SEGAR
YANG SEHAT, AMAN DAN LAYAK DIKONSUMSI
YUDI PRASTOWO,drh
2014
DAFTAR ISI
halaman
Pengantar Penulis
Pendahuluan
Penyembelihan Ternak
Kesejahteraan Hewan
Prosedur Pemeriksaan Ternak dan Daging
Prinsip-prinsip Umum Pemeriksaan Antemortem dan
Postmortem ternak konsumsi
Pemeriksaan antemortem
Pemeriksaan postmortem
Hasil penilaian
Kondisi akut versus local
Persyaratan Pemeriksaan postmortem pada sapi, kambing/domba
Babi
Pemeriksaan Kepala
Pemeriksaan Organ Dalam (viscera) berdasarkan Topographi
Pemeriksaan Karkas
Pemeriksaan Antemortem dan Postmortem Pada Ayam/Unggas
Pemeriksaan antemortem
Pemeriksaan postmortem
Hasil Penilaian
Konsep Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) Pada
Pemeriksaan Daging Ternak Konsumsi
Pemisahan Produk Daging Yang Tidak Aman dan Tidak Layak
Dikonsumsi (Condemned) Di RPH
Kesejahteraan Hewan Selama Proses Pemingsanan
Konsep Audit Internal
Dasar-Dasar Pengendalian Mikroorganisme
Rekomendasi Penilaian Akhir Antemortem dan Postmortem Pada
Sapi, Kambing/Domba dan Babi
Pengambilan Contoh Daging
Tentang Penulis
PENGANTAR PENULIS
Rumah Potong Hewan (RPH) adalah komplek bangunan dengan desain tertentu yang
dipergunakan sebagai tempat memotong hewan secara benar bagi konsumsi
masyarakat luas serta harus memenuhi persyaratan teknis tertentu. Dengan
dilaksanakan pemeriksaan antemortem dan post mortem secara benar, diharapkan
karkas, daging dan organ dalam dapat memenuhi persyaratan aman dan layak
dikonsumsi manusia.
Untuk memenuhi peningkatan permintaan akan daging dan hasil olahannya, RPH
memegang peran penting sebagai sarana penting yang diperlukan untuk meningkatkan
pelayanan masyarakat sekaligus pemutusan mata rantai penularan penyakit zoonosa
(dari hewan ke manusia ), sehingga karkas, daging dan organ dalamnnya, sehat, aman
dan layak dikonsumsi serta memenuhi ketenraman bathin masyarakat.
Pemeriksaan dimulai dari sejak penyembelihan bagi ternak yang dipersyaratkan halal,
dan tidak memfaatkan darah sebagai bahan konsumsi. Pencegahan pengkonsumsian
daging bangkai seperti ayam tiren disembelih seolah-olah berasal dari RPH merupakan
permasalahan tersendiri, apabila konsumen tidak dapat membedakannya. Pemeriksaan
kehalalan daging segar dari hewan yang dipersyaratkan merupakan prasyarat untuk
terpenuhinya kesehatan, keamanan dan ketentraman bathin. Pemeriksaan prasyarat
halal di RPH ataupun berbagai tempat pemotongan hewan di Indonesia, khususnya
pemotongan unggas di pasarpasar tradisional sering terabaikan. Hal ini kemungkinan
keterbatasan aparat atau kekurangan pedulian masyarakat karena faktor keterbatasan
pengetahuan tentang kesehatan, keamanan dan kelayakan daging dikonsumsi
2. aspek sosial
RPH sebagai sarana pelayanan kepada masyarakat dalam penyediaan daging yang
aman dan layak dikonsumsi serta halal bagi ternak yang dipersyaratkan.
Ilmu di bidang kesehatan masyarakat veteriner dan ilmu kesehatan daging merupakan
kegiatan dalam suatu mata rantai pangan asal hewan, yang dimulai dari sejak
pengumpulan informasi dimana ternak berasal terkait status kesehatan dan keamanan
lingkungan dan pemberian pakan (pre harvest) hingga ternak yang disembelih di Rumah
Potong Hewan/RPH (post harvest), sehingga diperolehnya daging yang layak
dikonsumsi. Aktifitas tersebut merupakan prasyarat untuk memperoleh daging ternak
yang sehat dan layak dikonsumsi.
Gambar 1: Kepala sapi lokal yang dijajakan di pasar tradisional lolos dari pemeriksaan.post
mortem, menunjukkan tidak ada pengawasan di pasar tradisional pada los daging
BAB II
PENYEMBELIHANTERNAK
Metode penyembelihan ternak konsumsi dalam Islam dikenal dengan metode Zabiha.
Metode ini tidak hanya memperhatikan aspek kesejahteraan hewan, namun juga
memperhatikan kaidah ilmiah berlaku secara universal meliputi yaitu:
1. Kebersihan dan kesehatan orang yang menyembelih dan ternak konsumsi yang
disembelih.
Zakkaytum adalah kata kerja arab berasal dari kata dasar kata Zakah (kesucian).
Hal ini mengandung makna terhadap ternak dan orang yang menyembelih harus
juga bersih dan sehat. Oleh karena itu model Islam dalam penyembelihan ternak
konsumsi mempersyaratkan hal sebagai berikut:
a. Ternak yang disembelih menggunakan pisau tajam.
Ternak yang disembelih dengan menggunakan pisau tajam dimaksudkan
agar dapat secara cepat dilaksanakan sehingga meminimalisir rasa sakit atau
penderitaan ternak tersebut seolah-olah terbius.
Gambar 3: Pengaruh penanganan Kesejahteran Hewan yang buruk berdampak pada daging yang dihasilkan
4. Ternak tidak merasa sakit
Pemutusan saluran darah (arteri carotid dan vena jugularis) menyebabkan aliran
oxygen darah dari jantung ke otak terhenti, sehingga perintah dari simpul syaraf
menurun akibat ischemia yang diikuti mati rasa. Dengan demikian hewan tidak
menderita sakit atau tersiksa berkepanjangan.
Dukungan kesejahteraan hewan yang baik pada metode Islam terhadap penyembelihan
ternak konsumsisecara langsung telah memenuhi persyaratan positif dari 5 kebebasan
(Five Freedoms) dan 3 prinsip (the three principles) dari Professor John Webster.Lima
kebebasan (The Five Freedoms) adalah:
Bebas dari haus dan lapar (Freedom from hhunger and thirst)
o Dalam metode Islam ternak harus diperlakukan dengan baik (ichsan)
yaitu dengan menyiapkan air minum segar dan pakan sebelum disembelih
guna mempertahankan kesehatan dan kebugaran ternak setelah
menempuh perjalanan dari tempat asal ke tempat pemotongan.
Bebas dari ketidak-nyamanan (Freedom from discomfort)
o Ternak yang akan disembelih disediakan tempat perlindungan dan
peristirahatan agar supaya cukup tenaga ketika akan disembelih dan
tidak mati karena kepayahan.
o Bebas nyeri, terluka dan penyakit (Freedom pain, injury and diseases)
Bebas mengekspresikan perilaku normal (Freedom to express most normal beha
avior)
o Ternak yang akan disembelih punya ruang cukup bergerak leluasa
sebagai perlakuan yang baik (ichsan) dan tidak boleh disakiti bila
dilakukan pemingsanan (stunning).
Bebas dari rasa ketakutan dan stress (Freedom from fear and distress)
o Ternak konsumsi dicegah dari rasa ketakutan akibat ruda paksa dan
perlakuan penyiksaan pemotongan ketika tidak menggunakan pisau
tajam.
Prof John Webster(2008). Animal Welfare: Limping Towards Eden. John Wiley and Sons.
halaman 6, menjelaskan kesejahteraan hewan dilakukan melalui pendekatan advokasi
melalui tiga persyaratan positif yaitu hewan harus tinggal dilingkungannya dengan
kondisi layak, sehat dan merasa nyaman. Hal ini sesuai prinsip-prinsip ajaran Islam (Al
Quran) terhadap perlakuan orang terhadap hewan.
Gambar 4: Restrain ternak sapi secara tradisional dan menggunakan restraint mover
Dalam ajaran Islam melarang mengkonsumsi darah, daging babi, bangkai. Kebanyakan
pada masa lalu selalu hal tersebut diatas dikaitkan dengan penyakit seperti cacing pita
pada daging babi, darah dan bangkai begitu pula. Namun secara ilmu pengetahuan,
Allah SWT memberitahukan kepada manusia agar menjauhi hal tersebut diatas untuk
kebaikan manusia itu sendiri.. Darah dan daging babi selalu terkait keturunan dan sifat
yang dimiliki makhluk tersebut.
Dalam ilmu kedokteran hewan babi memiliki 16 golongan dan iso & heteroantigen darah
(A/2,B/2,C/1,D/2,E/14,F/4,G/2,H/5,I/,J/2,K/5.L/12.M/8,N/1,O/2,S/1) paling lengkap
daripada seluruh hewan di dunia. Kemiripan golongan ABO pada babi mirip yang dimiliki
darah manusia. Golongan darah manusia ada 4 yaitu A/1, B/1, O/2 dan AB/0,
sedangkan kera 6 golongan darah yaitu G/4,H/2,I/2,J/2,K/1,L/11. Untuk sapi ada 12
golongan darah, domba 7 dan ayam 12 yang ada kemiripan manusia yaitu golongan A
dan B.
Dalam ilmu pengetahuan golongan darah digunakan untuk menentukan unsur genetik
dari sel dinding darah merah yang mengandung glycogen dikenal sebagai Allele. Allele
adalah salah satu dari sejumlah bentuk alternatif pada gen (faktor keturunan) yang
memiliki lokus genetik yang sama. Dipercaya antigen dalam darah yang
mengandungAllele atau hubungan samaantar gen (unsur keturunan dan sifat) yang
diklasifikasikan dalam kelompok golongan darah sama dan aglutinin.Simbiose allelic
dari antigen dari kelompok yang sama,akan terbawa oleh aliran darah konsumen, dan
akan menyebabkan terjadi perubahan sifat gen lebih kearah sifat negatif.
Dalam perkembangan ilmu bioteknologi abad 21 telah diketahui bahwa allelic dari
golongan darah yang sama seperti ABO pada manusia dan babi bisa bersimbiose antar
antigen yang menghasilkan materi gen yang sama tetapi berbeda sifat. Sifat keturunan
kebinatangan tersebut patut diduga dapat merekat dalam sifat manusia melalui darah,
Daging babi yangberasal dari susunan allelic yang sama dengangolongan darah atau
antigen yang mirip dimiliki manusia makadiduga akan mewariskan sifat genbabi
terutama kerentanan terhadap agen penyakit asal hewan dan sifat omnivoora (pemakan
segalanya).
Menyembelih dengan selain nama Allah SWT dalam Islam lebih hanya memastikan
penghindaran pengakuan sifat syirik (menduakan Tuhan) sebagai pemilik mahluk. Syirik
merupakan laranganNya keras serta merupakan dosa yang tidak terampunkan bagi
umat Islam.
BABI HEWAN OMNIVOORA
BAB III
PROSEDUR PEMERIKSAAN TERNAK DAN DAGING
Sasaran:
Dalam pemeriksaan antemortem dan postmortem dari ternak yang disembelih dapat
dipenuhinya persyaratan hygiene sanitasi melalui prosedur pemeriksaan antemortem
dan postmortem
1. Menjamin bahwa yang hanya terlihat sehat, ternak secara fisiologi normal yang
disembelih untuk keperluan konsumsi dan memisahkan ternak abnormal serta
dilakukan sesuai prosedur.
2. Menjamin bahwa daging diperoleh berasal dari ternak yang bebas penyakit, aman
dan tidak berisiko bagi kesehatan konsumen.
