Anda di halaman 1dari 21

5

TINJAUAN PUSTAKA

Rumah Potong Hewan (RPH)


Rumah Potong Hewan adalah suatu bangunan atau kompleks bangunan
dengan desain dan syarat tertentu yang digunakan sebagai tempat pemotongan
hewan bagi konsumsi masyarakat umum. Pemotongan hewan merupakan kegiatan
untuk menghasilkan daging hewan yang terdiri atas pemeriksaan ante-mortem,
penyembelihan, penyelesaian penyembelihan dan pemeriksaan post-mortem
(Peraturan Menteri Pertanian Nomor 13/Permentan/OT.140/1/2010). Berdasarkan
SNI 01-6159-1999 disebutkan bahwa RPH adalah kompleks bangunan dengan
desain khusus yang memenuhi persyaratan teknis dan higien tertentu serta
digunakan sebagai tempat memotong hewan potong selain unggas bagi konsumsi
masyarakat.
Berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian Nomor
13/Permentan/OT.140/1/2010 tentang persyaratan rumah potong hewan
ruminansia dan unit penanganan daging (meat cutting plant) telah ditetapkan
persyaratan teknis RPH. RPH merupakan unit pelayanan masyarakat dalam
penyediaan daging yang aman, sehat, utuh dan halal serta berfungsi sebagai
sarana untuk melaksanakan :
1. Pemotongan hewan secara benar (sesuai dengan persyaratan kesehatan
masyarakat veteriner, kesejahteraan hewan dan syariah agama);
2. Tempat melaksanakan pemeriksaan hewan sebelum dipotong (ante-mortem
inspection), pemeriksaan karkas dan jeroan (post-mortem inspection) untuk
mencegah penularan penyakit zoonosa ke manusia;
3. Tempat pemantauan dan surveilans penyakit hewan dan zoonosis yang
ditemukan pada pemeriksaan ante-mortem dan post-mortem guna pencegahan,
pengendalian, dan pemberantasan penyakit hewan menular dan zoonosis di
daerah asal hewan;
Selain itu, rumah potong hewan harus memenuhi beberapa syarat seperti :
a. Berlokasi didaerah yang tidak menimbulkan gangguan atau pencemaran
lingkungan serta mudah dicapai oleh kendaraan;
6

b. Komplek RPH harus dipagar yang berfungsi untuk memudahkan penjagaan


keamanan;
c. Memiliki ruangan yang digunakan sebagai tempat penyembelihan, dinding
dan lantai kedap air, ventilasi yang cukup;
d. Mempunyai perlengkapan yang memadai;
e. Pekerja berpengalaman dalam bidang kesehatan masyarakat veteriner, dan
f. Bangunan utama RPH, kandang dan tempat penyimpanan alat-alat untuk
pemotongan babi harus terpisah dengan alat dan tempat pemotongan sapi,
kerbau dan kambing.
Berdasarkan luasan peredaran daging yang dihasilkan oleh usaha
pemotongan hewan, RPH terdiri atas empat kelas yaitu: kelas A untuk penyediaan
daging kebutuhan ekspor, kelas B menyediakan kebutuhan daging antar Provinsi
Daerah Tingkat I, kelas C untuk penyediaan daging antar Kabupaten/ Kotamadya
Daerah Tingkat II dalam satu provinsi dan kelas D untuk penyediaan kebutuhan
daging di wilayah Kabupaten/ Kotamadya Daerah Tingkat II. Berdasarkan jenis
kegiatan usaha pemotongan hewan, RPH terbagi menjadi 3 kategori yaitu:
kategori I untuk usaha pemotongan hewan yang meliputi kegiatan melaksanakan
pemotongan hewan milik sendiri di RPH milik sendiri, kategori II untuk usaha
pemotongan hewan yang melaksanakan kegiatan menjual jasa pemotongan hewan
atau melaksanakan pemotongan hewan milik orang lain, dan kategori III untuk
usaha pemotongan hewan yang berupa kegiatan melaksanakan pemotongan
hewan milik orang lain.

Standard Sanitation Operating Procedure (SSOP)


Standard sanitation operating procedure (SSOP) merupakan standar
operasi suatu perusahaan yang mencakup kebijakan perusahaan, tahap kegiatan,
nama petugas, cara pemantauan dan cara dokumentasi sebagai pertimbangan
dalam melakukan inspeksi. SSOP memberikan manfaat dalam suatu unit usaha
dalam menjamin sistem keamanan produk pangan antara lain memberikan jadwal
prosedur sanitasi, memberikan landasan program monitoring berkesinambungan,
mendorong perencanaan yang menjamin untuk proses koreksi, mengidentifikasi
kecenderungan dan mencegah kontaminasi silang, menjamin setiap personil,
mendemonstrasikan komitmen kepada pembeli dan inspektor serta meningkatkan
7

praktek sanitasi dan kondisi diunit usaha. Luning et al. (2003) menyatakan bahwa
secara umum praktik higiene dan sanitasi dalam suatu industri atau perusahaan
pangan meliputi higiene personal, bangunan, peralatan produksi, proses produksi,
penyimpanan dan distribusi.
Tujuan SSOP menurut Winarno dan Surono (2002) adalah agar setiap
karyawan teknis maupun administrasi mampu: (1) mengerti bahwa program
kebersihan dan sanitasi dapat meningkatkan kualitas dan keamanan produk yang
ditandai dengan menurunnya tingkat kontaminasi, (2) mengetahui adanya
peraturan good manufacturing practices (GMP) yang mengatur penggunaan zat
tertentu yang dianggap aman dan efektif bagi program higiene dan sanitasi, (3)
mengetahui tahapan proses higiene dan sanitasi, (4) mengetahui persyaratan
minimum penggunaan sanitasi dan klorin pada air pendingin, khususnya pada
industri pengolahan makanan, (5) mengetahui adanya faktor seperti pH, suhu dan
konsentrasi disinfektan yang mempengaruhi hasil akhir suatu proses sanitasi dan
(6) mengetahui masalah potensial yang mungkin timbul apabila sanitasi tidak
dijalankan.

