Anda di halaman 1dari 68

APLIKASI BIOCHAR SEKAM PADI DAN DOLOMIT

TERHADAP STABILITAS AGREGAT TANAH DAN


PERTUMBUHAN TANAMAN KEDELAI (Glycine max (L.)
Merill) PADA INCEPTISOL

SKRIPSI

Oleh

NOVITA SARI
NIM. 1910231004

FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2023
APLIKASI BIOCHAR SEKAM PADI DAN DOLOMIT
TERHADAP STABILITAS AGREGAT TANAH DAN
PERTUMBUHAN TANAMAN KEDELAI (Glycine max (L.)
Merill) PADA INCEPTISOL

Oleh

NOVITA SARI
NIM. 1910231004

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar


Sarjana Pertanian

FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2023
APLIKASI BIOCHAR SEKAM PADI DAN DOLOMIT
TERHADAP STABILITAS AGREGAT TANAH DAN
PERTUMBUHAN TANAMAN KEDELAI (Glycine max (L.)
Merill) PADA INCEPTISOL

Oleh

NOVITA SARI
NIM. 1910231004

MENYETUJUI:

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Prof. Dr. Ir. Yulnafatmawita, MSc Dr. Mimien Harianti, SP. MP


NIP. 196007081986032001 NIP. 198105102005012004

Dekan Fakultas Pertanian Ketua Departemen Ilmu Tanah dan


Universitas Andalas Sumberdaya Lahan Universitas Andalas

Dr, Ir. Indra Dwipa, MS Dr. Gusmini, SP. MP


NIP. 196502201989031003 NIP. 197208052006042001

Tanggal disahkan:
Skripsi ini telah diuji dan dipertahankan di depan Sidang Panitia Ujian
Sarjana Fakultas Pertanian Universitas Andalas, Padang pada tanggal 02
November 2023.

NO NAMA TANDA TANGAN JABATAN

1. Dr. Gusmini, SP. MP ( ) Ketua

2. Zuldadan Naspendra, SP. MSi ( ) Sekretaris

3. Ir. Irwan Darfis, MP ( ) Anggota

4. Prof. Dr. Ir. Yulnafatmawita, MSc ( ) Anggota

5. Dr. Mimien Harianti, SP. MP ( ) Anggota


BIODATA

Penulis dilahirkan di Kota Padang, Provinsi Sumatera Barat pada tanggal


02 November 2000. Penulis merupakan anak tunggal, dari pasangan Ali Yondri
dan Desnefi. Jenjang pendidikan Sekolah Dasar (SD) ditempuh di SD Negeri 08
Parak Juar, Batusangkar, Kecamatan Lima Kaum, Kabupaten Tanah Datar (2007-
2013). Dilanjutkan Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) 5 Batusangkar,
Kecamatan Lima Kaum, Kabupaten Tanah Datar (2013-2016) dan Sekolah
Menengah Atas Negeri (SMAN) 1 Batusangkar (2016-2019). Setelah lulus SMA,
penulis diterima masuk Universitas Andalas Melalui Jalur Seleksi Nasional
Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) Tahun 2019 di Departemen Ilmu
Tanah dan Sumberdaya Lahan Fakultas Pertanian Universitas Andalas.
Selama masa perkuliahan di Universitas Andalas, penulis aktif pada
beberapa kepanitian seperti Musyawarah Kerja Wilayah (Mukerwil) Fokushimiti
2022, Panitia Sidang Pertemuan Nasional dan Musyarawah Kerja Nasional
FOKUSHIMITI ke XVII tahun 2021, serta Panitia Bakti Faperta Unand 2021.

Padang, November 2023

N.S
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis limpahkan kehadirat Allah SWT karena dengan
rahmat dan karunia- Nya, penulis bisa menyelesaikan skripsi yang berjudul
“Aplikasi Biochar Sekam Padi dan Dolomit Terhadap Stabilitas Agregat
Tanah dan Pertumbuhan Tanaman Kedelai (Glycine max (L.) Merill) Pada
Inceptisol”. Skripsi ini merupakan salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana
Pertanian di Fakultas Pertanian Universitas Andalas, Padang.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Yulnafatmawita,
M.Sc sebagai pembimbing I dan Dr. Mimien Harianti, SP., MP sebagai
pembimbing II yang telah banyak memberikan masukan berupa bimbingan, ilmu
dan pengajaran berharga kepada penulis baik dalam masa studi maupun dalam
penyusunan skripsi. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada seluruh
dosen, karyawan dan civitas akademika Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya
Lahan Fakultas Pertanian, serta teman-teman dan semua pihak yang telah ikut
berpartisipasi dalam memotivasi dan memberikan masukan hingga skripsi ini
terselesaikan.
Skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan dan masih perlu perbaikan.
Penulis sangat mengharapkan kepada semua pihak untuk memberikan kritik dan
saran guna untuk memperbaiki skripsi ini agar menjadi lebih baik kedepannya.

Padang, November 2023

N.S

PAGE \* MERGEFORMAT i
DAFTAR ISI

Halama

n
KATA PENGANTAR................................................................................ i
DAFTAR ISI.............................................................................................. ii
DAFTAR TABEL...................................................................................... iv
DAFTAR GAMBAR.................................................................................. v
DAFTAR LAMPIRAN.............................................................................. vi
ABSTRAK.................................................................................................. vii
ABSTRACT............................................................................................... viii
BAB I. PENDAHULUAN........................................................................ 1
A. Latar Belakang................................................................................. 1
B. Tujuan Penelitian............................................................................. 2
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA............................................................. 3
A. Inceptisol dan Stabilitas Agregat Tanah.......................................... 3
B. Biochar Sekam Padi dan Peranannya Bagi Agregasi Tanah............ 6
C. Peranan Kapur bagi Agregasi Tanah................................................ 7
D. Syarat Tumbuh Tanaman Kedelai (Glycine max (L.) Merill).......... 8
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN.............................................. 11
A. Waktu dan Tempat........................................................................... 11
B. Alat dan Bahan................................................................................. 11
C. Metoda Penelitian............................................................................. 11
D. Pelaksanaan Penelitian..................................................................... 12
E. Pengamatan...................................................................................... 14
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN................................................. 16
A. Analisis Sifat Fisika Inceptisol di Nagari Aie Dingin Kecamatan
Lembah Gumanti Kabupaten Solok................................................ 16
B. Hasil Analisis Sifat Fisika Inceptisol Setelah Aplikasi Biochar
Sekam padi dan Dolomit................................................................. 17
C. PertumbuhanTanaman Kedelai (Glycine max (L.) Merill).............. 27
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN................................................... 31
A. Kesimpulan......................................................................................... 31

ii
B. Saran................................................................................................... 31
DAFTAR PUSTAKA................................................................................. 32
LAMPIRAN............................................................................................... 39

iii
DAFTAR TABEL

Tabel Halaman
1. Parameter analisis sifat fisika tanah awal............................................ 15
2. Parameter analisis sifat fisika tanah akhir............................................ 15
3. Analisis sifat fisika Inceptisol sebelum diberi perlakuan.................... 16
4. Bahan organik Inceptisol setelah panen kedelai akibat aplikasi
biochar sekam padi dan dolomit.......................................................... 18
5. Berat volume dan total pori Inceptisol setelah panen kedelai akibat
aplikasi biochar sekam padi dan dolomit............................................. 20
6. Permeabilitas Inceptisol setelah panen kedelai akibat aplikasi
biochar sekam padi dan dolomit.......................................................... 22
7. Stabilitas agregat Inceptisol setelah panen kedelai akibat aplikasi
biochar sekam padi dan dolomit.......................................................... 25
8. Tinggi tanaman kedelai (Glycine max (L.) Merill) akibat aplikasi
biochar sekam padi dan dolomit.......................................................... 27
9. Produksi polong per pot tanaman kedelai (Glycine max (L.)
Merill) akibat aplikasi biochar sekam padi dan dolomit...................... 29

iv
DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1 . Proses pembuatan biochar dengan metode Soil Pit (Sumber:


Taylor et al.,2014)................................................................................ 13
2 . Proses pemberian perlakuan dan inkubasi tanah secara tertutup
selama 2 minggu.................................................................................. 13
3 . Proses penanaman, pemupukan, dan pemeliharaan tanaman
kedelai (Glycine max (L.) Merill)........................................................ 14
4 . Proses panen tanaman kedelai (Glycine max (L.) Merill)................... 14
5 . Laju pertumbuhan tanaman kedelai (2-6 MST) .................................. 28

v
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman
1. Jadwal Penelitian Tahun 2023......................................................... 39
2. Alat dan Bahan yang digunakan dalam penelitian.......................... 41
3. Deskripsi Varietas Tanaman Kedelai Anjasmoro........................... 42
4. Denah Penempatan Satuan Percobaan ........................................... 43
5. Perhitungan Dosis Biochar Sekam Padi dan Dolomit..................... 44
6. Perhitungan Dosis Pupuk ............................................................... 46
7. Prosedur Analisis Tanah di Laboratorium....................................... 47
8. Tabel Kriteria Sifat Fisika Tanah.................................................... 53
9. Segitiga Tekstur Tanah USDA........................................................ 54
10. Analisis Sidik Ragam..................................................................... 55

vi
APLIKASI BIOCHAR SEKAM PADI DAN DOLOMIT
TERHADAP STABILITAS AGREGAT TANAH DAN
PERTUMBUHAN TANAMAN KEDELAI (Glycine max (L.)
Merill) PADA INCEPTISOL

Abstrak

Stabilitas agregat tanah dipengaruhi oleh tekstur dan kandungan bahan organik
tanah. Tanah bertekstur kasar mempunyai stabilitas agregat yang rendah seperti
yang ditemukan di Nagari Aie Dingin Kecamatan Lembah Gumanti dengan
stabilitas agregat Inceptisol berkriteria kurang mantap. Penelitian ini bertujuan
mengkaji pengaruh biochar sekam padi dan dolomit terhadap stabilitas agregat
tanah dan pertumbuhan tanaman kedelai (Glycine max (L.) Merill) pada
Inceptisol. Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari sampai Mei 2023 di
Fakultas Pertanian Universitas Andalas. Analisis tanah dilakukan di Laboratorium
Fisika Tanah Fakultas Pertanian Universitas Andalas. Penelitian terdiri atas 8
perlakuan dengan 3 ulangan menggunakan RAL : S1 = 0 ton/ha Biochar Sekam
Padi + 0 ton/ha Dolomit; S2 = 0 ton/ha Biochar Sekam Padi + 1.5 ton/ha Dolomit;
S3 = 7.5 ton/ha Biochar Sekam Padi + 0 ton/ha Dolomit; S4 = 7.5 ton/ha Biochar
Sekam Padi + 1.5 ton/ha Dolomit; S5 = 15 ton/ha Biochar Sekam Padi + 0 ton/ha
Dolomit; S6 = 15 ton/ha Biochar Sekam Padi + 1.5 ton/ha Dolomit; S7 = 22.5
ton/ha Biochar Sekam Padi + 0 ton/ha Dolomit; S8 = 22.5 ton/ha Biochar Sekam
Padi + 1.5 ton/ha Dolomit. Parameter yang dianalisis yakni bahan organik tanah,
BV, TRP, permeabilitas, stabilitas agregat serta pengamatan tinggi dan produksi
tanaman kedelai. Berdasarkan hasil penelitian perlakuan terbaik pada
pengaplikasian biochar sekam padi 22,5 t/ha dan dolomit 1,5 t/ha mampu
meningkatkan sifat fisika tanah seperti nilai stabilitas agregat Inceptisol dari
kriteria kurang mantap (42,61%) menjadi mantap (66,78%), serta pertumbuhan
tinggi tanaman kedelai sebesar 67,33 cm dan produksi polong per pot sebesar
98,06 g/pot.

Kata Kunci : Inceptisol, Stabilitas Agregat, Biochar Sekam Padi, Dolomit,


Tanaman Kedelai (Glycine max (L.) Merill)

vii
APPLICATION OF RICE HUSKS BIOCHAR AND DOLOMITE
TO SOIL AGREGATE STABILITY AND GROWTH OF
SOYBEAN (Glycine max (L.) Merill) PLANT ON INCEPTISOL

Abstract

Soil aggregate stability is influenced by texture and soil organic matter. Coarse
textured soils have low aggregate stability as found in Nagari Aie Dingin,
Gumanti Valley District with Inceptisol aggregate stability categorized as less
stable. This study aims to examine the effect of rice husk biochar and dolomite on
soil aggregate stability and soybean (Glycine max (L.) Merill) plant growth on
Inceptisol. The research was conducted from January to May 2023 at the Faculty
of Agriculture, Andalas University. Soil analysis was conducted at the Soil
Physics Laboratory, Faculty of Agriculture, Andalas University. The study
consisted of 8 treatments with 3 replications using RAL: S1 = 0 tons/ha Rice Husk
Biochar + 0 tons/ha Dolomite; S2 = 0 tons/ha Rice Husk Biochar + 1.5 tons/ha
Dolomite; S3 = 7.5 tons/ha Rice Husk Biochar + 0 tons/ha Dolomite; S4 = 7.5
tons/ha Rice Husk Biochar + 1. 5 tons/ha Dolomite; S5 = 15 tons/ha Rice Husk
Biochar + 0 tons/ha Dolomite; S6 = 15 tons/ha Rice Husk Biochar + 1.5 tons/ha
Dolomite; S7 = 22.5 tons/ha Rice Husk Biochar + 0 tons/ha Dolomite; S8 = 22.5
tons/ha Rice Husk Biochar + 1.5 tons/ha Dolomite. The parameters analyzed were
soil organic matter, BV, TRP, permeability, aggregate stability and observation of
height and production of soybean plants. Based on the results of the study, the
best treatment in the application of rice husk biochar 22.5 t/ha and dolomite 1.5
t/ha was able to improve soil physical properties such as the value of Inceptisol
aggregate stability from less stable criteria (42.61%) to stable (66.78%), as well as
soybean plant height growth of 67.33 cm and pod production per pot of 98.06
g/pot.

Keywords: Inceptisol, Aggregate Stability, Rice Husk Biochar, Dolomite,


Soybean Plants (Glycine max (L.) Merill)

viii
BAB I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Beragam ordo tanah di Sumatera Barat salah satunya mempunyai luasan


yang cukup luas (2.223.000 ha) yaitu ordo Inceptisol (Munir dan Herman, 2019).
Inceptisol memiliki potensi besar untuk dikembangkan sebagai lahan pertanian
terutama di Sumatera Barat. Contohnya pada daerah sentra produksi hortikultura
di Kabupaten Solok tepatnya di daerah Alahan Panjang dan sekitarnya seperti
Nagari Aie Dingin, Kecamatan Lembah Gumanti. Umumnya tanah di Nagari Aie
Dingin, Kecamatan Lembah Gumanti didominasi oleh ordo Inceptisol.
Tingkat kesuburan Inceptisol berkaitan erat dengan sifat fisika, disamping
sifat kimia dan biologi tanahnya. Diantara sifat fisika tanah yang cukup
menentukan yaitu agregat tanah. Stabilitas agregat tanah sangat dipengaruhi oleh
tekstur dan kandungan bahan organik tanah. Tanah bertekstur kasar pada
umumnya mempunyai stabilitas agregat yang rendah seperti yang dilaporkan oleh
Variastuti (2022), bahwasanya stabilitas agregat Inceptisol di Nagari Aie Dingin
Kecamatan Lembah Gumanti berkriteria kurang mantap. Variastusi (2022) juga
melaporkan bahwa tekstur Inceptisol ini didominasi oleh partikel debu sebesar
47,21 % sehingga tanah mempunyai tekstur lempung berdebu serta kandungan
bahan organik tanah sebesar 5,74 % dengan kriteria sedang. Oleh karena itu
rendahnya produktivitas Inceptisol karena bertekstur kasar dengan stabiitas
agregat kurang mantap dan kandungan bahan organik yang sedang dapat
berdampak buruk terhadap sifat fisik tanah serta menyebabkan pertumbuhan
tanaman terganggu.
Dalam usaha pemulihan sifat fisik tanah diperlukan upaya rehabilitasi
dengan bahan yang mudah diperoleh seperti limbah pertanian sekam padi yang
dapat digunakan kembali sebagai bahan pembenah tanah dalam bentuk biochar.
Biochar sebagai salah satu bahan amelioran tanah dan bertahan lama di dalam
tanah bermanfaat untuk memperbaiki kualitas secara fisik seperti meningkatkan
kemantapan agregat tanah dan kandungan bahan organik tanah. Pemberian
biochar ke dalam tanah sangat berpotensi untuk meningkatkan C-organik tanah,
retensi air dan unsur hara lainnya dalam tanah serta meningkatkan pH tanah
2

sehingga secara tidak langsung meningkatkan produksi tanaman (Ismail et al.,


2011).
Usaha pemulihan sifat fisik tanah yang efektif dalam memperbaiki sifat
fisik tanah selain biochar sekam padi adalah dolomit. Campuran tanah dengan
bahan stabilisasi seperti dolomit dapat meningkatkan kemantapan agregat tanah.
Dolomit banyak digunakan karena relatif murah dan mudah didapat. Dolomit
dapat memperbaiki sifat fisik dan kimia tanah dengan tidak meninggalkan residu
yang merugikan tanah. Dolomit merupakan salah satu jenis kapur yang
mengandung Ca dan Mg yang mana kedua unsur ini penting untuk menunjang
pertumbuhan dan perkembangan tanaman (Driessen, 1978 cit Nurhayati, 2008).
Indikator pertumbuhan tanaman yang cocok dalam usaha pemulihan sifat
fisik Inceptisol adalah tanaman kedelai (Glycine max (L.) Merill). Tanaman
kedelai merupakan salah satu komoditas utama pangan di Indonesia yang serta
banyak dibudidayakan di Indonesia baik di dataran sedang maupun tinggi
(Fatimah dan Saputro, 2016). Kementerian Pertanian memperkirakan bahwa
produksi kedelai Indonesia terus menurun dari tahun 2021 hingga tahun 2024.
Produksi yang jauh dari kebutuhan kedelai ini salah satunya disebabkan
persaingan penggunaan lahan dengan komoditas lain yang juga stategis yang
menyebabkan penurunan hasil panen. Oleh karena itu penggunaan biochar sekam
padi dan dolomit diharapkan dapat meningkatkan kualitas sifat fisika Inceptisol
dalam kemantapan agregat tanah dan meningkatkan produksi kedelai.
Berdasarkan uraian diatas, maka penulis telah melakukan penelitian yang
berjudul “Aplikasi Biochar Sekam Padi dan Dolomit Terhadap Agregasi
Tanah dan Pertumbuhan Tanaman Kedelai (Glycine max (L.) Merill) Pada
Inceptisol”.

B. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengaruh biochar sekam padi dan
dolomit terhadap stabilitas agregat tanah dan pertumbuhannya terhadap tanaman
kedelai (Glycine max (L.) Merill) pada Inceptisol.
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Inceptisol dan Stabilitas Agregat Tanah

Sifat fisik tanah dataran rendah tidak sama dengan tanah dataran tinggi.
Hal ini disebabkan karena daerah curam memiliki lapisan tanah yang datar dan
sedikit bahan organik, dan perkembangan horizon lebih lambat dibandingkan
dengan tanah daerah datar (Hardjowigeno, 2007). Inceptisol merupakan tanah
yang belum menghasilkan dengan perkembangan profil lemah. Oleh karena itu,
penggunaan Inceptisol pada pertanian dan non-pertanian di berbagai negara
tergantung kondisi lingkungan di mana Inceptisol terbentuk. Di Indonesia,
Inceptisol dapat ditemukan di daerah yang bahan dasarnya adalah tanah liat.
Inceptisol dengan bahan dasar tanah liat ini merupakan sebagian besar lahan
kering Indonesia yang tidak digunakan untuk pertanian. Inceptisol tersebut
ditemukan di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Irian Jaya. Daerah-daerah ini
direncanakan sebagai daerah untuk memperluas lahan pertanian dan mendorong
pertumbuhan migrasi. Kebanyakan dari Inceptisol ini adalah hutan tropis dan
padang rumput. Permasalahan tanah ini adalah bereaksi masam, kadar Al yang
tinggi sehingga bersifat fitotoksik, menyebabkan fiksasi P, unsur hara yang
rendah, maka perlu diberi perlakuan kapur dan pemupukan (Hardjowigeno, 1993).
Inceptisol merupakan tanah yang dapat digunakan untuk lahan pertanian di
Indonesia. Inceptisol merupakan salah satu ordo pada tanah mineral yang cukup
luas, sekitar 20,75 juta hektar (37,5%) dari total luas daratan Indonesia. Inceptisol
adalah jenis tanah baru yang mulai berkembang, terbukti dengan rendahnya
kesuburan tanah akibat rendahnya ketersediaan bahan organik sekitar 3%. Namun
pengolahan tanah dan penambahkan bahan organik dapat mengurangi kehilangan
nutrisi dalam tanah dalam jangka panjang. Inceptisol digolongkan ke dalam tanah
yang mengalami pelapukan sedang dan tercuci (Sanchez, 1992). Inceptisol
menempati hampir 4% dari luas keseluruhan wilayah tropika yang setara dengan
207 juta hektar. Oleh karena itu sebagian besar Inceptisol mengalami pelapukan
sedang dan tercuci karena pengaruh musim basah dan kering yang sangat
mempengaruhi tingkat pelapukan dan pencucian.
4

Karakteristik Inceptisol mempunyai lapisan solum tanah tebal sampai


sangat tebal, yaitu 130 cm sampai 5 meter lebih, sedangkan batas antara horizon
tidak begitu jelas. Warna dari tanah Inceptisol adalah merah, coklat sampai
kekuningan. Kandungan bahan organik berkisar antara 3-9 % tapi biasanya sekitar
5%. Reaksi tanah berkisar antara 4,5-6,5 yaitu dari asam sampai agak asam.
Tekstur seluruh solum tanah ini umumnya adalah liat, sedangkan struktur tanah
remah dengan konsistensi gembur. Perbedaan warna tanah bisa dilihat unsur
haranya, semakin merah biasanya semakin miskin. Inceptisol terbentuk hampir di
semua tempat kecuali daerah kering mulai dari kutub sampai tropika (Wijaya dan
Nursyamsi, 2003). Proses pedogenesis yang mempercepat proses pembentukan
Inceptisol adalah pemindahan, penghilangan karbonat, hidrolisis mineral primer
menjadi formasi lempung, pelepasan sesquioksida, akumulasi bahan organik dan
yang paling utama adalah proses pelapukan, sedangkan proses pedogenesis yang
menghambat pembentukan Inceptisol adalah pelapukan batuan dasar menjadi
bahan induk (Resman et.al., 2006).
Agregat tanah merupakan karakteristik tanah yang peka pada perubahan
akibat pengolahan tanah. Stabilitas agregat tanah adalah ukuran ketahanan unit-
unit struktur tanah dalam merespon tekanan mekanik. Namun agregat tanah yang
dapat mendukung pertumbuhan tanaman harus cukup lemah untuk
mengeksplorasi akar tanaman dan cukup kuat untuk tidak kehilangan porositas
struktural di bawah tekanan (Rohoscova dan Valla, 2004). Stabilitas agregat tanah
adalah ketahanan agregat tanah terhadap hancurnya agregat dan dispersi partikel
akibat berbagai gangguan seperti tetesan air hujan, genangan air, dan alat
mekanis. Tanah dengan stabilitas agregat yang baik menunjukkan ketahanan
terhadap dispersi dan memiliki kekuatan sementasi atau ikatan (Pratiwi, 2013).
Agregat yang stabil menciptakan kondisi yang baik bagi pertumbuhan tanaman.
Agregat dapat menciptakan lingkungan fisik yang baik untuk perkembangan akar
tanaman melalui pengaruhnya terhadap porositas, aerasi dan daya menahan air.
Pada tanah yang agregatnya kurang stabil bila terkena gangguan, maka agregat
tanah tersebut akan mudah hancur. Butir-butir halus hasil hancuran akan
menghambat pori-pori tanah sehingga bobot isi tanah meningkat, aerasi buruk dan
permeabilitas menjadi lambat.
5

Kemantapan agregat sangat menentukan tingkat kepekaan tanah terhadap


erosi. Pemberian bahan organik dan perbedaan pengolahan tanah sangat
menentukan kualitas serta kuantitas agregat tanah. Bahan organik sebagai
pemantap agregat tanah, dapat mempertahankan dan memperbaiki kondisi fisik
tanah dengan bantuan organisme tanah yang memanfaatkannya sebagai sumber
energi. Perbaikan agregat tanah terjadi karena bahan organik dapat berperan
sebagai pengikat dalam pembentukan mikroagregat, mesoagregat maupun
makroagregat. Posisi dan komposisi bahan organik sangat menentukan
pembentukan, distribusi dan stabilitas agregat (Emmerson and Greenland, 1990;
Beare et al., 1994).
Salah satu cara dalam meningkatkan produktivitas tanah adalah pemberian
bahan organik. Bahan organik selain memperbaiki sifat kimia dan biologi tanah,
dapat memperbaiki sifat fisika tanah seperti porositas total, berat volume tanah,
pori aerasi dan pori tanah tersedia, agregasi tanah dan stabilitas agregat tanah
(Juarsah, 1999). Adapun sifat fisik tanah yang baik dapat menyebabkan tanaman
dapat tumbuh dan berkembang secara optimal. Berdasarkan hasil penelitian yang
dilakukan Muyassir et al. (2012) menjelaskan bahwa penambahan bahan organik
dapat menurunkan berat isi sebesar 0,16 gcm -3, menaikkan stabilitas agregat
sebesar 21,33, dan meningkatkan porositas sebesar 13,67% pada Inceptisol.
Kestabilan agregat tanah di daerah tropis basah tampaknya menjadi faktor
kunci untuk menentukan degradasi tanah, terutama di daerah berlereng seperti di
Sumatera Barat. SOM dianggap sebagai agen pengikat tanah terbaik (Albiach et
al. 2001), serta untuk menstabilkan agregat tanah (Tisdall dan Oades 1982; Zhang
et al. 2012). Oleh karena itu, tanah dengan olah tanah minimum memiliki agregat
tanah yang stabil, kemampuan retensi air dan potensi untuk menyerap C/N yang
tinggi dibandingkan dengan tanah yang diolah secara konvensional untuk kegiatan
pertanian (Kasper et al. 2009). Dengan tingginya produksi OM di daerah tropis
basah seperti Sumatera Barat ini, contohnya saja seperti yang dilansir oleh
Yulnafatmawita et al. (2008; 2011) kandungan OM Ultisol Limau Manis berkisar
antara 1% sampai 3%. Oleh karena itu OM harus ditambahkan ke tanah secara
teratur untuk meningkatkan stabilitas agregat tanah dan menghindari proses erosi
serta mengantisipasi degradasi tanah (Yulnafatmawita et al., 2013).
6

B. Biochar Sekam Padi dan Peranannya Bagi Agregasi Tanah

Salah satu bentuk dari bahan organik lebam yang banyak digunakan dalam
bidang pertanian dan lingkungan adalah arang hayati atau disebut dengan biochar.
Bahan organik lebam (inert organic matter) merupakan bahan organik tanah yang
karena struktur kimia karbonnya resisten terhadap proses dekomposisi mikroba
tanah sehingga dapat bertahan di dalam tanah dari ratusan sampai ribuan tahun
(Saidy, 2018).
Biochar merupakan arang kayu yang berpori (porous), sering disebut
biomassa charcoal yang dapat dijadikan sebagai ameliorant tanah. Amelioran
adalah bahan yang dapat meningkatkan kesuburan tanah baik melalui perbaikan
sifat fisik maupun kimia (Kartikawati dan Setyanto, 2011). Pemberian biochar
terhadap tanah dapat meningkatkan daya pegang tanah terhadap air dan mampu
meningkatkan persen agregasi tanah serta menurun berat volume tanah. Bahan
baku pembuatan biochar umumnya adalah residu biomasa pertanian dan
kehutanan seperti kayu, tongkol jagung, tandan kelapa sawit. Limbah pertanian
seperti tempurung kelapa, kulit buah kakao, tempurung kelapa sawit dan sekam
padi sangat berpotensi untuk dijadikan Biochar (Nurida et al., 2008). Biochar
dapat diproduksi menggunakan sistem pirolisis. Pada sistem pirolisis, biochar
diproses tanpa oksigen dan menggunakan sumber panas dari luar. Bahan dasar
pembuatan Biochar akan mempengaruhi cara pembuatan dan mempengaruhi sifat
biochar yang telah dihasilkan (Gani, 2010).
Pemanfaatan sekam padi menjadi biochar adalah salah satu inovasi yang
dapat diaplikasikan pada petani untuk mengatasi permasalahan di bidang
pertanian, seperti mengurangi tingkat keasamaan tanah, meningkatkan
produktivitas tanaman pangan, dan simpanan cadangan karbon untuk mengatasi
masalah lingkungan global (Widiastuti dan Lantang, 2017). Sekam padi sebagai
limbah pertanian biasanya hanya untuk media tanam bunga, bahan baku industri
dan bahan bakar bata merah. Sekam padi mengandung lignin tinggi sehingga sulit
terdekomposisi. Aplikasi biochar sekam padi mampu meningkatkan kandungan C
organik dan N total karena karbon di dalam biochar bersifat stabil dan tidak
mudah terdekomposisi oleh mikroorganisme tanah, selain itu permukaan oksida
7

pada biochar dapat menjerap NH4 + dan NO3- sehingga mencegah terjadinya
kehilangan N di dalam tanah (Putri et al., 2017).

Manfaat biochar ditentukan oleh dua sifat utama yaitu memiliki sifat
afinitas tinggi terhadap hara di dalam tanah. Biochar menyediakan habitat bagi
mikroba di dalam tanah, tetapi tidak dikonsumsi dan bisa tinggal di tanah dalam
waktu ratusan bahkan ribuan tahun. Persistensi biochar dalam jangka panjang
tidak akan mengganggu keseimbangan karbon-nitrogen di dalam tanah, tetapi
dapat menahan air dan nutrisi lebih tersedia bagi tanaman. Glaser et al. (2002)
menunjukkan bahwa pengkayaan tanah akan karbon melalui penambahan biochar
berpengaruh positif terhadap sifat tanah antara lain stabilitas agregat tanah, tanah,
kandungan C-organik tanah, retensi air dan hara. Pemberian bahan organik seperti
biochar didalam tanah dapat meningkatkan agregasi tanah dan penurunan berat isi
tanah (bulk density) yang pada akhirnya meningkatkan jumlah pori tanah,
terutama pori-pori tanah yang berukuran kecil dan mempunyai kemampuan
menahan air.

C. Peranan Kapur bagi Agregasi Tanah

Pengapuran merupakan proses pemberian kapur kedalam tanah, yang


dimasudkan untuk memperbaiki sifat-sifat kimia, fisika dan biologi tanah
(Soepardi, 1983). Menurut Hardjowigeno (1995), umumnya bahan kapur untuk
pertanian adalah berupa kalsium karbonat (CaCO3), beberapa berupa dolomit
(CaMg(CO3)2), dan hanya sedikit berupa CaO (Kalsium Oksida) atau Ca(OH) 2
(Kalsium Hidroksida). Selain itu dolomit banyak digunakan karena relative murah
dan mudah didapat (Djuhariningrum et al., 2004). Disamping itu bahan tersebut
dapat memperbaiki sifat fisik tanah dan kimia dengan tidak meninggalkan residu
yang merugikan tanah (Safuan, 2002).
Dolomit berwarna putih abu-abu atau kebiruan dengan kekerasan lebih
lunak dari batu gamping, berbutir halus, bersifat mudah menyerap air, mudah
dihancurkan, cepat larut dalam air dan mengadung unsur hara (Kartono, 2010).
Cara penggunaan dolomit adalah dengan disebar di tanah atau diaduk dengan
tanah. Keuntungan menggunakan dolomit dapat meningkatkan pertumbuhan akar,
dan memperbaiki struktur tanah, meningkatkan mutu seperti hasil yang tinggi dan
8

buah yang berat, serta dapat digunakan sebagai pupuk dasar dan pupuk susulan
(Kartono, 2010). Dolomit merupakan sumber kalsium dan magnesium bagi
tanaman. Kalsium diserap tanaman dalam bentuk Ca, walaupun semua bentuk
pupuk Ca mampu meningkatkan kandungan nitrogen tanaman dan meningkatkan
hasil tanaman kedelai. Kecukupan kalsium menjadikan sel-sel tanaman lebih
selektif dalam menyerap hara tanaman (Saifuddin, 1993).
Agregat adalah bentuk penyatuan butiran-butiran mineral tanah akibat
gaya fisik, kimiawi maupun biologis sehingga tahan terhadap permasalahan
kekeringan, aliran permukaan atau erosi, pemadatan, serta tetap lepas pada kondisi
basah maupun kering. Tanah yang beragregat baik memiliki drainase yang baik
pula sehingga berperan penting dalam menjadikan tanah sebagai media tumbuh
bagi tanaman dan makrobia tanah (Hanafiah, 2008). Tanah dengan agregat yang
mantap akan mampu mempertahankan kondisi tanah dari serangan energi luar,
seperti energi kinetik curah hujan dan pengolahan tanah (Yulnafatmawita et al.,
2012). Selain itu bahan organik mampu mengikat butir tunggal menjadi agregat
dari agregat mikro menjadi agregat meso dan makro yang mempunyai ruang pori
antara agregat tersebut. Semakin besar agregat yang terbentuk, ruang pori yang
bersebelahan dengan agregat juga semakin besar (Yulnafatmawita et al., 2010)
dan bobot isi tanah semakin rendah. Penambahan bahan organik juga dapat
meningkatkan biomassa tanaman (Yulnafatmawita, 2006). Oleh karena itu
penggunaan campuran tanah dengan bahan stabilisasi seperti dolomit dapat
meningkatkan daya dukung tanah agar kemantapan agregat tanah dapat
ditembus oleh akar tanaman dan tetap utuh mempertahankan kondisi tanah
akibat dari tekanan luar.

D. Syarat Tumbuh Tanaman Kedelai (Glycine max (L.) Merill)

Kedelai (Glycine max (L.) Merill) hadir sebagai komoditas pangan yang
sudah lama dibudidayakan di Indonesia, tidak hanya diposisikan sebagai bahan
baku industri pangan, namun sebagai bahan baku industry nonpangan. Beberapa
produk yang dihasilkan antara lain tempe, tahu, es krim, susu kedelai, tepung
kedelai, minyak kedelai, pakan ternak, dan bahan baku industri. Aneka variasi
olahan yang ada pada kedelai menyebabkan tingginya permintaan kedelai di
9

dalam negeri. Selain itu, manfaat kedelai sebagai salah satu sumber protein yang
murah di pasaran menjadikan kedelai semakin diminati. Dengan meningkatnya
jumlah penduduk, permintaan kedelai di dalam negeri pun meningkat setiap
tahunnya (Margono et al., 1993).
Tanaman kedelai (Glycine max (L) merupakan salah satu tanaman pangan
semusim berupa tanaman semak yang berasal dari daratan Mansukhuo (Cina
Utara) kemudian menyebar ke Jepang hingga ke Indonesia serta ke negara-negara
lain seperti Amerika dan Afrika (Suhartono et al., 2008). Tanaman kedelai mulai
dibudidayakan di Indonesia sejak abad ke-17 sebagai tanaman pangan (Purwono
dan Purnawati, 2007). Menurut Suprapto (2002), taksonomi tanaman kedelai
diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom: Plantae, Divisio: Spermatophyta,
Subdivisio: Angiospermae, Classis: Dicotyledoneae, Ordo: Rosales, Familia:
Leguminoceae, Subfamilia: Papilionoideae, Genus: Glycine, Species: Glycine
max (L.) Merill. Morfologi tanaman kedelai didukung oleh komponen utamanya
yaitu akar, daun, batang, polong, dan biji sehingga pertumbuhannya optimal
(Irwan, 2006). Tanaman kedelai adalah tanaman berhari pendek berbentuk semak
yang tumbuh tegak dengan perakaran tunggang.
Iklim merupakan salah satu faktor penting dalam pertumbuhan kedelai.
Iklim kering lebih disukai tanman kedelai dibandingkan iklim sangat lembab.
Kedelai dapat tumbuh sepanjang tahun baik di daerah tropis dan subtropis jika air
tersedia (Setyosari dan Effendi, 1991). Tanaman kedelai dapat tumbuh pada iklim
panas dengan jumlah bulan kering selama 3-6 bulan. Iklim yang terlalu basah
menyebabkan tanaman kurang menghasilkan biji walaupun tumbuhnya subur,
maka pada pertumbuhan terutama menjelang tua tanaman kedelai memerlukan
iklim kering. Ketinggian tempat 0-75 m diatas permukaan laut dengan suhu
optimum untuk pertumbuhan yakni 23-27 °C serta untuk perkecambahan benih
memerlukan suhu yang cocok sekitar 30 °C (Suhaeni, 2007).
Pengolahan tanah bertujuan untuk memperoleh struktur tanah yang
gembur, drainase dan aerase tanah yang baik, sehingga akar-akar kedelai dapat
tumbuh. Tanaman kedelai merupakan tanaman semusim yang dapat tumbuh pada
berbagai jenis tanah dan menyukai tanah yang bertekstur ringan hingga sedang
dan berdrainase baik (Rubatzky dan Yamaguchi, 1998). Keasaman tanah yang
10

cocok untuk tanaman kedelai adalah pH 6-6,8. Pada pH kurang dari 5,5 kedelai
masih dapat bereproduksi, tetapi pertumbuhannya sangat lambat karena keracunan
alumunium. Untuk mengatasi hal tersebut lahan perlu diberi kapur atau
pengapuran. Pemberian pengapuran dan pemupukan untuk meningkatkan pH
tanah dan tersedianya unsur hara pada keadaan seimbang diharapkan dapat
meningkatkan produksi kedelai (Suprapto, 1999).
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari sampai Mei 2023.


Pengambilan sampel tanah dilaksanakan di Nagari Aie Dingin, Kecamatan
Lembah Gumanti, Kabupaten Solok. Penelitian ini dilakukan di Fakultas
Pertanian Universitas Andalas. Analisis tanah dilakukan di Laboratorium Fisika
Tanah, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian
Universitas Andalas, Padang. Jadwal kegiatan penelitian secara lengkap tertera
pada Lampiran 1.

B. Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian yaitu cangkul, sekop, ring sampel,
bor Belgie, alat pembuatan biochar dan lain-lain. Bahan yang digunakan dalam
penelitian adalah tanah yaitu Inceptisol yang diambil di Nagari Aie Dingin
Kecamatan Lembah Gumanti Kabupaten Solok, biochar sekam padi, dolomit,
pupuk dasar seperti Urea, SP-36, KCl dan benih kedelai varietas Anjasmoro.
Deskripsi kedelai varietas Anjasmoro disajikan pada Lampiran 3. Alat dan bahan
yang digunakan selengkapnya disajikan pada Lampiran 2.

C. Metoda Penelitian

Penelitan ini merupakan percobaan pot. Perlakuannya adalah kombinasi


biochar sekam padi dan dolomit dengan dosis yang berbeda. Ada 8 perlakuan
yang diberikan sebagai berikut:
S1 = 0 ton/ha Biochar Sekam Padi + 0 ton/ha Dolomit
S2 = 0 ton/ha Biochar Sekam Padi + 1.5 ton/ha Dolomit
S3 = 7.5 ton/ha Biochar Sekam Padi + 0 ton/ha Dolomit
S4 = 7.5 ton/ha Biochar Sekam Padi + 1.5 ton/ha Dolomit
S5 = 15 ton/ha Biochar Sekam Padi + 0 ton/ha Dolomit
S6 = 15 ton/ha Biochar Sekam Padi + 1.5 ton/ha Dolomit
S7 = 22.5 ton/ha Biochar Sekam Padi + 0 ton/ha Dolomit
S8 = 22.5 ton/ha Biochar Sekam Padi + 1.5 ton/ha Dolomit
12

Satuan percobaan dialokasikan di rumah kawat berdasarkan rancangan


acak lengkap. Data yang diperoleh dari penelitian dianalisis secara statistik
dengan uji analisis F. Pada taraf 5% apabila F hitung perlakuan lebih besar dari F
tabel dilanjutkan dengan Duncan’s New Multiple Range Test (DNMRT). Denah
dan penempatan satuan percobaan dapat dilihat pada Lampiran 4.

D. Pelaksanaan Penelitian

1. Pengambilan Sampel Tanah dan Persiapan Media Tanam

Tanah yang digunakan adalah Inceptisol yang diambil dari Nagari Aie
Dingin, Kecamatan Lembah Gumanti, Kabupaten Solok pada ketebalan 0-20 cm
di lahan dengan kelerengan 8-15%. Sampel diambil dalam bentuk sampel tanah
terganggu (untuk percobaan pot), sampel tanah utuh, beragregat utuh dan
terganggu (untuk analisis tanah awal). Analisis tanah diawali dengan pengambilan
sampel tanah utuh menggunakan ring sampel, sampel tanah terganggu
menggunakan Bor Belgie dan sampel beragregat utuh menggunakan cangkul.
Sampel tanah untuk percobaan pot dikering anginkan selama 2×24 jam,
kemudian dihaluskan dan diayak menggunakan ayakan 2 mm. Selanjutnya sampel
tanah dimasukkan ke dalam polybag ukuran 10 kg.

2. Pembuatan Biochar Sekam Padi

Pembuatan biochar sekam padi dilakukan dengan metode Soil Pit. Dibuat
lubang pada tanah dengan diameter ± 2 m dan kedalaman ± 1 m yang mengerucut
ke dalam bawah tanah. Kemudian diletakkan beberapa kayu di tengah lubang
untuk pembakaran dan api dinyalakan dari atas. Selanjutnya diletakkan batu di
sekeliling lubang yang berfungsi sebagai pelindung dari angin dan arus udara
pembakaran. Sekam padi dimasukkan dan disusun bertumpuk atau membentuk
piramida mengelilingi cerobong asap ditengah lubang. Selama proses pembakaran
sekam padi dibolak-balikkan sehingga membentuk arang secara merata. Setelah
sekam menjadi arang seluruhnya yang ditandai oleh beningnya asap yang keluar
saat pembakaran, kemudian sekam berbentuk arang disiram kemudian dijemur.
Setelah itu biochar siap diaplikasikan.
13

Gambar 1. Proses pembuatan biochar dengan metode Soil Pit (Sumber: Taylor et
al.,2014)

3. Pemberian Perlakuan

Perlakuan yang diberikan yaitu biochar sekam padi dan dolomit dicampur
pada masing-masing pot sesuai dosis perlakuan yang diberikan tertera pada
Lampiran 5. Kemudian bahan diaduk dan disiram dengan air secara merata.
Selanjutnya dilakukan inkubasi secara tertutup selama 2 minggu sebelum
dilakukan penanaman.

Gambar 2. Proses pemberian perlakuan dan inkubasi tanah secara tertutup selama
2 minggu

4. Penanaman, Pemupukan dan Pemeliharaan Tanaman Kedelai

Kedelai ditanam dua biji per masing-masing pot. Penyulaman tanaman


kedelai dilakukan 1 minggu setelah tanam (MST). Kedelai yang tidak tumbuh
atau diserang hama dan penyakit dilakukan penyulaman. Penyulaman yang
dilakukan dengan mengganti tanaman yang tidak tumbuh atau mati pada pot.
Pemupukan tanaman kedelai dilakukan sesuai rekomendasi dosis yang
diberikan yaitu 100 kg Urea/ha, 125 kg SP-36/ha, 100 kg KCl/ha (Lampiran 6).
Pemupukan kedua dilakukan pada 25 hari setelah tanam (HST) dan pemupukan
ketiga dilakukan pada 45 hari setelah tanam (HST) apabila pertumbuhan kedelai
tidak subur.
Pemeliharaan tanaman kedelai meliputi penyiraman, penyiangan gulma,
serta pengendalian hama dan penyakit. Penyiangan tanaman kedelai dilakukan
14

dengan cara mencabut gulma yang tumbuh pada tiap-tiap pot secara manual.
Penyiangan dilakukan dengan tujuan untuk menghindari persaingan unsur hara
antara tanaman kedelai dengan gulma. Penyiraman tanaman kedelai dilakukan
setiap hari dan disaat hari hujan pada lokasi penelitian tanaman tidak disiram dan
hanya mengandalkan air hujan yang turun. Pengendalian hama dan penyakit
tanaman kedelai dilakukan dengan penyemprotan insektisida Lannate.

Gambar 3. Proses penanaman, pemupukan, dan pemeliharaan tanaman kedelai


(Glycine max (L.) Merill)
5. Panen

Panen kedelai dilakukan pada hari ke-78 setelah tanam (HST), yaitu pada
saat sebagian besar daun sudah menguning dan mulai gugur, polong kedelai
berubah warna menjadi kuning kecoklatan, batang mengeras dan berwarna kuning
kecoklatan. Polong kedelai dimasukkan ke dalam map kertas untuk dihitung
jumlah hasil panen per pot.

