TINJAUAN PUSTAKA
praktek sanitasi dan kondisi diunit usaha. Luning et al. (2003) menyatakan bahwa
secara umum praktik higiene dan sanitasi dalam suatu industri atau perusahaan
pangan meliputi higiene personal, bangunan, peralatan produksi, proses produksi,
penyimpanan dan distribusi.
Tujuan SSOP menurut Winarno dan Surono (2002) adalah agar setiap
karyawan teknis maupun administrasi mampu: (1) mengerti bahwa program
kebersihan dan sanitasi dapat meningkatkan kualitas dan keamanan produk yang
ditandai dengan menurunnya tingkat kontaminasi, (2) mengetahui adanya
peraturan good manufacturing practices (GMP) yang mengatur penggunaan zat
tertentu yang dianggap aman dan efektif bagi program higiene dan sanitasi, (3)
mengetahui tahapan proses higiene dan sanitasi, (4) mengetahui persyaratan
minimum penggunaan sanitasi dan klorin pada air pendingin, khususnya pada
industri pengolahan makanan, (5) mengetahui adanya faktor seperti pH, suhu dan
konsentrasi disinfektan yang mempengaruhi hasil akhir suatu proses sanitasi dan
(6) mengetahui masalah potensial yang mungkin timbul apabila sanitasi tidak
dijalankan.
Setiap unit usaha produk pangan hewan wajib memiliki nomor kontrol
veteriner (NKV). NKV merupakan sertifikat kelayakan usaha yang merupakan
registrasi usaha pemotongan, pengolahan dan pemasaran produk peternakan yang
diterbitkan oleh instansi yang bertanggung jawab menangani suatu unit usaha atau
bidang kesehatan masyarakat veteriner. Usaha produk pangan asal hewan dapat
dilakukan oleh perorangan warga negara Indonesia atau Badan Hukum Indonesia
dalam bentuk perusahaan daerah, perseroan terbatas atau koperasi. Unit usaha
produk pangan asal hewan antara lain meliputi: usaha rumah
potongahewan/unggas (RPH/RPU), usaha industri pengolahan produk pangan asal
hewan, dan usaha importir/eksportir/penampung/distributor produk pangan asal
hewan.
Menurut Direktorat Kesmavet (2001) untuk mendapatkan NKV pada unit
usaha produk pangan asal hewan, harus memenuhi dua persyaratan utama yaitu
persyaratan administrasi dan persyaratan teknis. Persyaratan teknis meliputi
persyaratan lokasi, sarana, bangunan dan tata letak, peralatan, suplai air, higiene
karyawan dan perusahaan, kendaraan produk pangan asal hewan, ruangan
penyimpanan produk asal hewan, proses pengemasan, pengendalian hama,
mampu telusur (traceability), penarikan produk kembali dan pengawasan
kesehatan masyarakat. Tata cara pemberian NKV pada prinsipnya dapat
diklasifikasikan dalam dua kelas yaitu: kelas A untuk unit usaha produk pangan
asal hewan klasifikasi ekspor, dan kelas B untuk unit usaha produk pangan asal
hewan klasifikasi non-ekspor (lokal).
9
Daging
perbedaan komposisi zat gizi antara daging sapi, kerbau dan ayam seperti
diuraikan pada Tabel 1.
Tabel 1 Komposisi zat gizi daging sapi, kerbau dan ayam per 100 g bahan
Daging
Zat gizi
Sapi Kerbau Ayam
Air (gram) 66.0 84.0 -
Protein (gram) 18.8 18.7 18.2
Energi (K) 207.0 84.0 302.0
Lemak (gram) 14.0 0.5 25.0
Kalsium (mg) 11.0 7.0 14.0
Besi (mg) 2.8 2.0 1.5
Vitamin A (SI) 30.0 0.0 810.0
Sumber : Hasbullah (2005).