Good Slaughtering Practices (GSP)


Good slaughtering practices (GSP) merupakan seluruh praktik di RPH
yang berkaitan dengan kondisi dan tindakan yang dibutuhkan untuk menjamin
keamanan dan kelayakan pangan pada seluruh tahapan dalam rantai pangan (CAC
2004). Beberapa persyaratan untuk memperoleh hasil pemotongan ternak yang
baik yaitu: (1) ternak harus tidak diperlakukan secara kasar, (2) ternak tidak
mengalami stres, (3) penyembelihan dan pengeluaran darah harus secepat dan
sesempurna mungkin, (4) kerusakan karkas harus minimal, (5) cara pemotongan
harus higienis, (6) ekonimis dan (7) aman bagi para pekerja abatoar (Swatland
1984).
Harris & Jeff (2003) menyatakan bahwa pelaksanaan GSP berfungsi untuk
meminimalkan kontaminasi mulai dari pra-pemotongan, penanganan ternak
dikandang, memandikan ternak,stunning, penyembelihan, bunging, skinning,
eviserasi, splitting, final trim, pencucian karkas sampai dihasilkan produk akhir.
Selain itu, tahapan GSP juga ditinjau dari kebersihan fasilitas produksi, air yang
digunakan selama proses, pelaksanaan program sanitasi, dan proses validasi.
8

Soeparno (2005) menyatakan bahwa terdapat dua teknik pemotongan


ternak yaitu a) teknik pemotongan ternak secara langsung dan b) secara tidak
langsung. Pemotongan ternak secara langsung dilakukan setelah ternak
dinyatakan sehat dan dapat disembelih pada bagian leher dengan memutuskan
arteri karotis, vena jugularis dan esofagus. Pemotongan ternak secara tidak
langsung adalah dengan perlakuan pemingsanan terlebih dahulu yang bertujuan
untuk memudahkan penyembelihan ternak, agar ternak tidak stres, agar kualitas
kulit dan karkas lebih baik.

Nomor Kontrol Veteriner (NKV)

Setiap unit usaha produk pangan hewan wajib memiliki nomor kontrol
veteriner (NKV). NKV merupakan sertifikat kelayakan usaha yang merupakan
registrasi usaha pemotongan, pengolahan dan pemasaran produk peternakan yang
diterbitkan oleh instansi yang bertanggung jawab menangani suatu unit usaha atau
bidang kesehatan masyarakat veteriner. Usaha produk pangan asal hewan dapat
dilakukan oleh perorangan warga negara Indonesia atau Badan Hukum Indonesia
dalam bentuk perusahaan daerah, perseroan terbatas atau koperasi. Unit usaha
produk pangan asal hewan antara lain meliputi: usaha rumah
potongahewan/unggas (RPH/RPU), usaha industri pengolahan produk pangan asal
hewan, dan usaha importir/eksportir/penampung/distributor produk pangan asal
hewan.
Menurut Direktorat Kesmavet (2001) untuk mendapatkan NKV pada unit
usaha produk pangan asal hewan, harus memenuhi dua persyaratan utama yaitu
persyaratan administrasi dan persyaratan teknis. Persyaratan teknis meliputi
persyaratan lokasi, sarana, bangunan dan tata letak, peralatan, suplai air, higiene
karyawan dan perusahaan, kendaraan produk pangan asal hewan, ruangan
penyimpanan produk asal hewan, proses pengemasan, pengendalian hama,
mampu telusur (traceability), penarikan produk kembali dan pengawasan
kesehatan masyarakat. Tata cara pemberian NKV pada prinsipnya dapat
diklasifikasikan dalam dua kelas yaitu: kelas A untuk unit usaha produk pangan
asal hewan klasifikasi ekspor, dan kelas B untuk unit usaha produk pangan asal
hewan klasifikasi non-ekspor (lokal).
9

Daging

Daging adalah salah satu komoditi pertanian khususnya sektor peternakan


yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan akan zat gizi seperti protein,
lemak,mineral dan komponen lainnya. Secara umum konsumsi protein dalam
menu masyarakat masih di bawah kebutuhan minimum, terutama protein yang
berasal dari hewani. Menurut “Food and Drug Administration” dalam Muchtadi
et al. (2010) daging merupakan bagian tubuh yang berasal dari ternak sapi, babi,
domba atau unggas yang dalam keadaan sehat dan cukup umur untuk dipotong,
tetapi hanya terbatas pada bagian muskulus yang berserat yaitu yang berasal dari
muskulus skeletal atau lidah, diafragma, jantung dan esofagus, tidak termasuk
moncong, bibir, telinga dengan atau syaraf dan pembuluh darah. Soeparno (2005)
dan Aberle et al. (2001) mendefinisikan daging sebagai jaringan hewan dan
semua produk hasil pengolahan jaringan-jaringan tersebut yang sesuai untuk
dimakan serta tidak menimbulkan gangguan kesehatan bagi yang
mengkonsumsinya. Berdasarkan SNI 3932:2008 disebutkan daging adalah bagian
otot skeletal dari karkas sapi yang aman, layak dan lazim dikonsumsi oleh
manusia, dapat berupa daging segar, daging segar dingin atau daging beku.
Daging sapi mempunyai peran yang cukup besar dalam konteks ketahanan
pangan nasional. Seperti halnya dengan komoditas susu ataupun daging unggas,
daging sapi menjadi salah satu komoditas sumber protein yang sangat dibutuhkan
tubuh manusia untuk kesehatan dan pertumbuhan. Daging sapi merupakan
komoditas daging yang disukai konsumen Indonesia selain daging ayam, daging
kambing/domba, dan daging dari ternak lainnya. Alasan–alasan konsumen
menyukai daging sapi ini antara lain karena, pertimbangan gizi, status sosial,
pertimbangan kuliner dan pengaruh budaya barat (Jonsen 2004), disamping itu
tingkat kecernaan protein daging sapi mencapai 95-100% dibandingkan kecernaan
protein tanaman yang hanya 65-75% (Aberle et al. 2001).
Tabrany (2004) menjelaskan bahwa komposisi kimia daging terdiri atas air
(56%-72%), protein (15%-22%), lemak (5%-34%) dan substansi bukan protein
terlarut (3.5%) yang meliputi karbohidrat, garam organik, substansi nitrogen
terlarut, mineral dan vitamin. Hasbullah (2005) menyatakan bahwa terdapat
10

perbedaan komposisi zat gizi antara daging sapi, kerbau dan ayam seperti
diuraikan pada Tabel 1.
Tabel 1 Komposisi zat gizi daging sapi, kerbau dan ayam per 100 g bahan
Daging
Zat gizi
Sapi Kerbau Ayam
Air (gram) 66.0 84.0 -
Protein (gram) 18.8 18.7 18.2
Energi (K) 207.0 84.0 302.0
Lemak (gram) 14.0 0.5 25.0
Kalsium (mg) 11.0 7.0 14.0
Besi (mg) 2.8 2.0 1.5
Vitamin A (SI) 30.0 0.0 810.0
Sumber : Hasbullah (2005).

Kualitas Fisik Daging


Faktor setelah pemotongan yang mempengaruhi kualitas daging antara lain
metode pelayuan, stimulasi listrik, metode pemasakan, pH karkas dan daging.
Parameter spesifik untuk menilai kualitas fisik daging meliputi warna, nilai pH,
daya mengikat air, susut masak, keempukan dan tekstur daging (Soeparno 2005).

Warna Daging. Faktor yang menentukan warna daging antara lain adalah
bangsa ternak, spesies, umur, jenis kelamin, pakan, aktivitas ternak, tingkat stress,
pH daging, tipe otot dan ketersediaan oksigen. Karakteristik warna daging
merupakan salah satu parameter kualitas daging. Warna daging juga dipengaruhi
oleh pigmen yaitu mioglobin. Jenis molekul dan status kimia mioglobin, serta
kondisi kimia dan fisik yang terdapat dalam daging berperan besar dalam
menentukan warna daging (Lawrie 2003; Jeong et al. 2009). Mioglobin sebagai
salah satu dari protein sarkoplasmik terbentuk dari suatu rantai polipeptida
tunggal terikat disekeliling groupheme yang membawa oksigen. Group heme
tersusun dari suatu atom Fe dan suatu cincin porfirin. Perbedaan warna daging
antar spesies disebabkan konsentrasi mioglobin, yang akan meningkat seiring
dengan meningkatnya umur ternak (Soeparno 2005).
Warna daging yang disukai konsumen adalah merah cerah yang
menunjukkan mutu daging. Perubahan warna daging dipengaruhi oleh banyak
faktor. Daging yang terekspos dengan udara (O 2), mioglobin dan oksigen dalam
daging akan bereaksi membentuk ferrous-oxymioglobin (OxyMb) sehingga
11

daging akan berwarna merah cerah. Apabila waktu kontak antara mioglobin
dengan oksigen berlangsung lama, maka akan terjadi oksidasi membentuk ferric-
metmyoglobin (MetMb), sehingga daging berwarna coklat dan tidak menarik
(Aberle et al. 2001; Jeong et al. 2009).

Daya Mengikat Air (DMA). DMA oleh protein daging atau dikenal
dengan water holding capacity (WHC) merupakan kemampuan daging untuk
mengikat air atau air yang ditambahkan selama ada pengaruh kekuatan dari luar,
misalnyapengaruh pemotongan daging, pemanasan, penggilingan dan tekanan.
Absorbsi air atau kapasitas gel adalah kemampuan daging menyerap air secara
spontan dari lingkungan yang mengandung cairan (Soeparno 2005). Jumlah air
yang terikat dalam daging tergantung pada tingkat dan kecepatan penurunan pH
serta jumlah denaturasi protein. Secara umum DMA dipengaruhi oleh faktor-
faktor yang mengakibatkan diferensiasi dalam otot seperti spesies, umur dan
fungsi otot (Forrest et al.1975).
Lawrie (2003) menyatakan bahwa DMA daging sangat dipengaruhi oleh
pH, semakin tinggi pH akhir maka penurunan DMA juga sedikit. DMA sangat
penting dalam proses pengolahan daging sebagai protein yang mampu menahan
lebih banyak air menjadi lebih mudah larut. Daya mengikat air dari daging pada
pH titik isoelektrik protein daging berkisar antara 5.0-5.1. Protein daging ini tidak
bermuatan (jumlah muatan positif sama dengan jumlah muatan negatif) dan
solubilitasnya minimal, sedangkan pada pH yang lebih tinggi dari pH isoelektrik
protein daging, maka sejumlah muatan positif dibebaskan dan terdapat surplus
muatan negatif yang mengakibatkan penolakan dari miofilamen dan memberikan
lebih banyak ruang untuk molekul air. Meningkat atau menurunnya pH daging
dari titik isoelektrik akan mengakibatkan meningkatnya kapasitas DMA dengan
cara menciptakan ketidakseimbangan muatan.

pH Daging. Nilai pH digunakan untuk menunjukkan tingkat keasaman


dan kebasaan suatu substansi. Jaringan otot hewan pada saat hidup mempunyai
nilai pH sekitar 5.1-7.2 dan menurun setelah pemotongan karena mengalami
glikolisis dan menghasilkan asam laktat yang akan mempengaruhi pH. pH ultimat
daging tercapai setelah glikolisis otot menjadi habis atau setelah enzim-enzim
glikolitik menjadi tidak aktif pada pH rendah atau glikogen tidak lagi sensitif
12

terhadap serangan-serangan enzim glikolitik. pH ultimat normal daging post-


mortem adalah sekitar 5.5 yang sesuai dengan titik isoelektrik sebagian besar
protein daging termasuk protein miofibril (Lawrie 2003).
Temperatur lingkungan (penyimpanan) mempunyai hubungan yang erat
dengan penurunan pH karkas post-mortem.Temperatur tinggi pada dasarnya
meningkatkan laju penurunan pH, sedangkan temperatur rendah menghambat laju
penurunan pH (Soeparno 2005). Nilai pH sangat penting untuk diperhatikan
karena pH dapat menunjukkan penyimpangan kualitas daging yang berkaitan
dengan warna, keempukan, cita rasa, daya mengikat air dan masa simpan
(Lukman et al. 2007). Aberle et al. (2001) menyatakan bahwa secara umum laju
penurunan pH daging dibagi menjadi 3 yaitu:
1. Nilai pH menurun secara bertahap dari 7.0 sampai berkisar 5.6–5.7 dalam
waktu 6-8 jam setelah pemotongan dan mencapai pH akhir sekitar 5.3-5.7.
Pola penurunan seperti ini disebut pola penurunan pH secara normal.
2. Nilai pH menurun sedikit sekali pada jam-jam pertama setelah pemotongan
dan tetap sampai mencapai pH akhir sekitar 6.5-6.8. Sifat daging yang
dihasilkan berwarna gelap, keras dan kering atau dikenal dengan daging dark
firm dry (DFD).
3. Nilai pH menurun relatif cepat sampai berkisar 5.4-5.5 pada jam pertama
setelah pemotongan dan mencapai pH akhir sekitar 5.3-5.6. Sifat daging yang
dihasilkan berwarna pucat, lembek dan berair atau dikenal dengan daging pale
soft excudative (PSE).

