Anda di halaman 1dari 4

BAB V - KESEHATAN HEWAN

Pasal 41
 Terdapat beberapa poin lebih rinci tentang tujuan pencegahan Penykait Hewan(PH), yaitu :
a) Melindungi dari masuknya PH dari luar negeri
b) Melindungi dari menyebarnya PH dari luar negeri, dari satu pulau ke pulau lain, dan
antardaerah dalam satu pulau di wilayah Indonesia
c) Melindungi hewan dari ancaman muncul, berjangkit, dan menyebarnya PH
d) Mencegah keluarnya PH dari wilayah Indonesia

Pada UU no 18 tahun 2009 hanya dilakukan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-


undangan di bidang karantina hewan.

 Diantara pasal 41 dan pasal 42 disisipkan 2 pasal, yaitu pasal 41A dan pasal 41B
o Pasal 41 A berisi Pemerintah dan Pemerintah daerah dengan kewenangannya
bertanggung jawab melakukan pencegahan PH. Kemudian masyarakat juga diharapkan
dapat berperan aktif membantu Pemerintah dan Pemerintah Daerah.
o Pasal 41 B berisi persyaratan teknis Kesehatan Hewan untuk pencegahan PH seperti :
peningkatan kualitas karantina hewan, pemeriksaan dokumen dan Kesehatan Hewan,
pengoptimalan kebugaran hewan dan atau biosekuriti.

BAB VI - KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN


HEWAN

Pasal 58
Poin perubahan pada pasal 58 terdapat pada pengkhususan produk hewan halal bagi yang
dipersyaratkan. Kemudian adanya peraturan yang mewajibkan untuk memiliki sertifikat bagi
Produk Hewan, juga dilarang memalsukan Produk Hewan dan/atau menggunakan bahan
tambahan yang dilarang. Juga adanya Pengujian Produk Hewan yang tertera pada ayat (2). Poin
penting dari pasal ini adalah Penjaminan Mutu produk hewan yang Aman, Sehat, Utuh, dan
Halal (ASUH).

Pasal 59
Memebahas tentang pemasukan produk hewan ke dalam wilayah NKRI. Pasal ini masih
menimbulkan banyak kontroversi yang dapat menjadi kendala bagi pembangunan peternakan
sapi potong terhadap UU ini, adalah mengenai konsiderannya yang ditujukan untuk melindungi
segenap bangsa Indonesia, dengan upaya maksimum sekuriti terhadap pemasukan dan
pengeluaran ternak, hewan dan produk hewan dan upaya melakukan pencegahan penyakit
hewan. Namun, realitanya dalam pasal pasal pada batang tubuh yang diubah dalam UU ini,
malah justru sebaliknya yaitu menjadi minimum sekuriti. Misalnya pasal 59 ayat 2 pada UU
No. 18/2009 bahwa produk hewan yang dimasukan ke Indonesia boleh dari suatu negara atau
zona dalam suatu negara yang telah memenuhi persyaratan dan tata cara pemasukan produk
hewan. Pasal ini sebenarnya telah diubah oleh MK menjadi ‘berasal dari suatu negara’ bukan
berasal dari zona dalam suatu negara, tentunya dengan mempertimbangkan ‘maksimum
securiti’. Namun faktanya, dalam UU No. 41/2014 hal tersebut muncul kembali di Pasal 36C.
yaitu sebagai berikut: bahwa pemasukan Ternak Ruminansia Indukan ke dalam wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia dapat berasal dari suatu negara atau zona dalam suatu negara
yang telah memenuhi persyaratan dan tata cara pemasukannya. Pasal ini jelas-jelas tidak
memperhatikan keputusan judicial review yang dilakukan oleh MK di tahun 2009 lalu.
Walaupun dalam perubahan ini terdapat perbedaan antara komoditi produk hewan dengan
ternak ruminansia indukan. Perbedaan komoditi pada UU No. 18/2009 dengan UU No. 41/2014
tidak serta merta menyebabkan rendahnya resiko yang akan terjadi terhadap berjangkitnya
suatu penyakit hewan menular bagi ternak ruminansia.
Intinya pasal 59 : Produk Hewan dari zone based menjadi country based
Pasal 36 : Impor Ternak dari country based menjadi zone based
Pasal 65

Sedangkan untuk pasal 65 berisi tentang Ketentuan lanjutan tiap pasal yang mengacu ke Peraturan
pemerintah. Perubahannya adalah Ketentuan lanjutan tersebut menjadi mencakup keseluruhan
tentang Kesmavet dari Pasal 56 sampai 64. Yang sebelum nya hanya dari Pasal 58 – 64.