Warna Daging. Faktor yang menentukan warna daging antara lain adalah
bangsa ternak, spesies, umur, jenis kelamin, pakan, aktivitas ternak, tingkat stress,
pH daging, tipe otot dan ketersediaan oksigen. Karakteristik warna daging
merupakan salah satu parameter kualitas daging. Warna daging juga dipengaruhi
oleh pigmen yaitu mioglobin. Jenis molekul dan status kimia mioglobin, serta
kondisi kimia dan fisik yang terdapat dalam daging berperan besar dalam
menentukan warna daging (Lawrie 2003; Jeong et al. 2009). Mioglobin sebagai
salah satu dari protein sarkoplasmik terbentuk dari suatu rantai polipeptida
tunggal terikat disekeliling groupheme yang membawa oksigen. Group heme
tersusun dari suatu atom Fe dan suatu cincin porfirin. Perbedaan warna daging
antar spesies disebabkan konsentrasi mioglobin, yang akan meningkat seiring
dengan meningkatnya umur ternak (Soeparno 2005).
Warna daging yang disukai konsumen adalah merah cerah yang
menunjukkan mutu daging. Perubahan warna daging dipengaruhi oleh banyak
faktor. Daging yang terekspos dengan udara (O 2), mioglobin dan oksigen dalam
daging akan bereaksi membentuk ferrous-oxymioglobin (OxyMb) sehingga
11
daging akan berwarna merah cerah. Apabila waktu kontak antara mioglobin
dengan oksigen berlangsung lama, maka akan terjadi oksidasi membentuk ferric-
metmyoglobin (MetMb), sehingga daging berwarna coklat dan tidak menarik
(Aberle et al. 2001; Jeong et al. 2009).
Daya Mengikat Air (DMA). DMA oleh protein daging atau dikenal
dengan water holding capacity (WHC) merupakan kemampuan daging untuk
mengikat air atau air yang ditambahkan selama ada pengaruh kekuatan dari luar,
misalnyapengaruh pemotongan daging, pemanasan, penggilingan dan tekanan.
Absorbsi air atau kapasitas gel adalah kemampuan daging menyerap air secara
spontan dari lingkungan yang mengandung cairan (Soeparno 2005). Jumlah air
yang terikat dalam daging tergantung pada tingkat dan kecepatan penurunan pH
serta jumlah denaturasi protein. Secara umum DMA dipengaruhi oleh faktor-
faktor yang mengakibatkan diferensiasi dalam otot seperti spesies, umur dan
fungsi otot (Forrest et al.1975).
Lawrie (2003) menyatakan bahwa DMA daging sangat dipengaruhi oleh
pH, semakin tinggi pH akhir maka penurunan DMA juga sedikit. DMA sangat
penting dalam proses pengolahan daging sebagai protein yang mampu menahan
lebih banyak air menjadi lebih mudah larut. Daya mengikat air dari daging pada
pH titik isoelektrik protein daging berkisar antara 5.0-5.1. Protein daging ini tidak
bermuatan (jumlah muatan positif sama dengan jumlah muatan negatif) dan
solubilitasnya minimal, sedangkan pada pH yang lebih tinggi dari pH isoelektrik
protein daging, maka sejumlah muatan positif dibebaskan dan terdapat surplus
muatan negatif yang mengakibatkan penolakan dari miofilamen dan memberikan
lebih banyak ruang untuk molekul air. Meningkat atau menurunnya pH daging
dari titik isoelektrik akan mengakibatkan meningkatnya kapasitas DMA dengan
cara menciptakan ketidakseimbangan muatan.
rendah. Mikroba anaerobik fakultatif dapat tumbuh pada kondisi tanpa oksigen
atau ada oksigen.
Substansi penghalang atau penghambat. Substansi penghambat dan
jaringan proteolitik pada daging yang dapat menghambat aktivitas mikroba
disebut bakteriostatik, sedangkan substansi yang merusak atau dapat membunuh
mikroba disebut bakteriosidal. Lemak dan kulit pada karkas daging melindungi
dari kontaminasi mikroba (Soeparno 2005).
Faktor ekstrinsik terdiri atas temperatur, kelembaban relatif, ada tidaknya
oksigen dan bentuk atau kondisi daging. Temperatur sangat menentukan laju
pertumbuhan dan jumlah mikroba pada daging. Berdasarkan temperatur maksimal
dan optimum untuk pertumbuhan, mikroba dibagi menjadi tiga kelompok yaitu
mesofilik, psikrofilik dan thermofilik. Mikroba mesofilik tumbuh paling baik pada
temperatur 25-40 °C. Mikroba psikrofilik dapat tumbuh pada temperatur 0 °C
tetapi pertumbuhan optimalnya adalah pada temperatur 20-30 °C. Mikroba
termofilik memiliki pertumbuhan optimum pada temperatur 45-60 °C.
Pengujian jenis mikroba pada permukaan daging sapi dan domba setelah
proses pemotongan meliputi mikroba mesofilik aerobik, psikrotrofik dan E. coli
TPC, koliform (Tabel 3).
Tabel 3 Jumlah mikroba pada daging setelah proses pemotongan
Daging Jenis uji Jumlah mikroba
Permukaan daging Mesofilik aerobik 103-105 per cm2
sapi dan domba Psikrotrofik 0.1-10% dari mesofilik
Enterobacteriaceae, E. coli < 10 per cm2
Total Plate Count 103-105 per cm2
Koliform 101-102 per cm2
Psikrotrofik < 102 per cm2
Sumber : ICMSF (1980); Grau (1986)
(Fe), timbal (Pb), krom (Cr), kadmium (Cd), seng (Zn), air raksa (Hg), mangan
(Mn) dan arsen (As).
Pencemaran logam berat berasal dari proses pertambangan yang kemudian
dicairkan dan dimurnikan menjadi logam-logam murni. Hasil dari pertambangan
logam tersebut digunakan dalam proses produksi pabrik atau industri seperti
pabrik cat, aki atau baterai, pabrik percetakan bahkan sampai pabrik peralatan
listrik. Dampak dari proses industrialisasi tersebut menghasilkan limbah yang
dapat menyebabkan pencemaran logam berat pada air, udara, tanah bahkan
makhluk hidup disekitar pabrik. Cemaran di air akan berdampak pada hewan-
hewan air, sedangkan pada manusia ataupun hewan ternak pencemaran logam
berat dapat berasal dari air, tanaman, udara dan tanah yang terakumulasi logam
berat (Darmono 2008). Konsentrasi logam berat dalam pakan yang dikonsumsi
oleh ternak sangat bervariasi, sehingga National Research Council (NRC)
menentukan jumlah maksimum (maximum tolerance level/ MTL) kandungan
logam yang diperbolehkan untuk dikonsumsi ternak, sehingga produk asal ternak
tersebut aman untuk dikonsumsi oleh manusia (Tabel 4).
Tabel 4 Batas toleransi logam berat dalam pakan pada beberapa jenis ternak
menurut NRC (mg/kg)
Logam Sapi Domba Babi Ayam Kuda Kelinci
Al 1000 1000 200 200 200 200
As
-inorg. 50 50 50 50 50 50
-org. 100 100 100 100 100 100
Cd 0.5 0.5 0.5 0.5 0.5 0.5
Cr
-klorida 1000 1000 1000 1000 1000 1000
-oksida 3000 3000 3000 3000 3000 3000
Cu 100 25 250 300 800 200
Fe 1000 500 3000 1000 500 500
Pb 30 30 30 30 30 30
Ni 50 50 100 300 50 50
Se 2 2 2 2 2 2
Zn 500 300 1000 1000 500 500
Sumber : National Academy of Science (NAS) (1980)
ternak tersebut. Adanya toksisitas logam pada ternak akan berpengaruh terhadap
produksi yang meliputi penurunan berat badan, hambatan pertumbuhan, peka
terhadap penyakit infeksi bahkan kematian. Selain itu, adanya residu logam berat
pada produk asal ternak akan menurunkan kualitasnya. Batas maksimum cemaran
logam berat dalam pangan khususnya pada daging dan produk olahannya
berdasarkan SNI 7387: 2009 dapat dilihat pada Tabel 5.
4.77 kJ/mol, kalor penguapan 179.5 kJ/mol dan kapasitas kalor pada suhu 25 °C
sebesar 26.65 J/mol.K.
Kusnoputranto (2006) menyatakan, bahwa Pb merupakan logam yang
bersifat neurotoksin yang dapat masuk dan terakumulasi dalam tubuh ternak
maupun manusia sehingga bahayanya dalam tubuh semakin meningkat. Menurut
Underwood dan Suttle (1999), Pb biasanya dianggap sebagai racun yang bersifat
akumulatif dan akumulasinya tergantung dari level dalam tubuh. Hal ini
menunjukkan bahwa terdapat pengaruh pada ternak jika jumlah logam berat
berada diatas ambang batas yang telah ditetapkan. Misalnya ambang batas normal
penggunaan Pb pada pakan unggas sebesar 1-10 ppm, sedangkan batas ambang
tinggi sebesar 20-200 ppm dan batas ambang toksik lebih dari 200 ppm.Jalur
emisi timbal pada produk pangan dapat dilihat pada Gambar 1 (U.S. EPA dalam
Nriagu & Simmons 1987).
Emisi kendaraan/Pabrik
Tanaman Hewan
Solder
Gambar 1 Jalur cemaran logam timbal (Pb) (Sumber: Nriagu & Simmons 1987)
cemaran dari limbah peleburan logam atau limbah baterai dapat menyebabkan
toksisitas akut. Diagnosa keracunan Pb secara kronis dapat dilakukan dengan
analisa kandungan Pb dalam darah, kadar enzim delta amino-levulinik dehidratase
(delta-ALA) dan kadar eritrosit porfirin bebas (FEP) dalam darah (Darmono
2008).
Keracunan Pb pada sapi telah banyak dilaporkan terutama pada sapi yang
digembalakan pada daerah yang tercemar. Oskarsson et al. (1992) dalam
Darmono (2008) melaporkan kasus keracunan Pb pada sapi perah di Swiss.
Keracunan terjadi setelah sapi merumput pada padang penggembalaan bekas
pembuangan baterai. Hasil analisis membuktikan adanya kandungan Pb dalam
ginjal, hati, daging darah dan air susunya. Winarno (1993) menyebutkan bahwa
jenis makanan yang tergolong rendah derajat kontaminasi timbal adalah susu sapi,
buah-buahan dan sayuran serta biji-bijian (15-20 µg/kg), sedangkan daging
termasuk kadar medium (50 µg/kg). Makanan yang dilaporkan tinggi kadar
timbalnya adalah makanan kaleng (50–100 µg/kg), jeroan terutama hati, ginjal
ternak (150 µg/kg), ikan (170 µg/kg) dan kelompok tertinggi adalah kerang-
kerangan (molusca) dan udang-udangan (crustacea) yaitu rata-rata lebih tinggi
dari 250 µg/kg.
Pada manusia, Pb dapat terakumulasi dalam rambut sesuai dengan
pernyataan Saeni (1997) yang menyatakan bahwa jumlah logam dalam rambut
berkorelasi dengan jumlah logam yang diabsorpsi oleh tubuh. Hal ini karena
rambut mempunyai kandungan protein struktural yang tersusun dari asam-asam
amino sistein yang mengandung gugus sulfihidril (-SH) dan sistein dengan ikatan
disulfida (-S-S-). Gugus tersebut mampu mengikat logam berat yang masuk dalam
tubuh dan terikat di dalam rambut. Lebih lanjut Saeni (1997) menambahkan
bahwa akumulasi Pb tidak hanya dirambut akan tetapi lebih awal akan
terakumulasi dalam darah. Berdasarkan hasil penelitian Aminah (2006) yang
meneliti kandungan Pb dalam darah karyawan Balai Besar Teknik Kesehatan
Lingkungan dan Pemberantasan Penyakit Menular (BBTKL & PPM) di Surabaya.
