Anda di halaman 1dari 51

LAPORAN KOASISTENSI DIAGNOSIS LABORATORIK

INFEKSI Bordetella bronchiseptica, Moraxella catarrhalis DAN INFESTASI Sarcoptes


scabiei, Eimeria stiedae PADA KELINCI

Disusun oleh :
Ella Pratiwi, S.K.H
(19/451381/KH/10300)
A.2019.9

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN


UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2020
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yesus Kristus, karena berkat anugerah-Nya yang
melimpah penulis dapat menyelesaikan Laporan Koasistensi Diagnosa Laboratorik yang
berjudul “Infeksi Bordetella bronchiseptica, Moraxella catarrhalis dan Infestasi Sarcoptes
scabiei, Eineria Stiedae pada Kelinci” sebagai persyaratan mencapai derajat Dokter Hewan di
Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada.
Dalam penyusunan dan penulisan laporan ini tidak lepas dari dukungan, bantuan, dan
bimbingan dari berbagai pihak, untuk itu dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima
kasih kepada:

1. Prof. Dr. drh. Siti Isrina Oktavia Salasia, selaku Dekan Fakultas Kedokteran
Hewan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dan dosen pembimbing
Laboratorium Patologi Klinik yang telah memberikan bimbingan
selamapelaksanaan koasistensi dan pembuatan laporan
2. drh. Christin Marganingsih Santosa, M.Si., selaku koordinator Koasistensi
Diagnosa Laboratorik.
3. Prof. drh. Kurniasih, M. VSc., Ph.D., selaku dosen pembimbing Laboratorium
Patologi yang telah memberikan bimbingan selama pelaksanaan koasistensi dan
pembuatan laporan.
4. Prof. drh. Widya Asmara, SU., Ph.D., selaku dosen pembimbing Laboratorium
Mikrobiologi yang telah memberikan bimbingan selama pelaksanaan koasistensi
dan pembuatan laporan.
5. Dr. drh. Dwi Priyowidodo, M.P., selaku dosen pembimbing Laboratorium
Parasitologi yang telah memberikan bimbingan selama pelaksanaan koasistensi dan
pembuatan laporan.
6. Drh. Dorothea Vera Megarono, M.Ph., selaku dosen pembimbing Laboratorium
Patologi Klinik yang juga telah memberikan bimbingan selama pelaksanaan
koasistensi dan pembuatan laporan.
7. Semua pihak yang telah membantu dalam penulisan laporan yang tidakdapat
penulis sebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa kegiatan ini tidak akan terlaksana dengan baik tanpa adanya
bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Dengan ini, penulis menyampaikan permohonan
maaf apabila masih terdapat kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, penulis
mengharapkan saran dan kritik dari semua pihak. Semoga laporan ini dapat memberikan

ii
manfaat bagi pembaca dan perkembangan ilmu pengetahuan di bidang kedokteran hewan dan
masyarakat pada umumnya.

Yogyakarta, 11 Juni 2020

Ella Pratiwi, S.K.H

iii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...............................................................................................................ii

DAFTAR ISI............................................................................................................................. iv

PENDAHULUAN ..................................................................................................................... 1

Latar Belakang ....................................................................................................................... 1

Tujuan..................................................................................................................................... 1

Manfaat................................................................................................................................... 1

KAJIAN PATOLOGI ANATOMI ............................................................................................ 2

KAJIAN PARASITOLOGI ....................................................................................................... 7

KAJIAN MIKROBIOLOGI .................................................................................................... 11

KAJIAN PATOLOGI KLINIK ............................................................................................... 17

PEMBAHASAN ...................................................................................................................... 21

PENUTUP................................................................................................................................ 25

Kesimpulan........................................................................................................................... 25

Saran ..................................................................................................................................... 25

PATOGENESIS ....................................................................................................................... 26

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 27

LAMPIRAN PEMERIKSAAN PATOLOGI .......................................................................... 30

LAPORAN PEMERIKSAAN PARASITOLOGI ................................................................... 31

LAPORAN PEMERIKSAAN MIKROBIOLOGI .................................................................. 35

STUDI KASUS PATOLOGI KLINIK .................................................................................... 46

iv
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Kelinci merupakan hewan yang dipelihara dan diternakkan oleh manusia. Kelinci dapat
menjadi hewan kesayang dan juga dapat dijadikan sebagai hewan ternak untuk dikonsumsi
dagingnya. Selain itu, kelinci juga banyak digunakan sebagai hewan coba di laboratorium.
Kelinci memiliki lama hidup sekitar 5-10 tahun. Kelinci memiliki kebiasaan corophagy, yaitu
kebiasaan kelinci untuk memakan tinjanya sendiri. Kelinci memakan tinjanya untuk
memenuhi kebutuhan nutrisinya.

Berdasarkan kebiasaan kelinci tersebut, makan sangat perlu diperhatikan mutu pakan,
minum dan kondisi kandang bagi kelinci. Kandang kelinci harus mempunyai persyaratan
kebersihan, hewan terlindungi dari angin dan hujan serta cahaya matahari yang langsung dan
lama. Tiap kandang sebaiknya mempunyai satu baki baja yang digantung dibawahnya untuk
menampung tinja. Tempat pakan dan minum harus rutin dibersihkan. Hal yang sangat
disayangkan yaitu seringkali peternak atau pemilik kelinci kurang memperhatikan kebersihan
kandang, tempat pakan dan minum serta kenyamanan kelinci tersebut. Apabila hal tersebut
dibiarkan sampai parah maka dapat menimbulkan resiko kelinci terserang penyakit dari agen
jamur, bakteri, virus, atau parasit.

Tujuan
Tujuan pemeriksaan adalah untuk mengetahui, menganalisa dan mendiagnosa
penyebab penyakit pada kelinci melalui pemeriksaan patologi, mikrobiologi, parasitologi, dan
patologi klinik.

Manfaat
Manfaat pemeriksaan laboratorik pada kelinci adalah sebagai pembelajaran dan
informasi kepada pembaca terutama peternak bebek mengenai agen penyebab penyakit dan
dampak yang dapat terjadi, sehingga dapat dilakukan tindakan pencegahan dan pengobatan.

1
KAJIAN PATOLOGI ANATOMI
Kelinci menderita alopesia dan luka gores di telinga, bibir, hidung, daerah kepala dan
leher. Pemilik melaporkan bahwa kelinci mengalami penurunan nafsu makan sehingga
kelinci mengalami anoreksia. Rambut kelinci kusam dan kasar, demam. Kelinci juga
mengalami gangguan di sistem pernapasan yaitu kelinci pilek dan hidung berair.

Kulit

Pada perubahan makroskopik terdapat alopesia dan hiperkeratosis dan kulit menebal.
Sementara pada perubahan mikrokopik terjadi Penebalan stratum korneum, infiltrasi heterofil
dan makrofag pada dermis, ditemukan Sarcoptes scabiei dalam epidermis.

Gambar 1. Kulit area kepala khususnya bagian telinga dan mata mengalami alopesia
dan keropeng kulit yang biasanya menjadi gejala klinis scabies (Kumar et al., 2018)

Gambar 2. Kulit mengalami subepidermal dermatitis dan terdapat infiltrasi sel


mononuclear dan heterofil (Darzi et al., 2007)

2
3

Gambar 3. Histologi epidermis dengan adanya ditemukan Sarcoptes scabiei.


Pewarnaan HE. (Niedringhaus et al.,2019)
Pulmo
Perubahan makroskopik pada pulmo yaitu Pucat kelabu, konsistensi keras dengan
permukaan tidak rata, bidang sayatan licin, keluar cairan kemerahan, uji apung tenggelam.
Sementara untuk perubahan mikrokopik terdapat alveoli terisi oleh eksudat fibrin, infiltrasi
heterofil dan makrofag pada jaringan bronkus.

\
Gambar 4 Perubahan pada pulmo kelinci dengan pucat kelabu, konsistensi keras
dengan permukaan tidak rata (Turner et al., 2017)
4

Gambar 5. Bronkopneumonia fibrinopurulent akut. Alveoli penuh dengan eksudat


fibrin (Barthold et al., 2016)
Hepar
Perubahan makroskopik yaitu ukuran hepar membesar, pucat, bidang sayatan basah,
pucat, konsistensi kenyal, nodul putih pada semua permukaan lobus, dilatasi duktus biliferus.
Sementara perubahan mikroskopik yaitu Sel hepar membesar, banyak ditemukan vakuola,
sinusoid mengalami dilatasi dan terisi eritrosit, serta keluarnya eritrosit dari pembuluh darah,
peningkatan jumlah sel epitel pada duktus biliferus, infiltrasi makrofag dan limfosit di daerah
periportal, oosista Eimeria stiedae di antara epitel dalam duktus biliferus

Gambar 6. Terdapat nodul putih pada permukaan hepar (Praag, 2003)


5

Gambar 7. Dilatasi pada duktus biliferus dan perbesaran kantung empedu (Barthold et
al., 2016)

Gambar 8. Degenerasi vakuolar pada hepatosit (Sorour et al., 2018)

Gambar 9. Kongesti dan dilatasi pada sinusoid yang disertai dengan hemoragi dengan
pewarnaan HE perbesaran 400x (Al-Mathal, 2008)
6

Gambar 10. Dilatasi pada duktus koledokus. Pada duktus koledokus juga terdapat
hiperplasia epitel (Barthold et al., 2016)
KAJIAN PARASITOLOGI
Eimeria stiedae

Koksidiosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh protozoa. Koksidiosis pada


kelinci biasanya disebabkan oleh Eimeria stidae yang menyerang hati dan E. magna,
E.perforans, E. media, E. irresidua, E. piriformis, E. coecicola, E.intestinals, E.
matsubayashii, E. elongata serta E. nagpurensis yang menyerang usus (Iskandar, 2005).
Siklus hidup Eimeria sp. mempunyai dua fase perkembangan yaitu fase internal (schizogoni
dan gamogini), dimana parasit bermultiplikasi dan berkembang sampai oosista dieliminasi
lewat feses dan fase eksternal (sporogoni) dimana oosista berada di luar tubuh dan
berkembang pada situasi yang mendukung seperti kelembaban dan oksigenasi yang cukup
(Purwono, 2017).