Tujuan tersebut diatas dapat dicapai melalui prosedur pemeriksaan antemortem dan
postmortem yang dilakukan secara higienis untuk meminimalisir pencemaran. Bilamana
suatu unit usaha pemotongan telahtelah menerapkan prinsip-prinsip Hazard Analysis
Critical Control Point (HACCP), juga dilakukan peningkatan prosedur pemeriksaan
penyakit secara menyeluruh dengan menggunakan prinsip-prinsip penilaian risiko.
BAB IV
PRINSIP-PRINSIP UMUM PEMERIKSAAN ANTEMORTEM
DAN POSTMORTEM TERNAK KONSUMSI.
1. Pemeriksaan antemortem.
1. Status dan situasi penyakit hewan yang pernah dideritanya, dengan memeriksa
kartu ternak.
2. Evaluasi penggunaan obat-obatan, apabila ternak sapi baru divaksin anthrax,
maka penyembelihan ternak harus ditunda potong paling kurang waktu 42 hari.
3. Status pemberian pakan dan minum (apakah hijauan pernah disemprot pestisida
sebelumnya, konsentrat mengandung meat bone meal/MBM, lingkungan limbah
pembuangan akhir, air limbah industri, pakan yang mengandung growth
promoter/pemacu pertumbuhan, dll).
4. Gejala klinis ketika terjadi di tempat asal.
5. Konformasi fisik (kurus, gemuk, sedang), dan konfirmasi larangan undang-
undang terhadap pemotongan sapi betina produktif.
6. Kebersihan kulit dan bulu.
7. Pemeriksaan umum selaput lendir mata, hidung dan adakah kebengkakan pada
pipi, rahang.
8. Pergerakan ternak secara bebas diamati termasuk perilakunya ketika tiba.
9. Lubang-lubang yang ada yaitu telinga, hidung, anus (kumlah) dan ambing
Ternak sebelum diperiksa harus diistirahatkan dan diletakkan dalam kandang yang
mudah ternak bergerak. Pemeriksaan antemortem harus dilakukan dalam waktu 24 jam
sebelum dipotong dan tidak boleh ditunda. Apabila tertunda wajib mengikuti prosedur
pemeriksaan pada hari berikutnya.
Bagi ternak yang patah tulang atau tidak mampu berdiri dapat dilakukan pemotongan
darurat. Bagi ternak-ternak yang menunjukkan gejala klinis penyakit harus dibawah
pengawasan, pemeriksaan dan penilaian dokter hewan terhadap kelayakan untuk
dipotong. Terhadap ternak yang tersangka atau baru saja diobati harus dipisahkan dari
ternak yang sehat. Sejarah penanganan penyakit harus dilaporkan dan dicatat pada
kartu antemortem. Informasi lain yang harus ada di kartu antemortem meliputi:
1. Nama pemilik;
2. Jumlah ternak dalam angkutan, keranjang atau saat tiba;
3. Spesies dan jenis kelamin;
4. Tanggal dan waktu pemeriksaan antemortem;
5. Gejala klinis dan perubahan temperatur tubuh yang terkait;
6. Alasan mengapa ternak harus diperiksa ulang/khusus atau tunda potong;
7. Tanda tangan pemeriksa.
Pemeriksaan antemortem harus dilakukan dalam cahaya yang cukup terang dan ternak
diperiksa secara berkelompok atau individual pada saat istirahat atau bergerak. Perilaku
umum ternak harus diamati termasuk status gizi, kebersihan, gejala penyakit dan
abnormalitas tubuh. Beberapa abnormalitas yang harus diteliti pada saat pemeriksaan
antemortem yaitu:
1. Abnormal pernafasan.
Dilakukan melalui pemeriksaan frekquesi pernafasan/respirasi, juga diamati pola
cara bernafas, yang membedakan antara hewan sehat dan sakit. Bila ada dugaan
ternak sakit harus segera dipisahkan dari ternak yang sehat.
2. Abnormal perilaku.
Pengamatan perilaku meliputi gejala antara lain yang mungkin timbul yaitu:
a. Ketika berjalan saat keliling apa menampakkan jalan pincang atau posture
ketika berjalan terlihat abnormal;
b. Apa terlihat pola menekan-nekan kepalanya ke dinding;
c. Apa terlihat perilaku sangat agresif;
d. Apakah terlihat dungu dan ekspresi mata yang liar;
e. Apakah gangguan rasa.
Hal ini juga dapat ditunjukkan ada perdarahan tanpa gejala komplikasi ataupun
dengan komplikasi atau ada terjadi gejala proses keracunan.
3. Abnormal kepincangan.
Abnormal kepincangan sangat berhubungan dengan rasa sakit pada kaki, dada,
abdomen atau indikasi gangguan syaraf.
7. Abnormal warna.
Abnormal warna seperti adanya peradangan pada mata, radang pada kulit,
kebiruan pada kulit atau ambing (adanya gangrene). Abnormal warna dapat
menunjukkan status penyakit akut atau kronis.
8. Abnormal bau.
Abnormal bau sulit diketahui apabila tidak diamati secara rutin selama
pemeriksaan antemortem. Bau yang berkembang dari abses, atau bau yang
berasal dari pengobatan, dan bau khas dari pakan yang dikonsumsi atau bau
acetone pada kasus ketosis harus dibedakan.
Kebanyakan Rumah Potong Hewan di Negara berkembang atau daerah tertentu tidak
menyediakan tempat akomodasi untuk ternak istirahat yang cukup untuk menentukan
adanya gejala klinis. Kebanyakan pula di rumah potong hewan sering tidak dilakukan
prosedur pemeriksaan antemortem karena alasan daging diperlukan segera ke pasar.
Apabila ada gejala klinis yang meragukan, maka ternak potong tersebut segera dipisah
dan ditempatkan pada kandang isolasi dengan maksud untuk:
1. Dilakukan pemeriksaan lebih lanjut melalui observasi atau diberi perlakuan
tertentu ataupun ditolak disembelih untuk diobati terlebih dahulu atau dilanjutkan
pemeriksaan laboratorium dan penyidikan epidemiologi penyakit hewan menular
dengan menginformasikan kepada Dinas setempat yang berwenang pada bidang
kesehatan hewan di daerah ternak berasal.
2. Disembelih bersyarat dengan pengawasan khusus.
Apabila dalam pemeriksaan ditemukan seekor ternak dicurigai penderita zoonosis yang
berbahaya seperti anthrax, maka seluruh ternak yang ada di RPH direkomendasikan
untuk dilarang disembelih, dan seluruh aktifitas pemotongan di RPH dihentikan
sementara. Terhadap ternak tersangka harus dilakukan pengamatan mendalam dan
pengambilan sampel uji laboratorium. Sambil menunggu hasil laboratorium dan
keputusan diagnose, maka dilakukan tindakan pencegahan terhadap lalu lintas ternak
rentan, isolasi seluruh ternak yang bersentuhan dan dilakukan sanitasi dengan
penghapushamaan dan diinsektida
2. Pemeriksaan postmortem.
Tujuan pemeriksaan postmortem adalah untuk menjamin daging aman dari kontaminasi
penyakit zoonosis dan layak dikonsumsi, bebas dari cemaran yang membahayakan
kesehatan konsumen.
Pemeriksaan postmortem dari karkas ternak harus selalu dilakukan sesegera mungkin
setelah pengulitan sempurna untuk mengetahui kondisi kelayakan daging untuk
dikonsumsi.
Seluruh atau bagian karkas atau organ-organ diperiksa sebelum diproses lebih
lanjut.Pemeriksaan postmortem merupakan kelengkapan informasi secara evaluasi
ilmiah proses adanya perubahan patologi untuk mengetahui kelayakan daging
dikonsumsi.
Hasil penilaian ditujukan untuk melindungi konsumen dari daging ternak yang terduga
terhadap:
1. Penyakit bahan asal makanan (foodborne infection).
2. Adanya racun dan/atau bahaya residu.
3. Penyakit zoonosa (foodborne zoonotic).
4. Penyakit parisit zoonotik seperti Tricinella spiralis atau Taenia soleum pada babi,
Taenia bovis pada babi, hydatidosis/enchinococcus
Penilaian Karkas
Penting untuk menjadi perhatian untuk membedakan kondisi penilaian karkas ternak
melalui kondisi lokal atau umum.
Kondisi lokal
Ditunjukkan adanya perubahan terbatas pada bagian karkas atau organ. Perubahan
sistemik terkait dengan suatu perubahan kondisi yang terjadi. Sebagai contoh cairan
empedu berubah terkait penyakit hati atau adanya racun (toxemia) yang diikuti
pyometra (nanah/abses di uterus).
Kondisi umum
Mekanisme pertahanan tubuh melalui sistim sirkulasi atau kelenjar getah bening
(lymphatic systems) tubuh tidak mampu menghentikan penyebaran penyakit hewan.
Kelenjar getah bening pada karkas akan teramati adanya perubahan abnormal atau
patologi secara umum. Beberapa gejala penyakit secara umum terjadi sebagai berikut:
1. Peradangan umum dari kelenjar getah bening (lymph nodes) di kepala, rongga
badan dan atau karkas.
2. Peradangan sendi.
3. Pembengkakan hati, limpa, ginjal dan hati.
4. Adanya berbagai abses di berbagai bagian karkas termasuk di tulang spina
ruminansia.
Pada kondisi luka atau lesi umum biasanya diperlukan beberapa penilaian khusus dari
kondisi luka lokal yang teramati.
Kondisi akut versus kondisi kronis
Kondisi akut.
Pada suatu kondisi akut menampakkan suatu perkembangan luka lebih lama beberapa
hari, dimana pada kondisi kronis perkembangan luka lebih lama dari kondisi akut dapat
mencapai beberapa minggu, bulan bahkan tahunan. Kondisi sub-akut merujuk beberapa
priode waktu antara kondisi akut dan kronis.
Kondisi kronis
Dalam keputusan final pemeriksaan postmortem dapat dilihat pada tabel dibelakang
atau dibawah buku ini dengan berbasis katagori dengan simbul-simbul sebagai berikut:
Disetujui, layak dikonsumsi (simbul A);
Seluruh kulit, karkas, daging dan jeroan tidak layak dikonsumsi manusia (simbul T);
Sebagian karkas atau karkas tidak layak dikonsumsi (simbul D);
Layak dikonsumsi dengan bersyarat, dibagi 2:
a. Kh: direbus dengan temperature 90 derajat Celcius dan daging dipotong-
potong kecil 10 cm kubik;
b. Kf daging perlu dipanaskan atau didinginkan terlebih dahulu hingga terbunuh
parasit yang terdapat dalam daging;
Daging terdapat kerusakan sedikit, namun masih layak dikonsusmi (simbul I);
Disetujui, sebagai layak dikonsumsi dengan peredaran di wilayah terbatas pada
daerah tertentu, karena upaya mencegah penyebaran penyakit hewan menular lebih
luas (simbul L); dan
Tidak dapat digunakan konsumsi padaorgan pada katagori penyakit tertentu seperti
spesifik risk material pada kasus penyakit BSE (simbul ).
Setelah ada keputusan daging layak dikonsumsi manusia, maka diperlukan tanda
berupa stempel yang menunjukan bahwa telah diperiksa sebagai alat kendali.
Ukuran dan bentuk serta kata-kata pada stempel dan label harus menunjukan identitas
RPH, ternak yang sisembelih, kode dokter hewan pemeriksa. Penggunaan tinta stempel
harus sesuai ketentuan layak pangan(food grade).
