Anda di halaman 1dari 669

KUMPULAN MAKALAH

EKOLOGI DAN ILMU LINGKUNGAN


MAHASISWA PPs ILMU LINGKUNGAN
ANGKATAN 2006

EDITOR :
Prof.Dr.Ir.H. ADNAN KASRY

PROGRAM STUDI ILMU LINGKUNGAN


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
2006
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur bagi Allah SWT, pencipta alam semesta beserta

isinya yang telah mengkaruniai bemacam-mcam anugerah yang besar dengan

ilmu-ilmu yang telah diberikan kepada kita.

Shalawat dan salam bagi junjungan Nabi besar Muhammad SAW serta

ahli kerabat, sahabat dan pengikut-pengikut beliau yang baik dan setia, dengan

perantaraan mereka inilah semua ilmu pengetahuan itu didapati.

Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang dan sebagai negara

anggota PBB, terus menerus melaksanakan pembangunan. Pembangunan akan

selalu dipengaruhi dan mempengaruhi sumberdaya alam serta kondisi lingkungan.

Selain memberikan manfaat, pembangunan juga memberikan resiko. Oleh karena

itu, sesuai dengan amanat Rio, pembangunan harus dilakukan secara

berkesinambungan agar memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kehidupan

masyarakat dan negara yang tetap berwawasan lingkungan (sustainable

development).

Buku ini berisi berbagai kegiatan pembangunan yang dilakukan,

pembahasannya dikaitkan dengan kondisi ekosistem di lingkungan hidup yang

mungkin ditimbulkannya. Diharapkan buku ini dapat dijadikan rujukan bagi yang

memerlukan, sebagai sumbangan pemikiran dari mahasiswa Program Studi Ilmu

Lingkungan, Program Pascasarjana Universitas Riau.

Pekanbaru, Desember 2006


EDITOR,

Prof. Dr. Ir. H. Adnan Kasry


Dosen Ekologi dan Lingkungan
DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ....................................................................... ii

1. Dampak Kebakaran Hutan dan Lahan di Provinsi Riau oleh


Amsudin Lamsihar Gurning .......................................................... 1 – 22

2. Peran Sektor Kehutanan dalam Penanggulangan Kemiskinan


oleh Diding Ridwanullah .............................................................. 22 – 41

3. Peranan Hutan Kota oleh Ermansyi .............................................. 42 – 57

4. Perilaku Masyarakat dalam Pembukaan Hutan dan Lahan untuk


Area Pertanian dan Perkebunan Hubungannya dengan Kebakaran
Hutan dan Lahan di Kabupaten Rokan Hulu oleh Anuar Sadat..... 58 – 73

5. Taman Hutan Raya Sultan Syarif Kasyim dan Permasalahannya


oleh Erni Yanti .............................................................................. 74 – 96

6. Terancamnya Keberadaan Hutan Tropis oleh E. Zikra Habibah 97 – 126

7. Hutan Kemasyarakatan sebagai Salah Satu Pemecahan Masalah


Perambahan Hutan dan Kelestariannya oleh Edi Warman ........... 127 – 152

8. Permasalahan Illegal Logging di Provinsi Riau oleh


Zamhuruddin Mya ......................................................................... 153 – 186

9. Kebakaran Hutan Indonesia dan Upaya Penanggulangannya oleh


Imam Deisy Mustiono .................................................................. 187 – 202

10. Kebakaran Hutan dan Lahan di Sumatera oleh


Indra Pomi Nasution .................................................................... 203 – 226

11. Kebakaran Lahan Gambut dan Dampak Lingkungan oleh


Irma Laila ...................................................................................... 227 – 242

12. Manfaat Jasa Lingkungan Hutan Tropis oleh Mukhamadun ........ 243 – 274

13. Kebakaran Hutan dan Dampaknya terhadap Lingkungan di


Provinsi Riau oleh T. Iskandar Johan ........................................... 275 – 292

14. Dampak Pembangunan Pertanian dan Kehutanan oleh Rosyadi .. 293 – 311

15. Kemiskinan sebagai Salah Satu Fenomena Masalah Lingkungan


di Indonesia oleh Diana Azizah .................................................... 312 – 351
16. Penambangan Batu Bara dan Dampaknya terhadap Hayati
Perairan Sungai Singingi oleh Fabri Komara ................................ 352 – 366

17. Dampak Ekologi Luapan Lumpur Lapindo di Porong – Sidoarjo


oleh Haristanto .............................................................................. 367 – 388

18. Dampak Banjir dan Upaya Penanggulangan di Kabupaten


Kampar Tahun 2006 oleh Herlyn Rahmola .................................. 389 – 406

19. Pencemaran Udara dan Dampaknya terhadap Kesehatan Manusia


oleh Joko Suroso ........................................................................... 407 – 427

20. Implikasi Protokol Kyoto di Propinsi Riau oleh Murhamsa ......... 428 – 453

21. Penyelamatan dan Pelestarian DAS Siak oleh Nuraini ................. 454 – 484

22. Teknik Pengelolaan Sampah Ramah Lingkungan oleh


Rina Novia Yanti ........................................................................... 485 – 505

23. Fitoplankton sebagai Indikator Penentu Kualitas Perairan oleh


Ritawati Simanjuntak .................................................................... 506 – 517

24. Kajian Kualitas Air Danau Buatan Limbungan Pekanbaru dan


Upaya Pengelolaanya oleh Robbi Akmal ..................................... 518 – 536

25. Bakteri Anti Kanker dalam Lumpur Panas oleh Syarwandi. K .... 537 – 547

26. Pengaruh Pencemaran Udara terhadap Kesehatan Manusia oleh


Yenni Hidayati .............................................................................. 548 – 565

27. Komposisi dan Pengolahan Limbah Cair Pabrik Minyak Kelapa


Sawit Secara Anaerob oleh Zulfahmi ........................................... 566 – 588

28. Kerusakan Ekosistem Laut Akibat Terjadinya Tumpahan Minyak


di Perairan Laut oleh Dwi Agusrianto .......................................... 589 – 616

29. Pencemaran Air Berpengaruh pada Kehidupan Perairan oleh


Indira Ekawati ............................................................................... 617 – 629

30. Bioremoval Logam Berat dengan Mikroorganisme oleh


Linda Warni .................................................................................. 630 – 646

31. Penggunaan Mulsa sebagai Pengendali Erosi Tanah Pada Lahan


Kritis oleh Tri Martini ................................................................... 647 – 665
1

DAMPAK KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN


DI PROVINSI RIAU

OLEH :

AMSUDIN LAMSIHAR GURNING

PROGRAM STUDI ILMU LINGKUNGAN


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
2006
2

I. PENDAHULUAN

Kejadian Kebakaran Hutan dan atau Lahan (Karhutla) masih merupakan

salah satu isu lingkungan hidup prioritas di Provinsi Riau. Frekuensi kejadian

Karhutla rutin setiap tahun yang menyebabkan kerusakan berbagai ekosistem,

aktivitas masyarakat dan bisnis terganggu dan dampak kepada kesehatan

masyarakat serta mengusik kenyamanan dan kesehatan negara-negara tetangga

akibat kabut asap yang ditimbulkan yang pada akhirnya memperburuk citra

Indonesia karena dianggap tidak berkomitmen dalam pelestarian lingkungan

hidup.

Masyarakat sering mempertanyakan peran dan kemampuan pemerintah

dalam menyelesaikan masalah Karhutla ini, tetapi sepertinya pemerintah

mempunyai rasa percaya diri yang tinggi akan mampu mengendalikan Karhutla di

bumi lancang kuning tahun ini sesuai dengan pernyataan dan janjinya di berbagai

media dan bahkan pernah dideklarasikan Riau Bebas Asap Tahun 2005.

Kenyataannya bahwa sejak kejadian Karhutla terbesar di Indonesia tahun

1997/1998 yang telah menghabiskan kawasan hutan seluas + 4,8 juta hektar dan

merugikan negara + Rp. 10 Triliun dan menyebabkan 527 kasus kematian,

1.446.120 kasus ISPA, 298.125 kasus Asma dan 58.095 kasus Bronkhitis

(FWI/GFW 2002), belum cukup bagi pemerintah di semua tingkatan untuk lebih

serius mengembangkan strategi pengendalian Karhulta yang efektif dan mampu

menghentikan Karhutla dan kabut asap.

Meskipun kini tidak lagi terlihat hotspot dan asap di kota Kabupaten dan

Propinsi Riau, tidak menjamin kejadian ini tidak akan berulang di waktu

mendatang. Pemadaman api lapangan lebih disebabkan oleh turunnya hujan


3

dengan intensitas yang cukup tinggi beberapa hari terakhir tetapi jika kegiatan

pencegahan di lapangan tidak dilakukan dalam waktu dekat asap juga akan

menyelimuti kawasan-kawasan permukiman di Provinsi Riau.

Sebelum mengembangkan berbagai pendekatan pengendalian Karhutla di

Provinsi Riau ada baiknya melihat permasalahan Karhutla dan pengendalian

Karhutla di Riau sehingga jelas bagi semua stakeholders simpul mana yang harus

diputuskan dalam mengurangi atau mengakhiri kejadian Karhutla di Riau pada

masa mendatang. Kemudian akan dilakukan peninjauan terhadap substansi

Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pusat Pengendalian

Kebakaran Hutan dan Lahan di Provinsi Riau (PUSDALKARHUTLA) yang

merupakan kebijakan pokok pemerintah dalam mengelola pengendalian Karhutla

di Provinsi Riau.
4

II. KEBAKARAN HUTAN

Berdasarkan hasil pemetaan daerah Rawan Karhutla Tahun 2004 yang

dilakukan oleh BAPEDAL Provinsi Riau bekerjasama dengan Kementerian

Negara Lingkungan Hidup R.I telah diidentifikasi lokasi-lokasi Rawan Karhutla

di Riau dengan mempertimbangkan seluruh variabel yang menentukan suatu

daerah dapat dikategorikan Daerah Rawan Karhutla.

Dari hasil pemetaan tersebut diketahui sebanyak 45 Kecamatan, 76

Desa/Kelurahan rawan sampai sangat rawan dan 184 desa agak rawan

Kahurtla. Jumlah desa rawan terbanyak di Kab. Bengkalis (16 desa), kemudian

di Kab. Rokan Hilir (13 Desa), Pelalawan (11 desa), Indragiri Hilir dan Siak

masing-masing 6 desa. Sedangkan di Kota Pekanbaru dan Kab. Kuantan Singingi

tidak terdapat desa/kelurahan rawan Karhutla (Bapedal Riau 2005).

Secara teori, indikasi kejadian Karhutla biasanya diukur dengan

pemunculan titik panas (hotspot) hasil deteksi satelit the US National Oceanic

and Atmospheric Administration (NOAA), dimana semakin tinggi angka hotspot di

suatu lokasi semakin tinggi kemungkinan di daerah tersebut terjadi

kebakaran/ditemukan titik api (firespot). Kedua istilah ini sering sekali

disalahartikan dimana hotspot sering disebutkan sebagai firespot. Kenyataan di

lapangan tidak semua hotspot merupakan firespot dan sebaliknya jumlah hotspot

yang tidak ada atau sedikit tidak menjamin tidak ada atau sedikit kebakaran

(firespot) tergantung kepada situasi cuaca (tutupan awan, suhu) dan luas lokasi

kebakaran pada saat satelit melewati lokasi terbakar tersebut. Misalnya jika suatu

lokasi terjadi kebakaran dan di atasnya tertutup oleh awan, maka ada

kemungkinan satelit tidak dapat mendeteksi hotspot pada lokasi tersebut. Jadi
5

yang paling penting untuk memastikan hotspot adalah firespot perlunya kegiatan

patroli lapangan selama 24 jam terutama di desa-desa rawan Karhutla dan

verifikasi lapangan seluruh data hotspot.

Dari hasil pengolahan data hotspot tahun 1997 s.d. Mei 2005 yang

dilakukan Bapedal Propinsi Riau diketahui bahwa bulan potensial kejadian

Karhutla di Provinsi Riau yaitu Pebruari - Maret dan Mei s/d Agustus, kemudian

Oktober-November. Dapat dikatakan bahwa hampir sepanjang tahun Provinsi

Riau berpotensi terjadi Karhutla.

Dilihat dari distribusi hotspot menurut lokasi hotspot tahun 2005 di Riau.

Dari hasil pengolahan data diketahui 98,25% hotspot terdeteksi di 6 kab / kota

yaitu Kota Dumai, Kabupaten Bengkalis, Pelalawan, Rokan Hilir, Siak dan

Indragiri Hilir. Sedangkan hotspot menurut penggunaan lahan ditemukan 86%

dari jumlah hotspot tahun 2005 terdeteksi di 3 kawasan antara lain kawasan

HPH/bekas HPH (30%) dan perkebunan (45%) dan HTI (11%) dan sisanya di

Areal Penggunaan Lain (APL) atau sering disebut sebagai lahan masyarakat

(14%) (BAPEDAL 2005).

Jika dilihat dari kejadian kebakaran (fire spot) di Riau selama tahun 2006

(sampai dengan Agustus), Pusat Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan

(PUSDALKARHUTLA) Provinsi Riau (2006) mencatat 6786,25 ha areal terbakar

dilaporkan berada di 4 Kabupaten yaitu Indragiri Hilir (3000 ha), Rokan Hulu

(2.553,50 ha), Pelalawan (6.786,25 ha) dan Rokan Hilir (235,75 ha). Angka ini

akan jauh lebih besar lagi jika semua kejadian dan luas kebakaran dapat dicatat

dan dilaporkan ke PUSDALKARHUTLA.


6

Jadi untuk sementara dapat disimpulkan bahwa berdasarkan hasil

pemetaan daerah rawan Karhutla dan data hotspot serta luas areal terbakar

(firespot), Kab / Kota yang perlu menjadi fokus utama pengendalian Karhutla

yaitu Kab. Bengkalis, Pelalawan, Rokan Hilir, Siak, Indragiri Hilir dan Kota

Dumai. Artinya jika keenam kab/kota ini diawasi dan dilakukan program

pengendalian Karhutla secara baik dan berkelanjutan akan memberikan dampak

signifikan terhadap penurunan jumlah kejadian Karhutla dan sekaligus

mengurangi kabut asap. Kesimpulan ini tentunya akan lebih baik jika dibuat

berdasarkan data hotspot minimal 5 tahun terakhir dan adanya pemutahiran

terhadap lokasi-lokasi yang telah dipetakan rawan Karhutla.


7

III. PERMASALAHAN UTAMA YANG MEMBUAT KARHUTLA

Dilihat dari penyebab terjadinya Karhutla, 99,9% disebabkan oleh

perbuatan manusia baik sengaja maupun karena kelalaian sedangkan sisanya

(0,1%) faktor alam (seperti, petir, letusan gunung berapi) (Saharjo et all., 2005).

Hal yang sama juga ditemukan di Provinsi Riau dimana kecenderungan

masyarakat dan perusahaan membuka dan menyiapkan lahan (land clearing)

dengan cara membakar cukup tinggi karena memang cara ini jauh lebih murah

dan mudah dibandingkan cara mekanis atau tanpa bakar: ‖cara membakar 10 kali

lebih murah dari cara mekanis‖) (Jakarta Pos, 2006). Ditambah lagi ada anggapan

bahwa dengan membakar lahan gambut akan menaikkan tingkat keasaman (pH)

tanah di lahan tersebut sehingga cocok untuk pertanian dan perkebunan. Ada 8

kalimat Pengantar Menurut Tim Karhutla Bapedal Provinsi Riau.

(1) Secara alamiah karakteristik lahan di Riau memang rawan kebakaran karena

dominasi gambut yang jika musim kemarau mudah sekali terbakar. Istomo

(2005) mengatakan bahwa 42.76% dari total luas wilayah Riau merupakan

lahan gambut dan merupakan Provinsi di Sumatera dengan gambut terluas

(56% lahan gambut Sumatera berada di Provinsi Riau). Di sisi lain kondisi

hutan yang alami (primer) di Riau sudah sulit ditemukan, seluruhnya

merupakan bekas tebangan atau sudah dirambah sehingga rentan terhadap

kebakaran Terutama oleh ulah manusia.

(2) Banyak kawasan bekas HPH dan atau HGU yang sudah habis masa pakainya

tetapi belum jelas pengembalian dan atau peruntukannya ke dan oleh negara.

Lahan-lahan ini juga menjadi bagian dari 1.988.911,64 ha lahan kritis di

kawasan hutan di Provinsi Riau (Dinas Kehutanan Provinsi Riau). Di sisi lain
8

berdasarkan Data Dinas Perkebunan Provinsi Riau (2004), puluhan

perusahaan dan koperasi yang tersebar di 9 Kab / Kota yang telah mendapat

izin lokasi pembukaan usaha perkebunan dengan luas lahan keseluruhan

394.436 ha membiarkan konsesinya terlantar atau tidak dikelola sesuai

peruntukannya sehingga berpeluang dan sebagian sudah diokupasi oleh pihak

lain yang tidak berhak, sebagian lagi disengaja dengan cara membakar lahan

tersebut.

(3) Kesadaran masyarakat dan pengusaha akan bahaya Karhutla ditambah

pemahaman terhadap berbagai peraturan perundang-undangan berkaitan

dengan pengendalian Karhutla masih rendah. Dari hasil wawancara dan

investigasi di lapangan banyak masyarakat dan atau perusahaan belum

mengetahui kalau membuka lahan dengan cara membakar merupakan

pelanggaran hukum.

(4) Kuantitas dan kualitas SDM dan peralatan pengendalian Karhutla di Provinsi

Riau belum memadai dibandingkan dengan skala permasalahan Karhutla yang

ada. Dari sisi kuantitas idealnya semua desa rawan Karhutla memiliki Regu

Pemadam dan Pemantau Karhutla terlatih yang dilengkapi dengan peralatan

pemadam dan pemantau Karhutla. Kualitas tenaga dan peralatan hendaknya

direncanakan dan diadakan berdasarkan analisis kebutuhan lapangan spesifik

setiap daerah rawan Karhutla dan Standar Operasi Pengendalian Karhutla

Provinsi Riau yang sudah ada.

(5) Sistem pengendalian Karhutla yang dikendalikan oleh organisasi pengendalian

Karhutla Provinsi Riau di semua tingkatan belum berfungsi sebagaimana

tujuan pembentukannya, terutama dalam mensinergikan pekerjaan


9

pemantauan dan pencegahan, penanggulangan, penegakan hukum Karhutla

dan pemulihan kerusakan lahan akibat Karhutla yang menjadi tugas dan fungsi

berbagai instansi terkait di tingkat Provinsi sesuai Peraturan Gubernur Nomor

6 Tahun 2006.

(6) Program dan kegiatan pengendalian Karhutla terpadu dan terukur selain belum

dibuat, yang dilakukan selama ini masih belum menyentuh permasalahan

pokok (primer) Karhutla karena belum ditindaklanjuti dengan kegiatan ril di

lapangan oleh institusi yang diberi tugas oleh Gubernur Riau mengendalikan

Karhutla. Terpadu dari sisi perencanaan, penganggaran dan pelaksanaan serta

terukur dari sisi cakupan sasaran wilayah dan target waktu penyelesaian

masalah Karhutla serta dilaksanakan secara benar dan konsisten di lapangan.

(7) Penegakan hukum terhadap pelaku Karhutla dan atau pemilik/penanggung

jawab usaha/kegiatan yang lalai mencegah terjadinya Karhutla di wilayah

kerjanya belum terlihat efektif dan memberikan efek jera bahkan terkesan bagi

masyarakat upaya penegakan hukum belum berkeadilan dan kurang

transparan.

(8) Kegiatan pencegahan Karhutla di tingkat lapangan sangat lemah. Hal inilah

yang menjadi masalah utama Pengendalian Karhutla di Provinsi Riau. Artinya

meskipun kondisi 1 – 7 baik tetapi jika kegiatan pencegahan di lapangan

sangat lemah tetap saja Karhutla akan berlanjut di Provinsi Riau.

Jika melihat fokus kegiatan pengendalian Karhutla di Riau selama ini

cenderung berbobot rapat-rapat misalnya mengadakaan ‖road show‖ Rapat

Koordinasi (RAKOR) Pengendalian Karhutla, Apel Siaga di seluruh Ibukota

Kab/Kota di Riau, demonstrasi regu pemadam Karhutla, dan lain-lain. Dari segi
10

antisipasi Karhutla, kegiatan tersebut baik karena dilakukan 1-2 bulan sebelum

musim kemarau. Pemerintah Provinsi telah melakukan fungsi pembinaan,

koordinasi dan mendorong kab/kota agar menindaklanjuti dengan aksi lapangan.

Setiap Rakor biasanya menghasilkan daftar aksi lapangan yang disepakati.

Pertanyaannya adalah berapa persen dari seluruh daftar aksi lapangan disepakati

tersebut secara sungguh-sungguh dan konsisten dilrealisasikan di lapangan sampai

saat ini? Jika ada 75% maka dampaknya pasti akan signifikan terhadap penurunan

jumlah hotspot di Provinsi Riau.


11

IV. PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN KARHUTLA

Salah satu komponen Pengendalian Karhutla yang sangat penting adalah

Komponen Pencegahan. Komponen ini merupakan permasalahan poin (8) juga

merupakan bagian dari poin (6). Hal ini mengingat prinsip utama pengendalian

Karhutla adalah ‖mencegah Karhutla jauh lebih mudah dan lebih murah dari

pada menanggulangi Karhutla‖.(Bapedal Provinsi).

Pada kesempatan Pemerintah Provinsi Riau akan memfokuskan

pembahasan pada komponen ini karena kegiatan ini berdayaungkit tinggi dalam

pengendalian Karhutla di Provinsi Riau, selain dapat menghemat dana anggaran

pembangunan juga mencegah kerusakan lingkungan dan dampak turunannya yang

lebih besar dan lebih mahal lagi.

Untuk pencegahan Karhutla dapat dilakukan dengan baik di lapangan,yang

menjadi landasan evaluasi pengendalian Karhutla di Provinsi Riau, yaitu:

1) Mulai dari tingkat kecamatan, desa/kelurahan harus mengetahui dengan baik

mana saja di wilayah kerjanya yang rawan Karhutla.

2) Petugas patroli khusus di 76 desa/kelurahan rawan Karhutla yang aktif

bertugas selama 24 jam.

3) Harus ada Posko Pengendalian Karhutla yang buka selama 24 Jam pada saat

musim kemarau atau musim kebakaran di ke 45 kecamatan rawan Karhutla.

4) Semua aktifitas pembukaan lahan dan siapa


”Mencegah Karhutla
yang melakukan pembukaan lahan di 76 jauh lebih mudah
dan lebih murah dari
desa/kelurahan rawan karhutla dicatat dan
pada menanggulangi
dilaporkan. Karhutla”
12

5) Kepala desa dan masyarakat di 76 desa/kelurahan rawan sudah

mendapatkan penyuluhan atau kampanye Anti Karhutla.

6) Sudah terpasang tanda-tanda peringatan DILARANG MEMBUKA LAHAN

DENGAN CARA MEMBAKAR di lokasi-lokasi rawan pada 76

desa/kelurahan rawan Karhutla selama musim kemarau.

7) Pemerintah Provinsi mendorong terbentuknya Kelompok-Kelompok

Masyarakat Anti Karhutla di 76 desa/kelurahan rawan Karhutla? dan berapa

jumlah kelompok masyarakat yang sudah dibentuk dan secara aktif

melakukan pengendalian Karhutla di lapangan setiap musim kemarau.

8) Harus data hotspots yang sudah diverifikasi (Seharusnya 100%) paling

lambat 1 x 24 Jam.

9) Adanya sistem pemadaman Karhutla sedini mungkin termasuk sistem yang

dapat menggerakkan masyarakat setempat dan tidak menunggu regu

pemadam dari kab/provinsi pada saat terjadi karhutla.

10) Disetiap kecamatan tersedia alat pemadam Karhutla yang dapat dimobilisasi

cepat ketika ada Karhutla.

11) Setiap kecamatan harus mengetahui atau pernahkah merencanakan dan

mengusulkan anggaran penyediaan kebutuhan ril pengendalian Karhutla.

12) Seluruh Organisasi Pengendalian Karhutla di semua tingkatan memantau,

mencatat dan mengevaluasi secara rutin kondisi aktual lapangan dan seluruh

aktifitas lapangan pengendalian Karhutla di Provinsi Riau khususnya di 76

desa/kelurahan rawan Karhutla.

13) Ada pegawai secara khusus ditugaskan mengurus kegiatan Pengendalian

Karhutla mulai dari tingkat Desa/Kelurahan - kecamatan


13

14) Pemerintah kecamatan secara rutin berkoordinasi dengan POLSEKTA

setempat dalam pengendalian Karhutla.

15) Disetiap Kantor kecamatan tersedia data lengkap seluruh pemilik lahan baik

yang HGU aktif maupun yang tidak aktif serta status lahan.

Dari kelimabelas pencegahan di atas maka 45 kecamatan dan 76 desa/

kelurahan rawan Karhutla dapat melaksanakan kegiatan tersebut 50%(idealnya

100%), maka kejadian Karhutla dan pemunculan asap akibat Karhutla di Provinsi

Riau akan dapat ditekan.

Berdasarkan kunjungan lapangan yang dilakukan Tim Bapedal Provinsi

dan Kementerian Negara Lingkungan Hidup pada tahun 2005, dari 5 kecamatan

rawan Karhutla yang dikunjungi dan hasil wawancara dengan petugas kecamatan

dan masyarakat di desa rawan Karhutla ditemukan lemahnya Sistem pengendalian

Karhutla di tingkat lapangan. Misalnya, dari organisasi pengendalian Karhutla,

belum ada satupun kecamatan tersebut yang membentuk Satuan Petugas

Pengendalian Karhutla (SATGAS DALKARHUTLA) sesuai dengan SK

Gubernur Nomor 1 Tahun 2003 yang berlaku pada saat itu, kecamatan juga tidak

tahu di wilayah kerjanya yang rawan Karhutla (bahkan ada kejadaian Karhutla

baru diketahui setelah pihak PUSDALKARHUTLA Provinsi menginformasikan),

di lapangan juga tidak tersedia petugas khusus yang mengendalikan Karhutla

apalagi petugas patroli lapangan 24 jam, peralatan pemadam Karhutla sederhana

seperti mesin pompa air di desa/kelurahan tidak tersedia, kegiatan penyuluhan di

lapangan sangat jarang bahkan ada yang belum pernah, tidak ada kecamatan yang

mempunyai sistem kewaspadaan dini Karhutla. Mudah-mudahan kondisi ini sudah

berubah.
14

Jika kondisi di atas tetap berlangsung dan tidak ada upaya pernbaikan dari

pihak yang diberi kewenangan mengendalikan Karhutla, maka tidak banyak yang

bisa diharapkan dari pengendalian Karhutla di Provinsi Riau saat ini.

Perlu disadari bahwa masalah Karhutla di Provinsi Riau berada di

desa/kelurahan (di lapangan) bukan di Ibukota Kabupaten/Kota atau Ibukota

Provinsi. Sehingga jika ingin menyelesaikan permasalahan Karhutla indikator

yang perlu diamati adalah seberapa banyak energi dan sumberdaya yang kita

alokasikan melakukan kegiatan ril pengendalian Karhutla di lapangan khususnya

desa/kelurahan rawan Karhutla (Idealnya: Proporsi biaya kegiatan lapangan

seharusnya lebih besar dari pada biaya di luar yang berhubungan langsung dengan

kegiatan di lapangan).

Dalam pertemuan evaluasi pengendalian Karhutla di Provinsi Riau sering

sekali muncul permasalahan kurangnya dana menjadi faktor utama

kekurangberhasilan pengendalian Karhutla di Riau. Berkaitan dengan masalah ini

ada 3 (tiga) kemungkinan penyebab, Pertama: dana memang tidak ada/tidak

cukup dialokasikan untuk pengendalian Karhutla; Kedua: ada dana tetapi tidak

ada usulan untuk kegiatan pengendalian Karhutla karena Karhutla belum dianggap

sebagai masalah prioritas daerah; Ketiga: ada dana dialokasikan untuk

pengendalian Karhutla tetapi dalam penyusunan belanja kegiatan belum atau tidak

mengenai sasaran pokok permasalahan Karhutla.

Jadi pengendalian Karhutla ke depan perlu dilakukan evaluasi terhadap

perencananaan dan sistem penganggaran pengendalian Karhutla yang dilakukan

selama ini secara menyeluruh di semua tingkatan, sehingga akan diketahui jelas

apa sesungguhnya daftar masalah prioritas pengendalian Karhutla di Riau dan


15

darimana harus memulai, seberapa besar dana yang diperlukan untuk

menyelesaikan seluruh daftar masalah tersebut, bagaimana mekanisme

penyediaan anggaran dan pembelanjaan dananya antara Provinsi dan Kab/kota

serta berapa lama waktu yang diperlukan menyelesaikan permasalahan Karhutla

jika seluruh dana tersebut dipenuhi oleh rakyat.

Perlu kita ketahui bahwa pencegahan lebih mudah dan lebih murah dari

penanggulangan/pemadaman Karhutla, mari kita lihat contoh kecil saja dari salah

satu kegiatan pencegahan di lapangan yaitu, Kegiatan Penyediaan Tenaga Patroli

Lapangan Pengendalian Karhutla di Desa/Kelurahan Rawan Karhutla di

Provinsi Riau. Jika kegiatan ini diwujudkan di 76 desa/kelurahan rawan Karhutla

dengan mengangkat 1 orang petugas patroli dari penduduk setempat dengan gaji

per bulan Rp. 200.000,- saja, maka selama 1 tahun biaya yang diperlukan

Rp. 182.400.000,-. Bandingkan dengan biaya sewa helikopter untuk pemadaman

Karhutla selama 10 jam saja dikali harga sewa per jam Rp. 20.000.000 =

Rp. 200.000.000,- belum termasuk biaya regu pemadam Karhutla dari darat.

Apalagi jika dihitung kerugian dari dampak Karhutla tersebut terhadap kesehatan

manusia, kematian dan migrasi hewan dan tumbuhan tentunya akan lebih besar

lagi (Bapedal Provinsi).

Apa yang diharapkan dari kegiatan ini adalah, dengan adanya petugas

patroli Karhutla di lokasi rawan dari masyarakat setempat, maka seluruh aktifitas

pembukaan lahan baik oleh perusahaan atau masyarakat akan terdata dan

terpantau dengan baik (masyarakat setempat juga merasa ada yang mengawasi

aktifitas pembukaan lahan mereka), jika kebakaran terjadi akan ditemukan dan

dapat dipadamkan sebelum api merambat, tenaga ini juga menjadi tenaga
16

penyuluh bagi masyarakat setempat dan masyarakat juga akan mengganggap

bahwa isu Karhutla memang penting. Akan lebih baik jika petugas tersebut diberi

sarana komunikasi cepat sehingga dapat mengirimkan laporan Karhutlla ke

kecamatan. Dan jika pemerintah ingin menindaklanjuti pembuatan kebijakan

diperkenankannya pembakaran terkendali (controlled burning) akan lebih mudah

karena sudah ada tenaga khusus yang akan mengawasinya.

Jika dilihat dari sistem pengendalian Karhutla di Provinsi Riau, maka

harus dilihat kebijakan peraturan yang mengaturnya. Pada saat ini sistem

pengendalian Karhutla di Riau diatur dengan Pergub Nomor 6 Tahun 2006

sebagai pengganti SK Gubernur Nomor 1 Tahun 2003. Jika dibandingkan

substansi kedua kebijakan tersebut, maka SK Gubernur Nomor 1 Tahun 2003

lebih jelas mengatur pembagian tugas dan fungsi antara Provinsi dan Kab/kota.

Dalam Pergub tidak dijelaskan dengan detail tugas kab/kota, hanya ada pada Pasal

5 ayat (1) yang mengatur kedudukannya saja yaitu sebagai Satuan Pelaksana

Operasional Pengendalian Karhutla tanpa rincian tugas dan fungsi yang jelas.

Salah satu kewenangan kab/kota dalam Pergub tersebut adalah dalam hal

Penertiban dimana disebutkan bahwa ‖Kab/Kota mempunyai kewenangan

melakukan pembinaan, pengawasan dan mengambil tindakan hukum terhadap

setiap orang dan/atau badan usaha/penanggung jawab lahan usaha yang

melakukan pembakaran hutan dan atau lahan di areal usaha/lahan garapan

pada wilayah kab/kota sesuai peraturan perundang-undangan yang belaku‖.

Artinya, tugas kab/kota adalah hanyalah pada saat dan atau sesudah Karhutla

terjadi, sedangkan kewenangan pencegahan tidak ditulisakan secara jelas sebagai

hal pokok yang menjadi kewenangan Kab/Kota. Padahal dalam SK Gubri No. 1
17

Tahun 2003 seluruh komponen pengendalian secara operasional menjadi tugas

dan tanggung jawab Kab/Kota dan kecamatan.

Hal yang sama juga pada pasal 12 ayat (2) menyangkut kewenangan

kecamatan disebutkan ‖kecamatan mempunyai kewenangan tidak mengeluarkan

izin atau memberikan surat keterangan lainnya untuk pembangunan dan

pengembangan usaha / kegiatan apabila dalam penyiapan lahannya dilakukan

dengan cara membakar‖. Ayat ini menjadi aneh, bukankah wewenang

pengeluaran izin usaha ada di Provinsi dan Kab/kota? dan bukankah membuka

lahan dengan membakar secara jelas dan tegas dilarang?.

Dari keseluruhan penjelasan di atas, masih banyak pekerjaan pengendalian

Karhutla yang perlu ditata kembali untuk mengefektifkan Pengendalian Karhutla

di Provinsi Riau. Semua pihak diajak untuk membuat perencanaan dan

pelaksanaan kegiatan pengendalian Karhtula yang membumi. Kembalilah ke

lapangan karena disanalah masalah Karhutla. Tingkatkan kegiatan pemantauan

dan pencegahan di lapangan secara benar dan konsisten, maka Riau Bebas Asap

akan terwujud. Ke lima belas Pencegahan di atas hendaknya dapat dipahami

semua pihak yang terlibat dalam pengendalian karhutla di Riau. Semakin cepat

Karhutla hilang dari Riau semakin banyak dana yang dapat digunakan

mempercepat pencapaian tujuan Program K2I di Provinsi Riau terutama untuk

penyediaan sarana dan prasarana sanitasi kesehatan terutama masyarakat miskin

di pedesaan.
18

Proporsi Luas Daerah Rawan Karhutla Kategori Tinggi S.D


Sangat Tinggi per Kab/Kota Di Riau
Pekanbaru 3%

Kuantan Singingi 8%

Kampar 12%

Indragiri Hulu 15%

Pelalaw an 20%

Rokan Hulu 22%

Bengkalis 23%

Indragiri Hilir 24%

Rokan Hilir 26%

Siak 29%

Dumai 35%
Sumber: Profil Kawasan Rawan Karhutla di Propinsi Riau, 2004

Jumlah Luas Daerah Rawan Karhutla Kategori


Tinggi s.d Sangat Tinggi per Kab/Kota Di Riau (Km2)
Pekanbaru 19.05

Kuantan Singingi 435.46

Dumai 796.21

Indragiri Hulu 1,173.63

Kampar 1,263.45

Rokan Hulu 1,685.21

Rokan Hilir 2,281.91

Siak 2,431.70

Pelalawan 2,508.08

Bengkalis 2,610.66

Indragiri Hilir 3,167.19


Sumber: Profil Kawasan Rawan Karhutla di Propinsi Riau, 2004

Sumber : Bapedal Provinsi Riau.


19

Sumber : Bapedal Provinsi Riau


20

Sumber : Bapedal Provinsi Riau


21

DAFTAR PUSTAKA

Adinugroho W.C., I.N.N. Suryadiputra, Bambang Hero Saharjo dan Siboro,


2005. Panduan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan. Bogor,
Indonesia: Proyek Climate Change, Forest and Peatlands in Indonesia
Weatlands International – Indonesia Programmed and Wildlife Habitat
Canada, Bogor

BAPEDAL Riau, 2005. Laporan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan di


Propinsi Riau Tahun 2005. BAPEDAL Provinsi Riau. Pekanbaru.

Dinas Kehutanan Provinsi Riau, 2005. Laporan Tahun 2004 Dinas Kehutanan
Propinsi Riau, Pekanbaru.

Dinas Perkebunan Propinsi Riau, 2005. Laporan Tahun 2004 Dinas Perkebunan
Provinsi Riau, Pekanbaru.

FWI/GFW, 2001. Potret Keadaan Hutan Indonesia. Indonesia: Forest Watch


Indonesia dan Washington D.C. Global Forest Watch, Bogor.

Istomo, 2005. Keseimbangan Hara dan Karbon dalam Pemanfaatan Lahan


Gambut Berkelanjutan. Bahan Presentasi pada Lokakarya Pemanfaatan
Lahan Gambut Secara Bijaksana untuk Manfaat Berkelanjutan di
Pekanbaru, 31 Mei – 01 Juni 2005. Bapeda, Pekanbaru.

Jakarta Pos, 2006. Cara Membakar 10 Kali Lebih Murah dari Cara Mekanis oleh
Witoelar, R. Juli 2006. Jakarta.

Suharjo, 2005. Panduan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Gambut.


Wetland Internasional. 162 hal.

Sekretariat Bersama Pusdalkarhutla Provinsi Riau, 2006. Peraturan Gubernur


Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pusat Pengendalian Kebakaran Hutan dan
Lahan Propinsi Riau. Pekanbaru. BAPEDAL Provinsi Riau, Pekanbaru.

Sekretariat Bersama Pusdalkarhutlah Provinsi Riau. 2004. Surat Keputusan


Gubernur Nomor 1 Tahun 2003 tentang Pembentukan Pusat
Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan di Propinsi Riau. BAPEDAL
Provinsi Riau. Pekanbaru.
22

PERAN SEKTOR KEHUTANAN DALAM


PENANGGULANGAN KEMISKINAN

OLEH :

DIDING RIDWANULLAH

PROGRAM STUDI ILMU LINGKUNGAN


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
2006
23

I. PENDAHULUAN

Bicara masalah hutan adalah topik yang menarik, karena banyak sekali

bahan pembicaraan yang bisa dibahas seputar hutan. Mulai dari penebangan liar

yang diberitakan jadi penyebab banjir dan tanah longsor yang sering terjadi akhir-

akhir ini, perburuan satwa, kebakaran hutan, sampai dengan tertangkapnya para

cukong kayu.

Hutan sangatlahlah penting bagi keberlangsungan hidup manusia dan

ekosistem yang ada didalamnya. Hutan merupakan sumber oksigen, tempat

penyerapan air, berlindungnya satwa dan masih banyak manfaat lainnya. Manusia

sebagai makhluk hidup sangat tergantung pada hutan. Hampir semua kebutuhan

sehari-hari kita berasal dari hutan. Rumah tempat tinggal, furniture, bahkan

kertas, kesemuanya itu berasal dari kayu yang merupakan hasil hutan.

Masyarakat sekitar hutan pada umumnya tidak memiliki pekerjaan tetap

sebagai sumber penghidupannya, kebanyakan adalah peladang ataupun petani.

Dengan taraf hidup yang mesuk dalam kategori masyarakat miskin seperti yang

dikatakan oleh PBB bahwa masyarakat dengan penghasilan dibawah $1/hari

(sekitar Rp.9.000) termasuk dalam kategori masyarakat miskin. Mereka tinggal

jauh dari kota yang memiliki berbagai fasilitas hidup, seperti fasilitas pendidikan

dan tersedianya lapangan kerja. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka

mengambil hasil hutan, sebagian hasil hutan tersebut mereka pergunakan sendiri,

dan sebagian lain dijual atau ditukar kepada para penadah yang biasanya datang

ke pemukiman mereka.

Ajang seperti inilah terkadang dimanfaatkan oleh para penadah untuk

membeli hasil hutan dengan harga yang rendah. Masyarakat yang latar
24

belakangnya pendidikannya rendah diminta untuk mengeksploitasi hasil hutan

yang kemudian dibeli dengan harga rendah. Bahkan menurut berita di media,

penduduk pedalaman suku Mimika di Propinsi Irian Jaya menukar kayu Gaharu

hanya dengan beberapa kilo gula atau beberapa bungkus rokok saja kepada para

penadah, juga seperti yang terjadi saat penulis berada di wilayah Sontang

Kecamatan Bonai Darussalam pada tahun 2005, masyarakat tempatan

(membentuk regu/ kelompok biasanya terdiri dari 6-8 orang) diberikan fasilitas

berupa gergaji mesin (chainsaw), bahan makanan dan minyak untuk mencari dan

menebang pohon didalam hutan. Sistem dalam eksploitasinya dilakukan secara

manual dengan menggunakan tenaga manusia (ongkak), setelah hasil hutan

berupa kayu tersebut sampai dipinggir jalan angkutan para cukonglah yang akan

membawanya ke industri penggergajian dan dari hasil tersebut masyarakat hanya

diberikan upah sebasar Rp. 75.000,- per meter kubik untuk kayu yang dihasilkan

setelah dipotong biaya minyak dan bahan makanan dengan kemampuan setiap

regunya berkisar antara 30 s/d 50 m3 setiap masuk hutan. Hal ini juga terjadi di

sungai dareh Kabupaten Sawahlunto/ Sijunjung Sumatera Barat pada tahun 1997,

saat penulis melakukan kunjungan ke PT Inhutani wilayah Sijunjung. Dengan

motif yang sama dan upah yang lebih murah (Rp. 50.000,-/ m3 nya). Bahkan saat

itu Perusahaan tersebut tidak dapat melakukan kegiatan ekspoitasi hutan

dikarenakan jalan keluar dari perusahaan tersebut berada tepat di sisi PT SBU

yang berada di jalan lintas Sumatera bagian tengah, yang mana PT. SBU-lah yang

mebiayai masyarakat tersebut untuk melakukan penebangan.

Namun demikian tidak semua masyarakat sekitar hutan mengandalkan

hasil hutan berupa kayu saja, ada juga yang mencoba berladang dan beternak.
25

Minimnya pengetahuan mereka, membuat menurunnya fungsi ekologis hutan

sebagai ekosistem. Mereka membuka lahan dengan cara membakar dan

perladangan berpindah.

Apabila permasalahan ini dibiarkan saja, masyarakat sekitar hutan akan

menjadi penyebab kerusakan hutan, walaupun tidak terlepas dari keterkaitan pihak

ketiga yaitu penadah. Bagaimana nasib hutan kita? akankah hanya tinggal

kenangan?. Ekspansi masyarakat tempatan terhadap kawasan hutan untuk

keperluan perkebunan sawit sudah sangat parah bisa kita lihat pada hutan lindung

bukit Suligi yang berada diwilayah kerja Dinas Kehutanan Kabupaten Rokan

Hulu dan Kampar, hampir seluruh kawasan hutan lindung tersebut telah berubah

menjadi areal perkebunan sawit yang dimiliki oleh masyarakat didalam dan

disekitar kawasan tersebut.

Dalam makalah ini, penulis mencoba membahas peran sektor kehutanan

atau usaha-usaha apa saja yang dilakukan pemerintah dalam hal ini Departemen

Kehuatanan untuk meningkatkan taraf kesejahteraan masyarakat sekitar hutan

yang pada akhirnya tingkat ketergantungan masyarakat akan hasil hutan

berkurang sehingga kelestarian hutan dapat diwujudkan walaupun dengan harapan

yang sangat tipis sekali.


26

II. KEMISKINAN DAN KEHUTANAN

2.1. Kemiskinan di Indonesia

Kemiskinan merupakan salah satu hal penting terkait dengan

pembangunan nasional. Kemiskinan menyangkut aspek Sumber Daya Manusia

yang notabene adalah aset modal dasar bagi bangsa Indonesia. Disamping itu

kemiskinan telah menjadi isu global dan menjadi sasaran utama yang telah

disepakati oleh hampir seluruh negara di dunia, yaitu untuk mengurangi hingga

setengah jumlah orang miskin dan mengurangi hingga setengah proporsi

penduduk dunia yang menderita kelaparan pada tahun 2015 (Djajono, 2006).

PBB yang menggunakan pendekatan pendapatan dengan menetapkan

angka kurang dari $1/hari (sekitar Rp.9.000) sebagai kategori miskin,

memprediksi bahwa masih terdapat 1,2 milyar orang miskin diseluruh dunia yang

dua pertiganya tinggal di kawasan Asia. Sedangkan gambaran penduduk miskin di

Indonesia sendiri, mengutip data BPS, digambarkan bahwa tahun 2000 jumlah

penduduk miskin mencapai 37,3 juta sekitar 19 % kemudian tahun 2001

mengalami penurunan menjadi 37,1 juta dan tahun 2004 menjadi 36,1 juta sekitar

16,6 % (Sumodiningrat, 2005). Sedangkan menurut Sasmita (2006) pada periode

tahun 1999-2005 jumlah penduduk miskin menurun menjadi 35,1 Juta. Namun

pada tahun 2005-2006 terjadi pertambahan jumlah penduduk miskin sebesar 3,95

juta.

Dalam memandang data kemiskinan tersebut hendaknya dipahami betul

bahwa data kemiskinan tersebut mengandung makna yang komprehensif dari arti

kemiskinan itu sendiri. Hal ini sangat penting guna mengeliminasi distorsi dalam

pengambilan kebijakan untuk upaya pemberantasan dan penanggulangan


27

kemiskinan, selain itu pengalaman dalam upaya penanggulangan kemiskinan

dapat dijadikan pelajaran untuk perbaikan upaya penanggulangan kemiskinan

dimasa yang akan datang.

Bagi Pemerintah Indonesia penanggulangan kemiskinan selalu menjadi

prioritas yang harus ditangani dalam kerangka jangka menengah seperti yang

termuat dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM). Kemiskinan

telah disadari merupakan permasalahan multi dimensi. Kemiskinan tidak lagi

dipahami hanya sebatas ketidakmampuan ekonomi, tetapi juga kegagalan

pemenuhan hak-hak dasar dan perbedaan perlakuan bagi sesorang atau

sekelompok orang dalam menjalani kehidupan secara bermartabat.

2.2. Kondisi Masyarakat Sekitar Hutan

Masyarakat sekitar hutan hidupnya sangat bergantung kepada hutan, baik

itu tumbuh-tumbuhannya maupun satwanya. Mereka yang pada umumnya

berpendidikan rendah bahkan tidak pernah ―mencicipi bangku sekolah‖ sama

sekali sangat mengandalkan hutan. Mulai dari kebutuhan tempat tinggal sampai

dengan kebutuhan makanan. Mereka membuka kawasan hutan untuk lahan

pertanian ataupun perkebunan dengan cara membakar hutan, lebih praktis dan

cepat.

Tidak hanya melakukan pembakaran lahan, perladangan berpindah,

masyarakat di sekitar hutan juga banyak melakukan penebangan pohon untuk

selanjutnya dijual. Tingkat keterbatan ekonomi masyarakat sekitar hutan

mendorong untuk melakukan pengambilan kayu bakar dan penebangan pohon di

sekitar maupun dalam kawasan hutan. Survei bersama yang dilakukan oleh WWF

dengan Bapedalda TTU pada tahun 2002 melaporkan bahwa sedikitnya 80%
28

masyarakat sekitar hutan Mutis Timau mengakui masuk hutan dan melakukan

pengambilan kayu untuk bahan bakar, konstruksi rumah, pagar kebun, dan

sebanyak 75 % masyarakat mengakui melakukan pengolahan lahan pertanian

dengan pola tebas bakar (Njurumana, 2006).

2.3. Dampak Ekologi Kerusakan Hutan

Hutan dengan segala ekosistem yang terkandung didalamnya merupakan

cerminan keunikan alam raya secara universal. Hutan dimana tempat berkembang

biaknya flora dan fauna serta organisme lainnya memiliki keterkaitan sebagai

simbiosis mutualisme adalah suatu keniscayaan yang tidak dapat diabaikan begitu

saja. Eksistensi hutan itu sendiri memegang peranan vital dalam menjaga proses

kehidupan di planet ini, dimana tanah yang subur, mata air yang jernih dan udara

yang sejuk serta bebas dari pencemaran adalah gambaran nyata tentang arti

pentingnya hutan bagi makhluk hidup dalam tatanan ruang lingkup yang dinamis

dan berkelanjutan.

Pembangunan dan peran serta kehutanan sangat diharapkan untuk

meningkatkan kesejaheteraan masyarakat di dalam dan sekitar hutan, yang pada

akhirnya dapat mewujudkan pengelolaan hutan lestari yang mempertimbangkan

prinsip-prinsip keserasian diantara manfaat-manfaat ekologis, ekonomis dan sosial

budaya. Pada intinya pembangunan sektor kehutanan dan partisipasi, motivasi

masyarakat sekitar hutan adalah satu kesatuan yang akan menentukan ―nasib‖

hutan dan masyarakat itu sendiri. Manusia yang miskin akan cenderung

memiskinkan lingkungannya, dan lingkungan yang dibuat (menjadi) miskin akan

terus membiarkan manusia bergelut dengan kemiskinannya.


29

Sumberdaya hutan mempunyai peran penting dalam penyediaan bahan

baku industri, sumber pendapatan dan penciptaan lapangan kerja/kesempatan

kerja. Pada masa-masa awal pembangunan, eksploitasi sumber daya hutan hanya

berorientasi pada timber based management yang menitikberatkan pada manfaat

ekonomis semata. Sehingga menyebabkan timbulnya masalah deforestasi hutan

dengan laju yang tinggi.

Masalah kerusakan hutan dan lahan di Indonesia telah berlangsung sejak

lama dengan indikasi laju kerusakan hutan saat ini telah mencapai nilai 2,83 juta

hektar/tahun. Dampak euforia reformasi dan tuntutan ekonomi daerah telah

mempercepat terhadap laju deforestasi di Indonesia. Beberapa faktor pendorong

laju deforestasi tersebut diantaranya adalah terjadinya illegal logging, perambahan

hutan, perladangan berpindah (shifting cultivation), pemanfaatan hutan yang

berlebihan (penambangan, industri, pemukiman, pertanian, perkebunan, dll) dan

konversi lahan tanpa memperhatikan metode konservasi tanah dan air.

Bencana alam yang di alami akhir-akhir ini mulai dari banjir, gempa bumi,

tanah longsor, kekeringan, kebakaran hutan dan tsunami tiada hentinya selama

kita tidak berhenti menggangu keseimbangan alam dengan berbagai malpraktek

pembangunan. Lingkungan tidak mampu beradaptasi dengan perubahan yang

terjadi begitu cepat di sekitarnya. Kerusakan hutan dan lingkungan di era otonomi

ini di seluruh Indonesia makin meningkat. Pertumbuhan ekonomi dan peningkatan

pelayanan selalu menjadi legitimasi tindakan pembabatan hutan, konversi lahan

dan pertambangan pada kawasan hutan. Dampak sosial, ekonomi dan ekologi dari

perubahan makin meningkatkan biaya sosial masyarakat untuk menghidupi

dirinya dan merekayasa seluruh sektor kehidupannya.


30

Fakta di lapangan menunjukkan bahwa illegal logging tidak hanya terjadi

di kawasan hutan produksi, tetapi sudah masuk ke dalam konservasi, yaitu di

beberapa taman nasional, hutan lindung, cagar alam, suaka margawastwa dan

taman hutan raya. Yang lebih memprihatinkan lagi, kerusakan hutan di kawasan

hutan konservasi tidak hanya terjadi di zona penyangga, bahkan telah masuk ke

dalam zona inti.

Oleh karena itu kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan sangat diperlukan

guna mempercepat pulihnya kondisi sumber daya hutan yang rusak dan lahan

yang kritis serta mempertahankan dan melindungi kawasan konservasi dan

keanekaragaman hayati beserta ekosistemnya.

Kegiatan rehabilitasi tersebut tidak dapat dilaksanakan karena hingga saat

ini walapun Pemerintah telah mengklaim suatu wilayah sebagai kawasan hutan

namun masih terdapat beberapa pihak terkait yang belum atau tidak mengakui

keberadaannya, bahkan status kedudukan kawasan tersebut masih lemah, sehingga

sangat perlu untuk mengetahui terlebih dahulu ―kepastian kawasan hutan‘ dan di

batasi dengan antara kawasan hutan yang telah diakui keberadannya oleh

masyarakat dan pihak terkait lainnya dan kawasan hutan yang telah kuat

kedudukan status hukumnya, dalam artian telah ditetapkan oleh Menteri

Kehutanan.

Penebangan liar dan pembakaran lahan telah mengakibatkan kerusakan

hutan secara besar-besaran dan berlangsung secara intensif. Untuk merestorasi

kawasan yang telah rusak membutuhkan waktu yang tidak singkat, puluhan

bahkan hingga ratusan tahun.


31

Penebangan liar dapat mengakibatkan degradasi lahan dan hilangnya

luasan hutan, keanekaragaman hayati baik flora maupun fauna dapat dipastikan

menurun. Rusaknya hutan berdampak pada kemampuannya sebagai paru-paru

dunia dalam memproduksi oksigen. Hutan tidak lagi mampu menciptakan

stabilitas hidrologi, mengurangi banjir, mengendalikan erosi, longsor,

sedimentasi, memperbaiki kesuburan tanah, dan juga sebagai penyangga

kehidupan, akibatnya produktifitas lahan menurun dan kemiskinan makin meluas.

Tanaman Jati di Pulau Jawa kondisinya sangat menurun, sifat fisik

tanahnya padat karena penggembalaan yang berlebihan, lapisan humusnya hilang

terbakar, tegakannya tidak lagi terisi penuh dan yang paling parah, penyebaran

kelas umurnya tidak lagi normal (Sagala, 1997).

Siklus hidrologi tidak lagi stabil, akibatnya pada musim kemarau terjadi

kemarau yang berkepanjangan dan banjir pada musim penghujan. Lapisan ozon

yang berfungsi sebagai pelindung terhadap seluruh makhluk hidup kini makin

menipis dan bisa mengancam kesehatan manusia. Hutan yang rusak tidak lagi

mampu menjadi filter terhadap gas-gas emisi efek rumah kaca, pencemaran udara,

sehingga mengakibatkan terjadi panas bumi atau yang lebih dikenal dengan

sebutan pemanasan global (Warning global).

2.4. Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat

Memperbaiki kehidupan masyarakat di sekitar hutan telah lama masuk

dalam salah satu program Departemen Kehutanan. Memperbaiki sistem

Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) merupakan kegiatan utama

fasilitas program PHBM.


32

Pemerintah melalui Departemen Kehutanan sejak beberapa tahun lalu

telah melakukan upaya fasilitasi pembangunan hutan rakyat, namun gaungnya

belum begitu nampak secara nasional, sehingga pengembangan potensi hutan

rakyatnya belum optimal. Oleh karena itu pembangunan hutan rakyat layak

dijadikan salah satu pilihan efektif dalam mengurangi dampak-dampak yang

disebabkan oleh masyarakat di sekitar hutan.

Penanaman tanaman tahunan yang dilakukan oleh masyarakat di lahan-

lahan kritis akan dilandasi oleh alasan-alasan konkret dan logis secara ekonomis

mengapa mereka mau menanam, sehingga akan timbul rasa memiliki (‖sense of

belonging‖) dari masyarakat itu sendiri (Djajono, 2006).


33

III. PEMBANGUNAN SEKTOR KEHUTANAN DAN


PENGENTASAN KEMISKINAN

3.1. Peran Kehutanan

Sektor kehutanan pada dasarnya mempunyai manfaat sosial yang sangat

besar, hal ini ditunjukkan dengan banyaknya masyarakat yang sangat tergantung

pada keberadaan hutan. Ketergantungan tersebut dapat dilihat secara langsung

maupun tidak langsung. Manfaat sosial langsung ditunjukkan oleh banyaknya

produk-produk hutan baik kayu maupun non kayu (rotan, damar, gaharu, lebah

madu dsb) yang menjadi gantungan hidup sebagian besar masyarakat sekitar

hutan. Sedangkan manfaat sosial tidak langsung ditunjukkan oleh adanya

keseimbangan lingkungan keberadaan hutan yang berdampak sosial antara lain:

terjaganya sumber air, mencegah terjadinya bencana alam (banjir, longsor). Selain

itu keberadaan sektor kehutanan (dari hilir ke hulu) telah membuka

kesempatan/lapangan kerja bagi penduduk Indonesia.

Paradigma pembangunan kehutanan semenjak bergulirnya era reformasi

telah bergeser fungsi dan manfaat hutan yang semula didominasi aspek ekonomi

bergeser menjadi aspek ekologi, sosial-budaya dan ekonomi. Konsekuensi dari

pergeseran paradigma tersebut tentunya diikuti dan membawa dampak kebijakan

nasional, regional maupun daerah (Puryono, 2006).

Dalam setiap kebijakan, program, kegiatan pembangunan kehutanan,

kemiskinan selalu disebutkan dan dipertimbangkan. Banyak rancangan kegiatan

yang telah dilakukan dalam menanggulangi kemiskinan khususnya melalui

pemberdayaan masyarakat sekitar hutan dengan pendekatan payung besar ‖social

forestry‖, atau yang lebih banyak dikenal dengan Agroforestri.


34

Melalui upaya pemberdayaan masyarakat sekitar hutan, pada dasarnya

sektor kehutanan mempunyai potensi dan peranan yang strategis dalam andil

untuk ikut serta dalam menanggulangi kemiskinan baik secara langsung maupun

tidak langsung.

Banyak program/ rancangan kegiatan yang telah dilaksanakan oleh

pemerintah dalam hal ini Departemen Kehutanan dalam penanggulangan

kemiskinan diantaranya adalah dengan kegiatan Sengonisasi yang dilaksanakan

pada lahan kritis yang berada pada areal hutan hak (milik masyarakat) dan

Gerakan Nasinal Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNRHL).

3.2. Pembentukan Kelompok Tani Hutan

Pemberdayaan masyarakat merupakan sebuah paradigma pembangunan

yang berkeadilan dimana arah pembangunan berpusat pada rakyat sebagai upaya

untuk meningkatkan kapasitas dan produktivitas ke arah kemandirian.

Dalam pemberdayaan masyarakat, sangat diperlukan peran aktif

masyarakat itu sendiri. Peran individu bukan sebagai obyek melainkan sebagai

pelaku (subyek) yang menetapkan tujuan yang ingin mereka capai,

mengendalikan sumberdaya dan mengarahkan proses yang mempengaruhi

kehidupan.

Strategi yang digunakan dalam pemberdayaan masyarakat adalah dengan

melakukan penguatan kelembagaan yang merupakan sebuah kegiatan dalam

rangka memberdayakan masyarakat sekitar hutan agar mau dan mampu berperan

serta dalam pengelolaan dan pelestarian hutan untuk meningkatkan

kesejahteraannya. Salah satu pendekatan yang digunakan yaitu pembentukan

Kelompok Tani Hutan.


35

Dengan pendekatan kelompok tani hutan yang mandiri banyak manfaat

yang akan dipetik oleh masyarakat. Kelompok ini akan berfungsi sebagai kelas

belajar, wahana bekerjasama dan unit produksi. Tidak semua masyarakat petani

mempunyai keinginan untuk membentuk kelompok, hal ini tergantung pada

tingkat kebutuhan para petani.

Menurut Nurhidayat (2004) menyatakan bahwa wilayah kerja RHL harus

ditetapkan satuannya berdasarkan luas hamparan atau administrative

pemerintahan. Wilayah kerja RHL harus dikelola oleh seorang pengelola yang

professional karena akan berfungsi sebagai pengelola berbagai sumber daya yang

ada pada wilayah kerjanya. Seorang pengelola wilayah kerja akan dibantu oleh

beberapa fasilitator / pendamping masyarakat. Masyarakat sebagai pelaku RHL

akan membentuk kelompok-kelompok untuk memudahkan penyelenggaraannya.

3.3. Peningkatan Ekonomi Masyarakat Sekitar Hutan

Dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan

pemerintah telah mengharuskan para pengusaha HPH untuk melaksanakan

kegiatan HPH Bina Desa yang kemudian disempurnakan menjadi program

Pembangunan Masyarakat Desa Hutan (PMDH).

Demikian pula pada hutan produksi di Jawa telah banyak dilaksanakan

kegiatan yang berorientasi pada upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat

seperti PMDH, agroforestry, PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat)

dan bentuk-bentuk hutan kemasyarakatan lainnya (Perhutanan Sosial). Namun

upaya-upaya tersebut belum menunjukkan hasil yang nyata dikarenakan hasil

yang akan diharapkan tidak dapat dinikmati secara langsung.


36

Namun Demikian Pemerintah telah membuat program yang dapat

dirasakan langsung oleh masyarakat didalam dan disekitar hutan, diantaranya

adalah :

3.3.1. Budidaya Lebah Madu dan Gula Aren

Salah satu sumber daya alam yang relatif mudah didapatkan, baik di dalam

maupun di kebun-kebun yang dikelola oleh masyarakat adalah hasil hutan

non kayu diantaranya aren dan madu. Selain bernilai ekonomi tinggi hasil

hutan non kayu juga bermanfaat bagi pelestarian lingkungan. Sebagai

contoh yang dilakukan masyarakat Desa Tabo-Tabo Kecamatan Bungoro

Kabupaten Pangkep.

Masyarakat Desa Tabo-Tabo bertempat tinggal di sekitar kawasan hutan

pendidikan dan Pelatihan Tabo-Tabo. Sebagian besar masyarakat Desa

Tabo-Tabo merupakan masyarakat petani aren. Pemanfaatan potensi

ekonomis pohon aren oleh masyarakat masih sebatas pada pembuatan gula

aren. Bagian-bagian lain belum tersentuh untuk kegiatan ekonomi.

Kalupun dimanfaatakan peruntukannya hanya untuk lingkup rumah tangga

saja.

Alam Indonesia kaya akan berbagai jenis tumbuhan sebagai pakan lebah

madu. Lebah madu lokal Indonesia, baik Apis dorsata maupun Apis cerana

telah lama dikenal sebagai salah satu mata pencaharian masyarakat.

Pembudidayaan lebah lokal biasanya dilaksanakan secara tradisional oleh

masyarakat sekitar hutan sebagai kegiatan sampingan masyarakat sejak

lama dengan menggunakan glodog yaitu batang kelapa yang dibuat rongga

ditengahnya sebagi tempat hidup lebah.


37

Volume yang dapat dipanen dari hasil berburu madu rimba adalah berkisar

antara 20-150 botol permusim dengan harga Rp 20.000 / botol. Sehingga

pemburu lebah dapat memperoleh penghasilan tambahan antara

Rp.400.000 s/d Rp. 3.000.000 per musim.(Julinuddin, 2006).

3.3.2. Budidaya Rotan

Rotan merupakan salah satu sumber hayati Indonesia, penghasil devisa

negara yang cukup besar. Sebagai negara penghasil rotan terbesar,

Indonesia telah memberikan sumbangan sebesar 80% kebutuhan rotan

dunia. Dari jumlah tersebut 90% rotan dihasilkan dari hutan alam yang

terdapat di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, dan sekitar 10% dihasilkan

dari budidaya rotan. Nilai ekspor rotan Indonesia pada tahun 1992

mencapai US$ 208,183 juta (Martono et all., 2006).

Menurut hasil inventarisasi yang dilakukan Direktorat Bina Produksi

Kehutanan, dari 143 juta hektar luas hutan di Indonesia diperkirakan hutan

yang ditumbuhi rotan seluas kurang lebih 13,20 juta hektar, yang tersebar

di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Jawa dan pulau-pulau lain yang

memiliki hutan alam (Martono et all., 2006).

Rotan yang berasal dari hutan alam cenderung semakin berkurang

produksinya sejalan dengan berkurangnya hutan alam. Oleh karena itu,

pengembangan budidaya rotan merupakan alternatirf yang sangat baik

untuk dilaksanakan baik secara intesnsif (didalam kawasan hutan) maupun

ekstensif (didalam lahan masyarakat).

Rotan merupakan produk hasil hutan bukan kayu yang berperan penting

dalam meningkatkan pendapatan masyarakat sekitar hutan. Peran


38

Indonesia sebagai produsen utama rotan, kini bukan lagi sebagai pemasok

bahan baku bagi industri mebel rotan di luar negeri, tetapi sudah beralih

menjadi pemasok mebel rotan dan barang kerajinan.

Pembentukan kelompok tani hutan diperlukan sebagai upaya peningkatan

pemberdayaan masyarakat yang lebih solid diharapkan dapat meningkatan

posisi tawar yang lebih tinggi. Disamping itu untuk meningkatkan gairah

petani rotan perlu diwujudkan prinsip kemitraan antara Industri-industri

pengolahan rotan dengan para petani, sehingga dihasilkan produk-produk

dalam bentuk setengah jadi yang dapat meningkatkan pendapatan petani

rotan.

Pemerintah telah membuat kebijaksanaan untuk memudahkan proses

pengangkutan rotan ini melalui PP.55/Menhut-II/2006, dimana di

dalamnya diatur mengenai dokumen pengangkut hasil hutan bukan kayu

yaitu hanya menggunakan faktur angkutan hasil hutan bukan kayu (FA-

HHBK). Hal ini ditujukan untuk memangkas panjangnya birokrasi dalam

pengurusan dokumen angkutan yang pada akhirnya mempermudah para

petani rotan untuk memasarkan bahan baku tersebut.

3.3.3. Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan

Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan merupakan gerakan yang

bertujuan untuk merehabilitasi kawasan hutan yang terdegradasi dan

mengajak masyarakat untuk menghijaukan lingkungannya dengan

melakukan penananam tanaman tahunan seperti Karet pada lahan yang

dimilikinya. Diharapkan hal ini dapat memberikan manfaat langsung

kepada masyarkat.
39

Realisasinya dilapangan sangat membantu masyarakat disamping

memberikan secara cuma-cuma bibit Karet yang notabene sangat disukai

masyarakat yang nantinya sangat bermanfaat untuk meningkatkan

penghasilan, juga dapat membuka lapangan pekerjaan bagi masyarkat

didalam ataupun disekitar hutan, dimana mereka dilibatkan secara

langsung dalam pelaksanaannya melalui kelompok tani yang sudah

dibentuk sebelumnya.

Selain itu, kegiatan rebosasi dan rehabilitasi lahan bukan merupakan

monopoli dari pemerintah. Masyarakat secara individu maupun kelompok

juga ambil bagian dalam hal ini. Hal inilah yang menjadi tujuan utama dari

kegiatan GNRHL, menumbuh kembangkan minat masyarakat untuk

menanam pohon dan menyadarkan masyarakat akan pentingnya fungsi

hutan bagi kehidupan.

Dalam GNRHL digunakan sistem RHL yang merupakan sistem terbuka,

dimana didalamnya melibatkan para pihak yang berkepentingan dengan

penggunaan hutan dan lahan. Dengan demikian pada prinsipnya RHL,

diselenggarakan atas inisiatif bersama para pihak. Ini berbeda dengan

penyelenggaraan RHL, selalu melalui inisiatif pemerintah dan menjadi

beban tanggungan pemerintah. Dengan kata lain, ke depannya RHL

dilaksanakan oleh masyarakat dengan kekuatan utama dari masyarakat

sendiri. Prinsip-prinsip penyelenggaraan RHL secara lebih deskriptif

disajikan pada pola umum RHL (Dephut, 2004).

Melaksanakan rehabilitasi hutan dan lahan pada dasarnya membangun

perwilayahan yang akan terkait dengan wilayah DAS, Propinsi,


40

Kabupaten/ Kota, dan wilayah kerjanya. Pada wilayah-wilayah tersebut

terkait erat dengan aspek sosial, ekonomi, lingkungan yang harus

didukung oleh investasi, kelembagaan, dan pelaksanaannya harus

dilakukan secara terpadu.

Kenyataan di lapangan yang menggembirakan adalah tidak terdapatnya

masalah klasik yang sering ditemukan dalam kegiatan reboisasi yaitu

tumpang tindih lahan karena lahan sudah dikuasai oleh pihak ketiga.

Sehingga diperkirakan kegiatan ini akan berjalan dengan lancar.

GNRHL harus dijadikan sebagai suatu investasi pembangunan yang harus

bergulir sehingga sangat diperlukan upaya-upaya pengamanan dan harus

menimbulkan manfaat baik langsung maupun tidak langsung kepada

masyarakat, swasta dan pemerintah. Pengembalian investasi pembangunan

RHL sangat ditentukan oleh nilai manfaat yang dirasakan oleh semua

pihak secara berkelanjutan.

Selain ketiga program tersebut masih banyak peran sektor kehutanan yang

berpeluang dapat membantu upaya penanggulangan kemiskinan, sehingga sangat

diperlukan kajian lebih mendalam untuk memanfaatkan dan menggali peluang dan

potensi secara optimal.


41

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Kehutanan, 2004. Standar dan Kriteria Rehabilitasi Hutan dan Lahan.
http://www.dephut.go.id. (15 Juli 2004).

Departemen Kehutanan, 2004. Rumusan Sementara Forum Nasional


Pengembangan Rotan Berkelanjutan. http://www.dephut.go.id.
(15 Januari 2007).

Departemen Kehutanan, 2006. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor:


P.55/MENHUT-II/2006. Penatausahaan Hasil Hutan yang Berasal dari
Hutan Negara, Jakarta.

Djajono, A., 2006. Peran Sektor Kehutanan dalam Penanggulangan Kemiskinan.


Majalah Kehutanan Indonesia. (2) : 23 – 25.

Hidayat, N., 2004. Bahan Masukan Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan
Lahan. http://www.dephut.go.id. (15 Juli 2004).

Julinuddin, 2006. Pemanfaatan Lebah Madu Lokal untuk Menambah Pendapatan


Masyarakat Sekitar. Majalah Kehutanan Indonesia. (8) : 23 – 26.

Martono, D.J., dan Supriana, 2007. Sari Hasil Penelitian Rotan.


http://www.dephut. go.id. (02 Februari 2007).

Njurumana, 2006. Cagar Alam Mutis Sebagai Indikator Pembangunan di Timor


Barat. Majalah Kehutanan Indonesia. (10) : 17 – 22.

Puryono, S., 2006. Strategi Pengelolaan Hutan Mangrove Berbasis Masyarakat.


Majalah Kehutanan Indonesia. (2) : 17 – 22.

Sasmita, G., 2006. Jalan Keluar Bagi Kemiskinan. Kompas, 13 September 2006.

Sagala, P., 1997. Mengelola Lahan Kehutanan Indonesia. Yayasan Obor


Indonesia. Jakarta.

Untung, I., 2006. Lorong Berkabut, Catatan Sektor Kehutanan. Unwarna Press.
Jakarta.
42

PERANAN HUTAN KOTA

OLEH :

ERMANSYI

PROGRAM STUDI ILMU LINGKUNGAN


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
2006
43

I. PENDAHULUAN

Riswandi dan Syamsudin (2005) menyatakan bahwa diera globalisasi

yang ditandai dengan kemajuan teknologi seni dan budaya yang sangat pesat.

Kalau dianalisis dengan kemajuan teknologi seni dan budaya tersebut telah

menyebabkan peta ekonomi dan politik dunia telah berubah secara mendasar

yang membawa tantangan masalah dan peluang serta harapan baru.

Dengan munculnya penomena masalah diperkotaan seperti suhu udara

yang semakin meningkat, tingkat polusi udara semakin tinggi rusak atau

hilangnya berbagai abitat yang diiukuti dengan menurunnya keaneka ragaman

flora dan fauna hilang dan rusaknya pemandangan kota serta berbagai macam

masalah sosial lainnya. Setiap pembangunan hijau atau pegetasi selalu

menjadi korban, pada hal pegetasi mempunyai peranan penting dalam

ekosistem.

Dalam mengahadapi global pada abad sekarang, sudah waktunya untuk

mengkaji kwalitas lingkungan dan lansekap perkotaan yang memberi suasana

fungsional, efesien, kenyamanan, kesehatan, dan estetis. Membuat hutan

perkotaan yang efesien, nyaman sehat, dan estetis merupakan kewajiban setiap

orang untuk memelihara lingkungan hidup (Undang-Undang Lingkungan

Hidup No. 4 tahun l982).

Penanaman hutan kota mempunyai peranan penting terhadap bumi,

karena bumi telah mengalami perubahan lingkungan yang besar seperti

tingginya konsentrasi gas rumah kaca karena aktifitas manusia, yang

mendapat menimbulkan perubahan iklim seperti tingginya kandungan CFCS


44

diatmosfir yang dapat merusak lapisan ozon ( ozon layer ) (Daud Silalahi,

2001).

Kalau dianalisis lebih jauh sebenarnya kerusakan itu telah terjadi

dimana-mana seperti kerusakan hutan, proses pembentukan gurun, pasir,

kemusnahan berbagai spesies flora dan fauna serta erosi. Terjadinya kerusakan

lingkungan berkotaan dapat terjadi karena pertambahan penduduk yang tidak

terkontrol dan tidak seimbang dengan peningkatan kualitas atau kemampuan

dalam mengelola sumber daya. Dengan akta lain berkembang penduduk secara

kuantitas tidak berimbang dengan perkembangan kualitas dan perimbangan

mobilitas penyebarannya.

Disamping hal tersebut kerusakan lingkungan perkotaan tidak hanya

disebabkan oleh manusia semata tetapi juga disebabkan dirusakkan secara

alamiah atau peristiwa alam seperti gempa tektonik, letusan gunung berapi dan

angin topan.

Selanjutnya kalau dikaitkan dengan pertambahan dengan jumlah

penduduk akan dapat meningkat mobilitas, pertama pada era informasi yang

ditandai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat.

Dan ini akan dapat tercipta kelompok baru yang muncul dalam masyarakat

seperti kelompok sosial industriawan atau kelompok sosial penjual jasa.

Kualitas penduduk tersebut akan lebih meningkat sejalan dengan

meningkatnya pendidikan masyarakat ini.

Dalam situasi peningkatan tersebut akan berpengaruh terhadap

kebutuhan akan lahan yang meningkat dengan cepat dari berbagai sektor yang

mengakibatkan dampak terhadap lingkungan akan lebih menjadi lebih besar


45

pula. Sehingga sering terjadi perebutan kepentingan terutama untuk

mendapatkan lahan. Akan ini dapat mengakibatkan lahan-lahan markinal.

Hal ini dapat dibuktikan karena sering terjadi diperkctaan teratama di kota-

kota besar. Kelompok tertentu memberikan lahan dengan harga murah pada

hal lahan tersebut lebih rendah dari sekitarnya dan merupakan tempat

penampungan air buangan, misalnya penampungan air hujan dan air buangan

rumah tangga penduduk sekitarnya. Kemudian lahan tersebut ditimbun lebih

tinggi dari lahan sekitaranya. Apabila hujan datang cukup lebat selama sehari

saja sudah cukup menemukan banjir disekitarnya selanjutnya pembangunan

ekonomi dimasa depan akan meningkat seiring dengan kemajuan diberbagai

bidang perkotaan, baik dibidang tekonologi, produksi manajemen, dan

informasi semua itu telah meningkatkan kualitas hidup manusia.

Keunggulan ekonomi masyarakat perkotaan tersebut akan selalu diikuti

dengan peningkatan pendapatan, yang menimbulkan tuntunan yang lebih besar

akan serana dan prasarana perkotaan. Hal ini adalah cerminan adanya

korelasi yang kuat antara tingkat urbanisasi dengan tingkat pendapatan.

Dibalik itu kawasan perkotaan akan membutuhkan sarana perumahan yang

lebih baik seperti pelayanan dasar lainnya dan prasarana kota yang berkualitas

termasuk transportasi.

Kondisi semua itu akan menimbulkan dampak lingkungan yang sudah

dirasakan terutama masalah pencemaran udara, pencemaran air maupun

pencemaran tanah, masalah kebisingan serta menurunnya kualitas udara

diperkotaan ini.
46

Kondisi tersebut harus mendapat perhatian semua pihak melalui

kerjasama antara masyarakat dengan pemerintahan yang ada diperkotaan

misalnya dengan menanami perkarangan rumah dengan berbagai jenis

tanaman, pepohon dan bagi pemerintah menanami bunga dan pepohon yang

teratur disetiap pinggir jalan dan sudut kota, sehingga kota kembali menjadi

hijau sebagai hutan perkotaan.

Untuk mengetahui dan mendalami tentang hutan tentang perkotaan

tersebut, maka dalam makalah ini penulis akan menjabarkan bagaimana hutan

kota dalam memperbaiki mutu lingkungan. Dan bagaimana pula hutan kota

dan pengelompokannya.
47

II. PERANAN HUTAN KOTA DALAM MEMPERBAIKI MUTU


LINGKUNGAN

Membangun hutan di daerah perkotaan merupakan suatu sarana untuk

memperbaiki mutu lingkungan. Hal ini dapat dilakukan melalui penawaran

tumbuhan (vegetasi) di sepanjang pinggir jalan, sudut kota dan setiapa

perkarangan rumah penduduk, dengan bermacam-macam tanaman.

Zoer‘aini (1979) menyatakan bahwa penanaman perkarang rumah

dengan bermacam-macam tanaman, mulai perumputan, pepohonan dan bunga-

bunga, telah dilakukan sejak nenek moyang dahulu. Karena dengan penanaman

tersebut akan mendatangkan kesejukkan udara bersih dan mendatangkan

keindahaan serta kenyaman fisik dan sosial.

Disamping itu perkarangan rumah mempunyai fungsi ganda, yang

merupakan integrasi antara fungsi alam dengan fungsi untuk memenuhi

kebutuhan sosial budaya dan ekonomi manusia. Fungsi ganda berupa

hydrologi, pencagaran sumber daya genetic (plasma nutfah), efek lingkungan

mikro sosial dan produksi. (Soemarwoto, 1983).

Adapun yang menjadi elemen-elemen utama yang dapat

mempengaruhi kehidupan manusia diantaranya cahaya matahari, suhu udara,

angin dan kelembaban. Interasksi dari elemen tersebut akan dapat

mendatangkan kenyamanan, kepanasan, kedinginan atau biasa. Penanaman

pohon, membuat dan bunga sebagai hutan kota, sangat berperan untuk

mengubah suhu dalam rangka memperbaiki mutu lingkungan.

Setiap daun dari pohon kayu, rumput dan bunga yang ditanam

diperkotaan akan dapat mengintersepsi, merefleksi mengabsorpsi dan

menstransmisikan sinar matahari. Efektivitasnya tergantung pada spesiesnya


48

misalnya rindang, berdaun, becabang dan peranting banyak setiap spesies

tersebut mempunyai bentuk karakteristik, warna, tekstur dan ukuran.

Pertumbuhan (vegetasi) berguna sebagai penghubung serta membentuk ruang

sebagai pembatas, penyatap dan pelantai serta dapat pula mengubah ruang luas

menjadi sempit dan memberikan suasana yang sunyi dan nyaman. Pohon

taman sebagai hutan kota dapat digunakan untuk menciptakan latar yang unik

dalam memperbaiki mutu lingkungan untuk lebih indah nyaman dan sejuk.

Tumbuhnya hutan kota sangat bermanfaat untuk perbaikan mutu

lingkungan dikota, selain mengontrol erosi dan air tanah, mengurangi polusi

udara, mengurangi kebisingan, mengendalikan air limbah, mengontrol lalu

lintas dan cahaya yang menghilaukan, mengurangi pantulan cahaya serta

mengurangi aroma yang tidak sedap (bau). Grey dan Deneke (1978)

mengemukakan berbagai sifat tumbuhan yang khas dan pengaruhnya dapat

memecahkan masalah teknik yang berhubungan dengan lingkungan yaitu

daging daun yang mengurangi bunyi, ranting-ranting yang bergerak dan

bergetar untuk menyerap dan menutupi bunyi-bunyian, ubesen atau bulu-bulu

yang dapat menahan partikel-partikel air, stomata untuk mengganti gas.

Agar peranan hutan kota mampu memperbaiki mutu lingkungan kota,

maka harus dipilih jenis tanaman yang cocok untuk ditanami. Pemilihan ini

dimaksud, supaya tanaman tersebut dapat tumbuh dengan baik.

Untuk tumbuhnya tanaman dengan baik hendaklah dipertimbangkan

syarat-syarat hortikultural, ekologi dan syarat-syarat fisik lainnya seperti yang

dikemukan oleh (Eckco, 1956) bahwa persyaratan tersebut adalah

mempertimbangkan respons dan toleransi terhadap temperatur kebutuhan akan


49

air, kebutuhan dan toleransi terhadap cahaya matahari, kebutuhan tanah, hama

dan penyakit, serta syarat-syarat fisik yaitu tujuan penghijauan (penanaman

hutan kota) persyaratan budidaya, bentuk tajuk, tektur, warna dan aroma, banyak

contoh didalam dan diluar negeri yang membuktikan bahwa penanaman hutan

kota (penghijauan di pinggir jalan maupun ditaman ditanami dengan tanaman

produktif seperti tanaman berbunga wangi.

Irwan (1994) mengatakan bahwa persepsi masyarakat terhadap

penghijauan, dalam penelitiannya menunjukkan bahwa hampir semua

masyarakat mengetahui dan menyenangi penghijauan, masyarakat sudah terbiasa

menanam pohon dan tanaman lainnya, sehingga tidak sukar untuk mengajak

masyarakat melalui penghijauan. Dalam pelaksanaan dan pemeliharaan dapat

dibina melalui kerjasama yang jelas antara masyarakat dan pemerintah.

Penghijauan kota sepanjang jalan dan sungai taman-taman kota. Taman-taman

lingkungan penghijauan disekitar bangunan seperti hotel sekolah, pabrik, kantor,

pekarangan rumah, semua itu merupakan hutan kota.

Penanaman hutan kota sebagaimana yang telah diungkap

sebelumnya (diatas) mempunyai peranan dalam memperbaiki mutu

lingkungan kota. Akan tetapi peranan tersebut sangat tergantung pada

vegetasi yang ditanam untuk itu. Dari berbagai peranan dan manfaat yang

ditemukan oleh para ahli mengetahui dapat dipaparkan sebagai berikut :

1. Dengan penanaman hutan kota pada paru-paru kota, tanaman sebagai

elemen hijau, pada pertumbuhannya menghasilkan zat asam (O 2 ) yang

sangat bermanfaat (diperlukan) bagi makhluk hidup bagi pernapasan.

2. Dengan pengaturan lingkungan (secara mikro) vegetasi akan menimbulkan


50

lingkungan sejuk, nyaman dan segar.

3. Pencipta lingkungan hidup, penghijauan dapat menciptakan ruang lingkup

bagi makhluk hidup yang ada di alam ini, yang memungkinkan terjadinya

intraksi secara alamiah.

4. Penyeimbangan alam (Edaphis) merupakan pembentukan tempat hidup

alami bagi satwa yang hidup diperkotaan.

5. Oro-Hitrologi, pengendalian untuk penyediaan air tanah dan pencegahan

berbagai erosi.

6. Penanaman hutan kota berperan untuk melindungi kondisi fisik alami

sekitarnya, seperti angin kencang terik matahari, gas atau debu.

7. Penanaman hutan kota berperan mengurangi polusi udara, vegetasi dapat

menyerap polutan tertentu. Vegetasi dapat menyaring debu dengan tajuk dan

kerimbunan dedaunannya.

8. Dengan penanaman hutan kota melaui perencanaan dengan baik dan

menyeluruh akan dapat menambah keindahan kota.

9. Rekreasi dan pendidikan, jalur hutan kota dengan aneka tanaman

mengandung nilai ilmia.

10. Kesehatan warna dan karakter hutan kota dapat digunakan untuk terapi mata

dan jiwa.

11. Dengan membangun hutan kota akan daoat mengurangi polusi air dan

membantu membersihkan air.

12. Dengan membangun hutan mempunyai peranan untuk mengurangi polusi

suara (kebisingan) dan menyerap suara.

13. Dengan membangun hutan juga berperan mendatangkan nilai pendidikan,


51

yaitu dari bermacam-macam tanaman tersebut akan mendatangkan karakter

yang memberikan nilai ilmia sehingga sangat berguna untuk pendidikan,

berupa laboratorium alam.

14. Dengan penanaman hutan kota mengandung nilai sosial, politik, dan

ekonomi. Tanaman hutan kota mempunyai nilai sosial yang tinggi, seperti

tamu Negara datang misalnya menanam pohon tertentu ditempat yang sudah

disediakan.

15. Penanaman hutan kota berperang sebagai indikator atau petunjuk bagi

lingkungan kemungkinan ada hal-hal yang membahayakan yang terjadi

atas pertumbuhan dan perkembangan kota.

Dengan demikian penanaman hutan kota sangat berperan buat

penghidupan masyarat dikota sebab tumbuhan yang hijau akan dapat

menyerap CO2 dan menghasilkan O2, yang sejak tahun tambahan CO2 dari

pembakaran fosil sebesar 3.64 x 109 ton sedangkan hutang yang ada hanya dapat

menyangga rata-rata 1 ton/acre/ sehingga dunia memerlukan 1.820.000 (Rich,

1970). Untuk memperbaiki kodisi tersebut diatas diperlukan upaya-upaya

untuk sama-sama menanam pepohonan dikota dalam rangka memperbaiki

mutu lingkungan kota.


52

III. HUTAN DAN PENGELOMPOKKANNYA

Sebagaimana yang telah diungkapkan bahwa hutan kita adalah

komunitas tumbuhan (vegetasi) berupa pohon dan asosianya yang tumbuh

dilahan perkotaan. Dan kalau dianalisa bentuk kota tersebut ada yang berbentuk

jalur, menyebar atau bergerombal dan strukturnya dapat juga meniru atau

mempunyai hutan alam, membentuk habitat yang memungkinkan kehidupan

bagi satwa liar, yang dapat menimbulkan lingkungan yang sehat suasana

nyaman, sejuk dan estetis. Dalam hal ini (Oduma, 1983) mengatakan bahwa

jaringan dari komponen-komponen serta proses yang terjadi pada lingkungan

(seperti lingkungan kota) merupakan sebuah system.

Di dalam system lingkungan hidup biasanya meliputi daratan atau air

misalnya hutan, danau, lautan, lokasi pertanian dan perkotaan. Menurut

(Haeruman, 1987) mengatakan bahwa hutan kota terletak jauh diluar batas kota,

sepanjang interaksi yang intensif antara penduduk sebuah kota dengan intensif

antara penduduk sebuah kota dengan hutan tersebut berlangsung secara terus

menerus yang dapat mendatangkan manfaat. Menurut Fakuara (1987), ruang

terbuka yang ditumbuhi vegetasi berkayu diwilayah perkotaan memberi

manfaat kepada lingkungan sebesar-besarnya untuk penduduk dalam kegunaan

proteksi, estetika, reaksi-reaksi dan sebagainya, dalam bentuk jalur hijau.

Menurut Boot (1979) mengemukakan bahwa jalur hijau dengan lebar

183 m dapat mengurangi pencemaran udara sampai 75%.Selanjutnya hutan kota

tersebut dapat dikelompokkan sesuai dengan rancangan tata kota dalam bidang

pembangunan hutan kota. Adapun pengelompokkan kota menurut Wira

Kusuma (1987) adalah sebagai berikut:


53

1. Hutan kota konservasi

2. Hutan kota Industri

3. Hutan kota wilayah pemukiman

4. Hutan kota wisata

5. Hutan kota tangkar satwa

Rancangan kearah terbentuk struktur ekologis, berfungsi untuk

melestarikan lingkungan yang nyaman, sehat, estetis dan dapat menghadirkan

satwa liar adalah hutan kota yang memenuhi kaidah lansekap di perkotaan

(Zoer‘aini, 1994).

Disamping itu, hutan kota yang dirancang sesuai pengelompokkannya

juga dapat menurunkan suhu, kebisingan dan debu serta dapat juga untuk

meningkatkan kelembaban.

Pengelompokkan hutan kota sebagai mana dikatakan (Zoer‘aini, 1994)

dapat dikelompokkan berdasarkan bentuk dan strukturnya maka hutan kota

dapat dikelompokkan sebagai berikut:

1. Bentuk hutan kota.

Bentuk kota tergantung kepada bentuk lahan yang tersedia bentuk hutan

kota

2. Struktur hutan.

Struktur hutan kota adalah komposisi dari jumlah dan keaneka

ragaman dari komunitas vegetasi yang menyusun hutan kota. Penyusunan

hutan kota, pengelompokkan hutan kota akan lebih bermanfaat sesuai

program dan rencana dalam pembangunan hutan kota.


54

IV. MASALAH DAN PEMBAHASAN

4.1. Masalah

Setiap pembangunan selalu akan menimbulkan resiko perubahan dan

adakalanya mempunyai dampak yang buruk terhadap lingkungan walaupun

demikian di dalam pengembangan pembangunan sudah ada ketentuan –

ketentuan dan peraturan yang mengatur seperti tata ruang dan peraturan yang

menetapkan suatu rencana. Pada hal aturan tersebut sudah mempunyai kekuatan

hukum namun selalu diabaikan oleh pihak pelaksana pengembangan terutama

pembangunan hutan dengan memanfaatkan lahan disekitar kota untuk ditanami

berbagai jenis tanaman kayu – kayuan.

Dalam rangka penyebarluasan dan mempublikasikan mengenai fungsi dan

peranan hutan kota kepada instansi pemerintah maupun pihak swasta perlu

ditumbuh kembangkan supaya mempunyai persepsi yang sama dalam merancang

perkotaan dan pengembil kebijakan karena samapai saat ini secara nyata

pembangunan kota dan peranannya banyak yang belum memahami dan

kurangnya partisifasi dalam pembudidayaannya yang menurut hemat penulis

disebabkan oleh faktor – faktor berikut :

a. Perkembangan kota terus meningkat yang menyebabkan banyak tanaman atau

jalur hijau yang berubah fungsi menjadi jalur beton dan taman beton, hal ini

disebabkan oleh rendahnya kepatuhan terhadap peraturan.

b. Para pelaku pembangunan belum memahami secara lengkap pentingnya suatu

keputusan dalam pemanfaatan ruang dan masih belum dapat

menginterprestasikan rencana yang sudah disusun, akibatnya banyak yang

menyimpang dari rencana yang ada.


55

c. Perluasan kota yang kurang terencana akan merusak peranan taman, tanaman

dan pohon sebagai jalur hijau.

d. Rendahnya program sosialisasi mengenai penanaman tanaman, sehingga

kesadaran masyarakat untuk berperan aktif masih relatif kurang.

4.2. Pembahasan

Untuk mengantisifasi masalah – masalah yang sudah dikemukan dapat

dilakukan penataan tata ruang kembali dengan menyediakan ruang hutan kota,

tapi ini sangat sulit dilakukan dan kemungkinan besar tidak mungkin. Hal ini

disebabkan walaupun tata ruang sudah ditata namun cepat sekali berubah karena

banyak perbedaan persepsi baik dari perancang, pengambil kebijakan maupun

masyarakat dan masih ada anggapan bahwa penyediaan lahan untuk pembuatan

hutan kota merupakan hal yang kurang bermanfaat. Oleh karena itu, harus dicari

bagaimana caranya memaksimalkan fungsi hutan kota yang sudah ada atau lahan

yang dialokasikan bagi hutan kota untuk menyerap atau meminimalkan hasil

negatif aktivitas kota.

Hutan kota dan taman yang sudah tumbuh dan ada perlu yang

disempurnakan atau dikembangkan pada lahan tersisa agr dapat ditingkatkan

fungsinya, yaitu dengan menanam jenis tanaman yang ideal, baik dipandang dari

aspek fungsi maupun manfaatnya terhadap lingkungan.

Perlu ditumbuhkan persepsi yang sama tentang hutan kota baik perancang,

pengambil kebijakan dan masyarakat sehingga mereka mendapat manfaat dari

hutan kota mempunyai motivasi dan inisiatif untuk mengelola dan

memeliharanya sehingga setiap lapisan masyarakat siap untuk melaksanakan

pembangunan hutan kota.


56

Pembangunan kota dapat mencapai tujuannya apabila dapat mendukung

terutama kehidupan sosial dan ekonomi maka perancang kota perlu

memperhatikan ekonomi dan kependudukan, lingkunga dan fasilitas umum

lainnya sehingga terjadi kesamaan dan keseimbangan.


57

DAFTAR PUSTAKA

Eckbo, 1956. The Art of Home Lands Caping : MC Grow-Hill Book Company
New York.

Fakuara, 1987. Konsepsi Pengembangan Hutan Kota Bogor, Fakultas Kehutanan


Institut Pertanian.

Grey, and Deneke, 1978. Urban forestry : Jhon Willey and Sons New York.

Haeruman, H., 1987. Pola Pengelolahan Hutan Kota, Hal. 24 dalam Prosiding
Seminar Hutan Kota di DKI, Jakarta.

___________, 1994. Hutan sebagai Lingkungan Hidup Jakarta : Kantor


Kependudukan dan Lingkungan Hidup.

Irwan, Z. D., 1994. Peranan Bentuk dan Struktur Kota Terhadap Kwalitas
Lingkungan Kota. Disertasi, PascaSarjana : Institut Pertanian Bogor.

__________, 1996. Hutan Kota Menjadikan Kotanya nan Sehat dan Estetis.

__________, 1997. Lingkungan Perkotaan yang Nyaman Sehat dan Estetis Jurnal
Indonesia, Arsitektur Lansekap, April No.2 Jakarta.

Odum, 1983. Basic Ecologi : Sounder College London.

Presiden RI., 1982. Pasal 5 Undang-Undang Lingkungan Hidup.

Riswandi, B. A dan M. Syamsudin, 2005. Hak Kekayaan Intelektual dan Budaya


Hukum, Rajawali Press.

Silalahi, D., 2001. Hukum Lingkungan dalam Sistem Penegakkan Hukum


Lingkungan Indonesia. Alumni Bandung.

Soemarwoto, O., 1983. Ekologi Lingkungan Hidup dan Pembangunan,


Djambatan Jakarta.

Zoer‘aini, D. I., 1994. Taman Pekarangan Untuk Memenuhi Kebutuhan Anak


Rohaniah dan Jasmaniah, Mimbar Ilmiah IKIP, Surabaya.
58

PERILAKU MASYARAKAT DALAM PEMBUKAAN


HUTAN DAN LAHAN UNTUK AREAL PERTANIAN
DAN PERKEBUNAN HUBUNGANNYA DENGAN
KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN
DI KABUPATEN ROKAN HULU

OLEH :

ANUAR SADAT

PROGRAM STUDI ILMU LINGKUNGAN


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
2006
59

I. PENDAHULUAN

Pembangunan yang berwawasankan lingkungan sangat perlu pada saat

sekarang ini, terutama diligkungan hutan, 10 % hutan tropis yang tersisa saat ini

ada di negara Indonesia (kampanye hutan, WALHI, 24 April 2004).

Hutan dan lahan merupakan tempat manusia, tumbuhan dan hewan untuk

melangsungkan aktifitas kehidupanya, karena hutan dan lahan itu merupakan

habitat yang sangat cocok bagi tumbuhan dan hewan tertentu, termasuk manusia

yang kehidupannya tergantung pada alam yaitu pertanian dan perkebunan.

Pengertian hutan disini adalah hutan negara yang berada di atas tanah yang

tidak di bebani hak atas tanah tersebut dan lahan disini lahan untuk keperluan non

kehutanan yang mana kawasan hutan yang dilepaskan atau pinjam pakai untuk

keperluan diluar pembangunan kehutanan (Kepmenhut. 382/2004).

Pemanfaatan hutan dan lahan oleh badan-badan hukum atau perorangan

harus mengutamakan asas pemanfaatan hutan lestari, dimana akan tercipta

pengelolaan hutan yang berkesinambungan dan berdaya guna dan berhasil guna.

Pemanfaatan hutan dan lahan yang terlalu serakah dan hanya di pandang dari sisi

ekonomi saja akan berakibat buruk terhadap pembangunan lingkungan kita.

Kebakaran hutan dan lahan merupakan masalah nasional dan internasional

yang setiap saat banyak pakar mempunyai pendapat dan ide penanggulangannya

yang menurut teori mereka benar. Tetapi setiap tahunnya pada saat kemarau

datang, sesuai 2 (dua) musim yang ada di negara kita yaitu musim kemarau dan

musim penghujan, kita selalu disibukkan dengan bahaya kebakaran hutan dan

lahan dan pencemaran udara dan lingkungan yang disebabkan oleh asap

kebakaran hutan dan lahan.


60

Kabupaten Rokan Hulu secara Administratif berbatasan langsung dengan

dua Provinsi yaitu Sumatera Utara dan Provinsi Sumatera Barat, kabupaten Rokan

Hulu juga berbatasan langsung dengan Empat kabupaten dalam Provinsi Riau

yaitu Kabupaten Rokan Hilir, Kabupaten Bengkalis, Kabupaten Kampar dan

Kabupaten Siak Indra Pura.

Kabupaten Rokan Hulu adalah kabupaten pemekaran dari Kabupaten

Kampar, dimana terdiri dari 14 kecamatan, 133 desa/kelurahan dengan jumlah

penduduknya ± 372.677 jiwa. Kabupaten Rokan Hulu mempunyai luasan ±

744.985 ha (Kantor Camat Ujungbatu, 2006).

Kabupaten Rokan Hulu memiliki kawasan hutan seluas ± 237.964 ha

(Dishut Rohul, 2006), areal perkebunan ± 254.877,05 ha dengan potensi

pengembangan ± 434.499,10 ha (Disbun Rohul, 2006) dan areal pertanian seluas

± 5.180 ha (sawah irigasi), 11.000 ha (tadah hujan), (Distan Rohul, 2006).

Kebakaran hutan dan lahan di Kabupaten Rokan Hulu akan berdampak

tidak baik terhadap perkembangan mutu lingkungan hidup kita baik dimasa

sekarang maupun dimasa yang akan datang dimana kita dapat merasakan akibat

terjadinya kebakaran hutan dan lahan akan menimbulkan kerusakan atau

musnahnya kayu dan hasil hutan lainnya dan juga akan mengakibatkan terjadinya

pencemaran udara yang sangat hebat khusus di pripinsi Riau kita diselimuti oleh

asap yang tebal yang dampaknya dapat dirasakan diberbagai aspek kehidupan

seperti kesehatan, ekonomi, transportasi (darat, laut dan udara) dan setiap

tahunnya Kabupaten Rokan Hulu dilanda bencana banjir.

Kebakaran hutan dan lahan akan menimbulkan semakin banyaknya

terdapat lahan-lahan kritis yang mana akan mengurangi jumlah luasan hutan
61

negara kita khususnya di kabupaten rokan hulu yang mana fungsi hutan ini

sebagai pencaga sumber air, kesuburan tanah, mencegah banjir dan erosi tentunya

akan berkurang termasuk disini semakin hilangnya jumlah flora dan fauna yang

endemik.

Budaya adalah kebiasaan yang dilakukan secara turun-temurun,disini perlu

dilihat kebutuhan masyarakat akan lahan untuk menopang ekonominya untuk

mempertahankan kehidupan, pembukaan hutan dan lahan baik untuk perkebunan

ataupun pertanian merupakan jalan yang terbaik bagi masyarakat, apalagi

pemerintah kabupaten rokan hulu dalam beberapa dekade ini mengembangkan

ekonomi yang berbasiskan kerakyatan. Pembukaan hutan dan lahan dengan cara

membakar adalah hal yang biasa bagi masyarakat rokan hulu selain dengan biaya

yang murah dan ketepatan waktu bisa di prediksi sesuai musim yang berlaku.

Pembukaan hutan dan lahan dengan proses pembakaran sangatlah tidak

sesuai dengan kaidah pembangunan dan lingkungan. Dimana kerusakan yang

ditimbulkan oleh pembakaran ini sangatlah fatal baik terhadap politik luar negari

kita maupun terhadap kondisi dalam negeri kita sendiri terlebih terhadap

masyarakat Rokan Hulu.

Kebakaran hutan dan lahan akan menimbulkan kondisi lingkungan yang

sangat berbahaya, terutama bagi kelestarian hutan, flora dan fauna serta zat karbon

(CO2 ) yang dihasilkan, dimana karbon ini adalah zat racun bagi kehidupan

manusia, hewan dan tumbuhan.


62

II. KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN

2.1. Kebakaran Hutan dan Lahan di Provinsi Riau

Abubakar (2006) menyatakan bahwa kebakaran hutan dan lahan terjadi

setiap tahun di Propinsi Riau, 99 % disebabkan oleh aktivitas manusia, terutama

pada kegiatan pembukaan ldan penyiapan lahan pertanian/perkebunan dengan

cara membakar karena sistim ini dinilai mudah, murah dan waktu relatif singkat.

Namun dampak yang diakibatkan tidak hanya dirasakan oleh masyarakat setempat

namun bersifat nasional bahkan lintas batas negara di kawasan regional asia

tenggara.. terjadinya kebakaran hutan dan lahan disebabkanoleh beberapa faktor

yang komplek seperti kebijakan yang tidak tepat dan tidak terlaksana, lemahnya

partisifasi dan kesadaran masyarakat, tidak terlaksananya alternatif pengendalian

kebakaran dan semakin diperburuk dengan keadaan iklim kering dan

berkepanjangan.

Kerawanan kebakaran hutan dan lahan di Propinsi Riau terutama sangat

terkait dengan salah satunya kegiatan pembukaan lahan dalam usaha pertanian

rakyat, perambahan hutan dan illegal logging.

Luas areal hutan dan lahan yang terbakar untuk areal perkebunan termasuk

disini areal perkebunan masyarakat sejak tahun 1997 sampai dengan 2005

diperkirakan 43.558,28 ha, kalau di urutkan lagi sejak otonomi daerah tahun 2000

sampai dengan 2005 luas areal kebakaran untuk areal perkebunan adalah

18.208,67 ha (Pusdalakarhutla Propinsi Riau, 2005).

Luas lahan kritis dalam kawasan hutan di kabupaten Rokan hulu

berdasarkan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) Propinsi Riau yang sebagian

disebabkan oleh pembukaan lahan dengan cara membakar adalah 138.469,87


63

hektar disini termasuk hutan lindung, hutan produksi tetap dan hutan produksi

terbatas (Data Statistik Dinas Kehutanan Propinsi Riau Tahun 2005).

Hamidi (1997) menyatakan bahwa hutan, tanah adalah tumpuan

kehidupan, memandang keadaan demikian, hutan dan tanah telah perhatian yang

istimewa dalam kehidupan puak melayu di riau termasuk masyarakat Rokan Hulu.

Disini dikenal adanya tanah peladangan.

2.2. Kebakaran Hutan di Kabupaten Rokan Hulu

Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia umumnya, di Rokan Hulu

khususnya, penyebab utamanya adalah pengalihan fungsi lahan hutan menjadi

lahan perkebunan untuk perusahaan - perusahaan besar seperti Perkebunan

Nusantara V (PTPN V), PT. Plasma Inti Sawit, PT. Sawit Asahan Indah, PT.

Gerbang Sawit Indah dan lain-lain (Disbun ROHUL, 2006), dimana untuk

pembukaan kawasan perkebunan cara yang sangat efektif dan efisien di pandang

dari sisi ekonomi adalah dengan melakukan pembakaran..

Tatanan masyarakat Rokan Hulu sampai pada saat ini yang sangat menarik

diperhatikan adalah budaya atau kebiasaan yang secara turun menurun bagi

masarakat Rokan Hulu untuk pembukaan areal pertanian/perkebunan dengan cara

membakar lahan. Kenapa ini perlu di bahas, karena kebakaran hutan ini

menyangkut masalah politik nasional dimana peraturan tentang kebakaran hutan

ini berlaku untuk seluruh masyarakat Indonsia tanpa kecuali.

Kabupaten Rokan Hulu dengan luasan yang tetap dan jumlah

penduduknya yang setiap tahunnya bertambah akan menimbulkan gejolak sosial

yang beragam, salah satunya kebutuhan akan lahan pertanian dan perkebunan

akan semakin tinggi untuk menunjang perekonomian masyarakat, ini erat


64

hubungannya dengan ketersediaan kawasan hutan di Kabupaten Rokan Hulu,

kondisi yang faktual sekarang ini banyaknya masyarakat yang merambah kawasan

hutan untuk dijadikan areal pertanian dan perkebunan ini tidak bisa dihindari

dengan terjadinya kebakaran hutan dan lahan setiap tahunnya. Kebakaran hutan

dan lahan yang menyebabkan kerusakan lingkungan yang harus dibayar mahal

oleh negara kerugiannya.

Masyarakat Rokan Hulu adalah masyarakat agraris dimana

perekonomiannya sangat tergantung kepada alam, rata-rata mata pencarian

masarakat adalah bertani padi (Sawah, Ladang Tadah Hujan) dan perkebunan

kelapa sawit dan Karet/para (Distan ROHUL, 2006).

Pola bertani masarakat dengan berladang tadah hujan dan berkebun kelapa

sawit dan karet sangat erat hubungannya dengan pembukaan wilayah hutan dan

proses pembakaran lahan, dimana belum ada cara pembukaan lahan yang di

ketahui oleh masarakat umum di Rokan Hulu selain dengan membakar, karena

dengan membakar secara ekonomis sangat murah dan terhadap tanaman padi

khusus ladang tadah hujan ini sangat erat hubungannya dengan kesuburan tanah

(Mastur, 2006, Wawancara langsung dengan masyarakat lubuk bendahara Kab.

ROHUL). Setiap tahunnya masyarakat Rokan Hulu membuka hutan dan lahan

untuk dijadikan areal pertanian dan perkebunan dan cara yang digunakan sudah

dipastikan dengan membakar. Secara estimasi bisa kita bayangkan ± 138.469,87

ha lahan kritis yang umumnya disebabkan oleh pembukaan hutan untuk areal

pertanian dan perkebunan (Statistik Dinas Kehutanan Propinsi Riau Tahun 2005),

dibanding dengan jumlah penduduk Rokan Hulu ± 372.677 jiwa, yang mana 80

(Delapan Puluh) persen kehidupan masyarakatnya adalah bertani.


65

Kebijakan nasional yang melarang melakukan pembakaran untuk

pembukaan hutan dan lahan karena berakibat tidak baik untuk lingkungan dan

memperburuk hubungan diplomatik dengan negara tetangga. Apa bisa diterapkan

terhadap masyarakat yang penghidupan tergatung pada alam seperti masarakat

Rokan Hulu atau masarakat Indonesia yang dalam sejarah sudah tercatat sebagai

masyarakat agraris. Kalau memang harus larangan ini di patuhi oleh setiap warga

negara. Solusi apa yang disediakan oleh pemerintah kegiatan pertanian tetap

berjalan tetapi kegiatan pembakaran lahan tidak terlaksana artinya kegiatan

pertanian tradisonal tetap berjalan tetapi tidak merusak lingkungan hidup kita.

Untuk menghindari gejolak sosial dimasyarakat, terutama masalah

pertanian dan perkebunan khususnya di Kabupaten Rokan Hulu, pemerintah harus

mengeluarkan kebijakan yang berpihak kepada masyarakat artinya kegiatan

pertanian dan perkebunan masyarakat harus terus berjalan dengan sistem jalur dan

meminimalkan kegiatan pembukaan dengan cara membakar dan tidak membuka

areal/lahan yang berpungsi sebagai areal konservasi dengan radius tertentu seperti,

kiri kanan sumber mata air, sungai, anak sungai, daerah yang terjal (lereng dan

gunung) sehingga fungsi lingkungan tetap terjaga dan masyarakat bisa berusaha,

ini membantu mewujukan masyarakat adil dan makmur sesuai tujuan bangsa

Indonesia.
66

III. PENYEBAB DAN DAMPAK KEBAKARAN HUTAN

3.1. Penyebab Kebakaran Hutan

Menurut Pusat Penyuluhan Kehutanan Tahun 1997, Penyebab kebakaran

hutan dan lahan ada 3 (tiga unsur) yaitu : Panas, bahan bakar dan oksigen, karena

oksigen terdapat hampir merata disemua wilayah maka hanya panas dan bahan

bakar yang perlu dibahas.

1. Panas.

Unsur panas hanya berperan pada musim kemarau, dimana hampir seluruh

wilayah indonesia musim kemarau terjadi setiap tahunnya, erat kaitannya

panas dengan sumber api, 90 % sumber api yang mengakibatkan kebakaran

hutan dan lahan berasal dari manusia, ada dua hal yang berkaitan dengan

sumer api antara lain sumber api dari manusia yaitu kebaran hutan dan lahan

yang secara sengaja untuk perladangan, pengembalaan ternak, perburuan

binatang liar, persiapan penanaman (Pertanian, perkebunan dan kehutanan)

dan sumber api yang disebabkan oleh faktor alam seperti simber api dari

kereta api, puntung rokok, obor, pengunjung objek wisata hutan.

2. Bahan Bakar.

Bahan bakar merupakan faktor dominan sebagai penyebab kebakaran hutan

dan lahan, 5 (lima) hal yang perlu diperhatikan dalam pencegahan dan

penanggulangan kebakaran hutan dan lahan.

a. Hutan Primer, pada kondisi hutan seperti ini serasah dilantai hutan tipis,

kelembaban tinggi dan suhu udara pun rendah karena penutupan tajuk

hampir mencapai 100 % sedangkan sinar matahari untuk mencapai lantai

hutan hampir mendekati 0 %.


67

b. Areal bekas tanaman ini sangat rawan terjadinya kebakaran hutan karna

kondisi serasah yang tebal dan sisa pembalakan seperti cabang dan ranting

yang banyak, didukung oleh kondisi kemarau yang berkepanjangan

sehingga api sangat mudah melalapnya.

c. Areal Tanaman karena penutupan tajuknya belum sempurna 100% dan

pada lapisan bawah masih terdapat tanaman seperti ilalang, disini resiko

bahaya kebakaran cukup tinggi.

d. Hutan Gambut dimana bahan bakarnya terletak dibawah permukaan tanah,

pada musim penghujan akan terjadi kebasahan dan musim kemarau akan

terjadi kekeringan yang mana kondisi ini sangat beresiko tinggi terjadinya

kebakaran hutan dan lahan dalam waktu yang lama karna sumber api

sangat sulit untuk diprediksi.

e. Alang-alang dan semaik belukar dimana serasah di padang alang-alang

dan semak belukar mudah terbakar walaupun kemarau tidak panjang.

3.2. Dampak Kebakaran Hutan

Menurut Departemen Kehutanan (1997), dampak kebakaran hutan dan

lahan ada 3 (tiga) hal yang perlu mendapat perhatian antara lain :

a. Rusak atau musnahnya kayu dan hasil hutan lainnya.

Kebakaran hutan mengakibatkan rusaknya tatanan hutan yang berada di

indonesia dan musnahnya hasil hutan ikutan seperti rotan, damar, getah-

getahan dan lain-lain. Kebakaran yang terjadi berulang-ulang dalam jangka

yang lama tak dapat disangkal lagi telah mengubah jutaan hektar hutan di

sumatera,kalimantan, sulawesi, maluku dan irian jaya.


68

b. Kerusakan Lingkungan.

Kebakaran hutan dan lahan mengakibatkan berbagai kerusakan yang tak

ternilai, seperti rusaknya lingkungan, terganggunya tata air, musnahnya

plasma nutfah atau berkurangnya keanekaragaman hayati, timbulnya erosi dan

lain-lain. Rusaknya lingkungan tersebut semakin terasa akibatnya, mengingat

hutan tropis juga berfungsi sebagai paru-paru dunia.

c. Asap

Setiap terjadinya kebakaran hutan/lahan sebagian atau seluruh sumatera dan

kalimantan tertutup asap tebal. Transoprtasi, baik laut darat dan udara

terganggu dan beresiko kecelakaan. Asap itu tak jarang juga menutupi negara

tetangga singapura, malaysia sehingga citra indonesia menurun di dunia

internasional.

Menurut Pendapat Penulis bahwa penyebab kebakaran hutan selain

oksigen, panas dan bahan bakar sebagaimana yang diuraikan diatas ada faktor

tambahan yang mempunyai hubungan yang erat yaitu faktor ekonomi masyarakat

dan pola pertanian yang dianut oleh masyarakat khususnya di Kabupaten Rokan

Hulu, dimana kebutuhan masyarakat setiap harinya terus meningkat demi

menciptakan kesejahteraan keluarganya masing-masing, bagi masyarakat yang

hidup dengan mengandalkan hasil pertanian dan perkebunan mereka harus

memperluas lahan pertanian dan perkebunan karena pola intensifikasi yang

dikembangkan tidak lagi bisa memenuhi kebutuhan pangan, sandang mereka, ini

tentunya mempunyai korelasi dengan ketersediaan lahan hutan dimana

masyarakat mulai menggarap kawasan hutan untuk dijadikan lahan pertanian dan

perkebunan sementara pola yang dianut oleh masyarakat selama ini dalam proses
69

penyiapan lahan adalah dengan melakukan pembakaran pada musim kemarau

secara bersamaan.

Sedangkan dampak negatif kebakaran hutan ini sangat luas selain

musnahnya hasil hutan, kerusakan lingkungan dan pencemaran udara juga

merubah strukrur alami suatu kawasan sehingga terciptanya kawasan baru dengan

miskin keanekaragaman, baik tumbuhan, hewan dan mikro organisme tetapi

kebakaran hutan juga memberikan manfaat ekonomis secara terbatas dimana

dapat membantu masyrakat kecil dalam memperkecil biaya dalam proses

penyiapan lahan untuk pertanian dan perkebunan.


70

IV. PEMANTAUAN DAN PENANGGULANGAN KEBAKARAN HUTAN


DI KABUPATEN ROKAN HULU

Memasuki pembahasan tentang kegiatan pengendalian kebakaran hutan

dan lahan, perlu dulu kita memahami apa pengertian pembakaran dan kebakaran

hutan dan lahan (Deddy, 2001).

a. Pembakaran

Proses ini dilakukan pada saat mulai memasuki musim kemarau dengan

kegiatan yang terencana, yaitu pembersihan dan pembakaran limbah tebangan

oleh para pengelola lahan seperti peladang, pengusaha kebun, dan pemilik

HTI. Setiap pengelola lahan berusaha untuk mencegah tidak terjadinya

kebakaran. Dalam tahap ini ada unsur kesengajaan.

b. Kebakaran

Proses ini merupakan persebaran api di luar kendali penanggung jawab

kegiatan karena kelalaian, kondisi cuaca dan kaadaan bahan bakar. Ukuran api

tersebut bisa kecil, sedang dan sampai dengan besar. Pada tahap ini, upaya

memobilisasi sumber daya untuk pemadaman mulai dikerahkan.

1. Strategi Pemantauan Kebakaran

Strategi Pemantauan kebakaran hutan dan lahan merupakan langkah awal

pengendalian kebakaran hutan dan lahan yang tujuannya untuk menentukan

kegiatan pencegahan dan upaya-upaya penanggulangan. Mengingat lokasi

kebakaran hutan dan lahan jauh dari pusat pemukiman, serta akses ke lokasi

seperti jalan relatif sulit, saat ini pemantauan masih mengandalkan pada

teknologi penginderaan jauh dengan menggunakan alat citra satelit sesuai

dengan kecepatan, ketepatan dan ketelitian sesuai dengan yang diinginkan.


71

Hasil dari pemantauan terhadap kebakaran hutan dan lahan setiap bulannya

dapat diambil datanya yang jumlah dan frekwensinya sesuai dengan tingkat

kekeringan. Kebakaran hutan dan lahan hampir seluruhnya merupakan

kegiatan pembakaran dalam penyiapan lahan untuk pertanian dan perkebunan..

2. Upaya Pencegahan Kebakaran

Sosialisasi penyiapan lahan tanpa bakar dan peringatan dini kebakaran perlu

digalakkan terhadap Pemerintah Daerah, Badan Usaha dan terutama

masyarakat yang menggunakan lahan untuk areal perkebunan, antara lain

melalui :

1. Penyuluhan kepada masyarakat tentang teknik penyiapan lahan tanpa

bakar atau alternatif pembakaran dengan asap minimal dan pembakaran

bergilir.

2. Pembinaan dan peningkatan ketaatan masyarakat tentang Peraturan

Pemerintah yang melarang pembukaan lahan dengan cara membakar

dengan memberikan penjelasan tentang efek dari kebakaran hutan terhadap

lingkungan dan kesehatan.

3. Pemberdayaan masyarakat untuk penterapan pengetahuan tradisional

dalam pengendalian kebakaran hutan dan lahan.

4. Penyebarluasan peringatan dini kebakaran hutan dan lahan melalui Media

Massa, Elektrinik (radio), Televisi dan lain-lainnya.

Menurut pendapat penulis strategi memantau kebakaran hutan selain

dengan satelit juga dapat dilakukan dengan pola pendekatan kepada pemerintah

(kepala desa) dan tokoh-tokoh adat yang dianggap berpengaruh, karna setiap
72

kepala desa/tokoh adat memiliki wilayah kerja secara administrasi dan mereka

selalu menjaga daerah teritorial yang dimilikinya dengan syarat negara harus

melindungi keselamatan mereka secara hukum dan memberikan penghargaan

yang sesuai dengan jerih payah/usaha yang dilakukan mereka dengan aturan yang

jelas, transparan, adil dan merata.

Sedangkan upaya pencegahan kebakaran hutan dan lahan selain yang

jelaskan di atas juga dapat ditempuh dengan cara memberikan penghargaan

(insentif, pemberian bibit gratis) terhadap petani yang tidak membakar dalam

proses penyiapan lahan untuk pertanian dan perkebunan atau pemerintah

menyediakan teknologi yang cukup untuk petani agar tidak membakar dalam

kegiatan penyiapan lahan pertanian dan perkebunan dengan biaya yang relatih

murah dan mudah dalam memperolehnya, karena kebakaran ini sulit untuk

dihindari saat kemarau datang, disaat bersamaan pula dengan musim tanam

kegiatan pertanian dimulai.


73

DAFTAR PUSTAKA

Bakar, W. A., 2006. Kebijakan Pemerintah Propinsi Riau dalam Pengendalian


Illegal Logging dan Kebakaran Hutan dan Lahan dalam DAS. Makalah
disampaikan pada Seminar Implikasi Kerusakan DAS di Riau Terhadap
Keseimbangan Lingkungan, Pekanbaru.

Deddy A. 2001. Pemantauan dan Pencegahan Kebakaran Hutan dan Lahan, hal.
11, Proseding Seminar Sehari tentang Akar Penyebab dan Dampak
Kebakaran Hutan dan Lahan di Sumatera, Penyelenggara Bandar
Lampung.Departemen Kehutanan, 1997. Dampak Kebakaran Hutan dan
Lahan, Jakarta.

Dinas Perkebunan Kabupaten Rokan Hulu, 2006. Penyebab Utama Kebakaran


Hutan dan Lahan di Kabupaten Rokan Hulu, Pasir Pengaraian.

Dinas Pertanian Kabupaten Rokan Hulu, 2006. Masyarakat Rokan Hulu adalah
Masyarakat Agraris, Pasir Pengaraian.

Hamidi, 1997. Cakap Rampai-Rampai Budaya Melayu Riau, Pekanbaru.

Mastur, (Komunikasi Pribadi, 10/7/2006) tentang Perilaku Masyarakat dalam


Pembukaan Hutan dan Lahan di Lubuk Bendahara, Pasir Pengaraian.

Menteri Kehutanan, 2004. Pengertian Hutan. Dephut, Jakarta.

Pusat Penyuluhan Kehutanan, 1997. Penyebab Kebakaran Hutan dan Lahan,


Jakarta.

PUSDALAKARHUTLA Propinsi Riau, 2005. Luas Areal Hutan dan Lahan yang
Terbakar Sejak Tahun 1997 Sampai dengan 2005 di Propinsi Riau,
Pekanbaru.

Statistik Kehutanan Propinsi Riau, 2005. Luas Lahan Kritis dalam Kawasan
Hutan Kabupaten Rokan Hulu berdasarkan TGHK, Pekanbaru.

WALHI, 2004. Kampanye Hutan, Melaui http://www.walhi.or.id/ kampanye/


hutan. (24/04/2004).
74

TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM


DAN PERMASALAHANNYA

OLEH :

ERNI YANTI

PROGRAM STUDI ILMU LINGKUNGAN


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
2006
75

I. PENDAHULUAN

Taman Hutan Raya (Tahura) Sultan Syarif Hasyim merupakan salah satu

kawasan pelestarian alam yang ada di Provinsi Riau. Berdasarkan Undang-

Undang Nomor : 5 Tahun 1999 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati

dan Ekosistemnya, Tahura didefinisikan sebagai kawasan pelestarian alam untuk

tujuan koleksi tumbuhan dan/atau satwa yang alami atau bukan alami, jenis asli

maupun tidak asli yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu

pengetahuan, pendidikan, menunjang budaya, pariwisata dan rekreasi.

Terbentuknya Tahura Sultan Syarif Hasyim telah dirintis sejak tahun 1985

dengan ditetapkannya Hutan Wisata Minas seluas ± 1.000 ha dengan Surat

Keputusan Gubernur Riau Nomor : 367/IV/1985 tanggal 24 April 1985. Tahun

1996 kawasan Tahura Sultan Syarif diperluas menjadi ± 5.000 ha. Kemudian

luasannya berkembang menjadi 40.000 Ha (seluruh areal eks bekas HPH PT.

Sindotim), namun akibat adanya kepentingan pemakaian dan tumpang tindih areal

maka hal tersebut belum dapat diwujudkan.

Akhirnya setelah dikeluarkannya beberapa kepentingan dari beberapa

pihak di dalam kawasan, barulah Gubernur Riau merekomendasi luasan Tahura

Sultan Syarif Hasyim kepada Menteri Kehutanan melalui surat Nomor :

542.11/BLH/4430 tanggal 14 Agustus 1994 menjadi 5.920 ha dan dengan

Keputusan Menteri Kehutanan Nomor :349/Kpts-II/1996 tanggal 5 Juli 1996,

areal 5.920 ha di Kelompok Hutan Takuana Minas ditetapkan sebagai Tahura

Sultan Syarif Hasyim. Berdasarkan hasil tata batas defenitif temu gelang

sepanjang 45 Km, maka luas Tahura Sultan Syarif Hasyim diketahui 6.172 Ha,
76

yang selanjutnya luas tersebut dikukuhkan dengan Keputusan Menteri Kehutanan

dan Perkebunan Nomor : 348/Kpts-II/1999 tanggal 26 Mei 1999.

Pemberian nama Taman Hutan Raya Sultan Syarif Hasyim mengabadikan

jasa pahlawan yang diharapkan kepahlawanan dan nasionalismenya menjadi

teladan bagi generasi sesudahnya. Sultan Syarif Hasyim adalah ayahanda dari

Sultan Syarif Qasyim yang lebih dulu dikenal sebagai salah satu pahlawan

nasional Riau.

Tahura Sultan Syarif Hasyim merupakan hutan hujan dataran rendah.

Mackinnon, Child dan Thorsell (1986), mengatakan hutan hujan dataran rendah

memiliki keanekaragaman tumbuhan dan satwa yang tinggi, hal ini berasosiasi

dengan rendahnya kepadatan spesies. Ini merupakan hal yang utama membuat

hutan hujan dataran rendah mudah kena ancaman kepunahan setempat.

Selanjutnya Mackinnon et al (1986) menyatakan ciri-ciri yang menjadi

alasan untuk melindungi suatu kawasan yaitu :

1. Karakteristik atau keunikan ekosistem, misalnya hutan hujan dataran rendah,

fauna pulau yang endemik, ekosistem pegunungan tropika.

2. Spesies khusus yang diminati, nilai, kelangkaan atau terancam, misalnya

badak, burung quetzal.

3. Tempat yang memiliki keanekaragaman spesies

4. Landskap atau ciri geofisik yang bernilai estetik atau pengetahuan, misalnya

glasier, mata air panas, air terjun.

5. Fungsi perlindungan hidrologi ; tanah, air dan iklim local

6. Fasilitas untuk rekreasi alam, wisata, misalnya danau, pantai, pemandangan

pegunungan, satwa liar yang menarik


77

7. Tempat peninggalan budaya, misalnya candi, kuil, galian purbakala.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa penetapan

Tahura Sultan Syarif Hasyim sebagai kawasan yang dilindungi telah memenuhi

persyaratan.

Peningkatan laju pertumbuhan penduduk yang disertai pula dengan makin

meningkatnya kebutuhan akan sumber daya alam, menyebabkan semakin

besarnya tekanan terhadap keberadaan kawasan Tahura Sultan Syarif Hasyim.

Tekanan-tekanan tersebut mendasari berkembangnya berbagai permasalahan di

dalam kawasan Tahura Sultan Syarif Hasyim seperti illegal logging dan

perambahan.

Potensi keanekaragaman jenis tumbuhan yang tinggi yang dimiliki

kawasan Tahura Sultan Syarif Hasyim merupakan daya tarik yang menyebabkan

terjadinya kegiatan illegal logging. Kemudian letak Tahura Sultan Syarif Hasyim

yang dekat dari kota Pekanbaru dan mudah untuk dicapai serta topografi tanah

yang cocok untuk kegiatan pertanian/perkebunan dan pemukiman menyebabkan

Tahura Sultan Syarif Hasyim sangat rawan terhadap perambahan yang dilakukan

masyarakat setempat maupun pendatang yang mengatas namakan perorangan

ataupun perusahaan.

Berdasarkan Hasil Citra Landset dan survey lapangan Dinas Kehutanan

Provinsi Riau Tahun 2002 dari luasan kawasan Tahura Sultan Syarif Hasyim

6.172 Ha yang kondisinya masih berhutan tinggal ± 1.800 Ha (29,2 %) .

Khususnya untuk wilayah Tahura Sultan Syarif Hasyim yang berada di Kabupaten

Kampar semuanya telah mengalami perambahan dan telah dijadikan kebun kelapa

sawit. Padahal keberadaan Tahura sangat penting yang dapat dijadikan sebagai
78

tempat koleksi keanekaragaman tumbuhan hutan hujan dataran rendah sumatera

yang berguna sebagai pusat pendidikan, ilmu pengetahuan, rekreasi, pariwisata,

sumber plasma nutfah dan penyangga lingkungan bagi daerah sekitarnya.

Adanya pembangunan bumi perkemahan yang terbesar di Asia Tenggara

di dalam kawasan Tahura Sultan Syarif Hasyim yang belum dilengkapi dengan

kajian terhadap dampak lingkungan dikwatirkan akan dapat menganggu ekosistem

yang ada Tahura. Disamping itu kebijakan pemerintah baik pusat maupun daerah

yang belum jelas dan tegas dalam mengatasi perambahan menyebabkan sulitnya

dalam menjaga ekosistem Tahura kerena semakin marak terjadinya perambahan

kawasan tersebut.

Pembagian zonasi blok pemanfaatan yang tertuang dalam Rencana

Pengelolaan Tahura Sultan Syarif Hasyim yang telah ditetapkan oleh Departemen

Kehutanan juga dikawatirkan akan menganggu ekosistem yang ada di dalam

kawasan tahura dimana kawasan yang kondisinya masih berhutan ditetapkan

sebagai zonasi pemanfaatan seharusnya kawasan yang masih berhutan ditetapkan

sebagai zonasi perlindungan yang berfungsi sebagai sumber plasma nutfah hutan

dataran rendah Sumatera khususnya yang ada di Provinsi Riau.


79

II. KAWASAN TAHURA SULTAN SYARIF HASYIM

Berdasarkan Master Plan dan Rencana Pengelolaan Tahura Sultan Syarif

Hasyim yang dimiliki Dinas Kehutanan Provinsi Riau (2003) dapat disampaikan

keadaan umum kawasan Tahura Sultan Syarif Hasyim sebagai berikut :

2.1. Letak dan Luas

Secara administrasi Tahura Sultan Syarif Hasyim yang memiliki luas

6.172 Ha berada pada 3 (tiga) wilayah Kabupaten/Kota yaitu Kota Pekanbaru

(luas 806,86 Ha=12 %), Kecamatan Minas Kabupaten Siak (luas 2.323,33 Ha =

38 %) dan Kabupaten Kampar (luas 3.041,81 Ha = 50 %). Kawasan ini sangat

strategis karena dekat dengan ibukota provinsi. Untuk mencapai kawasan tersebut

dapat ditempuh dengan route Pekanbaru-Tahura dengan jarak tempuh ± 20 Km

dan waktu tempuh ± 15 menit. Secara geografis kawasan ini terletak pada

koordinat 0037‘ LU-0044‘LU dan 101020‘BT-101028‘BT.

2.2. Topografi

Secara umum kawasan Tahura Sultan Syarif Hasyim merupakan group

dataran (plaine) dengan kondisi fisiografi berombak dan bergelombang berbukit

kecil disebelah timur Sungai Takuana Buluh, datar hingga berombak disebelah

baratnya dan tidak seberapa luas di kanan dan kiri sungai (bagian hilir) berupa

group aluvial (A). Topografi bervariasi datar sampai bergelombang (0-20%).

Topografi datar-landai (0-4%) banyak terdapat di sebelah barat Sungai Takunan

Buluh dan topografi bergelombang berbukit banyak terdapat di sebelah timur

sungai. Lebar lembah 25-200 meter dan ketinggian kawasan dari permukaan air

laut berkisar 10-25 meter.


80

2.3 Iklim

Berdasarkan hasil pencatatan pada stasiun meteorology Simpang Tiga,

Pekanbaru, Kawasan Tahura Sultan Syarif Hasyim termasuk dalam Tipe Iklim A

(menurut Scmidt dan furguson, 1951) yakni tipe iklim hujan tropis, rata-rata curah

hujan 2.445 mm per tahun, curah hujan terbesar terjadi pada bulan Nopember dan

terendah pada bulan Juni,sedangkan hari hujan setiap bulannya berkisar antara 4-

26 hari, hari hujan terkecil terjadi pada bulan Juli dan terbesar pada bulan April.

Temperatur udara rata-rata 20,550 C-34,240 C dan kisaran minimum 190 C yang

terjadi pada bulan Januari dan maksimumn 35,80 C yang terjadi pada bulan Mei.

Kelembaban udara berkisar antara 79%-85% dengan angka rata-rata 81,9%. .

2.4. Geologi dan Tanah

Daerah ini tersusun dari batuan sedimen tufa yang berombak sampai

bergelombang. Bahan induk batuan yang dominan adalah batu lempung, batuan

bersilika, batu pasir dan batu lapis. Formasi geologi yang terdapat di kawasan ini

termasuk dalam formasi minas dan formasi petani.

Jenis tanah yang dominan adalah tanah Tropodults atau setara dengan

Podsolik Merah Kuning pada lereng dan punggung bukit dan Tropaguepts atau

setara dengan aluvial yang sudah mulai berkembang pada pinggir sungai. Tektuir

tanah horison A1 adalah lempung pasiran (sandy clay loam) dan geluh lempung

pada A2, makin kedalam makin tinggi kadar lempungnya. Struktur tanah, remah

sampai gumpal menyudut untuk horoson A dan gumpal menyudut sampai mapat

untuk horison B. Kondisi tanah seperti ini umumnya mempunyai permeabilitas

yang rendah.
81

2.5. Hidrologi

Taman Hutan Raya Sultan Syarif Hasyim merupakan daerah tangkapan air

bagi Sungai Siak. Beberapa aliran sungai kecil mengalir di dalamnya membentuk

pola dendritik. Sungai terbesar yang mengalir adalah Sungai Takuana yang

bermuara langsung ke Sungai Siak sementara kedua sungai lainnya (Takuana

Sungsang dan Takuana Buluh) bermuara ke Sungai Tapung (anak Sungai Siak).

Sungai di dalam kawasan ini dikelompokan kedalam 3 buah sub DAS kecil

terdapat di kawasan ini, luas Sub DAS 1 sebesar 3.642,4 Ha, luas Sub DAS 2

sebesar 1.239,7 Ha dan luas Sub DAS 3 sebesar 1.037,9 Ha.

2.6.Penutupan Vegetasi

Berdasarkan hasil interpretsi Citra Landsat TM hasil liputan 5 juli 2002

dan pengamatan di lapangan (peta terlampir), Penutupan vegetasi di Tahura Sultan

Syarif Hasyim sudah tidak utuh lagi hingga taraf memperihatinkan akibat

penebangan liar (illegal logging) dan perambahan. Ada pun kondisinya sebagai

berikut :

a. Hutan : 1.887,56 Ha

b. Kebun : 2.518,52 Ha
c. Alang-alang : 381,17 Ha
d. Belukar : 886,22 Ha
e. Akasia : 486,73 Ha
f. Danau : 12,08 Ha

Namun demikian berdasarkan hasil pengamatan yang dilaksanakan

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) tahun 2006 kawasan Tahura Sultan

Syarif Hasyim yang masih berhutan 1.887,56 Ha diantaranya ± 1.500 Ha (24,3 %)


82

kondisinya masih asli belum ada gangguan yang kaya akan keanekaragaman

hayati.

2.7.Potensi Kawasan

Ekosistem dalam Tahura Sultan Syarif Hasyim berupa hutan hujan tropika

dataran rendah memiliki iklim yang sangat basah, tanah kering dan ketinggian di

bawah 1000 m di atas permukaan laut (dpl). Jenis-jenis yang dominan di areal

tahura ini adalah suku Dipterocarpacea, dimana vegetasinya termasuk zona barat

yang meliputi Pulau Sumatera, Pulau Kalimantan dan Semenanjung Malaya. Dari

hasil pengamatan dilapangan ditemui sebanyak 127 pohon yang tergolong dalam

32 jenis, 28 marga dan 26 suku. Jenis yang dominan pada sub ekosistem ini

adalah jenis meranti (Shorea parvifolia) dan Parashorea diptera yang keduanya

dari suku Dipterocarpaceae. Diantara jenis-jenis pohon yang dijumpai di kawasan

Tahura Sultan Syarif Hasyim, termasuk didalamnya jenis-jenis pohon penghasil

buah, jenis pohon yang dimanfaatkan sebagai bahan bangunan dan jenis tanaman

yang bermanfaat sebagai obat yang diharapkan dapat dimanfaatkan oleh penduduk

setempat sekitar kawasan Tahura.

Selain itu Tahura Sultan Syarif Hasyim juga memiliki jenis-jenis

tumbuhan yang bersifat endemik yaitu persebarannya hanya terbatas di Sumatera

saja yaitu Dacryodes rostrata. Sedangkan jenis yang langka yang terdapat di

Tahura Sultan Syarif Hasyim yaitu Kayu Gaharu (Aquilaria malaccensis). Jenis

ini tergolong langka karena hanya tedapat dalam tingkatan tiang dan semai tetapi

tidak dijumpai dalam tingkatan pohon.