Gambar 11. Ookista eimeria pada kelinci yang telah berspora. 1. E. stidae, 2. E. magna, 3.
E.perforans, 4. E. media,5. E. irresidua, 6. E. piriformis, 7. E. coecicola, 8. E.
elongata, 9. E. matsubayashii,10. E.intestinals dan 11. E. nagpurensis (Iskandar,
2005).

Patogenitas Eimeria memiliki faktor penentu yang penting untuk diperhatikan yaitu :

a. Jumlah ookista yang termakan


b. Jumlah merozoit yang terbentuk selama stadium skizogoni. Hasil perkembangan ini
sangat menentukan jumlah sel dan jaringan induk semang yang rusak oleh setiap infeksi
ookista
c. Lokasi parasit di dalam jaringan dan sel induk semang

7
8

d. Tingkat kekebalan induk semang baik secara alami maupun perolehan.


Pada kelinci, infeksi Eimeria stiedae biasanya bersifat subklinis, akan tetapi pada
infeksi berat yang menyerang kelinci muda, akan terlihat tanda klinis seperti anoreksia, diare,
ikterus dan dapat berakhir dengan kematian (Iskandar, 2005).

Gambar 12. Oosista Eimeria stiedae (Al-Taee dan Al-Zubaidi, 1994)


Oosista Eimeria stiedae yang berbentuk lonjong, kadang-kadang bentuk elips, dengan
ujung halus, ukuran 26-40 x 16-25 mikron (Levine, 1994).

Gambar 13. Siklus hidup Eimeria sp. (Levine, 1994)


Siklus hidup setiap spesies Eimeria sp. mirip satu sama lain. Perkembangbiakan
Eimeria sp. terjadi melalui dua fase, yaitu fase sexual dan fase asexual. Fase sexual terdiri
atas perkembangan oocyt hingga membentuk skizon dan merozoit. Oosista Eimeria sp.
masuk ke dalam tubuh hewan melalui pakan atau air minum yang terkontaminasi. Oosista
Eimeria sp. memiliki dinding yang tebal dan mengandungf 4 buah sporosista yang masing-
masing mengandung 2 buah sporozoit. Proses sporulasi atau pematangan oosista menjadi
bentuk infektif membutuhkan waktu sekitar 48 jam. Ketika mencapai lambung, dinding
oosista akan hancur oleh gerakan lambung dan karena pengaruh chymotripsin serta garam
sehingga saat mencapai usus sporozoit mudah melakukan penetrasi dan masuk ke dalam sel
epitel mukosa usus halus. Di dalam sel epitel, sporozoit akan memperbanyak jumlah secara
9

aseksual dan berkembang menjadi skizon I dan merozoit I. Merozoit I yang keluar dari sel
epitel akan melakukan penetrasi dan masuk kembali ke sel epitel mukosa merozoit II.
Merozoit II keluar dari sel epitel dan melakukan penetrasi kembali untuk berkembang
membentuk mikrogamet dan makrogamet. Selanjutnya terjadi perkembangbiakan secara
seksual yaitu melalui pertemuan antara makrogamet dan mikrogamet, lalu akan membentuk
zigot dan berkembang menjadi oosista. Oosista akan keluar dari sel epitel usus dan keluar
bersama feses. Total waktu yang dibutuhkan untuk satu siklus hidup Eimeria sp. yaitu sekitar
4-6 hari (Ditjennak, 2014).

Menurut Pritt et al. (2012), kontaminasi oosista dapat melalui pakan dan minum.
Periode prepaten yaitu 14-18 hari dan periode paten 21-37 hari. Eimeria stiedae migrasi dari
traktus intestinal melalui dinding instetinal, masuk ke dalam saluran limfatik menuju ke
duktus biliferus hepar untuk terjadinya fase seksual.

Scabies

Scabies merupakan salah satu penyakit zoonosis yang disebabkan oleh tungau yang
masuk dalam kelas Arachnida, sub kelas Acarina, ordo Astigma dan famili Sarcoptidae.
Contoh tungau Astigmata adalah Sarcoptes scabiei, Psoroptes ovis, Notoedres cati,
Chorioptes sp., dan Otodectes cynotys.

Gambar 14. Siklus hidup Sarcoptes sp. (Sungkar, 2016)

Siklus hidup diawali dengan tungau betina atau nimfa stadium kedua yang aktif
membuat liang di epidermis atau lapisan tanduk. Di liang tersebut, Sarcoptes sp., akan
meletakkan telurnya. Telur tersebut akan menetas dalam 3-4 hari, lalu menjadi larva berkaki
10

6. Dalam kurun waktu 1-2 hari larva akan berkembang menjadi nimfa stadium I dan II yang
berkaki 8. Kemudian tungau akan berkembang menjadi dewasa dan mampu berkembang biak
dalam 2-4 hari. Perjalanan penyakit terbagi dalam tiga fase. Fase pertama terjadi 1-2 hari
setelah infestasi. Saat ini tungau mulai menembus lapisan epidermis sehingga pada
permukaan kulit terdapat banyak lubang kecil. Pada fase kedua, tungau telah berada di bawah
lapisan keratin, permukaan kulit telah ditutup oleh kerak/keropeng yang tebal dan kerontokan
bulu. Fase kedua ini terjadi 4-7 minggu setelah infestasi. Pada fase ketiga yang terjadi 7-8
minggu setelah infestasi, kerak mulai mengelupas sehingga pada permukaan kulit kembali
terlihat lubang kecil dan pada saat itu, beberapa tungau meninggalkan bekas lubang tersebut
(Ditjennak, 2014).

Gambar 15. Hasil pemeriksaan skin scrapping pada kelinci (Panigrahi et al., 2014)

Secara morfologi S. scabiei berukuran kecil, berbentuk oval, punggungnya cembung


dan bagian perutnya rata. S. scabiei transparan, berwarna putih kotor dan tidak bermata.
Bentuk dewasa mempunyai 4 pasang kaki (Laksono et al., 2018).
KAJIAN MIKROBIOLOGI
Bordetella bronchiseptica

Etiologi

Bakteri ini termasuk famili Alcaligenaceae. Genus Bordetella saat ini terdiri dari
delapan spesies termasuk penyebab pertusis atau batuk rejan di manusia yaitu, B. pertusis.
Tiga spesies Bordetella yang menular pada sistem pernapasan hewan yaitu B. bronchiseptica
(rinitis atrofik pada babi; tracheobronchitis pada anjing, sinonim: kennel cough, canine
cough, canine croup), B. avium (turkey coryza) dan B. parapertussis (pneumonia pada
domba). Spesies Bordetella merupakan bakteri aerob (kecuali B. petrii) dan tidak
memfermentasi karbohidrat (asaccharolytic) tetapi mendapatkan energi dari oksidasi asam
amino dan karboksilat (Markey et al., 2013).

Karateristik

Morfologi koloni Bordetella bronchiseptica berbentuk sirkular, berwarna abu-abu dan


berkilau (Vaid et al., 2018). Bakteri bersifat motil dan bakteri aerob. Bakteri ini dapat tumbuh
pada media MacConkey Agar (Markey et al., 2013).

Gambar 16.. Morfologi koloni Bordetella brochiseptica pada Plat Agar Darah (Vaid et al., 2018)
Bordetella bronchiseptica merupakan bakteri Gram-negatif yang berbentuk coccobasil,
berukuran kecil dengan diameter 0.2–0.5 µm dan panjang 0.5–2.0 µm dan memiliki
peritrichous flagela (Markey et al., 2013).

11
12

Gambar 17. Morfologi sel Bordetella brochiseptica pada Pengecatan Gram (100x) (Vaid et al., 2018)

Semua spesies adalah katalase-positif dan oksidase-positif. Bordetella bronchiseptica


dan B. avium dapat tumbuh pada media MacConkey Agar. Bordetella avium dan B.
bronchiseptica bersifat motil oleh peri-flagela trichous, sedangkan B. pertussis dan B.
parapertussis adalah tidak motil (Markey et al., 2013). Karateristik Bordetella khususnya
Bordetella bronchiseptica dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Karateristik Bordetella bronchiseptica, B. avium dan Alcagenes faecalis (Mareky et


al., 2013)
13

Faktor Virulensi

Tabel 2. Faktor virulensi Bordetella sp. (Markey et al., 2013)

Faktor virulensi Bordetella sp. dapat dilihat pada Tabel 2. Faktor virulensi seperti
fimbrae (FIM), filsmentous hemagglutinin (FHA), pertactin (PTN) meningkatkan kolonisasi
Bordetella sp. Faktor virulensi seperti dermonecrotic toxin (DNT), osteotoxin, tracheal
cytotoxin (TCT) dan lipopolisakarida (LPS) menginisiasi pembentukan lesi (Markey et al.,
2013).

Patogenesis

Bordetella sp. dikenal sebagai bakteri yang dapat menularkan penyakit respirasi dengan
tingkat mobiditas dan mortalitas yang tinggi (Markey et al., 2013). Patogenesis Bordetella
bronchiseptica memiliki pili yang memfsilitasi bakteri berikatan dengan epitel bersilia dari
saluran pernapasan. Bakteri ini aktif menempel pada silia dan menghasilkan ciliostasis yang
signifikan dalam waktu lima menit kontak (Simmons dan Gibson, 2012). Faktor virulensi
sangat mempengaruhi proses patogenesis Bordetella. Bakteri Bordetella bronchiseptica
memiliki type III secretion system (TTSS), yang berkontribusi agar bakteri dapat bertahan di
sistem respiratory bagian bawah pada tubuh hospes. Produk type III secretion system
memproduksi terlibat dalam cytotoxicitas, apoptosis dan inaktivasi transkripsi faktor pada sel
eukarotik (Markey et al., 2013).
14

Gejala Klinis

Gejala klinis yang ditimbulkan yaitu adanya leleran mukopurulen dari hidung, dyspnea dan
pyrexia. Pada hewan marmoset yang terinfeksi Bordetella bronchiseptica akan mengalami
leukopenia, hipoglikemia dan ketidakseimbangan cairan elektrolit yang ringan dalam tubuh
(Simmons dan Gibson, 2012). Pada kelinci, Bordetella bronchiseptica relatif dapat bersifat
non-patogenik, meskipun telah menyebabkan bronkopneumonia supuratif yang terlokalisasi
(Varga, 2014). Menurut Markey et al. (2013), gejala klinis infeksi Bordetella yaitu batuk
dengan atau tanpa dyspnea, adanya leleran nasal dan ocular serta penurunan berat badan.

Moraxella catarrhalis

Etiologi

Genus Moraxella berasal dari famili Moraxellacea. Moraxella catarrhalis dan


Branhamella catarrhalis memiliki kesamaan yang homotypic dan telah disarankan bahwa
kedua genus tersebut harus dibagi ke dalam dua subgenera yaitu Moraxella dan Branhamella.
Genus ini memiliki spesifikasi bakteri aerob, oksidatf, oksidase positif, biasanya katalase
positif, non-motil (Markey et al., 2013).

Karateristik

Gambar 18. Morfologi koloni Moraxella catarrhalis pada Plat Agar Darah (Anonim, 2020)

Morfologi koloni Moraxella catarrhalis smooth, opaque, berwarna abu keputihan dan
berukuran 1-3 mm. Bakteri ini tidak dapat tumbuh pada media MacConkey Agar namun
dapat tumbuh dengan baik pada media Plat Agar Darah dan chocolate agar (Engelkirk dan
Duben-Engelkirk, 2012).
15

Gambar 19. Morfologi sel Moraxella catarrhalis pada Pengecatan Gram (Embers et al., 2011)

Moraxella catarrhalis merupakan bakteri Gram-negatif berbentuk kidney-shaped


diplococcus yang memiliki ukuran diameter 0.5-1.5 µm dan termasuk bakteri aerob. Bakteri
Moraxella catarrhalis memiliki hasil positif pada uji oksidase, katalase, nitrate dan Dnase
(Engelkirk dan Duben-Engelkirk, 2012).

Faktor Virulensi

Moraxella catarrhalis memiliki endotoksin dan sebagian besar strain menghasilkan β-


lactamase, yang paling baik dideteksi dengan chromogenic cephalosporin atau nitrocefin test
(Engelkirk dan Duben-Engelkirk, 2012).

Patogenesis

Patogenesis Moraxella catarrhalis bersifat kompleks. Bakteri ini akan


mengekspresikan faktor adhesi dan dan beberapa protein yang memfasilitasi perikatan pada
mukosa saluran pernafasan bagian atas dan bawah, serta pada sel epitel telingah bagian
tengah. Selanjutnya, kolonisasi nasofaring oleh Moraxella catarrhalis. Setelah proses infeksi,
organisme memiliki kemampuan untuk bertindak melalui reseptor untuk menginduksi sitokin
proinflamasi dalam epitel bronkial. Moraxella catarrhalis juga memiliki kemampuan untuk
menghambat proses proinflamasi dan menghindari respon imun hospes yang memungkinkan
terjadinya kolonisasi mukosa persisten (Scholossber, 2015).

Gejala Klinis

Bakteri ini dapat menyebabkan infeksi parah seperti pneumonia. Infeksi pada saluran
pernapasan yang disebabkan oleh Moraxella catarrhalis yaitu pneumonia, bronkitis,
laryngitis, sinusitis dan batuk persisten. Moraxella catarrhalis menyebabkan sinusitis, infeksi
pada saluran pernapasan bawah (bronkitis, pneumonia). Selain itu bakteri ini juga dapat
16

menyebabkan septisemia, endocarditis, meningitis, artritis septic (Engelkirk dan Duben-


Engelkirk, 2012).

Menurut Simmons dan Gibson (2012), seekor monyet yang terinfeksi bakteri Moraxella
catarrhalis akan mengalami leukositosis ringan dan neutofilia yang dapat dikaitkan dengan
kejadian infeksi. Neutrofilia disebabkan oleh demarginasi neutrofil, penundaan apoptosis
neutrofil dan stimulasi sel punca oleh faktor pertumbuhan.
KAJIAN PATOLOGI KLINIK
Darah Kelinci

Darah memiliki tiga fungsi utama yaitu nutrisional, ekskretorik dan integratif. Fungsi
nutrisional yaitu membawa makanan dari traktus digestivus dan O2 ke jaringan. Fungsi
ekskretorik yaitu mengangkut hasil metabolik, CO2 ke jaringan ekskretorik (ginjal, kelenjar
keringat). Fungsi integratif yaitu mengangkut hormon-hormon dari kelenjar endokrin dan
bahan-bahan intermediet dari satu tempat ke tempat lain, misalnya tyroxin oleh glandula
thyroidea (Salasia dan Hariono, 2010). Berikut ini gambaran hematologi normal pada kelinci
(Tabel 1.).

Tabel 3. Gambaran darah normal pada kelinci (Weiss dan Wardrop, 2010)
Parameter Nilai Rujukan*
Hb (%) 9.8-17.4
Total eritrosit (103/mm3) 5.1 – 7.94
PCV (%) 37-50
MCV (fl) 57.8 - 65.4
MCH (pg) 17.1 - 23.5
MCHC(g/dl) 28.7 – 37
Total leukosit (103/mm3) 5.2 – 12
Heterofil (%) 8 – 50
Eosinofil (%) 1–3
Limfosit (%) 20 – 90
Basofil (%) 0.5 – 30
Monosit (%) 1–4
*Schalm’s Veterinary Hematology (Weiss & Wardrop, 2010)

17
18

Gambaran Differensial Leukosit pada Kelinci


Limfosit

Gambar 19. Limfosit pada Kelinci. Normal limfosit yang terdiferensiasi dengan baik (kiri)
dan reaktif limfosit (kanan) (Vanessa et al., 2005)

Limfosit pada kelinci memiliki ciri yaitu memiliki nukleus yang besar dan bulat
seperti kacang. Termasuk dalam leukosit agranular karena didalam sitoplasma tidak
ditemukan granular. Pada sirkulasi sering ditemukan limfosit kecil yang mendominasi, akan
tetapi limfosit besar tetap ada. Limfosit reaktif merupakan limfosit yang terstimulasi oleh
antigen dimana sel lebih besar dengan sitoplasma berwarna biru (Vanessa et al., 2005).
Limfosit terdiri dari beberapai jenis sel yaitu limfosit B dan limfosit T. Sulit untuk
membedakan kedua jenis limfosit tersebut. Limfosit B berfungsi untuk membentuk
kekebalan humoral sedangkan limfosit T bertanggung jawab dalam membentuk kekebalan
seluler dan respon terhadap sitokin. Sel T terbagi lagi menjadi sel T-induce/helper dan T-
sitotoksik/supressor (Weiss dan Wardrop, 2010).

Heterofil

Gambar 20. Heterofil normal pada kelinci (Vanessa et al., 2005)

Neutrofil pada kelinci disebut juga heterofil. Heterofil berdiameter 10-15 µm,
memiliki nukleus lobular ungu yang dikelilingi oleh sitoplasma yang mengandung butiran
19

berwarna merah (biasa disebut granular) serta inti bergelambir. Granular heterofil biasanya
berbentuk seperti tongkat atau oval (Vanessa et al., 2005).

Eosinofil

Gambar 21. Eosinofil normal pada kelinci (Vanessa et al., 2005)

Eosinofil memiliki kemiripan dengan heterofil, akan tetapi eosinofil memiliki ukuran
yang lebih besar dengan diameter 12-16 µm. Nukleus berwarna ungu, sitoplasmik granular
bersifat asidofilik, bulat dan jumlahnya lebih banyak dibanding granular sitoplasmik
heterofil (Vanessa et al., 2005). Eosinofil merupakan sel yang penting dalam respon inang
terhadap infeksi parasit dan reaksi alergi. Selain itu, eosinofil juga ikut berperan dalam
reaksi imun kompleks. Kandungan granul eosinofil menyebabkan sel ini memiliki
kemampuan untuk melawan parasit cacing, dan bersama dengan basofil atau sel mast
berperan sebagai mediator peradangan (Weiss dan Wardrop, 2010).

Monosit

Gambar 22. Monosit pada kelinci (Vanessa et al., 2005)

Monosit memiliki ukuran yang besar yaitu diameter 15-18 µm. Monosit memiliki
nukleus yang besar dengan kromatin yang nampak kurang terkondensasi dibandingkan
20

dengan heterofil. Kromatin memiliki warna lebih pucat dibandingkan limfosit. Sitoplasma
berwarna biru keabu-abuan (Vanessa et al., 2005). Monosit berperan dalam respon
peradangan. Monosit akan berpindah ke jaringan, dan berubah menjadi makrofag. Sel
mononuklear ini mampu memfagosit bakteri, organisme yang lebih besar dan kompleks
(seperti ragi dan protozoa), sel yang terinfeksi, sel debris dan partikel asing (Thrall et al.,
2004).