Apabila bagian organ, karkas atau bagian lain dari daging yang masih diperlukan
perlakuan khusus harus distempel tersendiri. Sedang untuk organ, karkas atau bagian
lainnya yang tidak layak dikonsumsi harus diberikan tanda tinta berwarna biru dengan
cara dicatkan pada masing-masing bagian tersebut dan ditempatkan pada wadah
penampungan tersendiri untuk dimusnahkan.
Stempel/cap hasil lulus pemeriksaan post mortem
Karkas yang telah dilakukan pemeriksaan sebelum diedarkan wajib diberi tanda atau
stempel/cap di 8 (delapan) titik tanda/bagian khususnya tempat-tempat pemeriksaan
kelenjar getah bening dari sejak kaki depan punggung hingga kaki belakang.
Stempel/cap sebagai identitas tanda kelulusan pemeriksaan post mortem harus
menginformasikan sekurang-kurangnya:
a. Nomor Kontrol Veteriner.
b. Kode dokter hewan pemeriksa sebagai identitas penelusuran
c. Wilayah tempat pemotongan
d. Logo RPH
Dalam penggunaan stempel/cap harus menggunakan tinta kriteria food grade atau
sekurang-kurangnya dengan formulasi tinta sebagai berikut:
- Alcohol 50 CC
- Glycerin 150 CC
- Kristral violet 50 CC
- Aquades ad 1.000 CC
Dokter hewan atau juru pemeriksa daging harus mempunyai tanda pengenal.
Tanda/kode pengenal sebagai informasi kepada berbagai pihak yang bersangkutan
penanggung jawab produk yang dihasilkan dari RPH tersebut. Penggunaan Label RPH
pada produk yang dihasilkan harus menunjukan nama, tanggal pemeriksaan, jenis
daging, berat, nomor ear tag ternak bila ada, dan jenis ternak.
Catatan hasil pemeriksaan postmortem, khususnya pada ternak besar dilakukan secara
individual meliputi informasi sekurang-kurangnya:
a. Nama dokter hewan pemeriksa
b. Nama pemilik berikut identitas ternak/kartu ternak
c. Spesies, bangsa, warna/tanda khusus, jenis kelamin, umur, berat, tanggal
diisembelih
d. Tanggal pemeriksaan postmortem
e. Gambaran klinis/sejarah postmortem
f. Gambaran perubahan patologi
g. Rekomendasi dokter hewan postmortem
h. Nama, jabatan/kedudukan/status dan tanda tangan dokkter hewan
BAB V
PERSYARATAN PEMERIKSAAN POSTMORTEM
PADA SAPI, KAMBING DAN DOMBA SERTA BABI.
PEMERIKSAAN KEPALA
Kelenjar retropharyngeal (No. 1), parotid (No. 2) and submaxillary (No. 3) pada petunjuk
gambar 6 harus dilakukan pemeriksaan dengan cara melakukan berberapa irisan atau
potongan untuk mengetahui perubahan abnormal.
- Iris
SUBMAXILLARIS Iris (3) - -
PAROTID Iris (2)
- -
RETROPHARYNGEAL Iris (1)
LIDAH DIRABA
DIRABA -
LAINNYA Pemeriksaan - Pemeriksaan
Cysticercosis bovis Cysticercosiscellulose
(a) (b)
Keterangan:
(a). Oesophagus harus dipsahkan dari penggantungnya hingga ke trachea;
(b). Diperksa pada otot dan kelenjar getah bening pada tulang rawan scapula.
Lidah: Dilakukan pemeriksaan melalui palpasi terutama pada ternak sapi umur lebih 6
minggu)
Lain-lain.
Sapi kecuali anak sapi dibawah 6 minggu, saluran pernafasan (oesophagus) pada
ternak harus dipisahkan dari trachea dan diperiksa terpisah. Pemeriksaan ternak sapi
diatas umur 6 minggu terhadap adanya Cystcercercus bovis, maka otot massseter harus
diperiksa dengan cara melakukan beberapa irisan linear secara parallel kearah bawah
dagu. Sebagai tambahan pada dalam otot leher/M.triceps brachii, 5 cm dibelakang dagu
juga dilakukan pengamatan.
Babikarena adanya risiko Cysticercus cellulosae, maka otot luar pengunyah (musculus
masseter), otot abdominal dan diaphragma serta ujung hulu lidah babi harus diiris dan
dan dipalpasi kemungkinan adanya benjolan atau kista. Tidak lupa pengambilan daging
pada punggung babi untuk diuji adanya Trichinella spiralis.
PEMERIKSAAN ORGAN DALAM (VISCERA) BERDASARKAN
TOPOGRAPHI
2. JANTUNG
Pengamatan dilakukan setelah melepas pericardium
3. HATI
Periksa dengan meraba permukaan dalam pada kedua sisi. Periksa kelenjar
empedu. Untuk sapi diatas 6 minggu dilakukan pengirisan kedalam untuk
menentukan adanya cacing hati dengan membuka saluaran empedu yang besar.
Untuk ternak domba diiris lebih dalam untuk menemukan parasitnya. Amati
kelanjar getah bening (lymph nodes) dan portal hepatic dengan cara mengiris
dan diperiksa dengan seksama adanya parasit dan luasrnya kerusakan terjadi.
4. LIMPA
Pemeriksaan limpa dengan cara meraba (palpasi) apakah ada benjolan keras
atau berisi cairan tetapi waspadai anthrax
Gambar 12: Pemeriksaan Limpa biasanya tidak lepas dari lambung perut
(Stomachs). Periksa dan amati juga rumen dilanjutkan meraba limpa.
Pemeriksaan lambung dan usus amati adanya Gastroenteritis akut,
Gastroenteritis catarrhal kronis, enteritis berdarah, konstipasi atau penyumbatan
saluran pencernaan, kembung/bloat, mesentericus emphysema pada babi,
peritonitis, adhesi dan abses. Hati-hati terhadap anthrax.
5. SALURAN PENCERNAAN
6. GINJAL
Amati dan iris ke dalam ginjal, apakah ada bau urine abnormal, adanya radang
ginjal dengan uremia atau oedema, batu ginjal,nephritis kronis, colinephritis,
nephritis suppurative dan embolik, pyelopnephritis, cystitis exudative atau
sistemik, rupture kandung kemih atau urethra.
Tatacara pemeriksaan postmortem terhadap organ dalam dan karkas, dapat dilihat
pada Tabel berikut:
TABEL 2 : PEMERIKSAAN ORGAN DALAM
KONDISI SAPI KAMBING DAN DOMBA BABI
KELENJAR GETAH BENING:
MESENTERICUS DIAMATI DIAMATI DIRABA
PORTALIS DIIRIS DIRABA DIRABA
BRONCHIAL & MEDIASTINAL DIRIS DIRABA DIIRIS
SALURAN PENCERNAAN DIAMATI DIAMATI DIAMATI
LIMPA DIRABA DIRABA DIRABA
HATI DIAMATI, DIRABA PADA KANTUNG EMPEDU. DIIRIS UNTUK MENGETAHUI KEBERADAAN
CACING HATI
PARU-PARU DIRABA, KECUALI KAMBING & DOMBA, BRONCHI HARUS DIBUKA DENGAN MENGIRIS
MEMANJANG HINGGA KE LOBUS DIAPRAGMA.
JANTUNG DIAMATI SETELAH PERICARDIUM DILEPAS. MENGIRIS DASAR JANTUNG HINGGA APEX. BABI:
JANTUNG DIIRIS TERBUKA SETIAP SEPTUM UNTUK DUGAAN ADANYA CYSTICERCUS
CELLULOSE
GINJAL DIAMATI SETELAH DIENAKULASI
UTERUS DIRABA DIAMATI DIAMATI
OTAK DIAMATI DIAMATI DIAMATI
PEMERIKSAAN KARKAS
Sumber:WHO,1986
Gambar 15: Peta anatotmi letak kelenjar getah bening.
Pemeriksaan postmortem karkas pada semua ternak diarahkan secara umum atau
sistemik adanya berpenyakit tuberculosis. Caranya dengan melihat adanya perubahan
luka pada kelenjar getah bening precural poplitea, anal, superficial inguinal, ischiatic,
internal dan external iliacal, lumbar, renal, sternal, prepectoral, prescapular dan
atlantal. Tuberculosis juga ditemukan pada perubahan kelenjar getah bening yang
berada di kepala dan organ dalam dengan cara pengamatan dan pengirisan.
Sumber: WHO, 1986
Gambar 16: Kelenjar getah bening superficial inguinal, internal dan external iliac pada
babi dilakukan pemeriksaan dan diraba secara rutin pada prosespem.postmortem.
Gambar 18: Pemeriksaan medial fore quarter dengan untuk adanya perubahan
mengamati kelenjar getah beningintercostal, suprasternal, presternal dan prepectoral
dengan cara mengiris bagian tersebut.
Sumber WHO, 1986
Gambar 19: Pengirisan kelenjar getah bening popliteal pada babi untuk mengetahui
dugaan adanya penyakit bersifatumum atau sistemik.
Gambar 21: Penandaan/stempel/CapRPH pada karkas yang telah lulus hasil pem.postmortem.
BAB VI
PEMERIKSAAN ANTEMORTEM AND POSTMORTEM PADA
AYAM/UNGGAS
Pemeriksaan antemortem
Pada suasana udara panas, ayam memerlukan penyiraman air keatas alat angkut pada
area tempat peristirahatan. Apabila ditemukan kasus AI atau ND, maka dokter hewan
harus mencatat dan menginformasikan kepada Dinas yang berwenang dalam kesehatan
hewan. Ada beberapa gejala klinis yang sama pada pem postmortem seperti penyakit
bronchitis dapat dikelirukan dengan penyakit AI atau ND. Oleh karena itu diagnose harus
didukung pengujian cepat (rapid test) dan memahami deferensial diagnosa.
1. Umur.
Pada umumnya ternak unggas pemotongan dilakukan diawal umur (6-8 minggu)
sedang daging ruminansia pada umumnya pada umur tertentu atau umur tua.
2. Genetik.
Pada ternak unggas lebih seragam berasal dari ayam neneknya, dibandingkan
ternak ruminansia lebih variasi.
Pemeriksaan antemortem pada unggas dengan cara mengamati secara kelompok atau
individual yaitu untuk mengetahui adanya penyakit yaitu dengan mengamati adanya:
1. Pembengkakan pada kepala atau mata
2. Edema pada sayap
3. Adanya bersin
4. Kotoran tidak berwarna
5. Luka-luka pada kulit
6. Kelemahan
7. Tortikolis atau gerakan memutar leher
8. Pembesaran sendi atau tulang, dan
9. Radang kulit (dermatitis).
Faktor selain penyakit yang mempengaruhi kondisi unggas/ayam yang perlu diperiksa:
1. Musim
2. Panas
3. Kepadatan dalam kandang atau krat pengangkut ayam potong
4. Hujan
5. Jarak tempuh dari peternakan asal ke RPH
6. Jumlah tumpukan unggas pada alat pengangkut, dan/atau
7. Lama pemberian pakan dan air sebelum dipotong.
Beberapa hal harus menjadi perhatian pada pemeriksaan antemortem pada ayam yaitu:
1. Pememeriksaan antemortem dilakukan mulai pada saat hari itu akan terjadi
pemotongan dan dilakukan setiap lot unggas.
2. Setelah akan mulai operasi pemotongan setiap pem antemortem harus dilakukan
sendiri oleh dokter hewan penanggung jawab RPH
3. Apabila ada penyakit yang wajib dilaporkan (HPAI, Ornithosis, Avian tuberculosis)
maka dokter hewan wajib menolak untuk disembelih dan segera hubungi dokter
hewan berwenang pada Dinas setempat.
