Disusun oleh :
Ella Pratiwi, S.K.H
(19/451381/KH/10300)
A.2019.9
1. Prof. Dr. drh. Siti Isrina Oktavia Salasia, selaku Dekan Fakultas Kedokteran
Hewan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dan dosen pembimbing
Laboratorium Patologi Klinik yang telah memberikan bimbingan
selamapelaksanaan koasistensi dan pembuatan laporan
2. drh. Christin Marganingsih Santosa, M.Si., selaku koordinator Koasistensi
Diagnosa Laboratorik.
3. Prof. drh. Kurniasih, M. VSc., Ph.D., selaku dosen pembimbing Laboratorium
Patologi yang telah memberikan bimbingan selama pelaksanaan koasistensi dan
pembuatan laporan.
4. Prof. drh. Widya Asmara, SU., Ph.D., selaku dosen pembimbing Laboratorium
Mikrobiologi yang telah memberikan bimbingan selama pelaksanaan koasistensi
dan pembuatan laporan.
5. Dr. drh. Dwi Priyowidodo, M.P., selaku dosen pembimbing Laboratorium
Parasitologi yang telah memberikan bimbingan selama pelaksanaan koasistensi dan
pembuatan laporan.
6. Drh. Dorothea Vera Megarono, M.Ph., selaku dosen pembimbing Laboratorium
Patologi Klinik yang juga telah memberikan bimbingan selama pelaksanaan
koasistensi dan pembuatan laporan.
7. Semua pihak yang telah membantu dalam penulisan laporan yang tidakdapat
penulis sebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa kegiatan ini tidak akan terlaksana dengan baik tanpa adanya
bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Dengan ini, penulis menyampaikan permohonan
maaf apabila masih terdapat kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, penulis
mengharapkan saran dan kritik dari semua pihak. Semoga laporan ini dapat memberikan
ii
manfaat bagi pembaca dan perkembangan ilmu pengetahuan di bidang kedokteran hewan dan
masyarakat pada umumnya.
iii
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI............................................................................................................................. iv
PENDAHULUAN ..................................................................................................................... 1
Tujuan..................................................................................................................................... 1
Manfaat................................................................................................................................... 1
PEMBAHASAN ...................................................................................................................... 21
PENUTUP................................................................................................................................ 25
Kesimpulan........................................................................................................................... 25
Saran ..................................................................................................................................... 25
PATOGENESIS ....................................................................................................................... 26
iv
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kelinci merupakan hewan yang dipelihara dan diternakkan oleh manusia. Kelinci dapat
menjadi hewan kesayang dan juga dapat dijadikan sebagai hewan ternak untuk dikonsumsi
dagingnya. Selain itu, kelinci juga banyak digunakan sebagai hewan coba di laboratorium.
Kelinci memiliki lama hidup sekitar 5-10 tahun. Kelinci memiliki kebiasaan corophagy, yaitu
kebiasaan kelinci untuk memakan tinjanya sendiri. Kelinci memakan tinjanya untuk
memenuhi kebutuhan nutrisinya.
Berdasarkan kebiasaan kelinci tersebut, makan sangat perlu diperhatikan mutu pakan,
minum dan kondisi kandang bagi kelinci. Kandang kelinci harus mempunyai persyaratan
kebersihan, hewan terlindungi dari angin dan hujan serta cahaya matahari yang langsung dan
lama. Tiap kandang sebaiknya mempunyai satu baki baja yang digantung dibawahnya untuk
menampung tinja. Tempat pakan dan minum harus rutin dibersihkan. Hal yang sangat
disayangkan yaitu seringkali peternak atau pemilik kelinci kurang memperhatikan kebersihan
kandang, tempat pakan dan minum serta kenyamanan kelinci tersebut. Apabila hal tersebut
dibiarkan sampai parah maka dapat menimbulkan resiko kelinci terserang penyakit dari agen
jamur, bakteri, virus, atau parasit.
Tujuan
Tujuan pemeriksaan adalah untuk mengetahui, menganalisa dan mendiagnosa
penyebab penyakit pada kelinci melalui pemeriksaan patologi, mikrobiologi, parasitologi, dan
patologi klinik.
Manfaat
Manfaat pemeriksaan laboratorik pada kelinci adalah sebagai pembelajaran dan
informasi kepada pembaca terutama peternak bebek mengenai agen penyebab penyakit dan
dampak yang dapat terjadi, sehingga dapat dilakukan tindakan pencegahan dan pengobatan.
1
KAJIAN PATOLOGI ANATOMI
Kelinci menderita alopesia dan luka gores di telinga, bibir, hidung, daerah kepala dan
leher. Pemilik melaporkan bahwa kelinci mengalami penurunan nafsu makan sehingga
kelinci mengalami anoreksia. Rambut kelinci kusam dan kasar, demam. Kelinci juga
mengalami gangguan di sistem pernapasan yaitu kelinci pilek dan hidung berair.
Kulit
Pada perubahan makroskopik terdapat alopesia dan hiperkeratosis dan kulit menebal.
Sementara pada perubahan mikrokopik terjadi Penebalan stratum korneum, infiltrasi heterofil
dan makrofag pada dermis, ditemukan Sarcoptes scabiei dalam epidermis.
Gambar 1. Kulit area kepala khususnya bagian telinga dan mata mengalami alopesia
dan keropeng kulit yang biasanya menjadi gejala klinis scabies (Kumar et al., 2018)
2
3
\
Gambar 4 Perubahan pada pulmo kelinci dengan pucat kelabu, konsistensi keras
dengan permukaan tidak rata (Turner et al., 2017)
4
Gambar 7. Dilatasi pada duktus biliferus dan perbesaran kantung empedu (Barthold et
al., 2016)
Gambar 9. Kongesti dan dilatasi pada sinusoid yang disertai dengan hemoragi dengan
pewarnaan HE perbesaran 400x (Al-Mathal, 2008)
6
Gambar 10. Dilatasi pada duktus koledokus. Pada duktus koledokus juga terdapat
hiperplasia epitel (Barthold et al., 2016)
KAJIAN PARASITOLOGI
Eimeria stiedae
Gambar 11. Ookista eimeria pada kelinci yang telah berspora. 1. E. stidae, 2. E. magna, 3.
E.perforans, 4. E. media,5. E. irresidua, 6. E. piriformis, 7. E. coecicola, 8. E.
elongata, 9. E. matsubayashii,10. E.intestinals dan 11. E. nagpurensis (Iskandar,
2005).
Patogenitas Eimeria memiliki faktor penentu yang penting untuk diperhatikan yaitu :
7
8
aseksual dan berkembang menjadi skizon I dan merozoit I. Merozoit I yang keluar dari sel
epitel akan melakukan penetrasi dan masuk kembali ke sel epitel mukosa merozoit II.
Merozoit II keluar dari sel epitel dan melakukan penetrasi kembali untuk berkembang
membentuk mikrogamet dan makrogamet. Selanjutnya terjadi perkembangbiakan secara
seksual yaitu melalui pertemuan antara makrogamet dan mikrogamet, lalu akan membentuk
zigot dan berkembang menjadi oosista. Oosista akan keluar dari sel epitel usus dan keluar
bersama feses. Total waktu yang dibutuhkan untuk satu siklus hidup Eimeria sp. yaitu sekitar
4-6 hari (Ditjennak, 2014).
Menurut Pritt et al. (2012), kontaminasi oosista dapat melalui pakan dan minum.
Periode prepaten yaitu 14-18 hari dan periode paten 21-37 hari. Eimeria stiedae migrasi dari
traktus intestinal melalui dinding instetinal, masuk ke dalam saluran limfatik menuju ke
duktus biliferus hepar untuk terjadinya fase seksual.
Scabies
Scabies merupakan salah satu penyakit zoonosis yang disebabkan oleh tungau yang
masuk dalam kelas Arachnida, sub kelas Acarina, ordo Astigma dan famili Sarcoptidae.
Contoh tungau Astigmata adalah Sarcoptes scabiei, Psoroptes ovis, Notoedres cati,
Chorioptes sp., dan Otodectes cynotys.
Siklus hidup diawali dengan tungau betina atau nimfa stadium kedua yang aktif
membuat liang di epidermis atau lapisan tanduk. Di liang tersebut, Sarcoptes sp., akan
meletakkan telurnya. Telur tersebut akan menetas dalam 3-4 hari, lalu menjadi larva berkaki
10
6. Dalam kurun waktu 1-2 hari larva akan berkembang menjadi nimfa stadium I dan II yang
berkaki 8. Kemudian tungau akan berkembang menjadi dewasa dan mampu berkembang biak
dalam 2-4 hari. Perjalanan penyakit terbagi dalam tiga fase. Fase pertama terjadi 1-2 hari
setelah infestasi. Saat ini tungau mulai menembus lapisan epidermis sehingga pada
permukaan kulit terdapat banyak lubang kecil. Pada fase kedua, tungau telah berada di bawah
lapisan keratin, permukaan kulit telah ditutup oleh kerak/keropeng yang tebal dan kerontokan
bulu. Fase kedua ini terjadi 4-7 minggu setelah infestasi. Pada fase ketiga yang terjadi 7-8
minggu setelah infestasi, kerak mulai mengelupas sehingga pada permukaan kulit kembali
terlihat lubang kecil dan pada saat itu, beberapa tungau meninggalkan bekas lubang tersebut
(Ditjennak, 2014).
Gambar 15. Hasil pemeriksaan skin scrapping pada kelinci (Panigrahi et al., 2014)
Etiologi
Bakteri ini termasuk famili Alcaligenaceae. Genus Bordetella saat ini terdiri dari
delapan spesies termasuk penyebab pertusis atau batuk rejan di manusia yaitu, B. pertusis.
Tiga spesies Bordetella yang menular pada sistem pernapasan hewan yaitu B. bronchiseptica
(rinitis atrofik pada babi; tracheobronchitis pada anjing, sinonim: kennel cough, canine
cough, canine croup), B. avium (turkey coryza) dan B. parapertussis (pneumonia pada
domba). Spesies Bordetella merupakan bakteri aerob (kecuali B. petrii) dan tidak
memfermentasi karbohidrat (asaccharolytic) tetapi mendapatkan energi dari oksidasi asam
amino dan karboksilat (Markey et al., 2013).
Karateristik
Gambar 16.. Morfologi koloni Bordetella brochiseptica pada Plat Agar Darah (Vaid et al., 2018)
Bordetella bronchiseptica merupakan bakteri Gram-negatif yang berbentuk coccobasil,
berukuran kecil dengan diameter 0.2–0.5 µm dan panjang 0.5–2.0 µm dan memiliki
peritrichous flagela (Markey et al., 2013).
11
12
Gambar 17. Morfologi sel Bordetella brochiseptica pada Pengecatan Gram (100x) (Vaid et al., 2018)
Faktor Virulensi
Faktor virulensi Bordetella sp. dapat dilihat pada Tabel 2. Faktor virulensi seperti
fimbrae (FIM), filsmentous hemagglutinin (FHA), pertactin (PTN) meningkatkan kolonisasi
Bordetella sp. Faktor virulensi seperti dermonecrotic toxin (DNT), osteotoxin, tracheal
cytotoxin (TCT) dan lipopolisakarida (LPS) menginisiasi pembentukan lesi (Markey et al.,
2013).
Patogenesis
Bordetella sp. dikenal sebagai bakteri yang dapat menularkan penyakit respirasi dengan
tingkat mobiditas dan mortalitas yang tinggi (Markey et al., 2013). Patogenesis Bordetella
bronchiseptica memiliki pili yang memfsilitasi bakteri berikatan dengan epitel bersilia dari
saluran pernapasan. Bakteri ini aktif menempel pada silia dan menghasilkan ciliostasis yang
signifikan dalam waktu lima menit kontak (Simmons dan Gibson, 2012). Faktor virulensi
sangat mempengaruhi proses patogenesis Bordetella. Bakteri Bordetella bronchiseptica
memiliki type III secretion system (TTSS), yang berkontribusi agar bakteri dapat bertahan di
sistem respiratory bagian bawah pada tubuh hospes. Produk type III secretion system
memproduksi terlibat dalam cytotoxicitas, apoptosis dan inaktivasi transkripsi faktor pada sel
eukarotik (Markey et al., 2013).
14
Gejala Klinis
Gejala klinis yang ditimbulkan yaitu adanya leleran mukopurulen dari hidung, dyspnea dan
pyrexia. Pada hewan marmoset yang terinfeksi Bordetella bronchiseptica akan mengalami
leukopenia, hipoglikemia dan ketidakseimbangan cairan elektrolit yang ringan dalam tubuh
(Simmons dan Gibson, 2012). Pada kelinci, Bordetella bronchiseptica relatif dapat bersifat
non-patogenik, meskipun telah menyebabkan bronkopneumonia supuratif yang terlokalisasi
(Varga, 2014). Menurut Markey et al. (2013), gejala klinis infeksi Bordetella yaitu batuk
dengan atau tanpa dyspnea, adanya leleran nasal dan ocular serta penurunan berat badan.
Moraxella catarrhalis
Etiologi
Karateristik
Gambar 18. Morfologi koloni Moraxella catarrhalis pada Plat Agar Darah (Anonim, 2020)
Morfologi koloni Moraxella catarrhalis smooth, opaque, berwarna abu keputihan dan
berukuran 1-3 mm. Bakteri ini tidak dapat tumbuh pada media MacConkey Agar namun
dapat tumbuh dengan baik pada media Plat Agar Darah dan chocolate agar (Engelkirk dan
Duben-Engelkirk, 2012).
15
Gambar 19. Morfologi sel Moraxella catarrhalis pada Pengecatan Gram (Embers et al., 2011)
Faktor Virulensi
Patogenesis
Gejala Klinis
Bakteri ini dapat menyebabkan infeksi parah seperti pneumonia. Infeksi pada saluran
pernapasan yang disebabkan oleh Moraxella catarrhalis yaitu pneumonia, bronkitis,
laryngitis, sinusitis dan batuk persisten. Moraxella catarrhalis menyebabkan sinusitis, infeksi
pada saluran pernapasan bawah (bronkitis, pneumonia). Selain itu bakteri ini juga dapat
16
Menurut Simmons dan Gibson (2012), seekor monyet yang terinfeksi bakteri Moraxella
catarrhalis akan mengalami leukositosis ringan dan neutofilia yang dapat dikaitkan dengan
kejadian infeksi. Neutrofilia disebabkan oleh demarginasi neutrofil, penundaan apoptosis
neutrofil dan stimulasi sel punca oleh faktor pertumbuhan.