Fauna yang terdapat di dalam kawasan Tahura Sultan Syarif Hasyim

terdiri dari Gajah (Elephas maximus), Harimau Sumatera (Panthera tygris


83

sumatraensis), Babi Hutan (Sus scrofa), Ungko (Hylobates agilis), Beruk

(Macaca nemestrina), Siamang (Symphalangus syndactylus), Elang (Haliantus

sp), Ular (Sanca sp), Biawak (Varanus salvator), Tapir (Tapirus indikus) dan

Rangkong (Rhyticeros undulatus)

Pengamatan flora dan fauna di kawasan Tahura Sultan Syarif Hasyim juga

dilaksanakan oleh LIPI (2006) dimana berdasarkan hasil pengamatannya di

Kawasan Tahura Sultan Syarif Hasyim terdapat tidak kurang dari 127 tumbuhan

pohon yang diantaranya merupakan tumbuhan langka dan terancam menjadi

langka yaitu :

1. Kerbau Jalang (Melanorhoa aptera)

2. Jelutung (Dyera costulata)

3. Pulai (Alstonia scholaris)

4. Mentenan (Anisoptera marginata)

5. Kruing (Dipterocarpus crinitus)

6. Kapur (Drybalanops lanceolata)

7. Kapur Guras (Dryobalanops oblongifolia)

8. Meranti Hursik (Shorea afrinervosa)

9. Tengkawang (Shorea seminis)

10. Resak (Vafica pauciflora)

11. Keranji (Dialium indum)

12. Kempas (Koompasia malaccensis)

13. Geronggang (Cratoxylum arborescens)

14. Kemenyan Bumi (Cinnamomum javanicum)

15. Medang (Alscodaphne insignis)


84

16. Sindur (Sindora veludina)

Sedangkan jenis satwa langka dan terancam keberadaanya yaitu :

1. Harimau Loreng Sumatera (Panthera tygris sumatraensis)

2. Macan Akar (Felis bengalensis)

3. Macan Dahan (Neofelis nebulosa)

4. Beruang Madu (Helarctos malayanus)

5. Gajah Sumatera (Elephas maximus)

6. Tapir Sumatera (Tapirus Indikus)

7. Kancil (Tragulus javanicus)

8. Kijang (Muntiacus muntjak)

9. Jelarang Hitam (Ratufa bicolor)

10. Landak (Hystrix crassispinis)

11. Tringgiling (Manis javabica)

12. Siamang (Symphalangus syndactylus)

13. Ungko (Hylobates agilis)

14. Kukang (Nycticebus coucang)

Menurut penulis walaupun kawasan yang berhutan tinggal ± 1.800 namun

karena kaya akan keanekaragaman jenis tumbuh-tumbuhan maka kawasan Tahura

Sultan Syarif Hasyim dapat dijadikan sebagai sumber plasma nutfah hutan hujan

tropika dataran rendah yang ada di Provinsi Riau dan untuk areal yang telah

mengalami kerusakan jika ditata dan direhabilitasi kembali dengan tanaman in-

situ maupun ex-situ maka Tahura Sultan Syarif Hasyim dapat dijadikan tempat

koleksi tumbuhan hutan dataran rendah seluruh Sumatera dan koleksi tanaman
85

eksotik yang ada di Indonesia bahkan di dunia. Kawasan ini dengan morfologi

kawasan datar sampai bergelombang serta adanya aliran-aliran sungai sangat

memungkinkan untuk pengembangan berbagai kegiatan yang bertujuan untuk

pendidikan, penelitian, wisata dan rekreasi.


86

III. AKTIVITAS DAN DAMPAKNYA TERHADAP TAHURA


SULTAN SYARIF HASYIM

Walaupun kawasan yang dilindungi seringkali dipandang sebagai pulau

yang terisolasi dari sekelilingnya, kawasan ini mendapat sejumlah pengaruh luar,

yang kelak pada gilirannya akan mempengaruhi kawasan yang berdekatan

terutama bersifat ekologi atau fisik. Untuk mempertahankan keberadaan kawasan

yang dilidungi terlebih dahulu harus dipahami manfaat keberadaannya bagi

masyarakat sekitarnya.

Menurut Mackinnon et all, (1986) ada 16 manfaat yang diberikan kawasan

yang dilindungi bagi masyarakat setempat yaitu :

1. Menstabilkan fungsi hidrologi

2. Melindungi tanah

3. Stabilitas iklim

4. Pelestarian sumberdaya pulih yang dapat dipanen

5. Pelindungan sumberdaya plasma nutfah

6. Pengawetan untuk perkembangbiakan ternak, cadangan populasi dan

keanekaragaman biologis

7. Pengembangan kepariwisataan

8. Menyediakan fasilitas rekreasi

9. Menciptakan kesempatan kerja

10. Menyediakan fasilitas bagi peneliti dan pemantauan

11. Menyediakan fasilitas pendidikan

12. Memelihara kualitas lingkungan hidup

13. Keuntungan dari perlakukan khusus

14. Pelestarian nilai budaya dan tradisional


87

15. Keseimbangan alam lingkungan

16. Nilai warisan dan kebanggaan regional

Berdasarkan hal tersebut di atas, penulis berpendapat Tahura Sultan Syarif

Hasyim sebagai salah satu kawasan yang dilindungi mempunyai fungsi ekologi

sebagai berikut :

1. Hidrologi.

Vegetasi alami yang terdapat di dalam kawasan tahura berlaku seperti spon

untuk mengatur dan menstabilkan aliran permukaan. Akar pohon dan vegetasi

lainnya yang dalam membuat tanah lebih meresapkan air sehingga aliran

permukaan air lambat dan lebih seragam dibandingkan kawasan terbuka.

Akibatnya air sungai di wilayah berhutan terus menerus mengalir dimusin

kemarau. Kawasan Tahura Sultan Syarif Hasyim ini merupakan satu-satunya

kawasan hutan dataran rendah yang tersisa dalam kelompok hutan Takuana

Minas. Sehingga keberadaanya sangat berarti dalam mensuplai kebutuhan air

bagi daerah sekitarnya. Hal ini terbukti dengan banyaknya masyarakat sekitar

kawasan tahura yang memanfaatkan air di kawasan tahura untuk kebutuhan

sehari-hari. Air anak sungai Takuana Sungsang yang terdapat di dalam

kawasan Tahura ini telah dimanfaatkan untuk kegiatan pengembangbiakan

ikan arwana oleh pengusaha setempat untuk diekspor ke manca negara.

2. Stabilitas Iklim.

Kawasan hutan yang tidak terganggu sesungguhnya membantu menjaga curah

hujan di kawasan sekitarnya dengan mendaur ulangkan uap air pada keadaan

berkeseimbangan kembali ke dalam atmosfir. Penutupan berupa hutan juga


88

membantu menurunkan temperatur udara setempat yang menguntungkan

kawasan sekitarnya.

3. Perlindungan Sumber Daya Plasma Nutfah.

Kawasan tahura yang masih berhutan kaya akan keanekaragaman sumber daya

hayati merupakan sumber daya genetik yang bermanfaat untuk pengembangan

pertanian dan silvikultur menghasilkan bahan makanan, obat-obatan dan

keperluan lainnya dan masih terdapat banyak spesies lainnya mungkin

berpotensi untuk dimanfaatkan.

4. Memelihara Kualitas Lingkungan Hidup.

Penghuni kawasan yang berdekatan dengan suatu kawasan yang dilindungi

seringkali memperoleh hak istimewa untuk menikmati kualitas lingkungan

yang lebih bersih, lebih indah dan lebih damai dari tempat lain dimanapun tak

terkecuali masyarakat yang berada disekitar kawasan Tahura Sultan Syarif

Hasyim.

5. Keseimbangan Alam Lingkungan.

Keberadaan Tahura Sultan Syarif Hasyim dapat membantu menjaga

keseimbangan alam lingkungan secara lebih baik, serta dapat mencakup

kawasan yang lebih luas. Kawasan Tahura Sultan Syarif Hasyim memberikan

perlindungan bagi populasi berbagai jenis satwa yang penting dalam menjaga

keseimbangan lingkungan.

Menurut penulis pengrusakan terhadap kawasan tahura ini berarti

menghilangkan fungsi ekologi sebagaimana tersebut di atas. Adanya aktifitas

perambahan, illegal logging dan kegiatan lainnya yang dapat menggangu

ekosistem kawasan tahura akan menyebabkan terjadinya kelangkaan air bersih


89

bagi daerah disekitarnya, terjadinya erosi yang pada akhirnya menyebabkan

pendangkalan sungai-sungai dan terjadinya kekeringan yang semuanya akan

dirasakan pertama kali oleh masyarakat yang ada disekitar kawasan Tahura Sultan

Syarif Hasyim.

Dampak lain yang terjadi akibat aktifitas perambahan dan illegal logging

yaitu hilangnya keanekaragaman hayati yang dimiliki Tahura Sultan Syarif

Hasyim dan sumber plasma nutfah yang dapat berfungsi sebagai sumber tanaman

obat-obatan, buah-buahan, dan tanaman yang bernilai komersil lainnya.

Adanya kegiatan pembangunan bumi perkemahan terbesar di asia tenggara

seluas 300 Ha di dalam kawasan Tahura Sultan Syarif Hasyim dikwatirkaan akan

berdampak terhadap ekosistem yang ada di dalam Tahura baik dalam tahap

pembangunan maupun pada tahap pemanfaatannya nanti dan belum

dilaksanakannya pengkajian dampak lingkungan terhadp keberadaan Bumi

perkemahan tersebut terhadap kawasan Tahura


90

IV. KEBIJAKAN TAHURA SULTAN SYARIF HASYIM

Penulis berpendapat ada beberapa kebijakan yang harus dilaksanakan oleh

pemerintah dengan melibatkan lembaga swadaya masyarakat, stakeholders dan

masyarakat menyangkut aktifitas-aktifitas yang sedang berlangsung maupun akan

berlangsung di Tahura Sultan Syarif Hasyim yaitu :

4.1. Peraturan Perundangan

Segala kegiatan/aktifitas yang menyangkut dengan keberadaan tahura

harus berdasarkan perundang-undangan yang berlaku sebagai berikut:

4.1.1. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990 tentang

Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya

Kawasan pelestarian alam merupakan kawasan dengan ciri khas tertentu,

baik di darat maupun di perairan yang mempunyai fungsi perlindungan

sistem penyanga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan

dan satwa serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan

ekosistemnya.

4.1.2. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan

Hutan Konservasi merupakan kawasan hutan dengan ciri khas tertentu,

dengan fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa

serta ekosistemnya. Hutan Konservasi terdiri dari Hutan Suaka Alam,

Hutan Pelestarian Alam dan Taman Buru. Hutan Pelestarian Alam adalah

hutan dengan ciri khas tertentu, dengan fungsi pokok perlindungan sistem

penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan

satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan

ekosistemnya.
91

4.1.3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 68 Tahun 1998 tentang

Kawasan Suaka Alam dan Pelestarian Alam

Tahura dikelola dengan melakukan upaya pengawetan keanekaragaman

jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya

Upaya-upaya pengawetan Tahura dapat dilaksanakan dengan :

1. Perlindungan dan pengamanan

2. Inventarisasi potensi kawasan

3. Penelitian dan pengembangan dalam menunjang pengelolaan

4. Pembinaan dan pengembangan tumbuhan dan atau satwa untuk tujuan

koleksi.

Upaya Pengawetan Tahura dilaksanakan dengan ketentuan :

1. Dilarang merusak kekhasan potensi sebagai pembentuk ekosistem

2. Dilarang merusak keindahan alam dan gejala alam

3. Dilarang mengurangi luas kawasan yang telah ditentukan

4. Dilarang melakukan kegiatan, usaha tidak sesuai dengan rencana

pengusahaan yang telah mendapat persetujuan dari pejabat yang

berwenang.

Pemanfaatan Tahura dilaksanakan dalam bentuk :

1. Penelitian dan pengembangan meliputi penelitian dasar dan penelitian

untuk menunjang pengelolaan dan budidaya

2. Ilmu pengetahuan, kegiatan ini dapat dilaksanakan dalam bentuk

pengenalan dan peragaan ekosistem Tahura

3. Pendidikan dapat dilaksanakan dalam bentuk pengenalan dan peragaan

ekosistem Tahura
92

4. Kegiatan penunjang budaya menggunakan plasma nutfah diatur oleh

Menteri Kehutanan dan dilakukan sesuai dengan perundang-undangan

yang ada

5. Pariwisata alam dan rekreasi

6. Pelestarian budaya diatur oleh Menteri Kehutanan setelah mendapat

pertimbangan dari Menteri Kehutanan yang Bertanggung Jawab di

bidang kebudayaan

4.1.4. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2002 tentang

Tata Hutan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan

dan Penggunaan Kawasan Hutan

Kegiatan tata hutan kawasan Tahura perlu dilakukan pembagian kawasan

ke dalam blok perlindungan, Pemanfaatan, koleksi tanaman dan blok

lainnya. Blok perlindungan merupakan blok inti atau jantung Tahura

sehingga blok ini tidak boleh dirubah yang digunakan untuk

mempertahankan keanekaragaman hayati dan keutuhan komunitas

tumbuhan dan satwa dalam ekosistem alami dan melindungi sistem

penyangga kehidupan.

Blok koleksi merupakan blok yang diperuntukan bagi koleksi tumbuhan

yang berasal dari kawasan Tahura setempat (asli) maupun Sub species

(anak jenis) yang didatangkan dari tempat lain untuk meningkatkan

keanekaragaman genetiknya (bukan asli) namun yang belum bersifat

tanaman budidaya.

Blok pemanfaatan diperuntukan untuk kegiatan pariwisata alam yang

berwujud keadaan alam serta flora dan fauna. Di dalam blok pemanfaatan
93

boleh didirikan bangunan sarana dan prasarana wisata namun tidak boleh

menganggu, menurunkan nilai apalagi merusak objek wisata.

Blok lainnya adalah bagian dari kawasan Tahura yang berbeda kondisinya

sehingga memerlukan perlakuan khusus antara lain :

a. Blok rehabilitrasi yaitu bagian dari blok perlindungan yang mengalami

kerusakan dan perlu dilakukan kegiatan pemulihan komunitas hayati

dan ekosistemnya

b. Blok tradisional, ditetapkan untuk kepentingan tradisional oleh

masyarakat yang karena kesejarahan mempunyai ketergantungan

dengan sumber daya alam. Selain itu juga untuk pemanfaatan potensi

tertentu oleh masyarakat setempat secara lestari melalui pengaturan

pemanfaatan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya.

c. Blok religi, sejarah dan budaya adalah bagian dari Tahura yang di

dalamnya terdapat situs religi, peninggalan warisan budaya sejarah

yang dimanfaatkan untuk kegiatan keagamaan, kegiatan adat budaya,

perlindungan nilai-nilai budaya dan sejarah

d. Blok khusus adalah bagian dari Tahura yang diperuntukan

bermukimnya kelompok masyarakat dan aktifitas kehidupannya dan

atau bagi kepentingan pembangunan sarana atau kepentingan

telekomunikasi dan listrik, fasilitas transportasi dan lain-lain yang telah

ada sebelum penunjukan atau penetapan Tahura.

4.2. Pemerintah Pusat dan Daerah

Pemerintah pusat atau provinsi memiliki sumberdaya dan otorita untuk

mengelola kawasan tahura. Pengelolaan tahura sejak Tahun 2003 telah


94

diserahkan oleh Departemen Kehutanan kepada Gubernur Riau melalui Surat

Keputusan Nomor : 107/Kpts-II/2003. Pemerintah telah menganggarkan sejumlah

dana yang berasal dari APBD maupun APBN untuk mengembalikan fungsi

Tahura Sultan Syarif Hasyim dengan melakukan rehabilitasi kawasan Tahura

yang telah mengalami kerusakan. Namun demikian kegiatan rehabilitasi ini tidak

seimbang dengan laju aktifitas perambahan yang terjadi di dalam kawasan tahura.

Tidak adanya kejelasan dan ketidak tegasan dari pemerintah dalam menangani

masalah perambahan menyebabkan kawasan Tahura Sultan Syarif Hasyim

semakin hari semakin rawan terhadap perambahan dan sulitnya untuk melakukan

rehabilitasi untuk mengembalikan fungsinya. Seharusnya pemerintah mengambil

langkah-langkah penegakan hukum bagi pelaku penebangn liar dan perambahan

lahan. Kasus perambahan lahan untuk pembangunan kebun kelapa sawit di

wilayah Kabupaten Kampar merupakan prioritas kasus yang harus segera

dituntaskan.

Menteri Kehutanan pada acara Puncak Pekan Penghijauan Nasional yang

dilaksanakan di Tahura Sultan Syarif Pada tanggal 10 Agustus 2006 menegaskan

bahwa Tahura Sultan Syarif Hasyim harus dikembalikan fungsinya sebagaimana

mestinya dan aktifitas perambahan yang ada di dalam kawasan tahura harus

segera dihentikan tanpa adanya kompensasi berupa ganti rugi terhadap kebun

kelapa sawit yang ada.

4.3. Penyelamatan dan Kelestarian

Tahura merupakan kawasan pelestarian alam yang berfungsi sebagai

koleksi tumbuhan dan/atau satwaliar yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan

penelitian dan ilmu pengetahuan, budaya dan pengembangan wisata alam.


95

Disamping itu tahura juga mempunyai fungsi sebagai penyangga kehidupan,

pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya. Oleh

karena itu setiap aktifitas pemanfaatan tahura harus lestari dan diarahkan untuk

pencapaian tujuan-tujuan tersebut. Pemanfaatan sumber daya hayati di dalam

kawasan tahura meliputi seluruh proses yang berjalanan dalam ekosistem. Ini

memerlukan pemahaman prinsip-prinsip ekologi. Pengelolaan ekosistem adalah

pekerjaan yang menuntut teknik dan tanggung jawab yang besar.

Keanekaragam hayati yang Tahura Sultan Syarif Hasyim miliki berarti

berbagai macam bentuk kehidupan, peranan ekologi dan keanekaragaman yang

dimilikinya memerlukan suatu tindakan yang nyata untuk menyelamatkan dan

melestarikannya.

4.4. Peran Masyarakat dan Stakeholders

Dalam rangka pencapaian fungsi tahura tidak mungkin hanya dapat

dilakukan oleh instansi yang membidanginya saja tetapi juga harus melibatkan

Instansi dan lembaga terkait, masyarakat dan stakeholders lainnya. Hal ini sangat

diperlukan untuk saling belajar dan tukar menukar informasi, pemberian saran,

dana atau peralatan, sampai kebantuan pemantauan dan penegakan hukum.

Kelompok Lembaga Swadaya Masyarakay (LSM), kelompok pemuda,

masyarakat dan perkumpulan yang berorientasi pada pelestarian dapat memegang

peranan yang bermanfaat dalam membantu menjaga dan melestarikan kawasan

tahura yang dapat dilibatkan dalam kegiatan pengelolaan dan kegiatan

merehabilitasi kembali kawasan tahura.


96

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Kehutanan. 2003. Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor:


107/Kpts-II/2003, tentang Tugas Pembantuan Pengelolaan Tahura
Diserahkan Kepada Gubernur/Bupati/Walikota Setempat. Jakarta.

Departemen Kehutanan. 2000. Rencana Pengelolaan Kawasan Konservasi Taman


Hutan Raya Sultan Syarif Hasyim Minas Provinsi Riau. Kantor Wilayah
Kehutanan Provinsi Riau, Unit Konservasi Sumber Daya Alam Riau.
Pekanbaru.

Ditjen PHKA, KawasanTamanHutanRaya. Http// www. ditjenphka.go.id/


kawasan/th.php.

Dinas Kehutanan Provinsi Riau. 2003. Maste Plan Taman Hutan Raya Sultan
Syarif Hasyim. Proyek Pengembangan Tahura Sultan Syarif Hasyim
Dinas Kehutanan Provinsi Riau. Pekanbaru.

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. 2006. Rencana Penataan Blok Tahura


Sultan Syarif Hasyi. Bogor.

Mackinnon. J. K, G. Child dan J. Thorseel. 1986. Pengelolaan Kawasan Yang


Dilindungi di daerah Tropika. Diterjemahkan oleh Harry Harsono Amir.
Gadja Mada University Press. Yokyakarta.

Presiden Republik Indonesia. 1990. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990


tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
Sekretaris Negara. Jakarta.

---------------, 1998. Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1998 tentang


Kawasan Suaka Alam dan Pelestarian Alam. Sekretaris Negara. Jakarta.

---------------, 1999. Undang-Undang Nomor 41 Tahun tahun 1999 tentang


Kehutanan. Sekretaris Negara. Jakarta.

---------------. 2002. Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2002 tentang Tata


Hutan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan
Penggunaan Kawasan Hutan. Sekretaris Negara. Jakarta.
97

TERANCAMNYA KEBERADAAN HUTAN TROPIS

OLEH :
E. ZIKRA HABIBAH

PROGRAM STUDI ILMU LINGKUNGAN


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
2006
98

I. PENDAHULUAN

Ratusan juta manusia hidupnya bergantung pada hutan. Di seluruh dunia,

hutan tropis menghasilkan segalanya, mulai dari pangan, tumbuhan obat, sampai

ke serat dan bahan bangunan. Hutan-hutan tropis merupakan ekosistem yang

paling beragam di dunia, mendukung berbagai jenis jutaan spesies hewan dan

tumbuhan. Namun setiap tahun jutaan hektar hutan-hutan tropis tersebut

dihancurkan. Salah satu tugas terpenting yang dihadapi manusia adalah

bagaimana menyelamatkan hutan, sekaligus memastikan bahwa hutan masih

menyediakan kayu, makanan dan kehidupan bagi mereka yang tergantung pada

hutan.

Hutan hujan tropis merupakan salah satu habitat yang mempunyai jenis

yang paling kaya di dunia. Mereka memberi jasa penting di bidang biologi, sosial

dan ekonomi. Meskipun secara global telah mendorong agar ekosistem tropis

dipelihara secara utuh namun nilai ekonomis merubah hutan tropis sebagai

alternatif penggunaan lahan seperti perladangan, perusakan dan pengurangan

hutan tropis terus berlanjut. Ancaman dalam bentuk kehilangan dan fragmentasi

habitat salah satu kendala yang paling sering dihadapi jenis untuk melewati daerah

jelajahnya karena hal ini biasanya tidak dapat dirubah.

Sebagian dari hutan tropis terbesar di dunia terdapat di Indonesia. Dalam

hal luasnya, hutan tropis Indonesia menempati urutan ketiga setelah Brasil dan

Republik Demokrasi Kongo (dulunya Zaire) dan hutan-hutan ini memiliki

kekayaan hayati yang unik. Tipe-tipe hutan utama di Indonesia berkisar dari

hutan-hutan Dipterocarpaceae dataran rendah yang selalu hijau di Sumatera dan

Kalimantan, sampai hutan-hutan monsun musiman dan padang savana di Nusa


99

Tenggara, serta hutan-hutan non-Dipterocarpaceae dataran rendah dan kawasan

alpin di Irian Jaya (kadang juga disebut Papua). Indonesia juga memiliki hutan

mangrove yang terluas di dunia. Luasnya diperkirakan 4,25 juta hektar pada awal

tahun 1990-an. Sebagian besar habitat ini menghadapi ancaman kritis.

Saat ini Indonesia kehilangan sekitar 2 juta hektar hutan setiap tahun.

Skala dan laju deforestasi sebesar ini belum pernah terjadi sebelumnya.

Organisasi-organisasi lingkungan kadangkala dituduh melebih-lebihkan

kekhawatiran mereka mengenai kerusakan yang akan segera terjadi. Dalam kasus

Indonesia, berbagai prediksi bencana akibat hilangnya habitat dan penurunan

jumlah spesies tidak dibesar-besarkan. Survey terbaru dan yang paling diakui

hasilnya mengenai tutupan hutan Indonesia memprediksikan bahwa hutan-hutan

Dipterocarpaceae dataran rendah – habitat tropis yang paling kaya akan lenyap

dari Sumatera dan Kalimantan pada tahun 2010 jika kecenderungan-

kecenderungan saat ini tetap tidak dicegah (www.fwi.or.id, 2006).


100

II. KONDISI HUTAN TROPIS INDONESIA

2.1. Keadaan Kritis Hutan Tropis

Seratus tahun yang lalu Indonesia masih memiliki hutan yang melimpah,

pohon-pohonnya menutupi 80 sampai 95 persen dari luas lahan total. Tutupan

hutan total pada waktu itu diperkirakan sekitar 170 juta ha. Saat ini, tutupan hutan

sekitar 98 juta hektar, dan paling sedikit setengahnya diyakini sudah mengalami

degradasi akibat kegiatan manusia. Tingkat deforestasi makin meningkat:

Indonesia kehilangan sekitar 17 persen hutannya pada periode tahun 1985 dan

1997. Rata-rata, negara kehilangan sekitar satu juta hektar hutan setiap tahun pada

tahun 1980-an, dan sekitar 1,7 juta ha per tahun pada tahun 1990-an. Sejak tahun

1996, deforestasi tampaknya malah meningkat lagi sampai sekitar 2 juta ha per

tahun. Pada tingkat ini, tampaknya seluruh hutan dataran rendah Indonesia yang

paling kaya akan keanekaragaman hayati dan berbagai sumber kayu akan lenyap

dalam dekade mendatang (www.fwi.or.id, 2006).

Banyak sekali ancaman terhadap hutan Indonesia, mulai dari berbagai

kegiatan pembalakan skala besar sampai pembukaan hutan skala kecil oleh para

keluarga petani; dari tebang habis untuk membuka lahan industri pertanian sampai

kehancuran akibat kebakaran hutan yang berulang. Pembalakan ilegal dilakukan

di setiap tingkat masyarakat – oleh para pejabat yang korup, militer, para operator

liar dan kelompok perusahaan kayu (HPH) yang resmi. Namun, meskipun hutan-

hutan Indonesia begitu penting, dan betapa cepatnya hutan-hutan itu lenyap,

informasi yang akurat dan terkini tentang luas dan kondisi hutan juga tidak ada,

atau sulit diperoleh. Tidak ada pencatatan terpadu mengenai kawasan hutan
101

selama bertahun-tahun, sehingga banyak informasi yang harus dikumpulkan

berasal dari berbagai sumber yang berbeda.

2.2. Kekayaaan Alam yang Sedang Menuju Kepunahan

Indonesia memang kaya puspa dan satwa. Sederet rekor dan catatan

kekayaan ditorehkan oleh negeri ini. Namun Indonesia justru penyumbang laju

kepunahan kehati terbesar di dunia. Makin lama, semakin panjang saja daftar jenis

flora-fauna Indonesia yang masuk dalam kategori terancam kepunahan.

Keanekaragaman flora dan fauna merupakan bagian yang tak terpisahkan dari

hutan tropis. Lebih dari 70 persen jenis tumbuhan dan satwa (berarti lebih dari 13

juta jenis) di dunia hidup di hutan tropis. Berbeda dengan hutan di daerah lain

yang jenis pohonnya hanya beberapa gelintir saja, di hutan tropis dapat ditemukan

lebih dari 200 jenis pohon per hektarnya.

Indonesia pernah dikenal sebagai salah satu negara yang paling kaya

bukan hanya dalam hal luas hutannya tetapi juga keanekaragaman hayati yang

dimilikinya. Indonesia memiliki 515 jenis mamalia alias binatang menyusui

(urutan kedua di dunia, kita hanya kalah tipis dari Brazil), 39 persennya endemik

Indonesia atawa tidak dapat dijumpai di negara lain. Sementara itu, meskipun kita

berada di urutan kelima dalam hal jumlah jenis burung yang dimiliki (total 1,531

jenis) namun kita merupakan negara paling kaya dengan jumlah jenis burung

sebaran-terbatas yang terbanyak di dunia, dan 397 jenis burung hanya dapat

ditemukan di negeri kita.

Dalam hal kekayaan jenis ikan air tawar, Indonesia yang memiliki sekitar

1.400 jenis hanya dapat disaingi oleh Brazil. Di bidang kelautan, Indonesia

memiliki kekayaan jenis terumbu karang dan ikan yang luar biasa, termasuk 97
102

jenis ikan karang yang hanya hidup di perairan laut Indonesia. Tentang tumbuhan,

kekayaan Indonesia juga tidak diragukan sebagai lima besar negara terkaya

dengan lebih dari 38.000 jenis tumbuhan tingkat tinggi alias tumbuhan yang

memiliki akar-batang-daun yang jelas dapat dibedakan. Dengan 477 jenis dan 225

di antaranya endemik, Indonesia memimpin dalam kepemilikan jumlah jenis

palem di dunia (Sunarto, 2004).

Dalam World Resources Institute (2000) diuraikan bahwa meskipun luas

daratan Indonesia hanya 1,3 persen dari luas daratan permukaan bumi,

keanekaragaman hayati yang ada di dalamnya luar biasa tinggi, meliputi 11 persen

spesies tumbuhan dunia, 10 persen spesies mamalia, dan 16 persen spesies burung

(Gambar 1.). Sebagian besar dari spesies ini berada di dalam hutan-hutan

Indonesia. Sekitar 17.000 pulau di Indonesia terbentang antara kawasan

Indomalaya dan Australasia; Kepulauan Indonesia memiliki tujuh kawasan

biogeografi utama dan keanekaragaman tipe-tipe habitat yang luar biasa. Banyak

pulau yang terisolasi selama ribuan tahun, sehingga tingkat endemiknya tinggi.

Sebagai contoh, dari 429 spesies burung endemik lokal, 251 di antaranya adalah

spesies unik yang terdapat di suatu pulau tertentu saja. Sebagian besar serangga

Indonesia juga tidak ditemukan di tempat lain, dan sebagian marga berada terbatas

pada puncak-puncak pengunungan tertentu.


103

Gambar 1. Kekayaan Biotik: Persentase Spesies yang Terdapat di Indonesia

Kekayaan Biotik : Persentase Spesies yang Terdapat di


Indonesia
Persentase Spesies

20
15 16

10 11 10 Persen
6 6 7 6
5
0

Burung
Tumbuhan

Ikan air

Reptil

Mamalia

Total
Amfibi
tawar
tingkat
tinggi

Spesies

Sumber: World Resources Institut (2000)

Tiga lokasi utama yang merupakan pusat kekayaan spesies di Indonesia

adalah Irian Jaya (tingkat kekayaan spesies dan endemisme tinggi), Kalimantan

(tingkat kekayaan spesies tinggi, endemisme sedang), dan Sulawesi (tingkat

kekayaan spesies sedang, endemisme tinggi). Indonesia juga menjadi rumah bagi

beberapa mamalia yang paling disayangi di dunia, yaitu orangutan, harimau,

badak, dan gajah. Sejak awal tahun 1930, tiga subspesies harimau: Harimau Bali,

Harimau Jawa, dan Harimau Sumatera; menyebar di beberapa wilayah negara.

Dari ketiga subspesies ini, Harimau Bali (Panthera tigris balica) menjadi punah

pada akhir tahun 1930-an dan Harimau Jawa (Panthera tigris sondaica) punah

pada tahun 1970-an. Saat ini, yang masih tersisa hanya subspesies dari Sumatera.

Karena pola hidup harimau yang soliter dan nokturnal, hampir mustahil untuk

melakukan sensus yang akurat terhadap Harimau Sumatera. Subspesies ini

diyakini berjumlah sekitar 400-500 ekor, sebagian besar hidup di lima taman

nasional di Sumatera. Suatu sensus informal pada tahun 1978 memperkirakan


104

jumlah harimau di pulau ini sekitar 1000 ekor. Meskipun harimau mampu hidup

di berbagai habitat, fragmentasi hutan dan pembangunan pertanian di pulau ini

dan juga permintaan pasar terhadap berbagai produk yang berasal dari harimau

mempunyai andil terhadap penurunan populasi spesies ini (www.sumatran-

tiger.org.uk, 2001 ).

Nasib spesies mamalia lainnya juga tidak jauh lebih baik. Badak Sumatera

dan Badak Jawa keduanya termasuk spesies terancam punah dalam kategori kritis

menurut Daftar Merah – IUCN. Badak Jawa (Rhinoceros sondaicus) adalah

mamalia besar yang paling langka di dunia, jumlahnya diperkirakan hanya 54-60

ekor pada tahun 1995, dan sebagian besar hidup di satu kawasan lindung, yaitu

Taman Nasional Ujung Kulon. Badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis)

diketahui terdapat di Semenanjung Malaysia, Sumatera, dan Kalimantan. Dari

semua populasi yang ada, jumlah badak telah merosot lebih dari 50 persen selama

dekade yang lalu. Hanya sekitar 400 badak diketahui terdapat di Indonesia.

Fragmentasi dan konversi habitat secara khusus juga telah menghancurkan spesies

primate (World Resources Institute, 2000).

The Primate Specialist Group dari IUCN baru-baru ini telah menetapkan

dua spesies, yaitu Orangutan Sumatera (Pongo pygmaeus) dan Owa Jawa

(Hylobates moloch), sebagai spesies yang menduduki peringkat tertinggi pada

daftar 25 primata yang terancam punah. Owa Jawa yang berjumlah antara 300-

400 ekor sekarang terpencar di hutan-hutan yang masih tersisa di Jawa. Di

Sumatera, orangutan hanya terdapat di propinsi-propinsi Aceh, Sumatera Utara,

dan Sumatera Barat. Seperti kondisi mamalia yang paling terancam punah,

kehilangan habitat dan fragmentasi merupakan penyebab utama penurunan


105

populasi. Namun, perburuan untuk memperoleh makanan dan untuk tujuan olah

raga, perdagangan binatang peliharaaan ilegal, dan pengelolaan yang tidak efektif

di berbagai taman nasional juga telah memberikan andil terhadap penurunan

populasi (www.fwi.or.id, 2006).

Salah satu bukti nyata adalah kawasan TNKS (Taman Nasional Kerinci

Seblat) sebagai salah satu kawasan hutan tropis terbesar yang masih ada di Bumi

ini. Kawasan seluas 1.375.349 hektar ini secara administratif terdapat di empat

provinsi bertetangga, yakni Jambi (32 persen), Sumatera Barat (25 persen),

Bengkulu (25 persen), dan Sumsel (18 persen). Sejak tahun 2002 hingga April

2004 penebangan liar di TNKS masih terus berlangsung. Jika bertambah lima

persen saja luas kerusakan itu, hutan TNKS yang sudah rusak bisa mencapai 15

persen atau sekitar 205.250 hektar (www.kompas.com, 2004).

Data dari Balai TNKS menyebutkan, di hutan taman nasional itu terdapat

lebih dari 370 jenis burung, 90 jenis mamalia, termasuk di antaranya delapan jenis

primata dan berbagai jenis reptil, amfibia, dan ikan. Dari berbagai jenis fauna itu

terdapat sejumlah satwa yang dilindungi karena terancam punah, seperti badak

sumatera (Dicerorhinus sumatrensis), harimau sumatera (Panthera tigris

sumatrensis), gajah sumatera (Elephas maximus sumatrensis), dan kambing hutan

(Capricornis sumatrensis). Kawasan TNKS juga menyimpan bermacam-macam

flora yang mencapai sekitar 4.000 spesies. Beberapa di antaranya yang termasuk

spesifik, antara lain, pinus mercusi strain kerinci, kayu pacet (Harpulia arborea),

bunga raflesia arnoldi, dan bunga bangkai (Armophophalus titanium), yang

merupakan bunga tertinggi di dunia. Di dalam kawasan TNKS juga terdapat 19

areal lahan basah (wetlands), dari 31 wetlands yang ada di Sumatera.


106

Akan tetapi, upaya pelestarian TNKS hingga kini tidak bisa berjalan

mulus. Sejumlah persoalan dihadapi, seperti perambahan, penebangan liar,

perburuan liar, penambangan tanpa izin, tata batas, dan pembangunan jalan yang

memotong atau menggunakan lahan kawasan. Itu semua terkait dengan

keberadaan TNKS yang berdampingan dengan warga yang hidup di sekitarnya,

kepentingan daerah sekitar dengan alasan pembangunan, dan sebagainya.

2.3. Eksploitasi Hasil-hasil Hutan Tropis Indonesia

Indonesia adalah negara terpenting penghasil berbagai kayu bulat tropis

dan kayu gergajian, kayu lapis dan hasil kayu lainnya, serta pulp untuk pembuatan

kertas. Lebih dari setengah hutan di negara ini, sekitar 54 juta hektar, dialokasikan

untuk produksi kayu (meskipun tidak semuanya aktif dibalak), dan ada 2 juta ha

lagi hutan tanaman industri yang telah didirikan, yaitu untuk memasok kayu pulp.

Volume dan nilai produksi kayu Indonesia sulit ditentukan secara persis: data

yang disediakan oleh FAO, the International Tropical Timber Organization dan

Pemerintah Indonesia masing-masing berbeda dan tidak bisa dibandingkan begitu

saja. Sebagian besar produksi kayu Indonesia digunakan untuk kepentingan

domestik dan harganya umumnya jauh lebih rendah dibandingkan harga di pasar

internasional. Namun jelas bahwa sektor kehutanan penting sekali bagi

perekonomian Indonesia.

Pada tahun 1997, sektor kehutanan dan pengolahan kayu menyumbang 3,9

persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), dan ekspor kayu lapis, pulp dan kertas

nilainya mencapai 5,5 miliar dolar. Jumlah ini nilainya hampir setengah dari nilai

ekspor minyak dan gas, dan setara dengan hampir 10 persen pendapatan ekspor

total. Sektor kehutanan mengalami pertumbuhan yang hebat dan menggerakkan


107

ekspor bagi perekonomian tahun 1980-an dan 1990-an, tetapi ekspansi ini dicapai

dengan mengorbankan hutan karena praktek kegiatan kehutanan yang tidak lestari

sama sekali. Industri pengolahan kayu di Indonesia saat ini membutuhkan sekitar

80 juta meter kubik kayu tiap tahun untuk memasok industri penggergajian, kayu

lapis, pulp dan kertas. Jumlah kayu yang dibutuhkan ini jauh lebih besar daripada

yang dapat diproduksi secara legal dari hutan alam dan HTI. Akibatnya, lebih dari

setengah pasokan kayu di Indonesia sekarang diperoleh dari pembalakan illegal

(www.fwi.or.id, 2006).

Banyak sekali masyarakat Indonesia, meskipun jumlahnya tidak diketahui

secara pasti, yang tinggal di dalam atau di pinggir hutan atau hidupnya bergantung

pada hutan. Angka estimasi yang dibuat selama beberapa dekade yang lalu sangat

bervariasi dari 1,5 sampai 65 juta orang bergantung pada definisi mana yang

digunakan dan agenda kebijakan mana yang diikuti.

Pada pertengahan tahun 2000, Departemen Kehutanan melaporkan bahwa

30 juta penduduk secara langsung mengandalkan hidupnya pada sektor

kehutanan" meskipun tingkat ketergantungannya tidak didefinisikan. Sebagian

besar masyarakat ini hidup dengan berbagai strategi ekonomi "portofolio"

tradisional, yakni menggabungkan perladangan padi berpindah dan tanaman

pangan lainnya dengan memancing, berburu, menebang dan menjual kayu, dan

mengumpulkan hasil-hasil hutan nonkayu (NTFP) seperti rotan, madu, dan resin

untuk digunakan dan dijual. Budidaya tanaman perkebunan seperti kopi dan karet

juga merupakan sumber pendapatan yang penting. Salah satu hasil hutan nonkayu

yang paling berharga adalah rotan. Indonesia mendominasi perdagangan rotan

dunia, dengan pasokan yang melimpah dari rotan liar dan hasil budidaya yang
108

mencapai 80 sampai 90 persen dari pasokan rotan di seluruh dunia. Jutaan orang

juga menggunakan tumbuh-tumbuhan hutan yang diketahui khasiatnya untuk

pengobatan. Tanaman obat dan hasil hutan nonkayu lainnya belum begitu dihargai

dan sulit untuk mendokumentasikannya, karena sebagian besar dari tumbuhan ini

tidak muncul dalam transaksi di pasar resmi sehingga tidak dimasukkan kedalam

statistik ekonomi. Menurut Departemen Kehutanan, nilai ekspor total "tumbuhan

dan satwa liar" untuk tahun fiscal 1999/2000 lebih dari 1,5 miliar dolar, tetapi

rincian dari nilai total ini tidak dijelaskan. Manfaat nilai guna yang sifatnya bukan

komersial kemungkinan juga tinggi: jika masing-masing dari 30 juta masyarakat

yang hidupnya mengandalkan hutan diperkirakan memanfaatkan hasil-hasil hutan

yang nilainya hanya 100 dolar setiap tahun, maka nilai totalnya akan menjadi 3

miliar dolar (www.fwi.or.id, 2006)

2.4. Konversi Hutan Tropis Menjadi Areal Perkebunan

Sejak dilaksanakannya padu serasi antara TGHK (Tata Guna Hutan

Kesepakatan) dan RTRWP (rencana Tata Ruang wilayah Propinsi), kawasan

hutan negara mengalami perubahan. Perbandingan data luas kawasan hutan

negara tahun 1984 dan 1997 menunjukkan bahwa secara nasional kawasan hutan

lindung bertambah luasnya dari 29,3 juta ha menjadi 34,6 juta ha. Kawasan hutan

konservasi tetap luasnya, sedangkan kawasan hutan produksi menurun luasnya

dari 64 juta ha menjadi 58,6 juta ha. Sementara itu hutan konversi yang digunakan

untuk berbagai kepentingan pembangunan perkebunan, transmigrasi, dan lain-lain

terus mengalami penurunan dari seluas 30 juta ha pada tahun 1984 menjadi 8,4

juta ha pada tahun 1997 (Kartodiharjo dan Supriono, 2000).


109

Kartodiharjo dan Supriono (2000) selanjutnya mengemukakan bahwa

sampai dengan Juni 1998, kawasan hutan produksi dan konversi tersebut di atas

telah dialokasikan untuk HPH (Hak Pengusahaan Hutan) seluas 69,4 juta ha, dan

dicadangkan untuk HTI (Hutan Tanaman Industri) seluas 4,7 juta ha,12 serta

untuk perkebunan besar (bukan kebun rakyat) seluas juta 3 ha. Menurut Peraturan

Pemerintah No. 21 Tahun 1970 dan No. 9 Tahun 1990, pembangunan HPH dan

HTI dilaksanakan di dalam kawasan hutan produksi yang dinyatakan sebagai

kawasan hutan tetap (permanent forest). Sedangkan pembangunan perkebunan

dilaksanakan di dalam hutan konversi.

Menurut hasil perhitungan dari berbagai studi kelayakan, di dalam

kawasan HTI terdapat hutan alam yang masih produktif rata-rata sebesar 22% dari

seluruh kawasan hutan yang dikelolanya. Dengan demikian, hutan alam yang

dikonversi dalam pembangunan HTI sampai dengan Juni 1998 adalah seluas 1

juta ha (22% x 4,6 juta ha).

Sementara itu meskipun kawasan hutan lindung maupun hutan konservasi

tidak diijinkan diubah fungsinya, di beberapa lokasi terdapat perambahan hutan

oleh perkebunan, hutan tanaman, maupun perladangan oleh penduduk setempat.

Banyak hutan di dunia yang diubah menjadi areal perkebunan. Para aktivis

lingkungan hidup memperingatkan akan kerusakan hutan hujan tropis di Indonesia

yang tidak dapat diperbaiki lagi. Menurut laporan Bank Dunia, lebih dari setengah

hutan di Kalimantan sudah menghilang dalam waktu 20 tahun terakhir ini.

Dengan kecepatan penghancuran seperti ini, hutan-hutan hujan tropis di Sumatera

dan Kalimantan diprediksi akan musnah pada tahun 2010 (www.fwi.or.id, 2006).
110

Penyebab ekploitasi sumber alam tanpa menghiraukan kelestarian ini,

bukan saja karena adanya permintaan atas kayu tropis, akan tetapi semakin

banyaknya perusahaan yang membuka areal perkebunan kelapa sawit

baru. Demikian diungkapkan Markus Radday, pakar hutan dari organisasi

perlindungan WWF.

Perkebunan-perkebunan baru terus dibuka dan kira-kira setiap 20 detik,

lahan hutan hujan tropis seukuran lapangan bola di Kalimantan menghilang. 85

persen minyak kelapa sawit yang diperdagangkan di dunia berasal dari Indonesia

dan Malaysia. Di Eropa permintaan terhadap minyak palem juga bertambah,

dibandingkan dengan minyak kedelai yang dicurigai ada manipulasi gen-nya

(www.dw-world.de, 2006).

Pertumbuhan sub-sektor kelapa sawit telah menghasilkan angka-angka

pertumbuhan ekonomi yang sering digunakan pemerintah bagi kepentingannya

untuk mendatangkan investor ke Indonesia. Namun pengembangan areal

perkebunan kelapa sawit ternyata menyebabkan meningkatnya ancaman terhadap

keberadaan hutan Indonesia karena pengembangan areal perkebunan kelapa sawit

utamanya dibangun pada areal hutan konversi.

Konversi hutan alam masih terus berlangsung hingga kini bahkan semakin

menggila karena nafsu pemerintah yang ingin menjadikan Indonesia sebagai

produsen minyak sawit terbesar di dunia. Demi mencapai maksudnya tadi,

pemerintah banyak membuat program ekspansi wilayah kebun meski harus

mengkonversi hutan.

Akibat deforetasi tersebut bisa dipastikan Indonesia mendapat ancaman

hilangnya keanekaragaman hayati dari ekosistem hutan hujan tropis. Juga


111

menyebabkan hilangnya budaya masyarakat di sekitar hutan. Disamping itu

praktek konversi hutan alam untuk pengembangan areal perkebunan kelapa sawit

telah menyebabkan jutaan hektar areal hutan konversi berubah menjadi lahan

terlantar berupa semak belukar dan/atau lahan kritis baru, sedangkan realisasi

pembangunan perkebunan kelapa sawit tidak sesuai dengan yang direncanakan

(Achmad, 2006).

Dampak negatif terhadap lingkungan menjadi bertambah serius karena

dalam prakteknya pembangunan perkebunan kelapa sawit tidak hanya terjadi pada

kawasan hutan konversi, melainkan juga dibangun pada kawasan hutan produksi,

hutan lindung, dan bahkan di kawasan konservasi yang memiliki ekosistem yang

unik dan mempunyai nilai keanekaragaman hayati yang tinggi.

Setiap hari, bisa jadi kita menggunakan salah satu produk yang berasal

dari minyak sawit. Sabun, margarin, bahan tambahan makanan hingga biodiesel,

merupakan sederetan produk yang dihasilkan minyak sawit. Tingginya kebutuhan

ini mendorong pesatnya peningkatan luas perkebunan sawit dunia dalam 25 tahun

terakhir.

Bagi Indonesia, sawit adalah salah satu sumber pendapatan utama. Dari

sekitar 11 juta hektar perkebunan sawit di seluruh dunia, lebih dari 6 juta hektar

terdapat di Indonesia. Sayangnya, untuk mencapai luas 6 juta, dipercaya, hutan

tropis yang dibuka dan ditebang luasnya jauh lebih besar dari angka tersebut.

Perluasan perkebunan sawit, diakui telah menimbulkan masalah lingkungan dan

sosial yang parah (Ardiansyah, 2006).

Sebagian besar perkebunan sawit muncul dengan mengkonversi hutan

tropis yang memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi menjadi hamparan


112

perkebunan monokultur. Dalam pengelolaannya, penggunaan bahan kimia

intensif, salah satunya herbisida kerap digunakan dan menjadi salah satu faktor

perusak lingkungan yang signifikan.

Akibatnya berbagai spesies tanaman dan hewan yang bergantung hidupnya

pada hutan terancam keberadaannya. Konflik terbuka antara manusia dengan

berbagai hewan seperti dengan gajah dan harimau tidak dapat dihindari, seperti

yang kerap terjadi di Sumatera. Sementara, sebagian hewan lainnya, semisal orang

utan di Kalimantan semakin sulit mendapatkan makanan. Luas hutan yang

menyempit akibat perluasan kebun sawit tidak mampu lagi menyediakan

kebutuhan beragam spesies liar yang hidup di hutan.

Sementara proses pembersihan lahan untuk perkebunan sawit dilakukan

dengan cara membakar, menimbulkan masalah kabut asap yang sejak era 90-an

hampir setiap tahun mencemari sejumlah wilayah di Sumatera dan Kalimantan

bahkan menyebar hingga ke negeri tetangga. Bukan hanya nafas yang semakin

sesak akibat infeksi saluran nafas dan masalah kesehatan lainnya yang muncul

tetapi juga besarnya kerugian ekonomi yang ditimbulkannya.

Di sisi sosial, kehidupan masyarakat adat yang sangat bergantung dengan

hutan menjadi terancam. Hak dan kepentingan mereka kerap dilanggar oleh para

pelaku industri perkebunan sawit yang melanggar batas-batas tanah adat dan

menerapkan praktek yang tidak selaras dengan nilai-nilai masyarakat adat.

Konflik pun tidak terhindarkan (Ardiansyah, 2006).


113

III. DAMPAK RUSAKNYA KAWASAN HUTAN TROPIS

3.1. Monokulturisme sebagai Awal dari Penggurunan

Pengalihan kawasan hutan tropis menjadi kawasan perkebunan skala luas,

pertambangan dan hutan tanaman industri berimplikasi pada semakin luasnya

lahan kritis dan akan meninggalkan gurun yang tak mampu lagi memberikan

kehidupan bagi manusia dan satwa yang berkehidupan di atasnya.

Monokulturisme atau budaya pengembangan lahan dengan komoditas tunggal,

selalu menjadi sebuah program utama dari pemerintah saat ini, dengan asumsi

akan membuka lapangan kerja, meningkatkan ekonomi lokal dan berimplikasi

pada peningkatan kesejahteraan, ternyata tidak dapat dibuktikan pada tingkat

realita maupun pada tingkat kajian ilmiah.

Kondisi lahan di kawasan hutan tropis telah disajikan oleh alam untuk

mampu memberikan kehidupan kepada makhluk di kawasan tersebut. Interaksi

antara manusia, satwa dan vegetasi, beserta komponen lingkungan lainnya telah

menyajikan hubungan yang saling berketergantungan. Namun ketika pemerintah,

sebagai pemegang mandat pengelolaan, melakukan upaya perubahan kondisi

kawasan, secara perlahan kemudian akan menyajikan hamparan lahan kritis dan

gurun yang hanya akan mampu menopang sebagian kecil makhluk hidup.

Pola perladangan gilir balik yang dilakukan oleh komunitas lokal

merupakan sebuah upaya untuk tetap menjaga ketersediaan hara di dalam lapisan

tanah agar tetap mampu memberikan kehidupan pada generasi selanjutnya.

Pengetahuan yang dibentuk dari proses belajar dari alam ini, senyatanya telah

memberikan ruang pengetahuan yang luar biasa bagi keberlangsungan kehidupan.

Perladangan gilir balik yang dilakukan oleh komunitas lokal, termasuk sistem tata
114

ruang komunitas lokal, bukanlah semata untuk penguasaan atas lahan, namun

lebih pada sebuah tata pengelolaan sumberdaya alam berkelanjutan, sebagaimana

yang selalu didengungkan dalam cita-cita pembangunan negeri ini.

Ketika kemudian pemerintah memberikan kawasan hutan tropis kepada

pengusaha perkebunan, yang kemudian melakukan pembukaan lahan secara luas

dengan komoditi satu jenis (monokultur), maka yang terjadi adalah pengikisan

tanah dan pencucian zat hara dan mineral tanah yang secara perlahan akan

menyisakan tanah tanpa hara. Pengelolaan lahan dengan monokultur juga akan

menyisakan hara dan mineral tanah ke badan-badan perairan yang berimplikasi

terjadinya pendangkalan di aliran perairan sekitar kawasan.

Belum termasuk disaat kawasan hutan tropis basah harus dibongkar untuk

kepentingan pertambangan mineral maupun minyak dan gas, dimana terjadi

pengubahan bentang lahan dan struktur tanah, yang hanya akan menyisakan

danau-danau besar beracun dan terjadinya perubahan secara mendadak terhadap

siklus hidrologi, dan akan berimplikasi pada bencana ekologi berupa kekeringan

dan banjir (www.timpakul.hijaubiru.org, 2006).

Untuk Indonesia, konversi lahan–lahan produktif menjadi lahan–lahan

kritis serta tidak produktif, merupakan suatu bentuk penggurunan yang terjadi.

Hingga saat ini, lahan kritis di Indonesia telah mencapai sekitar 22 juta hektar.

Kekeringan yang terjadi akibat perubahan iklim global, serta perilaku manusia

yang seringkali tidak bersahabat dengan lingkungan, telah mengakibatkan

konversi lahan–lahan produktif menjadi lahan kritis dalam waktu yang cepat.

Penggundulan hutan di kawasan tangkapan air (water catchment area), erosi tanah

yang juga mengerosi humus dalam tanah, saluran irigasi yang tidak menjangkau
115

lahan – lahan pertanian, serta penggunaan pupuk kimia dan pestisida kimia dalam

jumlah berlebih, merupakan beberapa bentuk perusakan lingkungan yang

berpotensi melahirkan banyak lahan kritis. Kritisnya lahan tidak disertai dengan

upaya perbaikan, apalagi pencegahan, menyebabkan lahan–lahan tersebut

ditinggalkan untuk mencari lahan baru. Semakin lama semakin banyak ditemukan

lahan–lahan tidak produktif, dimana sumber daya alam diserap secara maksimal

tanpa melihat kesinambungannya, lalu ditinggalkan (Bramono, 2006).

Konferensi Para Pihak Sesi Keenam United Nations Convention to

Combat Desertification (UNCCD), di Havana-Kuba, yang berlangsung pada awal

September 2003, yang membicarakan gurun dan penggurunan di bumi,

menghasilkan beberapa kesepakatan, di antaranya upaya bersama yang lebih

konkret untuk setidaknya menahan laju penebangan hutan, dan juga penegasan

bagi upaya penerapan hukum lebih keras (www.timpakul.hijaubiru.org, 2006)

3.2. Penurunan Jasa-jasa Lingkungan Hutan Tropis

Berbagai manfaat yang disediakan oleh hutan Indonesia jauh melebihi

nilai yang didapatkan dari hasil-hasil hutan. Lima belas Daerah Aliran Sungai

(DAS) terbesar di Indonesia merupakan sumber air bagi lebih dari 16 juta orang.

Hutan di DAS ini membantu melindungi pasokan air dengan menstabilkan tanah

di lereng-lereng bukit dan mengatur laju dan kecepatan aliran sungai. Namun,

DAS ini kehilangan lebih dari 20 persen tutupan hutannya antara tahun 1985 dan

1997 (www.fwi.or.id, 2006).

Hutan-hutan Indonesia juga menyimpan jumlah karbon yang sangat besar.

Menurut FAO, jumlah total vegetasi hutan di Indonesia menghasilkan lebih dari

14 miliar ton biomassa, jauh lebih tinggi daripada negara-negara lain di Asia, dan
116

setara dengan sekitar 20 persen bio-massa di seluruh hutan tropis di Afrika.

Jumlah biomassa ini, secara kasar menyimpan sekitar 3,5 miliar ton karbon.

Mengingat penebangan hutan yang sudah berlangsung secara ekstensif di

Indonesia, sementara hutan yang ditanami kembali sangat terbatas kemungkinan

besar perubahan tutupan lahan ini justru lebih banyak menghasilkan karbon

daripada menyimpannya, sehingga memberikan andil terhadap pemanasan global.

Jasa-jasa lingkungan seperti ini sulit untuk diukur. Banyak bukti dari laporan yang

tidak diterbitkan, dan banyak lagi studi lokal yang menyatakan bahwa berbagai

jasa lingkungan ini sudah semakin menurun dengan meningkatnya deforestasi.

Sayangnya laporan pada skala nasional masih sangat kurang. Semakin

menurunnya jasa lingkungan ini sulit sekali dinilai dalam ukuran dolar.

Para ahli sudah berusaha untuk memberikan nilai ekonomi bagi berbagai

barang dan jasa lingkungan yang tidak dapat diperjualbelikan di pasar-pasar.

Dengan menggunakan beragam asumsi dan pendekatan metodologi, berbagai

penulis telah memberikan nilai bagi hutan-hutuan tropis yang berkisar dari ratusan

sampai ribuan dolar per hektar. Studi yang dilakukan oleh Fakultas Kehutanan

Institut Pertanian Bogor menyimpulkan bahwa secara teori nilai ekonomi

keanekaragaman hayati dan simpanan karbon saat ini jauh melebihi pendapatan

yang diperoleh dari produksi kayu bulat. Memang hasil studi seperti ini tidak

cukup kokoh untuk diartikan secara harfiah, tetapi merupakan peringatan yang

bermanfaat bahwa berbagai pendekatan konvensional yang digunakan untuk

menilai hutan, yaitu berdasarkan harga kayu, terlalu sempit dan mengabaikan

kepentingan masyarakat lokal yang hidupnya mengandalkan hutan. Cara penilaian

tersebut juga mengabaikan kepentingan dan perhatian masyarakat dunia yang


117

peduli terhadap nasib hutan Indonesia. Banyak orang yang mengagumi hutan

tropis dengan rasa bangga dan terpesona. Oleh karena itu bisa dikatakan bahwa

berbagai teknik penilaian moneter tidak selalu relevan, dan nilai kualitas spiritual

serta keindahan hutan Indonesia masih jauh dari jangkauan ilmu ekonomi dan

bahkan ekonomi lingkungan untuk bisa mengukurnya .

3.3. Kenaikan Suhu Bumi

Tak pelak lagi, munculnya badai-badai dahsyat di berbagai wilayah di

dunia karena adanya perubahan iklim sebagai dampak kenaikan suhu bumi

(global warming). Kerusakan lingkungan, khususnya kehancuran hutan di muka

bumi, telah menyebabkan keseimbangan antara gas asam (oksigen) dan gas asam

arang (karbon dioksida) terguncang. Kerusakan hutan yang terjadi di hampir

seluruh permukan bumi di Afrika, Asia, Eropa, Amerika, dan Australia telah

menjadikan gas karbon dioksida (selanjutnya disebut karbon) di atmosfir tak bisa

dikonversi menjadi gas oksigen secara mencukupi dan seimbang. Akibatnya,

jumlah gas karbon semakin besar. Karena sifat gas karbon yang bisa mengurung

panas (seperti rumah kaca), maka suhu atmosfir bumi pun naik. Dampaknya luar

biasa. Terjadi pergeseran arus gelombang panas di laut yang kemudian memicu

terjadinya perubahan tekanan sehingga menimbulkan angin besar (badai). Tidak

hanya itu. Kenaikan suhu atmosfer bumi pun akan menimbulkan banjir besar di

berbagai kawasan. Ini disebabkan mencairnya salju di kutub maupun puncak-

puncak gunung yang selama ini diselimuti salju abadi.

Sebuah model simulasi yang dibuat Intergovernmental Panel on Climate

Change (IPCC) di New York menunjukkan bahwa bila suhu bumi mengalami

kenaikan 0,5 derajat celsius, maka akan terjadi tragedi yang amat besar di planet
118

bumi. Bukan hanya ratusan juta hektare tanah-tanah pertanian di Asia, Afrika,

Amerika, dan Australia yang akan mengalami kekeringan, tapi juga sejumlah

wilayah pantai di berbagai negara akan tenggelam. Wilayah yang amat rawan

diterjang banjir dan badai, menurut tim IPCC adalah pantai selatan Mediterania,

pantai barat Afrika, Asia Selatan, Asia Tenggara, Pasifik, dan Lautan Indonesia.

Banyak negara kecil akan terendam laut. Maldive, negeri pulau di pantai

India Selatan diperkirakan akan lenyap tertelan laut jika terjadi kenaikan suhu 0,5

derajat celsius saja. Begitu pula Pulau Marshall, akan tenggelam. Di wilayah

Karibia, Amerika Tengah negara-negara pulau seperti Haiti dan Kuba juga akan

lenyap. Saat ini, negara-negara tersebut memang belum tenggelam. Tapi jika kita

melihat badai dahsyat yang selalu mengancam pulau-pulau tersebut, semua itu

tengah menunjukkan adanya perubahan iklim yang sangat signifikan akibat

kenaikan suhu bumi (Santoso, 2004).

3.4. Problem Karbon

Semua pakar lingkungan bahkan orang awam sekali pun sudah tahu bahwa

semua tragedi tersebut di atas penyebabnya adalah konsentrasi karbon yang makin

pekat di atmosfer. Sumber karbon tersebut, terutama berasal dari asap kendaraan

bermotor, pabrik, dan segala macam yang berkaitan dengan pembakaran fuel oil.

Lantas, siapa yang memberikan kontribusi paling besar pada pekatnya

karbon itu? Pasti negara-negara maju yang jumlah kendaraan bermotor dan

pabriknya banyak sekali. Amerika Serikat misalnya, saat ini termasuk kontributor

karbon terbesar di dunia, sekitar 35 persen dari karbon yang digelontorkan negara-

negara industri maju. Padahal, lebih dari 60 persen karbon di atmosfer berasal dari

negara-negara industri.Ironisnya justru AS-lah yang menentang kesepakatan


119

Protokol Kyoto (PK) untuk mengurangi emisi karbon. Alasannya, pengurangan

emisi karbon sama dengan memperlambat laju pembangunan industri. Tragisnya

lagi, beberapa negara maju kini mulai cenderung mengikuti langkah AS, menolak

kesepakatan PK (Santoso, 2004).

Kemenangan Partai Demokrat dalam Pemilu Kongres Amerika bagai

durian runtuh bagi para peserta Konferrensi Dunia untuk Perubahan Iklim yang

diselenggarakan PBB di Nairobi, 6 hingga 17 November 2006. Padahal

sebelumnya, saat konferensi dibuka, mereka mendapat semacam pukulan pertama,

yakni, ketika ketua delegasi Amerika menyatakan bahwa selama Bush berkuasa,

negara itu tetap tidak akan terlibat dalam Protokol Kyoto yang mengharuskan

mereka mengurangi emisi rumah kaca. Itu karena sang presiden mencemaskan

dampaknya bagi ekonomi Amerika. Tetapi angin politik berubah. Kongres

Amerika kini dikuasai Partai Demokrat yang cenderung lebih pro lingkungan.

Maka bolehlah berharap, Amerika akan lebih kooperatif dalam upaya dunia

mengurangi efek rumah kaca (www.dw-world.de, 2006).

Di luar itu, delegasi negara-negara dunia ketiga datang ke konferensi di

ibu kota Kenya ini dengan berbagai agenda lain. Sebagian besar hutan tropis yang

merupakan paru paru dunia berada di negara berkembang, antara lain di Indonesia

dan Brasil. Negara-negara pemilik hutan tropis ini merupakan negara yang

ekonominya masih sangat lemah dan menjadikan hutan justru sebagai lahan

memperoleh pemasukan (www.dw-world.de, 2006).

Gagasan negara-negara maju menjalankan program carbon sink yaitu

memperluas "media alamiah" untuk menyerap karbon dengan adalah menambah

luas dan melestarikan hutan, khususnya hutan tropis menemui hambatan karena
120

negara-negara yang memiliki hutan tropis paling luas di dunia Brazil dan

Indonesia kini sedang mengalami krisis ekonomi amat parah. Bagi dua negara

tersebut, menjaga kelestarian hutan tropisnya amat sulit karena ketiadaan dana.

Hutan tropis menjadi "lahan uang", baik bagi negara maupun masyarakat.

Karena itu, satu-satunya cara adalah dunia internasional membantu dana

untuk melestarikan hutan tropis tersebut. Ini penting karena hutan tropis kedua

negara sudah ditetapkan PBB sebagai paru-paru dunia. Penetapan itu tentunya

membawa konsekuensi, memberikan hibah untuk membangun kembali hutan

tropis Indonesia yang kini mengalami kerusakan yang amat parah.

Sejauh ini memang sudah ada konsep DNS (debt to nature swap) untuk

memperbaiki lingkungan. Beberapa negara maju seperti Jerman dan Inggris

membebaskan utang dengan jalan utang itu dikonversi untuk memperbaiki

lingkungan. Tapi sayang, DNS tersebut jumlahnya masih terlalu kecil dibanding

beban utang negara-negara berkembang, khususnya Indonesia dan Brazil, yang

kini mempunyai utang luar negeri mencapai sekira 60 miliar dolar AS.

Karena masalah ini sangat krusial, maka mau tidak mau, hal tersebut harus

segera dipecahkan. Kerusakan hutan tropis berakibat amat luas di dunia. Bumi tak

mampu menyerap karbon di atmosfer sehinga suhunya makin panas. Dan jika

suhu bumi makin panas, pelbagai bencana alam pun akan datang bertubi-tubi

seperti ditunjukkan dengan datangnya badai dalam bulan September dan Oktober

yang telah menewaskan ribuan orang di dunia (Santoso, 2004).

3.5. Kehancuran Hutan Tropis

Berbagai pernyataan tentang betapa kaya Indonesia rupanya justru

semakin membuat kita miskin. Lantaran mengira kaya, tampaknya kita jadi
121

terbuai dan malas untuk berbuat sesuatu. Atau, yang tidak kalah buruknya,

sebagian orang baik dari dalam maupun luar negeri justru dengan semena-mena

melakukan eksploitasi sumberdaya yang sebenarnya sangat rentan terhadap

kerusakan tersebut. Akibatnya, sebagian besar hutan kita kini telah rusak parah.

Banyak jenis tumbuhan dan satwa kini berada di ambang kepunahan.

Kerusakan hutan di Indonesia kini telah mencapai pada satu titik yang

sangat mengkawatirkan. Pengrusakan yang terjadi hingga saat ini telah cukup

untuk memicu kerusakan selanjutnya secara otomatis, yang dilakukan oleh api

kebakaran hutan. Dengan perubahan kualitas hutan yang tercapai saat ini, api yang

biasanya sangat sulit untuk menyebar di hutan, kini dengan mudah dapat melahap

jutaan hektar hutan yang telah terdegradasi.

Secara reguler sejak 1992 kebakaran hutan selalu menghantam hutan dan

lahan di berbagai wilayah Indonesia. Kebakaran terhebat terjadi tahun 1997,

khususnya di Sumatra dan Kalimantan yang mengakibatkan bukan hanya

kehilangan hutan dan satwa liar secara langsung, tetapi juga asap yang

mengakibatkan gangguan kesehatan dan terhentinya berbagai kegiatan, termasuk

banyak penerbangan di Kawasan Asia Tenggara.

Proses kerusakan otomatis tersebut terlihat jelas dari laporan tentang laju

kerusakan hutan yang meningkat tak terkendali di tengah meningkatnya

kepedulian dan usaha untuk menurunkan laju kerusakan yang ada. Pada tahun

1980-an, laju kerusakan hutan diperkirakan sekitar satu juta hektar pertahun.

Angka tersebut meningkat drastis pada tahun 1990-an, menjadi 1,7 juta hektar

pertahun. Perhitungan yang dilakukan antara tahun 1996 hingga 2002

menghasilkan angka sekitar dua juta hektar per tahun. Tahun 2003, laporan
122

sementara menyebutkan bahwa laju kerusakan hutan kita mencapai lebih dari 3

juta hektar per tahun. Di antara jumlah tersebut, kontribusi kebakaran hutan jelas

sangat besar.

Itu sebabnya, usaha untuk menghentikan perusakan hutan tidak cukup

dilakukan hanya dengan menghentikan kegiatan yang sifatnya merusak saja.

Selain menghentikan perusakan lebih lanjut pada hutan-hutan alami, kita juga

dituntut untuk melawan kecenderungan yang terjadi dengan berbagai macam

usaha rehabilitasi lahan dan hutan yang telah rusak.

Bersamaan dengan hilangnya hutan hilang pulalah kekayaan jenis-jenis

flora dan fauna kita. Akibatnya, kita bukan saja kehilangan kualitas hidup dan

sumberdaya yang dapat dimanfaatkan secara lestari, namun juga harus bersiap-

siap untuk menuai lebih banyak bencana. Banjir besar di Jakarta tahun 2002,

tanah longsor di Pacet, Mojokerto yang menewaskan 31 orang, dan yang terbaru

banjir bandang di Sungai Bohorok yang menewaskan 90-an orang plus puluhan

atau mungkin ratusan lainnya yang hilang adalah contoh-contoh bencana yang

mulai dituai akibat kerusakan hutan sebagai daerah tangkapan air. Kitapun

tentunya belum lupa dengan kekeringan yang telah menyebabkan rawan pangan di

sebagian Pulau Jawa beberapa bulan lalu (Sunarto, 2004).

Dalam banyak kasus seperti itu, penyebab kerusakan hutan biasanya

bukanlah mereka yang secara langsung akan menanggung bencana yang terjadi.

Namun, secara nasional kita semua jelas dirugikan. Oleh sebab itu, intervensi

pemerintah merupakan salah satu kunci penyelesaian permasalahan. Pemerintah

memiliki tanggung jawab untuk mengatur misalnya agar masyarakat di hulu

sungai yang merupakan daerah tangkapan air memiliki insentif yang cukup untuk
123

mau menjaga hutan. Sebaliknya masyarakat hilir harus berani membayar lebih

untuk ‗pengorbanan‘ masyarakat di hulu.


124

IV. SOLUSI PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN


KERUSAKAN HUTAN TROPIS

Dari perspektif ini, manusia sudah seharusnya sadar bahwa merusak hutan

adalah sangat berbahaya untuk masa depan kehidupan bumi. Sebaliknya menanam

pohon amat besar manfaatnya untuk kelangsungan kehidupan bumi. Salah satu

solusi yang kecil tapi indah, adalah tanamlah pohon di mana ada tanah kosong. Di

depan, samping, dan belakang rumah kita sendiri misalnya. Setiap tanaman

niscaya bisa menjadi mesin konversi yang dapat mengubah gas karbon dioksida

menjadi gas oksigen yang bermanfaat untuk manusia. Jika pohon makin banyak

niscaya kapasitas mesin konversi itu makin besar. Jadi, kita tak perlu berbuat

terlalu jauh yaitu memperbaiki hutan tropis yang rusak. Tapi cobalah membuat

"hutan tropis" kecil di sekitar lingkungan kita. Karena hutan tropis yang rusak

merupakan tanggung jawab bersama rakyat dan pemerintah setempat.

Pilihan bagi pemerintah agar tidak selalu mengedepankan program

monokulturisasi menjadi hal yang sangat penting. Pola agroforestry (pengelolaan

lahan dengan berbagai jenis tingkatan vegetasi/polikultur) harusnya menjadi

pilihan pertama. Selain tidak akan menjadikan adanya ketergantungan komunitas

lokal terhadap produk pabrik berupa bibit tanaman, pupuk dan pembasmi hama,

pola agroforestry juga telah dilakukan oleh komunitas lokal selama ini.

Ketahanan pangan komunitas lokal juga akan tetap terjamin bila saja

pemerintah melakukan perlindungan terhadap tata ruang yang telah dibangun oleh

komunitas lokal. Tata guna lahan yang dibuat dalam satu komunitas lokal selama

ini telah menunjukkan jaminan terhadap keberlanjutan ekonomi, ekologi dan

sosial komunitas tersebut.


125

Berlanjutnya kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya di negara

yang memiliki kekayaan alam berlimpah ini sangat tergantung kepada

kepentingan politik pemerintah, yang merupakan pelayan rakyat. Rencana Tata

Ruang Wilayah Propinsi maupun Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten-Kota,

serta kebijakan-kebijakan sektoral yang dilahirkan, sudah selayaknya tidak

menghilangkan sumber-sumber kehidupan komunitas lokal, termasuk tidak

menghilangkan sistem sosial-kultural rakyat. Pemerintah sudah seharusnya

menghapus paham monokulturisme di dalam pemikirannya, menjadi paham

polikulturisme (agroforestry).

Pemerintah di wilayah administrasinya agar tidak melakukan perubahan

fungsi dan status kawasan lindung menjadi kawasan budi daya kehutanan dan

non-kehutanan melalui mekanisme penyusunan dan/atau peninjauan kembali

Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi (RTRWP) dan Rencana Tata Ruang

Wilayah Kabupaten (RTRWK). Di samping itu, Pemerintah harus segera

menyusun rencana tindak (action plan) yang konkrit pemberantasan praktek

kejahatan hutan (forest crime), seperti illegal logging, konversi kawasan lindung

secara de facto, pembakaran hutan dan sebagainya.


126

DAFTAR PUSTAKA

Achmad, S., 2006. Dampak Ekologi dan Lingkungan Akibat Perkebunan Sawit
Skala Besar. www.sawitwatch.or.id.

Ardiansyah, F., 2006. Mengawal Perkebunan Sawit agar Lestari.


www.wwf.or.id.

Bramono, S. E., 2006. Tahun 2006: Tahun Gurun dan Penggurunan Internasional.
www.tlitb.org.

Kartodihardjo, H. dan Supriono, A., 2000. Dampak Pembangunan Sektoral


terhadap Konversi dan Degradasi Hutan Alam: Kasus Pembangunan HTI
dan Perkebunan di Indonesia. Cifor Occasional paper No. 26 (I).

Kompas, 2004. Benteng Terakhir Hutan Tropis Sumatera. www.kompas.com.

Santoso, N., 2004. Badai Global dan Hutan Tropis. www.pikiran-rakyat.com

Sunarto, 2004 . Paradoks Kekayaan Hayati Indonesia Kaya tapi Sengsara. www.
sinar-harapan.com.

World Resources Institute, 2000. Biotic Richness : Percent of World’s Species


Found in Indonesia. www.wri.org.

www.fwi.or.id, 2006. Hutan-Hutan Indonesia: Apa Yang Dipertaruhkan ?

www.dw-world.de, 2006. Hutan Tropis dalam Bahaya – Kalimantan Terancam.

www.dw-world.de, 2006. Pemeliharaan Hutan dan Perkembangan Ekonomi.

www.sumatran-tiger.org.uk, 2001. Monitoring Habitat Harimau.

www.timpakul.hijaubiru.org. 2006. Monokulturisme : Awal Penggurunan


Kalimantan.
127

HUTAN KEMASYARAKATAN SEBAGAI SALAH


SATU PEMECAHAN MASALAH PERAMBAHAN
HUTAN DAN KELESTARIANNYA

OLEH :

EDI WARMAN

PROGRAM STUDI ILMU LINGKUNGAN


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
2006
128

1. PENDAHULUAN

Salah satu masalah berkaitan dengan kehutanan di Indonesia saat ini yaitu

kecenderungan menyusutnya areal hutan dari tahun ketahun. Dampak ditimbulkan

pada lingkungan, berupa kerusakan hutan yang juga cenderung semakin

meningkat. Menurut Hamimah (2001), untuk penyelesaian masalah hutan di

Indonesia perlu diketahui akar persoalan secara jelas agar upaya penyelesaiannya

dapat dilakukan seefektif mungkin. Kerusakan hutan pada intinya disebabkan ulah

manusia yang tidak mempunyai komitmen untuk tertib dan lemahnya penegakkan

hukum.

Pada beberapa kasus pengunaan lahan kawasan hutan sebagai areal

pemukiman dan perladangan telah berlangsung sangat lama, bahkan lebih lama

dari usia penetapan kawasan hutan itu sendiri oleh pemerintah. Oleh karena itu,

istilah perambah hutan kemudian banyak ditentang dan diperdebatkan karena

telah mengkambinghitamkan masyarakat setempat sebagai pengganggu ekosistem

kawasan hutan, padahal dari kronologisnya justru masyarakat yang merasa

terganggu akibat penetapan kawasan hutan negara yang dilakukan secara sepihak

oleh pemerintah. Perdebatan mengenai penggunaan istilah "perambah hutan" pun

terus berlangsung. Namun demikian yang paling penting adalah perlu ada

kesepakatan bersama bahwa kerusakan ekosistem kawasan hutan merupakan

masalah bersama yang harus segera diselesaikan.

Upaya penanggulangan kerusakan hutan yang dilakukan pemerintah

selama ini dengan cara refresif dinilai tidak efektif lagi, karena persoalannya

bukan sekedar persoalan kebutuhan hidup masyarakat perambah hutan saja, tetapi

juga kebutuhan aparat kehutanan ditingkat lapangan. Menurut Taryono (2001),


129

permasalahan perambahan hutan oleh rakyat karena : 1) tekanan kebutuhan hidup

oleh masyarakat, 2) tuntutan kepemilikan tanah oleh masyarakat atas kawasan

hutan, 3) perubahan kegunaan kawasan hutan, 4) ketidak sepakatan atas batas

kawasan hutan, 5) belum tuntasnya batas kawasan hutan, 6) keterbatasan

kemampuan dalam pengelolaan kawasan hutan, sebelumnya masyarakat tidak

diikutkan dalam kegiatan pengelolaan. Berkaitan dengan hal tersebut pembahasan

mengenai masalah kerusakan hutan khususnya yang disebabkan oleh perambah

hutan seperti saat ini sangat tepat.


130

II. KERUSAKAN HUTAN AKIBAT ULAH MANUSIA DAN LEMAHNYA


PENEGAKAN HUKUM

2.1. Kerusakan Hutan Akibat Ulah Manusia

Hutan kita telah rusak? pertanyaan ini sering muncul dan hampir menjadi

pembicaraan setiap hari baik di media massa maupun pembicaraan masyarakat

sehari-hari terutama pemerhati lingkungan. Indikasi rusaknya kawasan hutan

dapat kita rasakan bahwa lahan disekitar kita sering terasa gersang karena

rusaknya hutan. Akibatnya pada musim hujan sering terjadinya banjir, sebaliknya

pada musim kemarau terjadi kekeringan menyebabkan hutan rnudah terbakar.

Selain itu, kebiasaan sebahagian masyarakat kita membuka kawasan hutan dengan

cara merambah atau menebang hutan untuk dijadikan areal perkebunan, pertanian

(ladang berpindah), HTI dan lain-lain. Apakah yang menyebabkan hutan kita

rusak dan sejauh mana tingkat kerusakannya.

Menurut Harnirnah (2001) menjelang abad ke 21, Indonesia menghadapi

persoalan kehutanan yang memprihatinkan. Deforestasi meningkat, luas lahan

berhutan dalam kawasan hutan terus menyusut dan konflik dalam pengelolaan

kawasan hutan terus meningkat. Hal ini menyebabkan kelestarian hutan dan

kehidupan masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan semakin

mengkhawatirkan. Kawasan hutan Indonesia yang tercatat seluas 149 juta hektar

diperkirakan telah kehilangan 72 % hutan alam dan 28% sisanya dalam kondisi

terancam. Laju deforestasi antara tahun 1984 sarnpai 1998 diperkirakan 1,6 juta

hektar pertahun dan pada periode akhir-akhir ini semakin meningkat diperkirakan

2,0 – 2,4 juta hektar per tahun.

Nyururnana (2006) menyatakan bahwa kerusakan hutan dan lahan di

Indonesia telah berlangsung sejak lama dengan indikasi laju kerusakan hutan saat
131

ini telah mencapai 2,83 juta hektar/tahun. Dampak krisis moneter dan ekonorni,

euforia reformasi dan tuntutan otonomi daerah telah memberikan kontribusi yang

cukup signifikan terhadap laju deforestasi di Indonesia. Beberapa faktor

pendorong laju deforestasi diantaranya adalah terjadinya illegal logging,

perambahan hutan, perladangan berpindah (sifting cultivation), penebangan hutan

yang tidak terkendali (over cutting), perumputan yang tidak terkendali (over

grazing), pemanfaatan hutan yang berlebihan (penambangan, industri,

pemukiman, pertanian, perkebunan dan lain-lain) dan konversi lahan pada

berbagai pemanfaatan tanpa memperhatikan metode konservasi tanah dan air.

Selanjutnya menurut Hamimah (2001) kerusakan dan berkurangnya luas

lahan berhutan dalam kawasan hutan disebabkan oleh beberapa hal antara lain :

1. Terjadinya eksploitasi yang berlebihan yang dilakukan oleh perusahaan HPH

dan atau HPHTI.

2. Perusahaan perkebunan dan HTI.

3. Kebakaran hutan, Aengraeini dan Syurnanda (2001) menyatakan bahwa

blunder pengelolaan hutan menjadi penyebab utama rusaknya hutan alam dan

menjadi penyebab utama kebakaran hutan dan lahan di Indonesia.

4. Perladangan berpindah dan perambah hutan.

5. Pencurian kayu dan penebangan liar.

Permana dan Kurniawan (2001) deforestasi merupakan salah satu pemicu

kebakaran hutan dan lahan di Indonesia, terutama konversi menjadi hutan

tanaman industri dan perkebunan. Hal ini terkait dengan akar penyebab kebakaran

hutan dan lahan di Indonesia, dimana penggunaan api untuk penyiapan lahan

dalam skala besar baik oleh perusahaan HTI maupun perkebunan (kelapa sawit).
132

Salah satu dampak dari kebakaran hutan mengingatkan kita pada

kebakaran yang terburuk pada tahun1997-1998. Kebakaran hutan dan lahan pada

tahun 1997-1998 diduga mencapai 9,7 juta hektar dan 75 juta orang terkena

dampaknya. Kerugian ekonomi diduga mencapai 9 milyar US dolar (BAPENAS/

ADB, 1999).

Bila kita cermati kerusakan hutan secara nasional dari tahun 1984-2006

berkisar 1,6-2,83 juta ha/tahun. Suatu keadaan yang sangat memprihatinkan kita

semua. Nilai-nilai ekologi hutan dan lingkungan hutan akan berkurang bila hutan

terus-menerus menyusut (deforestasi) dan rusak (degreddasi).

Kerusakan hutan yang mencapai 2,83 juta ha/tahun pada tahun 2006 bila

kita bandingkan dengan luas hutan sekitar 149 juta ha dimana sekitar 28 % dalam

kondisi terancam. Maka bila keadaan ini tidak cepat di atasi pada masa-masa yang

akan datang hutan Indonesia bisa berupa kenangan saja, karena untuk memulihkan

suatu hutan yang kritis memerlukan waktu 70-80 tahun.

Apabila kita telaah maka segala bentuk kerusakan hutan itu pada intinya

disebabkan oleh ulah dan perilaku manusia. Jumlah penduduk yang semakin

meningkat menyebabkan kebutuhan hidup pun meningkat antara lain kebutuhan

lahan, pangan dan papan telah mendorong secara pesat tekanan terhadap kawasan

hutan. Tetapi deforestasi yang disebabkan oleh sifat keserakahanlah yang justru

lebih besar tekanannya terhadap kawasan hutan dan telah melibatkan berbagai

pihak.

Disadari bahwa pada era sebelumnya aspek sosial dalam pengelolaan

hutan telah terabaikan, karena sistem pengelolaan hutan konvensional lebih

memandang hutan sebagai penghasil kayu, sementara nilai-nilai lainnya yang


133

justeru lebih besar kurang mendapat perhatian. Pengalaman telah menunjukkan

bahwa nilai hutan tropis yang kaya akan biodiversity yang dimiliki negara ini

terlalu kecil jika hanya dinilai dari potensi kayu yang dikandungnya. Oleh karena

itu, maka perlu adanya pandangan baru bahwa hutan bukan lagi sekedar sumber

kayu tetapi hutan merupakan bagian dari sistem kehidupan yang mengandung

nila-nilai, ekologi, ekonomi sosial dan budaya.

2.2. Kerusakan Hutan Akibat Lemahnya Penegakan Hukum

Ada dua hal yang menyebabkan lemahnya penegakan hukum di Indonesia:

1. Disebabkan oleh adanya kelemahan pada pasal-pasal, Undang-undang yang

ada, menyebabkan banyaknya para pelanggar dibidang kehutanan 1olos dan

jeratan hukum. Menurut Lumbun (2001) suatu azas yang dalam konteks

penegakkan tindak pidana di bidang lingkungan (termasuk lingkungan hutan)

membawa konsekuensi perlunya penyajian alat-alat bukti yang mampu

menentukan hubungan kausal antara perbuatan pencemar / perusak

lingkungan dan korban.

2. Disebabkan oleh degreddasi moral penegak hukum, sehingga sering terjadi

tawar menawar (kolusi) untuk menyelesaikan permasalahan pelanggaran

sektor kehutanan. Menurut Husni dan Sugiono (2001), berbagai fakta

menunjukan bahwa pelaksanaan dan penegakan hukum lingkungan selama ini

didominasi oleh bentuk-bentuk pendekatan hukum yang bersifat represif.

Ternyata bahwa penyelesaian masalah lingkungan melalui pendekatan

represif tersebut sebagian besar tidak memberikan hasil yang memuaskan,

karena ; (i) adanya persepsi yang keliru tentang pola penyelesaian masalah

lingkungan oleh (sebagian) aparat penegak hukum dan masyarakat, (ii)


134

sulitnya proses pembuktian, yang disebabkan kompleksitas faktor yang

menjadi penyebab pencemaran / perusak lingkungan dan lemahnya

profesionalitas aparat penegak hukum, (iii) mahalnya biaya finsansial dan

sosial (financial and social cost) yang harus dipikul masyarakat yang

umumnya memiliki posisi ekonomi lemah, serta (iv) rumitnya birokrasi

peradilan untuk kasus lingkungan sebagai kendala non-yuridis bagi para

korban pencemaran / kerusakan lingkungan.

Sulitnya menjerat pelaku pelanggar hukum (perusak lingkungan)

khususnya disektor kehutanan akibat masih lemahnya undang-undang dan

peraturan tersebut dapat disiasati. Misalnya, dalam penyusunan peraturan-

peraturan bam dan efektivitas peraturan yang telah tersedia mengenai penanganan

masalah hutan dan lahan hutan. Hal ini sesuai yang dinyatakan oleh Deddy (2001)

bahwa ada beberapa pertimbangan yang mesti diperhatikan berdasarkan aspek

hukum masalah kawasan hutan dan lahan hutan :

1). Definisi yang jelas mengenai hak atas dan kepemilikan lahan, yang juga

tercatat dan terdokumentasi secara jelas dan transparan.

2). Penyusunan tata guna lahan dengan defenisi yang jelas mengenai bentuk-

bentuk dan cara pemanfaatan yang diizinkan pada kawasan-kawasan tertentu

(terutama kawasan-kawasan yang rentan terhadap kebakaran).

3) Defenisi yang jelas mengenai tugas dan tanggung jawab setiap stakeholder

dalam pengelolaan berbagai macam bentuk kepemilikan lahan dan berbagai

kegiatan dan penanganannya (termasuk koordinasi dan kerjasama). Dalam hal

ini perlu dipertimbangkan bahwa aparat dilapangan harus diberikan

wewenang secukupnya untuk mengambil tindakan-tindakan hukum.


135

4) Pelaku perusakan hutan maupun kawasan hutan seperti pembakaran harus

bertanggung jawab atas segala biaya yang diperlukan untuk merehabilitasi

areal hutan yang telah dirusak atau terbakar. Dalam hal ini perlu

dipertimbangkan diterapkannya sistim jaminan (dana) rehabilitasi yang wajib

dibayarkan setiap pengelola lahan.

5) Adanya petunjuk teknis yang jelas dan mudah mengenai cara dan mekanisme

pengumpulan dan analisa bukti yang memadai untuk membawa pelaku ke

pengadilan.

6) Adanya perkembangan mekanisme dan prosedur penegakan hukum yang

jelas dan transparan.

7) Sinkronisasi kebijakan mengenai kerusakan hutan seperti kebakaran hutan

dan lahan dengan kebijakan disektor-sektor lainnya.

Menurut penulis sebagai tambahan aspek-aspek tersebut diatas dalam

memformulasi kebijakan nasional mengenai penanganan perusak/pelanggar

disektor kehutanan penanganannya harus dilakukan secara komprehensif. Perlu

dipertimbangkan adanya pemberian insentif dan hadiah/penghargaan kepada

mereka yang membantu menangani kerusakan hutan dalam bentuk pelaporan dan

pengumpulan informasi dan data mengenai kejadian pelanggaran, indentifikasi

pelaku, pengembangan usaha-usaha pencegahan di daerah mereka dan

sebagainya. Bentuk insentif dan hadiah/penghargaan yang diberikan harus sesuai

dengan bentuk usaha-usaha yang dilakukan.

Menurut Kasry (2003) jatuhnya pemerintahan orde baru yang ditandai

berhentinya Presiden Soeharto tanggal 21 Mei 1998. Krisis moneter dan gejolak

serta kacaubalaunya sistem politik Indonesia berdampak sangat besar terhadap


136

kegiatan pembangunan maupun penegakan hukum, termasuk penegakan hukum

lingkungan.

Sebenamya penegakan hukum terhadap kasus kehutanan telah terjadi sejak

tahun 1997. Ini pun di lakukan akibat desakan dan tuntutan dari berbagi pihak

baik secara nasional maupun intenasional. Contohnya kebakaran hutan tahun 1997

mengakibatkan timbulnya asap dan berdampak sampai ke negara-negara tetangga

seperti Malaysia dan Singapura. Menurut Deddy (2001) penanganan kasus-kasus

hutan dan lahan termasuk kebakaran hutan yang di lakukan sejak tahun 1997

tersebut hasilnya belum dapat menimbulkan efek jera kepada para pelaku untuk

tidak mengulangi perbuatannya. Selanjutnya disebutkan dari 7 perusahaan yang

disidik hanya satu yang mendapatkan sanksi hukum.


137

III. PERAMBAHAN HUTAN ANCAMAN TERHADAP KELESTARIAN


FUNGSI HUTAN

Perambahan hutan secara kongkrit merupakan aktivitas penggunaan lahan

kawasan hutan yang dilakukan secara tidak legal. Aktivitas yang tidak legal

tersebut dapat mengakibatkan kerusakan hutan dan terganggunya kelestarian

fungsi hutan karena dilakukan secara tidak tertib dan tidak terkendali. Bentuk

aktivitas tersebut umumnya adalah penggunaan kawasan hutan untuk penggunaan

lain dibidang kehutanan antara lain untuk pemukiman, pertanian atau perladangan

dalam kawasan hutan. Pemukiman dan perladangan tersebut umumnya dilakukan

oleh masyarakat setempat, baik yang dilakukan secara berpindah maupun menetap

tetapi dalam luasan yang terus meningkat sehingga cenderung mengganggu

terhadap keseimbangan ekosistem, (Direktorat Bina Rutan Kemasyarakatan,

2001).

Pada dasarnya model perambah ada dua yakni :

1. Perambah tanpa menepati tempat untuk tinggal / bermukim hanya untuk


mengolah hutan
2. Perambah menepati tempat untuk tinggal / bermukim hanya mengelola hutan

Salah satu contoh yang sering dikaitkan dengan masalah perambahan

hutan adalah perladangan berpindah. Sebenamya masalah perladangan berpindah

ini bukan hanya terjadi di Indonesia tapi juga dibeberapa wilayah didunia,

khususnya daerah-daearah tropis seperti wilayah Asia dan Asia Tenggara, Afrika,

Amerika Tengah, Amerika Selatan serta Oceania (Iskandar, 1992). Selanjutnya

dinyatakannya bahwa perladangan berpindah suatu sistem pertanian' yang sifatnya

membuka lahan pertanian dengan melakukan pembakaran dan ditanami tanaman


138

secara tidak berkesinambungan. Pada suatu lahan ladang bila kondisinya tidak

subur lagi biasanya peladang pindah ke tempat lain dengan membuka lahan baru.

Dari uraian diatas diperoleh gambaran bahwa sistem peladangan berpindah

dapat memberikan kontribusi menyusutnya areal hutan (deforestasi). Menurut

Sanchez (dalam Iskandar, 1992) bahwa perladangan adalah merupakan sistem

pertanian yang dominan dipraktekkan diberbagai belahan dunia, yang luasnya

ditaksir mencapai 360 juta ha atau lebih kurang 30 % dari luas lahan yang digarap

didunia. Usaha perladangan merupakan salah satu mata pencaharian penduduk tak

kurang dari 250 juta orang atau 8% dari total penduduk didunia.

Selanjutnya Dove (dalam Iskandar, 1992) menyatakan di Indonesia

diperkirakan kurang lebih 80 juta ha daerah perladangan, yang dipraktekkan oleh

20 juta orang. Soemitro (1985) menyebutkan saat ini praktek perladangan di

Indonesia dilakukan di daerah-daerah diluar pulau Jawa, seperti di Sumatera,

Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Irianjaya.

Banyak upaya yang telah dilakukan pemerintah dalam menanggulangi

persoalan ini antara lain melalui program pemukiman kembali diluar kawasan

hutan dan program usaha tani menetap tidak menunjukkan hasil yang

menggembirakan bahkan justru menimbulkan konflik antara pihak pemerintah

dengan masyarakat. Berbagai aktivitas perambahan hutan terus berlangsung

karena adanya kebutuhan hidup mendesak yang perlu dipenuhi walaupun

masyarakat melakukannya secara sembunyi-sembunyi atau kucing-kucingan

dengan petugas kehutanan. Kondisi tersebut menimbulkan peluang terjadinya

"kolusi" antara petugas kehutanan dengan perambah hutan. Dengan demikian

maka upaya penanggulangan kerusakan hutan dengan cara refresif dinilai sudah
139

tidak efektif lagi, karena persoalannya bukan sekedar persoalan kebutuhan hidup

masyarakat perambah hutan juga kebutuhan hidup aparat kehutanan di tingkat

lapangan.

Melihat persoalan tersebut, maka dalam penanggulangan perambahan

hutan termasuk perladangan berpindah ini diperlukan pendekatan yang lebih

menyentuh kepada persoalan inti, yaitu melakukan penertiban secara manusiawi.

Upaya penanggulangan masalah yang harus dilakukan adalah bagaimana

kebutuhan masyarakat setempat akan lahan dapat terpenuhi tanpa mengganggu

kelestarian fungsi dari kawasan hutan.


140

IV. PRINSIP DASAR HUTAN KEMASYARAKATAN SEBAGAI


PARADIGMA BARU

Kebijakan Hutan Kemasyarakatan (HKM) lahir sejak tahun 1995 melalui :


1. Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 622/Kpts-II./1995

2. Kemudian pada masa awal reformasi tahun 1998 diubah dengan Surat

Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 677/Kpts-III1998 10 No.

685/Kpts-II/1999.

3. Dan dengan adanya era otonomi daerah diperbaiki dengan Surat Keputusan

Menteri Kehutanan No. 31/Kpts-II/2001.

Munggoro (2001) menyatakan bahwa kebijakan tersebut untuk menjawab

antara lain persoalan-persoalan sosial-ekonomi-budaya masyarakat setempat,

persoalan yang berkaitan dengan kelestarian lingkungan hidup khususnya

kelestarian fungsi kawasan hutan. Dengan demikian sasaran dari kebijakan ini

menyentuh dua sisi kepentingan masyarakat yaitu kepentingan kebutuhan hidup

masyarakat setempat dan kepentingan masyarakat yang lebih luas (publik) yaitu

kelestarian fungsi hutan.

Menurut Hamimah (2001), kebijakan hutan kemasyarakatan (HKM) pada

hakekatnya memberi kepercayaan dan akses berupa peluang dan kesempatan

kepada masyarakat setempat yang hidup dan penghidupannya tergantung dari

kawasan hutan untuk dapat mengelola dan memanfaatkan sumberdaya hutan

secara lestari melalui pengelolaan hutan kemasyarakatan. Sesuai dasar pemikiran

yang mengacu kepada sistem pengelolan hutan yang bertumpu pada masyarakat

(Community Based Forest Management), kebijakan ini menempatkan masyarakat

sebagai pelaku utama dalam pengelolaan hutan. Hal ini berarti masyarakat dapat

menentukan sendiri sistem kelembagaan pengelolaan hutan yang akan


141

dikembangkan dalam kelompoknya sesuai dengan potensi, kebutuhan,

pengetahuan dan kemampuannya secara dinamis dan berkesinambungan menuju

kepada kemandirian.

Selanjutnya dikatakan bahwa secara konseptual dalam tingkat philosofi,

kebijakan hutan kemasyarakatan mencoba mengembangkan prinsip-prinsip dasar

pengelolaan hutan yaitu:

 Kepastian hukum,

 Kelestarian ekologi,

 Kesejahteraan masyarakat,

 Demokratisasi pengelolaan sumberdaya alam,

 Keadilan sosial dan

 Akuntabilitas publik.

Dalam tingkat implementasi, kebijakan operasional hutan kemasyarakatan

diharapkan dapat mengembangkan sistem pengelolaan hutan melalui mekanisme

sebagai berikut:

1. Masyarakat Sebagai Pelaku Utama

Sebagai pelaku utama, masyarakat setempat mempunyai kewenangan

sekaligus tanggung jawab dalam mengambil keputusan yang berkaitan dengan

pengelolaan hutan di areal kerjanya, sementara itu pihak lain seperti

pemerintah, lembaga swadaya masya rakat, perguruan tinggi, pengusaha

swasta dapat berperan sebagai fasilitator. Sebagai pelaku utama, masyarakat

pengelola hutan perlu memiliki kemampuan organisasi atau kerjasama

kelompok yang memadai. Pada kasus dimana masyarakat belum memiliki

kemampuan tersebut, maka pihak lain dapat memberikan fasilitasi


142

peningkatan kapasitas sesuai yang dibutuhkan atas persetujuan masyarakat itu

sendiri.

2. Masyarakat sebagai Pengambil Keputusan dalam Menentukan Sistem

Kelembagaan Pengelolaan Hutan

Bentuk lembaga yang dapat dikembangkan tidak harus berupa koperasi tetapi

yang penting ada jiwa kerjasama dalam kelompok masyarakat yang

berkembang karena pengelolaan hutan tidak efektif dilakukan secara

individual. Pengelolaan oleh kelompok masyarakat kemudian dikembangkan

secara luas dalam jaringan kerja antar kelompok masyarakat. Lembaga

kelompok masyarakat dapat berperan sebagai pengelola hutan yang

bertanggung jawab menghidupkan aturan main terkait dengan aktivitas

pengelolaan kawasan hutan. Aturan main yang dibuat, disepakati dan

dijalankan oleh warga kelompok masyarakat terse but berlandaskan atau selalu

mempertimbangkan kaidah-kaidah kelestarian fungsi hutan.

3. Pemerintah sebagai Fasilitator dan Pemantau

Dalam kebijakan hutan kemasyarakatan dituntut adanya perubahan peran dari

pemerintah, antara lain peran pembina atau instruktur (pemberi perintah)

menjadi fasilitator yaitu pihak yang memberi kemudahan untuk kelancaran

berjalannya proses pengelolaan hutan agar berkembang sistem pengelolaan

yang kreatif sehingga meningkatkan nilai ekonomi dan sosial dari hutan

dengan tetap mengacu kepada kaidah-kaidah kelestarian fungsi hutan.

Disamping sebagai fasilitator, pemerintah pun tetap harus berperan sebagai

pemantau kegiatan yang masih mempunyai wewenang dan tanggung jawab

atas kelestarian fungsi hutan secara lebih luas. Pelimpahan wewenang dan
143

tanggung jawab melalui pengelolaan hutan kemasyarakatan hanya terbatas

pada areal kerja, sementara itu pengawasan terhadap kelestarian fungsi hutan

secara keseluruhan tetap menjadi wewenang dan tanggung jawab pemerintah.

Pemerintah harus lebih aktif melakukan fasilitasi dan pemantauan di lapangan

agar penyelenggaan pengelolaan hutan berjalan dalam rambu-rambu

ke1estarian fungsi hutan yang diharapkan. Kerjasama pemerintah dengan

masyarakat setempat merupakan kunci dari terwujudnya tujuan hutan

kemasyarakatan yang pada dasarnya mengakomodir semua kepentingan.

4. Kepastian Hak dan Kewajiban Semua Pihak

Dalam Keputusan Menhut No. 31/Kpts-II/2001 bentuk legalitas tersebut

berupa izin kegiatan hutan kemasyarakatan yang mengatur kepastian hak dan

kewajiban kedua pihak yaitu masyarakat sebagai pemegang izin dan

pemerintah sebagai pemberi izin. Dengan adanya kepastian hak dan

kewajiban yang disepakati bersama maka kedua belah pihak diharapkan dapat

melaksanakan wewenang dan tanggung jawabnya masing-masing sesuai

dengan peran masing-masing secara optimal, yaitu masyarakat sebagai pelaku

utama dan pemerintah sebagai fasilitator dan pemantau.

5. Pendekatan Didasarkan pada Keanekaragaman Hayati dan

Keanekaragaman Budaya

Dalam penerapan hutan kemasyarakatan dilakukan secara lokal spesifik

karena setiap tempat mempunyai karakter alam dan budaya yang berbeda-

beda. Sebagai salah satu negara yang disebut megabiodiversity selalui

dijumpai adanya keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Dengan

demikian untuk menjaga asset tersebut dalam implementasi hutan


144

kemasyarakatan tidak disarankan untuk menerapkan budidaya tanaman secara

monokultur. Sistem budidaya tanaman yang disarankan adalah tanaman

campuran dalam pola agroforestry yang pada dasarya sudah menjadi pola

tanam yang dimiliki dan dikuasai oleh masyarakat.

6. Sederhana dan Fleksibel

Prinsip kesederhanaan dan fleksibilitas ini harus menjiwai seluruh proses baik

dalam proses kebijakan maupun dalam implementasi mulai dari perencanaan,

pelaksanaan, pemantauan dan pengendaliannya. Prinsip ini mencirikan bahwa

dalam penerapan hutan kemasyarakatan diperlukan proses belajar yang

dikembangkan secara terus menerus menuju kepada perbaikan yang

berkembang secara dinamis.

Dari paparan diatas dapat diketahui bahwa adanya undang-undang tentang

kebijakan hutan kemasyarakatan tahun 1995 merupakan payung hukum bagi

masyarakat yang mempunyai hubungan erat dengan kawasan hutan. Undang-

undang ini memberikan kepastian hukum bagi masyarakat yang berusaha disektor

kehutanan, terutama yang berhubungan dengan Program Hutan Kerakyataan (

HKM ).

Diharapkan undang-undang HKM dapat diterapkan dengan baik dan

menjadi solusi dari degreddasi (kerusakan) dan deforestasi (penyusutan hutan) di

Indonesia. Berhasilnya program HKM secara bertahap diharapkan terjadinya

penghijauan kembali hutan Indonesia.


145

V. HUTAN KEMASYARAKATAN SEBAGAI SOLUSI

Apakah hutan kemasyarakatan dapat menjadi solusi dalam upaya

menanggulangi perambahan hutan merupakan pertanyaan yang masih sulit

dijawab secara pasti pada saat ini, karena bukti dan data yang ada belum cukup

kuat mendukung pernyataan tersebut. Namun demikian dari proses yang telah

berlangsung bukti nyata yang ada di beberapa tempat telah cukup memberi

harapan bahwa hutan kemasyarakatan yang berpijak pada prinsip dasar dan

mekanisme pelaksanaan seperti tersebut di atas diyakini dapat menanggulangi

masalah-masalah kerusakan hutan baik akibat perambahan hutan maupun

gangguan hutan lainnya seperti kebakaran dan pencurian kayu.

Sebagai contoh menurut Taryono (2001), dilihat dari latarbelakang

permasalahan / akar permasalahan, singkronisasi kebijakan yang ada / ketentuan

yang ada dan tujuan yang dicapai yakni hutan lestari masyarakat sejahtra, maka

dalam pemecahan masalah perambah hutan di Kabupaten Lampung Barat antara

lain adalah sebagai berikut :

a. Meredeliniasi kawasan hutan :

 Penyulaman ulang sesuai dengan revisi.

 Penataan batas kawasan hutan secara partisipatif sesuai dengan

kewenangan kabupaten (SK. Menhut 32 /2001).

b. Pemberian kepastian hak.

 Hak Pengelolaan atas kawasan hutan (SK.Menhut 31 /2001, dll)

Kalau demikian dapat kita pahami bahwa program HKM merupakan

program penghijauan (reboisasi) mempunyai peranan dan sasaran yang berganda

dan berantai dalam arti multi-chain objectives, peremajaan pepohonan, pemulihan


146

tanah tandus dan tanah kritis, pengamanan sumberdaya air, peningkatan

pendapatan masyarakat pedesaan disekitar hutan, perluasan kesempatan kerja dan

lain-lain.

Djojohadikusumo (1993) menyatakan bahwa aspek yang sangat penting

pada program penghijauan (reboisasi) ialah agar diadakan penelitian medan

tentang segi sosiologis dan teknologis dalam pelaksanaan satu program. Kita perlu

memperoleh gambaran yang lebih pasti tentang respon masyarakat desa (di sekitar

hutan) maupun kesadaran mereka mengenai sifat dan maksud program

bersangkutan. Kesadaran dan partisipatif aktif tersebut merupakan prasyarat untuk

kontinuitas hasil yang dapat diperoleh.

Dengan cara diatas diharapkan masyarakat perambah akan meningkat

kesadarannya dan berbalik menjadi masyarakat yang mendukung terhadap

pelestarian hutan. Langkah tersebut sudah dilaksanakan khususnya dalam

pemberian kepastian hak (hak pengelolaan kawasan hutan) yakni kawasan hutan

register 45 B I Bukit Rigis-Sumber Jaya, dimana sebagian areal dimaksud yang

sebelumnya penanganannya dengan cara penurunan perambah dan pembasmian

tanaman kopi yang hasilnya kurang mencapai sasaran (kurang mendapat

dukungan dari masyarakat sekitar hutan), sebagai gambaran kegiatan rehabilitasi

yang telah dilaksanakan sebagian besar tidak berhasil dan dirusak oleh masyarakat

perambah. Saat ini setelah dirubah polanya dimana masyarakat diikutkan dalam

pola hutan kemasyarakatan (HKM), masyarakat perambah ikut merehabilitasi

dengan tanaman serba guna (MPTS) dan membantu menjaga hutan yang masih

utuh.
147

Selain itu, harapan bahwa hutan kemasyarakatan dapat berdampak positif

terhadap proses penanggulangan perambahan hutan semakin nyata setelah ada

bukti-bukti yang dilaporkan oleh para pelaksana kegiatan di lapangan yaitu antara

lain di kawasan hutan Gunung Betung Lampung, desa Sumberjaya - Lampung,

Desa Bentek-Lombok, Desa Sesaot-Lombok, Desa-desa sekitar TN Meru Betiri-

Jawa Timur, dan lokasi-lokasi lainnya yang telah difasilitasi oleh lembaga

swadaya masyarakat dan Perguruan Tinggi. Disamping itu terjadi pula hal yang

sarna pada beberapa lokasi proyek pembangunan hutan kemasyarakatan yang

berbasis kegiatan rehabilitasi lahan yang difasilitasi pemerintah dalam hal ini

Ditjen Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial Departemen Kehutanan.

Harapan tersebut sangat logis karena hutan kemasyarakatan memiliki

esensi yang cukup mendasar dalam memberi peluang berlangsungnya proses

kemandirian, demokratisasi, optimalisasi pemanfaatan hutan yang tetap berpegang

pada kepentingan publik secara luas yaitu kelestarian fungsi hutan. Hal ini sesuai

dengan pemyataan Hamimah (2001) bahwa esensi yang terkandung dalam

kebijakan yang mendorong kepada peningkatan kontrol terhadap kelestarian hutan

antara lain:

1. Adanya kepastian bahwa masyarakat dapat mengelola kawasan hutan telah

memberi peluang berlangsungnya tertib pengelolaan hutan oleh masyarakat

secara mandiri.

2. Pengaturan sendiri terkait dengan pengelolaan kawasan hutan membuka

peluang masyarakat dapat mengembangkan mekanisme kontrol oleh

masyarakat terhadap kawasan hutan khususnya di areal kerjanya.


148

3. Kerjasama dalam antara kelompok dapat dirajut sebagai jaringan kelompok

kerja (networking) dalam mengelola hutan termasuk membangun fungsi

kontrol terhadap kawasan hutan secara lebih luas.

4. Peranan pemerintahsebagai faslitator dan pemantau lebih realistis dalam

kondisi saat ini dimana masih adanya keterbatasan kemampuan pemerintah

dalam mengontrol kawasan hutan yang luasnya jutaan hektar.

5. Managemen kolaboratif yang dikembangkan menumbuhkan kesadaran bahwa

tanggung jawab melestarikan hutan bukan hanya tanggung jawab pihak

tertentu tetapi tanggung jawab semua pihak, karena hutan mempunyai

pengaruh terhadap kehidupan manusia secara lebih luas.

Hutan kemasyarakatan sebagai salah satu altematif sistem pengelolaan

hutan dikembangkan atas dasar adanya kepentingan kesejahteraan hidup

masyarakat sekitar hutan dan masyarakat yang lebih luas yaitu kelestarian fungsi

hutan. Hutan kemasyarakatan dikembangkan tidak secara khusus ditujukan untuk

memecahkan persoalan perambahan hutan, tetapi dampak positif dari

implementasi hutan kemasyarakatan dapat menanggulangi masalah kerusakan

hutan akibat perambahan hutan itu sangat diharapkan dan diyakini. Hutan

kemasyarakatan yang berjalan saat in; masih dalam proses menuju kepada

perbaikan baik di tingkat kebijakan maupun di tingkat lapangan. Diharapkan

dengan upaya-upaya yang sedang dilakukan proses pengembangan hutan

kemasyarakatan akan terus bergeser ke arah perbaikan kondisi hutan, sehingga

kerusakan hutan dapat ditanggulangi secara bertahap. Kendala utama dalam

pengembangan hutan kemasyarakatan adalah persoalan sumberdaya manusia.


149

Dengan demikian maka keberhasilan hutan kemasyarakatan akan bergulir sejalan

dengan proses belajar semua pihak.

Proses belajar adalah kunci yang harus menjiwai dalam proses

pengembangan hutan kemasyarakatan. Melalui proses belajar diharapkan

terciptanya kondisi prasyarat penyelenggaraan hutan kemasyarakatan, yaitu :

 Kondisi masyarakat setempat yang memiliki kemampuan organisatoris yang

cukup dalam mengelola hutan secara tertib dan bertanggung jawab.

 Adanya perubahan peran pemerintah dari pembina menjadi fasilitator dan

pemantau. Adanya kerjasama dan dukungan stakeholders.

 Terselenggaranya proses pelaksanaan yang bertumpu pada kondisi real ita di

lapangan (bukan digeneralisasikan).

Selanjutnya yang menjadi permasalahan dari program Hutan Kerakyatan

adalah lambatnya penerapan / pelaksanaan program HKM ini. Ini terlihat dari

sudah 12 tahun berlakunya payung hukum sesuai SK Menteri Kehutanan No.

622/KPts-II/1995.

Menurut penulis hal ini disebabkan adanya hambatan dan rintangan yang

bersifat institusional dan program ini tidak dijadikan agenda naional. Hal ini

sesuai dengan Djojoharikusumo (1993) tentang asas-asas pokok dalam

pengelolaan dan kebijakan mengenai sumber daya alam dan lingkungan hidup.

Namun dalam kenyataan sehari-hari selalu ada ketimpangan antara perumusan

kebijakan dan pelaksanaan kegiatan. Salah satunya ialah karena adanya hambatan

dan rintangan yang bersifat institusional. Perangkat perundang-undangan dan

ketentuan-ketentuan yang menyangkut pemeliharaan sumber daya alam sering

ditentang secara terbuka atau terselubung oleh berbagai golongan masyarakat


150

yang kedudukannya sudah mapan dan mempunyai kepentingan yang seolah-olah

bercokol (Vested Interest) dalam keadaan status quo. Mereka merupakan

kekuatan-kekuatan yang sering mempunyai pengaruh politik yang berarti.

Untuk itu peranan negara untuk mengintervensi dan melaksanakannya

secara konsisten pengelolaan sumber daya alam guna mengamankan

pembangunan nasional khususnya pembangunan Ekonomi dan Lingkungan yang

berkelanjutan.

Selain itu berdasarkan pengamatan penulis tentang pelaksanaan

penghijauan (reboisasi) ada kesamaan dengan program HKM untuk memproleh

hasil yang efektif dan permanen berkaitan dengan pelaksanaanya mestilah

melibatkan para ahli dibidangnya, seperti mengikut sertakan para ahli bilogi, ahli

botani, ahli kimia, ahli lahan (soil scientice), ahli lingkungan dan sebagainya.
151

DAFTAR PUSTAKA

Aengraeini, S. dan R. Syumanda, 2001. Kebakaran Hutan dan Lahan Sebuah


Perspektif terhadap Dosa Turunan, hal 64 – 73. Dalam Suyanto.,S.
R.P.Permana, D.,Setijono, G.Applegate (eds). Proseding Seminar Akar
Penyebab dan Dampak Kebakaran Hutan dan Lahan di Sumetara.
Bandar Lampung. CIFOR, ICRAF, WCS, WWF. Bogor.

BAPENAS/ADB., 1999. Final Report, Annex 1: Causes, Extent and Cost of the
1997 – 1998 Fires and Drounght: Summarv of Phase 1. Asian
Development Bank TA 2999-INO July. 1998 – March 1999. Planing For
Fire Prevention and Drought Management Project. Jakarta.

Deddy, A., 2001. Pemantauan Pencegahan Kebakaran Hutan dan Lahan Akar
Penyebab dan Dampak Kebakaran Hutan dan Lahan di Sumatera, hal 11-
20. Dalam Suyanto.,S. R.P.Permana, D.,Setijono, G.Applegate (eds).
Proseding Seminar Akar Penyebab dan Dampak Kebakaran Hutan dan
Lahan di Sumetara. Bandar Lampung. CIFOR, ICRAF, WCS, WWF.
Bogor.

Direktorat Bina Hutan Kemasyarakatan, 2001. Perkembangan Hutan


Kemasyarakatan Jakarta.

Djojohadikusumo S., 1993. Perkembangan Pemikiran Ekonomi. Dasar Teori


Ekonomi Pertumbuhan dan Ekonomi Pembangunan. LP3S. Jakarta

FKKM., 2000. Penggelohan Hutan Berbasiskan Masyarakat. Pustaka Kehutanan


Jakarta.

Hamimah, S.N., 2001. Kebijakan Hutan Kemasyarakatan Sebagai Salah Satu


Pemecahan Masalah Perambahan Kawasan Hutan di Indonesia. Hal 81 –
86. Dalam Suyanto.,S. R.P.Permana, D.,Setijono, G.Applegate (eds).
Proseding Seminar Akar Penyebab dan Dampak Kebakaran Hutan dan
Lahan di Sumetara. Bandar Lampung. CIFOR, ICRAF, WCS, WWF.
Bogor.

Husni, A. dan B. Sugiono, 2001. Strategi Pendekatan Hukum dalam Penyelesaian


Masalah Linngkungan, hal .498 – 517. Dalam Herman Raja Gukguk
(ed). Kumpulan Makalah Hukum dan Lingkungan Hidup Indonesia. UI
Press Jakarta.

Iskandar, J., 1992. Ekologi Peladangan Indonesia. Studi Kasus dari Daerah Buduy
Banten Selatan. Jawa Barat Djambatan. Jakarta.

Kasry, A., 2003. Dari Stockhlom ke Johannesburg (Konsep Pembangunan


Berkelanjutan). Makalah Pekanbaru 19 Agustus-13 September 2003.
Expert & Associates. LP UNRI. PP Lingkungan Hidup. Pekanbaru.
152

Lumbun, T. G., 2001. Peran Masyarakat dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup,


hal. 493-497. Dalam Herman Raja Gukguk (ed). Kumpulan Makalah
Hukum dan Lingkungan Hidup Indonesia. UI Press. Jakarta.

Munggoro, D. W., 2001. Hutan Kemasyarakatan Prinsip, Kriteria dan Indikator,


Pustaka Latin. Jakarta.

Nyurumana, G., 2006. Pembangunan dan Bencana. Dalam Majalah Kehutanan


Indonesia Jakarta. Volume (5) : 13.

Permana,R.P dan I. Kurniawan, 2001. Akar Penyebab dan Dampak Kebakaran


Hutan dan Hutan dan Lahan di Sumatera, hal 40 – 48. Dalam
Suyanto.,S. R.P.Permana, D.,Setijono, G.Applegate (eds). Proseding
Seminar Akar Penyebab dan Dampak Kebakaran Hutan dan Lahan di
Sumetara. Bandar Lampung. CIFOR, ICRAF, WCS, WWF. Bogor.

Sumitro, A., 1985. Special Study on Forest Management, Afforrestation and


Utilization of Forest Resaurce in the Developing Regions. Bangkok:
Food and Agricultur of the United Nations.

Taryono, 2001, Perspektif Kebijaksanaan Pemerintahan Daerah dalam Pemecahan


Masalah Perambahan Kawasan Hutan, hal 87-92 Dalam Suyanto.,S.
R.P.Permana, D.,Setijono, G.Applegate (eds). Proseding Seminar Akar
Penyebab dan Dampak Kebakaran Hutan dan Lahan di Sumetara.
Bandar Lampung. CIFOR, ICRAF, WCS, WWF. Bogor.
153

PERMASALAHAN ILLEGAL LOGGING


DI PROVINSI RIAU

OLEH :

ZAMHURUDDIN MYA

PROGRAM STUDI ILMU LINGKUNGAN


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
2006
154

I. PENDAHULUAN

Permasalahan lingkungan hidup, mendapat perhatian yang besar dihampir

semua negara. Ini terutama terjadi dalam dasawarsa 1970-an setelah diadakannya

kenferensi PBB tentang Lingkungan Hidup di Stockholm dalam tahun 1972. Di

Indonesia perhatian tentang lingkungan hidup telah mulai muncul di media masa

sejak tahun 1960-an (Soemarwoto, 1991).

Pembangunan pada hakekatnya senantiasa mengakibatkan perubahan pada

komponen lingkungan. Oleh karena itu Pembangunan Indonesia berorientasi pada

pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Seperti kebanyakan

negara di dunia, Indonesia juga tidak ketinggalan melakukan peralihan struktur

ekonomi dari struktur primer (pertanian, pertambangan dan ekstraksi sumberdaya

alam lainnya) menuju industri manufaktur dan jasa dalam beberapa dekade

tarakhir ini.

Namun seiring dengan pertumbuhan ekonomi, juga menimbulkan

masalah-masalah degradasi lingkungan yang mempengaruhi kesinambungan

pembangunan di masa depan. Degradasi lingkungan semakin parah dengan

terjadinya peningkatan ilmu dan teknologi yang diterapkan pada proses

pembangunan tanpa menghiraukan daya dukungnya sehingga pada akhirnya

membawa dampak bagi perubahan kerusakan lingkungan dan pergeseran

kehidupan sosial masyarakat.

Lingkungan hidup dan sumber-sumber kehidupan Indonesia berada di

ambang kehancuran akibat over-eksploitasi selama 32 tahun. Berlakunya otonomi

daerah dengan tidak disertai tanggung jawab dan tanggung gugat dari pelaksana
155

negara, rakyat semakin terpinggirkan dan termarjinalkan haknya, sementara

perusakan lingkungan dan sumber kehidupan berlangsung di depan mata.

Manusia sebagai makhluk hidup selalu berinteraksi dengan

lingkungannya. Adanya interaksi antara manusia dengan lingkungannnya,

mengakibatkan terjadinya ketidak seimbangan ekologi seperti kerusakan tanah,

pencemaran lingkungan, dan sebagainya. Keadaan ini makin diperbesar dengan

adanya penggalian dan pemanfaatan sumber-sumber alam untuk menunjang

kehidupan manusia akibat pertumbuhan penduduk yang cepat (Supardi, 2003).

Jika lingkungan sekarang dibandingkan dengan keadaan 10-20 tahun lalu,

segera terasa adanya perbedaan menyolok. Pembangunan telah membawa

kemajuan besar, disamping itu terjadi juga perubahan lingkungan (Salim, 1986).

Berbagai gangguan lingkungan mempunya satu ciri sama, yaitu bahwa

manusialah penyebab utama timbulnya bencana ini. Sungai, gunung, hutan,

harimau, gajah, ikan dan lain-lain isi lingkungan alam, sudah lama berkelanjutan

tanpa gangguan yang berarti. Namun setelah manusia muncul mengolah

sumberdaya alam tanpa mengendalikan pengaruh negatifnya kepada lingkungan,

sehingga manfaat keberadaan sumber daya alam dirasakan semakin berkurang.

Menurut Tasman (2002), hutan mempunyai banyak nilai manfaat bagi

kehidupan. Banyak orang tidak menyadari manfaat sumberdaya hutan tersebut.

Manfaat sumberdaya hutan adalah :

1. Nilai Guna Langsung, yaitu manfaat yang langsung diambil dari sumberdaya

hutan yang dapat dikonsumsi secara langsung, misalnya kayu dan non kayu.
156

2. Nilai Guna Tidak Langsung, merupakan nilai-nilai fungsional yang secara

tidak langsung dirasakan manfaatnya, misalnya pengendalian banjir dan suplai

udara bersih.

3. Nilai Pilihan, yaitu nilai potensial yang dapat dimanfaatkan untuk masa yang

akan datang yang mungkin saat ini belum diketahui cara pemanfaatannya,

misalnya keanekaragaman hayati, sumberdaya genetik, perlindungan spesies,

keanekaragaman ekosistem dan proses evolusi.

4. Nilai Warisan, yaitu nilai suatu keinginan untuk menjaga kelestarian

sumberdaya hutan agar dapat dimanfaatkan oleh generasi mendatang,

misalnya konservasi habitat.

5. Nilai Keberadaan, yaitu nilai kepedulian seseorang akan keberadaan suatu

sumberdaya hutan atau makhluk hidup lainnya, walaupun orang tersebut

hanya mengetahuinya melalui foto atau film, misalnya badak sumatera atau

paus biru.

Hutan Indonesia merupakan titipan dari seluruh rakyat Indonesia. Oleh

karena itu pemanfaatan dan pelestariannya digunakan untuk kesejahteraan rakyat

Indonesia. Namun patut disayangkan selama ini pemanfaatan sumberdaya alam

(SDA) yang terjadi di Indonesia cenderung bersifat ekstraktif yang memberikan

keuntungan sesaat namum membawa kerugian dalam jangka panjang. Pola ini

diperkeruh lagi oleh kegiatan illegal berupa penyeludupan kayu dan perdagangan

satwa liar dilindungi.

Dari tahun ke tahun, laju degradasi hutan semakin terus meningkat di

Indonesia. Salah satu penyebab utama meningkatnya laju degradasi hutan ialah
157

karena disebabkan adanya pembalakan liar atau lebih dikenal dengan sebutan

illegal logging.

Banyak upaya yang telah dilakukan untuk membendung kegiatan illegal

ini. Mencari akar permasalahan dan menawarkan solusi untuk dikerjakan

bersama-sama, memerlukan komitmen tinggi dalam jangka panjang. Hal itu tentu

akan kembali kepada masalah klasik berupa dana dan sumber daya manusia.

Sebagai salah satu sumber daya alam, hutan adalah komponen ekosistem

bumi yang terdiri atas sumberdaya alam hayati dan non-hayati. Sumberdaya alam

ini mengalami tekanan dan ekploitasi yang cenderung meningkat. Penebangan

kayu dan pembukaan hutan yang semakin intensif menyebabkan luas hutan

semakin menurun. Laju kerusakan hutan yang terus meningkat, diperparah dengan

adanya kebutuhan ruang untuk berbagai pembangunan.

Penyusutan luasan kawasan hutan produksi, terutama di bioregion

Kalimantan, Sumatera dan Sulawesi diikuti oleh perubahan penutupan lahan yang

mengindikasikan adanya penurunan penutupan hutan yang cukup signifikan. Saat

ini luas hutan telah mengalami penyusutan yang terus menerus. Hampir diseluruh

kawasan hutan di Indonesia mengalami kerusakan yang memperihatinkan.

Penebangan hutan yang semena-mena adalah penyebab utama degradasi

lahan. Walaupun demikian, tidaklah mungkin seluruh hutan dipertahankan karena

penduduk membutuhkan bahan pangan, juga hasil-hasil pertanian dan kehutanan.

Tidak terkendali dan tidak terencanakannya secara baik penebangan hutan

mungkin merupakan bahaya ekologis yang paling besar .

Eksploitasi hutan secara besar-besaran telah meningkatkan laju degradasi

hutan. Kita sering kali mengabaikan fungsi hutan itu sendiri. Hutan memberikan
158

perlindungan terhadap kestabilan tanah, iklim lokal, hidrologi tanah dan efisiensi

siklus hara diantara tanah dan vegetasi. Hutan juga dapat menyerap karbon

dioksida (CO2) di atmosfer sehingga mengurangi pemanasan global. Selain itu,

hutan juga menjadi habitat bagi berbagai jenis flora dan fauna.

Degradasi hutan merupakan dampak yang sangat serius di negara-negara

miskin di dunia dan juga pada penduduk yang miskin berarti, pada beberapa

negara tidak tersedianya bahan pangan bagi pertumbuhan penduduk, dan ini

merupakan problem utama global yang senantiasa berkembang.

Sedangkan Efendi (2006) mengatakan bahwa deforestasi adalah

penebangan tutupan hutan (tegakan pohon) dan aktivitas konversi lahan lainnya,

sedangkan degradasi hutan adalah penurunan kerapatan pohon dan/atau

peningkatan kerusakan hutan yang menimbulkan perubahan tutupan hutan

(misalnya, dari hutan tertutup menjadi hutan terbuka), sehingga mengakibatkan

terjadinya penurunan berbagai layanan dan fungsi ekologis hutan.

Laju naiknya luasan deforestasi makin sulit dan terkendala oleh berbagai

kondisi baik alam dan sosial kemasyarakatan. Hal ini dapat diperhatikan dari

rendah dan minimnya Program Pembangunan yang berkelanjutan di berbagai

sektor kehutanan khususnya program reforestasi. Kenaikan laju deforestasi telah

memunculkan dampak berupa marak dan meluasnya bencana longsor, banjir

bandang dan kebakaran hutan yang hingga kini belum tersedia dan terselenggara

solusi penyelesaian.

Nurkholiq (2005) melaporkan laju deforestasi yang semakin tinggi dari

tahun ketahun serta semakin meluasnya kerusakan hutan dan lingkungan


159

merupakan dampak negatif pengeloalaan hutan yang kurang baik selama ini yang

harus dibayar oleh masyarakat secara menyeluruh.

Hal ini secara langsung menunjukkan kondisi hutan yang dalam keadaan

kritis. Terjadi kesenjangan antara kebutuhan dan kemampuan pasokan semakin

melebar, musibah musibah yang terjadi seperti bencana alam, banjir, tanah

longsor, kebakaran hutan dan lahan terjadi di banyak tempat dan daerah.

Riau merupakan salah satu provinsi yang memiliki kekayaan akan hutan

terbesar di Indonesia. Namun saat ini kondisi hutan alam di Riau sudah sampai

pada kondisi yang sangat memprihatinkan dimana luasan hutan alam yang tersisa

setiap tahun cenderung semakin menurun. Nasib hutan Riau sangatlah

mengkhawatirkan. Berkurangnya bahkan rusaknya hutan di Riau akibat

penjarahan, penebangan dan eksploitasi secara tidak terkendali. Penjarahan hutan

alam makin tidak terbendung lagi. Euforia reformasi justru membuat aksi

penjarahan yang sebelumnya hanya dilakukan segelintir orang kini menjadi aksi

masa.

Menurut Dinas Kehutanan Riau (2005), kebijakan pengelolaan hutan masa

lalu telah menimbulkan berbagai permasalahan di bidang kehutanan baik secara

ekonomi, sosial maupun lingkungan. Berbagai permasalahan kehutanan Provinsi

Riau saat ini adalah sebagai berikut :

a. Belum mantapnya Kawasan dan Fungsi Hutan sesuai dengan Tata Ruang

Wilayah.

b. Lemahnya Penegakan Hukum di Bidang Kehutanan

c. Deforestrasi & Degradasi Hutan menyebabkan menurunnya Fungsi Kawasan

Hutan.
160

d. Tidak seimbangnya Supply & Demand Bahan Baku Industri serta belum

berkembangnya Industri Lanjutan di Bidang Kehutanan

e. Pengelolaan Hutan Produksi yang kurang mengedepankan prinsip kelestarian

dan belum dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat tempatan.

Kasus perambahan hutan di Riau, sejak era reformasi bergulir melonjak

tajam. Penjarah hutan alam, hutan lindung, kawasan margasatwa berlangsung

tanpa terkendali. Sehingga degradasi hutan tak terelakkan. Menurut daftar luas

kawasan hutan berdasarkan TGHK atau RTRWP sebagian kawasan hutan tersebut

tidaklah utuh lagi, artinya sebagian dari luasan tersebut telah mengalami gangguan

sehingga hanya sebagian saja yang tercatat sebagai areal berhutan.

Kesimpang siuran informasi mengenai pengelolaan, peruntukan, kondisi

dan sebagainya tentang hutan di Propinsi Riau selama ini merupakan salah satu

penyebab tidak terkendalinya perusakan terhadap hutan. Selang waktu 20 tahun

Provinsi Riau sudah kehilangan sejumlah besar hutan sehingga dikhawatirkan

dalam waktu kurang dari satu generasi (15 tahun) Hutan Riau akan Habis dan

musnah.

Permasalahan huatan dan kehutanan di Provinsi Riau semakin hari semakin

kompleks. Degradasi dan deforestasi hutan di Riau semakin meningkat akibat

pemanfaatan hutan yang kurang terkendali, konversi lahan, maraknya illegal

logging, kebakaran hutan dan lahan, perambahan dan okupasi lahan, sehingga

menyebabkan hutan di Provinsi Riau berada pada kondisi yang sangat

memprihatinkan.

Kondisi tersebut jika dibiarkan akan menyebabkan kerusakan hutan yang

semakin parah dan tidak menutup kemungkinan hutan di Riau akan punah.
161

Untuk itu perlu adanya immediate action (aksi jangka pendek) untuk

menanggulangi illegal logging. Penegakan hukum, tentunya harus diiringi upaya

mencarikan alternatif yang harus digali dan disesuaikan dengan budaya. Kita perlu

melakukan dalam waktu cepat jika tidak ingin dipersalahkan oleh generasi masa

depan. Kita harus segera mengurangi tingkat degradasi hutan Alam Propinsi Riau

yang secara konsepsi yang harus dipertahankan adalah sesuai dengan TGHK dan

RTRWP.
162

II. KONDISI HUTAN RIAU

Tekanan terhadap hutan Riau dirasakan semakin besar dan telah

menimbulkan lahan kritis yang semakin luas. Gangguan terhadap hutan tersebut

mengakibatkan semakin menurunnya produktivitas sumberdaya alam hutan, tanah

dan air. Sehingga perlu ditangani secara serius melaui pendekatan yang bijaksana.

2.1. Kawasan Hutan

Berdasarkan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) tahun 1986, Riau

mempunyai areal hutan seluas 9.456.160 Ha, dirinci menurut fungsinya (Tabel 1).

Tabel 1. Luas Kawasan Hutan Provinsi Riau Menurut Fungsinya Berdasarkan


TGHK Tahun 1986.

No PERUNTUKAN LUAS (Ha)

1. Hutan Lindung 397.150


2. Hutan Suaka Alam dan Hutan Wisata 451.240
3. Hutan Produksi
 Tetap 1.866.132
 Terbatas 1.971.553
4. Hutan Produksi yang Dapat Dikonversi 4.770.085

Jumlah 9.456.160

Sumber : Dinas Kehutanan Riau (2005)

Sedangkan berdasarkan Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) Propinsi

Riau tahun 1994, peruntukan kawasan di Provinsi Riau (Tabel 2).


163

Tabel 2. Peruntukan Kawasan Provinsi Riau berdasarkan RTRWP Tahun 1994


LUAS
No PERUNTUKAN
(ha)
1. Arahan Pengembangan Kawasan Kehutanan 2.801.170
2. Hutan Lindung 373.798
3. Kawasan Lindung Gambut 1.210.830
4. Cagar Alam / SA/SM 514.808
5. Kaw. Sekitar Waduk / Danau 20.757
6. Kawasan Pengembangan Perkebunan, Transmigrasi, 4.534.797
Pemungkiman dan Penggunaan Lain (Non Kehutanan)

Jumlah 9.456.160
Sumber : Dinas Kehutanan Riau (2005)

Pada Tabel 1 dan 2, terlihat bahwa Riau memiliki potensi hutan yang

cukup besar. Tidak hanya berupa hutan produksi tetapi juga terdapat hutan untuk

fungsi lindung dan peruntukan lain. Ditinjau dari luasan areal yang dipertahankan

sebagai hutan oleh Pemerintah Daerah Riau, yaitu sebesar 4.921.363 Ha (52 %

dari luas daratan), maka secara political will sudah jelas Riau mempunyai

komitmen untuk melestarikan hutan Riau, karena luas hutan yang dipertahankan

melebihi 30 %. Para ilmuwan Kehutanan meyakini bahwa untuk keseimbangan

alam dan lingkungan, luas areal hutan minimal 30 % dari luas daratan. Sehingga

jika luas daratan Riau adalah 9.456.160 Ha, maka paling tidak harus

dipertahankan hutan seluas 3.152.054 Ha. Yang menjadi pertanyaan saat ini

adalah berapa luas hutan yang riil di lapangan? Salah satu Lembaga Swadaya

Masyarakat di Riau mengklaim bahwa luas hutan Riau tinggal 20 % saja.

Berdasarkan Dinas Kehutanan Riau (2005), kondisi ril luas kawasan hutan

di Riau yang berhutan di lapangan adalah 3,358,492 Ha (80,72%) dan yang sudah

tidak berhutan 802.218 Ha (19,28 %).


164

Bahkan JIKALAHARI (2006) mencatat tutupan hutan alam Riau hanya

tersisa seluas 3,21 juta hektar atau 35 % dari 8,98 juta hektar total luas daratan

Provinsi Riau. Penurunan Luas Hutan Alam di Riau terjadi secara drastis dari

tahun 1984 ke tahun 2005 yaitu seluas 3 juta hektar, penurunan tertinggi terjadi

antara tahun 1999 ke tahun 2000 yaitu seluas 840 ribu hektar. Berarti jika dirata-

ratakan per tahun hutan alam Riau hilang seluas 150 ribu hektar

(http://www.jikalahari.org/in/berita/lihat.php?key=7).