Gambar 4. Proses panen tanaman kedelai (Glycine max (L.) Merill)

E. Pengamatan

1. Analisis Tanah

Analisis tanah pada penelitian ini dilakukan pada Laboratorium Fisika


Tanah yang bertujuan untuk menentukan sifat fisika tanah serta parameter yang
digunakan disajikan pada Tabel 1 dan Tabel 2. Prosedur analisis disajikan pada
Lampiran 7.
15

Tabel 1. Parameter analisis sifat fisika tanah awal.


No Pengamatan Metoda Satuan Sampel
1. Tekstur Pipet dan Ayakan % Terganggu
2. Bahan Organik Walkey and Black % Terganggu
3. Berat Volume Tanah Gravimetri g cm-3 Utuh
4. Permeabilitas Tanah Constant Head cm jam-1 Utuh
Permeameter
5. Total Ruang Pori Gravimetri % Utuh
6. Stabilitas Agregat Ayakan Basah dan - Aggregat
Tanah Ayakan Kering Utuh

Tabel 2. Parameter analisis sifat fisika tanah akhir.


No Pengamatan Metoda Satuan Sampel
1. Bahan Organik Walkey and Black % Terganggu
2. Berat Volume Tanah Gravimetri g cm-3 Utuh
3. Permeabilitas Tanah Constant Head cm jam-1 Utuh
Permeameter
4. Total Ruang Pori Gravimetri % Utuh
5. Stabilitas Agregat Ayakan Basah dan - Aggregat
Tanah Ayakan Kering Utuh

2. Pengamatan Tanaman

Pengamatan tanaman yang dilakukan yaitu tinggi tanaman kedelai dan


produksi polong per pot. Data yang diperoleh dari penghitungan dianalisis secara
statistik.

3. Analisis Data

Data analisis sifat fisika tanah di laboratorium dan data pengamatan


tanaman dihitung rata-ratanya. Kemudian data tersebut dibandingkan dengan tabel
kriteria sifat fisika tanah untuk tanah awal, serta dianalisis sidik ragamnya begitu
juga pada data pengamatan tanaman. Pada taraf 5% apabila F hitung perlakuan
lebih besar dari F tabel dilanjutkan dengan Duncan’s New Multiple Range Test
(DNMRT).
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Analisis Sifat Fisika Inceptisol di Nagari Aie Dingin Kecamatan


Lembah Gumanti Kabupaten Solok

Tanah dalam penelitian ini diambil di Nagari Aie Dingin Kecamatan


Lembah Gumanti dengan ordo Inceptisol. Analisis sifat fisika tanah awal yaitu
tekstur, bahan organik, berat volume, total ruang pori, permeabilitas, dan stabilitas
agregat tanah. Hasil analisis sifat fisika Inceptisol disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Analisis sifat fisika Inceptisol sebelum diberi biochar sekam padi dan
dolomit
Parameter Nilai Kriteria
1. Tekstur
Pasir (%) 36,51(1)
Lempung Berdebu
Debu (%) 47,21(1)
Liat (%) 16,27(1)
2. Bahan Organik (%) 5,74 Sedang
3. BV (g/cm3) 0,75 Sedang
4. TRP (%) 75,58 Tinggi
5. Permeabilitas (cm/jam) 9,47 Agak Cepat
6. Stabilitas Agregat 42,61 Kurang Mantap
Keterangan : 1) Variastuti, 2022

Hasil analisis awal sifat fisika Inceptisol Aie Dingin, Kec. Lembah
Gumanti, Kab. Solok bahwa tekstur tanah termasuk kelas lempung berdebu
dengan fraksi kasar (pasir + debu) > 80%. Berdasarkan hasil analisis, tanah
dengan tekstur lempung berdebu memiliki persentase debu dan pasir yang tinggi
sehingga mudah meloloskan air, sehingga air yang tersedia bagi tanaman menjadi
rendah. Menurut Djaenuddin et al., (2003), kategori tekstur tanah untuk tanaman
kedelai akan sesuai jika kategorinya halus, agak halus sampai sedang. Tekstur
tanah dianggap ciri dasar tanah dan sifat tanah ini yang relatif tetap tidak berubah
kecuali terjadi erosi pada tanah tersebut.
Hasil analisis bahan organik Inceptisol 5,74% dengan kriteria sedang. Hal
ini dipengaruhi oleh bahan organik yang hanya dihasilkan dari serasah vegetasi
17

yang tumbuh disana serta melapuk dipermukaan tanah, dan juga Inceptisol ini
berada pada kelas lereng yang termasuk landai (8-15%). Pada Tabel 3 nilai berat
volume Inceptisol yakni 0,75 g/cm3 termasuk kriteria sedang. Sedangkan total
ruang pori tanah yang didapatkan berkisar 89,58% dengan kriteria tinggi. Total
ruang pori tanah berbanding terbalik dengan berat volume tanah, namun
berbanding lurus dengan bahan organik tanah karena TRP sangat dipengaruhi oleh
bahan organik. Rendahnya berat volume dan tingginya total ruang pori tanah
dipengaruhi oleh tekstur dan bahan organik.
Hasil analisis laju permeabilitas tanah menunjukkan nilai 9,47 cm/jam
dengan kriteria agak cepat. Permeabilitas dengan kriteria tersebut menandakan
bahwa tanah di Nagari Aie Dingin Kecamatan Lembah Gumanti Kabupaten Solok
pada kelerengan 8-15% memiliki kualitas meloloskan air agak cepat.
Permeabilitas sangat dipengaruhi oleh salah satunya tekstur tanah. Tingginya %
pasir dan liat serta bahan organik menyebabkan tanah mudah meloloskan air.
Akan tetapi, stabilitas agregat Inceptisol bernilai 42,60 dengan kriteria kurang
mantap. Hal tersebut dikarenakan oleh tekstur dan kadar bahan organik di dalam
tanah. Tekstur tanah yang kasar sukar membentuk agregat yang mantap walaupun
bahan organik cukup tersedia. Sehingga perlu penambahan amelioran ke dalam
tanah seperti biochar sekam padi dan dolomit untuk memperbaiki agregasi tanah.
Susunan agregat tanah atau fragmen memiliki pengaruh utama terhadap kekuatan
tanah baik pada pertumbuhan akar dan produksi tanaman (Dýaz-Zorita et al.,
2005).

B. Hasil Analisis Sifat Fisika Inceptisol Setelah Aplikasi Biochar Sekam


padi dan Dolomit

Hasil analisis sifat fisika Inceptisol setelah aplikasi biochar sekam padi dan
dolomit yang ditanami tanaman kedelai (Glycine max (L.) Merill) sebagai
indikator pertumbuhan tanaman.

1. Bahan Organik

Hasil penetapan bahan organik tanah dari aplikasi biochar sekam padi dan
dolomit pada pertumbuhan tanaman kedelai (Glycine max (L.) Merill) disajikan
pada Tabel 4.
18

Tabel 4. Bahan organik Inceptisol setelah panen kedelai akibat aplikasi biochar
sekam padi dan dolomit.
Kombinasi Aplikasi Dosis (ton/ha)
Bahan Organik (%)
Biochar Sekam Padi Dolomit

0 0 6,21 a
0 1,5 7,02 a
7,5 0 7,12 a
7,5 1,5 7,15 a
15 0 7,19 a
15 1,5 7,26 a
22,5 0 7,32 a
22,5 1,5 7,42 a
KK (%) 5,65
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf kecil yang sama tidak berbeda nyata
menurut uji lanjut DNMRT pada taraf 5%

Berdasarkan hasil analisis tanah pada Tabel 4 dapat dilihat pengaplikasian


biochar sekam padi dan dolomit berpengaruh tidak nyata terhadap kandungan
nilai bahan organik. Pengaplikasian biochar sekam padi dan dolomit pada
perlakuan biochar sekam padi 0 t/ha + dolomit 1,5 t/ha dan biochar sekam padi
7,5 t/ha + dolomit 0 t/ha cenderung meningkatkan bahan organik sebesar 7,02%
dan 7,12% jika dibandingkan dengan kontrol. Terjadi peningkatan nilai bahan
organik pada pengaplikasian biochar sekam padi 22,5 t/ha dan dolomit 1,5 t/ha
sebesar 7,42%. Pengaruh pengaplikasian biochar sekam padi dan dolomit yang
tidak nyata disebabkan oleh sedikitnya kandungan bahan organik dari biochar
sekam padi dan dolomit yang diberikan. Sehingga dengan dosis 22,5 t/ha belum
mampu meningkatkan secara nyata kandungan bahan organik Inceptisol setelah
panen jika dibandingkan dengan kontrol, akan tetapi ada kecenderungan
peningkatannya. Namun jika ditambahkan lagi dosis biochar sekam padi dan
dolomit mungkin akan mampu menghasilkan perbedaan yang nyata terhadap
bahan organik Inceptisol.
Pengaplikasian biochar sekam padi dan dolomit dapat dikatakan mampu
meningkatkan kandungan nilai bahan organik Inceptisol, namun secara statistik
berpengaruh tidak nyata. Menurut pernyataan Azizah (2019), bahwa pemberian
19

biochar mampu meningkatkan kandungan bahan organik tanah, kandungan bahan


organik tanah tersebut meningkat seiring dengan peningkatan dosis biochar.
Semakin tinggi dosis biochar yang diberikan ke dalam tanah maka semakin
meningkat nilai kandungan bahan organik tanah. Adapun peran dolomit dalam
peningkatan kandungan bahan organik tanah dinilai cukup efektif meningkatkan
kesuburan tanah karena mengandung Kalsium (Ca) dan magnesium (Mg).
Penambahan dolomit menjadikan ketersediaan unsur hara lebih baik sehingga
produktivitas tanaman meningkat. Dolomit berasal dari endapan mineral sekunder
yang dapat meningkatkan ketersediaan unsur hara lain seperti fosfor, nitrogen,
kalium, kalsium dan magnesium, serta memperbaiki sifat fisik tanah (Sudianto et
al., 2018). Menurut Holland et al. (2018) menyatakan bahwa pengapuran efektif
meningkatkan kesuburan lahan, meningkatkan ketersediaan serta serapan unsur
nitrogen, fosfor, dan menurunkan serapan logam berat beracun bagi tanaman
sehingga pengapuran efektif meningkatkan produktivitas tanaman.
Disisi lain sejalan dengan pernyataan Mawardiana et al. (2013), bahwa
pemberian biochar ke tanah berpotensi meningkatkan kadar C-organik. Kadar C-
organik yang terkandung dalam tanah memiliki peran penting dalam menentukan
kesuburan tanah baik dari segi fisik, kimia, maupun secara biologis tanah. Sejalan
dengan pernyataan Yulnafatmawita et al., (2009) mengenai keberadaan bahan
organik tanah adalah suatu keharusan dalam menciptakan pertanian berkelanjutan
dan kelestarian lingkungan. Hal tersebut disebabkan karena bahan organik
berperan penting dalam menciptakan kesuburan tanah baik secara fisika, kimia,
maupun biologi tanah.
Bahan organik tanah bersumber dari jaringan tumbuhan dan hewan yang
berada di atas ataupun di dalam tanah itu sendiri. Berbeda sumber bahan organik
tanah tersebut akan berbeda pula pengaruh yang akan disumbangkan ke dalam
tanah. Kandungan bahan organik tanah bersifat dinamik, serta berubah terhadap
waktu dan ruang. Pengolahan tanah yang berlebihan pada budidaya tanaman
mempengaruhi keberadaan bahan organik di dalam tanah. Jika tanah selalu diolah
tanpa penambahan bahan organik pada suatu lahan, maka kandungan bahan
organik di dalam tanah semakin lama akan semakin berkurang akibat terjadinya
20

oksidasi bahan organik. Hal ini mengakibatkan degradasi pada struktur tanah dan
agregat tanah mudah terdispersi.

2. Berat Volume (BV) dan Total Ruang Pori (TRP) Tanah.

Hasil penetapan Berat Volume (BV) dan Total Ruang Pori (TRP) dari
aplikasi biochar sekam padi dan dolomit pada pertumbuhan tanaman kedelai
(Glycine max (L.) Merill) disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5. Berat volume dan total pori Inceptisol setelah panen kedelai akibat
aplikasi biochar sekam padi dan dolomit.
Kombinasi Aplikasi Dosis (ton/ha)
Berat Volume Total Ruang
(g/cm3) Pori (%)
Biochar Sekam Padi Dolomit

0 0 0,64 a 75,58 a
0 1,5 0,63 a 76,24 a
7,5 0 0,62 a 76,29 a
7,5 1,5 0,61 a 76,70 a
15 0 0,59 a 77,62 a
15 1,5 0,58 a 78,19 a
22,5 0 0,57 a 78,47 a
22,5 1,5 0,55 a 78,93 a
KK (%) 9,76 2,91
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf kecil yang sama tidak berbeda nyata
menurut uji lanjut DNMRT pada taraf 5%

Berdasarkan hasil analisis tanah pada Tabel 5 dapat dilihat pengaplikasian


biochar sekam padi dan dolomit berpengaruh tidak nyata terhadap berat volume
dan total ruang pori Inceptisol. Pengaplikasian biochar sekam padi dan dolomit
pada perlakuan biochar sekam padi 0 t/ha + dolomit 1,5 t/ha dan perlakuan
biochar sekam padi 7,5 t/ha + dolomit 0 t/ha cenderung menurunkan berat volume
sebesar 0,63 g/cm3 dan 0,62 g/cm3 jika dibandingkan dengan kontrol. Sedangkan
pengaplikasian tersebut juga menaikkan total ruang pori sebesar 76,24% dan
76,29% jika dibandingkan dengan kontrol. Kemudian pengaplikasian biochar
sekam padi 22,5 t/ha dan dolomit 1,5 t/ha menurunkan berat volume tanah sebesar
0,55 g/cm3 dan menaikkan total ruang pori sebesar 78,93%. Pengaruh
21

pengaplikasian biochar sekam padi dan dolomit yang tidak nyata disebabkan oleh
kandungan bahan organik tanah yang belum cukup sempurna namun cenderung
meningkat kadarnya dalam menurunkan berat volume tanah dan meningkatkan
total ruang pori dalam kurun waktu 3 bulan.
Akan tetapi pengaplikasian biochar sekam padi dan dolomit dapat
dikatakan mampu menurunkan nilai berat volume Inceptisol dan meningkatkan
nilai total ruang pori Inceptisol, namun secara statistik berpengaruh tidak nyata.
Hal itu disebabkan adanya peningkatan dosis pengaplikasian biochar sekam padi
dan dolomit yang menyebabkan berat volume tanah menurun karena nilai
kandungan bahan organik berbanding terbalik dengan nilai berat volume pada
suatu tanah. Pengaplikasian biochar sekam padi dan dolomit selama 3 bulan itu
belum terlihat perubahan sifat fisiknya dan memerlukan jangka waktu yang lama
untuk bisa diperbaiki. Tanah dengan berat isi rendah memiliki nilai porositas
tinggi. Penambahan bahan organik ke dalam tanah dapat meningkatkan porositas
tanah yang menyebabkan tingginya nilai porositas tanah serta meningkatkan laju
infiltrasi. Bahan organik dapat membantu dalam penciptaan pori tanah sehingga
ruang untuk kadar air tanah dapat meningkat (Delima et al., 2018).
Pengaplikasian bahan organik membuat struktur tanah remah, remahnya
struktur tanah dapat menurunkan nilai berat volume tanah. Nilai berat volume
tanah juga berpengaruh terhadap total ruang pori tanah. Semakin tinggi nilai berat
volume tanah maka nilai total ruang pori akan semakin rendah. Total ruang pori
dipengaruhi oleh bahan organik, interaksi antara humus dan partikel tanah
berakibat pada struktur tanah yang mantap dan akan memperbesar ruang pori.
Semakin tinggi nilai bahan organik atau dosis biochar yang diberikan maka nilai
berat volume tanah semakin turun dan nilai total ruang pori tanah semakin naik.
Hal ini juga sejalan dengan pendapat Hardjowigeno (2007), yang menyatakan
bahwa penurunan yang terjadi terhadap nilai berat volume tanah disebabkan
karena penambahan bahan organik. Penambahan bahan organik ini ke dalam tanah
mengagregasi tanah sehingga butiran-butiran tanah menjadi mantap dan terjadi
peningkatan porositas tanah.
Pengaplikasian dolomit mampu membenahi struktur tanah dan memasok
unsur-unsur hara ke dalam tanah khususnya hara Ca. Sejalan dengan pernyataan
22

Sugito et al., (1995) bahwa bahan organik selain menambah unsur hara ke dalam
tanah juga akan mempengaruhi sifat fisik tanah yang menjadikan tanah lebih
gembur. Hal tersebut didukung oleh hasil analisis berat volume tanah yang
mengalami penurunan kepadatan sehingga tanah menjadi lebih gembur dan
menyebabkan penyebaran akar tanaman menjadi lebih luas dan jumlah akar yang
terbentuk menjadi lebih banyak. Jangkauan akar yang luas mampu meningkatkan
penyerapan unsur hara (Marthin dan Wijayanti, 2011). Jika angka berat volume
tanah semakin kecil menunjukkan bahwa tanah secara alami semakin berpori atau
gembur, begitu sebaliknya jika berat volume semakin besar menunjukkan tanah
secara alami cenderung padat (Munir dan Herman, 2019). Menurut Indriani
(2007) jumlah bahan organik yang terkandung didalam tanah mempengaruhi
perubahan berat volume tanah. Nilai berat volume tanah akan menentukan tingkat
kepadatan suatu tanah serta penetrasi dan perkembangan akar tanaman.

3. Permeabilitas Tanah.
Hasil penetapan permeabilitas Inceptisol akibat aplikasi biochar sekam
padi dan dolomit terhadap pertumbuhan tanaman kedelai (Glycine max (L.)
Merill) disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6. Permeabilitas Inceptisol setelah panen kedelai akibat aplikasi biochar


sekam padi dan dolomit.
Kombinasi Aplikasi Dosis (ton/ha)
Permeabilitas (cm/jam)
Biochar Sekam Padi Dolomit
0 0 19,89 a
0 1,5 17,79 a
7,5 0 15.24 a
7,5 1,5 15,18 a
15 0 15,20 a
15 1,5 15,07 a
22,5 0 14,83 a
22,5 1,5 14,76 a
KK (%) 20,52
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf kecil yang sama tidak berbeda nyata
menurut uji lanjut DNMRT pada taraf 5%
23

Berdasarkan hasil analisis tanah pada Tabel 6 dapat dilihat pengaplikasian


biochar sekam padi dan dolomit berpengaruh tidak nyata terhadap permeabilitas
Inceptisol. Pengaplikasian biochar sekam padi dan dolomit pada perlakuan
biochar sekam padi 0 t/ha + dolomit 1,5 t/ha dan biochar sekam 7,5 t/ha + dolomit
0 t/ha cenderung dapat menurunkan permeabilitas tanah sebesar 17,79 cm/jam dan
15,24 cm/jam jika dibandingkan dengan kontrol. Pengaplikasian biochar sekam
padi 22,5 t/ha dan dolomit 1,5 t/ha menurunkan permeabilitaas sebesar 14,76
cm/jam walaupun masih tergolong ke dalam kriteria cepat. Hubungan antara TRP
dengan permeabilitas adalah pada saat pengaplikasian biochar sekam padi 22,5
t/ha + dolomit 1,5 t/ha, pada Tabel 5 menjelaskan TRP meningkat sebanyak
78,93% namun pada Tabel 6 menurunkan nilai permeabilitas tanah diakibatkan
pengaplikasian amelioran sehingga tanah lebih tahan lama dalam menahan dan
menyerap air walaupun TRP semakin meningkat.
Pengaruh pengaplikasian biochar sekam padi dan dolomit yang tidak nyata
disebabkan campuran biochar sekam padi dan dolomit belum cukup sempurna
menurunkan nilai permeabilitas tanah serta ditambah dengan kondisi tekstur tanah
yang lempung berdebu. Selanjutnya tanah ini sudah mengalami perubahan sifat
fisik sebelum dilakukan penanaman, sehingga tanah tersebut memiliki pori-pori
besar yang banyak dan menyebabkan tanah menjadi poros dan mudah
mengalirkan air. Akan tetapi pengaplikasian biochar sekam padi dan dolomit
mampu menurunkan nilai permeabilitas Inceptisol, namun secara statistik belum
bisa dikatakan terbaik karena berpengaruh tidak nyata.
Adanya perbedaan nilai permeabilitas Inceptisol yang beragam disebabkan
oleh karakteristik sifat fisika tanah itu sendiri seperti tekstur tanah yang lempung
berdebu. Tekstur tanah debu memiliki sifat licin jika terkena air sehingga tekstur
tanah debu lebih mudah menyerap air. Kemampuan tanah dalam menyerap air
berbanding lurus dengan nilai porositas tanah. Apabila porositas tanah semakin
besar maka kemampuan tanah dalam menyerap air semakin baik (Bintoro et al.,
2017). Selain itu juga dipengaruhi oleh lama masa tanam yakni selama 3 bulan
yang menyebabkan belum terbentuk sempurna sifat fisik tanahnya.Kemungkinkan
sistem perakaran atau pembentukan struktur tanah juga baru mengalami
24

perkembangan setelah sebelumnya kondisi fisik tanahnya berubah dan pengaruh


perlakuan biochar sekam padi dan dolomit.
Biochar sekam padi dengan kandungan pori yang tinggi mampu meretensi
air sehingga mudah mengalir. Pemberian dolomit dapat memperbaiki struktur
tanah menjadi lebih baik dan berdampak terhadap aktivitas mikroorganisme dalam
tanah lebih meningkat, dengan demikian proses dekomposisi bahan organik
menjadi humus akan lebih cepat, kelarutan zat yang sifatnya meracun bagi
tanaman menjadi menurun dan unsur lain tidak banyak terbuang (Hariyadi et al.,
1989 cit Hansen et al., 2016). Oleh karena itu peran dolomit dalam perbaikan
struktur tanah sehingga menjadi remah menyebabkan interaksi antara humus dan
partikel tanah berakibat pada struktur tanah yang lebih mantap dan memperbesar
ruang pori. Selain itu adanya perbedaan nilai berat volume tanah yang turun serta
nilai total ruang pori yang naik setelah pengaplikasian dosis biochar sekam padi
dan dolomit.
Hal ini sejalan dengan pendapat Yulnafatmawita et al., (2008)
mengungkapkan bahwa pengolahan tanah menimbulkan peningkatan volume
tanah dalam satuan berat tanah yang sama, hal ini berarti volume tanah yang diisi
pori menjadi lebih banyak dibanding sebelum pengolahan. Selanjutnya tanah ini
mempunyai tekstur lempung berdebu yang menyebabkan tanah berpori yang
menyebabkan permeabilitas (aliran jenuh) yang cepat. Aliran jenuh terjadi apabila
pori tanah terisi penuh oleh air, dan sangat dipengaruhi oleh porositas total tanah.
Tanah pada penelitian ini memiliki tekstur lempung berdebu yang dominan
banyak mengandung partikel debu dengan pori meso serta partikel pasir dengan
pori makro. Perbedaan inilah yang mempengaruhi kecepatan tanah dalam
meloloskan air. Pergerakan air di dalam tanah merupakan aspek penting dalam
hubungannya dengan bidang pertanian. Beberapa karakteristik tanah yang
mempengaruhi permeabilitas tanah adalah berat isi, porositas, tekstur tanah, dan
kemantapan agregat (Haryati, 2014; Zhang et al., 2019).

4. Stabilitas Agregat Tanah

Nilai kemantapan agregasi Inceptisol akibat aplikasi biochar sekam padi


dan dolomit selama 3 bulan dapat dilihat pada Tabel 7. Berdasarkan hasil analisis
25

dapat dilihat pada Tabel 7 pengaruh pengaplikasian biochar sekam padi dan
dolomit terhadap stabilitas agregat tanah pada pengamatan setelah 3 bulan masa
tanam.
Tabel 7. Stabilitas agregat Inceptisol setelah panen kedelai akibat aplikasi biochar
sekam padi dan dolomit.
Kombinasi Aplikasi Dosis (ton/ha)
Stabilitas Agregat Tanah
Biochar Sekam Padi Dolomit (%)

0 0 42,61 c
0 1,5 42,86 c
7,5 0 50,70 bc
7,5 1,5 56,22 abc
15 0 58,34 ab
15 1,5 61,47 ab
22,5 0 61,26 ab
22,5 1,5 66,78 a
KK (%) 13,88
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf kecil yang sama tidak berbeda nyata
menurut uji lanjut DNMRT pada taraf 5%

Pengaplikasian biochar sekam padi dan dolomit terhadap stabilitas agregat


Inceptisol selama 3 bulan dapat dikatakan berpengaruh nyata. Pengaplikasian
biochar sekam padi 22,5 t/ha + dolomit 1,5 t/ha merupakan perlakuan dengan
hasil berbeda nyata, dikarenakan dapat merubah nilai stabilitas agregat Inceptisol
dari 42,61 dengan kriteria kurang mantap menjadi 66,78 dengan kriteria mantap.
Hal ini disebabkan karena kandungan bahan organik biochar sekam padi dan
dolomit yang cenderung meningkat serta berfungsi secara efektif dan maksimal
menggabungkan agregat tanah dalam jangka waktu 3 bulan dari pengaplikasian.
Dilihat pada Tabel 7, dimulai dari kontrol stabilitas agregatnya berkriteria kurang
mantap sampai pada pengaplikasian biochar sekam padi 22,5 t/ha + dolomit 1,5
t/ha stabilitas agregatnya berkriteria mantap akibat dari pengaplikasian biochar
sekam padi dan dolomit.
Bahan organik diyakini mampu mengikat butir tunggal atau dominan tanah
membentuk agregat mikro dan makro agregat (Yulnafatmawita et al., 2008).
Pengolahan tanah memungkinkan adanya pengaruh terhadap struktur lapisan olah
26

tanah. Pengolahan tanah pada kondisi kelewat basah/tergenang akan merusak


struktur remah (terutama tanah dengan kandungan lempung tinggi). Mengolah
tanah dalam keadaan terlalu kering juga akan merusak struktur tanah (tanah
pasiran).
Penggunaan bahan organik seperti biochar sekam padi dan dolomit dapat
digunakan untuk memperbaiki struktur tanah. Bahan organik berperan sebagai
agen pengikat dalam pembentukan agregat tanah dan mempengaruhi sifat fisika
tanah melalui perbaikan agregasi. Bahan organik mengalami proses dekomposisi
akan menghasilkan senyawa-senyawa organik seperti asam-asam organik dan
humus yang dapat merekatkan butir-butir fraksi penyusun tanah menjadi kesatuan
agregat yang utuh (Rinaldi et al., 2019). Kemantapan agregat tanah juga
dipengaruhi oleh faktor endogen pembentuk agregat tanah diantaranya adalah
bahan organik tanah, kalsium, magnesium, natrium dapat dipertukarkan dan
tekstur tanah. Sama halnya dengan dolomit yang dapat meningkatkan kemantapan
agregat tanah karena mengandung Ca dan Mg. Ca dan Mg berpengaruh nyata
terhadap kemantapan agregat karena merupakan kation yang dapat berfungsi
sebagai bahan pengikat sehingga agregat tanah lebih tahan terhadap peruraian saat
terjadi gangguan pada agregat (Serly, 2013).
Tanah dengan agregasi yang baik dapat meningkatkan laju infiltrasi,
mengurangi aliran permukaan (run off), erosi, sistem aerasi tanah yang baik serta
mempermudah penetrasi akar tanaman dalam tanah yang akan menurunkan bobot
volume tanah dan selanjutnya meningkatkan persentase ruang pori tanah (Utomo
et al., 2016). Kemantapan agregat tanah juga berhubungan dengan tekstur tanah.
tanah yang banyak mengandung partikel debu akan paling mudah mengalami
erosi sebab tekstur debu mempunyai ukuran 0,05-0,002 mm akan mudah
dihanyutkan oleh air. Tanah dengan tekstur debu mudah mengalami kondisi jenuh
air sehingga kapasitas infiltrasinya cepat menurun dan kemantapan agregatnya
sangat lemah akrena daya kohesi antar partikel primer (mineral dan organik)
sangat lemah (Utomo et al., 2016).

C. PertumbuhanTanaman Kedelai (Glycine max (L.) Merill)

1. Tinggi Tanaman
27

Hasil pengukuran tinggi tanaman kedelai (Glycine max (L.) Merill) pada 6
Minggu Setelah Tanam (MST) dengan pengaplikasian biochar sekam padi dan
dolomit disajikan pada Tabel 8. Berdasarkan analisis statistik dapat dilihat pada
Tabel 8 bahwa pengaplikasian biochar sekam padi dan dolomit berpengaruh nyata
terhadap tinggi tanaman kedelai. Hal ini disebabkan karena kandungan nilai bahan
organik di dalam tanah cukup maksimal membantu menyediakan ketersediaan
unsur hara bagi pertumbuhan tanaman termasuk laju tinggi tanaman.

Tabel 8. Tinggi tanaman kedelai (Glycine max (L.) Merill) akibat aplikasi biochar
sekam padi dan dolomit.
Kombinasi Aplikasi Dosis (ton/ha)
Tinggi Tanaman (cm)
Biochar Sekam Padi Dolomit

0 0 47,33 e
0 1,5 48,67 e
7,5 0 50,33 e
7,5 1,5 52,00 de
15 0 56,67 cd
15 1,5 60,00 bc
22,5 0 63,67 ab
22,5 1,5 67,33 a
KK (%) 3,53
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf kecil yang sama tidak berbeda nyata
menurut uji lanjut DNMRT pada taraf 5%

Pengaplikasian biochar sekam padi 0 t/ha + dolomit 1,5 t/ha dan biochar
sekam padi 0 t/ha + dolomit 1,5 t/ha terjadi peningkatan tinggi jika dibandingkan
dengan kontrol. Pengaplikasian biochar sekam padi 22,5 t/ha dan dolomit 1,5 t/ha
dengan nilai tinggi tanaman yaitu 56,67 cm merupakan hasil pertumbuhan tinggi
tanaman kedelai yang berbeda nyata jika dibandingkan perlakuan lainnya. Hal ini
dikarenakan pada pengaplikasian biochar sekam padi 22,5 t/ha + dolomit 1,5 t/ha
memiliki kandungan bahan organik yang tinggi jika dibandingkan dengan
perlakuan lain. Pengaplikasian biochar sekam padi dan dolomit dapat dikatakan
mampu meningkatkan tinggi tanaman kedelai (Glycine max (L.) Merill).
28

80
70
60
Tinggi Tanaman (cm)

50
40
30
20
10
0
2 3 4 5 6
MST
S1 S2 S3 S4 17 S6 S7 S8
Gambar 5. Laju pertumbuhan tanaman kedelai (2-6 MST)

Pertumbuhan tanaman kedelai dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor


lingkungan dan faktor genetik. Faktor lingkungan meliputi air, unsur hara, iklim,
serta organisme tanaman. Sedangkan faktor genetik meliputi faktor dari tanaman
itu seperti varietas yang digunakan. Pengaplikasian biochar sekam padi dan
dolomit juga dapat menyediakan ketersediaan unsur hara bagi tanaman kedelai.
Adapun pernyataan dari penelitian Siregar DA et al., 2017 yang menyatakan
bahwa penggunaan biochar sekam padi berpengaruh nyata terhadap tinggi
tanaman 6 MST. Hal ini dikarenakan biochar dapat memperbaiki sifat fisik dan
biologi tanah sehingga menjadi pembenah tanah yang dapat merangsang
pertumbuhan tanaman. Kemudian penyediaan unsur Ca dapat membantu
pembentukan akar karena akar juga menyerap unsur Mg yang merupakan unsur
penting dalam fotosintesis (Soverda dan Hermawati, 2009). Sehingga sejalan
dengan pendapat Sumaryo dan Suryono (2000) yang menyatakan bahwa
pengapuran dapat menambah ketersediaan Ca dan Mg dalam tanah, sehingga
dapat memicu turgor sel dan pembentukan klorofil sehingga proses fotosintesi
menjadi lebih meningkat. Fotosintat yang dihasilkan akan mentranslokasikan pada
organ tanaman diantaranya batang untuk pertambahan tinggi tanaman.

2. Produksi Polong Per Pot


29

Hasil produksi polong tanaman kedelai (Glycine max (L.) Merill) setelah
pengaplikasian biochar sekam padi dan dolomit disajikan pada Tabel 9. Proses
panen terhadap polong tanaman kedelai dilakukan pada hari ke 78 setelah tanam
(HST) dengan kondisi daun tanaman kedelai menguning dan gugur, buah
berwarna kuning kecoklatan serta batang yang mengeras.

Tabel 9. Produksi polong per pot tanaman kedelai (Glycine max (L.) Merill)
akibat aplikasi biochar sekam padi dan dolomit.
Kombinasi Aplikasi Dosis (ton/ha)
Produksi Polong Per Pot
Biochar Sekam Padi Dolomit (g/pot)

0 0 31,73 g
0 1,5 38,24 fg
7,5 0 43,00 ef
7,5 1,5 48,25 de
15 0 56,92 d
15 1,5 73,51 c
22,5 0 85,24 b
22,5 1,5 98,06 a
KK (%) 8,96 %
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf kecil yang sama tidak berbeda nyata
menurut uji lanjut DNMRT pada taraf 5%

Berdasarkan hasil pengamatan dapat dilihat pada Tabel 9 pengaruh


pengaplikasian biochar sekam padi dan dolomit terhadap produksi polong per pot
tanaman kedelai (Glycine max (L.) Merill) menunjukkan perbedaan yang nyata.
Pengaplikasian biochar sekam padi 0 t/ha + dolomit 1,5 t/ha dan perlakuan
biochar sekam padi 7,5 t/ha + dolomit 0 t/ha cenderung dapat menaikkan produksi
polong per pot sebesar 38,24 g/pot dan 43,00 g/pot jika dibandingkan dengan
kontrol. Pengaplikasian biochar sekam padi 22,5 t/ha dan dolomit 1,5 t/ha sebesar
98,06 g/pot merupakan hasil produksi polong per pot yang berbeda nyata jika
dibandingkan dengan perlakuan lainnya.
Pengaplikasian biochar sekam padi dan dolomit dapat dinyatakan
berpengaruh nyata karena meningkatkan jumlah produksi polong tanaman kedelai.
Salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman adalah ketersediaan
30

unsur hara. Diketahui bahwa kandungan bahan organik pada tanah mengalami
peningkatan seiring bertambahnya dosis bahan pembenah yang diaplikasikan ke
dalam tanah. Selain menambah ketersediaan unsur hara biochar juga dapat
mendukung pertumbuhan tanaman yang baik.
Biochar sekam padi memiliki kandungan C-organik (20,93%), N (0,71%),
P (0,06%) dan K (0,14%) (Tiara et al., 2019). Seperti unsur N,P dan K misalnya,
masing-masing fungsi tersebut berfungsi yaitu unsur N yang berperan merangsang
pembentukan vegetative tanaman seperti tinggi tanaman, jumlah daun, dan
pertumbuhan jumlah cabang (Lakitan, 2003). Unsur P diperlukan untuk
pembentukan generatif tanaman yang dapat memacu pembentukan polong pada
tanaman dan berperan dalam pertumbuhan akar (Hardjoloekito, 2009). Sehingga
apabila diaplikasikan ke dalam tanah dapat memberikan hasil yang optimal bagi
pertumbuhan tanaman.
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilaksanakan dapat disimpulkan


bahwa :
1. Aplikasi biochar sekam padi dan dolomit mampu meningkatkan nilai
stabilitas agregat Inceptisol dari kriteria kurang mantap menjadi mantap
(dari 42,61 menjadi 66,78%) pada pengaplikasian biochar sekam padi
22,5 t/ha dan dolomit 1,5 t/ha.
2. Aplikasi biochar sekam padi dan dolomit pada Inceptisol meningkatkan
bahan organik tanah (dari 6,21% menjadi 7,42%), menurunkan berat
volume (dari 0,64 g/cm3 menjadi 0,55 g/cm3), meningkatkan total ruang
pori (dari 75,58% menjadi 78,93%), serta menurunkan laju
permeabilitas tanah (dari 19,89 cm/jam menjadi 14,76 cm/jam).
3. Pertumbuhan tanaman kedelai (Glycine max (L.) Merill) pada
pengaplikasian biochar sekam padi 22,5 t/ha dan dolomit 1,5 t/ha
meningkatkan pertumbuhan tinggi tanaman sebesar 67,33 cm dan
produksi polong per pot sebesar 98,06 g/pot.

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan diatas, disarankan untuk mengaplikasikan biochar


sekam padi 22,5 t/ha dan dolomit 1,5 t/ha dalam memantapkan agregat tanah
terhadap pertumbuhan tanaman kedelai (Glycine max (L.) Merill ).
32

DAFTAR PUSTAKA

Albiach R, R Canet, F Pomares and F Ingelmo. 2001. Organic Matter


Components and Aggregate Stability After The Application of Different
Amendments to a Horticultural Soil. Bioresource Technol 76: 125-129.

Azizah, N. 2019. Pengaruh Pemberian Biochar dan Pupuk Kandang Terhadap


Beberapa Sifat Fisika Tanah, Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Padi
(Oryza sativa L) Pada Tanah Sawah Irigasi Tercemar Limbah Tambang
Emas. Skripsi Jurusan Tanah. Fakultas Pertanian. Universitas Andalas. 64
hal.

Balai Besar Litbang dan Sumberdaya Lahan Pertanian. 2006. Sifat Fisik Tanah
dan Metode Analisisnya. Departemen Pertanian. Bogor. 282 hal.

Balai Penelitian Tanah. 2009. Analisis Kimia Tanah, Tanaman, Air dan Pupuk.
Balai Penelitian Tanah, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Bogor. 234 hal.

Beare, M. H., P. F. Hendrix, and D. C. Coleman. 1994. Water-Stable Aggregates


and Organic Matter Fractions in Conventional and No-Tillage Soils. Soil
Sci. Soc. Am. J. 58: 777-786.

Bintoro, A., Widjajanto, D. dan Isrun. 2017. Karakteristik Fisik Tanah Pada
Beberapa Penggunaan Lahan di Desa Beka Kecamatan Marawola
Kabupaten Sigi. Jurnal Agrotekbis 5(4):423-430.

Delima, D., Akbar, H. dan Rafli, M. 2018. Tingkat Laju Infiltrasi Tanah Pada
DAS Kreueng Mane Kabupaten Aceh Utara. Jurnal Agrium 15(1):17-28.

Djuhariningrum, T. dan Rusmadi. 2004. Penentuan Kalsit Dan Dolomit Secara


Kimia Dalam Batu Gamping Dari Madura. Kumpulan Laporan Hasil
Penelitian Tahun 2004. Pusat Pengembangan Geologi Nuklir-Batam,
Batam. ISBN: 978-979-99141-2-5; hal 332-344.

Driessen, P. M. 1978. Peat Soils. In: IRRI. Soil and Rice. IRRI. Los Banos.
Phillipines. 763 – 779 hal.

Dý´az-Zorita, M., J. H. Grove, dan E. Perfect. 2005. Soil Fragment Size


Distribution and Compactive Effort Effects on Maize Root Seedling
Elongation in Moist Soil. Crop Sci. 45:1417–1426 hlm.

Emmerson, W.W. and D.J. Greenland. 1990. Soil Aggregates Formation and
Stability. In De Boodt et al. (Eds.). Soil Colloids and Their Associations in
Aggregates. Plenum Press, New York and London. p. 485-511.
33

Fatimah, V. S. & Saputro, T. B. 2016. Respon Fisiologis Kedelai (Glycine max


L.) Varietas Grobogan terhadap Cekaman Genangan. Jurnal Sains dan
Seni ITS 5(2), 2337-3520.

Gani, A. 2010. Multiguna Arang Hayati Biochar. Balai Besar Penelitian Tanaman
Padi. Sinar Tani. Edisi 13-19: hal 1- 4.

Glaser, B., J. Lehmann, and W. Zech. 2002. Ameliorating Physical and Chemical
Properties of Highly Weathered Soils in The Tropics With Charcoal: A
Review. Biol. Fertil. Soils 35:219-230.

Hanafiah, K. A. 2008. Dasar Dasar Ilmu Tanah. Penerbit PT Raja Grafindo


Persada: Jakarta. ISBN: 979-3654-30-9; 386 Hal.

Hardjoloekito, A. 2009. Pengaruh Pengapuran dan Pemupukan P Terhadap


Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Kedelai (Glycine max, L.) pada Tanah
Latosol. Jurnal Media Soerjo. 5(2): 1-19.

Hardjowigeno, S. 1993. Klasifikasi Tanah Pedogenesis. Akademika Pressindo.


Jakarta. 212 hal.

Hardjowigeno, S. 2007. Ilmu Tanah. Jakarta: Akademika Pressindo.

Haryati, U. 2014. Karakteristik Fisik Tanah Kawasan Budidaya Sayuran Dataran


Tinggi Hubungannya dengan Strategi Pengelolaan Lahan. Jurnal
Sumberdaya Lahan 8(2): 125 – 138.

Holland JE, Bennett AE, Newton AC, White PJ, McKenzie BM, George TS,
Pakeman RJ, Bailey JS, Fornara DA, Hayes RC. 2018. Liming Impacts on
Soils, Crops and Biodiversity in the UK: A review. Science of The Total
Environment. 610‒611: 316‒ 332.

Indriani YH. 2007. Membuat Pupuk Organik Secara Singkat. Jakarta: Penebar
Swadaya.

Irwan, A. W. 2006. Budidaya Kedelai Edamame (Glycine max (L.) Merril).


Jatinagor, Universitas Padjajaran. 43 hal.

Ismail, M., dan Basri, A. B. 2011. Pemanfaatan Biochar Untuk Perbaikan Kualitas
Tanah. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Aceh. 60 hal.

Juarsah, I. 1999. Manfaat dan Alternatif Penggunaan Pupuk Organik Pada Lahan
Kering Melalui Pertanaman Leguminosa. Dalam Prosiding Pusat
Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor. Bogor. Hal 891-900.

Kartikawati, R. dan P. Setyanto. 2011. Ameliorasi Tanah Gambut Meningkatkan


Produksi Padi dan Menekan Emisi Gas Rumah Kaca. Sinar Tani, 2 Maret
34

2011. Badan Litbang Pertanian. Edisi 6-12 Maret 2011 No.3400 Tahun
XLI; hal 8-9.

Kartono, R. 2010. Katalog Produk Pupuk Dolomid A100 Lulus 96%. Sumatra
Utara. (http://agrounited.wordpress.com/about/). Diakses 28 September
2022.

Kasper M, GD Buchan, A Mentler and WEH Blum. 2009. Influence of Soil


Tillage Systems on Aggregate Stability and The Distribution of C and N in
Different Aggregate Fractions. Soil Till Res 105: 192-199.

Lakitan, B. 2003. Dasar Dasar Fisiologi Tumbuhan. PT. Grafindo Persada.


Jakarta. 218 hal.

Lembaga Penelitian Tanah (LPT). 1979. Penuntun Analisa Fisika Tanah.


Departemen Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. 47
hal.

Margono, T., Suryati, D., dan S. Hartinah. 1993. Buku Panduan Teknologi Pagan.
Pusat Informasi Wanita dalam Pembangunan PDII-LIPI. Jakarta. ISBN:
979-8012-00-3; 156 hlm.

Marthin, A.K. & Wijayanti, F.W. (2011). Pengaruh Bokelas dan Pupuk Kandang
Terhadap Hasil Kacang Tanah (Arachis hypogea L.). J. Agrinimal, 1 (1),
28-32.

Mawardiana., Supardi., dan Husein, E. 2013. Pengaruh Residu Biochar Dan


Pemupukan NPK Terhadap Sifat Kimia Tanah Dan Pertumbuhan Serta
Hasil Tanaman Padi Musim Tanam Ke Tiga. Jurnal konservasi
sumberdaya lahan . Pasca Sarjana Universitas Syiah Kuala. Aceh. Hal 16-
23.

Mulyati, Sukartono, Baharuddin, A.B., dan Tejowulan, R. S. 2016. Using Biochar


to Improve The Soil Quality, Growth and Yield of Soybean (Glycine max
(L.) in The Sub-Optimal Land of Lombok. Lecturer and Researcher at
Faculty of Agriculture, Mataram University. Prosiding Seminar Nasional
Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016. ISBN 978-602-72935-2-
6; 54-61 hal.

Munir, J., dan W. Herman. 2019. Fenomena Berbagai Sifat Fisika Tanah dan
Kimia Tanah Mendukung Ketahanan Tanaman Pangan di Sumatera
Barat. ZIRAA’AH, Volume 44 Nomor 2, Juni 2019 Halaman 147-154. e-
ISSN 2355-3545.

Muyassir, Sufardi, dan I. Saputra. 2012. Perubahan Sifat Fisika Inceptisol Akibat
Perbedaan Jenis dan Dosis Pupuk Organik. Lentera 12 (1): 1-8.
35

Nugraha, S.Y., T. Sumarni, E. Sulistyono. 2014. Pengaruh Interval Waktu dan


Tingkat Pemberian Air Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Kedelai
(Glycine max (L.) Merril). J. Produksi Tanaman 2:552-559.

Nurhayati. 2008. Tanggapan Tanaman Kedelai di Tanah Gambut Terhadap


Pemberian Beberapa Jenis Perbaikan Tanah. Skripsi. Universitas
Sumatera Utara. Medan. 168 hal.

Nurida, N. L., Dariah, A., dan A. Rachman. 2008. Kualitas Limbah Pertanian
Sebagai Bahan Baku Pembenah Berupa Biochar Untuk Rehabilitasi
Lahan. Prosiding Seminar Nasional dan dialog Sumberdaya Lahan
Pertanian. Tahun 2008. Hal 209-215.

Pratiwi, S. A. 2013. Pengaruh Faktor Pembentuk Agregat Tanah Terhadap


Kemantapan Agregat Tanah Latosol Dramaga pada Berbagai
Penggunaan Lahan. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. 38 hlm.

Purwono, L. dan Purnamawati. 2007. Budidaya 8 Jenis Tanaman Pangan Unggul.


Penerbit Penebar Swadaya. Depok, Jakarta. ISBN: 978-979-002-028-3;
139 hlm.

Putri, V.I., Mukhlis, dan B. Hidayat. 2017. Pemberian Beberapa Jenis Biochar
Untuk Memperbaiki Sifat Kimia Tanah Ultisol dan Pertumbuhan Tanaman
Jagung. Jurnal Agroekoteknologi FP USU 5(4): 824-828.

Resman, A. S. Syamsul, dan H.S. Bambang. 2006. Kajian Beberapa Sifat Kimia
dan Fisika Inceptisol Pada Toposekuen Lereng Selatan Gunung Merapi
Kabupaten Sleman. Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan. Vol. 6 (2):101-
108.

Rinaldi, A. Dermiyati, R. Taisa dan Afandi. 2019. Pengaruh Pemberian


Kombinasi Pupuk Organotrofos dan Pupuk Kimia dengan Penambahan
Biochar Terhadap Kemantapan Agregat Tanah Ultisol di Natar dan
Taman Bogo. Jurusan Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas
Lampung. J. Agrotek Tropika. ISSN 2337-4993 Vol. 7, No. 1: 249 - 256,
Januari 2019.

Rohoskova, M. and M. Valla. 2004. Comparison of Two Methods for Aggregate


Stability Measurement a Review. Plant Soil Environ., 50: 379–382 hal.

Rubatzky, V. E. dan M. Yamaguchi. 1998. Sayuran Dunia 2 Prinsip, Produksi,


dan Gizi. ITB. Bandung. ISBN: 979-8591-85-2. 292 hal.

Saidy, Akhmad Rizalli. 2018. Bahan Organik Tanah: Klasifikasi, Fungsi, dan
Metode Studi. Lambung Mangkurat University Press, 2018. ISBN; 978-
602-6483-65-2. 128 hal.
36

Safuan, L. O. 2002. Kendala Pertanian Lahan Kering Masam Daerah Tropika


dan Cara Pengelolaannya. IPB. Bogor. 79 hal.

Saifuddin, S. 1993. Kesuburan dan Pemupukan Tanah Pertanian. CV. Pustaka


Buana. Bandung. 197 hlm.

Sanchez, P. A. 1992. Sifat dan Pengelolaan Tanah Tropika. Terjemahan Hamzah,


A. Institut Teknologi Bandung: Bandung. 397 hal.

Serly A. P. 2013. Pengaruh Faktor Pembentuk Agregat Tanah Terhadap


Kemantapan Agregat Tanah Latosol Dramaga Pada Berbagai
Penggunaan Lahan. Skripsi. Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor.
Bogor. 33 hlm.

Setyosari. Effendi M. 1991. Pengajaran Modul. IKIP Proyek Operasi dan


Perawatan fasilitas. Malang. 76 hlm.

Siregar DA, Lahay RR, Rahmawati N. 2017. Respons Pertumbuhan Dan Produksi
Kedelai (Glycine max (L. Merril) Terhadap Pemberian Biochar Sekam
Padi Dan Pupuk P. Jurnal Agroekoteknologi. 5(3):722-728.

Soepardi, G. 1983. Sifat dan Ciri Tanah. Ilmu Tanah Fakultas Pertanian IPB.
Bogor. 591 hal.

Soverda, N dan T. Hermawati. 2009. Respon Tanaman Kedelai (Glycine max (L.)
Merill) Terhadap Pemberian Berbagai Konsentrasi Pupuk Hayati. Jurnal
Agronomi. 13(1).

Sudianto E, Ezward C, Mashadi. 2018. Pengaruh Pemberian Dolomit dan Pupuk


Kotoran Sapi Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Padi Sawah (Oryza
sativa L.) Menggunakan Tanah Sawah Bukaan Baru. Jurnal Sains Agro.
3(1): 1–16.

Sugito, Y., Nuraini, Y. & Nihayati, E. (1995). Sistem Pertanian Organik. Fakultas
Pertanian Universitas Brawijaya Malang, Malang

Suhartono, S., Saed, A. Khoiruddin. 2008. Pengaruh Interval Pemberian Air


Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Kedelai (Glycine max. L)
Pada Berbagai Jenis Tanah. Jurnal Embryo 5(1).

Suhaeni N. 2007. Petunjuk Praktis Menanam Kedelai. Bandung: Penerbit Nuansa


Cendekia. ISBN : 979-9481-81-3; 55 hlm.

Sumaryo dan Suryono. 2000. Pengaruh Pupuk Dolomitdan SP-36 Terhadap


Jumlah Bintil Akar dan Hasil Tanaman Kacang Tanah di Tanah Latosol.
Jurnal Agrosains, 2(2):54- 58.
37

Suprapto. 1999. Bertanam Kacang Tanah. Penebar Swadaya. Jakarta. 32 hal.

Suprapto. 2002. Bertanam Kedelai. Penebar Swadaya. Jakarta. Hal 74.

Susanto, G.W.A. dan M. M. Adie. 2008. Penciri Ketahanan Morfologi Genotype


Kedelai Terhadap Hama Penggerek Polong. Jurnal Penelitian Pertanian
Tanaman Pangan 27(2): 95–100.

Taylor, P., B.H. Pandit, A. Ghimire, N.R. Pandit, S. Shackley, G. Cornelissen.


2014. Making biochar in soil pit kilns. The Biochar Journal.
Ithaka Institute.

Tiara, C. A., Fitria D. R., Rahmatul F. dan L. Maira. 2019. SIDO-CHAR Sebagai
Pembenah Keracunan Fe Pada Tanah Sawah. Jurnal Tanah dan
Sumberdaya Lahan Vol 6(2): 1243-1250.

Tisdall JM and JM Oades. 1982. Organic Matter and Water Stable Aggregates in
Soils. J Soil Sci 33: 141-163.

Utomo M, Sudarsono, Rusman B, Sabrina T, Lumbanraja J, Wawan. 2016. Ilmu


Tanah Dasar-dasar dan Pengelolaan. Prenadamedia Group. Jakarta.

Variastuti, Seren. 2022. Kajian Fisika Inceptisol Pada Beberapa Kelas Lereng Di
Nagari Aie Dingin Kecamatan Lembah Gumanti Kabupaten Solok.

Widiastuti, D. M. M. dan Lantang, B. 2017. Pelatihan Pembuatan Biochar dari


Limbah Sekam Padi Menggunakan Metode Retort Kiln. Universitas
Masamus. Merauke. Agrokreatif Jurnal Ilmiah Pengabdian Kepada
Masyarakat. ISSN: 2460-8572. 129-135 hal.

Wijaya, A dan D. G. Nursyamsi. 2003. Serapan P Tanah Inceptisol, Ultisol,


Oxisol dan Andisol Serta Kebutuhan Pupuk P Untuk Beberapa Tanaman.
Jurnal Ilmu Pertanian 16 (2): 103-104. Bogor.

Yulnafatmawita. 2006. Hubungan Antara Status C-Organik Tanah dan Stabilitas


Agregat Ultisol Limau Manis Akibat Perubahan Penggunaan Lahan. J.
Solum. 3(2):75-82.

Yulnafatmawita, Adrinal and FD Anita. 2008. Effect of Organic Matter Types on


Aggregate Stability of Ultisol Limau Manis. J Solum V: 7-13.

Yulnafatmawita, Asmar, H., Mimin, dan S. Betrianingrum. 2009. Klassifikasi


Bahan Organik Tanah Bukit Pinang-Pinang Kawasan Hutan Hujan Tropik
Gunung Gadut Padang. Laboratorium Fisika Tanah Fakultas Pertanian
Unand Padang. J. Solum Vol. VI No. 2 Juli 2009:54-65. ISSN: 1829-7994
38

Yulnafatmawita, A, Saidi, Gusnidar, Adrinal, dan Suyoko. 2010. Peranan Bahan


Hijauan Tanaman Dalam Peningkatan Bahan Organik dan Stabilitas
Agregat Tanah Ultisol Limau Manis yang Ditanami Jagung (Zea mays). J.
Solum. 7(1):37-48.

Yulnafatmawita, Amrizal Saidi and Lidia. 2011. Variation of Physical Properties


of Ultisols in Several Areas under Wet Tropical Region, West Sumatra. In:
Herviyanti, M Noer, M Hendri, M Haryanti and Rafnis (eds). Proceeding
of National Seminar held by Agriculture Faculty, Andalas, University
Padang, July 2011, pp. 249-265 (in Indonesian).

Yulnafatmawita, A., R. A. Naldo dan A. Rasyidin. 2012. Analisis Sifat Fisika


Ultisol Tiga Tahun Setelah Pemberian Bahan Organik Segar di Daerah
Tropis Basah Sambar. J. Solum. 9 (2): 91-97. ISSN: 1824-7994.

Yulnafatmawita, Adrinal and F. Anggriani. 2013. Fresh Organic Matter


Applicatiion to Improve Aggregate Stability of Ultisols under Wet Tropical
Region. Laboratory of Soil Physics, Agriculture Faculty, Andalas
University, Campuss Limau Manis, Padang. J Trop Soils, Vol. 18, No. 1,
2013: 33-44. ISSN: 0852-257X.

Zhang S, Q Li, X Zhang, K Wei, L Chen and W Liang. 2012. Effects of


Conservation Tillage on Soil Aggregation and Aggregate Binding Agents
in Black Soil of Northeast China. Soil Till Res 124:196-202.

Zhang, Z., Lio, K.L., Zhou, H., Lin, H., Li, D. and Peng, X. 2019. Linking
Saturated Hydraulic Conductivity and Air Permeability to The
Characteristics of Biopores Derived from X-ray Computed Tomography.
Journal of Hydrology 571: 1 – 10.
39

LAMPIRAN

Lampiran 1. Jadwal Penelitian Tahun 2023


No Januari Februari Maret April Mei
Jenis Kegiatan
. 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
1. Persiapan alat dan bahan
2. Pembuatan biochar sekam padi
3. Pengambilan sampel tanah dan Analisis Tanah Awal
4. Persiapan media tanam
5. Pemberian perlakuan dan pengapuran
6. Penanaman dan pemeliharaan
7. Panen
8. Pengambilan Sampel Tanah Akhir dan Analisis
Laboratorium
9. Pengolahan data
10. Pembuatan skripsi
40

Lampiran 2. Alat dan Bahan yang digunakan dalam penelitian


A. Alat yang digunakan dalam penelitian

No Nama Alat Jumlah


1. Ayakan Kering dan Ayakan 1 set
Basah
2. Cawan Alumunium 24 buah
3. Oven 1 unit
4. Constand Head Permeameter 1 unit
5. Gelas Ukur 10 ml 1 buah
6. Gelas Ukur 100 ml 1 buah
7. Labu Ukur 250 ml 24 buah
8. Stopwatch 1 buah
9. Pipet Gondok 10 ml 1 buah
10. Spektrofotometer 1 unit
11. Botol Semprot 1 buah
12. Timbangan Analitik 1 buah
13. Alat tulis 1 set

B. Bahan yang digunakan dalam Penelitian

No Nama Bahan Jumlah


1. Asam Sulfat Pekat (H2SO4) 200 ml
2. Aqudest (H2O) 50 Liter
3. Kalium Dikromat (K2Cr2O7) 450 gr
41

Lampiran 3. Deskripsi Varietas Tanaman Kedelai Anjasmoro


Nama Varietas : Anjasmoro
Kategori : Varietas unggul nasional (released variety)
SK : 537/Kpts/TP.240/10/2001 tanggal 22 Oktober tahun
2001
Tahun : 2001
Tetua : Seleksi massa dari populasi galur murni MANSURIA
Pemulia : Takashi Sanbuichi, Nagaaki Sekiya, Jamaluddin M,
Susanto, Darman M.Arsyad, Muchlish Adie
Nama Galur : MANSURIA 395-49-4
Warna Hipokotil : Ungu
Warna Epikotil : Ungu
Warna Daun : Hijau
Warna Bulu : Putih
Warna Bunga : Ungu
Warna Polong Masak : Coklat muda
Warna Kulit Biji : Kuning
Warna hilum : Kuning kecoklatan
Tipe Pertumbuhan : Determinate
Bentuk Daun : Oval
Ukuran Daun : Lebar
Tinggi Tanaman : 64-68 cm
Jumlah Cabang : 2.9-5.6
Jumlah Buku Pada : 12.9-14.8
Batang Utama
Umur Berbunga : 35.7-39.4 hari
Umur Masak : 82.5-92.5 hari
Berat 100 Biji : 14.8-15.3 gram
Kandungan Protein : 41.78–42.05 %
Kandungan Lemak : 17.12-18.60 %
Ketahanan Terhadap : Tahan
Kerebahan
Ketahanan Terhadap : Sedang
Karat Daun
Ketahanan Terhadap : Tahan
Pecah Polong
42

Lampiran 4. Denah Penempatan Satuan Percobaan


Rancangan acak lengkap dengan 8 perlakuan dan 3 ulangan, sehingga
didapatkan 24 satuan percobaan.

U
S1 S2 S4 S3 S8 S2
1 1 2 1 3 2

S2 S1 S4 S3 S5 S1
3 3 3 2 1 2

S4 S7 S6 S8 S3 S6
1 2 1 1 3 3

20 cm

S5 S8 S7 S6 S7 S5
3 2 1 2 3 2

20 cm

Keterangan :

Jarak : 20 × 20 cm
Tanam
S (1,2,3,4,5,6,7,8) : Perlakuan Dosis Pemberian Biochar Sekam Padi + Dolomit
1,2,3 : Ulangan Perlakuan
43

Lampiran 5. Perhitungan Dosis Biochar Sekam Padi dan Dolomit

Bobot tanah/ pot


Bobot Amelioran = × Rekomendasi Amelioran
Volume tanah /ha

Total Tanah untuk 1 Ha


= Volume Tanah/ha × BV Tanah
(Kedalaman 20 cm)
= (0,2 × 100 × 100)m3 × 0,75 g/cm3
= 2.000 m3 × 750 kg/cm3
= 1.500.000 kg

A. Dosis Biochar Sekam Padi

1. 0 ton/ha Biochar Sekam Padi


Dosis Biochar = 0 ton/ha = 0 kg/ha
Bobot Biochar = 10 kg/ pot
×0
1.500.000
kg/ha
= 0 kg/pot
= 0 gram/pot

2. 7,5 ton/ha Biochar Sekam Padi


Dosis Biochar = 7,5 ton/ha = 7.500 kg/ha
Bobot Biochar = 10 k g / pot
× 7.500
1.500 .000
kg/ha
= 0,05 kg/pot
= 50 gram/pot

3. 15 ton/ha Biochar Sekam Padi


Dosis Biochar = 15 ton/ha = 15.000 kg/ha
Bobot Biochar = 10 kg/ pot
× 15.000
1.500.000
kg/ha
= 0,1 kg/pot
= 100 gram/pot

4. 22,5 ton/ha Biochar Sekam Padi


Dosis Biochar = 22,5 ton/ha = 22.500 kg/ha
Bobot Biochar = 10 kg/ pot
× 22.500
1.500.000
kg/ha
= 0,15 kg/pot
= 150 gram/pot
44

B. Dosis Dolomit

1. 0 ton/ha Dolomit
Dosis Dolomit = 0 ton/ha = 0 kg/ha
Bobot = 10 kg/ pot
×0
Dolomit 1.500.000
kg/ha
= 0 kg/pot
= 0 gram/pot

2. 1,5 ton/ha Dolomit


Dosis Dolomit = 1,5 ton/ha = 1.500 kg/ha
Bobot Dolomit = 10 kg/ pot
× 1.500
1.500.000
kg/ha
= 0,01 kg/pot
= 10 gram/pot
45

Lampiran 6. Perhitungan Dosis Pupuk


Populasi = Luas Lahan
Jarak Tanam
= 1 Ha
20 cm× 20 cm
2
= 10.000 m
2
0 ,2 × 0 ,2 m
= 250.000 tanaman

1. Urea

Kebutuhan Urea = 100 kg/ha


Kebutuhan Urea per tanaman = Kebutuhan Pupuk
Populasi Tanaman
= 100.000 g
250.000 tanaman
= 0,4 g/tanaman

2. SP-36

Kebutuhan SP-36 = 125 kg/ha


Kebutuhan SP-36 per tanaman = Kebutuhan Pupuk
Populasi Tanaman
= 125.000 g
250.000 tanaman
= 0,5 g/tanaman

3. KCl

Kebutuhan KCl = 100 kg/ha


Kebutuhan KCl per tanaman = Kebutuhan Pupuk
Populasi Tanaman
= 100.000 g
250.000 tanaman
= 0,4 g/tanaman
46
47

Lampiran 7. Prosedur Analisis Tanah di Laboratorium

1. Penetapan Tekstur Tanah dengan Metoda Pipet dan Ayakan (BPT


Bogor 2009)

Cara kerja :
Sampel tanah kering udara yang lolos ayakan ≤ 2 mm ditimbang 10 g
dimasukan ke dalam gelas piala 800 ml, ditambahkan 50 ml H 2O2 10% lalu
dibiarkan semalam. Keesokan harinya ditambahkan 25 ml H 2O2 30%, dipanaskan
hingga tidak berbusa, selanjutnya ditambahkan 180 ml aquades dan 20 ml HCl 2N
lalu di panaskan lebih kurang 10 menit. Kemudian diangkat, lalu setelah agak
dingin diencerkan dengan air bebas ion menjadi 700 ml. Diendap-tuangkan
hingga bebas asam atau busanya hilang, kemudian ditambah 10 ml larutan Na
Hexa-metaphospfat.
Kemudian disaring dengan ayakan 50 mikron untuk pemisahan pasir,
filtrat ditampung dalam silinder 500 ml untuk pemisahan debut dan liat. Butiran
pasir yang tertahan ayakan dimasukan ke dalam cawan yang telah diketahui

bobotnya lalu dioven pada suhu 105 C selama 2x24 jam, didinginkan dalam
eksikator dan ditimbang (berat pasir = A g).
Filtrat dalam silinder diencerkan dengan aquades hingga 500 ml lalu
dikocok selama 1 menit dan segera dipipet sebanyak 20 ml ke dalam cawan lalu

dioven pada suhu 105 C selama 2x24 jam, didinginkan dalam eksikator dan
ditimbang (berat debu + liat + peptisator = B g).
Untuk pemisahan liat, filtrat dalam silinder dikocok selama 1 menit lalu
dibiarkan selama 3 jam 30 menit pada suhu kamar, kemudian pada ke dalaman 5,2
cm dari permukaan cairan dipipet 20 ml ke dalam cawan lalu dioven pada suhu

105 C sampai beratnya konstan selama 2x24 jam, didinginkan dalam eksikator
dan ditimbang (berat liat + peptisator = C g).
Perhitungan :
Pasir (%) = A / {A + 25 (B – 0,0095)} x 100%
Debu (%) = {25 (B – C)} / {A + 25 (B – 0,0095)} x 100%
Liat (%) = {25 (C – 0,0095)} / {A + 25 (B – 0,0095)} x 100%
48

2. Penetapan Berat Volume dan Total Ruang Pori Metode Gravimetri


(Balai Besar Litbang dan Sumberdaya Lahan Pertanian, 2006)

Cara Kerja :

Sampel tanah diambil dengan ring. Kemudian ditentukan volume ring



tersebut. Berat tanah ditimbang selanjutnya tanah dioven pada suhu 105 C selama
± 48 jam. Dimasukan ke dalam eksikator selama 15 menit dan kemudian
ditimbang berat kering.

Perhitungan :

Berat volume =

Jika bahan organik kurang dari 1 % :

Total Ruang Pori =

Jika bahan organik lebih dari 1 % :

Total Ruang Pori =

3. Penetapan Bahan Organik Walkley and Black (BPT Bogor, 2009)

Cara Kerja :

Tanah ditimbang 0,5 g lolos ayakan < 0,5 mm, dimasukan dalam labu ukur
100 ml lalu ditambahkan 5 ml K2Cr2O7 1 N, lalu dikocok. Ditambahkan 7,5 ml
H2SO4 pekat, dikocok lalu didiamkan selama 30 menit. Diencerkan hingga 100 ml
dengan aquades lalu diamkan semalam. Keesokan harinya diukur absorbansi
larutan jernih dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 561 nm. Sebagai
perbandingan dibuat standar 0 dan 250 ppm, dengan memipet 0 dan 5 ml larutan
standar 5.000 ppm ke dalam labu ukur 100 ml dengan perlakuan yang sama
dengan pekerjaan sampel Perhitungan Kadar C-Organik (%) :
= ppm kurva x ml ekstrak/1.000 ml x 100/mg sampel x fk
= ppm kurva x 100/1.000 x 100/500 x fk
= ppm kurva x 10/500 x fk
49

Keterangan :
ppm kurva = kadar sampel tanah yang didapat dari kurva
hubungan antara kadar deret standar dengan
pembacaannya setelah dikoreksi blank.
100 = konversi ke %
fk = faktor koreksi kadar air = 100/(100 - % kadar air)

4. Permeabilitas Tanah dengan Metoda Constand Head Permeameter


(LPT 1979 cit Yulnafatmawita, 2013)
Cara kerja :
Sampel tanah dijenuhkan dengan merendam 1x 24 jam dalam air.
Diletakkan ring sample pada dasar corong, kemudian dibuka kran air dan tetapkan
laju aliran air agar bisa mempertahankan tinggi air diatas permukaan tanah
konstan lalu dibiarkan sampai tercapai laju pelolosan air melalui tanah konstan.
Selanjutnya ditentukan permeabilitas tanah dengan rumus:

Keterangan:
K = Permeabilitas Tanah (cm jam-1)
Q = Volume air yang mengalir melalui tanah (cm3) setiap pengukuran
A = Luas permukaan sampel tanah (cm2)
T = Waktu (jam)
L = Tebal contoh tanah (cm)
H = Tinggi permukaan air dari sebuah sampel tanah (cm)

5. Stabilitas Agregat Tanah dengan metoda Ayakan Basah dan Ayakan


Kering (Balai Besar Litbang dan Sumberdaya Lahan Pertanian,
2006).

Cara Kerja :

A. Ayakan Kering

Ditimbang contoh tanah beragregat utuh kering angin sebanyak 500 gram,
kemudian diletakkan pada ayakan paling atas (8 mm), dibawah ayakan ini ada
50

ayakan 4,76 m, 2,83 mm, 2 mm, dan penampung. Diayak dengan tanah yang ada
pada ayakan 8 mm sampai semua tanah turun. Jika semua tanah belum turun,
maka dapat digunakan alu kecil (anak lumpang). Ditumbuk tanah perlahan-lahan
menggunakan alu kecil sampai semua tanah turun dan diguncang ayakan dengan
tangan sebanyak lima kali. Masing-masing fraksi pada setiap ayakan ditimbang,
kemudian nyatakan dalam persen. Persentase = 100% dikurangi agregat lebih
kecil dari 2 mm dan perkerjaan ini dilakukan sebanyak 4 kali.

B. Ayakan Basah
Agregat-agregat yang diperoleh dari pengayakan kering kecuali agregat <
2 mm ditimbang, dan masing-masing dimasukkan kedalam cawan, banyaknya
disesuaikan dengan perbandingan ketiga agregat tersebut dan totalnya 100 g.
Misalnya pengayakan 500 g tanah diperoleh :
a. Agregat antara 8 dan 4,76 mm = 200 g
b. Agregat antara 4,76 dan 2,83 mm = 100 g
c. Agregat antara 2,83 mm dan 2 mm = 75 g
Maka perbandingannya adalah 8 : 4 : 3, Jadi :
a) Agregat antara 8 dan 4,76 mm = 53 g
b) Agregat antara 4,76 dan 2,83 mm = 27 g
c) Agregat antara 2,83 mm dan 2 mm = 20 g
Total = 100 g

Pekerjaan ini dilakukan sebanyak 4 kali.


Diteteskan air sampai kapasitas lapangan dari buret setinggi 30 cm dari
cawan, sampai air menyentuh ujung penetes buret dan disimpan dalam inkubator
pada suhu 20◦C dalam kelembaban relatif 98 – 100 % selama 24 jam. Pindahkan
setiap agregat ke ayakan sebagai berikut :

a. Agregat antara 8 dan 4,76 mm diatas ayakan 4,76 mm

b. Agregat antara 4,76 dan 2,83 mm diatas ayakan 2,83 mm

c. Agregat antara 2,83 mm dan 2 mm diatas ayakan 2 mm


51

Ayakan-ayakan yang digunakan dalam pengayakan basah selain dari yang


tersebut di atas masih terdapat dibawahnya berturut-turut ayakan 1 mm, 0,5 mm,
dan 0,279 mm. Dipasang susunan ayakan-ayakan tersebut pada alat pengayakan
basah, dimana bejana yang diisi air suling atau bersih terlebih dahulu setinggi 25
cm dari dasar bejana. Pengayakan dilaksanakan selama 3 menit (35 ayunan
permenit dengan amplitudo 3,75). Setelah selesai, dipindahkan ayakan ke cawan
dan pemindah dibantu dengan corong yang disemprotkan air dengan sangat deras.
cawan yang telah diisi agregat dan air dimaukkan kedalam oven dan dipanaskan

pada suhu 105 C selama 24 jam. Setelah kering dimasukan dalam desikator dan
ditimbang.

Berat diameter rata-rata (mean weight diameter) dapat dihitung dengan


menggunakan rumus :

Dimana :
X = berat diameter rata-rata agregat
i = 1,2,......n = jumlah kelas agregat
= diameter rata-rata suatu kelas agregat (mm)
Wi = berat agregat dengan diameter rata-rata
Indeks ketidakmantapan agregat = Xa – Xb
Dimana :
Xa = ayakan basah
Xb = ayakan kering

Indeks kemantapan agregat = ×


52

Lampiran 8. Tabel Kriteria Sifat Fisika Tanah

1. Berat Volume (LPT,1979)

Berat Volume (g.cm-3) Kriteria


< 0,66 Rendah
0,66 – 1,14 Sedang
>1,14 Tinggi

2. Total Ruang Pori (LPT, 1979)

Total Ruang Pori (%) Kriteria


< 57 Rendah
57 – 75 Sedang
>75 Tinggi

3. Permeabilitas Tanah (LPT, 2019)

Permeabilitas (cm.jam-1) Kriteria


< 0,15 Sangat Rendah
0,125 – 0,50 Rendah
0,50 – 2,00 Agak Rendah
2,00 – 6,35 Sedang
6,35 – 12,7 Agak Sedang
12,7 – 25,4 Cepat
>25,4 Sangat Cepat

4. Bahan Organik (LPT, 1979)

Kelas Kriteria
<2 Sangat Rendah
2 – 3,9 Rendah
4 – 9,9 Sedang
10 – 20 Tinggi
>20 Sangat Tinggi

5. Stabiltas Agregat (LPT, 1979)

Indeks Stabilitas Agregat Kriteria


< 40 Tidak Mantap
40 – 50 Kurang Mantap
50 – 66 Agak Mantap
53

66 – 80 Mantap
80 – 200 Sangat Mantap
>200 Sangat Mantap Sekali
Lampiran 9. Segitiga Tekstur Tanah USDA

Sumber : (Hanafiah,2004)
54

Lampiran 10. Analisis Sidik Ragam

1. Bahan Organik
F-tabel P-valu
SK db JK KT F hitung
5% 1% e
perlakua
tn
n 7 2,93 0,42 2,61 2,66 4,03 0,0531
galat 16 2,57 0,16
5,65
KK
Total 23 5,50 %

2. Berat Volume Tanah (BV)


F-tabel P-valu
SK db JK KT F hitung
5% 1% e
perlakua 0,003 0,8
tn
n 7 0,0211 0 7 2,66 4,03 0,5498
0,003
galat 16 0,0544 5
9,76
KK
Total 23 0,0765 %

3. Total Ruang Pori (TRP)


F-tabel P-valu
SK db JK KT F hitung
5% 1% e
perlakua 0,8
tn
n 7 30,99 4,43 8 2,66 4,03 0,5446
galat 16 80,68 5,04
2,91
KK
Total 23 111,67 %

4. Permeabilitas Tanah
F-tabel P-valu
d e
SK JK KT F hitung
b
5% 1%
perlakua
tn
n 7 71,98 10,28 0,95 2,66 4,03 0,4945
galat 16 172,38 10,77
20,52
KK
Total 23 244,36 %
55

5. Stabilitas Agregat Tanah

F hitung F-tabel P-valu


SK db JK KT
5% 1% e
1654,9 236,4 2,6 4,0
**
perlakuan 7 3 2 4,05 6 3 0,0097
galat 16 933,72 58,36
2588,6 13,88
KK
Total 23 5 %

6. Tinggi Tanaman Kedelai

F-tabe
l P-valu
SK db JK KT F hitung
e
5% 1%
1140,5 162,9 42,0 4,0
perlakuan 7 0 3 5 ** 2,66 3 0.000
galat 16 62,00 3,88
1202,5 3,53
KK
Total 23 0 %

7. Produksi Polong Per Pot

F-tabel P-
SK db JK KT F hitung
5% 1% value
perlakua 1324.731 189.247 60.2 2.6 4.0
n 7 0 3 3 ** 6 3 0.000
galat 16 50.2755 3.1422
1375.006 8.96
KK
Total 23 5 %

Keterangan:

tn : berbeda tidak nyata

** : berbeda sangat nyata

Anda mungkin juga menyukai