Karyawan yang bertugas melakukan sampling dilapangan mempunyai kadar Pb
lebih tinggi dibandingkan yang tidak melakukan sampling di lapangan.
21
pada saat terjadi kegagalan ginjal. Gejala yang terlihat adalah glikosuria diikuti
dengan dieresis dan aminuria, proteinuria, asiduria dan hiperkalsiuria (Darmono
1995). Nriagu & Simmons (1987) menambahkan bahwa jalur kontaminasi Cd dari
tanah dan udara secara langsung dapat terlihat dari adanya deposisi kandungan Cd
pada bahan pangan (buah, tanaman dan produk ternak) seperti terlihat pada
Gambar 2.
Polusi Kadmium
Tanah
Udara Air
Tanaman Hewan
Produk Pangan
Gambar 2 Jalur cemaran kadmium (Cd) (Sumber: Nriagu & Simmons 1987)
Efek Logam Merkuri (Hg) pada Ternak dan Manusia. Merkuri (Hg)
disebut juga air raksa. Merkuri adalah logam yang secara alami ada dan
merupakan satu-satunya logam yang pada suhu kamar berwujud cair. Logam Hg
murni berwarna keperakan, tidak berbau, mengkilap dan akan menguap bila
dipanaskan pada suhu 357 °C. Senyawa merkuri dalam bentuk Hg(II) dapat terikat
pada residu sistein protein/enzim dalam tubuh manusia atau binatang sehingga
protein/enzim kehilangan aktivitasnya. Selain Hg(II), senyawa merkuri paling
berbahaya pada manusia adalah senyawa organomerkuri, khususnya metilmerkuri
dan fenilmerkuri. Senyawa ini bersifat sangat reaktif dan mempunyai mobilitas
tinggi. Hal ini disebabkan gastrointestine manusia yang dapat menyerap sekitar
95% senyawa metilmerkuri sehingga menyebabkan gangguan syaraf binatang dan
manusia melalui peredaran darah (Palar 1994; Rugh et al. 2000; Bizily et al.
2000).
Pencemaran logam Hg pada tanah, air dan udara sangat membahayakan
lingkungan, binatang bahkan kesehatan manusia. Mekanisme keracunan Hg di
24
dalam tubuh belum diketahui dengan jelas. Namun, untuk daya racun Hg dapat
diinformasikan sebagai berikut: kerusakan tubuh yang disebabkan oleh merkuri
pada umumnya bersifat permanen, masing-masing komponen Hg mempunyai
perbedaan karakteristik seperti daya racun, distribusi, akumulasi atau
pengumpulan dan waktu retensinya (penyimpanan) di dalam tubuh. Apabila
semua komponen merkuri berada dalam jumlah yang cukup, maka akan
mengakibatkan racun dalam tubuh. Dampak Hg dalam tubuh dapat menyebabkan
terhambatnya kerja enzim, sehingga mengakibatkan kerusakan sel. Kondisi akut
keracunan Hg dapat mengakibatkan kerusakan pada organ perut, usus, gagal
kardiovaskuler (jantung dan pembuluh), dan gagal ginjal akut bahkan
mengakibatkan kematian (Widaningrum et al. 2007).
Tabel 6 Batas maksimum cemaran pestisida pada daging (SNI 7317: 2008)
No. Jenis Pestisida Batas Maksimum No. Jenis Pestisida Batas Maksimum
Organofosfat (mg/kg) Organofosfat (mg/kg)
1. Diazinon 2.00 9. Demetoat 0.05
2. Metidation 0.02 10. Dichlorvos 0.05
3. Klorpirifos 1.00 11. Etrimfos 0.01
4. Malathion - 12. Methacifos 0.01
5. Profenofos 0.05 13. Metil Azinfos 0.05
6. Fenitrotion 0.05 14. Metil Paration -
7. Triazofos 0.01 15. Phosphamidon -
8. Metil Klorpirifos 0.05 16. Metil Pirimiphos 0.01
Sumber: BSN (2008)