Dua hal yang menjadi penyebab kerusakan terbesar Hutan Alam di Riau

saat ini menurut hasil analisa Jikalahari adalah Pertama; Konversi skala besar

untuk pembangunan Perkebunan besar kelapa sawit yang saat ini telah mencapai

2,7 juta Ha, dengan target pertambahan luas 8,02 % pertahun sampai mencapai

luas 3,1 juta Ha. Kedua; Konversi skala besar yang disebabkan oleh upaya

pemenuhan kebutuhan bahan baku pabrik pulp and paper PT. RAPP dan PT. IKPP

melalui HTI dan hutan produksi (http://www.jikalahari.org/ in/prohutan.php).

Potensi Kawasan Konservasi di Provinsi Riau dikelola dengan

mengukuhkan status beberapa kawasan sebagai kawasan konservasi sesuai dengan

karakteristik ekosistem dan fungsi lindungnya (Tabel 3).


165

Tabel 3. Kawasan Konservasi di Riau Berdasarkan Jenis, Jumlah Lokasi dan Luas
Tahun 2005
JENIS KAWASAN JUMLAH LUAS
No
KONSERVASI LOKASI (Ha)

1. Suaka Margasatwa 10 391.291,95

2. Cagar Alam 2 20.559,60

3. Taman Buru 1 16.000,00

4. Hutan Wisata 2 7.065,62

5. Pusat Latihan Gajah (PLG) Sebanga 1 5.873,00

6. Taman Hutan Raya Minas (Sutan 1 5920,00


Syarif Qosyim)

Taman Nasional Bukit Tigapuluh


7. 1 127.698,00
(TNBT)

JUMLAH 18 574.408,17

Sumber : Dinas Kehutanan Riau (2005)

Kawasan konservasi yang memiliki fungsi lindung yang sangat penting

bagi kelestarian ekosistem di dalam maupun diluar kawasannya adalah Taman

Nasional Bukit Tiga Puluh (TNBT). Arealnya terletak di 2 (dua) Provinsi, yaitu

Provinsi Riau dengan luas 127.698 Ha dan Provinsi Jambi 30.000 Ha. TNBT

memiliki peran penting dalam pelestarian Hidroorologi DAS Kuantan Indragiri

dan memiliki potensi keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa yang tinggi dan

endemic serta merupakan habitat Badak Sumatra (Rhinoceros sumatrensis), Tapir

(Tapirus indicus), Gajah Sumatra (Elephas maximus), Harimau (Phanteratigris

sumatrensis), Lutung (Presbytis melalopos), Rafflesia hasseltii dan beberapa jenis

Rotan.
166

Kawasan konservasi lainnya yang dapat dijadikan peluang dalam

mendatangkan Pendapatan Asli Daerah adalah Pengembangan Taman Hutan Raya

Minas (Taman Hutan Raya Sutan Syarif Hasyim).

2.2. Tekanan terhadap Hutan Riau

Hutan Riau mengalami penurunan baik ditinjau dari segi luasan maupun

kualitasnya akibat berbagai sebab dan tekanan. Tasman (2002) mengemukakan

bahwa tekanan yang menyebabkan kerusakan hutan antara lain disebabkan oleh :

1. Overcapacity industri perkayuan

Kapasitas produksi per tahun industri perkayuan di Propinsi Riau telah

melebihi kemampuan daya dukung hutan untuk penyediaan kayunya. Jumlah

kebutuhan kayu untuk memenuhi seluruh industri kayu sudah sangat sulit

dipenuhi dari ijin-ijin yang sah karena kemampuan produksi yang terbatas.

Banyaknya industri Industri Primer Hasil Hutan Kayu dan penyimpangan

opeasionalnya tidak bisa dipungkiri merupakan salah satu penyebab rusaknya

hutan Riau.

2. Illegal logging

Karena kemampuan suplai dan permintaan kayu yang tidak terpenuhi, maka

timbul kekuatan-kekuatan yang mendorong untuk memenuhinya sehingga

terjadi illegal logging (penebangan liar). Penebangan liar sangat sulit

diberantas, karena memiliki jaringan yang kuat dan rumit yang melibatkan

banyak pihak dari rakyat kecil, cukong/pemodal sampai dukungan aparat.

Maraknya illegal logging ini juga disebabkan oleh kondisi social ekonomi

masyarakat Riau yang hidup dibawah garis kemiskinan.


167

3. Konversi lahan untuk pembangunan non kehutanan

Konversi hutan untuk pembangunan non kehutanan terjadi, baik secara resmi

(perkebunan, HTI, pembangunan sarana prasarana lain) maupun tidak resmi

(perambahan kecil-kecilan oleh masyarakat). Pembangunan HTI adalah pada

kawasan hutan produksi yang kondisinya tidak produktif. Yang terjadi

akhirnya banyaknya hutan yang masih bagus diland clearing untuk dijadikan

areal HTI. Dibaliknya terdapat keuntungan yaitu dapat menikmati kayu hasil

tebangan land clearing dan mendapat subsidi dari Dana Reboisasi untuk

membangun HTI.

4. Kebakaran hutan.

Kebakaran hutan sudah menjadi ancaman tahunan yang serius, yang terjadi di

musim kemarau yaitu pada saat kegiatan pembukaan lahan hutan untuk

penggunaan seperti tersebut di atas. Meskipun pembakaran lahan untuk

pembukaan areal sudah dilarang namun tetap dilakukan, dan biasanya lalu

merambat ke lokasi hutan.

5. Maraknya pemberian Ijin

Dengan digulirkannya otonomi daerah telah membalikkan system

pengusahaan hutan dari skala besar menjadi skala kecil. Pada saat ini hampir

di semua Kabupaten banyak diterbitkan Ijin Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu

(IPHHK) dan perizinan lainnya seperti IUPHHK-HA maupun IUPHHK-HT.

Penerbitan ijin tersebut dinilai telah melenceng dari ketentuan yang berlaku

karena penerbitannya tidak memperhatikan status kawasan dan pemberian

target produksinya diidentikan dengan Ijin Pemanfaatan Kayu, yang mengenal

target Bahan Baku Serpih.


168

III. ILLEGAL LOGGING

3.1. Faktor Penyebab Illegal Logging

Pemberantasan illegal logging sudah menjadi agenda nasional bahkan

internasional. Oleh karena itu penanganannya sudah harus menjadi perhatian yang

serius dari segenap unsur yang terkait.

Kegiatan illegal logging yang semakin marak apalagi dengan adanya

euforia reformasi di tanah air kita, telah menyebabkan dampak kerugian dan

kerusakan multi dimensi baik disektor ekonomi, politik, sosial, budaya dan

lingkungan.

Dari sisi ekonomi, praktek penebangan liar telah merugikan negara. Dari

aspek ekologi, penebangan liar telah menyebabkan ketidakseimbangan

lingkungan/ekosistem. Beberapa pengamat, pakar kehutanan dan lingkungan

hidup menyatakan kerusakan sumber daya hutan sudah sangat memprihatinkan

dan dianggap sebagai suatu ancaman serius bagi keberlanjutan kualitas hidup dan

kehidupan manusia di dunia ini serta merupakan ancaman potensial terhadap

integritas bangsa dan negara.

Penebangan Liar (illegal logging) juga merupakan salah satu penyebab

terjadinya Laju deforestasi dan degradasi hutan dan lahan di Provinsi Riau yang

mencapai ± 80.000 ha/tahun disamping penyebab lainnya seperti kebakaran hutan

dan lahan, perambahan kawasan, konversi lahan (penggunaan lain), kesalahan

pengelolaan Daerah Aliran Sungai (Dinas Kehutanan Riau, 2005).

Menurut Dinas Kehutanan Riau (2005), ada beberapa faktor penyebab

terjadinya illegal logging¸antara lain :

1. Kebutuhan kayu terus meningkat


169

2. Kondisi geografis provinsi riau

3. Lemahnya pengawasan dan koordinasi antara aparat

4. Tersedianya pasar gelap

5. Kondisi sosial masyarakat miskin dan pengangguran yang dimanfaatkan para

cukong dan pemilik modal.

Selama ini, praktik penebangan liar dikaitkan dengan lemahnya penegakan

hukum, di mana pihak penegak hukum hanya berurusan dengan masyarakat lokal

atau pemilik alat transportasi kayu. Untuk para cukong kelas kakap yang

beroperasi di dalam dan di luar daerah tebangan, masih sulit untuk menjerat

mereka dengan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku.

Kita sejujurnya sudah sangat bosan untuk berbicara illegal logging. Sama

bosannya dengan bicara penegakan hukum (law enforcement ) di negeri ini. Lebih

baik berhenti berfikir illegal logging dan berhenti berbicara bagaimana

menegakkan hukum karena toh hasilnya sama saja, itulah ungkapan skeptisnya

banyak pihak atas rapor pemegang kuasa republik ini. Semua pihak mempunyai

semangat untuk menyalahkan dan tidak ada pihak yang berani mengakui

kesalahan apalagi memperbaikinya.

Tumpang tindih regulasi sebab kebutuhan dan disparitas interpretasi telah

ikut mendorong eksploitasi sumber daya alam termasuk sektor kehutanan.

Tekanan hidup terhadap masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan

mendorong mereka untuk menebang kayu baik untuk kebutuhan sendiri atau

untuk kebutuhan pasar melalui tangan para pemodal. Permainan dokumen, lazim

disebut "dokumen terbang", untuk melegalkan status kayu ilegal dapat

dipertimbangkan sebagai salah satu faktor sulitnya memberantas kegiatan


170

penebangan liar. Oleh sebab jaringan penyelundupan dan penjualan kayu ilegal

juga marak ke luar negeri (Inggris, Singapura, Malaysia, dan Cina), maka kerja

sama dengan 12 negara asing perlu ditingkatkan (www.kompas.com/kompas-

cetak/0309/16 / opini / 563606 .htm).

Kebijakan moratorium yang pernah dikeluarkan oleh Menteri Kehutanan

pada tahun 2000 adalah terapi sesaat dan tidak selalu menolong industri

perkayuan; bahkan akan membuat stagnan kegiatan industri kayu serta

menurunnya pendapatan negara dari sektor kehutanan. Penebangan liar tidak

cukup diminimalkan dengan imbauan dan surat keputusan. Mata rantai panjang

mulai dari penataan tata ruang, tata wilayah dan penggunaan lahan, program

pemberdayaan masyarakat, jaminan bagi hak-hak hidup dan berusaha untuk

masyarakat (adat). Kerja sama multilateral dengan lembaga swadaya masyarakat,

aparat keamanan, polisi hutan, pemerintah, dan masyarakat (adat) adalah salah

satu cara terbaik untuk meminimalkan praktik penebangan liar.

Bahkan Menteri Kehutanan RI, MS Ka‘ban telah menyerahkan daftar 36

pelaku kejahatan illegal logging kepada otoritas hukum, termasuk diketahui oleh

Bapak Presiden kita. Mungkin benar apa kata Dradjad Wibowo bahwa di

Indonesia, infrastruktur hukum dan law enforcement begitu lemahnya, tranformasi

politik, kesalahan disain dalam skema desentralisasi, dan kekurangan keinginan

sebagian pemegang konsesi hutan untuk mengimplementasikan legalitas dan

sustainable forest management menyebabkan bidang kehutanan carut marut.

(http://www.lei.or.id/indonesia/news- detail.php?cat=0&news-id=32).

Namun dalam kacamata perjuangan manusia sebagai khalifah di bumi dan

pemegang amanah untuk memelihara sumberdaya alam, tentunya tidak ada kata
171

menyerah dan putus asa untuk berpikir, menggores pena, dan melakukan tindakan

kongkrit atas nama diri sendiri, kelompok, organisasi sesuai dengan

kemampuannya untuk bersama-sama memerangi ilegal logging. Semakin tinggi

kuasa seseorang semakin tinggi tanggung jawabnya, semakin banyak yang

dilakukannya semakin berharga dihadapan orang dan Yang Maha Kuasa.

Namun dalam kacamata perjuangan manusia sebagai khalifah di bumi dan

pemegang amanah untuk memelihara sumberdaya alam, tentunya tidak ada kata

menyerah dan putus asa untuk berpikir, menggores pena, dan melakukan tindakan

kongkrit atas nama diri sendiri, kelompok, organisasi sesuai dengan

kemampuannya untuk bersama-sama memerangi ilegal logging. Semakin tinggi

kuasa seseorang semakin tinggi tanggung jawabnya, semakin banyak yang

dilakukannya semakin berharga dihadapan orang dan Yang Maha Kuasa.

Masalah utama yang menjadi celah yang mudah diterobos oleh pelaku

illegal logging adalah lemahnya koordinasi antar sektor (instansi pemerintah,

penegak hukum, masyarakat dan dunia usaha).

Celah ini harus segera ditutupi dengan jalan membentuk lembaga yang

dapat diistilahkan dengan Crisis Center for Illegal Logging. Lembaga ini

beranggotakan perwakilan aparat penegak hukum (Jagawana, PPNS dari Dinas

Kehutanan dan BKSDA, Polisi, Jaksa, hakim) dan masyarakat (lembaga adat dan

LSM). (http://www.conservation.or.id/site/opini.php?textid=4319253756145562).

Lembaga ini dapat difungsikan sebagai wahana diskusi juga sebagai sarana

informasi dan koordinasi untuk menyamakan persepsi terhadap kasus yang

dihadapi. Selain itu lembaga ini dapat difungsikan untuk menerima, menyalurkan
172

dan memantau kasus-kasus pidana bidang kehutanan dan konservasi yang terjadi

di Riau.

Mengamati perkembangan penanganan kasus illegal logging tampak

kecenderungan bahwa perangkat hukum yang ada mengalami kesulitan koordinasi

akibat adanya keragaman tugas pokok dan fungsi masing-masing institusi

sehingga terkesan tidak terintegrasi dengan baik.

Celah ini harus segera diantisipasi agar penanganan kasus illegal logging

dapat dilakukan secara intensif, tuntas, berkesinambungan antara pihak PPNS

(kehutanan) dengan polisi.

Untuk mewujudkan tiga pokok pikiran di atas, diperlukan political will

yang termuat secara tertulis sesuai peraturan yang berlaku. Kemauan politis itu

juga harus tercermin dalam pendanaan, komitmen lembaga, dan orang-orang yang

memiliki integritas tinggi menyelamatkan Riau dari berbagai masalah yang telah

terjadi di daerah lain di Indonesia.

3.2.Bentuk-Bentuk Illegal Logging

Dinas Kehutanan Riau (2005), menyebutkan bahwa bentuk-bentuk illegal

logging adalah sebagai berikut :

 Perambahan hutan/pembukaan hutan tanpa izin yang sah dari pemerintah

sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 2002 tentang

Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan

dan Penggunaan Kawasan Hutan. Dalam hal ini, pelaku hanya berkepentingan

dengan lahannya untuk digunakan sebagai usaha non kehutanan seperti

membuat kebun. Jika terdapat kayu di atasnya, pelaku atau pihak lain
173

membawa hasil tebangannya tanpa menggunakan SKSHH atau menggunakan

SKSHH dari tempat lain yang sudah memiliki perizinan yang sah.

 Penebangan/pencurian hasil hutan tanpa izin. Dalam hal ini, pelaku hanya

berkepentingan terhadap kayunya dan tidak berkepentingan terhadap lahan.

Praktek ini biasanya akan menyebabkan terjadinya lahan tidur. Untuk

mengangkut hasil tebangannya, pelaku tanpa menggunakan SKSHH atau

menggunakan SKSHH dari tempat lain yang telah memiliki perizinan yang

sah.

 Penyalahgunaan perizinan tebang.

Praktek ini terjadi pada perizinan yang tidak memiliki potensi kayu yang

memadai atau perizinan yang tidak memiliki aksesibilitas untuk mengangkut

hasil tebangannya. Sehingga untuk tetap menjalankan perizinannya, pemegang

perizinan melakukan penebangan di luar blok yang telah diberikan, bahkan

ada yang berani untuk melakukan penebangan di kawasan lindung, jika blok

yang telah diberikan berbatasan langsung dengan kawasan lindung.

 Penyalahgunaan SKSHH.

Hal ini sering terjadi pada pengangkutan kayu gergajian/kayu olahan.

Pemegang perizinan biasanya tidak memiliki aktivitas pada industrinya,

sehingga SKSHH yang dimiliki akan dijual kepada pihak lain yang tidak

memiliki perizinan industri/kilang papan tetapi memiliki kayu. Sebagai

indikatornya dapat dilihat dari data yang dicantumkan dalam lembar SKSHH

dimana data lembar ke-1 dan ke-2 tidak sama dengan data lembar ke-3 s.d. ke-

7 serta data yang tercantum dalam SKSHH tidak sama dengan kondisi fisik

yang disertainya.
174

Selain itu, juga telah beredar dokumen SKSHH palsu yang tidak kalah

bahayanya merugikan negara, karena kayu yang disertainya dapat dipastikan

tidak dibayar Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) maupun Dana Reboisasi

(DR) nya.

 Pengolahan/pemilikan hasil hutan tanpa SKSHH.

Hal ini terjadi pada umumnya di industri perkayuan yang tidak memiliki

perizinan yang sah untuk menampung hasil tebangan akibat adanya praktek

perambahan hutan dan pencurian kayu.

Selain itu, dapat juga terjadi di industri perkayuan yang telah memiliki

perizinan yang sah karena kayu-kayu yang tidak dilengkapi dengan SKSHH

memiliki harga yang lebih murah dibandingkan dengan yang dilengkapi

SKSHH.

3.3. Faktor-Faktor Pendorong Illegal Logging

Faktor-faktor yang dapat mendorong terjadinya illegal logging adalah

sebagai berikut :

 Kebutuhan kayu terus meningkat.

Jika diperhatikan antara kebutuhan bahan baku industri perkayuan yang ada

dengan daya dukung produksi hasil hutan, terjadi kesenjangan yang relatif

cukup besar seperti disajikan pada Tabel 3. dan 4. di depan yaitu mencapai 

3,8 juta m3 untuk kayu pertukangan dan  3,9 juta m3 untuk Bahan Baku

Serpih (BBS). Kesenjangan inilah yang menjadi peluang terjadinya illegal

logging(Dinas Kehutanan, 2005).


175

 Kondisi Geografis Provinsi Riau.

Letak Provinsi Riau yang strategis menjadi daya tarik tersendiri bagi dunia

usaha termasuk usaha di bidang kehutanan. Hal ini menjadi salah satu

stimulan bagi para pemilik industri perkayuan untuk meningkatkan

produksinya. Peningkatan produksi sendiri sangat berimplikasi dengan

peningkatan kebutuhan bahan baku.

Selain itu, letak Provinsi Riau yang berbatasan langsung dengan negara

Malaysia sebagai pasar potensial bahan baku kayu dan memiliki aksesibilitas

yang relatif terbuka dan mudah dijangkau. Hal ini memicu banyak terjadinya

penyelundupan kayu, baik berupa kayu bulat maupun kayu olahan.

Tingginya tingkat migrasi akibat kondisi lahan Provinsi Riau yang sangat

cocok untuk pembangunan perkebunan seperti kelapa sawit juga menjadi salah

satu faktor tingginya tingkat perambahan hutan, karena lahan-lahan yang

bebas tanpa kepemilikan di lapangan pada umumnya adalah kawasan hutan.

 Lemahnya pengawasan dan koordinasi antara parat.

Hal ini terutama ditujukan kepada para pemangku wilayah terdepan yaitu

satuan kerja tingkat desa/kecamatan yang berkompeten belum menjalankan

fungsi pengawasan. Seharusnya segala aktivitas di hulu mendapat perhatian

yang lebih intensif.

Selain itu, sejak bergulirnya otonomi daerah, banyak Bupati/Walikota yang

menerbitkan Ijin Pemanfaatan Kayu (IPK), namun tidak disertai dengan

pengawasan dan pengendalian yang intensif. Hal ini dapat dilihat dari adanya

penebangan di luar blok yang telah diberikan atau pengesahan Laporan Hasil

Penebangan (LHP) tanpa melihat fisik kayunya.


176

 Tersedianya pasar gelap.

Kayu-kayu hasil praktek illegal logging memiliki harga yang relatif lebih

rendah menyebabkan berkembangnya para penadah kayu.

 Kondisi sosial masyarakat miskin dan pengangguran yang dimanfaatkan

cukong.

Pada umumnya masyarakat yang berada di dalam dan sekitar hutan memiliki

tingkat kesejahteraan yang rendah. Hal ini dijadikan peluang oleh para cukong

untuk memperalat mereka melakukan illegal logging.

3.4. Modus Operandi Illegal Logging

Dinas Kehutanan (2005), menyebutkan bahwa modus operandi illegal

logging adalah sebagai berikut :

1) Di Kawasan Hulu (Asal) Kayu

 Penebangan dilakukan tanpa ijin dari pejabat yang berwenang (liar).

 Penebangan dengan dilengkapi ijin tetapi dilakukannya di luar blok areal

HPH, HTI atau IPK yang dimilikinya.

 Penebangan Liar dengan melibatkan masyarakat setempat, tetapi

digerakkan atau didanai oleh cukong.

 Melibatkan Oknum Pejabat Pemerintah/aparat sebagai backing atau

sebagai koordinator kegiatan penebangan liar.

2) Di Kawasan Hilir (Tujuan Kayu/Pelabuhan)

 Kayu tidak dilengkapi dengan dokumen SKSHH.

 Kayu dilengkapi dengan dokumen palsu.

 Muatan kayu secara fisik di kapal/truck tidak sesuai dengan yang tertera

dalam dokumen SKSHH.


177

 SKSHH digunakan berulang-ulang (dicabut dari pos kehutanan atau

lembar I dan II dokumen SKSHH tidak diisi masa berlakunya dan identitas

alat angkutnya.

 Dengan Dokumen Pengganti (tilang)

 Memanfaatkan Risalah lelang.

 Kayu diseludupkan dengan dokumen palsu atau tanpa dokumen.

Apabila melihat modus operandi (praktek atau cara-cara) dari kegiatan

penebangan secara tidak sah (illegal logging) maka tindak pidana tersebut dapat

dikategorikan telah menjadi rangkaian atau gabungan dari beberapa tindak pidana,

atau tindak pidana berlapis. Beberapa tindak pidana tersebut antara lain adalah (1)

kejahatan terhadap keamanan negara (2) kejahatan terhadap melakukan kewajiban

dan hak kenegaraan (3) kejahatan yang membahayakan keamanan umum maupun

(4) pencurian. (http://beritalingkungan.blogspot.com/2006/02/illegal-logging-

sebuah-tindak-pidana.html).

Disadari bahwa penebangan liar (illegal logging) sudah cukup lama terjadi

dan masih berlangsung sampai saat ini. Ditinjau dari aspek skala dan intensitas

dampaknya, maka praktek penebangan liar sangat merugikan negara dan daerah,

baik dari aspek ekonomi, sosial, budaya maupun ekologi. Dari sisi ekonomi,

praktek penebangan liar telah merugikan negara. Dari aspek ekologi, penebangan

liar telah menyebabkan ketidakseimbangan lingkungan/ekosistem. Berdasarkan

data dari Departemen Kehutanan tahun 2005, laju kerusakan hutan nasional setiap

tahunnya mencapai 2,83 juta hektar dan  80 ribu hektar terjadi di Provinsi Riau

sesuai data Dinas Kehutanan Provinsi Riau tahun 2005.


178

Kerusakan lingkungan pasca penebangan liar pun telah menimbulkan

bencana alam seperti banjir besar di beberapa kabupaten yang menyebabkan

kerugian harta dan hilangnya nyawa yang menyebabkan tanah longsor di musim

hujan serta kekeringan yang menyebabkan kebakaran hutan di musim kemarau.

Sedangkan dari sisi sosial dan budaya, praktek illegal logging membuat

masyarakat menjadi malas dan tidak produktif, karena dengan illegal logging,

mereka mendapatkan uang dengan mudah dan cepat. Hal ini diperparah lagi oleh

sempitnya mencari alternatif pekerjaan yang dapat memenuhi kebutuhan

masyarakat disekitar hutan.

Pemberantasan Illegal Logging mengalami kendala antara lain karena

penanganan secara hukum sering menimbulkan gejolak sosial dan perlawanan

baik ditempat asal kayu maupun ditempat tujuan, mengingat banyak keterlibatan

para pihak dalam permasalahan ini. Selain itu kegiatan operasi dilapangan juga

menemui banyak kesulitan/kendala, karena kegiatan penebangan liar telah

merupakan kegiatan kriminal yang terorganisasi, berjaring luas, kuat dan mapan.

Sebagian masyarakat juga masih menggantungkan kehidupannya dengan kegiatan

illegal logging.

3.5. Permasalahan Illegal Logging

Dinas Kehutanan (2005), menyebutkan bahwa permasalahan yang dijumpai dalam

pelaksanaan operasi pemberantasan illegal logging di Provinsi Riau antara lain :

1. Integritas Penegak hukum

Integritas penegak hukum yang rendah berpotensi melahirkan kompromi-

kompromi dalam proses penegakan hukum, akibatnya walaupun berbagai


179

program penanggulangan telah dicanangkan dan dilaksanakan dengan

menghabiskan dana yang tidak sedikit membuat upaya pemberantasan illegal

logging menjadi tidak maksimal.

2. Peraturan perundang-undangan.

Kurangnya sosialisasi peraturan perundang undangan sering menimbulkan

permasalahan baru, ditambah lagi dengan masih adanya inkonsistensi

kebijakan, sehingga menyulitkan implementasinya di tingkat operasional.

Selain itu, masih adanya euforia otonomi yang beranggapan bahwa segalanya

dapat diatur di daerah. Sehingga kebijakan yang dikeluarkan kadangkala

berbenturan dengan ketentuan hukum yang berlaku.

3. Kelembagaan.

Sejak diberlakukannya otonomi daerah, fungsi pemangkuan wilayah hutan

tidak lagi menggunakan pendekatan Daerah Aliran Sungai (DAS) melainkan

berdasarkan wilayah administrasi pemerintahan. Sehingga pengelolaan hutan

tidak dapat dilaksanakan secara komprehensif.

4. Koordinasi

Illegal logging tidak bisa diberantas hanya oleh satu instansi saja (kehutanan)

mengingat banyaknya pihak yang diduga terlibat di dalamnya dan telah

merupakan kejahatan kriminalitas, sehingga perlu melibatkan semua pihak

baik penegak hukum, lembaga legislatif, masyarakat maupun dunia usaha.

Koordinasi antar lembaga tersebut saat ini belum berjalan optimal

sebagaimana yang diharapkan. Selain itu, peran pemerintah Kabupaten/Kota

harus maksimal karena banyaknya praktek illegal logging yang terjadi hampir

di semua kabupaten/Kota se Provinsi Riau.


180

5. Kejahatan Terorganisir.

Illegal logging melibatkan banyak pihak komponen masyarakat, mulai dari

oknum aparat, pemilik industri, dunia usaha, cukong/pemodal dan masyarakat

serta adanya penadah, yang kesemuanya memiliki kepentingan ekonomi

jangka pendek. Kondisi masyarakat desa sekitar hutan yang ekonominya

lemah sering digunakan sebagai pintu masuk dan tameng hidup bagi para

cukong yang terorganisir, berjaringan luas, kuat dan mapan.

6. Luasnya medan.

Kawasan hutan di Provinsi Riau sangat luas dan aksesibilitasnya rendah

sehingga menyulitkan untuk dijangkau. Di lain pihak sarana prasarana

pemberantasan illegal logging sangat minim, terutama untuk menjangkau

wilayah-wilayah yang menggunakan transportasi air.


181

IV. UPAYA PEMBERANTASAN ILLEGAL LOGGING

Kasus perambahan hutan di Riau, sejak era reformasi bergulir melonjak

tajam. Penjarah hutan alam, hutan lindung, kawasan margasatwa berlangsung

tanpa terkendali. Sehingga degradasi hutan tak terelakkan. Kondisi tersebut jika

dibiarkan akan menyebabkan kerusakan hutan yang semakin parah dan tidak

menutup kemungkinan hutan di Riau akan punah.

Untuk itu perlu adanya aksi jangka pendek untuk menanggulangi illegal

logging. Penegakan hukum, tentunya harus diiringi upaya mencarikan alternatif

yang harus digali dan disesuaikan dengan budaya. Kita perlu melakukan dalam

waktu cepat jika tidak ingin dipersalahkan oleh generasi masa depan. Kita harus

segera mengurangi tingkat degradasi hutan Alam Propinsi Riau yang secara

konsepsi yang harus dipertahankan adalah sesuai dengan TGHK dan RTRWP.

Banyak upaya yang telah dilakukan untuk membendung kegiatan illegal

ini. Mencari akar permasalahan dan menawarkan solusi untuk dikerjakan bersama-

sama, memerlukan komitmen tinggi dalam jangka panjang. Hal itu tentu akan

kembali kepada masalah klasik berupa dana dan sumberdaya manusia.

Kerugian negara akibat penebangan liar itu sangat besar, tetapi vonis yang

diberikan kepada pelaku tidak berarti secara ekonomi. Dalam hal ini, pelaku

kejahatan menerima insentif besar dari hasil pelanggaran hukum. Disisi lain,

insentif (materil atau non-materil) bagi penegak hukum untuk melakukan tugasnya

relatif kecil. Akibatnya, tanpa gerakan bersama dan upaya pemantauan yang

intensif, akan membuka peningkatan pelanggaran hukum.

Mengamati perkembangan penanganan kasus illegal logging tampak

kecenderungan bahwa perangkat hukum yang ada mengalami kesulitan koordinasi


182

akibat adanya keragaman tugas pokok dan fungsi masing-masing institusi

sehingga terkesan tidak terintegrasi dengan baik.

Celah ini harus segera diantisipasi agar penanganan kasus illegal logging

dapat dilakukan secara intensif, tuntas, berkesinambungan antara pihak PPNS

(kehutanan) dengan polisi.

Usulan pembentukan sebuah lembaga yang dapat diistilahkan sebagai Unit

Khusus Penanganan illegal logging akhirnya menjadi suatu kebutuhan agar kasus

penanganan illegal logging tidak menguap begitu saja. Unit ini terdiri dari

Jagawana/Polisi Hutan, PPNS dan Polisi.

Perlu disadari untuk mewujudkan unit ini diperlukan kebijakan lokal dan

keberanian untuk melakukan terobosan baru dalam upaya penanganan dan

pegnendalian illegal logging. Ada dua tingkat yang diusulkan. Pertama, membawa

masalah illegal logging sebagai isu strategis bagi proponsi sehingga tersedia dalam

APBD.

Untuk menjaga kredibilitas unit ini diperlukan prasyarat : landasan hukum

yang kuat; seleksi anggota unit yang ketat; adanya dukungan dari semua pihak;

adanya mekanisme pelaporan dan penyelesaian perkara yang transparan; adanya

mekanisme pemantauan dari berbagai lapisan masyarakat; sistem Insentif dan

Disinsentif yang kredibile/dapat dipercaya mengingat banyaknya perkara kasus

pelanggaran yang menguap tanpa penjelasan yang memadai. Untuk itu perlu

pengembangan sistem publik untuk memantau perkembangan perkara secara

terpadu sehingga transparansi penanganan perkara dapat terwujud.

Adanya mekanisme yang terukur dapat dijadikan alat evaluasi kinerja

penegakan hukum secara berkala serta memungkinkan dilakukan pengelolaan


183

yang adaptif terhadap perkembangan. Untu itu perlu dibuat database penanganan

perkara sehingga mudah dipantau perkembangannya, menyediakan data statistik

penegakan hukum secara akurat, menganalisa dan mengevaluasi kinerja

penegakan hukum dan pelaku penegak hukum, sebagai bagian integral dari system

insentif/disinsentif, dan memberikan peringatan dini dan langkah cepat

penanganan.

Untuk mewujudkan hal tersebut di atas, diperlukan political will yang

termuat secara tertulis sesuai peraturan yang berlaku. Kemauan politis itu juga

harus tercermin dalam pendanaan, komitmen lembaga, dan orang-orang yang

memiliki integritas tinggi menyelamatkan Riau dari berbagai masalah yang telah

terjadi di daerah lain di Indonesia.

Memperhatikan dampak yang akan ditimbulkan oleh praktek penebangan

liar yang semakin hari semakin mengkhawatirkan, maka diperlukan peran semua

pihak untuk mengatasi dan menanggulanginya, baik pemerintah, dunia usaha

maupun masyarakat. Untuk itu, salah satu upaya Pemerintah Provinsi Riau adalah

dengan mengaktifkan operasi pemberantasan illegal logging, baik yang bersifat

fungsional dari Polri, TNI, Polisi Kehutanan dan Bea Cukai maupun yang bersifat

gabungan oleh Tim Terpadu yang melibatkan berbagai unsur terkait.

Keberhasilan Pemberantasan Illegal logging sangat tergantung kepada

kesungguhan dan peran serta secara aktif seluruh komponen baik eksekutif,

legislative dan yudikatif serta masyarakat secara luas, dengan tetap mendapat

dukungan politik dari pimpinan tertinggi pemerintahan ini.

Oleh karena itu dukungan yang sangat diharapkan dalam upaya

pemberantasan illegal logging antara lain Percepatan penerbitan Peraturan


184

Perundangan tentang percepatan pelelangan barang bukti. Dengan demikian kayu

hasil temuan/rampasan/sitaan tidak rusak dan masih memberikan nilai ekonomi

apabila dilelang. Pengaturan tentang penanganan barang bukti temuan / sitaan /

rampasan non kayu, seperti alat-alat berat, alat angkut, chainsaw, dan sebagainya.

Selain itu dukungan dari instansi terkait khususnya instansi penegak hukum juga

sangat diperlukan. Pendanaan yang memadai untuk operasi maupun peningkatan

kemampuan petugas dan penyamaan persepsi dan aturan hukum yang sinergis

dalam penanganan kasus illegal logging.

Sudah berapa banyak hasil operasi illegal loging yang tidak selesai

penangannannya. Sehingga terkesan mudah menangkap, tetapi sulit

menyelesaikan. Banyak barang bukti yang semakin hari semakin menurun

kualitasnya karena lamanya proses pelelangan sehingga pemasukan kepada negara

menjadi tidak maksimal, sementara biaya operasi yang dihabiskan tidak sebanding

dengan hasil nilai finansial yang diperolah karena rumitnya proses pelelangan.

Untuk itu permasalahan illegal logging di Provinsi Riau perlu solusi yang

tepat. Agar upaya pemberantasan illegal logging di Provinsi Riau dapat

dilaksanakan dengan baik, terarah, efisien dan efektif maka perlu ditempuh

langkah-langkah antara lain sebagai berikut :

1. Percepatan penerbitan Peraturan Perundangan yang mengatur proses

pelelangan dan penanganan barang bukti. Dengan demikian hasil

temuan/rampasan/sitaan tidak rusak dan masih memberikan nilai ekonomis

yang cukup tinggi apabila dilelang.

2. Melaksanakan pendidikan baik formal maupun non formal (termasuk

pelatihan dan penyuluhan) untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan


185

dan perbaikan moral aparat pemerintah serta penyuluhan dan sosialisasi

kebijakan pemberantasan illegal logging pada masyarakat.

3. Dukungan dari instansi terkait khususnya instansi penegak hukum.

4. Pendanaan dan sarana/prasarana yang memadai untuk operasi maupun

peningkatan kemampuan petugas.

5. Mengevaluasi perizinan pemanfaatan hasil hutan kayu yang telah diterbitkan

oleh kabupaten/kota dan menindak tegas setiap penyimpangan yang

ditemukan sesuai dengan aturan yang berlaku.

6. Percepatan restrukturisasi industri perkayuan di Provinsi Riau mengingat

semakin berkurangnya daya dukung bahan baku kayu dari hutan alam.

7. Penyebarluasan dampak dari penebangan liar kepada berbagai aparat penegak

hukum (polisi, kejaksaan dan hakim) tentang berbagai peraturan yang ada dan

berkaitan dengan illegal logging serta informasi mengenai dampak negatif

serta kerugian negara dan masyarakat yang ditimbulkan.

8. Dibangunnya koordinasi antar kelembagaan pemerintah, aparat penegak

hukum, pemerintah daerah dan masyarakat, termasuk LSM.


186

DAFTAR PUSTAKA

Dinas Kehutanan Riau, 2005. Laporan Tahunan Dinas Kehutanan Provinsi Riau.
Pekanbaru.

__________________, 2005. Laporan Pemberantasan Illegal Logging di Provinsi


Riau. Pekanbaru.

Efendi, E., 2006. Deforestasi dan Degradasi Hutan Aceh Ancam Rekonstruksi.
Geonomic Indonesia. Jakarta.

Nurkholid, A.F., 2005. Upaya Peningkatan Kemampuan Rehabilitasi Hutan yang


Masih Rendah Sementara Laju Degradasi Semakin Tinggi . Geonomic
Indonesi. Jakarta.

Salim, E., 1986. Pembangunan Berwawasn Lingkungan. LP3ES, Jakarta.

Soemarwoto, O., 1991. Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan,


Djambatan, Jakarta.

Supardi, I., 2003. Lingkungan Hidup dan Kelestariannya. ALUMNI, Bandung.

Tasman, S., 2003. Peranan Rekalkulasi Nilai Sumberdaya Hutan untuk


Pembangunan Kehutanan Provinsi Riau, Dinas Kehutanan, Pekanbaru.

http://beritalingkungan.blogspot.com/2006/02/illegal-logging-sebuah-tindak-
pidana.html

http://www.conservation.or.id/site/opini.php?textid=4319253756145562.

http://www.lei.or.id/indonesia/news_detail.php?cat=0&news_id=32.

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0309/16/opini/563606.htm.

http://www.jikalahari.org/in/berita/lihat.php?key=7.

http://www.jikalahari.org/ in/prohutan.php.
187

KEBAKARAN HUTAN INDONESIA DAN


UPAYA PENANGGULANGANNYA

OLEH :

IMAM DEISY MUSTIONO

PROGRAM STUDI ILMU LINGKUNGAN


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
2006
188

I. PENDAHULUAN

Hutan merupakan sumberdaya alam yang tidak ternilai karena

didalamnya terkandung keanekaragaman hayati sebagai sumber plasma nutfah,

sumber hasil hutan kayu dan non-kayu, pengatur tata air, pencegah banjir dan

erosi serta kesuburan tanah, perlindungan alam hayati untuk kepentingan ilmu

pengetahuan, kebudayaan, rekreasi, pariwisata dan sebagainya. Karena itu

pemanfaatan hutan dan perlindungannya telah diatur dalam UUD 1945, UU No.

5 tahun 1990, UU No 23 tahun 1997, UU No. 41 tahun 1999, PP No 28 tahun

1985 dan beberapa Keputusan Menteri Kehutanan serta beberapa Keputusan

Dirjen PHPA dan Dirjen Pengusahaan Hutan. Namun gangguan terhadap

sumberdaya hutan terus berlangsung bahkan intensitasnya semakin meningkat

dari tahun ke tahun.

Kebakaran hutan merupakan salah satu bentuk gangguan terhadap

sumberdaya hutan yang semakin sering terjadi. Dampak negatif yang

ditimbulkan oleh kebakaran hutan cukup besar mencakup kerusakan ekologis,

menurunnya keanekaragaman hayati, merosotnya nilai ekonomi hutan dan

produktivitas tanah, perubahan iklim mikro maupun global, dan asapnya

mengganggu kesehatan masyarakat serta mengganggu transportasi baik darat,

sungai, danau, laut dan udara. Gangguan asap karena kebakaran hutan di

Indonesia akhir-akhir ini sudah menjadi permasalahan dunia internasional karena

telah melintasi batas negara.

Berbagai upaya pencegahan dan perlindungan kebakaran hutan telah

dilakukan termasuk mengefektifkan perangkat hukum (undang-undang, PP, dan

SK Menteri sampai Dirjen), namun belum memberikan hasil yang optimal. Sejak
189

kebakaran hutan yang cukup besar pada tahun 1982/1983 di Kalimantan Timur,

intensitas kebakaran hutan semakin sering terjadi dan sebarannya semakin

meluas. Tercatat beberapa kebakaran hutan yang cukup besar terjadi pada tahun

1987, 1991, 1994 dan 1997 hingga 2003. Oleh karena itu perlu pengkajian yang

mendalam untuk mencegah dan menanggulangi kebakaran hutan.

Tulisan ini merupakan sintesa dari berbagai pengetahuan tentang hutan,

kebakaran hutan dan penanggulangannya yang dikumpulkan dari berbagai

sumber dengan harapan dapat dijadikan sebagai bahan masukan bagi para

peneliti, pengambil kebijakan dan pengembangan ilmu pengetahuan bagi para

pencinta lingkungan dan kehutanan.


190

II. KEBAKARAN HUTAN DAN FAKTOR PENYEBABNYA

Api sebagai alat atau teknologi awal yang dikuasai manusia untuk

mengubah lingkungan hidup dan sumberdaya alam dimulai pada pertengahan

hingga akhir zaman Paleolitik, 1.400.000 - 700.000 tahun yang lalu. Sejak

manusia mengenal dan menguasai teknologi api, maka api dianggap sebagai

modal dasar bagi perkembangan manusia karena dapat digunakan untuk

membuka hutan, meningkatkan kualitas lahan penggembalaan, memburu satwa

liar, mengusir satwa liar, berkomunikasi sosial disekitar api unggun dan

sebagainya (Soeriaatmadja, 1997).

Analisis terhadap arang dari tanah di Kalimantan menunjukkan bahwa

hutan telah terbakar secara berkala dimulai, setidaknya sejak 17.500 tahun yang

lalu. Kebakaran besar kemungkinan terjadi secara alamiah selama periode iklim

yang lebih kering dari iklim saat itu. Namun, manusia juga telah membakar hutan

lebih dari 10.000 tahun yang lalu untuk mempermudah perburuan dan membuka

lahan pertanian. Catatan tertulis satu abad yang lalu dan sejarah lisan dari

masyarakat yang tinggal di hutan membenarkan bahwa kebakaran hutan

bukanlah hal yang baru bagi hutan Indonesia (Schweithelm dan Glover, 1999).

Menurut Danny (2001), penyebab utama terjadinya kebakaran hutan di

Kalimantan Timur adalah karena aktivitas manusia dan hanya sebagian kecil

yang disebabkan oleh kejadian alam. Proses kebakaran alami menurut

Soeriaatmadja (1997), bisa terjadi karena sambaran petir, benturan longsoran

batu, singkapan batu bara, dan tumpukan serasah. Namun menurut Saharjo dan

Husaeni (1998), kebakaran karena proses alam tersebut sangat kecil dan untuk

kasus di Kalimatan kurang dari 1 %.


191

Kebakaran hutan besar terpicu pula oleh munculnya fenomena iklim El-

Nino seperti kebakaran yang terjadi pada tahun 1987, 1991, 1994 dan 1997

(Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup dan UNDP, 1998). Perkembangan

kebakaran hutan tersebut juga memperlihatkan terjadinya perluasan penyebaran

lokasi kebakaran yang tidak hanya di Kalimantan Timur, tetapi hampir di seluruh

provinsi di Indonesia, serta tidak hanya terjadi di kawasan hutan tetapi juga di

lahan non hutan.

Penyebab kebakaran hutan sampai saat ini masih menjadi topik

perdebatan, apakah karena alami atau karena kegiatan manusia. Namun

berdasarkan beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa penyebab utama

kebakaran hutan adalah faktor manusia yang berawal dari kegiatan atau

permasalahan sebagai berikut:

1. Sistem perladangan tradisional dari penduduk setempat yang berpindah-

pindah.

2. Pembukaan hutan oleh para pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) untuk

insdustri kayu maupun perkebunan kelapa sawit.

3. Penyebab struktural, yaitu kombinasi antara kemiskinan, kebijakan

pembangunan dan tata pemerintahan, sehingga menimbulkan konflik antar

hukum adat dan hukum positif negara.

Perladangan berpindah merupakan upaya pertanian tradisional di kawasan

hutan dimana pembukaan lahannya selalu dilakukan dengan cara pembakaran

karena cepat, murah dan praktis. Namun pembukaan lahan untuk perladangan

tersebut umumnya sangat terbatas dan terkendali karena telah mengikuti aturan

secara turun temurun (Dove, 1988). Kebakaran liar mungkin terjadi karena
192

kegiatan perladangan hanya sebagai kamuflasa dari penebangan liar yang

memanfaatkan jalan HPH dan berada di kawasan HPH.

Pembukaan hutan oleh pemegang HPH dan perusahaan perkebunan untuk

pengembangan tanaman industri dan perkebunan umumnya mencakup areal yang

cukup luas. Metoda pembukaan lahan dengan cara tebang habis dan pembakaran

merupakan alternatif pembukaan lahan yang paling murah, mudah dan cepat.

Namun metoda ini sering berakibat kebakaran tidak hanya terbatas pada areal

yang disiapkan untuk pengembangan tanaman industri atau perkebunan, tetapi

meluas ke hutan lindung, hutan produksi dan lahan lainnya.

Sedangkan penyebab struktural, umumnya berawal dari suatu konflik

antara para pemilik modal industri perkayuan maupun pertambangan, dengan

penduduk asli yang merasa kepemilikan tradisional (adat) mereka atas lahan,

hutan dan tanah dikuasai oleh para investor yang diberi pengesahan melalui

hukum positif negara. Akibatnya kekesalan masyarakat dilampiaskan dengan

melakukan pembakaran demi mempertahankan lahan yang telah mereka miliki

secara turun temurun. Disini kemiskinan dan ketidak adilan menjadi pemicu

kebakaran hutan dan masyarakat tidak akan mau berpartisipasi untuk

memadamkannya.
193

III. KERUGIAN DAN DAMPAK KEBAKARAN HUTAN

3.1. Areal Hutan yang Terbakar

Beberapa tahun terakhir kebakaran hutan terjadi hampir setiap tahun,

khususnya pada musim kering. Kebakaran yang cukup besar terjadi di

Kalimantan Timur yaitu pada tahun 1982/1983 dan tahun 1997/1998. Pada tahun

1982/1983 kebakaran telah menghanguskan hutan sekitar 3,5 juta hektar di

Kalimantan Timur dan ini merupakan rekor terbesar kebakaran hutan dunia

setelah kebakaran hutan di Brazil yang mencapai 2 juta hektar pada tahun 1963

(Soeriaatmadja, 1997).

Kemudian rekor tersebut dipecahkan lagi oleh kebakaran hutan di

Indonesia pada tahun 1997/1998 yang telah menghanguskan seluas 11,7 juta

hektar. Kebakaran terluas terjadi di Kalimantan dengan total lahan terbakar 8,13

juta hektar, disusul Sumatera, Papua Barat, Sulawesi dan Jawa masing-masing

2,07 juta hektar, 1 juta hektar, 400 ribu hektar dan 100 ribu hektar (Tacconi,

2003).

Selanjutnya kebakaran hutan di Indonesia terus berlangsung setiap tahun

meskipun luas areal yang terbakar dan kerugian yang ditimbulkannya relatif kecil

dan umumnya tidak terdokumentasi dengan baik. Data dari Direktotar Jenderal

Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam menunjukkan bahwa kebakaran hutan

yang terjadi setiap tahun sejak tahun 1998 hingga tahun 2002, tercatat berkisar

antara 3 ribu hektar sampai 515 ribu hektar (Direktotar Jenderal Perlindungan

Hutan dan Konservasi Alam, 2003).


194

3.2. Kerugian yang ditimbulkannya

Kebakaran hutan akhir-akhir ini menjadi perhatian dunia internasional

sebagai isu lingkungan dan ekonomi khususnya setelah terjadi kebakaran besar di

berbagai belahan dunia pada tahun 1997/1998 yang menghanguskan lahan seluas

25 juta hektar. Kebakaran tahun 1997/1998 mengakibatkan degradasi hutan dan

deforestasi menelan biaya ekonomi sekitar US $ 1,6 - 2,7 milyar dan biaya

akibat pencemaran kabut asap sekitar US $ 674-799 juta. Kerugian yang diderita

akibat kebakaran hutan tersebut kemungkinan jauh lebih besar lagi karena

perkiraan dampak ekonomi bagi kegiatan bisnis di Indonesia tidak tersedia.

Valuasi biaya yang terkait dengan emisi karbon kemungkinan mencapai US $ 2,8

milyar (Tacconi, 2003).

Hasil perhitungan ulang kerugian ekonomi yang dihimpun Tacconi

(2003), menunjukkan bahwa kebakaran hutan di Indonesia telah menelan

kerugian antara US $ 2,84 milyar sampai US $ 4,86 milyar yang meliputi

kerugian yang dinilai dengan uang dan kerugian yang tidak dapat dinilai dengan

uang. Kerugian tersebut mencakup kerusakan yang terkait dengan kebakaran

seperti kayu, kematian pohon, HTI, kebun, bangunan, biaya pengendalian dan

sebagainya serta biaya yang terkait dengan kabut asap seperti kesehatan,

pariwisata dan transportasi.

3.3. Dampak Kebakaran Hutan

Kebakaran hutan yang cukup besar seperti yang terjadi pada tahun

1997/1998 menimbulkan dampak yang sangat luas disamping kerugian material

kayu, non kayu dan hewan. Dampak negatif yang sampai menjadi isu global

adalah asap dari hasil kebakaran hutan yang telah melintasi batas negara.
195

Kebakaran hutan selain menimbulkan kabut asap yang mencemari udara tetapi

juga meningkatkan gas rumah kaca.

Asap tebal dari kebakaran hutan berdampak negatif karena dapat

mengganggu kesehatan masyarakat terutama gangguan saluran pernafasan.

Selain itu asap tebal juga mengganggu transportasi khususnya tranportasi udara

disamping transportasi darat, sungai, danau, dan laut. Pada saat kebakaran hutan

yang cukup besar banyak kasus penerbangan terpaksa ditunda atau dibatalkan.

Sementara pada transportasi darat, sungai, danau dan laut terjadi beberapa kasus

tabrakan atau kecelakaan yang menyebabkan hilangnya nyawa dan harta benda.

Kerugian karena terganggunya kesehatan masyarakat, penundaan atau

pembatalan penerbangan, dan kecelakaan transportasi di darat, dan di air

memang tidak bisa diperhitungkan secara tepat, tetapi dapat dipastikan cukup

besar membebani masyarakat dan pelaku bisnis. Dampak kebakaran hutan

Indonesia berupa asap tersebut telah melintasi batas negara terutama Singapura,

Brunai Darussalam, Malaysia dan Thailand.

Dampak lainnya adalah kerusakan hutan setelah terjadi kebakaran dan

hilangnya margasatwa. Hutan yang terbakar berat akan sulit dipulihkan, karena

struktur tanahnya mengalami kerusakan. Hilangnya tumbuh-tumbuhan

menyebabkan lahan terbuka, sehingga mudah tererosi, dan tidak dapat lagi

menahan air hujan. Karena itu setelah hutan terbakar, sering muncul bencana

banjir pada musim hujan di berbagai daerah yang hutannya terbakar. Kerugian

akibat banjir tersebut juga sulit diperhitungkan.

Analisis dampak kebakaran hutan masih dalam tahap pengembangan

awal, pengetahuan tentang ekosistem yang rumit belum berkembang dengan


196

baik dan informasi berupa ambang kritis perubahan ekologis berkaitan dengan

kebakaran sangat terbatas, sehingga dampak kebakaran hutan sulit

diperhitungkan secara tepat. Meskipun demikian, berdasarkan perhitungan kasar

yang telah diuraikan diatas dapat disimpulkan bahwa kebakaran hutan

menimbulkan dampak yang cukup besar bagi masyarakat sekitarnya, bahkan

dampak tersebut sampai ke negara tetangga.


197

IV. UPAYA PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN


KEBAKARAN HUTAN

Sejak kebakaran hutan yang cukup besar yang terjadi pada tahun

1982/1983 yang kemudian diikuti rentetan kebakaran hutan beberapa tahun

berikutnya, sebenarnya telah dilaksanakan beberapa langkah, baik bersifat

antisipatif (pencegahan) maupun penanggulangannya.

4.1. Upaya Pencegahan

Soemarsono (1997) menyatakan bahwa upaya yang telah dilakukan untuk

mencegah kebakaran hutan dilakukan antara lain :

a) Memantapkan kelembagaan dengan membentuk Sub Direktorat Kebakaran

Hutan dan Lembaga non struktural berupa Pusdalkarhutnas, Pusdalkarhutda

dan Satlak serta Brigade-brigade pemadam kebakaran hutan di masing-

masing HPH dan HTI;

b) Melengkapi perangkat lunak berupa pedoman dan petunjuk teknis

pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan;

c) Melengkapi perangkat keras berupa peralatan pencegah dan pemadam

kebakaran hutan;

d) Melakukan pelatihan pengendalian kebakaran hutan bagi aparat pemerintah,

tenaga BUMN dan perusahaan kehutanan serta masyarakat sekitar hutan;

e) Kampanye dan penyuluhan melalui berbagai Apel Siaga pengendalian

kebakaran hutan;

f) Pemberian pembekalan kepada pengusaha (HPH, HTI, perkebunan dan

Transmigrasi), Kanwil Dephut, dan jajaran Pemda oleh Menteri Kehutanan

dan Menteri Negara Lingkungan Hidup;


198

g) Dalam setiap persetujuan pelepasan kawasan hutan bagi pembangunan non

kehutanan, selalu disyaratkan pembukaan hutan tanpa bakar.

4.2. Upaya Penanggulangan

Disamping melakukan pencegahan, pemerintah juga melakukan upaya

penanggulangan melalui berbagai kegiatan antara lain (Soemarsono, 1997):

a) Memberdayakan posko-posko kebakaran hutan di semua tingkat, serta

melakukan pembinaan mengenai hal-hal yang harus dilakukan selama siaga I

dan II.

b) Mobilitas semua sumberdaya (manusia, peralatan dan dana) di semua

tingkatan, baik di jajaran Departemen Kehutanan maupun instansi lainnya,

maupun perusahaan-perusahaan.

c) Meningkatkan koordinasi dengan instansi terkait di tingkat pusat melalui

PUSDALKARHUTNAS dan di tingkat daerah melalui

PUSDALKARHUTDA Tk I dan SATLAK kebakaran hutan dan lahan.

d) Meminta bantuan luar negeri untuk memadamkan kebakaran hutan antara

lain: pasukan BOMBA dari Malaysia untuk kebakaran hutan di Riau, Jambi,

Sumatera Selatan dan Kalimantan Barat; Bantuan pesawat AT 130 dari

Australia dan Hercules dari USA untuk kebakaran di Lampung; Bantuan

masker, obat-obatan dan sebagainya dari negara-negara Asean, Korea

Selatan, Cina dan lain-lain.

4.3. Peningkatan Upaya Pencegahan dan Penanggulangan

Upaya pencegahan dan penanggulangan yang telah dilakukan selama ini

ternyata belum memberikan hasil yang optimal dan kebakaran hutan masih terus
199

terjadi pada setiap musim kemarau. Kondisi ini disebabkan oleh beberapa faktor

antara lain:

a) Kemiskinan dan ketidak adilan bagi masyarakat pinggiran atau dalam

kawasan hutan.

b) Kesadaran semua lapisan masyarakat terhadap bahaya kebakaran masih

rendah.

c) Kemampuan aparatur pemerintah khususnya untuk koordinasi, memberikan

penyuluhan untuk kesadaran masyarakat, dan melakukan upaya pemadaman

kebakaran semak belukar dan hutan masih rendah.

d) Upaya pendidikan baik formal maupun informal untuk penanggulangan

kebakaran hutan belum memadai.

Hasil identifikasi dari serentetan kebakaran hutan menunjukkan bahwa

penyebab utama kebakaran hutan adalah faktor manusia dan faktor yang memicu

meluasnya areal kebakaran adalah kegiatan perladangan, pembukaan HTI dan

perkebunan serta konflik hukum adat dengan hukum negara, maka untuk

meningkatkan efektivitas dan optimalisasi kegiatan pencegahan dan

penanggulangan kebakaran hutan perlu upaya penyelesaian masalah yang terkait

dengan faktor-faktor tersebut.

Di sisi lain belum efektifnya penanggulangan kebakaran disebabkan oleh

faktor kemiskinan dan ketidak adilan, rendahnya kesadaran masyarakat,

terbatasnya kemampuan aparat, dan minimnya fasilitas untuk penanggulangan

kebakaran, maka untuk mengoptimalkan upaya pencegahan dan penanggulangan

kebakaran hutan di masa depan antara lain:


200

o Melakukan pembinaan dan penyuluhan untuk meningkatkan kesejahteraan

masyarakat pinggiran atau dalam kawasan hutan, sekaligus berupaya untuk

meningkatkan kesadaran masyarakat tentang bahaya kebakaran hutan dan

semak belukar.

o Memberikan penghargaan terhadap hukum adat sama seperti hukum negara,

atau merevisi hukum negara dengan mengadopsi hukum adat.

o Peningkatan kemampuan sumberdaya aparat pemerintah melalui pelatihan

maupun pendidikan formal. Pembukaan program studi penanggulangan

kebakaran hutan merupakan alternatif yang bisa ditawarkan.

o Melengkapi fasilitas untuk menanggulagi kebakaran hutan, baik perangkat

lunak maupun perangkat kerasnya.

o Penerapan sanksi hukum pada pelaku pelanggaran dibidang lingkungan

khususnya yang memicu atau penyebab langsung terjadinya kebakaran.

Selanjutnya, sebagai penutup dari tulisan ini dapat dikemukakan beberapa

hal sebagai berikut:

1. Hutan merupakan sumberdaya alam yang tidak ternilai harganya karena

didalamnya terkandung keanekaragaman hayati sebagai sumber plasma

nutfah, sumber hasil hutan kayu dan non-kayu, pengatur tata air, pencegah

banjir dan erosi serta kesuburan tanah, dan sebagainya. Karena itu

pemanfaatan dan perlindungannya diatur oleh Undang-undang dan peraturan

pemerintah.

2. Kebakaran merupakan salah satu bentuk gangguan terhadap sumberdaya

hutan dan akhir-akhir ini makin sering terjadi. Kebakaran hutan menimbulkan

kerugian yang sangat besar dan dampaknya sangat luas, bahkan melintasi
201

batas negara. Di sisi lain upaya pencegahan dan pengendalian yang dilakukan

selama ini masih belum memberikan hasil yang optimal. Oleh karena itu

perlu perbaikan secara menyeluruh, terutama yang terkait dengan

kesejahteraan masyarakat pinggiran atau dalam kawasan hutan.

3. Berbagai upaya perbaikan yang perlu dilakukan antara lain dibidang

penyuluhan kepada masyarakat khususnya yang berkaitan dengan faktor-

faktor penyebab kebakaran hutan, peningkatan kemampuan aparatur

pemerintah terutama dari Departemen Kehutanan, peningkatan fasilitas untuk

mencegah dan menanggulagi kebakaran hutan, pembenahan bidang hukum

dan penerapan sanksi secara tegas.


202

DAFTAR PUSTAKA

Danny, W., 2001. Interaksi Ekologi dan Sosial Ekonomi dengan Kebakaran di
Hutan Provinsi Kalimantan Timur, Indonesia. Kumpulan Paper
Presentasi. Pusdiklat Kehutanan. Bogor, 33 hal.

Direktotar Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, 2003. Kebakaran


Hutan Menurut Fungsi Hutan, Lima Tahun Terakhir. Direktotar
Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Jakarta.

Soemarsono, 1997. Kebakaran Lahan, Semak Belukar dan Hutan di Indonesia


(Penyebab, Upaya dan Perspektif Upaya di Masa Depan), hal : 1-14.
Dalam Prosiding Simposium: ―Dampak Kebakaran Hutan Terhadap
Sumberdaya Alam dan Lingkungan‖ Tanggal 16 Desember 1997.
Fakultas Kehutanan. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Schweithelm, J. dan D. Glover, 1999. Penyebab dan Dampak Kebakaran, dalam


D. Glover & T. Jessup, Mahalnya Harga Sebuah Bencana: Kerugian
Lingkungan Akibat Kebakaran dan Asap di Indonesia. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta.

Soeriaatmadja, R.E. 1997. Dampak Kebakaran Hutan Serta Daya Tanggap


Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Sumberdaya Alam Terhadapnya,
hal 36-39. Dalam Prosiding Simposium: ―Dampak Kebakaran Hutan
Terhadap Sumberdaya Alam dan Lingkungan‖ Tanggal 16 Desember
1997. Fakultas Kehutanan. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Dove, M.R., 1988. Sistem Perladangan di Indonesia. Suatu studi kasus dari
Kalimantan Barat. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta, 510 hal.

Saharjo dan Husaeni, 1998. East Kalimantan Burns. Journal Wildfire 7(7):19-21.

Tacconi, T., 2003. Kebakaran Hutan di Indonesia, Penyebab, Biaya dan Implikasi
Kebijakan. Center for International Forestry Research (CIFOR). Bogor.
22 hal.

Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup dan UNDP, 1998. Fenomena Iklim
El-Nino di Indonesia. Jakarta.
203

KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI SUMATERA

OLEH :

INDRA POMI NASUTION

PROGRAM STUDI ILMU LINGKUNGAN


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
2006
204

I . PENDAHULUAN

Menurut Sudrajat (2006), Hutan Indonesia seluas ± 120,35 juta hektar

menempati peringkat ketiga setelah Brazil dan Zaire, keanekaragaman hayati

menempati peringkat kedua setelah Colombia. Areal yang berfungsi sebagai paru-

paru dunia itu mengalami kerusakan paling parah di planet Bumi. Menurut Forest

Wacth Indonesia ( PWI ) tingkat kerusakan telah mencapai 4,1 juta hektar / tahun.

Penyebab kerusakan hutan di Indonesia sangat bervariasi mulai dari kegiatan

perladangan berpindah-pindah, perambahan hutan, konversi hutan menjadi

peruntukan lain (pertanian, perkebunan, areal transmigrasi), pengembalaan ternak

dalam hutan (grasing), kebakaran hutan (forest fire), lemahnya fungsi control

pemerintah terhadap praktek pengelolaan hutan oleh HPH, tidak adanya

supremasi hukum dalam menangani pencurian kayu (illegal loging).

Zaman dahulu, yaitu pada abad ke 15 dan 16, Portugis dan Belanda

mencatat adanya kebakaran besar yang terjadi di hutan alam dan lahan gambut di

Borneo. Kejadian ini juga disertai dengan kabut yang mencekik dan menyebar

luas sejauh lokasi Singapura saat ini. Secara periodik pada tahun 1980 dan

1990‘an, kebakaran berarti terjadi di kawasan ini. Tetapi para ahli setuju bahwa

kebakaran yang terjadi selama tahun 1997 – 1998 merupakan peristiwa yang

paling merusakkan disebabkan musim kering panjang akibat fenomena arus balik

El-Nino Southern Oscillation yang bertepatan pula dengan peristiwa perluasan

pembukaan lahan untuk hutan tanaman.

Di akhir tahun 1997 dan awal tahun 1998, dunia dapat menyaksikan dan

mengamati betapa sedih dan mengerikan pada saat api membinasakan berjuta-juta

hektar hutan tropika di Indonesia. Peristiwa kebakaran yang merusak tersebut


205

mengakibatkan terjadinya lintasan panjang di Pulau Sumatera dan Kalimantan,

berbentuk selimut asap yang tebal dan secara serius membahayakan kesehatan

manusia. Kebakaran ini juga membahayakan keamanan perjalanan udara serta

menyebabkan kerugian ekonomi yang sangat besar di seluruh kawasan.

Meskipun proyek yang berhubungan dengan kebakaran bukan merupakan

bagian dari rencana kerja resmi CIFOR, namuan bencana yang terjadi di

lingkungan lokasi kerja lembaga ini mendorong timbulnya keprihatinan yang

besar para peneliti dan mereka berupaya aktif untuk mengungkap

permasalahannya. Penelitian tentang penyebab utama deforestasi yang sedang

berjalan saat ini memberikan kewenangan bagi CIFOR untuk dapat memberikan

komentarnya tentang dampak kebakaran terhadap hutan di Indonesia. Beberapa

anggota peneliti diundang untuk turut serta dalam berbagai pertemuan dan

konferensi tentang kebakaran dan melibatkannya dalam upaya yang dilakukan di

Indonesia serta negara-negara lainnya untuk mengembangkan strategi penanganan

isu-isu kebakaran.

Menurut Jens Wieting dalam laporannya meyatakan ; Propinsi Riau di

pulau Sumatera mengalami keadaan darurat ekologis,daerah-daerah pemukiman

dan sungai-sungai sangat tercemar,hampir seluruh hutan sudah gundul. Yang

tinggal hanyalah tanah kosong, kebun kelapa sawit dan akasia yang

membosankan. Tidak ada pengawasan negara yang mampu memberhentikan

perusakan hutan tropis Sumatera yang terakhir, dari penjarahan industri-industri

kertas, minyak sawit dan industri perkayuan. illegal logging, dan Kebakaran

Hutan dan Lahan.


206

II. KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI SUMATERA

Entah karena dosa siapa, yang jelas setiap kali memasuki musim kemarau

masyarakat ―terpaksa‖ menghirup asap yang ditimbulkan dari kebakaran hutan

dan lahan. Diawali dengan kemarau pendek (Pebruari – Maret) terus bersambung

pada kemarau panjang (Juni – September). Intensitasnya juga makin bertambah.

Bila pada tahun 1992 titik api yang muncul masih dalam bilangan puluhan, saat

ini titik api serupa sudah muncul di segala tempat. Jumlahnyapun mencapai angka

ratusan. Di Sumatera sendiri menurut FFPMP- JICA ,2001, pada periode Juni –

Juli 2001, jumlah hotspot yang terdekteksi tidak kurang dari 1774 titik dengan

Riau menempati urutan teratas. Berikut jumlah hotspot di Sumatera yang

terdeteksi (Tabel 1).

Tabel 1. Jumlah Hotspot di Sumatera yang terdeteksi selama periode Juni –


Juli 2001
Propinsi HPH HTI KUB ND TRA Lainnya Total
Aceh 5 3 13 21
Bangka Belitung 16 16
Bengkulu 6 2 22 30
Lampung 7 25 51 83
Riau 369 139 280 3 191 982
Sumbar 59 54 22 73 208
Semsel 21 2 4 1 143 171
Sumut 10 25 24 71 130
Jambi 40 4 12 43 34 133
Total 1,774
Sumber : FFPMP – JICA 2001
Keterangan :
HPH : Hak Pengusahaan Hutan
TRA : Transmigrasi
HTI : Hutan Tanaman Industri
ND : Tidak ada data
KUB : Perkebunan.

Kebakaran hutan dan lahan itu sendiri menimbulkan kerugian yang tidak

sedikit. Tahun 1997-1998 misalnya, ketika terjadi kebakaran hutan dan lahan

terbesar di mana prediksi luasan yang terbakar mencapai 4,5 juta hektar, total
207

kerugiannya mencapai Rp. 60 triliun ( Ginting , 1999). Nilai kerugian ini belum

termasuk dengan kerugian kesehatan, transportasi, perdagangan, hilangnya

kesempatan panen dan lain-lain.

Selain kerugian ekonomi, belum dihitung kerugian akibat terajdinya erosi

karena tanah 20-30 kali lebih peka dibandingkan dengan daerah hutan yang tidak

terbakar, terjadinya percepatan perubahan iklim global, kerugian tidak langsung

akibat hilangnya habitat satwa dan erosi berbagai bibit benih tumbuhan dan fauna

dilantai hutan, mempercepat penghilangan biomassa lantai hutan mempercepat

proses pencucian hara tanah, terjadinya banjir di daerah yang hutan gambutnya

terbakar ( Mackinnnon, 1996 ). dan polusi udara dan air.

Kebakaran hutan juga berdampak pada kesuburan tanah. Sifat fisika tanah

juga berubah dengan rusaknya struktur tanah sehingga menurunkan infitrasi dan

perkolasi tanah. Hilangnya tumbuhan juga membuat tanah menjadi terbuka

sehingga energi pukulan air hujan tidak lagi tertahan oleh tajuk pepohonan. Pada

fisik kimia tanah terjadi peningkatan tingkat keasaman tanah dan air sungai.

Penelitian yang dilakukan oleh Tangketasik (1999) menunjukkan terjadinya

penurunan sifat-sifat retensi kelembaban serta kapasitas kation pada jenis tanah

yang mengalami kebakaran. Untuk sifat fisik biologi tanah, kebakaran hutan dapat

membunuh organisme tanah yang bermanfaat dalam meningkatkan kesuburan

tanah. Makroorganisme tanah misalnya cacing tanah yang dapat meningkatkan

aerasi dan drainase tanah sedangkan untuk mikroorganisme tanah misalnya

mikorisa yang dapat meningkatkan ketersediaan unsur hara P, Zn, Cu, Mg dan Fe.

Asap tebal yang dihasilkan dari kebakaran hutan dan lahan juga

menyelimuti kawasan maha luas. Emisi yang dihasilkan dari 4,5 juta hektar
208

(45.000 km2) dari vegetasi yang terbakar selama Agustus – November 1997 di

Kalimantan dan Sumatera terakumulasi di atmosfir dan menyebar ke negara-

negara tetangga. Puncaknya pada akhir September dan Oktober di mana luasan

asap menutupi kawasan seluas lebih dari 3 juta km2 mencapai Filiphina, Thailand

dan Australia, dan mempengaruhi lebih dari 300 juta orang.

Kebakaran hutan di Kalimantan dan Sumatera juga melepaskan jutaan

emisi yang terakumulasi di atmosfir. Kawasan gambut yang terbakar

menyumbang asap jauh lebih besar. Emisi dari lahan gambut yang terbakar

mengandung CO dan CO2 dalam jumlah besar serta beberapa zat-zat tertentu

seperti sulfur dan nitrogen dan berbagai jenis campuran yang mudah menguap (

Ward, 1997). Diperkirakan, emisi yang dihasilkan adalah 85 hingga 316 juta

karbon dioksida, 7 sampai 52 juta karbon monoksida, 4 sampai 16 ton bahan-

bahan partikulat, 2 sampai 12 juta ton ozon, 0.1 sampai 4 ton amonia dan lebih

dari 1.5 juta ton oksida nitrogen.

El Nino yang terjadi di Asia Tenggara biasanya berhubungan dengan

tingkat kekeringan alam dan meningkatnya aktivitas seperti pada kegiatan

konversi hutan dan penggunaan lahan. Kebakaran yang terjadi pada tahun

1997/1998 dan 2000 kemudian berlanjut pada tahun 2001. Untuk Riau secara

umum, kebakaran hutan terjadi pada saat musim kemarau. Riau sendiri

merupakan daerah yang tingkat kebakarannya tinggi dengan jumlah kerugian yang

tak ternilai, penilaian ekonomi kerusakan fungsi ekologis hutan pasca kebakaran

hutan 1997-1998 terlihat pada Tabel. 2 dan Tabel 3. Sebagian besar daerah yang

terbakar di Riau merupakan pembukaan lahan untuk perkebunan besar, pertanian

dan HTI.
209

Tabel 2. Penilaian Ekonomi Kerusakan Fungsi Ekologis Hutan Pasca Kebakaran


Hutan 1997–1998

Nilai per haa) Kerugian Skala Nasional


Fungsi Hutan
( Rp ) ( Milyar Rupiah )
Pengaturan gangguan 25,000 6.6
Hidrologi 30,000 8.0
Persediaan Air 40,000 10.6
Pengendalian Erosi 1,225,000 323.4
Pembentukan Tanah 50,000 13.2
Siklur Hara 4,610,000 1,217.0
Penguraian Limbah 435,000 114.0
Total 1,692.8

Sumber : Perhitungan Pangestu dan Ahmad (1998)

Tabel 3. Rekapitulasi Kerugian Nasional Akibat Kebakaran Hutan Nasional


Tahun 1997
Jenis Kerugian Total Kerugian (Rp.)
Tegakan Kayu Hutan 321.7 milyar
Hasil Hutan Non Kayu 23.0 milyar
Sumberdaya Genetic 27.0 milyar
Rekreasi 73.9 milyar
Fungsi Ekologi 1,693.0 milyar
Keanekaragaman Hayati 395.9 milyar
Perosot (emisi?) Karbon 2,032.0 milyar
Total 4,566.5 milyar
Sumber ; Basyar ( 1999).

Pada akhirnya harus diakui bahwa kebakaran hutan dan lahan merupakan

penyakit menahun yang menimbulkan begitu banyak kerugian. Tidak bisa tidak,

behawa sudah semestinya kebakaran hutan dan lahan perlu menjadi perhatian

bersama dan perlu pula digarisbawahi bahwa kesemuanya itu merupakan puncak

dari berbagai kesalahan dalam pengelolaan hutan alam Indonesia. Berhentilah

bermain dengan jargon ―mengejar pertumbuhan ekonomi‖ karena kenyataan

bahwa perekonomian kita sedang berada dititik nadir akibat salah urus.
210

Pencegahan dan penangan kebakaran hutan dan lahan itu sendiri tidak bisa

dilakukan secara sporadis. Perlu ada sebuah kebijakan yang didasarkan atas

pemahaman terhadap berbagai masalah yang melatarbelakangi mengapa

kebakaran hutan dan lahan sering terjadi. Berikut beberapa hal yang

melatarbelakangi mengapa kebakaran hutan sering terjadi. Di akhir tulisan, kami

akan mencoba menyimpulkan berbagai hal yang perlu dilakukan ke depan dalam

upaya pencegahan dan penanganan kebakaran hutan itu sendiri.


211

III . KESALAHAN PENGELOLAAN HUTAN DAN LAHAN

Kebakaran hutan dan lahan adalah dosa turunan. Sebuah symptom dari

memburuknya kesehatan hutan alam akibat eksploitasi hutan secara masif sejak

awal 1970-an. Blunder pengelolaan hutan inilah yang menjadi penyebab utama

rusaknya hutan alam yang ada di samping sebagai penyebab utama kebakaran

hutan dan lahan.

Salah kelola tersebut, pertama, bisa dilihat dari kemampuan hutan alam itu

sendiri dalam menyediakan bahan baku bagi industri kayu yang ada. Dengan

kebutuhan 70 juta m3 pertahun, industri kayu yang ada telah memaksa hutan alam

menyuplai kayu jauh di atas kemampuannya yang secara lestari hanyamampu

menyediakan 20 juta m3 pertahun. Hal ini terjadi salah satunya dikarenakan

pembangunan industri kayu tidak dibarengi dengan pembangunan hutan tanaman

yang akan menyuplai bahan bakunya. Otomatis kekurangan tersebut dipenuhi

dari penebangan ilegal yang menjadi penyebab percepatan degradasi hutan alam.

Ketidakmampuan hutan alam untuk menyuplai bahan baku industri kayu

bisa dilihat di Propinsi Riau di mana pada tahun 1999/2000, Dinas Kehutanan

mencatat ada 312 unit IPKH dengan kapasitas 4.984.102 m3/tahun. Sedangkan

kebutuhan bahan baku industri kayu sebesar 15.827.884 m3/tahun. Kebutuhan ini

utamanya untuk memenuhi industri kayu lapis 10 unit, industri pulp dan paper 2

unit, chipmill 3 unit, sawmill 270 unit dan moulding sebanya 27 unit. Ini berarti

setiap tahunnya industri perkayuan di Riau membutuhkan hampir 16 juta m3 kayu

pertahunnya. Sedangkan kebun kayu dan hutan alam hanya mampu menghasilkan

1.100.000 m3/tahun. Entah dari mana industri kayu yang ada ini harus menutupi

sisa kebutuhannya yang mencapai 14 juta m3 kayu pertahun. Kesenjangan inilah


212

yang patut dipertanyakan, utamanya tentang bagaimana industri kayu tersebut

mampu memenuhi kebutuhannya.

Maraknya praktek illegal logging tersebut menyebabkan terjadinya

percepatan degradasi hutan alam yang berdampak pada hilangnya keseimbangan

ekologis dan kelembaban mikro sehingga menjadi rentan terhadap bahaya

kebakaran. Keadaan ini diperparah dengan, kedua, besarnya peluang yang

diberikan pemerintah kepada pengusaha untuk melakukan konversi hutan menjadi

perkebunan monokultur skala besar seperti perkebunan kelapa sawit maupun

kebun kayu (HTI). Pemerintah juga melakukan politik konversi dengan

memberikan insentif IPK (Izin Pemanfaatan Kayu) kepada pengusaha perkebunan

dan Dana Reboisasi kepada pengusaha HTI.

Laju konversi inilah,ketiga, yang dianggap menjadi penyebab maraknya

kebakaran hutan. Kegiatan pembukaan dengan melakukan tebang habis dan

pembakaran masih merupakan sebuah alternatif land clearing yang paling murah,

mudah dan cepat. Ini bisa dibuktikan dari jumlah hotspot yang tercatat di 133

perusahaan kelapa sawit (dari 176 perusahaan) pada tahun 1997 kemarin. Dari

jumlah tersebut, 43 diantaranya merupakan perusahaan milik Malaysia yang

memberikan kontribusi terbesar bagi kebakaran hutan dan lahan( Siscawaty,

1999). Studi yang dilakukan oleh Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup pada

tahun 1997-1998 menyebutkan bahwa kebakaran hutan yang terjadi selama tahun

ini sebagian besar diakibatkan oleh system perkebunan besar (Purwanto dan

Warsito, 2001).

Perlu pula dipahami, bahwa tingginya kebutuhan akan CPO di dunia,

membuat banyak investor untuk tetap melirik sektor Perkebunan Kelapa Sawit di
213

Riau. Ini pula yang membuat HTI dan Perkebunan Besar melakukan land clearing

dengan metode pembakaran agar bisa dengan cepat dilakukan penanaman dengan

biaya yang rendah sekaligus menghasilkan keuntungan yang besar. Pembakaran

lahan salah satu upaya yang dilakukan oleh Perkebunan Besar untuk dapat

menaikkan pH tanah karena pada umumnya tanah di Riau bergambut hanya

dengan pH 3-4 yang tidak cocok untuk tanaman kelapa sawit (contoh Kasus

pembakaran yang dilakukan di areal PT. Adei Plantation & Industry). Menurur

Basyar ,( 1999) perusahaan yang dinyatakan sebagai pelaku pembakaran hutan di

sumatera dapat dilihat pada tabel 4 dibawah ini .

Tabel 4. Perusahaan yang Dinyatakan sebagai Pelaku Pembakaran di


Sumatera
Perusahaan Perusahaan Pembukaan
Propinsi
Perkebunan HT I Transmigrasi
Sumatera Utara 16 - -
Sumatera Selatan 13 2 2
Jambi 8 5 7
Riau 26 3 6
Jumlah 63 10 15
Sumber ; Basyar ( 1999).

Heil, pada tahun 1998 juga menambahkan bahwa pada hampir semua

penelitian melaporkan bahwa kebakaran hutan berkaitan sangat erat dengan

kegiatan konversi hutan secara besar-besaran menjadi perkebunan atau agro-

industri. Peristiwa El Nino memang berhubungan dengan kekeringan dan

kebakaran hutan. Namun patut digarisbawahi pula bahwa upaya menyalahkan

perladangan tradisional gilir balik adalah sangat tidak beralasan sama sekali. Hal

ini bisa kita lihat dan pahami bahwa kegiatan tradisional tersebut telah lama

dilakukan oleh masyarakat namun belum pernah terjadi seperti ini. Meskipun pada

masa itu juga telah terjadi El Nino.


214

IV. REALITAS HUKUM DAN KEBIJAKAN

Satu kelemahan mendasar lainnya adalah lemahnya penegakan hukum

terhadap pelaku pembakaran. Walaupun bukti-bukti sudah menunjukkan bahwa

kegiatan land clearing yang dilakukan oleh perkebunan merupakan penyebab

utama terjadinya kebakaran hutan, namun toh sering sekali pemerintah tidak

melakukan apa-apa. Kata-kata ―ditindak tegas‖ hanya sekedar menjadi lip service

tanpa pernah ada tindak lanjutnya.

Tiga perusahaan perkebunan di Kalimantan Timur yang terindikasi kuat

melakukan pembakaran pada tahun 1997 dan disebut-sebut akan dibawa ke

pengadilan, hingga sekarang tidak pernah dilanjutkan dan tidak pernah terdengar

kabarnya. Pada saat yang sama, di Sumatera Selatan, pada tahun 1998 ada 11

perusahaan yang digugat ke pengadilan oleh WALHI. Namun setelah melalui

marathon persidangan yang demikian panjang, hanya dua di antaranya yang

dianggap telah melakukan perbuatan melawan hukum. Sedangkan untuk di Riau

ada 5 perusahaan perkebunan yang diajukan ke persidangan. Hanya 2 perusahaan

yang di sidangkan yaitu disidangkan PT. Adei Plantation & Industry dengan PT.

Jatim Jaya Perkasa, yang lainnya dalam tahap pengajuan seperti PT. Multi

Gambut, PT. Musim Mas, PT. Inti Indo Sawit Subur dan PT. Inti Prona.

Adanya tuntutan pengadilan tersebut semakin memperjelas bahwa

perusahaan-perusahaan perkebunan skala besarlah yang berhubungan erat dengan

terjadinya kebakaran hutan dan lahan. Artinya, secara hukum perusahaan-

perusahaan perkebunan dan HPH tersebut telah terbukti melakukan Kejahatan

Lingkungan . Ini juga sebuah dasar pemikiran bahwa ternyata El Nino selama ini
215

hanyalah menjadi kambing hitam atas upaya perusahaan tersebut untuk lari dari

tanggung jawab.

Penjahat Lingkungan lainnya terungkap dalam persidangan perusahaan

perkebunan PT. Adei Plantation, Riau, pada tanggal 1 Oktober 2001 lalu di mana

perusahaan tersebut didenda sebesar Rp. 250 juta dan 2 tahun kurungan badan

(pidana penjara) dan 6 bulan kurungan subsidair bagi sebagai penanggung jawab

perusahaan perkebunan tersebut. Walaupun yang bersangkutan mengajukan

banding atas putusan hakim, setidaknya sekali lagi kita bisa melihat bahwa pelaku

pembakaran tersebut jelas perusahaan-perusahaan perkebunan skala besar. Namun

kenapa selama ini pemerintah seolah tutup mata atas petaka lingkungan Riau

walau dipahami bahwa pemerintah butuh dana untuk meneruskan pembangunan

dan para pengusaha mampu mencetak uang yang dibutuhkan negara.

Sementara itu, dalam hal kebijakan, harus diakui bahwa peraturan

perundang-undangan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Indonesia selalu

mengundang penafsiran yang berbeda-beda. Tergantung bagaimana caranya

memandang dan kepada siapa hal tersebut ditujukan. Hal yang sama berlaku pula

pada kebijakan pemerintah tentang pencegahan kebakaran hutan. Harus dipahami

terlebih dahulu bahwa masalah kebakaran hutan dan lahan tidak dapat dipandang

secara partial dan bersifat temporary atau jangka pendek. Kebijakan tersebut harus

bersifat jangka panjang dan menyeluruh sehingga dari memburuknya kesehatan

hutan Indonesia bisa dihentikan. Kebijakan-kebijakan itu sendiri juga harus

mencakup beberapa hal yang berhubungan dengan kebakaran hutan seperti aspek

pencegahan, pemantauan dan penanggulangan.


216

Pada aspek pencegahan, berbagai kebijakan yang sifatnya meminimalisir

kemungkinan kebakaran harus diutamakan termasuk penguatan sistem informasi

manajemen kebakaran hutan dan lahan, mengenai kebijakan-kebijakan yang

menyertai konversi dan pembukaan lahan. Sedangkan untuk aspek pemantauan

harus dikembangkan sistem peringatan dini dan tentu saja kapabilitas pemadam

kebakarannya sebagai salah satu unsur yang harus dipenuhi dalam aspek

penanggulangan kebakaran.

Yang terlihat selama ini adalah, pemerintah baru terlihat sibuk ketika

kebakaran telah terjadi. Itupun setelah menuai protes dari beberapa negara

tetangga, sehingga terkesan langkah-langkah yang diambil hanya untuk

menyenangkan hati negara tetangga walaupun jelas-jelas pelaku pembakaran

tersebut justru negara tetangga itu pula.

Ketidakseriusan Pemerintah dalam melakukan pencegahan bisa dilihat dari

Undang-Undang tentang Kehutanan (UU No. 41/1999) di mana tidak

diketemukan sebuah pasalpun yang secara jelas melarang orang untuk melakukan

pembakaran. Pasal 50 ayat 3 huruf d misalnya, secara jelas membuka peluang

dihidupkannya kembali pembukaan lahan dengan cara bakar karena larangan

membakar hutan dapat dikecualikan dengan tujuan-tujuan khusus sepanjang

mendapat izin dari pejabat yang berwenang. Bandingkan dengan negara Malaysia

yang memberlakukan kebijakan tegas (tanpa pengecualian) tentang larangan

pembukaan lahan tanpa bakar seperti diatur dalam pasal 29 A dan 29 B Malaysian

Environtment Quality Act. 1974 dan diamandemenkan tahun 1998.(Sentosa,

2000). Undang-Undang ini secara tegas mengancam pelaku pembakaran hutan


217

(baik pemilik maupun penggarap) dengan hukuman 5 tahun penjara dan/denda

500.000 ringgit.

Undang-undang No. 41/99 juga tidak menyinggung sama sekali upaya-

upaya untuk mencegah dan menanggulangi kebakaran hutan. Demikianhalnya

dengan PP No. 6/99 tentang Pengusahaan Hutan dan Pemungutan Hasil Hutan

pada Hutan Produksi di mana tidak ada satupun referensinya yang menyinggung

masalah pencegahan kebakaran hutan dalam konteks pengusahaan hutan.

Demikian pula halnya dalam UU No. 23/97 tentang Pengelolaan Lingkungan

Hidup, bersama UU No. 41/99, tidak memberikan mandat secara spesifik sama

sekali untuk mengembangkan PP tentang Kebakaran Hutan.

Upaya Bapedal menyusun Rancangan Peraturan Pemerintah tentang

Pengendalian Praktek Pembakaran, Kebakaran dan Dampaknya, dikhawatirkan

juga tidak efektif karena bentuk Peraturan Pemerintah (PP) merupakan turunan

dari Undang-Undang. Sedangkan Undang-Undang No. 41 tentang Kehutanan

maupun UU No. 23/97 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup tidak memberikan

mandat secara jelas untuk pengembangan PP tentang Kebakaran Hutan. PP ini

nantinya juga punya keterbatasan dalam memberikan paksaan maupun insentif

ekonomi. Instrumen-instrumen tersebut seharusnya dalam bentuk UU (DPR RI

bersama Pemerintah) (Mas Ahmad Sentosa, 2000). Sehingga logis kiranya bila

ada upaya untuk mendesak agar masalah pencegahan dan penanggulangan

kebakaran hutan segera menjadi perhatian DPR, utamanya agar ketentuan-

ketentuan tersebut dirumuskan dalam suatu UU yang memuat prinsip-prinsip

pencegahan, pemantauan dan penanggulangan secara tegas, komprehensif dan

saling terintegrasi.
218

V. UPAYA YANG HARUS DILAKUKAN

Kepercayaan rasanya semakin mewah dan mahal. Terus menerus kita

membangun kepercayaan sehingga ia menjadi kata kunci. Dengan kepercayaan

terbuka kemungkinan-kemungkinan datangnya rasa simpatik dan bantuan-bantuan

lain yang kita butuhkan. Artinya dalam sekian upaya membangun kepercayaan

keluar dan ke dalam kita masukkan keseriusan kita mengurus hutan. Kelalaian dan

kelengahan menangani kebakaran hutan harus dihentikan. Masalahnya, bagaimana

pemerintah bisa lebih cekatan dalam menangani dan mengeluarkan perintah,

diikuti dengan tindakan serius dan nyata menghentikan merebaknya kebakaran

hutan. Kalau tidak cekatan, kebakaran hutan maha dahsyat tahun 1997, jangan

disesali, akan terulang.

Menurut Sumanda (2004), ada beberapa hal yang harus dilakukan

berkenaan dengan upaya pencegahan, penanggulangan dan pemantauan kebakaran

hutan adalah :

1. ASPEK PENCEGAHAN

a. Adanya Sistem Informasi Manajemen Kebakaran Hutan dan Lahan

Bicara tentang Sistem Informasi Manajemen yang tergambar adalah suatu

sistem yang diciptakan untuk melaksanakan pengolahan data yang

dimanfaatkan oleh suatu organisasi atau publik. Unsur-unsur yang

mewakili suatu sistem secara umum adalah masukan (input), pengolahan

(processing) dan keluaran (output). Sedang Data dan Informasi

mengandung dua pengertian yang berbeda. DATA merujuk fakta-fakta

baik berupa angka-angka, teks, dokumen, gambar, bagan, suara yang

mewakili deskripsi verbal atau kode tertentu dan semacamnya. Apabila


219

telah disaring dan diolah menjadi suatu sistem pengolahan sehingga

memiliki arti dan nilai bagi publik, maka data itu berubah menjadi

INFORMASI.

Percepatan pertukaran INFORMASI kebakaran merupakan kunci

keberhasilan oeringatan dini dan pemadaman dini di lapangan, untuk itu

diperlukan perangkat komunikasi dan perangkat-perangkat lainnya.

Syarat-syarat INFORMASI yang baik :

1. Ketersediaan (availability); merupakan syarat yang mendasar bagi

suatu informasi adalah tersedianya informasi itu sendiri. Informasi

harus dapat diperoleh bagi publik yang hendak memanfaatkannya.

2. Mudah dipahami (compreherensibility); informasi harus mudah dapat

dipahami oleh pembuat keputusan.

3. Relevan; informasi yang diperlukan adalah benar-benar relevan dengan

permasalahan.

4. Bermanfaat; informasi juga harus dapat tersaji dalam bentuk-bentuk

yang memungkinkan pemanfaatan oleh publik.

5. Tepat waktu; informasi harus tersedia tepat pada waktunya.

6. Keandalan; informasi yang diperoleh dari sumber-sumber yang dapat

diandalkan kebenarannya. Pengolah data atau pemberi informasi harus

dapat menjamin tingkat kepercayaan yang tinggi atas informasi yang

disajikan.

7. Akurat; informasi bersih dari kesalahan dan kekeliruan, ini berarti

bahwa informasi harus jelas dan secara akurat mencerminkan makna

yang terkandung dari data pendukungnya.


220

8. Konsisten; informasi tidak boleh mengandung kontradiksi di dalam

penyajian karena konsistensi merupakan syarat penting bagi dasar

pengambilan keputusan.

Menilik dari syarat INFORMASI di atas, makanya kebakaran hutan dan

lahan di Riau selalu berulang-ulang terjadi karena ketidaklengkapan sarana

dan manusianya.

Sistem Informasi Kebakaran ( SIK)

Sistim Informasi Kebakaran Hutan dan Lahan semestinya dikembangkan

dengan sistem yang berdasar pada komputer. Sistem informasi ini

dirancang untuk memadukan semua data dan informasi untuk mendukung

manajemen kebakaran hutan dan penentuan kebijakan. Data dan Informasi

dapat disimpan dalam media elektronik jauh lebih besar jika dibandingkan

dengan pemakaian media keras seperti kertas atau bentuk-bentuk manual

lainnya.

Sistem Informasi Kebakaran (SIK) berbasis komputer adalah suatu SIK

yang menempatkan perkakas pengolah data komputer dalam kedudukan

yang penting. SIK berbasis komputer mengandung unsur-unsur sebagai

berikut :

1. Manusia (SDM); setiap SIK yang diciptakan harus memperhatikan

manusia supaya sistem yang diciptakan bermanfaat. Unsur manusia

dalam hal ini adalah para staff komputer profesional dan para pemakai

(computer users).
221

2. Perangkat Keras (Hardware); merujuk kepada program-program

komputer beserta semua perangkat pendukungnya (printer, memori

dll).

3. Perangkat lunak (Software); merujuk kepada program-program

komputer beserta petunjuk-petunjuk pendukungnya. Yang dimaksud

dengan program komputer adalah instruksi yang dapat dibaca oleh

mesin yang memerintahkan bagian dari perangkat keras untuk

berfungsi sedemikian rupa sehingga menghasilkan informasi yang

bermanfaat dari data yang tersedia. Program biasanya tersimpan dalam

disket, pita atau compact disk untuk selanjutnya dipakai oleh komputer

dalam fungsi pengolahannya.

4. Data; adalah fakta yang akan dibuat menjadi informasi yang

bermanfaat. Data ini akan dipilah, dimodifikasi atau diperbaharui oleh

program-program supaya menjadi informasi tersebut.

5. Prosedur; adalah peraturan yang menentukan operasi sistem komputer.

Sebagai data masukan untuk SIK dapat menggunakan peta penggunaan

lahan terbaru untuk daerah propinsi, termasuk di dalamnya batas seluruh

konsesi HPH, perkebunan dan transmigrasi. Selanjutnya data jaringan

infrastruktur, aktivitas manusia serta data tingkat kekeringan yang

diperoleh dari BMG juga dipadukan dengan data citra inderaja seperti

NOAA-AVHRR/NDVI Landsat TM dan ERS-2-SAR sebagai data

lanjutan. Sensor-sensor yang terdapat pada satelit tersebut memberikan

informasi yang sangat berguna untuk manajemen kebakaran seperti deteksi


222

kebakaran harian, pemetaan daerah yang terbakar, perbedaan vegetasi dan

bahan bakar api.

b. STOP konversi lahan sebelum dikeluarkannya peraturan yang secara

menyeluruh mampu menjamin dan mencegah terjadinya kebakaran hutan

dan lahan.

c. Melarang dengan tegas metode bakar dalam melakukan land clearing

d. Mencabut seluruh izin usaha bagi perusahaan-perusahaan yang terbukti

menggunakan metode bakar dalam proses land clearing

e. Memberlakukan hukuman bagi Penjahat lingkungan dengan proporsional

dengan melakukan pertimbangan terhadap sejumlah kerugian dan dampak

yang ditimbulkannya.

f. Menyusun Pedoman Pembukaan Lahan Tanpa Bakar yang sifatnya tegas,

jelas dan mudah dipahami secara awam.

g. Memberlakukan insetif ekonomi sebagai rangsangan kepada perusahaan

yang melakukan land clearing tanpa metode bakar.

h. Secepat mungkin menyusun sebuah rancangan undang-undang tentang

pencegahan, pemantauan dan penanggulangan kebakaran hutan, baik yang

berdiri sendiri maupun include dalam UU No. 41/99 (revisi).

2. ASPEK PEMANTAUAN

a. Adanya Sistem Peringatan Dini

Dengan adanya sistem ini semua daerah yang berpotensi besar dalam

kebakaran hutan dan lahan bisa mempersiapkan semua peralatan,

mensiagakan petugas dan lain sebagainya. Untuk sistem ini sangat berguna

untuk mengurangi resiko tingkat kebakaran dan melakukan pencegahan


223

yang tepat dengan mengetahui tingkat rawan kebakaran suatu lokasi dan

mengetahui tingkat bahaya kebakaran di suatu lokasi.

Sistem tingkat bahaya kebakaran akan mengatur informasi dan data-data

yang berhubungan dengan kebakaran secara spasial. Data-data yang

diinterpolasikan dimaksudkan untuk menghasilkan peta tingkat bahaya

kebakaran hutan dan lahan di suatu wilayah. Sedangkan untuk tingkat rawan

kebakaran hutan dan lahan ditujukan untuk memberikan gambaran tingkat

kerawanan suatu daerah terhadap kejadian kebakaran hutan dan lahan atas

dasar siklus musim dan kondisi tutupan lahan.

Sistem deteksi dini untuk kebakaran hutan dan lahan dapat dilakukan dengan

deteksi dari satelit cuaca Amerika NOAA, GMS-5, dan Pongi.

b. Mendorong masyarakat untuk mengawasi kinerja aparat dalam melakukan

pencegahan pemantauan dan penanggulangan kebakaran hutan sekaligus

dalam hal penegakan hukum terhadap kasus kebakaran.

3. ASPEK PENANGGULANGAN

a. Kelembagaan Penanggulangan Kebakaran.

Terjadinya kebakaran hutan dan lahan di areal HPH, HTI atau perkebunan

skala besar menjadi tanggung jawab masing-masing pihak pemilik konsesi

lahan. Sedangkan untuk penanganan kebakaran ditingkat propinsi menjadi

tanggung jawab pusdakarhutla daerah yang melibatkan instansi terkait.

Perlunya koordinasi antar instansi terkait agar penegkanhukum bagi

pembakaran hutan tidak menjadi permasalahan yang terpisah-pisah sehingga

tidak terdapat lagi saling lempar tanggung jawab. Dalamhal kelembagaan ini
224

juga Gubernur Propinsi Riau mengaluarkan SK dengan No. KPTS

25/V/2000 tentang Pembentukan Pusat Pengendalian Kebakaran Hutan dan

Lahan di Propinsi Riau kemudian pada bulan Juni kembali mengeluarkan

keputusan tentang Pembentukan Tim Terpadu Kerjasama Pengelolaan

Lingkungan Hidup.

b. Menata Ulang PUSDAKARHUTLA, utamanya agar rantai birokrasi

pemantauan dan pelaporan kebakaran hutan tidak terlalu panjang sehingga

menyulitkan aspek penanggulangan itu sendiri (tidak menunggu instruksi

atasan saja).

Untuk bidang pemantauan yang selama ini berada di tangan Dinas

Kehutanan lebih baik dikelola langsung oleh Bapedalda dan Bapedal

Regional sehingga dapat mengontribusikan kepada semua pihak tentang

deteksi dini dan peringatan dini kebakaran hutan dan lahan. Sedangkan

untuk bidang Pencegahan dan Penanggulangan dapat diserahkan pada Dinas

Kehutanan sehingga dapat mengembangkan sistem dan jenis pelatihan,

pencegahan dan pemadaman kebakaran hutan dan lahan sampai dengan

tingkat daerah. Serta perlunya pengembangan mobilisasi potensi sumber

daya baik personil regu pemadam kebakaran maupun sarana dan prasarana.

c. Mewajibkan setiap perusahaan untuk membangun sumur artesis dan

peralatan pemadam kebakaran di lahan konsesi yang dianggap potensial

terjadi kebakaran dengan menyertakan aspek pemeliharaan bersama

masyarakat (bila ada dan berdekatan).


225

d. Mempersiapkan dan menyempurnakan pedoman teknis pemadaman

kebakaran dengan mengikutsertakan masyarakat di dan sekitar hutan sebagai

mitra sejajar.

e. Membangun pusat kebakaran hutan dan lahan propinsi dan lokal yang

berisikan: pengadaan gudang dan drasi, pelatihan peralatan, distribusi

peralatan dan kendaraan pemadam kebakaran hutan, peralatan komunikasi,

komputer dengan sistem e-mail dan internet.

Hal yang tidak kalah pentingnya kenapa kebakaran hutan dan lahan ini

selalu terulang karena minimnya anggaran dana untuk mengatasi kebakaran

dan dampak yang terjadi bagi masyarakat.


226

DAFTAR PUSTAKA

Basyar. A.H., 1999. Perkebunan Besar Kelapa Sawit : Blunder Ketiga Kebijakan
Sektor Kehutanan, E-LAW Indonesia dan CePAS, Jakarta.

Ginting , L., 1999. Kebakaran Hutan Indonesia, Dokumen Siaran Pers.

Mackinnon, K., 1996. The Ecology of Kalimantan, Indonesian Borneo. The


Ecology of Indonesia Series, Volume III, Periplus Editions Ltd.
Singapore.

Siscawaty, M., 1999. Oil Palm Plantation ini Indonesia: Continued Stage of
Deforestation, Environmental Problems and Social Destruction. Makalah
dalam acara Public Lecture di Jepang.

Sentosa, M. A., 2000. Salah Niat Hukum dan Kebijakan ,Buletin Informasi
Hukum dan Advokasi Lingkungan, 3 (6): 38.

Weating, J., 2006. Penghancuran Hutan Tropis Sumatera DilanjutkanTanpa


Ampun, Laporan Aktivis Robinwood dari kunjungan kelapangan
Sumatera , Bremen . www.Preses@robinwood.de.

Tangketasik, 1999. What Is Know ( and Not Know ) About The Ecological
Impact of The 1997- 1998 Fire, Http // pdf.wri.org/ trial by fire-
apenndik-6. pdf.

Sumanda, 2004. Asap Bencana Ritual Tahunan Riau, Walhi, Jakarta.

Sudrajat, A., 2006. Suara Berita dan Liputan ―SURILI‖. Dinas Kehutanan
Provinsi Jawa Barat, No. 2 vol. 34.
227

KEBAKARAN LAHAN GAMBUT DAN


DAMPAK LINGKUNGAN

OLEH :

IRMA LAILA

PROGRAM STUDI ILMU LINGKUNGAN


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
2006
228

I. PENDAHULUAN

Luas lahan basah tropis (termasuk gambut) di Sumatra diperkirakan 6,3

juta hektar atau 33 % dari total lahan basah di Indonesia (Reppprot, 1990). Lahan

gambut adalah komponen penting dari siklus karbon global, juga mempunyai

peran penting dalam fungsi hidrologi, penting sebagai daerah tangkapan air,

sistem kontrol, pengatur fluktuasi air, pencegah banjir dan pencegah terjadinya

penggaraman air (Saline Water Intrusion) (Rieley et al, 1997). Disamping itu

lahan air tawar Indonesia merupakan tempat yang baik untuk beranak ikan dan

merupakan penghasil ikan baik untuk konsumsi domestik maupun ekspor (Giesen

dan Sukotjo, 1991, Mac Kinnon et al, 1996).

Lahan gambut juga penting bagi masyarakat dan berfungsi sebagai mata

pencaharian. Penting karena lahan basah menyediakan sumberdaya yang

digunakan secara langsung antara lain kayu kontruksi, bahan baku untuk

anyaman, tanaman herba untuk konsumsi obat-obatan dan ikan sebagai sumber

protein. Lahan gambut untuk saat ini menjadi perhatian penting dalam rencana

pembangunan daerah. Di Sumatra, pembangunan di lahan gambut mencakup

kegiatan pembalakan kayu komersil, kontruksi kanal dan drainase, pertanian,

perkebunan dan pemukimam transmigrasi. Degradasi hutan dan lahan gambut

meningkatnya tekananan penduduk dan aksesibilitas adalah hasil dari

meningkatnya aktivitas manusia di lahan gambut tersebut. Kegiatan-kegiatan

tersebut antara lain perikanan, ekstraksi kayu dan penanaman padi rawa yang

dilakukan oleh penduduk yang sudah menetap lama maupun kaum pendatang

(www.walhi.or.id).
229

Penggunaan api yang tak terkontrol, timbulnya kebakaran dan

penyebarannya berkaitan dengan sebagian besar dari kegiatan-kegiatan

pengembangan di lahan gambut. Hal tersebut telah menimbulkan kebakaran

disebagian besar areal lahan gambut dalam dua dekade terakhir ini. Peningkatan

kebakaran juga berkaitan dengan El Nino yang memberikan kontribusi dalam

peningkatan luasan dan penyebaran kebakaran. Kebakaran yang berulang-ulang

telah menjadi salah satu ancaman terbesar bagi konversi lahan gambut,

pemanfaatan yang lestari dan pemulihan areal yang yang telah rusak di Indonesia.

Kebakaran tersebut disebabkan oleh meluasnya kerusakan hutan (Deforestasi) di

lahan gambut, perubahan sumberdaya dan perubahan adaptasi dalam kehidupan.

Kebakaran di areal rawa gambut juga menyebabkan timbulnya masalah gangguan

asap, kesehatan dan jarak pandang di wilayah Asia Tenggara. Diduga pada

kebakaran tahun 1997 El Nino di Indonesia antara 0,81 sampai 2,57 Gt Karbon

dilepas ke atmosfer sebagai akibat dari pembakaran gambut dan vegetasi. Jumlah

ini setara dengan 13-40 % dari global karbon emisi (Page et al, 2002). Lahan

gambut ini juga menyumbang 60 % dari produksi asap di Asia Tenggara

(ADB/BAPPENAS, 1999).

Penyebaran asap secara regional ini telah menjadi perhatian ASEAN

Ministrial Meeting kesembilan tentang HAZE (AMMH) yang membahas tentang

pengelolaan lahan basah terpadu serta mengurangi resiko kebakaran dalam

kaitannya dengan penyebaran asap secara regional.


230

II. SIFAT DAN PERANAN HUTAN LAHAN GAMBUT

Pondasi utama dari lahan gambut yang baik adalah air. Bila terjadi

pembukaan hutan gambut maka hal ini akan mempengaruhi unit hidrologinya.

Dengan sifat gambut yang seperti spons (menyerap air), maka pada saat pohon

ditebang dan lahannya dibuka, akan terjadi subsidensi sehingga tanah gambut

yang sifatnya hidropobik tidak akan dapat lagi menyerap air dan kemudian

mengering. Dalam proses ini, terjadilah pelepasan karbon dan sekaligus

mengakibatkan lahan gambut rentan terhadap kebakaran yang pada gilirannya

dapat menyumbangkan pelepasan emisi karbon lebih lanjut

(www.suarakarya.com).

Kementerian Lingkungan Hidup, memperkirakan lahan gambut di Riau

saja menyimpan kandungan karbon sebesar 14.605 juta ton. Bila pembukaan

lahan gambut dibiarkan apalagi diikuti dengan pembakaran hutan dan lahan, maka

dapat dibayangkan berapa banyak karbon yang terlepas ke atmosfer dan

pemanasan global ataupun perubahan iklim menjadi lebih cepat terjadi sekaligus

dampak ikutan seperti asap dan lainnya akan terus dirasakan oleh masyarakat

setiap tahunnya (www.walhi.or.id).

Hutan rawa gambut bernilai penting bagi keutuhan ekologi dan berfungsi

ekonomi, yaitu penyedia air tawar, keanekaragaman hayati, suplai kebutuhan

kayu, rotan, obat-obatan, dan berbagai jenis binatang buruan. Eksploitasi hutan

rawa gambut dilakukan pemerintah pada awal tahun 1970-an, terutama untuk

mengambil kayu-kayu komersial seperti ramin (Gonystylus bancanus), berbagai

jenis meranti (shorea, dipterocarpus, dan dryobalanops), dan beberapa jenis lain

yang laku di pasar. Hutan pada lahan gambut mempunyai peranan penting dalam
231

penyimpanan karbon (30% kapasitas penyimpanan karbon global dalam tanah)

dan moderasi iklim sekaligus memberikan manfaat keanekaragaman hayati,

pengatur tata air, dan pendukung kehidupan masyarakat (www.kompas.com).


232

III. KEBAKARAN LAHAN GAMBUT

3.1. Penyebab Kebakaran

Penyebab utama dari kebakaran hutan dan lahan adalah ulah manusia yang

menggunakan api dalam upaya pembukaan hutan dan lahan untuk hutan tanaman

industri/HTI, perkebunan, pertanian, dll. Selain itu, kebakaran diperparah akibat

meningkatnya pemanasan global itu - kemarau ekstrim, yang seringkali dikaitkan

dengan pengaruh iklim El Niño, memberikan kondisi ideal untuk terjadinya

kebakaran hutan dan lahan (www.beritabumi.or.id)

Kebakaran hutan lahan gambut berulang dengan berbagai tingkatan. Pada

tahun 2002 dan 2005, kebakaran hutan lahan gambut terjadi kembali dengan skala

yang cukup besar terutama diakibatkan oleh konversi hutan di lahan gambut. Dari

data yang terkumpul terhitung sejak 1997-98, rata-rata 80% kebakaran hutan dan

lahan terjadi di lahan gambut. Data yang dianalisis WWF-Indonesia menunjukkan

bahwa di Provinsi Kalimantan Tengah mayoritas kejadian kebakaran hutan dan

lahan pada tahun 2002-2003 terjadi di lahan gambut sedangkan di Provinsi Riau

dalam periode tahun 2001-2006, sekitar 67% hotspots (titik panas) terjadi di lahan

gambut (www.buletinfire.com).

Data terakhir berdasarkan pantauan koalisi LSM di Riau, Eyes on the

Forest (2006), antara 1-31 Juli 2006 terdapat 56% titik panas yang ditemukan di

Provinsi Riau, terdapat pada lahan gambut. Pada periode yang sama, hampir 30%

dari titik panas yang terdeteksi di Kalimantan Barat juga terdapat pada tanah

gambut (www.walhi.or.id).
233

3.2. Upaya Pencegahan Kebakaran Lahan Gambut

Selama ini, penanganan kebakaran hutan dan lahan gambut masih bersifat

reaktif dan tidak komprehensif. Dengan penanganan yang sifatnya sementara itu

sudah dapat dipastikan tidak akan dapat memecahkan persoalan utama yang

menyebabkan sekaligus memicu kebakaran hutan dan lahan yang terjadi selama

ini. Kesan yang muncul pada akhirnya adalah pemerintah hanya sibuk setelah

kebakaran hutan terjadi dan sayangnya itupun terjadi setelah mendapatkan protes

keras dari sejumlah negara tetangga. Sangat jelas kalau pemerintah tidak mau

belajar dari pengalaman bencana kebakaran yang terjadi pada akhir tahun 1997

yang menyebabkan terganggunya ekonomi, ekologi dan hubungan baik antar

negara.

Tetapi walaupun demikian Indonesia tetap berusaha secara maksimal

untuk mencegah dan menanggulangi terjadinya kebakaran di lahan gambut.

Berbagai upaya pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan

gambut telah dilakukan oleh pemerintah termasuk mengefektifkan upaya hukum.

Namun, tetap tidak membuahkan hasil yang optimal, tidak menyentuh kepada

akar permasalahan.

Dalam konteks kebijakan, pemerintah membentuklah Tim Yustisi

Nasional dengan tugas menyelesaikan perkara kebakaran hutan dan lahan gambut

dengan agenda utamanya mengindentifikasi keterlibatan perusahaan pemegang

Hak Pengusahaan Hutan, pengusaha Hutan Tanaman Industri dan pengusaha

Perkebunan. Beberapa diantara upaya yang dilakukan WWF dan Pemerintah

dalam mencegah upaya kebakaran lahan gambut (www.buletinfire.com) adalah :


234

 Pembukaan lahan gambut harus dihentikan dan semua lahan gambut harus

dilindungi dan dikelola secara seksama dengan memperhatikan tata hidrologi

secara makro dan potensi lepasnya emisi karbon ke atmosfer.

 Sektor swasta harus menerapkan praktek pengelolaan lestari dan bertanggung

jawab, termasuk meniadakan pembakaran lahan dan melindungi daerah-

daerah yang memiliki keanekaragaman hayati di sekitar konsesi mereka.

 Harus ada mekanisme terpadu untuk mengkoordinasi pencegahan dan

penanggulangan kebakaran hutan, mensinergikan dan menerapkan peraturan

terutama terkait perlindungan lingkungan.

 Masyarakat setempat harus diberdayakan oleh pemerintah dan sektor swasta

dalam pengelolaan lahan yang lestari, terutama membantu petani/pekebun

skala kecil dalam proses transfer ilmu dan teknologi untuk menerapkan

pembukaan lahan tanpa bakar.


235

IV. DAMPAK KEBAKARAN LAHAN GAMBUT

Sejumlah NGO dan Instansi pemerintah yang konsern terhadap kebakaran

hutan dan lahan gambut berkumpul untuk mencoba menyikapi lebih jauh dampak-

dampak yang ditimbulkan dari kebakaran hutan dan lahan gambut. Diantara

dampak-dampak yang ditimbulkan dari kebakaran lahan gambut Syumanda, 2003

(dalam www.walhi.or.id) adalah : 1). Dampak ekologis dan kerusakan

lingkungan, 2). Dampak sosial, budaya, ekonomi, 3). Dampak hubungan antar

negara, 4). Dampak terhadap perhubungan dan pariwisata.

4.1. Dampak Ekologis dan Kerusakan Lingkungan

 Hilangnya sejumlah spesies

Kebakaran bukan hanya meluluh lantakkan berjenis-jenis pohon namun juga

menghancurkan berbagai jenis habitat satwa lainnya. Umumnya satwa yang

ikut musnah ini akibat terperangkap oleh asap dan sulitnya jalan keluar karena

api telah mengepung dari segala penjuru.

 Ancaman erosi

Kebakaran yang terjadi di lereng-lereng pegunungan ataupun di dataran tinggi

akan memusnahkan sejumlah tanaman yang juga berfungsi menahan laju

tanah pada lapisan atas untuk tidak terjadi erosi. Pada saat hujan turun dan

ketika run off terjadi, ketiadaan akar tanah - akibat terbakar - sebagai pengikat

akan menyebabkan tanah ikut terbawa oleh hujan ke bawah yang pada

akhirnya potensial sekali menimbulkan bukan hanya erosi tetapi juga longsor.
236

 Perubahan fungsi pemanfaatan dan peruntukan lahan

Hutan sebelum terbakar secara otomatis memiliki banyak fungsi. Sebagai

catchment area, penyaring karbondioksida maupun sebagai mata rantai dari

suatu ekosistem yang lebih besar yang menjaga keseimbangan planet bumi.

Ketika hutan tersebut terbakar fungsi catchment area tersebut juga hilang dan

karbondioksida tidak lagi disaring namun melayang-layang diudara. Dalam

suatu ekosistem besar, panas matahari tidak dapat terserap dengan baik karena

hilangnya fungsi serapan dari hutan yang telah terbakar tersebut.

Hutan itu sendiri mengalami perubahan peruntukkan menjadi lahan-lahan

perkebunan dan kalaupun tidak maka ia akan menjadi padang ilalang yang

akan membutuhkan waktu lama untuk kembali pada fungsinya semula.

 Penurunan kualitas air

Kebakaran hutan memang tidak secara signifikan menyebabkan perubahan

kualitas air. Kualitas air yang berubah ini lebih diakibatkan faktor erosi yang

muncul di bagian hulu. Ketika air hujan tidak lagi memiliki penghalang dalam

menahan lajunya maka ia akan membawa seluruh butir tanah yang ada di

atasnya untuk masuk kedalam sungai-sungai yang ada. Akibatnya adalah

sungai menjadi sedikit keruh. Hal ini akan terus berulang apabila ada hujan di

atas gunung ataupun di hulu sungai sana.

 Terganggunya ekosistem terumbu karang

Terganggunya ekosistem terumbu karang lebih disebabkan faktor asap.

Tebalnya asap menyebabkan matahari sulit untuk menembus dalamnya lautan.


237

Pada akhirnya hal ini akan membuat terumbu karang dan beberapa spesies

lainnya menjadi sedikit terhalang untuk melakukan fotosintesa.

 Menurunnya devisa negara

Turunnya produktivitas secara otomatis mempengaruhi perekonomian mikro

yang pada akhirnya turut mempengaruhi pendapatan negara.

 Sedimentasi di aliran sungai

Tebalnya lumpur yang terbawa erosi akan mengalami pengendapan di

bagian hilir sungai. Ancaman yang muncul adalah meluapnya sungai

bersangkutan akibat erosis yang terus menerus.

4.2.Dampak Sosial, Budaya dan Ekonomi

 Hilangnya sejumlah mata pencaharian masyarakat di dan sekitar hutan

Sejumlah masyarakat yang selama ini menggantungkan hidupnya dari hasil

hutan tidak mampu melakukan aktivitasnya. Asap yang ditimbulkan dari

kebakaran tersebut sedikit banyak mengganggu aktivitasnya yang secara

otomatis juga ikut mempengaruhi penghasilannya. Setelah kebakaran usaipun

dipastikan bahwa masyarakat kehilangan sejumlah areal dimana ia biasa

mengambil hasil hutan tersebut seperti rotan, karet dsb.

 Terganggunya aktivitas sehari-hari

Adanya gangguan asap secara otomatis juga mengganggu aktivitas yang

dilakukan manusia sehari-hari. Misalnya pada pagi hari sebagian orang tidak

dapat melaksanakan aktivitasnya karena sulitnya sinar matahari menembus


238

udara yang penuh dengan asap. Demikian pula terhadap banyak aktivoitas

yang menuntut manusia untuk berada di luar ruangan. Adanya gangguan asap

akan mengurangi intensitas dirinya untuk berada di luar ruangan.

 Peningkatan jumlah Hama

Sejumlah spesies yang potensial untuk menjadi hama tersebut selama ini

berada di hutan dan melakukan interaksi dengan lingkungannya membentuk

rantai kehidupan. Kebakaran yang terjadi justru memaksanya terlempar dari

rantai ekosistem tersebut. Dan dalam beberapa kasus ‗ia‘ masuk dalam

komunitas manusia dan berubah fungsi menjadi hama dengan merusak proses

produksi manusia yang ia tumpangi atau dilaluinya.

 Terganggunya kesehatan

Peningkatan jumlah asap secara signifikan menjadi penyebab utama

munculnya penyakit ISPA atau Infeksi Saluran Pernafasan. Gejalanya bisa

ditandai dengan rasa sesak di dada dan mata agak berair.

 Produktivitas menurun

Munculnya asap juga menghalangi produktivitas manusia. Walaupun kita bisa

keluar dengan menggunakan masker tetapi sinar matahari dipagi hari tidak

mampu menembus ketebalan asap yang ada. Secara otomatis waktu kerja

seseorangpun berkurang karena ia harus menunggu sedikit lama agar matahari

mampu memberikan sinar terangnya.


239

4.3. Dampak Hubungan Antar Negara

Asap yang ditimbulkan dari kebakaran tersebut sayangnya tidak mengenal

batas administratif. Asap tersebut justru terbawa angin ke negara tetangga

sehingga sebagian negara tetangga ikut menghirup asap yang ditimbulkan dari

kebakaran di negara Indonesia. Akibatnya adalah hubungan antara negara menjadi

terganggu dengan munculnya protes keras dari Malaysia dan Singapura kepada

Indonesia agar kita bisa secepatnya melokalisir kebakaran hutan dan lahan ganbut

agar asap yang ditimbulkannya tidak semakin tebal.

4.4. Dampak Perhubungan dan Pariwisata

Tebalnya asap juga mengganggu transportasi udara. Sering sekali

terdengar sebuah pesawat tidak bisa turun di satu tempat karena tebalnya asap

yang melingkungi tempat tersebut. Sudah tentu hal ini akan mengganggu bisnis

pariwisata karena keengganan orang untuk berada di temapt yang dipenuhi asap.
240

V. PENANGGULANGAN KEBAKARAN

Berbagai upaya pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan dan

lahan gambut telah dilakukan, termasuk mengefektifkan upaya hukum. Namun,

tetap tidak membuahkan hasil yang optimal, tidak menyentuh kepada akar

permasalahan. Gerakan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan yang

dicanangkan tiap Provinsi cenderung hanya kegiatan yang bersifat simbolik.

Kebakaran hutan dan lahan masih dan terus terjadi bahkan sebarannya semakin

meluas. Kebakaran cukup besar terjadi pada tahun 1987, 1991, 1994, 1997 hingga

2004 pada musim kemarau (www.suara karya, 2004).

Hingga saat ini tidak ada satupun tindakan hukum yang diambil oleh

pemerintah berkaitan dengan praktek yang merugikan ini. Terkait dengan hal

tersebut, WALHI (dalam www.walhi.or.id) dalam waktu dekat akan meminta

hearing kepada DPR RI terkait dengan kebijakan yang mengatur tentang tanggung

jawab perusahaan terhadap konsesi miliknya apabila terjadi kebakaran hutan.

Menjadi penting untuk mengeluarkan satu kebijakan yang menyebutkan bahwa

pelaku bisnis harus bertanggung jawab dan diberikan sanksi apabila terjadi

kebakaran di konsesi miliknya. Direktur Eksekutif Nasional WALHI, Chalid

Muhammad, menyebutkan bahwa kebijakan ini sangat sangat dibutuhkan

mengingat tren yang berkembang pada saat ini antara pemerintah dan perusahaan

selalu saling menyalahkan bila terjadi kebakaran. Ujung-ujungnya petani

tradisionallah yang menjadi kambing hitamnya.

Chalid juga menambahkan bahwa hanya dengan cara demikianlah jumlah

titik api di negeri ini bisa dikurangi. ‖Pelaku bisnis harus bertanggung jawab

apabila terjadi kebakaran dikonsesinya. Tidak peduli siapa yang melakukan


241

pembakaran, mereka harus menunjukkan itikad baik dan kemampuan yang

dimilikinya untuk menjaga konsesinya sendiri‖.

WALHI (www.walhi.or.id) sendiri menilai bahwa UU Perkebunan No.

18/2004 yang meskipun memuat sanksi namun amat sulit diimplementasikan

mengingat proses hukumnya masih menggunakan KUHP yang mensyaratkan

keberadaan barang bukti, seperti korek, bensin, saksi mata, dsb. Untuk kebakaran

yang terjadi pada satu kawasan yang cukup luas, menemukan bukti materiil

tersebut sama halnya dengan mencari jarum di atas tumpukan jerami.

Menyadari kondisi dan perkembangan sumberdaya hutan saat ini,

Departemen Kehutanan sejak tahun 2002 sampai dengan 10 – 20 tahun kedepan

mencanangkan konsep pembangunanan kehutanan yang diarahkan pada

upaya-upaya rehabilitasi dan konservasi sumberdaya hutan. Sebagai

pelaksanaan dari konsep tersebut Menteri Kehutanan melalui Surat Keputusan No.

7501/Kpts-II/2002 tanggal 7 Agustus 2002 menetapkan pengendalian kebakaran

hutan sebagai salah satu dari 5 kebijakan prioritas bidang kehutanan dalam

Program Pembangunan Nasional yang harus segera dilaksanakan. Tujuan dari

kebijakan tersebut adalah terkendalikannya kebakaran lahan dan hutan serta

mewujudkan kondisi masyarakat yang terlindungi dari berbagai dampak akibat

kebakaran tesebut (www.republika.com).

Selanjutnya Kebijakan Pengendalian Kebakaran Hutan tersebut dijabarkan

kedalam 3 kebijakan pokok pengendalian kebakaran hutan, yaitu:

1. Kebijakan Kelembagaan, Kebijakan Operasional (mencakup 3 aspek utama:


pencegahan, pemadaman dan penanganan dampak kebakaran)
2. Kebijakan Peningkatan Peranserta, dan

3. Pemberdayaan Masyarakat.
242

DAFTAR PUSTAKA

ADB (Asian Development Bank)/BAPPENAS (National Development Planning


Agency). 1999. Causes, Extent, Impact and Cost of 1997/1998 Fires and
Drought. Final Report, Annex 1 dan 2 : Planning for Fire Prevention and
Drought Management Project. Asian Development Bank Fortech, Pusat
Pengembangan Agribisnis, Margules Poyry, Jakarta.

Giesen, W. and Sukotjo, 1991. Conservation and Management of The Ogan


Komering and Lebaks South Sumatra. PHPA/AWB Sumatra Wetland
Project Report No. 8, Bogor. 66 p.

Mac Kinnon, K. G.G, Hatta, H. Halim and A. Mangalik, 1996. The Ecology of
Kalimantan Volume III. Periplus Edition. Singapore.

Page, S.E. F. Siegert. , J.O Rieley. , H-D. Boehm. V. A Jaya and S.H. Limin 2002.
The Amount of Carbon Release from Peat and Forest Fires Indonesia
During 1997. Nature 420 : 61-65.

Repprot, 1990. The Land Resources of Indonesia: a National Overview. Land


Resources Departement, Natural Resources Institute, Overseas
Development Administration, London UK and Direktorat Bina
Program,Direktorat Jendral, Penyiapan Pemukiman, Departemen
Transmigrasi, Jakarta. 282 p.

Rieley, J. O. S.E. Page, S. H. Limin and S. Winarti, 1997. The Peatland Resource
of Indonesia and The KalimantanPeat Sawmp Forest Research Project.
(Eds) Biodiversity and Sustainability of Tropical Peatlands, Cardigan,
UK. 37-44 p.

www.buletinfire.or.id

www.kompas.com, 2003. Mengapa Hutan dan Lahan di Bakar

www.republika.com.

www.suarakarya.com.

http://www.walhi.or.id/ kampanye/psda/041004_lhkalsel_li/
243

MANFAAT JASA LINGKUNGAN HUTAN TROPIS

OLEH :

MUKHAMADUN

PROGRAM STUDI ILMU LINGKUNGAN


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
2006
244

I. PENDAHULUAN

Wilayah Nusantara Indonesia merupakan salah satu pusat asal-usul flora

dan fauna yang sangat tinggi keragamannya, terbagi ke dalam dua kelompok

besar, yaitu : bagian di sekitar kepulauan Sunda Besar dan Semenanjung Malaya,

serta bagian di sekitar Irian dan kepulauan di sekitarnya. Banyaknya tanaman

tingkat tinggi termasuk paku-pakuan diperkirakan lebih dari 45.000 jenis

(spesies) (Suhendang, 2002). Di Indonesia menurut data Bappenas (1993) dengan

luas daratan yang hanya 1,3 % dari luas daratan dunia, terdapat 10 % tumbuhan

berbunga, 12 % mamalia, 16 % reptilia dan amfibia, 25 % jenis ikan, dan 17 %

jenis burung, seluruhnya dihitung terhadap jumlah jenis masing-masing flora dan

fauna tersebut di seluruh dunia.

Namun, McNeely (1992) menyatakan bahwa perangsang ekonomi ternyata

jauh lebih condong mengakibatkan eksploitasi sumberdaya hayati daripada

melestarikannya. Di sebagian besar daerah tropik, pembukaan kawasan hutan

ditunjang oleh perangsang-perangsang ekonomi cukup kuat. Akibat eksplotasi

yang relatif tidak terkendali, terjadilah kerusakan sumberdaya alam dan

lingkungan di berbagai belahan di muka bumi ini.

Beberapa tahun terakhir ini penjarahan hutan atau penebangan liar di

kawasan hutan makin marak terjadi dimana-mana seakan-akan tidak terkendali.

Ancaman kerusakan hutan ini jelas akan menimbulkan dampak negatif yang luar

biasa besarnya karena adanya efek domino dari hilangnya hutan, terutama pada

kawasan-kawasan yang mempunyai nilai fungsi ekologis dan biodiversitas besar.

Badan Planologi Departemen Kehutanan melalui citra satelit menunjukkan luas

lahan yang masih berhutan atau yang masih ditutupi pepohonan di Pulau Jawa
245

tahun 1999/2000 hanya tinggal 19 persen saja, sementara di Sumatera hutan juga

semakin terdegradasi (www.dephut.go.id). Padahal menurut UU 41/1999 tentang

Kehutanan pasal 18 dan penjelasannya, dinyatakan luas kawasan hutan dalam

setiap DAS dan atau pulau minimal 30 % dari luas daratan.

Kawasan hutan yang terdegradasi sebagian besar merupakan wilayah

tangkapan air pada daerah aliran sungai (DAS). Akibat dari kejadian ini tidak saja

hilangnya suatu kawasan hutan yang tadinya dapat mendukung kehidupan

manusia dalam berbagai aspek misal kebutuhan akan air, oksigen, kenyamanan

(iklim mikro), keindahan (wisata), penghasilan (hasil hutan non kayu dan kayu),

penyerapan carbon (carbon sink), pangan dan obat-obatan akan tetapi juga

hilanglah biodiversity titipan generasi mendatang.

Di dunia internasional, saat ini telah berkembang trend baru penghargaan

terhadap hutan, melalui perdagangan karbon (CO2). Perdagangan karbon diawali

dengan disepakatinya Kyoto Protocol bahwa Negara-negara penghasil emisi

karbon harus menurunkan tingkat emisinya dengan menerapkan teknologi tinggi

dan juga menyalurkan dana kepada negara-negara yang memiliki potensi

sumberdaya alam untuk mampu menyerap emisi karbon secara alami misalnya

melalui vegetasi (hutan). Indonesia dengan luas hutan tersebar ketiga di dunia,

bisa berperan penting untuk mengurangi emisi dunia melalui carbon sink. Hal ini

bisa terjadi jika hutan yang ada dijaga kelestariannya dan melakukan penanaman

(reboisasai dan penghijauan). Serta melakukan perbaikan kawasan hutan yang

rusak (degraded forest) dengan cara penghutanan kembali (reforestasi).

Oleh karena itu cara pandang terhadap nilai sumberdaya hutan harus

diubah. Nilai hutan tidak hanya dilihat dari nilai langsung seperti kayu. Kesalahan
246

paradigmatik ini sering membuat kita undervalue terhadap hutan, sehingga

eksploitasi pohon-pohon dalam hutan dilakukan terus menerus. Padahal aktifitas

eksplotasi ini, tidak saja merugikan dari aspek ekologis, namun juga sangat rugi

ditinjau dari aspek ekonomis. Nilai ekonomi sumber daya hutan juga meliputi

manfaat tidak langsung (intangible), seperti manfaat jasa lingkungan. Menurut

Kepmenhut No. 348/Kpts-II/1997 tentang Perubahan Kepmenhut No. 446/Kpts-

II/1996 tentang Tata Cara Permohonan, Pemberian dan Pencabutan Ijin

Pengusahaan Pariwisata Alam, pengertian jasa lingkungan adalah produk sumber

daya alam hayati dan ekosistemnya (SDAHE) yang berupa manfaat langsung

(tangible) dan/atau manfaat tidak langsung (intangible), yang meliputi antara lain

jasa wisata alam,/rekreasi, jasa perlindungan tata air/hidrologi, kesuburan tanah,

pengendalian erosi dan banjir, keindahan, keunikan, penyerapan dan penyimpanan

karbon (carbon offset).

Letak geografis, luas dan karakteristik bio-fisik hutan tropis Indonesia

yang sangat beragam merupakan keunggulan komparatif (Comparative

advantage) tersendiri dalam hal potensi jasa lingkungan, sehingga apabila jasa

lingkungan ini dikelola secara baik akan memberikan nilai ekonomi kuantitatif

maupun manfaat atau kepuasan kepada konsumen jasa lingkungan.

Dengan demikian diharapkan aktivitas eksplotasi sumberdaya hutan tidak

semata-mata atas pertimbangan kepentingan ekonomi sesaat saja. Akan tetapi juga

harus mempertimbangkan aspek ekologi dan dikelola secara terpadu dan

berkelanjutan. Sehingga visi kelestarian hutan dan kesejahteraan masyarakat dapat

terwujud.
247

II. HUTAN TROPIS

2.1. Letak, Sifat dan Karakteristik

Hutan tropis khususnya tropis basah menurut Purwanto (2001) berada di

sekitar garis peredaran matahari (ekuator), yaitu antara 23°dan 30º LU (Tropic of

Cancer) sampai dengan 23° dan 30º (tropic of Capricorn). Ada lebih dari 60

negara yang memiliki hutan tropis basah di wilayah ini. Luas hutan tropis basah

diperkirakan sekitar 10 % dari permukaan bumi dan sekitar 30 % dari seluruh

lahan berhutan. Sekitar 2/3 dari hutan tropis basah merupakan hutan hujan tropis

(tropical rain forest). Istilah tropical rain forest pertama kali diperkenalkan oleh

ahli botani Jerman bernama A.F.W. Schimper pada tahun 1898 dalam bukunya

yang pada thun 1903 diterjemahkan dalam bahasa Inggris berjudul ‖Plant

geography upon an ecological basis” .

Lebih lanjut Purwanto (2001) menjelaskan hutan hujan tropis dapat

dikelompokkan kedalam tiga kelompok besar , yaitu hutan hujan tropis blok

Amerika, blok Afrika, dan blok Indo-malaya. Sekitar 90 % dari hutan topis basah

Indonesia merupaka hutan hujan tropis. Indonesia merupakan kawasan hutan

hujan tropis terluas di dunia urutan ketiga setelah Brazil dan Zaire.Hutan hujan

tropis Indonesia memiliki kekayaan jenis tertinggi di dunia. Hutan hujan tropis

Indonesia merupakan habitat dari 10 % spesies tumbuhan berbunga yang ada di

dunia, 12 % binatang mamalia, 17 % burung, 25 % ikan, 15 % serangga.Oleh

karena itu, Indonesia dikenal sebagai salahsatu negara yang memiliki mega

biodiversity spesies hayati dan merupakan mega center keanekaragaman hayati

dunia.
248

Daratan Indonesia dengan luas ± 189,15 juta hektar memiliki kawasan

hutan 143,57 juta hektar atau sekitar 76 % dari keseluruhan luas total wilayah

daratan (Mulyana, 2005). Sesuai dengan letak serta karakteristik iklim, hutan alam

di Indonesia termasuk ke dalam kategori hutan hujan tropis (Whitmore, 1975).

Menurut Richard (1964, dalam Mulyana, 2005) hutan hujan tropis (tropical rain

forest) didefinisikan sebagai hutan yang selalu hijau, tidak pernah menggugurkan

daun, tinggi bisa mencapai lebih dari 30 meter, bersifat higrofil, serta banyak

terdapat liana berbatang tebal dan epifit berkayu maupun bersifat herba.

Karakteristik umum sekaligus keunggulan yang dimiliki hutan hujan tropis

adalah (1) keanekaragaman (diversitas) yang tinggi, (2) lingkungan yang konstan

atau sedikitnya perubahan musim dan (3) siklus hara tertutup. Purwanto (2001)

menambahkan ciri utara hutan hujan tropis yaitu melimpahnya sinar matahari

(tropics) dan tingginya kelembaban udara (humid). Posisi geografis wilayahnya

menjadi sebab utama tingginya limpahan curah hujan, hal ini secara umum bisa

dijelaskan melalui dua mekanisme pergerakan udara dan uap air sebagai berikur,

pertama : tingginya kelembaban udara dan intensitas radiasi matahari

menyebabkan terangkatnya udara lembab dan panas yang kemudian membentuk

menara awan panas (hot towers) cumulo nimbus yang merupakan sumber curah

hujan tipe konvektif dan orografik. Kedua, wilayah ini merupakan pertemuan dua

arus angin (trade wind) dari wilayah sub tropika (30º- 40º LU/LS), yaitu arus

angin timur laut yang berasal dari belahan bumi utara dan arus angin tenggara

yang berasal dari belahan bumi selatan yang banyak membawa uap air. Wilayah

ini rata-rata mendapat curahan hujan 1800 hingga 4000 mm per tahun, musim

kemarau atau bulan kering dalam kondisi normal tidak lebih dari empat bulan.
249

Dampak dari karakteristik iklim hujan tropis menyebabkan proses

dekomposisi dann proses mineralisasi berjalan cepat. Disisi lain, besarnya curah

hujan berakibat pada tingginya proses pencucian (leaching). Sehingga kondisi

tanah di kawasan hutan hujan tropis bersifat miskin akan unsur hara.