4. Unggas (hidup atau mati) yang sakit dan akan dipisahkan atau dimusnahkan, maka
perlu dihitung jumlah dan berat unngas yang akan dimusnahkan/eliminasi
5. Pengawasan harus dilakukan secara ketat hingga saat dimusnahkan untuk
mengantisipasi penyebaran penyakit atau pencemaran lingkungan khususnya
budidaya.
Pemeriksaan postmortem
Teknis pemeriksaan postmortem pada ayam teknik dapat merujuk pada pem
postmortem ternak ruminansia dengan cara mengamati, meraba, membau dan
mengiris.
Warna karkas ayam dapat berbeda-beda tergantung pada umur, jenis kelamin,
pemberian pakan dan temperature pemanasan (scalding) atau benturan benda keras.
Saluran pencernaan, hati, limpa dan jantung ayam harus dilihat secara visual dan diraba
terhadap kemungkinan keabnormalannya. Pemeriksa daging ayam harus mampu atau
jeli melihat kedalam karkas ayam untuk mengetahui perubahan patologi seperti radang
pernafasan, peritonitis, radang oviduct (salpingitis), dll.
Cemaran kotoran ayam atau cairan empedu pada daging ayam yang diamati dan
diupayakan dihindarkan kontaminasi pada daging. Pem postmortem menggunakan
ketrampilan kedua tangan (disarankan menggunakan sarung tangan). Pengamatan juga
dilakukan pada karkas ayam bagian external untuk mengetahui adanya pembengkakan,
sinusitis, saluran udara dan leleran pada mata (apabila kepala masih ada), luka-luka
pada kulit, pembengkakan sendi, dll.
Penilaian
Luka lokal dapat diberikan keputusan/disposisi oleh juru pemeriksa daging untuk
dilakukan pengafkiran bagian organ yang luka, akan tetapi terhadap keputusan
penilaian akhir kelayakan konsumsi harus dilakukan oleh dokter hewan. Pemisahan
organ dan/atau karkas biasanya yang ada perubahan patologi.
1. Avian tuberculosis:
a. Diskripsi disebabkan: mycobacterium avium
b. Gejala postmortem:
Bentukan benjolan berkapur (tubercle)
Organ atau jaringan dipengaruhi: jantung, paru-paru, hati, tulang belakang.
Ciri fisik benjolan: irregular, fibrous, abu-abu/putih, pengkejuan bagian
tengah benjolan (caseous center)
c. Disposisi: Seluruh karkas dan organ dimusnahkan dengan insenerasi.
2. Leucosis:
a. Diskripsi disebabkan: bervariasi virus
b. Gejala postmortem:
Mareks disease (herpes virus) pada ayam umur kurang 6 bulan.
Lymphoid leucosis (retrovirus) pada ayam dewasa
Osteoporosis (retrovirus) mempengaruhi mempengaruhi jaringan tulang
belakang pada anak ayam umur diatas 1 (satu) bulan.
c. Disposisi: Bagian yang terkena dapat dibuang untuk dimusnahkan, akan tetapi
bila telah kompleks maka seluruh karkas dan organ dimusnahkan dengan
insenerasi
4. Synovitis:
a. Diskripsi disebabkan: bervariasi organisme kelompok genus Mycoplasma. Dapat
juga akibat luka dan kekurangan pakan
b. Gejala postmortem:
Radang dan pembengkakan persendian breast bursa
Exudat mucopurulent atau serosanguinous
Septicaemia atau toxemia..
c. Disposisi: peradangan bagian karkas dan/atau organ dalam abnormal
dipisahkan untuk dimusnahkan dengan cara dibakar (insenerasi).
5. Tumor
a. Diskripsi disebabkan: avian leucosis complex dengan bentuk tumor seperti
squamous cell carcinoma, adenocarcinoma, leiomyomas, fibromas
b. Gejala postmortem:
squamous cell carcinomaditandai luka dalam kulit seperti kerak yang
biasanya dijumpai pada ayam muda.
adenocarcinoma berkembang tumor di organ abdominal dalam bentuk
massa menonjol terbatas yang biasanya terjadi pada ayam tua.
leiomyomas berbentuk seperti kumpulan anggur dan biasanya ditemukan
pada oviduct unggas dewasa
fibromasberkembang tumor di jaringan konektivus dalam bentuk massa
menonjol terbatas yang biasanya terjadi pada ayam lebih tua
c. Disposisi: apabila telah terjadi tumor metastasis, maka seluruh karkas dan organ
abnormal dipisahkan untuk dimusnahkan dengan cara dibakar (insenerasi).
6. Memar (Bruises)
a. Dikrispsi disebabkan perdarahan meluas di jaringan otot dalam katagori
kebiruan, terkandang berdarah meluas
b. Gejala postmortem:
Perdarahan berbagai ukuran di jaringan otot berupa petichial, ecchymotic,
extravacation dalam jaringan.
Septicaemia atau toxemia.
c. Disposisi: Seluruh karkas dan organ abnormal dimusnahkan dengancara dibakar
(insenerasi).
7. Bangkai (Cadaver)
a. Diskripsi bangkai akibat kematian sebelum disembelih yang disebabkan:
bervariasi berupa penyakit, trauma, mati akibat pemanasan (scalded) lolos dari
proses penyembelihan kurang sempurna. Diasamping itu kebanyakan bangkai
tidak menunjukkan perdarahan.
b. Gejala postmortem:
Unggas yang mati karena penyakit, bangkai karkasakibat menampakkan
bentuk septic atau toxic
Unggas yang mati karena trauma, bangkai karkas merah gelap karena
adanya rentensi darah dan mungkin beberapa kehijauan/kebiruan.
Unggas yang mati akibat celup air panas sebelum penyembelihan sempurna
menampakkan merah lembam karena retensi darah. Sedangkan organ dalam
(seperti hati, usus) menampakkan kemerahan karena gumpalan darah dan
jaringan karkas bagian dalam berwarna merah jambu.
c. Disposisi: Seluruh karkas dan organ dipisahkan untuk dimusnahkan dengancara
dibakar(insenerasi).
8. Kontaminasi (cemaran)
a. Diskripsi disebabkan: bervariasi cemaran kimia dan/atau racun (toxin) umumnya
ditandai dengan perubahan atau kerusakan dan dagingnya tidak layak
dikonsumsi.
b. Gejala postmortem:
Ada kesulitan menetukan perubahan terhadap peristiwa kontaminasi yang baru
terjadi. Untuk kontaminasi oleh cairan empedu atau kotoran (feces) juru periksa
daging tidak dapat menentukan bahwa karkas, daging atau organ dalam tidak
layak dikonsumsi. Pencemaran yang berlangsung terkadang merusak jaringan
seperti terbakar atau berwarna kebiruan/atau hitam
c. Disposisi: Apabila karkas, daging dan/atau jeroan tercemar bahan kimiawi atau
racun maka seluruh karkas, daging dan organ dalam ditelusuri jumlah dan luas
kontaminasi. Karkas, daging dan/atau jeroan tercemar dipisahkan untuk
dimusnahkan dengan insenerasi
10. Airsacculitis
a. Diskripsi disebabkan: sekelompok mikroorganisme dapat apatogen atau
pathogen dan/atau racun (toxin) yang menyebabkan perubahan peradangan
yang terkadang mengandung exudat
b. Gejala postmortem:
Radang akut kantung udara
Radang kronis kantung udara
Akunulasi exudat pada kantung udara
Septicaemia atau toxemia.
c. Disposisi: Apabila tidak sistemik atau toxemia bagian karkas, daging dan organ
dalam yang tidak terpengaruh dipisahkan untuk diproses lebih lanjut. Bagian
yang abnormal dimusnahkan dengan insenerasi
BAB VII
KONSEP HAZARD ANALYSIS CRITICAL CONTROL POINT
(HACCP) PADA PEMERIKSAAN DAGING TERNAK
KONSUMSI
Khusus konsep HACCP dapat dirancang pada setiap RPHuntuk sebagai pengembangan
pengendalian keamanan dan kebersihan pangan asal hewan secara lebih efektif dan
efisien. Pengembangan konsep HACCP meliputi sebagai berikut:
a. Identifikasi bahaya kesehatan.
b. Menentukan tingkatan bahaya
c. Menetapkan batas titik kritis
d. Identifikasi pengawasan pada titik kritis
e. Rekomendasi pengawasan yang diperlukan
f. Membuat catatan
g. Verifikasi prosedur yang lebih efisien
h. Menguji konsep penjaminan yang dikerjakan.
Konsep Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) dikenalkan di industri pangan
dimulai pada tahun 1971 untuk menghasilkan pangan olahan yang bermutu.World
Health Organization (WHO) merekomendasikan sebagai konsep yang dapat digunakan
pada pemeriksaan keamanan daging dan mutu daging, khususnya pada pengawasan
salmonellosis. Hal ini juga digunakan untuk menurunkan tingkat pencemaran bakteri
selama pemotongan dan pengulitan serta menjamin melalui pengawasan pemeriksaan
daging ternak konsumsi.
Penurunan kejadian tuberculosis secara bertahap telah dilakukan dari berbagai Negara
produsen daging di luar negeri, dengan caramengembangkan metode peternakan,
mengurangi penggunaan obat hewan dan pestisida yang diduga merupakan penyebab
resistensi antimikroba, serta diduga pula merupakan salah satu masalah penyebab
timbulnya penyakit baru (new emerging). Saat ini telah diketahui bahwa ada hubungan
erat antara residu dengan kesehatan manusia yang tertular penyakit zoonosa pada
pencemaran pangan asal hewan. Ada kecenderungan umum pada laporan WHO, 2000
bahwa di seluruh dunia penyakit saluran pencernaan dalam priode lima tahun terakhir
terjadi peningkatan dua kali lipat menginfeksi manusia oleh Salmonella dan tiga kali
lipat oleh Campylobacter. Bakteri lain yang menjadi perhatian pula pada pencemaran
makanan adalah Yersinia spp. dan Listeria spp.Ada hubungan secara simultan bahwa
penerapan HACCP memperpanjang masa kadaluarsa bagi produksi daging segar.
Semua saran pada penerapan pengawasan daging akan lebih menguntungkan dengan
memakai konsep HACCP walau sederhanamelalui pengawasan titik-titik kritis pada
kelompok bakteri atau organism pembusuk lainnya yang berpotensi mencemari karkas.
Pengawasan titik-titik kritis mampu mengidentifikasi pencemaran Salmonella ke daging
merah dan unggas.Proses produksi daging merah, pencemaran utama yang sering
terjadi di RPH adalah selama proses pengulitan dan pengeluaran jeroan. Ada pula
proses pencemaran yang terjadi selama pengangkutan, deboning. Paling efektif
pengawasan dilakukan pada saat akan dilakukan pendinginan secara bertahap (chiller).
Juru pemeriksa daging harus memastikan proses pengulitan dan pengeluaran jeroan
dilakukan dengan baik.
Pengawasan titik-titik kritis pada Rumah Potong Ayam pada umumnya dilakukan pada
saat pencabutan bulu (picking) dan pengeluaran jeroan (evisceration). Di Negara-negara
berkembang ketika proses produksi dilakukan secara tidak otomatis maka masih
diperlukan pengawasan melalui pendekatan kesehatan (hygienic) selama operasi
produksi berlangsung. Sedangkan pada unit usaha yang telah menerapkan teknologi
dengan menggunakan mesin pencabutan bulu dan pengeluaran jeroan secara otomatis
masih juga diperlukan tindakan sanitasi secara regular terutama pada ternak ayam yang
perolehan dari berbagai sumber.
Gambar 23: Bagan alir yang menunjukan sumber pencemaran Samonella dan
penentuan titik-titik kritis (CCP) yang harus diawasi pada setiap proses produksi daging
merah.
