan maka dilakukan pemasangan drape. Fungsi pemasangan drape ialah
menciptakan dan mempertahankan area steril disekitar lokasi operasi. Drape
dipasang oleh operator steril. Drape dipasang dengan memposisikan area
umbilikus ke bawah dapat terlihat dan terfiksir dengan baik

i. Injeksi antibiotik dan analgesik


Penggunaan antibiotik yang diinjeksikan sebelum proses operasi pada anjing
bertujuan untuk menurunkan resiko terhadap infeksi dan menjaga tetap aseptis
pada tindakan operatif dikarenakan saat operasi dilakukan incisi pada jaringan
yang memungkinkan kontaminan bakteri dapat masuk ke dalam hasil sayatan.
Diharapkan pemberian antibiotik dapat melindungi selama proses operasi
berlangsung. Pemilihan ceftriaxone sebagai antibiotik yang diberikan sebelum
operasi ialah karena ceftriaxone merupakan golongan sefalosporin generasi ketiga
memiliki kemampuan yang lebih kuat dibanding antibiotik lain untuk mencegah
pertumbuhan bakteri yang sering mengkontaminasi pada tindakan operatif.
Ceftriaxone pada operasi anjing diberikan 30 menit sebelum incisi pertama dalam
operasi, karena untuk bekerja ceftriaxone membutuhkan waktu sekitatr 30 menit
(Plumb, 2002; Fossum, 2012).Cefotaxime merupakan antibiotik golongan
sefalosporin generasi ketiga yang mempunyai efek bakteriosidal yang bekerja
menghambat aktivitas bakteri melalui penghambatan sintesis dinding sel bakteri
lebih kuat dalam waktu yang lama dari pada sefalosporin generasi sebelumnya
dan penicilin, cefotaxime efektif membasmi bakteri gram negatif dan gram positif
seperti Enterobaktericeae seperti Klebsiela, E.coli, Salmonela, Serratia, Proteus,
Pseudomonas. Sthapylococus, Clostridium, dan Fusabacterium. Indikasi
penggunaan antibiotik cefotaxime ialah untuk infeksi pada saluran pernafasan,
saluran urinary, infeksi pada jaringan kulit dan lunak, profilaksis perioperatif.
Injeksi kemudian dilanjutkan dengan pemberian analgesik berupa Asam
tolfenamat. Tolfen merupakan asam propionat turunan dari agen NSAID. Tolfen
merupakan agen yang berperan sebagai antipiretik, analgesik dann antiinflamasi
dengan mekanisme menghambat katalis siklooksigenase dari asam arakidonat
menjadi prekursor prostaglandin, menghambat sintesis prostaglandin pada
jaringan dan menghambat lipooksigenase.
327
Ceftriaxone =

= 1 ml

Tolfen =

= 0,2 ml

3.3.4 Persiapan operator dan asisten


Surgical scrub merupakan prosedur untuk membersihkan tangan dan lengan
bawah yang bertujuan untuk mengurangi bakteri yang dapat kontak dengan luka
operasi yang dilakukan dengan cara mencuci dan menggosok yang wajib
dilakukan oleh operator operasi. Tujuan dari pencucian tangan ialah
menghilangkan kotor yang menempel, minyak dan pengurangan populasi bakteri
transien (bakteri yang diendapkan dari lingkungan), dan menekan bakteri normal
flora yang berada dalam kulit selama prosedur operasi. Metode yang dipakai
untuk mencuci tangan menggunakan metode anatomic timed scrub yakni tehnik
melakukan gosokan pada tangan selama 5 menit hingga menghasilkan busa yang
dapat menutupi semua permukaan kulit. Akan tetapi apabila tangan operator
terlalu kotor maka waktu mencuci tangan dan menggosok dapat diperpanjang.
Perlu dihindari terjadinya ablasi pada kulit saat menggosok permukaannya
dikarenakan dapat meningkatkan jumlah organisme yang infektif pada permukaan
kulit. Kontak tangan dengan sabun minimal dilakukan selama 5-7 menit. Selama
prosedur pencucian dan menggosok permukaan kulit tangan diposisikan lebih
tinggi dari siku yang bertujuan air dan sabung dapat mengalir dari daerah terbersih
yakni tangan ke daerah yang kurang bersih yakni siku. Tangan dan lengan yang
telah discrub dibersihkan dengan handuk steril dan meminimalkan tetesan air

328
menetes. Tangan kemudian disemprotkan alkohol 70 % oleh asisten non steril.
Setelah itu dibantu dengan asisten steril menggunakan tutup kepala dan masker,
baju operasi dan sarung tangan
Semua orang yang berada diruang operasi harus memakai pakain khusus
untuk meminimalkan kontaminasi mikroba. Pakaian yang dipakai ialah pakaian
scrub yang dilengkapi dengan lengan panjang, dan memakai celana yang panjang.
Scrub yang dipakai harus memiliki lengan panjang yang dapat dilipat untuk
memudahkan menggosok lengan dan tangan saat akan steril. Celana yang dipakai
dibagian pinggangnya harus elastis. Asisten non steril diharukan memakai scrub.
Pemakaian scrub oleh semua operator dilakukan didalam ruangan operasi untuk
mencegah terjadinya transfer mikroorganisme dari lingkungan luar ke dalam
ruang operasi. Aksesoris pakaian bedah yang wajid digunakan lainnya ialah
penutup kepala, masker. Rambut yang dibiarkan terbuka dan tergerai akan
menjadi tempat filter dan tempat berkumpulnya bakteri. Pemakaian caps dalam
operasi harus benar-benar menutup semua rambut dan masker harus dapat
menutupi hidung dan mulut. Masker yang dipakai harus terbuat dari material
hidrofilik yang memilki tugas utama untuk menyaring mikroorganisme yang
dikeluarkan dari mulut dan nasofaring selama berbicara, bersin dan batuk. Semua
orang yang berlalu lalang didalam ruang operasi harus tetap memakai masker dan
penutup kepala.

3.3.5 Prosedur pembedahan


Prosedur pembedahan operasi ovariohisterektomi yaitu dengan mengangkat
organ ovarium dan uterus. Pembedahan menggunakan teknik laparotomi
medianus posterior dengan titik awal di bawah 1 cm umbilical Pada anjing
penyayatan dilakukan lebih ke cranial, karena badan uterus terletak lebih cranial
apabila dibandingkan dengan kucing (Hosgood,1998). dilakukan insisi sepanjang
3 cm ke arah posterior. Insisi pada bagian kulit kemudian bagian linea alba,
selanjutnya dilakukan insisi tepat pada bagian linea alba dan akan terlihat isi
perut. Upaya menemukan ovarium dengan mudah dapat dilakukan dengan
menarik vesika urinaria ke arah lateral Posisi dari corpus uteri terletak dikranial
vesika urinari sehingga akan memudahkan untuk menemukan bifurcartio uteri.

329
Salah satu cornua uteri ditarik untuk menemukan letak ovarium. Pada anjing
ovarium tersembunyi dan terdapat dalam lipatan lemak dari bursa ovarium.
Banyaknya lemak yang menutupi ovarium pada anjing dibandingkan kucing
sehingga akan menyebakan kesulitan dalam memvisualisasikan pembuluh darah
dalam ovarium. Pembuluh darah disekitar ovarium berkelok-kelok sepanjang
mesovarium. Ovarium yang telah ditemukan dan visualisasikan vaskularisasinya
kemudaian diklamp pada bagain pedikel ovarium. Pedikel yang terklamp
kemudian dipegang dengan asisten operator, operator kemudian melakukan ligasi
dilakukan pada pedikel ovarium sehingga memastikan ligasi dapat mencakup
arteri ovarica dan ligasi dilakuakan dalam satu simpul hingga terikat sempurna.
Ligasi pada pedikel ovarium dilakukan dengan menembus broad ligamentum
dengan needle holder untuk melakukan penjahitan dan ligasi pada daerah terdekat
dengan pedikel ovarium yang berada didaerah dinding lumbal Setelah yakin
terligasi dengan sempurna, benang kemudian diputus dan diamati untuk mengecek
terjadinya pendarahan pada artei ovarica. Prosedur selanjutnya ialah
menempatkan clamp diantata ligasi pada pedikel ovarium dengan ovarium.
Lakukan ligasi ulang pada daerah yang terdekat dengan ovarium dilakukan
dengan cara yang sama yakni memasukkan needle holder menembus broad
ligamentum untuk melakukan ligasi pada daerah yang dekat dengan ovarium.
Ligasi dilakukan dengan menggunakan benang Chromic 3.0. apabila telah
terligasi dengan benar maka dilakukan pemotongan diantara arteri clamp tersebut
dengan jarak dari masing-masing arteri clamp sekitar 0,5- 1 cm. Lepaskan kedua
clamp dan dilihat bagain yang telah terpotong guna memastikan tidak ada
pendarahan arteri ovarica. Kemudian dilakukan pemotongan ovarium sebelah
kanan dengan teknik yang sama
Pemotongan uterus dilakukan dengan cara melakukan palpasi dengan cara
memasukkan jari tangan dengan titik orientasinya bifurcartio uteri. Langkah awal
ialah melakukan clamp yang ditempatkan dibagian bawah bifurcartio uteri yang