KAJIAN PATOLOGI KLINIK
Darah Kelinci
Darah memiliki tiga fungsi utama yaitu nutrisional, ekskretorik dan integratif. Fungsi
nutrisional yaitu membawa makanan dari traktus digestivus dan O2 ke jaringan. Fungsi
ekskretorik yaitu mengangkut hasil metabolik, CO2 ke jaringan ekskretorik (ginjal, kelenjar
keringat). Fungsi integratif yaitu mengangkut hormon-hormon dari kelenjar endokrin dan
bahan-bahan intermediet dari satu tempat ke tempat lain, misalnya tyroxin oleh glandula
thyroidea (Salasia dan Hariono, 2010). Berikut ini gambaran hematologi normal pada kelinci
(Tabel 1.).
Tabel 3. Gambaran darah normal pada kelinci (Weiss dan Wardrop, 2010)
Parameter Nilai Rujukan*
Hb (%) 9.8-17.4
Total eritrosit (103/mm3) 5.1 – 7.94
PCV (%) 37-50
MCV (fl) 57.8 - 65.4
MCH (pg) 17.1 - 23.5
MCHC(g/dl) 28.7 – 37
Total leukosit (103/mm3) 5.2 – 12
Heterofil (%) 8 – 50
Eosinofil (%) 1–3
Limfosit (%) 20 – 90
Basofil (%) 0.5 – 30
Monosit (%) 1–4
*Schalm’s Veterinary Hematology (Weiss & Wardrop, 2010)
17
18
Gambar 19. Limfosit pada Kelinci. Normal limfosit yang terdiferensiasi dengan baik (kiri)
dan reaktif limfosit (kanan) (Vanessa et al., 2005)
Limfosit pada kelinci memiliki ciri yaitu memiliki nukleus yang besar dan bulat
seperti kacang. Termasuk dalam leukosit agranular karena didalam sitoplasma tidak
ditemukan granular. Pada sirkulasi sering ditemukan limfosit kecil yang mendominasi, akan
tetapi limfosit besar tetap ada. Limfosit reaktif merupakan limfosit yang terstimulasi oleh
antigen dimana sel lebih besar dengan sitoplasma berwarna biru (Vanessa et al., 2005).
Limfosit terdiri dari beberapai jenis sel yaitu limfosit B dan limfosit T. Sulit untuk
membedakan kedua jenis limfosit tersebut. Limfosit B berfungsi untuk membentuk
kekebalan humoral sedangkan limfosit T bertanggung jawab dalam membentuk kekebalan
seluler dan respon terhadap sitokin. Sel T terbagi lagi menjadi sel T-induce/helper dan T-
sitotoksik/supressor (Weiss dan Wardrop, 2010).
Heterofil
Neutrofil pada kelinci disebut juga heterofil. Heterofil berdiameter 10-15 µm,
memiliki nukleus lobular ungu yang dikelilingi oleh sitoplasma yang mengandung butiran
19
berwarna merah (biasa disebut granular) serta inti bergelambir. Granular heterofil biasanya
berbentuk seperti tongkat atau oval (Vanessa et al., 2005).
Eosinofil
Eosinofil memiliki kemiripan dengan heterofil, akan tetapi eosinofil memiliki ukuran
yang lebih besar dengan diameter 12-16 µm. Nukleus berwarna ungu, sitoplasmik granular
bersifat asidofilik, bulat dan jumlahnya lebih banyak dibanding granular sitoplasmik
heterofil (Vanessa et al., 2005). Eosinofil merupakan sel yang penting dalam respon inang
terhadap infeksi parasit dan reaksi alergi. Selain itu, eosinofil juga ikut berperan dalam
reaksi imun kompleks. Kandungan granul eosinofil menyebabkan sel ini memiliki
kemampuan untuk melawan parasit cacing, dan bersama dengan basofil atau sel mast
berperan sebagai mediator peradangan (Weiss dan Wardrop, 2010).
Monosit
Monosit memiliki ukuran yang besar yaitu diameter 15-18 µm. Monosit memiliki
nukleus yang besar dengan kromatin yang nampak kurang terkondensasi dibandingkan
20
dengan heterofil. Kromatin memiliki warna lebih pucat dibandingkan limfosit. Sitoplasma
berwarna biru keabu-abuan (Vanessa et al., 2005). Monosit berperan dalam respon
peradangan. Monosit akan berpindah ke jaringan, dan berubah menjadi makrofag. Sel
mononuklear ini mampu memfagosit bakteri, organisme yang lebih besar dan kompleks
(seperti ragi dan protozoa), sel yang terinfeksi, sel debris dan partikel asing (Thrall et al.,
2004).
Basofil
Basofil merupakan sel mieloid yang jumlahnya paling sedikit didalam darah hewan
piara. Basofil memiliki warna ungu muda, nukleus berlobus, granular sitoplasma berwarna
ungu sampai ungu kehitaman. Ukuan basofil hampir sama dengan ukuran heterofil (Vanessa
et al., 2005). Basofil berperan dalam reaksi hipersensitivitas. Basofil akan memasuki
jaringan yang mengalami peradangan dan melakukan fagositosis pada hipersensitivitas
(Weiss dan Wardrop, 2010).
PEMBAHASAN
Kelinci menderita alopesia dan luka di telinga, bibir, hidung, daerah kepala dan leher,
nafsu makan turun. Rambut kusam demam dan diare. Kelinci juga mengalami gangguan di
sistem pernapasan yaitu kelinci pilek dan adanya leleran mukopurulen dari hidung.
Pada pemeriksaan makroskopik organ tubuh kelinci, ditemukan hasil kulit mengalam
alopesia, hiperkeratosis dan penebalan sementara pulmo mengalami ucat kelabu, konsistensi
keras dengan permukaan tidak rata, bidang sayatan licin, keluar cairan kemerahan, uji apung
tenggelam dan organ hepar pembesaran ukuran, pucat, bidang sayatan basah, pucat,
konsistensi kenyal, nodul putih pada semua permukaan lobus, dilatasi duktus biliferus.
Pada pemeriksaan mikroskopik, pada organ kulit ditemukan penebalan stratum
korneum, infiltrasi heterofil dan makrofag pada dermis, ditemukan Sarcoptes scabiei dalam
epidermis, pada organ pulmo alveoli terisi oleh eksudat fibrin yang menyebabkan ketika
disayat maka akan keluar cairan kemerahan, infiltrasi heterofil dan makrofag pada jaringan
bronkus, selanjutnya pada organ hepar ditemukan sel hepar membesar, banyak ditemukan
vakuola, sinusoid mengalami dilatasi dan terisi eritrosit, serta keluarnya eritrosit dari
pembuluh darah, peningkatan jumlah sel epitel pada duktus biliferus, infiltrasi makrofag dan
limfosit di daerah periportal, oosista Eimeria stiedae di antara epitel dalam duktus biliferus.
Berikut adalah hasil pemeriksaan hematologi rutin pada Kelinci (Tabel 2).
21
22
Basofil (%) -
Basofil (103/mm3) - 0 – 0.5 Normal
Monosit (%) 3
Monosit (103/mm3) 0.45 0.2 – 0.4 Meningkat
Berdasarkan hasil pemeriksaan hematologi rutin pada darah kelinci, hasil menunjukkan
penurunan pada nilai hemoglobin dan jumlah total eritrosit. Menurut Salasia dan Hariono
(2010), kondisi penurunan jumlah eritrosit dan hemoglobin atau keduanya dalam sirkulasi
darah disebut anemia. Klasifikasi morfologik anemia dapat diketahui berdasarkan nilai MCV
dan MCHC. Pasien kelinci mengalami penurunan kadar MCV dan MCHC, sehingga dapat
dikatakan kelinci mengalami anemia mikrositik-hipokromik. Anemia mikrositik-hipokromik
disebabkan oleh berbagai faktor Defisiensi Fe (besi), terjadi perdarahan kronis, defisiensi Cu,
dan defisiensi vitamin B6 (Salasia dan Hariono, 2010). Pada kasus ini, anemia mikrositik
hipokromik yang diderita oleh pasien kelinci salah satunya kerusakan pada struktur hepar
yang disebabkan oleh infeksi Eimeria stiedae Kerusakan pada struktur hepar akibat infeksi
Eimeria stiedae adalah pembesaran organ hepar atau hepatomegali yang disertai dengan
nodul berwarna putih (Al-Naimi et al., 2012). Salah satu fungsi hepar yaitu sebagai tempat
penyimpanan faktor pembentuk darah (Fe), sehingga ketika terjadi kerusakan struktur hepar
maka akan mengganggu penyimpanan Fe yang berakibat pada gangguan sintesis Hb,
sehingga terjadi penurunan konsentrasi Hb dan peningkatan jumlah sel darah merah dengan
diameter kecil (Purwono, 2017).
infeksi Eimeria sp. yang dapat menyebabkan penurunan fungsi hepar sehingga mengganggu
metabolisme protein.
Hasil pemeriksaan selanjutnya yaitu leukosit. Jumlah total leukosit pasien kelinci
mengalami peningkatan. Kondisi ini disebut leukositosis. Leukositosis dapat disebabkan oleh
infeksi umum, infeksi lokal, trauma, neoplasma, intoksikasi hasil metabolisme, bahan
kimiawi, obat-obatan (Purwono, 2017). Pada kasus ini, peningkatan leukosit terjadi sebagai
respon pertahanan tubuh terhadap infeksi dari agen parasit Eimeria sp., Sarcoptes scabiei
dan agen bakteri Bordetella bronchiseptica, Moraxella catarrhalis. Leukositosis juga disertai
dengan heterofilia, eosinofilia, monositosis dan limfopenia. Heterofilia merupakan
peningkatan heterofil dalam darah. Hal ini dapat disebabkan adanya peningkatan kebutuhan
jaringan untuk fungsi fagositik pada kasus radang yang disebabkan terutama oleh bakteri
(dalam kasus ini Bordetella bronchiseptica dan Moraxella catarrhalis) , dapat juga karena
virus, parasit dan jamur karena heterofil merupakan jajaran pertama untuk sistem pertahanan
tubuh. Heterofil juga dapat disebabkan oleh stress yang akhirnya memicu pembebasan
kortikosteroid (Purwono, 2017). Menurut Weiss dan Wardrop (2010), heterofilia yang
diinduksi kortikosteroid terjadi karena pemberian kortikosteroid atau injeksi hormon
adrenokortikopik (ACTH) yang memicu pelepasan kortikosteron endogenous dari korteks
adrenal.
yang lama. Kondisi eosinofilia dapat terjadi sebagai proses respon hipersensitifitas karena
adanya infestasi parasit dan merupakan reaksi alergi, reaksi anaphilaktik yang juga
merupakan reaksi hipersensitifitas (Purwono, 2017). Pada kasus ini, infeksi Sarcoptes scabiei
dan Eimeria stiedae telah menyebabkan sensitisasi jaringan hospes sehingga terjadi
peningkatan eosinofil.
Saran
Berdasarkan kasus, sebaiknya manajemen pemeliharaan ditingkatkan oleh pemilik.
Manajemen pemeliharaan yang harus ditingkatkan meliputi manajemen perkandangan, pakan,
air minum, dan sanitasi. Selain itu harus diperhatikan juga biosecurity untuk meminimalisir
agen penyebab penyakit dapat masuk.
25
PATOGENESIS
26
DAFTAR PUSTAKA
Al-Mathal, E.M. 2008. Hepatic Coccidiosis of The Domestic Rabbit Orytolagus cuniculus
domesticus L. In Saudi Arabia. World Journal of Zoology 3 (1): 30-35, 2008.
Al-Naimi, R.A.S., O.H. Khalaf., S.Y. Tano., E.H. Al-Tace. 2012. Pathological Study of
Hepatic Coccidiosis in Naturally Infected Rabbits. Al-Qadisiya Journal of Veterinary
Medicine Science Volume 11, Nomor 1 2012.
Barthold, S.W., S.M. Griffey., dan D.H. Percy. 2016. Pathology of Laboratory Rodents and
Rabbits. New Jersey: Wiley-Blackwell Publishing.
Cam, Y., A. Atasever., G. Eraslan., M. Kibar., O. Atalay., L. Beyaz., A. Inci dan B.C. Liman.
2008. Eimeria stidae: Experimental infection in rabbits and the effect of treatment with
toltrazuril and ivermectin. Experimental Parasitology 119 (2008) 164-172.
Chotiah, S. 2008. Pemanfaatan Plasma Nutfah Mikroba Bordetella bronchiseptica sebagai
perangkat deteksi antibodi. Buletin Plasma Nutfah, Volume 14, No.2, Tahun 2008.
Darzi, M.M., M.S. Mir., R.A. Shahardar., dan B.A. Pandit. Clinico-pathological,
histochemical and therapeutic studies on concurrent sarcoptic and notoedric acariosis in
rabbits (Oryctolagus cuniculus). Veterinarski Arhiv 77(2), 167-175, 2007.
Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2014. Manual Penyakit Hewan
Mamalia. Cetakan kedua. Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. Subdit
Pengamatan Penyakit Hewan. Direktorat Kesehatan Hewan. Jakarta.
Embers, M.E., L.A. Doyle., C.A. Whitehouse., E.B. Selby., M. Chappell., dan M.T. Philipp.
2011. Characterization of a Moraxella species that causes epistaxis in macaques.
Journal Veterinary Microbiology 147 (2011) 367-375.
Galego, C., A.M. Middleton., N. Martinez., S. Romero., dan C. Iregui. 2013. Interaction of
Bordetella bronchiseptica and Its Lipopolysaccharide with In Vitro culture of
respiratory nasal epithelium. Veterinary Medicine International Volume 2013.
Kala, S., A. Kumar., R. Kumar., dan N. Kumari. 2019. Coccidiosis in a Domestic Rabbit: A
Case Report. Journal of AgriSearch 6: 122-123.
27
28
Kullisaar, T., Zilmer, M., Milkelsaar, M., Vilhelm, T., Annuk, H., Kamane, C., dan Klik A.
2001. Twiantioxidant Lactobacili strains as promising probiotics. Food Microbiol J.
72:215-224.
Kumar, A., R. Kumar., Archana dan N. Kumari. 2018. A successful treatment report on
rabbits infected with sarcoptic image. The Pharma Inovation Journal 2018: 7(2): 01-03.
Laksono, T.T., G.A. Yuliani., A. Sunarso., D.R.I. Nunuk., L.T. Suwanti., dan Soeharsono.
2018. Prevalensi dan Tingkat Keparahan (Sarcoptes scabiei) pada Ternak Kelinci di
Desa Sajen Kecamatan Pacet Kabupaten Mojokerto.
Levine, N.D. 1994. Buku Pelajaran Parasitologi Veteriner. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Markey, B., L. Finola., A. Marie., C. Ann., dan M. Dores. 2013. Clinical Veterinary
Microbiology. USA: Mosby Elsevier.
Monti, M., D, Diano., F, Allegrini., V, Fausti., P, Cravero., G, Marcantogrini., dan G.L.
Frassineti. 2017. Bordetella bronchiseptica pneumonia in a patient with lung cancer; a
case report of rare infection. BMC Infectious Disease (2017) 17:644.
Ogolla, K.O., P.O. Okumu., P.K. Gathumbi., dan R.M. Waruiru. 2018. Effects of
Anticoccidial Drugs on Gross and Histopathological Lesions Caused by Experimental
Rabbit Coccidiosis. SOJ Veterinary Sciences, 2018.
Panigrahi, P.N., B.N. Mohanty., A.R. Gupta., R.C. Patra., dan S. Dey. 2014. Concurrent
infestation of Notoedres, Acariosis in Rabbit and Its Management. Journal of Parasitic
Diesease 2014.
Sivajothi, S., B. S. Reddy., dan V,C, Rayulu. 2014. Study on impression smears of hepatic
coccidiosis in rabbits. Journal Parasit Dis, 2014.
Simmons J., dan S. Gibson. 2012. Nonhuman Primates in Biomedical Research. Chapter 2:
Bacterial and Mycotic Disease of Nonhuman Primates. American College of
Laboratory Animal Medicine 2012 105-172.
Sungkar, S. 2016. Skabies: Etiologi, Patogenesis, Pengobatan, Pemberantasan dan
Pencegahan. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
29
Turner, P. V., M.L. Brash., dan D.A. Smith. 2017. Pathology of Small Mammal Pets. New
Jersey: Wiley-Blackwell Publising.
Utama, I. H., Kendran, A.A.S., Widyastuti, S.K., Virgania, P., Sene, S.M., Kusuma, W.D.,
dan Arisandi, B.Y. 2013. Hitung Diferensial dan Kelainan-Kelainan Sel Darah Sapi
Bali. Jurnal Veteriner Desember 2013 Vol.14 No.4: 462-466.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil pemeriksaan makroskopik dan mikroskopik, hewan kelinci
mengalami hiperkeratosis dermatitis, nekrosis epitel septa nasal, bronchopneumonia, hepatic
coccidiosis.
Keterangan :
n : Jumlah ookista yang ditemukan
Bt : Berat feses (gram)
Vl : Volume larutan pengapung (ml)
Vkh : Volume kamar hitung
Interpretasi Hasil :
a. Pemeriksaan Feses
Metode Natif : (+) Positif Oosista
Metode Sentrifus : (+) Positif Oosista
b. Pemeriksaan Kerokan Kulit Telinga
Skin scrapping : (+) Positif
No Sampel Hasil Pemeriksaan Interpretasi
Feses Pada pemeriksaan
feses ditemukan
adanya oosista
Eimeria stiedae
yang berbentuk
1. lonjong, kadang-
kadang bentuk
Gambar 1. Oosista Eimeria sp. (40x) (Kala et al., elips, dengan ujung
2019)
halus, ukuran 26-
40 x 16-25 mikron
(Levine, 1994).
33
penyakit scabies.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil pemeriksaan, hewan kelinci terinfeksi protozoa Eimeria stiedae pada
saluran pencernaan dan Sarcoptes scabiei pada kulit khususnya area kepala.
35
Gejala Klinis : Adanya leleran mukopurulen dari hidung, dyspnea dan pyrexia,
mengalami snuffle-like syndrome.
Perubahan Organ : Terjadi bronchopneumonia dan perubahan warna pada pulmo serta
terjadi kematian sel pada epitel septa nasal
Bahan Pemeriksaan : Sampel swab trakea, cairan dari aspirasi transtracheal, endotracheal,
nasofaring dan organ pulmo
Hasil Pemeriksaan :
MacConkey Agar
Gambar 5. Uji Katalase (positif pada bagian kiri, negatif pada bagian
kanan) (Leboffe dan Pierce, 2011)
Gambar 6. Uji oxidase (hasil positif berwarna biru, negatif tidak berubah
warna) (Leboffe dan Pierce, 2011)
Gambar 7. Uji citrat dengan media Simmons Citrate Agar (Leboffe dan Pierce,
2011)
Uji Karbohidrat
Glukosa (Bordetella
bronchiseptica tidak
memfermentasi glukosa
menjadi asam, sehingga
media berwarna merah)
Sukrosa (Bordetella
bronchiseptica tidak
memfermentasi sukrosa Gambar 10. Uji karbohidrat dengan indikator phenol red (Leboffe dan Pierce,
menjadi asam, sehingga 2011)
media berwarna merah)
Berbagai karbohidrat dapat digunakan dalam uji ini, tetapi
Laktosa (Bordetella yang paling umum adalah glukosa, sukrosa, laktosa dan maltosa.
bronchiseptica tidak
memfermentasi laktosa Prinsip uji karbohidrat dengan indikator phenol red adalah
menjadi asam, sehingga
fermentasi karbohidrat akan menghasilkan produksi asam yang
media berwarna merah)
membuat pH turun dan mengubah warna indikator pH (Leboffe
Maltosa (Bordetella dan Pierce, 2011). Menurut Markey et al. (2013), bakteri
bronchiseptica tidak
memfermentasi maltosa Bordetella bronchiseptica tidak dapat memfermentasi
menjadi asam, sehingga karbohidrat, sehingga apabila dilakukan uji maka warna indikator
media berwarna merah)
pH tidak akan merubah menjadi kuning karena bakteri tidak
dapat memfermentasi karbohidrat untuk menghasilkan asam.
Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
Leboffe, M.J., dan B.E. Pierce. 2011. A Photographic Atlas for The Microbiology
Laboratory. Moston Publishing.
Markey, B., L. Finola., A. Marie., C. Ann., dan M. Dores. 2013. Clinical Veterinary
Microbiology. USA: Mosby Elsevier.
Gejala Klinis : Terdapat leleran serous atau mukopurulen dari hidung, mengalami
snuffle-like syndrome, bersin
Perubahan Organ : Terjadi peradangan dan obstruksi kronis pada pulmo, konjungtivitis,
laryngitis dan arthritis.
Bahan Pemeriksaan : Sampel swab nasal, sekresi lakrimar, aspirasi trakea dan organ pulmo
Hasil Pemeriksaan :
Duben-Engelkirk, 2012).
Chocolate Agar
Gambar 4. Uji Katalase (positif pada bagian kiri, negatif pada bagian
kanan) (Leboffe dan Pierce, 2011)
Gambar 5. Uji oxidase (hasil positif berwarna biru, negatif tidak berubah
warna) (Leboffe dan Pierce, 2011)
Glukosa (Moraxella
catarrhalis tidak
memfermentasi glukosa
menjadi asam, sehingga
media berwarna merah)
Sukrosa (Moraxella
catarrhalis tidak
memfermentasi sukrosa Gambar 10. Uji karbohidrat dengan indikator phenol red (Leboffe dan Pierce,
menjadi asam, sehingga 2011)
media berwarna merah)
Berbagai karbohidrat dapat digunakan dalam uji ini, tetapi
Laktosa (Moraxella yang paling umum adalah glukosa, sukrosa, laktosa dan maltosa.
catarrhalis tidak
memfermentasi laktosa Prinsip uji karbohidrat dengan indikator phenol red adalah
menjadi asam, sehingga fermentasi karbohidrat akan menghasilkan produksi asam yang
media berwarna merah)
membuat pH turun dan mengubah warna indikator pH (Leboffe
Maltosa (Moraxella dan Pierce, 2011). Menurut Markey et al. (2013), bakteri
catarrhalis tidak
memfermentasi maltosa Moraxella catarrhalis tidak dapat memfermentasi karbohidrat,
menjadi asam, sehingga sehingga apabila dilakukan uji maka warna indikator pH tidak
media berwarna merah)
akan merubah menjadi kuning karena bakteri tidak dapat
memfermentasi karbohidrat untuk menghasilkan asam.
Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
Al-Ahmer, S.D., W.A. Al-Amili., Z.H. Al-Asady., dan N.I. Al. Baiyati. 2017. Molecular
Detection of Moraxella catarrhalis Isolated from Children Infected with Otitis Media.
International Journal of Science and Nature Volume 8 (2) 2017: 197-201.
Embers, M.E., L.A. Doyle., C.A. Whitehouse., E.B. Selby., M. Chappell., dan M.T. Philipp.
2011. Characterization of a Moraxella species that causes epistaxis in macaques.
Journal Veterinary Microbiology 147 (2011) 367-375.
Leboffe, M.J., dan B.E. Pierce. 2011. A Photographic Atlas for The Microbiology
Laboratory. Moston Publishing.
Bahan pemeriksaan: darah dengan antikoagulan ethylene diamine tetraaccetic acid (EDTA)
untuk pemeriksaan hematologi rutin dan apus darah yang diwarnai
dengan Giemsa.
Hasil:
46
47
Kesimpulan :
Berdasarkan pemeriksaan patologi klinis, kelinci mengalami anemia mikrositik
hipokromik, hipoproteinemia, hiperfibrinogenemia serta leukositosis yang disertai dengan
heterofilia, eosinofilia, monositosis dan limfopenia.