Basofil

Gambar 23. Basofil pada kelinci (Vanessa et al., 2005)

Basofil merupakan sel mieloid yang jumlahnya paling sedikit didalam darah hewan
piara. Basofil memiliki warna ungu muda, nukleus berlobus, granular sitoplasma berwarna
ungu sampai ungu kehitaman. Ukuan basofil hampir sama dengan ukuran heterofil (Vanessa
et al., 2005). Basofil berperan dalam reaksi hipersensitivitas. Basofil akan memasuki
jaringan yang mengalami peradangan dan melakukan fagositosis pada hipersensitivitas
(Weiss dan Wardrop, 2010).
PEMBAHASAN
Kelinci menderita alopesia dan luka di telinga, bibir, hidung, daerah kepala dan leher,
nafsu makan turun. Rambut kusam demam dan diare. Kelinci juga mengalami gangguan di
sistem pernapasan yaitu kelinci pilek dan adanya leleran mukopurulen dari hidung.

Pada pemeriksaan makroskopik organ tubuh kelinci, ditemukan hasil kulit mengalam
alopesia, hiperkeratosis dan penebalan sementara pulmo mengalami ucat kelabu, konsistensi
keras dengan permukaan tidak rata, bidang sayatan licin, keluar cairan kemerahan, uji apung
tenggelam dan organ hepar pembesaran ukuran, pucat, bidang sayatan basah, pucat,
konsistensi kenyal, nodul putih pada semua permukaan lobus, dilatasi duktus biliferus.
Pada pemeriksaan mikroskopik, pada organ kulit ditemukan penebalan stratum
korneum, infiltrasi heterofil dan makrofag pada dermis, ditemukan Sarcoptes scabiei dalam
epidermis, pada organ pulmo alveoli terisi oleh eksudat fibrin yang menyebabkan ketika
disayat maka akan keluar cairan kemerahan, infiltrasi heterofil dan makrofag pada jaringan
bronkus, selanjutnya pada organ hepar ditemukan sel hepar membesar, banyak ditemukan
vakuola, sinusoid mengalami dilatasi dan terisi eritrosit, serta keluarnya eritrosit dari
pembuluh darah, peningkatan jumlah sel epitel pada duktus biliferus, infiltrasi makrofag dan
limfosit di daerah periportal, oosista Eimeria stiedae di antara epitel dalam duktus biliferus.

Berikut adalah hasil pemeriksaan hematologi rutin pada Kelinci (Tabel 2).

Tabel 4. Hasil pemeriksaan hematologi rutin pada Kelinci


Parameter Hasil Pemeriksaan Nilai Rujukan* Keterangan
Hb (%) 8 9.8-17.4 Menurun
Total eritrosit 4 5.1 – 7.94 Menurun
(106/mm3)
PCV (%) 32.4 37-50 Menurun
MCV (fl) 45 57.8 - 65.4 Menurun
MCH (pg) 15 17.1 - 23.5 Menurun
MCHC(g/dl) 27 28.7 – 37 Menurun
TPP 12 13 Menurun
Fibrinogen 3 2 Meningkat
Total leukosit 15 5.2 – 12 Meningkat
(103/mm3)
Heterofil (%) 64
Heterofil (103/mm3) 9.6 2-6 Meningkat
Eosinofil (%) 5
Eosinofil (103/mm3) 0.75 0.2 – 0.4 Meningkat
Limfosit (%) 28
Limfosit (103/mm3) 4.2 4.5 – 8 Menurun

21
22

Basofil (%) -
Basofil (103/mm3) - 0 – 0.5 Normal
Monosit (%) 3
Monosit (103/mm3) 0.45 0.2 – 0.4 Meningkat

Berdasarkan hasil pemeriksaan hematologi rutin pada darah kelinci, hasil menunjukkan
penurunan pada nilai hemoglobin dan jumlah total eritrosit. Menurut Salasia dan Hariono
(2010), kondisi penurunan jumlah eritrosit dan hemoglobin atau keduanya dalam sirkulasi
darah disebut anemia. Klasifikasi morfologik anemia dapat diketahui berdasarkan nilai MCV
dan MCHC. Pasien kelinci mengalami penurunan kadar MCV dan MCHC, sehingga dapat
dikatakan kelinci mengalami anemia mikrositik-hipokromik. Anemia mikrositik-hipokromik
disebabkan oleh berbagai faktor Defisiensi Fe (besi), terjadi perdarahan kronis, defisiensi Cu,
dan defisiensi vitamin B6 (Salasia dan Hariono, 2010). Pada kasus ini, anemia mikrositik
hipokromik yang diderita oleh pasien kelinci salah satunya kerusakan pada struktur hepar
yang disebabkan oleh infeksi Eimeria stiedae Kerusakan pada struktur hepar akibat infeksi
Eimeria stiedae adalah pembesaran organ hepar atau hepatomegali yang disertai dengan
nodul berwarna putih (Al-Naimi et al., 2012). Salah satu fungsi hepar yaitu sebagai tempat
penyimpanan faktor pembentuk darah (Fe), sehingga ketika terjadi kerusakan struktur hepar
maka akan mengganggu penyimpanan Fe yang berakibat pada gangguan sintesis Hb,
sehingga terjadi penurunan konsentrasi Hb dan peningkatan jumlah sel darah merah dengan
diameter kecil (Purwono, 2017).

Anemia berhubungan dengan penurunan PCV. Penurunan jumlah PCV/hematokrit


mengindikasikan beberapa kelainan yaitu anemia, hemoragi, kerusakan sumsum tulang
belakang, kerusakan sel darah merah dan malnutrisi (Schalm et al., 1975 dalam Septiana,
2019). Hasil pemeriksaan selanjutnya yaitu penurunan TPP dan peningkatan fibrinogen.
Menurut Salasia dan Hariono (2010), penurunan TPP (hipoproteinemia) terjadi pada kondisi
diet yang jelek, protein break down meningkat, sintesis protein yang jelek, dan juga keadaan
metabolisme protein yang melibatkan gangguan hepar (hepatitis) dan ginjal. Penurunan TPP
juga dapat dipengaruhi oleh imunitas. Infeksi Eimeria stiedae., Sarcoptes scabiei, Bordetella
bronchiseptica dan Moraxella catarrhalis dapat menyebabkan stres dan melemahkan
imunitas tubuh pada kelinci dan menurunkan plasma serum yang dapat berakibat pada
kematian (Kurniawati et al., 2013). Infeksi Eimeria stiedae. di usus juga menyebabkan
terganggunya penyerapan nutrisi sehingga diet jelek. Selain imunitas yang lemah dan diet
jelek, hipoproteinemia pada pasien kelinci juga disebabkan oleh kerusakan hepar akibat
23

infeksi Eimeria sp. yang dapat menyebabkan penurunan fungsi hepar sehingga mengganggu
metabolisme protein.

Peningkatan fibrinogen (hiperfibrinogenemia) berhubungan dengan peningkatan kadar


protein plasma. Fibrinogen dikenal sebagai parameter pada kasus keradangan, yang mana
dalam kondisi radang, fibrinogen akan meningkat secara signifikan. Untuk mengetahui
peningkatan fibrinogen maka dilakukan perbandingan antara kenaikan protein plasma dan
fibrinogen dengan jumlah perbandingan kurang atau sama dengan 10:1 yang berarti terjadi
kenaikan fibrinogen secara absolut. Hasil pemeriksaan perbandingan adalah 4:1 menunjukkan
kenaikan fibrinogen. Akan tetapi, pada kasus ini terjadi penurunan protein plasma sehingga
perbandingan tersebut tidak bisa dijadikan pedoman kenaikan fibrinogen absolut. Pada kasus
ini juga terjadi peningkatan jumlah total leukosit dan heterofil yang mengindikasikan
terjadinya keradangan pada pasien kelinci (Salasia dan Hariono, 2010).

Hasil pemeriksaan selanjutnya yaitu leukosit. Jumlah total leukosit pasien kelinci
mengalami peningkatan. Kondisi ini disebut leukositosis. Leukositosis dapat disebabkan oleh
infeksi umum, infeksi lokal, trauma, neoplasma, intoksikasi hasil metabolisme, bahan
kimiawi, obat-obatan (Purwono, 2017). Pada kasus ini, peningkatan leukosit terjadi sebagai
respon pertahanan tubuh terhadap infeksi dari agen parasit Eimeria sp., Sarcoptes scabiei
dan agen bakteri Bordetella bronchiseptica, Moraxella catarrhalis. Leukositosis juga disertai
dengan heterofilia, eosinofilia, monositosis dan limfopenia. Heterofilia merupakan
peningkatan heterofil dalam darah. Hal ini dapat disebabkan adanya peningkatan kebutuhan
jaringan untuk fungsi fagositik pada kasus radang yang disebabkan terutama oleh bakteri
(dalam kasus ini Bordetella bronchiseptica dan Moraxella catarrhalis) , dapat juga karena
virus, parasit dan jamur karena heterofil merupakan jajaran pertama untuk sistem pertahanan
tubuh. Heterofil juga dapat disebabkan oleh stress yang akhirnya memicu pembebasan
kortikosteroid (Purwono, 2017). Menurut Weiss dan Wardrop (2010), heterofilia yang
diinduksi kortikosteroid terjadi karena pemberian kortikosteroid atau injeksi hormon
adrenokortikopik (ACTH) yang memicu pelepasan kortikosteron endogenous dari korteks
adrenal.

Eosinofilia merupakan peningkatan eosinofil dalam darah. Peningkatan ini disebabkan


oleh adanya interaksi antara antigen-antibodi dalam jaringan yang banyak mengandung mast
cell (kulit, pulmo, saluran gastrointestinal, saluran reproduksi betina) dan infestasi parasit
dimana terjadi reaksi sensitisasi akibat kontak antara jaringan hospes dan parasit dalam waktu
24

yang lama. Kondisi eosinofilia dapat terjadi sebagai proses respon hipersensitifitas karena
adanya infestasi parasit dan merupakan reaksi alergi, reaksi anaphilaktik yang juga
merupakan reaksi hipersensitifitas (Purwono, 2017). Pada kasus ini, infeksi Sarcoptes scabiei
dan Eimeria stiedae telah menyebabkan sensitisasi jaringan hospes sehingga terjadi
peningkatan eosinofil.

Monositosis merupakan peningkatan monosit dalam darah. Menurut Weiss dan


Wardrop (2010), monositosis dapat disebabkan oleh adanya infeksi dan nekrosis. Pada kasus
ini, infeksi disebabkan oleh agen parasit dan agen bakteri. Berdasarkan pemeriksaan
histologi, terdapat nekrosis pada epitel septa nasal yang diakibatkan oleh infeksi agen bakteri.
Hasil pemeriksaan selanjutnya yaitu limfopenia. Limfopenia merupakan penurunan jumlah
limfosit dalam darah. Penurunan limfosit dapat terjadi karena imunosupresi atau kerusakan
pada jaringan limfoid akibat faktor tertentu atau hewan dalam keadaan tercekam (stres). Pada
kasus ini, limfopenia dapat terjadi akibat rasa sakit yang dialami pasien kelinci karena infeksi
agen parasit dan mikrobiologi menyebabkan pasien kelinci mengalami stres. Kondisi stres
dapat memicu pelepasan kortikosteron endogenous dengan restribusi limfosit sementara.
Selanjutnya terjadi resirkulasi limfosit di dalam jaringan limfopid yang berfungsi untuk
meningkatkan kontak dengan antigen dan berujung pada penghancuran jaringan limfoid
(Weiss dan Wardrop, 2010).
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan hasil pemeriksaan patologi kelinci mengalami hiperkeratosis dermatitis,
nekrosis epitel septa nasal, bronchopneumonia. Berdasarkan pemeriksaan mikrobiologi,
diidentifikasi bakteri Bordetella bronchiseptica dan Moraxella catarrhalis. Berdasarkan
pemeriksaan parasitologi ditemukan infestasi Sarcoptes scabiei dan Eimeria stiedae.
Berdasarkan pemeriksaan patologi klinik kelnci mengalami anemia mikrositik hipokromik,
hipoproteinemia, hiperfibrinogenemia serta leukositosis yang disertai dengan heterofilia,
eosinofilia, monositosis dan limfopenia. Sehingga kelinci mengalami koksidiosis, scabies,
infeksi Bordetella bronchiseptica dan Moraxella catarrhalis.

Saran
Berdasarkan kasus, sebaiknya manajemen pemeliharaan ditingkatkan oleh pemilik.
Manajemen pemeliharaan yang harus ditingkatkan meliputi manajemen perkandangan, pakan,
air minum, dan sanitasi. Selain itu harus diperhatikan juga biosecurity untuk meminimalisir
agen penyebab penyakit dapat masuk.

25
PATOGENESIS

PATOGENESIS Faktor Predisposisi


Jarang dilakukan pembersihan kandang, kandang
lembab, stres, mutu pakan dan minum kurang baik.

Infestasi Sarcoptes Infestasi Eimeria Infeksi Bordetella Infeksi Moraxella


scabiei stiedae bronchiseptica catarrhalis

Jalur Masuk Jalur Masuk Jalur Masuk Jalur Masuk


Kontak langsung Kontaminasi pakan dan Kontak langsung, Kontak langsung,
dengan penderita atau minum atau melalui aerosol, dan droplet aerosol, dan droplet
melalui kulit oral

Menembus lapisan Masuk ke sistem Menempel pada epitel mengekspresikan faktor


epidermis menuju pencernaan dan migrasi saluran pernafasan dan adhesi dan beberapa protein
stratum korneum ke hepar menghasilkan ciliostasis. yang memfasilitasi
Faktor virulensi yang lain perikatan pada mukosa
apoptosis dan inaktivasi saluran pernafasan bagian
Hiperkeratosis dan Fase hidup seksual di
transkripsi faktor pada sel atas dan bawah, serta pada
lebih lanjut dermatitis duktus biliferus
eukarotik serta sel epitel telingah bagian
menyebabkan lesi tengah, lalu menginduksi

Pembesaran organ sitokin proinflamasi dalam

hepar dengan nodul epitel bronkial


Alveoli dipenuhi oleh
putih, dilatasi duktus eksudat fibrin dan infiltrasi
biliferus sel radang di bronkus
Hepatic coccidiosis

Nekrosis septa nasal dan


bronchopneumonia

anemia mikrositik hipokromik,


hipoproteinemia, hiperfibrinogenemia
serta leukositosis yang disertai dengan
heterofilia, eosinofilia, monositosis
dan limfopenia

26
DAFTAR PUSTAKA

Al-Mathal, E.M. 2008. Hepatic Coccidiosis of The Domestic Rabbit Orytolagus cuniculus
domesticus L. In Saudi Arabia. World Journal of Zoology 3 (1): 30-35, 2008.
Al-Naimi, R.A.S., O.H. Khalaf., S.Y. Tano., E.H. Al-Tace. 2012. Pathological Study of
Hepatic Coccidiosis in Naturally Infected Rabbits. Al-Qadisiya Journal of Veterinary
Medicine Science Volume 11, Nomor 1 2012.

Anonim. 2020. Bacteria in Photos: Moraxella catarrhalis. www.bacteriainphotos.com.


Diakses pada tanggal 01 Juni 2020.
Ariana, I.N.T., Oka, A.A., Suranjaya, I.G., dan Berata, I.K. 2018. Peningkatan Limfosit,
Monosit, dan Basofil pada Sapi Bali yang digembalakan di Tempat Pembuangan Akhir
Sampah Kota Denpasar. Jurnal Veteriner, Maret 2018 Vol. 19 No. 1: 109-115.

Barthold, S.W., S.M. Griffey., dan D.H. Percy. 2016. Pathology of Laboratory Rodents and
Rabbits. New Jersey: Wiley-Blackwell Publishing.
Cam, Y., A. Atasever., G. Eraslan., M. Kibar., O. Atalay., L. Beyaz., A. Inci dan B.C. Liman.
2008. Eimeria stidae: Experimental infection in rabbits and the effect of treatment with
toltrazuril and ivermectin. Experimental Parasitology 119 (2008) 164-172.
Chotiah, S. 2008. Pemanfaatan Plasma Nutfah Mikroba Bordetella bronchiseptica sebagai
perangkat deteksi antibodi. Buletin Plasma Nutfah, Volume 14, No.2, Tahun 2008.

Darzi, M.M., M.S. Mir., R.A. Shahardar., dan B.A. Pandit. Clinico-pathological,
histochemical and therapeutic studies on concurrent sarcoptic and notoedric acariosis in
rabbits (Oryctolagus cuniculus). Veterinarski Arhiv 77(2), 167-175, 2007.
Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2014. Manual Penyakit Hewan
Mamalia. Cetakan kedua. Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. Subdit
Pengamatan Penyakit Hewan. Direktorat Kesehatan Hewan. Jakarta.

Embers, M.E., L.A. Doyle., C.A. Whitehouse., E.B. Selby., M. Chappell., dan M.T. Philipp.
2011. Characterization of a Moraxella species that causes epistaxis in macaques.
Journal Veterinary Microbiology 147 (2011) 367-375.

Engelkirk, P.G dan J. Duben-Engelkirk. 2012. Laboratory Diagnosis of Infectious Disease:


Essentials of Diagnostic Microbology 1st Edition. Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins.

Galego, C., A.M. Middleton., N. Martinez., S. Romero., dan C. Iregui. 2013. Interaction of
Bordetella bronchiseptica and Its Lipopolysaccharide with In Vitro culture of
respiratory nasal epithelium. Veterinary Medicine International Volume 2013.

Iskandar, T. 2005. Prosiding Lokakarya Nasional Potensi dan Peluang Pengembangan


Usaha Kelinci. Masalah Koksidiosis pada Kelinci serta Penanggulangannya. Bogor:
Pusat Perpustakaan dan Penyebaran Teknologi Pertanian.

Kala, S., A. Kumar., R. Kumar., dan N. Kumari. 2019. Coccidiosis in a Domestic Rabbit: A
Case Report. Journal of AgriSearch 6: 122-123.

27
28

Kullisaar, T., Zilmer, M., Milkelsaar, M., Vilhelm, T., Annuk, H., Kamane, C., dan Klik A.
2001. Twiantioxidant Lactobacili strains as promising probiotics. Food Microbiol J.
72:215-224.

Kumar, A., R. Kumar., Archana dan N. Kumari. 2018. A successful treatment report on
rabbits infected with sarcoptic image. The Pharma Inovation Journal 2018: 7(2): 01-03.

Laksono, T.T., G.A. Yuliani., A. Sunarso., D.R.I. Nunuk., L.T. Suwanti., dan Soeharsono.
2018. Prevalensi dan Tingkat Keparahan (Sarcoptes scabiei) pada Ternak Kelinci di
Desa Sajen Kecamatan Pacet Kabupaten Mojokerto.
Levine, N.D. 1994. Buku Pelajaran Parasitologi Veteriner. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.

Markey, B., L. Finola., A. Marie., C. Ann., dan M. Dores. 2013. Clinical Veterinary
Microbiology. USA: Mosby Elsevier.
Monti, M., D, Diano., F, Allegrini., V, Fausti., P, Cravero., G, Marcantogrini., dan G.L.
Frassineti. 2017. Bordetella bronchiseptica pneumonia in a patient with lung cancer; a
case report of rare infection. BMC Infectious Disease (2017) 17:644.

Ogolla, K.O., P.O. Okumu., P.K. Gathumbi., dan R.M. Waruiru. 2018. Effects of
Anticoccidial Drugs on Gross and Histopathological Lesions Caused by Experimental
Rabbit Coccidiosis. SOJ Veterinary Sciences, 2018.
Panigrahi, P.N., B.N. Mohanty., A.R. Gupta., R.C. Patra., dan S. Dey. 2014. Concurrent
infestation of Notoedres, Acariosis in Rabbit and Its Management. Journal of Parasitic
Diesease 2014.

Praag, E.V. 2003. Protozoal enteritis: Coccidiosis. www.medirabbit.com. Diakeses pada 31


Mei 2020.
Purwono, E. 2017. Gambaran Darah Kelinci (Oryctolagus cuniculus) pada Kasus Koksidiosis
di Glagahombo, Tegalrejo, Magelang. Jurnal Penyuluh Pertanian Triton, Volume 8,
Nomor 2.
Salasia, S.I.O dan Hariono, B. 2010. Patologi Klinik Veteriner: Kasus Patologi Klinis.
Yogyakarta: Penerbit Samudra Biru.
Septiana, T. 2019. Jumlah Eritrosit, Kadar Hemoglobin, dan Nilai Hematokrit Sapi Simpo
Yang Terinfestasi Cacing Saluran Pencernaan di Desa Kabuhan Ratu, Kecamatan
Labuhan Ratu, Kabupaten Lampung Timur. Fakultas Pertanian, Universitas Lampung.

Sivajothi, S., B. S. Reddy., dan V,C, Rayulu. 2014. Study on impression smears of hepatic
coccidiosis in rabbits. Journal Parasit Dis, 2014.
Simmons J., dan S. Gibson. 2012. Nonhuman Primates in Biomedical Research. Chapter 2:
Bacterial and Mycotic Disease of Nonhuman Primates. American College of
Laboratory Animal Medicine 2012 105-172.
Sungkar, S. 2016. Skabies: Etiologi, Patogenesis, Pengobatan, Pemberantasan dan
Pencegahan. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
29

Turner, P. V., M.L. Brash., dan D.A. Smith. 2017. Pathology of Small Mammal Pets. New
Jersey: Wiley-Blackwell Publising.
Utama, I. H., Kendran, A.A.S., Widyastuti, S.K., Virgania, P., Sene, S.M., Kusuma, W.D.,
dan Arisandi, B.Y. 2013. Hitung Diferensial dan Kelainan-Kelainan Sel Darah Sapi
Bali. Jurnal Veteriner Desember 2013 Vol.14 No.4: 462-466.

Vaid, R.K., K. Shanmugasundaram., T. Anand., B.C. Bera., M. Tigga., R. Dedar., T. Riyesh.,


S. Bardwaj., N. Virmani., B.N. Tripathi., dan Rajkumar. 2018. Characterization of
isolates of Bordetella bronchiseptica from horses. Journal Equine Sci. Volume 29, No.
1, hal: 25-31, 2018.
Vanessa, K.L., L.T. Heathet., dan S.L. Kenneth. 2005. Small Mammal Hematology:
Leucocyte Identification in Rabbits and Guinea Pigs. www.medirabbit.com. Diakses 05
Juni 2020.
Weiss, D.J. dan Wardrop, K.J. 2010. Schalm’s Veterinary Hematology. 6th ed. Singapore:
Willey-Blackwell.
30

LAMPIRAN PEMERIKSAAN PATOLOGI


Pemilik : Pak Daniel
Alamat : Jl. Manggis, Klebengan
Jenis Hewan : Kelinci, Jantan, 1 tahun
Anamnesa : Populasi 50 ekor kelinci. Kondisi kandang lembab, tipe kandang postal.
Pakan hijauan dan konsentrat. Alopesia dan luka di telinga, bibir, hidung,
daerah kepala dan leher, nafsu makan turun. Rambut kusam dan demam.
Kelinci juga mengalami gangguan di sistem pernapasan yaitu kelinci pilek dan
adanya leleran mukopurulen dari hidung.

Hasil Pemeriksaan Makroskopik


Kulit : Alopesia, hiperkeratosis dan kulit menebal
Pulmo : Pucat kelabu, konsistensi keras dengan permukaan tidak rata, bidang
sayatan licin, keluar cairan kemerahan, uji apung tenggelam
Hepar : Membesar, pucat, bidang sayatan basah, pucat, konsistensi kenyal,
nodul putih pada semua permukaan lobus, dilatasi duktus biliferus

Hasil Pemeriksaan Mikroskopik


Kulit : Penebalan stratum korneum, infiltrasi heterofil dan makrofag pada
dermis, ditemukan Sarcoptes scabiei dalam epidermis
Rongga hidung : Inti sel epitelial menghilang dan sitoplasma hipereosinofilia pada
epitel septa nasal
Pulmo : Alveoli terisi oleh eksudat fibrin, infiltrasi heterofil dan makrofag
pada jaringan bronkus
Hepar : Sel hepar membesar, banyak ditemukan vakuola, sinusoid mengalami
dilatasi dan terisi eritrosit, serta keluarnya eritrosit dari pembuluh
darah, peningkatan jumlah sel epitel pada duktus biliferus, infiltrasi
makrofag dan limfosit di daerah periportal, oosista Eimeria stiedae di
antara epitel dalam duktus biliferus

Kesimpulan
Berdasarkan hasil pemeriksaan makroskopik dan mikroskopik, hewan kelinci
mengalami hiperkeratosis dermatitis, nekrosis epitel septa nasal, bronchopneumonia, hepatic
coccidiosis.

Mengetahui, Yogyakarta, 25 Juni 2020


Dosen Pembimbing Mahasiswa Koasistensi Diagnosa
Laboratorik

Ella Pratiwi, S.K.H


Prof. Drh. Kurniasih, M. VSc., Ph.D
31

LAPORAN PEMERIKSAAN PARASITOLOGI


Jenis Hewan : Kelinci
Kasus : Seekor kelinci menderita alopecia dan luka gores di telinga, bibir, hidung,
daerah kepala dan leher. Pemilik melaporkan bahwa kelinci mengalami
penurunan nafsu makan sehingga kelinci mengalami anoreksia. Rambut
kelinci kusam dan kasar, suhu tubuh 38°C dan mengalami diare.
Jenis Sampel : Sampel yang digunakan untuk pemeriksaan laboratoris adalah sampel feses
dan kerokan kulit telinga
Tujuan Pemeriksaan : Untuk mengetahui infeksi agen parasit penyebab gejala klinis pada
kelinci
Metode Pemeriksaan :
a. Pemeriksaan Feses
Pemeriksaan sampel feses dilakukan dengan metode pengujian natif dan sentrifus.
Metode natif dilakukan dengan cara mencampur feses dengan air. Larutan feses
kemudian diteteskan di atas gelas objek dan ditutup dengan deck glass, lalu diamati di
bawah mikroskop (10x10) dan dilanjutkan dengan pembesaran kuat.
Metode sentrifus dilakukan dengan cara mencampur feses dengan air, lalu dituang ke
dalam tabung sentrifus sebanyak ¾ bagian tabung kemudian disentrifus selama 5 menit.
Supernatan dibuang kemudian endapan yang didapatkan ditambah dengan NaCl jenuh
atau gula jenuh hingga ¾ bagian tabung, lalu diaduk dan disentrifus kembali selama 5
menit. Setelah selesai diletakkan pada rak tabung dan tambahkan NaCl jenuh atau gula
jenuh diatas cairan hingga permukaannya cembung dan biarkan selama 3 menit. Gelas
objek ditempelkan pada permukaan yang cembung, dibalik dengan cepat dan diamati di
bawah mikroskop (10x10) dan dilanjutkan dengan pembesaran kuat.
Pemeriksaan dapat dilanjutkan dengan metode OPG (Oocysts per Gram) McMaster.
Metode ini dilakukan dengan cara mencampur 2 g sampel feses ke dalam 30 ml larutan
garam. Selanjutnya dihomogenkan dan dilakukan penyaringan untuk mengurangi serat
dan kotoran lainnya. Hasil saringan sebanyak 0,5 ml kemudian diambi dan dimasukkan
ke dalam kamar hitung McMaster lalu diamati di bawah mikroskop dengan perbesaran
100x. Rumus perhitungan OPG yaitu :
𝑛 𝑉𝑙
OPG = ×
𝐵𝑡 𝑉𝑘ℎ
32

Keterangan :
n : Jumlah ookista yang ditemukan
Bt : Berat feses (gram)
Vl : Volume larutan pengapung (ml)
Vkh : Volume kamar hitung

b. Pemeriksaan Kerokan Kulit


Metode ini disebut juga skin scrapping. Teknik scrapping dilakukan dengan cara
kerokan kulit diambil di area sekitar lesi. Hasil kerokan kemudian diletakkan pada objek
glass dan ditetesi KOH 10%, lalu diamati di bawah mikroskop.

Interpretasi Hasil :
a. Pemeriksaan Feses
Metode Natif : (+) Positif Oosista
Metode Sentrifus : (+) Positif Oosista
b. Pemeriksaan Kerokan Kulit Telinga
Skin scrapping : (+) Positif
No Sampel Hasil Pemeriksaan Interpretasi
Feses Pada pemeriksaan
feses ditemukan
adanya oosista
Eimeria stiedae
yang berbentuk
1. lonjong, kadang-
kadang bentuk
Gambar 1. Oosista Eimeria sp. (40x) (Kala et al., elips, dengan ujung
2019)
halus, ukuran 26-
40 x 16-25 mikron
(Levine, 1994).
33

Gambar 2. Oosista Eimeria stiedae (Iskandar, 2005)


Area kepala Pada pemeriksaan
kelinci gejala klinis pada
kelinci, terlihat
bahwa kulit area
kepala khususnya
bagian telinga dan
2.
mata mengalami
Gambar 3. Area kepala kelinci yang mengalami lesi
alopesia dan
pada bagian telinga dan mata (Kumar et al., 2018)
keropeng kulit
yang biasanya
menjadi gejala
klinis scabies
Kerokan kulit Pada hasil
telinga pemeriksaan
kerokan kulit
ditemukan adanya
tugau Sarcoptes
3. scabiei yang
tumbuh dan
Gambar 4. Hasil pemeriksaan sampel kerokan kulit
berkembang biak
(100x)(Laksono et al., 2018)
di permukaan kulit
kelinci sehingga
menyebabkan
34

penyakit scabies.

Kesimpulan

Berdasarkan hasil pemeriksaan, hewan kelinci terinfeksi protozoa Eimeria stiedae pada
saluran pencernaan dan Sarcoptes scabiei pada kulit khususnya area kepala.
35

LAPORAN PEMERIKSAAN MIKROBIOLOGI


Jenis Hewan : Kelinci

Gejala Klinis : Adanya leleran mukopurulen dari hidung, dyspnea dan pyrexia,
mengalami snuffle-like syndrome.

Perubahan Organ : Terjadi bronchopneumonia dan perubahan warna pada pulmo serta
terjadi kematian sel pada epitel septa nasal

Bahan Pemeriksaan : Sampel swab trakea, cairan dari aspirasi transtracheal, endotracheal,
nasofaring dan organ pulmo

Tujuan Pemeriksaan : Isolasi dan identifikasi bakteri Bordetella bronchiseptica

Hasil Pemeriksaan :

Tabel 1. Hasil Pemeriksaan Bordetella bronchiseptica


Media Hasil Pemeriksaan
Pewarnaan Gram

Gambar 1. Morfologi sel Bordetella brochiseptica pada Pengecatan


Gram (100x) (Vaid et al., 2018)

Bordetella bronchiseptica merupakan bakteri Gram-negatif yang


berbentuk coccobasil (Markey et al., 2013)
Plat Agar Darah (PAD)

Gambar 2. Morfologi koloni Bordetella brochiseptica pada Plat Agar


Darah (Vaid et al., 2018)
Morfologi koloni Bordetella bronchiseptica berbentuk sirkular,
berwarna abu-abu dan berkilau (Vaid et al., 2018).
36

MacConkey Agar

Gambar 3. Koloni Bordetella bronchiseptica yang ditanam pada media


MacConkey agar (Markey et al., 2013)

Bordetella bronchiseptica juga dapat tumbuh pada media


MacConkey agar. Bentuk koloninya yaitu berukuran kecil, pucat
dengan rona kemerahan dan perubahan warna kuning dari media
yang mendasarinya (Markey et al., 2013)
Uji Motilitas

Gambar 4. Uji motilitas pada media semisolid agar (Leboffe dan


Pierce, 2011)

Uji motilitas ini bertujuan untuk mendeteksi bakteri yang motil.


Uji motilitas menggunakan media semisolid agar yang
mengandung agar dengan konsentrasi 0,4%-1,5%, cocok untuk
mempertahankan bentuk agar dan memungkinkan pergerakan
bakteri (Leboffe dan Pierce, 2011). Bakteri Bordetella
bronchiseptica memiliki peritrichous flagela yang
memungkinkan bakteri untuk bergerak (Markey et al., 2013).
Uji Katalase

Gambar 5. Uji Katalase (positif pada bagian kiri, negatif pada bagian
kanan) (Leboffe dan Pierce, 2011)

Uji katalase ini digunakan untuk identifikasi bakteri yang


37

menghasilkan enzim katalase. Katalase mengubah hidrogen


peroksida menjadi H2O dan O2 (Leboffe dan Pierce, 2011).
Bordetella bronchiseptica positif pada uji katalase (Markey et
al., 2013).
Uji Oksidase

Gambar 6. Uji oxidase (hasil positif berwarna biru, negatif tidak berubah
warna) (Leboffe dan Pierce, 2011)

Uji oksidase bertujuan untuk mengidentifikasi bakteri yang


mengandung enzim respirator, cytochrome c oxidase. Hasil
positif ditandai dengan perubahan warna pada koloni menjadi
biru sementara negatif apabila tidak terjadi perubahan warna
(Leboffe dan Pierce, 2011). Menurut Markey et al. (2013),
bakteri Bordetella bronchiseptica memiliki hasil positif pada uji
oksidase.
Uji Citrat

Gambar 7. Uji citrat dengan media Simmons Citrate Agar (Leboffe dan Pierce,
2011)

Uji citrat bertujuan untuk mengetahui kemampuan bakteri untuk


menggunakan citrat sebagai sumber karbon. Media yang
38

digunakan yaitu Simmons Citrate Agar (Leboffe dan Pierce,


2011). Menurut Market et al. (2013), bakteri Bordetella
bronchiseptica memiliki hasil positif terhadap uji citrat. Hal ini
menandakan bakteri tersebut dapat menggunakan citrat sebagai
sumber karbon.
Uji Urease

Gambar 8. Uji Urease (Leboffe dan Pierce, 2011)

Uji ini digunakan untuk differensiasi bakteri yang memiliki


kemampuan untuk menghidrolisis urea dengan enzim urease
(Leboffe dan Pierce, 2011). Menurut Markey et al. (2013),
bakteri Bordetella bronchiseptica memiliki hasil positif terhadap
uji urease, hal ini menunjukkan bakteri memiliki enzim urease
yang dapat menghidrolisis urea.
Uji Reduksi Nitrat

Gambar 9. Uji Reduksi Nitrate (Leboffe dan Pierce, 2011)

Uji reduksi nitrat bertujuan untuk differensiasi bakteri yang tidak


dapat mereduksi nitrat atau yang dapat mereduksi nitrit menjadi
N2 (Leboffe dan Pierce, 2011). Menurut Markey et al. (2013),
bakteri Bordetlla bronchiseptica memiliki enzim nitrate
reductase.
39

Uji Karbohidrat

Glukosa (Bordetella
bronchiseptica tidak
memfermentasi glukosa
menjadi asam, sehingga
media berwarna merah)

Sukrosa (Bordetella
bronchiseptica tidak
memfermentasi sukrosa Gambar 10. Uji karbohidrat dengan indikator phenol red (Leboffe dan Pierce,
menjadi asam, sehingga 2011)
media berwarna merah)
Berbagai karbohidrat dapat digunakan dalam uji ini, tetapi
Laktosa (Bordetella yang paling umum adalah glukosa, sukrosa, laktosa dan maltosa.
bronchiseptica tidak
memfermentasi laktosa Prinsip uji karbohidrat dengan indikator phenol red adalah
menjadi asam, sehingga
fermentasi karbohidrat akan menghasilkan produksi asam yang
media berwarna merah)
membuat pH turun dan mengubah warna indikator pH (Leboffe
Maltosa (Bordetella dan Pierce, 2011). Menurut Markey et al. (2013), bakteri
bronchiseptica tidak
memfermentasi maltosa Bordetella bronchiseptica tidak dapat memfermentasi
menjadi asam, sehingga karbohidrat, sehingga apabila dilakukan uji maka warna indikator
media berwarna merah)
pH tidak akan merubah menjadi kuning karena bakteri tidak
dapat memfermentasi karbohidrat untuk menghasilkan asam.

Uji Bordetella bronchiseptica


Pewarnaan Gram Negatif
Plat Agar Darah Convex, margin entire
MacConkey Agar Ukuran kecil, pucat dan perubahan
warna kuning pada media
Motilitas +
Katase +
Oksidase +
Citrat +
Urease +
Reduksi nitrat +
Reduksi nitrit -
Glukosa -
Sukrosa -
Laktosa -
Maltosa -
40

Kesimpulan

Berdasarkan hasil pemeriksaan sampel mikrobiologi dari kelinci, terisolasi dan


diidentifikasi bakteri Bordetella bronchiseptica.

DAFTAR PUSTAKA

Leboffe, M.J., dan B.E. Pierce. 2011. A Photographic Atlas for The Microbiology
Laboratory. Moston Publishing.

Markey, B., L. Finola., A. Marie., C. Ann., dan M. Dores. 2013. Clinical Veterinary
Microbiology. USA: Mosby Elsevier.

Vaid, R.K., K. Shanmugasundaram., T. Anand., B.C. Bera., M. Tigga., R. Dedar., T. Riyesh.,


S. Bardwaj., N. Virmani., B.N. Tripathi., dan Rajkumar. 2018. Characterization of
isolates of Bordetella bronchiseptica from horses. Journal Equine Sci. Volume 29, No.
1, hal: 25-31, 2018.

Mengetahui, Yogyakarta, 19 Juni 2020


Dosen Pembimbing Mahasiswa Koasistensi Diagnosa
Laboratorik

Prof. drh. Widya Asmara, SU., Ph.D. Ella Pratiwi, S.K.H


41

LAPORAN PEMERIKSAAN MIKROBIOLOGI

Jenis Hewan : Kelinci

Gejala Klinis : Terdapat leleran serous atau mukopurulen dari hidung, mengalami
snuffle-like syndrome, bersin

Perubahan Organ : Terjadi peradangan dan obstruksi kronis pada pulmo, konjungtivitis,
laryngitis dan arthritis.

Bahan Pemeriksaan : Sampel swab nasal, sekresi lakrimar, aspirasi trakea dan organ pulmo

Tujuan Pemeriksaan : Isolasi dan identifikasi bakteri Moraxella catarrhalis

Hasil Pemeriksaan :

Tabel 1. Hasil Pemeriksaan Moraxella catarrhalis


Media Hasil Pemeriksaan
Pewarnaan Gram

Gambar 1. Morfologi sel Moraxella catarrhalis pada Pengecatan Gram


(Embers et al., 2011)

Moraxella catarrhalis merupakan bakteri Gram-negatif


berbentuk kidney-shaped diplococcus yang memiliki ukuran
diameter 0.5-1.5 µm (Engelkirk dan Duben-Engelkirk, 2012).
Plat Agar Darah (PAD)

Gambar 2. Morfologi koloni Moraxella catarrhalis pada Plat Agar Darah


(Anonim, 2020)
Morfologi koloni Moraxella catarrhalis smooth, opaque,
berwarna abu keputihan dan berukuran 1-3 mm (Engelkirk dan
42

Duben-Engelkirk, 2012).
Chocolate Agar

Gambar 3. Koloni Moraxella catarrhalis yang ditanam pada media Chocolate


agar (Al-Ahmer et al., 2017)

Koloni berwarna abu-abu (Al-Ahmer et al., 2017)


Uji Katalase

Gambar 4. Uji Katalase (positif pada bagian kiri, negatif pada bagian
kanan) (Leboffe dan Pierce, 2011)

Uji katalase ini digunakan untuk identifikasi bakteri yang


menghasilkan enzim katalase. Katalase mengubah hidrogen
peroksida menjadi H2O dan O2 (Leboffe dan Pierce, 2011).
Moraxella catarrhalis positif pada uji katalase (Engelkirk dan
Duben-Engelkirk, 2012).
Uji Oksidase

Gambar 5. Uji oxidase (hasil positif berwarna biru, negatif tidak berubah
warna) (Leboffe dan Pierce, 2011)

Uji oksidase bertujuan untuk mengidentifikasi bakteri yang


mengandung enzim respirator, cytochrome c oxidase. Hasil
43

positif ditandai dengan perubahan warna pada koloni menjadi


biru sementara negatif apabila tidak terjadi perubahan warna
(Leboffe dan Pierce, 2011). Bakteri Moraxella catarrhalis
memiliki hasil positif pada uji oksidase (Engelkirk dan Duben-
Engelkirk, 2012).
Uji Reduksi Nitrat

Gambar 6. Uji Reduksi Nitrate (Leboffe dan Pierce, 2011)

Uji reduksi nitrat bertujuan untuk differensiasi bakteri yang tidak


dapat mereduksi nitrat atau yang dapat mereduksi nitrit menjadi
N2 (Leboffe dan Pierce, 2011). Menurut Engelkirk dan Duben-
Engelkirk (2012), bakteri Moraxella catarrhalis memiliki hasil
positif pada uji reduksi nitrat, hal ini menandakan bakteri
memiliki enzim nitrate reduktase.
Uji DNase

Gambar 7. DNase Agar (Leboffe dan Pierce, 2011)

Enzim yang mengkatalis hidrolisis DNA menjadi fragmen


kecil (oligonukleotida) atau nukleotida tunggal disebut
deoxyribonuclease atau Dnase. Hidrolisis DNA dapat dilihat dari
adanya perubahan warna dari biru menjadi merah muda disekitar
area inokulasi. Menurut Engelkirk dan Duben-Engelkirk (2012),
44

bakteri Moraxella catarrhalis memiliki hasil positif pada uji


DNase agar.
Uji Karbohidrat

Glukosa (Moraxella
catarrhalis tidak
memfermentasi glukosa
menjadi asam, sehingga
media berwarna merah)

Sukrosa (Moraxella
catarrhalis tidak
memfermentasi sukrosa Gambar 10. Uji karbohidrat dengan indikator phenol red (Leboffe dan Pierce,
menjadi asam, sehingga 2011)
media berwarna merah)
Berbagai karbohidrat dapat digunakan dalam uji ini, tetapi
Laktosa (Moraxella yang paling umum adalah glukosa, sukrosa, laktosa dan maltosa.
catarrhalis tidak
memfermentasi laktosa Prinsip uji karbohidrat dengan indikator phenol red adalah
menjadi asam, sehingga fermentasi karbohidrat akan menghasilkan produksi asam yang
media berwarna merah)
membuat pH turun dan mengubah warna indikator pH (Leboffe
Maltosa (Moraxella dan Pierce, 2011). Menurut Markey et al. (2013), bakteri
catarrhalis tidak
memfermentasi maltosa Moraxella catarrhalis tidak dapat memfermentasi karbohidrat,
menjadi asam, sehingga sehingga apabila dilakukan uji maka warna indikator pH tidak
media berwarna merah)
akan merubah menjadi kuning karena bakteri tidak dapat
memfermentasi karbohidrat untuk menghasilkan asam.

Uji Moraxella catarrhalis


Pewarnaan Gram Negatif
Plat Agar Darah smooth, opaque, berwarna abu
keputihan dan berukuran 1-3 mm
Chocolate Agar Koloni abu-abu
Motilitas -
Katase +
Oksidase +
Reduksi nitrat +
DNase +
Glukosa -
Sukrosa -
Laktosa -
Maltosa -
45

Kesimpulan

Berdasarkan hasil pemeriksaan sampel mikrobiologi dari kelinci, terisolasi dan


diidentifikasi bakteri Moraxella catarrhalis.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Ahmer, S.D., W.A. Al-Amili., Z.H. Al-Asady., dan N.I. Al. Baiyati. 2017. Molecular
Detection of Moraxella catarrhalis Isolated from Children Infected with Otitis Media.
International Journal of Science and Nature Volume 8 (2) 2017: 197-201.

Anonim. 2020. Bacteria in Photos: Moraxella catarrhalis. www.bacteriainphotos.com.


Diakses pada tanggal 01 Juni 2020.

Embers, M.E., L.A. Doyle., C.A. Whitehouse., E.B. Selby., M. Chappell., dan M.T. Philipp.
2011. Characterization of a Moraxella species that causes epistaxis in macaques.
Journal Veterinary Microbiology 147 (2011) 367-375.

Engelkirk, P.G dan J. Duben-Engelkirk. 2012. Laboratory Diagnosis of Infectious Disease:


Essentials of Diagnostic Microbology 1st Edition. Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins.

Leboffe, M.J., dan B.E. Pierce. 2011. A Photographic Atlas for The Microbiology
Laboratory. Moston Publishing.

Mengetahui, Yogyakarta, 19 Juni 2020


Dosen Pembimbing Mahasiswa Koasistensi Diagnosa
Laboratorik

Prof. drh. Widya Asmara, SU., Ph.D. Ella Pratiwi, S.K.H


STUDI KASUS PATOLOGI KLINIK

Jenis hewan : Kelinci


Anamnesa dan Gejala Klinis : Anoreksia, kelinci terlihat kurus, diare dengan sedikit darah,
ada penebalan kulit telinga, dan sesak nafas
Perubahan makros dan mikros: Kongesti dan hemoragi pada pulmo, degenerasi melemak
pada hepar. Nekrosis dan hemoragi pada usus, dan ditemukan
oosista pada feses. Serta pada kerokan kulit telinga ditemukan
Sarcoptes scabiei.
Diagnosa : Koksidiosis, Scabies, Bordetellosis, dan Moraxellosis

Bahan pemeriksaan: darah dengan antikoagulan ethylene diamine tetraaccetic acid (EDTA)
untuk pemeriksaan hematologi rutin dan apus darah yang diwarnai
dengan Giemsa.

Hasil:

Parameter Hasil Pemeriksaan Nilai Rujukan* Keterangan


Hb (%) 8 9.8-17.4 Menurun
Total eritrosit 4 5.1 – 7.94 Menurun
(106/mm3)
PCV (%) 32.4 37-50 Menurun
MCV (fl) 45 57.8 - 65.4 Menurun
MCH (pg) 15 17.1 - 23.5 Menurun
MCHC(g/dl) 27 28.7 – 37 Menurun
TPP 12 13 Menurun
Fibrinogen 3 2 Meningkat
Total leukosit 15 5.2 – 12 Meningkat
(103/mm3)
Heterofil (%) 64
Heterofil (103/mm3) 9.6 2-6 Meningkat
Eosinofil (%) 5
Eosinofil (103/mm3) 0.75 0.2 – 0.4 Meningkat
Limfosit (%) 28
Limfosit (103/mm3) 4.2 4.5 – 8 Menurun
Basofil (%) -
Basofil (103/mm3) - 0 – 0.5 Normal
Monosit (%) 3
Monosit (103/mm3) 0.45 0.2 – 0.4 Meningkat

46
47

Kesimpulan :
Berdasarkan pemeriksaan patologi klinis, kelinci mengalami anemia mikrositik
hipokromik, hipoproteinemia, hiperfibrinogenemia serta leukositosis yang disertai dengan
heterofilia, eosinofilia, monositosis dan limfopenia.

Mengetahui, Yogyakarta, 18 Juni 2020


Dosen Pembimbing Mahasiswa Koasistensi Diagnosa
Laboratorik

Prof. Dr. drh. Siti Isrina Oktavia Ella Pratiwi, S.K.H


Salasia

Anda mungkin juga menyukai