Nilai pH daging akan berubah setelah ternak dipotong. Perubahan pH


tergantung pada jumlah glikogen sebelum ternak dipotong. Apabila jumlah
glikogen dalam tubuh ternak normal, maka menurut Aberle et al. (2001) akan
mendapatkan daging yang berkualitas baik dan begitu sebaliknya. Henckle et al.
(2000) menambahkan bahwa penurunan nilai pH setelah hewan mati ditentukan
oleh kondisi fisiologis otot yang berhubungan dengan produksi asam laktat atau
kapasitas produksi energi otot dalam bentuk ATP.
13

Cemaran Mikrobiologi Daging

Daging merupakan salah satu bahan pangan yang digolongkan sebagai


perisable food atau bersifat mudah rusak. Daging juga merupakan media yang
baik untuk pertumbuhan mikroorganisme karena banyak mengandung air, kaya
akan zat-zat gizi serta memiliki pH yang sangat menguntungkan untuk
pertumbuhan mikroorganisme (Lawrie 2005). Nilai pH rendah berhubungan
dengan reduksi air pada daging (Vada-Kovacs 1996). Selain itu, suhu
penyimpanan, ketersediaan air dan oksigen berpengaruh terhadap pertumbuhan
bakteri. Suhu optimum untuk pertumbuhan mikroorganisme adalah 15-40 °C,
tetapi beberapa organisme dapat tumbuh dengan baik pada suhu refrigerator
bahkan tumbuh dengan baik pada suhu dibawah nol (Aberle et al. 2001).
Kontaminasi awal pada daging berasal dari mikroorganisme yang
memasuki peredaran darah pada saat penyembelihan. Daging segar umumnya
terkontaminasi dengan sejumlah besar bakteri termasuk bakteri patogen yang
dapat mengkontaminasi makanan seperti Bacillus cereus,Clostridium perfringens,
Clostridium jejuni, Eschericia coli, Listeria monocytogenes, Salmonella sp dan
Staphylococcus aureus (Mosupye & Holy 2005). Ternak yang dipotong secara
higienis mengandung sekitar 103-104 koloni/cm2 yang terdapat pada permukaan
daging. Jumlah awal dapat mencapai 106 koloni/cm2 setelah pemotongan (Bem &
Hechelmann1995), dan menurut Buckle et al. (1986) jumlah bakteri pencemar
pada daging adalah berkisar 102-104 koloni/cm2. Lebih lanjut Buckle et al. (2009)
dan Mead (2007) menyatakan bahwa jumlah bakteri dalam daging akan terus
meningkat tergantung penanganan dan pencemaran selanjutnya. Perkembangan
bakteri pada daging umumnya dapat diketahui dengan adanya pembentukan
lendir. Bakteri akan tampak berlendir, berbau busuk dan rusak jika jumlahnya
mencapai 107-108 koloni/cm2. Dinyatakan juga bahwa timbulnya bau disebabkan
produksi hidrogen sulfida yang dihasilkan oleh mikroorganisme.
Bakteri patogen yang ditemukan dalam daging adalah Salmonella,
Staphylococcus aureus, Yersinia enterocolitico, Clostridium perfringens dan
C. botulinum. Mikroba yang terdapat pada bagian dalam seperti koliform fekal
dan streptokokus fekal yang sering ditemukan dalam daging menunjukkan bahwa
isi usus merupakan sumber kontaminasi. Isolasi bakteri dipermukaan karkas
14

mendapatkan jenis bakteri Pseudomonas, Moraxella, Acinetobacter,


Lactobacillus, Micrococcus, Brochotrix thermosphacta dan beberapa
Enterobactericeae seperti Klebsiella, Yersinea, Serratia dan Proteus. Mikroba
berbahaya yang meracuni makanan khususnya daging yang dikaitkan dengan
kontaminasi saluran pencernaan adalah Salmonella, S. aureus dan
enteropathogenic Eschericia coli (ICSMF 1980).

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Mikroba pada Daging


Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan mikroba pada daging adalah
aktivitas air (aw), potensial oksidasi, pH dan temperatur. Parameter ini berperan
pada saat otot berubah menjadi daging (Jay 2000). Menurut Garbutt (1997) dan
Lawrie (2003) umumnya faktor yang mempengaruhi pertumbuhan mikroba di
dalam daging dibagi menjadi dua kelompok yaitu 1) faktor dalam (intrinsik) dan
2) faktor luar (ekstrinsik). Faktor intrinsik terdiri atas nilai nutrisi daging, kadar
air, pH, potensi oksidasi-reduksi dan ada tidaknya substansi penghalang atau
penghambat.
Nutrisi daging. Disamping air dan oksigen, sebagian besar mikroba
membutuhkan nutrien nitrogen, energi, mineral dan vitamin B untuk
pertumbuhannya. Air dibutuhkan oleh semua makhluk hidup termasuk mikroba.
Kadar air yang tersedia di dalam daging sangat menentukan tingkat pertumbuhan
mikroba. Kebutuhan mikroba akan air dinyatakan sebagai aktivitas air atau
disebut sebagai water activity (aw). Sejumlah mikroba tidak dapat tumbuh dengan
baik pada aw lebih kecil dari 0.91, tetapi aw minimum untuk pertumbuhan sangat
bervariasi misalnya aw minimum untuk Salmonella adalah 0.94 sedangkan aw
minimum untuk Staphylococcus mendekati 0.86. Pada kondisi normal, daging
mempunyai aw 0.99 dan pH 5.3–5.7. Sebagian besar mikroba tumbuh optimal
pada pH kira-kira 7.0 (Garbutt 1997; Devies & Board 1998; Mead 2007).
Potensi oksidasi-reduksi. Sejumlah mikroba membutuhkan kondisi
oksidasi dan sejumlah kondisi reduksi. Mikroba aerobik adalah mikroba yang
dapat tumbuh pada potensial oksidasi reduksi yang tinggi. Mikroba anaerobik
dapat tumbuh pada kondisi tanpa oksigen, karena O2 dapat bersifat toksik pada
mikroba ini. Mikroba anaerobik tumbuh pada potensial oksidasi reduksi yang
15

rendah. Mikroba anaerobik fakultatif dapat tumbuh pada kondisi tanpa oksigen
atau ada oksigen.
Substansi penghalang atau penghambat. Substansi penghambat dan
jaringan proteolitik pada daging yang dapat menghambat aktivitas mikroba
disebut bakteriostatik, sedangkan substansi yang merusak atau dapat membunuh
mikroba disebut bakteriosidal. Lemak dan kulit pada karkas daging melindungi
dari kontaminasi mikroba (Soeparno 2005).
Faktor ekstrinsik terdiri atas temperatur, kelembaban relatif, ada tidaknya
oksigen dan bentuk atau kondisi daging. Temperatur sangat menentukan laju
pertumbuhan dan jumlah mikroba pada daging. Berdasarkan temperatur maksimal
dan optimum untuk pertumbuhan, mikroba dibagi menjadi tiga kelompok yaitu
mesofilik, psikrofilik dan thermofilik. Mikroba mesofilik tumbuh paling baik pada
temperatur 25-40 °C. Mikroba psikrofilik dapat tumbuh pada temperatur 0 °C
tetapi pertumbuhan optimalnya adalah pada temperatur 20-30 °C. Mikroba
termofilik memiliki pertumbuhan optimum pada temperatur 45-60 °C.

Kelembaban relatif. Pada umumnya makin tinggi temperatur


penyimpanan, kelembaban relatif seharusnya makin rendah. Pada temperatur -1 °C
sampai 3 °C, kelembaban relatif sebaiknya antara 88-92%. Kelembaban relatif
yang terlalu tinggi, cairan akan berkondensasi pada permukaan daging, sehingga
permukaan daging menjadi basah dan sangat baik untuk pertumbuhan mikroba.
Jika kelembaban relatif terlalu rendah, cairan permukaan daging akan banyak
yang menguap sehingga pertumbuhan mikroba terhambat oleh dehidrasi dan
permukaan daging menjadi gelap yang menyebabkan nilai ekonomis daging akan
menurun. Oksigen atmosfer sangat dibutuhkan dalam pertumbuhan mikroba.
Pertumbuhan mikroba pada permukaan daging adalah mikroba aerobik dan
anaerobik fakultatif, sedangkan bagian dalam daging dapat mengandung mikroba
anaerobik dan anaerobik fakultatif. Keadaan fisik daging akan mampengaruhi
aktivitas mikroba, misalnya besar kecilnya karkas, potongan karkas atau daging,
bentuk daging cacahan, daging giling dan perlakuan selama pemrosesan (Lawrie
2003).
16

Batas Maksimum Cemaran Mikroba pada Daging


Syarat mutu mikrobiologis daging sapi mengacu pada Standar Nasional
Indonesia (SNI) Nomor 3932:2008 tentang mutu karkas dan daging sapi pada
Tabel 2.
Tabel 2 Syarat mutu mikrobiologis daging sapi (SNI 3932:2008)
No. Jenis uji Satuan Persyaratan
1. Total Plate Count cfu/g maksimum 1 x 106
2. Coliform cfu/g maksimum 1 x 102
3. Staphylococcus aureus cfu/g maksimum 1 x 102
4. Salmonella sp per 25 g Negatif
5. Eschericia coli cfu/g maksimum 1 x 101
Sumber : BSN (2008)

Pengujian jenis mikroba pada permukaan daging sapi dan domba setelah
proses pemotongan meliputi mikroba mesofilik aerobik, psikrotrofik dan E. coli
TPC, koliform (Tabel 3).
Tabel 3 Jumlah mikroba pada daging setelah proses pemotongan
Daging Jenis uji Jumlah mikroba
Permukaan daging Mesofilik aerobik 103-105 per cm2
sapi dan domba Psikrotrofik 0.1-10% dari mesofilik
Enterobacteriaceae, E. coli < 10 per cm2
Total Plate Count 103-105 per cm2
Koliform 101-102 per cm2
Psikrotrofik < 102 per cm2
Sumber : ICMSF (1980); Grau (1986)

Cemaran Kimia pada Daging


Cemaran Logam Berat
Logam berat berasal dari kerak bumi yang berupa bahan-bahan murni,
organik maupun anorganik. Logam merupakan bahan pertama yang dikenal oleh
manusia dan digunakan sebagai alat-alat yang mempunyai peran penting bagi
peradapan manusia. Sejumlah logam juga terdapat dalam tubuh makhluk hidup
baik pada tanaman, hewan bahkan pada tubuh manusia yang bersifat merugikan
karena mangakibatkan toksik atau racun. Logam yang menyebabkan racun bagi
makhluk hidup umumnya digolongkan pada logam berat. Menurut Saeni (1989),
logam berat adalah unsur yang mempunyai bobot jenis lebih dari 5 g/mc 3 yang
biasanya terletak di bagian kanan bawah sistem periodik diantaranya adalah ferum
17

(Fe), timbal (Pb), krom (Cr), kadmium (Cd), seng (Zn), air raksa (Hg), mangan
(Mn) dan arsen (As).
Pencemaran logam berat berasal dari proses pertambangan yang kemudian
dicairkan dan dimurnikan menjadi logam-logam murni. Hasil dari pertambangan
logam tersebut digunakan dalam proses produksi pabrik atau industri seperti
pabrik cat, aki atau baterai, pabrik percetakan bahkan sampai pabrik peralatan
listrik. Dampak dari proses industrialisasi tersebut menghasilkan limbah yang
dapat menyebabkan pencemaran logam berat pada air, udara, tanah bahkan
makhluk hidup disekitar pabrik. Cemaran di air akan berdampak pada hewan-
hewan air, sedangkan pada manusia ataupun hewan ternak pencemaran logam
berat dapat berasal dari air, tanaman, udara dan tanah yang terakumulasi logam
berat (Darmono 2008). Konsentrasi logam berat dalam pakan yang dikonsumsi
oleh ternak sangat bervariasi, sehingga National Research Council (NRC)
menentukan jumlah maksimum (maximum tolerance level/ MTL) kandungan
logam yang diperbolehkan untuk dikonsumsi ternak, sehingga produk asal ternak
tersebut aman untuk dikonsumsi oleh manusia (Tabel 4).
Tabel 4 Batas toleransi logam berat dalam pakan pada beberapa jenis ternak
menurut NRC (mg/kg)
Logam Sapi Domba Babi Ayam Kuda Kelinci
Al 1000 1000 200 200 200 200
As
-inorg. 50 50 50 50 50 50
-org. 100 100 100 100 100 100
Cd 0.5 0.5 0.5 0.5 0.5 0.5
Cr
-klorida 1000 1000 1000 1000 1000 1000
-oksida 3000 3000 3000 3000 3000 3000
Cu 100 25 250 300 800 200
Fe 1000 500 3000 1000 500 500
Pb 30 30 30 30 30 30
Ni 50 50 100 300 50 50
Se 2 2 2 2 2 2
Zn 500 300 1000 1000 500 500
Sumber : National Academy of Science (NAS) (1980)

Darmono (2008) menyatakan lebih lanjut bahwa ternak ruminansia baik


sapi, kerbau, kambing, domba atau ternak ruminansia liar lainnya hampir 100%
pakan yang diberikan adalah jenis rumput hijauan. Sumber kontaminasi hijauan
pakan oleh logam berat merupakan sumber utama terjadinya toksisitas logam pada
18

ternak tersebut. Adanya toksisitas logam pada ternak akan berpengaruh terhadap
produksi yang meliputi penurunan berat badan, hambatan pertumbuhan, peka
terhadap penyakit infeksi bahkan kematian. Selain itu, adanya residu logam berat
pada produk asal ternak akan menurunkan kualitasnya. Batas maksimum cemaran
logam berat dalam pangan khususnya pada daging dan produk olahannya
berdasarkan SNI 7387: 2009 dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Batas maksimum cemaran logam berat dalam pangan(daging


dan olahannya) (SNI 7378: 2009)
Jenis logam berat Kategori pangan Batas maksimum
As Daging dan hasil olahan 0.5 mg/kg
Cd Daging dan hasil olahan 0.3 mg/kg
Hg Daging dan hasil olahan 0.03 mg/kg
Sn Daging dan hasil olahan 200.0 mg/kg
Pb Daging dan hasil olahan 1.0 mg/kg
Sumber : BSN (2009)
Tidak semua logam berat akan menyebabkan toksisitas pada ternak.
Toksisitas logam berat disebabkan oleh kemampuannya menutup sisi aktif dari
sistem enzim utama dalam sel dan juga beberapa ligan yang terdapat dalam
membrane sel hewan maupun manusia. Saeni (1989) menyatakan, bahwa dari
sekian banyak jenis logam berat seperti : Fe, Pb, Cr, Cd, Zn, Cu, Hg, Mn, dan As,
hanya terdapat empat logam berat yang bersifat merugikan dan bersifat toksik
baik pada ternak maupun manusia diantaranya : As, Cd, Pb dan Hg. Darmono
(2008) dan Widowati et al. (2008) menyatakan, bahwa logam yang sering
menimbulkan keracunan pada ternak ruminansia adalah tembaga (Cu), timbal (Pb)
dan merkuri (Hg). Menurut Anggorodi (1979), logam berat yang tergolong
nonesensial dan bersifat racun bagi ternak adalah kelompok logam Pb, Cd, Hg dan
As.
Efek Logam Timbal (Pb) pada Ternak dan Manusia. Timbal atau
Plumbum dikenal juga dengan istilah timah hitam yang termasuk pada jenis
logam tertua (Winarno 1993). Anonymous (2006) menyatakan timbal merupakan
unsur kimia yang dalam tabel periodik mempunyai lambang Pb (Plumbum)
dengan nomor atom 82. Pb memiliki ciri-ciri diantaranya : tampilan bluish white,
masa atom 207.2 g/mol, densitas pada suhu kamar 11.34 g/cm3, densitas cair pada
titik lebur 10.66 g/cm3, titik lebur 327.46 °C, titik didih 1.749 °C, kalor peleburan
19

4.77 kJ/mol, kalor penguapan 179.5 kJ/mol dan kapasitas kalor pada suhu 25 °C
sebesar 26.65 J/mol.K.
Kusnoputranto (2006) menyatakan, bahwa Pb merupakan logam yang
bersifat neurotoksin yang dapat masuk dan terakumulasi dalam tubuh ternak
maupun manusia sehingga bahayanya dalam tubuh semakin meningkat. Menurut
Underwood dan Suttle (1999), Pb biasanya dianggap sebagai racun yang bersifat
akumulatif dan akumulasinya tergantung dari level dalam tubuh. Hal ini
menunjukkan bahwa terdapat pengaruh pada ternak jika jumlah logam berat
berada diatas ambang batas yang telah ditetapkan. Misalnya ambang batas normal
penggunaan Pb pada pakan unggas sebesar 1-10 ppm, sedangkan batas ambang
tinggi sebesar 20-200 ppm dan batas ambang toksik lebih dari 200 ppm.Jalur
emisi timbal pada produk pangan dapat dilihat pada Gambar 1 (U.S. EPA dalam
Nriagu & Simmons 1987).

Emisi kendaraan/Pabrik

Udara Tanah Emisi kendaraan/Pabrik

Tanaman Hewan
Solder

Debu Pangan Air Minum

Gambar 1 Jalur cemaran logam timbal (Pb) (Sumber: Nriagu & Simmons 1987)

Gambar 1 menunjukkan dengan jelas bahwa pengaruh emisi, baik emisi


pabrik maupun kendaraan mempunyai dampak yang signifikan terhadap cemaran
timbal. Emisi dari kendaraan atau pabrik akan terakumulasi diudara dalam bentuk
debu, selanjutnya debu akan jatuh ketanah dan kontaminasi timbal tersebut akan
diserap oleh tanaman. Tanaman yang mengandung cemaran logam tersebut
dimakan oleh ternak, yang merupakan sumber pangan bagi manusia.
Pakan ternak berupa rumput yang terkontaminasi Pb dari udara sering
menyebabkan keracunan kronis, tetapi padang rumput yang terkontaminasi
20

cemaran dari limbah peleburan logam atau limbah baterai dapat menyebabkan
toksisitas akut. Diagnosa keracunan Pb secara kronis dapat dilakukan dengan
analisa kandungan Pb dalam darah, kadar enzim delta amino-levulinik dehidratase
(delta-ALA) dan kadar eritrosit porfirin bebas (FEP) dalam darah (Darmono
2008).
Keracunan Pb pada sapi telah banyak dilaporkan terutama pada sapi yang
digembalakan pada daerah yang tercemar. Oskarsson et al. (1992) dalam
Darmono (2008) melaporkan kasus keracunan Pb pada sapi perah di Swiss.
Keracunan terjadi setelah sapi merumput pada padang penggembalaan bekas
pembuangan baterai. Hasil analisis membuktikan adanya kandungan Pb dalam
ginjal, hati, daging darah dan air susunya. Winarno (1993) menyebutkan bahwa
jenis makanan yang tergolong rendah derajat kontaminasi timbal adalah susu sapi,
buah-buahan dan sayuran serta biji-bijian (15-20 µg/kg), sedangkan daging
termasuk kadar medium (50 µg/kg). Makanan yang dilaporkan tinggi kadar
timbalnya adalah makanan kaleng (50–100 µg/kg), jeroan terutama hati, ginjal
ternak (150 µg/kg), ikan (170 µg/kg) dan kelompok tertinggi adalah kerang-
kerangan (molusca) dan udang-udangan (crustacea) yaitu rata-rata lebih tinggi
dari 250 µg/kg.
Pada manusia, Pb dapat terakumulasi dalam rambut sesuai dengan
pernyataan Saeni (1997) yang menyatakan bahwa jumlah logam dalam rambut
berkorelasi dengan jumlah logam yang diabsorpsi oleh tubuh. Hal ini karena
rambut mempunyai kandungan protein struktural yang tersusun dari asam-asam
amino sistein yang mengandung gugus sulfihidril (-SH) dan sistein dengan ikatan
disulfida (-S-S-). Gugus tersebut mampu mengikat logam berat yang masuk dalam
tubuh dan terikat di dalam rambut. Lebih lanjut Saeni (1997) menambahkan
bahwa akumulasi Pb tidak hanya dirambut akan tetapi lebih awal akan
terakumulasi dalam darah. Berdasarkan hasil penelitian Aminah (2006) yang
meneliti kandungan Pb dalam darah karyawan Balai Besar Teknik Kesehatan
Lingkungan dan Pemberantasan Penyakit Menular (BBTKL & PPM) di Surabaya.
Karyawan yang bertugas melakukan sampling dilapangan mempunyai kadar Pb
lebih tinggi dibandingkan yang tidak melakukan sampling di lapangan.
21

Absorbsi Pb pada manusia maupun ternak terutama melalui saluran cerna


dan saluran nafas. Absorbsi melalui usus pada orang dewasa kira-kira 10%,
sedangkan pada anak-anak sekitar 40%. Kalaassen (1980) menyebutkan bahwa
tidak banyak yang diketahui tentang absorbsi Pb melalui saluran cerna. Ada
dugaan bahwa Pb dan Ca berkompetisi dalam transport lewat mukosa usus, karena
ada hubungan timbal balik antara kadar Ca makanan dan absorbsi Pb. Selain itu
defisiensi Fe dapat meningkatkan absorbsi Pb melalui saluran pencernaan.
Keracunan Pb dapat menyebabkan perubahan susunan syaraf pusat, gangguan
pencernaan dan gangguan sintesis sel-sel darah merah. Pilliang (2002)
menyebutkan bahwa tanda-tanda klinis utama keracunan mineral timah hitam
adalah terjadinya microcytic hypochromic anemia, muntah-muntah, diare,
gangguan abdomen, sekresi saliva meningkat, bobot badan menurun dan
keguguran.
Cemaran Pb bersifat akumulatif dalam tubuh baik pada manusia maupun
pada ternak, serta dapat merusak saluran organ dalam tubuh. Linder (1992)
menyebutkan bahwa keracunan Pb pada anak-anak dapat mengakibatkan
kemunduran mental yang bersifat permanen. Selain itu dijelaskan bahwa Pb yang
terkandung dalam makanan orang dewasa rata-rata akan terserap sebesar 5-10%
oleh tubuh, sedangkan pada bayi dan anak-anak sekitar >40% dan dapat ditekan
dengan adanya kalsium (Ca) dan fosfor (P) sehingga konsumsi Ca akan dapat
menekan pengambilan Pb tubuh. Badan Kesehatan Dunia (World Health
Organization = WHO) (1996) telah menetapkan batas maksimal serapan Pb oleh
manusia dewasa sebesar 400–450 µg/hari.

Efek Logam Kadmium (Cd) pada Ternak dan Manusia. Logam Cd


termasuk salah satu jenis logam yang paling jarang dijumpai karena
konsentrasinya hanya berkisar antara 0.1-0.2 mg/g, sehingga logam Cd berada
pada urutan ke 67 pada kerak bumi (Mason & Moore 1982). Logam Cd menjadi
populer setelah terjadinya pencemaran air sungai Kummamoto di Jepang yang
menyebabkan keracunan pada manusia (Darmono 1995). Logam Cd berwarna
putih keperakan menyerupai alumunium dan biasa digunakan sebagai pelapis
logam seperti seng. Cd biasanya digunakan sebagai bahan pewarna untuk industri
cat, enamel dan plastik.
22

Darmono (1995) menyebutkan bahwa sifat dan kegunaan logam Cd antara


lain: 1) mempunyai sifat tahan panas sehingga sangat baik digunakan sebagai
bahan campuran pembuatan keramik, enamel dan plastik, 2) tahan terhadap korosi
sehingga baik untuk melapisi pelat besi ataupun baja. Bentuk garam kadmium
dari asam lemah sangat baik digunakan sebagai stabilisator pada pembuatan PVC
ataupun plastik untuk mencegah oksidasi dan radiasi.
Cemaran Cd masuk kedalam tubuh manusia atau ternak melalui dua jalan
yaitu saluran pernafasan (udara) dan saluran pencernaan (makanan). Beberapa
hasil penelitian melaporkan bahwa absorpsi Cd lewat saluran pencernaan sangat
sedikit yaitu sekitar 3-8 % dari total Cd yang dimakan. Logam Cd dalam usus
akan menempel pada dinding usus sehingga diduga sel epitel usus mengatur
absorpsi Cd. Apabila sel epitel terkelupas maka Cd ikut keluar dari dalam tubuh.
Konsentrasi Cd yang tinggi pada dinding usus dapat merusak usus dan
mengganggu transportasi Cd. Beberapa komponen tertentu seperti protein,
kalsium, besi dan seng dapat mempengaruhi absorpsi Cd dalam usus (Darmono
1995).
Adsorpsi Cd melalui paru-paru jauh lebih besar daripada absorpsi melalui
saluran pencernaan yang hanya 25-50%. Setelah Cd diabsorpsi dalam tubuh
selanjutnya didistribusikan oleh darah ke berbagai jaringan, dan terakumulasi
dalam hati dan ginjal. Kedua organ fital tersebut merupakan tempat deposit Cd
dalam tubuh yang jumlahnya mencapai 50% dari total Cd. Sejumlah Cd yang
tertimbun dalam jaringan tubuh biasanya akan sangat lambat untuk dilepas
kembali. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa biological half life (waktu
paruh) Cd dalam jaringan hati sekitar 5-10 tahun sedangkan dalam ginjal lebih
lama yaitu berkisar 16-33 tahun.
Keracunan Cd akut pada ternak yang termakan atau terminum bahan yang
tercemar Cd dengan dosis 350 mg Cd akan mengakibatkan keracunan dengan
gejala mual, diare, kejang perut dan hipersalivasi. Keracunan Cd pada manusia
terjadi sangat erat kaitannya dengan kualitas lingkungan yang menurun. Gejala
yang timbul terlihat setelah keracunan dalam waktu lama. Akumulasi Cd pada
manusia setelah Cd terakumulasi dalam ginjal sampai jumlah 50 µg/g berat basah
dan dapat dijumpai pada umur 50 tahun. Konsentrasi kritis Cd adalah 200 µg/g
23

pada saat terjadi kegagalan ginjal. Gejala yang terlihat adalah glikosuria diikuti
dengan dieresis dan aminuria, proteinuria, asiduria dan hiperkalsiuria (Darmono
1995). Nriagu & Simmons (1987) menambahkan bahwa jalur kontaminasi Cd dari
tanah dan udara secara langsung dapat terlihat dari adanya deposisi kandungan Cd
pada bahan pangan (buah, tanaman dan produk ternak) seperti terlihat pada
Gambar 2.