Pasal 66

Diantara pasal 66 dan pasal 67 disisipkan satu pasal yaitu pasal 66A yang intinya untuk
mengutamakan kesejahteraan hewan. Seperti dilarang menganiaya dan/ atau menyalahgunakan
hewan yang mengakibatkan cacat dan/atau tidak produktif. Kemudian setiap orang yang
mengetahui adanya perbuatan tersebut wajib melaporkan kepada pihak yang berwenang.

BAB VII - OTORITAS VETERINER

Pasal 68

Pada UU no 41 tahun 2014 pasal 68 membahas tentang otoritas veteriner. Terdapat


perubahan pada ayat (1) dan ayat (2). Juga terdapat 5 pasal yang disisipkan antara pasal 68 dan
69. Yaitu 68A, 68B, 68C, 68D, 68E. Yang intinya Pemerintah dan Pemerintah daerah wajib
meningkatkan penguatan tugas, fungsi, dan wewenang otoritas veteriner. Pasal-pasal ini Lay
yang akan sangat menentukan ketangguhan negeri ini terhadap pertahanan dan kemungkinan
berjangkitnya penyakit hewan menular utama yang akan muncul di dalam negeri.
Otoritas veteriner dapat diartikan sebagai kelembagaan kewenangan pemerintah dalam
pengambilan keputusan tertinggi yang bersifat teknis kesehatan hewan dengan melibatkan
profesionalisme profesi dokter hewan dan dengan mengerahkan semua lini kemampuan profesi
mulai dari menentukan kebijakan, mengkoordinasikan pelaksanaan kebijakan, sampai pada
pengendalian teknis operasional di lapangan.
Otoritas Medis Veteriner adalah otoritas yang melekat pada seorang dokter hewan yang
melakukan pelayanan medis veteriner sesuai aturan hukum yang berlaku dan diterapkan pada
hubungan “transaksi terapeutik” (transaksi pengobatan) dapat dengan obat-obatan atau berupa
tindakan medik dan transaksi jasa medis veteriner yang bersifat layanan individual (dokter
dengan pasien ekor per ekor) berdasarkan persetujuan dengan pemilik hewan.
Perbedaan Otoritas atau Kewenangan Dokter Hewan dengan Ahli Peternakan Menurut
Undang-undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan kesehatan Hewan. Pada Pasal
68 ayat 1, dokter hewan mempunyai wewenang sebagai penyelenggara kesehatan hewan di
seluruh wilayah NKRI. Pada ayat 5 dokter hewan dan organisasi profesi mempunyai wewenang
sebagai pelaksana siskeswan, yang ditetapkan pada ayat 2. Pada ayat 6 dokter hewan juga
mempunyai wewenang sebagai pelayan kesehatan hewan, pengaturan tenaga kesehatan hewan,
pelaksanan medic reproduksi, medic konservasi, forensic veteriner, dan pengembangan
kedokteran hewan perbandingan. Pada Pasal 69 ayat1 pelayanan kesehatan hewan meliputi
pelayanan jasa laboratorium, pelayanan jasa laboratorium pemeriksaan dan pengujian
veteriner, pelayanan jasa medic veteriner, dan pelayan jasa di. Sedangkan Ahli Peternakan
menurut Undang-Undang Ketentuan-Ketentuan Pokok Peternakan Dan Kesehatan
Hewan BAB II, Peternakan. Pasal 8, Peternakan diselenggarakan dengan tujuan untuk :
1. Mencukupi kebutuhan rakyat akan protein-hewani dan lain- lain bahan, yang berasal dari
ternak yang bermutu tinggi
2. Mewujudkan terbentuknya dan perkembangannya industri dan perdagangan bahan-bahan,
yang berasal dari ternak
3. Mempertinggi penghasilan dan taraf hidup rakyat terutama rakyat petani-peternak;
4. Mencukupi kebutuhan akan tenaga pembantu bagi usaha pertanian dan pengangkutan
5. Mempertinggi daya-guna tanah.