Selain karakteristik hutan hujan tropis yang dipengaruhi oleh unsur-unsur

abiotik, seperti iklim dan sifat kimia tanah, hutan hujan tropis juga memiliki

karakteristik yang bersumber dari unsur-unsur biotik, yaitu struktur dan komposisi

hutan. Struktur suatu vegetasi didefinisikan oleh Mulyana (2005) sebagai

organisasi dalam ruang, tegakan, tipe vegetasi atau asosiasi tumbuhan dengan

unsur utamanya adalah bentuk pertumbuhan, stratifikasi dan penutupan tumbuhan.

Lebih jauh struktur vegetasi hutan dapat dibagi menjadi tiga komponen, yaitu (1)

struktur vertikal yakni stratifikasi berdasarkan tajuk, (2) struktur horisontal yakni

stratifikasi berdasarkan persebaran spasial individu suatu jenis dalam populasi,

dan (3) kelimpahan jenis. Disamping ketiga komponen tersebut, masih terdapat

struktur dalam satuan waktu, yaitu (suksesi) dan (2) klimaks, yang hanya

dipusatkan pada stuktur spasial yang merupakan struktur yang berhubungan

dengan waktu.

Hutan hujan tropis di Indonesia umumnya berada di dataran rendah

dengan ciri umum didominasi oleh jenis-jenis pohon yang termasuk suku

Diphteocarpaceae. Jenis-jenis tersebut merupakan pohon-pohon besar pembentuk

lapisan tajuk atas, sedangkan jenis lain umumnya mendominasi lapisan tajuk

dibawahnya. Pada distribusi horisontal biasanya jenis-jenis Diphterocarpacea

mempunyai distribusi mengelompok, sedangkan jenis-jenis non

Diphterocarpaceae memiliki distribusi random.


250

2.2. Kondisi Hutan Tropis Indonesia

Kawasan hutan hujan tropis Indonesia yang dikenal memiliki kekayaan

keanekaragaman hayati berlimpah itu kondisinya cukup memprihatinkan. Selama

tiga dekade terakir ini telah memberikan kontribusi secara signifikan dalam

pertumbuhan ekonomi dan pembangunan nasional. Namun demikian

pemanfaatan hutan yang berlebihan dan konversi hutan untuk kepentingan lain

mengakibatkan berbagai permasalahan lingkungan, ekonomi dan social

(www.dephut.go.id).

Menurut Purwanto (2001) deforestasi bukan hanya fenomana beberapa

tahun terakhir saja, namun penebangan hutan hujan tropis di Jawa telah dilakukan

sejak jaman penjajahan Belanda. Namun, deforestasi yang dilakukan secara besar-

besaran dengan peralatan berat, mekanis, canggih dan mampu membabat hutan

secara cepat dalam waktu yang relatif singkat, memang benar dimulai sejak tahun

1970-an, setelah adanya sistem Hak Pengusahaan Hutan. Laju degradasi hutan

hingga kini mencapai 1,7 – 2,5 juta hektar/tahun.

Kondisi tersebut di atas tidak jauh berbeda dengan kondisi kawasan hutan

di Riau. Menurut data dari Dinas Kehutanan Provinsi Riau (2004) berdasarkan

hasil interpretasi citra satelit liputan tahun 2002, luas kawasan hutan yang rusak

dan menjadi lahan kritis di Provinsi Riau (termasuk Provinsi Kepulauan Riau)

mencapai 1,4 juta hektar. Sedangkan luas lahan kritis di luar kawasan hutan

mencapai 2,2 juta hektar.

Penyebab kerusakan hutan tersebut sangat kompleks mulai dari kesalahan

pengaturan fungsi lahan dalam tata ruang, lemahnya peraturan dan penegakan

hukum, pengendalian terhadap operasionalis sistem konsesi hutan, perladangan


251

berpindah, konversi hutan, perambahan (okupasi), kebakaran hutan, lemahnya

kesadaran dan perhatian terhadap ekosistem DAS, kurangnya upaya reboisasi oleh

pemerintah dan pengguna hutan lainnya serta maraknya praktek illegal logging

pada akhir-akhir ini. Harian Kompas (3/1/2007) melaporkan bahwa hutan alam di

Riau tinggal 5 persen. Padahal menurut UU 41/1999 tentang Kehutanan pasal 18

dan penjelasannya, dinyatakan luas kawasan hutan dalam setiap DAS dan atau

pulau minimal 30 % dari luas daratan.

Sementara itu situs (www.sekitarkita.com) melaporkan di provinsi Riau

terdapat suatu hutan tropis dataran rendah yang setelah diteliti ternyata merupakan

hutan terkaya di dunia. Hutan itu yang diberi nama Tesso Nilo itu, sudah lama

menjadi perhatian para peneliti dari WWF (The Worldwide Fund for Nature).

Menurut mereka, Tesso Nilo menyimpan kekayaan berupa keanekaragaman flora

yang luar biasa. Berukuran 1600 km persegi, di Tesso Nilo setiap 200 meter

persegi areanya bisa ditemukan 214 spesies tanaman vaskular, yaitu tanaman

memiliki sejenis pembuluh untuk menyebarkan sari-sari makanan.

Jumlah ini nyaris dua kali lipat lebih banyak dibandingkan jumlah 114

spesies yang pernah tercatat menggunakan metode penelitian yang sama di hutan-

hutan tropis lainnya di dunia. Juga lebih banyak dari yang terdapat di negara-

negara tropis lainnya yang memiliki kekayaan hayati seperti Brasilia, Kamerun,

Malaysia, Papua Nugini, Peru dan Thailand, demikian menurut WWF dalam

laporannya yang dikeluarkan tanggal 4 Februari 2002 yang lalu. Sebagaimana

diketahui, hutan hujan tropis merupakan tempat di dunia ini yang paling memiliki

kekayaan aneka ragam flora dan fauna. Di antara hutan- hutan tropis itu, Tesso

Nilo yang terkaya. Singkat kata, tidak ada hutan dataran rendah lainnya sepanjang
252

pengetahuan yang mendekati kekayaan aneka ragam hayati di Tesso Nilo, yang

juga merupakan tempat tinggal bagi bermacam satwa liar seperti gajah, kera besar,

kucing hutan dan tapir.‖ Kata WWF yang mengadakan penelitian ini bersama

dengan Centre for Biodiversity Management, Australia (www.sekitarkita.com).

Sayangnya hutan yang bisa menjadi kebanggaan bagi Indonesia ini

terancam punah karena penebangan kayu liar dan penebangan kayu berskala besar

yang hanya memikirkan keuntungan para kapitalis semata. Baik penebang kayu

liar maupun perusahaan perkayuan dan kertas menebang hutan hanya untuk

diambil kayunya tanpa memperdulikan bahwa di sekitar hutan tersebut terdapat

banyak keanekaragaman hayati yang luar biasa. Tesso Nilo merupakan salah satu

hutan tropis yang tersisa di Sumatera yang amat terancam punah sehingga Bank

Dunia memperkirakan bahwa hutan tersebut akan habis sama sekali pada tahun

2005. Andrew Gillison, salah seorang penulis laporan WWF tersebut malah

memperkirakan bahwa Tesso Nilo dapat hilang dalam waktu 3 tahun.


253

III. PERAN PENTING HUTAN TROPIS

Adapun beberapa manfaat hutan tropis sebagai penyedia jasa lingkungan

adalah sebagai berikut :

3.1. Peran Hutan Tropis dalam Pengendalian Daur Air

Hutan dengan penyebarannya yang luas, dengan struktur dan

komposisinya yang beragam diharapkan mampu menyediakan manfaat

lingkungan yang amat besar bagi kehidupan manusia antara lain jasa peredaman

terhadap banjir, erosi dan sedimentasi serta jasa pengendalian daur air. Menurut

Suryatmojo (2004) Peran hutan dalam pengendalian daur air dapat dikelompokkan

sebagai berikut :

1. Sebagai pengurang atau pembuang cadangan air di bumi melalui proses :

a. Evapotranspirasi

b. Pemakaian air konsumtif untuk pembentukan jaringan tubuh vegetasi.

2. Menambah titik-titik air di atmosfer.

3. Sebagai penghalang untuk sampainya air di bumi melalui proses intersepsi.

4. Sebagai pengurang atau peredam energi kinetik aliran air lewat :

a. Tahanan permukaan dari bagian batang di permukaan

b. Tahanan aliran air permukaan karena adanya seresah di permukaan.

5. Sebagai pendorong ke arah perbaikan kemampuan watak fisik tanah untuk

memasukkan air lewat sistem perakaran, penambahan bahan organik ataupun

adanya kenaikan kegiatan biologik di dalam tanah.

Semua peran vegetasi tersebut bersifat dinamik yang akan berubah dari

musim ke musim maupun dari tahun ke tahun. Dalam keadaan hutan yang telah
254

mantap, perubahan peran hutan mungkin hanya nampak secara musiman, sesuai

dengan pola sebaran hujannya.

Peran hutan terhadap pengendalian daur air dimulai dari peran tajuk

menyimpan air sebagai air intersepsi. Sampai saat ini intersepsi belum dianggap

sebagai faktor penting dalam daur hidrologi. Bagi daerah yang hujannya rendah

dan kebutuhan air dipenuhi dengan konsep water harvest maka para pengelola

Daerah Aliran Sungai (DAS) harus tetap memperhitungkan besarnya intersepsi

karena jumlah air yang hilang sebagai air intersepsi dapat mengurangi jumlah air

yang masuk ke suatu kawasan dan akhirnya mempengaruhi neraca air regional.

Dengan demikian pemeliharaan hutan yang berupa penjarangan sangat penting

dilaksanakan sesuai frekuensi yang telah ditetapkan.

Peran menonjol yang kedua yang juga sering menjadi sumber penyebab

kekawatiran masyarakat adalah evapotranspirasi. Beberapa faktor yang

berperanan terhadap besarnya evapotranspirasi antara lain adalah radiasi matahari,

suhu, kelembaban udara, kecepatan angin dan ketersediaan air di dalam tanah atau

sering disebut kelengasan tanah. Lengas tanah berperanan terhadap terjadinya

evapotranspirasi. Evapotranspirasi punya pengaruh yang penting terhadap

besarnya cadangan air tanah terutama untuk kawasan yang berhujan rendah,

lapisan/tebal tanah dangkal dan sifat batuan yang tidak dapat menyimpan air.

Peran ketiga adalah kemampuan mengendalikan tingginya lengas tanah

hutan. Tanah mempunyai kemampuan untuk menyimpan air (lengas tanah),

karena memiliki rongga-rongga yang dapat diisi dengan udara/cairan atau bersifat

porous. Bagian lengas tanah yang tidak dapat dipindahkan dari tanah oleh cara-

cara alami yaitu dengan osmosis, gravitasi atau kapasitas simpanan permanen
255

suatu tanah diukur dengan kandungan air tanahnya pada titik layu permanen yaitu

pada kandungan air tanah terendah dimana tanaman dapat mengekstrak air dari

ruang pori tanah terhadap gaya gravitasinya. Titik layu ini sama bagi semua

tanaman pada tanah tertentu (Seyhan, 1977). Pada tingkat kelembaban titik layu

ini tanaman tidak mampu lagi menyerap air dari dalam tanah. Jumlah air yang

tertampung di daerah perakaran merupakan faktor penting untuk menentukan nilai

penting tanah pertanian maupun kehutanan.

Peran keempat adalah dalam pengendalian aliran (hasil air). Kebanyakan

persoalan distribusi sumberdaya air selalu berhubungan dengan dimensi ruang dan

waktu. Akhir-akhir ini kita lebih sering dihadapkan pada suatu keadaan berlebihan

air pada musim hujan dan kekurangan air di musim kemarau. Sampai saat ini

masih dipercayai bahwa hutan yang baik mampu mengendalikan daur air artinya

hutan yang baik dapat menyimpan air selama musim hujan dan melepaskannya di

musim kemarau. Kepercayaan ini didasarkan atas masih melekatnya dihati

masyarakat bukti-bukti bahwa banyak sumber-sumber air dari dalam kawasan

hutan yang baik tetap mengalir pada musim kemarau. Ketergantungan masyarakat

yang tinggal di kawasan sekitar hutan terhadap keberadaan hutan sangat tinggi.

Kemampuan hutan sebagai regulator air mampu memberikan kontribusi dalam

penyediaan air bagi masyarakat sekitar hutan.

Hutan dengan keanekaragaman vegetasinya menyimpan air selama musim

hujan dan melepaskannya di musim kemarau. Soemarwoto (2001) menjelaskan,

jika luas hutan berkurang, laju resapan air ke dalam tanah menurun, laju larian air

naik dan bahaya banjir semakin meningkat. Dalam hal ini bertambahnya air

karena berkurangnya luas hutan sangatlah merugikan. Laju air akan bertambah
256

jika hutan dikonversikan menjadi bangunan fisik seperti gedung, jalan raya dan

bangunan lainnya. Di beberapa daerah hulu di Riau berdasarkan pengamatan

penulis seperti di Hutan Lindung Mahato dan Hutan Lindung Bukit Suligi kondisi

hutannya rusak berat. Sepanjang mata memandang yang nampak adalah hamparan

tanaman kelapa sawit illegal. Sehingga, acapkali di daerah hulu sungai-sungai

besar di Riau ini terjadi banjir di kala musim hujan dan krisis air di musim

kemarau.

Conservation International menghitung, aset yang dimiliki dengan

melestarikan hutan dan Taman Nasional Gede Pangrango mempunyai nilai sekitar

Rp 920 miliar (100 juta dollar AS) per tahun untuk menghidupi sekitar 20 juta

penduduk yang ada di sekitarnya. Kalau tangkapan air ini musnah, akibatnya

beberapa pabrik air mineral yang mengolah air bersih tidak lagi akan berproduksi

dan semua penduduk akan kekeringan bila musim kemarau tiba (Kompas,

13/10/04).

Dalam perhitungan ekonomi, Wiratno (2002, dalam Rizaldi ,2003)

mengkalkulasi nilai air yang ada di TNGP dalam dua kategori: (1) Nilai air yang

digunakan untuk mengairi sawah dan lahan-lahan pertaniannya, (2) Nilai

konsumsi rumah tangga. Dari kedua nilai itu bila dijumlahkan air yang sangat

vital sifatnya berharga Rp 2.95 miliar per tahun dan akan meningkat harganya

menjadi Rp 27.80 miliar 25 tahun yang akan datang.

Dari gambaran diatas, nampak jelas bahwa peran hutan sebagai penyedia

jasa lingkungan melalui kemampuannya sebagai regulator air memiliki nilai arti

yang sangat penting dalam mendukung hajat hidup masyarakat disekitar hutan.
257

3.2. Hutan Tropis sebagai Penyerap Karbon.

Jasa hutan bukan hanya mengatur dan menata air, tetapi juga mampu

menyerap serta menyimpan karbon. Saat ini muncul paradigma baru tentang peran

hutan sebagai penyimpan karbon. Kusuma (2004) menyatakan biomas pohon dan

vegetasi di hutan berisi cadangan karbon yang sangat besar yang dapat

memberikan keseimbangan siklus karbon bagi keperluan seluruh mahluk hidup di

muka bumi. Bila dipelihara, ternyata hutan mampu menyerap sebagian atau semua

karbon yang diproduksi.

Murdiyarso (2003) menegaskan bahwa emisi (buangan) industri

merupakan sumber kerusakan utama terbentuhya karbon di atmosfir yang

menyebabkan terjadinya pemanasan bumi ("global warming") dan perubahan

iklim. Pada tahun 1997 misalnya, CO2 adalah penyumbang terbesar emisi gas

rumah kaca (59,1 %) di Indonesia. "Kyoto Protokol 1997" dengan United Nation

Framework Convention on Climate Change-nya membuat suatu mckanisme baru

dimana negara-negara industri dan negara penghasil polutan terbesar diberi

kesempatan untuk melakukan kompensasi dengan cara membayar negara-negara

berkembang untuk mencadangkan hutan tropis yang mereka miliki sehingga

tedadi "sequestration" atau penyimpanan sejumlah besar karbon.

Purwanto (2001) mengatakan bahwa dalam Kyoto Protocol telah diatur

Negara-negara industri maju dapat mengurangi emisinya dengan cara membangun

hutan di Negara berkembang melalui Mekanisme Produksi Bersih (Clean

Development Mechanism). Bila lahan kritis ditanami dengan jenis tanaman yang

pertumbuhannya cepat (fast growing), penyerapan kanbondioksida dari atmosfir

juga berlangsung cepat. Karbon yang disimpan dalam biomass hutan tanaman
258

industri (HTI) akan lebih besar disbanding hutan yang rusak. Hasil produksi HTI

selanjutnya perlu diolah menjadi bahan jadi yang awet, seperti bahan bangunan

dan mebel. Melalui mekanisme seperti itu, karbondioksida dipindahkan dari udara

ke hutan dan selanjutnya ke produk awet tersebut.

Hutan Indonesia menurut Kusuma (2004) cukup efektif dalam mengurangi

emisi karbon. Pada tahun 1990, hutan di Indonesia mampu menyerap sekitar 1500

megaton (Mt) CO2. Padahal, total emisi yang dihasilkan Indonesia adalah sekitar

750 Mt. Artinya, hutan Indonesia bukan hanya menyerap CO2 dari wilayahnya

sendiri, namun juga menyerap CO2 yang dihasilkan negara-negara lain. Akan

tetapi kemampuan penyerapan karbon ini terus berkurang seiring dengan laju

degradsi hutan yang sangat tajam akibat illegal logging, perambahan hutan,

konversi kawasan hutan uuntuk pemukiman, perkebunan, pertanian, dan lain-lain.

Siklus karbon di dalam biosfer meliputi dua bagian siklus penting, di darat

dan di laut. Keduanya dihubungkan oleh atmosfer yang berfungsi sebagai fase

antara. Siklus karbon global melibatkan transfer karbon dari berbagai reservoir

(Tabel 1). Jika dibandingkan dengan sumber karbon yang tidak reaktif, biosfer

mengandung karbon yang lebih sedikit, namun demikian siklus yang terjadi

sangat dinamik di alam (Vlek, 1997 dalam Wijaya 2002).

Sejumlah besar kalsium karbonat dalam lebih dari 10 juta tahun yang lalu

telah terlarut dan tercuci dari permukaan daratan. Sebaliknya, dalam jumlah yang

sama telah terpresipitasi dari air laut ke dalam lantai dasar laut. Waktu tinggal

(residence time) karbon di dalam atmosfer dalam pertukarannya dengan hidrosfer

berkisar 5 – 10 tahun, sedangkan dalam pertukarannya dengan sel tanaman dan

binatang sekitar 300 tahun. Hal ini berbeda dalam skala waktu dibandingkan
259

dengan residence time untuk karbon terlarut (ribuan tahun) dan karbon dalam

sedimen dan bahan bakar fosil (jutaan tahun) (Vlek, 1997 dalam Widjaja, 2002).

Tabel 1. Karbon di dalam Berbagai Reservoir dari Siklus Global

Lokasi Satuan C (ton x 1010)

Udara CO2-atmosfer 70

Darat Biomass 59

Bahan organik tanah 85

Produksi bersih/tahun 6.3

Pelepasan dari fosil 0.5

Laut Biomass 0.3

C-organik terlarut 100

C-anorganik (HCO3) 3.500

Produksi bersih/tahun 45

Sedimen C-anorganik (HCO3) 2.000.000

Batu bara dan minyak 1.000

Sumber : Suryatmojo (2004)

Dari hasil inventarisasi gas-gas rumah kaca di Indonesia dengan

menggunakan metoda IPCC 1996, diketahui bahwa pada tahun 1994 emisi total

CO2 adalah 748,607 Gg (Giga gram), CH4 sebanyak 6,409 Gg, N2O sekitar 61 Gg,

NOX sebanyak 928 Gg dan CO sebanyak 11,966 Gg. Adapun penyerapan CO 2

oleh hutan kurang lebih sebanyak 364,726 Gg, dengan demikian untuk tahun 1994

tingkat emisi CO2 di Indonesia sudah lebih tinggi dari tingkat penyerapannya.

Indonesia sudah menjadi net emitter, sekitar 383,881 Gg pada tahun 1994. Hasil

perhitungan sebelumnya, pada tahun 1990, Indonesia masih sebagai net sink atau
260

tingkat penyerapan lebih tinggi dari tingkat emisi. Berapapun kecilnya Indonesia

sudah memberikan kontribusi bagi meningkatnya konsentrasi gas-gas rumah kaca

secara global di atmosfer (Widjaja, 2002).

Banyak pihak yang beranggapan bahwa melakukan mitigasi secara

permanen melalui penghematan pemanfaatan bahan bakar fosil, teknologi bersih,

dan penggunaan energi terbarukan, lebih penting daripada melalui carbon sink.

Hal ini dikarenakan hutan hanya menyimpan karbon untuk waktu yang terbatas

(stock). Ketika terjadi penebangan hutan, kebakaran atau perubahan tata guna

lahan, karbon tersebut akan dilepaskan kembali ke atmosfer (Rusmantoro, 2003).

Carbon sink adalah istilah yang kerap digunakan di bidang perubahan

iklim. Istilah ini berkaitan dengan fungsi hutan sebagai penyerap (sink) dan

penyimpan (reservoir) karbon. Emisi karbon ini umumnya dihasilkan dari

kegiatan pembakaran bahan bakar fosil pada sektor industri, transportasi dan

rumah tangga.

Berdasar hasil studi Strategi Nasional Mekanisme Pembangunan Bersih

(MPB), Indonesia memiliki potensi karbon yang dapat diperdagangkan sebesar 2

persen atau setara dengan 125 juta ton CO2. Jika diasumsikan harga CER

(Certified Emission Reductions) di pasar internasional sebesar 6 dollar AS per ton

CO2, maka nilai ekonomi yang akan diperoleh sekitar 750 juta dollar AS dari

transaksi penjualan CER untuk periode komitmen I (2008-2012). CER adalah

bentuk pengurangan emisi GRK (Gas Rumah Kaca) dari proyek MPB yang

disertifikasi (Kompas, 29/10/05).

Jadi potensi hutan tropis Indonesia sangat strategis dalam menurunkan

emisi karbon. Jika difahami lebih mendalam peran hutan tropis kita sangat penting
261

juga dalam pembangunan berkelanjutan. Juga ada manfaat ekonomi melalui

proses carbon trade dalam MPB (Mekanisme Produksi Bersih) atau CDM (Clean

Development Mechanism), serta melalui perannya secara nyata dalam mencegah

perubahan iklim secara ekstrim. Namun jika hutan semakin terdegradasi, maka

justeru sebaliknya akan mengurangi kemampuan menyerap karbon, bahkan emisi

karbon akan meningkat. Pembukaan dan penyiapan lahan dalam kawasan hutan

dengan cara membakar berkontribusi sangat besar dalam emisi karbon. Kusuma

(2004) melaporkan bahwa kebakaran hutan dan lahan tahun 2004, berkontribusi

lebih dari sepertiga (280 Mt) total emisi gas rumah kaca dari selluruh sektor. Dari

penjelasan ini kita bisa menyimpulkan betapa urgen dan mendesaknya aktifitas

rehabilitasi dan konservasi hutan tropis kita.

3.3. Menjaga Stabilitas Iklim

Murdiyarso (2003) menjelaskan bahwa perubahan iklim disebabkan oleh

radiasi matahari yang masuk ke bumi menembus lapisan atmosfer. Radiasi yang

kemudian dipantulkan kembali ke atmosfer itu sebagian tertahan oleh gas-gas

rumah kaca (GRK) di atmosfer. Akumulasi radiasi yang terperangkap di atmosfer

itulah yang menyebabkan suhu di bumi semakin hangat. Peristiwa ini dikenal

sebagai efek rumah kaca. Kesejukan suhu bumi yang memberi kenyamanan pada

manusia telah disia-siakan oleh ulah manusia sendiri dengan membabat hutan

mereka. Berawal dari revolusi industri hingga pembukaan hutan secara besar-

besaran di negara-negara tropis dan tanpa henti, membuat GRK makin menumpuk

di atmosfer. Emisi GRK dihasilkan terutama oleh pemanfaatan bahan bakar fosil

(minyak, gas, dan batu bara), kendaraan bermotor, dan pembangkit listrik.
262

Nasru (2005) melaporkan dalam kurun waktu 150 tahun sejak revolusi

industri (1850), peningkatan konsentrasi GRK di atmosfer, khususnya karbon

dioksida (CO2), meningkat dari 290 ppmv (part per million by volume) menjadi

350 ppmv. Apabila pola konsumsi, gaya hidup, dan pertumbuhan penduduk tidak

berubah, diperkirakan 100 tahun mendatang konsentrasi CO2 akan meningkat dua

kali lipat dari zaman pra-industri, atau mencapai sekitar 580 ppmv.

Hal tersebut akan mengakibatkan suhu rata-rata bumi meningkat hingga

4,5° C, yang akan berdampak luar biasa bagi kelestarian lingkungan dan

kelangsungan hidup manusia. Dampak pemanasan global terhadap perubahan

iklim saat ini sudah terasa.

Perubahan iklim menyebabkan musim hujan makin singkat, tetapi intensif

dan musim kemarau makin lama dan lebih kering. Akibatnya, air permukaan

daratan menghilang semakin cepat sehingga terjadi kelangkaan air. Fluktuasi suhu

secara tajam juga memicu berbagai jenis penyakit. Penyakit lama mewabah,

seperti flu dan malaria, sementara penyakit baru bermunculan dan menyebar

dengan mudah.

Di Indonesia, perubahan iklim terasa dengan pola hujan yang tidak

menentu sehingga menyebabkan banjir dan longsor, serta kekeringan. Pada

belahan bumi lain, terjadi gelombang panas di Eropa beberapa tahun lalu yang

menelan korban jiwa. Di Amerika, iklim ekstrem menghasilkan badai, yang

beberapa waktu lalu menghantam kawasan pantai selatan-timur benua itu.

Sementara di Kutub Utara, lapisan es melelah hingga tingkat yang

mengkhawatirkan. Mencairnya es di Greenland meningkatkan permukaan air laut,

yang diperkirakan 15-95 cm. Di Riau kita merasakan perubahan suku yang cukup
263

signifikan sejak eksploitasoi besar-basaran hutan oleh para pemegang konsesi

kawasan hutan. Hutan tropis Riau yang kaya akan keanekaragaman hayati

ditebang habis diganti dengan tanaman monokultur seperti akasia (sejak tahun

1990-an) dan kelapa sawit (sejak dekade 1980-an). Kondisi ini membuat propinsi

ini makin ringkih, ketika musim kemarau kita sibuk menangani kebakaran hutan

dan lahan serta bencana kabut asap. Di saat datang musim penghujan, banjir

kembali akan menghantui masyarakat.

Oleh karena itu aktifitas rehabilitasi dan konservasi hutan tropis kiranya

menjadi prioritas untuk menjaga stabilitas iklim. Apabila kondisi hutan tropis bisa

terjaga maka suplay oksigen dari hutan diharapkan mampu menjaga stabilitas

iklim. Karena jika iklim berubah secara ekstrim, bencana demi bencana

dipastikan akan tetap melanda.

3.4 Ekoturisme

Hutan tropis bisa menyediakan jasa lingkungan bernilai tinggi dari aspek

wisata. Pemandangan alam yang indah, sejuk dan menawan menjadi nilai yang

sangat tinggi dalam aktifitas ekoturisme. Ekoturisme merupakan istilah

berkonotasi pariwisata berwawasan lingkungan alam. Jenis wisata ini termasuk

suatu bentuk pariwisata alternatif yang bertanggung jawab terhadap pelestarian

lingkungan alam sekitarnya. World Tourism Organization (WTO) sebagai badan

dunia kepariwisataan menggulirkan isu ekoturisme sejalan dengan manuver

konservasi alam di berbagai belahan dunia.

Pemahaman masyarakat terhadap ekoturisme tidak jarang menyimpang

dari makna yang sebenarnya. Ecotourism merupakan gabungan dari ecologycal

dengan tourism. Ekologi merupakan suatu ilmu yang mempelajari hubungan


264

timbal balik antara manusia dengan lingkungannya. Di Indonesia khususnya,

keilmuan ini secara umum relatif belum berkembang sebagaimana diharapkan.

Ilmu ini lebih banyak berkaitan erat dengan tatanan kehidupan manusia, baik

manusia secara pasif sebagai bagian dari alam maupun manusia sebagai elemen

aktif yang dapat merekayasa alam. Berbagai kegiatan kehidupan manusia yang

berkaitan erat dengan ekologi antara lain kehidupan ekonomi, sosial, maupun

budaya. (Hardesty dalam Sugiama, 2003).

Ecotourism atau ecologycal tourism diterjemahkan menjadi wisata

ekologi, lengkapnya pariwisata ekologi, berarti bertanggung jawab atas perjalanan

wisata ke area alam yang mampu memelihara lingkungan, serta bertanggung

jawab untuk memelihara keberadaan manusia dan mahluk hidup di sekitarnya

untuk tetap hidup aman dan nyaman dalam lingkungannya (Blangly dan Megan,

1994). Tentu berbeda dengan hanya sekadar wisata alam. Karena itu penyetaraan

makna ekoturisme dengan 'wisata alam' tentu saja tidak tepat. Ekoturisme

maknanya setara dengan pariwisata yang berwawasan konservasi lingkungan.

Sementara itu, wisata alam adalah kegiatan berwisata di dalam lingkungan alam.

Apakah suatu kegiatan wisata alam merupakan ekoturisme? Mungkin ya

mungkin tidak! Ini lain perkaranya! Kegiatan wisata alam umpamanya arung

jeram, pendakian gunung, wisata selam, wisata tirta dan sejenisnya. Seluruh

contoh wisata alam tersebut belum tentu dapat dikualifikasikan ekoturisme.

Mungkin saja pendakian gunung menimbulkan kerusakan pada lingkungan dan

keaslian alam pegunungan tersebut. Oleh karena itu, wisata seperti itu tidak masuk

kualifikasi wisata berwawasan pelestarian lingkungan alam. Karena itulah,

ekoturisme ini sarat oleh aspek primer yakni, mengelaborasi alam untuk
265

kepentingan pariwisata tanpa menurunkan kualitas alam, atau mengubahnya

menjadi wujud intervensi penyebab degradasi ekosistem.

Suatu kegiatan pariwisata dapat dikategorikan pariwisata ekologi jika

memenuhi 5 prinsip ekoturisme (Cooper;1997 dalam Sugiama 2003). Kelima

prinsip tersebut, 1) prinsip sustainable adalah pariwisata yang berkonsentrasi pada

penyokongan pelestarian alam, 2) bahwa lingkungan alam harus aman dan

terjamin keselamatannya untuk dijadikan harta warisan bagi generasi mendatang.

3) pemeliharaan beragam mahluk yang ada di sekitarnya, baik manusia, hewan,

tumbuhan dan lain-lainnya apa pun yang berasal dari alam dan hidup di alam

bersangkutan. Keragaman makhluk hidup diyakini dapat bertahan jika secara

ekosistem terjaga. 4) merumuskan perencanaan secara holistik dan

mengimplementasikannya secara holistik pula. Harmonisasi alam dengan manusia

dan totalitas lingkungannya (environmental integrity) harus jadi kenyataan. 5)

carying capacity, artinya seluruh pihak yang terlibat dalam kegiatan pariwisata

tersebut mendapat manfaat. Tingkat kemanfaatan harus diperoleh baik secara

dimensional bagi penyedia maupun bagi wisatawan.

Provinsi Riau yang pernah memiliki hutan dengan keanekaragaman tinggi

serta berbagai tipe vegetasi semestinya juga mengembangkan kawasan wisata

ekologi. Tahura Sultan Syarif Hasyim yang sebagian fungsinya adalah untuk

wisata, namun kini kondisinya sangat menyedihkan. Karena aktifitas perambahan

dan konversi menjadi kebun kelapa sawit masih terjadi di taman yang semestinya

menjadi kebanggan Provinsi Riau ini. Sebenarnya, berdasarkan pengamatan

penulis wilayah Riau memiliki potensi ekowisata yang cukup baik. Buluhcina

misalnya, telah ditetapkan oleh Gubernur Riau menjadi Taman Wisata Alam sejak
266

tahun 2006. Diharapkan di areal hutan yang dikelola secara adat ini kegiatan

ekoturisme bisa berkembang.


267

IV. UPAYA PELESTARIAN HUTAN TROPIS

Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang memiliki nilai

ekonomi, ekologi dan sosial yang tinggi. Hutan alam tropika juga berfungsi

sebagai paru-paru dunia dan sistem penyangga kehidupan sehingga kelestariannya

harus dijaga dan dipertahankan dengan pengelolaan hutan yang tepat. Keberadaan

hutan sebagai bagian dari sebuah ekosistem yang besar memiliki arti dan peran

penting dalam menyangga sistem kehidupan. Berbagai manfaat besar dapat

diperoleh dari keberadaan hutan melalui fungsinya baik sebagai penyedia

sumberdaya air bagi manusia dan lingkungan, kemampuan penyerapan karbon,

pemasok oksigen di udara, penyedia jasa wisata dan pengatur iklim global.

Saat ini, kondisi hutan, dilihat dari penutupan lahan/vegetasi, mengalami

perubahan (degradasi) yang cepat dan dinamis, sesuai perkembangan

pembangunan dan perjalanan waktu. Banyak faktor yang mengakibatkan

perubahan tersebut antara lain eksplotasi hutan tropis besar-besaran sejak tahun

1970-an dengan sistem HPH. Pembangunan diluar sektor kehutanan yang sangat

pesat juga memberikan pengaruh besar terhadap meningkatnya kebutuhan akan

lahan dan produk-produk dari hutan. Kondisi demikian diperparah dengan adanya

perambahan hutan dan terjadinya kebakaran hutan yang mengakibatkan semakin

luasnya kerusakan hutan alam tropika di Indonesia.

Sementara itu menurut Basyar (1999) struktur penguasaan kekayaan

sumber daya alam di Indonesia banyak di dominasi oleh pengusaha besar dengan

kekuatan kapitalnya. Mereka dapat menguasai kawasan hutan, lahan dan

pertambangan serta mengeksploitasinya sampai jutaan hektar luasnya dan puluhan

tahun masa konsesinya. Sementara masyarakat setempat yang hidupnya


268

mengandalkan sumber daya lahan tersebut secara turun temurun sebelum negara

berdiri, nasibnya justru menjadi sengsara. Ketidakadilan distribusi penguasaan

sumberdaya alam ini sebagai basis konflik sosial yang riil dalam kehidupan

rakyat. Walhi (dalam Basyar, 1999) menunjukkan bahwa 85 % keuntungan sektor

kehutanan langsung dinikmati oleh pengusaha, sementara sisanya oleh pemerintah

pusat.

Sedangkan nilai ekonomi kayu satu hektare hutan alam perawan menurut

Asmoeri (2007) sekitar Rp 50 juta. Dengan demikian, seandainya 600 ribu hektare

hutan alam di Sumatera diambil kayunya, nilai kotor yang dihasilkan sekitar Rp

30 triliun. Nilai tersebut, belum termasuk biaya operasional. Jika dipotong biaya

operasional dan modal, perolehan tersebut bisa kurang dari separuhnya atau hanya

sekitar Rp 10 triliun. Dengan banyaknya pungutan di bisnis kehutanan, hasil

tersebut masih terpotong separuhnya lagi. Sehingga, nilai ekonomi yang diperoleh

pengusaha menjadi Rp 5 triliun.

Hanya itulah nilai ekonomi yang bisa diperoleh pengusaha atau para

penebang hutan. Sekarang, kita bisa memperkirakan, berapa nilai kerusakan

lingkungan akibat penggundulan hutan itu? Pertama, dari aspek biodiversitas.

Berapa keanekaragaman jenis spesies (biodiversitas) yang mati dan punah akibat

perusakan hutan? Hutan tropis adalah tempat hunian biodiversitas terbesar di

dunia. Lebih dari 60 persen biodiversitas di muka bumi berada di hutan tropis.

Kedua, penebangan hutan akan menimbulkan erosi dan sedimentasi di

sungai yang mata airnya berada di hutan tersebut. Selanjutnya, erosi dan

sedimentasi tadi akan mengotori laut dan merusak ekosistemnya, terutama

terumbu karang yang amat sensitif terhadap polusi. Rusaknya terumbu karang ini
269

akan sangat berpengaruh pada kehidupan ikan di laut. Ketiga, hancurnya hutan

juga dapat memacu pemanasan suhu bumi. Hutan tropis Indonesia sudah

ditetapkan PBB sebagai paru-paru bumi. Keempat kerusakan hutan telah

menyebabkan banjir dan longsor yang menelan korban jiwa dalam jumlah yang

amat besar.

International Tropical Timber Organization (ITTO) sebetulnya sudah

memberikan rambu-rambu dalam pengelolaan hutan tropis. Dalam Pedoman

ITTO bagi Pengelolaan Hutan Alam Tropis secara Lestari terdapat 41 prinsip

yang menekankan pertimbangan ekologis dan terjaminnya kelestarian lingkungan

dalam kegiatan produksi kayu dari hutan alam tropis (Sudradjat, 2002). Adapun

prinsip-prinsip ITTO tersebut antara lain sebagai berikut :

1. Harus ada komitmen politik nasional yang kuat dan berkesinambungan untuk

kelestarian hutan.

2. Kawasan hutan negara maupun hutan rakyat pada luasan tertentu harus

dipertahankan tetap tertutup hutan.

3. Kawasan hutan dengan fungsi-fungsi perlindungan, konservasi alam, produksi

serta kombinasi fungsi-fungsi tersebut di atas harus dipertahankan sebagai

hutan tetap.

4. Hutan produksi juga harus mampu memenuhi fungsi lindung, konservasi

spesies, dan ekosistem. Oleh karena itu fungsi-fungsi tersebut harus dijaga.

5. Sistem silvikultur yang dipilih harus didasarkan pada aspek kelestarian pada

biaya minimum.
270

6. Untuk terjaminnya kelestarian lingkungan, Analisis Mengenai Dampak

Lingkungan (AMDAL) harus dilaksanakan sebelum kegiatan pengelolaan

hutan dilaksanakan.

7. Pemerintah harus membantu pengelola hutan milik dan hutan adat secara

lestari.

8. Pengelolaan hutan untuk produksi kayu hanya akan lestari apabila dapat

dilaksanakan secara ekonomis dan ekologis.

9. Sebagian keuntungan yang diperoleh dari hutan hendaknya dipergunakan

untuk kelestarian produktivitas sumberdaya hutan.

10. Adanya kegiatan yang berkelanjutan sangat penting bagi pengelolaan hutan

secara lestari.

Namun seringkali dalam tataran praktis prinsip-pinsip kelestarian hutan ini

dikalahkan oleh kepentingan pragmatis. Alikodra (2007) menyebutkan adanya

mismanajemen dan keserakahan manusia dalam eksploitasi hutan di Aceh hingga

menyebabkan berbagai bencana di sana. Banjir bandang dan tanah lonsor di Aceh

lebih berbahaya dibanding tsunami. Argumentasinya adalah : Pertama, karena

banjir di Aceh tahun 2006 penyebabnya adalah manusia, sedangkan tsunami

penyebabnya adalah alam (kekuasan Tuhan semata). Tidak seperti manusia yang

punya kehendak bebas, alam bekerja sesuai dengan hukum-hukumnya yang

teratur dan mengikuti pakem-pakem tertentu. Ini berbeda dengan manusia.

Kehendak bebasnya bisa menjadikan manusia sebagai 'agen perusak' sekaligus

'agen penyelamat' lingkungan. Manusia bisa 'bekerja' untuk merusak atau

membangun kapan saja di mana saja. Dalam kasus banjir di Aceh tahun 2006,

manusia telah menjadi 'agen perusak' sehingga muncul banjir raksasa yang amat
271

merugikan manusia dan lingkungannya. Pikiran yang konstruktif dari manusia

ternyata tak mampu menahan ambisi pikiran yang destruktif sehingga alam pun

turut hancur bersama pikiran manusia yang destruktif tadi.

Kedua, banjir di Aceh tahun 2006 sebetulnya sudah lama diprediksi sejak

TNGL mulai dijarah kayunya. Peristiwa banjir bandang di kawasan wisata Kali

Bohorok, Bukit Lawang, Langkat, Sumut (2003) yang menewaskan 200 orang

lebih, semestinya menjadi peringatan untuk para pemangku kepentingan guna

mencegah illegal logging secara serius, khususnya yang terjadi di TNGL. Tapi

apa yang terjadi sejak tragedi Bohorok tersebut, nyaris tak ada kebijakan berarti

untuk mencegah penggundulan di TNGL. Proyek jalan tembus Ladia Galaska

yang membujur dari Lautan Hindia, Gayo Alas, sampai ke Selat Malaka yang

dikritik para ahli dan aktivis konservasi serta lingkungan terus berjalan. Padahal,

proyek Ladia Galaska yang menembus rimba raya TNGL tersebut dikhawatirkan

bakal menjadi sarana transportasi illegal logging. Kekhawatiran itu ternyata benar

adanya. Sejak dibangunnya jalan tembus Ladia Galaska, aktivitas illegal logging

makin seru dan sulit ditangani. Menurut sejumlah aktivis konservasi dan

lingkungan di NAD, kecepatan penggundulan sejak adanya jalan tembus tersebut

makin besar dan bertambah besar lagi setelah adanya proyek rekonstruksi Aceh

pascatsunami.

Ketiga, tidak seperti gempa bumi dan letusan gunung berapi, banjir di

Aceh sebetulnya bisa dicegah asal semua pihak berupaya keras untuk

mencegahnya. Gerakan penanaman pohon yang dicanangkan pemerintah pusat

ternyata gaungnya tak sampai ke daerah. Pemerintah tampaknya terlalu irit dana

untuk mensosialisasikan gerakan penanaman pohon dan reboisasi hutan yang


272

gundul. Musibah banjir dan longsor yang tiap tahun terjadi di mana-mana

tampaknya belum menjadi pemicu untuk mensosialisasikan kepada publik secara

luas dan besar-besaran betapa pentingnya menjaga kelestarian hutan dan reboisasi

hutan-hutan yang gundul tersebut.

Dari berbagai fakta tersebut di atas kiranya perlu komitmen bersama

semua pihak untuk menghargai prinsip-prinsip pengelolaan hutan alam tropis

secara lestari, karena hal ini semata-mata untuk menjaga habitat manusia sendiri

dari kehancuran. Dalam pengelolaan hutan, sudah saatnya didorong untuk

mempertimbangkan manfaat dan fungsinya dalam kerangka pembangunan

berkelanjutan baik nilai tangible maupun yang intangible. Selama ini telah banyak

nilai, manfaat dan fungsi hutan tropis yang hilang akibat kegiatan eksploitasi.

Oleh karena itu pertimbangan-pertimbangan tersebut dapat dijadikan sebagai

masukan dalam melakukan perencanaan dan pengelolaan hutan di Indonesia.

Sehingga kegiatan rehabilitasi dan konservasi hutan semestinya juga dapat

menjadi perhatian utama.


273

DAFTAR PUSTAKA

Agnes, 2007. Hutan Alam Riau Tinggal 5 %. Kompas tanggal 3 Januari 2007.

Alikodra, H. S., 2007. Agen Perusak. Artikel di Harian Republika tanggal 4


Januari 2007.

Asmoeri, D., 2007. Banjir Aceh dan Ekonomi Deforestasi. Artikel di Harian
Republika tanggal 2 Januari 2007.

BAPPENAS, 1993. Biodiversity Action Plan for Indonesia. Ministry of National


Development Planning/Nasional Development Planning Agency.
Jakarta.

Basyar, A. H., 1999. Perkebunan Besar Kelapa Sawit, Blunder Ketiga Kebijakan
Sektor Kehutanan. E-Law dan CePAS. Jakarta.

Dinas Kehutanan Riau, 2004. Kerugian Daerah Akibat Illegal Logging. Makalah
disampaikan dalam Lokakarya Illegal Logging tanggal 2 Desember
2004. Pekanbaru. Tidak diterbitkan

Kusuma, B. D., 2004. Lingkungan bagi Kehidupan : Panduan Keanekaragaman


Hayati bagi Para Pemuka Agama. INFORM. Jakarta.

Mc Neely, J. A., 1992. Ekonomi dan Keanekaragaman Hayati. Diterjemahkan


oleh Kusdyantinah. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.

Mulyana, M., 2005. Membangun Hutan Tanaman Meranti, Membedah Mitos


Kegagalan Melanggengkan Tradisi Pengusahaan Hutan. Wana Aksara.
Tangerang.

Murdiyarso, D., 2003. Konvensi Perubahan Iklim. Penerbit Buku Kompas. Jakarta

Nasru, A. A., 2005. Mekanisme Pembangunan Bersih, Berdagang Karbon untuk


Anak Cucu. Artikel dalam harian Kompas. 29 Oktober 2005.

Presiden RI, 1999. Undang - Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan.
Setneg. Jakarta. (Tidak diterbitkan)

Purwanto, E., 2001. Deforestasi dan Perubahan Lingkungan Tata Air di Indonesia
Resiko, Implikasi dan mitos. Bigraf Publishing. Yogyakarta.

Rizaldi, 2003, ―Carbon Trading‖ Membisniskan Hutan Tanpa Merusaknya.


Artikel Kompas tanggal 7 Nopember 2003.

Rusmantoro, W., 2003. Hutan Sebagai Penyerap Karbon, Artikel Internet dalam
www.spektrumonline.com
274

Seyhan, E., 1990. Dasar-dasar Hidrologi. Diterjemahkan oleh S. Subagya. Gadjah


Mada University Press, Yogyakarta.

Soemarwoto, O., 2001. Atur Diri Sendiri Paradigma Baru Pengelolaan Baru
Lingkungan Hidup. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.

Sudradjat, A., 2002. Mencari Format Desentralisasai Kehutanan. Nectar


Indonesia. Jakarta.

Sugiama, A. G., 2003. Sebuah Alternatif untuk Dipertimbangkan, Konservasi


Alam Melalui Elaborasi Ekoturisme. Artikel Harian Pikiran Rakyat. 15
Pebruari 2003.

Suhendang, E., 2002. Pengantar Ilmu Kehutanan.Cetakan ke dua. Fakultas


Kehutanan IPB. Bogor. Cetakan kedua.

Suryatmojo, H., 2004. Peran Hutan Pinus Sebagai Penyedia Jasa Lingkungan
Melalui Penyimpanan Karbon dan Penyediaan Sumberdaya Air. Fakultas
Kehutanan UGM, Yogyakarta.

Widjaja, H., 2002. Pengantar Falsafah Sains, Program Pasa Sarjana/S3 Institut
Pertanian Bogor, Bogor. (Tidak diterbitkan)

Whitmore, T.C, 1975. Tropical Rain Forest of The Far East. Clarendon Press.
Oxford.

www. dephut.go.id

www.sekitarkita.com
275

KEBAKARAN HUTAN DAN DAMPAKNYA


TERHADAP LINGKUNGAN DI PROVINSI RIAU

OLEH :

T. ISKANDAR JOHAN

PROGRAM STUDI ILMU LINGKUNGAN


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
2006
276

1. PENDAHULUAN

Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang tak ternilai harganya

dan mempunyai berbagai fungsi dan manfaatnya, baik manfaat secara ekonomis,

ekologis, maupun estetis, yang dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran

rakyat dan juga merupakan salah satu modal dasar pembangunan. Oleh karena itu

tidak heran kalau kerusakan hutan di seluruh wilayah/negara menyebabkan

kekhawatiran dari semua pihak di belahan bumi ini. Secara estetis hutan

merupakan keindahan alam yang sangat menakjubkan.

Dalam perjalanannya, hutan mengalami banyak gangguan baik berupa

bencana alam ataupun ulah manusia itu sendiri. Lebih-lebih saat ini campur

tangan manusia semakin banyak, bahkan tak terbendung lagi sehingga besar

kerusakan hutan disebabkan oleh faktor manusia sendiri. Salah satu gangguan

tersebut adalah terjadinnya kebakaran hutan dan lahan.

Kebakaran hutan merupakan penyebab kerusakan hutan yang paling

merugikan. Dalam waktu yang singkat, kebakaran hutan dapat menimbulkan

kerugian baik secara ekonomis, estetis maupun politis. Di Provinsi Riau secara

umum, kebakaran hutan terjadi pada saat musim kemarau. Riau merupakan daerah

yang tingkat kebakarannya tinggi dengan jumlah kerugian yang tak ternilai.

Sebagian besar daerah yang terbakar merupakan pembukaan lahan untuk

perkebunan besar, pertanian dan hutan tanaman industri (Aengraeni dan Syumada,

2001).

Ginting (dalam Aengraeni dan Syumada, 2001) menyatakan kebakaran

hutan dan lahan itu sendiri di wilayah Indonesia menimbulkan kerugian yang

tidak sedikit. Tahun 1997-1998 misalnya, ketika terjadi kebakaran hutan dan
277

lahan terbesar dimana prediksi luasan yang terbakar mencapai 4,5 juta hektar,

total kerugiannya mencapai Rp. 60 trilyun. Nilai kerugian ini belum termasuk

dengan kerugian kesehatan, transportasi, perdagangan, hilangnya kesempatan

panen dan lain-lainnya.

Disamping kerugian secara ekonomis, kerugian secara ekologi juga dapat

terjadi akibat rusaknya keseimbangan ekosistem tidak kalah dahsyatnya karena

nilai kayu sendiri hanya 7 % sampai dengan 10 % dari nilai ekologinya. Manusia

tidak pernah sadar bahwa nilai hutan sangat besar pada fungsi tidak tampaknya

seperti pengatur hidro-orologis, pabrik oksigen serta pengatur iklim. Orang-orang

baru sadar setelah timbulnya bencana alam seperti banjir, longsor dan kekeringan.

Oleh karena itu upaya pencegahan sebagai tindakan preventif terhadap

kebakaran hutan adalah tindakan yang paling efisien karena apabila sudah terjadi

kebakaran dan melanda areal yang luas maka penanggulangannya akan lebih sulit

dan memerlukan anggaran biaya yang tidak sedikit. Adapun tujuan dari makalah

ini adalah untuk melihat penyebab kebakaran hutan dan dampaknya terhadap

lingkungan.
278

II. KONDISI HUTAN RIAU

Hutan merupakan salah satu ekosistem dengan bermacam-macam

keanekaragaman hayati yang semakin terancam keberadaannya. Demikian pula

dengan hutan yang berada di Provinsi Riau yang telah habis dibagi dengan

peruntukan hutan produksi, hutan produksi terbatas, maupun hutan konversi.

Tinggal sebagian kecil yang tetap dipertahankan sebagai kawasan lindung.

Kawasan lindung inipun berada dalam kondisi kritis akibat berbagai kegiatan

seperti perambahan dan kebakaran.

Menurut Jonotoro dan Suherman (2003) akibat kegiatan eksploitasi hutan

yang tidak mematuhi ketentuan/sistem silvikultur yang telah ditetapkan, maka

semakin luas saja hutan yang rusak dan lebih parah lagi menjadi lahan-lahan

kritis. Tahun ini diperkirakan luas hutan dan lahan yang terbakar di Provinsi Riau

tercatat seluas 171.787 hektar (Riau Pos, 4 Januari 2007).

Kondisi kawasan hutan di Provinsi Riau, berdasarkan hasil interpretasi

citra satelit tahun 2002, luas kawasan hutan yang rusak dan menjadi lahan kritis

termasuk Provinsi Kepulauan Riau mencapai 1,4 juta hektar. Sedangkan luas

lahan kritis di luar kawasan hutan mencapai 2,2 juta hektar (Dinas Kehutanan

Provinsi Riau, 2004).

Penyebab kerusakan hutan tersebut sangat komplek mulai dari kesalahan

pengaturan fungsi lahan dalam tata ruang, lemahnya peraturan dan penegakan

hukum, pengendalian terhadap operasionalis sistem konsesi hutan, peladangan

berpindah, pembukaan hutan untuk non kehutanan, perambakan, dan kebakaran

hutan, lewmahnya kesadaran masyarakat dan perhatian terhadap ekositem DAS,


279

kurangnnya upaya reboisasi oleh pemerintah dan pengguna hutan lainnya serta

maraknya praktek illegal logging pada akhir-akhir ini.

Selanjutnya Nasution (2007) menambahkan untuk mengurangi intensitas

kerusakan hutan permasalahannya adalah ketidakadilan struktural, perlu

menyempurnakan pendekatan keamanan penegakan hukum dengan pendekatan

kesejehteraan (prosperity approach). Sejahterakanlah masyarakat lokal,

tegakkanlah keadilan. Keluarkan mereka dari belenggu kemiskinan, berdayakan

dan lindungi hak-hak mereka. Beri mereka kepercayaan untuk mengelola hutan

dan menjaga kelestariannya. Dengan melakukan ini, niscaya tidak ada lagi kaki

tangan yang dapat dimanfaatkan untuk merusak hutan.


280

III. KEBAKARAN HUTAN

3.1. Penyebab Kebakaran

Secara garis besar penyebab kebakaran hutan di Provinsi Riau dapat

disebabkan oleh dua hal yaitu faktor internal (terkendali) dan faktor eksternal (tak

terkendali).

Faktor internal (terkendali) sangat erat kaitannya dengan pola pertanian

yang dilakukan oleh masyarakat/penduduk Riau. Diperkirakan lokasi kebakaran

hutan disebabkan masih adanya pola pertanian belum menetap (ladang

berpindah). Baik itu dilakukan di dalam kawasan hutan maupun yang diluar

kawasan hutan. Pola ekstensifikasi pertanian yang sampai saat ini masih

diterapkan dan ini masih bisa dilihat dari laju pertumbuahn penduduk dengan laju

kerusakan areal.

Untuk menunjang pola pertanian ekstensifikasi api memegang perang

penting untuk penyiapan lahan karena selain murah juga lebih cepat. Penyiapan

lahan untuk ekstensifikasi biasanya dilakukan secara bersamaan oleh petani di

Riau yaitu pada musim kemarau bulan Agustus sampai dengan bulan Oktober

sehingga dapat dipastikan asap yang akan dihasilkan dari kelimpahan bahan bakar

api dari penyiapan lahan.

Penggunaan api sebagai alat untuk penyiapan lahan yang digunakan oleh

masyarakat/petani di Riau kapanpun, siang atau malam tanpa teknik pengendalian

api merupakan penyebab rutin timbulnya kebakaran hutan/lahan setiap tahun.

Penghasil asap untuk penyiapan lahan selain oleh petani tempatan (peladang

berpindah) yang tak kalah besarnya adalah penyiapan lahan untuk perusahaan-

perusahaan perkebunan besar dan HTI.


281

Berdasarkan hasil monitoring yang dilakukan oleh Aengraeni dan

Syumada (2001) yang menyatakan bahwa Riau merupakan penyumbang jumlah

Hot Sport yang paling banyak ditemukan dilapangan, jumlahnyapun mencapai

angka ratusan. Titik api yang paling menonjol ditemukan pada perusahaan yang

memiliki izin HPH sebanyak 369 titik, Hutan Tanaman Industri (HTI) 139 titik,

Perkebunan 280 titik, Transmigrasi 3 titik dan lain-lain 191 titik. Untuk itu dapat

dipastikan Riau penyumbang asap tebal yang terbesar dihasilkan dari kebakaran

hutan.

Walaupun telah ada sanksi yang mengatur tentang pelarangan penggunaan

api oleh perusahaan-perusahaaan perkebunan dan HTI dalam penyiapan lahan.

Buktinya masih terdapat perusahaan-perusahaan yang nakal menggunakan api

dalam penyiapan lahannya. Sementara jumlah personil kehutanan di lapangan

yang terlihat secara langsung dalam hal kebakaran hutan masih sangat terbatas.

Faktor eksternal (tidak terkendali) yang secara langsung dapat

menyebabkan terjadinya kebakaran hutan khususnya di Provinsi Riau adalah

musim. Keterkaitan musim bisa dilihat dari kebakaran-kebakaran yang telah

terjadi pada tahun-tahun sebelumnya yaitu pada musim kemarau disekitar bulan

Agustus dan Oktober. Hal ini sangat erat kaitannya dengan pola pertanian

masyarakat pedesaan di Riau dan waktu yang dibuat oleh perusahaan–perusahaan

perkebunan dan HTI.

Menurut Hasoloan (2001), penyebab terjadinya kebakaran hutan

sebenarnya tidak terlepas dari adanya tiga komponen yaitu bahan bakar, api dan

oksigen (02). Kebakaran tidak akan terjadi apabila salah satu komponen tersebut

tidak ada. Oksigen merupakan komponen yang keberadaannya melimpah di udara


282

termasuk di dalam hutan, sehingga tidak dapat mengendalikannya. Bahan bakar

dapat berupa seresah, tanaman ataupun bahan-bahan lain-lainya. Api dapat terjadi

secara alami dari panas terik matahari atau dapat berasal dari ulah manusia itu

sendiri. Untuk mencegah ataupun menanggulangi kebakaran hutan seyogianya

harus hati-hati pada komponen bahan bakar dan panas/api.

Di dalam hutan, bahan bakar tersedia cukup melimpah karena tanaman

merupakan bahan bakar disamping itu juga menghasilkan serasah yang terdapat

dilantai hutan. Api yang terjadi secara alami biasa terjadi pada musim kering yang

berkepanjangan sehingga terik matahari yang begitu panas dapat menimbulkan

api. Namum sebagian besar api berasal dari ulah manusia itu sendiri baik secara

sengaja ataupun tidak sengaja. Aktifitas-aktifitas sehari-hari dari masyarakat

sekitar/di dalam hutan yang biasa menggarap hutan/lahannya dengan pembakaran

merupakan penyebab kebakaran hutan yang paling sering terjadi dan terus

berulang-ulang setiap tahun.

3.2. Peran Kelembagaan dan Penegakan Hukum

Di dalam kehidupan bermasyarakat, pada hakikatnya setiap orang bebas

untuk melakukan perbuatan apapun, kecuali secara tegas telah dinyatakan sebagai

perbuatan yang dilarang oleh norma hukum. Sedangkan perbuatan-perbuatan

tertentu yang tidak dikehendaki oleh sebagian besar anggota masyarakat diatur

secara tersendiri oleh norma lainnya, seperti norma agama, norma kesusilaan, dan

norma kesopanan demi terpeliharanya ketertiban dalam kehidupan bermasyarakat.

Strategi penanggulangan kebakaran hutan masih berfokus pada

manajemen pemadaman. Penyebab kebakaran di Riau hampir seluruhnya dapat

dikatakan berasal dari kegiatan manusia (99%). Mengingat yang menjadi sumber
283

kebakaran adalah kegiatan manusia, maka kebakaran tersebut dapat ditekan bila

sumber kebakaran dikurangi atau dicegah. Sehingga upaya yang paling ampuh

adalah pencegahan. Sementara ini manajemen sumber dana dan sumberdaya

manusia bersifat reaktif, yaitu bagaimana menyediakan peralatan pemadaman dan

penanggulangan.

Belum adanya organisasi yang khusus bertanggung jawab terhadap

penanggulangan kebakaran hutan/lahan. Sejak kejadian kebakaran hutan di

Indonesia sampai saat ini belum dibentuk organisasi yang khusus bertanggung

jawab terhadap penanggulangan kebakaran hutan/lahan, yang didukung dengan

sumberdaya manusia yang profesional, peralatan dan alokasi dana yang memadai.

Organisasi yang ada saat ini, baik ditingkat nasional, provinsi maupun

kabupaten/kota merupakan wadah yang bersifat koordinasi dan belum didukung

dengan sumberdaya manusia, peralatan dan pedanaan yang memadai.

Pembentukan organisasi yang bersifat koordinasi ini, karena dalam pengendalian

kebakaran hutan/lahan melibatkan banyak instansi terkait, disamping adanya

tumpang tindih tugas dan fungsi dari masing-masing instansi terkait.

Kurangnya kepedulian masyarakat terhadap kebakaran hutan/lahan serta

dampaknya, terutama pada kegiatan penyiapan ladang/kebun yang masih

dilakukan dengan cara pembakaran tanpa upaya pencegahan kebakaran yang tidak

terkendali, tidak ada kepedulian dalam hal memberikan laporan kepada aparat

atau pihak yang bertanggung jawab mengenai kebakaran, sehingga fungsi

masyarakat sebagai sosial control tidak berjalan.

Demikian juga halnya para pengusaha di bidang kehutanan dan

perkebunan, walaupun telah ada ketentuan persyaratan pencegahan (seperti


284

menyediakan sarana dan prasarana pemadaman) dan ketentuan penyiapan lahan

tanpa pembakaran, namun dalam pelaksanaannya masih ada perusahaan yang

melanggar ketentuan tersebut.

Disamping itu, kepedulian aparat keamanan dalam pelaksanaan

pengawasan terhadap pencegahan kebakaran hutan dan lahan yang dilakukan oleh

perusahaan-perusahaan di daerah kabupaten/kota, tidak dilaksanakan sebagaimana

fungsinya.

Masih lemahnya penegakan hukum terhadap pelaku pembakaran hutan.

Walaupun bukti-bukti sudah menunjukkan bahwa kegiatan land clearing yang

dilakukan oleh perkebunan merupakan penyebab utama terjadinya kebakaran

hutan, tetapi sering sekali pemerintah tidak melakukan peneguran atau

penangkapan terhadap pelaku kebakaran hutan. Apabila hal ini masih dibiarkan

tanpa ada kepastian hukum yang pasti, sudah barang tentu kebakaran hutan akan

terulang lagi ditahun–tahun mendatang.

Disamping itu, Peraturan perundang-undangan yang belum dilaksanakan

secara utuh, baik oleh pemerintah sendiri, dunia usaha maupun masyarakat.

Sebenarnya pengendalian kebakaran hutan telah ditetapkan dalam berbagai

peraturan perundangan, seperti: (1) Undang-Undang yang menyangkut Kehutanan

Nomor 41 Tahun 1999, Pengelolaan lingkungan Hidup Nomor 23 Tahun 1997,

dan Konservasi Sumberdaya Alam dan Ekosistemnya Nomor 5 Tahun 1990, serta

Ratifikasi Konvensi-konvensi International (yang biasanya disusun dan

diputuskan dibawah payung PBB) seperti yang menyangkut Keanekaragaman

Biologi, Perubahan Iklim, Sistem Pertanian Pangan, dan Administrasi Negara. (2)

Peraturan-peraturan Pemerintah, yang menyangkut tentang Perlindungann Hutan,


285

Analisa Dampak Lingkungan, Pengawasan Polusi Udara, Pengawasan Degradasi

Lingkungan dan/atau Polusi dalam hubungannya dengan kebakaran Hutan/Lahan.

(3) Surat-surat Keputusan Menteri dan Direktur Jenderal yang dikeluarkan oleh

berbagai macam Departemen Teknis dan Lembaga-lembaga/Badan-badan

Nasional, dan pada dasarnya berisikan petunjuk-petunjuk teknis/pelaksanaan dari

hal-hal yang ditetapkan dalam undang-undang dan peraturan-peraturan diatas.

Selanjutnya Supriyanto (2006) menawarkan ada beberapa hal yang patut

dipertimbangkan dalam rangka mempertahan hutan antara lain: (1) Penentuan

kembali tapal batas antara kawasan konservasi dengan hutan ulayat yang secara

adat dan menurut persepsi masyarakat dimiliki dan dikelola oleh masayarakat. (2)

Memfasilitasi penciptaan ekonomi alternatif, karena permasalah ekonomi selama

ini masih dijadikan salah satu alasan terutama masyarakat dalam melakukan

perambahan hutan. (3) Pengembangan model program pemberdayaan dengan

melibatkan masyarakat dalam pengelolaan hutan sesuai dengan potensi yang

dimiliki, dan menempatkan masyarakat sebagai mitra kerja. (4) Perlunya

koordinasi yang lebih intensif antar wilayah. Hal ini dilakukan karena wilayah

hutan tidak bisa dibatasi pengelolaannya secara parsial berdasarkan wilayah

administrasi. Koordinasi perlu dilakukan antar Kabupaten maupun Provinsi. (5)

Perlunya dibangun interkoneksi dan jalinan sinergis antar kelembagaan baik

pemerintah, swasta, dan masyarakat guna menindak lanjuti berbagai persoalan

yang terjadi dalam pengelolaan hutan. (6) Membenahi infrastruktur yang dapat

mendukung upaya penyelamatan hutan termasuk penyediaan sumberdaya manusia

dan sarana pendukung lainnya. (7) Penegakan hukum sesuai dengan ketentuan

yang berlaku termasuk beberapa peraturan daerah yang telah ditetapkan.


286

3.3. Dampak Kebakaran Hutan terhadap Lingkungan

Sumberdaya alam hayati Indonesia dan ekosistem mempunyai kedudukan

dan peranan penting bagi kehidupan dan pembanguan nasional. Oleh karena itu,

harus dikelola dan dimanfaatkan secara lestari bagi kesejahteraan masyarakat dan

umat manusia pada umumnya untuk sekarang dan dimasa yang akan datang

(Silalahi, 2001).

Kebakaran hutan dapat berdampak pada hilangnya sumberdaya alam

berupa berbagai potensi yang ada di dalamnya baik berupa kayu ataupun non kayu

yang melimpah dan mempunyai nilai ekonomis yang sangat tinggi. Ini sudah

barang tentu akan mempengaruhi perekonomian nasional karena hasil hutan

merupakan salah satu sumber pendapatan negara/daerah yang cukup besar dan

dominan.

Secara ekonomis, Kebakaran hutan bisa menyebabkan terjadi erosi

yang lebih besar dibandingkan dengan daerah hutan yang tidak terbakar.

Terjadinya percepatan perubahan iklim global, kerugian tidak langsung akibat

hilangnya habitat satwa dan erosi berbagai bibit benih tumbuhan dan fauna di

lantai hutan, mempercepat kehilangan biomassa lantai hutan, mempercepat proses

pencucian hara hutan, terjadinya banjir di daerah yang hutan gambutnya terbakar,

dan terjadinya polusi udara dan air.

Hasoloan (2001) menyatakan bahwa secara ekologis berupa turunnya

kualitas ekosistem yang berfungsi sebagai sistem penyangga kehidupan, sebagai

akibat dari berkurangnya keanekaragaman jenis flora dan fauna yang merupakan

sumber plasma nutfah dan berubahnya fungsi hidrologi, pola hujan lokal maupun

regional.
287

Disamping itu, kebakaran hutan juga berdampak pada kesuburan tanah,

sifak fisik tanah juga berubah dengan rusaknya struktur tanah sehingga

menurunkan infitrasi dan perkolasi tanah. Hilangnya tumbuhan juga membuat

tanah menjadi terbuka sehingga energi pukulan air hujan tidak lagi tertahan oleh

tajuk pepohonan. Pada fisik kimia tanah terjadi peningkatan tingkat keasaman

tanah dan air sungai.

Perdana dan Sudjono (2006) menyatakan bahwa erosi yang terjadi

merupakan kejadian alami yang mengikuti hukum gravitasi. Usaha pengawetan

tanah dengan pengendalian erosi perlu dilaksanakan karena menyangkut usaha

melestarikan sumberdaya alam, khususnya pada kawasan yang memiliki topografi

berbukit-bukit serta memiliki intensitas hujan yang cukup tinggi.

Peningkatan erosi tanah tersebut sangat terkait dengan pengelolaan tanah

yang terjadi, dimana tataguna lahan berubah menjadi lahan pertanian dan

perkebunan. Menurut Baver (dalam Perdana dan Sudjono, 2006) pengelolaan

tanah yang sangat intensif dapat meningkatkan proses terlepasnya partikel tanah

dan meningkatkan oksidasi bahan organik tanah. Keadaan tersebut akan

memperburuk agregat tanah dan menurunkan kapasitas infiltrasi tanah sehingga

tanah mudah tererosi.

Selanjutnya Tangkestik (dalam Aengraeni dan Syumada, 2001)

menunjukkan bahwa kebakaran hutan dapat menurunkan sifat-sifat retensi

kelembaban serta kapasitas kation pada jenis tanah dan sifat-sifat fisik biologi

tanah. Selain itu, kebakaran hutan dapat membunuh organisme tanah yang

bermanfaat dalam meningkatkan kesuburan tanah. Mikroorganisme misal cacing

tanah yang meningkatkan aerasi dan drainase tanah sedangkan untuk


288

mikroorganisme tanah misalnya mikorisa yang dapat meningkatkan ketersediaan

unsur hara P, Zn, Cu, Mg dan Fe.

Hutan merupakan bagian dari sistem bumi yang begitu penting. Pada skala

lokal, pohon-pohon dapat melindungi tanah dari hujan dan angin yang mungkin

mengikis dan meniupnya. Karena pertumbuhan di hutan tropis sangat hebat,

sebagian besar tanah yang menyokongnya menjadi tidak produktif. Temperatur

yang tinggi serta curah hujan yang terus menerus sepanjang tahun menyebabkan

hilangnya nutrisi dari dalam tanah, sehingga hanya sedikit nutrisi yang tersisa,

kecuali yang berada dalam tumbuhan itu sendiri (Silver dan De Fries, 1992).

Selanjutnya (Silver dan De Fries, 1992) menambahkan lagi sekali hutan

dibuka untuk pertanian, peternakan, atau perusahaan kayu, maka tidak ada

jaminan bahwa pohon-pohon dapat tumbuh kembali di tanah yang tandus itu.

Contohnya, di Haiti pemusnahan hutan selama berabab-abab telah menyebabkan

permukaan didominasi oleh rumput dan sedikit mineral di tanah serta didaerah

berbatu cadas. Di Haiti dan di daerah lainnya dimana pemusnahan hutan terjadi

secara hebat, tidak saja tanah yang dirusak melainkan juga hanya sedikit pohon

dewasa yang dapat tumbuh kembali.

Wirakusumah (2003) menyatakan bahwa sumberdaya hutan di Indonesia

telah terbukti memberikan sumbangan yang sangat berarti bagi perekonomian

bangsa. Pengelolaan sumberdaya hutan mutlak harus memegang teguh asas

kelestarian sehingga sumberdaya itu selalu dapat diperbarui dan produktifitas

dapat terus terpelihara sepanjang masa.

Berdasarkan uraian diatas, hutan perlu dikelola dengan baik, karena sangat

berdampak terhadap kehancuran lingkungan. Selain itu secara politis dapat berupa
289

gangguan terhadap lingkungan akibat asap yang sangat merugikan baik di Riau

maupun bagi negara tetangga seperti Singapore, Malaysia dan Pilipina. Secara

sosial kebakaran hutan juga dirasakan oleh masyarakat karena hilang mata

pencaharian untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.


290

IV. UPAYA PENCEGAHAN KEBAKARAN HUTAN

Sosialisasi penyiapan lahan tanpa bakar yang sudah lama diperdengarkan

baik semasa kepemimpinan Presiden Suharto pada tahun 1996 dan dipertegas

kembali oleh Presiden Habibie pada tahun 1999, begitu juga pedoman teknisnya

sudah dikeluarkan oleh Departemen Pertanian dan Kehutanan, namum

pembakaran sisa vegetasi/tebangan dilapangan masih terus berlangsung.

Untuk itu, perlu ada peringatan atau informasi pada saat musim kemarau

tiba terhadap daerah-daerah rawan kebakaran. baik oleh pemerintah daerah/kota,

pengusaha dan masyarakat belum menunjukkan perubahan sikap untuk

mengantisipasi kebakaran. Bahkan sampai dengan keluarnya Peraturan

Pemerintah Nomor 4 Tahun 2001 tentang Pengendalian kerusakan dan atau

Pencemaran Lingkungan Hidup yang berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan

Lahan yang mengatur peran dan tanggung jawab badan usaha, masyarakat dan

aparat pemerintah tidak menunjukkan peningkatan kesiapan daerah.

Sehubungan dengan hal tersebut diatas yang perlu dilakukan adalah: (1)

Penyuluhan kepada masyarakat tentang teknis penyiapan lahan tanpa bakar atau

alternatif pembekaran dengan asap minimal dan pembakaran bergilir. (2)

Pembinaan dan peningkatan ketaatan kepada pengusaha perkebunan Hutan

Tanaman Industri (HTI) dalam penerapan Penyiapan Lahan Tanpa Bakar (PLTB).

(3) Kompanye dampak asap terhadap kesehatan masyarakat. (4) Pemberdayaan

masyarakat untuk penerapan pengetahuan dalam pengendalian kebakaran dan

penyebarluasan peringatan dini kebakaran hutan dan lahan.

Pemantauan dan pelaporan berjenjang, mengingat lokasi-lokasi kebakaran

umumnya berada di daerah remote yang jauh dari pemukiman, maka konsep
291

pelaporan berjenjang atas kejadian kebakaran perlu disebarluaskan untuk

ditangkapi dan dipatuhi oleh aparat pemerintah, masyarakat dan perusahaan. Pada

prinsipnya api sekecil apapun di hutan harus dilaporkan kepada yang berwenang

seperti pemilik lahan, kepala kampung, kepala desa, jagawana, polisi dan lain-lain

untuk segera dipadamkan dan dilaporkan kepada jenjang diatasnya. Laporan

tersebut sebagai persiapan mobilisasi penanggulangan dan penegakan hukum.

Jaminan Perusahaan untuk penyiapan lahan tanpa bakar (PLTB), untuk

peningkatan tanggung jawab pengusaha dalam penyiapan lahan tanpa bakar dan

kesiapan dalam pencegahan dan penanggulangan kebakaran. Perlu diterapkan

sistem jaminan uang dengan nilai minimal sebesar biaya PLTB di tambah dengan

biaya pemadaman. Jaminan tersebut disampaikan pada saat pengajuan rencana

tahunan penyiapan lahan.

Penegakan Hukum, penindakan terhadap pelaku pembakaran merupakan

hal yang mutlak dilakukan baik kepada pemilik lahan, perkebunan, HTI maupun

masyarakat yang bermotif usaha. Paling tidak penerapan sanksi administrasi

berupa pembekuan sebagian kegiatan kepada perusahaan yang melanggar

ketentuan peraturan perundangan seperti Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun

1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan.


292

DAFTAR PUSTAKA

Aengraeni, S. dan R. Syumada, 2001. Kebakaran Hutan dan Lahan: Sebuah


Perspektif terhadap Dosa Turunan, hal. 64 - 73. Dalam Suyanto, S., R.
P., Permana, D., Sutijono dan G., Applegate (eds.) Prosiding Seminar
Sehari Akar Penyebab dan Dampak Kebakaran Hutan dan Lahan di
Sumatera. Bandar Lampung 11 Oktober 2001. ICRAF, CIFOR dan Uni
Eropa, Bogor.

Dinas Kehutanan Provinsi Riau, 2004. Kerugian Daerah Akibat Praktek Illegal
Logging. Makalah Dinas Kehutanan Provinsi Riau. Disampaikan Pada
Seminar Akibat Praktek Illegal Logging, Pekanbaru.

Hasoloan, D., 2001. Kebijakan Rencana Tata Guna Lahan untuk Perkebunan dan
HTI, serta Dampaknya terhadap Kebakaran Hutan dan Lahan di Propinsi
Jambi, hal. 49 – 58. Dalam Suyanto, S., R. P., Permana, D., Sutijono dan
G., Applegate (eds.) Prosiding Seminar Sehari Akar Penyebab dan
Dampak Kebakaran Hutan dan Lahan di Sumatera. Bandar Lampung 11
Oktober 2001. ICRAF, CIFOR dan Uni Eropa, Bogor.

Jonotoro, dan Suherman, 2003. Pengaruh Izin Pemanfaatan Kayu terhadap


Kondisi Sumberdaya Alam Hutan dan Lingkungan Hidup. Antara
Harapan dan Kenyataan, hal 1 – 14. Dalam Kasry, A (eds.) Kumpulan
Makalah Studi Kasus Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Hidup. Pascasarjana UNRI, Pekanbaru.

Nasution, M., 2007. Biar Hutan Tidak Terus Rusak. Media Indonesia, Senin 8
Januari 2007.

Perdana, A. dan P. Sudjono. 2006. Pengaruh Tataguna Lahan terhadap Laju Erosi
di Daerah Tangkapan Waduk Cisanti. Jurnal Teknik Lingkungan. Edisi
Khusus Agustus 2006 (Buku 1), hal. 35 – 48. Jurnal Teknik Lingkungan
bekerja sama dengan Program Studi Teknik Lingkungan ITB, Bandung.

Riau Pos. 171 Ribu Hektar Hutan dan Lahan Terbakar. Koran Harian. Kamis 4
Januari 2007, Pekanbaru.

Silalahi, D., 2001. Hukum Lingkungan: Dalam Sistem Penegakan Hukum


Lingkungan Indonesia. Alumni, Bandung.

Silver, S, C, dan R. S. De Fries., 1992. Satu Bumi Satu Masa Depan.


Diterjemahkan Oleh Sujono, 2006. Perubahan Lingkungan Global Kita.
Remaja Rosdakarya, Bandung.

Supriyanto, H., 2006. Hutan Kampar Kian Kritis. Riau Pos. Rabu 29 November
2006, Pekanbaru.

Wirakusumah, S., 2003. Mendambakan Kelestarian Sumberdaya Hutan Bagi


Sebesar-Besarnya Kemakmuran Rakyat. Suatu Telaah Ekonomi. UI-
Press, Jakarta.
293

DAMPAK PEMBANGUNAN PERTANIAN DAN


KEHUTANAN TERHADAP LINGKUNGAN HIDUP

OLEH :

ROSYADI

PROGRAM STUDI ILMU LINGKUNGAN


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
2006
294

I. PENDAHULUAN

Berbagai kegiatan yang dilakukan dalam bidang pertanian dan kehutanan

walaupun maksudnya cukup baik, yaitu untuk meningkatkan perekonomian dan

pendapatan masyarakat, namun jika tidak dilakukan secara baik dan terarah dapat

menimbulkan akibat negatif terhadap lingkungan. Sama halnya dengan kegiatan

pembangunan lainnya, maka pada kegiatan ini perhatian terhadap komponen

lingkungan yang mungkin akan terkena dampak perlu menjadi perhatian yang

serius. Hal ini tidak lain karena kegiatan ini akan memanfaatkan sumberdaya

alam, baik yang dapat diperbaharuhi maupun yang tidak dapat diperbaharuhi.

Pengalaman masa lampau telah memperlihatkan bahwa perencanaan

kegiatan bidang pertanian yang tidak mengindahkan kelestarian lingkungan akan

mengakibatkan terjadinya dampak negatif terhadap lingkungan hidup dan pada

akhirnya justru dapat menyebabkan bencana bagi manusia itu sendiri. Contoh

klasiknya adalah terjadinya bencana besar di kawasan sungai Euphrat dan Tigris

sebagai akibat kesalahan pengelolaan irigasi untuk pertanian yang akhirnya

menyebabkan daerah yang semula merupakan kawasan yang sangat subur berubah

menjadi gurun pasir (Rahman, 1992).

Di bidang kehutanan juga banyak contoh dapat kita lihat dan alami.

Kesalahan pengelolaan hutan telah menyebabkan bencana bagi manusia

disekitarnya apakah itu berupa bencana banjir, merajalelanya wabah tanaman

maupun merajalelanya hewan liar tertentu karena habitatnya dirusak (seperti

harimau dan gajah masuk desa) yang menyebabkan korban manusia dan lain

sebagainya.
295

Belajar dari pengalaman masa lalu ini, maka walaupun bidang pertanian

dan kehutanan dapat menghasilkan kenaikan taraf hidup masyarakat, namun

dalam perencanaan pemanfaatannya diperlukan pertimbangan lingkungan

disamping pertimbangan ekonominya. Ini berarti bahwa baik untuk pembangunan

pertanian maupun pemanfaatan sumberdaya hutan, maka perencanaannya tidak

cukup hanya dengan suatu feasibility study secara ekonomi, namun diperlukan

pula feasibility study lingkungan. Hal ini tidak lain karena kegiatan ini

kemungkinan terjadinya dampak negatif terhadap lingkungan cukup besar jika

perencanaannya tidak memperhatikan aspek lingkungan hidup (Fandeli, 1992).

Setiap pembangunan yang dilakukan selalu akan menimbulkan berbagai

permasalahan, demikian juga halnya dengan pembangunan di bidang pertanian

dan kehutanan. Permasalahan yang dihadapi dalam pembangunan pertanian dan

kehutanan ini menyangkut berbagai aspek, seperti lahan dan hutan, sosial serta

budaya masyarakat sekitar kegiatan. Untuk itu perlu adanya aturan-aturan yang

mengatur dalam pengelolaan lahan atau hutan tersebut, sehingga tidak

menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan sekitarnya. Kemudian harus

diberikan sanksi yang tegas terhadap pelaku pembangunan pertanian dan

kehutanan yang tidak mempedomani aturan yang ada.


296

II. DAMPAK KEGIATAN PERTANIAN

Indonesia adalah negara agraris, yang sebahagian besar penduduknya

menggantungkan hidupnya pada hasil-hasil pertanian. Pembangunan pertanian

merupakan titik sentral dari pembangunan dan menyangkut hajat orang banyak.

Oleh karena itu perencanaan yang baik dan terarah dalam pengembangan bidang

pertanian ini memang sangat diperlukan. Dipihak lain berbagai usaha peningkatan

hasil pertanian telah diusahakan secara intensif baik berupa perbaikan cara

bercocok tanam, pengontrolan hama dan penyakit, perluasan areal pertanian dan

peningkatan kesuburan tanah berupa pemupukan dan lain sebagainya (Ewusie,

1990). Secara umum kegiatan pertanian yang berlangsung adalah:

 Perladangan berpindah-pindah (shifting cultivation)

 Perladangan dan pertanian menetap oleh penduduk

 Pertanian dan perkebunan berskala besar

2.1. Perladangan Berpindah-pindah

Dari ketiga kegiatan pertanian yang sekarang masih berlangsung di negara

kita, maka perladangan berpindah-pindah merupakan sistim pertanian yang paling

tua yang pernah dipraktekkan orang.

Pada awal perkembangannya, cara ini ternyata tidak mempunyai dampak

negatif yang berarti, sebab jumlah penduduk masih sedikit dan kawasan hutan

yang tersedia cukup luas. Pada waktu itu keseimbangan lingkungan tetap dapat

terjamin dan keharmonisan hidup antara manusia dengan lingkungannya selalu

terjamin. Sebaliknya pada saat ini semakin meledaknya populasi manusia dan

semakin sempitnya lahan yang tersedia serta semakin terbatasnya hutan yang ada,

maka praktek perladangan berpindah-pindah ini justru dapat mengakibatkan


297

dampak negatif yang besar terhadap alam lingkungan berupa semakin meluasnya

lahan kritis.

Keadaaan ini akan semakin diperburuk lagi jika sistem perladangan ini

dimulai dengan cara ―slash and burning‖ yaitu dengan cara menebang hutan dan

kemudian membakarnya sebelum tanah ditanami. Berbagai kritik tentang praktek

ladang berpindah-pindah ini telah dilontarkan, namun dibalik semua itu kita tak

boleh lupa bahwa timbulnya praktek ini tidak terlepas dari beberapa faktor antara

lain semakin sempitnya lahan yang tersedia dan tekanan ekonomi (Rahman,

1992).

Hal lain yang juga disinyalir adalah bahwa kenyataan tidak sedikit pula

sistem ini justru dilakukan oleh orang-orang kota yang alasannya bukan karena

desakan ekonomi, tapi karena tujuan komersial dan peningkatan kekayaan.

Dampak negatif utama dari kegiatan ini adalah berupa perusakan hutan, tanah dan

timbulnya tanah kritis yang sulit untuk dipulihkan kembali kesuburannya dalam

waktu dekat.

2.2 Perladangan dan Pertanian Menetap

Sebahagian besar kegiatan pertanian yang saat ini dipraktekkan di

Indonesia adalah pertanian dan perladangan menetap. Hal ini timbul seiring

dengan terbentuknya kampung dan desa serta mulai menetapnya penduduk pada

suatu tempat tertentu. Berbeda dengan perladangan berpindah, pertanian menetap

berusaha memanfaatkan sumberdaya tanah yang sama untuk dapat ditanami

sepanjang tahun dengan kuantitas hasil yang paling kurang sama dari tahun ke

tahun. Oleh karena ditanami terus menerus, maka sudah tentu kesuburan tanah
298

semakin lama semakin menurun. Untuk mengatasi hal ini para petani melakukan

berbagai usaha untuk mempertahankan agar tingkat kesuburan ini tetap terjamin.

Salah satu usaha utama yang dilakukan adalah dengan jalan melakukan

pemupukan. Dahulu pada waktu jumlah penduduk masih sedikit, maka

pemupukan dilakukan dengan penambahan bahan anorganik dan organik seperti

kompos, pupuk kandang atau membiarkan daun dan bagian lain tanaman yang

sudah dipanen lapuk di permukaan tanah, sehingga dapat meningkatkan

kesuburan tanah pada musim selanjutnya.

Semakin bertambahnya dan semakin meledaknya jumlah penduduk,

mengakibatkan kebutuhan akan makanan semakin meningkat pula. Tanah yang

selama ditanami sekali setahun tidak mampu lagi memberi makan seluruh

penduduk yang ada.

Akibatnya usaha peningkatan hasil pertanian diusahakan dengan berbagai

cara, antara lain berupa intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian. Intensifikasi

titik beratnya adalah berusaha meningkatkan hasil yang berlipat ganda pada areal

tanah yang luasnya tetap. Sebaliknya dengan ekstensifikasi peningkatan hasil

pertanian dicapai dengan jalan membuka daerah pertanian baru sebanyak

mungkin.

Ternyata baik intensifikasi maupun ekstensifikasi ini masih perlu lagi

diikuti oleh usaha lain, yaitu berupa penambahan pupuk dan usaha pengontrolan

hama dan penyakit tanaman mempergunakan cara kimia dan cara biologi.

Selama perencanaan peningkatan hasil (baik intensifikasi maupun

ekstensifikasi) direncanakan secara baik dengan mempertimbangkan masalah

lingkungan, maka dampak negatifnya tidak berpengaruh besar. Namun apa yang
299

sering terjadi dalam praktek pada waktu yang sama adalah, bahwa perencanaan

tersebut hanya didasarkan dan diperhitungkan laba ruginya dari segi ekonomisnya

saja.

Akibatnya setelah beberapa tahun terjadi gangguan kesimbangan

lingkungan dikawasan tersebut baik berupa terjadinya pencemaran air oleh

pestisida, keracunan pada manusia dan hewan termasuk ikan, timbulnya bahaya

erosi dan banjir serta kekeringan dimusim kemarau, musnahnya satwa baik

didaratan maupun diperairan tertentu. Semua dampak negative yang timbul ini

jika dinilai secara ekonomis ternyata seringkali cukup besar sehingga secara

ekonomis kurang menguntungkan (Desmukh, 1992).

2.3 Pertanian dan Perkebunan Berskala Besar

Sama halnya dengan pertanian menetap, maka pada perkebunan dan

pertanian berskala besar berbagai metode diperlakukan dengan tujuan untuk

meningkatkan hasil semaksimal mungkin, sehingga mendatangkan keuntungan

sebesar-besarnya. Pertanian dan perkebunan berskala besar ini jelas orientasi

utamanya adalah mendapatkan untung yang sebesar-besarnya dengan modal yang

sekecil-kecilnya. Untuk itu pemilik pertanian tersebut akan selalu berusaha untuk

mendapatkan teknik-teknik baru yang menurut mereka lebih efisien dan

ekonomis. Salah satu alternatif yang sering dipergunakan adalah penggunaan

berbagai macam pestisida untuk pemberantasan hama dan penyakit tanaman serta

penggunaan pupuk secara intensif.

Dampak negatif justru sering timbul dari penggunaan pupuk dan pestisida,

sebab disamping kurangnya efisiensi pemakaian dan kurangnya pengontrolan tata

cara pemakaian, kuantitas dari bahan-bahan tersebut yang dipakai juga cukup
300

besar, sehingga kalau timbul dampak negatif, maka akibatnya akan jauh lebih

besar dibandingkan dengan dampak yang ditimbulkan oleh petani biasa.

Kemudian dalam pembukaan hutan dan lahan, yang sangat mengkhawatir

sekali adalah dengan cara pembakaran. Kebakaran hutan dan lahan pada tahun

1997/1998 diduga mencapai 9,7 juta ha, dan 75 juta orang terkena dampaknya,

dengan kerugian ekonomi diduga mencapai 9 milyar US dolar (Bappenas/ADB,

1999 dalam Suyanto dan Applegate, 2001).

Dampak negatif lain yang tak kalah pentingnya dalam kegiatan pertanian

dan perkebunan berskala besar ini adalah dampak sosial ekonomi dan budaya.

Dampak ini dapat timbul sebagai akibat dari proses pembebasan tanah,

kecemburuan social maupun ketidak serasian pembauran adat istiadat antara

penduduk local dan pendatang yang bekerja dipertanian dan perkebunan.


301

III. DAMPAK KEGIATAN KEHUTANAN TERHADAP LINGKUNGAN

Goeltenboth (1992) mengatakan bahwa pada mulanya lebih kurang 14%

dari daratan di bumi ini ditutupi oleh hutan hujan tropika. Namun saat ini luas

kawasan tersebut yang masih tertinggal hanya sekitar 6 – 7% saja dan hampir 40%

dari kerusakan hutan ini terjadi dalam kurun waktu 40 tahun terakhir ini.

Terjadinya kerusakan hutan tropis ini antara lain sebagai akibat dari

pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi, tingkat perekonomian yang masih

rendah serta kebutuhan negara-hegara tertentu akan devisa untuk pembangunan

negaranya.

Secara fisik dapat dilihat bahwa menurunnya luas hutan hujan tropika ini

tidak lain sebagai akibat dari pembukaan hutan untuk perluasan areal pertanian,

perkebunan, peternakan dan untuk diambil kayunya sebagai sumber devisa

Negara melalui pemberian konsesi hutan kepada perusahaan-perusahaan besar.

Disamping itu tidak kurang pula yang mencurigai bahwa menuduh bahwa

penyebab utama kerusakan hutan ini adalah para petani peladang berpindah-

pindah (shifting cultivators).

Adapun alasan penyebabnya, kenyataan yang kita temukan sekarang

adalah bahwa hutan tropis yang merupakan kekayaan alam yang tak ada duanya

dibumi ini (karena banyaknya manfaat yang terkandung didalamnya) telah

semakin menciut dan ada kecenderungan akan semakin berkurang lagi luasnya.

Sadar akan ancaman ini, maka hampir diseluruh dunia saat ini orang mulai

khawatir akan ancaman akan musnahnya hutan tropis ini.

Kekhawatiran tersebut tidak semuanya didasarkan kepada keinginannya

untuk melestarikan sumberdaya hutan tropis tersebut, akan tetapi banyak pula
302

yang mengkhawatirkannya karena kepentingan lain termasuk kepentingan politik,

ekonomi dan sebagainya.

Salah satu penyebab semakin cepatnya penebangan hutan tropis adalah

meningkatnya kebutuhan akan kayu baik Negara sedang berkembang maupun

Negara maju. Selain itu untuk areal perkebunan dan HTI.

Propinsi Riau memiliki areal HTI terbesar di Sumatera dan nomor dua

terbesar di Indonesia. Sampai Desember 2000, luasan total areal konsesi HTI di

propinsi Riau mencapai 1,546,081 ha untuk 32 perusahaan, dan baru ditanam

mencapai 414,502,77 ha oleh 22 perusahaan HTI (Permana dan Kurniawan,

2001).

3.1 Cara-cara Pembukaan Hutan

Bergantung kepada tujuan penggunaan kayunya dan pemanfaatan bekas

hutan tersebut setelah dilakukan penebangan, maka cara penebangan hutan tropis

dapat berupa:

1. Tebang habis diikuti dengan pembakaran (Slash and Burn)

Cara ini merupakan cara yang umum dilakukan oleh para peladang bepindah-

pindah dalam pembukaan hutan untuk dijadikan ladang. Kawasan yang telah

ditebang dan dibakar tersebut langsung ditanami dan biasanya setelah 2 atau 3

kali panen ditinggalkan, dibiarkan terlantar selama beberapa tahun.

Hal ini dilakukan karena tanah tersebut kesuburannya sudah menurun,

sehingga tidak produktif lagi untuk ditanami. Tanah yang ditinggalkan akan

menjadi terbuka dan secara berangsur-angsur berubah kembali menjadi hutan

sekunder atau tinggal menjadi padang alang-alang.


303

2. Tebang selektif

Cara penebangan ini dilakukan jika dari hutan tersebut diproduksi hanya jenis

pohon tertentu saja, misalnya pohon-pohon dari famili Dipterocapaceae

seperti, meranti dan lain sebagainya. Tidak hanya jenis pohonnya yang

diseleksi, tetapi ukurannyapun diseleksi.

Tata cara penebangan hutan untuk tujuan ini dikenal dibidang kehutanan

sebagai sistem tebang pilih yang disebut TPTI (Tebang Pilih dan Tanam

Indonesia).

3). Tebang habis

Tebang habis sering dilakukan pada suatu kawasan hutan yang akan

dipergunakan untuk maksud lain selain dari pengambilan kayunya. Misalnya

hutan tersebut akan dijadikan areal perkebunan dan padang penggembalaan

ternak.

Sistem tebang habis dilakukan pula pada hutan yang kayunya akan digunakan

untuk membuat “chips‖ dan produk lainnya yang tidak membutuhkan ukuran

kayu tertentu. Tebang habis dapat pula terjadi karena daerah tersebut akan

dijadikan daerah pertambangan.

Berbeda dengan dua cara sebelumnya, maka pada system tebang habis ini

bekas kawasan hutan tersebut akan berubah sama sekali menjadi suatu

kawasan baru dimana kondisi lingkungannya sangat berbeda degan kondisi

hutan semula.

3.2. Dampak Pembukaan Hutan terhadap Lingkungan

Cara apapun yang digunakan dalam pemukaan hutan pasti akan

mempunyai dampak terhadap lingkungan hidup. Besar kecilnya perubahan atau


304

dampak sangat bergantung kepada tata cara pembukaan hutan serta besar kecilnya

kawasan yang dibuka. Sekecil apapun pembukaan hutan dilakukan, maka yang

pasti ―iklim mikro‖ ditempat tersebut akan berubah.

Iklim mikro disini dimaksudkan adalah keadaan lingkungan yang paling

dekat dengan atau kondisi daerah yang paling dekat dengan hutan itu. Semakin

luas daerah yang dibuka semakin besar pula dampaknya terhadap lingkungan

disekitarnya.

Dampak negatif terjadi pula keanekaragaman hayati dikawasan tersebut.

Pembukaan lahan telah menyebabkan musnahnya flora dan fauna, baik yang

sudah diketahui jenis dan kegunaannya maupun yang belum diketahui (Koswara,

1985).

Sebagai contoh di daerah Riau seperti; terganggunya migrasi burung, salah

satunya burung kuaran, punahnya pohon sialang (tempat lebah madu), punahnya

budaya daerah seperti pacu jalur karena habisnya jenis kayu sebagai bahan

pembuat jalur dan lain sebagainya.

Menurut perkiraan Bank Dunia dan FAO, hampir 1,5 juta ha hutan di

Indonesia ditebang setiap tahunnya, sedangkan yang ditanami kurang dari 1%.

Kalau hal ini berlangsung terus menerus, maka dikhawatirkan bahwa jenis kayu

meranti, kulim dan sebagainya, jumlahnya akan berkurang dengan cepat dan dapat

mengalami kemusnahan.

Akibat dari kerusakan hutan tersebut seringkali baru dirasakan setelah

jangka waktu yang cukup lama pada saat mana keadaan perubahan tersebut sudah

tidak mungkin berbalik kembali.


305

Sebagai contoh kasus badak Jawa yang sekarang hanya ada beberapa

puluh ekor di Ujung Kulon. Kritisnya populasi hewan ini baru menjadi perhatian

setelah sudah begitu kecil dan luas habitatnya juga sudah sedemikian sempitnya,

sehingga usaha pelestraiannya kalau masih dimungkinkan sudah sedemikian sulit

dan membutuhkan biaya yang cukup besar (Gradwohl dan Greenberg, 1991).

Banyak sekali dampak negatif dari pembukaan hutan terdapat lingkungan

hidup disekitarnya, seperti yang dikemukakan oleh Rahman (1992) antara lain

adalah:

1. Punahnya masyarakat dan kebudayaan yang cara hidupnya tergantung pada

hutan, bersama dengan punahnya pengetahuan mereka terhadap daerah itu.

2. Peningkatan lahan kritis dan desertifikasi di kawasan hutan tropika yang

kering.

3. Penurunan curah hujan secara regional yang cenderung akan mempercepat

proses desertifikasi.

4. Peningkatan suhu global sebagai akibat peningkatan karbon diatmosfir, yang

dapat mengakibatkan kenaikan permukaan air laut.

5. Musnahnya sejumlah spesies tumbuhan dan hewan liar termasuk spesies yang

berguna baik sebagai plasma nutfah maupun yang berkhasiat obat dan lain

sebagainya.

6. Merosotnya berbagai jenis burung dari daerah beriklim sedang yang

bermigrasi ke daerah tropis

7. Meningkatnya permukaan tanah yang terbuka yang akan menyebabkan

kerusakan tanah (seperti terjadinya proses laterisasi) serta timbulnya bahaya

erosi.
306

8. Menurunnya sumberdaya air karena berkurangnya luas lapisan permukaan

bumi yang berpotensi menyerap dan menyimpan air hujan.

Untuk mengatasi permasalahan yang akan terjadi dimasa mendatang, perlu

dilakukan langkah-langkah preventif diantaranya memberikan imformasi tentang

dampak lingkungan bagi masyarakat disekitar hutan. Kemudian memberikan

pendidikan bagaimana cara pengelolaan lahan dan hutan agar tidak merusak

lingkungan dengan memperhatikan kaidah pembangunan yang berkelanjutan.

Bagi perusahaan yang melakukan pengelolaan lahan dan hutan untuk

pembangunan pertanian dan perkebunan, perlu diberi aturan-aturan dalam bentuk

(Peraturan Pemerintah/Peraturan Daerah) bahkan dalam bentuk Undang-undang.

Walaupun sudah ada Peraturan dan Perundangan yang mengatur tentang

Lingkungan Hidup seperti Undang-undang N0.23 Tahun 1997 tentang

pengelolaan Lingkungan Hidup dan Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2001,

tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air, serta banyak

peraturan dan perundangan lainnya, tapi pelaksanaannya belumlah maksimal.

Oleh karena itu untuk mengantisifasi kerusakan lahan dan hutan tidak lebih parah

lagi, maka diperlukan penegakan hukum yang lebih tegas lagi, terutama pelaksana

dari penegak hukum itu sendiri.

Sebanyak apapun atau selengkap apapun Undang-undang Lingkungan

yang ada, jika dilaksanakan oleh manusia yang tidak memiliki kecintaan atau

menyadari akan pentingnya lingkungan, maka sia-sialah peraturan-peraturan yang

ada tersebut. Semoga pejabat yang ditugasi bidang ini dibuka pintu hatinya agar

bekerja sesuai dengan perintah Allah yang menciptakan bumi dengan segala
307

isinya. Amin.- dan bagi yang tidak mengindahkan perintahNya terimalah akibat

dari perbuatan itu.


308

IV. DAMPAK PENGGUNAAN PESTISIDA DAN PUPUK

Ditinjau dari sudut masalah kelestarian sumberdaya dan lingkungan hidup,

maka pemakaian pestisida dan pupuk pada kegiatan pertanian dan perkebunan

tanpa mempertimbangkan dan memperhitungkan efek sampingnya dapat

mengakibatkan kerugian yang sangat besar terhadap kelestarian lingkungan hidup

serta sumberdaya alam.

Pemakaian pestisida yang berlebihan dapat mencemari lingkungan dan

meracuni organisme hidup non target, termasuk manusia. Dipihak lain pemakaian

pupuk yang tidak terkontrol dan efisien dapat berakibat negatif baik terhadap

kondisi tanah ditempat tersebut, mencemari air tanah dan meracuni hewan tanah.

Secara umum telah diketahui orang bahwa penggunaan berbagai jenis

pestisida yang tidak menurut aturan yang telah ditetapkan akan menimbulkan

berbagai akibat antara lain adalah; timbulnya resistensi hewan target terhadap

pestisida, timbulnya kerusakan pada tanaman tertentu, timbulnya

gangguan/keracunan pada hewan liar, timbulnya dampak negatif terhadap

manusia dan ternak.

Pemakaian pestisida yang tidak tepat jenisnya serta dosisnya dapat

menyebabkan beberapa jenis hama/penyakit tanaman menjadi imun terhadap

pestisida tersebut.

Wudianto (1990), mengatakan bahwa pestisida yang sering menjadi

masalah adalah sifat racunnya, karena racun ini bisa meracuni manusia, ternak dan

tanaman, serta lingkungan bisa terpolusi. Bahkan pemakaian dosis yang tidak

tepat bisa membuat hama menjadi kebal.


309

Pestisida merupakan racun bagi jasad pengganggu tanaman, dan juga

merupakan racun bagi manusia dan ternak piaraan. Menurut Wudianto (1990),

pestisida dapat meracuni manusia dan hewan ternak melalui mulut, kulit dan

pernapasan.

Walaupun pupuk umumnya dikenal sebagai bahan pengelamat bagi

keberhasilan bidang pertanian, ternyata jika dipergunakan tanpa aturan yang tepat

dan efisien, justru dapat menimbulkan masalah dan berdampak negatif terhadap

lingkungan.

Sebagai contoh pupuk urea yang mengandung unsur N yang banyak

digunakan dibidang pertanian, ternyata pupuk urea ini menimbulkan efek

sampingan berupa mengerasnya lapisan tanah dan mencemari air selokan dan

sungai, karena naiknya kandungan ion NO3 yang berasal dari pupuk urea yang

tercuci dari daerah petanian (Sastroutomo, 1992).

Selanjutnya dijelaskan bahwa disamping pupuk urea didalam tanah

menghasilkan gas NH3 yang bersifat racun terhadap berbagai jenis bakteri

nitrifikasi yang ada dalam tanah, seperti Nitromonas spp dan Nitrobacter spp.

Kedua jenis bakteri ini sangat berguna ditinjau dari sudut biologi tanah. Misalnya

pemakaian pupuk ZA atau (NH4)2 SO4 yang terus menerus pada suatu tanah, dapat

mengakibatkan semakin meningkatnya keasaman atau pH tanah tersebut yang

pada suatu saat dapat menghambat pertumbuhan yang akan ditanam pada tanah

itu.

Oleh karena itu dalam pemberian unsur hara bagi tanaman sebaiknya

dilakukan dengan pemberian pupuk organik, seperti pupuk kandang maupun

pupuk organik cair. Walaupun dari segi biaya penggunaan pupuk organik lebih
310

besar dananya, tetapi dari segi pemanfaatan pupuk organik ini terhadap tanaman

dan tanah baik, karena dapat memperbaiki kesuburan tanah.

Kemudian dalam pembukaan hutan dan lahan dianjurkan agar lapisan

humus yang berada dilapisan atas tanah sebaiknya tidak dibuang, tetapi dibiarkan

seperti asalnya agar dapat dimanfaatkan oleh tanaman. Keuntungan lain dapat

mengurangi pengikisan permukaan tanah, karena masih adanya lapisan humus

serta dapat mengurangi pemakaian pupuk.

Dengan semakin luasnya pemanfaatan hutan dan lahan untuk usaha

perkebunan dan kehutanan, maka untuk mengatasi kebutuhan pupuk dapat

dilakukan usaha pertanian terpadu. Kegiatan ini memadu antara kebun dengan

ternak seperti (sapi dan kerbau), sehingga kotaran ternak ini dapat dimanfaatkan

untuk usaha perkebunan dan kehutanan. Usaha ini selain membantu masyarakat

sekitar hutan, juga memberi manfaat terhadap lingkungan, yaitu menguburkan

tanah.

Novizan (2002), mengatakan bahwa penggunaan pupuk buatan dalam

jangka panjang secara terus menerus dan tidak terkontrol akan berdampak buruk

pada kesuburan tanah dan lingkungan di sekitar daerah pertanian. Selanjutnya

dijelaskan kerugian lainnya adalah keseimbangan organisme di dalam tanah

terganggu dan kualitas air permukaan seperti air sungai di daerah pertanian

menjadi tercemar.
311

DAFTAR PUSTAKA

Desmukh, I., 1992. Ekologi dan Biologi Tropika. Diterjemahkan oleh K.


Kartawinata dan S. Danimiharja. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.

Ewusie, J. Y., 1990. Pengantar Ekologi Tropika. Diterjemahkan oleh U.


Tanuwidjaja. Institut Teknologi Bandung. Bandung.

Fandeli, Ch., 1992. Analisis Dampak Lingkungan. Prinsip dan Pemaparannya


dalam Pembangunan. Liberty, Jogyakarta.

Goeltenboth, F., 1992. Kerusakan Hutan dan Implikasinya Bagi Kesinambungan


Daya Dukung Lingkungan. Prisma 6 (21): 7-12.

Gradwohl, J. dan R. Greenberg, 1991. Menyelamatkan Hutan Tropika.


Diterjemahkan oleh H. Jhamtani. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.

Koswara, O., 1985. Dampak Pembangunan Pertanian pada Lingkungan Hidup.


Bahan Kuliah Kursus ANDAL, KLH-PUSDI-PSL. Institut Pertanian
Bogor. Bogor.

Novizan, 2002. Petunjuk Pemupukan yang Efektif. Kiat Mengatasi Permasalahan


Praktis. Agro Media Pustaka. Jakarta. 114 hal.

Permana, R. P. dan I. Kurniawan, 2001. Dampak Pengembangan Hutan Tanaman


Industri dan Perkebunan Kelapa Sawit terhadap Kebakaran Hutan dan
Lahan di Sumatera. Ringkasan Hasil Penelitian ICRAF/CIFOR,.
Halaman 40-48. Dalam Suyanto, S., R.P, Permana,. D, Sutijono dan G,
Applegate (eds.). Prosiding Seminar Sehari Akar Penyebab dan Dampak
Kebakaran Hutan dan Lahan di Sumatera pada Tanggal 11 Oktober 2001
di Bandar Lampung. ICRAF, CIFOR dan Uni Eropa. Bogor.

Rahman, M., 1992. Dampak Kegiatan Pertanian dan Kehutanan terhadap


Lingkungan Hidup. PSLH-UNAND. Padang.

Sastroutomo, S. S., 1992. Pestisida. Dasar-dasar dan Dampak Penggunaannya.


Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Suyanto, S. dan G. Applegate, 2001. Kebijakan mengenai Kebakaran Hutan dan


Lahan di Indonesia. Ringkasan Hasil Penelitian ICRAF/CIFOR,. Hal 1-
20. Dalam Suyanto, S., R.P, Permana, D, Sutijono dan G, Applegate
(eds). Prosiding Seminar Sehari Akar Penyebab dan Dampak Kebakaran
Hutan dan Lahan di Sumatera pada Tanggal 11 Oktober 2001 di Bandar
Lampung. ICRAF, CIFOR dan Uni Eropa. Bogor.

Wudianto, R., Petunjuk Penggunaan Pestisida. Penebar Swadaya. Jakarta. 201 hal.
312

KEMISKINAN SEBAGAI SALAH SATU FENOMENA


MASALAH LINGKUNGAN DI INDONESIA

OLEH :

DIANA AZIZAH

PROGRAM STUDI ILMU LINGKUNGAN


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
2006
313

I. PENDAHULUAN

1.1. Kompleksitas Kemiskinan di Indonesia

Pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan merupakan masalah klasik dalam

pembangunan ekonomi. Ada beberapa pendapat yang bertolak belakang mengenai

keterkaitan diantara dua konsep tersebut. Beberapa ahli berpendapat bahwa

kemiskinan dapat dikurangi dengan menciptakan pertumbuhan ekonomi yang

tinggi, namun sebaliknya beberapa ahli yang mengadakan studi empiris ada yang

menemukan pertumbuhan ekonomi yang tinggi justru menambah kemiskinan

(Tambunan, 2001).

Kemiskinan dalam pengertian konvensional pada umumnya (income)

komunitas yang berada dibawah satu garis kemiskinan tertentu (Yusuf, 2006).

Oleh karena itu sering sekali upaya pengentasan kemiskinan hanya bertumpu pada

upaya peningkatan pendapatan komunitas tersebut. Selanjutnya dinyatakan bahwa

pendekatan permasalahan kemiskinan dari segi pendapatan saja tidak mampu

memecahkan permasalahan komunitas. Karena permasalahan kemiskinan

komunitas bukan hanya masalah ekonomi namun meliputi berbagai masalah

lainnya. Kemiskinan dalam berbagai bidang ini disebut dengan kemiskinan plural.

Menurut Max-Neef et al, (dalam Zikrullah, 2006) sekurang-kurangnya ada 6

macam kemiskinan yang ditanggung komunitas, yaitu :

1. Kemiskinan sub-sistensi, penghasilan rendah, jam kerja panjang, perumahan

buruk, fasilitas air bersih mahal.

2. Kemiskinan perlindungan, lingkungan buruk (sanitasi, sarana pembuangan

sampah, polusi), kondisi kerja buruk, tidak ada jaminan atas hak pemilikan

tanah.
314

3. Kemiskinan pemahaman, kualitas pendidikan formal buruk, terbatasnya akses

atas informasi yang menyebabkan terbatasnya kesadaran atas hak, kemampuan

dan potensi untuk mengupayakan perubahan.

4. Kemiskinan partisipasi, tidak ada akses dan kontrol atas proses pengambilan

keputusan yang menyangkut nasib diri dan komunitas.

5. Kemiskinan identitas, terbatasnya perbauran antar kelompok sosial,

terfragmentasi.

6. Kemiskinan kebebasan, stres, rasa tidak berdaya, tidak aman baik di tingkat

pribadi maupun komunitas.

Bila ditinjau dari konsep kebutuhan, maka 6 macam kemiskinan ini bisa

diatasi dengan pemenuhan dua macam kebutuhan diatas. Kemiskinan ekonomi

diatasi dengan memenuhi kebutuhan praktis sedang kemiskinan yang lain diatasi

dengan pemenuhan kebutuhan strategis (Max et al., dalam Zikrullah, 2006).

Indonesia termasuk negara yang memiliki kenyakinan bahwa kemiskinan

dapat dikurangi dengan menciptakan pertumbuhan ekonomi tinggi (terutama pada

masa Orde Baru) dimana angka pertumbuhan ekonomi pernah mencapai 8 %,

namun hasilnya jauh dari apa yang diharapkan angka kemiskinan masih tinggi.

Kondisi ini diperparah dengan krisis yang melanda banga Indonesia, dimana

pertumbuhan ekonomi mencapai angka negatif dan angka kemiskinan semakin

tinggi. Moesa (2006) menyatakan pada tahun 2001 wakil presiden Bank Dunia

untuk kawasan Asia Timur dan Pasifik, menyatakan bahwa; kurang lebih 60

persen penduduk Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan, 10 sampai 20

persen diantara mereka berada pada kemiskinan absolut. Data tersebut didasarkan

pada kreteria kemiskinan internasional yang menetapkan batas kemiskinan adalah


315

kurang dari US$ 2 atau setara Rp 19.000,00 per hari. Pada tahun 2004 dengan

kreteria yang sama maka diperkirakan ada 52 % rakyat Indonesia yang berada di

bawah garis kemiskinan, sementara menurut BPS pada tahun 2004 angka

kemiskinan di Indonesia hanya mencapai 13 %. BPS (2006) melaporkan jumlah

penduduk miskin (penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan) di Indonesia

pada bulan Maret 2006 sebesar 39,05 juta (17,75 %). Dibandingkan dengan

penduduk miskin pada Februari 2005 yang berjumlah 35,10 juta (15,97 %), berarti

tingkat kemiskinan meningkat 1,78 %, atau bertambah sebanyak 3,95 juta orang.

Selain itu, BPS juga menyatakan (Kompas, 2006), bahwa tanpa program

kompensasi atau bantuan langsung tunai (BLT), jumlah penduduk miskin bisa

mencapai 50,8 juta orang (23,1 %).

Memang ukuran berhasil tidaknya pembangunan yang sedang kita

usahakan dewasa ini ialah sejauh mana kita berhasil mengurangi kemiskinan dan

keterbelakangan untuk akhirnya menghapuskan sama sekali sehingga berangsur-

angsur terwujudlah masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila.

Jadi daya upaya telah dan sedang dilakukan dari waktu kewaktu. Soalnya

hanyalah bagaimana kita bisa lebih mengintensifkan dan mengefektifkan

kemiskinan dan keterbelakangan itu, bagaimana dampaknya terhadap yang

bersangkutan sendiri dan terhadap lingkungannya, dan apa yang menjadi sebab-

sebabnya. Bertolak pada paparan di atas, tulisan ini mencoba memberikan

gambaran pertumbuhan ekonomi di Indonesia, gambaran kemiskinan, dan strategi

mengatasi kemiskinan di Indonesia. Diharapkan tulisan ini dapat memberikan

masukan pada pengambilan kebijakan dan pelaksana di lapangan terutama yang

terkait dengan pengentasan kemiskinan.


316

II. GAMBARAN PERTUMBUHAN EKONOMI DAN

2.1. Kemiskinan Di Indonesia

2.1.1. Indikator Pengukuran Kemiskinan di Indonesia

Secara konseptual kemiskinan dapat dipandang dari berbagai segi.

Pertama-tama dari segi subsistem, dimana penghasilan dan jerih payah seseorang

hanya pas-pasan untuk dimakan saja, atau bahkan tidak pula cukup untuk itu

(Maldonaldo, 2004). Segi ketidakmerataan menekankan pada posisi relatif dari

setiap golongan menurut penghasilannya terhadap posisi golongan yang lain;

sedang dari segi eksternal masyarakat disekelilingnya, yaitu bagaimana

kemiskinan yang berlarut-larut mengakibatkan dampak social yang tak ada

habisnya.

Soerjani (1987) mengungkapkan bahwa ada tiga macam kemiskinan, ialah

kemiskinan relatif yaitu menurut perbandingan kelas-kelas pendapatan;

kemiskinan subjektif, menurut perasaan per orang; dan kemiskinan absolut. Saat

ini yang paling rekevan dengan kondisi kemiskinan di daerah-daerah di Indonesia

adalah yang terakhir, karena kemiskinan absolut merupakan masalah yang actual,

paling rawan dan karenanya paling mendesak. Kemiskinan abosolut ialah apabila

tingkat hidup seseorang tidak memungkinkannya untuk bisa memenuhi keperluan-

perluannya yang mendasar, sehingga kesehatannya baik fisik maupun mental

tergangggu karenanya. Dari semua keperluan dasar itu (antara lain pangan,

sandang, papan, kesehatan dan pendidikan), yang paling pokok dan yang

memerlukan upaya untuk memperolehnya adalah pangan.

Jika tingkat nutrisi dan nilai gizi konsumsi pangan seseorang rendah

ditinjau dari segi penyediaan kalori per kapita per hari, maka implikasinya bisa
317

bermacam-macam, yaitu rendahnya tingkat harapan hidup, rendahnya kualitas

sumberdaya manusia atau tenaga kerja, rendahnya tingkat upah dan produktivitas

kerja, dan masih banyak lainnya. Atas dasar ini Sayogyo dalam Soerjani et al,

(1987) menentukan garis kemiskinan berdasarkan nilai gizi minimal yang

diperlukan rata-rata orang. Dari penelitiannya, ia menetapkan garis itu pada

pendapatan per kapitan setahun senilai 240 kg beras/tahun untuk daerah pedesaan

dan 360 kg beras/tahun untuk daerah perkotaan. Garis ini tentunya adalah garis

yang ―sangat miskin‖ karena hanya didasarkan atas sejumlah pangan minimal

yang diperlukan untuk sekedar menyambung hidup. Karena manusia juga

memiliki keperluan-keperluan dasar lainnya, yaitu pakaian, tempat berteduh dan

pelayanan-pelayanan serta fasilitas social yang lain, maka Sayogyo selanjutnya

menentuka pula garis kemiskinan ―moderat‖, yang tentunya agak lebih tinggi

tingkatnya.

Selain itu, masih terdapat konsep garis kemiskinan dari Bank Dunia/IMF

yang menetapkan garis kemiskinan atas dasar tingkat pendapatan per kapita per

tahun sebesar US $ 50 untuk daerah pedesaan dan US $ 75 untuk daerah

perkotaan menurut nilai US $ tahun 1973 (Ahluvia dalam Soerjani, 1987). Angka

ini bergerak terus. Pada tahun 1978 Bank Dunia menetapkan batas kemiskinan

bagi Indonesia pada tingkat pengeluaran konsumsi per tahun per kapita sebesar

US $ 90. dengan perhitungan ini pada tahun ini terdapat 38 % dari seluruh jumlah

penduduk atau sekitar 50 juta orang berada di bawah garis kemiskinan yang

absolut. Karena garis kemiskinan Bank Dunia ini ―dinamis‖ atau bergerak terus,

sehingga sulit untuk dijadikan ukuran yang pasti bagi batas kemiskinan. Antara

kedua konsep itu sesungguhnya tidak banyak perbedaan.


318

Atas dasar konsep Sayogyo di atas telah diterbitkan angka-angka

mengenai kemiskinan oleh Biro Pusat Statistik sebagai hasil Survei Sosial

Ekonomi Nasional (SUSENAS) dan Survei Angakatan Kerja Nasional

(SAKERNAS) yang daripadanya dapat diambil kesimpulan bahwa kemiskinan

terburuk terdapat diantara kaum tani, yang berarti bahwa daerah pedesaan adalah

yang menderita oleh ―wabah‖ kemiskinan (BPS, 1989). Dari analisis Sayogyo

tentang masalah agraria (1983) terungkap kecendrungan laju perbaikan tingkat

hidup rumah tangga Indonesia berdasarkan SUSENAS dengan menggunakan

kriteria garis kemiskinan senilai 20 Kg beraskapita/bulan didesa diterima sebagai

patokan dan dikota senilai 30 Kg beras/kapita/bulan, maka terungkap persentase

penduduk miskin di pedesaan Jawa menurun 39,5 % menjadi 32,5 %. Sedangkan

dipedesaan luar Jawa menurun dari 27,8 % menjadi 9,9 % penduduk. Sementara

itu dikota-kota Jawa golongan miskin menurun dari 43,7 % menjadi 24,0 % dan

dikota-kota luar Jawa golongan miskin menurun dari 39 % menjadi 12 %.

Sayogyo berkesimpulan di pedesaan Jawa dimana sebagian besar penduduk

miskin hidup, proses pemerataan yang memungkinkan lapisan bawah memperoleh

kemajuan sampai tahun 1980 masih lamban bila dibandingkan dengan yang

terjadi dikota. Laju penurunan persentase golongan miskin setahun hanya 1,2 %

dipedesaan dibandingkan dengan 1,97 % dikota. Padahl garis kemiskinan itu garis

―nyaris cukup pangan‖. Di tahun 1982 dipedesaan masih ada  25 % penduduk

ditaksir kurang pangan, meskipun pendapatan rata-rata nasional sudah mencapai

US $ 580/orang setahun. Lapisan buruh tani yang tergolong paling banyak terkena

―kurang pangan‖ itu justru mereka yang memerlukan pangan yang cukup untuk

kerja keras.
319

Kemiskinan didefinisikan oleh Badan Pusat Statistik (2000) sebagai pola

konsumsi yang setara dengan beras 320 kg/kapita/tahun di pedesaan dan 480

kg/kapita/tahun di daerah perkotaan. Menurut hasil survey SUSENAS (1999),

kemiskinan disetarakan dengan pengeluaran untuk bahan makanan dan non

makanan sebesar Rp 89.845,- /kapita/bulan dan Rp 69.420,- /kapita/bulan.

Sedangkan bagi dinas sosial mendifinisikan orang miskin adalah mereka yang

sama sekali tidak mempunyai sumber mata pencaharian dan tidak mampu

memenuhi kebutuhan dasar mereka yang layak bagi kemanusiaan dan mereka

yang sudah mempunyai mata pencaharian tetapi tidak dapat memenuhi kebutuhan

dasar yang layak bagi kemanusiaan. Ukuran kemiskinan lainnya dari BKKBN

yaitu berdasarkan kelompok prasejahtera dan sejahtera I. Kedua kriteria

kemiskinan itu adalah paling banyak digunakan dalam menentukan penduduk

miskin (Mankiw, 2000).

Dampak kemiskinan terhadap orang-orang miskin sendiri dan terhadap

lingkungannya, baik lingkungan sosial maupun lingkungan alam, dengan

sendirinya sudah jelas negatif. Orang miskin tidak mampu memenuhi keperluan

gizi minimal bagi dirinya sendiri maupun keluarganya, dengan akibat bahwa ia

dan keluarganya merana fisik dan mental. Dampak langsung tentunya adalah

keterbelakangan dan rendahnya produktifitas. Hal ini telihat dari kenyataan bahwa

angkatan kerja yang terlibat di sektor pertanian (59,1 %) tidak mampu mencukupi

pangan bagi dirinya sendiri apalagi bagi penduduk Indonesia. Jutaan ton beras

masih harus diimpor, demikian pula gula, kedelai, buah-buahan dan bahkan kopra

(untuk negeri yang terkenal dengan ―nyiur melambai‖nya). Ini jelas merisaukan,

walau tidak memalukan (Arsana, 2004).


320

Selanjutnya Arsana (2004) mencontohkan bahwa sebagai kontras,

angkatan kerja pertanian di Amerika (4 %) mampu memberi makan lebih cukup

bagi bangsanya, bahkan surplusnya sesudah diekspor diborong oleh

pemerintahnya untuk dipakai sebagai bantuan kepada negara lain. Rendahnya gizi

yang menyebabkan rendahnya produktifitas ini menyebabkan tingkat upah yang

diterima juga rendah. Dari gambaran umum yang bisa diketahui, didapat

keterangan bahwa upah buruh di Indonesia kebanyakan tidak lebih dari satu dollar

AS per harinya dengan 8 jam kerja per hari .

Secara umum di Indonesia saat ini memakai standar pengukuran

kemiskinan dari standar Bank Dunia (BPM, 2004). Namun beberapa pendekatan

atau tepatnya penyesuian dilakukan oleh Biro Pusat Statistik (BPS) dalam

menghitung batas miskin. Kajian utama didasarkan pada ukuran pendapatan

(ukuran finansial), dimana batas kemiskinan dihitung dari besarnya rupiah yang

dibelanjakan per kapita sebulan untuk memenuhi kebutuhan minimum makanan

dan bukan makanan. Untuk kebutuhan makanan digunakan patokan 2100 kalori

perhari.

Sedangkan pengeluaran kebutuhan minimum bukan makanan meliputi

pengeluaran untuk perumahan, sandang, serta aneka barang dan jasa. Pengeluaran

bukan makanan ini dibedakan antara perkotaan dan pedesaan. Pola ini telah dianut

secara konsisten oleh BPS sejak tahun 1976. Sayogyo dan Poli (dalam Tambunan,

2001) menentukan garis kemiskinan menggunakan ekuivalen konsumsi beras per

kapita. Konsumsi beras untuk perkotaan dan pedesaan masing masing ditentukan

sebesar 360 kg dan 240 kg per kapita per tahun. Sebaliknya Bank Dunia

menggunakan standard mata uang dollar Amerika Serikat, yaitu untuk dekade
321

1980, standar pengeluaran untuk makanan adalah 50 dolar AS untuk pedesaan dan

75 dolar AS untuk per kapita per bulan.

2.1.2. Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia

Lebih dari enam puluh (60) tahun bangsa Indonesia melakukan

pembangunan ekonomi, selama itu pula pertumbuhan ekonomi mengalami pasang

surut. Fluktuasi pertumbuhan ekonomi Indonesia sangat terkait dengan fluktuasi

stabilitas sosial, politik dan keamanan (BPM, 2004). selanjutnya juga dinyatakan

bahwa pertumbuhan ekonomi dapat dilihat dari nilai absolut maupun relatif.

Secara absolut berarti dilihat dari perubahan PDB tahun lalu dengan tahun

sekarang. Misalnya PDB tahun 2004 tumbuh Rp 3 triliun dari tahun 2003.

Sedangkan secara relatif pertumbuhan ekonomi dapat dihitung sebagai berikut:

PDBt = [ PDBt - PDBt-1/PDBt-1] x 100%

Dimana PDBt = adalah pertumbuhan ekonomi tahun (t), PDBt adalah PDB

tahun tertentu dalam nilai absolut dan PDBt-1 adalah PDB tahun sebelumnya.

Untuk mempermudah penggambaran, masa pertumbuhan ekonomi dipilah

menjadi tiga (3), yaitu masa orde lama, orde baru dan masa reformasi.

1. Masa Orde Lama

Setelah kemerdekaan hingga tahun 1965, perekonomian Indonesia memasuki

era yang sangat sulit, karena bangsa Indonesia menghadapi gejolak sosial,

politik dan keamanan yang sangat dahsyat, sehingga pertumbuhan ekonomi

kurang diperhatikan. Kegiatan ekonomi masyarakat sangat minim,

perusahaan-perusahaan besar saat itu merupakan perusahaan peninggalan

penjajah yang mayoritas milik orang asing, dimana produk berorientasi pada
322

ekspor. Kondisi stabilitas sosial- politik dan keamanan yang kurang stabil

membuat perusahaan-perusahaan tersebut stagnan.

Pada periode tahun 1950-an Indonesia menerapkan model Guidance

Development dalam pengelolaan ekonomi, dengan pola dasar Growth with

Distribution of Wealth di mana peran pemerintah pusat sangat dominan dalam

mengatur pertumbuhan ekonomi (pembangunan semesta berencana) (Mankiw,

2000). Model ini tidak berhasil, karena begitu kompleknya permasalahan

ekonomi, sosial, politik dan keamanan yang dihadapi pemerintah dan ingin

diselesaikan secara bersama-sama dan simultan. Puncak kegagalan

pembangunan ekonomi orde lama adalah terjadi hiper inflasi yang mencapai

lebih 500% pada akhir tahun 1965 (Tambunan, 2001).

2. Masa Orde Baru

Belajar dari kegagalan Orde Lama, Orde Baru sejak awal tahun 1970

menerapkan Planned Economy dengan pola Growth First then Distribution of

Wealth (Mankiw, 2000). Planned economy yang dianut Indonesia merujuk

pada pertumbuhan perekonomiannya Rostow, dimana kemajuan perekonomian

suatu masyarakat melalui beberapa tahapan, sehingga pada masa itu

pemerintah mengenalkan adanya Pembangunan Jangka Panjang Tahap I

(PJPT I), dan PJPT II (Mankiw, 2000). Pembangunan jangka panjang juga

dimasyarakatkan dengan nama Repelita (Rencana Pembangunan Lima

Tahun), program ini menunjukkan keberhasilan, terutama dilihat dari indikator

makro ekonomi, yaitu tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi,

pertumbuhan pendapatan yang tinggi, tingkat inflasi yang rendah, kestabilan

nilai tukar rupiah, rendahnya tingkat pengangguran dan perbaikan sarana


323

perekonomian. Tahapan model pembangunan Rostow tampak jelas pada

tahapan-tahapan pelita di Indonesia selama PJPT I.

Tahap pertama adalah mengubah pola ekonomi tradisional yang berbasis

pertanian tradisional, dimana penguasaan teknologi masyarakat sangat rendah,

sehingga mayoritas produksi adalah barang-barang pertanian dan bahan

mentah menuju pola ekonomi industri (industrial economy), di mana kegiatan

ekonomi bertumpu pada industri. Ciri utama pada tahap ini adalah, pertama

struktur masyarakat bejenjang, penguasaan teknologi sangat terbatas,

penguasaan sumberdaya yang dipengaruhi oleh hubungan darah/keluarga dan

produk utama adalah pertanian.

Tahap kedua adalah precondition untuk take-off, mempunyai beberapa

indikator. Sektor pertanian masih merupakan sektor yang dominan dan

penting, kegiatan perekonomian mulai bergerak dinamis, sektor industri, jasa

dan lembaga keuangan mulai berkembang. Tahap kedua ini tahap yang sangat

krusial, karena menyiapkan prasarat untuk tinggal landas. Prasarat yang harus

disiapkan untuk lepas landas meliputi: Pertama, perbaikan infrastruktur,

terutama jalan raya, pelabuhan, rel kerat api, lapangan terbang. Pada tahap ini

pertumbuhan pendapatan tinggi dan diikuti dengan menurunnya tingkat

pertumbuhan penduduk, pertumbuhan ekonomi meningkat tajam, capital-labor

ratio semakin meningkat, share industri dalam pertumbuhan ekonomi semakin

besar (bahkan mulai menggeser peranan sektor pertanian).

Tahap ketiga adalah initiating take-off, di mana dalam tahap ini peran

pemerintah mulai berkurang. Porsi pembangunan mulai diserahkan kepada

swasta. Pemerintah lebih bersifat pendorong, melalui peraturan dan kestabilan


324

politik. Beberapa indikator utama dalam tahap ini adalah pertama, terjadinya

perubahan teknologi dalam pengelolaan baik sektor industri maupun

pertanian. Ratio capital to labor semakin meningkat. Kedua, peran penanaman

modal asing dalam pembangunan ekonomi semakin tinggi, bahkan jauh lebih

tinggi dari peran swasta domestik maupun negara. Selanjutnya, growth model

bertumpu pada akumulasi kapital melalui pasar modal. Ini berarti peran rakyat

dalam pembangunan mulai diaktifkan, terutama dalam akumulasi modal

melalui transaksi di pasar modal.

Tahap keempat adalah take-off. Tahap tinggal landas merupakan tahap yang

paling menentukan dalam proses pembangunan ekonomi. Tinggal landas

menurut Kuncoro (2000) diartikan sebagai tiga (3) kondisi yang saling terkait,

yaitu: (1) Kenaikan laju investasi produktif antara 5 – 10 persen dari

pendapatan nasional, (2) Perkembangan salah satu atau beberapa sektor

manufaktur penting dengan laju pertumbuhan tinggi (3) Adanya kerangka

politik, sosial dan institusional yang jelas, yang dapat mendorong ekspansi di

sektor modern. Ciri lain pada tahap ini terletak pada peran pemerintah dalam

pembangunan ekonomi hanyalah sebagai fasilitator, bukan lagi inisiator. Peran

swasta sangat tinggi dalam pembangunan, mekanisme pasar mulai

diperkenalkan dan local currency memasuki perdagangan international.

Tahap kelima adalah tahap konsumsi tinggi. Pada tahap akhir perkembangan

perekonomian Rostow ini akan ditandai adanya migrasi besar-besaran

penduduk kota ke daerah pinggiran kota. Masyarakat mulai timbul kesadaran

bahwa kesejahteraan bukan masalah individu, yang hanya dipecahkan dengan

konsumsi individu, namun kesejahteraan merupakan kebutuhan bersama.


325

Meskipun pertumbuhan ekonomi masa orde baru cukup tinggi, dimana

pertumbuhan ekonomi tertinggi pernah mencapai 8 persen dan pendapatan

perkapita mencapai US$ 3.450, namun angka kemiskinan di Indonesia masih

tetap tinggi (Mankiw, 2000). Pertumbuhan ekonomi yang dicerminkan pada

pertumbuhan pendapatan nasional, ternyata hanya dinikmati golongan

masarakat tertentu saja. Pembangunan ekonomi model Growth First then

Distribution of Wealth ternyata menimbulkan kesenjangan sosial ekonomi

pada masyarakat. Dengan berakhirnya PJPT I diharapkan Indonesia sudah

mencapai tahap take-off, namun kondisi empirik menunjukkan hasil yang

berbeda. Hasil pembangunan ekonomi tidak dirasakan secara merata oleh

masyarakat, sehingga perekonomian menjadi rapuh. Puncak kegagalan

pembangunan ekonomi orde baru adalah terjadi krisis ekonomi pada tahun

1997-1998 (Tambunan, 2001).

3. Masa Reformasi

Pada masa reformasi perekonomian Indonesia memasuki masa sulit, bahkan

sampai saat ini kegiatan perekonomian belum tumbuh normal seperti masa

sebelum krisis. Krisis ekonomi yang diawali tahun 1997 telah berdampak luas

pada semua aspek kehidupan masyarakat, sehingga memicu instabilitas pada

bidang sosial, politik dan keamanan. Kondisi ini memicu timbulnya kekacauan

dalam kegiatan perekonomian dan laju inflasi yang semakin tinggi.

Begitu beratnya kondisi perekonomoian Indonesia sehingga terpuruk di mata

Internasional. Pertumbuhan ekonomi menjadi negatif, pendapatan perkapita

sebelum krisis mencapai US$ 3.450 pada tahun 1999 merosot menjadi US$

580 (Kuncoro, 2000). Demikian juga dengan nilai kurs rupiah yang sempat
326

menyentuh nilai tertinggi Rp 17.500 per US$ 1. Kondisi ini diperparah dengan

rendahnya kepercayaan masyarakat nasional maupun internasional terhadap

perekonomian Indonesia, sehingga aktivitas di pasar modal didominasi oleh

aktivitas jual, bukan pembelian. Setelah tahun 2000 perekomian mulai

recovery sehingga pertumbuhan ekonomi Indonesia mulai positif, sektor-

sektor perekonomian yang sebelumnya tumbuh negatif, sudah berkembang

menjadi positif. Diperkirakan pertumbuhan ekonomi berkisar antara 3 sampai

4 persen (Sugiarto, 2004).

2.1.3. Gambaran Kemiskinan Indonesia Saat Sekarang

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (1999), persentase penduduk

miskin di Indonesia tahun 1996 masih sangat tinggi, yaitu sebesar 17,5 % atau

34,5 juta orang. Hal ini bertolak belakang dengan pandangan banyak ekonom

yang menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi dapat meningkatkan

pendapatan masyarakat dan pada akhirnya mengurangi penduduk miskin.