330
berjarak 1-1,5 cm dengan tehnik 2 forceps. Guna menekan terjadinya pendarahan
mengingat vaskularisai dibagian uterus lebih besar dibandingkan ovarium maka
sebelum melakukan ligasi pada corpus uteri maka dilakukan ligasi terlebih dahulu
pada pembuluh darah yang memvaskularisasi uterus yakni a.v uterina dextra et
sinistra. Pembuluh darah telah terligasi dilanjutkan dengan melakukan ligasi pada
bagian
Gambar 3.1 Gambaran ovarium yang akan diligasi

kaudal forceps dengan cara penjahitan yang menebus mukosa uterus yang tepat
digaris tengan corpus, setelah itu lakukan pada sebagai corpus lainnya dan
terakhir lakukan pengikatan melingkar pada korpus uteri menggunakan benang
catgut chromic ligasi dilakukan sebanyak dua kali ikatan terakhir dikaitkan pada
korpus uteri agar ikatan lebih kuat. Pemotongan uterus dilakukan menggunakan
blade pada area diantara 2 forceps. Setelah dipastikan tidak ada pendarahan
makan clamp yang berada dalam uterus dapat dilepas. Reposisi uterus dan
omentum kedalam rongga abdomen dan lakukan flushing dengan cairan NS
sampai cairan yang dimasukkan menjadi bening, dan dilanjutkan dengan flushing
menggunakan antibiotik vicillin. Penutupan rongga abdomen dilakukan dengan
menjahit lapisan peritoneum dan m. obliqous abdominis externus dan m.
abdominis externus. Penjahitan peritoneum dan muskulus dikaitankan menjadi
satu, guna memberikan kekuatan menahan isi abdomen agar tidak keluar. Jahitan
pada muskulus menggunakan jahittan terputus sederhana dengan benang catgut
chromic jahitan dilanjutkan dengan menutup bagian subkutan menggunakan
metode intradermal serta bagian kulit dengan menggunakan terputus sederhana
Jahitan dibuat dengan rapat dan kuat untuk menghindari adanya ruptur ataupun
hernia. Luka yang telah terjahit diberikan povidone iodine dan diberikan salep
peru balsem dan ditutup dengan kasa dan hypavic
3.3.6 post operasi
Perawatan dan pengobatan pasca operasi dilakukan dengan memberikan
antibiotik injeksi ceftriaxone sebanyak 1 ml dua kali sehari selama dua hari,
melalui intramuskular. Pemberian analgesik Tolfen diberikan sebanyak 0,2 ml satu
kali sehari melalui Intramuskular. Manajemen luka dilakukan dengan
penggantian kasa dan hypavix satu kali sehari pada pagi hari yang diawali dengan
331
pembersihan mengggunakan cairan NS, povidone iodine dan peru balsem selama
8 hari. Jahitan pada hari kesembilan dapat dilepas sebagai, dan pada hari ke 10
semua jahitan telah kering dan dilepas semuanya.

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Pemeriksaan Fisik


Signalement Hewan
Nama hewan : Helen
Jenis hewan : anjing
Ras/Breed : dachshund
Warna bulu dan kulit : dua warna coklat dan merah
Jenis kelamin : Betina
Bobot badan : 5 kg
Umur : ± 3 tahun
Tanda khusus : Tidak ada

332
Status Present :
Keadaan Umum
Perawatan : Sedang
Habitus/tingkah laku : Jinak
Gizi : Baik
Pertumbuhan badan : Baik

Sikap berdiri : Tegak pada empat kaki


Suhu : 38,9 oC
Frekuensi nafas : 28 kali/menit
Frekuensi jantung : 120 kali/menit

Adaptasi Lingkungan :
Kulit dan Rambut
Aspek rambut : Cerah, tidak kusam
Kerontokan : Ada
Kebotakan : Tidak ada
Turgor Kulit : Baik < 2 detik
Permukaan Kulit : Bersih dan rata

Kepala dan Leher


Inspeksi
Ekspresi wajah : Segar, ceria
Pertulangan wajah : Tegas dan simetris
Posisi tegak telinga : Tegak pada keduanya
Posisi kepala : Tegak diatas bahu

Palpasi
Mata dan orbita kiri dan kanan
Palpebrae : Membuka dan menutup sempurna
Cilia : Melengkung keluar sempurna
Conjuctiva : Cerah permukaan rata
Membrana nikitans : Tersembunyi tidak terlihat

Bola mata kanan dan kiri


Sclera : Putih
Cornea : Bening, permukaan licin
Iris : Hitam
Pupil : Baik
Refleks pupil : Ada
Vasa injectio : Ada

Hidung dan sinus – sinus


Bentuk : Simetris

333
Aliran udara : Bebas keduanya

Mulut dan rongga mulut


Defek bibir : tidak ada defek
Mukosa mulut : Rose, licin, basah dan tidak ada kerusakan

Telinga
Posisi : Tegak keduanya
Bau : Khas serumen
Permukaan daun telinga : Rata
Krepitasi : Tidak ada
Refleks panggilan : Ada

Leher
Perototan Leher : Kompak
Trachea : Teraba
Esophagus : Teraba, kosong

Sistem Pertahanan
Ln Retropharyngealis : Tidak teraba
Ln Prascapularis : Tidak teraba
Ln Axillaris : Tidak teraba
Ln Popliteus : Tidak teraba

Sistem Peredaran Darah


Inspeksi
Ictus cordis : Tidak ada
Auskultasi
Frekuensi : 120 kali/menit
Intensitas : Kuat
Ritme : Ritmis

Sistem Pernafasan
Inspeksi
Bentuk rongga thoraks : Simetris
Tipe pernafasan : Costal
Ritme : Ritmis
Intensitas : Sedang
Frekuensi : 28 x/menit

Palpasi
Trakhea : Teraba
Batuk : Tidak ada
Penekanan rongga thoraks : Tidak ada rasa sakit
Palpasi M. Intercostal : Tidak ada rasa sakit
Auskultasi
Suara pernafasan : Bersih, nyaring

334
Sistem gastrointestinal
Ruang Abdomen
Inspeksi
Ukuran abdomen : Tidak ada perubahan
Bentuk rongga abdomen : Simetris
Palpasi Profundal
Epigastricus : Tidak ada rasa sakit
Mesogastricus : Tidak ada rasa sakit
Hipogastricus : Tidak ada rasa sakit
Auskultasi
Peristaltik usus : Terdengar 3x/menit
Anus
Kebersihan : Bersih
Refleks sphincter ani : Ada
Kebersihan daerah anal : Bersih
Kebersihan daerah perianal : Bersih

Sistem Urogenital
Vulva : Bersih, tidak ada perubahan
Mukosa vagina : Bersih, rose, tidak ada lendir
Kelenjar mammae : Letak simetris, jumlah 10

Alat Gerak dan Extremitas


Inspeksi
Perototan kaki depan : Kompak
Perototan kaki belakang : Kompak
Spasmus otot : Tidak ada
Kuku kaki : Panjang, bentuk normal

Cara bergerak-berjalan : Koordinatif


Kesimetrisan : Simetris, panjang yang sama

Palpasi
Struktur pertulangan
Kaki kanan depan : Tegas, tegak dan lurus
Kaki kanan belakang : Tegas, tegak dan lurus
Kaki kiri depan : Tegas, tegak dan lurus
Kaki kiri belakang : Tegas, tegak dan lurus
Konsistensi pertulangan : Keras
Reaksi saat palpasi : Tidak ada reaksi kesakitan
Letak rasa sakit : Tidak ada

Hasil pemeriksaan : Kondisi normal (SEHAT)

Tindakan : Ovariohisterektomi.

335
Tabel 1. Keadaan fisiologis pasca operasi
Post Selesai 18.00 18.30 19.00 19.30 20.00 20.30 21.00
operatif operasi
17.30

Suhu 35,7 36.0 36,3 36,9 37,4 38.3 38,5 38,2

Pulsus 140 116 128 132 124 180 144 172

Respirasi 20 32 48 27 42 54 40 28

Keterangan Masih dalam pengaruh Anjing Anjing Anjing


bius telah mulai mulai
sadar minum makan

Tabel 2. Perubahan Fisiologis Pasca Operasi

Tgl Gejala Klinis/Data Makan Minum Defekasi Urinasi Terapi

22-06-16 Pagi √ Pakan √ √ √ Injeksi Tolfen


T: 38,6 C, jahitan oke, lemas dan dogfood injeksi ceftriaxone
masih merasa kesakitan, mukosa kering + injeksi vitamin K
pucat dogfood Treat luka menggunakan
Sore basah povidone iodine
Suhu: 38.0°C, luka insisi masih
basah, sudah mulai aktif

23/06/16 Pagi √ √ √ √ Injeksi Tolfen


T: 38.9°C,jahitan menunjukkan Pakan injeksi ceftriaxone
kebengkakan dan masih basah, dogfood injeksi vitamin K
anjing sudah aktif, dan makan kering + Treat luka menggunakan
banyak dogfood povidone iodine
Sore basah
Suhu: 38.3°C, aktif mukosa pink

24/06/16 Pagi √ √ √ √ injeksi vitamin K


T: 38.0°C, jahitan kulit oke, otot Pakan cefixime oral
masih bengkak dogfood injeksi Tolfen
membran mukosa rose kering + Treat luka menggunakan
Sore dogfood povidone iodine
Suhu: 38.5°C, membran mukosa basah
rose

25/06/16 Pagi √ √ √ √ cefixime oral


T: 37,9°C, jahitan oke, bengkak Pakan Treat luka menggunakan
mulai berkurang dogfood povidone iodine
Sore kering +
Suhu: 38.4, anjing aktif dogfood
basah

26-06-16 Pagi √ Pakan √ √ √ cefixime oral

336
T: 38,0 C, jahitan oke, aktif, mukosa dogfood Treat luka menggunakan
pink, bengkak berkurang luka kering + povidone iodine
mulai kering dogfood
Sore basah
Suhu: 38.5°C,

27/06/16 Pagi √ √ √ √ cefixime oral


T: 38.9°C,jahitan, mulai kering, Pakan Treat luka menggunakan
bengkak berkurang aktif, dan dogfood povidone iodine
makan banyak kering +
Sore dogfood
Suhu: 38.7°C, aktif mukosa pink basah

28/06/16 Pagi √ √ √ √ cefixime oral


T: 38.2°C, jahitan kulit oke, Pakan Treat luka menggunakan
bengkak tidak ada, luka kering dogfood povidone iodine
membran mukosa rose kering +
Sore dogfood
Suhu: 38.5°C, membran mukosa basah
rose

29/06/16 Pagi √ √ √ √ cefixime oral


T: 38,6 C, jahitan kering, jahitan Pakan Treat luka menggunakan
dibuka sebagian dogfood povidone iodine
Sore kering +
Suhu: 38.4, anjing aktif dogfood
basah

30/06/16 Pagi √ √ √ √ cefixime oral


T: 38,7 , jahitan oke, jahitan kering Pakan Treat luka menggunakan
dan dibuka jahitannya dogfood povidone iodine
Sore kering +
Suhu: 38.4, anjing aktif dogfood
basah

01/07/16 Pagi Pakan √ √ √ Treat luka menggunakan


T: 38,3 jahitan yang dibuka kering, dogfood povidone iodine
aktif, makan banyak kering +
sore dogfood
anjing dipulangkan basah

Selama pelaksaan ovariohysterectomy ditemukan beberapa kendala dalam


pelaksaan operasi diantaranya Saat linea alba dikuakkan letak ovarium tidak
dapat dipalpasi dikarenakan tertuupi dengan vesica urinaria. Letak anatomis
ovarium berada di kranial Vesica urinaria. Pada saat hewan akan dioperasi hewan
dipuasakan dari makan dan minum 6 jam sebelum operasi. Pada saat menjelang
operasi anjing tidak menunjukkan tanda-tanda buang air kecil dan air besar,
kemungkinan dapat disebabkan karena respon stres dari hewan, sehingga pada
saat dikuakkan besarnya vesica urinaria menutupi dari ovarium. Guna

337
memudahkan pencarian ovarium, dilakukan pengosongan vesica urinarian dengan
cara ditekan untuk mengeluarkan urinnya hingga kosong. Pengosongan vesica
urinaria dilakukan hingga memudahkan operartor menemukan ovarium.
Tindakan ovariohyterectomy dilakukan saat estrus pertama dari anjing,
sehingga memiliki resiko terjadinya pendarahan yang lebih besar dikarenakan
adanya perubahan hormonal yang ditandai dengan peningkatan hormon LH dan
estrogen yang menyebabkan terjadinya ovulasi akan memicu terjadinya
peningkatan vaskularisai didaerah organ reproduksi terutama didaerah uterus
yang ditunjukkan dengan adanya pendarahan mikrovaskuler yang bertujuan
untuk persiapan implantasi (feldman, 2004). Untuk menanggulangi apabila terjadi
pendarahan maka dilakukan ligasi yang kuat pada arteri ovarica dan arteri uterina.
Ligasi dilakukan dengan pengulangan sebanyak 3 kali. Anjing dikenal memiliki
pembuluh darah yang rapuh dibandingkan kucing yang mudah terjadi pendarahan
apabila tergores, untuk mengatasi hal tersebut selama proses operasi apabila
terjadi pendarahan kecil disemprotkan dengan dengan ephineprin. Ephineprin
yang diberikan secara topikal akan mengaktifkan stimulasi adrenoresepto alfa
yang akan memicu vasokonstriksi dari otot polos dinding pembuluh darah. selama
proses operasi untuk mengganti cairan yang hilang dberikan cairan infus NaCL
0,9%. Pemberian infus NaCl 0,9% selama tindakan operatif bertujuan untuk
menjaga kestabilan cairan tubuh dari dehidrasi, pendarahan dan shock sewaktu
operasi berlangsung (Fossum, 2012).
Keadaan hewan post operatif menunjukkan terjadinya hipotermia dikarenakan
suhu berada pada kisaran suhu normal pada anjing yakni 37,5 dengan suhu
normal pada anjing berkisar 37,5-39 derajat celcius. Penurunan suhu pada anjing
merupakan efek samping dari penggunaan anastesi ketamin yakni menyebabkan
terjadinya penurunan suhu. Upaya yang dilakukan untuk meningkatkan suhu
yakni dilakukan penyinaran dengan infrared . pemberian infrared secara perlahan-
lahan meningkatkat suhu dari anjing mumum, dikarenakan infrared memiliki
kemampuan untuk Meningkatkan sirkulasi mikro. Infra red yang dipancarkan
yang mengenai anggota tubuh akan mengaktifkan molekul air karena mempunyai
getaran yang sama, adanya gerakan air akan menghasilkan panas yang
menyebabkan pembuluh kapiler membesar, dan meningkatkan temperatur kulit,

338
memperbaiki sirkulasi darah dan mengurani tekanan jantung.Hewan yang telah
sadar masih belum menunjukkan tanda untuk makan dan minum. kemungkinan
hewan mulai merasakan nyeri dikarenakan telah berkurangnya efek anastesi.
Pencegahan terjadinya dehidrasi dilakukan dengan tetap mempertahankan cairan
infus sebagai rehidrasi cairan. Pemberian obat selama tiga hari pertama diberikan
suplemen vitamin K, dikarenakan pada saat prosedur operasi terjadi pendarahan.
Vitamin K merupakan vitamin yang memiliki mekanisme kerja dengan cara
meningkatkan biosintesi faktor koagulasi II, VII, IX dan X dihepar. Berikut ini

merupakan penghitungan dosis vitamin K yang diberikan pada anjing Helen:

Anjing Helen pada saat pengobatan yang dilakukan dengan injeksi


menunjukkan tingat stress yang cukup tinggi, menjadi agresif yang dapat
menggangu proses pengobatan sehingga setelah hari kedua dilakukan penggantian
cara pemberian obat dari obat injeksi menjadi obat oral

Hari ketiga pemberian cefotaxime diganti dengan menggunakan cefixime.


Penggantian antibiotik dari ceftriaxone menjadi cefixime ialah untuk
meminimalkan stress dari hewan dan pemberian obat lebih efisien serta mudah
dibandingkan saat pemberian saat intravena. Penggantian antibiotik tetap
menggunakan antibiotik golongan sefalosporin generasi ketiga dengan cara kerja
yang sama yaitu menghambat sintesis dinding protein.

339
Anjing Helen tiap hari menunjukkan progress yang semakin baik dan
berespon terhadap pengobatan yang diberikan, yang ditandai dengan berkurang
kebengkakan pada luka sayatan, tidak ditemukannya adanya infeksi dan pada hari
ke 8 luka telah kering sehingga diputuskan untuk dibuka jahitan,

BAB IV
PENUTUP

1.1 Kesimpulan
Ovariohisterektomi merupakan tindakan bedah pengangkatan uterus dan
ovarium yang bertujuan untuk menekan populasi dan mencegah penyakit pada
hewan seperti pyometra. Selama pelaksanaan operasi harus dimulai dengan
persiapan preoperasi meliputi persiapan alat, hewan dan operator guna
meminimalkan kontaminasi pada luka sayatan. Selama operasi dan post operasi,
harus senantiasa dipantau keadaan fisiologis hewan dan dilakukan terapi untuk
mempercepat penyembuhan dan menurunkan angka infeksi pada luka

1.2 Saran.
Perlunya dilakukan pengujian darah lengkap untuk mengetahui secara
pasti kondisi fisiologis hewan terutama faktor pembekuan darah dan glukosa.

340
DAFTAR PUSTAKA

Archibald J. 1974. Canine Surgery. 2th ed. American Veterinary Publication, Inc.
Santa Barbara, California.
Bencharif, D., L. Amirat, and D.Tainturier. 2010. Ovariohysterectomy in the
Bitch. Corporation Obstetrics and Gynecology International Volume 2010
Frandson RD. 1993. Anatomi dan Fisiologi Ternak Edisi keempat. Yogyakarta:
Universitas Gadjah Mada Press.
Hosgood, G dan Johnny D.H. 1998. Small Animal Paediatric Medicine and
Surgery. London: Reed Educational and Professional Publishing Ltd
Junaidi, Aris. 2006. Reproduksi dan Obstetri Pada Anjing. Gadjah mada
university Press. Yogyakarta
Partodiharjo R. 1987. Ilmu Reproduksi Hewan. Jakarta: Penerbit Mutiara
Sumber Widya.
Pearson.1973. The Complication of Ovariohysterectomy in the Bitch. Jurnal
Small aminal Prctices 14:257.
Plumb DC. 2008. Veterinary Drug Handbook Sixth Edition. Wisconsin:
Blackwell Publishing Profesional.
Reece W.O., Respiration in Mammals, in Dukes' Physiology of Domestic
Animals, 12th ed., Reece W.O., Ed. Copyright 2004 by Cornell University.
Robertshaw, D., Temperature Regulation and Thermal Environment, in Dukes'
Physiology of Domestic Animals, 12th ed., Reece W.O., Ed. Copyright
2004 by Cornell University.
Tanudimadja, K. 1983. Biologi Reproduksi. Institut Pertanian Bogor.
Tobias KM. 2010. Manual of Small Animal Soft Tissue Surgery. USA: Wiley
and Blackwell.
Toelihere MR. 1985. Ilmu Kebidanan Pada Sapi dan Kerbau. Jakarta:
Universitas Indonesia Press.

341
Lampiran dokumentasi hasil jahitan
No. Hari Gambar
1 Hari ke 2
2 Hari ke 6

3 Hari ke 8

342

Anda mungkin juga menyukai