Polusi Kadmium

Tanah

Udara Air

Tanaman Hewan

Produk Pangan

Gambar 2 Jalur cemaran kadmium (Cd) (Sumber: Nriagu & Simmons 1987)

Efek Logam Merkuri (Hg) pada Ternak dan Manusia. Merkuri (Hg)
disebut juga air raksa. Merkuri adalah logam yang secara alami ada dan
merupakan satu-satunya logam yang pada suhu kamar berwujud cair. Logam Hg
murni berwarna keperakan, tidak berbau, mengkilap dan akan menguap bila
dipanaskan pada suhu 357 °C. Senyawa merkuri dalam bentuk Hg(II) dapat terikat
pada residu sistein protein/enzim dalam tubuh manusia atau binatang sehingga
protein/enzim kehilangan aktivitasnya. Selain Hg(II), senyawa merkuri paling
berbahaya pada manusia adalah senyawa organomerkuri, khususnya metilmerkuri
dan fenilmerkuri. Senyawa ini bersifat sangat reaktif dan mempunyai mobilitas
tinggi. Hal ini disebabkan gastrointestine manusia yang dapat menyerap sekitar
95% senyawa metilmerkuri sehingga menyebabkan gangguan syaraf binatang dan
manusia melalui peredaran darah (Palar 1994; Rugh et al. 2000; Bizily et al.
2000).
Pencemaran logam Hg pada tanah, air dan udara sangat membahayakan
lingkungan, binatang bahkan kesehatan manusia. Mekanisme keracunan Hg di
24

dalam tubuh belum diketahui dengan jelas. Namun, untuk daya racun Hg dapat
diinformasikan sebagai berikut: kerusakan tubuh yang disebabkan oleh merkuri
pada umumnya bersifat permanen, masing-masing komponen Hg mempunyai
perbedaan karakteristik seperti daya racun, distribusi, akumulasi atau
pengumpulan dan waktu retensinya (penyimpanan) di dalam tubuh. Apabila
semua komponen merkuri berada dalam jumlah yang cukup, maka akan
mengakibatkan racun dalam tubuh. Dampak Hg dalam tubuh dapat menyebabkan
terhambatnya kerja enzim, sehingga mengakibatkan kerusakan sel. Kondisi akut
keracunan Hg dapat mengakibatkan kerusakan pada organ perut, usus, gagal
kardiovaskuler (jantung dan pembuluh), dan gagal ginjal akut bahkan
mengakibatkan kematian (Widaningrum et al. 2007).

Cemaran Residu Pestisida pada Daging


Menurut Food Agriculture Organization (FAO) 1986 dan peraturan
pemerintah RI No. 7 tahun 1973, pestisida adalah campuran bahan kimia yang
digunakan untuk mencegah, membasmi dan mengendalikan hewan/tumbuhan
pengganggu seperti binatang pengerat, termasuk serangga penyebar penyakit,
dengan tujuan kesejahteraan manusia. Pestisida juga didefinisikan sebagai zat atau
senyawa kimia, zat pengatur tubuh atau perangsang tumbuh, bahan lain, serta
mikroorganisme atau virus yang digunakan untuk perlindungan tanaman (PP RI
No.6tahun 1995). United States Environmental Protection Agency (USEPA)
mendefinisikan pestisida sebagai zat atau campuran zat yang digunakan untuk
mencegah, memusnahkan, menolak, atau memusuhi hama dalam bentuk hewan,
tanaman dan mikroorganisme pengganggu (Djojosumarto 2008).
Residu merupakan semua senyawa kimia dalam makanan serta komoditas
pertanian atau pakan ternak yang bersumber dari penggunaan produk
perlindungan tanaman. Residu pestisida adalah zat yang terkandung dalam hasil
pertanian, bahan pangan, atau pakan ternak sebagai akibat langsung maupun tidak
langsung dari penggunaan pestisida (Djojosumarto 2008). Batas cemaran residu
pestisida golongan organofosfat berdasarkan SNI 7317:2008 dapat dilihat pada
Tabel 6.
25

Tabel 6 Batas maksimum cemaran pestisida pada daging (SNI 7317: 2008)
No. Jenis Pestisida Batas Maksimum No. Jenis Pestisida Batas Maksimum
Organofosfat (mg/kg) Organofosfat (mg/kg)
1. Diazinon 2.00 9. Demetoat 0.05
2. Metidation 0.02 10. Dichlorvos 0.05
3. Klorpirifos 1.00 11. Etrimfos 0.01
4. Malathion - 12. Methacifos 0.01
5. Profenofos 0.05 13. Metil Azinfos 0.05
6. Fenitrotion 0.05 14. Metil Paration -
7. Triazofos 0.01 15. Phosphamidon -
8. Metil Klorpirifos 0.05 16. Metil Pirimiphos 0.01
Sumber: BSN (2008)

Arifin et al. (2003) melaporkan bahwa pemeliharaan ternak di tempat


pembuangan akhir (TPA) menghasilkan produk pangan yang tidak aman karena
mengandung bahan beracun yang masuk kedalam rantai makanan melalui ternak
yang mengkonsumsinya. Lebih lanjut dari hasil penelitian dilaporkan bahwa
daging sapi yang dipelihara di TPA Jatibarang Kota Semarang mengandung
residu organoklorin dan organofosfat berada diatas ambang batas yang ditetapkan
baik “Maximum Residue Limite (MRL)’ maupun “Acceptable Daily Intake (ADI)”
yang ditetapkan WHO, sehingga apabila dikonsumsi oleh manusia akan
mengganggu kesehatan. Selain itu, Indraningsih dan Sani (2006) menyatakan dari
31 sampel serum dan otak sapi perah FH di Lembang, 22 sampel terbukti
mengandung residu pestisida organoklorin dan organofosfat meskipun masih
lebih rendah dari batas maksimum residu.

Anda mungkin juga menyukai