Perhatian pemerintah terhadap pengentasan kemiskinan pada pemerintahan

reformasi terlihat lebih besar lagi setelah terjadinya krisis ekonomi pada

pertengahan tahun 1997. Meskipun demikian, berdasarkan penghitungan BPS

(2004), persentase penduduk miskin di Indonesia sampai tahun 2003 masih tetap

tinggi, sebesar 17,4 %, dengan jumlah penduduk yang lebih besar, yaitu 37,4 juta

orang.

Bahkan, berdasarkan angka Badan Koordinasi Keluarga Berencana

Nasional (BKKBN) pada tahun 2001, persentase keluarga miskin (keluarga

prasejahtera dan sejahtera I) pada 2001 mencapai 52,07 %, atau lebih dari separuh

jumlah keluarga di Indonesia. Angka-angka ini mengindikasikan bahwa program-


327

program penanggulangan kemiskinan selama ini belum berhasil mengatasi

masalah kemiskinan di Indonesia.

Beberapa pelajaran penting yang bisa dipetik dari diumumkannya angka

kemiskinan per Maret 2006 adalah dalam press-release, BPS (2006) melaporkan

jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan) di

Indonesia pada bulan Maret 2006 sebesar 39,05 juta (17,75 persen). Dibandingkan

dengan penduduk miskin pada Februari 2005 yang berjumlah 35,10 juta (15,97

%), berarti tingkat kemiskinan meningkat 1,78 %, atau bertambah sebanyak 3,95

juta orang (BPS, 2006). Selain itu, BPS (2006) juga menyatakan bahwa tanpa

program kompensasi atau Bantuan Langsung Tunai (BLT), jumlah penduduk

miskin bisa mencapai 50,8 juta orang (23,1 %).

Mengapa penduduk miskin masih bertambah walaupun ada program

kompensasi? Ada beberapa alasan dan ini sangat terkait dengan bagaimana

pemerintah memprediksi dampak kenaikan harga BBM, dan menyusun langkah-

langkah responsifnya. Ini juga ternyata akan menjadi pelajaran tentang bagaimana

proses pengambilan kebijakan terjadi. Dari mulai, analisis, prediksi, pengambilan

keputusan, dan langkah-langkah antisipasi atau mitigasi-nya (Yusuf, 2006).

Pertama, dengan masih meningkatnya kemiskinan, ini mengindikasikan

bahwa prediksi pemerintah dan tim penyusun kebijakan serta tim ekonominya

tidak akurat. Beberapa kemungkinan ketidakakuratan tersebut adalah :

1. Ekspektasi dan antisipasi pemerintah akan dampak inflasi yang disebabkan

kenaikan harga BBM. Ini menyangkut analisis, studi atau kajian, bahkan

model ekonomi yang dipakai pemerintah. Pemerintah saat itu seperti over-

confidence mengacu hanya pada satu-dua institusi pengkajian, semisal


328

LPEM UI. Masih banyak lembaga dan akademisi lain yang juga kompeten

untuk dimintai pendapat.

2. Perkiraan dampak inflasi tersebut terhadap kemiskinan. Ini penting karena

akan berimplikasi terhadap besaran serta mekanisme BLT yang akan

dilakukan. BPS mencatat misalnya, garis kemiskinan meningkat sebesar

18,39 %, lebih tinggi daripada inflasi. Ini harus menjadi catatan yang harus

diingat bahwa ternyata rakyat miskin jauh lebih rentan terhadap inflasi.

Implikasinya luas karena inflasi adalah tanggung jawab berbagai institusi

pemerintah (misal BI) sehingga menuntut koordinasi dan kombinasi

kebijakan (policy-mix) yang baik.

Alasan terakhir mengapa kemiskinan tetap bertambah tentunya adalah

rendahnya efektivitas BLT. Ada banyak alasan yang bisa menjadi penyebab tidak

efektifnya program BLT. Salah satunya, adalah jumlah nominal BLT yang terlalu

seragam (Yusuf, 2006). Kembali, mengutip press-release BPS, misalnya, khusus

untuk daerah perkotaan, biaya listrik, angkutan dan minyak tanah (barang-barang

yang paling terkena dampak naiknya harga BBM) mempunyai pengaruh yang

cukup besar, sementara untuk daerah perdesaan pengaruhnya relatif kecil (kurang

dari 2 %). Orang miskin perkotaan lebih rentan daripada di pedesaan. Semestinya,

nominal BLT-nya tidak disamakan dengan di pedesaan. Diduga hal ini

menunjukkan bahwa orang miskin di perkotaan under-compensated sementara di

beberapa kabupaten di pedesaan over-compensated oleh BLT. Kota Bogor

misalnya, adalah salah satu yang terkena dampak tertinggi karena, selain daerah

urban, juga daerah satelit Jakarta, di mana biaya transportasi masyarakatnya

sangat dominan.
329

Lepas dari itu semua, kita juga tetap harus ingat bahwa BLT itu program

yang sifatnya adhoc, atau situasional (Yusuf, 2006). Dalam konteks BLT, isunya

bukan mengurangi atau mengeradikasi kemiskinan secara struktural. Isu utamanya

adalah efesiensi ekonomi dengan mengurangi subsidi BBM, dimana BLT adalah

kebijakan diskresioner-nya atau kebijakan mitigasinya (kebijakan tambal sulam).

Ada benarnya, kalau dikatakan kebijakan BLT itu lebih bersifat politis daripada

menyelesaikan akar masalah kemiskinan. Yaitu supaya dukungan ke pemerintah

tidak berkurang drastis sebagai dampak dari kebijakan penghapusan subsidi BBM

yang tidak populis. Pemerintah sadar akan hal ini, sehingga sampai kapan pun

dikritik bahwa BLT tidak menyelesaikan masalah kemiskinan, tentunya akan

tenang-tenang saja karena memang tujuan utamanya bukan itu. Hal ini tampak

jelas, dengan segera dihapuskannya program BLT untuk diganti dengan

kebijakan-kebijakan penghapusan kemiskinan yang lebih struktural seperti

program padat karya atau pengembangan kecamatan.


330

III. KEMISKINAN DI INDONESIA MENJADI MASALAH


BERKELANJUTAN

3.1. Kemiskinan dan Kegagalan Mengatasinya

Sejak awal kemerdekaan, bangsa Indonesia telah mempunyai perhatian

besar terhadap terciptanya masyarakat yang adil dan makmur sebagaimana

termuat dalam alinea keempat Undang-Undang Dasar 1945. Program-program

pembangunan yang dilaksanakan selama ini juga selalu memberikan perhatian

besar terhadap upaya pengentasan kemiskinan karena pada dasarnya

pembangunan yang dilakukan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan

masyarakat. Meskipun demikian, masalah kemiskinan sampai saat ini terus-

menerus menjadi masalah yang berkepanjangan. Pada umumnya, partai-partai

peserta Pemilihan Umum (Pemilu) 2004 juga mencantumkan program

pengentasan kemiskinan sebagai program utama dalam platform mereka. Pada

masa Orde Baru, walaupun mengalami pertumbuhan ekonomi cukup tinggi, yaitu

rata-rata sebesar 7,5 persen selama tahun 1970-1996, penduduk miskin di

Indonesia tetap tinggi (http://www.duniaesai.com, 2006).

Pada dasarnya ada dua faktor penting yang dapat menyebabkan kegagalan

program penanggulangan kemiskinan di Indonesia (Kuncoro, 2000). Pertama,

program- program penanggulangan kemiskinan selama ini cenderung berfokus

pada upaya penyaluran bantuan sosial untuk orang miskin. Hal itu, antara lain,

berupa beras untuk rakyat miskin dan program jaring pengaman sosial (JPS) untuk

orang miskin. Upaya seperti ini akan sulit menyelesaikan persoalan kemiskinan

yang ada karena sifat bantuan tidaklah untuk pemberdayaan, bahkan dapat

menimbulkan ketergantungan.
331

Program-program bantuan yang berorientasi pada kedermawanan

pemerintah ini justru dapat memperburuk moral dan perilaku masyarakat miskin

(Yusuf, 2006). Program bantuan untuk orang miskin seharusnya lebih difokuskan

untuk menumbuhkan budaya ekonomi produktif dan mampu membebaskan

ketergantungan penduduk yang bersifat permanen. Di lain pihak, program-

program bantuan sosial ini juga dapat menimbulkan korupsi dalam

penyalurannya.

Alangkah lebih baik apabila dana-dana bantuan tersebut langsung

digunakan untuk peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM), seperti

dibebaskannya biaya sekolah, seperti sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah

pertama (SMP), serta dibebaskannya biaya- biaya pengobatan di pusat kesehatan

masyarakat (puskesmas).

Faktor kedua yang dapat mengakibatkan gagalnya program

penanggulangan kemiskinan adalah kurangnya pemahaman berbagai pihak

tentang penyebab kemiskinan itu sendiri sehingga program-program

pembangunan yang ada tidak didasarkan pada isu-isu kemiskinan, yang

penyebabnya berbeda-beda secara local (Kuncoro, 2006). Sebagaimana diketahui,

data dan informasi yang digunakan untuk program-program penanggulangan

kemiskinan selama ini adalah data makro hasil Survei Sosial dan Ekonomi

Nasional (SUSENAS) oleh BPS dan data mikro hasil pendaftaran keluarga

prasejahtera dan sejahtera I oleh BKKBN.

Kedua data ini pada dasarnya ditujukan untuk kepentingan perencanaan

nasional yang sentralistik, dengan asumsi yang menekankan pada keseragaman

dan fokus pada indikator dampak. Pada kenyataannya, data dan informasi seperti
332

ini tidak akan dapat mencerminkan tingkat keragaman dan kompleksitas yang ada

di Indonesia sebagai negara besar yang mencakup banyak wilayah yang sangat

berbeda, baik dari segi ekologi, organisasi sosial, sifat budaya, maupun bentuk

ekonomi yang berlaku secara lokal. Bisa saja terjadi bahwa angka-angka

kemiskinan tersebut tidak realistis untuk kepentingan lokal, dan bahkan bisa

membingungkan pemimpin lokal (pemerintah kabupaten/kota). Sebagai contoh

adalah kasus yang terjadi di Kabupaten Sumba Timur (http://www.kompas.com,

2006). Pemerintah Kabupaten Sumba Timur merasa kesulitan dalam menyalurkan

beras untuk orang miskin karena adanya dua angka kemiskinan yang sangat

berbeda antara BPS dan BKKBN pada waktu itu. Di satu pihak angka kemiskinan

Sumba Timur yang dihasilkan BPS pada tahun 1999 adalah 27 persen, sementara

angka kemiskinan (keluarga prasejahtera dan sejahtera I) yang dihasilkan BKKBN

pada tahun yang sama mencapai 84 persen. Kedua angka ini cukup menyulitkan

pemerintah dalam menyalurkan bantuan-bantuan karena data yang digunakan

untuk target sasaran rumah tangga adalah data BKKBN, sementara alokasi

bantuan didasarkan pada angka BPS.

Secara konseptual, data makro yang dihitung BPS selama ini dengan

pendekatan kebutuhan dasar (Basic Needs Approach) pada dasarnya (walaupun

belum sempurna) dapat digunakan untuk memantau perkembangan serta

perbandingan penduduk miskin antar daerah (BPS, 1999). Namun, data makro

tersebut mempunyai keterbatasan karena hanya bersifat indikator dampak yang

dapat digunakan untuk target sasaran geografis, tetapi tidak dapat digunakan

untuk target sasaran individu rumah tangga atau keluarga miskin. Untuk target

sasaran rumah tangga miskin, diperlukan data mikro yang dapat menjelaskan
333

penyebab kemiskinan secara lokal, bukan secara agregat seperti melalui model-

model ekonometrik. Untuk data mikro, beberapa lembaga pemerintah telah

berusaha mengumpulkan data keluarga atau rumah tangga miskin secara lengkap,

antara lain data keluarga prasejahtera dan sejahtera I oleh BKKBN dan data

rumah tangga miskin oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Pemerintah Provinsi

Kalimantan Selatan, dan Pemerintah Provinsi Jawa Timur (Mankiw, 2000). Meski

demikian, indikator- indikator yang dihasilkan masih terbatas pada identifikasi

rumah tangga. Di samping itu, indikator-indikator tersebut selain tidak bisa

menjelaskan penyebab kemiskinan, juga masih bersifat sentralistik dan seragam-

tidak dikembangkan dari kondisi akar rumput dan belum tentu mewakili keutuhan

sistem sosial yang spesifik-lokal.

3.2. Kerusakan Lingkungan (Sumber daya Alam) Sebagai Penyebab


Kemiskinan

Soerjani et al., (1987) menyatakan bahwa penyebab kemiskinan dapat

dikelompokkan menjadi dua (2) golongan. Pertama, kemiskinan yang ditimbulkan

oleh faktor alamiah, yaitu kondisi lingkungan yang miskin, ilmu pengetahuan

yang tidak memadai, adanya bencana alam dan lain lain. Dengan kata lain

kemiskinan yang disebabkan mereka memang miskin. Kedua, kemiskinan yang

disebabkan faktor non alamiah, yaitu adanya kesalahan kebijakan ekonomi,

korupsi, kondisi politik yang tidak stabil, kesalahan pengelolaan sumber daya

alam.

Namba (2003) menyatakan bahwa kemiskinan yang disebabkan kesalahan

pengelolaan sumberdaya alam sehingga menimbulkan kerusakan ekosistem lebih

sulit diatasi dibandingkan penyebab kemiskinan yang lain. Karena kemiskinan


334

yang disebabkan kerusakan ekosistem permasalahnya sangat komplek dan rumit.

Selanjutnya dinyatakan bahwa profil kemiskinan dapat dilihat dari karakteristik

ekonominya seperti sumber pendapatan, pola konsumsi/pengeluaran, tingkat

beban tanggungan dan lain lain. Juga perlu diperhatikan profil kemiskinan dari

karakteristik sosial-budaya dan karakteristik demografinya seperti tingkat

pendidikan, cara memperoleh fasilitas kesehatan, jumlah anggota keluarga, cara

memperoleh air bersih dan sebagainya. Berikutnya tentang penyebaran

kemiskinan dapat dilihat dari karakteristik geografisnya, yaitu dengan menentukan

di mana penduduk miskin terkonsentrasi. Untuk kasus Indonesia, aspek geografis

ini bisa terbagi dalam penyebaran kota dan desa, di Jawa dan di luar Jawa.

3.2.1. Korban Bencana Lumpur Lapindo Brantas

Ribuan orang di Kabupaten Sidoarjo telah beberapa bulan lamanya

terpaksa merelakan tempat tinggal berikut harta benda mereka terendam lumpur

panas semburan sumur gas yang eksplorasi PT Lapindo Brantas

(http://www.kompas.com, 2006). Bukan hanya tempat tinggal, atau hilangnya

mata pencaharian, lumpur juga tak ayal telah mengakibatkan lenyapnya

penghidupan normal masyarakat. Terganggunya hak untuk mendapatkan

pendidikan, lenyapnya rasa aman (dihinggapi rasa takut dan cemas), tercerabutnya

orang dari akar budaya dan kehidupan sosial, munculnya konflik horisontal, serta

ketiadaan informasi yang menyebabkan kebingungan, ketakutan, dan

ketidakpastian, adalah sebagian dari banyak dampak yang muncul.

Pengakuan Pemerintah Indonesia terhadap hak lingkungan hidup terbilang

agak terlambat dan kalah dari negara-negara lain. Pada tahun 1974, peraih hadiah

Nobel, Rene Cassin dalam Sugiarto (2004), mengusulkan agar konsep


335

perlindungan HAM yang berkembang saat itu diperluas dengan memasukkan juga

hak atas lingkungan hidup yang sehat dan baik. Usul Rene dilatarbelakangi

munculnya persoalan lingkungan (khususnya pencemaran oleh industri) yang

sangat merugikan perikehidupan masyarakat. Dengan memasukkan masalah hak

atas lingkungan hidup yang sehat dan baik ke dalam konsep HAM, maka

perlindungan lingkungan di tingkat nasional dapat menjadi hak yang dilindungi

konstitusi. Instrumen perlindungan hak atas lingkungan hidup disebutkan dalam

Kovenan Internasional untuk Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (ICESCR).

Banyak pasal yang termaktub dalam kovenan ini merupakan "kunci" bagi

pengembangan konstitusi tentang hak atas lingkungan hidup. Dibandingkan

dengan negara-negara lain, hak atas lingkungan yang sehat telah diakui oleh

konstitusi nasional Afrika Selatan, Korea Selatan, Ekuador, Hungaria, Peru,

Portugal, dan Filipina.

Kebijakan pembangunan yang mengabaikan aspek perlindungan

lingkungan dapat mengakibatkan merosotnya mutu lingkungan, yang kemudian

mengancam hidup manusia, seperti terlihat dari kasus Minamata (Jepang), Bhopal

(India), dan Chernobyl (Rusia) yang merugikan kesehatan manusia. Kemerosotan

mutu lingkungan tersebut, mengancam hak hidup manusia, sementara hak itu

dijamin oleh ICESCR pasal 4 dan Konvensi HAM Eropa tahun 1950 (Sugiarto,

2004).

Selain menyinggung HAM, hak atas lingkungan hidup juga terkait dengan

hak asasi untuk melakukan pembangunan, yang secara tegas disebutkan pertama

kali dalam Deklarasi Stockholm tahun 1972. Keterkaitan degradasi lingkungan

hidup dapat terlihat di negara-negara berkembang dan miskin. Kemiskinan


336

mendorong manusia untuk mengeksploitasi sumber daya alam secara tidak

berkelanjutan, kemiskinan mempersulit negara menyisihkan biaya perlindungan

lingkungan yang dibutuhkan (Maldonaldo, 2004).

3.2.2. Banjir di Musim Penghujan dan Kekeringan di Musim Kemarau

Bencana alam kembali muncul di musim penghujan ini. Kali ini terjadi di

Sumatera, Kalimantan, dan Jawa. Banjir yang melanda wilayah tersebut

mengakibatkan beberapa daerah terisolasi, menimbulkan korban dan kerugian

finansial. Hal ini diakibat dari illegal logging yang terjadi di mana-mana dengan

kecepatan perusakan hutan yang amat dahsyat, lebih dari 7 hektar per menit dan

terus mengalami percepatan (http://www.kompas.com, 2006). Manusia membabat

hutan dengan serampangan, terus merusak hutan demi tumpukan uang dari

penjualan kayu gelondongan, memperluas persawahan, perkebunan dan daerah

hunian. Keserakahan manusia inilah yang mengakibatkan berkurangnya daya

dukung alam sehingga tak heran jika terjadi berbagai bencana seperti banjir disaat

musim penghujan dan kekeringan yang berkepanjangan dimusim kemarau.

Kerusakan lingkungan alam seperti yang terjadi di Sulawesi Selatan ini

berawal dari rusaknya lingkungan sosial dan lingkungan budaya. Lingkungan

sosial yang disesaki oleh pengangguran dan kemiskinan menyebabkan individu

yang berada di dalamnya berusaha mencari penghasilan dengan cara apapun,

termasuk dengan menebang pohon secara liar. Para penganggur yang miskin itu

tidak bisa bertahan hidup tanpa pekerjaan. Sementara pekerjaan begitu sulit

didapatkan. Akhirnya, mereka melirik hutan dan melihat potensi penghasilan yang

menggiurkan.
337

Kondisi ini semakin diperparah oleh rusaknya lingkungan budaya. Korupsi

yang telah mewabah di seluruh bagian tubuh negeri ini mengakibatkan aparat,

pejabat dan birokrat yang seharusnya menjaga hutan berubah menjadi penjarah

hutan. Genaplah sudah kerusakan negeri ini, kerusakan lingkungan alam,

lingkungan sosial, dan lingkungan budaya.


338

IV. STRATEGI PENGENTASAN KEMISKINAN DI INDONESIA

4.1. Usaha Pemerintah Mengentaskan Kemiskinan

Model pembangunan ekonomi Indonesia yang mengikuti pola growth

model dari Rostow, berimplikasi pada kebijakan-kebijakan yang diambil

pemerintah dalam menanggulangi kemiskinan (Baden dan Ethier, 2003). Secara

umum pola dari Rostow adalah memperbesar kue pembangunan baru kemudian

dibagi pada masyarakat. Strategi yang ditempuh guna mempercepat pertumbuhan

ekonomi adalah menarik investasi dengan upah kerja yang murah, pajak yang

rendah, dan monopoli serta konsentrasi pada beberapa investor dan jenis industri.

Namun dalam pelaksanaanya pemerintah Indonesia menggabungkan model

Rostow dengan pendekatan kesejahteraan melalui kebijakan.

Ada beberapa kebijakan pemerintah yang telah ditempuh pemerintah baik

berupa Inpres maupun Kepres yang dilakukan dengan pola pendekatan

kesejahteraan (BPM, 2004), yaitu :

1. Inpres Desa Tertinggal, tujuannya adalah menciptakan kesetaraan desa dan

menciptakan lapangan kerja di pesedaan

2. Inpres kesehatan, tujuannya adalah memberikan layanan kesehatan yang

mudah dan murah untuk penduduk pedesaan.

3. Inpres pendidikan, tujuannya adalah memberikan layanan pendidikan yang

gratis untuk pendidikan dasar sampai menengah.

4. Inpres obat obatan, tujuannya adalah untuk memberikan obat obatan yang

murah kepada masyarakat miskin

5. Kepres tentang Komite Penanggulangan Kemiskinan (KPK) tahun 2001,

2002.
339

Saat ini beberapa kebijakan pemerintah di atas ditindaklanjuti dengan

sumber dana dari kompensasi subsidi BBM (Arsana, 2004). Kebijakan ini dinilai

kurang efektif dalam mereduksi kemiskinan, apa lagi jika kebijakan tersebut

diterapkan pada masayarakat yang telah memiliki ―budaya miskin‖, dimana

mereka tidak menyadari bahwa dirinya miskin. Kebijakan juga dinilai hanya

mampu membantu masyarakat memenuhi kebutuhan minimal, tetapi kurang

mendorong masyarakat untuk melakukan aktivitas ekonomi yang lebih produktif.

Akibatnya aktivitas ekonomi masyarakat yang terkait dengan bantuan sangat

rendah, selesai program bantuan selesai pula aktivitas ekonmoi masayarakat.

Di samping Inpres dan Kepres tersebut pemerintah juga mengeluarkan

kebijakan - kebijakan yang tujuannya adalah meningkatkan pendapatan dan

kesejahteraan penduduk pedesaan (Arsana, 2004), misalkan :

1. Ketentuan mengenai Kredit Usaha Tani, untuk memudahkan petani

mendapatkan modal untuk mengolah tanah

2. Ketentuan mengenai kredit perbankan (KIK atau kredit candak kulak)

tujuannya adalah memberikan kemudahan rakyat untuk mendapatkan modal

untuk usaha diluar sektor pertanian.

3. Pembebasan pajak untuk hasil pertanian.

4. Subsidi atas pupuk dan obat obatan pertanian

5. Penetapan harga dasar gabah, untuk menjamin nilai tukar petani (padi) tidak

turun, bahkan meningkat terhadap hasil produk industri lainnya.

6. Pola KKPA untuk sistim transmigrasi terpadu, tujuannya adalah menjamin

para transmigran mendapatkan penghasilan yang tetap dan alat produksi.

7. Proyek Penanggulan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP).


340

Kebijakan pemerintah yang bertujuan untuk peningkatkatan pendapatan

dan kesejahteraan masyarakat desa banyak menemui kendala, terutama pada

tataran implementasinya. Misalnya dalam hal penyaluran kredit murah, terjadi

salah sasaran, karena masih adanya syarat agunan untuk memperoleh kredit,

sehingga yang mendapat kredit adalah masyarakat yang sebenarnya kurang

membutuhkan. Penyalahgunaan kredit oleh oknum, sehingga banyak ditemui

kredit macet (Maldonaldo, 2004).

4.2. Saran untuk Strategi Pengentasan Kemiskinan

Penanganan masalah kemiskinan harus dilakukan secara menyeluruh dan

kontekstutal, menyeluruh berarti menyangkut seluruh penyebab kemiskinan,

sedangkan kontekstual mencakup faktor lingkungan si miskin. Untuk dapat

merumuskan kebijakan yang tepat dalam menangani kemiskinan perlu pengkajian

yang mendalam tentang profil kemiskinan itu sendiri. Sehingga aktivitas ekonomi

yang dilakukan masyarakat sesuai dengan karakteristik masayarakat tersebut dan

dapat berlangsung secara terus menerus dan berkesinambungan (sustainable).

Beberapa kebijakan yang disarankan untuk tetap ditindaklanjuti dan

disempurnakan implementasinya adalah sebagai berikut :

4.2.1. Perluasan Akses Kredit Masyarakat

Penyediaan fasilitas kredit merupakan salah satu alternatif yang dapat

dikembangkan untuk mengurangi kemiskinan, terutama pada tataran

implementasinya. Beberapa hasil studi empiris menunujukkan bahwa

fasilitas kredit merupakan cara yang efektif untuk mereduksi kemiskinan.

Seperti diungkap oleh Namba (2005) bahwa instrumen kebijakan


341

pembangunan lebih efektif mereduksi kemiskinan secara tajam dibanding

dengan mengandalkan masyarakat hidup dari sumber-daya alam yang

kaya-raya tanpa ditunjang dengan kebijakan yang memihak pada

masyarakat miskin. Artinya jika masyarakat yang tinggal di lingkungan

kaya akan sumberdaya alam dan mendapat kebijakan yang menyentuh

mereka, maka mereka akan lebih bijak dan peduli dalam mengolah

sumberdayanya. Maldonado (2004) menyatakan bahwa pemberian kredit

pada rumah tangga (households) dapat meningkatkan produktivitas,

sehingga rumah tangga tersebut akan mengurangi ekploitasi terhadap

sumberdaya alam. Peningkatan produktivitas disebabkan dengan fasilitas

kredit rumah tangga memiliki teknologi yang lebih baik sehingga dengan

menggunakan sumberdaya alam yang sama akan menghasilkan output

yang lebih besar. Dengan demikian akan terjadi penghematan sumberdaya

alam (Baden dan Ethier, 1993).

Yunus dalam Mubyarto (2003) mengenalkan model kredit mikro yang

telah berhasil diterapkan di Bangladesh yang terkenal dengan nama

Grameen Bank. Sekitar 10 kelompok perempuan miskin, masing-masing

beranggota 5 orang, ketika kita mendekati tempat pertemuan mereka,

mengucapkan sumpah/janji berupa ―16 keputusan‖ (sixteen decisions)

antara lain melaksanakan KB, mendidik anak, hanya minum air putih yang

dimasak atau air sumur yang sehat, dan menahan diri dari membayar atau

memakai ―mahar‖ dalam perkawinan anak-anaknya. Semua sumpah/janji

ini dapat diringkas dalam 4 asas hidup Grameen Bank, yaitu disiplin,

bersatu, berani, dan bekerja keras. Grameen Bank yang mulai beroperasi
342

tahun 1976, lima (5) tahun setelah kemerdekaan Bangladesh, telah terbukti

dapat mengurangi angka kemiskinan di negara tersebut.

4.2.2. Peningkatan Tingkat Pendidikan Masyarakat

Kualitas sumberdaya manusia sangat terkait dengan pendidikan

masyarakat. Kebijakan Wajib Belajar sembilan tahun kiranya patut

ditinjau ulang untuk ditingkatkan menjadi dua belas tahun, sehingga

tuntutan minimal masyarakat berpendidikan SMA. Kebijakan ini perlu

diiringi dengan kebijakan lain yang dapat menampung dan mengatasi anak

putus sekolah yang cenderung menjadi anak jalanan. Dengan

meningkatnya pendidikan masyarakat kualitas sumberdaya manusia

menjadi lebih baik sehingga kesadaran masayarakat akan masa depan

menjadi lebih baik. Kondisi ini akan mendorong masyarakat untuk lebih

berkreasi dalam meningkatkan taraf hidupnya.

4.2.3 Menciptakan Lapangan Kerja

Untuk mengimbangi meningkatnya pendidikan masyarakat pemerintah

perlu menciptakan lapangan kerja. Sachs dan Larrain dalam Yusuf (2006)

menyatakan bahwa untuk menciptakan lapangan kerja dapat dilakukan

dengan meningkatkan saving (S) dan investasi (I), baik investasi domestik

maupun Foreign Direct Invesment (FDI). Penarikan FDI akan efektif jika

diciptakan prasaratnya, yaitu: stabilitas sosial, politik dan keamanan.

Perluasan lapangan kerja juga dapat dilakukan dengan cara penyebaran

pusat-pusat industri dan penyebaran sektor industri. Dengan kata lain


343

industri tidak bertumpu pada satu sektor, namun industrialisasi harus

dikembangkan pada berbagai sektor.

4.2.4. Membudayakan Entrepreneurship

Dengan membudayanya sikap Entrepreneurship pada masyarakat

diharapkan masyarakat dapat berpartisipasi dalam mengurangi angka

pengangguran, sebab mereka dapat menciptakan lapangan kerja untuk diri

sendiri dan orang lain. Dengan kata lain peran entrepeneur sangat besar,

yaitu: (1) menambah produksi nasional; (2) menciptakan kesempatan

kerja; (3) membantu pemerintah mengurangi pengangguran; (4) membantu

pemerintah dalam pemerataan pembangunan; (5) menambah sumber

devisa bagi pemerintah ; (6) menambah sumber pendapatan negara dengan

membayar pajak (Maldonaldo, 2004).

4.2.5. Informasi Makro dan Mikro

Data dan informasi kemiskinan yang akurat dan tepat sasaran sangat

diperlukan untuk memastikan keberhasilan pelaksanaan serta pencapaian

tujuan atau sasaran dari kebijakan dan program penanggulangan

kemiskinan, baik di tingkat nasional, tingkat kabupaten/kota, maupun di

tingkat komunitas.

Masalah utama yang muncul sehubungan dengan data mikro sekarang ini

adalah selain data tersebut belum tentu relevan untuk kondisi daerah atau

komunitas, data tersebut juga hanya dapat digunakan sebagai indikator

dampak dan belum mencakup indikator-indikator yang dapat menjelaskan

akar penyebab kemiskinan di suatu daerah atau komunitas.


344

Dalam proses pengambilan keputusan diperlukan adanya indikator-

indikator yang realistis yang dapat diterjemahkan ke dalam berbagai

kebijakan dan program yang perlu dilaksanakan untuk penanggulangan

kemiskinan. Indikator tersebut harus sensitif terhadap fenomena-fenomena

kemiskinan atau kesejahteraan individu, keluarga, unit-unit sosial yang

lebih besar, dan wilayah.

Kajian secara ilmiah terhadap berbagai fenomena yang berkaitan dengan

kemiskinan, seperti faktor penyebab proses terjadinya kemiskinan atau

pemiskinan dan indikator-indikator dalam pemahaman gejala kemiskinan

serta akibat-akibat dari kemiskinan itu sendiri, perlu dilakukan. Oleh

karena itu, pemerintah kabupaten/kota dengan dibantu para peneliti perlu

mengembangkan sendiri sistem pemantauan kemiskinan di daerahnya,

khususnya dalam era otonomi daerah sekarang. Para peneliti tersebut tidak

hanya dibatasi pada disiplin ilmu ekonomi, tetapi juga disiplin ilmu

sosiologi, ilmu antropologi, dan lainnya.

Ukuran-ukuran kemiskinan yang dirancang di pusat belum sepenuhnya

memadai dalam upaya pengentasan kemiskinan secara operasional di

daerah. Sebaliknya, informasi-informasi yang dihasilkan dari pusat

tersebut dapat menjadikan kebijakan salah arah karena data tersebut tidak

dapat mengidentifikasikan kemiskinan sebenarnya yang terjadi di tingkat

daerah yang lebih kecil. Oleh karena itu, di samping data kemiskinan

makro yang diperlukan dalam sistem statistik nasional, perlu juga

diperoleh data kemiskinan (mikro) yang spesifik daerah. Namun, sistem

statistik yang dikumpulkan secara lokal tersebut perlu diintegrasikan


345

dengan sistem statistik nasional sehingga keterbandingan antarwilayah,

khususnya keterbandingan antarkabupaten dan provinsi dapat tetap terjaga.

Dalam membangun suatu sistem pengelolaan informasi yang berguna

untuk kebijakan pembangunan kesejahteraan daerah, perlu adanya

komitmen dari pemerintah daerah dalam penyediaan dana secara

berkelanjutan. Dengan adanya dana daerah untuk pengelolaan data dan

informasi kemiskinan, pemerintah daerah diharapkan dapat mengurangi

pemborosan dana dalam pembangunan sebagai akibat dari kebijakan yang

salah arah, dan sebaliknya membantu mempercepat proses pembangunan

melalui kebijakan dan program yang lebih tepat dalam pembangunan.

Keuntungan yang diperoleh dari ketersediaan data dan informasi statistik

tersebut bahkan bisa jauh lebih besar dari biaya yang diperlukan untuk

kegiatan-kegiatan pengumpulan data tersebut. Selain itu, perlu adanya

koordinasi dan kerja sama antara pihak-pihak yang berkepentingan

(stakeholder), baik lokal maupun nasional atau internasional, agar

penyaluran dana dan bantuan yang diberikan ke masyarakat miskin tepat

sasaran dan tidak tumpang tindih.

Ketersediaan informasi tidak selalu akan membantu dalam pengambilan

keputusan apabila pengambil keputusan tersebut kurang memahami makna

atau arti dari informasi itu. Hal ini dapat disebabkan oleh kurangnya

kemampuan teknis dari pemimpin daerah dalam hal penggunaan informasi

untuk manajemen.

Sebagai wujud dari pemanfaatan informasi untuk proses pengambilan

keputusan dalam kaitannya dengan pembangunan di daerah, diusulkan


346

agar dilakukan pemberdayaan pemerintah daerah, instansi terkait,

perguruan tinggi dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) dalam

pemanfaatan informasi untuk kebijakan program. Kegiatan ini

dimaksudkan agar para pengambil keputusan, baik pemerintah daerah,

dinas-dinas pemerintahan terkait, perguruan tinggi, dan para LSM, dapat

menggali informasi yang tepat serta menggunakannya secara tepat untuk

membuat kebijakan dan melaksanakan program pembangunan yang

sesuai.

Pemerintah daerah perlu membangun sistem pengelolaan informasi yang

menghasilkan segala bentuk informasi untuk keperluan pembuatan

kebijakan dan pelaksanaan program pembangunan yang sesuai. Perlu

pembentukan tim teknis yang dapat menyarankan dan melihat

pengembangan sistem pengelolaan informasi yang spesifik daerah.

Pembentukan tim teknis ini diharapkan mencakup pemerintah daerah dan

instansi terkait, pihak perguruan tinggi, dan peneliti lokal maupun

nasional, agar secara kontinu dapat dikembangkan sistem pengelolaan

informasi yang spesifik daerah.

Berkaitan dengan hal tersebut, perlu disadari bahwa walaupun kebutuhan

sistem pengumpulan data yang didesain, diadministrasikan, dianalisis, dan

didanai pusat masih penting dan perlu dipertahankan, sudah saatnya

dikembangkan pula mekanisme pengumpulan data untuk kebutuhan

komunitas dan kabupaten.

Mekanisme pengumpulan data ini harus berbiaya rendah, berkelanjutan,

dapat dipercaya, dan mampu secara cepat merefleksikan keberagaman pola


347

pertumbuhan ekonomi dan pergerakan sosial budaya di antara komunitas

pedesaan dan kota, serta kompromi ekologi yang meningkat.

4.2.6. Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan

Akhir-akhir ini terlihat kecenderungan bahwa kemiskinan akan lebih

banyak ditemui di wilayah perkotaan seiring dengan meningkatnya

urbanisasi den krisis ekonomi yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir

(Arsana, 2004). Padahal sebelumnya kemiskinan diidentikkan dengan

fenomena desa atau daerah terpencil yang minus sumber dayanya. Tapi

kemiskinan tetap sebagai suatu kondisi sosial yang umumnya invisible den

belum dipahami sepenuhnya oleh para pengambil keputusan. Ini pula yang

menjadi motif utama pelaksanaan Proyek Penanggulangan Kemiskinan di

Perkotaan (P2KP) yang dalam pelaksanaannya menggunakan paradigma

dan pemahaman baru.

Kemiskinan sebagai masalah nasional, tidak dapat hanya diselesaikan oleh

pemerintah melalui berbagai kebijaksanaan pembangunan, tetapi juga

harus menjadi tanggung jawab bersama bagi semua pelaku pembangunan

termasuk masyarakat itu sendiri. Kunci pemecahan masalah kemiskinan

adalah memberi kesempatan kepada penduduk miskin untuk ikut serta

dalam proses produksi dan kepemilikan aset produksi (Arsana, 2004).

Proyek P2KP yang telah diluncurkan pemerintah dengan penekanan pada

pendekatan komunitas dan bertumpu pada pengembangan manusia.

Ini terlihat jelas dalam latar belakang proyek yang menegaskan bahwa

Proyek P2KP dirancang secara khusus dengan pengertian bahwa upaya

pengentasan kemiskinan yang berkelanjutan akan dapat diwujudkan


348

dengan lebih memberdayakan komunitas itu sendiri khususnya komunitas

ditingkat kelurahan. Pemberdayaan komunitas dilaksanakan dengan

menyediakan sumberdaya yang tepat dan menekankan bahwa pengambilan

keputusan maupun tanggung jawab berada di tangan komunitas sendiri

(BPM, 2004).

Memang ironis bahwa walaupun kemiskinan merupakan sebuah fenomena

yang setua peradaban manusia, tapi pemahaman terhadapnya dan upaya

untuk mengentaskannya belum menunjukkan hasil yang menggembirakan.

Bahkan, dengan terjadinya krisis ekonomi di Indonesia orang miskin

"baru" semakin bertambah.

4.2.7. Menangani Krisis Lingkungan

Seharusnya, pemerintah melalui para menteri terkait melakukan program

yang bisa menjadi shock therapy bagi terhentinya perusakan hutan.

Sebagai regulator, pemerintah harus mampu menciptakan peraturan yang

dapat merehabilitasi lingkungan.

Selain itu, dalam jangka panjang, perbaikan lingkungan harus menyentuh

lingkungan sosial dan budaya. Pemerintah harus mengupayakan

peningkatan ekonomi rakyat agar hutan tidak menjadi sasaran mencari

nafkah. Pemerintah juga harus lebih tegas dalam memberantas "budaya"

korupsi agar penjaga hutan, polisi, militer, kepala daerah, dan birokrasi

dapat menjalankan perannya dalam melestarikan lingkungan hidup.

Kesalahan yang sekarang ini terlihat antara lain terdapat pada cara

pandang pemerintah terhadap lingkungan. Pemerintah menempatkan diri

sebagai subjek yang bebas mengeksploitasi objek, yaitu alam. Dengan


349

dalih pembangunan dan peningkatan kesejahteraan ekonomi, pemerintah

terkesan membiarkan ekploitasi hutan secara besar-besaran dan tidak

bertanggungjawab. Cara pandang ini harus diubah. Pemerintah hendaknya

tidak lagi memakai cara pandang bahwa "Pemerintah terpisah dari alam"

sehingga menempatkan diri sebagai subjek yang mengeksploitasi objek,

yaitu alam. Sebaliknya pemerintah harus memakai cara pandang

"Pemerintah merupakan bagian dari alam" sehingga demi eksistensi

dirinya sendiri akan berupaya untuk turut melestarikan alam

(http://wwf.indonesia.org, 2006).

Kesadaran sebagai bagian dari alam akan memunculkan kepentingan

untuk menjaga kelestarian alam. Pembangunan dilakukan tidak semata

eksploitasi alam untuk kepentingan sekarang seperti untuk mempertinggi

PAD, melainkan mempertimbangkan keberlanjutannya di masa depan.

Dengan kesadaran seperti ini, akan mudah bagi pemerintah untuk

menerbitkan dan menerapkan kebijakan yang mampu menghentikan

perusakan hutan. Dengan menempatkan diri sebagai bagian dari alam,

eksploitasi alam akan terjadi secara seimbang sehingga kuantitas dan

kualitas hutan dapat dipertahankan atau bahkan diperbaiki. Pada akhirnya,

kita dapat terhindar dari murka alam dan kembali dapat melihat alam yang

mempesona.
350

DAFTAR PUSTAKA

Arsana, I. M., 2004. Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (Suatu Kajian


Terhadap Pelaksanaan Proyek Penanggulangan di Perkotaan (P2KP) di
Kelurahan Ngagel Rejo Kecamatan Wonokromo Kota Surabaya), Jurnal
Ekobis, 9 (2) : 495 – 511.

Badan Pemberdayaan Masyarakat, 2004. Materi I: Teknis Operasional Program


Mekanisme Program Gerdu-Taskin dan Usulan Kegiatan. Propinsi Jawa
Timur, Surabaya.

Baden, J. A, Ethier, 1993. Linking Liberty, Economy, and Ecology, Published in


The Freeman. http://www.209.21949.168./vnews.php?nid.186. (28
Desember 1993).

Biro Pusat Statistik, 1999. Buletin Ringkas BPS Jawa Timur.

http://www.duniaesai.com/kemiskinan_kelaparan_di+indonesia/html (22 / 12
/ 06: 11.59 Wib).

http://www.kompas.com/wirausaha/html. (22/12/06 : 11.53 Wib).

http://www.wwf.indonesia.com/penguatan_masyarakat.html (22 / 12 / 06 :
10.27 Wib)

Kuncoro, M., 2000. Ekonomi Pembangunan : Teori, Masalah dan Kebijakan.


Penerbit Akademi Manajemen Perusahaan YKPN, Yogyakarta.

Maldonaldo, J. H., 2004. Relationship Among Poverty, Financial services, Human


Capital, Risk Coping, and Natural Resources: Evidence from El Savador
and Bolivia. Dissertation, Ohio State University. http://www.osu.edu
(9 Mei 2004).

Mankiw, N. G., 2000. Macro Economics, 4th Ed, Worth Publishers, New York.

Moesa, A. M., Kompensasi BBM: Jembatan Putus, Jawa Pos, Sabtu 26 Maret
2006.

Namba. A., 2003. Kebijakan dan Program Resttlement Transmigrasi Bagi


Penduduk Bermasalah di Indonesia. Majalah Balitfo Vol. 2 No. 4 –2004.

Soerjani, M. R, Ahmad dan R. Munir. 1987. Lingkungan : Sumberdaya Alam dan


Kependudukan dalam Pembangunan. Universitas Indonesia, Jakarta.
283 hal.

Sugiarto, T., 2004. Banjir dan Kerusakan Lingkungan. http://syndicate.com


(9 Mei 2004).
351

Tambunan, 2001. Pertumbuhan Ekonomi, Kemiskinan dan Strategi


Pengentasannya di Indonesia. http://Ekofeum.jurnal.com
(28 Desember 2001).

Yusuf, A. A., 2006. Kemiskinan dan Efektifitas BLT. http://www.depsos.go.id


(01 Oktober 2006, 17:52:35).

Zikrullah, A. Y., 2006. Struktur Ekonomi dan Pengentasan Kemiskinan.


http://duniaesai.com (21 Maret 2006).
352

PENAMBANGAN BATU BARA DAN DAMPAKNYA


TERHADAP HAYATI PERAIRAN SUNGAI SINGINGI

OLEH :

FABRI KOMARA

PROGRAM STUDI ILMU LINGKUNGAN


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
2006
353

I. PENDAHULUAN

Kabupaten Kuantan Singingi terdapat beberapa lokasi penambangan batu

bara dengan areal seluas 35.360,03 Ha, dari luas tersebut yang baru dikelola

27.711,53 Ha yang terdapat di dua lokasi, yaitu di Pangkalan Ibul Lubuk Jambi

Kecamatan Kuantan Mudik seluas 9.617 Ha dan di desa Petai Kecamatan Singingi

seluas 18.094,53 Ha (Kuansing Dalam Angka, 2004).

Kabupaten Kuantan Singingi merupakan penghasil batu bara terbesar di

Riau. Di Kecamatan Kuantan Mudik pengeksploitasian batu bara dilakukan oleh

PT. Tri Bakti Sarimas dengan produksi 7.000 sampai dengan 8.000 ton perbulan.

Sedangkan lokasi penambangan batu bara di Kecamatan Singingi dieksploitasi

oleh tiga perusahaan yaitu : 1) PT. Makarya Ekaguna, 2) PT. Nusa Riau Kencana

Coal, dan 3) PT. Manunggal Inti Artamas, dengan produksi masing-masing

20.000 sampai dengan 25.000 ton perbulan. Selanjutnya kualitas batu bara yang

terdapat di daerah Kabupaten Kuansing ini memiliki kualitas baik yaitu 5.800

sampai dengan 6.200 kalori/gram, kadar belerang dan kadar abu sekitar 1,80 dan

8,6 % (Distanben Riau, 2006).

Kegiatan penambangan pengolahan dan pencucian batu bara menghasilkan

batu bara yang siap pakai, disamping itu juga menghasilkan limbah padat maupun

cair dan polutan ke udara bebas.

Berdasarkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 113

Tahun 2003 tentang Baku Mutu Limbah Batu Bara, Volume air limbah

maksimum 2 m3 per ton produk batu bara. Jika pengolahan/pencucian batu bara

dioperasikan dengan efisien dan efektif maka limbah yang dihasilkan dari
354

produksi batu bara 25.000 ton per bulan sebanyak 50 m3 per bulan, bila terus

berlangsung selama bertahun-tahun maka limbah akan terus bertambah.

Ginting (2002) menyatakan bahwa kandungan organik dan anorganik

dalam limbah memberikan dampak pada badan penerima (sungai) bila terdapat

nilai-nilai diluar ukuran yang ditetapkan. Ukuran yang sudah distandarkan disebut

dengan Baku Mutu Limbah. Berbagai ukuran lain mampu menunjukkan

lingkungan dalam keadaan tercemar. Sifat-sifat biologi limbah banyak

dipermasalahkan dalam pencemaran air karena limbah mengandung bakteri

memberikan dampak langsung bagi manusia. karakteristik biologi ini biasanya

ditandai dengan kehidupan plankton, bakteri, benthos serta biota lain.

Beroperasinya empat perusahaan eksploitasi tambang batu bara di

Kabupaten Kuansing, secara langsung maupun tidak langsung akan memberikan

dampak terhadap ekonomi, sosial dan budaya masyarakat di sekitar lokasi

penambangan. Disamping dampak positif yang ditimbulkan juga diindikasikan

akan timbul dampak negatif seperti tercemarnya perairan di sekitar lokasi

penambangan yang diakibatkan oleh limbah cair batu bara yang berasal dari

kolam-kolam pengendapan yang berasal dari proses cucian bahan baku batu bara

ke perairan sungai yang berdekatan lokasi penambangan.

Selanjutnya dilihat di lokasi beroperasinya penambangan batu bara yang

sangat tinggi pengeksploitasiannya di Kabupaten Kuansing adalah di Kecamatan

Singingi, dan lokasi dimaksud dilalui oleh bentangan aliran Sungai Singingi.

Melihat kondisi tersebut diperkirakan akan terjadi perubahan kualitas air, yang

diakibatkan oleh pembuangan limbah pada bagian hilir sungai dari kawasan

penambangan batu bara dan kemungkinan terjadinya penurunan mutu air tanah,
355

serta berkurangnya populasi atau jenis organisme perairan. Untuk itu dari makalah

ini mencoba membahas Akibat Penambangan Batu Bara dan Dampaknya terhadap

Hayati Perairan Sungai Singingi.

Secara sadar atau tidak, masyarakat yang melakukan penambangan Batu

Bara pada lahan terbuka maupun di alur sungai akan merusak tatanan ekosistem

lingkungan alamnya, sehingga mahkluk hidup lain manjadi terganggu termasuk

manusia disekitarnya. Tidak bisa disangkal bahwa berbagai kasus kerusakan

lingkungan hidup yang terjadi sekarang ini, baik pada lingkup global maupun

lingkungan nasional, sebagian besar bersumber dari perilaku manusia (Soerjani, et

al., 1987).

Asas-asas pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup tertuang

dalam Ketetapan MPR No. II/MPR/1999, yang menyebutkan : (1) mengelola

sumber daya alam dan memelihara daya dukungnya agar bermanfaat bagi

peningkatan kesejahteraan rakyat dari generasi ke generasi; (2) meningkatkan

pemanfaatan potensi sumber daya alam dan lingkungan hidup dengan melakukan

konservasi, rehabilitasi dan penghematan penggunaan dengan menerapkan

teknologi ramah lingkungan; (3) mendelegasikan secara bertahap wewenang

pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dalam pelaksanaan pengelolaan

sumber daya alam secara selektif dan memelihara lingkungan hidup sehingga

kualitas ekosistem tetap terjaga yang diatur dengan undang-undang; (4)

mendayagunakan sumber daya alam untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat

dengan memperhatikan kelestarian fungsi dan keseimbangan lingkungan hidup,

pembangunan yang berkelanjutan, kepentingan ekonomi dan budaya masyarakat

lokal, serta penataan ruang yang pengusahaannya diatur dengan undang-undang;


356

(5) merupakan indikator-indikator yang memungkinkan pelestarian kemampuan

keterbaruan dalam pengelolaan sumber daya alam yang dapat diperbaharui untuk

mencegah kerusakan yang tidak dapat balik.


357

II. USAHA PENAMBANGAN BATU BARA

Raharjo, (2006) menyatakan batu bara adalah bahan bakar hidrokarbon

padat yang terbentuk dari tumbuh-tumbuhan dalam lingkungan bebas oksigen dan

terkena pengaruh panas serta tekanan yang berlangsung lama. Secara umum

parameter kualitas batu bara yang sering digunakan adalah kalori, kadar

kelembaban, kandungan zat terbang, kadar abu, kadar karbon, kadar sulfur,

ukuran dan tingkat ketergerusan, disamping parameter lain seperti analisis unsur

yang terdapat dalam abu (SiO2, Al2O3, Fe2O3 dan lain-lain), analisis komposisi

sulfur (Pirytic sulfur, Sulfate sulfur, Organik sulfur), dan titik leleh abu (ash

fusion temperature).

Di Propinsi Riau terdapat lima kabupaten yang mempunyai cadangan dan

penghasil batu bara (Distanben Riau, 2006). Salah satunya adalah di Kabupaten

Kuantan Singingi. Luas areal penambangan batu bara seluas 35.360,03 Ha

(Kuantan Singingi Dalam Angka, 2004) diantaranya terletak di Kecamatan

Singingi yang dikelola oleh tiga perusahaan pertambangan berada pada kawasan

pinggiran Sungai Singingi.

Lokasi penambangan batu bara di Kecamatan Singingi relatif cukup luas

(18.094,53 Ha) dikelola oleh tiga perusahaan yang berada pada suatu kawasan

yang berdekatan. Secara langsung ataupun tidak dapat mempengaruhi kondisi

lingkungan di sekitarnya, akibat limbah cair yang berasal dari kolam-kolam

endapan sebelum dialirkan ke sungai. Hal itu dapat merujuk kepada Keputusan

Menteri Lingkungan Hidup No. 51/MENLH/10/1995, tentang Baku Mutu Limbah

Cair Bagi Kegiatan Industri dan No. 113 tahun 2003, tentang Baku Mutu Limbah

Cair Batu Bara.


358

III. PENCEMARAN LIMBAH CAIR BATU BARA

3.1. Limbah Cair Batu Bara

Usaha pertambangan batu bara adalah serangkaian kegiatan pertambangan

dan kegiatan pengolahan / pencucian batu bara. Kegiatan penambangan batu bara

yaitu pengambilan batu bara, meliputi penggalian, pengangkutan, dan penimbunan

baik pada tambang terbuka maupun pada tambang di bawah tanah.

Sebelum digunakan untuk berbagai keperluan seperti sumber panas/energi

bahan baku batu bara terlebih dahulu diproses melalui proses pengolahan /

pencucian, dengan tahapan peremukan, pencucian, pemekatan dan atau

penghilangan batuan / mineral pengotor dan atau senyawa belerang dari batu bara

tanpa merubah sifat kimianya.

Dalam proses pengolahan batu bara menghasilkan limbah padat dan cair.

Limbah padat timbul setelah terjadinya pengendapan zat-zat tersuspensi pada

cairan limbah di bak-bak pengendapan. Air limbah kegiatan pertambangan batu

bara yaitu air yang berasal dari kegiatan pertambangan batu bara dan air buangan

yang berasal dari kegiatan pengolahan/pencucian.

Kegiatan penambangan, pengolahan dan pencucian batu bara

menghasilkan batu bara yang siap pakai, disamping itu juga menghasilkan limbah

padat maupun cair dan polutan ke udara bebas. Sebagaimana dinyatakan

Anonimus (2006 b), kegiatan tambang batu bara memberikan dampak terhadap

orang lain : 1) Debu dan kebisingan, akibat kegiatan eksploitasi dan transportasi;

2) Penurunan kualitas air sungai, akibat meningkatnya kandungan padatan dalam

air dan penurunan pH; 3) Penurunan kualitas hutan, diperlukan program

penghutanan kembali pasca eksploitasi; 4) Penurunan kualitas udara, emisi dan


359

ambient akibat gas hasil pembakaran disertai dengan partikulat dalam udara emisi;

5) Sludge Ash hasil akhir pembakaran yang mengandung logam-logam berat;

6) Pembuangan / pemusnahan limbah B-3 memerlukan biaya yang tinggi.

Aipaso (2006), menyatakan proses pencucian bahan batu bara, dimana

batuan halus batu bara di dalam air membentuk Total Suspended Solit (TSS), besi

(Fe), Mangan (Mg) dan air dengan gas keasaman tinggi. Selanjutnya kondisi

tersebut akibat pembuangan dari proses pencucian batu bara yang berada pada

kawasan Sungai Singingi saat ini telah menunjukkan terjadinya kerusakan kualitas

air, dimana ditandai adanya perubahan warna air keruh kemerahan, untuk jelasnya

dapat dilihat Gambar 1:

Gambar 1. Perubahan Kualitas Air di Sungai Singingi Akibat dari


Pembuangan Limbah Batu Bara

3.2. Kerusakan Sumberdaya Perikanan Sungai Singingi

Sumberdaya hayati yang hidup di perairan umum beraneka ragam. Saat ini

lingkungan perairan umum banyak mengalami kerusakan yang bersumber dari


360

kawasan pemukiman, penurunan dan kerusakan habitat, penurunan tingkat air,

eksploitasi yang berlebihan dan pencemaran. Semua itu secara langsung maupun

tidak langsung mengakibatkan penurunan jumlah ragam spesies yang ada di

ekosistem perairan ini.

Dilihat dari kerusakan sumberdaya hayati perairan Sungai Singingi, akibat

dari proses pengolahan / pencucian batu bara yang menghasilkan limbah padat

maupun cair dan polutan telah memberi dampak pada sungai di bagian hilir yang

dilalui pembuangan limbah tersebut. Kenyataan ini dalam beberapa waktu

belakangan telah terjadi kematian ikan-ikan di perairan Sungai Singingi yang

cukup menyedihkan, untuk jelasnya dapat dilihat pada Gambar 2:

Gambar 2. Ikan-ikan mati disebabkan Buangan limbah Cair Penambangan Batu


Bara di perairan Sunagi singingi

Kerusakan ekosistem perairan umum/sungai dan musnahnya berbagai

spesies ikan berdampak besar terhadap kehidupan sosial dan budaya masyarakat
361

yang berada di sekitar kawasan perairan tersebut, serta mengakibatkan plasma

nutfah yang ada akan terjadi kepunahan.

3.3. Dampak Penambangan Batu Bara terhadap Sumberdaya Hayati

Sumberdaya alam hayati Indonesia dan ekosistem mempunyai kedudukan

dan peranan penting bagi kehidupan dan pembangunan Nasional. Oleh karena itu,

harus dikelola dan dimanfaatkan secara lestari bagi kesejahteraan masyarakat dan

umat manusia pada umumnya untuk sekarang dan di masa yang akan datang

(Silalahi, 2001).

Penambangan batu bara dapat berdampak pada hilangnya sumberdaya

alam yang ada, dilihat dari sisi positifnya adanya peningkatan sumber pendapatan

yang cukup besar dan dari sisi negatifnya akan menimbulkan permasalahan baru,

baik areal eksploitasi tambang.

Disamping itu, penambangan batu bara juga berdampak pada kualitas air

yang berada di sekitar lokasi pembuangan limbah dan bagian hilir sungai dari

kawasan penambangan dan kemungkinan terjadinya mutu air tanah penduduk

yang berada di sepanjang bagian hilir Sungai Singingi serta berkurangnya

populasi atau jenis organisme perairan khususnya ikan-ikan yang hidup di

perairan tersebut akan mengalami kepunahan. Selanjutnya kondisi yang demikian

telah sering terjadi kematian ikan di Sungai Singingi. Dimana ribuan ikan mati

mendadak akibat tercemarnya Sungai Singingi yang diakibatkan pembuangan

limbah pencucian penambangan batu bara (Riau Pos, 30 Oktober 2006).


362

IV. STRATEGI PENYELAMATAN SUMBERDAYA PERIKANAN

Ekosistem sungai merupakan kawasan yang akhir-akhir ini mendapat

perhatian yang cukup besar dalam berbagai kebijakan dan perencanaan

pembangunan di Indonesia khususnya di daerah Riau. Daerah perairan sungai ini

kaya dan memiliki beberapa sumberdaya hayati perairan yang dapat dimanfaatkan

sebagai sumber makanan, khususnya protein hewani dari ikan.

Selain memiliki potensi yang besar, beragam aktivitas manusia di sekitar

perairan sungai menyebabkan daerah ini merupakan daerah yang paling mudah

terkena dampak kegiatan manusia. Akibat lebih jauh adalah terjadinya penurunan

kualitas perairan sungai, karena masuknya limbah yang terus bertambah.

Pencemaran lingkungan merupakan masalah bersama yang semakin

penting untuk diselesaikan, karena menyangkut keselamatan, kesehatan dan

kehidupan manusia. permasalahan pencemaran yang harus diatasi bersama

diantaranya pencemaran air tanah dan sungai, pencemaran udara, perkotaan,

kontaminasi tanah oleh sampah, hujan asam, perubahan iklim global, penipisan

lapisan ozon, kontaminasi zat radioaktif dan sebagainya.

Selanjutnya keberadaan lokasi eksploitasi dan kolam-kolam pengendapan

limbah hasil cucian bahan baku batu bara yang berdekatan dengan Sungai

Singingi sangat mempengaruhi kualitas lingkungan di sekitar lokasi tersebut,

khususnya perairan Sungai Singingi.

Sebagai upaya penyelamatan potensi sumberdaya perikanan dan ancaman /

dampak pembuangan limbah hasil cucian batu bara perlu mendapat perhatian

yang serius dari pihak PEMDA Kabupaten Kuansing, khusus instansi terkait perlu
363

meninjau kembali bagi perusahaan-perusahaan yang melakukan eksploitasi

penambangan batu bara pada kawasan tersebut. Dengan menerapkan pengelolaan

/ Penanganan Baku Mutu limbah cair batu bara yang telah menjadi Keputusan

Menteri Lingkungan Hidup No. 113 tahun 2003.

Sehubungan dengan hal tersebut diharapkan dari pihak Pemda Kabupaten

Kuantan Singingi perlu mengeluarkan PERDA yang menyangkut pengawasan

limbah cair batu bara bagi perusahaan—perusahaan yang beroperasi, dengan

harapan dapat menurunkan tingkat kepunahan potensi sumberdaya perikanan

(ikan-ikan lokal).

Dalam penegakan hukum, perlu dilakukan penindakan terhadap

pelaku/perusahaan penambangan batu bara yang tidak menerapkan

aturan/ketentuan dalam pengeksploitasian tambang batu bara yang telah

ditetapkan. Perlu adanya penerapan sanksi administrasi berupa pembekuan

kegiatan kepada perusahaan yang melanggar ketentuan peraturan perundangan

seperti Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan

Hidup dan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis

Mengenai Dampak Lingkungan.

Dengan upaya-upaya tersebut, penyelamatan sumberdaya perikanan di

kawasan perairan Sungai Singingi akan dapat memberikan manfaat yang

berkesinambungan terhadap kehidupan masyarakat serta terjaga kelestarian

perairan Sungai Singingi di Kabupaten Kuansing.

Limbah yang dihasilkan dari aktivitas penambangan Batu Bara, bila tidak

dikelola secara baik dan benar akan mengakibatkan pencemaran lingkungan.

Dimana limbah yang dihasilkan dapat berbentuk padat, cair maupun gas yang
364

didalamnya mengandung bahan-bahan yang berbahaya (B3) dan dapat

berpengaruh bagi kelangsungan hidup organisme secara umum serta khususnya

manusia. Limbah yang dihasilkan dapat berupa logam berat, bahan kimia beracun,

minyak dan lemak serta sisa bahan makanan yang dapat mengakibatkan degradasi

pada lingkungan perairan di Sungai Singingi. Pengelolaan yang baik dan benar

terhadap limbah yang dihasilkan merupakan suatu keharusan, agar efek negatip

yang ditimbulkan oleh limbah dapat dikurangi seminimal mungkin.

Upaya pengolahan limbah yang dilakukan saat ini sangat tergantung

kepada teknologi yang tersedia, umumnya dilakukan dengan pendekatan Fisik,

Kimia dan Biologi. Proses pengolahan limbah sehingga menghasilkan bahan yang

tidak berbahaya dengan melibatkan proses biologi dikenal juga dengan

Bioremidiasi . Dimana pada masing-masing pendekatan dalam teknologi

pengolahan limbah mempunyai keterbatasan. Aplikasi teknologi pengolahan

limbah dengan pendekatan fisik, kimia dan biologi digunakan secara terintegrasi

sehingga proses pengolahan limbah dapat dilakukan secara optimal. Sehingga

effek negatip yang ditimbulkan oleh adanya limbah dapat ditekan seminimal

mungkin.

Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) sebagai bagian dari

pembangunan wilayah menghadapi berbagai masalah yang kompleks dan saling

terkait. Permasalahan secara umum yang terdapat pada DAS di Kabupaten

Kuantan Singingi antara lain terjadinya pencemaran perairan, penurunan populasi

dan kematian biota perairan, masih belum adanya keterpaduan antar sektor, antar

instansi dan kesadaran masyarakat yang rendah tentang pelestarian manfaat

sumberdaya alam.
365

Berdasarkan permasalahan yang terdapat pada DAS di Singingi maka

penyusunan rencana kegiatan pengelolaan DAS dapat diprioritaskan pada

kegiatan antara lain :

 Pengelolaan DAS dan pengembangan sumberdaya air, dimana aktifitas di

daerah hulu harus diintegrasikan dengan upaya pengembangan sumberdaya air

yang lebih banyak dilakukan di bagian tengah dan hilir.

 Pengelolaan DAS dan pengembangan wilayah, dimana pengelolaan DAS

harus diintegrasikan ke dalam Rencana Umum Tata Ruang (RUTR)

Kabupaten Kuantan Singingi.

 Penanggungan biaya bersama (cost sharing), dimana pelaksanaan kegiatan

pengelolaan dapat dilakukan secara berkelanjutan dengan adanya biaya dari

stakeholders yang mendapat manfaat sebagai akibat adanya kegiatan tersebut.


366

DAFTAR PUSTAKA

Anonimus, 2006a. Profil dan Prospek Pengembangan Perikanan Kuantan Singingi


Riau. Dinas Perikanan Kab. Kuantan Singingi 2005. 11 hal.

________, 2006b. Upaya Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan Tambang


Batu Bara Sucofindo. http/www.sucofindo.co.id/news.asp

Bappeda dan BPS, 2005. Kuantan Singingi Dalam Angka 2004. Pemerintah
Daerah Kab. Kuantan Singingi.

Bapedal, 2002. Himpunan Peraturan tentang Pengendalian Dampak Lingkungan.


Jakarta.

Distanben Riau, 2006. Cadangan Batu Bara Capai 2,24 Miliar Ton.
http/www.riau.go/indeks.php

Ginting P, 2002. Teknologi Pengolahan Limbah Industri. Pustaka Sinar Harapan,


Jakarta.

Kementerian Lingkungan Hidup, 2001. Pedoman Penetapan Baku Mutu


Lingkungan. Peraturan Pemerintah RI Nomor 82 Tahun 2001 Sekretariat
Menteri KLH. Jakarta.

____________________________, 2003. Baku Mutu Air Limbah Bagi Usaha dan


atau Kegiatan Pertambangan Batu Bara. Jakarta.
http//www.google.com.

Riau Pos, 30 Oktober 2006. Ribuan Ikan Mati di Sungai Singingi. Surat Kabar
Harian Pekanbaru.

Raharjo, 2006. Mengenal Batubara (2) Artitel IPEK Energi dan Sumber Daya
Alam. http//www.google.com Imam harjo @yahoo.com.
367

DAMPAK EKOLOGI LUAPAN LUMPUR LAPINDO


DI PORONG - SIDOARJO

OLEH :

HARISTANTO

PROGRAM STUDI ILMU LINGKUNGAN


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
2006
368

I. PENDAHULUAN

Kerusakan lingkungan pada umumnya disebabkan oleh faktor manusia,

baik karena sengaja maupun kelalaian. Hal ini juga berlaku pada kasus Lumpur

panas Lapindo di daerah Porong – Sidoarjo Jawa Timur. Mulanya kasus tersebut

dinyatakan oleh pihak Lapindo sebagai dampak dari gempa bumi tektonik yang

terjadi di Jogyakarta (Jawa Pos, Selasa 30 Mei 2006). Namun dalam

perkembangannya ternyata kasus tersebut merupakan kelalaian operasional dari

pihak Lapindo yang tidak memasang casing pada saat pengeboran mencapai

kedalaman 8.500 kaki.

Berdasarkan Undang-undang (UU) Republik Indonesia No. 22 Tahun

2001 tentang ―Minyak dan Gas‖ pasal 21 ayat 2 dan 3 disebutkan :

Ayat 2 :

“ Dalam mengembangkan dan memproduksi lapangan Minyak dan Gas

Bumi, badan usaha atau bentuk usaha tetap wajib melakukan optimasi dan

melaksanakannya sesuai dengan kaidah keteknikan yang baik”.

Ayat 3 :

“Ketentuan mengenai pengembangan lapangan, pemproduksian cadangan

Minyak dan Gas Bumi, dan ketentuan mengenai kaidah keteknikan sebagaimana

dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan

Pemerintah‖.

Didalam Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia No. 35 Tahun

2004 tentang ― Kegiatan usaha hulu Minyak dan Gas Bumi‖, diuraikan kaidah

keteknikan sebagaimana terinci dalam pasal 39 ayat 4 yang berbunyi :

Kaidah keteknikan yang baik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi :
369

a. Memenuhi ketentuan keselamatan dan kesehatan kerja serta pengelolaan

lingkungan hidup;

b. Memproduksi Minyak dan Gas Bumi sesuai dengan kaidah pengelolaan

Reservoar (Reservoir Management) yang baik;

c. Memproduksi Sumber Minyak dan Gas Bumi dengan cara yang tepat;

d. Menggunakan teknologi perolehan minyak tingkat lanjut / EOR yang tepat;

e. Meningkatkan usaha peningkatan kemampuan reservoar yang mengalirkan

fluida dengan teknik yang tepat;

f. Memenuhi ketentuan standar peralatan yang dipersyaratkan.

Berdasarkan uraian pasal-pasal baik didalam UU No. 22 Tahun 2001

maupun Peraturan Pemerintah No. 35 Tahun 2004 seperti tersebut diatas, maka

kasus luapan Lumpur Lapindo di Porong Sidoarajo murni menjadi kesalahan

pihak PT. Lapindo Brantas Inc. Permasalahan utama penyebab luapan Lumpur

Lapindo karena tidak dipasangnya casing pada saat pengeboran mencapai

kedalam 8.500 kaki, hal ini diperkuat oleh surat teguran bernomor : MGT-

088/JKT-06 dari pihak Medco Energi Oil dan Gas sebagai mitra eksplorasi

kepada Presiden Direktur Lapindo Brantas Inc. Apalagi didalam rapat teknis pada

tanggal 18 Mei 2006 pihak Medco telah mengingatkan PT. Lapindo Brantas untuk

menggunakan casing, namun tidak diindahkan oleh pihak Lapindo sebagai

operator di lapangan.

Ternyata luapan lumpur hingga saat ini tidak dapat dihentikan dan

diperkirakan akan berlangsung cukup lama, dari laporan (Jawa Pos, Jum‘at 29

September 2006) jika semburan tersebut tidak dapat dihentikan maka diperkirakan

akan berlangsung sampai 10 tahun dan bahkan tidak menutup kemungkinan akan
370

terus terjadi hingga 100 tahun. Dalam ulasan Jawa Pos yang mengutip berita

harian Inggris The Guardian yang mengutip pernyataan Adriano Mazzini pakar

dari jurusan geologi Universitas Oslo di Norwegia, menyatakan kecil

kemungkinan bisa menghentikan aliran lumpur panas dalam waktu dekat karena

belum bisa diketahui apakah tekanan yang ada sudah terlepas semua. Mungkin

pelepasan tekanan yang menyebabkan alairan lumpur bisa berlangsung 10 hingga

100 tahun. Mazzini juga menambahkan bahwa aliran lumpur itu mungkin

diakibatkan 1 (satu) diantara 4 (empat) faktor yaitu : (a) Cairan hidrotermal yang

berasal dari daerah sekitar, (b) Gunung berapi yang baru terbentuk, (c) reaksi

magnetic yang menyebabkan gas, atau (d) Cairan yang menyembur ke permukaan

akibat tekanan gas.

Berdasarkan UU No. 22 Tahun 2001 pasal 21 ayat 2 dan 3 serta PP No. 35

Tahun 2004 pasal 39 ayat 4 serti uraian diatas, PT. Lapindo Brantas dianggap

lalai dalam melaksanakan eksplorasi Minyak dan Gas Bumi.


371

II. KASUS LUMPUR PANAS LAPINDO

Kerusakan lingkungan pada umumnya disebabkan oleh faktor manusia,

baik karena sengaja maupun kelalaian. Hal ini juga berlaku pada kasus Lumpur

panas Lapindo di daerah Porong – Sidoarjo Jawa Timur, mulanya kasus tersebut

dinyatakan sebagai dampak dari gempa bumi tektonik yang terjadi di Jogyakarta

yang efek geterannya sampai ke Sidoarjo dan menyebabkan keretakan lapisan

tanah serta mengakibatkan munculnya gas dan Lumpur. Kebocoran tersebut

diketahui terjadi pada hari Minggu tanggal 29 Mei 2006 sekitar pukul 22.00 WIB.

Kebocoran gas tersebut berupa semburan asap putih dari dalam retakan tanah

yang membumbung setinggi 10 meter dan berbau mirip bau busuk atau elpiji.

Keluarnya gas disertai semburan cairan lumpur dari dalam tanah yang berlokasi di

persawahan penduduk, gas yang keluar diduga merupakan senyawa hydrogen

sulfida (H2S). Dari pengukuran awal konsentrasi gas H2S di udara berkisar 9

ppm (parts per million), sedangkan konsentrasi berbahaya apabila berada diatas 20

ppm. Untuk orang yang sehat dapat bertahan 8 jam pada kandungan H2S sebesar

20 ppm dan akan berbahaya apabila lebih dari itu (Jawa Pos, Selasa 30 Mei 2006).

Dalam perkembangannya ternyata kasus Lapindo diduga karena kelalaian

operasional yaitu tidak dipasangnya casing pada saat pengeboran mencapai

kedalaman 8.500 kaki. Hal ini terkuak melalui surat yang dikirim oleh Medco

Energi Oil dan Gas bernomor : MGT-088/JKT/06 kepada Presiden Lapindo

Brantas Inc. Imam P Agustino. Dalam surat tertanggal 5 Juni 2006 atau 7 (tujuh)

hari sejak kebocoran terjadi disebutkan adanya kelalaian Lapindo yaitu tidak

melaksanakan program pemasangan casing 9-5/8 pada kedalaman 8.500 kaki.

Padahal casing ini berguna untuk menahan tekanan ketika sirkulasi menjadi tak
372

terkendali. Soal tidak menggunakan casing juga telah diingatkan Medco dalam

rapat teknis pada tanggal 18 Mei 2006. Namun saat itu Lapindo tidak

mengindahkan peringatan hingga akhirnya terjadi luapan Lumpur panas (Riau

Pos, Rabu 21 Juni 2006). Selain itu (Jawa Pos, Rabu 5 Juli 2006) juga

memberitakan hasil penyelidikan polisi bahwa pengeboran di kedalaman 3.580 –

8.750 kaki ternyata tidak dipasang casing (selubung). Padahal sesuai drilling

program, pemasangan selubung harus dilakukan pada kedalaman 8.500 kaki.

Selain itu terungkap adanya kerusakan pompa Lumpur, kerusakan mesin

penggerak tenaga, serta kerusakan mesin pengangkat dan pemutar bor.

Keterangan bahwa banjir Lumpur Lapindo tidak ada kaitannya dengan gempa

bumi di Jogya juga diperkuat olah keterangan ahli dari Badan Meteorology dan

Geofisika (BMG). Pernyataan tersebut dikuatkan oleh keterangan ahli dari ITB

yang menyatakan bahwa banjir Lumpur murni disebabkan pengeboran Lapindo.

Dari laporan (Jawa Pos, Sabtu 8 Juli 2006) berjudul ―Geolog Temukan

Ratusan Rekahan‖, dijelaskan bahwa hasil penelitian tim geolog dari Institut

Teknologi Bandung ditemukan ratusan titik rekahan bumi disekitar lokasi

semburan lumpur di Porong-Sidoarjo. Tim ITB merekomendasikan agar tim

pengeboran Lapindo Brantas berhati-hati karena rekahan tersebut bisa menjadi

titik baru semburan lumpur. Penemuan ratusan titik rekahan diketahui setelah tim

geolog ITB melakukan pengamatan menggunakan peralatan grafimeter. Hingga

berita itu direlis tim ITB telah berhasil menemukan sedikitnya 200 titik rekahan.

Dua rekahan besar diperkirakan berada di utara jalan tol, disekitar dusun

Balongkenongo, desa Renokenongo. Ratusan titik rekahan tersebut cukup riskan

bagi proses pengeboran menggunakan relief well dalam rangka penghentian


373

semburan lumpur panas. Hal ini bisa terjadi apabila pengeboran dengan relief well

mengenai rekahan tersebut yang pada gilirannya akan menimbulkan semburan

lumpur panas yang baru.


374

III. DAMPAK LUMPUR PANAS LAPINDO

Setiadi et all., (2006) menjelaskan bahwa perubahan alam lingkungan

hidup manusia Akan berpengaruh baik secara positif maupun negative.

Berpengaruh bagi manusia karena manusia mendapatkan keuntungan dari

perubahan tersebut, dan berpengaruh tidak baik karena dapat mengurangi

kemampuan alam lingkungan hidupnya untuk menyokong kehidupannya.

Manusia menciptakan teknologi dengan maksud agar hidup lebih mudah, praktis,

efisien dan tidak banyak mengalami kesulitan. Namun tidak jarang ilmu

pengetahuan dan teknologi justru menimbulkan masalah serius bagi kehidupan

umat manusia.

Salah satu akibat penerapan teknologi yang berdampak buruk terhadap

manusia adalah peristiwa semburan Lumpur panas Lapindo. Kegiatan eksploitasi

minyak dan gas yang bertujuan untuk kesejahteraan manusia, ternyata berakibat

vital bukan saja terhadap lingkungan tetapi juga terhadap manusia. Penerapan

teknologi yang digunakan untuk suatu kegiatan eksploitasi pada umumnya telah

diatur prosedur teknis dan pengamanannya. Dengan menerapkan prosedur secara

benar, diharapkan kegiatan tersebut dapat terjamin segi keamanannya. Namun

dalam kasus Lumpur panas Lapindo ada factor kelalaian dan tidak menerapkan

prosedur secara benar, sehingga menimbulkan akibat yang tidak diperkirakan

sama sekali. Dari ulasan berbagai media yang terkait dengan semburan lumpur

panas Lapindo dapat dirangkum menjadi 4 (empat) dampak yaitu :

3.1. Dampak terhadap Ekologi Perairan

Salah satu upaya mengatasi semburan Lumpur panas Lapindo agar tidak

meluas ke daerah yang lain yaitu dengan membuang Lumpur ke laut melalui
375

sungai Porong. Hal tersebut sudah menjadi polemik dalam Simposium Nasional

Pembuangan Lumpur Porong – Sidoarjo Ke Laut yang dilaksanakan di Institut

Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) tanggal 7 September 2006 (Jawa Pos, Jum‘at

tanggal 29 September 2006). Dalam simposium tersebut Menteri Kelautan dan

Perikanan RI Freddy Numberi yang menjadi Keynote Speaker mengingatkan

bahwa membuang Lumpur Lapindo ke laut akan menimbulkan resiko yang sangat

besar. Selat Madura membentang seluas 9.500 Km2, meliputi sebelas daerah

antara lain : Surabaya, Sidoarjo, Kabupaten/Kota Pasuruan, Kab/Kota

Probolinggo, Situbondo, Bangkalan, Sampang, Pamekasan, dan Sumenep. Di

sebelas daerah tersebut terdapat 85.510 nelayan dan 14.882 petambak yang

menggantungkan nasib di seputar Selat Madura, belum termasuk keluarga mereka

(Tebel 1). Total nilai produksi dari sub sektor perikanan di sekitar wilayah Selat

Madura mencapai Rp.1,7886 trilyun per-tahun. Ditegaskan pula bahwa

pembuangan Lumpur Lapindo ke laut dapat mengakibatkan perubahan pola arus

di laut, suhu air serta pasokan unsure hara yang akhirnya mempengaruhi populasi

ikan dan biota laut secara signifikan. Dalam simposium tersebut juga disimpulkan

bahwa air Lumpur atau Lumpur Lapindo tidak dapat serta merta dibuang ke laut

begitu saja. Air Lumpur harus diolah terlebih dahulu sebelum dibuang ke laut.

Bahkan disimpulkan bahwa material padat Lumpur Lapindo tidak dapat dibuang

ke laut melainkan ke lahan basah di pesisir pantai. Namun demikian keputusan

Presiden Susilo Bambang Yudoyono dalam Rapat Kabinet tanggal 27 September

2006 dan mengundang tim nasional penanggulangan Lumpur Lapindo

merekomendasikan pembuangan air Lumpur dan Lumpur Lapindo ke kali Porong,

bahkan tanpa disebutkan harus diolah terlebih dahulu. Keputusan ini didasari
376

pertimbangan bahwa upaya penanggulangan luapan Lumpur Lapindo di

permukaan tanah sudah tidak dapat dioptimalkan lagi dan juga sudah

membahayakan penduduk serta infrastruktur yang berada disekitar kolam-kolam

penampungan. Hal ini mengingat bahwa luapan Lumpur hingga pada akhir

September 2006 telah mencapai 126.000 M3 perhari dan kolam-kolam

penampungan Lumpur sudah tidak dapat diperluas mengingat warga keberatan

wilayah pemukimannya ditenggelamkan dan digunakan sebagai kolam-kolom

penampungan.

Tabel 1. Ketergantungan Masyarakat di Sekitar Selat Madura

Jumlah Jumlah Petambak


No. Kab/Kota Nelayan (Orang)
(Orang)
1. Kab. Sidoarjo 1.777 6.539
2. Kab. Pasuruan 11.120 1.722
3. Kota Pasuruan 1.380 699
4. Kab. Probolinggo 11.372 1.625
5. Kota Probolinggo 4.135 139
6. Kab. Situbondo 14.819 588
7. Kab. Bangkalan 2.626 698
8. Kab. Sampang 11.031 1.499
9. Kab. Pamekasan 6.074 677
10. Kab. Sumenep 21.176 646
JUMLAH (JIWA) 85.510 14.882
LUAS TOTAL SELAT MADURA 9.500 Km2
TOTAL NILAI PRODUKSI PERIKANAN PER Rp.1.788.600.000.000
TAHUN
Sumber : Jawa Pos, Jum‘at 29 September 2006.

(Jawa Pos, Jum‘at 29 September 2006) memberitakan keluhan para

nelayan dan petani ikan disekitar kali Porong dalam berita “Para Nelayan Hanya

Bisa Pasrah”. Dari pemantauan dan wawancara dengan nelayan di Dusun

Tegalsari, Desa Kupang, Kec. Jabon diperoleh informasi bahwa sudah dua bulan

lebih hasil tangkapan nelayan turun tajam. Kepiting yang merupakan sasaran
377

utama nelayan sudah pergi, bahkan mati karena air di muara kali Porong berubah

sejak tercampur air Lumpur Lapindo, sehingga pendapatan nelayan menurun

draktis, dari Rp. 100.000 per hari menjadi hanya Rp. 30.000 per hari. Nasib

serupa juga dialami warga Dusun Kali Alo sekitar 55 KK sebagian besar

menggantungkan hidup dari menangkap kepiting dan ikan tapi kini beralih profesi

menjadi buruh panen di tambak. Hal yang sama juga dialami oleh para petambak,

mereka sudah tidak berani menggunakan air dari kali Porong untuk pengairan

tambak, karena ikannya mati. Satu-satunya cara adalah membuat sumur bor,

tetapi biayanya sangat besar. Bahkan rumput laut yang juga bisa menambah

penghasilan para petambak, saat ini sudah makin sulit hidup / tumbuh, kalaupun

bisa biasanya kualitasnya jelek.

Dengan pembuangan Lumpur yang bercampur air ke perairan umum

sampai ke Selat Madura, dapat berpengaruh terhadap siklus hidrologi walaupun

kecil. Hal ini terkait dengan jumlah Lumpur yang terus keluar hingga saat ini,

yang berjumlah sekitar 150.000 m2. Jika konsentrasi air dan Lumpur 30 : 70,

maka jumlah air tanah yang keluar mencapai 45.000 m2 per hari. Dengan jumlah

air yang keluar sebanyak itu, maka tentu akan berpengaruh terhadap jumlah air

tanah yang berada di sekitar wilayah semburan lumpur khususnya dan Sidoarjo

pada umumnya. Karena air tanah sekitar semburan lumpur banyak terdorong

keluar bersama Lumpur, maka jumlah air tanah sekitar wilayah semburan akan

berkurang dan hal ini mengakibatkan level air tanah juga semakin turun, yang

akibatnya akan terasa bagi warga yang memiliki sumur gali maupun sumur bor.

Pengaruh tersebut terlihat semakin nyata jika dilihat dari siklus hidrologi,

menurut Jumin (2002) menyatakan bahwa Jumlah air yang meninggalkan


378

permukaan dan badan tanah dalam bentuk uap, pada waktu tertentu selalu sama

dengan jumlah air yang turun dari atmosfir dalam bentuk presipitasi. Air yang

jatuh ke permukaan tanah sebagian akan mengalir di permukaan tanah (run off)

menuju sungai atau danau dan laut. Sebagian lagi akan merembes ke dalam tanah

yang disebut dengan infiltrasi. Air infiltrasi bergerak terus ke lapisan tanah yang

lebih dalam dan kemudian berkumpul menjdi air tanah bebas (Ground water).

Aliran air tanah (interflow) bergerak dalam akuifer menuju sungai, danau dan laut.

Dalam perjalanannya dari atmonfir ke permukaan tanah, sungai danau dan laut

maupun ke dalam tanah, air dapat berwujud cair, padat dan gas yang dikontrol

oleh suhu.

3.2. Dampak terhadap Ekologi Pembangunan

Luapan Lumpur Lapindo hingga saat ini telah menenggelamkan dan

mengancam 8 (delapan) desa yang mencapai luas 450 hektar. Dari 8 desa tersebut

4 desa telah tenggelam yaitu : Desa Kedungbendo, Desa Renokenongo, Desa

Siring, dan Desa Jatirejo, sedangkan 4 desa yang terancam yaitu : Desa Mindi,

Desa Kedungcangkring, Desa Pejarakan, dan Desa Besuki, yang meliputi 3 (tiga)

Kecamatan yaitu : Kec. Porong, Kec. Tanggulangin, dan Kec. Jabon. Dari 4 desa

yang telah tenggelam tersebut lebih dari 3.000 rumah sudah tidak dapat dihuni,

belasan tempat ibadah juga ikut tenggelam, beberapa sekolah baik SD maupun

SMP juga tidak berfungsi. Belum termasuk pasar, pondok pesantren, makam, dan

fasilitas umum lainnya sudah ikut tenggelam didalam lumpur lapindo. (Jawa Pos,

Jum‘at 29 September 2006).


379

3.3. Dampak terhadap Ekologi Sosial

Hingga saat ini tidak kurang dari 22.000 jiwa merasakan dampak sosial

dari luapan Lumpur panas Lapindo. Hal ini terkait dengan hilangnya tempat

tinggal sehingga memaksa warga sekitar sumber Lumpur panas mengungsi ke

berbagai tempat seperti : di pasar Porong (1.462 KK), di Balai Desa Renokenongo

(182 KK), menumpang di saudara atau yang mengontrak rumah di luar

perkampungan asli mereka (144 KK). Dengan kehilangan tempat tinggal

berdampak luas terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Akibat nyata dari

dampak tersebut hilangnya mata pencaharian dan sumber pendapatan ekonomi

masing-masing keluarga, mengingat didaerah sekitar sumber lumpur panas

terdapat hampir 15 perusahaaan / pabrik yang mempekerjakan 1.627 tenaga tetap

yang tentunya kehilangan mata pencaharian. Dampak lain terkait luapan lumpur

Lapindo adalah terganggunya proses belajar mengajar siswa yang sekolahnya

telah terendam Lumpur. Hal ini akan sangat berdampak buruk terhadap masa

depan para siswa yang tidak dapat memperoleh pelajaran secara normal. Kondisi

ini diperparah dengan keterbatasan sarana dan prasarana di tempat penampungan

sementara, mengingat keterbatasan ruangan sehingga dalam satu petak kios pasar

dapat dihuni 2 sampai 3 keluarga sekaligus. Hal ini juga dapat mengakibatkan

tekanan mental terhadap keluarga dalam menatap kehidupan yang sudah

porakporanda (Jawa Pos, Jum‘at 7 Juli 2006).

Semburan lumpur juga telah mengancam fasilitas umum seperti pasar,

salah satunya pasar Kedungbendo. Dalam berita (Jawa Pos tanggal 7 Juli 2006)

berjudul ―Pasar Kedungbendo Lumpur ―, disebutkan bahwa Lumpur panas dan

bau Lapindo terus menghantam sendi-sendi ekonomi masyarakat kecil, pasar


380

Kedungbendo mulai lumpuh. Ancaman Lumpur membuat ratusan pedagang pasar

desa itu memilih pindah. Selain sepi karena pembeli mengungsi, mereka tidak

berani mengambil resiko tenggelam. Informasi yang diperoleh Jawa Pos dari

pemerintah desa Kedongbendo menyebutkan ada sedikitnya 257 pedagang yang

berjualan di desa tersebut, belum termasuk puluhan pedagang disekitar pasar.

Ternyata dampak sosial dari semburan Lumpur panas Lapindo tidaklah

murah. Hal ini dapat dilihat dari alokasi dana dari pemerintah pusat untuk

recovery wilayah Porong. Dalam tulisan (Jawa Pos, tanggal 14 Desember 2006)

disebutkan bahwa untuk tahun 2006 pemerintah pusat telah mengganggarkan dana

Rp. 100 Milyar, belum termasuk alokasi dana dari pihal Lapindo yang telah

menganggarkan dana penanggulangan musibah Lumpur panas Lapindo di Porong

untuk tahun 2006 sebesar Rp. 700 Milyar. Sedangkan alokasi dana pemerintah

untuk penanggulangan bencana dalam tahun 2007 sebesar Rp. 2 Trilyun, sehingga

diperkirakan untuk penanggulangan Lumpur panas Lapindo di Porong dalam

tahun 2007 akan lebih besar. Namun demikian dana pemerintah yang dialokasikan

hanya untuk membiayai pembangunan kembali fasilitas fisik publik yang rusak,

tidak termasuk untuk penanganan luapan Lumpur Lapindo.

3.4. Dampak terhadap Ekologi dan Lingkungan

Dengan munculnya lumpur panas disertai dengan gas hydrogen sulfide

(H2S) akan mengganggu kondisi udara yang pada gilirannya dapat berpengaruh

terhadap kesehatan masyarakat sekitar sumber Lumpur panas terutama kesehatan

pernafasan. Gas tersebut juga mengakibatkan pohon-pohon menjadi layu dan

akhirnya mati. Terkait dengan luapan Lumpur tersebut menyebabkan belasan

hektar sawah sudah tidak bisa dimanfaatkan lagi. Akibat dari tekanan luapan
381

Lumpur yang terus menerus juga berpengaruh kepada struktur dan stabilitas tanah

di sekitar sumber luapan. Hal ini dapat dilihat dari retakan-retakan tanah dan

bangunan disekitar sumber luapan Lumpur yang mengindikasikan terjadinya

penurunan permukaan tanah. Dampak yang paling nyata adalah : meledaknya pipa

gas milik Pertamina yang berada di dekat sumber luapan Lumpur yang

diakibatkan amblasnya tanah yang menopang pipa sehingga pipa menjadi patah

dan meledak. Dari peristiwa tersebut 14 orang dinyatakan meninggal dan 1 orang

hilang serta mengakibatkan tidak berfungsinya pabrik Petro Kimia Gresik karena

suplai gas terhenti.

Dampak penurunan permukaan tanah juga dapat dilihat dari retaknya

jenbatan tol yang melintas di atas Jalan Raya Porong. Awalnya retakan tersebut

masih kecil, namun berangsur-angsur melebar, hingga mencapai lebih dari 10 cm.

Untuk menghindari jatuhnya korban jiwa akibat runtuhnya jembatan tol,

mengingat Jalan Raya Porong saat ini merupakan akses utama ke wilayah Timur

dan Selatan Jawa Timur dan lalulintasnya sangat padat, maka Gubernur, Bupati

dan Dinas Pekerjaan Umum memutuskan untuk membongkar jembatan tersebut.

Penurunan permukaan tanah sekitar luapan Lumpur juga dirasakan

penduduk sekitar. Hal ini terlihat dari retaknya tembok-tembok bangunan pagar

dan rumah penduduk. Retakan tersebut makin lama makin melebar dan

dikhawatirkan dapat menganggu pondasi dan balok-balok beton penopang rumah.

Menurunya kekuatan pondasi dan balok beton dapat mengakibatkan ambruknya

rumah setiap saat.


382

IV. UPAYA PENANGGULANGAN

Luapan Lumpur panas Lapindo sudah menjadi tragedi nasional yang

hingga saat ini belum dapat dihentikan. Bahkan menurut pakar geologi

Universitas Oslo Norwegia dinyatakan bahwa kecil kemungkinan menghentikan

aliran Lumpur panas dalam waktu dekat, karena belum bisa diketahui apakah

tekanan yang ada sudah terlepas semua. Bahkan diperkirakan pelepasan tekanan

yang menyebabkan aliran Lumpur bisa berlangsung 10 hingga 100 tahun. Namun

demikian upaya penanganan Lumpur panas Lapindo baik secara langsung maupun

tidak langsung harus terus dilakukan. Beberapa upaya yang telah, sedang, dan

mungkin akan dilakukan antara lain :

4.1. Upaya Penanggulangan Secara Teknis

Upaya penghentian luapan Lumpur panas Lapindo secara teknis telah

dilakukan dengan menggunakan metode ‘Snubbing Unit’ yaitu untuk mendeteksi

adanya aliran lumpu di luar casing untuk menghentikan semburan, tetapi usaha ini

ternyata gagal, karena mata bor telah menyumbat sumur dan sudah berkarat

sehingga tidak dapat diambil. Upaya lain adalah dengan teknik „Relief Well‟,

yaitu upaya penghentian luapan Lumpur panas Lapindo dengan teknik pengeboran

miring untuk mendapatkan sumber luapan Lumpur yang pada akhirnya

diharapkan dapat dimampatkan dengan penyuntikan Lumpur berat. Upaya

tersebut hingga saat ini masih dilakukan namun belum juga berhasil

menghentikan semburan. Hal ini diakibatkan karena lubang semburan sudah

demikian lebar sehingga tidak dimungkinkan untuk dimampatkan.

Upaya yang juga telah ditempuh oleh pemerintah untuk mengatasi luapan

Lumpur adalah dengan teknik „Spill Way‟, yaitu membuat saluran ke Kali Porong
383

dengan memasang beberapa buah pipa besi diameter sekitar 60 cm, kemudian

Lumpur dipompa dan dibuang memalui pipa tersebut. Hal ini dilakukan untuk

menindak lanjuti keputusan pemerintah yang dikeluarkan oleh Presiden Susilo

Bambang Yudoyono dalam rapat cabinet tanggal 27 September 2006 (Baca: BAB

3.1. Dampak Ekologi Perairan). Upaya tersebut juga tidak berjalan dengan lancar

karena Lumpur sangat pekatsehingga menyukitkan proses pemompaan ke sungai.

Dari 5 unit ‗Spill Way‘ yang dipasang, saat ini hanya berfungsi 2 unit, itu pun

dengan terlebih dahulu dilakukan pengenceran Lumpur sebelum dibuang ke

sungai. Sidangkan 3 unit tidak berfungsi karena tersumbat Lumpur yang telah

mengeras dan karena terendam Lumpur.

Dalam seminar penanggulangan luapan Lumpur panas Lapindo yang

dilaksanakan di Institut Teknologi Sepuluh November (ITS), berkembang wacana

menginjeksikan kembali Lumpur kedalam perut bumi. Alternatif ini cukup

realistis karena dapat meminimalisir dampak ekologi luapan Lumpur panas

Lapindo apabila dibuang ke perairan. Namun demikian alternatif tersebut masih

dalam batas wacana hingga saat ini, mengingat untuk menginjeksikan Lumpur ke

perut bumi memerlukan teknologi tinggi dan biaya yang sangat mahal.

Alternatif lain yaitu dengan membuang Lumpur ke daerah-daerah

cekungan sisa penggalian tanah / pasir. Namun alternatif ini juga terkendala

karena sulitnya mendapatkan daerah-daerah cekungan yang cukup luas sehingga

dapat menampung Lumpur panas Lapindo yang begitu banyak. Selain alternatif

ini juga terkendala sarana untuk memindahkan Lumpur baik dengan mekanik

(mesin pompa) maupun dengan alat transportasi, karena jumlah Lumpur yang

keluar setiap harinya mencapai 150.000 m2.


384

Sedangkan alternatif yang diambil oleh pemerintah guna mengatasi luapan

Lumpur panas Lapindo dengan cara membuang Lumpur langsung ke Sungai

Porong yang diharapkan dapat terbuang hingga ke Selat Madura. Hal ini

dilakukan dengan alasan keadaan darurat untuk segera menyelamatkan

masyarakat sekitar luapan Lumpur namun dengan mengabaikan dampak ekologi

yang pada gilirannya ternyata justru membawa akibat yang semakin luas karena

pengaruh luapan Lumpur panas Lapindo antara lain : dampak ekologi perairan,

dampak ekologi pembangunan, dampak ekologi sosial, dan dampak ekologi

lingkungan.

4.2. Upaya Penanggulangan terhadap Dampak Sosial - Budaya

Mengingat luapan Lumpur panas Lapindo di Porong Sidoarjo belum dapat

diprediksi kapan dapat ditanggulangi, maka pemecahan dampak sosial harus

komprehensif dan jangka panjang. Sedangkan solusi yang diberikan oleh PT.

Lapindo Brantas Inc, sejauh ini hanya berupa kompensasi uang untuk kontrak

rumah selama 2 tahun dan biaya hidup. Sedangkan rumah yang dimiliki sudah

tidak ada harapan untuk ditempati, hingga apabila waktu kontrak habis maka

masalah akan kembali timbul. Oleh karena itu perlu dicarikan solusi yang bersifat

jangka panjang, misalnya dengan merelokasi warga yang rumahnya telah

terendam ke daerah yang betul-betul aman, dengan mempertimbangkan efek

luapan Lumpur baik secara langsung maupun efek geologi seperti turunnya

permukaan tanah sekitar luapan. Hal ini akan memberi peluang dan waktu yang

cukup bagi masyarakat yang terkena dampak untuk menata kembali kehidupan

yang telah porak poranda dan mengehilangkan trauma yang ada karena

kehilangan harta benda, rumah dan kehidupan normalnya, karena harus


385

mengungsi ketempat aman untuk menghindari terjangan Lumpur ke

desa/perumahan/pemukiman mereka.

Untuk mengurangi dampak sosial yang terus meluas, mengingat luapan

masih berlangsung, maka perlu dipikirkan pembuatan tanggul permanen penahan

Lumpur, sehingga luberan Lumpur dapat terkendali dan diharapkan dapat

diisolasi. Hal ini untuk menghindari meluasnya luberan Lumpur ke pemukiman

penduduk atau desa lain di sekitarnya yang hingga saat ini masih belum terendam

Lumpur. Mengingat saat ini lebih dari 15.000 warga disekitar luapan Lumpur

panas Lapondo yang telah mengalami dampak Lumpur.

4.3. Upaya Penanggulangan terhadap Dampak Lingkungan

Setiadi at al., (2006) menyatakan bahwa permasalahan yang timbul akibat

dari adanya kemajuan teknologi adalah adanya dampak-dampak negatif yang

disebabkan oleh kemajuan teknologi. Adanya bahan polutan dapat merusak

lingkungan. Timbulnya pencemaran tentu erat kaitannya atau disebabkan oleh

berbagai aktifitas manusia diantatanya kegiatan pertambangan, berupa terjadinya

kerusakan instalasi, kebocoran, pencemaran buangan-buangan penambangan,

pencemaran udara, dan rusaknya lahan-lahan akibat pertambangan.

Upaya penanggulangan dampak lingkungan tentunya harus didahului

dengan pengelolaan limbah hasil industri secara baik sehingga buangan hasil

pengolahan limbah benar-benar telah memenuhi standar baku mutu yang telah

ditetapkan. Selain itu pengawasan periodik kegitan-kegiatan pengolahan limbah

perlu dilakukan secara ketat dan tanpa toleransi untuk perusahaan-perusahaan

yang melakukan manipulasi dalam pengolahan limbah.


386

Terkait dengan kasus lumpur Lapindo, upaya penanggulangan yang utama

adalah dengan menghentikan semburan lumpur terlebih dahulu. Tanpa upaya

penghentian Lumpur, maka usaha penanggulangan terhadap dampak lingkungan

akan menjadi tidak efektif bahkan terkesan akan sia-sia. Apabila penanggulangan

secara teknis dapat dilakukan untuk menghentikan semburan Lumpur, langkah

berikutnya adalah mengupayakan perbaikan lingkungan yang telah rusak akibat

seburan lumpur. Mulanya perlu dicarikan solusi yang tepat dalam mengurang

bahkan upaya untuk memanfaatkan lumpur lapindo. Salusi yang mungkin adalah

dengan memanfaatkan lumpur sebagai bahan baku pembuatan bahan bangunan

seperti batu bata, genteng dan bahan dasar keramik lantai, yang secara umum

industri-industri tersebut memang berada di sekitar sidoarjo. Dengan

memanfaatkan lumpur Lapindo sebagai bahan dasar industri bahan bangunan,

akan memberikan manfaat ganda, yaitu dapat mengurangi jumlah lumpur yang

begitu banyak tanpa harus mencemari lingkungan akibat pembuangan lumpur ke

perairan umum seperti sungai dan laut dan sekaligus ketersediaan bahan baku

industri bahan bangunan secara mudah dan murah. Upaya ini juga sekaligus dapat

mengurangi dan menaggulangi dampak pencemaran lingkungan perairan baik

lungkungan sungai maupun pantai dan laut akibat pembuangan lumpur ke

perairan umum.

Bagaimana upaya penanggulangan lumpur yang telah terlanjur dibuang ke

sungai dan mengendap di muara maupun di laut. Saat ini kita hanya bisa berharap

bahwa volume Lumpur yang terbuang ke Sungai Porong dan mengalir ke laut,

dalam kadar yang belum berbahaya bagi lingkungan, terutama racun berbahaya

yang terkandung dalam Lumpur. Namun demikian seiring dengan musim


387

penghujan dan tercampurnya Lumpur dengan air laut, maka kadar racun

diharapkan dapat diencerkan hingga batas yang tidak berbahaya bagi lingkungan

perairan di Selat Madura. Upaya kongkrit yang mungkin dapat dilakukan adalah

dengan menanam berbagai jenis tanaman mangrove/bakau di tepi pantai.

Departemen Kehutanan (1995) menerangkan bahwa sistem perakaran mangrove

sangat efektif sebagai perangkap partikel-partikel tanah yang berasal dari dari

hasil erosi di daerah hulu DAS, sehingga tidak hanyut dan menyebar secara bebas

terbawa arus gelombang laut. Dengan demikian pengendapan (sedimentasi) dapat

dilokalisir oleh sistem perakaran mangrove. Ada dua keuntungan yang

didapatkan, yaitu mencegah terjadinya pendangkalan di daerah lain yang tidak

dikehendaki, seperti dermaga/pelabuhan, serta akumulasi pengendapan pada areal

hutan mangrove dapat menambah lahan daratan.

Upaya pengembalian kondisi lingkungan sekitar Selat Madura tidak dapat

dilakukan dengan cepat dalan kurun waktu yang singkat. Penanaman mangrove

diharapkan minimal dapat melokalisir lumpur Lapindo yang dibuang ke laut.

Dengan sistem perakaran mangrove juga diharapkan dapat mereduksi racun-racun

yang tercampur dalam lumpur lapindo. Sejalan dengan pertumbuhan hutan

mangrove, maka kondisi lingkungan perairan sekitar Selat Madura dapat kembali

seperti sebelumnya.
388

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Kehutanan, 1995. Manfaat Hutan Mangrove bagi Kehidupan dan


Kelestarian Alam. Proyek Pengembangan Hutan Bakau Bali Tahun
Anggaran 1995/1996, Denpasar.

Jawa Pos, Jum‘at 29 September 2006

Jawa Pos, Jum‘at 7 Juli 2006

Jawa Pos, Kamis 14 Desember 2006

Jawa Pos, Sabtu 8 Juli 2006

Jawa Pos, Selasa 30 Mei 2006

Jumin, H. B., 2002. Agroekologi, Suatu Pendekaran Fisiologis. Raja Grafindo


Perkasa, Jakarta.

Presiden Republik Indonesia, 2001. Undang - undang Republik Indonesia No.


22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Sekretaris Negara,
Jakarta.

Presiden Republik Indonesia, 2003. Undang - undang Republik Indonesia No.


27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi. Sekretaris Negara, Jakarta.

Presiden Republik Indonesia, 2006. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia


No. 35 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas
Bumi.Sekretaris Negara, Jakarta.

Riau Pos, Rabu 21 Juni 2006.

Setiadi, E. M., H. Kama A., Hakim dan R. Effendi, 2006. Ilmu Sosial dan
Budaya Dasar. Kencana Prenada Media Grup, Jakarta.

Suharyadi, 2006. Pengantar Geologi Teknik. Biro Penerbit, Jogyakarta.


389

DAMPAK BANJIR DAN UPAYA


PENANGGULANGAN DI KABUPATEN KAMPAR
TAHUN 2006

OLEH :

HERLYN RAHMOLA

PROGRAM STUDI ILMU LINGKUNGAN


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
2006
390

I. PENDAHULUAN

Banjir merupakan suatu peristiwa atau fenomena alam dimana laju aliran

sungai relatif lebih tinggi dan melampaui tepi sungai tersebut. Penyebab

meningkatnya laju aliran yang menjadi banjir itu adalah curah hujan yang tinggi

dalam kurun waktu relatif lama. kondisi ini akan menjadi lebih parah pada

kawasan daerah aliran sungai (DAS) yang daya dukung lingkungannya telah

mengalami penurunan sebagai dampak dari rusaknya kawasan dan lahan.

Peristiwa banjir menjadi penting dan menarik untuk dibahas karena setiap

kejadian berdampak terhadap kehidupan manusia, terutama penduduk di daerah

aliran sungai. Dampak tersebut antara lain kerusakan tebing sungai, kerusakan

sarana dan prasarana pemerintah, rumah penduduk dan bangunan-bangunan

lainnya. Disamping itu juga kerugian harta benda, ternak, gagal panen dan

masalah-masalah kesehatan masyarakat terutama pencemaran sumber air bersih

yang berdampak pada penyakit-penyakit menular seperti diare, gastritis dan kulit

disamping penyakit-penyakit ISPA akibat lingkungan udara yang tidak kondusif

bagi kesehatan dan gangguan kesehatan lainnya.

Bencana Banjir di Kabupaten Kampar bulan November dan Desember

2006 mengakibatkan kerugian besar, antara lain kerugian materil dan harta benda,

hilangnya mata pencarian, kesulitan untuk mendapatkan sumber air bersih

kerusakan inftrastruktur, pemikiman serta gangguan kesehatan. Berupa

memburuknya kesehatan masyarakat antara lain timbulnya penyakit saluran

pernafasan infeksi kulit dan lain-lain.

Kawasan yang dilanda banjir tersebut meliputi 15 kecamatan dari 20

kecamatan yang ada di kabupaten kampar. Kawasan yang dimaksud adalah DAS
391

Kampar Kiri dengan 4 kecamatan, DAS kampar kanan dengan 9 kecamatan dan

DAS tapung dengan 2 kecamatan. Dalam kejadian banjir tersebut jumlah desa di

kabupaten Kampar yang tergenang adalah 72 desa dari 219 desa yang ada

(32,88%).

Topik ini dipilih untuk mengetahui keadaan dan masalah-masalah yang

timbul akibat peristiwa banjir di Kabupaten Kampar serta upaya Pemerintah

Daerah untuk mengantisipasi banjir tersebut.


392

II. TINJAUAN TENTANG BANJIR

2.1. Hujan sebagai Sumber Terjadinya Banjir

Terbentuknya awan hasil kondensasi dari uap air yang kemudian terbawa

oleh harus angin, sangat berpeluang untuk menyebar luas di angkasa di atas

permukaan bumi. Jika butiran air atau kristal es mencapai ukuran yang sangat

besar maka butiran air tersebut akan jatuh kepermukaan bumi. Proses jatuhnya

butiran air atau kristal air ini disebut presipitasi (hujan).

Secara ilmiah sumber – sumber air merupakan kekayaan alam alam yang

dapat diperbarui dan yang mempunyai daya regenerasi yaitu yang selalu dalam

sirkulasi dan lahir kembali mengikuti suatu daur yang disebut Daur Hidrologi.

Jadi air dari sumbernya mengalir ke laut. Air selalu dalam daur hidrologi sehingga

jumlahnya relative tetap.

Air hujan turun ke bumi, sebagian meresap ke tanah ada yang diserap oleh

akar tumbuhan dan ada pula yang melalui celah batu-batuan bergabung menjadi

satu dengan air tanah. Air permukaan dan air pada makhluk hidup menguap

menjadi awan yang apabila terkena dingin akan mengembun dan turun sebagai

hujan. Hujan yang langsung jatuh ke laut disebut daur pendek. Sedangkan yang

jatuh ke daratan ada yang tertahan oleh vegetasi, ada yang sampai ke permukaan

tanah melalui batang dan akar tumbuhan (Soerjan et all., 1987).

2.2. Proses Terjadinya Banjir

Dalam bahasa populer, pengertian banjir biasanya diartikan sebagai

aliran/genangan air yang menimbulkan kerugian ekonomi atau bahkan

menyebabkan kehilangan jiwa. Dalam istilah teknis, banjir adalah aliran air

sungai yang melampaui kapasitas tampung sungai, dengan demikian aliran sungai
393

yang mengalir melampuit kapasitas tampung akan melewati tebing sungai tersebut

dan mengenangi air sekitarnya (Hewlett, 1982).

Meskipun demikian banyak kasus yang terbukti bahwa aliran air dengan

debit puncak tahunan tidak sampai melewati tebing sungai dan oleh karena itu

secara teknis tidak dapat disebut banjir. Agar lebih teliti, pengamatan peristiwa

banjir seharusnya dilakukan berdasarkan angka probabilitas terjadinya debit banjir

(debit sungai) melampaui tebingnya serta dengan memanfaatkan karakteristik

hidrograf aliran. Misalnya debit puncak untuk periode yang berulang (Return

periode) 50 tahun (dengan angka probabilitas 0,02) atau volume air larian dengan

periode berulang 20 tahunan ( angka probabilitas 0,05).

Banjir dapat juga didefenisikan sebagai laju aliran yang relatif tinggi yang

menyebabkan suatu aliran sungai melebihi tepinya. Menurut batasan ini, bahwa

suatu aliran sungai yang penuh hingga tepinya dikatakan berada pada tahapan

banjir. Besarnya suatu banjir dapat dinyatakan dengan menggunakan ketinggian

diatas tahapan banjir sebagai suatu laju aliran sungai, yaitu debit air dengan satuan

(volume/waktu, misalnya m3 /detik) atau dalam satuan-satuan kecepatan sebagai

aliran per satuan luas lahan (volume / waktu, luas, misalnya milimeter /jam).

Arief ( 2001 ) menyatakan bahwa banjir ( flood ), secara hidrologi

memiliki dua definisi, yaitu : (1) Setiap aliran air yang merusak harta benda,

ternak dan tanaman, dan (2) Setiap kondisi permukaan air yang terjadi secara

alamiah, yang melebihi batas tepian normal ( normal banks ). Tampaknya definisi

kedua lebih dapat diterima karena tepian normal suatu sungai tidak selamanya

jelas. Oleh karena itu, U. S. Geological Survey telah menetapkan tanda setempat

untuk menyatakan permukaan pada saat tepian sungai mencapai ketinggian air
394

yang penuh. Tinggi banjir (flood stage) biasanya dinyatakan dalam satuan meter

diatas tanda ini.

Kita semua sangat berkepentingan dengan banjir karena kerusakan yang

diakibatkannya terhadap terhadap sumber daya lahan, sarana jalan, bangunan dan

saluran-saluran air akan akan mempunyai dampak yang sangat besar terhadap

kehidupan masyarakat. Meskipun demikian, perhatian terhadap banjir dan

dampaknya pada umumnya berlangsung di daerah hilir dan jauh dari hulu suatu

daerah aliran sungai (DAS) dimana kawasan hutan mengalami perubahan.

Debit puncak banjir di sepanjang sungai utama merupakan akumulasi

aliran air dari beberapa DAS dengan tataguna lahan, jenis tanah serta vegetasi dan

topografi yang berbeda-beda. Debit puncak dapat bergerak dari wilayah hulu DAS

ke daerah hilir dengan pengaruh kecil terhadap terjadinya debit puncak di daerah

hilir. Kecilnya pengaruh tersebut di sebabkan oleh ketidak-samaan waktu

terjadinya debit puncak dan adanya proses infiltrasi, evaporasi dan tertahannya

aliran air permukaan dalam perjalanan dari DAS bagian hulu ke daerah hilir.

2.3. Dampak Erosi dan Sedimentasi Terhadap Banjir

Dalam suatu daerah aliran sungai, permasalahan erosi dan sedimentasi

biasanya berkaitan erat dengan masalah banjir. Keduanya saling berhubungan erat

dan pengaruh keduanya dapat saling memberatkan dan berdampak negative

terhadap pengelolaan DAS. Salah satu akibat dari turunnya hujanlebat adalah

terjadinya erosi. Selanjutnya erosi tersebut akan menghasilkan sedimentasi pada

dasar sungai, saluran air atau waduk. Sedimentasi ini jelas akan menyebabkan

pendakalan selanjutnya akan menaikkan permukaan air ketika terjadi banjir.


395

Sebaliknya banjir dapat mengikis sungai dan dataran banjir ( flood plate ),

mengangkut sediment dan memindahkannya ke arah hilir sehingga menimbulkan

kerugian.

Material tanah memiliki ketahanan terhadap erosi sangat beragam.

Demikian juga kekuatan air hujan dan limpasan permukaan sangat berbeda-beda

dalam mengerosi tanah. Kepekaan tanah terhadap erosi (erodibility) merupakan

ciri-ciri dari bahan yang terkena erosi (seperti tanah atau bebatuan) yang

berhubungan dengan kepekaannya terhadap kekuatan-kekuatan yang mampu

mengerosi (erosive agent). Misalnya, pasir lebih besar erodibilitasnya

dibandingkan tanah liat. Daya mengerosi (erosivitas) merupakan cirri dari

kekuatan-kekuatan yang mampu mengerosi, seperti air hujan dan limpasan

permukaan. Bahaya erosi (erosion hazard) menggambarkan derajat potensi erosi

di suatu daerah dan mencerminkan efek gabungan dari erosivitas dengan

erodibilitas. Ada 4 faktor yang mempengaruhi bahaya erosi, yaitu : (a). erosivitas

air hujan, misalnya intensitas maksimum selama 30 menit; (b) erodibilitas tanah,

misalnya sifat adhesive dan kohesif material tanah; (c) keadaan penutup tanah

selama setahun, dan (d) kemiringan dan panjang lereng (Arif, 2001).

2.4 Banjir di Kabupaten Kampar

Banjir yang terjadi di Kabupaten Kampar pada akhir tahun 2006 telah

melanda 15 kecamatan yang berada di 3 daerah aliran sungai (DAS), yaitu:

a. DAS Kampar Kiri yang terdiri dari :

1. Kecamatan Kampar Kiri Hulu

2. Kecamatan Kampar Kiri

3. Kecamatan Kampar Kiri Hilir


396

4. Kecamatan Gunung Sahilan

b. DAS Kampar kanan yang terdiri dari :

1. Kecamatan Bangkinang Seberang

2. Kecamatan Kapar Utara

3. Kecamatan Kampar

4. Kecamatan Kampar

5. Kecamatan Kampar Timur

6. Kecamatan Siak Hulu

7. Kecamatan Perhentian Raja

8. Kecamatan Tambat

9. Kecamatan Salo

c. DAS Tapung yang meliputi :

1. Kecamatan Tapung Hulu

2. Kecamatan Tapung Hilir

Banjir di Kabupaten Kampar telah mengakibatkan kerusakan lingkungan

dan infrastruktur baik milik pemerintah maupun masyarakat. Pada kejadian

tersebut tidak terdapat korban jiwa. Tabel 1 dibawah ini menggambarkan dampak

yang ditimbulkan oleh banjir yang terjadi di Kabupaten Kampar bulan November

dan Desember 2006.


397

Tabel 1. Dampak Kerusakan Akibat Banjir di Kabupaten Kampar November dan


Desember 2006
Jumlah Desa Rumah Tangga Mengungsi
No DAS / KECAMATAN
Terendam Terendam (KK)
1 2 3 4 5
I DAS KAMPAR KIRI
1. Kampar Kiri Hulu 7 589 237
2. Kampar Kiri 11 1.987 205
3. Gunung Sahilan 3 292 125
4. Kampar Kiri Hilir 5 650 -
Jumlah 26 3.518 567
II DAS KAMPAR KANAN
1. Bangkinag Seberang 1 60 10
2. Kampar Utara 7 968 452
3. Rumbio Jaya 3 1.020 210
4. Kampar 12 1.975 294
5. Kampar Timur 4 315 -
6. Siak Hulu 4 1.619 121
7. Perhentian Raja 1 400 253
8. Tambang 10 1.039 900
9. Salo Timur 1 30 30
Jumlah 43 7.426 2.060
III DAS TAPUNG
1. Tapung Hilir 12 176 176
2. Tapung Hulu 1 458 258
Jumlah 13 634 434
15 Kecamatan 72 11.587 3.271
Sumber : BSPPM Kabupaten Kampar (2007)
398

III. DAMPAK BANJIR

3.1. Dampak Banjir Terhadap Lingkungan

Proses interaksi alam dan segala isinya selalu menuju pada suatu

keseimbangan. Keseimbangan tersebut menutupi kekurangan serta mengurangi

kelebihan. Bencana banjir, kemarau, kebakaran hutan, gempa bumi, tanah longsor

dan bencana alam lainnya merupakan kejadian-kejadian alam dalam proses

keseimbangan, yang tidak dapat ditolak oleh manusia. Semua proses itu

menimbulkan dampak kerugian yang tidak sedikit baik materi maupun non

materi.

Di daerah tropis basah, banjir merupakan kejadian alami dan wajar, karena

hujan tropis yang deras dan berlangsung dalam waktu pendek dimana air tidak

dapat disalurkan melalui sungai, danau, rawa dan sebagainya dengan lancar dan

cepat. Tidak berimbangnya air hujan yang jatuh diatas permukaan bumi dengan

kapasitas daya tampung saluran tersebut mengakibatkan adanya banjir.

Di Indonesia, termasuk di Provinsi Riau pada umumnya, sejak dahulu

banjir merupakan kejadian yang rutin sifatnya. Kejadiannya berlangsung periodik

yaitu pada musim hujan. Berbeda dengan gempa yang kejadiannya tidak periodik

atau tidak mengikuti siklus musiman.

Pada bulan November dan Desember 2006 yang lalu banjir yang terjadi di

Provinsi Riau melanda 5 daerah kabupaten / kota, yaitu Kampar, Indragiri Hulu,

Rokan Hulu, Rokan Hilir dan Pekanbaru. Di Kabupaten Kampar penyebab banjir

tersebut adalah meluapnya Sungai Subayang, Sungai Tapung dan Sungai Kampar

yang mengakibatkan 15 kecamatan dari 20 kecamatan yang ada di Kabupaten

Kampar (75 %) yang meliputi 72 desa diantara 219 desa/kelurahan yang ada
399

(32,9 %) dilanda banjir (BSPPM Kab Kampar, 2007). Kejadian ini mengakibatkan

berkurangnya aktivitas pertanian penduduk setempat, tidak sedikit kerugian yang

dialami masyarakat, karena tidak bisa bekerja, lahan pertanian yang terendam dan

kerusakan tanaman. Selain itu juga banjir telah menyebabkan kerusakan sarana

dan prasarana baik milik pemerintah maupun masyarakat pada tiga DAS yang

dilanda banjir tersebut.

Kerusakan hutan alam yang terus menerus terjadi memiliki dampak yang

sangat merugikan kehidupan manusia itu sendiri. Eksploitasi sumber daya alam

seperti hutan secara berlebihan tanpa batas toleransi yang jelas serta tidak

memperhitungkan daya dukung lingkungan telah mengakibatkan kerusakan hutan

di kawasan tersebut.

Di DAS Kampar sejak 10 tahun terakhir banjir sudah jarang terjadi,

karena adanya PLTA Koto Panjang yang disamping berfungsi sebagai pusat

pembangkit tenaga listrik juga mengontrol debit air Sungai Kampar sehingga

dapat meminimalkan dampak banji. Akan tetapi pada akhir tahun 2006 intensitas

hujan pada kawasan hulu sungai sangat tinggi dalam kurun waktu yang relatif

singkat, sehingga dalam waktu relatif singkat pula ketinggian air melampaui batas

tertinggi daya tampung waduk PLTA Koto Panjang dan oleh sebab itu harus

dibuang. Keadaan mengakibatkan banjir selama kurun waktu antara minggu

keempat Desember 2006 sampai dengan minggu pertama Januari 2007 pada desa-

desa di sepanjang DAS Kampar Hilir PLTA Koto Panjang.

Desa-desa yang dilanda banjir di sepanjang Sungai Subayang, Sungai

Kampar dan Sungai Tapung merupakan hamparan dataran. Pola pemukiman

penduduk yang ada di kawasan tersebut pada dasarnya mengikuti arah aliran
400

sungai, dimana sungai-sungai tersebut memiliki berbagai fungsi yang menunjang

kehidupan masyarakat. Selama bertahun-tahun posisi aliran Sungai Subayang

telah mengalami perubahan-perubahan di beberapa titik lokasi akibat dari laju

erosi, terbentuknya delta serta sedimentasi yang menyebabkan berobahannya alur

aliran air sungai tersebut di beberapa titik lokasi. Berpindahnya aliran sungai dari

posisi semula itu diikuti pula oleh runtuhnya tebing serta tanggul-tanggul yang

beberapa tahun lalu dibangun sebagai sarana untuk mencegah kerusakan tebing di

kawasan pemukiman penduduk. Proses tersebut berlangsung sejak puluhan tahun

dan puncaknya adalah yang terjadi pada banjir November dan Desember 2006.

3.2. Dampak Banjir Terhadap Kesehatan

Dampak banjir berupa kerusakan yang terjadi di Kabupaten Kampar telah

digambarkan pada table 3 diatas. Adapun akibat terhadap kesehatan masyarakat

adalah meningkatnya infeksi beberapa penyakit, antara lain : diare (379 orang),

penyakit kulit (423 orang), dan ISPA (592 orang) (Riau Pos, 18 Januari 2007).

Terjadinya peningkatan penyakit diare sangat dimungkinkan dalam

kondisi sanitasi yang buruk sebagai akibat dari tercemarnya sunber-sumber air

bersih yang ada di masyarakat. Selama berlangsungnya banjir terjadi kondisi

kelangkaan air bersih sehingga penduduk mengkonsumsi air yang tidak memenuhi

syarat kesehatan untuk keperluan air baku air minum. Demikian juga halnya untuk

kebutuhan mandi, mencuci, dan lain-lain, yang sangat berpotensi dalam

peningkatan penyakit kulit.

Adapun terjadinya peningkatan infeksi saluran pernafasan akut pasca

banjir, dipicu oleh kondisi lingkungan udara dan kelembaban yang mengalami

perobahan sehingga melewati ambang batas toleransi tubuh. Kondisi demikian


401

diperburuk oleh berubahnya pola konsumsi makanan dan air selama masa banjir

dan pasca banjir.


402

IV. UPAYA PENANGGULANGAN

Upaya yang dilakukan dalam menanggulangi dampak banjir dapat dibagi

menjadi dua macam yaitu jangka pendek dan jangka panjang.

a. Jangka Pendek

Upaya jangka pendek yang dilakukan adalah berupa perbaikan dan pemulihan

fungsi infrastruktur yang mengalami kerusakan, berupa jalan, jembatan,

gedung sekolah, sarana kesehatan, masjid, serta penduduk yang mengalami

kerusakan akibat banjir. Untuk mengantisipasi kesulitan transportasi antar

desa di musim banjir Pemerintah Daerah Kabupaten Kampar sebaiknya

menyediakan sejumlah speadboad karet bermesin yang ditempatkan

dibeberapa kecamatan yang rawan banjir.

b. Jangka Panjang

Masalah banjir di Kabupaten Kampar hendaknya juga dikaitkan dengan

masalah hutan di kawasan tersebut, terutama sekali kawasan hutan di kawasan

DAS mulai dari daerah hulu dimana hutan di kawasan tersebut telah

mengalami degradasi dan kritis. Keadaan demikian terjadi disebabkan adanya

aktifitas manusia mengeksploitasi hutan. Masyarakat memanfaatkan hutan

dari aspek ekonomi, social dan budaya, baik yang dikelola secara

konvensional hingga yang secara industrial oleh para pemegang HPH.

Akibatnya adalah semakin menipisnya kawasan hutan, berubahnya hutan

menjadi hamparan ilalang, lahan kritis, tandus dan sebagainya. Akibat

selanjutnya adalah banjir yang setiap tahun terjadi.

Oleh sebab itu penulis berpendapat bahwa program penanggulangan banjir

yang diupayakan tidak hanya tertuju pada dampak banjir melainkan juga terhadap
403

faktor-faktor yang ditengarai berhubungan dengan terjadinya kerusakan hutan

alam. Menurut Arief ( 2001 ), ada beberapa program di bidang kehutanan, yaitu :

1. Pengukuhan hutan, yaitu upaya untuk memperoleh kepastian hukum

mengenai status dan batas-batasa wilayah suatu kawasan hutan.

2. Penatagunaan hutan, yaitu suatu kegiatan perekaan pengukuran dan pemetaan

fungsi dan tipe hutan dengan tujuan untuk mencapai pemanfaatan hutan secara

maksimal dan lestari. Program penata-gunaan hutan tersebut dilaksanakan

berdasarkan pertimbangan letak dan keadaan hutan, topografi, keadaan dan

sifat tanah, iklim, keadaan dan perkembangan masyarakat.

3. Pengusahaan hutan, yaitu suatu usaha untuk memperoleh dan meningkatkan

produksi hasil hutan demi pembangunan ekonomi bagi masyarakat,

peningkatan devisa dan pendapatan negara dan perluasan serta pemerataan

kesempatan kerja, kesempatan berusaha, dan pengembangan sumber energi.

Pengusahaan hutan diselenggarakan berdasarkan azas kelestarisan dan

perusahaan yang meliputi penanaman, pemeliharaan, pemanenan, pengolahan

dan pemasaran hasilnya.

4. Reboisasi dan rehabilitasi hutan, yang dilakukan melalui program

penyelamatan hutan, tanah dan air yang bertujuan untuk mencegah terjadinya

banjir, erosi dan kekeringan. Secara tidak langsung reboisasi dan rehabilitasi

hutan bertujuan untuk meningkatkan pendapatan petani melalui peningkatan

daya dukung lahan serta terbinanya petani sebagai pelestari sumber daya alam

terutama pemanfaatan DAS.

5. Perlindungan hutan, dengan tujuan agar kelestariannya memenuhi fungsi

hutan yang meliputi mencegah dan membatasi kerusakan-kerusakan hutan


404

dan hasilnya akibat ulah manusia, kebakaran dan hama penyakit. Pelaksanaan

program ini perlu mengikut-sertakan masyarakat.

6. Inventarisasi dan perencanaan. Kegiatan ini ditujukan untuk mengetahui

potensi hutan agar diperoleh masukan untuk perencanaan hutan yang baik

terutama dalam hal kelestarian.

7. Pengurusan hutan, yaitu suatu kegiatan untuk mencapai manfaat hutan

sebesar-besarnya yang serba guna dan lestari dalam pembangunan masyarakat.

Untuk terlaksananya pengurusan hutan, maka dibentuk kesatuan-kesatuan

Pemangkuan hutan yang pelaksanaanya diatur oleh Menteri Kehutanan.

8. Konservasi SDA dan Lingkungan

Kegiatan ini mengarah kepada suatu perlindungan ekologi untuk menunjang

system penyangga kehidupan,pengawetan keberadaan keanekaragaman

hayati,pelestarian manfaat dan lingkungan secara berkelanjutan.Kegiatan –

kegiatan tersebut dilakukan melalui upaya rehabilitasi,pembinaan,dan

pengelohan hutan hidup,suaka alam dan taman wisata alam (Arief, 2001).

Selain program–program kehutanan yang diuraikan diatas, pengendalian

banjir juga dapat dilakukan dengan beberapa cara, antara lain dengan membuat

tanggul, waduk, saluran banjir, perbaikan saluran dan cara pengolahan lahan

(Arief, 2001).

1. Pembuatan tanggul.

Program pembuatan tanggul dilakukan dibeberapa titik yang mengalami

kerusakan/abrasi tebing Sungai Subayang dan Sungai Kampar. Cara ini

dibarengi upaya pengerukan terhadap sedimentasi yang telah menyebabkan


405

pergeseran diluar aliran sungai tersebut pada titik–titik dimaksud.Upaya ini

menjadi salah satu program jangka panjang dari Pemda Kabupaten Kampar.

2. Pembangunan waduk

Di Kabupaten Kampar sejak tahun 1996, waduk PLTA Koto Panjang telah

berfungsi secara penuh sebagai pusat pembangkit tenaga listrik sekalipun

sebagai sarana pengendali banjir. Namun apabila debit air Sungai Kampar

melampaui batas tertinggi daya tampung sebagai akibat curah hujan yang

tinggi di kawasan hulu sungai tersebut, maka air waduk akan dilepas. Volume

buangan yang demikian besar dalam waktu yang relatif lama akhirnya juga

mengakibatkan banjir di desa- desa sepanjang DAS Kampar.

3. Saluran banjir

Saluran banjir berfungsi sebagai cadangan dan pada musim kemarau biasanya

kering. Di Kabupaten Kampar cara seperti ini belum diupayakan.

4. Perbaikan saluran (Channel Improvement).

Perbaikan saluran dapat dilakukan dengan cara pengerukan dan pelurusan.

Dengan demikian perbaikan saluran ini dapat mengurangi tingginya air banjir

dengan jalan menambah kapasitas menampung saluran dan menambah

kecepatan rata-rata air yang mengalir (Arief, 2001). Pemerintah Kabupaten

Kampar untuk program penanggulangan banjir jangka panjang akan

mengupayakan untuk melaksanakan cara ini di Sungai Subayang.

Disamping itu penulis berpendapat bahwa Pemerintah Kabupaten Kampar

perlu menyusun program risetlement penduduk desa-desa rawan banjir dalam

rangka upaya penanggulangan banjir jangka panjang.


406

DAFTAR PUSTAKA

Amsyari, F., 1977. Prinsip-prinsip Masalah Pencemaran Lingkungan. Ghalia


Indonesia, Jakarta.

Lee, R., 1990. Hidrologi Hutan.Diterjemahkan oleh Subagio. Gajah Mada


Universiti Press, Yogyakarta.

Asdak, C., 1995. Gajah Mada University Press, Yogyakarta.

Nei, B., 1995, Memahami Lingkungan Atmosfer Kita. Diterjemahkan oleh


Ardina. ITB Press, Bandung.

Lakitan, B., 1997, Dasar-dasar Klimatologi. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

BSPPM , 2007, Laporan Evaluasi Banjir di Kabupaten Kampar Tahun 2006-2007,


Pemda Kabupaten Kampar, Bangkinang.

Arief, A., 2001. Hutan & Kehutanan.Kanisius, Yogyakarta.

Soerjani, M. R, Ahmad dan R. Munir. 1987. Lingkungan : Sumberdaya Alam dan


Kependudukan dalam Pembangunan. Universitas Indonesia, Jakarta.
283 hal.
407

PENCEMARAN UDARA DAN DAMPAKNYA


TERHADAP KESEHATAN MANUSIA

OLEH :

JOKO SUROSO

PROGRAM STUDI ILMU LINGKUNGAN


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
2006
408

I. PENDAHULUAN

Sepanjang kehidupan kita, tentu kita membutuhkan udara untuk bernapas.

Di dalam udara terkandung sejumlah oksigen. Ia merupakan komponen esensial

bagi kehidupan makhluk hidup, termasuk manusia. Udara merupakan campuran

dari gas yang terdiri dari 78 persen nitrogen, 20 persen oksigen, 0,93 persen

argon, 0,03 persen karbondioksida dan sisanya terdiri dari neon, helium, metan

dan hidrogen. Komposisi seperti itu dibilang sebagai udara normal dan dapat

mendukung kehidupan manusia. Namun akibat aktivitas manusia yang tidak

ramah lingkungan, udara sering kali menurun kualitasnya.Perubahan ini dapat

berupa sifat-sifat fisis maupun kimiawi. Perubahan kimiawi dapat berupa

pengurangan maupun penambahan salah satu komponen kimia yang terkandung

dalam udara. Kondisi seperti itu orang lazim menyebutnya dengan pencemaran

(polusi) udara.

Pencemaran udara adalah masuknya, atau tercampurnya unsur-unsur

berbahaya ke dalam atmosfir yang dapat mengakibatkan terjadinya kerusakan

lingkungan, gangguan pada kesehatan manusia secara umum serta menurunkan

kualitas lingkungan. Pencemaran udara dapat terjadi dimana-mana, misalnya di

dalam rumah, sekolah, dan kantor. Pencemaran ini sering disebut pencemaran

dalam ruangan (indoor pollution). Sementara itu pencemaran di luar ruangan

(outdoor pollution) berasal dari emisi kendaraan bermotor, industri, perkapalan,

dan proses alami oleh makhluk hidup. Sumber pencemar udara dapat

diklasifikasikan menjadi sumber diam dan sumber bergerak. Sumber diam terdiri

dari pembangkit listrik, industri dan rumah tangga. Sedangkan sumber bergerak

adalah aktifitas lalu lintas kendaraan bermotor dan tranportasi laut.


409

Menurut Badan Pengendalian Dampak lingkungan (2002) bahwa kondisi

pencemaran udara di beberapa kota Indonesia sudah mencapai taraf yang cukup

membahayakan. Itulah sebabnya, Jakarta menempati peringkat ketiga dalam hal

polusi udara terkotor sedunia, setelah Mexico City dan Bangkok. Hal ini dapat

terlihat dengan meningkatnya indeks terganggunya kenyamanan dan kesehatan

masyarakat di Ibukota. Dan menurut Isna Marifat MSc, Ketua Penyelenggara

Segar Jakartaku, "70 persen pencemaran udara Jakarta disebabkan oleh kendaraan

bermotor." Adapun jumlah kendaraan di Jakarta berdasarkan data tahun 2002

telah mencapai hampir 3,5 juta unit kendaraan, sehingga beban pencemaran udara

yang ditimbulkan cukup signifikan. Dan pencemaran udara yang paling tinggi

terdapat di ruas-ruas jalan yang paling padat lalu lintasnya dan rawan kemacetan.

Dengan semakin pesatnya kemajuan ekonomi mendorong semakin

bertambahnya kebutuhan akan transportasi, dilain sisi lingkungan alam yang

mendukung hajat hidup manusia semakin terancam kualitasnya, efek negatif

pencemaran udara kepada kehidupan manusia kian hari kian bertambah.

Dari data BPS (1999), di beberapa propinsi terutama di kota-kota besar

seperti Medan, Surabaya dan Jakarta, emisi kendaraan bermotor merupakan

kontribusi terbesar terhadap konsentrasi NO2 dan CO di udara yang jumlahnya

lebih dari 50%. Penurunan kualitas udara yang terus terjadi selama beberapa tahun

terakhir menunjukkan kita bahwa betapa pentingnya digalakkan usaha-usaha

pengurangan emisi ini. Baik melalui penyuluhan kepada masyarakat ataupun

dengan mengadakan penelitian bagi penerapan teknologi pengurangan emisi.


410

II. SUMBER DAN ZAT-ZAT PENCEMAR UDARA

Realitas terjadinya pencemaran udara itu disebabkan berbedanya

komposisi udara aktual dengan kondisi udara normal. Bahan atau zat pencemaran

udara sendiri dapat berbentuk gas dan partikel. Dalam bentuk gas dapat dibedakan

dalam golongan Belerang (Sulfur Dioksida, Hidrogen Sulfida, Sulfat Aerosol);

golongan Nitrogen (Nitrogen Oksida, Nitrogen Monoksida, Amoniak, dan

Nitrogen Dioksida); golongan Karbon (Karbon Dioksida, Karbon Monoksida,

Hidrokarbon); dan golongan gas yang berbahaya (Benzene, Vinyl Klorida, air

raksa uap).

Jenis pencemaran udara berbentuk partikel dibedakan menjadi tiga.

Pertama, mineral (anorganik) dapat berupa racun seperti air raksa dan Timah.

Kedua, bahan organik terdiri dari ikatan Hidrokarbon, Klorinasi Alkan, Benzene.

Ketiga, makhluk hidup terdiri dari bakteri, virus, telur cacing. Sementara itu, jenis

pencemaran udara menurut tempat dan sumbernya dibedakan menjadi dua, yaitu

pencemaran udara bebas dan pencemaran udara ruangan. Kategori pencemaran

udara bebas meliputi secara alamiah (letusan gunung berapi, pembusukan, dan

lain-lain) dan bersumber kegiatan manusia, misalnya berasal dari kegiatan

industri, rumah tangga, asap kendaraan bermotor, dan lain-lain.

2.1. Emisi Karbon Monoksida (CO)

Wright (2000) menyatakan WHO telah membuktikan bahwa karbon

monoksida yang secara rutin mencapai tingkat tak sehat di banyak kota dapat

mengakibatkan kecilnya berat badan janin, meningkatnya kematian bayi dan

kerusakan otak, bergantung pada lamanya seorang wanita hamil, dan bergantung

pada kekentalan polutan di udara.


411

Asap kendaraan merupakan sumber hampir seluruh karbon monoksida

yang dikeluarkan di banyak daerah perkotaan. Karena itu strategi penurunan kadar

karbon monoksida yang berhasil bergantung terutama pada pengendalian emisi

otomatis seperti pengubah kalitis, yang mengubah sebagian besar karbon

monoksida menjadi karbon dioksida. Kendali semacam itu secara nyata telah

menurunkan emisi dan kadar konsentrasi karbon monoksida yang menyelimuti

kota-kota di seluruh dunia industri: di Jepang, tingkat kadar karbon monoksida di

udara menurun sampai 50 persen antara tahun 1973 dan 1984, sementara di AS

tingkat karbon monoksida turun 28 persen antara tahun 1980 dan 1989, walaupun

terdapat kenaikan 39 persen untuk jarak kilometer yang ditempuh. Namun

kebanyakan dunia negara berkembang mengalami kenaikan tingkat karbon

monoksida, seiring dengan pertambahan jumlah kendaraan dan kepadatan lalu

lintas. Perkiraan kasar dari WHO menunjukkan bahwa konsentrasi karbon

monoksida yang tidak sehat mungkin terdapat pada paling tidak separo kota di

dunia.

Data mengungkapkan bahwa 60% pencemaran udara di Jakarta

disebabkan karena benda bergerak atau transportasi umum yang berbahan bakar

solar terutama berasal dari Metromini. Formasi CO merupakan fungsi dari rasio

kebutuhan udara dan bahan bakar dalam proses pembakaran di dalam ruang bakar

mesin diesel. Percampuran yang baik antara udara dan bahan bakar terutama yang

terjadi pada mesin-mesin yang menggunakan Turbocharge merupakan salah satu

strategi untuk meminimalkan emisi CO. Karbon monoksida yang meningkat di

berbagai perkotaan dapat mengakibatkan turunnya berat janin dan meningkatkan

jumlah kematian bayi serta kerusakan otak. Karena itu strategi penurunan kadar
412

karbon monoksida akan tergantung pada pengendalian emisi seperti pengggunaan

bahan katalis yang mengubah bahan karbon monoksida menjadi karbon dioksida

dan penggunaan bahan bakar terbarukan yang rendah polusi bagi kendaraan

bermotor.

2.2. Nitrogen Oksida (NOx)

Nitrogen oksida yang terjadi ketika panas pembakaran menyebabkan

bersatunya oksigen dan nitrogen yang terdapat di udara memberikan berbagai

ancaman bahaya. Zat nitrogen oksida ini sendiri menyebabkan kerusakan paru-

paru. Setelah bereaksi di atmosfer, zat ini membentuk partikel-partikel nitrat amat

halus yang menembus bagian terdalam paru-paru. Partikel-partikel nitrat ini pula,

jika bergabung dengan air baik air di paru-paru atau uap air di awan akan

membentuk asam. Akhirnya zat-zat oksida ini bereaksi dengan asap bensin yang

tidak terbakar dan zat-zat hidrokarbon lain di sinar matahari dan membentuk ozon

rendah atau "smog" kabut berwarna coklat kemerahan yang menyelimuti sebagian

besar kota di dunia.

Berdasarkan data, sampai tahun 1999 NOx yang berasal dari alat

transportasi laut di Jepang menyumbangkan 38% dari total emisi NOx (25.000

ton/tahun) [4]. NOx terbentuk atas tiga fungsi yaitu Suhu (T), Waktu Reaksi (t),

dan konsentrasi Oksigen (O2), NOx = f (T, t, O2).

Secara teoritis ada 3 teori yang mengemukakan terbentuknya NOx, yaitu:

1. Thermal NOx (Extended Zeldovich Mechanism).

Proses ini disebabkan gas nitrogen yang beroksidasi pada suhu tinggi pada

ruang bakar (>1800 K). Thermal NOx ini didominasi oleh emisi NO (NOx

= NO + NO2).
413

2. Prompt NOx.

Formasi NOx ini akan terbentuk cepat pada zona pembakaran.

3. Fuel NOx

NOx formasi ini terbentuk karena kandungan N dalam bahan bakar.

Kira-kira 90% dari emisi NOx adalah disebabkan proses thermal NOx, dan

tercatat bahwa dengan penggunaan HFO (Heavy Fuel Oil), bahan bakar yang

biasa digunakan di kapal, menyumbangkan emisi NOx sebesar 20-30%. Nitrogen

oksida yang ada di udara yang dihirup oleh manusia dapat menyebabkan

kerusakan paru-paru. Setelah bereaksi dengan atmosfir zat ini membentuk

partikel-partikel nitrat yang amat halus yang dapat menembus bagian terdalam

paru-paru. Selain itu zat oksida ini jika bereaksi dengan asap bensin yang tidak

terbakar dengan sempurna dan zat hidrokarbon lain akan membentuk ozon rendah

atau smog kabut berawan coklat kemerahan yang menyelimuti sebagian besar

kota di dunia.

2.3. SOx (Sulfur Oxide : SO2, SO3)

Emisi sulfur dioksida terutama timbul dari pembakaran bahan bakar fosil

yang mengandung sulfur terutama batubara yang digunakan untuk pembangkit

tenaga listrik atau pemanasan rumah tangga. Selain itu kandungan sulfur dalam

pelumas, juga menjadi penyebab terbentuknya SOx emisi. Sistem pemantauan

lingkungan global yang disponsori PBB memperkirakan bahwa pada 1987 dua

pertiga penduduk kota hidup di kota-kota yang konsentrasi sulfur dioksida di

udara sekitarnya di atas atau tepat pada ambang batas yang ditetapkan WHO. Gas

yang berbau tajam tapi tak bewarna ini dapat menimbulkan serangan asma dan,
414

karena gas ini menetap di udara, bereaksi dan membentuk partikel-partikel halus

dan zat asam.

Struktur sulfur terbentuk pada ikatan aromatic dan alkyl. Dalam proses

pembakaran sulfur dioxide dan sulfur trioxide terbentuk dari reaksi:

S + O2 = SO2

SO2 + 1/2 O2 = SO3

Kandungan SO3 dalam SOx sangat kecil sekali yaitu sekitar 1-5%. Gas

yang berbau tajam tapi tidak berwarna ini dapat menimbulkan serangan asma, gas

ini pun jika bereaksi di atmosfir akan membentuk zat asam. Badan WHO PBB

menyatakan bahwa pada tahun 1987 jumlah sulfur dioksida di udara telah

mencapai ambang batas yg ditetapkan oleh WHO.

2.4. Emisi HydroCarbon (HC)

Pada mesin, emisi Hidrokarbon (HC) terbentuk dari bermacam-macam

sumber. Tidak terbakarnya bahan bakar secara sempurna, tidak terbakarnya

minyak pelumas silinder adalah salah satu penyebab munculnya emisi HC. Emisi

HC pada bahan bakar HFO yang biasa digunakan pada mesin-mesin diesel besar

akan lebih sedikit jika dibandingkan dengan mesin diesel yang berbahan bakar

Diesel Oil (DO). Emisi HC ini berbentuk gas methan (CH4). Jenis emisi ini dapat

menyebabkan leukemia dan kanker.

2.5. Partikulat Matter (PM)

Zat ini sering disebut sebagai asap atau jelaga; benda-benda partikulat ini

sering merupakan pencemar udara yang paling kentara, dan biasanya juga paling

berbahaya. Sistem Pemantauan Lingkungan global yang disponsori PBB


415

memperkirakan pada 1987 bahwa 70 persen penduduk kota di dunia hidup di

kota-kota dengan partikel yang mengambang di udara melebihi ambang batas

yang ditetapkan WHO.

Sebagian benda partikulat keluar dari cerobong pabrik sebagai asap hitam

tebal, tetapi yang paling berbahaya adalah "partikel-partikel halus" butiran-butiran

yang begitu kecil sehingga dapat menembus bagian terdalam paru-paru. Sebagian

besar partikel halus ini terbentuk dengan polutan lain, terutama sulfur dioksida

dan oksida nitrogen, dan secara kimiawi berubah dan membentuk zat-zat nitrat

dan sulfat. Dibeberapa kota, sampai separo jumlah benda partikulat yang

disebabkan ulah manusia terbentuk dari perubahan sulfur dioksida menjadi

partikel sulfat di atmosfer. Di kota-kota lain, zat-zat nitrat yang terbentuk dari

proses yang sama dari oksida-oksida nitrogen dapat membentuk sepertiga atau

lebih benda partikulat.

Partikel debu dalam emisi gas buang terdiri dari bermacam-macam

komponen. Bukan hanya berbentuk padatan tapi juga berbentuk cairan yang

mengendap dalam partikel debu. Pada proses pembakaran debu terbentuk dari

pemecahan unsur hidrokarbon dan proses oksidasi setelahnya. Dalam debu

tersebut terkandung debu sendiri dan beberapa kandungan metal oksida. Dalam

proses ekspansi selanjutnya di atmosfir, kandungan metal dan debu tersebut

membentuk partikulat. Beberapa unsur kandungan partikulat adalah karbon, SOF

(Soluble Organic Fraction), debu, SO4, dan H2O. Sebagian benda partikulat keluar

dari cerobong pabrik sebagai asap hitam tebal, tetapi yang paling berbahaya

adalah butiran-butiran halus sehingga dapat menembus bagian terdalam paru-paru.


416

Diketahui juga bahwa di beberapa kota besar di dunia perubahan menjadi partikel

sulfat di atmosfir banyak disebabkan karena proses oksida oleh molekul sulfur.

2.6. Ozon atau Asap Kabut Fotokimiawi

Ozon, terdiri dari beratus-ratus zat kimiawi yang terdapat dalam asap

kabut, terbentuk ketika hidrokarbon pekat di perkotaan bereaksi dengan oksida

nitrogen. Tetapi, karena salah satu zat kimiawi itu, yaitu ozon, adalah yang paling

dominan, pemerintah menggunakannya sebagai tolok ukur untuk menetapkan

konsentrasi oksidan secara umum. Ozon merupakan zat oksidan yang begitu kuat

(selain klor) sehingga beberapa kota menggunakannya sebagai disinfektan

pasokan air minum. Banyak ilmuwan menganggapnya sebagai polutan udara yang

paling beracun; begitu berbahayanya sehingga pada eksperimen laboratorium

untuk menguji dampak ozon, satu dari setiap sepuluh sukarelawan harus

dipindahkan dari bilik pajanan yang digunakan dalam eksperimen itu karena

gangguan pernapasan. Pada hewan percobaan laboratorium, ozon menyebabkan

luka dan kerusakan sel yang mirip dengan yang diderita para perokok. Karena

emisi oksida nitrogen dan hidrokarbon semakin meningkat, tingkat ozon bahkan

di pedesaan telah berlipat dua, dan kini mendekati tingkat membahayakan bagi

banyak spesies.

2.7. Timah

Logam berwarna kelabu keperakan yang amat beracun dalam setiap

bentuknya ini merupakan ancaman yang amat berbahaya bagi anak di bawah usia

6 tahun, yang biasanya mereka telan dalam bentuk serpihan cat pada dinding

rumah. Logam berat ini merusak kecerdasan, menghambat pertumbuhan,

mengurangi kemampuan untuk mendengar dan memahami bahasa, dan


417

menghilangkan konsentrasi. Bahkan pajanan dengan tingkat yang amat rendah

sekalipun tampaknya selalu diasosiasikan dengan rendahnya kecerdasan. Karena

sumber utama timah adalah asap kendaraan berbahan bakar bensin yang

mengandung timah, maka polutan ini dapat ditemui di mana ada mobil, truk, dan

bus. Bahkan di negara-negara yang telah berhasil menghapuskan penggunaan

bensin yang mengandung timah, debu di udara tetap tercemar karena penggunaan

bahan bakar ini selama puluhan tahun. Di Kota Meksiko City, misalnya, tujuh dari

10 bayi yang baru lahir memiliki kadar timah dalam darah lebih tinggi daripada

standar yang diizinkan WHO.

Menurut Moore, Curtis dan Alan S. Miller (1994) bahwa di samping

timah, banyak sekali zat beracun lain menambah beban kandungan polutan di

daerah perkotaan. Zat-zat ini mulai dari asbes dan logam berat (seperti kadmium,

arsenik, mangan, nikel dan zink) sampai bermacam-macam senyawa organik

(seperti benzene dan hidrokarbon lain dan aldehida). Perusahaan-perusahaan di

AS mengeluarkan sedikitnya 1,2 juta metrik ton zat beracun ke udara pada tahun

1987. Badan Perlindungan Lingkungan AS memperkirakan bahwa pajanan

terhadap polutan-polutan tersebut mengakibatkan antara 1.700 sampai 2.700 jenis

kanker per tahun.


418

III. EFEK NEGATIF PENCEMARAN UDARA BAGI KESEHATAN


MANUSIA

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan bahwa 70 persen

penduduk kota di dunia pernah sesekali menghirup udara yang tidak sehat,

sedangkan 10 persen lain menghirup udara yang bersifat "marjinal". Tetapi

bahkan di AS, yang tingkat pencemaran udaranya cenderung jauh lebih rendah

daripada di kota-kota di negara berkembang, studi oleh para peneliti di

Universitas Harvard menunjukkan bahwa kematian akibat pencemaran udara

berjumlah antara 50.000 dan 100.000 per tahun.

Pencemaran lebih mempengaruhi anak-anak daripada orang dewasa. Studi

telah membuktikan bahwa anak-anak yang tinggal di kota dengan tingkat

pencemaran udara lebih tinggi mempunyai paru-paru lebih kecil, lebih sering

tidak bersekolah karena sakit, dan lebih sering dirawat di rumah sakit. Rendahnya

berat badan anak-anak dan kecilnya organ-organ pertumbuhan mereka memberi

risiko yang lebih tinggi pula bagi mereka. Demikian pula kebiasaan mereka; bayi

menghisap sembarang benda yang tercemar, anak-anak yang lebih besar bermain-

main di jalanan yang dipenuhi asap kendaraan dan buangan hasil pembakaran

bermuatan timah.

Pada 1980, misalnya, kota industri Cubatao, Brasilia, melaporkan bahwa

sebagai akibat pencemaran udara, 40 dari setiap 1000 bayi yang lahir di kota itu

meninggal saat dilahirkan, 40 yang lain kebanyakan cacat, meninggal pada

minggu pertama hidupnya. Pada tahun yang sama, dengan 80.000

penduduk,Cubatao mengalami sekitar 10.000 kasus medis darurat yang meliputi

TBC, pneumonia, bronkitis, emphysema, asma, dan penyakit-penyakit pernapasan

lain.
419

Di kota metropolitan Athena, Yunani, tingkat kematian melonjak 500

persen di hari-hari yang paling tercemari. Bahkan di daerah-daerah yang jauh dari

fasilitas industri, pencemaran udara juga dapat menyebabkan kerusakan. Di

daerah-daerah hutan tropis di Afrika, misalnya, para ilmuwan melaporkan adanya

tingkat hujan asam dan kabut asap yang sama tingginya dengan di Eropa Tengah,

kemungkinan karena pembakaran rutin padang rumput untuk melapangkan tanah.

Tabel 1 menjelaskan tentang pengaruh pencemaran udara terhadap

makhluk hidup. Rentang nilai menunjukkan batasan kategori daerah sesuai tingkat

kesehatan untuk dihuni oleh manusia. Karbon monoksida, nitrogen, ozon, sulfur

dioksida dan partikulat matter adalah beberapa parameter polusi udara yang

dominan dihasilkan oleh sumber pencemar. Dari pantauan lain diketahui bahwa

dari beberapa kota yang diketahui masuk dalam kategori tidak sehat berdasarkan

ISPU (Indeks Standar Pencemar Udara) adalah Jakarta (26 titik), Semarang (1

titik), Surabaya (3 titik), Bandung (1 titik), Medan (6 titik), Pontianak (16 titik),

Palangkaraya (4 titik), dan Pekan Baru (14 titik). Satu lokasi di Jakarta yang

diketahui merupakan daerah kategori sangat tidak sehat berdasarkan pantauan

lapangan.
420

Tabel 1. Pengaruh Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU)

Kategori Rentang Karbon Nitrogen Ozon (O3) Sulfur Partikulat


monoksida (NO2) dioksida
(CO) (SO2)

Baik Baik Tidak ada efek Sedikit berbau Luka pada Luka pada Tidak ada
Beberapa spesies Beberapa efek
tumbuhan akibat spesies
kombinasi tumbuhan
dengan SO2 akibat
(Selama 4 Jam) kombinasi
dengan O3
(Selama 4
Jam)

Sedang 51– 100 Perubahan Berbau Luka pada Luka pada Terjadi
kimia darah Beberapa spesies Beberapa penurunan
tapi tidak tumbuhan spesies pada jarak
terdeteksi tumbuhan pandang

Tidak 101 – 199 Peningkatan Bau dan Penurunan Bau, Jarak


Sehat pada kehilangan kemampuan pada Meningkat pandang
kardiovaskular warna. atlit yang berlatih nya turun dan
pada perokok Peningkatan keras kerusakan terjadi
yang sakit reaktivitas tanaman pengotoran
jantung pembuluh debu di
tenggorokan mana-
pada penderita mana
asma

Sangat 200-299 Meningkatnya Meningkatnya Olah raga ringan Meningkat Meningkat


Tidak kardiovaskular sensitivitas mengakibatkan nya sensitivi nya
Sehat pada orang pasien yang pengaruh tas pada sensitivitas
bukan perokok berpenyakit parnafasan pada pasien pada
yang asma dan pasien yang berpenyakit pasien ber
berpenyakit bronchitis berpenyaklt paru- asma dan penyakit
Jantung, dan paru kronis bronchitis asma dan
akan tampak bronchitis
beberapa
kelemahan
yang terlihat
secara nyata

Berbahaya 300 – lebih Tingkat yang berbahaya bagi semua populasi yang terpapar

Sumber: Bapedal (2004).


421

Tabel 2. Sumber dan Standar Kesehatan Emisi Gas Buang

Pencemar Sumber Keterangan

Karbon monoksida (CO) Buangan kendaraan Standar kesehatan: 10


bermotor; beberapa mg/m3 (9 ppm)
proses industri

Sulfur dioksida (S02) Panas dan fasilitas Standar kesehatan: 80


pembangkit listrik ug/m3 (0.03 ppm)

Partikulat Matter Buangan kendaraan Standar kesehatan: 50


bermotor; beberapa ug/m3 selama 1 tahun;
proses industri 150 ug/m3

Nitrogen dioksida (N02) Buangan kendaraan Buangan kendaraan


bermotor; panas dan bermotor; panas dan
fasilitas fasilitas

Ozon (03) Terbentuk di atmosfir Standar kesehatan: 235


ug/m3 (0.12 ppm) selama
1 jam

Sumber: Bapedal (2004).

Tabel 2 memperlihatkan sumber emisi dan standar kesehatan yang

ditetapkan oleh pemerintah melalui keputusan Bapedal. BPLHD Propinsi DKI

Jakarta pun mencatat bahwa adanya penurunan yang signifikan jumlah hari dalam

kategori baik untuk dihirup dari tahun ke tahun sangat mengkhawatirkan. Dimana

pada tahun 2000 kategori udara yang baik sekitar 32% (117 hari dalam satu tahun)

dan di tahun 2003 turun menjadi hanya 6.85% (25 hari dalam satu tahun). Hal ini

menandakan Indonesia sudah seharusnya memperketat peraturan tentang

pengurangan emisi baik sektor industri maupun sektor transportasi darat/laut.

Selain itu tentunya penemuan-penemuan teknologi baru pengurangan emisi

dilanjutkan dengan pengaplikasiannya di masyarakat menjadi suatu prioritas

utama bagi pengendalian polusi udara di Indonesia.


422

David Kuper, Kepala Perwakilan Swisscontact dan Direktur Clean Air

Project Jakarta menyatakan bahwa pencemaran udara berdampak negatif terhadap

kesehatan, khususnya penyakit kardiovaskuler, tekanan darah tinggi, gangguan

kejiwaan, kanker dan penurunan IQ pada anak-anak. Biaya kesehatan akibat

pencemaran udara mengalami peningkatan sekitar 250 juta dolar AS per tahun.

Lebih jauh, kondisi udara yang tercemar bisa membuat kesehatan kita memburuk

dan terancam. Misalnya, adanya logam timbal yang keluar dari gas buangan

kendaraan bermotor dapat masuk ke tubuh manusia melalui pernapasan dan

kontak langsung. Keberadaan unsur timbal ini di dalam tubuh manusia menjadi

racun penyerang saraf yang dapat merusak pertumbuhan anak dan bisa

menurunkan kepintaran (IQ) anak-anak.

Berdasarkan data penelitian mutakhir menyebutkan bahwa udara kotor

tidak cuma buruk bagi paru-paru, tapi juga berdampak jelek buat jantung.

Serangan jantung ini mungkin akan menjadi ancaman sangat serius karena

disebabkan kotornya udara. Sementara itu, Posman Sibuea, Magister Sains Bidang

Teknologi Pangan dari UGM Yogyakarta, mengungkapkan salah satu faktor yang

menyebabkan tingginya kontaminasi timbel pada lingkungan adalah pemakaian

bensin bertimbel yang masih tinggi di Indonesia. Untuk mempermudah bensin

premium terbakar, titik bakarnya harus diturunkan melalui peningkatan bilangan

oktan dengan penambahan timbel dalam bentuk Tetra Ethyl Lead (TEL). Namun

dalam proses pembakaran, timbel dilepas kembali bersama-sama sisa pembakaran

lainnya ke udara dan siap masuk ke sistem pernapasan manusia.

Lebih lanjut diungkapkan Posman, di dalam tubuh manusia, timbel

memulai turnya melalui saluran pernapasan atau saluran pencernaan menuju


423

sistem peredaran darah. Melalui sistem peredaran darah menyebar ke berbagai

jaringan lain seperti ginjal, hati, otak, saraf, dan tulang. Keracunan timbel ini pada

orang dewasa ditandai dengan gejala 3 P, yaitu pallor (pucat), pain (sakit), dan

paralysis (kelumpuhan). Adapun keracunan timbal pada anak-anak dapat

mengurangi kecerdasannya. Bila dalam darah mereka ditemukan kadar timbal tiga

kali batas normal (asupan normal sekitar 0,3 miligram per hari) menyebabkan

penurunan IQ di bawah 80. Kelainan fungsi otak terjadi karena timbel secara

kompetitif menggantikan peranan mineral-mineral utama seperti seng, tembaga,

dan besi dalam mengatur fungsi sistem saraf pusat yang pada gilirannya akan

mengurangi peluang anak untuk berprestasi di sekolah.

Pencemaran udara berdasarkan pengaruhnya terhadap gangguan kesehatan

dibedakan menjadi empat jenis (Kastiyowati, 2003), yaitu :

1. Iritansi. Biasanya polutan ini bersifat korosif. Merangsang proses peradangan

hanya pada saluran pernapasan bagian atas (mulai hidung hingga

tenggorokan). Misalnya Sulfur Dioksida, Sulfur Trioksida, Amoniak, debu.

Iritasi terjadi pada saluran pernapasan bagian atas dan juga mengenai paru-

paru.

2. Asfiksia, yakni disebabkan oleh berkurangnya kemampuan tubuh dalam

menangkap oksigen atau berkurangnya kadar oksigen. Keracunan gas

karbonmonoksida mengakibatkan CO akan mengikat hemoglobin sehingga

kemampuan hemoglobin mengikat oksigen berkurang maka terjadilah asfiksia.

Yang termasuk golongan ini ialah gas Nitrogen, Oksida, Metan, gas Hidrogen

dan Helium.
424

3. Anestesia. Bersifat menekan susunan saraf pusat sehingga kehilangan

kesadaran, misalnya Aeter, Aetiline, Propane, dan alkohol alifatis.

4. Toksis. Titik tangkap terjadinya berbagai jenis, yaitu menimbulkan gangguan

pada sistem pembuatan darah (misalnya Benzene, Fenol, Toluen, dan Xylene)

dan keracunan terhadap susunan saraf (misalnya Karbon Dioksida, Metil

alkohol). Dari sini, masyarakat hendaknya sadar betul mengenai ancaman

kesehatan bersumber dari masalah pencemaran udara (terutama) dari asap

kendaraan bermotor, dampaknya terhadap kesehatan, dan bagaimana upaya

untuk menanggulanginya.
425

IV. TEKNOLOGI PENANGGULANGAN EMISI DARI KENDARAAN

Secara sekilas teknologi penanggulangan emisi dari mesin dapat

dikategorikan menjadi dua bagian besar yaitu Pengurangan emisi metoda primer

dan Pengurangan emisi metoda sekunder. Untuk pengurangan emisi metode

primer adalah sebagai berikut :

Berdasarkan bahan bakar :

 Penggunaan bahan bakar yang rendah Nitrogen dan Sulfur termasuk

penggunaan non fossil fuel

 Penggalangan penggunaan Non Petroleum Liquid Fuels

 Penggunaan angka cetan yang tinggi bagi motor diesel dan angka oktan bagi

Zmotor bensin

 Penggunaan bahan bakar Gas

 Penerapan teknologi emulsifikasi (pencampuran bahan bakar dengan air atau

lainnya)

Berdasarkan Perlakuan Udara :

 Penggunaan teknologi Exhaust Gas Recirculation (EGR)

 Pengaturan temperature udara yang masuk pada motor

 Humidifikasi

Berdasarkan Proses Pembakaran :

 Modifikasi pada pompa bahan bakar dan sistem injeksi bahan bakar

 Pengaturan waktu injeksi bahan bakar

 Pengaturan ukuran droplet dari bahan bakar yang diinjeksikan

 Injeksi langsung air ke dalam ruang pembakaran

Sementara itu pengurangan emisi metoda sekunder adalah :


426

 Penggunaan Selective Catalytic Reduction (SCR)

 Penerapan teknologi Sea Water Scrubber untuk aplikasi di kapal

 Penggunaan katalis magnet yang dipasang pada pipa bahan bakar

 Penggunaan katalis pada pipa gas buang kendaraan bermotor


427

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pengendalian Dampak Lingkungan, 2002. Presentasi Data ISPU - Januari


2002 hingga Desembar 2002, Jakarta.

Badan Pengendalian Dampak Lingkungan, 2002. Sumber dan Standar Kesehatan


Emisi Gas Buang, Jakarta.

Kementerian Lingkungan Hidup, 2002. Status Lingkungan Hidup DKI Jakarta.


Jakarta.

Osami, N., 2001. Actual State and Prevention of Marine Air Pollution from Ships,
Review of Kobe University of Mercantile Marine No. 49, Kobe.

Tempo Interaktif, 2005, Metromini Penyebab Pencemaran Udara Terbesar di


Jakarta, Januari 2005 (http://www.tempointeraktif.com/hg/jakarta
/2005/01/18/brk,20050118-10,id.html).

Wright, A. A., 2000. Exhaust Emissions from Combustion Machinery, IMARE-


London.

Moore, Curtis and Alan S. Miller, 1994. Green Gold: Japan, Germany, the United
States and the Race for Environmental Technology. Boston: Beacon
Press.
428

IMPLIKASI PROTOKOL KYOTO


DI PROPINSI RIAU

OLEH :

MURHAMSA

PROGRAM STUDI ILMU LINGKUNGAN


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
2006
429

I. PENDAHULUAN

Kekhawatiran masyarakat bumi bahwa perubahan iklim global akan

membawa dampak dahsyat telah tumbuh dengan cepat, ditandai antara lain

dengan dibentuknya Badan Khusus di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa

mengenai perubahan iklim, yaitu UNFCCC (UN Framework Convention on

Climate Change). Masalah pemanasan global mendapat perhatian dunia setelah

Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) yang diadakan oleh PBB pada bulan Juni 1992

di Rio de Janeiro yang lebih dikenal sebagai KTT Bumi (Earth Summit).

Setelah KTT Bumi telah diadakan beberapa pertemuan internasional dan

hasil yang penting adalah Rapat Tahunan COP (Conference Of the Party) III di

Kyoto pada tahun 1997 yang diadakan oleh UNFCCC (United Nation Framework

Convention on Climate Change) telah menghasilkan kesepakatan internasional

untuk memanajemeni perubahan iklim global, dengan dokumen yang dikenal

sebagai Protokol Kyoto. Isi kesepakatan ini adalah kewajiban bagi negara maju

yang disebut Annex I Countries untuk mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK)

sebesar 5 % dibawah level tahun 1990 pada periode 2008 sampai 2012.

Emisi gas rumah kaca (green house gases) dianggap sebagai penyebab

perubahan iklim global yang ditakutkan itu. Sektor energi, khususnya kegiatan

pembakaran bahan bakar fosil (batubara, minyak bumi, gas bumi) merupakan

penyumbang terbesar emisi gas rumah kaca seperti: partikel, SO2, NOx, dan

Carbon Dioxide (CO2) dan oleh karena itu, sektor ini akan terkena dampak

langsung kesepakatan dunia mengenai manajemen perubahan iklim tersebut.

Sektor energi merupakan sektor yang penting di Indonesia karena selain

sebagai penggerak pertumbuhan ekonomi dalam negeri juga sebagai komoditi


430

ekspor. khususnya bahan bakar fosil. Ekspor minyak bumi, gas bumi dan batubara

merupakan sumber utama pendapatan pemerintah sejak lebih 3 dekade yang lalu.

Tetapi pertumbuhan perekonomian ini juga dapat membawa dampak yang negatif

bagi sumber daya alam seperti air, udara, dan tanah. Dampak negatif tersebut

dapat berupa pencemaran sebagai akibat dari penggunaan energi. Penggunaan

energi dapat mencemarkan lingkungan karena adanya limbah padat, limbah cair,

dan polutan akibat emisi dari pembakaran energi fosil seperti: partikel, SO2, NOx,

dan Carbon Dioxide (CO2).

Indonesia juga adalah negara agraris, mempunyai hutan–hutan tropis serta

garis pantai yang terpanjang di dunia, sehingga perubahan iklim yang akan

berpengaruh terhadap pemanasaan global merupakan masalah yang menjadi

perhatian negara ini. Indonesia perlu terlibat aktif dalam menyikapi masalah

perubahan iklim global. Sumber energi di Indonesia dapat dikelompokkan

menjadi dua, yaitu: sumber energi fosil dan sumber energi terbarukan. Sumber

energi fosil terdiri atas minyak bumi, gas alam dan batubara. Penggunaan energi

fosil akan menghasilkan emisi seperti: partikel, SO2, NOx, dan CO2. Emisi

partikel, SO2, dan NOx adalah bahan polutan yang berhubungan langsung dengan

kesehatan manusia. Untuk menyelamatkan lingkungan, maka Indonesia

Meratifikasi protokol Kyoto. Ikut meratifikasi Protokol Kyoto termasuk bagian

dari peran Indonesia untuk ikut terlibat dalam manajemen perubahan iklim global

tersebut. Peran aktif tersebut penting karena Indonesia juga adalah negeri yang

memiliki beraneka -ragam sumberdaya energi dan sektor energi memiliki peranan

luas dalam ekonomi nasionalnya.


431

II. PEMANASAN GLOBAL

2.1. Efek Rumah Kaca

Efek rumah kaca (GRK) adalah proses masuknya radiasi dari sinar

matahari dan karena ada GRK maka radiasi tersebut terjebak di dalam atmosfer

sehingga menaikkan suhu permukaanbumi. GRK inilah yang menyerap

gelombang panas dari sinar matahari yang dipancarkanbumi. GRK yang penting

ialah CO2, Methane (CH4), Nitrous Oxide (N2O), Chloroflourocarbon (CFC)

(yang dapat dibagi menjadi dua, yaitu: Haloflourocarbon (HFC) dan

Perfluorocarbon (PFC), dan Sulfur Hexafluoride (SF6). Sumbangan terjadinya

pemanasan global yang terbesar adalah CO2 sebesar 61 %, diikuti oleh CH4

sebesar 15 %, CFC sebesar 12 %, N2O sebesar 4 % dan sumber lain sebesar 8 %

(Callan, 2000). Yang menjadi sumber utama dari emisi CO2 adalah penggunaan

energi dan penggundulan hutan. Untuk selanjutnya dalam makalah ini faktor yang

mempengaruhi pemanasan global hanya ditinjau dari emisi CO2 akibat

penggunaan energi.

Radiasi sinar matahari yang terjebak akan memberi kehangatan bagai

makhluk hidup di bumi. Efek ini sebenarnya bukanlah sesuatu yang buruk. Justru

dengan efek ini memberikan kesempatan adanya kehidupan di bumi. Kalau tidak

ada efek rumah kaca maka suhu rata-rata permukaan bumi bukanlah 15 0C seperti

sekarang tetapi –18 0C. Yang menjadi masalah adalah jumlah GRK ini bertambah

secara berlebihan sehingga bisa mengakibatkan kerusakan lingkungan secara

global. GRK yang bertambah secara berlebihan ini akan menahan lebih banyak

radiasi dari pada yang dibutuhkan oleh kehidupan di bumi, sehingga terjadi gejala

yang disebut pemanasan global. Dampak dari pemasan global ini antara lain yaitu:
432

suhu air laut naik, perubahan pola iklim seperti curah hujan, perubahan frekuensi

dan intensitas badai, dan tinggi permukaan air laut naik karena mencairnya es di

kutub.

Secara lengkap GRK yang menjadi sebab terjadinya pemanasan global

ditunjukkan pada Tabel 1. Setiap GRK mempunyai potensi pemanasan global

(Global Warming Potential - GWP) yang diukur secara relatif berdasarkan emisi

CO2 dengan nilai 1. Makin besar nilai GWP makin bersifat merusak.

Tabel 1. Gas Rumah Kaca dan Potensi Pemanasan Global

No. Nama Rumus Kimia GWP Untuk 100 Tahun


1. Carbon Dioxide CO2 1
2. Methane CH4 21
3. Nitrous Oxide N2O 310
4. Perflouromethane CF4 6500
5. Perflouroethane C2F6 9200
6. Perflourobutane C4F10 7000
7. Sulphur Hexaflouride SF6 23900
8. HFC-23 CHF3 11700
9. HFC-32 CH2F2 650
10. HFC-43-10 C5H2F10 1300
11. HFC-125 C2HF5 2800
12. HFC-134a CH2FCF3 1300
13. HFC-143a C2H3F3 3800
14. HFC-152a C2H4F2 140
15. HFC-227ea C3HF7 2900
16. HFC-236fa C3H2F6 6300
17. HFC-245ca C3H3F5 560
Sumber : Callan (2000)

Beberapa studi telah dilakukan untuk membuat estimasi keuntungan bila

dilakukan pencegahan terjadinya pemanasan global. Callan (2000) menjelaskan

bahwa ada dua studi yang penting yaitu dari OECD (Organisation of Economic

Co-operation and Development) di Paris dan studi dari ekonom Wilfred

Beckerman. Studi yang pertama membuat estimasi biaya untuk menanggulangi

akibat pemanasan global baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang. Hasil

estimasi untuk wilayah Amerika Serikat ditampilkan pada Tabel 2. Kenaikan suhu
433

sebesar 2,5 0C merupakan prediksi konvensional yang bisa terjadi untuk jangka

pendek, sedangkan kenaikan suhu sebesar 10 0C terjadi pada waktu yang sangat

panjang. Dari hasil studi ini terlihat bahwa keuntungan bila mengadakan

pencegahan terjadinya pemanasan global pada suhu 2,5 oC adalah sebesar 61,6

milyar dolar (atau sekitar 1.1 % PDB Amerika Serikat) dan meningkat menjadi

338,6 milyar dolar bila terjadi pemanasan global untuk jangka 250 – 300 tahun.

Sedangkan hasil dari studi Ellerman memperkirakan bahwa sektor pertanian bila

terjadi pemanasan global dapat untung atau rugi yang berkisar antara 10 milyar

dolar.

Tabel 2. Estimasi Kerusakan Tahunan Ekonomi Amerika Serikat Akibat


Pemanasan Global (milyar dolar pada harga 1990)
10oC
No. Kerusakan Utama 2,5oC
Pemanasan Jangka Panjang
1. Pertanian 17,5 95,0
2. Kehilangan Hutan 3,3 7,0
3. Kehilangan Spesies 4,0 16,0
4. Permukaan Laut Naik 35,0
- Tanggul 1,2
- Kehilangan lahan basah 4,1
- Kehilangan lahan kering 1,7
5. Kebutuhan Listrik 11,7 67,0
6. Pemanas Non-Listrik -1,3 -4,0
7. Kesehatan Masyarakat 5,8 33,0
8. Migrasi 0,5 2,8
9. Badai 0,8 6,4
10. Aktivitas Hiburan 1,7 4,0
11. Penyediaan Air 7,0 56,0
12. Infrastruktur Kota 0,1 0,6
13. Lapisan Ozon 3,5 19,8
Total 61,6 338,6
Sumber : Callan (2000)

2.2. Implikasi Protokol Kyoto Bagi Sektor Energi

Sektor energi, khususnya dengan kegiatan pembakaran bahan bakar fosil

(terutama batubara, minyak bumi dan gas bumi) adalah penyebab utama emisi

karbondioksida (CO2) yang dianggap bertanggungjawab terhadap perubahan iklim

global dan yang ditargetkan untuk dikurangi oleh Protokol Kyoto. Sekitar tiga-
434

per-empat dari emisi gas rumah kaca yang dipancarkan bumi pada tahun 1990

berasal dari kegiatan pembakaran bahan bakar fosil. Berdasarkan hubungan ini,

dampak penerapan Protokol Kyoto bagi sektor energi sangat jelas: mendesak

dilakukannya perubahan pola konsumsi, produksi, distribusi energi serta

dikembangkannya teknologi energi akrab lingkungan atau yang menghasilkan

sesedikit mungkin emisi gas rumah kaca.

Konsumsi energi dunia perlu dikurangi atau diefisienkan karena pola

konsumsi energi ini berkaitan langsung dengan tingkat emisi gas rumah kaca yang

diproduksi bumi. Pola konsumsi yang berubah akan membawa pengaruh terhadap

pola produksi dan perdagangan internasional bahan-bahan bakar fosil, yang pada

umumnya dikonsumsi oleh negara-negara industri dan sebagian besar bahan

bakunya diproduksi oleh negara-negara berkembang.

Selain berimplikasi agar konsumsi energi khususnya oleh negara-negara

industri dikurangi, Protokol Kyoto juga mendesak agar efisiensi penggunanan

energi ditingkatkan atau intensitas energi (rasio antara konsumsi energi dengan

nilai ekonomi yang dihasilkannya) diperbaiki. Pembangkitan energi -sektor

terdepan yang terkena dampak pengurangan emisi- perlu diubah dari pemakaian

bahan bakar beremisi tinggi ke yang rendah atau ke yang hampir tak

menghasilkan polusi (misalnya, dari batubara ke gas alam atau ke panas bumi dan

nuklir). Kebijakan subsidi, pajak, dan harga energi perlu ditinjau untuk

mendorong penggunaan energi bersih dan menjamin bahwa energi digunakan

secara hemat.

Bagi negara pengekspor bahan bakar fosil, implikasi pengurangan emisi

berupa penurunan konsumsi energi dapat mengandung arti pengurangan


435

pendapatan ekspor. Pertumbuhan permintaan batubara dan minyak bumi

khususnya, di luar pertumbuhan sebagaimana biasanya (business as usual), akan

dihambat oleh target pengurangan emisi Protokol Kyoto tersebut.

Studi rinci menghitung dampak penerapan Protokol Kyoto pada penurunan

pendapatan ekspor energi suatu negara berkembang belum banyak dilakukan,

namun beberapa kecenderungan dapat diperkirakan. Hanya negara dengan industri

bahan bakar fosil yang memiliki volume ekspor besar dan biaya produksi rendah

saja yang berpotensi menikmati rantai pendapatan ekspor bahan bakar fosil

mereka nanti. Ekspor batubara (penghasil emisi terbesar di antara bahan bakar

fosil lainnya) akan terkena dampak paling besar. Daya tarik tradisional bahan

bakar ini pada harga yang murah tidak lagi memikat karena meningkatnya

preferensi ke bahan bakar bersih, diterapkannya baku lingkungan yang ketat serta

adanya kecenderungan harga naik karena dikuranginya subsidi, khususnya di

negara-negara industri penghasil batubara. Sebaliknya, hingga jangka menengah

gas bumi, karena tingkat emisinya yang terkecil dibandingkan bahan bakar fosil

lainnya, akan menjadi pilihan utama dari peralihan penggunaan batubara dan

minyak bumi.
436

III. PEMANFAATAN ENERGI DI INDONESIA

3.1. Sumber Energi

Sumber energi di Indonesia dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu:

sumber energi fosil dan sumber energi terbarukan. Sumber energi fosil terdiri atas

minyak bumi, gas alam dan batubara. Cadangan minyak bumi saat ini sudah

sangat terbatas sedangkan cadangan gas alam masih mencukupi dan cadangan

batubara masih melimpah. Sugiyono (2000) menyatakan batubara merupakan

sumber energi fosil dengan cadangan terbesar, yaitu sebesar 36,34 x 109 ton.

Sedangkan cadangan gas alam sebesar 137,79 TSCF (Tera Standard Cubic Feet)

dan minyak bumi sebesar 9,09 x 109 SBM (Setara Barel Minyak).

Sedangkan energi terbarukan dapat berupa energi air, geothermal, energi

angin dan energi matahari. Tetapi yang sampai saat ini sudah dikembangkan

secara komersial hanya energi air dan geothermal. Cadangan energi terbarukan

dinyatakan dalam GW yang merupakan kapasitas terpasang yang mampu untuk

dikembangkan. Cadangan energi air sebesar 75,62 GW dan geothermal sebesar

16,10 GW. Cadangan energi terbarukan ini belum banyak dimanfaatkan pada saat

ini. Sampai tahun 1997 pemanfaatan energi air hanya sebesar 3 % dan geothermal

sebesar 2%.

Secara ringkas cadangan dan produksi (termasuk penggunaan dalam

negeri dan diekspor) untuk masing-masing sumber energi ditunjukkan oleh

Sugiyono (2000) pada Gambar 1. Di sini masing masing energi yang dinyatakan

dalam satuan fisik disamakan menjadi satuan energi yaitu SBM supaya dapat

digambarkan dalam dimensi yang sama. Pada Gambar 1 terlihat bahwa batubara

mempunyai cadangan yang melimpah tetapi penggunaannya masih sangat sedikit.


437

Gambar 1. Cadangan dan Produksi Energi (Sugiyono, 2000)

Bila dilihat dari rasio cadangan dibagi produksi (R/P Ratio) maka batubara

masih mampu untuk digunakan selama lebih dari 500 tahun. Sedangkan gas alam

dan minyak bumi mempunyai R/P Ratio masing-masing sebesar 43 tahun dan 16

tahun dengan asumsi bahwa tidak ditemukan cadangan yang baru. Dengan melihat

cadangan batubara ini, diperkirakan bahwa di masa depan batubara akan

mempunyai peran yang besar sebagai penyedia energi nasional.

3.2. Proyeksi Penggunaan Energi

Dalam membuat analisis penggunaan energi digunakan Model MARKAL

(MARKet ALlocation),. Model ini mempunyai fungsi obyektif meminimumkan

biaya dengan kendala cadangan energi dan teknologi energi yang tersedia

sedangkan permintaan energi merupakan variabel eksogen.


438

Model MARKAL dibangun berdasarkan jaringan sistem energi seperti

pada Gambar 2. Jaringan sistem energi secara umum terbagi menjadi empat

kategori teknologi (Sugiyono, 2000) yaitu :

 resource technology, seperti penambangan, import dan eksport.

 proses, yang mengubah satu bentuk energy carrier ke bentuk energy carrier

lain.

 teknologi konversi, yang menghasilkan listrik atau panas.

 end-use technology, yang mengubah satu bentuk final energy menjadi useful

energy dengan menggunakan demand device (DMD) seperti kompor untuk

memasak, lampu penerangan, dan ketel uap.

Gambar 2. Jaringan sistem energi (Sugiyono, 2000)

Berdasarkan hasil model MARKAL, penggunaan energi diperkirakan

meningkat dari 784 juta SBM pada tahun 1995 menjadi 1.808 juta SBM pada

akhir periode proyeksi (2025). Penggunaan energi tumbuh sebesar rata-rata 3 %

per tahun. Sugiyono (1999) membuat proyeksi penggunaan energi untuk setiap

jenis energi seperti yang ditunjukkan pada Tabel 3.


439

Tabel 3. Proyeksi Penggunaan Energi Primer

No. Juta SBM 1995 2000 2005 2010 2015 2020 2025
1. Gas Alam 179,2 189,5 225,3 236,7 250,0 266,7 305,0
2. Minyak Bumi 306,9 255,3 240,4 283,9 331,9 414,0 529,2
3. Batubara 73,9 112,7 132,3 175,9 295,7 460,3 609,7
4. Biomasa 187,9 197,1 206,0 216,2 235,0 250,5 273,6
5. Terbarukan 36,3 55,6 68,2 91,7 101,1 91,6 90,2
Total 784,3 810,4 872,5 1.004,7 1.213,8 1.483,2 1.807,8
Catatan : Output Model Markal dengan fungsi obyektif meminimumkan biaya, base case
Sumber : Sugiyono (1999)

Pada Tabel 3 terlihat bahwa batubara merupakan sumber energi terbesar

untuk jangka panjang. Hal ini dapat dipahami karena batubara masih melimpah di

Indonesia dan biaya produksinya relatif murah. Pangsa penggunaan batubara

sebagai sumber energi primer saat ini hanya sebesar 9 % dan akan meningkat

secara nyata pada tahun 2025 yaitu sebesar 34 %. Peningkatan penggunaan

batubara rata-rata sebesar 7 % per tahun. Minyak bumi sebagai sumber energi

primer masih cukup berperan karena penggunaan bahan bakar minyak di sektor

transportasi masih sulit disubstitusi dengan bahan bakar lain. Pangsa pengunaan

minyak bumi pada tahun 2025 mencapai 29 %. Sedangkan gas alam tumbuh

sekitar 3 % per tahun dan pangsanya menurun dari 23 % pada tahun 1995 menjadi

17 % pada tahun 2025 (Sugiyono, 1999).

Sugiyono (1999) selanjutnya menyatakan pertumbuhan penggunaan

biomasa sebagai bahan bakar hanya sekitar 1 % per tahun selama periode

proyeksi. Biomasa merupakan energi non-komersial dan digunakan di sektor

rumah tangga. Untuk menunjang diversifikasi energi, pemerintah terus

mendukung pengembangan energi terbarukan. Tetapi karena biaya produksi masih


440

relatif mahal, penggunaan energi terbarukan (energi air dan geothermal) hanya

mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 3 % per tahun.

3.3. Dampak Penggunaan Energi

Penggunaan energi fosil akan menghasilkan emisi seperti: partikel, SO2,

NOx, dan CO2. Emisi partikel, SO2, dan NOx adalah bahan polutan yang

berhubungan langsung dengan kesehatan manusia. Disamping itu, masyarakat

internasional juga menaruh perhatian terhadap isu lingkungan global seperti

terjadinya pemanasan global. Emisi CO2 merupakan sumber terbesar yang

bertanggung jawab terhadap terjadinya pemanasan global. Emisi CO2 tidak

berhubungan langsung dengan kesehatan. Pengaruh partikel emisi terhadap

kesehatan dan lingkungan secara ringkas dijelaskan oleh Princiotta (1991) pada

Tabel 4.

Tabel 4. Pengaruh Partikel Emisi Terhadap Kesehatan dan Lingkungan

No. Emisi Pengaruh Terhadap Kesehatan Pengaruh Terhadap Kesehatan


1. SO2 - Problem saluran pernapasan - Hujan asam yang dapat
- Radang paru-paru menahun merusakkan lingkungan danau,
sungai dan hutan
- Mengganggu jarak pandang
2. NOx - Sakit pada saluran pernapasan - Hujan asam
- Ozon menipis yang
mengakibatkan kerusakan hutan
3. Partikel/Debu - Iritasi pada mata dan - Mengganggu jarak-pandang
tenggorokan
- Bronkitis dan kerusakan
saluran pernapasan
4. CO2 Tidak berpengaruh secara - Pemanasan global
langsung - Merusak ekosistem
Sumber : Princiotta (1991)

Berdasarkan hasil proyeksi penggunaan energi dapat dibuat proyeksi emisi

CO2 berdasarkan tetapan emisi yang dikeluarkan oleh IPCC (Intergovermental

Panel on Climate Change). Pada Gambar 3 ditunjukkan proyeksi emisi CO2

karena penggunaan energi di Indonesia selama kurun waktu 1995 - 2025. Pada
441

tahun 1995 total emisi CO2 sebesar 156 juta ton per tahun dan meningkat menjadi

1.077 juta ton per tahun pada tahun 2025 atau meningkat rata-rata sebesar 6,6 %

per tahun dalam kurun waktu 30 tahun.

Gambar 3. Proyeksi Emisi CO2 (Cooper, 1999)

Berdasarkan World Development Report 1998/99 dari Bank Dunia, total

emisi CO2 dunia pada tahun 1995, baik berasal dari penggunaan energi maupun

dari sumber lain sebesar 22.700 juta ton. Negara yang mempunyai emisi CO2

terbesar adalah Amerika Serikat yaitu sebesar 5.468 juta ton atau sebesar 24,1 %

dari total emisi CO2 dunia, sedangkan Indonesia mempunyai emisi sebesar 296

juta ton atau sebesar 1,3 % dari total emisi CO2 dunia. Pada Gambar 4 ditampilkan

emisi CO2 dari negara-negara yang dipilih. Meskipun Indonesia belum

mempunyai kewajiban untuk mengurangi emisi CO2 ini, namun sebagai anggota

masyarakat global, Indonesia turut serta berinisiatif melakukan studi dan membuat

strategi untuk menguranginya. negara lainnya.


442

Gambar 4. Emisi CO2 dari Negara-Negara yang Dipilih (Cooper, 1999)

3.4. Inventori dan Mitigasi Gas Rumah Kaca

Indonesia secara berkala melaporkan inventori emisi GRK kepada

UNFCCC. Yang berkewajiban membuat inventori adalah Kementerian

Lingkungan Hidup dan sudah mengirimkan laporannya berjudul First National

Communication of Republic of Indonesia for 1990 – 1994. Emisi CO2 yang

merupakan bagian terbesar dari emisi GRK di Indonesia dengan pangsa sebesar

hampir 70 % sedangkan gas lainnya sebesar 30 %. Pada tahun 1994 total emisi

GRK sekitar 470 juta ton ekivalen CO2. Sumber utama emisi GRK adalah sektor

energi dan sektor kehutanan. Sektor energi mempunyai pangsa sebesar 46 % dari

total emisi GRK yang berasal dari penggunaan bahan bakar fosil pada bermacam-

macam aktivitas seperti: produksi energi, pengolahan energi dan juga pembakaran

energi yang digunakan baik untuk pembangkit listrik maupun untuk keperluan

industri lainnya. Besarnya emisi GRK ini tergantung dari jenis energi yang

digunakan, misalnya penggunakan minyak bumi berbeda emisinya dengan

penggunaan gas alam maupun batubara (Sugiyono, 2000).

Mitigasi dikembangkan untuk memperoleh level emisi tertentu dengan

menambahkan teknologi pada peralatan tertentu. Teknologi untuk mitigasi GRK


443

dapat dikelompokkan menjadi dua kategori yaitu: untuk sisi penawaran dan untuk

sisi permintaan. Untuk sisi penawaran dapat dilakukan dengan menggunakan

sistem konversi yang lebih efisien, mengubah bahan bakar dari energi yang

mempunyai emisi tinggi menjadi energi yang mempunyai emisi rendah, dan

meningkatkan penggunaan energi terbarukan. Untuk sisi permintaan dapat

menggunakan demand side management, dan menggunakan peralatan yang lebih

efisien seperti lampu TL. Energi terbarukan seperti pembangkit listrik tenaga air

dan panas bumi mempunyai kelebihan sebagai pilihan untuk mitigasi GRK.

Energi ini dapat membangkitkan listrik tanpa melalui pembakaran tidak seperti

pada penggunakan energi fosil. Pembangkit listrik tenaga air dapat dikatakan

bebas dari emisi GRK, sedangkan pembangkit listrik tenaga panas bumi hanya

menghasilkan seperenam dari emisi GRK yang dihasilkan dari penggunaan gas

alam untuk pembangkit listrik.


444

IV. MEKANISME PEMBANGUNAN BERSIH DAN SEKTOR ENERGI


INDONESIA

Untuk mencapai target pengurangan emisi karbondioksida yang

ditetapkannya, Protokol Kyoto dilengkapi dengan mekanisme lentur (flexible

mechanisms) yang menjadi bagian sangat penting dari Protokol tersebut.

Termasuk dalam mekanisme lentur Protokol Kyoto tersebut adalah perdagangan

emisi (emission trading, ET), penerapan bersama (joint implementation, JI) dan

―mekanisme pembangunan bersih‖ (Clean Development Mechanism, CDM).

Pembangunan ekonomi Indonesia membutuhkan banyak tambahan energi.

Dengan perkataan lain, kebutuhan akan energi, baik bahan bakar fosil maupun

untuk sumber-sumber energi terbarukan (renewables) masih akan tumbuh cukup

besar di Indonesia, yang dalam kurun 2-3 dekade terakhir ini juga memiliki

tingkat pertumbuhan konsumsi energi yang jauh di atas rata-rata dunia. Disisi lain,

emisi yang kita hasilkan ―masih sangat sedikit‖ dibandingkan yang dipancarkan

oleh banyak negara-negara industri.

Interaksi pembangunan ekonomi, penambahan energi dan pengurangan

dampak lingkungan yang semakin kompleks di tanah air nanti berpotensi

melahirkan banyak kegiatan yang masuk kategori ―mekanisme pembangunan

bersih‖ Protokol Kyoto. Sektor energi Indonesia dapat menawarkan daya tarik itu

ke pasar emisi internasional untuk memperoleh dana dan teknologi energi bersih.

Di pihak lain, bagi negara Annex-I yang target pengurangan emisinya terbatasi

pada efisiensi teknologi yang sulit ditingkatkan dan penggunaan bahan bakar

bersihnya (gas bumi, nuklir, renewables) sudah cukup maksimal (misalnya

Jepang), ―membeli‖ pengurangan emisi seperti di Indonesia adalah pilihan yang

rasional.
445

Dalam skim CDM, karena ―pengurangan emisi‖ adalah dibandingkan

dengan suatu ―base line‖ tertentu yang dapat berupa teknologi energi yang

sekarang digunakan, maka peluang untuk mendapatkan CER (certified emission

reduction, CER) dari sektor energi di Tanah Air akan berada pada pemanfaatan

teknologi energi untuk sumber-sumber energi terbarukan (renewables). Dalam

kategori ini termasuk pengembangan tenaga surya (angin, sel surya), air, panas

bumi (geothermal), biofuel, dan nuklir. Teknologi energi di bidang bahan bakar

fosil, namun yang lebih efisien dan lebih bersih dibandingkan yang ada sekarang,

seperti pemanfaatan mesin-mesin co-generation dan teknologi batubara bersih

(clean coal technology) juga dapat dipertimbangkan sebagai proyek CDM untuk

mendapatkan CER.

Potensi Indonesia untuk mendapatkan manfaat dari mekanisme

pembangunan bersih Protokol Kyoto pernah dihitung, misalnya yang dilakukan

oleh Kementrian Lingkungan Hidup dalam National Strategy Study on Clean

Development Mechanism in Indonesia tahun 2001 yang dibiayai oleh Bank

Dunia. Studi tersebut melakukan analisis, di antaranya terhadap pertumbuhan

konsumsi energi Indonesia, pangsa Indonesia dalam pasar karbon dunia, serta

potensi Indonesia dalam melakukan proyek-proyek mekanisme pembangunan

bersih. Upaya-upaya untuk melakukan perhitungan potensi memperoleh manfaat

dari penerapan proyek-proyek CDM tentu saja masih terbuka lebar untuk

dilakukan.

Cooper (2000) menyatakan bahwa Perkiraan biaya untuk mengurangi

emisi GRK (abatement cost – biaya pengurangan emisi) bervariasi tergantung

dari lokasi spesifik, tingkat perekonomian, penguasaan teknologi, dan teknik


446

dalam menghitung emisi. Biaya diperkirakan berkisar antara 20 sampai 150 dolar

Amerika (US$) per ton Carbon (tC) yang dikurangi. Di negara berkembang biaya

pengurangan emisi lebih rendah bila dibandingkan dengan negara maju. Sehingga

memungkinkan negara maju untuk melakukan pengurangan emisi dengan

berinvestasi di negara berkembang melalui CDM. Biaya pengurangan emisi di

Indonesia yang dihitung berdasarkan Model MARKAL ditampilkan pada Tabel 5.

Table 5. Biaya Pengurangan Emisi CO2


Additional Abatement
No Mitigation Options CO2 Reduction
Cost Cost
106 tC 2) 106 US$ 3) US$/tC
1)
1. Baseline 3,397.3 454,260.0 -
2. Cogeneration 16.6 -3,939.0 -236.8
3. New Motor Electric 9.5 -398.8 -41.8
4. Solar Thermal 0.8 -34.0 -41.6
5. Compact Flour. Lamp 54.0 -571.4 -10.6
6. Improve Refrigerator 3.5 -8.0 -2.3
7. HiTech Refrigerator 4.3 -6.6 -1.5
8. New Mini Hydro P.P. 7.9 6.0 0.8
9. New Hydro P.P. 9.2 72.2 7.8
10. New Gas C. Cycle PP. 1.9 19.0 10.0
11. Adv. Compct. F. Lamp 22.0 224.5 10.2
12. Compact Refrigerator 2.7 47.1 17.3
13. Compact Panel Refrig 2.1 48.9 22.4
14. New Biomass P.P. 2.4 62.3 25.4
15. New Gas Turbine PP. 1.0 29.4 27.0
16. Geothermal P.P. 100.9 4,429 0 43.9
17. New HSD Gas Turbine 1.0 212.4 194.7
18. New Coal PP600 MW 1.0 349.2 320.1
19. New Coal PP 4000 MW 3.0 1,512.0 504.0
20. Standard Flour. Lamp 1.9 1,088 0 569.9
1) Berdasarkan biaya total dan total emisi CO2 dalam sistem energi Indonesia tanpa mitigasi
2) tC = tons of Carbon
3) Biaya berdasarkan harga konstan US$ 1995
Sumber : Sugiyono (2000)

Pembangkit listrik tenaga air dapat mengurangi emisi CO2 sekitar 17,1

juta tC sepanjang periode 1995 – 2025 dengan biaya pengurangan emisi berkisar

antara 0,8 – 7,8 US$/tC. Sedangkan panas bumi dapat mengurangi emisi CO2

sekitar 100,9 juta tC dengan biaya sekitar 43,9 US$/tC. Bila dibandingkan dengan

biaya secara internasional maka biaya di Indonesia masih sangat murah sehingga

memungkinkan Indonesia untuk memperoleh keuntungan dari dampak pemanasan


447

global ini. Negara-negara maju dapat memberikan tambahan investasi untuk

pengembangan energi terbarukan di Indonesia, sementara mereka akan mendapat

keuntungan karena besar pengurangan emisinya dihitung sebagai pengurangan

emisi di negara maju yang bersangkutan.

Biaya pengurangan emisi biasanya ditampilkan dalam bentuk Kurva CERI

(Cost of Emission Reduction Initiative). Kurva CERI menampilkan biaya untuk

mitigasi emisi CO2 pada sumbu Y dan emisi CO2 yang dapat dikurangi pada

sumbu X seperti ditunjukkan pada Gambar 5. Dengan menggunakan kurva ini

maka akan lebih mudah mengetahui besar kecilnya CO2 yang dapat dikurangi

pada biaya pengurangan emisi tertentu untuk masingmasing teknologi. Dari

Gambar 5 terlihat bahwa yang berpotensi untuk mengurangi emisi CO2 pada ada

tiga yaitu penggunaan lampu TL, pembangkit listrik tenaga air dan geothermal.

Penggunaan lampu TL merupakan sisi permintaan yang banyak berhubungan

dengan individu sehingga sukar untuk dilaksanakan dalam jumlah besar.

Gambar 5. Kurva CERI untuk Indonesia (Sugiyono, 2000)

NSS, dengan meminjam model perencanaan energi MARKAL,

memproyeksikan komposisi pemakaian energi primer (primary energy mix) di


448

Indonesia hingga tahun 2025. Diperlihatkan pangsa konsumsi minyak bumi, gas

bumi, batubara, tenaga air (hydropower) dan biomass. Kecenderungan

pertumbuhan konsumsi energi primer yang menonjol tampak pada, khususnya

batubara. Berdasarkan proyeksi konsumsi energi primer tersebut, kemudian

diperkirakan besaran emisi karbondioksida (CO2) yang dihasilkan dari kegiatan

pemanfaatan energi seperti yang dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Perkiraan Emisi Karbondioksida dari Sektor Energi Indonesia Hingga


Tahun 2025
Total Emisi CO2 (Juta Ton) Pertumbuhan
No. Sektor Rata-Rata
2000 2005 2010 2015 2020 2025
(% per tahun)
1. Industri 58 66 73 91 109 141 2.4
2. Rumah Tangga 21 22 23 23 22 25 0.4
3. Transportasi 55 61 76 99 128 168 3.4
4. Pbk. Tenaga Listrik 54 66 90 152 220 275 5.1
5. Industri Energi 40 30 35 27 48 63 1.9
Total 228 246 298 392 526 672 3.3
Sumber : Sugiyono (2000)
449

V. IMPLIKASI PROTOKOL KYOTO DI PROVINSI RIAU

Provinsi Riau saat ini merupakan propinsi terkaya di Sumatera dengan

sumber daya alam yang sebagian besar terdir dari hutan dan minyak bumi.

Propinsi Riau menjadi salah satu tujuan investasi, hal ini dimungkinkan dengan

letaknya yang berhadapan langsung dengan negara Singapura dan Malaysia.

Faktor lain yang menunjang sangat prospektifnya Propinsi Riau adalah

banyaknya perusahaan penanaman modal asing yang berkiprah di sini. Sebut saja

misalnya PT. Chevron Pacific Indonesia, perusahaan minyak terbesar di

Indonesia, atau PT. Indah Kiat Pulp and Paper (IKPP) dan PT. Riau Andalan Pulp

and Paper (RAPP) yang bergerak di bidang usaha pulp and paper (bubur kertas

dan kertas). Di bidang kehutanan, dua perusahaan raksasa seperti PT. Surya

Dumai dan PT. Siak Raya ikut meramaikan bisnis di Provinsi Riau.

Pertumbuhan ekonomi Provinsi Riau pada tahun 2006 diperkirakan

mencapai 6,77 %, yang dirinci menurut laju pertumbuhan persektor sebagai

berikut : Pertanian 5,91 %, Pertambangan 7,10 %, Industri 5,95 %, Listrik 5,90 %,

Bangunan 7,00 %, Perdagangan 7,89 %, Pengangkutan 5,95 %, Keuangan 7,30 %

dan Jasa 5,65 % (Rencana Strategis Provinsi Riau Tahun 2004 - 2008).

Jumlah industri terus bermunculan di Provinsi Riau. Dari data statistik

yang ditampilkan pada Tabel 7 dapat dilihat jumlah industri di Propinsi Riau pada

tahun 2006.
450

Tabel 7. Jumlah Perusahaan dan Penyerapan Tenaga Kerja Industri Besar dan
Sedang Provinsi Riau 2006
No. Kode Industri Banyaknya Perusahaan Tenaga Kerja
1. 15 83 47.668
2. 17/18 31 11.049
3. 19 5 555
4. 20 56 27.058
5. 21 12 11.633
6. 22 8 626
7. 24 7 615
8. 25 45 12.458
9. 26 10 1.116
10. 27 12 2.317
11. 28 17 5.020
12. 29/30 13 5.812
13. 31 20 11.895
14. 32 81 51.057
15. 33 3 2.827
16. 35 40 6.113
17. 36 14 1.607
Total 457 199.426
Keterangan:
Kode Klasifikasi Industri
Golongan Pokok:
15. Industri Makanan dan Minuman
16. Industri Pengolahan Tembakau
17. Industri Tekstil
18. Industri Pakaian Jadi
19. Industri Kulit, Baang dari Kulit, dan Alas Kaki
20. Industri Kayu, Barang-barang dari Kayu (Tidak Termasuk Furniture) dan Barang-barang Anyaman dari Rotan,
Bambu, dan Sejenisnya
21. Industri Kertas, Barang dari Kertas, dan Sejenisnya
22. Industri Penerbitan, Percetakan, dan Reproduksi Media Rekaman
23. Industri Batu Bara, Pengilangan Minyak Bumi, dan Pengolahan Gas Bumi, Barang-barang dari HasilPengilangan
Minyak Bumi dan Bahan Bakar Nuklir
24. Industri Kimia dan Barang-barang dari Bahan Kimia
25. Industri Karet, Barang dari Karet, dan Barang dari Plastik
26. Industri Barang Galian Bukan Logam
27. Industri Logam Dasar
28. Industri Barang dari Logam kecuali Mesin dan Peralatannya
29. Industri Mesin dan Perlengkapannya
30. Industri Mesin dan Peralatan Kantor, Akuntansi dan Pengolahan Data
31. Industri Mesin Listrik Lainnya dan Perlengkapannya
32. Industri Radio, Televisi, dan Peralatan Komunikasi serta Perlengkapannya
33. Industri Peralatan Kedokteran, Alat Ukur, Alat Navigasi, Peralatan Optik, Jam dan Lonceng
34. Industri Kendaraan Bermotor
35. Industri Alat Angkutan, selain Kendaraan Bermotor Beroda Empat atau Lebih
36. Industri Furniture dan Industri Pengolahan Lainnya
37. Daur Ulang

Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi Riau (2006)

Kondisi ini menggambarkan bahwa pada tahun 2006, Provinsi Riau harus

mengembangkan industri yang berbasis pertanian (Agro Industri) disamping

industri-industri lain yang telah berkembang seperti industri pertambangan dan

listrik. Oleh karena itu pertanian dalam konteks agribisnis diharapkan akan
451

mampu memberikan multiplier effect bagi pertumbuhan sektor lain seperti

industri, jasa dan perdagangan. Agribisnis yang berkembang pesat di Provinsi

Riau adalah perkebunan kelapa sawit. Propinsi Riau merupakan salah satu

propinsi di Indonesia yang mempunyai perkebunan kelapa sawit yang cukup luas

dan keberadaannya perlu dipertimbangkan. Pada tabel 8 dapat dilihat keadaan

perkebunan kelapa sawit di Propinsi Riau.

Tabel 8. Keadaan Perkebunan Sawit di Riau Per Tahun 2006

No. Kepemilikan Luas (Ha) Produksi CPO(Ton)


1. Negara 106.142 395.653
2.
Swasta 548.009 2.327.694
3.
Rakyat 832.838 1.108.881

Total 1.486.989 3.832.228


Sumber: www.bangrusli.net (2006)

Luas perkebunan kelapa sawit ini di prediksikan akan terus bertambah.

Dalam pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit ini terkadang dilakukan dengan

tidak yang tidak ramah lingkungan seperti dengan pembakaran hutan atau lahan.

Hal ini tentu saja akan membawa dampak buruk terhadap kondisi lingkungan di

Provinsi Riau dengan akibat yang ditimbulkannya yaitu polusi udara (kabut dan

asap).

Pertumbuhan sektor industri juga diharapkan mampu secara simultan

memacu pertumbuhan sektor-sektor lain sehingga tidak memicu ketimpangan

(disparitas) dalam penyerapan dan produktivitas tenaga kerja di setiap sektor yang

ada pada akhirnya bermuara pada ketimpangan distribusi pendapatan menurut

golongan masyarakat. Pemerataan tingkat pertumbuhan ekonomi pada masing-

masing kabupaten/kota di wilayah perbatasan menunjukkan kinerja perekonomian


452

di wilayah perbatasan Provinsi Riau dari tahun ke tahun yang sangat berkaitan

dengan suksesnya penyelenggaraan otonomi daerah, dalam rangka meningkatkan

kesejahteraan rakyat sekaligus menjamin perbaikan pelayanan masyarakat daerah.

Oleh karena itu laju pertumbuhan perekonomian kabupaten/kota yang memadai

dan merata dapat memperkuat landasan untuk pencapaian Visi Riau 2020.

Dengan pesatnya pertumbuhan industri di Propinsi Riau, yang sebagian

besar menggunakan bahan bakar fosil untuk beroperasi, maka bisa dikatakan

propinsi akan menjadi menyumbang terbesar Gas Rumah Kaca yang penyebab

utama pemanasan global di Indonesia.


453

DAFTAR PUSTAKA

Bappeda Propinsi Riau, 2004. Rencana Strategis Provinsi Riau Tahun 2004 –
2008, Pemerintah Provinsi Riau, Pekanbaru.

Biro Pusat Statistik Riau, 2006. Riau Dalam Angka, Pemerintah Provinsi Riau,
Pekanbaru.

Callan, S. J, and J. M. Thomas, 2000. Environmental Economics and


Management: Theory, Policy, and Applications, The Dryden Press,
Illinois.

Cooper, R. N., 2000. International Approaches to Global Climate Change, The


World Bank Research Observer. 15 (2), Oxford University Press,
London.

Ellerman, A. D, H. D. Jacoby, and A. Decaux, 1998. The Effects on Developing


Countries of the Kyoto Protocol and CO2 Emissions Trading, Joint
Program on the Science and Policy of Global Change, Massachusetts
Institute of Technology. Cambridge.

Ministry of Environment, Republic of Indonesia, 2001. National Strategy Study


on Clean Development Mechanism in Indonesia, Jakarta.

Nugroho, H., 2004. Pengembangan Industri Hilir Gas Bumi Indonesia: Tantangan
dan Gagasan, Journal Perencanaan Pembangunan 9(4): 32-52.

Princiotta, F. T., 1991. Pollution Control for Utility Power Generation, 1990 to
2020, 624-649 pp. Proceeding of Energy and the Environment in the
21st, The MIT Press, Cambridge.

Sugiyono, A., 1999. Energy Supply Optimization with Considering the Economic
Crisis in Indonesia, Proceeding of the 8th Scientific Meeting, Indonesia
Student Association in Japan, Osaka.

Sugiyono, A., 2000. Prospek Penggunaan Teknologi Bersih untuk Pembangkit


Listrik dengan Bahan Bakar Batubara di Indonesia, Jurnal Teknologi
Lingkungan, I (1) : 90- 95. BPPT, Jakarta.

www.bangrusli.net, 2006.
454

PENYELAMATAN DAN PELESTARIAN DAS SIAK

OLEH :

NURAINI

PROGRAM STUDI ILMU LINGKUNGAN


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
2006
455

I. PENDAHULUAN

Riau memiliki empat DAS utama yaitu Rokan, Siak, Kampar, dan

Indragiri. DAS di Riau memiliki sejarah yang cukup lama dan didiami oleh

penduduk tempatan sejak lama pula. Karena ketertingggalannya, saat-saat ini

kantong-kantong kemiskinan banyak terdapat di DAS.

Pada tahun 2003 luas hutan di Provinsi Riau sebesar  4,24 juta Ha,

dirambah sekitar 2.224 Ha untuk pemukiman liar oleh 345 KK. Data lain

menunjukkan sejumlah 23 juta M3/tahun dipakai untuk industri dan 5 juta

m3/tahun dicuri. Perusahaan hutan pengembangan kawasan budidaya ditinjau dari

aspek SDA, mengakibatkan bencana banjir/kekeringan bagi kawasan hilir. Hal ini

memerlukan penanganan terpadu antar kab/kota terkait serta instansi yaitu Dinas

Kimpraswil, Kehutanan, Perkebunan dan Pertanian (Bapedalda Siak, 2006) .

Berikut ini adalah beberapa hal yang menimbulkan masalah di Sungai Siak antara

lain :

1.1. Pencemaran Sungai Siak.

Kualitas suatu badan perairan sungai tergantung pada segenap aktivitas

yang terjadi pada Daerah Alirannya. Berbagai aktivitas baik domestik dan industri

di wilayah DAS yang menghasilkan limbah akan membuang limbahnya ke

perairan sungai. Hal ini akan menambahkan tekanan dan beban pencemaran pada

badan sungai. Disamping itu kegiatan kehutanan dan pertanian di bahagian hulu

juga turut meningkatkan intensitas pencemaran sungai. Beberapa kegiatan yang

memberikan dampak signifikan terhadap kondisi Sungai Siak adalah masuknya

limbah domestik, dan limbah industri yang tidak dikelola secara sungguh-sungguh

(Bapedalda Siak, 2006).


456

Mendagri (dalam Kasry et al., 2005) mengatakan bahwa tingkat

pencemaran air sungai Siak yang tinggi akibat limbah industri di sepanjang sungai

mengakibatkan berkurangnya jumlah dan spesies ikan. Karena hal itu banyak

nelayan yang beralih profesi sebagai penambang liar yang menambah kerusakan

lingkungan dan DAS Siak sendiri.

1.2. Abrasi Sungai Siak

Proses terjadinya abrasi Sungai Siak telah berlangsung sejak lama.

Kegiatan lalu lintas pelayaran di sepanjang Sungai Siak telah memberikan

kotribusi yang signifikan terhadap terjadinya abrasi di pinggir sungai. Masalah

lalu lintas pelayaran di Sungai Siak ini merupakan suatu hal yang dilematis.

Kegiatan transportasi merupakan kegiatan yang cukup vital di bidang

perhubungan, namun demikian jika hal ini tidak diantisipasi maka proses abrasi

sungai akan berdampak pada kehidupan masyarakat sekitar sungai (Bapedalda

Siak, 2006).

Tindakan penanganan terhadap permasahan yang ada di DAS Siak masih

bersifat parsial, sehingga perlu disusun suatu kebijakan yang menyeluruh dan

komprehensif, diantaranya dengan mensinergiskan antara penyusunan pola

pengelolaan Sumber Daya Air dan kebijakan penataaan ruang di DAS Siak. Di

beberapa wilayah telah terjadi sedimentasi di dasar Sungai Siak dalam rentang

waktu mulai tahun 1970-an sampai sekarang yang telah mencapai ketinggian 8 m

atau sepertiga dari dalam sungai. Adanya sedimentasi mengakibatkan

terganggunya pelayaran terutama saat muka air surut, dan bahaya banjir saat

musim hujan karena berkurangnya kapasitas sungai dalam menampung air.


457

II. DAERAH ALIRAN SUNGAI SIAK

2.1. Keadaan Sungai Siak Saat Ini

Provinsi Riau terdiri dari daerah daratan dan perairan, dengan luas daratan

sebesar 8.646.714 Ha (Riau Dalam Angka 2004). Di daerah daratan terdapat 15

sungai,di antaranya terdapat 4 sungai yang mempunyai arti penting sebagai

prasarana perhubungan seperti sungai Siak ( 345 km), Sungai Rokan ( 400

km), Sungai Kampar ( 400 km), dan Sungai Indragiri ( 500 km) (Kasry, et al.,

2005).

DAS Siak terbagi menjadi dua sub DAS yaitu Sub DAS Siak Hulu dan

DAS Siak Hilir. DAS Siak secara keseluruhan melintasi dan terletak di kabupaten

Rokan Hulu, Kabupaten Kampar, kabupaten Siak, Kabupaten Bengkalis dan Kota

Pekanbaru. Seluruh wilayah tersebut berada diprovinsi Riau, yang merupakan

sumber daya air pada wilayah lintas kabupaten/kota di mana wewenang dan

tanggung jawab pengelolaannya adalah pemerintah provinsi Riau (Pasal 15 UU

No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air). Adapun pembagian luas masing-

masing pada wilayah administrasi kota dan kabupaten seperti pada Tabel 1.

Tabel 1. Luas Wilayah Administrasi yang Berada didalam DAS Sungai Siak

No Kabupaten atau Kota Luas (Ha) Proporsi (%)


1. Kab. Bengkalis 93.781,02 8,28
2. Kab. Kampar 329.869,71 29,12
3. Kab. Rokan Hulu 149.033,30 13,16
4. Kab. Siak 496.871,97 43,86
5. Kab. Pekanbaru 63.220,00 5,58
Jumlah 1.132.776.00 100,00
Sumber : Surapada (2003)
458

2.2. Kondisi Fisik

Topografi wilayah DAS Siak sangat bervariasi. Kondisi topografi Sub

DAS Siak Hulu dibagi menjadi 4 kondisi kemiringan yaitu 0-2%, 2-15%, 15-40%.

Sedangkan Sub DAS Siak Hilir relatif datar dengan kemiringan berkisar 0-5%.

Kondisi demikian sangat memungkinkan untuk menampung kegiatan fisik

perkotaan. Kemiringan sungai di bagian hulu sepanjang 65 km adalah 0,2 %,

dibagian tengah sepanjang 80 km adalah 0,025 %, sedang dibagian hilir dengan

panjang sungai 200 km sangat datar dengan kemiringan sekitar 0,003 % . Geologi

dan geomorfologi di Sub DAS Siak Hulu tersusun dari endapan gunung api yang

berisi dari gunung api kuarter tua dan muda,jenis geologi sebagian besar adalah

alluvium muda. Penyebaran terutama di hulu sungai Tapung Kanan.alur sungai

Siak bagian hilir relatif datar dengan lebar lebih kurang 250 m, sedangkan di

bagian hulu mempunyai kemiringan alur yang sedikit lebih besar (Bapedalda Siak,

2006) .

Pasang surut di Muara Sungai Siak cukup besar yaitu berkisar 4 m dan

pengaruh pasang surut ini merambat ke hulu sampai jarak  210 km, melampaui

kota Pekanbaru. Dengan tingginya pasang surut tersebut, maka kecepatan aliran

sungai cukup tinggi hingga mencapai 4 m/dt2 pada saat surut terendah dan kondisi

saat banjir. Akibat pasang surut yang mempunyai perbedaan tinggi serta

kemiringan sungai yang landai, maka arah aliran menjadi dua arah, yaitu kearah

hilir dan hulu. Hal-hal tersebut diatas selain akibat gelombang kapal, pengaruh

dari kecepatan kapal, pengaruh dari kecepatan aliran juga sangat berpengaruh

terhadap kerusakan tebing sungai. Kondisi klimatologi baik dibagian hulu maupun

hilir dipengaruhi oleh adanya angin musim yaitu pada bulan April-Agustus
459

bertiup angin Barat Laut dan Bulan Agustus-April bertiup angin Musim Timur.

Suhu rata-rata 30,7 0C. Curah hujan rata-rata berkisar antara 2000-3000 mm/th,

jarang terdapat bulan-bulan kering, Mendagri (dalam Kasry et al., 2005).

2.3. Kualitas Air

Kualitas air sungai diengaruhi oleh limbah domestik, industri, petanian dan

peternakan. Pemantauan kualiatas air sungai yang dilakukan oleh kementrian

Lingkungan Hidup di 30 Provinsi Indonesia tahun 2004 menunjukkan bahwa

lebih dari 50% parameter DO,BOD, COD, fecal coli dan total coliform yang

dipantau sudah tidak memenuhi kulitas air kelas 1 PP Nomor 82 Tahun 2001,

untuk parameter BOD, hanya 26% dari keseluruhan sampel air yang diambil yang

memehui nilai BOD sesuai dengan criteria mutu air kelas 1 dan 33% memenuhi

criteria mutu air kelas 2. parameter COD yang memenuhi criteria mutu air kelas 1

hanya 29% (Kasry et al., 2005).

2.4. Manfaat Air

Dibandingkan dengan sungai-sungai lain di Indonesia, sungai Siak

merupakan sungai yang paling dalam sehingga bisa dilayari oleh kapal-kapal

besar sampai jauh ke hulu. Dalam wilayah kawasan DAS ini bermukin sekitar 1,5

juta orang yang berasal dari berbagai latar belakang dan beragam mata encarian.

Sungai Siak adalah aset daerah yang harus dipelihara karena memiliki

beberapa fungsi yang selalu melekat. Dari aspek sosial ekonomi, sungai sejak

dahulu kala telah menjadi urat nadi kehidupan masyarakat. Keterikatan

masyarakat dengan sungai terlihat, umumnya erkampungan berkembang ditepi

sungai. Logikanya tentu sederhana, sungai memberikan penghidupan kepada


460

masyarakat, yakni sebagai sumber air minum, tempat menangkap ikan dan

sebagai sarana lalu lintas. Data Biro Pusat Statistik (2004) menunjukkan bahwa

pada tahun 2002 sekitar 51 ribu desa/kelurahan yang dilalui sungai, sebagaian

besar memanfaatkan air sungai untuk mandi/cuci, irigasi, dan minum. Jika

dibandingkan tahun 1999, pada tahun 2002 terjadi peningkatan terhadap

memamfaatkan air sungai untuk irigasi, bahan baku air minum, dan industri

(Kasry et all., 2005).


461

III. KEGIATAN PADA DAS SIAK

Sungai Siak yang secara ekologi sebagai sebuah ekosistem terbuka juga

memiliki kharateristik sama dengan ekosistem terbuka lainnya yakni bersifat

common property dan open acces. Artinya Sungai Siak merupakan kepemilikan

umum dan dapat diakses oleh siapa saja. Setiap pihak dapat mengakses dan

memanfaatkan potensi sumberdaya yang ada pada kawasannya, yang seharusnya

tentu dengan mengikuti norma, kaidah dan ketentuan yang telah disepakati

bersama, di bawah payung hukum yang telah ditetapkan oleh pihak legislatif

berkompeten. Berawal dari konsep pemahaman common property dan open

accses inilah permasalahan Sungai Siak menjadi sesuatu yang sulit untuk di

kelola. Pemahaman konsep ini lebih cenderung diarahkan kepada aktivitas yang

bersifat destruktif dan mengakibatkan degradasi lingkungan. Masyarakat

cenderung mengambil keuntungan apabila terdapat potensi keuntungan yang

diberikan, namun jika terjadi permasalahan terhadap Sungai Siak, maka

masyarakat cenderung akan lepas tangan (Air.bappenas.go.id/news).

3.1. Pencemaran Sungai Siak

Terjadinya pencemaran di sungai umumnya disebabkan oleh adanya

masukan limbah ke badan air sungai. Limbah tersebut meliputi limbah rumah

tangga, limbah industri, dan limbah perkebunan (Gambar 1). Sebagai sebuah

ekosistem terbuka, maka sungai juga memiliki kharateristik sama dengan

ekosistem terbuka lainnya yakni bersifat common property dan open accses.

Artinya sungai merupakan kepemilikan umum dan dapat diakses oleh siapa saja.

Setiap pihak dapat mengakses dan memanfaatkan potensi sumberdaya yang ada
462

pada kawasannya, dan berawal dari kharakteristik inilah masalah pencemaran

sungai menjadi sesuatu yang sulit untuk dikelola.

Gambar 1. Potensi Pencemar Sungai Siak (Perumahan, Industri, Perkebunan)

Kesadaran masyarakat dan dunia usaha sebagai salah satu komponen

pengahasil limbah yang dapat mencemari Sungai Siak, masih jauh dari yang

diharapkan. Beberapa aktivitas usaha di sepanjang DAS Siak yang berpotensi

mencemari Sungai Siak (Gambar 1) masih belum melakukan pengelolaan limbah

yang dihasilkannya secara optimal. Disamping terdapatnya aktivitas rumah tangga

dan pemukiman penghasil limbah di sepanjang Sungai Siak, maka juga tidak

kurang dari 43 jenis industri yang menghasilkan limbah mengalirkan limbahnya

ke Sungai Siak (Tabel 2). Dari buangan limbah pencemar tersebut mengakibatkan

semakin meningkatnya beban pencemaran Sungai Siak (Gambar 2) dan ini berarti

proses degradasi Sungai Siak terus berlanjut. Beberapa perusahaan industri di

sepanjang Sungai Siak telah memiliki Insatalasi Pengolahan Limbah Cair (IPAL),

namun keberadaanya masih sebatas formalitas saja. Industri yang telah memiliki

IPAL yang representatifpun masih belum secara optimal memfungsikan IPALnya

dengan alasan mahalnya biaya operasional IPAL, ini juga terdapat di

(Lampiran 1) tentang peta potensi sebaran pencemaran (Bapedalda Siak, 2006).


463

Tabel 2. Kegiatan Usaha Penghasil Limbah ke Sungai Siak

No Kegiatan Jumlah ( Unit )

1 Perkebunan / PKS 19

2 Pabrik Crumb Rubber 3

3 Playwood 6

4 Pulp dan Kertas 1

5 Pabrik Glue 1

6 GS Penambangan Miyak Bumi 13

Sumber : Amri ( 2004)

Gambar 2. Beban Pencemaran Sungai Siak

3.2. Non Domestik

Berbagai regulasi tentang pengelolaan lingkungan hidup masih belum

diikuti sebagaimana mestinya. Aturan yang dikeluarkan pemerintah tentang

keberadaan geen belt di kawasan sempadan sungai (100 m sungai besar, 50 m

sungai kecil) sepertinya tidak berlaku bagi sebagian besar stake holder yang

berada di sepanjang aliran Sungai Siak. Bahkan ada kegiatan usaha yang
464

melakukan pembukaan lahan untuk kawasan perkebunan persis berbatasan

langsung dengan dinding sungai (Gambar 2). Kegiatan pembukaan lahan yang

bersinggunggan langsung dengan bibir sungai akan mengancam kawasan

konservasi sempadan sungai. Disamping itu potensi pencemaran yang disebabkan

limbah perkebunan juga akan semakin besar terhadap pencemaran Sungai Siak.

Demikian juga dengan kegiatan industri di sepanjang Sungai Siak yang

melakukan pembangunan pabrik dengan jarak kurang dari 100 meter dari bibir

sungai akan meningkatkan intensitas terjadinya pencemaran dari limbah industri

terhadap Sungai Siak (Bapedalda Siak, 2006).

Dampak pencemaran yang diakibatkan oleh limbah industri diindikasikan

dengan tingginya nilai COD di perairan, disamping nilai parameter lingkungan

lainnya. Nilai COD yang tinggi mengakibatkan kadar oksigen terlarut di perairan

akan semakin menipis untuk dikonsumsi bagi kehidupan biota di perairan.

Oksigen lebih banyak digunakan oleh mikro organisme untuk mendegradasi

limbah yang masuk ke perairan. Akibatnya biota perairan terutama nekton akan

kekurangan oksigen yang dapat mengakibatkan kematian. Kondisi ini sudah

sering menimpa perairan Sungai Siak.

Dari data yang ada tercatat beberapa kasus kematian ikan di sepanjang

aliran Sungai Siak yang antara lain adalah :

 Kematian ikan pada tanggal 1 oktober 1998 yang berjumlah ribuan ekor

dengan berat total sekitar dua ton terjadi di sekitar Kuala Sungai Gasib.

 Kematian ikan pada bulan Agustus tahun 1999, yang berjumlah ribuan ekor di

sekitar Perawang, sebagai akibat terbakarnya kapal Stephani XVI yang telah

menumpahkan 1200 metrik ton bahan minyak ke badan sungai Siak.


465

 Kematian ikan di sepanjang DAS Siak sejak tahun 2000 sampai 2003 pada

puncak musim kemarau antara bulan Juni sampai bulan Agustus setiap

tahunnya dengan berat total berkisar antara 300 sampai 400 kg. Hal ini lebih

disebabkan oleh turunnya debit air sampai ke tingkat yang sangat rendah,

sementara aktivitas MCK (Mandi, Cuci, Kakus) meningkat tajam karena

masyarakat kesulitan mendapatkan air bersih sebagai akibat musim kemarau

itu, karena telah terjadi pemekatan konsentrasi limbah karena debit airnya

sangat rendah.

 Pada tanggal 8 Juni 2004 telah terjadi kematian ikan dalam jumlah ribuan

ekor dengan berat sekitar 1,2 sampai 1,5 ton . Adapun lokasi kejadian di

sekitar muara Sungai Bangso sampai Jembatan Siak II. Hal ini juga

merupakan indikator betapa buruknya mutu perairan Sungai Siak yang telah

menyebabkan punahnya biota perairan itu.

 Pada bulan Juli dan Agustus tahun 2004 terjadi pula dua kasus tenggelamnya

kapal pengangkut Pulp PT. IKPP di pelabuhan perusahaan itu yakni

Perawang. Walaupun peristiwa itu dapat ditanggulangi dengan baik namun

kejadian tersebut telah menunjukkan kondisi ketidak hati-hatian dalam

menangani suatu pekerjaan yang terkait dengan aspek keselamatan kerja dan

mutu lingkungan hidup. Peristiwa ini juga akan membentuk opini yang kurang

menguntungkan terhadap perusahaan PT. IKPP dalam mengelola aspek

lingkungan di sekitarnya.

3.3. Abrasi Sungai Siak

Disamping masalah pencemaran, Sungai Siak juga menghadapi masalah

abrasi dan sedimentasi yang signifikan. Permasalahan abrasi dan sedimentasi di


466

Sungai bersumber pada aktivitas manusia yang berada pada kawasan DASnya.

Terjadinya abrasi di Sungai Siak disebabkan oleh beberapa faktor. Faktor – faktor

tersebut saling mengakumulasi antara satu dengan lainnya. Diantara penyebab

tersebut antara lain adalah karena pola penggunaan dan pengelolaan lahan yang

kurang tepat, kegiatan transportasi (Gambar 3) di sepanjang lintasan aliran Sungai

Siak, pola arus sungai, sistem drainase tepi sungai yang kurang baik, struktur

tanah tebing yang rapuh dan daya dukung tebing yang terlampaui.

Gambar 3. Aktivitas Transportasi di Lintasan Sungai Siak

Kesalahan penggunaan dan pengelolaan lahan di kawasan DAS Siak telah

memberikan kontribusi terhadap peningkatan abrasi di Sungai Siak. Pada kontek

yang lebih besar kesalahan pengelolaan lahan disebabkan oleh kegiatan

pembukaan lahan untuk pengembangan usaha kehutanan dan usaha perkebunan,

sedangkan pada skala yang lebih kecil terjadi pada pembukaan lahan pemukiman

yang langsung berbatasan dengan dinding sungai. Penyebab utama terjadinya

abrasi di sepanjang Sungai Siak dari luar badan sungai adalah penggunaan lahan

budidaya yang tidak memperhatian ketentuan pencadangan lahan sebagai barrier

atau green belt. Untuk sungai besar seharusnya tidak boleh melakukan pembukaan

lahan minimal 100 meter di kiri – kanan sungai, sedangkan untuk sungai kecil

minimal pada jarak 50 meter kiri kanan sungai tidak boleh ada ganggunan
467

terhadap keberadaan vegetasi. Kebijakan ini tidak sepenuhnya dapat di

implementasikan di kawasan DAS Siak (Kasry et all., 2005).

Salah satu kegiatan pada kawasan DAS Siak yang telah terbukti

memberikan kontribusi negatif terhadap Sungai Siak adalah kegiatan kehutanan

dan pembukaan lahan perkebunan. Ekploitasi sumberdaya hutan dan

pengembangan usaha perkebunan yang tidak terkendali dan dengan tidak

memperhitungkan dampak lingkungan mengakibatkan hutan akan kehilangan

fungsi ekologisnya, dimana salah satunya berfungsi sebagai penyimpan air

penyangga terjadinya bencana erosi yang pada akhirnya berakibat pada terjadinya

sedimentasi Sungai Siak. Kerusakan kawasan konservasi akibat ekploitasi

sumberdaya hutan dan pembukaan lahan pertanian untuk berladang telah

meningkatkan erosi serta laju sedimentasi perairan Sungai Siak.

Sebagai media transportasi, Sungai Siak memiliki peranan yang sangat

penting di Propinsi Riau. Semakin hari kegiatan mobilisasi orang dan barang

dengan menggunakan media transportasi semakin meningkat. Sampai tahun 2005

tercatat sekitar 25 kali lalu lintas kapal barang dan 24 kapal penumpang umum

yang melintasi Sungai Siak (Tabel 3). Aktivitas lalu lintas pelayaran kapal yang

menghasilkan gelombang telah terbukti berdampak pada peningkatan terjadinya

abrasi tebing sungai (Gambar 4). Gelombang yang menyisir dan arus akibat baling

baling kapal merambat sepanjang tebing. Run-up dan run down gelombang di

tebing sungai akan menggerus tanah dasar tebing. Lokasi penggerusan terjadi

pada muka air. Intensitas penggerusan yang dominan terutama terjadi pada posisi

permukaan air surut. Proses abrasi yang disebakan oleh gelombang terjadi sedikit

demi sedikit, namun berlangsung secara terus menerus. Abrasi tebing yang terjadi
468

semakin di picu oleh hilangnya vegetasi pinggir sungai akibat kesalahan

penggunaan lahan. Dengan semakin meningkatnya frekwensi lalu lintas di

lintasan Sungai Siak di masa selanjutnya akibat pertambahan penduduk maka

diprakirakan proses abrasi Sungai Siak akan semakin meningkat (Bapedalda Siak,

2006) .

Tabel 3. Frekuensi Lalu Lintas Kapal Lintasan di Sungai Siak

No Jenis Kapal Frekuensi

1. Kapal Barang
- Ponton
- Kapal Motor 25 kali / hari
- Tanker
- Kapal Cargo
2. Kapal Penumpang
- Mulya Kencana
- Surya Gemilang
24 kali /hari
- Pelita Indomal
- Speed Boat
- Jelatik
Sumber : Amri (2004)
469

Gambar 4. Gelombang Penyebab Abrasi Tebing Sungai Siak

Arus Sungai Siak yang cukup deras dan bentuk alur sungai yang relatif

sempit dan dalam menyebabkan arus sungai terkonsentrasi pada alur tersebut.

Gerusan tebing oleh arus sungai terjadi di daerah alur sungai yang lurus maupun

pada belokan sungai, tetapi kerusakan yang lebih parah terjadi pada belokan

sungai bagian tingkungan luar. Gerusan tersebut terutama terjadi di daerah tebing

sungai yang tidak terlidung baik oleh vegetasi yang rapat maupun oleh

perlindungan buatan. Pada saat terjadi arus yang besar (kuat) atau pada saat

banjir, gerusan pada belokan sungai bagian luar dapat terjadi cukup cepat

sehingga bangunan yang berada pada belokan luar rawan terhadap gerusan.

Kerusakan tebing juga terjadi pada saat hujan yang cukup deras sehingga

air dari saluran drainasi maupun limpasan permukaan langsung melimpah ke

sungai. Drainasi yang kurang baik pada sisi luar tanggul sungai dapat pula

menyebabkan lemahnya tanggul. Air yang menggenang di sisi luar tangggul akan

berusaha meresap ke dalam tanah dan mengalir ke sungai lewat tubuh tanggul

dan tanah dan tanah dasar pondasinya. Akibatnya timbul gaya rembesan yang

dapat menimbulkan terjadinya proses ‗piping‗. Apabila proses ini berlangsung

cukup lama tanggul akan runtuh atau hancur. Pada bagian sungai yang tidak

bertanggul, limpasan langsung pada tebing sungai yang tidak lagi terlindung
470

dengan vegetasi akan menyebabkan erosi permukaan (Sheet erosion maupun rill

erosion) yang lama – kelamaan akan mengikis tebing sungai (Kodoatie et al.,

2005). Selanjutnya, kodoatie et al., (2005) menyatakan bahwa pada tebing yang

rapuh, apabila terjadi gangguan sedikit saja stabilitas tebing akan terusik dan

dapat menyebabkan kerusakan tebing tersebut. Gangguan terhadap tebing ini

dapat berupa resapan air kedalan tanah, adanya beban tambah di atas tebing,

adanya kapal tambat di tebing (membuat angker ditebing) dan sebagainya. Dari

studi PAU ilmu Teknik UGM (1994 ) kondisi daya dukung tanah tebing pada

umumnya lemah hingga sedang dengan lereng stabil mencapai 1:3 . Bila bantaran

sungai banyak menerima beban karena pengembangan bantaran tersebut dengan

bangunan – bangunan berat, maka daya dukung dan stabilitas tebing akan

berkurang dengan usikan dari air hujan maupun dari sungai akan dapat

melongsorkan tebing.

Biasanya tebing tanah mempunyai kemampuan mendukung gaya yang

besarnya tertentu. Apabila kemampuan dukung ijin tebing tersebut terlampaui,

otomatis tebing tersebut akan runtuh. Penyebab kelebihan beban yang bekerja

diatas tebing diantaranya adalah adanya bangunan diatas tebing seperti

pemukiman, dan adanya timbunan barang/muatan yang berlebihan (lapangan

penumpukan) (Gambar 5).


471

Gambar 5. Pemukiman dan Tumpukan Material Mengancam Stabilitas Tebing


Sungai Siak

Data hasil pengamatan di sepanjang Sungai Siak di Kabupaten Siak

terlihat kawasan rawan abrasi terdapat pada lintasan wilayah Maredan sampak ke

Kota Siak Sri Indrapura (Gambar 6). Intensitas abrasi pada kawasan ini adalah

berkisar antara 4 meter sampai 15 meter. Secara umum abrasi disebabkan oleh

hantaman gelombang kapal kebibir sungai terutama pada kawasan yang tidak

memiliki vegetasi penahan gelombang. Dampak terjadinya abrasi telah terlihat

secara nyata di pinggiran Sungai Siak. Beberapa bangunan yang berada di tepi

sungai sudah mengalami keruntuhan, bahkan masih banyak lagi yang terancam

akan runtuh (Gambar 7). Dampak abrasi juga terjadi pada sektor perikanan.

Dengan adanya abrasi dan sedimentasi di pinggir sungai, maka akan dapat

merusak habitat kehidupan bagi ikan. Kerusakan akan semakin parah apabila

habitat yang dirusak merupakan tempat bertelur dan memijah bagi ikan. Apabila

yang dirusak adalah tempat – tempat sensitif tersebut, maka lambat laun dapat

berdampak pada musnahnya keanekaragaman spesies ikan tertentu di Sungai Siak.

Kekhawatiran ini telah dirasakan saat ini, dengan semakin berkurangnya hasil

tangkapan masyarakat terhadap ikan - ikan yang berasal dari Sungai Siak ini.
472

Gambar 7. Dampak Abrasi Terhadap Tempat Ibadah dan Pemukiman


473

VI. UPAYA PENANGGULANGAN

Adapun faktor penyebab, dampak dan penanggulangan atas terjadinya

pencemaran sungai Siak, Abrasi Sungai Siak sebetulnya sudah ada dikepala kita

masing-masing, bagaimana dampak-dampak yang ditimbulkan dari perbuatan

tangan-tangan jahil kita sudah bisa memprediksikannya karena sudah banyak

kejadian-kejadian yang serupa terjadi di daerah-daerah lain. Tetapi selama ini

yang terjadi hanya berbicara dari mulut kemulut tapi aplikasi tidak dijalankan.

seperti yang saya tulis dibawah ini adalah factor penyebab terjadinya pencemaran

sunai Siak, abrasi sungai Siak dan bagaimana dampak yang ditimbulkan, serta

penanggulangannya.

4.1. Pencemaran Sungai Siak

a. Faktor Penyebab

Bapedalda Siak (2006) menyatakan bahwa faktor penyebab (pressure)

terjadinya pencemaran Sungai Siak dipengaruhi antara lain :

 Rendahnya tingkat pendidikan masyarakat, sehingga hilangnya fungsi

pengawasan dari masyarakat di lapangan

 Lemahnya aspek penegakan hukum (low enforcement).

 Belum semua kegiatan wajib AMDAL / UKL – UPL melakukan studi

tersebut.

 Belum diimplementasikannya RKL – RPL / UKL – UKL secara sungguh -

sungguh.

 Rendahnya pengawasan dan belum semua kegiatan melakukan pelaporan

kondisi dan kebijakan lingkungan / melakukan pelaporan RKL – RPL.


474

 Belum semua kegiatan yang menghasilkan limbah cair memiliki dan

mengoperasionalkan IPAL yang representatif dan benar.

 Belum semua perusahan penghasil limbah memiliki izin pembuangan

limbah.

 Adanya kegiatan pengelolaan limbah yang tidak mengikuri prosedur yang

ada.

 Belum adanya penyusunan pengelolaan DAS Siak yang komprehensif,

terpadu, dan terintegrasi dengan DAS lainnya yang mempertimbangkan

aspek geofisik, ekonomi, budaya dan kelembagaan.

 Pengelolaan sumber daya hutan dan lahan yang tidak /kurang bijaksana.

 Kegiatan pertanian dan perkebunan kurang memperhatikan kaidah

konservasi.

 Tingginya laju konversi lahan hutan menjadi bentuk penggunaan lainnya.

 Adanya konflik kepentingan lahan dan hutan.

Menurut saya penyebab ini juga ditimbulkan karena Kurangnya aturan

daerah yang mendukung kebijakan nasional tentang pencemaran air dan baku

mutu, kurangnya kesadaran masyarakat sekitar DAS, kurangnya peralatan

pemantauan yang dimiliki oleh aparat terkait dalam meneliti kualitas air,

Rendahnya kesadaran perusahaan dalam melakukan pengelolaan limbah yang

dihasilkan.

b. Dampak

Bapedalda Siak (2006) menyatakan bahwa dampak yang ditimbulkan (state),

akibat pencemaran air sungai Tapung terhadap Sungai Siak antara lain :
475

 Makin beratnya beban pencemaran di perairan Sungai Siak

 Menurunnya kualitas air Sungai Siak

 Sulitnya masyarakat sekitar DAS Siak memperoleh kualitas air yang baik

untuk kebutuhan MCK rumah tangga.

 Timbulnya masalah kesehatan seperti penyakit kulit dan sakit perut karena

rendahnya kualitas air minum masyarakat di DAS Siak.

 Terganggunya kehidupan biota perairan di Sungai Siak.

 Terancamnya keanekaragaman hayati perairan Sei. Siak.

 Menurunnya hasil tangkapan nelayan di Sei Siak.

 Munculnya masalah sosial seperti penurunan pendapatan nelayan yang dapat

berujung pada kriminalitas di kawasan DAS Siak.

c. Penanggulangan

Bapedalda Siak (2006) menyatakan bahwa untuk mengatasi masalah

pencemaran air sungai maka perlu langkah penanggulangan (respon) berikut

ini :

 Membentuk forum komunikasi pengusaha di DAS Siak sebagai media

koordinasi.

 Pemantapan komitmen penegakan hukum (low enforce ment).

 Penyusunan master plan pengelolaan DAS Siak yang terintegrasi dengan

DAS lainnya.

 Penyusunan Perda dan Baku Mutu Air Sungai yang mendukung kebijakan

pengelolaan DAS Siak oleh Pemerintah Kabupaten Siak.

 Intensifikasi, implementasi dan pengawasan terhadap instrumen pengelolaan

lingkungan (AMDAL/UKL–UPL).
476

 Penggunaan IPAL yang representatif.

 Melaksanakan penghijauan dan reboisasi.

 Sosialisasi program Prokasih kepada masyarakat setempat dalam kawasan

DAS Siak.

 Menetapkan beberapa stasiun pemantauan yang permanen sebagai parameter

kualitas air.

 Melakukan pemantauan berkala dengan sampling kualitas air sungai.

 Melakukan sosialisasi kebijakan dan penyuluhan terhadap masyarakat

sekitar DAS Siak.

 Kewajiban pelaporan kondisi dan kebijakan pengelolaan lingkungan hidup

bagi setiap aktivitas yang ada di sekitar DAS Siak.

d. Kendala

Belum maksimalnya hasil yang dicapai dalam mengatasi masalah pencemaran

air dikarenakan adanya beberapa kendala antara lain seperti berikut ini :

 Belum terwujudnya pola pikir yang berwawasan lingkungan bagi segenap

pengusaha yang melakukan kegiatan usaha di DAS Tapung

 Belum optimalnya fungsi pejabat PPNS dibidang kejahatan lingkungan

hidup.

 Belum mantapnya implementasi instrumen pengelolaan lingkungan.

 Lemahnya sumberdaya manusia di bidang pengelolaan sungai dan kualitas

air.

 Kurangnya kesadaran masyarakat tentang pentingnya pengelolaan DAS.

 Kurangnya koordinasi antar berbagai stakeholders.


477

 Minimnya dukungan dana operasional, fasilitas pemantauan dan

laboratorium.

4.2. Abrasi Sungai Siak

a. Faktor Penyebab

Bapedalda Siak (2006) menyatakan bahwa faktor penyebab (pressure)

terjadinya abrasi Sungai Siak dipengaruhi antara lain :

 Kurangnya pengawasan yang dilakukan instansi terkait terhadap pola

penggunaan lahan di kawasan DAS Siak.

 Hilangnya vegetasi pinggir Sungai Siak yang berfungsi sebagai green belt

 Mormologi fisik sungai yang berbelok belok

 Aktivitas transportasi di lintasan Sungai Siak

 Penggunaan kawasan pinggi Sungai Siak sebagai kawasan pemukiman

 Kurangnya pengelolaan terhadap pelabuhan

 Aktivitas sandar kapal yang tidak pada tempatnya

 Pengaruh arus pasang surut

 Kurangnya kesadaran masyarakat sekitar DAS Siak terhadap bahaya abrasi

 Kondisi lahan pinggir Sungai yang relatif labil

 Tidak adanya upaya reklamasi bagi kegiatan usaha yang tidak beropersi lagi.

 Tidak di implementasikannya RKL – RPL yang telah disusun bersama studi

AMDAL.

b. Dampak

Bapedalda Siak (2006) menyatakan bahwa Dampak yang ditimbulkan (state)

erosi dan sedimentasi terhadap perairan Sungai Siak antara lain :


478

 Terjadinya pendangkalan Sungai Siak

 Terancamnya bangunan yang berdiri di pinggiran Sungai Siak

 Potensi terjadinya bencana banjir akibat luapan Sungai Siak

 Terganggunga kehidupan biota perairan, terutama akibat rusaknya habitat

ikan.

 Terancamnya keanekaragaman hayati perairan, terutama akibat rusaknya

tempat bertelur dan memijah ikan.

 Menurunnya hasil tangkapan nelayan setempat.

 Munculnya masalah – masalah kesehatan akibat terjadinya bencana banjir.

 Munculnya masalah – masalah sosial seperti penurunan pendapatan nelayan

yang dapat berujung pada kriminalitas.

 Ancaman terhadap keberlanjutan fungsi ekologi sungai

c. Penanggulangan

Untuk mengatasi masalah erosi dan sedimentasi perairan Sungai Siak maka

perlu langkah penanggulangan (respon) berikut ini.

 Melakukan rehabilitasi dan upaya konservasi terhadap kawasan sungai yang

kritis terhadap bahaya abrasi dan sedimentasi. Seperti penanaman vegetasi

kembali dan pembangunan turap.

 Penerapan aturan batasan kecepatan kapal yang melintasi Sungai Siak

 Pemantapan komitmen penegakan hukum (low enforcement).

 Penyusunan master plan pengelolaan DAS Siak.

 Melakukan penyuluhan terhadap masyarakat sekitar DAS Siak tentang

bahayanya abrasi.
479

d. Kendala

Belum maksimalnya hasil yang dicapai dalam mengatasi masalah erosi dan

sedimentasi perairan Sungai Siak dikarenakan adanya beberapa kendala antara

lain seperti berikut ini.

 Kurangnya kesadaran masyarakat di DAS Siak tentang pola penggunaan

lahan terutama tentang kawasan penyangga sungai

 Belum dipahaminya aturan batasan kecepatan kapal yang melintas di Sungai

Siak oleh para nahkoda/kapten kapal

 Kurangnya kesadaran masyarakat tentang pentingnya pengelolaan DAS

Siak.

 Terbatasnya anggaran untuk melakukan rehabilitasi lahan abrasi

 Kurangnya koordinasi antar berbagai stake holder di pemerintahan dan

swasta.

4.3. Pengelolaan sumber Daya Air

Mendagri (dalam Kasry et al., 2005) menyatakan bahwa dalam UU No 7

Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, dijelaskan bahwa Pengelolaan Sumber

Daya Air harus dilakukan dengan prosedur sebagai berikut :

1. Membuat suatu pola Pengelolaan Sumber Daya Air, berdasarkan wilayah

sungai dengan konsep keterpaduan antara air permukaan dan air tanah dan

memperhatikan wewenang serta tanggung jawab masing-masing instansi

sesuai dengan tugas dan fungsinya.

2. Pengelolaan air permukaan didasarkan pada wilayah sungai dan pengelolaan

air tanah didasarkan pada cekungan air tanah.


480

3. Melibatkan semua stakeholder dengan tujuan menjaring masukan,

pemasalahan dan atau keinginan dari para pemilik kepentingan untuk

dituangkan dalam arahan atau kebijakan Pengelolahan Sumber Daya Air

Wilayah Sungai.

Konsultasi publik yang diselenggarakan minimal dalam dua tahap: tahap

pertama untuk menjaring masukan, permasalahan dan atau keinginan masyarakat

dan dunia usaha atas pengelolaan sumber daya air wilayah sungai dan tahap kedua

untuk sosialisasi pola yang ada guna mendapatkan tanggapan dari masyarakat dan

dunia usaha seperti koperasi, BUMN, BUMD dan swasta.

Prinsip utama adalah kesimbangan antara upaya konsservasi dan

pendayagunaan sumberdaya air yaitu perlakuan yang proporsional untuk kegiatan

konservasi dan pendayagunaan sumber daya air.

Berdasarkan pola maka disusun perencanaan terpadu dan menyluruh

sebagai acuan dan pedoman pelaksanaan konservasi SDA, pendayagunaan SDA

dan pengendalian Daya Rusak Air baik jangka pendek, menengah, dan jangka

panjang. Berdasarkan rencana Pengelolaan Sumber Daya Air maka dibuat

program PSDA yang akan dilakukan oleh stakeholders.

Pelaksanaan konstruksi harus mengikuti norma, standar, pedoman dan

manual (NSPM), memanfaatkan teknologi, sumberdaya local, mengutamakan

keselamatan, keamanan kerja, berkelanjutan ekologis dan perencanaan teknis.

Ada 4 aspek penting dalam pengelolaan sumber daya air, yaitu:

1. Konservasi Sumber Daya Air adladh upaya memelihara keberadaan, serta

keberlanjutan keadaan, sifat, dan fungsi SDA agar senantiasa tersedia dalam
481

kuantitas dan kulitas yang memadai untuk memenuhi kebutuhan makhluk

hidup baik pada waktu sekarang maupun yang akan datang.

2. pendayagunaan Sumber Daya Air adalah upaya penatagunaan, penyediaan,

penggunaan, pengembangan, dan pengusahaan SDA secara optimal agar

berhasilguna dan berdataguna.

3. pengendalian Daya Rusak Air adalah upaya untuk pencegah, menanggulangi,

serta melakukan pemulihan kerusakan kualitas lingkungan yang disebabkan

oleh daya rusak air.

4. Sistem Informasi Sumber Daya Air adalah pengelolaan infomasi SDA

dilaksanakan oleh pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya.

Mendagri (dalam Kasry et all., 2005) menyatakan bahwa tata ruang

menurut undang-undang No. 24 Tahun 1992 adalah wujud struktural dan pola

pemanfaatan ruang, baik direncanakan maupun tidak. Wujud structural

pemanfaatan ruang merupakan susunan elemen dan unsur yang membentuk suatu

ruang baik di alam, lingkungan sosial atau lingkungan lain yang dibentuk dan

secara struktural saling berhubungan dan saling mengisi membentuk tata ruang.

Tata ruang perlu dilakukan secara terpadu, menyeluruh berdayaguna dan

behasilguna, serasi, selaras,seimbang,dan berkelanjutan.

Tujuan adanya tata ruang secara nasional adalah (UU No. 24 Tahun 1992):

1. Terselenggaranya pemanfaatan ruang terpadu, menyeluruh dan berwaasan

lingkungan yang berlandasan wawasan nusantara dan ketahanan nasional.

2. Terselenggaranya pengaturan pemamfaatan ruang wawasan lindung dan

kawasan budidaya.

3. Tercapainya pemanfaatan ruang yang berkualitas.


482

4.4. Kebijakan dan Strategi Pengembangan DAS Siak

Mendagri (dalam Kasry et all., 2005) menyatakan bahwa dari

permasalahan saat ini yang terjadi di DAS Siak dapat diambil kebijakan

pengelolaan DAS Siak sebagai berikut:

1. penyusunan Pola PSDA yang dibuat sinergis dengan Rencana Tata Ruang

Wilayah Provinsi Riau.

2. menyiapkan rumusan kebijakan dan strategi pengelolaan air di wilayah DAS

Siak berdasarkan asas kelestarian, keseimbangan, pemanfaatan umum,

keterpaduan dan keserasian, keadilan, kemandirian dan akuntabilitas.

3. Melaksanakan usaha konservasi sebagai pelaksanaan pengelolaan SDA di

DAS Siak. Usaha konservasi yang dapat dilaksanakan adalah reboisasi dan

penghijauan di Sub DAS Siak Hulu bertujuan untuk mengoptimalkan

peresapan air kedalam tanah yang terganggu akibat perusakan hutan.

4. menyiapkan kebijakan dalam pendayagunaan sumber daya air. Sebagai contoh

pemanfaatan Zona Teras Sungai Siak yang berpotensi untuk dikembangkan

sebagai Water Front City, dikembangkan sebagai wisata air dengan penataan

pemukiman kumuh yang ada; budi daya ikan air tawar dengan menggunakan

keramba dan lain-lain.

5. melaksanakan usaha pengendalian daya rusak . contoh usaha yang dapat

dilakukan adalah :

 membangun bangunan pengaman tebing dan pengendalian banjir Sungai

Siak

 penganturan transportasi air untuk mengurangi gelombang yang diakibatkan

kapal-kapal yang berlayar agar tidak mengikis tebing.


483

 Pengendalian pencemaran air baik dari limbah industri maupun tumpahan

minyak dari kapal yang berlayar.

6. membentuk dewan sumber Daya Air Provinsi Riau yang merupakan suatu

wadah koordinasi dengan mengintegrasikan kepentingan berbagai sector,

wilayah, dan para pemilik kepentingan dalam bidang sumber daya air dalam

pengelolaan SDA yang mencakup kepentingan lintas sektoral dan lintas

wilayah yang memerlukan keterpaduan tindak untuk menjaga kelangsungan

fungsi dan manfaat air dan sumber air baik tingkat Provinsi maupun

kabupaten/Kota.

7. kebijakan penataan ruang, wilayah sub DAS Siak Hulu dikonverservasikan

untuk mengutamakan Kota Pekanbaru dari banjir sebagai kawasan lindung

sumber air sedang wilayah Sub DAS Siak Hilir digunakan untuk kawasan

perkotaan. Ini terlihat di Peta rencana tata bangunan dan lingkungan perairan

Kabupaten Siak yang diperoleh dari Badan Perencanaan Pembangunan Daerah

Kabupaten Siak.
484

DAFTAR PUSTAKA

Air.bappenas.go.id/news.php?id=752 - 66k

Anonim, 2004. Propinsi Riau Dalam Angka Tahun 2004. Biro Pusat Statistik
Provinsi Riau, Pekanbaru.

Anonim, 2004. Pengendalian Banjir Sungai Siak Kota Pekanbaru. Dirktorat


Jenderal Sumbedaya Air, Departemen Permukiman dan Prasarana
Wilayah, Jakarta.

Anonim,2004. Peraturan Pemerintah RI No. 47 Tahun 1997 tentang Rencana Tata


Ruang Wilayah Nasional, Jakarta.

Kasry, A., A. Z. Fachri Y., Achmadi, M, T., Viator, B., Mubarak (ed), 2005.
Seminar Penyelamatan dan Pelestarian Daerah Aliran Sungai Siak. Unri
Press. Pekanbaru.

Kodoatie, R. J., dan Basuki, 2005. Kajian Undang-Undang Sumber daya Air.
Andi, Yogyakarta.

Kodoatie, R. J., dan R. Sjarief, 2005. Pengelolan Sumber Daya Air Terpadu. Andi.
Yogyakarta.

Kodoatie, R.J., 2005. Pengantar Manajemen Infrastruktur. Edisi Revisi Cetakan 1,


Pustaka Pelajar. Yogyakarta.

Peraturan Pemerintah No 35 Tahun 1991 Tentang Sungai.


Http://www.menlh.go.id/i/art/pdf1038448509.pdf?PHPSESSID=ecb1
dc485b592ff5def1bdfc23a0567. Dikunjungi 22 oktober 2006.

Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah Siak, 2006. Status Lingkungan


Hidup Daerah (SLDH) Siak. Siak Sri Indrapura.

Presiden RI., 1992. Undang-undang RI No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan


Ruang, Jakarata.

Presiden RI, 2004. Undang-undang RI No. 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya


Air, Jakarta.

www.menlh.go.id/i/art/pdf_1065225730.pdf

www.antara.co.id/seenws/?id=26835 - 16k

www.ristek.go.id/index.php?mod=News&conf=v&id=1063 - 38k
485

TEKNIK PENGELOLAAN SAMPAH


RAMAH LINGKUNGAN

OLEH :

RINA NOVIA YANTI

PROGRAM STUDI ILMU LINGKUNGAN


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
2006
486

I. PENDAHULUAN

Masalah kesehatan masyarakat erat sekali hubungannya dengan

lingkungan di mana masyarakat itu menetap untuk tinggal. Banyak masalah-

masalah kesehatan yang timbul di masyarakat, terutama disebabkan oleh keadaan

kesehatan lingkungan yang kurang atau tidak memenuhi syarat. Lingkungan

mempunyai pengaruruh yang relatif besar dalam hal peranannya sebagai salah

satu yang mempengaruhi derajat kesehatan masyarakat.

Selain tingkat konsumsi masyarakat, peningkatan jumlah penduduk dan

gaya hidup juga sangat berpengaruh terhadap peningkatan volume sampah.

Misalnya saja, kota Jakarta pada tahun 1985 menghasilkan sampah sejumlah

18.500 m3 per hari dan pada tahun 2000 meningkat menjadi 25.700 m3 per hari.

Jika dihitung dalam setahun, maka volume sampah tahun 2000 mencapai 170 kali

besar Candi Borobudur (volume Candi Borobudur = 55.000 m3). (Hidayati,

2004). Hal tersebut juga terjadi di setiap daerah termasuk di kota ―bertuah‖

Pekanbaru. Dengan semakin meningkatnya produksi sampah tersebut, saat ini

persoalan sampah menjadi persoalan serius dan mendesak, tidak adanya atau

kurang memadainya tempat pembuangan sampah yang sekaligus tempat

mengelola sampah menyebabkan sampah menjadi salah satu bagian yang

dikategorikan sebagai pencemaran lingkungan.

Salah satu masalah kesehatan lingkungan yang cukup besar pengaruhnya

adalah masalah sampah terutama berkaitan dengan pengumpulan, pengangkutan,

pembuangan, pemanfaatan dan pemusnahan sampah. Sampah sering dipandang

sebagai hal yang kurang mendapat perhatian, karena sampah merupakan barang

bekas dan sisa yang tidak terpakai lagi dan harus dibuang tanpa memperhatikan
487

lingkungan sekitarnya. Sehingga dapat menimbulkan bau yang tidak sedap dan

sebagai tempat berkembang biaknya sumber penyakit (Depkes. RI, 2000).

Permasalahan sampah harus dikelola secara terpadu dengan menekankan bahwa

sampah dilihat sebagai sumberdaya yang bisa mendatangkan banyak manfaat

bukan sesuatu yang mendatangkan banyak kerugian dan bencana.

Mengatasi persoalan sampah bukanlah hal mudah, terbukti hingga kini

masalah persampahan di Indonesia tidak kunjung usai. Persoalan sampah

bukanlah semata-mata persoalan kelemahan teknologi, banyak faktor yang

mempengaruhi dan faktor-faktor itu terkait satu sama lain. Perencanaan yang

parsial, pengoperasian TPA belum sesuai standar, konflik antar daerah, minimnya

kepercayaan masyarakat adalah segelintir dari daftar panjang keruwetan masalah

sampah.
488

II. TINJAUAN UMUM TENTANG SAMPAH

2.1. Definisi Sampah

Sampah merupakan hasil samping dari aktivitas manusia, di mana aktivitas

tersebut menghasilkan menghasilkan bahan buangan. Dalam ilmu kesehatan

lingkungan sampah (refuse) sebenarnya hanya sebahagian dari benda atau hal-hal

yang dipandang tidak digunakan, tidak dipakai, atau harus dibuang sehingga tidak

sampai mengganggu kelangsungan hidup (Tanjung, 2002).

2.2. Jenis - jenis Sampah

Menurut Tanjung (2002) sampah dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

1. Sampah basah (garbage) yaitu sampah organik yang berupa sisa-sisa makanan,

buah-buahan, sayur-sayuran dan lain-lain. Karakteristik dari sampah ini adalah

dapat membusuk dan mudah terurai dengan cepat khususnya dalam situasi

panas. Proses pembusukan seringkali menimbulkan bau yang tidak sedap.

Bahan-bahan yang mudah membusuk ini sangat penting diketahui dalam

usaha pengumpulan dan pengelolaan sampah.

2. Sampah kering (rubbish) yaitu sampah yang mudah terbakar ataupun yang

tidak mudah terbakar yang dihasilkan oleh rumah tangga, kantor-kantor,

tempat perdagangan dan sebagainya.

3. Abu (ashes) yaitu benda yang tertinggal dari sisa pembakaran kayu, arang dan

lain-lain benda yang terbakar.

4. Sampah jalanan (street cleaning) yaitu sampah yang berasal dari jalan,

biasanya berupa sampah daun-daunan dan pembungkus

5. Rongsokan kenderaan (abandoned vehicles) yaitu bekas-bekas kenderaan

milik umum dan pribadi seperti bak mobil, becak dan lain-lain.
489

6. Sampah industri (industrial wastes) yaitu sampah yang dihasilkan dari

buangan industri.

7. Sampah bangunan (domolition wastes) yaitu sampah yang terjadi akibat

penghancuran atau pembangunan suatu gedung. Sampah ini seringkali

diklasifikasikan dalam sampah kering misalnya batu, beton, papan, sisa pipa

dan sebagainya.

8. Sampah khusus berbahaya (hazardous wastes) yaitu sampah kimia beracun,

pestisida, pupuk, radio aktif yang bersala dari rumah sakit.

9. Sampah pengolahan air minum/air kotor (water treatmen residu) yaitu sampah

yang berupa lumpur dari perusahaan air minum atau pengolahan air kotor

2.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Jumlah Produksi Sampah

Menurut Maulana (2000) faktor yang mempengaruhi jumlah produksi

sampah antara lain :

1. Jumlah penduduk, kepadatan serta aktifitas penduduk di daerah tersebut,

sudah pasti akan mempengaruhi jumlah produksi sampah. Makin banyak

jumlah penduduk dan aktifitas yang dijalankan, jumlah sampah yang

dikumpulkanjuga akan meningkat. Apalagi tenaga dan alat yang dipersiapkan

tidak mencukupi.

2. Sistem pengumpulan dan pembuangan sampah yang dipakai. Makin baik

sistem pengumpulan dan pengangkutan sampah makin banyak jumlah

produksi sampahnya.

3. Pengambilan bahan-bahan yang ada pada sampah untuk dipakai kembali.

4. Letak geografis, di daerah pegunungan sampah jenis kayu-kayuan akan

meningkat, sedangkan di dataran rendah sampah jenis pertanian makin


490

menonjol dan di daerah pantai sampah jenis kerang-kerangan atau hasil laut

yang banyak jumlahnya.

5. Waktu, umumnya jumlah sampah pagi hari sedikit lebih meningkat antara jam

08.00 sampai jam 14.00 dan mencapai puncaknya sekitar jam 11.00 sampai

jam 13.00. Kemudian jumlahnya menurun sekitar jam 16.00, selanjutnya

produksi meningkat lagi sekitar pukul 18.00. hal ini erat hubungannya dengan

aktifitas belanja ke pasar dan kegiatan dapur.

6. Sosial Ekonomi, Faktor sosial sangat mempengaruhi jumlah produksi sampah

di suatu daerah termasuk adat istiadat dan taraf hidup masyarakat itu sendiri.

7. Musim atau Iklim, musim hujan kelihatannya sampah meningkat karena

adanya sampah terbawa oleh air. Musim buah-buahan jelas akan

meningkatkan jumlah produksi sampah.

8. Teknologi, dengan kemajuan teknologi maka jumlah produksi sampah juga

akan meningkat, misalnya jenis plastik, alat-alat elektronik dan lain-lain.

2.4. Sistem Pengelolaan Sampah

Sistem pengelolaan sampah adalah suatu proses yang berkelanjutan dari

seluruh elemen fungsional pengelolaan sampah dengan memanfaatkan sumber

yang tersedia serta memperhatikan prinsip-prinsip yang terbaik untuk mengatasi

sampah dengan permasalahan yang ditimbulkannya (Enri, 2005). Salah satu

pengelolaan sampah yang sangat menentukan adalah penangan sampah di tempat

pembuangan akhir (TPA). Bahan-bahan yang dibuang harus dipastikan bahan

yang tidak dapat dimanfaatkan lagi dan harus dibuang. Berikut ini beberapa cara

pembuangan sampah yang sering dilakukan :


491

1. Makanan Ternak

Sampah seperti sayuran atau buangan dapur berupa bahan organik yang

dikukus selama 30 menit, kemudian didinginkan dan diangkut ke peternakan

untuk dijadikan makanan babi.

2. Penumpukan.

Dengan metode ini, sebenarnya sampah tidak dimusnahkan secara langsung,

namun dibiarkan membusuk menjadi bahan organik. Metode penumpukan

bersifat murah, sederhana, tetapi menimbulkan resiko karena berjangkitnya

penyakit menular, menyebabkan pencemaran, terutama bau, kotoran dan

sumber penyakit pada badan-badan air.

3. Pengkomposan.

Cara pengkomposan merupakan cara sederhana dan dapat menghasilkan

pupuk yang mempunyai nilai ekonomi. Pengomposan hanya bisa dilakukan

terhadap sampah organik, untuk sampah plastik dan yang sifatnya sama tidak

dapat dilakukan.

3. Pembakaran.

Metode ini dapat dilakukan hanya untuk sampah yang dapat dibakar habis.

Harus diusahakan jauh dari pemukiman untuk menghindari pencemaran

asap, bau dan kebakaran. Pembakaran, adalah sistem sederhana menaruh,

membakar atau mengoksidasi senyawa-senyawa. Pembakaran hidrokarbon

menghasilkan panas, cahaya, air, dan karbon dioksida. Abu sebagai

kombinasi material akhir, terbentuk akibat pembakaran tidak sempurna dan

padatan baru yang terbentuk selama masa oksidasi. Dua teknologi

pembakaran yang biasa diterapkan untuk sampah padat adalah: pembakaran


492

massa, dimana sampah dibakar secara langsung. Seringkali panas yang

dihasilkan selama proses pembakaran digunakan untuk mengubah air

menjadi uap untuk menggerakkan turbin yang terhubung ke generator listrik.

Bahan bakar berbasis sampah atau Refuse-Derived Fuel (RDF), dimana

sampah campuran diproses terlebih dahulu sebelum dibakar langsung. Tingkat

pengolahan bervariasi antara fasilitas yang satu dengan fasilitas lainnya, tetapi

biasanya melibatkan pencacahan dan pengurangan logam-logam serta material

lain yang memiliki kandungan kalori bakar rendah. Material yang diolah

kemudian dimanfaatkan sebagai bahan bakar, baik dengan cara yang

samaseperti pembakaran massa atau digunakan di fasilitas pemprosesan bahan

bakar yang ada seperti di pabrik-pabrik semen.

4. "Sanitary Landfill".

Metode ini hampir sama dengan penumpukan, tetapi cekungan yang telah

penuh terisi sampah ditutupi tanah, namun cara ini memerlukan areal khusus

yang sangat luas (http://www..wikipedia.org ).


493

III. PENGARUH SAMPAH TERHADAP LINGKUNGAN

Sampah organik (terutama yang berasal dari sisa makanan atau tanaman)

adalah jenis sampah yang paling mengakibatkan polusi. Pembusukan sampah

basah bisa menimbulkan gas metana, karbon dioksida, dan gas beracun lain.

Selain bau, rembesan airnya bisa menjadikan kualitas tanah menurun. Lalat dan

tikus bisa berkembang biak dengan cepat, dan menyebarkan bibit penyakit.

Apalagi kalau sampah dibuang ke kali, selain air jadi tercemar, juga menyebabkan

banjir. Masalah lain muncul ketika tumpukan sampah sudah menggunung, sampah

sudah sampai di tahap pembakaran atau pembuangan di TPA. Musibah longsor

TPA Leuwigajah memberikan hikmah bahwa masalah sampah bukan masalah

yang sederhana. Penangan sampah mulai dari pengumpulan di tingkat RT/RW

sampai ke TPA merupakan masalah yang rumit. Tidak adanya pemisahan sampah

organik dan organik akan menimbulkan masalah tersendiri dalam pengelolaanya,

apalagi di TPA juga terlibat para pemulung yang berusaha mengambil sampah

yang masih bermafaat. Disatu sisi mereka meringankan sedikit pekerjaan

penghancuran sampah tapi di sis yang lain mereka merupakan pendatang ilegal

yang juga akan menyusahkan pepemrintah setempat. Seperti kehidupan mereka

yang di bawah garis kemiskinan, kehidupan yang jauh dari standar kebersiha dan

apabila terjadi bencana longsornya tumpukan sampah mendatangkan duka karena

banyak korban yang tertimbun dan itu menjadi tanggung jawab pemerintah juga.

Jadi dampak yang ditimbulkan dari sampak tidak saja pada kebersihan lingkungan

tetepi juga pada kehidupan sosial masyarakat.

Menurut penulis dalam mengelola kebersihan terutama menangani sampah

banyak menghadapi masalah dan sering terjadi pencemaran akibat pengelolaan


494

yang kurang baik, sehingga menimbulkan berbagai masalah pencemaran selama

pelaksanaan kegiatan penanganan persampahan yang meliputi; pewadahan,

pengumpulan, pemindahan, pengangkutan, pengolahan dan pembuangan akhir.

Berbagai potensi yang menimbulkan dampak antara lain :

1. Berkembangnya sumber penyakit, wadah sampah merupakan tempat yang

sangat ideal bagi pertumbuhan penyakit, terutama lalat dan tikus. Hal ini

disebabkan dalam wadah sampah tersedia sisa makanan dalam jumlah yang

besar.

2. Pencemaran udara, sampah yang menumpuk dan tidak segera terangkut

merupakan sumber bau tidak sedap yang memberikan efek buruk bagi daerah

sensitive sekitarnya seperti, pemukiman, perbelanjaan, rekreasi dan lain-lain,

seperti sampah di kota Bandung.

 Terjadinya pembakaran sampah karena terlambat diangkut dan

menimbulkan asap yang menimbulkan gangguan lingkungan.

 Sarana pengangkutan yang tidak tertutup dengan baik akan menimbulkan

bau disepanjang jalur yang dilalui, terutama akibat air lindi dari bak

kendaraan.

 Terjadinya pelepasan gas ke udara seperti CO, CO2, CH4, H2S yang

merupakan hasil dekomposisi sampah.

 Pembakaran sampah di TPA akan menimbulkan bau.

3. Pencemar air, terjadinya aliran lindi ke saluran atau tanah sekitarnya dan

menyebabkan pencemaran.
495

4. Pencemaran tanah, pembuangan sampah yang dilakukan tidak baik pada lahan

kosong atau TPA, sehingga menumpuk akan menimbulkan bahan buangan

beracun (B3).

5. Terjadinya bahaya banjir akibat pembuangan sampah ke dalam saluran air

bahkan sampai ke sungai, sehingga pada waktu musim hujan saluran air

menjadi terhambat karena terhalang oleh tumpukan sampah yang dibuang ke

sungai.

6. Gangguan estetika, lahan yang terisi sampah secara terbuka akan

menimbulkan kesan pandangan yang sangat buruk dan mempengaruhi estetika

lingkungan sekitarnya.

7. Kemacetan lalulintas, dikarenakan tempat pengumpulan sampah dengan pasar,

pertokoan dan lain-lain.

8. Dampak social, hampir tidak ada orang yang akan merasa senang dengan

adanya pembangunan tempat pembuangan sampah di dekat pemukimannya.


496

IV. ASPEK PENGELOLAAN SAMPAH

Beberapa aspek yang perlu didekati dalam pengelolaan persampahan

adalah aspek teknik, aspek kelembagaan dan aspek keuangan serta manajemen.

Uraian di bawah ini akan membahas aspek-aspek tersebut.

4.1. Aspek Teknik

Hal pertama yang perlu diketahui dalam mengelola persampahan adalah

karakter dari sampah yang ditimbulkan oleh masyarakat perkotaan. Berbagai

karakter sampah perlu dikenali, dimengerti dan difahami agar dalam menyusun

sistem pengelolaan yang dimulai dari perencanaan strategi dan kebijakan serta

hingga pelaksanaan penanganan sampah dapat dilakukan secara benar.

Karakter sampah dapat dikenali sebagai berikut: (1) tingkat produksi

sampah, (2) komposisi dan kandungan sapah, (3) kecenderungan perubahannya

dari waktu ke waktu. Karakter sampah tersebut sangat dipengaruhi oleh tingkat

pertumbuhan penduduk, pertumbuhan ekonomi dan kemakmuran serta gaya hidup

dari masyarakat perkotaan. Oleh karena itu sistem pengelolaan yang direncanakan

haruslah mampu mengakomodasi perubahan-perubahan dari karakter sampah

yang ditimbulkan. Sebagai contoh perbandingan rata-rata sampah yang

ditimbulkan oleh setiap penduduk di perkotaan seperti di Jakarta adalah sebanyak

0,8 kg/hari, di Bangkok sebanyak 0,9 kg/hari, di Singapura 1,0 kg/hari dan di

Seoul sebanyak 2,8 kg/hari (Bappenas 1995).

Hal lain yang perlu dipertimbangkan adalah waktu tempuh ke TPA, jarak

tempuh dan kondisi jalan yang kurang memadai menyebabkan waktu tempuh

menjadi lama, sulitnya memperoleh lahan yang sesuai untuk TPA pada kawasan

perkotaan menyebabkan waktu dan jarak tempuh ke TPA menjadi lebih lama dan
497

lebih panjang. Hal terakhir dari aspek teknis yang perlu diketahui adalah TPA.

Semakin banyaknya volume sampah yang dibuang akan memerlukan TPA yang

lebih luas. Sebagai konsekuensinya diperlukan tanah yang luas sebagai tempat

pembuangan dan tanah penimbun sampah di TPA. Para ahli lingkungan

merekomendasikan agar pengelolaan TPA menggunakan sistem sanitary landfill,

namun demikian dari sekian banyak TPA yang ada, umumnya menggunakan

sistem open dumping atau controlled dumping. Baru sedikit kota yang telah

menerapkan sistem sanitary landfill (Wibowo dan Djajawinata, 2000).

4.2. Aspek Lingkungan

Pengumpulan sampah pada lokasi timbunan sampah merupakan hal

selanjutnya yang perlu diketahui, berbagai permasalahan pada kegiatan

pengumpulan sampah antara lain banyaknya timbunan sampah yang terkumpul

tapi tidak tertangani (diangkut/ditanam) sehingga pada saat sampah tersebut

menjadi terdekomposisi dan menimbulkan bau yang akan mengganggu pernafasan

dan mengundang lalat yang merupakan pembawa dari berbagai jenis penyakit.

Tempat sampah yang memadai menjadi hal yang sangat langka pada kawasan

yang padat penduduknya. Sungai dianggap merupakan salah satu tempat

pembuangan sampah yang paling mudah bagi masyarakat perkotaan. Hal tersebut

dilakukan tanpa memikirkan apa yang akan terjadi kemudian, memang untuk

sementara sampah yang dihasilkan tidak tertimbun pada lokasi penimbunan

sampah tetapi untuk jangka panjang akan menyebabkan berbagai masalah yang

tidak kalah besarnya. Kegiatan selanjutnya adalah berkaitan dengan pengangkutan

sampah dari tempat timbunan sampah ke Tempat Pembuangan Sementara (TPS).

Pengangkutan sampah umumnya dilakukan dengan mengunakan gerobak atau


498

truk sampah yang dikelola oleh kelompok masyarakat maupun dinas kebersihan

kota. Beberapa hal yang terjadi pada pengangkutan sampah tersebut adalah

ceceran sampah maupun cairannya sepanjang rute pengangkutan, atau

terhalangnya arus trasportasi akibat truk sampah yang digunakan oleh dinas

kebersihan kota mengangkut sampah.

Pada beberapa daerah yang padat penduduknya TPS sangat kecil dan tidak

cukup untuk menampung sampah yang ditimbulkan. Hal tersebut akan

mengakibatkan timbunan sampah yang tidak terangkat, dan bila terdekomposisi

akan menimbulkan bau dan akan mengundang lalat. Pengangkutan sampah dari

tempat pembuangan sementara ke tempat pembuangan akhir merupakan kegiatan

selanjutnya yang perlu dipikirkan. Proses pemindahan tersebut harus dilakukan

cepat agar tidak menggangu kelancaran lalulintas dan penggunaan truk

pengangkut menjadi efisien.

Pengangkutan dari TPS ke TPA banyak yang dilakukan dengan

menggunakan truk bak terbuka dan sudah bocor, sehingga sering terjadi sampah

dan cairan sampah yang diangkut tersebar di sekitar rute perjalanan. Hal ini

menjadikan keindahan kota tergangu karena sampah tercecer dan bau yang

ditimbulkan akan menggangu pernafasan. Banyaknya sampah yang harus

diangkut akan memerlukan banyak truk pengangkut, dengan keterbatasan jumlah

truk yang dimiliki oleh Dinas Kebersihan, mobilisasi truk pengangkut menjadi

lebih tinggi. Kondisi tersebut menyebabkan biaya perawatan truk pengangut akan

meningkat dan masa pakai kendaraan pengangkut akan semakin pendek.

Penanganan TPA yang tidak bijaksana tersebut menyebabkan terjadinya

kerusakan lingkungan karena bau yang ditimbulkan dari sampah yang


499

terdekomposisi, bau tersebut kemudian akan mengundang lalat yang dapat

menyebabkan berbagai penyakit menular. Selain hal tersebut tanah maupun air

permukaan dan air bawah tanah terkontaminasi oleh cairan lindi yang timbul

karena TPA tidak dilengkapi dengan kolam pengolah lindi (Sundra, 1999). Hal

tersebut menyebabkan kesulitan bagi pengelola persampahan untuk menyediakan

lahan yang akan digunakan sebagai TPA karena umumnya penduduk setempat

akan menolak bila sekitar daerahnya akan digunakan sebagai TPA. Dengan

mengetahui permasalahan sampah yang semula merupakan hal yang berhubungan

dengan pencemaran lingkungan maka harus dicari solusi yang tepat agar

pencemaran lingkungan dapat diperkecil seminimal mungkin.

4.3. Aspek Kelembagaan

Pada beberapa kota umumnya pengelolaan persampahan dilakukan oleh

dinas kebersihan kota. Keterlibatan masyarakat maupun pihak swasta dalam

menangani persampahan pada beberapa kota sudah dilakukan untuk beberapa

jenis kegiatan. Masyarakat banyak yang terlibat pada sektor pengumpulan sampah

di sumber timbulan sampah, sedangkan pihak swasta umumnya mengelola

persampahan pada kawasan elit dimana kemampuan membayar dari konsumen

sudah cukup tinggi.

Umumnya dinas kebersihan selain berfungsi sebagai pengelola

persampahan kota, juga berfungsi sebagai pengatur, pengawas, dan pembina

pengelola persampahan. Sebagai pengatur, Dinas Kebersihan bertugas membuat

peraturan-peraturan yang harus dilaksanakan oleh operator pengelola

persampahan. Sebagai pengawas, fungsi Dinas kebersihan adalah mengawasi

pelaksanaan peraturan-peraturan yang telah dibuat dan memberikan sangsi kepada


500

operator bila dalam pelaksanaan tugasnya tidak mencapai kinerja yang telah

ditetapkan, fungsi Dinas kebersihan sebagai pembina pengelolaan persampahan,

adalah melakukan peningkatan kemampuan dari operator. Pembinaan tersebut

dapat dilakukan melalui pelatihan-pelatihan maupun menyelenggarakan kegiatan-

kegiatan yang melibatkan masyarakat untuk mendapatkan umpan balik atas

pelayanan pengelolaan persampahan (Koesyanto, 2005).

Tumpang tindihnya fungsi-fungsi tersebut menjadikan pengelolaan

persampahan menjadi tidak efektif, karena sebagai pihak pengatur yang

seharusnya mengukur kinerja keberhasilan pengelolaan sampah dan akan

menerapkan sangsi bila pihak operator tidak dapat dilakukan karena pihak

operator tersebut tidak lain adalah dirinya sendiri. Dengan demikian kinerja

operator sulit diukur dan pelayanan cenderung menurun.

4.4. Aspek Keuangan dan Manajemen

Pada kawasan perkotaan dimana dinas kebersihan menjadi pengelola

persampahan, dana untuk pengelolaan tersebut berasal dari pemerintah daerah dan

retrribusi jasa pelayanan persampahan yang berasal ari konsumen. Pada umumnya

ketersediaan dana pemerintah untuk menangani persampahan sangat kecil,

demikian juga retribusi yang diperoleh dari konsumen juga sedikit. Rata-rata

retribusi yang diperoleh dinas kebersihan pada kota-kota besar adalah Rp.1500 –

3600 /bulan/konsumen (Bappenas, 1995).

Jumlah perolehan retribusi tersebut masih jauh dari biaya pemulihan yang

diperlukan untuk mengelola pelayanan sampah. Untuk menarik retribusi tersebut

sering digunakan jasa petugas - petugas dari penyedia jasa lainnya, seperti PLN,

PDAM. Hal tersebut disebabkan karena jumlah perolehan dari retribusi kecil dan
501

tidak menguntungkan bila menggunakan staf dinas kebersihan untuk menarik

retribusi tersebut.

Hasil retribusi yang diperoleh dari pelayanan pengelolaan sampah akan

semakin kecil karena banyak retribusi yang tidak tertagih, hal ini menjadi semakin

sulit karena enforcement terhadap penunggak retribusi tersebut tidak dilakukan,

bila enforcement tersebut tidak juga dilakukan maka kecenderungan pelanggan

tidak membayar akan meningkat.


502

V. UPAYA PENANGANAN SAMPAH RAMAH LINGKUNGAN

Pengelolaan sampah yang tidak dilakukan dengan baik akan

mendatangkan bencana bagi manusia terutama masyarakat yang tinggal di sekitar

tempat pembuangan sampah akhir. Kita harus belajar dari pengalaman,

pengelolaan sampah selama ini dan mengantisipasi terulangnya tragedi seperti di

Leuwigajah, maka diperlukan kesungguhan semua stakeholders dalam

meningkatkan sistem pengelolaan sampah secara terpadu sebagai berikut :

1. Jangka Pendek

- Melaksanakan rehabilitasi tempat pembuangan akhir sampah yang

bermasalah

- Mempersiapkan lokasi tempat pembuangan akhir sampah yang baru dan

memenuhi syarat tentang tata cara pemilihan lokasi TPA.

- Mempersiapkan kelayakan teknolgi tinggi pengelolaan sampah sebagai

alternatif mengurangi volume sampah yang dibuang ke TPA.

2. Jangka panjang

- Menerapkan paradigma pembangunan persampahan yang tidak tertumpu

pada TPA yang menjadi muara tempat pembuangan sampah, tetapi harus

simultan dengan upaya penanganan lain yang lebih ramah lingkungan,

seperti menjadikan sampah sebagai sumberdaya yang bermanfaat.

- Lokasi tempat akhir pembuangan sampah sebaiknya dilengkapi dengan

zona penyangga dan diterapkan larangan izin tinggal di sekitar lokasi TPA

minimal dalam radius 500 meter (Nurhayati, 2006).

Menurut penulis berbagai prinsip yang perlu dilakukan dalam menerapkan

pelaksanaan pengelolaan persampahan secara regional adalah sebagai berikut :


503

1. Sampah yang dibuang harus dipilah, sehingga tiap bagian dapat dikomposkan

atau didaur-ulang secara optimal, daripada dibuang ke sistem pembuangan

limbah yang tercampur seperti yang ada saat ini. Dan industri-industri harus

mendesain ulang produk-produk mereka untuk memudahkan proses daur-

ulang produk tersebut. Prinsip ini berlaku untuk semua jenis dan alur sampah.

Pembuangan sampah yang tercampur merusak dan mengurangi nilai dari

material yang mungkin masih bisa dimanfaatkan lagi. Bahan-bahan organik

dapat mengkontaminasi/ mencemari bahan-bahan yang mungkin masih bisa di

daur-ulang dan racun dapat menghancurkan kegunaan dari keduanya. Sebagai

tambahan, suatu porsi peningkatan alur limbah yang berasal dari produk-

produk sintetis dan produk-produk yang tidak dirancang untuk mudah didaur-

ulang, perlu dirancang ulang agar sesuai dengan sistem daur-ulang atau

tahapan penghapusan penggunaan.

2. Program-program penanganan sampah kota harus disesuaikan dengan kondisi

setempat, dan tidak mungkin dibuat sama dengan kota lainnya. Terutama

program-program di negara-negara berkembang seharusnya tidak begitu saja

mengikuti pola program yang telah berhasil dilakukan di negara-negara maju,

mengingat perbedaan kondisi-kondisi fisik, ekonomi, hukum dan budaya.

Khususnya sektor informal (tukang sampah atau pemulung) merupakan suatu

komponen penting dalam sistem penanganan sampah yang ada saat ini, dan

peningkatan kinerja mereka harus menjadi komponen utama dalam sistem

penanganan sampah di negara berkembang.

Salah satu contoh sukses adalah zabbaleen di Kairo, yang telah berhasil

membuat suatu sistem pengumpulan dan daur-ulang sampah yang mampu


504

mengubah/memanfaatkan 85 % sampah yang terkumpul dan mempekerjakan

40,000 orang. Secara umum, di negara Utara atau di negara Selatan, sistem

untuk penanganan sampah organik merupakan komponen-komponen

terpenting dari suatu sistem penanganan sampah kota. Sampah-sampah

organik dijadikan kompos, vermi-kompos (pengomposan dengan cacing) atau

dijadikan makanan ternak untuk mengembalikan nutirisi-nutrisi yang ada ke

tanah. Hal ini menjamin bahwa bahan-bahan yang masih bisa didaur-ulang

tidak terkontaminasi, yang juga merupakan kunci ekonomis dari suatu

alternatif pemanfaatan sampah. Daur-ulang sampah menciptakan lebih banyak

pekerjaan per ton sampah dibandingkan dengan kegiatan lain, dan

menghasilkan suatu aliran material yang dapat mensuplai industri.

3. Memperdalam program dengan menyediakan pelatihan dan seminar yang akan

bisa memperkuat pengertian masyarakat tentang pentingnya pengelolaan

sampah yang baik. Memulai mengkampanyekan pemakaian tas kain yang

bertujuan untuk mengurangi penggunaan tas plastik dalam masyarakat. Untuk

desa-desa yang dekat dengan daerah pariwisata, alternatif ini bisa ditingkatkan

menjadi industri kecil yang bisa memproduksi dan menjual tas-tas ini kepada

wisatawan.
505

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2006. Sampah. http://www..wikipedia.org. 10 Oktober 2006.

BAPPENAS., 1995. Infrastruktur Indonesia Sebelum, Selama dan Pasca Krisis.


Jakarta.

Departemen Kesehatan RI., 2000. Rencana Pembangunan Kesehatan Menuju


Indonesia Sehat 2010. Jakarta.

Enri, 2005. Paradigma Baru Pengelolaan Persampahan, Redaksi Cakrawala.


Jakarta. http://www.pikiran rakyat.com. 10 Oktober 2006.

Hidayati, 2004. Pengelolaan Persampahan: Menuju Indonesia Bebas Sampah


(Zero Waste ). http:/www.walhi.or.id. 13 Oktober 2006.

Koesyanto, A., 2005. Pengelolaan Sampah Harus Berorientasi Jangka Panjang.


Harian Pikiran Rakyat. Terbit Tanggal 12 April 2005.

Maulana, 2000. Sistem Pengelolaan Sampah Metoda Sanitary Landfill, USU


Press. Medan.

Nurhayati, 2006. Mengelola Sampah, Mengelola Gaya Hidup.


http://www.walhi.or.id. 10 Oktober 2006.

Sundra, K., 1998. Pengaruh Pengelolaan Sampah terhadap Kualitas Air Sumur
Gali Disekitar TPA Sampah Suwung Denpasar Bali. Makalah
Disampaikan pada Konfrensi Nasinal Pusat Studi Lingkungan Indonesia
XIV. Tanggal 21-24 Oktober 1998. Diselenggarakan oleh ITS. Surabaya.

Tanjung, 2002. Sampah dan Pengelolaannya. UI Press. Jakarta.

Wibowo. A., dan D. Djajawinata, 2000. Penanganan Sampah Perkotaan. (tidak


diterbitkan).
506

FITOPLANKTON SEBAGAI INDIKATOR PENENTU


KUALITAS PERAIRAN

OLEH :

RITAWATI SIMANJUNTAK

PROGRAM STUDI ILMU LINGKUNGAN


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
2006
507

I. PENDAHULUAN

Semua mahluk hidup membutuhkan air untuk kehidupannya, sehingga

sumber daya air perlu dilindungi agar dapat dimamfaatkan dengan baik oleh

manusia serta mahluk hidup lainnya. Di negara berkembang seperti Indonesia

sekarang ini, dengan bertambahnya penduduk dan berkembangnya industri akan

menambah beban limbah ke perairan. Dampak negatif dari limbah kegiatan

tersebut di perairan adalah semakin menurunnya kualitas air yang menimbulkan

gangguan, kerusakan, dan bahaya bagi semua mahluk hidup yang bergantung

pada sumber daya air.

Untuk itu air dan perairan perlu diketahui tingkat kelayakannya dalam

setiap pemamfaatannya dengan melakukan kegiatan pemantauan kualitas air yang

mencakup kualitas fisika, kimia dan biologi. Kegiatan ini ini dilakukan untuk

mendeteksi dan mengukur pengaruh yang ditimbulkan oleh limbah terhadap

kualitas lingkungan dan mengetahui perbaikan kualitas lingkungan setelah limbah

dihilangkan. Penentuan kualitas air melalui studi analisis biologis sama akuratnya

dengan pengukuran fisika-kimiawi air. Parameter fisika dan kimia hanya dapat

menunjukkan gambaran kualitas air sesaat dan cenderung memberikan hasil

dengan interpretasi dalam kisaran lebar.

Pada studi analisis biologi, plankton adalah biota dengan ukuran sangat

kecil yang hidup dan berkembang di perairan dan sering dijadikan objek dalam

studi kualitas air. Plankton ini mempunyai beberapa keistimewaan bila

dibandingkan dengan biota lain, diantaranya:


508

 Plankton umumnya mempunyai jumlah species yang beraneka ragam dengan

jumlah individu per species yang tinggi sehingga secara matematis

memudahkan dalam analisis kuantitatif

 Plankton umumnya tergolong biota yang hidup pada kisaran fisika –kimia

yang sempit.

Plankton adalah mikroorganisme yang melayang-layang di dalam air,

pergerakannya pasif dan tidak mempunyai daya menentang arus. Mikroorganisma

nabati disebut fitoplankton dan yang hewani disebut zooplankton. Fitoplankton

dapat digunakan sebagai indikator kualitas air, karena fitoplankton mempunyai

respon yang cepat terhadap perubahan lingkungan. Komposisi spesies

fitoplankton di suatu lokasi perairan memberikan indikasi kualitas air di perairan

tersebut. Komposisi spesiesnya dapat memberikan respon yang cepat terhadap

perubahan lingkungan dan memberikan indikasi bagaimana keadaan kualitas air di

perairan tersebut, sehingga fitoplankton dapat digunakan sebagai indikator

penentu kualitas suatu perairan.


509

II. KOMUNITAS FITOPLANKTON

Fitoplankton merupakan pembuka kehidupan di muka bumi, sebagai

produsen primer eksistensinya sangatlah besar diperairan, karena fitoplanktonlah

yang pertama membangun bahan organic dan penghasil oksigen terbesar

diperairan melalui proses fotosintesis sekitar 90 sampai 95 %. Memiliki daya

menentang arus yang relative kecil sehingga habitat yang sesuai untuk hidup dan

berkembang fitoplankton adalah peraiaran yang tenang seperti danau dan waduk.

Odum (1971) menyatakan struktur komunitas fitoplankton adalah suatu

kumpulan populasi yang hidup pada suatu daerah atau habitat tertentu yang saling

berhubungan dan berinteraksi atau berhubungan timbal balik didalam satu zona

tertentu.

Faktor lingkungan fisik (abiotik ) yang mempengaruhi pertumbuhan dan

perkembangan pitoplankton antara lain adalah : angin, arus, ketersediaan makanan

(kandungan unsur hara), dan aktivitas pemangsaan. fitoplankton hanya dapat

ditemukanan di daerah yang menerima sinar matahari dengan gelombang 0,4

sampai 0,8 mikron, yaitu sinar yang dapat dilihat oleh mata manusia. Kandungan

unsur hara yang diperlukan oleh fitoplankton ada yang bersifat makronutrien yaitu

elemen-elemen unsur hara yang dibutuhkan dalam jumlah banyak seperti : C, N, P

dan S, dan ada juga yang bersifat mikronutrien yaitu elemen unsur hara yang

dibutuhkan dalam jumlah sedikit seperti Si, Cu, Mn, dan lainnya. N dan P adalah

elemen makronutrien yang sering dijadikan faktor pembatas bagi pertumbuhan

fitoplankton.

Fitoplankton memiliki klorofil yang mampu mengikat energi sinar

matahari dalam bentuk substansi organic, yang dapat digunakan sebagai makanan
510

organisma heterotropk. Dimana pada sistem aliran energi merupakan tropic level

pertama. Di perairan ditemukan fitoplankton yang diketahui efektif menyerap

beberapa senyawa yang bersifat racun pada ikan, dapat meningkatkan oksigen

karena aktifitas fotosintesisnya dan dapat juga mengendalikan kandungan CO2.

Basmi (1994) menerangkan bahwa untuk siklus produksi fitoplankton dari

bulan ke bulan setiap tahunnya menunjukkan variasi yang teratur. Untuk daerah

subtropis variasinya sangatlah nyata, produksi fitoplankton akan melimpah pada

awal musim semi dan akhir musim gugur, karena pada saat itulah perairan

mendapatkan sinar matahari yang cukup untuk melakukan fotosintesis. Berbeda

dengan perairan tropis, produksi fitoplankton bulanan tidak terlalu menyolok.

Namun perubahan kondisi lingkungan yang tiba-tiba bisa merangsang

pertumbuhan fitoplankton. Faktor dasar yang mengontrol produksi fitoplankton

dalam pertumbuhan dan reproduksinya adalah cahaya, karbondioksida, dan air

untuk prosse fotosintesis. Sedangkan unsur hara dan suhu untuk aktifitas

metabolisme.
511

III. FITOPLANKTON SEBAGAI INDIKATOR BIOLOGI

Berbagai jenis fitoplankton mempunyai kisaran toleransi yang berbeda

terhadap faktor lingkungan dan habitatnya. Fitoplankton yang toleran terhadap

berbagai kondisi akan terdistribusi meluas, sedangkan yang mempunyai toleran

sempit terhadap salah satu kondisi lingkungan hanya akan dijumpai hidup pada

kondisi yang sesuai untuknya.

Dibandingkan dengan parameter fisika dan kimia, indikator biologis dapat

memantau secara kontinyu pencemaran suatu perairan. Hal ini disebabkan oleh

komunitas biota perairan (flora dan fauna) menghabiskan seluruh hidupnya

dilingkungan tersebut, sehingga bila terjadi pencemaran akan mengakumulasi

polutan. Selain itu indikator biologis merupakan petunjuk yang mudah untuk

memantau pencemaran perairan. Adanya pencemaran perairan dapat dikenali dari

menurunnya keanekaragaman species, mata rantai makanannya menjadi lebih

sederhana, kecuali bila terjadi penyuburan.

Kelimpahan plankton berkaitan erat dengan dengan kandungan unsur hara

N dan P perairan. Fitoplankton yang termasuk ke dalam kelas Cyanophyceae

biasanya kelimpahannya kelimpahannya akan meningkat pada suatu danau yang

telah mengalami pencemaran sebab beberapa genus dari Cyanophyceae ini dapat

mengikat nitrogen dan mengubahnya menjadi nitrat. Pada perairan eutropik

dengan sifat yang alkalis dan mengalami penyuburan, jenis fitoplankton yang

dominan biasanya adalah dari kelas Diatom yang biasanya terdapat sepanjang

tahun (Asterionella spp, Fragilaria crotonensis, Synedra, Stephanodiscus dan

Melosira granulata) dan Chyanophyceae (terutama Microcystis, Aphanizomenon

Anabaena).
512

Kesuburan suatu perairan juga akan mempengaruhi perkembangan dan

pertumbuhan plankton, perairan oligotropik ditandai dengan kualitas plankton

yang rendah (kurang dari 2000 individu per liter) dengan jumlah jenis sedikit,

jarang terjadi blooming dan biasanya didominasi oleh blue green algae

(Cyanophyceae). Sedangkan perairan mesotropik kuantitas plankton cukup

banyak (2000 sampai 15000 individu per liter) dengan jumlah jenis yang lebih

variasi. Keberadaan beberapa jenis plankton pun dapat menentukan tingkat

kesuburan suatu perairan seperti terlihat pada Tabel 1. Sehingga dapat

disimpulkan bahwa hubungan antara kesuburan perairan dengan komunitas

plankton sangat erat. Kestabilan lingkungan dapat mempengaruhi kestabilan

komunitas biota, yang dalam hal ini adalah fitoplankton.

Dalam menentukan kualitas suatu perairan menggunakan analisis biologis,

fitoplankton sebagai biota yang digunakan sebagai indikator diamati keaneka

ragamannya, jenis-jenis apa saja yang mendominasi serta keseragaman jenisnya.

Perubahan struktur komunitas sebagai pengaruh perubahan lingkungan

mengilhami para ahli ekologis untuk menggunakan indeks keseragaman sebagai

suatu tipe indikator biologis pencemaran. Indeks ini merupakan pernyataan

matematis dari hubungan antara jumlah jenis dan individunya. Indeks

keanekaragaman menduga kualitas air berdasarkan asumsi bahwa perairan bersih

mengandung banyak species dan jumlah individu dari masing-masing species

tersebut relative sama, sehingga nilai indeks keanekaragamannya tinggi.

Sedangkan perairan tercemar terdapat species yang mendominasi, kelimpahan

individunya banyak sehingga nilai indeks keanekaragamannya rendah.

Keanekaragaman jenis menurun pada komunitas yang berada di bawah suatu


513

tekanan lingkungan. Jika jenis biota sama sekali tidak dijumpai, maka tingkat

pencemarannya tinggi.Wilhm & Doris (dalam Mason, 1981) memberikan kisaran

nilai indeks keanekaragaman sebagai berikut: apabila indeks keanekaragaman

lebih besar dari 3 memberikan indikasi daerah yang tidak tercemar, indeks

keanekaragaman 1 - 3 memberikan indikasi daerah tercemar sedang, indeks

keanekaragaman lebih kecil dari 1 memberi indikasi daerah tercemar berat.

Tabel 1. Tingkat kesuburan Danau Berdasarkan Keberadaan Beberapa Jenis


Mikroalgae (Mason dalam Effendi, 2000)

Klasifikasi danau Grup algae Jenis algae


Oligotrofik 1. Desmid Staurodesmus, Staurastrum
2. Chryshyceae Dynobryon
3. Diatom Cyclotella, Tabellaria
4. Dinoflagellata Peridinium, Ceratium
5. Chlorophyceae Oocystis
Eutrofik 1. 1.Diatom Asterionella, Fragilaria crotonentis,
Stephanodiscus astraea, Melosira
granulate
2. 2.Dinoflagellata Peridinium bipes, Ceratium
3. 3.Cholorophyceae Pediastrum, Scenedesmus
4. 4.Cyanophyceae Anacysttis, Aphanizomen, Anabaena

Beberapa jenis plankton yang toleran seperti Oscilatoria formosa,

Nitzschia polea, Clostridium olerosum dapat hadir pada perairan yang tercemar

berat (Parsoone, 1999). Sebaliknya pada perairan yang bersih jenis yang muncul

seperti Navicula, Oedogonium dan Dinobrion. Odum (1971) menggunakan

Diatome sebagai indikator biologis perairan bersih.

Dominasi fitoplankton di suatu perairan tidak selamanya menguntungkan

perairan tersebut. Perubahan kondisi lingkungan akan merangsang fitoplankton


514

untuk tumbuh meledak sehingga menimbulkan blooming. Yang dimaksud dengan

blooming adalah suatu peristiwa dimana suatu spesies dalam waktu singkat

berkembang sangat pesat dengan jumlah yang melampaui rata-rata produksi

bulanan dalam keadaan normal. Blooming fitoplankton selalu menghasilkan

dampak negatif terhadap banyak hal, misalnya usaha perikanan dan kestabilan

ekosistem. Istilah yang biasa dikenal untuk fenomena blooming fitoplankton

adalah “ Red Tide‖ atau HABs (Harmfull Algae Blooms): Blooming fitoplankton

dapat menyebabkan kematian bagi ikan-ikan. Jenis Fitoplankton yang sering

menyebabkan terjadinya red tide ini biasanya berasal dari kelompok

dinoflagellata, seperti Alexandrium, Noticula dan Gymnodinium. Dinoflagellata

biasanya menghasilkan racun PSP (Paralytic Syndrom Poisoning), jenis racun ini

sangat berbahaya bagi mereka yang memakan biota yang terkontaminasi jenis

dinoflagellata tersebut.

Terjadinya pasang merah (red tide) ini ditandai dengan perubahan warna

perairan menjadi merah, merah kecoklatan atau hijau, yang diikuti dengan

kematian ikan dan udang dalam jumlah yang sangat besar.Red tide ini terjadi

karena adanya blooming dari genera Gymnodium brevis, Gymnodium sanguineus

dan Gonyulax xantenella semuanya termasuk phylum Pyrrophyta atau

Dinoflagellata. Red tide ini terjadi di laut Florida dan Peru kira-kira 5 tahun sekali,

dimana air laut mengandung banyak nitrat dan fosfat. Menurut ahli Oceanografi,

red tide di Peru terjadi bila arus laut berasal dari Kutub Selatan yang membawa

banyak mineral bertubrukan dengan arus laut panas dari barat (Sachlan, 1982).

Jenis fitoplankton genus Chaetoceros, bukanlah jenis fitoplankton yang

dapat menghasilkan racun mematikan yang dapat membunuh ikan tetapi pada
515

kenyataannya apabila terjadi blooming chaetocheros, banyak menyebabkan

kematian ikan-ikan. Chaetoceros tidak membunuh dengan racun melainkan karena

chaetoceros tersebut memiliki setae panjang dengan duri sekunder yang keras dan

tajam dapat melukai insang apabila chaetoceros tersebut banyak tersangkut di

insang ikan. Insang kemudian akan menghasilkan mucus yang berlebihan, yang

pada akhirnya dapat menyebabkan kematian. Insang yang terluka ini pun dapat

memberi peluang bagi pathogen sekunder untuk menyerang ikan. Contoh dari

anggota chaetoceros yang menyebabkan kematian ikan adalah Chaetoceros

convolutes, Chaetoceros concavicornis, Chaetoceros danicus ditemukan

menyebabkan kematian ikan-ikan bersirip (Rines, 2002). Blooming chaetoceros

ini dapat menyebabkan kematian ikan walaupun dengan kepadatan rendah, hanya

sekitar 10.000 sel/liter (Gidwitz,2002).

Faktor-faktor yang memicu terjadinya blooming diantaranya adalah:

1. Upwelling

Pada perairan dalam, unsure hara tersimpan di dasar atau di lapisan yang lebih

dalam dengan adanya pembalikan massa air (upwelling) maka unsure hara

tersebut terangkat kepermukaan yang kaya akan sinar matahari sehingga

memicu pertumbuhan fitoplankton. Biasanya terjadi pada musim peralihan

dari musim kemarau ke musim penghujan.

2. Hujan lebat

Hujan lebat dan banjir dapat membawa nutrient yang banyak ke suatu

perairan, nutrien dipermukaan tanah tercuci oleh air hujan dan erosi oleh

banjir membawa nutrient yang melimpah ke suatu perairan. Adanya masukan

nutrisi yang tinggi dapat menyebabkan eutrofikasi yang berakibat kekeruhan


516

meningkat, proses sedimentasi lebih cepat, biomassa tumbuhan dan hewan

akuatik meningkat sehingga dapat memperpendek umur suatu perairan

sehingga ikan-ikan ekonomis penting menghilang. Hal tersebut tentu saja

dapat meningkatkan kepunahan species hewan air tawar, pahal tingkat

kepunahan hewan air tawar 5 kali lebih tinggi dari pada hewan daratan

(Kehati, 2001).

Seperti peristiwa blooming dari genus Microcystys airuginosa dari phylum

Chyanophyta yang biasa terjadi diperairan tawar. Pertumbuhan species ini sangat

didukung oleh kandungan fosfat dan nitrat yang tinggi. Apabila di dalam suatu

perairan terdapat budidaya ikan dengan sistem keramba dimana makanan ikannya

mengandung kadar fosfat dan nitrat yang berlebih, sudah dapat diperkirakan

merangsang species ini untuk tumbuh dan berkembang. Mycrocystis berdampak

negatif terhadap organisme perairan termasuk ikan karena fitoplankton ini

mengeluarkan zat toksin yaitu microcystin yang tidak dapat dicerna atau

dimanfaatkan oleh kebanyakan ikan herbivora.

Sumber daya perairan merupakan suatu kesatuan ekosistem yang utuh

yang masing-masing komponennya mempunyai sifat dan karakteristik tersendiri,

sehingga setiap pola pengelolaan yang diterapkan oleh pemamfaat harus dapat

berfungsi mempertahankan dan memelihara kelestariannya.


517

DAFTAR PUSTAKA

Basmi, J., 1994. Blooming Fitoplankton. Fakultas Perikanan dan Kelautan. Institut
Pertanian Bogor, Bogor. 35 hal.

_______, 2000. Planktonologi. Plankton sebagai Bioindikator Kualitas Perairan.


Fakultas Perikanan dan Kelautan Institut Pertanian Bogor, Bogor.
7-13 hal.

Effendi, H., 2000. Telaah Kualitas Air. Fakultas Perikanan dan Kelautan. Institut
Pertanian Bogor, Bogor. 259 hal.

Gidwidtz, T., 2002. ―The deadly tides”, WWW.tomgididwidtz.com

Kehati, 2001. Ekosistem Air Tawar dan Keanekaragaman Hayati. Warta Kehati
5: 10-14

Mason, C. F., 1981. Biology of Freshwater Pollution. Longman. London.

Odum, E. P., 1971. Fundamentals of Ecology. Third edition. W . B. Sounders


Company. Toronto. 574 pp.

Parsoone, G., 1999. System of Biological Indicator for Water Quality Assesment.
Pengamon Press. Oxpord. 69 pp.

Rines, J., 2002. Taksonomi of Chaetocheros and Bacteristrum.


http//www.thalassa.gso.uri.edu/rines/index.html.

Sachlan, M., 1982. Planktonologi. Diktat Perkuliahan Planktonologi. Fakultas


Perikanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 166 hal (tidak diterbitkan).
518

KAJIAN KUALITAS AIR DANAU BUATAN


LIMBUNGAN PEKANBARU DAN UPAYA
PENGELOLAANYA

OLEH :

ROBBI AKMAL

PROGRAM STUDI ILMU LINGKUNGAN


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
2006
519

I. PENDAHULUAN

Waduk atau danau buatan adalah salah satu sumber daya perairan yang

dibentuk dengan cara membendung atau menghambat aliran sungai pada bagian

hilirnya sehingga akan menyebabkan terjadinya perubahan ekosistem perairan

mengalir (lotik) menjadi tergenang (lentik) (Hadiwigeno, 1990). Selain itu,

kemungkinan pemanfaatan waduk untuk kegiatan perikanan cukup besar,

mengingat potensi yang ada dan masih kecilnya kontribusi waduk terhadap

produksi total perikanan.

Salah satu perairan waduk yang terdapat di Kota Pekanbaru Provinsi Riau

adalah Danau Buatan Limbungan, yang terletak di Kelurahan Lembah Sari

Kecamatan Rumbai Pesisir dengan luas 166,40 ha (1,664 km2 atau 1,07 % dari

luas Kecamatan Rumbai Pesisir). Danau buatan atau waduk ini terbentuk kerena

pembendungan aliran sungai yaitu Sungai Ambang dan Sungai Merbau, dimana

aliran airnya melewati kawasan hutan lindung yang ada di PT Caltex (Chevron)

Pasifik Indonesia. Pada mulanya danau buatan ini dibentuk untuk mengairi area

persawahan masyarakat setempat. Selain itu juga dimanfaatkan sebagai tempat

mandi, cuci, kakus (MCK).

Melihat minimnya tempat pariwisata yang ada di Provinsi Riau, Danau

Buatan Limbungan ini yang pada mulanya hanya dimanfaatkan sebagai saluran

irigasi, kemudian dikembangkan oleh Pemerintah Daerah Kota Pekanbaru

menjadi salah satu tempat pariwisata yang dilengkapi dengan berbagai fasilitas

dan sarana untuk keperluan rekreasi, seperti aneka jenis sepeda air, perahu,

restoran / cafe, panggung hiburan, taman bermain, cottage (penginapan) dan


520

sebagainya. Selain itu, kawasan danau buatan ini juga dimanfaatkan sebagai

tempat kegiatan perikanan berupa pembesaran ikan di keramba jaring apung.

Dengan munculnya berbagai aktivitas-aktivitas rekreasi yang

memanfaatkan perairan Danau Buatan Limbungan dan bertambahnya jumlah

tempat pemukiman penduduk, keberadaan restoran / cafe-cafe serta adanya

pembukaan lahan di sekitar kawasan danau, secara langsung mengurangi nilai

estetika perairan Danau Buatan Limbungan.

Sebagaimana telah diketahui bahwa pencemaran lingkungan perairan telah

berlangsung selama bertahun-tahun. Pada awalnya, hal tersebut belum menjadi

persoalan yang serius karena kebutuhan air bersih masih belum begitu mendesak.

Dimana perbandingan debit harian pada musim kemarau dan musim hujan

tidaklah terlalu mencolok. Akhir-akhir ini keadaan sumber daya air terutama

tingkat kualitas air telah mengalami banyak perubahan. Degradasi lingkungan,

terutama berkurangnya areal hutan secara meluas yang diiringi dengan meluasnya

praktek bercocok tanam yang tidak atau kurang mengindahkan kaidah-kaidah

konservasi telah memberikan untuk terjadinya perubahan perilaku aliran air dan

dapat menurunkan kualitas air.

Pengelolaan sumber daya air adalah upaya merencanakan, melaksanakan,

memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan konservasi sumber daya air,

pendayagunaan sumber daya air, dan pengendalian daya rusak air (Presiden

Republik Indonesia, 2004). Menurut Hadiwigeno (1990), pengelolaan waduk

adalah pemanfaatan suatu sumber daya yang memberikan daya guna dan hasil

guna yang dikehendaki dalam batas-batas yang optimal dengan tetap memelihara

kemampuan dan kelestarian waduk dan sumber daya alam yang berkaitan dengan
521

ekosistem waduk agar pemanfaatannya berlangsung secara berkelanjutan. Waduk

merupakan salah satu perairan umum yang tidak dimiliki oleh perorangan dan

mempunyai fungsi politik, ekonomi, budaya, pertahanan dan keamanan serta

digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Hal inilah yang

menyebabkan setiap sektor kegiatan merasa mempunyai hak dan kesempatan yang

sama dalam pemanfaatannya.

Fungsi pengelolaan dalam pemanfaatan sumber daya perairan waduk harus

ditujukan untuk memperoleh manfaat seoptimal mungkin bagi seluruh sektor

pembangunan yang berkepentingan dan harus dapat menyentuh seluruh aspek

sosial, ekonomi, budaya serta legal yang menghasilkan nilai tambah dan

meningkatkan produktivitas waduk (Hadiwigeno, 1990). Selanjutnya dikatakan

fungsi pengelolaan waduk harus dapat menciptakan kondisi yang mendukung

kelestarian seluruh kesatuan ekosistem waduk.


522

II. KONDISI UMUM DANAU BUATAN LIMBUNGAN

Kota Pekanbaru adalah ibukota Provinsi Riau. Cikal bakal Kota Pekanbaru

berawal dari sebuah perkampungan kecil bernama Payung Sekaki yang terletak di

pinggiran Sungai Siak. Perkampungan tersebut didirikan oleh Suku Senapelan

sehingga kampung Payung Sekaki lebih dikenal dengan nama Kampung

Senapelan.

Ketika di Kerajaan Siak berkuasa sultan ke empat, yaitu Sultan Abdul Jalil

Alamuddin Syah, dia menjadikan Senapelan sebagai pusat Kerajaan Siak.

Dibawah pemerintahannya, kegiatan perdagangan berkembang pesat sehingga

timbullah pemikiran untuk mendirikan sebuah pekan. Semenjak itu, tepatnya

tanggal 23 Juni 1784, nama Senapelan mulai tidak digunakan lagi dan berganti

nama baru yaitu Pekanbaru. Pada tanggal 20 Januari 1959 melalui Surat

Keputusan Menteri Dalam Negeri No.21 Des.52/1/44-25, Pekanbaru dijadikan

Ibukota Provinsi Riau yang sebelumnya berkedudukan di Tanjung Pinang dan

sekaligus Pekanbaru memperoleh status Kotamadya Daerah Tingkat II (BPS Kota

Pekanbaru,2001).

Letak Kota Pekanbaru secara geografis sangat strategis, terletak di tengah-

tengah Pulau Sumatera. Kota Pekanbaru dibelah oleh Sungai Siak menjadi dua

bagian dan bermuara ke perairan Selat Malaka, yang menghubungkan Pekanbaru

dengan kota-kota lain di sepanjang daerah alirannya. Wilayah Kota Pekanbaru

terletak pada 00 25‘ – 00 45‖ Lintang Utara dan 1000 18‘ – 1010 36‖ Bujur Timur.

Kota Pekanbaru memiliki luas wilayah keseluruhan 632,26 km2.

berdasarkan Peraturan Daerah No.03 tahun 2004, Kota Pekanbaru yang semula

terdiri dari 8 kecamatan kemudian dimekarkan menjadi 12 kecamatan yaitu


523

Kecamatan Pekanbaru Kota, Senapelan, Sukajadi, Lima Puluh, Sail, Rumbai,

Rumbai Pesisir, Bukit Raya, Tenayan Raya, Tampan, Payung Sekaki dan

Marpoyan Damai (Lampiran 1). Pemekaran wilayah ini memiliki kekhasan sendiri

dan merupakan peluang dalam menanamkan investasi di bidang kepariwisataan,

salah satunya adalah tempat rekreasi Danau Buatan Limbungan yang terletak di

Kelurahan Lembah Sari kecamatan Rumbai Pesisir.

Kelurahan Lembah Sari luas wilayahnya ±9,85 km2 (6,24 % dari luas

Kecamatan Rumbai Pesisir), terdiri dari luas daratan 8,186 km2 dan luas danau

166,40 ha (1,664 km2). Kelurahan Lembah Sari terletak pada 1010 25‘ 47‖ – 1010

28‘ 13‖ BT dan 00 30‘ 17‖ – 00 31‘ 43‖ LU dan terletak pada ketinggian 33 m dari

permukaan laut. Batas wilayahnya adalah :

Sebelah Utara : Kelurahan Lembah Damai


Sebelah Selatan : Kelurahan Limbungan dan Sungai Siak
Sebelah Barat : Kelurahan Limbungan Baru
Sebelah Timur : Kelurahan Tebing Tinggi Okura

Wisata Danau Buatan Limbungan terletak di sebelah utara Kota Pekanbaru

tepatnya di Kelurahan Lembah Sari Kecamatan Rumbai Pesisir. Berdasarkan

informasi yang diperoleh dari salah seorang tokoh masyarakat Rumbai Pesisir

yaitu Hj. Jusni Rifa‘i Tanjung (Mantan Lurah Lembah Sari, 1977 s/d 1980)

menerangkan bahwa Danau Buatan Limbungan pada awalnya hanya berupa aliran

sungai kecil yang dibendung oleh Pemko (dahulunya Pemda) Pekanbaru yang

diperuntukkan bagi proyek persawahan masyarakat setempat, yang dibagi menjadi

Tampan 1 di Kecamatan Rumbai dan Tampan 2 di Kecamatan Bukit Raya. Hal ini

dikarenakan mata pencaharian masyarakat setempat sering berpindah-pindah.

Salah satu sumber airnya berasal dari Sungai Ambang, yang aliran airnya
524

melewati ―kawasan hutan lindung‖ yang terletak di PT. Caltex (Chevron) Pasifik

Indonesia.

Pembendungan Danau Buatan Limbungan ini dilakukan sejak tahun 1978

dan rampung pada tahun 1980 pada zaman kepemerintahan Imam Munandar

(Mantan Gubernur Riau). Melihat keindahan Danau Buatan Limbungan dan

minimnya tempat pariwisata yang ada di Kota Pekanbaru, maka pada tahun 1987

Danau Buatan Limbungan Pekanbaru diresmikan sebagai tempat pariwisata oleh

Soeripto (Mantan Gubernur Riau). Tempat rekreasi Danau Buatan Limbungan

dibagi atas 5 kawasan utama yaitu kawasan rekreasi utama, kawasan taman

pancing dan keramba jaring apung, kawasan restoran / cafe-cafe dan panggung

hiburan, dan kawasan pemukiman penduduk, serta kawasan yang dijadikan

sebagai sarana untuk balapan motor cross yang terletak tidak jauh dari kawasan

taman pancing. Danau Buatan Limbungan ini berjarak sekitar 10 km dari pusat

Kota Pekanbaru, dapat dikunjungi dengan menggunakan angkutan umum dan

kendaraan pribadi.
525

III. KUALITAS AIR DANAU BUATAN LIMBUNGAN

Hasil pengukuran parameter kualitas air di Danau Buatan Limbungan

dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Nilai Rata-rata Pengukuran Kualitas Air di Danau Buatan Limbungan


Tahun 2006 (Akmal, 2006)

P Stasiun
Parameter
KS I II III IV V VI
Kedalaman
- 181,0 251,0 246,0 811,5 186,0 298,0
( cm )
P 30,5 30,5 30,0 31,0 30,5 30,0
Suhu ( 0C )
KS 29,5 30,0 29,5 30,0 29,5 29,5
Kecerahan
- 50,25 65,50 54,75 73,25 53,00 69,25
( cm )
P 6 6 6 6 6 6
pH
KS 6 6 6 6 6 6
O2 terlarut P 6,35 6,50 6,25 6,75 6,20 6,65
(mg/l) KS 6,25 6,30 6,15 6,60 6,00 6,40
CO2 bebas P 3,49 4,49 3,99 3,99 3,99 3,99
(mg/l) KS 4,49 5,99 5,49 4,99 4,99 5,49
P 0,038 0,107 0,092 0,075 0,108 0,196
Nitrat (mg/l)
KS 0,044 0,054 0,051 0,049 0,054 0,089
P 0,019 0,024 0,027 0,017 0,033 0,019
Posfat (mg/l)
KS 0,010 0,011 0,011 0,009 0,011 0,011
Klorofil P 20,064 23,871 19,296 33,296 17,293 29,309
a(µg/l) KS 16,280 17,326 14,294 24,164 13,461 19,583
Produktivitas P 182,646 205,422 125,268 285,138 113,880 239,586
Primer KS 91,104 91,104 79,716 113,880 56,940 102,492
Fitoplankton 352 444 320 740 280 600
Keterangan :
P : Permukaan
KS : Kedalaman Secchi

Pemantauan kualitas air memiliki tujuan untuk mengetahui nilai kualitas

air dalam bentuk parameter fisika, kimia, dan biologi perairan, dan juga bertujuan

untuk membandingkan nilai kualitas air tersebut dengan baku mutu sesuai dengan

peruntukannya. Kontribusi dari masing-masing parameter kualitas air tersebut

terhadap kegiatan perikanan dapat dilihat pada Tabel 2.


526

Tabel 2. Parameter Kualitas Air dan Kontribusi Masing-masing untuk Kegiatan Budidaya Perikanan di Perairan Danau Buatan Limbungan
Parameter Kualitas Air Satuan Kontribusi untuk Kegiatan Budidaya Perikanan Literatur Pendukung
a. Parameter Fisika
- Kedalaman cm - -
0
- Suhu C Kisaran suhu yang didapatkan selama penelitian masih Kaswadji (dalam Nafilson, 1993)
cukup baik untuk perkembangan dan pertumbuhan Asmawi (1986)
fitoplankton, berarti mendukung untuk kegiatan
budidaya perikanan
- Kecerahan cm Kecerahan perairan Danau Buatan Limbungan Boyd (1979)
Pekanbaru selama penelitian masih mendukung untuk
kegiatan budidaya perikanan
b. Parameter Kimia
- pH (Derajat Keasaman) - Mendukung untuk kegiatan budidaya perikanan PP No.82 tahun 2001
Wardoyo (1981)
- O2 terlarut mg/l Mendukung untuk kegiatan budidaya perikanan PP No.82 tahun 2001
- CO2 bebas mg/l Mendukung untuk kegiatan budidaya perikanan Swingle (dalam Nurdin, 1999)
- Nitrat mg/l Tidak mendukung bagi kegiatan perikanan PP No.82 tahun 2001
Vollenweider (dalam Effendi,2003)
- Posfat mg/l Tidak mendukung bagi kegiatan perikanan PP No.82 tahun 2001
Yoshimura (dalam Effendi,2003)
- Klorofil a µg/l Mendukung untuk kegiatan budidaya perikanan Vollenweider (dalam Erawati,2003)
- Produktivitas Primer g C/m3/thn Mendukung untuk kegiatan budidaya perikanan Wetzel (1979)

c. Parameter biologi
- Fitoplankton sel/l Mendukung untuk kegiatan budidaya perikanan Goldman dan Horne (1983)
Shannon Weiner (dalam Odum,
1993)
Simpson (dalam Odum, 1993)
527

IV. PENGELOLAAN KUALITAS AIR DANAU BUATAN LIMBUNGAN

Untuk melakukan suatu pengelolaan kualitas air, maka sangat perlu

diketahui kondisi kualitas air tesebut serta faktor-faktor yang mempengaruhinya.

Pengelolaan kualitas air adalah upaya pemeliharaan air sehingga tercapai kualitas

air yang diinginkan sesuai dengan peruntukkannya untuk menjamin agar kualitas

air dapat dalam kondisi alamiahnya.

Air sebagai komponen lingkungan hidup akan mempengaruhi dan

dipengaruhi oleh komponen lainnya. Air yang kualitasnya buruk akan

menyebabkan kondisi lingkungan menjadi buruk. Penurunan kualitas air akan

menurunkan daya guna, nilai guna, hasil guna, produktivitas, daya dukung dan

daya tampung dari sumber daya air yang pada akhirnya akan menurunkan

kekayaan sumber daya alam (Natural Depletion Resources).

Danau buatan adalah salah satu bentuk ekosistem yang menempati daerah

yang relatif kecil pada permukaan bumi dibandingkan dengan habitat laut dan

perairan tawar lainnya. Pemanfaatan perairan Danau Buatan Limbungan saat ini

tidak hanya dimanfaatkan sebagai tempat pariwisata masyarakat Kota Pekanbaru,

tetapi juga dimanfaatkan sebagai lahan hunian bagi masyarakat setempat, lahan

hiburan dan munculnya restoran / cafe-cafe yang letaknya tidak jauh dari badan

air Danau Buatan Limbungan itu sendiri, sehingga dapat mengurangi nilai estetika

dari danau buatan itu sendiri bahkan dapat mengakibatkan menurunnya tingkat

kesuburan perairan.

Pemanfaatan ruang daratan yang ada di sekitar wilayah danau buatan,

merupakan faktor penentu masuknya bahan-bahan polutan seperti limbah cair baik

yang berasal dari pemukiman setempat, juga berasal dari restoran / cafe-cafe serta
528

sisa-sisa buangan makanan dan minuman yang berasal dari pengunjung.

Masuknya limbah ke perairan dapat mengakibatkan naiknya CO2 dan O2 terlarut

semakin berkurang yang berdampak terhadap turunnya pH. Cahyono (2001)

mengemukakan bahwa kadar CO2 yang tinggi dapat meningkatkan keasaman

perairan (nilai pH rendah). Kandungan pH dan CO2 bebas yang diperoleh selama

penelitian masih mampu untuk mendukung kehidupan organisme di dalamnya.

Pengaturan zonasi pemanfaatan ruang merupakan hal yang strategis dalam

mengendalikan masuknya polutan ke perairan Danau Buatan Limbungan, dimana

dengan pengaturan pemanfaatan ruang, sekaligus dapat mengendalikan

pemanfaatan perairan danau buatan oleh masyarakat sekitarnya. Hal inilah yang

belum diterapkan oleh pihak pengelola Perusahaan Daerah (PD) Pembangunan

dan Pemda Kota Pekanbaru, sehingga muncul berbagai aktivitas masyarakat

setempat dalam hal pemenuhan kebutuhan hidup seperti munculnya restoran /

cafe-cafe dan tempat-tempat hiburan yang terletak tidak jauh dari badan air danau

buatan, yang cenderung tidak memperhatikan nilai estetika dari danau buatan.

Namun menurut Sugandhy (dalam Kumurur, 2002) bahwa pengaturan ruang

memerlukan dimensi waktu untuk mengarahkan kegiatan manusia agar sesuai

dengan keseimbangan lingkungan hidup yang merupakan kesatuan ruang dengan

semua benda, daya, keadaan dan makhluk hidup termasuk di dalamnya manusia

dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan peri kehidupan dan

kesejahteraan manusia antara fungsi lingkungan dengan kawasan pembangunan.

Dalam kriteria pemanfaatan ruang, terdapat kriteria kawasan sekitar Danau

Buatan Limbungan sebagai salah satu kawasan yang harus dilindungi melalui
529

Peraturan Daerah dengan tujuan untuk melindungi danau buatan dari kegiatan-

kegiatan yang dapat menggangu kelestarian fungsi Danau Buatan Limbungan.

Strategi pengelolaan perairan yang berkelanjutan mesti dilaksanakan

secara menyeluruh (komprehensif) dan terpadu (integral) dengan tetap

memperhatikan peranan ekologi, ekonomi dan sosial budayanya. Untuk

melakukan usaha pengelolaan Danau Buatan Limbungan, rencana strategis dapat

disusun dengan menggunakan metode analisis SWOT yaitu suatu formula

identifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi

pengelolaan. Dengan memaksimalkan kekuatan (Strength) dan peluang

(Opportunities) namun secara bersamaan meminimalkan kelemahan (Weaknesses)

dan ancaman (Threath) sesuai dengan situasi yang terjadi (Tabel 3).

Berdasarkan data parameter kualitas air yang telah dikumpulkan selama

penelitian yakni paramter fisika, kimia dan biologi perairan dapat diidentifikasi

bahwa isu atau permasalahan yang terjadi adalah kecenderungan penurunan

kualitas air yang diduga akibat masuknya bahan-bahan pencemar dari berbagai

jenis aktivitas ke dalam perairan. Konsentrasi nitrat dan posfat yang diperoleh

selama penelitian menunjukkan bahwa perairan Danau Buatan Limbungan

tergolong kepada perairan dengan tingkat kesuburan rendah dan sedang, dan juga

kecerahan perairan yang rendah pada Stasiun I yaitu kawasan sumber air masuk

danau (Sungai Ambang) dikarenakan masih banyaknya tumbuhan makrofita,

sehingga dapat menghalangi penetrasi cahaya matahari. Keberadaan tumbuhan

makrofita itu sendiri disamping secara estetika dapat mengurangi keindahan danau

buatan, juga dapat menyebabkan terjadinya pendangkalan serta dapat

mengakibatkan terjadinya kompetisi dalam memperoleh O2 terlarut di perairan.


530

Hal ini tentunya menjadi ancaman (Threath) bagi makhluk hidup yang lain seperti

fitoplankton yang akhirnya berakibat terjadinya penurunan produktivitas primer

perairan. Effendi (2003) mengatakan bahwa eutrofikasi didefenisikan sebagai

pengayaan air dengan nutrien/unsur hara berupa bahan organik yang dibutuhkan

oleh tumbuhan dan mengakibatkan terjadinya peningkatan produktivitas primer.

Nutrien yang dimaksud adalah nitrogen dan posfat.

Pada sebagian besar danau atau waduk, posfat menjadi faktor pembatas

karena keberadaannya yang relatif sedikit dibandingkan dengan banyaknya

organisme akuatik yang memerlukannya. Peningkatan kadar posfat akan

mengakibatkan peningkatan produktivitas primer perairan.

Adanya pembukaan lahan untuk jalan yang letaknya tidak jauh dari

Stasiun I, tentunya dapat meningkatkan sedimentasi yang berdampak terhadap

penurunan kualitas air. Berdasarkan Surat Keputusan Bersama Menteri

Transmigrasi dan Menteri Kehutanan No. SKB.80/MEN/1990 dan 375/Kpts-

II/1990 (dalam Hardjasumantri, 1990) bahwa dalam rangka konversi hutan harus

dihindarkan pembukaan lahan pemukiman sekurang-kurangnya selebar 50 m di

kiri kanan tepian sungai dan 50 m di sepanjang danau atau waduk. Selain itu

diperlukan penanganan yang baik dalam pengkonversian tanah pada daerah

sepanjang kiri kanan alur sungai, danau, waduk, sekitar sumber air dan juga

bangunan perairan. oleh karena itu pengelolaan kawasan di luar danau juga perlu

dilakukan demi kelestarian Danau Buatan Limbungan itu sendiri.

Dengan adanya kegiatan tersebut, dapat berpengaruh terhadap kesuburan

perairan Danau Buatan Limbungan, dimana kekeruhan akan semakin meningkat,

kecepatan sedimentasi meningkat dan dapat memperpendek usia dari waduk.


531

Permasalahan yang timbul adalah hilangnya ikan-ikan yang mempunyai nilai

ekonomis penting, dan juga keindahan air akan berkurang, terutama bagi perairan

yang diperuntukkan bagi kepentingan rekreasi dan kegiatan budidaya perikanan.

Perusahaan Daerah (PD) Pembangunan Kota Pekanbaru merupakan pihak

pengelola Danau Buatan Limbungan yang telah ditetapkan berdasarkan Surat

Keputusan yang dikeluarkan Walikota Pekanbaru No. 556.1/104/WALKOT/1991,

memiliki peranan yang sangat penting dalam pelestarian kawasan wisata Danau

Buatan Limbungan. Kantor Perwakilan PD (Perusahaan Daerah) Pembangunan

terletak di sekitar kawasan perairan Danau Buatan Limbungan, kini tidak berjalan

lagi sebagaimana mestinya. Kondisi kantor yang sangat memprihatinkan, kaca

jendela banyak yang pecah dan kini tidak dihuni lagi serta bahkan di sekeliling

kantor sudah mulai banyak ditumbuhi oleh rumput-rumputan. Hal ini tentunya

memberikan kesan bagi para pengunjung yakni tidak adanya manajemen yang

baik dalam pengurusannya. Apabila ada permasalahan atau informasi seputar

kawasan danau buatan, tentunya akan terhambat dikarenakan oleh jauhnya Kantor

Perusahaan Daerah Pembangunan Kota Pekanbaru dari kawasan danau buatan.

Tentunya ini merupakan suatu kelemahan (Weaknesses) yang harus cepat dicari

jalan keluarnya oleh pihak Perusahaan Daerah Pembangunan sendiri sehingga

tidak menghambat dalam penerimaan informasi dan memudahkan pengontrolan

kawasan wisata Danau Buatan ini.

Tidak adanya anggaran dana dari APBD Kota Pekanbaru bagi peningkatan

pengelolaan Danau Buatan Limbungan yang tentunya berdampak terhadap kinerja

pihak pengelola, dimana selama ini biaya yang didapatkan oleh pihak pengelola

berasal dari biaya operasional penjualan tiket, hal ini tentunya dirasakan sangat
532

minim. Oleh karena itu sangat diharapkan peran aktif Pemerintahan Daerah Kota

Pekanbaru dalam membantu kinerja dari pihak pengelola.

Stasiun II yang merupakan kawasan budidaya perairan dan juga sebagai

sarana pemancingan, merupakan suatu kekuatan (Strength) yang menjadi daya

tarik tersendiri bagi para pengunjung dan masyarakat setempat. Tetapi, hal ini

juga harus didukung oleh tata ruang yang diatur dengan sedemikan rupa dan juga

dilengkapi dengan sarana dan prasarana yang menunjang, sehingga nantinya dapat

memberikan kenyamanan (Opportunities) bagi pengunjung yang dapat menambah

pendapatan masyarakat setempat dan juga pendapatan Pemerintahan Daerah Kota

Pekanbaru.

Munculnya berbagai aktivitas di sekitar kawasan Danau Buatan

Limbungan, tentunya berdampak terhadap kesuburan perairan, maka perlu

diantisipasi segera dengan cara memberikan penyuluhan bagi masyarakat

setempat tentang betapa pentingnya menjaga kebersihan lingkungan dengan cara

tidak membuang sampah sembarangan apalagi ke dalam perairan danau /waduk

dan juga tidak melakukan kegiatan-kegiatan seperti pembukaan area untuk jalan

yang dapat mengakibatkan menurunnya kualitas air perairan tersebut. Kemudian

bagi pihak pengelola budidaya ikan di keramba jaring apung, juga perlu diberikan

penyuluhan betapa pentingnya menjaga kualitas perairan yakni dengan tidak

secara berlebihan memberikan pakan buatan (pelet).

Adanya kerjasama yang baik antara pihak pengelola dan masyarakat setempat,

tata ruang yang jelas dan pengelolaan yang tepat, maka fungsi ekologis dan fungsi

ekonomis dari Danau Buatan Limbungan ini dapat dilestarikan untuk menopang

kehidupan generasi dimasa yang akan datang.


533

Tabel 3. Analisis SWOT dalam Pengelolaan dan Pengembangan Kawasan Wisata Danau Buatan Limbungan
No SWOT Keterangan
1 Kekuatan (Strength) 1. SK Walikota No.556.1/104/WALKOT tahun 1991 tentang pengelolaan kawasan wisata Danau
Buatan Limbungan Pekanbaru diserahkan kepada Pihak Perusahaan Daerah (PD) Pembangunan
Kota Pekanbaru.
2. Danau Buatan Limbungan merupakan satu-satunya sarana / objek wisata perairan yang besar di
Kota Pekanbaru, sehingga merupakan PAD (Pendapatan Asli Daerah) bagi Kota Pekanbaru.
3. Dijadikannya salah satu kawasan Danau Buatan Limbungan sebagai sarana taman pancing dan
adanya kegiatan perikanan berupa pembesaran ikan di keramba jaring apung (KJA) yang
merupakan daya tarik tersendiri bagi pengunjung dan masyarakat yang berkunjung ke Danau
Buatan Limbungan Pekanbaru.
4. Munculnya berbagai aktivitas-aktivitas masyarakat seperti, restoran /cafe-cafe, tempat/panggung
hiburan, cottage (penginapan), arena balapan motor cross, dan berbagai macam sepeda air serta
perahu boat sebagai sarana penunjang kegiatan pariwisata.

2 Kelemahan (Weaknesses) 1. Tidak adanya anggaran dari APBD Kota Pekanbaru dalam membantu peningkatan pengelolaan
Danau Buatan Limbungan.
2. Tidak berjalannya Kantor Unit Perusahaan Daerah (PD) Pembangunan selaku pihak pengelola
Danau Buatan Limbungan sebagaimana mestinya, dimana kondisi kantor yang memprihatinkan,
kaca jendela banyak yang pecah dan sudah tidak dihuni lagi oleh karyawannya.
3. Fasilitas-fasilitas rekreasi yang kurang terawat seperti, sepeda air dan beberapa perahu boat sudah
banyak yang rusak.
4. Bertambahnya jumlah tempat pemukiman penduduk yang letaknya berdekatan dengan badan
perairan Danau Buatan Limbungan, sehingga dapat mengurangi nilai keindahan dari waduk itu
sendiri.
5. Kurangnya perhatian antara pihak pengelola, pengunjung, dan masyarakat setempat dalam hal
menjaga kebersihan lingkungan.
6. Minimnya trayek transportasi umum yang membawa pengunjung masuk-keluar kawasan wisata
Danau Buatan Limbungan.
534

3 Peluang (Opportunities) 1. Dijadikannya Danau Buatan Limbungan sebagai tempat wisata alam yang menarik, sehingga sangat
diperlukan sarana dan prasarana yang menunjang, demi kenyamanan bagi pengunjung. Semakin
banyak pengunjung yang datang ke kawasan wisata Danau Buatan Limbungan, tentunya dapat
menghidupkan roda perekonomian bagi masyarakat setempat dan dapat menambah Pendapatan Asli
Daerah (PAD).
2. Sebagai Pihak Pengelola Danau Buatan Limbungan, Perusahaan Daerah (PD) Pembangunan harus
dapat mengatur zonasi pemanfaatan ruang, yang merupakan hal strategis dalam mengendalikan
masuknya limbah / polutan ke perairan Danau Buatan Limbungan.
3. Dijadikannya kawasan wisata Danau Buatan Limbungan sebagai tempat berlangsungnya berbagai
festival seperti, perlombaan sampan, lomba menari dan tempat perayaan hari Ultah Kota Pekanbaru.
4. Menambah berbagai jenis ikan ke perairan Danau Buatan Limbungan, sebagai daya tarik bagi
pengunjung.
5. Perlu ditingkatkan sarana transportasi yang membawa pengunjung masuk-keluar kawasan Danau
Buatan Limbungan, yang dapat meningkatkan penghasilan bagi pemilik mobil.
6. Melibatkan semua stakeholder (masyarakat setempat, pihak pengelola, Pemko Pekanbaru, dan
pengunjung) dalam melakukan pengelolaan kawasan wisata Danau Buatan Limbungan.

4 Ancaman (Threath) 1. Meningkatnya limbah / polutan yang masuk ke perairan Danau Buatan Limbungan yang tergolong
beracun dan berbahaya bagi organisme perairan yang ada di dalamnya, baik yang berasal dari
tempat pemukiman penduduk, restoran / cafe-cafe, cottage (penginapan), tempat/panggung hiburan,
dan juga yang berasal dari pengunjung.
2. Adanya pembukaan lahan untuk jalan yang letaknya tidak jauh dari Stasiun I (sumber air masuk
danau), yang dapat meningkatkan kekeruhan, sedimentasi dan berdampak terhadap menurunnya
tingkat kesuburan perairan.
3. Masih terdapatnya tumbuhan makrofita di sebahagian kawasan waduk, disamping dapat
mengurangi estetika waduk, juga dapat menyebabkan terjadinya pendangkalan, serta dapat
mengakibatkan terjadinya kompetisi dengan organisme yang ada di perairan khususnya plankton
dalam memperoleh O2 terlarut di perairan yang akan berdampak terhadap menurunnya produktivitas
primer perairan Danau Buatan Limbungan.
4. Pakan buatan yang tidak habis dimakan oleh ikan, akan mengendap di dasar perairan, kemudian
lama kelamaan kalau sudah banyak bersifat racun bagi organisme yang ada di dalamnya.
535

DAFTAR PUSTAKA

Asmawi, S., 1986. Budidaya Ikan dalam Keramba. Gramedia. Jakarta. 82 hal

Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Pekanbaru, 2001. Hasil Registrasi Penduduk
Kota Pekanbaru. Balai Pusat dan Statistika Kota Pekanbaru Bekerjasama
dengan Badan Perencanaan Kota Pekanbaru. Pekanbaru. 215 hal.

Boyd, E. C., 1979. Water Quality in Warm Water Fish Ponds. Auburn University
Agriculture Experiment Station. Auburn. 359 pp.

Cahyono, B., 2001. Budidaya Ikan di Perairan Umum. Kanisius, Yogyakarta.


Yogyakarta. 95 hal.

Effendi, H., 2003. Telaah Kualitas Air bagi Pengelolaan Sumberdaya dan
Lingkungan Perairan. Kanisius, Yogyakarta. 258 hal.

Erawati, 2003. Distribusi Vertikal Klorofi-a Fitoplankton di Sekitar DAM PLTA


Koto Panjang, Kecamatan XIII Koto Kampar. Kabupaten Kampar,
Provinsi Riau. Skripsi, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.
Universitas Riau. Pekanbaru. 33 hal (tidak diterbitkan).

Goldman, C. R. dan A.J. Horne, 1983. Steady State Growth of Phytoplankton in


Continious Culture. Comparison of Internal and External Nutrien
Equations, J. Phycol 1 (2) : 215 - 251.

Hadiwigeno, S., 1990. Petunjuk Praktis Pengelolaan Perairan Umum bagi


Pembangunan Perikanan. Departemen Perikanan. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Jakarta. 80 hal.

Hardjasumantri, K., 1990. Hukum Perlindungan Lingkungan – Konservasi


Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Edisi I). Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta. 498 hal.

Kumurur, V.A., 2002. Aspek Strategis Pengelolaan Danau Tondano Secara


Terpadu. Jurnal Ekoton 2 (1) : 73 - 80.

Nafilson, 1993. Hubungan Kualitas Air dengan Produktivitas Primer Danau Batu
Desa Kampung Pinang Kecamatan Siak Hulu Kabupaten Kampar
Provinsi Riau. Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Universitas Riau. Pekanbaru. 60 hal (tidak diterbitkan).

Nurdin, S., 1999. Panduan Pelatihan Sampling Kualitas Air di Perairan Umum.
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Riau. Pekanbaru. 25
hal (tidak diterbitkan).

Odum, E. P., 1993. Dasar-Dasar Ekologi. Diterjemahkan oleh T. Samingan.


Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 574 hal.
536

Presiden Republik Indonesia, 2001. Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001.


tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air.
Sekretaris Negara Republik Indonesia, Jakarta. 28 hal.

, 2004. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004,


tentang Sumberdaya Air. Sekretaris Negara Republik Indonesia, Jakarta.
105 hal.

Akmal, R., 2006. Kondisi Perairan Danau Buatan Limbungan Pekanbaru Ditinjau
dari Produktivitas Primer Perairan. Skripsi, Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan. Universitas Riau. Pekanbaru. 98 hal (tidak diterbitkan).

Wardoyo, S. T. H., 1981. Kriteria Kualitas Air untuk Keperluan Pertanian dan
Perikanan Training Analisa Dampak Lingkungan. PPLH-PS Institut
Pertanian Bogor. Bogor. 40 hal.

Wetzel, R.G., 1979. Lymnological Analysis. The First Edition. W.B. Saunders
Company. London and Toronto. 357 pp.
537

BAKTERI ANTI KANKER DALAM LUMPUR PANAS

OLEH :

SYARWANDI. K

PROGRAM STUDI ILMU LINGKUNGAN


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
2006
538

I. PENDAHULUAN

Lumpur panas di Porong yang terus menyembur sejak akhir Mei lalu kian

luas menggenangi wilayah Sidoarjo. Akibatnya kerugian harta benda dan lahan

yang harus ditanggung masyarakat makin besar. Selain itu suhu Lumpur mencapai

90 derajat Celcius di mulut kawah, makhluk hiduppun dapat terancam jiwanya.

Permasalahan lingkungan akibat lumpur panas tersebut nampaknya juga

semakin komplek antara lain hilangnya mata pencaharian masyarakat karena

lumpur menggenangi lahan persawahan masyarakat dan rumah-rumah

dipemukiman terendam lumpur. Disamping itu terganggunya ekosistem hayati

(ekosistem sungai dan sawah) bahkan hilangnya plasma nutfah akibat lumpur

panas. Untuk mengatasi hal tersebut pemerintah telah membentuk tim khusus

untuk mengatasi bencana ini, namun hingga kini upaya pemerintah belum

membuahkan hasil yang siknifikan.

Meskipun begitu bencana lumpur Sidoarjo itu sesungguhnya membawa

berkah bagi manusia di bumi ini. Lumpur panas yang merupakan material dari

gunung api purba ini mengandung beberapa manfaat, diantaranya sebagai bahan

urukan dan bahan bangunan.

Di dalam material lumpur panas itu ternyata ada bakteri yang malah hidup

nyaman di dalamnya, dinamai bakteri termofil. Mikroba ini senang bermukim di

lingkungan air yang sangat hangat karena mendapat kelimpahan makanan yang

tak lain adalah unsur selenium (Se).

Bakteri termofil antara lain bakteri geobacillus dan thermomikrobium

dimana kedua bakteri ini bermanfaat untuk mengobati penyakit kanker. Sementara

itu penyakit kanker di Indonesia masih merupakan penyabab kematian yang


539

tinggi. Permasalahannya adalah bahwa belum ditemukannya formulasi yang

efektif dalam mengobati kanker. Sehingga penulis tertarik mengajukan topik ini.
540

II. BAKTERI ANTI KANKER

2.1. Lumpur Panas Mengandung Bakteri Antikanker

Dari beberapa permasalahan yang timbul akibat lumpur panas, beberapa

kalangan menilai bahwa dampak positif yang dapat diambil antara lain bahwa di

dalam material lumpur panas tersebut diketahui pula terdapat kandungan unsur

selenium (Se) dalam lumpur, yang berasal dari gunung api purba di bawah

permukaan bumi Sidoarjo. Keberadaan Lumpur ini mendapat perhatian mengingat

khasiatnya sebagai bahan antikanker (Kompas, 2006).

Nurhidayat (2006), Peneliti dari Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu

Pengetahuan Indonesia (LIPI), melaporkan berdasarkan penelitiannya selama ini

dibeberapa kawasan vulkanis di Indonesia. Bakteri penyerap selenium ini

ditemukannya selama dua tahun menjelajahi sumber air panas di Gunung Kerinci

Sebelat Sumatera dan Dataran Tinggi Toraja di Sulawesi, serta Gunung Rinjani di

Pulau Lombok, juga hasil surver ke Cibodas Bogor dan Bali. Riset tersebut

bertujuan untuk mencari sumber bahan aktif dan senyawa obat dari mikroba dan

tumbuhan herba yang hidup disana untuk mencegah dan mengobati kanker.

Di luar negeri, obat anti kanker yang berasal dari bahan herba berasal dari

brokoli, sedangkan dari mikroba berupa khamis dan yeast. Makanan suplemen

kaya selenium yang banyak di jual di Amerika Serikat berupa garam mineral

selenat dan selenit yang diambil dari sel khamir kaya selenium dan ektrak

selenium. ―Demikian pula bentuk sintetisnya, yaitu asam metal selenik‖

(Nurhidayat, 2006).
541

2. 2. Herba di Indonesia

Dalam penelitian di daerah vulkanik di Indonesia, Nurhidayat (2006)

menemukan herba yang memiliki kandungan tinggi. Herba itu, antara lain adalah

bawang putih (Alium sativum) terdapat di Rinjani dan Cibodas, dan ciplukan

(Physalis minima) di Lombok.

Sebagai daerah yang memiliki keragaman tanaman obat, di Indonesia

selama ini sudah ada upaya pencegahan dan pengobatan kanker secara tradisional.

Namun masih terbatas dikalangan masyarakat pedesaan di Jawa. Mereka telah

mengetahui bahwa bawang putih bersiung satu punya khasiat untuk mencegah

kanker, sedangkan ciplukan untuk mengobati kanker.

Dengan dasar itu, ia tergugah untuk meneliti perbedaan efek antara dua

herba itu terhadap kanker meskipun sama-sama menyerap Se. Penelitiannya

menunjukkan, ciplukan punya daya bunuh sel kanker lebih tinggi daripada

bawang putih karena mengandung senyawa selenium-asam amino. Fungsi

senyawa itu membersihkan radikal bebas, termasuk mematikan kanker. Senyawa

pada ciplukan ini diketahui merupakan jenis yang aktif melawan ganasnya tumor

prostate, usus, hati, paru dan payudara.

Adapaun senyawa selenium protein, yaitu selenometionin dan

metilselenosistein (MSC), yang tinggi ditemukan pada bawang putih.. Selain

dalam bawang putih, MSC ditemukan dalam bawang merah, brokoli dan

kecambah kacang, dan bit yang ditumbuhkan pada tanah yang kaya unsure Se.

Selenometionin akan mengurangi berkembangnya sel kanker dan

memperbaiki sel rusak. Dengan begitu, daya imunitas naik dan tubuh terlindung

dari inveksi virus dan serangan gen mutan penyebab kanker.


542

Selenium termasuk salah satu elemen esensial yang terikat dalam berbagai

protein fungsional pada tubuh seperti pada sistim hormonal, imunitas, reproduksi,

pembuluh jantung, dan mekanisme membunuh sel ganas secara terprogram

(apoptosis). Karena itu hasil penelitian epidemiologi menunjukkan, individu

dengan diet selenium rendah lebih besar risikonya terkena berbagai tipe kanker.

Bila dilihat dari dua jenis herba yaitu bawang putih dan ciplukan

merupakan alternatif dalam mengobati penyakit kanker, karena kedua herba ini

banyak ditemukan di Indonesia. Walaupun mempunyai efek yang sedikit berbeda

dengan bakteri antikanker karena fungsinya tetap membunuhnya sel-sel kanker

karena mengandung selenometionin dan metil seleno sistein. Pada beberapa kasus

bahwa herba lebih efektif dari dan sebaliknya bakteri dapat pula lebih efektif dari

herba dalam mengobati penyakit kanker.

2. 3. Bakteri Anti Kanker

Riset yang dilakukan Nurhidayat (2006), tidak terbatas pada herba. Ia

lebih jauh lagi mencari mikroba yang berefek sama dengan herba. Pilihannya pada

bakteri termofil yang ditemukan di sumber air panas gunung berapi pada suhu

60–113 0C. Bakteri termofil ini mengonsumsi selenium sebagai mikronutrisi

untuk pertumbuhannya.

Selama ini belum ada data tentang bakteri tersebut termasuk kandungan

protein dan seleniumnya. Nurhidayat (2006) mengemukakan bahwa bila selenium

diserap oleh bakteri geobacillus atau thermomikrobium, dalam senyawa

organiknya membentuk seleno-asam amino dan seleno protein, yang mampu

menghambat perkembangan sel kanker. Jika melihat daya serap Se dan daya

oksidasinya, thermomikrobium lebih tinggi dibanding yang lainnya.


543

Percobaan pada kultur sel kanker limfa menunjukkan geobacillus

mempunyai daya membunuh sel kanker 37 %, sedangkan ciplukan hanya 30 %.

Pada kultur sel kanker darah, ekstrak ciplukan memiliki kemampuan mematikan

kanker 72 %, diikuti oleh ekstrak geobacillus (67 %) dan bawang putih hanya 9%.

2. 4. Penelitian Lanjutan

Setelah proses pencarian bakteri yang memakan waktu dua tahun, menurut

Novik, masih diperlukan waktu dua tahun lagi untuk uji coba pengembangbiakan

hingga pemanenannya, uji klinik hingga pembuatan obat, lebih lanjut akan

dilakukan uji toksisitasnya.

Bakteri termofil kini telah dapat dikembangbiakan di Laboratorium

dengan media khusus. Tujuannya untuk mendapatkan protein yang mengandung

selenium itu. Saat ini telah dilakukan uji invivo untuk mengetahui fungsi ekstrak

Se dari sample terpilih, baik herba maupun mikroba, dan memperoleh sediaan

yang baku.

Kelebihan ekstrak kandungan protein dari bakteri adalah waktu

pembiakannya yang lebih cepat di bandingkan dengan herba yang memerlukan

waktu beberapa bulan. Untuk memanen protein dari bakteri hanya diperlukan

waktu empat hari. Pengambilan dilakukan dengan teknis khusus berupa

pemanasan dan penambahan pelarut.

Sebagai produk farmasi ekstrak, protein bakteri ini nantinya dapat

dikonsumsi dalam bentuk cairan maupun padatan berupa kapsul atau tablet untuk

pencegahan dan pengobatan kanker.‖Saat ini tengah disusun paten tentang proses

ekstraksi protein, penemuan bahan aktif, dan penemuan dan pengembangbiakan

bakteri itu (Nurhidayat, 2006).


544

Di Indonesia sejumlah bakteri termofil yang telah di isolasi dari berbagai

sumber air panas di daerah Tompasso, Manado. Antara lain B. licheniformis

MB-2 (Jayanti, 2002).


545

III. BEKTERI ANTIKANKER DAN LINGKUNGANNYA

Dari 302 bakteri termofil yang diisolasi, hanya ada 26 isolat yang teruji

mengakumulasi selenium dan hanya tiga isolat diantaranya yang bertahan pada

suhu tinggi. Bakteri ini adalah thermus dan geobacillus yang tahan pada suhu 80
0
C. Bakteri thermomikrobium mampu hidup pada temperatur 60 0C.

Berbagai jenis bakteri termofil tentunya akan banyak ditemukan di

Indonesia, sebagai wilayah yang memiliki gunung berapi terbanyak di dunia.

Keberadaan bakteri ini ditunjang oleh kelimpahan selenium di permukaan bumi

sebagai akibat luapan magma pada masa lalu di daerah itu. Namun sayangnya,

kekayaan dan potensi hayati ini belum diteliti dan tergali (Nurhidayat, 2006).

Saat ini memang belum banyak penelitian selenium dalam tumbuhan dan

mikroba didaerah vulkanis di Indonesia serta peranan dalam pencegahan dan

terapi kanker. Padahal kanker diketahui masih merupakan pembunuh utama di

Indonesia. ―Sebagian besar bahan bioaktif farmasi atau produk jadinya sebagai

obat antioksidan dan terapi kanker masih diimpor (Kompas, 2006).

Bila diperbandingkan antara herba dengan mikroba, fungsi bawang putih

sama dengan bakteri thermomikrobium yang mampu mencegah kanker karena

mengandung selenometionin tinggi. Adapun daya pembunuh sel kanker

ditunjukkan oleh bakteri geobacillus sama seperti ciplukan yang mengandung

seleno-asam amino. Namun, aktifitas zat pembunuh kanker untuk kasus tertentu

lebih baik pada bateri (Nurhidayat, 2006).

Dari penelitian yang dilakukan Nopik bahwa Bakteri Antikanker

ditemukan pada material lumpur panas yang hidup pada kisaran suhu 600 – 800 C
546

ternyata bakteri ini juga banyak dijumpai pada beberapa gunung berapi tua di

Indonesia.

Bila selenium diserap oleh bakteri geobacillus atau thermomikrobium,

dalam senyawa organiknya membentuk seleno-asam amino dan seleno protein,

yang mampu menghambat perkembangan sel sel kanker. Jika melihat daya serap

Se dan daya oksidasinya, thermomikrobium lebih tinggi dibanding yang lainnya.

Dari beberapa data yang telah diambil selama 2 tahun pada beberapa

kawasan vulkanis di Indonesia bahwa bakteri penyerap selenium (Se) ini

ditemukan seperti pada sumber air panas di Gunung Kerinci Sebelat Jambi,

Dataran Tinggi Toraja di Sulawesi, dan Gunung Rinjani di Pulau Lombok, juga

hasil survey ke Cibodas Bogor dan Bali. Dalam riset itu telah ditemukan senyawa

bahan aktif untuk mencegah dan mengobati kanker. Senyawa bahan aktif ini

dijumpai pada bakteri geobacillus dan mikrobakterium dan herba seperti ciplukan

dan dan bawang putih (Nurhidayat 2006).

Akan tetapi akibat terjadinya luapan lumpur panas di porong sidoarjo tentu

saja akan menurunkan potensi lingkungan dan herba anti kanker yang ada

disekitarnya. Sebaliknya dari material lumpur panas tersebut justeru dapat

ditenumakan berbagai mikroba yang toleran terhadap suhu yang lebih tinggi yaitu

bakteri termofil yang ada beberapa diantaranya dapat mencegah dan membunuh

sel-sel kanker, bila di isolasi dan dikembangkan biakaan dalam laboratorium

untum mendapatkan ekstraknya. Sedangkan protein dari bakteri ini yang nantinya

akan dikonsumsi untuk mengobati kanker.


547

DAFTAR PUSTAKA

Jayanti, J. F. L., 2002. Thermostable Chitinase and Chitin Deacetylase from


Manado Isolate, Skripsi Sarjana Fakultas Biologi, IPB, Bogor. (tidak
diterbitkan).

Kompas, Selasa 22 September 2006. Bakteri Anti Kanker Dalam Lumpur Panas.
Jakarta.

Nurhidayat, N., 2006. Bakteri Anti Kanker dalam Lumpur Panas. Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia, Jakarta.
548

PENGARUH PENCEMARAN UDARA TERHADAP


KESHATAN MANUSIA

OLEH :

YENNI HIDAYATI

PROGRAM STUDI ILMU LINGKUNGAN


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
2006
549

I. PENDAHULUAN

Berdasarkan Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan

Hidup (KEPMEN KLH) No. Kep.02/Men-KLH/1998, yang dimaksudkan dengan

pencemaran udara adalah masuk dan dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi

dan atau komponen lain ke udara dan atau berubahnya tatanan udara oleh kegiatan

manusia atau proses alam sehingga kualitas udara turun hingga ketingkat tertentu

yang menyebabkan udara menjadi kurang atau tidak dapat berfungsi lagi sesuai

dengan peruntukkannya.

Menurut Wardhana (1995), udara bersih yang dihirup hewan dan manusia

merupakan gas yang tidak tampak, tidak berbau, tidak berwarna maupun berasa.

Meskipun demikian, udara yang benar-benar bersih sulit didapatkan di kota besar

yang banyak terdapat industri dan lalu lintas yang padat. Udara yang mengandung

zat pencemar dalam hal ini disebut udara tercemar. Udara yang tercemar tersebut

dapat merusak lingkungan dan kehidupan manusia. Kerusakan lingkungan berarti

berkurangnya daya dukung alam terhadap kehidupan yang pada gilirannya akan

mengurangi kualitas hidup manusia secara keseluruhan.

Pencemaran mempunyai kepentingan ekonomi, informasi yang tepat

mengenai tingkat gas fitotoksik dalam atmosfir yang tercemar masih kurang

(Fitter dan Hay, 1994). Pada suatu tempat tertentu, konsentrasi akan tergantung

atas sejumlah besar faktor-faktor lingkungan termasuk jarak dari sumber

pencemar, topografi, altitude (ketinggian dari permukaan laut), pencemar udara,

hujan, radiasi matahari, serta arah dan kecepatan angin.

Studi CESDA ini juga menunjukkan bahwa 82 persen dari responden

percaya bahwa buruknya kualitas udara memberikan dampak negatif bagi


550

kesehatan. Enam puluh tujuh persen responden berpendapat bahwa sektor

transportasi merupakan penyebab utama dari pencemaran udara yang terjadi.

Pemberitaan di berbagai media massa pun telah memberikan gambaran bahwa

kepedulian akan kualitas udara terus meningkat. Tingkat pencemaran udara yang

sangat mencemaskan akibat kegiatan transportasi dan perubahan tata guna lahan

dilaporkan terjadi di Jakarta, Surabaya, Medan dan Bandung. Gejala serupa juga

telah terjadi di Yogyakarta dan Bekasi.

Selain berita mengenai pencemaran udara akibat kegiatan perkotaan, berita

mengenai pencemaran udara akibat kebakaran hutan semakin sering ditemukan.

Kabut asap akibat kebakaran hutan ini sempat melumpuhkan kegiatan di kota-kota

seperti Pekanbaru, Pontianak, Palangkaraya dan beberapa kota lain di Sumatera

dan Kalimantan (gambar 1).

Gambar 1. Kota-kota dengan Pencemaran Udara di Indonesia


551

II. SUMBER PENCEMARAN UDARA

Sumber pencemaran udara yang utama adalah berasal dari transportasi

terutama kendaraan bermotor yang menggunakan bahn bakar yang mengandung

zat pencemar, 60 % dari pencemar yang dihasilkan terdiri dari karbon monoksida

dan sekitar 15 % terdiri dari hidrokarbon (Fardiaz, 1992). sumber-sumber

pencemaran lainnya adalah pembakaran, proses industri, pembuangan limbah dan

lain-lain.

Pada beberapa daerah perkotaan, kendaraan bermotor menghasilkan 85 %

dari seluruh pencemaran udara yang terjadi. Kendaraan bermotor ini merupakan

pencemar bergerak yang menghasilkan pencemar CO, hidrokarbon yang tidak

terbakar sempurna, Nox, Sox dan partikel. Pencemar udara yang lazim dijumpai

dalam jumlah yang dapat diamati pada pada berbagai tempat khususnya di kota-

kota besar menurut Hasketh dan Ahmad (Purnomohadi,1995) antara lain adalah :

(1) Nitrogen Oksida (NOx) yaitu senyawa jenis gas yang terdapat di udara bebas,

sebagian besar berupa gas nitrit oksida (NO) dan nitrogen oksida (NO2) serta

berbagai jenis oksida dalam jumlah yang lebih sedikit. Gas NO tidak berwarna

dan tidak berbau, sedangkan gas NO2 berwarna coklat kemerahan, berbau

tidak sedap dan cukup menyengat. Berbagai jenis NOx dapat dihasilkan dari

proses pembakaran. Bahan Bakar Minyak (BBM) dan bahan bakar (BB) fosil

lainnya pada suhu tinggi, yang dibuang ke lingkungan melalui cerobong asap

pabrik-pabrik di kawasan industri. Gas NOx inipun bebahaya bagi kesehatan

dan ternak, dikawasan pertanian dapat merusak hasil hasil panen.

(2) Belerang Oksida (SOx), khususnya belerang dioksida (SO2) dan belerang tri-

oksida (SO3) adalah senyawa gas berbau tak sedap, yang banyak dijumpai
552

dikawasan industri yang menggunakan batubara dan korkar sebagai BB dan

sumber energi utamanya. Belerang oksida juga merupakan salah bentuk gas

hasil kegiatan vulkanik, erupsi gunung merapi, sumber gas belerang alami

(sulfatar), sumber air panas dan uap panas alami (fumarol). Oksida-oksida ini

merupakan penyebab utama karat karena ia sangat reaktif terhadap berbagai

jenis logam (membentuk senyawa logam sulfida). Ia juga menganggu

kesehatan, khususnya indra penglihatan dan selaput lendir sekitar saluran

pernafasan (hding, kerongkongan dan lambung). Dikawasan pertanian, gas-

gas belerang oksida ini dapat merusak hasil pertanian.

(3) Partikel-partikel, dapat berasal dari asap (terutama hasil pembakaran kayu,

sampah, batubara, kokas dan Bahan Bakar Minyak yang membentuk jelaga)

dan dapat pula berupa partikel-partikel debu halus dan agak kasar yang berasal

dari berbagai kegiatan alami dan manusia. Sifat terpenting partikel ini adalah

ukurannya, yang berkisar antara 0,0002 mikron dan 500 mikron. Pada kisaran

ukuran ini partikel-partikel tersebut dapat berbentuk partikel tersangga

(suspended particulate) yang keberadaannya diudara berkisar antara beberapa

detik hingga beberapa bulan, tergantung pada keadaan dinamika atmosfir.

Menurut Kozak dan Sudarno ( Purnomohadi, 1995), ada dua bentuk emisi

dari dua unsur senyawa pencemar udara yaitu :

(1) Pencemar Udara Primer (Primary Air Pollution), yaitu emisi unsur-unsur

pencemar udara langsung ke atmosfer dari sumber-sumber diam maupun

bergerak. Pencemar udara primer ini mempunyai waktu paruh di atmosfer

yang tinggi pula, misalnya : CO, CO2, NO2, SO2, CFC, Cl2, partikel debu, dsb.
553

(2) Pencemar Udara Sekunder (Secondary Air Pollution), yaitu pencemar udara

dari hasil proses fisik dan kimia di atmosfer dalam bentuk fotokimia

(photochemistry) yang umumnya reaktif dan mengalami transformasi fisik-

kimia menjadi unsur atau senyawa. Bentuknya pun berbeda/berubah dari saat

diemisikan hingga setelah ada di atmosfer, misalnya ozon (O3), aldehida,

hujan asam, dan sebagainya.

Berdasarkan sebaran ruang, sumber pencemar udara dapat dikelompokkan

menjadi sumber titik, sumber wilayah, dan sumber garis. Sementara menurut

sumber pencemarannya, emisi tercemar udara dapat dibedakan menjadi sumber

diam dan sumber bergerak. Sumber diam biasanya berupa kegiatan industri dan

rumah tangga (pemukiman), tetapi sementara pakar menganggap pemukiman

sebagai pencemar udara non titik (non-point sources). Sumber bergerak terutama

berupa kendaraan bermotor, yang berkaitan dengan transportasi.

Senyawa pencemar udara berdasarkan sifatnya menjadi tiga kelompok

seperti yang dikemukakan oleh Meethan (1981) yaitu :

(1) Senyawa yang bersifat reaktif

(2) Partikel-partikel halus yang tersangka di atmosfer dalam jangka waktu yang

lama

(3) Pertikel-partikel kasar yang segera jatuh ke permukaan tanah.

Senyawa-senyawa pencemar udara antara lain adalah SO2, SO3, CO,

anomia (NH3), asam hidroklit, senyawa flour dan unsur-unsur radioaktif. Partikel-

partikel halus terutama berbentuk kabut yang berasal dari proses pembakaran

bahan bakar secara tak sempurna, sedangkan partikel-partikel kasar terutama


554

berbentuk senyawa organik. Senyawa SO2, asap dan debu dapat berfungsi sebagai

prototype senyawa pencemar udara yang lain.

1. Nitrogen Oksida (NOx)

Nitrogen Oksida (NOx) adalah kelompok gas di atmosfer, yang banyak

dijumpai sebagai pencemar udara gas nitrit oksida (NO) dan Nitrogen dioksida

(NO2), disamping bentuk nitrogen oksida lainnya.

NOx dapat dihasilkan dari proses alami, seperti pencahayaan (ligting),

kebakaran hutan dan aktifitas mikroorganisme. Didaerah perkotaan, emisi NOx

terutama berasal dari hasil pembakaran bahan bakar dan bahan organik lainnya.

Baik sumber static maupun sumber bergerak.

Penyebaran dan konsentrasi berbagai jenis gas NOx di lingkungan

perkotaan pada prinsipnya dipengaruhi oleh :

(1) Topografi lokal, khususnya adanya canyon gedung-gedung tinggi; yang dapat

meningkatkan kadar NO2 secara lokal, khususnya pada sisi jalan.

(2) Keadaan meteorologi, misalnya inversi suhu yang terjadi diatas kota dapat

mengurangi mixing height sehingga akan meningkatkan kadar NO2.

Sebagian NO diatmosfer akan diubah menjadi NO2 melalui proses-proses

lain yang tidak mempunyai reaksi langsung kadar O2. Proses ini disebut sebagai

daur fotolitik NO2 yang merupakan akibat langsung dari interaksinya terhadap

cahaya matahari. Secara ringkas tahap-tahap reaksi dapat diuraikan sebagai

berikut:

(1) NO2 menyerap energi sinar matahari dari komponen gelombang pendek yaitu

sinar ultraviolet.
555

(2) Energi yang diserap tersebut memecah melekul-melekul NO2 dan atom-atom

oksigen (O) yang bersifat sangat reaktif.

(3) Atom-atom oksigen tersebut beraksi dengan oksigen bebas di udara (O2),

membentuk ozon (O3) yang merupakan pencemar udara sekunder.

(4) Ozon akan beraksi dengan NO membentuk NO2 dan O2 sehingga reaksi

menjadi lengkap berlangsung secara sinambungan dan teratur.

Daur tersebut tidak berpengaruh apapun bila terdapat reaktan lain,

sehingga konsentrasi NO dan NO2 tidak berubah karena O3 dan NO yang

berbentuk akan hilang dengan jumlah yang setimbang. NO akan sangat cepat

diubah menjadi NO2 dibandingkan kecepatan disosiasi NO2 menjadi NO dan O,

inilah yang menyebabkan ozon (O3) terakumulasi di atmosfer. Karena itu gas-gas

NOx (khususnya NO2) dianggap sebagai pencemar udara penting bagi

unsur/senyawa oksidasi lain (seperti O3 tersebut).

Konsentrasi NOx diudara berubah-ubah sepanjang waktu tergantung pada

sinar matahari dan sumber pencemarnya. Fardiaz (1992) mengkaji perubahan

konsentrasi NOx sebagai berikut :

(1) Konsentrasi NO dan NO2 stabil dan pada dini hari sedikit lebih daripada

konsentrasi minimum sehari-hari.

(2) Antara pukul 06.00 s/d 08.00 segera kegiatan manusia meningkat misalnya

konsentrasi NO meningkat karena lalu lintas dan pabrik mulai beroperasi

sampai dengan nilai tertinggi dapat mencapai 2 ppm.

(3) Dengan terbitnya matahari yang memancarkan sinar ultraviolet, NO primer

menjadi NO2 sekunder dan konsentrasinya dapat meningkat hingga mencapai

0,5 ppm.
556

(4) Dengan menurunnya konsentrasi NO, maka konsentrasi O3 meningkat hingga

kurang dari 0,1 ppm.

(5) Pada saat intensitas energi matahari menurun (antara pukul 17.00 s/d 20.00),

konsentrasi NO meningkat lagi.

(6) O3 yang terakumulasi sepanjang hari akan bereaksi dengan NO meskipun

energi matahari tidak tersedia untuk mengubah NO menjadi NO2, sehingga

konsentrasi NO tersebut meningkat sedangkan konsentrsi O3 menurun.

Lama waktu tinggal rata-rata NO2 diatmosfer kira-kira tiga hari dan NO

rata-rata empat hari, berdasarkan perhitungan kecepatan emisi NOx. Lamanya

waktunya tinggal menyebabkan reaksi fotokimia menghilangkan NOx tersebut.

Hasil akhir pencemaran NOx dapat berupa asam nitrat (HNO3), yang terintersepsi

oleh lingkungan sebagai garam-garam nitrat di dalam air hujan (menyebabkan

hujan debu) dan debu.

Proses biologis berbagai jenis bahteri menghasilkan NO yang relatif

banyak, namun tidak menjadi masalah karena tersebar merata secara regional

maupun global, sehingga konsentrasinya menjadi kecil. Yang menjadi masalah

adalah emisi NOx hasil kegiatan manusia yang didispersikan ke udara hanya pada

wilyah yang sangat terbatas sehingga dapat mengakibatkan konsentrasi ambien

terbentuk menjadi lebih tinggi.

2. Belerang Oksida (SOx)

Belerang oksida terutama disebabkan oleh dua jenis gas belerang yang

tidak berwarna, yaitu gas SO2 yang berbau sangat tajam dan tidak dapat terbakar

diudara dengan SO3 yang tidak reaktif. Kedua jenis tersebut merupakan sumber

pencemar yang melibatkan kegiatan manusia, yaitu dari proses pembakaran bahan
557

bakar yang mengandung belerang, termasuk bahan bakar minyak yang ditambang

daei daerah-daerah vulkanik, batubara.

Terdapat dua faktor yang terlibat dalam reaksi pembentukan SO2 yang

menyebabkan jumlahnya sedikit, yaitu :

(1) Kecepatan reaksi yang terjadi berlangsung sangat lambat pada suhu yang

relatif rendah (misalnya pada suhu 20o C), tapi meningkat sejalan dengan

peningkatan suhu. Sebaliknya reaksi setimbang akan lebih tinggi apabila

berlangsung pada suhu rendah akan lebih banyak menghasilkan SO3,

dibandingkan pada suhu tinggi.

(2) Konsentrasi SO3 didalam campuran setimbang akan lebih tinggi apabila reaksi

setimbang pada suhu rendah dibandingkan dengan konsentrasi SO3 dalam

reaksi setimbang pada suhu yang tinggi.

Kedua faktor yang saling terkait tersebut saling menghambat satu terhadap

yang lain selama proses berlangsung. Bila konsentrasi uap air tinggi, maka SO3

dan air akan segera bereaksi membentuk asam sulfat (H2SO4). Di daerah dengan

kelembaban udara tinggi seperti di Indonesia, komponen pencemaran belerang

terdapat dalam bentuk H2SO4 yang dihasilkan dari reaksi emisi SO3 dengan air

tersebut. Karena itu setiap pengukuran atau pemantauan SOx (khususnya SO2)

hendaknya dilakukan terhadap H2SO4, terlebih karena sifat iritasinya yang lebih

kuat.

Perbandingan keberadaan konsentrasi SO2 dan H2SO4 di udara ini

dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu : jumlah uap air, waktu dan lama

keberadaan cemaran belerang, jumlah partikel/unsur katalik, intensitas cahaya

matahari, dan jumlah emisi total SOx dari semua sumbernya. Konsekuensinya
558

lebih lanjut dari senyawa-senyawa belerang diudara (dalam bentuk SOx dan

H2SO4) antara lain berupa :

(1) Di atas kawasan yang tercemar oleh senyawa-senyawa belerang akan

terbentuk hujan asam yang lebih asam.

(2) Keberadaan senyawa-senyawa belerang baik berupa hujan asam ataupun

bukan akan tetap menyebabkan prodes korosi pada logam dan atau proses

pemburaman permukaan bangunan yang mengandung kapur/marmer.

(3) Karena sifat afinitas belerang terhadap logam-logam berat relatif lebih tinggi,

maka campuran cemaran senyawa belerang dengan campuran cemaran logam

berat (misalnya Pb) akan membentuk logam sulfida (PbS). Oleh karena itu ,

cemaran logam berat tersebut mudah mengendap dan terintersepsi oleh

berbagai jenis permukaan.

3. Partikel

Partikel adalah setiap benda padat/cair yang dari suatu masa melalui

proses dispersal dalam media gas/udara dengan hampir tidak memiliki kecepatan

jatuh. Pertikel atau debu berdasrakan susunan kimianya dapat dibedakan menjadi

dua, yaitu : partikel atau debu mineral dan organis (Ryadi, 1982).

Sumber pencemaran partikel berasal dari aktivitas industri , pembakaran

bahan bakar fosil kendaraan bermotor, badai pasir pembakaran hutan serta gunung

berapi (alami). Ukuran diameter yang ada diudara berkisar antara 0,0005 – 500

dm dimana partikel terkecil akan hilang karena pperpanduan gerak brown dan

partikel yang besar akan jatuh akibat pengaruh gravitasi (Smith, 1981).

Pencemaran oleh partikel dapat menimbulkan beberapa pemersalahan

antara lain adalah sebagai berikut :


559

(1) Menggangu kesehatan manusia dan lingkungan,

(2) Mempunyai daya pencemar udara yang luas penyebaranya yang tinggi seperti

Be, Pb, Cr, Hg, Ni, dan Mn;

(3) Partikal dapat menyerap gas sehingga dapat mempertinggi efek bahaya dari

komponen tersebut.

4. Logam Berat Timbal (Pb)

Bahan tambahan bertimbal pada premium dan fremix terdiri atas cairan

anti letupan (anti knocking agent) yang mengandung scavenger kimiawi, yang

dimaksudkan untuk dapat mengurangi letupan selama proses pemampatan dan

pembakaran didalam mesin. Bahan tersebut yang lazim dipakai adalah tetrametil

Pb atau Pb (C2H5) 4, tetrametil Pb atau kombinasi / campurannya. Umumnya etilen

di bromida (C2H4Br2) dan dikhlorida (C2H4Cl2) ditambahkan agar dapat bereaksi

dengan sisa senyawa Pb yang tertinggal di dalam mesin sebagai akibat dari

pembakaran bshsn snti letupan tersebut. Campuran/komposisi yang lazim

ditambahkan terdiri atas 62 % tetrateil PB 18 % etilen bromida, 18 % etilen

dikhlorida , atau 2 % bahan-bahan lainnya.

Dari berbagai senyawa buangan bertimbal yang mengandung gugus

halogen tersebut, emisi senyawa-senyawa PbBrCl dan PbBrCl2PbO adalah yang

terbanyak (32,0 % dan 31,4 % dari total Pb yang dimisikan sesaat setelah mesin

kendaraan bermotor dihidupkan, dan 12,0 % dan 1,6 % dari total Pb pda 18 jam

setelah mesin dihidupkan).

Penelitian pencemaran udara oleh Kozak (1993) mendapatkan dugaan

emisi Pb pada tahun 1991 sebesar 73.154,42 ton; dengan sebaran menurut

sumbernya sebagai berikut : transportasi 98,61 % dan industri 1,39 %, sedangkan


560

bagi rumah tangga dan pemusnahan sampah dianggap tidak menghasilkan emisi

timbal.

Smith (1981) menyebutkan bahwa sejumlah besar logam berat dapat

terasosiasi dengan tumbuhan tinggi. Diantaranya ada yang dibutuhkan sebagai

unsur mikro (Fe, Mn, dan Zn) dan logam berat lainnya yang belum diketahui

fungsinya dalam metabolisme tumbuhan (Pb, Cd, Ti dan lain-lain). Semua logam

berat tersebut dapat potensial mencemari tumbuhan. Smith (1981) juga

menerangkan gejala akibat pencemaran logam berat, yakin klorosis, nekrosis,

pada ujung dan sisi daun serta busuk daun yang lebih awal.

Jumlah Pb di udara dipengaruhi oleh volume atau kepadatan lalu lintas,

jarak dari jalan raya dan daerah industri, percepatan mesin dan arah angin.

Sedangkan tingginya kandungan Pb pada tumbuhan juga dipengaruhi oleh

sedimentasi.

Tumbuhan tingkat tinggi relatif lebih tahan terhadap partikel Pb daripada

algae tapi dapat rusak dengan konsentrasi yang rendah dan memebentuk nekrosis

(kerusakan jaringan). Dalam hal ini, sebagai contoh adalah tumbuhan Vicia faba

yang sangat sensitif terhadap pencemar udara setelah 24 jam.


561

IV. PENGARUH PENCEMARAN UDARA TERHADAP


KESEHATAN MANUSIA

Kepedulian masyarakat dan media massa akan kualitas udara sudah tentu

didasarkan atas pemahaman mereka mengenai dampak yang mungkin timbul.

Telah cukup banyak studi yang dilakukan di Indonesia untuk mengetahui seberapa

besar dampak tersebut.

Menurut Kompas (19 Februari 2001), laporan Balai Teknik dan Kesehatan

Lingkungan (BTKL) Surabaya menyatakan bahwa pada tahun 1999 kadar debu di

Surabaya telah lebih dari 37 kali lipat pedoman ambang batas debu yang

dikeluarkan oleh Badan Kesehatan Dunia (World Health Organization - WHO).

Oleh karena itu tidak mengherankan bahwa lebih dari 50 persen penyakit anak-

anak di kota ini adalah penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA).

Penelitian yang dilakukan oleh Achmadi pada tahun 1981 dan juga oleh

Tri Tugaswati pada 1987 memberikan gambaran bahwa konsentrasi timbal, baik

pada darah maupun urin, dari responden yang sering beraktivitas di tengah kota

yang padat akan kendaraan bermotor, jauh lebih tinggi bahkan hingga dua kali

lipat dibandingkan dengan responden yang sering beraktivitas di daerah yang

kurang padat kendaraan bermotornya. Sudah barang tentu hal ini akan berdampak

pada tingkat kesehatan mereka.

Sementara studi yang dilakukan pada tahun 1989 memberikan hasil bahwa

ternyata responden yang beraktivitas di daerah padat kendaraan beresiko 12,8 kali

lebih besar mengalami gangguan kesehatan daripada responden yang beraktivitas

di daerah yang jarang akan kendaraan. Secara umum, pada tahun 1994, hasil studi

yang dilakukan Ostro menunjukkan bahwa pencemaran udara di Jakarta


562

mengakibatkan munculnya 1.200 kasus kematian prematur, 32 juta kasus gejala

penyakit pernafasan dan 464 ribu kasus penyakit asma. Kerugian finansial akibat

kasus-kasus ini diperkirakan sebesar 500 milyar rupiah (World Bank, 1994).
563

V. PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA

PP No. 41/1999, perangkat hukum paling tinggi hirarkinya yang secara

khusus mengatur Pengendalian Pencemaran Udara (PPU), telah mengatur

kebijakan teknis PPU dan peran serta masyarakat dalam upaya mewujudkan udara

bersih dan sehat. Setelah melakukan kajian menyeluruh terhadap kebijakan teknis

PPU dan peran serta masyarakat dalam PP No. 41/1999 diidentifikasikan bahwa

ada beberapa kelemahan teknis dan aturan peran serta masyarakat yang diduga

dapat menghambat penerapan kebijakan PPU secara efektif dan efisien.

Mencegah, menanggulangi dan memulihkan mutu udara“Pengendalian

pencemaran udara meliputi pencegahan danpenanggulangan pencemaran, serta

pemulihan mutu udara”– PP No. 41/1999, Ps. 16.

Inti dari suatu upaya pengendalian pencemaran udara adalah mencegah

sebelum terjadi pencemaran udara serta melakukan penanggulangan dan

pemulihan setelah terjadi pencemaran udara. Prosedur pendekatan PPU yang

diatur dalam PP No. 41/1999 ditampilkan secara sistematis pada.

Penetapan baku mutu udara ambien (BMUA) nasional merupakan

prasyarat sebelum dapat mulai melangkah dengan tahapan-tahapan yang

berikutnya. Baru setelahnya dapat dimulai dengan tahapan pertama, yaitu

pengukuran kualitas udara ambien. Ada tiga kemungkinan hasil pengukuran

kualitas udara ambien suatu daerah, yaitu (i) melampaui BMUA nasional, (ii)

sesuai dengan BMUA nasional, (iii) di bawah BMUA nasional. Adanya

perbedaan kualitas udara ambien di suatu daerah diakibatkan oleh adanya

perbedaan sumber pencemar serta kondisi atmosfir dan topografi suatu daerah.
564

Berdasarkan prosedur pada PP No. 41/1999, apabila kualitas udara ambien

daerah melampaui BMUA nasional, maka udara di daerah tersebut ditetapkan

sebagai tercemar, oleh karena itu daerah tersebut wajib menyusun dan

melaksanakan program penanggulangan dan pemulihan. Di sisi lain, apabila udara

di suatu daerah tidak tercemar, maka daerah tersebut tidak memiliki kewajiban

untuk melakukan program PPU.


565

DAFTAR PUSTAKA

Fakultas Kesehatan Masyarakat – UI. Analisis Resiko Efek Pencemaran Udara


CO dan Pb terhadap Penduduk Jakarta, 1989.

Fardiaz, S., 1992. Polusi Air dan Udara. Kanisius, Yogyakarta. 190 hal.

Kahuripan, A., 2003, Crisis Lingkungan, Hutan dan Consumen. Undri Press.
Pekanbaru.

KLH, 2003. Status Lingkungan Hidup Indonesia.Jakarta.

Meethan, A. R., 1981. Atmospheric Pollution; Its Origin and Prevention.3rd


Ed.Perganon Press. New York.

Ostro, B. Estimating the Health Effects of Air Pollutants.

Purnomohadi, S., 1995. Peran Ruang Terbuka Hijau Dalam Pengendalian Kualitas
Udara di DKI Jakarta. Disertasi. Program Pascasarjana, IPB. Bogor.

Sumirat, J., 2004. Kesehatan Lingkungan. UGM Press. Jakarta.

Wardhana, 1995. Dampak Pencemaran Lingkungan. Andi Ofset.Jakarta

WHO., 1995. Enviromental Health Criteria 165. Inorganic Lead. Finland.

World Bank, 1994. A Method with an Application to Jakarta, Policy Research


Working Paper No. 1301.
566

KOMPOSISI DAN PENGOLAHAN


LIMBAH CAIR PABRIK MINYAK KELAPA SAWIT
SECARA ANAEROB

OLEH :

ZULFAHMI

PROGRAM STUDI ILMU LINGKUNGAN


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
2006
567

I. PENDAHULUAN

Industri pengolahan kelapa sawit merupakan industri hulu yang penting.

Industri makanan, kosmetika, sabun dan cat merupakan industri-industri yang

menggunakan bahan dasar minyak kelapa sawit. Kondisi ini akan memacu

perkembangan industri pengolahan kelapa sawit, baik untuk kebutuhan dalam

negeri maupun untuk ekspor (Anonim, 1991).

Seiring dengan meningkatnya peranan industri pengolahan kelapa sawit

dalam perkembangan agroindustri di Indonesia, meningkat pula masalah

pencemaran yang ditimbulkannya. Karena air limbah pabrik minyak kelapa sawit

dapat menurunkan kualitas lingkungan perairan yang secara tidak langsung akan

berbahaya bagi lingkungan dan kesehatan manusia (Arjuna, 1990). Hal ini

disebabkan air limbah pabrik minyak kelapa sawit mempunyai kandungan bahan

organik yang tinggi dengan BOD (Biological Oxygen Demand) rata-rata 26.222

mg/l dan COD (Chemical Oxygen Demand) rata-rata 62.934 mg/l, dan sifatnya

yang asam (pH 4,05 – 4,150, serta mengandung padatan tersuspensi lainnya

(Chin, Ng dan Wong, 1984).

Limbah cair tersebut bersumber dari proses pengolahan kelapa sawit yang

menggunakan air dalam jumlah besar. Jumlah air yang dibutuhkan akan sangat

berpengaruh pada kualitas air limbah yang dihasilkan. Pabrik-pabrik pengolahan

kelapa sawit milik PTP membutuhkan air rata-rata sebanyak 2,2 m3/ton TBS

(Tandan Buah Segar). Dari pabrik-pabrik ini dihasilkan air limbah sebanyak 1,2 -

1,7 m3/ton TBS atau kira-kira setara dengan 2-3 ton/ton minyak yang dihasilkan

(Anonim, 1991).
568

Proses pengolahan air limbah industri kelapa sawit yang banyak dilakukan

sekarang adalah dengan menggunakan kolam anaerobik. Beberapa diantaranya

dilanjutkan dengan pengolahan secara aerobik di dalam suatu bioreaktor beraerasi.

Pengolahan dengan cara ini dapat menurunkan BOD dan COD air limbah sampai

85-95% (Thanh, 1980). Sistem pengolahan tersebut terdiri dari proses

pendinginan, pengolahan di dalam kolam anaerobik, pengolahan secara aerobik

dan pengendapan / stabilisasi. Sistem ini memerlukan waktu tinggal cairan total

sekitar 55-110 hari untuk mereduksi BOD dan padatan tersuspensi hingga sekitar

95 % (Anonim, 1991).

Melihat sistem pengolahan air limbah pabrik minyak kelapa sawit yang

ada sekarang, maka perlu dicari suatu pengolahan limbah baru yang dapat

mengatasi masalah seperti bau, NH3, BOD, berkurangnya jumlah biota air,

dampat terhadap kesehatan masyarakat, dan lainnya. Karena limbah cair pabrik

minyak kelapa sawit mempunyai COD sangat tinggi (rata-rata 62,934 ml/L),

sehingga proses yang paling mungkin untuk diterapkan adalah sistem pengolahan

limbah cair secara anaerob.


569

II. KOMPOSISI DAN PENGOLAHAN MINYAK KELAPA SAWIT

2.1. Pengolahan Minyak Kelapa Sawit dan Sumber Limbah Cair

Proses pabrik minyak kelapa sawit memerlukan air dalam jumlah besar,

terutama untuk proses sterilisasi dan klarifikasi (Thanh, 1980). Dari gambar 1

dapat diamati bahwa sebagian proses-proses yang diallui mengeluarkan air dalam

bentuk limbah. Banyaknya air limbah yang dihasilkan tergantung pada besarnya

kapasitas giling pabrik, tetapi pada umumnya dapat mencapai 1,2 m3 untuk setiap

ton TBS yang diolah, atau kira-kira sama dengan 2-3 ton limbah/ton minyak

(Thanh, 1980).

Minyak kelapa sawit diekstraksi dari daging buah kelapa sawit secara semi

kontinyu (Gambar 1) memperlihatkan diagram alir proses pengolahan minyak

kelapa sawit secara umum.

Buah kelapa sawit berikut tandannya pertama-tama disterilisasi dengan

kukus pada suhu 1400C dan tekanan 35-45 Psi selama 50-75 menit. Proses ini

dimaksudkan untuk mebuat tidak aktif enzim-enzim yang dapat mendegradasikan

minyak menjadi asam-asam lemak dan untuk merontokkan buah dari tandannya.

Setelah disterilisasi, tandan dan buah kelapa sawit dipisahkan dalam ―rotary drum

threser‖ atau alat pemisah lainnya. Dengan suatu ban berjalan, tandan buah kelapa

sawit dibawa ke unit pembakaran (incinerator), sedangkan buah dimasukkan ke

dalam digester untuk dilumatkan agar proses ektraksi minyak lebih sempurna.

Buah kelapa sawit yang sudah lumat kemudian dikempa (press) untuk

mendapatkan minyak kelapa sawit kasar (Crude Palm Oil). Kulit biji dan serat

hasil pengempaan biasanya digunakan sebagai bahan baker boiler. Minyak kelapa

sawit kasar hasil ekstraksi kemudian disaring dengan penyaring vibrasi untuk
570

memisahkan padatan-padatan yang terkandung didalamnya. Untuk mempermudah

pemisahan, dalam proses ini juga ditambahkan air panas. Pemisahan minyak dari

air dan Lumpur dilakukan dalam tangki klarifikasi secara gravitasional. Minyak

hasil klasifikasi kemudian dimurnikan lebih lanjut dengan penambahan air dan

dilanjutkan dengan pengeringan vakum.

Untuk meningkatkan perolehan minyak kelapa sawit, setelah dipisahkan

dari komponen-kompenen padatan seperti pasir, Lumpur minyak disentrifuge dan

minyak dan minyak yang dihasilkan kembali ke dalam tangki klarifikasi. Lumpur

yang dihasilkan selanjutnya dimasukan ke dalam perangkat minyak (oil trap),

dimana sisa-sisa minyak masih dapat diperoleh dengan memanaskan lumpur

sebelum dibuang sebagai limbah (Thanh, 1980).

Limbah cair industri minyak kelapa sawit terutama berupa kondesat proses

sterilisasi (15-20%) dan Lumpur buangan (sludge) proses klarifikasi (70-75%).

Sumber air limbah yang lain cukup berpengaruh adalah ―Hydrocyclone‖ lain

pencuci, buangan (blowdown) boiler, air pendingin dan buangan dari perangkap

kukus (steam trap) (Anonim, 1991; Thanh, 1980)

2.2. Komposisi Limbah Cair Pabrik Minyak Kelapa Sawit

Limbah cair pabrik kelapa sawit berwarna kecoklat-coklatan dengan pH

3,5 – 5 dan mengandung sekitar 95% air, 4 – 5% bahan terlarut dan tersuspensi,

serta 0,5 – 1,00% sisa minyak dan lemak yang sering terdapat dalam bentuk

emulsi (Cornellius, 1983). Secara keseluruhan, komposisi limbah cair pabrik

minyak kelapa sawit dapat dilihat pada Tabel 1 dan Tabel 2. Selain yang tertera

pada kedua tabel, kadar minyak dan lemak yang dikandung limbah cair pabrik
571

minyak kelapa sawit juga cukup tinggi dan pda umumnya tergantung pada

kapasitas pengolahan pabrik (Thanh, 1980).

Jumlah air limbah yang besar dengan kandungan bahan organik tinggi dan

bersifat asam, bila dibuang ke badan air tanpa pengolahan lebih dahulu akan

menurunkan kualitas perairan yang dapat mengancam kelestarian biota perairan

karena kekurangan oksigen terlarut (Arjuna, 1990).

2.3. Pengolahan Limbah Cair Industri Minyak Kelapa Sawit

Sebelum diolah pada unit pengolahan limbah, seluruh limbah cair terlebih

dahulu ditampung di dalam kolam yang disebut Fat Pit. Didalam kolam ini,

kandungan minyak yang terikut bersama air limbah dipisahkan dari cairan

tersebut. Proses pemisahan ini dilakukan secara sederhana berdasarkan perbedaan

densitas air limbah dan densitas minyak. Proses ini tidak sepenuhnya berlangsung

dengan baik, sehingga limbah yang akan diolah masih mengandung minyak dan

lemak dalam kadar yang cukup tinggi.

Tabel 1. Komposisi Limbah Cair Pabrik Minyak Kelapa Sawit


Parameter Satuan Rentang Rata-rata
pH - 4,05-4,15 4,1
Alkalinitas mg/L 980-1.240 1.094
Asam Vilatil mg/L 1.440-1.600 1.503
BOD mg/L 25.130.27.210 26.222
COD mg/L 61.140-64.950 62.934
SS mg/L 26.150-27.450 26.456
VSS mg/L 21.740-22.790 22.149
Sumber : Chin, Ng dan Wong (1984)
572

Tabel 2. Komposisi Air Limbah Industri Minyak Kelapa Sawit (Persentase Berat
Kering)
Komponen %
Protein kasar 10
Serat kasar 12
Lemak 20
Abu 11
Pati, gula karbohidrat, lignin 47
Sumber : Chin, Ng dan Wong (1984)

Menurut Ginting (1993), limbah cair kelapa sawit pada umumnya diolah

dengan metode pengolahan biologis dalam lingkungan anaerob dan aerob.

Pengolahan tersebut dilangsungkan di dalam beberapa buah kolam dengan ukuran

masing-masing kolam pengolah berdasarkan pada laju alir (debit) air limbah dan

waktu tinggal cairan di dalam kolam.

Waktu tinggal cairan terutama di dalam kolam anaerob sangat

mempengaruhi kebutuhan energi untuk menyediakan oksigen dalam proses aerob,

sehingga ukuran kolam tersebut pada umumnya jauh lebih besar bila

dibandingkan dengan ukuran kolam lannya. Berikut akan diuraikan kegunaan

masing-masing kolam yang disesuaikan dengan urutan proses pengolahan limbah

pabrik minyak kelapa sawit.

2.3.1.Kolam Pemisah Lumpur

Kolam Pemisah Lumpur berfungsi unntuk menampung dan memisahkan

Lumpur dari cairan yang berasal dari kolam fat pit. Kapasitas kolam ini mampu

menampung air limbah sekurang-kurangnya satu hari.


573

2.3.2. Kolam Anaerob

Aktivitas bakteri anaerob yang hidup dalam kolam ini akan menguraikan

bahan organik kompleks air limbah. Waktu tinggal cairan dalam kolam anaerob

pada umunya mencapai 60 – 90 sebelum cairan dialirkan ke dalam kolam yang

selanjutnya. Untuk menaikan nilai pH, abu hasil pembakaran bahan padat dari

incenrator dibubuhkan ke dalam kolam.

2.3.3. Kolam Aerob

Proses penguraian bahan organik yang berlangsung didalam kolam aerob

seluruhnya merupakan aktivitas yang hidup dalam lingkungan aerob. Kehidupan

dan aktivitas bakteri anerob ditopang oleh kehadiran oksigen dalam jumlah yang

cukup besar.

Oksigen berasal dari udara yang secara terus menerus dihembuskan ke

dalam kolam. Kehadiran oksigen dalam proses aerob ini selain berfungsi sebagai

aseptor elektron akhir dalam metabolisme mikroba, juga berfungsi untuk

memperbesar konsentrasi oksigen terlarut dalam air buangan. Disamping itu,

aerasi tersebut juga akan mengakibatkan kematian bakteri anaerob. Waktu yang

dibutuhkan untuk aerasi umumnya tergantung pada besarnya volume cairan

didalam kolam, serta baku mutu air buangan yang ingin dicapai.

2.3.4. Kolam Netralisasi

Kolam netralisasi digunakan untuk menampung cairan yang berasal dari

kolam aerob sebelum dibuang sebagai air buangan. Kolam ini juga berfungsi

untuk memisahkan Lumpur mikroorganisme (biomassa) yang terikut bersama

cairan., sehingga dapat dikembalikan ke dalam kolam aerob. Dari uraian diatas,
574

dapat disimpulkan bahwa pengolahan limbah cair pabrik minyak kelapa sawit

umumnya membutuhkan waktu yang cukup lama, terutama waktu tinggal cairan

di dalam kolam anaerob.

2.4. Mekanisme Proses Anaerob

Menurut Vigneswaran dan Balasurya (1986), proses fermentasi secara

anaerobik merupakan proses penguraian senyawa-senyawa organik menjadi

metana dan karbon dioksida tanpa adanya molekul oksigen. Proses ini sangat

dikenal kegunaannya pada proses pengolahan air buangan. Zat-zat organik di

dalam limbah cair industri minyak kelapa sawit umumnya mengandung substrat

polimer kompleks (Complex Polymeric Subtrats), seperti protein dan lemak.

Zat-zat ini dapat didegradasi secara langsung oleh bakteri pembentuk

metana, karena bakteri hanya memerlukan asam formiat, asam asetat, methanol,

hidrogen dan karbon dioksida sebagai subtrat. Mekanisme reaksi secara anaerobik

dari subtrat kompleks dan zat-zat organik tersusupensi terjadi dalam tiga tahap,

yaitu :

1. Molekul-molekul organik kompleks terhidrolisa menjadi molekul-molekul

yang lebih sederhana, seperti gula, alkohol, hidrogen dan karbon diaoksida

oleh aktivitas enzim ekstrakurikuler.

2. Produk-produk hasil reaksi hidrolisa berupa senyawa-senyawa organik yang

lebih sederhana oleh bakteri pembentuk asam terkonversi menjadiasam-asam

lemak violatil seperti asam asetat, asam butirat, dan asam propianat. Laju

pembetukan asam ini lebih cepat jika dibandingkan dengan laju pembentukan

metana.
575

3. Asam-asam asetat, hidrogen dan karbon dioksida oleh aktivitas bakteri

pembentuk metana dari asam asetat (Acccetoclastic Methane Bacteria) dan

bakteri pengguna hidrogen (H2-Utilizing Bacteria) terkonversi menjadi metana

(Vigneswaran dan Balasurya, 1986).

Fermentasi secara anaerob dilakukan oleh 4 (empat) kelompok bakteri

secara bertahap, yaitu :

1. Bakteri-bakteri pembentuk asam

Bakteri-bakteri ini tumbuh dengan cepat dan menguraikan glukosa menjadi

asam asetat, asam propianat dan asam butirat, dengan reaksi :

C2H12O6 + 2H2O 2CH3COOH + 2CO2 + 4H2


(asam asetat)
C2H12O6 + 2H2O CH3 CH2 CH2COOH + 2CO2 + 2H2
(asam butirat)
C2H12O6 + 2H2O 2CH3 CH2COOH + 2H2O (propianat)

Reaksi pembentukan asam asetat dari glukosa merupakan reaksi utama

(reaksi 2.1) dan menghasilkan energi yang besar untuk pertumbuhan bakteri

pembentuk asam. Asam asetat yang dihasilkan merupakan substrat utama bagi

bakteri pembentuk metana dari asam asetat (Acetoclastic Methane Bacteria)

(Vigneswaran, 1986).

2. Bakteri Pembentuk Asam Asetat (Acetoclastic Bacteria)

Bakteri-bakteri ini dapat melangsungkan reaksi pembentukan asam asetat dari

asam propianat dan asam butirat, dengan reaksi :

2CH3 CH2COOH + 2H2O 3CH3 COOH + 2H2

CH3 CH2 CH2COOH + 2H2O 2CH3 COOH + 2H2

Bakteri Syntrophobacter Woliini dapat mendegradasi asam propianat menjadi

asam asetat, CO2 dan H2 apabila didalamnya juga terdapat bakteri pengguna
576

hidrogen pada pembentukan metana (H2-Utilizing Methane) (Sham, 1984).

Selain itu, bakteri pembentuk asam asetat ini dapat menghasilkan metana dan

etanol, dengan reaksi sebagai berikut :

2CH3 CH2COOH + CO2 3CH3 COOH + CH4

Salah satu dari spesies Acetogenic S, dapat megoksidai etanol menjadi asam

asetat dan hidrogen, dengan reaksi :

CH3 CH2 OH + H2O CH3 COOH + 2H2

3. Bakteri-bakteri Pembentuk Metana

Bakteri-bentuk pembentuk metana (Metagenic) yang terlibat dalam proses

anaerobik dapat dikelompokkan dalam dua jenis baktei, yaitu :

a. Bakteri pengguna hidrogen pada pembentukan metana (The Hydrogen-

Utulizing Bacteria).

Bakteri-bakteri ini merupakan bakteri pengkonsumsi hidrogen yang

pertumbuhannya agak cepat yaitu dengan waktu minimal penggandaan

sekitar enam jam dan memperoleh energi untuk pertumbuhannya menurut

rekasi :

4H2 + CO2 CH4 + 2H2O

Dalam kegiatannya bakteri-bakteri menghilangkan hampir semua hidrogen

yang ada dalam sistem. Aktivitas dari bakteri ini dapat mengatur laju

pertumbuhan asam-asam volatile (Vigneswaran, 1986).

b. Bakteri pembentuk metana dasi asam asetat (Acetoclastic Methane

Bacteria)

Bakteri ini dapat mengkonversi asam asetat menjadi metana dan karbon

dioksida dengan reaksi sebagai berikut :


577

CH3COOH + 2H2 CH4 + CO2

Perubahan energi bebas konversi asam asset menjadi metana dan karbon

dioksida ini sangat kecil, maka bakteri-bakteri ini pertumbuhannya lambat

yaitu dengan waktu penggandaan 2 – 3 hari (Sahm, 1984). Aktivitas-

aktivitas ini dapat mengendalikan pH proses karena terjadinya

penghurangan asam asetat dan terbentuknya karbon dioksida

(Vigneswaran, 1986). Meskipun sekitar 70% produksi metana dari bahan

organik dihasilkan melalui penguraian asam asetat, tetapi hanya sedikit

spesies metanogenic yang dapat emndegradasi asam asetat menjadi metana

dan karbon dioksida.

Selain dua jenis bakteri pembentuk metana tersebut diatas, terdapat juga

beberapa spesies metanogenic lain yang memanfaatkan asam formiat, melalui

reaksi :

4HCOOH CH4 + 3CO2 + 2H2O

Sedangkan Methanosarcina Bakteri dan Methanococcus Mazel memanfaatkan

methanol dan metil amine untuk produksi metana dengan reaksi sebagai berikut :

4/3 CH3OH CH4 + 1/3 CO2 + 2/3 H2O

4/3 CH3NH2 + 2/3 H2O CH4 + 1/3 CO2


578

III. DAMPAK PENGOLAHAN LIMBAH CAIR KELAPA SAWIT


TERHADAP LINGKUNGAN

Perkembangan perkebunan kelapa sawit dan disertai pendirian PMKS

disatu sisi akan meningkatkan income, namun disisi lain akan meningkatnya

jumlah beban pencemaran lingkungan yang diakibatkan oleh limbah cair hasil

pemurnian minyak dari stasiun klarifikasi dan stasiun perebusan (sterilization).

Limbah cair dihasilkan dari proses perebusan TBS, penjernihan CPO dan

proses pencucian. Pada hakekatnya dari proses pengolahan pabrik kelapa sawit

akan menghasilkan limbah cair yang merupakan sisa dari proses pengolahan TBS

yang dikumpulkan dan diolah pada Instalasi Pengolahan Air Limbah yang telah

disiapkan oleh perusahaan.

Dibeberapa pabrik, limbah cair yang dihasilkan belum dikelola dengan

baik sehingga limbah cair tersebut dibuang keperairan masih belum memenuhi

baku. Hal ini bila terus berlangsung tanpa melakukan upaya penanganan yang

serius akan dapat menyebabkan masalah lingkungan seperti penurunan kualitas

perairan (sungai). Oleh karena itu pengelolaan limbah PMKS menjadi hal yang

sangat penting untuk diatasi. Pengelolaan limbah (Pabrik Kelapa Sawit) perlu

dilakukan untuk meminimalisir terjadinya pencemaran, pengendalian penyakit,

serta menciptakan lingkungan pabrik yang baik dan bersih termasuk lingkungan

masyarakat disekitarnya (Kusnoputranto dalam Fithri, 2005).

Secara fisik limbah cair berbentuk cairan (koloidal) berwarna coklat,

merupakan campuran antara air, minyak, Lumpur (sludge) dan sedikit padatan,

dengan suhu 80 – 900C. Sebagaimana limbah pertanian lainnya limbah cair pabrik

kelapa sawit (palm oil mill effluent) mempunyai kadar bahan organik yang cukup

tinggi. Tingginya kadar bahan organik yang terkandung dalam limbah cair
579

menyebabkan terjadinya pencemaran, karena diperlukan laju proses degradasi

bahan organik yang lebih besar. Tabel 3 menginformasikan kandungan logam

POME.

Tabel 3. Kandungan Logam POME


Logam Konsentrasi (mg/L)
P 180
K 2,270
Mg 615
Ca 439
C 25,440
B 7,6
Fe 46,5
Mn 1,98
Cu 0,89
Zn 2,30
Sumber : Bayley (dalam Fithri, 2005)

Ekologi dapat terganggu karena bau (NH3, H2S) yang ditimbulkan,

disamping itu dapat mengurangi populasi yang ada di daratan dan perairan karena

bahan yang dikandungnya menjadi racun bagi jenis-jenis tertentu. Survival rate

bagi biota akan berkurang akibat kandungan logam yang dihasilkan limbah cair

pengolahan kelapa sawit tidak dapat ditoleransi.

Kualitas air bagi suatu peruntukkan sangat ditentukan oleh sifat-sifat fisik,

kimia dan kandungan bakteri didalamnya. Penurunan kualitas air dapat terjadi

akibat proses alamiah maupun kegiatan manusia. Masalah penurunan kualitas air

(pencemaran) merupakan isu penting yang banyak terjadi di kawasan-kawasan

industri PKS yaitu karena limbah air yang dihasilkan. Air dikatakan tercemar bila

air tersebut tidak dapat digunakan lagi sesuai peruntukannya. Polusi air adalah
580

penyimpangan sifat-sifat air dari keadaan normal akibat terkontaminasi oleh

material atau partikel-partikel lain. Terjadinya penurunan kwalitas perairan sungai

disebabkan oleh adanya masukan limbah domestik baik padat maupun cair serta

aktivitas perkebunan dan pabrik pengolahannya yamg PKS yang beroperasi

disepanjang hulu DAS.

Sifat-sifat air yang umum diuji dan dapat digunakan untuk menentukan

tingkat polusi air misalnya : nilai pH, keasaman dan alkalinitas, suhu, warna,

bau/rasa, jumlah padatan, nilai BOD, kandungan lemak, logam dan lainnya. Kadar

maksimal baku mutu untuk badan air menurut PP nomor 82/2001 seperti pada

Tabel 4.

Beberapa perusahaan industri pengolahan kelapa sawit sebagian besar

memang telah memiliki sarana Instalisasi Pengolahan Air Limbah (IPAL), namun

demikian IPAL yang ada tersebut belum dioperasikan secara optimal sebagaimana

mestinya. Keberadaan IPAL di pabrik kelapa sawit seringkali belum didukung

oleh sumberdaya manusia yang memadai (profesional) dalam penangan limbah.

sehingga hasil pengolahan limbah cair yang keluar melalui out let ke badan air

(anak sungai) yang mengarah ke perairan sungai, belum sepenuhnya dapat

memenuhi ketentuan baku mutu yang diisyaratkan sesuai dengan Kep-Men LH

No. 51 tahun 1995.


581

Tabel 4. Kadar maksimal baku mutu untuk badan air


No Parameter Satuan Kadar Max
1 2 3 4
I Fisika
- Suhu 0
C Suhu air normal
- Jumlah Padatan Terlarut mg/l 1.000
- Jumlah Padatan Tersuspensi mg/l 50
II Kimia
1 Amoniak (NH3 – N) mg/l 0.5
2 Besi (Fe) mg/l 0.3
3 Fenol µg/l 1
4 Fluorida mg/l 0.5
5 Total Phospat – P mg/l 0.2
6 Klorida (CI) mg/l 600
7 Kadmium (Cd) mg/l 0.01
8 Kromium (Cr) mg/l 0.05
9 Mangan (MN) mg/l 0.1
10 Nitrat (NO3 – N) mg/l 10
11 Nitrit (NO3 – N) mg/l 0.06
12 Sulfat (SO4) mg/l 400
13 Seng (Zn) mg/l 0.05
14 Kobalt (Co) mg/l 0.2
15 Belerang sbg H2S mg/l 0.002
16 Tembaga (Cu) mg/l 0.02
17 Timbal (Pb) mg/l 0.03
18 pH - 6-9
19 Minyak dan Lemak µg/l 1.000
20 BOD mg/l 2
21 COD mg/l 10
Sumber : KLH (2001)

Potensi penurunan kwalitas air yang disebabkan oleh aktivitas pabrik

pengolahan minyak sawit antara lain :

1. Peningkatan zat padat berupa bahan organik.

2. Peningkatan kebutuhan O2 terlarut oleh mikroba pengurai.

3. Peningkatan kebutuhan O2 terlarut untuk proses kimiawi.

4. Peningkatan senyawa beracun dan pembawa bau kurang sedap, sebagai akibat

proses dekomposisi bahan limbah.

5. Meningkatnya derahat keasaman.

6. Matinya biota perairan.


582

Limbah cair perusahaan PKS pada umumnya masih diatas baku mutu yang

disyaratkan. Beban pencemar yang dihasilkan proses industri seringkali bersifat

racun, meskipun bahan pencemar tersebut konsentrasinya rendah. Kandungan

bahan organik pada limbah sawit yang masuk keperairan bila melebihi standar

baku mutu dapat menyebabkan kematian ikan/biota perairan akibat rendahnya

kandungan oksigen terlarut dibadan air. Hal ini dapat menimbulkan gejolak sosial

bagi masyarakat yang memanfaatkan perairan tersebut sebagai aktivitas sehari-

hari. Kadar baku mutu limbah sawit yang wajar dibuang keperairan berdasarkan

Kep-51/MNLH/10/1995 adalah BOD 100 mg/L, COD 350 mg/L, TSS 250 mg/L,

N total 50 mg/L dan kandungan minyak dan lemak 25 mg/L. (KLH, 2004).

Nybakken (1992) menyatakan bahwa suhu merupakan parameter yang

penitng dalam lingkungan perairan. Suhu air sangat menentukan keadaan bilogis

yang terdapat di dalam air dan keaktifannya. Suhu berpengaruh terhadap

kecepatan reaksi kimia dan kelarutan gas-gas dalam perairan. Mulyanto (dalam

Zulkifli , 1994) mentakan bahwa untuk mendukung kehidupan ikan secara wajar

diperlukan pH berkisar 5,0-9,0 akan tetapi untuk periran ideal mempunyai kisaran

pH 6,5-8,8.

Dampak terhadap pemcemaran air antara lain :

- Sulitnya masuarakat di sekitar DAS memperoleh kualitas air yang memadai

untuk kebutuhan sehari-hari.

- Timbulnya masalah kesehatan seperti penyakit kulit dan penyakit perut karena

rendahnya kualitas air minum masyarakat.

- Tergangunya kehidupan biota perairan.


583

- Munculnya masalah sosial seperti menurunya pendapatan nelayan yang dapat

berkunjung pada tindakan negatif yang menganggu lingkungan.


584

IV. PENGENDALIAN LIMBAH CAIR PMKS

Limbah cair mempunyai karakteristik yang khas yaitu mengandung

banyak bahan organik. Bahan organik yang terkandung dalam limbah cair dapat

berkurang konsentrasinya dengan proses oksidasi secara biologi yang melibatkan

beberapa jenis bakteri. Pengolahan limbah cair PMKS dibagi dalam tiga kategori

proses yaitu : proses anaerobik, melibatkan perombakan limbah tanpa oksigen,

proses aerobik yang melibatkan oksigen dalam perombakan bahan organik dan

proses vakultative yang melibatkan proses anaerobik dan aerobik.

Bayley (dalam Fithri, 2005) melaporkan tiga sistem pengoahan limbah

yang digunakan pada PMKS yaitu sistem kolam, tangki pencerna terbuka (open

tank digester) yang dilengkapi sistem aerasi dan sistem tanki tertutup dengan

sistem penampungan gas (metana) hasil perombakan bahan organik. Proses-proses

pengolahan limbah cair PMKS selengkapnya dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Sistem pengolahan limbah cair Pabrik Minyak Kelapa Sawit


Kapasitas Olah
Waktu
Sistem (Kg/BOD m3 Hasil
(hari)
/hari)
Kolam 0,2-0,35 45 Limbah cair
(BOD<100) dan
solid untuk pupuk
Open tank digester – 0,8-1,0 20 Limbah cair
aeration system (BOD<100) dan
solid untuk pupuk
Close tank digester-Biogas 4,8 10-20 Biogas dan limbah
recovery and land BOD 2000-5000
aplication mg/l
Sumber : Bayley (dalam Fithri, 2005)

Sistem pengolahan limbah cair dengan menggunakan kolom-kolom

sebagai wadah terjadinya proses perombakan limbah oleh bakteri lazim

digunakan. pemilihan pengolahan limbah cair menggunakan kolam (ponding

system) dengan pertimbangan :


585

1. Iklim tropis sangat mendukung untuk berfungsinya sistem kolam penanganan

limbah secara baik.

2. Kebutuhan energi untuk mengoperasikan sistem penanganan limbah paling

kecil diantara sistem-sistem yang lain.

3. Tidak diperlukan keterampilan tinggi dari operator yang mengperasikan

sistem tesebut.

4. sistem kolam dapat dioperasikan dengan kisaran tingkat pembebanan

kebutuhan oksigen biologi (KOB) yang lebar sehingga shock loading lebih

kecil.

Untuk mengendalikan kualitas dan kuantitas limbah cair yang dibuang ke

media lingkungan telah dilakukan beberapa kajian terhadap beberapa parameter

mutu limbah. Pemilihan parameter mutu limbah yang dirangkum dalam baku

mutu limbah cair PMKS yang didasarkan pada karakteristik limbah itu sendiri

banyak para meter limbah cair PMKS jika ditinjau dari karakteristiknya, akan

tetapi ada 6 parameter utama yang mendatangkan pengaruh yang cukup besar bagi

lingkungan. Keenam parameter tersebut dirangkum pemerintah dalam Kep-Men

LH No. 51 tahun 2000 yang memuat parameter mutu limbah cair yang dibuang ke

lingkungan dan Kep-Men LH No. 28 tahun 2003 yang memuat parameter limbah

untuk land aplication seperti pada Tabel 5 dan 6.

Tabel 5. Baku Mutu Limbah Cair PKS


Parameter Beban Maksimal
pH 6-9
BOD 5, ppm 100
COD, ppm 250
TSS, ppm -
NH3-N -
Minyak dan lemak -
Sumber : Bayley (dalam Fithri, 2005)
586

Tabel 6. Baku Mutu Limbah Cair untuk Land Aplication


Parameter Beban Maksimal
pH 6-9
BOD 5, ppm < 5000
COD, ppm -
TSS, ppm -
NH3-N -
Minyak dan lemak -
Sumber : Bayley (dalam Fithri, 2005)

Pengolahan limbah cair pabrik kelapa sawit dengan sistem anaerob kurang

tepat untuk dilakukan karena masih dapat merusak biota perairan dan tercemarnya

kualitas air. Cara baru yang tidak dapat merusak biota perairan adalah dengan

sistem land aplication, dimana limbah cair yang dihasilkan hanya diolah di tempat

terkondisi dan tidak di salurkan ke badan perairan.


587

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 1991. Study of Pollution Control Requirement for Exixting PTP Palm
Oil and Rubber Factories. Final Report Vol I. EXSA International Co
Ltd dan Konsultan Proses SDN, BHN. Malaysia, Kualalumpur.

Arjuna, L., 1990. Pengolahan Limbah Cair Pabrik Minyak Kelapa Sawit.
Kumpulan Makalah Seminar Nasional Bioteknologi Industri, PAU-
Bioteknologi ITB, Bandung.

Chin, K.K., Ng W,J., and K.K Wong., 1984. Two-Phase Anaerobic Treatment
Kinetics pf Palm Oil Wastewaters, Water Res., 19 (5) : 667 – 669

Fithri, R., 2005. Pemanfaatan Limbah Pabrik Kelapa Sawit dalam Pembuatan
Kompos di PT. Tasma Puja Kecamatan Kampar Timur, Kabupaten
Kampar. Proposal Penelitian. Proposal Tesis Program PascaSarjana
Program Studi Ilmu Lingkungan, Universitas Riau.Pekanbaru. (tidak
diterbitkan).

Ginting, R., 1993. Kinerja dan Kinetika Bioreaktor Unggun Anaerobik (BUFAN)
Dua Tahap dalam Mengolah Limbah Cair Pabrik Minyak Kelapa Sawit.
Tesis, Program Pasca Sarjana Teknik Kimia, ITB-Bandung. 47 hal (tidak
diterbitkan).

Kementerian Lingkungan Hidup, 2004. Status Lingkungan Hidup Indonesia.


Jakarta.

Nybakken, J. W., 1992. Biologi Laut : Suatu Pendekatan Ekologis. Diterjemahkan


oleh M. Eidman, Koesoebiono, D.G. Bengen, M. Hutomo dan S.
Sukardjo. Gramedia, Jakarta. 459 hal.

Said. A. A., 1997. Pengolahan Limbah Cair Pabrik Minyak Kelapa Sawit dengan
Bioreaktor Berpenyekat Anaerobik. Skripsi, Program Sarjana Teknik
Kimia. Unsyiah, Banda Aceh. 52 hal (tidak diterbitkan).

Sham, H., 1994. Anaerobic Wastewater Treatment, 29 pp. Dalam Fiecter (Ed),
Advances in Biochemical Eng. Biotech, Vol. 29, Springer Verlag,
Berlin.

Thanh, N. C., 1980. High Organic Wastewater Control and Management in The
Tropics. Water Pollution Control, CDG, AIT-ERL. Bangkok.

Vigneswaran, S., and B.L.N Balasuriya., 1986. Anaerobic Wastewater Treatment-


Attached Growth and Sludge Blanket Process, Environmental Sunitation
Reviews, 19 (20) : 1 – 7

Zulkifli, 1994. Kandungan Logam Berat (Pb, Cd, CU dan Zn) dalam Air Laut
Permukaan dan Sedimen di Perairan Dumai, Riau. Skripsi, Fakultas
588

Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas Riau, Pekanbaru, 65 hal.


(tidak dipublikasikan).
589

KERUSAKAN EKOSISTEM LAUT AKIBAT


TERJADINYA TUMPAHAN MINYAK
DI PERAIRAN LAUT

OLEH :

DWI AGUSRIANTO

PROGRAM STUDI ILMU LINGKUNGAN


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
2006
590

I. PENDAHULUAN

Sebagian besar wilayah Republik Indonesia berupa perairan laut yang

letaknya sangat strategis. Perairan laut Indonesia selain dimanfaatkan sebagai

sarana perhubungan lokal maupun internasional, juga memiliki sumber daya laut

yang sangat kaya dan penting antara lain sumber daya perikanan, terumbu karang,

mangrove, bahan tambang, dan pada daerah pesisir dapat dimanfaatkan sebagai

obyek wisata yang menarik. Laut juga mempunyai arti penting bagi kehidupan

makhluk hidup seperti manusia, ikan, tumbuh-tumbuhan, dan biota laut lainya.

Hal ini menunjukkan bahwa sektor kelautan mempunyai potensi yang sangat

besar untuk dapat ikut mendorong pembangunan di masa kini maupun masa

depan. Oleh karena itu, laut yang merupakan satu sumber daya alam, sangat perlu

untuk dilindungi. Hal ini berarti pemanfaatannya harus dilakukan dengan

bijaksana dengan memperhitungkan kepentingan generasi sekarang dan yang akan

datang. Agar laut dapat bermanfaat secara berkelanjutan dengan tingkat mutu

yang diinginkan, maka kegiatan pengendalian dan/atau perusakan laut menjadi

sangat penting. Pengendalian pencemaran dan/atau perusakan ini merupakan salah

satu bagian dari kegiatan pengelolaan lingkungan hidup.

Akhir-akhir ini pencemaran laut telah menjadi suatu masalah yang perlu

ditangani secara sungguh-sungguh. Hal ini berkaitan dengan semakin

meningkatnya kegiatan manusia dalam usaha memenuhi kebutuhan hidupnya. Di

samping menghasilkan produk-produk yang diperlukan bagi kehidupannya,

kegiatan manusia menghasilkan pula produk sisa (limbah) yang dapat menjadi

bahan pencemar (polutan). Cepat atau lambat polutan itu sebagian akan sampai di

laut. Hal ini perlu dicegah atau setidak-tidaknya dibatasi hingga sekecil mungkin.
591

Selama ini sudah menjadi anggapan umum bahwa laut adalah tempat

paling aman untuk membuang limbah manusia. Segala bahan buangan dari darat

dibuang ke sungai-sungai, yang pada akhirnya bermuara ke laut. Secara alami

sebenarnya laut dapat menampung dan menguraikan bahan-bahan limbah menjadi

materi yang lebih aman, dengan melalui berbagai proses fisika, kimia dan

biologi yang kompleks. Akan tetapi kemampuan tersebut ada batasnya. Dengan

pertumbuhan industri dan pertanian serta pertambahan penduduk yang cepat,

maka jumlah limbah yang dibuang ke laut makin banyak, sehingga pada akhirnya

dapat mencemari laut dan dapat menghancurkan keseimbangan ekosistem laut.

Pencemaran laut adalah penambahan suatu bahan atau energi oleh manusia

baik secara langsung maupun tidak langsung ke dalam lingkungan laut (termasuk

didalamnya estuari) sehingga dapat mengakibatkan merusak, membahayakan

kehidupan di dalamnya, menyebabkan petaka bagi kesehatan manusia,

mengganggu aktifitas perairan, termasuk kegiatan perikanan, merusak daya guna

air dan mengurangi keindahannya.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah No.19/1999 tentang Pengendalian

Pencemaran dan atau Perusakan laut, disebutkan bahwa pencemaran laut adalah

masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen

lain ke dalam lingkungan laut oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun

sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan laut tidak sesuai lagi

dengan baku mutu dan/atau fungsinya. Sedangkan Konvensi Hukum Laut III

(United Nations Convention on the Law of the Sea = UNCLOS III) memberikan

pengertian bahwa pencemaran laut adalah perubahan dalam lingkungan laut

termasuk muara sungai (estuaries) yang menimbulkan akibat yang buruk sehingga
592

dapat merugikan terhadap sumber daya laut hayati (marine living resources),

bahaya terhadap kesehatan manusia, gangguan terhadap kegiatan di laut termasuk

perikanan dan penggunaan laut secara wajar, memerosotkan kualitas air laut dan

menurunkan (Siahaan, 1989a).

Sumber dari pencemaran laut ini antara lain adalah tumpahan minyak, sisa

damparan amunisi perang, buangan dan proses di kapal, buangan industri ke laut,

proses pengeboran minyak di laut, buangan sampah dari transportasi darat melalui

sungai, emisi transportasi laut dan buangan pestisida dari pertanian. Namun

sumber utama pencemaran laut adalah berasal dari tumpahan minyak baik dari

proses di kapal, pengeboran lepas pantai, maupun akibat kecelakaan kapal.

Polusi dari tumpahan minyak di laut merupakan sumber pencemaran laut

yang selalu menjadi fokus perhatian dari masyarakat luas, karena akibatnya akan

sangat cepat dirasakan oleh masyarakat sekitar pantai dan sangat signifikan

merusak makhluk hidup di sekitar pantai tersebut, terutama pada ikan. Bahkan

lebih berbahaya lagi, ikan yang telah terkontaminasi minyak bumi jika

dikonsumsi manusia akan berakibat fatal pada kesehatan, seperti timbulnya gejala

pusing dan mual.

Menurut Clark (2003) bahwa sumber dari pencemaran laut yang berasal

dari Transportasi laut sebesar 4,63 juta ton/tahun, instalasi pengeboran lepas

pantai sebesar 0,18 juta ton/tahun dan sumber lain termasuk industri dan

pemukiman sebesar 1,38 juta ton/tahun. Kemudian kalau dilihat dari

perkembangan industri minyak yang berkembang begitu pesat, dimana produksi

minyak bumi di dunia lebih dari tiga miliar ton per tahun, sebagian produksi

tersebut dihasilkan dari pengeboran lepas pantai, dan separuh dari seluruh
593

produksi tersebut diangkut melalui laut oleh kapal tanker sehingga kecelakaan-

kecelakaan yang mengakibatkan tercecernya minyak di laut hampir tidak dapat

dielakkan.
594

II. TUMPAHAN MINYAK DI PERAIRAN LAUT

2.1. Pengeboran Minyak Lepas Pantai

Kecelakaan kerja yang mengakibatkan terjadinya tumpahan minyak di laut

sangat mungkin terjadi pada kegiatan pengeboran minyak lepas pantai, seperti

pipa minyak yang pecah dan bocor, bahkan memungkinkan terjadinya kebakaran.

Peristiwa blowout (keluarnya fluida dari dalam bumi ke permukaan tidak

terkendali) selama ini sering terjadi pada industri migas. Dalam statistik dunia,

sudah ratusan bahkan ribuan kali terjadi blowout. Di Indonesia, menurut catatan

penulis dalam 35 tahun terakhir setidaknya telah terjadi 17 kali blowout, sehingga

hampir setiap 2-3 tahun terjadi kecelakaan blowout. Bila dibandingkan dengan

kegiatan pengeboran 300-350 sumur setiap tahun, maka berarti hampir setiap

1.000 sumur pengeboran terjadi 1 kali kecelakaan blowout (Rubiandini, 2006).

2.2. Operasi Kapal Tanker dan Terminal Bongkar Muat Tengah Laut

Produksi minyak dunia diperkirakan sebanyak 3 milyar ton/tahun dan

setengahnya dikirimkan melalui laut dengan menggunakan kapal tanker

(Fahruddin, 2004). Biasanya setelah kapal tanker memuat minyak kargo, kapal

pun membawa air ballast (sistem kestabilan kapal menggunakan mekanisme

bongkar-muat air) yang biasanya ditempatkan dalam tangki slop. Sampai di

pelabuhan bongkar, setelah proses bongkar selesai sisa muatan minyak dalam

tangki dan juga air ballast yang kotor disalurkan ke dalam tangki slop. Tangki

muatan yang telah kosong tadi dibersihkan dengan water jet, proses pembersihan

tangki ini ditujukan untuk menjaga agar tangki diganti dengan air ballast baru

untuk kebutuhan pada pelayaran selanjutnya. Hasil buangan dimana bercampur

antara air dan minyak ini pun dialirkan ke dalam tangki slop. Sehingga di dalam
595

tangki slop terdapat campuran minyak dan air. Sebelum kapal berlayar, bagian air

dalam tangki slop harus dikosongkan dengan memompakannya ke tangki

penampungan limbah di terminal atau dipompakan ke laut dan diganti dengan air

ballast yang baru. Tidak dapat disangkal buangan air yang dipompakan ke laut

masih mengandung minyak dan ini akan berakibat pada pencemaran laut tempat

terjadi bongkar muat kapal tanker (Sudrajat, 2006).

Produksi minyak adalah suatu proses yang berkelanjutan dimana produksi

minyak harus diekspor. Biasanya ekspor minyak dilakukan melalui pipa ke darat,

atau juga diangkut melalui kapal tanker. Untuk pengangkutan minyak melalui

kapal tanker diperlukan tempat penyimpanan sementara (storage) dan terminal

bongkar muat di tengah laut. Proses bongkar muat di terminal laut ini banyak

menimbulkan resiko kecelakaan seperti pipa yang pecah, bocor maupun

kecelakaan karena kesalahan manusia (Sudrajat, 2006).

2.3. Docking (Perbaikan/Perawatan Kapal) dan Scrapping Kapal

Semua kapal secara periodik harus dilakukan reparasi termasuk

pembersihan tangki dan lambung. Dalam proses docking semua sisa bahan bakar

yang ada dalam tangki harus dikosongkan untuk mencegah terjadinya ledakan dan

kebakaran. Dalam aturannya semua galangan kapal harus dilengkapi dengan

tangki penampung limbah, namun pada kenyataannya banyak galangan kapal

tidak memiliki fasilitas ini, sehingga buangan minyak langsung dipompakan ke

laut. Tercatat pada tahun 1981 kurang lebih 30.000 ton minyak terbuang ke laut

akibat proses docking ini (Clark, 2003).

Proses scrapping kapal (pemotongan badan kapal untuk menjadi besi tua)

ini banyak dilakukan di industri kapal di India dan Asia Tenggara termasuk
596

Indonesia. Akibat proses ini banyak kandungan metal dan lainnya termasuk

kandungan minyak yang terbuang ke laut. Diperkirakan sekitar 1.500 ton/tahun

minyak yang terbuang ke laut akibat proses ini yang menyebabkan kerusakan

lingkungan setempat (Sudrajat, 2006).

2.4. Bilga dan Tangki Bahan Bakar

Umumnya semua kapal memerlukan proses ballast saat berlayar normal

maupun saat cuaca buruk. Karena umumnya tangki ballast kapal digunakan untuk

memuat kargo maka biasanya pihak kapal menggunakan juga tangki bahan bakar

yang kosong untuk membawa air ballast tambahan. Saat cuaca buruk maka air

balas dipompakan ke laut sementara air tersebut sudah bercampur dengan minyak.

Selain air ballast, juga dipompakan keluar adalah air bilga yang juga bercampur

dengan minyak. Bilga adalah saluran buangan air, minyak, dan pelumas hasil

proses mesin yang merupakan limbah (Sudrajat, 2006).

Aturan Internasional mengatur bahwa buangan air bilga sebelum

dipompakan ke laut harus masuk terlebih dahulu ke dalam separator, pemisah

minyak dan air, namun pada kenyataannya banyak buangan bilga illegal yang

tidak memenuhi aturan Internasional dibuang ke laut.

2.5. Kecelakaan Kapal Tanker

Indonesia sebagai negara kepulauan yang diapit oleh dua benua

menjadikan perairan Indonesia sebagai jalur perdagangan dan transportasi antar

Negara. Banyak kapal-kapal pengangkut minyak maupun kargo barang yang

melintasi perairan Indonesia yang menyebabkan negara kita sangat rentan

terhadap polusi laut. Ditambah dengan posisi Indonesia sebagai penghasil minyak
597

bumi, dimana di beberapa perairan dan pelabuhan Indonesia dijadikan sebagai

terminal bongkar muat minyak bumi, termasuk juga bermunculannya bangunan

pengeboran lepas pantai yang dapat menambah resiko tercemarnya perairan

Indonesia (Tabel 1).

Aktivitas lalu lintas kapal tanker di lautan menjadi potensi penting bagi

pencemaran ekologi maritim. Khususnya insiden-insiden kebocoran yang kerap

memuntahkan kandungan minyak dari kapal tanker sehingga terbuang ke laut,

baik akibat kecelakaan karena tabrakan antara sesama kapal maupun karena

terbentur karang atau gunung es. Beberapa penyebab kecelakaan kapal tanker

adalah kebocoran lambung, kandas, ledakan, kebakaran dan tabrakan. Tabel 1

memperlihatkan beberapa kasus pencemaran laut akibat tumpahan minyak di

Indonesia.

Dari rentetan kejadian yang tercantum dalam tabel 1, kita dapat melihat

bahwa kecenderungan terjadinya polusi laut akibat tumpahan minyak semakin

meningkat. Akibat kejadian ini banyak nelayan kita yang tinggal di sekitar

kejadian tidak dapat melaut untuk mencari ikan dan penghasilan mereka semakin

menurun. Pencemaran laut ini mengakibatkan matinya ikan-ikan laut dan atau

berpindahnya ikan-ikan dari lokasi pantai. Sementara nelayan kita hanya memiliki

fasilitas penangkapan yang seadanya, kapal-kapal mereka tidak dapat menangkap

ikan lebih jauh dari pantai. Ironisnya lagi tidak jarang aspirasi masyarakat yang

berada disekitar kejadian seringkali tidak terwakili dalam hal rehabilitasi dan

konpensasi.
598

Tabel 1. Beberapa Kasus Tumpahan Minyak di Perairan Indonesia

No Tahun Lokasi Keterangan


Kandasnya kapal tanker Showa Maru, 1 juta barel minyak
1 1975 Selat Malaka solar tumpah.
Januari
2 1975 Selat Malaka tabrakan kapal Isugawa Maru dengan Silver Palace

Desember Pelabuhan Kecelakaan kapal tanker Choya Maru, menumpahkan 300 ton
3 1979 Buleleng Bali bensin.
Pebruari Pelabuhan Bocornya kapal tanker Golden Win yang mengangkut 1500
4 1979 Lhokseumawe kilo liter minyak tanah
Tabrakan kapal tanker Ocean Blessing dan MT Nagasaki
5 1980 Selat malaka
Spirit yang menumpahkan 13000 ton minyak
Januari
6 1993 Selat Malaka Kandasnya Kapal Tanker Maersk Navigator

Pelabuhan Tabrakan kapal tanker MV Bandar Ayu dengan Kapal Ikan


7 1995 Cilacap Tanjung Permata III
8 1996 Natuna Tenggelamnya KM Batamas II yang memuat MFO
Oktober Kapal Orapin Global bertabrakan dengan kapal tanker
9 1997 Selat Singapura
Evoikos
Kandasnya kapal Pertamina Supply No 27 yang memuat
10 1998 Tanjung Priok
solar
Robeknya kapal tanker MT King Fisherr ,4.000 barel minyak
11 1999-2000 Cilacap tumpah.
Oktober Kandasnya MT Natuna Sea dan menumpahkan 4000 ton
12 2000 Batam
minyak mentah
Tenggelamnya tanker Stedfast yang mengangkut 1200 ton
13 2001 Tegal-Cirebon
limbah minyak
Tergenangnya tumpahan minyak di perairan Kepulauan
14 2003-2005 Kepulauan Seribu Seribu

Tabrakan antara tongkang PLTU-I/PLN yang mengangkut


15 Juli 2003 Palembang 363 kiloliter IDF dengan kapal kargo An Giang.
Menyebabkan sungai Musi tercemar.
Kapal tanker Vista Marine tenggelam akibat cuaca buruk dan
16 Juli 2004 Kepulauan Riau menumpahkan limbah minyak dalam tangki slop sebanyak
200 ton
Tumpahan Minyak oleh MT Lucky Lady yang memuat Syria
17 2004 Cilacap
Crude Oil sebanyak 625044 barel.
Tumpahan Minyak mentah dari Pertamina UP VI Balongan,
Oktober
18 2004 Pantai Indramayu shg merusak terumbu karang tempat pengasuhan ikan-ikan
milik masyarakat sekitar
Tumpahan minyak dari Perusahaan Total E dan P Indonesia,
19 2004 Balikpapan membuat nelayan sekitar tidak dapat melaut dalam beberapa
waktu
Agustus
20 2005 Teluk Ambon Meledaknya kapal ikan MV Fu Yuan Fu.

Sumber : JICA-Dephub (2002)


599

III. DAMPAK PENCEMARAN MINYAK DI PERAIRAN LAUT

3.1. Pengaruh pada Biota Laut

Sumadhiharga (1995) memaparkan dampak-dampak yang disebabkan oleh

pencemaran minyak di laut. Akibat jangka pendek dari pencemaran minyak antara

lain adalah bahwa molekul-molekul hidrokarbon minyak dapat merusak membran

sel biota laut, mengakibatkan keluarnya cairan sel dan berpenetrasinya bahan

tersebut ke dalam sel. Berbagai jenis udang dan ikan akan beraroma dan berbau

minyak, sehingga menurun mutunya. Secara langsung minyak akan menyebabkan

kematian pada ikan disebabkan kekurangan oksigen, keracunan karbon dioksida,

dan keracunan langsung oleh bahan berbahaya. Batas toleransi minyak pada air

laut berada antara 0,001 - 0,01 ppm, dan apabila melewati batas tertinggi dari

kadar tersebut maka bau minyak mulai timbul.

Akibat jangka panjang dari pencemaran minyak adalah terutama bagi biota

laut yang masih muda. Minyak di dalam laut dapat termakan oleh biota-biota laut.

Sebagian senyawa minyak dapat dikeluarkan bersama-sama makanan, sedang

sebagian lagi dapat terakumulasi dalam senyawa lemak dan protein. Sifat

akumulasi ini dapat dipindahkan dari organisma satu ke organisma lain melalui

rantai makanan. Jadi, akumulasi minyak di dalam zooplankton dapat berpindah ke

ikan pemangsanya. Demikian seterusnya bila ikan tersebut dimakan ikan yang

lebih besar, hewan-hewan laut lainnya, dan bahkan manusia.

Ketika terjadi pencemaran akibat kapal tanker Witwater di daerah laut

Atlantik menuju Terusan Panama yang menumpahkan 20.000 barrel diesel dan

bunker C, banyak pohon-pohon mangrove yang masih muda musnah, demikian

pula banyak tumbuhan alga dan hewan invertebrata. Peristiwa yang lebih
600

menghebohkan adalah peristiwa pecahnya kapal tanki Torrey Canyon yang

mengakibatkan matinya burung-burung laut sekitar 10.000 ekor di sepanjang

pantai dan sekitar 30.000 ekor lagi didapati tertutupi oleh genangan minyak.

Pembuangan air ballast di Alaska sekitar Pebruari-Maret 1970 telah pula

mencemari seribu mil jalur pantai dan diperkirakan paling sedikit 100 ribu ekor

burung musnah (Siahaan, 1989b).

Kasus pencemaran minyak telah menghancurkan hewan dan tumbuh–

tumbuhan yang hidup di batu-batuan dan pasir di wilayah pantai, juga merusak

area mangrove serta daerah air payau secara luas. Hutan mangrove merupakan

sumber nutrien dan tempat pemijah bagi ikan, dapat rusak oleh pengaruh minyak

terhadap sistem perakaran yang berfungsi dalam pertukaran CO2 dan O2, akan

tertutup minyak sehingga kadar oksigen dalam akar berkurang.

Tumpahan minyak berpengaruh besar pada ekosistem laut, penetrasi

cahaya menurun di bawah oil slick atau lapisan minyak. Proses fotosintesis

terhalang pada zona euphotik sehingga rantai makanan yang berawal pada

phytoplankton akan terputus. Lapisan minyak juga menghalangi pertukaran gas

dari atmosfer dan mengurangi kelarutan oksigen yang akhirnya sampai pada

tingkat tidak cukup untuk mendukung bentuk kehidupan laut yang aerob.

Komponen minyak tidak larut di dalam air, akan tetapi mengapung pada

permukaan air laut yang menyebabkan air laut berwarna hitam. Beberapa

komponen minyak tenggelam dan terakumulasi di dalam sedimen sebagai deposit

hitam pada pasir dan batuan-batuan di pantai. Hal ini mempunyai pengaruh yang

luas terhadap hewan dan tumbuh-tumbuhan yang hidup di perairan.


601

Senyawa hidrokarbon yang terkandung dalam minyak bumi berupa

benzena, toluena, ethylbenzena, dan isomer xylena, dikenal sebagai BTEX,

merupakan komponen utama dalam minyak bumi, bersifat mutagenik dan

karsinogenik pada manusia. Senyawa ini bersifat rekalsitran, yang artinya sulit

mengalami perombakan di alam, baik di air maupun di darat, sehingga hal ini

dapat mengalami proses biomagnition pada ikan ataupun pada biota laut yang lain

(Fahruddin, 2004). Bila senyawa aromatik tersebut masuk ke dalam darah, akan

diserap oleh jaringan lemak dan mengalami oksidasi dalam hati membentuk

phenol, kemudian pada proses berikutnya terjadi reaksi konjugasi membentuk

senyawa glucuride yang larut dalam air, kemudian masuk ke ginjal.

Senyawa antara yang terbentuk adalah epoksida benzena yang beracun dan

dapat menyebabkan gangguan serta kerusakan pada tulang sumsum. Keracunan

yang kronis menimbulkan kelainan pada darah, termasuk menurunnya sel darah

putih, zat beku darah, dan sel darah merah yang menyebabkan anemia. Kejadian

ini akan merangsang timbulnya preleukemia, kemudian leukemia, yang pada

akhirnya menyebabkan kanker. Dampak lain adalah menyebabkan iritasi pada

kulit (Fahruddin, 2004).

Komponen hidrokarbon yang bersifat toksik berpengaruh terhadap

reproduksi, perkembangan, pertumbuhan, dan perilaku biota laut, terutama pada

plankton, bahkan dapat mematikan ikan, dengan sendirinya dapat menurunkan

produksi ikan yang berakibat menurunnya devisa negara. Proses emulsifikasi

merupakan sumber mortalitas bagi organisme, terutama pada telur, larva, dan

perkembangan embrio karena pada tahap ini sangat rentan pada lingkungan
602

tercemar. Proses ini merupakan penyebab terkontaminasinya sejumlah flora dan

fauna di wilayah tercemar.

3.2. Pengaruh pada Pariwisata Bahari.

Sebagaimana sifat minyak yang mengapung pada air, minyak akan

bergerak dibawa arus/angin hingga pada akhirnya sampai ke pesisir/pantai.

Tentunya akan sulit menemukan bagian pantai yang tidak terkontaminasi karena

penyebarannya yang cepat. Akibat buruk yang segera terlihat adalah rusaknya

estetika pantai akibat penampakan dan bau dari material minyak. Residu yang

berwarna gelap yang terdampar di pantai akan menutupi batuan, pasir, tumbuhan,

dan hewan.

Pencemaran minyak, secara langsung dapat mengganggu keadaan

lingkungan laut pada tempat-tempat rekreasi di pantai. Juga dapat mengganggu

pemukiman penduduk sepanjang pantai serta menggangu peternakan/binatang

piaraan penduduk sepanjang pantai. Secara tidak langsung, pencemaran laut

akibat minyak mentah dengan susunannya yang kompleks dapat membinasakan

kekayaan laut dan mengganggu kesuburan lumpur di dasar laut.Ikan yang hidup di

sekeliling laut akan tercemar atau mati dan banyak pula yang bermigrasi ke

daerah lain. Minyak yang tergenang di atas permukaan laut akan menghalangi

sinar matahari masuk sampai ke lapisan air dimana ikan berdiam. Pohon-pohon

mangrove yang masih muda (berumur 4-5 tahun) juga musnah akibat pencemaran

minyak ini.

Jika hal ini terjadi pada kawasan wisata bahari/pantai, dapat dibayangkan

betapa besarnya kerugian yang dialami pengelola wisata maupun pemerintah.

Wisatawan tentunya tidak akan mungkin akan berkunjung ke objek wisata yang
603

kotor, bau, dan tercemar limbah berat/ berbahaya, disisi lain tentunya telah

menghilangkan arti promosi-promosi yang telah dilakukan oleh berbagai pihak.


604

IV. PENGENDALIAN DAN PENCEGAHAN

4.1. Pengendalian

4.1.1. Pengolahan Limbah pada Kilang Minyak

Limbah yang terpenting pada proses pengilangan minyak bumi,

berdasarkan volume produksi dan potensi untuk menimbulkan dampak terhadap

lingkungan, adalah air yang dihasilkan dari proses penambangan. Pada aktivitas

produksi (penambangan), keluarnya campuran air bersama minyak/gas dari

formasi batuan selalu tidak dapat dihindarkan. Hal ini disebabkan saturasi air

dalam formasi selalu bertambah sepanjang berlangsungnya produksi sehingga

permeabilitas relatif formasi terhadap air pun akan semakin besar (Charade,

1983).

Selain berasal dari air fossil yaitu air yang telah terdapat ribuan tahun di

dalam minyak; air yang terdapat pada proses penambangan juga berasal dari air

injeksi (biasanya air laut) yaitu air yang diinjeksikan ke sumur minyak untuk

menaikkan tekanan di sumur menaikkan produksi minyak dan gas, biasanya untuk

sumur tua. Air ini mengandung campuran yang kompleks dan beberapa senyawa

kimia yang jika terdapat dalam kosentrasi yang cukup tinggi dapat merusak

ekosistem laut bila langsung dibuang ke laut. Komponen yang terkandung antara

lain hidrokarbon minyak, padatan tersuspensi, logam, zat radioaktif, asam

organik, dan ion-ion anorganik (Swan et all., 1994).

Air yang dihasilkan bersama minyak dan gas dari sumur ini harus

dihilangkan sebelum minyak mentah ataupun gasnya dapat diproses. Campuran

minyak-gas-air ini diolah dengan tujuan untuk memisahkan minyak sebanyak

mungkin, baru kemudian dibuang ke laut. Sebelum air hasil penambangan ini
605

dibuang ke laut, campuran minyak-gas-air ini harus diproses melalui serangkaian

pemisahan.

4.1.2. Pengolahan Air Akibat Tumpahan Minyak

Beberapa metode yang biasa dipakai dalam penanggulangan pencemaran

akibat tumpahan minyak diantaranya adalah adalah:

a. Pembersihan Secara Mekanik

Pada cara ini digunakan alat yang berfungsi mengumpulkan tumpahan minyak

(boom, skimmer, sponge), sehingga tumpahan minyak terlokalisir dalam suatu

daerah yang sempit. Pegumpulan tumpahan minyak juga dapat dilakukan

dengan menggunakan pompa Hidrostal yang bekerja secara hidrolik.

Bagaimanapun, penggunaan metoda ini sangat bergantung kepada arus,

amplitudo gelombang, dan pasang-surut laut, serta kecepatan angin.

Menurut Misran (2002) berbagai teknologi telah dicoba untuk

mengembangkan alat pengumpul minyak tersebut. Vikoma International,

pembuat skimmer terkemuka dunia, mengeluarkan Vikoma‘s Kebab T-Disc

Skimmer yang merupakan sebuah wadah dengan empat atau lebih

cakram/piringan (disc) dilengkapi batang berputar. Wadah bercakram ini

dipasang pada sebuah rangka modul. Begitu cakram berputar melalui

antarmuka minyak-air, minyaknya akan menempel untuk kemudian dapat

dipisahkan dan dialirkan pada penampung minyak. Dengan menggunakan

pompa, minyak kemudian dialirkan pada wadah penyimpanan.

Sementara itu, Global Environtmental Services juga telah menguji coba Wier

Minifly Skimmer yang dengan cepat mengumpulkan campuran minyak-air

lalu dialirkan melalui pipa berdiameter 5 cm ke daerah pengumpul selanjutnya


606

yang merupakan bagian kedua dari proses pengolahan yaitu Drum Oil

Skimmer. Alat ini bekerja secara hidrolik dan mempunyai laju pengumpulan

minyak yang cepat.

b. Penggunaan Dispersant

Menurut Misran (2002) dispersant merupakan campuran bermacam bahan

kimia. Mulanya, dispersant yang dipakai merupakan zat pengemulsi dari

campuran hidrokarbon diantaranya hidrokarbon aromatik, fenol, dan senyawa

lain dengan konsentrasi tinggi yang bersifat racun terhadap kehidupan laut.

Tetapi kini telah diproduksi dispersant yang tidak menggunakan senyawa

hidrokarbon.

Dispersant disemprotkan pada tumpahan minyak dengan menggunakan

helikopter ataupun boat untuk memecahkan lapisan minyak menjadi tetesan,

selanjutnya akan hilang dari permukaan karena terdegradasi secara alami.

Penggunaan dispersant ini tidak akan efektif pada air yang tenang karena cara

ini membutuhkan gerakan gelombang agar dispersant tercampur dengan

tumpahan minyak. Namun, keefektifan cara ini pada air yang

bergelombangpun dibatasi oleh pembentukan air dalam emulsi minyak dan

rendahnya kontak antara dispersant-minyak.

c. Pembakaran Minyak Secara in Situ di Laut

Pembakaran minyak di laut mempunyai sejumlah batasan di antaranya

ketebalan minyak dan jarak antara lokasi tumpahan dengan kapal untuk alasan

keamanan. Misran (2002) melaporkan bahwa pembakaran secara in situ

dilakukan saat mengatasi tumpahan minyak dari kapal Exxon Valdez. Pada

hari kedua setelah kejadian, 60.000 - 110.000 liter minyak yang tumpah dapat
607

dihilangkan. Hal ini membutuhkan boom yang tahan api, sementara lapisan

minyak yang harus dijaga adalah setebal 3 mm. Residu pembakaran akan

berupa semi-padatan yang kaku yang dapat dengan mudah diangkat, sekalipun

masih menyisakan polutan di lingkungan laut. Masalah lain yang dapat timbul

adalah terjadinya pencemaran udara di sekitar lokasi kejadian.

Berbagai informasi tentang karakteristik asap akibat pembakaran minyak

bermunculan dari hasil studi yang dilakukan akibat adanya awan asap besar-

besaran ketika ladang minyak Kuwait membara selama Perang Teluk pada

Januari 1991. Asap yang terjadi segera meluas dengan ketinggian hingga 3 km

dan bergerak ke arah timur hingga jarak 1500-2000 km. Hujan hitam berbau

minyak terjadi selama 24 jam di Adana-Turki sekitar 1500 km barat laut

Kuwait beberapa hari setelah kejadian. Hujan berbau minyak juga masih turun

di bulan April, sekalipun tidak lagi berwarna hitam.

Swan et all., (1994) telah berusaha mengidentifikasi asap dan kandungan

racun yang dihasilkan yang memberikan pengaruh bagi atmosfer. Analisis

kimia yang dilakukan terhadap sampel aerosol dari pembakaran yang terjadi di

Kuwait menunjukkan bahwa konstituen utamanya adalah: (I) gumpalan dari

partikel jelaga berbentuk speris yang dilapisi senyawa sulfur; (ii) kristal kubik
2-
yang mengandung NaCl dan SO4 ; (iii) debu-debu yang mengandung Si, Al,

Fe, Ca, K, dan/atau S.

d. Bioremediasi

Bioredemiasi merupakan teknik penanganan tumpahan minyak secara

biologis, terutama dengan menggunakan mikroba, dalam hal ini adalah

bakteri, merupakan teknik yang paling ramah lingkungan dan relatif lebih
608

murah. Bioremediasi ini digunakan untuk finishing touch setelah proses fisika

dan kimia berjalan dengan efektif.

Menurut Syakti (2004) bakteri yang memiliki kapasitas untuk mendegradasi

senyawa yang terdapat di dalam petroleum hidrokarbon dikenal sebagai

bakteri hidrokarbonoklastik. Tranformasi biologis pencemar minyak yang

sebenarnya adalah merupakan proses mineralisasi material organik dengan

produk akhir gas karbondioksida yang ditandai dengan adanya peningkatan

biomasa bakteri itu sendiri. Proses degradasi sendiri tidak hanya tergantung

pada struktur kimia dari petrol akan tetapi juga dipengaruhi oleh faktor

lingkungan seperti pH, salinitas perairan, dan lebih spesifik lagi adalah

ketersediaan oksigen di lingkungan. Kendatipun banyak peneliti-peneliti

beranggapan bahwa bakteri aerob (yang dapat hidup hanya jika tersedia

oksigen) adalah potensi utama pendegradasi tumpahan minyak di perairan

ataupun di permukaan sedimen dangkal, di sedimen sendiri di mana terdapat

banyak bakteri yang bersifat anaerob (dapat hidup tanpa adanya sediaan

oksigen) seperti bakteri pereduksi sulfat juga dapat mengoksidasi hidrokarbon

(minyak) dengan kecepatan yang tentunya lebih lambat dari degradasi oleh

bakteri aerobik, namun dalam skala waktu geologi, perbedaan ini bukanlah

faktor yang kritik (penting).

Alpha Environtmental Inc., Texas, pernah menyemprotkan mikroba alami

yang memakan minyak pada tumpahan sekitar 100.000 barrel, dan mikroba itu

kemudian mati setelah memakan tumpahan minyak tersebut (Misran, 2002).

Sementara itu, Lee dan Levy (dalam Swan et all., 1994) melaporkan hasil

studi mereka tentang penggunaan bioremediasi terhadap tumpahan minyak


609

yang mengandung lilin. Dikatakan bahwa minyak dengan konsentrasi yang

rendah (0,3% v/v) dapat terdegradasi oleh bakteri alami; sementara minyak

dengan konsentrasi yang lebih tinggi (3%) lebih resinten (n-C11 bertahan

hingga 6 bulan). Pencampuran dengan pupuk pertanian secara nyata telah

memperkaya proses. Penambahan nutient telah membantu dalam

penghilangan sejumlah hidrokarbon, tetapi faktor pembatas di sini adalah

ketersediaan oksigen, dengan demikian penambahan harus terjadi pada lapisan

permukaan aerobik.

4.2. Pencegahan

4.2.1. Aspek Legalitas

Banyak kasus-kasus seperti ini hanya menjadi catatan pemerintah tanpa

penanggulangan tuntas. Sebagai contoh adalah kasus pencemaran di Pulau Seribu,

dimana diketahui bahwa pencemaran ini sudah terjadi sejak tahun 2003 dan dalam

kurun waktu 2003-2004 tercatat berlangsung 6 kali kejadian. Namun sampai saat

ini pemerintah belum mampu mengangkat kasus ini ke pengadilan untuk

menghukum pelaku apalagi membayar ganti rugi kepada masyarakat sekitar. Ini

menunjukkan lemahnya koordinasi antar instansi pemerintah dan kepolisian

dalam menuntaskan suatu kasus (Sudrajat, 2006).

Suatu peraturan yang baik adalah peraturan yang tidak saja memenuhi

persyaratan formal sebagai suatu peraturan, tetapi menimbulkan rasa keadilan dan

kepatutan dan dilaksanakan/ditegakkan dalam kenyataan. Undang-undang No 23

tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup mengatur jelas aspek-aspek

pengelolaan dan sanksi bagi pelaku polusi di laut . Namun pada kenyataan

dilapangan, aparat hukum sangat sulit mencari bukti untuk dibawa ke pengadilan.
610

Selain peraturan tentang lingkungan hidup juga tentang keselamatan dan

pelayaran kapal diatur dalam UU No 21 tahun 1992 yang menyebutkan bahwa

setiap kapal yang beroperasi untuk melayani seluruh kegiatan transportasi laut

harus berada dalam kondisi laik laut.

Dalam lingkup internasional, pada tahun 1954 badan maritim internasional

(IMO, International Maritime Organization) menghasilkan konvensi internasional

mengenai Pencegahan Pencemaran di Laut oleh Minyak (International

Convention for the Prevention of Pollution of the Sea by Oil 1954), konvensi ini

lalu diperbaharui pada tahun 1973 yang merupakan upaya awal dalam mengatasi

dampak pencemaran di laut. Indonesia yang masuk dalam keanggotaan organisasi

ini turut pula wajib melaksanakan aturan-aturan yang ditetapkan oleh IMO.

Menjadi tugas pemerintah dan segenap komponen masyarakat untuk

menegakkan peraturan-peraturan tersebut. Tugas pemerintah ini harus juga

diimbangi dengan dua faktor yaitu pertama adanya fasilitas yang memungkinkan

untuk bergerak dinamis, dalam hal ini mencari dan mengumpulkan data lapangan

tentang penyebab-penyebab terjadinya suatu kasus pencemaran lingkungan akibat

tumpahan minyak di laut dan kedua adalah ketersediaan sumber daya manusia

yang memadai.

4.2.2. Aspek Perlengkapan

Kita tahu bahwa pembersihan laut akibat tumpahan minyak sangat sulit

dilakukan, baik dalam hal waktu, kerja yang terus menerus, maupun dalam hal

segi biaya yang dibutuhkan. Tiga teknik yang direkomendasikan untuk

penanggulangan tumpahan minyak ini yaitu penggunaan spraying chemical

dispersants, pengoperasian slick-lickers, dan floating boom (Clark, 2003). Dengan


611

perlakuan dispersant dapat meningkatkan biodegradasi minyak, namun

penggunaan dispersant telah dilaporkan bersifat sangat toksik pada biota laut.

Salah satu alternatif penanggulangan minyak bumi di laut yang ramah lingkungan

adalah dengan bioteknologi, yaitu menggunakan bakteri pemakan minyak bumi.

Sementara itu langkah selanjutnya adalah pembersihan total sisa-sisa

minyak baik di permukaan laut ataupun di daerah pantai yang tercemar adalah

dengan bioremediation seperti menyemprotkan nitrat dan phosphate ke tumpahan

minyak untuk mempercepat kerja bakteri pengurai minyak serta menyemprotkan

air/uap tekanan tinggi ke bagian tebing batu karang yang terkena tumpahan.

Berkaitan dengan perlengkapan kapal, UU No 21/1992 tentang Pelayaran

menyebutkan pula tentang perlengkapan kapal baik dalam operasi maupun

penanggulangan kecelakaan (termasuk tumpahan minyak). Para produsen minyak

dan gas bumi pun sudah memiliki protap (prosedur kerja) dan fasilitas

penanggulangan tumpahan minyak yang cukup memadai untuk digunakan dalam

penerapan Tier 1 (penanggulangan bencana tumpahan minyak yang terjadi dalam

lingkup pelabuhan) dan Tier 2 (penanggulangan bencana tumpahan minyak yang

terjadi diluar lingkungan pelabuhan). Penerapan Tier 2 dilakukan secara inter-

connection dibawah koordinasi ADPEL (Administrasi Pelabuhan). Hal yang tidak

kalah penting dalam aspek ini juga adalah pentingnya penguasaan prosedur dan

teknik-teknik penanggulangan tumpahan minyak oleh pelaksana lapangan.

4.2.3. Aspek Koordinasi

Dalam hal penanggulangan polusi tumpahan minyak di laut, seluruh

departemen/instansi terkait seperti LSM, dan unsur masyarakat harus dapat

berkoordinasi untuk menanggulangi bahaya pencemaran ini. Koordinasi ini sangat


612

penting dilakukan agar pencemaran yang terjadi dapat selesai diatasi sampai

tuntas, dimana segenap komponen bahu membahu saling mengisi kekurangan dan

saling tukar informasi. Beberapa tahun yang lalu Departemen Kelautan dan

Perikanan memulai Gerakan Bersih pantai dan Laut (GBPL) sejak September

2003. Gerakan ini bertujuan untuk mendorong seluruh lapisan masyarakat untuk

mewujudkan laut yang biru dan pantai yang bersih pada lokasi yang telah

mengalami pencemaran. Dengan gerakan ini penulis juga mengharapkan bukan

hanya didukung oleh pemerintah dan masyarakat, namun juga didukung oleh para

pengusaha minyak dan gas bumi yang beroperasi di Indonesia.


613

V. MASA DEPAN EKOSISTEM LAUT

Lautan adalah suatu ekosistem besar yang sangat komplek, yang berisi air,

material terlarut dan organisme. Secara alami air laut tidak pernah berhenti

bergerak, senantiasa bercampur, dan mengubah energi dan bahan-bahan

materialnya dengan organisme, atmosfir dan bumi/dasar laut. Menurut Widada

(1993) lautan menutupi permukaan bumi seluas 362.000.000 km2, atau hampir

seluas 71 % bumi. Sekitar 61 % belahan bumi utara dan 81 % belahan bumi

selatan tertutup air laut. Kedalaman laut rata-rata terukur sekitar 4.000 meter.

Dibandingkan dengan rata-rata ketinggian muka daratan yang hanya 840 meter

dari atas permukaan laut, lautan mengisi ruang seluas lebih dari 300 kaki ruang

hunian dibandingkan dengan habitat terestial dan air tawar. Diperkirakan pula

sebesar 85 % produksi primer bumi berada di lingkungan ini.

Pembuangan limbah, bencana tumpahan minyak dan penghancuran

ekosistem laut masih terus berlangsung, seiring dengan meningkatnya populasi

manusia dan perkembangan teknologi industri dan pertanian, dengan kemampuan

merusak laut yang sangat tinggi, sementara sumberdaya lautpun terbatas.

Pengaruh limbah pencemar harus benar-benar disadari oleh manusia.

Sudah selayaknya kita kembali mengoreksi pemahanan yang salah bahwa laut

mempunyai kapasitas tampung limbah yang tak terbatas. Sekali lautan tercemar,

proses untuk mengembalikan keadaan semula tak hanya membutuhkan waktu

sebulan dua bulan, bahkan sampai bertahun-tahun.

Pengalihan jalur lalu-lintas kapal tanker tidaklah menyelesaikan masalah,

seperti misalnya pengalihan jalur Selat Malaka ke Selat Lombok dan terus ke

Selat Makasar. Hal ini bahkan hanya akan menambah luasnya daerah cemaran
614

minyak, dan akan menghancurkan ekosistem yang masih murni. Haruskah kita

akan melihat kehancuran pantai Sengingi, Taman Laut Bunaken serta Taman Laut

Pulau Selayar yang kita banggakan itu.

Bumi hanya satu, dan kelestarian lingkungan adalah tanggung jawab

seluruh umat manusia. Masalah ini masalah global dan mendesak yang harus

segera ditangani semua negara, semua pihak dan semua orang, dengan

penanganan yang terarah dan terpadu. Selain masalah hukum, penerapan prinsip-

prinsip ekologi dalam penanganan masalah pencemaran sangat diperlukan, agar

didapatkan hasil penanggulangan yang optimal.

Penulis meyakini bahwa Indonesia memang tertinggal dari negara-negara

lain dalam hal pencegahan dan penanggulangan bencana tumpahan minyak di laut

ini. Penulis contohkan Jepang, menurut Sudrajat (2006) di Jepang dalam hal

pencegahan dan penanggulangan bencana tumpahan minyak di laut, antara

birokrasi, LSM, institusi penelitian dan masyarakat telah terintegrasi dengan baik.

Kasus kandasnya kapal tanker milik Rusia Nakhodka (13.157 ton bermuatan

19.000 kilo liter heavy oil) pada Januari 1997 dapat dijadikan contoh keberhasilan

negara ini dalam hal penanggulangan tumpahan minyak. Sekitar 6.240 kl tumpah

di perairan Jepang dari Propinsi Shimane sampai Niigata. Seluruh aparat baik

pemerintahan daerah dan pusat, pusat-pusat penelitian, universitas, LSM dan

masyarakat bekerja keras saling membantu dalam penanggulangan bencana ini.

Hanya dalam waktu 50 hari seluruh tumpahan dapat diselesaikan.

Pemerintah dalam hal ini instansi terkait seperti KLH, Pariwisata,

Pendidikan dan Kebudayaan, Perindustrian dan Perdagangan, DKP, TNI AL,

Kepolisian, Departemen Perhubungan, PERTAMINA dan Pemerintah Daerah


615

harus menjadi ujung tombak dalam pencegahan dan penanggulangan polusi laut

ini. Oleh karenanya kegiatan monitoring dan kontrol menjadi sangat penting

untuk mencegah dan menanggulangi bahaya pencemaran laut dari tumpahan

minyak. Semua pihak instansi/departemen, LSM, TNI AL, Kepolisian harus

melakukan koordinasi yang terus menerus. Upaya-upaya penanggulangan bencana

tumpahan minyak di laut akan berjalan efektif manakala memenuhi tiga aspek

yang telah dijelaskan diatas (legalitas, perlengkapan dan koordinasi) ditambah

dengan ketersediaan anggaran dan pelatihan SDM berkelanjutan.


616

DAFTAR PUSTAKA

Clark, R. B., 2003. Marine Pollution, Oxford University Press, New York.

Charade dan T.H. Subandri, 1983. Sekali Lagi tentang Penanggulangannya:


Pencemaran Air Akibat Industri Minyak. Harian Pikiran Rakyat, edisi 15
Mei 1983.

Fahruddin, 2004. Dampak Tumpahan Minyak pada Biota Laut. Kompas online,
edisi 17 Maret 2004.

JICA-Dephub, 2002. The Study for The Maritime Safety Development Plan in
Republic of Indonesia. Jakarta.

Rubiandini, R., 2006. Dampak Pengeboran Sumur Migas. Republika online, edisi
1 Agustus 2004.

Siahaan, N. H. T., 1989a. Pencemaran Laut dan Kerugian yang Ditimbulkan (I),
Harian Angkatan Bersenjata, Jakarta: 8 Juni 1989.

Siahaan, N. H. T., 1989b. Pencemaran Laut dan Kerugian yang Ditimbulkan (II),
dalam Harian Angkatan Bersenjata, Jakarta: 9 Juni 1989.

Sofyan, 2001. Desentralisai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Suatu


Peluang dan Tantangan, Makalah Falsafah Sain, PPS-IPB. Bogor.

Sudrajat, A., 2006. Tumpahan Minyak di Laut dan Beberapa Catatan terhadap
Kasus di Indonesia. Inovasi online. 6 (8) : 1 - 3

Sumadhiharga, 1995. Zat-Zat yang Menyebabkan Pencemaran di Laut. Jurnal


Lingkungan dan Pembangunan. 15(4) : 376-387.

Swan, J.M., J.M. Neff and P.C. Young, 1994. Environmental Implications of
Offshore Oil and Gas Development in Australia - The Findings of An
Independent Scientific: Australian Petroleum Aexploration Association
Limited. Sydney.

Syakti, A. D., 2004. Bioremediasi Lingkungan. Republika Online, edisi 23


Oktober 2004.

Widada, H.Y.W., 1993. Bencana Ekosistem Laut. Republika Online, edisi 3


Februari 1993.
617

PENCEMARAN AIR BERPENGARUH PADA


KEHIDUPAN PERAIRAN

OLEH :

INDIRA EKAWATI

PROGRAM STUDI ILMU LINGKUNGAN


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
2006
618

I. PENDAHULUAN

Kualitas kehidupan dipengaruhi oleh lingkungan tempat kita hidup. Salah

satu komponen yang sangat penting dalam kehidupan kita adalah air. Air yang

bersih sangat diperlukan untuk kesehatan sehingga dapat menunjang aktivitas

yang menghasilkan hal positif. Apabila komponen penting tersebut tercemar,

maka akan mempengaruhi kualitas hidup. Kesehatan tubuh mulai menurun

sehingga daya tahan tubuh terhadap infeksi penyakit menjadi rentan. Pencemaran

terhadap air diakibatkan oleh ulah manusia yang tidak perduli terhadap kesehatan

lingkungan.

Beberapa bahan pencemar seperti bahan mikrobiologik (bakteri, virus,

parasit), bahan organik (pestisida, deterjen) dan beberapa bahan inorganik (garam,

asam, logam) serta beberapa bahan kimia lainnya sudah banyak ditemukan dalam

air yang kita pergunakan. Air yang sudah tercemar terasa tidak enak dan dapat

menyebabkan gangguan kesehatan. Air yang tercemar juga berpengaruh negatif

terhadap makhluk hidup lainnya. Selain dapat menurunkan produksi tanaman

pangan, perikanan maupun peternakan, kualitas komoditas tersebut juga sangat

menurun, sehingga dapat melemahkan daya saing dalam era pasar bebas

internasional. Hal itu terjadi karena di dalam produk komoditas yang

bersangkutan terdapat bahan kimia yang mengakibatkan pengaruh negatif

terhadap konsumen yang memakannya. Air yang tercemar oleh logam beracun

dapat menyebabkan kematian biota maupun hewan air. Oleh sebab itu

pengawasan dan pencegahan pencemaran lingkungan harus selalu diupayakan

demi kelestarian kehidupan.


619

Pencemaran air dapat merupakan masalah regional maupun lingkungan

global, dan sangat berhubungan dengan pencemaran udara serta penggunaan lahan

tanah atau daratan. Pada saat udara yang tercemar jatuh ke bumi bersama air

hujan, maka air tersebut sudah tercemar. Beberapa jenis bahan kimia untuk pupuk

dan pestisida pada lahan pertanian akan terbawa air ke daerah sekitarnya sehingga

mencemari air pada permukaan lokasi yang bersangkutan. Pengolahan tanah yang

kurang baik akan dapat menyebabkan erosi sehingga air permukaan tercemar

dengan tanah endapan. Pencemaran air terdiri bermacam-macam jenis dan

pengaruhnya terhadap lingkungan serta mahkluk hidup juga bermacam-macam.

Pencemaran air umumnya terjadi oleh tingkah laku manusia seperti oleh

zat-zat detergen, asam belerang dan zat-zat kimia sebagai sisa pembuangan

pabrik-pabrik kimia/industri. Pencemaran ini pun bisa juga oleh pestisida,

herbisida, pupuk tanaman yang merupakan unsur-unsur polutan, sehingga mutu

air berkurang bahkan dapat membahayakan baik untuk tumbuh-tumbuhan maupun

hewan/manusia. Sebagai contoh DDT, aldrin, endrin, dan fosfor organik bila

mencemari tanah pertanian akan merugikan sebab zat-zat ini bisa membunuh

mikroorganisme/ jasad renik yang sangat penting bagi tanah untuk proses

pembusukan dan sintesa zat-zat organik/anorganik. Ewusie (1990) mengatakan

bahwa pestisida organo-klorin seperti DDT, Aldrin dan Dieldrin yang bersifat

tahan lama di dalam tanah akan tersalir ke dalam danau, sungai dan aliran air

sehingga dapat meracuni ikan. Pada akhirnya pestisida itu masuk dan terkumpul

dalam tubuh manusia melalui makanannya.


620

II. PENCEMARAN

Bahan pencemar adalah bahan-bahan yang bersifat asing bagi alam atau

bahan yang berasal dari alam itu sendiri yang memasuki suatu tatanan ekosistem

sehingga mengganggu peruntukan ekosisitem tersebut (Effendi, 2003).

Manusia dan semua mahkluk hidup membutuhkan air sebagai salah satu

sumber kehidupan. Air merupakan material yang membuat kehidupan terjadi di

bumi. Semua organisme yang hidup tersusun dari sel-sel yang berisi air sedikitnya

60% dan aktivitas metaboliknya mengambil tempat di larutan air (Soetrisno,

1988). Air merupakan sumber daya alam yang dapat diperbarui, tetapi air mudah

terkontaminasi oleh aktivitas manusia. Air banyak digunakan untuk tujuan yang

bermacam-macam sehingga mudah tercemar.

Wardhana (2001) mengatakan bahwa air tercemar apabila air tersebut telah

menyimpang dari keadaan normalnya. Keadaan normal air masih tergantung pada

faktor penentu yaitu kegunaan air itu sendiri dan asal sumber air. Ukuran air

disebut bersih dan tidak tercemar tidak ditentukan oleh kemurniaan air. Indikator

atau tanda bahwa air lingkungan telah tercemar adalah adanya perubahan yang

dapat diamati melalui adanya perubahan suhu air, pH, warna, bau, rasa, timbulnya

endapan, koloidal, bahan terlarut dan meningkatnya radioaktivitas air lingkungan.

Berbagai kuman penyebab penyakit pada makhluk hidup seperti bakteri,

virus, protozoa dan parasit sering mencemari air. Kuman yang masuk ke dalam air

tersebut berasal dari buangan limbah rumah tangga maupun buangan dari industri

peternakan, rumah sakit, tanah pertanian dan lain sebagainya. Pencemaran dari

kuman penyakit ini merupakan penyebab utama terjadinya penyakit pada orang
621

yang terinfeksi. Penyakit yang disebabkan oleh pencemaran air ini disebut water-

borne disease dan sering ditemukan pada penyakit tifus, kolera dan disentri.

Penggunaan pupuk nitrogen dan fosfat dalam bidang pertanian telah

dilakukan sejak lama secara meluas. Pupuk kimia ini dapat menghasilkan

produksi tanaman pangan yang tinggi sehingga menguntungkan petani.tetapi

dilain pihak nitrat dan fosfat dapat mencemari sungai, danau dan lautan. Sumber

pencemaran nitrat tidak hanya berasal dari pupuk pertanian karena di udara

atmosfer bumi mengandung 78% gas nitrogen. Pada waktu hujan dan terjadi kilat

dan petir, di udara akan terbentuk amonia dan nitrogen (NH4-, NO3-) dan terbawa

air hujan menuju permukaan tanah. Nitrogen akan bersenyawa dengan komponen

yang kompleks lainnya (Soetrisno, 1988). Pupuk juga mengalir ke dalam sungai

dan ke dalam aliran air lewat sitem pengaliran pada tanah. Meningkatnya nitrat

dan fosfat di dalam sungai ataupun danau dapat menyebabkan perubahan kualitas

air sehingga banyak diantara unsur yang dikehendaki pada flora dan fauna

menjadi semakin berkurang dan khususnya ikan tidak akan mampu bertahan.

Kandungan nitrat yang tinggi dalam air minum akan dapat menyebabkan

gangguan sisitem peredaran darah pada bayi berumur dibawah 3 bulan. Penyakit

ini disebut gejala bayi biru dengan gejala yang khas yaitu terlihat warna kebiruan

pada daerah sekitar bibir dan pada beberapa bagian tubuh. Hal ini disebabkan oleh

sejenis bakteri di dalam lambung (karena minum botol yang tidak steril) yang

mengubah nitrat menjadi nitrit. Hemoglobin darah dari bayi mengambil nitrit

yang seharusnya oksigen akibatnya bayi mengalami kegagalan dalam pernapasan

(Darmono, 2001).
622

Nitrat ternyata juga dapat menjadi pupuk pada tanaman air. Bila terjadi

hujan lebat, air akan membawa nitrat dari tanah masuk kedalam aliran air sungai,

danau dan waduk kemudian menuju lautan dalam kadar yang cukup tingggi. Hal

ini kan merangsang tumbuhnya algae dan tanaman air lainnya. Kelimpahan unsur

nitrat ini dalam air disebut euthrophication. Pengaruh negatif dari eutrofikasi ini

ialah terjadinya perubahan keseimbangan kehidupan antara tanamn air dengan

hewan air sehingga beberapa spesies ikan akan musnah dan tanaman air akan

dapat menghambat laju arus air (Effendi, 2003).

Penyebab utama berkurangnya kadar oksigen dalam air ialah limbah

organik yang terbuang dalam air. Limbah organik akan mengalami degradasi dan

dekomposisi oleh bakteri aerob sehingga lama kelamaan oksigen yang terlarut

dalam air akan sangat berkurang. Dalam kondisi berkurangnya oksigen tersebut

hanya spesies organisme tertentu saja yang dapat hidup (Sunu, 2001).

Usaha mencegah pencemaran air yaitu sebagai berikut :

1. Air limbah yang akan dibuang ke perairan harus diolah lebih dahulu sehingga

memenuhi standar air limbah yang telah ditetapkan pemerintah.

2. Menentukan dan mencegah terjadinya interaksi sinergisma antarpolutan satu

dengan lainnya.

3. Menggunakan bahan yang dapat mencegah dan menyerap minyak yang

tumpah di perairan.

4. Tidak membuang air limbah rumahtangga langsung ke dalam perairan. Hal ini

untuk mencegah pencemaran air oleh bakteri.

5. Limbah radioktif harus diproses dahulu agar tidak mengandung bahaya radiasi

dan dibuang di perairan.


623

6. Mengeluarkan atau menguraikan deterjen atau bahan kimia lain dengan

menggunakan aktivitas mikroba tertentu sebelum dibuang ke dalam perairan

umum.

Danau merupakan penampungan alami dalam pengumpulan unsur nutrisi,

bahan padat tersuspensi dan bahan kimia toksik yang akhirnya mengendap di

dasarnya. Penampungan bahan-bahan tersebut berlangsung bertahun-tahun

bahkan beratus tahun pada danau alami, sehingga proses pandangkalan tidak

dapat dihindarkan. Danau lebih banyak terkontaminasi daripada sungai,

kontaminasi terjadi dari unsur nutrisi tanaman, minyak, pestisida dan substansi

toksik yang dapat merusak kehidupan di dasar danau dan ikan yang hidup di

dalamnya. Kondisi hujan asam dan asamdari aliran air yang tumpah ke danau

merupakan masalah serius pada danau karena asam dapat tertimbun di dalamnya

(Soetrisno, 1988).

Proses eutrofikasi merupakan proses alamiah pada beberapa danau tetapi

bila terjadi kontaminasi fosfat dan nitrat karena aktivitas manusia yang

berlangsung terus menerus, maka proses eutrofikasi tersebut meningkat secara

drastis. Kejadian eutrofikasi merupakan masalah yang terbanyak ditemukan dalam

danau terutama bila danau tersebut berdekatan dengan daerah urban atau daerah

pertanian (Effendi, 2003). Danau akan mulai mendangkal dan dipenuhi unsur

nutrisi tanaman sehingga ganggang atau tanaman air lainnya akan tumbuh subur

terutama di tepi danau. Algae dapat tumbuh dengan cepat terutama algae yang

mengambang seperti ganggang biru hijau. Algae tersebut menyebabkan air

berubah warna menjadi hijau dan membebaskan suatu substansi yang

menyebabkan bau dan rasa air tidak enak, dan beracun terhadap hewan air
624

(Darmono, 2001). Hal tersebut juga menyebabkan kadar air oksigen terlarut

sangat menurun pada daerah permukaan air di tepi danau dan dasar danau

sehingga banyak bahan organik seperti algae yang mati tenggelam di dasar danau.

Algae yang mati didasar danau diuraikan oleh bakteri aerob sehingga kadar

oksigen terlarut dalam air menjadi sangat menurun. Beberapa jenis ikan akan

menderita kekurangan oksigen sehingga banyak spesies ikan yang peka terhadap

konsumsi oksigen akan mati. Jika pencemaran terus berlanjut, bagian dasar air

akan menjadi kotor dan penuh dengan organisme yang mati. Dalam kondisi ini

bakteri anaerob mulai tumbuh subur dan menyebabkan bau yang tidak sedap,

yaitu bau hidrogen sulfida (H2S) dan metan (CH4).

Dalam usaha penanggulangan eutrofikasi dalam danau dan waduk ada dua

cara yang perlu dilakukan yaitu sistem input dan sistem output. Sistem input

dilakukan dengan mencegah bahan pencemar nutrisi masuk ke dalam air danau

atau waduk sedangkan sistem output dilakukan dengan membersihkan danau atau

waduk yang terkena proses eutrofikasi (Darmono, 2001).

Darmono (2001) mengatakan bahwa sistem input yang perlu dilakukan

adalah :

1. Menggunakan sarana pengolahan limbah yang baik dan memadai yang dapat

menyaring fosfat dari aliran limbah industri atau sarana pengolah limbah

lainnya sampai 90 % sebelum air buangannya mengalir ke danau.

2. Menentukan batas limit kandungan fosfat yang diperbolehkan dalam detergen

dan digunakan dalam rumah tangga dan bahan pencuci lainnya untuk

mengurangi jumlah fosfat yang terbuang dalam sarana pengolahan limbah.


625

3. Mengawasi penggunaan lahan, meningktakan konservasi tanah, pembersihan

jalan-jalan secara teratur untuk mengurangi larutan tanah yang mengandung

pupuk, kotoran hewan dan tanah tercemar yang terbawa arus air dan mengalir

ke danau. Petani diwajibkan menanam pepohonan di perbatasan antara

tanahnya dengan danau untuk menahan larutan tanah dari lahan yang mengalir

ke dalam danau.

4. Melindungi dan menjaga lahan sekitar danau dengan jalan menanam pohon

bakau atau tanaman keras lainnya untuk menyaring bahan tercemar/unsur

nutrisi dari aliran air yang mengalir ke danau.

Darmono (2001) mengatakan bahwa sistem output yang perlu dilakukan

adalah :

1. Mengeruk sedimen dari dasar danau untuk mengambil nutrisi yang

mengemdap bersama algae yang tumbuh subur di atasnya. Hal ini sulit untuk

dilakukan terhadap danau yang luas dan dalam. Hasil kerukan harus dibuang

jauh dari lokasi pengerukan dan cukup menyulitkan karena akan

mampengaruhi habitat lokasi buangan kerukan tersebut.

2. Memanen atau mengambil tanaman air yang tumbuh di dalam danau. Hal ini

dapat merusak suatu bentuk kehidupan air. Selain itu sulit dilakukan pada

danau yang luas dan diperlukan biaya yang besar.

3. Memberantas pertumbuhan tanaman pengganggu dengan herbisida dan

algaesida. Hal ini dapat mencemari air danau sehingga dapat membunuh ikan

dan tanaman air lainnya.

4. Memompa udara ke dalam danau untuk mencegah kekurangan oksigen dalam

air. Tetapi hal ini memerlukan biaya mahal.


626

5. Memberantas spesies ikan yang mencari makan didasar air seperti ikan karper,

karena dapat mengaduk-aduk unsur nutrisi dalam sedimen sehingga unsur

nutrisi tersebut luas dalam danau yang mengakibatkan eutrofikasi.

Pencegahan dengan sistem input merupakan cara yang paling efektif

dilakukan dan lebih murah biayanya. Jika danau tercemar dapat mengakibatkan

pengaruh buruk terhadap konsumennya, memerlukan dana yang cukup besar dan

memakan waktu lama untuk membersihkannya kembali. Beberapa unsur nutrisi

sangat diperlukan untuk beberapa spesies tanaman air, biasanya salah satu unsur

jumlahnya sedikit sekali. Seperti halnya fosfor, yang merupakan unsur dengan

jumlah kecil di dalam air danau, pengontrolan pencemaran dititikberatkan pada

unsur ini karena mudah dilakukan daripada mengontrol unsur nitrogen. Penelitian

terhadap 400 badan sungai di Amerika menunjukkkan bahwa pengurangan 20 %

dari total fosfat dapat menghasilkan pengaruh yang baik terhadap kualitas air. Di

beberapa negara bagian di Amerika Serikat dan Kanada,cara menentukan batas

limit kandungan fosfat dalam deterjen dapat mengurangi proses eutrofikasi secara

nyata (Darmono, 2001).

Pada beberapa air danau pengontrolan harus dititikberatkan pada

pengurangan input fosfat karena fosfat merupakan unsur nutrisi dalam jumlah

yang kecil. Jika kelebihan unsur limit dapat dihentikan danau akan dapat kembali

normal. Akan tetapi unsur nutrisi nitrogen sangat sulit dikontrol daripada fosfat

karena nitrat sangat mudah larut dalam air dan jumlahnya besar dari berbagai

pupuk lahan pertanian yang luas.


627

III. PENCEMARAN AIR BERPENGARUH PADA KEHIDUPAN


PERAIRAN

Pada umumnya, air lingkungan yang telah tercemar kandungan

oksigennya sangat rendah. Hal ini karena oksigen yang terlarut di dalam air

diserap oleh mikroorganisme untuk memecah/mendegradasi bahan buangan

organik sehingga menjadi bahan yang mudah menguap. Darmono (2001)

mengatakan bahwa penyebab utama berkurangnya kadar oksigen dalam air ialah

limbah organik yang terbuang dalam air. Limbah organik akan mengalami

degradasi dan dekomposisi oleh bakteri aerob sehingga lama-kelamaan oksigen

yang terlarut dalam air akan sangat berkurang. Dalam kondisi berkurangnya

oksigen tersebut hanya spesies organisme tertentu yang dapat hidup. Kehidupan

mikroorganisme, seperti ikan dan hewan air tidak terlepas dari kandungan oksigen

yang terlarut di dalam air. Air yang tidak mengandung oksigen tidak akan

memberikan kehidupan bagi miroorganisme, ikan dan hewan air lainnya. Oksigen

yang terlarut di dalam air sangat penting artinya bagi kehidupan perairan

(Wardhana, 2001).

Darmono (2001) mengatakan bahwa jenis algae terutama ganggang hijau

sangat subur bila mendapat pupuk nitrat sehingga akan menghambat sinar

matahari yang masuk ke dalam air sehingga tanaman yang tumbuh di bawahnya

akan mati. Bakteri pembusuk akan menguraikan organisme yang mati, baik

tanaman maupun hewan yang terdapat di dasar air. Proses pembusukan tersebut

banyak menggunakan oksigen terlarut dalam air, sehingga kadar oksigen akan

menurun secara drastis dan pada akhirnya kehidupan biologis di daerah tersebut

akan juga sangat berkurang.


628

Tanaman yang ada di dalam air dengan bantuan sinar matahari melakukan

fotosintesis yang menghasilkan oksigen. Oksigen yang dihasilkan dari fotosintesis

ini akan larut di dalam air. Oksigen yang ada di udara dapat juga masuk ke dalam

air melalui proses difusi yang secara lambat menembus permukaan air.

Konsentrasi oksigen yang terlarut di dalam air tergantung pada tingkat kejenuhan

air itu sendiri. Kejenuhan air dapat disebabkan oleh koloidal yang melayang di

dalam air maupun oleh jumlah larutan limbah yang terlarut di dalam air. Suhu air

juga mempengaruhi konsentrasi oksigen yang terlarut di dalam air. Tekanan udara

dapat pula mempengaruhi kelarutan oksigen di dalam air karena tekanan udara

mempengaruhi kecepatan difusi oksigen dari udara ke dalam air (Wardhana,

2001).
629

DAFTAR PUSTAKA

Darmono, 2001. Lingkungan Hidup dan Pencemaran, Hubungannya dengan


Toksiologi Universitas Indonesia, Jakarta.

Effendi, H., 2003. Telaah Kualitas Air bagi Pengelolaan Sumberdaya dan
Lingkungan Perairan. Kanisius, Yogyakarta. 258 hal.

Soetrisno, C., 1988. Ekologi Pertanian.Armico. Bandung.

Sunu, P., 2001. Melindungi Lingkungan dengan Menerapkan ISO 140001.


Grasindo. Jakarta.

Wardhana, W. A., 2001. Dampak Pencemaran Lingkungan. Andi. Yogyakarta.


630

BIOREMOVAL LOGAM BERAT DENGAN


MIKROORGANISME

OLEH :

LINDA WARNI

PROGRAM STUDI ILMU LINGKUNGAN


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
2006
631

I. PENDAHULUAN

Logam berat merupakan salah satu buangan yang dapat menimbulkan

dampak negatif terhadap lingkungan dan sasaran paling utama pencemaran logam

berat adalah lingkungan akuatik. Oleh karena itu diperlukan upaya untuk

mencegah atau setidaknya meminimalkan dampak negatif tersebut dengan

melakukan pengelolahan limbah secara serius serta selalu memonitor daerah

aliran limbah terhadap logam berat dalam jumlah kelumit.

Berbagai kasus pencemaran logam berat telah banyak dilaporkan, contoh

yang cukup terkenal diantaranya adalah pencemaran yang disebabkan oleh

pembuangan aktivitas pertambangan yang mengandung Kadmium di hulu sungai

Jinzu (Jepang) mencemari air, tanah dan makanan di lingkungan sungai tersebut.

Pencemaran Kadmium ini telah menimbulkan penyakit yang dikenal sebagai ―itai-

itai desease‖ (Kobayashi dalam Darmono, 1995). Selanjutnya Needleman (dalam

Darmono, 1995) mempelajari pengaruh kronis toksisitas timbal (Pb) pada anak

umur 6-7 tahun yang tinggal di tepi sungai dengan resiko pencemaran Pb yang

tinggi yang. Dari penelitian ini ditemukan bahwa pada anak yang mempunyai gigi

tanggal mengandung konsentrasi Pb > 24 ppm menunjukkan kelemahan daya

pikir, lamban dan sulit menangkap pelajaran. Dari penelitian ini dapat

disimpulkan bahwa keracunan Pb, meski tidak menunjukkan gejala keracunan

namun pengaruhnya sangat mengkawatirkan.

Kecemasan yang berlebihan terhadap hadirnya logam berat di lingkungan

dikarenakan tingkat keracunan yang sangat tinggi dalam seluruh aspek kehidupan

makluk hidup. Beberapa ion logam seperti arsenic, timbal, cadmium dan merkuri

berbahaya bagi kesehatam manusia dan kelangsungan kehidupan di lingkungan


632

(Darmono, 2001). Walaupun dalam konsentrasi yang rendah efek logam berat

dapat langsung berpengaruh dan terikat pada rantai makanan. Seperti sumber –

sumber polusi lingkungan lainnya logam dapat ditransper dalam jangkauan yang

sangat jauh dan selanjutnya berpotensi mengganggu kehidupan biota lingkungan

dan akhirnya berpangaruh terhadap manusia walaupun dalam jangka waktu yang

lama dan jauh dari sumber popusi utamanya.

Sumber logam yang ditemui di lingkungan berasal dari proses alam seperti

perubahan siklus alamiah mengakibatkan batuan-batuan dan gunung berapi

memberikan konstribusi yang besar ke lingkungan. Disamping itu masuknya

logam berat ke lingkungan berasal dari sumber-sumber lain seperti pertambangan

minyak, emas dan batu bara, pembangkit listrik, peptisida , keramik, peleburan

logam, pabrik - pabrik pupuk dan kegiatan industri lainya. Kontaminasi ini akan

terus meningkat sejalan dengan meningkatnya eksploitasi berbagai sumber alam

dimana logam berat terkandung didalamnya. Logam berat yang sering

mengkontaminasi air yaitu merkuri dan timbal.

Mengingat tingginya resiko pencemaran lingkungan oleh logam berat

berbagai penelitian telah dilakukan dalam memperbaiki sistim pengolahan limbah

logam-logam berat tersebut. Salah satunya adalah proses pengolahan dengan

mengunakan mikroorganisme. Pengolahan dengan menggunakan mikroorganisme

dengan tujuan mengurangi tingkat keracuan elemen polusi terhadap lingkungan

mengacu kepada proses bioremediasi.


633

II.PENGGUNAAN LOGAM BERAT

Pengunaan logam-logam diperlukan dalam proses produksi dari suatu

pabrik baik pabrik cat, aki/baterai sampai produksi alat alat listrik. Bahan yang

digunakan oleh pabrik dapat berbentuk logam murni, bahan anorganik maupun

bahan organik (Pramudya, 2001). Jumlah logam yang digunakan bervariasi

tergantung jenis pabriknya. Pengunaan logam berat oleh manusia dalam berbagai

keperluan sehari-hari telah memberikan konstribusi baik langsung maupun tidak

langsung telah mencemari lingkungan. Agar tidak menimbulkan dampak

lingkungan maka industri – industri logam berat yang berbahaya seharusnya

melakukan tindakan pencegahan seperti melakukan pengolahan limbah atau

mengirim limbahnya di pusat pengolahan limbah. Pihak Instansi yang berwenang

harus melakukan pengawasan yang ketat terhadap pengunaan logam-logam berat

yang berbahaya.

2.1. Pengunaan Merkuri/Air Raksa

Merkuri secara besar – besaran digunakan dalam industri khlor-alkali,

dimana diproduksi klorin (Cl2) dan kautik soda (NaOH) dengan elektrolisis

larutan garam NaCl. Penggunaan merkuri dalam proses ini didasarkan pada

sifatnya yang berupa cairan, kunduktivitas listriknya, dan kemampuannya untuk

membentuk amalgam dengan logam natrium, dimana logam merkuri bertindak

sebagai katode dari sel elektrolisis (Pramudya, 2001). Logam merkuri dapat

digunakan sebagai katalis dalam proses berbagai industri kimia seperti pada

industri vinil chloride yang merupakan bahan dasar dari berbagai plastik, industri

pulp dan kertas menggunakan fenil merkuri asetat untuk mencegah pembentukan

lendir pada pulp kertas yang masih basah sekarang sudah dilarang pengunaannya,
634

industri baterai, cat, pabrik-pabrik alat alat listrik yang menggunakan lampu-

lampu merkuri untuk penerangan jalan raya. dan katalisator dalam pembuatan

uretan dan polivinil.

2.2. Penggunaan Timbal

Logam yang sangat popular dan banyak dikenal oleh orang awan.

Mempunyai sifat kimia yang aktif sehingga dapat digunakan lapisan logam untuk

mencegah karatan. Dalam pertambanga logam ini berbentuk sulfide logam (PbS)

yang sering disebut galena.

Pengunaan Timbal terbesar adalah dalam industri baterai kendaraan

bermotor seperti timbal metalik dan komponen-koponennya, sebagai bensin untuk

kendararaan, cat dan pestisida. Bensin yang mengandung timbah di Indonesia

sampai saat ini masih digunakan. Elektroda dari baterai biasanya mengandung 93

% Pb dan Sb (antimoni) yang berguna untuk merangsang arus listrik

(Darmono,1995). Disamping itu timbal digunakan juga dalam perlengkapan

berbahan kuningan untuk pipa yang bersifat korosif, produk mainan, lapisan kaca

keramik, campuran pembuatan cat sebagai pewarna, karena daya larut yang

rendah dalam air.

2.3. Kegunaan Cadmium

Logam cadmium biasanya selalu dalam bentuk campuran dengan logam

lain, turtama pertambangan seng (Zn) dan timah hitam (Darmono,1995).

Penggunaan cadmium untuk keperluan yang cukup luas seperti penyepuhan

secara elektrolisis, zat warna plastik, cat, industri elektroplanting dan tinta,

sebagai bahan paduan dalam dengan logam nikel dalam baterai. Bentuk garam
635

cadmium dari asam lemah sangat bagus untuk stabilisator pada pembuatan PVC

dan industri lainnya. Pengunaan dan penataan industri yang tidak menindahkan

lingkungan mengkibatkan pencemaran cadmium menyebar lebih luas terutama

melalui saluran yang kemudian terjadi pengendapan yang mengandung cadmium.

Sebagian besar limbah cadmium diakibatkan oleh kegiatan proses penyepuhan

secara elektrolisis.

2.4. Pengunaan Arsen

Logam arsen ditemukan dalam bentuk senyawa kimia baik dengan logam

lain, oksida maupun sulfur. Arsen digunakan untuk campuran dalam insektisida,

bahan konduktor listrik tetapi tidak sebagus logam lain, pembasmi gulma dan

pengewetan kayu.(Darmono 1995). Bentuk arsen yang terlaut seperti sodium

arsenat mudak diabsorsi oleh hewan yang memakan pakan yang tercemar

pestisida.

2.5. Pengunaan Tembaga

Tembaga dugunakan dalam pabrik berbentuk senyawa organik dan

anorganik, logam ini banyak digunakan pada pabrik yang memproduksi alat – alat

listrik, gelas dan zat warna yang biasa dicampur dengan logam sebagai alloi

dengan perak (Ag), cadmium dan seng, sedangkan garam tembaga banyak

digunakan dalam bidang peranian seperti larutan ‗Bordeaux‘ yang mengandung

tembaga sulfat 1-3 % untuk membasmi jamur pada pohon buah-buahan,

pembasmi siput, mengobati penyakit kuku pada domba.


636

2.6. Pengunaan Seng

Seng dan beberapa bentuk senyawa digunakan dalam produksi logam

campuran misalnya perunggu, loyang, kuningan, pelapisan logam seperti baja,

besi yang meripakan produk anti karat, zat warna untuk cat, lampu, gelas,

pestisida dan keramik.

2.7. Logam Lain (Co, dan Cr)

Industri elektronika banyak menggunakan kobal dan kromium yang

bercampur dengan logam lain sebag alloi, industri kimia lainya yang

menggunakan kobal dan krom sebagai katalisator.


637

III. TOKSISITAS LOGAM BERAT

Kontaminasi logam berat merupakan masalah besar saat ini karena logam

berat berakumulasinya sampai pada rantai makanan dan keberadaanya di alam,

serta meningkatnya sejumlah logam yang menyebabkan karacunan terhadap

tanah, udara dan air mengningkat. Suatu organisme akan kronis apabila produk

yang dikonsumsikan mengandung logam berat. Berikut penjelasan mengenai

logam berat dan standar kesehatannya.

Antimonil (Sb). Antimony dapat dijumpai secara alamiah dilingkungan

dalam jumlah yang kecil, tetapi dengan adanya kegiatan industri elemen ini dapat

dijumpai dalam jumlah cukup besar. Kualitasnya di lingkungan sebagai endapan

rata –rata sebasar 0,03 – 0,031 ppb, endapan lumpur sebasar 1,3 – 12,7 ppm, pada

air sungai levelnya 0,09 -0,86 ppb (Jenkins, et.al, 1998). Sifat racun antimony

setara dengan arsenic dan bismuth, antimony valensi tiga lebih beracun

dibandingkan dengan antimony bervalensi lima.

Arsenik (AS), Arsenik diakui sebagai komponen essensial bagi sebagian

hewan dan tumbuh-tumbuhan, namun demikian arsenik lebih popular dikenal

dengan raja racun dibandingkan arsenik sebagai konponen essensial

(Suhendrayatna,2001). Pada permukaan bumi arsenik berada pada urutan ke -20

sebagai elemen yang berbahaya, ke-14 di lautan dan unsur ke 12 berbahaya bagi

manusia. Senyawa ini labil dalam bentuk oksida dan tingkat recunnya sama

seperti yang dielemen lain sangat tergantung pada bentuk struktur kimianya.

Arsenik dapat berikatan kuat dengan gugus thiol dan protein, penyebab penurunan

kemampuan koordinasi pengerak, gangguan pada syaraf, pernapasan serta ginjal,

namun demikian arsenik tidak menghambat sistem enzim. Proses alam seperti
638

fluktuasi cuaca mengakibatkan batu-batuan dan gunung merapi memberikan

konstribusi yang besar ke lingkungan. Masuknya arsenik ke lingkungan berasal

dari sumber-sumber lain seperti ; pertambangan minyak, emas dan batu bara,

pembangkit tenaga listrik, pestisida, keramik, peleburan logam dan pabrik –

pabrik pupuk. Kontaminasi akan terus berkembang sejalan dengan meningkatnya

ussaha pengekpoitasian berbagai sumber alam dimana arsenik terdapat di

dalamnya. Oleh karenanya beberapa Negara seperti Jepang dan Jerman pada tahun

1993 mengubah batas maksimum yang diizinkan untuk kadungan arsenikc di

perairan dari 0,05 menjadi 0,01 ppm sedangkan Indonesia dan Negara Asia anka

tersebut masih 0,05 ppm.

Kadmium (Cd). Kadmium merupakan salah satu jenis logam berat yang

berbahaya kerena elemen ini beresiko tinggi terhadap pembuluh darah. Kadmium

berpengaruh terhadap mamusia dalam jangka waktu panjang dan dapat

terkontaminasi pada tubuh khususnya hati dan ginjal. Pada konsentrasi rendah

berefek terhadap gangguan pada paru-paru, emphysema dan renal teubalar disease

yang kronis. Jumlah normal kadmium di tanah berada di bawah 1 ppm. Kadmium

lebih mudah diakumulasi oleh tanaman dibandingkan logam berat lainnya seperti

timbal. Logam berat cadmium ini bergabung bersama timbal dan merkuri sebagai

the big three heavy metal yang memiliki tingkat berbahaya tertinggi pada

kesehatan manuasi (Barchan, et.al,1998). Menurut badan dunia FAO/WHO

konsumsi per minggu yang ditoleransikan bagi manusia adalah 400 – 500 ug per

orang atau 7 ug per kg berat badan (Suhendrayatna, 2001).

Kromium (Cr). Kromium merupakan elemen berbaahaya di permukaan

bumi dan dijumpai dalam bentuk oksida antara Cr (II) sampai Cr (VI), hanya
639

kromium valensi tiga dan enam memiliki kesamaan sifat biologi. Kromium

valensi tiga umum dijumpai di alam dan dalam material biologis. Krom valensi

eman merupakan salah satu material organik pengoksida tinggi. Pada bahan

makanan dan tumbuhan kromium relative rendah dan diperkirakan konsumsi

harian komponen ini pada manusia di bawah 100 ug, kebanyakan dari makanan,

sedangkan dari air dan udara dalam level rendah.

Kobal (Co). Kobal memiliki tingkat racun yang tinggi terhadap tumbuhan.

Kebanyak tumbuhan memerlukan cairan elemen kobal dalam konsentrasi tidak

lebih dari 1 ppm. Kobal terkandung di tanah diperkirakan 10 ppm, sebagai

kompomem essensial. Dosis kematian bagi tikus sebasar 1,3 x 10‾3 mol/kg

(Wardana, 2004). Kobal diperlukan dalam tubuh manusia dalam jumlah yang

sangat sedikit untuk proses pembentukan butir darah merah.

Tembaga (Cu). Tembaga bersifat racun terhadap semua tumbuhan pada

konsentrasi larutan diatas 0,1 ppm. Konsentrasi aman untuk air minum manusia

tidak lebih dari 1 ppm. Bersifat racun bagi Domba pada konsentrasi di atas 20

ppm. Konsentrasi normal di tanah berkisar 20 ppm dengan mobilitas sangat

lambat karena ikatan yang sangat kuat dengan material organik dan mineral tanah

liat. Kehadiran Tembaga dalam limbah industri dalam bentuk ion bivalen Cu(II)

sebagai hydrolytic produk. Indusdri pewarnaan, kertas dan minyak.

Timbah (Pb). Timbal merupakan logam berat yang sangat beracun, dapat

dideteksi secara praktis pada seluruh benda mati di lingkungan dan seluruh sistem

biologis. Sumber utama timbal berasal dari komponen gugus alkyl timbal yang

digunakan sebagai aditive bensin. Komponen ini beracun terhadap seluruh aspek

kehidupan seperti sistim saraf, hemetologic, hemetotoxic dan mempengaruhi kerja


640

ginjal. WHO toleransi dewasa adalah 50 ug/kg berat badan dan untuk bayi 25

ug/berat badan. Mobilisasi tinbal di tanah dan tumbuhan cenderung lambat

dengan kadar normalnya pada tumbuhan berkisar 0,5 – 3, 0 ppm (Barchan, et all.,

1998).

Merkuri (Hg). Keracunan merkuri pertama adalah terjadi di Minamata

Jepang pada tahun 1953. Kontaminasi serius juga pernah diukur di Surabaya

tahun 1996. Proses methylasasi merkuri biasanya terjadi di alam di bawah

kondisi terbatas membentuk satu dari sekian banyak elemen berbahaya, karena

dalam bentuk methyl merkuri sangat mudah terakumulasi pada rantai makanan.

Karena berbahaya penggunaan fungisida alkylmerkuri dalam pembenihan tidak

diizinkan (Wardhana, 2004).

Nikel (Ni). Elemen ini cenderung lebih beracun pada tumbuhan, selama

masih mudah diambil oleh tamanan dari tanah, pembuangan limbah sangat perlu

perhatian. Total nikel yang terkandung dalam tanah biasanya berkisar 0,005 –

0,05 ppm dan tumbuhan tidak lebih dari 1 ppm berat kering (Darmono, 2001 dan

Suhendrayatna, 2001).

Seng (Zn). Penggunaan seng pada proses galvinasi besi sangat luas. Di

dalam tanah dijumpai antara 10 – 300 ppm.

Stronsium (Sr). Stronsium bersifat isomorphously menggantikan peranan

calsium pada tulang dan bahkan aktif dibandingkan dengan kalsium dan dapat

menyebar penyakit Urov (Osteoarthritis Deformans Endemica) (Suhendrayatna,

2001).

Selemium (Se). Selemium merupakan elemen essensial bagi hewan dan

merupakan prioritas utama pencemar yang dapat didegradasi pada system akuatik.
641

Selemium di lingkungan secara alami sejalan dengan proses kegiatan manusia.

Selemium masuk ke lingkungan perairan melalui leaching fly-ash serta dari

limbah produksi pembakaran batu bara pada pembangkit-pembangkit listrik.


642

IV. BIOREMOVAL MIKROORGANISME

4.1. Passive Uptake

Proses passive uptake dikenal dengan proses biosorpsi, Proses ini terjadi

ketika ion logam berat mengikat dinding sel dengan cara yang berbeda yaitu :

a. Pertukaran Ion, dimana ion monovalen dan divalent seperti Na, Mg dan Ca

pada dinding sel digantikan oleh ion-ion logam berat.

b. Formasi Komplek, membentuk komplek antara ion-ion logam berat dengan

gugus fungsional seperti carbonyl, amino, thiol, hydrosy, phosphate dan

hydroksi carboxyl yang berada pada dinding sel.

Biosorpsi ini bersifat bolak balik dan cepat (Haris,1990). Ion – ion Na,

Mg dan Ca yang terdapat pada dinding sel dipertukarkan dengan ion-ion logam

berat, aktivitas pertukaran ini tergantung kepada ikatan logam dalam air, pH air

dan sifat mikroorganime. Ikatan logam pada permukaan sel ini dapat terjadi pada

sel mati dan sel hidup dari suatu.

Pada pH tertentu dan kehadiran ion-ion lain proses biosorpsi dapat lebih

efektif dimana logam berat terendap sebagai garam yang tidak larut

(Suhendrayatna, 2001). Efektifitas biosorpsi logam berat terhadap

mikroorganisme ini tergantung pada jenis mikoorganisme, ada mikroorganisme

pada pH rendah efektifitas biosorpsi logam tinggi dan ada sebagian mioorganisme

pada pH rendah efektifitas biosorpsi logam juga rendah, contohnya pH optimum

biosorpsi timbal (II), nikel (II) dan tembaga (II) oleh Zoogloea ramegera adalah

4,0 – 4,5, sedangkan untuk besi (II) adalah 2,0. Fungus juga dapat digunakan

untuk menyerap nikel dan timbal. Secara umum biosorpsi logam berat
643

berlangsung cepat, bolak balik dan tidak tergantung terhadap faktor kinetik

bioremoval bila dikaitkan dengan penyerapan sel.

4.2. Aktif Uptake

Aktif uptake dapat terjadi pada berbagai tipe sel hidup. Mekanisme ini

secara simultan sejalan dengan konsumsi ion logam untuk pertumbuhan

migroorganisme atau akumulasi intraselular ion logam tersebut. Logam berat yang

terakumulasi pada sel dapat diendapkan pada proses metabolisme dan jika

berlebih sebagian dapat juga dikeluarkan. Biosorpsi logam berat pada

mikroorgamisme ini tergantung pada energi yang terkandung dan sensitifitasnya

terhadap parameter – parameter seperti pH, suhu, kekuatan ikatan ionik, cahaya

dan lain- lain(Suhendrayatna, 2001). Pada suhu rendah, tidak tersedianya energi

dan penghambat-penghambat metabolisme sel, biosorpsi ini dapat terhambat.

Passive Uptake dan Aktif Upteke berjalan serentak. Ikatan cadmium pada

dinding sel Ankistrodesmus dan Chlorella vulgaris mencapai 80 % dari total

akumulasinya di sel. Sedangkan arsenik pada dinding sel Chlorella vulgaris rata-

rata 26 %, uptake ion logam hampir sama antara sel hidup dan sel mati.

Protein dan polysaccharida memegang peranan penting dalam proses

biosorpsi ion logam berat dimana terjadi ikatan kovalent pada gusus amino dan

group carbonil. Pengambilan ion logam oleh Chlorella vulgaris secara selaktif

kerana adanya ikatan yang kuat antara pasangan ion logam berat dan komponen

sel khususnya protein (Suhendrayatna, 2001).

Biosorpsi logam berat dengan sel hidup terbatas karena akumulasi ion

logam dapat menyebabkan racun terhadap mikroorgamime, hal ini dapat


644

menghalangi pertumbuhan mikroorganisme disaat keracunaan terhadap ion logam

tercapai.

Kebanyakan air secara normal mengandung sedikit ion logam walaupun

secara alami akan menjadi lebih tinggi akibat erosi daratan. Derajat protteksi

terhadap logam berat tergantung pada spesies mikroorgamisme , sehingga dalam

kondisi terkontaminasi logam berat, keseimbangan ekologi mungkin menurun dan

yang tahan terhadap efek ion logam akan dihasilkan berdasarkan seleksi yang

ketat terhadap pemilihan jenis mikroorgamisme yang tahan terhadap kehadiran

ion logam.

Tabel 1. Bioremoval Logam Berat dengan Mikroorganisme


Mikroorganisme Metode Logam Berat
Rhizomucor miehi (F) Passive uptake Tembaga(II)
Mucur mucedo (F) Passive uptake Tembaga(II)
Rhizopus stolonifer (F) Passive uptake Tembaga(II)
Aspergillus oryzae (F) Passive uptake Tembaga(II)
Penecillium chrysogenum(F) Passive uptake Tembaga(II)
Ecklonia radiate (A) Passive uptake Timbal(II)
Phellinus badius (F) Passive uptake Kadmium(II)
Chlorella vulgaris (A) Aktif uptake Arsen (V)
Ecklonia radiate (A) Passive upteke Kadmium (II)
Pinus radiate (F) Passive uptake Kadmium(II)
Citrobacter sp (B) Aktif upteke Kadmium(II)
(A) alga, (B) bacterium, (F) fungus

4.3. Dasar Bioremoval

Pengolahan limbah yang melibatkan mikroorgamisme dalam mengatasi

permasalahan ion logam berat, secara proses bioremoval sangat simple.

Mikroorgamisme yang pilihan ditumbuhkan dan selanjutnya dikontakkan dengan


645

air yang tercemar ion-ion logam berat. Pengontakan dilakukan dengan jangka

waktu tertentu ini bertujuan agar mikroorganisme dapat berinteraksi dengan ion-

ion logam, sehingga logam – logam berat tersebut dapat terabsorpsi pada

mikroorganisme kemudian mikroorgamisme ini dipisahkan dari lautran/cairan

yang mengandung logam berat. Mikroorganisme yang terikat pada logam berat

dapat diregenerasi untuk digunakan kembali atau dibuang kelingkungan.


646

DAFTAR PUSTAKA

Barchan.V.S.H., Kovnatsky.E. F, and Smetannikova, M.S., 1998. Water, Air, and


Soil Polution. 103 : 173-195.

Darmono, 1995. Logam dalam Sistem Biologi Makluk Hidup. UI Press, Jakarta.

Darmono, 2001. Lingkungan Hidup dan Pengcemaran. UI Press, Jakarta.

Harris, P. O. and Ramelow, G.J., 1990. Binding of Metel Ions by Particulate


Biomass Derived form Chlorella vulgaris and Scenedesmus
quadricauda, Environ. Sci. Technology. 12 : 220-228.

Jenkins. R. O., Craig, P.J, Miler, D.P, Stoop, L.C, Osttah.N and Morris, T.A.,
1994, Aplication Organometal Chemistry. 12 : 449-445.

Pramudya. S., 2001. Melindungi Lingkungan dengan Menerapkan ISO 14001,


Grasindo, Jakarta.

Suhendrayatna, 2001. Heavy Methal Bioremoval by Microorganisms:


A Literature Study, Piper Presented on Seminar on-Air Bioteknologi
untuk Indonesia Abad 21, 14 Pebruari 2001, PPI Tokyo Insntitute of
Technology, Tokyo.

Wardhana,W. A., 2004. Dampak Pencemaran Lingkungan, Edisi Revisi. Andi,


Yogyakarta.
647

PENGGUNAAN MULSA SEBAGAI PENGENDALI


EROSI TANAH PADA LAHAN KRITIS

OLEH :

TRI MARTINI

PROGRAM STUDI ILMU LINGKUNGAN


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
2006
648

I. PENDAHULUAN

Masalah erosi di Indonesia, dalam hal ini erosi akibat campur tangan

manusia, sebenarnya telah berlangsung sejak lama. Hal tersebut bersamaan

dengan pembukaan lahan untuk usaha pertanian oleh nenek moyang bangsa ini

ribuan tahun yang lalu. Namun demikian, kepedulian manusia terhadap proses ini

memang terbilang baru.

Pertumbuhan populasi manusia dan peningkatan kebutuhan lahan untuk

memenuhi berbagai aktivitas pembangunan telah dan akan banyak mengurangi

luas hutan di masa yang akan datang. Pengurangan luas hutan sampai saat ini

masih berarti sebagai suatu kerusakan hutan akibat eksploitasi terhadap

sumberdaya alam tersebut yang kurang memperhatikan azas kelestarian,

disamping akibat kebakaran hutan dan juga sebab-sebab lain di dalam pengelolaan

hutan. Hingga awal PELITA VI, luas lahan yang tidak produktif di Indonesia

telah mencapai lebih kurang 33,9 juta ha, dan sebagian besar dapat dikategorikan

sebagai lahan kritis (Anonim, 1996).

Kerusakan hutan akibat berbagai sebab seringkali menyisakan lahan-lahan

yang tidak produktif seperti padang alang-alang, semak belukar dan lahan-lahan

terbuka tanpa penutupan vegetasi. Lahan-lahan yang tidak produktif ini

kemungkinan besar dapat berubah menjadi lahan kritis, yang terutama diakibatkan

oleh kejadian erosi tanah (Sudarmadji, 1995). Sebagai antisipasi meluasnya lahan

kritis, maka perlu dilakukan upaya-upaya penanggulangan melalui upaya

rehabilitasi lahan.

Dengan bertambahnya penduduk, maka usaha dalam mencukupi

kebutuhannya melakukan desakan pada kawasan hutan, menebangi pohon-


649

pohonan dan membuka lahan pertanian baru. Penduduk di wilayah tersebut

kurang menyadari akibat dari perbuatan ini, bahwa hutan dengan tanaman-

tanamannya memegang peranan yang besar dalam pencegahan erosi yang

berfungsi melindungi permukaan tanah dari pukulan air-air hujan dan daya kikis

aliran permukaan.

Erosi menyebabkan hilangnya lapisan atas tanah yang subur dan baik

untuk pertumbuhan tanaman serta berkurangnya kemampuan tanah menyerap dan

menahan air. Hilangnya sebagian tanah mengakibatkan kemerosotan produktivitas

tanah, kehilangan unsure hara, kerusakan struktur tanah dan berkurangnya

pendapatan petani.

Berbagai pengukuran, penelitian, dan usaha konservasi tanah dikerjakan

oleh berbagai instansi, antara lain Departement Pertanian, Kehutanan, Pekerjaan

Umum (PU), maupun pemerintah daerah. Namun demikian, hingga sekarang sulit

untuk memperoleh gambaran tentang berapa sebenarnya kerusakan tanah oleh

erosi.

Salah satu pendekatan di dalam upaya rehabilitasi lahan adalah penerapan

metoda vegetatif yang dapat dilaksanakan dengan penggunaan mulsa. Mulsa

adalah sisa-sisa tanaman atau materi lainnya yang diperoleh dari alam atau buatan

sebagai penutup tanah dengan tujuan tertentu. Penggunaan mulsa untuk

rehabilitasi lahan sangat penting untuk diteliti (Kartasapoetra, 2005), mengingat

ketersediaannya yang relatif melimpah, biaya yang tidak terlalu mahal serta

teknologinya yang relatif sederhana, sehingga memberikan peluang besar

keterlaksanaannya secara praktis di lapangan oleh siapapun yang berminat.

Pertimbangan keuntungan yang akan diperoleh adalah disamping diharapkan


650

dapat mengendalikan dan mencegah erosi sekaligus juga dapat memperbaiki

lahan-lahan yang telah mengalami kerusakan.

Penggunaan mulsa dengan variasi penempatannya serta mempelajari

efektivitasnya dalam upaya pengendalian erosi pada lahan kritis yang memiliki

kelerengan berbeda. Hasil yang diharapkan adalah dapat menyusun rekomendasi

kelayakan metoda tersebut berdasarkan pertimbangan unjuk kerja dan proses serta

faktor-faktor yang mempengaruhi laju erosi tanah pada lahan-lahan kritis tanpa

penutupan vegetasi.

Makalah ini bertujuan untuk mengetahui seberapa besar manfaat mulsa

sebagai pengendali erosi tanah.


651

II. MULSA

Mulsa adalah sisa – sisa tanaman (crop residues) yang ditebarkan diatas

permukaan tanah. Sedangkan sisa-sisa tanaman tersebut ditanam dibawah

permukaan tanah dinamakan pupuk hijau. Jika sisa-sisa tanaman tersebut

ditumpuk terlebih dahulu di suatu tempat sehingga mengalami proses humifikasi

dinamakan kompos (Suripin, 2002).

Sampai saat ini, masih banyak kita jumpai di lapangan bahwa para petani

kita kurang bisa mengelola limbah pertanian yang melimpah. Sisa – sisa tanaman

biasanya dibakar begitu saja, atau dikeluarkan dari lahan pertanian untuk berbagai

kepentingan, sebelum melakukan pengolahan tanah untuk masa tanam berikutnya.

Hal ini jika berlangsung terus menerus akan mengurangi kandungan bahan

organic tanah, dan pada akhirnya akan menurunkan produktivitas lahan. Oleh

karena itu kebiasaan ini harus segera dihentikan.

Mulsa mempunyai peran penting untuk mengatasinya, karena dengan

adanya suatu lapisan penutup permukaan tanah maka tumbukan butir-butir hujan

tidak akan mencapai permukaan agregat tanah. Jadi dengan adanya lapisan mulsa

pada permukaan tanah, tumbukan butir-butir hujan yang tertahan olehnya akan

mengurangi terjadinya pengrusakan agregat dan terangkutnya butir-butir tanah

(erosi).

Pada hakekatnya, pengaruh pemulsaan dalam mengurangi tingkat erosi

tanah karena mulsa mempunyai kemampuan dalam :

a. Mengurangi daya tumbuk butir hujan.

b. Meningkatkan infiltrasi tanah dengan adanya pengurangan kerusakan di

permukan tanah.
652

c. Meningkatkan daya simpan air pemukaan.

d. Mengurangi kecepatan aliran permukaan.

e. Memperbaiki struktur tanah dan kesarangan tanah, dan

f. Memperbaiki kegiatan biologis tanah.

Kemampuan mulsa tersebut dengan sendirinya akan tergantung pada jenis

bahan mulsanya, jumlah bahan mulsa yang dipergunakan, tingkat erodibilitas

lahan, tingkat erosivitas hujan, kemiringan lahan, dan penempatan bahan-bahan

mulsa tersebut pada permukaan lahan. Akan tetapi dalam hal ini berdasarkan

hasil-hasil percobaan pemulsaan pada berbagai jenis tanah serta jumlah faktor lain

yang beragam, maka ternyata kemampuan pemulsaan dalam mengendalikan erosi

tanah, terutama sekali ditentukan oleh jumlah bahan yang dipakai dan derajad

kemiringan lahan. Factor kemiringan lahan ini banyak berkaitan dengan berbagai

factor yang berperan dalam menunjang terjadinya erosi.

Tentang perbedaan jenis bahan mulsa organic yang dipergunakan

sesungguhnya tidak menjadi masalah bagi kedayagunaan pemulsaan. Menurut

Soepardja (dalam Kartasapoetra, 2005) mengatakan bahwa dalam penanganan

lahan kritis dari masa ke masa, tanaman penutup tanah yang ditanam diantara

pohon-pohonan adalah sumber bahan mulsa, sisa – sisa tanaman setelah panen,

daun tebu, jerami, pohon jagung, dan lain-lain. Selain itu gulma yang telah

dipotong atau disiangi dapat digunakan juga untuk mulsa. Hanya dalam

pemulsaan tanah ini perlu diperhatikan agar mulsanya jangan sampai menyentuh

pohon buah-buahan, kulit pohon mudah kena penyakit dan pohon bis amati, selain

itu perlu diperhatikan pula akan kemungkinan timbulnya hama dan penyakit serta

bahaya kebakaran.
653

Kemampuan mulsa tersebut dengan sendirinya akan tergantung pada jenis

bahan mulsanya, jumlah bahan mulsa yang dipergunakan, tingkat erodibilitas

lahan, tingkat erosivitas hujan, kemiringan lahan dan penempatan bahan-bahan

mulsa tersebut pada permukaan lahan.

Bahan mulsa yang baik untuk tujuan konservasi tanah adalah sisa tanaman

yang sukar lapuk seperti batang jagung, shorgum, atau jerami padi. Sedangkan

cara penggunaan yang terbaik adalah dengan memotong-motong bahan mulsa

sepanjang 25 – 30 cm, dan menebarkannya secara merata di permukaan tanah.

Mulsa harus menetap 70 sampai 75% dari permukaan tanah (kira-kira 5 ton/ha

jerami). Pemakaian kurang dari jumlah tersebut tidak cukup memberi

perlindungan pada tanah, sementara pemakaian yang lebih tinggi akan

menghambat pertumbuhan tanaman.


654

III. EROSI TANAH PADA LAHAN KRITIS

Erosi tanah adalah suatu proses atau peristiwa hilangnya lapisan

permukaan tanah atas, baik disebabkan oleh pergerakan air maupun angin. Proses

erosi ini dapat menyebabkan merosotnya produktivitas tanah, daya dukung anah

untuk produksi pertanian dan kualitas lingkungan hidup (Suripin, 2002).

Kerusakan tanah pada suatu lahan sampai pada tingkat kritis seperti

penurunan produktivitas tanah, banjir yang terjadi setiap tahun, merosotnya debit

sungai di musim kemarau dan meningkatnya kandungan lumpur atau bahan

organic pada musim hujan merupakan tanda-tanda kerusakan sumberdaya alam di

suatu tempat karena proses erosi. Ini merupakan salah satu indicator kecepatan

proses perusak. Perhitungan laju erosi dapat dilakukan secara nisbi (relative),

yaitu berdasarkan nilai bahaya atau besarnya nilai factor-faktor yang

mempengaruhi erosi. Perkiraan besarnya erosi tersebut dibatasi oleh factor-faktor

topografi, geologi, vegetasi dan curah hujan.

Kerusakan tanah dapat terjadi oleh : 1) kehilangan unsur hara dan bahan

organik di daerah perakaran, 2) terkumpulnya garam didaerah perakaran

(salinisasi), terkumpulnya atau terungkapnya unsur atau senyawa yang merupakan

racun bagi tanaman, 3) penjenuhan tanah oleh air dan 4) erosi. Kerusakan tanah

oleh satu atau lebih proses tersebut menyebabkan berkurangnya kemampuan

tanah untuk mendukung pertumbuhan tanaman atau menghasilkan barang atau

jasa (Requier dalam Suripin, 2002).

Untuk mengetahui tingkat laju erosi yang terjadi pada penelitian ini

apakah berada pada tingkat yang membahayakan atau masih dalam batas yang

masih dapat dibiarkan/diabaikan (tolerable/acceptable erosion rate), maka hasil


655

pengukuran terhadap laju erosi yang terjadi dibandingkan dengan standar ambang

batas tingkat laju erosi yang masih dapat dibiarkan/diabaikan.

Lahan kritis di Indonesia diperkirakan telah mencapai 28 juta hektar yang

terdapat di kawasan hutan dan nonhutan. Namun, pendekatan berdasarkan daerah

aliran sungai mempunyai potensi baik untuk dijadikan basis pengelolaanlahan

kritis itu. Hal ini bisa dilihat dari kenyataannya bahwa terjadinya erosi umumnya

diketahui dengan perubahan pola aliran sungai.

Akibat yang ditimbulkan erosi beragam dan dampaknya sangat luas, mlai

dari terjadinya penurunan produktivitas tanah hingga ke masalah intrusi garam.

Seberapa besar erosi mempengaruhi produktivitas tanah telah dikemukakan oleh

(El-swaify dalam Effendi, 2000) mengatakan bahwa pada kondisi belum ada

campur tangan manusia, produktivitas tanah relatif tetap. Produktivitas menurun

dengan cepat sejak adanya campur tangan manusia. Diperkirakan apabila tanpa

pengelolaan tanah maka produktivitas tanah akan berubah mendekati

produktivitas tanah minimum.

Utomo (1989) menjelaskan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya

penurunan produktivitas tanah karena erosi, antara lain :

1. Adanya penurunan kandungan bahan organik ,

2. Adanya penurunan kandungan dan/ ketersediannya,

3. Adanya kekurangan air.

Bila kita perhatikan mekanisme terjadinya erosi, tanah yang terkikis

pertama-tama adalah lapisan atas yang merupakan media tumbuhnya tanaman.

Dengan hilangnya lapisan tanah atas itu maka terjadi pula kehilangan unsur hara,

yang merupakan nutrisi tanaman yang tumbuh di tanah itu. Berapa besarnya
656

kehilangan tanah dan unsur hara dari beberapa tanaman telah diteliti oleh Carson

(dalam Utomo,1989) (Tabel 1).

Tabel 1. Kehilangan Tanah dan Hara Tanaman karena Erosi oleh Air Hujan
Jagung (Teras Ubi kayu (teras Kentang (tanpa
Kehilangan
jagung bangku) gulu) teras)
Tanah (ton/ha/th) 4 16 80
Bahan Organik (kg/ha/th) 250 600 3.000
N (kg/ha/th) 7,5 30 150
P (kg/ha/th) 5 20 100
K (kg/ha/th) 10 40 200
Sumber : Carson (dalam Utomo, 1989)

Pada Tabel 1 terlihat bahwa erosi yang disebabkan oleh air pada tanaman

jagung, ubi kayu, dan kentang dapat mengakibatkan kehilangan tanah, bahan

organik dan unsur hara, pada tabel 1 terlihat bahwa bahan organik yang sangat

dibutuhkan oleh tanaman banyak hilang di bawa oleh air.

Terjadinya erosi pada lahan yang terbuka yang diikuti oleh hilangnya

bahan organik dan pemadatan tanah yang menyebabkan terjadinya penurunan

kapasitas infiltrasi tanah. Akibatnya hujan yang terjadi selanjutnya akan dengan

mudah untuk terakumulasi di permukaan membentuk limpasan permukaan (run-

off), hanya sedikit air yang masuk kedalam tanah.

Terlepas dengan banyaknya penggunaan lahan yang dilakukan secara

sembarangan terbukti dengan tingginya laju erosi, oleh sebab itu penggunaan

lahan secara baik menghasilkan laju erosi yang rendah. Laju erosi dan konsentrasi

sedimen dari beberapa penggunaan lahan di daerah Riau dapat dilihat pada

(Tabel 2).
657

Tabel 2. Laju Erosi Tahunan dan Konsentrasi Sedimen Terlarut selama Musim
Hujan untuk Enam Wilayah
Tipe KS
Jumlah KS rerata Laju erosi
Wilayah penggunaan maksimal
observasi (mg/l) ton/ha/th
lahan (mg/l)
Pegagas Hutan primer 79 5 72 0,126
Togan Hutan tebangan 83 59 580 0,51
Sekuyam Hutan belukar 81 47 700 3,88
Putihan Kebun karet 81 4 25 0,057
Sago Kebun Sawit 61 24 228 0,16
Tanatan Sawah 60 1 5 0,013
Sumber : Skarbovik (dalam Effendi, 2000).

Dari Tabel 2 terlihat bahwa penggunaan lahan untuk kebun karet dan

kelapa sawit apalagi sawah mengalami erosi dengan laju yang sangat rendah. Laju

erosi tersebut bahkan lebih kecil dibandingkan dengan laju erosi pada hutan

primer. Dengan demikian maka persoalan lahan kritis tidak ditemui di daerah

yang terdapat tanaman yang dikelola dengan baik.

Atas dasar itu semakin nyata bahwa masalah lahan kritis sebetulnya tidak

bisa dipisahkan dengan kualitas pengelolaan lahan dan atautanaman. Dan memang

telah banyak bukti menunjukkan bahwa lahan yang tidak dikelola sebagaimana

mestinya pasti mengalami pemunduran kesuburannya. Pemunduran itu selain

melalui pengurasan unsur hara melaui pembakaran pada waktu pembukaan lahan,

juga sering terjadi melaui erosi tanah oleh air hujan, angin dan atau di beberapa

negara oleh salju. Pemunduran oleh kedua penyebab tersebut nyata-nayata

menurunkan produktivitas tanah.


658

IV. PENGGUNAAN MULSA SEBAGAI PENGENDALI EROSI

Mulsa mempunyai peranan penting untuk mengatasi erosi, karena dengan

adanya suatu lapisan penutup permukaan tanah maka tumbukan butir-butir hujan

tidak akan mencapai permukaan agregat tanah. Jadi dengan adanya lapisan mulsa

pada permukaan tanah, tumbukan butir-butir hujan yang tertahan olehnya akan

mengurangi terjadinta pengrusakan agregat dan terangkutnya butir-butir tanah

(erosi).

Pada hakekatnya, pengaruh pemulsaan dalam mengurangi tingkat ersosi

tanah karena mulsa mempunyai kemampuan dalam :

a. Mengurangi daya tumbuk butir hujan ;

b. Meningkatkan infiltrasi tana dengan adanya pengurangan kerusakan di

permukaan tanah;

c. Meningkatkan daya simpan air permukaan ;

d. Mengurangi kecepatan aliran permukaan;

e. Memperbaiki struktur tanah dan kesarangan tanah;

f. Memperbaiki kegiatan biologis tanah.

Dalam suatu jumlah yang sama, bila digunakan untuk mengendalikan erosi

dan aliran permukaan pada lahan dengan kemiringan 1% - 20% akan

menunjukkan hasil yang tidak jauh berbeda. Perhatikan Tabel 3 berikut.


659

Tabel 3. Pengaruh Jumlah Mulsa terhadap Erosi


Persentase Keberhasilan Pemulsaan
Kemiringan
Jumlah Mulsa (Ton/ha) terhadap Lahan Identik Tanpa Mulsa
Lahan (%)
Tanah Hilang Aliran Permukaan
1 – 20 2 95 – 97 77 – 80
1 – 20 4 98 – 99,5 90,3 – 92,5
1 – 20 6 99,6 – 99,8 95,5 – 96,7
1 – 20 Tanpa pengolahan 99,5 – 99,6 92,3 – 95,2
Tanah
Sumber : Lal (dalam Kartasapoetra, 2005).

Seperti yang terlihat pada Tabel 3, makin besar jumlah bahan pemulsaan

ditempatkan dipermukaan tanah maka ternyata hasilnya akan lebih efektif dalam

pengawetan lahan dari serangan erosi, oleh karena itu pemberian bahan mulsa

dalam jumlah optimal perlu diperhatikan. Pemberian bahan – bahan mulsa secara

optimal selain sangat berpengaruh optimal dalam mengurangi tingkat erosi, juga

memberi pengaruh yang menguntungkan bagi pertumbuhan dan pekembangan

tanaman. Persentase keberhasilan tersebut didapat setelah setengah tahun dari saat

pemberian mulsa pada tanah dengan derajat erosi ≤ 200 ton per hektar per tahun,

dan ternyata pada kahir tahun pertama persentase keberhasilan pemulsaan

mencapai rata-rata 97%.

Penelitian-penelitian selanjutnya menunjukkan, bahwa efektivitas

pemulsaan untuk mengendalikan derajat erosi pada lahan yang setiap tahunnya

mengalami kehilangan lebih dari 200 ton per hektar tanah permukaannya

mempunyai korelasi rendah sampai derajat kemiringan lahannya maksimal 20%.

Dengan demikian pada lahan yang demikian selain usaha pemulsaan perlu

dilakukan, juga harus dibantu dengan penterasan (pembuatan teras ini akan
660

merupakan alat penahan agar bahan – bahan mulsa dapat dipertahankan tetap

menutupi permukaan lahan secara berdaya guna).

V. G Comins melakukan penelitian dalam pengendalian erosi di daerah

New South Wales bagian Utara menggunakan bonggol, Bonggol tanaman sangat

efektif pula jika dimanfaatkan sebagai bahan mulsa unuk mengendalikan erosi dan

aliran permukaan. Yang dimaksud dengan bonggol tanaman ialah sisa atau bagian

bawah tanaman yang tersisa/tidak ikut dipotong sewaktu panen dilakukan,

misalnya bonggol jerami padi sawah, padi gogo, jagung, gandum, sorghum, dan

lain-lain, ang biasanya tetap terbenam dalam tanah. Nantinya apabila pengelolaan

tanah dimulai (menjelang musim tanam) bonggol-bonggol biasanya dibenamkan

kedalam tanah atau dibakar ( Kartasapoetra, 2005).

Pemulsaan dengan bonggol dalam hal ini merupakan tindakan menahan

sejumlah bonggol sisa tanaman pada permukaan tanah selama masa bera. Segera

setelah panen bonggol – bonggol tanaman yang tertinggal diangkat kepermukaan

tanah, selanjutnya dibiarkan menutupi permukaan tanah sampai saat pengolahan

tanah pada musim tanam berikutnya. Dengan cara ini dapat tersedia sejumlah

besar bonggol tanaman yang sangat efektif dalam mengendalikan bahaya erosi.

Penanaman mulsa bonggol dalam memgendalikan erosi dapat dijelaskan

sebagai berikut :

Peranan mulsa basah (persawahan) penempatan bonggol – bonggol tanaman di

atas permukaannya, pada suatu dataran, ancaman erosi tanah oleh aliran

permukaan adalah relatif kecil. Dengan adanya tanggul (galengan) jumlah tanah

yang terangkut akan lebih kecil lagi, sehingga keadaanya akan lebih terkendali.
661

Pada lahan – lahan kering ancaman erosi relatif besar. Tidak saja karena

keadaan tanahnya yang peka terhadap daya rusak hujan ataupun aliran

permuakaan akibat kurang mantapnya agregasi tanah yang ada, tetapi juga karena

letak lahannya yang tidak selalu berupa dataran. Pemulsaan dengan bonggol

tanaman pada lahan kering dapat dilakukan pada derajat kemiringan 0% - 15%.

Sehubungan dengan pemulsaan, memanfaatakan bonggol-bonggol sisa

tanaman tersebut, maka yang perlu lebih diperhatikan agar pada waktu panen

bonggol-bonggol sisa anamannya tidak terangkut atau dibakar, serta dalam

pengolahan tanah memilih sistem pengolahan tanah yang tepat yang dapat

mengatur penyebaran bonggol – bonggol sehingga tidak mengganngu penanaman

benih.

Berdasarkan kenyataan dan hasil penelitian, pengendalian erosi akan tetap

efektif engan mempertahankan bonggol-bonggol sisa tanaman menutupi

permukaan lahan, dalam jumlah yang cukup dan selama mungkin, asal dalam hal

ini diperhatikan pengauh pengolahan tanah terhadap kedayagunaan cara-cara

tersebut.

Efektivitas penggunaan mulsa dalam mengendalikan erosi telah

didemonstrasikan dengan percobaan lapangan oleh (Brost dan Woodburn dalam

Suripin, 2002) pada tanah silt-loam dengan kemiringan lahan 70. Hasil serupa

diperoleh oleh (Lal dalam Suripin, 2001), pada tanah alfisol dengan kemiring 60.

Disamping pengaruh mulsa terhadap laju erosi, (Lal dalam Suripin, 2002) juga

mengamati pengaruh mulsa terhadap aliran permukaan pada lahan berkemiringan

lahan 90 (Tabel 4).


662

Tabel 4. Pengaruh Pemakaian Mulsa terhadap Kehilangan Tanah dan Aliran


Permukaan dari Suatu Lahan Kemiringan 6 – 90
Aliran
Kelerengan Penggunaan Kehilangan
permukaan Sumber
lahan mulsa (t/ha) tanah (t/ha)
(%hujan)
70 5 1,1 -
Brost&Woodburn (1942)
60 6 0,2 -
0 9,6 17,4 Lal (1976)
2 2,3 10,0
0
9 4 0,5 3,5
6 0,1 1,2 Lal (1980)
12 0,0 0,0
Sumber : Lal (dalam Suripin, 2002).

Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi penggunaan mulsa, maka

semakin rendah pula terjadinya kehilangan tanah (erosi) dan aliran permukaan.

Di Indonesia, Suwardjo (dalam Suripin, 2002) dari hasil penelitiannya

pada tanah Latosol di Citayam, Bogor dan tanah Podsolik di Lampung

menyimpulkan bahwa disamping mengurangi erosi, mulsa juga mempengaruhi

suhu tanah kemampuan tanah menahan air, kekuatan penetrasi, kemantapan

agregat dan aerasi tanah. Suhu tanah maksimum pada kedalaman tanah 5 cm turun

6 – 120 C, dan pada kedalaman 10 cm turun 4 – 60 C, sedangkan suhu minimum

naik rata-rata 10 C.

Hasil penelitian Sudarmadji dan Rachman, yang dilaksanakan pada lahan

kritis di Desa Gunung Lingai, Samarinda Ilir. Kondisi topografi lapangan yang

dipilih adalah variasi tiga kelerengan yang berbeda, yaitu untuk kelerengan datar

(<8%), landai (8~25%), dan kelerengan curam (25~40%). Seperti terlihat pada

Tabel 5.
663

Tabel 5. Total Massa Tanah Tererosi dan Limpasan Permukaan untuk Masing-
masing Petak Ukur pada Ketiga Kelas Kelerengan
Petak Ukur (PU)
Lereng Kontrol (PU-K) Ditebar (PU-T) Di Parit (PU-P)
LP MTE LP MTE LP MTE
Datar 426,33 3,26 117,66 0,23 219,63 0,50
Landai 1421,01 16,76 830,25 2,72 1140,08 5,22
Curam 1841,37 26,21 941,70 8,67 1280,55 13,12
Sumber : Sudarmadji dan Rachman (1996).

Keterangan: LP = Limpasan permukaan (m3/ha/th),


MTE = Massa tanah tererosi (ton/ha/th)

Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan pemulsaan dengan menggunakan

mulsa alang-alang berperan dalam menekan atau menurunkan jumlah massa tanah

tererosi, yang secara kuantitatif mencapai persentase pada kisaran 49,94~92,95%.

Berdasarkan hasil-hasil yang diperoleh seperti diuraikan sebelumnya,

ternyata bahwa pemulsaan dengan menggunakan alang-alang dapat mengurangi

tingkat laju erosi tanah, yang berarti pula menekan/mengurangi volume dan laju

limpasan permukaan. Hal ini serupa dengan beberapa hasil penelitian terdahulu

yang menyatakan bahwa mulsa dari berbagai sisa bahan tanaman mempunyai

kemampuan untuk mengurangi daya rusak energi kinetik curah hujan pada waktu

menumbuk permukaan tanah secara langsung, meningkatkan daya simpan tanah

terhadap air, menekan dan mengurangi laju limpasan permukaan, memperbaiki

struktur tanah dan lain sebagainya.

Pada beberapa kejadian hujan, untuk intensitas curah hujan yang sama

ternyata menimbulkan massa tanah tererosi yang beragam. Hal ini dapat terjadi

karena adanya perbedaan perioda lama waktu untuk setiap kejadian hujan,

sehingga intensitas curah hujan yang terjadi juga sangat eragam.


664

Pada pelaksanaannya di lapangan, pemulsaan untuk pengendalian erosi

dengan menggunakan alang-alang diharapkan dapat dilakukan secara bersama-

sama dengan penanaman anakan-anakan pohon terpilih sesuai dengan tujuan dan

kebutuhan penanaman. Dengan kombinasi ini, maka pada saat anakan belum

mampu untuk berperan dalam menekan laju limpasan permukaan dan erosi tanah,

maka untuk sementara fungsi tersebut dijalankan oleh mulsa alang-alang.

Hasil pengukuran pH tanah yang diperoleh menunjukkan bahwa

penggunaan alang-alang sebagai mulsa ternyata mampu meningkatkan pH tanah.

Peningkatan ini diperkirakan akibat penambahan unsur hara yang dilepaskan oleh

mulsa yang telah mengalami dekomposisi. Informasi ini mungkin bermanfaat agar

nantinya tanaman yang digunakan untuk tujuan pengendalian erosi selain tahan

terhadap kemungkinan efek alelopati alang-alang juga memiliki batas toleransi

yang baik terhadap perubahan pH yang dapat ditimbulkan dari penggunaan mulsa

alang-alang.
665

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 1996. Pedoman Penyusunan Rencana Teknik Lapangan Rehabilitasi


Lahan dan Konservasi Tanah Sub-Daerah Aliran Sungai. Direktorat
Jendral Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan, Departemen Kehutanan.
Jakarta.

Arsyad, S., 1989. Konservasi Tanah dan Air. Departemen Ilmu-Ilmu Tanah,
Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Effendi, S., 2000. Pengendalian Erosi Tanah. Bumi Aksara, Jakarta. 148 hal.

Kartasapoetra, G., 2005. Teknologi Konservasi Tanah dan Air, Rineka Cipta.
Jakarta. 194 hal.

Sudarmadji dan Rachman., 1996. Percobaan Penggunaan Mulsa Alang-alang


untuk Pengendalian Erosi Tanah Pada Lahan Kritis dengan Kelerengan
Yang Berbeda. Universitas Mulawarman. Samarinda.

Sudarmadji, T., 1995. Studi tentang Upaya Stabilisasi Lereng Lahan Rusak Secara
Vegetatif untuk Pencegahan dan Pengendalian Erosi. Pusat Studi
Reboisasi dan Rehabilitasi Hutan Tropis Basah. Universitas
Mulawarman. Samarinda.

Suripin, 2002. Pelestarian Sumber Daya Tanah dan Air. Andi Offset. Yogyakarta.
208 hal.

Tjitrosoedirjo, S., dan Efendi, S., 1983. Pengelolaan Padang Alang-Alang ke Arah
Sistem yang Produktif, Pertemuan Teknis Pengelolaan Padang Alang-
Alang di Daerah Perkebunan, BPP Sembawa, Tirta Yasa. Palembang.

Utomo, W. H., 1989. Konservasi Tanah. Radjawali Press. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai