1.1.Latar Belakang
Daging merupakan bahan pangan yang penting dalam memenuhi kebutuhan
gizi. Daging memiliki protein yang tinggi dan kandungan asam amino esensial yang
lengkap dan seimbang. Namun daging dapat mudah rusak jika tidak segera
dikonsumsi. Pengolahan bahan pangan pada daging dapat menjadi solusi untuk
mengatasi mudah rusaknya daging serta daya simpan daging yang singkat.
Pengolahan bahan pangan adalah proses perubahan pada bahan pangan menjadi
bahan pangan yang diinginkan sesuai dengan tujuan tertentu. Salah satu bahan
pangan olahan yang berasal dari daging adalah bakso daging. Standar Nasional
Indonesia menyebutkan bakso daging merupakan makanan produk olahan daging
yang dibuat dari daging hewan ternak yang dicampur pati atau bumbu-bumbu,
dengan atau tanpa penambahan bahan pangan yang diizinkan, yang berbentuk bulat
atau bentuk lainnya dan dimatangkan. Daging yang dapat digunakan adalah daging
sapi, kerbau, kambing, domba, babi, hewan ternak lainnya, dan atau hewan unggas
(BSN, 2014).
Pengolahan bahan pangan dilakukan untuk meningkatkan nilai tambah,
meperpanjang masa simpan, meningkatkan nilai gizi, meningkatkan penerimaan
terhadap produk dan menganekaragamkan produk olahan pangan. Kualitas bakso
sangat ditentukan oleh kualitas daging, jenis tepung yang digunakan, perbandingan
banyaknya daging dan tepung yang digunakan untuk membuat adonan, dan
pemakaian jenis bahan tambahan yang digunakan. Tingginya konsumsi olahan
daging terutama bakso daging tentunya menuntut adanya jaminan kualitas daging
yang aman, sehat, utuh, dan halal (ASUH). Sehingga keseluruhan produk olahan
daging dalam proses produksi harus terstandar seperti yang telah ditetapkan oleh
Badan Standarisasi Nasional sebagai upaya penjaminan mutu. Produk bakso daging
harus memiliki mutu dan kualitas sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI)
3818-2014. Pemeriksaan kualitas bakso daging sangatlah perlu untuk mengetahui
kualitas bakso daging yang beredar di masyarakat apakah telah sesuai Standar
Nasional Indonesia (SNI) serta aman tidaknya produk tersebut.
1
1.2.Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang sudah diuraikan, maka dapat dirumuskan
beberapa permasalahan sebagai berikut :
1. Apakah mutu dan kualitas bakso daging sapi sesuai dengan SNI
38182014?
2. Bagaimanakah keamanan dan kelayakan bakso daging sapi untuk
dikonsumsi?
1.3.Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah yang sudah diuraikan, maka dapat dirumuskan
beberapa tujuan sebagai berikut :
1. Mengetahui mutu dan kualitas bakso daging sapi sesuai dengan SNI
3818-2014.
2. Mengetahui keamanan dan kelayakan bakso daging sapi untuk
dikonsumsi.
1.4.Manfaat
Manfaat yang dapat diperoleh adalah
1. Memperoleh wawasan tentang prosedur pemeriksaan produk olahan
bakso daging sapi.
2. Mengetahui mutu dan kualitas bakso daging sapi yang beredar di
pasaran.
2
yang dicampur pati atau bumbu-bumbu, dengan atau tanpa penambahan bahan
pangan yang diizinkan, yang berbentuk bulat atau bentuk lainnya dan dimatangkan
(BSN, 2014).
Pada umumnya bahan baku utama bakso biasanya terbuat dari daging segar
yang belum mengalami rigormortis. Daging fase pre-rigormortis memiliki daya
ikat air yang tinggi, dalam arti kemampuan protein daging mengikat dan
mempertahankan air tinggi sehingga menghasilkan bakso dengan kekenyalan
tinggi. Hal ini didukung oleh perubahan daging sapi fase pre-rigormortis ke
rigormortis selama penggilingan, pencampuran, penghalusan, pencetakan, dan
perebusan sangat memacu kekenyalan bakso. Pada kondisi perubahan fase ini,
disamping daya ikat air - protein tinggi, protein aktin dan miosin belum saling
berinteraksi menjadi aktomiosin, pH cukup tinggi, akumulasi asam laktat, dan
tekstur tidak lunak (Prastuti, 2010). Kandungan gizi bakso dapat dilihat pada tabel
2.1.
Tabel 2.1 Komposisi Kimia Bakso Daging Sapi Setiap 100 gram
Komposisi Satuan Kadar
Air % 77,85
Lemak % 0,31
Protein % 6,95
Karbohidrat % -
Abu % 1,75
Garam % -
Sumber : Wibowo (2009)
Adonan bakso dibuat dengan cara memotong daging kecil kecil, kemudian
dicampur dengan es batu atau air es (10 15% berat daging) dan garam serta bumbu
lainnya sampai menjadi adonan kalis dan plastis sehingga mudah dibentuk sambil
ditambahkan tepung kanji sedikit demi sedikit agar adonan lebih mengikat.
Penambahan tepung kanji cukup 15 -20% berat daging. Kualitas bakso sangat
ditentukan oleh kualitas daging, jenis tepung yang digunakan, perbandingan
banyaknya daging dan tepung yang digunakan untuk membuat adonan, dan
pemakaian jenis bahan tambahan yang digunakan. Bakso yang berkualitas baik
dapat dilihat dari tekstur, warna, dan rasa. Teksturya yang halus, kompak, kenyal,
dan empuk. Halus yaitu permukaan irisannya rata, seragam, dan serat dagingnya
tidak tampak (Astawan, 2004). Bakso sebagai salah satu produk industri pangan,
3
memiliki standar mutu yang telah ditetapkan. Adapun standar mutu bakso menurut
Standar Nasional Indonesia dapat dilihat pada tabel 2.2.
Tabel 2.2 Syarat Mutu Bakso Daging (SNI 3818-2014)
4
2.2 Pengujian Mutu dan Bakso Sapi
2.2.1 Uji Organoleptik (SNI 3818-2014)
Prinsip pada pengujian organoleptik pada bakso daging adalah memeriksa
kualitas bakso daging yang meliputi bau, rasa, warna, dan tekstur dapat dilakukan
dengan menggunakan pancaindera.
2.2.4 Uji Jumlah Bakteri dengan Total Plate Count (TPC) Metode Tuang (SNI
2897 : 2008)
Prinsip pada pengujian jumlah bakteri dengan Total Plate Count (TPC) pada
bakso daging adalah pemeriksaan yang dilakukan untuk mengetahui adanya
pertumbuhan mikroorganisme yang membentuk koloni yang dapat dilihat langsung
dengan mata telanjang. Mikroorganisme yang tumbuh merupakan gambaran jumlah
populasi mikroorganisme yang terdapat pada sampel.
5
2.2.6 Uji Cemaran Escherichia coli dengan Media Eosin Methylen Blue Agar
(EMBA) (SNI 2897 : 2008)
Prinsip pada pengujian Escherichia coli pada bakso daging adalah pemeriksaan
yang dilakukan untuk mengetahui adanya pertumbuhan koloni bakteri Escherichia
coli pada media EMBA yang dapat langsung dengan mata telanjang. Koloni bakteri
Escherichia coli yang tumbuh merupakan gambaran jumlah populasi
mikroorganisme yang terdapat pada sampel.
6
BAB III METODOLOGI
7
6. Uji boraks
7. Uji formalin
8. Uji Salmonella pada media SSA
9. Uji E.colli pada media EMBA
8
3.5.3 Uji Perhitungan Jumlah Bakteri dengan Total Plate Count (TPC) (SNI
2897 : 2008)
Prinsip pengujian : Pemeriksaan yang dilakukan untuk mengetahui adanya
pertumbuhan mikroorganisme yang membentuk koloni yang dapat dilihat langsung
dengan mata telanjang. Mikroorganisme yang tumbuh merupakan gambaran jumlah
populasi mikroorganisme yang terdapat pada sampel.
Alat dan bahan : Cawan petri, tabung reaksi, pipet volumetric, botol media, gunting,
pinset, jarum inokulasi, stomacher, bunsen, timbangan, pengocok tabung,
inkubator, plate count agar (PCA), buffer pepton water (BPW) 0,1 %, bakso daging
sapi.
Prosedur kerja : Ditimbang sampel sebanyak 1 gr secara aseptik kemudian
dimasukkan ke dalam 9 ml larutan BPW 0,1 % steril ke dalam tabung reaksi yang
sudah berisi sampel tersebut, dihomogenkan selama 1-2 menit. Kemudian
dipindahkan 1 ml suspensi tersebut dengan pipet steril ke dalam larutan 9 ml BPW
dalam tabung reaksi lain untuk mendapatkan pengenceran 10-2. Dibuat pengenceran
10-310-410-5 dengan cara yang sama seperti pada prosedur sebelumnya sesuai
kebutuhan. Pada pengenceran 10-310-410-5 , diambil 1 ml dari suspensi tersebut dan
dituang ke dalam cawan petri. Setiap pengenceran yang dituang pada cawan, dibuat
duplo. Ditambahkan 15 ml sampai dengan 20 ml PCA yang sudah didinginkan pada
masing-masing cawan yang sudah berisi supensi. Supaya larutan sampel dan media
PCA tercampur seluruhnya, dilakukan pemutaran cawan ke depan dan ke belakang
atau membentuk angka delapan dan didiamkan sampai memadat. Cawan diinkubasi
pada suhu 37oC selama 24 jam dengan posisi terbalik.
Interpretasi : Untuk perhitungan koloni, hitung jumlah koloni pada setiap seri
pengenceran kecuali cawan petri yang berisi koloni meyebar (spreader colony).
Pilih cawan yang mempunyai jumlah koloni 25 sampai dengan 250.
9
koliform dan membentuk koloni yang dapat dilihat langsung dengan mata
telanjang.
Alat dan bahan : Tabung reaksi, tabung durham, inkubator, timbangan, rak tabung
reaksi, pipet 1 ml dan 10 ml, tabung erlenmeyer 250 ml, dan bunsen. Bahan yang
digunakan adalah sampel bakso sapi, media Lactose Sufate Broth (LSB), dan
Buffer Pepton Water (BPW) 0,1%
Prosedur kerja : Sampel bakso sapi ditimbang 1 gram kemudian dimasukkan dalam
9 ml larutan BPW 1% yang telah berada dalam tabung reaksi. Dihomogenkan
(pengenceran 10-1) lalu homogenat tersebut dipindahkan sebanyak 1 ml ke dalam
tabung reaksi berisi 9 ml larutan BPW untuk mendapatkan larutan dengan
pengenceran 10-2. Pengenceran dilakukan hingga 10-3 dengan cara yang sama
seperti pada prosedur diatas. Tabung durham diisi LSB serta ditambahkan 1 ml
larutan pengenceran 10-1 sampai 10-3. Setiap sampel yang ditanam dalam media
dibuat secara seri triplo untuk pengukuran berulang pada pengenceran sampel yang
sama. Diinkubasi pada suhu 37oC selama 24 jam.
Interpretasi : Cemaran bakteri koliform dinyatakan positif apabila terbentuk gas
yang keluar dari dalam tabung durham.
10
bunsen, ditetesi LPCB, ditutup dengan cover glass dan diamati dibawah
mikroskop.
- Prosedur identifikasi mold adalah koloni pada media SDA ditempel dengan
selotip, selotip direkatkan pada object glass yang sudah ditetesi LPCB dan
diamati dibawah mikroskop.
11
petri digoyangkan dan amati perubahan warna yang terjadi, serta waktu terjadinya
perubahan reaksi dihitung dengan jam.
Interpretasi : Terjadi perubahan warna.
12
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
13
pencampuran tepung yang lebih banyak atau proporsi tepung yang dicampurkan
pada bakso sesuai maka bakso yang dihasilkan semakin kenyal. Tekstur bakso
ditentukam oleh kandungan air, kandungan lemak dan jenis karbohidrat.
Kandungan air yang tinggi akan menghasilkan bakso yang berlubang-lubang
sehingga dapat mempengaruhi tekstur bakso. Aspek yang dinilai dari tekstur bakso
ditandai dengan kenyal atau tidaknya produk yang dihasilkan (Soeparno, 2005).
Pengujian kadar air pada bakso diperoleh hasil sebesar 41,04%, dimana pada
standar angka ini berada dibawah angka maksimal yang telah ditetapkan yaitu 70%
untuk bakso. Air adalah komponen yang penting dalam bahan makanan karena air
dapat mempengaruhi penampakan tekstur, serta citarasa makanan. Kadar air yang
tinggi pada produk olahan daging akan mempercepat terjadinya proses
pembusukan. Pembusukan merupakan gejala yang dapat dilihat akibat adanya
aktivitas mikroorganisme seperti perubahan bau, rasa atau penampilan dari bakso
yang menyimpang. Sedangkan kadar air yang rendah menujukkan bahwa
kandungan tepung dalam bakso lebih banyak dibandingkan dengan daging. Kadar
air yang rendah disebabkan karena tepung berfungsi sebagai bahan pengikat yang
dapat meningkatkan daya ikat air, dimana tepung akan mengikat air yang berada
dalam matriks daging sehingga kadar air pada bakso akan semakin menurun. Hal
ini sesuai dengan pernyataan Maharaja (2008), yang menyatakan penurunan kadar
air terjadi akibat mekanisme interaksi pati dan protein sehingga air tidak dapat diikat
secara sempurna karena ikatan hidrogen seharusnya mengikat air telah dipakai
untuk interaksi pati dan protein. Dengan demikian semakin banyak tepung yang
digunakan maka massa tepung didalam bakso akan semakin besar dan kadar air
bakso akan semakin menurun. Penurunan ini juga disebabkan karena pati yang
terkandung dalam tepung menambah berat total dan bersifat menyerap air,
sedangkan kandungan air didalam daging tetap. Akibatnya kadnungan air akan
menurun.
Hasil uji untuk boraks pada bakso daging sapi menunjukkan hasil yang negatif.
Boraks adalah bahan yang dikenal untuk industri farmasi sebagai ramuan obat
misalnya salep, bedak, larutan kompres, obat oles mulut, dan obat pencuci mata.
Boraks juga digunakan sebagai bahan solder, pembersih, pengawet kayu, dan
antiseptik kayu. Penggunaan boraks dalam makanan sangat berbahaya, karena jika
14
makanan yang mengandung boraks dikonsumsi dalam jangka lama, maka akan
menyebabkan gangguan otak, hati, dan ginjal. Dalam jumlah banyak, boraks
menyebabkan demam, anuria, sianosis, koma, merangsang sistem syaraf pusat,
menimbulkan depresi, tekanan darah menurun, kerusakan ginjal, pingsan, hingga
kematian (Octavianie, 2002). Hasil pengujian formalin dengan menggunakan kit
formalin pada sampel bakso daging sapi juga menujukkan hasil negatif dan sudah
sesuai dengan SNI 3818-2014.
Formalin dan boraks merupakan bahan pengawet dan pengenyal yang dilarang
dan tidak diperuntukkan penggunaannya sebagai bahan pengawet pangan. Formalin
dan boraks merupakan bahan kimia yang dilarang penggunaannya sebagai bahan
pengawet dan pengenyal makanan secara resmi sejak Oktober 1998 melalui
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
722/Menkes/per/IX/1998. Penggunaan formalin untuk bahan pangan tidak sesuai
dengan Undang-Undang Pangan Nomor 7 Tahun 1996 dan Peraturan Pemerintah
Nomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan. Tata cara
perniagaan penggunaan formalin diatur melalui Keputusan Menteri Perindustrian
dan Perdagangan Nomor 254/MPP/Kep/7/2000. Manusia hanya dapat mentoleransi
kandungan formalin sebesar 1 ppm, jika melebihi batas tersebut dapat menimbulkan
toksisitas dan kematian (Fatmawati et al., 2005). Formalin dan boraks bersifat
karsinogenik. Resiko yang ditimbulkan akibat mengkonsumsi makanan
mengandung formalin dan boraks menyebabkan gangguan otak yang melemahkan
sinaps, hati, lemak, dan ginjal (Widyaningsih, 2006).
Hasil pegujian cemaran mikroba menggunakan media PCA menunjukkan hasil
0,1 x 105. Cemaran mikroba yang sedikit pada sampel menunjukkan bakso tersebut
dibuat menggunakan bahan baku yang bermutu dan proses pembuatan yang
higienis. Begitu pula dengan cemaran koliform yang menunjukkan hasil kurang dari
10 APM/g. Sementara pada uji cemaran kapang dan khamir juga menujukkan hasil
negatif. Dalam proses pembuatan bakso selain penambahan garam juga seringkali
ditambahkan natrium benzoat sebanyak 0,1 0,5% dari berat adonan. Garam dapur
disini berfungsi disamping memberikan rasa pada produk bakso, juga sebagai
pelarut protein, pengawet dan meningkatkan daya ikat air dari protein daging.
Garam dapur juga diketahui memiliki sifat yang menghambat perkembangan dan
15
pertumbuhan mikroorganisme perusak atau pembusuk makanan. Bahan lain yang
berfungsi juga sebagai pengawet yaitu natrium benzoat, bahan ini diketahui juga
berfungsi untuk mencegah atau menghambat penguraian (kerusakan) makanan oleh
mikroorganisme.
Pengujian lanjutan sebagai uji konfirmasi terhadap cemaran bakteri E.coli,
yaitu dengan menanam kultur cemaran mikroba ke media selektif Eosin Methylen
Blue Agar (EMBA) menujukkan hasil negatif atau tidak ditemukannya koloni
bekteri koliform. Hasil uji tersebut sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI
3818-2014) tentang kualitas bakso sapi yang menyatakan bakso sapi mengandung
bakteri E.coli kurang dari 3 APM/g. Ciri koloni yang diduga E.coli berdiameter 2-
3 mm, berwarna hitam atau gelap pada pusat koloni, dengan atau tanpa warna
metalik kehijauan yang mengkilat pada EMBA.
Escherichia coli yang merupakan flora normal dalam saluran pencernaan baik
manusia maupun hewan yang sehat dapat menjadi bakteri patogen jika jumlahnya
berlebih di dalam tubuh karena bakteri ini dapat menghasilkan endotoksin. Salah
satu jenis E.coli yang sering ditemukan pada pencemaran olahan makanan seperti
daging khususnya yaitu E.coli tipe o157 : H7, dapat mengakibatkan keracunan
makanan yang serius pada manusia yaitu diare berdarah karena eksotoksin yang
dihasilkan bernama verotoksin. Sumber pencemaran bakteri ini bisa berasal dari
cara pembuatan, misalnya dari pemilihan daging, pengolahan menjadi bakso,
distribusi produk baksi hingga prose pemasakan menjadi basko sapi (Yalun, 2008).
Pengujian terhadap cemaran bakteri Salmonella pada media Shigella
Salmonella Agar (SSA) menujukkan hasil negatif atau tidak ditemukannya koloni
bekteri Salmonella. Hasil uji tersebut sesuai dengan Standar Nasional Indonesia
(SNI 3818-2014) tentang kualitas bakso sapi yang menyatakan bakso sapi negatif
atau tidak mengandung bakteri Salmonella. Ciri koloni yang diduga Salmonella
adalah koloni tidak berwarna, biasanya bagian tengah berwarna hitam.
Pada pengujian terhadap cemaran yeast dan mold dengan media SDA
(Sabouraud Dextrose Agar) didapatkan hasil negatif. SDA merupakan media yang
digunakan untukk mengidentifikasi atau menentukan jenis jamur yang telah
dibiakkan dalam media. Fungi merupakan organisme eukariot, termasuk di
dalamnya adalah mikroorganisme uniselular seperti khamir (yeast) dan kapang
16
(mold), serta fungi multiselular yang memproduksi bahan aktif dan sering kali
beracun bagi organisme lain. Senyawa yang diproduksi oleh fungi ini disebut
mycotoxin. Akumulasi mycotoxin di dalam tubuh manusia memiliki efek
hepatotoksik (kerusakan hati), hepatokarsinogenik (kanker hati), mutagenik,
teratogenik, maupun immunosupresif. Mycotoxin sendiri jika terkonsumsi manusia
secara langsung akan meyebabkan terjadinya kematian (Maryam, 2002).
17
BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil pemeriksaan pengujian secara organoleptik, kimia dan
pengujian keberadaan mikroorganisme, hasil pengujian yang telah dilakukan
menujukkan bahwa bakso daging sapi sudah sesuai dengan standar yang ditetapkan
oleh Badan Standardisasi Nasional Indonesia (SNI 3818-2014) sehingga dapat
disimpulkan bakso daging sapi aman dan layak dikonsumsi oleh masyarakat serta
memiliki mutu dan kualitas yang baik.
5.2 Saran
Perlu dilakukan penyuluhan kepada produsen atau pedagang bakso untuk
kebersihan/higienitas selama proses produksi, pemasakan hingga penyajian.
18
DAFTAR PUSTAKA
Astawan, M. 2004. Bahaya Logam Berat dalam Makanan. Gadjah Mada University
Press. Yogyakarta.
Badan Standar Nasional. 2008. Metode Pengujian Cemaran Mikroba dalam
Daging, Telur, dan Susu, Serta Hasil Olahannya. SNI 2897 : 2008. Jakarta.
Badan Standar Nasional. 2009. Batas Maksimum Cemaran Mikroba dalam Pangan.
SNI 01-2332.7-2009. Jakarta.
Badan Standar Nasional. 2014. Bakso Daging. SNI 3818-2014. Jakarta.
Fatmawati, E., A. Pattiserlihum., C. P. Oentoro., A. Setiawan. 2005. Uji
Kandungan Formalin dalam Daging Bakso Menggunakan Gelombang Ultrasonik.
Fakultas Sains dan Matematika. Universitas Kristen Satya Wacana, Jawa Tengah.
Maharaja, L. M. 2008. Penggunaan Campuran Tepung Tapioka dengan Tepung
Sagu dan Natrium Nitrat dalam Pembuatan Bakso Daging Sapi. Universitas
Sumatera Utara.
Maryam, R. 2002. Mikotoksin dan Mikotoksikosi. Falsafah Sains. Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Octavianie, Y. 2002. Kandungan Gizi dan Palatabilitas Bakso Campuran Daging
dan Jantung Sapi. [Skripsi]. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor.
Bogor.
Pramuditya, G., dan S. S. Sudarminto. 2014. Penentuan Atribut Mutu Tekstur
Bakso Sebagai Syarat Tambahan dalam SNI dan Pengaruh Lama Pemanasan
Terhadap Tekstur Bakso. Jurnal Pangan dan Agroindustri Vol. 2 No. 4 Hal. 200-
209.
Prastuti, O. 2010. Kandungan Gizi dan Palatabilitas Bakso Campuran Daging dan
Jantung Sapi. [Skripsi]. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Bogor.
Rohman, P. 2007. Dasar Dasar Pengolahan dan Pengawetan Daging. PT
Grasindo. Jakarta
Soeparno. 2005. Ilmu dan Teknologi Daging. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta.
19
Sudrajat, G. 2007. Sifat Fisik dan Organoleptik Bakso Daging Sapi dan Daging
Kerbau dengan Penambahan Karagenan dan Khitosan. [Skripsi]. Fakultas
Peternakan. Institut Pertanian Bogor.
Wibowo, S. 2009. Sifat Fisik dan Organoleptik Bakso Daging Sapi dan Daging
Kerbau dengan Penambahan Karagenan dan Khitosan. [Skripsi]. Fakultas
Peternakan Institut Pertanian Bogor. Bogor
Widyaningsih, T. D. 2006. Alternatif Pengganti Formalin pada Produk Pangan.
Cetakan I. Trubus Agrisarana. Surabaya.
Yalun. 2008. Bakteri Escherichia coli.
20