BAB XV - KETENTUAN PENUTUP

Pasal 96
Di antara Pasal 96 dan Pasal 97 disisipkan satu pasal yakni Pasal 96A yang terdiri dari
2 ayat. Pertama tentang Peraturan Pemerintah mengenai pulau karantina harus telah ditetapkan
paling lama 2 (dua) tahun. Kedua Peraturan Pemerintah mengenai Otoritas Veteriner dan
Siskeswanas harus telah ditetapkan paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-Undang
ini diundangkan
Mengikuti perubahan UU no 18 tahun 2009 menjadi UU no 41 tahun 2014, khususnya
pada bagian otoritas veteriner. Akhirnya pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP)
Nomor 2 Tahun 2017 tentang Otoritas Veteriner. Peraturan yang telah diundangkan pada 20
Januari 2017 ini sebagai turunan dari Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 perubahan atas
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (UU PKH).
Dengan terbitnya PP tentang otoritas veteriner diharapkan upaya pengendalian zoonosis pada
sektor peternakan semakin optimal dan pelaksanaan cegah tangkal di bidang penyakit zoonosis
semakin maksima
Peraturan Pemerintah ini terdiri atas 8 bab yang mencakup ketentuan umum;
kelembagaan otoritas veteriner; siskeswanas; tenaga kesehatan hewan; pelayanan kesehatan
hewan; praktik kedokteran hewan; sanksi administratif; dan ketentuan penutup. Setiap bab
dijabarkan dengan pasal-pasal dengan jumlah total 89 pasal. Dengan terbitnya PP Otoritas
Veteriner ini diharapkan bisa memberikan jaminan hukum kepada lembaga, pejabat, dan orang-
orang yang melaksanakan peraturan itu. Dengan kata lain, ada kepastian hukum sehingga kalau
melakukan tindakan tidak disalahkan dan kalau salah bisa ditindak.
Dalam peraturan itu sudah dijelaskan definisi otoritas veteriner yaitu suatu kewenangan
yang diberikan ke lembaga/institusi untuk melaksanakan hal yang terkait dengan veteriner. Di
dalam PP ini terdapat otoritas veteriner nasional, otoritas veteriner kementerian. Di
kementerian pertanian terdapat 3 otoritas yaitu direktorat kesehatan hewan, direktorat
kesehatan masyarakat veteriner, dan karantina hewan. Dengan adanya PP ini kewenangan
setiap institusi tidak akan berbenturan, justru lebih dilegalkan..
Sebagai anggota OIE (Organisasi Kesehatan Hewan Dunia), Indonesia punya otoritas
veteriner nasional yang dijabat oleh Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan
(Dirjen PKH) yang memiliki gelar dokter hewan. Kalau Dirjen PKH bukan dokter hewan maka
kewenangannya dilimpahkan ke Direktur Kesehatan Hewan. Agar lebih rinci dan teknis, PP
ini harus dijabarkan dengan beberapa Permentan (Peraturan Menteri Pertanian) sebagai
turunannya. Selain itu, pemerintah daerah harus turut memperkuat kebijakan ini.
Permasalahannya adalah institusi atau dinas di daerah yang berperan melaksanakan UU PKH
sudah hilang. Pejabat yang ada hanya kepala sub bagian yang tidak punya anggaran dan
kewenangannya sangat kecil. Kondisi itu yang menyulitkan tindakan-tindakan terutama dalam
pencegahan dan pengendalian penyakit.
Pada pasal 68 disebutkan adanya Siskeswanan (Sistem Kesehatan Hewan Nasional).
Siskeswanan membutuhkan adanya otoritas veteriner yang mengatur semua terkait dengan
kesehatan hewan dalam arti luas. Begitu pun dengan pejabat dan lembaganya yang masuk
dalam Siskeswanas. Dengan adanya otoritas veteriner pemerintah daerah dapat fokus terutama
di kabupaten/kota, juga menunjuk seorang pejabat yang bertanggung jawab terhadap kesehatan
hewan dan kesehatan masyarakat veteriner yang pejabatnya harus dokter hewan.
Advokasi terkait otoritas veteriner kepada pemerintah provinsi, kabupaten, kota untuk
memberikan kewenangan kepada lembaga dan orang yang mengatur tentang kesehatan hewan
itu penting. Kemudian uang menjadi persoalan juga adalah kementerian pertanian berada di
bawah kementerian koordinator perekonomian sehingga yang ditekankan hanya produksi
padahal yang berkaitan dengan kesehatan manusia adalah kesehatan hewan.
Bila sesuatu hal kaitannya dengan kesehatan hewan secara luas sangat penting yang
menjalankan di kabupaten/kota, sekalipun tidak ada kaitannya dengan produksi hewan.
Sebagai contoh Jakarta yang tidak memproduksi hewan tapi banyak hewan peliharaan sehingga
harus ada dokter hewan yang mengatur masalah kesehatan hewan dalam arti luas agar jangan
sampai penyakit hewan itu timbul pada manusia. Jangan sampai produk hewan menjadi
masalah. Bukan berarti suatu daerah/kota itu tidak penting peternakan karena bukan soal
peternakannya tapi harus ada orang yang punya kewenangan dan tanggung jawab terhadap
pelaksanaan kesehatan hewan karena tidak akan terlepas dari kesehatan manusia.

Anda mungkin juga menyukai