BAGAN ALIR PRODUKSI SEDERHANA
DAGING AYAM/UNGGAS DI RUMAH POTONG AYAM/UNGGAS
PEMERIKSAAN ANTEMORTEM
PENGELUARAN JEROAN
DAERAH KOTOR
PEMERIKSAAN POSTMORTEM
DAERAH BERSIH
PENCUCIAN DAN/ATAU PENDINGINAN KARKAS
PENCEMARAN UTAMA
Gambar 24:Bagan alir produksi yang menunjukan sumber pencemaran Samonella dan
penentuan titik-titik kritis (CCP) yang harus diawasi pada setiap proses produksi daging
ayam.
BAGAN ALIR PROSES PRODUKSI DAGING
DI RUMAH POTONG HEWAN
PENERIMAAN HEWAN HIDUP
ISTIRAHAT
PROSES PENYEMBELIHAN
PENCELUPAN KEDALAM
PELEPASAN KULIT AIR PANAS
PEMERIKSAAN
POSTMORTEM
PEMBELAHAN KARKAS PENGELUARAN JEROAN
PENYIMPANAN (COLD
STORAGE
PENGANGKUTAN
PENCEMARAN UTAMA
Dokumentasi:
Formulir yang digunakan untuk penghancuran atau pemusnahan dipisahkan
yaitu untuk keperluan:
a. Pemisahan hasil pemeriksaan antemortem
b. Pemisahan hasil pemeriksaan postmortem.
BAB IX
PEMINGSANAN DARI ASPEK KESEJAHTERAAN HEWAN
Pemingsanan (stunning)
Hal ini tidaklah mudah bagi juru sembelih ternak halal pemula di Indonesia yang mana
Indonesia tidak mengenal pemotongan non halal bagi yang dipersyaratkan. Pada
umumnya para operator stunning gun minim dan/atau tidak mempunyai ketrampilan
memingsankan, dan tidak memahami konsep audit terhadap ketidaksesuaian dari
proses hasil kegiatan pemingsanan, pemotongan melalui proses penandaan sebagai
cara penelusuran (trace back).
Untuk ternak babi pemingsanan direkomendasikan menggunakan arus listrik, agar tidak
menyiksa hingga menyebabkan kegaduhan. Priode ketidaksadaran dimulai pada saat
waktu pingsan terus diikuti dengan cepat proses pemotongan. Oleh karena itu apabila
akan digunakan proses stunning maka harus mempertimbangkan persyaratan sebagai
berikut:
1. Kondisi pingsan bagi ternak bersifat sementara
2. Peralatan yang digunakan tidak menyebabkankerusakan atau luka pada hewan
3. Peralatan yang digunakan tidak boleh membunuh atau terjadi kerusakan permanen
pada otak
4. Penggunaan arus listrik dalam tingkat voltage rendah yang digunakan pada unggas
dan babi yang volume pemotongannya sangat tinggi dapat dikendalikan sehingga
tidak menyebabkan ternak mati.
Gambar 23: Teknik dan sarana pemingsanan pada sapi, unggas dan babi
Standar desentisasi (pemingsanan) ternak potong unggas.
Kebanyakan pendapat ahli kesejahteraan hewan dunia barat mengatakan bahwa proses
kematian pada saat pemingsanan itulah memenuhi kaidah kesejahteraan hewan karena
ditinjau dari aspek hewannya tidak merasa sakit dan menderita. Hal ini berbeda dengan
konsep Islam bahwa memingsankan itu adalah meniadakan kesadaran sehingga proses
penderitaan saat disembelihtidak dirasakan. Dalamproses pemingsanan, darah ternak
akanbergerak mengumpul kearah pusat jantung, karena proses kejutan aliran
listrik.Selain itu apabila sadar, maka darah mengalir kembali keseluruh tubuh
ayam/unggas dan suhu badannya meningkat kembali. Disamping itu tujuannya untuk
memudahkan pengeluarannya secara sempurna melalui jantung dan pipa pembuluh
darah yang besar-besar, sehingga perolehan daging bersih dan sehat lebih sempurna.
Proses pemingsanan bersifat temporer, maka apabila sadar kembali, maka
ayam/unggas akan bergerak perlahan-lahan bangun seperti biasa..
Disamping itu seorang pejagal wajib mempunyai buku catatan harian sebagai alat
kendali dan pertanggungjawaban bagi pihak yang memerlukan, oleh karenanya seorang
juru sembelih selayaknya punya asisten.
Seorang jagal juga harus memahami konsep audit dan siap sebagai auditee. Hal ini
untuk memastikan bahwa jasa dan produk yang dihasilkan abash dan terjamin
mutunya. Kebanyakan juru sembelih berproses umumnya secara turun menurun dan
untuk memastikan bahwa jasa dan produk yang dihasilkannya hanya berbekal saling
percaya saja tanpa ada pembuktian yang absah. Oleh karena itu juru sembelih harus
trampil dan memenuhi persyaratan syari Islam.
Pada era globalisasi proses ketidak terbukaan (transparan) dan tidak ada perlakuan
yang sama proses(equal treatment) dalam penyembelihan ternak halal secara ritual
Islamik mulai dipertanyakan.Proses penyembelihan menurut syari Islam adalah sebagai
proses pertanggungjawaban kebaikan sesama mahluk Tuhan dan ketentraman bathin
sebagaimana diperintahkanNya untuk menyembelih atas Allah SWT, bukan tuhan-tuhan
yang lain.Oleh karena itu konsep tenaga juru sembelih ternak halal dan konsep
kehalalan produk ternak halal dikonsumsi versi Islam harus diperbaiki sesuai tujuan
syariah.
Standar minimum kesejahteraan hewan di RPH
Disamping itu ada 4 (empat) kode etik kesejahteraan hewan terkait fasilitas
pemotongan di RPH, yang diperlukan untuk dipenuhi, yaitu:
1. Kebutuhan fisiologi ternak
2. Rancang bangun, konstruksi dan pemeliharaan fasilitas RPH yang memadai
3. Kebebasan bergerak ternak potong di RPH
4. Proses pemingsanan dan penyembelihan ternak potong di RPH
Terkait isu tersebut dimana RPH harus didukung sarana air bersih dan pakan memadai,
serta fasilitas yang dapat melindungi dan tidak menyebabkan ternak terluka atau
menyebabkan kegaduhan ataupun stress.
Audit dianggap sebagai suatu metode untuk meningkatkan perbaikan sistem secara
berkesinambungan dari RPH agar proses pemotongan hewan selalu terkendali dan
mampu telusur. Di kebanyakan RPH Indonesia penerapan audit masih, dianggap tidak
berbiaya mahal, kurangbermanfaat dan membuang waktu serta tidak ada pengaruh
signifikan terhadap proseskeuntungan bisnis. Akan tetapi di era globalisasi akan
menjadi prasyarat bisnis sebagai tuntutan kesehatan bagi konsumen cerdas dan gaya
hidup bagi orang berbisnis.
Antara keinginan maju dan kebiasaan buruk dipertahankan selalu menjadi pilihan.
Memang hidup adalah pilihan antara kebutuhan kebaikan untuk maju atau memilih
keinginan tetap seperti apa adanya untuk pembodohan konsumen. Dalam hal
menghadapi konsummen yang cerdas, maka diperlukan pendekatan pemotongan
ternak kearah kebaikan dalam sistim mampu telusur (traceability) dengan mengenalkan
konsep audit internal.
Ada 2 (dua) jenis audit yaitu audit kepatuhan dan audit manajemen. Terkait pedoman
ini lebih tepat dilakukan audit aspek keselamatan, keamanan dan mutu untuk
menghasilkan daging segar yang aman dan layak dikonsumsi manusia.
Tujuan dari audit ini adalah untuk memeriksa, menganalisa, mengatur dan
memverifikasi proses dalam arti tertentu. Proses ini diperiksa dengan tujuan melakukan
penyesuaian yang diperlukan untuk membawa ke tingkat kinerja yang dapat mencapai
tujuan yang dimaksudkan.
Dalam audit internal RPH adalah karyawan atau perwakilan unit usaha (RPH) yang
tengah diaudit oleh Tim audit internal. Oleh karena itu auditor harus memiliki wawasan
yang baik tentang karkas, daging dan organ dalam, proses pemeriksaan antemortem
dan postmortem, kebijakan RPH dan budaya organisasi tersebut. Hal ini dilakukan
sebagian jadwal audit yang sistematis yang dapat diterapkan secara keseluruhan atau
sebagian system, proses dan aktifitas di RPH.
Sejumlah prinsip yang membantu pelaksanaan suatu audit agar menjadi alat yang
efektif dan handal dalam mendukung manajemen kebijakan dan pengendalian.
Kepatuhan terhadap prinsip merupakan prasyarat untuk menyediakan kesimpulan yang
relevan dan memadai serta untuk memfasilitasi auditor yang bekerja secara indepeden.
Prinsip-prinsip melakukan audit berdasarkan ISO 19011:2011 yaitu:
1. Intergritas
Dalam program audit internal terhadap produk yang dihasilkan oleh unit usaha
penyedia daging, seharusnya:
Melakukan tugas dengan jujur, teliti dan bertanggung jawab
Memahami dan memperhatikan peraturan perundang-undangan dan persyaratan
standar minimal
Melakukan unjuk kerja kompetensi dalam melaksanakan kerja
Melaksanakan tugas tanpa memihak, yaitu tetap adil dan tidak bias dalam
tindakan.
Menyadari dampak yang akan mempengaruhi tugas audit.
Hasil temuan audit internal dan laporan audit harus jujur dan akurat mencerminkan
semua hal yang ditangani.
4. Kerahasiaan
5. Kemandirian
Ketidakberpihakan dan objektif serta tidak ada komplik kepentingan harus dijaga
selama audit.
Auditor harus mampu menerapkan prinsip-prinsip audit yang baik dengan cara antara
lain:
Mampu menilai dan memperoleh bukti objektif yang adil
Tetap memegang teguh tujuan audit tanpa rasa ketakutan atau keberpihakan.
Menghormati kekhawatiran dan meyakinkan pemilik yang teraudit akan
manfaatnya
Melaksanakan proses audit tanpa menyimpang dari ruang lingkup
Memberikan dukungan dan perhatian untuk kemajuan yang teraudit.
Idealnya regulasi dan standar dapat membantu dalam penjaminan mutu karena
merupakan hasil kesepakatan minimal harus dilakukan untuk menghasilkan yang
terbaik termasuk menjaga keamanan konsumen dan upaya meningkatkan manajemen
yang baik bagi RPH.
Program audit
Program audit harus ditetapkan untuk melakukan efektifitas system manajemen RPH
yang teraudit. Program audit yang dalam keterbatasan sumberdaya dan waktu
ditetapkan misalnya:
Maksud dan tujuan audit
Cakupan atau ruang lingkup audit
Prosedur audit
Kriteria audit
Metode audit
Seleksi tim audit
Faktor yang akann mempengaruhi efektifitas audit
Kesimpulan audit sebelumnya bila ada
Sumberdaya yang dibutuhkan
Mengantisipasi dan memberikan solusi terhadap kemungkinan permasalahan social,
budaya dan kebiasaan setempat
Menjaga keamanan dan kerahasiaan informasi
Menjaga keselamatan dan kesehatan bersama.
Pelaksanaan program audit harus diukur dan dipantau agar tujuan audit dapat dicapai.
Mengidentifikasi peluang untuk perbaikan bukan mencari kesalahan namun
memastikan perbaikan berjalan berkesinambungan.
BAB XI
DASAR-DASAR PENGENDALIAN MIKROORGANISME
Mikroorganisme dapat disingkirkan, dihambat atau dibunuh dengan sarana atau proses
fisik, atau bahan kimia. Tersedia berbagai teknik dan saran yang bekerja menurut
berbagai macam cara yang berbeda-beda dan masing-masing mempunyai keterbatasan
sendiri-sendiri didalam penerapan prakteknya.
Suatu sarana fisik dapat diartikan sebagai keadaan atau sifat yang menyebabkan suatu
perubahan. Beberapa contoh sarana fisik yaitu suhu, tekanan, radiasi dan penyaringan.
Suatu proses fisik yaitu suatu prosedur yang mengakibatkan perubahan, misalnya
sterilisasi, pembakaran dan sanitasi.
Suatu bahan kimia yaitu suatu substansi (padat, cair, atau gas) yang dicirikan oleh suatu
komposisi molekuler yang pasti menyebabkan terjadinya reaksi sebagai contoh adalah
senyawa fenolik, alkohol, klor, iodium, dan etilen oksida.
Apabila satu tetes suspensi bakteri dimasukkan ke dalam botol berisi asam panas atau
ke dalam tempat pembakaran, maka semua bakteri itu dapat terbunuh seketika atau
setidak-tidaknya sedemikian cepat sehingga tidak terukur laju kematiannya. Namun
perlakuan tidak sedratis itu tidak akan membunuh semua sel pada saat yang sama,
melainkan sel-sel tersebut akan terbunuh dalam laju yang konstan.
Peluang untuk mengenai sasaran sebanding tidak hanya tidak hanya terhadap jumlah
sasaran mikroorganisme yang ada, namun juga terhadap jumlah konsentrasi atau
intensitas zat antimikrobial yang diberikan. Makin banyakjumlah konsentrasi atau
intensitas zat antimikrobial yang diberikan dalam kurun waktu tertentu makin cepat
sasaran mikroorganisme yang terbunuh.
Gambar 25: Sanitasi tangan dengan sabun dapat mengurangi jumlah kuman yang ada
Jumlah mikroorganisme
Makin lama kita menembak sasaran (jumlah mikroorganisme), makin banyak sasaran
yang terkenai; namun makin banyak sasaran yang ada, maka makin lama waktu yang
diperlukan mengenai semua sasaran, yaitu bila segala kondisi yang lain konstan. Artinya
diperlukan banyak waktu untuk membunuh populasi mikroorganisme. Apabila jumlah
mikroorganisme banyak, maka perlakuan harus diberikan lebih lama supaya kita cukup
yakin bahwa semua mikroorganisme tersebut mati.
Spesies mikroorganisme
Gambar 26: macam mikroorganisme penyebab penyakit asal makanan asal hewan
Adanya bahan organik asing dapat menurunkan dengan nyata keefektifan zat kimia
antimikrobial dengan cara menginaktifkan bahan-bahan tersebut atau melindungi
mikroorganisme dari padanya. Sebagai contoh, adanya bahan organic di dalam
campuran disinfektan mikroorganisme dapat mengakibatkan:
1. Penggabungan disinfektan dengan bahan organik membentuk produk yang tidak
bersifat mikrobisidal
2. Penggabungan disinfektan dengan bahan organikmenghasilkan suatu endapan,
sehingga disinfektan tidak mungkin lagi mengikat mikroorganisme
3. Akumulasi bahan organic pada permukaan sel mikroba, menjadi suat pelindung yang
akan mengganggu kontak antara disinfektan dan sel.
Dalam prraktek, apabila ada serum atau darah pada benda yang diberikan perlakuan
suatu zat antimikrobial, maka serum atau darah itu dapat menginaktifkan sebagian zat
tersebut.
Kemasaman atau kebasaan (pH)
Mikroorganisme yang terdapat pada bahan dengan pH asam dapat dibasmi pada suhu
yang lebih rendah dan dalam waktu yang lebih singkat dibandingkan dengan
mikroorganisme yang sama di dalam lingkungan basa.
Sangatlah bermanfaat untuk mengetahui bagaimana cara kerja zat antimikrobial dalam
menghambat atau mematikan mikroorganisme terutama dalam setelah peristiwa
pemisahan (condemned) terkait penyakit hewan menular dan zoonosis, serta disinfeksi
alat angkut yang tepat sesuai penyakit yang terjadi di RPH, agartidak terjadi pencemaran
silang.
DAFTAR PENYEBAB
3.1.PARASIT
3.1.1.TRICHINELLOSIS T T Negata bebas tidak
(T.spiralis) perlu uji lab, termasuk
perlindungan
kesehatan masyarakat
seperti perebusan,
pendinginan,
pembakaran daging
dari ternak tertular.
3.1.2.CYSTICERCOSIS
BOVIS
a).Infestasi berat T T Infestasi meluas,
wajib dilaporkan
kepada penanggung
jawab kesehatan
hewan yang
berwenang setempat.
Alternatifnya dengan
pemanasan mencapai
60 derajat celcius
hingga ke pusat
daging.
b).Infestasi sedang Kf Kf
atau ringan
3.1.3.CYSTICERCOSIS
CELLULOSE
a).Infestasi berat
b).Infestasi sedang
atau ringan
3.1.4.CYSTICERCOSIS
OVIS
a).Infestasi berat T T
b).Infestasi sedang Kf Kf
atau ringan
3.1.5.CYSTICERCOSIS A A D Item1.4 tdk diperlukan
TENUICOLLIS Bagian tertul Item1.4
tdk diperlukan ar
disingkirkan
3.1.6.COENUROSIS A A D Otak D -
CEREBRALIS
3.1.7.DISTOMATOSIS
a).Infestasi berat A A D Item1.4 tdk diperlukan
b).Infestasi sedang A A D D, bagian tertular
atau ringan disingkirkan.
Terhadap sisa hati
rekomendasinya I.
3.1.8.ENCHINOCOCCO A A D D Item1.4 tdk diperlukan
SIS (HYDATIDOSIS)
3.1.9.STRONGILUS A A D Item1.4 tdk diperlukan
PULMONARY DAN
GATROINTESTINAL
3.1.10.Luka karena A A D Kepala D L dapat dipakai
parasit hati pengganti D, dimana
atau usus dapat dikerjakan
dengan mudah
3.1.11.Infestasi A A D
Oestrus ovis
pada domba
3.1.13.Infestasi A A D Item1.4 tdk diperlukan
warble
(hypodermosis)
3.1.14.Mange dan
Scabies
a).Mange sarcoptic
pada babi
(i).lokal dan tidak A A D -
sistemik
(ii).luka meluas atau Kh Kh Item1.4 tdk diperlukan
ada sistemik
b).Scabies
sporoptic pada
domba
(i).tidak sistemik A A D -
(ii).luka kulit T T Alternatif Kh, subjek
suppurative diuji bakterinya
3.3.PENYAKIT
BAKTERI DAN
PENYEBABNYA
3.3.1.ANTHRAX T T -
3.3.2.BLACK LEG T T -
3.3.3.BRAXY
(Cl.septicum)
3.3.4.ENTEROTOXEM T T -
IA (desentri
domba, Cl
perfrigens)
3.3.5.MALIGNANT T T -
OEDEMA
(Cl.septicum)
3.3.6.TETANUS T T -
(Cl.tetani)
3.3.7.BOTULISM T T -
(Cl.botulism)
3.3.8.TUBERCULOSIS Daging ternak
penderita TBC
dilarang diekspor
a). sapi dan kerbau
(i).kasus infeksi T T -
residual atau
karena program
pemberantasan
(ii).selama stadium
akhir
pemberantasan
dimana
prevalensi
rendah
Reaktor tanpa Kh Kh Paru-paru, Alternatif L atau A,
luka ambing D tetapi dilarang untuk
ekspor
Salah satu organ Kh Kh Paru-paru, Item1.4 tdk
terkena dan ambing D diperlukan. T apabila
tanpa luka dimungkinkan secara
military ekonomi
Satu organ atau T T -
lebih organ
tertular, atau
terdapat luka
military pada
salah saatu
organ
(iii).selama stadium
awal
pemberantasan
dan ditemui
prevalensi tinggi
di satu daerah
Reaktor tanpa L L D Paru-paru, A disukai daripada I.
luka ambing D Apabila L tidak
ekonomis dilarang
untuk perdagangan
ekspor
Salah satu organ Kh Kh D Paru-paru, Item1.4 tdk diperlukan
tertular, tanpa ambing D
gejala umum atau
baru menyebar
melalui darah.
Lebih dari satu Kh Kh D Paru-paru, Kecuali T, apabila
organ tertular, ambing D dipertimbangkan lebih
tanpa gejala ekonomis atau
umum atau baru Item1.4 dapat
menyebar melalui dipergunakan
darah.
Dengan gejala T T -
umum
Gejala baru T T -
menyebar ke
dalam darah
b). Pada babi
(i).lokal Kh Kh D D Usus D T bila ada program
tenggorokan atau pemberantasaan TBC
kelenjar getah atau dalam stadium
bening akhir penyakit.
mesentercus Alternatif Kh dengan
(type bovine atau pemanasan 77 derajat
avian) celcius.
(ii).type avian A A D Kepala D
terbatas pada
kelenjar
submaxillaris
(iii).lukanya meluas T T -
pada kelenjar
getah bening
atau organ lain
c).pada ruminansia T T -
kecil
3.3.9.Johnes disease A A D Usus dan Item1.4 tdk diperlukan
(Paratuberculosi penggantung
s) nya D
3.3.10.Actinomycosis
dan
actinobaccilosi
s
a).Terbatas di A A D D Item1.4 tdk diperlukan
kepala, atau
terdapat luka
ringan pada paru-
paru
b).luka meluas pada T T -
paru-paru
3.3.11.Salmonellosis T T -
3.3.12. White scour, T T -
omphalophebiti
s, polyarthritis,
dan
septicaemia
lain pada anak
yang baru lahir
3.3.13.Swine
erysipelas
a).kondisi akut T T -T pada pemeriksaan
dengan erytrema, antemortem dinilai
atau diffuse bahaya, apabila
cutaneous dengan dimungkinkan
erytrema pemotongan ditunda
untuk diobati dulu
hingga sembuh
b).Arthritis kronis Kh Kh D D Uji bakteriologi, T
local, atau apabila meluas, atau
endocarditis local apabila positif bakteri
tanpa gejala berbahaya. Lihat juga
sistemk Item 2.3.2. Alternatif A
dimungkinkan apabila
dinilai tidak
membahayakan
kesehatan konsumen
c).luka cutaneous Kh Kh D Alternatif A
ringan dimungkinkan apabila
dinilai tidak
membahayakan
konsumen
d).Komplikasi T T
nekrosis arthritis,
atau luka kulit,
atau gejala
sistemik
3.3.14. Listiriosis T T Perkecualian
diperlukan untuk
mencegah penularan
pada pekerja daging
3.3.15.Infeksi coryne A A D D -
bacterial pada
kelenjar getah
bening
subamaxillaris
pada babi
3.3.16.Caseous A A D D Paru-paru D -Kecuali apabila T
lymphadenitis atau Kh dibawah Item
pada domba 1.4
(corynebacteri
um ovis)
3.3.17.Brucellosis
a).Pada sapi A A D Ambing, alst -Apabila ada dugaan
kelamin, Brucella mellitensis: T
kelenjar atau Kh, tergantung
getah tingkat prevalensi dan
bening pertimbangan
terkait D ekonomis; Ternak
dipotong dalam
rangka program
pemberantasan: L
lebih baik daripada A,
bila pertimbangan
ekonomiis,
epidemiologis
dan/atau pencegahan
bahaya penularan
penyakit
b).Pada babi T T T bila tidak ekonomis,
Kh dengan ketentuan
kelenjar ambing, alat
kelamin dan kelenjar
getah bening terkait,
dilakukan langkah D
c).Pada domba, T T T bila tidak ekonomis,
kambing dan Kh dengan ketentuan
kerbau kelenjar ambing, alat
kelamin dan kelenjar
getah bening terkait,
dilakukan langkah D
3.3.18.Infectious A A D =
ovine
epidedemitis
(B. ovis)
3.3.19.Bovine A A D =
campylobacteri
osis
3.3.20.Pasteurellosis Kh Kh D Kecuali bila T kasus
item 1.1 atau 1.4
3.3.21.Haemorhagic T T Tidak diperkenankan
septicaemia dibawa ke RPH
(pasteurella
multocida type
6:B dan 6:E)
3.3.22.Shipping
fever
a).Stadium klinis T T Bila mungkin
pemotongan ditunda
hingga sembuh
b).Penyembuhan A A D =
3.3.23.Atropic A A D D apabila ada
rhinitis kelainan tulang muka
3.3.24.Calf Diptheria
(necrobaccilosis)
a).Umum T T -
b).Lokal Kh Kh D D Kepala D
3.3.23.Foot rot pada A A D Dibedakan dengan
domba PMK (lihat item 3.4.1)
3.3.24.Dermathophillus A A D Item 1.4 tidak
(Streptothricosis diperlukan
dermathophilus
congolensis)
3.3.25.Leptosiprosis
a).Akut T T -
b).Kronis lokal A A D Ginjal D
3.3.26.Contagious A A D Paru=paru -
bovine dan
pleuropneumoni selaputnya
a (Mycoplasma D
mycoides
subspecies
mycoides SC
(Bovine
blottype)
3.3.27.Contagious A A D Paru=paru -
caprine dan
pleuropneumona
selaputnya
(Mycoplasma D
sp F.38
blottype
3.3.28.Contagious A A D Ambing D -
agalactia pada
kambing dan
domba
(Mycoplasma
agalactia)
3.3.29.Heartwater A A Kecuali T atau Kh
(crowdie disebabkan item 1.1
ruminantium)
3.3.30. Q fever Diperlukan
(Coxiela pencegahan
burnetti) penularan pada
pekerja RPH
a). Klinis penyakit T T -Kh/D//Ambing D,
bila T
dipertimbangkan tidak
ekonomis.
b).Serologis A A Ambing D -T atau Kh lebih
disukai dan lebih
ekonomis
3.3.31.Anaplasmosi A A D Kecuali bila Item1.1,
s 1.4 atau 1.7 dipakai
3.4.PENYEBAB
VIRUS
Vesicular dan Cacar
3.4.1. Penyakit T T ...
Mulut dan Kuku
a).Pada Negara atau
zone bebas
Hewan sakit Tidak boleh dipotong
dan kontak di RPH
b).Pada Negara atau Penilaian terhadap
zone tertular perlindungan
kesehatan hewan dan
kesehatan masyarakat
veteriner; dengan
perhatian khusus
infeksi sekunder
bacterial dan gejala
umum (lihat Item
1.1,16, dan 3.3.11).
Dilakukan tindak
pengawasan secara
kebijakan nasional
3.4.2.Vesicular A A D D
stomatitis
3.4.3.Vesicular T T ...
exanthema pada
babi
3.4.4.Swine Kh Kh D D Usus D T dan ditolak dari RPH
vesicular untuk program
pemberantasan.
Apabila deferensial
diagnose tidak
dikonfirmasikan,
dinilai sebagai PMK
Item 3.4.1
3.4.5.Contagious A A D Kepala D Bila deferensial
pustular diagnose tidak
dermatitis dikonfirmasikan,
(contagious dinilai sebagai PMK
ectyma/ Orf) Item 3.4.1
3.4.6.Sheep
pox/goat pox
a).Penyakit kiinis Kh Kh D D Kecuali bila T dipakai
Item 1.1; I bila Kh
dinilai tidak ekonomis
b).Masa A A D D =
penyembuhan
3.4.7.Lumpy Skin Kh Kh D D Kecuali bila T dipakai
Disease Item 1.1; I bila Kh
dinilai tidak ekonomis
3.4.8.Cacar lainnya
a).Sapi A A D Ambing D
b).Babi L L D Kulit D I bila dinilai tidak
ekonomis
PENYAKIT SAPI
3.4.9.Bovine I D Item 1.1 tidak dipakai
malignant
catarrh
3.4.10.Infectious A A D Item 1.1 tidak dipakai
bovine
rhinotracheitis
-IBR/IPV
3.4.11.Bovine virus A A D Item 1.1 tidak dipakai
diarrhea/Muco
sal Disease
3.4.12.Bovine para- A A D Item 1.1 tidak dipakai
influenza
3.4.13.Bovine
leucosis
a).luka maskrospis T T ...
multiple
b).Reaktor saja A A Tergantung tingkat
prevalensi (Kh dipakai
daripada A, bila
dipertimbangkan lebih
ekonomis)
3.4.14.Bovine T T Sapi dengan gejala
Spongiform BSE harus dilakukan
Encephalopat persyaratan ketat oleh
hy/ BSE Dokter Hewan
berwenang. Uji Lab
untuk kepastian
diagnosa
MACAM-MACAM
PENYAKIT PADA
BABI
4.4.15. Clasical
swine Fever
(Hog Cholera)
a).Berpenyakit T T Bila tidak ekonomis
dpakai Kh (T dipakai
dibawah Item1.1)_
b).hewan yang Kh D
kontak
3.4.17.African Swine T T Tidak boleh dipotong
Fever (baik di RPH
berpenyakit
dan hewan
kontak)
3.4.18.Teschen Kh D Otak, spinal Kecuali apabila T/T
disease cord, dibawah item 1/.1 atau
saluran 1.3.
alimentarius
D
3.4.19.Aujeszkys
disease
(Pseudorabies
)
a).Berpenyakit Kh Kh D D Otak, spinal
cord D
b).Reaktor T T Termasuk hewan
yang divaksinasi
3.4.20.Swine A A D Paru-paru D Kecuali apabila T atau
Influenza Kh dipakai dibawah
Item 1.1
MACAM-MACAM
PENYAKIT
RUMINANSIA YANG
PENYEBABNYA
MELALUI
ARTHROPODA
3.4.21.Bluetongue
a). Dengan gejala T T -
klinis
b).Reaktor saja A A
3.4.22.Rift Valley
Fever
a).Dengan gejala T T
klinis
b).Reaktor saja A A Hati, darah Kecuali T atau Kh
D dipakai dibawah item
1.1
3.4.23.Louping ill A A D Kecuali T atau Kh
dipakai dibawah item
1.1
3.4.24.Ephemeral A A D Pemotongan ditunda
Fever sampai suhu normal.
Sebaliknya T atau Kh
dipakai dibawah Item
1.1.
LAIN-LAIN PENYAKIT
3.4.25. Rabies T T -
Ternak dipotong A A D D: disekitar gigitan;
dalam waktu 48 jam perhatian risiko
setelah digigit. penularan pada
pekerja. Alternatif
pemotongan ditunda,
dan dilakukan tindak
isolasi/karantina agar
dapat dikonfirmasi
penyakitnya.
3.4.26.Japanese L L D Darah, otak Kh bila dinilai lebih
Encephalitis medulla, alat ekonomis, T pada
pada babi kelamin: D kasus penyakit akut
3.4.27.Scrapie
a).Dengan gejala T T -
klinis
b).Hanya kontak, L L T dipakai daripada L,
anak dan bila dipertimbangkan
induknya tidak ekonomis.
3.4.28.Viral
Leucosis
(selain pada
sapi)
a),Dengan luka T T
makroskopik
b).Reaktor saja A A Tergantung tingkat
prevalensi (Kh dipakai
daripada A, bila
dipertimbangkan tidak
ekonomis)
3.5. GEJALA-GEJALA
TIDAK
TERIDENTIFIKASI
ATAU PENYEBAB
TIDAK MENULAR
LAINNYA.
3.5.1.Tick paralysis T T I, atau Kh bila T tidak
ekonomis
3.5.2.Tumor
a). Tumor jinak A A D D D untuk bagian organ,
bila telah menyebar
sebaiknya D
dikenakan pada
seluruh organ.
b).Tumor ganas T T Uji lab diperlukan
untuk membedakan
c).kombinasi T T Uji lab diperlukan
keduanya untuk membedakan
3.5.3.Gangguan
metabolism,
penyakit
defisiensi,
keracunan
a).Bovine Ketosis T T Alternatif Kh/D atau
I/D, subjek diuji lab.
Lebih disukai ditunda
pemotongan hingga
sembuh
b).Pasturient T T Alternatif Kh/D atau
paresis I/D, subjek diuji lab.
(hypocalcemia, Lebih disukai ditunda
dll) pemotongan hingga
sembuh
c).Kekurangan A A D Item 1.4 tidak
mineral pakan diperlukan
d).Grass tetany T T Alternatif Kh/D atau
(Hypomagnesemia) I/D, subjek diuji lab.
Lebih disukai ditunda
pemotongan hingga
sembuh
e).Keracunan (akut T T Dipakai apabila hewan
atau kronis) menunjukan gejala
klinis atau tanda
padaa pemeriksaan
postmortem
f).Keracunan A A D D Subjek diuji lab untuk
subakut atau mengetahui/menghila
kronis dengan ngkan risiko residu
perubahan
sekunder
(gastroenteritis,
degenerasi
organ,dll)- setelah
klinis
penyembuhan
g).Ichterus T T -
(jaundice)
(i).Haemoli\ytic T T -
(ii).Toxic
(iii).Penyumbatan A A Hati D Alternatif I pada kasus
(ringan, dimana A tidak
ditunjukkan dibenarkan
dalam waktu 24
jam)
(iv).Penyumbatan A A -
sedang
(v).Physiologcal
(seperti pada anak
yang baru lahir)
atau karena
fraktur,dll)
Apabila ada T T Alternatifnya I pada
perubahan warna kasus ringan dimana
yang ditunjukkan T tidak dibenarkan
dalam waktu 24
jam setelah
dipotong
Apabila A A -
perubahan warna
terlihat setelah 24
jam
h).Penyebaran
melanosis pada
sapi
i).Penyingkiran T T -
bagian tertular
yang sudah tidak
dimungkinkan
ii).Penyingkiran A A D D -
bagian tertular
yang
dimungkinkan
3.5.4. Residu T T -
pemberian
anabolik
3.5.5.Residu diatas T T -
ambang batas
Nasional
ataupun
internasional
Keterangan:
Disetujui, layak dikonsumsi (simbul A);
Seluruh kulit, karkas, daging dan jeroan tidak layak dikonsumsi manusia (simbul T);
Sebagian karkas atau karkas tidak layak dikonsumsi (simbul D);
Layak dikonsumsi dengan bersyarat, dibagi 2:
a. Kh: direbus dengan temperature 90 derajat Celcius dan daging dipotong-potong kecil 10 cm
kubik;
b. Kf daging perlu dipanaskan atau didinginkan terlebih dahulu hingga terbunuh parasit yang
terdapat dalam daging;
Daging terdapat kerusakan sedikit, namun layak dikonsusmi (simbul I);
Disetujui, layak dikonsumsi dengan peredaran terbatas pada daerah tertentu, karena alas an
pencegahan penyebaran penyakit hewan menular (simbul L); dan
Tidak dapat digunakan (simbul ).
BAB XI
PENGAMBILAN CONTOH PENGUJIAN
Daging adalah bahan yang cepat rusak (perishable), karenanya hasil pengujian
laboratorium sangat tergantung perencanaan dan pengambilan contoh, penanganan
contoh (pengiriman dan penyimpanan) dan persiapan contoh agar dalam persiapan
contoh lebih baik, sehingga maksud dan tujuan pengujian tidak sia-sia.
Pengambilan contoh daging harus dilakukan petugas pengambil contoh terlatih, dan
mempertimbangkan faktor-faktor hal sebagai berikut:
1. Perencanaaan
Dalam pengambilan contoh harus dilakukan secara cermat dan cepat dalam satu
batch (lot) dalam satu unit produksi atau dilakukan secara acak dalam satu lot,
yang dianggap dapat mewakili setiap lot.
.
Kebutuhan pengambilan contoh uji tergantung pada maksud dan tujuan
pengujian dari rekomendasi hasil penilaian akhir pemeriksaan antemortem
dan/atau postmortem oleh dokter hewan
Pengambilan contoh uji untuk mengetahui adanya parasit dalam daging (seperti
cyste, protozoa pada toxoplamosis) dapat mengiris secara utuh daging pada
tempat-tempattertentu (predeleksi)
4. Penanganan contoh
Pengambilan contoh yang telah disiapkan ditempatkan dalam wadah dengan
tutup pengaman, agar tidak terjadi kontaminasi yang tidak perlu. Pengirman
contoh ke laboratorium untyuk diuji, tersimpan dengan baik sesuai maksud dan
tujuan pengujian yang diperlukan. Berhati-hati penanganan contoh yang
dikatagorikan bahaya
5. Pemberian label
Pemberian label pada contoh yang diambil sangat penting sebagai informasi
kepada penguji untuk melakukan tugasnya. Pemberian label harus
menginformasikan paling kurang sebagai berikut:
o Nama atau Nomor contoh
o Deskripsi contoh (seperti species, ras, organ dalam, karkas, cairan, dll)
o Nama petugas pengambil contoh
o Tanggal pengambilan contoh dan jumlah contoh
o Nama dan alamat unit usaha/pemilik
o Keterangan batch/lot atau unit contoh
o Suhu pengiriman contoh saat pengiriman
o Keterangan uji yang diperlukan.
o Titik dan lokasi pengambilan contoh
6. Keselamatan kerja
Keselamatan kerja bagi petugas dalam menangani contoh bahan-bahan
berbahaya, maka sikap kerja hati-hati, teliti dan menggunakan alat pelindung diri
merupakan kewajiban petugas pengambil contoh yang baik.
7. Dokumentasi
Catatan pengambilan contoh dilakukan secara seksama dan teliti baik di label,
formulir yang diperlukan, dan buku agenda yang dimaksudkan agar tidak tertukar
dan terdata dengan baik sebagai bahan telusur jejak pengujian.
TENTANG PENULIS
Penulis lahir di Medan, 2 Maret 1957, menyelesai studi Sekolah Dasar Negeri III,,
Sekolah Menegah Pertama Negeri II dan Sekolah Menengah Atas Negeri II (Paspal), di
Tanjungkarang, Provinsi Lampung dan menyelesaikan studi Dokter Hewan, FKH-UGM,
Yogyakarta 1983.
Riwayat Pekerjaan:
1979-1983 Asisten Dosen bidang Anatomi, FKH-UGM dan aktivis HMI FKH UGM
Bergabung dengan Direktorat Jenderal Peternakan pada akhir 1983 hingga saat ini
menjabat fungsional medic veteriner madya, pada Direktorat Kesehatan Masyarakat
Veteriner dan Pascapanen, dan sebelumnya pernah menduduki berbagai posisi jabatan
sebagai berikut:
Kepala Seksi Pengawasan Hewan, Bahan Asal Hewan, dan Hasil Bahan Asal Hewan,
Subdit Penolakan, Direktorat Kesehatan Hewan 1993-1995
Kepala Seksi Bahan Asal Hewan pada Subdit Perlindungan Hewan, Direktorat
Kesehatan Hewan 1995-1999
Kepala Seksi Produk Pangan Asal Hewani, Subdit Produk Pangan Hewani, Dit
Kesehatan Masyarakat Veteriner, 2000-2005
Kepala Subdit Pembina Pengujian Produk Hewan, 2006-2008
Kepala Subdit Produk Hewan Non Pangan,2008-2010
Kepala Subdit Sanitary dan Keamanan Produk Hewan, 2011-2012
Mengundurkan diri jabatan structural eselon III Direktorat Kesehatan Masyarakat
Veteriner dan Pascapanen, menjadi Jabatan Fungsional Medik Veteriner
padaDirektorat Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Pascapanen Direktorat
Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan.
Pengalaman kerja:
1982 pernah bekerja magang di RPH Kabluk, Semarang sebagai pemeriksa kesehatan
ternak potong dan melaksanakan program vaksinasi massal PMK Provinsi Jawa Tengah
di Kab.Semarang
1985-1993 ikut berperan aktif dalam Tim negosiasi zoo-sanitary di lingkup ASEAN, dan
Sosial-ekonomi (sosek) Malindo, dan masukan teknis kepada OIE
1985-1986 ikut memperjuangkan berdirinya 200 Poskeswan di seluruh Provinsi RI
Dana NAEP-pada Direktorat.Penyuluhan Peternakan, Ditjen Peternakan.
1986 insiasi Dokter Hewan dalam kelompok professional sebagai Tenaga Kesehatan
Dokter Hewan dengan masa pensiun umur 60 tahun bagi dokter hewan yang berwenang
di daerah dan UPTbersama Drh. Anwar Sholeh, Kepala Seksi Pemberantasan Penyakit
Hewan
1987 pertama kali menjadi Inspektur Pemeriksa Kesehatan sapi bantuan ADB untuk
Kalimantan Timur, di Australia, kedua sap Banpres untuk NTT, pada tahun 1996
1983-1990 ikut berperan aktif dalam Tim pemberantasan Penyakit Mulut dan Kuku dan
Upaya Deklarasi Pembebasan PMK hingga diakui OIE, 1990
1984 ikut berperan aktif Tim pemberantasan SE di Ujung Kulon bersama Dinas
Peternakan Provinsi Jawa Barat dan Kabupaten Pandeglang.
1983-1985 ikut aktif berperan Tim penanggulangan dan pemberantasan wabah
penyakit ND di P.Sulawesi, Jawa dan Bali.
1987-1988 ikut berperan aktif Tim pemberantasan dan pembebasan Rabies di
Wonogiri, Jateng dan Ngawi, Jatim
1989-1990 ikut berperan aktif Tim penanggulangan wabah penyakit Anthrax di Boyolali
dan Klaten, Jawa tengah
1992 ikut berperan aktif dalam pembahasan RUU tentang Karantina,Hewan, Ikan dan
Tumbuhan dan Persyaratan dan Pemasukan Daging dari Luar Negeri ke Indonesia
1993-1994 ikut berperan aktif dalam menetapkan protocol persyaratan teknis
kesehatan hewan dan kesehatan masyarakat veteriner di lingkup ASEAN dan
pemasukan daging dan ternak sapi feeder steer dari Australia.
1994-1995 ikut inisiasi perlunya jabatan fungsional medik dan paramedik veteriner
beserta angka kreditnya bersama Drh.Tagor Harahap, Kepala Subdit Penolakan.
1995-1996 ikut Tim penyusun RPP tentang Karantina Hewan
1998 ikut menginisiasi berdirinya Direktorat Kesehatan Masyarakat Veteriner pisah dari
Direktorat Kesehatan Hewan yang terbentuk pada tahun 1999 bersama Drh. Muchtar
Abdulah, Kepala Subdit Perlindungan Hewan
2001-2002 ikut menjadi saksi kepolisian dalam hal pemasukan illegal paha ayam
(Chicken Leg Quarter/CLQ)
1995-2000 ikut berbagai kegiatan negosiator persyaratan teknis kesehatan hewan dan
kesehatan masyarakat veteriner dan karantina hewan baik untuk ekspor dan impor
hewan dan produk hewan dari berbagai Negara EU (ekspor daging unggas, impor daging
sapi Irlandia), USA, Australia, Afrika Selatan dan beberapa Negara lain (impor burung
onta), China, Jepang (daging unggas), lingkup ASEAN dan Amerika Latin seperti
Argentina, Venezuela, Brazil dan Mexico terutama kulit
2006-2008 ikut aktif dalam penyusunan Standar Nasional Indonesia terkait ternak,
produk hewan dan pengujian serta peraturan perundangan (Permentan) bidang
pengawasan dan pengujian keamanan dan mutu produk hewan beserta SNI
laboratorium kesmavet.
2000-2012 ikut berperan aktif dalam berbagai negosiator aspek hambatan teknis SPS
dan TBT dari berbagai Negara anggota WTO yang berkepentingan dengan pasar
Indonesia maupun mendampingi untuk keperluan ekspor produk hewan
2002-2003 ikut dalam Tim Penanggulangan Pemasukan Hewan dan Produk Hewan
illegal, Deptan bekerjasama dengan aparat penegak hukum dan Badan Intelijen Negara
RI yang dikoordinator Ditjen P2HP, Deptan.
2002-2014 menjadi Tim Penillai Medik Veteriner Tingkat Pusat.
2009 ikut aktif memberikan masukan rancangan pemerintah pada DIM RUU tentang
Peterrnakan dan Kesehatan Hewan
2012 mengundurkan diri dari jabatan struktural ke jabatan fungsional medik veteriner di
Direktorat Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Pascapanen.
1990-2012 ikut berperan aktif sebagai auditor aspek kesehatan, keamanan dan
kehalalan Produk Hewan dan bahan biologic di di dalam negeri maupun di berbagai
Negara: USA, Australia, New Zealand, Irlandia, Thailand, Malaysia.
2012-2013 aktif pembahasan Standar Kerja Kompetensi Nasional Indonesia bidang
Paramedik dan Medik Veteriner.
2010-2014 ikut aktif dalam pembahasan berbagai RUU maupun Permentan bidang
Peternakan dan Kesehatan Hewan, Pangan, serta Permendag tentang impor dan ekspor
hewan dan produk hewan.
2011-2012 berperan aktif negosiator masalah SPS dengan Negara Argentian, Brazil,
USA, EU, Australia, New Zealand.
Pengalamanan pendidikan dan pelatihan yang langsung terkait profesi veteriner sebagai
berikut:
- Dalam negeri:
1. Surveilans Epidemiologi, Depkes RI
2. Pengamat Wabah Penyakit Hewan Menular
3. Pengenalan Butchering, MLA, Australia
4. Analisis Risiko, OIE
5. Emergency Prepradness Outbreak of Animal Diseases, DPIF, MAFF, Australia,
di Jakarta.
6. Reproduksi dan Kesehatan Ternak
7. Auditor HACCP disponsori USDA
8. Regulasi dan implemetasi SPS-WTO disponsori OIE dan WTO di Jakarta
9. Pelatihan Auditor, NATA, Australia di Jakarta, 2012
10. Penyegaran Auditor, NATA, Australia di Bandung, 2014
- Luar Negeri:
1. Meningkatkan Kemampuan Manajemen Kesehatan Hewan,di Germany
2. Risk Analysis, SPS-WTO, Bangkok, Thailand
3. Studi komparatif pengujian residu kimiawi dan cemaran mikroba, di Malaysia
4. Pengujian Teknis Residu Kimiawi, di Univ Kedokteran Hewan, Nantes,
Perancis.
5. Keamanan produk peternakan, Korea Selatan, 2012
Semoga dengan adanya tulisan ini dapat bermanfaat bagi para juru pemeriksa ternak
potong dan daging, sebagai bahan pengetahuan, pengajaran dan pelatihan ketrampilan,
serta bahan uji kompentensi standar kerja Nasional Indonesia.
Bahan-Bahan Pustaka: