Anda di halaman 1dari 1041

ISBN : 978-602-1905-21-0

Penguatan Pendidikan Berbasis Penelitian dalam


Pengolahan Secara Tepat pada Kayu

FAKULTAS KEHUTANAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA

2 November 2011
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA
(MAPEKI) XIV

Tema :
Penguatan Pendidikan Berbasis Penelitian dalam
Pengolahan secara Tepat pada Kayu Inferior

University Club Universitas Gadjah Mada


Yogyakarta, 2 November 2011
Editor : Dr. Joko Sulistyo
Dr. Ragil Widyorini
Dr. Ganis Lukmandaru
Muhammad Navis Rofii, M.Sc
Vendy Eko Prasetyo, M.Sc
Tim Teknis : Yus Andhini Bhekti P., S.Hut.
Dwi Sukma Rini, S.Hut.
Miranda Dwi M., S.Hut.
Meivita Nafitri

Diterbitkan oleh Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia


Sekretariat : Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan IPB
Kampus IPB Darmaga Bogor 16680
Bogor
Telp. : 0251-8621285
Fax. : 0251-8621285
E-mail : mapeki_group@yahoogroups.com
Website : http://www.mapeki.org
KATA PENGANTAR

KATA PENGANTAR

Menghadapi perubahan kualitas tegakan hutan yang semula didominasi oleh kayu-kayu
berkualitas tinggi menjadi kayu-kayu berkualitas inferior merupakan konsekuensi yang tidak
diharapkan namun harus diterima dan dihadapi. Masyarakat harus mengandalkan kayu inferior
itu di masa mendatang. Pemanfaatan kayu inferior tentunya merubah pola dan memunculkan
perspektif baru dalam pembaruan teknologi dan industri khususnya industri kecil dan menengah.
Kerangka berpikir inilah yang menjadi tema seminar ini dengan merangkum hasil-hasil penelitian
dari para peneliti, akademisi, dan praktisi. Seminar Nasional XIV Masyarakat Peneliti Kayu
Indonesia (MAPEKI) bertujuan mempercepat diseminasi hasil-hasil penelitian itu dan
memberikan kesempatan bagi para peserta untuk mendapatkan informasi dan pengetahuan
terkait dengan pemanfaatan kayu inferior serta mendorong pemahaman bersama melalui diskusi
dan tukar-menukar informasi ilmiah.
Panitia Seminar mengucapkan terima kasih atas kehadiran para peserta seminar di
Yogyakarta dan di Seminar Nasional XIV MAPEKI yang telah dilaksanakan pada tanggal 2
November 2011 di University Club (UC) Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Seminar Nasional
ini terselenggara atas kerjasama Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada (UGM), PT. Mutu
Agung Lestari (MAL) dan MAPEKI.
Dalam seminar tersebut jumlah makalah yang dipresentasikan adalah 183 buah
makalah yang terdiri dari 6 bidang penelitian yaitu sifat dasar kayu, biokomposit, kimia kayu, pulp
dan kertas, konstruksi dan rekayasa kayu, pengolahan hasil hutan non kayu dan ilmu kehutanan.
Adapun makalah yang diprosidingkan sejumlah 129 buah. Peserta yang ikut berpartisipasi dalam
kegiatan ini adalah 204 orang yang berasal dari 54 instansi di seluruh Indonesia.
Kami mewakili penyelenggara mengucapkan terima kasih kepada Civitas Akademika
Fakultas Kehutanan UGM, panitia pengarah dan pelaksana, PT. MAL dan pengurus MAPEKI.
Kami juga mengucapkan terima kasih kepada pembicara utama, pembicara undangan, peserta,
pemakalah dan moderator yang aktif selama seminar ini berlangsung. Semoga Seminar Nasional
XIV MAPEKI ini dapat memberikan sumbangan bagi penguatan pendidikan dan penelitian
teknologi hasil hutan di Indonesia.

Yogyakarta, Mei 2012


Editor

iii
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

DAFTAR ISI

Halaman Judul.................................................................................................................. i
Kata Pengantar................................................................................................................. iii
Daftar Isi ........................................................................................................................... iv
Keynote Speaker
Prof. Mohammad Naiem (Fakultas Kehutanan UGM) ........................................... 1
Ir. Tony Arifiarachman, MM (PT. Mutu Agung Lestari) ............................................. 8

PAPER

BIDANG A : ANATOMI DAN SIFAT DASAR KAYU

SIFAT FISIS-MEKANIS DAN ELEKTRIK DARI KAYU DURIAN (Durio zibethinus Murr.)
DAN KAYU KECAPI (Sandoricum koetjape Merr.) TER-IMPREGNASI POLISTIRENA
Firda A. Syamani, Widya Fatriasari, Ismail Budiman, Yusuf Sudo Hadi ........................... 37

STRUKTUR ANATOMI DAN KUALITAS SERAT KAYU KUPRESSUS


Gunawan Pasaribu, Ratih Damayanti .............................................................................. 46

SIFAT FISIK DAN MEKANIK KAYU JABON YANG DIMODIFIKASI SECARA


IMPREGNASI DENGAN LARUTAN STYRENE DAN METHYLMETACRYLATE
Iwan Risnasari, Lusita Wardani, Yusuf Sudo Hadi ........................................................... 52

SIFAT FISIKA DAN MEKANIKA BEBERAPA JENIS KAYU NON DIPTEROCARPACEAE


DARI KALIMANTAN TIMUR
Kusno Yuli Widiati ............................................................................................................. 59

ANATOMI KAYU Macadamia hildebrandii van Slooten


Muhammad Asdar ............................................................................................................ 66

VISUALISASI STRUKTUR ANATOMI UNTUK APLIKASI IDENTIFIKASI KAYU


DALAM ANIMASI 3 DIMENSI
Ratih Damayanti, Sri Rulliaty, Dian Anggraini, Gustan Pari, Jamaludin Malik .................. 72

PENINGKATAN MUTU BATANG KELAPA SAWIT BAGIAN DALAM


DENGAN CLOSE SYSTEM COMPRESSION
Rudi Hartono, Imam Wahyudi, Fauzi Febrianto, Wahyu Dwianto, Nan-Hun Kim ............. 80

VARIASI SIFAT ANATOMI KAYU MERANTI MERAH (Shorea leprosula)


PADA 3 KLAS DIAMETER YANG BERBEDA
Harry Praptoyo ................................................................................................................. 89

KONDUKTIVITAS PANAS EMPAT JENIS KAYU DALAM KONDISI KADAR AIR


YANG BERBEDA
Anton Prasojo, Joko Sulistyo, Tomy Listyanto .................................................................. 97

SIFAT FISIS DAN MEKANIS KAYU MAHONI (Swietania macrophylla King)


PADA LIMA KELOMPOK UMUR
Nurwati Hadjib .................................................................................................................. 102

iv
DAFTAR ISI

STRUKTUR MAKROSKOPIS DAN MIKROSKOPIS KAYU KENANGA


(Cananga odorata (Lamk.) Hook.)
Nani Husien, Erwin, Hendri .............................................................................................. 108

KELAS AWET 250 JENIS KAYU INDONESIA TERHADAP PENGGEREK DI LAUT


Mohammad Muslich, Sri Rulliaty ..................................................................................... 129

KETAHANAN KAYU PINGSAN (Teysmanniodendron sp.) TERHADAP MARINE BORER


Muhammad Daud, Musrizal Muin, Muhammad Junus, Ruslan ........................................ 142

PENGARUH DIAMETER KAYU GELAM (Melaleuca sp) DI KALIMANTAN TENGAH


TERHADAP SIFAT FISIKA MEKANIKA
Wahyu Supriyati, T.A. Prayitno, Soemardi, Sri Nugroho Marsoem................................... 146

MENGENALI JENIS KOMODITI KAYU BEKAS PAKAI DI KOTA SAMARINDA


Agus Sulistyo Budi, Erwin ................................................................................................ 152

BIDANG B : BIOKOMPOSIT

PENGARUH SHELLING RATIO DAN JUMLAH PEREKAT UREA FORMALDEHIDA


TERHADAP SIFAT PAPAN SERUTAN BAMBU PETUNG (Dendrocalamus asper Backer)
TA. Prayitno, Wirnasari, D.Sriyanti ................................................................................... 163

PENINGKATAN KUALITAS KAYU LAPIS BERBAHAN BAKU KAYU BERDIAMETER


KECIL (Small Diameter Logs) DENGAN PELAPISAN VINIR KOMPRESI
Yusup Amin, Rentry Augusty Nurbaity, Sukma S Kusumah, Muh. Yusram Massijaya ..... 171

PENGARUH PERLAKUAN ASETILASI STRAND TERHADAP SIFAT FISIS DAN


MEKANIS ORIENTED STRAND BOARD DARI KAYU Acacia Mangium
Apri Heri Iswanto, Widya Fatriasari, Andi Detti Yunianti,
Ahmad Zailani, Fauzi Febrianto........................................................................................ 177

SIFAT FISIS DAN MEKANIS COM-PLY DARI KAYU BERDIAMETER KECIL


Muthmainnah, Meylida Nurrachmania, Muh. Yusram Massijaya...................................... 183

SURIAN (Toona sinensis) SEBAGAI ALTERNATIF BAHAN BAKU PRODUK


PEREKATAN KAYU MASA DEPAN (II) : LAMINATED VENEER LUMBER (LVL)
Eka Mulya Alamsyah, Tati Karliati..................................................................................... 192

KARAKTERISTIK SUMBER RETAK BAHAN PADA KOMPOSIT SERAT


ALAM-POLIESTER DENGAN VARIASI KANDUNGAN DAN PANJANG SERAT
Ismadi, Ismail Budiman .................................................................................................... 200

PENGEMBANGAN PAPAN KOMPOSIT DARI LIMBAH PERKEBUNAN SAGU


(Metroxylon sago Rottb.)
Sukma S Kusumah, Ruslan, M Daud, Ika Wahyuni,Teguh Darmawan, Yusup Amin,
Muh. Y. Massijaya, Bambang Subiyanto .......................................................................... 205

KETAHANAN PAPAN PARTIKEL LIMBAH KAYU MAHONI DAN SENGON DENGAN


PERLAKUAN PENGAWETAN ASAP CAIR TERHADAP SERANGAN
RAYAP KAYU KERING Cryptotermes cynocephalus Light.
Agus Ngadianto, Ragil Widyorini, Ganis Lukmandaru...................................................... 213

v
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

APLIKASI KOMPOSIT POLIPROPILENA MIKROFIBRIL SELULOSA TANDAN KOSONG


KELAPA SAWIT UNTUK BAHAN BAKU INDUSTRI KOMPONEN OTOMOTIF
Mohamad Gopar, Subyakto, Kurnia Wiji Prasetiyo, Ismadi ............................................. 220

PENGARUH PERLAKUAN EKSTRAKSI DAN WAKTU KEMPA TERHADAP SIFAT PAPAN


PARTIKEL TANPA PEREKAT DARI LIMBAH SERBUK GERGAJIAN KAYU MAHONI
Ragil Widyorini, Febtyan Eky Puspitasari ......................................................................... 225

PENGARUH KOMPOSISI VENIR TERHADAP KARAKTERISTIK LVL DARI KAYU


MAHONI (Swietenia mahagoni (L) Jack) DAN BAROS (Manglietia glauca )
Renny Purnawati, Novitri Hastuti, M. Yusram Massijaya.................................................. 233

KETAHANAN JAMUR DAN RAYAP DARI KAYU LAPIS SENGON HASIL FORTIFIKASI
PEREKAT LKA-ST/ISOSIANAT
Widya Fatriasari, Anis Sri Lestari, Didi Tarmadi................................................................ 240

PEMANFAATAN LIMBAH PENGOLAHAN KAYU JATI SEBAGAI BAHAN BAKU


PAPAN PARTIKEL NON PEREKAT
Muhammad Navis Rofii, Ragil Widyorini .......................................................................... 249

BIDANG C : KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS

KARAKTERISTIK PELLET KAYU SENGON


Djamal Sanusi, Syahidah, Mahdi...................................................................................... 258

PEMBUATAN BIODIESEL DARI BIJI KEPUH DENGAN MESIN DEGUMMING


MULTI FUNGSI
Djeni Hendra..................................................................................................................... 267

KARAKTERISTIK PELLET KAYU GMELINA (Gmelina arborea Roxb.)


Moeh. Hady Akbar Zam, Syahidah, Beta Putranto ........................................................... 275

PENGARUH SUHU DAN WAKTU KARBONISASI TERHADAP KONDUKTIVITAS


LISTRIK ARANG SABUT KELAPA
Ismail Budiman, Akhiruddin Maddu, Gustan Pari, Subyakto ........................................... 282

ANALISIS FITOKIMIA DARI BEBERAPA TUMBUHAN HUTAN DARI KEBUN RAYA


BALIKPAPAN PROVINSI KALIMANTAN TIMUR
Indrawati, Enos Tangke Arung, Irawan Wijaya Kusuma ................................................... 290

AKTIVITAS ANTIBAKTERI DAN FITOKIMIA DARI DAUN TUMBUHAN KARAMUNTING


(Melastoma malabathricum)
Nur Maulida Sari, Irawan Wijaya Kusuma, Rudianto Amirta ............................................ 294

POTENSI DAUN TUMBUHAN PEREPAT (Sonneratia alba) DARI KALIMANTAN TIMUR


SEBAGAI ANTIOKSIDAN DAN ANTIBAKTERI ALAMI
Farida Aryani, Asshaima P.Devi, Irawan Wijaya Kusuma ................................................. 298

AKTIVITAS ANTIOKSIDAN DAN TOKSISITAS AKUT EKSTRAK KULIT KAYU MAHONI


(Swietenia macrophylla King)
Syamsul Falah, Olga Mardisadora, Fitria Ningsih ............................................................ 303

vi
DAFTAR ISI

SIFAT DAN RENDEMEN MINYAK KILEMO (Litsea cubeba) DARI


KAWASAN GUNUNG PANGRANGO
R. Esa Pangersa G., Zulnely ............................................................................................ 310

GERUNGGANG (Cratoxylon arborescens Blume.) DAN TERENTANG


(Campnosperma coriaceum Jack. Dan C.Auriculata Hook.f) : JENIS ALTERNATIF
POTENSIAL SEBAGAI BAHAN BAKU KAYU PULP
Rina Bogidarmanti, Nina Mindawati, Suhartati ................................................................. 315

ISOLASI GLUKOMANAN TANAMAN ILES-ILES (Amorphophallus Muelleri Bl.) DARI


LINGKUNGAN TUMBUH DAN CARA BUDIDAYA YANG BERBEDA
Saefudin ........................................................................................................................... 327

PENGUJIAN SIFAT-SIFAT GETAH JELUTUNG HUTAN TANAMAN INDUSTRI (HTI)


Totok K Waluyo, Yoharmus Syamsu ............................................................................... 333

KETERBASAHAN DAN SIFAT KIMIA EMPAT JENIS KAYU KALIMANTAN


Evy Wardenaar, Hikma Yanti, Yeni Mariani ...................................................................... 339

PENGARUH LAMA PENYIMPANAN MADU TERHADAP AKTIVITAS ENZIM DIASTASE


Yelin Adalina ..................................................................................................................... 348

AKTIVITAS ANTICENDAWAN ZAT EKSTRAKTIF FALOAK (Sterculia comosa Wallich)


Fabianus Ranta, Wasrin Syafii, Eko Sugeng Pribadi, Deded Sarip Nawawi ................... 356

KOMPOSISI EKSTRAKTIF PADA KAYU JATI JUVENIL


Ganis Lukmandaru, IGN Danu Sayudha .......................................................................... 361

PEMANFAATAN KULIT SIKKAM (Bischotia javanica) SEBAGAI BAHAN ALTERNATIF


PENYEDAP RASA ALAMI
Jepri GM Purba, Felix Ardiansyah, Desi Inesari, Dita Arlita, Ganis Lukmandaru ............. 367

PENGARUH SUHU DALAM PEMBUATAN PELLET DARI LIMBAH PADAT


INDUSTRI SAWIT
Sasa Sofyan Munawar, Bambang Subyanto .................................................................... 371

PEMANFAATAN LIMBAH DAUN DAN RANTING PENYULINGAN MINYAK KAYU PUTIH


(Melaleuca cajuputi Powell) UNTUK PEMBUATAN ARANG AKTIF
J. P. Gentur Sutapa, Aris Noor Hidayat ............................................................................ 379

BIDANG D : REKAYASA KAYU

BAHAN PASAK PENAHAN GESER PADA KEKUATAN SAMBUNGAN TAMPANG DUA


Dwi Joko Priyono, Surjono Surjokusumo,Yusuf S.Hadi, Naresworo Nugroho ................. 387

PERILAKU DINDING GESER PLYWOOD DENGAN BRESING DIAGONAL


TULANGAN BAJA AKIBAT BEBAN SIKLIK
Johannes Adhijoso Tjondro, Herry Suryadi, Nathanael .................................................... 396

PERILAKU PELAT LANTAI KOMPOSIT KAYU SENGON (Paraserianthes falcataria)


DAN GLUGU (Cocos nucifiera) TERHADAP BEBAN LENTUR DENGAN VARIASI
ALAT SAMBUNG GESER
M.Afif Shulhan, Ali Awaludin ............................................................................................. 405

vii
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

ANALISIS NILAI DISAIN LATERAL Z SAMBUNGAN GESER GANDA BATANG KAYU


DENGAN PAKU MAJEMUK BERPELAT SISI BAJA MENURUT BERBAGAI PERCOBAAN
Sucahyo Sadiyo, Naresworo Nugroho, Surjono Surjokusumo, Imam Wahyudi ............... 411

PENGEMBANGAN STRUKTUR LAMINATED VENEER LUMBER (LVL) HASIL


KOMBINASI VINIR DENGAN ZEPHIR BAMBU
Kurnia Wiji Prasetiyo, Sonia Somadona, M.Yusram Massijaya........................................ 421

PEMANFAATAN KAYU GALAM (Melaleuca kajuputi) SEBAGAI BAHAN KONSTRUKSI


UNTUK RUMAH TRANSMIGRASI
Lasino, WS. Witarso ......................................................................................................... 427

PREDIKSI KEKUATAN LATERAL PANEL KAYU


Ali Awaludin ...................................................................................................................... 437

PENGARUH PELABURAN DAN LAMA WAKTU PEREKATAN TERHADAP AFINITAS


DAN KETEGUHAN REKAT BAMBU LAMINASI
I B Gede Putra Budiana, Iwan Suprijanto ......................................................................... 445

PENGEMBANGAN BALOK BAMBU LAMINASI SKALA PEMAKAIAN


Teguh Darmawan, Sukma Surya Kusumah, Danang S. Adi, Yusup Amin,
Ismadi, Wahyu Dwianto .................................................................................................... 454

PENGARUH SERANGAN RAYAP PADA PENGELOLAAN PEMELIHARAAN DAN


PERAWATAN GEDUNG (STUDI KASUS: GEDUNG FTUKI)
James Rilatupa ................................................................................................................. 452

DETERIORASI KAYU PADA BANGUNAN RUMAH TRADISIONAL SUKU BAJO


Musrizal Muin, Muhammad Daud, Muhammad Junus, Ruslan ........................................ 473

PENGKAJIAN HASIL PENGUJIAN MODULUS ELASTISITAS DENGAN ALAT


UNIVERSAL TESTING MACHINE DAN ALAT METRIGUARD STRESS WAVE TIMER
Nurul Aini S, Rudi Hartono................................................................................................ 481

PERANGKAT LUNAK UNTUK ANALISIS DAN DESAIN BALOK LAMINASI


Yosafat Aji Pranata, Bambang Suryoatmono, Johannes Adhijoso Tjondro ...................... 488

PENINGKATAN RENDEMEN BAMBU PETUNG SEBAGAI BAHAN BAKU PEMBUATAN


BAMBU LAMINASI DENGAN BILAH PERSEGI
Dedi Kusmawan, Rusli ..................................................................................................... 497

BIDANG E : PENGOLAHAN HASIL HUTAN

PENCEGAHAN SERANGAN BUBUK KAYU KERING (Heterobostrychus aequalias Wat.)


PADA KAYU KARET DENGAN BAHAN PENGAWET SIPEMETRIN DAN BIFENTRIN
Jasni, Ginuk Sumarni ....................................................................................................... 505

EFIKASI BIOTERMITISIDA YANG DIAPLIKASIKAN PADA KAYU TERHADAP RAYAP


TANAH coptotermes gestroi
Didi Tarmadi, Maya Ismayati, Khoirul Himmi Setiawan, Sulaeman Yusuf ........................ 509

viii
DAFTAR ISI

PEMANFAATAN ASAP CAIR DARI TEMPURUNG KELAPA SEBAGAI BAHAN


PENGAWET KAYU KARET(Hevea brasiliensis Muell. Arg.)
Atak Sumedi, Edy Budiarso, Irawan Wijaya Kusuma ....................................................... 515

BIOAKTIVITAS CUKA KAYU CAMPURAN KAYU LABAN (Vitex pubescens Vahl) DAN
AKASIA (Acacia mangium Willd) TERHADAP JAMUR PELAPUK KAYU
Schizophyllum commune Fries
Farah Diba, H.A. Oramahi ................................................................................................ 523

PENGARUH ASAP CAIR TERHADAP PROTOZOA DALAM USUS RAYAP Coptotermes sp.
Arief Heru Prianto, Didi Tarmadi, Sulaeman Yusuf, Anis Sri Lestari ................................ 529

KETAHANAN KAYU JABON YANG DIMODIFIKASI CAMPURAN STYRENE DAN MMA


TERHADAP SERANGAN RAYAP TANAH (Coptotermes curvignathus Holmgren)
Lusita Wardani, Iwan Risnasari, Yasni, Yusuf Sudo Hadi ................................................ 534

PEMANFAATAN DAUN INDIGOFERA SEBAGAI PEWARNA ALAMI BATIK


Kasmudjo, Panji Probo Saktianggi ................................................................................... 542

RENDEMEN DAN MUTU PAPAN SAMBUNG KAYU HASIL PENJARANGAN HTI


Achmad Supriadi ............................................................................................................. 549

PENINGKATAN KUALITAS BELAHAN KAYU GERGAJIAN DOLOK BERDIAMETER


KECIL MELALUI PROSES PENGGERGAJIAN KERING (SDR) UNTUK
PRODUKSI PAPAN KAYU.
Edi Sarwono ..................................................................................................................... 555

EFIKASI FORMULASI BIOPESTISIDA BERBAHAN DASAR NIMBA TERHADAP


RAYAP TANAH (Coptotermes gestroi)
Maya Ismayati, Didi Tarmadi, Khoirul Himmi Setiawan, Sulaeman Yusuf ........................ 558

KEAWETAN ALAMI KAYU ULIN (Eusideroxylon zwageri T. et B.) DARI HUTAN


TANAMAN DI KALIMANTAN SELATAN PADA UMUR YANG BERBEDA
Arinana, Yusuf Sudo Hadi, Ade Zumarlin, Lusita Wardani ............................................... 564

PENGARUH PENERAPAN FORMULASI SKEDUL SUHU DAN KELEMBABAN


TERHADAP KARAKTER PENGERINGAN KAYU MERANTI MERAH
BERSORTIMEN CASING
Yustinus Suranto, Taufik Haryanto ................................................................................... 571

PENINGKATAN SIFAT MEKANIS BEBERAPA JENIS KAYU MENGGUNAKAN BAHAN


KIMIA BLENG, LINSEED OIL DAN KARBOKSIMETILSELULOSA
Abdurachman, Barly ......................................................................................................... 585

RENDEMEN DAN KUALITAS MINYAK KENANGA


Hikma Yanti, Evy Wardenaar, Fathul Yusro ...................................................................... 591

PENGEMBANGAN METODE PENGERINGAN UNTUK KAYU RANDU


(Ceiba pentandra Gaertn.)
Agung Dwi Anggoro, J.P. Gentur Sutapa, Sri Nugroho Marsoem...................................... 598

PENGENDALIAN SERANGAN RAYAP PADA TANAMAN KELAPA SAWIT


Yuliati Indrayani, Nurhaida, HA Oramahi .......................................................................... 605

ix
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

BIDANG F : ILMU KEHUTANAN

PERTUMBUHAN SENGON (Falcataria mollucana), MAHONI AFRIKA (Khaya anthotecha)


DAN SUNGKAI (Peronema canescens) PADA POLA PERTANAMAN CAMPUR
Aditya Hani ....................................................................................................................... 612

PERTUMBUHAN DIAMETER DAN TINGGI Dryobalanops lanceolata DENGAN


TEKNIK SILIN PADA PLOT TPTJ PT. BFI, KALIMANTAN TIMUR
Karmilasanti, Andrian Fernandes ..................................................................................... 619

PERAN PUPUK DASAR DALAM PENINGKATAN PERTUMBUHAN AWAL


TANAMAN SUNGKAI
Sahwalita, Imam Muslimin, Joni Muara ............................................................................ 624

PERTUMBUHAN AWAL TANAMAN Shorea balangeran BURCH PADA UMUR 1 TAHUN


DI SEMOI, KABUPATEN PANAJAM PASER UTARA, KALIMANTAN TIMUR
Abdurachman, Sri Purwaningsih ...................................................................................... 633

KAJIAN KELOLA KAWASAN SUMBER BAHAN BAHAN BAKU INDUSTRI KECIL


ANYAMAN BAMBU DI MOYUDAN SLEMAN
Retno Widiastuti, San Afri Awang, T.A. Prayitno, Sofyan P. Warsito ................................ 638

KARAKTERISTIK PERTUMBUHAN AWAL TANAMAN BAMBU TALI


(Gigantochloa apus kurz.) DAN BAMBU MAYAN (G. robusta kurz.) UMUR DUA TAHUN
DI STASIUN PENELITIAAN HUTAN ARCAMANIK, BANDUNG
Sutiyono, Marfuah Wardani .............................................................................................. 648

KEMAMPUAN POHON GELAM MENYERAP CO2 DAN MEMPRODUKSI O2


Alpian, T.A. Prayitno, J.P. Gentur Sutapa, Budiadi ........................................................... 655

NILAI JASA OKSIGEN PADA MERANTI


Andrian Fernandes, Suryanto........................................................................................... 665

KETERKAITAN BEBERAPA KARAKTER FENOTIPIK TERHADAP PRODUKSI RESIN


PADA Pinus merkusii Jungh et de Vries KANDIDAT BOCOR GETAH
Arida Susilowati, Supriyanto, Iskandar Z. Siregar, Imam Wahyudi, Corryanti .................. 670

PENDUGA MODEL HUBUNGAN TINGGI DAN DIAMETER POHON JENIS


JAMBU-JAMBU (Kjellbergiodendron sp.) PADA HUTAN ALAM DI KABUPATEN
MAMUJU SULAWESI BARAT
Beta Putranto.................................................................................................................... 676

PROSPEK PENGEMBANGAN HUTAN TANAMAN DIPTEROKARPA DAN


TANTANGANNYA
M. Fajri.............................................................................................................................. 685

JENIS-JENIS POHON DI PANTAI PASIR PUTIH PANGANDARAN DAN PROSPEK


PEMANFAATAN KAYU INFERIORNYA
Marfuah Wardani .............................................................................................................. 692

POLA PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT BERBASIS MODAL SOSIAL


TENUR DI SUB DAS MINRALENG HULU KECAMATAN CAMBA KABUPATEN MAROS
Muh. Dassir ...................................................................................................................... 705

x
DAFTAR ISI

PERBANDINGAN PENGARUH LUAS LAHAN MURBEI TERHADAP PRODUKTIVITAS


KOKON PADA TIGA DAERAH PENGEMBANGAN
Andi Sadapotto ................................................................................................................. 714

TAKSONOMI DAN POPULASI SPECIES Vatica javanica subsp. javanica V. Slooten


ENDEMIK PULAU JAWA
Titi Kalima ......................................................................................................................... 720

INTRODUKSI MERANTI MERAH (Shorea platyclados) PADA DATARAN TINGGI DI


KAWASAN HUTAN DENGAN TUJUAN KHUSUS CIKOLE, LEMBANG, JAWA BARAT
A. Syaffari Kosasih ........................................................................................................... 727

PENGARUH KERAPATAN SEMAI Mallotus miquelianus PADA HERBIVORI DI HUTAN


DIPTEROKARPA CAMPURAN DATARAN RENDAH
Agus Wahyudi, Francesca F. Dem ................................................................................... 732

PREFERENSI MASYARAKAT SEKITAR HUTAN GUNUNG KENDENG, JAWA BARAT


TERHADAP JAMUR ALAM SEBAGAI SUMBER PANGAN DAN OBAT
Hesti Lestari Tata .............................................................................................................. 738

PENINGKATAN PRODUKTIVITAS, PENURUNAN BIAYA DAN PENGGESERAN


LAPISAN TANAH ATAS MELALUI PENERAPAN TEKNIK PENYARADAN TERKONTROL :
KASUS DI KPH CIANJUR
Sona Suhartana, Yuniawati, Rahmat................................................................................ 742

POLA PEMANFAATAN LAHAN DENGAN ANEKA USAHA KEHUTANAN (AUK) UNTUK


MENGURANGI KETERGANTUNGAN MASYARAKAT TERHADAP HUTAN
(Studi Kasus di KHDTK Carita, Banten)
Sri Suharti ......................................................................................................................... 747

PREDIKSI NILAI KOEFISIEN LIMAPASAN PERMUKAAN DENGAN METODE COOK


MENGGUNAKAN PENDEKATAN SIG PADA BEBERAPA DAS DI KALIMANTAN TIMUR
Sukariyan, Sigit Hardwinarto, Garini Widosari.................................................................. 758

UPAYA PELESTARIAN MANGROVE MELALUI PEMBERDAYAAN MASYARAKAT


DENGAN BUDIDAYA KEPITING SOKA (Scylla seratta) DI SEGARA ANAKAN, CILACAP,
JAWA TENGAH
Sumarhani ........................................................................................................................ 763

ANALISIS DISKURSUS KEBIJAKAN PERHUTANAN SOSIAL DI INDONESIA


Tuti Herawati .................................................................................................................... 772

FORMULASI PERENCANAAN POLA TANAM HUTAN RAKYAT


Asmanah Widiarti ............................................................................................................ 782

KAJIAN PEMANENAN BAMBU SECARA TRADISIONAL DI PURWOKERTO DAN


GUNUNGKIDUL
Sukadaryati, Dulsalam ..................................................................................................... 791

TINGKAT KESUKAAN RAYAP PADA TIPE TANAH DAN SELEKSI PARTIKEL:


SUATU STRATEGI EKOLOGI
Niken Subekti ................................................................................................................... 803

xi
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

HUTAN TANAMAN MANGIUM UNTUK KAYU PERTUKANGAN DAN KAYU SERAT


Riskan Effendi, Haruni Krisnawati .................................................................................... 806

POSTER

BIDANG A : ANATOMI DAN SIFAT DASAR KAYU

OBSERVASI ANATOMI TIGA JENIS MERANTI: KAJIAN TERHADAP MIKROSKOPIK


DAN MAKROSKOPIK KAYUNYA
Danang Sudarwoko Adi, Sukma Surya Kusumah, Teguh Darmawan,
Ika Wahyuni, Wahyu Dwianto, Takahisa Hayashi ............................................................. 815

JENIS KAYU PRIMADONA HASIL HUTAN TANAMAN RAKYAT UNTUK


PENGEMBANGAN INDUSTRI KREATIF DAN INDUSTRI MEBEL
I Ketut N. Pandit, Dodi Nandika, I W. Darmawan ........................................................... 819

BIDANG B : BIOKOMPOSIT

KUALITAS PAPAN PARTIKEL DARI SERBUK GERGAJI KAYU SENGON


(Paraserianthes falcataria)
M.I. Iskandar .................................................................................................................... 828

KARAKTERISTIK VENIR DAN KAYU LAPIS ENAM JENIS KAYU JAWA BARAT
M.I. Iskandar .................................................................................................................... 838

PENGARUH KOMPOSISI BAHAN DAN WAKTU KEMPA TERHADAP SIFAT PAPAN


PARTIKEL SERUTAN BAMBU PETUNG BERLAPIS MUKA PARTIKEL FESES SAPI
TA. Prayitno, PP. Ringgar ................................................................................................. 844

SIFAT FISIS DAN MEKANIS KAYU DAN PAPAN PARTIKEL BATANG DAN
CABANG JABON (Anthocephalus cadamba Miq )
Surdiding Ruhendi ............................................................................................................ 852

VARIASI TEMPERATUR KEMPA PANAS TERHADAP SIFAT FISIKA DAN MEKANIKA


PAPAN PARTIKEL DARI CAMPURAN BATANG KELAPA SAWIT
(Elaeis gueneensis Jacq) DAN LIMBAH ROTAN SEGA (Calamus caesius BL.)
Jufriah, Supriyanto Wagiman, Masrinah ........................................................................... 864

PENELITIAN PAPAN BROTI LAMINA KAYU SENGON.DAN SIFAT KETEGUHAN


LENTUR STATIK PRODUK REKONSTITUSINYA
Edi Sarwono ..................................................................................................................... 871

BIDANG C : KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS

SIFAT KELARUTAN DALAM AIR, KEASAMAN DAN KAPASITAS PENYANGGA


PADA KAYU JATI
Ganis Lukmandaru ........................................................................................................... 875

PENGENDALIAN BEBERAPA SERANGGA DENGAN EKSTRAK DAUN SUREN


(Toona Sureni Merr)
Hafiq Prasetiadi, IGN Danu Sayudha, Afifi Fauzy, Gita Abu Rizal, Ganis Lukmandaru ... 883

xii
DAFTAR ISI

PEMANFAATAN SISA MEDIA TUMBUH JAMUR TIRAM UNTUK ARANG KOMPOS


Sri Komarayati, Gusmailina, Djarwanto ........................................................................... 889

PRODUKSI TERPADU ARANG DAN CUKA KAYU YANG DIHASILKAN DARI


DUA MODEL TUNGKU
Sri Komarayati, Gusmailina ............................................................................................. 895

PENGGUNAAN WAKTU PEMASAKAN DAN KONSENTRASI KATALISATOR YANG


BERBEDA PADA PROSES PULPING ACETOSOLV KAYU SENGON
(Paraserianthes falcataria L. Nielsen)
Wiwin Suwinarti, Ritson Purba, Dewi Safta Anggriani ...................................................... 904

PERUBAHAN KOMPONEN KIMIA KAYU TERPADATKAN SECARA PARSIAL


Anne Hadiyane, Zahrial Coto, Imam Wahyudi, Fauzi Febrianto, Gustan Pari ................. 911

PENGGUNAAN GELOMBANG MIKRO UNTUK PRETREATMENT DARI


DUA JENIS KAYU CEPAT TUMBUH
Lucky Risanto, Euis Hermiati, Danang Sudarwoko Adi .................................................... 916

BIDANG E : PENGOLAHAN HASIL HUTAN

PENGARUH PENAMBAHAN EKSTRAK MIMBA TERHADAP EFEKTIVITAS BAHAN


PENGAWET BORON DALAM MENCEGAH SERANGAN RAYAP TANAH
Agus Ismanto, Neo Endra Lelana ..................................................................................... 923

PEMANFAATAN MESIN SPINDLE LESS ROTARY LATHE UNTUK


MENINGKATKAN RENDEMEN VENIR KAYU
M.I. Iskandar, Achmad Supriadi ....................................................................................... 927

PENYUSUNAN SKEDUL SUHU DAN KELEMBABAN SEBAGAI UPAYA PENINGKATAN


KUALITAS PENGERINGAN KAYU (Studi Kasus Pengeringan Kayu Nyatoh
Bersortimen 5,3 cm x 20,2 cm x 500 cm)
Yustinus Suranto .............................................................................................................. 932

BIDANG F : ILMU KEHUTANAN

KERUSAKAN BIBIT TREMBESI (Samanea saman (Jacquin) Merrill) DI PERSEMAIAN


Illa Anggraeni, Rina Bogidarmanti, Avry Pribadi ............................................................... 944

SERANGAN PENYAKIT BERCAK DAUN PADA EBONI (Diospyros celebica Bakh.)


DI KHDTK CIKAMPEK - KARAWANG, JAWA BARAT
Illa Anggraeni, Riskan Effendi........................................................................................... 949

DOMINANSI JENIS VEGETASI DI SEKITAR POHON INDUK KAYU BAWANG


(Scorodocarpus borneensis Beccarii) DI KEBUN RAYA UNMUL SAMARINDA
Rita Diana, Hastaniah, Deddy Hadriyanto ........................................................................ 956

KEANEKARAGAMAN JENIS POHON DAN POTENSINYA DI KAWASAN


HUTAN CAGAR ALAM KOORDERS, CIAMIS
Marfuah Wardani .............................................................................................................. 962

xiii
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Taxus sumatrana (Miquel) de Laub.: JENIS POHON MULTIGUNA DAN


UPAYA KONSERVASI
Titi Kalima, Titiek Setyawati .............................................................................................. 972

POTENSI FLORA ENDEMIK DI KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG RINJANI


NUSA TENGGARA BARAT
Abdul Basit Nasriyanto, Febriana Tri Wulandari ............................................................... 976

STRATEGI PENGEMBANGAN DUA PENGRAJIN BAMBU DI BOGOR JAWA BARAT


Achmad Supriadi ............................................................................................................. 991

PENGARUH UKURAN LUBANG TANAM TERHADAP PERTUMBUHAN


BAMBU PETUNG (Gigantochloa levis Blanco)
Sutiyono, Marfuah Wardani .............................................................................................. 999

PENGGUNAAN ALAT PEMBUAT LUBANG TANAM SECARA SEMI MEKANIK YANG


DILENGKAPI ALAT PENGANGKUT BIBIT
Dulsalam, Sukadaryati...................................................................................................... 1005

LAMPIRAN
Susunan Panitia ...................................................................................................... 1014
Dokumentasi Kegiatan ............................................................................................ 1015
Daftar Peserta ......................................................................................................... 1017

xiv
KEYNOTE SPEAKER
KEYNOTE SPEAKER

MEMBANGUN HUTAN TANAMAN PROSPEKTIF MELALUI


PENDEKATAN SILVIKULTUR INTENSIF
Mohammad Naiem dan Widiyatno
Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta 55281

PENDAHULUAN

Dua tantangan besar yang dihadapi kehutanan Indonesia Abad 21 adalah pasar
bebas dan ekolabel. Pasar bebas yang di dalamnya berlaku prinsip-prinsip terbuka dan
sangat menekankan kualitas, menuntut persaingan pasar bagi negara-negara produsen
kayu. Pengelolaan sumber daya hutan harus diarahkan pada tingkat kuantitas dan kualitas
yang tinggi dan dengan tingkat efisiensi yang optimal. Sehingga menghasilkan barang
berkualitas tinggi dengan biaya produksi paling ekonomis. Ekolabel merupakan kesepakatan
yang mempersyaratkan kelestarian sumberdaya alam dalam pengelolaan hutan demi
terjaminnya kontinuitas produksi dan manfaat hutan lainnya. Semua produk yang berasal
dari hutan tidak akan terhindar dari persyaratan ekolabel, dimana semua produk hasil hutan
baru akan diterima pasar apabila berasal dari kegiatan pengelolaan hutan yang dilakukan
secara lestari (Soekotjo, 2000)
Kesenjangan dalam penyediaan bahan baku industri juga merupakan tantangan yang
perlu dicarikan solusinya secara tepat. Kenyataan menunjukkan bahwa kapasitas industri
kayu yang diperkirakan sebesar 28,0 juta m3/tahun di th 1990 turun secara drastis menjadi
11,0 juta m3/tahun dan 5,3 juta m3/tahun masing masing ditahun 2003 dan 2010 (Tabel 1)

Tabel 1: Unit usaha, luas, produksi dan produktivitas dari hutan produksi
No Tahun Unit Usaha Luas Produksi Produktivitas
(unit) (juta ha) (juta m 3) (m3/ha/th)
1. 1990 564 59,6 28,0 1,7 2,3
2. 2003 267 27,8 11,0 1,1 1,4
3 2010 210 24.5 5,3 <1,0
(Departemen Kehutanan, 2003, 2010)

Akibat dari kapasitas industri yang besar tersebut jelas telah mengakibatkan
kemunduran kondisi hutan alam. Keadaan di atas menggugah kesadaran kita bahwa upaya
untuk mempertahankan keberadaan hutan tropis tidak dapat ditunda lagi.
Kondisi ini secara tidak langsung akan berdampak tetap terjaganya keberadaan
hutan alam (fungsi ekosistem) sebagai sumber plasma nutfah (genetic resource
conservation aera) yang akan memberikan kontribusi besar bagi peningkatan produktivitas
dan kualitas produk hutan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Di samping itu
keberadaan hutan alam dengan fungsi ekosistem tersebut memberikan peluang yang sangat
terbuka bagi penelitian berbagai hasil hutan lain misalnya penghasil lemak, minyak, senyawa
kimia, bahan kosmetik, senyawa bioaktif, penyerap karbon, bahan pangan maupun energi.

Produktivitas Hutan Alam Tropis


Sesuai dengan sifat alaminya, Hutan hujan tropis memiliki produktivitas relatif
rendah, hanya mencapai 0,5 - 3 m3/ha/th dibanding dengan hutan tanaman di daerah
beriklim sedang yang mempunyai produktivitas 4 - 10 m3/ha/th (Freezaillah, 1998). Di
samping biaya eksploitasi dan pengelolaan hutan alam tropis justru jauh lebih tinggi (US$
50-200/m3) dibanding dengan biaya pada kegiatan yang sama di hutan tanaman daerah iklim
sedang (US$ 15-30/m3). Kondisi-kondisi tersebut di atas menyebabkan pengelolaan hutan
tropis yang ada saat ini menjadi tidak kompetitif.

1
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Sebagaimana dikemukakan bahwa dengan masuknya modal besar dalam


pengelolaan hutan tropis telah mengakibatkan potensi hutan semakin menurun. Berdasarkan
hasil pengamatan dari th.1990 hingga th. 2010 membuktikan bahwa, kondisi hutan tropis
Indonesia sudah sangat memprihatinkan, baik jumlah pengusahaan hutan yang masih
beroperasi, luas hutan alam yang dikelola dan produktivitas menurun sangat tajam
sebagaimana disajikan dalam Tabel 1.
Dari kondisi hutan yang demikian tersebut maka pengelolaan hutan jelas semakin
tidak menguntungkan. Hal ini terbukti dengan banyaknya perusahaan industri yang tutup,
terutama yang berskala menengah dan kecil. Akibatnya banyak karyawan yang diputus
hubungan kerjanya (PHK) secara sepihak dan perusahaan tidak punya peluang lagi
menerima tenaga baru. Selain itu kondisi demikian telah menyebabkan minat, perhatian dan
ketertarikan masyarakat akan bidang kehutanan juga semakin menurun. Akhirnya
kepercayaan dunia akan kemampuan Indonesia dalam pengelolaan hutan tropis juga
semakin menipis.

Dasar Silvikultur dalam Pengelolaan Hutan Alam


Pada prinsipnya baik sistem silvikultur TPI maupun TPTI merupakan sistem
pengelolaan hutan alam yang bagus, terutama karena keduanya memiliki komponen dasar
yang sama yang dikenal sebagai komponen pertimbangan dengan 4 elemen, yaitu (1). azas
kelestarian, (2) teknik silvikultur, (3). pengusahaan yang menguntungkan dan (4).
pengawasan yang efektif dan efisien. Pada azas kelestarian perhatian lebih diarahkan pada
azaz kelestarian ekologis dengan beberapa kriteria yaitu (a). Kelestarian produk hasil hutan,
(b). Kelestarian kesuburan tanah dan air, (c). Kelestarian keanekaragaman hayati.
Sedangkan kelestarian sosial dan ekonomi akan dapat dicakup dalam komponen
pertimbangan yang ke 3 yaitu pengusahaan yang menguntungkan (Soekotjo, 2009).
Namun dalam implementasinya kedua sistem ini tidak dapat berkembang
sebagaimana yang diharapkan karena terbatasnya tingkat pengawasan yang efektif dan
efisien, sementara komponen pengawasan ini sangat menentukan terhadap keberhasilan
ketiga komponen lainnya. Harus diakui bahwa peran silvikulturis dalam mengimplementasi
kedua sistem ini masih terabaikan. Pengusaha masih lebih memprioritaskan peran loggers
yang umumnya bukan tenaga forester yang tidak paham i terhadap aktivitas silvikultur dan
ekologi.
Adapun sistem TPTII (Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif) yang sebenanya
merupakan modifikasi dan bersifat melengkapi kekurangan yang ada pada TPTJ (Tebang
Pilih Tanam Jalur), terutama pengetrapan teknik SILIN dalam kegiatan pengayaan tanaman.
Teknik SILIN mempersyaratkan perlunya lahan yang well-drained, persiapan lobang
tanaman yang baik, pemberian pupuk dasar yang cukup, penentuan jenis yang sesuai,
ukuran dan kualitas semai yang tepat serta waktu penanaman yang cocok, agar diperoleh
produktivitas dan kualitas produk yang meningkat dari waktu ke waktu.

Gambar 1. Desain pengelolaan dengan system TPTII dengan teknik SILIN

2
KEYNOTE SPEAKER

Dalam implementasinya ruang atau kawasan yang digunakan untuk penanaman


SILIN ini hanyalah sebesar 15%, sedangkan ruang sisanya (85%) tetap dipertahankan untuk
kepentingan keanekaragaman hayati. Desain pengelolaan dengan system TPTII dapat
dilihat pada Gambar 1.

Teknik Silvikultur Intensif (SILIN)


Silvikultur intensif adalah upaya merehabilitasi hutan dengan tujuan untuk
meningkatkan produktivitas dan kualitas produk dengan memadukan ketiga pilar utama
silvikultur, yaitu: pemuliaan pohon, manipulasi lingkungan dan pengendalian hama terpadu
dalam satu tindakan silvikultur secara utuh (Gambar 2).
Untuk menjaga kelestarian produksi pada kegiatan rehabilitasi hutan dengan teknik
SILIN perlu dilengkapi dengan pemapanan dan monitoring terhadap beberapa komponen
penelitian seperti uji jenis, uji keturunan (progeny test), uji pertanaman, membangun kebun
pangkas dan uji klon serta konservasi ex situ. Disamping itu juga perlu dilakukan monitoring
terhadap kelestarian tanaman operasional melalui serangkaian pengamatan terhadap
produktivitas/ kualitas produk, status kesuburan lahan dan keanekaragaman hayati dari
kawasan hutan yang disasar .

Manipulasi
lingkungan

Jenis/pemuliaan
Pengendalian
hama terpadu

Silvikultur Intensif

Gambar 2. Kombinasi antara pemuliaan pohon, manipulasi lingkungan


dan pengendalian hama terpadu.

Pembangunan meranti prospektif, sehat dan lestari melalui teknik SILIN, memiliki
beberapa keunggulan dibanding dengan sistem silvikultur hutan alam yang ada.
Keunggulan tersebut diantaranya adalah sbb (Soekotjo, et al, 2003):
a. Kontrol pengelolaan baik oleh perusahaan sendiri, maupun pihak luar dapat
dilaksanakan secara efisien, murah dan mudah.
b. Pada awal pembangunan telah mulai dapat digunakan bibit dari jenis terpilih, dan
pada rotasi berikutnya benih dari hasil pemuliaan telah dapat dimanfaatkan. Sehingga
produktivitas hutan dapat meningkat, diperkirakan mencapai 5 kali lipat, selain itu
kualitas produk juga akan semakin baik
c. Target produksi bisa flexibel tergantung pada tujuan investasinya pada tanaman (kayu,
produk metabolisme sekunder, benih unggul, bahan obat nabati dll.)
d Keanekaragaman hayati tetap terjaga, begitu pula kondisi lingkungan lebih tidak
terganggu. Hal tersebut karena arah rebah dan sistem penyaradan akan dapat diatur
secara aman sehingga tidak akan menimbulkan dampak negatif yang merusak
lingkungan.
e. Kemampuan perusahaan semakin meningkat. Produktivitas dan kualitas produk yang
tinggi yang dapat dipanen secara kontinyu akan membuka peluang meningkatnya
aktivitas perusahaan, yang diantaranya adalah meningkatnya jumlah tenaga kerja yang

3
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

terserap, lebih banyaknya modal perusahaan yang dapat diputar, banyak kegiatan
sosial yang dapat didanai, kinerja perusahaan terjaga dan kepercayaan dunia terhadap
pengelolaan hutan tropis di Indonesia meningkat.

TPTII dikembangan dengan model pertanaman dengan spacing 20 m x 2,5m,


sehingga jumlah yang tertanam dalam satu hektarnya berjumlah 200 batang. Target
produktivitas teknik SILIN yang dicanangkan didekati dengan asumsi bahwa Shorea
leprosula pada umur 30 tahun diperkirakan akan mempunyai riap diameter rata-rata 50 cm
(riap 1,5-2,0 cm/tahun). Sehingga taksiran vol/batang adalah 2,5 m3. Apabila jumlah pohon
dari 200 batang pada akhir rotasi tinggal 160 pohon/ha (setelah roguing) maka akan
diperoleh standing stock 400 m3/ha, sehingga potensi tegakan terpungut adalah 300 m3/ha.

Prediksi peningkatan standing stock pada rehabilitasi teknik SILIN


Sebagaimana disampakan terdahulu bahwa beberapa kegiatan monitoring dilakukan
terhadap tingkat produktivitas teknik SILIN, diantaranya melalui uji jenis meranti dan uji
keturunan dari jenis meranti terpilih, yang hasilnya dapat dilihat pada Tabel 2 dan 3.
Berdasarkan hasil pengamatan terhadap 30 jenis meranti merah, ada 6 jenis yang
memiliki pertumbuhan yang cepat (fast growing meranti), karena memiliki rata-rata riap lebih
dari 2 cm/tahun. Disamping itu dari uji keturunan terhadap 3 jenis meranti terpilih, terutama
untuk S. leprosula yang memiliki riap yang sangat tinggi (rata-rata >3 cm/tahun).
Dari kenyataan ini jelas bahwa standing stock pada teknik SILIN yang ditarget sebesar
400 m3/ha dalam waktu 30 tahun akan dapat dicapai. Bahkan standing stock dimaksud akan
dapat ditingkatkan jauh lebih tinggi lagi mengingat beberapa jenis meranti target (S.
leprosula, S. platyclados, S macrophylla, S, parvifolia, S. stenoptera dan S. johorensis )
memiliki riap yang jauh melebihi dari riap yang diperkirakan. Lebih-lebih bila pendekatan
vegetatif (clonal forestry) telah menjadi pilihan solusi untuk pengelolaan hutan alam produksi
di masa mendatang.

Tabel 2. Rerata diameter tertinggi dari 5 jenis pada uji jenis di PT. SBK
Jenis Rerata BDH Riap Jenis Rerata BDH Riap
(cm) (cm/thn) (cm) (cm/thn)
Tahun Tanam 2006 (umur 3,5 tahun)
S.johorensis 7,52 2,15 S.parvifolia 8,87 2,53
S.macrophylla 8,50 2,43 S.platyclados 8,99 2,57
S.leprosula 8,87 2,53 S. Stenoptera 8.05 2.30
(Data hasil pengukuran UGM-SBK, 2010)

Tabel 3. Rerata diameter tertinggi dari 10 seedlot terbaik dar 3 jenis meranti terpilih pada
tanaman uji keturunan di PT. SBK umur 4 tahun
S.leprosula S.macrophylla S. parvifolia
1 21047 13.6 3.9 26016 12.1 3.0 22108 8.5 2.4
2 21041 12.9 3.7 26003 12.0 3.0 22137 8.4 2.4
3 21028 12.4 3.5 26087 11.8 2.9 22095 8.2 2.3
4 21029 12.2 3.5 26069 11.5 2.9 22117 8.0 2.3
5 21049 12.0 3.4 26012 11.4 2.9 22086 8.0 2,2
6 21032 11.9 3.4 26031 11.4 2.8 12067 7.8 2,2
7 21027 11.9 3.4 26018 11.4 2.8 22062 7.7 2,2
8 31024 11.8 3.4 26082 11.2 2.8 12009 7.6 2.2
9 21058 11.7 3.3 26050 11.2 2.8 22111 7.6 2.2
10 21006 11.6 3.3 26071 11.2 2.8 22036 7.5 2.1
(Data hasil pengukuran UGM-SBK, 2010)

4
KEYNOTE SPEAKER

Kondisi biodiversitas tumbuhan bawah pada SILIN


Menurut Silbaugh and Bettrs (1997), keanekaragaman hayati di hutan mempunyai
beberapa keuntungan dan komoditas, tidak hanya berupa obat-obatan tetapi juga berupa
makanan, produk kayu, serat alam, rekreasi, keuntungan ekstetik, ekologi dan lain
sebagainya. Sehingga secara detail dikatakan bahwa keanekaragan hayati mempunyai
peranan yang penting terhadap ekonomi dan mempengarui kelestarian ekonomi dan
pengembangan konservasi.
Untuk mengetahui tingkat keanekaragamaan hayati pada teknik SILIN ini pengukuran
difokuskan pada jalur antara (lebar jalur antara 20) dan jalur tanam. Pencatatan dilakukan
terhadap perkembangan vegetasi pada jalur antara pada PUP monitoring umur tanaman 1
dan 5 tahun (PUP 1 dan 5). Pengambilan data dilakukan dengan cara membuat plot ukuran
1 x 1 m. Intensitas sampling dalam pengambilan sampel tumbuhan bawah adalah 0,00017%
atau setiap PUP akan dibuat 6 plot yang tersebar secara acak (3 plot pada jalur antara dan
3 plot pada jalur tanam) (Gambar 1.)
Hasil pengamatan dan pengukuran menunjukkan bahwa jumlah jenis tumbuhan
bawah yang ditemukan pada areal terbuka (jalur tanam) labih banyak dibandingkan pada
areal yang relatif tertutup (jalur antara). Tebaran jenis penyusun vegetasi penutup tanah
(tumbuhan bawah) bersifat acak. Jumlah jenis tumbuhan bawah yang ditemukan dalam PUP
1 dan 5 pada jalur tanam adalah 58 dan 50 jenis, sedangkan pada jalur antara adalah 49
dan 33 jenis. Tumbuhan bawah yang diketahui mengandung zat bioaktif pada PUP 1 dan 5
pada jalur tanam adalah 3 dan 3 jenis, sedangkan pada jalur antara adalah 2 dan 2 jenis
dengan persebaran yang acak. Di samping itu beberapa tumbuhan bawah juga
dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar hutan sebagai obat tradisional, pada PUP 1 dan 5
jalur tanam ditemukan 16 dan 8 jenis; dan pada jalur antara ditemukan 4 dan 5 jenis. Dan
sisanya belum diketahui manfaatnya dan dimungkinkan sebagai gulma bagi tanaman
Meranti dalam jalur tanam.

Kondisi tata air dan kesuburan tanah pada SILIN


Hubungan antara manusia dengan air, tanah dan hutan menjadi satu kesatuan dalam
suatu lingkaran ekosistem yang saling tergantung dan mempengaruhi. Salah satu fungsi
hutan adalah mengendalikan daur air suatu kawasan. Ketika hujan jatuh pada suatu
kawasan hutan, maka berbagai proses hidrologi akan terjadi, dimulai dari intersepsi,
evapotranspirasi, troughfall, steamflow, infiltrasi hingga terjadinya aliran langsung (direct
runoff). Berbagai proses hidrologi tersebut menjadi bagian dari peran penting hutan dalam
pengendalian daur air kawasan.
Pada sisi lain peran hutan sebagai sistem penyangga kehidupan terutama dalam
mengatur tata air dan menyediakan sumber air bagi kawasan menjadi hal yang sangat
penting apalagi bila dikaitkan dengan perubahan iklim dunia. Pengelolaan hutan yang tidak
memperhatikan keseimbangan tata air telah banyak terbukti menyebabkan timbulnya
bencana banjir di musim hujan dan bencana kekeringan di musim kemarau. Kondisi tersebut
jelas akan mempengaruhi keseimbangan komponen ekosistem dan kelestarian
keanekaragaman hayati.
Oleh karena itu kajian pada berbagai aspek tata air dalam pengelolaan hutan dengan
sistem TPTII telah mulai dilakukan. Hasil analisis neraca air secara hidrometeorologis
menunjukkan bahwa penerapan sistem TPTII tidak memberikan pengaruh yang nyata
terhadap perubahan neraca air secara makro. Hal ini ditunjukkan dengan hasil analisis
bahwa evapotranspirasi yang terjadi menggunakan 24% dari hujan yang jatuh pada kawasan
ini, sedangkan 76% akan ditampung oleh ekosistem hutan dan dilanjutkan dengan proses
hidrologis di dalam hutan mulai dari intersepsi, troughfall, steamflow, infiltrasi hingga runoff.
Dari 76% hujan yang ditampung oleh hutan/vegetasi, maka 619 mm air hujan (25%) akan
masuk dalam tanah dan menjadi air tersimpan (detention), sedangkan 1080 mm (75%) akan
menjadi aliran permukaan (runoff) dan mengalir melalui badan-badan sungai ke wilayah
hilirnya.

5
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Ketersediaan nutrisi pada kawasan hutan bekas tebangan sangat ditentukan oleh
keberadaan bahan organik pada permukaan tanah. Horison A mempunyai kandungan hara
yang lebih banyak dibandingkan dengan horison di bawahnya yang disebabkan oleh proses
dekomposisi seresah yang menumpuk pada permukaan tanah. Sedangkan menurut
umurnya, status nutrisi pada PUP 5 relatif lebih baik dibandingkan dengan PUP 1, kecuali
kandungan hara pada seresah utuh yang relatif sama. Hal ini menunjukkan bahwa pada
kawasan yang dilakukan penerapan TPTII kandungan unsur haranya tidak banyak
mengalami perubahan akibat proses dekomposisi bahan organik yang cepat (rerata kurang
dari 1 tahun), namun yang perlu diperhatikan adalah daerah penelitian ini memiliki
kerentanan terhadap erosi yang tinggi, sehingga pencucian unsur hara tanah akibat erosi
dapat menjadi ancaman bagi kesimbangan hara dalam kawasan hutan.
Penerapan sistem TPTII secara keseluruhan akan menurunkan prosentase
penutupan tajuk sebesar 30,8 % dari penutupan pada hutan alam. Pengurangan penutupan
tajuk pohon mampu memberikan ruang tumbuh yang lebih baik bagi tanaman dibawah tajuk
pohon sehingga proses pemulihan (recovery) struktur vegetasi hutan dapat segera pulih
setelah tahun ke-12 sejak dilakukannya tebang pilih dan penanaman jalur.

KESIMPULAN
1. Teknik Silvikultur intensif (SILIN) baik yang dilakukan di Regime Tebang Pilih Tanam
Indonesia Intensif (TPTII) merupakan salah satu solusi dalam memperbaiki
keterpurukan sumberdaya hutan sekaligus akan dapat menjamin produktvitas hutan
secara lestari dari rotasi ke rotasi
2. Teknik SILIN dapat pula dianalogikan dengan Restorasi Plus. Hal tersebut
dikarenakan dengan rehabilitasi Teknik SILIN maka kegiatan restorasi untuk menjaga
fungsi lingkungan dalam hal biodiversitas tumbuhan bawah, tata air dan kesuburan
tanah ternyata dapat tetap terjaga, sementara hutan yang produktivitasnya tinggi
tetap dapat dihasilkan
3. Dengan meningkatnya produktivitas hutan maka pengusahaan hutan cukup perlu
areal yang jauh lebih kecil namun produktif . Sehingga hutan alam tropis dapat lebih
diperankan untuk fungsi ekosistem dan penyangga kelestarian alam seperti produksi
air, oksigen, metabolisme sekunder, benih dan bahan pangan, penyerap carbon, zat
bioaktif dll.

DAFTAR PUSTAKA
Departemen Kehutanan 2003. Kebijakan dan Strategi Pembangunan Kehutanan. Presentasi
Menteri Kehutanan Pada Kursus Reguler Angkatan ke XXXVI LEMHANAS, Jakarta
Departemen Kehutanan 2010. Road Map Pembangunan Kehutanan Berbasis Hutan
Tanaman dan Taman Nasional (Draft 2). Jakarta
Freezailah BCY. 1998. General Lecture at the Faculty of Forestry, University of Gadjah
Mada, Yogyakarta, Indonesia.
Naiem, M. and E. Faridah. 2006a. Enrichment Planting. Dalam A. Rimbawanto (Eds).
Silviculture Systems of Indonesias Dipterocarps Forest Management A Lesson
Learned. Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada dan ITTO. Tecnical Report:
ITTO Project PD 41/00 Rev. 3 (F,M). Pp. 11-12.
Silbaugh, J. M. And D.R. Betters. 1997. Biodiversity Values and Measures Applied to Forest
Management. Dalam O. T. Bouman dan D. G. Brand, Eds. Sustainable Forest :
Global Challenges and Local Solution. Food Product Press and An Imprint of The
Hawort Press, Inc. New York.
Soekotjo. 2000. Silvikultur intensif untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi, kompetitif dan
kelestarian hutan humida tropis Indonesia. Prosiding Nasional Seminar Status
Silvikultur 1999. Eko. B. Hardiyanto (Eds.) Wanagama I, 1-2 Desember 1999.
Fakultas Kehutanan UGM Yogyakarta.

6
KEYNOTE SPEAKER

Soekotjo, Naiem M., A. Subiakto, 2003. Membangun Hutan Tanaman Meranti Lewat
Tebang Pilih Tanam Jalur. Usulan pemikiran pada Departemen Kehutanan,
Yogyakarta.
Soekotjo. 2005. Evolusi Tebang Pilih Indonesia : Konsep, Aplikasi dan Hasil. Dalam E. B.
Hardiyanto (Eds). Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada dan International
Timber Trade Organization. Yogyakarta. pp. 3-13.
Soekotjo, 2009. Teknik Silvikultur Intensif (SILIN). Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta

7
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

8
KEYNOTE SPEAKER

Leading Certification Body in Indonesia, established in 1990


21 years experience in certification and laboratory testing, serving
850 clients across Indonesia and Asia in forestry, agriculture, mining,
marine & fishery, government institutions, various industries, etc.
Professional auditors and inspectors with good laboratory facilities
The first Certification Body in Asia recognized as ROCB (Registered
Overseas Certifying Body) accredited by MAFF (the Ministry of
Agriculture, Forestry, and Fishery of Japan) for JAS marking
certification
The first Certification Body in Asia accredited by CARB (California Air
Resources Board) to issue CARB certificate for Formaldehyde
emissions from wood-based products
The first Certification Body in Asia approved by the RSPO
(Roundtable on Sustainable Palm Oil) for sustainable palm oil
certification
Global business network; Mutual Agreement with BM Trada UK,
FRIM and SIRIM of Malaysia, TUV-SUD-PSB of Singapore

9
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

1. Forest Sustainable Forest Management (SFM)

2. Primer and secondary Chain of Custody (COC)


/Timber Legality (TL) and Product Standards

10
KEYNOTE SPEAKER

11
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Forest Stewardship Council (FSC)-www.fsc.org


The Programme for the Endorsement of Forest
Certification (PEFC) www.pefc.org
Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) www.lei.or.id
Kementrian Kehutanan Republik Indonesia
www.dephut.go.id

FSC is an independent, non-governmental, not-for-


profit organization established to promote the
responsible management of the worlds forests.

Global FSC Certificates

12
KEYNOTE SPEAKER

13
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

The Programme for the Endorsement of Forest Certification (PEFC) is an


international non-profit, non-governmental organization dedicated to
promoting Sustainable Forest Management (SFM) through independent
third-party certification.
PEFC works throughout the entire forest supply chain to promote good
practice in the forest and to ensure that timber and non-timber forest
products are produced with respect for the highest ecological, social and
ethical standards. Thanks to its eco-label, customers and consumers are able
to identify products from sustainably managed forests.
PEFC is an umbrella organization. It works by endorsing national forest
certification systems developed through multi-stakeholder processes and
tailored to local priorities and conditions.
With about 30 endorsed national certification systems and more than 220
million hectares of certified forests, PEFC is the world's largest forest
certification system.
2011-08_PEFC_Global_Certificates.pdf

14
KEYNOTE SPEAKER

15
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

The Indonesian Ecolabelling Institute (LEI-Lembaga


Ekolabel Indonesia) is a non-profit constituent based
organization that develops forest certification systems
that promote our mission of just and sustainable forest
resource management in Indonesia. As a constituent
based organization LEI retains independence and
transparency, both necessary for the credibility of
forest certification.
LEI Certified List

16
KEYNOTE SPEAKER

Peraturan Mentri Kehutanan Republik Indonesia


Nomor : P.38/Menhut-II/2009

Standard dan Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan


Hutan Produksi Lestari

Verifikasi Legalitas Kayu

Forest Log landing Log yard Mill gate exports


Permanent state-owned

1. SFM Standard:
Concessions

2. Legality Standard:
concessions
6. Legality Standard:
forests

3. Legality Standard: primary industry and


community forests downstream industry
Non-permanent

4. Legality Standard:
state-owned

conversion forests
forests
Private lands

Area covered by both


5. Legality Standard: forest and industry
private forest owners standards

17
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Standard No. Certificates Remark

SFM 30

Timber Legality (TL) 125

Scheme Total Area (Ha) No. Certificates Remark

FSC 140,502,260 1049 August 2011

PEFC 241,500,000 500,444 August 2011

LEI 1,072,524 18 Feb. 2011

Kemenhut 30

18
KEYNOTE SPEAKER

Scheme Total Area (Ha) No. Certificates Remark

FSC 567,294 8 August 2011

PEFC - - August 2011

LEI 1,072,524 18 Feb. 2011

Kemenhut 30

Scheme No. Certificates Remark

FSC 21,063 15 July 2011

PEFC 8,530 August 2011

LEI 6 Feb. 2011

Kemenhut 125 Timber Legality (TL)

19
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Scheme No. Certificates Remark

FSC 164 August 2011

PEFC 14 August 2011

LEI 6 Feb. 2011

Kemenhut 125

1. Limited in standard understanding

2. Commitment
3. Implementation in the field: Social issue etc.

20
KEYNOTE SPEAKER

Problem in Human Resources : inspector, auditor


(time, cost)

Solution: Cooperation and support from Education


institution

Japanese Agricultural Standard (JAS)


Conformity European (CE/EN)
California Air Resources Boards (CARB)
Standar Nasional Indonesia (SNI)

21
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

PT Mutuagung Lestari as Registered Overseas Certifying Body


(ROCB) from Ministry of Agriculture, Forestry and Fisheries of JAPAN

MAFF
(Ministry of Agriculture,
Forestry and Fisheries)
,

Registered Overseas
Certifiing Body (ROCB)
( /
)

JAS Certified
Factories (Manufacturers)
-$6

22
KEYNOTE SPEAKER

Category :
1. Plywood
2. Veneer Lumber (LVL)
3. Glued Laminated Timber (GLT)
4. Flooring

Example for Plywood


1. Bonding strength

2. Moisture content

3. Bending strength

4. Panel shear strength

5. Formaldehyde emission

23
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Plywood, GLT, SGLT (Daily Lumber Sinbun, July


2011)

24
KEYNOTE SPEAKER

Category 2009 (m3) 2010 (m3) Product Item

Plywood 494,073.23 533,252.06 OP, CP, UCP, Secondary Process

LVL 13,282.38 10,095.66

GLT 15,917.62 16,048.24

Total 523,273.33 559,395.96

No Country No. Certificates


1. Japan 431
2. Indonesia 41
3. Malaysia 44
4. China 34
5. USA & Canada 31
6. Others 45
Total 626

25
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

No Province Mills 2007 (Active 2011 (Active Remark


Running Mills) Running Mills)
1 East Kalimantan 26
2 West Kalimantan 17
17 17 Kalimantan
3 South Kalimantan 15
4 Central Kalimantan 4
5 North Sumatra 3
6 South Sumatra 4
7 West Sumatra 1
8 Aceh 2 5 6 Sumatra
9 Riau 12
10 Jambi 10
11 Lampung 1
12 East Jawa 5
13 Central Jawa 4 5 8+5 Jawa
14 Banten+DKI+ W. Jawa 10
15 South Sulawesi 3
16 Maluku + N. Maluku 6 3 3 East Indonesia
17 Papua 7
Total 130 30 34 + 5

PT. Mutuagung Lestari as a Representative of BM TRADA UK


www.trada.co.uk

26
KEYNOTE SPEAKER

Wood Based Products


BS EN 13986 : 2004
Solid wood panels, plywood, Oriented strand
board (OSB), Particleboard, Cement bonded
particleboard, Fibreboard

BS EN 14342 : 2005
Wood Flooring

27
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

mechanical resistance and stability


safety in case of fire
hygiene, health and the environment
safety in use
protection against noise
energy economy and heat retention

Example
Performance characteristic for wood based panels for internal use as structural component in dry condition

No. Performance Solid wood panel Plywood OSB Particleboard Cement- Fiberboard
Characteristic bonded
Particle
board

1 Bending Strength 5.1

2 Bending 5.2
Stiffness
(Modulus of
Elasticity)

3 Bonding Quality 5.3 -

4 Internal bond - 5.4


(Tensile strength)

5 Durability - 5.5
(Swelling in
thickness)

6 Release of 5.7
Formaldehyde

28
KEYNOTE SPEAKER

Example
Wood based panels for internal use as structural component in humid condition .

No. Performance Solid wood Plywood OSB Particleboard Cement-bonded Fiberboard


Characteristic panel Particle
board
1 Bending 5.1
Strength
2 Bending 5.2
Stiffness
(Modulus of
Elasticity)
3 Bonding 5.3 -
Quality
4 Internal bond - 5.4
(Tensile
strength)
5 Durability - 5.5
(Swelling in
thickness)
6 Durability 5.6.5 5.6. 5.6.2 5.6.3 5.6.4
(Moisture 1
resistance)
7 Release of 5.7
Formaldehyde

12 Mills - Plywood

29
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Formaldehyde Standards for


Composite Wood Products Act
(FSCWA)

PT Mutuagung Lestari as a Third Party Certifier (TPC) approved by


State of California USA

Californias Airborne Toxic Control Measure


(ATCM) to reduce formaldehyde emissions from
composite wood products [17 Cal. Code Regs.
sections 93120-93120.12]
Regulations enacted by the California Air Resources Board (CARB)
Applies to composite wood products (CWPs) and finished goods
containing CWPs that are sold, offered for sale, supplied, used, or
manufactured for sale in California
For full text and more information, visit:
http://www.arb.ca.gov/toxics/compwood/compwood.htm

30
KEYNOTE SPEAKER

Federal Formaldehyde Standards for Composite


Wood Products Act (FSA)
Recently enacted in July 2010
Essentially adopts the California emission standards and takes them
NATIONAL
For full text, see: http://www.govtrack.us/congress/bill.xpd?bill=s111-
1660

Regulation of formaldehyde

1992 2004 2008 2010

California ATCM Federal FSA


CARB identified International Agency became effective enacted
formaldehyde as a for Research on Cancer
Toxic Air Contaminant (IARC) classified
(TAC) with no known formaldehyde as
safe level of exposure carcinogenic to humans

31
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

On July 7, 2010, the Formaldehyde Standards for


Composite Wood Products Act (FSCWA) was
signed into law.
The FSCWA became Title VI to the Toxic
Substances Control Act (TSCA).
Title VI establishes formaldehyde emission limits
for hardwood plywood, particleboard, and
medium-density fiberboard that are identical to
the California limits.

49

United States Environmental Protection Agency


(US EPA) is directed to promulgate
implementing regulations for this Act by January
1, 2013.
The TSCA Title VI emission standards mirror the
CARB ATCM Phase II emission standards, are set
in the statute and cannot be changed. However,
EPA is promulgating regulations to implement
the supplementary provisions.

50

32
KEYNOTE SPEAKER

The emissions limits for TSCA Title VI are identical to CARB Phase II
CARB Phase 1 (P1) and Phase 2 (P2) FSCWA Emission Limits by
Effective Emission Standards (ppm) January 1, 2013
Date Products Emission
HWPW-VC HWPW-CC PB MDF Thin MDF
Limit

1-1-2009 P1: 0.08 P1: 0.18 P1: 0.21 P1: 0.21


HWPW-VC 0.05 ppm

HWPW-CC 0.05 ppm


7-1-2009 P1: 0.08
PB 0.09 ppm
1-1-2010 P2: 0.05
MDF 0.11 ppm
1-1-2011 P2: 0.09 P2: 0.11
Thin MDF 0.13 ppm
1-1-2012 P2: 0.13

7-1-2012 P2: 0.05

51

No Country No. Certificate Remark


1. China 522
2. USA 98
3. Indonesia 41
4. Thailand 21 Plywood
Particleboard
5. Canada 21 MDF
6. Malaysia 20
7. Vietnam 15
8. Others 239
Total 977

33
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Country JAS CARB

INDONESIA 41 41

CHINA 34 522

MALAYSIA 44 20

JAPAN Avg. (mg/L) Max. (mg/L) Test Method


F 0.4 0.5
F 0.5 0.7
JAS Desicator method
F 1.5 2.1
F 5.0 7.0
CARB-USA
Phase 2 0.05 ppm Large chamber method ASTM E 1333

EUROPE
E1 < 0,124 mg/m3 air ENV 717-1
3,5 mg/m2 h EN 717 - 2
E2 > 3,5 mg/m2 h 8 mg/m2 h EN 717 - 2

34
KEYNOTE SPEAKER

Environment Friendly Product


High quality
Low emission formaldehyde
Competitive Price

Large quantity of plantation logs are suitable for


plywood production, plywood from Falcata,
Jabon/Samama, Gmelina, Acacia and Eucalyptus is
being exported
Plantation logs are competitively priced
Availability of technology to process plantation logs
Successful developments of community based
industrial forest plantations in Java benefits the
government, plywood manufacturers and local
communities, they are providing large quantity of
plantation logs to timber industry

35
PAPER
BIDANG A
ANATOMI DAN SIFAT
DASAR KAYU
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

SIFAT FISIS-MEKANIS DAN ELEKTRIK DARI


KAYU DURIAN (Durio zibethinus Murr.) DAN KAYU KECAPI
(Sandoricum koetjape Merr.) TER-IMPREGNASI POLISTIRENA

Firda A. Syamani1, Widya Fatriasari1, Ismail Budiman1, dan Yusuf Sudo Hadi2
1
UPT Balitbang Biomaterial LIPI
2
Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

ABSTRACT

This study evaluated the properties of Durio zibethinus Murr. and S. Koetjapi Merr.
wood which were impregnated with styrene monomer using FeSO4 (ferrous sulphate) as
catalyst. The specimens were vacuumed for 30 minutes, and then pressured at 10
atmospheres for 1 hour and subsequently closing pressure for 15 minutes. The wood
specimens were wrapped with aluminum foil and heated at 600C for 24 hours after which the
solution was polymerized in situ. Polymerization performance was evaluated with its polymer
loading (PL) and dimensional stability (anti-swelling efficiency, volumetric swelling, water
absorption and thickness swelling). The mechanical of wood-plastic was determined
according to British standard (BS-373) and the electrical properties was determined also.
The styrene impregnation improved the physical and mechanical properties of wood
compared to untreated one. In addition the wood treated styrene impregnation had better
insulator properties compared to control.

Keywords: styrene impregnation, Durio zibethinus Murr and Sandoricum koetjape Merr,
polymerization performance, physical-mechanical properties, electrical
properties

PENDAHULUAN

Kebutuhan kayu bulat nasional untuk seluruh industri kehutanan (sawmill, plymill,
pulpmill dan lain-lain) mencapai 63,48 juta m3 per tahun, belum dapat dipenuhi oleh realisasi
produksi kayu bulat nasional yang rata-rata sebesar 22,8 juta m3 per tahun (Indonesian
Working Group on Forest Finance, 2010). Menurut statistik Kementrian Kehutanan (2009),
produksi kayu bulat dari berbagai sumber produksi pada tahun 2009 mencapai 34,32 juta m3.
Pemenuhan kebutuhan kayu berasal dari hutan alam, hutan tanaman atau hutan rakyat.
Untuk keperluan sendiri, masyarakat juga memanfaatkan kayu dari tanaman buah-buahan,
misalnya kayu durian atau kayu kecapi.
Kayu kecapi (Sandoricum koetjape) telah dimanfaatkan untuk konstruksi rumah,
furnitur, lemari, sambungan dan konstruksi interior, panel, plank dan deck perahu atau
kemasan. Kayu kecapi juga telah diolah menjadi veneer, plywood, blockboard atau pulp dan
kertas. Kayu kecapi tergolong kayu daun lebar (hardwood) dengan densitas 290-590 kg/m3
pada kadar air 15% (Sosef et al., 1998). Kayu durian (Durio zibethinus) dapat digunakan
untuk konstruksi terlindungi karena sifatnya yang moderately durable. Selain itu kayu durian
dimanfaatkan untuk furnitur, lemari, lantai, panel, partisi, plywood, kotak dan peti berkulitas
rendah. Kayu durian tergolong kayu daun lebar dengan densitas 400-750 kg/m3 pada kadar
air 15% (Lemmens et al., 1995). Untuk penggunaan jangka panjang, baik kayu kecapi
maupun kayu durian perlu di modifikasi untuk meningkatkan sifat fisis, mekanis maupun
ketahanannya biodegradasi.
Modifikasi kayu dapat berupa modifikasi aktif yang menyebabkan perubahan sifat
kimia kayu atau modifikasi pasif yang menyebabkan perubahan sifat kayu tanpa merubah
sifat kimia kayu. Modifikasi kimia, modifikasi menggunakan panas (thermal modification) dan
modifikasi menggunakan enzim (enzymatic modification) termasuk dalam modifikasi aktif,
sedangkan impregnasi termasuk modifikasi pasif (Hill, 2006). Istilah modifikasi kimia kayu

38
ANATOMI DAN SIFAT DASAR KAYU

pertama kali digunakan oleh Tarkow pada tahun 1946, yang mendefinisikan modifikasi kimia
kayu sebagai reaksi antara gugus aktif polimer dinding sel kayu dengan suatu bahan kimia
sehingga terbentuk ikatan kovalen (Rowell, 2006). Prinsip dari modifikasi kayu dengan teknik
impregnasi adalah mengisi (impregnate) dinding sel kayu atau lumen dengan suatu bahan
kimia atau kombinasi bahan kimia, kemudian mereaksikannya sehingga membentuk material
yang terkunci dalam dinding sel. Karena itu sebelum proses impregnasi, dinding sel kayu
perlu dibuka untuk memudahkan masuknya bahan impregnan. Ukuran molekul bahan
impregnan juga harus cukup kecil agar dapat masuk ke dalam lumen atau dinding sel (Hill,
2006).
Stirena merupakan salah satu monomer yang umum digunakan untuk mengisi lumen
sel, kapiler, atau rongga sel kayu, kemudian terjadi polimerisasi in situ, membentuk komposit
kayu plastik. Stirena dapat terpolimerisasi dalam menggunakan katalis (vazo/peroksida) dan
panas, atau radiasi (Ibach dan Ellis, 2005). Impregnasi menggunakan monomer stirena pada
berbagai jenis kayu dengan berbagai kombinasi teknik, katalis dan crosslinker telah
dilaporkan.
Lee & Sung (1973) mengamati difusi stirena pada kayu Pinus densiflora dan Pinus
rigida. Impregnasi stirena pada Pinus silvestris dengan katalis panas dan inisiator N-
metylolmetacrilamide dilaporkan oleh Hadi et al. (1998). Darma et al. (2002) mengamati
ketahanan kayu Pinus merkusii terimpregnasi campuran stirena dan vinil asetat terhadap
jamur pelapuk coklat. Kayu Pinus merkusii terimpregnasi campuran stirena dan vinil asetat
dengan katalis terbutil-hidroperoksida diamati ketahanannya terhadap serangan marine
borer and rayap tanah (Hadi et al. 2002) dan serangan jamur pelapuk coklat, Tyromyces
palustris maupun jamur pelapuk putih, Trametes versicolor (Hadi et al. 2003). Impregnasi
stirena pada kayu pinus dilakukan oleh Devi & Maji (2006) dengan kombinasi glycidyl
methacrylate (GMA) sebagai cross linking monomer.
Impregnasi stirena pada kayu Alnus glutinosa, Populus maximowiczii, Salix alba yang
berasal dari Polandia dilakukan oleh Hadi et al. (1998). Sedangkan impregnasi lima jenis
kayu dari Syiria dengan stirena telah dilakukan oleh Bakraji et al. (2001). Impregnasi stirena
pada kayu karet dengan crosslinker glycidyl methacrylate dilakukan menggunakan metode
vakum (Devi & Maji, 2002) atau dengan katalis panas (Devi et al., 2003), sedangkan
impregnasi stirena pada kayu karet dengan katalis terbutyl-hydroperoxide dilaporkan oleh
Hadi et al. (2002, 2003). Impregnasi Populus x. euramericana cv. I-214 dengan stirena
dilaporkan oleh Yildiz et al. (2005). Kemudian impregansi stirena juga telah dilakukan pada
kayu kelapa bagian dalam dengan katalis panas (Lawniczak 1995 dalam Hartono et al.
2010), kayu sengon (Hadi et al. 2002, 2003; Iswanto 2008), kayu afrika (Iswanto 2008), kayu
mindi (Melia azedarach) dan sugi (Cryptotmeria japonica) oleh Hadi et al. (2009), kayu
rambutan (Jemi et al. 2008; Sari et al. 2009), kayu kelapa sawit oleh Purnama 2009, kayu
angsana (Pterocarpus indicus) dan randu (Ceiba pentandra) oleh Hartono et al. (2010).
Impregnasi kayu poplar spesies P. ussuriensis Komarov dengan dua tahap impregnasi
menggunakan MAN (maleic anhidrida), GMA (glycidyl methacrylate) dan stirena dilaporkan
oleh Li (2010). Penelitian-penelitian tersebut umumnya menginvestigasi perubahan sifat fisis
mekanis, sifat termal, juga ketahanan terhadap mikroorganisme perusak (jamur coklat, jamur
putih, rayap tanah, kayu kering serta marine borer). Terjadi peningkatan sifat fisis,
mekanis,dan ketahanan terhadap mikroorganisme perusak serta sifat termal dari kayu yang
diimpregnasi dengan monomer stirena, meskipun dengan hasil studi yang berbeda
tergantung dari spesies, kondisi perlakuan, katalis, ataupun jenis dan konsentrasi
crosslinking untuk proses polimerisasi monomer stirena.
Berdasarkan laporan penelitian mengenai impregnasi stirena pada kayu yang
diuraikan di atas, belum ditemukan adanya penelitian mengenai impregnasi stirena pada
kayu kecapi (Sandoricum koetjape) maupun kayu durian (Durio zibethinus). Oleh karena itu,
tujuan penelitian ini adalah mengetahui sifat fisis, mekanis dan elektrik kayu kecapi dan kayu
durian terimpregnasi stirena dengan inisiator kalium peroksidisulfat.

39
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

BAHAN DAN METODE

Persiapan bahan baku


Spesimen kayu kecapi (Sandoricum koetjape) maupun kayu durian (Durio zibethinus)
dari daerah Bogor digunakan sebagai bahan yang akan diimpregnasi dengan monomer
stirena. Contoh uji dikeringkan hingga diperoleh kadar air <10%. Pembuatan contoh uji dan
pengujian sifat fisis dan mekanis kayu mengacu pada British standard (BS-373). Sifat fisis
yang diuji yaitu berat jenis, kadar air, kembang susut, sedangkan sifat mekanis yang diuji
yaitu MOE, MOR, compression parallel to grain dan kekerasan, dengan ulangan masing-
masing 5 kali.

Impregnasi dan reaksi polimerisasi


Sebelum aplikasi, larutan monomer stirena dicampur dengan inisiator kalium
peroksodisulfat (K2S2O8) sebesar 0.5 % volume stirena. Spesimen kayu kering udara
diberikan vakum awal selama 30 menit dan kemudian diimpregnasi dengan monomer stirena
pada tekanan 10 atm selama 1 jam. Pemberian vakum akhir dilakukan selama 15 menit.
Contoh uji dibungkus aluminium foil dan dimasukkan dalam oven pada suhu 60 2 0C
selama 24 jam untuk menghilangkan sisa monomer stirena dan dikondisioning selama 1
minggu pada suhu ruang. Contoh uji kemudian ditimbang berat akhirnya untuk penghitungan
polimer loading (PL) berdasarkan Yildiz et al. (2005), anti shrink effeciency (ASE)
berdasarkan Rowell (2005) dan water absorbtion (WA).

PL (%) = [(WAP WBP) / WBP] x 100 % (1)

Dimana, WAP adalah berat kering oven setelah polimerisasi, WBP adalah berat kering oven
sebelum polimerisasi.

ASE (%) = (S-S0)/S0 x100% (2)

Dimana, S adalah koefisien pengembangan volume kayu dengan perlakuan stirena dan S0
adalah koefisien pengembangan volume kayu tanpa perlakuan stirena.
Koefisien pengembangan volume (S) dihitung dengan persamaan berikut

S = (V V0)/V0 100% (3)

Dimana V merupakan volume setelah perendaman dan Vo merupakan volume kayu


sebelum perendaman.

WA (%) = [(Wwf Woi)/Woi] x 100% (4)

Dimana, Wwf adalah berat kayu basah setelah perendaman 24 jam dalam air dan Woi
adalah berat kering awal

Sifat Dielektrik
Penghitungan konstanta dielektrik dilakukan dengan menggunakan alat LCR meter
KRISBOW KW06-489. Contoh uji diapit oleh logam sebagai elektroda pada suhu ruang
250C. Nilai yang didapat dari alat adalah kapasitansi (C). Sedangkan nilai konstanta
dielektrik didapat dengan menggunakan rumus sebagai berikut (Markiewicz et al., 2009):
H = (Cd)/ H0S
di mana H adalah konstanta dielektrik atau permitivitas listrik, C adalah kapasitansi, d adalah
ketebalan sampel bahan, H0 adalah permitivitas listrik vakum (8.85 x 10-12 F/m) dan S adalah
luas area sampel.

40
ANATOMI DAN SIFAT DASAR KAYU

HASIL DAN PEMBAHASAN

Polimerisasi stirena dalam kayu Kecapi dan kayu Durian


Fiksasi bahan impregnan dalam kayu dapat terjadi dengan dua cara; (1) impregnasi
monomer atau oligopolimer dalam dinding kayu diikuti dengan proses polimerisasi, (2) Difusi
bahan impregnan terlarut ke dalam dinding sel, diikuti dengan perlakuan yang akan
menyebabkan bahan impregnan tadi tertahan dalam dinding sel. Tertahannya bahan
impregnan dalam dinding sel tidak selalu akibat terbentuknya ikatan kimia antara bahan
impregan dengan polimer dinding sel (Hill, 2006). Pembentukan polimer stirena (polistirena)
terjadi dengan ada panas dan bantuan katalis (Crowd, 1991). Pada proses impregnasi,
tekanan akan mendorong stirena masuk ke dalam rongga kayu (lumen atau void) dengan
menggantikan air atau udara yang sebelumnya ada di dalam lumen kayu atau void dinding
sel kayu. Kemudian dengan adanya panas, stirena akan terpolimerisasi membentuk
polistirena yang keras. Karena itu jenis kayu (struktur anatomi dan kerapatan kayu)
mempengaruhi tingkat keberhasilan impregnasi.
Proses impregnasi monomer stirena dalam kayu dilakukan dengan mengevaluasi
tingkat Polimer Loading (PL). Nilai polimer loading yang tinggi mencerminkan semakin
banyak monomer yang mengisi (bulking) dalam lumen sel. Dari hasil penelitian didapatkan
bahwa polimer loading stirena pada kayu kecapi adalah sebesar 38,03% sedangkan polimer
loading stirena pada kayu durian adalah sebesar 45,75%. Kerapatan kayu kecapi dalam
penelitian ini adalah sebesar 440 kg/m3, sedangkan kerapatan kayu durian sebesar 380
kg/m3. Kayu dengan kerapatan lebih rendah cenderung mempunyai struktur anatomi kayu
dengan diameter pori lebih besar sehingga monomer stirena cenderung lebih mudah masuk
ke dalam lumen sel pada saat impregnasi (Gambar 1). Pori kayu durian tersebar tidak
beraturan, antara 10-50% merupakan pori soliter, sedangkan sisanya ditemukan
berpasangan atau bergabung pada arah radial. Ukuran diameter pori antara 220-370 m,
tanpa tilosis dan perforasi sederhana (Menon dalam Brown 1997).

A B

Gambar 1. Kayu kecapi (A) dan kayu durian (B) setelah diimpregnasi dengan stirena,
pembesaran 25x

Sifat Fisis Kayu Kecapi dan Kayu Durian Terimpregnasi Stirena


Impregnasi stirena pada kayu kecapi maupun kayu durian memperbaiki sifat fisis
dalam hal daya serap air, pengembangan tebal dan kadar air (Tabel 1). Terjadi penurunan
kadar air setelah kayu diimpregnasi dengan monomer stirena, baik untuk kayu kecapi
maupun kayu durian. Penurunan kadar air kayu kecapi terimpregnasi stirena sebesar 36,6%
sedangkan penurunan kadar air kayu durian terimpregnasi stirena lebih banyak yaitu
sebesar 37,8%. Daya serap air kayu kecapi menjadi 6,63,19% lebih baik, sedangkan
perbaikan daya serap air kayu durian sebesar 12,19%. Sifat pengembangan tebal kayu
kecapi 5,82% lebih baik dari sebelum impregnasi, sedangkan perbaikan sifat pengembangan
tebal kayu durian sebesar 11,35%. Perbaikan sifat fisis kayu.setelah diimpregnasi dengan
monomer stirena disebabkan oleh terjadinya peningkatan kerapatan, akibat bulking

41
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

monomer stirena dalam void atau pori. Tertutupnya lumen atau pori dengan stirena
menyebabkan terhambatnya difusi air keluar dan masuk kayu plastik dan memperbaiki sifat
higroskopisitas kayu.

Tabel 1. Perbandingan sifat fisis kayu kecapi dan kayu durian


terimpregnasi monomer stirena
Jenis Perlakuan Kerapatan Daya serap Pengembangan Kadar air
Kayu (g/cm3) Air (%) Tebal (%) (%)
Kecapi Kontrol 0,44 76,18 1,89 8,94
Impregnasi 0,48 71,13 1,78 5,67
Durian Kontrol 0,38 63,24 3,70 10,38
Impregnasi 0,45 55,53 3,28 6,46

Stabilitas Dimensi Kayu Kecapi dan Kayu Durian Terimpregnasi Stirena


Nilai stabilitas dimensi kayu plastik dilaporkan sebagai persentase pengembangan
volumetrik atau sebagai antishrink efficiency (ASE). ASE adalah persentase pengurangan
pengembangan volumetrik dari kayu yang mendapatkan perlakuan dibandingkan dengan
kayu tanpa perlakuan pada kondisi kesetimbangan jenuh air (Ibach dan Ellis, 2005). Menurut
Rowell (2005), ASE juga dapat diartikan sebagai anti swell efficiency, tergantung cara yang
digunakan untuk menghitungnya. Pada penelitian ini, yang dihitung adalah anti swell
efficiency, karena menghitung perubahan pengembangan volumetrik sebelum dan sesudah
impregnasi dengan stirena. Semakin tinggi nilai ASE maka dimensi kayu plastik ketika
direndam air akan semakin stabil. Stabilitas dimensi kayu plastik diperoleh karena kayu
plastik menjadi bersifat lebih hidrofobik akibat bulking monomer stirena yang mengisi lumen
sel atau terjadi ikatan antara stirena dan polimer dinding sel selama proses polimerisasi.
Nilai ASE kayu kecapi adalah sebesar 22,14% sedangkan nilai ASE kayu durian adalah
sebesar 57,72%. Stabilitas dimensi kayu durian terimpregnasi stirena lebih baik
dibandingkan dengan kayu kecapi terimpregnasi stirena, sesuai dengan nilai polimer loading
kayu durian yang lebih baik dibandingkan dengan nilai polimer loading kayu kecapi. Dengan
demikian proses pengisian monomer stirena pada lumen sel kayu durian lebih baik
dibandingkan pada kayu kecapi.

Sifat Mekanis Kayu Kecapi dan Kayu Durian Terimpregnasi Stirena


Secara umum impregnasi stirena pada kayu kecapi maupun kayu durian tidak
banyak memperbaiki sifat mekanis. Bahkan modulus elastisitas, modulus patah dan
kekerasan pada arah radial kayu kecapi dan kayu durian terimpregnasi stirena lebih rendah
dari kayu tanpa perlakuan impregnasi. Secara alami kayu kecapi dan kayu durian termasuk
kayu dengan kelas kuat IV-III (Felix-Yap, 1964).

Tabel 2. Perbandingan sifat mekanis kayu kecapi dan kayu durian


terimpregnasi monomer stirena
Jenis Perlakuan MOE MOR Tekan Kekerasan Kekerasan
Kayu (kg/cm2) (kg/cm2) serat T (kg/cm2) R (kg/cm2)
2
(kg/cm )
Kecapi Kontrol 63368 533 236 231 214
Impregnasi 61543 439 261 232 206
Durian Kontrol 80025 606 325 288 263
Impregnasi 73732 509 326 289 259

Walaupun sifat fisis kayu kecapi maupun kayu durian dapat diperbaiki dengan
impregnasi stirena, namun sifat mekanis kayu kecapi dan kayu durian terimprenasi stirena
tidak lebih baik dari kayu tanpa perlakuan impregnasi. Waktu impregnasi selama 1 jam
belum cukup untuk memasukkan monomer stirena ke dalam semua lumen, pori dan void

42
ANATOMI DAN SIFAT DASAR KAYU

yang ada dalam kayu (Gambar 2). Distribusi polimer tidak merata menutupi rongga pada sel
kayu. Polistirena yang terbentuk tidak cukup untuk memperbaiki sifat mekanis kayu.

A B

Gambar 2. Kayu kecapi (A) dan kayu durian (B) setelah diimpregnasi dengan stirena,
pembesaran 80x

Sifat Dielektrik Kayu Kecapi dan Kayu Durian Terimpregnasi Stirena


Konstanta dielektrik kayu kecapi terimpregnasi stirena lebih rendah dari kayu kecapi
tanpa impregnasi stirena, 33,6e dan 45,3e berturut-turut. Demikian pula dengan kayu durian
terimpregnasi stirena yang mempunyai nilai konstanta dielektrik sebesar 39,3e yang lebih
rendah dari nilai konstanta dielektrik kayu durian tanpa impregnasi stirena yang sebesar
48,9e. Impregnasi stirena menyebabkan kayu menjadi bersifat lebih insulator. Masuknya
stirena ke dalam lumen kayu menyebabkan difusi air keluar dan masuk dalam kayu menjadi
lebih terbatas. Dengan semakin terbatasnya jumlah air dalam kayu, maka kemampuan kayu
untuk menghantarkan listrik juga semakin terbatas.

KESIMPULAN

Impregnasi monomer stirena ke dalam kayu kecapi dan kayu durian dapat
memperbaiki sifat fisis dan dielektrik kayu, namun tidak dapat memperbaiki sifat mekanis
kayu yang secara alami tergolong dalam kelas kuat IV-III. Kondisi impregnasi yang optimal
diperlukan agar monomer stirena dapat masuk ke dalam rongga kayu dan reaksi
polimerisasi terjadi dengan lebih baik.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terimakasih kepada ibu Jasni dan para teknisi di laboratorium
pengawetan kayu Puslitbang Hasil Hutan Bogor atas bantuannya selama proses impregnasi
kayu.

DAFTAR PUSTAKA

[Indonesian Working Group on Forest Finance]. Perkiraan Penggunaan Sumber Bahan Baku
Kayu Industri Pulp dan Paper di Indonesia. Tersedia online :
http://www.savesumatra.org/app/webroot/upload/report/IWGFF_Studi%20Advokasi%2
0PT%20RAPP%20&%20PT%20IKPP%20di%20Propinsi%20Riau.pdf [diakses pada 9
Oktober 2010].
[Kementrian Kehutanan]. 2011. Rekapitulasi Produksi Kayu Bulat Berdasarkan Sumber
Produksi. Tersedia online : http://www.dephut.go.id/files/stat09_bpk.pdf [diakses pada
9 Oktober 2010].

43
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Bakraji, EH., N Salman, H Al-kassiri. 2001. Gamma-radiation-induced woodplastic


composites from Syrian tree species. Radiation Physics and Chemistry 61:137141.
British Standar. 1957. Methods of Testing Small Clear Specimens of Timber. Serial BS 373.
British Standar Instituition. London.
Brown, MJ. 1997. Durio, a bibliographic review. International Plant Genetic Resources
Institutes, India
Darma IGKT., YS Hadi dan AT Atmojo. 2002. Ketahanan komposit kayu plastik polistirena
terhadap serangan jamur pelapuk coklat Tyromyces palustris. Jurnal Manajemen
Hutan Tropika 8(1): 31-38.
Devi, RR and TK Maji. 2002. Studies of properties of rubber wood with impregnation of
polymer. Bull. Mater. Sci. 25(6): 527531.
Devi, RR and TK Maji. 2006. Effect of chemical modification with styrene and glycidyl
methacrylate on the properties of pinewood. Indian Journal of Engineering & Materials
Sciences, Vol. 13 April 2006, pp. 149-154.
Devi, RR., I Ali and TK Maji. 2003. Chemical modification of rubberwood with styrene in
combination with a crosslinker: effect on dimensional stability and strength property.
Bioresource Technology 88:185-188.
Felix Yap, K.H., 1964, Konstruksi Kayu, Penerbit Binacipta, Bandung.
Hadi, YS. and K Tsunoda. 2009. A review:some considerations for subterranean termite and
fungi tests of indonesian national standard SNI 01.7207-2006. Prosiding Simposium
Nasional I Forum Teknologi Hasil Hutan (FTHH).Bogor, 30-31 Oktober 2009. pp 544-
547.
Hadi, YS., DS Nawawi, EN Herliyana and M Lawniczak. 1998. Termite Attack Resistance of
Four Polystyrene Impregnated Woods from Poland. Forest Products Journal 48(9):60-
62.
Hadi, YS., IGKT Darma, N Hadjib and Jasni. 2003. Polystyrene wood resistance fungal
attack. Prosiding of International Conference on Forest Products, Chungnam National
University, Daejon, South Korea, 21-24 April 2003, p. 494-497.
Hadi, YS., N Hadjib and Jasni. 2002. Resistance of polystyrene wood to marine borer and
subterranean termite. Proceedings of The Sixth Pacific Rim Bio-Based Composites
Symposium and Pre-symposium Workshop on Chemical Modification of Cellulosics,
Portland, Oregon State University, USA, 10-13 Nov. 2002, p: 528-534.
Hartono, R., Sucahyo, YS Hadi and Jasni. 2010. Physical and mechanical properties of
randu and angsana impregnated with polystyrene. Proceedings of the First
International Symposium of Indonesian Wood Research Society. Bogor, 2nd 3rd
November, 2009. pp 79-82.
Hill, CAS. 2006. Wood Modification: chemical, thermal and other processes. Editor :
Christian V Stevens. Wiley Series in Renewable Resources. John Wiley & Sons, Ltd.
Ibach RE and Ellis WD. 2005. Lumen modification. In Rowell R.M. (Editor). Wood Chemistry
and Wood Composites. Florida, CRC Press, pp 421-446.
Iswanto, AH. 2008. Pengaruh styrene terhadap stabilitas dimensi kayu. Karya Tulis
Departemen kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara.
Jemi, R., RK Sari dan YS Hadi. 2008. Peningkatan kekuatan mekanis dan stabilitas dimensi
kayu rambutan dan pinus melalui impregnasi stirena. Prosiding Seminar Nasional
MAPEKI XI, Palangkaraya 08-10 Agustus 2008. Pp 136-141.
Lee, Dong-Choo and Chwa-Kyung Sung. 1973. Impregnation and distribution behavior of
vinyl monomer to wood. J. KIChe, Vol. 11, No. 6, Dec. 1973.
Lemmens, RHMJ., I Soerianegara, WC Wong (Editors). 1995. Plant Resources of South-
East Asia No. 5(2). Timber Trees : Lesser-Known Timbers. Backhyus Publisher,
Leiden. 655 pp.
Li, YF., Yi-Xing Liu, Xiang-Ming Wang, Qing-Lin Wu, Hai-Peng Yu, Jia Li. 2010. Wood
polymer composites prepared by the in situ polymerization of monomers within wood.
Journal of Applied Polymer Science.
http://www3.interscience.wiley.com/aboutus/ppvarticleselect.html.

44
ANATOMI DAN SIFAT DASAR KAYU

Markiewicz, E., D Paukszta, S Borysiak. 2009. Dielectric Properties of Lignocellulosic


Material Polypropylene Composites. Material Science Poland 27 (2): 581-594.
Purnama, K.O. 2009. Impregnasi kayu kelapa sawit dengan menggunakan asap cair
tempurung kelapa, stirena dan toluena diisosianat (TDI).Tesis Sekolah Pasca Sarjana
Universitas Sumatera Utara, Medan.
Rowell, RM. 2005. Moisture Properties. In Rowell R.M. (Editor). Wood Chemistry and Wood
Composites. Florida, CRC Press, pp 421-446.
Rowell, RM. 2006. Chemical modification of wood : A short review. Wood Material Science
and Engineering, 2006, (1) 29 -33.
Sari, RK., R Mariin, Jemi, Jasni, YS Hadi. 2009. Ketahanan kayu rambutan (Nephelium
spp.L.) dan kayu pinus (Pinus merkusii Jungh. et de Vr.) hasil impregnasi stirena
terhadap rayap. Prosiding Simposium Nasional I Forum Teknologi Hasil Hutan
(FTHH).Bogor, 30-31 Oktober 2009.pp 213-220.
Sosef, MSM., LT Hong & S Prawirohatmodjo (Editors). 1998. Plant Resources of South-East
Asia No. 5(3). Timber Trees : Lesser-Known Timbers. Backhyus Publisher, Leiden. 859
pp.
Yildiz, UC., S Yildiz, ED Gezer. 2005. Mechanical properties and decay resistance of wood
polymer composites prepared from fast growing species in Turkey. Bioresource
Technology 96:10031011.

45
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

STRUKTUR ANATOMI DAN KUALITAS SERAT KAYU KUPRESSUS

Gunawan Pasaribu dan Ratih Damayanti


Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Jl. Gn. Batu No 5 Bogor

ABSTRAK

Kupresus (Cupressus benthamii) merupakan jenis tumbuhan introdusi di Sumatera


Utara yang memiliki berbagai keunggulan. Bentuk tajuknya yang indah menjadikan jenis ini
banyak dimanfaatkan untuk hutan kota, sedangkan kayunya yang memiliki berat jenis yang
tinggi dan keras membuatnya dapat digunakan untuk keperluan konstruksi berat, dan juga
arang berkualitas tinggi. Jenis-jenis kayu dari suku Cupressaceae ini termasuk dalam
kelompok kayu sangat kurang dikenal sehingga penggunaan kayunya masih belum begitu
optimal. Tulisan ini menyajikan tentang struktur anatomi dan kualitas serat kayu Kupresus
asal Sumatra untuk melihat kemungkinan pemanfaatannya sebagai keperluan lain.
Ciri utama Kupresus adalah memiliki dinding trakeida tipis sampai sangat tipis
(kecuali dinding trakeida pada batas lingkar tumbuh). Antar trakeid memiliki ceruk
berhalaman (nampak di bidang radial dan kurang nampak/sangat sedikit ditemui di bidang
tangensial). Panjang sel trakeida rata-rata 2400 m, diameter 42 m, diameter lumen 37 m
dan tebal dinding serat 2,69 m. Di sekitar lingkar tumbuh ditemui sel-sel parenkim dengan
untaian yang sangat panjang dan tersebar secara baur/diffuse hingga berkelompok diffuse
dan membentuk pita panjang dalam satu baris sel, namun pada sampel lain ternyata tidak
selalu di sekitar lingkar tumbuh, bisa ditemui di tempat lain. Parenkim ini berisi endapan
(makanan). Jari-jari mengandung silika (tampak juga dari penampang aksial). Jari-jari
homoseluler, seluruhnya sel baring dengan jumlah baris 2-27 baris. Jari-jari seluruhnya
uniseri, ada beberapa yang menjadi dua seri pada satu dua baris sel. Pada bidang aksial,
jari-jari tidak kontinyu dari empulur ke arah pith. Tidak memiliki saluran interseluler seperti
halnya Pinus. Ditemukan juga kristal dalam trakeid. Tampak ada kristal pada jari-jari yang
membesar (idioblast).
Kualitas serat Kupresus termasuk kelas I, sehingga layak digunakan sebagai bahan
baku pulp dan kertas dengan tetap mempertimbangkan aspek-aspek lain seperti sifat kimia,
berat jenis dan kecepatan tumbuh. Dengan sifat-sifat anatomi makro maupun mikro yang
dimiliki, jenis ini cocok untuk bahan baku mebel.
Kata kunci: Cupressus benthamii, struktur anatomi, kualitas serat, kemungkinan
pemanfaatan kayu

PENDAHULUAN

Kupresus (Cupressus benthanii) termasuk kedalam Family Cupressaceae. Jenis ini


bukan tumbuhan asli Indonesia, tersebar di daerah beriklim hangat terutama di belahan bumi
utara, antara lain bagian barat Amerika Utara, Amerika Tengah, utara-barat Afrika, Timur
Tengah, Himalaya, Cina Selatan dan utara Vietnam. Jenis ini sering disebut sebagai pohon
cemara dan tumbuh mencapai 40 meter. Banyak spesies Kupressus yang tumbuh sebagai
pohon hias di taman, seperti halnya di Asia tumbuh di sekitar kuil. Bentuk pertajukannya
indah, sehingga jenis ini banyak digunakan sebagai pilihan untuk ditanam sebagai tanaman
hias di pekarangan rumah dan hutan kota (Heyne 1987).
Jenis ini sudah diuji coba ditanam di Sumberwringin, Pasirhantap dan Cikole dan
tegolong jenis kayu asing yang cocok dengan iklim dan keadaan setempat dan berbunga
serta berbuah. Tanaman di Tongkoh, Sumatera Utara juga menunjukkan pertumbuhan yang
baik dan bijinya diambil untuk percobaan tanaman pinggir jalan di Aek Nauli. Tanaman
tersebut setelah berumur 10 tahun dievaluasi pertumbuhannya terutama untuk penghijauan.
Hasil pengukuran rataan diameter dan tinggi pohon masing-masing adalah 23.5 cm dan 9.8
m atau riapnya 2,35 cm/th dan 0,98 m/th. Di Cikole riap diameter kupressus lebih dari 1,5

46
ANATOMI DAN SIFAT DASAR KAYU

cm/th dari tanaman percobaan yang berumur di atas 30 tahun menurut hasil pengukuran
Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam (2003). Riap diameter kupressus di Aek Nauli lebih
tinggi dari Cikole barangkali karena tumbuh lebih bebas, kurang persaingan karena jarak
tanam yang berbeda antara perindang jalan (jarak 3 m) dan tanaman percobaan.
Kebanyakan pohon sudah mulai berbunga berbuah pada umur delapan tahun (Siswanto,
2009).
Jenis-jenis kayu komersial dari tahun ke tahun mengalami permasalahan dalam hal
kualitas dan kuantitasnya, sehingga diperlukan berbagai cara untuk mengatasinya. Salah
satu cara yang ditempuh adalah dengan memanfaatkan jenis-jenis kayu yang kurang dikenal
untuk pemenuhan kebutuhan akan sumber kayu. Banyak jenis kayu yang kurang dikenal
telah digunakan oleh masyarakat Sumatera Utara, tetapi belum dapat dimanfaatkan secara
baik karena data yang ada masih sangat terbatas. Untuk tujuan pemanfaatan kayu secara
optimal diperlukan informasi sifat dasar kayunya, sementara informasi sifat dasar jenis
Kupresus terutama struktur anatomi dan kualitas seratnya masih sangat minim.
Tulisan ini memaparkan tentang sifat anatomi dan kualitas serat kayu Kupressus dan
mengkaji potensi pemanfaatannya.

BAHAN DAN METODE

Penelitian dilaksanakan pada Bulan Januari - Mei 2010 di Laboratorium Anatomi


Tumbuhan Pusat Penelitian Hasil Hutan Bogor. Bahan penelitian adalah kayu Kupresus
diambil dari Kawasan Hutan Aek Nauli, Sumatera Utara. Umur saat ditebang kurang lebih
10 tahun dengan diameter sebesar 10 cm. Struktur anatomi yang diamati meliputi ciri
makroskopis dan ciri mikroskopis.
Ciri makroskopis kayu diamati pada contoh kayu yang telah dihaluskan
permukaannya menurut pola yang disusun dalam Mandang dan Pandit (2002) meliputi:
warna, corak, tekstur, arah serat, kilap, kesan raba, kekerasan dan bau.
Penelitian struktur anatomi kayu meliputi pembuatan preparat, pengamatan dan
pengukuran, serta pembuatan foto mikroskopis dari ketiga penampang yang dibuat. Contoh
kayu dilunakkan terlebih dahulu dengan cara direbus dan direndam dalam larutan alkohol
gliserin selama kurang lebih satu minggu, kemudian disayat setebal 15-25 m dengan
menggunakan mikrotom. Sayatan yang dibuat meliputi penampang lintang, radial dan
tangensial. Sayatan yang baik dipilih, direndam dalam safranin untuk pewarnaan, lalu
dihilangkan kandungan airnya menggunakan alkohol bertingkat 30%, 50%, 70%, 96% dan
alkohol absolut. Selanjutnya sayatan dibeningkan dengan cara merendamnya beberapa
saat, berturut-turut dalam karboxylol dan toluene. Sesudah itu sayatan direkat dengan
entelan di atas gelas obyek (Sass 1961).
Untuk pengamatan dimensi dan kualitas serat dibuat preparat maserasi. Serpihan-
serpihan contoh kayu sebesar batang korek api dimasukkan dalam tabung reaksi yang berisi
larutan hidrogen peroksida dan asam asetat glasial 1:1, kemudian dipanaskan di atas
penangas air. Serat yang sudah terpisah dicuci bersih dengan air kran beberapa kali hingga
kandungan dan bau asamnya hilang, lalu diwarnai dengan safranin. Serat yang sudah
diwarnai dimuat dalam gelas obyek yang sudah ditetesi gliserin. Serat disebarkan merata
lalu ditutup dengan gelas penutup. Sampai tahap ini preparat siap diukur (Tesoro 1989).
Panjang serat, diameter serat dan diameter lumen diukur di bawah mikroskop. Untuk serat
juga dibuat preparat permanennya dengan cara yang sama seperti pembuatan preparat
mikrotom. Preparat mikrotom dan maserasi kemudian difoto menggunakan mikroskop yang
dlengkapi kamera dengan perbesaran tertentu.
Ciri anatomi yang diamati meliputi ciri-ciri yang dianjurkan oleh Komite International
Association of Wood Anatomist (Wheeler et al. 1989). Ciri kuantitatif diamati 10-25 kali per
contoh tergantung pada ragam ciri yang diamati: 1) diameter pembuluh, n=25; 2) frekuensi
pembuluh per mm2, n=25; 3) frekuensi jari-jari, n=10; 4) tinggi jari-jari, n=25; 5) panjang serat
n=25; 6) diameter serat dan tebal dindng, masing-masing n=15. Kualitas serat dinilai
berdasarkan kriteria yang dibuat oleh Nur Rahman dan Siagian (1976).

47
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Ciri makroskopis kayu


Kayu gubal berwarna putih, tidak jelas batasnya dengan kayu teras. Terdapat corak
bergaris dengan tekstur yang halus dan arah serat lurus. Penampang tampak mengkilap
dengan kesan raba yang licin. Kayunya tergolong memiliki kekerasan sedang dan jika
dicium memiliki bau khusus.

Ciri Mikroskopis Kayu


Lingkar tumbuh: Batas lingkar tumbuh jelas akibat penggepengan dan penebalan sel
trakeida pada bagian kayu akhir (jarak antar lingkar tumbuh dapat langsung diukur pada
permukaan melintang kayu menggunakan kaliper/penggaris).
Trakeida: Dinding trakeida tipis sampai sangat tipis (kecuali dinding trakeida pada batas
lingkar tumbuh). Antar trakeid memiliki ceruk berhalaman (nampak di bidang radial dan
kurang nampak/sangat sedikit ditemui di bidang tangensial). Panjang sel trakeida rata-rata
2.400 m, diameter 42 m, diameter lumen 37 m dan tebal dinding serat 2,69 m.
Parenkim : Di sekitar lingkar tumbuh ditemui sel-sel parenkim dengan untaian yang sangat
panjang dan tersebar secara baur/diffuse hingga berkelompok diffuse dan membentuk pita
panjang dalam satu baris sel, pada sampel lain ternyata tidak selalu di sekitar lingkar
tumbuh, bisa ditemui di tempat lain, parenkim ini berisi endapan (makanan).
Jari-jari: Jari-jari mengandung silika (tampak juga dari penampang aksial). Jari-jari
homoseluler, seluruhnya sel baring dengan jumlah baris 2-27 baris. Jari-jari seluruhnya
uniseri, ada beberapa yang menjadi dua seri pada satu dua baris sel. Pada bidang aksial,
jari-jari tidak kontinyu dari empulur ke arah pith.
Saluran interselular : Tidak memiliki saluran interseluler seperti halnya Pinus.
Inklusi mineral: Ditemukan juga kristal dalam trakeid. Tampak ada kristal pada jari-jari yang
membesar (idioblast).
Struktur anatomi kayu Kupresus dapat dilihat pada Gambar 1.

Kualitas Serat
Hasil pengukuran dimensi serat, penghitungan nilai turunan dimensi serat dan
evaluasi nilai kualitas serat disajikan pada Tabel 1 dan 2.

Tabel 1. Dimensi serat kayu Kupresus


Parameter Dimensi serat, Standar deviasi,
Panjang serat 2612.20 397.23
Diameter serat 41.25 3.41
Diameter lumen 36.26 3.28
Tebal dinding 2.50 0.31

Dari Tabel 1 dan 2 dapat dilihat bahwa jenis Kupresus layak digunakan sebagai
bahan baku pulp dan kertas, dimana nilai serat termasuk kualitas I. Dibandingkan dengan
ukuran serat dari kelompok konifer lainnya, serat Kupresus masih lebih pendek dari serat
Agathis dan Tusam (Martawijaya, 2005).

48
ANATOMI DAN SIFAT DASAR KAYU

a b c
Gambar 1. Penampang melintang/Transverse surface (a), radial/radial (b) dan/and
tangensial/ tangential (c). Perbesaran 40 x (40x enlargement)

Tabel 2. Nilai turunan dan kualitas serat kayu Kupresus

No Parameter Nilai turunan serat Nilai kualitas


(Grade)
1 Panjang serat/ fibre length 2612.20 50
2 Bilangan Runkel/Runkel ratio 0.28 100
3 DayaTenun/Felting power 63.33 50
4 Perbandingan Fleksibilitas/ 0.88 100
Flexibility ratio
5 Koefisien kekakuan/ 0.06 100
Coeficient of rigidity
6 Perbandingan Muhlsteph/ 22.73 50
Muhlsteph ratio
7 Total skor/Score total 450
8 Kelas Kualitas/Quality class I

Keterangan :
1) Bilangan Runkel = 2w/l L = Panjang serat
2) Daya tenun = L/d d = Dameter serat
3) Perbandingan Fleksibilitas = l/d = Diameter lumen
4) Koefisien kekakuan = w/d w = Tebal dinding
(d 2  l 2 )
5) Perbandingan Muhlsteph = x 100%
d2
(Sumber: Nur Rachman & Siagian 1976)

Kajian Potensi Pemanfaatan


Dari penampilan kayu Kupresus, yang memiliki warna yang terang dan serat yang
lurus, tampaknya kayu ini cocok digunakan untuk keperluan furnitur/pertukangan. Di
beberapa negara Afrika Timur seperti Kenya jenis ini ditanam untuk penghasil kayu
pertukangan. Pemuliaan pohon Kupresus di negeri tersebut sudah berjalan lebih maju setara
dengan kemajuan pengembangan jenis konifer lainnya di daerah tropik. Riap volume C.
lusitanica pada umur 40 tahun mencapai 8-15 m 3/ha sedangkan riap tingginya di awal
pertumbuhan 1.2-1.5 m/th di Afrika Timur (Lamprecht 1989).

49
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Tabel 3. Sifat-sifat kayu untuk penggunaan sebagai furnitur ditinjau dari sifat anatomi,
fisis mekanis, kimia dan keawetan

Sifat Kayu Sifat yang Disukai


Struktur anatomi makro Arah serat lurus, tekstur halus hingga sedang, memiliki kilap
alami, memiliki corak yang bagus (antara lain disebabkan
perbedaan kayu awal dan kayu akhir, struktur jari-jari multiseriate,
parenkim pita marginal, dan pembentukan kayu teras yang tidak
teratur), serta warna (tergantung selera pasar).
Struktur anatomi mikro Ketebalan dinding sel cukup, kandungan kayu juvenil rendah,
tidak terdapat kristal dan tilosis.
Sifat fisis Kerapatan dan BJ sedang, stabilitas dimensi tinggi.
Sifat mekanis Kekerasan sedang.
Sifat kimia Kadar esktraktif dan silika rendah.
Keawetan Sedang hingga tinggi.

Sifat-sifat kayu yang dikehendaki untuk pembuatan mebel ditinjau dari sifat anatomi,
fisis mekanis, kimia dan keawetan (Menon & Burgess 1979; PIKA 1979; dan Pandit et al.
2009) disajikan pada Tabel 3.
Secara anatomi makro, kayu Kupressus memiliki tekstur halus, arah serat lurus,
kilap alami baik, licin, serta memiliki corak bergaris yang menarik. Sifat-sifat ini menjadikan
jenis ini memenuhi syarat untuk dijadikan bahan baku mebel, termasuk dalam proses
finishing yang juga dapat dikerjakan secara mudah. Secara mikro, ada kelemahan yang
dimiliki yaitu terdapat kandungan kristal yang akan menyulitkan dalam pengerjaan karena
kemungkinan keberadaan kristal dapat menyebabkan gergaji menjadi lebih cepat rusak,
namun perlu dikaji lebih lanjut apakah dampak keberadaan kristal ini sama dengan dampak
yang diakibatkan oleh silika.
Kualitas seratnya termasuk kelas I sehingga layak untuk bahan baku pulp dan kertas.
Dalam (Lamprecht 1989) disebutkan bahwa kayu dari Suku Cupresaceae cocok digunakan
untuk bahan baku pulp secara kimia dan semi kimia, termasuk untuk serat rayon yang
didukung dengan kecepatan tumbuhnya yang cukup cepat.

KESIMPULAN

Ciri utama Kupresus adalah memiliki dinding trakeida tipis sampai sangat tipis
(kecuali dinding trakeida pada batas lingkar tumbuh). Antar trakeid memiliki ceruk
berhalaman (nampak di bidang radial dan kurang nampak/sangat sedikit ditemui di bidang
tangensial). Panjang sel trakeida rata-rata 2.400 m, diameter 42 m, diameter lumen 37 m
dan tebal dinding serat 2,69 m. Di sekitar lingkar tumbuh ditemui sel-sel parenkim dengan
untaian yang sangat panjang dan tersebar secara baur/diffuse hingga berkelompok diffuse
dan membentuk pita panjang dalam satu baris sel, namun pada sampel lain ternyata tidak
selalu di sekitar lingkar tumbuh, bisa juga ditemui di tempat lain. Parenkim ini berisi endapan
(makanan). Jari-jari mengandung silika (tampak juga dari penampang aksial). Jari-jari
homoseluler, seluruhnya sel baring dengan jumlah baris 2-27 baris. Jari-jari seluruhnya
uniseri, ada beberapa yang menjadi dua seri pada satu dua baris sel. Pada bidang aksial,
jari-jari tidak kontinyu dari empulur ke arah pith. Tidak memiliki saluran interseluler seperti
halnya Pinus. Ditemukan juga kristal dalam trakeid Tampak ada kristal pada jari-jari yang
membesar (idioblast).
Kualitas serat Kupresus termasuk kelas I, sehingga layak digunakan sebagai bahan
baku pulp dan kertas dengan tetap mempertimbangkan aspek-aspek lain seperti sifat kimia,
berat jenis dan kecepatan tumbuh. Dengan sifat-sifat anatomi makro maupun mikro yang
dimiliki, jenis ini cocok untuk bahan baku mebel.

50
ANATOMI DAN SIFAT DASAR KAYU

DAFTAR PUSTAKA

Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia Jilid II. Badan Penelitian dan
Pengembangan Kehutanan. Jakarta. Hlmn : 617-619.
Martawijaya, A., K Iding, K Kosasi dan AP Soewanda. 2005. Atlas Kayu Indonesia Jilid 1.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan.
Menon, PKB., HJ Burgess. 1979. Malaysan Timbers for Furniture. Revised by H.C. Sim.
Timber Research Officer. Forest Research Institute, Kepong.
Mandang, Y.I. dan IKN Pandit. 2002. Pedoman Identifikasi Jenis Kayu di Lapangan.
Yayasan Prosea dan Pusat Diklat Pegawai SDM Kehutanan. Bogor. 194 hal.
Nur Rahman, A. dan RM Siagian. 1976. Dimensi Serat Jenis Kayu Indonesia. Laporan
No.25. Lembaga Penelitian Hasil Hutan. Bogor.
Pandit, IKN., I Padlinurjaji, dan IS Rahayu. 2009. Kriteria Sifat Dasar Kayu untuk Bahan
Baku Industri Meubel. Proposal Penelitian Hibah penelitian PHK A-3. Departemen
Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.Tesoro, F.O. 1989.
Methodology on project 8 on Corypha and Livistona. FPRDI, College. Laguna 403.
Philippines.
PIKA (Pendidikan Industri Kayu Atas). 1979. Mengenal Sifat-sifat Kayu Indonesia dan
penggunaannya. Kanisius. Semarang.
Tesoro FO. 1989. Wood Structure and Quality: Bases for Improved Utilization of Timbers.
The Second Pacific Regional Wood Anatomy Conferences 1989. Forest Products
Research and Development Institute. Philippines.
USDA GRIN. 2010. GRIN taxonomy for plants. Diakses dari www.ars-grin.gov pada 29
September 2010.
Wheeler, EA., P Baas dan E Gasson. 1989. IAWA list of microscopic features for hardwood
identification. IAWA Bulletin. N.s. 10 (3) :219-332.

51
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

SIFAT FISIK DAN MEKANIK KAYU JABON YANG DIMODIFIKASI


SECARA IMPREGNASI DENGAN LARUTAN STYRENE DAN
METHYLMETACRYLATE

Iwan Risnasari 1, Lusita Wardani 1, dan Yusuf Sudo Hadi 2


1
Mahasiswa Pascasarjana, Dept. Hasil Hutan IPB,Bogor
2
Dept. Hasil Hutan, IPB. Bogor

ABSTRAK

Perbaikan sifat kayu jabon dengan modifikasi menjadi komposit polimer kayu adalah
upaya yang sangat realistis. Modifikasi dilakukan melalui impregnasi dengan bahan polymer.
Penelitian dilakukan dengan mencampurkan bahan styrene dengan methylmethacrylate
(MMA) pada konsentrasi 60/38 ; 70/28 ; 80/18 (v/v %) masing-masing dengan 2 % mepoxe
sebagai inisiator, kemudian diimpregnasikan pada kayu jabon merah (Antocephalus
machropyllus) dan jabon putih (Antocephalus cadamba). Impregnasi dilakukan pada
tekanan 600 mm Hg selama 30 menit kemudian divakum lagi selama 15 menit. Polimer
loading pada jabon merah antara 47,41 60,88 % , sedangkan pada Jabon putih antara 75
143,66 %. Persentase perubahan kerapatan meningkat antara 36,2 80,6 % dibanding
kontrol. Daya serap air menurun antara 48,1 64,5 % dan pengembangan tebal menurun
antara 28,8 -62,9 %, masing-masing dari jenis kayu kontrol. Perubahan sifat fisik pada kayu
jabon putih lebih baik daripada jabon merah. Hal ini berkaitan erat dengan persentase
polimer loading bahan polimer pada jabon putih yang lebih tinggi daripada jabon merah.
Lebih lanjut diperoleh stabilitas dimensi berdasarkan nilai ASE antara 22,45 -36,55 %, dan
nilai rata-rata pada jabon merah lebih baik daripada jabon putih. Sifat mekanik kayu jabon
baik MOE dan MOR masing-masing meningkat antara 2,60 -13,21 % dan 4,50 29,88 %
dan jabon putih menunjukan peningkatan yang lebih tinggi dari jabon merah. Begitu pula
pada kekerasan kayu meningkat antara 12,28 25,86 %.

Kata kunci: komposit polimer kayu, Jabon merah, jabon putih, styrene, methylmethacrylate

PENDAHULUAN

Jabon adalah kayu dengan kerapatan rendah dengan berat jenis sekitar 0,3-0,5
telah banyak dikembangkan masyarakat sehingga saat ini tersedia dalam jumlah besar
terutama jabon putih, sedangkan jabon merah walaupun memiliki kekuatan dan keawetan
yang lebih baik masih belum banyak tersedia di pasaran. Kayu tersebut adalah sumberdaya
potensial yang diperkirakan akan menyuplai kebutuhan logs dari hutan rakyat dan hutan
tanaman Berdasarkan sifatnya kayu ini dapat diolah menjadi produk yang lebih baik dan
dapat diaplikasikan untuk flooring, panel-panel kayu dan furniture setelah diberi perlakuan
modifikasi secara kimia menjadi komposit polymer kayu.
Komposit polimer kayu dapat dibuat dari berbagai kombinasi kayu dan polimer, dari
polimer yang diisi dengan serat kayu sampai potongan kayu solid yang diisi dengan polimer.
Ketika kayu dan polimer dikombinasikan, sifat-sifat fisik, kekerasan permukaan, kemampuan
menolak air, stabilitas dimensi, ketahanan terhadap abrasi dan ketahanan terhadap api
dapat ditingkatkan melampaui kayu aslinya (Ibach and Ellis, 2005).
Menurut Yildiz et al. (2004), dari tahun ke tahun kayu telah diperlakukan dengan
berbagai bahan kimia untuk merubah sifat-sifat fisiknya. Dari tahun 1930-1960 sejumlah
perlakuan baru terhadap kayu diperkenalkan, antara lain acetylation dari kelompok hidroxyl,
penambahan ethylene oksida pada kelompok hydroxyl, polyethylene glycol sebagai bulking
dinding sel, perlakuan phenol formaldehyde dengan impreg dan compreg dan komposit
polimer kayu. Komposit polimer kayu telah diproduksi di Amerika Serikat, Jerman, Inggris,
Polandia, Italia, Jepang, Taiwan, Selandia Baru dan negara lainnya. Pertimbangan

52
ANATOMI DAN SIFAT DASAR KAYU

pemberian perlakuan modifikasi kimia dengan cara impregnasi menggunakan polimer


tergantung pada tujuan penggunaan akhirnya (Rowell, 1983 dalam Devi et al., 2003).
Perlakuan dengan monomer jenis vynyl melalui pematangan/pengerasan (radiasi atau
katalis) secara signifikan memperbaiki daya tahan terhadap air, kekerasan kayu dan lainnya
(Meyer, 1981 dalam Devi et al., 2003). Pengolahan kayu dapat di modifikasi dengan atau
tanpa mengubah kandungan kimia alami kayu (Norimoto dan Grill,1993). Modifikasi kayu
dapat dilakukan secara proses impregnasi dengan bahan-bahan polimer (Hill,2006). Alasan
utama penggunaan komposit kayu polimer adalah terkait dengan lingkungan dan efisiensi
sumber daya kayu. Komposit kayu dapat meningkatkan efisiensi penggunaan kayu
sebanyak 40% jika dibanding penggunaan kayu secara tradisional
Styrene merupakan suatu jenis monomer yang umum dipakai untuk komposit polimer
kayu. Styrene dapat dipolimerisasi dalam kayu dengan menggunakan katalis (Vazo atau
peroxide) dan panas, atau radiasi. Monomer lain bisa ditambahkan untuk mengendalikan
tingkat polimerisasi, meningkatkan polimerisasi dan ikatan silang styrene untuk memperbaiki
sifat fisis dari komposit polimer kayu (Ibach and Ellis, 2005). Kekerasan, keteguhan pukul,
keteguhan tekan dan geser, bending dan keteguhan belah dari kayu yang diberi perlakuan
styrene lebih baik dibandingkan dengan kayu tanpa perlakuan styrene dan hampir sama
atau bahkan lebih baik dari sampel yang diimpregnasi dengan MMA. Kayu yang diberi
perlakuan warnanya menjadi lebih kuning dari kayu asal (Autio and Miettinen, 1970 dalam
Ibach and Ellis, 2005). Impregnasi kayu karet dengan crosslinker glycidyl methacrylate
meningkatkan kestabilan dimensi, kekuatan dan kekakuan kayu (Devi et al., 2003).
Impregnasi kayu karet dengan vinyl monomer juga menunjukan kestabilan dimensi . Hal ini
disebabkan karena monomer terikat di dalam dinding sel (Rowell and Youngs, 1981). Hal
yang sama juga ditunjukkan dengan impregnasi polimer acrylic dalam softwood dan
hardwood tetapi kestabilan dimensinya lebih rendah. (Ashaari et al., 1990a). Kestabilan
dimensi terbaik diperoleh jika menggunakan larutan dimethylodihydroxythleneurea
(DMDHEU), ditambah dengan glyoxal urea , tetapi perlakuan ini secara signifikan
menurunkan kekuatan dan kekakuan kayu (Ashaari et al., 1990). Methylmethacrylate
adalah suatu pilihan yang mahal akan tetapi monomernya lebih mudah. Dapat digunakan
tanpa kombinasi atau dikombinasikan dengan monomer lain untuk pengikat dalam system
polimerisasi.

BAHAN DAN METODE

Persiapan kayu
Faktor yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis kayu yang terdiri dari 2 taraf
(jabon merah dan Jabon kuning), kombinasi perlakuan impregnasi dengan 2 jenis monomer
yang digunakan terdiri dari 4 taraf (kontrol/unmodified; perbandingan styrene/MMA = 60/38;
70/28; 80/18), dengan methyl ethyl ketone peroxide sebagai inisiator 2% pada masing-
masing kombinasi perlakuan styrene/MMA. Sebelum contoh uji diimpregnasi terlebih dahulu
contoh uji dikeringkan pada suhu 700C selama 24 jam, kemudian diukur dimensi dan
beratnya. Selanjutnya contoh uji dimasukkan ke dalam impregnator per konsentrasi,
kemudian divakum selama 15 menit pada tekanan 600 mm Hg, Monomer styrene/MMA
beserta inisiator kemudian dialirkan ke dalam tabung impregnasi, kemudian diberikan
tekanan sebesar 1 atm selama 30 menit. Setelah pemberian tekanan, kemudian divakum
kembali selama 15 menit. Setelah selesai proses impregnasi contoh uji dikeluarkan dari
impregnator, kemudian contoh uji dibungkus dengan alumunium foil dan dioven pada suhu
600C selama 24 jam agar terjadi proses polimerisasi. Setelah dioven alumunium foil yang
membungkus contoh uji dilepas/dibuang, kemudian contoh uji dikondisikan kurang lebih
selama 1 minggu.

Pengujian Sifat Fisik


Sifat fisik yang diuji antara lain polymer loading, kadar air, kerapatan dan stabilitas
dimensi dengan ukuran contoh uji 2 x 2 x 2 cm (British Standard/BS 373)

53
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

1. Polymer loading
Polymer loading = {(BPBK)/BK} x 100 %
BK: weight of control wood; and BP: weight of treatment wood
2. Kerapatan = BKU/VKU (g/cm3)
BKU: weight to the air dry condition; and VKu: volume to the air dry
3. Stabilitas Dimensi ditentukan dengan menghitung Koefisien Pengembangan Volumetrik
(S) dan Efisiensi Anti Pengembangan (ASE)
S (%) = 100 ( V2 V1) / V1
dimana V2 adalah volume contoh uji pada saat jenuh air, dan V1 adalah volume contoh
uji pada saat kering oven
ASE (%) = 100 ( Su Sm ) / Su
dimana Su adalah koefisien pengembangan volumetrik sebelum impregnasi, dan Sm
adalah koefisien pengembangan setelah impregnasi

Pengujian Sifat Mekanis


Sifat mekanis yang diuji antara lain modulus of rupture (MOR), modulus of elasticity (MOE),
dan hardness (British Standard/BS 373)
1. Modulus of Rupture (MOR) = (3 PL)/(2 bh2) kg/cm2
2. Modulus of Elasticity (MOE) = (PL3)/(4 ybh3) kg/cm2
3. Hardness = P/A kg/cm2

HASIL DAN PEMBAHASAN

Sifat Fisik Kayu Jabon


Banyaknya monomer-monomer yang dapat mengisi rongga pada dinding sel kayu
ditunjukkan melalui nilai polymer loading (Gambar 1). Polymer loading untuk kayu jabon
putih lebih tinggi daripada pada kayu jabon merah. Hal ini disebabkan kayu jabon putih
memiliki kerapatan yang lebih rendah (0,22-0,34) dibandingkan kayu jabon merah (0,45-
0,47). Menurut Yildiz et al. (2005), kayu dengan kerapatan lebih rendah memiliki jumlah
rongga sel yang besar (dinding sel lebih tipis), yang menyebabkan kayu bersifat lebih porus
dibandingkan kayu dengan kerapatan lebih tinggi.

Gambar 1. Nilai polymer loading pada kayu jabon

54
ANATOMI DAN SIFAT DASAR KAYU

Gambar 1 juga memperlihatkan bahwa konsentrasi styrene/MMA = 80/18


menghasilkan nilai polymer loading yang lebih tinggi daripada lainnya. Sebagaimana yang
dilakukan oleh Thomas dan Pothan (2009), pada sampel jute yarn yang diiradiasi dengan
campuran MMA dan larutan MeOH pada berbagai kadar MMA, menunjukkan bahwa
semakin tinggi kadar MMA nilai polymer loading semakin menurun. Selain itu Ding (2009)
menjelaskan bahwa MMA dapat digunakan secara tunggal atau dikombinasikan dengan
monomer lain untuk menghasilkan ikatan silang pada system polimer. Namun, MMA
memiliki sifat tertentu yang tidak diinginkan seperti titik didih yang rendah (1010C), sehingga
cenderung mengakibatkan hilangnya monomer secara signifikan selama proses polimerisasi.
Tabel 1 memperlihatkan sifat-sifat fisik kayu jabon setelah perlakuan impregnasi
dengan polimer. Kerapatan kayu jabon merah meningkat setelah perlakuan impregnasi dari
0,47 kg/cm2 menjadi 0,66-0,73 kg/cm2. Demikian juga dengan kerapatan kayu jabon putih
meningkat dari 0,31 kg/cm2 menjadi 0,46-0,56 kg/cm2. Kerapatan tertinggi dihasilkan pada
perlakuan impregnasi dengan campuran styrene/MMA 80/18.

Tabel 1. Sifat-Sifat Fisik Kayu Jabon Setelah Perlakuan Impregnasi


Jenis Konsentrasi Kerapatan Daya Serap Pengembangan
Kayu Styrene/MM (Kg/cm2) Air (%) Tebal (%)
A
Jabon Merah Kontrol 0,47 127,17 5,99
60/38 0,66 62,51 4,25
70/28 0,64 61,75 3,11
80/18 0,73 46,92 2,22

Jabon Putih Kontrol 0,31 237,13 4,86


60/38 0,50 113,45 3,46
70/28 0,46 122,96 3,02
80/18 0,56 84,20 3,03

Variasi kerapatan juga dapat dipengaruhi oleh nilai polimer loading. Polimer loading
terendah juga menyebabkan kerapatan WPC yang rendah pula. Perbedaan polimer loading
dapat disebabkan oleh kerapatan awal kayu, jabon merah kontrol mempunyai kerapatan
yang lebih tinggi daripada jabon putih. Kayu dengan kerapatan yang lebih tinggi agak sulit
menyerap bahan /senyawa lain dibanding kayu dengan kerapatan sedang sampai rendah,
karena selain faktor kekerasan kayu, dinding sel kayu kemungkinan sudah terisi dengan
bahan-bahan lain sehingga perlu upaya khusus agar polimer loading bisa ditingkatkan
(Haygreen dan Bowyer, 1982). Dibandingkan dengan Ang et al. (2007) yang memperoleh
peningkatan nilai polimer loading pada kayu mahang mencapai 200 %, kayu jabon tidak
menyerap bahan polimer sebesar itu. Hal ini diduga dari factor crosslinker agent yang
digunakan dalam impregnasi, sehingga diperoleh nilai polymer loading yang optimal.
Perlakuan impregnasi kayu jabon dengan styrene/MMA juga mengurangi penyerapan
air dan pengembangan tebal. Daya serap air mengalami penurunan dari 51.4-64.5 %
dibandingkan control. Sebagaimana dijelaskan oleh Xu et al. (2010), bahwa MMA yang
dicangkokkan pada serat kayu menyebabkan reaksi antara gugus hidroksil pada permukaan
serat kayu dengan MMA, sehingga polaritas permukaan serat kayu menjadi menurun.
Reaksi antara antara MMA dengan serat kayu ditunjukkan pada Gambar 2.

CH3
CH3
O
O
- OH +H2C CH3
CH2 + CH3OH
O
O
Gambar 2. Reaksi antara MMA dengan serat kayu

55
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Pengaruh modifikasi kayu terhadap stabilitas dimensi kayu jabon disajikan pada
Tabel 2. Nilai pengembangan volumetric pada kayu jabon menurun dengan adanya
perlakuan modifikasi, yaitu berkisar antara 9,67-6,71% pada jabon merah dan 6,74-6,07%
pada jabon putih. Demikian juga dengan nilai ASE meningkat dengan perlakuan modifikasi.
Nilai pengembangan volumetric dan ASE yang terbaik dihasilkan dari perlakuan campuran
styrene/MMA = 80/18. Sebagaimana dijelaskan oleh Ding (2009) bahwa monomer vinil
seperti styrene atau MMA paling banyak digunakan untuk meningkatkan stabilitas dimensi
dalam jangka panjang. Pinus radiat, Pinus caribaea dan blackbutt yang diimpregnasi
dengan MMA (Elvy et al. 1995; Stolf and Lahr 2004), sugar maple yang diimpregnasi
dengan MMA dan kombinasi dengan MMA/HEMA/EGDMA (Zhang et al. 2006), semuanya
menunjukkan peningkatan stabilitas dimensi.

Tabel 2. Nilai pengembangan volumetric dan ASE kayu jabon setelah perlakuan modifikasi

Jenis Konsentrasi Pengembangan ASE (%)


Kayu Styrene/MMA Volumetrik (%)
Jabon Merah Kontrol 10,58 -
60/38 9,67 8,62
70/28 8,20 22,45
80/18 6,71 36,55

Jabon Putih Kontrol 9,01 -


60/38 6,74 25,21
70/28 6,19 31,31
80/18 6,07 32,66

Sifat-sifat mekanis kayu jabon setelah perlakuan modifikasi disajikan pada Tabel 3.
Modulus elastisitas dan modulus patah pada kayu jabon baik jabon merah dan jabon putih
menunjukkan peningkatan. Modulus elastisitas pada jabon merah meningkat dari 81758,71
Kg/cm2 menjadi 86719,67 - 89526,04 Kg/cm2, sedangkan jabon putih dari 58253,54 Kg/cm2
menjadi 59771,24 - 65954,60 Kg/cm2. Demikian juga dengan nilai modulus patahnya. Nilai
tertinggi terdapat pada kayu dengan perlakuan campuran styrene/MMA = 80/18.
Sebagaimana diungkapkan oleh Elvy et al. (1995), Stolf and Lahr (2004); Yildiz et al. (2005)
bahwa sifat-sifat mekanik kayu meningkat dengan perlakuan modifikasi. Ibach and Ellis
(2005) juga menjelaskan bahwa sifat-sifat mekanik wpc meningkat dengan peningkatan
polymer loading. Demikian juga dengan nilai kekerasan (hardness), meskipun sedikit tetapi
menunjukkan peningkatan sebagaimana modulus elastisitas dan modulus patah. Elvy et al.
(1995) menyatakan bahwa secara umum baik softwood maupun hardwood yang
diimpregnasi dengan monomer MMA menunjukkan nilai hardness yang lebih besar
dibandingkan kayu control.

56
ANATOMI DAN SIFAT DASAR KAYU

Tabel 3. Sifat mekanis dari kayu jabon setelah perlakuan modifikasi

Jenis Kayu Konsentrasi MOE MOR Hardness (Kgf)


Styrene/MMA (Kg/cm2) (Kg/cm2
)
Jabon Merah Kontrol 81758,71 814,64 218,00
60/38 86719,67 851,38 258,00
70/28 84749,48 855,24 265,33
80/18 89526,04 914,62 270,33

Jabon Putih Kontrol 58253,54 529,67 154,67


60/38 59771,24 614,56 173,67
70/28 62071,40 675,29 184,33
80/18 65954,60 687,94 194,67

KESIMPULAN

Hasil penelitian menunjukkan bahwa polimer loading pada jabon merah antara 47,41
60,88%, sedangkan pada Jabon putih antara 75 143,66 %. Persentase perubahan
kerapatan meningkat antara 36,2 80,6 % dibanding kontrol. Daya serap air menurun antara
48,1 64,5 % dan pengembangan tebal menurun antara 28,8 62,9 %, masing-masing dari
jenis kayu kontrol. Perubahan sifat fisik pada kayu jabon putih lebih baik daripada jabon
merah. Hal ini berkaitan erat dengan persentase polimer loading bahan polimer pada jabon
putih yang lebih tinggi daripada jabon merah. Lebih lanjut diperoleh stabilitas dimensi
berdasarkan nilai ASE antara 22,45 36,55 %, dan nilai rata-rata pada jabon merah lebih
baik daripada jabon putih. Sifat mekanik kayu jabon baik MOE dan MOR masing-masing
meningkat antara 2,60 13,21 % dan 4,50 29,88 % dan jabon putih menunjukan
peningkatan yang lebih tinggi dari jabon merah. Begitu pula pada kekerasan kayu
meningkat antara 12,28 25,86 %.

DAFTAR PUSTAKA

Ang, A, Ashaari, Z , Bakar, E.S and M. H. Sahri. 2009. Enhancing the Properties of
Mahang (Macaranga spp.) Wood through Acrylic Treatment in Combination with
Crosslinker. Faculty of Forestry, Universiti Putra Malaysia 43400, Serdang, Selangor,
Malaysia.
Devi, R.R., Ali, I., and Maji, T.K. 2003. Chemical modication of rubber wood with styrene in
combination with a crosslinker: eect on dimensional stability and strength property.
Bioresource Technology 88 (2003) 185188.
Ding, W.D. 2009. Study of Physical and Mechanical Properties of Hardened Hybrid Poplar
Wood. Universit Du Qubec En Abitibi-Tmiscamingue.
Elvy S.B., Dennis G.R., Ng L.T. 1995. Effects of coupling agent on the physical properties of
Wood-polymer composites, Journal of Materials Processing Technology 48(1-4): 365
372
Hill, C.A.S. 2006. Wood Modification: Chemical, Thermal and Other Processes. John Wiley
& Sons Ltd, The Atrium, Southern Gate, Chichester, West Sussex PO19 8SQ,
England.
Ibach R.E and Ellis W.D. 2005. Handbook of Wood Chemistry and Wood Chapter15:
Lumen Modification, USDA, Forest Service, Forest Products Laboratory, Madison, WI.
ISBN 0-8493-1588-3, pp 421446

57
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Stolf D.O., and Lahr F.A.R. 2004. Wood-Polymer Composite: Physical and mechanical
properties of some wood species impregnated with styrene and methyl
methacrylate, Materials Research 7(4): 611617.
Thomas, S and L.A. Pothan, (Ed.), Natural Fibre Reinforced Polymer Composites. Kottayam,
Kerala (India) 2009, ISBN: 978-1-933153-09-4. Chapter 18, pp: 473-522, Old City
Publishing Co, Philadelphia.
Xu. Q., Cui. Y., Wang. X., Xia. Z, Han. C and Wang. J. 2010. Moisture Absorption
Properties of Wood-Fiber-Reinforced Recycled Polypropylene Matrix Composites.
Journal of Vynil and Additive Technology-2010. Published online in Wiley
InterScience (www.interscience.wiley.com).
Yildiz, U.C., Yildiz. S and E.D. Gezer. 2005. Mechanical properties and decay resistance of
woodpolymer composites prepared from fast growing species in Turkey. Bioresource
Technology 96 (2005) 10031011.
Zhang Y.L., Zhang S.Y., Dian Q.Y. and Wan H. 2006. Dimensional Stability of Wood-
polymer Composites, Journal of Applied polymer Science 102(6): 50855094

58
ANATOMI DAN SIFAT DASAR KAYU

SIFAT FISIKA DAN MEKANIKABEBERAPA JENIS KAYU NON


DIPTEROCARPACEAEDARI KALIMANTAN TIMUR

Kusno Yuli Widiati


Fakultas Kehutanan, Universitas Mulawarman, Samarinda.
Email: kywidiati@gmail.com

ABSTRAK

Kalimantan Timur termasuk provinsi yang mempunyai potensi jenis-jenis kayu yang
sangat beragam dan yang paling terkenal berasal dari family Dipterocarpaceae. Akan tetapi
famili ini semakin tahun terjadi penurunan jumlah produksi yang signifikan yang diakibatkan
oleh berbagai macam hal, mulai dari kebakaran hutan, illegal logging, sampai dengan alih
fungsi lahan terutama untuk pertambangan yang semakin merajalela di Kalimantan Timur
dewasa ini. Oleh karena itu tujuan dari penulisan ini adalah penyampaian informasi sifat
fisika dan mekanika dari beberapa kayu non Dipterocarpaceae yang tumbuh di Kalimantan
Timur sebagai suatu alternatif penggantinya.
Dari klasifikasi kayu berdasarkan kerapatan dan sifat mekanika kayu diperoleh hasil
sebagai berikut: perepat laut termasuk kelas kuat III - II; kayu repeh kelas kuat IV - III; terap
kelas kuat IV - III; malau kelas kuat III - II; marobamban kelas kuat II - I, uwar haduk kelas
kuat I; imat kelas kuat II - I; liran kelas kuat III - II.

Kata kunci: mekanika kayu, non Dipterocarpaceae

PENDAHULUAN

Jenis-jenis kayu komersial yang paling terkenal dihasilkan dari pulau Kalimantan
adalah dari famili Dipterocarpaceae meskipun banyak 22 jenis-jenis dari famili yang lain.
Dengan kata lain jenis-jenis yang paling banyak diperjualbelikan sampai puluhan jenis hanya
berasal dari famili ini sedangkan famili lainnya hanya beberapa jenis saja. Padahal
seandainya famili lainnya dimanfaatkan secara optimal maka dapat dibayangkan betapa
besar potensi yang ada meskipun ini juga bukan berarti membuka kesempatan untuk
mengeksploitasi besar-besaran terhadap kayu-kayu yang dihasilkan oleh tanah Kalimantan
Timur. Dengan kata lain adalah dengan memanfaatkan jenis-jenis kayu dari famili lain yang
juga mempunyai sifat fisika dan mekanika yang sama akan dapat menekan kepunahan
suatu jenis kayu tertentu. Karena penyusutan jenis komersial ini bukan hanya karena
eksploitasi yang tidak memperhatikan kelestarian alam juga karena kebakaran hutan dan
alih fungsi hutan menjadi konsesi yang lain seperti pertambangan batu bara yang sangat
merusak lingkungan.
Di masa depan dan bahkan telah terlihat dari sekarang, masyarakat mulai dipaksa
untuk mulai mengonsumsi kayu-kayu yang dulu dianggap tidak berharga dan hanya
dijadikan bahan bakar. Hal ini dikarenakan harga kayu komersial semakin tahun terus
meningkat harganya bahkan sekarang biaya pembuatan rumah kayu di Kalimantan Timur
sudah setara dengan pembuatan rumah beton. Apalagi jika seluruhnya menggunakan kayu
berkualitas bagus dari sisi biaya justru akan memakan biaya lebih tinggi dibandingkan
dengan rumah beton biasa. Padahal dengan kondisi tanah yang sebagian besar adalah
tanah rawa kontruksi yang ramah lingkungan adalah model rumah panggung yang rata-rata
didominasi oleh bahan dari kayu. Jadi agar biaya pembuatan rumah atau pemanfaatan kayu
harganya dapat ditekan salah satu caranya adalah dengan memanfaatkan dan
membiasakan penggunaan kayu dengan beragam jenis terutama dari jenis-jenis yang
semula dianggap tidak komersial.
Salah satu upaya untuk memperkenalkan jenis-jenis ini adalah dengan menyebarkan
informasi mengenai sifat fisika dan mekanika kayu-kayu yang bersangkutan secara luas.

59
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Karena dengan pengenalan atas sifat-sifat fisika dan mekanika kayu akan sangat membantu
masyarakat dalam menentukan jenis-jenis kayu untuk tujuan pengunaan tertentu. Sehingga
diharapkan dengan memahami sifat-sifat kayu dan jenis-jenis kayu untuk penggunaan
tertentu akan semakin mengurangi ketergantungan konsumen akan suatu jenis kayu tertentu
saja sehingga pemanfaatan jenis-jenis kayu yang semula belum dimanfaatkan (jenis-jenis
yang belum dikenal umum) akan semakin meningkat.
Jenis-jenis yang akan dipaparkan secara singkat dalam tulisan ini adalah jenis yang
diambil dari provinsi Kalimantan Timur yaitu: marobamban, perepat laut, perepat darat,
terap, repeh, malau, uwar haduk, liran dan imat

METODE PENELITIAN

Pengambilan data
Pengambilan data diambil dari data sekunder yang tersimpan di Laboratorium
Rekayasa dan Pengujian Kayu Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman, Samarinda.

Pengambilan sampel
Sampel diambil berdasarkan letak ketinggian dalam batang (pangkal, tengah dan
ujung) dengan standar pengujian Jerman yaitu DIN (Deutches Institute fuer Normung).

Cara Pembuatan sampel


Contoh uji yang digunakan berasal dari pohon yang sehat dan lurus, berdiameter
35-40 cm, serta tinggi bebas cabang dengan ketinggian 6 - 9 meter. Pengambilan contoh
uji pada bagian pohon dianggap telah terwakili apabila batang dibagi dalam 3 bagian yaitu
pangkal, tengah dan ujung masing-masing sepanjang 1,5 m dengan jarak antar bagian 1
meter. (Lihat Gambar 1).
Sebelum dilakukan pengujian, contoh uji diletakkan di dalam ruang konstan dengan
temperatur (20 2) C dan kelembaban udara relatif (65 3) % hingga berat dan kadar
airnya konstan (12 1) %.
Setiap ketinggian pada masing-masing penggunaan dalam pengujian diambil 30
contoh uji dari setiap bagian batang pohon tersebut dan pengujian dilakukan sebanyak 30
kali ulangan.

Gambar 1. Cara Pengambilan Contoh Uji

60
ANATOMI DAN SIFAT DASAR KAYU

Keterangan :
I. Cara pengambilan contoh uji di lapangan.
II. Cara pengambilan contoh uji pada potongan melintang dari tiap bagian.
III. Cara pengambilan contoh uji pada satu stik :
a. Contoh uji kerapatan dan kadar air dengan ukuran 2 x 2 x 2 cm
b. Contoh uji keteguhan tekan sejajar serat dengan ukuran 2 x 2 x 6 cm
c. Contoh uji lengkung statis dengan ukuran 2 x 2 x 36 cm
d. Contoh uji keteguhan pukul dengan ukuran 2 x 2 x 30 cm
e. Contoh uji pengembangan dan penyusutan dengan ukuran 2 x 2 x 10 cm
f. Contoh uji keteguhan geser dengan ukuran 5 x 5 x 5 cm
g. Contoh uji kekerasan dengan ukuran 5 x 5 x 10 cm

Tabel 1. Ukuran Contoh Uji Berdasarkan DIN

No Pengujian Dimensi (mm) Standar DIN


1 Kerapatan 20 x 20 x 20 52182 76
2 Kadar Air 20 x 20 x 20 52183 77
3 Pengembangan dan Penyusutan 20 x 20 x 100 52184 79
4 Keteguhan Pukul 20 x 20 x 300 52189 81
5 Keteguhan Tekan // Serat 20 x 20 x 60 52185 76
6 Keteguhan Geser radial dan tangensial 50 x 50 x 50 52186 77
7 Kekerasan 50 x 50 x 100 52186 79
8 Keteguhan Lengkung Statis 20 x 20 x 360 52186 78
l = 300
Sumber : Anonim (1988), Normen Uber Holz

Jenis kayu yang diambil


Kayu-kayu yang diambil adalah kayu dari propinsi Kalimantan Timur.

Tabel 2. Tempat Asal Pengambilan Kayu Beserta Sumber Datanya

Nama daerah Nama Latin/famili Asal Pengambilan Kayu Diameter Sumber/Tahun


(cm)
Liran Pholidocarpus majadun Becc Kembang Janggut 20 - 22 Nasir (2002)
(Palmae) (Kukar)
Terap Artocarpus elasticus Reinv Sempaja (Samarinda) 35 - 40 Ndima, I. (2003)
(Moraceae)
Malau Palaquium quercifolium Belayan (Kukar) 36 - 40 Ahmad Syaifullah
(Sapotaceae) (2003)
Marobamban Helicia exelsa Roxb Blume Kota Bangun (Kukar) 35 - 40 Hendarti, T. (2004)
(Proteaceae)
Uwar haduk Diospyros evena Bakh Kota Bangun (Kukar) 36 - 38 Susyana (2003)
(Ebenaceae)
Imat Castanopsis oviformis Kota Bangun (Kukar) 30 - 32 Ahmad Zamroni
Soepadmo (Fagaceae) (2006)
Perepat darat Combretocarpus rotundatus Kota Bangun (Kukar) 30 40 Diriyanti (2000)
Miq. Danser (Rhizoporaceae)
Perepat Laut Sonneeratia alba Samboja (Kukar) 28 - 31 Manit, B.S.M.
(Sonneratiaceae) (2010)
Repeh Mangifera gedebe Miq. Sebulu (Kukar) 35 - 40 Laksita, M.C.
(Anacardiaceae) (2009)

61
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Pengujian Sifat Fisika Kayu


Kerapatan dan kadar air kayu diukur dengan menggunakan standar berturut-turut
DIN 52182-76 dan 52183-77. Penyusutan maksimum dihitung dengan menggunakan rumus

l w  lo
vol maks x 100%
lw

Dimana : E maks = Penyusutan maksimum


lw = Dimensi kayu basah (mm)
lo = Dimensi kayu kering tanur (mm).

Penyusutan volumetris maksimum dihitung dengan rumus:


E vol maks = E maks r + E maks t + E maks l
Dimana :
E vol maks = Penyusutan volumetris maksimum (%)
E maks r = Penyusutan maksimum bidang radial (mm)
E maks t = Penyusutan maksimum bidang tangensial (mm)
E maks l = Penyusutan maksimum bidang tangensial (mm).

Nilai anisotropis penyusutan dihitung dengan rumus sebagai berikut:


maks t
A
maks r

Dimana : AE = Anisotropis penyusutan


E max t = Penyusutan maksimum bidang tangensial (mm)
E max r = Penyusutan maksimum bidang radial (mm)

Pengujian sifat mekanika kayu


Modulus of Elasticity (MoE) dan Modulus of Rapture (MoR) dilaksanakan dengan
menggunakan standar DIN 52186. Keteguhan tekan sejajar serat dan keteguhan pukul
dilaksanakan dengan standar DIN 52185 dan DIN 52189-48. Keteguhan geser sejajar serat
dilakukan menggunakan standar DIN 52187. Kekerasan kayu diuji dengan menggunakan
metode Janka dengan menggunakan bola baja yang berdiameter 11,284 mm dan luas
permukaan bola baja 1 cm2. Pembebanan secara proporsional dan terus menerus dengan
kecepatan mesin 6,25 cm/menit.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Sifat Fisika Kayu


Berikut ini adalah tabel yang berisi sifat fisika kayu pada jenis kayu yang tercantum
pada tabel 3.
Berdasarkan kadar air dalam kayu tanpa hati/empulur menurut Hildebrand (1970)
maka: kayu liran, marobamban, perepat darat, perepat laut dan repeh termasuk kayu sangat
basah; malau termasuk kayu basah dan uwar haduk serta imat termasuk kayu dengan
kelembababn sedang.
Besar kecilnya nilai kadar air awal dari kayu ini akan sangat mempengaruhi pada
proses pengangkutan dan penyusunan skedul pengeringan. Semakin tinggi kadar airnya
maka akan menambah beban biaya pada pengangkutan. Semakin tinggi kadar air awalnya
maka proses pengeringan yang akan berjalan juga akan memakan waktu yang lama. Oleh
karena itu biasanya sebelum dilakukan pengeringan secara mekanis kayu-kayu tersebut
dikurangi kadar air awalnya secara alami untuk mengurangi biaya operasional pengeringan
mekanis.

62
ANATOMI DAN SIFAT DASAR KAYU

Tabel 3. Nilai Rata-rata Kadar Air Kayu Segar, Kerapatan, Penyusutan Volume
dan Anisotropi kayu

Jenis kayu Kas (%) Kerapatan Penyusutan Anisotropi


kering tanur volume (%) penyusutan
(g/cm3)
Liran 154,01 0,53 15,53 1,66
Terap - 0,40 10,23 1,86
Malau 82,88 0,51 10,29 1,64
Marobamban 102,13 0,69 15,70 1,55
Uwar haduk 60,49 0,88 17,94 1,35
Imat 45,45 0,72 13,59 1,59
Perepat darat 111,54 0,48 11,33 1,80
Perepat Laut 109,57 0,65 8,69 1,50
Repeh 102,21 0,43 9,01 1,05

Sedangkan dilihat dari kerapatannya menurut Anonim (1991) kayu-kayu yang


termasuk kelas sedang liran, terap,perepat darat, dan repeh. Sedangkan kelas berat adalah:
marobamban, uwar haduk, imat dan perepat laut.
Dilihat dari kelas kuatnya berdasarkan kerapatannya (Anonim, 1983) yang termasuk
kelas kuat II adalah: uwar haduk, perepat laut dan imat. Kelas kuat III: liran, terap, malau,
perepat darat dan repeh.
Nilai kerapatan yang bervariasi diantara jenis pohon hal ini sesuai dengan Pandit dan
Hikmat (2002) yang mengatakan bahwa berat jenis dipengaruhi oleh faktor tempat tumbuh,
umur, posisi kayu dalam batang dan kecepatan tumbuh.
Nilai penyusutan yang terbesar pada kayu uwar haduk dan terendah pada kayu
perepat laut. Hal ini sesuai dengan Haygreen dan Bowyer (1996) maka nilai penyusutan
sejalan dengan kerapatannya. Semakin tinggi kerapatan maka nilai penyusutan juga akan
semakin besar.

Sifat Mekanika Kayu


Berikut ini adalah tabel yang berisi nilai keteguhan tekan sejajar serat, keteguhan
pukul, lentur dan patah.

Tabel 4. Nilai Rata-rata Keteguhan Tekan Sejajar Serat, Pukul, Lentur dan Patah

Jenis kayu Ec // (N/mm2) (Joule/mm2) MoE (N/mm2) MoR (N/mm2)


Liran 36,56 0,05 11,609 50,69
Terap 30,51 0,03 8532,24 51,54
Malau 47,64 0,04 10892,85 83,07
Marobamban 65,47 0,06 18787,05 89,53
Uwar haduk 87,00 0,10 16738,52 149,00
Imat 70,57 2,18 15017,12 113,01
Perepat darat 67,99 0,073 12637,94 129,62
Perepat Laut 51,36 0,04 8785,00 95,70
Repeh 35,84 0,02 7428,10 51,23

63
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Tabel 5. Nilai Rata-rata Keteguhan Geser dan Kekerasan Janka


Jenis kayu W s (N/mm2) Kekerasan sisi (N) Kekerasan ujung (N)
Liran - - -
Terap 6,69 1278,66 2201,68
Malau 10,10 1279,08 3575,93
Marobamban 8,43 2991,11 3768,89
Uwar haduk 14,09 8820,74 6892,74
Imat 9,29 5586,93 5341,87
Perepat darat 27,91 6003,67 6716,67
Perepat Laut 14,28 5364,00 6996,00
Repeh 1.,23 2265,00 3674,18

Dilihat dari nilai kekuatan mekanikanya berdasarkan Anonim (1978) dan Anonim
(1976) maka perepat laut termasuk kelas kuat III - II; kayu repeh kelas kuat IV - III; terap
kelas kuat IV - III; malau kelas kuat III - II; uwar haduk kelas kuat I; imat kelas kuat II - I; liran
kelas kuat III - II.
Sesuai dengan Anonim (1976) pemanfaatan kayu berdasarkan kelas kuat adalah
sebagai berikut:
a. Kelas kuat I cocok dimanfaatkan antara lain untuk: konstruksi bangunan, lantai, papan
dinding, bantalan, jembatan dan tiang
b. Kelas kuat II cocok dimanfaatkan antara lain untuk: mebel, lantai, papan, perkapalan,
jembatan, alat olah raga
c. Kelas kuat III cocok dimanfaatkan antara lain untuk: kayu olahan, rangka pintu dan
jendela, moulding, pulp
d. Kelas kuat IV cocok dimanfaatkan antara lain untuk: kayu olahan, pembungkus, rangka
mebel, pulp, korek api
e. Kelas kuat V cocok dimanfaatkan antara lain untuk: pulp, korek api, papan partikel,
bahan pembungkus, kerajinan tangan.

KESIMPULAN

Berdasarkan hal-hal yang sudah dipaparkan sebelumnya dapat diambil kesimpulan


bahwa jenis-jenis non Dipterocarpaceae dapat dimanfaatkan sesuai sifat fisika dan
mekanikanya untuk mensubsitusi kayu dari famili Dipterocarpaceae. Jadi yang diperlukan
adalah menyebarluaskan informasi ini agar masyarakat tidak fanatik hanya pada jenis
tertentu saja sehingga keseimbangan alam dan kelestarian suatu jenis tertentu dapat
dipertahankan.Hal ini sekaligus mengurangi kekawatiran akan kekurangan bahan baku kayu
yang diakibatkan berkurangnya pasokan bahan dari kayu akibat hutan penghasil kayu
semakin hari banyak yang beralih fungsi.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 1976. Vademecum Kehutanan Indonesia. Departemen Pertanian Direktorat


Jenderal Kehutanan. Jakarta.
Anonim. 1978. Klasifikasi kekuatan Kayu Berdasarkan Hubungan antara Keteguhan Pukul,
Patah dengan Sifat Keteguhan Lainnya. Laporan No. 115. LPHH. Bohor.
Bowyer, JL., Shmelsky & Haygreen. 2003. Forest Product and Wood Science; An
Introduction. 4 th.ed. Iowa State Press. Iowa.
Diriyanti. 2000. Sifat Fisika dan Mekanika Kayu Perepat Darat (Combretocarpus rotundatus
Miq. Danser) Berdasarkan Letak Ketinggian dalam Batang. Skripsi S1 Kehutanan
Universitas Mulawarman. Samarinda.
Hendarti, T. 2004. Sifat Fisika dan Mekanika Kayu Marobamban (Helicia exelsa Roxb
Blume) Berdasarkan Letak Ketinggian dalam Batang. Skripsi S1 Kehutanan
Universitas Mulawarman. Samarinda.

64
ANATOMI DAN SIFAT DASAR KAYU

Laksita, MC. 2009. Sifat Fisika dan Mekanika Kayu Repeh (Mangifera gedebe Miq)
Berdasarkan Letak Ketinggian dalam Batang. Skripsi S1 Kehutanan Universitas
Mulawarman. Samarinda.
Manik, BSM. 2010. Sifat Fisika dan Mekanika Kayu Perepat Laut (Sonneratia alba)
Berdasarkan Letak Ketinggian dalam Batang. Skripsi S1 Kehutanan Universitas
Mulawarman. Samarinda.
Nasir. 2002. Sifat Fisika dan Mekanika Kayu Liran (Pholidocarpus majadun Becc)
Berdasarkan Letak Ketinggian dalam Batang. Skripsi S1 Kehutanan Universitas
Mulawarman. Samarinda.
Ndima, I. 2003. Sifat Fisika dan Mekanika Kayu Terap (Artocarpus elasticus Reinw)
Berdasarkan Letak Ketinggian dalam Batang. Skripsi S1 Kehutanan Universitas
Mulawarman. Samarinda.
Pandit, IKN. dan H Ramdani. 2002. Anatomi Kayu. Pengantar Sifat Kayu Sebagai Bahan
Bangunan. Yayasan Penerbit Fakultas Kehutanan. IPB. Bogor.
Susyana. 2003. Sifat Fisika dan Mekanika Kayu Uwar Haduk Diospyros evena Bakh)
Berdasarkan Letak Ketinggian dalam Batang. Skripsi S1 Kehutanan Universitas
Mulawarman. Samarinda.
Syaifullah, A. 2004. Sifat Fisika dan Mekanika Kayu Malau (Palaquium quercifolium)
Berdasarkan Letak Ketinggian dalam Batang. Skripsi S1 Kehutanan Universitas
Mulawarman. Samarinda.
Zamroni, A. 2006. Sifat Fisika dan Mekanika Kayu Imat (Castanopsis oviformis Soepadmo)
Berdasarkan Letak Ketinggian dalam Batang. Skripsi S1 Kehutanan Universitas
Mulawarman. Samarinda.

65
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

ANATOMI KAYU Macadamia hildebrandii van Slooten

Muhammad Asdar
Balai Penelitian Kehutanan Makassar
Jl. P. Kemerdekaan Km. 16 Makassar, E-mail: asdar@forda-mof.org

ABSTRAK

Kayu Macadamia hildebrandii van Slooten merupakan jenis endemik Sulawesi yang
dikenal dengan nama tomaku dan kates. Sifat-sifat kayunya belum diketahui sedangkan
potensinya semakin menurun. Penelitian ini bertujuan untuk mengamati struktur anatomi
dan kualitas seratnya. Pertelaahan ciri anatomi kayu berdasarkan IAWA List (Wheeler, 1989)
dan penilaian kualitas serat berdasarkan Anonim (1976). Hasil pengamatan menunjukkan
bahwa kayu ini memiliki ciri khas jari-jari yang lebar dengan dua ukuran. Ciri anatomi kayu:
2, 5, (11), 13, 22, 42, 46, 53, 66, 68, 73, 86, 92, 99, 102, 103, 105, 173, 189, 194, 196, 197.
Seratnya tergolong kelas II untuk bahan baku pulp dan kertas. Kayu kates diduga dapat
digunakan sebagai bahan baku pulp dan kertas, konstruksi ringan serta mebel.
Kata kunci : Macadamia, tomaku, kates, anatomi kayu.

PENDAHULUAN

Macadamia hildebrandii van Slooten termasuk famili Proteaceae. Di seluruh dunia


terdapat 9 jenis makadamia, 7 jenis di Australia, satu jenis di New Caledonia dan satu jenis
di Sulawesi yaitu M. hildebrandii (Wikipedia, 2009). Tahun 1995, Mc Donald and Ismail
mempublikasikan ditemukannya jenis baru di Sulawesi yaitu M. erecta (Weston and Barker,
2006). Selain sebagai sumber penghasil kayu, tanaman makadamia juga menghasilkan
kacang (macadamia nut) yang bernilai ekonomi tinggi. Di Jawa Timur telah dikembangkan
jenis M.integrifolia yang ditanam sebagai tanaman sela pada perkebunan kopi. Kacang
makadamia yang dihasilkan berharga Rp. 60 ribu/kg untuk kernel kacang utuh. Pada
umumnya, biji makadamia digunakan untuk pengisi coklat. Produk makadamia dalam bentuk
coklat batangan (macadamia bar) telah dipasarkan di beberapa kota besar di Indonesia
(Antara News Jawa Timur, 2009).
M.hildebrandii v.St. merupakan jenis pohon endemik Sulawesi yang tingginya
mencapai 33m, tumbuh pada hutan primer dan tumbuh sampai ketinggian 1.700m
(Whitmore et al., 1989). Jenis ini ditemukan di Gunung Nokilalaki dan G. Roraka Timbu di
Sulawesi Tengah (Whitten et al., 2002). Di Sulawesi Selatan, jenis ini disebut tomaku, tinapu
lilabai, perande, maladewa, kayu balo malaba, kayu balomotea dan kanjole atau
makadamia. Kayu ini memiliki berat jenis kering udara 0,54 dan stabilitas dimensi agak
rendah dengan T/R rasio 2,53 (Ginoga et al., 1987). Menurut Oey (1990), kayu macadamia
memiliki berat jenis rata-rata antara 0,62- 0,72 dan termasuk kelas awet IV dan kelas kuat II
berdasarkan nilai berat jenis.
Kayu kates dijumpai di Kab. Banggai, Sulawesi Tengah dan Kab. Mamasa, Sulawesi
Barat. Di Sulawesi Tengah, jenis ini termasuk jenis komersil dan dimanfaatkan sebagai
bahan baku pembuatan mebel karena coraknya yang khas menyerupai corak batang pepaya
(kates). Meskipun sudah diperdagangkan, tetapi sifat-sifat kayu ini belum diketahui dengan
pasti. Di pihak lain, potensinya semakin berkurang sehingga perlu dibarengi dengan usaha
budidaya. Di daerah Mamasa, Sulawesi Barat, kayu ini belum dimanfaatkan secara optimal.
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi struktur anatomi kayu Macadamia
hildebrandii v.St. Hasil penelitian ini diharapkan menjadi salah satu pertimbangan dalam
pemanfaatan kayu secara optimal.

66
ANATOMI DAN SIFAT DASAR KAYU

BAHAN DAN METODE

Sampel pohon diambil dari Desa Salu Balo, Kec. Sumarorong, Kab. Mamasa, Prop.
Sulawesi Barat. Pengamatan anatomi kayu dilakukan di Balai Penelitian Kehutanan (BPK)
Makassar. Herbarium diidentifikasi di Lab. Botani Puslitbang Konservasi, Badan Litbang
Kehutanan, Bogor.
Bahan dan alat yang digunakan antara lain kayu makadamia, aquades, alkohol,
safranin, karboxylol, hidrogen peroksida, asam asetat glasial, eukitt, peralatan penebangan,
gergaji, penangas air, mikrotom, mikroskop serta object dan deck glass. Pohon yang
ditebang berdiameter 81,5 cm, tinggi bebas cabang mencapai 22 m. Sampel kayu diambil di
atas banir pada ketinggian 2,5 m.
Contoh uji sebanyak 12 buah, diambil dari bagian dekat empulur, tengah dan teras
terluar pada empat arah berlawanan. Pengamatan dilakukan terhadap ciri umum
(makroskopis) dan ciri mikroskopis. Ciri umum kayu diamati pada contoh kayu utuh maupun
yang telah diketam. Pertelaannya dilakukan berdasarkan Mandang dan Pandit (1997),
meliputi warna kayu, tekstur, arah serat, kilap, kesan raba dan gambar. Ciri anatomi diamati
pada preparat sayatan dan maserasi pada bidang lintang, radial dan tangensial yang telah
dibuat diwarnai dengan safranin. Pembuatan preparat sayatan menggunakan rotary
microtome dan pembuatan maserasi menggunakan hidrogen peroksida dan asam asetat
glasial. Ciri yang diamati meliputi dimensi serat, dimensi, susunan dan sebaran pembuluh,
parenkim, jari-jari, saluran interselular, silika, dan lain-lain berdasarkan AIWA list (Wheeler et
al., 1989). Data hasil pengukuran disajikan dalam nilai rata-rata dan standar deviasi.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil identifikasi herbarium di Puslitbang Konservasi dan Rehabilitasi Bogor,


menunjukkan bahwa kayu kates atau tomaku adalah jenis Macadamia hildebrandii van
Slooten. Tampilan pohon, daun, buah dan permukaan papan tangensial disajikan pada
Gambar 1.
Nama kayu kates diberikan masyarakat di Kab. Banggai, Prop. Sulawesi tengah
karena jika kulit pohon dikupas atau dibuat papan tangensial, akan terlihat corak kayu yang
menyerupai corak batang pepaya (kates). Di daerah ini, kayu kates sangat komersil dan
diminati masyarakat sebagai bahan baku pembuatan mebel, kusen dan papan untuk
perumahan. Eksploitasi yang berlebihan menyebabkan kayu kates mulai sulit ditemukan,
sementara usaha budidaya belum dilakukan.
Di Kab. Mamasa, Prop. Sulawesi Barat, kayu ini disebut kayu tomaku, masih banyak
tersedia. Inventarisasi potensi memang belum dilakukan Dinas Kehutanan setempat, tetapi
masih banyak ditemukan pohon berdiameter hampir 1 (satu) meter termasuk pohon yang
dijadikan sampel penelitian. Kayu ini belum dimanfaatkan secara intensif karena masih
banyak ditemukan jenis kayu lain yang lebih baik menurut masyarakat seperti kayu betau
(Calophyllum soulattri Burm. f.), karonian (Podocarpus neriifolius D.Don), kambelu (Buxus
rolfie Vidal.) dan tabi (Kjellbergiodendron celebicum ( Koord.) Merr). Meskipun belum
dimanfaatkan secara intensif, masyarakat telah ada yang membudidayakannya termasuk
Dinas Kehutanan setempat melalui program GERHAN.

67
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Gambar 1. Tampilan pohon, daun, buah dan permukaan papan tangensial.

Kayu kates memiliki sifat makroskopis antara lain: kayu teras segar berwarna merah
kecoklatan dan gubal berwarna krem, setelah kering udara warna teras menjadi coklat
kemerahan dan gubal krem, noda jari-jari terlihat jelas dan mengkilap, serat lurus, tekstur
agak kasar dan agak kesat. Ketebalan gubal rata-rata 6 cm. Kulit pohon mengeluarkan
getah berwarna merah.
Ciri anatomis: lingkaran tumbuh tidak jelas (2), pembuluh baur (5), pembuluh
berganda radial 2, pembuluh bergerombol kadang dijumpai (11) perforasi sederhana (13),
ceruk antar pembuluh selang seling (22), diameter pembuluh rata-rata 168,63 (41,53) m
(42), frekuensi rata-rata 2,49 (0,62) per mm2 (46), panjang pembuluh rata-rata 640 (m (53),
serat tak bersekat ada (66), berdinding tipis yaitu diameter lumen kurang dari tiga kali dua
tebal dinding (68), panjang serat rata-rata 2078,67 m (73), parenkim aksial dalam pita
sempit atau garis dengan tebal sampai 3 lapis sel (86), 3-4 sel per untai parenkim (92), jari-
jari besar biasanya lebih dari 10 seri (99), tinggi jari-jari rata-rata 3598 m (102), jari-jari dua
ukuran yaitu berseri satu dan berseri lebih dari 10 (103), seluruh sel jari-jari bujur sangkar
(105). Ciri lain adalah sebaran di Indonesia (173), habitus pohon (189), berat jenis sedang
(194), teras berwarna lebih gelap dari gubal (196) dan warna teras pada dasarnya coklat
(197). Tampilan bidang melintang, tangensial dan radial disajikan masing-masing pada
Gambar 2,3 dan 4.
Dimensi serat yang diukur meliputi panjang serat yaitu rata-rata 2.078,67 (259,66)
m, diameter serat 31,85 (5,59) m, diameter lumen 22,20 (5,21) m dan tebal dinding 4,82
(1,09) m. Berdasarkan nilai dimensi serat, ditetapkan nilai turunan serat untuk penilaian
kelayakan sebagai bahan baku pulp dan kertas seperti disajikan pada Tabel 1.

68
ANATOMI DAN SIFAT DASAR KAYU

Tabel 1. Nilai turunan serat

No. Parameter Rata-rata Nilai


1. Runkel ratio 0,43 75
2. Felting power 65,27 50
3. Flexibility ratio 0,70 75
4. Coefficient of rigidity 0,15 75
5. Muhlsteph ratio 51,40 75
6. Panjang serat 2078,67 75
Jumlah nilai 425
Kelas Kualitas II

Ciri-ciri kayu macadamia yang diteliti sesuai dengan ciri-ciri kayu dari family
proteaceae pada umumnya menurut Metchalfe and Chalk (1950), seperti pembuluh
umumnya kecil sampai besar, bergabung tangensial, berkelompok, perforasi sederhana,
ceruk antar pembuluh selang seling, panjang pembuluh sedang. Parenkim berbentuk pita
sempit sampai lebar, kadang-kadang aliform atau konfluen. Jari-jari dua ukuran, 10-30 sel,
umumnya homogen kecuali kadang-kadang pada sel seludang. Serat biasanya memiliki
ceruk kecil berhalaman. Saluran interselular traumatik dan trakeid vasisentrik kadang-
kadang ada.

Gambar 2. Penampang lintang (40 x)

69
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Gambar 3. Penampang tangensial (40x)

Gambar 4. Penampang radial (40x)

Kayu makadamia diduga cocok sebagai bahan baku pulp dan kertas, mebel, kayu
lapis dan konstruksi ringan. Ditinjau dari dimensi seratnya, berdasarkan klasifikasi
persyaratan kayu sebagai bahan baku pulp dan kertas (Departemen Pertanian, 1976), maka
kayu kates tergolong kelas II dengan skor total 425. Kayu dalam kategori ini memiliki serat
kayu sedang sampai panjang dan mempunyai dinding yang tipis dengan lumen yang agak
lebar. Serat akan mudah menggepeng waktu digiling dan ikatan seratnya baik. Serat jenis
ini diduga akan menghasilkan lembaran dengan kekuatan sobek, retak dan tarik yang cukup
tinggi.

70
ANATOMI DAN SIFAT DASAR KAYU

KESIMPULAN

Kayu kates memiliki ciri khas jari-jari yang sangat besar/lebar dan dapat dilihat
dengan jelas tanpa menggunakan lup. Ciri anatomi kayu: 2, 5, (11), 13, 22, 42, 46, 53, 66,
68, 73, 86, 92, 99, 102, 103, 105, 173, 189, 194, 196, 197. Kayu ini diduga sesuai sebagai
bahan baku pulp dan kertas, mebel, kayu lapis dan konstruksi ringan.

DAFTAR PUSTAKA

Antara News Jawa Timur. 2009. PTPN XII Kebun Blawan kembangkan makadamia.
http://www.antarajatim.com/index.php?ref=disp&id=7022. Akses tanggal 29 Januari
2009.
Departemen Pertanian. 1976. Vademecum kehutanan Indonesia. Direktorat Jenderal
Kehutanan, Departemen Pertanian. Jakarta.
Ginoga, B., D Seran, M Lempang dan MK Allo. 1987. Pertumbuhan dan sifat kayu tomaku
(Macadamia hildebrandii V.St.). Jurnal Penelitian Kehutanan Vol I, No. 1: 1-8. Balai
Penelitian Kehutanan Ujung Pandang.
Mandang, YI. dan IKN Pandit. 1997. Seri Manual: Pedoman identifikasi jenis kayu di
lapangan. Prosea-Pusdiklat Pegawai dan SDM Kehutanan. Bogor.
Metcalfe, CR. and L Chalk. 1950. Anatomy of Dicotyledons. Volume II. Clorendon Press,
Oxford.
Oey Djoen Seng. 1990. Berat jenis dari jenis-jenis kayu Indonesia dan pengertian bertanya
kayu untuk keperluan praktek. Pengumuman No. 13. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Hasil Hutan. Bogor.
Weston, PH. and NP Barker. 2006. A new suprageneric classification of the proteaceae,
with an annotated checklist of genera. Telopea 11 (3): 314-344.
http://www.rbgsyd.nsw.gov.au/__data/assets/pdf_file/0009/80856/
Tel11Wes314.pdf. Diakses tanggal 14 Januari 2010.
Wheeler, EA., P Baas and PE Gasson (ed.). 1989. IAWA list of microscopic features for
hardwood identification. IAWA Bul. N.s. 10 (3) : 219 332. Leiden, Netherlands.
Whitmore, TC., IGM Tantra dan U Sutisna. 1989. Tree flora of Indonesia check list for
Sulawesi. Forest Research and Development Centre. Bogor.
Whitten, T., M Mustafa and GS Henderson. The Ecology of Indonesia Series Volume IV.
The Ecology of Sulawesi. 2002. First Periplus Edition. Periplus edition (HK) Ltd.
Wikipedia. 2009. Macadamia. http://en.wikipedia.org/wiki/Macadamia. Diakses tanggal 28
Januari 2009.

71
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

VISUALISASI STRUKTUR ANATOMI UNTUK APLIKASI


IDENTIFIKASI KAYU DALAM ANIMASI 3 DIMENSI

Ratih Damayanti, Sri Rulliaty, dan Dian Anggraini,


Gustan Pari dan Jamaludin Malik

Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan,
Kementerian Kehutanan. Jl. Gunung Batu No. 5 Bogor
Email : Ratih-Damayanti@forda-mof.org, ratih_turmuzi@yahoo.com

ABSTRAK

Identifikasi kayu adalah salah satu aplikasi ilmu anatomi kayu. Secara ekonomi,
pengetahuan ini sangat penting untuk mengenal atau mengidentifikasi jenis-jenis kayu yang
digunakan dalam perdagangan, termasuk untuk menentukan nilai kayu tersebut. Ilmu
anatomi juga mendukung perkembangan ilmu pengetahuan lainnya, seperti ilmu-ilmu botani,
paleontologi, ethnologi, forensik, arkeologi dan juga sejarah. Permasalahannya, bagi
sebagian besar mahasiswa, mata kuliah pengenalan dan identifikasi kayu masih dianggap
sesuatu yang menakutkan dan membingungkan, sehingga cenderung dihindari, termasuk
oleh calon peneliti, calon dosen, hingga petugas pemeriksa kayu di lapangan yang secara
langsung bertugas untuk melakukan identifikasi kayu. Struktur anatomi kayu dianggap
sesuatu yang sangat rumit dan sulit dipahami. Hal ini disebabkan karena kurangnya alat
peraga yang mampu mengejawantahkan wujud dan struktur kayu secara jelas, rinci dan
menarik. Kegiatan ini bertujuan untuk melakukan kajian mengenai struktur anatomi makro,
mikro dan ultramikroskopik kayu kemudian menyajikannya dalam animasi 3 dimensi untuk
mempermudah pembelajaran struktur anatomi dan identifikasi kayu. Hasilnya berupa DVD
yang berjudul Anatomi dan Identifikasi Kayu, di dalamnya berisi tentang ilmu anatomi kayu,
manfaat ilmu anatomi kayu, identifikasi kayu, bidang orientasi, struktur anatomi kayu, praktek
identifikasi kayu, serta perkembangan teknologi dalam ilmu anatomi kayu. DVD ini
memungkinkan pengguna dapat melalukan identifikasi kayu secara mandiri.

Kata kunci: Struktur anatomi kayu, identifikasi kayu, animasi 3D

PENDAHULUAN

Mempelajari anatomi tumbuhan dapat memperkuat perasaan estetika karena


manusia akan disadarkan adanya keberadaan struktur jaringan yang serba teratur yang
dibuat Sang Pencipta, baik pada tingkatan organisme tumbuhan yang berlainan maupun
korelasi yang mengagumkan antara struktur dan fungsinya, sehingga menjadikan anatomi
sebagai bidang penelitian yang patut dihargai.
Saat ini, kegiatan yang dominan dalam ilmu anatomi tumbuhan adalah identifikasi
kayu. Adanya ilmu ini memudahkan manusia untuk melakukan kegiatan identifikasi kayu
secara lebih tepat (Tesoro 1989). Terlebih untuk kebanyakan kayu di Indonesia dimana antar
jenis sukar dibedakan, penentuan jenis kayu dengan memeriksa sifat anatominya adalah
metode yang paling akurat (Anonim 2007).
Bagi kebanyakan orang, terlebih bagi pihak yang tidak setiap saat berkutat dengan
ilmu ini, misalnya para pengusaha kayu yang justru harus tahu sehingga dapat
memanfaatkan hasil penelitian tersebut, struktur-struktur mikro ini dianggap terlalu sulit untuk
dipahami. Hal ini juga terjadi pada pelajar dan mahasiswa. Mata ajaran ilmu anatomi kayu
dianggap sebagai hantu dan berusaha untuk dihindari. Mata kuliah dan laboratorium
anatomi kayu juga sepi peminatnya. Terlalu sulit untuk membayangkan hal-hal yang renik,
apalagi proses yang terjadi di dalamnya. Apabila kondisi ini tidak segera diantisipasi, maka
akan berdampak fatal, karena ilmu ini merupakan ilmu dasar yang sangat menentukan

72
ANATOMI DAN SIFAT DASAR KAYU

pemanfaatan kayu selanjutnya dan menunjang perkembangan ilmu lainnya seperti ilmu-ilmu
botani, paleontologi, ethnologi, forensik, arkeologi dan juga sejarah (Wheeler & Baas, 1998).
Dibutuhkan solusi untuk mengatasi keadaan tersebut, salah satunya dengan
menyediakan alat peraga yang mampu menggambarkan semua bentuk sel, jaringan,
hubungan antar sel beserta fungsinya dalam pohon. Hasil penelusuran paten (patent
searching) menunjukkan bahwa hingga saat ini belum ada alat peraga serupa, bahkan alat
peraga seperti anatomi tubuh manusia yang telah banyak dibuat, yang khusus untuk kayu.
Keberadaan alat peraga ini sangat dibutuhkan terutama untuk kembali meningkatkan minat
dan kesadaran pelajar dan mahasiswa agar memahami betapa pentingnya ilmu
pengetahuan anatomi tumbuhan, terlebih di saat kebijakan pemerintah menurunkan ilmu ini
menjadi mata ajaran pilihan.
Kegiatan ini bertujuan untuk melakukan kajian mengenai struktur anatomi makro,
mikro dan ultramikroskopik kayu kemudian menyajikannya dalam animasi 3 dimensi untuk
mempermudah pembelajaran struktur anatomi dan identifikasi kayu.

BAHAN DAN METODE

Visualisasi Struktur Anatomi


Tahapan-tahapan dalam memvisualisasikan struktur anatomi makro, mikro dan
ultramikroskopik kayu adalah sebagai berikut:
1. Pembuatan garis besar materi.
2. Pengumpulan bahan-bahan ilustrasi untuk menunjang materi yang akan disampaikan.
Ilustrasi yang diperoleh dari internet, buku-buku teks, serta hasil penelitian merupakan
rujukan dalam membuat animasi. Garis besar materi beserta ilustrasinya dikompilasi
dalam suatu buku yang disebut buku narasi.
3. Selanjutnya, buku narasi yang telah disusun dikonsultasikan pada pakar anatomi kayu
yaitu Ir. YI. Mandang dan Prof. Dr. Soenardi Prawirohatmodjo (UGM) sehingga
diperoleh buku narasi final. Buku narasi final ini yang kemudian dijadikan sebagai dasar
pembuatan DVD.
4. Draft 1 DVD kemudian disosialisasikan di Dinas Kehutanan Surabaya dan BP2HP
Wilayah VIII Surabaya pada Bulan September 2010. Kegiatan sosialisasi ini sangat
penting untuk mengetahui kebutuhan pengguna terutama para petugas lapang
(WASGANIS-Pengawas Tenaga Teknis) yang secara langsung melakukan identifikasi
kayu sehingga DVD yang dihasilkan sesuai dengan keinginan konsumen target.
5. Selanjutnya dilakukan perbaikan pada DVD draft 1 berdasarkan masukan-masukan
yang diperoleh dari Dinas Kehutanan Surabaya dan BP2HP Wilayah VIII Surabaya
untuk kemudian menjadi DVD draft 2.
6. DVD draft 2 kemudian dikonsultasikan pada Prof. Dr. I Ketut N. Pandit dan Prof. Dr.
Imam Wahyudi (IPB), serta disosialisasikan kembali di Dinas Kehutanan dan BP2HP
Wilayah V Palembang.
7. Berdasarkan masukan dan koreksi yang diperoleh, selanjutnya dilakukan revisi pada
DVD draft 2, kemudian pembuatan desain sampul luar dan sampul dalam, hingga
akhirnya diperoleh DVD final.

Animasi dibuat menggunakan program/software 3Dsmax. Secara sekilas, preface


3Dsmax adalah sebagai berikut: Software animasi 3 dimensi 3Dsmax adalah keluaran dari
Autodesk Inc, yang bekerja dalam sistim operasi Windows. Software ini mampu membuat
obyek-obyek virtual secara tiga dimensi dimana bentuk-bentuknya dapat digubah sesuai
keinginan kita; mampu memberikan kesan material mendekati aslinya, seperti material kayu,
batuan, atau tanah; mampu memberi efek-efek khusus pada hasil akhir produk, seperti efek
cahaya dan bayangan, efek-efek atmosfer seperti api, pendar cahaya, atau kabut sehingga
benda kian mendekati realitas. Permodelan menggunakan 3Dsmax memberikan keleluasaan
kepada pengguna untuk memilih berbagai metode yang dikehendaki, dan dapat
menjalankan proses animasi dimana benda dapat digerakkan, diubah bentuknya, dan diatur
proses animasinya.

73
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Kemampuan dan fasilitas perangkat lunak 3dsmax dapat menganimasikan obyek


yang meliputi perpindahan posisi; rotasi, penggunaan efek morphing (efek yang
memungkinkan benda berubah wujud menjadi benda lain); penggunaan obyek bone untuk
memberikan alat bantu gerak yang dapat diserupakan dengan kerangka; modifier untuk
memberikan efek noise, membengkok, dan alat untuk membuat obyek baru; freeform
deformation untuk merubah bentuk tanpa merusak kondisi awal dari suatu obyek; animasi
material; dan animasi cahaya.

Lokasi Penelitian
Kegiatan penelitian berupa studi pustaka, pembuatan gambar, penyusunan skenario
dan pembuatan animasi dilakukan di Laboratorium Anatomi Tumbuhan serta Laboratorium
Instrumen dan Proksimat Terpadu Pusat Litbang Hasil Hutan, Bogor.

HASIL DAN PEMBAHASAN

DVD yang dibuat terdiri atas delapan bagian yaitu Ilmu anatomi kayu; Manfaat ilmu
anatomi kayu; Identifikasi kayu, Bidang orientasi; Struktur anatomi kayu; Praktek identifikasi
kayu; Perkembangan teknologi dalam ilmu anatomi kayu serta Penutup. DVD ini diberi judul
ANATOMI DAN IDENTIFIKASI KAYU.
Bagian 1 mengenai manfaat ilmu identifikasi kayu berisi tentang pembagian ilmu
tumbuh-tumbuhan serta pengenalan ilmu anatomi dan identifikasi kayu. Cuplikan video
Bagian 1 disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1. Cuplikan video Bagian 1: Ilmu anatomi kayu

Bagian 2 menjelaskan tentang manfaat ilmu anatomi kayu. Pengetahuan mengenai


ciri anatomi kayu membantu manusia untuk mengenal dan membedakan jenis-jenis kayu.
Identifikasi kayu merupakan langkah pertama yang harus dilakukan untuk mencapai
pemanfaatan kayu yang efisien (Oteng 1989 dalam Tesoro 1989). Dari sisi ekonomi,
pengetahuan ini sangat penting untuk mengenal atau mengidentifikasi suatu jenis kayu yang
akan digunakan dalam perdagangan (Miller & Baas, 1981; Wheeler & Baas, 1998). Bagi
pemerintah, penentuan jenis kayu berperan penting dalam menentukan besarnya pungutan
negara (PSDH dan DR) yang dikenakan.
Pengetahuan mengenai identifikasi kayu ini bermanfaat tidak hanya untuk mengenal
atau mengidentifikasi suatu jenis kayu yang akan digunakan dalam perdagangan, namun
juga untuk mendukung perkembangan ilmu pengetahuan lainnya, seperti ilmu-ilmu botani,
palaentologi, ethnologi, forensik, arkeologi dan juga sejarah, dimana hasil identifikasi dari
sepotong kecil kayu itu dapat memberikan informasi yang lebih bermakna daripada sekedar
nama botani yang dimiliki pohon tersebut (Miller dan Baas 1981; Wheeler dan Baas 1998).

74
ANATOMI DAN SIFAT DASAR KAYU

Di industri, proses pengolahan hasil hutan, terutama pada pengeringan kayu, sangat
tergantung pada identifikasi jenis yang benar karena perbedaan jenis ataupun kelompok
jenis membutuhkan perlakuan yang berbeda. Saat timbul masalah dalam pengolahan kayu
(proses pengeringan, permesinan ataupun finishing), pertanyaan pertama yang terlontar
adalah apakah jenis kayunya telah teridentifikasi dengan baik atau tidak.
Dalam tugas kepabeanan (ekspor/impor), identifikasi kayu akan memberikan
informasi apakah dolok, kayu gergajian, ataupun produk kayu telah terlabel dengan benar
sehingga jumlah pajak dapat ditetapkan dan aturan dalam perdagangan pun dapat
diterapkan. International Timber Trade Organization (ITTO) telah membatasi perdagangan
kayu internasional yaitu hanya menggunakan kayu yang ditebang dari konsesi hutan lestari.
Termasuk dengan memastikan sumber dan identitas kayu dalam rangka menegakkan
larangan perdagangan jenis-jenis kayu langka, keahlian dalam mengidentifikasi kayu ini
sangatlah diperlukan (Baas 1994 dalam Wheeler dan Baas 1998).
Dihubungkan dengan antropologi seperti restorasi struktur bangunan bersejarah,
identifikasi kayu juga diperlukan. Para ahli lebih suka menggantikan kayu asli dengan jenis
kayu yang sama yang ada pada waktu ini. Hal tersebut membutuhkan proses identifikasi
jenis, walau sekecil apapun bagian kayu asli yang tersisa. Keaslian dan asal suatu karya
seni bersejarah juga ditunjukkan dari kerangka kayu dan panel yang digunakan.
Identifikasi kayu juga berguna untuk kegiatan forensik, seperti menentukan apakah
potongan/pecahan kayu di Tempat Kejadian Perkara (TKP) cocok dengan jenis yang diambil
dari baju atau kendaraan yang dimiliki tersangka. Keahlian ini juga sering diterapkan dalam
kasus-kasus penyelundupan, pencurian, hingga pemalsuan identitas kayu, bahkan yang
sudah dalam bentuk serpihan, cacahan ataupun serbuk.
Identifikasi kayu yang berasal dari jaman purba (fosil) dapat membantu
merekonstruksi kondisi ekosistem ataupun mendokumentasikan perubahan iklim. Para
ilmuwan paleontologi sangat tertarik untuk mengetahui pohon apa yang ada saat dinosaurus
hidup, dan tipe vegetasi apa yang ada saat primata pertama kali ada atau saat evolusi
manusia. Pengetahuan terhadap fosil kayu secara geologi dapat membantu memberikan
informasi untuk menjelaskan distribusi tumbuhan hingga saat ini, sejarah dari beberapa suku
dan marga, serta distribusi dan diversifikasi tumbuhan berkayu di masa lampau.
Pengetahuan tentang perkayuan ini secara arkeologi juga membantu menyediakan informasi
yang berguna untuk merekonstruksi rute perdagangan (Miller dan Baas 1981; Wheeler dan
Baas 1998).
Selanjutnya diilustrasikan juga mengenai kerugian-kerugian yang ditimbulkan bagi
manusia dan lingkungan akibat keterbatasan pengetahuan dalam identifikasi kayu. Cuplikan
video Bagian 2 disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2. Cuplikan video Bagian 2: Manfaat ilmu anatomi kayu

75
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Bagian 3 mengenai identifikasi kayu. Bagian ini menjelaskan tentang metode-metode


yang digunakan dalam melakukan identifikasi kayu, antara lain berdasarkan ciri umum dan
ciri anatomi beserta kelebihan dan kekurangannya. Cuplikan video Bagian 3 disajikan pada
Gambar 3.

Gambar 3. Cuplikan video Bagian 3: Identifikasi kayu

Bagian 4 menjelaskan tentang bidang orientasi. Kayu merupakan bahan yang


anisotropik, artinya sifat-sifatnya bervariasi menurut arah sumbu yang berlainan atau bidang
orientasi yang berbeda. Bidang orientasi adalah bidang pembantu yang diperlukan untuk
memperoleh kesan yang sebenarnya dari ciri-ciri yang diperlukan untuk pengenalan
(Mandang & Pandit, 2002; Pandit & Kurniawan, 2008). Bagian ini banyak menampilkan
animasi untuk mempermudah pengguna menentukan bidang orientasi yang sangat penting
dalam melakukan identifikasi kayu. Cuplikan video Bagian 4 disajikan pada Gambar 4.

Gambar 4. Cuplikan video Bagian 4: Bidang orientasi

Bagian 5 menjelaskan tentang struktur anatomi kayu. Dalam bagian ini dibahas
secara detail susunan, bentuk dan fungsi sel-sel yang menyusun kayu daun jarum
(hardwood) dan kayu daun lebar (softwood) yaitu pembuluh, parenkim aksial, parenkim jari-
jari, serabut, kulit tersisip, saluran interseluler, dan saluran getah. Setelah menyaksikan
Bagian 5 ini, pengguna akan mendapatkan gambaran yang komprehensif tentang struktur
kayu. Cuplikan video Bagian 5 disajikan pada Gambar 5.

76
ANATOMI DAN SIFAT DASAR KAYU

Gambar 5. Cuplikan video Bagian 5: Struktur anatomi kayu

Bagian 6 berisi tentang praktek identifikasi kayu. Pada bagian ini diperagakan cara
identifikasi kayu secara praktis untuk keperluan di lapangan, termasuk praktek
menggunakan kunci identifikasi kayu Xylarium Bogoriense 1915 Pusat Litbang Hasil Hutan
menggunakan komputer, serta beberapa uji praktis seperti uji bintik dan uji buih yang
bermanfaat dalam mengidentifikasi suatu jenis kayu. Literatur-literatur untuk menunjang
proses identifikasi jenis kayu-kayu Indonesia juga ditunjukkan. Cuplikan video Bagian 6
disajikan pada Gambar 6.

Gambar 6. Cuplikan video Bagian 6: Praktek identifikasi kayu

Bagian 7 menceritakan tentang perkembangan teknologi dalam ilmu anatomi kayu.


Sedikitnya ada empat level dalam struktur kayu yang dapat diidentifikasi, dimana semakin
kecil ukurannya dibutuhkan peralatan yang semakin canggih. Keempat level tersebut adalah
struktur makroskopik, struktur mikroskopik, struktur nano/ultrastruktur dan struktur molekuler
(Booker & Sell, 1998). Selain penjelasan detail dari setiap level, pada bagian ini ditunjukkan
perkembangan peralatan yang digunakan untuk melakukan identifikasi kayu berdasarkan
struktur makroskopis hingga struktur molekuler/DNA.
DVD ini ditutup dengan pernyataan dari Frank L. Wright (1928): We may use wood
with intelligence only if we understand wood. Penggunaan kayu secara bijaksana, efektif
dan efisien akan sangat turut membantu dalam melestarikan sumber daya hutan kita. Kita
dapat menghemat kayu, dan tentu saja dapat menjaga kelangsungan suplai oksigen untuk
meredam dampak perubahan iklim global yang sedang mengancam. Kemudian diakhiri
dengan ajakan untuk menanam pohon dan menjaga hutan, dengan penyadaran bahwa

77
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

sebuah pohon menghasilkan sekitar 118 kg Oksigen setiap tahun yang sangat dibutuhkan
untuk kehidupan. Pada Gambar 7 disajikan sampul depan dan sampul belakang DVD
Anatomi dan Identifkasi Kayu.

Gambar 7. Gambar sampul depan dan sampul belakang DVD Anatomi dan Identifkasi Kayu

KESIMPULAN DAN SARAN

Hasil-hasil penelitian struktur makro, mikro dan ultramikroskopik kayu daun lebar dan
kayu daun jarum telah dituangkan dalam suatu DVD yang berjudul Anatomi dan Identifikasi
Kayu, yang akan sangat bermanfaat dalam membantu pembelajaran mengenai sifat-sifat
yang melekat pada kayu. DVD ini diharapkan dapat disebarkan setelah hak cipta
(copyrights-HKI) diperoleh. Publikasi dan diseminasi sebaiknya dilakukan pada seminar-
seminar organisasi/masyarakat peneliti kayu; para pelajar dan mahasiswa di seluruh
Indonesia, para petugas lapang yang berhadapan dengan kayu, serta para pengusaha kayu,
untuk memecahkan permasalahan terkait dengan rumitnya proses pemahaman terhadap
sifat dasar kayu. Diharapkan, secara jangka panjang, setiap keluarga akan memiliki DVD ini,
agar penanaman kecintaan terhadap kayu dan pohon dapat dilakukan sejak dari rumah,
sehingga mata kuliah anatomi tumbuhan dijadikan sebagai mata ajaran wajib di sekolah dan
perguruan tinggi.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2007. Pengenalan Jenis Kayu : Manfaat Pengenalan Jenis Kayu.


http://www.dephut.go.id/INFORMASI/SETJEN/PUSSTAN/INFO_III01/III_III01.htm. Diakses
tanggal 23 Agustus 2007.
Booker J.E. dan Sell J. 1998. The nanostructure of the cell wall in a living tree. Hotz als Roh-
und Werkstoff 56 (1998) 1-8 ~ Springer-Verlag 1998.
Mandang, Y. I. dan I.K.N. Pandit, 2002. Seri Manual Pedoman Identifikasi Jenis Kayu di
Lapangan. Yayasan PROSEA, Bogor dan Pusat Diklat Pegawai dan SDM Kehutanan.
Bogor.
Miller, R. B. and P. Baas, 1981. Standard List of Characters Suitable for Computerized
Hardwood Identification. IAWA Bulletin n.s., Vl. 2 (2-3), Leiden Netherland.
Pandit, I. K. N. dan D. Kurniawan. 2008. Struktur Kayu. Sifat kayu sebagai bahan baku dan
ciri diagnostik kayu perdagangan Indonesia. Fakultas Kehutanan, IPB. Centium.
Bogor.

78
ANATOMI DAN SIFAT DASAR KAYU

Tesoro, F. O. 1989. Wood Structure and Quality : Bases for Improved Utilization of Timbers.
The Second Pacific Regional Wood Anatomy Conferences 1989. Forest Products
Research and Development Institute. Philippines.
Wheeler, E.A., P. Baas, and Gasson P.E. 1989. IAWA List of Microscopic Features for
Hardwood Identification. IAWA Bulletin n.s. 10 (3):219-332. Leiden, Netherland.
Wheeler, E. A. and Baas, P. 1998. Wood Identification - A Review. IAWA Journal, Vol. 19
(3): 241-264. Leiden Netherland.

79
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

PENINGKATAN MUTU BATANG KELAPA SAWIT BAGIAN DALAM


DENGAN CLOSE SYSTEM COMPRESSION

Rudi Hartono1, Imam Wahyudi2, Fauzi Febrianto2,


Wahyu Dwianto3, dan Nan-Hun Kim4
1
Program Studi Kehutanan, Fakultas Pertanian USU
Email: rudihartono_usu@yahoo.co.id
2
Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan IPB
3
UPT Biomaterial, LIPI-Cibinong
4
Department of Forest Biomaterials Engineering, College of Forest and Enviromental
Science, Kangwon National University, 200-701, Chuncheon, Korea

ABSTRACT

Quality improvement of the inner part of oil palm trunk (OPT) by close system
compression (CSC) method has been carried out in this study. Effect of temperature and
compression time of CSC on physical, mechanical and anatomical properties of OPT was
also evaluated. The inner part of OPT of 15 (L) by 5 cm (W) by 2 cm (T) with average density
of 0.3 g/cm3 were used as the sample unit. Oven-dried samples were immersed in water, and
then were vacuumed until fully saturated. After that, all of them were compressed 50% by
CSC with temperature of 120, 140, 160 and 180 C for 10, 20, 30 and 40 minutes. Finally,
after conditioning for a week in room temperature, all samples were cut for physical and
mechanical properties. Density, recovery of set (RS), MOE and MOR, as well as the
compression parallel to the grain were measured. The result showed that the CSC could
improved the physical and mechanical properties of OPT namely density, dimensional
stability, MOR, MOE, and the compression parallel to the grain. Density of OPT increased
around 3.33-90% (from 0.3 to 0.31-0.59 g/cm3), RS decreased until 1.74%, while MOE, MOR
and compression parallel to the grain increased around 43.22-192.74%, 14.31-155.81%,
and 18.93-123,20%, respectively. The CSC with temperature of 160oC for 40 minutes was
the best treatment.

Keywords: oil palm trunk, close system compression, densified wood, recovery of set,
physical and mechanical properties

PENDAHULUAN

Batang kelapa sawit merupakan salah satu alternatif penghasil kayu yang sangat
menjanjikan. Potensi peremajaannya sangat tinggi mengingat luas areal perkebunan kelapa
sawit telah mencapai lebih dari 8 juta ha dan tersebar di 22 provinsi di Indonesia
(Departemen Pertanian 2010).
Bila digunakan sebagai produk pengganti kayu-kayu gergajian konvensional, batang
kelapa sawit perlu diberi perlakuan tertentu sebelum digunakan karena memiliki beberapa
kelemahan dan hanya 1/3 dari bagian batang terluar yang dapat dijadikan sebagai bahan
konstruksi ringan dan furniture (Bakar et al., 2000). Beberapa kelemahan batang kelapa
sawit diantaranya adalah kembang-susutnya sangat bervariasi (9,2-74%), dimensi kurang
stabil, kekuatan sangat rendah-sedang (kelas kuat IIIV), tidak awet (kelas awet V) dan sulit
dikerjakan (sifat permesinan kelas V) (Bakar et al., 1998, 1999a, 1999b, 2000).
Perlu upaya untuk mencari alternatif pemanfaatan 2/3 bagian dalam kelapa sawit.
Upaya yang dapat dilakukan adalah dengan cara memadatkannya (densifying by
compression). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pemadatan mampu meningkatan
sifat fisis dan sifat mekanis secara signifikan seperti pada kayu randu, jengkol, manii, mindi,
angsana dan mangga (Amin et al., 2004), serta kayu kelapa (Wardhani 2005). Namun

80
ANATOMI DAN SIFAT DASAR KAYU

permasalahan utama dalam pemadatan kayu adalah kayu terpadatkan akan kembali ke
bentuk semula (recovery) bila mendapat pengaruh kelembaban atau perendaman (Dwianto
et al. 1998).
Salah satu pemadatan yang mampu meningkatkan fiksasi kayu secara permanen
dalam waktu singkat adalah metode close system compression (CSC). Metode CSC
menghasilkan fiksasi yang baik pada kayu Randu (Amin dan Dwianto, 2006) dan Sengon
(Amin et al., 2007).
Berdasarkan hal tersebut, maka dilakukanlah penelitian dalam rangka pemanfaatan
dari bagian batang kelapa sawit bagian dalam. Target dari penelitian ini adalah
meningkatnya kualitas batang kelapa sawit bagian dalam sehingga bisa digunakan sebagai
bahan bangunan. Adapun tujuan umum penelitian ini adalah untuk menganalisis sifat fisis
dan mekanis, serta anatomis batang kelapa sawit terpadatkan dengan CSC.

METODE PENELITIAN

Bahan dan Alat


Bahan baku yang digunakan adalah batang kelapa sawit bagian dalam dengan
kerapatan 0,3 g/cm3, polietylene glicol (PEG), alkohol, xylol, safranin, dan enthelen.
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain caliper, oven, pisau
mikrotom, timbangan digital, gergaji circular, desikator, vacum-tekan, universal testing
machine, close system compression, hot press, autoclave steam machine, kipas angin, dan
x-ray difractometer, serta slice microtom.

Metode Penelitian
Pemadatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah pemadatan yang
dikembangkan oleh Amin dan Dwianto (2006), yang dikenal dengan nama Close System
Compression (CSC), untuk mendapatkan stabilitas dimensi yang tinggi dalam waktu singkat.
Prinsip kerja dari metode ini adalah air yang menguap akibat hot press berfungsi sebagai
uap panas (steam) karena tidak dapat keluar dari cetakan.
Contoh uji yang digunakan berukuran 15 x 2 x 5 cm3 (arah T, R, L), lalu dikeringkan
pada suhu 60oC sampai beratnya konstan dan diukur tebal awalnya (To). Contoh uji
kemudian direndam dalam air dan divakum sampai jenuh, lalu dipadatkan dengan tingkat
pemadatan sebesar 50% pada suhu 120, 140, 160, 180, 200oC selama 10, 20, 30 dan 40
menit, dengan 4 kali ulangan.
Setelah dipadatkan, dilakukan pembuatan contoh uji pengukuran sifat fisis, mekanis
dan pengamatan anatomis sesuai standar yang dijadikan acuan. Sisa dari pengujian
tersebut digunakan untuk pengujian kristalinitas kayu.
Kadar air (KA) merupakan perbandingan antara air yang terdapat di dalam kayu
dengan berat kering tanur kayu dan dinyatakan dalam persen, sedangkan kerapatan
merupakan perbandingan antara berat kayu dan volumenya pada kondisi yang sama.
Pengujian fiksasi kayu dilakukan berdasarkan Dwianto et al. (1998), dimana fiksasi
yang terjadi didasarkan oleh nilai pemulihan tebal atau recovery of set (RS) nya. Nilai RS
dihitung dengan rumus [(Tr-Tc)/(To-Tc)]x100%, dimana To adalah tebal awal, Tc adalah
tebal setelah pemadatan, Tr (tebal recovery) adalah tebal setelah direndam dalam air
selama 24 jam dan direbus selama 30 menit. Semuanya diukur dalam kondisi kering tanur.
Pengujian modulus of rupture (MOR) dan modulus of elasticity (MOE) berdasarkan
BS 373 tahun 1957 dengan menggunakan contoh uji yang berukuran 15 x 2 x 1 cm3. MOR =
(3PL)/(2bh2) dan MOE = (PL3)/( y 4bh3), dimana L adalah jarak sanggah, b adalah lebar
contoh uji, P adalah beban maksimum, h tebal contoh uji, P adalah beban sebelum batas
proporsi (kg) dan y adalah defleksi yang terjadi (cm).
Nilai keteguhan tekan sejajar serat juga dihitung berdasarkan standar BS 373 tahun
1957. Keteguhan tekan sejajar serat merupakan perbandingan beban maksimum (kg)
dengan luas penampang (cm2).

81
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Pengamatan struktur anatomi batang kelapa sawit baik kontrol maupun yang
terpadatkan dianalisis melalui hasil pemotretan slide mikrotom berketebalan 30 m dengan
safranin sebagai pewarna.
Derajat kristalinitas adalah dihitung menggunakan X-ray Diffractometer (Shimadzu,
XRD-7000) dimana ukuran contoh uji berupa sayatan tipis dengan tebal sekitar 50 mikron.
Derajat kristalinitas diukur melalui perbandingan daerah pada grafik difraktofram yang
menggambarkan daerah kristalin dan amorf.

Analisis Data dan Rancangan Percobaan


Data hasil pengujian sifat fisis (kerapatan) dan mekanis (MOR, MOE dan keteguhan
tekan sejajar serat) batang kelapa sawit terpadatkan dianalisis menggunakan Rancangan
Acak Lengkap Faktorial dengan 2 faktor yaitu faktor suhu (120, 140, 160 dan 180oC) dan
faktor waktu (10, 20, 30 dan 40 menit), dengan 4 kali ulangan. Jika hasil analisis dari
interaksi antara suhu dan waktu berbeda nyata, maka dilanjutkan dengan uji beda nyata
Duncan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penampilan Batang Kelapa Sawit Terpadatkan


Pemadatan kayu menghasilkan perubahan warna pada papan yang dipadatkan.
Penampakan visual papan yang dipadatkan dapat dilihat pada Gambar 1.
Pada Gambar 1 dapat dilihat bahwa batang kelapa sawit yang dipadatkan pada suhu
o
180 C relatif lebih gelap dibandingkan dengan batang kelapa sawit lainnya. Ada
kecenderungan dimana semakin tinggi suhu pemadatan, akan semakin gelap pula warna
yang dihasilkan. Perubahan warna terkait dengan terdegradasinya lignin yang ada akibat
pemanasan. Menurut Hayashi et al., (2002), suhu 180oC mengakibatkan terjadinya
peluruhan lignin sehingga warna kayu berubah.

Kontrol CSC 120 CSC 140 CSC 160 CSC 180

Gambar 1. Penampilan batang kelapa sawit terpadatkan dengan metode CSC

Sifat Anatomi Kayu


Tingkat pemadatan sebesar 50% akan mengakibatkan perubahan tebal kayu dan ini
akan berdampak terhadap sifat-sifat kayu yang dihasilkan, termasuk secara anatomi. Pada
penampang lintang perubahan tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.
Dari Gambar 2 dan Gambar 3 terlihat bahwa bentuk vascular bundles serta bentuk
dan kondisi pori, serta parenkim dasar pada batang kelapa sawit kontrol (tanpa pemadatan)
bulat dan masih utuh (bulat), sedangkan setelah dipadatkan dengan tingkat pemadatan
sebesar 50% vascular bundles, pori dan jaringan parenkim dasar memipih, serta terdapat
celah antara vascular bundles dan jaringan parenkim dasarnya. Jarak antar vascular bundles
akibat pemadatan juga cenderung lebih rapat.

82
ANATOMI DAN SIFAT DASAR KAYU

Vascular bundle

Vessel
Parenkim dasar

(A) Kontrol (B) Pemadatan

(C) Kontrol (D) Pemadatan

Gambar 2. Penampang lintang batang kelapa sawit: (A) Kontrol (B) Pemadatan dengan
perbesaran 30x, (C) Kontrol, (D) pemadatan dengan perbesaran 50x

Perubahan struktur dapat juga dilihat pada arah Radial seperti terlihat pada Gambar 3.

Vascular bundles

vessel

A. Kontrol B. Pemadatan

Gambar 3. Penampang pada arah radial batang kelapa sawit: (A) Kontrol dan
(B) Pemadatan dengan perbesaran 50x

83
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Sifat Fisis Kayu


Rata-rata nilai pemulihan tebal (RS) dan kerapatan batang kelapa sawit terpadatkan
dengan metode CSC disajikan pada Gambar 4.

Gambar 4. Hubungan antara RS dan kerapatan pada berbagai suhu dan waktu pemadatan

Gambar 4 memperlihatkan bahwa suhu dan waktu pemadatan dengan menggunakan


CSC memberikan kontribusi terhadap rata-rata nilai RS dan kerapatan. Nilai RS semakin
berkurang dengan semakin meningkatnya suhu dan semakin lamanya waktu pemanasan.
Hal ini membuktikan bahwa batang kelapa sawit yang terpadatkan semakin meningkat
stabilitas dimensinya dan semakin meningkat pula kerapatannya.
Pada awal perlakuan dengan suhu 120oC selama 10, nilai RS yang dihasilkan adalah
0,92 atau 92%. Nilai RS berkurang dengan meningkatnya suhu dan waktu pemadatan,
sehingga pada suhu 180oC selama 30 menit dihasilkan nilai RS sebesar 1,74 %, sedangkan
pada suhu 180oC selama 40 menit menghasilkan nilai RS -3,75% yang menandakan telah
terdegradasinya komponen kimiawi batang kelapa sawit.
Metode CSC ini menghasilkan fiksasi yang lebih cepat dibandingkan metode heat
treatment. Dalam penelitian ini, RS pada suhu 160oC selama 40 menit mencapai 5,03% dan
pada suhu 180oC selama 30 menit mencapai 1,74%. Nilai RS yang kecil ini sudah sangat
baik dan sampel telah mencapai fiksasi. Sedangkan pada metode heat treatment, fiksasi
permanen kayu sugi (Cryptomeria japonica D. Don) baru dicapai setelah dipadatkan selama
20 jam pada suhu 180oC, selama 5 jam 200oC atau selama 3 jam 220oC (Inoue dan
Norimoto, 1991)
Nilai kerapatan yang dihasilkan dengan metode ini meningkat seiring menurunnya
nilai RS. Menurunnya nilai RS akan mengakibatkan berkurangnya tebal sampel, sehingga
secara keseluruhan volume sampel menjadi berkurang, sementara massanya relatif tetap.
Hal inilah yang mengakibatkan nilai kerapatan batang sawit terpadatkan meningkat. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa kerapatan batang kelapa sawit terpadatkan meningkat
sebesar 3,33-90%, dari 0,3 g/cm3 menjadi 0,31-0,57 g/cm3. Nilai kerapatan tertinggi
dihasilkan dari perlakuan pemadatan pada suhu 180oC selama 40 menit.
Hasil analisis faktorial terhadap kerapatan diketahui bahwa hanya faktor suhu yang
memberikan pengaruh sangat nyata, sedangkan faktor waktu (lamanya) pemadatan dan
interaksi keduanya tidak berpengaruh nyata.
Pemadatan kayu dengan suhu tinggi dapat meningkatkan kerapatan kayu.
Peningkatan nilai tersebut akibat pemadatan terjadi karena rongga sel dan dinding sel
menjadi lebih padat dan hanya mengandung sedikit selulosa pada dinding primer dan lamela
tengah. Hasil penelitian Murhofiq (2000) menunjukkan bahwa pemadatan sebesar 50%,
meningkatkan kerapatan kayu agathis dari 0,41 menjadi 0,79 dan kayu sengon dari 0,23
menjadi 0,48. Sedangkan Sulystiono (2001) mengemukakan bahwa pemadatan sebesar

84
ANATOMI DAN SIFAT DASAR KAYU

50% pada kayu agathis mengakibatkan meningkatnya nilai kerapatan dari 0,43-0,46 g/cm3
menjadi 0,70-0,85 g/cm3 (arah radial) dan 0,69-0,84 g/cm3 (arah tangensial).

Sifat Mekanis Kayu


Sifat mekanis yang diteliti adalah MOE, MOR dan keteguhan tekan sejajar serat. Nilai
MOE, MOR dan keteguhan tekan sejajar serat batang kelapa sawit terpadatkan dengan
metode CSC disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Nilai MOE, MOR, keteguhan tekan sejajar serat dan kristalinitas
batang kelapa sawit terpadatkan
Waktu MOE MOR Tekan Sejajar
Suhu Kristalinitas
(menit) (kg/cm2) (kg/cm2) Serat (kg/cm2)
10 13500(1761) 90,88 (11,83) 65,15 (6,83) -
20 14361(1796) 94,86 (7,55) 64,80 (4,70) -
120 oC
30 16887 (2232) 97,85 (9,37) 77,90 (7,47) -
40 17452 (2318) 102,9 (14,22) 78,24 (6,88) -

10 18504 (2949) 101,80 (11,97) 90,70 (14,31) -


20 20967 (3578) 107,60 (10,05) 104,44 (12,73) -
140 oC
30 20131 (2997) 130,13 (14,48) 105,84 (14,72) -
40 23268 (3110) 142,19 (14,31) 110,21(16,37) -

10 22127 (1930) 145,84 (27,48) 104,81 (14,63) 39.40


20 23186 (3222) 193,48 (14,56) 116,4 (15,73) 48.70
160 oC
30 25121 (2951) 200,36 (22,62) 119,53 (13,15) 50.14
40 27594 (2792) 203,37 (23,49) 122,27 (14,22) 55.49

10 22894 (2461) 176,22 (11,68)) 104,07 (14,87) 43.98


20 23583 (3657) 199,23 (30,67) 106,73 (3,86) 45.28
180 oC 49,51
30 25298 (3733) 200,61 (7,31) 107,04 (11,22)
40 23719 (1733) 186,34 (26,24) 108,77 (14,57) 44.52

Tabel 1 memperlihatkan bahwa suhu dan waktu pemadatan memberikan kontribusi


terhadap sifat mekanis yang diteliti. Semua sifat mekanis (MOE, MOR dan keteguhan tekan
sejajar serat) cenderung meningkat seiring meningkatnya suhu dan waktu pemadatan.
Nilai MOE batang kelapa sawit kontrol sebesar 9426 kg/cm2. Setelah pemadatan
dengan CSC, nilai MOE menjadi 13500-27594 kg/cm2 atau meningkat sekitar 43,22-
192,74%. Nilai MOR batang kelapa sawit kontrol 79,50 kg/cm2 dan setelah pemadatan
menjadi 90,88-203,37 kg/cm2 atau meningkat sekitar 14,31-155,81%. Sedangkan nilai
keteguhan tekan sejajar serat yang pada awalnya sebesar 54,78 kg/cm3, setelah dipadatkan
menjadi 65,15-122,27 kg/cm2 atau mengalami peningkatan sebesar 18,93-123,20%. Secara
keseluruhan, sifat mekanis tertinggi dihasilkan pada perlakuan pemadatan suhu 160oC
selama 40 menit.
Peningkatan sifat mekanis ini juga terkait dengan meningkatnya nilai derajat
kristalinitas. Hal ini terjadi karena panas yang ada saat kayu dikempa mampu melunakkan
komponen matriks penyusun dinding sel yang ada di bagian permukaan sehingga
mengakibatkan kayu menjadi lebih kering (molekul air berkurang) dan merapatnya benang-
benang makrofibril penyusun fraksi amorf membentuk fraksi kristalik.
Mitsui et al., (2007) mengemukakan bahwa perlakuan pemanasan akan
mendegradasi kelompok-kelompok hidroksil selulosa yang diawali dengan daerah amorf,
kemudian daerah semikristalin, dan diakhiri di daerah kristalin. Perubahan dari daerah amorf
ke daerah kristalin menyebabkan daya serap air menjadi berkurang sehingga kayu akan
lebih stabil. Hubungan antara sifat mekanis kayu dengan derajat kristalinitas disajikan pada
Gambar 5.

85
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

(1)

(2)

(3)

Gambar 5. Hubungan kristalinitas dengan MOE (1), MOR (2) dan


keteguhan tekan sejajar serat (3)

Hubungan antara kristalinitas dan nilai MOE ditunjukkan oleh garis polynomial,
dimana persamaan y = -2E-07x2 + 0.011x - 124.5, R = 0.856 dan nilai MOR y = 0.004x2 -
1.450x + 149.8, R = 0.809, serta nilai keteguhan tekan sejajar serat y = 0.012x2 - 2.229x +
141.2, R = 0,695. Hal ini menunjukkan bahwa sifat mekanis memiliki hubungan yang erat

86
ANATOMI DAN SIFAT DASAR KAYU

dengan daerah kristalinitas, terlihat dari nilai R2 yang dihasilkan. Semakin tinggi derajat
kristalinitasnya, akan semakin tinggi pula sifat fisis-mekanis yang dihasilkan.

KESIMPULAN

Peningkatan suhu dan waktu pemadatan dengan CSC menyebabkan warna batang
kelapa sawit semakin gelap.
Nilai RS batang kelapa sawit terpadatkan menurun seiring dengan peningkatan suhu
dan waktu pemadatan. Semakin rendah nilai RS berarti semakin meningkat stabilitas
dimensi batang kelapa sawit. Semakin kecil nilai RS, semakin meningkat nilai kerapatan
batang kelapa sawit.
Pemadatan meningkatkan nilai sifat mekanis. Nilai MOE, MOR, keteguhan tekan
cenderung meningkat seiring dengan peningkatan suhu dan lama waktu pemadatan. Nilai
sifat mekanis terbaik dihasilkan pada perlakuan pemadatan pada suhu 160oC selama 40
menit.
Proses pemadatan dengan metode CSC mengakibatkan peningkatan kristalinitas
kayu. Hal ini akan berpengaruh terhadap sifat-sifat kayu. Ada hubungan yang erat antara
kristalinitas dengan nilai MOR, MOE dan keteguhan tekan sejajar serat.
Secara makroskopis dapat diketahui bahwa vascular bundles, pori dan jaringan
parenkim dasar pada batang kelapa sawit yang dipadatkan memipih, serta terdapat celah
antara vascular bundles dan jaringan parenkim dasarnya. Jarak antar vascular bundles
akibat pemadatan juga cenderung lebih rapat.

DAFTAR PUSTAKA

Amin Y, Dwianto W dan Prianto AH. 2004. Sifat Mekanik Kayu Kompresi. Prosiding
Seminar Nasional Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) VII. Makasar. Hal :
90 95
Amin Y dan Dwianto W. 2006. Pengaruh Suhu dan Tekanan Uap terhadap Fiksasi Kayu
Kompressi dengan menggunakan Close System Compression. Jurnal Ilmu dan
Teknologi Kayu Tropis Vol 4 (2) : 55-60
Amin Y, Darmawan T, Wahyuni I dan Dwianto W. 2007. Pengaruh Perendaman NaOH
Terhadap Fiksasi Kayu Kompresi dengan Menggunakan Close System Compression.
Prosiding Seminar MAPEKI X di Pontianak, 9-11 Agustus 2007, p : 240-247.
Bakar ES, Rachman O, Hermawan D, Karlinasari L dan Rosdiana N. 1998. Pemanfaatan
Batang Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq) Sebagai Bahan Bangunan dan
Furniture (I) : Sifat Fisis, Kimia dan Keawetan Alami Kayu Kelapa Sawit. Jurnal
Teknologi Hasil Hutan Vol. XI (1) : 1-11
Bakar ES, Rachman O, Darmawan W, Hidayat I. 1999a. Pemanfaatan Batang Kelapa
Sawit (Elaeis guineensis Jacq) Sebagai Bahan Bangunan dan Furniture (II) : Sifat
Mekanis Kayu Kelapa Sawit. Jurnal Teknologi Hasil Hutan Vol. XII (1) : 10-20
Bakar ES, Massijaya Y, Tobing TL dan Mamur A. 1999b. Pemanfaatan Batang Kelapa
Sawit (Elaeis guineensis Jacq) Sebagai Bahan Bangunan dan Meubel (III) : Sifat
Keterawetan Kayu Sawit dengan Basilit-CFK dan Impralit-BI. . Jurnal Teknologi
Hasil Hutan Vol. XII (2) : 1320
Bakar ES, Rachman O, Massijaya Y dan Bahruni. 2000. Pemanfaatan Batang Kelapa Sawit
(Elaeis guineensis Jacq) Sebagai Bahan Bangunan dan Furniture. Laporan Penelitian
Hibah Bersaing VI Perguruan Tinggi. Jurusan Teknologi Hasil Hutan, Institut
Pertanian Bogor. Tidak Dipublikasikan.
Departemen Pertanian. 2010. Statistik Pertanian 2010.
Dwianto W, Norimoto M, Morooka T, Tanaka F, Inoue I, Liu Y. 1998. Radial Compression
of Sugi. Wood (Cryptomeria japonica D. Don). Holz als roh-und Werkstoff 56: 403-
411. Springer-Verlag.

87
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Hayashi K, Sugimori G, Yamashita K. 2002. Color Change of Wood during High Temperatur
Drying. In Dwianto et al. Proceeding of 4th International Wood Science Symposium.
September 2-5, 2002. Serpong. Indonesia. Pp: 72-73
Inoue M and Norimoto M. 1991. Permanent Fixation of Compressive Deformation in Wood
by Heat Treatment. Wood Research and Technical Notes 27: 3140.
Mitsui, K., Inagaki T and Tsuchikawa S. 2008. Monitoring of Hydroxyl Group in Wood during
Heat Treatment Using NIR Spectroscopy. Biomacromolecules,9: 286-288
Murhofiq, S. 2000. Pengaruh Pemadatan Arah Radial Disertai Suhu Tinggi terhadap Sifat
Fisis dan Mekanis Kayu Agathis (Agathis loranthifolia Salisb) dan Sengon
(Paraserianthes falcataria (l.) Nielsen). Jurusan Teknologi Hasil Hutan, Fakultas
Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Skripsi. Tidak Dipublikasikan.
Sulistyono. 2001. Studi Rekayasa Teknis, Sifat Fisis, Sifat Mekanis dan Keandalan
Konstruksi Kayu Agathis (Agathis loranthifolia Salibs) Terpadatkan. Program Studi
Ilmu Pengetahuan Kehutanan. Program Pascasarjana IPB. Thesis. Tidak
dipublikasikan.
Wardhani IY. 2005. Kajian Sifat Dasar dan Pemadatan Bagian Dalam Kayu Kelapa (Cocos
nucifera L). [Disertasi]. Bogor: Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

88
ANATOMI DAN SIFAT DASAR KAYU

VARIASI SIFAT ANATOMI KAYU MERANTI MERAH


(Shorea leprosula) PADA 3 KLAS DIAMETER YANG BERBEDA

Harry Praptoyo
Bagian Teknologi Hasil Hutan
Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada

ABSTRAK

Kayu meranti merah(Shorea spp) merupakan salah satu jenis pohon yang paling
banyak tumbuh di hutan alam di Kalimantan. Tinggi pohon meranti merah dapat mencapai 50
dengan diameter bisa mencapai 100 cm. Informasi mengenai variasi sifat makroskopis dan
mikroskopis kayu meranti merah, persentase rasio kayu gubal dan kayu teras, periode kayu
juvenil dan kayu dewasa meranti merah yang terbentuk pada klas diameter yang berbeda
pada umur yang sama, masih sangat terbatas.
Penelitian ini bertujuan untuk memberikan informasi tentang sifat makroskopis dan
mikroskopis kayu meranti pada umur 10 tahun yang memiliki diameter yang berbeda yaitu 7,
15 dan 20 cm. Melalui penelitian ini diharapkan juga dapat memberikan informasi tentang
periode juvenil yang terbentuk pada kayu meranti dengan klas diameter yang berbeda dan
juga persentase gubal-teras. Bahan penelitian kayu meranti diambil dari areal HPH PT. Sari
Bumi Kusuma yang berlokasi di wilayah propinsi Kalimantan Tengah.
Hasil penelitian menunjukkan secara makroskopis kayu meranti merah memiliki
karkateristik yang sama pada tiga diameter yang berbeda seperti lingkaran tahun tidak
terlihat, pembuluh tunggal sebagian ganda radial, parenkim paratrakeal jarang, jari-jari tidak
bertingkat, dan memiliki serat lurus. Hanya satu karakteristik yang berbeda yaitu saluran
damar, pada diameter 7cm, belum dijumpai adanya saluran damar, sementara untuk
diameter 15 dan 20 cm sudah ada saluran damar. Secara mikroskopis kayu meranti merah
menunjukkan karakteristik karakteristik sebagai berikut, panjang serat untuk 3 klas diameter
yang berbeda dari 7, 15 dan 20 cm berturut-turut adalah 1.02, 1.06 dan 1.04 mm, diameter
serat berturut-turut adalah 22.28, 20.08 dan 22.68 m, diameter pembuluh berturut-turut
adalah 149.50, 175.89 dan 175.22 m, sedangkan untuk tebal dinding sel berturut turut
adalah 2.25, 2.22, dan 1,82 m. Proporsi sel serabut untuk diameter 7, 15 dan 20 cm
berturut-turut adalah 61.95, 53.86 dan 63.86%, proporsi sel pembuluh adalah 11.30, 10.47
dan 8.34%, proporsi sel jari-jari adalah 14.09, 21.14 dan 12.16% dan proporsi sel parenkim
adalah 12.65, 13.57 dan 14.70%. Hasil lainnya adalah rasio persentase gubal-teras untuk 3
klas diameter yang berbeda dari 7, 15 dan 20 cm berturut-turut adalah 70/30, 76/24 dan
75/25. Sedangkan periode juvenil, dari grafik panjang serat menunjukkan bahwa ketiga klas
diameter dari kayu meranti ini semuanya masih merupakan kayu juvenil. Tekstur kayu
sedang-kasar dan rata.

PENDAHULUAN

Kayu meranti merah(Shorea spp) merupakan salah satu jenis pohon yang paling
banyak tumbuh di hutan alam di kalimantan. Tinggi pohon meranti merah dapat mencapai 50
dengan diameter bisa mencapai 100 cm. Sampai saat ini hutan meranti di Kalimantan
pengelolaannya diserahkan kepada BUMN kehutanan dan HPH swasta. Kegiatan
pengelolaan hutan alam meranti tersebut salah satu tujuan utamanya adalah untuk
melakukan eksploitasi atau pemungutan kayunya sebagai salah satu produk utama mereka.
Kegiatan penebangan hutan alam di kalimantan sebagaimana diatur oleh pemerintah
ditetapkan berdasarkan kelas diameter tertentu.
Untuk spesies meranti ditetapkan bahwa pohon yang boleh ditebang minimal harus
memiliki diameter diatas 50 cm. Sebagaimana diketahui bahwa pertumbuhan kayu (riap)

89
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

pohon berlangsung sangat cepat di awal-awal masa pertumbuhan atau pada waktu umur
pohon masih muda kemudian setelah mencapai umur tertentu atau diameter tertentu
kegiatan penambahan riap kayu akan mulai melambat. Berdasarkan karakteristik dari
pertumbuhan kayu tersebut maka diperlukan penelitian untuk mengetahui bagaimana sifat-
sifat kayu meranti pada berbagai kelas diameter.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ciri struktur dan anatomi kayu meranti
merah baik ciri struktur makroskopis maupun struktur mikroskopisnya. Selain itu penelitian
ini juga bertujuan untuk mengetahui sifat anatomi kayu meranti merah pada berbagai kelas
diameter yang berbeda.

METODE PENELITIAN

Bahan dan Alat Penelitian


Bahan-bahan yang diperlukan daam penelitian ini adalah kayu meranti merah (Shorea
leprosula) pada 3 kelas diameter yang berbeda berupa disk setebal 5 cm diambil dari hutan
alam kalimantan barat., alkohol (C2H5OH), perhidrol (H2O2), safranin, silol (C5H10), canada
balsam, air suling dan asam asetat glacial
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah gergaji, pisau potong, loupe,
mikrotom, kaca/gelas preparat, pipet, pisau potong (cutter), labu ukur, timbangan digital,
oven, desikator, kaliper, tabung reaksi, kaca preparat, pinset, kompor pemanas, kotak
preparat, mikroskop fluorescence tipe BX 51 dengan program Image Pro Plus V 4.5.

Waktu dan Lokasi Penelitian


Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari - April 2011 dan berlokasi di
Laboratorium Struktur dan Sifat Kayu, Teknologi Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan,
Universitas Gadjah Mada.

Prosedur Penelitian
1. Pembuatan preparat untuk pengamatan makroskopis
Membuat contoh uji yaitu potongan kayu dengan ukuran 2 cm x 6 cm x 10 cm.
2. Pembuatan preparat untuk dimensi serat kayu
Membuat contoh uji berbentuk stik berukuran 1 mm x 1 mm x 20 mm, dan disiapkan
tabung reaksi yang berisi campuran asam asetat glasial dan perhidrol dengan
perbandingan 1 : 20. Selanjutnya dilakukan proses maserasi sehingga diperoleh preparat
dimensi serat.
3. Pembuatan preparat untuk proporsi sel kayu
Preparat dibuat dengan terlebih dahulu menyiapkan contoh uji berupa potongan kayu
dengan ukuran 1 cm x 1 cm x 1 cm. Potongan kayu tersebut kemudian diiris dengan
mikrotom pada penampang melintang dan tangensialnya dengan ketebalan 10 - 20
mikron.

Pelaksanaan penelitian
Sifat anatomi kayu, meliputi makroskopis dan mikroskopis kayu.
Untuk sifat makroskopis dilakukan dengan melakukan pengamatan terhadap ciri-ciri struktur
kayu dengan menggunakan bantuan kaca pembesar perbesaran 12-15x.
Untuk sifat mikroskopis meliputi proporsi sel dan dimensi sel kayu.
Proporsi sel
Cara penentuan proporsi sel yang digunakan adalah berdasarkan perbandingan luas
tipe sel dengan sistem dot grid yang telah baku yaitu titik-titik dalam jarak yang sama dalam
luasan tertentu. Proporsi sel jari-jari pada penampang (x) dianggap tidak lengkap maka
dikoreksi melalui proporsinya pada penampang tangensialnya (t). Cara pengukuran proporsi
jari-jari pada penampang T juga sama dengan penentuan proporsi pada penampang X

90
ANATOMI DAN SIFAT DASAR KAYU

1. Dimensi serat
a. Panjang Serat, Panjang serat diukur dari preparat dimensi serat. Pengukuran panjang
serat dilakukan dengan menggunakan software program Image Pro Plus V 4.5. Serat
yang diukur adalah serat yang utuh, tidak putus atau patah.
b. Diameter serat, diameter lumen dan tebal dinding. Pengukuran diameter serat dan
diameter lumen dapat dilakukan secara langsung dengan menggunakan program
Image Pro Plus V 4.5. Foto anatomi kayu yang digunakan dengan perbesaran 100X.
2. Rasio Gubal dan Teras
Perhitungan rasio kayu gubal dengan kayu teras dilakukan dengan
membandingkan luas permukaan masing-masing kayu gubal dan kayu teras
dibandingkan dengan luas permukaan melintang batang yang terdapat dalam satu disk.
Perhitungannya sebagai berikut :

LPM  LT LT
(%) Gubal x100% (%) Teras x100%
LPM LPM

Dimana
LT : Luas Kayu Teras
LPM : Luas penampang melintang disk

3. Periode Juvenil
Penentuan periode juvenil dilakukan dengan menggunakan salah satu sifat kayu
juvenil yang berupa panjang serat. Kayu juvenil umumnya memiliki ciri peningkatan
panjang serat yang sangat cepat (rapid increase) dari bagian pusat kayu ke bagian luar
menuju kayu dewasa. Sementara kayu dewasa umunya memiliki panjang serat yang
relatif konstan dalam arah radial Kayu. Atas dasar tersebut maka penentuan periode
juvenil dilakukan dengan melihat penambahan panjang serat secara progresif mulai dari
pusat kayu ke bagian kayu dekat kulit.
Pada penelitian ini dibuat sampel uji setiap 1 cm dari pusat kayu ke kulit.
Selanjutnya dari setiap sampel tersebut dibuatkan preparat maserasi untuk diukur
panjang seratnya. Dari hasil analisa grafik panjang serat dapat digunakan untuk
menentukan periode juvenil dari kayu meranti merah.
4. Tekstur
Tekstur kayu merupakan salah satu sifat kayu yang didasarkan pada ukuran sel
penyusun kayu dan kenampakan lingkaran tahun pada penampang melintang kayu.
Berdasarkan ukuran sel penyusunnya tekstur kayu diklasifikasikan menjadi kasar, sedang
dan halus, sedangkan berdasarkan kenampakan lingkaran tahun tekstur kayu
diklasifikasikan menjadi tekstur rata dan tidak rata (Panshin and de Zeeuw, 1980). Tekstur
kasar sampai halus dilihat berdasarkan ukuran diameter sel. Sel kayu yang sering
digunakan untuk menentukan tekstur kayu adalah sel serabut dan sel pembuluh. Kriteria
tekstur Kayu adalah sebagai berikut :
Ukuran diameter sel pembuluh (pori) :
Kasar : > 200 Lingkaran tahun :
Sedang : 100-200
Rata : Lingkaran tahun tidak terlihat
Halus : < 100
Tidak rata : Lingkaran tahun terlihat

HASIL DAN PEMBAHASAN

Sifat Anatomi Kayu


Berdasarkan hasil pengamatan diperoleh data sifat makroskopis ciri struktur kayu
meranti merah (Shorea leprosula) disajikan di bawah ini

91
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Tabel 1. Sifat makroskopis kayu meranti merah (Shorea leprosula)

Ciri struktur kayu Klas Diameter


7 cm 15 cm 20 cm
Lingkaran tahun Tidak kelihatan Tidak kelihatan Tidak kelihatan
Pembuluh
x Penyebaran Tunggal, ganda radial Tunggal, ganda radial Tunggal, ganda radial
- - -
x Isi 149.50 175.89 175.22
x Diameter
Parenkim Pita konsentrik, Pita konsentrik, Pita konsentrik,
paratrakeal jarang paratrakeal jarang paratrakeal jarang
Jari-jari
x Ukuran 2 macam ukuran 2 macam ukuran 2 macam ukuran
x Bertingkat pada (t) Tidak Tidak Tidak
Serat Lurus Lurus Lurus
Saluran damar
x Ada/tidak Belum ada Ada Ada
x penyebaran Baris tangensial Baris tangensial Baris tangensial

Kayu meranti merah lingkaran tahunnya pada penampang melintang tidak terlihat
jelas, hal ini karena tidak adanya perbedaan warna antara kayu awal dengan kayu akhir..
Penyebaran pembuluhnya tunggal dan ada sebagian ganda radial dan tidak ada isinya,
dengan sedikit variasi ukuran diameter sel pembuluh (pori) pada klas diameter yang
berbeda. Pada meranti klas diameter 7 cm, memiliki ukuran diameter pori paling kecil yaitu
149.50 , sedangkan untuk meranti klas diameter 15 cm dan 20 cm memiliki ukuran
diameter pori yang hamper sama yaitu berrkisar 175 .
Parenkimnya merupakan parenkim pita konsentrik dan paratrakeal jarang. Jari-jari
kayu memiliki dua macam ukuran dan tidak bertingkat. Pada penampang tangensial tidak
terlihat dua ukuran jari-jari dan tidak bertingkat, seratnya lurus serta tidak memiliki saluran
damar.
Berdasarkan hasil pengamatan diperoleh data sifat mikroskopis kayu meranti merah
disajikan di bawah ini :

Tabel 2. Dimensi serat kayu meranti merah

Dimensi serat Klas Diameter


7 cm 15 cm 20 cm
Panjang serat (mm) 1.02 1.06 1.04
Diameter serat () 22.28 20.08 22.68
Diameter lumen () 17.78 15.63 19.04
Tebal dinding sel 2.25 2.22 1.82
()

Tabel 3. Proporsi sel kayu meranti merah

Macam Sel Kayu Klas Diameter


7 cm 15 cm 20 cm
Pembuluh (%) 11.30 10.47 8.34
Parenkim (%) 12.65 13.57 14.70
Jari-Jari (%) 14.09 21.14 12.16
Serabut (%) 61.95 53.86 63.85
Saluran dammar - 0.95 0.92
(%)

92
ANATOMI DAN SIFAT DASAR KAYU

Kayu meranti merah memiliki panjang serat rata-rata 1.16 mm, diameter serat 21.67
mikron, diameter lumen 17.48 mikron dan tebal dinding sel 2.09 mikron, dimana serat
terpanjang didapat pada meranti merah diameter 15 cm, sedangkan serat terpendek pada
meranti diameter 7cm. Hal ini dikarenakan tempat tumbuh yang berbeda dan perlakuan
silvikultur yang berbeda. Sedangkan untuk proporsi selnya (Tabel 3) yaitu pembuluh rata-
ratanya 10.04 %, parenkim 13.63%, serabut 48.97 % dan jari-jari 10.90 %. Proporsi serabut
paling besar didapat pada meranti diameter 20cm, sedangkan yang terkecil terdapat pada
meranti diameter 15cm. Perbedaan ini disebabkan karena perbedaan riap tumbuh yang
cukup besar meskipun umurnya sama. Sebagaimana disampaikan oleh Biermann (1996)
bahwa proporsi serabut kayu daun lebar sangat dipengaruhi oleh kecepatan tumbuh.
Sementara Haygreen dan Bowyer (1996) menyatakan bahwa lebar riap tumbuh dipengaruhi
oleh beberapa hal diantaranya adalah laju pertumbuhan. Semakin cepat tumbuh, maka riap
tumbuhnya akan semakin lebar. Proporsi serabut juga berpengaruh pada kekuatan kayu
karena memiliki dinding sel kayu yang paling tebal. Data tersebut sesuai dengan pernyataan
Panshin dan De Zeeuw (1980) dan Prawirohatmodjo (1999) bahwa pembuluh kayu berkisar
6,5-55%. Sedangkan untuk parenkimnya lebih besar dari apa yang disebutkan yaitu 0-15%.
Namun nilai proporsi parenkim ini sesuai dengan pernyataan Biermann (1996) bahwa kayu
daun lebar memiliki proporsi parenkimnya 10-35%. Proporsi jari-jari telah sesuai bila
dibandingkan dengan pernyataan Haygreen dan Bowyer (1996), dan Tsoumis (1991) bahwa
proporsi sel parenkim jari-jari pada kayu daun adalah sebesar 5-30%.

Rasio Gubal Teras


Kayu gubal dan kayu teras merupakan bagian kayu yang memiliki ciri dan fungsi yang
berbeda dalam satu pohon. Kayu gubal umumnya memiliki warna yang lebih muda/terang
dibandingkan dengan kayu teras. Perbedaan warna yang sangat kontras tersebut dapat
digunakan untuk menentukan berapa rasio gubal dan teras yang dimiliki oleh sebatang
pohon.
Dari hasil pengamatan yang dilakukan terhadap pohon meranti merah pada klas
diameter yang berbeda menujukkan hasil yang tidak banyak berbeda, dimana kayu gubal
secara keseluruhan memiliki rasio yang lebih besar dibanding kayu teras sebagaimana bisa
dilihat pada tabel berikut.

Tabel 4. Rasio Gubal dan Teras Kayu meranti merah pada 3 klas diameter

Klas diameter Rasio Gubal dan Teras (%)


Gubal Teras
7 70.35 29.65
15 76.55 23.45
20 75.09 24.91

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa proses pembentukan kayu teras pada
spesies meranti merah berjalan cukup lambat, karena sampai diameter 20 cm ternyata
luasan kayu teras tidak mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Bahkan bila melihat
dari tabel 5 diatas, terlihat justru kayu meranti dengan diameter kecil memiliki luas kayu teras
yang lebih besar besar dibandingkan dengan luas kayu teras meranti yang berdiameter lebih
besar. Hal ini bisa terjadi karena proses pembentukan kayu teras pada pohon meranti merah
lebih lambat dibandingkan dengan pertambahan riap diameter kayu setiap tahunnya,
sehingga mengakibatkan secara akumulatif luas gubal yang terbentuk akan semakin banyak
dibandingkan dengan penambahan luasan kayu teras.
Proses pembantukan kayu gubal sangat cepat dipengaruhi oleh beberapa faktor
diantaranya ketersediaan air dan unsur hara dalam tanah yang cukup melimpah akan sangat
membantu untuk proses pembentukan xylem sekunder yang baru sehingga akan menambah
luas kayu gubal. Sementara pembentukan kayu teras umumnya terpacu karena kekurangan
persediaan air dalam tanah sebagaimana disampaikan oleh Haygreen dan Bowyer (1996).
Oleh karena itu, dengan adanya unsur-unsur tersebut akan sangat menentukan berapa

93
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

besarnya rasio kayu gubal dan kayu teras dalam sebatang pohon. Hal ini juga didukung oleh
penelitian yang dilakukan Pandit (2000) yang menyatakan bahwa tersedianya air dalam
tanah yang cukup banyak akan menunda pembentukan kayu teras, sebagai contoh adalah
kayu ebony yang ditanam di kampus IPB Darmaga, Bogor walaupun telah berumur 25 tahun,
kayu terasnya belum terbentuk.

Periode Juvenil
Kayu juvenil merupakan kayu muda yang terbentuk di awal masa pertumbuhan
pohon. Dimana dalam proses pembentukan sel-selnya masih dipengaruhi oleh meristem
apikal, sehingga mengakibatkan sel-sel yang dibentuk oleh kayu juvenil memiliki cirri dan
karakteristik yang berbeda dengan kayu dewasa
.
Tabel 5. Periode juvenil kayu meranti merah pada 3 klas diameter

Klas diameter Zonasi (jarak dari empulur)


Juvenil Dewasa
7 3cm Belum terbentuk
15 6cm Belum terbentuk
20 8cm Belum terbentuk

Pada kayu meranti merah yang berdiameter 7cm, terlihat pada rata-rata grafik panjang
seratnya menunjukkan trend peningkatan yang cukup progresif. Pada setiap jarak 1 cm dari
pusat kayu, seratnya mengalami peningkatan panjang yang sangat cepat (rapid incease)
dimana ciri seperti ini menunjukkan bahwa bagian kayu ini masih merupakan periode juvenil.

Gambar 1. Grafik panjang serat meranti merah (Shorea leprosula)


umur 10 tahun diameter 7cm

Sementara itu pada meranti merah yang berdiameter 15 dan 20 cm juga


menunjukkan hal yang sama, dimana peningkatan panjang serat sampai pada jarak 6cm dan
8cm dari pusat kayu masih menunjukkaan tren peningkatan yang cukup progresif,
sebagaimana bisa dilihat pada grafik dibawah. Ini menujukkan bahwa sampai pada jarak
8cm dari pusat kayu periode pembentukan kayu juvenil belum menunjukkan tanda-tanda
berakhir, sehingga dengan demikian fase pembentukan kayu dewasa belum dimulai.

94
ANATOMI DAN SIFAT DASAR KAYU

Gambar 2. Grafik panjang serat meranti merah (Shorea leprosula)


umur 10tahun diameter 15cm

Gambar 3. Grafik panjang serat meranti merah (Shorea leprosula)


umur 10tahun diameter 20 cm

Tekstur Kayu

Tabel 6. Tekstur kayu meranti merah pada 3 klas diameter

Klas Parameter Tekstur kayu


Diameter Diameter Diameter Lingkaran Tahun
(cm) Pori Serat
7 149.50 22.28 Tidak terlihat halus-
sedang/rata
15 175.89 20.08 Tidak terlihat sedang-
kasar/rata
20 175.22 22.68 Tidak terlihat sedang-
kasar/rata

Tekstur kayu ditentukan oleh ukuran diameter sel pembuluh. Pada meranti merah ini,
menunjukkan adanya perbedaan ukuran pori disebabkan oleh perbedaan klas diameter (lihat
tabel 1). Pada klas diameter 7 cm, rata-rata pori memiliki diameter 149, sedangkan meranti
merah berdiameter 15 dan 20cm, memiliki diameter pori berkisar 175. Hal ini berarti
meranti merah baik yang berdiameter yang kecil (7cm) maupun yang berdiameter agak
besar (15cm dan 20cm) kesemuanya memiliki tekstur sedang cenderung ke kasar.
Sedangkan berdasarkan kenampakan lingkaran tahunnya, meranti merah tergolong
bertekstur rata.

95
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan sifat anatomi dan sifat fisika kayu
meranti merah yang telah dilakukan dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Kayu meranti merah memiliki lingkaran tahun yang tidak jelas, bentuk parenkim
paratrakeal jarang, jari-jari hanya memiliki satu macam ukuran dan tidak bertingkat,
pembuluh tunggal, serat lurus dan memiliki saluran damar.
2. Proporsi sel kayu meranti merah pada 3 diameter menunjukkan bahwa proporsi sel
didominasi oleh sel serabut yang memiliki prosentase paling banyak (diatas 56 %), diikuti
sel Parenkim (15%), Jari-jari (15%) dan Pembuluh (11 %).
3. Meranti merah diameter 15 cm memiliki serat terpanjang 1.06mm, sedangkan serat
terpendek 1.02 mm pada meranti diameter 7cm.
4. Rasio gubal dan teras untuk ketiga meranti merah tersebut semuanya menunjukkan
memiliki persentase gubal yang lebih tinggi (diatas 70%) dibandingkan persentase kayu
teras yang kurang dari 30%.
5. Kayu dewasa pada ketiga meranti merah belum terbentuk, hal ini berdasarkan analisis
panjang serat yang masih menunjukkan gradient peningkatan yang cukup tinggi dan
belum ada tanda yang menunjukkan bahwa kayu dewasa mulai terbentuk.
6. Tekstur meranti merah baik yang berdiameter yang kecil (7cm) maupun yang berdiameter
agak besar (15cm dan 20cm) kesemuanya memiliki tekstur sedang cenderung ke kasar.
Sedangkan berdasarkan kenampakan lingkaran tahunnya, meranti merah tergolong
bertekstur rata.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 1957. Methods of Testing Small Clear Specimens of Timber. B.S. 373. British
Standard. United Kingdom.
Biermann, C.J. 1996. Handbook of Pulping and Papermaking. Academic Press. San Diego.
California.
Brown , H.P., A.J. Panshin dan C.C. Forsaith. 1952. Textbook of Wood Technology. Vol II.
The Bonding and Finishing of Wood. 185-208. New York. McGraw Hill Book
Company Inc.
Haygreen, J.G. dan J.L. Bowyer, 1996. Hasil Hutan dan Ilmu Kayu, suatu pengantar.
Terjemahan Sutjipto, A.H. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta
Martawijaya, A., Kartasujana, Y.I. Mandang, S.A. Prawira dan K. Kadir, 1989. Atlas Kayu
Indonesia Jilid II. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Departemen
Kehutanan Indonesia. Bogor.
Panshin, A.J., dan Carl de Zeeuw, 1980. Textbook of Wood Technology. Fourt Edition, Mc
Graw Hill Book Company. New York, USA.
Prawirohatmodjo, S., 1999. Struktur dan Sifat-Sifat Kayu (Anatomi Kayu, Anatomi Kayu
Daun, Anatomi Kayu Jarum). Jilid III. Bagian Penerbitan Yayasan Fakultas
Kehutanan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Prawirohatmodjo, S., 2001. Variabilitas Sifat-sifat Kayu. Bagian Penerbitan Yayasan
Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Sutapa, J.P.G. 2004. Penelitian Beberapa Sifat Fisika Kayu Meranti merah (Shorea leprosula
L.) dari Areal Agro-forestry Tradisional. Prosiding Seminar Nasional VII Mapeki.
Makassar.
Tsoumis, G. 1991. Science and Technology of Wood. Structure, Properties, Utilization. Van
Nostrand Reinhold. New York.

96
ANATOMI DAN SIFAT DASAR KAYU

KONDUKTIVITAS PANAS EMPAT JENIS KAYU


DALAM KONDISI KADAR AIR YANG BERBEDA

Anton Prasojo1, Joko Sulistyo2 dan Tomy Listyanto2


1
Alumni Bagian Teknologi Hasil Hutan Fakultas Kehutanan UGM
2
Dosen Bagian Teknologi Hasil Hutan Fakultas Kehutanan UGM
E-mail: prasojo_anton@yahoo.com

ABSTRACT

Timbers are used as raw materials for various products such as buildings, heat
insulations, furnitures, sport equipments, etc. Information related to the properties of wood is
required for effective and efficient utilizationof wood. One of the important information is the
heat transfer in timber. The heat transfer has a high correlation with thermal conductivity. The
objective of this study is to determine the thermal conductivity on different moisture content
(MC).
This study employed a completely randomized design arranged in a factorial of two
factors included the wood species (teak (Tectona grandis), mahoni (Swietenia
machrophylla), acacia (Acacia auriculiformis) and sengon laut (Paraserianthes falcataria))
and wood MC (0; 10 and 30%) by three replications. The thermal conductivities of wood were
measured by a heat conduction apparatus.. The analysis of variance was performed on the
average value of three conditions. The average value of thermal conductivity was analyzed
by analysis of variance and it is significantly different, further tested by HSD test.
There were differences in the values of thermal conductivity in different MC. The
values of thermal conductivity for MC 0, 10 and 30% respectively are 0.105 W/mK; 0.126
W/mK, and 0.171 W/mK. The increase of MC influenced on the increase of thermal
conductivity of timber. The therrmal conductivities of wood were affected by the wood
species. Thethermal conductivities of teak, acacia, mahoni and sengon laut were 0.142
W/mK; 0.139 W/mK; 0.133 W/mK, and 0.123 W/mK, respectively.

Keywords: thermal conductivity, specific gravity, moisture content

PENDAHULUAN

Indonesia merupakan negara yang terletak di belahan khatulistiwa dengan iklim tropis
dan tanah yang subur. Keadaan alam ini membuat Indonesia kaya akan sumber daya
hutan, sehingga menarik bagi penduduknya untuk memanfaatkan sumberdaya hutan
tersebut menjadi salah satu aset berharga bagi pertumbuhan ekonominya.
Usaha pembangunan ekonomi yang ditempuh pemerintah sekarang ini pada
dasarnya adalah pemanfaatan sumber daya hutan secara optimal dan berkesinambungan.
Jenis kayu yang berpotensi di Indonesia diperkirakan ada 4000 jenis dan 276 jenis
diantaranya merupakan kayu perdagangan dan tergolong dalam 120 macam nama
perdagangan, selain itu kurang lebih 290 jenis kayu telah diketahui sifat-sifat, kekuatan,
keawetan dan berat jenis (BJ) nya (Kartasudjana dan Martawidjaja, 1975). Potensi yang
besar tersebut harus dimanfaatkan sebaik mungkin guna meningkatkan nilai tambahnya.
Kayu dimanfaatkan sebagai bahan baku berbagai macam produk seperti bangunan
(konstruksi), finir, isolator panas, mebel, lantai (parket), bantalan kereta api, alat olahraga,
alat musik, alat gambar, kerajinan, perkapalan, dan lain sebagainya (Anonim, 2002).
Pemanfaatan kayu pada berbagai penggunaan ini bersaing dengan bahan-bahan lain seperti
logam, plastik, semen, dan lain sebagainya.
Sehingga diperlukan informasi-informasi terkait sifat-sifat kayu agar pemanfaatannya
dapat seefektif dan seefisien mungkin. Salah satu informasi yang penting adalah informasi
perpindahan panas di dalam kayu. Proses perpindahan panas di dalam kayu, akan sangat
berhubungan dengan nilai konduktivitas panas (k). Konduktivitas panas merupakan sifat

97
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

bahan dan menunjukkan jumlah panas yang mengalir melintasi satu satuan luas jika gradient
suhunya satu (Kreith, 1986). Konduktivitas panas dipengaruhi oleh berat jenis dan kadar air
kayu. Berat jenis bervariasi pada jenis kayu yang berbeda yang tentunya akan berpengaruh
terhadap nilai konduktivitas panas (Pery,1974). Contoh kayu cottonwood black dengan BJ
0,35 memiliki nilai k 0,09 W/mK sedangkan kayu hickory dengan BJ 0,78 W/mK memiliki nilai
k yang lebih besar, yaitu 0,17 W/mK. Konduktivitas panas dipengaruhi oleh perbedaan berat
jenis kayu, terkait fraksi volume dari dinding sel. Semakin besar volume dinding sel maka
akan semakin besar nilai k. Konduktivitas panas juga dipengaruhi oleh kadar air (KA) kayu
dengan semakin besar KA maka semakin besar pula nilai k. Contohnya ada pada kayu Fir
Balsam, nilai k pada kondisi KA 0% adalah 0,09 W/mK sedangkan pada kondisi KA 12% nilai
k nya adalah 0,11 W/mK.
Berat jenis dan KA kayu perlu diketahui untuk membantu memperkirakan nilai k
suatu kayu. Nilai k akan memudahkan kita dalam mengetahui penggunaan atau proses
selama pengolahannya sehingga kayu tersebut dapat dimanfaatkan secara efektif dan
efisien. Contoh proses pengolahan yang memanfaatkan pentingnya informasi k adalah
proses pengeringan kayu. Informasi nilai k akan membantu untuk menentukan perambatan
panas dalam kayu dan besar energi yang diperlukan serta waktu yang dipergunakan untuk
melakukan proses pengeringan.
Jenis kayu yang digunakan dalam penelitian ini adalah kayu jati, akasia, mahoni dan
sengon laut. Dasar penggunaan jenis kayu ini karena kayu tersebut merupakan kayu yang
komersial dan banyak digunakan oleh masyarakat. Penelitian ini dikondisikan pada KA 0, 10
dan 30% untuk melihat pengaruh dari masing-masing kondisi tersebut. Kadar air 0%
menggambarkan bagaimana pengaruhnya terhadap k ketika di dalam kayu tidak memiliki
kandungan air sama sekali. Kadar air 10% menggambarkan kondisi kayu saat kering udara
dan KA 30 % menggambarkan saat kayu dalam kondisi TJS (titik jenuh serat).

BAHAN DAN METODE

Bahan penelitian yang digunakan adalah kayu jati (Tectona grandis), mahoni
(Swietenia macrophylla), akasia (Acacia auriculiformis) dan Kayu Sengon Laut
(Paraserianthes falcataria) yang diperoleh dari Kecamatan Timang, Kabupaten Gunungkidul,
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Masing masing jenis kayu diambil sampel dalam
bentuk silinder dengan ukuran panjang 30 mm dan diameter 13 mm. Dimensi panjang
sampel dibuat searah dengan arah radial kayu. Ketigapuluh enam sampel tersebut dibawa
ke Laboratorium Sifat Dasar Kayu, Bagian Teknologi Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan UGM
untuk pengukuran Berat Jenis (BJ) kayu dan penentuan Kadar Air (KA) kering tanur 0%,
kering angin 10% dan basah 30% berdasarkan British Standard Methods tahun 1957dengan
modifikasi. Penentuan KA untuk sampel uji 10% dan 30% dilakukan setelah diperoleh KA
0%. Sampel uji KA 10% kemudian diangin-anginkan dan ditimbang secara periodik hingga
menghasilkan KA 10%. Sampel KA 30% setelah diperoleh KA 0% kemudian dicelupkan
dalam air dan kemudian ditimbang secara periodik untuk menghasilkan KA 30%. Sampel
yang telah dikondisikan kadar airnya kemudian dibungkus alumunium foil dan dimasukkan
ke dalam kotak yang berisi silika yang difungsikan sebagai portable desikator.
Pengukuran nilai k (konduktivitas panas) dilakukan dengan menggunakan heat
conduction apparatus di Laboratorium Perpindahan Panas dan Massa, Pusat Antar
Universitas, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta berdasarkan metode ASTM C 177
dengan modifikasi. Sampel diletakan dengan posisi horizontal pada apparatus dengan arah
perambatan panas sejajar arah radial kayu. Daya pemanas awal diatur pada nilai 4 watt.
Perubahan suhu pada posisi T1 T9 dicatat setiap 5 menit sampai dicapai suhu konstan. T1
adalah suhu heater (bagian pangkal), T2 adalah suhu heater (bagian tengah), T3 adalah
suhu heater (bagian ujung), T4 adalah suhu sisi panas kayu, T5 adalah suhu bagian tengah
kayu, T6 adalah suhu sisi dingin kayu, T7 adalah suhu cooler (bagian pangkal), T8 adalah
suhu cooler (bagian tengah), dan T9 adalah suhu cooler (bagian ujung).Nilai k dihitung
dengan persamaan berikut.

98
ANATOMI DAN SIFAT DASAR KAYU

Keterangan:
Q = kuantitas panas (4 watt)
A = luas penampang (diameter 13 mm)
dx = panjang sampel (30 mm)
dt = gradient suhu T4-T6.

HASIL DAN ANALISIS

Kadar Air Kayu


Kadar air (KA) kayu dari masing-masing jenis kayu disajikan dalam tabel sebagai
berikut.

Tabel 1.Variasi KA rata-rata kayu.

KA Kayu KA Kayu KA Kayu


No Jenis Kayu
Ulangan I Ulangan 2 Ulangan 3
1. Jati 0,17 % 9,83 % 29,90 %
2. Akasia 0,13 % 9,97 % 29,87 %
3. Mahoni 0,20 % 10,03 % 29,97 %
4. Sengon laut 0,17 % 10,03 % 29,87 %

Hasil pengukuran KA pada tabel 1 menunjukan adanya perbedaan KA pada masing-


masing jenis kayu. Perbedaan KA kayu kemungkinan disebabkan karena faktor internal dan
eksternal. Faktor internal diantaranya perbandingan banyaknya kayu gubal dan kayu teras;
zat ekstraktif; letak bagian kayu dan umur pohon. Faktor eksternal berupa tempat tumbuh
dan lingkungan di sekitarnya. Menurut Haygreen (1993), dalam setiap spesies terdapat
variasi besar tergantung pada tempat, umur dan volume pohon. Apabila kayu di dalam
batang suatu pohon mengalami perubahan dari kayu gubal ke kayu teras, kandungan air di
dalam dinding sel sedikit berkurang sebagai hasil pengendapan ekstraktif-ekstraktif, yang
cenderung untu menggantikan molekul-molekul air dalam ikatannya dengan selulosa dan
hemiselulosa.
Sampel yang digunakan dalam penelitian ini dapat digolongkan menjadi 3 kelompok
kadar air. Kadar air 0% ditujukan untuk melihat bagaimana pengaruh apabila tidak adanya
air di dalam kayu terhadap nilai k dan perilaku perubahan suhu kayu. Kadar air 10%
merupakan kondisi dimana kayu mengalami kering udara. Kadar air 30% adalah kondisi
saat kayu mengalami titik jenuh serat (TJS). Menurut Marsoem (2007), kayu kering tanur
mempunyai KA d 1%, kayu kering udara mempunyai KA 10-18% dan kayu kondisi TJS
mempunyai KA 25-30%.

Berat Jenis Kayu


Berat jenis rata-rata masing-masing jenis kayu disajikan dalam Tabel sebagai berikut.

Tabel 2. Variasi BJ rata-rata kayu pada KA yang berbeda.

Berat Jenis pada Berat Jenis pada Berat Jenis pada


No Jenis Kayu
KA 0% KA 10% KA 30%
1. Jati 0,65 0,64 0,63
2. Akasia 0,60 0,59 0,58
3. Mahoni 0,55 0,55 0,53
4. Sengon laut 0,35 0,35 0,34

99
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Hasil pengukuran BJ kayu pada Tabel 2 menunjukkan adanya perbedaan BJ pada


masing-masing jenis kayu dalam kadar air 0, 10 dan 30%. Berat jenis terbesar dimiliki kayu
dalam kondisi KA 0% dan BJ terkecil adalah saat kayu dalam kondisi KA 30% r 2%.
Perbedaan ini disebabkan oleh banyaknya zat kayu ketika dalam sel kayu semakin sedikit
kandungan airnya. Perbedaan tersebut juga dikarenakan berkurangnya volume selama
pengeringan dan semakin besar penyusutan ketika KA berada di bawah TJS. Menurut
Haygreen (1993), berat jenis suatu contoh uji naik jika kandungan air yang menjadi dasarnya
berkurang, di bawah titik jenuh serat (TJS).
Hasil analisis varians menunjukan adanya perbedaan BJ untuk keempat jenis kayu.
Berat jenis terbesar hingga terkecil secara berurutan adalah BJ kayu jati, akasia, mahoni dan
sengon laut. Perbedaan nilai BJ pada masing-masing jenis kayu tergantung pada banyaknya
zat kayu per satuan volume yang terdapat dalam kayu. Keragaman banyaknya zat kayu
tersebut kemungkinan merupakan hasil pengaruh dari perbedaan panjang sel, diameter sel
dan tebal dinding sel.

Konduktivitas Panas Kayu


Nilai k empat jenis kayu dalam berbagai kandungan KA kayu disajikan dalam tabel
berikut.

Tabel 3. Konduktivitas panas beberapa jenis kayu pada KA yang berbeda.

Jenis k pada KA 0% k pada KA k pada KA Rata-Rata k


No
Kayu (W/mK) 10% (W/mK) 30% (W/mK) (W/mK)
1. Jati 0,110 0,136 0,180 0,142
2. Akasia 0,109 0,132 0,176 0,139
3. Mahoni 0,104 0,123 0,172 0,133
Sengon
4. 0,099 0,112 0,158 0,123
Laut
Rata-Rata k
0,105 0,126 0,171
(W/mK)

Hasil pengukuran k beberapa jenis kayu dapat dilihat di Tabel 3 yang menunjukkan
adanya perbedaan nilai k beberapa jenis kayu dalam KA yang berbeda. Nilai k untuk KA 0,
10 dan 30% secara berurutan adalah 0,105; 0,126 dan 0,171 W/mK. Nilai k terbesar dimiliki
kayu dalam kondisi KA 30% dan k terkecil adalah saat kayu dalam kondisi KA 0%. Nilai k
sangat dipengaruhi oleh KA kayu. Hal ini karena air mempunyai sifat konduktor, yang
mampu merambatkan panas dengan baik. Semakin banyak air di dinding sel akan
mempermudah perambatan panas di dalam kayu. Menurut Siau (1995), konduktivitas panas
kayu akan meningkat dengan KA meningkat, terutama bila dihitung berdasarkan fraksi
volume dari dinding sel. Penelitian Siau (1993) juga menunjukan bahwa nilai k dari air adalah
0,59 W/mK. Nilai k air jauh lebih tinggi dari nilai k kayu yang berasal dari bahan yang
strukturnya berongga sehingga semakin banyak kandungan air di dalam kayu akan semakin
besar nilai k kayu. Selain itu, dalam skema ultrastruktur kayu dapat kita lihat bagaimana
kemungkinan pengaruh banyak sedikitnya keberadaan air di dalam dinding sel. Kedua
daerah di dinding sel, yakni daerah kristalin dan daerah amorf memilki pengaruh yang
berbeda terhadap perambatan panas dan nilai k. Daerah kristalin diduga kelompok OH pada
molekul-molekul selulosa yang berdekatan saling mengikat atau terjadi ikatan silang.
Karenanya, tidak ada tempat untuk menahan air dalam kristalin. Akan tetapi, untuk daerah
amorf, kelompok hidroksil terbuka untuk adsorpsi air sehingga pada bagian inilah air akan
berada dan berpengaruh terhadap konduktivitas panas kayu. Hal tersebut karena semakin
banyak KA kayu maka akan semakin banyak pula air yang terkandung di dalam daerah
amorf tersebut. Air ini akan membantu menghantarkan panas dan mengurangi radiasi panas
ketika panas melewati daerah-daerah amorf yang susunannya tidak beraturan.
Nilai k juga dipengaruhi oleh jenis kayu. Hasil pengukuran yang disajikan pada tabel
3 menunjukkan nilai k untuk kayu jati, akasia, mahoni dan sengon laut secara berurutan

100
ANATOMI DAN SIFAT DASAR KAYU

adalah 0,142 W/mK; 0,139 W/mK; 0,133 W/mK; dan 0,123 W/mK. Pengaruh jenis kayu
terhadap k salah satunya berasal dari nilai BJ kayunya. Hasil penelitian ini menunjukan
semakin besar BJ kayu maka akan semakin besar pula nilai k. Terbukti dengan kayu jati
yang memiliki BJ terbesar diantara kayu lainnya menghasilkan nilai k yang tertinggi pula.
Begitu juga dengan kayu sengon laut dengan BJ terkecil juga menghasilkan nilai k yang
terkecil pula. Menurut Dinwoodie (2000), konduktivitas panas sangat dipengaruhi oleh
kerapatan kayu yaitu dengan substansi fraksi volume dari dinding sel, dan berbagai
hubungan empiris dan linear antara konduktivitas dan kerapatan kayu.
Informasi nilai k sangat bermanfaat dalam penggunaan dan proses pengolahan
kayu. Nilai k yang besar menunjukkan bahwa kayu tersebut memiliki sifat konduktor yang
baik, sebaliknya nilai k yang kecil menunjukan bahwa kayu tersebut memiliki sifat konduktor
yang buruk atau isolator yang baik. Kayu jati dengan nilai k tertinggi merupakan bahan
konduktor terbaik dari ketiga jenis kayu lainnya. Kayu sengon laut dengan nilai k terendah
merupakan bahan isolator terbaik dari ketiga jenis kayu lainnya.

KESIMPULAN

Penilitian ini menunjukan tidak ada interaksi antara kadar air kayu dengan berat jenis
kayu terhadap nilai konduktivitas panas. Perbedaan kadar air kayu berpengaruh terhadap
nilai konduktivitas panas kayu. Semakin besar kadar air kayu akan semakin besar nilai
konduktivitas panas kayu. Perbedaan berat jenis kayu berpengaruh terhadap nilai
konduktivitas panas kayu. Semakin besar berat jenis kayu akan semakin besar nilai
konduktivitas panas kayu. Nilai konduktivitas panas kayu dari yang terbesar hingga terkecil
secara berurutan adalah jati, akasia, mahoni, dan sengon laut, yakni: 0,142; 0,139; 0,133
dan 0,123 W/mK. Nilai k kayu dengan kadar air 0, 10 dan 30% secara berurutan adalah
0,105; 0,126 dan 0,171 W/mK.

DAFTAR PUSTAKA

Bowyer, J.L., J. G. Haygreen dan R. Shmulsky. 2003. Forest Product and Wood Science, 4th
ed. Iowa State Press.Iowa.
Dinwoodie, JM. 2000. Timber Its Nature and Behaviour. University of Wales. Newyork,
Eckert, E.R.G and Drake, Robert, M.JR. 1972. Analysis of Heat and Mass Transfer, McGraw
Hill Kogakusha, Ltd. Japan.
Haygreen, JG dan Bowyer, JL. 1993. Hasil Hutan dan Ilmu Kayu Suatu Pengantar Gadjah
Mada University Press. Yogyakarta.
Holman, J.P. 1989. Heat Transfer, McGraw Hill Book Company, Singapure.
Kreith, F., 1973. Priciple of Heat Transfer, Harperdan Row Publishers, New York.
Marsoem, S.N. 2007. Kuliah Fisika dan Mekanika Kayu. Bahan Kuliah Mahasiswa Jurusan
Teknologi Hasil Hutan Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Porter III, JR. 2008. Thermal Conductivity Measurements of Three Common Metals Using
LabVIEW for Data Acquisition.
Pratt, G.H. 1974. Timber Drying Manual, Princes Risborough Laboratory, London.
Simpson, WT. 1999. Drying and Control of Moisture Content and Dimensional Changes.
Forest Products Laboratory.
Smith, TJ. 2000. Thermal Conductivity of Electrical Conductive Elastomers.Laird
Technologies.
Siau, JF. 1995. Wood:Influence of Moisture on physical properties. Departement of Wood
Science and Forest Products Virginia Tech.
Stamn, A.J. 1959. Bound Water Diffusion into Wood in the Fiber Direction, Forest
Product J No. 9 hal 27.

101
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

SIFAT FISIS DAN MEKANIS KAYU MAHONI


(Swietania macrophylla King) PADA LIMA KELOMPOK UMUR

Nurwati Hadjib
Pusat Litbang Keteknikan Hutan dan Pengolahan Hasil Hutan, Bogor
Jl. Gunung Batu No 5, Bogor
E-mail : nurwati_hadjib@yahoo.com

ABSTRACT

Mahogany (Swietenia macrophylla King) is one of the fast-growing species which are
recommended for timber estate. Research on physical and mechanical properties of wood
mahogany from 19, 22, 29, 33 and 37 years originated from Southern Cianjur, West Java.
indicates that the physical and mechanical properties of the wood tends to increase from age
19 to 29 and 32 years, then there was no increase physical and mechanical properties since
the age of 32 years. Mahogany wood density values observed ranged from 0.507 to 0.583
g/cm3 with an average of 0.55 g/cm3, while the tangential shrinkage from green to airdry
ranged from 1.951 to 2.534% with an average of 2.187%. The average of modulus of
elasticity ranged from 68657.82 to 74732.59 kg/cm2, the lowest is from wood with 19 years
and the highest at the age of 37 years. According to density and mechanical properties
mahoganys wood tested were grouped in strength class III.

Keywords : mahogany, physical and mechenical properties of wood, age.

ABSTRAK

Mahoni (Swietenia macrophylla King) merupakan salah satu tanaman cepat tumbuh
yang dianjurkan untuk hutan tanaman industri. Penelitian sifat fisis dan mekanis kayu mahoni
dari tegakan berumur 19, 22, 29, 33 dan 37 tahun yang tumbuh di daerah Cianjur Selatan,
Jawa Barat. menunjukkan bahwa sifat fisis dan mekanis kayu tersebut cenderung meningkat
dari umur 19 sampai 29 dan 32 tahun, tetapi kemudian tidak terjadi peningkatan sifat fisis
dan mekanis sejak umur 32 tahun. Nilai kerapatan kayu mahoni yang diteliti berkisar antara
0,507-0,583 g/cm3 dengan rata-rata 0,55 g/cm3, sedangkan penyusutan tangensial dari
keadaan basah sampai kering udara berkisar antara 1,951-2,534% dengan rata-rata
2,187%. Rata-rata modulus elastisitas berkisar antara 68657,82 - 74732,59 kg/cm2 terendah
pada pada kayu umur 19 tahun dan tertinggi pada umur 37 tahun. Kayu mahoni yang diteliti
tergolong kelas kuat III.

Kata kunci : daur teknis, mahoni, sifat kayu

PENDAHULUAN

Kayu merupakan produk biologi yang serba guna dan telah lama dikenal
dan dimanfaatkan orang, baik untuk alat rumah tangga, senjata maupun sebagai bahan
bangunan. Sampai saat ini orang masih banyak yang menggunakan kayu sebagai bahan
bangunan karena selain harganya yang relatif murah dibanding bahan bangunan yang lain,
maka kayupun mempunyai beberapa keunggulan antara lain yaitu mudah untuk dikerjakan
sehingga tidak memerlukan keahlian khusus dalam pengerjaannya, penampilannya yang
dekoratif, bila terjadi kebakaran maka kayu memberikan kesempatan lebih lama
dibandingkan bahan bangunan lainnya kepada penghuni bangunan tersebut untuk

102
ANATOMI DAN SIFAT DASAR KAYU

menyelamatkan diri dan yang lebih penting kayu merupakan bahan yang bisa diperbaharui
(renewable).
Permintaan bahan baku kayu untuk memasok kebutuhan industri kayu di Indonesia
terus mengalami peningkatan, sedangkan kemampuan hutan untuk menghasilkan bahan
baku kayu yang dibutuhkan terus menurun. Pemerintah Indonesia telah melakukan berbagai
upaya untuk mengatasi kekurangan pasokan tersebut, di antaranya adlah pembangunan
hutan tanaman dengan jenis kayu cepat tumbuh. Salah satu jenis pohon cepat tumbuh yang
sudah berkembang dan dimanfaatkan orang secara luas adalah mahoni. Ada beberapa jenis
mahoni seperti mahoni daun lebar (Swietenia macrophylla King.) dan mahoni daun kecil
(Swietenia mahogany). Namun yang lebih banyak ditanam dan dimanfaatkan adalah mahoni
daun lebar. Tanaman ini banyak dijumpai sebagai tanaman peneduh di pinggir jalan raya, di
taman dan di halaman rumah. Perum Perhutani bahkan telah mengembangkannya sebagai
kelas perusahaan tersendiri. Hutan rakyat di Jawa Barat dan Jawa Tengah telah pula
mengembangkan jenis ini dan hasilnya cukup membuat para petani bertambah minatnya
untuk lebih mengembangkannya.
Kayu dari Hutan Tanaman Industri (HTI) dikelompokkan menjadi tiga tujuan
penggunaan yaitu kayu pertukangan, kayu serat dan kayu energi. Namun demikian, kesan
dominan yang muncul saat ini tentang HTI adalah seolah-olah identik dengan pulp dan
kertas (kayu serat). Hal ini dapat dipahami mengingat pembangunan HTI yang telah berhasil
memberikan kontribusi terhadap industri adalah HTI kayu serat sebagai bahan baku pulp-
kertas. Sedangkan HTI kayu pertukangan belum sepopuler HTI kayu serat. Padahal menurut
Karnasudirdja dan Kadir (1989), dari 20 kelompok jenis kayu yang direkomendasikan untuk
HTI, hampir seluruhnya termasuk kelompok kayu pertukangan. Adapun kayu energi relatif
terbatas penggunaaannya.
Keberhasilan pembangunan HTI tidak terlepas dari tujuan pengelolaan serta
pemanfaatannya, yaitu HTI untuk kayu pertukangan, HTI kayu serat dan HTI kayu energi,
dimana masing-masing peruntukan tersebut menghendaki persyaratan berbeda. Untuk kayu
petukangan menghendaki kayu dengan dekoratif bagus, mudah dalam pengerjaan, kekuatan
dan stabilitas tinggi, serta tahan terhadap perusak kayu (Anonim, 1992). Kualitas kayu HTI
dipengaruhi oleh jenis kayu, umur pohon, lokasi tempat tumbuh serta perlakuan
silvikulturnya.
Hutan tanaman industri (HTI) yang telah dibangun di Indonesia sejak 20 tahun yang
lalu terutama diperuntukkan bagi pemenuhan kebutuhan bahan baku industri pulp, akan
tetapi dengan pemilihan jenis dan pengelolaan yang tepat, produksi kayunya di samping
untuk pemenuhan industri pulp juga dapat memenuhi keperluan bahan baku industri kayu
pertukangan (Anonim, 1992).
Pemanfaatan kayu HTI untuk tujuan industri kayu pertukangan harus memenuhi
persyaratan kualitas kayu sesuai peruntukannya. Meskipun konsep kualitas kayu mungkin
sukar untuk diterangkan secara tepat, namun beberapa faktor mempengaruhi kecocokan
kayu untuk berbagai tujuan. Beberapa variabel yang mempengaruhi kecocokan kayu untuk
tujuan tertentu adalah kerapatan dan variasi kerapatan, lingkaran tumbuh (lebar, variasi dan
jumlahnya), serat (panjang dan kelurusannya), mata kayu (ukuran, tipe dan sebarannya),
proporsi kayu teras, persen pembuluh, kayu juvenil serta kayu reaksi (Haygreen and Bowyer,
1982; Punches, 2004).
Sifat fisis dan mekanis kayu merupakan salah satu parameter untuk menentukan
kayu sebagau kayu pertukangan. Tulisan ini akan membahas sifat fisis dan mekanis kayu
mahoni dari umur 19, 22, 29, 33 dan 37 tahun, untuk mengetahui kualitas kayu untuk
keperluan pertukangan.

103
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

METODOLOGI
Lokasi Penelitian
Kayu mahoni untuk bahan penelitian diambil dari areal hutan Perum Perhutani Unit III
Jawa Barat, BKPH Tanggeung, Cianjur Selatan. Penelitian dan pengujian karakteristik sifat
fisis dan mekani kayu dilakukan di Laboratorium Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan
Pengolahan Hasil Hutan Bogor.

Bahan dan Alat


Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah kayu berupa dolok dari satu
jenis kayu mahoni (Swietenia macrophylla King) dari areal HTI pertukangan yang berumur
19, 22, 29, 33 dan 37 tahun.
Peralatan yang digunakan adalah peralatan pengujian antara lain adalah gergaji belah
dan gergaji potong, penggaris, dial Caliper, timbangan, oven, mesin uji mekanis (UTM) dan
peralatan gelas/kaca.

Prosedur Kerja

Prosedur Penelitian dan Pengumpulan Data


Prosedur kerja penelitian diawali dengan pengumpulan bahan kayu dan bahan
penunjang penelitian.
Jenis kayu yang diteliti adalah mahoni (Swietenia macrophylla King) dari 5 tingkat
umur. Dari masing-masing tingkat umur diwakili 2 pohon.
Dari setiap dolok dibuat bilah (stik). Contoh uji diambil dari bilah-bilah yang telah
dibuat. Pengujian sifat fisis dan mekanis kayu dilakukan sesuai dengan metode ASTM
D.143-95 (reapproved 2001) dan Karnasudirdja et al., (1974). Sifat fisis dan mekanis yang
diuji meliputi berat jenis (berdasar berat kering oven dan volume basah, berat kering oven
dan volume kering udara, berat dan volume kering udara serta berat
dan volume kering oven), penyusutan dari keadaan basah ke kering udara dan kering oven
pada arah radial dan tangensial, keteguhan lentur statis (tegangan pada batas proporsi
dan tegangan patah serta modulus elastisitas), keteguhan tekan (sejajar dan tegak lurus
serat), keteguhan geser, dan kekerasan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Sifat fisis
Nilai rata-rata kadar air, berat jenis berdasar berat dan volume basah, berat kering
tanur per volume basah, berat kering udara per volume kering udara (kerapatan), berat dan
volume kering tanur serta kayu mahoni dari 5 umur disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 . Nilai rata-rata sifat fisis kayu mahoni yang diteliti

Berat jenis
Penyusutan,% Kadar air,%
Umur, th berdasar
R T Bo/Vb Bu/Vu Basah Kering udara
19 2,857 4,713 0,491 0,575 77,729 12,155
22 2,670 4,504 0,434 0,507 86,597 11,882
29 3,478 5,002 0,498 0,583 77,608 12,230
33 3,336 5,176 0,474 0,554 68,987 12,056
37 2,665 4,546 0,458 0,530 77,474 12,685

104
ANATOMI DAN SIFAT DASAR KAYU

Gambar 1. Histogram pengaruh umur terhadap BJ dan penyusutan mahoni

Nilai kerapatan kayu mahoni yang diteliti berkisar antara 0,51-0,58 g/cm3 dengan
rata-rata 0,55 g/cm3, berat jenis nominal basah berkisar antara 0,434-0,498 dengan rata-
rata 0,47. Sedangkan penyusutan tangensial dari keadaan basah sampai kering udara
berkisar antara 1,95-2,53% dengan rata-rata 2,187%. Berdasarkan klasifikasi beratnya,
kayu yang diteliti tergolong medium dengan rasio penyusutan tangensial terhadap radial
antara 1.62 2.08. Hal ini menunjukkan bahwa kayu mahoni tergolong mempunyai
penyusutan yang ringan-sedang, relative stabil, sehingga dpat dikeringkan dengan suhu
tinggi tanpa cacat yang berarti (Basri, 2004)
Penyusutan kayu mahoni meningkat dari umur 19 sampai umur 33 tahun, dan
kemudian menurun lagi (Tabel 1 dan Gambar 1). Sifat penyusutan arah tangensial mahoni
dari kelompok umur 19 tahun hingga 29 tahun tidak berbeda nyata, tetapi hanya dari
kelompok umur 33 terhadap 37 tahun, hal ini disebabkan karena salah satu faktor yang
mempengaruhi penyusutan kayu adalah kandungan zat ekstraktif kayu yang bertindak
bersifat sebagai bulking agent (Brown et al, 1952). Menurut Bramhall and Wellwood
(1976), selain BJ struktur anatomi kayu mempengaruhi proses pengeluaran air dari dalam
kayu. Faktor anatomi yang berperan dalam proses pengeluaran air dari dalam kayu
diantaranya adalah sel/jaringan pembuluh, dinding serat, parenkim, dan jari-jari (Panshin
dan de Zeuw 1969). Kadar zat ekstraktif yang ditunjukkan dengan kelarutannya pada air
dingin, air panas dan dalam alcohol benzene pada kayu mahoni meningkat dengan
pertambahan umur pohon (Rachman et al., 2009). Demikian pula hasil penelitian Mandang
dan Sudardji (2001), menunjukkan ukuran diameter pembuluh kayu mahoni cukup besar
dengan frekuensi per mm2 cukup tinggi, tidak dijumpai tilosis, lebar jari-jari hanya satu
macam, dan memiliki parenkim bentuk pita marginal berjarak teratur. Disamping itu,
menurut Siagian (2004), komponen zat ekstraktif yang dimiliki kayu mahoni cukup tinggi
(>4%) dan bersifat bulking agent. Faktor-faktor tersebut memungkinkan kayu mahoni
mudah dikeringkan tanpa mengalami cacat, meskipun menggunakan suhu tinggi

Sifat Mekanis
Nilai rata-rata hasil pengujian sifat mekanis kayu mahoni pada 5 tingkat umur
disajikan pada Tabel 2. Pada Tabel 2 dan Gambar 2 terlihat bahwa pada umumnya sifat
mekanis dipengaruhi oleh umur pohon. Nilai rata-rata modulus elastisitas yang berkisar
antara 68657,82 74732,59 kg/cm2 terendah pada kayu umur 19 tahun dan tertinggi pada
umur 37 tahun.

105
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Tabel 2 . Nilai rata-rata sifat mekanis kayu mahoni yang diteliti (kering udara)

Ket. Geser
Umur, Ket.
Ket. Lentur Statis (kg/cm2) (kg/cm2) Kekerasan (kg/cm2)
th Tekan //
MPL MOE MOR (kg/cm2) R T Ujung Sisi R Sisi T

19 408,60 68657,82 633,86 314,19 97,69 96,54 413,47 291,58 312,23

22 428,84 71842,66 596,44 295,26 82,48 90,41 346,15 210,30 258,63


29 383,11 65376,58 567,17 293,73 83,97 98,87 345,63 240,26 253,18
33 462,83 72103,50 664,15 337,15 95,83 103,70 434,50 298,90 321,48
37 467,92 74732,59 670,25 336,40 99,01 107,19 445,67 290,47 327,33

Keterangan : MPL = Modulus pada batas proporsi, MOE=modulus elastisitas, MOR=Modulus


patah, R = radial, T = tangensial.

Gambar 2 menunjukkan nilai rata-rata tegangan lentur patah (MOR), keteguhan


tekan sejajar serat, keteguhan geser arah tangensial dan kekerasan sisi kayu mahoni dari
berbagai umur yang diteliti.

Gambar 2. Histogram hubungan umur pohon dan kekuatan kayu

Dari Tabel 2 di atas dan dibandingkan dengan klasifikasi kekuatan kayu Indonesia
(Oey, 1964), maka baik kayu dari pohon umur 19, 22, 29, 33 maupun kayu umur 37 tahun,
semua tergolong kayu kelas kuat III. Kayu dari kelompok kelas kuat ini baik untuk digunakan
sebagai kayu konstruksi ringan, mebel maupun kerajinan (Haygreen et al., 1982).
Dari Gambar 2 terlihat bahwa sifat mekanis kayu mahoni meningkat dengan
bertambahnya umur pohonnya. Hasil analisis sidik ragam perbedaan umur terhadap sifat
mekanis kayu mahoni yang diteliti (Lampiran 1) menunjukkan bahwa sifat mekanis terutama
MOE tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Sedangkan MOR dan keteguhan tekan
sejajar seratnya berbeda nyta. Dari hasil perbandingan nilai tengahnya ternyata pada nilai
MOR yang berbeda nyata hanya kayu dari umur 22 dengan kayu berumur 29 tahun,

106
ANATOMI DAN SIFAT DASAR KAYU

keteguhan tekan sejajar dari kayu umur 29 terhadap kayu umur 37 tahun. Berdasarkan
kenyataan di atas dapat dikatakan bahwa kekuatan kayu dari umur 19, 22, 29, 33 dan 37
tahun tidak berbeda nyata.
Berdasarkan kenyataan di atas, walaupun secara statistik kekuatan kayu dari umur
19 sampai 37 tahun berbeda nyata, tetapi kelimanya masih tergolong kelas kuat III. Oleh
sebab itu sifat kekuatan kayu mahoni dari kelas umur V, VI, VII adalah sama.

KESIMPULAN

1. Nilai kerapatan kayu mahoni yang diteliti berkisar antara 0,507-0,583 g/cm3 dengan rata-
rata 0,55 g/cm3, sedangkan penyusutan tangensial dari keadaan basah sampai kering
udara berkisar antara 1,951-2,534% dengan rata-rata 2,187%..Kerapatan kayu mahoni
dari umur 19, 22, 29, 33 dan 39 relatif sama. Sedangkan penyusutan tertinggi terjadi
pada umur 29-33 tahun, kemudian menurun.
2. Keteguhan tekan sejajar serat dan keteguhan lentur maksimum (MOR) kayu mahoni dari
umur 29 dan 37 tahun berbeda nyata. Rata-rata modulus elastisitas berkisar antara
68657,82 - 74732,59 kg/cm2 terendah pada pada kayu umur 19 tahun dan tertinggi pada
umur 37 tahun. Walaupun ada perbedaan, tetapi kayu mahoni yang diteliti tergolong
kelas kuat III

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 1997, Ensiklopedi Kehutanan Indonesia, Badan Penelitian dan Pengembangan


Kehutanan, Jakarta,
_______, 1992. Manual Kehutanan. Departemen Kehutanan Republik Indonesia . Jakarta.
_______. 2006. Annual Book of ASTM Standards: Construction. Vol. 04.10: Wood.
(Reapproved 2001). ASTM International. Philadelphia. USA.
Basri, E. dan N. Hadjib. 2004. Hubungan sifat dasar dan sifat pengeringan lima jenis kayu
andalan Jawa Barat. Jurnal penelitian Hasil Hutan 22(3) 2004:155-166. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Hasil hutan. Bogor.
Bramhall, G. and R.W. Wellwood. 1976. Kiln drying of western Canadian lumber. Canadian
Forestry Service. Western Forest Products Laboratory Vancouver, British Columbia
Brown, H.P., A.J.Panshin and C.C.Forsaith. 1952. Textbook of Wood Technology.
Vol. II. Mc Graw-Hill Book Co. New York.
Haygreen, J.G. and J.L. Bowyer, 1982. Forest Product and Wood Science, An Introduction.
Iowa State University Press, Ames, Iowa.
Kadir, K, 1993, Hutan tanaman dan kualitas kayu sebagai bahan baku industri, Prosiding
Diskusi Sifat dan Kegunaan Jenis Kayu HTI, 23 Maret 1989, Badan Penelitian dan
Pengembangan Kehutanan, Jakarta
Karnasudirdja, S, dan K, Kadir, 1989. Suatu kajian mengenai kegunaan jenis kayu HTI untuk
pertukangan, Prosiding Diskusi Sifat dan Kegunaan Jenis Kayu HTI, 23 Maret 1989,
Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Jakarta.
Karnasudirdja, S., Kurnia S, dan R, Kusumodiwiryo, 1974, Pedoman Pengujian Sifat Fisik
dan Mekanik Kayu, Publikasi Khusus No,20, Lembaga Penelitian Hasil hutan,
Ditjen Kehutanan, Dept, Pertanian, Bogor,
Mandang, Y.I. dan U. Sudardji. 2001. Anatomi dan kualitas serat 10 jenis kayu andalan dari
Jawa Barat. Info Hasil Hutan 8(1):41-69.
Oey, D. S., 1964. Berat Jenis Kayu-kayu Indonesia dan Pengertian dari Berat Kayu Untuk
Keperluan Praktek. Pengumuman LPHH No. 1. Bogor.
Punches, J, 2004, Tree growth, forest management, and their implications for wood quality,
http://eesc,oregonstate,edu, Diakses tanggal 7 April 2006,
Rachman, O., N. Hadjib, Jasni, A Santoso, S. Rulliaty, J. Malik, dan G.Pari, 2009. Penelitian
kualitas kayu untuk pendugaan daur teknis HTI-pertukangan. Laporan Hasil
Penelitian. Pusat Litbang Hasil Hutan. Tidak diterbitkan.

107
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

STRUKTUR MAKROSKOPIS DAN MIKROSKOPIS KAYU KENANGA


(Cananga odorata (Lamk.) Hook.)

Nani Husien, Erwin dan Hendri


Laboratorium Informasi Tumbuhan Berkayu Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman.
Jalan Ki Hajar Dewantara No.2 Kampus Gunung Kelua Samarinda
Telp. 0541-7166630 email : anatomi@telkom.net.

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui struktur anatomi kayu kenanga (Cananga
odorata (Lamk.) Hook.) secara makroskopis dan mikroskopis, yaitu dimensi sel penyusun
kayu kenanga pada arah radial dan longitudinal batang. Pengamatan dan pengukuran
struktur makroskopis meliputi lingkaran tumbuh, warna kayu, tekstur, arah serat, kekerasan,
kesan raba, bau, sedangkan pengamatan mikroskopis meliputi tinggi pori, diameter pori,
jumlah pori, tinggi jari-jari, lebar jari-jari, jumlah sel jari-jari, dimensi serat, meliputi panjang
serat, diameter serat, diameter lumen, tebal dinding serat, dan persentase sel penyusun
kayu meliputi persentase pori, persentase sel jari-jari, persentase parenkim aksial,
persentase serabut.
Dari hasil penelitian diketahui bahwa lingkaran tumbuh kayu kenanga terlihat tidak
begitu jelas warna kayu secara keseluruhan coklat cerah dan tidak terlihat jelas batas antara
kayu gubal dan teras, tekstur kasar dan tidak rata, arah serat lurus, kekerasan sedang,
kesan raba agak kasar, bau tidak spesifik. Kayu kenanga memiliki bentuk pori bundar hingga
oval kebanyakan soliter dan gabungan radial 2-4, porositas tata baur, bidang perporasi
sederhana, tipe parenkim aksial bentuk tangga dan tipe noktah berseling. Tinggi sel pori
tergolong dalam klasifikasi sedang (544,45 m), diameter besar (184,84 m), jumlah pori
sangat jarang (2,26 buah/mm2). Tipe jari-jari multiseriet dan heterogen, tinggi tergolong
pendek (1,52 m), lebar tergolong lebar (113,24m), jumlah jari-jari sedikit (2,66 buah/mm).
Persentase sel kayu kenanga meliputi persentase pori 7,71%, sel jari-jari 19,83%, sel
parenkim aksial 3,52%, dan serat 69% dengan diameter serat sangat besar (42,62 m),
demikian pula diameter lumen sangat besar (32,60 m) dan tebal dinding tipis (5,46 m).
Dimensi, jumlah, dan persentase sel pada arah longitudinal nilai tertinggi didominasi
pada bagian pangkal dan terendah pada bagian ujung, sedangkan pada arah radial nilai
tertinggi sel didominasi pada bagian tengah antara empulur dan kulit.

Kata kunci : kayu kenanga, sifat makroskopis, sifat mikroskopis, dimensi serat

PENDAHULUAN

Kayu dimanfaatkan manusia sejak dulu untuk berbagai keperluan dalam menunjang
kehidupannya. Saat ini dengan perkembangan teknologi yang diiringi laju pertambahan
penduduk, menyebabkan kebutuhan akan kayu, baik sebagai bahah baku industri maupun
sebagai bahan bangunan semakin meningkat. Dilain pihak luas areal hutan penghasil kayu
komersil semakin menyusut sehingga efisiensi pemanfaatan kayu perlu dilakukan melalui
diversifikasi produk olahan atau pemanfaatan seluruh bagian pohon secara maksimal dan
peningkatan upaya pemakaian kayu dari jenis-jenis yang kurang dikenal yang jumlahnya di
Indonesia masih cukup banyak.
Jenis kayu di Indonesia sebagian besar terdiri dari jenis kayu daun lebar (hardwoods)
yang tumbuh tersebar di seluruh kepulauan Indonesia. Dari ribuan jenis kayu tersebut baru
beberapa jenis saja yang sudah dikenal dan bernilai komersial, sementara usaha
pemanfaatan kayu tersebut masih terbentur pada kurangnya data-data yang lengkap,
padahal ketersediaan data mengenai jenis-jenis kayu ini dapat membuka peluang yang lebih
baik bagi prospek pemanfaatan kayu tersebut.

108
ANATOMI DAN SIFAT DASAR KAYU

Pengetahuan mengenai struktur kayu merupakan hal yang penting dalam kaitannya
dengan penggunaan suatu jenis kayu secara lebih luas. Dari pengamatan struktur anatomi
kayu akan diperoleh gambaran makroskopis dan mikroskopis sel-sel penyusunan kayu
sehingga dapat digunakan untuk mengidentifikasi suatu jenis kayu dan secara tidak
langsung turut menentukan penggunaan kayu tersebut.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui struktur anatomi kayu Kenanga
(Cananga odorata (Lamk.) Hook.) melalui pengamatan makroskopis dan mikroskopis kayu,
dan juga untuk mengetahui dimensi, jumlah dan persentase sel kayu kenanga berdasarkan
arah radial dan longitudinal batang pohon.
Hasil penelitian ini diharapkan sebagai informasi dan referensi anatomi kayu untuk
penelitian selanjutnya tentang kayu Kenanga (Cananga odorata (Lamk.) Hook.).

METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilakukan di laboratorium Anatomi-Identifikasi Kayu dan Biologi Kayu
Jurusan Teknologi Hasil Hutan Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman, Samarinda.
Selama 5 bulan

Bahan dan Peralatan Penelitian


Bahan penelitian adalah jenis kayu Kenanga (Cananga odorata (Lamk.) Hook.)
dengan diameter + 29 cm dengan batang bebas cabang + 9,5 m. Kayu berasal dari Desa
Senoni, Kecamatan Sebulu, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.
Bahan kimia yang digunakan adalah alkohol 50% dan 100%, aquades, enthellan,
asam asetat glasial (CH3COOH) 60% dan hydrogen peroksida (H2O2) 60%. Sedangkan
peralatan penelitian adalah sliding microtom, stereo mikroskop, research microscope (type
olympus BH-2, kaca obyek, kaca penutup, dot grid, hand counter, tabung reaksi, kompor
listrik, pinset, kamera digital, alat pemotong, alat ukur, gelas ukur, alat tulis menulis dan
komputer sebagai pengolah data.

Prosedur Penelitian
Pengambilan sampel
Sampel yang digunakan adalah bagian berasal dari batang yakni pangkal, tengah,
ujung, lalu dipotong dalam bentuk lempengan setebal 3 cm, setiap lempengan diambil
sampel berbentuk kubus 2x2x2cm sebanyak 6 bagian dengan kode D1, D2, D3, untuk
digunakan sebagai sampel pengamatan struktur anatomi kayu.

H3 B Sampel untuk syatan

H2
A D3 D2 D1 D D1 D2D3

Sampel untuk
H1
Empulur i

Gambar 1. Pengambilan dan Pembutan Sampel kayu

109
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Keterangan : A : Sampel pada batang berdasarkan arah longitudinal batang.


B : Sampel berbentuk lempengan berdasarkan arah radial batang.
H1, 2, 3 : Pangkal, Tengah, Ujung.
D1, 2, 3 : Dari empulur ke kulit.

Pembuatan sampel kayu


Sampel kayu direbus sampai lunak lalu disayat setebal 20-30 m. Sayatan diambil
dari 3 bidang orientasi kayu transversal, radial, dan tangensial. Sayatan yang baik lalu
direndam safranin selama 5 menit, kemudian dicuci dengan alkohol sebanyak 2 kali atau
lebih agar sayatan benar-benar bersih dari air, lalu direndam dengan xylon. Sayatan terbaik
direkatkan dengan Canada balsam dan ditutup dengan kaca penutup lalu ditempatkan di
atas kaca objek, dan diberi kode sesuai dengan (sub seksi), lalu diukur secara random dari
setiap bidang pengamatan selama 15 kali ulangan. Untuk pembuatan foto, preparat diambil
pada bagian masing-masing bidang dengan pembesaran yang cukup.
Selanjutnya untuk pengamatan dan pengukuran dimensi serat kayu dilakukan maserasi
dengan metode FPL (Forest Product Laboratory) Litbang Bogor, 2000) dengan tahapan
sebagai berikut :
a. Dari tiap-tiap contoh uji di buat potongan sebesar korek api sebanyak 3-4 batang lalu
diberi kode sampel yang sesuai.
b. Contoh uji tadi dimasukkan kedalam tabung reaksi yang berisi campuran larutan
hydrogen peroksida (H2O2) konsentrasi 30% dan asam asetat glacial (CH3COOH)
konsentrasi 60% dengan perbandingan 1:1 sampai contoh uji terendam.
c. Selanjutnya tabung beserta isi dimasukkan ke dalam becker glass yang berisi air, lalu
direbus dalam panci menggunakan kompor gas dengan api kecil dan stabil selama 3
jam atau hingga contoh uji berwarna putih dan lunak.
d. Setelah conto uji berwarna putih dan lunak kemudian dikocok agar seratnya terpisah,
lalu sampel dicuci samapi netral dengan membuang sisa asam dengan menggunakan
kertas saring dan corong plastic hingga bekas asam dan serat benar-benar bersih.

Pengamatan dan Pengujian


Pengamatan Makroskopis dan pengamatan ciri lain
Pengamatan Makroskopis kayu dilakukan terhadap lempengan kayu dan sampel
kayu yang berbentuk balok yang meliputi :
a. Lingkaran tumbuh
Pengamatan dilakaukan dengan melihat lingkaran tumbuh pada bidang transversal.
Kayu akhir mempunyai kerapatan yang lebih tinggi, karena tersusun atas sel-sel yang
memiliki diameter radial yang relatif kecil, dinding yang tebal dan rongga sel yang kecil.
Jaringan inilah yang membentuk bagian gelap pada lingkaran tumbuh (Haygreen dan
Bowyer, 1989).
b. Warna dan corak
Pengamatan dilakukan dengan melihat kesan warna yang ditimbulkan dari ketiga
bidang permukaan kayu untuk membedakan kayu gubal dan kayu terasnya. Sedangkan
corak ditimbulkan oleh perbedaan warna antara kayu awal dan kayu akhir dari lingkar
tumbuh dan dapat pula ditimbulkan oleh perbedaan warna jari-jari kayu (Mandang dan
Pandit, 1997).
c. Tekstur
Ketiga bidang permukaan kayu disayat menggunakan pisau tajam untuk selanjutnya
dilakukan pengamatan menggunakan stereomicroscope terhadap sel-sel penyusun kayu
pembuluh dan jari-jari. Tekstur dikatakan halus jika sel-selnya, terutama pembuluh dan
jari-jari berukuran kecil. Tekstur dikatakan kasar jika sel-selnya berukuran relatif besar.
Tekstur dikatakan tidak rata jika halus ditempat-tempat tertentu dan kasar ditempat lain
pada permukaan yang sama (Mandang dan Pandit, 1997).
d. Arah serat
Dengan cara penyayatan yang sama dengan pengamatan tekstur kayu, yang
selanjutnya dilakukan pengamatan arah serat kayu menggunakan stereomicroscope

110
ANATOMI DAN SIFAT DASAR KAYU

terhadap arah lurus sel-sel aksial dari lapisan kayu disebelah luar dan sebelah dalam.
lapisan kayu diikatan berserat lurus jika pembuluh dan sel-sel aksial lainnya membentang
searah dengan sumbu batang. Kayu dikatakan berserat melintang jika arah bentangan
pembuluh membentuk sudut terhadap sumbu batang pohon (Mandang dan Pandit, 1997).
e. Kilap
Tanpa melakukan penyayatan, kilap permukaan kayu dari ketiga bidangnya diamati
apakah permukaannya bersifat memantulkan cahaya atau tidak. Jika bersifat
memantulkan cahaya maka dikatakan kayu tersebut mengkilap (Mandang dan Pandit,
1997).
f. Kesan raba
Untuk mengetahui nilai kesan raba dilakukan menggosok-gosokkan jari ke
permukaan kayu. Kesan raba dapat dinilai licin atau kesat dari ketiga permukaannya.
g. Bau
Dengan indera penciuman mengenal bau yang ditimbulkan oleh kayu yang diamati
pohon yang baru ditebang masih segar. Kemudian dibandingkan dengan bau yang sudah
diketahui contoh bau keasam-asaman (ulin) dan bau jati termasuk kayu yang mempunyai
bau seperti bau bahan penyamak, bau harum pada kayu gaharu, bau damar seperti pada
sebagian kayu meranti.
h. Kekerasan
Dengan cara menyayat sampel kayu pada arah tegak lurus serat, atau dengan
menekan kayu dengan kuku dan mengiris kayu dengan arah melintang dan menilai kesan
perlawanan oleh kayu itu pada saat pemotongan. Kekerasan dinilai sangat lunak, lunak,
agak lunak, agak keras, keras dan sangat keras.

Pengamatan mikroskopis
Pengamatan mikroskopis dilakukan pada preparat hasil dan hasil maserasi yang meliputi :
a. Pori : Tinggi pori , diameter pori, jumlah pori per mm2
b. Jari-jari : Tinggi jari- jari, lebar jari-jari, jumlah jari-jari per mm
c. Parenkim Aksial : Tipe, persentase parenkim
d. Serat : Panjang serat, diameter serat, diamter lumen, tebal
dinding serat
e. Persentase Sel Kayu : Persentase sel pori, Persentase sel jari, Persentase
sel parenkim aksial, Persentase sel serat.
Pori (pembuluh)
Pengukuran tinggi pori dilakukan pada mikroskop Olmypus BH-2 dengan
menggunakan mikrometer yang dipasang pada lensa mata mikroskop dengan pembesaran
100 kali sebelum melakukan pengukuran, mikrometer ditempatkan pada lensa okuler terlebih
dahulu dengan membandingkan mikrometer pada objek gelas berukuran 1mm (1000 mikron
yang terbagi dalam 100 garis). Nilai konservasi yang ditentukan sebesar 14,92 m. Tinggi
pori diukur pada sel pori hasil dari maserasi, pengukuran jumlah pori dilakukan pada bidang
transversal kayu dengan menggunakan kertas persegi empat sesuai dengan ukuran yang
telah dikonversikan di mikroskop layar (1x1mm). Dari kertas tersebut, jumlah pori dihitung
dimana jika terdapat pori yang tidak utuh terlihat pada skala tersebut, maka dihitung
setengah dan dihitung satu jika kelihatan utuh.

Tinggi, diameter dan jumlah jari-jari


Pengukuran tinggi dan lebar jari-jari dilakukan pada bidang tangensial dengan
menggunakan mikroskop layar dan hasilnya dikonversikan dengan nilai 8,116 dalam satuan
mikro. Pengukuran diameter jari-jari dilakukan pada bidang tranversal dengan menggunakan
mistar (mm) pada mikroskop layar, kemudian pengukuran dikonversikan dalam ukuran
diameter pori sebesar 8,116m.. n. Pengukuran tinggi diukur dari kedua ujung lancipnya dan
lebar jari-jari diukur dari bidang yang terbesar, biasanya pada bidang tengah dimana
pengukuran dilakukan secara acak, yaitu yang kena pada garis tengah (garis horisontal)
pada layar yang telah ditentukan. Pengukuran jumlah Jari-jari dilakukan pada bidang
tangensial dengan menggunakan kertas persegi panjang sesuai dengan ukuran yang

111
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

dikonversikan di mikroskop layar (1X1 mm.) kemudian jumlah jari-jari dihitung dengan
ketentuan hanya jari-jari yang terdapat pada garis tengah saja yang dihitung jumlahya.

Pengukuran persentase sel kayu


Pengukuran persentase sel kayu menggunakan metode dotgrid pada mikroskop
layar, yaitu menghitung titik pada dotgrid yang terdapat di dalam sel yang diukur. Jumlah titik
pada dotgrid seluruhnya 441 titik (berarti pada 100%). Pengukuran persentase pori dilakukan
pada bidang tranversal kayu. Sedangkan persentase sel jari-jari dan sel parenkim pada
bidang tangensial. Untuk menambah dan menjamin ketelitian pengukuran (untuk
memperkecil kesalahan menghitung), maka menggunakan alat bantu berupa hand counter
(alat pengontrol angka).
Perhitungan persentase pori, sel jari-jari dan parenkim aksial serta persentase menggunakan
rumus sebagai berikut :
Jumlah titik dotgrid yang ada di dalam sel
Persentase sel (%) = X 100
441 (jumlah keseluruhan titik pada dotgrid)
Persentase Serat = 100% - (persentase pori + persentase jari-jari + persentase sel
parenkim aksial)

Pengukuran dimensi serat


Pengukuran dimensi serat menggunakan mikroskop Olympus BH-2 dengan
perbesaran 100 kali untuk pengukuran panjang serat dan perbesaran 400 kali untuk
diameter serat dan diameter lumen. Sedangkan untuk tebal dinding serat diperoleh dari
perhitungan diameter serat dikurangi diameter lumen dibagi dua.
Hasil pengukuran dari alat ini dikonversikan kedalam satuan mikron (m). Dalam
pengukuran dimensi serat, yaitu panjang serat, diameter serat, dimeter lumen dan tebal
dinding serat, dipilih serat yang utuh dan tidak patah, rusak terlipat, pecah, terpotong dan
kerusakan lainnya. Setiap pengukuran serat dilakukan secara acak.
Bagianbagian serat yang diukur dapat dilihat pada Gambar 2

d w

l
L
Gambar 2. Penampang Serat yang Diukur

Keterangan :
L : Panjang Serat w : Tebal Dinding Serat
d : Diameter Serat l : Diameter Lumen Serat

Pengolahan Data
Data hasil pengamatan ditabulasikan dan diklasifikasikan menurut beberapa standar
yang biasa digunakan. Ditampilkan juga grafik menunjukan data dimensi, jumlah dan
persentase sel kayu menurut arah radial dan longitudinal.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengamatan Makroskopis dan Ciri yang lain Pada Kayu


Hasil pengamatan makroskopis kayu kenanga yang meliputi lingkaran tumbuh, warna
kayu, tekstur, arah serat, dan ciri-ciri lain dari kayu yaitu kesan raba, bau, dan kekerasan.

112
ANATOMI DAN SIFAT DASAR KAYU

Tabel 11. Makroskopis dan Ciri-ciri Kayu Lainnya Pada Kayu Kenanga
(Cananga odorata (Lamk.) Hook.).

No. Sifat Hasil pengamatan


Makroskopis
1 Lingkaran tumbuh Lingkaran tumbuh yang terlihat tidak begitu jelas
dengan jarak/lebar bervariasi antara satu dengan
yang lain.
2 Warna dan Corak Secara keseluruhan warna kayu coklat cerah dan
tidak terlihat jelas batas antara gubal dan teras.
3 Tekstur Kasar dan tidak rata
4 Arah serat Serat lurus
5 Kilap Agak mengkilap
6 Kekerasan Sedang
7 Kesan raba Agak kasar
8 Bau Bau tidak spesifik/tidak teridentifikasi

b
a

d
e c

Gambar 3 . Sampel Lempengan Gambar 4. Makroskopis Bidang


Batang Pohon Kenaga Bagian Taransversal Kayu Kenanga: (Perbesaran
Tengah 20x) a. Sel Pori; b. Sel Jari- jari; c. Sel
Serabut; d. Parenkim Aksial; e. Lingakaran
Tumbuh

Lingkaran tumbuh
Hasil pengamatan dari permukaan lempengan kayu arah longitudinal batang (bidang
transversal) dengan menggunakan lup dan stereoscopic microsocope, lingkaran tumbuh
pada bagian pangkal, tengah, dan ujung dari empulur ke kambium mempunyai lingkaran
tumbuh yang berbeda di setiap tahunnya, baik itu lingkaran tumbuh terputus, lingkaran
tumbuh normal, dan lingkaran tumbuh semu. Pada kayu kenanga kemungkinan hanya
terdapat lingkaran tumbuh normal, hal ini terlihat pada lingkaran tumbuh yang terdapat pada
bagian pangkal, tengah, dan ujung yang menunjukkan ciri perubahan yang mendadak pada
ukuran dan dinding sel kayu akhir. Hal tersebut dipertegas oleh Haygreen dan Bowyer
(1989), lingkaran tumbuh normal mempunyai ciri perubahan yang mendadak pada ukuran
dan dinding sel kayu akhir yang dibentuk pada musim tumbuh sebelumnya dengan kayu
awal pada musim tumbuh berikutnya. Pada dekat bagian empulur ke kambium terlihat jelas
kayu awal dan kayu akhir begitu pula pada bagian penampang kayu dari tengah dan ujung,
hal ini seperti dinyatakan oleh Haygreen dan Bowyer (1989), kayu akhir mempunyai
kerapatan lebih tinggi, karena tersusun atas sel-sel yang memiliki diameter radial yang relatif
kecil, dinding yang tebal dan rongga sel yang kecil, jaringan inilah yang membentuk bagian
yang gelap pada lingkaran tumbuh.
Volume lignkaran tumbuh dari empulur ke kambium tiap tahunnya semakin jauh atau
tidak sama, pada bagian lingkaran tumbuh tahun pertama, kedua, dan ketiga lingkaran

113
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

tumbuh sangat rapat mencirikan pertumbuhan kayu sangat lambat hal ini diduga pada tahun-
tahun tersebut terjadi kemarau atau kurangnya makan di daerah tempat tumbuhnya. Pada
lingkaran tumbuh tahun ketiga dan keempat pertumbuhan mulai cepat dengan volume
lingkaran yang lebar. Tetapi pada lingkaran tumbuh tahun keempat, kelima, keenam dan
ketujuh lingkaran tumbuh kembali mengalami pertumbuhan yang lambat dan pada lingkaran
tumbuh ketujuh, kedelapan, dan kesembilan lingkaran tumbuh terlihat sangat rapat seperti
pada lingkaran tumbuh kesatu, kedua, dan ketiga, tapi masih dalam keadaan lingkaran
tumbuh normal. Selanjutnya pada lingkaran tumbuh kesembilan ke lingkaran kesepuluh kayu
mulai normal dengan pertumbuhan yang cepat dengan volume yang besar pada jarak
lingkaran tumbuhnya. Setelah memasuki lingkaran tumbuh kesepuluh menuju ke arah
kamium yaitu lingkaran tumbuh kesebelas dan kedua belas lingkaran tumbuh terlihat dengan
volume yang cukup lebar. Selanjutnya pada lingkaran tumbuh kedua belas dan seterusnya
sampai ke lingkaran tumbuh kedua puluh mendekati kambum, lingkaran tumuh berselang
seling antara volume rapat dan melebar, seperti pada lingkaran tumbuh kedua belas dan tiga
belas rapat, tiga belas dan empat belas melebar, empat belas ke lima belas kembali rapat,
lima belas keenam belas melebar, enam belas ketujuh belas rapat, delapan belas dan
sembilan belas kembali melebar, dan pada saat mendekati kambium yaitu lingkaran tumbuh
yang ke sebilan belas ke dua puluh kebali rapat. Tapi disetiap lingkaran tumbuh yang rapat
maupun yang melebar, tidak sama dalam setiap lingkaran tumbuh mulai dari lngkaran
tumbuh yang kesatu sampai lingkaran tumbuh yang kedua puluh mendekati kambium
lingkaran tumbuh semakin melebar. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 4.

Warna dan corak


Pada Tabel 11. Terlihat bahwa warna kayu kenanga berwarna coklat cerah dan tidak
terlihat batas jelas antara gubal dan teras, karena warna suatu jenis kayu dapat dipengaruhi
oleh faktor tempat di dalam batang, umur pohon, kadar air, dan lama penyimpanan sesudah
pohon ditebang dan kayunya digergaji (Mandang dan Pandit, 1997). Kayu teras umumnya
memiliki warna yang lebih jelas atau lebih gelap dari warna kayu di sebelah luar kayu teras,
yaitu kayu gubal (Dumanauw, 1990).
Dari hasil pengamatan, corak kayu kenanga polos, kecuali pada bidang radial tampak
corak berupa pita horisontal yang timbulkan oleh jari-jari. Hal ini dipertegas oleh Mandang
dan Pandit (1997). Corak ditimbulkan oleh perbedaan warna antara kayu awal dan kayu
akhir dari lingkar tumbuh dan dapat pula ditimbulkan oleh perbedaan warna jari-jari kayu.

Tekstur
Tekstur kayu kenanga tergolong kasar dan tidak rata, karena sel-selnya berukuran
relatif besar dan mempunyai pembuluh yang berkelompok atau berganda radial 2-4 yang
tersebar tidak merata. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 5.
Hal ini dipertegas dari penggolongan dari Mandang dan Pandit (1997), bahwa tekstur
dikatakan kasar jika sel-selnya berukuran relatif besar, tidak rata jika halus ditempat-tempat
tertentu dan kasar ditempat lain pada permukaan yang sama. Hal ini disebabkan oleh
pembuluh yang berkelompok atau berganda radial 4 sel atau lebih.

Arah Serat
Serat kayu kenanga terlihat berserat lurus dari pengamatan bidang tangensial dan
radial kayu. Pada bidang radial dan bidang tangensial tidak ditemukan serat yang
menyimpang. Dikatakan berserat lurus sesuai dengan apa yang dijelaskan oleh Mandang
dan Pandit (1997), bahwa kayu dikatakan berserat lurus jika pembuluh dan sel-sel aksial
lainya membentang searah dengan sumbu batang.

Kekerasan
Kayu kenanga termasuk kayu yang memiliki kekerasan lunak. Dari pengujian yang
dilakukan dengan cara menyayat sampel kayu pada arah tegak lurus serat dan dengan
menekan kayu dengan kuku dan mengiris kayu dengan arah melintang sesuai dengan
petunjuk yang dikemukakan oleh Mandang dan Pandit (1997). Kayu kenanga memiliki

114
ANATOMI DAN SIFAT DASAR KAYU

kerapatan 0,33 g/cm yang termasuk kelas sedang, hal ini sesuai dengan penggolongan
jenis kayu dari Dumanauw (1990).

Kesan Raba
Kesan raba kayu kenanga agak kasar, karena saat meraba memberikan kayu
berkesan agak kasar. Dari tekstur kayu kenanga tergolong kasar dan tidak rata menunjukan
adanya kesesuaiannya dengan kesan raba kayu tergolong kasar sebagai mana yang
dijelaskan Dumanauw (1990), kesan raba yang berbeda-beda itu untuk tiap-tiap jenis kayu
tergantung dari tekstur kayu, besar kecilnya air yang dikandung dan kadar zat ekstraktif
dalam kayu.

Bau dan Rasa


Bau pada kayu kenanga tidak spesifik dan tidak terkesan seperti pada bau kayu-kayu
yang telah dikenal seperti jati, ulin, kapur, kayu bawang Dumanauw (1990), menyatakan bau
bawang putih pada kayu kuilim, bau keasam-asaman pada kayu ulin, bau zat penyamak
pada kayu jati, bau kamper pada kayu kapur, dan lain sebagainya

Kilap
Kayu kenanga tampak cerah dan terkesan agak mengkilap. Sifat mengkilap
permukaan kayu dijelaskan oleh Mandang dan Pandit (1997), bahwa suatu jenis kayu
dikatakan mengkilap jika permukaannya bersifat memantulkan cahaya, ada jenis kayu yang
kusam, ada yang mengkilap dan ada pula yang agak sangat mengkilap dan ada pula yang
sangat mengkilap tanpa dipolitur, jenis-jenis kayu yang tergolong sangat mengkilap. Kayu
sangat mengkilap contoh , gerunggang, palapi dan bintangur.

Mikroskopis Kayu
Ciri sel anatomi kayu
Berdasarkan dari hasil pengamatan pada bidang longitudinal dan radial secara umum
kayu kenanga mempunyai bentuk pori bulat pada bagian tertentu hingga oval, susunan pori
pada kayu umumnya memiliki susuna pori tata lingkar, tata baur, dan semi tata lingkar, tetapi
pada kayu kenanga memiliki susunan pori tata baur dan pengelompokan pori-nya
kebanyakan soliter di bagian tertentu dan gabungan antara 2-4 radial atau ganda radial,
sebagaimana pada Gambar 8. Bidang perforasi kayu kenanga sederhana dan noktah antar
pembuluh berseling (alternate) seperti pada Gambar 11. Berdasarkan klasifikasi menurut
standar IAWA (The council on International Association Of Wood Anatomist) (Anonim, 1989),
rataan diameter pori 184,84 m termasuk dalam kategori Besar, rataan tinggi pori seperti
terlihat pada Gambar 12 berukuran 544,45 m termasuk dalam kategori sedang. Rataan
jumlah pori 2,26 buah/mm2 dan termasuk dalam kategori sangat jarang.
Seperti umumnya kayu daun lebar mempunyai tipe jari-jari berseri banyak
(multiseriet) demikian pula pada tipe jari-jari kayu kenanga memiliki tipe jari-jari multiseriet
saja (Gambar 10), yang selnya terdapat sel baring dan sel tegak yang terlihat jelas pada
bidang radial, dengan susunan jari-jari heterogen sperti terlihat pada Gambar 9.
Berdasarkan klasifikasi Den Berger (1989), rataan tinggi jari-jari sebesar 1,52 mm termasuk
dalam kategori Pendek. Sedangkan klasifikasi menurut standar Anonim (1989), diperoleh
rataan lebar jari-jari 113,24 m dan termasuk dalam kelas Lebar. dan rataan jumlah jari-jari
2,66 buah/mm dan termasuk dalam kategorisedikit.
Parenkim aksial pada kayu kenanga mempunyai susunan parenkim aksial
apotrakeal, karena parenkim pada kayu kenanga tidak berhubungan langsung dengan
pembuluh (pori), dan bentuk parenkim aksial kayu kenanga adalah berbentuk tangga.
Sel serabut pada kayu kenanga seperti pada sel serabut pada umumnya kedua
ujungnya meruncing seperti disajikan pada Gambar 12. Berdasarkan klasifikasi menurut
standar IAWA (Anonim, 1989), rataan panjang serat sebesar 1267,80 m termasuk
sedang. Sedangkan klasifikasi menurut standar Wagenfuehr (1984) rataan diameter serat
sebesar 42,62 m dan termasuk dalam kategori sangat besar, rataan diameter lumen serat

115
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

sebesar 32,60 m dan termasuk dalam kategori sangat besar, dan rataan tebal dinding
serat sebesar 5,46 m dan termasuk dalam kategori tipis.

Gambar 5. Bidang Transversal Gambar 6. Bidang Radial Gambar 7. Bidang Tangensial

Gambar 8. Sel Pori dan Serat hasil Gambar 9. Noktah dan bidang perforasi pada
maserasi bidang tangensial Kayu Kenanga

Dari pengamatan mikroskopis, lingkaran tumbuh kayu kenanga terbentuk oleh


adanya penebalan dinding serat di daerah bagian kayu akhir (Gambar 5), dan ketebalan
kayu akhir sekitar 6-8 buah. Fenomena ini berbeda dengan kayu jati dan sungkai yang
mempunyai porositas tata lingkar.

Sel anatomi arah longtudinal


Dimensi dan jumlah pori
Susunan sel pori kayu kenanga adalah tata baur dengan nilai rataan pada bagian
pangkal, tengah dan ujung seperti tercantum pada Tabel 12

Tabel 12. Hasil Pengukuran Rataan Tinggi Sel Pori, Diameter Sel Pori dan Jumlah Sel Pori
Berdasarkan Arah Longitudinal pada Batang.

Arah Diameter Pori Tinggi Pori (m) Jumlah Pori


Longitudinal (m) (Buah/mm2)
Pangkal 187,00 536,74 2,30
Tengah 193,78 573,92 2,12
Ujung 173,75 522,69 2,35
Total 554,53 1633,35 6,77
Rataan 184,84 544,45 2,26
SD 10,19 26,47 0,12
KK (%) 5,51 4,86 5,36

Keterangan: SD = Standar deviasi


KK = Koefisien keragaman

116
ANATOMI DAN SIFAT DASAR KAYU

Hasil pengamatan mikroskopis kayu kenanga dari arah longitudinal batang kayu, bisa
dilihat ukuran dan jumlah yang bervariasi pada sel pori dari pangkal, tengah, dan ujung. yang
meliputi diameter, tinggi, dan jumlah.
Diameter pori memiliki ukuran diamter yang terbesar adalah pada bagian tengah
dengan ukuran 193,78 m dan terendah pada bagian ujung dengan ukuran 173,75 m.
Rataan diameter pori berdasarkan arah longitudinal batang adalah sebesar 184,84.
Tinggi pori, ukuran yang terbesar pada bagian tengah dengan ukuran 573,92 m dan
terendah pada bagian ujung dengan ukuran 522,69 m. Rataan tinggi pori berdasarkan arah
longitudinal batang adalah sebesar 544,45 m.
Jumlah sel pori dan jari-jari kayu kenanga pada arah longitudinal batang kayu,
jumlah sel pori memiliki jumlah yang terbesar pada bagian ujung dengan nilai 2,35 buah/mm
dan terendah pada bagian tengah 2,12 buah/mm. Rataan jumlah pori berdasarkan arah
longitudinal batang adalah sebesar 2,26 buah/mm2.
Secara lengkap diagram tinggi, diameter dan jumlah sel pori berdasarkan arah radial batang
dapat dilihat pada berikut:

Gambar 9. Diameter Sel Pori, Tinggi Sel Pori, dan Jumlah Sel Pori

Berdasarkan Gambar 9 diatas tinggi sel pori bagian tengah memiliki nilai yang tinggi
di bandingkan dengan bagian pangkal dan ujung, sedangkan pada diameter sel pori, bagian
tengah juga memiliki nilai yang tinggi di bandingkan pada bagian pangkal dan ujung, dan
sebaliknya jumlah sel pori yang memiliki nilai tertinggi terdapat pada bagian ujung
dibandingkan pada bagian pangkal dan tengah.

Dimensi dan jumlah jari-jari.


Nilai rataan tinggi, lebar dan jumlah sel jari-jari pada bagian pangkal, tengah dan ujung
pada kayu kenanga tercantum pada Tabel 13.
Hasil pengamatan mikroskopis kayu kenanga dengan arah longitudinal batang kayu,
bisa dilihat ukuran dan jumlah yang bervariasi pada sel jari-jari dari pangkal, tengah, dan
ujung. yang meliputi diameter, tinggi, dan jumlah.
Tinggi jari-jari mempunyai ukuran yang terbesar pada bagian pangkal yaitu sebesar 1.56 mm
dan terendah pada bagian ujung 1,45 mm. Rataan tinggi jari-jari berdasarkan arah
longitudinal batang adalah sebesar 1,52 mm.

117
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Tabel 13. Hasil Pengukuran Rataan Tinggi Sel Jari-jari, Lebar Sel Jari-jari dan Jumlah Sel
Jari-jari Berdasarkan Arah Longitudinal Batang.

Arah Longitudinal Tinggi jari-jari Lebar jari-jari Jumlah jari-jari


(mm) (m) (buah/mm)
Pangkal 1,56 134,32 2,72
Tengah 1,55 103,00 2,41
Ujung 1,45 102,39 2,85
Jumlah 4,56 339,71 7,98
Rataan 1,52 113,24 2,66
SD 0,06 18,26 0,23
KK (%) 4,00 16,13 8,50

Keterangan. SD = Standar deviasi


KK = Koefisien keragaman

Lebar jari-jari yang terbesar adalah pada bagian pangkal 134,32 m dan terendah
pada bagian ujung 2,85 m, sedangkan pada bagian tengah rataan lebar jari-jari sebesar
113,24 m.
Jumlah jari-jari pada arah longitudinal batang kayu mempunyai jumlah terbesar pada
bagian ujung 2,85 buah/mm dan terendah pada bagian tengah dengan jumlah 2,41
buah/mm. Rataan jumlah jari-jari berdasarkan arah longitudinal batang adalah sebesar 2,66
buah/mm.
Secara lengkap gambar tinggi sel jari-jari, lebar jari-jari. dan jumlah jari-jari
berdasarkan arah longitudinal batang. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 10.

Gambar 10. Tinggi Sel Jari-jari, Lebar Sel Jari-jari, Jumlah Jari-jari.

Berdasarkan Gambar 10 di atas tinggi sel jari-jari pangkal memiliki nilai lebih tinggi
dibandingkan tengah dan ujung, demikian pula lebar sel jari-jari juga dari pangkal memiliki
nilai lebih tinggi dibandingkan tengah dan ujung, dan pada jumlah sel jari-jari ujung memiliki
nilai lebih tinggi dibandingkan pangkal dan tengah.

Persentase sel
Nilai rataan pengukuran persentase sel penyusun kayu pada bagian pangkal,
tengah dan ujung pada kayu kenanga yang tercantum pada Tabel 14.

118
ANATOMI DAN SIFAT DASAR KAYU

Tabel 14. Hasil Pengukuran Rataan Persentase Sel Penyusun Kayu Berdasarkan Arah
Longitudinal Pada Batang.

Parenkim
Arah Sel pori Sel jari Serabut
aksial
Longitudinal % % %
%
Pangkal 6,61 20,72 3,52 69,14
Tengah 8,02 18,83 3,62 69,41
Ujung 8,49 19,95 3,43 68,11
Total 23,12 59,50 10,57 206,66
Rataan 7,71 19,83 3,52 68,89
SD 0,98 0,95 0,10 0,69
KK (%) 12,70 4,79 2,70 1,00

Keterangan. SD = Standar deviasi


KK = Koefisien keragaman

Tabel di atas menyajikan nilai rataan Persentase sel penyusun kayu yaitu sel pori, sel
jari-jari, sel parenkim, dan sel serabut.
Persentase sel pori berdasarkan arah longitudinal batang nilai persentase terbesar
pada bagian ujung dengan nilai persentase 8,49 % dan terendah pada bagian pangkal
dengan nilai persentase 6,61 % . Rataan persentase sel pori berdasarkan arah longitudinal
batang sebesar 7,71%.
Persentase sel jari-jari berdasarkan arah longitudinal batang persentase terbesar
pada bagian pangkal dengan nilai persentase 20,72 % dan terendah pada bagian tengah
dengan nilai persentase 18,83 %. Rataan persentase sel jari-jari berdasarkan arah
longitudinal batang sebesar 19,83%.
Persentase sel parenkim aksial berdasarkan arah longitudinal batang terbesar pada
bagian tengah dengan nilai persentase 3,62 % dan terendah pada bagian ujung 3,43 %.
Sedangkan Rataan nilai persentase sel parenkim aksial berdasarkan arah longitudinal
batang sebesar 3,52%.
Persentase sel serabut serat berdasarkan arah longitudinal batang persentase
terbesar pada bagian tengah dengan nilai persentase 69,41 % dan terendah pada bagian
ujung dengan nilai persentase 68,11 %. Rataan nilai persentase sel serabut berdasarkan
arah longitudinal batang sebesar 68,89%.
Secara lengkap diagram persentase sel pori, sel jari-jari, sel parenkim, dan persentase sel
serabut berdasarkan arah longitudinal batang dapat dilihat pada Gambar 11.

119
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Gambar 11. Persentase Sel Pori, Persentase Sel Jari-Jari, Persentase Sel Parenkim,
Persentase Sel Serabut

Berdasarkan Gambar 11 persentase sel pori ujung memiliki nilai lebih tinggi
dibandingkan tengah dan pangkal, tetapi pada persentase sel jari-jari pangkal memiliki nilai
lebih tinggi dibandingkan ujung dan tengah, sedangkan pada persentase sel parenkim aksial
tengah memiliki nilai lebih tinggi dibandingkan pangkal dan ujung. dan demikian pula pada
persentase sel serabut tengah memiliki nilai lebih tinggi dibandingkan pangkal dan ujung.

Dimensi serat
Pengukuran dimensi serat pada bagian pangkal, tengah dan ujung tercantum pada Tabel
15.

Tabel 15. Hasil Pengukuran Rataan Panjang Serat, Diameter Serat, Diameter Lumen, Dan
Tebal Dinding Serat Berdasarkan Arah Longidutinal Batang

Arah Panjang Diameter Diameter Tebal dinding


Longitudinal serat serat lumen serat
(m) (m) (m) (m)
Pangkal 1333,47 46,77 35,10 5,83
Tengah 1248,93 42,87 35,22 5,11
Ujung 1220,99 38,23 27,47 5,43
Total 3803,39 127,87 97,79 16,37
Rataan 1267,80 42,62 32,60 5,46
SD 58,57 4,28 4,44 0,36
KK (%) 4,62 10,03 13,62 6,61

Keterangan. SD = Standar deviasi


KK = Koefisien keragaman

Pada Tabel 15 terlihat bahwa panjang serat tertinggi adalah bagian pangkal sebesar
1333,47 m dan terendah adalah bagian ujung 1220,99 m. Dengan nilai rataan panjang

120
ANATOMI DAN SIFAT DASAR KAYU

serat sebesar 1267,80 m. Diameter serat terbesar pada bagian bagian pangkal 44.77 m
dan terendah pada bagian ujung dengan ukuran 38,23 m. Dengan rataan diameter serat
sebesar 42,62 m. Diameter lumen terbesar terdapat pada bagian tengah yaitu sebesar
35,22 m dan terendah pada bagian ujung 27,47m dengan nilai rataan sebesar 32,60 m.
Tebal dinding serat kayu kenanga terbesar terdapat pada bagian pangkal 5,83 m dan
terendah pada bagian tengah 5,11 m dengan nilai rataan tebal dinding serat berdasarkan
arah longitudinal sebesar 5,46 m
Secara lengkap diagram panjang serat, diameter serat, diameter lumen, dan tebal
dinding serat berdasarkan arah longitudinal batang. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada
Gambar 12.

Gambar 12. Panjang Serat, Diameter Serat, Diameter Lumen dan Dinding Serat

Berdasarkan Gambar 12 panjang serat pangkal memiliki nilai lebih tinggi


dibandingkan tengah dan ujung, demikian pula pada diameter serat pangkal memiliki nilai
lebih tinggi dibandingkan tengah dan ujung. sedangkan pada diameter lumen bagian tengah
memiliki nilai lebih tinggi dibandingkan pangkal dan ujung, dan pada dinding serat pangkal
memiliki nilai lebih tinggi dibandingkan ujung dan tengah.

121
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Sel Anatomi Arah radial batang


Dimensi dan jumlah pori.
Sel pori berdasarkan arah radial dapat dilihat pada Tabel 16.

Tabel 16. Hasil Pengukuran Rataan Tinggi, Diameter dan Jumlah Sel Pori
Berdasarkan Arah Radial pada Batang.

Arah radial Diameter Pori (m) Tinggi Pori (m) Jumlah Pori (Buah/mm2)
D1 165,16 506,90 3,62
D2 179,77 527,04 1,70
D3 109,22 576,28 1,57
Total 454,15 1610,22 6,89
Rataan 151,38 536,74 2,30
SD 37,24 35,69 1,15
KK (%) 24,60 6,65 49,98

Keterangan. SD = Standar deviasi


KK = Koefisien keragaman

Pada Tabel 16 terlihat bahwa diameter sel pori berdasarkan arah radial tertinggi
pada diameter bagian D2 antara empulur kekambium dengan ukuran 179,77 Pm dan ukuran
terendah pada bagian D3 dekat kambium dengan ukuran 109,22 Pm. Rataan diameter pori
berdasarkan arah radial batang sebesar 151,38 Pm.
Tinggi pori berdasarkan arah radial yaitu ukuran pori yang tertinggi pada bagian D3
dekat kambium dengan ukuran 576,28 m dan ukuran terendah pada bagian D1 dekat
empulur dengan ukuran 506,90 m. Rataan tinggi pori berdasarkan arah radial batang
sebesar 536,74 m.
Jumlah sel pori berdasarkan arah radial yaitu nilai jumlah pori tertinggi terdapat pada
bagian D1 dekat empulur dengan nilai 3,62 buah/mm2 dan nilai terendah terdapat pada
bagian D3 dekat kambium dengan ukuran 1,57 buah/mm2. Rataan jumlah pori berdasarkan
arah radial batang sebesar 2,30 buah/mm2.
Secara lengkap gambar tinggi sel pori, diameter sel pori dan jumlah sel pori
berdasarkan arah radial batang. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 13.

Gambar 13. Tinggi Sel Pori, Diameter Sel Pori,


Jumlah Sel Pori Berdasarkan Arah Radial Batang

Pada Gambar 13 di atas tinggi sel pori D3 yang (paling dekat kambium) memiliki nilai
lebih tinggi dibandingkan D2 (antara empulur dan kambium) dan D1 (mendekati empulur),
Sedangkan pada diameter sel pori D2 (antara empulur dan kambium) memiliki nilai lebih

122
ANATOMI DAN SIFAT DASAR KAYU

tinggi dibandingkan D1 yang (mendekati empulur) dan D3 (paling dekat kambium), dan pada
Jumlah sel pori D1 yang (mendekati empulur) memiliki nilai lebih tinggi dibandingkan D2
(antara empulur dan kambium) dan D3 (paling dekat kambium).

Dimensi dan jumlah jari-jari.


Sel jari jari berdasarkan arah radial dapat di lihat pada Tabel 17. Pada Tabel 17
tercantum bahwa tinggi sel jari-jari berdasarkan arah radial nolai tertinggi terdapat pada
bagian D2 antara empulur kekambium yaitu sebesar 1,79 mm dan ukuran terendah terdapat
pada bagian D3 dekat kambium 1,31 mm. Rataan tinggi jari-jari berdasarkan arah radial
batang sebesar 1,56 mm.
Lebar jari-jari berdasarkan arah radial tertinggi terdapat pada bagian D2 antara
empulur kekambium dengan ukuran 145,84 m dan ukuran terendah terdapat pada bagian
D1 dekat empulur dengan ukuran 109,97 m. Rataan lebar jari-jari berdasarkan arah radial
batang sebesar 126,80 m.

Tabel 17. Hasil Pengukuran Tinggi sel jari-jari, Lebar sel jari-jari dan Jumlah sel Jari-jari
Berdasarkan Arah Radial Pada Batang.

Arah radial Tinggi jari -jari Lebar jari-jari Jumlah jari-jari


(mm) (m) (buah/mm)
D1 1,59 109,97 2,72
D2 1,79 145,84 2,65
D3 1,31 124,58 2,80
Total 4,69 380,39 8,17
Rataan 1,56 126,80 2,72
SD 0,24 18,04 0,08
KK (%) 15,42 14,23 2,76

Keterangan. SD = Standar deviasi


KK = Koefisien keragaman

Jumlah jari-jari berdasarkan arah radial dengan nilai tertinggi terdapat pada bagian
D3 dekat kambium sebesar 2,80 buah/mm dan nilai terendah terdapat pada bagian D2
antara empulur kekambium dengan nilai 2,65 buah/mm. Rataan jumlah jari-jari berdasarkan
arah radial batang sebesar 2,72 buah/mm.
Secara lengkap gambar tinggi, lebar, dan jumlah sel jari-jari berdasarkan arah radial
batang Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 14.

Gambar 14. Tinggi Sel Jari-jari, Lebar Sel Jari-jari, Jumlah Sel Jari-jari
Berdasarkan Arah Radial Batang

123
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Berdasarkan Gambar 14 di atas tinggi sel jari-jari D2 (antara empulur dan kambium)
memiliki nilai lebih tinggi dibandingkan D1 yang (mendekati empulur) dan D3 (paling dekat
kambium), demikian pula pada lebar sel jari-jari D2 (antara empulur dan kambium) memiliki
nilai lebih tinggi dibandingkan D1 yang (mendekati empulur) dan D3 (paling dekat kambium),
dan pada jumlah sel jari-jari D3 (paling dekat kambium) memiliki nilai lebih tinggi
dibandingkan D1 yang (mendekati empulur) dan D2 (antara empulur dan kambium).

Persentase sel.
Persentase sel penyusun kayu berdasarkan arah radial dapat dilihat pada Tabel 18 di
bawah ini.

Tabel 18. Hasil Pengukuran Rataan Persentase Sel Penyusun Kayu


Berdasarkan Arah Radial Batang.

Arah radial Sel pori (%) Sel jari (%) Parenkim aksial Serabut
(%) (%)
D1 8,82 38,55 3,86 68,03
D2 6,11 20,55 2,95 70,38
D3 4,90 22,35 3,72 69,02
Total 19,83 81,45 1053 207,43
Rataan 6,61 27,15 3,51 69,14
SD 2,01 9,91 0,49 1,18
KK (%) 30,37 36,51 13,96 1,71

Keterangan. SD = Standar deviasi


KK = Koefisien keragaman

Pada Tabel 18 terlihat bahwa persentase sel pori berdasarkan arah radial tertinggi
terdapat pada bagian D1 dekat empulur dengan nilai persentase 8,82% dan dan terendah
terdapat pada bagian D3 dekat kambium ddengan nilai persentase 4,90%. Rataan
persentase sel pori berdasarkan arah radial batang sebesar 6,61%.
Persentase sel jari-jari berdasarkan arah radial tertinggi terdapat pada bagian D1
dekat empulur dengan nilai persentase 38,55% dan terendah pada bagian D2 antara
empulura kekambium dengan nilai persentase 20,55%. Rataan persentase sel jari
berdasarkan arah radial batang sebesar 27,15%.
Persentase sel parenkim aksial berdasarkan arah radial tertinggi terdapat pada
bagian D1 dekat empulur dengan nilai persentase 3,86% dan terendah terdapat pada bagian
D2 antara empulur kekambium dengan nilai persentase 2,95%. Rataan persentase sel
parenkim aksial berdasarkan arah radial batang sebesar 3,51%.
Persentase sel serabut berdasarkan arah radial, persentase sel yang tertinggi
terdapat pada bagian D2 antara empulur kekambium dengan nilai persentase 70,38% dan
yang terendah terdapat pada bagian D1 dekat empulur dengan nilai persentase 68,03%.
Rataan nilai persentase sel serabut berdasarkan arah radial batang sebesar 69,14%.
Secara lengkap gambar persentase sel pori, persentase sel jari-jari, persentase sel
parenkim, dan persentase sel serabut berdasarkan arah radial batang Untuk lebih jelasnya
dapat dilihat pada Gambar 15.

124
ANATOMI DAN SIFAT DASAR KAYU

Gambar 15. Persentase Sel Pori, Sel Jari-jari, Sel Parenkim,


dan Sel Serabut Berdasarkan Arah Radial Batang

Berdasarkan Gambar 15 di atas persentase sel pori D1 yang (mendekati empulur)


memiliki nilai lebih tinggi dibandingkan D2 (antara empulur dan kambium) dan D3 (paling
dekat kambium), demikian pula pada persentase sel jari D1 yang (mendekati empulur)
memiliki nilai lebih tinggi dibandingkan D3 (paling dekat kambium) dan D2 (antara empulur
dan kambium), dan demikian pula persentase sel parenkim aksial D1 yang (mendekati
empulur) memiliki nilai lebih tinggi dibandingkan D3 (paling dekat kambium) dan D2 (antara
empulur dan kambium). sedangkan pada persentase sel serabut D2 (antara empulur dan
kambium) memiliki nilai lebih tinggi dibandingkan D3 (paling dekat kambium) dan D1 yang
(mendekati empulur).

Dimensi serat.
Dimensi serat berdasarkan arah radial batang dapat dilihat pada Tabel 19. Hasil
pengamatan mikroskopis kayu kenanga dari arah radial batang kayu yaitu dari empulur ke
arah kulit bisa dilihat dimensi serat yang bervariasi pada dimensi serat panjang, diameter,
Lumen, dan tebal dinding yang meliputi panjang serat, diameter serat, diameter serat, dan
tebal dinding.
Panjang serat berdasarkan arah radial yaitu ukuran panjang serat tertinggi terdapat
pada bagian D3 dekat kambium dengan ukuran 1485,28 m dan ukuran terendah terdapat
pada bagian D1 dekat empulur dengan ukuran 1183,90 m. Rataan panjang serat
berdasarkan arah radial batang sebesar 1333,47 m.

125
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Tabel 19. Hasil Pengukuran Rataan Panjang Serat, Diameter Serat, Diameter Lumen Dan
Tebal Dinding Serat berdasarkan Arah Radial Batang.

Arah Panjang serat Diameter serat Diameter Tebal dinding


radial (m) (m) lumen serat
(m) (m)
D1 1183,90 44,08 34,55 4,76
D2 1331,23 46,62 34,73 5,97
D3 1485,28 49,62 36,03 6,75
Total 4000,41 140,32 105,31 17,48
Rataan 1333,47 46,77 35,10 5,83
SD 150,70 2,77 0,81 1,00
KK (%) 11,30 5,93 2,30 17,21

Keterangan. SD = Standar deviasi


KK = Koefisien keragaman

Diameter serat berdasarkan arah radial yaitu ukuran diameter serat tertinggi terdapat
pada bagian D3 dekat kambium dengan ukuran 49,62 m dan ukuran terendah terdapat
pada bagian D1 dekat empulur dengan ukuran 44,08 m. Rataan diameter serat
berdasarkan arah radial batang sebesar 46,77 m.
Diameter lumen berdasarkan arah radial yaitu ukuran tertinggi pada diameter lumen
terdapat pada bagian D3 dekat kambium dengan ukuran 36,03 m dan ukuran terendah
terdapat pada bagian D1 dekat empulur dengan ukuran 34,55 m. Rataan diameter lumen
serat berdasarkan arah radial batang sebesar 35,10 m.
Tebal dinding serat berdasarkan arah radial yaitu ukuran diameter lumen tertinggi
terdapat pada bagian D3 dekat kambium dengan ukuran 6,75 m dan ukuran terendah
terdapat pada bagian D1 dekat empulur dengan ukuran 4,76 m. Rataan tebal dinding serat
berdasarkan arah radial batang sebesar 5,83 m
Secara lengkap gambar panjang serat, diameter serat, diameter lumen, dan tebal
dinding serat berdasarkan arah radial batang. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada
Gambar 16. Berdasarkan Gambar 16 panjang serat D3 (dekat kambium) memiliki nilai lebih
tinggi dibandingkan D2 (antara empulur dan kambium) dan D1 yang (mendekati empulur),
demikian pula pada diameter serat D3 (paling dekat kambium) memiliki nilai lebih tinggi
dibandingkan D2 (antara empulur dan kambium) dan D1 yang (mendekati empulur). dan
pada diameter lumen D3 (paling dekat kambium) memiliki nilai lebih tinggi dibandingkan D2
(antara empulur dan kambium) dan D1 yang (mendekati empulur). demikian pula pada tebal
dinding serat D3 (paling dekat kambium) memiliki nilai lebih tinggi dibandingkan D2 (antara
empulur dan kambium) dan D1 yang (mendekati empulur).

126
ANATOMI DAN SIFAT DASAR KAYU

Gambar 16. Panjang Serat, Diameter Serat, Diameter Lumen dan Tebal Dinding Serat
Berdasarkan Arah Radial Batang

Rekapitulasi Hasil Pengamatan


Berdasarkan hasil pengamatan dan pengukuran dimensi, ciri mikroskopis kayu
kenanga diperoleh keterangan seperti tercantum pada Tabel 20.

Tabel 20. Hasil Rekapitulasi Pengamatan Mikroskopis Kayu Kenanga (Cananga odorata
(Lamk.) Hook.) Berdasarkan Standar IAWA (Wheeler et al., 1989)

No Struktur Anatomi Kayu Klasifikasi


1 Sel Pembuluh (Pori)
Bentuk Bundar hingga oval
Porositas Tata baur
Pengelompokan Kebanyakan Soliter
dan ganda radial 2-4
Bidang Perporasi Sederhana 544,45m ( Sedang)#
Tinggi 184,84m (Besar) #
Diameter 2,26buah/mm2 (Sangat jarang) #
Jumlah
2 Parenkim Aksial
Tipe Bentuk tangga
Persentase 3,43%
3 Sel Jari-jari
Lebar Multiseriate 113,24 m (Lebar) ##
Komposisi Hetrogen
Tinggi 1,52 mm (Pendek) ##
Jumlah 2,66 buah/mm (Sedikit) #
4 Sel Serat
Panjang 1267,80 m (Sedang) #
Diameter 42,62 m (Sangat besar) ###
Diameter lumen 32,60 m (Sangat besar) ###
Tebal dinding 5,46 m (Tipis) ###

Ket : Klasifikasi digunakan menurut :


#
Menurut IAWA (Wheeler et, al.,1989),
##
Menurut Den Berger(1989),
###
Menurut Wagenfuehr (1984),

127
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
Berdasarkan hasil pengamatan makroskopis dan mikroskopis kayu kenanga
(Cananga odorata (Lamk.) Hook.) dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. lingkaran tumbuh kayu kenanga terlihat tidak begitu jelas dan memiliki jarak yang
bervariasi dari setiap tahunnya, warna coklat cerah dan tidak terlihat jelas antara gubal
dan teras, tekstur kayu kenanga tergolong kasar dan tidak rata, karena sel-selnya
berukuran relatif besar dan mempunyai pembuluh yang berkelompok atau berganda
radial 2-4 yang tersebar tidak merata, serat kayu kenanga terlihat berserat lurus dari
pengamatan bidang tangensial dan radial kayu. Pada bidang radial dan bidang
tangensial tidak ditemukan serat yang menyimpang, kekerasan kayu kenanga termasuk
kayu yang tergolong memiliki kekerasan lunak, kesan raba kayu kenanga agak kasar,
bau pada kayu kenanga tidak spesifik, kilap pada kayu kenanga agak mengkilap,
demikian pula dengan kesan rabanya agak kasar, bau tidak spesifik.
2. Sel pori kayu kenanga berbentuk bulat hingga oval dengan pengelompokan pori
kebanyakan soliter dan ganda radial 2-4 dengan porositas tata baur. Tipe jari-jari
multiseriate dan mempunyai susunan jari-jari heterogen. Parenkim aksial mempunyai
susunan parenkim aksial apotrakeal dengan berbentuk tangga. Sel serabut pendek
dengan diameter sangat besar ke arah aksial dan kedua ujungnya meruncing dengan
diameter lumen sangat besar dan tebal dinding tipis.
3. Dari arah longitudinal batang tinggi dan diameter pori nilai tertinggi pada bagian tengah
kecuali jumlah sel pori pada bagian ujung. Sel jari-jari dari tinggi sel jari-jari dan lebar sel
jari-jari pangkal memiliki nilai lebih tinggi kecuali jumlah sel jari-jari pada bagian ujung.
persentase sel pori, dan sel jari ujung dan pangkal mamiliki nilai tertinggi, kecuali sel
parenkim dan sel serat pada bagian tengah. Panjang, diameter, dan tebal dinding serat
bagian pangkal memiliki nilai tertinggi kecuali diameter lumen tengah memiliki nilai
tertinggi. Dari arah radial batang diameter pori nilai tertinggi pada D2, tinggi pori nilai
tertinggi pada D3,dan jumlah sel pori nilai tertinggi pada D1. Tinggi dan lebar jari-jari nilai
tertinggi pada D2, kecuali jumlah jari-jari nilai tertinggi pada D3. Persentase sel pori, sel
jari, sel parenkim, nilai tertinggi pada D1, kecuali Persentase sel serabut nilai tertinggi
pada D2. Panjang, diameter, diameter lumen, dan tebal dinding serat nilai tertinggi pada
D3.
4. Sel jari-jari memiliki lebar multiseriate heterogen, tinggi sel jari-jari termasuk dalam
klasifikasi luar biasa tinggi (1,52 mm), lebar sel jari-jari termasuk dalam kelas lebar
(113,24 m), dan jumlah jari-jari termasuk dalam klasifikasi sedang (8,80buah/mm).
Tinggi sel pori termasuk klasifikasi sedang (544.45m), diameter sel pori termasuk
klasifikasi besar (184.84m), jumlah sel pori termasuk dalam klasifikasi sangat jarang
(2,26buah/mm2). Persentase sel kayu kenanga meliputi persentase pori 7,71%, sel jari-
jari 19,83%, sel parenkim aksial 3,52% dan sel serabut 68,89%. Panjang diameter serat
termasuk dalam klasifikasi pendek (1267,80m), diameter serat termasuk dalam
klasifikasi sangat besar (42,62 m), diameter lumen termasuk dalam klasifikasi sangat
besar (32,60m) dan tebal dinding termasuk dalam klasifikasi tipis (5,46m).

Saran
Dari hasil kesimpulan bahwa kayu kenanga memiliki kekerasan sedang dengan corak
dan lingkaran tumbuh yang bervariasi memungkinan kayu ini cocok untuk mebel dan
kerajinan tangan, sedangkan panjang serat yang pendek, diameter serat sangat besar,
diameter lumen sangat besar dan tebal dinding tipis, kemungkinan kayu kenanga ini bisa
dimanfaatkan untuk kontruksi ringan, meski dalam hal ini masih memerlukan penelitian
mengenai sifat fisika dan mekanika kayunya.

128
ANATOMI DAN SIFAT DASAR KAYU

KELAS AWET 250 JENIS KAYU INDONESIA TERHADAP


PENGGEREK DI LAUT

Mohammad Muslich dan Sri Rulliaty


Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan,
Kementerian Kehutanan. Jl. Gunung Batu No. 5 Bogor

ABSTRACT

Representative samples of two hundred fifty Indonesian wood species were collected
from forest areas in Indonesia for durability test against the attack by marine borers. The
durabilitys field test was conducted at Rambut Island seashore. The test samples measuring
30 cm (in length) by 5 cm (width) by 2.5 (height) were prepared and randomly arranged using
nylon rope immersed in the sea and then observed after six months. Afterwards, the 250
wood species as each represented by their tested stalks/samples could be categorized five
durability classes. Most of the samples were severely attacked by Pholadidae and
Teredinidae. Seven out of 250 wood species (i.e. 2,8 percent) were very resistant and
categorized as durability class I, twelve wood species (i.e. 4.8 percent) were resistant and
categorized class II. Meanwhile, the remaining were 32 wood species (i.e. 12,8 percent) the
belonged to durability class III, 66 wood species (i.e. 26,4 percent) as class IV, and 133
wood species (i.e. 53,2 percent) as class V.

Keywords: Durability class, Indonesian wood species, marine borers

ABSTRAK

Dua ratus lima puluh jenis kayu yang berasal dari beberapa daerah di Indonesia
diteliti sifat keawetannya terhadap serangan penggerek di laut. Masing-masing jenis kayu
dibuat contoh uji berukuran 30 cm x 5 cm x 2.5 cm, dirakit dengan tali plastik dan dipasang di
perairan Pulau Rambut serta diamati setelah 6 bulan. Dari hasil penelitian tersebut dibuat
lima klasifikasi keawetan berdasarkan intensitas serangan pada masing-masing contoh uji.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa hampir semua contoh uji mendapat serangan berat
oleh Pholadidae dan Teredinidae. Tujuh dari 250 jenis kayu yang diteliti atau 2,8 persen
tahan terhadap penggerek di laut, dimasukkan ke dalam katagori kelas awet I dan 12 jenis
atau 4,8 persen dimasukkan ke dalam kelas awet II. Sementara itu, sisanya yang 32 jenis
atau 12,8 persen termasuk kelas awet III, 66 jenis atau 26,4 persen termasuk kelas IV, dan
133 jenis atau 53,2 persen termasuk kelas V

Kata kunci: Kelas awet, jenis-jenis kayu Indonesia, penggerek kayu di laut

PENDAHULUAN

Indonesia adalah negara maritim yang lebih kurang dua per tiga wilayahnya terdiri
dari lautan, sehingga pelayaran antar pulau merupakan salah satu sarana ekonomi yang
amat penting. Untuk pelayaran antar pulau tersebut dibutuhkan perahu-perahu, yang
umumnya terbuat dari kayu. Perahu-perahu di laut selalu terancam oleh serangan
penggerek kayu di laut. Walaupun demikian, penelitian penggerek kayu di laut di Indonesia
masih langka.
Penggerek kayu di laut, terbagi dalam dua golongan yaitu Mollusca dan Crustaceae
(Turner, 1971; Kuhne, 1971). Golongan Mollusca terdiri atas dua famili yait Teredinidae dan
Pholadidae. Famili Teredinidae bertubuh panjang, seperti cacing, sedangkan Pholadidae
bertubuh pendek, tidak seperti cacing. Identifikasi Teredinidae berdasarkan pada bentuk
palet yang terletak di belakang (posterior), sedangkan identifikasi Pholadidae berdasarkan

129
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

pada bentuk morfologi cangkangnya. Golongan Crustacea terbagi dalam tiga famili, yaitu
Limnoridae, Sphaeromatidae dan Cheluridae. Genera yang sering menyerang kayu adalah
Limnoria, Sphaeroma dan Chelura.
Penelitian keawetan kayu terhadap penggerek di laut pertama kali dilakukan oleh
Gonggrijp (1932) dan Bianchi (1933) terhadap sembilan jenis kayu yaitu lara (Metrosideros
sp.), resak durian (Cotyleibium flavum Pierre.), tempinis (Sloetia elongate Kds.), kolaka
(Parinari corumbosa Miq.), malas (Parastemon urophyllum A.DC.), jati (Tectona grandis L.f.),
ulin (Eusideroxylon zwageri T.et B.), teruntum (Lumnitzera littorea Voight.) dan bungur
(Langerstroemia speciosa Pers.). Muslich dan Sumarni (2004) melakukan penelitian
keawetan 62 jenis kayu yang berasal dari beberapa daerah di Indonesia terhadap penggerek
di laut. Selanjutnya secara berkala dilakukan penelitian kelas keawetan 200 jenis kayu
Indonesia terhadap penggerek tersebut (Muslich dan Sumarni, 2005).
Kelas keawetan kayu adalah tingkat keawetan suatu jenis kayu terhadap organisme
perusak seperti jamur serangga dan penggerek di laut. Keawetan kayu dipengaruhi oleh
beberapa faktor yaitu kandungan zat ekstraktif, umur pohon, bagian kayu dalam batang
(gubal dan teras), kecepatan tumbuh, tempat di mana kayu dipakai, jenis organisme
penyerang, keadaan suhu, kelembaban udara dan lain-lainnya. Suatu jenis kayu yang awet
terhadap serangan jamur belum tentu akan tahan terhadap rayap atau penggerek kayu di
laut, demikian pula sebaliknya.
Di Indonesia mengenal lima kelas awet, yaitu kelas I yang paling awet sampai kelas
V yang paling tidak awet (Oey Djoen Seng, 1964). Klasifikasi ini hanya berlaku untuk daerah
tanpa mengindahkan daya tahan kayu terhadap penggerek di laut, tetapi memperhatikan
serangan jamur, rayap dan bubuk kering. Oey Djoen Seng juga menyatakan bahwa dari
4000 jenis kayu Indonesia, hanya sebagian kecil saja (15-20 persen) yang termasuk kelas
awet tinggi (I dan II) sedangkan sisanya termasuk kelas awet rendah (III, IV dan V).
Klasifikasi inilah yang sampai sekarang masih dipakai sebagai pegangan untuk
memperkirakan keawetan alami kayu terhadap organisme perusak. Padahal klasifikasi
tersebut bukan berdasarkan dari hasil penelitian, melainkan hanya berdasarkan dari
informasi yang tertera pada herbarium sebagai hasil pengamatan di lapangan atau hasil
wawancara dengan penduduk di sekitar tempat pohon tersebut tumbuh yang dicocokkan
dengan data di berbagai sumber. Klasifikasi tersebut sama sekali belum menyentuh
mengenai kelas keawetan alami jenis kayu terhadap penggerek di laut.
Untuk menyusun klasifikasi keawetan alami jenis-jenis kayu terhadap penggerek di
laut, diperlukan data keawetan jenis kayu yang relatif banyak dan diharapkan dapat mewakili
jenis kayu lainnya. Dalam tulisan ini disajikan kelas keawetan 250 jenis kayu Indonesia
terhadap penggerek di laut dari hasil penelitian yang dikumpulkan sejak tahun 1981 sampai
dengan tahun 2011. Selanjutnya dari data tersebut, disusun klasifikasi keawetan
berdasarkan intensitas serangan penggerek di laut terhadap masing-masing jenis kayu.
Diharapkan tulisan ini bermanfaat bagi para pengguna, terutama dalam memilih jenis kayu
yang akan dipakai di laut.

BAHAN DAN METODE

Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ketahanan kayu terhadap penggerek di laut, dilakukan di perairan
Pulau Rambut (Kepulauan Seribu). Perairan tersebut mempunyai salinitas sekitar 30 33
permil dan temperaturnya sekitar 28 29 C, pantainya berkarang, berpasir putih dan bebas
dari polusi atau limbah buangan. Perubahan salinitas, temperatur, arus dan gelombang
pada setiap tahunnya tidak menunjukkan perbedaan yang menyolok, sehingga populasi
penggerek kayu di perairan tersebut dapat berkembang dengan baik (Muslich dan Sumarni,
1987).

Bahan dan Metode


Dalam penelitian ini diteliti sebanyak 250 jenis kayu yang berasal dari beberapa
daerah di Indonesia. Masing-masing jenis kayu dibuat contoh uji berukuran 2,5 cm x 5,0 cm

130
ANATOMI DAN SIFAT DASAR KAYU

x 30 cm dengan ulangan 10 kali. Semua contoh uji diikat satu sama lain (direnteng) dengan
tali plastik, sebagai sekat diantara contoh uji digunakan selang plastik. Contoh uji yang
sudah direnteng, dipasang di perairan Pulau Rambut secara horizontal seperti yang
dilakukan oleh Muslich dan Sumarni (1987). Setelah 6 bulan contoh uji diambil, pengamatan
dilakukan dengan membelah contoh uji menjadi dua bagian dan dinilai intensitas serangan
terhadap penggerek di laut berdasarkan SNI 01-7207-2006 (Anonim, 2006) sebagai berikut:

Intensitas serangan
Kelas Selang intensitas serangan
(persen)
I <7 Sangat tahan
II 7 27 Tahan
III 27 54 Sedang
IV 54 79 Buruk
V > 79 Sangat Buruk

Sebagai pembanding, dicantumkan juga kelas awet dari masing-masing jenis kayu tersebut
yang sekarang berlaku yaitu klasifikasi yang disusun oleh Oey Djoen Seng (1964).
Untuk identifikasi jenis penggerek yang menyerang contoh uji dilakukan pengamatan
struktur cangkuk dan bentuk palet dari penggerek serta bekas lubang gerek pada kayu.
Identifikasi jenis penggerek tersebut dilakukan sesuai dengan klasifikasi yang disusun oleh
Turner (1966 dan1971).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil penelitian menunjukkan bahwa contoh uji jenis kayu yang dipasang di perairan
Pulau Rambut selama 6 bulan, sebagian besar dari 250 jenis kayu mendapat serangan berat
dari penggerek di laut. Hasil klasifikasi kelas awet dari jenis kayu yang diujiiti dapat dilihat
pada Lampiran 1 dan sebagai pembanding dicantumkan pula kelas awet setiap jenis
menurut klasifikasi Oey Djoen Seng (1964). Lampiran 1 menunjukkan bahwa dari 250 jenis
kayu yang diuji, hanya 7 jenis atau 2,8% saja yang termasuk kelas awet I yaitu resak
(Cotylelobium flavum Pierre.), kandole (Diploknema oligomera H.J.L.), ulin (Eusidiroxylon
zwageri T.et B.), keruing a (Dipterocarpus glabrigemmatus P.S.Aston), keruing b
(Dipterocarpus stellatus Vesque), kayu besi (Metrosideros petiolata Kds.), kayu besi
(Metrosideros petiolata Kds.) dan pelawan merah (Tristania maingayi Duthie.). Selanjutnya
12 jenis atau 4,8% yang termasuk kelas awet II yaitu mimba (Azadirachta indica Juss.),
empas (Bouea burmanica Griff.), giam tembaga (Cotylelobium melanoxylon Pierre), eboni
(Diospiros celebica Bakh.), keruing c (Dipterocarpus pachyphyllus Meijer), bangkirai (Hopea
dryobalanoides Miq.), tanjung (Mimusops elingi L.), kusegoro (Neonauclea maluense
S.Moore..), gewaya hutan (Parastemon versteeghii Merr.et Perry.), kolaka (Parinari
corymbosa Miq.), jati (Tectona grandis L.f.), resak (Vatica nitens King.), bitti (Vitex cofassus
Reinw.), dan laban (Vitex pubescens Val.). Sebagian besar lainnya yaitu 32 jenis atau 12,8%
termasuk kelas III, 66 jenis atau 26,4% termasuk kelas IV dan 133 atau 53,2% termasuk
kelas V. Jenis kayu yang termasuk kelas awet I dan II, dalam penggunaannya cocok untuk
perahu, kapal kayu, dermaga, tiang pancang dan lain-lainnya, terutama yang bersentuhan
dengan air laut. Sedangkan yang termasuk kelas awet III, IV dan V bila digunakan di laut
harus diawetkan terlebih dahulu.
Perbedaan intensitas serangan terhadap 250 jenis kayu di atas disebabkan
komponen kimia pada tiap jenis kayu berbeda. Gongrijp (1932); Bianchi (1933); Southwell
dan Bultman (1971) menyatakan bahwa kadar silika, kekerasan atau kerapatan dan
kandungan zat ekstraktif yang bersifat racun dapat menekan serangan penggerek kayu di
laut. Komponen kimia kayu berupa selulosa lebih disukai oleh famili Teredinidae karena
sebagai sumber makanannya (Turner, 1966), sehingga kayu yang banyak mengandung
selulosa mendapat serangan lebih berat (Muslich dan Sumarni, 1988).
Kayu ulin (Eusideroxylon zwageri) sangat tahan terhadap serangan organisme
perusak di laut karena mempunyai kadar silika yang relatif tinggi yaitu 0,5% (Bianchi, 1933)

131
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

dan mempunyai zat ekstraktif eusiderin turunan dari phenolik yang beracun (Amin dkk.,
2002). Demikian juga pada kolaka (Parinari corymbosa) mempunyai kadar silika 0,9%,
sehingga dapat menahan serangan terhadap penggerek kayu di laut (Bianchi, 1932).
Beenson (1946) dalam Supriana (1999) juga menyatakan bahwa ada hubungan antara
kadar silika pada kayu dengan daya tahan terhadap penggerek kayu di laut, terutama pada
kadar di atas 0,5%. Jati (Tectona grandis) juga dikelompokkan ke dalam jenis kayu yang
tahan di laut, karena pada bagian teras kayunya terdapat zat ekstraktif quinones bersifat
racun yang disebut techtochinon (Supriana, 1999). Sedangkan kayu mimba (Azadirachta
indica) termasuk jenis kayu yang tahan terhadap serangan penggerek di laut, kemungkinan
karena mempunyai zat ekstraktif yang bersifat racun. Ruskin (1993) menyatakan bahwa
mimba mempunyai zat ektraktif berupa azadirachtin, salanin, mehantriol, nimbin dan
nimbidin. Sedangkan Senrayan (1997) menyatakan bahwa zat ekstraktif yang ada pada
mimba tidak bersifat membunuh secara cepat, hanya mengganggu pada proses
pertumbuhan organisme perusak. Azadirachtin berperan sebagai ecdyson blocker atau zat
yang dapat menghambat kerja hormon ecdyson dalam proses metamorphose yang
berakibat kematian (Chiu, 1988). Salanin berperan sebagai penurun nafsu makan (anti-
feedant) sehingga daya serang organisme menurun (Ruskin, 1993). Meliantriol berperan
sebagai penghalau (repellent) yang mengakibatkan organisme perusak enggan mendekati
zat tersebut (Sudarmaji, 1991). Nimbin dan nimbidin berperan sebagai anti mikro organisme
seperti anti-virus, bakterisida yang sering digunakan sebagai pestisida nabati (Ruskin, 1993).
Demikian juga pada jenis kayu lainnya yang termasuk kelas awet I dan II, kemungkinan
besar juga mempunyai komponen kimia tertentu yang dapat menahan serangan penggerek
di laut.
Sementara faktor berat jenis yang tercantum pada Lampiran 1, seolah-olah ada
hubungan korelasi terhadap ketahanan alami kayu terhadap organisme perusak. Misalnya
Eusideroxylon zwageri yang mempunyai berat jenis 1,04 juga mempunyai kelas awet tinggi.
Sebaliknya pada Pinus merkusii yang berat jenisnya 0,55, Podocarpus imbricatus 52,
Alstonia angustiloba 0,36 dan jenis kayu lainnya yang mempunyai berat jenis rendah,
menunjukkan kelas awet rendah. Pernyataan adanya hubungan korelasi antara berat jenis
dengan keawetan alami kayu, ternyata tidak tepat. Hal ini ditunjukkan dari hasil penelitian
bahwa seperti Ecalyptus urophylla, Quercus lineata, Shorea laevis, Koompassia
malaccensis, Tamarindus indica .yang mempunyai berat jenis relatif tinggi yaitu 1,05, 1,00,
0,99, 0,95 dan 0,92 ternyata mempunyai ketahanan yang lebih rendah terhadap penggerek
di laut bila dibandingkan dengan Tectona grandis yang mempunyai berat jenis jauh lebih
rendah yaitu 0,65. Hal tersebut disebabkan bahwa pada Tectona grandis selain
mengandung silika sekitar 0,4% (Bianchi, 1933), juga mengandung zat ekstraktif tectochinon
yang beracun.
Backer (1975) membuktikan bahwa ternyata yang lebih berpengaruh terhadap
keawetan alami kayu adalah zat ektraktif. Backer juga menyatakan bahwa apabila ada dua
pilihan jenis kayu yang diserang, maka organism perusak akan cenderung memilih kayu
yang lebih lunak. Oey Djoen Seng (1964) menyatakan bahwa hubungan antara berat jenis
terhadap ketahanan alami kayu kurang berlaku umum. Adanya korelasi tersebut terbatas
hanya pada species dalam satu genus. Dalam suatu genus, jenis kayu yang lebih berat
biasanya akan lebih awet dari pada yang lebih ringan. Lebih lanjut Oey menyatakan bahwa
pada Xanthophyllum stipitatum, Planconella obovata dan Tamarindus indicus yang berturut-
turut mempunyai berat jenis 1,04, 1,01 dan 0,84 ternyata hanya sedikit memiliki ketahanan
terhadap organisme perusak.
Di antara klasifikasi kelas awet kayu yang telah diuraikan di atas, bila dibandingkan
dengan kelas awet yang disusun oleh Oey Djoen Seng (1964) ternyata banyak yang
berbeda. Hanya ada beberapa jenis kayu tertentu seperti Eusideroxylon zwageri, Vitex
cofassus dan Tectona grandis yang mempunyai kelas awet sama (kelas I dan II). Kiranya
sudah jelas bahwa klasifikasi kelas awet dari hasil pengujian yang diperoleh berbeda dengan
klasifikasi yang disusun oleh Oey (1964). Klasifikasi Oey didasarkan pada data dari berbagai
variasi kondisi, etiket herbarium dan data tempat tumbuh yang dicocokkan dari berbagai
sumber. Klasifikasi kelas awet tersebut belum mewakili kelas awet kayu terhadap penggerek

132
ANATOMI DAN SIFAT DASAR KAYU

di laut. Oleh karena itu, klasifikasi ketahanan alami jenis-jenis kayu Indonesia yang dibuat
oleh Oey Djoen Seng harus digunakan dengan hati-hati. Maka perlu penelitian pemilahan
penggunaan jenis kayu, dimaksudkan agar kayu dapat digunakan secara tepat.
Identifikasi jenis organisme perusak kayu di laut yang menyerang, dilakukan dengan
cara melihat ciri atau tanda serangannya. Tipe serangan Pholadidae berupa lubang gerek
tegak lurus pada permukaan kayu dengan luas serangan sesuai ukuran cangkuknya. Tipe
serangan pholadidae berupa pengikisan bagian luar kayu dengan lubang-lubang yang
dangkal. Kedua tipe serangan yang dijumpai pada contoh uji, ternyata kerusakan akibat
serangan Pholadidae tidak separah serangan dari Teredinidae. Meskipun demikian, tidak
ada satu jenis kayu pun yang kebal terhadap serangan Pholadidae (Southwell dan Bultman,
1971; Muslich dan Sumarni, 1988). Hasil identifikasi jenis organisme yang menyerang yaitu
Martesia striata Linne. dari famili Pholadidae; Teredo bataviana Moll/Roch., Dicyathifer
manni Wright., Teredo bartschi Clapp., Bankia cieba Clench./Turner., Bankia carinata (Gray)
dari famili Teredinidae.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian uji keawetan 250 jenis kayu Indonesia terhadap
penggerek kayu dilaut disimpulkan sebagai berikut:
1. Dari 250 jenis kayu yang diuji, hanya 7 jenis atau 2,8 persen yang termasuk kelas awet I,
12 jenis atau 4,8 persen termasuk kelas awet II, 32 jenis atau 12,8 persen termasuk kelas
awet III, 66 jenis atau 26,4 persen termasuk kelas awet IV, dan 133 jenis atau 53,2 persen
termasuk kelas awet V.
2. Jenis-jenis penggerek yang menyerang contoh uji yaitu Martesia striata Linne. dari famili
Pholadidae; Teredo bataviana Moll/Roch., Dicyathifer manni Wright., Teredo bartschi
Clapp., Bankia cieba Clench./Turner., Bankia carinata (Gray) dari famili Teredinidae.
3. Klasifikasi kelas awet jenis kayu terhadap penggerek di laut, hasilnya berbeda dengan
klasifikasi kelas awet yang disusun oleh Oey Djoen Seng (1964).

DAFTAR PUSTAKA

Amin, A., Asri, S. dan Muladi,S. 2002. Tinjauan sosiologis dan ekonomis pada bidang
agribisnis, sektor kehutanan. http.//unmul.ac.id/dat/pub/lemit/ tinjauan sosiologis.pdf.
Lembaga Penelitian Universitas Mulawarman, Samarinda.
Anonim, 2006. Uji ketahanan kayu dan produk kayu terhadap organisme perusak kayu.
Standar Nasional Indonesia (SNI 01-7207-2006). Badan Standardisasi Nasional
(BSN). Jakarta
Becker, G. 1975. Termites and fungi. Organismen Und Holz International Simposium,
Dahlem Berlin.
Bianchi, A.T.J. 1933. The resistance of some Netherlands East Indian Timbers against the
attack of shipworms (Teredo). Fith Pacific Congress, Canada.
Chiu, S.F. 1988. Recent advances in research on botanical insecticides in China. South
China Agricultural University. Guangzhou. pp. 69-77.
Gonggrijp, J.W. 1932. Gegevens betreffende een onderzoek naar Nederlandsch-Indische
houtsoorten, welke tegen den pealworm bostand zijn. Mededeeligen van het
Boschbouwproeftation, Bogor.
Muslich, M dan G. Sumarni. 1987. Pengaruh salinitas terhadap serangan penggerek kayu di
laut pada beberapa jenis kayu. Jurnal Penelitian Hasil Hutan Bogor, Vol. 4, No. 2 :
46-49. Pusat Litbang Hasil Hutan, Bogor.
__________ . 1988. Laju serangan Pholadidae dan Teredinidae pada beberapa jenis kayu.
Jurnal Penelitian Hasil Hutan, Vol. 5, No. 7 pp.400-403. Pusat Litbang Hasil Hutan,
Bogor.

133
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

__________ . 2004. Ketahanan 62 jenis kayu ndonesia terhadap penggerek kayu di laut.
Jurnal Penelitian Hasil Hutan, Vol 22, No. 3 pp. 183-191. Pusat Libang Teknologi
Hasil Hutan, Bogor.
__________ . 2005. Keawetan 200 jenis kayu Indonesia terhadap penggerek di laut. Jurnal
Penelitian Hasil Hutan Bogor, 23(3):163-176. Pusat Litbang Hasil Hutan, Bogor.
Oey Djoen Seng. 1964. Berat jenis dari jenis-jenis kayu Indonesia dan Pengertian beratnya
kayu untuk keperluan praktek. Pengumuman No. 1. Lembaga Penelitian Hasil Hutan,
Bogor.
Ruskin, F.R. 1993. Neem: a tree for solving global problems. National Academy Press.
Washington, D.C.
Senrayan, R. 1997. Prospects and challenges in production and use of neem pesticides.
Proc. National conference on pesticides with emphasis on neem, 24-25 November
1997. Surabaya Indonesia.
Southwell, C.R. and J.D. Bultman. 1971. Marine borers resistance of untreated woods over
long periods of immersion in tropical waters. Biotropica 3, 1. pp. 81-107. Naval
Research Laboratory, Washington D.C.
Supriana, N. Rayap dan kayu. Orasi Pengukuhan Ahli Peneliti Utama. Badan Litbang
Kehutanan dan Perkebunan, Jakarta.
Turner, R.D. 1966. A survey and illustrated catalogue of the teredinidae. Harvard University,
Cambridge, Mass.
__________ 1971. Identification of marine wood-boring mollusks. Marine borers, fungi and
fouling organisms of wood. Organisation for Economics Co-operation and
Development, Paris.

134
Lampiran 1. Kelas keawetan 250 jenis kayu Indonesia terhadap penggerek di laut
No.
Nama daerah Asal kayu Berat jenis Intensitas Kelas Kelas
No. Koleksi Jenis kayu
serangan (%) awet awet Oey
1. 30104 Acasia mangium Willd. Mangium Jawa Barat 0,73 67 IV III
2. 34322 Acer niveum Bl. Ki endog Jawa Barat 0,49 85 V IV/V
3. 34018 Adenanthera microsperma T.et B. Sembreena Irian Jaya 0,80 40 III II-I
4. 34112 Agathis borneensis Warb Agatis Jawa Barat 0,55 86 V IV
5. 34065 Agathis beccerii Warl. Damar daging Jawa Barat 0,52 90 V IV
6. 34064 Agatthis beekingii M.Dr. Kidamar Jawa Barat 0,51 90 V IV
7. 34063 Agathis celebica Warl. Damar Jawa Barat 0,61 86 V IV
8. 34004 Aglaia eusideroxylon K.et V. Sao Irian Jaya 0,72 66 1V II-III
9. - Ailanthus integrifolia Lamp. - Sulawesi Tengah 0,38 95 V -
10. 3386 Ailanthus malabarica D.C. Kirontasi Sulawesi Tengah 0,38 80 V V
11. - Albizia falcataria L. Fosberg Sengon Jawa Barat 0,33 96 V IV/V
12 34342 Albizia lebbech Benth. Tarisi Jawa Barat 0,63 65 IV II
13 34347 Albizzia procera Benth. Ki hiyang Jawa Barat 0,71 65 IV II
14. 33929 Alstonia angustiloba Miq. Pulai Lampung 0,36 76 V V
15. 34076 Alstonia congengsis Engl. Pulai Jawa Barat - 90 V -
16. 34006 Alstonia cytheria Sm.n. Susuk Irian Jaya - 90 V -
17. - Alstonia pneumatophora Bakh. Pulai rawang Sulawesi Selatan 0,34 93 V V
18. N4874 Altingia excelsa Noronha. Rasamala Jawa Barat 0,81 66 IV II-III
19. 33899 Anisoptera costata Korth. Mersawa d.lebar Kalimantan Timur 0,61 80 V IV
20. 33869 Anisoptera marginata Korth Mersawa tenam Kalimantan Timur 0,64 80 V IV
21. 34033 Anthocephalus cadamba Miq. Saif Irian Jaya 0,42 90 V V
22. 34345 Anthocephalus chinensis Lamk. Hanja Jawa Barat 0,52 90 V -
23. 34035 Antiaris toxicaria Lesch. Basoah Irian Jaya 0,42 95 V V
24. 33930 Artocarpus lanceifolius Roxb. Mersiput Kalimantan Timur 0,42 93 V III
25. 34324 Azadirachta indica Juss. Mimba Jawa Timur 0,82 25 II III
26. 34121 Bischoffia javanica Bl. Gadog Jawa Barat 0,75 65 V III-II
27. 33910 Blumeodendron tundifolium Meer. Perupuk Kalimantan Barat 0,63 80 V IV
28. 33921 Bouea burmanica Griff. Empas Kalimantan Timur 1,02 27 II II
29 33965 B k ll d HJL N t h A b 0 66 69 V III/IV

135
ANATOMI DAN SIFAT DASAR KAYU
38. 34331 Castanopsis acuminatissima A.DC. Ki hiur Jawa Barat 0,74 65 IV

136
39. N4857 Castanopsis javanica A.Dc. Kali morot Jawa Barat 0,68 93 V III
40. 34321 Castanopsis tunggurut A.DC. Tunggeureuk Jawa Barat 0,44 80 V
41. 34053 Cedrella mexicana M..Roem. Handarusa Jawa Barat - 90 V III
42. 34000 Celtis latifolia Planch. Schiega Irian Jaya 0,52 83 V IV
43. 34077 Ceropia peltata L. Bos pepaya Jawa Barat - 71 V -
44. 34333 Cinnamomum iners Reinw. Ex Bl. Huru pedes Jawa Barat 0,57 80 V IV/V
45. 34309 Colona javanica B.L. Sampora Jawa Barat 0,47 55 IV V
46. - Colona scabra Burr. Bunu Sulawesi Selatan 0.40 78 V V
47. 33914 Cotylelobium flavum Pierre. Resak Kalimantan Barat 1,01 5 I I
48. 33901 Cotylelobium melanoxylon Pierre Giam tembaga Kalimantan Timur 0,99 14 II I
49. 33931 Cratoxylon arborescens Bl. Gerunggang Kalimantan Timur 0,47 78 V IV
50. 34134 Dacryodes rostrata H.J.L. Kemayan Jawa Barat 0,91 42 III III
51. 33903 Dactylocladus stenostachys Oliv. Mentibu Kalimantan Barat 0,53 67 V IV/V
52. - Dalbergia parviflora Roxb. Kayu taka Jawa Barat 0,83 35 III I
53. 33805 Dialium platysepalum Baker. Keranji Sumatera Selatan 0,98 36 III I
54. 34079 Diospyros celebica Bakh. Eboni Sulawesi Tengah 0,92 28 II I
55. 33989 Diospyros macrophylla Bl. Maurula Sulawesi Tengah 0,60 65 V V
56. - Diospyros pilosanthera Blanco. K.hit. perempuan Sulawesi Tengah 0,80 56 IV II-III
57. 34304 Diplodiscus sp. Balobo Jawa Barat 0,73 50 III -
58. - Diploknema oligomera H.J.L. Kandole Sulawesi Tenggara 1,12 5 I I-II
59. 33934 Dillenia reticulata King. Simpur Jawa Barat 0,75 54 IV III
60. 33857 Dipterocarpus apendiculatus Schy. Keruing Kalimantan Tengah 0,78 42 III III
61. 33853 Dipterocarpus caudiferus Merr. Keruing d.lbr. Kalimantan Timur 0,69 57 IV IV
62. 33939 Dipterocarpus cornutus Dyer. Keruing bulu Kalimantan Timur 0,82 45 III IV
63. 34354 Dipterocarpus glabrigemmatus P.S.Aston Keruing Kalimantan Timur 0,80 5 I -
64. 34352 Dipterocarpus pachyphyllus Meijer Keruing Kalimantan Timur 0,77 18 II -
65. 34353 Dipterocarpus stellatus Vesque Keruing Kalimantan Timur 0,77 6 I -
66. 34049 Dipterocarpus retusus Bl. Kruing Jawa Barat 0,75 45 III III
67. 33991 Dracontomelon dao Merr. Et Rolfe Kaili Sulawesi Tengah 0,63 59 IV II-IV
68. 33987 Dracontomelon mangiferum Bl. Rau Sulawesi Tengah 0,58 54 IV IV
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

69. 33979 Drypetes longifolia Pax. Et Hoff. Batu K. Ambon 0,78 45 III III
70. 33956 Duabanga moluccana Bl. Benuang laki Kalimantan Timur 0,39 75 V IV-V
71. 33994 Durio zibethinus Murr. Durian Sulawesi Tengah 0,57 59 IV IV-V
72. 33936 Durio oxleyanus Griff. Kei bengong Kalimantan Timur 0,61 60 IV IV-V
73. 33962 Drypetes longifolia Pax et Hoff. Buniyaga Sulawesi Selatan 0,78 48 IV III
74. 33831 Dyera costulata Hook. F. Jelutung Kalimantan Tengah 0,43 71 V V
75. 34306 Ehretia acuminata R.Br. Ki kendal Jawa Barat 0,61 50 III III
76. 34025 Elaeocarpus sphaericus K.Schum. Hongmako Irian Jaya 0,49 71 V V
77. - Elaeocarpus deglupta Bl. - Sulawesi Selatan 0,57 67 V -
78. Elaeocarpus floribundus Bl. Hauwan Jawa Barat 0,67 65 IV IV/V
79 - Elmerrilia ovalis Dandy. Uru Sulawesi Selatan 0,43 67 V II
80. 33893 Endospermum malaccense Muell. Sendok-sendok Riau 0,45 71 V V
81. 34338 Erythrina fusca Lour. Cangkring Jawa Barat 0,35 90 V V
82. 34105 Eucalyptus alba Reiw. Ampupu Jawa Barat 0,89 54 IV III-II
83. 34062 Eucalyptus deglupta Bl. Leda Jawa Barat 0,57 71 V IV
84. 34069 Eucalyptus citriodora Hook. - Jawa Barat 0,80 57 IV III
85. 34097 Eucalyptus platyphylla F.V.M. Yua mea NTT 1,02 35 III II-III
86. 34096 Eucalyptus urophylla S.T.Blake - NTT 1,05 43 III II
87. 33959 Eugenia polyantha Wight. Gosula Ambon 0,64 98 V III
88. 33764 Eusideroxylon zwageri T.et B Ulin KalimantanTimur 1,04 3 I I
89. 34122 Evodia aromatica Bl. Ki sampang Jawa Barat 0,43 67 V V
90. 33977 Ficus nervosa Heyne. Beringin Sulawesi Tengah 0,30 77 V V
91. 34335 Ficus nervosa Heyne. Ki kanteh Jawa Barat 0,35 85 V V
92. 34305 Ficus variegata BL Kundang Jawa Barat 0,29 85 V V
93. 34312 Ficus vasculosa Wall ex Miq. Ki kuya Jawa Barat 0,45 70 IV V
94. 33976 Ficus pubinervis Bl Beringin Sulawesi Tengah 0,42 61 IV V
95. 33898 Fragraea fragans Roxl. Tembesu Riau 0,81 36 III I
96. 33823 Ganua motleyana Pierre. Ketian Palembang 0,56 67 V IV
97. 34010 Ganophyllum falcatum Bl. Sehara Irian Jaya 0,79 51 IV III
98. 34344 Garcinia celebica L. Cerei Jawa Barat 0,65 60 IV II
99. 34315 Gironniera subasqualis Planch. Ki bulu Jawa Barat 0,51 75 IV IV/V
100. 33916 Gonystylus bancanus Kurz. Ramin Kalimantan Barat 0,63 63 V V
101. 33888 Gonystylus macrophyllus A.Shaw. Pulai miang Riau 0,62 67 V V
102. - Gonystylus velutinus A.Shaw. Seranai Riau 0,59 63 V V
103. 34123 Gossampinus malabarica Alst. Randu alas Jawa Barat 0,30 77 V V
104. - Haplolobus celebicus H.J.L Lengai Jawa Barat 0,64 66 V III-IV
105. 34009 Hernandia ovigera L. Fofo Irian Jaya 0,31 77 V V
106. N4862 Heritiera javanica Pongokan Jawa Barat - 60 IV -
107. 33958 Heritiera litoralis Deyand. Rarum Ambon 0,98 54 III II
108. - Hevea brasiliensis Muell. Arg. Balau perak Jawa Barat 0,61 63 V V
109. 33944 Hollutus blumcanus Muell Ary. Perupuk Kalimantan Timur - 54 IV -
110. 34034 Homalium foetidum Benth. Petion Irian Jaya 0,76 45 III II-IV
111. 33840 Hopea dryobalanoides Miq. Bangkirai Kalimantan Tengah 0,72 26 II II(III-I)
112. 33932 Hopea mengarawan Miq Nyerabat Kalimantan Timur 0,71 53 IV II-III
113. 34081 Hopea odorata Roxb. - Jawa Barat - 63 V -
114. 34102 Hopea sangal Korth. Cengal Jawa Barat 0,70 54 IV II-III
115. 33866 Hopea sangal Korth. Merawan Lampung 0,70 60 IV II-III
116. 34336 Horsfieldia glabra Warb. Kelapa ciung Jawa Barat 0,58 80 V V
117. 34020 Horspecdia sylvertris Warb. Bomsi Irian Jaya 0,39 71 V V
118. 34082 Hymenaea courbaril L. Marasi Jawa Barat 0,63 60 IV III
119. 34015 Intsia bijuga O.Ktze Sekka Irian Jaya 0,84 41 III I-II

137
ANATOMI DAN SIFAT DASAR KAYU
120. 33946 Intsia palembanica Miq. Ipil Kalimantan Timur 0,79 45 III II-I

138
121. - Kallapia celebica Kosterm. Kalapi Sulawesi Selatan 0,64 45 III II
122. 34084 Khaya anthotheca C.Dl. Mahoni uganda Jawa Barat - 63 V -
123. 34045 Khaya grandifolia C.DC. Mahoni afrika Jawa Barat - 62 IV -
124. 34083 Khaya senegelensis A.Jun Mahoni Jawa Barat - 67 V -
125. 33955 Koompassia excelsa Taub Bangeris Kalimantan Timur 0.83 57 IV III-IV
126. 33806 Koompassia malaccensis Maing. Kempas Palembang 0,95 60 IV III/IV
127. 33949 Koordersiodendron pinnatum Meer Kelembiring Kalimantan Timur 0,83 63 V II-III
128. 34319 Lindera polyantha Boerl. Huru mentek Jawa Barat 0,81 30 III III
129. N4856 Lithocarpus sundaicus Bl. Kost. Pasang kayang Jawa Barat 0,58 71 V -
130. 34334 Litsea angulata Bl. Huru koja Jawa Barat 0,45 85 V IV
131. 43135 Litsea firma Hook.f. Madog panel Kalimantan Barat 0,56 67 V III-IV
132. 34022 Litsea odorifera Val. Menako Irian Jaya 0,42 71 V IV-V
133. 34307 Litsea odorifera Val. Huru gading Jawa Barat 0,51 80 V IV
134. 34337 Litsea roxburghii Hassak. Tangkalak Jawa Barat 0,34 80 V V
135. 33891 Lumnitzera littorea Voigt. Susup Riau 0,83 42 III II
136. 34351 Magnolia candolii (Blume.) King Cempaka Jawa Barat 0,54 89 V -
137. - Mallotus blumeanus Muell.Arg. Bungbulang Jawa Barat 0,63 67 V V
138. 33982 Mangifera foetida Lour. Mangga hutan Sulawesi Tengah 0,73 57 IV II-III
139. 33988 Mangifera minor Bl. Merantaipa Sulawesi Tengah 0,63 54 IV III
140. 34350 Manglietia glauca Blume. Manglid Jawa Barat 0,44 90 V IV
141. 34339 Melaleuca cajuputi Powell. Kayu putih Jawa Barat 0,81 45 III III
142. 33923 Melanorrhoea sp. Regas burung Kalimantan Timur 0,87 39 III II
143. 34050 Melia excelsa Jack. Surian bawang Jawa Barat 0,60 67 V III-IV
144. 34308 Meliocope lunu-ankenda (G.) T.G.H Ki sampang Jawa Barat 0,43 80 V -
145. - Metrosideros petiolata Kds. Kayu besi Sulawesi Selatan 1,15 5 I I
146. 33905 Mezzttia parviflora Becc. Pisang-pisang Kalimantan Barat 0,61 63 V V
147. N4877 Mimusops elingi L. Tanjung Jawa Barat 1,00 30 II I/II
148. 34349 Michelia champaka L. Baros Jawa Barat 0,38 90 V II
149. 33822 Myristica subaculata Miq. Merantihan Palembang 0,37 71 V V
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

150. 34343 Nauclea orientalis Merr. Kapinango Jawa Barat 0,64 60 IV IV


151. 34003 Neonauclea maluense S.Moore. Kusegoro Irian Jaya 0,81 26 II III
152. 34320 Neolitsea triplinervia Merr. Huru kacang Jawa Barat 0,46 85 V IV
153. 34075 Ochroma grandiflora Rowlee. Balsa Palembang 0,30 77 V V
154. 34016 Ochrosia fisifolia Mgf. Asakka Irian Jaya 0,57 71 V V
155. 34007 Octomeles sumatrana Miq Starka Irian Jaya 0,33 69 V V
156. 33997 Palaqium obovatum Engl. Kune Kalimantan Timur 0,67 45 III IV
157. 33950 Palaquium gutta Bail. Nyatoh Kalmantan Timur 0,69 45 III IV
158. 34017 Palaquium multiflorum Peere. Songwa Irian Jaya 0,99 67 V II-III
159. 33992 Palaquium obtusifolium Burck. Hantu Sulawesi Tengah 0,56 63 V IV-V
160. - Parasarianthes falcataria Niel. Sengon Jawa Barat 0,33 77 V IV-V
161. - Parashorea malaanonan (Blanco) Merr. Meranti putih Kalimantan Timur 0,49 74 IV IV
162. 33814 Parastemon versteeghii Merr.et P. Gewaya hutan Palembang 1,09 26 II II-III
163. 33998 Parinari corymbosa Miq. Kolaka Kalimantan Timur 0,96 29 II III
164. 34067 Pentadisma butyracea Sab. Buter tree Jawa Barat 0,51 71 V -
165. N4881 Peronema canescens Jack. Sungkai Jawa Barat 0,63 59 IV III
166. 34021 Pimeleodendron amboinicum Hask. Komwa Irian Jaya 0,57 67 V V
167. 34083 Pinus khasya Rowlee. Pinus Jawa Barat 0,54 71 V -
168. N4882 Pinus merkusii Jungh. et de Vries Pinus Jawa Barat 0,55 75 V III-IV
169. 34072 Pinus mentezuma Lamb. Pinus Jawa Barat - 71 V -
170. 34121 Planchonia valida Bl. Putat Jawa Barat 0,80 48 IV II-III
171. - Piptademia peregrina Benth. - Jawa Barat 0,66 63 V -
172. 34310 Pouteria duclitan Bachni. Nyatoh putih Jawa Barat 0,56 60 IV -
173. N4876 Podocarpus blumei Endl. Melur Jawa Barat 0,60 68 V IV
174. 33817 Polyalthia hypoleoca Hook. Banitun Palembang 0,80 51 IV IV
175. 34027 Pometia pinnata Forst. Matoa Irian Jaya 0,77 54 IV V
176. 34310 Pouteria duclitan Baehni. Nyatoh putih Jawa Barat 0,71 63 V -
177. 34026 Prainea microcephala J.J.S. Petuwon Irian Jaya 0,51 71 V III
178. 34068 Pterocarpus spec. Sono kembang Jawa Barat 0,77 51 IV II-IV
179. - Pterocarpus indicus Willd. Sono kembang Sulawesi Selatan 0,65 42 III II-IV
180. 34037 Pterocymbium beccaria K.Schm. Bemiek Irian Jaya 0,39 71 V V
181. 33983 Pterospermum celebicum Miq Wayu Sulawesi Tengah 0,44 71 V IV-V
182. N4880 Pterospermum difersifolium Bl. Bayur Jawa Barat 0,65 67 V IV
183. - Pterospermum indicus Wild. - Jawa Barat 0,65 60 IV II-III
184. N4854 Pterospermum montanum K.et V. Bayur gunung Jawa Barat 0,53 71 V IV
185. 34088 Pterygota alata R.Br. - Jawa Barat - 57 IV -
186. 33969 Pterygota forbesii F.Muell. Gohima Ambon 0,75 57 IV V
187. - Quercus leprosula Miq. - Jawa Barat 0,47 67 V -
188. 34059 Quercus lineata Bl. Pasang beureum Jawa Barat 1,00 54 IV II
189. 34052 Quercus turbinata Bl. Pasang jambe Jawa Barat 0,75 63 V III
190. - Risinodendron africanum Arg. - - - 59 IV -
191. 34119 Samanea saman Merr. Ki hujan Jawa Barat 0,61 68 V IV
192. 34090 Sandoricum koetjape Merr. Kecapi Jawa Barat 0,49 75 V IV-V
193. 33942 Scapium macropodum J.B. Mersawa Kalimantan Timur 0,65 63 V V
194. - Schleichera oleosa Merr. Kesambi Sulawesi Selatan 1,01 39 III -
195. 33954 Schima wallichii Korth. Penagit Kalimantan Timur 0,81 64 V III
196. 34348 Semecarpus albescens Kurz. Rengas gunung Jawa Barat 0,46 75 V V
197. - Shorea acuminatissima Sym. Damar pakit Kalimantan Timur 0,54 67 V III-IV
198. 33953 Shorea balangeran Burck. Lempung kahoi Kalimantan Timur 0,86 51 IV II- (I-III)
199. 34101 Shorea guiso Bl. Giso Jawa Barat 0,83 60 IV II-III
200. 33945 Shorea johoriensis Foxw Kenuar Kaimantan Timur 0,50 52 IV III-V
201. - Shorea hopeifolia Symington Meranti kuning Kalimantan Timur 0,54 92 V III/IV

139
ANATOMI DAN SIFAT DASAR KAYU
202. - Shorea koordersii Brandis. Damar tenang Jawa Barat 0,50 66 V IV

140
203. - Shorea lamellata Foxw. Damar tunam Jawa Barat 0,73 51 IV IV
204. 33924 Shorea laevis Bl. Bangkirai Kalimantan Timur 0,99 43 III I
205. 33952 Shorea leptoclados Sym. Mengkabung Kalimantan Timur 0,50 63 V IV-V
206. 33933 Shorea leprosula Miq. Lempung tembaga Kalimantan Timur 0,40 67 V III-IV
207. 34099 Shorea meoistopteryx Ridl. Tengkawang Jawa Barat 0,51 63 V -
208. - Shorea mujongensis P. S. Aston. Meranti kuning Kalimantan Timur 0,43 85 V -
209. 33937 Shorea ovalis Bl. Lempung rusa Kalimantan Timur 0,51 67 V III-IV
210. 33926 Shorea parvifolia Dyer. Lempung nasi Kalimantan Timur 0,45 67 V III-IV
211. 34110 Shorea platyclados V.Sl. Meranti abang Sumatra Selatan 0,67 60 IV III-IV
212. - Shorea selanica Bl. Meranti bapa Jawa Barat 0,37 71 V -
213. 34100 Shorea seminis V.Sl. Terindak Jawa Barat 0,90 60 IV I-II
214. 33925 Shorea smithiana Sym. Merumbung Kalimantan Timur 0,50 63 V III-IV
215. 34075 Shorea sp. Merant merah Jawa Barat 0,51 57 IV
216. 34098 Shorea stenoptera Burck. Tengkawang Jawa Barat 0,41 63 V III-IV
217. - Shorea superba Symington. Balau Kalimantan Timur 0,76 24 II -
218. 34323 Sloanea sigun Szysz Beleketebe Jawa Barat 0,79 55 IV V
219. 34091 Spathodea campanulata P.B. Ki aerit Jawa Barat 0,39 71 V V
220. 34005 Spondias cytherea Soon. Sutiet Irian Jaya 0,33 77 V V
221. 33941 Sindora leiocarpa De.wit. Anggi Kalimantan Timur 0,60 51 IV IV-V
222. 34051 Sterculia cymosa Kelumpang Jawa Barat - 71 V V
223. 34311 Stercularia oblongata R.Br. Ki hantap Jawa Barat 0,36 85 V V
224. 34341 Sterculia cordata Blume. Hantap heulang Jawa Barat 0,40 85 V V
225. 33928 Sterculia symplicifolia Mast. Buah sayap Kalimantan Timur 0,75 36 III II-IV
226. N4878 Styrax benzoin Dryand. Kemenyan Jawa Barat 0,54 63 V IV-V
227. 33984 Spondias cytherea Sonn. Kedondong Sulawesi Tengah 0,33 66 V V
228. 34074 Swietenia caudallei Pittier. Mahoni Jawa Barat 0,48 67 V V
229. 34092 Swietenia macrophylla King. Mahoni d. lebar Jawa Barat 0,61 60 IV III
230. 34303 Tamarindus indica L. Asam jawa Jawa Barat 0,92 60 IV V
231. 33943 Tarrietia javanica Bl. Melapisan Kalimantan Timur 0,74 57 IV III-IV
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

232. - Tarrietia symplicifolia Mast. - - 0,75 45 III II-IV


233. - Tectona grandis L.f. Jati Jawa Tengah 0,65 30 II II
234. 33877 Terminalia copelandi Elm. Ketapang Lampung 0,43 67 V V
235. 33966 Terminalia microcarpa Deene. Musim Ambon 0,75 51 IV IV
236. 34023 Terminalia longespicata V. Sl. Uniaba Irian Jaya 0,52 71 V V
237. 33900 Terminalia mollis T. et B. Ketapang Riau 0,58 67 V IV
238. 34029 Tetameles nudiflora R.Br. Satye Irian Jaya 0,32 77 V V
239. 33897 Tetramerista glabra Miq. Punak Riau 0,76 54 IV III-IV
240. - Toona sureni Merr. Suren Sulawesi Selatan 0,39 77 V IV/V
241. 34093 Trachylobium verecosum Cliv. - Jawa Barat - 71 V -
242. 33895 Tristania maingayi Duthie. Pelawan merah Riau 1,17 10 I I
243. 34314 Turpinia sphaerocarpa Hassk. Ki bancet Jawa Barat 0,55 65 IV V
244. Vatica nitens King. Resak Kalimantan Timur 0,81 8 II -
245. - Vernonia arborea Ham. Merambung Jawa Barat 0,38 71 V V
246. - Vitex cofassus Reinw. bitti Sulawesi Selatan 0,74 26 II II-III
247. - Vitex pubescens Vahl. Laban Jawa Tengah 0,88 25 II I
248. 34024 Xanthophyllum excelsum Miq. Seyam Irian Jaya 0,68 60 IV V
249. 33940 Xylopia malayana Hook f.et Th. Medang suhu Kalimantan Timur 0,63 63 V II-III
250. 34339 Zanthoxylum rhetsa DC. Ki tanah Jawa Barat 0,55 54 IV IV/V

141
ANATOMI DAN SIFAT DASAR KAYU
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

KETAHANAN KAYU PINGSAN (Teysmanniodendron sp.)


TERHADAP MARINE BORER
Muhammad Daud1, Musrizal Muin1, Muhammad Junus2, dan Ruslan2
1
Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin
2
Balai Pengembangan Teknologi Perumahan Tradisional Makassar

ABSTRAK

Kayu pingsan (Teymannidendron sp.) adalah kayu yang diduga endemik di


kepulauan Tojo Una-Una, Sulawesi Tengah. Kayu ini banyak digunakan sebagai tiang
bangunan rumah tradisional suku Bajo yang bermukim di pesisir laut. Tiang dari kayu ini oleh
masyarakat suku Bajo dianggap dapat bertahan lama sampai beberapa tahun jika digunakan
sebagai tiang di dalam laut. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ketahanan kayu
pingsan (Teysmanniodendron sp.) terhadap marine borer. Pengambilan dan pengujian
sampel dilakukan di Desa Kabalutan Kecamatan Walea Kepulauan, Kabupaten Tojo Una-
una, Propinsi Sulawesi Tengah. Pengujian keawetan alami kayu pingsan terhadap marine
borer yang mengacu pada SNI 01-7207-2006 tentang uji ketahanan kayu dan produk kayu
terhadap organisme perusak kayu Contoh uji yang digunakan adalah kayu pingsan
(Teysmodendron sp.) yang merupakan kayu yang secara lokal dimanfaatkan suku Bajo
sebagai tiang rumah. Contoh uji dipersiapkan dalam bentuk 2,5 cm (r) x 5 cm (t) x 30 cm (l).
Bagian tengah dilubangi dengan diameter sebesar 1,5 cm kemudian disusun sedemikian
rupa kemudian dipasang di perairan pantai yang bebas pencemaran, salinitas 30 ppm 40
ppm, dan air pasang surut maksimal 1,5 2 meter. Setelah 6 (enam) bulan contoh uji
diangkat, dibersihkan permukaannya dan dijemur sampai kering. Sebagai pembanding
dilakukan juga pengujian dengan menggunakan kayu palapi. Tingkat serangan dinilai
berdasarkan perbandingan luas permukaan kayu yang rusak dengan total luas permukaann
kayu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kayu pingsan memiliki tingkat serangan marine
borer yang sangat rendah yaitu sekitar 0.57% sehingga kayu tersebut dapat digolongkan
kayu kelas I (sangat tahan terhadap marine borer).

Kata kunci: Marine Borer, Kayu Pingsan, Teysmanniodendron sp, suku Bajo

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Suku Bajoi merupakan salah satu suku yang unik. Suku ini secara alamiah memiliki
habitat pemukiman yang berada di pesisir dan atau di atas permukaan laut yang dangkal.
Salah satu kearifan lokal suku Bajo ini adalah rumah tradisional mereka. Rumah tinggal suku
Bajo tercipta melalui proses panjang (trial error), sehingga terbentuk sebuah bangunan yang
mencirikan karakter kehidupan orang Bajo. Hasil penelitian BPTPT (2010) menunjukkan
bahwa karakter rumah dan permukiman suku Bajo ditinjau dari sejarahnya di mulai dengan
rumah perahu yaitu rumah yang dibentuk dari dasar perahu yang diberi atap, kemudian
karena faktor alam mereka membuat bangunan sementara di pantai menunggu kondisi alam
membaik, setelah itu mereka menetap di pantai dengan menjadikan bangunan sementara
menjadi bangunan tetap. Proses menetap suku Bajo dilakukan dengan mulai berkelompok
membangun rumah di pantai, kemudian berkembang di tepi pantai hingga berada di pesisir
pantai.
Rumah tradisional suku Bajo berbentuk rumah panggung yang berbahan baku lokal
di atas permukaan laut. Atap rumah suku Bajo umumnya terbuat dari daun sagu (Metroxylon
sp.), Dinding rumah suku Bajo umumnya terbuat dari daun silar (Corypha utan Lamk.) dan
lantai dari kayu palapi (Heritiera sp.), dan tiang umumnya menggunakan kayu lokal seperti
kayu pingsan, besi, kerikis, togoulu, kalakka dan manjarite dengan pemakaian berbentuk

142
ANATOMI DAN SIFAT DASAR KAYU

kayu bulat yang masih mempunyai kulit dengan ukuran berdiameter antara 15 sampai
dengan 25 cm.
Salah satu jenis kayu lokal yang dapat bertahan lama di jika digunakan sebagai tiang
rumah tradisional suku Bajo ini adalah kayu pingsan. Hasil identifikasi terhadapap morfologi
tanaman ini termasuk ke dalam genus Teysmannidendron dan famili Verbenaceae.
Tanaman ini diduga sebagai kayu endemic di kepulauan Tojo Una-Una. Mengingat
pentingnya kayu ini untuk dikembangkan sebagai bahan baku untuk penggunaan tiang di
laut maka perlu dilakukan penelitian tentang ketahanan alami kayu pingsan terhadap
organisme pengebor laut (marine borer).

Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik serangan marine borer pada tiang
rumah tradisional suku Bajo dan mengetahui ketahanan kayu pingsan (Teysmanniodendron
sp.) terhadap marine borer.

METODE PENELITIAN

Lokasi Penelitian
Pengambilan dan pengujian sampel dilakukan di Desa Kabalutan Kecamatan Walea
Kepulauan, Kabupaten Tojo Una-una, Propinsi Sulawesi Tengah.

Bahan dan Alat


Bahan yang digunakan adalah sampel uji kayu pingsan (Teysmanniodendron sp.)
dan Palapi (Heritiera sp.) dengan ukuran 2,5 cm (r) x 5 cm (t) x 30 cm (l), pelampung,
pemberat dari beton dan tambang plastik diameter 1 cm.

Prosedur Penelitian
Pengujian keawetan alami kayu pingsan terhadap marine borer yang mengacu pada
SNI 01-7207-2006 tentang uji ketahanan kayu dan produk kayu terhadap organisme perusak
kayu Contoh uji yang digunakan adalah kayu pingsan (Teysmodendron sp.) yang merupakan
kayu yang secara lokal dimanfaatkan suku Bajo sebagai tiang rumah. Contoh uji
dipersiapkan dalam bentuk 2,5 cm (r) x 5 cm (t) x 30 cm (l). Bagian tengah dilubangi dengan
diameter sebesar 1,5 cm kemudian disusun sedemikian rupa kemudian dipasang di perairan
pantai yang bebas pencemaran, salinitas sekitar 30 ppm 40 ppm, dan air pasang surut
maksimal 1,5 2 meter. Setelah 6 (enam) bulan contoh uji diangkat, dibersihkan
permukaannya dan dijemur sampai kering. Intensitas serangan dapat diperoleh melalui
rumus sebagai berikut:

IS = Luas Serangan Pada Permukaan Kayu x 100%


Luas Permukaan Kayu Total

Berdasarkan intensitas serangan ini kemudian dibandingkan dengan Tabel 1, untuk


menentukan kelask awet kayu pingsan terhadap marine borer (SNI 01-7207-2006).

Tabel 1. Kelas Awet Kayu Berdasarkan Intensitas Serangannya


Kelas Intensitas Serangan (persen) Selang Intensitas Serangan
I <7.3 Sangat Tahan
II 7.3-27.1 Tahan
III 27.1-54.8 Sedang
IV 54.79.1 Buruk
V >79.1 Sangat Buruk

143
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kayu memiliki ketahanan alami yang tinggi
terhadap organism penggerek kayu di laut (marine borer). Gambar 1, menunjukkan
ketahanan kayu pingsan terhadap marine borer. Intensitas serangan rata-rata marine borer
terhadap kayu pingsan ditunjukkan pada Gambar 2. Berdasarkan intensitas serangannya
kayu pingsan memiliki intensitas seranganya sekitar 0.57% sehingga digolongkan ke dalam
kayu kelas I (sangat tahan) terhadap marine borer. Ketahanan kayu pingsan sama dengan
kayu ulin dan kayu besi yang umum digunakan sebagai tiang rumah di pesisir laut. Pada
beberapa jenis kayu yang memiliki berat jenis yang hampir sama (kelas kuat sama) dengan
kayu pingsan justru menunjukkan kelas awet yang rendah seperti kayu yuamea (kelas III)
dan kayu songwa (kelas V). Hasil pengujian di lapangan terhadap kayu palapi yang
merupakan kayu yang banyak digunakan oleh suku Bajo sebagai bahan baku pembuatan
perahu menunjukkan intensitas seranganya sekitar 55,77% (kelas IV). Hal ini ini
menunjukkan kayu palapi memiliki keawetan alami terhadap marine borer yang buruk. Jika
dibandingkan kayu bangkiran yang memiliki berat jenis yang hamper sama justru
menunjukkan kelas awet yang lebih baik (kelas II). Hal menegaskan bahwa pada kondisi
kelas kuat yang sama intensitas serangan pada kayu dari marine borer dapat bervariasi.
Perbedaan intensitas serangan ini disebabkan oleh banyak hal, diantaranya adalah
kandungan dan komponen penyusun kayu. Eaton and Hale (1993) mengatakan bahwa
keawetan alami kayu terhadap marine borer sangat ditentukan oleh zat ekstraktif yang
bersifat racun terhadap marine borer. Southwell dan Bultman (1971) dalam Muslich dan
Sumarni (1988) menambahkan bahwa, kandungan silika, kerapatan atau kekerasan tinggi
dan kandungan zat ekstraktif yang bersifat racun dapat mendukung ketahanan serangan
Teredinidae, tetapi tidak menghalangi serangan Pholadidae.

Tabel 2. Intensitas serangan Marine Borer terhadapa kayu Pingsan dengan


Perbandingan pada Beberapa Jenis Kayu.

Intensitas Kelas
No Jenis Kayu Bahasa Latin Berat
Serangan (%) Ketahanan
Jenis
1. Pingsan Teymannidendron sp. 0.98 0.57* I
2. Palapi Heritiera sp. 0.74 55.77* IV
3. Yuamea Eucalyptus platyphylla 1.02 33** III
4. Eboni Diospyros celebica 0.92 23** II
5. Kayu besi Metrosideros petiolata 1.15 0** I
6. Songwa Palaquium multiflorum 0.99 85** V
7. Ulin Eusideroxylon zwageri 1.04 0** I
8. Bangkirai Hopea dryobalanoides 0.72 20** II

Ket:*) Hasil Pengujian di Lapangan (2011)


**) Hasil penelitian (Muslich dan Sumarni, 2005)

Berdasarkan identifikasi pada lubang gereknya maka dapat diketahui bahwa


penggerek yang menyerang kayu nangka sebagian besar berasal dari famili Pholadidae
terutama dari jenis Martesia sp.dan Teredinidae terutama dari jenis Teredo sp. Serangan
famili Pholadidae dan Teredinidae pada contoh uji dapat dibedakan dengan jelas. Lubang
gerek yang dihasilkan oleh serangan Pholadidae memiliki kedalaman yang dangkal dan
memiliki arah tegak lurus serat kayu, sedangkan serangan Teredinidae mengakibatkan
lubang gerek yang dalam, panjang dan memiliki arah yang searah dengan serat kayu.
Southwell and Bultman (1971) dalam Muslich dan Sumarni (1988) menyatakan bahwa
Pholadidae merusak kayu karena kayu hanya digunakan sebagai tempat tinggalnya. Selain
itu, Turner (1966) dalam Muslich dan Sumarni (1988) menyatakan bahwa Teredinidae

144
ANATOMI DAN SIFAT DASAR KAYU

merusak kayu karena kayu menjadi sumber makanan dan tempat tinggal, terutama jenis
kayu yang banyak mengandung selulosa. Oleh karena itu, kayu yang tahan terhadap
serangan Teredinidae belum tentu tahan terhadap serangan Pholadidae. Teredinidae
merusak kayu lebih cepat, sedangkan Pholadidae berkembang lebih lambat.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
Kayu pingsan memiliki tingkat serangan marine borer yang sangat rendah yaitu
sekitar 0.57% sehingga kayu tersebut dapat digolongkan kayu kelas I (sangat tahan
terhadap marine borer).

Saran
Kayu pingsan sangat cocok dijadikan sebagai tiang bangunan di atas laut. Meskipun
demikian, aspek manajemen dan silvikultur tanaman ini harus tetap diperhatikan sehingga
ketersedian dan keberlanjutannya tetap terjamin.

DAFTAR PUSTAKA

BPTPT] Balai Pengembangan Teknologi Rumah Tradisional Makassar. 2010.


Pengembangan Perumahan dan Permukiman suku Bajo di Sulawesi Tengah.
BPTPT, Makassar.
Muslich, M. dan G. Sumarni. 1988. Intensitas dan Tipe Serangan Penggerek Kayu di
Perairan Pulau Rambut dan Puntung Jawa. Jurnal Penelitian Hasil Hutan. Vol. 5,
No. 3. Pusat Litbang Hasil Hutan. Bogor.
_________. 2008. Standardisasi Mutu Kayu Berdasarkan Ketahanannya terhadap
Penggerek di Laut. Prosiding PPI Standardisasi 2008, 25 November 2008.
Eaton, R. A. and M. D. C. Hale. 1993. Wood: Decay, Pests and Protection. Chapman and
Hall, London.

145
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

PENGARUH DIAMETER KAYU GELAM (Melaleuca sp)


DI KALIMANTAN TENGAH TERHADAP SIFAT FISIKA MEKANIKA
Wahyu Supriyati1, T.A. Prayitno2, Soemardi 2, dan Sri Nugroho Marsoem2
1
Fakultas Pertanian Jurusan Kehutanan Universitas Palangka Raya
2
Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada

ABSTRAK

Penggunaan kayu sebagai tiang pancang/pondasi memerlukan kayu berdiameter


sedang, kuat dengan umur pakai yang panjang. Masyarakat lokal telah membuktikan
penggunaan gelam sebagai pancang dengan keunggulan tertentu. yaitu bisa digunakan
sebagai pancang dengan masa pakai puluhan tahun. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengetahui sifat fisika dan mekanika kayu gelam segar pada tiga kelas diameter.
Pengambilan sampel berupa pohon diambil pada 3 kelas diameter setinggi dada (< 7
cm, 10-18 cm dan >18 cm). Sampel diperoleh dari kecamatan Kapuas Barat, kabupaten
Kuala Kapuas, Kalimantan Tengah. Sampel kayu pengujian diambil mulai dari ketinggian 1,3
m sepanjang 2 meter. Pembuatan contoh uji dan pengujian fisika mekanika mengacu British
Standard No.373 (1957). Analisis data menggunakan analisis SPSS One way Anova.
Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa kelas diameter kayu berpengaruh
signifikan terhadap berat jenis tetapi tidak pada sifat mekanikanya. Persentase kayu teras
pada kayu gelam meningkat seiring dengan bertambahnya kelas diameternya

Kata kunci : gelam, fisika-mekanika, diameter.

PENDAHULUAN

Penggunaan kayu sebagai tiang pancang/pondasi memerlukan kayu berdiameter


sedang, kuat dengan umur pakai yang panjang. Kebutuhan akan kayu telah mendorong
penggunaan kayu mulai diameter kecil. Kelas diameter pohon pada hutan alam dapat
diasumsikan sebagi kelas umur bila tempat tumbuh dan keadaan tumbuh cenderung sama.
Masyarakat lokal telah membuktikan penggunaan gelam sebagai pancang dengan
keunggulan tertentu. yaitu bisa digunakan sebagai pancang dengan masa pakai puluhan
tahun Gelam memiliki prospek yang bagus untuk dikelola dengan baik dan dikembangkan
karena pertumbuhan gelam yang begitu pesat yaitu dengan riap 1-1,5 cm/tahun
(Rachmanady dkk, 2004). Pemanfaatan kayu gelam dari aspek teknologi didukung dengan
batang bebas cabang yang cenderung lurus/bagus dan k eras. Kerapatan salah satu sub
species melaleuca cajuputi pada kondisi segar adalah di atas 1070 kg/m3 dan kerapatan
pada kondisi kering udara di atas 750 kg/m3 (Anonim, 1999). Kayu gelam termasuk dalam
kelas awet III (Anonim, 1976) dan selama ini dapat digunakan untuk keperluan sebagai tiang
pancang, kayu konstruksi, kayu bakar, briket dan kayu gergajian (Heyne, 1987; Dishutkalsel,
2009). Saat ini masyarakat memanfaatkannya mulai dari kayu diameter kecil (7 cm)
beserta dengan kulit.
Tantangan yang dihadapi dalam pemanfaatan kayu sebagai bahan bangunan adalah
perubahan kualitas kayu yang antara lain disebabkan pengaruh kandungan (substansi) pada
kayu. Substansi pada kayu umumnya berubah seiring dengan pertumbuhan pohon dimana
kehadiran kayu teras dan kayu gubal memberi pengaruh di dalamnya.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari pengaruh kelas diameter terhadap
sifat fisika mekanika kayu gelam dan mempelajari persentase kayu teras dan kayu gubal
pada kayu gelam pada kelas diameter yang berbeda.
Penelitian ini bermanfaat untuk memberikan informasi tentang kualitas kayu
berdasarkan kelas diameternya. Diharapkan dengan penelitian ini kita mendapat informasi
tentang kualitas kayu (sifat fisika mekanika) dalam pemanfaatan kayu gelam.

146
ANATOMI DAN SIFAT DASAR KAYU

METODOLOGI

Bahan dan Alat


Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pohon/kayu Gelam sebanyak 26
batang dengan rincian sebagai berikut : sembilan (9) batang pohon gelam segar pada 3
kelas diameter yaitu <10cm, 10-18 cm, 18-26 cm. Pohon/kayu berasal dari kecamatan
Kapuas Barat, kabupaten Kuala Kapuas, Kalimantan Tengah. Pohon gelam dipilih pohon
yang lurus dan sehat, diambil bagian batang bebas cabangnya.
Peralatan yang digunakan antara lain meteran, chainsaw, gergaji potong, mesin uji
universal (UTM), oven, timbangan, bejana kaca, statif.

Gambar 1. Pengambilan sampel Sifat Fisika-Mekanika


Figure 1. Sampling PhysicalMechanical Properties

Keterangan :
a =sampel kadar air
b =sampel berat jenis
c = sampel keteguhan tekan sejajar serat
d =sampel keteguhan lengkung statik

Metode
Pembuatan contoh uji dan pengujian mengacu pada British Standard No. 373 tahun
1957. Pengujian berat jenis digunakan volume pada keadaan kadar air maksimum, kondisi
kering udara dan kering tanur. Pengujian mekanika kayu dilakukan pada kondisi kering
udara.
i . Pengujian contoh uji sifat fisik kayu
a) Kadar air kayu : kadar air maksimum dan kadar air kering udara
b) Berat jenis : berdasarkan volume maksimum, volume kering udara dan volume
kering tanur

147
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

ii. Pengujian contoh uji sifat mekanik kayu


a) Keteguhan lengkung statik meliputi tegangan pada batas proporsi, MoE dan MoR.
b) Keteguhan tekan sejajar serat
iii. Pengukuran persentase kayu teras dan kayu gubal : dilakukan berdasarkan
pengukuran luas pada penampang melintang batang.

Analisis Data
Data rata-rata hasil pengamatan disajikan dalam bentuk tabel. Analisis data
menggunakan analisis One Way Anova dengan perangkat lunak SPSS 12.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengaruh Sifat Fisika Kayu


Sifat fisika yang diamati meliputi kadar air (yaitu kondisi maksimum dan kering udara)
dan berat jenis (yaitu berdasarkan volume maksimum, volume kering udara dan volume
kering tanur). Perubahan kadar air dan berat jenis pada variasi kelas diameter dapat dilihat
pada Tabel 1 dan 2 serta Gambar 2 berikut.

Tabel 1. Variasi berat jenis pada variasi kelas diameter pohon


Table 1. Variation of specitif grafity on tree diameter class variation

Kelas BJ volume max BJ vol KU BJ vol KT


diameter (SG based on Vol max) (SG based on vol AD) (SG based on Vol OD)
(diameter Pohon ke Rataan Pohon ke Rataan Pohon ke Rataan
class)
1 2 3 1 2 3 1 2 3

<10cm
0,56 0,51 0,64 0,57 0,62 0,57 0,72 0,64 0,67 0,60 0,77 0,68
10-18 cm 0,59 0,53 0,59 0,57 0,65 0,59 0,64 0,62 0,70 0,62 0,68 0,67
>18 cm 0,63 0,68 0,65 0,65 0,72 0,73 0,71 0,72 0,77 0,80 0,76 0,78

Tabel 2. Variasi Kadar Air pada Variasi Kelas Diameter Pohon


Table 2. Variation of Moisture Content in Variation of Tree Diameter Class

Kelas KA max (MC Max) KA KU (MC AD)


diameter
(diameter Pohon ke Rataan Pohon ke Rataan
class)
1 2 3 1 2 3

<10cm 98,31 124,18 86,75 103,08 13,70 14,18 13,99 13,96


10-18 cm 98,39 117,84 107,15 107,79 13,72 14,45 14,07 14,08

>18 cm 79,70 74,64 85,58 79,97 13.96 13,83 13,95 13,91

Nilai BJ berfluktuasi pada tiga kelas diameter yang diamati, yaitu tinggi pada kelas
diameter terkecil lalu menurun pada kelas diameter sedang dan meningkat lagi pada kelas
diameter terbesar (>18 cm). Pengujian secara statistik menunjukkan bahwa BJ dan KA
maksimum dipengaruhi secara sangat signifikan oleh kelas diameter pohon.

148
ANATOMI DAN SIFAT DASAR KAYU

Gambar 2. Pola sifat fisika kayu pada variasi kelas diameter


Figure 2. Pattern of physical properties on wood diameter class variation

Analisis statistik pengaruh kelas diameter terhadap sifat fisika kayu dan persentase
kayu teras-gubal dapat dilihat pada Tabel 3 berikut. Persentase kayu teras dan kayu gubal
dapat dilihat pada Gambar 3 berikut.

Gambar 3. Persentase kayu teras dan kayu gubal


Figure 3. Pattern of percentage of heartwood and sapwood

Berdasarkan hasil penelitian terhadap kayu gelam ini, persentase kayu teras
meningkat seiring dengan peningkatan kelas diameter yang diasumsikan sebagai kelas
umurnya. Hal ini sejalan dengan pendapat Kokutse et al (2004) pada kayu jati Togolese
bahwa persentase pembentukan kayu teras berhubungan secara signifikan dengan umur
pohon.
Analisa statistik yang dilakukan menunjukkan adanya perbedaan yang sangat
signifikan pada pengaruh kelas diameter pohon terhadap berat jenis dan kadar air
maksimumnya. Ada kenaikan berat jenis pada kenaikan kelas diameter pohon. Bila hal ini
dihubungkan dengan prosentase kayu teras dan kayu gubal yang diamati di mana kayu
teras meningkat seiring dengan kenaikan kelas diameter pohon maka persentase kayu teras
terlihat berbanding lurus dengan berat jenis. Hal inilah yang diduga menjadi sebab kenaikan
berat jenis. Hal ini sejalan dengan Kokutse et al (2004) yang menyatakan bahwa kerapatan
pada kadar air 12% berhubungan secara signifikan dengan umur pohon. Di dalam kayu
juvenile, kerapatan sangat variabel, tetapi cenderung meningkatnya dengan usia (umur
pohon).
Persentase kayu teras dan kayu gubal juga menunjukkan adanya perbedaan yang
sangat signifikan akibat pengaruh kelas diameternya. Uji lanjutan LSD menunjukkan
perbedaan yang signifikan diantara ketiga kelas diameter yang diamati.

149
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Tabel 3. Ringkasan uji sidik ragam pengaruh diameter pohon terhadap parameter uji sifat
fisika dan persentase kayu teras-gubal
Table 3. Summarized analysis of variance on class diameter tree on the examined
parameters of physical properties and percentage of heartwood and sapwood

Parameter Kelas Diameter pohon (Diameter Class of Tree)


Df Fhitung Probabilitas
(Fcalculated) (Probability)
BJ Maksimum (SG max) 2 13.446** 0.137
BJ KU (BJ AD) 2 18.524** 0.081
BJ KT (SG OD) 2 17,089** 0.137
KA Max (MC Max) 2 26.93** 0.054
KA KU (MC AD) 2 0.198ns 0.978
Persentase kayu teras 2 25.149** 0.352
Persentase kayu gubal 2 25.149** 0.352

Di mana : F tabel sifat fisika 5% = 3.218 ; 1% = 5.15


F table persentase kayu teras-gubal 5 %=3.49 1%=5.85

Pengaruh Sifat Mekanika Kayu


Pola perubahan sifat mekanika kayu gelam adalah berfluktuasi. Pada tekanan sejajar
serat nilai tertinggi di dapat pada kelas diameter terbesar (>18cm) mengikuti pola berat jenis.
Hal ini menjelaskan hubungan antara BJ dan sifat mekanika (Zang, 1996). Berat jenis
merupakan ukuran kandungan kayu , dimana peningkatan BJ cenderung meningkatkan
kekuatannya (Pometti et al., 2009).

Gambar 4. Pola sifat mekanika pada variasi kelas diameter pohon


Figure 4. Pattern of mechanical properties on variation of wood diameter class

Secara statistik dengan uji One way ANOVA, sifat mekanika yang diuji tidak
menunjukkan perbedaan pada kelas diameter yang diamati. Hal ini menunjukkan bahwa
meskipun secara nilai berfluktuatif tetapi semuanya masih berbeda secara tidak signifikan.

150
ANATOMI DAN SIFAT DASAR KAYU

Tabel 4. Ringkasan uji sidik ragam pengaruh diameter pohon terhadap parameter uji sifat
mekanika
Table 4. Summarized analysis of variance on class diameter tree on the examined
parameters of mechanical properties
Parameter Kelas Diameter pohon (Diameter Class of Tree)
Df Fhitung (Fcalculated) Probabilitas
(Probability)
MOE 2 1.196ns 0.034
MOR 2 1.373ns 0.215
Teg pada BP 2 0.085ns 0,015
Tekanan//serat 2 0.217ns 0.001

Di mana : F tabel 5 %= 3.218 ; 1% = 5.15

KESIMPULAN

1. Kelas diameter kayu berpengaruh signifikan terhadap berat jenis tetapi tidak pada sifat
mekanikanya..
2. Persentase kayu teras pada kayu gelam meningkat seiring dengan bertambahnya kelas
diameternya.

DAFTAR PUSTAKA

Akbar, A. 2004. Alternatif Pemulihan Fungsi Lahan Gambut eks PPLG Sejuta Hektar.
Prosiding Seminar Ilmiah Kesiapan Teknologi untuk Mendukung Rehabilitasi Hutan
dan Lahan Rawa Gambut di Kalimantan Tengah. Palangkaraya. h 3.
Anonim, 1976. Vademicum Kehutanan. Departemen Kehutanan. Jakarta.
Anonim, 1999. Plant Resources of South East Asia No. 19 Essential-oil plant. Bogor
Indonesia. hal 126-131
British Standard 373. 1957. Methods of Testing Small Clear Specimen of Timber. London.
Hayne, K. 1987. Tumbuhan berguna Indonesia. Badan Litbang Kehutanan. Jakarta (hal
1529-1535).
Kokutse, A.D., H.Baillres, A.Stokes, K. Kokou. 2004. Proportion and quality of heartwood
in Togolese teak (Tectona grandis L.f.) Forest Ecology and Management J. Volume
189, Issues 1-3.:37-48.
Panshin, A.J., and C. de Zeeuw, 1980. Textbook of Wood Technology Third Edition. Volume
1 : Structure, Identification, Uses and Properties of The Comercial Wooods of United
State and Canada. McGraw-Hill. New York.
Pometti, C.L., B. Pizzo, M.Brunetti, N. Macchioni, M. Ewens and B.O. Saidman, 2009.
Argentinean native wood species: Physical and mechanical characterization of some
Prosopis species and Acacia aroma (Leguminosae; Mimosoideae). Bioresource
Technology 100:1999-2004
Rachmanady, D., D..Lazuardi, PT. Agustinus. 2004. Teknik Persemaian dan Informasi
Benih Gelam, Pusat Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan
Tanaman Hutan, Yogyakarta.
Zhang, S.Y.,1996. The Wood specific gravity-mechanical property relationship at species
level. J. Wood Science Technology 31: 181-191.
Wangaard, F.F. 1950. The Mechanical Properties of Wood. John Wiley and Sons. New York.

151
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

MENGENALI JENIS KOMODITI KAYU BEKAS PAKAI


DI KOTA SAMARINDA

Agus Sulistyo Budi dan Erwin


Laboratorium Informasi dan Biologi Tumbuhan Berkayu,
Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman
Jl. Ki Hajar Dewantara No. 1, P.O.Box. 1013 Telp. (0541)7166630 Fax. 735379
Samarinda (75116), Kalimantan Timur
e-mail: infobiowoodyplant@gmail.com

ABSTRAK

Penelitian ini dimaksudkan untuk memberikan informasi berkenaan dengan nama


jenis atau spesies kayu dari komoditi kayu bekas pakai di Kota Samarinda, Kalimantan Timur
dan sifat-sifat keunggulan jenis kayu serta kondisinya di tempat penjualan kayu bekas.
Melalui penelusuran karakteristik kayu meliputi ciri khas dari struktur anatomi dan sifat fisik
kayu dari 18 buah sampel kayu bekas pakai yang diperoleh dari beberapa tempat penjualan
kayu bekas yang tersebar di Kota Samarinda. Ditemukan berbagai jenis dari kelompok kayu
rimba Kalimantan antara lain ulin, meranti tembaga, mersawa, kapur, keruing, bengkirai,
melapi dan urat mata (famili Dipterocarpaceae), merbau (famili
Leguminosae/Caesalpinioideae), nyatoh (famili Sapotaceae), juga kayu yang tergolong jenis
kedondong (famili Burceraceae) serta jenis-jenis lainnya seperti mengkulang (famili
Sterculaceae) dan ipil (famili Annonaceae). Jenis-jenis kayu tersebut untuk diperjualbelikan
atau dipergunakan kembali sebagai komoditi kayu bekas disukai karena selain utamanya
didasarkan pada sifat keawetan kayu setelah beberapa waktu dalam pemakaiannya, juga
kekuatan dan warna-warna kayu yang gelap dengan kombinasi tekstur yang menonjol dan
atau kerapatan kayu yang tinggi.

Kata kunci: Kayu bekas pakai, identifikasi kayu, struktur anatomi

PENDAHULUAN

Kayu akan tetap dibutuhkan karena sifat kayu yang unik terkait dengan penampilan
warna, corak dan tekstur kayu. Selain itu keawetan dan kekuatannya sering menjadi prioritas
pemilihan jenis kayu untuk digunakan dalam berbagai tujuan dan keperluan, baik sebagai
bahan kontruksi rumah atau bangunan, furniture/meubel maupun kegunaan lainnya. Dari
sifat itu pula penggunaan kayu dikhususkan untuk berbagai kondisi dan tempat tertentu,
seperti untuk keperluan di luar (ekterior) dan di dalam (interior) ruangan untuk keperluan
konstruksi rumah atau bangunan yang berhubungan dan tidak berhubungan langsung
dengan tanah. Dengan keunikan tersebut, kayu sebagai bahan dasar berbagai bentuk
pemanfaatannya seakan sulit untuk tergantikan, namun karena ketersediaan tumbuhan
penghasil kayu cenderung menipis seiring dengan pesatnya pertumbuhan penduduk maka
sangat diperlukan tindakan penghematan dan bahkan penggunaan berulang akan kayu.
Sebagaimana daerah lainnya, di beberapa tempat di Kota Samarinda juga dapat
ditemukan penggunaan atau penjualan kembali jenis-jenis tertentu dari kayu yang
sebelumnya telah digunakan atau disebut juga kayu bekas pakai. Kayu bekas pakai tersebut
umumnya berasal dari pembongkaran atau renovasi rumah atau bangunan lama dan
jembatan yang berkonstruksi kayu. Seringkali kayu-kayu bekas tersebut ternyata masih kuat
dan awet, sehingga dengan sedikit perlakuan masih sangat layak dipergunakan lagi. Bahkan
sebagai komoditi perdagangan lokal harga kayu bekas tersebut tergolong tinggi karena
diprediksi berasal dari pohon-pohon tua.
Namun seringkali ditemukan kesulitan untuk mengetahui nama jenis kayu atau
membedakan antar kayu bekas di penumpukan tempat penjualan kayu karena relatif
memiliki penampilan yang sama. Adanya perubahan fisik oleh faktor alam (cuaca) dan umur

152
ANATOMI DAN SIFAT DASAR KAYU

pakai, sehingga penggolongan berdasarkan jenis hampir sulit untuk dilaksanakan.di tempat-
tempat penjualan kayu. Sedangkan di pihak lain, pengguna atau pembeli sering
menginginkan kayu bekas yang kuat dan awet terpilih untuk dijual atau diolah kembali
sehingga memerlukan kepastian akan jenis kayu yang akan digunakan atau dibeli.
Oleh karena itu penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengenal dan
mengidentifikasi nama jenis kayu bekas yang terdapat di penumpukan tempat penjualan
kayu sehingga dapat diketahui jenis kayu apa saja yang dipakai sering dipakai oleh
masyarakat. Diharapakan informasi tersebut berguna bagi penjual, pemakai kayu bekas
sesuai keperluan mereka, juga bagi pemerintah setempat untuk menggalakkan
pembudidayaan kayu terutama jenis-jenis kayu lokal yang diperlukan oleh masyarakat
karena keawetan dan kekuatan, dan bahkan keunggulan sifatnya yang dapat dipergunakan
kembali.

BAHAN DAN METODE

Bahan penelitian
Kayu bekas diambil dari berbagai penumpukan tempat penjualan kayu bekas (yang
berasal dari pebongkaran rumah atau bangunan lama, jembatan, lantai rumah, alat-alat
rumah tangga di Kota Samarinda, Kalimantan Timur.

Peralatan penelitian
Beberapa peralatan yang digunakan antara lain loupe, pisau/cutter, microsliding tool,
kamera dan mikroskop, gelas ukur, pipet, timbangan digital, jarum panjang, referensi kunci
identifikasi kayu, informasi pengenalan jenis-jenis kayu bersumber dari buku-buku teks dan
website.

Pengamatan dan pengujian kayu


Pengerjaan dan pengamatan struktur anatomi sampel kayu bekas mengikuti prosedur
yang disusun oleh IAWA (International Association of Wood Anatomist) committee (IAWA
Committe, 1989). Dilengkapi pula dengan sumber lainnya, yaitu Carlquist (1988), dan
Mandang dan Pandit (1997).
Pengujian kerapatan sampel kayu bekas dilakukan dengan menggunakan perbandingan
berat sampel kayu bekas (gram) dengan besaran perubahan volume air dalam gelas ukur
yang dicelupkan sampel kayu bekas (cm3).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dari hasil identifikasi terhadap 18 buah sampel kayu yang diambil dari tempat penjualan
kayu bekas diketahui ada 13 jenis yang diperjualbelikan lagi, sebagian besar berasal dari
famili Dipetrocarpaceae (Tabel 1).
Kayu-kayu bekas tersebut yang lama di lapangan, diantaranya terlihat adanya kemiripan
penampilan satu dengan yang lainnya, antara lain kayu merbau, ulin, ipil dan balau, serta
jenis keruing dan kapur yang mempunyai kerapatan tinggi. Dijumpai pula kayu yang relatif
kurang kuat seperti meranti tembaga, nyatoh, kedondong dan melapi yangmana dapat
diprediksi keberadaan asal tempat pemakaian kayu yang kurang kuat ini karena diperoleh
dari bagian interior rumah/bangunan.
Adanya nilai kerapatan kayu yang tinggi dimungkinkan kayu-kayu tersebut berasal dari
pohon yang sudah tua (diameter yang sangat besar) dari hutan primer.

153
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Tabel 1. Nama jenis, lokal/perdagangan dan nilai keraptan dari kayu bekas pakai.

No Jenis Famili Nama Kerapatan No


Urut Lokal kayu Sampel
(g/cm3)
1 Eusideroxylon Lauraceae Ulin 0,90; 0,92 13; 14
zwageri
2 Intsia Leguminosae/ Merbau 0,76; 0,90 5; 12
palembanica Caesalpinioideae
3 Dipterocarpus Dipterocarpaceae Keruing 0,84; 0,86 3 ; 15
costulatus &
D. cf. cornutus
4 Dryobalanops Dipterocarpaceae Kapur 0,99; 1,00 16 ; 17
lanceolata
5 Shorea laevis Dipterocarpaceae Bangkirai / 0,90; 0,96 2; 6
Balau
6 Anisoptera Dipterocarpaceae Mersawa 0,99 4
thurifera
7 Parashorea Dipterocarpaceae Urat mata 0,78 11
smithiesii
8 Shorea spp, (cf Dipterocarpaceae Melapi 0,55 9
shorea
bracyeolata)
9 Shorea leprosula Dipterocarpaceae Meranti 0,52 10
Miq tembaga
10 Madhuca betis Sapotaceae Nyatoh 0,55 8
/Bitis
11 Canarium Burceraceae Kedondong 0,64 7
hooglandii
12 Heritieria litoralis Sterculaceae Mengkulang 0,88 18
13 Polyalthia Annonaceae Ipil 0,99 1
oblongifolia

Dirasakan adanya kesulitan di lapangan terkait dengan pengidentifikasian sampel


kayu yakni sehubungan dengan masih sangat terbatasnya kunci identifikasi yang tersedia,
baik berupa kunci dikotomous maupun program komputerisasi untuk kayu-kayu endemik,
maka sangat diperlukan pengadaan literatur dari buku teks maupun website yang memuat
data kayu tropis Asia Tenggara.
Pengguna atau pembeli kayu bekas umumnya mengutamakan kayu yang sifatnya
kuat dan awet, terutama jenis ulin, bangkirai, ipil, mersawa, serta jenis keruing dan kapur
yang berkerapatan tinggi.
Keberadaan kayu nyatoh, kedondong, melapi dan meranti tembaga merupakan
hasil sampingan dari bongkaran, kayu-kayu ini tergolong kayu bekas yang kurang tahan dan
kurang awet sehingga hanya cocok digunakan untuk bangunan interior.
Beberapa karakteristik dari kayu-kayu bekas pakai yang berhasil diidentifikasi
sebagaimana disajikan pada Tabel 2 di bawah ini.

154
ANATOMI DAN SIFAT DASAR KAYU

Table 2. Karakteristik kayu bekas pakai yang diidentifikasi.

No. Foto mikroskopis


Identifikasi ciri struktur dan sifat kayu
sampel (Lensa : 4x10)
Warna Kecoklatan
Serat/tekstur Terpadu dan halus
Kekerasan Sangat keras
Kerapatan 0,99 g/cm3
Sel pori Soliter, ganda radial, berkelompok
radial 3-4 buah sel; diameter
tangensial sel 174 m; jumlah 3,12
sel per mm
Sel jari-jari Terdiri dari 2 tipe sel: halus dan
besar; Lebar sel 52 m; Tinggi sel
1 563 m; Jumlah sel 4,5 per mm
Parenkim aksial Bentuk tangga, pita tangensial
panjang tipis
Saluran Tidak ada
Interselluler Aksial
(SIA)
Isi sel Terdapat tylosis dalam rongga sel
pori
Jenis/Famili Polyalthia oblongifoli
/Annonaceae
Nama lokal Ipil
Warna Coklat gelap
Serat/tekstur Lurus, miring, agak terpadu, agak
kasar
Kekerasan Sangat keras
Kerapatan 0,96 g/cm3
Sel pori Kebanyakan soliter, ganda radial
dan diagonal; diameter tangensial
sel 198 m; jumlah 5,97 sel per mm
Sel jari-jari Terdiri 2 tipe, lebar terdiri 1 dan 3-5
sel; lebar sel 47 m; tinggi sel 715
2 dan 6 m; jumlah 5,25 sel per mm
Sel parenkim Bentuk pita tangensial dan SIA
aksial paratrakeal tipis, aliform tipis
Saluran Ada SIA tersusun tangensial
Interselluler Aksial panjang/ ke samping, isi deposit
(SIA) berwarna putih
Isi sel Terdapat tylosis dalam rongga sel
pori
Jenis/Famili Shorea laevis/Dipterocarpaceae
Nama Bangkirai
lokal/perdagangan

155
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Warna Coklat kekuningan atau seperti


doreng
Serat/tekstur Terpadu/agak kasar dan merata
Kekerasan Agak keras
Kerapatan 0,86 g/cm3
Sel pori Bentuk bundar; tersebar; soliter,
ganda radial dan diagonal;
diameter tangensial sel 174 m;
jumlah 7,52 sel per mm2
Sel jari-jari Lebar 2 3 sel; lebar sel 25 m;
tinggi sel 369 m; jumlah 5,85 sel
3 dan
per mm
15
Saluran Interselluler Ada SIA yang tersusun tangensial
Aksial (SIA) pendek/ ke samping
Isi sel Banyak tylosis di rongga sel pori
Parenkim aksial Paratrakeal: konsentrik tebal,
selubung lengkap, aliform/berbetuk
mata
Jenis/Famili Dipterocarpus sp. (cf
Dipterocarpus
cornutus/Dipterocarpaceae
Nama Keruing
lokal/perdagangan
Warna Kecoklatan atau coklat muda
Serat/tekstur Halus
Kekerasan Keras
Kerapatan 0,99 g/cm3
Sel pori Agak jarang; soliter, ganda radial 2
3 sel; diameter tangensial sel 176
m; jumlah 3,45 sel per mm
Sel jari-jari Lebar 4-5 sel dan banyak; lebar
sel 53 m; tinggi sel 362 m;
jumlah 5,35 sel per mm
4 Saluran Interselluler Ada SIA yang terususun
Aksial (SIA) tangensial/memanjang ke samping
Isi sel Terdapat tylosis di rongga sel pori
Parenkim aksial Bentuk pita tangensial pendek
antara jari jari
Jenis/Famili Anisoptera
thyrifera/Dipterocarpaceae
Nama Mersawa
lokal/perdagangan

156
ANATOMI DAN SIFAT DASAR KAYU

Warna Coklat kemerahan, kadang berstrip


hitam
Serat/tekstur Lurus dan agak halus
Kekerasan Keras
Kerapatan 0,9 g/cm3
Sel pori Soliter, ganda radial dan diagonal 2
3 sel; diameter tangensial sel 161
m; jumlah 4,37 sel per mm
Sel jari-jari Tipis terdiri 1-2 sel; lebar sel 28 m;
tinggi sel 363 m; jumlah 7,4 sel
per mm
Saluran Interselluler Tidak ada
Aksial (SIA)
Isi sel Terdapat tylosis di ronggal sel pori
Parenkim aksial Paratrakeal tebal: aliform/bentuk
mata, konfluen, pita tangensial
panjang
5 dan 12 Jenis/Famili Intsia palembanica/Leguminosae
Nama Merbau
lokal/perdagangan
Warna Kekuningan sampai coklat muda
Serat/tekstur Lurus, terpadu, berseptat
Kekerasan Sedang
Kerapatan 0,64 g/cm3
Sel pori Ganda radial 2 6 sel, besar,
bergerombol; diameter tangensial
sel 167 m; jumlah 10,4 sel per mm
Sel jari-jari Tipis bergelombang 2-3 sel; lebar
sel 24 m; tinggi sel 521 m;
7 jumlah 6,9 sel per mm
Saluran Interselluler Tidak ada
Aksial (SIA)
Isi sel Banyak tylosis di rongga sel pori
Parenkim aksial Diffuse
Jenis/Famili Canarium
hoglandii/Burceraceae;
Nama Kedondong
lokal/perdagangan

157
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Warna Coklat
Serat/tekstur Lurus dan kasar
Kekerasan Sedang
Kerapatan 0,55 g/cm3
Sel pori Ganda radial 2 6 , besar;
diameter tangensial sel 123 m;
jumlah 4,62 sel per mm
Sel jari-jari Tipis terdiri 1 sel; Lebar sel 25 m;
tinggi sel 580 m; jumlah 11,35 sel
per mm
Saluran Interselluler Tidak ada
Aksial (SIA)
Isi sel Banyak tylosis di rongga sel pori
Parenkim aksial Pita tangensial pendek, panjang
tipis
Jenis/Famili Madhuca betis/Sapotaceae
Nama Bitis
lokal/perdagangan

8
Warna Kecoklatan agak muda sampai
kekuningan
Serat/tekstur Lurus sampai miring dan kasar
Kekerasan Sedang
Kerapatan 0,55 g/cm3
Sel pori Soliter; diameter tangensial sel 167
m; jumlah 9,72 sel per mm
Sel jari-jari Lebar terdiri 4-5 sel; lebar sel 51
m; tinggi sel 584 m; jumlah 5,35
9 sel per mm
Saluran Interselluler Tidak ada
Aksial (SIA)
Isi sel Terdapat tylosis di rongga sel pori
Parenkim aksial Paratracheal jarang
Jenis/Famili Shorea spp, (cf shorea
bracyeolata)/ Dipterocarpaceae
Nama Melapi
lokal/perdagangan

158
ANATOMI DAN SIFAT DASAR KAYU

Warna Kecoklatan sampai merah muda


Serat/tekstur -
Kekerasan Sedang
Kerapatan 0,52 g/cm3
Sel pori Soliter sebanyak 90%, ganda radial
2 3; diameter tangensial 202 m;
jumlah 3,7 sel per mm
Sel jari-jari Lebar 3 4 sel; lebar sel 32 m;
tinggi sel 675 m; jumlah 4,95 sel
per mm
10 Saluran Interselluler Ada SIA yang tersusun tangensial
Aksial dan Radial pendek/ke samping, juga ada SIR
(SIA dan SIR)
Isi sel Sedikit tylosis di rongga sel pori,
juga ada deposit berwarna putih
Parenkim aksial -
Jenis/Famili/Nama Shorea leprosula
local Miq/Dipterocarpaceae
Nama Meranti tembaga
lokal/perdagangan
Warna Kecoklatan
Serat/tekstur Lurus dan kasar
Kekerasan Sedang sampai keras
Kerapatan 0,78 g/cm3
Sel pori Soliter dan tersebar merata,
berukuran besar
Sel jari-jari Lebar 3 sel; lebar sel 39 m; tinggi
sel 773 m; jumlah 5 sel per mm
11 Saluran Interselluler Ada SIA yang tersusun berbentuk
Aksial (SIA) pita tangensial panjang, juga ada
deposit putih,
Isi sel -
Parenkim aksial Paratracheal konsentrik dan aliform
Jenis/Famili Parashorea
smithiesii/Dipterocarpaceae
Nama Urat mata
lokal/perdagangan

159
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Warna Coklat kehitaman


Serat/tekstur Lurus dan agak kasar
Kekerasan Keras
Kerapatan 0,92 g/cm3
Sel pori Berukuran besar, bergerombol,
ganda radial dan diagonal 4 sel
Sel jari-jari Lebar 2-4 sel dan terdesak sel pori;
lebar sel 34 m; tinggi sel 598 m;
jumlah 6,25 sel per mm
Saluran Interselluler Tidak ada
Aksial (SIA)
Isi sel Tylosis berlimpah di rongga sel pori
Parenkim aksial Paratrakeal selubung lengkap,
aliform, konfluent
13 dan Jenis/Famili Eusideroxylon
14 zwageri/Lauraceae
Nama Ulin
lokal/perdagangan

Warna Kecoklatan
Serat/tekstur Lumen hampir tertutup
Kekerasan Sangat keras
Kerapatan 1,0 g/cm3
Sel pori Soliter, ganda radial, tangensial
dan diagonal; diameter tangensial
175 m; jumlah 9,95 sel per mm
Sel jari-jari Lebar 4 5 sel; lebar sel 42 m;
tinggi sel 412 m; jumlah 5,4 sel
per mm
16 Saluran Interselluler Ada SIA yang tersusun tangensial
Aksial (SIA) panjang/ke samping
Isi sel -
Parenkim aksial Bentuk sayap, konsentrik, difuse in
agregat
Jenis/Famili/ Dryobalanops lanceolat /
Dipterocarpaceae
Nama Kapur
lokal/perdagangan

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
1. Terdapat dua kelompok kayu bekas pakai yang diminati pembeli, yakni kelompok utama
(kayu yang awet dan kuat) terdiri dari jenis ulin, bangkirai, urat mata, merbau dan ipil serta
beberapa dari jenis kapur dan meranti yang memiliki berat jenis tinggi, sedangkan
kelompok sampingan terdiri dari jenis kayu melapi, meranti tembaga, nyatoh, kedondong
dan melapi yang banyak digunakan untuk kebutuhan interior rumah/bangunan.
2. Pemilihan jenis kayu sebagai komoditi kayu bekas selain utamanya didasarkan dari
keawetan dan kekuatan kayu juga warna-warna tua atau gelap dengan kombinasi tekstur
yang menonjol dan atau kerapatan kayu yang tinggi setelah lama dalam pemakaian
sebelumnya.
3. Keuntungan dari pemakaian kayu bekas adalah selain harganya relatif lebih murah, juga
memiliki sifat yang tidak akan berubah atau melintir lagi.

160
ANATOMI DAN SIFAT DASAR KAYU

4. Pengukuran volume air pada pencelupan sampel kayu ke dalam gelas ukur cukup
bermanfaat dalam penaksiran nilai kepatan kayu yang berguna untuk data identifikasi
kayu.

Saran
1. Penggunaan kunci identifikasi kayu secara manual (dikotomis) saja belum cukup dan
masih terasa sulit dan lambat, oleh karenanya diperlukan komputerisasi
pengidentifikasian kayu oleh karena itu diperlukan adanya penggalangan dan upaya
pembuatan kunci identifikasi jenis-jenis kayu terkait dengan penyelamatan Sumber Daya
Endemik Indonesia.
2. Diperlukan pemberian tambahan pengetahuan tentang cara memilih kayu kepada
pengguna/konsumen dan penjual kayu bekas, sehingga tidak mengandalkan perbedaan
warna, tektur serat dan berat/bobot kayu saja.

DAFTAR PUSTAKA

Carlquist, S. 1988. Comparative Wood Anatomy: Systematic, Ecological, and Evolutionary


Aspects of Dicotyledon Wood. Springer-Verlag. Berlin
IAWA Committe. 1989. IAWA List of Microscopic Features for Hardwood Identification. IAWA
Bulletin 10: 219-332
Mandang, Y.I., Pandit, K.N. 1997. Pedoman Identifikasi Kayu di Lapangan. Yayasan Prosea
Bogor. Bogor

161
BIDANG B
BIOKMPOSIT
BIOKOMPOSIT

PENGARUH SHELLING RATIO DAN JUMLAH PEREKAT UREA


FORMALDEHIDA TERHADAP SIFAT PAPAN SERUTAN BAMBU
PETUNG (Dendrocalamus asper Backer)
TA.Prayitno1, Wirnasari2 dan D.Sriyanti2
1
Staf Pengajar Jurusan Teknologi Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan UGM
2
Mahasiswa Jurusan Teknologi Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan UGM

ABSTRAK

Teknologi perekatan kayu seperti papan partikel merupakan salah satu alternatif
teknologi yang dapat dimanfaatkan untuk mengolah serutan bambu petung yang belum
dimanfaatkan secara maksimal dan ekonomis. Kualitas papan partikel di pengaruhi oleh
berbagai faktor. Penelitian ini dilakukan agar dapat memberikan informasi mengenai sifat-
sifat papan partikel dengan bahan baku limbah serutan bambu petung (Dendrocalamus
asper Backer) serta untuk mengetahui pengaruh interaksi komposisi ukuran partikel dengan
jumlah perekat urea formaldehida terhadap kualitas papan partikel.
Bahan penelitian berupa partikel bambu petung, perekat urea formaldehida (UA-147),
dan hardener (NH4Cl). Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap dengan
percobaan faktorial 2 faktor, yaitu komposisi partikel dengan 3 aras, yaitu A1 (face : 12,5 %,
core : 75 %, back : 12,5 %), A2 (face : 25 %, core : 50 %, back : 25 %), A3 : (face : 35 %,
core : 30 %, back : 35 %), dan jumlah perekat dengan 2 aras, yaitu B1 (5 %) dan B2 (10 %).
Parameter yang diuji dalam penelitian ini adalah kerapatan, kadar air, penyerapan air,
pengembangan tebal, modulus patah, modulus elastisitas, dan keteguhan internal bonding.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa interaksi antara komposisi partikel dan jumlah
perekat tidak berpengaruh nyata terhadap semua parameter yang diuji. Faktor jumlah
perekat berpengaruh sangat nyata terhadap modulus patah dan modulus elastisitas papan
yang dihasilkan. Terjadi peningkatan MoR dari B1 (109,9 kg/cm2) ke B2 (139,1 kg/cm2) dan
terjadi peningkatan MoE dari B1 (15269 kg/cm2) ke B2 (18694 kg/cm2). Faktor jumlah
perekat juga berpengaruh nyata terhadap kerapatan papan, penyerapan air, dan keteguhan
internal bonding. Makin banyak jumlah perekat yang digunakan, maka kerapatan papan dan
keteguhan internal bonding papan tersebut ikut meningkat yaitu dari B1 (0,626 %) ke B2
(0,657 %) untuk kerapatan dan dari B1 (2,173 kg/cm2) ke B2 (2,757 kg/cm2) untuk
keteguhan internal bonding, sedangkan penyerapan air cenderung menurun seiring dengan
penambahan jumlah perekat, yaitu dari B1 (65 %) ke B2 (56%). Faktor komposisi partikel
berpengaruh sangat nyata terhadap parameter keteguhan internal bonding. Terjadi
peningkatan keteguhan internal bonding dari komposisi A1 (1,549 kg/cm2) ke komposisi A2
(2,643 kg/cm2) kemudian ke komposisi A3 (3,203 kg/cm2).

Kata kunci : bambu petung, Dendrocalamus asper Backer, serutan, papan partikel, ukuran
partikel, jumlah perekat.

PENDAHULUAN

Indonesia adalah negara agraris, terletak di sekitar katulistiwa dengan tanah yang
subur dan semua tanaman dapat hidup dengan mudah sehingga diberkati Tuhan dengan
hutan yang luas dan hijau sebagai permadani yang indah. Kalimat uraian wilayah yang indah
tersebut sudah mulai memudar dengan berkurangnya luas hutan baik dikonversi ke tanah
pertanian atau perkebunan atau memang menjadi gundul karena penebangan liar dan
pembabatan hutan yang tak bertanggung jawab. Hasil akhirnya adalah produksi kayu dari
hutan menurun tajam sehingga harga kayu naik dengan cepat dan menjadi tak terjangkau
bagi kebanyakan rakyat. Kondisi ini harus menjadi perhatian serius pemerintah untuk
mengembalikan ke kondisi hutan yang lestari dengan kondisi lingkungan hutan, perkebunan
dan pertanian yang serasi, harmonis dan nyaman untuk hidup sejahtera (Anonim, 2009).

163
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Masa transisi dimana kayu mahal karena hutan sudah tidak mampu menghasilkan
kayu dengan baik dan berkualitas, maka perlu dicari tanaman lain yang cepat tumbuh dan
mampu segera menggantikan peran kayu. Survei menghasilkan tanaman bambu sebagai
tanaman yang cepat tumbuh dan mampu digunakan sebagai pengganti kayu dalam hal
tertentu (Anonim, 2003). Bambu adalah tanaman monokotil, termasuk keluarga rumput
(Graminae) dan mampu cepat tumbuh yaitu umur 3-4 tahun sudah dipanen. Pengujian tarik
kulit bambu menghasilkan kekuatan tarik yang besar yaitu lebih tinggi dari kekuatan tarik
baja. Oleh sebab itu bambu langsung digunakan sebagai bahan konstruksi baik secara
langsung dengan bambu utuh ataupun dengan bambu bilah dan galar (Batubara, 2002).
Seiring dengan perkembangan teknologi perekatan, maka terbuka pembuatan balok
laminasi bambu, papan laminasi bambu dan semua bahan bambu yang dapat direkat.
Teknologi perekatan seperti ini makin meningkatkan rendemen olahan bambu sehingga
waktu menunggu panen bambu yang 4 tahun tidak sia-sia dan kemudian mengolah semua
material yang berasal dari bambu tersebut. Pada pembuatan bilah bambu untuk balok dan
papan laminasi, maka bambu selalu diserut dan menghasilkan limbah serutan dalam jumlah
besar. Makin tipis bambu bilah yang dibuat maka makin banyak limbah serutan yang
dihasilkan (Prayitno 2005a).

METODE PENELITIAN

Penelitian papan serut bambu menggunakan 2 faktor yaitu komposisi pelapisan yang
disebut shelling ratio dan perekat labur. Komposisi pelapisan terdiri atas :
1. A1 komposisi partikel face: core:face sebesar 12,5:75:12,5
2. A2 komposisi partikel face:core:face sebesar 25:50:25
3. A3 komposisi partikel face:core:face sebesar 35:30:35

Faktor kedua adalah perekat labur sebanyak 2 dua aras yaitu B1 5% dan B2 10%..
Rancangan percobaan yang digunakan adalah RAL, Rancangan Acak Lengkap dengan
percobaan faktorial dengan 6 perlakuan dan 3 ulangan. Parameter penelitian yang diuji
adalah kadar air papan serutan, kerapatan papan, persen penyerapan air, persen
pengembangan tebal, MoR, MoE dan keteguhan rekat internal atau internal bonding papan
serutan (Anonim, 2002). Proses pembuatan papan partikel dapat digambarkan berikut:
Penyaringan serutan bambu

Pengeringan serutan bambu


Persiapan perekat urea
formaldehida
Penimbangan serutan bambu
petung
Penimbangan perekat urea

Pencampuran serutan bambu


dengan perekat urea formaldehida

Penyusunan ke dalam mat

Pengempaan

Pengkondisian

Pembuatan contoh uji

Pengujian sifat fisika dan

Gambar 1. Bagan alir proses pembuatan papan partikel

164
BIOKOMPOSIT

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil penelitian pengaruh komposisi pelapisan (shelling ratio) dan perekat labur
terhadap sifat papan serutan bambu disajikan pada Tabel 1, Analisis varians seluruh
parameter kualitas papan partikel disajikan pada Tabel 2. Analisis varians pada Tabel 2
menunjukkan bahwa interaksi faktor komposisi pelapisan atau shelling ratio dengan perekat
labur tidak berpengaruh nyata pada sifat fisika papan serutan bambu. Faktor tunggal jumlah
perekat labur berpengaruh nyata pada sifat fisika papan serutan khususnya kerapatan dan
penyerapan air. Hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya sistem pembuatan papan serutan
khususnya sistem pengempaan dengan pengganjal (spacer) mampu membuat papan
serutan lebih homogen. Nilai kerapatan makin tinggi sejalan dengan jumlah perekat labur.
Perekat labur 10% menghasilkan kerapatan papan yang lebih tinggi (0,657) dibandingkan
perekat labur 5% (0,626). Hasil ini dapat dengan mudah diterima karena jumlah perekat
labur yang lebih banyak akan membuat ikatan antar serutan dapat lebih banyak sehingga
papan menjadi lebih rapat dan padat. Haygreen dan Bowyer (1996) menyebutkan bahwa
perekat labur yang digunakan pada pembuatan papan partikel komersial pada umumnya
10%. Jumlah perekat labur ini sudah cukup baik untuk menghasilkan papan pertikel dengan
sifat yang memenuhi standar. Komposisi pelapisan muka secara numerik memberikan
gambaran yang menarik dimana makin besar porsi pelapisan bambu sebagai lapisan inti
maka makin besar pula kerapatan papan serutan. Kerapatan papan serutan pada komposisi
pelapisan sebesar 33% sebesar 0, 0,624 sedangkan komposisi 50% menghasilkan
kerapatan sebesar 0,638 dan pelapisan sebesar 67% menghasilkan kerapatan sebesar
0,656 (Gambar 2). Hasil ini sejalan dengan keseimbangan sistem papan dimana komposisi
lapis inti dan lapis muka harus sedemikian rupa agar menghasilkan homogenitas serutan
yang berukuran berbeda. Prayitno(1995) menjelaskan bahwa komposisi partikel
berpengaruh sangat nyata terhadap kerapatan papan. Lapisan partikel yang lembut di
permukaan dan kasar di tengah akan menghasilkan efek yang berbeda bila yang kasar di
muka dan belakang dan yang lembut di tengah. Semakin seimbang (seragam) komposisi
partikel yang digunakan, maka keteguhan internal bondingnya semakin baik (Prayitno,
2005b). Walaupun secara statistik pengaruh komposisi pelapisan tidak berbeda nyata (93%)
tetapi secara numerik pengaruh tersebut cukup terlihat. Ketelitian dan rancangan percobaan
yang lebih tepat akan meningkatkan efek tersebut.

Tabel 1 Sifat fisika papan serutan bambu petung

Komposisi Jumlah Kerapatan Kadar Penyerapan Pengembangan tebal


partikel perekat (g/cm3) air (%) air (%) (%)
A1 B1 0,6020 10,38 66,05 10,31

B2 0,6455 10,89 64,65 11,94

A2 B1 0,6423 10,80 66,35 13,16

B2 0,6344 10,87 60,53 10,68

A3 B1 0,6333 10,92 64,57 11,45

B2 0,6898 10,94 52,49 10,03

165
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Tabel 2 Analisis varians sifat fisika papan partikel serutan bambu petung

Sumber Kerapatan Kadar air (%) Penyerapan Pengembangan tebal


variasi (g/cm3) air (%) (%)

ns ns ns ns
A
0,0720 0,6830 0,0920 0,6780
* ns * ns
B
0,0320 0,4970 0,0190 0,5060
ns ns ns ns
A*B
0,1300 0,7350 0,2230 0,3210

Pola pengaruh yang sama dijumpai pada penyerapan air. Faktor jumlah perekat
berpengaruh secara nyata pada penyerapan air. Kadar perekat 10% menghasilkan
penyerapan air sebesar 56% sedangkan perekat labur 5% menghasilkan penyerapan air
papan serutan sebesar 65%. Ini berarti perekat yang lebih besar mampu menghasilkan
kerapatan papan yang lebih baik dan mengikat serutan penyusun papan lebih baik sehingga
penyerapan air papan menurun. Hasil ini sejalan dengan pengaruh perekat pada kerapatan
papan (Gambar 3). Kollmann dkk (1975) menyebutkan bahwa jumlah perekat lebih banyak
dan berhasil menyatukan dua atau lebih bahan direkat (dalam hal ini serutan bambu) akan
meningkatkan kerapatan dan sekaligus sifat papannya. Jenis perekat urea formaldehida
yang digunakan dalam penelitian ini cukup berhasil dalam menghasilkan ikatan antara
serutan bambu penyusun papan (De Bruyne dan Houwink, 1965). Bila diperhatikan variasi
sifat penyerapan air papan serutan bambu akibat dari komposisi pelapisan muka, maka
kecenderungan yang sama seperti variasi kerapatan papan akibat pengaruh komposisi
pelapisan muka. Kerapatan papan makin besar bila komposisi inti makin kecil atau
komposisi lapis muka makin besar. Dalam hal penyerapan air dapat dilihat bahwa makin
besar porsi pelapisan muka makin rendah persen penyerapan air. Hal ini dapat dipahami
karena makin besar porsi pelapisan muka makin tinggi kerapatan papan sehingga ikatan
antar serutan penyusun papan makin baik dan selanjutnya pada wakrtu diperlakukan dengan
perendaman dalam air maka papan dengan kerapatan tinggi berkurang penyerapan airnya
(Prayitno, 2004). Papan serutan atau papan partikel yang direkat perekat thermosetting
tertentu seperti urea formaldehida atau phenol formaldehida akan menghasilkan penyerapan
air yang rendah akibat sifat perekat tersebut. Perekat urea formaldehida masih lebih rendah
kekuatan untuk menahan pemasukan air ke dalam papan karena sifat kepekaan airnya yaitu
interior. Perekat phenol formaldehida lebih tahan sehingga dikelompokkan ke dalam perekat
eksterior (Brown dkk., 1952).
Rangkuman sifat mekanika yang diteliti dalam penelitian pengaruh shelling ratio dan
perekat labur terhadap sifat papan serutan bambu petung disajikan pada Tabel 3. Sifat
mekanika papan serutan bambu dipengaruhi secara nyata dan pasti oleh kadar perekat, dan
tidak dipengaruhi oleh interaksi dan komposisi pelapisan muka. Komposisi pelapisan muka
mempangaruhi secara sangat nyata pada hanya kekuatan rekat internal papan dan tidak
berpengaruh pada MoR dan MoE (Tabel 4). Rata-rata MoR papan serutan sebesar
124,1kg/cm2, Pengaruh kadar perekat terhadap sifat mekanika menunjukkan bahwa makin
besar perekat yang dilaburkan, makin tinggi sifat mekanika papan serutan bambu. Kadar
perekat 5% menghasilkan MoR sebesar 109,9kg/cm2, sedangkan kadar perekat sebesar
10% menghasilkan MoR sebesar 139.1kg/cm2. Jumlah perekat yang lebih banyak pasti
memperluas ikatan perekat dengan partikel sehingga luas permukaan ikatan partikel makin
besar. Hasil selanjutnya adalah kerapatan makin besar dan sejalan dengan hal ini maka
MoR makin besar. Demikian pula perilaku MoE, diaman jumlah perekat 5% menghasilkan
MoE sebesar 15269kg/cm2 sedangkan perekat 10% menghasilkan MoE sebesar
18694kg/cm2 (Gambar 4). Pengaruh jumlah perekat terhadap sifat mekanika seperti yang
diperoleh sejalan dengan penelitian papan partikel pada umumnya (Krisdianto. 2005;

166
BIOKOMPOSIT

Suryadi, 2008). Hal yang sama dijumpai pada perilaku kekuatan rekat partikel internal.
Jumlah perekat labur 5% menghasilkan kuat rekatan internal sebesar 2,173 kg/cm2,
sedangkan perekat labur 10% menghasilkan kuat rekatan internal sebesar 2,757kg/cm2.
Dengan demikian perekat labur yang lebih banyak akan menghasilkan rekatan antar partikel
yang lebih banyak sehingga kekuatan papan partikel juga semkain baik (Maloney, 1977)
Faktor komposisi pelapisan muka (shelling ratio) mempengaruhi kekuatan rekatan
internal saja, dan tidak mempengaruhi MoR dan MoE. Bila dilihat variasi nilai kekuatan
rekatan internal, maka dapat diketahui bahwa makin besar pelapisan muka atau makin kecil
porsi lapis tengah makin besar nilai rekatan internal papan serutan bambu petung. Pelapisan
muka 33%, 50% dan 67% menghasilkan kekuatan rekatan internal berturut sebesar 1,549;
2,643 dan 3,203 kg/cm2. Bila data variasi MoR dan MoE dicermati maka pengaruh pelapisan
dari 33%, 50% dan 67% menghasilkan nilai MoR secara berturutan 115,85; 123,55 dan
134,15kg/cm2 sedangkan variasi MoE secara berturutan adalah 16195; 16,828 dan
17925kg/cm2. Secara numerik ketiga sifat mekanika papan serutan bambu dipengaruhi oleh
faktor komposisi pelapisan yang digunakan dalam pembuatan papan partikel. Dengan
demikian sebenarnya faktor komposisi pelapisan mempunyai efek pada sifat mekanika
papan serutan bambu (Gambar 5).

Tabel 3. Sifat mekanika papan serutan bambu petung

2
Komposisi Jumlah MoR Internal bonding
partikel perekat 2 MoE (kg/cm ) 2
(kg/cm ) (kg/cm )

A1 B1 113,4 15275 1,518

B2 118,3 17114 1,579

A2 B1 110,0 14671 2,294


B2 137,1 18980 2,992

A3 B1 106,2 15861 2,707

B2 162,1 19989 3,699

Tabel 4. Analisis varians sifat mekanika papan serutan bambu petung

2 2
Sumber Internal bonding
variasi MoR (kg/cm ) MoE (kg/cm ) 2
(kg/cm )
ns ns **
A
0,1710 0,3620 0,0000
** ** *
B
0,0000 0,0040 0,0220
ns ns ns
A*B
0,3520 0,5230 0,5260

167
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

0.72

0.70

0.68

0.66

0.64

0.62
Kerapatan
0.60 (g/cm3)
0.58

0.56

0.54
B1 B2 B1 B2 B1 B2
A1 A2 A3

Gambar 2. Variasi kerapatan papan serutan bambu menurut perlakuan


komposisi pelapisan dan jumlah perekat labor

70.00

60.00

50.00

40.00
Kadar air (%)
30.00 Penyerapan air (%)
Pengembangan tebal (%)
20.00

10.00

0.00
B1 B2 B1 B2 B1 B2
A1 A2 A3

Gambar 3. Variasi kadar air, penyerapan air dan pengembangan tebal papan serutan
bambu menurut perlakuan komposisi pelapisan dan jumlah pertekat

168
BIOKOMPOSIT

200.00
180.00
160.00
140.00
120.00 MoR
(kg/cm2)
100.00
80.00
60.00 MoE
40.00 (x100
kg/cm2)
20.00
0.00
B1 B2 B1 B2 B1 B2
A1 A2 A3

Gambar 4. Variasi MoR dan MoE papan serutan bambu menurut perlakuan komposisi
pelapisan ndan jumlah perekat labur.

4.00

3.00
Internal bonding
(kg/cm2)
2.00

1.00

0.00
B1 B2 B1 B2 B1 B2

Gambar 5. Variasi keteguhan rekat internal papan serutan bambu menurut perlakuan
komposisi pelapisan dan jumlah perekat labor

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
Penelitian pengaruh pelapisan muka (shelling ratio) dan jumlah perekat
menghasilkan kesimpulan sebagai berikut.
1. Interaksi pelapisan muka atau shelling ratio dengan perekat labur
2. Makin tebal pelapisan muka atau makin tinggi shelling ratio yaitu dari 1:3 ke 2:1, makin
baik sifat papan serutan bambu.
3. Makin tinggi perekat labur sampai dengan 10% berat serutan makin baik sifat papan
serutan bamboo

169
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Saran
Berdasarkan hasil penelitian pengaruh pelapisan muka atau shelling ratio dan
perekat labur terhadap sifat papan serutan bambu, maka dapat disarankan hal-hal sebagi
berikut.
1. Papan serutan bambu dapat digunakan sebagai pengganti papan kayu pejal, sehingga
mengurangi permintaan akan kayu dari hutan negara dan masyarakat.
2. Papan serutan bambu mampu meningkatkan meningkatkan rendemen pengolahan
bambu untuk laminasi abaik balok dan papan sehingga memperbaiki lingkungan
sekaligus dapat dianeksasikan kedalam pabrik laminasi bambu
3. Perlu penelitian kelayakan industri papan serutan bambu baik skala home industri
maupun aneksasi industri laminasi bambu.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2002. Annual book of ASTM Standards. American Society for Testing Materials.
Philadelpia USA.
_______. 2003. Pengembangan teknologi rotan dan bambu sebagai bahan baku industri
mebel dalam rangka meningkatkan kualitas produk. Laporan akhir. Kerjasama antara
Fakultas Kehutanan UGM dengan Proyek Pemberdayaan Industri Kecil dan
Menengah Kimia, Agro dan Hasil Hutan. Yogyakarta.
_______. 2009. Luas hutan Indonesia 138 juta hektare. Dari www.mediaindonesia.com.
Dikunjungi pada 27 Juli 2010.
Batubara, R. 2002. Pemanfaatan bambu di Indonesia. Dari buletin Fakultas Pertanian
Program Ilmu Kehutanan Universitas Sumatera Utara.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/970/1/hutan-ridwanti4.pdf. Dikunjungi
pada 27 Juli 2010.
Brown, H.P., A.J. Panshin dan C.C, Forsaith. 1952. Text book of wood technology. Vol. II,
The physical, mechanical and chemical properties of commercial wood of the United
States. Mc Graw Hill and Company. New York.
De Bruyne, N.A And R. Houwink. 1965. Adhesion and adhesive. Elsevier Publishing
Company. New York.
Haygreen, J.G. dan J.L. Bowyer. 1996. Hasil hutan dan ilmu kayu. Suatu pengantar. Gadjah
Mada University Press. Yogyakarta.
Kollmann, F.F.P., E.W Kuenzi and A.J Stamm. 1975. Principles of wood science and
tecnology Vol.II. Wood based materials. Springer Verlag Berlin Heidelberg. New
York.
Krisdianto. 2005. Sari hasil penelitian bambu. dari
http//www.dephut.go.id/informasi/litbang/teliti/bambu.htm. akses 14 Mei 2010.
Maloney, T. M. 1977. Modern particle board and dry process fiberboard manufacturing. Miller
Freeman Publications., Inc USA.
Prayitno,TA. 1995. Teknologi papan partikel. Modul ajar . Fakultas Kehutanan UGM.
Yogyakarta.
_______. 2004. Perekatan Kayu. Fakultas Kehutanan UGM. Yogyakarta
_______. 2005a. Laminasi bambu. Kursus Teknologi Bambu. Pusat Penelitian Bambu PAU-
Teknik UGM.
_______. 2005b. Bamboo stabilization. Kursus Teknologi Bambu. Pusat Penelitian Bambu
PAU-Teknik UGM
Suryadi, F. 2008. Pengaruh Suhu dan Lama Pemanasan Terhadap Sifat Fisika Mekanika
Papan Partikel Bambu Petung. Fakultas Kehutanan UGM. Yogyakarta. Skripsi. Tidak
diterbitkan.

170
BIOKOMPOSIT

PENINGKATAN KUALITAS KAYU LAPIS BERBAHAN BAKU KAYU


BERDIAMETER KECIL (SMALL DIAMETER LOGS) DENGAN
PELAPISAN VINIR KOMPRESI

Yusup Amin1*, Rentry Augusty Nurbaity2,


Sukma S Kusumah1, dan Muh. Yusram Massijaya2
1
UPT BPP Biomaterial LIPI, Jl. Raya Jakarta Bogor km 46 Cibinong 16911
2
Dep. Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
*email: yusup_amin@yahoo.com

ABSTRAK

Salah satu parameter kualitas kayu lapis adalah karakteristik bagian permukaannya.
Penelitian ini bertujuan untuk memperbaiki kualitas kayu lapis dengan cara memodifikasi dan
melapisi bagian permukaan menggunakan lembaran vinir kompresi. Vinir yang digunakan
berupa vinir sengon (Paraserianthes falcataria L.Nielsen) ketebalan 2 mm yang
dikompresi/dipadatkan menjadi ketebalan 1 mm. Hasilnya menunjukkan bahwa kerapatan,
MOR dan keteguhan rekat kayu lapis meningkat serta memenuhi standar kayu lapis
struktural (JAS dan SNI 01-5008.7-1999). Kekerasan permukaan kayu lapis meningkat dari
232 kg/cm2 menjadi 328,67 kg/cm2.

Kata kunci: kualitas kayu lapis, karakteristik permukaan, vinir kompresi

PENDAHULUAN

Kayu lapis merupakan salah satu produk panel kayu yang sudah sangat familiar di
masyarakat. Kebutuhan bahan baku kayu untuk memproduksi kayu lapis terus mengalami
peningkatan dari tahun ke tahun. Data kementerian kehutanan Indonesia tahun 2007 (Hadjib
et al., 2010) menyatakan bahwa kebutuhan bahan baku kayu untuk produk berbasis vinir
(kayu lapis dan LVL) di Indonesia adalah 20.157.842 m3, sedangkan kapasitas produksi
yang diijinkan adalah 11.066.813 m3 / tahun. Sehingga terjadi gaps antara supply dan
demand bahan baku yang cukup besar (r 9 juta m3/tahun). Untuk mengatasi permasalah ini,
agar industri kayu lapis dapat terus bertahan maka banyak pihak industri yang mulai beralih
pada penggunaan kayu berdiameter kecil dan kurang dikenal sebagai bahan baku
produksinya.
Menurut Keegen et al, (2005) dalam Massijaya et al. (2010), kayu berdiameter kecil
Small Diameter Logs (SDL) adalah kayu/log yang memiliki diameter setinggi dada d 10 (r
25,4 cm). Sedangkan menurut PP No.74 tahun 1999 (Massijaya et.al., 2010), SDL
merupakan kayu yang memiliki diameter d 30 cm. Hadjib et al (2010) menambahkan bahwa
contoh kayu yang termasuk SDL antara lain: kayu sengon, afrika, tisuk, magium, karet,
gmelina, suren, jabon, petai hutan, pulai, dan lain sebagainya. Umumnya jenis-jenis kayu
tersebut memiliki kualitas kerapatan yang rendah sampai sedang. Dimana hal ini akan
berdampak pada kulaitas produk kayu lapis yang dihasilkan.
Kualitas produk kayu lapis atau LVL sangat dipengaruhi oleh kualitas bahan baku
kayu dan jenis perekat yang digunakan. Salah satu parameter yang menetukan kulitas/ mutu
kayu lapis adalah karakteristik bagian permukaannya. Berbagai macam penelitian telah
banyak dilakuan untuk meningkatkan kualitas permukaan kayu lapis, diantaranya adalah
dengan perlakuan dimethyloldihydroxyethyleneurea (DMDHEU) (Dieste et al.,2008),
pelapisan dengan vinir sayat dari kayu tertentu (misalnya: jati; sonokeling, eboni), atau
dengan pelapisan bahan kimia lainnya, misalnya: melamin dan cat tahan air. Perbaikan
kualitas permukaan kayu lapis pada umunya bertujun untuk meningkatkan sifat fisik-mekanik
kayu lapis tersebut. Modifikasi kayu dengan pemadatan dan perlakuan panas merupakan

171
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

contoh metode yang dapat diterapkan untuk tujuan peningkatan sifat fisik-mekanik dan
keawetan kayu (Hill, 2005).
Penelitian ini berujuan untuk mengetahui efektifitas peningkatan kualitas kayu lapis
berbahan baku kayu berdiameter kecil (SDL) melalui pelapisan bagian permukaan kayu lapis
dengan vinir kompresi

BAHAN DAN METODE PENELITIAN

Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah lembaran vinir kayu SDL
(sengon dan afrika) dengan ketebalan 2mm. Sedangkan bahan perekat yang digunakan
adalah perekat isosianat komersial (Koyo Bond) dan perekat TRF (Tanin Resorcinol
Formaldehida) hasil formulasi Puslitbang Gunung Batu, Bogor. Tannin berasal dari kulit kayu
akasia, sedangkan ekstender yang digunakan pada perekat TRF adalah tepung terigu
(10%).
Kayu lapis yang dibuat berukuran 30cm x 30 cm, 5 lapis (S-A-A-A-S). S adalah
lembaran vinir kayu sengon, dan A adalah vinir kayu afrika. Masing-masing aplikasi jenis
perekat dibuat sebanyak 7 sampel papan (5 papan dengan pelapisan vinir kompresi; 2
papan sebagai kontrol tanpa pelapisan vinir kompresi). Pembuatan vinir kompresi dilakukan
dengan cara pemadatan dengan pengempaan terhadap vinir yang akan dijadikan lapisan
permukaan (sengon) dengan suhu 170 oC selama 5 menit. Target pemadatan adalah 50%
dari tebal awal (2mm menjadi 1mm). Vinir yang telah dipadatkan selanjutnya dikeringkan
dalam oven pada suhu 103r2qC selama 24 jam agar tercapai drying set.
Penyusunan vinir dan pembuatan kayu lapis dilakukan setelah conditioning vinir
kompresi (7 hari), dengan berat labur untuk masing-masing perekat 280 g/m2 dan dilaburkan
pada kedua permukaan vinir. Pembuatan kayu lapis dilakukan dengan kempa dingin selama
24 jam, dan conditioning selama 2 minggu dalam suhu ruang..
Pengujian dilakukan dengan mengacu pada standar JAS (Japanese Agricultural
Standard for Structusal Plywood): 2003, dan SNI 01-5008.7-1999 (kayu lapis struktural).
Parameter yang diuji meliputi: kadar air, kerapatan, delaminasi, kekerasan (hardness),
bending strength (MOE/MOR), dan keteguhan geser rekat (shear strength).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kadar Air dan Kerapatan Kayu Lapis


Bedasarkan pengujian diperoleh kadar air (KA) kayu lapis seperti ditunjukkan pada
Gambar 1. Rata-rata KA kayu lapis yang dihasilkan belum memenuhi kriteria dalam standar
yang ditentukan (lebih dari 14%), meskipun KA vinir sebelum dijadikan kayu lapis berkisar
antara 9-10%. Standar JAS ataupun SNI mensyarakan KA maksimal untuk produk kayu lapis
struktural harus kurang dari 14%. Secara umum KA kayu lapis dengan pelapisan vinir
kompresi lebih rendah daripada tanpa pelapisan (kontrol), terutama pada penggunaan
perekat isosianat (14,05 %) hampir mendekati standar JAS maupun SNI 01-5008.7-1999.
Penggunaan perekat TRF menghasikan kayu lapis dengan kadar air yang masih cukup
tinggi (> 20%), hal ini diduga karena pengaruh karakter perekat TRF yang lebih cair (encer)
dari pada perekat isosianat (koyo bond).

172
BIOKOMPOSIT

Gambar 1 Sebaran kadar air kayu lapis.

Kerapatan kayu lapis yang dihasilkan berkisar antara 0,43-0,50 g/cm3 (Gambar 2).
Pelapisan vinir kompresi pada bagian kedua permukaan berhasil meningkatkan kerapatan
kayu lapis, hingga dicapai kerapatan rata-rata 0,50 g/cm3. Jenis kayu sengon dan kayu SDL
lainya mulai dikembangkan sebagai sumber bahan baku industri kayu lapis/LVL. Menurut
Iskandar (2006), vinir kayu sengon yang telah dikeringkan cenderung mengkerut dan
bergelombang sehingga produk kayu lapis yang dihasilkan tidak rata yang berakibat pada
penurunan mutu. Selain itu, kayu sengon memiliki kerapatan yang rendah sehingga
kekerasan permukaannya juga rendah. Kerapatan kayu lapis dipengaruhi oleh kerapatan
vinir penyusunnya. Kerapatan kayu sengon dan afrika pada kondisi kering udara masing-
masing adalah 0,28 g/cm3 dan 0,41 g/cm3 (Hadjib et al. 2010). Sehingga penggunaan kayu
sengon sebagai bahan baku kayu lapis tanpa perlakuan pemadatan terlebih dulu (kompresi)
atau tidak dikombinasikan dengan jenis kayu lainnya yang kerapatnnya lebih tinggi maka
hanya kan menghasilkan produk kayu lapis dengan kerapatan yang rendah. SNI 01-5008.7-
1999 mensyaratkan jenis kayu yang dapat digunakan untuk pembuatan kayu lapis struktural
adalah jeni-jenis kayu yang memiliki berat jenis (BJ) lebih dari 0,40. Sehingga dengan
asumsi pamadatan 50% dari tebal awal (2 mm menjadi 1 mm) diharapkan dapat
meningkatkan BJ atau kerapatan vinir kayu sengon menjadi lebih dari 0,40 (r 0,42). Target
pemadatan yang diterapkan pada kayu berbanding lurus dengan peningkatan kerapatannya.
Pemadatan kayu afrika dengan target pengempaan 33,3% mampu meningkatkan kerapatan
kayu tersebut sampai 38,64% dari kerapatan awal sebelum dipadatkan Amin et al. (2004).

Gambar 2 Rata-rata kerapatan kayu lapis

173
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Sifat Mekanis Kayu Lapis


Hasil uji delaminasi terhadap kayu lapis menunjukan tidak adanya lapisan vinir pada
bagian sisi dan tepi kayu lapis yang lepas. Hal ini berarti kayu lapis yang dihasilkan telah
memenuhi persyaratan standar uji delaminasi (JAS for structural plywood).
Dari hasil pengujian bending strength (MOE/MOR) diperoleh nilai rata-rata MOE
semua perlakuan kayu lapis tidak memenuhi persyaratan standar JAS (uji sejajar serat),
sedangkan pada pengujian MOE tegak lurus serat kayu lapis dengan pelapisan vinir
kompresi memenuhi persyaratan standar JAS (Gambar 3). Nilai MOE kayu lapis hanya
berkisar antara 2,12 5,22 GPa (sejajar serat) dan 0,62 2,59 GPa (tegak lurus serat).
Pesyaratan JAS (MOE) adalah t 7 GPa (sejajar serat) dan t 2 GPa (tegak lurus serat).

Gambar 3. Rata-rata MOE kayu lapis

Nilai MOR kayu lapis hasil pengujian berkisar antara 32,88 47,83 MPa (sejajar
serat) dan 19,24 31,06 MPa (tegak lurus serat) (Gambar 4). Nilai MOR kayu lapis dengan
pelapisan vinir kompresi (isosianat dan TRF) dan kontrol TRF memenuhi persyaratan
standar JAS untuk uji sejajar sera (t 34 MPa). Sedangkan untuk uji tegak lurus serat, nilai
MOR semua kayu lapis memenuhi standar JAS (t 12 MPa).

Gambar 4. Rata-rata MOR kayu lapis

174
BIOKOMPOSIT

Dari hasil pengujian keteguhan geser tarik shear strength kayu lapis (uji kering)
diperoleh nilai rata-rata keteguhan rekat untu masing-masing perlakuan adalah seperti
ditunjukkan pada Gambar 5 berikut.

Gambar 5. Rata-rata keteguhan rekat kayu lapis

Berdasarkan pada Gambar 5, semua kayu lapis yang diuji telah memenuhi
persyaratan standar SNI 01-5008.7-1999 (t 7 kg/cm2 | 0,7 N/mm2). Pelapisan vinir
kompresi pada kayu lapis memberikan pengaruh positif terhadap peningkatan keteguhan
rekatnya, terutama pada penggunaan perekat isosianat. Sementara pada penggunaan
perekat TRF, pelapisan vinir kompresi pada kayu lapis tidak memberikan pengaruh terhadap
keteguhan rekatnya.
Selain dapat meningkatkan keteguhan rekat kayu lapis (perekat isosianat) dan
meningkatkan bending strength (terutama pada uji tegak lurus serat), pelapisan permukaan
kayu lapis dengan vinir kompresi juga dapat meningkatkan kekerasan permukaan kayu lapis.
Rata-rata kekerasan permukaan (hardness) meningkat dari 232 kg/cm2 menjadi 328,67
kg/cm2, sehingga diharapkan produk kayu lapis ini bias diterapkan untuk penggunaan lantai
(flooring). Performa permukaan kayu lapis jadi makin bagus: kesan raba lebih halus dan
licin; warna lebih gelap dan tampak mengkilap (Gambar 6).

A B

Gambar 6. Penampang permukaan kayu lapis: (A) kontrol; (B) vinir kompresi

175
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

KESIMPULAN
1. Kadar air kayu lapis belum memenuhi standar JAS dan SNI, kadar air vinir yang
digunakan sebaiknya lebih rendah dari 9 % agar produk yang dihasilkan bisa memenuhi
standar.
2. Pelapisan vinir kompresi pada bagian permukaan kayu lapis berhasil meningkatkan
kerapatan (rata-rata 0,50 g/cm3), sehingga memungkinkan untuk aplikasi penggunaan
struktural. Nilai keteguhan rekat dan MOR (tegak lurus serat) kayu lapis dengan
pelapisan vinir kompresi telah memenuhi standar JAS for structural plywood dan SNI 01-
5008.7-1999.
3. Pelapisan vinir kompresi pada permukaan kayu lapis dapat memperbaiki karakteristik
dan kualitas permukaan kayu lapis: kekerasan (hardness) meningkat, kesan raba lebih
halus dan licin; warna lebih gelap dan tampak mengkilap

DAFTAR PUSTAKA

Amin, Y., Dwianto W., Prianto A.H. 2004. Sifat mekanik kayu kompresi. Prosiding Seminar
Nasional VII MAPEKI, Makasar 5-6 Agustus 2004
Dieste A., Krause A., Bollmus S. 2008. HolgerMilitzPhysical andmechanical properties of
plywood produced with 1.3-dimethylol-4.5- dihydroxyethyleneurea (DMDHEU)-
modified veneers of Betula sp. andFagus sylvatica. Holz Roh Werkst (2008) 66: 281
287
Hadjib N., Massijaya M.Y., Hadi Y.S. 2010. Address technical gaps in producing bio-
composite product: Identify suitable wood species and evaluate mechanical
properties. Paper presented on Project Workshop CFC/ITTO: Utilization of small
diameter logs from sustainable source for bio-composite products. Bogor, Indonesia ;
December 9-10, 2010.
Hill C. 2005. Wood modification: Chemical, thermal and other process. John Wiley & Sons,
Ltd. USA.
Iskandar, M. I.. 2006. Pemanfaatan Kayu Hutan Rakyat Sengon (Paraserianthes falcataria
(L) Nielsen) untuk Kayu Rakitan. PROSIDING Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan
2006 : 183-195
JAS (Japanese Agricultural Standard for Structusal Plywood): 2003
Massijaya M.Y., Hadi Y.S., Tambunan B.,Hadjib N., Hermawan D. 2010. Utilization of small
diameter logs from sustainable source for bio-composite products. Paper presented
on Project Workshop CFC/ITTO: Utilization of small diameter logs from sustainable
source for bio-composite products. Bogor, Indonesia ;December 9-10, 2010.
SNI 01-5008.7-1999: kayu lapis struktural. Cetakan ke-2 tahun 2003

176
BIOKOMPOSIT

PENGARUH PERLAKUAN ASETILASI STRAND TERHADAP SIFAT


FISIS DAN MEKANIS ORIENTED STRAND BOARD
DARI KAYU Acacia mangium
Apri Heri Iswanto1*, Widya Fatriasari2, Andi Detti Yunianti3,
Ahmad Zailani4, dan Fauzi Febrianto5
1
Program Studi Kehutanan, Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara
2
UPT Biomaterial LIPI Cibinong
3
Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin Makasar
4
Kementerian Kehutanan RI
5
Departemen Hasil Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
*)
Email: apriheri@yahoo.com

ABSTRAK

Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis pengaruh perendaman strand dalam
acetic anhydride terhadap sifat fisis dan mekanis OSB yang terbuat dari kayu akasia
mangium. Strand direndam dalam acetic anhydride selama 24 jam, selanjutnya dikeringkan
pada suhu 600C hingga beratnya konstan untuk menentukan WPG-nya. Papan yang dibuat
berukuran 25x25x0,5 cm3 dengan target kerapatan sebesar 0,7 g/cm3. Perekat yang
dipergunakan dalam penelitian ini phenol formaldehid (SC: 44%). Pengempaan panas
dilakukan pada suhu 1600C, waktu selama 12 menit dan tekanan kempa sebesar 25 kg/cm2.
Pengujian sifat fisis dan mekanis papan berdasarkan standar JIS A 5908 (2003). Hasil
penelitian menunjukkan bahwa daya serap air dan pengembangan tebal papan dengan
perlakuan asetilasi lebih baik dibadingkan dengan kontrol. MOR dan IB papan terlihat
mengalami penurunan untuk papan dengan perlakuan asetilasi.

Kata kunci: Asetilasi, fisis, mekanis, OSB

PENDAHULUAN

OSB merupakan panel yang dapat dipakai sebagai komponen konstruksi. Lembaran
panel terbuat dari strand kayu jenis cepat tumbuh, direkat dengan perekat tipe eksterior dan
dikempa panas (Structural Board Association 2005). Menurut APA (2000), OSB merupakan
papan yang dibuat dengan arah orientasinya mirip dengan kayu lapis yaitu orientasi strand
antar lapisan disusun saling bersilangan tegak lurus, hal ini bertujuan untuk memperoleh
kekuatan dan kekakuan panel struktural yang dihasilkan. Kayu sebagai bahan
berlignoselulosa merupakan material higroskopis yang memiliki sifat dapat mengembang
karena adanya penyerapan air dan uap air serta dapat menyusut karena kehilangan air dan
uap air yang terjadi pada kondisi dibawah titik jenuh serat.
Bahan lignoselulosa secara potensial sangat reaktif karena adanya gugus hidroksil
pada unit polimernya. Kehadiran dan ketersediaan gugus hidroksil ini memberikan kekuatan
dan berbagai sifat pada material lignoselulosa, namun keberadaan gugus hidroksil ini juga
dapat menyebabkan permasalahan pada material lignoselulosa. Gugus hidroksil ini dapat
membentuk ikatan hidrogen didalamnya serta ikatan dengan jenis polimer lain yang berasal
dari luar material lignoselulosa (Papadopoulos and Traboulay, 2000). Ketika air masuk
dalam struktur dan berinteraksi dengan polimer maka akan terjadi ikatan hidrogen sehingga
akan menyebabkan perubahan sifat dari material lignoselulosa. Perubahan ini akan
menimbulkan permasalahan seperti stabilitas dimensi dan kerusakan oleh perusak
mikrobiologi. Sifat reaktivitas lignoselulosa dapat dimanfaatkan dalam rangka meningkatkan
sifat-sifatnya untuk menghasilkan material yang lebih superior dalam hal performa dan sifat-

177
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

sifatnya yang lebih baik. Salah satu cara modifikasi kimias adalah reaksi gugus hidroksi
dengan acetic anhydride yang dikenal ebagai asetilasi (Rowell, 1975).
Pada prinsipnya, asetilasi merupakan reaksi pembentukan ester dari pereaksi asetic
anhidrida dengan gugus fungsi hidroksil pada kayu. Meskipun asetilasi menghasilkan
produk sampingan yang berupa asam asetat dimana keberadaannya dapat mendegradasi
selulosa, namun teknik asetilasi ini masih banyak dipergunakan karena biayanya murah dan
prosesnya sederhana. Setelah perlakuan asetilasi, papan yang dihasilkan diharapkan akan
memiliki sifat-sifat yang lebih baik dari papan tanpa asetilasi seperti peningkatan stabilitas
dimensi dan ketahanan terhadap serangan rayap. Tujuan dari penelitian ini untuk melihat
pengaruh perlakuan asetilasi pada strand terhadap sifat fisis dan mekanis OSB yang
dihasilkan.

BAHAN DAN METODE

1. Strand
Strand dengan target ukuran panjang 7 Cm, lebar 2,5 Cm dan tebal 0,08 Cm
dibuat dengan menggunakan diskflaker. Hasil pengukuran dari 100 strand yang diambil
secara acak sebagaimana disajikan pada Tabel 1. Selanjutnya strand dikeringkan
dengan menggunakan oven pada suhu 1032 0C hingga mencapai kadar air sekitar 5%.

Tabel 1. Ukuran rata-rata strand*) yang digunakan dalam pembuatan OSB

Parameter Rataan Minimum Maksimum


P (cm) 6.96 0,28 5.85 7.50
L (cm) 2.32 0,25 1.35 2.75
T (cm) 0.08 0,03 0.03 0.17
100.72
SR 39,42 40.00 244.67
AR 3.05 0,44 2.49 5.39
*) Hasil perhitungan dari 100 sampel strand secara acak

2. Asetilasi Strand
Strand yang telah dikeringkan hingga mencapai kadar air 5% selanjutnya
direndam dalam larutan acetic anhydride selama 24 jam. Kemudian strand ditiriskan dan
selanjutnya di keringkan pada suhu 60oC hingga beratnya konstan. Nilai WPG asetilasi
strand-nya diperoleh sebesar 4%.

3. Pembuatan OSB
Strand dicampur dengan perekat dengan menggunakan drum blender. Perekat
yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah Phenol Formaldehyde tipe PA-302
dengan nilai solid content 43%, pH 10 viscositasnya 1,5 poise. Strand disusun dengan
arah bersilangan antar lapisan pada alat pencetak lapik berukuran 25x25x0,5 cm dengan
target kerapatan papan 0,7 g/cm3. Komposisi strand didalam lapisan dibagi menjadi 3
bagian yaitu surface layer (25%), core layer (50%) dan back layer (25%). Lapik
diletakkan di antara dua plat kempa dan dilakukan pengempaan panas pada suhu 1600C
selama 12 menit dengan tekanan kempa sebesar 25 kg/cm2. Papan yang telah dikempa
selanjutnya dikondisikan selama 2 minggu sebelum dilakukan pengujian

4. Pengujian Papan
Pengujian papan yang dihasilkan meliputi pengujian sifat fisis (kerapatan, kadar
air, pengembangan tebal, daya serap air), sifat mekanis (MOE, MOR, dan keteguhan
rekat internal) dan stabilitas dimensi papan yang dinyatakan dengan nilai Anti Shrink
Efficiency (Cetin, 2001)

178
BIOKOMPOSIT

ASE = Anti shrink efficiency resulting from a treatment


Sc = Volumetric swelling coefficient of control
Sm = Volumetric swelling coefficient of modified sample

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Kadar Air
Hasil pengujian kadar air OSB dengan perlakuan asetilasi dan tanpa perlakuan
disajikan pada Gambar 1 berikut.

Gambar 1. Kadar air OSB dengan perlakuan asetilasi dan kontrol

Berdasarkan Gambar 1, terlihat bahwa nilai kadar air produk OSB dengan perlakuan
asetilasi lebih rendah dibandingkan dengan kontrol. Penggantian beberapa gugus hidroksil
dari polimer dinding sel dengan ikatan gugus asetil mengurangi sifat higroskopis dari kayu.
Kadar air diduga diserap dalam bentuk primery atau secondary water. Primery water
merupakan serapan air pada rantai primer dengan energi ikat yang tinggi seperti gugus
hidroksil. Secondary water merupakan penyerapan air denga energi ikat yang rendah
seperti molekul air yang diserap pada bagian atas lapisan primer. Karena beberapa gugus
hidroksil teresterifikasi dengan gugus asetil maka menyebabkan berkurangnya gugus primer
yang menyerap air akibatnya serat akan lebih bersifat hidrofobik karena adanya proses
asetilasi, kemungkinan ini juga terjadi pada secondary water (Rowell, 2007).
Selanjutnya masih menurut Rowell (2007) terdapat sekitar 20-25% gugus hidroksil
dari holoselulosa yang tersubstitusi oleh gugus asetil dari acetat anhydride. Kemudian
berdasarkan asumsi bahwa dari 20-25% gugus hidroksil holoselulosa tersebut didominasi
oleh gugus hidroksil dari hemiselulosa. Dijelaskan bahwa pada selulosa hanya terdapat
beberapa gugus hidroksil yang mampu tersubstitusi terutama hanya pada daerah amorf.
Berdasarkan standar JIS A 5908 (2003) yang mensyaratkan bahwa standar kadar air papan
5-13%, maka nilai kadar air papan hasil penelitian ini telah memenuhi standar.

2. Pengembangan Tebal, Daya Serap Air dan Anti Shrink Efficiency


Hasil pengujian Pengembangan tebal, daya serap air dan anti shrink efficiency OSB
dengan perlakuan asetilasi dan tanpa perlakuan disajikan pada Gambar 2 berikut.
Berdasarkan Gambar 2, terlihat bahwa nilai pengembangan tebal dan daya serap air produk
OSB dengan perlakuan asetilasi lebih rendah dibandingkan dengan kontrol. Pemberian
perlakuan asetilasi dapat memperbaiki pengembangan tebal dan daya serap air. Perbedaan
nilai kontrol dengan perlakuan asetilasi tidak terlalu besar terutama untuk pengembangan
tebal papan, hal ini dikarenakan rendahnya nilai WPG yang diperoleh dari proses asetilasi.
Nilai WPG pada penelitian ini sekitar 4%. Proses asetilasi yang dilakukan hanya dengan
menggunakan teknik perendaman strand selama 24 jam berpengaruh pada rendahnya nilai
WPG yang didapat.

179
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Gambar 2. Pengembangan tebal, daya serap air dan ASE OSB


dengan perlakuan asetilasi kontrol

Menurut Rowell (2007), Stabilitas dimensi karena asetilasi disebabkan oleh adanya
bulky dari ikatan gugus asetil dengan polimer gugus hdroksil dalam dinding sel. Karena
volume dinding sel telah dipenuhi hingga mendekati volume basahnya maka hanya terjadi
sedikit pengembangan ketika air masuk dalam kayu. Kayu terasetilasi masih dapat
menyerap air melalui aksi kapiler dalam dinding sel. Hal ini terjadi karena molekul air lebih
kecil dari gugus asetil, beberapa pengembangan terjadi pada kayu terasetilasi namun
pengembangan tersebut tidak melebihi batas elastis dinding sel. Nilai ASE hasil penelitian
ini sekitar relatif rendah 19.6% karena berhubungan dengan rendahnya nilai WPG yang
diperoleh pada penelitian ini. Perlakuan perendaman strand selama 24 jam tidak optimum
untuk menggantikan gugus OH polimer dinding sel kayu sehingga hanya sedikit gugus OH
yang tersubstitusi oleh gugus asetil. Berdasarkan standar JIS A 5908 (2003) yang
mensyaratkan bahwa pengembangan tebal papan maksimum 25%, maka nilai
pengembangan papan hasil penelitian ini telah memenuhi standar.

3. Modulus of Elasticity (MOE) dan Modulus of Rupture (MOR)


Hasil pengujian MOE dan MOR OSB dengan perlakuan asetilasi dan tanpa perlakuan
disajikan pada Gambar 3 dan 4 berikut.

Gambar 3. Modulus of elasticity OSB dengan perlakuan asetilasi dan kontrol

Gambar 4. Modulus of rupture OSB dengan perlakuan asetilasi dan kontrol

180
BIOKOMPOSIT

Berdasarkan Gambar 3 dan 4, terlihat bahwa nilai MOE dan MOR produk OSB
dengan perlakuan asetilasi lebih rendah dibandingkan dengan kontrol. Perlakuan
perendaman strand dengan acetat anhydride menyebabkan penurunan nilai MOE dan MOR
masing-masing sebesar 9,3% dan 14,7% dibandingkan kontrol. Menurut Rowell (2007),
sedikit penurunan beberapa sifat kekuatan terjadi sebagai akibat perlakuan asetilasi. Hal ini
dimungkinkan karena adanya perubahan sifat kayu menjadi hidrofobik dimana kandungan air
yang terdapat pada perekat penol atau isosianat sulit untuk berpenetrasi kedalam flake.
Sifat kekuatan sangat tergantung pada kadar air dinding sel. Sifat mekanis tegangan serat
pada batas proporsi dipengaruhi oleh perubahan kadar air sekitar 1% dibawah titik jenuh
serat. Faktanya bahwa kadar air kesetimbangan dan titik jenuh serat dari serat terasetilasi
terhitung sedikit lebih rendah dibandingkan dengan yang tidak terasetilasi dalam sifat
kekuatan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa perlakuan asetilasi dapat menurunkan
nilai MOE dan MOR (Larsson and Simonson,1994., Militz,1991., Bongers and Beckers,
2003., Jorissen et al. 2005). Berdasarkan standar JIS A 5908 (2003) yang mensyaratkan
bahwa MOE papan minimal 40800 kg/cm2 dan MOR papan minimal 244,8 kg/cm2 maka nilai
MOE dan MOR papan hasil penelitian ini telah memenuhi standar.

4. Keteguhan Rekat Internal (IB)


Hasil pengujian MOE dan MOR OSB dengan perlakuan asetilasi dan tanpa perlakuan
disajikan pada Gambar 5 berikut.

Gambar 5. Keteguhan rekat internal OSB dengan perlakuan asetilasi dan kontrol

Berdasarkan Gambar 3 dan 4, terlihat bahwa nilai MOE dan MOR produk OSB
dengan perlakuan asetilasi lebih rendah dibandingkan dengan kontrol. Menurut Houts et al
(2003) panel dengan furnis terasetilasi untuk bagian core-nya memiliki IB 50% lebih rendah
dari panel lain yang tidak terasetilasi. Penurunan IB dari kayu terasetilasi disebabkan oleh
penurunan wetabilitasnya, yang mana hal tersebut menghambat penetrasi dari perekat
phenol sehingga terjadi penurunan nilai IB (Chowdhury and Humphrey 1999, Rowell et al.
1987, Rowell and Banks 1987 dalam Houts et al, 2003). Rendahnya nilai IB dengan
perlakuan asetilasi juga diduga karena perlakuan perendaman strand dalam acetic
anhydride akan menurunkan pH dari strand sehingga keasaman strand akan semakin
meningkat. Sementara perekat phenol formaldehid yang dipakai merupakan perekat yang
kompatibel dengan kayu yang memiliki pH lebih tinggi (base curing resin) dan sensitif
terhadap kayu yang memiliki keasaman sangat rendah. Hal tersebut didukung oleh
penelitian yang dilakukan oleh Van Niekerk & Pizzi (1994) yang melaporkan bahwa
keasaman yang kuat pada Eucalyptus grandis menjadikan penghambat kematangan perekat
Phenol Formaldehid (PF) dan tanin selama pengempaan panas dalam pembuatan papan
partikel untuk keperluan eksterior. Suatu kajian menarik yang dilakukan oleh Papadopoulos
(2006) dalam Papadopoulos (2010) bahwa sifat ikatan (keteguhan rekat internal) partikel
kayu termodifikasi kimia dengan perekat berbasis formaldehid dan isosianat, hasilnya
menunjukkan bahwa modifikasi strand secara signifikan tidak berpengaruh pada efisiensi
ikatan dengan perekat isosianat, namun hal ini sangat bepengaruh pada efisiensi ikatan
dengan perekat formaldehid. Temuan terpenting dalam rangka mengatasi penurunan IB
akibat proses asetilasi strand yaitu bahwa strand terasetilasi ditempatkan sebagai lapisan

181
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

permukaan (face layer) dalam pembuatan panel (Houts et al, 2003). Berdasarkan standar
JIS A 5908 (2003) yang mensyaratkan bahwa IB papan minimal 3,06 kg/cm2 maka nilai IB
papan hasil penelitian ini belum memenuhi standar.

KESIMPULAN

1. Perlakuan perendaman acetat anhydride terhadap strand menyebabkan penurunan nilai


kadar air, pengembangan tebal dan daya serap air OSB yang dihasilkan.
2. Nilai ASE dari hasil pengujian masih rendah dikarenakan optimalisasi perlakuan belum
tercapai yang dibuktikan dengan rendahnya nilai WPG yang didapat.
3. Perlakuan asetilasi menurunkan sifat mekanis papan dalam hal ini MOE, MOR dan
keteguhan rekat internalnya.

REFERENSI

APA. 2000. Oriented Strand Board. The Engineer Wood Association, USA.
Bongers, H.P.M. and Beckers, E.P.J. 2003. Mechanical properties of acetylated solid wood
treated on pilot plant scale. In: Proceeding of the First European Conference on
Wood Modification, Gent, Belgium. Van Acker, J. and Hill, C.A.S. (Eds.), pp. 341-350.
Cetin, N.S., N. Ozmen. 2001. Dimensional Changes in Corsican and Scot Pine Sapwood
Due to Reaction With Crotonic Anhydride. Wood Science and Technology 35: 257-
267
Houts J.H.v., P.M. Winistorfer., S. Wang. 2003. Improving dimensional stability by
acetylation of discrete layers within flakeboard. Forest Products JournaL . 53(1): 82-
88
Papadopoulos, A.N. 2010. Modified Wood Composites. BioResources 5(1): 1-8
Papadopoulos, A.N., E. Traboulay. 2000. Dimensional stability of OSB made from
acetylated Fir strands. Holz als Roh- und Werkstoff
Structural Board Association. 2005. OSB in Wood Frame Construction. USA.
Japanese Standard Association. 2003. Japanesse Industrial Standard Particle Board JIS A
5908. Japanese Standard Association. Jepang.
Jorissen, A., Bongers, F., KattenbroeK, B and Homan, W. 2005. The influence of acetylation
of radiata pine in structural sizes on its strength properties. Wood Modification:
Processes, Properties and Commercialisation. Proceedings of the Second European
Conference on Wood Modification, Militz, H. and Hill, C. (Eds.), pp. 108-115.
Larsson, P., and Simonson, R. 1994. A study of the strength, hardness and deformation of
acetylated Scandinavian softwoods. Holz als Roh- und Werkstoff, 52(2), 83-86.
Militz, H. 1991. The improvement of dimensional stability and durability of wood through
treatment with non-catalysed acetic acid anhydride. Holz als Roh- und Werkstoff,
49(4), 147-152.
Rowell , R.M. 2007. Chemical Modification of Wood. Handbook of Engineering
Biopolymers Homopolymers, Blends and Composites Carl Hanser Verlag, Munich
Rowell R M (1975) Chemical modification of wood: advantages and disadvantages. Proc Am
Wood Preservers Assoc, pp. 1-10,
Van Niekerk J & Pizzi A. 1994. Characteristic industrial technology for exterior Eucalyptus
particleboard. Holz RohWerkstoff 52: 109112.

182
BIOKOMPOSIT

SIFAT FISIS DAN MEKANIS COM-PLY


DARI KAYU BERDIAMETER KECIL
Muthmainnah1*, Meylida Nurrachmania2, dan Muh. Yusram Massijaya3
1,2
Mahasiswa Pasca Sarjana Departemen Hasil Hutan IPB
3
Dosen Mata Kuliah Komposit Kayu Departemen Hasil Hutan IPB
*email: muthmainnah_a@yahoo.com

ABSTRAK

Salah satu upaya dalam rangka efisiensi pemanfaatan kayu adalah dengan
memanfaatkan limbah kayu menjadi produk papan komposit yaitu com-ply yang memiliki
kualitas tidak jauh berbeda dengan kayu solid dan merupakan salah satu alternatif
pemecahan masalah kekurangan bahan baku berkualitas tinggi. Com-ply dibuat
menggunakan core dari limbah akasia (partikel ukuran 5 mesh) dan face/back
menggunakan vinir dari kayu berdiameter kecil, yaitu Afrika dan pulai (tebal 0,1 mm) dengan
menggunakan perekat isosianat. Com-ply dibuat dengan variasi ketebalan yaitu 0,5 cm, 1
cm, 1,5 cm. Diperoleh hasil sifat fisis com-ply yang memenuhi standar JIS A 5908-2003
adalah kerapatan dengan nilai 0,63-0,75 gr/cm3, daya serap air 8-16% (2 jam), 23-62% (24
jam) dan pengembangan tebal 2,4-6,7 %(2 jam), 6,6-14,8% (24 jam) . Kemudian untuk sifat
mekanis yang memenuhi standar JIS A 5908-2003 adalah MOR tegak lurus serat 131-246
kgf/cm2, MOR sejajar serat 287-615 kgf/cm2.

Kata kunci: com-ply, variasi tebal, sifat fisis, sifat mekanis

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Bahan baku papan komposit di masa mendatang sangat bervariasi. Penggunaan
berbagai macam bahan baku dalam satu bentuk produk komposit sangat dimungkinkan di
masa mendatang sejalan dengan adanya isu lingkungan, kelangkaan sumberdaya, tuntutan
konsumen akan produk berkualitas tinggi, pengetahuan dan penguasaan ilmu yang
semakin tinggi dan faktor-faktor lain yang merangsang terciptanya produk komposit
berkualitas tinggi dari bahan dengan mutu rendah. Ada kecenderungan di dunia untuk
menghasilkan barang dari bahan daur ulang, yang bisa memberikan dampak minimal
terhadap lingkungan.
Salah satu upaya dalam rangka efisiensi pemanfaatan kayu adalah dengan
memanfaatkan limbah kayu menjadi produk papan komposit yang memiliki kualitas tidak
jauh berbeda dengan kayu solid dan merupakan salah satu alternatif pemecahan masalah
kekurangan bahan baku berkualitas tinggi, terutama dari kayu berdiamater kecil. Namun,
papan komposit khususnya papan partikel memiliki kelemahan yaitu sifat mekanisnya yang
lebih rendah dibandingkan dengan kayu solid. Untuk meningkatkan kekuatan papan, telah
dikembangkan produk papan partikel yang permukaannya dilapisi vinir, produk dengan
konstruksi demikian disebut com-ply. Sehingga diharapkan dapat meningkatkan kekuatan
papan komposit secara signifikan.
Produk-produk dari kayu yang diuraikan dan disusun kembali (reconstituted product)
yang kemudian digabungkan menggunakan papan partikel/papan serat dengan
menggunakan vinir disebut dengan com-ply atau ply strain (Widarmana, 1984). Com-ply
merupakan komposit baru untuk bahan struktural yang terdiri dari core berupa papan
partikel/flake dengan prinsipnya arahnya tegak lurus dengan bidang longitudinal dari
permukaan vinir. Papan partikel akan menjadi produk penting dan berkualitas dengan
adanya vinir yang melapisi permukaannya (Maloney, 1997). Vinir pada permukaan panel ini
berfungsi untuk membatasi perubahan dimensi akibat fluktuasi dalam kandungan air dan
akan meningkatkan stabilitas dimensi papan dalam arah melintang.

183
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kualitas com-ply menggunakan partikel


akasia dan vinir Afrika dan pulai. Pengujian kualitas com-ply meliputi kadar air, kerapatan,
daya serap air, pengembangan tebal, MOE/MOR sejajar dan tegak lurus serat, internal
bond dan kuat pegang sekrup.

BAHAN DAN METODE

Alat dan Bahan


Alat yang digunakan terdiri dari ember, disk flaker, timbangan, oven, spray gun,
blender, kempa dingin dan kempa panas, kantong plastik, kaliper, dan untuk uji sifat
mekanis yaitu Universal Testing Machine (UTM).
Bahan yang digunakan yaitu akasia untuk bagian core-nya yang dipotong menjadi
partikel-partikel dengan ukuran 5 mesh dan untuk vinirnya menggunakan kayu afrika
(Afrika) dan pulai dengan tebal vinir 0,1 cm. Dan yang digunakan sebagai perekat adalah
hardener isosianat.

Proses Pembuatan Com-ply


Proses pembuatan lembaran contoh uji com-ply menggunakan teknik standar
pembuatan com-ply. Papan com-ply yang akan dibuat berukuran (30 x 30) cm dengan
variasi jenis vinir (Afrika dan pulai) dan ketebalan untuk masing-masing papan yaitu 0,5 cm,
1 cm dan 1,5 cm. Dan sebagai pembanding dibuat papan partikel dengan variasi ketebalan
yang sama dengan papan com-ply. Kerapatan sasarannya papan adalah 0,75 gr/cm3,
Kemudian dilakukan pengujian sifat fisis (kerapatan,kadar air, daya serap air dan
pengembangan tebal) dan sifat mekanik (MOE, MOR, IB dan daya pegang sekrup) dan
dibandingkan dengan standar com-ply menggunakan standar JIS A5908-2003.
Kombinasi Com-ply yang dibuat adalah:

Face(vinir) Core(Partikel) Back(vinir) Ketebalan


A 0,5 Afrika Akasia Afrika 0,5
A1 Afrika Akasia Afrika 1
A 1,5 Afrika Akasia Afrika 1,5
P 0,5 Pulai Akasia Pulai 0,5
P1 Pulai Akasia Pulai 1
P 1,5 Pulai Akasia Pulai 0,5
K 0,5 Partikel Akasia 0,5
K1 Partikel Akasia 1
K 1,5 Partikel Akasia 1,5

184
BIOKOMPOSIT

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengujian Sifat Fisis Com-ply


Sifat fisis com-ply yang diuji adalah kadar air, kerapatan, daya serap air dan
pengembangan tebal.

Kerapatan
Gambar 1 menunjukkan nilai rataan kerapatan papan com-ply berkisar antara 0,63-
0,75 g/cm3. Keseluruhan nilai rata-rata kerapatan papan com-ply masih memenuhi rentang
kerapatan yang dipersyaratkan dalam JIS A 5908: 2003 berkisar 0,40-0,90 g/cm3. Besarnya
nilai kerapatan com-ply sangat berpengaruh terhadap sifat fisis dan mekanis. Oleh karena
itu besarnya nilai kerapatan hasil pengujian dikoreksi dengan kerapatan standar sebesar
0,75 g/cm3. Hal ini dilakukan agar perbedaan nilai sifat fisis dan mekanis com-ply dari
perbedaan faktor kerapatan com-ply yang dihasilkan dapat diminimalisir.
Contoh uji kontrol menunjukkan nilai kerapatan tertinggi dibanding dengan contoh uji
lainnya. Com-ply dengan pelapisan vinir pulai memiliki nilai kerapatan yang tidak jauh
berbeda dengan vinir Afrika. Penambahan ketebalan vinir akan menurunkan nilai kerapatan
papan com-ply yang dihasilkan . Berdasarkan ketebalannya, 0,5 cm menghasilkan nilai
kerapatan yang lebih besar dibanding ketebalan 1 cm dan 1,5 cm. Adanya perbedaan nilai
kerapatan antara com-ply diduga karena pembuatan com-ply dibuta secara manual satu
persatu. Disamping itu, adanya distribusi bahan yang kurang merata pada satu papan pada
saat mat forming dapat menjadi factor yang amat menentukan terjadinya perbedaan
kerapatan dalam satu com-ply.

JIS A 5908

Gambar 1. Grafik Nilai Kerapatan Com-ply

Kadar Air
Gambar 2. menunjukkan nilai rata-rata kadar air com-ply berkisar 12,2-15,8%. Nilai
rata-rata kadar air papan com-ply sudah memenuhi standar JIS A 5908 : 2003 yang
mensyaratkan kadar air papan com-ply berkisar 5-13%, kecuali perlakuan (A0,5 dan P0,5).
Kontrol menunjukkan nilai kadar air yang lebih rendah dibanding dengan com-ply. Com-ply
dengan pelapisan vinir Afrika memiliki kadar air yang tertinggi dibandingkan perlakuan
lainnya sedangkan berdasarkan ketebalan untuk masing-masing papan com-ply yang
dihasilkan, ketebalan 0,5 untuk vinir Afrika dan pulai, memiliki kadar air yang tertinggi,
dibanding dengan papan com-ply dengan ketebalan 1 dan 1,5. Pengaruh ketebalan vinir
tidak nampak begitu nyata terhadap pengaruh penurunan nilai kadar air.

185
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

JIS A 5908
Gambar 2. Grafik Nilai Kadar Air Com-ply

Daya Serap Air


Daya serap air merupakan kemampuan papan untuk menyerap air yang diuji dengan
cara perendaman dalam air selama 2 jam dan 24 jam. Semakin kecil daya serap air papan
komposit maka stabilitas papan tersebut semakin baik, demikian pula sebaliknya. Pada
standar JIS A 5908-2003 yang digunakan tidak mensyaratkan nilai standar daya serap air.
Nilai daya serap air penting diketahui karena berpengaruh terhadap kemampuan com-ply
dalam menyerap air.
Gambar 3 . menunjukkan nilai rata-rata data serap air papan com-ply yang
dihasilkan. Daya serap air papan com-ply setelah perendaman 2 jam berkisar 8-16%. Daya
serap tertinggi dihasilkan pada perlakuan A0,5 (Afrika dengan ketebalan 0,5). Daya serap
terendah pada perlakuan A1,5 dan P1,5 (. Nilai rata-rata daya serap setelah perendaman 24
jam berkisar 23-62%. Nilai rata-rata daya serap terendah dihasilkan pada perlakuan P1,5
(vinir pulai dengan ketebalan 1,5) dan nilai rata-rata daya serap tertinggi dihasilkan pada
perlakuan P0,5 (Vinir pulai ketebalan 0,5).

Gambar 3. Grafik Nilai Daya Serap Air Com-ply

186
BIOKOMPOSIT

Kontrol memiki nilai daya serap air yang lebih kecil dibanding dengan com-ply,
sehingga stabilitasnya lebih baik jika dibandingkan dengan com-ply. Namun, jika
dibandingkan dengan pelapisannya, com-ply dengan pelapisan vinir pulai menunjukkan nilai
daya serap air yang cukup tinggi dibandingankan dengan vinir Afrika. Hal ini disebabkan
daya serap air berhubungan dengan berat jenis. Berat jenis rendah memiliki karakteristik
berupa dinding sel yang tipis serta lumen yang relatif besar, karakteristik demikian
menyebabkan papan memiliki kemampuan yang tinggi menyimpan air dalam rongga selnya.
Pulai memiliki berat jenis rendah dibandingkan dengan Afrika, sehingga pulai memiliki
kemampuan menyerap air yang lebih besar dibandingkan dengan kayu Afrika. Berdasarkan
nilai daya serap airnya, com-ply Afrika lebih stabil jika dibandingkankan dengan com-ply
dari vinir pulai.
Berdasarkan ketebalan com-plynya, daya serap air tertinggi diperoleh pada com-ply
vinir Afrika dan pulai dengan ketebalan 0,5. Daya serap terendah pada com-ply ketebalan
1,5 untuk masing-masing vinir. Dengan demikian ketebalan com-ply memberikan pengaruh
yang nyata terhadap penurunan daya serap air.

Pengembangan Tebal
Pengembangan tebal merupakan perubahan dimensi papan dengan bertambahnya
ketebalan dari papan tersebut. Gambar 4. menunjukkan nilai rata-rata pengembangan tebal
papan com-ply setelah perendaman 2 jam dan 24 jam. Pengembangan tebal setelah 2 jam
berkisar 2,4-6,7%. Pengembangan tebal 2 jam telah memenuhi standar yang disyaratkan
JIS A 5908 : 2003 tidak melebihi 25%. Pengembangan tebal selama 24 jam berkisar 6,6
14,8%. .
Kontrol memiliki nilai pengembangan tebal yang tertinggi yang menyebabkan
stabilitas dimensinya lebih rendah dibanding dengan com-plynya. Berdasarkan
penyusunnya, com-ply dari pulai memiliki nilai pengembangan tebal yang lebih tinggi
dibanding com-ply dari Afrika. Hal ini diduga karena tingginya pengembangan tebal pada
com-ply selain karena pengaruh penyerapan air, dipengaruhi juga kerapatan kayu asalnya.
Proses pengempaan yang berasal dari kayu asal berkerapatan rendah akan menyebabkan
pengembangan tebal yang tinggi apabila papan tersebut idirendam dalam akibat dari
internal stress yang ditimbulkan (Nurwayan, 2007). Berdasarkan ketebalan com-ply yang
dihasilkan, ketebalan 1 memiliki pengembangan tebal yang tertinggi dibanding dengan
ketebalan 0,5 dan 1,5 untuk masing-masing vinir pulai dan Afrika.

Gambar 4. Grafik Nilai Pengembangan Tebal Com-ply

187
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Pengujian Sifat Mekanis Com-ply


Sifat mekanis com-ply yang diuji antara lain, MOE/MOR sejajar dan tegak lurus
serat, internal bond, dan kuat pegang sekrup.

Modulus Of Elasticity (MOE)


Modulus of Elasticity (MOE) merupakan ukuran ketahanan papan terhadap
pembengkokan yaitu berhubungan langsung dengan kekuatan papan. Nilai MOE sejajar
serat lebih tendah dibanding tegak lurus serat vinir. Gambar 5 memperlihatkan nilai rata-
rata modulus elastisitas papan com-ply tegak lurus serat berkisar antara 1,1 -1,7 x 104
kgf/cm2. Perlakuan A1,5 menghasilkan nilai MOE yang terendah dan MOE tertinggi pada
perlakuan P0,5. Berdasarkan standar JIS A 5908 : 2003 yang mensyaratkan standar MOE
serat maksimal 13.260 kgf/cm2. Papan yang memenuhi standar ini adalah A0,5, A1,5,
P0,5 dan P1. Sedangkan kontrol sudah memenuhi standar yang disyaratkan.
Nilai rata-rata papan com-ply sejajar serat berkisar antara 3-7,7 x 104 kgf/cm2. Nilai
MOE // serat tertinggi dihasilkan pada papan M0,5 dan terendah dihasilkan pada papan
P1,5. Berdasarkan JIS A 5908 : 2003 yang mensyaratkan standar MOE // serat sebesar
40800 kgf/cm2, Papan com-ply yang memenuhi standar hanya A0,5 dan P0,5 masing-
masing untuk ketebalan 0,5 cm.
Berdasarkan penyusunnya, com-ply dari vinir afrika memiliki nilai MOE serat dan
MOE // serat yang lebih tinggi dibanding dengan com-ply dari vinir pulai. Dibandingkan
dengan papan partikelnya, com-ply memiliki nilai MOE dan MOE // serat yang lebih besar.
Berdasarkan ketebalannya, nilai MOE serat dan MOE // serat menurun dengan
meningkatkan ketebalan, hal ini disebabkan semakin tebal com-ply yang dihasilkan, maka
com-ply menjadi lebih kaku dan semakin sulit untuk dirubah bentuknya.

JIS A 5980-2003 Sejajar Serat

JIS A 5980-2003 Tegak Lurus Serat

Gambar 5. Grafik Nilai MOE (sejajar dan tegak lurus serat) Com-ply

Modulus Of Rupture (MOR)


Modulus of Rupture (MOR) merupakan kemampuan papan menahan beban hingga
batas maksimum (keteguhan patah). Nilai rata-rata MOR dan MOE papan com-ply dapat
dilihat pada Gambar 6. Nilai rata-rata MOR untuk tegak lurus serat berkisar antara 131-240
kgf/cm2.. Nilai MOR tertinggi dihasilkan pada com-ply P0,5 dan terendah pada com-ply A1.
Berdasarkan standar JIS A 5908 : 2003 yang mensyaratkan standar JIS A 5908 : 2003
untuk MOR serat minimal 102 kgf/cm2. Nilai MOR serat yang dihasilkan semuanya
memenuhi standar. Ketiga kontrol juga telah memenuhi standar yang telah disyaratkan.
Nilai rata-rata MOR // serat berkisar antara 287-615 kgf/cm2. Nilai MOR // serat
tertinggi pada com-ply A0,5 dan nilai terendah pada A1,5 (vinir Afrika dengan ketebalan

188
BIOKOMPOSIT

1,5). Berdasarkan standar JIS A 5908 : 2003 yang mensyaratkan standar MOR serat
minimal 102 kgf/cm2, nilai MOR // serat com-ply yang dihasilkan semuanya memenuhi
standar.
Berdasarkan penyusunnya, com-ply dari vinir afrika memiliki nilai MOR serat dan
MOR // serat yang lebih tinggi dibanding dengan com-ply dari vinir pulai. Dibandingkan
dengan papan partikelnya, com-ply memiliki nilai MOR dan MOR // serat yang lebih
besar. Berdasarkan ketebalannya, nilai MOR serat dan MOR // serat menurun dengan
meningkatkan ketebalan untuk com-ply dari vinir Afrika. Sedangkan untuk com-ply dari vinir
pulai,nilai MOR dan MOR // serat tertinggi pada ketebalan 0,5 dan terndah pada ketebalan
1.

JIS A 5908 (Sejajar Serat)

JIS A 5908 (Tegak Lurus Serat)

Gambar 6. Grafik Nilai MOR Com-ply

Internal Bond (IB)


Internal Bond merupakan keteguhan tarik tegak lurus permukaan papan. Sifat ini
merupakan ukuran terbaik tentang kualitas pembuatan suatu papan karena menunjukan
kekuatan ikatan antar partikel. Sifat keteguhan rekat internal akan semakin sempurna
dengan bertambahnya jumlah perekat yang digunakan dalam proses pembuatan papan
partikel (Haygreen dan Bowyer 1989). Gambar 13. menunjukkan nilai rata-rata keteguhan
rekat internal papan com-ply yang dihasilkan.
Nilai rata-rata keteguhan rekat internal berkisar 0,35-4,52 kgf/cm2 Berdasarkan
standar JIS A 5908 : 2003 yang mensyaratkan bahwa standar internal bond minimal 3,06
kgf/cm2, maka nilai internal bond com-ply yang memenuhi syarat hanya com-ply A1,5, P 1,5
dan Kontrol 1 dan 1,5. Yang memenuhi persyaratan, semuanya dari com-ply dengan
ketebalan 1,5. Berdasarkan penyusunnya, com-ply dari vinir pulai memiliki nilai keteguhan
rekat yang tinggi dibanding dengan com-ply dari vinir Afrika. Ketebalan beprengaruh nyata
terhadap keteguhan rekat yang dihasilkan, semakin tebal com-ply yang dihasilkan , maka
nilai keteguhan rekatnya juga semakin tinggi.

189
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

JIS A 5908

Gambar 7 . Grafik Nilai IB Com-ply

Screw Holding Power (Kuat Pegang Sekrup)


Dari hasil pengujian kuat pegang sekrup com-ply yang dihasilkan dapat dilihat pada
Gambar 8

JIS A 5908-
2003

Gambar 8.. Grafik Nilai Kuat Pegang Sekrup Com-ply

Gambar 8. menunjukkan, nilai rata-rata kuat pegang sekrup com-ply yang dihasilkan
berkisar 38,71-121,71 kgf/cm2. Nilai tertinggi dihasilkan pada com-ply pulai ketebalan 1,5
dan terendah pada com-ply Afrika ketebalan 0,5. Standar JIS A 5908 : 2003 yang
mensyaratkan kuat pegang sekrup berkisar antara 51 kgf. Dengan demikian nilai kuat
pegang sekrup untuk com-ply yang dihasilkan, yang memenuhi standar hanya A1, A1,5,
P1 dan P1,5. Untuk kontrol, K 0,5 yang tidak masuk dalam standar yang disyaratkan.

190
BIOKOMPOSIT

KESIMPULAN

1. Berdasarkan penyusunnya, com-ply dari vinir afrika memiliki sifat fisis dan mekanis lebih
tinggi dibanding com-ply dari vinir pulai dalam hal kadar air,pengembangan tebal dan
MOE sejajar serat.
2. Penambahan ketebalan com-ply yang dihasilkan akan menurunkan nilai kadar air, daya
serap, MOE sejajar dan tegak lurus serat, dan MOR sejajar (untuk com-ply dari vinir
afrika).
3. Sifat fisis dan mekanis papan comp-ly yang telah memenuhi standar JIS 5908-2003
adalah kerapatan, pengembangan tebal dan MOR sejajar dan tegak lurus serat.
4. Kuat pegang sekrup yang tidak memenuhi standar JIS A 5908-2003 (control, Afrika dan
pulai dengan ketebalan 0,5, )sedangkan untuk kadar air (untuk vinir pulai dan Afrika
tebal 0,5), internal bond (untuk kontrol ketebalan 0,5, vinir Afrika dan pulai pada
ketebalan 0,5 dan 1, MOE tegak lurus dan sejajar serat (vinir afrika dan pulai ketebalan
1 cm dan 1,5 cm) juga tidak memenuhi standar.
5. Sifat fisis dan mekanis com-ply yang dihasilkan jauh lebih baik disbanding dengan
control yang berupa papan partikel.

DAFTAR PUSTAKA

Bowyer JL, Shmulsky, Haygreen JG. 2003. Forest Products and Wood Science -An
Introduction, Fourth edition. Iowa State University Press.
Haygreen JG, Bowyer JL. 1989. Hasil Hutan dan Ilmu Kayu : Suatu Pengantar. Hadikusumo
SA, penerjemah; Prawiro H, editor. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Terjemahan dari: Forest Product and Wood Science : An Introduction.
Japanese Standard Association [JSA]. 2003. JIS A 5908 : Particleboards. Jepang: Japanese
Standard Association
Maloney TM. 1997. Modern Particleboard and Dry-Process Fiberboard Manufacturing.
California: Miller Freeman Inc.
Ruhendi, S., DS.Koroh, FA Syamani., H.Yanti.,Nurhaida., S.Saad., T.Sucipto. 2007.
Analisis Perekatan Kayu. Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor., Bogor.
Widarmana, S. 1984. Studi Kemungkinan Pemanfaatan Limbah Kayu untuk Panel Komposit
sebagai Bahan Bangunan. Proyek Pengembangan Efisiensi Penggunaan Sumber-
sumber Kehutanan.

191
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

SURIAN (Toona sinensis) SEBAGAI ALTERNATIF BAHAN BAKU


PRODUK PEREKATAN KAYU MASA DEPAN (II) :
LAMINATED VENEER LUMBER (LVL)
Eka Mulya Alamsyah dan Tati Karliati
Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati Institut Teknologi Bandung
Jl. Ganesa 10 Bandung 40132, Indonesia
ekamulya@sith.itb.ac.id dan karliati@sith.itb.ac.id

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kualitas/performa LVL yang terbuat
dari 7 lapis veneer surian (T. sinensis) dibandingkan dengan jenis kayu yang umum
digunakan di industri plywood dan LVL yakni sengon (P. falcataria) dan karet (H.
braziliensis). Empat buah panel LVL dibuat masing-masing dengan ukuran 40 x 40 cm
untuk setiap jenis kayu dan direkat menggunakan perekat komersial PF dan UF. Total panel
yang dibuat sebanyak 24 buah panel. Uji kadar air (KA), kerapatan, MOR, MOE, kekuatan
geser horizontal, persen delaminasi dan emisi formaldehyde dilakukan 4 kali ulangan untuk
setiap panel dengan mengacu pada standar Japan Agricultural Standard. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa untuk LVL surian dengan perekat PF nilai rata-rata KA dan
kerapatannya adalah 12,89 % dan 0,56 g/cm3. Nilai MOR pada sampel flat dan edge
sebesar 63,70 dan 64,96 N/mm2, sedangkan nilai MOE pada sampel flat dan edge adalah
6033,37 dan 6527,78 N/mm2. Pengujian kuat geser horizontal sampel flat menghasilkan nilai
11,82 N/mm2, sedangkan pada sampel edge menghasilkan nilai 11,89 N/mm2. Uji delaminasi
menghasilkan nilai nol persen dan nilai emisi formaldehydenya sebesar 0,07 mg/l termasuk
klasifikasi F4S. Untuk LVL surian dengan perekat UF diperoleh hasil bahwa nilai KA dan
kerapatannya adalah sebesar 13,47 % dan 0,56 g/cm3. Nilai MOR pada sampel flat dan
edge sebesar 72,18 dan 71,01 N/mm2, sedangkan nilai MOE pada sampel flat dan edge
adalah 8569,86 dan 7663,54 N/mm2. Pengujian kuat geser horizontal sampel flat
menghasilkan nilai 11,83 N/mm2, sedangkan pada sampel edge menghasilkan nilai 10,17
N/mm2. Uji delaminasi menghasilkan nilai nol persen dan nilai emisi formaldehydenya
sebesar 0,08 mg/l termasuk klasifikasi F4S. Pemanfaatan kayu surian untuk bahan
pembuatan LVL semakin terbuka lebar karena hasil pengujian LVL tersebut di atas telah
memenuhi standar JAS.

Kata kunci: Sifat Fisis-Mekanis, LVL, T. sinensis.

PENDAHULUAN

Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah dalam mengatasi keterbatasan


jumlah pasokan kayu dari hutan alam antara lain dengan mengalihkan perhatian kepada
jenis-jenis kayu cepat tumbuh (fast-growing species) dan berdiameter kecil seperti mangium,
sengon, rasamala, gmelina, jabon, surian dan lain-lain melalui pembangunan hutan tanaman
industri (HTI) dan atau hutan rakyat (HR) (Subyanto et al., 2004). Pada tahun 2000
Indonesia berhasil menyumbangkan sebanyak 5 persen dari 56 persen hutan tanaman Asia
di kancah global (Charle et al., 2002). Saat ini kayu-kayu yang dihasilkan dari hutan rakyat
tersebut ditujukan terutama sebagai bahan baku industri perkayuan baik skala kecil maupun
besar sebagai bahan baku kayu pengganti dari kayu hutan alam terutama sengon, karet dan
sedikit mangium serta gmelina (Kliwon S, 1998).Sedangkan surian sampai saat ini belum
banyak dimanfaatkan untuk bahan baku industri perkayuan padahal di Jawa Barat sendiri
kayu surian memiliki potensi yang cukup besar (Anonim, 2008). Hal ini dikarenakan selama
ini penelitian intensif tentang jenis kayu hutan rakyat sebagai bahan baku industri perkayuan
dari sisi sifat fisis dan mekanisnya lebih terfokus pada sengon, mangium, gmelina dan karet
saja, padahal hasil penelitian tentang kualitas rekat beberapa jenis kayu hutan rakyat

192
BIOKOMPOSIT

menunjukkan bahwa sifat atau kualitas rekat yang sama baiknya ditunjukkan oleh sengon
dan surian (Alamsyah et al., 2007). Oleh karena itu surian memiliki peluang yang lebih baik
untuk dijadikan sebagai bahan baku industri perkayuan mengingat produk industri perkayuan
tersebut mensyaratkan kualitas perekatan yang baik (Vick, 1999). Namun demikian
informasi yang mendukung tentang kesesuaian pemanfaatan surian sebagai bahan baku
bagi industri perkayuan belum tersedia dan masih perlu dieksplorasi mengingat beragamnya
produk industri perkayuan seperti kayu lapis, LVL, kayu laminasi, papan partikel, OSB dan
lain-lain yang mensyaratkan karakteristik tertentu sesuai dengan sifat bahan baku kayunya.
Bahkan hingga saat ini penelitian tentang surian lebih banyak dari aspek budidaya dan
pemanfaatan ekstraknya untuk keperluan obat-obatan sebagaimana terungkap dalam
penelitian Hidayat (2005). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kualitas/performa
dari LVL yang terbuat dari 7 lapis veneer surian dibandingkan dengan jenis kayu yang umum
digunakan yakni sengon (P.falcataria) dan karet (H. braziliensis) menggunakan perekat
komersial PF dan UF.

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini dilakukan di kampus ITB Jatinangor Sumedang Provinsi Jawa Barat
dan di PT. Sumber Graha Sejahtera, Tangerang Provinsi Banten dengan tahapan sebagai
berikut:

Persiapan Vinir
Log kayu surian dengan rata-rata umur 12 tahun dengan diameter sekitar 25 cm dan
panjang 140 cm diperoleh dari hutan rakyat Desa Cibugel Kabupaten Sumedang. Setelah
dikupas kulitnya, log surian tersebut dimasukkan ke dalam mesin spindless untuk
memperoleh bentuk log yang relatif bundar. Kemudian dikupas di mesin rotari dengan tebal
vinir 1,7 mm dan digulung. Selanjutnya vinir dipotong dengan ukuran panjang 240 cm
dilanjutkan dengan pengeringan hingga diperoleh kadar air vinir sekitar 8 %. Terakhir vinir
disusun dan disimpan di ruang penyimpanan vinir bersama-sama dengan vinir karet dan
sengon.

Pembuatan LVL
Empat buah panel LVL ukuran 40 x 40 cm untuk setiap jenis kayu surian (kerapatan
0,40 g/cm3), sengon (kerapatan 0,32 g/cm3) dan karet (kerapatan 0,59 g/cm3) direkat
menggunakan PF dan UF. Total panel yang dibuat sebanyak 24 buah. Tahapan pembuatan
panel LVL diawali dengan pemeriksaan vinir dari cacat atau mata kayu, pengecekan kadar
air dan penentuan bagian core,face dan back vinir. Setelah itu pelaburan perekat pada
bagian core vinir diikuti dengan perakitan bagian face dan back vinir. Selanjutnya dikempa
dingin pada tekanan 6 kgf/cm2 untuk surian dan sengon dan 8 kgf/cm2 untuk karet masing-
masing selama 900 detik diikuti oleh kempa panas pada tekanan 5kgf/cm2untuk surian dan
sengon serta 6 kgf/cm2untuk karet masing-masing selama 800 detik. Kemudian panel
tersebut dikondisioningkan pada suhu ruangan selama 1 hari sebelum dilakukan pengujian.
Penggunaan perekat dan proses pengempaan disajikan pada Tabel 1 di bawah ini.

193
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Table 1. Penggunaan Perekat dan Kondisi Pengempaan

Cold Press Cold Press Hot Press Hot Press


Adhesive Spread Rate
Temperature Time Temperature Time
Type (g/f2)
(C) (second) (C) (second)

PF 32 27 900 120 800

UF 32 27 900 100 800

Pengujian LVL
Kadar air (ka) dan kerapatan
Ukuran contoh uji 50 x 50mm. Pengambilan contoh uji sebanyak 4 buah dari setiap
panel. Pengujian kadar air dilakukan dengan metode gravimetry dan dihitung dengan rumus
sebagai berikut: , dimana KA : Kadar Air (%), BA : Berat Awal Contoh
Uji (g) dan BKT : Berat Kering Oven (g). Ukuran contoh uji kerapatan juga sama yakni 50 x
50mm sebanyak 4 buah dari setiap panel. Contoh uji diambil dari LVL dalam keadaan kering
udara, kemudian ditimbang untuk mengetahui berat kering udara (BKU), dan dimensinya
diukur untuk mengetahui volume kering udara (VKU). Besar nilai kerapatan dapat diperoleh
dengan menggunakan rumus atau persamaan sebagai berikut : , dimana KU:
3 3
Kerapatan (g/cm ), VKU: Volume Kering Udara (cm ) dan BKU: Berat Kering Udara (g)

MOR dan MOE


Contoh uji untuk pengujian MOR dan MOE masing-masing 4 buah per panel dalam
dua bentuk yakni sampel flat dengan panjang 23 x tebal bahan dan lebar 90mm serta
sampel edge dengan panjang 23 x tebal bahan dan lebar disesuaikan dengan tebal
bahannya. Pengujian modulus patah (MOR) dilakukan pada saat kondisi kering udara.
Pengujian dilakukan dengan memberi beban yang maksimal sampai contoh uji mengalami
patah. Rumus menghitung MOR adalah sebagai berikut: , dimana MOR
2
:Tegangan pada batas maksimal (kgf/cm ), P : Beban maksimal (kg), L : Jarak sangga (cm),
b : Lebar cotoh uji (cm) dan h : Tebal contoh uji (cm). Pngujian modulus elastisitas (MOE)
dilakukan pada saat kondisi kering udara. Contoh uji diberi beban sampai mengalami
lendutan (defleksi) yang maksimum. Rumus menghitung MOE adalah sebagai berikut:
, dimana MOE : Tegangan pada batas proporsi (kgf/cm2), Y : Selisih
defleksi yang terjadi (cm), P : Selisih beban pada daerah proporsi (kg), L : Jarak sangga
(cm), b : Lebar cotoh uji (cm) dan h : Tebal contoh uji (cm)

Kekuatan geser horizontal dan delaminasi


Contoh uji untuk pengujian kuat geser horizontal ada dua bentuk yakni sampel flat
dan edge. Ukuran sample flat panjang (6 x tebal bahan), lebar (40 mm), jumlah 4 pcs/panel.
Dan ukuran sample edge, panjang (6 x tebal bahan), lebar (tebal bahan), jumlah 4 pcs/panel.
Kuat geser horizontal dihitung dengan rumus:
.
Pengujian delaminasi dilakukan dengan ukuran contoh uji 75 x 75mm. Pengambilan
contoh uji sebanyak 4 buah dari setiap panel. Untuk perekat PF pengujian dilakukan dengan
cara contoh uji direbus air mendidih selama 4 jam. Keringkan pada temperature 603C
selama 20 jam. Rebus dalam air mendidih selama 4 jam dan rendam dalam air dingin
(temperature ruangan 10 ~ 15 menit). Kemudian keringkan di oven dengan temperature
603C selama 24 jam, sampai MC tidak lebih dari 8%. Untuk perekat UF pengujian
dilakukan dengan cara contoh uji direbus dalam air temperature 703C selama 2 jam.

194
BIOKOMPOSIT

Kemudian keringkan di oven dengan temperature 603C selama 24 jam, sampai MC tidak
lebih dari 8%. Rumus menghitung rasio of delaminasi adalah sebagai berikut:

Emisi formaldehyde
Satu buah diambil minimal 5cm dari setiap ujung sampel, sehingga jumlah luas
permukaan 450cm2, tidak termasuk keempat sisinya. Jumlah sampel tiap panel sebanyak 4
buah sampel. Keempat sisinya ditutup dengan parafin. Bungkus specimen uji dengan
kantung plastik dan simpan pada ruangan temperatur 201C selama minimal lebih dari 1
hari. 20 ml aquades dimasukkan kedalam wadah plastik dan dimasukkan ke dalam
desikator akrilik volume 40 l. Susun sedemikian rupa contoh uji hingga terpisah satu dengan
lainnya dan letakkan di atas rak desikator. Diamkan selama 24 jam di ruangan temperatur
201C. Pipet masing-masing standar dan larutan sampel sebanyak 10ml dan masukkan ke
dalam gelas erlenmeyer 100ml. Tambahkan 10ml larutan asetil aseton ammonium asetat.
Panaskan dalam waterbath pada 602C selama 10 menit dan dinginkan hingga suhu kamar
pada ruangan gelap. Ukur absorbansi masing-masing standar secara berurutan pada
panjang gelombang 412nm, kemudian ukur absorbansi sampel. Hitung konsentrasinya
berdasarkan kurva standar.Klasifikasi emisi formaldehyde disajikan pada Tabel 2 di bawah
ini.

Table 2. Klasifikasi Emisi Formaldehyde (JAS, 2003)


Average
Classification Code Max (mg/l)
(mg/l)
F**** F4S 0,3 0,4
F*** F3S 0,5 0,7
F** F2S 1,5 2,1
F* F1S 5,0 7,0

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penampilan Vinir

Surian Sengon Karet

Gambar 1. Penampilan Vinir Hasil Kupasan

Diantara ketiga vinir tersebut di atas, surian memiliki ciri khas yang lebih indah
dibandingkan sengon dan karet seperti warnanya coklat kemerahan, warna kayu gubal dan
terasnya jelas, memiliki lingkaran tahun yang tegas, ada mata kayu hidup dengan diameter
kecil-kecil dan menyebar merata khususnya pada vinir yang dikupas dari bagian ujung
batang. Untuk vinir yang dikupas dari bagian pangkal batang penampilan vinir lebih indah
karena tidak terdapat banyak mata kayunya. Untuk memperolehvinir surian yang lebih indah
disarankan untuk menggunakan slicer atau mesin sayat vinir.

195
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Kadar Air dan Kerapatan


Kadar air LVL surian yang direkat dengan PF dan UF masing-masing adalah 12,89
dan 13,74 %, sedangkan untuk LVL sengon sebesar 12,59 % (PF) dan 13,86 % (UF). Kadar
air untuk LVL karet dengan perekat PF adalah10,78% dan dengan perekat UF adalah 12,39
% (Gambar 2). Hasil tersebut menunjukkan bahwa KA panel lebih tinggi dari KA bahan
bakunya (vinir, KA 8 %). Hal ini diduga karena adanya penambahan bahan perekat berbasis
air (water based adhesive) ke dalam pori-pori kayu pada saat pembuatan panel dan sebagai
akibat dari pengaruh perubahan suhu dan kelembaban selama proses kondisioning. Namun
demikian, karena sebaran kadar airnya masih berada di bawah 14 %, maka KA LVL semua
jenis kayu tersebut di atas telah memenuhi standar JAS.

Gambar2. Kadar Air LVL (%)Gambar3. Kerapatan LVL (g/cm3)

Berat jenis LVL kayu surian, sengon dan karet untuk kedua jenis perekat PF dan UF
relatif sama yaitu masing-masing sebesar 0,56; 0,45 dan 0,60 g/cm3 (Gambar 3).
Dibandingkan dengan kerapatan bahan bakunya (vinir), kenaikan nilai kerapatan secara
signifikan terjadi pada LVL surian dan sengon. Hal ini diduga karena surian dan sengon
memiliki keterbasahan yang lebih baik dari karet sehingga retensi (banyaknya perekat yang
masuk) dan penetrasi perekat ke dalam pori-porinya lebih baik daripada LVL karet.

MOR dan MOE

Tabel 3. Nilai Rata-rata MOR and MOE


No Species Direction MOR (N/mm2) MOE (N/mm2)
PF UF PF UF

Flat 63,70 72,18 6033,37 8569,86


1 Surian
Edge 64,96 71,01 6527,78 7663,54

Flat 89,94 104,63 9196,89 8873,19


2 Rubber
Edge 97,61 98,74 10048,70 10324,30

Flat 54,40 64,08 7533,03 9775,35


3 Sengon
Edge 51,71 61,96 7317,84 7259,88

Nilai MOR LVL surian yang direkat dengan perekat PF dan UF masing-masing
adalah 63,70 dan 72,18 N/mm2untuk sampel flat serta 64,96dan 71,01 N/mm2untuk sampel
edge. Sedangkan nilai MOE sampel flat nya adalah 6033,37 N/mm2 untuk PF dan

196
BIOKOMPOSIT

8569,86N/mm2 untuk UF, sementara sampel edge nya adalah 6527,78 N/mm2 untuk PF dan
7663,54N/mm2 untuk UF. Berdasarkan standar JAS, nilai MOR untuk LVL surian baik tipe
flat maupun edge termasuk klasifikasi 160E untuk perekat PF dan 180E untuk perekat UF,
sedangkan nilai MOE nya termasuk klasifikasi 60 E untuk PF pada sampel flat dan edge, 80
E untuk UF pada sampel flat dan 70 E untuk perekat UF pada sampel edga. Pada LVL
sengon, nilai MOR untuk perekat PF dan UF adalah 54,40 dan 64,08 N/mm2 untuk sampel
flat serta 51,71 dan 61,96 N/mm2 untuk sampel edge. Nilai MOE LVL sengon untuk kedua
perekat PF dan UF masing-masing adalah 7533,03 N/mm2 dan 9775,35 N/mm2 untuk
sampel flat serta 7317,84 dan 7259, 88 N/mm2 untuk sampel edge. Hasil tersebut
menunjukkan bahwa MOR LVL sengon untuk perekat PF termasuk klasifikasi 140 E untuk
sampel flat dan 120 E untuk sampel edge, sedangkan untuk perekat UF termasuk klasifikasi
160 E baik sampel flat maupun edge. Sedangkan nilai MOE nya termasuk klasifikasi 70 E,
kecuali LVL dengan perekat UF sampel flat termasuk klasifikasi 90 E. Kemudian nilai MOR
untuk LVL karet pada perekat PF dan UF adalah 89,94 dan 104,63 N/mm2 untuk sampel flat
serta 97,61 dan 98,74 N/mm2 untuk sampel edge. MOE LVL karet untuk kedua perekat PF
dan UF adalah sebesar 9196,89 dan 8873,19 N/mm2 untuk sampel flat serta 10048,70 dan
10324,30 N/mm2 untuk sampel edge. Berdasarkan standar JAS nilai MOR LVL untuk kedua
jenis perekat PF dan UF baik sampel flat maupun sampel edge memenuhi klasifikasi 180 E,
sedangkan nilai MOE sampel edge untuk kedua perekat tersebut memenuhi kalsifikasi 100
E, sementara MOE sampel flat dengan perekat PF termasuk klasifikasi 90 E dan perekat UF
termasuk klasifikasi 80 E.Nilai MOR dan MOE LVL surian lebih kecil dari LVL rubber tetapi
lebih besar jika dibandingkan dengan LVL sengon. Nilai MOR dan MOE LVL ketiga jenis
kayu tersebut di atas telah memenuhi grade special berdasarkan standar JAS.

Kekuatan Geser Horizontal dan Delaminasi


Data hasil pengujian bonding dan delaminasi tersaji pada Tabel 4. Tabel tersebut
menunjukkan bahwa nilai uji kuat geser LVL surian dengan perekat PF dan UF adalah 11,28
dan 11,83N/mm2 untuk sampel flat serta 11,89 dan 10,17N/mm2 untuk sampel edge. Untuk
LVL sengon diperoleh nilai kuat geser pada kedua perekat PF dan UF sebesar 6,29 dan
7,70N/mm2 untuk sampel flat serta 5,23 dan 6,90N/mm2 untuk sampel edge. Sedangkan
untuk LVL karet dengan perekat PF dan UF nilai kuat gesernya adalah 9,54 dan 12,51N/mm2
untuk sampel flat dan 8,91 dan 13,52N/mm2 untuksampel edge. Hasil tersebut di atas
menunjukkan bahwa untuk LVL surian, sengon dan karet nilai kuat gesernya telah melebihi
batas minimum 5,50N/mm2 dan secara keseluruhan telah memenuhi standar JAS. Demikian
pula hasil uji delaminasi sebesar nol persen untuk LVL ketiga jenis kayu tersebut telah
memenuhi standar JAS.

Table 4. Nilai Rata-rata Kuat Geser Horizontal dan Delaminasi

Delamination
No Species Direction Horizontal Shear Strength (N/mm2) (%)
PF UF PF UF

Flat 11,82 11,83


1 Surian 0 0
Edge 11,89 10,17

Flat 9,54 12,51


2 Rubber 0 0
Edge 8,91 13,52

Flat 6,29 7,70


3 Sengon 0 0
Edge 5,23 6,90

197
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Emisi Formaldehyde

Gambar 4. Emisi Formaldehyde (mg/l)

Tabel 5. Klasifikasi Emisi Formaldehyde

Judgement
No Species
PF UF

1 Surian F4S F4S

2 Rubber F4S F4S

3 Sengon F4S F4S

Emisi formaldehyde dari LVL surian untuk kedua perekat PF dan UF adalah 0,07 dan
0,08mg/l. Sedangkan untuk LVL sengon adalah sebesar 0,07mg/l untuk perekat PF dan
0,11mg/l untuk perekat UF. Sementara untuk LVL karet emisi formaldehyde nya adalah
0,09mg/l untuk perekat PF dan 0,30mg/l untuk perekat UF. Berdasarkan standar JAS, dilihat
dari besaran nilai emisi formaldehydenya maka LVL dari ketiga jenis kayu tersebut
memenuhi klasifikasi F4S baik untuk perekat PF maupun perekat UF. Yang menarik adalah
nilai emisi formaldehyde LVL surian selalu lebih kecil daripada LVL sengon maupun
karet,kecuali pada LVL sengon dengan perekat PF. Ketertarikan ini mendorong adanya
penelitian lanjutan tentang kandungan kimia atau ekstraktif kayu surian yang diduga mampu
mereduksi kandungan formaldehyde baik pada perekat PF ataupun perekat UF.

KESIMPULAN

Pemanfaatan kayu surian untuk bahan pembuatan LVL semakin terbuka lebar
karena hasil pengujian LVL menggunakan perekat PF dan UF telah memenuhi standar JAS.
Namun demikian, penelitian lanjutan pada berbagai variasi ketebalan panel LVL dan
ketebalan vinir akan lebih memperkaya informasi pemanfaatan surian sebagai bahan baku
LVL ini. Peluang pemanfaatan kayu surian sebagai alternatif bahan pembuatan fancy vinir,
face/back vinir maupun pelengkap ornamen indah bahan bangunan semakin terbuka lebar
karena vinir surian memiliki karakteristik yang indah dan unik.

UCAPAN TERIMAKASIH

Penulis mengucapkan terimakasih kepada Bapak Yoyo Suhaya,MSi dari Sekolah lmu
dan Teknologi Hayati ITB dan Bapak Sutarno dari Sarana Prasarana ITB Kampus Jatinangor

198
BIOKOMPOSIT

yang telah membantu menyiapkan bahan baku log surian. Terimakasih dan penghargaan
yang setinggi-tinggginya penulis sampaikan pula kepada Bapak Eko Sudoyo (Head R and
D), Bapak Ardi dan Bapak Abdul Rojak atas ijin dan bantuannya selama pelaksanaan
penelitian ini di PT.SGS. Lebih khusus ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada
Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) ITB atas bantuan finasialnya
selama penelitian ini berlangsung.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim (2003). Japanese Agricultural Standard for Formaldehyde Emission. The Ministry of
Agriculture, Forestry and Fisheries of Japan.
Anonim (2008). Japanese Agricultural Standard for Laminated Veneer Lumber. Notification
No.701.
The Ministry of Agriculture, Forestry and Fisheries of Japan.
Anonim (2008). Statistik Kehutanan. Dinas Kehutanan Propinsi Jawa Barat. Bandung
Alamsyah EM, Liu CN, Yamada M, Taki K, Yoshida H (2007). Bondability of tropical fast-
growing tree species I: Indonesian wood species. Journal of Wood Science, Vol.53
No.1, pp.40-46
Charle J, Vuarinen P, Lung AD (2002). Status and Trend in Global Forest Plantation
Development. Forest Products Journal 52(78): 13-23
Hidayat, Y. (2005). Kefektifan Ekstrak Daun Surian (Toona sinensis) dalam Pengendalian
Larva Boktor (Xystrocera festiva. Pascoe). Jurnal Agrikultura 16 (2) : 133-136.
Volume 16, Nomor 2. Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran. Bandung.
Hidayat, Y. (2005). Tree Improvement Strategy of Surian (Toona sinensis. Roem) :
Preliminary result. Journal Wanamukti Forestry. 3 (2) : 103-109
Kliwon S, Iskandar MI (1998) Processing of small diameter logs for laminated veneer, veneer
and plywood
Production. Proceeding of the Second International Wood Science Seminar,
Serpong, Indonesia, pp C30-C35
Subiyanto B, Firmanti A. 2004. Perspective of the sustainable production and effective
utilization of tropical forest resource in Indonesia, and the role of LIPI-JSPS core
university program. Proceeding of the Fifth International Wood Science Seminar,
Kyoto, Japan, pp 18-24
Vick CB (1999). Adhesive Bonding of Wood Materials. In: Wood Hand Book, Wood as an
Engineering Material. Forest Products Society, Madison, USA.

199
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

KARAKTERISTIK SUMBER RETAK BAHAN PADA KOMPOSIT


SERAT ALAM-POLIESTER DENGAN VARIASI KANDUNGAN
DAN PANJANG SERAT
Ismadi dan Ismail Budiman
UPT BPP Biomaterial-LIPI, Jl. Raya Bogor KM 46 Cibinong - Bogor

ABSTRAK

Pada makalah ini akan dibahas mengenai hasil penelitian yang telah dilakukan untuk
mengetahui karakteristik variasi kandungan dan panjang serat pada sumber retak papan
komposit serat alam-poliester. Kajian karakteristik ini menggunakan papan komposit dengan
penguat serat buah kelapa dan matriks unsaturated polyester. Asumsi yang digunakan
dalam penelitian ini adalah kondisi tunak proses bahan, luas dan bentuk sumber retak yang
seragam untuk berbagai variasi panjang serat, dan bahan yang seragam. Untuk penguat
komposit digunakan serat dengan variasi panjang serat 0,5D, D, 2D mm. Komposit dibuat
dengan cara mencampurkan polyester dan serat kelapa dengan konsentrasi serat 5 %, 10%
dan 15% dari berat komposit. Setelah itu dikondisikan dalam temperatur ruang selama 1
minggu dan dioven 60 0C selama 24 jam dan diuji tarik sesuai dengan standar ASTM D638-
2000. Untuk mengetahui pengaruh dari retakan terhadap kekuatan papan komposit maka
spesimen uji diberi lubang berdiameter 5 mm yang diasumsikan sebagai sumber retak bahan
komposit. Penambahan serat dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan papan
komposit menyerap energi yang diterima sehingga papan komposit yang memiliki sumber
cacat bersifat lebih tangguh dan tidak getas. Hasil yang diperoleh pada papan kontrol
adalah 11,95 MPa untuk kekuatan tarik, 0,949 GPa untuk modulus elastisitas dan energi
serapan 21,49 x 10-6 Joule. Penambahan konsentrasi serat 15 % dengan panjang serat 0,5
D mm dapat meningkatkan nilai energi serapan sampai 33,8% kali dari nilai papan kontrol,
nilai kekuatan tarik sebesar 18,37 MPa dan modulus elastisitas 1,88 GPa. Untuk panjang
serat D mm diperoleh hasil optimal pada konsentrasi serat 15 % yaitu dapat meningkatkan
energi serapan sebesar 112,65 % dari nilai papan control. Untuk panjang serat 2D mm
diperoleh hasil optimal pada konsentrasi serat 15 % yaitu dapat meningkatkan energi
serapan sebesar 76,77% dari nilai papan control, kekuatan tarik sebesar 17,55 MPa dan
modulus elastisitas 1,38 GPa.

Kata kunci : komposit, sumber retak, serat alam.

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Dalam teknologi desain konstruksi dan peralatan, karakteristik bahan mempunyai
peranan yang sangat penting. Kelemahan yang dimiliki bahan sejak awal diperhatikan dan
ditekan seminimal mungkin sehingga tidak menyebabkan terjadinya kegagalan rancang
bangun. Salah satu kelemahan yang sangat diperhatikan adalah sumber cacat berupa retak
yang dimiliki oleh bahan pada saat proses produksi dan pengerjaan. Hal ini terjadi pada
semua proses produksi dan pengerjaan bahan, baik bahan yang berasal dari logam, kayu
maupun polimer. Dengan melihat kekuatan mekanik berbagai serat alam yang rata-rata di
atas 50 MPa, diharapkan dapat menyerap energi yang diterima akibat adanya cacat saat
proses manufaktur papan komposit, sehingga dapat menaikkan sifat fisik mekanik dari
papan komposit. Berbagai penelitian untuk mengetahui karakteristik komposit dengan serat
alam telah banyak dilakukan.
Bledzki dan Gassan (1999) melakukan penelitian mengenai komposit dengan
penguat berbagai jenis serat alam. Dalam penelitian tersebut dibahas mengenai karakteristik
serat sebagai penguat dan berbagai metode untuk meningkatkan sifat fisik mekanik
komposit.

200
BIOKOMPOSIT

Nystrom et al. (2007) melakukan penelitian mengenai struktur mikro dan kekuatan
komposit serat alam hasil injeksi. Penelitian tersebut mengkaji pengaruh dari orientasi serat,
distribusi panjang serat, dan ikatan serat dengan matriks terhadap kekuatan komposit serat
alam. Penelitian ini menyatakan bahwa rasio panjang serat terhadap diameternya (l/d)
memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kekuatan koposit serat alam. Sedangkan
kekuatan serat hanya memberikan pengaruh yang kecil terhadap kekuatan komposit serat
alam bila ikatan antar serat dan matriksnya lemah.
Kumar et al. (2007) melakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui sifat fisik
mekanik komposit serat gelas dengan polypropylene yang dibuat menggunakan mesin
injeksi. Penelitian tersebut menggunakan serat gelas yang memiliki rasio panjang terhadap
diameternya (l/d) diatas 100. Penambahan panjang serat dapat meningkatkan kekuatan
mekaniknya sebesar 3-8 %.
Dalam makalah ini akan dipaparkan hasil penelitian mengenai karakteristik sumber
retak bahan komposit dengan berbagai variasi konsentrasi dan ukuran serat.

Landasan Teori
Pada saat pembebanan, material uji mendapatkan energi yang ditahan oleh
komponen-komponen penyusunnya. Dalam bahan komposit yang berfungsi sebagai
penahan energi adalah komponen seratnya yang diasumsikan bahwa serat memiliki sifat
mekanik yang lebih tinggi daripada matriksnya. Bahan akan mengalami kerusakan akibat
dari energi yang diterima pada saat pembebanan. Terdapat dua jenis kerusakan pada
komposit akibat dari pembebanan, yaitu fiber failure mode dan matrics failure mode
(Gibson;1994) ditunjukkan oleh Gambar 1.

(a) (b)

Fig.1. Composite material failure mode ; a) fiber failure mode, b) matrix failure mode.

Bahan komposit akan mengalami kerusakan jenis fiber failure mode bila kekuatan
serat lebih kecil dari kekuatan matriksnya. Apabila serat tidak memiliki kekuatan yang cukup
untuk menyerap semua energi yang diterima, maka energi tersebut akan diteruskan. Titik
mula kegagalan penyerapan energi ini akan berakibat pada kerusakan seluruh bagian
komposit. Untuk menghitung besarnya energi yang diserap oleh material yang mendapatkan
pembebanan, Gibson (1994) mengajukan persamaan sebagai berikut:

Es 4atJ s ....................................................... (1)


dengan Es adalah energi serap (J),
a adalah setengah panjang retak awal (m)
t adalah tebal bahan (m)
dan Js adalah energi permukaan bahan per luasan (J/m2)

201
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Nilai dari energi permukaan (Js ) dapat dicari dengan menggunakan persamaan berikut ini :

SV 2 a
Js ...................................................... (2)
2E

dengan V adalah tegangan yang diterima dan E adalah modulus elastisitas bahan.

BAHAN DAN METODE

Serat yang digunakan adalah serat kelapa yang dipotong-potong sesuai dengan
variasi serat terhadap diameter lubang sumber retak, yaitu 0,5D, D, dan 2 D mm. Diameter
lubang ipada komposit yang dianggap sebagai sumber cacat retak adalah 5 mm.
Selanjutnya serat di masukkan ke dalam oven selama 24 jam pada suhu 60 0C. Kadar air
serat yang digunakan adalah 2,7% dan memiliki massa jenis 0,87 gram/cm3, kekuatan tarik
137 MPa dan modulus elastisitas 4,2 GPa (Munawar; 2008). Sebagai matriks digunakan
resin unsaturated polyester 157 dengan massa jenis 1,2 gram/cm3 dan hardener Methyl
Ethyl Keton Peroxyde (MEKPO) dengan kadar 3% berat resin dari PT. Justus Kimia Raya.
Sampel uji komposit dibuat dengan mengacu pada prinsip metode SRIM (Structur
Reaction Injection Molding). Prinsip dasar dari metode ini adalah mencampurkan bahan-
bahan komposit untuk selanjutnya dimasukkan ke dalam cetakan. Cetakan yang digunakan
adalah cetakan terbuka dengan bentuk sampel uji tarik dalam standar ASTM D 638-2000.
Untuk mengetahui pengaruh sumber retak awal, maka sampel uji dilubangi dengan diameter
5 mm dengan asumsi bahwa lubang tersebut merupakan sumber retak bahan. Sebagai
kontrol 1 digunakan sampel papan poliester 100. Setiap variasi berbeda diambil 5 buah
sampel untuk uji tarik. Perhitungan nilai energi serapan dan energi permukaan bahan
digunakan persamaan 1 dan 2.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Setelah dilakukan pengujian terhadap sampel komposit maka diperoleh data hasil uji
tarik komposit seperti yang ditunjukkan oleh Tabel. 1. Terlihat bahwa sampel komposit
kontrol memiliki nilai kekuatan tarik dan modulus elastisitas yang lebih kecil daripada nilai
yang ditunjukkan oleh sampel komposit.

Table 1. Mechanical Properties of Composite Boards

No Variable of Composite Tensile Strength Modulus of Elasticity Strain


Boards (MPa) (GPa) (%)
1 Control 11,95 0,949 2,49
2 Fiber length 0.5D
a. Fiber contains 5% 11,59 1,17 2,04
b. Fiber contains 10% 17,03 1,67 2,13
c. Fiber Contains 15% 18,37 1,80 2,88
3 Fiber length D
a. Fiber contains 5% 20,20 1,78 2,62
b. Fiber contains 10% 15,37 1,59 1,65
c. Fiber Contains 15% 19,32 1,35 2,35
4 Fiber length 2D
a. Fiber contains 5% 13,99 1,44 1,64
b. Fiber contains 10% 16,68 1,73 2,26
c. Fiber Contains 15% 17,55 1,39 2,52

202
BIOKOMPOSIT

Terlihat dari Tabel 1. bahwa nilai kekuatan tarik dari variasi serat 0.5D, D dan 2D mm
cenderung mengalami kenaikan untuk setiap penambahan konsentrasi seratnya. Nilai dari
masing-masing variasi konsentrasi dan panjang serat telah melebihi nilai komposit control.
Modulus elastisitas dari bahan komposit terlihat makin tinggi seiring dengan
penambahan konsentrasi serat, seperti yang ditunjukkan dalam Tabel 1. Modulus elastisitas
dari semua variasi konsentrasi dan panjang serat memiliki nilai yang lebih tinggi dari
komposit kontrol.
Dengan penambahan serat 5% pada komposit dengan serat panjang 0,5D, D, dan
2D modulus elastisitas komposit naik sebesar 23 %, 87% dan 52% dari nilai modulus
elastisitas papan kontrol. Untuk konsentrasi serat 10%, nilai modulus elastisitas komposit
dengan panjang serat 0.5D, D dan 2D naik sebesar 76%, 67% dan 82% terhadap nilai
modulus elastisitas komposit kontrol. Untuk konsentrasi serat 15%, komposit dengan serat
panjang 0.5 D, D dan 2D memiliki nilai modulus elastisitas masing-masing sebesar 90%, 42
% dan 46 % dari nilai modulus elastisitas kontrol. Nilai regangan untuk setiap variasi
konsentrasi dan panjang serat dalam Tabel 1. tidak berbeda secara mencolok yaitu berkisar
1,65 ~ 2,88 %. Hal ini menunjukkan bahwa dengan adanya penambahan serat belum
menaikkan sifat lentur komposit.
Untuk mengetahui besarnya redaman energi akibat penambahan serat, perlu dihitung
besarnya energi serapan dari setiap variasi komposit. Untuk menghitung besarnya energi
serapan, energi permukaan dan tegangan kritis digunakan persamaan 1, dan persamaan 2.
Besarnya energi serapan, energi permukaan dan tegangan kritis dari setiap variasi komposit
ditunjukkan pada Tabel 2.
Nilai dari energi serapan papan komposit dengan berbagai variasi panjang dan
konsentrasi serat terlihat lebih besar dari komposit control. Hal ini berdampak pada nilai
kekuatan tarik pada komposit polyester-serat kelapa. Nilai energi serapan yang paling besar
terjadi pada komposit dengan panjang serat D, dalam konsentrasi 15% yaitu sebesar 45, 7 x
10-6 J.
Dari Tabel 1 dan 2 terlihat hubungan antara nilai modulus elastisitas (E) dengan nilai
energi serapan (Es). Terlihat bahwa nilai energi serapan akan kecil apabila modulus
elastisitasnya bernilai besar. Hubungan ini terlihat jelas pada setiap komposit dengan
konsentrasi serat 10%. Nilai energi serapan untuk komposit dengan konsentrasi serat 10%
cenderung rendah, dan nilai modulus elastisitasnya cenderung lebih tinggi dari variasi serat
5% dan 15%. Pada Tabel 2 juga terlihat bahwa nilai energi serapan semakin meningkat
seiring dengan banyaknya konsentrasi serat yang ditambahkan pada papan komposit.
Dengan meningkatnya energi serapan, maka komposit dapat menerima energi pembebanan
yang lebih besar dan bisa didistribusikan ke seluruh komponen bahan sehingga mencapai
batas nilai maksimum (ultimate strength).

Table 2. Absorbed Energy, Surface Energy and Critical Strenght of Composite Boards

Surface Energy Absorbed Energy


No Variable of Composite Boards
( x 10-3 J/m2) ( x 10-6 J)
1 Control 0,59 21,49
2 Fiber length 0.5D
a. Fiber contains 5% 0,59 22,01
b. Fiber contains 10% 0,66 25,18
c. Fiber Contains 15% 0,77 28,76
3 Fiber length D
a. Fiber contains 5% 0,93 40,11
b. Fiber contains 10% 0,64 25,44
c. Fiber Contains 15% 1,18 45,70
4 Fiber length 2D
a. Fiber contains 5% 0,6 24,37
b. Fiber contains 10% 0,65 24,64
c. Fiber Contains 15% 0,98 37,99

203
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

KESIMPULAN

Adanya lubang berdiameter 5 mm yang diasumsikan sebagai sumber cacat retak


pada komposit kontrol telah menurunkan nilai kekuatan tarik dan modulus elastisitas.
Penambahan konsentrasi serat pada komposit poliester-serat mampu menaikkan nilai
kekuatan tarik komposit meskipun belum signifikan. Komposit poliester-serat mencapai nilai
optimum untuk nilai modulus elastisitas pada konsentrasi 15% dengan variasi panjang serat
0,5D, D, dan 2D. Penambahan serat pada komposit poliester-serat mampu menaikkan nilai
energi serap komposit.

UCAPAN TERIMA KASIH

Terima kasih disampaikan kepada Dr. Subyakto, M.Sc selaku kepala laboratorium
Biokomposit UPT BPP Biomaterial, Sudarmanto, FazHar dan rekan teknisi serta semua
pihak yang telah memberikan bantuan dalam pelaksanaan penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

ASTM Standard D 638-2000. Standard Test Method for Tensile Properties of Plastics.
[ASTM]. Pennsylvania, United States of America.
Bledzki.A.K, Gassan. J. 1999. Composites Reinforced with Cellulose Based Fibres. Progress
in Polymer Science.vol.24 : 221-274.
Gibson. R. F. 1994. Principles of Composite Material Mechanics. McGraw Hill.Inc.
Singapore.
Kumar. K. Senthil., Bhatnagar. N, Ghosh. Anup. K. 2007. Mechanical Properties of Injection
Molded Long Fiber Polypropylene Composites, Part 1; Tensile and Flexural
Properties. Society of Plastic Engineers. New Delhi. India
Mazumdar. Sanjay. K. 2001. Composites Manufacturing Materials, Product and Process
Engineering. CRC Press. Boca Raton.
Mohanty. Amar K., M. Misra, L.T. Drzal. 2005. Natural Fibers, Biopolymers, and
Biocomposites. CRC Press. Boca Raton.
Munawar. S. S. 2008. Properties of Non Wood Plant Fiber Bundles and The Development of
Their Composites. A Dissertation on Department of Forestry and Biomaterials
Science, Graduate School of Agriculture Kyoto University. Kyoto. Japan.
Nystrom. B., R. Joffe., R. Langstrom. 2007. Microstructure and Strength of Injection Molded
Natural Fibe Composites. Journal of Reinforced Plastics and Composites.vol 26, no.
6/2007.
Sperling. L. H. 2006. Introduction to Physical Polymer Science. John Willey & Sons, Inc. New
Jersey.

204
BIOKOMPOSIT

PENGEMBANGAN PAPAN KOMPOSIT DARI LIMBAH


PERKEBUNAN SAGU (Metroxylon sago Rottb.)

Sukma S Kusumah1*, Ruslan2, M Daud3, Ika Wahyuni1, Teguh Darmawan1, Yusup


Amin1, Muh. Y. Massijaya4, dan Bambang Subiyanto5
1
UPT BPP Biomaterial, LIPI, Cibinong Science Centre
Jl. Raya Bogor KM 46, Cibinong 16911, Indonesia
2
Balai Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pekerjaan Umum, Makasar
3
Fakultas Kehutanan, Universitas Hasanudin, Makasar
4
Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor (IPB), Bogor
5
Pusat Inovasi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jakarta
*email:sukma.surya@biomaterial.lipi.go.id

ABSTRAK

Perhatian akan limbah perkebunan sebagai alternatif bahan baku pembuatan papan
komposit terus meningkat, salah satunya limbah perkebunan sagu. Penelitian ini bertujuan
untuk optimalisasi pemanfaatan pelepah sagu sebagai bahan baku papan komposit dengan
menentukan jenis perekat dan kadar perekat optimum dalam pembuatan papan komposit.
Papan komposit berkerapatan sedang telah dibuat dari zephyr pelepah sagu untuk dianalisis
pengaruh jenis perekat dan kadar perekat terhadap karakteristik papan komposit. Papan
dibuat dengan menggunakan perekat poliuretan (PU) dan penol formaldehida (PF) dengan
kadar perekat sebagai berikut: 10%, 12%, dan 14%.Sifat fisis dan mekanis papan diuji
menggunakan standar JIS A 5908 2003. Berdasarkan hasil penelitian, papan komposit
dengan perekat PU pada kadar perekat 14% memiliki sifat fisis dan mekanis yang lebih baik
dibandingkan dengan papan komposit lainnya.Oleh karena itu, papan komposit terbaik yang
dihasilkan dapat digunakan sebagai bahan bangunan dan mebel.

Kata kunci : Sagu, zephyr, Poliuretan, Penol formaldehida, Kadar perekat.

PENDAHULUAN

Pada akhir-akhir ini banyak ilmuwan melakukan penelitian tentang sumber daya
tanaman kurang dimanfaatkan sebagai alternatif sumber bahan pangan dunia seiring
dengan isu yang beredar di masyarakat tentang kemungkinan kekurangan pangan global
dalam tahun-tahun mendatang. Dalam hal ini, sagu (Metroxylon sagu) menjadi penting
keberadaannya sebagai tanaman pangan yang unggul dan tanaman penghasil pati di abad
ke 21, karena merupakan tanaman yang berkelanjutan serta dapat tumbuh pada kondisi
tanah yang ekstrim (Singhal et al. 2008, Limbongan 2007). Indonesia merupakan negara
yang memiliki luasan sekitar 50% dari sagu dunia dan 85% diantaranya terdapat di Papua.
Di Indonesia, sagu telah lama dikenal sebagai makanan pokok di beberapa daerah seperti
Maluku, Irian Jaya, Sulawesi, Riau, Kepulauan Mentawai dan sebagainya. Selain daripada
itu, hutan sagu berpotensi sebagai penyimpan karbon yang berperan dalam mengurangi
emisi dari deforestasi dan degradasi, serta berperan penting dalam konservasi terhadap
plasma nutfah berbagai jenis sagu maupun konservasi terhadap pohon-pohon hutan lainnya
(Rahayu dan Harja 2011). Berdasarkan hasil perhitungan yang dilakukan oleh Rahayu dan
Harja (2011), hutan sagu dapat menyimpan karbon rata-rata 53 ton/ha tergantung pada
komposisi strata pertumbuhan sagu dan jenis pohon lain yang ada di dalamnya.
Populasi sagu yang tinggi, menyebabkan nekromasa yang tinggi juga, dan hampir
semua nekromasa pada hutan sagu berasal dari pelepah sagu yang kering. Pemanfaatan
sagu sebagian besar hanya pada bagian batang yang diambil patinya untuk pangan ataupun
non pangan, seperti substrat fermentasi aseton-butanol-etanol,biodegradable plastik,
sorbitol, MSG, asam-asam organik, dan lain-lain (Singhal et al. 2008). Sebaliknya, pelepah
sagu sebagai limbah dari pemanenan sagu dengan jumlah yang melimpah kurang optimal

205
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

dalam pemanfaatanya. Pemafaatan pelepah sagu terbatas hanya sebagai dinding dan atap
pada rumah-rumah dan bangunan tradisionaldi beberapa daerah di Indonesia (Kanro et.al
2003). Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk diversifikasi produk
dinding dan atap dari pelepah sagu dengan memodifikasi pelepah sagu sebagai bahan baku
papan komposit untuk digunakan sebagai dinding maupun atap bangunan seperti produk
papan komposit lainnya yang telah banyak digunakan oleh masyarakat, tidak terbatas pada
penggunaan dalam bangunan-bangunan tradisional. Baru-baru ini telah banyak dilakukan
penelitian tentag pengembangan pembuatan papan komposit dari bahan baku yang dapat
diperbaharui selain kayu (Chew et al. 1994, Chow et al. 1993, Chen and Hua 1991, Hiziroglu
et al. 2007, Gopar dan Sudiyani 2004). Penelitian ini bertujuan untuk optimalisasi
pemanfaatan pelepah sagu sebagai bahan baku papan komposit dengan menentukan jenis
perekat dan kadar perekat optimum dalam pembuatan papan komposit.

BAHAN DAN METODE

Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah limbah perkebunan sagu berupa
pelepah sagu yang diambil dari Makasar. Perekat yang digunakan dalam pembuatan papan
komposit ini adalah water based polyurethane (PU) dan Penol Formaldehida (PF).
Papan komposit yang dibuat berukuran 30 x 30 x 1 (cm3) yang diawali dengan
persiapan bahan, yaitu pembuatan zephyr pelepah sagu dengan menggunakan crusser (alat
pemipih) sampai pelepah menjadi pipih. Pelepah sagu yang telah dipipihkan kemudian
dikeringkan pada suhu 60 0C sampai kadar air 10%. Pelepah sagu yang telah dikeringkan
kemudian dipotong menjadi 30 cm pada arah panjang. Pelepah sagu yang telah kering dan
dipotong kemudian dicelup ke dalam perekat polyurethan (PU) dan penol formaldehida (PF)
dengan kadar perekat masing-masing adalah 10%, 12%, dan 14%. Pelepah yang telah
dicelup kemudian disusun ke samping sampai 30 cm, dan disusun ke atas sampai lima lapis
dengan target kerapatan papan 0,5 g/cm3. Pelepah yang telah tersusun kemudian dikempa
dingin untuk papan yang menggunakan perekat PU dan kempa panas untuk perekat yang
menggunakan PF dengan tekanan spesifik sebesar 25 kg/cm2 selama 24 jam untuk kempa
dingin dan 10 menit untuk kempa panas. Papan yang dibuat kemudian dikondisikan selama
2 minggu dan dilakukan pengujian karakteristik papan meliputi sifat fisis yang terdiri dari
kerapatan, kadar air (KA), pengembangan tebal (TS), daya serap air (DSA) dan sifat
mekanis yang terdiri dari keteguhan patah/Modulus of Rupture (MOR), keteguhan lentur
/Modulus of Elastisity (MOE), keteguhan rekat internal/Internal Bonding (IB), dan kekuatan
pegang skrup/screw holding (SW) mengacu pada standar JIS A 5908 2003.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kerapatan
Berdasarkan hasil pengujian, kerapatan papan berkisar antara 0,49 0,61 g/cm3
berada pada kisaran kerapatan target papan yaitu 0,5 g/cm3 dan jika kita lihat berdasarkan
kerapatan papan pada standar JIS A 5908 2003, papan tersebut termasuk pada klasifikasi
base particleboard. Nilai rata-rata Kerapatan papan dapat dilihat pada Gambar 1.

206
BIOKOMPOSIT

Gambar 1. Histogram Kerapatan Papan Komposit dari Pelepah Sagu, PU = Poliuretan,


PF = Penol Formaldehid

Papan komposit yang dihasilkan dalam penelitian ini termasuk kedalam kategori
papan partikel berkerapatan sedang (0,55 0,70 g/cm3) (ANSI 208.1 2009).

Kadar Air
Papan komposit pelepah sagu pada semua perlakuan memiliki nilai kadar air yang
sesuai dengan standar JIS A 5908 2003, yaitu kurang dari 14 % berkisar antara 9,9%
13,76%, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.

Gambar 2. Histogram Kadar Air Papan Komposit Pelepah Sagu, PU = Poliuretan,


PF = Penol Formaldehida

Pada histogram kadar air terlihat bahwa papan komposit pelepah sagu dengan
perekat PF pada berbagai kadar perekat memiliki nilai kadar air yang relatif sama,
sedangkan papan komposit pelepah sagu dengan perekat PU memiliki kadar air yang relatif
berbeda pada kadar perekat yang berbeda, terutama terlihat antara kadar perekat 10%
dengan 14%. Kadar air pada papan komposit dengan perekat PU 14% memiliki nilai kadar
air yang lebih tinggi dibandingkan dengan papan komposit dengan perekat PU pada kadar
perekat yang lain, hal ini disebabkan penambahan air yang lebih banyak pada pengenceran
perekat PU yang memiliki kadar padatan (solid content) 80%. Selain daripada itu, papan
komposit dengan perekat PU memiliki kadar air yang lebih tinggi dibandingkan papan

207
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

komposit yang menggunakan perekat PF, hal ini disebabkan karakteristik perekat PU yang
berbahan dasar air lebih mengikat air pada saat ditambahkan air untuk pengenceran,
sehingga banyak ikatan hidrogen yang terjadi antara perekat dengan serat pada pelepah
sagu.

Pengembangan Tebal
Nilai pengembangan tebal papan komposit pelepah sagu yang dibuat pada semua
perlakuan memenuhi standar minimal yang disyaratkan JIS A 5908 2003, yaitu kurang dari
25% berkisar dari 13,89% - 23,93%. Nilai rata-rata pengembangan tebal masing-masing
papan dapat dilihat pada Gambar 3.
Dari histogram pengembangan tebal terlihat bahwa semakin tinggi kadar perekat
yang ditambahkan pada papan komposit nilai pengembangan tebal papan semakin rendah,
yang menandakan semakin bagus kualitas perekatannya. Secara umum, papan dengan
perekat PU pada semua tingkat kadar perekat memiliki nilai pengembangan tebal yang lebih
rendah dibandingkan dengan papan yang menggunakan perekat PF. Hal ini terjadi karena
distribusi perekat PU lebih merata pada semua bagian pelepah sagu yang dilaburi perekat,
mulai dari bagian permukaan pelepah sampai kebagain dalam pelepah sagu sehingga
semua bagian terlaburi perekat dengan sempurna baik pada bagian serat maupun pada
bagian gabus, sedangkan pada papan dengan perekat PF terjadi sebaliknya, karena perekat
PF lebih cepat mngering dibandingkan perekat PU setelah dilakukan pengenceran dengan
air sehingga sebagian besar perekat PF terdistribusi pada bagian permukaan pelepah sagu.

Gambar 3. Histogram Pengembangan Tebal Papan Komposit Pelepah Sagu,


PU = Poliuretan, PF = Penol Formaldehida

Daya Serap Air


Daya serap air papan komposit berkisar antara 52,29% - 98,73%, secara umum rata-
rata nilai daya serap air papan komposit semakin menurun seiring dengan menigkatnya
kadar perekat yang ditambahkan pada pembuatan papan komposit. Pada histogram daya
serap air terlihat bahwa papan komposit yang menggunakan perekat PU memiliki nilai daya
serap air yang lebih kecil dibandingkan dengan papan yang menggunakan perekat PF, hal
ini mengindikasikan bahwa ketahanan papan yang menggunakan perekat PU terhadap air
(kondisi basah) lebih bagus dibandingkan dengan papan yang menggunakan perekat PF.
Penyebab rendahnya nilai daya serap air papan komposit yang menggunakan perekat PU
adalah distribusi perekat yang lebih merata pada semua bagian pelepah sagu dibandingkan
dengan perekat PF, seperti yang telah dibahas pada bagian pengembangan tebal papan
komposit. Nilai lengkap daya serap air papan komposit dapat dilihat pada Gambar 4.

208
BIOKOMPOSIT

Gambar 4 Histogram Daya Serap Air Papan Komposit Pelepah Sagu, PU = Poliuretan,
PF = Penol Formaldehida

Keteguhan Patah/MOR
Papan komposit pada semua perlakuan memiliki nilai rata-rata MOR yang memenuhi
standar JIS A 5908 2003, yaitu lebih besar dari 10 MPa berkisar antara 12,91 MPa 16,17
MPa. Begitu juga pada pengujian dalam kondisi basah, papan komposit memiliki nilai MOR
yang lebih besar dari MOR minimal (> 5 MPa) yang disyaratkan dalam standar JIS A 5908
2003, yaitu berkisar dari 8,4 MPa 12,97 MPa seperti yang disajikan pada Gambar 5.

Gambar 5 Histogram Keteguhan Patah Papan Komposit Pelepah Sagu, PU = Poliuretan,


PF = Penol Formaldehida, b = kondisi basah

Papan komposit yang menggunakan perekat PU memiliki nilai MOR yang relatif lebih
tinggi dibandingkan dengan papan komposit lainnya. Hal ini disebabkan distribusi perekat
PU yang lebih merata pada semua bagian pelepah sagu dibandingkan perekat PF sehingga
pada bagian gabus dari pelepah sagu menjadi lebih padat dibandingkan bagian gabus yang
tidak terlaburi perekat yang mengakibatkan peningkatan dalam menahan beban yang
diberikan, terutama pada pengujian bending kondisi basah, sedangkan pada pengujian
bending kondisi kering perbedaan nilai MOR tidak berbeda secara nyata. Kondisi ini terjadi
karena pada pengujian kondisi basah bagian gabus yang tidak terkena perekat menjadi
mengembang sehingga kepadatan bagian gabus berkurang. Papan komposit dari pelepah
sagu memiliki nilai rata-rata MOR realtif lebih tinggi jika dibandingkan dengan papan partikel
dari pelepah sawit tanpa perekat (+ 12 Mpa) dan papan partikel yang ada dipasaran (Hashim
et.al. 2011, Kusumah dan Massijaya 2005)

209
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Keteguhan Lentur/MOE
Keteguhan lentur papan komposit berkisar dari 625 MPa 1547 MPa pada pengujian
kondisi kering dan 197 MPa 748 MPa pada pengujian kondisi basah. Berbeda dengan
MOR papan komposit, MOE papan komposit tidak seluruhnya memenuhi standar JIS A 5908
2003, hanya papan dengan kadar perekat 14% pada perekat PU yang memiliki nilai MOE
yang sesuai dengan standar, yaitu lebih dari 1300 MPa seperti yang disajikan pada Gambar
6.

Gambar 6. Histogram Keteguhan Lentur Papan Komposit Pelepah Sagu, PU = Poliuretan,


PF = Penol Formaldehida, b = kondisi basah

Seperti pada nilai rata-rata MOR papan komposit, nilai rata-rata MOE papan
komposit yang menggunakan perekat PU lebih besar dibandingkan dengan papan komposit
yang menggunakan perekat PF dan nilai MOE papan komposit semakin meningkat seiring
dengan penambahan kadar perekat yang semakin tinggi. Hal ini terjadi selain dari sifat
komponen gabus penyusun pelepah sagu juga disebabkan oleh banyaknya perekat yang
terpenetrasi sampai kebagian gabus dari pelepah sagu.

Keteguhan Rekat Internal/Internal Bonding (IB)


Papan komposit yang menggunakan perekat PU pada semua tingkat kadar perekat
memiliki nilai keteguhan rekat internal yang sesuai dengan standar JIS A 5908 2003, yaitu
lebih besar dari 0,3 MPa berkisar dari 0,2 MPa 0,5 MPa, sedangkan papan komposit yang
menggunakan perekat PF hanya papan dengan kadar perekat 14% yang memenuhi standar
dengan nilai IB sebesar 0,4 Mpa. Secara umum, papan komposit yang menggunakan
perekat PU memiliki nilai IB yang lebih tinggi dibandingkan dengan papan komposit yang
menggunakan perekat PF, hal ini menunjukkan bahwa kekuatan ikat antara perekat dan
sirekat yang tinggi pada papan komposit dengan perekat PU. Hal ini disebabkan oleh
beberapa faktor yang berpengaruh terhadap kualitas perekatan, diantaranya distribusi
perekat yang lebih merata dan penetrasi perekat yang lebih dalam sampai pada bagian
gabus, sehingga pada saat dikempa bagian gabus yang terkena perekat menjadi padat dan
tidak kembali kebentuk semula akibat perekat yang terdapat pada bagian gabus menjadi
seting setelah proses pengempaan. Nilai rata-rata IB masing-masing papan disajikan pada
Gambar 7.

210
BIOKOMPOSIT

Gambar 7 Histogram Keteguhan Rekat Internal Papan Komposit Pelepah Sagu,


PU = Poliuretan, PF = Penol Formaldehida

Kekuatan Pegang Skrup (SW)


Keteguhan pegang skrup papan komposit pada semua perlakuan tidak memenuhi
standar minimal yang disyaratkan JIS A 5908 2003. Nilai keteguhan skrup papan komposit
berkisar dari 84,45 MPa 148,31 MPa. Rendahnya nilai kekuatan pegang skrup papan
komposit disebabkan karena sedikitnya komponen serat yang terdapat pada pelepah sagu
dibandingkan komponen gabus sehingga skrup yang terpasang pada papan hanya sedikit
yang tertahan oleh serat, yaitu pada bagian permukaan papan. Oleh karena itu, hanya
sedikit bagian pengaku pada papan komposit ini. Nilai rata-rata kekuatan pegang skrup
masing-masing papan komposit disajikan pada Gambar 8.

Gambar 8. Histogram Kekuatan Pegang Skrup Papan Komposit Pelepah Sagu,


PU = Poliuretan, PF = Penol Formaldehida

KESIMPULAN

Papan komposit dari zephyr pelepah sagu termasuk kedalam papan partikel
berkerapatan sedang. Papan komposit yang menggunakan perekat poliuretan (PU) dengan
kadar perekat 14% memiliki sifat fisis dan mekanis papan yang lebih baik dibandingkan
dengan papan komposit lainnya, serta memenuhi standar JIS A 5908 2003, kecuali pada
sifat kuat pegang skrup. Oleh karena itu, dibutuhkan penelitian lanjutan untuk memperbaiki
kuat pegang skrup dengan menambahkan lapisan vinir pada bagian permukaan papan atau
memodifikasi komposisi papan antara bagian serat dan bagian gabus dari pelepah sagu.
Berdasarkan sifat fisis dan mekanis papan komposit, papan komposit dari pelepah sagu
dapat digunakan untuk bahan bangunan dan mebel seperti partisi pada dinding rumah, daun
pintu, meja, lemari, atap, dan lain-lain.

211
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

DAFTAR PUSTAKA

[ANSI] American Natonal Standard for Industry. 2009. Industry Standard for Particleboard-
ANSI 208.1-2009. Corporate Panel Association. USA.
Chen, G.Q., Hua, Y.K., 1991. A study of new bamboo-based composite panel. J. Bamboo
Res. 10 (4), 7278.
Chew, L.T., Narulhuda, M.N., Jamaludin, K., 1994. Urea particleboard from Bambusa
vulgaris. Bamboo in Asia and the Pacic. In: Proceedings of the 4th International
Bamboo Workshop, Chaing Mai, Thailand.
Chow, P., Bagy, M.O., Youngquist, J.A., 1993. Furniture panels made from kenaf stalks,
wood waste, and selected crop ber residue. In: Proceedings of the 5th International
Kenaf Conference, California State University at Fresno, Fresno, CA.
Gopar M dan Y Sudiyani. 2004. Perubahan sifat fisik dan mekanis panel zephyr bambu
setelah uji pelapukan cuaca. J. Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis 4(1): 28-32.
Hashim R, et.al. Characterization of raw materials and manufactures binderless particleboard
from oil palm biomass. Material and Design Journal 32: 246-254.
Hiziroglu, S., Bauchongkol, P., Fueangvivat, V., Soontonbura, W., Jarusombuti, S., 2007.
Selected properties of medium density berboard (MDF) panels made from bamboo
and rice straw. Forest Prod. J. 57 (6), 4650.
Kanro Z M, et al. 2003. Tanaman sagu dan pemanfaatannya di Propinsi Papua. J. Litbang
Pertanian 22(3): 116-124.
Kusumah S S dan M Y Massijaya. 2005. Analisis kelayakan teknis papan partikel dari limbah
kayu dan karton gelombang. Jurnal Teknologi Hasil Hutan. Institut Pertanian Bogor
18: 36-39.
Limbongan J. 2007. Morfologi beberapa jenis sagu potensial di Papua. J. Litbang Pertanian
26(1): 16-24.
Rahayu S dan D Harja. 2011. Hutan sagu: potensinya dalam REDD+.
http://kiprahagroforestri.blogspot.com/2011/01/hutan-sagu-potensinya-dalam-
redd.html. [23Januari 2011].
Singhal R. S et al. 2008. Industrial production, processing, and utilization of sago palm-
derived products. J. Carbohydrate Polymers 72: 1-20.

212
BIOKOMPOSIT

KETAHANAN PAPAN PARTIKEL LIMBAH KAYU MAHONI DAN


SENGON DENGAN PERLAKUAN PENGAWETAN ASAP CAIR
TERHADAP SERANGAN RAYAP KAYU KERING
Cryptotermes cynocephalus Light.
Agus Ngadianto1, Ragil Widyorini2 dan Ganis Lukmandaru2
1
Mahasiswa Pascasarjana Fakultas Kehutanan UGM, Yogayakarta
2
Staf Pengajar, Fakultas Kehutanan UGM, Yogyakarta

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini adalah mengetahui pengaruh perlakuan pengawetan dengan


asap cair terhadap sifat papan partikel limbah kayu mahoni dan sengon serta ketahanannya
terhadap serangan rayap kayu kering Cryptotermes cynocephalus Light. Papan partikel
dibuat dari limbah penggergajian kayu mahoni dan sengon dengan perlakuan pengawetan
pada berbagai konsentrasi bahan pengawet asap cair (tanpa perlakuan, 0%, 2,5% dan 5%).
Perlakuan pengawetan dilakukan dengan metode perendaman dingin selama 24 jam pada
bahan baku partikelnya. Selanjutnya dilakukan pembuatan papan partikel dengan
menggunakan suhu pengempaan 150oC selama 10 menit. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa keteguhan rekat internal papan partikel mahoni dan sengon masih memenuhi standar
JIS A 5908, walaupun dibuat dari partikel yang telah mengalami perlakuan pengawetan
sebelumnya. Ketahanan papan partikel mahoni dan sengon tertinggi diperoleh setelah
perlakuan partikel dengan pengawet asap cair pada konsentrasi 5% dimana diperoleh nilai
mortalitas rayap sebesar 87% pada papan partikel mahoni dan 58% pada papan partikel
sengon. Nilai kehilangan berat yang diperoleh sebesar 0,565% pada papan partikel mahoni
dan 0,856% pada papan partikel sengon.

Kata kunci : papan partikel, konsentrasi bahan pengawet, asap cair, kayu mahoni, kayu
sengon

PENDAHULUAN

Papan partikel merupakan salah satu produk papan tiruan yang banyak digunakan
oleh masyarakat sebagai pengganti kayu yang ketersediaannya semakin terbatas. Kelebihan
produk ini antara lain papan partikel bebas cacat seperti mata kayu, ukuran dan
kerapatannya dapat disesuaikan dengan kebutuhan, mempunyai sifat isotropis, serta sifat
dan kualitasnya dapat diatur. Sementara itu, kelemahan produk papan partikel ini antara lain
stabilitas dimensinya yang rendah sehingga sangat besar pengaruhnya pada pemakaian
terutama bila digunakan sebagai bahan bangunan (Haygreen dan Bowyer, 1996). Pada saat
ini terdapat 19 buah industri pembuatan papan partikel di Indonesia. Industri ini
memanfaatkan limbah kayu dari industri pengolahan kayu sebagai bahan bakunya (Sutigno
dalam Yuliansyah, 2001). Mahoni dan sengon merupakan jenis kayu yang banyak digunakan
dalam industri pengolahan kayu di Indonesia sehingga dapat diasumsikan bahwa limbah
yang dihasilkan dari kedua jenis kayu ini sangat tinggi sehingga dapat digunakan sebagai
bahan pembuatan papan partikel yang sangat potensial.
Dalam pembuatan papan partikel, faktor-faktor yang harus diperhatikan karena
berpengaruh terhadap sifat dan kekuatan papan partikel tersebut adalah jenis bahan, tipe
dan ukuran partikel, penyebaran partikel, jenis dan jumlah perekat, kerapatan papan partikel,
kadar air partikel dan perekatan partikel serta proses pembuatannya (Kollman et al. 1975).
Jenis perekat yang umum digunakan dalam pembuatannya adalah perekat sintetis berbasis
formaldehida, salah satunya adalah urea formaldehida. Selain sifat dan kekuatan papan
partikel, sifat ketahanan dan keawetannya juga perlu diperhatikan agar memberikan umur
pakai yang lebih lama dari produk ini. Usaha peningkatan keawetan papan partikel telah

213
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

banyak dilakukan melalui pengawetan bahan baku kayunya, penambahan bahan pengawet
pada perekat, maupun pengawetan papan partikel yang sudah jadi. Alternatif bahan
pengawet yang dapat digunakan yaitu bahan pengawet yang beracun terhadap organisme
perusak kayu namun bersifat ramah terhadap lingkungan seperti asap cair. Penggunaan
asap cair sebagai bahan pengawet pada kayu solid sebelumnya telah banyak digunakan.
Sementara itu, penelitian mengenai pengawetan papan partikel menggunakan bahan
pengawet ini masih jarang dilakukan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh perlakuan pengawetan dengan
asap cair pada pembuatan papan partikel dari limbah kayu mahoni (Swietenia sp) dan
sengon (Paraserianthes sp) sehingga diperoleh kombinasi yang tepat dalam meningkatkan
sifat papan partikel serta ketahanannya terhadap serangan rayap kayu kering Cryptotermes
cynocephalus Light.

BAHAN DAN METODE

Bahan Penelitian
Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah partikel kayu mahoni
(Swietenia sp.) dan sengon (Paraserianthes sp). Partikel kayu tersebut disaring sehingga
lolos saringan 0,5 cm x 0,5 cm dan tertahan saringan ukuran 40 mesh serta dikeringkan
sampai mencapai kadar air kering udara. Bahan pengawet yang digunakan adalah asap cair
dengan kandungan asam asetat sebanyak 53,37% dan fenol sebanyak 38,67%. Perekat
yang digunakan dalam pembuatan papan partikel ini adalah urea formaldehida.

Perlakuan Pendahuluan
Perlakuan pendahuluan terhadap partikel kayu dilakukan dengan perendaman
partikel kayu kedalam larutan bahan pengawet dengan berbagai perlakuan pengawetan
yaitu tanpa perlakuan pengawetan, perlakuan pengawetan dengan konsentrasi asap cair 0
%; 2,5 %; dan 5 % selama 24 jam, setelah itu partikel dikeringkan sampai mencapai kadar
air kering udara dan siap dicampur dengan perekat urea formaldehida dengan jumlah
perekat 7,5%. Sebelum dan sesudah perlakuan pengawetan, berat partikel ditimbang
sehingga diperoleh persen pertambahan beratnya (WPG, weight percent gain).

Pembuatan Papan Partikel


Papan partikel dibuat dengan ukuran 25 cm x 25 cm x 1 cm dan target kerapatan 0,8
3
g/cm . Perekat urea formaldehida yang dicampurkan dengan partikel sebanyak 7,5 % dari
berat kering udara partikelnya. Papan partikel dibuat dengan kempa panas pada suhu 150oC
selama 10 menit. Untuk setiap kombinasi perlakuan dibuat tiga papan partikel sebagai
ulangan.

Pengujian Sifat Fisika dan Mekanika Papan Partikel


Pengujian sifat fisika dan mekanika papan partikel ini meliputi pengembangan tebal,
penyerapan air, keteguhan rekat internal, dan keteguhan lengkung statik (MoE dan MoR)
papan partikel. Standar pengujian yang digunakan adalah JIS A 5908-2003.

Pengujian Papan Partikel terhadap Serangan Rayap Kayu Kering


Pengujian terhadap serangan rayap kayu kering dilakukan dengan mengumpankan
50 ekor rayap kayu kering dewasa, sehat dan aktif pada contoh uji papan partikel selama 6
minggu. Mortalitas rayap dihitung dengan membandingkan jumlah rayap yang mati terhadap
jumlah rayap awal yang diumpankan dan dinyatakan dalam persen (%), sedangkan nilai
kehilangan berat contoh uji dihitung dengan membandingkan selisih antara berat awal
contoh uji sebelum pengumpanan dengan berat akhir contoh uji setelah pengumpanan
terhadap berat awal contoh uji sebelum pengumpanan yang dinyatakan dalam persen (%).

214
BIOKOMPOSIT

HASIL DAN PEMBAHASAN

Persen Pertambahan Berat Partikel ( WPG, Weight Percent Gain)


Pada perlakuan pengawetan partikel kayu, nilai persen pertambahan berat (WPG)
meningkat seiring besarnya konsentrasi bahan pengawet yang berikan (Tabel 1). Nilai
persen pertambahan berat pada partikel kayu ini terbilang kecil. Penelitian lain yang
dilakukan oleh Suryono (2009) yang mencoba mengawetkan kayu solid (kayu karet) dengan
bahan pengawet asap cair pada konsentrasi 30% ditambah borak 6% memberikan nilai
retensi sebesar 27,68 kg/m3 atau sebesar 1,72% pertambahan berat (berat jenis kayu karet
0,62). Besarnya retensi tersebut dapat memberikan nilai mortalitas rayap tanah sebesar
100%. Perbedaan nilai penambahan berat kayu setelah perlakuan pengawetan ini berbeda-
beda antar jenis kayu, hal ini kemungkinan lebih disebabkan oleh perbedaan struktur
anatomi pada masing-masing jenis kayu tersebut.

Tabel 1. Persen Pertambahan Berat Partikel Setelah Proses Pengawetan.

Perlakuan Pengawetan dengan Asap Cair


Jenis Kayu
0% 2,5 % 5%
Mahoni 0,09 0,43 0,62
Sengon 0,07 0,37 0,59

Pengujian Sifat Fisika dan Mekanika Papan Partikel


Papan partikel mahoni dan sengon pada penelitian ini seluruhnya diperoleh tanpa
mengalami delaminasi dan nilai kerapatannya telah mendekati nilai kerapatan yang dituju
yaitu 0,8 g/cm3. Kadar air papan partikel mahoni yang diperoleh berkisar antara 6,34% -
8,97% dan pada papan partikel sengon berkisar antara 6,63% - 8,39%, dimana semuanya
sudah memenuhi persyaratan JIS A 5908, sebesar 5-13%.
Pada Tabel 2, papan partikel mahoni dan sengon memberikan nilai penyerapan air
yang berbeda dimana nilai penyerapan air pada papan partikel sengon lebih tinggi
dibandingkan dengan papan partikel mahoni. Hal ini lebih disebabkan karena kayu sengon
memiliki kerapatan yang lebih rendah dibandingkan kayu mahoni sehingga sifat higroskopis
yang dimilikinya menjadi semakin besar. Secara umum, nilai penyerapan air ini tidak
disyaratkan dalam standar JIS A 5908-2003. Analisis statistik nilai penyerapan air pada
papan partikel mahoni dan sengon (Tabel 3) memberikan pengaruh yang signifikan terhadap
perlakuan pengawetan dengan asap cair dimana nilainya semakin meningkat dengan
meningkatnya konsentrasi asap cair yang diberikan. Hal ini kemungkinan disebabkan
karena perlakuan pengawetan dengan asap cair menyebabkan bertambahnya sifat
higroskopis papan partikel.
Nilai pengembangan tebal papan partikel mahoni (Tabel 2) meningkat dengan
pertambahan konsentrasi bahan pengawet asap cair yang diberikan. Hasil analisis varians
menunjukkan bahwa faktor perlakuan pengawetan tidak memeberikan pengaruh yang nyata
pada nilai pengembangan tebal ini, namun terdapat kecenderungan nilai pengembangan
tebal yang meningkat dengan meningkatnya konsentrasi bahan pengawet asap cair serta
nilainya lebih besar pada papan partikel sengon jika dibandingkan dengan papan partikel
mahoni.

215
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Tabel 2. Nilai pengujian sifat fisika dan mekanika papan partikel mahoni dan sengon

IB MoR MoE
No Sampel Perlakuan WA (%) TS (%)
(kg/cm2) (kgf/cm2) (kgf/cm2)
1 Mahoni Tanpa Perlakuan 73,14 11,80 5,658 72,72 9.995
2 Mahoni, Pengawet 0% 78,27 17,68 5,222 68,56 10.093
3 Mahoni, Pengawet 2,5% 86,65 18,70 3,919 56,24 9.502
4 Mahoni, Pengawet 5% 81,26 17,26 5,027 69,39 11.169
114,3
5 Sengon Tanpa Perlakuan 4 39,10 1,580 85,28 15.716
107,8
6 Sengon, Pengawet 0% 4 37,67 2,546 99,79 15.330
117,5
7 Sengon, Pengawet 2,5% 5 40,46 2,172 72,59 11.641
126,4
8 Sengon, Pengawet 5% 7 42,08 1,718 56,35 9.152

Tabel 3. Analisis varian sifat fisika dan mekanika papan partikel mahoni dan sengon

No Jenis Kayu WA TS IB MoR MoE


1 Mahoni 0,000** 0,621ns 0,061ns 0,038* 0,072ns
2 Sengon 0,002** 0,180ns 0,517ns 0,086ns 0,008**

Keterangan : ** = Nilai sangat berbeda nyata pada taraf uji 1%


* = Nilai sangat berbeda nyata pada taraf uji 5%
ns = Nilai tidak berbeda nyata

Nilai analisis varians keteguhan rekat internal papan partikel mahoni dan sengon
(Tabel 3) tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap perlakuan pengawetan dengan
asap cair. Widarmana dalam Dirhamsyah (1995) mengungkapkan bahwa keteguhan rekat
internal tidak dipengaruhi secara nyata oleh kerapatan kayu asalnya, akan tetapi lebih
banyak ditentukan oleh faktor lainnya seperti geometri partikel, kerapatan lembaran dan
jumlah perekat. Pada papan partikel mahoni secara umum, perlakuan pengawetan
cenderung menurunkan nilai keteguhan rekat internal jika dibandingkan dengan contoh uji
tanpa perlakuan. Sedangkan pada papan partikel sengon justru meningkatkan nilai
keteguhan rekat internal ini. Walaupun demikian, semua nilai keteguhan rekat internal pada
papan partikel mahoni dan sengon telah memenuhi standar JIS A 5908-2003.
Nilai modulus patah papan partikel mahoni dan sengon setelah dianalisis varians
memberikan pengaruh yang nyata pada papan partikel mahoni dan tidak berpengaruh nyata
pada papan partikel sengon. Pada penelitian ini, perlakuan pengawetan cenderung
menurunkan nilai modulus patah papan partikel jika dibandingkan dengan contoh uji tanpa
perlakuan sehingga tidak ada yang memenuhi standar JIS A 5908-2003. Sementara itu, nilai
modulus elastisitas papan partikel mahoni dan sengon setelah dianalisis varians
memberikan pengaruh yang sangat nyata pada papan partikel sengon dan tidak
berpengaruh nyata pada papan partikel mahoni. Hal ini disebabkan penambahan perekat
akan meningkatkan ikatan antar partikel sehingga nilai ini semakin meningkat namun hanya
sebagian saja yang memenuhi standar JIS A 5908-1994.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Aini et al., (2009) mengenai pengaruh
pengawetan dengan boron terhadap kekuatan dan keawetan produk laminasi bambu
memberikan hasil bahwa nilai modulus patah dan modulus elastisitas produk laminasi
bambu menurun dengan pemberian bahan pengawet boron jika dibandingkan dengan
contoh uji tanpa perlakuan pengawetan (kontrol).

216
BIOKOMPOSIT

Pengujian Terhadap Serangan Rayap Kayu Kering


Mortalitas rayap merupakan salah satu ukuran atau parameter untuk mengukur
tingkat efektifitas bahan pengawet terhadap rayap. Nilai mortalitas rayap pada papan partikel
mahoni dan sengon tertinggi diperoleh pada perlakuan pengawetan dengan konsentrasi 5%
yaitu sebesar 87% dan 58%. Hasil analisis varians (Tabel 4) menunjukkan bahwa perlakuan
pengawetan dengan asap cair berpengaruh nyata terhadap nilai mortalitas rayap pada
papan partikel mahoni namun tidak berpengaruh nyata pada papan partikel sengon. Hasil
mortalitas rayap ini menunjukkan kecendrungan bahwa semakin besar konsentrasi bahan
pengawet yang diberikan, maka nilai mortalitas rayapnya akan semakin tinggi (Gambar 1).
Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Hunt dan Garrat (1986) yaitu nilai mortalitas semakin
naik dengan semakin bertambahnya konsentrasi bahan pengawet yang diberikan.

Gambar 1. Nilai Mortalitas Rayap Papan Partikel

Tabel 4. Analisis varian mortalitas rayap dan kehilangan berat papan


partikel mahoni dan sengon

No Jenis Kayu Mortalitas Rayap Kehilangan Berat


1 Mahoni 0,050* 0,201ns
2 Sengon 0,062ns 0,748ns

Keterangan : ** = Nilai sangat berbeda nyata pada taraf uji 1%


* = Nilai sangat berbeda nyata pada taraf uji 5%
ns = Nilai tidak berbeda nyata

Perubahan nilai mortalitas rayap kayu kering yang makin meningkat dengan
peningkatan konsentrasi bahan pengawet seperti ditunjukkan pada Gambar 1. diduga
karena adanya kandungan fenol dan asam organik. Tranggono et al. (1997) menyatakan
bahwa fenol dan asam organik merupakan senyawa utama di dalam asap cair yang bersifat
bakteriostatik/baktersidal. Nilai mortalitas rayap papan tanpa perlakuan lebih rendah
daripada nilai mortalitas rayap papan perendaman asap cair, hal ini membuktikan bahwa
asap cair mampu menaikkan nilai mortalitas rayap. Penelitian lain yang dilakukan oleh
Indrayani et al., 2010 memberikan hasil bahwa mortalitas rayap meningkat dengan naiknya
konsentrasi asap cair dari 1%-4% serta tingginya suhu pirolisis 450oC dengan nilai mortalitas
rayap mencapai 100%. Sementara itu, Walther et al. (2007) yang menggunakan impregnasi
phenol formaldehida pada papan partikel kenaf menyebabkan nilai mortalitas rayap
mencapai hampir 100%. Penelitian lain oleh Sulastiningsih dan Jasni (2004) mengenai
ketahanan papan partikel dari kayu karet terhadap rayap kayu kering yang menggunakan
bahan pengawet alfametrin pada konsentrasi 0,75% memberikan nilai mortalitas rayap
100%.

217
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Nilai kehilangan berat terkecil atau terbaik pada papan partikel mahoni dan sengon
juga diperoleh pada perlakuan pengawetan 5% yaitu sebesar 0,565% dan 0,856%. Hasil
analisis varians pada Tabel 5 menunjukkan bahwa faktor perlakuan pengawetan tidak
memberikan pengaruh yang nyata terhadap nilai kehilangan berat baik pada papan partikel
mahoni maupun papan partikel sengon. Pada Gambar 2 dapat dilihat bahwa nilai kehilangan
berat papan partikel mahoni maupun sengon menunjukkan kecendrungan yang menurun
dengan peningkatan konsentrasi bahan pengawet asap cair yang diberikan. Hal ini sesuai
dengan pernyataan Hunt dan Garrat (1986) yang menyatakan bahwa semakin tinggi
konsentrasi bahan pengawet yang diberikan maka semakin kecil nilai kehilangan berat yang
diperoleh dan berbanding terbalik dengan nilai mortalitas yang dihasilkan. Penelitian yang
dilakukan oleh Indrayani et al. (2010) memberikan hasil bahwa kehilangan berat menurun
bahkan tanpa mengalami kehilangan berat sedikitpun pada contoh uji dengan naiknya
konsentrasi asap cair dari 1%-4% serta tingginya suhu pirolisis 450oC.

Gambar 2. Nilai Kehilangan Berat Papan Partikel

KESIMPULAN

1. Sifat fisika dan mekanika papan partikel mahoni dan sengon yang telah memenuhi
Standar JIS A 5908-2003 hanya parameter keteguhan rekat internal.
2. Nilai mortalitas rayap dan nilai kehilangan berat terbaik pada papan partikel mahoni dan
sengon diperoleh pada perlakuan pengawetan dengan konsentrasi bahan pengawet 5%
yaitu sebesar 87% dan 0,565% pada papan partikel mahoni dan sebesar 58% dan
0,856% pada papan partikel sengon.

DAFTAR PUSTAKA

Aini, N., Morisco dan Anita. 2009. Pengaruh Pengawetan Terhadap Kekuatan dan Keawetan
Produk Laminasi Bambu. Balai Bahan Bangunan Puslitbang Permukiman. Bandung.
Anonim. 2003. Japanese Industrial Standard Particleboards A 5908. Japanese Industrial
Standard Association. Japan.
Dirhamsyah, M. 1995. Pengaruh Ekstraksi dan Cara Pengawetan Terhadap Sifat Papan
Partikel Kelapa Sawit. Tesis Program Pasca Sarjana Fakultas Kehutanan.
Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta (Tidak diterbitkan).
Haygreen, J.G. dan J.L. Bowyer. 1996. Hasil Hutan dan Ilmu Kayu, Suatu Pengantar.
Diterjemahkan oleh Dr. Ir. Sutjipto A. Hadikusumo. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta.
Hunt, G.M. dan G.A. Garrat. 1986. Pengawetan Kayu, Diterjemahkan Oleh Ir. Mohamad
Jusuf (Alm.). CV Akademika Presindo. Jakarta.

218
BIOKOMPOSIT

Indrayani, Y. H.A. Oramahi, dan Nurhaida. 2010. Evaluation of Liquid Smoke as Bio-
Pesticide to Control Subterranean Termites Coptotermes sp. Jurnal Ketawang
Fakultas Kehutanan Universitas Tanjungpura Pontianak. Hal 87-96.
Kollman, F.F.P., E.W Kwenzi, dan A.J. Stamm. 1975. Principles of Wood Science and
Technology Vol II, Wood Based Materials. Springer Verlay Berlin Heidelberg. New
York.
Sulastiningsih, I.M., dan Jasni. 2004. Ketahanan Papan Partikel Terhadap Serangan Rayap
Kayu Kering Cryptotermes cynocephalus Light. Jurnal Penelitian Hasil Hutan Vol. 22
No. 2 Hal 69-74.
Suryono, A. 2009. Asap Cair Tempurung Kelapa Sebagai Bahan Pengawet Kayu Karet dari
Serangan rayap Tanah (Coptotermes curvignathus Holmgren). Tesis. Sekolah
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor (Tidak Dierbitkan).
Tranggono, S., B. Setiadji, Darmadji, Supranto, Sudarmanto, & R. Arumanto. 1997.
Identifikasi Asap Cair dari Berbagai Jenis Kayu dan Tempurung Kelapa. Laporan
Akhir Riset Unggulan Terpadu III (1995-1997). Yogyakarta.
Walther, T., S.N. Kartal, W.J. Hwang, K. Umemura and S. Kawai. 2007. Strength, Decay and
Termite Resistance of Oriented Kenaf Fiberboards. The Japan Wood Research
Society. 53:481-486.
Yuliansyah, R., Maharani dan D.I. Fauzi. 2001. Sifat Partikel dari Jenis Kayu Hutan
Sekunder dan Hutan Tanaman dengan Perekat Melamin Formaldehida. Prosiding
Seminar Nasional IV. MAPEKI

219
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

APLIKASI KOMPOSIT POLIPROPILENA MIKROFIBRIL


SELULOSA TANDAN KOSONG KELAPA SAWIT UNTUK
BAHAN BAKU INDUSTRI KOMPONEN OTOMOTIF
Mohamad Gopar*, Subyakto, Kurnia Wiji Prasetiyo, dan Ismadi
UPT BPP Biomaterial-LIPI
Jl. Raya Bogor Km. 46 Cibinong, Bogor
*email : masgoparada@yahoo.co.id

ABSTRAK

Serat alam mempunyai potensi untuk digunakan sebagai substitusi penguat bahan
komposit pada industri komposit plastik. Tandan kosong kelapa sawit sebagai limbah industri
Crude Palm Oil (CPO) merupakan sumber serat alam yang cukup melimpah serta belum
optimal pemanfaatannya. Serat yang dibuat berukuran mikro kemudian dikombinasikan
dengan polimer dapat menghasilkan produk bio-komposit yang mempunyai kekuatan tinggi
dan ringan. Dalam makalah ini akan dipaparkan hasil penelitian mengenai aplikasi komposit
polypropylene microfibril cellulose (MFC) tandan kosong kelapa sawit sebagai bahan baku
(pelet) industri komponen otomotif. Karakterisasi komposit diperoleh dari hasil pengujian
terhadap sifat fisik dan mekanik prototipe komposit dari pelet yang terbuat dari polimer
polypropylene (PP) dengan MFC serat tandan kosong kelapa sawit. Temperatur optimum
yang digunakan untuk menghasilkan prototipe komponen otomotif pada injection machine
yaitu 1850C selama 10 detik. Kombinasi rasio 50 MFC : 50 PP: dan 2,5% MAPP
menghasilkan produk komposit terbaik.

Kata kunci : tandan kosong kelapa sawit, mikrofibril selulosa, pelet, prototipe, komposit,
komponen otomotif

PENDAHULUAN

Penetapan tahun 2009 sebagai International Year of Natural Fibers (IYNF) oleh
Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) melalui Food and Agricultural Organisation (FAO)
semakin mendorong Indonesia untuk memanfaatkan pemberdayaan serat alam melihat
potensi dan keragamannya yang besar. Melihat potensi serat alam Indonesia yang cukup
besar dan beragam, tentulah negara ini bisa berperan dan mengambil keuntungan dari
agenda FAO itu, salah satunya dengan peningkatan pemanfaatan serat alam menjadi
produk yang bernilai lebih, melalui sentuhan rekayasa teknologi yaitu untuk industri
komponen otomotif.
Pada industri otomotif, penggunaan bahan-bahan yang menyebabkan pencemaran
lingkungan seperti plastik, serat sintetis, fiber glass, carbon dan aramid yang banyak
digunakan harus dikurangi. Karena itu komposit yang diperkuat dengan serat alam akan
memegang peranan sangat penting (Marsh 2003). Serat alam dipilih karena mempunyai
potensi untuk digunakan sebagai penguat bahan komposit pada industri otomotif yang
selama ini banyak memakai serat atau polimer sintetis.
Penggunaan serat alam dapat mengurangi berat mobil sampai dengan 40% (Marsh
2003) sehingga lebih irit bahan bakar. Energi yang dibutuhkan untuk memproduksi serat
alam (4 GJ/ton) lebih kecil dibandingkan dengan serat gelas (30 GJ/ton). Selain itu serat
alam memiliki keunggulan dibandingkan serat sintetis antara lain bersifat renewable, bisa
didaur ulang (recyclable), tidak berbahaya bagi lingkungan dan kesehatan, memiliki sifat
mekanis lebih baik, tidak menyebabkan abrasi pada alat, dan harganya lebih murah
(Zimmermann et al. 2004, Oksman et al. 2003, Wambua et al. 2003, Mohanty et al. 2002,
Leao et al. 1998) serta densitas yang lebih rendah .
Diantara kelemahan serat alam adalah bersifat hydrophilic yang sulit dikombinasikan
dengan polimer yang bersifat hydrophobic. Untuk mengatasi masalah ini digunakan coupling

220
BIOKOMPOSIT

agent pada matrik dan memperbaiki metode proses yang diterapkan. Selain itu, serat alam
juga mensyaratkan suhu proses yang lebih rendah dari 2000C untuk menghindari kerusakan
pada seratnya (Nakagaito dkk. 2005).
Pemanfaatan tandan kosong kelapa sawit sebagai serat untuk penguat material bio-
komposit telah dilakukan. Tandan kosong kelapa sawit merupakan limbah industri CPO yang
melimpah di Indonesia. Sampai saat ini pemanfaatan limbah tandan kosong kelapa sawit
masih belum menghasilkan produk dengan nilai ekonomi tinggi. Tandan kosong kelapa sawit
di Indonesia memiliki potensi sebesar 13,6 juta ton (asumsi 17% dari 80 juta ton tandan buah
segar) yang bisa digunakan untuk pulp dan kertas (Deptan, 2008).
Struktur tumbuhan terdiri dari polimer karbohidrat dan tersusun dari serat selulosa.
Serat selulosa ini tersusun dari mikrofibril dalam ukuran mikro yang memiliki kekuatan
struktur yang sangat tinggi. Selulosa adalah polimer polisakarida yang menjadi rangka
struktur pada tumbuhan yang ketersediaannya di alam sangat melimpah. Salah satu sumber
utama selulosa diambil dari serat kayu yang tersusun dari selulosa, hemiselulosa dan lignin.
Semakin kecil ukuran komponen selulosa, semakin tinggi kekuatannya. Serat pulp kayu
mempunyai modulus elastisitas (modulus of elasticity) 10 GPa dan keteguhan tarik (tensile
strength) 0,1 GPa (Zimmermann et al. 2004).
Selulosa dengan morfologi yang baru mulai dikembangkan oleh Turbak et al. (1983)
yang sekarang dikenal lebih lanjut sebagai microfibril celullose (MFC). Pembuatan MFC dari
pulp melalui proses mekanik yaitu proses refining sehingga dihasilkan selulosa yang memiliki
luas permukaan yang besar (Nakagaito dan Yano 2004). Pemanfaatannya selama ini
digunakan untuk bahan aditif dalam makanan, cat, kosmetik, dan produk medis. MFC
tersebut dapat digunakan juga untuk memperkuat polimer thermosetting dan polimer
thermoplastic. Sedangkan penelitian pembuatan MFC ukuran mikro dari serat tandan kosong
kelapa sawit baru dilakukan sampai mendapatkan kombinasi terbaik dari hasil pengujian sifat
fisik-mekanik prototipe kompositnya. Mikro-komposit didefinisikan sebagai komposit yang
terbuat dari kombinasi beberapa bahan hayati; salah satu komponennya memiliki ukuran
mikro untuk menghasilkan kinerja yang sinergi dari komposit tersebut. Mikro-komposit
merupakan bidang yang masih cukup baru di Indonesia sehingga masih sangat berpotensi
untuk dilakukan penelitian.
Industri komposit plastik untuk otomotif memiliki potensi untuk berkembang pesat di
masa depan. Adanya material komposit alami yang ringan, kuat, dan ramah lingkungan serta
mudah untuk diaplikasikan akan menjadi daya tarik tersendiri bagi dunia industri, sehingga
prospek pasar sangat terbuka lebar.
Produk pelet komposit serat alam-plastik yang dihasilkan akan mudah diaplikasikan
dalam industri komposit plastik yang akan digunakan dalam industri komponen otomotif
tanpa merubah spesifikasi mesin yang digunakan, sehingga nilai investasi yang dipakai
sama serta mampu menghasilkan prototipe komponen industri otomotif dengan sifat dan
keunggulan yang melebihi prototipe yang terbuat dari polimer plastik.

BAHAN DAN METODE

Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah serat tandan kosong kelapa sawit
yang diperoleh dari PT.Matsumin Megah Raya Sukabumi. Polypropylene yang digunakan
didapatkan dari Tripolyta Inc.

Metode
Serat tandan kosong kelapa sawit dipotong-potong sepanjang sekitar 2 - 3 cm
menggunakan mesin ring flaker, kemudian serat direndam dengan larutan NaOH 4% pada
ratio (1:5) selama 24 jam. Kemudian serat dicuci dan digiling dengan mesin Beater
Hollander selama 1,5 jam sehingga menjadi pulp. Selanjutnya dibuat MFC dengan cara
menggiling pulp TKKS ke dalam disc refiner sebanyak 4 kali. MFC hasil dari disc refiner
dikeringkan dengan oven sehingga diperoleh lembaran kertas. Proses pembuatan pelet
serat alam dengan matriks PP dilakukan dengan metode kering. MFC pulp dibuat lembaran

221
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

tipis dan dikeringkan. MFC dicampur dengan PP yang ditambahkan MAPP sebagai coupling
agent. Konsentrasi MAPP yang optimal adalah 2,5% dari berat komposit. Perbandingan
MFC : PP yang paling baik adalah 50:50.
Komposisi tersebut diproses dengan mixer (Laboplasto Mill) pada suhu 180o C, 60
rpm selama 20 menit. Setelah itu dibuat pelet. Pembuatan prototipe komponen otomotif
dengan mencetak pelet dalam cetakan (molding) menggunakan injection molding.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Proses injeksi pelet dalam mesin injection molding dilakukan pada suhu nozzle
berkisar antara 170-2100C selama 10 detik waktu pencetakan prototipe, ditunjukkan oleh
Tabel 1. Dari beberapa kali uji coba injeksi tersebut dihasilkan prototipe mulai dari yang tidak
utuh/sempurna bentuknya (pada suhu 1700C), utuh bentuknya dan tidak berbau gosong
(pada suhu 1850C) sampai suhu 2100C yang menghasilkan prototipe yang utuh bentuknya
sesuai cetakan namun berbau gosong.

Tabel 1. Karakteristik Visual komposit PP-TKKS

No. Spesimen Temperatur nozzle (0C) Keterangan hasil injeksi


1. TKKS -1 170 Bentuk tidak utuh, warna cerah, berongga
2. TKKS-2 175 Bentuk kurang utuh, warna agak cerah, berongga.
3. TKKS-3 180 Bentuk kurang utuh, warna mantap, sedikit rongga.
4. TKKS-4 185 Utuh, warna mantap, tidak hangus.
5. TKKS-5 190 Utuh, warna agak gelap, bernoda, agak hangus.
Utuh, agak gelap, bercak noda banyak, sedikit
6. TKKS-6 195
hangus.
7. TKKS-7 200 Penampakan agak gelap, sedikit hangus.
8. TKKS-8 205 Penampakan gelap, sedikit hangus
9. TKKS-9 210 Penampakan sangat gelap, bau hangus,

Kondisi optimal mesin injeksi yang digunakan pada pembuatan komposit MFC TKKS-
PP ditampilkan oleh Tabel 2.

Tabel 2. Kondisi Mesin Injeksi MFC TKKS-PP

No. Variabel Bagian I Bagian II Nozzle Satuan


1. Kecepatan injeksi 30 40 35 %Vmax
2. Tekanan injeksi 30 40 50 % Pmax
0
3. Temperatur injeksi 180 180 185 C

Pada suhu di bawah 185 0C, komposit yang terbentuk tidak utuh hal ini dimungkinkan
sehubungan dengan pelelehan PP yang belum sempurna. Sebagian besar bagian PP belum
meleleh sehingga menyebabkan pelet TKKS-PP tidak dapat mengisi seluruh volume
specimen injeksi, yang berakibat pada tidak utuhnya specimen injeksi. Serat alam juga
mensyaratkan suhu proses yang lebih rendah dari 2000C untuk menghindari kerusakan pada
seratnya (Nakagaito dkk. 2005), sehingga penggunaan mesin injeksi di atas suhu optimal
akan berakibat pada penampakan spesimen komposit yang terlihat hangus dan gelap.
Dari beberapa kali uji coba injeksi pelet dalam suhu nozle pada mesin injection
molding diperoleh suhu yang relatif tepat untuk menghasilkan prototipe komponen otomotif
yang sesuai dengan cetakannya/mold yaitu pada suhu 1850C selama 10 detik. Karakter
mekanik komposit MFC TKKS-PP ditampilkan dalam Tabel 3.

222
BIOKOMPOSIT

Tabel 3. Karakter mekanik komposit


MOE MOR
NO Material Tensile Strength (MPa)
(GPa) (MPa)
1 TKKS-PP 40.14 1.16 57.64
2 PP murni 34.90 0.91 37.89

Dari Tabel 3 dapat dilihat bahwa kekuatan komposit MFC TKKS-PP secara mekanik
lebih tinggi dari kekuatan mekanik PP murni. Penambahan MFC TKKS berdampak positif
bagi peningkatan karakter mekanik komposit. Proses injeksi MFC TKKS-PP ditunjukkan oleh
Gambar 1.

Gambar 1. Proses injeksi komposit MFC TKKS-PP

a b

Gambar 2. Performa komponen hasil injeksi, a) PP murni, b) komposit MFC TKKS-PP

Gambar 2 menampilkan performa hasil injeksi dari komposit MFC TKKS-PP dan PP
murni. Terlihat bahwa komponen yang berasal dari MFC TKKS-PP lebih mantap dan
terkesan kokoh, serta bercorak unik. Dari Gambar 2 juga menunjukkan bahwa MFC TKKS-
PP dapat digunakan untuk membuat komponen dengan bentuk yang rumit dan tipis dengan
performa yang lebih baik dari PP murni.

KESIMPULAN

Telah berhasil dibuat produk biokomposit dari mikrofibril selulosa tandan kosong
kelapa sawit dengan polypropylene berupa prototipe komponen dengan proses injection
molding. Temperatur optimum yang digunakan untuk menghasilkan prototipe komponen
otomotif pada injection machine yaitu 1850C selama 10 detik. Kombinasi rasio 50 MFC : 50
PP: dan 2,5% MAPP menghasilkan produk komposit terbaik.

223
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

DAFTAR PUSTAKA

Direktorat Budidaya Tanaman Tahunan, Dirjen Perkebunan, Departemen Pertanian RI.


2008. Pemanfaatan Limbah dan Hasil Samping Kelapa Sawit. Jakarta.
Iwamoto, S., Nakagaito, N.A., Yano, H., Nogi, M. 2005. Optically transparent composites
reinforced with plant fiber-based mikrofibers. Applied Physics A 81: 1109-1112.
Leao, A.L., Rowell, R., Tavares, N. 1998. Applications of natural fibers in automotive industri
in Brazil Thermoforming process. Prasad et al. (eds). Science and Technology of
Polymer and Advanced Materials. Plenum Press, New York. Pp. 755-761.
Ljungberg N., Wesslen, B. 2002. The effects of plasticizers on the dynamic mechanical and
thermal properties of Poly (lactic Acid). J Applied Polymer Science Vol. 86, 1227-
1234.
Mahmud, Z. dan Y. Ferry. 2005. Prospek Pengolahan Hasil Samping Buah Kelapa. Jurnal
Perspektif Volume 4 No. 2 hal. 55-63. Bogor.
Marsh, G. 2003. Next step for automotive materials. Materialstoday, April 2003, Elsevier
Science Ltd. pp. 36-43.
Mathew A.P, Oksman, K., Sain, M. 2005. Mechanical properties of biodegradable composite
from poly lactic acid (PLA) and microcrystalline cellulose (MCC). J Applied Polymer
Science. Vol. 97, 2014-2025.
Mohanty, A.K., Misra, M., Drzal, L.T. 2002. Sustainable bio-composites from renewable
resources: Opportunities and challenges in the green materials world. J. Polymers
and the Environment, 10 (1/2): 19-26.
Nakagaito, A., Yano, H. 2005. Novel high-strength biocomposites based on microfibrilated
cellulose having mikro-order-unit web-like network structure. Applied Physics A 80:
155-159.
Nakagaito, A.N., Iwamoto, S., Yano, H. 2005. Bacterial cellulose: the ultimate mikro-scalar
cellulose morphology for the production of high-strength composites. Applied Physics
A 80: 93-97.
Nakagaito, A.N., Yano, H. 2004. The effect of morphological changes from pulp fiber towards
mikro-scale fibrilated. Applied Physics A 78: 547-552.
Oksman, K., Skrifvas, M., Selin, J.F. 2003. Natural fibers as reinforcement in polylactic acid
(PLA) composites. Composites Science and Technology 63: 1317-1324.
Wambua, P., Ivens, J., Verpoest, I. 2003. Natural fibres: can they replace glass in fibre
reinforced plastics?. Composites Science and Technology 63: 1259-1264.
Zimmermann, T., Pohler, E., Geiger, T. 2004. Cellulose fibrils for polymer reinforcement.
Advanced Engineering Materials 6 (9): 754-761.

224
BIOKOMPOSIT

PENGARUH PERLAKUAN EKSTRAKSI DAN WAKTU KEMPA


TERHADAP SIFAT PAPAN PARTIKEL TANPA PEREKAT DARI
LIMBAH SERBUK GERGAJIAN KAYU MAHONI
Ragil Widyorini* dan Febtyan Eky Puspitasari
Bagian Teknologi Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan UGM, Yogyakarta
*email: rwidyorini@gmail.com

ABSTRAK

Penelitian ini ditujukan untuk mempelajari pemanfaatan limbah serbuk mahoni


(Swietenia sp.) sebagai bahan papan partikel tanpa perekat. Kualitas papan partikel tanpa
perekat dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya perlakuan penghilangan
ekstraktif dan waktu kempa yang digunakan. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis
pengaruh perlakuan ekstraksi dan waktu kempa terhadap sifat papan partikel tanpa perekat
dari serbuk gergajian kayu mahoni. Papan partikel tanpa perekat dibuat dari serbuk
gergajian kayu mahoni dengan menggunakan sistem pengempaan panas. Penelitian ini
menggunakan rancangan acak lengkap dengan dua faktor yang berbeda, yaitu perlakuan
ekstraksi (tanpa perlakuan, perebusan, dan pengukusan dengan suhu 100C 2C dalam
waktu 3 jam) dan waktu kempa (10 dan 15 menit). Sifat-sifat fisika dan mekanika papan diuji
berdasarkan Standar JIS A 5908, meliputi kerapatan, kadar air, penyerapan air,
pengembangan tebal, kekuatan rekat internal, modulus patah, dan modulus elastisitas. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa interaksi antara perlakuan ekstraksi dan waktu kempa
berpengaruh signifikan terhadap sifat modulus elastisitas papan. Faktor perlakuan ekstraksi
berpengaruh nyata terhadap sifat modulus patah papan, dan faktor waktu kempa
berpengaruh nyata terhadap kerapatan papan. Modulus patah meningkat pada papan
partikel dengan menggunakan partikel setelah perlakuan pengukusan. Sifat optimum papan
partikel diperoleh pada perlakuan ekstraksi dengan metode pengukusan dan dikempa panas
selama 15 menit, dimana nilai penyerapan air 71,1 %, pengembangan tebal 14,3%,
kekuatan rekat internal 1,24 kgf/cm, modulus patah 61,89 kg/cm, dan modulus elastisitas
13,75 x 10 kg/cm.

Kata kunci : Binderlessboard, perlakuan ekstraksi, waktu kempa, mahoni

PENDAHULUAN

Mahoni (Swietenia sp.) adalah salah satu jenis kayu yang relatif mudah dalam
pengerjaannya dan limbah serbuk gergajiannya banyak dijumpai di industri penggergajian
rakyat. Martawijaya dkk.(1989) menyatakan bahwa kayu mahoni merupakan salah satu kayu
dengan kadar ekstraktif yang cukup tinggi, yaitu kadar ekstraktif larut alkohol-benzena 2,4%,
air dingin 0,4%, air panas 4,5%, dan NaOH 1% sebesar 18,9%. Kadar selulosa pada kayu
mahoni sebesar 46,8% dan lignin 26,9%. Keberadaan ekstraktif biasanya menjadi kendala
dalam proses perekatan pada pembuatan papan komposit. Hal ini disebabkan karena antara
perekat dan ekstraktif sering mempunyai sifat yang tidak bisa menyatu (compatible)
sehingga mengakibatkan proses perekatan berjalan dengan tidak baik. Pada pembuatan
papan partikel tanpa menggunakan perekat, kekuatan rekatnya dihasilkan dari aktivasi
komponen-komponen kimia yang terkandung di dalamnya selama proses perlakuan panas,
terutama komponen hemiselulosa dan lignin (Widyorini et al., 2005a). Pada penelitian
menggunakan ampas tebu, penghilangan ekstraktif ternyata mengakibatkan kenaikan
secara signifikan pada sifat mekanika papan partikel. Di sisi lain, kecenderungan penurunan
nilai sifat mekanika papan partikel dari kenaf inti terlihat setelah mengalami proses
penghilangan ekstraktif (Widyorini et al., 2006). Pengaruh ekstraktif pada proses pembuatan
papan partikel tanpa perekat masih belum jelas dan menarik untuk diteliti lebih lanjut.

225
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Faktor lama pengempaan merupakan salah satu hal penting yang berpengaruh pada
sifat papan partikel. Okuda et al. (2006) dalam penelitiannya menyatakan bahwa
pengempaan panas dengan waktu 10 menit pada papan partikel tanpa perekat dari kenaf inti
menghasilkan sifat kekuatan mekanik papan yang baik. Xu et al. (2003) yang menggunakan
variasi waktu kempa dari 7 hingga 25 menit menyatakan waktu optimal untuk pengempaan
papan partikel tanpa perekat dari kenaf inti menggunakan kempa panas injeksi uap adalah
dengan waktu kempa 10 hingga 15 menit. Pengempaan panas dengan injeksi uap pada
papan partikel tanpa perekat dari kenaf inti menghasilkan nilai stabilitas dimensi yang baik
pada waktu kempa 10 menit, dan cenderung menurun pada waktu kempa 15 menit (Xu et
al., 2003).
Penelitian ini ditujukan untuk membuat papan partikel tanpa perekat dari limbah
serbuk gergajian kayu mahoni dengan mengkombinasikan faktor cara ekstraksi bahan baku
dan waktu pengempaan dengan menggunakan sistem pengempaan panas. Untuk memberi
gambaran peranan adanya ekstraktif terhadap sifat papan partikel tanpa perekat,
penghilangan ekstraktif bahan baku dilakukan dengan cara perebusan dan pengukusan.

BAHAN DAN METODE

Bahan Penelitian
Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah limbah serbuk gergajian kayu
mahoni (Swietenia sp) yang diambil dari industri penggergajian di daerah Bantul,
Yogyakarta. Serbuk yang kemudian digunakan adalah yang lolos saringan 10 mesh. Partikel
ini kemudian dikeringanginkan selama kurang lebih 2 minggu.

Metode Penelitian
Penelitian ini didisain menggunakan pola acak lengkap dengan percobaan factorial
menggunakan dua faktor yaitu faktor perlakuan ekstraksi dan faktor waktu pengempaan.
Perlakuan ekstraksi dilakukan dengan 2 metode yaitu perlakuan perebusan dan
pengukusan pada suhu 100C 2C selama 3 jam. Setelah proses perlakuan tersebut,
partikel kemudian dikeringnginkan selama kurang lebih 2 minggu. Ketiga jenis partikel yaitu
partikel tanpa perlakuan, partikel setelah pengukusan dan partikel setelah perebusan
kemudian dibuat mat dengan ukuran 25 x 25 x 0,8 cm. Pengempaan dilakukan dengan
metode kempa panas dengan variasi waktu pengempaan 10 dan 15 menit pada suhu 180C.
Target kerapatan yang dituju adalah 0,8 g/cm3 dengan target ketebalan 0,7 cm dan ulangan
masing-masing sebanyak 3 kali. Sebagai kontrol, partikel tanpa perlakuan ditambah dengan
perekat urea formaldehida (UF) 10% berat kering partikel, yaitu menggunakan suhu
pengempaan 130C selama 10 menit. Semua papan yang dihasilkan kemudian dikondisikan
selama 7 hari.
Setelah papan partikel dikondisikan, selanjutnya dilakukan pemotongan pinggir dan
pembuatan contoh uji didasarkan pada ketentuan JIS A 5908 (Anonim, 2003) meliputi sifat
fisik dan mekanika. Sifat fisika dan mekanika yang diuji yaitu kadar air, kerapatan,
penyerapan air, pengembangan tebal, kekuatan rekat internal, modulus patah (MoR), dan
modulus elastisitas (MoE).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambar 1 menunjukkan bahwa partikel setelah proses perebusan memperlihatkan


warna yang lebih gelap dan ukuran menjadi lebih halus, dibandingkan sebelumnya. Di sisi
lain, partikel setelah proses pengukusan cenderung berwarna lebih terang. Hal tersebut
mengindikasikan bahwa kandungan ekstraktif dari mahoni yang terlarut pada saat proses
perebusan lebih banyak dibandingkan proses pengukusan, seperti yang terlihat pada Tabel

226
BIOKOMPOSIT

1. Selain itu, waktu perebusan yang relatif lama (3 jam) dan kontak langsung antara partikel
dan air mendidih membuat serbuk menjadi lebih halus (hancur).

A B C
Gambar 1. (A) Partikel tanpa perlakuan; (B) Partikel setelah proses perebusan;
(C) Partikel setelah proses pengukusan

Tabel 1. Persentase jumlah ekstraktif terlarut

Proses pendahuluan Persentase ekstraktif terlarut


Perebusan pada suhu 1003C selama 3 jam 4,75%
Pengukusan pada suhu 1003C selama 3 jam 2,55%

Hasil analisis varians penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 2. Pengaruh interaksi
kedua faktor terlihat sangat nyata hanya pada nilai modulus elastisitas saja. Pengaruh
perlakuan ekstraksi mempengaruhi secara signifikan pada nilai modulus patah dan modulus
elastisitas, sedangkan pengaruh waktu kempa hanya berpengaruh nyata pada nilai
kerapatan papan partikel yang dihasilkan. Selanjutnya, pembahasan akan dilakukan untuk
masing-masing parameter uji.

Tabel 2. Rekapitulasi Hasil Analisis Varians

Signifikansi
Parameter Interak Perlakuan ekstraksi Waktu
si kempa
Kerapatan 0,407ns 0,879ns 0,026*
Kadar air 0,334ns 0,234ns 0,387ns
Pengembangan tebal 0,689ns 0,976ns 0,241ns
Penyerapan air 0,062ns 0,679ns 0,387ns
Kekuatan rekat internal 0,175ns 0,212ns 0,990ns
Modulus patah 0,151ns 0,042* 0,378ns
Modulus elastisitas 0,002** 0,022* 0,896ns

Keterangan: ns = nilai tidak berbeda nyata


* = nilai berbeda nyata pada taraf uji = 0,05
** = nilai berbeda nyata pada taraf uji = 0,01

Sifat Fisika
Nilai kerapatan papan partikel tanpa perekat dan papan partikel dengan perekat urea
formaldehid (UF) berkisar antara 0,69 - 0,76 g/cm3, dari target kerapatan 0,8 g/cm3. Analisis
statistik menunjukkan bahwa hanya faktor waktu pengempaan yang berpengaruh signifikan
terhadap kerapatan papan partikel tanpa perekat, dimana nilainya meningkat seiring dengan
bertambahnya waktu kempa. Hasil penelitian yang sama ditunjukkan oleh Xu et al. (2004),
dimana kerapatan papan partikel tanpa perekat dari kenaf core meningkat seiring dengan
bertambahnya waktu pengempaan panas dengan injeksi uap selama 7 hingga 20 menit.
Waktu kempa yang semakin lama memberikan peluang antar partikel untuk saling kontak

227
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

dengan baik dan menjadi lebih mampat.


Nilai kadar air papan partikel tanpa perekat dari serbuk mahoni setelah pengkondisian
selama 7 hari berkisar antara 11,2% - 12,4%, dimana sudah memenuhi standar kadar air
papan partikel yang dipersyaratkan oleh JIS A 5908 (Anonim, 2003), yaitu 5% - 13%. Nilai
kadar air papan partikel dengan menggunakan perekat UF relatif lebih tinggi yaitu sebesar
13,9%, dibanding kadar air papan partikel tanpa perekat. Hal ini diduga disebabkan oleh
adanya penambahan perekat UF, dimana perekat tersebut pada umumnya mengandung
sejumlah air. Berdasarkan hasil analisis statistik, faktor perlakuan ekstraksi, waktu
pengempaan, maupun interaksi kedua faktor tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan
terhadap nilai kadar air.
Nilai penyerapan air papan lebih dipengaruhi oleh struktur internal papan daripada sifat
ikatan papannya (Okuda et al., 2006). Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa nilai
penyerapan air papan partikel tanpa perekat dari serbuk mahoni berkisar antara 69,4 90,9
%, dimana nilai tersebut lebih tinggi jika dibanding dengan penelitian Angels et al. (1999)
pada papan serat tanpa perekat dari kayu jarum (Abies alba dan pinus) sebesar 36 72 %.
Hasil penelitian ini juga lebih tinggi dibandingkan hasil penelitian Okuda dan Sato (2004)
yang menggunakan kenaf inti, yaitu sebesar 40,9% pada perlakuan suhu pengempaan
panas yang sama (180C). Hal ini diduga karena ukuran partikel yang digunakan pada
penelitian ini jauh lebih besar dibandingkan dengan kedua penelitian tersebut diatas yang
berupa serat dan tepung atau serbuk halus.
Analisis statistik menunjukkan bahwa faktor perlakuan ekstraksi, waktu kempa, dan
interaksi kedua faktor tidak mempengaruhi nilai penyerapan air secara signifikan. Walaupun
demikian, pada Gambar 2 terlihat bahwa pada waktu kempa yang relatif singkat (10 menit),
perlakuan ekstraksi dapat menurunkan nilai penyerapan air papan. Kecenderungan
penurunan nilai penyerapan air pada papan partikel juga terjadi dengan penambahan
perekat UF.
25
10 m enit

20 15 m enit
)
%
(
l15
a
b
et
n
a10
g
n
a
b
m
e5
g
n
e
P
0
N o n Pe rlaku an Pe n gu kusan Pe reb usan Pap an (U F)

Gambar 2. Nilai penyerapan dan pengembangan tebal papan partikel dari serbuk mahoni

Nilai pengembangan tebal papan partikel pada penelitian ini berkisar antara 13,6
19,2%, dimana masih belum memenuhi Standar JIS A 5908 (Anonim, 2003) yang
mensyaratkan pengembangan tebal papan partikel maksimum 12%. Walaupun demikian,
nilai pengembangan tebal ini lebih baik dibandingkan nilai pengembangan tebal pada papan
serat tanpa perekat dari kayu jarum (Abies alba dan pinus) yang berkisar antara 12 - 37 %
(Angels et al. 1999), dan papan partikel tanpa perekat dari non kayu (kenaf inti) sebesar 169
% Widyorini et al. (2005b). Pada penelitian ini, faktor perlakuan ekstraksi dan waktu
pengempaan, serta interaksi keduanya tidak menunjukkan pengaruh signifikan terhadap nilai
pengembangan tebal. Hal yang menarik disini adalah penambahan perekat UF ternyata tidak
memberikan perbedaan yang nyata dibandingkan dengan papan partikel tanpa
menggunakan perekat.

228
BIOKOMPOSIT

Sifat Mekanika
Nilai kekuatan rekat internal papan partikel tanpa perekat dari serbuk mahoni sudah
cukup baik, yaitu berkisar antara 1,11 kg/cm - 1,83 kg/cm (Gambar 3) dimana Standar JIS
A 5908 tipe 8 (Anonim, 2003) sebesar 1,5 kg/cm. Nilai kekuatan rekat internal papan
partikel dengan perekat UF jauh lebih tinggi dibandingkan dengan papan partikel tanpa
perekat. Nilai kekuatan rekat internal cenderung menurun seiring dengan penambahan
waktu kempa, baik pada perlakuan perebusan maupun pengukusan, namun tidak untuk
papan dari partikel tanpa perlakuan. Walaupun demikian, analisis secara statitik
menunjukkan tidak adanya pengaruh yang signifikan baik dari faktor perlakuan ekstraksi,
waktu pengempaan, maupun interaksi kedua faktor terhadap nilai kekuatan rekat internal.
Widyorini et al. (2005b) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa pada proses perlakuan
dengan injeksi uap (160 180 0C pada kenaf inti terjadi degradasi hemiselulosa, lignin, dan
selulosa secara signifikan. Velasquez et al. (2003) dalam penelitiannya diperoleh penurunan
nilai kekuatan rekat internal papan partikel tanpa perekat dari rumput gajah seiring dengan
peningkatan waktu pengempaan 4 menit hingga 14 menit. Suzuki et al. (1998) juga
menyatakan bahwa kekuatan mekanik papan partikel tanpa perekat menurun dengan
adanya perlakuan panas yang berlebihan.

4,0
10 menit
la 15 menit
n 3,0
re
t
n
i
t ) 2,0
a m
k
er c/
g 1,0
n k
(
a
ta
u
k
e 0,0
K Non perlakuan Pengukusan Perebusan Papan (UF)

Gambar 3. Nilai kekuatan rekat internal papan partikel tanpa perekat dari serbuk mahoni

Berdasarkan hasil pengujian yang telah dilakukan, nilai modulus patah papan partikel
pada penelitian ini berkisar antara 26,5 kg/cm - 61,9 kg/ cm (Gambar 4). Perlakuan
ekstraksi menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap nilai modulus patah (Tabel 2).
Perlakuan ekstraksi dengan pengukusan pada partikel memberikan nilai modulus patah yang
lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan ekstraksi dengan perebusan maupun tanpa
ekstraksi. Pengempaan waktu yang terlalu lama bisa menurunkan nilai modulus patah. Pada
perlakuan perebusan, diduga terjadi proses degradasi komponen kimia yang cukup
signifikan, terutama pada waktu pengempaan yang cukup lama, sehingga menimbulkan
penurunan pada nilai modulus patah. Hal ini juga didukung dengan bentuk partikel yang
berwarna lebih gelap dan lebih halus setelah proses perebusan. Ada banyak kemungkinan
reaksi kimia yang berlangsung saat proses pengempaan panas. Reaksi-reaksi kimia ini
dapat diringkas sebagai berikut: degradasi dari hemiselulosa dan sebagian selulosa yang
membentuk gula sederhana dan dekomposisi lainnya; degradasi termal matriks dinding sel;
pembentukan ikatan antara polimer karbohidrat dan lignin, dan peningkatan kristalisasi
selulosa (Rowell et al. 2002).

229
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

70
10 menit
)
60
m 15 menit
c/
g 50
k
(
h40
at
a
P30
s
u
l 20
u
d
o 10
M
0

Non perlakuanPengukusan Perebusan Papan (UF)

Gambar 4. Nilai modulus patah papan partikel tanpa perekat dari serbuk mahoni

Hasil pengujian pada Gambar 5 menunjukkan bahwa nilai modulus elastisitas papan
partikel tanpa perekat dari serbuk mahoni berkisar antara 5,59 x 10 13,75 x 10 kg/cm.
Pada pembentukan papan partikel dengan menggunakan perekat urea formaldehida,
diperoleh nilai modulus elastisitas sebesar 9,28 x 10 kg/ cm. Tabel 2 memperlihatkan
bahwa faktor perlakuan ekstraksi dan interaksi antara faktor perlakuan dan waktu
pengempaan berpengaruh signifikan terhadap nilai modulus elastisitas. Pada proses
pengukusan ini, nilai modulus elastisitas meningkat seiring dengan peningkatan waktu
kempa. Velasquez et al. (2003) dalam penelitiannya diperoleh beberapa peningkatan nilai
modulus elastisitas papan partikel tanpa perekat dari rumput gajah seiring dengan
peningkatan waktu pengempaan 4 menit hingga 14 menit. Hal ini diduga bahwa semakin
lama pengempaan panas maka akan semakin besar termoplastis komponen di dalam kayu
sehingga akan meningkatkan nilai modulus elastisitas. Plastisitas dimungkinkan berasal dari
zat ekstraktif yang termoplastis dimana akan melunak selama perlakuan panas. Disisi lain,
proses ekstraksi perebusan yang diikuti dengan waktu kempa selama 15 menit menunjukkan
nilai modulus elastisitas terendah (5,73 x 10 kgf/cm). Hal ini diduga bahwa pada
perebusan, terjadi proses degradasi komponen kimia di dalam serbuk yang relatif signifikan
dan menyebabkan kerusakan serbuk (hancur) sehingga berpengaruh pada rendahnya nilai
modulus elastisitas.
2,E+04
) 10 menit
1,E+04
m
c/ 1,E+04 15 menit
gk
( 1,E+04
sa
ti 8,E+03
si
ts 6,E+03
al
E 4,E+03
s
u
l 2,E+03
u
d
o 0,E+00
M Non Perlakuan Pengukusan Perebusan Papan (UF)

Gambar 5. Nilai modulus elastisitas papan partikel tanpa perekat dari serbuk mahoni

230
BIOKOMPOSIT

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan dari penelitian ini, dapat diambil
beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1. Interaksi antara perlakuan ekstraksi dan waktu kempa berpengaruh nyata terhadap sifat
modulus elastisitas papan partikel. Sifat optimum diperoleh pada papan partikel setelah
pengukusan dengan waktu kempa 15 menit, yang menghasilkan nilai penyerapan air
71,1 %, pengembangan tebal 14,3 %, kekuatan rekat 1,24 kg/cm, modulus patah 61,89
kg/cm, dan modulus elastisitas 13,75 x 10 kg/cm.
2. Perlakuan ekstraksi berpengaruh nyata terhadap sifat modulus patah (MOR) dan
modulus elastisitas (MOE) papan partikel tanpa perekat. Perlakuan pengukusan dapat
meningkatkan nilai modulus patah dan modulus elastisitas, namun hal itu tidak terjadi
pada perlakuan perebusan.
3. Waktu kempa berpengaruh nyata terhadap kerapatan papan partikel tanpa perekat.
Semakin lama waktu kempa, kerapatan papan yang dihasilkan semakin tinggi. Nilai rata-
rata kerapatan pada waktu 10 menit adalah 0,71 g/cm meningkat menjadi 0,76 g/cm
setelah waktu kempa 15 menit.

UCAPAN TERIMAKASIH

Penelitian ini merupakan bagian dari Program Hibah Penelitian Internasional World
Class Research University Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada tahun 2009 yang
berjudul Pemanfaatan Limbah Industri Pengolahan Kayu dari Hutan Rakyat sebagai Bahan
Komposit Binderless.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2003. Japanese Industrial Standard for Particleboards JIS A 5908-1994. Japanese
Standard Association. Japan.
Angels, M.N., J. Reguant, D. Montane, F. Ferrando, X. Farriol, and J. Salvado. 1999.
Binderless Composites from Pretreated Residual Softwood. Journal of Apllied
Polymer Sciences, Vol.73, 2485-2491 (1999).
Martawijaya, I. Kartasujana, Y.I. Mandang, S.A. Prawira, dan K. Kadir. 1989. Atlas Kayu
Indonesia Jilid I. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Departemen
Kehutanan. Bogor.
Okuda, N. and M. Sato. 2004. Manufacture and Mechanical Properties of Binderless Boards
from Kenaf Core. J Wood Sci 50: 53-61.
Okuda, N., K. Hori, and M. Sato. 2006. Chemical Changes of Kenaf Core Binderless Boards
During Hot Pressing (I); Influence of The Pressing Temperature Condition. J Wood
Sci 52:244248
Rowell R, S. Lange, J. McSweeny, and M. Davis. 2002. Modification of wood fiber using
steam. In: Proceedings of the 6th pacific rim bio-based composites symposium,
Oregon, vol 2, pp 606615
Suzuki, S., H. Shintani, S. Y. Park, K. Saito, N. Laemsak, M. Okuma, and K. Iiyama. 1998.
Preparation of Binderless Boards from Steam Exploded Pulps of Oil Palm (Elaeis
guneensis Jaxq) Fronds and Structural Characteristics of Lignin and Wall
Polysaccharides in Steam Exploded Pulps to be Discussed for Self-Bonding.
Holzforschung 52 : 417-426.
Velasquez, J.A., F. Ferrando, X. Farriol and J. Salvado. 2003. Binderless Fiberboard From
Steam Exploded Miscanthus sinensis : Optimization of Pressing and Pretreatment
Conditions.. Wood Sci Technol 37 : 279-286.
Widyorini, R., T. Higashihara, J. Xu, and T. Watanabe. 2005a. Self-Bonding Characteristics
of Binderless Kenaf Core Composites. J Wood Sci 39: 651662.

231
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Widyorini, R., J. Xu, T. Watanabe, dan S. Kawai. 2005b. Chemical changes in steam-
pressed kenaf core binderless particleboard. J Wood Sci 51:2632.
Widyorini, R., K. Kaiho, K. Umemura, and S. Kawai. 2006. Manufacturing and Properties of
Binderless Particleboard: Effect of Extraction Treatment on Mechanical Properties. In:
the 56th Annual Meeting of Japan Wood Research Society (extended abstract), Akita,
Jepang.
Xu, J., S. Sugawara, R. Widyorini, G. Han, and S. Kawai. 2004. Manufacture and Properties
of Low-Density Binderless Particleboard From Kenaf Core. J Wood Sci 50:6267.

232
BIOKOMPOSIT

PENGARUH KOMPOSISI VENIR TERHADAP KARAKTERISTIK


LVL DARI KAYU MAHONI (Swietenia mahagoni (L) Jack) DAN
BAROS (Manglietia glauca )

Renny Purnawati1, Novitri Hastuti2, dan M. Yusram Massijaya3


1
Mahasiswa Pascasarjana S2 Dept. Hasil Hutan IPB
2
Mahasiswa Pascasrjana S2 Dept. Hasil Hutan IPB
3
Staf Pengajar Fakultas Kehutanan IPB

ABSTRAK

Pengujian terhadap komposisi venir kayu mahoni dan kayu baros bertujuan untuk
mengetahui sifat fisik mekanis serta emisi uji delaminasi dan emisi formaldehida Laminated
Veneer Lumber (LVL) yang dibuat dari dua jenis kayu dengan komposisi dan susunan
lapisan yang berbeda. Bahan yang digunakan adalah venir dari jenis kayu mahoni dan
baros dengan komposisi 100% mahoni (P1), 75%:25% mahoni:baros (P2), susunan selang-
seling kedua jenis (P3), 50%:50% mahoni:baros (P4), 25%:75% mahoni:baros (P5), dan
100% baros (P6). Venir dibuat dengan sistem rotary dengan ketebalan 2 mm. LVL dibuat
menggunakan perekat Urea Formaldehida dengan berat labur 180 gr/m2 dan kempa panas
pada suhu 120C. Hasil pengujian adalah komposisi LVL berpengaruh tidak nyata terhadap
kadar air, keteguhan geser horisontal dan MOR pada posisi datar. Komposisi LVL
memberikan pengaruh terhadap kerapatan, keteguhan geser horisontal pada posisi tegak
dan MOE posisi datar. Produk tahan uji delaminasi venir lamina non struktural dan memiliki
rata-rata emisi formaldehida sebesar 2,96 mg/l.

Kata kunci: laminated veneer lumber, komposisi venir mahoni:baros, keteguhan geser dan
lentur, uji delaminasi, emisi formaldehida

PENDAHULUAN

Salah satu usaha untuk melakukan efisiensi penggunaan kayu adalah dengan
mengembangkan teknologi pemanfaatannya. Perkembangan penelitian terhadap produk
kayu komposit dan aplikasinya pada dunia industri sampai saat ini masih terus ditelaah.
Produk kayu olahan terus berkembang dan memegang peranan penting dalam bidang
konstruksi kayu, seperti kayu lamina (glulam) dan venir lamina (Laminated Veneer Lamina),
saat ini secara luas diterima sebagai bagian dari kayu konstruksi dan telah diproduksi secara
komersial (Kawai, 2000).
Laminated Veneer Lumber (LVL) adalah salah satu produk struktural yang dibuat
dengan merekatkan lapisan-lapisan venir dengan perekat dengan arah sejajar serat.
Berdasarkan definisi ini maka venir dengan ketebalan maupun jenis kayu yang sama
ataupun campuran dengan berbagai jenis perekat dapat dijadikan sebagai LVL.
Penggunaan kayu kualitas rendah pada lapisan dalam LVL dapat pula menurunkan biaya
produksi. Dengan teknik ini, produk lamina seperti LVL dapat dibuat sehingga memiliki
karakteristik yang berbeda, bahkan dapat lebih unggul dibandingkan dengan kayu solidnya
baik dari jenis kayu yang sama ataupun berbeda, namun dengan ketebalan yang seragam
(Burdurlu et al 2006).
Lapisan kayu yang diatur sedemikian rupa dengan memperhatikan kualitas bahan
dapatdisesuaikan dengan fungsi yang ditujumaupun dari segi kemampuan struktural dalam
menerima beban. Dengan susunan lapisan yang mempunyai mutu berbeda pada lapisan
tertentu, maka sifat mekanis kayu akan meningkat, antara lain kekuatan dan kekakuannya.
Dengan menyusun lapisan kayu dan memberikan lapisan yang mempunyai mutu lebih tinggi
pada daerah dengan tegangan besar dan mutu yang lebih rendah pada daerah lainnya,
penampang laminasi akan bekerja efektif didalam menerima beban lentur sehingga akan

233
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

mempengaruhi kekuatan lentur maupun kekakuan dari satu kesatuan laminasi tersebut
(Sulistyawati et.al, 2008).
Komposisi produk komposit yang memadukan jenis kayu yang memiliki kerapatan
tinggi dengan jenis kayu yang memiliki kerapatan rendah diteliti untuk membandingkan sifat
mekanisnya dibandingkan dengan kayu solid utuh. Kayu mahoni (Swietenia mahagoni(L).
Jacq) yang tergolong dalam famili Meliaceae merupakan jenis yang tumbuh di zona lembab
seperti Indonesia, Fiji dan Filipina. Mahoni memiliki kerapatan kayu 560-850 kg/m3 pada
kadar air 15% (Joker, 2001). Pembuatan LVL kali ini dengan memadukan venir mahoni
dengan venir baros atau manglid (Manglietia glauca BI). Di Jawa dan Bali kayu baros sangat
disukai karena kayunya mengkilat, strukturnya padat, halus, ringan dan kuat. Kayu baros
memiliki berat jenis 0,41. Pada kadar air 15 %, kerapatannya dapat mencapai 320-580 kg/m3
(Djaman, 2006). Perpaduan venir dari kayu mahoni dan kayu baros yang memiliki
perbedaan kerapatan merupakan aplikasi prinsip desain laminasi.
Pengujian terhadap komposisi venir kayu mahoni dan kayu baros bertujuan untuk
mengetahui sifat fisis mekanis serta delaminasi dan emisi formaldehida Laminated Veneer
Lumber (LVL) yang dibuat dari dua jenis kayu dengan komposisi dan susunan lapisan yang
berbeda.

BAHAN DAN METODE

Bahan dan Alat


Venir yang digunakan adalah venir kayu mahoni dan kayu baros dari daerah Jawa
Barat dengan ketebalan 2 mm. Sebagai perekat digunakan urea formaldehida (UF) cair. Alat
yang digunakan untuk pengujian antara lain hot press, Universal Testing Machine merk
Instron, kaliper, timbangan analitik, oven dan waterbath.

Metode
Pembuatan LVL
LVL berupa multipleks (15 lapis) dibuat dari venir berukuran 80 cm x 15 cm, semua
venir disusun sejajar arah serat. Jenis kayu untuk lapisan luar adalah sama yaitu venir kayu
mahoni, sedangkan bagian dalam disusun berdasarkan susunan yang diperlihatkan pada
Gambar 1.
LVL dibuat dengan menggunakan perekat urea formaldehida (UF). Berat labur
perekat adalah 180 g/m2. Pelaburan perekat dilakukan menggunakan kuas pada satu sisi
bidang rekat (single spread). Pengempaan panas dilakukan selama 10 menit pada suhu
120C.

Pengujian fisis mekanis produk


Pengujian fisis mekanis LVL berdasarkan SNI 01-6240-2000 tentang Venir Lamina.
Sifat fisis dan mekanis yang diuji meliputi kadar air, kerapatan produk, pengujian geser
horizontal dan keteguhan lentur dua titik beban (MOR dan MOR). Uji delaminasi dilakukan
dengan merendam contoh uji ke dalam air dingin selama 24 jam dan perendaman pada air
panas suhu 70C selama 2 jam, kemudian dikeringkan pada oven dengan suhu 60oC 3oC
selama 24 jam. Pengukuran emisi formaldehide sesuai dengan metoda botol Wilhelm
Klaunitz Institute (WKI). Cara pengukuran menggunakan metode ini adalah dengan
menimbang contoh uji yang berukuran 2,5 cm x 2,5 cm untuk menentukan nilai kadar air.
Kemudian, contoh yang lain dengan ukuran yang sama diikatkan pada tutup botol WKI yang
telah berisi air dan disimpan pada suhu 40oC selama 24 jam. Setelah itu larutan dalam botol
WKI direaksikan dengan larutan asetil aseton-amonium asetat. Larutan diukur
absorbanisnya dengan spektrofotometri pada panjang gelombang 412 nm untuk
menentukan konsentrasi larutan dengan cara membandingkan dengan larutan standar
formalin.

234
BIOKOMPOSIT

100% venir mahoni (P1)

75% venir mahoni dan 25% venir baros (P2)

50% venir mahoni dan 50% venir baros (selang-seling) (P3)

50% venir mahoni dan 50% venir baros (P4)

25% venir mahoni dan 75% venir baros (P5)

100% venir baros (P6)

Gambar 1. Pola susunan venir dalam pembuatan LVL

Analisa data
Data yang diperoleh dianalisis menggunakan Rancangan AcakLengkap untuk
mengetahui pengaruh komposisi terhadap karakteristik produk. Selain itu hasil pengujian
juga dibandingkan dengan standar Indonesia mengenai venir lamina. Untuk mengetahui
pengaruh kerapatan produk terhadap emisi formaldehida dilakukan analisis regresi
sederhana.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengujian Sifat Fisik dan Mekanik LVL


Hasil analisis ragam pada selang kepercayaan 95% untuk melihat pengaruh komposisi
venir terhadap sifat fisis mekanis seperti Tabel 1.

Tabel 1. Nilai F hitung pengaruh komposisi venir terhadap sifat fisis mekanis LVL

Sifat LVL F hitung


Kadar Air , % 1.30
Kerapatan, g/cm3 14.57*
Keteguhan geser horisontal (posisi tegak), kg/cm2 4.14*
Keteguhan geser horisontal (posisi datar), kg/cm2 1.97
MOR (posisi datar), kg/cm2 0.27
MOE (posisi datar), kg/cm2 23.57*

235
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Kadar air dan kerapatan


Kadar air dan kerapatan masing-masing komposisi LVL seperti pada Tabel 2.

Tabel 2. Kadar air dan kerapatan LVL

Komposisi LVL1 Kadar Air (%)2 Kerapatan


(g/cm3)3
P1 12,53 0,56
P2 11,98 0,55
P3 11,90 0,53
P4 11,95 0,54
P5 11,69 0,50
P6 11,07 0,48
Keterangan : 1Merujuk pada Gambar 1
2,3
Rata-rata tiap komposisi (3 ulangan)

Kadar air masing-masing komposisi kayu laminasi berkisar antara 11,07 % - 12,53%.
sedangkan kerapatan LVL pada kondisi kering udara berkisar antara 0,48 0,56 g/cm3.
Kadar air dan kerapatan tertinggi pada P1, sedangkan kadar air dan kerapatan terendah ada
pada P6.
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa komposisi dan susunan LVL berpengaruh
tidak nyata terhadap kadar air (Tabel 1). Namun terlihat ada kecenderungan bahwa semakin
tinggi bagian kayu mahoni maka kadar air akan semakin tinggi, dan sebaliknya pada LVL
dengan komposisi kayu baros lebih banyak maka kadar airnya akan semakin kecil. Kadar air
kering udara memenuhi persyaratan SNI 01-6240-2000 yaitu tidak lebih dari 14%.
Hasil analisis ragam terhadap kerapatan LVL menunjukkan bahwakomposisi LVL
berpengaruh nyata terhadap kerapatan (Tabel 1). Kerapatan lebih tinggi pada komposisi LVL
dengan jumlah venir mahoni yang lebih banyak seperti pada P1dan P2. Hal ini disebabkan
oleh karena kerapatan kayu mahoni lebih tinggi dibandingkan kayu baros. Berdasarkan hasil
ini tampak bahwa jenis venir menjadi penentu perbedaan kadar air dan kerapatan dari
komposisi LVL, selain faktor penambahan perekat dan proses pengempaan (Sulastiningsih,
Nurwati dan Santoso 2005).
Kayu mahoni termasuk dalam kelas kuat II-III sedangkan kayu baros memiliki kelas
kuat III-IV.Jika dibandingkan dengan klasifikasi kelas kuat kayu solid berdasarkan berat
jenisnya (Seng 1990) maka produk LVL dengan komposisi venir kayu mahoni dan kayu
baros setara dengan kelas kuat III (berat jenis berkisar 0,40 0,60).

Uji keteguhan geser horizontal


Pengujian keteguhan geser horizontal dilakukan dalam 2 (dua) posisi, yaitu tegak dan
datar. Adapun hasil pengujian seperti tercantum pada Tabel 3.Nilai keteguhan geser
horizontal pada kondisi tegak secara umum lebih tinggi dibandingkan dengan kondisi datar.
Hal ini dapat dijelaskan bahwa LVL lebih mampu menahan gaya geser horisontal sejajar
arah garis rekat dibandingkan tegak lurus garis rekat (Rosalita, 2009). Nilai keteguhan geser
pada kedua kondisi di atas memiliki nilai tertinggi untuk komposisi P1, dan nilai terendah
pada komposisi P6.
Berdasarkan hasil analisis ragam dapat diketahui bahwa perbedaan komposisi
signifikan memberikan pengaruh terhadap nilai keteguhan geser horizontal kondisi tegak
pada taraf kepercayaan 95%. Pengujian geser sendiri bertujuan untuk mengetahui pengaruh
beban terhadap kekuatan lapisan venir dan garis rekat.
Pada kondisi tegak komposisi P4 memiliki nilai keteguhan geser horizontal yang lebih
tinggi dibandingkan dengan komposisi P5. Namun pada kondisi datar nilai keteguhan geser
horizontal P4 justru lebih rendah dibandingkan dengan P5. Perbedaan nilai ini dapat
menjadi indikasi bahwa komposisi laminasi venir mahoni dan baros dengan perbandingan 50
% : 50% cocok untuk penggunaan pada konstruksi dengan posisi lapisan (layer) sebagai
permukaan LVL, karena mampu menahan beban geser lebih kuat. Mengacu pada SNI 01-

236
BIOKOMPOSIT

6240-2000 maka seluruh komposisi LVL yang dibuat termasuk dalam kategori paling tinggi
yaitu 65V 55H.

Tabel 3. Nilai Keteguhan Geser Horizontal

Kondisi Komposisi LVL Keteguhan Geser1(kg/cm2)


Tegak P1 77,14
P2 76,53
P3 73,50
P4 73,44
P5 68,03
P6 63,27
Datar P1 74,22
P2 72,68
P3 70,77
P4 63,26
P5 66,72
P6 40,35

Keterangan :
1
Rata-rata tiap komposisi

Uji keteguhan lentur dua titik beban


Hasil pengujian keteguhan lentur dengan dua titik beban pada kondisi datar seperti
tersaji pada Tabel 4.

Tabel 4. MOE dan MOR pada masing-masing komposisi LVL

Kondisi Komposisi LVL MOR (kg/cm2)1 MOE (kg/cm2)1


Datar P1 611.09 7831,66
P2 584.04 8428,75
P3 644.11 9034,31
P4 706.42 9332,54
P5 685.63 9801,78
P6 643.18 45491,34

Keterangan :
1
Rata-rata tiap komposisi LVL

Berdasarkan hasil pengujian pada Tabel 5 di atas, tampak bahwa LVL dengan
komposisi P4 memiliki nilai MOR yang tertinggi. Hal ini menunjukkan bahwa perpaduan venir
dari jenis kayu yang memiliki berat jenis lebih tinggi dengan venir dari jenis kayu berberat
jenis lebih rendah dapat menghasilkan produk komposit LVL yang memiliki nilai MOR lebih
baik dibandingkan dengan produk komposit LVL yang tersusun dari jenis kayu yang sejenis.
Hal ini tentu sejalan dengan tujuan prinsip desain laminasi.
Jika dihubungkan dengan penggolongan kelas kuat kayu (Seng, 1990) maka nilai
MOR yang dimiliki oleh semua komposisi LVL dapat digolongkan ke dalam kelas kuat II (650
425 kg/cm2), dengan demikian pembuatan LVL ini dapat meningkatkan sifat kekuatan
produk yang dihasilkan jika dibandingkan dengan kayu solidnya. Sejalan dengan hal
tersebut, mengacu pada SNI 01-6240-2000, maka seluruh komposisi LVL yang dibuat dapat
digolongkan dalam kelas Mutu Khusus Mutu I untuk nilai MOR.
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa pengaruh komposisi LVL signifikan
terhadap MOE, dimana nilai MOE tertinggi yaitu pada P6. Terlihat bahwa LVL yang terbuat
dari 100% venir kayu baros jauh lebih tinggi elastisitasnya dibandingkan komposisi lain.

237
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Namun kondisi seperti ini kurang menguntungkan ketika produk dijadikan produk yang
digunakan untuk menahan beban karena akan lebih mudah melengkung.Berdasarkan
persyaratan keteguhan lentur SNI 01-6240-2000 maka seluruh komposisi LVL nilai MOEnya
tidak memenuhi standar.

Pengujian delaminasi
Produk LVL yang dibuat digolongkan dalam produk non struktural karena bahan
perekat yang digunakan dan tebal produk termasuk dalam kelas interior (SNI 01-6240-2000).
Hasil pengamatan terhadap contoh uji menunjukkan bahwa seluruh komposisi LVL memiliki
nilai nisbah delaminasi sebesar 0%. Ini berarti bahwa pembentukan garis rekat antara
lapisan venir yang satu dengan yang lain membentuk ikatan yang kuat dan mantap.
Perekat yang digunakan pada pembuatan LVL adalah urea formaldehida (UF). UF
merupakan perekat yang bersifat thermosetting. Perekat ini terdiri dari polimer ikatan silang
yang terjadi jika diterapkan pada panas dan tekanan. Keuntungan dari perekat ini antara lain
larut air, keras, tidak mudah terbakar, tidak berwarna dan harganya murah.
Hasil uji delaminasi yang tidak menunjukkan adanya delaminasi pada air panas dan
air dingin dapat terjadi karena adanya perekatan spesifik (specific adhesion) yang kuat,
yaituterjadi gaya tarik menarik antara perekat dengan bahan yang direkat.

Pengujian emisi formaldehida

Tabel 5. Emisi formaldehida masing-masing komposisi LVL

Komposisi LVL Kerapatan Kadar emisi1


(g/cm3) (mg/l)
P1 0,56 1,777
P2 0,55 3,359
P3 0,53 2,862
P4 0,54 2,864
P5 0,50 3,601
P6 0,48 3,285

Keterangan:
1
Rata-rata tiap komposisi (2 ulangan)

Tabel 5 terlihat menunjukkan bahwa LVL yang terbuat dari 100% venir kayu mahoni,
dengan kerapatan produk yang paling tinggi memiliki emisi formaldehida yang terendah,
sedangkan yang tertinggi adalah P5, yaitu LVL dengan komposisi kayu baros yang lebih
tinggi dan kerapatan produk yang rendah. Berdasarkan hasil analisis regresi didapatkan
nilai R2 sebesar 0,64 dan nilai t statistik sebesar 1,67 pada taraf kepercayaan 95 %. Jika
dibandingkan dengan nilai t tabel dengan db = 5 pada taraf kepercayaan yang sama
diperoleh nilai 2,015. Karena nilai t statistik <t tabel maka dapat dikatakan bahwa kerapatan
tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kadar emisi formaldehida masing-masing
komposisi LVL.
Urea formaldehida mempunyai kelemahan yakni adanya emisi formaldehida yang
dapat menimbulkan pencemaran terutama di ruangan tertutup. Negara Jepang menetapkan
kadar emisi formaldehida pada kayu lapis rata-rata antar 0,5 5 mg/l (Anonim 1994 dalam
Santoso dan Sutigno 2004).Berdasarkan syarat mutu SNI 01-6050-1999 untuk produk kayu
lapis, maka LVL yang dibuat termasuk dalam klasifikasi F-2 dengan nilai emisi rata-rata
maksimal 5 mg/l.

238
BIOKOMPOSIT

KESIMPULAN

1. Perbedaan komposisi jenis venir mahoni dan baros berpengaruh nyata terhadap
kerapatan produk, keteguhan geser horisontal pada posisi tegak dan MOE pada posisi
datar, namun tidak nyata pengaruhnya pada kadar air, keteguhan geser horisontal dan
MOR pada posisi datar
2. Produk LVL dengan komposisi venir mahoni dan baros tahan terhadap uji delaminasi
non struktural.
3. Rata-rata emisi formaldehida produk sebesar 2,96 mg/l dimana kerapatan produk tidak
berpengaruh nyata terhadap kadar emisi.

DAFTAR PUSTAKA

Burdurlu, E., M. Killic, A.C. Ilce, O. Uzunkavak. 2007. The effects of ply organization and
loading direction on bending strength and modulus of elasticity in laminated veneer
lumber (LVL) obtained from beech (Fagus orientalis L.) and lombardy poplar (Populus
nigra L.). Construction and Building Materials 21 pp. 1720-1725.
Gunduz, G, D. Aydemir, Onat Sm, Akgun K.2011. The Effects of tannin and thermal
treatment onPhysical and mechanical properties of laminated Chestnut wood
composites. BioResources 6 (2) pp.1543-1555.
Joker, D.. 2001. Informasi Singkat Benih. Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan. Edisi Maret
No.4 pp. 1-2
Kawai, S. 2000. Recent Developments of Wood Composites in Japan. Prosiding Semnas
Mapeki. Fahutan Unwim-Jatinangor. Bandung.
Malik J, A. Santoso, H. Roliadi. 2005.Characteristic of laminated wood of logging waste of
three natural forest wood species. Journal of Forestry Research. Vol.2. No.1 pp.37-46
Rosalita, Y. 2009. Kajian optimasi sambungan pasak Bambu laminasi pada struktur
Laminated veneer lumber (lvl). Sekolah pascasarjana Institut pertanian bogor Bogor.
Santoso, A., P. Sutigno. 2004. Pengaruh Fumigasi Amonium Hidroksida Terhadap Emisi
Formaldehida Kayu Lapis Dan Papan Partikel. Jurnal Penelitian Hasil Hutan Vol. 22
No. 1, Juni 2004: 916
Seng, O.D. 1990. Berat Jenis Kayu Indonesia dan Pengertian Berat Jenisnya untuk
Keperluan Praktek. Pengumuman No.13, Lembaga Penelitian Hasil Hutan, Bogor.
SNI 01-6050-1999. Produk Kayu Lapis. Badan Standardisasi Nasional Indonesia.
SNI 01-6240-2000. Venir Lamina. Badan Standardisasi Nasional Indonesia
Sulastiningsih, I.M., Nurwati, A. Santoso. 2005. Pengaruh lapisan kayu terhadap sifat
bambu lamina. Jurnal Penelitian Hasil Hutan. Vol. 23 No 1 pp. 15-22.
Sulistyawati I, N. Nugroho, S. Surjokusumo, Y.S. Hadi. 2008.Kekuatan Lentur Glued
Laminated (Glulam) Kayu Vertikal dan Horizontal dengan Metode Transformed
Cross Section.Journal Tropical Wood Science and Technology Vol. 6 No. 2.pp. 49-
55

239
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

KETAHANAN JAMUR DAN RAYAP DARI KAYU LAPIS SENGON


HASIL FORTIFIKASI PEREKAT LKA-ST/ISOSIANAT

Widya Fatriasari*, Anis Sri Lestari, dan Didi Tarmadi


UPT Biomaterial LIPI, Jl.Raya Bogor KM 46 Cibinong
*E-mail: fatriasari@biomaterial-lipi.org

ABSTRACT

This study evaluated the ability of brown rot fungi and subterranean termite to
decompose plywood panel-bonded by fortification of natural rubber latex-styrene (NRL-St)
and isocyanate by measuring weight loss. Plywood was manufactured using sengon
(Paraserianthes falcataria) veneers. Blending compositions of NRL-St/Isocyanate were
100/0, 90/10, 80/20, 70/30 and 0/100. Plywood specimens were then subjected to fungal
decay resistance tests performed according to Japanese Industrial Standard (JIS) K 1571
(2004) method using a white-rot fungus, Trametes versicolor. The specimens were also
assayed against the subterranean termite, Coptotermes gestroi to determine termite
resistance. Laboratory termite and decay test of plywood panels bonded with fortification of
NRL-St and isocyanate resulted their weight loss more than 3% and dont met JIS standard.
Besides that plywood specimens also have in less resistance to decay attack. Fortification of
NRL-St/Isocyanate (70/30) showed the highest resistant to decay attack, in other hand this
combination was vice in versa to subterranean termites test.

Keywords: Plywood; fortification; NRL-St, isocyanate, decay and termite resistance, White
rot

PENDAHULUAN

Perekat alami yang bersifat water based seperti lateks karet alam dan isosianat dapat
menjadi substitusi perekat sintesis. Dalam aplikasinya pada panel kayu, kedua jenis perekat
ini memiliki berbagai keunggulan antara lain: tidak menghasilkan emisi formaldehida/ramah
lingkungan (Hongjiu et al., 2006; Kawai et al.1998), dapat digunakan baik untuk kempa
panas dan dingin dan pemanasan pada frekuensi tinggi. Isosianat yang merupakan
crosslinking agent dalam perekat API (Aqueous Polymer Isocyanate) (Taki et al., 1994;
1998). Perekat LKA-St merupakan campuran karet alam, polistrena bebas dan karet alam
yang tercangkok dengan polistirena (Yanto et al, 2008;Hermiati et al.,2008). Peningkatan
kualitas LKA dapat dilakukan melalui kopolimerisasi dengan metyl metakrilat (MMA) atau
dengan monomer stirena (Hermiati et al., 2005). LKA memiliki ketahanan yang baik terhadap
organisme dan dapat membentuk ikatan dengan cepat pada tekanan yang relatif rendah.
Meskipun demikian karakteristik adhesi dan kohesinya rendah, kurang tahan terhadap stress
dan panas serta cukup tahan terhadap kelembapan (Marra, 1992). Perekat ini juga cukup
murah, tersedia secara berlimpah di Indonesia, dan aksesibilitasnya mudah (Hermiati et al.,
2006; Fatriasari et al., 2005).
Serangkaian penelitian LKA-St dan LKA sebagai bahan baku perekat produk panel
(kayu lapis dan lamina) pada skala laboratorium telah dilakukan sebelumnya. Kombinasi
optimasi reaksi kopolimerisasi LKA dengan stirena (Hermiati et al.,2000a, Hermiati et al.,
2005,2006), penambahan filler serbuk kulit akasia serta percobaan (Falah et al.,2005),
fortifikasi LKA-St dengan perekat komersial PF (Hermiati et al.,2000b; Prasetya et al.,
2004;Hartoyo dan Utama, 1995; Santoso dan Utama, 1997), MF (Hermiati et al., 2004a),
perekat berbasis resorsinol (Hermiati et al., 2004b dan Yanto et al.,2006) dan isosianat untuk
kayu lamina (Yanto dan Hermiati, 2008) serta kayu lapis (Fatriasari dan Ruhendi 2010).
Panel kayu lebih rentan terhadap kerusakan secara fisik, kimia dan biologis
dibandingkan dengan kayu utuh (Archer et al. 1993 dalam Ayrilmis et al. 2005; Curling dan

240
BIOKOMPOSIT

Murphy 1999; Chung et al.1999 dalam Kartal dan Green 2003). Tetapi pada studi lain Shi
dan Wang (1997) melaporkan bahwa panel kayu memiliki kehilangan berat yang lebih baik
dibandingkan kayu solid menggunakan soil block test (AWPA E10-91). Hal ini karena
kerapatan panel kayu dan keterkaitannya dengan perekat sintetis. Kemampuan material dari
kayu didegradasi secara biologis merupakan kriteria lain untuk melihat lamanya produk
tersebut dapat dimanfaatkan (Baysal et al.2005) terutama untuk penggunaan eksterior.
Adapun faktor lingkungan yang mempengaruhi daya tahan produk kayu dan komposit pada
pemaparan eksterior meliputi degradasi sinar ultraviolet, suhu, serangan jamur, dan kadar air
(Technical Service Division 2000). Panel kayu tergantung terhadap ikatan dari perekatnya
dalam hal integritas dan suseptibilitas terhadap degradasi biologis untuk deteksi pertama
kerusakan ikatan dalam perekat (Vick et al.1996; Wagner et al.1996; Carl dan Highley 1999;
Kartal dan Clausen 2001).
Berdasarkan informasi penelitian terdahulu, sampai saat ini belum diketahui informasi
berkaitan dengan sifat biologis produk panel kayu baik itu kayu lapis maupun lamina yang
menggunakan perekat berbasis LKA-St dan isosianat. Penelitian ini merupakan kelanjutan
dari penelitian yang telah dilakukakan sebelumnya oleh Fatriasari dan Ruhendi (2010)
khususnya untuk untuk mengevaluasi sifat biologis kayu lapis dengan perekat LKA-
St/isosianat dalam berbagai kombinasi fortifikasi terhadap serangan jamur white-rot dan
rayap tanah dengan uji laboratorium.

BAHAN DAN METODE

Persiapan Bahan Baku


Pembuatan sampel kayu lapis sengon dan sintesis Perekat LKA-St
Sampel kayu lapis dan sintesis perekat LKA-St dibuat dengan mengacu pada
penelitian yang telah dilakukan sebelumnya oleh Fatriasari dan Ruhendi (2010).

Sampel kayu lapis


Sampel kayu lapis dipotong dengan ukuran 2 x 2 x 0,5 cm. Selanjutnya sampel panel
tersebut ditimbang untuk mengetahui berat kering oven sebelum pengujian (ODW1).
Kemudian sampel disterilisasi dengan menggunakan autoklaf pada suhu 1210C dan tekanan
1 atm selama 20 menit untuk mencegah terjadinya kontaminasi oleh mikroorganisme lain.

Inokulum Jamur
Inokulum jamur pelapuk kayu yang digunakan adalah white rot dari jenis Trametes
versicolor. Jamur ditumbuhkan di media PDA agar miring selama 7 hari. Inokulum jamur
yang berumur 7 hari tersebut selanjutnya diinokulasikan ke media pengujian. Kemudian
jamur dibiarkan tumbuh selama 7 hari sehingga menutupi seluruh lapisan permukaan
media pengujian.

Media
Media yang digunakan adalah media untuk menumbuhkan jamur dari kelas
Basidiomycetes. Komposisi media/L adalah sebagai berikut: KH2PO4 3 g, MgSO4.7 H2O 2 g,
Glukosa 25 g, Peptone 5 g, Ekstrak Malt 10 g dan dilarutkan dalam air suling 1000 ml.
Sebanyak 45 ml media cair dituang ke dalam botol uji yang berisi 150 g pasir kuarsa setelah
itu media disterilisasi menggunakan otoklaf pada suhu 1210C dan tekanan 1 atm selama 20
menit. Media ini merupakan media yang digunakan untuk pengujian jamur.

Metode Pengujian
Pengujian sampel kayu terhadap jamur pelapuk kayu menggunakan standar
pengujian JIS K 1571 yang telah dimodifikasi (Anonim, 2004). Sampel kayu yang telah
disterilisasi dimasukkan ke dalam media pengujian yang telah diinokulasi jamur secara
aseptis. Selanjutnya media dan sampel kayu tersebut diinkubasi selama 1.5 bulan. Di akhir
masa inkubasi, sampel kayu dibersihkan dari sisa-sisa miselium jamur, kemudian

241
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

dikeringkan dan ditimbang untuk mengetahui berat kering oven setelah pengujian (ODW2).
Hasil pengujian diketahui dari nilai kehilangan berat pada kayu sampel (weight loss).
Nilai weight loss (WL) diperoleh dengan rumus:

ODW1 ODW2 x 100 %


ODW1

Dimana:
ODW1 = berat kering oven sebelum pengujian
ODW2 = berat kering oven setelah pengujian

Gambar 1. Pengujian sampel kayu lapis terhadap jamur white-rot (T.versicolor)

Pengujian sampel kayu lapis terhadap rayap tanah (JIS K 1571(2004))


Pengujian ketahanan sampel kayu lapis terhadap serangan rayap tanah
menggunakan metode forced-feeding test (metode umpan paksa). Sampel yang akan diuji
kemudian bersama 150 ekor rayap pekerja dan 15 ekor rayap prajurit dari jenis Coptotermes
gestroi (Gambar 2a) dimasukkan ke dalam acrylic silinder yang bagian bawahnya telah
dilapisi plaster paris setebal 5 mm. Tissue diletakkan dibawahnya untuk menjaga
kelembaban. Unit-unit pengujian tersebut kemudian disimpan di tempat yang gelap bersuhu
28 20C dengan kelembaban di atas 85 % selama 21 hari. Sebelum diumpankan terlebih
dahulu sampel dioven pada suhu 600 C selama 3 hari untuk mengetahui beratnya. Data yang
diamati yaitu persentase kehilangan berat (weight loss). Pengamatan dilakukan tiap minggu
selama tiga minggu. Cara perhitungan kehilangan berat dapat dihitung berdasarkan rumus
dibawah ini
Nilai kehilangan berat dihitung dengan rumus :

Kehilangan berat(%) = ODW1 ODW2 x 100 %


ODW1
Dimana:
ODW1: Berat kering oven sample sebelum pengujian rayap
ODW2: Berat kering oven sample setelah pengujian.

242
BIOKOMPOSIT

Gambar 2a. Coptotermes gestroi Gambar 2b.Kontainer pengujian (JIS K 1571,2004)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Ketahanan Kayu Lapis Terhadap Jamur White-Rot (T.versicolor)


Kehilangan berat (weight loss) kayu lapis sengon yang menggunakan perekat hasil
fortifikasi LKA-St/Isosianat dalam berbagai komposisi terhadap serangan jamur white-rot
ditunjukkan oleh Gambar 3 dibawah. Berdasarkan gambar tersebut tampak bahwa fortifikasi
LKA-St/isosianat 70/30 dengan kempa panas 10 menit memiliki nilai kehilangan berat paling
kecil dibandingkan dengan kombinasi yang lain. Hal ini berarti kombinasi ini paling tahan
terhadap serangan jamur white-rot, T.versicolor. Fortifikasi perekat sintetis memiliki
pengaruh negatif terhadap serangan jamur (Technical Service Division 2000). Sedangkan
kayu lapis dengan perekat LKA-St dengan kempa panas selama 5 menit memiliki ketahanan
yang paling kecil terhadap serangan jamur tersebut, yang dicerminkan dari nilai kehilangan
beratnya yang tertinggi. Terjadi peningkatan kehilangan berat pada fortifikasi LKA-
St/isosianat 80/20, penyebab pasti fenomena ini belum diketahui pasti.
Pada seluruh kombinasi fortifikasi LKA-St/isosianat, kempa panas yang lebih lama
berdampak pada penurunan kehilangan berat sampel. Perbedaan kehilangan berat yang
paling besar dengan perubahan lama pengempaan panas tampak pada kayu lapis yang
hanya menggunakan perekat LKA-St saja. Pengempaan panas yang lebih lama dapat
meningkatkan kerapatan kayu lapis dan menurunkan kadar air kayu lapis, dimana menurut
Technical Service Division (2000), kerapatan yang lebih tinggi menyebabkan oksigen dan
difusi kadar air dalam substrat bagian interior lebih sulit sehingga akan menghambat
pertumbuhan jamur. Serangan jamur hanya terjadi pada selang suhu dan kelembapan
tertentu .
Kehilangan berat yang terjadi pada seluruh sampel kayu lapis cukup tinggi (>15%),
dan tidak memenuhi standar JIS K 1571 (Anonim 2004) yaitu 3 %. Keberadaan LKA-St tidak
cukup memberikan dampak positip terhadap sifat ketahanannya terhadap organisme
perusak seperti jamur. Besarnya tingkat kehilangan berat yang terjadi tergantung pada tipe
jamur dan jenis kayu yang diuji (Muin et al.2008). Marra (1992) mengungkapkan bahwa
lateks karet alam (LKA) memiliki sifat yang relatif tahan terhadap organisme perusak.
Meskipun demikian tidak adanya sistem perlindungan khusus pada substrat terhadap
serangan jamur menyebabkan terjadinya tingkat kehilangan berat yang cukup besar. Hal ini
dapat dipahami karena substrat hanya memberikan pertahanan alami terhadap serangan
jamur karena tidak adanya modifikasi kimia dari substrat. Gaya adhesi yang terjadi tanpa
terjadi ikatan kimia antara perekat dan sirekat kemungkinan menyebabkan kurang baiknya
perlindungan terhadap serangan jamur. Selain itu dalam sistem panel tersebut tidak
ditambahkan bahan pengawet ataupun dilakukan modifikasi kimia untuk meningkatkan
ketahanan kayu lapis terhadap serangan jamur.

243
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Mekanisme kehilangan berat pada kayu lapis ini akibat terjadinya penyerangan
polimer komponen kimia dinding sel kayu terutama lignin melalui depolimerisasi dan
metabolisme lignin. Komponen dinding sel dimanfaatkan dengan urutan dan laju yang
beragam oleh jamur white rot yang berbeda, yang dipengaruhi kemampuan enzimatiknya
(Muin et al.2008). Menurut Liese (1970) dalam Muin et al.(2008), jamur white rot yang
digunakan untuk uji jamur ini yaitu T.versicolor termasuk dalam simultaneous white-rotter
(komponen dinding sel diserang secara seragam pada seluruh tahap pelapukan).
Hemiselulosa dimanfaatkan pada tahap awal pelapukan, dimana kehilangan berat mencapai
95-97% dari berat awal kayu. White rot mengkonsentrasikan serangannya pada permukaan
dinding sel yang terpapar, enzim kemudian perlahan-lahan mengikis jalannya dinding sel
dari permukaan rongga sel. Jamur white-rot memproduksi enzim yang tidak spesifik yaitu
ligninase untuk mendegradasi lignin (Barr dan Aust 1994 dalam Gusse et al.2006). Sistem
perekat LKA-St/isosianat dalam kayu lapis juga mungkin terdegradasi seperti pada
degradasi yang terjadi pada resin phenolik oleh jamur pelapuk putih terutama
Phanerochaete crysososporium (Gusse et al.2006).

Gambar 3. Ketahanan kayu lapis dengan perekat LKA-St/isosianat terhadap


serangan jamur white- rot (T.versicolor)

Perbandingan model perusakan yang dilakukan pada dinding sel kayu oleh tiga jenis
jamur perusak kayu di perlihatkan oleh Gambar 4 diatas, dimana masing-masing jenis jamur
memiliki model perusakan yang berbeda. Jamur white rot melakukan penyerangan dari
permukaan lumen sel.

Gambar 4. Diagram perbandingan model perusakan dinding sel oleh jamut white-rot,
brown rot dan soft-rot (Zabel and Morrell 1992 dalam Muin et al 2008)

244
BIOKOMPOSIT

Ketahanan Kayu Lapis Terhadap Serangan Rayap Tanah (Coptotermes gestroi)


Rayap tanah dapat menyebabkan kerusakan pada kayu dan papan komposit dari
kayu yang tidak awet dan oleh karena itu panel kayu ini sedikit kurang tahan terhadap
serangan rayap (Behr 1972; Evans et al., 1997; Kard and Mallete, 1997; Evans et al., 2000
dalam Kartal dan Green III 2003). Serangan rayap tanah pada sampel kayu lapis
ditunjukkan oleh terjadinya kehilangan berat yang bervariasi untuk masing-masing kombinasi
fortifikasi. Kehilangan berat sampel kayu lapis setelah diserang rayap tanah Coptotermes
gestroi ditunjukkan oleh Gambar 5. Terdapat kecenderungan kehilangan berat kayu lapis
sampai fortifikasi isosianat 20%.

Gambar 5. Ketahanan kayu lapis dengan perekat LKA-St/isosianat terhadap serangan


rayap tanah (Coptotermes.gestroi)

Peningkatan fortifikasi isosianat 30% dalam campuran perekat justru menyebabkan


sampel tidak tahan terhadap serangan rayap. Kombinasi fortifikasi LKA-St/isosianat yang
paling tahan terhadap serangan rayap adalah 80/20 dengan lama pengempaan 10 menit,
Meskipun fortifikasi LKA-St/isosianat 70/30 paling tahan terhadap serangan jamur, tapi justru
fortifikasi ini paling tidak tahan terhadap serangan rayap tanah. Harapan semula
penambahan isosianat dalam sistem LKA-St akan meningkatkan ketahanan kayu lapis
terhadap serangan rayap tanah. Hal ini mengingat salah satu kelebihan penggunaan
isosianat adalah meningkatkan ketahanan kayu terhadap deteriorasi akibat faktor biologis
(Weaver dan Owen 1992). Selain itu lama pengempaan yang lebih panjang (10 menit)
cenderung menyebabkan kehilangan berat sampel yang lebih tinggi, kecuali pada fortifikasi
70/30. Hal ini kemungkinan terkait dengan peningkatan kerapatan dengan semakin lamanya
waktu kempa, sehingga rayap cenderung tidak menyukai panel ini.
Seperti pada uji ketahananan terhadap jamur, kehilangan berat pada sampel kayu
lapis akibat serangan rayap cukup tinggi (>3%). Hal ini berarti semua kombinasi fortifikasi
tidak tahan terhadap serangan rayap dan tidak memenuhi standar JIS K 1571 (2004).
Rayap memanfaatkan komponen dinding sel terutama selulosa sebagai sumber
makanannya.Tujuan rayap menyerang kayu adalah untuk mendapatkan perlindungan dan
menjamin kebutuhan makanannya bagi pertumbuhan dan perkembangannya (Kofoid et
al.1994 dalam Hunt and Garrat 1986). Selanjutnya Nandika et al.(2003) mengungkapkan
bahwa protozoa flagelata berperan sebagai simbion untuk menguraikan selulosa sehingga
rayap mampu mencernanya. Rayap memberikan perlindungan berupa tempat yang anaerob
dan makanan bagi organisme simbion. Oraganisme simbion menyumbangkan enzim
selulosa untuk pencernaan selulosa yang masuk dalam saluran pencernaan rayap. Rayap

245
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

memanfaatkan hasil akhir dari metabolisme selulosa yang berupa asam asetat dan
menggunakkanya sebagai salah satu energi.

KESIMPULAN

Semakin lama kempa panas cenderung menyebabkan penurunan tingkat kehilangan


berat terhadap pengujian jamur white-rot.Fortifikasi isosianat sebesar 20% pada lateks karet
alam-stirena (LKA-St) meningkatkan terhadap ketahanan kayu lapis sengon terhadap
serangan rayap tanah C.gestroi. LKA-St/isosianat 70/30 paling tahan terhadap serangan
jamur white-rot, T.versicolor., tapi tidak tahan terhadap serangan rayap tanah. Kombinasi
fortifikasi LKA-St/isosianat 80/20 dengan pengempaan 10 menit yang paling tahan terhadap
serangan rayap. Kehilangan berat baik pada pengujian rayap dan jamur yang cukup tinggi
(>3%) dan tidak memenuhi standar JIS K 1571 (2004).

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2004. Test methods for Determining The Effectiveness of Wood Preservatives and
Their Performance Requirements. Japanese Industrial Standar K 1571.
Ayrilmis, S. N. N. Kartal,T. L. Laufenberg,J. E. Winandy, R. H. White.2005.Physical and
mechanical properties and fire, decay, and termite resistance of treated oriented
strandboard. Forest Prod. J. 55(5):74-81
Baysal, E., M.K. Yalinkilic, M.Altinok, A. Sonmez, H. Peker and M. Colak. 2006. Some
physical, biological,mechanical, and fire properties of wood polymer composite
(WPC) pretreated with boric acid and borax mixture. Journal Construction and
Building Materials (article in Press)
Behr, E.A.1972. Decay and termite resistance of medium-density fiberboards made from
wood residue. Forest Products Journal 22 (12):48-51
Carl, C.H., Higley, T.L.1999. Decay of wood and wood-based products above ground in
buildings. Jounal of Testing and Evaluation 27(2):150-158
Charrier, F., A. Moubarik., A. Allal , A. Pizzi and B. Charrier. Fungal decay resistance and
mechanical properties of plywood panels made from maritime pine (Pinus pinaster)
and bonded with cornstarch-quebracho tannin-phenol formaldehyde adhesive. IRG
41
th Annual Meeting, Biarritz, France, 9- 13 May 2010
Evans, P.D., Creffield, J.W., Conroy, J.S.G., Barry, S.C., 1997. Natural durability and
physicaproperties of particleboard composed of white cypress pine and radiata pine.
Forest Products Journal 47 (6): 87-94
Evans, P.D., Dimitriades, S., Cunningham, R.B., Donnely, C.F. 2000. Medium density
fiberboard manufactured from blends of white cypress pine and non-durable wood
species shows increased resistance to attack by the subterranean termite,
Coptotermes lacteus. Holzforschung 54(6): 585-590
Falah, F., E.Hermiati, W.Fatriasari.2005. Pengaruh penambahan serbuk kulit kayu akasia
pada lateks karet alam stirena terhadap keteguhan rekat kayu lapis. Prosiding
Seminar Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) VIII. Tenggarong, 3-5
September 2005, hal B 85-B 91
Fatriasari, W. dan S. Ruhendi.2010.Karakteristik perekat hasil fortifikasi lateks karet alam-
stirena (Lka-St) dengan isosianat dan aplikasinya sebagai perekat kayu lapis sengon
(Paraserianthes falcataria) . Prosiding MAPEKI XIII, Bali, 11 November 2010
Fatriasari, W., E. Hermiati,F. Falah.2005. Perubahan kualitas perekat kayu lapis dari bahan
dasar pati selama masa penyimpanan. Prosiding Seminar Masyarakat Peneliti Kayu
Indonesia (MAPEKI) VIII. Tenggarong, 3-5 September 2005,hal B-92-B95
Gusse, Adam C., Pauld Miller and Thomas J . Volk.2006. White-rot fungi demonstrate first.
biodegradation of phenolic resin. Environ. Sci. Technol. 40: 4196-4199

246
BIOKOMPOSIT

Hartoyo dan Utama, M. 1995. Studi Pemakaian Lateks Alam Metal Metakrilat dan Stirena
Kopolimer Untuk Bahan Perekat Kayu Lapis. Prosiding Simposium Nasional Polimer.
Hal. 252 253
Hermiati E., W. Fatriasari, A. H. Prianto. 2004a. Sifat dan daya rekat campuran lateks karet
alamstirena dan melamin formaldehida sebagai perekat kayu lapis tipe eksterior
Prosiding Mapeki VII, Makassar 5-6 Agustus 2004.Hal B64-B69
Hermiati, E., F. Falah, A. H. Prianto, A. Santoso dan M.I. Iskandar.2004b.Substitusi perekat
fenol resorsinol formaldehida dengan lateks karet alamstirena pada pembuatan
kayu lamina. Proceeding Mapeki VII, Makassar 5-6 Agustus 2004.B142-B147
Hermiati, E., Sudijono dan Nurhayati. 2000b. Substitusi perekat fenol formaldehida dengan
lateks karet alam pada pembuatan kayu lapis. Prosiding Seminar Nasional III
Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia, hal.: 301 306
Hermiati, E., Utama, M., Prasetya, B. dan Sudijono. 2000a. Kopolimerisasi lateks karet alam
dengan monomer stirena dan aplikasinya sebagai perekat kayu lapis. Prosiding
Seminar Nasional Teknologi Proses Kimia II, hal. E.3-1 E.3-6
Hermiati, E., W.Fatriasari., and F.Falah. 2006. Effects of several synthesis conditions on
bond strength of plywood adhered with natural rubber latex styrene adhesive.
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis 4(1): 33 38
Hermiati,E, D. H. Y.Yanto dan F. Falah. 2008.Synthesis of aqueous polymer isocyanate for
plywood adhesive. Report of IFS Project AF/3268-1 (Blending Of Natural Rubber
LatexStyrene with Elected Commercial Wood Adhesives For Production Of Some
Wood Panels). R & D Unit for Biomaterials LIPI-Cibinong
Hermiati,E, W. Fatriasari dan F. Falah.2005.Bond strength of natural rubber latex styrene
as plywood adhesive.Report of IFS Project (Part II). R & D Unit for Biomaterials LIPI-
Cibinong
Hongjiu, H., Hong, L., Junjin, Z., Jie, L. 2006. Investigation of adhesive performance of
aqueous polymer latex modified by polymeric methylene diisocyanate. Journal of
Adhesian 82(1): 93 114.
Hunt, G.M. and G.A Garrat. 1986. Pengawetan Kayu. Jakarta: Akademika Pressindo
Nandika D, Rismayadi Y, Diba F. 2003. Rayap, Biologi dan Pengendaliaannya. Surakarta:
Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Kard, B.M.,Mallete, E.J.,1997. Resistance of six wood products used in paneling to
Reticulitermes flavipes (Isoptera:Rhinotermitidae). Journal of Economic Entomology
90(1):178-182
Kartal, S. Nami and F. Green III. 2003. Decay and termite resistance of medium density
fiberboard (MDF) made from different wood species. International Biodeterioration &
Biodegradation 5 (1) :29-35
Kartal, S. Nami, N. Ayrilmis and Y. Imamura.2007.Decay and termite resistance of plywood
treated with various fire retardants. Building and Environment
42(3):1207-1211
Kartal, S.N., Clausen, C.A.2001. Leachability and decaya resistance of particleboard made
from acid exctacted and bioremidiated CCA-treated wood. International
Biodeterioration and Biodegradation 47(3): 183-191
Kawai S, Umemura K., Ssaki H., Matsuo K.1998. The effect of the formulation of isocyanate
resins on the properties of particleboard. Di dalam Hadi Y.S. compiler. Proceeding of
the Fourth Pasific Rim Bio-Based Composites Symposium. Bogor 2-5 September
1998
Marra, A.A. 1992. Technology of Wood Bonding. Van Nostrand Reinhold, New York.

247
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Muin, M., A.Arif, Syahidah. 2008.Deteriorasi dan perbaikan sifat kayu. Buku Ajar Mata Kuliah
Deteriorasi dan Perbaikan Sifat Kayu. Fakultas kehutanan, Universitas Hasanudin.
www.unhas.ac.id/.../1-buku-ajar.html?...13%3Adeteriorasi-dan-perbaikan-..[19 Juli
2011]
Prasetya, B., Hermiati, E. and Sudijono. 2004. The effects of catalyst percentage in
peparation of wood liquid on its bond strength as phenol formaldehyde substitute for
plywood adhesive. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis 2(2) : 95 98. (in
Indonesian)
Santoso, A. dan Utama, M. 1997. Pengaruh Kadar Monomer Stirena dan Ekstender Dalam
Kopolimer Lateks Karet AlamStirena Terhadap Keteguhan Rekat Kayu Lapis Tusam
(Pinus mercusii). Prosiding Penelitian dan Pengembangan Aplikasi Isotop dan
Radiasi. Hal. 97 100.
Shi, Qiang and John Z. Wang. 1997. Utilization of Polymer Automobile Fluff in Wood
Fiberboard. Journal of solid. Waste Technology and Management 24 (4)
Taki, K. 1998. Recent development of water-based polymer-isocyanate adhesives. Adhesive
Technology and Bonded Tropical Wood Products (Taiwan Forestry Research Institute
/ TFRI Extension Series No. 96), pp. 95 103.
Taki, K., Yoshida, H., Yamagishi, Y. and Inoue, T. 1994. Mechanical properties and bond
strength of water-based polymer-isocyanate adhesives. Proceedings of The
Adhesives and Bonded Wood Symposium (Proceedings No. 4735 / FPS), pp. 307
316.
Technical Service Division.2000.Service life of oriented strand board (OSB). Technical
topics, APA the engineered wood association, Form No TT-052.November 2000.
www.sps-dz.com/downloads/PDFs/osb_tectopics_lifetime_en.pdf. [20 Juli 2011]
Vick, C.B., Geimerm R.L., Wood, J.E.1996. Flakeboards from recycled CCA-treated southern
pine lumber. Forest Products Journal 46(11/12):89-91
Wagner, P.A., Little, B.J., Hart, K.R., Ray, R.I.1996. Biodegradation of composite materials.
International Biodeterioration & Biodegradation 36(4):125-132
Weaver FW, Owen NL.1992. The isocyanate wood adhesive bond. Di dalam: Palckerr DV,
Dunningham EA, compiler. Proceedings of The Pasific Rim Bio-Based Composites
Symposium. Rotorua New Zealand, 9-13 November 1992
Yanto, D.H.Y. dan E.Hermiati. 2008. Campuran lateks karet alam-stirena dan poliisosianat
sebagai perekat kayu lamina. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis 6 (2):63-68
Yanto, D.H.Y., F.Falah, E.Hermiati. 2008. Blends of natural rubber latex styrene and
aqueous polymer isocyanate adhesive for gluing laminated wood of acacia mangium
and plywood of shorea sp. Report of IFS Project AF/3268-1 (Blending Of Natural
Rubber Latex Styrene With Elected Commercial Wood Adhesives For Production
Of Some Wood Panels). R & D Unit for Biomaterials LIPI-Cibinong
Yanto, D.H.Y., Fatriasari, W., Hermiati, E. 2006. Fortification of Deernol 33E and PI-120 on
natural rubber latex styrene. Widyariset 9: 49 54. (in Indonesian).
Zabel,R.A and J.J.Morrell.1992. Wood Microbiology:Decay and its Prevention.Edisi Pertama.
Academic Press, Inc.San Diego.California

248
BIOKOMPOSIT

PEMANFAATAN LIMBAH PENGOLAHAN KAYU JATI


SEBAGAI BAHAN BAKU PAPAN PARTIKEL NON PEREKAT
Muhammad Navis Rofii dan Ragil Widyorini
Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada

ABSTRAK

Pembuatan papan tiruan pada prinsipnya bertujuan untuk memanfaatkan bahan kayu
bernilai rendah atau bahan lignosesulosa lainnya yang dapat diperoleh dari limbah industri
pengolahan kayu bahkan limbah pertanian dan perkebunan. Papan partikel tanpa perekat
sebagai salah satu produk papan tiruan yang dapat dibuat dari limbah pengolahan kayu,
merupakan alternatif pemecahan terhadap tekanan ekonomi maupun lingkungan. Tidak
adanya tambahan bahan perekat yang pada umumnya bersifat tak terbarukan dan tak dapat
didaur ulang menjadikan produk ini ramah lingkungan dan proses pembuatannya menjadi
lebih murah.
Pada penelitian ini, partikel yang diperoleh dari sisa pengolahan kayu jati yang
berupa pasahan (planer shavings) dibuat menjadi papan partikel tanpa menggunakan
perekat (binderless particleboard). Ukuran papan yang dibuat adalah 25 x 25 cm2 dengan
ketebalan 0,7 cm. Pengaruh suhu kempa (180C, 200C dan 220C) diinteraksikan dengan
variasi waktu kempa yang berbeda (5;10, 7,5;7,5 dan 10;5) untuk memperoleh kualitas
papan partikel yang optimal. Percobaan disusun secara faktorial 3 x 3 dengan 3 ulangan
untuk masing-masing perlakuan. Hasil penelitian dianalisis keragaman dan apabila
menunjukkan perbedaan nyata diuji lanjut dengan uji Tukey. Parameter yang diuji adalah
kadar air, kerapatan, pengembangan tebal, penyerapan air, internal bonding dan keteguhan
lengkung statik.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa papan partikel tanpa perekat dari kayu Jati
mempunyai nilai kadar air, kerapatan dan pengembangan tebal yang masih memenuhi
standar JIS A5908. Interaksi kedua faktor berpengaruh pada kadar air, kerapatan dan MOR.
Suhu kempa yang berbeda berpengaruh terhadap sifat fisika dan mekanika papan, dimana
suhu 200C menghasilkan nilai yang lebih baik daripada yang lain pada sifat mekanika
papan, sedangkan suhu 220C menghasilkan nilai lebih baik daripada yang lain pada sifat
fisika papan. Variasi waktu kempa berpengaruh hanya pada nilai MOR dan IB, dimana
variasi waktu kempa 5;10 menit memberikan nilai terbaik. Kombinasi perlakuan dengan suhu
200C dan waktu kempa 5;10 memberikan nilai yang relatif lebih baik terhadap parameter
pengujian. Papan partikel tanpa perekat dari kayu Jati mempunyai keteguhan rekat,
keteguhan patah dan lentur yang masih rendah, sehingga perlu usaha perbaikan dengan
perlakuan pendahuluan. Meskipun demikian produk ini berpotensi sebagai bahan lapisan
core produk komposit.

Kata kunci : papan partikel non perekat, partikel kayu jati, kualitas papan partikel

PENDAHULUAN

Penelitian mengenai pembuatan komposit tanpa perekat telah banyak dilakukan


dengan menggunakan bahan baku bukan kayu. Bahan baku bukan kayu banyak digunakan
dengan pertimbangan karena bahan tersebut mengandung banyak hemiselulosa yang
diketahui mempunyai peran yang sangat penting dalam mekanisme auto-perekatan.
Penelitian dengan menggunakan bahan kayu dilakukan oleh Okamoto et al. (1994)
menggunakan serat campuran kayu lunak dan kayu keras dengan menggunakan
pengempaan dengan injeksi uap dan Angles et al. (1999) dengan menggunakan campuran
serat kayu lunak dengan melalui perlakuan awal dengan penguapan. Dari sudut pandang
lingkungan dan ekonomi, pembuatan papan tiruan tanpa perekat adalah menguntungkan.

249
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Hal ini karena: pertama, karena limbah bahan lignoselulosa bersifat dapat didaur ulang dan
terbarukan; kedua, karena tidak adanya resin sintetik yang digunakan dalam proses
pembuatannya (Angles et.al., 1999). Teknologi perekatan tanpa perekat juga sudah
dieksplorasi sejak pertengahan tahun 1980-an. Komposit tanpa perekat ini diprediksikan
menjadi produk yang berpotensi, terutama di negara-negara yang mempunyai bahan kayu
terbatas dan kekurangan industri kimia tetapi banyak menghasilkan limbah pertanian
(Widyorini, 2008). Binderlessboard merupakan produk tanpa perekat yang kekuatan
rekatnya dihasilkan dari aktivasi komponen-komponen kimia yang terkandung di dalamnya
selama proses perlakuan panas/steam.
Di Yogyakarta dan sekitarnya banyak sekali industry pengolahan kayu jati.Produk-
produk yang dihasilkan antara lain kusen, daun pintu dan jendela maupun mebeler.
Banyaknya industry kecil menengah yang memproduksi barang-barang tersebut
memungkinkan banyaknya limbah yang dihasilkan. Limbah tersebut dapat berupa
sebetan,partikel maupun serbuk gergaji. Potensi ini perlu digunakan untuk memberikan
manfaat atau nilai tambah bagi produk utamanya, yaitu dengan memanfaatkan limbah-
limbah tersebut untuk pembuatan papan tiruan seperti papan partikel. Partikel kayu Jati
dipilih oleh karena ketersediaannya yang cukup melimpah dan dalam penelitian ini akan
dicoba pembuatan papan partikel dari partikel kayu jati tersebut dengan tidak menggunakan
bahan perekat. Apabila dikaitkan dengan bentuknya sebagai partikel, sifat yang masih
melekat adalah komposisi kimianya. Komposisi kimia kayu jati adalah selulosa 47,5%, lignin
29,9 %, pentosan 14,4%, kadar abu 1,4%, silika 0,4%, kelarutan dalam air dingin 1,2%,
kelarutan dalam air panas 11,1%, kelarutan dalam alkohol benzen 4,6% dan kelarutan dalam
NaOH 1% sebesar 19,8% (Martawijaya, et.al., 1986).
Keberadaan ekstraktif yang relatif banyak pada kayu jati tersebut dimungkinkan akan
menjadi hambatan dalam pembuatan papan partikelnya. Ekstraktif dilaporkan menyebabkan
permasalahan pada pengerasan/pematangan perekat apabila papan partikel dibuat dengan
bahan perekat dan sering menyebabkan blow, yaitu kerusakan/patahnya papan akibat
tekanan udara pada saat pengempaan dibuka (Haygreen dan Bowyer, 1996). Pada
pembuatan papan partikel tanpa perekat dari partikel kayu jati, terjadinya blow sangat
dimungkinkan sehingga perlu kehati-hatian dalam pengempaan panas.
Beberapa faktor yang berpengaruh pada pembuatan papan partikel tanpa perekat
perlu dicari dalam kaitannya dengan kualitas produk yang dihasilkan. Pada penelitian ini
pengaruh suhu kempa akan diinteraksikan dengan waktu kempa yang berbeda. Hal ini yang
menjadi permasalahan yang akan dikaji.Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh
variasi suhu dan lamanya pengempaan terhadap kualitas papan partikel kayu jati yang
dibuat tanpa menggunakan bahan perekat. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah
informasi dan referensi tentang pembuatan papan komposit tanpa perekat dari limbah
pengolahan kayu beserta faktor-faktor yang mempengaruhi kualitasnya.

BAHAN DAN METODE

Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah partikel yang diperoleh dari industri
pengolahan kayu Jati (Tectona grandis) di Yogyakarta. Peralatan yang digunakan antara lain
gergaji bundar, saringan partikel, timbangan analitik, oven pengering, desikator, mat/cetakan
papan, mesin kempa panas, alat uji mekanika UTM.

Persiapan Partikel
Partikel kayu jati diperoleh dari industri pengolahan kayu jati yang merupakan limbah
berupa pasahan (planer shaving). Partikel tersebut disaring dengan ayakan 0,2 cm2
kemudian dikeringkan dengan cara dijemur sampai kadar airnya konstan (12% 16%).
Setelah kering, partikel yang diperoleh kemudian ditimbang untuk masing-masing perlakuan.
Kebutuhan partikel untuk masing-masing ulangan disesuaikan dengan ukuran papan yang
akan dibuat dan kerapatan papan yang akan dituju. Ukuran yang akan dibuat adalah 25 x 25
cm2 dengan kerapatan yang dituju 0,75 g/cm3. Mat atau kasuran dibuat terlebih dahulu untuk

250
BIOKOMPOSIT

membuat cetakan papan partikel dan menempatkan partikel sebelum dikempa panas untuk
dilakukan prepressing.

Pengempaan Panas
Setelah partikel siap kemudian dimasukkan dalam mat/kasuran yang diberi alas
berupa plat baja, diratakan permukaannya kemudian ditekan selama 3 5 menit. Mat
kemudian diangkat/dilepas dan partikel dimasukkan dalam mesin kempa panas. Pada
pinggir plat kempa diletakkan thickness bar untuk mengatur ketebalan papan yang akan
dibuat, yaitu 0,7 cm. Pengempaan dilakukan pada suhu 180C, 200 C dan 220 C dengan
total waktu kempa 15 menit. Papan partikel yang telah dibuat kemudian dikondisikan pada
suhu kamar selama 7 hari.

Pengujian Papan Partikel


Papan partikel yang telah mencapai kondisi kering udara kemudian dibuat contoh uji
menurut standar JIS A-5908 (JIS, 1994). Contoh uji dibuat untuk pengujian kadar air,
kerapatan, pengembangan tebal, penyerapan air, keteguhan lengkung statik (MOE dan
MOR) dan keteguhan rekat internal (internal bonding).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Data hasil penelitian kualitas papan partikel tanpa perekat yang dihasilkan menurut
sifat-sifat fisika dan mekanika disajikan dalam Tabel 1.

Tabel 1. Rerata nilai sifat fisika dan mekanika papan partikel kayu jati tanpa perekat

Kode Parameter
(g/cm3) 2
Samp MC (%) WA TS MOR MOE (kg/cm IB(kg/cm2)
el (%) (%) (kg/cm2)
S1W1 0,72 5,64 84,82 9,30 38,85 15.071 0,48
S1W2 0,69 6,00 86,03 9,32 33,28 12.157 0,18
S1W3 0,70 6,35 87,20 10,47 37,63 14.809 0,30
S2W1 0,68 4,98 57,14 9,34 44,13 20.206 0,72
S2W2 0,71 4,99 51,45 7,64 56,39 18.488 0,59
S2W3 0,74 4,71 48,47 6,38 58,00 18.665 0,62
S3W1 0,69 4,15 30,21 2,94 62,67 16.763 0,74
S3W2 0,63 3,83 14,01 2,13 25,11 9.693 0,24
S3W3 0,64 3,72 16,51 2,87 38,05 9.924 0,40
UF 0,78 9,62 84,11 41,11 61,04 12.072,30 1,88
Mahoni* 0,75 11,42 80,97 15,69 26,46 5.729,67 1,11
JIS A 5908 0,4-0,9 5 - 13 - Maks. 12 Min. 82 Min. 20.400 Min.1,5

Pinus + 0,936 3-4 65 27 160 28000 6


Spruce**

Keterangan: S1: suhu 180C, S2: suhu 200C, S3: suhu 220C, W1: waktu 5:10 menit, W2:
waktu 7,5:7,5 menit, W3: waktu 10:5 menit, : kerapatan, MC: kadar air, WA:
penyerapan air, TS: pengembangan tebal, MOR: modulus patah, MOE:
modulus elastisitas, IB: keteguhan rekat internal, *: rebus 3 jam suhu180C
waktu15 menit, **: steam explotion suhu 200C waktu 5:10 menit.

251
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Sifat Fisika Papan Partikel


Kadar air papan tanpa perekat setelah pengempaan pada berkisar antara 3,72-6,35%
(Tabel 1). Faktor suhu kempa dan interaksi antara suhu dan metode waktu kempa
memberikan pengaruh terhadap kadar air yang dihasilkan. Semakin tinggi suhu kempa,
kadar air papan yang dihasilkan relatif lebih rendah. Hasil penelitian oleh Angles et al. (1999)
pada pembuatan komposit tanpa perekat menunjukkan kadar air papan tidak dipengaruhi
oleh perbedaan suhu dan waktu pengempaan. Warna papan tanpa perekat yang dibuat
pada suhu 220C lebih gelap dibandingkan papan yang dibuat dari suhu 220 C dan180oC,
hal ini menunjukkan tingkat hidrolisis atau degradasi komponen kimia bahan baku yang lebih
tinggi.Nilai kerapatan rata-rata berkisar antara 0,63 0,74 kg/cm3 (Tabel 1). Nilai ini lebih
rendah daripada target kerapatan yang ingin dicapai, yaitu 0,75 kg/cm3. Hal ini terjadi karena
banyak partikel yang keluar dari cetakannya pada saat pengempaan. Kerapatan yang
dihasilkan lebih dipengaruhi oleh suhu kempa daripada oleh metode waktu kempa. Hal ini
dapat dilihat dari hasil analisis keragaman bahwa perbedaan suhu menghasilkan perbedaan
kerapatan yang nyata, sedangkan perbedaan metode waktu kempa tidak memberikan
pengaruh terhadap kerapatan papan. Kerapatan naik dengan peningkatan suhu dari 180 C
ke 200 C, namun turun pada nilai rerata terendah pada suhu 220 C.Hal ini dimungkinkan
adanya degradasi sebagian komponen penyusun kayu yang menyebabkan pengurangan
kerapatan papan partikel.
Nilai penyerapan air berkisar antara 14% 87% (Tabel 1). Pengempaan dengan
suhu 220C menghasilkan penyerapan air yang lebih baik daripada pengempaan 200 C dan
180C. Berdasarkan analisis keragaman diketahui bahwa faktor suhu sangat berpengaruh
terhadap nilai penyerapan air papan. Berdasarkan uji lanjut Tukey dapat diketahui bahwa
nilai penyerapan air menurun dengan peningkatan suhu.Semakin tinggi suhu kempa, nilai
penyerapan air menurun secara nyata. Hal ini secara grafis dapat dilihat pada Gambar 1.
Variasi metode waktu kempa dan interaksi kedua faktor tidak memberikan perbedaan yang
nyata pada nilai penyerapan air.

Gambar 1. Histogram nilai penyerapan air papan partikel

Nilai pengembangan tebal rata-rata papan pada penelitian ini berkisar antara
2,13% - 10,47% (Tabel 1). Nilai pengembangan tebal ini sangat baik, mengingat sistem
pengempaan yang digunakan adalah sistem kempa panas. Berdasarkan analisis
keragaman dapat diketahui bahwa hanya faktor perbedaan suhu yang berpengaruh
terhadap nilai pengembangan tebal papan. Semakin tinggi suhu kempa maka
pengembangan tebal semakin menurun, dengan hasil terbaik pada suhu kempa 220 C.
Pada penelitian ini, nilai pengembangan tebal papan dibawah 12% yang merupakan
standar maksimum yang ditetapkan oleh JIS A-5908 (JIS, 1994). Hal ini sangat
menarik, karena pada pembuatan papan tanpa perekat dari kenaf inti dengan
menggunakan kempa panas menunjukkan nilai pengembangan tebal yang lebih tinggi

252
BIOKOMPOSIT

(20%) untuk partikel berbentuk tepung (Okuda dan Sato, 2004) dan 150% untuk partikel
berbentuk serbuk (Xu et al., 2003). Hasil penelitian ini bahkan lebih baik dari papan
tanpa perekat dengan menggunakan campuran kayu spruce dan Pinus insignisyang
berkisar 17% pada suhu 200oC selama 15 menit dan 27% selama 10 menit (Angles et
al., 1999).

Gambar 2. Histogram nilai pengembangan tebal papan partikel

Sifat Mekanika Papan Partikel


Sifat mekanika yang diuji pada penelitian ini adalah keteguhan lengkung statik yang
meliputi modulus patah (MOR) dan modulus elastisitas (MOE), serta keteguhan rekat
internal (internal bonding). Modulus patah merupakan kemampuan papan partikel untuk
menahan beban dengan arah tegak lurus permukaan yang berusaha mematahkannya.
Berdasarkan hasil pengujian yang telah dilakukan, nilai MOR papan partikel pada penelitian
ini berkisar antara 25 - 62kg/cm2 (Tabel 1). Hasil ini masih jauh dari standar JIS A 5908 yang
menetapkan keteguhan patah minimum adalah 82 kg/cm2 (JIS, 1994). Berdasarkan analisis
keragamandapat diketahui bahwa baik faktor suhu, metode waktu kempa dan interaksi
keduanya berpengaruh terhadap nilai MOR. Nilai terbaik diperoleh pada perlakuan dengan
suhu kempa 200 C dan waktu kempa 7,5:7,5 menit.
Hasil yang tidak jauh berbeda juga ditunjukkan oleh nilai modulus elastisitas papan
partikel yang dihasilkan. Seluruh papan partikel tanpa perekat yang dibuat mempunyai nilai
MOE di bawah standar JIS, kecuali pada papan partikel yang dibuat dengan suhu 200 C
dan waktu kempa 5:10 menit, yaitu sebesar 20.206 kg/cm2. Berdasarkan analisis
keragaman, hanya faktor suhu kempa yang berpengaruh terhadap nilai MOE papan partikel,
di mana suhu 200 C menghasilkan nilai MOE yang lebih baik daripada kedua suhu yang
lain. Meskipun nilai sifat mekanikanya masih cukup rendah, papan partikel tanpa perekat dari
bahan kayu ini masih berpotensi sebagai bahan lapisan dalam (core)pada komposit.Gambar
3 dan 4 menunjukkan moduluspatah dan modulus elastisitas dari papan partikel tanpa
perekat dari kayu Jati.

253
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Gambar 3. Histogram nilaiMORpapan partikel

Gambar 4. Histogram nilaiMOEpapan partikel

Gambar 5 memperlihatkan histogram keteguhan rekat papan partikel tanpa perekat


yang telah dibuat. Berdasarkan hasil pengujian yang telah dilakukan, nilai keteguhan rekat
rata-rata papan partikel pada penelitian ini berkisar antara 0,2 0,7 kg/cm (Tabel 1).
Kisaran nilai tersebut masih jauh di bawah standar JIS A 5908 tipe 8, yaitu sebesar 1,5
kg/cm2. Nilai ini masuk dalam kisaran jika dibandingkan dengan nilai keteguhan rekat papan
tanpa perekat dari kenaf inti dengan menggunakan sistem kempa panas (0,5 2 kg/cm2),
tetapi masih jauh dibandingkan dengan menggunakan sistem kempa dengan injeksi uap
bertekanan (5 6 kg/cm2) pada kerapatan yang relatif sama (Xu et al., 2003).
Berdasarkan analisis keragaman dapat diketahui bahwa keteguhan rekat papan
menunjukkan variasi yang berbeda terhadap perbedaan suhu dan metode waktu kempa.
Suhu kempa 200 C dengan waktu 5:10 menit memberikan hasil terbaik pada nilai keteguhan
rekat. Pada umumnya, kenaikan suhu pengempaan dapat meningkatkan sifat-sifat papan
yang dihasilkan. Tetapi pada suhu yang terlalu tinggi, sifat-sifat papan dapat menurun yang
diakibatkan oleh terlalu tingginya kerusakan kayu selama proses pengempaan. Hal terlihat
bahwa kenaikan suhu dari 200oC menjadi 220 oC mengakibatkan penurunan keteguhan
rekat. Degradasi komponen kimia yang terlalu berlebihan dapat menyebabkan penurunan
sifat papan tersebut (Widyorini et al. 2005).

254
BIOKOMPOSIT

Gambar 5. Histogram nilai keteguhan rekat internal papan partikel

Pada papan yang dihasilkan tanpa adanya resin perekat, maka kekuatan rekat
diperoleh dari ikatan komponen-komponen kimia yang terkandung di dalam kayu tersebut.
Pada proses pengempaan panas, uap air yang berasal dari dalam kayu tersebut berperan
penting dalam pembentukan asam asetat dan pemutusan secara hidolisis ikatan glikosidik
pada ikatan polisakarida. Ikatan antara lignin dan turunan dari hemiselulosa dan selulosa ini
yang membentuk ikatan rekat pada papan tanpa perekat. Pada penelitian dengan
menggunakan kenaf inti, terlihat bahwa penggunaan uap bertekanan selama proses
pengempaan dapat menghasilkan papan dengan sifat mekanika dan fisika yang lebih baik
dibandingkan dengan menggunakan sistem kempa panas biasa (Widyorini et al., 2005).
Tingkat degradasi komponen kimia yang lebih rendah diperoleh pada proses penggunaan
kempa panas biasa dibandingkan dengan pengempaan yang disertai uap bertekanan tinggi.
Hal ini memperlihatkan adanya uap yang bertekanan menyebabkan proses transfer yang
semakin baik ke bagian dalam papan, sehingga proses degradasi komponen kimia dapat
berjalan dengan lebih cepat. Hal ini juga sangat dipengaruhi oleh komponen kimia dari
bahan baku yang digunakan (Widyorini et al., 2005).

KESIMPULAN

Dari data hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa:


1. Papan partikel tanpa perekat dari kayu Jati mempunyai nilai sifat fisika yang memenuhi
standar, namun mempunyai sifat mekanika yang masih di bawah standar kecuali pada
papan partikel yang dibuat dengan suhu 200C dan metode waktu 5;10 menit.
2. Interaksi suhu dan metode waktu yang berbeda berpengaruh terhadap kadar air,
kerapatan dan modulus patah papan partikel.
3. Suhu kempa yang berbeda berpengaruh terhadap kadar air, kerapatan, penyerapan air
dan pengembangan tebal papan partikel, dimana suhu 220C menghasilkan nilai yang
lebih baik daripada suhu 200C dan 180C. Pengaruh pada sifat mekanika
menghasilkan nilai terbaik pada suhu 200C.
4. Variasi metode waktu pengempaan tidak berpengaruh pada sifat fisika dan berpengaruh
terhadap modulus patah dan internal bonding. Sifat fisika terbaik pada variasi 10:5 menit
dan sifat mekanika terbaik pada variasi 5:10 menit.
5. Papan partikel tanpa perekat dari kayu Jati mempunyai kekuatan yang masih kurang,
namun produk ini berpotensi sebagai bahan lapisan core produk komposit.

255
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

DAFTAR PUSTAKA

Angles, M.N, et.al., 1999. Binderless Composites from Pretreated Residual Softwood,
Journal of Applied Polymer Science 73:2485-2491.
Haygreen, J.G. dan J.L. Bowyer. 1996. Hasil Hutan dan Ilmu Kayu. SuatuPengantar
(terjemahan). Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Japanese Industrial Standard, 1994. Particleboards, JIS A 5908, Japanese Standards
Association, Tokyo.
Martawijaya, et.al., 1986. Indonesian Wood Atlas, Volume I, Forest Products Research and
Development Centre, Bogor.
Okamoto, H., et.al., 1994, Production of Dimensionally Stable Medium Density Fiberboard
by Use of High-pressure Steam Pressing, Mokuzai Gakkaishi (J Jpn Wood Res Soc)
40: 380-389
Widyorini, R., Xu, J.Y., Watanabe, T. and Kawai, S., 2005. Chemical changes in steam-
pressed kenaf core binderless particleboard, J Wood Sci 51(1): 26-32
Widyorini, Ragil. 2008. Pembuatan dan Sifat-sifat Binderless board dari Bahan Baku Non
Kayu (Pengaruh Ekstraktif terhadap Sifat Fisis Mekanis Binderlessboard), Seminar
Mapeki XI, Palangkaraya.
Xu, J., G. Han, E.D. Wong and S. Kawai, 2003. Development of Binderless Particleboard
from Kenaf core Using Steam-Injection Pressing, J. Wood Sci 49:327-332.

256
BIDANG C
KIMIA KAYU, PULP
DAN KERTAS
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

KARAKTERISTIK PELLET KAYU SENGON

Djamal Sanusi, Syahidah, dan Mahdi


Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin
Jl. Perintis Kemerdekaan Km. 10 Tamalanrea Makassar
Email : djamalsanusi@yahoo.com

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik pellet kayu sengon yang
meliputi kadar air, kerapatan, kadar abu, nilai kalor, dan penyalaan pellet kayu sengon. Kayu
sengon dibuat serbuk berukuran 22 mesh dengan menggunakan hummer mill. Cetakan
pellet yang dibuat memiliki 9 lubang berbentuk selinder dengan ukuran diameter lubang 0,8
cm dan tinggi 6 cm. Setiap lubang diisi sebuk kayu sebanyak 1,5 gram, untuk selanjutnya
dipanaskan sampai mencapai suhu perlakuan yaitu 90C, 110C, dan 130C. Sesudah
mencapai setiap suhu perlakuan tersebut, serbuk dalam cetakan ditekan dengan tekanan 93
kg/cm. Sampel yang telah mengalami penekanan, didiamkan selama 20 menit, selanjutnya
dikeluarkan dari cetakan. Pembuatan pellet diulang sebanyak 3 kali untuk setiap perlakuan
suhu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada perlakuan suhu 90C, 110C, dan 130C,
kadar air pellet masing-masing sebesar 3,87%, 3,55%, dan 3,48%. Kerapatan pellet masing-
masing sebesar 790 kg/m, 880 kg/m, dan 960 kg/m. Kadar abu pellet masing-masing
sebesar 0,68%, 0,71%, dan 0,73%. Nilai kalor pellet masing-masing sebesar 18,12 MJ/kg,
18,42 MJ/kg, dan 19,08 MJ/kg. Lama penyalaan pellet masing-masing 4,19 detik, 3,51 detik,
dan 2,98 detik. Lama pembakaran pellet masing-masing 8,36 menit, 7,15 menit dan 6,03
menit. Kadar air pellet memenuhi standar pellet Austria, Selandia Baru, dan Swedia.
Kerapatan pellet memenuhi standar Selandia Baru dan Swedia. Kadar abu pellet memenuhi
standar Selandia Baru. Nilai kalor pellet memenuhi standar Austria dan Selandia Baru.

Kata kunci : pellet, kadar air, kerapatan, kadar abu, nilai kalor

PENDAHULUAN

Pellet kayu adalah serpihan kayu atau sisa-sisa hasil produksi kayu yang berdiameter
6-8 mm dan berukuran panjang 10-30 mm, dan sudah kering. Serpihan kayu ini kemudian
mengalami proses lanjut tanpa campuran kimia, ditekan dengan tekanan kuat menggunakan
mesin khusus. Pellet menghasilkan panas kurang lebih 4,9 kWh/kg karena memiliki kadar air
yang rendah (8-10%), kadar abu (0,5-1%) dengan kerapatan 650 kg/m. Satu kilogram pellet
kayu menghasilkan panas yang sama dengan yang dihasilkan oleh setengah liter minyak
(Leaver, 2008). Pellet kayu yang berbentuk silinder dapat digunakan sebagai bahan bakar
kebutuhan rumah tangga, pertanian, dan industri besar. Pellet kayu merupakan salah satu
sumber energi alternatif dan ketersediaan bahan bakunya sangat mudah ditemukan. Bahan
baku pellet kayu berupa limbah eksploitasi seperti sisa penebangan, cabang dan ranting,
limbah industri perkayuan seperti sisa potongan, serbuk gergaji dan kulit kayu, limbah
pertanian seperti jerami dan sekam (Woodpellets, 2000).
Pemanfaatan pellet kayu sebagai bahan pemanas ruangan dan pembangkit listrik
telah dimulai sejak dekade 90-an di sebagian besar negara Uni Eropa dan Amerika ketika
terjadi lonjakan harga minyak dunia yang mengakibatkan terjadinya krisis minyak dunia.
Pellet kayu merupakan produk yang dibuat dari bahan biomassa tanaman yang kemudian
mengalami proses pengempaan. Pellet kayu merupakan solusi alternatif pengganti minyak
karena memiliki harga yang cukup terjangkau oleh masayarakat Uni Eropa dan Amerika.
Tingginya produktifitas dan permintaan pellet kayu terkait adanya kebijakan dari negara-
negara di dunia untuk mengurangi efek pemanasan global dan pemanfaatan energi alternatif
(Leaver, 2008).

258
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS

Saat ini Indonesia baru mampu menghasilkan pellet kayu sebanyak 40.000 ton/tahun,
sedangkan produksi dunia telah menembus angka 10 juta ton. Jumlah ini belum cukup
memenuhi kebutuhan dunia pada tahun 2008 yang diperkirakan mencapai 12,7 juta ton.
Peluang mengembangkan bahan bakar ini sangat terbuka luas karena limbah hasil hutan
kita sangat besar, baik dari limbah industri perkayuan maupun dari limbah eksploitasi
(Yayasan Energi Nasional, 2009).
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka penelitian ini dilakukan untuk
memanfaatkan limbah perkayuan yang cukup tinggi di Indonesia. Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui karakteristik pellet kayu sengon, sebagai salah satu sumber energi
alternatif yang ramah lingkungan.

BAHAN DAN METODE

Persiapan Bahan
Kayu sengon dipotong-potong kecil seperti batang korek api, kemudian digiling dengan
menggunakan hammer mill untuk dijadikan serbuk dengan ukuran lolos saringan 22 mesh
dan tertahan pada saringan 40 mesh.

Proses Pembuatan Pellet


Serbuk kayu ditimbang sebanyak 1,5 gram kemudian dimasukkan ke setiap lubang alat
cetak yang terdiri atas 9 lubang dengan diameter lubang masing-masing 0,8 cm dan tinggi
lubang 6 cm. Alat cetak yang telah berisi serbuk dipanaskan hingga mencapai suhu yang di
kehendaki yaitu 90C, 110C, dan 130C, kemudian dipress dengan tekanan 93 kg/cm.
Sesudah mengalami pengepresan, didiamkan selama 20 menit dan sampel dikeluarkan dari
alat cetak. Pembuatan pellet pada setiap suhu perlakuan diulang sebanyak 3 kali.

Variabel Pengamatan
Kadar air sampel dihitung dengan rumus :

KA =

Keterangan : Ba : Berat sebelum dikeringkan dalam tanur.


Bkt : Berat setelah dikeringkan dalam tanur.

Kerapatan sampel dihitung dengan menggunakan rumus :

K(g/cm) =

Kadar abu sampel dihitung dengan menggunakan rumus :

Kadar abu =

Pengukuran nilai kalor dilakukan dengan menggunakan alat perioxide bomb


calorimeter digital.
Uji nyala adalah waktu yang dibutuhkan mulai saat pembakaran sampai sampel
menyala. Uji bakar adalah waktu yang dibutuhkan mulai saat sampel terbakar sampai
sampel habis terbakar.

259
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Rancangan Percobaan
Model rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap dengan
3 kali ulangan. Model matematisnya adalah sebagai berikut:

Yij = + i + ij

Keterangan :
Yij : Hasil pengamatan pada satuan percobaan ke- i, pada pengamatan ke- j
: Nilai tengah populasi.
i : Pengaruh perlakuan ke- i.
ij : Pengaruh galat dari suatu percobaan pada ulangan ke- j yang
memperoleh perlakuan ke- i

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Pellet
Hasil perhitungan karakteristik pellet kayu sengon yang meliputi kadar air, karapatan,
kadar abu, nilai kalor, penyalaan, dan pembakaran disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Karaktersitik Pellet Kayu Sengon dan Standar Pellet Austria,


Selandia Baru, dan Swedia

Perlakuan Standar Pellet Kayu


Karakteristik Pellet Selandia
90C 110C 130C Austria Swedia
Baru
Kadar Air (%) 3,87 3,55 3,48 Maks 12 Maks 8 Maks 10

Kerapatan (kg/m) 790 880 960 - Min 641 Min 600

Kadar Abu (%) 0,68 0,71 0,73 Maks 0,5 Maks 1 Maks 0,7

Nilai Kalor (MJ/kg) 18,12 18,42 19,08 Min 18 Min19,1 Min 16,9

Penyalaan (Detik) 4,19 3,51 2,98 - - -

Pembakaran (Menit) 8,36 7,15 6,03 - - -

Kadar air pellet kayu sengon yang dihasilkan dari perlakuan suhu 90C, 110C, dan
130C memenuhi standar yang ditetapkan oleh Austria, Selandia Baru, dan Swedia.
Kerapatan pellet kayu sengon memenuhi standar Selandia Baru dan Swedia. Kadar abu
pellet kayu sengon memenuhi standar Selandia Baru. Nilai kalor pellet kayu sengon
memenuhi standar Austria dan Swedia. Lama penyalaan pada perlakuan suhu 90C, 110C,
dan 130C masing-masing 4,19 detik, 3,51 detik dan 2,98 detik. Lama pembakaran pada
perlakuan suhu 90C, 110C, dan 130C masing-masing 8,36 menit, 7,15 menit, dan 6,03
menit.

Kadar Air
Kadar air pellet kayu sengon sesaat setelah dikeluarkan dari alat cetak pellet pada
perlakuan suhu 90C sebesar 3,87%, perlakuan 110C sebesar 3,55%, dan perlakuan suhu
130C sebesar 3,48% seperti dapat dilihat pada Gambar 1.

260
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS

Gambar 1. Kadar air pellet kayu sengon pada perlakuan suhu 90C, 110C, dan 130C

Kadar air pellet kayu sengon yang mengalami perlakuan suhu 90C sebesar 3,87%
perlakuan suhu 110C sebesar 3,55%, dan perlakuan suhu 130C sebesar 3,48%. Semakin
tinggi suhu perlakuan, kadar air pellet semakin rendah. Hal ini disebabkan oleh karena
pemanasan pada suhu tinggi akan lebih banyak air yang diuapkan dari sampel. Hasil analisis
ragam pengaruh perlakuan suhu terhadap kadar air pellet kayu sengon tidak menunjukkan
pengaruh yang berbeda nyata.

Kerapatan
Kerapatan pellet kayu sengon pada perlakuan suhu 90C sebesar 790 kg/m,
perlakuan suhu 110C sebesar 880 kg/m, dan perlakuan suhu 130C sebesar 960 kr/m
seperti dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Kerapatan rata-rata pellet kayu sengon pada perlakuan


suhu 90C, 110C, dan 130C

Analisis ragam pengaruh perlakuan suhu terhadap kerapatan pellet kayu sengon
menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata. Untuk mengetahui besarnya pengaruh
perlakuan suhu terhadap kerapatan pellet kayu sengon, maka dilakukan uji beda nyata jujur
yang hasilnya dapat dilihat pada Tabel 2.

261
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Tabel 2. Hasil Uji BNJ Pengaruh Perlakuan Suhu terhadap Kerapatan Pellet Kayu Sengon

Kerapatan Uji BNJ (0,05)


Perlakuan Suhu
Rata-rata (kg/m) 32.34
90C 790 a
110C 880 b
130C 960 c

Keterangan : Huruf yang sama menunjukkan nilai yang berbeda tidak nyata pada taraf 5%

Semakin tinggi perlakuan suhu pada pembuatan pellet, kerapatan pellet yang dihasilkan juga
semakin tinggi. Penggunaan suhu yang tinggi menyebabkan air terikat dalam dinding sel
keluar, sehingga ikatan antara gugus OH selulosa dan air terlepas, dan digantikan dengan
ikatan antar gugus-gugus OH selulosa yang berdekatan. Terputusnya ikatan gugus OH dan
air menyebabkan dinding sel menyusut dan pada akhirnya volume sampel menjadi lebih
kecil. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan suhu yang tinggi akan menghasilkan
kerapatan yang tinggi. Hill (2006) mengemukakan bahwa karbon pada struktur lignin menjadi
terurai, di mana semakin banyak karbon yang terurai akan mengakibatkan derajat
kristalinitas tinggi, sehingga ikatan antar struktur lignin yang lain semakin erat. Nakano et al.
(1983) dalam Coto (2005) menemukan bahwa kristalinitas selulosa meningkat dengan
pemanasan pada suhu 120C - 200C pada pemanasan dengan udara atau nitrogen.

Kadar Abu
Kadar abu pellet kayu sengon pada perlakuan suhu 90C sekitar 0,68%, perlakuan
suhu 110C sebesar 0,71%, dan perlakuan suhu 130 C sebesar 0,73% seperti dapat dilihat
pada Gambar 3.

Gambar 3. Kadar Abu Rata-Rata Pellet Kayu Sengon pada


Perlakuan Suhu 90C, 110C, dan 130C

Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan suhu terhadap kadar air pellet kayu sengon
menunjukkan pengaruh yang berbeda tidak nyata. Kadar abu kayu sengon lebih tinggi
daripada kadar abu kayu yang digunakan sebagai bahan pembuatan pellet di Austria dan
Swedia. Menurut Fengel dan Wegener (1984), kadar abu tumbuhan berkayu dari daerah
temperate berkisar 0,2% 0,5%, tetapi pada tumbuhan berkayu dari daerah tropis pada
umumnya lebih dari 1%. Kadar abu pellet kayu sengon sebesar 0,68% - 0,73% termasuk
rendah jika dibandingkan dengan kadar abu kayu tropis yang pada umumnya lebih besar
dari 1%. Hal ini disebabkan karena pada saat kayu dibuat menjadi serbuk sebagian mineral
terutama silika terbuang. Smook (1974), mengemukakan bahwa proses perubahan dimensi
dari log menjadi chip dan serbuk menyebabkan penurunan kadar mineral kayu.

262
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS

Nilai Kalor
Nilai kalor pellet kayu sengon pada perlakuan suhu 90C sebesar 18,12 MJ/kg,
perlakuan suhu 110C sebesar 18,42 MJ/Kg, dan perlakuan suhu 130 C sebesar 19,08
MJ/kg seperti dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Nilai kalor rata-rata pellet kayu sengon pada


perlakuan suhu 90C, 110C dan 130C

Analisis ragam pengaruh perlakuan suhu terhadap nilai kalor pellet kayu sengon
menunjukkan pangaruh yang berbeda nyata. Untuk mengetahui besarnya pengaruh
perlakuan suhu terhadap nilai kalor pellet kayu sengon, maka dilakukan uji beda nyata jujur
yang hasilnya dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Hasil Uji BNJ Pengaruh Perlakuan Suhu terhadap Nilai Kalor Pellet Kayu Sengon

Nilai Kalor Uji BNJ (0,05)


Perlakuan Suhu
Rata-rata (MJ/kg) 0.177
90C 18,12 a
110C 18,42 b
130C 19,08 c

Keterangan : Huruf yang sama menunjukkan nilai yang berbeda tidak nyata pada taraf 5%

Tabel 3 menunjukkan bahwa semakin tinggi perlakuan suhu, nilai kalor pellet
semakin tinggi. Nilai kalor pellet dipengaruhi oleh kerapatan pellet, pada kerapatan pellet
yang tinggi menghasilkan nilai kalor yang tinggi pula. Nilai kalor pellet juga dipengaruhi oleh
kadar air, semakin tinggi kadar air nilai kalor semakin rendah. Sudrajat (1983),
mengemukakan bahwa semakin tinggi kadar air yang dikandung oleh suatu bahan kayu,
maka nilai kalor yang diperoleh akan semakin rendah. Hal ini disebabkan karena panas yang
tersimpan dalam pellet kayu terlebih dahulu digunakan untuk mengeluarkan air yang ada
sebelum kemudian menghasilkan panas yang dapat dipergunakan sebagai panas
pembakaran.

263
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Lama Penyalaan
Lama penyalaan pellet kayu sengon pada perlakuan suhu 90C sebesar 4,19 detik,
perlakuan suhu 110 C sebesar 3,51 detik, dan perlakuan suhu 130C sebesar 2,98 detik,
seperti dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5. Lama penyalaan pellet kayu sengon pada


perlakuan suhu 90 C, 110 C, dan 130C

Analisis ragam pengaruh perlakuan suhu terhadap lama penyalaan pellet kayu
sengon menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata. Untuk mengetahui besarnya pengaruh
perlakuan suhu terhadap lama penyalaan pellet kayu sengon, maka dilakukan uji beda nyata
jujur yang hasilnya dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Hasil Uji BNJ Pengaruh Perlakuan Suhu terhadap


Lama Penyalaan Pellet Kayu Sengon

Lama Penyalaan Rata-rata Uji BNJ (0,05)


Perlakuan Suhu
(detik) 0.37
90C 4,19 a
110C 3,51 b
130C 2,98 c

Keterangan : Huruf yang sama menunjukkan nilai yang berbeda tidak nyata pada taraf 5%

Pada Tabel 4 dapat dilihat bahwa semakin tinggi perlakuan suhu pemanasan,
semakin cepat pellet kayu sengon menyala. Pada suhu pemanasan 90C, lama penyalaan
4,19 detik, sedangkan pada suhu pemanasan 130C lama penyalaan 2,98 detik. Semakin
tinggi suhu pemanasan, semakin banyak lignin yang terurai dan meleleh membungkus
permukaan pellet. Komponen lignin lebih mudah terbakar dan memiliki nilai kalor yang lebih
tinggi daripada komponen selulosa. Hal ini menyebabkan pellet kayu sengon yang dihasilkan
dari perlakuan suhu 130C lebih cepat terbakar.

Lama Pembakaran
Lama pembakaran pellet kayu sengon pada perlakuan suhu 90C, sebesar 8,36
menit, pada perlakuan suhu 110 C sebesar 7,51 menit dan pada perlakuan suhu 130 C
sebesar 6,03 menit seperti dapat dillihat pada Gambar 6.

264
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS

Gambar 6. Lama pembakaran pellet kayu sengon pada


perlakuan suhu 90 C, 110 C, dan 130 C

Analisis ragam pengaruh perlakuan suhu terhadap lama pembakaran pellet kayu
sengon menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata. Untuk mengetahui besarnya pengaruh
perlakuan suhu terhadap lama pembakaran pellet kayu sengon, maka dilakukan uji beda
nyata jujur yang hasilnya dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Hasil Uji BNJ Pengaruh Perlakuan Suhu terhadap


Lama Pembakaran Pellet Kayu Sengon

Lama Pembakaran Rata- Uji BNJ (0,05)


Perlakuan Suhu
rata (menit) 0.52
90C 8,36 a
110C 7,15 b
130C 6,03 c

Keterangan : Huruf yang sama menunjukkan nilai yang berbeda tidak nyata pada taraf 5%

Semakin tinggi perlakuan suhu pemanasan, semakin cepat pellet kayu sengon
terbakar habis. Pada suhu pemanasan 90C, waktu yang dibutuhkan pellet kayu sengon
terbakar habis 8,16 menit, sedangkan pada suhu pemanasan 130 C, hanya membutuhkan
waktu 6,03 menit untuk membakar habis pellet kayu sengon. Hal ini ada hubungannya
dengan kadar air pellet. Pada kadar air yang tinggi, pellet yang terbakar mula-mula panas
pembakaran digunakan untuk mengeluarkan air, dan setelah semua air dalam pellet habis
menguap barulah massa kayu pellet terbakar.

KESIMPULAN

1. Mutu pellet kayu sengon sangat dipengaruhi oleh suhu pemanasan, semakin tinggi suhu
pemanasan semakin baik mutu pellet yang dihasilkan.
2. Pellet kayu sengon yang dihasilkan dari perlakuan suhu pemanasan 130C memiliki
mutu yang lebih baik daripada perlakuan suhu pemanasan 90 C dan 110 C.
3. Karakteristik pellet kayu sengon yang dihasilkan dari perlakuan suhu pemanasan 130
C, seperti kadar air, kerapatan dan nilai kalor memenuhi standar Austria, Selandia
Baru, dan Swedia, kecuali kadar abu yang hanya memenuhi standar Selandia Baru.

265
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

DAFTAR PUSTAKA

Coto, Z. 2005. Penurunan Kadar Air Keseimbangan dan Peningkatan Stabilitas Dimensi
Kayu dengan Pemanasan dan Pengekanan. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis 3
(1): 27 31.
Fengel, D. and G. Wegener, 1984. Wood Chemistry, Ultrasructure and Reaction. Walter de
Gruyer, New York.
Leaver, R. H., 2008. Fuel Pellet Kayu dan Pasar Residential, www.green.com (22 Februari
2010).
Smook, B,. A., 1994. Hand Book for Pulp and Paper Technologists, Canadian Pulp and
Paper Assosiation.
Sudrajat, R., 1983. Pengaruh Bahan Baku, Jenis Perekat dan Tekanan Kempa terhadap
Kualitas Briket Arang. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor.
Woodpellets, 2000. Sejarah Pellet Kayu. The Prepatory Meeting for Pellet Club Japan.
Jepang (22 Februari 2010).
Yayasan Energi Nasional, 2009. Wood Pellet Heating. http://www.nrbp.org/papers/032.pdf.
(2 Maret 2010).

266
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS

PEMBUATAN BIODIESEL DARI BIJI KEPUH DENGAN MESIN


DEGUMMING MULTI FUNGSI (MAKING OF BIODIESEL FROM
KEPUH SEED WITH MULTI FUNCTION DEGUMMING MACHINE)

Djeni Hendra
Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan
Pengolahan Hasil Hutan,
Jl. Gunung Batu No. 5, Bogor 16610
Telp. (0251) 8633378, Fax. (0251) 86333413
Email : djeni_hendra@yahoo.co.id

ABSTRACT

Availability of fuel is getting shrinking, an alternative of fuel is needed. Kepuh seed


has a big potential as source of biodiesel oil, because the composition of seed kernel has a
high level of oil about 30 40 %. Optimation of esterification-transesterificarion is conducted
in this research on kepuh seed with oil acid number and kepuh biodiesel to be analized to
know its quality. In the making of biodiesel from kepuh, biodiesel with Indonesian National
Standard quality which produced using methanol 20% and KOH 0,5% result in biodiesel with
moisture content 0,05 %, acid number 0,66 mg KOH/g, free fatty acid content 0,33 %,
density 874 kg/m3, kinetic viscocity at 40 0C of 4,24 mm2/s (cSt), iod number 91,20 g I2/100
g, setana number 64,0, and yield biodiesel oil 71,53 %.

Keywords : Kepuh seed, oil, biodiesel, diesel fuel

ABSTRAK

Ketersediaan bahan bakar minyak semakin menipis, oleh karena itu dibutuhkan
bahan bakar alternatif. Biji kepuh merupakan salah satu bahan memiliki potensi yang cukup
besar untuk dijadikan biodiesel, karena inti bijinya memiliki kandungan minyak yang cukup
tinggi yaitu sebesar 30 - 40%. Pada penelitian ini optimasi esterifikasi-transesterifikasi
dilakukan pada minyak kepuh dengan bilangan asam minyak dan biodiesel kepuh dianalisis
untuk mengetahui kualitasnya. Dalam pembuatan biodiesel dari minyak kepuh, biodiesel
dengan mutu yang sesuai dengan SNI yang dihasilkan menggunakan metanol 20% dan
KOH 0,5% menghasilkan biodiesel dengan nilai kadar air sebesar 0,05%, bilangan asam
0,66 mg KOH/g, kadar asam lemak bebas 0,33%, densitas 874 kg/m3, viskositas kinematik
pada suhu 40oC 4,24 mm2/s (cSt), bilangan iodium 91,20 g I2/100 g, angka setana 64,0 dan
rendemen minyak biodiesel sebesar 71,53%.

Kata kunci : Biji kepuh, minyak, biodiesel, bahan bakar diesel.

PENDAHULUAN

Kebutuhan solar Indonesia dari tahun ke tahun terus naik, pada tahun 1995: 15,84
juta kiloliter, tahun 2000 : 21,39 juta kiloliter, tahun 2005 : 27,05 juta kiloliter dan pada tahun
2010 diperkirakan 34,71 juta kiloliter. Pada tahun 2001, impor solar 34% dari kebutuhan
nasional dan pada tahun 2020 mendatang, diperkirakan Indonesia akan menjadi negara
importir bahan bakar minyak (BBM) secara besar-besaran, (Reksowardoyo, 2005). Dari
kilang minyak lama, Indonesia pada waktu ini masih mampu memproduksi BBM sebesar 8,7
triliun kubik per hari (Soerawidjaya, 2002) dan akan terus menurun produksinya. Pada tahun
2000, produksi BBM khususnya solar adalah 15,99 juta kiloliter dan kebutuhan domestik
adalah 21,455 juta kilo liter, sehingga terdapat kekurangan suplai solar sebesar 6,25 juta kilo
liter yang pengadaannya diperoleh dari impor. Kebijakan pengadaan solar dalam negeri

267
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

dengan mengandalkan impor adalah keliru karena akan mengurangi devisa negara, terlebih
lagi penjualan solar kepada masyarakat ataupun industri masih ditunjang oleh subsidi
(Samiarso, 2001).
Keadaan ini mendorong berbagai pihak untuk mencari sumber energi baru. Salah
satu solusi yang telah berkembang adalah beralih atau mengganti bahan bakar mineral ke
dalam bahan bakar nabati yang di antaranya adalah pengupayaan biofuel sebagai bahan
bakar. Pada dasarnya biofuel terdiri dari dua jenis bahan bakar yaitu biodiesel dan gasohol.
Gasohol digunakan untuk menggantikan posisi bensin sedangkan biodiesel digunakan untuk
menggantikan posisi bahan bakar diesel.
Biodiesel adalah BBM sejenis solar sebagai bahan bakar mesin diesel, mobil atau
otomotif lainnya yang dibuat dari bahan nabati berupa minyak yang dalam penelitian ini
bahan bakunya adalah minyak dari biji tanaman kepuh (Sterculia foetida L.). Kepuh
termasuk pohon yang tumbuh cepat, tinggi pohon bisa mencapi 30-35 m dan besar ukuran
batang 100-120 cm, namanya diambil adri bau bunganya yang sangat busuk. Pohon ini
tersebar di seluruh nusantara, di pulau jawa berada di ketinggian 500 m di atas permukaan
laut dan umumnya tersebar di sebelah timur pulau Jawa. Kayunya berwarna putih keruh,
kasar lagi ringan dan mudah terserang serangga dan dimanfaatkan untuk pembuatan peti
kemas, peti jenazah dan pulp kertas. Daunnya digunakan sebagai obat untuk abortivum,
luka dalam pada patah tulang, terkilir dan sakit demam. Kulit buahnya yang tebal yang
dibakar menjadi abu selain digunakan pada pengecatan yang membari warna kasumba, kulit
buah kepuh juga merupakan bagian ramuan obat terhadap penyakit kelamin. Di Jawa bijinya
dipres untuk minyak lampu dan inti bijinya mengandung 40% minyak berwarna kuning muda
yang tak mengering (Heyne, 1987).

BAHAN DAN METODE

Bahan dan Alat


Bahan-bahan yang digunakan adalah dari biji kepuh asal Jawa barat dan Jawa
Tengah, akuades, KOH, metanol PA, etanol PA, asam asetat glasial, asam sulfat, asam
klorida, indikator fenolftalein, indikator universal, asam oksalat, kloroform PA, kalium iodida
kristal, CCl4 PA, natrium tiosulfat kristal, larutan kanji 0,5%, larutan wijs, KIO3 kering dan batu
didih.
Alat-alat yang digunakan adalah alat pengukus biji, mesin pengering, mesin ekstraksi
minyak sistim kontinyu, mesin filter bertekanan, mesin degumming multi fungsi, neraca
analitik ohaus, gelas piala, pipet mohr, bulb, gelas ukur, labu refluks tiga leher, termometer,
kondensor, hot plate, magnetik stirer, gelas pengaduk, sudip, labu takar, gelas arloji, cawan
porselen, erlenmeyer, viskometer brookfield dan aluminium foil. genset, stop watch (timer),
kunci-kunci mesin, dan alat uji asap.

Prosedur Kerja
Pengolahan dan ekstraksi biji kepuh
Persiapan pengolahan biji kepuh menjadi minyak mentah (crude oil), biji kepuh di
masukan ke dalam drum plastik ukuran 200 liter kemudian di isi air sampai terendam
semuanya, dibiarkan selama 2 jam kemudian digosok-gosok sampai kulitnya terkelupas
semuanya.
Biji kepuh yang telah dipisahkan dari kulit luarnya dimasukkan ke dalam alat kukus
(kapasitas 50 kg) kemudian dipanaskan pada suhu r 100qC dari tungku yang
menggunakan limbah bungkil/briket bungkil kepuh, setelah terlihat uap air keluar, bagian
tutup alat kukus dipasang dan dibiarkan minimal 2 jam.
Biji kepuh yang telah dikukus kemudian ditiriskan (sebelum dimasukan ke alat
pengering, biji kepuh terlebih dahulu dikeringkan di bawah sinar matahari minimal 2 jam)
setelah itu baru dikeringkan dengan menggunakan mesin pengering sistem berputar pada
suhu 100qC dari tungku berbahan bakar dari bungkil kepuh/briket bungkil kepuh, kapasitas
alat pengering maksimum 50 kg biji/bath. Biji kepuh yang sudah kering kemudian diekstraksi
dengan mesin ekstraksi minyak sistim kontinyu kapasitas produksi 50 kg/jam.

268
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS

Minyak (crude oil) yang sudah disaring dengan mesin filter bertekanan, kemudian di
degumming menggunakan mesin degumming multi fungsi hasil rekayasa (mak. 100 L/batch)
dengan penambahan H3PO4 50% sebanyak 1% (v/v) sambil diaduk selama 60 menit pada
suhu 50oC. Diendapkan selama 1 jam, dipisahkan minyaknya dan dianalisis bilangan
asamnya, jika bilangan asamnya sudah mencapai kurang dari 2 mg KOH/g dapat dilanjutkan
dengan proses transesterifikasi tanpa proses diesterifikasi terlebih dahulu akan tetapi jika
bilangan asam minyak diatas 3 mg KOH/g harus melalui proses esterifikasi-transesterifikasi.

Pembuatan biodiesel
Proses esterifikasi dilakukan jika bilangan asam dalam minyak di atas 5 mg KOH/g.
Minyak yang sudah bebas gum sebanyak minimal 40 liter dimasukkan ke dalam reaktor
degumming multi fungsi hasil rekayasa, dipanaskan sambil diaduk pada suhu 50 - 60 C,
kemudian sejumlah campuran methanol 20% dengan HCl 1% (v/v) ditambahkan ke dalam
minyak, proses pemanasan dijaga pada suhu 50 - 60C sambil diaduk selama 1 jam,
dikeluarkan dari reaktor kemudian didiamkan dalam tangki pemisah selama 1 - 2 jam,
kemudian dipisahkan antara minyak dan katalis methanol sisa reaksi.
Proses transesterifikasi dapat langsung dilakukan jika bilangan asam dalam minyak
di bawah 2 mg KOH/g. Minyak yang sudah bebas gum sebanyak minimal 40 liter
dimasukkan ke dalam reaktor degumming multi fungsi hasil rekayasa kemudian dipanaskan
sambil diaduk hingga suhunya mencapai 50 - 60 C setelah itu sejumlah campuran methanol
20% dengan KOH 0,5% (v/v) ditambahkan ke dalam minyak, proses pemanasan dijaga
pada suhu 50 - 60 C sambil diaduk selama 1 jam, dikeluarkan dari reaktor kemudian
didiamkan dalam tangki pemisah selama 1 - 2 jam, kemudian dipisahkan antara minyak dan
katalis methanol sisa reaksi.
Proses pencucian minyak biodiesel yaitu dengan cara minyak dimasukan kembali ke
dalam reaktor degumming multi pungsi, dipanaskan pada suhu 35 C kemudian di-
masukan campuran air dan asam sitrat sebanyak 30% (v/v).
Proses pemurnian minyak biodiesel yaitu dengan cara minyak dimasukan kembali ke
dalam reaktor degumming multi pungsi kemudian dipanaskan pada suhu 105 C, sampai
warna minyak kuning muda dan jernih.

Gambar 2. Foto mesin degumming multi fungsi Hasil rekayasa Pustekolah Bogor

Pengujian biodiesel
Analisis sifat kimia fisika biodiesel dari bahan baku minyak biji kepuh dilakukan untuk
mengetahui sifat-sifat minyak biodiesel yang digunakan dalam penelitian ini meliputi
rendemen, kadar air, bilangan asam, kadar asam lemak bebas, densitas, viskositas
kinematik, bilangan penyabunan, kadar ester alkil, bilangan iod dan bilangan setana.

269
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisis fisiko kimia minyak mentah (crude) dilakukan untuk mengetahui sifat minyak
yang akan digunakan dalam memproduksi biodiesel. Hasil analisis sifat fisiko kimia minyak
dari biji kepuh dapat di lihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Sifat fisiko kimia minyak mentah (crude oil) dari biji kepuh
Table 1. Chemical-physic characteristic of crude oil from sterculia seed

No. Parameter Nilai/value


1. Bilangan asam (Acid number), mg KOH/g 2,27 3,65
2. Kadar asam lemak bebas (Free fatty acid number), % 1,14 1,83
3. Kadar air (Moisture content), % 0,74 1,06
4. Densitas (Density), kg/m 932,60
5. Viskositas kinematik (Kinematic viscosity), mm2/s 33,41
(cSt)
6. Indeks refraksi (refraction index) 1,478
7. Rendemen (Yield), % 30 - 40
8. Penampakan minyak mentah (Crude oil appearance) Kuning kental

Biji kepuh yang kurang baik apabila diekstrak dengan mesin pres sistim kontinyu
(sistim skrew) menghasilkan rendemen kurang dari 30%, sedangkan biji yang baik akan
menghasilkan minyak dengan rendemen sebesar 40%, hal ini sesuai dengan pendapat
Heyne (1987) yang menyatakan kadar minyak yang terdapat pada biji kepuh sebesar 40%.
Bilangan asam adalah jumlah milligram KOH yang dibutuhkan untuk menetralkan
asam-asam lemak bebas dari 1 gram minyak atau lemak, sedangkan asam lemak bebas
(FFA) merupakan persentasi asam lemak bebas yang terdapat pada minyak. Bilangan asam
pada minyak mentah (crude) biji kepuh berkisar antara 2,27 3,65 dengan Kadar asam
lemak bebas antara 1,14 1,83%. Gerpen (2005) melaporkan bahwa minyak nabati dengan
kadar asam lemak bebas di bawah 5% dapat langsung ditransesterifikasi tanpa harus
melewati esterifikasi terlebih dahulu. Kandungan air dalam minyak ini cukup rendah. Hal ini
menunjukkan bahwa minyak biji kepuh sangat baik untuk dikonversi menjadi biodiesel.
Nilai kadar air minyak nabati yang disyaratkan oleh Ramadhas et al. (2005) adalah
kurang dari 2%. Kandungan air yang tinggi dalam minyak nabati akan menyebabkan
terjadinya hidrolisis yang akan menaikkan kadar asam lemak bebas dalam minyak nabati.
Fukuda et al. (2001) melaporkan bahwa keberadaan air yang berlebihan dapat
menyebabkan sebagian reaksi berubah menjadi reaksi saponifikasi antara asam lemak
bebas hasil hidrolisis minyak dengan katalis basa yang akan menghasilkan sabun. Sabun
akan mengurangi efisiensi katalis sehingga meningkatkan viskositas, terbentuk gel, dan
menyulitkan pemisahan gliserol dengan metil ester.
Densitas merupakan salah satu faktor penting bagi biodiesel. Densitas merupakan
massa per unit volume dari suatu cairan pada suhu tertentu. Densitas minyak dan biodiesel
diperlukan untuk menentukan bilangan setana. Semakin rendah densitas maka bilangan
setana akan semakin tinggi (Srivastava dan Prasad 2000).
Minyak nabati yang boleh digunakan untuk mesin diesel harus memiliki viskositas
kinematik di bawah 77,66 cSt (Gubitz et al. 1999). Dengan demikian, minyak ini sudah
sesuai dengan persyaratan yang harus dipenuhi. Viskositas merupakan parameter yang
penting untuk diketahui. Soerawidjaja et al. (2005) melaporkan bahwa viskositas berpe-
ngaruh secara langsung pada pola semburan di bilik pembakaran sehingga berpengaruh
juga pada atomisasi bahan bakar, efisiensi pembakaran, dan faktor ekonomi lainnya.
Analisis sifat fisiko kimia biodiesel dari bahan baku minyak biji kepuh yaitu meliputi
kadar air, bilangan asam, kadar asam lemak bebas, densitas, dan viskositas, bilangan
penyabunan, bilangan ester, bilangan iod dan bilangan setana Tabel 2. menunjukkan hasil
analisis sifat fisiko kimia biodiesel dari minyak biji kepuh.

270
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS

Tabel 2. Sifat fisiko kimia biodiesel dari minyak biji kepuh


Table 2. Chemical-physic characteristic of biodiesel from kepuh seed oil

No. Parameter Nilai/value* Standar


biodiesel
SNI**
1. Kadar air (Moisture content), % 0,05 0,05
2. Bilangan asam (Acid value), mg KOH/g 0,66 0,80
3. Kadar asam lemak bebas (Free fatty acid 0,33 -
number), %
4. Densitas (Density), kg/m 874 850-890
5. Viskositas kinematik (Kinematic viscosity), mm/s 4,24 2,3-6,0
(cSt) -
6. Bilangan penyabunan (Base number), mg KOH/g 103,43 Min.96,5
7. Kadar ester alkil (Alkil ester content), % massa 102,67 Mak.115
8. Bilangan Iod (Iod number), g I2/100g 91,20
9. Bilangan setana (Cetane number) 64,0 Min.51
10. Penampakan minyak biodiesel (Biodiesel oil Kuning encer -
appearance)
Sumber (Source) : * Penelitian, **BSN 2006

Bilangan asam pada minyak mentah penting dianalisis karena walaupun bilangan
asam pada minyak dan biodiesel kepuh sudah rendah, tetapi masih ada kemungkinan
terbentuknya asam-asam rantai pendek akibat dari proses oksidasi hasil dekomposisi
senyawa peroksida dan hidroperoksida. Hal ini tentu saja mempengaruhi penyimpanan
sehingga pada akhirnya menurunkan mutu biodiesel.
Variabel dalam transesterifikasi minyak biji kepuh adalah konsentrasi katalis basa
KOH dan metanol. Suhu reaksi dan waktu yang digunakan adalah 50 - 60 0C selama 60
menit. Penggunaan waktu 60 menit ini didasarkan pada laporan Janulis et al. (2005), bahwa
laju reaksi transesterifikasi tercepat terjadi pada 15 menit pertama dan rendemen hampir
tidak berubah setelah 30 menit. Parameter uji yang digunakan adalah bilangan asam,
viskositas kinematik, densitas, rendemen dan kadar air. Semakin rendah bilangan asam
biodiesel, semakin baik mutu biodiesel karena keasaman biodiesel dapat menyebabkan
korosi dan kerusakan pada mesin diesel. Menurut SNI bahan bakar biodiesel, bilangan asam
yang dibolehkan adalah kurang dari 0,8 mg KOH/g.
Viskositas biodiesel tinggi karena adanya ikatan hidrogen intermolekular dalam asam
luar gugus karboksil. Nilai viskositas sebanding dengan densitas, semakin tinggi viskositas
maka densitas akan semakin tinggi (Demirbas 2008). Viskositas merupakan sifat biodiesel
yang paling penting karena viskositas memperngaruhi kerja sistem pembakaran bertekanan,
semakin rendah viskositas biodiesel tersebut semakin mudah dipompa dan menghasilkan
pola semprotan yang lebih baik. Menurut SNI, nilai viskositas kinematik biodiesel yang
diperbolehkan adalah 1,9 - 6,0 cSt pada suhu 40 0C. Viskositas biodiesel dipengaruhi oleh
kandungan trigeliserida yang tidak bereaksi dengan metanol, komposisi asam lemak
penyusun metil ester, serta senyawa antara monogliserida dan digliserida yang mempunyai
polaritas dan bobot molekul yang cukup tinggi. Selain itu, kontaminasi gliserol juga
mempengaruhi nilai viskositas biodiesel (Bajpai dan Tyagi 2006).
Secara fisiokimia, biodiesel minyak kepuh memiliki banyak kesamaan dengan
biodiesel minyak sawit, viskositas kinematik biodiesel minyak sawit ada pada kisaran 4,3
4,5 mm2/s (Fukuda et al. 2001) sedangkan viskositas rata rata minyak kepuh sebesar 4,24
mm2/s, selain viskositas, densitas biodiesel minyak sawit juga memiliki kesamaan dengan
biodiesel minyak kepuh.
Perbandingan mutu biodiesel kepuh terhadap minyak nabati lainnya serta solar
komersil disajikan pada Tabel 3. Untuk bilangan setana biodiesel minyak biji kepuh lebih
tinggi daripada solar, hal ini menunjukkan bahwa biodiesel minyak biji kepuh memiliki waktu
tunggu (delay time) pembakaran yang lebih baik daripada solar.

271
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Tabel 3. Rendemen biodiesel dari minyak kepuh


Table 3. Biodiesel yield from kepuh oil

No. Parameter Volume minyak Volume Rendemen/


kepuh/kepuh oil biodiesel/biodiesel rendemeen (%)
volume (ml) volume (ml)
1. Degumming H3PO4 50.000 35.500 71,0
50% sebanyak 1%
(v/v)
2. Degumming H3PO4 50.000 35,650 71,3
50% sebanyak 1%
(v/v)
3. Degumming H3PO4 50.000 36,200 72,4
50% sebanyak 1%
(v/v)
4. Degumming H3PO4 50.000 35.725 71,45
50% sebanyak 1%
(v/v)

Tabel 4. Perbandingan mutu biodiesel kepuh terhadap


minyak nabati lainnya serta minyak solar.
Table 4. Comparison of biodiesel quality between kepuh
to another vegetable oil and solar oil

No. Metil ester Viskositas Densitas Bilangan


Kinematikv(kinematic (density), kg/m3 Setana/setana
viscosity), mm2/s number

1. Kedelai (soybean)* 4,0 880 45,7 56


2. Sawit (palm)* 4,3 4,5 872 877 63,4 70
3. Biji bunga matahari (sun 4,2 882 51 59,7
flower seed)*
4. Kepuh (Sterculia f)** 4,24 874 64,0
5. Minyak Solar (solar oi)l** 3,5 12 830 - 840 51
Sumber (Source) : *Fakuda et al. (2001), **Penelitian

Bilangan setana merupakan ukuran kualitas pembakaran atau waktu tunggu


pembakaran, hal ini berkaitan dengan waktu yang dibutuhkan bahan bakar cair untuk
terbakar setelah dipompa ke mesin pembakaran, semakin tinggi bilangan setana, semakin
cepat pula waktu tunggu pembakaran, hal ini mengakibatkan pembakaran menjadi lebih
efektif dan efisien (Demirbas 2008).
Uji coba penggunaan minyak biodiesel kepuh untuk bahan bakar mesin diesel 7 PK
tanpa beban dengan tekanan gas sedang, menghabiskan minyak biodiesel sebanyak 1 liter
selama 3 jam. Minyak biodiesel kepuh lebih irit 1 jam dibandingkan dengan minyak solar
dengan mesin diesel dan perlakuan yang sama.
Uji coba penggunaan minyak biodiesel pada mobil pick-up merk chevrolet diperoleh
konsumsi bahan bakar biodiesel dengan perbandingan 1 : 10, artinya untuk 1 liter minyak
biodiesel kepuh dapat menempuh jarak sejauh 10 Km dengan kecepatan antara 40 60
km/jam, dengan kelebihan polusi yang dikeluarkan lebih bersih dan putih warna asapnya
dibandingkan dengan asap warna hitam yang dikeluarkan bahan bakar minyak solar.

272
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
1. Pembuatan minyak dari bahan baku biji kepuh menghasilkan rendemen 30 40% dan
apabila bungkilnya dipres kembali kembali dengan mesin pres hidraulik manual
menghasilkan minyak sebesar 10%.
2. Minyak biji kepuh mempunyai bilangan asam berkisar antara 2,27 3,65 mg KOH/g,
kadar asam lemak bebas (FFA) 1,14 1,83%, kadar air 0,74 1,06%, densitas 932,60
kg/m, dan viskositas kinematik sebesar 33,41 mm2/s (cSt).
3. Biodiesel berbahan baku minyak biji kepuh memiliki mutu yang sesuai dengan
persyaratan yang harus dipenuhi dari SNI 04-7182-2006. Kadar air sebesar 0,05%,
bilangan asam 0,66 mg KOH/g, kadar asam lemak bebas 0,33%, densitas 874 kg/m3,
viskositas kinematik pada suhu 40oC 4,24 mm2/s (cSt), bilangan iodium 91,20 g I2/100 g,
bilangan setana 64 dan rendemen minyak biodiesel yang dihasilkan sebesar 71,53%.
4. Uji coba penggunaan minyak biodiesel kepuh untuk bahan bakar mesin diesel 7 PK
tanpa beban dengan tekanan gas sedang, menghabiskan minyak biodiesel sebanyak 1
liter selama 3 jam. Minyak biodiesel kepuh lebih irit 1 jam dibandingkan dengan minyak
solar dengan mesin diesel dan perlakuan yang sama.
5. Uji coba penggunaan minyak biodiesel pada mobil pick-up merk chevrolet diperoleh
konsumsi bahan bakar biodiesel dengan perbandingan 1 : 10, artinya untuk 1 liter
minyak biodiesel kepuh dapat menempuh jarak sejauh 10 Km dengan kecepatan antara
40 60 km/jam, dengan kelebihan polusi yang dikeluarkan lebih bersih dan putih warna
asapnya dibandingkan dengan asap warna hitam yang dikeluarkan bahan bakar minyak
solar.

Saran
1. Pembuatan minyak dari biji kepuh disarankan menggunakan biji yang sudah matang
dan kering. Untuk memudahkan proses produksi selanjutnya biji kepuh harus melalui
proses pengukusan dan pengeringan terlebih dahulu sebelum melalui proses
diekstraksi.
2. Hasil ekstraksi minyak yang dihasilkan (crude oil) sebagai bahan baku pada produksi
biodiesel disarankan dilakukan penelitian pendahuluan pembuatan biodiesel skala
laboratorium karena hal ini akan dijadikan ukuran standar pada pembuatan skala besar
dan memudahkan proses selanjutnya menjadi biodiesel.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2006. Biodiesel. SNI 04-7182-2006. Jakarta: Badan Standarisasi Nasional.


Bajpai, D., and Tyagi, V.K. 2006. Biodiesel Source, Production, Composition, Properties
and its Benefits. Journal of Oleochemical Science 10 : 487 502.
Demiebas, A. 2008. Biodiesel A Realistic Fuel Alternative for Diesel Fuel. London :
Springer-Verlag.
Dweek, A. C., and T. Meadowsi. 2002. Tamanu (Calophyllum inophyllum) the african, asian
polynesian and pasific panacea. International Journal of Cosmetic Science. New
York. 24 : 1 8.
Fakuda, H., Kondo, A., dan Noda, H. 2001. Biodiesel Fuel Production by Transesterification
of Oil. Journal of Bioscience and Bioengineering 92 : 405 - 416
Gapen,J.V. 2005. Biodiesel Processing and Production. J.Fuel Processing Technology 86 :
1097 1107
Gubitz, G.M., Mittelbach, M, and Trabi, M. 1999. Exploitation of the Tropical Oil Seed Plant
Jathropha curcas, L. Bioresource Technology 67: 73 78.
Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia. Jilid III (cetakan ke-1). Terjemahan Badan
Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Jakarta. Hal. 1252 1255.

273
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Hendra, Dj, D. Setiawan dan Wibowo,. S. 2010. Analisis sifat fisiko-kimia minyak biji
nyamplung (Calophyllum inophyllum L.) hasil proses degumming. Buletin Hasil
Hutan. Vol. 16 (1) : 63 70. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan.
Bogor.
Krause, R. 2001. Bio and alternative fuels for mobility. In enhancing biodiesel development
and use. Proceedings of the International Biodiesel Workshop, Tiara Convention
Center, Medan. 24 Oktober 2001. Ditjen Perkebunan, Departemen Pertanian.
Jakarta.
Ramadhas, AS, Mulareedharan, C., and Jayaraj, S. 2005. Performance and Emission
Evaluation of diesel Engine Fueled With Methyl Esters of Rubber Seed Oil. Journal
of Renewable Energy 30 : 1789 1800.
Reksowardoyo, R. P. 2005. Melaju kendaraan berkat biji-bijian. Trubus, XXXVI / November
2005. Jakarta.
Srivastava, and Prasad, P. 2000. Triglycerides base diesel fuels. Journal of Renewable
Sustainability Energy 4 : 111 133.
Samiarso, L. 2001. Indonesian policy on renewable energy development dalam enhancing
biodiesel development and use. Proceedings of the International Biodiesel Workshop,
Tiara Convention Center, Medan. 24 Oktober 2001. Ditjen Perkebunan, Departemen
Pertanian. Jakarta.
Soerawidjaja, T.H. 2002. Menjadikan biodisel sebagai bagian dari liquor fuel mix di
Indonesia. Materi presentasi pada Rapat Teknis Penelitian Energi ke-311. Pusat
Penelitian Material dan Energi. ITB. Bandung. 21 Juli 2002.
Soerawidjaja, T.H., Brodjonegoro T.P., dan Reksowardoyo, I.K. 2005. Memobilisasi Upaya
Penegakkan Industri biodiesel di Indonesia. Pusat Penelitian Pendayagunaan
Sumber Daya Alam dan Pelestarian Lingkungan ITB. Bandung : Institut Teknologi
Bandung.

274
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS

KARAKTERISTIK PELLET KAYU GMELINA


(Gmelina arborea Roxb.)

Moeh. Hady Akbar Zam, Syahidah, dan Beta Putranto


Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin Makassar
Kampus Unhas Tamalanrea : Jl. P. Kemerdekaan Km. 10
Tlp. (0411) 585917 Makassar 90245
Email : hadyzam@rocketmail.com

ABSTRAK

Upaya pemanfaatan limbah menjadi barang yang berguna harus terus digalakkan,
demikian pula dengan limbah kayu baik yang dihasilkan dari kegiatan pemanenan maupun
dari limbah pengolahan kayu. Salah satu bentuk pemanfaatan limbah kayu adalah mengolah
limbah menjadi pellet kayu sebagai salah satu jenis energi alternatif. Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui karakteristik pellet yang dibuat dari serbuk limbah kayu gmelina. Kayu
gmelina dibuat serbuk menggunakan hammer mill lalu disaring menggunakan saringan 22
dan 40 mesh. Serbuk ini dibiarkan hingga mencapai kadar air kering udara dan selanjutnya
dimasukkan ke dalam cetakan lalu dipanaskan dan dikempa menggunakan hot press selama
20 menit dengan tekanan 100 kg/cm2. Suhu yang digunakan saat pengempaan adalah 90oC,
110oC, dan 130oC dan masing-masing suhu diulangi sebanyak tiga kali. Selanjutnya
dilakukan pengujian pellet kayu dengan variabel pengamatan meliputi kadar air, kerapatan,
kadar abu, nilai kalor, waktu penyalaan, dan laju pembakaran. Karakteristik pellet tersebut
kemudian dibandingkan dengan standar pellet dari Austria, Selandia Baru, dan Swedia. Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa pellet kayu gmelina tidak memenuhi standar Austria,
Selandia Baru, dan Swedia. Semakin tinggi suhu yang diberikan menghasilkan kadar air
pellet yang lebih rendah, kerapatan yang lebih tinggi, kadar abu yang relatif sama, nilai kalor
yang lebih tinggi, waktu penyalaan yang lebih cepat, dan laju pembakaran yang relatif sama.

Kata kunci: Pellet, kerapatan, kadar air, nilai kalor, kadar abu

PENDAHULUAN

Minyak bumi sebagai salah satu sumberdaya alam yang tak terbarukan merupakan
sumber energi yang telah lama digunakan di seluruh dunia. Sumber energi ini menjadi salah
satu penyebab pemanasan global, dimana sisa pembakarannya berupa gas karbondioksida
(CO2) merupakan penyebab terjadinya efek rumah kaca yang berdampak pada berbagai
masalah lingkungan. Selain itu, masalah kelangkaan dan semakin naiknya harga minyak
bumi di pasaran dunia merupakan masalah lain yang juga perlu mendapatkan perhatian
serius. Kondisi ini memaksa untuk mencari sumber-sumber energi alternatif yang murah dan
terbarukan. Saat ini, perkembangan sumber energi terbarukan semakin pesat untuk
mewujudkan sumber energi yang murah, mudah diperoleh, dan ramah lingkungan. Berbagai
sumber energi tersebut seperti pemanfaatan energi matahari, air, dan udara, serta
pengolahan bahan baku dari berbagai jenis tumbuhan untuk biodiesel dan bioetanol. Selain
itu, ada juga yang kembali mengelola sumberdaya alam penghasil energi yang paling kuno
yaitu kayu.
Kayu merupakan salah satu sumber energi yang diharapkan dapat menggantikan
sumber bahan bakar minyak dan gas bumi. Jika kayu langsung dijadikan sebagai bahan
bakar mempunyai sifat-sifat yang kurang menguntungkan, antara lain mempunyai kadar air
tinggi, volumeneous, mengeluarkan asap, banyak abu, dan nilai kalornya rendah. Salah satu
bentuk pemanfaatan kayu sebagai sumber energi antara lain briket arang dan pellet kayu.
Namun pembuatan briket arang mempunyai kelemahan yaitu kotor dalam hal pengemasan
dan saat pemakaian.

275
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Pellet kayu merupakan salah satu solusi dari kebutuhan sumber energi dari kayu.
Dengan mengolah limbah kayu menjadi pellet dapat menghasilkan pellet kayu yang memiliki
kadar air dan kadar abu yang rendah sehingga menghasilkan panas yang tinggi dan lebih
bersih dibandingkan dengan kayu bakar biasa. Proses pembuatannyapun tidak
menimbulkan pencemaran udara. Pengemasan dan pemakaian pellet kayu juga sangat
mudah dan praktis serta tidak kotor. Di negara-negara Eropa dan Amerika pellet kayu telah
berkembang sangat pesat, bahkan telah menjadi bahan bakar penghangat ruangan dan
dijadikan sebagai sumber energi di beberapa pabrik. Kebutuhan pellet kayu sangat tinggi di
Eropa dan Amerika, dari aspek ekonomi sangat potensial sebagai salah satu komoditi
ekspor.
Gmelina (Gmelina arborea Roxb.) termasuk tanaman penghasil kayu yang produktif.
Banyak ditanam sebagai tanaman pelindung dan sebagian besar dimanfaatkan sebagai
tanaman komersil. Semua bagian pohon dapat dimanfaatkan, mulai dari batang, cabang
bahkan ranting. Berdasarkan uraian tersebut maka dianggap perlu melakukan penelitian
tentang karakteristik pellet yang dibuat dari kayu gmelina sebagai salah satu sumber energi
alternatif yang ramah lingkungan.

BAHAN DAN METODE

Kayu gmelina sebagai bahan baku digiling menggunakan hammer mill lalu disaring
menggunakan ayakan 22 mesh dan 40 mesh. Serbuk yang lolos dari ayakan 22 mesh dan
tertahan di ayakan 40 mesh adalah serbuk yang digunakan. Serbuk ini dibiarkan hingga
mencapai kadar air kering udara. Selanjutnya serbuk yang telah kering udara kemudian
ditimbang sebanyak 1,5 gram kemudian dimasukkan ke setiap lubang alat cetak yang terdiri
atas 9 lubang dengan diameter lubang masing-masing 0,8 cm dan tinggi lubang 6 cm. Alat
cetak yang telah berisi serbuk dipanaskan hingga mencapai suhu yang dikehendaki yaitu
90C, 110C, dan 130C, kemudian dipress dengan tekanan 100 kg/cm. Sesudah
mengalami pengepresan, didiamkan selama 20 menit dan sampel dikeluarkan dari alat
cetak. Pembuatan pellet pada setiap suhu perlakuan diulang sebanyak 3 kali. Karakteristik
pellet yang diamati adalah kadar air, kerapatan, kadar abu, nilai kalor, waktu penyalaan dan
laju pembakaran.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kadar Air
Hasil penelitian mengenai kadar air pellet kayu gmelina dari berbagai perlakuan suhu
dan kontrol dapat dilihat pada Gambar 1. Gambar 1 menunjukkan bahwa nilai rata-rata
persentase kadar air pellet lebih rendah dibandingkan dengan kayu solidnya sebagai kontrol.
Sedangkan pada pellet terjadi kecenderungan semakin tinggi suhu yang diberikan maka
kadar airnya semakin rendah. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan suhu
berpengaruh sangat nyata terhadap kadar air pellet, sehingga dilakukan Uji Tukey untuk
melihat perbedaan kadar air di antara perlakuan.
Hasil Uji Tukey menunjukkan bahwa kadar air kontrol berbeda sangat nyata dengan
pellet. Kadar air pellet dengan perlakuan suhu 130C berbeda nyata dengan perlakuan suhu
110C, begitu pula perlakuan suhu 110C berbeda nyata dengan perlakuan suhu 90C. Hal
tersebut terjadi diduga oleh karena pemberian suhu tinggi pada proses pembuatan pellet
menyebabkan kadar air menjadi rendah karena adanya pelepasan air pada saat
pemanasan. Air akan terlepas dan menguap ke udara selama proses pemanasan. Selain
kehilangan air, ketika kayu dipanaskan (suhu di bawah 140oC), kayu juga akan kehilangan
zat ekstraktif yang bersifat volatil dan menyebabkan penurunan laju absorbsi dan desorbsi
kayu, berkurangnya gugus hidroksil, dan berkurangnya komponen hemiselulosa (Hill, 2006).
Hal tersebut menunjukkan adanya penurunan kadar air ketika suhu yang diberikan
meningkat. Banyaknya air yang terlepas sangat dipengaruhi oleh waktu dan suhu yang
diberikan. Sementara itu perbedaan kadar air yang terjadi saat suhu dinaikkan dan sebagian

276
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS

besar air yang terlepas terjadi saat awal pemanasan. Jika dibandingkan dengan standar
kadar air pellet kayu dari Austria (maks. 12 %), Selandia Baru (maks. 8 %), dan Swedia
(maks. 10 %), maka kadar air pellet kayu gmelina dari semua perlakuan suhu telah
memenuhi standar yang telah ditetapkan oleh ketiga negara tersebut.

Gambar 1. Kadar Air Rata-rata Pellet Kayu Gmelina

Kerapatan
Kerapatan pellet kayu gmelina dari berbagai perlakuan suhu dan kontrol dapat dilihat
pada Gambar 2.

Gambar 2. Kerapatan Rata-rata Pellet Kayu Gmelina

Gambar 2 menunjukkan bahwa nilai rata-rata kerapatan pellet lebih tinggi


dibandingkan kontrol. Sedangkan pada pellet terjadi kecenderungan semakin tinggi suhu
yang diberikan pada proses pembuatan maka kerapatannya semakin tinggi. Hasil analisis
ragam menunjukkan bahwa perlakuan suhu berpengaruh terhadap kerapatan pellet,
sehingga dilakukan Uji Tukey untuk melihat perbedaan kerapatan di antara perlakuan.
Hasil Uji Tukey menunjukkan bahwa kerapatan kayu solid berbeda sangat nyata
dengan pellet kayu. Kerapatan pellet dengan perlakuan suhu 130C berbeda nyata dengan
perlakuan suhu 110C, begitu pula perlakuan suhu 110C berbeda nyata dengan perlakuan
suhu 90C. Hal ini terjadi diduga oleh karena pemberian tekanan yang tinggi pada saat

277
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

proses pembuatan pellet menyebabkan kerapatan pellet menjadi tinggi, saat pemberian
tekanan yang tinggi juga diikuti dengan pemberian panas sehingga lignin yang ada pada
kayu melemah disertai dengan adanya hemiselulosa yang terdegradasi mengakibatkan
terjadinya ikatan silang antara lignin yang satu dengan yang lain saat suhu kembali normal
(Hill, 2006). Jika dibandingkan dengan standar kadar air pellet dari Selandia Baru (min. 641
kg/m3 = 0,641 g/cm3), dan Swedia (min. 600 kg/m3 = 0,6 g/cm3), maka kerapatan pellet kayu
gmelina dari semua perlakuan suhu telah memenuhi standar yang telah ditetapkan oleh
kedua negara tersebut. Sedangkan untuk Austria tidak ada standar yang disebutkan untuk
kerapatan.

Kadar Abu
Kadar abu pellet kayu gmelina dari berbagai perlakuan suhu dan kontrol dapat dilihat
pada Gambar 3 berikut :

Gambar 3. Kadar Abu Rata-rata Pellet Kayu Gmelina

Gambar 3 menunjukkan bahwa nilai rata-rata kadar abu kayu solid sebagai kontrol
dan pellet dengan berbagai perlakuan suhu relatif sama. Hasil analisis ragam menunjukkan
bahwa pellet pada berbagai perlakuan suhu dan kontrol berpengaruh tidak nyata terhadap
kadar abu. Abu ialah mineral pembentuk abu yang tertinggal setelah lignin dan selulosa
habis terbakar (Dumanauw, 1990). Abu yang tersisa dari proses pembakaran terdiri atas
bahan-bahan anorganik pada kayu sedangkan bahan organiknya habis terbakar. Sjostrom
(1995) mengemukakan bahwa abu asalnya terutama dari berbagai garam yang diendapkan
dalam dinding-dinding sel dan lumen. Endapan yang khas adalah berbagai garam-garam
logam, seperti karbonat, silikat, oksalat, dan fosfat. Komponen logam yang paling banyak
jumlahnya adalah kalsium diikuti kalium dan magnesium. Dalam proses pengabuan, bahan-
bahan organik yang terkandung dalam kayu akan terbakar sedangkan bahan-bahan
anorganik akan tertinggal. Pada proses pembuatan pellet kayu tidak dapat mengubah bahan
anorganik yang memang sudah ada dalam kayu. Jika dibandingkan dengan standar kadar
abu pellet kayu dari Negara Austria (maks. 0,5 %), Selandia Baru (maks. 1 %), dan Swedia
(maks. 0,1 %), maka kadar abu pellet kayu gmelina dari semua perlakuan suhu hanya
memenuhi standar dari Selandia Baru, sedangkan standar Austria dan Swedia tidak
terpenuhi.

278
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS

Nilai Kalor
Nilai kalor pellet kayu gmelina dari berbagai perlakuan suhu dan kontrol dapat dilihat pada
Gambar 4.

20.07 20.37 20.65


20.00

15.00
Nilai Kalor

10.00 8.56
(MJ/kg)

5.00

0.00
Kontrol Suhu 90C Suhu 110C Suhu 130C
Perlakuan

Gambar 4. Nilai Kalor Rata-rata Pellet Kayu Gmelina

Gambar 4 menunjukkan bahwa nilai kalor rata-rata pellet lebih tinggi dibandingkan
kontrol. Sedangkan pada pellet terjadi kecenderungan semakin tinggi suhu maka nilai
kalornya semakin tinggi. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan suhu
berpengaruh terhadap nilai kalor pellet, sehingga dilakukan Uji Tukey untuk melihat
perbedaan kadar air di antara perlakuan.
Hasil Uji Tukey menunjukkan bahwa nilai kalor kontrol berbeda sangat nyata dengan
pellet kayu. Nilai kalor pellet kayu dengan perlakuan suhu 130C berbeda nyata dengan
perlakuan suhu 110C dan perlakuan suhu 110C berbeda nyata dengan perlakuan suhu
90C. Hal ini terjadi diduga oleh karena adanya perbedaan kadar air yang ada pada kontrol
dan pellet. Begitu pula yang terjadi pada pellet pada berbagai perlakuan. Selain itu
perbedaan suhu pada tiap perlakuan mengakibatkan perbedaan jumlah zat ekstraktif yang
hilang dan perbedaan struktur kimia yang terjadi seperti hemiselulosa yang terdegradasi.
Sebagaimana yang dikemukakan oleh Cahyono dkk. (2008) bahwa nilai kalor dipengaruhi
oleh kadar air, susunan kimia kayu, dan jenis kayu. Jika dibandingkan dengan standar nilai
kalor pellet kayu dari Austria (min. 18 MJ/kg), Selandia Baru (min. 19,1 MJ/kg), dan Swedia
(min. 16,9 MJ/kg), maka nilai kalor pellet kayu gmelina dari semua perlakuan suhu telah
memenuhi standar yang telah ditetapkan oleh ketiga negara tersebut.

Waktu Penyalaan
Waktu penyalaan pellet kayu gmelina dari berbagai perlakuan suhu dan kontrol dapat
dilihat pada Gambar 5. Gambar 5 menunjukkan bahwa waktu penyalaan rata-rata pellet lebih
cepat dibandingkan dengan kontrol. Sedangkan pada pellet terjadi kecenderungan semakin
tinggi suhu yang diberikan semakin cepat waktu penyalaannya. Hasil analisis ragam
menunjukkan bahwa perlakuan suhu berpengaruh terhadap lama penyalaan, sehingga
dilakukan uji Tukey untuk melihat perbedaan lama penyalaan di antara perlakuan.
Hasil Uji Tukey menunjukkan bahwa waktu penyalaan kontrol berbeda sangat nyata
dengan pellet kayu. Hal ini terjadi diduga karena akibat pengaruh luas permukaan partikel
yang berbeda antara kayu solid dengan pellet yang dibuat dari serbuk kayu menyebabkan
adanya perbedaan waktu penyalaan. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Pratoto, dkk.
(2010) bahwa tingginya densitas permukaan dari partikel kecil pada gilirannya meningkatkan
luas kontak antara partikel biomassa dengan agen gasifikasi. Sedangkan waktu penyalaan
pellet pada perlakuan suhu 130C berbeda nyata dengan perlakuan suhu 110C dan
perlakuan suhu 110C berbeda nyata dengan perlakuan suhu 90C. Hal ini terjadi diduga

279
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

akibat kerapatan pellet, semakin tinggi kerapatan bahan bakar padat maka waktu
penyalaannya semakin lambat (Widiarti dkk. 2010).

Gambar 5. Waktu Penyalaan Rata-rata Pellet Kayu Gmelina

Laju Pembakaran
Laju pembakaran pellet kayu gmelina dari berbagai perlakuan suhu dan kontrol dapat
dilihat pada Gambar 6 di bawah ini:

Gambar 6. Laju Pembakaran Rata-rata Pellet Kayu Gmelina

Gambar 6 menunjukkan bahwa laju pembakaran rata-rata pellet lebih besar


dibandingkan dengan kontrol. Sedangkan pada pellet laju pembakaran pada berbagai
perlakuan suhu relatif sama. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan suhu
berpengaruh terhadap laju pembakaran, sehingga dilakukan Uji Tukey untuk melihat
perbedaan laju pembakaran di antara perlakuan.
Hasil Uji Tukey menunjukkan bahwa laju pembakaran kontrol berbeda sangat nyata
dengan pellet. Sedangkan laju pembakaran pellet kayu pada semua perlakuan suhu berbeda
tidak nyata, artinya tidak ada pengaruh perlakuan suhu terhadap laju pembakaran pellet
yang dihasilkan. Laju pembakaran kontrol dengan pellet berbeda sangat nyata akibat luas
permukaan partikel yang berbeda antara kayu solid dengan pellet yang dibuat dari serbuk

280
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS

kayu yang menunjukkan perbedaan jenis bahan bakar. Selain faktor tersebut ada faktor lain
yang mempengaruhi laju pembakaran. Saptoadi dan Himawanto (2011) mengemukakan
bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi laju pembakaran bahan bakar padat antara lain
ukuran partikel, kecepatan aliran udara, suhu, jenis bahan bakar, tekanan, konsentrasi
oksigen dan sifat dari reaksi elementer yang terjadi.

KESIMPULAN

1. Pellet kayu gmelina yang dihasilkan dalam penelitian ini tidak memenuhi standar Austria,
Selandia Baru dan Swedia
2. Semakin tinggi suhu yang diberikan, maka kualitas pellet yang dihaslkan semakin baik.

DAFTAR PUSTAKA

Cahyono, T. D., Z. Coto, dan F. Febrianto. 2008. Analisis Nilai Kalor dan Kelayakan
Ekonomis Kayu Sebagai Bahan Bakar Subtitusi Batu Bara di Pabrik Semen.
http://jurnal.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/31208105116.pdf. [24 Maret 2011].
Dumanaw, J.F. 1990. Mengenal Kayu. Kanisius. Semarang.
Hill, C. 2006. Wood Modification, Chemical, Thermal, and Other Processes. John Willey &
Sons Ltd. Chicester.
Pratoto, A., A. Sutanto, E. H. Praja, dan D. Armenda. 2010. Rancang Bangun Tungku
Gasifier Untuk Penamnfaatan Tandan Kelapa Sawit Sebagai Sumber Energi.
http://www.akademik.unsri.ac.id/download/journal/files/ft/snttm2010/359_PROSIDING
%20DIGITAL%20SNTTM%20IX.pdf. [16 April 2011]
Saptoadi, H. dan A. Himawanto. 2011. Pemodelan Matematis Distribusi Temperatur pada
Proses Pembakaran di Rangka Bakar (Bagian 1 : Distribusi Temperatur pada
Permukaan atas Bahan Bakar). http://eprints.ums.ac.id/970/1/5_Harwin_
Saptoadi_Dwi_Aries_himawanto_Pemodelan_Matematis_di.doc. [24 Maret 2011].
Sjostrom, E. 1995. Kimia Kayu, Edisi Kedua. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Widiarti, E. S., Sarwono, dan R. Hantoro. 2010. Studi Eksperimental Karakteristik Briket
Organik Dengan Bahan Baku Dari PPLH Seloliman. http://digilib.its.ac.id/public/ITS-
Undergraduate-12999-Paper.pdf. [16 April 2011]

281
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

PENGARUH SUHU DAN WAKTU KARBONISASI TERHADAP


KONDUKTIVITAS LISTRIK ARANG SABUT KELAPA
(EFFECT OF TEMPERATURE AND CARBONIZATION
TIME ON ELECTRICAL CONDUCTIVITY OF
CARBON FIBER FROM COCONUT COIR)

Ismail Budiman1, Akhiruddin Maddu2, Gustan Pari3, dan Subyakto1


1
UPT BPP Biomaterial - LIPI, Jl. Raya Bogor Km 46 Cibinong, Bogor
2
Departmen Fisika, Fakultas MIPA IPB,
Jl. Meranti Gedung Wing S, Dramaga - Bogor
3
Puslitbang Keteknikan Kehutanan dan Pengelolaan Hasil Hutan, Departemen Kehutanan,
Jl. Gunung Batu - Bogor
E-mail: budimanismail@yahoo.com

ABSTRAK

Penelitian tentang pengukuran konduktivitas listrik serat karbon sabut kelapa pada
berbagai suhu dan waktu karbonisasi telah dilakukan. Pengukuran konduktivitas listrik
berfungsi untuk mengetahui seberapa besar kemampuan dari sampel untuk dapat
mengalirkan arus listrik yang mengalir padanya. Sampel yang diukur nilai konduktivitasnya
adalah serat karbon sabut kelapa yang dihasilkan melalui proses karbonisasi dengan tiga
variasi suhu yaitu 700, 800 dan 900 qC, serta tiga variasi waktu yaitu 45, 60 dan 90 menit.
Selain itu sebagai pembanding, dilakukan juga pengukuran konduktivitas listrik dari serat
sabut kelapa kontrol dan arang sabut kelapa yang dihasilkan dari karbonisasi pada suhu 400
qC selama 300 menit. Serat karbon sabut kelapa diukur dengan menggunakan LCR meter
dan terlebih dahulu diserbukkan dengan ukuran lolos 40 mesh. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa suhu dan waktu karbonisasi serta interaksi antara keduanya
memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap nilai konduktivitas listriknya. Semakin
tinggi suhu karbonisasi menyebabkan nilai konduktivitas listriknya semakin tinggi pula. Nilai
konduktivitas listrik tertinggi diperoleh serat karbon hasil karbonisasi suhu 900 qC selama 90
menit yaitu sebesar 138.03 S/m.

Kata kunci : Konduktivitas listrik, karbonisasi, serat sabut kelapa

PENDAHULUAN

Serat karbon (carbon fiber) komersial dibuat dari dua macam material awal
(precursor) yaitu textile precursor dan pitch precursor (Mallick 2008). Untuk textile precursor
yang umum digunakan adalah polyacrylonitrile (PAN). Sedangkan pitch adalah hasil
samping dari petroleum refining atau coal coking, sehingga harganya lebih murah dari PAN.
Pembuatan serat karbon melalui beberapa proses seperti pemanasan, spinning, karbonisasi
dan grafitisasi, sehingga membuat harga serat karbon cukup mahal. Bentuk serat karbon di
pasaran ada tiga macam yaitu serat panjang, serat pendek (6-50 mm), dan serbuk (30-3000
m).
Serat karbon komersial memiliki kekuatan yang sangat tinggi, misalnya modulus tarik
antara 207 GPa 1035 GPa. Serat karbon dari PAN mempunyai konduktivitas panas dan
konduktivitas listrik yang lebih rendah dibandingkan dengan serat karbon dari pitch.
Konduktivitas panas dari serat karbon PAN sebesar 10-100 W m-1 qK sedangkan dari pitch
sebesar 20-1000 W m-1 K. Konduktivitas listrik serat karbon PAN 104-105 S m-1 lebih rendah
dibandingkan dengan konduktivitas listrik karbon pitch 105-106 S m-1. Modulus tarik dari serat
karbon picth sangat tinggi, tetapi kekuatan tarik lebih rendah dari PAN (Mallick 2008).

282
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS

Penelitian pembuatan karbon (arang) dari serat alam seperti kayu, bambu, serat
sabut kelapa atau kelapa sawit juga telah banyak dilakukan (Pari & Abdurahim 2003, Pari et
al. 2004, Pari et al. 2005, Pari et al. 2006a, Pari et al. 2006b, Subyakto et al 2004). Penelitian
karbon dari serat alam selama ini banyak ditujukan untuk aplikasi seperti bidang kesehatan
(penyerap gas-gas beracun, penyerap bau, pelindung gelombang elektromagnit), sebagai
sumber energi, penjernih air, arang aktif, dan lain-lain. Konduktivitas listrik dari arang kayu
sugi diteliti oleh Nishimiya et al. (1995). Dari penelitian ini didapatkan bahwa resistivitas listrik
turun drastis pada suhu pengarangan 600 C sampai 800 C, dan arang kayu menjadi
konduktor jika diarangkan pada suhu 800 C atau lebih. Bambu yang diarangkan pada suhu
800 C mempunyai nilai konduktansi listrik di bawah 10 -1. Pada suhu karbonisasi 2200
C didapatkan konduktansi listrik untuk bagian-bagian kelapa sawit seperti tandan kosong,
pelepah, batang, dan tempurung sebesar 272, 287, 377, dan 476 -1 (Subyakto et al. 2004).
Salah satu serat alam yang ketersediannya sangat berlimpah ialah serat sabut kelapa
yang didapatkan dari pohon kelapa (Cocos nucifera). Berdasarkan data dari Direktorat
Jenderal Perkebunan Tahun 2009, baik luas areal perkebunan kelapa maupun produksi
kelapanya cenderung meningkat dari tahun 1970 sampai dengan tahun 2009. Luas lahan
perkebunan kelapa dan produksi buah kelapa pada tahun 1970 berturut-turut adalah
1.805.711 ha dan 1.202.902 ton. Nilai ini meningkat cukup tinggi pada tahun 2009 dengan
luas lahan perkebunan kelapa dan produksi buah kelapa berturut-turut sebesar 3.800.846 ha
dan 3.257.773 ton. Dengan asumsi bahwa berat serat sabut kelapa sekitar 35% dari berat
buah kelapa, maka ketersedian serat kabut kelapa ini sangat memadai apabila akan
digunakan untuk berbagai macam keperluan, termasuk dalam penggunaannya sebagai
bahan dasar dalam pembuatan karbon dari serat alam.
Serat sabut kelapa merupakan salah satu serat alam terkuat di dunia. Hal ini
dikarenakan bahwa serat kelapa kandungan lignin yang tinggi yaitu sekitar 32.8%.
Kandungan lignin serat kelapa ini lebih tinggi dibandingkan dengan serat alam lainnya
seperti serat nenas (10.5%), serat batang pisang (18.6%) dan serat pelepah kelapa sawit
(20.5%) (Khalil et al. 2006).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian suhu dan waktu
karbonisasi yang berbeda terhadap nilai konduktivitas listrik dalam hubungannya dengan
penampakkan mikroskopis dari arang serat sabut kelapa tersebut.

BAHAN DAN METODE

Bahan dan Alat


Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah serat sabut kelapa (Cocos nucifera)
yang didapatkan dari daerah Sukabumi Jawa Barat. Alat yang digunakan untuk
mengarangkan serat sabut kelapa adalah tungku karbonisasi (retort pyrolisis) dengan
kapasitas 5 kg untuk karbonisasi sampai dengan suhu 400 qC dan kapasitas 200 g untuk
karbonisasi sampai dengan suhu 900 qC. Alat yang digunakan untuk mengukur konduktivitas
listrik sampel adalah LCR meter Krisbow tipe KW06-489, sedangkan penampakkan
mikroskopis dari arang sabut kelapa dilakukan dengan menggunakan Scanning Electron
Microscope (SEM) JSM 6360 LA 20 kV.

Metodologi Penelitian
Pembuatan Arang Serat Sabut Kelapa

Arang serat sabut kelapa dibuat menggunakan retort pirolisis dengan pemanas listrik
pada suhu 400 qC selama 300 menit dan didinginkan 12-24 jam. Selanjutnya, arang tersebut
kembali dipanaskan dengan menggunakan variasi suhu 700 qC, 800 qC dan 900 qC, dan
variasi waktu pemanasan 45, 60 dan 90 menit. Arang yang dihasilkan diukur konduktivitas
listriknya dengan menggunakan LCR meter serta penampakkan mikroskopis dari permukaan
serat dengan menggunakan SEM.

283
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Pengukuran Konduktivitas Listrik


Pengukuran konduktivitas bahan baku serat sabut kelapa dan arangnya dilakukan
dengan menggunakan LCR meter. Serat dihaluskan dengan ukuran lolos 40 mesh,
kemudian dimasukkan ke dalam tabung berukuran diameter 15,11 mm, untuk selanjutnya
diukur konduktivitas nya menggunakan LCR meter seperti dapat dilihat pada Gambar 1.
Konduktivitas listrik dari bahan dihitung dengan menggunakan rumus :

dimana :
V : Konduktivitas listrik (S m-1)
D : Tebal tempat penyimpanan sampel uji (m)
A : Luas permukaan tempat penyimpanan sampel uji (m2)

Gambar 1. Pengukuran konduktivitas listrik sabut kelapa dan arangnya


dengan menggunakan LCR meter

Untuk mengetahui pengaruh pembedaan suhu dan lamanya karbonisasi terhadap


konduktivitas listrik dilakukan analisa statistik dengan menggunakan rancangan faktorial
dalam Rancangan Acak Lengkap (RAL). Rancangan faktorial dalam RAL tersebut
menggunakan dua faktor yaitu faktor suhu karbonisasi dan faktor waktu karbonisasi yang
digunakan dengan masing-masing tiga taraf yaitu suhu 700 qC, 800 qC, 900 qC dan waktu
karbonisasi 45, 60 dan 90 menit. Model persamaannya adalah sebagai berikut (Mattjik &
Sumertajaya 2000) :

Yijk = P + Ai + Bj + ABij + Hijk

Yijk = Nilai pengamatan pada faktor suhu karbonisasi taraf ke-i, faktor waktu karbonisasi
taraf ke-j dan ulangan ke-k
P = Komponen aditif dari rataan
Ai = Pengaruh utama faktor suhu karbonisasi ke-i
Bj = Pengaruh utama faktor waktu karbonisasi ke-j
ABij = Interaksi dari faktor suhu ke-i dan waktu karbonisasi ke-j
Hijk = Pengaruh acak yang menyebar normal (0, V2) dari faktor suhu ke-i, waktu
karbonisasi ke-j, dan ulangan ke-k

Selanjutnya untuk mengetahui perbedaan nilai rata-rata antara taraf perlakuan,


dilakukan uji lanjutan dengan menggunakan uji beda nyata jujur (BNJ) atau Honest
Significance Diference (HSD). Uji BNJ dilakukan dengan cara membandingkan nilai mutlak
selisih kedua nilai rata-rata yang akan kita lihat perbedaannya dengan nilai BNJ pada taraf

284
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS

nyata dan derajat bebas tertentu. Nilai BNJ didapat dengan menggunakan rumus sebagai
berikut (Mattjik & Sumertajaya 2000) :

dimana p adalah jumlah perlakuan, dbg adalah derajat bebas galat, r adalah ulangan, KTG
adalah kuadrat tengah galat dan adalah nilai kritis yang diperoleh dari tabel wilayah
nyata student.

Kriteria uji dari uji BNJ ini adalah sebagai berikut :

Jika

Analisis penampakkan mikroskopis permukaan arang serat sabut kelapa

Penampakkan mikroskopis dari permukaan serat kontrol dan arang serat sabut
kelapa dilakukan dengan menggunakan SEM. Hal ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh
penggunaan variasi suhu dan waktu karbonisasi terhadap penampakkan makroskopis dari
permukaan arangnya dalam hubungannya dengan nilai konduktivitas listrik arangnya.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil pengukuran konduktivitas listrik dari serat sabut kelapa dan arangnya dengan
menggunakan LCR meter dapat dilihat pada Tabel 1.
Semakin tingginya konduktivitas listrik seiring dengan semakin tingginya suhu
karbonisasi dikarenakan pada suhu karbonisasi yang semakin tinggi, zat-zat yang ada di
sekitar dinding selnya semakin berkurang. Sehingga dinding selnya memungkinkan untuk
menghantarkan listrik dengan semakin baik. Nilai konduktivitas terbesar yaitu pada serat
karbon dengan suhu karbonisasi 900 qC dengan waktu 90 menit sebesar 138.030 S m-1.
Nilai konduktivitas arang serat sabut kelapa semuanya termasuk dalam semikonduktor, yaitu
berada pada kisaran 10-6 105 S m-1.

Tabel 1 Konduktivitas listrik serat karbon sabut kelapa

No. Bahan Konduktivitas (S m-1)


1 Serat sabut kelapa 0.0000006
2 Karbonisasi 400 C - 300 menit 0.0000032
3 Karbonisasi 700 C - 45 menit 46.142
4 Karbonisasi 700 C - 60 menit 42.137
5 Karbonisasi 700 C - 90 menit 42.477
6 Karbonisasi 800 C - 45 menit 102.574
7 Karbonisasi 800 C - 60 menit 111.826
8 Karbonisasi 800 C - 90 menit 100.719
9 Karbonisasi 900 C - 45 menit 126.444
10 Karbonisasi 900 C - 60 menit 133.922
11 Karbonisasi 900 C - 90 menit 138.030

285
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Nilai konduktivitas listrik dari arang hasil karbonisasi suhu 400 qC selama 300 menit
(0.0000032 S m-1), tidak terlalu jauh berbeda dengan nilai konduktivitas listrik serat sabut
kelapanya (0.0000006 S m-1). Hal ini dimungkinkan dengan masih banyaknya senyawa
yang terdapat di sekitar permukaan pori-porinya, seperti ditunjukkan dengan Gambar 2.

a b

Gambar 2. Penampakkan mikroskopis (a) serat sabut kelapa kontrol dan


(b) arang serat sabut kelapa dengan suhu karbonisasi 400 qC selama 300 menit

Pembuatan serat karbon dengan suhu lebih tinggi yaitu 700 qC, 800 qC dan 900 qC
dengan variasi waktu 45, 60 dan 90 menit menyebabkan meningkatnya nilai konduktivitas
listrik. Hal ini disebabkan senyawa yang berada disekitar permukaan pori-porinya semakin
berkurang seiring dengan meningkatnya suhu karbonisasi. Penampakkan mikroskopis dari
arang serat sabut kelapa dapat dilihat pada Gambar 3.

a b c

d e f

g h i

Gambar 3. Penampakkan mikroskopis permukaan arang dengan suhu karbonisasi dan


waktu (a) 700 qC 45 menit, (b) 700 qC 60 menit, (c) 700 qC 90 menit,
(d) 800 qC 45 menit, (e) 800 qC 60 menit, (f) 800 qC 90 menit, (g) 900 qC 45 menit,
(h) 900 qC 60 menit dan (i) 900 qC 90 menit

286
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS

Berdasarkan Tabel 1 dan Gambar 3 dapat ditarik hubungan yaitu dengan semakin
besarnya suhu karbonisasi yang digunakan maka nilai konduktivitas listriknya semakin naik
yang disebabkan oleh semakin berkurangnya senyawa-senyawa yang terdapat pada
permukaan arang serat sabut kelapanya. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh
Vigouroux (2001) yang menyatakan bahwa pemanasan dapat menyebabkan
terdegradasinya senyawa lamella tengah dan komponen pembentuk dinding sel sekunder
yang menghasilkan produk gas, produk cair dan zat padat berupa arang. Hal ini juga sejalan
dengan pendapat dari Byrne dan Nagle (1997) yang menyatakan bahwa karbonisasi pada
suhu lebih dari 400 qC terjadi pembentukan lapisan aromatik dan lignin masih terurai sampai
suhu 500 qC dan selanjutnya pada suhu di atas 600 qC mulai terjadi proses pembesaran luas
permukaan.
Berdasarkan hasil analisis sidik ragam pada Tabel 2, dapat dilihat bahwa pembedaan
suhu dan waktu karbonisasi dan interaksi antar keduanya memberikan pengaruh yang
berbeda nyata terhadap nilai konduktivitas listrik dari serat karbon sabut kelapa.
Berdasarkan uji BNJ pada Tabel 3, ditinjau dari waktu karbonisasi 45, 60 dan 90 menit
terlihat bahwa pembedaan suhu karbonisasi menjadi 700, 800 dan 900 qC, memberikan
pengaruh yang berbeda nyata terhadap nilai konduktivitas listriknya. Ditinjau dari suhu
karbonisasi 700 qC, pembedaan waktu karbonisasi tidak memberikan pengaruh yang
berbeda terhadap nilai konduktivitas listriknya. Sedangkan ditinjau dari suhu karbonisasi 800
qC, pembedaan waktu karbonisasi memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap nilai
konduktivitas listriknya pada waktu karbonisasi 60 menit. Untuk suhu karbonisasi 900 qC,
pembedaan waktu karbonisasi memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap
konduktivitas listriknya pada waktu 45 menit.
Berdasarkan Tabel 2 dan Tabel 3 dapat dikatakan bahwa pemberian pembedaan
suhu memberikan perbedaan nyata terhadap nilai konduktivitas listriknya ditinjau dari semua
variasi waktu yang ada. Sedangkan pemberian pembedaan waktu hanya memberikan
perbedaan yang nyata terhadap nilai konduktivitasnya pada suhu tertentu saja.

Tabel 2. Sidik ragam konduktivitas listrik

Sumber Jumlah Kuadrat F hitung P


Keragaman Kuadrat Tengah
Suhu 37518.5 18759.3 2102.56 0.000 **
Waktu 81.0 40.5 4.54 0.025 *
Suhu * Waktu 368.0 92.0 10.31 0.000 **

Keterangan : Selang kepercayaan yang digunakan adalah 95% (D = 0.05)


Jika P > 0.05, berarti perlakuan tidak memberikan pengaruh yang berbeda
nyata terhadap peubah terikat
Jika P 0.05, berarti perlakuan memberikan pengaruh yang berbeda nyata
terhadap peubah terikat

287
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Tabel 3. Uji Beda Nyata Jujur Konduktivitas Listrik

Berdasarkan waktu (melihat pengaruh pembedaan suhu)


Waktu
Suhu 45 60 90
700 46.142 C 42.137 C 42.47733 C
800 102.574 B 111.8253 B 100.719 B
900 114.9037 A 133.9217 A 138.0303 A
Berdasarkan suhu (melihat pengaruh pembedaan waktu)
Suhu
Waktu 700 800 900
45 46.142 A 102.574 B 126.444 B
60 42.137 A 111.826 A 133.922 A
90 42.477 A 100.719 B 138.030 A

Keterangan : huruf yang sama dalam satu kolom menunjukkan nilai yang tidak berbeda
nyata pada selang kepercayaan 95%

KESIMPULAN

Nilai konduktivitas listrik dari arang serat sabut kelapa semakin meningkat dengan
semakin tingginya suhu karbonisasi yang digunakan. Pengaruh pembedaan suhu
karbonisasi dan waktu yang berbeda serta interaksi keduanya memberikan berpengaruh
yang berbeda nyata terhadap nilai konduktivitas listriknya. Nilai konduktivitas listrik terbesar
yaitu sebesar 138.030 S m-1 diperoleh arang serat sabut kelapa dengan suhu karbonisasi
900 qC selama 90 menit. Semakin tinggi suhu karbonisasi yang digunakan menyebabkan
semakin berkurangnya senyawa yang terdapat di sekitar permukaan dari arang serat sabut
kelapa dan menyebabkan semakin jelasnya penampakkan dari pori-porinya.

DAFTAR PUSTAKA

Byrne CE, Nagle DC. 1997. Carbonized wood for advancedmaterials applications. Carbon
35 (2) : 259-266.
Direktorat Jenderal Perkebunan, Departemen Pertanian. 2009. Luas areal dan produksi
perkebunan seluruh Indonesia menurut pengusahaan. http://ditjenbun.deptan. go.id /
cigraph/index.php/viewstat/komoditiutama /5-Kelapa. Diunduh pada tanggal 4 Juli
2010.
Ishihara S. 1996. Recent trend of advanced carbon material from wood charcoals (in
Japanese). Mokuzai Gakkaishi 42:717-724
Ishimaru K, Hata T, Bronsveld P, Imamura Y. 2007. Microstructural study of carbonized
wood after cell wall sectioning. Journal of Material Science 42:26622668
Khalil HPSA, Alwani MS, Omar AKM. 2006. Chemical composition, anatomy, lignin
distribution and cell wall structure of Malaysian plant waste fiber. BioResource
1(2):220-232.
Mallick PK. 2008. Fiber-reinforced composites : materials, manufacturing and design. Third
edition. CRC Press.
Mattjik AA, Sumertajaya IM. 2000. Perancangan percobaan dengan aplikasi SAS dan
Minitab Jilid I. Bogor. IPB Press.
Nishimiya K, Hata T, Ishihara S. 1995. Mechanism and clarification of electrical conduction
through wood charcoal. Wood Research No. 82:34-36.

288
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS

Pari G, Abdurahim. 2003. Pembuatan arang aktif dari tempurung kelapa, serbuk kayu, dan
tandan kosong kelapa sawit. Buletin Penelitian Hasil Hutan. 21 (1) : 55-65. Pusat
Litbang Teknologi Hasil Hutan, Bogor.
Pari G, Buchari, Sofyan K, Syafii W. 2004. Suhu karbonisasi dan perubahan struktur arang
dari serbuk gergaji. Jurnal Teknologi Hasil Hutan 16 (2): 70-80. Fakultas Kehutanan
Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Pari G. 2004. Kajian struktur arang aktif dari serbuk gergaji kayu sebagai adsorben emisi
formaldehida kayu lapis. [Disertasi]. Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan.
Bogor. Sekolah Pasca Sarjana IPB.
Pari G, Buchari, Sofyan K, Syafii W. 2005. Pengaruh lama aktivasi terhadap struktur kimia
dan mutu arang aktif serbuk gergaji sengon. Jurnal Penelitian Hasil Hutan. 23(3):
207-218, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan, Bogor.
Pari G, Hendra D, Pasaribu RA. 2006a. Pengaruh lama waktu aktivasi dan konsentrasi asam
fosfat terhadap mutu arang aktif dari kulit kayu Acacia mangium. Jurnal Penelitian
Hasil Hutan. 24(1): 33-46. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan, Bogor.
Pari G, Santoso A, Hendra D. 2006b. Pembuatan dan pemanfaatan arang aktif sebagai
reduktor emisi formaldehida kayu lapis. Jurnal Penelitian Hasil Hutan. 24(5): 425-436.
Subyakto, Castro V, Ishimaru K, Pari G, Hata T, Imamura Y, Kawai S. 2004. Biomass
carbons from oil palm residues. Proceedings of 5th Int. Wood Science Symposium
on Sustainable Production and Effective Utilization of Tropical Forest Resources.
Research Institute for Sustainable Humanosphere, Kyoto Univ., Japan. Pp. 301-306.
Vigouroux RZ. 2001. Pyrolysis of biomass. [Dissertation]. Stockholm. Royal Institute of
Technology.

289
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

ANALISIS FITOKIMIA DARI BEBERAPA TUMBUHAN HUTAN DARI


KEBUN RAYA BALIKPAPAN PROVINSI KALIMANTAN TIMUR

Indrawati, Enos Tangke Arung, dan Irawan Wijaya Kusuma


Fakultas Kehutanan, Universitas Mulawarman,
Jl. Ki Hajar Dewantara, Samarinda, Indonesia 75123
E-mail: Kusuma_iw@yahoo.com

ABSTRAK

Masyarakat di sekitar kawasan hutan memiliki pengetahuan lokal dalam pemanfaatan


tumbuhan atau bahan alami untuk pengobatan. Pengetahuan masyarakat lokal sangat
penting sebagai acuan dalam studi pengembangan dan pemanfaatan tanaman obat
tradisional. Penelitian ini meliputi maserasi dengan menggunakan pelarut heksan, etil asetat
dan metanol yang disertai dengan pengujian fitokimia secara kualitatif. Hasil pengujian
fitokimia dengan analisis perubahan warna menunjukkan 4 ekstrak tumbuhan dengan pelarut
heksan positif mengandung flavonoid, alkaloid, tanin, steroid dan karbohidrat. Analisis
Fitokimia 4 ekstrak tumbuhan dengan pelarut etil asetat menunjukkan hasil positif pada
pengujian alkaloid, karbohidrat, steroid dan flavonoid. Pengujian tanin pada pelarut etil asetat
menunjukkan 3 ekstrak tumbuhan positif mengandung tanin. Pada pelarut metanol setelah
dilakukan analisis menunjukkan 4 ekstrak tumbuhan positif mengandung alkaloid, saponin,
tanin, dan karbohidrat. Pengujian flavonoid menunjukkan 3 ekstrak tumbuhan positif
mengandung flavonoid. Analisis steroid 1 ekstrak tumbuhan menunjukkan hasil yang positif.
Dari hasil penelitian ini dapat dikembangkan penelitian tumbuhan hutan yang berpotensi
sebagai obat dengan berbasis analisis fitokimia yang telah dilakukan.

Kata kunci : Tumbuhan Hutan, Kebun Raya Balikpapan, Fitokimia

PENDAHULUAN

Masyarakat di sekitar kawasan hutan memiliki pengetahuan lokal dalam pemanfaatan


tumbuhan atau bahan alami untuk pengobatan. Pengetahuan masyarakat lokal sangat
penting sebagai acuan dalam studi pengembangan dan pemanfaatan tanaman obat
tradisional. Pengetahuan tentang tumbuhan obat, mulai dari pengenalan jenis tumbuhan,
bagian yang digunakan, cara pengolahan sampai dengan khasiat pengobatannya
merupakan kekayaan pengetahuan lokal dari masing-masing etnis dalam masyarakat
setempat (Supriadi dkk., 2001).
Indonesia merupakan negara yang yang cukup dikenal sebagai negara penghasil
tumbuhan obat, karena diduga dari sekitar 30.000 jenis flora yang ada di hutan tropika
Indonesia, 9.600 jenis tumbuhan telah diketahui memiliki khasiat sebagai obat. Tercatat 283
jenis tumbuhan yang merupakan tumbuhan obat penting bagi industri obat tradisional
(Kusuma dan Zaky., 2006).
Potensi yang begitu besar dari tumbuhan yang ada di Indonesia khususnya di
Kalimantan untuk dimanfaatkan sebagai tanaman obat menjadi dasar pemikiran untuk
melakukan penelitian mengenai aktivitas fitokimia dari beberapa tumbuhan obat budidaya
dan tumbuhan berkayu yang ada di Kalimantan.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kandungan senyawa metabolit
aktif dengan pengujian fitokimia pada tumbuhan hutan di Kebun Raya Balikpapan
Kalimantan Timur.
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang pemanfaatan
ekstrak tumbuhan hutan yang berpotensi sebagai obat dengan berbasis analisis fitokimia.

290
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS

BAHAN DAN METODE

Bahan baku yang digunakan pada penelitian ini adalah tumbuhan hutan di Kebun
Raya Balikpapan Kalimantan Timur pada bagian daun. Bahan lain yang digunakan adalah N-
Hexane, etil asetat, metanol, aquades, aseton, natrium hidroksida, asam asetat anhidrid,
asam sulfat, asam klorida, timbal asetat, pereaksi Molisch, pereaksi Dragendorff, 1-naphtol.
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain : blender, shaker, oven,
rotary vacuum evaporator, beaker glass, erlenmeyer, spatula, tabung reaksi, alumunium foil,
timbangan dan desikator serta alat tulis-menulis.
4 sampel tumbuhan yang terdiri dari berbagai macam bagian tumbuhan di keringkan
dalam ruangan konstan. Sampel kemudian diserbuk setelah itu dimaserasi dengan N-
Hexane, etil asetat dan metanol selama 48 jam dengan menggunakan shaker. Setelah itu
disaring dan dipekatkan dengan menggunakan rotary vacuum evaporator sehingga
didapatkan ekstrak kasar.
Skrining fitokimia (alkaloid, flavonoid, saponin, tanin, triterpenoid, steroid dan
karbohidrat) menggunakan metode Harborne (1987) dan Kokate (2001). Pengujian alkaloid
dilakukan dengan menambahkan 2 ml HCl kedalam 5 ml ekstrak, kemudian dimasukkan 1
ml larutan Dragendorff apabila warna larutan menjadi jingga atau merah maka menunjukkan
adanya alkaloid. Pengujian flavonoid dilakukan dengan menambahkan beberapa tetes
NaOH 1% kedalam 1 ml ekstrak, apabila muncul warna kuning pada larutan dan berubah
menjadi tidak berwarna setelah ditambahkan HCl 1% maka mengindikasikan adanya
flavonoid. Pengujian saponin dilakukan dengan memasukkan 10 ml air panas kedalam
tabung reaksi berisi 1 ml ekstrak, kemudian dikocok selama 10 detik apabila terbentuk buih
mantap selama 10 menit dengan ketinggian 1-10 cm dan tidak hilang bila ditambahkan 1
tetes HCl 2N mengindikasikan adanya saponin. Pengujian tanin dilakukan dengan
memasukkan 10 ml ekstrak kedalam tabung reaksi dan ditambahkan larutan (CH3COOH)2
Pb 1% apabila terbentuk endapan kuning mengindikasikan adanya tanin. Pengujian
triterpenoid dan steroid dengan menggunakan pereaksi Liebermann-Burchard yaitu asam
asetat anhidrid 10 tetes dan asam sulfat pekat 2 tetes ditambahkan kedalam 1 ml ekstrak,
apabila warna sampel berubah menjadi warna merah dan ungu menunjukkan adanya
triterpenoid dan apabila warna sampel berubah menjadi warna hijau dan biru menunjukkan
adanya steroid. Pengujian karbohidrat dilakukan dengan menambahkan 1 tetes pereaksi
Molisch kedalam 1 ml ekstrak kemudian melalui dinding tabung reaksi ditambahkan 1 ml
asam sulfat pekat, apabila terbentuk cincin ungu diantara 2 lapisan mengindikasikan adanya
karbohidrat.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil pengujian untuk fitokimia didapatkan bahwa 4 ekstrak tumbuhan


dengan pelarut etil asetat menunjukkan hasil positif pada pengujian alkaloid, karbohidrat,
steroid dan flavonoid. Pengujian tanin pada pelarut etil asetat menunjukkan 3 ekstrak
tumbuhan positif mengandung tanin. Pada pelarut metanol setelah dilakukan analisis
menunjukkan 4 ekstrak tumbuhan positif mengandung alkaloid, saponin, tanin, dan
karbohidrat. Pengujian flavonoid menunjukkan 3 ekstrak tumbuhan positif mengandung
flavonoid. Analisis steroid 1 ekstrak tumbuhan menunjukkan hasil yang positif. Seperti yang
ditampilkan pada tabel 1.

291
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

No Pelarut Sampel Bagian Alk Fla Sap Tan Tri Ste Kar
tumbuhan
1 N-Hexane Etlingera Daun + + - + - + +
balikpapanensis
Dillenia sp Daun + + - + - + +
Scorodocarpus Daun + + - + - + +
borneensis
Amomum sp Daun + + - + - + +
2 Etil Asetat Etlingera Daun + + - + - + +
balikpapanensis
Dillenia sp Daun + + - + - + +
Scorodocarpus Daun + + - - - + +
borneensis
Amomum sp Daun + + - + - + +
3 Metanol Etlingera Daun + + + + - - +
balikpapanensis
Dillenia sp Daun + + + + - - +
Scorodocarpus Daun + + + + - + +
borneensis
Amomum sp Daun + - + + - - +

Hasil pengujian fitokimia ekstrak N-Hexane, etil asetat dan metanol pada bagian
daun 4 jenis tumbuhan yang diuji dapat dilihat pada Tabel 1. Tumbuhan Etlingera
balikpapanensis dengan pelarut N-hexane dan etil asetat memiliki kandungan alkaloid,
flavonoid, tanin, steroid dan karbohidrat. Sedangkan dengan pelarut metanol memiliki
kandungan alkaloid, flavonoid, saponin, tanin dan karbohidrat. Tumbuhan Dillenia sp dengan
pelarut N-hexane dan etil asetat memiliki kandungan alkaloid, flavonoid, tanin, steroid dan
karbohidrat. Sedangkan dengan pelarut metanol memiliki kandungan alkaloid, flavonoid,
saponin, tanin dan karbohidrat. Tumbuhan Scorodocarpus borneensis dengan pelarut N-
hexane memiliki kandungan alkaloid, flavonoid, tanin, steroid dan karbohidrat. Dengan
pelarut etil asetat memiliki kandungan alkaloid, flavonoid, steroid dan karbohidrat sedangkan
dengan pelarut metanol memiliki kandungan alkaloid, flavonoid, saponin, tanin, steroid dan
karbohidrat. Tumbuhan Amomum sp dengan pelarut N-hexane dan etil asetat memiliki
kandungan alkaloid, flavonoid, tanin, steroid dan karbohidrat. Sedangkan dengan pelarut
metanol memiliki kandungan alkaloid, saponin, tanin, dan karbohidrat.
Harborne (1987) menyatakan bahwa alkaloid sebagai suatu kelompok senyawa yang
terdapat pada sebagian besar tumbuhan berbunga dan merupakan salah satu kelompok
fitokimia penting yang menjadi salah satu indikasi terdapatnya aktivitas biologis dari suatu
jenis tumbuhan sehingga bermanfaat dalam proses pengobatan. Alkaloid merupakan
senyawa yang memiliki aktivitas antimikroba, yaitu menghambat esterase dan juga DNA dan
RNA polimerase, juga menghambat respirasi sel dan berperan dalam interkalasi DNA
(Aniszewki, 2007).
Giorgio (2000) mengatakan bahwa fungsi flavonoid pada tumbuhan secara umum
sebagai pengatur tumbuh, pengatur fotosintesis, kerja anti mikroba dan anti virus. Senyawa
flavonoid merupakan senyawa yang sangat berperan dalam bidang obat-obatan yang telah
banyak diteliti dan telah terbukti. Selain itu, menurut Prawiroharsono (2002) senyawa
flavonoid telah banyak diteliti dan bahkan beberapa senyawa telah diproduksi sebagai anti
kanker, anti virus, anti alergi dan anti kolesterol.
Saponin merupakan senyawa metabolit sekunder yang bersifat basa, karena sifat
inilah sehingga saponin berbentuk buih menyerupai sabun yang dapat larut pada pelarut
polar (Sujarno, et al., 2007). Kumalaningsih (2006) bahwa saponin yang berasal dari
tumbuhan memiliki beberapa kegunaan, salah satunya sebagai antioksidan, yang dapat

292
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS

mencegah terjadinya penyakit stroke dan serangan jantung sebagai akibat dari radikal
bebas.
Menurut Ficker ,et al (2003) steroid tersebar luas dalam dunia tumbuhan dan hewan,
yang dibuat melalui lintasan biosintesis yang mirip atau hampir mirip dalam tumbuhan dan
hewan. Girindra (1990) menyatakan bahwa karbohidrat yang menghasilkan glikosida adalah
bagian yang paling penting di dalam proses kimia kehidupan. Karbohidrat di alam terdapat
dalam jumlah yang amat besar, berkisar antara 60-90% dari bahan padatnya. Kegunaannya
sangat luas dan meliputi berbagai bidang, antara lain sebagai bahan pangan, sandang
bahan untuk keperluan kesehatan dan sebagai obat-obatan.

KESIMPULAN DAN SARAN

Hasil pengujian Fitokimia dari 4 jenis sampel menunjukkan bahwa 4 ekstrak


tumbuhan dengan pelarut etil asetat menunjukkan hasil positif pada pengujian alkaloid,
karbohidrat, steroid dan flavonoid. Pengujian tanin pada pelarut etil asetat menunjukkan 3
ekstrak tumbuhan positif mengandung tanin. Pada pelarut metanol setelah dilakukan analisis
menunjukkan 4 ekstrak tumbuhan positif mengandung alkaloid, saponin, tanin, dan
karbohidrat. Pengujian flavonoid menunjukkan 3 ekstrak tumbuhan positif mengandung
flavonoid. Analisis steroid 1 ekstrak tumbuhan menunjukkan hasil yang positif. Hal ini
mengindikasikan bahwa tumbuhan obat tersebut dapat digunakan sebagai antioksidan dan
antimikroba alami.
Perlu adanya penelitian lebih lanjut agar tumbuhan obat tersebut dapat
dikembangkan pemanfaatannya lebih lanjut untuk memperoleh hasil yang dapat
dioptimalkan.

DAFTAR PUSTAKA

Aniszewki T. 2007. Alkaloid-Secrets of Life, 187. Elsevier, Amsterdam.


Ficker, C.E., Arnason, J.T., Vindas, P.S., Alvarez, L.P., Akpagana, K., Gbeassor, M., Souza,
C.D., Smith, M.L. 2003. Inhibition of Human Pathogenic Fungi by Ethnobotanically
Selected Plant Extracts. Mycoses 46 : 29-37
Giorgio, P. 2000. Flavonoid as antioxidants. Journal Natural Product, 63: 1035-1042
Girindra, A. 1990. Biokimia I. Penerbit PT Gramedia. Jakarta.
Harborne, J. B. 1987. Metode Fitokimia : Penuntun Cara Modern Menganalisis Tumbuhan,
terbitan ke-2, diterjemahkan oleh Kosasih padmawinata dan Iwang Soediro. Penerbit
ITB. Bandung.
Kokate, C.K. 2001. Pharmacohnosi 16th Edn. Niali Prakasham, Mumbai, India.
Kumalaningsih, S. 2006. Antioksidan Alami. Cetakan Ke-1. Trubus Agrisarana: Surabaya.
Kusuma dan Zaky. 2006. Tumbuhan Obat Berkhasiat Obat. PT. Agromedia Pustaka :
Jakarta
Sujarno, M., Winni Astuti, Alimuddin. 2007. Uji Fitokimia dan Aktivitas Antibakteri Senyawa
Metabolit Sekunder Akar Tabar Kedayan (Aristolochia papillifolia Ding Hou), FMIPA,
Universitas Mulawarman, Samarinda.
Supriadi dkk,. 2001. Tumbuhan Obat Indonesia. Penggunaan dan Khasiatnya. Pustaka
Populer Obor. Jakarta.

293
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

AKTIVITAS ANTIBAKTERI DAN FITOKIMIA DARI DAUN TUMBUHAN


KARAMUNTING (Melastoma malabathricum)

Nur Maulida Sari, Irawan Wijaya Kusuma, dan Rudianto Amirta


Fakultas Kehutanan, Universitas Mulawarman, Jl, Ki Hajar Dewantara, Samarinda,75123,
E-mail: kusuma_iw@yahoo.com

ABSTRAK

Salah satu pemanfaatan senyawa kimia dalam tumbuhan yaitu sebagai antibakteri
alami. Keragaman tumbuhan di Kalimantan Timur menjanjikan sumber daya alam yang
sangat penting untuk dilakukan pengujian bioaktivitas dan fitokimianya. Penelitian ini meliputi
maserasi dengan etanol yang kemudian dilanjutkan dengan pengujian aktivitas antibakteri
dengan metode difusi agar sumuran terhadap Bacillus cereus dan disertai dengan analisis
fitokimia secara kualitatif. Hasil analisis fitokimia terhadap daun karamunting menunjukkan
hasil positif terhadap uji karbohidrat, flavonoid, steroid dan alkaloid. Aktivitas antibakteri dari
daun karamunting terhadap Bacillus cereus dengan metode difusi agar pada konsentrasi 40,
60 dan 80 g dengan pembandingan terhadap chloramphenicol sebagai kontrol positif
menunjukkan potensi sebagai antibakteri alami. Berdasarkan hasil penelitian ini daun
karamunting memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai antibakteri alami.

Kata kunci : Antibakteri, fitokimia, karamunting, Bacillus cereus.

PENDAHULUAN

Sejak zaman dahulu masyarakat Indonesia sudah mengenal dan menggunakan


tumbuhan berkhasiat obat sebagai salah satu upaya untuk menanggulangi masalah
kesehatan yang dihadapi. Indonesia cukup kaya akan tanaman berkhasiat obat, tetapi tidak
banyak tanaman obat yang dimiliki bisa menjadi kebanggaan Indonesia. Dilihat dari sisi
bisnis, produk herbal sangat menjanjikan, selain permintaan pasar yang cenderung
meningkat dari tahun ketahun, tidak adanya dampak sampingan ketika mengkonsumsi
tanaman obat yang berkhasiat menyembuhkan penyakit ini menjadikan nilai plus bagi
penggunanya (Astuti, 2008).
Zuhud (1997), menyatakan bahwa jenis tumbuhan yang bermanfaat sebagai obat
berupa pohon, perdu, liana, epifit dan herba. Sebanyak 49 jenis pohon penghasil kayu
komersil merupakan jenis tumbuhan yang berhasiat sebagai obat.
Salah satu tumbuhan hutan yang berpotensi sebagai bioaktivitas dan fitokimianya
adalah tumbuhan karamunting (Melastoma malabatricum). Dalam bahasa Melayu
karamunting dikenal dengan sebutan Senduduk atau Harendong. Batang karamunting
banyak digunakan oleh mayarakat sebagai kayu bakar. Meskipun selama ini karamunting
hanya dianggap sebagai perdu liar, namun secara tradisional tumbuhan ini dipercaya
bermanfaat memiliki khasiat obat.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui aktivitas antibakteri dan fitokimia
dari ekstrak tumbuhan daun karamunting (Melastoma malabathricum).
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang pemanfaatan
ekstrak tumbuhan daun karamunting (Melastoma malabathricum) sebagai antibakteri alami.

294
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS

BAHAN DAN METODE

Bahan baku yang digunakan pada penelitian ini adalah daun tumbuhan karamunting
(Melastoma malabathricum). Bahan lain yang digunakan adalah etanol, aquades, aseton,
Chloramphenicol, Nutrient Agar (NA), natrium hidroksida, asam asetat anhidrid, asam sulfat,
asam klorida, timbal asetat, pereaksi Molisch, pereaksi Dragendorff, 1-naphtol.
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain : blender, shaker, oven,
rotary vacuum evaporator, beaker glass, erlenmeyer, mikropipet, petri disk, spatula, tabung
reaksi, alumunium foil, kapas, laminar flow, kaca perata, timbangan dan desikator serta alat
tulis-menulis. Mikroorganisme uji yang digunakan adalah bakteri Bacillus cereus.
Sampel tumbuhan yang akan digunakan terlebih dahulu di keringkan dalam ruangan
konstan. Sampel kemudian diserbuk setelah itu dimaserasi dengan etanol selama 48 jam
dengan menggunakan shaker. Setelah itu disaring dan dipekatkan dengan menggunakan
rotary vacuum evaporator sehingga didapatkan ekstrak kasar.
Skrining fitokimia (alkaloid, flavonoid, saponin, tanin, triterpenoid, steroid dan
karbohidrat) menggunakan metode Harborne (1987) dan Kokate (2001). Pengujian alkaloid
dilakukan dengan menambahkan 2 ml HCl ke dalam 5 ml ekstrak, kemudian dimasukkan 1
ml larutan Dragendorff apabila warna larutan menjadi jingga atau merah maka menunjukkan
adanya alkaloid. Pengujian flavonoid dilakukan dengan menambahkan beberapa tetes
NaOH 1% kedalam 1 ml ekstrak, apabila muncul warna kuning pada larutan dan berubah
menjadi tidak berwarna setelah ditambahkan HCl 1% maka mengindikasikan adanya
flavonoid. Pengujian saponin dilakukan dengan memasukkan 10 ml air panas kedalam
tabung reaksi berisi 1 ml ekstrak, kemudian dikocok selama 10 detik apabila terbentuk buih
mantap selama 10 menit dengan ketinggian 1-10 cm dan tidak hilang bila ditambahkan 1
tetes HCl 2N mengindikasikan adanya saponin. Pengujian tanin dilakukan dengan
memasukkan 10 ml ekstrak kedalam tabung reaksi dan ditambahkan larutan (CH3COOH)2
Pb 1% apabila terbentuk endapan kuning mengindikasikan adanya tanin. Pengujian
triterpenoid dan steroid dengan menggunakan pereaksi Liebermann-Burchard yaitu asam
asetat anhidrid 10 tetes dan asam sulfat pekat 2 tetes ditambahkan kedalam 1 ml ekstrak,
apabila warna sampel berubah menjadi warna merah dan ungu menunjukkan adanya
triterpenoid dan apabila warna sampel berubah menjadi warna hijau dan biru menunjukkan
adanya steroid. Pengujian karbohidrat dilakukan dengan menambahkan 1 tetes pereaksi
Molisch kedalam 1 ml ekstrak kemudian melalui dinding tabung reaksi ditambahkan 1 ml
asam sulfat pekat, apabila terbentuk cincin ungu diantara 2 lapisan mengindikasikan adanya
karbohidrat.
Pengujian antibakteri dilakukan dengan metode difusi agar. Dalam pengujian ini
sebanyak 20 ml media NA dituangkan kedalam petridisk yang sudah disterilkan selama 30
menit dengan temperatur 121C dalam autoclave. Setelah itu pada keadaan antiseptik
(dalam laminar flow) biarkan media mengeras, kemudian ditetesi bakteri sebanyak 100 l
diratakan dengan menggunakan kaca perata dan biarkan mengering selama 30 menit.
Karena menggunakan metode sumuran, beri lubang pada media yang masing masing
berisi 20 l sampel dengan Aseton sebagai kontrol negatif dan Chloramphenicol sebagai
kontrol positif. Pengujian menggunakan beberapa konsentrasi uji yaitu 40 g, 60 g, dan 80
g.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil pengujian fitokimia didapatkan bahwa sampel uji mengandung


alkaloid, flavonoid, saponin, tanin, triterpenoid, steroid dan karbohidrat. Seperti yang
ditampilkan pada tabel 1.

295
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Tabel 1. Hasil Analisis Fitokimia Daun Karamunting

No Sampel Pengujian Hasil


Alkaloid +
Flavonoid +
Saponin +
1 Melastoma Tanin +
malabathricum Triterpenoid +
Steroid +
Karbohidrat +

Hasil pengujian fitokimia ekstrak etanol daun karamunting menunjukkan bahwa


karamunting positif mengandung alkaloid, flavonoid, saponin, tanin, triterpenoid, steroid dan
karbohidrat. Adanya kandungan alkaloid pada daun menjadi salah satu indikasi terdapatnya
aktivitas biologis dari suatu jenis tumbuhan (Harborne, 1987). Adanya kandungan flavonoid
mengindikasikan tumbuhan memiliki aktivitas antioksidan alami (Pratt, 1992). Adanya
kandungan saponin mengindikasikan tumbuhan memiliki aktivitas antioksidan sebagai
radikal bebas (Kumalaningsih, 2006). Adanya kandungan tanin pada tumbuhan
mengindikasikan bahwa tumbuhan dapat berfungsi sebagai obat obatan. Adanya
kandungan triterpenoid dan steroid mengindikasikan bahwa tumbuhan memiliki kemampuan
sebagai antimikroba. Adanya kandungan karbohidrat mengindikasikan bahwa tumbuhan
dapat digunakan sebagai antioksidan alami.

Gambar 1. Aktivitas Penghambatan terhadap Bacillus cereus

Hasil pengujian aktivitas antibakteri daun karamunting terhadap Bacillus cereus


menunjukkan zona bening dibagian daun sebesar 12,5 mm pada konsentrasi 80 g. Menurut
Davis and Stout, (1971) dalam Ardiansyah (2005), menyatakan bila diameter daerah
penghambatan 5 mm atau kurang maka aktivitas penghambatannya dikategorikan lemah, 5-
10 mm dikategorikan sedang, 10-19 mm dikategorikan kuat, dan 20 mm atau lebih
dikategorikan sangat kuat. Hasil ini terkait dengan adanya kandungan fitokimia pada bagian
daun tumbuhan karamunting yaitu positif mengandung alkaloid, flavonoid dan tanin yang
berperan sebagai antimikroba.
Flavonoid telah dilaporkan berfungsi sebagai antialergi, antivirus, antijamur dan
antiradang. Sebagai antijamur flavonoid dapat menghambat pertumbuhan jamur secara in-

296
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS

vitro. Flavonoid menunjukkan toksisitas rendah pada mamalia, sehingga beberapa flavonoid
digunakan sebagai obat bagi manusia (Roller, 2003).
Ajizah (2004), menyatakan bahwa tanin mempunyai antibakteri dengan cara
mempresipitasi protein. Efek antibakteri tanin antara lain melalui : reaksi dengan membran
sel, inaktivasi enzim, dan inaktivasi fungsi materi genetik.

KESIMPULAN DAN SARAN

Hasil penelitian menunjukkan bahwa daun karamunting memiliki potensi untuk


dikembangkan pemanfaatannya lebih lanjut sebagai antibakteri alami agar dapat aman
digunakan oleh masyarakat luas.
Perlu adanya penelitian lebih lanjut agar tumbuhan karamunting dapat dikembangkan
pemanfaatannya lebih lanjut untuk memperoleh hasil yang dapat dioptimalkan.

DAFTAR PUSTAKA

Ajizah, A. 2004. Sensitivitas Salmonella thypimyurium Terhadap Ekstrak Psidium guajava L.


Bioscientiae Vol 1 No 1 Januari. Hal 31-38
Ardiansyah. 2005. Daun Beluntas Sebagai Bahan Antibakteri dan Antioksidan.Artikel
Diakses di:Berit@Iptek.com Pada Tanggal 12 Juli 2011
Astuti, J., 2008. Aktivitas Antiokasidan Dari Ekstrak Daun Tahongai ( Kleinhovia hospita).
Skripsi Sarjana Kehutanan. Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman
Samarinda.
Harborne, J. B. 1987. Metode Fitokimia : Penuntun Cara Modern Menganalisis Tumbuhan,
terbitan ke-2, diterjemahkan oleh Kosasih padmawinata dan Iwang Soediro. Penerbit
ITB. Bandung.
Kokate, C.K. 2001. Pharmacohnosi 16th Edn. Niali Prakasham, Mumbai, India.
Kumalaningsih, S. 2006. Antioksidan Alami. Cetakan Ke-1. Trubus Agrisarana: Surabaya.
Roller, S. 2003. Natural Antimicrobials for the Minimal Processing of Foods, 211. CRC Press,
Washington DC.
Zuhud, E.A.M. 1997. Mencari Nilai Tambah Potensi Hasil Hutan Non Kayu Tumbuhan Obat
Berbasiskan Pemberdayaan Masyarakat Tradisionnal Sekitar Hutan. Makalah
Seminar Tentang Mencari Nilai Tambah Potensi Hasil Hutan Non Kayu Untuk
Tanaman Obat. Cisarua, Bogor 27 Maret 1997

297
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

POTENSI DAUN TUMBUHAN PEREPAT (Sonneratia alba)


DARI KALIMANTAN TIMUR SEBAGAI ANTIOKSIDAN
DAN ANTIBAKTERI ALAMI

Farida Aryani1, Asshaima P.Devi2, dan Irawan Wijaya Kusuma2


1
Laboratorium Sifat-Sifat Kayu dan Analisis Produk, Jurusan Teknologi Hasil Hutan,
Politeknik Pertanian, Jl Sam Ratyulangi, Samarinda 75131,
E-mail: ary_ani02@yahoo.com
2
Fakultas Kehutanan, Universitas Mulawarman, Jl. Ki Hajar Dewantara, Samarinda 75123,
E-mail: kusuma_iw@yahoo.com

ABSTRAK

Dalam dua dasawarsa teraskhir penggunaan obat alam mengalami perkembangan


yang sangat pesat. Oleh karena itu eksplorasi bioaktivitas tumbuhan obat masih sangat di
perliukan. Penelitian ini meliputi maserasi daun perepat dengan pelarut etanol, analisis
fitokimia secara kualitatif, uji aktivitas antioksidan dengan mekanisme penangkapan DPPH
(1,1-diphenyl-2-picrylhydrazyl) sebagai radikal bebas dan uji aktivitas antibakteri dengan
metode difusi agar sumuran terhadap bakteri. Hasil pengujian menunjukkan bahwa pada
konsentrasi 5; 10; 25; 50; 100 ppm dengan perbandingan terhadap Ascorbic acid sebagai
kontrol positif, ekstrak etanol daun perepat menunjukkan adanya aktivitas antioksidan
potensial. Aktivitas antibakteri dari ekstrak etanol daun perepat juga terlihat pada pengujian
dengan menggunakan metode difusi agar pada konsentrasi 25; 50; dan 100 g dan
pembandingan terhadap chlorampenicol sebagai kontrol positif. Hasil uji fitokimia
menunjukkan bahwa alkaloid, flavonoid, tannin, saponin, steroid, dan karbohidrat hadir pada
daun perepat. Hasil penelitian ini membuka peluang pemanfaatan daun perepat sebagai
antioksidan dan antibakteri alami.

Kata kunci : Antibakteri, antioksidan, fitokimia, perepat, Sonneratia alba

PENDAHULUAN

Indonesia adalah salah satu negara mega biodiversity dengan kekayaan alam yang
melimpah dan beraneka ragam, namun hanya sebagian kecil yang telah diekplorasi, diteliti
serta dimanfaatkan. Penyakit degeneratif seperti kanker, tekanan darah tinggi, penyakit gula,
dan lain sebagainya semakin banyak dan mudah ditemui di kalangan masyarakat kita, pada
dasarnya penyakit degeneratif tersebut diakibatkan karena proses metabolisme tubuh yang
menghasilkan radikal bebas berlebihan sehingga mengakibatkan kerusakan pada fungsi sel-
sel tubuh (Helliwel dan Gutteridge, 1989).
Aktivitas antioksidan yang dimiliki oleh senyawa metabolit sekunder tumbuhan sangat
penting karena dapat berfungsi sebagai penangkap radikal bebas yang dapat meliundungi
dari penyakit kardiovaskuler, oksidasi lipoprotein densitas rendah (LDL), dan beberapa
penyakit kanker lainnya Akagawa dan Suyama 2001). Selain itu juga diketahui memiliki
peran dalam mekanisme pertahanan terhadap mikroorganisme, serangga, dan herbivore.
Aktivitas ini dimiliki karena kemampuannya membentuk kompleks dengan protein yang larut,
dan protein ekstraseluler, dan dapat membentuk kompleks dengan dinding sel bakteri
(Cowan 1999), sehingga dapat berfungsi sebagai antibakteri.
Salah satu tumbuhan potensial berdasarkan informasi pemanfaatan tradisional oleh
masyarakat adalah tumbuhan perepat (Sonneratia alba). Potensi mangrove sebagai
tumbuhan obat telah diteliti oleh Purnobasuki, (2004) dan menyatakan bahwa sebagian
besar tumbuhan mangrove berpotensi sebagai tumbuhan obat termasuk Sonneratia alba,
yang secara tradisional daun maupun buah dari tumbuhan ini digunakan untuk pengobatan
sakit perut, pengobatan keseleo, bengkak, menghentikan pendarahan, dan anti septik.

298
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS

BAHAN DAN METODE

Bahan-bahan
Bahan baku yang digunakan dalam penelitian adalah tumbuhan perepat. Bahan lain
yang digunakan adalah aquades, etanol, metanol, aseton, dimetilsulfoksida (DMSO), larutan
DPPH (1,1-diphenyl-2-picrylhydrazyl), vitamin C, Bismut (III) Nitrat, KI, asam asetat, asam
sulfat, Mg, HCl, 1-Naphtol. Kultur bakteri Salmonella thypi, Bacillus cereus, Staphylococcus
aureus dan Propionibacterium acns.

Penyediaan Sampel
Sampel tumbuhan berupa daun di keringkan dalam ruangan konstan. Kemudian
daun kering dibuat serbuk dan dimaserasi dengan etanol 96 % selama 48 jam dengan
menggunakan shaker. Setelah itu disaring dan dipekatkan dengan menggunakan rotary
vacuum evaporator sehingga didapatkan ekstrak kasar.

Uji Skrining Fitokimia


Pengujian fitokimia yang meliputi triterpen/steroid, saponin, karbohidrat
menggunakan metode Harborne (1987), sedankan flavonoid, alkaloid, dan saponin
menggunakan metode Kokate (2001). Pengujian alkaloid dilakukan dengan memasukkan
sebanyak 5 ml ekstrak kedalam tabung reaksi dan ditambahkan 2 ml larutan HCl, kemudian
dimasukkan 1 ml larutan Dragendorff. Perubahan warna larutan menjadi jingga atau merah
mengindikasikan bahwa ekstrak mengandung alkaloid. Pengujian steroida dan triterpen
dengan menggunakan pereaksi Liebermann-Burchard yaitu Asam Asetat anhidrid (10 tetes)
ditambah Asam Sulfat (2 tetes) nilai positif ditunjukkan apabila warna sampel berubah
menjadi merah dan ungu itu menunjukkan adanya terpenoida sedangkan warna hijau dan
biru yang intensif menunjukkan adanya steroida. Uji flavonoid dengan cara sebanyak
Sebanyak 1 ml ekstrak tumbuhan diberikan beberapa tetes natrium hidroksida encer.
Munculnya warna kuning yang jelas pada larutan ekstrak dan menjadi tidak berwarna
setelah penambahan asam encer mengindikasikan adanya flavonoid. Pengujian saponin
dengan cara 1 ml sampel yang telah dilarutkan dalam aseton, dimasukkan ke dalam tabung
reaksi, kemudian ditambahkan 10 ml air panas, didinginkan kemudian dikocok dengan kuat
selama 10 detik, adanya saponin ditandai dengan adanya busa yang stabil selama 10
menit, tinggi busa 1 cm 10 cm dan tidak hilang bila ditambahkan 1 tetes HCl 2N. Pada
pengujian karbohidrat sebanyak 1 ml ekstrak yang telah dilarutkan dalam aseton,
dimasukkan ke dalam tabung reaksi, ditetesi pereaksi Molisch sebanyak 1 tetes dan
ditambahkan 1 ml H2SO4 pekat, apabila terbentuk cincin ungu diantara 2 lapisan maka fraksi
aktif positif mengandung karbohidrat. Pengujian Tanin dilakukan dengan memasukkan 10 ml
ekstrak ke dalam tabung reaksi dan ditambahkan larutan timbal asetat 1%. Tanin dinyatakan
positif apabila pada reaksi terbentuk endapan kuning.

Uji Aktivitas Antioksidan dengan metode DPPH


Pengujian antioksidan dilakukan berdasarkan metode Arung (2006), dimana
sebanyak 467 l ethanol dimasukkan dalam cuvette lalu ditambahkan 33 l ekstrak yang
telah dilarutkan dalam DMSO kemudian dikocok secara perlahan. Selanjutnya setelah
larutan tercampur secara merata ditambahkan 500 l DPPH 0,0027% lalu diinkubasi selama
30 menit. Setelah itu diukur absorbansinya dengan menggunakan spektropotometer pada
panjang gelombang 514 nm. Aktivitas antioksidan dapat ditentukan melalui dekolorisasi dari
DPPH. Untuk kontrol positif digunakan Ascorbic acid.

299
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Uji Aktivitas Antibakteri


Pengujian antibakteri dilakukan dengan menggunakan metode diffusi. Dalam
pengujian ini sebanyak 20 ml media NA dituangkan ke dalam petridish yang sudah
disterilkan selama 30 menit dengan temperatur 121C dalam autoclave. Setelah itu pada
keadaan aseptik (dalam laminar flow) biarkan media mengeras, kemudian ditetesi bakteri
sebanyak 100 l diratakan dengan menggunakan kaca perata dan biarkan mengering
selama 30 menit. Setelah padat media beri lubang dan masing-masing ditetesi 20 l
ekstrak dengan konsentrasi 25; 50; dan 100 g dengan Aseton sebagai kontrol negatif,
dan.Chloramphenicol sebagai kontrol positif.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tabel 1 menyajikan hasil pengujian fitokimia ekstrak EtOH daun tumbuhan perepat
yang mana menunjukkan bahwa semua bagian sampel yang diuji positif mengandung
senyawa metabolit sekunder yaitu alkaloid, flavonoid, karbohidrat, saponin, steroid, dan
tanin. Harborne (1987), menyatakan bahwa alkaloid sebagai suatu kelompok senyawa yang
terdapat pada sebagian besar tumbuhan berbunga dan merupakan salah satu kelompok
fitokimia penting yang menjadi salah satu indikasi terdapatnya aktivitas biologis dari suatu
jenis tumbuhan sehingga bermanfaat dalam proses pengobatan. Flavonoid terdapat pada
tumbuhan tingkat tinggi yang termasuk dalam golongan angiospermae, biasa terjadi sebagai
hasil dari metabolisme sekunder pada buah, batang dan bagian tubuh lain terutama yang
banyak mengandung warna. Hal ini sejalan dengan pernyataan Suradikusumah (2002),
bahwa flavonoid terdapat pada semua bagian tumbuhan seperti daun, akar, kulit, tepung
sari, nektar, bunga, buah, dan biji. Karbohidrat merupakan bagian yang paling penting dalam
proses kimia kehidupan. Pada tumbuhan, karbohidrat terbentuk melalui proses fotosintesis
pada daun dengan menggunakan karbon dioksida dan air untuk menghasilkan gula dan
oksigen yang diedarkan ke seluruh bagian tumbuhan sebagai bahan makanan.

Tabel 1. Analisis Fitokimia

Sampel Alkaloid Flavonoid Saponin Triterpen/Steroid Karbohidrat Tanin


Ekstrak + + + +(steroid) + +
EtOH
Daun

Pada pengujian antibakteri yang dilakukan terhadap ekstrak memberikan hasil positif
terhadap bakteri Salmonella thipy, Bacillus cereus, dan E.coli. Hasil ini disajikan pada Tabel
2 yaitu adanya zona bening sekitar lubang sumuran pada ekstrak dengan konsentrasi 100
Pg sebesar 9,16 mm untuk E.coli, 11,22 mm untuk Bacillus cereus, dan10,67 mm untuk
S.aureus. Hasil ini terkait dengan kandungan fitokimia pada daun yang positif mengandung
flavonoid, tanin, saponin, yang berperan sebagai antimikroba. Diduga tanin sangat berperan
pada kerja antimikroba pada ekstrak. Tanin bersifat sebagai pengelat berefek spasmolitik,
yang menciutkan dinding usus sehigga gerak peristaltik usus berkurang. Akan tetapi efek
spasmolitik ini juga mungkin dapat mengkerutkan dinding sel atau membran sel sehingga
mengganggu permeabilitas sel itu sendiri. Ajizah (2004), menyatakan bahwa tanin juga
mempunyai antibakteri dengan cara mempresipitasi protein. Efek antibakteri tanin antara
lain melalui reaksi dengan membran sel, inaktivasi enzim, dan inaktifasi fungsi materi
genetik. Pada bakteri P.acnes tidak terlihat adanya aktivitas antibakteri pada konsentrasi 25;
50; dan 100 Pg. Setelah dilakukan perngujian pada konsentrasi yang lebih tinggi dihasilkan
zona penghambatan sebesar 8; 8,67 ; 11 mm masing-masing pada konsentrasi 125; 250;
dan 500 Pg.

300
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS

Tabel 2. Hasil Pengujian Antibakteri

Konsentrasi ((Pg) Zona Inhibition (mm)


E.coli B.cereus S.aureus P.acnes
Daun EtOH 25 - 9.89 9 -
Daun EtOH 50 8.17 10.33 9.67 -
Daun EtOH 100 9.16 11.22 10.67 -
Chlorampenicol 5 28.33 34 24.33 31.66

Pengujian aktivitas antiradikal DPPH menggunakan spektrofotometer UV-VIS


dilakukan dengan mereaksikan sampel dengan larutan DPPH pada panjang gelombang 514
nm. Aktivitas diukur dengan menghitung jumlah pengurangan intensitas warna ungu DPPH
yang sebanding dengan pengurangan konsentrasi larutan DPPH. Peredaman tersebut
dihasilkan oleh bereaksinya molekul Difenil Pikril Hidrazil dengan atom hidrogen yang
dilepaskan satu molekul komponen sampel sehingga terbentuk senyawa Difenil Pikril
Hidrazin dan menyebabkan terjadinya peluruhan warna DPPH dari ungu ke kuning. Pada
Gambar 1 dapat dilihat adanya peningkatan peredaman radikal DPPH seiring meningkatnya
konsentrasi, ini artinya telah terjadi penangkapan radikal DPPH oleh sampel. Ekstrak
dengan konsentrasi 50 ppm mampu menghambat 86,64 % radikal DPPH yang mana
mendekati kontrol positif Ascorbic acid sebesar 95,11%. Setelah dianalisis probit diketahui
nilai IC50 ekstrak EtOH daun perepat yaitu pada konsentrasi 7,44 ppm. IC50 merupakan
bilangan yang menunjukkan konsentrasi ekstrak (ppm) yang mampu menghambat proses
oksidasi sebesar 50%. Semakin kecil IC50 berarti semakin tinggi aktivitas antioksidan .
Secara spesifik suatu senyawa dikatakan sebagai antioksidan sangat kuat jika nilai IC50
kurang dario 50 ppm, sedang jika 100-150 ppm, dan lemah jika nilai IC50 151-200 ppm
(Zuhra, dkk., 2008).

Gambar 1. Aktivitas Ekstrak EtOH Daun Perepat Terhadap DPPH

KESIMPULAN DAN SARAN

Hasil analisis fitokimia daun perepat positif mengandung alkaloid, flavonoid, saponin,
steroid, karbohidrat dan tanin. Hasil pengujian antioksidan dari ekstrak EtOH daun perepat
mampu meredam sebesar 86,64% radikal DPPH pada konsentrasi 50 ppm dan memiliki IC50
pada konsentrasi 7,44 ppm. Ekstrak daun perepat aktif terhadap bakteri Bacillus cereus,
E.coli, S.aureus, dan P.acnes. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tumbuhan perepat

301
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

memiliki potensi untuk dikembangkan pemanfaatannya lebih lanjut karena potensial sebagai
bahan antioksidan dan antibakteri.
Perlu adanya penelitian lebih lanjut dalam pengembangan fungsi tumbuhan perepat
sehingga bisa mendapatkan hasil yang optimal.

DAFTAR PUSTAKA

Ajizah, A. 2004. Sensitivitas Salmonella thypimyurium Terhadap Ekstrak Psidium guajava L.


Bioscientiae Vol 1 No 1 Januari. 31-38
Arung, E.T., 2006. Melanin Biosynthesis Inhibitory Compounds from Artocarpus
heterophyllus (Dissortation). Kyushu University. Japan.
Cowan, M.M. 1999. Plants product as antimicrobial agent. Journal of American Society for
Microbiology.12(4): 564-582
Girindra, A. 1990. Biokimia I. Penerbit PT Gramedia. Jakarta.
Harborne, J.B. 1987. Metode Fitokimia (Terjemahan). Terbitan Ke-2. Penerbit ITB
Bandung. 353 pp.
Helliwel, B. dan J.M.C. Gutteridge, 1999. Free radical in Biology and Medicine. 3rd ed.
Oxford: University press. Hal. 23-31, 105-115
Kokate, C.K. 2001. Pharmacohnosi 16th Edn. Niali Prakasham.
Kumalaningsih, S. 2006. Antioksidan Alami. Cetakan Ke-1. Trubus Agrisarana: Surabaya
Purnobasuki, H. 2004. Potensi Mangrove Sebagai Tanaman Obat. Biota IX(2).
Suradikusumah, E. 2002. Kimia Tumbuhan. Depdikbud Dirjen Pendidikan Tinggi PAU. Ilmu
Hayat IPB: Bogor
Zuhra, CF; Juliati: Tarigan dan Herliance Sihotang., (2008), Aktivitas Antioksidan Senyawa
Flavonoid dari Daun Katuk., Jurnal Biologi Sumatera., hlm 7-10 ISSN 1907-5537

302
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS

AKTIVITAS ANTIOKSIDAN DAN TOKSISITAS AKUT


EKSTRAK KULIT KAYU MAHONI (Swietenia macrophylla King)

Syamsul Falah, Olga Mardisadora, dan Fitria Ningsih


Departemen Biokimia FMIPA IPB, Jalan Agathis Gd. Fakultas Peternakan
Lt. 5 Wing 5 Kampus IPB Darmaga Bogor, Bogor Jawa Barat
E-mail: syamsulfalah@yahoo.com

ABSTRAK

Ekstrak kulit kayu mahoni telah diuji aktivitas antioksidannya, dan pengujian
keamanannya untuk mahluk hidup telah dilakukan melalui uji toksisitas akut menggunakan
hewan model mencit. Dua bagian serbuk kulit kayu mahoni masing-masing dimaserasi
dengan menggunakan metanol dan air panas sehingga diperoleh ekstrak metanol dan
ekstrak air panas. Ekstrak metanol dan air panas kemudian diuji aktivitas antioksidan
dengan menggunakan metode 1,1-diphenil-2-picrylhydrazyl (DPPH) dan metode tiobarbituric
acid (TBA). Sedangkan uji toksisitas akut dilakukan dengan menghitung nilai LD50 dan
pengamatan hasil uji histopatologi organ hati dan ginjal. Pengujian aktivitas antioksidan
dengan metode DPPH pada 50 ppm menunjukkan bahwa ekstrak metanol dan air memiliki
aktivitas yang lebih tinggi dibandingkan vitamin E sebagai standar. Pada metode TBA
dengan konsentrasi 200 ppm, ekstrak metanol dan air menunjukkan aktivitas yang lebih baik
dari standar. Hasil uji toksisitas akut menunjukkan ekstrak metanol dan air memiliki nilai LD50
masing-masing sebesar 16330.52 mg/kg bobot badan dan 21428.91 mg/kg bobot badan.
Kedua ekstrak ini tergolong praktis non toksik menurut klasifikasi Gleason. Pemejanan
ekstrak air dan metanol kulit kayu mahoni pada dosis > 12500 mg/kg dapat menyebabkan
kerusakan organ hati dan ginjal.

Kata kunci: Kulit mahoni, antioksidan, toksisitas akut, metode DPPH, metode TBA

PENDAHULUAN

Swietenia macrophylla atau yang dikenal dengan mahoni ditanam secara luas di
daerah tropis. Di Indonesia penanaman pohon mahoni dilakukan di areal hutan milik
negara dan hutan rakyat, selain sebagai pohon peneduh di pinggir jalan. Penggunaan
kayu mahoni untuk berbagai keperluan seperti furnitur, konstruksi bangunan, dan kerajinan;
membuat kayu tersebut semakin disukai dan bernilai ekonomis. Selain itu, tanaman
mahoni juga telah lama dimanfaatkan dan dikenal dalam pengobatan secara tradisional.
Bagian dari tanaman mahoni yang paling sering digunakan sebagai tanaman obat
adalah buah mahoni. Kandungan flavonoid pada buah mahoni berguna untuk
melancarkan peredaran darah, mencegah tersumbatnya saluran darah, mengurangi
tingkat kolesterol, mengurangi penimbunan lemak pada dinding saluran darah,
membantu mengurangi rasa sakit, mengurangi pendarahan dan lebam, bertindak
sebagai antioksidan dan berfungsi menyingkirkan radikal bebas. Sedangkan saponin
yang berasal dari buah mahoni berguna mencegah penyakit sampar, mengurangi
lemak badan, meningkatkan sistem kekebalan, mencegah pembekuan darah dan
tingkat gula dalam darah, serta menguatkan fungsi hati (Brookes 1990).
Pengolahan kayu mahoni akan meninggalkan kulit kayu mahoni sebagai limbah.
Pemanfaatan limbah kulit kayu mahoni belum banyak dilakukan. Pada penelitian
sebelumnya, dari ekstrak aseton kulit kayu mahoni telah diisolasi dan diidentifikasi senyawa
katekin, epikatekin, dan swietemakrofilanin (Falah et al. 2008). Ketiga senyawa tersebut
memiliki aktivitas antioksidan yang tinggi.
Pada penelitian ini, serbuk kulit kayu mahoni diekstrak dengan metanol dan air
panas untuk diuji aktivitas antioksidan dan toksisitas akut. Aktivitas antioksidan dilakukan
dengan menggunakan metode 1,1-diphenil-2-picrylhydrazyl (DPPH) dan tiobarbituric acid

303
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

(TBA). Sedangkan pengujian toksisitas akut dilakukan untuk menguji keamanan


penggunaan untuk mahluk hidup dengan menggunakan hewan model mencit.

METODE

Persiapan Ekstrak
Kulit kayu mahoni diperoleh dari pohon mahoni yang ditanam di daerah Sumedang.
Kulit mahoni dibuat serbuk berukuran 40-60 mesh dengan menggunakan Willey Mill. Serbuk
kulit mahoni sebanyak 3 kg diekstraksi dengan aseton kemudian dengan metanol masing-
masing selama 48 jam pada suhu ruang sehingga diperoleh larutan ekstrak aseton dan
ekstrak metanol. Larutan ekstrak metanol selanjutnya dipekatkan dengan rotary vaccum
evaporator dan digunakan untuk uji aktivitas antioksidan dan uji toksisitas akut. Sebanyak
500 mg serbuk kulit mahoni yang lain direndam dalam air, kemudian dipanaskan pada suhu
100oC selama 4 jam. Larutan ekstrak yang diperoleh disaring dan dievaporasi untuk
memperoleh ekstrak air panas.

Uji Aktivitas Antioksidan


Aktivitas Antioksidan dengan Metode DPPH
Aktivitas antioksidan dari fraksi diuji dengan metode DPPH (Falah et al. 2008).
Sampel dilarutkan ke dalam metanol sehingga konsentrasi larutan menjadi 50 ppm.
Larutan dari sampel yang akan diuji (0, 30, 60, 90, 120, 150 L) ditambahkan ke
dalam campuran 0.4 mM larutan DPPH, 20% larutan MeOH dan larutan buffer 0.2 M
MES (1mL:1mL:1mL). Campuran dihomogenasikan dengan vortex selama 20 menit
dan diukur absorbansinya dengan spektrofotometri pada panjang gelombang 517 nm.
Pengujian ini juga dilakukan terhadap blanko (larutan DPPH yang tidak mengandung
bahan uji) serta kontrol positif -tokoferol. Aktivitas penangkap radikal DPPH (%)
dihitung dengan rumus: (A blanko-A sampel) : A blanko x 100 %.

Aktivitas Antioksidan dengan Metode TBA


Campuran sampel yang dibuat terdiri atas 2 mL buffer fosfat 0.1M pH 7, 2
mL asam linoleat 50 mM dalam etanol 99.8% dan 1 mL larutan uji. Campuran
control tanpa perlakuan dibuat sama seperti campuran sampel tetapi 1 mL larutan
uji diganti dengan 1 mL air bebas ion. Campuran pembanding yang dibuat terdiri atas
2 mL buffer fosfat 0.1 M pH 7 ,2 mL asam linoleat 50mM dalam etanol 99.8% yang
mengandung -tokoferol (vitamin E 200 ppm), dan 1 mL air bebas ion. Semua campuran
tersebut diinkubasi dalam penangas air yang bersuhu 4 0C dengan lama inkubasi 2
hari setelah waktu inkubasi maksimum. Masing-masing campuran reaksi diambil 1 mL
lalu ditambahkan 2 mL TCA 20% dan 2 mL larutan TBA 1% (b/v) dalam asam
asetat 50%. Kemudian campuran reaksi tersebut ditempatkan pada penangas air yang
bersuhu 100C selama 10 menit. Setelah itu didinginkan dan dilakukan sentrifugasi
dengan kecepatan 3000 rpm selama 15 menit, selanjutnya diukur absorbansinya
dengan spektrofotometeri pada panjang gelombang 532 nm.

Uji Toksisitas Akut


Sebanyak 45 ekor mencit strain ddY dipelihara dalam kandang. Setiap satu kandang
berisi lima mencit yang akan mendapat perlakuan yang sama. Mencit tersebut diadaptasikan
selama dua minggu. Selama dua minggu tersebut mencit hanya akan diberi pakan standar
dan minum akuades.
Selanjutnya mencit putih jantan dibagi dalam 9 kelompok perlakuan. Masing-masing
kelompok terdiri dari 5 ekor. Kelompok A yang digunakan sebagai kontrol hanya diberikan
akuades tanpa pemberian ekstrak kulit kayu mahoni, kelompok B diberikan ekstrak air
dengan dosis 500 mg/kg BB, kelompok C diberikan ekstrak air 2500 mg/kg BB, kelompok D
diberikan ekstrak air dengan dosis 5000 mg/kg BB, kelompok E diberikan ekstrak air kulit
kayu mahoni dengan dosis 12500 mg/kg BB, kelompok F diberikan ekstrak air dosis 17500
mg/kg BB, kelompok G diberikan ekstrak air dosis 25000 mg/kg BB. Kelompok H, I, J, K, dan

304
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS

L diberikan ekstrak metanol dengan masing-masing dosis 500 mg/kg BB, 2500 mg/kg BB,
5000 mg/kg BB, 12500 mg/kg BB, dan 17500 mg/kg BB. Pemberian ekstrak kulit kayu
mahoni dilakukan secara per oral atau cekok.
Setelah melewati masa adaptasi selama dua minggu, mencit diberikan perlakuan.
Semua perlakuan diberikan secara oral pada hari ke 0. Mencit yang mati selama perlakuan
akan dibedah untuk diamati organ tubuhnya. Sehari setelah perlakuan berakhir semua
mencit yang masih hidup dibunuh dengan cara eutanasia dan dilakukan pembedahan.
Organ tubuh yang diperiksa adalah hati dan ginjal sedangkan gejala klinis yang didapat
dilaporkan secara deskriptif. Pembuatan preparat histopatologis dari hati dan ginjal
dilakukan menurut metode Humason (1972) dan Kiernan (1990). Penghitungan nilai LD50
dilakukan dengan menggunakan metode Reed-Muench.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Aktivitas Antioksidan dengan Metode DPPH


Hasil uji antioksidan dengan metode DPPH menunjukkan ekstrak metanol kulit kayu
mahoni memiliki aktivitas lebih tinggi dibandingkan ekstrak air panas. Kedua ekstrak kulit
mahoni bahkan memiliki aktivitas lebih tinggi dibandingkan Vitamin E sebagai pembanding,
pada konsentrasi 50 ppm (Gambar 1). Metanol merupakan senyawa polar yang sangat
baik dalam mengekstrak senyawa fenolik yang terkandung dalam suatu bahan. Air juga
merupakan senyawa polar, sehingga komponen fenolik yang bersifat polar juga
banyak terekstrak oleh pelarut ini. Menurut Hernani dan Rahardjo (2005 ), salah satu
fungsi dari senyawa polifenolik adalah menangkap radikal bebas atau sebagai
antioksidan. Uji fitokimia dari ekstrak metanol dan air panas kulit mahoni yang telah
dilakukan sebelumnya menunjukkan kedua ekstrak tersebut memiliki kandungan senyawa
alkaloid, flavonoid, tannin, triterpenoid (Falah et al. 2010). Kelompok senyawa flavonoid
dan tanin pada sebagian besar tanaman bersifat antioksidan.

Gambar 1. Aktivitas penangkapan radikal DPPH ekstrak kulit mahoni dan


Vitamin E sebagai pembanding pada konsentrasi 50 ppm

305
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Aktivitas Antioksidan dengan Metode Tiobarbituric Acid (TBA)


Aktivitas antioksidan dengan metode TBA dilakukan dengan pengukuran
malondialdehida (MDA). Pada prinsipnya metode TBA adalah proses autooksidasi dari
asam linoleat yang akan menghasilkan malondialdehida. Malondialdehida apabila bereaksi
dengan TBA menghasilkan produk yang berwarna merah yang akan diukur pada panjang
gelombang 532 nm (Kikuzaki & Nobuji 1993). Hasil uji aktivitas antioksidan (Gambar 2)
menunjukkan bahwa daya hambat ekstrak metanol dan air panas kulit kayu mahoni lebih
tinggi dibandingkan vitamin E. Proses autooksidasi asam linoleat dapat dihambat oleh
senyawa antioksidan sehingga senyawa MDA yang terbentuk semakin sedikit. Daya
antioksidasi ekstrak metanol lebih tinggi dibandingkan dengan air panas .

Gambar 2. Daya hambat ekstrak kulit mahoni terhadap pembentukan MDA

Toksisitas Akut
Mencit merupakan hewan uji yang digunakan dalam penelitian ini. Sebelum diberi
perlakuan, mencit diadaptasikan selama dua minggu untuk menghindari risiko timbulnya
gangguan stress. Pengamatan gejala-gejala toksik yang mungkin timbul diamati secara
intensif pada empat jam pertama, dan pengamatan selanjutnya dilakukan hingga hari ke-14.
Gejala toksik yang diamati meliputi perubahan perilaku, nafas, kulit, kematian, kepasifan,
dan kematian. Gejala klinis yang tampak pada mencit perlakuan dosis tinggi diantaranya
peningkatan aktifitas, peningkatan bernafas, kemudian mencit tampak meregangkan badan
dan beristirahat di sudut kandang. Terdapat kematian pada kelompok perlakuan dengan
dosis tinggi. Mencit mengalami kematian setelah 4-5 jam.
Tabel 1 menunjukkan jumlah kematian kumulatif pada hewan coba setelah
pemejanan ekstrak air. Kematian mulai terjadi pada kelompok hewan coba yang dipejankan
ekstrak air dosis 12500 mg/kg BB. LD50 ekstrak air menurut metode Reed-Muench adalah
sebesar 21428.91 mg/kg BB. Menurut klasifikasi Gleason, ekstrak air kulit kayu mahoni
tergolong praktis non toksik.
Tabel 2 menunjukkan jumlah kematian kumulatif pada hewan coba setelah
pemejanan ekstrak metanol. Kematian mulai terjadi pada kelompok hewan coba yang
dipejankan ekstrak metanol dosis 5000 mg/kg BB. LD50 ekstrak metanol menurut metode
Reed-Muench adalah sebesar 16330.52 mg/kg BB. Menurut klasifikasi Gleason, ekstrak
metanol juga tergolong praktis non toksik. Namun, bila dibandingkan dengan ekstrak air
yang memiliki LD50 lebih besar, ekstrak metanol memiliki nilai LD50 yang lebih kecil. Hal ini
menunjukkan bahwa potensi ketoksikan akut ekstrak metanol relatif lebih besar
dibandingkan potensi ketoksikan akut dari ekstrak air.

306
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS

Tabel 1. Jumlah kematian kumulatif mencit setelah pemejanan dengan


ekstrak air kulit kayu mahoni

Dosis % Kematian
Kelompok
(mg/kg BB) Kumulatif
A(Kontrol) 0 0
B 500 0
C 2500 0
D 5000 0
E 12500 9.09
F 17500 33.33
G 25000 62.50

Tabel 2. Jumlah kematian kumulatif mencit setelah pemejanan dengan


ekstrak air kulit mahoni

Kelompok Dosis (mg/kg BB) % kematian kumulatif


A(kontrol) 0 0
H 500 0
I 2500 0
J 5000 8.33
K 12500 22.22
L 17500 57.14

Analisis Histopatologi Organ Hati dan Ginjal


Pemeriksaan histopatologi dilakukan pada organ hati dan ginjal. Melalui pemeriksaan
histopatologi ini dapat dilihat ada tidaknya kerusakan organ pada tingkat seluler yang tidak
terlihat bila hanya diamati secara makroskopik. Istilah gangguan hati dinyatakan sebagai
hilangnya fungsi normal hati yang mengakibatkan kerusakan hati akut atau kronis (Carlton &
Mc Gavin 1995). Lesio secara mikroskopis yang ditemukan di hati yaitu perubahan pada sel
hepatosit. Hasil pengamatan histopatologis jaringan hati mencit yang hanya dipejankan
dengan akuades (kelompok kontrol) ditunjukkan pada Gambar 3A. Kelainan spesifik tidak
ditemukan kelompok kontrol. Sedangkan pada kelompok perlakuan banyak ditemukan
berbagai macam lesio yang terjadi (Gambar 3B).

A B

Gambar 3. Mikroskopik hati mencit pada kelompok kontrol (A),


dan yang mengalami nekrosa dan hemoragi (B). Nekrosa ditandai anak panah

Nekrosa dan hemoragi terlihat pada gambaran mikroskopik hati mencit yang
dipejankan ekstrak air dosis 17500 mg/kg BB. Nekrosa merupakan kematian sel yang umum
setelah terpapar stimulus eksogen, seperti rangsangan kimia yang menyebabkan
pembengkakan sel, selanjutnya pecah, terjadi denaturasi dan koagulasi sitoplasma serta

307
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

hancurnya sel. Hepatik nekrosa ditemukan pada sel hati mencit yang dipejankan ekstrak air
atau metanol mahoni dengan dosis 5000 mg/kg BB.
Gambar 4 menunjukkan organ ginjal pada kelompok kontrol. Gambaran mikroskopik
ginjal kelompok kontrol tidak menunjukkan adanya kelainan spesifik. Perubahan yang terjadi
pada pada kontrol yaitu degenerasi sel epitel tubulus proksimalis, dilatasi tubulus, kongesti.
Sama halnya dengan sel hati, hepatosit, dilatasi tubulus dan kongesti tidak digunakan
sebagai kategori kerusakan ginjal akibat perlakuan karena kerusakan jenis ini merupakan
respon umum akibat penggunaan anestesi eter. Nekrosa yang diikuti hemoragi terjadi pada
kelompok perlakuan. Kerusakan ini ditemukan pada kelompok mencit yang dipejankan
ekstrak air dosis 12500 mg/kg BB. Bila dibandingkan dengan kerusakan ginjal pada
kelompok mencit yang dipejankan ekstrak air, ginjal pada kelompok mencit yang dipejankan
ekstrak metanol mengalami kerusakan yang lebih ringan. Hal ini dapat terjadi diduga akibat
kandungan tanin dan saponin yang lebih banyak terdapat dalam ekstrak air kulit
dibandingkan dengan tanin dan saponin dalam ekstrak metanol.

c
a

A B
Gambar 4. Mikroskopik ginjal mencit pada kelompok kontrol (A), dan yang mengalami
nekrosa tubulus proksimal yang diikuti dengan hemoragi (B). a=glomerulus,
b=tubulus proksimalis. C=nekrosis pada tubulus proksimalis

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
Ekstrak metanol dan air kulit kayu mahoni memiliki aktivitas antioksidan yang tinggi
baik dengan metode DPPH maupun metodeTBA. Uji toksisitas akut memperlihatkan bahwa
ekstrak metanol dan air kulit mahoni tidak bersifat toksik sehingga aman dikonsumsi pada
dosis di bawah 5000 mg/kg berat badan. Berdasarkan hasil analisis histopatologi pada
organ hati, ekstrak air dan metanol menimbulkan nekrosa hepatik pada dosis 5000 mg/kg.
Pada organ ginjal, ekstrak air menimbulkan nekrosa tubulus proksimalis pada dosis 12500
mg/kg berat badan.

Saran
Perlu pengembangan ekstrak kulit mahoni, terutama ekstrak air, sebagai sediaan
herbal antioksidan karena memiliki aktivitas antioksidan tinggi dan aman dikonsumsi.
Ekstrak air panas kulit mahoni lebih prioritas dikembangkan karena lebih mudah, aman, dan
murah. Selanjutnya perlu dilakukan uji khasiat bioaktivitas lainnya dari kulit kayu mahoni
seperti antidiabetes, dan antikolesterol.

308
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS

DAFTAR PUSTAKA

Brooke L. 1990. Other metabolites from Swietenia macrophylla King. Agr. Fiji 29:19-20.
Falah S, Katayama T, Suzuki T. 2008. Chemical constituents from Swietenia macrophylla
bark and their antioxidant activity. Pakistan J Biol Sci 11:2007-2012.
Humason GL. 1972. Animal Tissue Techniques. Ed ke-3. San Frasnsisco: WH Freeman.
Kiernan JA. 1990. Histological and Histochemical Methods: Theory and Practice. 2nd Ed.
Department of Anatomy The University of Western Ontario: Pengamon.
Falah S, Safithri M, Kaatayama T, Suzuki T. 2010. Hypoglycemic effect of Mahogany
(Swietenia macrophylla King) bark extracts in alloxan-induced diabetic rats. Wood
Research Journal 1:91-96
Kikuzaki H, Nobuji N. 1993. Antioxidant effect of some ginger constituents. Food Sci.
58:1407-1410.

309
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

SIFAT DAN RENDEMEN MINYAK KILEMO (Litsea cubeba) DARI


KAWASAN GUNUNG PANGRANGO

R. Esa Pangersa G. dan Zulnely


Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Jl. Gunung Batu No.5, Bogor 16610 Telp. 0251-8633378, Fax. 0251-8699413

ABSTRAK

Minyak atsiri merupakan komoditi ekspor Indonesia. Salah satu tumbuhan penghasil
minyak atsiri adalah tumbuhan kilemo (Litsea cubeba) yang termasuk dalam famili
Lauraceae. Bagian dari tumbuhan kilemo yang dapat menghasilkan minyak atsiri
diantaranya daun dan kulit batang.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui rendemen dan sifat fisiko kimia minyak
kilemo yang berasal dari kawasan Gunung Pangrango dengan metode penyulingan sistem
kukus yang dipengaruhi oleh kondisi awal bahan baku dan lama penyulingan. Dari
pengamatan diperoleh hasil bahwa rendemen tertinggi pada daun yaitu pada kondisi daun
kering dengan lama penyulingan 8 jam sedangkan untuk kulit batang diperoleh rendemen
tertinggi pada kondisi kulit batang kering dengan lama penyulingan 6 jam. Dari hasil analisa
Gas Chromatograhy diperoleh bahwa minyak kilemo dari daun dan kulit batang mengandung
senyawa kimia Beta-pinen, Phelandren, Limonen, Sineol, Sitral b, Sitral a, Geraniol dan
Safrol.

Kata kunci : minyak kilemo, rendemen, daun, kulit batang,penyulingan, senyawa kimia

PENDAHULUAN

Indonesia merupakan salah satu negara tropis yang memiliki biodiversitas yang tinggi
yang keragaman spesies tumbuhannya tersebar di hutan-hutan di seluruh wilayah Indonesia.
Hutan merupakan kekayaan alam yang telah banyak memberi manfaat bagi kehidupan
manusia baik dari segi ekonomi berupa kayu maupun dalam bentuk jasa lingkungan.
Berdasarkan kondisi hutan saat ini mengalami penurunan kemampuan produksi dan
diperkirakan penurunan itu semakin lama semakin besar jumlahnya maka sudah saatnya
hasil hutan bukan hanya dari kayu tetapi juga hasil hutan bukan kayu (HHBK) yang beraneka
ragam komoditinya (Nasution, 1999). Minyak atsiri merupakan salah satu komoditi hasil
hutan bukan kayu yang memiliki potensi sangat besar di Indonesia.
Minyak atsiri adalah minyak yang dihasilkan dari bagian tanaman seperti akar,
batang, kulit, daun, bunga, buah atau biji yang mudah menguap dan memiliki bau yang khas
sesuai tanaman penghasilnya (Lutony, 1994). Hutan di Indonesia kaya akan jenis tumbuhan
penghasil minyak atsiri dan tercatat baru sebagian kecil yang diusahakan secara komersial
antara lain minyak kenanga, minyak nilam, minyak akar wangi, minyak cendana, dan minyak
kayu putih, Dari sebagian kecil tersebut Indonesia tercatat sebagai produsen minyak atsiri
terbesar diantara Negara berkembang dan sebagai pengekspor minyak atsiri sepuluh besar
dunia (Manurung, 2002). Selain minyak atsiri yang sudah komersial tersebut, ada pula
minyak yang berpotensi sangat baik tapi belum banyak dimanfaatkan salah satunya adalah
minyak kilemo.
Minyak kilemo merupakan minyak yang diperoleh dari hasil penyulingan daun atau
kulit batang tumbuhan kilemo (Litsea cubeba). Dalam dunia perdagangan minyak kilemo
dikenal dengan nama Litsea cubeba oil. Minyak kilemo yang berasal dari buah lebih dahulu
populer dengan nama May chang oil. Minyak kilemo mempunyai komponen utama senyawa
sineol (Djatmiko, 1985). Minyak kilemo banyak dimanfaatkan oleh industri farmasi, bahan
pewangi, bahan makanan dan minuman. Adapun penelitian ini bertujuan untuk menganalisa
rendemen dan sifat fisiko kimia dari minyak kilemo yang berasal dari kawasan Gunung

310
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS

Pangrango. Diharapkan hasil penelitian ini memperkaya dasar pengembangan pemanfaatan


tumbuhan kilemo di Indonesia.

METODE PENELITIAN

Lokasi Penelitian
Pengumpulan dan pengambilan contoh uji berupa daun dan kulit batang kilemo
dilakukan di kawasan Gunung Pangrango. Untuk penyulingan dan pengujian minyak
dilakukan di Laboratorium Hasil Hutan Bukan kayu dan Laboratorium Terpadu Pusat
Penelitian dan Pengembangan Teknologi Hasil Hutan Bogor.

Bahan dan Alat


Bahan penelitian yang digunakan antara lain daun dan kulit batang tumbuhan kilemo
yang diambil secara acak, bahan kimia xilen, alkohol, kalium hidroksida, asam klorida.
Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain gelas ukur, erlenmeyer, gelas
beker, corong, kertas saring, kantong plastik, alat suling, piknometer, refraktometer,
thermostat, polarimeter, timbangan analitik, oven, gas chromatrography.

Metode Penelitian
Penyulingan
- Persiapan bahan baku untuk daun kilemo dipisahkan dahulu dari ranting, sedangkan
kulit kilemo dilakukan penjarangan terlebih dahulu untuk memperkecil ukuran sampel.
- Ukur berat contoh uji (gr).
- Penyulingan daun dan kulit kilemo menggunakan metode kukus.
- Waktu penyulingan adalah 4, 6, 8, dan 10 jam.
- Rendemen minyak (%) = minyak hasil penyulingan (ml) X 100%
Berat contoh uji (gr)

Pengujian
Berat Jenis
Berat jenis (BJ) ditetapkan dengan membandingkan berat minyak dengan berat air dalam
volume yang sama pada suhu 15 oC. pengukuran menggunakan alat piknometer dan
thermostat.

BJ = berat minyak pada 15 oC


berat air pada 15 oC

Indeks Bias
Indeks bias ditetapkan dengan menggunakan alat refraktometer pada suhu 29 oC. dari
nilai yang diperoleh dapat diketahui kemurnian zat.

Putaran Optik
Putaran optic ditetapkan dengan menggunaka alat polarimeter.

Kelarutan dalam alkohol


Kedalam gelas ukur 10 ml yang bertutup, dimasukkan 1 ml minyak. Kemudian
dimasukkan alkohol 80% sedikit demi sedikit. Setiap penambahan alkohol diikuti
pengocokan sampai minyak larut. Bila sampai penambahan alkohol mencapai 9 ml
minyak belum larut maka pekerjaan tidak perlu dilanjutkan.

Kadar Air (KA)


Penentuan KA ini menggunakan alat aufeser dengan bantuan pelarut xilen. Perhitungan
KA sebagai berikut :
KA (%) = banyak air yang diperoleh (ml) X 100%
berat contoh uji (gr)

311
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Rendemen
Rata-rata rendemen minyak dari penyulingan daun dan kulit batang hasil penelitian
disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Rendemen Minyak Kilemo

Waktu Penyulingan
No. Contoh Uji KA (%)
4 jam 6 jam 8 jam 10 jam
1 Daun basah 66 2,30 % 2,37 % 2,37 % 2,37 %

2 Daun agak kering 18 4,55 % 4,57 % 4,64 % 4,64 %

3 Daun kering 16,6 7,00 % 7,025 % 7,10 % 7,10 %

4 Kulit batang basah 21 1,90 % 2,06 % 2,28 % 2,28 %

5 Kulit batang agak kering 20 2,55 % 2,62 % 2,62 % 2,62 %

6 Kulit batang kering 15 3,50 % 3,63 % 3,63 % 3,63 %

Dari tabel dapat diketahui bahwa rendemen minyak kilemo tertinggi terdapat pada
daun kering dengan lama penyulingan 6 jam sebesar 7,10% sedangkan rendemen terendah
terdapat pada kulit batang basah dengan lama penyulingan 4 jam yaitu sebesar 1,90%.
Dari data rendemen diperoleh bahwa kadar air berbanding terbalik dengan rendemen
minyak yang dihasilkan. Secara keseluruhan baik pada daun maupun kulit batang terlihat
bahwa semakin tinggi kadar air maka semakin rendah rendemen minyak yang dihasilkan.
Hal ini diduga karena pada saat kadar air tinggi rongga-rongga sel pada daun maupun kulit
batang tertutup oleh air sehingga menyulitkan minyak keluar pada saat proses penyulingan.
Hasil ini diperkuat dari hasil penelitian Wibowo (2007) tentang rendemen minyak kilemo asal
Aek Nauli yang disuling dengan metode kukus dengan lama waktu penyulingan 4 jam
diperoleh rendemen untuk daun segar 0,9 % dan untuk daun kering 2,8 %.

Sifat Fisiko Minyak Kilemo


Sifat fisiko dari minyak yang diperoleh dari hasil penyulingan daun dan kulit batang
pada penelitian ini tersaji pada Tabel 2.

Tabel 2. Sifat Fisiko Minyak Kilemo

No. Parameter Daun Kulit Batang


1 Berat Jenis 0,9184 0,8787
2 Indeks Bias 1,4635 1,4581
3 Putaran Optik -19041 -160141
4 Kelarutan dalam alkohol 1:4 1:5

Dari tabel diperoleh hasil bahwa berat jenis minyak dari daun lebih tinggi bila
dibandingkan minyak dari kulit batang. Berat jenis minyak dari daun sebesar 0,9184
sedangkan berat jenis minyak dari kulit batang sebesar 0,8787. Dari hasil berat jenis ini,
minyak kilemo asal Kawasan Gunung pangrango tergolong minyak atsiri bermutu baik

312
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS

dimana kategori minyak atsiri bermutu baik menurut Ketaren (1997) memiliki berat jenis
0,696-1,088.
Indeks bias dari tabel diperoleh hasil bahwa indeks bias minyak dari daun lebih tinggi
dibandingkan dengan indeks bias minyak dari kulit batang. Indeks bias minyak dari daun
sebesar 1,4635 sedangkan indeks bias minyak dari kulit batang sebesar 1,4581. Nilai indeks
bias ini bisa digunakan untuk menentukan tingkat kemurnian suatu minyak atsiri.
Putaran optik ini merupakan kemampuan suatu zat untuk memutar bidang polarisasi.
Putaran optik minyak kilemo pada penelitian ini dilihat dari tabel bahwa minyak dari daun
sebesar -19041 sedangkan minyak dari kulit batang sebesar -160141.
Dalam hal kelarutan minyak dalam alkohol dari tabel diperoleh hasil bahwa minyak
dari daun lebih mudah dilarutkan dibandingkan dengan minyak dari kulit batang. Minyak dari
daun mempunyai kelarutan dalam alkohol 1:4 sedangkan minyak dari kulit batang 1:5. Sifat
kelarutan dalam alkohol juga dapat digunakan untuk menetukan kemurnian suatu minyak
atsiri.

Analisis senyawa kimia minyak Kilemo


Senyawa kimia yang terdapat pada minyak kilemo tersaji pada tabel 3 berikut :

Tabel 3. Senyawa Kimia minyak kilemo

Daun Kulit
Senyawa Kimia Daun Daun Kulit Kulit
No. agak agak
( % GC) basah kering basah kering
kering kering
1 Beta-pinen 2,36 - 2,23 3,16 2,08 1,93
2 Phelandren - - 5,80 1,97 2,95 1,39
3 Limonen 4,73 4,18 3,06 18,76 18,87 19,19
4 Sineol - 0,65 20,75 5,27 14,40 15,04
5 Sitral b 9,08 36,07 17,82 9,08 23,90 23,17
6 Sitral a 23,59 20,02 16,95 6,95 3,71 3,83
7 Geraniol 6,13 6,90 6,92 7,98 5,71 5,60
8 Safrol 4,80 5,96 2,66 8,63 3,74 4,96

Dari tabel diperoleh hasil bahwa pada daun senyawa kimia dengan kandungan
tertinggi adalah pada daun basah adalah sitral a sebesar 23,59%, pada daun agak kering
sitral b sebesar 36,07% dan pada daun kering sineol sebesar 20,75%. Sedangkan senyawa
kimia tertinggi pada minyak dari kulit batang dari tabel diperoleh hasil bahwa pada kulit
basah limonen sebesar 18,76% pada kulit agak kering sitral b sebesar 23,90% dan pada
kulit kering sitral b sebesar 23,17%.
Secara keseluruhan dari hasil analisis senyawa kimia pada minyak kilemo hasil
penyulingan daun dan kulit batang pada penelitian ini didominasi oleh sitral. Sedangkan
dalam laporannya Zulnely et al (2007) minyak kilemo hasil penyulingan daun dan kulit
batang asal Kuningan mengandung komponen kimia berupa sineol, sitronellol, alpha-pinen,
beta-pinen, limonen dan sitronellal dengan kandungan sineol paling tinggi dibanding
komponen kimia lainnya. Perbedaan komponen kimia ini diduga karena pengaruh tempat
tumbuh yang berbeda.

313
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

KESIMPULAN

Berdasarkan penelitian yang dilakukan maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai


berikut :
1. Waktu penyulingan yang efektif untuk daun kilemo adalah 8 jam sedangkan untuk kulit
batang selama 6 jam.
2. Rendemen minyak dipengaruhi oleh kadar air bahan baku baik daun maupun kulit
batang dimana kadar air semakin kecil rendemen yang diperoleh semakin besar.
3. Senyawa kimia yang terkandung di daun dan kulit batang diantaranya ialah Beta-pinen,
phelandren, Limonen, Sineol, Sitral b, Sitral a, Geraniol dan Safrol. Kandungan tertinggi
pada daun dan kulit batang adalah sitral b.

DAFTAR PUSTAKA

Djatmiko. 1985. Minyak Atsiri. Departemen Teknologi Pertanian Fakultas Teknologi


Pertanian IPB. Bogor.
Ketaren, S. 1997. Minyak Atsiri Bersumber dari Daun. Agro Industri Press. IPB Bogor.
Lutony, TL. 1994. Produksi dan Perdagangan Minyak Atsiri. Penebar Swadaya. Jakarta.
Manurung, TR. 2002. Peluang dan Hambatan Dalam Peluang Ekspor Minyak Atsiri. Makalah
Pada Workshop Nasional Minyak Atsiri. Bogor.
Nasution. 1999. Arahan Menteri Kehutanan dan Perkebunan pada Acara Rapat Kerja
Nasional Departemen Kehutanan dan Perkebunan. Jakarta, 20-23 April 1999.
Wibowo, S. 2007. Percobaan Penyulingan Daun kilemo (Litsea cubeba) Asal Sumatera
utara. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Aek Nauli. Tidak Dipublikasikan.
Zulnely, U. Kulsum, dan A. Junaedi. 2007. Sifat Fisiko-Kimia Minyak Kilemo (Litsea cubeba)
Asal Kuningan, Jawa Barat. Jurnal Penelitian Hasil Hutan Vol. 25 (1) : 84-92. Bogor.

314
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS

GERUNGGANG (Cratoxylon arborescens Blume.) DAN TERENTANG


(Campnosperma coriaceum Jack. Dan C.Auriculata Hook.f) : JENIS
ALTERNATIF POTENSIAL SEBAGAI BAHAN BAKU KAYU PULP

Rina Bogidarmanti1, Nina Mindawati2 dan Suhartati2


1
Pusat Litbang Peningkatan Produktifitas Hutan
Jl. Gunung Batu No.5 Kotak Pos 165, Bogor 16610. Po Box 331
Telp. (0251) 8631238. Fax. (0251) 7520005
2
Balai Penelitian Hutan Penghasil Serat Kuok
Jl. Raya Bangkinang-Kuok KM 9 Bangkinang 28401 Kotak pos 4 BKN-Riau
rinabogidarmanti@yahoo.com
ninapulp@yahoo.co.id

ABSTRAK

Jenis-jenis tanaman yang umumnya digunakan dalam kegiatan pembangunan HTI


serat dan pulp umumnya menggunakan jenis yang sudah dikenal seperti Acacia mangium,
Acacia crassicarpa, Gmelina arborea, Eucalyptus pellita atau Pinus merkusii. Jenis-jenis
tersebut sebagian telah beralih fungsi untuk digunakan sebagai bahan baku kayu
pertukangan. Selain itu dijumpai permasalahan daur yang masih panjang, adanya serangan
hama dan penyakit serta penurunan kualitas lahan. Untuk mengantisipasi ketersediaan
bahan baku industri pulp perlu dicari jenis-jenis alternatif lainnya. Jenis Gerunggang dan
Terentang merupakan jenis-jenis alternatif yang berpotensi untuk bahan baku kayu pulp.
Berdasarkan hasil eksplorasi yang telah dilakukan sejak tahun 2008 hingga 2011 di daerah
Riau dan sekitarnya, penyebaran jenis gerunggang dijumpai di daerah Kabupaten Siak,
Bengkalis, Kuansing dan Rokan Hilir.di provinsi Riau. Sedangkan untuk jenis terentang
dijumpai di Kabupaten Siak, Dumai, Rokan Hulu, Indragiri Hulu, Kuansing dan Kampar.
Sedangkan di daerah Sumatera bagian barat dijumpai di Kabupaten Limapuluh Kota dan
Solok selatan Hasil analisis dimensi serat dan nilai turunan dimensi seratnya, kedua jenis
kayu tersebut sebagai bahan baku pulp termasuk dalam kelas kualitas II.

Kata kunci : gerunggang, terentang, jenis alternatif pulp.

PENDAHULUAN

Jenis-jenis tanaman yang saat ini telah dikembangkan oleh sebagian besar HTI Pulp
atau Serat di Indonesia yaitu jenis tanaman cepat tumbuh dengan daur pendek seperti
Acacia mangium, Acacia crassicarpa, Eucalyptus pellita. Beberapa permasalahan yang
timbul sehubungan dengan kegiatan penanaman jenis-jenis tersebut secara monokultur
antara lain : rentan terhadap serangan hama dan penyakit, terjadinya penurunan
produktifitas dan kualitas tapak pada daur berikutnya jika bibit yang digunakan mempunyai
tingkat keunggulan yang sama secara genetik. Selain itu pula, jenis-jenis tersebut sebagian
telah berlaih fungsi menjadi bahan baku kayu pertukangan yang lebih ekonomis (Mindawati
et al, 2007 a). Untuk mengantisipasi keberlenjutan pasokan bahan baku bagi industri pulp,
maka perlu dicari jenis-jenis alternatif (jenis-jenis kayu kurang dikenal) yang berpotensi untuk
dikembangkan sebagai bahan baku pulp. Dalam hal pemilihan jenis yang akan
dikembangkan sebaiknya menggunakan jenis-jenis lokal atau andalan setempat yang dapat
memenuhi beberapa persyaratan antara lain : memiliki riap yang tinggi, memiliki sebaran
alami yang luas sehingga memiliki variasi genetik yang luas, cocok dan tumbuh baik di lokasi
pengembangan, mudah dibiakan baik secara generatif maupun vegetatif, teknik

315
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

silvikulturnya telah dikuasai serta tahan terhadap serangan hama dan penyakit (Mindawati et
al, 2007 b)
Berdasarkan kajian hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Pusat Litbang
Hasil Hutan sejak tahun 1976 diperoleh sekitar 143 jenis tanaman hutan yang dapat
diguinakan sebagai bahan baku pulp dengan kualitas pulp I sampai IV, dan sebanyak 35
jenis tanaman hutan yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai bahan baku pulp di masa
depan karena mempunyai kualitas pulp kategori kelas I dan II (Mindawati, 2007 b). Di antara
jenis-jenis tersebut gerunggang (Cratoxylon arborescens Bl.) dan terentang rawa
(Campnosperma coriaceum Jack.) memiliki potenasi untuk dikembangkan khususnya di
daerah lahan basah/gambut.
Geronggang dijumpai tersebar di daerah Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera
Selatan, Riau, Jambi, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur
(Martawijaya et al, 2005). Geronggang banyak digunakan untuk konstruksi ringan,
jembatan, kapal, furnitur, flooring, panel, papan partikel dan juga sebagai bahan baku pulp
(Soerianegara dan Lemmens, 2001). Jenis terentang di Indonesia dijumpai tersebar di
daerah Sumatera, Bangka dan Kalimantan. Jenis ini dapat dimanfaatkan untuk berbagai
keperluan antara lain : papan tulis, kotak peralatan, lemari, furnitur. Selain itu dapat
dimanfaatkan sebagai bahan pembuatan plywood, pulp dan papan partikel (Soerianegara
dan Lemmens, 2001). Untuk pengembangan jenis-jenis tersebut secara luas kegiatan
eksplorasi mengenai sebaran alami untuk digunakan sebagai sumber benih/bibit merupakan
kegiatan yang penting untuk dilakukan.
Dalam tulisan ini akan disajikan kajian hasil kegiatan ekplorasi dan analisis sifat kimia
kayu jenis gerunggang dan terentang yang telah dilakukan oleh Tim peneliti Balai Penelitian
Hutan Penghasil serat Kuok dan Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Bogor yang berada
di bawah koordinasi RPI Pengelolaan Hutan Tanaman Penghasil Kayu Pulp di Pusat Litbang
Peningkatan Produktifitas Hutan, Bogor.

TEKNIK SILVIKULTUR JENIS GERUNGGANG DAN TERENTANG

Teknik silvikultur jenis gerunggang


Nama botanis dan daerah. Gerunggang memiliki nama ilmiah Cratoxylon
arborescens (Vahl.) Blume yang sinonim dengan C. cuneatum Miq. Dan C.arborescens
(Vahl.) Blume var miquelli King. Jenis ini termasuk dalam famili Guttiferae. Dalam dunia
perdagangan dikenal dengan nama dagang Geronggang. Di Indonesia jenis ini dikenal
dengan nama daerah Lele (Sumatera Utara) dan Gerunggang (Kalimantan) (Soerianegara
dan Lemmens, 2002).
Gerunggang dijumpai tersebar di daerah Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera
Selatan, Riau, Jambi, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur
(Martawijaya et al, 2005).
Tempat tumbuh. Gerunggang merupakan salah satu jenis tumbuhan asli hutan
rawa gambut, namun juga dapat tumbuh pada tanah berpasir atau tanah lempung berpasir.
Jenis ini dapat tumbuh pada daerah dengan tipe iklim A dan B pada ketinggian di atas 900 m
dpl. Di Sabah jenis ini dapat tumbuh pada ketinggian lebih dari 1800 m dpl (Soerianegara
dan Lemmens, 2002).
Deskripsi jenis. Berbentuk pohon dengan tinggi sekitar 35-50 m, diameter dapat
mencapai 60-100 cm, batang bebas cabang hingga 27 m, batang bagian bawah lurus atau
berbentuk kurang bagus, tidak berbanir, permukaan pepagan licin atau bersisik seperti
kertas hingga bercelah, di bagian pangkal batang mengeluarkan getah transparan berwarna
kuning, jingga atau merah (Soerianegara dan Lemmens, 2002).

316
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS

Gambar 1. Tegakan gerunggang (Koleksi : Suhartati et al, 2010)

Perbenihan. Informasi mengenai sumber benih, teknik penanganan benih, cara


penyimpanan jenis ini belum tersedia.
Pembibitan. Jenis ini umumnya diperbanyak dengan cara generatif yaitu dengan
melakukan penyemaian benih di persemaian. Setelah bibit berukuran tinggi sekitar10 15
cm dilakukan penyapihan ke dalam polybag Selain itu pula juga dapat memanfaatkan
anakan alam yang tersedia dalam jumlah berlimpah pada rumpang-rumpang terbuka
sebagai akibat adanya penebangan/pembukaan lahan (Soerianegara dan Lemmens, 2002)
Penanaman. Penanaman jenis ini di lahan gambut biasanya dilakukan dengan pola
jalur dengan jarak dalam jalur 2 m dan jarak antar jalur 6 m (Soerianegara dan Lemmens,
2001).
Pemeliharaan bibit di lapang yaitu felling. Sedangkan untuk jenis hama dan penyakit
yang menyerang jenis ini belum tersedia informasinya.

Teknik silvikultur jenis terentang


Nama botanis dan daerah. Jenis terentang dikenal ada dua macam yaitu terentang
darat (Campnosperma auriculata (Hook.f)) dan terentang rawa (C. coriaceum (Jack)). Jenis
ini termasuk dalam famili Anacardiaceae dan memiliki nama di dunia perdagangan sebagai
kayu terentang. Di Indonesia jenis ini tersebar di daerah Sumatera, Kalimantan, Jawa,
Sulawesi dan dikenal dengan nama daerah pauh lebi, antumbus, madang rimueng,
ambacang rawang, meranti lebar daun (Sumatera), terentang malung (Bangka), dalipo
(Sulawesi), hamtangen (Sampit, Kalimantan) (Soerianegara dan Lemmens, 2002).
Tempat tumbuh. Terentang sering ditemukan di hutan dataran rendah yang berawa
dan dapat mebentuk tegakan murni atau merupakan jenis yang dominan bersama jensi lain.
Selain itu pula dapat dijumpai tumbuh di hutan primer atau sekunder yang memiliki jenis
tanah yang berdrainase baik pada ketinggian tempat hingga 1600 m dpl khususnya di dekat
sungai kecil dan di lembah, namun jumlahnya hanya sedikit (Soerianegara dan Lemmens,
2002).

317
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Gambar 2. Tegakan terentang rawa


(Koleksi : Suhartati et al, 2010)

Deskripsi jenis terentang rawa. Pohon berukuran sedang hingga besar dengan
tinggi dapat mencapai 40 m, diameter batang bagian bawah sekitar 90 cm, namun sering
dijumpai berukuran lebih kecil, jika tumbuh di rawa sering dijumpai akar tiang, akar napas
atau pneumatofor. Sedangkan untuk terentang darat adalah sebagai berikut : pohon
berukuran sedang hingga agak besar, dapat mencapai tinggi sekitar 38 m, diameter batang
bagian bawah sekitar 80-135 cm,
Perbenihan. Sumber benih untuk jenis terentang rawa di daerah Sumatera dan
sekitarnya dapat dijumpai di daerah Sungai Dareh, Kecamatan Pulau Punjung, Kabupaten
Dharmasraya, Sumatera Barat. Lokasi tersebut terletak pada 10103050 BT dan
0005834LU dengan ketinggian tempat 359 kaki dpl. Jenis tanah di Kabupaten
Dharmasraya sebagian besar adalah Podzolik merah kuning (PMK) (Danu et al, 2010).
Sedangkan untuk terentang darat sumber benihnya dijumpai di daerah Kampar, Riau yang
menyebar secara sporadis di hutan sekunder sekitar sungai Limago anak sungai Batang
Kampar dan di daerah Tanjung Alai dan Muara Takus (Danu et al, 2010).
Fenologi. Informasi mengenai fenologi yang telah diperoleh untuk jenis terentang
rawa yaitu yang berasal dari daerah Dharmasraya. Musim pembungaan terjadi pada bulan
Agustus September, buah muda pada bulan Oktober, buah tua pada bulan November
Desember. Buah yang masak dicirikan dengan warna buah yaitu merah sampai ungu
kehitaman (Gambar 3a, 3b dan 3c)

318
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS

Gambar 3a Bunga Jantan Gambar 3b Bunga Betina

Gambar 3c Bunga dan buah terentang (C. coriaceum (Jack) Hall.f.ex Steen)
yang telah masak fisiologis (Koleksi
(Koleksi: :Danu
Danuetet.al, 2010
al, 2010)

Proses pembentukan bunga hingga menjadi buah yang masak tertera pada Gambar 4.

Agustus
Agustus September
September

Oktober
Oktober

Nopember Akhir
November Akhir Awal Nopember
Awal November

Gambar 4. Proses dan masa pembentukan bunga hingga menjadi buah.


Jenis terentang rawa (Koleksi : Danu et al, 2010)

Pengamatan fenologi untuk jenis terentang darat di daerah Kampar belum dapat
dilakukan karena tanaman yang ada belum memulai masa pembungaan dan pembuahannya
pada saat itu. Hasil pengamatan tegakan yang ada di Kuok, Bangkinang terdapat satu pohon
terentang darat yang sedang berbunga dan satu pohon berbuah muda (Gambar 5).
Terentang yang diduga berbunga jantan, berbunga sepanjang tahun, sedangkan pohon yang

319
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

berbunga betina terjadi pada bulan Oktober-Nopember, selanjutnya berbuah masak pada
bulan Desember (Gambar 6).

Bungajantan
Bunga
Bunga Jantan
Jantan Bunga
Bunga betina
Betina Buah
Buahmuda
Muda

Gambar 5 .(Koleksi
Gambar 5Bunga
. Bunga danbuah
dan buahterentang
terentang lahan
lahanmineral
mineral(C.auriculatum)
(C. auriculatum)

Untuk jenis terentang darat ciri buah muda berwarna hijau dengan bintik-bintik putih
dan setelah masak fisiologis kulit buah berwarna hitam (Gambar 6) (Danu et al, 2010).
Informasi mengenai penanganan benih yang meliputi ekstraksi, perlakuan pendahuluan,
pengujian dan penyimpanan belum tersedia. Pada tahun 2011 Balai Teknologi Perbenihan
Bogor mulai menangani kegiatan penelitian jenis tersebut.

Agustus
Agustus
Nopember
November Desember
Desember

Gambar 6. Proses dan masa pembentukan bunga menjadi buah jenis terentang darat
(Koleksi : Danu et al, 2010)

Pembibitan. Perbanyakan terentang umumnya dilakukan secara generatif atau


memanfaatkan anakan alam yang terdapat di sekitar pohon induknya. Buah yang sudah
masak fisiologis dengan ciri kulit buah berwarna hijau kemerahan sampai merah tua. Buah
tersebut diekstraksi, diseleksi kemudian ditabur pada bak kecambah. Benih Terentang
berkecambah 2-4 minggu setelah tabur dan penyapihan dilakukan apabila telah muncul
minimal sepasang daun (Siregar et al, 2010).. Informasi perbanyakan jenis terentang
dengan cara vegetatif belum tersedia.
Penanaman. Informasi mengenai penanaman jenis terentang secara luas di
Indonesia belum banyak dilakukan. Salah satu lokasi pengembangan jenis ini dijumpai di
KHDTK Tumbang Nusa, provinsi Kalimantan Tengah.
Hama dan penyakit.. Cendawan yang ditemukan pada benih terentang yaitu
Aspergillus sp, Penicillium sp dan Rhizopus sp (Danu et al, 2010).

320
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS

PROSPEK JENIS GERUNGGANG DAN TERENTANG SEBAGAI


BAHAN BAKU KAYU PULP

Kegiatan eksplorasi dan survei untuk mencari jenis-jenis alternatif yang memiliki
potensi sebagai bahan baku pulp telah dilakukan oleh Balai Penelitian Hutan Penghasil
Serat Kuok yang berkoordinasi dengan Pusat Litbang Peningkatan Produktivitas Hutan
Bogor. Kegiatan ini telah dimulai sejak tahun 2008 hingga tahun 2011. Lokasi kegiatan
dititikberatkan pada daerah Riau dan sekitarnya, Sumatera bagian barat, Sumatera bagian
selatan dan Sumatera bagian utara. Kegiatan eksplorasi dan survei dititikberatkan pada
tujuh jenis kayu alternatif yaitu : mahang putih (Macaranga hypoleuca (Reichb,f,et.Zoll.),
Skubung (M.gigantea (Rchb.f.& Zoll.) Mull.Arg., jabon (Anthocephalus cadamba Miq.),
binuang bini (Octomeles sumatrana Miq.), gerunggang (Cratoxylon arborescens (Vahl)
Blume), terentang (Campnosperma auriculata Hook.f dan C. coriaceum Jack.) dan
sesendok (Endospermum malaccense Benth.)
Hasil eksplorasi dan survei untuk jenis gerunggang dijumpai di daerah Siak,
Bengkalis, Kuansing dan Rokan Hilir (Provinsi Riau). Untuk jenis terentang daerah
sebarannya dijumpai di Siak, Dumai, Rokan Hulu, Indragiri Hulu, Kuansing (Provinsi Riau)
dan Dharmasraya (Provinsi Sumatera bagian Barat). Untuk mengetahui sifat dan kualitas
kayu-kayu hasil eksplorasi tersebut juga dilakukan analisis sifat kayunya.

Sifat dan Kualitas Kayu Gerunggang dan Terentang


Beberapa sifat kimia kayu yang perlu diketahui apakah suatu jenis dapat memenuhi
kriteria sebagai bahan baku industri pulp dan kertas antara lain meliputi : berat jenis, kadar
lignin, selullosa, kadar abu, zat ekstraktif dan warna kayu. Pengujian sifat kimia sampel kayu
hasil eksplorasi hanya dilakukan pada jenis terentang, sedangkan untuk jenis gerunggang
baru akan dilaksanakan pada tahun 2012. Hasil pengujian tersebut tertera pada Tabel 1.

Tabel 1. Sifat kimia kayu dan kualitas pulp jenis Gerunggang dan Terentang

Jenis Berat Kuali- Kadar Kuali- Kadar Kuali- Kadar Kuali- Zat Kuali- Warna
Kayu Jenis tas abu tas lignin tas sellulo- tas ekstrak- tas kayu
g/cm3 pulp (%) pulp (%) pulp sa (%) pulp tif (%) pulp
Gerung- 0,36- Merah
gang *) 0,71 I - II - - 22,20 I 53,10 I 4,10 III muda

Gerung- 0,40- Merah


gang **) 0,47 I - - muda
Teren-
Tang 0,30 I 0,61 II 29,83 II 47,87 I 3,56 II Coklat
darat
Teren- Coklat
Tang 0,41 I 0,40 II 27,96 II 50,04 I 3,25 II kekuning-
rawa an

Keterangan : *) = sumber Martawijaya et al (1981)


**) = sumber Nurahman dan Silitonga (1972) dalam Junaedi dan Yeni (2010).

Mengacu pada kriteria kelas kualitas kayu untuk pulp berdasarkan dari sifat kayunya
(Anonim (1980) dalam Syafii dan Siregar (2006)),untuk jenis gerunggang hasil analisis sifat
kimia terhadap berat jenis termasuk dalam kelas kualitas pulp I karena kurang dari 0,50.
Demikian pula untuk kadar lignin dan sellulosa termasuk dalam kelas kualitas pulp I karena
kadar masing-masing yaitu sebesar < 25% dan > 45%. Hal serupa juga dijumpai pada kadar
zat ekstraktifnya yang masuk dalam kelas kualitas pulp I karena kadarnya berada pada
selang > 4%. Namun untuk kadar abu jenis gerunggang belum tersedia informasinya. Pada
dasarnya kayu gerunggang akan menghasilkan rendemen pulp yang tinggi karena berat
jenisnya rendah, kadar lignin, sellulosa dan zat ekstraktif tinggi . Kandungan zat ekstraktif

321
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

merupakan salah satu komponen kayu yang menentukan konsumsi bahan kimia pada saat
proses pembuatan pulp (Junaedi dan Aprianis, 2010).
Baik jenis terentang darat maupun terentang rawa memiliki berat jenis < 0,50
sehingga termasuk dalam kelas kualitas I. Demikian pula dengan kadar sellulosanya
termasuk kelas kualitas I karena kadarnya > 45%. Untuk kadar abu termasuk dalam kelas
kualitas II karena nilainya berada pada selang 0,2% - 6%, demikian pula untuk kadar lignin
dan zat ekstraktif termasuk dalam kelas kualitas II karena memiliki nilai masing-masing >
45% dan berada pada selang 2% - 4%.
Dimensi serat merupakan salah satu sifat kayu yang penting untuk digunakan
sebagai dasar dalam pemilihan suatu jenis kayu sebagai bahan baku pulp dan kertas.
Dimensi serat yang dimaksud meliputi panjang serat, diameter serat, tebal dinding sel dan
lebar lumen. Parameter lain yang juga berpengaruh terhadap persyaratan serat sebagai
bahan baku pulp yaitu nilai turunan dimensi serat yang meliputi bilangan Runkel,
perbandingan Muhlstep, perbandingan fleksibilitas, daya tenun dan koefisien kekakuan
(Tabel 2).

Tabel 2. Dimensi serat, nilai turunan dimensi serat dan


kelas kualitas jenis kayu gerunggang dan terentang

Deskripsi Gerunggang Terentang


Hasil uji Pustaka Kualitas Rawa Darat Kualitas
sampel (**) Hasil uji Hasil uji
(*) sampel (*) sampel (*)
Panjang serat (L) 1180,00 II 1394,84 1450,03 II
(mm)
Dimensi Diameter serat 22,30 37,78 37,36
serat (d) (U)
Tebal dinding 1,70 2,50 2,18
serat (w) (U)
Diameter lumen 26,00 32,78 33,01
(l) (U)
Panjang 957,04 835,48
pembuluh (mm)
Diameter 167,08 162,59
pembuluh (U)
Daya tenun 53,00 III 37,94 39,30 III
Nilai Nisbah 41,20 II 24,96 21,76 I
turunan Muhlsteph
Nisbah 0,77 I 0,87 0,80 I
fleksibilitas
Bilangan Runkel 0,30 I 0,15 0,11 I
Koefisien 0,12 I 0,07 0,07 I
kekakuan

Keterengan : * = Suhartati et al (2010)


** = Nurahman dan Silitonga (1972)
Nisbah Runkel = 2w/l;
daya tenun = L/d,
nisbah fleksibilitas = l/d;
koefisien kekakuan = w/d;
nisbah Muhlsteph =( d2 l2/ d2) x 100

Berdasarkan hasil analisis terhadap dimensi serat yang meliputi panjang serat,
diameter lumen, tebal dinding, panjang pembuluh dan diameter pembuluh, dapat digunakan
untuk menduga kualitas kertas yang dihasilkan, namun perlu dilengkapi dengan perhitungan
nilai turunan dimensi seratnya agar efisisen dan kualitas yang diperoleh sesuai dengan yang

322
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS

diharapkan (Junedi dan Aprianis, 2010). Bila ditinjau dari panjang serat, menurut klasifikasi
Anonim (1989) dalam Junaedi dan Aprianis (2010), kayu gerunggang dan terentang darat
dan rawa termasuk dalam kelas sedang karena memiliki nlai berkisar antara 900 1600 Um.
Panjang serat mempengaruhi kualitas pulp dan kertas yang dihasilkan seperti pada sifat
ketahanan sobek, kekuatan tarik dan daya lipat. Semakin panjang serat maka pulp yang
dihasilkan memiliki kekuatan yang semakin tinggi (Pasaribu dan Tampubolon, 2007). Jika
dilihat dari turunan dimensi seratnya sebagai bahan baku, kayu gerunggang dan terentang
(darat dan rawa) termasuk dalam kelas II. Hal ini menggambarkan bahwa kedua jenis kayu
tersebut berdinding serat tipis hingga sedang dengan ukuran lumen agak lebar. Pada
proses pembuatan lembaran pulp serat akan mudah menggepeng. Ikatan antar serat dan
tenunnannya baik. Dapat diduga bila dilakukan pembuatan lembaran pulp untuk kertas
maka kemungkinan akan mempunyai keteguhan sobek, retak dan tarik yang sedang
(Junaedi dan Aprianis, 2010).

Kualitas Tanah pada Sebaran Alami Tegakan Gerunggang dan Terentang


Kualitas tanah dalam suatu ekosistem mencerminkan kemampuan tanah untuk dapat
berfungsi agar dapat diperoleh produktifitas tanaman yang berkesinambungan (USDA,
2001). Sedangkan menurut Setiadi et al (1992), kualitas tanah sangat kompleks sehingga
untuk mengukurnya dapat dilakukan melalui evaluasi sifat-sifat kimia, fisika dan biologi.
Hasil penelitian Suhartati et al (2010) yang meneliti kondisi dan kualitas tanah pada
sebaran alami jenis gerunggang dan terentang dapat dilihat pada Tabel 3.
Berdasarkan hasil analisis tanah di habitat alami jenis gerunggang dan terentang
rawa yaitu tumbuh pada kondisi tanah yang sifat fisiknya gambut dengan pH (sangat
masam), kandungan bahan organic (sangat tinggi), KTK ((tinggi), unsure hara makro (rendah
tinggi), kejenuhan basa (rendah), total fungi (sedang) dan respirasi (rendah). Sedangkan
untuk jenis terentang darat kondisi habiat alaminya adalah sebagai berikut : tanah dengan
sifat fisik (lempung berdebu atau liat berdebu), pH (sangat masam masam), kandungan
bahan organic (rendah sedang), kandungan hara makro (rendah tinggi), KTK (rendah
sedang), kejenuhan basa (rendah sedang), total fungi (rendah sedang), respirasi
(sedang).

Prospek Pengembangan Jenis Gerunggang dan Terentang di HTI Serat


Areal konsesi HPH HTI Pulp atau serat umumnya berupa lahan gambut yang
memiliki karakteristik antara lain pH yang sangat rendah atau masam, miskin kandungan
haranya serta kejenuhan basanya rendah. Dengan kondisi yang demikian hanya sedikit
sekali species tanaman yang dapat dikembangkan secara luas pada lahan gambut tersebut.
Di antara jenis unggulan yang saat ini sudah banyak dikembangkan oleh HPH HTI Pulp atau
serat yaitu jenis Acacia crassicarpa. Kendala yang saat ini dihadapi oleh jenis tersebut
adalah semakin menurunnya produktifitas dengan bertambahnya daur tanaman. Untuk
mengantisipasi kekurangan bahan baku bagi industri tersebut, maka diperlukan pencarian
jenis-jenis alternatif yang potensial untuk digunakan sebagai bahan baku pulp.
Berdasarkan paparan di atas, gerunggang dan terentang (darat maupun rawa)
merupakan jenis-jenis alternatif yang potensial sebagai bahan baku pulp yang dapat
dikembangkan di lahan gambut bila ditinjau dari aspek silvikulturnya, sifat kimia kayu,
dimensi serta turunannya dan juga berdasarkan potensi dan sebaran tegakan alam kedua
jenis tersebut. Untuk mendukung pengembangan kedua jenis tersebut secara luas
diperlukan peningkatan penelitian terutama pada seluruh aspek silvikulturnya.

323
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Tabel 3. Kondisi kesuburan tanah di bawah tegakan alami jenis gerunggang dan terentang

Lokasi /jenis lahan


Parameter Solok Selatan Dharmasraya Limapuluh Kota
(mineral) (gambut) (mineral)
Sifat Kimia
pH (H2O) 4,70 (M) 4,20 (SM) 4,60 (M)
pH (KCl) 4,00 (SM) 3,40 (SM) 3,90 (SM)
C organic (%) 2,28 (SD) 32,80 (ST) 1,48 (R)
N total (%) 0,25 (SD) 0,84 (ST) 0,11 (R)
C/N rasio 9,10 (R) 38,90 (ST) 13,50 (SD)
P tersedia (mg/kg) 7,40 (SR) 2,60 (SR) 0,90 (SR)
Kation dapat ditukar 7,05 9,83 4,43
- Ca 3,87 (R) 2,46 ( R) 2,34 (R)
- Mg 2,14 (T) 6,38 (T) 1,28 (SD)
- K 0,76 (T) 0,61 (T) 0,43 (SD)
- Na 0,28 (SD) 0,38 (SD) 0,38 (SD)
KTK (Meq/100g) 18,64 (SD) 34,29 (T) 14,73 (R)
Kejenuhan basa (%) 37,80 (SD) 28,70 (R) 30,10 (R)
Unsur mikro (ppm)
- Cu 0,80 0,20
- Zn 34,80 18,40
- Fe 31,40 47,90
- B 16,90 3,40
Kadar air (%) 19,36 79,60
Kadar Abu (%) - 49,40
Kadar serat (gr/10 cc) - 3,80
- AL +++
(meq/100g) 2,17
- H+
(meq/100g) 1,32

Sifat fisik
Tekstur
- Pasir (%) 11,30 Lempung 5,20 Liat
- Debu (%) 45,00 Berdebu 52,20 Berdebu
- Liat (%) 43,70 42,60
Warna tanah 5 YR 4/4 Coklat 5 YR 2,5/1 Kuning
Kemerahan kemerahan
Sifat Biologi
Total mikroorganisme 2,80 5,80 1,80
(SPK/gr.106)
Total fungi
(SPK/gr.104) 18,70 31,90 24,60
Respirasi (Kg
Tanah/hari) 34,46 26,61 30,17
C-mic (ppm)
179,20 136,72 133,60

Keterangan : M = masam, SM = sangat masam, SD =sedang, R =rendah,


SR =sangat rendah, T = tinggi, ST = sangat tinggi

324
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS

KESIMPULAN DAN SARAN

Jenis gerunggang dan terentang (darat dan rawa) mempunyai prospek yang baik
untuk dikembangkan di masa dating sebagai jenis alternative untuk bahan baku industry
pulp, ditinjau dari sifat kayu, dimensi serat dan turunannya serta kualitas pulp yang
dihasilkan. Namun demikian belum semua aspek teknik silvikultur dikuasai. Sehubungan
dengan hal tersebut, maka disarankan agar dilakukan penelitian yang lebih mendalam
terutama untuk aspek silvikulturnya yang meliputi perbenihan, budidaya, pemeliharaan,
pengaturan hasil dan pemanenan serta pemuliaannya. Untuk mempercepat hasil dan juga
peningkatan produktifitas jenis-jenis alternative sebagai bahan baku pulp maka perlu
dibangun demplot=demplot jenis tersebut secara luas dan dilakukan penelitian secara
integrative pada seluruh aspek pengelolaan hutan tanaman penghasil pulp.

DAFTAR PUSTAKA

Danu, A.A. Pramono, Nurhasybi., D.F. Djaman, N. Wahyuni, S. Muharam, H. Royani, N.


Nurohman, E. Supardi dan Abay. 2010. Teknik peningkatan produksi benih
tanaman hutanpenghasil pulp jenis mahang (M.hypoleuca), skubung (M.gigantea),
terentang (Cmapnosperma coriaceum). Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian
Teknologi Perbenihan Bogor. Tidak diterbitkan.
Junaedi, A dan Y. Aprianis. 2010. Sifat kayu geronggang sebagai jenis pulpable alternative
pada lahan gambut. Bulletin Hasil Hutan Vol.16 (1) . Pusat Litbang Teknologi Hasil
Hutan. Bogor.
Martawijaya, A. I.Kartasujana, K. Kadir dan S. Prawira. 1981. Atlas Kayu Indonesia .Jilid I.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan. Bogor.
Martawijaya, A. I.Kartasujana, K. Kadir dan S. Prawira. 2005. Atlas Kayu Indonesia .Jilid , II
dan III. Badan Litbang Kehutanan. Bogor.
Mindawati, N. 2007 a. Beberapa jenis pohon alternative untuk dikembangkan sebagai
bahan baku industry pulp. Mitra Hutan Tanaman 2(1) : 1-7. Pusat Penelitian Dn
dan Pengembangan Hutan Tanaman. Bogor.
Mindawati, N., R. Bogidarmanti,S. Rahmayanti, Y. Rochmayanto dan Sudarmalik. 2007 b.
Silvikultur Hutan Tanaman Kayu Pulp. Prosiding Workshop Sintesa Hasil Penelitian
Hutan Tanaman. Bogor. 14 Desember 2007. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Hutan Tanaman. Bogor.
Nurrachman, A dan T. Silitonga. 1972. Dimensi serat beberapa jenis kayu Sumatera
Selatan. Laporan No. 2. Lembaga Penelitian Hasil huatn. Bogor.
Pasaribu, R.A. dan A.P. Tampubolon. 2007. Status teknologi pemanfaatan serat kayu untuk
bahan baku pulp. Workshop Sosialisasi Program dan Kegiatan BPHPS Guna
Mendukung Kebutuhan Riset Hutan Tanaman Kayu Pulp dan jejaring Kerja. Pusat
Penelitian da Pengembangan Hasil Hutan. Bogor. (Tidak dipublikasikan).
Setyadi, Y, I, Mansur, S.W. Budi dan Ahmad. 1992. Mikrobiologi Tanah Hutan. Pusat Antar
Universitas Bioteknologi, Institut Pertanian Bogor.
Siregar, N; M, Omon; R, Kurniaty dan R, Damayanti. 2010. Teknik perbanyakan tanaman
secara generatif dan vegetatif jenis Mahang (Macaranga hypoleuca Rchb.f.et.Zoll.),
Skubung M.gigantea Mull.Arg.), Terentang (Campnosperma coriaceum (Jack.)
Hall.f.ex.Steen). Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Teknologi Perbenihan,
Bogor. Tidak dipublikasikan.
Soerianegara, I dan R.H.M.J Lemmens (eds). 2001. Plant Resources of South East Asia
Timber Trees. Major commercial timbers 5(1): 102-108. Prosea. Bogor.
Suhartati; A. Junaedi; Sunarto dan E. Nurrohman. 2010. Eksplorasi jenis lokal yang
berpotensi sebagai jenis alternatif kayu pulp untuk wilayah Sumatera Barat.
Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Hutan Penghasil Serat. Kuok. Tidak
diterbitkan

325
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Syafii, W dan Z. Siregar. 2006. Sifat kimia dan dimensi serat kayu mangium dari tioga
provenans. Journal of Tropical Wood and Technology 4(1): 28-32. Pusat Penelitian
Biomaterial. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Bogor.
[USDA] United States Departement of Agriculture. 2001. Guidelines for soil quality
asessment in conservation planning. The United States Departement of Agriculture.
Washington D C.

326
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS

ISOLASI GLUKOMANAN TANAMAN ILES-ILES


(Amorphophallus Muelleri Bl.) DARI LINGKUNGAN TUMBUH
DAN CARA BUDIDAYA YANG BERBEDA

Saefudin
Puslit Biologi-LIPI, Jl. Raya Bogor, km 46, Cibinong, Bogor

ABSTRAK

Iles-iles (Amorphophallus muelleri Bl.) adalah tanaman umbi yang telah diketahui
sebagai sumber karbohidrat. Subtansi penting yang terkandung dalam karbohidrat umbi
tanaman ini adalah glukomannan yang penting dalam industri obat sebagai bahan makanan
diet, pembuatan kapsul, dan bahan kosmetik. Percobaan bertujuan untuk mengetahui
kandungan glukomanan umbi dengan mengisolasi dari bahan pati umbi iles. Umbi tanaman
iles-iles liar merupakan hasil eksplorasi dari beberapa daerah yaitu dari hutan jati di Bagian
Kesatuan Pemangku Hutan (BKPH) Jember (Jatim), Banyumas (Jateng) dan tumbuh meliar
di hutan Camplong (NTT). Hasil isolasi menunjukkan, bahwa umbi yang memiliki
glukomanan tertinggi (42,25%) berasal dari umbi iles-iles asal BKPH Jember. Cara
membudidayakan tanaman dilakukan dengan membenihkan bulbil dari iles-iles asal Jember
yang memiliki kandungan glukomannan tertinggi. Bibit umur 3 bulan ditanam dengan cara
yang berbeda, yaitu sistem pertanian organik, pemberian pupuk kimia, dan ditebarkan
dengan perawatan minimal) di bawah tegakan jati dengan intensitas cahaya antara (50-60)%
di lahan LMDH Salamsari, BKPH Majenang, Banyumas Barat. Umbi dipanen setelah umur 3
tahun, dan hasil isolasi glukomanan tertinggi adalah umbi iles yang dibudidaya secara
organik (43,2%).

Kata kunci: glukomanan, lingkungan tumbuh, cara budidaya

PENDAHULUAN

Tanaman iles-iles (Amorphophallus muelleri Bl.) menjadi penting secara ekonomi,


karena permintaan ekspor yang cuckup banyak. Taksiran jumlah ekspor chip iles-iles
Indonesia yang diambil dari hutan pada tahun 1998 saja adalah 297 ton, dan meningkat
menjadi 518 ton pada tahun 2002 (Anonim, 2003). Jumlah ini masih sangat kecil
dibandingkan dengan ekspor dari Cina yang pada tahun 2004 saja sudah mencapai 200.000
ton dalam bentuk tepung halus, dengan harga sekitar 6 USD/kg.
Pasar ekspor iles-iles terbesar adalah ke Jepang. Yang digunakan untuk bahan
konyaku dan shirataki. Konyaku adalah sejenis jelly yang kaya akan serat dibuat dari
konyaku potato dan calcium hydroxide atau oxide calcium yang diekstrak dari kulit telur.
Sedangkan shirataki adalah mi tipis transparan dibuat dari konyaku. Keduanya merupakan
makanan Jepang yang bahan dasarnya adalah tepung iles-iles.
Umbi tanaman ini mengandung glukoman tinggi yang memiliki karakteristik
kandungan serat tercerna (tdf/total dietary fibre) tinggi dan membentuk gel yang kuat. Bahan
ini banyak dipakai oleh industri pangan untuk makanan fungsional dan diet, industri pakan
untuk hewan peliharaan dan industri farmasi. Bagian umbi dapat diolah menjadi chip
(keripik), dan tepung dengan berbagai tingkatan kasar sampai halus untuk memenuhi
kebutuhan ekspor.
Untuk meningkatkan ekspor tepung iles-iles Indonesia, maka perbaikan budidaya
masih diperlukan, termasuk kesesuaian lingkungan tumbuh yang dapat meningkatkan
produksi dan kualitas umbi, khususnya kadar glukoman. Selama ini kebutuhan ekspor
masih mengandalkan tanaman yang liar dan tanaman iles-iles yang budidaya dengan
perawatan minimal di hutan produksi Jawa Tengah dan Jawa Timur. Banyak petani menebar

327
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

benih atau bulbil, cukup ditanam sekali, maka selamanya petani kita bisa memanen terus-
menerus setiap tahun.
Pada bagian ujung batang semu tanaman iles-iles dapat ditemukan bulbil, yaitu alat
perbanyakan vegetatif yang pada musim hujan dapat tumbuh menjadi tambuhan baru.
Keyakinan banyak petani, selama pohon tegakan sebagai peneduh masih ada, tanaman
iles-iles akan terus hidup. Tanaman ini dapat memberikan nilai ekonomis, tanpa perlu
merawat, memupuk, atau menyiangi. Bila tanaman iles-iles dirawat lebih serius dan
maksimal, pemilihan bibit yang baik, maka akan dihasilkan umbi yang besar dan berkualitas
dengan kadar glukomanan lebih prima.
Informasi budidaya tanaman iles-iles masih terbatas, dan rekayasa genetika belum
dimulai, dan publikasi masih terbatas, sehingga produktivitas tanaman belum memuaskan
(Saefudin, 2007). Beberapa aspek agronomi seperti lingkungan tumbuh yang ideal, cara
tanam yang menghasilkan glukomanan tinggi masih perlu diteliti. Melalui percobaan ini
dapat diperoleh informasi teknologi budidaya dan proses pemisahan glukomanan dari umbi
iles-iles dari asal tumbuh dan cara budidaya yang berbeda.

METODA KERJA

Umbi tanaman iles dipeproleh melalui eksplorasi di tiga tempat berbeda, yaitu : desa
Camplong (NTT), desa Garahan, Jember (Jatim), dan Majenang, Kabupaten Cilacap
(Jateng). Ketiga tempat ini memiliki iklim, curah hujan, ketinggian dari permuakaan laut, dan
mikroklimat tumbuh iles-iles yang berbeda. Umbi segar hasil eksplorasi dicuci dan
dibersihkan, diiris tipis dan dijemur sampai kering oven (suhu 80oC, selama 24 jam),
menghasilkan kripik iles. Tahap selanjutnya ditumbuk dan diayak, sehingga diperoleh tepung
iles-iles yang halus.
Sebanyak 10 gr tepung halus dilarutkan dalam 250 ml air suling diaduk
menggunakan alat stirer selama 2-3 jam, selanjutnya didiamkan selama 30 menit, didekantir,
endapan dan filtrat diambil. Filtrat dimasukkan sentrifugal selama 20 menit, kecepatan
putaran 15X19 rpm, suhu 4oC. Filtrat diendapkan menggunakan alkohol (1:2), dan disaring.
Endapan dikeringkan pada suhu 80oC selama 3 jam, dihaluskan, sehingga diperoleh
glukomanan, dan selanjutnya diuji KLT.
Sebanyak 50 mg dilarutkan dalam 20 ml ditambahkan 5 ml HCl 2 N, direfluk pada
suhu 105oC selama 3 jam. Hasil hidrilisa sebagai fase diam, dan fase bergerak n-
butanol:pyridin:air (6:4:3). Sebagai blangko digunakan larutan glukosa, mannosa,
galaktomannan, glukomanan dan pati, masing-masing kadar 1%. Rf yang didapat glukosa
(0,56), mannosa (0,80) dan galaktoa (0,45).
Isolasi glokomanan pada umbi segar dilakukan sebagai pembanding. Umbi segar
diparut, ditambahkan air suling 500 ml diremas-remas 3 menit sampai kental, dan disaring.
Filtrat ditampung sampai larutan menjadi jernih. Gabungan filtrat yang diperoleh
ditambahkan 2 gram NaCl ke dalam filtrat, sehingga konsentrasi NaCl 0,05%, didiiamkan
selama 24 jam pada suhu 4oC, selanjutnya didekantir. Filtrat diambil dan dikeringkan
sebagai pati iles-iles, dan diuji lanjutan seperti pada proses pertama, sampai dengan
pengujian secara KLT.
Glukomanan hasil pengujian umbi yang paling tinggi digunakan sebagai dasar
ujicoba pengembangan budidaya iles-iles selanjutnya. Perbanyakan bibit diambil dari bulbil
(alat perbanyakan vegetatif) iles-iles asal Jember (Ja-tim) yang memiliki kadar glukomanan
tinggi. Bulbil dipanen dari bagian tangkai daun iles yang muncul pada setiap ketiak daun.
Bulbil disemaikan dalam polibag kecil yang diisi media campuran tanah dan kompos
perbandingan 1:1. Setelah umur tiga bulan, bibit siap ditanam di lahan LMDH Salam Sari,
BKPH Majenang (Ja-teng).

328
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS

Umbi iles

Diiris, dikeringkan, digiling mjd Diparut, menjadi bubur+air,


serbuk, dlm erlenmeyer+air, diperas, disaring, diamkan 24
diaduk, dekantir-dipisahkan jam, dekantir- dipisahkan

Pati iles-iles Filtrat Pati iles-iles

Disentrifuge

Supernatan

Larutan sisa Diendapkan Glukomanan

Lahan budidaya dipilih agak miring, lebih kurang 20 derajat untuk menghindari
genangan air. Tanah dibersihkan dari gulma, dibuat lubang sedalam kurang lebih 15 cm
dengan jarak tanam 50 x 100 cm atau sebanyak 20 ribu tanaman per ha. , di bawah pohon
pelindung jati (intensitas cahaya 50%). Petak-petak percobaan (30 petak) diberi perlakuan
awal (20 ton/ha pupuk kompos atau 1 kg per lubang tanam, 500 kg campuran NPK, dan
kontrol tanpa pemupukan), dirancang secara acak lengkap. Penanaman bibit tanaman iles-
iles dilakukan pada awal musim hujan. Lahan percobaan, sebelumnya dipupuk bioranik
dengan memanfaatkan mikroba pelarut fosfat Enterobacter sp, Pseudomonas sp, dan
Candida sp. Sebagian lahan lainya adalah bekas budidaya tumpang gilir dengan kacang-
kacangan yang diinokulasi dengan Rhizobium penambat nitrogen.
Budidaya tanaman iles-iles mengikuti standar budidaya organik meliputi penyiapan
benih, persiapan lahan, penyulaman, pemupukan, pemisahan anakan, pengendalian gulma,
hama dan penyakit serta pasca panen. Pupuk kompos dibuat dari limbah pertanian dan
sampah organik dari lingkungan sekitar hutan. Metoda pemeliharaan tanaman menggunakan
bahan alami dan alat konvensional dengan cara yang biasa dilaksanakan oleh petani hutan
setempat atau diadopsi dari pengalaman petani lain tentang konsep pengendalian hama dan
penyakit.
Tanaman iles-iles tidak memerlukan pemeliharaan secara khusus, tetapi tanah di
sekitar batang semu perlu digemburkan, dan gulmanya dibersihkan. Pada musim hujan, iles-
iles harus dihindarkan dari penggenangan air, karena dapat terkena hama penyakit.
Penyemprotan pestisida tidak dilakukan melainkan hanya dengan menjaga sanitasi.
Penen umbi, pengamatan dan isolasi glukomanan dilakukan pada umur 3 tahun,
atau setelah tiga periode tumbuh, ketika daun tanaman mulai menguning, layu atau mati
pada musim kemarau ke-3 yang merupakan tanda bahwa umbi telah tua dan kadar
glukomanan telah terakumulasi secara maksimal.

329
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Eksplorasi glukomanan
Hasil penelitian pendahuluan, glukomanan dapat dipisahkan dari pati umbi segar
berdasarkan prinsip gaya sentrifugal kecepatan 17X 1000 rpm, jangka waktu 10 menit. Pati
dari umbi iles-iles berbentuk suspensi dengan glukomanan. Penambahan garam elektrolit
seperti NaCl (Anzel, 1989) menyebabkan stabilitas suspensi terganggu, dan mengendap
secara perlahan. Pati tidak larut dalam air, sehingga memudahkan pengendapan,
sedangkan glukomanan terlarut dalam air dan membentuk larutan kental, melalui
penambahan kecepatan putaran, glukomanan terlarut mudah mengendap. Penambahan
kecepatan putaran (sentrifugal) menyebabkan berat molekul besar lebih cepat mengendap.
Pengendapan glukomanan juga dipengaruhi kelarutan zat tersebut. Pati tidak larut dalam air
sehingga mudah mengendap, sedangkan glukomanan akan larut dan membentuk larutan
kental. Penambahan gaya kecepatan putaran sentrifugal menyebabkan zat yang tidak larut
akan mudah mengendap (Rabek, 1983).
Isolasi glukomanan dari hasil ekplorasi umbi dar ke-tiga tempat tumbuh berbeda
(Camplong-NTT, Jember-Jatim dan Cilacap-Jateng) menunjukkan kadar glukomanan umbi
berbeda. Kada glukomanan tertinggi adalah umbi iles segar dari desa Garahan, Jember
yaitu 42,30% dan, bila diisolasi dari keripik atau tepung sedikit berbeda yaitu 42,17%. Kadar
glukomanan umbi hasil eksplorasi dari daerah lain sedikit lebih rendah yaitu: Nusa Tenggara
Timur (NTT) adalah 42,05%, dan umbi asal Cilacap (Jateng yaitu 42,10% (Tabel 1).
Menurut Outsuki (1968), tinggi rendahnya kadar glukomanan dari umbi iles dipengaruhi oleh
berbagai faktor antara lain, jenis tanaman, umur tanaman, dan lama waktu setelah panen.
Pada usia panen umbi umur 2 tahun, iles-iles yang dibudidaya di bawah naungan pohon
mahoni mengandung glukomanan 30,1% (Saefudin, 2008).
Dari hasil pengamatan lapang, ketiga tempat tumbuh tanaman iles-iles berbeda
secara mencolok dalam hal iklim, curah hujan dan tipe tanah, serta vegetasi di sekitarnya.
Saefudin (2008) melaporkan, bahwa tanaman iles-iles yang dibudidaya pada lingkungan
tumbuh yang berbeda mempengaruhi pertumbuhan, produksi dan kualitas umbi iles-iles.
Selanjutnya, kadar glukomanan umbi juga sangat dipengaruhi jenis atau kultivar yang
berlainan.
Pengaruh lingkungan agronomi dan variasi kadar glukomanan merupakan informasi
yang penting bagi para pemulia tanaman iles-iles. Sayangnya, informasi tentang penelitian
kultivvar dan kualitas umbi iles-iles masih terbatas. Pasar internasional produk iles-iles
sangat mempengaruhi kualitas produk iles dan kadar glukomanan.

Tabel 1. Isolasi glukomanan umbi hasil ekplorasi

Cara Isolasi Asal lingkungan tumbuh


Camplong (NTT) Jember (Jatim) Majenang
(Jateng)
Umbi basah (%) 42,05 42,30 42,10
Cara kering/tepung (%) 42,01 42,17 41,71

Tabel 2. Produksi dan glukomanan umbi hasil budidaya

Rata-rata 10 ulangan Cara budidaya


Pupuk organik Pupuk kimia Sistem tebar
Produksi (kg/umbi) 5,46c 3,72b 2,24a
Kadar glukomanan (%) 43,20 40,40 40,85

Keterangan: nilai yang diikuti huruf yang berbeda, sangat nyata dalam uji Duncan pada
taraf 5%

330
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS

Glukomanan Umbi Hasil Budidaya


Tanaman iles yang memiliki kadar glukomanan tinggi yaitu asal Jember dbudidaya di
lahan lembaga masyarakat desa hutan (LMDH) Salam-sari BKPH Majenang, Cilacap. Petani
hutan di desa tersebut secara rutin membudidayakan hasil hutan non kayu seperti umbi-
umbian untuk pangan, minyak nilam, sereh, kapolaga, empon-empon dan Amorphophallus
sp. Petani hutan telah biasa membudidaya dan merawat berbagai jenis tanaman obat
sebagai hasil hutan non kayu bersinergi dengan Perhutani.
Pertumbuhan tanaman merata di awal penanaman. Kadang-kadang dijumpai
gangguan dari jamur Sclerotium sp sehingga daun ada yang layu, tetapi masih terkendali.
Ulat Aracene sp dan cacing Heterodera marione juga dijumpai di beberapa tanaman tetapi
jumlahnya tidak banyak, sehingga mempengaruhi kualitas umbi, terutama kadar
glukomanannya. Kondisi tersebut tidak perlu dilakukan penyemprot fungisida (Rydomil),
insektisida (Thiodan), maupun nematisida (Furadan 3G).
Pengaruh cara budidaya sangat mencolok mempengaruhi produksi dan kadar
glokomanan umbi iles (Tabel 2). Secara fisik tanaman iles yang dibudidaya dengan ditebar
tanpa pemupukan memiliki ukuran lebih pendek, ukuran diameter batang semu yang lebih
kecil dibanding pemupukan kompos organik maupun perlakuan pupuk kimia. Pada awal
musim kemarau tahun ketiga dilakukan panen perdana. Hasil penimbangan terhadap 10
umbi dari masing-masing perlakuan cara budidaya, maka bobot umbi rata-rata paling kecil
adalah cara budidaya dengan sistem tabur bulbil, yaitu 0,24 kg. Pada akhir musim kemarau,
ukuran daun tanaman iles yang tidak dipupuk nampak lebih kecil dibanding tanaman iles
yang dipupuk 20 ton per ha kompos atau 1 kg, maupun pemupukan 600 kg NPK. Tanah di
sekitar tanaman iles yang diberi pupuk organik juga nampak lebih subur dengan banyaknya
gulma penggannggu, sehingga diperlukan penyiangan lebih banyak di sekitar tanah bagian
batang semu.
Umbi iles-iles adalah akumulasi dari produk komplek metabolisme tanaman iles-iles
yang dimulai pada usia tertentu sampai batas tertentu pula. Pembentukan umbi sangat
dipengaruhi oleh interaksi antara tanaman iles dengan lingkungan mikro, termasuk cara-cara
budidaya dan pemberian macam pupuk di lahan budidayanya. Dari hasil panen di umbi di
lapangan menunjukkan, bahwa cara budidaya secara organik dengan penambahan kompos
20 ton ha atau 1 kg kompos per lubang tanam adalah hasil yang terbaik dengan rata-rata
5,46 kg/umbi. Keuntungan menggunakan pupuk kompos adalah telah diperkaya dengan
bakteri pelarut fosfat, sehingga mudah diserap tanaman. Keuntungan lainnya adalah, bahwa
pupuk kompos memberikan lingkungan tanah menjadi lebih gembur, sehingga aerasi
menjadi lebih sempurna untuk pertumbuhan umbi yang maksimum. Dibandingkan dengan
pemanenan umbi iles-iles dari lahan kelompok tani di bawah peneduh kopi di Perhutani Unit
Jember yang hanya 0,31 kg per umbi, maka budidaya secara organik dengan pemberian
kompos yang diperkaya bakteri pelarut fosfat adalah lebih tinggi. Penyebabnya, para petani
di Jember masih sering memanen umbi lebih muda antara 2-3 tahun, sehingga hasil per
hektarnya menjadi lebih rendah (Saefudin, 2007).
Isolasi glukomanan dari umbi hasil budidaya secara organik juga menunjukkan
kualitas terbaik dibanding cara pemupukan kimia dan cara tebar bulbil. Kandungan
glukomanan dengan pemupukan 20 ton/ha kompos yang diperkaya bakteri pelarut fosfat
adalah yang terbaik yaitu: 43,20%, dibanding cara pemupukan kimia 600 kg NPK/ha hanya
40,40%, dan cara tebar 40,85%. Kadar glukomanan umbi sangat ditentukan oleh umur
panen, tetapi juga ditentukan oleh metoda isolasinya (Chairul, 2006). Oleh karena itu, panen
umbi iles-iles, sebaiknya dilakukan pada keadaan kadar glukomanan umbi sudah
maksimum, yaitu setelah tanaman memasuki tiga periode tumbuh dan batang semu terkulai
dengan helaian daun berwarna kuning. Menurut Sufiani (1993), kadar glukomanan menjadi
salah satu syarat kualitas ekspor`tepung iles-iles, kadar glukomanan minimal adalah 40%.

331
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

KESIMPULAN

Glukomanan umbi iles-iles diperoleh melalui metoda isolasi atau pemisahan


berdasarkan gaya sentrifugal, kecepatan 17X1000rpm, selama 10 menit pada suhu 4oC.
Pengendapan glokomanan menggunakan bahan etanol dan isopropanol (perbandingan 2:3)
memberikan hasil yang paling baik.
Hasil isolasi glukomanan tertinggi berasal dari umbi iles-iles hasil eksplorasi dari
Jember dengan glukoman 42,25% dengan bahan umbi segar. Isolasi dari bahan tepung
kering tidak beda mencolok dibanding isolasi glokomanan dari bahan umbi segar yaitu
42,20%.
Budidaya iles-iles hasil eksplorasi secara organik dapat meningkatkan produksi dan
kualitas umbi iles-iles. Pemupukan 20 ton/ha kompos yang diperkaya bakteri pelarut fosfat,
menghasilkan bobot rata-rata 5,46 kg per umbi, dan kandungan glukomanan 43,20%.

UCAPAN TERIMAKASIH

Penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada Nina Khotiman dan Prof. DR


Khairul, Laboratorium Fitokimia LIPI yang telah banyak membantu dalam persiapan bahan,
analisa, dan konsultasi sampai terbitnya penulisan paper ini.

DAFTAR PUSTAKA

Ansel H C. 1989 Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Edisi IV. Universitas Indonesia. UI
Press, Jakarta 399-466.
Arifin, M.A. 2001. Pengeringan Keripik Umbi Iles-iles secara Mekanik untuk
Meningkatkan Mutu Keripik Iles. [Tesis]. Bogor: Teknologi Pasca Panen. PPS IPB.
Jansen, P.M.C.: C. Van Der Wilk And W.L.K. Hetterscheid. Amorphophallus Blume ex.
Decaisne. In M. Flash and F. Rumawas. (Eds). 1996. PROSEA: Plant Resource of
South-East Asia No. 9. Pant Yield non-seed Carbohydrates. Backhuis Publishers,
Leiden. Pp. 45-50.
Irawati, T. 1985. Standar dan Metoda Analisis Iles-iles. [Karya Ilmiah]. Pusbinlat
Idustri Sekolah Analisis Kimia Menegah Atas, Departemen Perindustrian, Bogor. Tidak
dipublikasi.
Outsuki, T. 1968. Studies on reserve carbohydrates of flour Amorphophallus species with
special reference to mannan.
Purwadaria, H. K. 2001. Pengembangan Proses Fraksinasi Untuk Meningkatkan Kualitas
Tepung Iles-iles (Konjac Flour) Untuk Ekspor. Laporan Akhir Tahun 2001. FAPETA,
IPB, Bogor.
Rabek, J.F. 1983. Experimental Methods in Polymer Chemistry of Plant Gums and
Mucilages. Champman an Hall LTD, London. 100-141.
Saefudin. 2008. Percobaan Budidaya Amorphophallus muelleri Bl. di Bawah Tegakan Pohon
Yang Berbeda. Prosiding Seminar Nasional MAPEKI XI, Palangka Raya, Kalteng 8-
10 Agt. 2008. Halaman 997-1001.
Soemarwoto. 2009. Beberapa Aspek Agronomi Iles-iles (Amorphophallus muelleri Bl) Tesis
Sekolah Pasca Sarjana IPB, Bogor.
Syaefullah, M., 1990. Studi Karakteristik Glukomanan dan Sumber Indegenous Iles- iles
(Amorphophallus oncophyllus) dengan Variasi Proses Pengeringan dan Dosis
Perendaman. [Tesis]. Fakultas Pasca Sarjana IPB. Bogor.
Sufiani, S. 1993. Iles-iles (Amorphophallus sp.), Jenis, Syarat Tumbuh, Budeidaya. Dan
Standard Mutu Ekspornya. Media Komunikasi Penelitian dan Pengembangan
Tanaman Industr. 12: 11-16.

332
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS

PENGUJIAN SIFAT-SIFAT GETAH JELUTUNG


HUTAN TANAMAN INDUSTRI (HTI)

Totok K Waluyo1 dan Yoharmus Syamsu2


1
Pusat Litbang Keteknikan kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
(PUSTEKOLAH), Jln. Gunung Batu N0. 5. Bogor.
Email : waluyo60@yahoo.com
2
Balai Penelitian Teknologi Karet. Jln Salak No. 1 Bogor

ABSTRAK

Getah jelutung termasuk salah satu produk hasil hutan bukan kayu (HHBK) asli
Indonesia yang cukup potensial. Pemanfaatan getah tersebut sudah diusahakan sejak tahun
1800an berasal dari hutan alam di Sumatera dan Kalimantan. Keberadaan jelutung di hutan
alam sudah sangat terbatas sehingga ada usaha pembangunan hutan tanaman industri
(HTI) jelutung dimana getahnya dapat dimanfaatkan sebelum HTI tersebut menghasilkan
produk berupa kayu. Oleh karena itu dilakukan pengujian sifat-sifat getah jelutung HTI.
Pengujian sifat sifat getah jelutung terdiri dari kadar karet kering (%), kadar jumlah padatan
(%), Kadar bahan bukan karet (%), kadar air (%), kadar nitrogen (%), kadar abu (%), kadar
kotoran (%) berdasarkan Standar Nasional Indonesia Rubber (SNI) 1903-2000, sedangkan
kadar ekstrak aseton (%) berdasar ASTM D 297-93 (Standard Test Methods for Rubber
Products-Chemical Analysis).
Hasil pengujian menunjukkan bahwa etah jelutung HTI memiliki sifat-sifat: kadar karet
kering 14,4%, kadar jumlah padatan 17,3%, kadar bahan bukan karet 2,9%, kadar air
46,20%, kadar abu 0,04%, kadar kotoran 0,24%, kadar nitrogen 0,07% dan kadar ekstrak
aseton 52,71%.

Kata kunci : getah jelutung, HTI, sifat-sifat, SNI, ASTM.

PENDAHULUAN

Jelutung (Dyera sp) merupakan tanaman hutan asal Indonesia yang tersebar di
Sumatera dan Kalimantan. Jelutung merupakan salah satu pohon serbaguna, kayunya
dapat digunakan untuk kayu lapis, patung, ukiran, pembungkus, alat gambar, potlot,
moulding (Martawijaya. et. al., 1981), sedangkan getahnya sebagai sumber bahan baku
penawar permen karet, ban mobil dan lain-lain (Partadiredja dan Koamesakh, 1973).
Getah jelutung adalah salah satu produk hasil hutan bukan kayu (HHBK) yang
termasuk dalam kelompok tanin, bahan pewarna dan getah (PerMenhut No : P.35/Menhut-
II/2007) menjadi sumber pendapatan yang cukup potensial bagi masyarakat sekitar hutan
yang merupakan salah satu mata pencaharian. Pemanfaatan/Kegiatan penyadapan getah
jelutung ini sudah dimulai sebelum getah karet (Hevea brasiliensis) masuk ke Asia Tenggara
sekitar tahun 1930an ( Muhammad, 1994). Akan tetapi getah karet justru menjadi lebih
berkembang dibanding getah jelutung dengan makin luasnya perkebunan karet, sedangkan
getah jelutung masih mengandalkan pohon yang tumbuh alami di hutan dan keberadaannya
saat ini semakin terbatas.
Indonesia pernah menjadi negara pengekspor getah jelutung terbesar di dunia.
Ekspor getah jelutung Indonesia pada tahun 1990 mencapai 6500 ton, namun pada tahun-
tahun berikutnya terus berkurang hingga pada tahun 1993 hanya sebesar 1182 ton (Coppen,
1995). Hal ini terkait dengan keberadaan pohon jelutung di hutan alam sebagai penghasil
getah yang semakin berkurang jumlahnya akibat penebangan dan konversi lahan gambut
menjadi areal perkebunan dan pertanian serta kebakaran hutan. Pohon yang masih ada pun
sebagian kondisinya sudah rusak
Pemerintah dalam hal ini Departemen Kehutanan melalui program pembangunan
hutan tanaman industri (HTI) telah berhasil membangun HTI seluas 3,4 juta ha hingga tahun

333
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

2005. Salah satu jenis yang ditanam adalah jelutung (Direktorat Jenderal Bina Produksi
Kehutanan 2008). Hal ini merupakan suatu peluang pemanfaatan getah yang dihasilkan
sehingga dapat menjadi nilai tambah dari pembangunan HTI yang semula hanya bertujuan
untuk pemanfaatan kayunya. Oleh karena itu dalam rangka memanfaatkan getah jelutung
dari HTI perlu dilakukan penelitian/pengujian sifat-sifat getah jelutung HTI yang dihasilkan
karena diduga ada perbedaan dengan sifat-sifat getah jelutung yang berasal dari hutan
alam.

BAHAN DAN METODE

Bahan penelitian utama adalah getah jelutung (Dyera polyphylla Miq. Steenis) yang
berasal dari tegakan pohon jelutung HTI PT. Dyera Hutan Lestari yang berlokasi di
kabupaten Muaro Jambi, propinsi Jambi. Bahan kimia yag digunakan terpentin, aseton,
asam sulfat, air suling, asam boraks, dan lain-lain.

Gambar 1. Lokasi penelitian lapangan di areal HTI


PT. Dyera Hutani Lestari tahun tanam 93/94

Metode yang digunakan untuk menganalisis/menguji sifat-sifat getah jelutung yaitu


kadar karet kering (%), kadar jumlah padatan (%), Kadar bahan bukan karet (%), kadar air
(%), kadar nitrogen (%), kadar abu (%), kadar kotoran (%) berdasarkan Standar Nasional
Indonesia Rubber (SNI) 1903-2000, sedangkan kadar ekstrak aseton (%) berdasar ASTM D
297-93 (Standard Test Methods for Rubber Products-Chemical Analysis). Masing-masing
sifat getah jelutung merupakan hasil rata-rata dari 2 ulangan. Analisa dengan FTIR (Fourier
Transform Infrared) untuk mengetahui gugus fungsi getah jelutung. Analisa ini dilakukan
dengan cara mencampurkan getah jelutung dengan KBr.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Jumlah polimer karet yang terdispersi dalam contoh getah jelutung ditunjukkan oleh
kadar karet kering getah tersebut yakni sekitar 14,4%, sementara kadar jumlah padatan total
adalah sekitar 17,3%. Selisih antara kadar jumlah padatan dan kadar karet kering
menunjukkan kadar bahan bukan karet yang terdapat dalam getah jelutung. Kadar bahan
bukan karet ini diperkirakan sebagian besar adalah bahan yang bersifat resin dan bukan
protein yang lazim terdapat dalam getah karet Hevea brasiliensis. Penggunaan asam format
untuk penggumpalan getah jelutung tidak dapat dilakukan dengan baik dan tidak
menghasilkan koagulum yang kokoh, oleh karena itu koagulum digumpalkan dengan
penambahan aseton teknis. Fakta ini menunjukkan bahwa bahan bukan karet yang dapat
menstabilkan getah jelutung bukan protein, sehingga mekanisme penggumpalannya
berbeda dengan lateks Hevea brasiliensis.

334
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS

Tabel 1. Hasil pengujian getah jelutung HTI

Hasil analisis
No. Parameter analisis
Contoh 1 Contoh 2 Rata-rata
1. Kadar karet kering, % 15,33 13,4 14,36
2. Kadar jumlah padatan, % 18,40 16,13 17,26
3. Kadar bahan bukan karet, % 3,07 2,73 2,90

Rata-rata nilai kadar air getah jelutung dari HTI adalah 46,20% (Tabel 2). Nilai
tersebut lebih rendah dibanding nilai kadar air getah jelutung dari hutan alam yaitu 70%
(Williams 1963). Tingginya kadar air getah jelutung dari hutan alam terkait dengan waktu
koagulasi getah jelutung alam yang lebih lama dibandingkan dengan getah jelutung HTI.
Untuk mempercepat proses koagulasi itulah, biasanya penyadap menambahkan air sebelum
getah direbus.

Tabel 2. Hasil analisis sifat jelutung

Hasil analisis
No. Parameter analisis Sampel Sampel Sampel Rata-
1 2 3 rata
1 Kadar air, % 43,64 48,50 46,45 46,20
2 Kadar abu, % 0,07 0,02 0,04 0,04
3 Kadar kotoran, % 0,19 0,29 0,25 0,24
4 Kadar nitrogen, % 0,07 0,07 0,08 0,07
5 Kadar ekstrak aseton, % 55,72 50,20 52,22 52,71

Kadar abu menunjukkan banyaknya mineral yang terkandung dalam getah. Kadar
abu getah jelutung HTI berkisar 0,02-0,07% dengan rata-rata 0,04% (Tabel 2). Kadar abu
getah jelutung ini ternyata lebih rendah dibandingkan nilai kadar abu getah karet yang
mencapai 0,5-1,0% (Jayanthy dan Sankaranarayanan, 2005). Dengan demikian getah
jelutung sedikit sekali mengandung bahan-bahan mineral.
Kotoran getah jelutung dapat berupa serbuk atau potongan kecil kulit pohon, daun,
dan lain-lain. Kadar kotoran getah jelutung hasil sadapan dari HTI berkisar 0,19-0,29%
dengan rata-rata 0,25% (Tabel 2). Nilai ini lebih rendah dibandingkan dengan kadar kotoran
getah jelutung hutan alam asal Jambi yang mencapai 3,53% (Waluyo, 2003). Besar kecilnya
kadar kotoran getah dapat dipengaruhi oleh keterampilan, kehati-hatian dan kepedulian
penyadap terhadap getah hasil sadapan. Tingginya kadar kotoran dapat dihindari apabila
tidak membiarkan adanya kotoran dalam wadah penampung getah pada waktu penyadapan.
Hasil pengukuran kadar nitrogen dan kadar protein getah jelutung HTI dicantumkan
pada Tabel 6. Dari tabel tersebut dapat diketahui bahwa rata-rata kadar nitrogen dan protein
getah jelutung HTI berturut-turut sebesar 0,07% dan 0,46%. Nilai ini lebih rendah
dibandingkan dengan nilai sejenis pada getah karet, tetapi sedikit lebih tinggi dibandingkan
dengan kadar nitrogen dan protein getah jelutung hutan alam asal Kalimantan (0,03% dan
0,16%) maupun asal Kedah, Malaysia (0,03% dan 0,16%). Kadar nitrogen dan kadar protein
getah karet tergolong tinggi yaitu 0,6% (nitrogen) dan 2-3% (protein). Tingginya kadar
protein getah karet mengakibatkan getah tersebut tidak dapat digunakan sebagai bahan
makanan ataupun sebagai campuran makanan karena bersifat alergen terhadap manusia
(Yoharmus 2007). Hal ini berbeda dengan getah jelutung. Timbulnya bau yang kurang enak
di industri-industri pengolahan getah karet disebabkan adanya proses pembusukan protein
yang terkandung dalam getah.

335
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Tabel 3. Perbandingan kadar nitrogen dan kadar protein antara getah jelutung HTI,
getah jelutung hutan alam, dan getah karet

Getah Jelutung
Getah Jelutung HTI Hutan Alam* Getah Karet
(Dyera polyphylla) (D. costulata dan D. (Hevea brasilliensis)
polyphylla)
No.
Kadar Kadar Kadar Kadar Kadar Kadar
nitrogen protein nitrogen protein nitrogen protein
(%) (%) (%) (%) (%) (%)
1 0,07 0,44 -- -- -- --
2 0,07 0,44 0,0251 0,1561 0,6** 2-3***
3 0,08 0,50 0,0262 0,1622 -- --

Rataan 0,07 0,46

Keterangan: * Georgi (1929), ** Nwaroh and Enyiegbulam (1998), *** Jayanthy dan
Sankaranayaranan (2005), 1 berasal dari Kalimantan, dan 2 berasal dari
Kedah

Berdasarkan hasil perhitungan sebagaimana Tabel 2 di atas diketahui bahwa kadar


ekstrak aseton getah jelutung HTI berkisar 50,20-55,72% dengan rata-rata 52,71%.
Meskipun nilai ini lebih rendah dibandingkan dengan kadar resin getah jelutung dari hutan
alam yang mencapai 77,8% (Williams 1963), angka ini menunjukkan bahwa resin didalam
getah jelutung HTI cukup tinggi. Nilai ini bahkan sangat tinggi bila dibandingkan dengan
kadar resin getah karet yang hanya 1,5-3,5% (Jayanthy dan Sankaranarayanan 2005).
Tingginya kandungan resin dalam getah jelutung inilah yang menyebabkan koagulumnya
tidak kokoh atau rapuh dan mudah dipatahkan dengan tangan. Berbeda dengan lateks yang
lentur.
Spektrum FTIR getah jelutung adalah seperti dipaparkan pada Gambar 1. Tampak
bahwa puncak-puncak serapan gugus fungsi dari polimer, cis-poliisoprena, yang terdapat di
dalam getah jelutung serupa dengan puncak-puncak serapan gugus fungsi polimer karet
alam H. brasiliensis (Gambar 2). Namun vibrasi ulur dan vibrasi tekuk gugus NH tidak
terlihat pada spektrum getah jelutung. Ini berarti bahwa kadar protein di dalam karet jelutung
memang rendah. Selain itu puncak serapan gugus karbonil pada daerah bilangan
gelombang 1700 cm-1 tidak tampak pada getah jelutung, dengan demikian diperkirakan
pemurnian getah jelutung akan lebih mudah dibandingkan dengan karet alam. Informasi ini
merupakan hal yang sangat berguna untuk penelitian selanjutnya, khususnya untuk
melakukan studi kopolimerisasi molekul karet alam terhadap rantai utama dari cis-
poliisoprena yang berbobot molekul rendah, agar memperoleh produk-produk modifikasi
karet alam yang bermanfaat dan bernilai komersial.

336
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS

Gambar 1. Spektrum inframerah getah jelutung

Gambar 2. Spektrum inframerah karet H. brasiliensis

KESIMPULAN

Sifat-sifat getah jelutung HTI yang diteliti relatif sama dengan sifat getah jelutung dari
hutan alam tetapi sangat berbeda dibandingkan dengan sifat getah karet alam (Hevea
brasiliensis). Getah jelutung HTI memiliki sifat-sifat: kadar karet kering 14,4%, kadar jumlah
padatan 17,3%, kadar bahan bukan karet 2,9%, kadar air 46,20%, kadar abu 0,04%, kadar
kotoran 0,24%, kadar nitrogen 0,07% dan kadar ekstrak aseton 52,71%.

DAFTAR PUSTAKA

ASTM. 1997. Standard Test Methods for Rubber Product-Chemical Analysis. D 297-93.
Easton, MD. USA.
Badan Standardisasi Nasional. 2000. Standard Indonesian Rubber (SIR) SNI 06.1903-
2000. Jakarta.
Coppen, J.J.W. 1995. Gum, resins, and latexes of plant origin. Non Wood Forest Products.
No.6. FAO, Roma.
Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan. 2007. Pembangunan Hutan Tanaman
Industri. http://www.dephut.go.id/HTI . Diakses tanggal 15 Maret 2008.
Eaton, B.J.; C.D.V. Georgi and G.L. Teik. 1926. Jelutong. The Malayan Agricultural Journal
XIV(9) : 275- 285
Georgi, C.D.V. 1929. Jelutong. The Malayan Agricultural Journal XVII(5) : 101-117
Jayanthy, T.and P.E. Sankaranarayanan. 2005. Measurement of Dry Rubber Content in
Latex Using Microwave Technique. Measurement Science Review, 5(3) : 50 - 54

337
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Martawijaya, A. 1990. Sifat Dasar Beberapa Jenis Kayu yang Berasal dari Hutan Tanaman
dan Hutan Alam. Proceedings Diskusi Hutan Tanaman Industri. Badan Litbang
Kehutanan. Jakarta : 268-298.
Martawijaya, A.; I. Kartasujana; K. Kadir dan S.A. Prawira. 2005. Atlas Kayu Indonesia.
Badan Penelitian Dan Pengembangan Kehutanan, Departemen Kehutanan. Bogor.
Muhammad, N. 1994. Selected Tree Species for Forest Plantation in Peninsular Malaysia :
A Preliminary Consideration, Forest Research Institute Malaysia. Research Pamphlet
N0. 116.
Nwaroh, K.O. and M.E. Enyiegbulam. 1998. Enhancement of Resistance to Oxidation
Degradation of Natural Rubber Through Latex Degradation. Chinese Journal of
Polymer Science, 16(2) : 170 175.
Partadiredja, S. dan A. Koamesakh. 1973. Beberapa Catatan tentang Getah Jelutung di
Indonesia. Proyek Penyusunan Kertas Kerja Hasil Hutan Non Kayu, Direktorat
Jenderal Kehutanan. Seri No. IX.
Waluyo, T.K. 2003. Perbandingan Sifat Fisiko-kimia Beberapa getah Jelutung (Dyera sp.)
Olahan. Makalah Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Penelitian dan Pengembangan
Kehutanan Sumatera dalam Mendukung Pengelolaan Hutan Lestari. Tanggal 17
Desember 2003 di Medan.
Williams, L. 1963. Economic Botany : Laticiferous plants of economic importance IV,
Jelutong (Dyera spp.). The New York Botanical Garden. Baltimore, Maryland : 110-
126
Yoharmus, S. 2007. Karet jelutung. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Teknnologi
Karet, Bogor.

338
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS

KETERBASAHAN DAN SIFAT KIMIA


EMPAT JENIS KAYU KALIMANTAN

Evy Wardenaar, Hikma Yanti, dan Yeni Mariani


Star Pengajar Jur. Kehutanan Fakultas Kehutanan Universitas Tanjungpura,
E-mail : e_wardenaar@yahoo.com

ABSTRAK

Bahan baku industri pengolahan kayu dewasa ini menurun jumlah dan diameternya,
sedangkan jenis-jenis kayu tidak komersial banyak belum diketahui sifat-sifatnya. Jenis kayu
yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah jenis kayu Kalimantan yang meliputi jenis
terentang, pisang-pisang, kumpang dan lilin-lilin yang dipotong pada bagian pangkal, tengah
dan ujung. Pengujian sifat kayu berpedoman pada standar ASTM dan menggunakan
rancangan acak lengkap dengan percobaan faktorial.
Hasil penelitian menujukkan bahwa kandungan ekstraktif larut air panas dan larut
alcohol benzene tertinggi pada jenis kayu pisang-pisang (pangkal 6,63% dan pangkal
6,15%), kandungan holoselulosa dan -selulosa tertinggi pada jenis kayu terentang (tengah
85,98% dan pangkal 47,06%) serta sifat keterbasahan tertinggi pada kayu kumpang
(pangkal 1719,2 mm). Interaksi antara faktor jenis kayu dan arah aksial batang
mempengaruhi kandungan ekstraktif larut air panas, dan ekstraktif larut alkohol benzene.
Faktor jenis kayu dan arah aksial pada batang mempengaruhi kandungan holoselulosa dan
sifat keterbasahan, sedangkan kandungan -selulosa hanya dipengaruhi oleh faktor jenis
kayu.

Kata kunci: jenis kayu, arah aksial, sifat kimia, sifat keterbasahan

PENDAHULUAN

Hutan tropis merupakan sumber bahan baku industri pengolahan kayu yang
produksinya masih banyak diminati oleh pasar dunia. Hutan tropis yang ada di Indonesia
memiliki sekitar 4000 jenis dan dari jumlah tersebut hanya sebagian kecil saja yang telah
diketahui struktur dan sifat-sifat serta kegunaan kayunya seperti untuk pembuatan meubel,
papan serat, papan partikel, kayu lapis dan penggunaan lainnya.
Selama ini bahan baku industri terutama berasal dari jenis-jenis kayu komersial yang
menurun jumlah dan diameternya., sedangkan jenis-jenis kayu tidak dikenal banyak yang
dapat dipergunakan sebagai bahan baku industri pengolahan kayu. Efisiensi bahan baku,
peluang penggunaan jenis dan ragam ukuran log serta diversifikasi produk sudah saatnya
dilakukan dengan sungguh-sungguh agar kelangsungan produksi pabrik dapat
dipertahankan.
Sifat-sifat kayu adalah sifat-sifat spesifik kayu yang dihasilkan selama proses
pertumbuhan. Dengan demikian, maka sifat-sifat kayu sangat beraneka ragam karena
selama proses pertumbuhannya dipengaruhi oleh banyak faktor. Pengetahuan sifat-sifat
kayu dari jenis kayu kurang dikenal merupakan masalah dalam penggunaan kayu. Sifat-sifat
ini sangat bervariasi dan masing-masing saling berhubungan, sehingga perlu diketahui untuk
memperoleh hasil produksi yang memuaskan.
Dari permasalahan tersebut, untuk itu maka penguasaan sifat-sifat kayu sebagai
bahan baku industri dari jenis-jenis kayu kurang dikenal perlu diketahui. Dalam penelitian ini
hanya dibatasi pada sifat-sifat kimia dan keterbasahan dari beberapa jenis kayu Kalimantan,
yaitu kayu Terentang (Camnosperma coriaceum), Pisang-pisang (Mezzetia leptopoda),
Kumpang (Coelostegia borneensis) dan Lilin-lilin (Alseodaphne obovota).

339
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui variasi sifat kimia dan
keterbasahan kayu terentang, pisang-pisang, kumpang dan lilin-lilin pada arah aksial dan
mengkaji kesesuaian sifat-sifat dengan penggunaannya.

BAHAN DAN METODE

Bahan yang digunakan adalah kayu Terentang (C. coriaceum), Pisang-pisang


(M.leptopoda), Kumpang (C. borneensis) dan Lilin-lilin (A. obovota). Aquadest, benzen,
alkohol, asam asetat glasial, H2SO4, aseton, asam asetat dan kertas saring. Alat yang
digunakan meliputi gergaji potong (chain saw), gergaji lingkar, saringan ukuran 40-60 mesh,
timbangan analitik, kompor listrik, gelas piala, tabung reaksi, pendingin tegak, cawan saring,
penangas air, soxlet, gelas pengaduk dan pipet.
Penentuan sifat kimia meliputi penentuan kandungan zat ekstraktif, kandungan
holoselulosa dan kandungan -selulosa. Penentuan kandungan zat ekstraktif yang dilakukan
meliputi kandungan zat ekstraktif larut air panas, larut alkohol benzene. Penentuan
kandungan zat ekstraktif ini menggunakan metode ASTM D 1107-56 (1970).
Penentuan kandungan zat ekstraktif larut air panas dilakukan dengan cara
memasukkan serbuk kayu sebanyak 2 gram ke dalam erlenmeyer dan ke dalamnya
ditambahkan aquadest sebanyak 100 ml. Selanjutnya dipasangkan pada pendingin tegak
yang dipanaskan ke dalam penangas selama 3 jam. Setelah pemanasan selesai, serbuk
kayu disaring dengan menggunakan cawan saring dan dicuci dengan air panas dan
selanjutnya dikeringkan di dalam oven dengan suhu 10320C hingga tercapai berat konstan.
Kandungan zat ekstraktif yang larut di dalam air panas dihitung dengan menggunakan rumus
sebagai berikut:

Dimana :
KE = Kandungan Ekstraktif
BKT = Berat kering tanur serbuk setelah ekstraksi
BB = Berat serbuk awal
KA = Kadar air serbuk sebelum ekstraksi

Penentuan kandungan zat esktraktif larut alkohol benzen dilakukan dengan cara
memasukkan serbuk kayu sebanyak 2 gram ke dalam cawan saring yang telah diketahui
beratnya. Selanjutnya dilakukan ekstraksi dengan 200 ml larutan alkohol benzene (1:2) di
dalam soxlet selama 4-6 jam. Penempatan cawan saring di dalam soxlet diusahakan agar
permukaan cawan saring lebih tinggi dari siphon tetapi permukaan serbuk lebih rendah.
Setelah selesai ekstraksi, cawan saring dikeluarkan dari alat ekstraktor dan selanjutnya
serbuk diisap dengan vacuum dan dicuci dengan menggunakan alkohol sebanyak 50 ml.
Selanjutnya serbuk dikeringkan di dalam oven dengan suhu 10320C hingga tercapai berat
konstan. Kandungan zat ekstraktif yang larut alkohol benzen dihitung dengan menggunakan
rumus sebagai berikut:

Dimana :
KE = Kandungan Ekstraktif
BKT = Berat kering tanur serbuk setelah ekstraksi
BB = Berat serbuk awal
KA = Kadar air serbuk sebelum ekstraksi

340
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS

Penentuan kandungan holoselulosa ditentukan dengan menggunakan metode ASTM


D-1104-56 (1970). Penentuan kandungan holoselulosa ditentukan dengan memasukkan
serbuk kayu bebas ekstraktif sebanyak 0,7 gram ke dalam erlenmeyer. Selanjutnya
ditambahkan sebanyak 10 ml larutan A (campuran 60 ml asam asetat glasial dan 20 ml
NaOH di dalam 1 liter aquadest) dan larutan B (campuran 200 g NaClO2 di dalam 1 liter
aquadest). Erlenmeyer tersebut kemudian di masukkan ke dalam penangas air yang
suhunya diatur kira-kira 700C 20C, setiap 30 menit erlenmeyer tersebut digoyang-
goyangkan.
Setelah 45 menit, 90 menit dan 150 menit ke dalam erlenmeyer tersebut
ditambahkan 1 ml larutan B, setiap penambahan larutan tersebut erlenmeyer harus
digoyang-goyang. Setelah 4 jam, botol erlenmeyer tersebut dimasukkan kedalam penangas
es dan ke dalamnya ditambahkan 15 ml aquadest. Selanjutnya, seluruh isi erlenmeyer di
masukkan ke dalam cawan saring yang telah diketahui beratnya. Isi erlenmeyer tersebut
kemudian dicuci dengan 100 ml larutan asam asetat, kemudian sembari di vacuum cawan
saring tersebut kemudian dicuci dengan 2-5 ml aseton. Cawan saring tersebut kemudian di
biarkan pada kondisi kamar selama minimum 4 hari dan kemudian dikeringkan di dalam
oven dengan suhu 10320C hingga tercapai berat konstan. Kandungan holoselulsa dihitung
dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

Dimana :
KH = Kandungan Holoselulosa
BKT = Berat kering tanur serbuk setelah ekstraksi
BB = Berat serbuk awal bebas ekstraktif
KA = Kadar air serbuk sebelum ekstraksi

Setelah diperoleh kandungan holoselulosa, selanjutnya dapat dilakukan penentuan


kandungan -selulosa, metode yang digunakan berdasarkan standar ASTM D-1103-60
(1970). Sebanyak 3 ml larutan NaOH 17,5% dimasukkan dengan pipet ke dalam cawan
saring yang berisi holoselulosa. Cawan saring tersebut kemudian di letakkan di dalam gelas
arloji yang berisi air hingga terendam 1 cm dan diaduk dengan pengaduk hingga basah
seluruhnya. Setelah 5 menit, ke dalam cawan saring tersebut ditambahkan 3 ml NaOH
17,5% dan diaduk selama 1 menit dan kemudian didiamkan selama 35 menit. Sebanyak 6
ml aquadest kemudian ditambahkan ke dalamnya dan selanjutnya cawan saring tersebut
dikeluarkan dari gelas arloji dan di vacuum perlahan sembari dicuci dengan 60 ml aquadest.
Penghisapan dihentikan ketika 10 ml larutan asam asetat 10% ditambahkan dan kemudian
diaduk. Selanjutnya ditambahkan 10 ml aseton dan kemudian dikeringkan di dalam oven
dengan suhu 10320C hingga tercapai berat konstan. Kandungan -selulosa dihitung
dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

Dimana :
KS = Kandungan -selulosa
BKT = Berat kering tanur serbuk setelah ekstraksi
BB = Berat serbuk awal bebas ekstraktif
KA = Kadar air serbuk sebelum ekstraksi

Penelitian sifat keterbasahan menggunakan metode Corrected Water Absorption


Height (CWAH). Sebanyak 5 gram serbuk kayu kering oven dimasukkan ke dalam pipa kaca
yang salah satu ujungnya ditutup dengan menggunakan kertas saring. Serbuk kayu yang
berada di dalam pipa kaca tersebut dipadatkan agar diperoleh tinggi yang seragam.

341
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Selanjutnya bagian ujung pipa yang ditutup dengan kertas saring tersebut dicelupkan ke
dalam bak yang berisi air setinggi 1,5 cm. Pengamatan pada hari pertama dilakukan setiap
selang 30 menit selama 9 jam dan hari berikutnya, pengamatan dilakukan pada akhir waktu
pengamatan hari pertama. Jumlah waktu pengamatan yang dilakukan adalah 80 jam.
Hasil pengamatan dan pengukuran merupakan data untuk memperoleh besarnya
sifat keterbasahan yang dihitung sebagai berikut :

Dimana :
CWAH = Tinggi Absorbsi Air Terkoreksi (mm)
h1 = Tinggi absorbsi (mm)
h2 = Tinggi serbuk kayu di dalam pipa (mm)
W = Berat serbuk kayu kering oven (g)
S = Volume jenis air (cm3/g)
d = Diameter dalam pipa (cm)
= 3,14

Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap dengan percobaan faktorial,


adapun yang menjadi faktor yaitu jenis kayu dan arah aksial pada batang dengan ulangan
sebanyak 5 kali.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil penelitian sifat kimia kayu meliputi kandungan ekstraktif larut air panas dan larut
alkohol benzene, kandungan holoselulosa dan -selulosa. Hasil pengujian terhadap
kandungan ekstraktif larut air panas menujukkan bahwa kandungan ekstraktif larut air panas
empat jenis kayu Kalimantan tersebut berkisar 2,41%-6,63%. Kandungan ekstraktif larut air
panas terbesar berasal dari pangkal jenis kayu pisang-pisang, sedangkan kandungan
ekstraktif larut air panas yang terendah berasal dari bagian ujung batang jenis kayu
terentang.
Berdasarkan analisis keragaman diketahui bahwa interaksi antara faktor jenis kayu
dan arah aksial pada batang menunjukkan pengaruh yang sangat nyata terhadap
kandungan ekstraktif larut air panas. Kandungan ekstraktif larut air panas yang terdapat
pada sepanjang bagian dari kayu pisang-pisang berbeda nyata dengan semua bagian kayu
dari ketiga jenis kayu lainnya, sedangkan untuk kandungan ekstraktif larut air panas dari
sepanjang bagian kayu lilin-lilin juga berbeda nyata dengan bagian tengah batang jenis kayu
terentang.
Pola variasi ekstraktif kayu larut air panas yang diteliti memperlihatkan penurunan
dari bagian pangkal, tengah dan ujung. Rerata kandungan ekstraktif larut air panas dari
keempat jenis kayu tersebut disajikan pada Gambar 1.

342
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS

Gambar 1. Rerata Kandungan Ekstraktif Larut Air Panas Empat Jenis Kayu Kalimantan

Menurut Browning (1967) dalam Fengel dan Wegerner (1989), ekstraktif yang larut
dalam air adalah karbohidrat, protein dan alkaloid), dan bahan anorganik, sedangkan
ekstraktif larut air panas adalah tannin getah, gula, bahan-bahan berwarna dan pati (Annual
Book of ASTM, 1970).
Hasil pengujian terhadap kandungan ekstraktif larut alkohol benzene menunjukkan
bahwa kandungan ekstraktif larut alkohol benzene terbesar berasal dari bagian pangkal
batang dari jenis kayu pisang-pisang, sedangkan kandungan ekstraktif terkecil berasal dari
bagian ujung batang kayu kumpang. Kandungan ekstraktif larut alkohol benzene keempat
jenis kayu tersebut berkisar 1,24%-6,15%. Rerata kandungan ekstraktif larut alkohol
benzene keempat jenis kayu tersebut selengkapnya disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2. Rerata Kandungan Ekstraktif Larut Alkohol Benzen Empat Jenis Kayu Kalimantan

Berdasarkan analisis keragaman diketahui bahwa interaksi antara faktor jenis kayu
dan arah aksial pada batang menunjukkan pengaruh yang sangat nyata terhadap
kandungan ekstraktif larut alkohol benzen. Kandungan ekstraktif larut alkohol benzene pada
sepanjang bagian dari kayu pisang-pisang menunjukkan perbedaan yang nyata dengan
semua arah aksial dari ketiga jenis kayu lainnya.

343
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Pola variasi kandungan ekstraktif larut alkohol benzene pada semua jenis kayu
memperlihatkan penurunan dari bagian pangkal, tengah dan ujung. Ekstraktif yang larut
dalam pelarut alkohol adalah zat warna seperti flobafen, tannin dan stilbena (Browning, 1967
dalam Fengel dan Wegener, 1989), sedangkan ekstraktif larut akohol benzene adalah lilin,
lemak, resin, minyak, tannin dan komponen-komponen lain yang tidak larut dalam pelarut
eter (Annual Book of ASTM, 1970).
Pengujian terhadap kandungan holoselulosa menunjukkan bahwa kandungan
holoselulosa dari keempat jenis kayu Kalimantan tersebut berkisar 73,5%-85,98%. Rerata
kandungan holoselulosa keempat jenis kayu selengkapnya disajikan pada Gambar 3.
Kandungan holoselulosa terbesar berasal dari jenis kayu terentang dan terkecil
berasal dari jenis kayu kumpang. Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa faktor jenis
kayu dan arah aksial batang memiliki pengaruh yang nyata terhadap kandungan
holoselulosa.
Berdasarkan Gambar 3, terlihat bahwa pola variasi kandungan holoselulosa dari
keempat jenis kayu menunjukkan bahwa kayu terentang dan kumpang cenderung meningkat
di bagian tengah dan menurun di bagian pangkal dan ujung, keadaan sebaliknya terdapat
pada kayu lilin-lilin. Sedangkan kecenderungan meningkat dari bagian pangkal hingga ke
ujung batang terdapat pada kayu pisang-pisang.

Gambar 3. Rerata Kandungan Holoselulosa Empat Jenis Kayu Kalimantan

Hasil pengujian terhadap kandungan -selulosa diketahui bahwa kandungan -


selulosa keempat jenis kayu Kalimantan tersebut berkisar 41,07%-47,45%. Kandungan -
selulosa terbesar berasal dari jenis kayu terentang dan terkecil berasal dari jenis kayu
kumpang. Berdasarkan analisa keragaman diketahui bahwa hanya faktor jenis kayu yang
berpengaruh terhadap kandungan -selulosa. Rerata kandungan -selulosa selengkapnya
disajikan pada Gambar 4.

344
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS

Gambar 4. Rerata Kandungan -selulosa Empat Jenis Kayu Kalimantan

Kandungan selulosa kayu pisang-pisang, kumpang dan lilin tidak berbeda nyata akan
tetapi semua jenis kayu tersebut berbeda nyata dengan kayu terentang. Menurut Haygreen
dan Bowyer (1989), selulosa dibentuk langsung dari unit-unit glukosa hasil proses
fotosintesis. Faktor bagian batang tidak menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap
kandungan -selulosa, hal ini diduga disebabkan karena pembentukan selulosa yang
cenderung berjalan seragam di sepanjang batang. Kandungan selulosa keempat jenis kayu
yang diteliti berkisar antara 41,07%-47,45%, sesuai dengan kisaran yang dikemukakan oleh
Kollmann dan Cote (1984). Menurut Prayitno (1984) selulosa merupakan penyusun utama
dinding sel dan berperan di dalam pengolahan kayu.
Sifat keterbasahan kayu yang diteliti dihitung dengan menggunakan nilai CWAH. Sifat
keterbasahan terendah berasal dari jenis kayu pisang-pisang pada bagian ujung dengan nilai
CWAH 1009,2 mm, sedangkan sifat keterbasahan tertinggi berasal dari jenis kayu kumpang
pada bagian pangkal dengan nilai CWAH 1719,2 mm. Berdasarkan analisis keragaman
diketahui bahwa faktor jenis kayu dan arah aksial batang mempengaruhi nilai CWAH.
Pola variasi sepanjang batang menunjukkan kecenderungan menurun dari bagian
pangkal, tengah dan ujung. Nilai CWAH jenis-jenis kayu berdasarkan bagian aksialnya dan
jenis kayu disajikan pada Gambar 5 .

Gambar 5. Rerata Nilai CWAH Empat Jenis Kayu Kalimantan

345
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Pada dasarnya sifat keterbasahan ini sangat berhubungan dengan adanya ekstraktif
yang terdapat didalam kayu seperti hasil penelitian Imamura dkk (1976) dalam Jorden dan
Welloris (1977) yang melaporkan bahwa Vinir dari jenis Dipterocarpus dan Drybalanops
sangat sulit untuk dibasahi sehingga sulit direkat karena adanya kandungan ekstraktif.
Apabila nilai rerata keterbasahan ini dihubungkan dengan kandungan ekstraktif larut air
panas dan larut alcohol benzene pada arah tinggi batang menunjukkan nilai tertinggi pada
kayu kumpang dibandingkan ketiga jenis kayu lainnya.
Ekstraktif yang bersifat menolak air seperti asam lemak dan asam resin larut dalam
pelarut alkohol benzene bersifat merugikan di dalam perekatan kayu (Prayitno, 1984). Hal ini
disebabkan karena ekstraktif membentuk suatu batas pemisah di antara permukaan kayu
dan perekat (Troughton dan Chow, 1971) dalam Balfas (1993). Prayitno (2000) menyatakan
bahwa kayu yang mudah dibasahi dengan ciri CWAH yang nilainya besar akan
menghasilkan keteguhan rekat yang tinggi juga. Hal ini sejalan dengan penelitian Bodig
(1962), Gray (1962), Herczeg (1965), Hse (1972), Wellons (1980) dan Warsa (1983). Warsa
(1983) menyatakan bahwa ada hubungan antara tinggi air absorpsi terkoreksi (CWAH)
dengan keteguhan rekat. Berikut ini disajikan rerata kandungan kimia keempat jenis kayu
Kalimantan yang dibandingkan dengan Vademecum Kehutanan (1976).

Tabel 1. Rerata Kandungan Kimia Keempat Jenis Kayu Kalimantan dan


Klasifikasi Komponen Kimia Kayu Indonesia

Kelas Komponen Jenis Kayu


Komponen
Pisang-
Kimia (%) Tinggi Sedang Rendah Terentang Kumpang Lilin-Lilin
Pisang
Zat Ekstraktif 4 2-3 2 1,64-3,76 4,58-6,63 1,23-3,63 3,88-4,01
Selulosa 45 40-44 40 45,45-47,45 42,62-43,76 41,07-43,65 41,80-43,75
Lignin 33 18-32 18 - - - -
Pentosan 24 21-24 21 - - - -
Kadar Abu 6 0,22-6 6 - - - -
Sumber : Hasil Penelitian dan Vademecum Kehutanan (1976)

Kualitas kayu merupakan kesesuian antara sifat-sifat kayu dengan penggunaannya.


Menurut Lantican (1975), kualitas kayu selalu berhubungan dengan kecocokkan kayu pada
penggunan akhir. Kandungan ekstraktif bersifat negative dalam pengolahan kayu seperti
perekatan dan pengawetan karena menghalangi larutan (perekat dan bahan pengawet)
masuk ke dalam sel-sel kayu, sedangkan di dalam pengeringan menghalangi keluarnya air
dari dalam kayu. Tetapi kandungan ekstraktif juga bersifat positif terutama dalam hal
keawetan kayu terhadap organisme perusak kayu. Berdasarkan vademecum Kehutanan
(1976), kandungan ekstraktif larut air panas ke empat jenis yang diteliti termasuk tinggi dan
larut alkohol benzene termasuk sedang. Hasil penelitian ini menggambarkan bahwa
perlakuan sebelum pengolahan kayu untuk mengurangi kandungan ekstraktif sangat
diperlukan. Menurut Dutchwell dan Wardroft (1960) kandungan selulosa yang tinggi paling
dikehendaki karena akan menghasilkan pulp dengan kekuatan yang tinggi. Sebagai bahan
pertimbangan, ternyata kayu terentang memiliki kemungkinan untuk menghasilkan
rendemen pulp yang lebih tinggi dibandingkan ketiga jenis kayu lainnya, walaupun semua
bahan yang berlignoselulosa dapat dijadikan bahan baku industry serat.
Menurut Martawidja et.al (1981), dalam pembuatan papan wol kayu, kandungan
ekstraktif yang tinggi merupakan faktor penghambat proses perekatan antara semen dan
kayu, Berdasarkan vademecum Kehutanan (1976), kandungan ekstraktif larut air panas ke
empat jenis yang diteliti secara berurutan termasuk tinggi dan larut alkohol benzene
termasuk sedang. Oleh sebab itu, penetapan keempat jenis kayu yang diteliti sebagai bahan
baku wol kayu perlu dipertimbangkan, seperti adanya perlakuan pendahuluan.

346
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian terhadap keempat jenis kayu yang diteliti yaitu
terentang, pisang-pisang, kumpang dan lilin-lilin, dapat dikemukakan suatu kesimpulan
bahwa interaksi antara faktor jenis kayu dan arah aksial batang mempengaruhi kandungan
ekstraktif larut air panas, dan ekstraktif larut alkohol benzene. Faktor jenis kayu dan arah
aksial pada batang mempengaruhi kandungan holoselulosa dan nilai CWAH, sedangkan
kandungan -selulosa hanya dipengaruhi oleh faktor jenis kayu.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 1970. Annual Book of ASTM, Part 16. Structural Sandwich Construction Wood,
Adhesive. Race St. Philadelphia.
Balfas, J. 1993. Pengaruh Ekstraksi dan Pengeringan Terhadap Derajat Pembasahan
Permukaan dan Keteguhan Perekatan Kayu. Jurnal Penelitian Hasil Hutan.
Bodig, J. 1962. Wettability Related to Gluability of the Philippines Mahagonies. Forest
Products Journal 12 (6) : 265 270.
Departemen Pertanian Indonesia. 1976. Vademecum Kehutanan Indonesia. Direktorat
Jenderal Kehutanan. Jakarta.
Fengel, D dan Wegener, G. 1989. Wood, Chemistry Ultractructure, Reaction. De Gruyter.
Gray, V.R. 1962. The Wettability of Wood. Forest Products Journal 12 (9) : 451 461.
Haygreen, J. G dan Bowyer, J.L. 1989. Hasil Hutan dan Ilmu Kayu. Diterjemahkan oleh
Soetjipto A.H. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Hse, C.Y. 1972. Wettability of Southern Pine Veneer by Phenol Formaldehyde Wood.
Adhesives. Forest Products Journal. 22 (1) : 51 56.
Herczeg, A. 1965. Wettability of Wood. Forest Products Journal : 499 505.
Martawidjaya, A. Kartasujana, A., Kadir, K., Prawiro, SA. 1981. Atlas Kayu Indonesia.
Puslitbang Kehutanan.
Prayitno, T.A. 2000. Hubungan Struktur Anatomi dan Wetabilitas dengan kekuatan rekat
kayu. Buletin Kehutanan No. 42 : 24 32.
Prayitno, TA. 1984. Perekatan Kayu. Yayasan Pembina Fakultas Kehutanan UGM.
Yogyakarta.
Warsa, S.R. 1983. Gluability of Rotary-Cut Veneers of Some Indonesian Woods using
Adhesives Extenden with Nami and Cassava Flours. Dissertation Faculty of The
Graduate School. Los Banos: University of The Philippines at Los Banos.
Wellons, J. D. 1980 Wettability and gluability of Douglas-fir Veneer. Forest Products Journal.
30 (7) : 53 55.

347
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

PENGARUH LAMA PENYIMPANAN MADU TERHADAP


AKTIVITAS ENZIM DIASTASE

Yelin Adalina
Puslitbang Konservasi Dan Rehabilitasi
Jl.Gunung Batu No.5 , Bogor
Telp. (0251) 863324; 7520067
Fax (0251) 8638111
Email: yelinadalina@yahoo.com

ABSTRAK

Penyimpanan madu sangat berpotensi mengubah komposisi madu, karena suhu


penyimpanan seperti yang disarankan oleh National Honey Board (NHB) di bawah 10C
sangat sulit dicapai dengan kondisi yang ada di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui perubahan kandungan enzim diastase madu dari jenis lebah Apis mellifera dan
Apis dorsata yang disimpan dalam dua kondisi yang berbeda, yaitu di dalam suhu
ruang/kamar (suhu 25-29C; kelembaban 70-90%) dan di dalam lemari es/refrigerator (suhu
10C; kelembaban 24%). Analisa madu pada awal penyimpanan, selama 6 bulan dan 12
bulan penyimpanan dilakukan di Laboratorium Sucofindo (Jakarta). Pada awal penyimpanan
semua contoh madu mengandung enzim diastase yang cukup tinggi dan semuanya
memenuhi standar Standar Nasional Indonesia (SNI 2004), yaitu minimum 3 Diastase
Number (DN) maupun Codex Alimentarius Commision (CAC), yaitu minimum 8 DN.
Penyimpanan madu selama 6 bulan di dalam lemari es maupun di dalam kamar biasa/suhu
ruang menunjukkan bahwa kandungan enzim diastase semua contoh madu mengalami
penurunan, tetapi masih memenuhi standar SNI 2004 maupun CAC. Namun pada
penyimpanan madu selama 12 bulan menunjukkan bahwa kandungan enzim diastase dari
jenis lebah A.dorsata mengalami penurunan yang sangat tajam dan tidak memenuhi standar
SNI 2004 maupun CAC. Kandungan enzim diastase dari jenis lebah A.mellifera selama
penyimpanan 12 bulan masih memenuhi standar SNI 2004 maupun CAC.

Kata kunci: Penyimpana, madu, aktivitas enzim diastase

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Madu adalah cairan kental manis yang merupakan produk utama yang dihasilkan
oleh lebah madu dari nektar yang diproses secara enzimatis, terdiri dari berbagai senyawa
yang sangat berguna bagi tubuh manusia. Gula reduksi terutama fruktosa merupakan
senyawa paling banyak di dalam madu (Hadiwiyono, 1978). Proses perubahan nektar
menjadi madu terdiri dari empat tahap, yaitu pengumpulan nektar dari tanaman, proses
pengubahan nektar menjadi gula invert, pengurangan jumlah kandungan air, dan
pematangan madu di sarang lebah (Winarno, 1982).
Komposisi kimia madu terdiri atas karbohidrat, air, protein, vitamin, mineral, dan zat-
zat atau senyawa lain yang sangat kompleks. Madu mengandung gula-gula sederhana yang
dapat segera dimanfaatkan tubuh, dan mengandung garam-garam mineral yang dibutuhkan
tubuh. Komponen terbesar madu terdiri dari karbohidrat (gula sederhana) dan air. Komposisi
kimia madu dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain komposisi nektar asal madu,
keadaan iklim, topografi, jenis lebah, cara pengolahan dan penyimpanan madu (Sihombing,
1997).
Madu mengandung berbagai enzim, antara lain enzim diastase, invertase dan
glukosaoksidase. Enzim diastase berperan dalam memecah karbohidrat kompleks

348
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS

(polisakarida) di dalam nektar menjadi karbohidrat yang lebih sederhana (Achmadi, 1991)
dan diastase disebut juga -amilase (Morse dan Hooper, 1985). Amilase secara khusus
menghidrolisis ikatan glukosidik -1,4 karbohidrat (Winarno, 1982). Enzim diastase terdapat
secara alami di dalam madu, dan sifatnya mampu mengubah zat pati menjadi gula. Dalam
madu asli dan segar enzim ini aktif sekali. Apabila madu dipalsukan dengan larutan gula
maka kandungan enzim akan menurun sehingga keaktifannya juga menurun. Aktivitas enzim
diastase sangat dipengaruhi oleh panas/suhu tinggi. Semakin tinggi suhu maka semakin
rendah aktivitas enzim diastase (White, 1979).
Madu dapat dikatakan merupakan makanan yang stabil karena tidak akan rusak oleh
bakteri maupun jamur yang biasa merusak makanan, namun demikian fermentasi serta
perubahan komposisi baik kimia maupun fisik sangat mudah terjadi pada madu apabila
kondisi penyimpanan madu tidak optimum. Suhu penyimpanan dapat mempengaruhi
terjadinya perubahan pada komposisi madu yang meliputi karakteristik organoleptik seperti
warna, rasa, dan aroma serta hilangnya kandungan zat yang aktif (Krell 1996 ; NHB 2001).
Walaupun kerusakan madu tidak berbahaya pada kesehatan manusia, tetapi madu tetap
kehilangan kandungan nutrisi dan nilai organoleptik.
Departemen Perindustrian Republik Indonesia telah mengeluarkan standar mengenai
mutu dan cara uji madu, yakni SNI 01-3545-2004. Hal ini untuk melindungi konsumen dari
pemalsuan dan pemanasan madu yang berlebihan sehingga menurunkan kualitas madu.
Salah satu parameter dalam standar tersebut yang digunakan untuk melihat mutu atau
kualitas madu adalah enzim diastase.
Salah satu kendala madu yang dipanen di Indonesia mempunyai kadar air yang
tinggi, hal tersebut disebabkan Indonesia mempunya kelembaban yang tinggi yaitu 60-90%.
Selain kadar air yang sulit dikendalikan, penyimpanan madu sangat berpotensi dalam
mengubah komposisi madu. Suhu optimum dalam penyimpanan madu seperti yang
disarankan oleh National Honey Board (NHB) yaitu di bawah 10C dalam wadah yang kedap
udara sangat sulit dicapai. Namun seberap besar perubahan komposisi madu khususnya
dalam penelitian ini enzim diastase yang diakibatkan selama penyimpanan.

Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah tersedianya informasi tentang perubahan aktivitas enzim
diastase berbagai jensi madu yang diperoleh dari berbagai lokasi dari dua jenis lebah (Apis
mellifera dan Apis dorsata) yang di simpan pada dua kondisi suhu dan kelembaban yang
berbeda.

METODOLOGI

Bahan dan Peralatan


Bahan: Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah 0,5 kg madu yang diperoleh dari
berbagai daerah yang dibeli langsung dari pemelihara lebah Apis mellifera dan pemungut
madu Apis dorsata sehingga pemalsuan madu dapat dihindari. Bahan lainnya yang
digunakan adalah larutan asetat, aquades, larutan NaCl, larutan pati, larutan KI.

Tabel 1. Lokasi pengambilan contoh madu, jenis tanaman sumber nektar, dan jenis lebah

Kode Lokasi pengambilan Jenis tanaman Jenis lebah


sampel contoh madu sumber pakan
A Saradan Sonobrit A. mellifera
B Bali Jambu mete A. mellifera
C Riau Acacia mangium A. dorsata
D Magelang Karet A. mellifera
E Bima Multi flora A. dorsata

349
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Gambar 1. Jenis lebah Apis dorsata Gambar 2. Jenis lebah Apis mellifera

Jenis lebah yang dipelihara atau dapat dibudidayakan adalah lebah Apis mellifera.
Jenis lebah ini bukan jenis asli Indonesia, tetapi lebah yang di impor dari Australia dan
mempunyai produktivitas madu yang tinggi. Lebah Apis dorsata atau lebah hutan merupakan
jenis lebah Indonesia, namun sampai saat ini belum dapat dibudidayakan.

Peralatan: Timbangan, termometer, termohigrometer, refraktometer, dan bahan penunjang


penelitian lainnya.

Prosedur Kerja
Madu yang diperoleh dari berbagai lokasi/daerah dari jenis lebah Apis mellifera dan
Apis dorsata disimpan dalam kondisi ruangan yang berbeda yaitu di dalam lemari es (suhu
10C; kelembaban 24%) dan di dalam ruangan/kamar biasa (suhu 25-29C; kelembaban
70-90%). Pengamatan dilakukan setiap enam bulan selama satu tahun. Analisa madu
dilakukan di Laboratorium Sucofindo (Jakarta) pada saat awal penyimpanan, 6 bulan dan 12
bulan penyimpanan. Hasil analisa dibandingkan dengan standar mutu madu Indonesia.
Untuk mengetahui perubahan komposisisi kimia madu, jenis analisa yang dilakukan adalah :
a. Kandungan air
b. Aktivitas enzym diastase

Analisis aktivitas enzim diastase


Ditimbang 10 gram madu dalam piala gelas 50 ml, kemudian ditambahkan 5 ml
larutan asetat dan 20 ml aquades. Larutan diaduk sampai madu larut semuanya. Larutan
sampel dipindahkan ke dalam labu ukur 50 ml yang berisi 3 ml larutan NaCL dan ditera
sampai tanda garis.
Standarisasi lautan pati dilakukan dengan cara dipipet 5 ml larutan pati yang sudah
dipanaskan pada suhu 40C dan dicampur dengan 10 ml aquades lalu dikocok sampai
homogen. Dipipet 1 ml larutan ini dan dimasukan ke dalam 10 ml larutan KI 0,0007 N dan
diencerkan dengan 35 ml aquades. Warnanya di baca pada panjang gelombang 660 nm
dengan blanko aquades dalam sel 1 cm.
Penetapan absorbansi dilakukan dengan memipet 10 ml larutan sampel dan
diletakan di atas penangas air dengan suhu 40C selama 15 menit. Dipipet 5 ml larutan pati
dan dimasukan ke dalam larutan sampel dan dikocok. Setiap interval 5 menit dipipet 1 ml
larutan KI 0,0007 N kemudian dikocok dan diencerkan sampai volume standar. Segera
dibaca absorbansinya dengan menggunakan spectrophotometer dalam sel 1 cm. Setiap
interval 5 menit diambil 1 ml larutan dan diperiksa absorbansinya seperti di atas sampai
diperoleh larutan yang absorbansinya di bawah 0,235.
Perhitungan dilakukan dengan cara memplotkan nilai absorbansi terhadap waktu di
atas kertas milimiter blok. Tiga ratus dibagi waktu yang diperlukan untuk reaksi adalah
Diastase Number (DN). Nilai DN menunjukkan aktivitas enzim diastase untuk menghidrolisis
sejumlah milimiter pati 1% yang terdapat dalam 1 gram madu dalam waktu 1 jam pada suhu
40C.

350
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS

Analisis kandungan air


Sampel ditetapkan indeks biasnya pada suhu 20C dengan menggunakan
refraktometer. Jika pembacaan bukan pada suhu 20C dengan menggunakan koreksi suhu,
yaitu ditambah 0,00023 per C bila suhu di atas 20C, serta dikurangi 0,00023 per C bila
suhu di bawah 20C.

Analisis Data
Data disajikan secara deskriptif. Data yang diperoleh dibandingkan dengan standar
kualitas madu Indonesia yaitu SNI 01-3545- 2004.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kandungan Air
Mutu madu banyak ditentukan oleh kadar airnya. Kadar air yang terkandung dalam
madu dipengaruhi oleh kelembaban udara sekitarnya (Gojmerac, 1983). Tingginya kadar air
sangat tergantung pada sumber nektar dan keadaan cuaca serta cara panen. White (1992)
mengemukakan bahwa tingginya kadar air di dalam madu dipengaruhi oleh kondisi cuaca,
kandungan air di dalam nektar, besar kecilnya koloni, dan kemasakan dari madu itu sendiri.
Panen yang terlalu dini, yaitu sebelum sel madu tertutup oleh lilin, menyebabkan kadar air
madu yang tinggi (Achmadi, 1991). Kadar air pada madu yang telah matang (terdapat dalam
sel yang telah disegel dengan malam) merupakan hasil akhir dari proses pengisapan madu
oleh lebah dalam sarangnya (Crane,1979).
Hasil analisa menunjukkan bahwa dari lima jenis madu yang diteliti dari berbagai
sumber pakan yang berasal dari berbagai lokasi hanya satu jenis yang memenuhi
persyaratan Standar National Indonesia (SNI 2004), yaitu 22% maupun Codex Alimentarius
Commision (CAC 1996) yaitu 21%. Kandungan air dari jenis lebah Apis dorsata cenderung
lebih tinggi dari Apis mellifera, hal ini kemungkinan disebabkan karena pada saat panen
belum semua madu tertutup lilin dan pada umumnya pemanenan madu pada A.dorsata yang
biasa dilakukan oleh pemungut madu dengan mengambil semua sisiran tanpa memisahkan
sisiran madu yang sudah tertutup dan belum tertutup lilin. Pemanenan madu pada jenis
lebah A.mellifera dilakukan dengan menggunakan alat ekstraktor. Hal ini disebabkan jenis
lebah A.mellifera dalam pemeliharaannya sudah dapat dibudidayakan sehingga cara
pemanenannya lebih dapat terkontrol, sedangkan jenis A.dorsata sampai saat ini belum
dapat dibudidayakan. Kadar air yang tinggi dapat menyebabkan madu semakin mudah
terfermentasi yang disebabkan oleh sejenis khamir atau yeast dari genus
zygosaccharomyces yang tahan terhadap konsentrasi gula tinggi, sehingga dapat hidup dan
berkembang dalam madu. Semakin tinggi kadar air madu, semakin rentan madu tersebut
terhadap fermentasi, karena kandungan air yang tinggi pada madu dapat merangsang
aktivitas sel khamir (Achmadi,1991).

Tabel 2. Kadar air madu pada awal penyimpanan

Kode Jenis lebah Kadar air (%)


sampel
A A. mellifera 26,0
B A. mellifera 20,0
C A. dorsata 25,0
D A. mellifera 23,2
E A. dorsata 27,0

351
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Gambar 3. Berbagai jenis madu dari jenis lebah Apis mellifera dan Apis dorsata

Kandungan Enzim Diastase


Beberapa jenis enzim yang terdapat di dalam madu antara lain enzim invertase,
diastase dan glukosaoksidase. Enzim invertase mengubah sukrosa menjadi glukosa dan
fruktosa. Enzim diastase aktif mengubah karbohidrat tinggi (polisakarida) di dalam nektar
menjadi karbohidrat yang lebih sederhana, sedangkan enzim glukosaoksidase berperan
dalam mengoksidasikan glukosa menjadi asam glukonat dan asam peroksida (Achmadi,
1991). Semua enzim dihasilkan oleh kelenjar hipofaring lebah madu.
Aktivitas enzim diastase dapat dijadikan salah satu kriteria untuk menentukan kualitas
madu tentang adanya pemanasan terhadap madu atau penyimpanan yang terlalu lama pada
suhu tinggi karena diastase mudah sekali mengalami kerusakan dengan adanya pemanasan
(Roodgers, 1975; White, 1992). Enzim diastase sangat sensitif terhadap suhu tinggi.
Semakin tinggi suhu, maka semakin rendah aktivitas enzim diastase (White, 1979). Selain itu
kandungan enzim diastase sebagai indikator keaslian madu, karena madu palsu yang dibuat
dari gula tidak akan mengandung enzim diastase. Apabila madu dipalsukan dengan larutan
gula, maka kemungkinan kecil ditemukan enzim diastase di dalamnya. Kemungkinan
pemalsuan dapat ditutupi dengan penambahan enzim dari luar, namun demikian secara
ekonomis diragukan mengingat mahalnya harga enzim di pasaran (Moermanto, 1986).
Penelitian Lopez (1996) dapat membedakan dan mengklasifikasikan madu antara
yang sudah diproses dan yang tidak diproses, dapat diketahui melalui analisa diastase dan
total asam. Aktivitas diastase yang sangat rendah merupakan indikasi bahwa madu telah
mengalami suatu kondisi suhu yang tidak baik. International Honey Commision (IHC)
mengajukan persyaratan untuk Codex Alimentarius Commision (CAC) dan Uni Eropa bahwa
aktivitas enzim diastase tidak boleh kurang dari 8 Gothe unit (DN), sedangkan Standar
Nasional Indonesia (SNI) 2004 mensyaratakan 3 DN.

Tabel 3. Kandungan enzim diastase (DN) jenis lebah A.mellifera dan


A.dorsata pada awal penyimpanan
Jenis madu/Kode sampel
A B C D E

Kadar enzim diastase (DN) 233,59 326,42 68,94 160,10 67,09

Keterangan: Kode A,B,D = Jenis lebah A.mellifera


Kode C dan E = Jenis lebah A.Dorsata

Pada Tabel 3. menunjukkan bahwa pada awal penyimpanan semua contoh madu
mengandung enzim diastase yang cukup tinggi dan semuanya memenuhi standar SNI 2004
(minimum 3 DN) maupun CAC (minimum 8 DN), artinya madu yang diteliti belum mengalami

352
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS

penyimpanan yang terlalu lama dan pemanasan dalam suhu tinggi. Kandungan enzim
diastase dari jenis lebah A.mellifera cenderung lebih tinggi daripada lebah A.dorsata.

Tabel 4. Kandungan enzim diastase (DN) jenis lebah A.mellifera dan A.dorsata selama
penyimpanan 6 bulan pada suhu kamar dan lemari es

Jenis madu/Kode sampel


Tempat penyimpanan A B C D E
Lemari es/refrigerator (suhu 10C;
223,50 303,27 22,18 142,36 60,59
kelembaban 24%)
Suhu kamar (suhu 25-29C;
78,47 194,14 14,85 114,67 40,12
kelembaban 70-90%)
Keterangan: Kode A,B,D = Jenis lebah A.mellifera
Kode C dan E = Jenis lebah A.Dorsata

Pada Tabel 4, dapat dilihat bahwa pada penyimpanan madu selama enam bulan
yang disimpan dalam lemari es maupun di dalam kamar biasa/suhu ruang, menunjukkan
bahwa semua contoh madu kandungan enzim diastasenya mengalami penurunan, tetapi
masih memenuhi standar SNI 2004 maupun CAC.
Selama penyimpanan 12 bulan (Tabel 5) menunjukkan bahwa kandungan enzim
diastase dari jenis lebah A.dorsata mengalami penurunan yang sangat tajam dan tidak
memenuhi standar SNI 2004 maupun CAC, baik yang disimpan di dalam kamar maupun
yang di simpan di dalam lemari es. Kandungan enzim diastase dari jenis lebah A.mellifera
mengalami penurunan selama penyimpanan 12 bulan namun masih memenuhi standar SNI
2004 maupun CAC, baik yang disimpan di dalam kamar maupun yang di simpan di dalam
lemari es.

Tabel 5. Kandungan enzim diastase (DN) jenis lebah A.mellifera dan A.dorsata selama
penyimpanan 12 bulan pada suhu kamar dan lemari es

Jenis Madu/Kode sampel


Tempat penyimpanan A B C D E
lemari es/refrigerator (suhu 10C;
kelembaban 24%) 70,33 39,42 1,10 7,55 2,51

suhu kamar (suhu 25-29C;


kelembaban 70-90%) 12,87 12,32 1,0 3,72 1,59

Keterangan: Kode A,B,D = Jenis lebah A.mellifera


Kode C dan E = Jenis lebah A.Dorsata

Semakin lama penyimpanan maka kandungan enzim diastase cenderung menurun.


Suhu, kelembaban dan lama penyimpanan berpengaruh terhadap kandungan enzim
diastase. Madu yang mengandung enzim diastase tinggi, apabila disimpan terlalu lama
dapat mengalami perubahan pada fraksi karbohidrat yakni peningkatan oligosakarida
(Sihombing,1997). Oleh karena itu madu dengan aktivitas enzim diastase tinggi sebaiknya
segera dikonsumsi, sedangkan madu yang mengandung aktivitas enzim diastase yang
rendah pemecahan pati menjadi karbohidrat sederhana (glukosa dan fruktosa) berlangsung
lambat.
Penelitian Bonnvehi (1995) menunjukkan bahwa, aktivitas enzim diastase madu
segar yang disimpan pada suhu ruang dengan suhu rata-rata 20C (15-20C), selama tiga
bulan penyimpanan menunjukkan kandungan enzim diastase mengalami penurunan sebesar
1,27 DN per bulan. Winarno (1985) mengemukakan bahwa daya kerja atau aktivitas enzim

353
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

diastase yang rendah dapat disebabkan karena viskositas larutan yang tinggi, sehingga
difusi enzim dan substrat menjadi terhambat dan menurunkan aktivitas enzim tersebut.
Selama penyimpanan enam bulan maupun 12 bulan menunjukkan bahwa madu yang
disimpan dalam lemari es mengandung enzim diastase yang lebih tinggi dari madu yang
disimpan dalam suhu ruang/kamar. Hal ini disebabkan karena madu yang disimpan dalam
suhu kamar mengalami pemanasan, sehingga kandungan enzim diastase lebih cepat
menurun dibandingkan dalam penyimpanan dalam lemari es. White (1992) mengemukakan
bahwa penyimpanan madu dalam ruangan dengan suhu 30C selama 200 hari akan
menurunkan setengah aktivitas enzim diastase dan hanya diperlukan waktu satu hari untuk
menurunkan hal yang sama apabila madu disimpan pada suhu 60C. Enzim diastase sangat
sensitif oleh suhu yang tinggi, semakin tinggi suhu maka semakin rendah aktivitas enzim
diastase (White, 1979).

KESIMPULAN

1. Kandungan air madu dari berbagai sumber pakan yang diperoleh dari berbagai lokasi
dari dua jenis lebah (A.mellifera, A.dorsata) pada awal penyimpanan empat jenis madu
yang diteliti tidak memenuhi standar SNI 2004 maupun CAC.
2. Perbedaan suhu, kelembaban dan lama penyimpanan berpengaruh terhadap perubahan
kandungan enzim diastase.
3. Madu yang disimpan selama enam bulan di dalam lemari es maupun di dalam kamar
biasa/suhu ruang mengandung enzim diastase yang masih memenuhi standar SNI 2004
maupun CAC. Penyimpanan madu selama 12 bulan dari jenis lebah A.dorsata sudah
tidak memenuhi standar SNI 2004 maupun CAC, sedangkan penyimpanan madu dari
jenis lebah A.mellifera masih memenuhi standar.
4. Selama penyimpanan kandungan enzim diastase madu yang disimpan di dalam lemari
es lebih rendah daripada yang disimpan di dalam suhu kamar.

DAFTAR PUSTAKA

Achmadi, S. 1991. Analisa Kimia Produk Lebah Madu dan Pelatihan Laboratorium Pusat
Perlebahan Nasional Parungpanjang. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam IPB, Bogor.
Badan Standarisasi Nasional. 2004. Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-3545-2004 Mutu
Madu. Badan Standarisasi Nasional. Jakarta.
Bonvehi, J.S. and F.V.Coll. 1995. Characterization of citrus honey (Citrus Spp.) produced in
Spain. J. Agric Food Chem. 43 (8): 2053-2057.
Crane, E. 1979. Honey A Comprehensive Survey. Heinemann. London
Codex Alimantarius Commision.1996. Quality Evaluation of Honey Standard in Europe.
Rome
Gojmerac, W. L. 1983. Bees, Beekeeping, Honey, and Pollination. The AVI Publishing Co.
Inc. Westport, Connecticut.
Hadiwiyono, S. 1978. Pedoman Pemeliharaan Tawon Madu Pradnya Paramita. Jakarta.
Krell, R. 1996. Value-added Products from Beekeeping. FAO Agricultural Services Bull, bNo
124, FAO, Roma.
Lopez, B. 1996. Chemometric classification of honeys according to their type based on
quality control data. Food Chemistry 55 (3): 281-287
Morse, R. and T. Hooper.1985. The Illustrated Encyclopedia of Beekeeping. Blandrof Press,
Poole, Dorset.
Moermanto.1986. Tinjauan tentang quality control pada industri madu. Prosiding Lokakarya
pembudidayaan Lebah Madu Untuk Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat,
Sukabumi, 20-22 Mei 1986. Perum Perhutani, Jakarta. Hal 135-142

354
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS

National Honey Board (NHB), 2001. A. Reference Guide From The National Honey Board.
Http;// www.nhb.org.
Rodgers, P.E.W. 1975. Honey Quality Control. di dalam Crane, E (Ed.), Honey, A.
Comprehensive Suevey. Chapter 12. Heinemann, London.
Sihombing, D. T. H. 1997. lmu Ternak Lebah Madu. Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.
Winarno, F. G. 1982. Madu: Teknologi,Khasiat dan Analisa. Pusat Pengembang Teknologi
Pangan, Bogor.
White, J. W. 1979. Physical characteristic of honey. In; Crane, E (ed). Honey: A
Comprehensive Survey. Heinemann. London.
White, J. W. 1992. Honey. In: Graham. M. J. (ed). The Hive and the Honey Bee. Dadant and
Sons, Hamilton, Illinois.

355
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

AKTIVITAS ANTICENDAWAN ZAT EKSTRAKTIF FALOAK


(Sterculia comosa Wallich)

Fabianus Ranta1, Wasrin Syafii2,


Eko Sugeng Pribadi3, dan Deded Sarip Nawawi2
1
Program Studi Manajemen Sumberdaya Hutan Politeknik Pertanian Negeri Kupang
(Politani Kupang)
2
Departemen Hasil Hutan , Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB)
3
Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner,
Fakultas Kedokteran Hewan IPB

ABSTRACT

Faloak (Sterculia comosa Wallich) is a specific species of dry land that has potential
as antifungal. This study aims to determine the toxicity of barks, leaves, and seeds extracts
as an antifungal, and to identify its bioactive compound. The extracts were prepared by multi
stage maceration method. Antifungal activity was tested by agar well diffusion method, and
minimum inhibition concentration (MIC) and minimum fungicide concentration (MFC) by two-
fold serial dilution method . Bioactive compound of active fraction were identified by Liquid
Chromatography Mass Spectroscopy (LCMS), Fourier Transform Infrared (FTIR), and
Nuclear Magnetic Resonance (NMR). Results showed that the diethyl ether (DE) fraction of
seeds is more effective in inhibiting of Candida albicans growth, than the other fractions.
Subfraction of DE7 has a higher potency in inhibiting the growth of of Candida albicans.
Based on the analysis by LCMS, FTIR and proton NMR, the DE7 sub fractions contain 3-
hydroxyoctadecanoic acid (C18H36O3), which is suggested as a mainly compound responsible
for antifungal activity. These findings indicate that faloak have the potential to be antifungal.

Keywords: Extractive, Sterculia comosa, Candida albicans, Antifungal.

PENDAHULUAN

Faloak (Sterculia comosa Wallich) merupakan salah satu dari spesies yang belum
mendapatkan perhatian, sehingga pohon ini dianggap tidak bermanfaat. Memang saat ini
kayu faloak belum banyak dimanfaatkan, baik sebagai bahan baku ukiran, pertukangan
maupun pemanfaatan lainnya. Oleh karena itu, pencarian sifat dan kandungan obat dari
spesies ini menjadi penting karena dengan mengenal fungsi dan manfaatnya, faloak
(Sterculia comosa Wallich) dapat menambah khasanah tumbuhan obat dunia saat ini.
Pemanfaatan faloak oleh masyarakat di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT)
sampai saat ini masih bersifat pemanfaatan secara tradisional yang didasarkan pengetahuan
dan pengalaman secara turun-temurun. Pemanfaatan faloak selama ini digunakan untuk
menyembuhkan berbagai penyakit dalam, antara lain kulit pohon faloak dapat
menyembuhkan penyakit tifus, maag, dan lever. Faloak juga digunakan sebagai peluruh
haid, peluruh sisa-sisa kotoran setelah melahirkan, dan pemulihan setelah melahirkan.
Berdasarkan pengalaman masyarakat, mengkonsumsi faloak secara rutin dapat
meningkatkan stamina (mengurangi rasa letih atau lelah bagi pekerja berat). Namun, semua
pengetahuan tersebut belum didukung oleh kajian ilmiah pemanfaatan faloak sebagai bahan
obat-obatan.
Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization, WHO) melaporkan bahwa
peningkatan pemanfaatan obat-obatan dari bahan alam (obat tradisional) di berbagai negara
saat ini telah mencapai 65% dari penduduk negara-negara maju (Menkes RI 2007).
Keadaan ini memberikan peluang untuk mengkaji jenis tumbuhan obat di berbagai daerah
yang secara turun-temurun telah dimanfaatkan masyarakat sebagai obat dan belum dikaji
secara ilmiah. Di samping itu kecenderungan peningkatan pemanfaatan obat dari bahan

356
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS

alam memberikan dampak positif bagi pertumbuhan industri, baik industri obat tradisional
maupun sebagai bahan baku industri farmasi. Pertumbuhan industri obat tradisional
Indonesia saat ini yang telah mencapai 1.036 perusahaan (Menkes RI 2007). Di sisi lain,
industri farmasi dunia yang memanfaatkan senyawa alam dan obat-obatan sebagai bahan
baku industri farmasi saat ini baru mencapai 6% (Frederique 2009).
Pengkajian komponen zat ekstraktif yang terkandung dalam pohon faloak seperti
kayu, biji, daun, kulit, dan pemanfaatannya sebagai tumbuhan obat sampai dengan saat ini
belum dilaporkan secara ilmiah, baik di tingkat regional, nasional maupun internasional.
Berdasarkan hal tersebut, maka perlu suatu kajian ilmiah untuk mengidentifikasi zat
ekstraktif yang terdapat dalam faloak, serta khasiatnya terhadap kesehatan manusia.
Pengkajian komponen zat ekstraktif dari pohon faloak ini diarahkan untuk mengetahui
komponen kimia dan pengujian anticendawan zat ekstraktif dari daun, biji, dan kulit pohon
faloak tersebut, terutama senyawa-senyawa yang dapat digunakan sebagai obat
anticendawan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi sifat anticendawan zat ekstraktif yang
terkandung dalam daun, biji dan kulit pohon faloak.

BAHAN DAN METODE

Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah serbuk daun, biji, kulit Faloak
(Sterculia comosa Wallich) yang diperoleh dari pohon Faloak yang tumbuh di Kota Kupang
Provinsi Nusa Tenggara Timur. Kulit, biji, dan daun pohon faloak diambil dari pohon yang
telah menghasilkan minimal tiga kali berbuah atau berdiameter minimal 30 cm. Serbuk kulit,
daun, dan serbuk biji dibuat dalam ukuran 40 60 mesh kemudian dikeringkan dengan oven
pada suhu 500C hingga mencapai kadar air kurang dari 10%.

Metode
Metode ekstraksi yang digunakan adalah metode maserasi yang dilakukan secara
bertingkat menggunakan aseton, n-hexan, dietil eter, etil asetat. Pengujian aktivitas
antimikroba dilakukan dengan menggunakan metode difusi sumur agar (Ramesh dan Patar
2010). Nilai Kadar Hambat Minimum (Minimum Inhibition Concentration, MIC) dan Kadar
Membunuh Cendawan Minimum (Minimum Fungicide Concentration-MFC) ditentukan
dengan menggunakan metode two-fold serial dilution (Olaleye dan Tolulope 2007) dengan
rangkaian konsentrasi 16, 8, 4, 2, 1, 0,5, dan 0,25 mg/mL (Policegoudra et al. 2010).
Identifikasi senyawa untuk fraksi terpilih hasil kromatografi dilakukan dengan menggunakan
spektrum inframerah (fourier transform infrared, FT-IR), kromatografi cair spektroskopi masa
(Liquid Chromatography Mass Spectroscopy, LC-MS) dan resonansi magnetik inti (Nuclear
Magnetic Resonance, NMR) untuk mengetahui gugus fungsi, bobot molekul, struktur
senyawa.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Aktivitas Anticendawan
Hasil uji tapis untuk mengetahui kemampuan anticendawan menunjukkan bahwa zat
ekstraktif kulit, daun, dan biji faloak, serta fraksi-fraksinya menghasilkan berbagai tingkatan
zona hambat (mm), bahkan beberapa fraksi tidak membentuk zona hambat. C. albicans
hanya mampu dihambat oleh fraksi dietil eter biji dengan diameter zona hambat yang lebih
tinggi dari fraksi aseton kulit. Sedangkan seluruh fraksi dari zat ekstraktif daun faloak tidak
mampu menghambat pertumbuhan C albicans. Zona hambat (mm) yang dibentuk oleh zat
ekstraktif kulit , daun, dan biji faloak disajikan pada Tabel 2.

357
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Tabel 2.Pembentukan zona hambat hasil uji tapis aktivitas anticendawan zat ekstraktif dari
kulit, daun, dan biji pohon faloak (ukuran dalam millimeter).

Zona Hambat (mm)


No Mikroba yang diuji
Kulit Daun Biji
1 Aseton 7,00 - -
2 n-Hexan - - -
3 Dietil eter - - 14.33
4 Etil asetat - - -
5 Residu - - -
6 Kontrol+ 30,67 30,67 30,67

Diameter zona hambat yang dibentuk pada umumnya sangat dipengaruhi oleh
kemampuan zat ekstraktif berdifusi, jenis senyawa yang terdapat dalam zat ekstraktif,
banyaknya zat ekstraktif yang digunakan, serta tingkat ketahanan C. albicans terhadap zat
ekstraktif yang diterima. Berdasarkan hasil uji aktivitas anticendawan dari ketiga jenis zat
ekstraktif beserta fraksi-fraksinya, memperlihatkan bahwa fraksi dietil eter biji memberikan
hasil yang lebih baik. Oleh karena itu, fraksi tersebut dipakai untuk diisolasi dengan
kromatografi kolom. Subfraksi hasil kromatografi kolom ini selanjutnya digunakan dalam uji
penentuan MIC dan MFC.

Penentuan MIC dan MFC


Kepekaan cendawan C albicans terhadap zat ekstraktif dietil eter biji faloak seperti
yang ditampilkan pada Tabel 3 sangat tergantung pada kemampuan senyawa aktif
berpenetrasi terhadap dinding sel cendawan (berhubungan dengan tingkat toksisitas
senyawa aktif), konsentrasi zat ekstraktif yang digunakan, jenis cendawan, serta tingkat
resistensi cendawan terhadap senyawa aktif yang diterima. Untuk dapat menghambat
pertumbuhan C. albicans, senyawa aktif harus mampu; 1) merusak sistem manan yakni
merusak ikatan antara manan dengan protein dan fosfat (manan paling luar), 2) merusak
sistem glukan yakni merusak jaringan mikrofibril sehingga sistem pertahanan bentuk sel
cendawan tergganggu, dan 3) merusak sistem senyawa lipid yang berfungsi mencegah
kekeringan (Gandjar 2006).

Tabel 3. MIC dan MFC sub fraksi dietil eter biji faloak terhadap cendawan C. albicans

No Sub fraksi MIC MFC


1 DE 1 1 2
2 DE 2 0,5 1
3 DE 3 2 4
4 DE 4 16 >16
5 DE 5 1 2
6 DE 6 0,25 0,5
7 DE 7 0,25 0,5
8 DE 8 1 2
9 KK 0,25 0,5

Keterangan: DE = Sub fraksi dietil eter biji (sub fraksi 1 8), KK = Ketoconazole untuk
cendawan
C. albicans lebih sensitif terhadap sub fraksi DE6 dan DE7. Meskipun sub fraksi DE6
memiliki nilai MIC dan MFC yang sama dengan subfraksi DE7, namun hanya sub fraksi DE7
yang diidentifikasi dengan FT-IR, LC-MS, dan NMR. Subfraksi DE7 diuji lebih lanjut karena
jumlah dari subfraksi ini lebih tinggi daripada sub fraksi DE6. Teridentifikasinya senyawa
yang terdapat dalam zat ekstraktif biji faloak, diharapkan dapat mendukung penggunaan
faloak oleh masyarakat selama ini sebagai obat penyakit-penyakit yang disebabkan oleh

358
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS

cendawan C. albicans seperti keputihan, dan penggunaan lain seperti peluruh haid, peluruh
sisa-sisa kotoran setelah melahirkan, pemulih stamina setelah melahirkan, dan penyakit
lainnya.

Identifikasi Senyawa
Berdasarkan hasil pengukuran H-NMR dan C-NMR, diduga bahwa senyawa tersebut
merupakan turunan asam lemak yang terhidroksilasi (hidroksi OH). Hal ini didukung pula
oleh hasil pengukuran LC-MS, bahwa senyawa tersebut mempunyai berat molekul 300
(m/z). Di samping itu adanya gugus hidroksi dan gugus karboksilat berdasarkan hasil
pengukuran spektrum FT-IR semakin memperkuat pendugaan bahwa senyawa tersebut
merupakan turunan asam lemak yang terhidroksilasi (hidroksi OH). Dengan demikian
diduga senyawa tersebut adalah 3-hydroxyoctadecanoic acid. Hasil prediksi tersebut
didukung dengan nilai pergeseran kimia hasil prediksi menggunakan ChemDraw, maka
struktur senyawa yang memiliki berat molekul 300 (m/z), diidentifikasi sebagai senyawa 3-
hydroxyoctadecanoic acid.

O OH

3-hydroxyoctadecanoic acid OH
G
ambar 1. Struktur molekul senyawa 3-hydroxyoctadecanoic acid

Senyawa 3-hydroxyoctadecanoic acid (C18H36O3) seperti yang ditampilkan pada


Gambar 1 telah diisolasi sebelumnya dari zat ekstraktif bunga Hypericum lysimachioides var.
lysimachioides. Spesies ini adalah salah satu flora yang tumbuh di Turki yang banyak
digunakan sebagai obat untuk menyembuhkan luka, antigastritis, efek antiseptik, memiliki
aktivitas anti depresi, anti kanker dan antimikroba. Selain terdapat dalam Hypericum
lysimachioides var. lysimachioides, senyawa 3-hydroxyoctadecanoic acid juga merupakan
bagian penting dari lipid mikroba. Senyawa ini telah digunakan secara luas sebagai salah
satu senyawa penciri untuk membantu karakterisasi bakteri negatif Gram dan positif Gram.
Senyawa ini merupakan salah satu komponen penyusun membran sitoplasma (zen et al.
2004).

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
Pohon faloak (Sterculia comosa Wallich) memiliki kandungan zat ekstraktif yang
penyebarannya dalam setiap bagian pohon sangat beragam. Persentase kandungan zat
ekstraktif dalam kulit dan daun lebih kecil daripada dalam biji. Dalam zat ekstraktif biji faloak,
walaupun hanya sebagian kecil saja yang berperan sebagai anticendawan, tetapi memiliki
sifat anticendawan sangat tinggi terhadap C. albicans.
Teridentifikasinya senyawa 3-hydroxyoctadecanoic acid yang terdapat dalam zat
ekstraktif biji faloak mengindikasikan bahwa senyawa tersebut adalah senyawa yang
berperan dalam menghambat pertumbuhan cendawan. Hal ini menunjukkan bahwa biji
faloak berpotensi digunakan sebagai sumber obat untuk mencegah dan mengobati
penyakit yang disebabkan oleh C. albicans, seperti; kandidiasis (penyakit yang terjadi pada
selaput lendir, mulut, vagina dan saluran pencernaan), infeksi yang menyerang jantung
(endokarditis), pneumonia, septisemia (darah).

359
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Saran
Mengingat faloak memiliki keunggulan sebagai obat serta didukung oleh
kemampuannya untuk bertumbuh dengan baik pada lahan kritis dengan kondisi wilayah
beriklim kering, tanah berbatu, serta tergolong jenis evergreen, maka perlu: 1) menjadikan
pohon ini sebagai tumbuhan konservasi lahan kritis, 2) kajian serta pendekatan silvikultur
untuk pengembangan budidaya pohon faloak, 3) menjadikan faloak sebagai salah satu
sumber pendapatan masyarakat, 4) menguji dan mengidentifikasi kandungan alkaloid,
triterpenoid dan steroid, dan saponin yang terdapat dalam kulit, biji, dan daun faloak sebagai
penghambat pertumbuhan kanker, antibiotik, menurunkan kolesterol, meningkatkan sistem
kekebalan tubuh, dan meningkatkan stamina.

DAFTAR PUSTAKA

Frederique B. 2009. Plant Made Pharmaceutical Cerbereus Project. Becoteps Workshop-


Brussel.http://www.efi.intfilesattachments2009 becotepsmicrosoft/
powerpoint/fbertaud-becoteps/presentation.pdf (5 Mei 2010).
Gandjar I, Sjamsuridzal W, Oetari A. 2006. Mikologi: Dasar dan Terapan. Edisi Pertama.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Khopkar SM. 2008. Konsep Dasar Kimia Analitik: Saptorahardjo A., Penerjemah; Nurhadi A.
Pendamping; UI-Press. Terjemahan dari Basic Consepts of Analytical Chemistry.
Menkes RI 2007. [Menkes RI] Menteri Kesehatan Republik Indonesia. 2007. Keputusan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 381/MENKES/SK/III/2007 tentang
Kebijakan Obat Tradisional Nasional, Jakarta: Menkes.
Olaleye, Tolulope M. 2007. Cytotoxicity and Antibacterial activity of Methanolic Zat
ekstraktifof Hibiscus sabdariffa. Journal of Medicinal Plants Research. 1: 009-013.
zen H, Bashan M, Toker Z, Keskin C. 2004. 3-Hydroxy Fatty Acids from the Flowers of
Hypericum lysimachioides var. lysimachioides. Turkey Journal Chemistry, 28: 223
226.
Policegoudra RS, Rehna K, Rao LJ, Aradhya SM. 2010. Antimicrobial, Antioxidant,
Cytotoxicity and Lempengelet Aggregation Inhibitory Activity of a Novel Molecule
Isolated and Characterized From Mango Ginger (Curcuma amada Roxb.). Journal of
Bioscience 35 (2): 231-240.
Ramesh Ch, Patar MG. 2010. Antimicrobial Properties, Antioxidant Activity and Bioactice
Compounds From Six Wild Edible Mushrooms Of Western Ghats Of Karnataka, India
. Journal of Pharmacognosy Research 2: 107-112.

360
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS

KOMPOSISI EKSTRAKTIF PADA KAYU JATI JUVENIL

Ganis Lukmandaru dan IGN Danu Sayudha


Bagian Teknologi Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada

ABSTRAK

Seiring dengan meningkatnya penggunaan kayu jati umur muda, maka penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui komposisi ekstraktif dari jati dalam fase juvenil. Sampel yang
dipakai adalah kayu jati bibit unggul (Mega) asal Gunungkidul (8 pohon) yang berumur 5
tahun dan jati dari Sei Seruyan, Kalimantan Tengah (3 pohon) yang berumur 7 tahun.
Sebagai pembanding, digunakan pohon jati berumur 18 tahun (hutan rakyat Gunungkidul)
dan 65 tahun (Perhutani, Madiun). Ekstraksi berturutan dilakukan dengan soxhlet melalui 5
pelarut yaitu eter minyak, diklorometana, aseton:air (9:1), etanol:air (8:2) dan air panas.
Kadar ekstraktif total pada kayu juvenil Kalimantan (3,8- 8,8%) lebih tinggi dibandingkan jati
Mega (2,2-5,7%) dimana kadar ekstraktif aseton:air (9:1) merupakan komponen dominan
pada gubal maupun teras. Dibandingkan kayu dewasa, jati juvenil mempunyai nilai rerata
proporsi kadar ekstraktif aseton:air (9:1) di gubal lebih rendah tetapi kadar terlarut etanol:air
(8:2) lebih tinggi. Komposisi fraksi polar-nonpolar relatif tidak berubah pada gubal seiring
umur tetapi cukup bervariasi pada bagian teras.

Kata kunci : Tectona grandis, ekstraktif, juvenil, jati mega, teras

PENDAHULUAN

Jati merupakan salah satu jenis kayu penting karena reputasinya sebagai kayu yang
berkualitas tinggi. Masyarakat banyak memanfaatkan kayu jati karena memiliki corak kayu
yang indah, berkesan mewah, mudah pengerjaannya, memiliki keawetan alami yang tahan
terhadap organisme perusak kayu dan warnanya yang coklat keemasan. Keunggulan kayu
jati ini juga menyebabkan kayu jati disukai pasar nasional maupun internasional untuk
berbagai macam pemanfaatan.
Ketersediaan akan kayu jati kelas umur tua dari tahun-ketahun terus mengalami
penurunan, sehingga terdapat kecenderungan untuk menggunakan kayu jati yang umurnya
muda (di bawah daur jati) dengan diameter yang semakin kecil pada dua dekade terakhir ini.
Pertimbangan ekonomis tentunya menjadi hal utama untuk segera memanen kayu dibawah
daur. Pemanfaatan kayu muda saat ini lebih banyak dilakukan di hutan rakyat yang tidak
terlalu menuntut daur dan hasil dari penjarangan jati di Perhutani.
Kayu muda mayoritas dihasilkan oleh hutan rakyat dan hasil penjarangan. Kayu
muda ini didominasi oleh kayu gubal dan kayu pada fase juvenil. Menurut Haygreen dan
Bowyer (1989) kayu juvenil adalah kayu yang dibentuk di awal-awal tahun pertumbuhan dan
kayu juvenil terbanyak terbentuk dalam 5-20 lingkaran tahun dengan lama tergantung jenis
spesiesnya. Pustaka mengenai kayu jati juvenil masih sangat sedikit, sedangkan
penggunaan kayu juvenil sekarang ini semakin banyak misalnya, untuk papan partikel dan
papan laminasi menggunakan kayu-kayu sisa penggergajian dan kayu dari pohon yang
diameternya masih kecil untuk diolah menjadi papan yang lebar. Perkembangan ini tentunya
membutuhkan informasi mengenai kayu jati juvenil agar masalah dalam penggunaannya
dapat diminimalisir.
Dalam pemanfaatan kayu, keberadaan kayu juvenil kurang disukai karena sifatnya
yang kurang baik. Salah satu sifat kayu juvenil yang kurang baik adalah keawetan alami.
Keawetan alami merupakan salah satu sifat yang penting karena, pemahaman terhadap
agen-agen serta kondisi-kondisi yang dapat membawa kepada kerusakan kayu merupakan
suatu kunci kepuasan penggunaan produk-produk hutan sebagai bahan bangunan
(Haygreen dan Bowyer, 1989). Hal ini dibuktikan oleh Bhat dan Florence (2003) dimana kayu
juvenil jati kurang tahan terhadap serangan jamur.

361
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Keawetan alami kayu tidak diragukan lagi dipengaruhi oleh sifat kimia kayu seperti
ekstraktif. Kayu jati memiliki ekstraktif-ekstraktif yang dapat mengurangi kerusakan kayu dari
serangan cendawan dan serangga (Sandermann dan Simatupang 1966; Haupt et al. 2003).
Ekstraktif pada kayu memiliki komposisi yang berbeda-beda mulai dari fraksi polar hingga
non polar seperti tanin, gula, kinon, lilin, lemak, dan sebagainya. Kayu jati juvenil ini perlu
diteliti komponen yang ada didalamnya sehingga dapat diketahui perbedaan komponen
dengan kayu jati dewasa. Dari pernyataan diatas, maka perlu diteliti sifat kimia yakni
komposisi ekstraktif kayu jati juvenil pada arah radial dan tempat tumbuh. Beberapa peneliti
telah melakukan penelitian mengenai komposisi ekstraktif pada kayu jati muda seperti
Narayanamurti et al. (1962), Da Costa et al. (1968), dan Lukmandaru dan Takahashi (2008)
akan tetapi pada penelitian ini, komposisi ekstraktif akan diteliti lebih mendalam dengan
ekstraksi secara berurutan sehingga jenis ekstraktif yang ada pada tiap bagian kayu bisa
diketahui senyawa mana yang paling dominan serta membandingkannya dengan pohon
yang lebih dewasa.

BAHAN DAN METODE PENELITIAN

Bahan penelitian yang digunakan adalah kayu jati Mega asal Hutan Pendidikan
Wanagama (tanah = mediteran) di Gunung Kidul sebanyak 8 pohon dengan umur 5 tahun
(dbh = 9-14 cm) dan kayu Jati asal Kalimantan (podsolik) umur 7 tahun sebanyak 3 pohon
(dbh= 9-13 cm). Jati Mega merupakan jati bibit unggul yang cepat tumbuh dengan
kelurusannya, percabangannya menunjukkan pertumbuhan yang baik. Pada jati Kalimantan
diameter tidak sebesar jati Mega, akan tetapi persen teras lebih besar (54-86 %)
dibandingkan dengan Jati Mega (7-28%). Jati Kalimantan adalah kayu yang berasal dari
pohon yang ditanam oleh PT. Sari Bumi Kusuma, Sei Seruyan, Kalimantan Tengah. Kontrol
yang digunakan adalah pohon jati juvenile pada umur 18 tahun (dbh = 33 cm) dari hutan
rakyat Gunung Kidul (grumusol) dan jati dewasa 65 tahun (dbh = 43 cm) dari hutan
Perhutani (Madiun, mediteran).
Dari masing-masing pohon pada bagian pangkal (20 cm dari permukaan tanah)
digergaji bentuk disk dengan ketebalan 5 cm. Setiap disk (1 cm dari kulit) dibagi menjadi dua
bagian pada kedudukan radial, yaitu gubal dan teras. Karena diameter dan proporsi teras
relatif besar, pada pohon kontrol arah radialnya dibagi menjadi gubal, teras luar, dan teras
dalam. Pada masing-masing bagian diambil serbuknya. Serbuk halus yang didapatkan
kemudian disaring untuk didapatkan serbuk berukuran 40-60 mesh untuk analisis kimia.
Ekstraksi dengan soxhlet dilakukan secara berturutan melalui 5 pelarut yaitu eter
minyak, diklorometana, aseton:air (8:2, v/v), etanol:air (9:1, v/v) dan air panas masing-
masing selama 6 jam mengacu pada Bauch et al. (1991) yang dimodifikasi. Setelah ekstraksi
selesai, pelarut dihilangkan dan ekstrak dikeringkan dalam oven selama 1 jam (100 0C) dan
dihitung kadar ekstraktifnya berdasarkan berat kering serbuk awal. Kadar ekstraktif non-polar
merupakan penjumlahan kadar ekstraktif terlarut eter minyak dan diklorometana sedangkan
ekstraktif polar adalah aseton:air (8:2), etanol:air (9:1) dan air panas. Kadar ekstraktif total
merupakan penjumlahan dari semua komponen ekstraktif tersebut.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dari hasil pengamatan komposisi ekstraktif (Tabel 1 dan 2), diketahui bahwa jati
Mega memiliki rata-rata total ekstraktif yang lebih rendah dibandingkan dengan jati
Kalimantan. Perbedaan ini diduga karena perbedaan tempat tumbuh yang besar atau
genetis. Dari pengamatan juga terlihat teras jati Kalimantan berwarna lebih gelap sehingga
wajar bila mempunyai ekstraktif lebih banyak. Total ekstraktif pada jati Mega sekitar 2,84 % -
5,15 % dan jati Kalimantan sekitar 4,67 % - 7,90 %. Nilai tersebut dalam kisaran pada
penelitian jati muda sebelumnya (Lukmandaru dan Takahashi 2008, Da Costa et al. 1958).
Variasi antar pohon cukup besar apabila dinilai dari koefisien variasinya tiap komponen
penyusunnya meski nilainya relatif kecil pada kadar ekstraktif totalnya

362
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS

Pada kayu gubal (Tabel 1), rerata kadar ekstraktif total kayu juvenil asal Kalimantan
lebih tinggi (4,67 %) dari jati Mega (2,84 %). Fraksi polar menunjukkan nilai rerata relatif
tinggi, khususnya kadar ekstraktif aseton:air (9:1) di jati Kalimantan (1,43 %) sedangkan
kadar ekstraktif diklorometana menunjukkan nilai terendah. Secara kuantitatif, perbedaan
mencolok antara jati Mega dan Kalimantan didapatkan pada fraksi polarnya tetapi rata-rata
komposisi kadar ekstraktifnya tidaklah jauh berbeda (Gambar 1). Apabila dibandingkan
dengan kontrol, maka terlihat perbedaan mencolok pada kadar ekstraktif total di bagian
gubal dari kayu asal Perhutani (11,28 %). Dilihat dari komponen penyusunnya maka
perbedaan besar secara kuantitatif antara kontrol jati 18 tahun dan jati juvenil terlihat pada
kadar ekstraktif terlarut aseton:air (9:1) dan terlarut air panas sedangkan antara kontrol jati
65 tahun dan jati juvenile perbedaannya mencolok pada semua kadar ekstraktif terutama
fraksi aseton:air (9:1). Dari grafik komposisi (Gambar 1), maka terlihat kontrol mempunyai
nilai rerata proporsi kadar ekstraktif aseton:air (9:1) di gubal lebih tinggi (44-52 %)
dibandingkan kayu juvenil (23-29 %) tetapi kadar etanol:air (8:2) lebih rendah (14-18%)
dibandingkan juvenil (25-29%). Pelarut aseton:air (9:1). mampu melarutkan senyawa
monomer gula, silitol, dan tanin sedangkan etanol:air (8:2) melarutkan komponen silitol,
polisakarida bermolekul rendah, tanin dan lignin (Bauch et al. 1991). Monomer gula,
polisakarida bermolekul rendah, dan silitol merupakan ekstraktif primer dimana dibutuhkan
sel-sel kayu yang masih hidup dan berfungsi untuk melakukan proses metabolisme.
Kenaikan kadar ekstraktif aseton:air (9:1) dan penurunan kadar ekstraktif terlarut etanol:air
(8:2) dari juvenil ke dewasa mengindikasikan semakin berkurangnya polisakarida bermolekul
rendah diiringi kenaikan monomer gula.
Pada kayu teras (Tabel 2) kecenderungan yang sama dengan kayu gubal juga
terlihat dimana nilai kadar ekstraktif total kayu juvenil asal Kalimantan lebih tinggi (7,90 %)
dari jati Mega (5,15 %). Dari komponen penyusunnya, perbedaan terlihat dimana pada jati
Kalimantan nilai rerata tertinggi didapatkan pada kadar ekstraktif terlarut aseton:air (9:1)
sebesar 2,31 % sedangkan pada jati Mega pada kadar ekstraktif terlarut air panas (1,51 %).
Apabila dari komposisi ekstraktifnya (Gambar 1), terlihat bahwa teras jati Mega mempunyai
proporsi kadar ekstraktif fraksi eter minyak, diklorometana dan air panas lebih tinggi daripada
jati Kalimantan. Perbandingan dengan kontrol maka didapatkan kadar ekstraktif total kayu
juvenil mendekati nilai teras dalam pada jati 18 tahun (7,99 %) dan jauh lebih rendah dari
kadar ekstraktif di bagian teras kontrol lainnya (9-15 %). Dari komponen penyusunnya, rerata
nilai kadar ekstraktif terlarut aseton:air (9:1), yang diduga dari komponen fenolat, pada
kontrol secara konsisten menunjukkan nilai lebih tinggi (2,5-4,2 %) dibandingkan kayu juvenil
(1,1-2,3 %) meski terdapat 1 sampel dari jati Kalimantan yang mempunyai nilai 3,80 %
(sampel no. 3). Pada kadar ekstraktif lainnya cukup variatif antara kayu juvenil dan kontrol.
Pelarut eter minyak mampu melarutkan asam lemak bebas, sterol, lilin, dan paraffin
sedangkan pelarut diklorometana melarutkan ester lemak, asam lemak hidroksi, sterol, ester
triterpena, dan lilin (Bauch et al. 1991). Dari komposisinya (Gambar 1), kenaikan kadar
ekstraktif terlarut eter minyak (28-43 %) maupun diklorometana (13-30%) pada teras jati 65
tahun terlihat jelas dibandingkan kayu juvenil (eter minyak 12-20 %, diklorometana 7-11 %)
yang disertai penurunan proporsi fraksi polarnya di jati 65 tahun terutama kadar terlarut
etanol:air (8:2) dan air panas. Kecenderungan berbeda didapatkan bila membandingkan
dengan kontrol jati 18 tahun dengan kayu juvenil dimana terdapat penurunan pada fraksi
etanol:air (8:2) dan air panas dan kenaikan fraksi aseton:air (9:1) di jati 18 tahun sedangkan
pada fraksi non-polar kecenderungannya bervariasi. Disamping kenaikan nilai kadar
ekstraktif terlarut aseton:air (9:1), fenomena tersebut menjelaskan semakin tua kayu teras
maka akan diikuti oleh semakin banyak terbentuknya fraksi non-polar.
Perubahan dari kayu gubal ke teras diikuti naiknya kadar ekstraktif non-polar serta
berkurangnya komponen ekstraktif aseton:air (9:1) yang terlihat pada jati Mega dan kontrol
tapi tidaklah jelas terlihat pada jati Kalimantan (Gambar 1). Penurunan kadar ekstraktif
etanol:air (8:2) juga terjadi kecuali pada jati Kalimantan dan teras luar jati 65 tahun. Hal
tersebut menunjukkan bahwa ada persamaan antara kecenderungan pembentukan gubal ke
teras dengan peningkatan umur kayu teras yaitu peningkatan fraksi non-polar. Penurunan
ekstraktif aseton:air (9:1) maupun etanol:air (8:2) diduga disebabkan karena berkurangnya

363
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

komponen senyawa monomer gula, silitol, hemiselulosa bemolekul rendah. Kadar ekstraktif
terlarut air panas yang mampu melarutkan hemiselulosa (Bauch et al. 1991) nilainya
bervariasi dari gubal ke teras menunjukkan tidak adanya hubungan langsung komponen
tersebut pada proses pembentukan teras.

Tabel 1. Nilai kadar ekstraktif (%) berdasarkan perbedaan pelarut di bagian gubal kayu Jati

No. Sampel Pelarut Ekstraktif


Eter Diklorometana Aseton:Air Etanol:Air Air Total
minyak (9:1) (8:2)
Jati Mega
1 0,37 0,08 0,64 0,79 0,77 2,64
2 0,13 0,20 0,50 0,86 0,78 2,48
3 0,22 0,14 0,54 0,84 0,54 2,29
4 0,23 0,19 0,43 0,94 0,48 2,27
5 0,19 0,20 0,60 0,87 0,55 2,40
6 0,33 0,13 0,38 0,56 0,83 2,22
7 0,54 0,27 1,54 1,00 0,79 4,13
8 0,90 0,72 0,99 0,26 1,40 4,27

Rerata 0,36 0,24 0,70 0,77 0,77 2,84


St. deviasi 0,25 0,20 0,39 0,24 0,29 0,85
Koef.variasi (%) 68,3 85,1 55,4 31,5 37,5 30,0
Kalimantan
1 0,73 0,32 1,22 1,31 0,78 4,37
2 0,55 0,37 0,98 0,91 1,07 3,89
3 0,50 0,27 2,10 1,40 1,49 5,76

Rerata 0,60 0,32 1,43 1,21 1,12 4,67


St. deviasi 0,12 0,05 0,59 0,26 0,36 0,98
Koef.variasi(%) 20,1 14,9 41,1 21,3 32,2 20,9
Rata-rata total 0,48 0,28 1,07 0,99 0,94 3,75
Kontrol
18 tahun 0,57 0,30 2,39 0,85 0,48 4,6
65 tahun 1,20 0,88 4,98 1,59 2,63 11,28

Gambar 1. Rerata komposisi ekstraktif pada kayu jati dengan ekstraksi 5 pelarut berbeda

364
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS

Tabel 2. Nilai kadar ekstraktif (%) berdasarkan perbedaan pelarut di bagian teras kayu Jati

No. Sampel Pelarut Total


Eter Diklorometana Aseton: Etanol : Air Ekstraktif
Minyak air air
(9:1) (8:2)
Jati Mega
1 1,15 0,36 0,81 0,77 1,60 4,68
2 1,82 0,45 0,86 0,81 1,81 5,76
3 0,92 0,58 1,07 0,85 2,11 5,53
4 0,80 0,71 0,88 0,64 1,19 4,22
5 0,69 0,68 0,87 0,76 1,62 4,62
6 1,06 0,53 1,16 0,79 1,55 5,08
7 1,07 0,45 1,52 1,41 1,09 5,54
8 1,06 0,99 1,69 0,95 1,11 5,79

Rerata 1,07 0,59 1,11 0,87 1,51 5,15


St. deviasi 0,34 0,20 0,33 0,24 0,36 0,59
Koef. variasi (%) 31,6 33,9 29,8 26,9 23,9 11,45
Kalimantan
1 0,63 0,74 1,60 0,84 0,93 6,41
2 1,26 0,69 1,55 0,94 0,86 8,45
3 1,09 1,73 3,80 1,05 1,17 8,83

Rerata 0,99 1,05 2,31 0,94 0,99 7,90


St. deviasi 0,33 0,59 1,28 0,11 0,16 1,30
Koef. variasi (%) 32,7 55,6 55,5 11,45 16,6 16,5
Rata-rata total 1,03 0,82 1,71 0,91 1,25 6,53
Kontrol
18 tahun
- Teras luar 2,43 1,08 2,51 0,92 1,06 7,99
- Teras dalam 1,13 0,93 4,27 1,15 1,55 9,04
65 tahun
- Teras luar 3,71 4,04 3,29 0,49 1,58 13,11
- Teras dalam 6,60 2,10 3,56 2,13 0,75 15,13

Secara umum, berdasarkan polaritasnya, pada kayu juvenil terlihat adanya kenaikan
fraksi non-polar dari gubal ke teras (Gambar 2). Kecenderungan tersebut juga diamati pada
kayu kontrol. Komposisi fraksi polar (78-81 %) dan non-polar (18-21 %) pada gubal relatif
tidak berbeda pada semua umur sedangkan pada kayu teras cukup bervariasi. Perbedaan
mencolok komposisi polar dan non-polar antara kayu juvenil dan kontrol terlihat pada teras
dalam jati 18 tahun dan teras luar dan dalam jati 65 tahun dimana semakin tua maka kadar
ekstraktif non-polar semakin meningkat. Fraksi non-polar bahkan menjadi dominan pada
bagian teras dalam (57 %) dan teras luar (59 %) di kayu 65 tahun. Perbedaan antara fraksi
non-polar dan polar pada penelitian ini sejalan dengan hasil sebelumnya (Narayanamurti et
al. 1962; Da Costa et al. 1958, Lukmandaru dan Takahashi 2008) meskipun terdapat
perbedaan metode dimana mereka tidak menggunakan pelarut air. Perlu dicatat bahwa
kayu kontrol umur 18 tahun masih mempunyai kadar fraksi polar yang lebih tinggi dari non-
polar. Menarik untuk diketahui apakah komposisi ekstraktif juga akan mengikuti batas juvenil
bila didasarkan sudut fibril yaitu sekitar 20-25 tahun (Bhat et al. 2001). Penelitian lanjutan
perlu dilakukan untuk menentukan pada lingkaran tahun ke berapa komposisi ekstraktif kayu
teras komposisi polar dan non-polar akan berimbang serta korelasi komposisi ekstraktif
dengan keawetan alaminya. Sampel dalam jumlah besar juga perlu untuk memperoleh nilai
koefisen variasi antar pohon yang relatif rendah.

365
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Gambar 2. Rerata komposisi ekstraktif polar dan non-polar pada kayu jati

KESIMPULAN

Kadar ekstraktif total pada kayu juvenil berkisar antara 2,2-5,7 % pada gubal dan 4,2-
8,8 % di teras dimana jati Kalimatan mempunyai kadar ekstraktif lebih tinggi jati dari Mega,
khususnya pada fraksi polar di bagian gubal. Pada kayu teras, jati Mega mempunyai
proporsi kadar ekstraktif fraksi eter minyak, diklorometana dan air panas lebih tinggi daripada
jati Kalimantan. Dibandingkan kayu dewasa, jati juvenil mempunyai nilai rerata proporsi
kadar ekstraktif aseton:air (9:1) di gubal lebih rendah tetapi kadar terlarut etanol:air (8:2)
lebih tinggi. Secara umum, terjadi kenaikan kadar ekstraktif fraksi non-polar dalam
pembentukan gubal ke teras maupun seiring kenaikan umur.

DAFTAR PUSTAKA

Bauch, J., Hundt, H.V., Weimann, G., Lange, W., Kubel, H. 1991. On the Causes of Yellow
Discolorations of Oak Heartwood (Quercus Sect. Robur) during Drying.
Holzforschung 45: 79-85.
Bhat, K.M., Florence E.J.M. 2003. Natural Decay Resistance of Juvenile Teak Wood Grown
in High Input Plantations. Holzforschung 57 :453-455
Bhat, K.M., Priya, P.B., Rugmini, P. 2001. Characterisation of Juvenile Wood in Teak. Wood
Science and Technology 34: 517-532.
Da Costa, E.W.B., Rudman, P., Gay, F.J. 1958. Investigations on the Durability of Tectona
grandis. Empirical Forestry Review 37: 291298.
Haygreen, J.G., Bowyer, J.L. 1989. Hasil Hutan dan Ilmu Kayu. Gadjah Mada University
Press (terjemahan). Yogyakarta.
Haupt, M., Leithoff, H., Meier, D., Puls, J., Richter, H.G., Faix, O. 2003. Heartwood
Extractives and Natural Durability of Plantation-Grown Teakwood (Tectona grandis
L.) a Case Study. Holz als Roh- und Werkstoff 61:473 474.
Lukmandaru, G., Takahashi, K. 2008. Variation in the Natural Termite Resistance of Teak
(Tectona grandis Linn. fil.) Wood as a Function of Tree Age. Ann. For. Sci. 65: 708
p18.
Narayanamurti, D., George, J., Pant, H. C., Singh, J. 1962. Extractive in Teak. Silvae
Genetica, 11:57-63
Sandermann, W., Simatupang, M.H. 1966. On the Chemistry and Biochemistry of Teakwood
(Tectona grandis L. f.). Holz als Rohund Werkstoff 24:190204.

366
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS

PEMANFAATAN KULIT SIKKAM (Bischotia javanica) SEBAGAI


BAHAN ALTERNATIF PENYEDAP RASA ALAMI

Jepri GM Purba, Felix Ardiansyah, Desi Inesari,


Dita Arlita, dan Ganis Lukmandaru
Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada
Email : dunk_mau@yahoo.com

ABSTRAK

Kulit dari pohon sikkam (Bischotia javanica) di daerah Sumatera Utara telah
digunakan sebagai bahan penyedap rasa makanan. Penduduk sekitar sama sekali tidak
menggunakan campuran dari bahan-bahan penyedap makanan berbahan kimia untuk
memasak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sifat kimia dari kulit sikkam serta
membandingkannya rasanya dengan penyedap rasa komersial. Dari hasil pengujian
diperoleh kadar protein sebesar 2,45 2,48%, kadar lemak 0,41- 0,47% (metode fk:6.25).
Pada pengukuran zat anorganik melalui pengabuan dengan suhu 6000c diperoleh kadar abu
ekstrak sebesar 0,23% dengan kadar kalsium, besi, fosfor berturut-turut sebesar 35, 41, dan
196 ppm. Melalui uji fitokimia telah terdeteksi senyawa saponin dan tanin. Dari hasil uji
sensori terhadap 14 responden diperoleh hasil 2 gram penyedap rasa komersial sebanding
dengan 6 gram ekstrak sikkam. Berdasarkan hasil uji tersebut dapat disimpulkan bahwa kulit
sikkam berpotensi untuk bahan penyedap rasa alami.

Kata kunci: Bischotia javanica, kulit, ekstrak, penyedap rasa, sifat kimia.

PENDAHULUAN

Beberapa bahan baku makanan dicampuri oleh bahan-bahan kimia yang dapat
merusak kerja sistem organ dalam jangka waktu lama, demikian pula zat penyedap rasa
komersial yang umumnya mengandung zat kimia sintetis. Untuk meminimalisir masalah
tersebut, kami berkaca tentang pemanfaatan kulit dari pohon sikkam (Bischotia javanica) di
daerah Sumatera Utara. Penduduk sekitar sama sekali tidak menggunakan campuran dari
bahan-bahan penyedap makanan berbahan kimia untuk memasak namun menggunakan
ekstrak kulit sikkam sebagai penyedap makanan. Hal ini merupakan suatu terobosan untuk
jangka waktu ke depannya dalam menjaga kesehatan manusia.
Sikkam berupa pohon besar yang tingginya dapat mencapai 40 m, diameter batang
95 - 150 cm. Batangnya lurus, tanpa mata kayu ataupun bomi akar, tidak beralur. Bentuk
daun bundar telur yang berbagi/berlekuk tiga serta meruncing ke ujung daun. Duduk daun
atau letaknya spiral/melingkar, mempunyai tangkai daun panjang. Tumbuh di dataran rendah
sampai ketinggian 1500 m dpl. (Khan et al. 2001). Kulit sikkam mempunyai beberapa
manfaat, yang salah satunya adalah pemanfaatan kulit sikkam sebagai bahan alternatif
penyedap makanan. Keunggulan produk ini adalah berupa bahan alami yang diasumsikan
mengandung senyawa-senyawa yang bermanfaat bagi tubuh dan tidak menyebabkan efek
samping pada tubuh. Segi positif lainnya adalah karena produksinya masih menggunakan
cara tradisional dan tidak ada limbah. Selain itu juga dapat mengurangi penyakit-penyakit
yang disebabkan oleh bumbu-bumbu dari bahan kimia sintetis.
Penelitian tentang kulit sikkam sebagai bahan penyedap rasa makanan belum
pernah dilakukan. Dalam penelitian ini, bahan berupa kulit sikkam dianalisa secara kimia
yaitu kandungan protein, lemak, zat anorganik, serta fitokimianya. Selain itu tujuan lainnya
adalah mengukur potensi dari rendemen ekstraknya serta menbandingkan penyedap rasa
dari sikkam dengan penyedap rasa komersial.

367
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

BAHAN DAN METODE PENELITIAN

Kulit sikkam diperoleh dari pohon yang tumbuh di Medan. Sebanyak 371,5 gram kulit
sikkam (setara berat kering) diperoleh dari pengelupasan satu batang pohon. Kulit dipotong-
potong dan ditumbuk atau diperas untuk mendapatkan ekstraknya. Untuk menghilangkan
minyaknya, ekstrak sikkam dilarutkan dalam pelarut diklorometana melalui labu pemisah.
Fraksi berair kemudian diambil dan dikeringkan dengan cabinet dryer selama 3-4 jam.
Setelah didapatkan ekstrak keringnya, dilakukan perhitungan rendemen dan pengujian
antara lain :
1. Pengukuran kadar protein dan lemak
Ekstrak kering sebanyak 4 gram dilarutkan dalam 30 ml HCl 5M dan dipanaskan
dengan refluks selama 4 jam. Larutan yang sudah terhidrolisis kemudian disaring
dengan kertas Whatmann no.40 dan dinetralkan dengan NaOH sampai pH 5-6.
Selanjutnya ekstrak tersebut dianalisa dengan metode fk: 6.25 untuk kadar protein dan
lemaknya (Sudarmadji et al. 1984)
2. Pengukuran kadar zat anorganik
Sebanyak 1 g ekstrak kering diabukan sampai suhu 6000C selama kurang lebih
3-4 jam. Abu yang tersisa ditimbang untuk mengetahui kadar abunya dan kemudian
dilarutkan dengan HCl 6M untuk mengetahui kadar abu tak larut asam mengacu standar
TAPPI T 244 om88 (1992). Dari hasil penyaringan, destilatnya diuji kadar kalsium, besi,
dengan alat Atomic Absorption Flame Emission Spectrophotometer 6200 Shimadzu dan
uji kadar fosfor dengan alat Spectrophotometer 1700 Shimadzu.
3. Uji Fitokimia
a. Alkaloid
Sejumlah 0,5 g ekstrak ditambahkan 5 mL kloroform-amoniak, lalu disaring ke
dalam tabung reaksi. Filtrat ditambahkan dengan beberapa tetes H2SO4 2 M dan
dikocok sehingga terpisah dua lapisan, lalu diambil lapisan yang atas (bening) dan
ditaruh diwadah gelas. Lapisan atas tersebut ditetesi reagen Meyer, lalu bila terlihat
endapan putih maka ekstrak tersebut positif mengandung alkaloid.
b. Flavonoid
Sejumlah 0,5 g ekstrak ditambah 1-2 ml metanol 50 % sampai serbuk
terendam seluruhnya dan diaduk. Setelah itu dipanaskan sampai mendidih lalu
disaring dengan kertas saring. Hasil saringan ditetesi 1-5 tetes NaOH 1%. Setelah itu
dikocok, dan bila terlihat warna kuning berarti ekstrak tersebut positif mengandung
flavonoid.
c. `Saponin
Sebanyak 0,5 g ekstrak dimasukkan ke dalam tabung reaksi lalu ditambahkan
air sebanyak 5 ml lalu diaduk. Kemudian dipanaskan selama 5 menit lalu disaring
dengan kertas saring dan dikocok-kocok. Setelah dikocok terlihat buih yang tidak
hilang sampai 10 menit, maka ekstrak tersebut mengandung saponin.
d. Tanin
Sebanyak 0,5 g ekstrak dimasukkan kedalam tabung reaksi lalu ditambahkan
air sebanyak 5 ml kemudian diaduk-aduk. Setelah itu dipanaskan selama beberapa
menit lalu disaring dengan kertas saring. Hasil penyaringan ditetesi 5-10 tetes FeCl3
1%. Bila warnanya menjadi biru gelap atau hijau gelap maka ekstrak tersebut positif
mengandung tanin.

4. Uji Sensori
Uji sensori dilakukan dengan membuat sampel yaitu berupa ayam opor dalam
500 ml air dan 200 ml santan. Setiap sampel tersebut diberi perlakuan 2, 4, dan 6 g
ekstrak kering sikkam. Sebagai pembanding sampel opor ayam tersebut diberi 2 g
penyedap rasa komersial. Keempat sampel makanan diberikan kepada 14 responden
yang tidak mengetahui perlakuan pada ayam opor tersebut. Kemudian semua
responden memberi penilaian terhadap keempat sampel dengan nilai yaitu :

368
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS

5 = sangat enak
4 = enak
3 = tidak enak

Dari nilai yang terkumpul kemudian dijumlahkan untuk semua responden.

HASIL PENELITIAN

Hasil dari penelitian dapat diperoleh bahwa bahan baku berupa kulit sikkam dalam
keadaan kering setara 371,5 gram dapat menghasilkan ekstrak kering berupa padatan
sebanyak 14,3 gram sehingga didapatkan hasil rendemen dari sikkam tersebut sebanyak 3,8
%. Dengan mengasumsikan dalam satu pohon tinggi 12 m dimana 1 meter akan
menghasilkan 0,5 kg kulit (keadaan kering) maka akan dihasilkan sekitar 0,2 kg ekstrak
kering.
Hasil pengujian kadar protein, lemak, zat anorganik serta uji fitokimia pada kulit
sikkam dan perbandingannya dengan penyedap rasa lainnya dapat dilihat pada Tabel 1. Dari
hasil penelitian diatas dapat disimpulkan bahwa kandungan dari kulit sikkam tersebut
mempunyai kandungan gizi yang cukup tinggi dari berbagai contoh bahan baku yang
lainnya. Pada tabel di atas dapat dilihat bahwa kandungan protein dari sikkam tersebut lebih
tinggi dari kandungan protein jahe dan kunyit, tetapi lebih rendah dari kecap dan santan.
Pada kandungan lemak, ekstrak sikkam memeliki nilai lebih rendah dari bahan baku lainnya.
Pada kandungan zat anorganik seperti kalsium, besi, dan fosfor, ekstrak sikkam mempunyai
nilai yang cukup tinggi dari beberapa bahan baku lainnya. Hal tersebut menunjukkan kulit
sikkam tersebut dapat dimanfaatkan sebagai bahan alternatif penyedap rasa makanan
karena memiliki nilai gizi tinggi. Dari data diatas juga dapat dilihat bahwa kulit sikkam
terdeteksi adanya saponin dan tanin yang bisa berpengaruh positif terhadap tubuh manusia
seperti anti-oksidan.

Tabel1. Sifat kimia dari kulit sikkam dan perbandingan dengan bahan baku lainnya

Kadar Sikkam Jahe 1) Kunyit 1) Kecap 1) Santan 1)


Protein (%) 2,45 2,48 1,5 2,0 5,7 4,2
Lemak (%) 0,41 0,47 1,0 2,7 1,3 34,3
Zat anorganik
-abu (%) 2,93
-abu tak larut asam 1,15
(%)
-kalsium(ppm) 35 21 24 123 14
-besi(ppm) 41 1,0 3,3 5,7 1,9
-fosfor(ppm) 196 39 78 96 45
Fitokimia
-saponin +
-tanin +
-alkaloid -
-flavonoid -
Sumber : 1) Sediaoetama (1976)

Untuk mengetahui bisa diterima atau tidaknya rasa penyedap dari kulit sikkam maka
dilakukan uji sensoris. Hasil pengujian sensori dapat dilihat pada diagram dibawah ini :

369
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Gambar 1. Hasil uji sensori pada ekstrak kulit sikkam sebagai penyedap rasa
( n = 14 responden)

Dari diagram diatas terlihat bahwa skor tertinggi didapatkan pada perlakuan 6 g
ekstrak sikkam yaitu 58. Apabila dibandingkan dengan penyedap rasa komersial maka
nilainya sebanding. Hal ini menunjukkan bahwa dengan kadar relatif tinggi, kulit sikkam
mampu mendekati penyedap rasa komersial. Dibawah 6 g ekstrak sikkam skornya masih
dibawah penyedap komersial.

KESIMPULAN

Karakterisasi beberapa sifat kimia kulit sikkam serta uji sensorinya untuk pertama kali
dilaporkan. Dari hasil penelitian didapatkan rendemen ekstrak kulit sikkam sebesar 3,8%
dengan rerata kadar proten dan lemak sebesar 2,46 dan 0,45% secara berturutan. Pada zat
anorganik, didapatkan kadar abu, abu tak larut asam, kalsium, besi dan fosfor sebesar
2,93%, 1,15%, 35 ppm, 41 ppm, 196 ppm secara berturutan. Pada ekstrak sikkam terdeteksi
tanin dan saponin. Berdasarkan hasil uji sensori perlakuan dengan 6 g ekstrak sikkam
mempunyai skor yang sama dengan 2 g penyedap rasa komersial. Dari hasil perbandingan
dengan bahan baku lainnya kulit sikkam berpotensi dijadikan bahan penyedap rasa alami
alternatif.

DAFTAR PUSTAKA

Khan, M. R., M. Kihara dan A. D. Omoloso, 2001. Anti-microbial Activity of Bidens pilosa,
Bischofia javanica, Elmerillia papuana and Sigesbekia orientalis. Department of
Applied Sciences, Papua New Guinea University of Technology, P.M.B. Lae, Papua
New Guinea.
Sediaoetama, A.D. Ilmu Gizi, Masalah Gizi dan Perbaikannya, Jilid 1, PT Dian Rakyat,
Jakarta, 1976.
Sudarmadji, S., Haryono, B., Suhardi, 1984, Prosedur Analisa Bahan Makanan dan
Pertanian, Liberty, Yogyakarta.
TAPPI. 1992. TAPPI Test Method. Tappi Press. Atlanta, Georgia.

370
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS

PENGARUH SUHU DALAM PEMBUATAN PELLET DARI


LIMBAH PADAT INDUSTRI SAWIT
Sasa Sofyan Munawar dan Bambang Subyanto
UPT. Balai Penelitian dan Pengembangan Biomaterial LIPI1, Pusat Inovasi LIPI2
Jl. Raya Bogor KM.46 Cibinong, Bogor, 16911
e-mail: sasasofyanm@yahoo.com, sasasofyanm@biomaterial.lipi.go.id

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh suhu kempa dalam pembuatan
pellet yang terbuat tandan kosong sawit (TKS), cangkang sawit (CS), dan pelepah sawit
(PS). Serat TKS, CS dan PS dihancurkan menjadi partikel kecil (lolos 40 mesh), kemudian
dikeringkan. Setelah dikeringkan, partikel dicetak dan dikempa menjadi pellet menggunakan
mesin pellet konvensional (sistem kempa) pada suhu 150qC, 200qC dan 250qC selama 10
menit. Morfologi, kerapatan, kadar air, kadar abu, nilai kalor pembakaran dan kekuatan
mekanis dihitung untuk mengetahui kualitasnya. Kerapatan pellet berkisar antara 0,45-0,95
g/cm3, dimana yang tertinggi pada pellet CS sebesar 0,95 g/cm3 dan terendah pada pellet
PS sebesar 0,45 g/cm3. Kadar air pellet berkisar antara 0,99-2,27%, dimana yang terkecil
dan terbesar terdapat pada pellet dari PS. Kadar abu pellet berkisar antara 4,47-20,06 (%),
dimana yang terkecil pada pellet PS sebesar 4,47% dan terbesar pada pellet CS sebesar
20,06%. Nilai kalor pellet berkisar antara 3.073-4.103 Kal/g, dimana yang terbesar pada
pellet PS sebesar 4.103 Kal/g dan terkecil pada pellet CS sebesar 3.073 Kal/g. Semakin
tinggi suhu kempa menyebabkan kerapatan masing-masing pellet meningkat, kadar air dan
abunya menurun dan nilai kalornya meningkat. Pellet dengan bahan baku pelepah sawit
yang diproses pada suhu 200-250C menunjukkan hasil terbaik.

Kata kunci: tandan kosong sawit, cangkang sawit, pelepah sawit, pellet, kualitas.

PENDAHULUAN

Biomassa meliputi semua bahan yang bersifat organik (El Bassam dan Maegaard,
2004). Bahan yang termasuk biomassa antara lain sisa hasil hutan dan perkebunan, limbah
pertanian, kayu dan limbah kayu, tanaman air, dan limbah industri serta limbah permukiman
(Bergman dan Zerbe, 2004).
Biomassa dapat dipergunakan sebagai sumber bahan bakar untuk panas, listrik dan
transportasi (Siemers, 2006). Namun, biomassa tidak dapat langsung dibakar karena sifat
fisiknya yang buruk seperti kerapatan energi yang rendah (Saptoadi, 2006). Untuk
meningkatkan kandungan energi tiap satuan volume dan mengurangi biaya transportasi,
maka metode densifikasi menjadi alternatifnya (Leach dan Gowen, 1987). Produk sebagai
sumber energi yang dihasilkan dari biomassa dengan metode densifikasi diantaranya adalah
briket dan pellet.
Pellet diproduksi pertama kali di Swedia pada tahun 80-an. Pada tahun 2008, total
konsumsi pellet di swedia sebesar 1.850.000 ton (FORCE Technology, 2009). Pellet
biomasa (bio-pellet) adalah bahan bakar yang diproses melalui proses densifikasi dari bahan
lignoselulosa. Bahan lignoselulosa yang biasa digunakan adalah kayu, limbah pengolahan
kayu, dan sumber-sumber biomassa non-kayu. Bio-pellet rata-rata memiliki panjang 1.5 cm,
diameter 1 cm dan berat 25 gram. Kalori yang dihasil bio-pellet berkisar antara 4.000-5.000
kilo kalori/kilogram setara dengan kalori batubara muda. Sedangkan kadar abunya cukup
rendah antara 2-5%, sehingga akhir dari penggunaan bio-pellet tidak terlalu menimbulkan
masalah baru (Fasina and Sokhansanj, 1993). Dengan demikian, diharapkan penggunaan
batubara yang tidak ramah lingkungan dapat disubtitusi bahkan diganti dengan bio-pellet di
masa mendatang.

371
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Bio-pellet digunakan sebagai bahan bakar untuk pemanas ruangan rumah/apartemen


atau industri skala kecil. Negara Asia yang sudah menggunakan pellet biomasa untuk
keperluan rumah tangga dan industri adalah Jepang dan Korea. Korea telah membangun
13.000 boiler industri yang menggunakan pellet. Konsumsi pellet Korea dan Jepang masing-
masing sebesar 27.000 ton (15.000 ton produksi sendiri, 12.000 ton impor) dan 96.000 ton
(36.000 ton produksi sendiri dari 51 pabrik pellet, 60.000 ton impor) (Wood Pellet Association
of Canada, 2010).
Saat ini, bio-pellet di Indonesia terbuat dari limbah industri kayu atau penggergajian
kayu. Industri bio-pellet yang sudah berdiri di Indonesia adalah PT Solar Park Indonesia di
Wonosobo, Jawa Tengah, dengan kapasitas 10 ton/jam. Keseluruhan produknya saat ini
dipasarkan ke Korea (AgroIndonesia, 2009). Diprediksi, dalam beberapa tahun kedepan
produksi pellet kayu sengon akan kesulitan bahan baku seiring menurunnya produksi kayu
akibat kerusakan kawasan hutan, sehingga limbah pengolahan kayu sebagai bahan baku
bio-pellet pun berkurang.
Dilain pihak, limbah industri pengolahan sawit dapat menjadi alternatif pengganti
bahan baku kayu untuk dipakai sebagai bahan pembuat bio-pellet. Dengan areal
perkebunan sawit saat ini seluas 8,4 juta hektar (Dirjen Perkebunan, 2010), dan potensi
limbah padat berupa tandan kosong (4,6 ton/ha/tahun), pelepah (10 ton/ha/tahun) dan
cangkang sawit (1,4 ton/ha/tahun) maka berturut-turut akan dihasilkan limbah TKS, PS, dan
CS sebesar 35,9 juta ton, 78,2 juta ton dan 10,9 juta ton per tahun. Bila potensi ini dapat
dimanfaatkan untuk bahan baku bio-pellet dengan harga bahan baku rendah, maka produk
bio-pellet yang dihasilkan akan memiliki harga jual yang kompetitif. Saat ini harga bio-pellet
dunia berkisar antara 100-200 US dollar/ton.
Berdasarkan hal tersebut, pada penelitian ini dilakukan pemanfaatan sumber
biomassa yang berasal dari limbah tandan kosong, pelepah dan cangkang sawit sebagai
bahan baku pembuat bio-pellet sebagai sumber energi. Morfologi, kerapatan, kadar air,
kadar abu, nilai kalor pembakaran dan kekuatan mekanis dihitung untuk mengetahui
kualitasnya mengacu standar yang digunakan negara-negara di Asia, Eropa dan Amerika.

METODOLOGI

Persiapan bahan baku


Serat TKS, PS dan CS dirubah bentuknya manjadi partikel menggunakan drum
chipper, ring flaker, hammer mill, dan disc mill. Kemudian, partikel disaring hingga lolos 40
mesh. Partikel yang lolos saringan selanjutnya dikeringkan dengan sinar matahari dan kilang
pengering pada suhu 700C selama 2 hari.

Pembuatan pellet
Proses pencetakan bio-pellet dimulai dengan memasukkan partikel kering TKS, PS
dan CS ke dalam lubang pencetak pada alat pellet konvensional. Alat pellet ini
menggunakan tenaga penggerak panas dari listrik dan dioperasikan secara manual. Proses
pencetakan menggunakan suhu 150, 200, 2500C selama 10 menit. Bio-pellet yang
dihasilkan disimpan dalam karung plastik dan ditutup rapat untuk menjaga kadar air tidak
naik. Selanjutnya, bio-pellet diamati morfologinya, diuji kerapatan (ASTM D4784), kadar air
(ASTM D3173), kadar abu (ASTM D3174), nilai kalor (ASTM D1989) dan kekuatan
mekanisnya. Hasil pengujian kemudian dibandingkan dengan standar bio-pellet yang
dipergunakan dibeberapa negara (Tabel 1) untuk mengetahui capaian kualitasnya dan
dibandingkan dengan standar.

372
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS

Tabel 1. Standar bio-pellet yang dipergunakan dibeberapa negara.

norm M Pellet Fuel ITEBE


Kualitas/ DIN 51731 SS 187120
Unit 7135 Institute (2001-
Parameter (Jerman) (Sweden)
(Austria) (USA) 2007)
Kerapatan kg/dm3 >1,12 1,0-1,4 >0,6 >0,64 >1,15
Kadar Air % <10 <12 <10 - <15
Kadar Abu % <0,5 <1,5 <0,7 <3 (standar) <6
<1 (premium)
Nilai Kalor MJ/kg >18 17,5-19,5 >16,9 >19,08 >16,9
Sumber : Renewable Fuels Ltd (2012)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Morfologi bio-pellet
Produk bio-pellet dihasilkan melalui proses pencetakan dengan alat konvensional
sistem kempa yang dapat diatur penggunaan suhunya. Pada penelitian ini parameter suhu
yang dipergunakan adalah 150qC, 200qC dan 250qC dengan lama kempa 10 menit.
Morfologi bio-pellet menggunakan suhu 200qC tersaji dalam Gambar 1.

Gambar 1. Produk bio-pellet dengan perlakuan pemanasan pada suhu 200qC (kiri-kanan);
TKS, PS, CS, dan yang dihasilkan industri (limbah gergajian kayu sengon).

Secara umum, bio-pellet dapat dihasilkan dengan menggunakan suhu mulai 150qC
dengan lama kempa 10 menit. Pellet yang dihasilkan pada penelitian ini teksturnya tidak
mengkilap, diraba akan terasa kasar, materialnya mudah terurai bila terkena guncangan,
beratnya lebih ringan (per satuan volume). Bila dibandingkan dengan bio-pellet yang
dihasilkan menggunakan mesin ekstruder (lazim dipergunakan di industri), maka secara fisik
nampak perbedaan yang sangat jelas. Pellet ekstruder memiliki penampakan mengkilap,
licin, keras (Gambar 1) dan lebih berat (per satuan volume) dibanding pellet konvensional
yang dihasilkan pada penelitian ini. Kondisi tersebut terjadi karena materialnya ditekan dan
dicetak dengan tekanan tinggi pada saat proses pembuatan pellet.
Kondisi fisik/morfologi bio-pellet dari tiga jenis material dengan perbedaan suhu
kempa menunjukkan perbedaan. Bio-pellet pelepah sawit terbentuk dan tidak mudah terurai
mulai suhu 200qC, sedangkan bio-pellet tandan sawit dan cangkang sawit terbentuk dan
tidak mudah terurai mulai suhu 250qC. Bio-pellet cangkang sawit sulit dibentuk karena
terlalu kering sedangkan bio-pellet tandan kosong mudah terurai karena sulit untuk dibuat
menjadi partikel yang halus. Bio-pellet pelepah sawit berwarna coklat setelah dicetak
dengan suhu kempa 150-200qC dan berubah menjadi coklat kehitaman setelah dicetak
dengan suhu kempa 250qC. Hal yang sama juga terdapat pada bio-pellet tandan kosong
sawit, setelah dicetak dengan suhu kempa 150-200qC dan berubah menjadi coklat
kehitaman setelah dicetak dengan suhu kempa 250qC. Sedangkan bio-pellet cangkang
sawit tetap berwarna hitam seperti bahan bakunya.

373
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Kerapatan bio-pellet
Kualitas bio-pellet salah satunya tergantung dari berat jenis material pembentuknya.
Pada Tabel 2, tersaji berat jenis tiga material yang dipergunakan dalam penelitian ini.
Pelepah sawit memiliki berat jenis paling rendah (0,45 g/cm3) dan cangkang sawit memiliki
berat jenis paling besar (0,94 g/cm3). Perbedaan berat jenis ini akan berpengaruh terhadap
kekompakan material dalam produk bio-pellet. Bio-pellet dari material dengan berat jenis
rendah akan lebih kompak sehingga secara fisis tidak mudah terurai karena guncangan
mekanis.

Tabel 2. Berat jenis PS, TKS dan CS sebagai bahan baku produk bio-pellet.

Bahan baku Berat jenis (g/cm3)


Pelepah sawit 0,45
Tandan kosong sawit 0,47
Cangkang sawit 0,94

Bio-pellet yang dihasilkan dari pelepah sawit memiliki kualitas fisik paling baik
dibanding material lainnya. Pada kerapatan bio-pellet yang sama antar material, maka bio-
pellet pelepah sawit dengan kerapatan material paling rendah membutuhkan partikel dengan
volume terbesar. Sehingga, dengan volume yang besar saat pencetakan, partikel-partikel
yang membentuk bio-pellet akan menyatu secara kompak (rasio kekompakkan tinggi).

1 PS TS CS
Kerapatan Bio-pellet (g/cm3)

0.8

0.6

0.4

0.2

0
150 200 250
Suhu Kempa (C)

Gambar 2. Kerapatan bio-pellet yang dihasilkan dari PS, TKS dan CS


pada suhu kempa 150, 200, 250C selama 10 menit.

Kerapatan bio-pellet yang dihasilkan melalui pencetakan pada suhu 150-250qC


selama 10 menit dengan takaran volume material yang sama tersaji pada Gambar 2.
Kerapatan bio-pellet untuk seluruh material berkisar antara 0,45-0,97 g/cm3. Terlihat bahwa
kerapatan bio-pellet tertinggi untuk semua jenis material dihasilkan pada suhu 200qC dan
sedikit menurun jika dikempa pada suhu 250qC, kecuali pada CS. Hal tersebut disebabkan
karena ikatan sendiri antar partikel (self bonding) akan meningkat seiring dengan
meningkatnya suhu kempa. Kerapatan bio-pellet paling optimum dihasilkan dengan kondisi
pencetakan pada suhu 200qC. Namun, sebagian besar nilai kerapatan bio-pellet belum
memenuhi standar yang ada (Tabel 1). Standar kerapatan bio-pellet di beberapa negara
berkisar antara 0,6-1,4 g/cm3. Peningkatan kerapatan dimungkinkan bila proses pencetakan
pellet menggunakan alat pencetak pellet tipe ekstruder.

374
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS

Kadar air bio-pellet


Kadar air adalah rasio antara jumlah air di dalam zat dengan berat keringnya. Kadar
air merupakan salah satu karakteristik yang paling penting untuk menentukan kualitas bio-
pellet. Hal ini terkait dengan kecepatan pengapian, asap dan penyimpanannya. Kadar air
rendah akan membuat pengapian bio-pellet lebih mudah dan waktu penyimpanan menjadi
lebih lama. Kadar air yang tinggi dapat menyebabkan pertumbuhan jamur selama
penyimpanan (Setyaningsih et all., 2010).

2.5 PS TS CS

2
Kadar Air (%)

1.5

0.5

0
150 200 250
Suhu Kempa (C)

Gambar 3. Kadar air bio-pellet yang dihasilkan dari PS, TKS dan CS pada
suhu kempa 150, 200, 250C selama 10 menit.

Kadar air bio-pellet dari pelepah, tandan dan cangkang sawit yang dihasilkan dengan
pencetakan pellet pada suhu 150-250qC selama 10 menit tersaji pada Gambar 3. Kadar air
bio-pellet untuk seluruh material berkisar antara 0,99-5,83%. Standar kadar air bio-pellet di
beberapa negara harus di bawah 10-15%, sehingga kadar air bio-pellet yang dihasilkan
sudah memenuhi standar yang dipersyaratkan beberapa negara seperti tersaji pada Tabel 3.
Kadar air terendah terdapat pada bio-pellet pelepah sawit sebesar 0.99% dan tertinggi juga
pada bio-pellet pelepah sawit sebesar 2.27%. Maka berdasarkan data di atas, kadar air bio-
pellet menurun dengan semakin tingginya suhu kempa.

Kadar abu bio-pellet


Kadar abu bio-pellet yang dihasilkan dari pelepah, tandan dan cangkang sawit tersaji
pada Gambar 4. Kadar abu bio-pellet untuk seluruh material sangat tinggi berkisar antara
4,15-20,06%, sedangkan standar kadar abu bio-pellet di beberapa negara harus di bawah
0,5-6% (Tabel 2). Kadar abu pellet berkisar antara 4,47-20,06 (%), dimana yang terkecil
pada pellet PS sebesar 4,47% dan terbesar pada pellet CS sebesar 20,06%. Maka
berdasarkan data di atas, semakin tinggi suhu kempa menyebabkan sedikit penurunan kadar
abu.
Kadar abu bio-pellet pelepah dan sebagian kadar abu bio-pellet tandan kosong sawit
memenuhi standar ITEBE yang mempersyaratkan kadar abu <6%. Di lain pihak, kadar abu
bio-pellet yang dihasilkan industri (sengon) sebesar 2,03% dan telah diterima di pasar korea
selatan.

375
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

25 PS TS CS

20

Kadar Abu (%)


15

10

0
150 200 250
Suhu Kempa (C)

Gambar 4. Kadar abu bio-pellet yang dihasilkan dari PS, TKS dan CS pada
suhu kempa 150, 200, 2500C selama 10 menit.

Nilai kalor pembakaran


Nilai kalor pembakaran bio-pellet yang dihasilkan dari pelepah, tandan dan cangkang
sawit ditampilkan pada Gambar 5. Nilai kalor pembakaran bio-pellet untuk seluruh material
berkisar antara 3.073-4.103 Kal/gr dan telah memenuhi standar minimun di Jerman dan
Swedia. Nilai kalor tertinggi dihasilkan dari bio-pellet dengan bahan baku pelepah sawit
pada kondisi pencetakan dengan suhu 250qC sebesar 4,103 Kal/gr (17.17 MJ/kg) dan
terkecil pada pellet cangkang sawit sebesar 3.073 Kal/g. Sebagai perbandingan, nilai kalor
bio-pellet industri dengan bahan baku limbah penggergajian sengon yang telah diekspor ke
Korea Selatan sebesar 4,033 Kal/gr. Maka berdasarkan data di atas, nilai kalor bio-pellet
meningkat dengan semakin tingginya suhu kempa.
Untuk meningkatkan nilai kalor dan sifat fisik produk bio-pellet dapat diupayakan
dengan melakukan penambahan bahan tambahan seperti gliserol dari limbah jarak, tepung
tapioka dan tepung kentang (Kuokkanen et all., 2009; Trangkaprasith et all., 2010; Brakley et
all., 2011).

4500 PS TS CS
4000
Nilai kalor (Kal/gr)

3500
3000
2500
2000
1500
1000
500
0
150 200 250
Suhu Kempa (C)

Gambar 5. Nilai kalor pembakaran bio-pellet yang dihasilkan dari PS, TKS dan CS
pada suhu kempa 150, 200, 250C selama 10 menit.

376
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS

KESIMPULAN

1. Partikel pelepah, tandan dan cangkang sawit telah dapat dibuat bio-pelet menggunakan
alat pencetak pellet konvensional pada suhu 150-250qC selama 10 menit.
2. Suhu optimum untuk menghasilkan bio-pellet yang tidak mudah terurai adalah 200-
250qC.
3. Kerapatan bio-pellet seluruh material berkisar antara 0,45-0,97 g/cm3, dan belum
memenuhi standar (0,6-1,4 g/cm3). Kerapatan tertinggi pada pellet cangkang sawit
sebesar 0,95 g/cm3 dan terendah pada pellet pelepah sawit sebesar 0,45 g/cm3.
4. Kadar air bio-pellet seluruh material berkisar antara 0,99-5,83%, dan sudah memenuhi
standar, yaitu harus di bawah 10-15%. Kadar air terkecil dan terbesar terdapat pada
pellet pelepah sawit.
5. Kadar abu bio-pellet seluruh material sangat tinggi berkisar antara 4,15-20,06%,
sedangkan standar kadar mensyaratkan harus di bawah 0,5-6%. Kadar abu terkecil
pada pellet pelepah sawit (4,47%) dan terbesar pada pellet cangkang sawit (20,06%).
6. Nilai kalor bio-pellet untuk seluruh material telah memenuhi standar yaitu berkisar antara
3,073-4,195 Kal/gr. Nilai kalor terbesar terdapat pada pellet pelepah sawit (4.103 Kal/g)
dan terkecil pada pellet cangkang sawit (3.073 Kal/g).
7. Semakin tinggi suhu kempa menyebabkan kerapatan masing-masing pellet meningkat,
kadar air dan abunya menurun dan nilai kalornya meningkat. Pellet dengan bahan baku
pelepah sawit yang diproses pada suhu 200-250qC menunjukkan hasil terbaik.

UCAPAN TERIMAKASIH

Kami mengucapkan terima kasih kepada Jayadi, Sudarmanto, Syaiful dan Fazhar
yang telah membantu terselesaikannya penelitian ini, juga kepada Pusat Inovasi LIPI yang
telah membiayai penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

AgroIndonesia. 2009. Korea Bangun HTI untuk Energi Biomasa Kayu.


http://agroindonesia.co.id/2009/06/16/korea-bangun-hti-untuk-energi-biomasa-kayu/
Bergman R. dan J. Zerbe. 2004. Primer on Wood Biomass for Energy. USDA Forest Service,
State and Private Forestry Technology Marketing Unit Forest Products Laboratory.
Madison, Wisconsin.
Brackley, AM., Daniel J Parrent. 2011. Production of Wood Pellets From Alaska-Grown
White Spruce and Hemlock. General Technical Report, PNW-GTR-845. United States
Department of Agriculture.
Dirjen Perkebunan Kementerian Pertanian. 2010. Data statistik perkebunan kelapa sawit.
El Bassam N. dan P. Maegaard. 2004. Integrated Renewable Energy or Rural Communities.
Planning guidelines, Technologies and Applications. Elsevier. Amsterdam
Fasina, O.O., Sokhansanj, S. 1993. Equilibrium moisture relations and heat of sorption of
alfalfa pellets, Journal of Agricultural Engineering Research. 56, 51-63.
FORCE Technology. 2009. Preliminary pellet market country report - Sweden.
http://www.pelletsatlas.info/cms/site.aspx?p=10589
Kuokkanen, M., Kuokkanen, T., Pohjonen, V. (2009) The development of eco-efficient wood-
based pellet production. In: Paukkeri, A.; Yl-Mella, J. and Pongrcz, E. (eds.) Energy
research at the University of Oulu. Proceedings of the EnePro conference, June 3rd,
2009, University of Oulu, Finland. Kalevaprint, Oulu, ISBN 978-951-42-9154-8. pp.
36-40.
Leach G. and Gowen M., 1987, Household Energy Handbook : an interim guide and
reference manual, Volume 23-67, World Bank, Washington D.C.

377
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Renewable Fuels Ltd. 2012. Fuel Analysis and Logistics. www.renewablefuels.co.uk.


Saptoadi, H. 2006. The best biobriquette dimension and its particle siuze. Proceedings of
The 2nd joint international conference on Sustainable Energy and Environment (SEE
2006). 21-23 November 2006, Bangkok, Thailand. [Online] 2006 [sit.2007-12-20].
Available in internet site: < http://www.jgsee.kmutt.ac.th/see1/cd/file/C-031.pdf>
Siemers, W. 2006. Prospects for Biomass and Biofuels in Asia. Proceedings of the 2nd Joint
International Conference on Sustainable Energy and Environment (SEE 2006). 21-23
November 2006, Bangkok, Thailand
Setyaningsih, D., Erliza Hambali, Windi Liliana, Sean Granville Ross, Dewi Hanifah. 2010.
Bio-pellet Production from Various Potential Agricultural Wastes in Indonesia. The
16th International Sustainable Development Research Conference, 30 May-1 June
2010, Hong Kong.
Trangkaprasith, K., Orathai Chavalparit. 2010. Heating Value Enhancement of Fuel Pellets
from Frond of Oil Palm. International Conference on Biology, Environment and
Chemistry. IACSIT Press, Singapore.
Wood Pellet Association of Canada. 2010. Report on South Korea Trip. www.pellet.org.

378
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS

PEMANFAATAN LIMBAH DAUN DAN RANTING PENYULINGAN


MINYAK KAYU PUTIH (Melaleuca cajuputi Powell)
UNTUK PEMBUATAN ARANG AKTIF

J. P. Gentur Sutapa1 dan Aris Noor Hidayat2


1
Dosen Jurusan Teknologi Hasil Hutan Fakultas Kehutanan UGM
2
Mahasiswa Jurusan Teknologi Hasil Hutan Fakultas Kehutanan UGM

ABSTRAK

Industri hasil hutan adalah industri terpadu dan ramah lingkungan serta dapat dibagi
menjadi industri kayu dan non kayu.Salah satu industri non kayu yang dapat menjadi industri
terpadu dan ramah lingkungan adalah industri penyulingan minyak kayu putih.Dalam
prosesnya, penyulingan minyak kayu putih menghasilkan limbah penyulingan berupa limbah
padat dan limbah cair. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh bahan baku, suhu
aktivasi, dan interaksi di antara keduanya terhadap rendemen dan kualitas arang aktif dari
limbah daun dan ranting penyulingan minyak kayu putih. Arang aktif dengan kualitas terbaik
diterapkan untuk penjernihan air limbah penyulingan minyak kayu putih sehingga industri
penyulingan minyak kayu putih dapat menjadi industri terpadu dan ramah lingkungan.
Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap yang disusun secara faktorial
dengan dua aras yaitu bahan baku (daun dan ranting) serta suhu aktivasi (750oC dan 850oC)
dengan masing-masing perlakuan lima ulangan. Penelitian dilakukan dengan mengarangkan
limbah daun dan ranting penyulingan minyak kayu putihdalam retort listrik pada suhu 450oC
selama 3 jam. Proses aktivasi dilakukan secara fisika / thermal. Nilai rata-rata dianalisis
dengan analisis varians. Pengujian kualitas arang aktif berdasarkan Standar Mutu Arang
Aktif Teknis Serbuk SNI 06-3730-1995.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa arang aktif yang dihasilkan memiliki rendemen
berkisar antara 72,659 - 82,420%; kadar air 6,500 - 9,720%; kadar volatile 45,780 -
50,780%; kadar abu 8,010 - 14,360%; kadar karbon terikat 36,520 - 46,210%; daya serap
benzena 8,436 - 12,800%; daya serap iodium 355,320 - 805,815 mg/g; dan daya serap
metilen biru 129,195 - 132,785 ml/g. Kualitas arang aktif terbaik dihasilkan dari perlakuan
dengan bahan baku ranting pada suhu aktivasi 750oC. Arang aktif ini diterapkan sebagai
penjernih air limbah penyulingan minyak kayu putih. Hasil analisis terhadap air limbah
setelah diperlakukan dengan arang aktif kualitasnya menjadi lebih baik dan memenuhi
kriteria baku mutu limbah cair golongan I menurut SK Menteri Negara Lingkungan Hidup
No.03/MENKLH/II/1991 untuk T S S, pH, phenol, dan NO2. Peningkatan kualitas ditunjukkan
dengan adanya penurunan warna 73,077%; penurunan T S S 23,750%; penurunan phenol
40,000%; penurunan COD 3,603%; penurunan BOD5 42,163%; penurunan NO2 86,364%;
dan kadar pH air nilainya dari 4 berubah menjadi 7.

Kata kunci: arang aktif, Melaleuca cajuputi Powell, limbah penyulingan minyak kayu putih,
penjernih, air limbah penyulingan minyak kayu putih

PENDAHULUAN

Menurut Dinas Kehutanan dan Perkebunan DIY (2007), luas areal pemungutan daun
kayu putih sebesar 3.576,64 ha dengan jumlah daun yang diolah sebesar 4.199,81 ton.Luas
areal pemungutan daun kayu putih di pabrik penyulingan minyak kayu putih di daerah
Sendangmole Playen Gunung Kidul sebesar 1.847 ha dengan jumlah daun dan ranting yang
disuling mencapai 1802 ton (Data Sekunder, 2009).Pabrik penyulingan minyak kayu putih di
daerah Sendangmole Playen Gunung Kidul menggunakan limbah padat berupa daun dan
ranting kayu putih yang telah disuling menjadi briket.Berat per briket sebesar 5 kg.
Kebutuhan setiap kali masak sebesar 90 kg selama 4 jam dalam dua buah bak pemasakan.

379
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Proses pemasakan membutuhkan briket sebesar 3600 kg selama sehari dengan empat kali
pemasakan setiap harinya (Ningsih, 2008). Kebutuhan bahan bakar dipenuhidengan 30%
limbah yang dihasilkan, maka masih terdapat limbah penyulingan minyak kayu putih sebesar
1261,4 ton (Data Sekunder, 2009). Arang aktif yang dihasilkan kemudian diterapkan sebagai
penjernih air limbah penyulingan minyak kayu putih.

BAHAN DAN METODE

Bahan baku yang digunakan adalah limbah daun dan ranting penyulingan minyak
kayu putih (Melaleuca cajuputi Powell), larutan benzoat teknis, larutan iodium, larutan
natrium thiosulfat, larutan kanji, larutan metilen biru, dan aquades
Peralatan utama yang digunakan antara lain : oven, retort listrik, cawan porselin,
ayakan, furnace, desikator, timbangan analitik, cruisable, cawan arloji, gelas ukur,
Erlenmeyer, stirrer, multi shaker, spektrofotometer, dan gelas beker.
Penelitian dilakukan dengan tahapan sebagai berikut :
1. Tahap Pirolisis : pengarangan pada suhu 450 oC selama 3 jam
2. Tahap Aktivasi : aktivasi fisis pada suhu 750 oC dan 850 oC selama 60 menit
3. Tahap Pengujian : rendemen, kadar air, kadar abu, kadar volatile, kadar karbon terikat,
daya serap terhadap benzene, daya serap terhadap iodium, daya serap terhadap
metilen biru (SNI 06-3730-1995).

Data yang diperoleh dianalisis dengan analisis sidik ragam.Arang aktif kualitas terbaik
yang dihasilkan digunakan sebagai penjernih air limbah penyulingan minyak kayu putih.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Hasil penelitian secara rinci disajikan dalam tabel berikut :

Tabel 1. Kualitas arang aktif limbah daun dan ranting penyulingan minyak kayu putih

Parameter
Daya
Kadar Daya Daya
Perlakuan Rendemen Kadar Kadar Kadar
Karbon Serap Serap
Serap
Air Volatile Abu Metilen
(%) Terikat Benzena Iodium
(%) (%) (%) Biru
(%) (%) (mg/g)
(ml/g)
A1B1 75,049 9,620 50,780 10,050 39,170 11,718 805,815 131,570
A1B2 72,659 9,720 45,780 8,010 46,210 12,800 647,195 132,785
A2B1 82,420 6,500 50,600 12,880 36,520 8,436 355,320 129,195
A2B2 75,030 7,320 47,460 14,360 38,180 10,698 494,910 131,915
SNI 1995 - 15 25 10 65 25 750 120

Keterangan : A1 = Bahan Baku Ranting ; A2 = Bahan Baku Daun


B1 = Suhu Aktivasi 750 oC ; B2 = Suhu Aktivasi 850 oC

380
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS

Tabel 2. Analisis Keragaman (ANOVA)

Signifikansi
Parameter
Bahan Baku Suhu Aktivasi Bahan Baku * Suhu Aktivasi
Rendemen 36,680** 37,022** 9,657**
Kadar Air 36,658** 1,018ns 0,624ns
Kadar Volatile 0,124ns 3,666 ns
0,191ns
ns
Kadar Abu 138,697** 0,516 20,392**
Kadar Karbon Terikat 6,791* 4,506* 1,723ns
Daya Serap Benzena 113,811** 43,909** 5,459 *
Daya Serap Iodium 392,378** 0,391ns 96,035**
Daya Serap Metilen Biru 21,270** 31,277** 4,575 *

Rendemen Arang Aktif


Penetapan rendemen bertujuan untuk menentukan jumlah arang aktif yang terbentuk
setelah proses aktivasi dari bahan baku. Rendemen arang aktif dari limbah daun dan ranting
penyulingan minyak kayu putih berkisar antara 72,659 hingga 82,420%. Analisis sidik ragam
diketahui bahwa faktor bahan baku, suhu aktivasi, dan interaksi kedua faktor menunjukkan
perbedaan nyata terhadap rendemen pada taraf uji 1%. Rendemen arang aktif berbahan
baku ranting lebih rendah dari arang aktif berbahan baku daun. Semakin tinggi suhu aktivasi
maka rendemen yang diperoleh semakin turun, hal ini disebabkan pada suhu tinggi laju
reaksi antara karbon dengan hasil gas di dalam retort meningkat sehingga karbon yang
bereaksi dengan O2, H2O, dan CO2 makin banyak (Pari dkk ,1996).

Kadar Air Arang Aktif


Penetapan kadar air bertujuan untuk mengetahui sifat higroskopisitas arang aktif
yang diperoleh. Kadar air arang aktif dari limbah daun dan ranting penyulingan minyak kayu
putih berkisar antara 6,500 hingga 9,720%. Hasil analisis sidik ragam diketahui bahwa
interaksi kedua faktor dan faktor suhu aktivasi tidak menunjukkan perbedaan nyata terhadap
kadar air pada taraf uji 1% dan 5%. Faktor bahan baku menunjukkan perbedaan nyata
terhadap kadar air pada taraf uji 1%. Kadar air arang aktif berbahan baku ranting lebih tinggi
dari arang aktif berbahan baku daun. Semakin tinggi suhu aktivasi maka kadar air yang
diperoleh semakin naik. Peningkatan kadar air selain disebabkan terjadinya peningkatan
higroskopisitas arang aktif terhadap uap air dari udara juga disebabkan terjadinya
pengikatan molekul air oleh enam atom karbon arang aktif yang telah diaktivasi (Pari dkk,
1996).

Kadar Volatile Arang Aktif


Penetapan kadar volatile bertujuan untuk mengetahui kandungan senyawa yang
mudah menguap pada arang aktif yang diperoleh. Kadar volatile arang aktif dari limbah daun
dan ranting penyulingan minyak kayu putih berkisar antara 45,780 hingga 50,780%. Hasil
analisis sidik ragam diketahui bahwa faktor bahan baku, suhu aktivasi, dan interaksi kedua
faktor tidak menunjukkan perbedaan nyata terhadap kadar volatile pada taraf uji 1% dan 5%.
Kadar volatile arang aktif berbahan baku ranting lebih rendah dari arang aktif berbahan baku
daun. Semakin tinggi suhu aktivasi maka kadar volatile yang diperoleh semakin turun
disebabkan tidak sempurnanya penguraian senyawa non karbon seperti CO2, CO, CH4, dan
H2 (Pari dkk, 1996).

Kadar Abu Arang Aktif


Penetapan kadar abu bertujuan untuk mengetahui kandungan mineral/logam yang
terkandung dalam arang aktif. Kadar abu arang aktif dari limbah daun dan ranting
penyulingan minyak kayu putih berkisar antara 8,010 hingga 14,360%. Hasil analisis sidik
ragam diketahui bahwa interaksi kedua faktor dan faktor bahan baku menunjukkan
perbedaan nyata terhadap kadar abu pada taraf uji 1%. Faktor suhu aktivasi tidak
menunjukkan perbedaan nyata terhadap kadar abu pada taraf uji 1% dan 5%. Kadar abu

381
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

arang aktif berbahan baku ranting lebih rendah dari arang aktif berbahan baku daun.
Semakin tinggi suhu aktivasi maka kadar abu yang diperoleh semakin turun pada arang aktif
berbahan baku ranting. Pada arang aktif berbahan baku daun, semakin tinggi suhu aktivasi
maka kadar abu yang diperoleh semakin besar. Menurut Pari dkk (1996), peningkatan kadar
abu disebabkan oleh proses oksidasi arang aktif dari partikel halus yang dapat mengurangi
kemampuan menyerap gas dan larutan. Kandungan mineral yang terdapat dalam abu
seperti kalium, natrium, magnesium, dan kalsium akan menyebar dalam kisi-kisi arang aktif
sehingga menutupi pori arang aktif (Hendra dan Pari, 1999).

Kadar Karbon Terikat Arang Aktif


Penetapan kadar karbon terikat bertujuan untuk mengetahui kandungan karbon
terikat setelah aktivasi. Kadar karbon terikat arang aktif dari limbah daun dan ranting
penyulingan minyak kayu putih berkisar antara 36,520 hingga 46,210%. Hasil analisis sidik
ragam diketahui bahwa interaksi kedua faktor tidak menunjukkan perbedaan nyata terhadap
kadar karbon terikat pada taraf uji 1% dan 5%. Faktor bahan baku dan suhu aktivasi
menunjukkan perbedaan nyata terhadap kadar karbon terikat pada taraf uji 5%. Kadar
karbon terikat arang aktif berbahan baku ranting lebih tinggi dari arang aktif berbahan baku
daun. Selanjutnya diketahui bahwa semakin tinggi suhu aktivasi maka kadar karbon terikat
yang diperoleh semakin besar.

Daya Serap Benzena Arang Aktif


Penetapan daya serap benzena bertujuan untuk mengetahui kemampuan arang aktif
untuk menyerap gas yang bersifat nonpolar dengan ukuran molekul tidak lebih dari 6 atau
0,6 nm. Daya serap benzena arang aktif dari limbah daun dan ranting penyulingan minyak
kayu putih berkisar antara 8,436 hingga 12,800%.Hasil analisis sidik ragam diketahui bahwa
interaksi kedua faktor menunjukkan perbedaan nyata terhadap daya serap benzena pada
taraf uji 5%. Faktor bahan baku dan suhu aktivasi menunjukkan perbedaan nyata terhadap
daya serap benzena pada taraf uji 1%. Daya serap benzena arang aktif berbahan baku
ranting lebih tinggi dari arang aktif berbahan baku daun. Menurut Pari dkk (1996), ada
kecenderungan makin tinggi suhu aktivasi daya serap benzena makin besar karena pori
yang terbentuk pada arang aktif makin banyak. Menurut Hendra dan Pari (1999), besarnya
daya serap benzena selain menggambarkan tingkat kepolaran permukaan arang aktif juga
memberikan petunjuk terhadap besarnya diameter pori arang aktif yang lebih besar dari
molekul benzena yang berdiameter 6 .

Daya Serap Iodium Arang Aktif


Penetapan daya serap iodium bertujuan untuk mengetahui kemampuan arang aktif
untuk menyerap larutan berwarna dengan ukuran molekul kurang dari 10 atau 1 nm. Daya
serap iodium arang aktif dari limbah daun dan ranting penyulingan minyak kayu putih
berkisar antara 355,320 hingga 805,815 mg/g. Hasil analisis sidik ragam diketahui bahwa
interaksi kedua faktor dan faktor bahan baku menunjukkan perbedaan nyata terhadap daya
serap iodium pada taraf uji 1%. Faktor suhu aktivasi tidak menunjukkan perbedaan nyata
terhadap daya serap iodium pada taraf uji 1% dan 5%. Daya serap iodium arang aktif
berbahan baku ranting lebih tinggi dari arang aktif berbahan baku daun. Semakin tinggi suhu
aktivasi maka daya serap iodium yang diperoleh semakin turun pada arang aktif berbahan
baku ranting. Semakin tinggi suhu aktivasi maka daya serap iodium yang diperoleh semakin
besar pada arang aktif berbahan baku daun. Menurut Pari dkk (1996), ada kecenderungan
makin tinggi suhu aktivasi maka daya serap iodium makin besar. Menurut Hendra dan Pari
(1999), besarnya daya serap arang aktif terhadap iodium menggambarkan banyaknya pori
atau luas permukaan arang aktif, selain itu ikatan antara C dan H terlepas dengan sempurna
sehingga terjadi pergeseran pelat karbon kristalit membentuk pori yang baru dan
mengembangkan pori yang sudah terbentuk. Besarnya daya serap arang aktif terhadap
iodium menggambarkan juga banyaknya struktur mikropori yang terbentuk.

382
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS

Daya Serap Metilen Biru Arang Aktif


Penetapan daya serap metilen biru bertujuan untuk mengetahui kemampuan arang
aktif untuk menyerap larutan berwarna dengan ukuran molekul kurang dari 15 atau 1,5 nm.
Daya serap metilen biru arang aktif dari limbah daun dan ranting penyulingan minyak kayu
putih berkisar antara 129,195 hingga 132,785 ml/g. Hasil analisis sidik ragam diketahui
bahwa interaksi kedua faktor menunjukkan perbedaan nyata terhadap daya serap metilen
biru pada taraf uji 5%. Faktor bahan baku dan suhu aktivasi menunjukkan perbedaan nyata
terhadap daya serap metilen biru pada taraf uji 1%. Daya serap metilen biru arang aktif
berbahan baku ranting lebih tinggi dari arang aktif berbahan baku daun. Menurut Pari dkk
(1996), ada kecenderungan makin tinggi suhu aktivasi maka daya serap metilen biru
semakin besar dan menunjukkan bahwa senyawa hidrokarbon yang terdapat pada
permukaan arang telah banyak keluar pada waktu aktivasi. Ikatan antara C dengan H
terlepas dengan sempurna sehingga terjadi pergeseran pelat karbon kristalit membentuk pori
yang baru dan mengembangkan pori yang sudah terbentuk.

Penerapan Arang Aktif sebagai Bahan Penjernih Air Limbah


Arang aktif yang digunakan sebagai penjernih air limbah penyulingan minyak kayu
putih adalah arang aktif yang memiliki nilai daya serap iodium tertinggi dan diperoleh dari
bahan baku ranting dengan suhu aktivasi 750 oC. Analisis yang dilakukan meliputi warna, T
S S, pH, phenol, COD, BOD5, dan NO2.

Tabel 3. Pengujian Kualitas Air Limbah Penyulingan Minyak Kayu Putih

Sebelum Sesudah Perubahan Golongan Baku Mutu Air Limbah


Parameter Keterangan
Proses Proses (%) I II III IV
Warna (Pt-Co) 65 17,5 73,077
T S S (mg/l) 80 61 23,750 100 200 400 500 Golongan I
pH 4 7 75 6-9 6-9 6-9 5-9 Golongan I
Phenol (mg/l) 0,0005 0,0003 40,000 0,01 0,5 1 2 Golongan I
COD (mg/l) 2465,91 2377,06 3,603 40 100 300 600 Tidak Sesuai
BOD5 (mg/l) 1919,66 1091,075 43,163 20 50 150 300 Tidak Sesuai
NO2 (mg/l) 0,0132 0,0018 86,364 0,06 1 3 5 Golongan I

Hasil pengujian kualitas air limbah setelah diperlakukan dengan arang aktif
menunjukkan bahwa :
Warna mengalami penurunan sebesar 73,077% dari 65 Pt-Co sebelum perlakuan
dengan arang aktif menjadi rata-rata sebesar 17,5 Pt-Co setelah perlakuan dengan arang
aktif.
TSS mengalami penurunan sebesar 23,750% dari 80 mg/l sebelum perlakuan
dengan arang aktif menjadi rata-rata sebesar 61 mg/l setelah perlakuan dengan arang aktif.
TSS yang telah diberi perlakuan dengan arang aktif sesuai dengan baku mutu limbah cair
golongan I menurut SK Menteri Negara Lingkungan Hidup No.03/MENKLH/II/1991.
pH mengalami perubahan dari pH 4 sebelum perlakuan dengan arang aktif menjadi
rata-rata sebesar pH 7 setelah perlakuan dengan arang aktif. pH yang telah diberi perlakuan
dengan arang aktif sesuai dengan baku mutu limbah cair golongan I menurut SK Menteri
Negara Lingkungan Hidup No.03/MENKLH/II/1991.
Phenol mengalami penurunan sebesar 40,000% dari 0,0005 mg/l sebelum perlakuan
dengan arang aktif menjadi rata-rata sebesar 0,0003 mg/l setelah perlakuan dengan arang
aktif. Phenol yang telah diberi perlakuan dengan arang aktif sesuai dengan baku mutu
limbah cair golongan I menurut SK Menteri Negara Lingkungan Hidup
No.03/MENKLH/II/1991.

383
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

COD mengalami penurunan sebesar 3,603% dari 2465,91 mg/l sebelum perlakuan
dengan arang aktif menjadi rata-rata sebesar 2377,06 mg/l setelah perlakuan dengan arang
aktif. COD yang telah diberi perlakuan dengan arang aktif tidak sesuai dengan baku mutu
limbah cair menurut SK Menteri Negara Lingkungan Hidup No.03/MENKLH/II/1991.
BOD5 mengalami penurunan sebesar 43,163% dari 1919,66 mg/l sebelum perlakuan
dengan arang aktif menjadi rata-rata sebesar 1091,075 mg/l setelah perlakuan dengan arang
aktif. BOD5 yang telah diberi perlakuan dengan arang aktif tidak sesuai dengan baku mutu
limbah cair menurut SK Menteri Negara Lingkungan Hidup No.03/MENKLH/II/1991.
NO2 mengalami penurunan sebesar 86,364% dari 0,0132 mg/l sebelum perlakuan
dengan arang aktif menjadi rata-rata sebesar 0,0018 mg/l setelah perlakuan dengan arang
aktif. NO2 yang telah diberi perlakuan dengan arang aktif sesuai dengan baku mutu limbah
cair golongan I menurut SK Menteri Negara Lingkungan Hidup No.03/MENKLH/II/1991.

KESIMPULAN DAN SARAN

1. Limbah penyulingan minyak kayu putih berupa ranting dan daun dapat digunakan
sebagai bahan baku pembuatan arang aktif namun hasilnya kurang memenuhi Standar
Mutu Arang Aktif Teknis Serbuk SNI 06-3730-1995. Nilai rata-rata rendemen yang
dihasilkan berkisar antara 72,659 hingga 82,420%. Kualitas arang aktif yang sesuai
dengan Standar Mutu Arang Aktif Teknis SNI 06-3730-1995 antara lain kadar air (6,500-
9,720%) dan daya serap metilen biru (129,195-132,785 ml/g). Kadar abu (8,010-
14,360%) dan daya serap iodium (355,320-805,815 mg/g) sebagian sesuai dengan
Standar Mutu Arang Aktif Teknis SNI 06-3730-1995. Kadar volatile (45,780-50,780%),
kadar karbon terikat (36,520-46,210%), dan daya serap benzena (8,436-12,800%) tidak
sesuai dengan Standar Mutu Arang Aktif Teknis Serbuk SNI 06-3730-1995.
2. Interaksi jenis bahan bakuarang aktif dan suhu aktivasi berpengaruh sangat nyata
terhadap rendemen, kadar abu, dan daya serap iodium, berpengaruh nyata pada daya
serap benzena dan daya serap metilen biru, dan tidak berpengaruh nyata pada kadar
air, kadar volatile, dan kadar karbon terikat.
3. Arang aktif dari ranting lebih bagus daripada dari daun pada sifat kadar abu, kadar
karbon terikat, daya serap benzena, daya serap iodium, dan daya serap metilen biru
4. Peningkatan suhu aktivasi dapat meningkatkan kadar karbon terikat, daya serap
benzena, dan daya serap metilen biru.
5. Arang aktif terbaik yang diperoleh dari bahan baku ranting dengan suhu aktivasi 750 oC
(A1B1)
6. Penggunaan arang aktif dari ranting kayu putih untuk penjernihan air limbah penyulingan
minyak kayu putih menghasilkan tingkat penurunan warna sebesar 73,077%, T S S
sebesar 23,750%, pH sebesar 75%, phenol sebesar 40%, COD sebesar 3,603%, BOD5
sebesar 43,163%, dan NO2 sebesar 86,364%. Kualitas air limbah penyulingan minyak
kayu putih setelah perlakuan dengan arang aktif memenuhi baku mutu limbah cair
golongan I berdasarkan SK Menteri Negara Lingkungan Hidup No.03/MENKLH/II/1991
untuk TSS, pH, Phenol, dan NO2 dan tidak memenuhi baku mutu limbah cair
berdasarkan SK Menteri Negara Lingkungan Hidup No.03/MENKLH/II/1991 untuk COD
dan BOD5.

384
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2007. 3.2. Luas Pungutan Daun Kayu Putih.http://dishutbundiy.org/index.


phppage=statistik&jenis=kehutanan. Diakses tanggal 13 Januari 2011.
Hendra, J. dan G. Pari. 1999. Pembuatan Arang Aktif dari Tandan Kosong Kelapa
Sawit. Buletin Penelitian Hasil Hutan. Vol 17 (2) : 113-122.
Ningsih, D. E. 2008. Analisis Keuntungan Perusahaan Minyak Kayu Putih (Studi Kasus
Balai Pengolahan Minyak Kayu Putih Sendang Mole Kabupaten Gunung Kidul.
Skripsi. Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. (tidak
dipublikasikan).
Pari, G., Buchari, dan A. Sulaeman. 1996. Pembuatan dan Kualitas Arang Aktif dari Kayu
Sengon (Paraserianthes falcataria) sebagai bahan adsorben.Buletin Penelitian
Hasil Hutan. Vol 14 (7) : 274-289.

385
BIDANG D
REKAYASA KAYU
REKAYASA KAYU

BAHAN PASAK PENAHAN GESER PADA


KEKUATAN SAMBUNGAN TAMPANG DUA

Dwi Joko Priyono1,2, Surjono Surjokusumo3,


Yusuf S.Hadi3 dan Naresworo Nugroho3
1
Mahasiswa Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor
2
Program Studi Teknologi Hasil Hutan, Politeknik Pertanian Negeri Samarinda
3
Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor
e-mail: jokopoltanesa@yahoo.com

ABSTRAK

Sambungan kayu (timber connections) memerlukan alat sambung (connector)


diantaranya adalah berupa pasak yang mampu menyalurkan beban dari kayu ke kayu baik
tegangan tekan atau tarik lewat sepanjang sambungan. Pasak adalah alat penyambung
yang dimasukkan ke dalam takikan dalam kayu dan yang dibebani tekanan dan geseran.
Sambungan dengan baut paling sering digunakan karena faktor kemudahan dalam
pengerjaan, namun demikian, jenis sambungan tersebut kurang efisien karena bila terjadi
gaya geser maka akan ditahan oleh baut dan kayu dengan hanya seluas penampang baut.
Hal tersebut akan berbeda kalau digunakan sambungan pasak, dimana yang akan menahan
gaya aksial adalah pasak dan kayu, yaitu untuk geser pasak adalah luas penampang pasak
dikalikan panjang pasak, sedang untuk kuat tekan kayu adalah sebesar setengah luas
penampang lubang pasak dikalikan dengan panjang lubang pasak. Penelitian ini mencoba
mengetahui perbedaan 13 sistem sambungan tampang dua yang dibuat dengan variasi
bentuk dan bahan pasak serta sistem pengencangnya. Pengamatan kekuatan sistem
sambungan tersebut meliputi kekuatan menahan beban dan nilai sesaran (strength and
displacement) pada batas proporsi dan kekuatan maksimum. Pengujian sambungan kayu
menggunakan mesin UTM Baldwin yang dilengkapi dial gauge (deflektometer) dengan
tingkat kesalahan 0,05%. Pencatatan sesaran dilakukan untuk setiap kilogram interval
beban. Hasil penelitian analisis sidik ragam membuktikan bahwa semua perlakuan yang
dilakukan menghasilkan nilai yang berbeda secara signifikan. Kekuatan pada batas
maksimum diperoleh sambungan pasak berpenahan geser besi bulat sebesar 8354 kg (
atau 4138 kg pada batas proporsi) sedang terendah adalah sambungan pasak kayu sejenis
dengan pengencang plat klam sebesar 1330 kg (atau 721 kg pada batas proporsi).
Penggunaan pasak geser mampu meningkatkan kemampuan sistem sambungan dalam
menahan beban. Pemadatan mangium mampu menaikkan kemampuan sistem sambungan
namun tidak secara signifikan, baik pada nilai kemampuan maupun sesaran yang terjadi.
Penggunaan perekat pada sambungan pasak menghasilkan kemampuan yang tinggi namun
nilai sesaran sangat rendah, sementara pasak ulin tidak baik digunakan sebagai pasak
penahan geser karena mudah terbelah dan diduga mengalami rolling shear pada beban
besar. Plat klam tidak baik digunakan sebagai pengencang sistem sambungan berpasak
penahan geser karena rentan pembengkangan, sementara sifat ulet bambu menjadikannya
pengencang yang menghasilkan sesaran yang tinggi.

Kata kunci : kekuatan menahan beban, pasak penahan geser, sambungan tampang dua,
sesaran.

387
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

PENDAHULUAN

Sambungan kayu (timber connections) memerlukan alat sambung (connector) yang


dibedakan atas alat sambung tradisional (traditional connector) dan alat sambung modern
(cotemporer connector). Sambungan kayu berdasarkan alat sambung tradisional terbagi atas
dua jenis yakni tipe sambungan pasak (shank joint, dowel type joint) dimana beban baik
tegangan tekan atau tarik disalurkan dari kayu ke kayu lewat sepanjang sambungan.
Contoh sambungan ini adalah pasak bulat (drift pin, dowel), baut, sekrup dan paku. Tipe
yang lain adalah sambungan luar (skin type connector) dimana beban ditransmisikan dari
kayu ke sambungan terutama melalui geseran. Contohnya adalah pelat geser (shear plate)
atau cincin belah (split ring). Dalam banyak kasus baut digunakan sebagai pelekap batang
kayu yang digabungkan namun tidak ambil bagian dalam transmisi gaya, semata-mata
hanya menjaga agar sambungan masih berada pada tempatnya atau batang kayu asli tidak
merenggang akibat bekerjanya momen. Sementara itu metoda sambungan kotemporer
menggunakan alat sambung glulam rivets, glued-in bolts dan glued-in rods (Madsen, 1992).
Pasak adalah benda yang dimasukkan sebagian pada bidang sambungan untuk
memindahkan beban dari bagian yang satu kepada yang lain (Yap, 1984). Dalam PKKI
(1961) dijelaskan bahwa pasak adalah alat penyambung yang dimasukkan ke dalam takikan
dalam kayu dan yang dibebani tekanan dan geseran. Pasak dipasang dalam lubang yang
mempunyai ukuran yang sama atau tidak ada kelonggaran, sehingga jika terjadi
pengembangan dan penyusutan kayu, pasak dapat tetap dipertahankan dalam lubang. Oleh
karena itu kadar air pasak harus sama dengan kadar air kayu pada saat pemasangan jika
pasak terbuat dari kayu (Faherty dan Williamson, 1999). .
Sambungan dengan pasak kayu dapat berupa pasak persegi panjang, pasak bulat
(silindrik, dowel) dan pasak Kubler (pasak bulat seperti cincin tebal dan berlubang kecil untuk
pemasangan baut pengencang). Pasak kayu memiliki kelebihan dibanding baut, yaitu kayu
mampu mendukung gaya yang besar, efisiensi lebih tinggi dan deformasi lebih kecil.
Sambungan pasak bulat lebih baik daripada pasak persegi karena meski keduanya dibebani
beban geseran dan desakan, pada pasak bulat tidak mengalami momen jungkit
(Wiryomartono, 1977; Yap, 1984).
Sementara itu Perkins dan Suddarth (1958) menyebutkan keunggulan pasak
sebagai alat sambung antara lain hasil sambungan yang kuat dan rigid (kaku) secara aksial,
mudah dalam pengerjaan, merupakan sambungan yang paling kaku diantara semua
sambungan mekanis meski lubang pasak telah longgar namun masih mampu bertahan.
Penambahan konektor geser akan memberikan hasil yang lebih baik pada suatu
sambungan yang terbebani gaya aksial yang cukup besar, konektor geser tersebut
diletakkan diantara lapisan kayu tegak lurus arah gaya. Tahanan bidang geser akan lebih
besar dibanding tanpa konektor geser (Williamson, et al. 2002). Meski demikian, konektor
geser juga kemungkinan menderita kerusakan akibat gaya modulus geser antar serat yang
disebut dengan rolling shear. Neuhameus mencatat modulus rolling shear kayu spruce
sebesar 48 N/mm, sementara Aicher et al. mencatat modulus rolling shear pada orientasi
lingkaran tahun bidang lintang sebesar 50 N/mm sampai dengan 200 N/mm (Fellmoser dan
Bla (2004).
Pengujian sistem sambungan berupa variasi 13 sistem sambungan pada ukuran
komponen yang sama telah dikerjakan dalam penelitian ini. Variasinya meliputi bentuk dan
bahan pasak penahan geser, jenis pengencang, dan dibandingkan pula dengan perlakuan
penggunaan sambungan pasak baut (tanpa penahan geser), pengencang bambu dan plat
klam serta penggunaan laminasi perekat. Bentuk pasak penahan geser divariasikan dalam
bentuk bulat dan segi empat, sedang bahan pasak penahan geser terdiri atas pasak
penahan geser yang dibuat dari kayu mangium sejenis dengan komponen sambungan,
mangium dipadatkan, pasak ulin dan besi. Data yang diperoleh meliputi kemampuan sistem
sambungan dalam menahan beban pada batas proporsi dan maksimumnya, dan dicatat pula
besaran sesaran yang terjadi pada kedua titik tersebut.

388
REKAYASA KAYU

BAHAN DAN METODE

Penelitian dilaksanakan di laboratorium di lingkungan Departemen Teknologi Hasil


Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor sejak Desember 2009.
Bahan penelitian kayu mangium umur 17 tahun diperoleh dari areal HPH-HTI PT ITCI
Hutani Manunggal (IHM) di Kenangan, Balikpapan Seberang, dengan kadar air saat
pengujian sekitar 15%, sedangkan pembuatan pasak bulat dilakukan di industri pengolahan
kayu PT Era Sumpindo Sejati di Cikupa, Tangerang. Bahan lain adalah kayu ulin untuk
pasak, kayu mangium yang dipadatkan (densified wood by compression) dan dibuat pasak,
plat dan besi bulat, baut pengencang, klam, bambu dan perekat epoxy.
Contoh uji berupa sambungan tampang dua dengan alat sambung perekat dan
pasak yang terdiri atas pasak bulat dan pasak segi empat kayu sejenis, pasak dipadatkan
(10,7% pengurangan tebal), pengencang plat klam, bambu dan baut berulir. Jumlah sampel
sebanyak 52 unit terdiri atas 13 macam sistem sambungan dengan ulangan sebanyak 4 kali.

60x80
40
Pasak: = 20 mm, l:80 mm
40x80 40x80 Pengencang: = = 12,7 mm,
40 80
l = 6 = 152,4 mm
Lubang pengencang: = D+1,6=14,3 mm
80 Jarak tepi: lm/D6 80/206
min. 1,5D diambil 2D = 40mm
80
Jarak ujung, komp. tekan: 4D = 4x20 = 80 mm
Jarak antar baris: 1,5D<127mm
80 diambil 3D = 60 mm
40

Gambar 1. Ukuran Sistem Sambungan Pasak Geser

Rincian perlakuan 13 sistem sambungan dapat diuraikan sebagaimana Tabel 1


berikut.

Tabel 1. Perlakuan Contoh Uji Sistem Sambungan

No Perl. Kode Bentuk Pasak Bahan Pasak Pengencang Perekat


1. NF - - - Epoxy
2. CFK - - Baut -
3. CFL - - Bambu -
4. A1XL Bulat Mangium sejenis Bambu -
5. A1XM Bulat Mangium sejenis Plat klam -
6. A1X Bulat Mangium sejenis Baut -
7. A2X Bulat Mangium padat Baut -
8. A3X Bulat Ulin Baut -
9. A4X Bulat Besi Baut -
10. B1X Segiempat Mangium sejenis Baut -
11. B2X Segiempat Mangium padat Baut -
12. B3X Segiempat Ulin Baut -
13. B4X Segiempat Besi Baut -

Pengujian kemampuan sistem sambungan dilakukan dengan UTM Baldwin dengan


LVDT untuk mengetahui besaran sesaran yang terjadi.

389
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Bahan komponen sambungan dan pasak kayu memiliki sifat dasar sebagai berikut:

Tabel 2. Kadar Air dan Berat Jenis Bahan Sambungan

Kadar Air CV Berat CV


Jenis Bahan
(%) (%) Jenis (%)
Pasak bulat mangium sejenis 17.12 4.48 0.69 3.98
Pasak bulat mangium dipadatkan 14.23 14.11 0.74 13.29
Pasak bulat ulin 11.40 8.63 0.97 6.52
Pasak bulat besi - - 7.51 1.82
Pasak segiempat mangium sejenis 17.22 10.10 0.69 13.18
Pasak segiempat mangium
dipadatkan 11.74 11.65 0.75 6.08
Pasak segiempat ulin 11.05 4.62 1.06 2.06
Pasak segiempat besi - - 7.66 7.39
Komponen Sambungan 17.70 0.97 0.60 0.06

Sementara itu, hasil pengujian kekuatan sambungan dipaparkan pada Tabel 3


berikut.

Tabel 3. Nilai Kekuatan Sistem Sambungan (kg) dan Sesaran (mm)


13 Jenis Sistem Sambungan pada Titik Maksimum dan Batas Proporsi

P P Batas
Jenis Sambungan S Maksimum S Batas Proporsi
Maksimum Proporsi
A1XM 1,329.65 721.29 3.25 1.05
CFL 2,022.19 722.67 11.60 2.85
A1XL 2,193.15 1,296.03 4.10 1.55
CFK 3,182.53 1,484.52 3.80 1.75
A3X 3,956.75 2,246.31 3.03 1.10
B3X 4,881.60 2,599.35 2.68 1.15
A1X 5,294.84 2,850.27 3.95 1.50
B1X 5,662.49 2,810.66 5.05 1.85
A2X 5,931.22 3,170.76 5.15 2.00
B2X 6,361.94 2,403.01 5.60 1.85
NF 6,594.97 749.347 1.00 0.25
A4X 6,793.06 3,533.13 5.00 1.60
B4X 8,353.66 4,138.14 5.55 1.85

Keterangan: P = nilai kekuatan sistem sambungan, S = Sesaran (slip).

Nilai kekuatan sistem sambungan dan sesaran yang terjadi sebagaimana Tabel 1
diatas dapat dibuatkan grafiknya seperti pada Gambar 2 berikut.

390
REKAYASA KAYU

900
00
12
800
00
10
0.5
700
00 9
600
00 7
7.5
500
00 6
4
4.5
400
00
3
300
00
1
1.5
200
00 0
100
00

A1XM
NF

A1XL

CFL
B3X
A3X

CFK
A1X

A4X
B1X
A2X
B4X
B2X
0
A1XM

NF
CFL
A1XL
CFK
A3X
B3X
A1X
B1X
A2X
B2X

A4X
B4X
P Maksimum
M P Pr Limit Slip Ma
aksimum Slip
p Pr Limit

(a) (b)

ambar 2. Histogram Nillai Kemamp


Ga puan Sambungan (P, kg)k Maksim mum dan pa
ada
Batas Pro
oporsi (Gam
mbar 2a), da
an Sesaran (Slip, mm) Maksimum dan pada
Batass Proporsi (Gambar
( 2b
b) pada 13 Macam
M Sisttem Sambu
ungan.

N
Nilai kekuatan terenda ah dicapai oleh
o sambu ungan A1XM M (sambun ngan denga an pasak
penahan geser bu ulat yang dibuat
d dari mangium tanpa perrlakuan dan n pengenca ang plat
klam), sementara tertinggi dicapai oleh sambungan B4X (sambung gan dengan n pasak
penahan geser be esi segiemp
pat). Plat klam tiidak mampu
m bekerja makssimal karena a terjadi
pemben ngkangan di salah satu uju ung sistem m sambungan sehin ngga men nurunkan
kemampuannya. Sambungan
S n dengan pasak
p bambbu memilikki sesaran yyang sanga at tinggi
(11.6 mm)
m namun n kemampuan menah han beban rendah, dan d sambu ungan peng gencang
bambu ini bisa dinaikkan nilai kema ampuan be eban pada a batas prroporsinya dengan
menambahkan pa asak geser (A1XL). Sementara
S itu, sambu ungan pere ekat menghasilkan
keruntuhan yang tiba-tiba pad da sesaran hanya
h 1 mm
m.
G
Gambar 2 menunjukka
m an kemamp puan sambu ungan deng gan ukuran yang sama a namun
dilakukaan perbeda aan pada pe enggunaan alat sambu ungnya, dia antaranya aadalah peng ggunaan
pasak penahan
p geser, pasak melintang, klam dan perekat yang g hasilnya ssangat beraagam.
S
Sambungan n dengan menggunaka
m an perekat (NF) menun njukkan kekkuatan yang g sangat
tinggi dengan bata as proporsi yang sanggat rendah, dan terjadii dalam ren ntang sesarran yang
sangat rendah pula a (0,25 mm pada batass proporsi). Hal itulah yang
y kiranyya perlu diw
waspadai
pada konstruksi sambungan
s berpereka
at, karena keruntuhan n bisa terjaadi secara tiba-tiba
meski kosntruksi
k ta
ampak kokooh.
P
Perlu dicatat bahwa disamping
d sambungan n berperekkat, terdapa at 3 perlakuan lain
yang ttid
dak mencapai sesaran n batas pro
oporsi pada 1,5 mm, ya akni A1XM (pasak ges ser bulat
mangium sejenis berpengenccang plat klam) k dan penggunaa an pasak g gesr ulin baaik bulat
maupun n segiempa at. Pencapaaian sesaraan 1,5 mm berarti me emenuhi syyarat sesara an yang
berlaku di Indonesia ((Wiryom martono, 19777; Yap, 1984).

ANOVA A Kemamp puan Maksiimum dan Batas Prop porsi


Perbedaan antar perla
akuan dicob
ba diketahu
ui melalui ANOVA
A (An
nalysis of Variance)
V
melalui Program Minitab versi 14 untuk data ke emampuan maksimum m sambung gan dan
kemampuan sistem m sambung gan pada baatas proporrsi, seperti terurai pad
da Tabel 4aa dan 4b
berikut.

391
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Tabel 4a. ANOVA P Maksimum (kg) Vs. Jenis Sambungan

Source DF SS MS F P
Jenis sambungan 12 217,633,012 18,136,084 23.78 0.000
Error 39 29,747,318 762,752
Total 51 247,380,330
S = 873.4 R-Sq = 87.98% R-Sq(adj) = 84.28%

Tabel 4b. ANOVA P pada Batas Proporsi (PL) (kg) Vs Jenis Sambungan

Source DF SS MS F P
Jenis sambungan 12 61,103,517 5,091,960 16.40 0.000
Error 39 12,108,471 310,474
Total 51 73,211,987
S = 557.2 R-Sq = 83.46% R-Sq(adj) = 78.37%

Karena kedua ANOVA menunjukkan nilai F yang lebih besar dari P yang berarti
perlakuan dalam bentuk jenis sambungan yang berbeda-beda dinyatakan berbeda
signifikan sehingga perlu diuji lebih lanjut guna mengetahui perlakuan yang mana saja yang
signifikan tersebut. Uji lanjut menggunakan program Minitab versi 14 dengan interpretasi
perbandingan berpasangan menurut Fishers Test (yang sering disebut juga dengan Least
Significant Difference).

Uji Lanjut untuk Kemampuan Maksimum dan Batas Proporsi


Dengan ketentuan interpretasi Fishers Test bahwa bila interval rata-rata untuk
sepasang level faktor yang dibandingkan memuat bilangan nol maka keputusannya adalah
keduanya memiliki rata-rata kekuatan sambungan maksimum yang sama. Rekapitulasi hasil
signifikansi pada kekuatan maksimum dan kekuatan pada batas proporsi adalah
sebagaimana diuraikan pada Tabel 5 berikut.

Tabel 5. Kelompok Perlakuan yang Bernilai Sama pada P Maksimum dan Batas Proporsi.

P Maks P Batas Proporsi


Kelompok Perlakuan Perlakuan Kelompok Perlakuan Perlakuan yang
Pembanding yang Bernilai Pembanding Bernilai Sama
Sama Terhadap
Terhadap Pembanding
Pembanding
A 13 - H 13 9
B 8 2 I 1 2,3,4,5
C 5 3, 4 3 1,2,4,5
D 2 3,4,8 4 1,2,3,5
3 2,4,5 5 1,2,3,4
4 2,3,5 9 6,7,10,13
12 6,7,10 J 2 1,3,4,5,8
E 1 7,9,10,11 7 6,9,10,11,12
6 7,10,11,12 8 2,6,10,11,12
9 1,7,10,11 11 6,7,8,10,12
F 11 1,6,7,9,10 12 6,7,8,10,11
G 7 1,6,9,10,11,12 K 6 7,8,9,10,11,12
10 1,6,7,9,11,12 10 6,7,8,9,11,12
Ket: 1=NF, 2=CFK, 3=CFL, 4=A1XL, 5=A1XM, 6=A1X, 7=A2X, 8=A3X,
9=A4X,10=B1X,11=B2X, 12=B3X, 13=B4X

392
REKAYASA KAYU

Pemanfaatan pasak geser mampu menaikkan kemampuan sistem sambungan


karena tampak kecenderungan pencapaian P maksimum yang semakin besar dibanding
yang tanpa pasak geser. Perlakuan 13 (B4X = sambungan dengan pasak penahan geser
besi segi empat) memiliki nilai P maksimum yang tertinggi dan secara signifikan jauh
melampaui 12 perlakuan lainnya. Dalam pencapaian P pada batas proporsi, perlakuan
pasak penahan geser segi empat ini sama dengan pasak bulat segi empat (perlakuan 9 =
A4X). Pasak geser besi mampu menahan gaya tekan dan geser, tidak terdapat rolling shear
di dalamnya karena material yang homogen, menjadikan system sambungan memiliki
kemampuan tinggi.
Selanjutnya perlakuan 8 (A3X) sebanding dengan perlakuan 2 (CFK), yakni berada
pada kisaran kemampuan 3-4 ton. Kayu ulin yang dianggap kuat dan awet, ternyata
memiliki kelemahan sebagai pasak karena mudah dibelah (Dumanauw, 2001), nilainya
sebanding dengan sambungan baut tanpa pasak geser. Diduga jenis ini mudah mengalami
rolling shear. Meski demikian, pada pencapaian batas proporsi pasak geser ulin sebanding
dengan 5 perlakuan lainnya.
Penggunaan pasak geser yang dipadatkan ternyata tidak membuat kemampuan
sistem sambungan menjadi berbeda dengan kebanyakan sistem sambungan lainnya, baik
pada kemampuan maksimum ataupun batas proporsi. Perlakuan 7 (pasak bulat padat) dan
11 (pasak segiempat padat) berada pada kelompok bernilai tinggi, atau bahkan
pencapaiannya lebih tinggi dibanding pasak geser sejenis dan ulin (lihat Gambar 2a)
namun meski pencapaian cukup tinggi (sekitar 6 ton), hasil uji lanjut membuktikan
perlakuan 7 masih sekelas dengan perekat, pasak geser sejenis, pasak bulat segiempat,
pasak segiempat ulin dan pasak bulat besi. Dengan demikian perlakuan pemadatan
menghasilkan kenaikan kemampuan sistem sambungan namun tidak signifikan.
Selanjutnya perlakuan 2, 3, 4 dan 5 berada pada satu kelompok yang nilai
kemampuan maksimumnya rendah. Penggunaan pengencang plat klam (perlakuan 5),
pengencang bambu (4), sekelas dengan sistem sambungan pasak baut (2) dan bambu (3)
tanpa penahan geser Hanya saja keuntungan penggunaan pasak atau pengencang bambu
adalah kemampuannya memberikan nilai sesaran yang tinggi, sehingga dalam aplikasi
konstruksi tidak seperti sambungan perekat yang tiba-tiba bisa runtuh.

ANOVA Sesaran Maksimum dan Batas Proporsi


Perbedaan antar perlakuan juga dicoba diketahui melalui ANOVA (Analysis of
Variance) melalui Program Minitab versi 14 untuk data sesaran maksimum sambungan dan
sesaran pada batas proporsi, seperti terurai pada Tabel 6a dan 6b berikut.

Tabel 6a. ANOVA Sesaran Maksimum pada Sambungan (mm) Vs jenis Sambungan

Source DF SS MS F P
Jenis sambungan 12 295.39 24.62 15.98 0.000
Error 39 60.07 1.54
Total 51 355.46
S = 1.241 R-Sq = 83.10% R-Sq(adj) = 77.90%

Tabel 6b. ANOVA Sesaran pada Batas Proporsi (PL) (mm) Vs Jenis Sambungan

Source DF SS MS F P
Jenis sambungan 12 19.03 1.50 8.68 0.000
Error 39 6.75 0.17
Total 51 24.78
S = 0.4160 R-Sq = 72.76% R-Sq(adj) = 64.38%

Apabila kedua ANOVA menunjukkan nilai F yang lebih besar dari P yang berarti
perlakuan dalam bentuk jenis sambungan yang berbeda-beda memberikan nilai sesaran
maksimum dan sesaran pada batas proporsi yang berbeda signifikan, sehingga

393
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

memerlukan uji lanjutan guna mengetahui perlakuan yang mana saja yang signifikan
tersebut.

Uji Lanjut untuk Sesaran Maksimum dan Batas Proporsi


Hasil uji lanjut sesaran dipaparkan sebagaimana Tabel 7 yang menunjukkan sesaran
maksimum untuk perlakuan 3 (CFL = sambungan pasak bambu) signifikan perbedaannya
terhadap 12 perlakuan lainnya, diduga karena sifat keuletan bambu mampu menaikkan
sesaran sangat tinggi. Perlakuan 1 (NF = sambungan perekat) yang sama nilai sesaran
maksimumnya dengan perlakuan 12 (B3X = sambungan pasak penahan geser ulin segi
empat), berarti kemampuan perekat epoxy dan pasak geser ulin sama-sama menghasilkan
sesaran maksimum yang sangat rendah. Kemudian pada pencapaian sesaran pada batas
proporsi perlakuan 1 dan 3 sama-sama signifikan terhadap semua perlakuan di sesama
levelnya, mengindikasikan sambungan perekat sangat rendah dan pasak bambu sangat
tinggi pencapaian sesaran batas proporsinya.
Selanjutnya tampak pada kelompok H dan L bahwa hampir semua perlakuan tidak
signifikan dengan pembanding kecuali perlakuan 1 dan 3. Kisaran pencapaian sesaran
maksimum dan batas proporsi memang tidak jauh, kecuali bagi perlakuan 1 dan 3 tersebut.
Meski penggunaan pasak geser mangium dipadatkan tidak signifikan dengan penggunaan
pasak besi, namun nilai sesaran batas proporsinya cukup baik dan mampu melewati nilai 1.5
mm.

Tabel 7. Kelompok Perlakuan yang Bernilai Sama pada


Sesaran Maksimum dan Batas Proporsi.

Sesaran Maksimum Sesaran Batas Proporsi


Kelom Perlakuan Perlakuan yang Kelom-
Perlakuan Perlakuan yang
-pok Pembanding Bernilai Sama pok
Pembanding Bernilai Sama
Terhadap Terhadap
Pembanding Pembanding
A 3 - I 1 -
B 1 12 3 -
C 8 2, 4,5,6,12 J 5 4,6,8,9,12
D 5 2,4,6,8,9,12 8 4,5,6,9,12
11 4,6,7,9,10,13 12 4,5,6,8,9
12 1,2,4,5,6,8 K 2 4,6,7,9,10,11,13
E 7 2,4,6,9,10,11,13 7 2,4,6,9,10,11,13
10 2,4,6,7,9,11,13 10 2,4,6,7,9,11,13
13 2,4,6,7,9,10,11 11 2,4,6,7,9,10,13
F 9 2,4,5,6,7,10,11,13 13 2,4,6,7,9,10,11
G 2 4,5,6,7,8,9,10,12,13 L 4 2,5,6,7,8,9,10,11,12,
13
H 4 2,5,6,7,8,9,10,11,12, 6 2,4,5,7,8,9,10,11,12,
13 13
6 2,4,5,7,8,9,10,11,12, 9 2,4,5,6,7,8,10,11,12,
13 13
Ket: 1=NF, 2=CFK, 3=CFL, 4=A1XL, 5=A1XM, 6=A1X, 7=A2X, 8=A3X, 9=A4X, 10=B1X,
11=B2X, 12=B3X, 13=B4X;

KESIMPULAN

Penggunaan pasak geser mampu meningkatkan kemampuan sistem sambungan


dalam menahan beban. Pemadatan mangium mampu menaikkan kemampuan sistem
sambungan namun tidak secara signifikan, baik pada nilai kemampuan maupun sesaran
yang terjadi. Penggunaan perekat pada sambungan pasak menghasilkan kemampuan yang

394
REKAYASA KAYU

tinggi namun nilai sesaran sangat rendah, sementara pasak ulin tidak baik digunakan
sebagai pasak penahan geser karena mudah terbelah dan diduga mengalami rolling shear
pada beban besar. Plat klam tidak baik digunakan sebagai pengencang sistem sambungan
berpasak penahan geser karena rentan pembengkangan, sementara sifat ulet bambu
menjadikannya pengencang yang menghasilkan sesaran yang tinggi.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 1961. Peraturan Konstruksi Kayu Indonesia. NI-5 PKKI 1961. Direktorat
Penyelidikan Masalah Bangunan Dirjen Ciptakarya Departemen Pekerjaan Umum.
Bandung
Dumanauw, J.F., 2001. Mengenal Kayu. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
Faherty K.F., T.G. Williamson. 1999. Wood Engineering and Construction Handbook.
McGraw-Hill.Inc. New York
Fellmoser P., H.J. Bla. 2004. Influence Of Rolling Shear Modulus On Strength And Stiffness
Of Structural Bonded Timber Elements. International Council For Research And
Innovation In Building And Construction Working Commission W18 - Timber
Structures. Meeting Thirty-Seven. Edinburgh. UK
Madsen B., 1992. Structural Behaviour of Timber. Timber Engineering, Ltd. Canada.
Perkins R.H., S.K.Suddarth. 1958. Shear-Pin Joints With 2x4, 2x6 and 2x8 Lumber for Axial
Loading.Research Bulletin No. 659, Feb 1958. Wood Research Laboratory. Purdue
University.
Wiryomartono S. 1977. Konstruksi Kayu. Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada.
Yogyakarta: 57-83
Williamson, Thomas G. 2002. APA Engineered Wood Handbook. New York: Mc-Graw Hill.
Yap K.H.F. 1984. Konstruksi Kayu. Bina Cipta. Bandung: 12-17, 65-68

395
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

PERILAKU DINDING GESER PLYWOOD DENGAN BRESING


DIAGONAL TULANGAN BAJA AKIBAT BEBAN SIKLIK

Johannes Adhijoso Tjondro1, Herry Suryadi1 dan Nathanael2


1
Fakultas Teknik Jurusan Teknik Sipil, Universitas Katolik Parahyangan, Bandung
2
Alumni, Fakultas Teknik Jurusan Teknik Sipil, Universitas Katolik Parahyangan, Bandung
E-mail: jatjondro@yahoo.com, tjondro@unpar.ac.id

ABSTRAK

Dinding geser merupakan elemen yang sangat efisien dalam menahan beban lateral
angin maupun gempa. Pada penelitian ini 3 buah dinding geser yang terbuat dari rangka
kayu dengan lapisan penutup plywood dengan bresing diagonal tulangan baja diuji terhadap
beban siklik horisontal. Rangka kayu terbuat dari kayu sengon dan plywood dengan
kombinasi kayu meranti dan albasia. Bresing berperan memperkaku dan memperbesar
daktilitas shearwall. Berdasarkan hasil pengujian gaya horizontal maksimum yang dapat
diterima adalah sebesar 10,05-19,51 kN dan perpindahan maksimum mencapai 20,08-88,20
mm. Kekakuan elastis yang didapat dari pengujian adalah 0,673-1,618 kN/mm dan daktilitas
pada saat beban batas mencapai 2,208-5,573. Kontribusi gaya pada bresing baja terhadap
tahanan lateral sebesar 12,7%. Parameter-parameter untuk aturan histeresis Stewart yang
dihasilkan dapat digunakan untuk analisis dinamik non-linier riwayat waktu.

Kata kunci: dinding geser, bresing, kurva histeresis, kekakuan, daktilitas.

PENDAHULUAN

Indonesia termasuk dalam daerah gempa aktif atau biasa disebut Pacific Ring of Fire.
Kerusakan gedung, fasilitas umum beserta isinya dan juga korban jiwa seharusnya dapat
dihindari. Jenis bangunan yang runtuh mulai dari rumah rakyat biasa tanpa perhitungan
teknik (non-engineered building) sampai bangunan bertingkat yang seharusnya didisain
tahan gempa (engineered building) (Wijanto et.al., 2010), sedangkan khusus pada bangunan
kayu keruntuhan pada umumnya akibat sambungan atau hubungan yang tidak memenuhi
standar dan sistem strukturnya tidak tahan gempa. Peraturan Kayu di Indonesia sangat
ketinggalan jaman, sejak tahun 1961 Peraturan Kayu Indonesia (PKKI 1961) belum
mengalami perubahan, khususnya tidak terdapat bagian mengenai disain shearwall.
Bangunan dari kayu yang memenuhi syarat kekuatan (strength), kekakuan(stiffness) dan
stabilitas (stability) terutama menghadapi beban akibat gempa sangat diperlukan.
Penggunaan kayu sebagai bahan bangunan untuk rumah tinggal ataupun bangunan
bertingkat dengan elemen dinding geser kayu khususnya di luar negeri dapat mencapai lebih
dari 80%. Bangunan bertingkat dari kayu pada umumnya mempunyai elemen struktur seperti
dinding geser untuk menahan beban lateral. Penelitian dinding geser yang ada umumnya
menggunakan rangka kayu dengan lapisan penutup. Dinding penutup yang digunakan dapat
bervariasi mulai dari plywood, gipsum board, papan kayu laminasi-lem silang, log/balok dan
sebagainya (Tjondro, 2011a).
Beberapa penelitian yang telah dilakukan oleh Stewart (1987) di University of
Canterbury New Zealand, menghasilkan perilaku beban-deformasi dari dinding geser
dengan lapisan penutup gypsum (Gibraltarboard). Dean and Tjondro (1988) menyebutkan
bahwa menggunakan karekteristik dari gypsum-wall dari Stewart (1987) seperti terlihat pada
Gambar 1 untuk mensimulasikan beban dinamik gempa.

396
REKAYASA KAYU

Gambarr 1. Stewart Hysteresis Model (Carr, 1998)

W
Walaupun a mungkin sama tetapi parame
perilakunya eter-parame
eter pada Stewart
Hystere
esis Model-n nya akan berbeda untuk masing--masing jen geser. Dari hasil uji
nis dinding g
mental diobsservasi apakah perilaku dari dindiing geser menyerupai
eksprim m Stewart Hy
ysteresis
Model atau
a kurva yang lain seperti
s Kurvva Histeresis Tri-linearr Fukuda paada Gamba ar 2 atau
ar Muto pad
Degradiing Tri-linea da Gambar 3.

Gambar 2. Fukuda g Tri-linear Hysteresis Model (Carrr, 1998)


a Degrading

Gambar 3. Muto Degrading Tri-linear Hysteresis


H M
Model (Carr, 1998)

Di Indonesia studi men


D ngenai dind
ding geser dengan
d matterial kayu llokal belum
m banyak
dilakuka an, Dalam penelitian ini
i dilakukaan studi tentang dindin
ng geser de engan rang gka kayu
sengon dan penuttup plywood d yang dibu
uat dari cam
mpuran kayyu meranti dan albasia a. Suatu
bresing konsentris X juga dip pasang denngan maksu ud untuk me emperkaku dan memp perbesar
daktilita
as dinding geser terseebut. Akan dilihat berrapa besarr pengaruh dari pena ambahan
bresing tulangan baja pada dinding geser dengan la apisan penuutup plywoood (Tjondro, 2011b).

397
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

BAHAN DAN METODE

Benda Uji
Elemen-elemen benda uji terdiri dari rangka kayu sengon ukuran 60 x 120 mm2,
lapisan penutup plywood tebal 9 mm dan bresing X dari tulangan baja berdiameter 6 mm,
seperti terlihat pada Gambar 4. Ada dua macam penghubung yang digunakan dalam
pembuatan benda uji yaitu paku dan lem. Paku dengan diameter 2,8 mm dan panjang 50
mm yang digunakan untuk menghubungkan lapis penutup plywood dengan rangka balok
kayu dengan jarak antar paku adalah 50 mm. Dan paku dengan diameter 5 mm dan panjang
100 mm yang digunakan untuk menghubungkan antar balok kayu.

Gambar 4. Prototip dinding geser plywood Gambar 5. Tes set up dinding geser,
dengan bresing tulangan baja beban dan transducer

Rangka memiliki dua macam hubungan, yaitu hubungan ekor burung dan hubungan
pen. Hubungan ekor burung untuk balok atas dengan balok vertikal, sedangkan hubungan
pen digunakan pada balok bagian bawah dengan balok vertikal. Lem dan paku juga
dipergunakan untuk memperkuat hubungan pen dan ekor burung.
Profil baja siku dengan tebal 6 mm dipergunakan pada ke empat sudut rangka seperti
yang terlihat pada Gambar 4. Profil baja siku berfungsi sebagai penghubung antara balok
kayu dengan bresing tulangan baja dan juga memperkaku struktur dinding geser kayu.
Benda uji terdiri dari 3 buah dengan perbedaan pada benda uji PBR-SW1 dan PBR-SW2
tanpa hold down angle. Benda uji PBR-SW3 menggunakan hold down angle antara
pertemuan batang vertikal dan batang horisontal bagian sudut bawah pada sisi luar rangka.

Metode Pengujian
Standar pengujian adalah ASTM E 2126 05, Standard Test Methods for Cyclic
(Reversed) Load Test for Shear Resistance of Walls for Buildings yang dimodifikasi. Uji
beban siklik dilakukan agar parameter-parameter seperti slackness, degrading strength/
stiffnes dan softening factor dapat diketahui. Pemasangan benda uji pada rangka tes untuk
pelaksanaan pengujian dan monitoring adalah seperti pada gambar 6. Pengujian dilakukan
di Laboratorium Struktur Puslitbang Permukiman Bandung.

398
REKAYASA KAYU

Ga
ambar 6. Skkema penguujian denga
an beban latteral siklik d
dan
m
monitoring d
deformasi dinding
d gese
er

Alat Ujii Beban Sik


klik
C
Center Holle Jack tipe
e JTC-10 digunakan
d sebagai
s emberi beban horizonttal siklik
pe
(Gamba ar 7) dengan menggun nakan Hydra
aulic Pump Unit (Gamb
bar 8b). Besarnya beb
ban pada
load ceell akan diimonitor oleh data loogger. Jaack untuk pemberi be eban vertik
kal juga
dikenda
alikan oleh Hydraulic
H P
Pump Hand (Gambar 8a) untuk meemberikan bbeban vertikal yang
konstan
n.

ar 7. Centerr Hole Jack JTC-10 dengan Kapas


Gamba sitas 10 Ton
n dan panja
ang stroke 200
2 mm

(a)

(
b
)

Ga
ambar 8. (a)) Hydraulic Pump Hand
d (b) Hydraulic Pump U
Unit

K
Kontak anta
ara jack pemmberi beban vertikal dan benda uji
u diberi rod
da agar menngurangi
gaya friksi yang te
erjadi antara
a jack deng
gan pergeraakan bendaa uji. Pada b
beberapa tiitik pada
benda uji
u dipasang g displacem ducer yang terhubung langsung d
ment transd dengan datta logger

399
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

(Gambar 9), sehingga setiap perilaku yang dihasilkan oleh benda uji akan dapat dianalisis
melalui data yang terekam.

Gambar 9. Data logger untuk merekam data bacaan transducer dan load cell

Pola Beban Uji Siklik


Dalam penelitian ini, dinding geser yang telah didesain akan diuji dengan uji siklik
(cyclic test). Jack diatur untuk memberikan beban vertikal sebesar 5 kN konstan. Beban
lateral akan diberikan berupa gaya siklik dengan langkah naiknya pembebanan per 1 kN
yang dilakukan berulang sebanyak tiga siklus Pola pembebanan siklik untuk gaya lateral
dapat dilihat pada Gambar 10.

15
F (kN)

-5 0 50 100 150 200

-15

Gambar 10. Pola pembebanan siklik lateral statik modifikasi dari ASTM E-2126-05.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kurva Beban - Peralihan


Grafik atau kurva beban-lendutan (F-) hasil uji eksperimental dari benda uji yaitu
PBR-SW1, PBR-SW2 dan PBR-SW3 terlihat seperti pada Gambar 11, 12 dan 13. Beban
maksimum yang dapat diterima lebih besar dengan adanya hold-down angle seperti pada
benda uji PBR-SW3. Adanya hold-down angle tersebut mencegah keruntuhan akibat tarik
pada plywood atau lepasnya hubungan rangka vertikal dan bawah tidak terjadi lebih awal.
Pada benda uji PBR-SW1 kurva tampak tidak simetris, hal ini terjadi karena sistem
penjepitan pada perletakan test frame yang kurang baik, dimana jarak dari batang penjepit
kurang dekat dengan sisi luar dari benda uji. Batang bawah mengalami lentur dan deformasi
horisontal menjadi lebih besar. Pada benda uji PBR-SW2 dan PBR-SW3 sistem penjepitan
diperbaiki sehingga batang bawah tidak terlentur.

400
REKAYASA KAYU

F (kN)
15

10

0 [mm]
-100 -80 -60 -40 -20 0 20 40 60 80 100
-5

-10

-15
Gambar 11. Kurva histeresis benda uji PBR-SW1

F (kN)
15

10

5
[mm]
0
-100 -80 -60 -40 -20 0 20 40 60 80 100
-5

-10

-15
Gambar 12. Kurva histeresis benda uji PBR-SW2

F (kN)
20

15

10

0 [mm]
-120 -100 -80 -60 -40 -20 0 20 40 60 80 100 120
-5

-10

-15

-20
Gambar 13. Kurva histeresis benda uji PBR-SW3

401
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Ragam Kegagalan
Pada benda uji PBR-SW1 tanpa adanya hold-down angle akan terjadi keruntuhan
akibat lepasnya paku antara rangka dan lapisan penutup plywood bagian bawah atau
lepasnya pen hubungan rangka vertikal dan bawah akan terjadi lebih awal, Gambar 14 dan
15. Pada benda uji PBR-SW3 dengan hold-down angle memberikan beban yang lebih tinggi
dibanding kedua benda uji sebelumnya.

Gambar 14. Pen hubungan batang tegak


Gambar 15. Paku antara rangka dan
dengan batang bawah tanpa hold down
plywood terlepas
angle terlepas

Besarnya strain pada bresing tulangan baja dimonitor dengan pemasangan strain
gauge. Gaya bresing yang terjadi, komponen gaya lateralnya hanya sekitar 12,7% dari
beban lateral.
Kekuatan dan kekakuan dari dinding geser dengan dinding penutup plywood dan
pengaku tulangan baja dapat dianalisis dari data hasil uji pada Tabel 1 dalam bentuk gaya
dan peralihan. Dari kurva histeresis hasil uji di dapat parameter-parameter seperti
beban/gaya saat leleh, gaya proporsional dan gaya batas, dan demikian pula dan analisis
kekakuannya. Dari kurva histeresis yang diperoleh jika dibandingkan dengan penelitian-
penelitian terdahulu antara Stewart, Fukuda Degrading Tri-linier atau Muto Degrading Tri-
linier, kurvanya lebih cenderung pada Stewart Model.

Gaya dan peralihan


Gaya pada titik leleh pertama (Fy), gaya batas (Fu) dan maksimum (Fmax) adalah
masing-masing diantara (5,05 10,05) kN, (9,45 14,25) kN dan (10,05 19,51) kN.
Besarnya drift rasio pada saat leleh pertama dan batas lebih kecil dari 2%, masing masing
0,42% dan 1,74%.

Tabel 1. Data beban dan peralihan pada kurva benda uji PBR-SW*)

Fy y Fu u Fmax max Fi
Benda Uji arah
(kN) (mm) (kN) (mm) (kN) (mm) (kN)
+ 5,05 7,50 9,45 41,80 10,05 88,20 1,50
PBR-SW1
- 6,60 6,00 13,75 24,10 13,75 24,10 2,20
+ 8,00 7,75 11,40 30,00 11,40 30,00 1,25
PBR-SW2
- 8,35 7,05 11,45 20,08 11,45 20,08 3,00
+ 8,25 5,10 12,48 12,30 19,51 33,90 2,10
PBR-SW3
- 10,05 10,01 14,25 22,10 17,48 37,30 3,50
*)menggunakan notasi yg sama dengan Stewart Model

402
REKAYASA KAYU

Parameter histeresis model Stewart


Parameter histeresis model Stewart dapat dilihat pada Tabel 2. Harga rata-rata dari
k0, r.k0, dan TRI. k0 masing-masing adalah (1,102; 0,308 dan 0,345) kN/mm. Faktor
kekakuan r dan TRI adalah 0,268 dan 0,300.

Tabel 2. Kekakuan, faktor kekakuan dan daktilitas benda uji PBR-SW*)

k0 r.k0 TRI.k0
Benda Uji arah u max r TRI
(kN/mm) (kN/mm) (kN/mm)
+ 0,673 0,128 0,013 5,573 11,760 0,191 0,019
PBR-SW1
- 1,100 0,395 0,571 4,017 4,017 0,359 0,519
+ 1,032 0,153 0,380 3,871 3,871 0,148 0,368
PBR-SW2
- 1,184 0,238 0,570 2,848 2,848 0,201 0,481
+ 1,618 0,588 0,325 2,412 6,647 0,363 0,201
PBR-SW3
- 1,004 0,347 0,213 2,208 3,726 0,346 0,212
Rata-rata 1,102 0,308 0,345 3,488 3,689 0,268 0,300
*)menggunakan notasi yg sama dengan Stewart Model

Daktilitas pada beban batas Fu mempunyai harga cukup baik yaitu antara 2,208 -
5,573 dengan rata-rata 3,488. Penambahan bresing dengan menggunakan profil siku pada
ke empat sisi dalam dari rangka tidak banyak menambah besarnya daktilitas, tetapi lebih
meningkatkan kekakuan dari dinding geser.
Sebagai perbandingan selain nilai pada Tabel 1 dan 2 dari ke 3 benda uji PBR-SW
ketiga envelope dari kurva histeresis juga di plot seperti terlihat pada Gambar 16.
Peningkatan kekuatan dan kekakuan terjadi akibat hold-down angle pada benda uji PBR-
SW3.
25
20
15
10
5
0
-100 -75 -50 -25 -5 0 25 50 75 100
-10
-15
-20
-25

PBR-SW1 PBR-SW2 PBR-SW3

Gambar 16. Envelope kurva histeresis benda uji PBR-SW

KESIMPULAN

Dari kurva histeresis benda uji PBR-SW yang diperoleh jika dibandingkan dengan
penelitian-penelitian terdahulu seperti Stewart, Fukuda Degrading Tri-linier atau Muto
Degrading Tri-linier, kurvanya lebih cenderung pada Stewart Hysteresis Model. Parameter-
parameter kurva histeresis yang ada dapat digunakan sebagai referensi untuk analisis
dinamik non-linier riwayat waktu.

403
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Daktilitas pada beban batas dinding geser pada PBR-SW mencapai harga rata-rata
cukup baik. Penambahan bresing dengan menggunakan profil siku pada ke empat sisi dalam
dari rangka relatif tidak menambah besarnya daktilitas, tetapi meningkatkan kekakuan dari
dinding geser. Kekakuan dan daktilitas dari dinding geser memberikan kontrol drift yang
cukup untuk elemen dinding geser dalam persyaratan disain terhadap beban gempa.

UCAPAN TERIMA KASIH

Terima kasih kepada Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas


Katolik Parahyangan Bandung atas bantuan dana dan kepada Puslitbang Permukiman
Bandung atas segala bantuan fasilitas pengujian dan teknisi.

DAFTAR PUSTAKA

ASTM E 2126 05, Standard Test Methods for Cyclic (Reversed) Load Test for Shear
Resistance of Walls for Buildings
Carr, A.J.1998. RUAUMOKO, Computer Program Library, University of Canterbury, New
Zealand.
Dean, J.A. and Tjondro, J.A. 1988. The Seismic Design of Timber Frame Shearwalls
Sheathed with Gibraltarboard; Refinements to the CE 87/7 Procedures, Research
Report, University of Canterbury, New Zealand.
Stewart, W.G., 1987. The Seismic Design of Plywood Sheated Shearwalls, Dissertation,
University of Canterbury 1987.
Tjondro, J.A. and Onky, A. 2011a. The Behaviour of Cross Nail-Laminated Timber (CNLT)
Shearwall Under Cyclic Loading. The 2nd International Conference on Earthquake
Engineering and Disaster Mitigation, Surabaya 19 -20 Juli 2011.
Tjondro, et al. 2011b. Dinding Geser Papan Kayu Tahan Gempa. Laporan Penelitian, LPPM
Universitas Katolik Parahyangan, 2011. Tidak dipublikasikan.
Wijanto S., Andriono T., and Tjondro, J.A., 2010. A Strategic Way For Promoting Improved
Seismic Resistant Techniques To Indonesian Builders. The 9th U.S. National and 10th
Canadian Conference on Earthquake Engineering to in Toronto, Canada, Juli, 25-29,
2010.

404
REKAYASA KAYU

PERILAKU PELAT LANTAI KOMPOSIT KAYU SENGON


(Paraserianthes falcataria) DAN GLUGU (Cocos nucifiera)
TERHADAP BEBAN LENTUR DENGAN VARIASI ALAT SAMBUNG GESER

M.Afif Shulhan1 dan Ali Awaludin2


1
Mahasiswa Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan ,Universitas Gadjah Mada,
afif_bigcity@yahoo.com
2
Staff Pengajar Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan,Universitas Gadjah Mada
ali@tsipil.ugm.ac.id

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan mengetahui perilaku mekanik pelat lantai (sandwich slab)
komposit Sengon dan Glugu terhadap pembebanan lentur dengan variasi alat sambung
geser.
Penelitian ini menggunakan kayu sengon dan kayu glugu bagian lingkaran luar.
Benda uji tersusun dari 5 lapisan lamina dengan ketebalan tiap lamina 20 mm. Kayu glugu
digunakan sebagai lamina paling atas dan bawah, sedang kayu sengon digunakan sebagai 3
lapis lamina bagian dalam. Dimensi benda uji pelat lantai dengan panjang bentang 1200
mm, lebar 150 mm, dan tinggi 100 mm. Variasi alat sambung geser yang digunakan adalah
sekrup diameter 3 mm, paku diameter 4 mm, dan perekat urea formaldehide. Untuk masing-
masing alat sambung geser dibuat benda uji sebanyak 3 buah dan pengujian lentur
dilakukan dengan pembebanan 2 titik.
Hasil pengujian untuk alat sambung geser berupa sekrup didapatkan beban lentur
pada batas layan sebesar 0,440 KNm, sedangkan pada alat sambung geser paku
didapatkan beban lentur pada batas layan sebesar 0,454 KNm. Pada alat sambung geser
dengan perekat didapatkan beban lentur pada batas layan sebesar 1,039 KNm. Pola
kerusakan pada jenis alat sambung geser paku dan sekrup adalah terjadi retak pada lamina
sengon sepanjang garis paku atau sekrup, sedangkan pada jenis alat sambung geser
dengan perekat, terjadi delaminasi pada bidang rekat sengon-glugu.

Kata kunci :komposit, alat sambung geser, pelat lantai.

PENDAHULUAN

Kebutuhan kayu sebagai bahan baku berbagai keperluan terus meningkat. Demikian
pula untuk kebutuhan bahan bangunan. Tahun 2000, permintaan industri produk kayu
mencapai 55-60 juta m3 dengan produksi kayu domestik legal hanya 17 juta m3, sedangkan
35-40 juta m3 sisanya dipenuhi dari pembalakan ilegal (anonim, 2008). Dengan luas hutan
sekitar 109 juta hektar pada 2003, kini hampir setengahnya telah terdegradasi (WWF, 2007).
Dengan semakin berkurangnya luas hutan alam, perlu dicari alternatif lain dalam pemenuhan
kebutuhan kayu, utamanya kebutuhan sebagai bahan bangunan. Salah satu alternatif adalah
dengan memanfaatkan kayu hutan rakyat. Dengan potensi produksi mencapai 19 juta m3,
produk dari kayu hutan rakyat menjadi sangat potensial untuk dikembangkan (Abdurrachman
dkk., 2006).
Salah satu hasil hutan rakyat adalah kayu sengon. Jenis kayu ini biasanya
dimanfaatkan sebagai kayu bakar dan peti pelindung barang paket. Namun kayu sengon
kurang populer digunakan sebagai struktur bangunan dikarenakan kekuatannya yang relatif
lebih rendah dibandingkan kayu hutan alam umumnya. Oleh karena itu diperlukan proses
pengolahan lebih lanjut untuk meningkatkan kekuatan kayu sengon. Salah satunya dengan
mengkompositkan dengan kayu jenis lain dengan kekuatan lebih tinggi seperti kayu glugu.
Dalam penelitian ini kayu sengon mempunyai berat jenis 0,26, sedangkan berat jenis kayu
glugu sebesar 0,79 (Awaludin, 2011).

405
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Penelitian ini bertujuan mengetahui perilaku mekanik pelat lantai komposit (sandwich
slab) sengon dan glugu terhadap pembebanan lentur dengan variasi alat sambung geser.

BAHAN DAN METODE

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kayu sengon (Paraserianthes
falcataria) dan kayu glugu (Cocos nucifera) yang diambil dari daerah Cangkringan, Sleman.
Alat sambung geser yang digunakan paku ( 4 mm), sekrup ( 3 mm), dan perekat urea
formaldeyde.
Pertama dilakukan penggergajian kayu bundar menjadi papan dengan ketebalan 25
mm. Papan kayu tersebut kemudian dikeringkan secara alami dengan cara disusun dengan
jarak antara tiap susun dan diletakkan ditempat yang terlindung dari sinar matahari
langsung. Pengeringan memerlukan waktu selama 1 bulan sampai kadar air mencapai 12-16
%. Proses selanjutnya adalah pemotongan papan sesuai ukuran yang direncanakan. Khusus
kayu glugu, bagian yang dipergunakan adalah bagian lingkaran luar. Kayu glugu bagian luar
memiliki sifat mekanik yang lebih baik dari bagian inti (Awaludin, 2011).
Benda uji tersusun dari 5 lapisan lamina dengan ketebalan tiap lamina 20 mm. Kayu
glugu digunakan sebagai lamina paling atas dan bawah, sedang kayu sengon digunakan
sebagai 3 lapis lamina bagian dalam. Dimensi benda uji pelat lantai dengan panjang bentang
1200 mm, lebar 150 mm dan tinggi 100 mm. Benda uji dibuat sebanyak 3 buah tiap variasi
alat sambung geser. Pada benda uji dengan sekrup dan paku, pemasangan alat sambung
diawali dengan pembuatan lubang penuntun sesuai aturan pada SNI-5 Tatacara
Perencanaan Konstruksi Kayu. Benda uji dengan alat sambung geser berupa perekat
menggunakan perekat sebanyak 40MDGL. Dari hasil penelitian Widyawati (2007)
penggunaan perekat Urea formaldehyde sebanyak 40MDGL pada balok laminasi sengon
mampu menaikkan kekuatan sebesar 27,23% dibandingkan kayu sengon utuh. Agar
diperoleh garis perekat yang tipis, dilakukan proses pengempaan dingin. Tekanan kempa
yang umumnya diberikan adalah antara 0,4 - 1,2 MPa (Blass dkk., 1995). Dalam proses
pembuatan model pelat lantai ini diberikan tekanan 1 MPa selama 24 jam. Setelah 24 jam
baru dilakukan proses selanjutnya yaitu merapikan dimensi model pelat. Pengujian lentur
dilakukan dengan pembebanan 2 titik. Lendutan dibaca dengan LVDT pada titik
pembebanan dan tengah bentang. Dari pengujian, data yang didapatkan berupa kurva
lendutan dan beban.

Gambar 1. Dimensi benda uji dan pengujian.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil dari pengujian model plat lantai disajikan dalam gambar 2 berupa hubungan
beban (kN) dan lendutan di tengah bentang (mm). Selanjutnya, dari pengujian juga bisa
diketahui nilai beban ultimit yaitu beban pada saat model pelat lantai mengalami kegagalan.
Dari ketiga jenis model, kegagalan struktur yang terlihat jelas adalah jenis dengan perekat.
Sedang model dengan penghubung geser paku dan sekrup, kegagalan ditandai dengan

406
REKAYASA KAYU

munculnya suara retak pertama kali. Pola kegagalan model pelat lantai disajikan dalam
gambar 3.
Secara lebih detail, kegagalan yang terjadi pada model dengan penghubung geser
paku dan sekrup hampir sama.Terjadi kegagalan pada lamina sengon berupa retak yang
segaris dengan jalur alat sambung geser, sementara lamina glugu masih utuh. Lain halnya
dengan model plat dengan penghubung perekat UF, terjadi kegagalan delaminasi. Bahan
perekat gagal dalam mempertahankan ikatan dengan lamina sengon. Idealnya dengan
digunakannya perekat UF dihasilkan sebuah struktur yang monolit. Namun, keadaan
tersebut sulit dipenuhi karena ketidaksempurnaan ikatan perekat dalam mengikat dua jenis
lamina yang berbeda.
Dari data pengujian dapat dibuat kurva hubungan antara sudut rotasi (rad) dan beban
lentur (kNm) sehingga diketahui gradien kurva yaitu kekakuan lentur (EI)
eksperimen.Sementara itu, nilai EI teoritis didapat dari perhitungan sederhana yang
diturunkan dari rumus sudut rotasi balok sederhana (Gere dkk, 1984).
Dari hasil uji, diketahui bahwa EI yang tertinggi adalah dengan penghubung perekat
dengan EI sebesar 46,657 kNm/rad. Selanjutnya yaitu penghubung paku dengan nilai EI
sebesar 13,813 kNm/rad dan yang paling rendah adalah sekrup dengan nilai sebesar 8,193
kNm/rad. Model pelat lantai dengan penghubung perekat memiliki EI yang dua kali lipat lebih
tinggi dari kedua jenis penghubung yang lain. Kemudian, jika dibandingkan dengan
perhitungan teoritis, secara umum EI eksperimen lebih tinggi daripada EI perhitungan
teoritis.
Dalam perancangan struktur digunakan dua kriteria, yaitu keadaan batas layan dan
keadaan batas kekuatan. Dalam SNI-5 Tata Cara Perencanaan Struktur Kayu kondisi batas
layan dinyatakan dalam bentuk lendutan maksimal yang masih diperbolehkan terjadi. Untuk
struktur terlindung dinyatakan bahwa lendutan maksimal sebesar L/300 atau dalam model
pelat lantai sebesar 4 mm. Sementara itu, keadaan batas kekuatan dinyatakan dalam beban
maksimal saat runtuh. Dalam kasus model pelat lantai karena ada keterbatasan dalam
setting pengujian, keruntuhan diasumsikan terjadi saat terjadi retak awal. Besaran nilai
beban disajikan dalam gambar 5.
Dari pengujian model pelat dalam kondisi batas layan diperoleh hasil bahwa pelat
lantai dengan penghubung geser perekat mempunyai beban lentur tertinggi, sebesar 1,039
kNm. Kemudian Paku dengan beban lentur sebesar 0,454 kNm dan model dengan beban
lentur terrendah adalah sekrup dengan beban lentur 0,440 kNm.Sementara itu, dalam
kondisi batas kekuatan beban maksimal yang tertinggi adalah model dengan penghubung
perekat dengan kekuatan sebesar 1,834 kNm, kemudian paku dengan beban lentur sebesar
1,498kNm, dan yang terendah adalah sekrup dengan beban maksimal sebesar 1,156 kNm.

407
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Sekrup
8

5
Beban (kN)

0
0 10 20 30 40

Lendutan (mm)
Perekat UF
8

5
Beban (kN)

0
0 10 20 30 40
Lendutan (mm)
Paku
8

5
Beban (kN)

0
0 10 20 30 40

lendutan (mm)

Gambar 2. Kurva hubungan lendutan-beban

408
REKAYASA KAYU

Paku Laminasi Sekrup

Gambar 3. Pola kegagalan model pelat lantai

50
45
40
35
30
EI 25
(kNm / )
20
15
10
5
0
Paku Perekat Sekrup
EI eksperimen 13.813 46.657 8.193
EI teoritis 10.222 23.383 9.904

Gambar 4. Histogram kekakuan lentur (EI)

2
1.8
1.6
1.4
1.2
beban 1
lentur 0.8
( kNm ) 0.6
0.4
0.2
0
Paku Perekat Sekrup
Beban ultimate 1.498 1.834 1.156
Beban layan 0.454 1.039 0.440

Gambar 5. Histogram beban lentur

Secara umum, kinerja dari ketiga jenis penghubung geser yang bekerja cukup baik
adalah perekat UF. Penggunan perekat UF terbukti mampu menghasilkan nilai kekakuan
lentur dan beban lentur yang paling tinggi dibanding penghubung jenis lain. Kinerja dari
penghubung geser paku lebih baik daripada sekrup. Hal ini dikarenakan perbedaan diameter

409
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

paku dan sekrup. Diameter paku sebesar 4 mm sedangkan sekrup hanya 3 mm. Dari ketiga
jenis model pelat lantai, semuanya memiliki pola kegagalan geser pada bagian lamina
sengon. Di sisi lain, setiap model pelat lantai memiliki kemampuan menahan beban setelah
tercapainya beban maksimal.

Tabel 1. Ringkasan hasil penelitian

Parameter Paku Laminasi Sekrup


Beban layan (kNm) 0,454 1,039 0,440
Beban ultimit (kNm) 1,498 1,834 1,156
Sudut rotasi ultimit (rad) 0,241 0,039 0,108
Kekakuan lentur
13,813 46,657 8,193
(kNm/rad)

KESIMPULAN

1. Model pelat lantai yang memiliki kekakuan lentur tertinggi adalah dengan penghubung
geser berupa perekat UF (46,657 kNm/rad), kemudian paku (13,813 kNm/rad) dan
sekrup (8,193 kNm/rad).
2. Dalam kondisi beban layan, model yang mampu menerima beban tertinggi adalah
dengan penghubung geser perekat UF (1,039 kNm), kemudian paku (0,454 kNm) dan
sekrup (0,440 kNm).
3. Pola kegagalan yang terjadi secara umum adalah kegagalan geser pada lamina sengon.
Kegagalan lentur tidak terjadi.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2008, Deforestasi dan Degradasi Hutan,-


WWF, 2007, Lembar Fakta Hutan Indonesia, Jakarta
Abdurrahman, Hadjib N., 2006, Pemanfaatan Kayu Hutan Rakyat Untuk Komponen
Bangunan, Prosiding Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan 2006 : 130-148
Awaludin A., 2011, Penelitian Sifat-Sifat Fisika dan Mekanika Kayu Glugu dan Sengon
Kawasan Merapi dalam Rangka Percepatan Pemulihan Ekonomi Pasca Letusan
Merapi 2010, Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan, Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta
Anonim, 2002, SNI-5 Tatacara Perencanaan Struktur Kayu, Departemen Pekerjaan Umum
Widyawati, Ratna, 2007, Analisis Kekuatan Sambungan Tegak (Butt Joint) Kayu Sengon
pada Struktur Balok Kayu Laminasi (Glulam Beams), Media Teknik No. 1 tahun XXIX
: 36-41
Blass H.J., P. Aune, B.S. Choo, R. Gorlacher, D.R. Griffiths, B.O. Hilso, P. Racher, and G.
Steck (Eds). 1995. Timber Engineering Step I, First Edition, Centrum Hount,
Nedherlands.
Gere J.M., Timoshenko S.P, 1984, Mechanics of Materials, Wadsworth Inc.

410
REKAYASA KAYU

ANALISIS NILAI DISAIN LATERAL Z SAMBUNGAN GESER GANDA


BATANG KAYU DENGAN PAKU MAJEMUK BERPELAT SISI BAJA
MENURUT BERBAGAI PERCOBAAN
Sucahyo Sadiyo*, Naresworo Nugroho,
Surjono Surjokusumo, dan Imam Wahyudi
Staf Pengajar Departemen Hasil Hutan Fakultas Kehutanan IPB, Bogor
*Phone/Fax & HP : 02518621285 & 081316772168
e-mail : sucahyoss@gmail.com

ABSTRAK

Sambungan merupakan titik terlemah pada bangunan struktural. Sistem perangkaan


bangunan struktural harus diupayakan agar hanya ada gaya tarik atau tekan aksial saja yang
bekerja pada sambungan tersebut. Data-data mengenai nilai desain lateral (Z) sambungan
geser ganda batang kayu dengan paku majemuk berpelat sisi baja untuk berbagai jenis kayu
tropis Indonesia belum banyak diteliti. Tujuan penelitian adalah menganalisis nilai disain
lateral Z sambungan geser ganda batang kayu dengan paku berpelat sisi baja pada tujuh
jenis kayu tropis Indonesia akibat beban uni-aksial tekan menurut berbagai percobaan.
Rerata kadar air (KA) batang kayu untuk sambungan paku sangat bervariasi dari terendah
kayu Kempas dan tertinggi borneo super, sedangkan rerata berat jenis (BJ), kerapatan (),
beban ijin tekan sejajar (Ftk//) dan tarik sejajar serat kayu (Ftr//) terendah diperoleh dari kayu
meranti merah dan tertinggi dari bangkirai. Terdapat kecenderungan umum bahwa Ftk// dan
Ftr// berbanding lurus dengan BJ atau kayu tersebut. Sebaran rerata beban ijin tarik//serat
(Ftr//) batang-batang kayu tersebut sekitar 1,5-2,0 kali lebih besar dari Ftk//nya. Demikian
halnya rerata nilai disain lateral Z meningkat secara signifikan dengan meningkatnya BJ atau
kerapatan kayu. Pola atau kesejajaran garis sebaran rataan Z tersebut relatif sama antara
percobaan-I (Teoritis) dengan percobaan II (Teoritis-Empiris) dan III (Empiris). Paku
berdiameter 5,2 mm memberikan rataan nilai disain lateral Z paling tinggi diikuti oleh paku
5,5 mm untuk hampir semua percobaan, kecuali percobaan-I dan IIB (EC5, 2007). Secara
umum jumlah paku tidak memberikan pengaruh yang nyata (relatif seragam) terhadap rataan
nilai disain lateral Z sambungan geser ganda.

Kata kunci : nilai desain lateral Z, sambungan geser ganda, percobaan I, percobaan II
dan percobaan III.

ABSTRACT

Connection was the weakest point of structural buildings. In a structural building


frame system, the working forces on the connections must be sought only for tensile or axial
compression. Data on the lateral design values (Z) at multi-nailed wood beam double shear
connection with steel side plates for various types of tropical wood Indonesia has not been
much researched. Average moisture content (MC) wood beam to the nail connection is very
varies from the lowest on kempas wood and highest on borneo super wood. Whereas the
average specific gravity (SG), density (p), allowable load of compression parallel to grain
(Ftk//) and tensile parallel to grain (Ftr//) from the lowest on meranti merah and the highest on
bangkirai wood. There were general tendencies that Ftk// and Ftr// were in proportion with
wood SG or p. The average allowable load tensile parallel to grain value was about 1.5 to 2
times larger than its Ftk//. Similar to the average value of the Z lateral design increased
significantly with increasing BJ or wood density. Pattern or parallel line distribution
of the average Z relatively similar between the experiment-I with four other experiments.
5.2 mm diameter nail gave the highest average lateral design value-Z followed by a 5.5
mm nails for nearly all experiments, except experiment-I (Theoretical) and experiment II-B

411
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

(EC5, 2007). In general, the number of nails does not provide a noticeable effect or relatively
similar to the average lateral design value-Z double shear connection.

Keywords : double shear connection, lateral design value, Experimental-I, Experimental-II,


Experimental-III

PENDAHULUAN

Pada prinsipnya suatu bangunan struktural memperhitungkan tiga unsur penting,


yaitu kekakuan (stiffness), kekuatan (strength) dan kestabilan (stability) struktur. Salah satu
faktor yang mempengaruhi ketiga aspek penting tersebut adalah macam/jenis sambungan
yang digunakan. Menurut Tular dan Idris. (1981) sambungan kayu merupakan titik kritis atau
terlemah yang terdapat pada elemen atau titik hubung dari suatu bangunan struktural. Pada
sistim perangkaan bangunan struktural maka seluruh komponen penyusun rangka batang
(termasuk sambungan yang terdapat pada batang tersebut) harus diupayakan sedemikian
rupa agar pada elemen tersebut hanya bekerja gaya uniaksial tarik atau tekan saja. Macam
sambungan kayu yang bersifat kritis dan perlu diperhitungkan berdasarkan kaidah ilmiah
adalah sambungan tarik, geser dan momen. Hal ini disebabkan kekuatan sambungan kayu
khususnya yang menerima gaya tarik luas bidang kontak dari batang utamanya digantikan
oleh luas bidang tarik atau geser dari alat sambungnya sehingga kekuatan sambungan tarik
umumnya lebih rendah dan sulit menyamai besar kekuatan batang utamanya. Sambungan
tarik pada kayu juga rentan terhadap sesaran dan ini merupakan kelemahan berikutnya.
Menurut Faherty dan Williamson (1989) sambungan-sambungan kayu sekarang ini dapat
didisain dengan ketelitian yang sama seperti bagian-bagian lain struktur. Surjokusumo et al.
(1980) mengatakan bahwa kekuatan sambungan kayu sangat dipengaruhi oleh komponen
pembentuk sambungan, yaitu balok kayu yang akan disambung, alat sambung dan macam
atau bentuk sambungan.
Alat sambung tipe dowel seperti paku relatif murah dan mudah diperoleh dipasaran
serta mudah pengerjaannya. Kebiasaan praktisi di Amerika Serikat menggunakan paku
untuk disain sambungan dilakukan dengan pertimbangan bahwa gaya-gaya yang disalurkan
relatif kecil. Walaupun paku secara umum digunakan untuk konstruksi ringan namun
kemungkinan untuk digunakan pada konstruksi struktural yang memikul beban tinggi (heavy
timber construction) bisa saja diterapkan. Praktek konstruksi tersebut telah dilakukan oleh
beberapa disainer di Eropa dan New Zealand (Breyer et al. 2007). Berbeda dengan kondisi
di Indonesia saat ini dimana penelitian sambungan kayu ukuran pemakaian (full scale)
dengan paku majemuk untuk jenis kayu yang memiliki kerapatan atau berat jenis sedang
sampai tinggi belum dilakukan apalagi diaplikasikan pada heavy timber construction.
Tujuan penelitian ini adalah menganalisis nilai disain lateral Z sambungan geser
ganda batang kayu dengan paku berpelat sisi baja pada tujuh jenis kayu tropis Indonesia
akibat beban uni-aksial tekan menurut berbagai analisis pendekatan (percobaan).

BAHAN DAN METODE

Bahan penelitian untuk sambungan dengan paku yang dikaji adalah tujuh jenis kayu
yang memiliki sebaran kerapatan () atau berat jenis (BJ) sedang sampai tinggi, yaitu borneo
super, meranti merah (Shorea spp), punak (Tetramerista glabra), kapur (Dryobalanops spp),
mabang (Swintonia sp), kempas (Koompassia malaccensis) dan bangkirai (Shorea laevis).
Tujuh jenis kayu tropis tersebut di peroleh dari toko bangunan di Bogor dalam bentuk balok
kayu berukuran 6x12x400 cm. Ketujuh jenis kayu tersebut dikeringkan secara alami selama
75 hari.
Bahan lain adalah paku terdiri dari tiga ukuran diameter, yaitu 4,1 mm (panjangnya 10
cm), 5,2 mm (12 cm) dan 5,5 mm (15 cm). Jumlah paku yang digunakan untuk setiap
diameter adalah 588 batang. Pelat sambung yang digunakan adalah pelat baja berukuran
1,5x12 cm dengan panjang 30 cm sebanyak 12 pasang (24 lempeng). Pada setiap lempeng

412
REKAYASA KAYU

baja dibbuat lubang


g bor dimana besarnyya disesuaikan dengan diameterr paku, se ementara
jarak lubang untukk paku disessuaikan dengan ukura an kayu dan n pelat sam
mbung (NDS S, 2005).
Metoda pengujian sifat fisik yang
y melipuuti , BJ da
an KA didassarkan pada standar Amerika,
A
yaitu Ammerican Society for Te
esting and Materials
M (A
ASTM) D 14 43-94. Penggujian sifat mekanik
meliputii kekuatan tekan//sera
at kayu men nggunakan standar Inggris BS-37 73 tahun 1957 dan
kekuataan sambung gan kayu geser
g gandaa batang kayu dengan n paku majjemuk berp pelat sisi
baja (arah gaya tegak
t luruss terhadap sumbu ala at sambung g) didasarkkan standa ar ASTM
D5652-9 95. Kekuattan tarik//se
erat kayu diduga darri model attau persam maan empirrik yang
dikemba angkan oleeh Tjondro (2007). Dim mensi conto oh uji tekann//serat adaalah 2x2x6 cm dan
contoh uji KA, da
an BJ dibuaat dari conto
oh yang sam ma yaitu 5x5 5x5cm. Con ntoh uji sam
mbungan
geser ganda
g seharrusnya dibuuat dari 2 buah balok kayu
k dari je
enis yang saama dan be erukuran
sama, yaitu
y masin
ng-masing balok
b berukkuran pena ampang 6x1 12cm deng gan panjang g 40 cm
(Gamba ar 1a). Nam
mun dalam pengujian hanya dig gunakan sebuah balokk karena pe engujian
dilakukaan dengan pembebana an uniaksial tekan (Gambar 1b). Penyambun
P ngan mekan nis balok
tersebut dilakukan dengan menggunaka
m an pelat sam mbung baja a. Pada settiap pelat sambung
s
baja dib
buat lubangg sebesar ukuran diam meter paku. Selanjutnya a pada setiaap ukuran diameter
d
per pelaat sambungg dibuat 4, 6, 8 dan 10 0 buah luba ang sambungan (Gam mbar 1c). Co ontoh uji
sambun ngan geserr ganda dan d tekan
n//serat diujji kekuatann mekanikn nya masing g-masing
menggu unakan UTMM merk Balldwin kapassitas 30 ton dan UTM Instron
I kapaasitas 5 ton
n.

P P

(a)

(b)

(c)

Gammbar 1. Ske etsa contoh h uji sambun ngan tarik geser


g ganda a untuk jumllah paku 6 buah
b
(a), penjjujian uni-akksial tekan dari contoh
h uji untuk ju
umlah paku 10 buah
(b
b) dan sketssa contoh uji
u menurut jumlah
j pakuu (c) pada sambungan
s geser gandda
batang kayyu dengan paku majem muk berpela at sisi baja

Gam
mbar 2. Geo
ometrik con
ntoh uji sam
mbungan ges
ser ganda untuk
u jumlah paku 10 buah

413
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Penentuan kekuatan tarik//serat kayu menggunakan persamaan empirik ftr// =


172,5.SG1.05, dimana SG adalah kerapatan kayu yang diukur pada rentang kadar air 12-15%
(Tjondro, 2007). Nilai disain lateral Z sambungan geser ganda dianalisis menurut berbagai
pendekatan, yaitu percobaan I merupakan percobaan yang didasarkan atas pendekatan
teoritis dalam menentukan kekuatan atau nilai disain lateral Z sambungan geser ganda. Nilai
disain lateral Z adalah notasi yang menggambarkan nilai beban ijin (format ASD-Allowable
Stress Design) per paku sambungan geser ganda (double shear connections) yang
diperoleh dari persamaan batas leleh (yield limit equations)(AWC, 2005). Percobaan II
merupakan hibrida antara pendekatan teoritis dengan uji empiris. Penentuan nilai disain
lateral Z dibedakan atas 2 (dua) standar pendekatan, yaitu Amerika Serikat (AWC, 2005),
selanjutnya disebut percobaan IIA dan Uni Eropa, Eurocode 5 (EC5) (Porteous dan Kermani,
2007), selanjutnya disebut percobaan IIB. Percobaan III merupakan uji empiris
(laboratorium) dalam rangka menentukan nilai disain lateral Z sambungan geser ganda
pada berbagai diameter dan jumlah paku tujuh jenis kayu tropis Indonesia. Percobaan III
dibedakan menjadi 3 klasifikasi, yaitu percobaaan IIIA, IIIB dan IIIC dimana nilai Z masing-
masing yang ditentukan pada batas proporsional, batas maksimum dan batas sesaran 1.50
mm.
Pada penelitian ini ditentukan nilai Z tersebut pada beberapa sesaran, yaitu pada
sesaran 0,38 mm (FPL, 1999); 0,80 mm (Standar Australia); 1,50 mm (BPID, 1979) dan
pada sesaran 5,00 mm. Pada tiga sesaran yang disebutkan pertama diasumsikan bahwa
beban yang bekerja pada sambungan masih berada di daerah elastis-linier dari kurva gaya-
sesaran. Sedangkan pada sesaran yang disebutkan terakhir standar pengujian sambungan
geser ganda mengindikasikan bahwa pada sesaran 5,00 mm baik single maupun double
shear connections diasumsikan telah mengalami kerusakan /kehancuran/keruntuhan
(daerah plastis-inlinier).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Berat Jenis, Kerapatan dan Kadar Air


Hasil penelitian memperlihatkan sebaran rataan BJ batang kayu sambungan paku
sangat bervariasi dari terendah kayu meranti merah (0,52) selanjutnya berturut-turut borneo
super (0,54), punak (0,57), mabang (0,63), kempas (0,66), kapur (0,68) dan tertinggi kayu
bangkirai (0,76). Fenomena sebaran nilai BJ ini sama seperti sebaran kayu, dimana kayu
meranti merah memiliki terendah (0,61 g/cm3) dan tertinggi bangkirai (0,89 g/cm3). Tiga
jenis kayu, yaitu merah merah, borneo super dan punak memiliki BJ dan atau dengan
klasifikasi sedang dan empat jenis lainnya termasuk klasifikasi tinggi. Klasifikasi tersebut
yang didasarkan atas berat jenis kayu (rasio antara berat kering tanur dengan berat air pada
volume kayu yang diukur) merupakan indikator kepadatan kayu yang dapat dijadikan dasar
untuk mengelompokkan kayu yang diteliti menjadi beberapa klasifikasi kelas kuat kayu.
Menurut Sadiyo (1989) perbedaan BJ kayu disebabkan adanya perbedaan struktur
anatomis kayu yang meliputi macam, jumlah dan pola penyebaran pori (saluran pembuluh),
parenkima, jari-jari kayu dan saluran interselluler. Nilai BJ kayu lebih banyak ditentukan oleh
tebal dinding sel atau zat kayu. Makin tebal dinding sel kayu atau makin kecil proporsi
rongga/ruang-ruang (void structure) yang terdapat dalam kayu pada volume tertentu maka
makin tinggi BJ kayu yang bersangkutan. Jumlah ruang-ruang didalam kayu terutama
ditentukan oleh diameter/lebar dan frekuensi pori, rongga sel serta ada tidaknya saluran
interselluler.
Rerata tujuh jenis kayu tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan rataan BJ nya.
Perbedaan ini terutama disebabkan oleh pengaruh KA saat pengukuran. Sebaran rataan KA
balok kayu sambungan paku sangat bervariasi dari terendah kempas (15,7%), selanjutnya
berturut-turut punak (16,6%), bangkirai (17,3%), kapur (18,3%), meranti merah, kapur
(18,3%) , mabang (21,1%), dan tertinggi borneo super (21,6%). Kadar air seluruh jenis kayu
yang diteliti berada dibawah KA titik jenuh serat (30%) namun terdapat tiga jenis kayu
diperkirakan belum mencapai kadar air kesetimbangan (KAK), yaitu kayu mabang, borneo
super dan kapur. KAK daerah Bogor dan sekitarnya berkisar dari 15-18% tergantung suhu

414
REKAYASA KAYU

dan RH saat itu. Perbedaan kadar air ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya jenis
kayu, tempat tumbuh dan umur dari pohon (Haygreen dan Bowyer, 1993). Tingginya KA
rata-rata ketiga jenis kayu tersebut (> 18%) menandakan bahwa waktu pengeringan alami
selama 75 hari belum mampu menurunkan KA kayu tersebut mencapai KAK dengan RH dan
suhu lingkungan sekitarnya.

Beban Ijin Tekan dan Tarik Sejajar Serat


Sebaran rerata beban ijin tekan sejajar serat (Ftk//) untuk batang kayu sambungan
paku sangat bervariasi dari terendah kayu meranti merah 124,5 kN dan tertinggi bangkirai
195,8 kN (Gambar 3). Kayu punak dengan kerapatan tinggi (0,66) menghasilkan rata Ftk//
lebih rendah (129,7 kN) dibandingkan kayu borneo super (144,1 kN). Menurut Courney
(2000) perilaku tekan bahan padat seluler seperti kayu diantaranya dipengaruhi oleh tebal
dinding sel dan distribusi kerapatan kayu tersebut. Beery et al. (1983) perilaku elastis lebih
tergantung pada kerapatan daripada sifat/kharakteristik anatomi kayu. Perbedaan kuat tekan
penelitian ini bersifat kontradiksi karena rerata KA dan juga berarti kayu borneo super yang
lebih tinggi dibandingkan kayu punak seharusnya berbanding lurus dengan kekuatan
tekannya. Pola sebaran ini fenomenanya sama seperti BJ kayu tersebut. Anomali ini
diduga disebabkan karena kayu borneo super memiliki serat terpadu (interlock grain) yang
dapat meningkatkan kekuatan tekan. Gejala ini sama dengan kayu kapur walaupun -nya
lebih tinggi (0,80 g/cm3) dibandingkan kempas (0,76 g/cm3) tetapi rerata Ftk// nya (166,5 kN)
lebih rendah dari kempas (188,4 kN). Sifat ini menandakan bahwa disamping orientasi
susunan seratnya yang terpadu, ikatan antar sel penyusunnya terutama antar sel jari-jari
kayu dan antara sel jari-jari dengan sel didekatnya cukup kuat, sehingga kemampuan dalam
menahan beban tekan tinggi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa atau BJ bukan
merupakan peubah atau variabel utama semata dalam menentukan kekuatan suatu jenis
kayu. Walaupun secara umum terdapat tendensi atau BJ berbanding lurus dengan
kekuatan kayu. Gambar 4 memperlihatkan adanya kecenderungan pola sebaran rataan Ftk//
ini sejalan dengan beban ijin tarik sejajar serat (Ftr//), namun pada beberapa kayu terdapat
kontradiksi yang signifikan. Kayu meranti merah dan punak memiliki rerata Ftk// lebih rendah
dibandingkan dengan kayu borneo super tetapi kedua kayu tersebut memiliki Ftr// yang lebih
tinggi bahkan kayu punak perbedaan kekuatan tersebut sangat signifikan.
Tampaknya kayu borneo super memiliki dan Ftk// yang tinggi tetapi tidak sebanding
dengan Ftr//-nya. Sebenarnya rerata Ftr// ini bersifat linier karena diturunkan dan diperoleh
dari persamaan empiris kuat tarik//serat (ftr//) (Tjondro, 2007). Namun dengan pertimbangan
faktor penyesuaian kekuatan dan kekakuan kayu pada kadar air maksimal 19% dan 15%
(ASTM D 143-94) sebaran rerata beban tarik sejajar serat 7 jenis kayu menunjukan pola
yang lebih mendekati rerata beban tekan sejajar serat dibandingkan pola sebaran BJ atau .
Adapun rataan Ftk// diperoleh dari uji empiris contoh kecil bebas cacat.

400.0
350.0
Beban Ijin (kN)

300.0
250.0
200.0
150.0
100.0
50.0
0.0
M.Mera B.Super Punak Mabang Kempas Kapur Bangkir
h (0.61) (0.65) (0.66) (0.76) (0.77) (0.80) ai (0.89)
Tekan//serat 124.5 144.1 129.7 150.2 188.4 166.5 195.8
Tarik//serat 229.9 219.1 263.9 259.9 318.4 311.5 342.3

Gambar 3. Beban ijin tekan//serat (Ftk//) dan beban ijin tarik//serat (Ftr//) tujuh jenis kayu

415
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Nilai Disain Lateral Z Menurut Berbagai Percobaan

Tanpa memperhatikan pengaruh berbagai variabel yang diteliti rataan umum Z


sambungan geser ganda yang dihasilkan dari percobaan-I (standar Amerika Serikat) relatif
sama dengan percobaan-IIIB (Gambar 4). Percobaan yang disebutkan terakhir merupakan
uji empiris sambungan geser ganda dengan paku majemuk dan mempertimbangkan faktor
keamanan 2,75 (BPIDP, 1979). Dengan demikian para disainer dalam aplikasi konstruksi
dapat saja menggunakan nilai-nilai disain struktural sambungan geser ganda dengan paku
berdasarkan percobaan-III ini karena dipandang relatif aman. Besaran nilai disain dua
percobaan tersebut di atas jauh lebih rendah dan berbeda nyata dibandingkan hasil yang
diperoleh dari percobaan-IIA, percobaan-IIB dan percobaan-IIIA apalagi dengan percobaan -
IIIC. Apabila praktek konstruksi didasarkan pada BPID (1979) yang membatasi pada sesaran
sambungan 1,50 mm, maka nilai Z yang digunakan terlalu overestimasi karena sebenarnya
sambungan telah melewati batas proporsional (sekitar 1,24 mm dengan SD 0,14 mm
menurut Sadiyo, 2010). Nilai disain lateral Z menurut BPID (1979) sedikit lebih tinggi
dibandingkan percobaan-IIB.
Percobaan II yang memadukan pendekatan teoritis dengan uji empiris paku tunggal
tampaknya lebih realistis, karena rataan umum Z berada sedikit dibawah batas proporsional.
Dengan demikian perlu dikaji ulang dasar penetapan sesaran 1,50 mm sebagai batas
penetapan tegangan ijin per paku (nilai disain lateral Z) selain penetapan Z yang didasarkan
atas beban maksimum (BPID, 1979). Namun percobaan-IIB yang didasarkan pendekatan
EC5 (Porteous dan Kermani, 2007) nilai-nilai disainnya berada di atas batas proporsional
bahkan mendekati BPID (1979) atau telah memasuki daerah plastis. Dengan
mempertimbangkan berbagai faktor diantaranya penetapan sesaran sambungan menurut
standar Australia (0,80 mm), sesaran batas proporsional hasil penelitian ini dan besaran SD-
nya maka sesaran 1,00 mm dapat dipertimbangkan untuk ditetapkan sebagai batas aman
kekuatan sambungan geser ganda dengan paku berpelat sisi baja.
Penentuan nilai disain lateral Z yang didasarkan atas beban maksimum
(runtuh/hancur) adalah membagi beban maksimum per paku dengan faktor keamanan 2,75
(BPID, 1979). Apabila nilai disain lateral Z pada batas sesaran 1,00 mm dapat dijadikan
dasar dalam praktek disain sambungan geser ganda maka faktor keamanan yang ditetapkan
(BPID, 1979) tersebut masih terlaku tinggi. Faktor keamanan berdasarkan batas sesaran
1,00 mm hasil penelitian ini berkisar dari terendah 1,54 (kapur), 1,74 (meranti merah), 1,78
(mabang), 1,89 (bangkirai), 1,94 (kempas), 1,97 (punak), dan 2,10 (borneo super). Sebaran
besaran faktor keamanan dari tujuh jenis kayu tersebut sangat bervariasi atau berbeda
secara signifikan, namun untuk kepentingan keamanan sambungan dalam struktur
bangunan sebaiknya ditetapkan faktor keamanan tertinggi yaitu 2,10.

5.0
Nilai Disain Lateral Z (kN)

4.0
3.0
2.0
1.0
0.0
Percoba Percoba Percoba Percoba Percoba Percoba
an-I an-IIA an-IIB an-IIIA an-IIIB an-IIIC
Rataan Umum 2.4 3.4 4.4 3.8 2.3 4.6

Gambar 4. Pola sebaran rerata umum nilai disain lateral Z


sambungan geser ganda menurut berbagai percobaan

416
REKAYASA KAYU

Terdapat kecenderungan umum bahwa rerata Z meningkat secara signifikan dengan


meningkatnya BJ atau kerapatan kayu. Demikian pula pola atau kesejajaran garis sebaran
rerata Z tersebut relatif sama antara pendekatan satu dengan pendekatan lainnya (Gambar
5). Kalaupun ada anomali untuk jenis kayu tertentu, misalnya kayu kapur maka hal tersebut
lebih disebabkan bukan oleh faktor tebal dinding sel. Kemungkinan lain bukan kayu kapur
sebagai anomali tetapi justru kayu kempas dengan serat terpadunya walaupun memiliki BJ
lebih rendah dari kapur tetapi rataan Z-nya menjadi lebih tinggi. Gambar 6 memperlihatkan
perbedaan struktur makroskopis pada penampang melintang kedua jenis kayu tersebut.

7.0
Nilai Disain Lateral Z (kN)

6.0
5.0
4.0 Percobaan-I

3.0 Percobaan-IIA
2.0 Percobaan-IIB
1.0 Percobaan-IIIA
0.0 Percobaan-IIIB
Percobaan-IIIB

Jenis Kayu

Gambar 5. Pola sebaran rerata nilai disain lateral Z sambungan geser ganda
menurut jenis kayu pada berbagai percobaan

Berdasarkan ukuran diameter paku, pola sebaran atau garis kesejajaran rerata Z
relatif sama antara ketiga diameter khususnya antar paku 4,1 mm dengan 5,2 mm menurut
berbagai pendekatan. Dari sudut kajian menurut berbagai pendekatan fenomena sebaran
rerata Z ini sama dengan sebaran rataan umum Z (Gambar 6).

(a). Kempas (b). Kapur

Gambar 6. Struktur makroskopis penampang melintang kayu (a) kempas


dan (b) kapur (perbesaran 30 X)

Paku 5,2 mm memberikan nilai rerata Z paling tinggi diikuti oleh paku 5,5 mm untuk
hampir semua pendekatan, kecuali percobaan-I dan IIB (EC5, 2007) dimana nilai disain
lateral Z paku 5,5 mm lebih tinggi dibandingkan paku 5,2 mm. Rerata Z terendah dihasilkan

417
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

dari paku 4,1 mm untuk semua percobaan. Disamping diduga mutu paku yang rendah
perbedaan rerata Z tersebut juga disebabkan oleh luasan permukaan paku 5,5 mm lebih
besar dari paku 5,2 mm sehingga lebih mudah menggeser atau membelah serat searah
sumbu batang dan mendesak/mendorong kearah tegak lurus serat kayu sebagai awal
keretakan atau pembelahan kayu. Faktor BJ paku yang tinggi pada paku diameter 5,2 mm
yang berarti mengandung unsur besi/baja yang tinggi dapat pula meningkatkan kekuatan
lentur paku

6.0
Nilain Disain Lateral Z (kN)

5.0
4.0
3.0
2.0
1.0
0.0
Percobaan Percobaan Percobaan Percobaan Percobaan Percobaan
-I -IIA -IIB -IIIA -IIIB -IIIC
Paku 4,1 mm 2.0 2.6 3.6 3.3 1.9 4.1
Paku 5,2 mm 2.5 4.0 4.6 4.6 2.7 5.5
Paku 5,5 mm 2.7 3.7 5.1 3.5 2.5 4.3

Gambar 7. Pola sebaran rerata nilai disain lateral Z sambungan geser ganda
menurut diameter paku pada berbagai percobaan

Analisis keragaman menunjukkan jumlah paku 4, 6, 8 dan 10 batang tidak


memberikan pengaruh yang signifikan terhadap nilai rerata Z sambungan geser ganda atau
relatif seragam, yaitu 2.3 kN (percobaan-IIIB) dan 2.6 kN (percobaan-I), tetapi tidak untuk
percobaan-IIIA dan IIIC (Gambar 8). Pada percobaan-IIIA nilai rataan Z untuk paku 8 batang
(4.3 kN) berbeda nyata dan lebih tinggi dibandingkan ketiga jumlah paku lainnya yang relatif
seragam nilai Z-nya (3.7 kN). Gambar 8 juga memperlihatkan fenomena garis rerata nilai
rerata Z sambungan geser ganda percobaan-IIIC relatif sejajar namun berada sedikit diatas
garis rataan Z percobaan- IIIA. Nilai Z untuk paku 8 batang pada percobaan-IIIC besarnya
5.4 kN lebih tinggi dan berbeda nyata dengan paku 6 dan 10 batang (4.7 kN) dan terendah
paku 4 batang (3.9 kN). Dalam beberapa kasus diatas, yaitu percobaan-I dan IIIB, serta IIIA
(kecuali paku 8 batang), maka nilai rerata Z sambungan geser ganda hasil penelitian ini
sejalan dengan pernyataan Surjokusumo et al. (1980) yang menyimpulkan bahwa rata-rata
kekuatan per paku (nilai disain lateral Z) akan meningkat dengan meningkatnya kerapatan
kayu tetapi cenderung konstan dengan bertambahnya jumlah paku. Dalam BPID (1979)
juga disebutkan bahwa apabila dalam satu baris terdapat kurang dari 10 batang paku, maka
kekuatan paku pada sambungan baik tampang satu (geser tunggal) maupun tampang dua
(geser ganda) tidak perlu dikurangi. Pernyataan ini mengandung makna bahwa sampai
dengan pemakaian 10 batang paku rata-rata kekuatan per paku (nilai disain lateral Z) tidak
berbeda nyata atau relatif seragam.
Fenomena yang berbeda dari nilai rerata Z pada paku 8 batang disebabkan karena
geometrik atau jarak antara paku-paku pada pola susunan paku 8 batang lebih merata dan
stabil dibandingkan ketiga jumlah paku lainnya. Walaupun terdapat perbedaan nilai disain
lateral Z pada paku 8 batang (percobaan-IIIA dan IIIC) tersebut namun untuk kepentingan
praktis perencanaan disain sambungan di lapangan perbedaan tersebut dapat diabaikan
karena tidak mengandung makna yang berarti atau nilai disainnya dapat digantikan oleh nilai
Z terendah.

418
REKAYASA KAYU

6.0

5.0
Nilai Disain Lateral Z (kN)

4.0

3.0 Percobaan-I

2.0 Percobaan-IIIA
Percobaan-IIIB
1.0
Percobaan-IIIC
0.0
4 6 8 10
Jumlah Paku (Batang)

Gambar 8. Pola sebaran rerata nilai disain lateral Z sambungan geser ganda
menurut jumlah paku pada berbagai percobaan

KESIMPULAN

Terdapat kecenderungan umum bahwa nilai disain lateral Z sambungan geser ganda
batang kayu dengan paku berpelat sisi baja meningkat dengan meningkatnya berat jenis
atau kerapatan kayu pada semua sesaran (0,38; 0,80; 1,50 dan 5,00 mm). Dengan demikian
kayu bangkirai, kempas dan kapur memiliki rerata nilai disain lateral Z lebih tinggi dan
berbeda nyata dibandingkan kayu borneo super, meranti merah, punak dan mabang.
Namun untuk kayu kapur walaupun memiliki BJ lebih tinggi tetapi nilai disain leteral Z-nya
lebih rendah dari kayu kempas.
Rerata nilai disain lateral Z sambungan geser ganda menurut Percobaan I relatif
sama dan tidak berbeda nyata dengan Percobaan IIIB (batas maksimum). Namun nilai Z dari
kedua percobaan tersebut jauh lebih rendah dibandingkan rataan Z yang diperoleh dari
Percobaan IIB (EC5, 2007) dan Percobaan IIIC (batas sesaran 1,5 mm; BPID, 1979).
Dengan demikian nilai disain lateral Z yang paling realistis untuk kayu tropis Indonesia
adalah pendekatan batas proporsional (Percobaan IIIA) hasil uji empiris. Nilai rerata Z yang
disebutkan terakhir berada diantara nilai ekstrim dari kedua kelompok pendekatan di atas.
Paku berdiameter 5,2 mm memberikan rerata nilai disain lateral Z paling tinggi diikuti
oleh paku 5,5 mm untuk hampir semua percobaan, kecuali percobaan I (Teoritis) dan IIB
(EC5, 2007) dimana nilai disain lateral Z paku 5,5 mm lebih tinggi dibandingkan paku 5,2
mm. Secara umum jumlah paku tidak memberikan pengaruh yang nyata(relatif seragam)
terhadap rerata nilai disain lateral Z sambungan geser ganda.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada


Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan Nasional atas dukungan
pendanaan terhadap penelitian ini. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Saudara
Yeyet, Sriyanto, Ace Amirudin Mansur dan Riva Fachrurrazi alumni Departemen Hasil
Hutan, Fakultas Kehutanan, IPB Bogor atas kerjasamanya yang baik dalam penyiapan dan
pengujian contoh uji.

419
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

DAFTAR PUSTAKA

American Society for Testing and Materials (1995) Standard Test Methods for Bolted
Connections in Wood and Wood-Based Products. ASTM D5652-95 (Reapproved
2000). West Conshohocken, PA 19428-2959, United States.
American Society for Testing and Materials (1994) Standard Practice for Evaluating
Allowable Properties for Grade of Structural Lumber. ASTM D2915-94. Easton, USA.
American Society for Testing and Materials (2002a) Standard Test Methods for Small Clear
Specimens of Timber. ASTM Standard D143-94. Annual Book of ASTM Standards
v4.10. ASTM, Philadelphia, PA.
American Society for Testing and Materials (2002b) Standard Test Methods for Mechanical
Fastener in Wood. ASTM Standard D5652-95. Annual Book of ASTM Standard v4.10.
ASTM, Philadelphia, PA.
American Wood Council (2005) National Design Specification: For Wood Construction,
ASD/LRFD. American Forest & Paper Association, 2005 Edition. Washington, DC
20036.
Beery WH, Ifju G, McLain TE (1983) Qualitative Wood Anatomy-Relating Anatomy to
Transverse Tensile Strength. Wood Fiber Sci 15:395-407.
Bleron L, Duchanois G (2006) Anggle to the Grain Embedding Strength Concerning Dowel
Type Fasteners. Forest Product Journal; 56,3; ABI/INFORM Global pg.44.
Breyer DE, Fridley KJ, Cobean KE, Pollock DG (2007) Design of Wood Structures,
ASD/LRFD. RR Donnelley. McGraw-Hill Professional, Two Penn Plaza. New York.
British Standard Institution (1957) Methods of Testing Small Clear Specimens of Timber. BS
373:1957. Decorporated by Royal Charter. British Standard House. London.
Building Problem Investigation Directorate (1979) Indonesian Wood Construction Rule, NI-5.
Building Problem Investigation Normallyzation Founding. Bandung
Courney TH (2000) Mechanical Behaviour of Materials. Chapt. 14:686-714. McGraw-Hill,
New York.
Faherty KF, Williamson TG (1989) Wood Engineering and Construction Handbook. McGraw-
Hill Publishing Company. New York.
Forest Products Laboratory. 1999. Wood Handbook: Wood as an Engineering Material.
USDA Forest Service, Madison. Wisconsin.
Hoyle RJ Jr (1973) Wood Technology in The Design of Structure. Mountain Press Publishing
Company. Missoula, Montana. USA.
Pun CY (1987) Structural Timber Joints. Malayan Forest Record No. 32. Forest Research
Institut Malaysia. Kuala Lumpur.
Sadiyo S (1989) Effect on Wood Species and Adhesive Type Combination To Physical and
Mechanical Properties of Hull Diagonal Composite [Thesis]. Faculty of Forestry.
Bogor Agricultural University. Bogor.
Suryokusumo S, Sadiyo S, Marzufli, Bismo AA, Setyo AC (1980) Wood Engineering System.
Study of Nail and Nail Plate Connections. Forestry Faculty, Bogor Agricultural
University. Bogor.
Tjondro JA (2007) Behaviour of Single-Bolted timber Connections with Steel Side Plates
Under Uni-Axial Tension Loading. Dissertation, Parahyangan Katholic University.
Bandung
Wirjomartono S (1977) Wood Constructions. Edition. VI, Lecture Materials. Engineering
Faculty Press. Gajah Mada University. Yogyakarta.

420
REKAYASA KAYU

PENGEMBANGAN STRUKTUR LAMINATED VENEER LUMBER


(LVL) HASIL KOMBINASI VINIR DENGAN ZEPHIR BAMBU

Kurnia Wiji Prasetiyo1, Sonia Somadona1, dan M. Yusram Massijaya2


1
Mahasiswa Pasca Sarjana Ilmu dan Teknologi Hasil Hutan IPB
2
Dosen Departemen Hasil Hutan Fakultas Kehutanan IPB

ABSTRAK

Laminated Veneer Lumber (LVL) merupakan produk komposit kayu yang tersusun
dari lapisan venir dengan arah serat venir kayu yang sejajar pada setiap lapisan venir dan
diikat dengan perekat. Produk LVL yang berbahan dasar vinir dan zephir bambu ini akan
diuji karakteristik fisik dan mekaniknya meliputi nisbah delaminasi, geser horisontal dan
keteguhan lentur. Vinir yang dipakai adalah dari kayu petai (Parkia speciosa) dengan
ketebalan rata-rata sekitar 2,2 mm. Zephir dengan tebal rata-rata sekitar 4 mm diperoleh dari
bambu mayan atau temen atau serit (Gigantochloa robusta Kurz) dengan 4 kombinasi
susunan dalam 10-11 lapis yaitu vinir, vinir-zephir, vinir-vinir-zephir dan zephir-vinir-vinir.
Berat labur perekat adalah 280 g/m2 dengan katalis sebesar 15% dari berat perekat yang
diaplikasikan dengan cara labur double glue line kemudian dikempa dingin selama selama
20 menit pada tekanan 2,5 MPa yang selanjutnya dikondisikan selama 24 jam. Nisbah
delaminasi struktural LVL rata-rata lebih rendah dibanding non struktural dan hanya LVL
tanpa zephir saja yang masuk standar. Secara umum hasil uji mekanik dari LVL arah tegak
lebih tinggi nilainya dibandingkan arah datar. Nilai geser horisontal LVL pada arah uji tegak
dan datar pada LVL dengan kombinasi zephir bambu belum memenuhi standar SNI 01-
6240-2000. Untuk nilai modulus of elasticity (MOE) pada uji keteguhan lentur arah tegak dan
datar pada semua kombinasi susunan rata-rata memenuhi standar, sedangkan nilai modulus
of rupture (MOR) pada arah uji tegak dan datar secara umum masuk dalam nilai minimum
standar yaitu 16 MPa mulai kategori Grade 2, Grade 1 dan Grade Khusus dari semua produk
LVL. Untuk semua karakteristik fisik dan mekanik yang diuji ternyata LVL dengan susunan
vinir semua tanpa zephir rata-rata lebih tinggi nilainya dibandingkan yang dikombinasikan
dengan zephir.

Kata kunci : LVL, vinir, zephir bambu, kombinasi susunan, karakteristik fisik dan mekanik

PENDAHULUAN

Terjadinya penurunan potensi kayu bermutu tinggi mendorong berkembangnya


teknologi kayu. Salah satu produk yang dapat menggantikan kayu untuk komponen
struktural adalah Laminated Veneer Lumber (LVL). LVL merupakan suatu produk komposit
struktural yang diperoleh dengan cara menyusun sejajar serat lembaran venir yang diikat
dengan perekat. Dalam hal tertentu diperbolehkan ada venir silang dibawah venir luar.
Menurut Bakar (1996) dibandingkan kayu solid atau kayu lapis, LVL mempunyai nilai lebih,
meliputi ukuran panjang end-less, dapat dilengkungkan, keteguhan lebih tinggi,
persyaratan kualitas bahan baku rendah, pengawetan rendah dan efisiensi bahan baku
tinggi. Melihat persyaratan kualitas bahan baku LVL yang relatif rendah maka dimungkinkan
untuk menggunakan kayu dengan kerapatan rendah yang berasal dari hutan rakyat seperti
kayu petai (Parkia speciosa) dari daerah Jawa Barat yang sudah banyak dipakai sebagai
komponen struktural. Produk LVL pertama kali dipakai pada masa Perang Dunia II sebagai
baling-baling pesawat udara dan bagian lain dari pesawat yang memiliki tegangan tinggi.
Pada kayu utuh adanya cacat-cacat alami sangat berpengaruh terhadap keteguhan
kayu, tetapi pada LVL, cacat-cacat alami kayu tersebut dapat disebar secara merata diantara
lapisan vinir sehingga mampu mengurangi pengaruh cacat tersebut terhadap kekuatan LVL
(Youngquist dan Bryant, 1979). Dengan berkembangnya teknologi rekayasa bahan maka
dimungkinkan adanya modifikasi dalam produk LVL yang umumnya memakai vinir yang

421
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

mulai dicoba dikombinasikan dengan bahan lain misalnya zephir bambu. Bahan bambu
dikenal oleh masyarakat memiliki sifat-sifat yang baik untuk dimanfaatkan, antara lain
batangnya kuat, ulet, lurus, rata, keras, mudah dibelah, mudah dibentuk dan mudah
dikerjakan serta ringan sehingga mudah diangkut. Selain itu bambu juga relatif murah
dibandingkan dengan bahan bangunan lain karena banyak ditemukan di sekitar pemukiman.
Bambu menjadi tanaman serbaguna bagi masyarakat. Bambu tergolong hasil hutan non
kayu yang dapat digunakan untuk berbagai keperluan. Oleh karena itu tidak berlebihan bila
dikatakan bambu sebagai tanaman serba guna. Karena perannya sebagai tumbuhan serba
guna, bambu dapat digunakan sebagai alternatif pengganti kayu.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui karakteristik fisik dan mekanik LVL dari
hasil kombinasi vinir dan zephir bambu dengan menggunakan perekat water based polymer-
isocyanate.

BAHAN DAN METODE

Produk LVL yang terdiri dari kombinasi vinir kayu dan zephir bambu menggunakan
perekat water based polymer dengan merk dagang Koyo Bond tipe KR-560 produksi PT.
KOYOLEM INDONESIA, Gunung Putri, Bogor yang ditambahkan isocyanate sebagai
crosslinker dengan tipe AP.
Vinir yang dipakai adalah dari kayu petai (Parkia speciosa) yang berasal dari hutan
rakyat di Jawa Barat dengan ketebalan rata-rata sekitar 2,2 mm dan kadar air sekitar 8-10%.
Zephir dengan tebal rata-rata sekitar 4 mm dan kadar air sekitar 10-15% diperoleh dari
bambu mayan atau temen atau serit (Gigantochloa robusta Kurz) umur sekitar 2 tahun dari
hutan koleksi bambu UPT BPP Biomaterial LIPI, Cibinong dengan 4 kombinasi susunan
dalam 10 ~ 11 lapis yaitu vinir-zephir (A), vinir-vinir-zephir (B), zephir-vinir-vinir (C) dan vinir
(D) seperti yang tercantum dalam Tabel 1.

Tabel 1. Kombinasi bahan dari produk LVL

A B C D
V V Z V
Z V V V
V Z V V
Z V Z V
V V V V
Z Z V V
V V Z V
Z V V V
V Z V V
Z V Z V
V V V

Keterangan:
V = Vinir; Z = Zephir

Berat labur perekatnya sebesar 280 g/m2 dengan katalis sebesar 15% dari berat
perekat yang merujuk pada petunjuk pemakaian dari produsen/pabrik. Aplikasi perekat
dengan cara labur double glue line kemudian dikempa dingin selama selama 20 menit pada
tekanan 2,5 MPa yang selanjutnya dikondisikan selama 24 jam pada suhu ruang. Setelah
itu, LVL diangkat dari mesin kempa dingin untuk selanjutnya dilakukan pengkondisian
selama 14 hari pada suhu ruang. Kemudian LVL diuji karakteristik fisik dan mekanik
berdasarkan pada standar SNI 01-6240-2000.

422
REKAYASA KAYU

HASIL DAN PEMBAHASAN

Nisbah Delaminasi
Nisbah delaminasi rata-rata LVL berdasarkan SNI 01-6240-2000 tidak lebih dari 10%
dan panjang kerusakan dalam 1 garis rekat tidak lebih dari 1/3 atau 33% dari panjang garis
rekat pada setiap sisi. Dari hasil pengukuran nisbah delaminasi seperti yang terlihat dalam
Gambar 1. menunjukkan bahwa produk LVL dengan susunan vinir tanpa zephir memiliki
nisbah delaminasi yang lebih kecil yaitu 0% dibandingkan produk LVL hasil kombinasi vinir
dengan zephir bambu yang nilainya rata-rata masih diatas 10% baik pengujian struktural
maupun non struktural sehingga bisa dikatakan keteguhan rekatnya rendah. Kerusakan garis
rekat terbesar ada pada LVL A dengan nisbah delaminasi struktural 39,9% dan non
struktural 36,3%. Besarnya nisbah delaminasi yang dicirikan dengan rusaknya garis rekat
dari LVL dimungkinkan terjadi karena tidak meratanya penetrasi perekat. Tidak
sempurnanya penetrasi perekat diduga dipengaruhi oleh kondisi permukaan dari zephir
bambu yang tidak rata dan masih licin akibat adanya kulit bambu meskipun sudah diproses
dengan mesin crusher. Secara umum nilai nisbah delaminasi dari LVL hasil kombinasi vinir
dan zephir bambu masih dibawah standar yang menjadi rujukan yaitu kurang dari 10% baik
struktural maupun non struktural dibandingkan dengan LVL dengan susunan semua vinir
yang penetrasi perekatnya bisa dikatakan sempurna dan merata.

50
Nisbah delaminasi (%)

40
Vinir-Zephir
30
Vinir-Vinir-Zephir
Zephir-Vinir-Vinir
20
Vinir
10
SNI 01-6240-2000
0
Non Struktural Struktural
Tipe Delaminasi

Gambar 1. Nisbah delaminasi LVL

Geser Horisontal
Pengujian geser horisontal dilakukan untuk mengetahui pengaruh beban terhadap
kekuatan lapisan dan garis rekat dari LVL. Pada pengujian geser horisontal arah tegak,
semua LVL dengan variasi kombinasi susunan memiliki nilai rata-rata 1,93 ~ 6,16 MPa yang
lebih tinggi dibandingkan LVL untuk pengujian arah datarnya 1,87 ~ 4,13 MPa seperti yang
terlihat dalam Gambar 2. Nilai geser horisontal untuk LVL D arah uji tegak (6,16 MPa)
masuk Tipe 60 V ~ 51 H sehingga masih memenuhi syarat dalam SNI 01-6240-2000 yaitu
minimal 3,5 MPa sedangkan pada arah uji datar minimal 3 MPa (4,13 MPa) dan masuk
dalam Tipe Tipe 40 V ~ 34 H . Namun untuk LVL A, LVL B dan LVL C dengan kombinasi
bahan vinir dan zephir bambu yang sama ternyata belum memenuhi standar. Pada setiap
pengujian arah tegak nilainya lebih besar dibanding arah datar. Hal tersebut menunjukkan
bahwa LVL lebih mampu menahan gaya geser horisontal sejajar arah garis rekat
dibandingkan tegak lurus garis rekatnya. Adanya penetrasi yang kurang sempurna dari
perekat pada proses perekatan antar vinir dengan zephir bambu diduga juga berpengaruh
terhadap kekuatan geser horisontalnya yang rata-rata belum masuk dalam standar terhadap
produk LVL yang dikombinasikan dengan zephir bambu.

423
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Gaya geser horisontal (MPa)


6
Vinir-Zephir
SNI 01-6240-2000 Vinir-Vinir-Zephir
4
Zephir-Vinir-Vinir
Vinir
2

0
Datar Tegak
Arah Pengujian

Gambar 2. Nilai gaya geser horisontal LVL

Keteguhan Lentur
Modulus of elasticity (MOE)
Untuk nilai modulus of elasticity (MOE) dari hasil pengujian keteguhan lentur LVL
ditunjukkan dalam Gambar 3. Pada pengujian keteguhan lentur arah tegak, semua produk
LVL dengan beragam kombinasi susunannya memiliki nilai rata-rata MOE (10,28 ~ 13,04
GPa) yang lebih tinggi dibandingkan LVL untuk pengujian arah datarnya (6,72 ~ 12,01 GPa).
Hal ini menunjukkan bahwa pengujian sejajar vinir dapat memberikan tahanan elastis yang
lebih tinggi dari pada gaya yang dihasilkan pada arah tegak lurus vinir dari produk LVL. Nilai
tersebut sudah memenuhi persyaratan SNI 01-6240-2000 baik pada uji arah tegak maupun
datar dan juga standar JAS SE-4-2008 (Structural LVL) yaitu minimal sebesar 5 GPa.
Secara umum nilai MOE terbesar ada pada LVL D (Tipe 110E) baik pada uji arah tegak
maupun datar diikuti LVL A (Tipe 100E), LVL C (Tipe 100E) dan LVL B (Tipe 80E) pada
posisi yang sama. Hal ini menunjukkan bahwa pemakaian zephir bambu untuk pembuatan
LVL mampu memberikan pengaruh yang cukup baik terhadap peningkatan elastisitas dari
LVL karena bambu dikenal memiliki elastisitas yang cukup baik walaupun nilainya masih
dibawah produk LVL yang tanpa menggunakan zephir bambu.

15
Modulus of elasticity (GPa)

SNI 01-6240-2000
12
Vinir-Zephir
9
Vinir-Vinir-Zephir
Zephir-Vinir-Vinir
6
Vinir
3

0
Datar Tegak
Arah Pengujian

Gambar 3. Nilai modulus of elasticity (MOE) LVL

424
REKAYASA KAYU

Modulus of rupture (MOR)


Nilai MOR hasil pengujian keteguhan lentur bisa memberikan gambaran akan
kemampuan benda dalam menahan suatu beban sampai pada batas bahan tersebut tidak
mampu lagi menahan beban yang diberikan. Sifat mekanis ini merupakan sifat yang penting
dalam penggunaan bahan sebagai komponen struktural. Nilai rata-rata modulus of rupture
(MOR) disajikan dalam Gambar 4. Berdasarkan pengujian, nilai MOR pada pengujian
keteguhan lentur arah tegak, semua LVL dengan variasi kombinasi susunan memiliki nilai
rata-rata MOR (37,55 ~ 63,43 MPa) yang lebih tinggi dibandingkan LVL untuk pengujian arah
datarnya (15,43 ~ 63,56 MPa).
Berdasarkan standar untuk LVL, nilai minimum MOR LVL adalah sebesar 16 MPa
(Grade 2), 19 MPa (Grade 1) dan 22,5 MPa (Grade Khusus). Untuk LVL D memiliki nilai
MOR tertinggi dan masuk Grade Khusus diikuti LVL C (Tipe 100E), LVL A (Tipe 90E) dan
LVL B (Tipe 80E) yang rata-rata masuk dalam Grade 1 pada arah tegak. Nilai MOR LVL D
arah uji datar masuk Grade Khusus sedangkan untuk LVL C nilai MOR masuk Grade 1
namun pada LVL A dan B masih dibawah standar minimum Grade 2. Kecenderungan ini
relatif sama dengan hasil dari nilai MOEnya. Hal ini menunjukkan bahwa LVL lebih mampu
menahan beban pada arah uji tegak daripada arah uji datar. Adanya zephir bambu dalam
susunan LVL ternyata mampu memberikan pengaruh terhadap nilai MOR yang hal ini diduga
dipengaruhi oleh sifat bambu yang mampu menahan beban cukup baik, sehingga secara
umum dapat dikatakan bahwa LVL lebih mampu menahan beban pada posisi gaya tegak
lurus serat daripada sejajar dengan garis rekatnya. Ketidaksempurnaan dari perekatan dan
meratanya perekat pada garis rekat selama proses perekatan diduga juga berpengaruh
terhadap nilai MORnya yang bisa menimbulkan perlemahan selama LVL diberi beban.

75
Modulus of rupture (MPa)

60
SNI 01-6240-2000
Vinir-Zephir
45
Vinir-Vinir-Zephir
Zephir-Vinir-Vinir
30
Vinir
15

0
Datar Tegak
Arah Pengujian

Gambar 4. Nilai modulus of rupture (MOR) LVL

KESIMPULAN

Secara umum produk LVL tanpa kombinasi dengan zephir bambu memiliki
karakteristik fisik dan mekanik yang lebih tinggi dibandingkan produk LVL yang
dikombinasikan dengan zephyr bambu.
Hasil pengujian mekanik pada LVL arah tegak lebih tinggi nilainya dibandingkan arah
datar sehingga masuk dalam standar.
Produk LVL D yang disusun tanpa zephir bambu memiliki karakteristik fisik dan
mekanik lebih baik dibandingkan LVL dengan kombinasi zephir bambu.
Adanya zephir bambu pengganti vinir dalam produk LVL sedikit banyak memberikan
pengaruh terhadap masih tingginya nisbah delaminasi dan rendahnya gaya geser horisontal

425
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

namun untuk keteguhan lenturnya (MOE dan MOR) rata-rata masuk dalam standar yang
menjadi rujukan.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Standar Nasional, 2000. SNI 01-6240-2000 Venir Lamina. BSN. Jakarta
Bakar, E.S. 1996. Kayu Laminasi Venir Sejajar. Buletin Teknologi Hasil Hutan, Vol I. Hal :24
- 30. Institut Pertanian Bogor.
JAS SE-4. 2008. Inspection Methods for Laminated Veneer Lumber and Structural
Laminated Veneer Lumber.
Komatsu, K., Idris, Y., Wong, E.D., Yuwasdiki, S., Firmanti, A., Subiyanto, B. 2005. Use of
Mixed Species (Falcataria-Rubberwood) Laminated Veneer Board (LVB) for
Structural Applications in Wooden Houses. Sustainable Development and Utiliation
on Tropical Forest Resources. Report of JSPS-LIPI Core University Program in the
Field of Wood Science. 1996 2005. pp. 51-59).
Morisco. 2006. Rangkuman Hasil Penelitian. Pemberdayaan Bambu Untuk Kesejahteraan
Rakyat dan Kelestarian Lingkungan. Fakultas Teknik Universitas Gajah Mada.
Yogyakarta.
Panshin and De Zeeuw. 1977. Textbook of Wood Technology. Fourth Edition, McGrow-Hill
Book Company.
PT. KOYOLEM INDONESIA. 2011. KOYOBOND: Water Based Polymer-Isocyanate
Adhesive for Wood. Bogor.
Rosalita, Y., Massijaya, M.Y., dan Subiyanto, B. 2008. Determinasi Sifat-sifat Dasar
Laminated Veneer Lumber (LVL). Prosiding Seminar Nasional MAPEKI XI.
Palangkaraya, Kalimantan Tengah.
Rosalita, Y. 2009. Kajian Optimasi Sambungan Pasak Bambu Laminasi Pada Struktur
Laminated Veneer Lumber (LVL). Tesis. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian
Bogor. Bogor. (tidak terbit)
Youngquist, J.A dan B.S. Bryant. 1979. Production and Marketing Feasibility of Parallel
Laminated Veneer Product. Forest Product Journal 29 (8) : 45

426
REKAYASA KAYU

PEMANFAATAN KAYU GALAM (Melaleuca kajuputi)


SEBAGAI BAHAN KONSTRUKSI UNTUK
RUMAH TRANSMIGRASI
Lasino dan WS. Witarso
Pusat Litbang Permukiman
Jl. Panyawungan, Cileunyi Wetan Bandung
Email : lsn_pu@yahoo.com dan witarsows@yahoo.com

ABSTRAK

Dengan terbitnya Inpres no 2 tahun 2007 tentang percepatan rehabilitasi dan


revitalisasi pengembangan lahan gambut (PLG) di Kalimantan Tengah, Kementerian
Pekerjaan Umum merespon dengan kegiatan rehabilitasi dan penataan infrastruktur (jalan
dan irigasi, penyediaan sarana air bersih dll). Sedangkan Kementerian Transmigrasi dan
Tenaga Kerja melalui RPJM nya hingga tahun 2011 ini mentargetkan akan membangun
perumahan transmigrasi sebanyak 54.000 unit, dimana 8.000 unit diantaranya berupa
rehabilitasi.
Untuk mengantisipasi kebutuhan bahan bangunan untuk mencukupi target RPJM
tersebut, maka perlu dilakukan penelitian untuk mendapatkan bahan bangunan alternatif
dalam pembangunan perumahan transmigrasi khususnya di PLG Kalimantan Tengah. Dari
kajian potensi bahan bangunan lokal, diperoleh data bahwa di Kabupaten Kapuas dan
sekitarnya tersedia kayu galam (Melaleuca kajuputi) sangat berlimpah dengan sebaran
hutan galam mencapai sekitar 63.800 Ha. Memadukan antara potensi kayu galam di
Kabupaten Kapuas dengan hasil litbang tentang bahan bangunan alternatif pada tahun-
tahun sebelumnya, maka kegiatan penelitian ini telah menghasilkan karakteristik kayu galam
dan 4 teknologi alternatif untuk komponen perumahan transmigrasi di lahan gambut, yaitu
sistem komponen pondasi, sistem komponen lantai panggung, sistem komponen dinding
dan sistem komponen rangka atap.
Tulisan ini akan difokuskan pada salah satu hasil tersebut, yaitu sifat-sifat teknis dari
kayu galam tersebut kaitannya dengan persyaratan teknis untuk kayu konstruksi yang
mencakup kekuatan dan keawetannya. Contoh kayu diambil langsung dari lokasi
penebangan di Kapuas Kalimantan Tengah dengan berbagai diameter mulai 6 cm sampai
dengan 15 cm dan kayu hasil gergajian yang berbentuk balok ukuran 6 x 12 cm dan 6 x 15
cm. Dari hasil pengujian diperoleh data bahwa kekuatan kayu bervariasi mulai dari mutu
kelas kuat III sampai kelas kuat I, yaitu untuk uji kuat tarik sejajar serat memiliki kekuatan
sebesar 100,63 N/mm2 (mutu I), kuat tekan sejajar serat 36,40 N/mm2 (mutu II), dan kuat
lentur sebesar 6,56 N/mm2 (mutu III), dengan demikian dalam penggunaannya dapat dipilih
berdasarkan kekuatan dan fungsi komponen dalam struktur sehingga mendapatkan sistem
yang proporsional.

Kata kunci : kayu galam, potensi lokal, kayu konstruksi, perumahan transmigrasi

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Target pembangunan perumahan transmigrasi di Indonesia sampai tahun 2011
diproyeksikan mencapai 54.000 unit, dimana 8.000 unit diantaranya adalah rehabilitasi
terhadap rumah-rumah yang mengalami kerusakan.
Hingga saat ini, rehabilitasi maupun pembangunan baru perumahan transmigrasi
yang terdiri dari tipe Rumah Panggung (RP), dan Rumah Non Panggung (RNP) masih

427
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

didominasi penggunaan bahan kayu, baik untuk sub structure (pondasi), maupun upper
structure (rangka, dinding, lantai, rangka atap), dengan demikian konsumsi kayu menjadi
sangat besar. Sebagai contoh, dari spesifikasi teknik tipe RP-36 untuk 1 unit diperlukan kayu
sekitar 7,80 M3 dengan berbagai ukuran, ini berarti untuk merehabilitasi 8.000 unit diperlukan
kayu tidak kurang dari 60.000 M3 berbagai ukuran. Untuk saat ini, kebutuhan kayu sebanyak
itu amat sulit untuk dapat dipenuhi, karena kenyataan di lapangan untuk mendapatkan kayu
gergajian sudah sangat sulit, terutama setelah adanya pengketatan penebangan kayu HTA
dan dengan diberlakukannya ketentuan SKAU (Surat Keterangan Asal Usul) kayu, maka
mendapatkan dan mobilisasi kayu gergajian semakin sulit. Oleh sebab itu, perlu dicarikan
bahan alternatif pengganti kayu konstruksi dari HTA tersebut.
Penggantian bahan kayu konstruksi dengan bahan alternatif bukan berarti
replacement atau meniadakan kayu, tetapi meminimalkan penggunaan kayu gergajian
dari HTA, dengan cara memanfaatkan kayu lokal yang belum lazim digunakan sebagai kayu
konstruksi dengan melakukan treatment terlebih dahulu, dan difersifikasi jenis kayu,
sehingga kayu-kayu lokal klas rendah dapat digunakan dengan ditingkatkan terlebih dahulu
kualitasnya. Di lain pihak, di kawasan transmigrasi, di Kabupaten Kapuas Kalimantan
Tengah misalnya, terdapat potensi lokal berupa hutan kayu galam (Melaleuca kajuputi) yang
jumlahnya cukup besar, sebarannya mencapai sekitar 63.800 Ha. Kayu jenis ini yang
biasanya hanya untuk pekerjaan cerucuk dapat ditingkatkan menjadi kayu kosntruksi untuk
pembangunan perumahan.
Tulisan ini akan membahas karakteristik kayu galam yang diambil dari Kapuas
Kalimantan Tengah dan diuji di laboratorium Pusat Litbang Permukiman untuk dilakukan
analisis apakah dapat ditingkatkan fungsinya sebagai kayu konstruksi.

Permasalahan
Kayu gergajian dari HTA di Kalsel dan Kalteng semakin sulit diperoleh, sehingga bila
pembangunan perumahan transmigrasi di lahan gambut masih menggunakan spesifikasi
lama yang didominasi penggunaan bahan kayu gergajian dari HTA, maka besar
kemungkinan target rehabilitasi dan pembangunan perumahan transmigrasi akan mengalami
hambatan, disamping akan memicu harga kayu yang semakin tinggi. Sementara itu,dilokasi
tersebut terdapat potensi kayu galam yang sangat melimpah dan belum dimanfaatkan
secara optimal sebagai kayu konstruksi. Oleh karena itu, berdasarkan sifat-sifat teknis yang
dimiliki serta potensi kayu lokal yang ada, diharapkan dapat dikembangkan pemanfaatannya
sebagai bahan bangunan alternatif kayu konstruksi untuk menunjang pembangunan
perumahan transmigrasi.

Tujuan dan Sasaran


Tujuan penelitian ini adalah mengembangkan bahan bangunan alternatif pengganti
kayu untuk pembangunan perumahan transmigrasi di lahan gambut di kawasan PLG, yang
berbasis potensi lokal.

Sasaran Fisik
Diperolehnya kayu konstruksi dari kayu galam yang dapat digunakan untuk
pembangunan perumahan transmigrasi baik untuk struktur bawah (sub structure) maupun
struktur atas (up structure).

Sasaran Outcome
x Dapat dikembangkannya bahan bangunan alternatif, sekaligus dapat meminimalkan
penggunaan kayu olahan dari HTA dalam pembangunan rumah transmigrasi di lahan
gambut di kawasan PLG;
x Dapat meningkatkan mutu pembangunan dan umur layan rumah transmigrasi di lahan
gambut di kawasan PLG.

428
REKAYASA KAYU

BAHAN DAN METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang digunakan adalah eksperimental dengan membuat benda uji
dari kayu galam untuk pengujian kuat tekan, kuat lentur dan kuat tarik yang selanjutnya akan
dilakukan analisis dan dibandingkan dengan standar atau spesifikasi teknis dari bangunan
transmigrasi sehinga akan diperoleh suatu bahan yang memenuhi persyaratan. Dari data
sifat kayu yang diperoleh kemudian dilakukan pendalaman dengan metode deskriptif,
analitik, dan uji laboratorium yang dapat diuraikan sbb :
Deskriptif : Pendataan potensi sumber kayu galam yang dapat digunakan sebagai
bahan bangunan alternatif berdasarkan karakteristik yang dimiliki.
Uji laboratorium : menguji mutu kayu galam dari berbagai variasi jenis uji dan ukuran
kayu maupun pembuatan komponen yang akan dikembangkan.
Analisis terhadap hasil uji laboratorium, maupun analisis secara teoritis terhadap
sistem komponen alternatif.

Bahan dan Alat


Bahan kayu galam diambil dari hutan rakyat di Kabupaten Kapuas Kalimantan
Tengah dengan ukuran diameter rata-rata 10 15 cm, dibentuk menjadi balok selanjutnya
dibuat benda uji sesuai kebutuhan pengujian. Penentuan diameter kayu ini berdasarkan
kelaziman masyarakat setempat menebang kayu galam. Jadi diameter 10 15 cm adalah
diameter layak tebang untuk dibuat balok.

Rancangan Percobaan
Pembuatan benda uji untuk mengetahui sifat-sifat dasar kayu, yang meliputi uji kuat
tekan, kuat lentur dan kuat tarik, dari berbagai diameter nominal kayu galam yang akan
digunakan sebagai komponen / rangka struktural dan non struktural,.untuk menghasilkan
komponen yang sesuai dengan kebutuhan dan fungsi dari komponen tersebut. Secara
umum uraian penelitian dapat dijelaskan sebagai barikut:

Peralatan dan Benda Uji


Peralatan uji yang digunakan adalah mesin uji UTM (Universal Testing Machine)
kapasitas 100 TON dan 200 TON dan alat bantu seperti jangka sorong, timbangan, meteran
dan alat bengkel untuk mengolah kayu dan membuat benda uji.
Benda uji berupa balok ukuran 76 cm x 5 cm x cm untuk uji kuat lentur, balok ukuran
20 cm x 5 cm x 5 cm untuk uji kuat tekan dan batang yang dibentuk pinggang untuk uji kuat
tarik, dengan ulangan masing-masing 6 kali.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Potensi Kayu Galam di Hutan Rakyat


Dari hasil survey lapangan dan berdasarkan data sekunder peta potensi provinsi
Kalimantan Tengah, di wilayah kabupaten Kapuas (lokasi PLG) terdapat hutan galam yang
luasnya mencapai sekitar 63.800 Ha yang tersebar di sekitar Kecamatan Papuyu, Pangkah,
Palingkau, Dadahup dan Lamunti. Di desa Lamunti (bagian dari wilayah transmigrasi
Kalimantan Tengah) sendiri terdapat hutan galam sebagai hutan rakyat seluas sekitar 600
Ha, seperti pada Gambar 1 dan Gambar 2.

429
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Sumber : Bappeda Kab. Kapuas

Gambar 1 : Sebaran Hutan Galam di Kab. Kapuas

Gambar 2 : Lokasi Hutan Galam di Desa Lamunti

Mobilisasi Kayu Galam


Kayu galam (Melaleuca lendadendron) dalam bentuk olahan (gergajian) dalam
pengangkutannya sebagaimana lazimnya kayu gergajian dari HTA memerlukan SKAU
(Surat Keterangan Asal Usul) (Permenhut no P.33/MENHUT-II/2007),namun apabila
dalam bentuk gelondongan atau utuh tidak memerlukan dokumen surat tersebut, sehingga
lebih mudah dalam mobilisasinya

Potensi Kayu Galam di Pasaran


Ketersediaan kayu galam gelondong di pasaran dapat direpresentasikan oleh
banyaknya pedagang pengumpul (bandar) di seputar Palingkau. Salah satu bandar di tepi
jalan ruas Palingkau-Dadahup per hari mampu mensupply hingga 2500 batang kayu galam
gelondong 5-20cm. Dari sejumlah itu lebih didominasi (60%) diameter 5-8cm, karena
ukuran ini yang lebih banyak digunakan untuk keperluan cerucuk, karena saat ini
penggunaan kayu galam pada umumnya hanya digunakan untuk cerucuk. Jumlah stock di
pedagang pengumpul yang cukup besar tersebut memberikan indikasi bahwa kayu galam

430
REKAYASA KAYU

selain potensial di hutan (yang masih tumbuh), juga telah tersedia di pasaran ( siap
digunakan).
Menyelaraskan antara potensi yang cukup besar dengan regulasi yang berlaku
tersebut, idealnya usaha penggergajian kayu galam untuk balok atau bentuk lain terletak
dalam satu kawasan, sehingga dalam pengusahaan dan pemanfaatannya diharapkan tidak
terkendala oleh faktor mobilisasi/pengangkutan.

Gambar 3: Persediaan Kayu Galam di Pedagang/Pengepul

Uji Laboratorium .
Pengujian laboratorium meliputi pengawetan, uji sifat fisis dan mekanik dan uji coba
pembuatan komponen pondasi (sub struktur), rangka bangunan dan rangka atap dengan
hasil sebagai berikut;

Pengawetan kayu galam


Salah satu cara untuk meningkatkan masa layan atau umur pemakaian kayu adalah
dengan cara diawetkan, sehingga kayu memiliki daya tahan terhadap organisme perusak
dan pengaruh cuaca. Untuk itu sebelum digunakan sebaiknya kayu galam dikeringkan dan
diawetkan terlebih dahulu. Pengawetan dilakukan dengan sitem rendam, menggunakan
bahan pengawet asam boriks dan boraks dengan proporsi 40% asam boriks dan 60%
boraks. Dua jenis bahan pengawet tersebut dipilih karena merupakan pestisida yang masuk
dalam daftar yang dapat digunakan seperti tertuang dalam Buku Daftar Pestisida Pertanian
dan Kehutanan terbitan tahun 2008. Benda uji berbentuk balok ( 6 batang) pada kondisi
kadar air rata-rata sekitar 30% direndam dalam larutan (95 % air bersih dicampur 5% larutan
pengawet), selama 7 hari. Hasil pengawetan menunjukkan bahwa retensi bahan pengawet
rata-rata sebesar 8,429 Kg/M3 seperti disajikan dalam Tabel 1.
Dibandingkan dengan persyaratan retensi pada SNI 03-5010.1 -1999 tentang
pengawetan Kayu untuk Perumahan dan Gedung, dimana disyaratkan untuk kayu konstruksi
di bawah atap retensi minimal harus 6,0 Kg/M3 dan di luar atap minimal 8,60 Kg/M3.maka
hasil uji tersebut termasuk kategori baik (memenuhi syarat) untuk konstruksi di bawah atap.

431
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Tabel 1 Hasil Pengujian Pengawetan Kayu Galam

No Berat contoh (Gr) Retensi


3
Awal Akhir Gr/ Cm Kg/M3
1 3.845 4.280 8660 8,660
2 3,113 3,595 9488 9,488
3 4.395 4.832 8584 8,584
4 4.111 4.452 6760 6,760
5 5.694 6.160 9100 9,100
6 2.327 3.292 7980 7,980
Rata-rata 8,429

Pengujian sifat fisis dan mekanis


Pengujian kayu galam dilakukan terhadap kadar air, berat jenis, kuat lentur, kuat
tarik dan kuat tekan, dengan hasil seperti tercantum dalam Tabel-2, table-3 dan tabel-4
berikut.

Tabel 2 Hasil Pengujian Sifat Fisis

Jenis Uji Hasil Uji Keterangan


No
1 Kadar air, % 30,00 Hasil gergajian
2 Berat jenis, Gr/cc 0,68 Kelas Kuat II

Tabel 3 Hasil Pengujian Kuat Tekan

Ukuran Benda Uji Beban tekan Kuat tekan


No ( mm ) (kN) N/mm2
P L T
1 200 50 50 93,00 37,20
2 200 50 50 87,05 34,82
3 200 50 50 92,95 37,18
Rata2 36,40
(Kelas Kuat III)

Tabel 4 Hasil Pengujian Kuat Lentur

Ukuran Benda Uji Beban tekan Kuat Lentur


No ( mm ) (kN) N/mm2
P L T
1 760 50 50 0,753 64,20
2 760 50 50 0,750 63,82
3 760 50 50 0,807 68,78
Rata2 65,60
(Kelas Kuat III)

Pengujian rangka atap


Kuda-kuda dibuat dari kayu galam utuh (gelondongan) diameter 6-8cm, sistem
sambungannya menggunakan klam dan murbaut. Bentuk kuda-kuda juga dimodifikasi agar
hemat penggunaan kayunya, sekaligus untuk mendapatkan ruang vertikal lebih luas dibawah
atapnya.

432
REKAYASA KAYU

Gambarr 4 : Bentuk Kuda-Kud


da kayu Galam Utuh

ar 5: Pengu
Gamba ujian Rangkka Kuda-Kud
da kayu gallam di laborratorium

H
Hasil peng
gujian labooratorium skala pen nuh terhad
dap kuda-kkuda galam utuh
menunjukkan keku
uatan sepertti table 5 be
erikut:

433
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Tabel 5 Hasil pengujian rangka Kuda-Kuda kayu Galam

Beban Total (P), kg Lendutan (mm)


No.
CH-0 CH-1 CH-2 CH-3 CH-4 CH-5 CH-6 CH-7
1 0 0 0 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
2 32 162 28 2.29 2.74 2.42 0.16 0.06
3 38 190 32 2.79 3.10 2.84 0.18 0.10
4 42 206 34 2.99 3.34 3.20 0.18 0.08
5 52 250 42 3.89 4.34 4.42 0.24 0.16
6 66 300 52 5.19 5.56 5.62 0.34 0.24
7 70 314 54 5.59 6.06 6.08 0.38 0.26
8 76 342 56 6.19 6.76 6.82 0.40 0.28
9 84 372 58 6.99 7.46 7.64 0.46 0.34
10 88 384 60 7.89 7.92 8.28 0.50 0.40
11 94 406 60 8.19 8.50 8.94 0.54 0.38
12 100 422 62 8.89 9.10 9.72 0.60 0.42
13 108 460 62 9.79 10.00 10.90 0.66 0.46
14 118 507 64 11.29 11.44 12.58 0.78 0.52
15 118 529 64 12.29 12.30 13.66 0.88 0.56
16 122 553 64 13.19 13.12 14.50 0.94 0.58
17 126 567 66 13.79 13.84 15.34 1.00 0.62
18 410 599 66 15.39 15.58 17.08 1.12 0.70
19 150 631 66 16.59 16.88 18.36 1.24 0.70
20 152 653 66 17.49 17.90 19.54 1.36 0.68
21 154 673 68 18.39 18.78 20.68 1.46 0.70
22 158 705 66 19.69 20.18 22.44 1.62 0.76
23 160 719 66 20.39 20.70 23.28 1.70 0.76
24 160 727 66 21.29 21.68 24.26 1.82 0.78
25 166 765 66 22.29 22.74 25.52 1.96 0.78
26 176 799 68 24.09 24.64 27.46 2.20 0.80
27 196 827 68 25.79 26.40 29.16 2.42 0.82
28 182 849 66 27.69 29.24 31.28 2.90 0.84
29 172 833 68 29.19 30.78 32.10 3.20 0.90
30 166 835 68 30.09 32.02 32.84 3.40 0.90
31 182 827 68 30.59 32.28 33.06 3.54 0.94
32 164 871 68 31.89 34.10 34.46 3.88 1.24
33 180 893 66 32.29 35.80 35.68 4.28 1.54
34 184 893 66 34.89 37.36 37.06 4.74 1.74
35 178 905 66 36.29 38.80 37.98 5.02 2.04
36 174 921 68 37.99 40.82 39.04 5.40 2.16
37 176 917 68 39.99 43.18 40.20 5.88 2.44
38 164 877 66 40.69 44.54 40.74 6.20 2.56
39 154 861 68 42.89 **** 41.68 **** 2.80
40 152 857 68 43.89 **** **** **** 2.90
41 158 893 68 45.29 **** **** **** 3.10

Beban Total (P), kg Lendutan (mm)


No.
CH-0 CH-1 CH-2 CH-3 CH-4 CH-5 CH-6 CH-7
42 164 911 66 47.29 **** **** **** 3.44
43 144 871 68 51.69 **** **** **** 3.44
44 294 539 66 53.19 **** **** **** 3.54
45 276 486 66 53.79 **** **** **** 3.56
46 270 527 66 56.49 **** **** **** 3.68

434
REKAYASA KAYU

CH-
3

CH- CH-
4 5

CH- CH-
6 7

CH-1 CH-0 CH-2

Gambar 7: Set-Up Benda Uji Rangka Kuda-Kuda di Laboratorium

Dari data hasil uji hingga ke pengujian ke 22 sudah terjadi lendutan sebesar 19,69
mm, sementara lendutan maksimum yang diijinkan (f) adalah 1/300 x L kuda-kuda = 1/300
x 6000 = 20 mm.
Untuk itu perlu dikontrol terhadap kekuatan pada posisi lendutan maksimum yang
terjadi (19,69 mm), yaitu pada simpul CH-0. Beban maksimum yang dapat ditahan pada
CH-0 (pengujian ke 22 ) adalah 705 Kg.
Beban yang sebenarnya terjadi pada kuda-kuda di titik CH-0, beban hidup + beban
mati adalah
a. Beban mati (berat rangka atap + penutup atap asbes gel) : 2,4 X 3 X 25 Kg = 180 Kg.
b. Beban hidup (beban angin + manusia) : 2,4 x 3 x 100 Kg = 720 Kg

Beban merata = q = 1,6BM + 1,4BH = 1,6 x 720 + 1,4 x 180 = 1152 + 252 = 1404 Kg
R1 = R2 = beban real yang bekerja pada CH-0 = x 1404 = 702 Kg -- < 705 Kg
Berarti pada titik simpul (sambungan) CH-0 kuat memikul beban, serta lendutan tidak
melampaui batas maksimum ( < 20 mm ).

KESIMPULAN

1. Di kawasan sekitar PLG, khususnya Kabupaten Kapuas cukup tersedia bahan


bangunan kayu berupa kayu galam, terindikasi dengan sebaran hutan galam yang
mencapai 63.800 Ha, dan jumlah pasokan kayu galam gelondong di pasaran,
khususnya di pedagang dapat mencapai tidak kurang dari 2500 batang sehari,
2. Pengawetan bilah galam menggunakan sistem rendaman dengan bahan pengawet
asam boriks (40%) dan boraks(60%) dengan kepekatan 5% larutan pengawet + 95% air
bersih. Setelah direndam selama 4 hari dapat mencapai retensi rata-rata 8,429 Kg/M3.
Nilai ini memenuhi syarat SNI, yaitu minimal 6 Kg/M3(untuk dibawah atap).
3. Dari pengujian laboratorium terhadap sifat fisis kayu galam dapat memenuhi syarat
kelas kuat II dan sifat mekanis masuk kelas kuat III dengan kuat tekan sebesar 36,40
N/mm2 (min 30,00 N/mm2) dan kuat lentur sebesar 65,60 N/mm2 (min 50,00 N/mm2);
4. Sedangkan dari uji rangka atap dapat memenuhi syarat baik dari ketahanan terhadap
beban maupun persayaratan lendutan akibat beban yang bekerja.
5. Untuk mengurangi atau memperkecil beban atap disarankan menggunanakan penutup
atap lembaran seperti papan semen gelombang atau seng gelombang.

435
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

UCAPAN TERIMA KASIH

Dalam kesempatan ini penulis ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
semua pihak yang telah menyumbangkan tenaga dan pemikirannya sehingga tersusunnya
tulisan ini, terutama kami tujukan kepada yang terhormat Ibu Kepala Pusat Litbang
Permukiman yang memberi kesempatan dan kepercayaannya dalam melakukan penelitian
ini.
Ucapan terima kasih juga kami tujukan kepada rekan-rekan peneliti dan teknisi di
Laboratorioum Bahan Bangunan Pusat Litbang Permukiman atas segala bantuan dan
pemikirannya.

DAFTAR PUSTAKA

Anonymous, 1961. Peraturan Konstruksi Kayu Indonesia, NI-5, yayasan Lembaga


penyelidikan Masalah bangunan, Departemen Pekerjaan Umum dan Tenaga Listriuk,
Jakarta.
Anonymous, 1981. Mutu kayu Indonesia, Standar Industri Indonesia No. 0458, Jakarta.
Anonymous, 1991. Dasar-dasar Identifikasi Jenis Kayu di lapangan Vol. III-No.1 Pusat
Litbang Hasil Hutan, Bogor.
Anonymous, 1994 Pedoman Teknis Pengawetan Kayu, Balitbang Kehutanan Departemen
Kehutanan, Jakarta.
Barli, 1994. Petunjuk teknis Pengawetan kayu, Pusat penelitian dan Pengembangan Hasil
Hutan, Bogor.
Departemen Kehutanan, 2006, Peraturan Menteri Kehutanan no P.51/MENHUT-II/2006,
Penggunaan Surat Keterangan Asal Usul (KSAU) Untuk Pengangkutan Hasil Hutan
Kayu.
Depertemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, 2007 Gambar Kerja Rumah Transmigrasi
Panggung Type 36.
Depertemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, 2007 Spesifikasi Teknis Rumah Transmigrasi
Panggung Type 36.
Depertemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, 2007 Rencana Aksi Percepatan Rehabilitasi
dan Revitalisasi Kawasan PLG di Kalimantan Tengah, Bahan presentasi.
Puslitbang permukiman, 2008 Pengembangan Teknologi Permukiman di Lahan Gambut,
Laporan Akhir.
Sekretariat Negara R.I, 2007, Instruksi Presiden RI no 2 tahun 2007, Percepatan Rehabilitasi
dan Revitalisasi Kawasan Pengembangan Lahan Gambut di Kalimantan Tengah.
Standar Nasional Indonesia 03-6861.1-2002, Spesifikasi Bahan Bangunan Bukan Logam,
Jakarta.

436
REKAYASA KAYU

PREDIKSI KEKUATAN LATERAL PANEL KAYU

Ali Awaludin
Laboratorium Teknik Struktur
Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan, Universitas Gadjah Mada
ali.awaludin@ugm.ac.id

ABSTRACT

Panel kayu struktural efektif meningkatkan kekuatan lateral konstruksi kayu yang
diperlukan khususnya pada daerah gempa aktif seperti Indonesia. Energi gempa diserap
melalui deformasi inelastik yang terjadi pada sambungan mekanik (paku atau sekrup) yang
menghubungkan penutup panel dengan rangka kayu. Prediksi hubungan antara gaya dan
deformasi lateral panel dapat diperoleh berdasarkan konsep keseimbangan energi.

Kata kunci: Gaya lateral, keseimbangan energi, panel kayu, sambungan mekanik

PENDAHULUAN

Sebagai salah satu bahan konstruksi yang ramah lingkungan (green materials), kayu
atau konstruksi kayu juga telah lama dikenal memiliki perilaku yang baik saat terjadi gempa
bumi. Hal ini disebabkan oleh bentuk konstruksi yang regular dan tingginya nilai rasio
kekuatan-terhadap-berat (strength-to-weight ratio) bila dibandingkan dengan bahan
konstruksi lain seperti baja atau beton (Soltis, 1984). Berdasarkan data pada Tabel 1, kayu
struktur dapat memiliki nilai rasio kekuatan-terhadap-berat 20% lebih tinggi dari pada baja
struktur, dan dapat memiliki nilai rasio kekuatan-terhadap-berat empat sampai lima kali
kekuatan beton normal. Dengan informasi ini maka gaya inertial atau lateral yang terjadi saat
gempa menjadi lebih kecil.

Tabel 1. Nilai rasio kekuatan-terhadap-berat beberapa bahan konstruksi

Kerapatan (KN/m3) Kuat Tekan (MPa) Kuat Tarik (MPa) Rasio


(a) (b) (c) (b)/(a) (c)/(a)
Kayu Keruing (E14) 0.74 30 28 41 38
Beton Normal 2.40 24 --- 10 ---
Baja Struktur 7.85 --- 240 --- 31

Berbeda dengan kayu, pasangan batu-bata atau beton bersifat kaku sehingga harus
dirancang dan didetilkan (detailing) dengan hati-hati untuk menjamin perilaku yang baik saat
gempa. Ketika terjadi gempa, konstruksi kayu dapat menyerap energi gempa lebih baik
karena kemampuan deformasinya (flexing ability). Pada konstruksi kayu, energi gempa
diserap melalui beberapa macam mekanisme: friksi (internal) antar serat kayu; friksi antar
elemen struktur dan non-struktur; serta deformasi inelastik pada elemen struktur dan
sambungan. Namun demikian, penyerapan terbesar terjadi sebagai akibat deformasi
inelastik sambungan mekaniknya (sambungan menggunakan alat pengencang metal). Nilai
damping rasio konstruksi kayu pada kondisi elastik dapat mencapai 5% dikarenakan friksi
antar elemen (Toratti, 2001). Nilai damping rasio ini meningkat apabila konstruksi mengalami
deformasi inelastik.
Pada konstruksi rumah kayu tahan gempa terdapat dua jenis sistem pengaku lateral
yang sering dijumpai yaitu batang diagonal (bracing) dan dinding penahan geser (structural
walls or panels). Contoh rumah kayu yang menggunakan batang kayu diagonal sebagai
sistem perkuatan gempanya adalah rumah tradisional di Kepulauan Nias. Kekakuan lateral
rumah tradisional tersebut bertambah dengan adanya aksi diafragma sistim lantainya, yang
menghubungkan elemen kolom secara 3D (Awaludin dkk., 2010). Untuk konstruksi rumah

437
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

kayu yang ringan (light frame timber construction), maka sistem penahan geser panel kayu
struktural merupakan bagian dari konstruksi yang sangat efektif menahan gaya lateral
seperti gempa. Penutup panel tersebut umumnya terbuat dari bahan plywood atau OSB
(oriented strand board) yang disambungkan ke batang kayu menggunakan alat sambung
mekanik seperti paku atau sekrup.

ANALISIS PANEL KAYU STRUKTURAL

Gambar 1 menunjukkan contoh sebuah panel kayu yang terdiri dari bahan penutup
panel (misalnya plywood) dihubungkan ke rangka kayu dengan alat sambung mekanik (paku
atau sekrup). Panel kayu tersebut menerima gaya lateral R sehingga terdeformasi sebesar
'. Metode analisis kekuatan panel secara lengkap disampaikan McCutcheon (1985).
Deformasi lateral panel merupakan penjumlahan dari deformasi penutup panel ('s)
dan deformasi rangka kayu ('n) akibat slip yang terjadi pada alat sambung paku



Deformasi lateral penutup panel dapat diperoleh dengan persamaan berikut:





dimana t dan G berturut-turut adalah tebal panel dan modulus geser bahan penutup panel.
R
R d
'n

y
D

H x

(a) Model panel (b) Deformasi panel akibat gaya lateral


Gambar 1. Model panel beserta deformasinya akibat gaya lateral

Apabila slip paku di bagian pojok adalah d, maka slip paku lainnya disekiling panel
dapat ditulis sebagai berikut:
paku sisi horisontal (atas atau bawah)





paku sisi vertikal (kiri atau kanan)





438
REKAYASA KAYU

dimana Gx dan Gy adalah slip paku pada arah sumbu x dan sumbu y, n adalah jumlah spasi
paku pada sisi atas atau bawah, m adalah jumlah spasi paku pada samping kiri atau kanan,
D dapat diperoleh dari persamaan (4).
 

dan total slip masing-masing alat sambung paku adalah



Deformasi lateral panel akibat slip alat sambung paku ('n) dapat diperoleh dengan
persamaan berikut




Persamaan 3-6 menghasilkan Persamaan 7 yang menjelaskan bahwa slip masing-masing
alat sambung sebagai fungsi dari deformasi lateral 'n dan geometrik panel.
paku sisi horizontal (atas atau bawah)






paku sisi vertikal (kiri atau kanan)






Karena hubungan antara gaya R dan deformasi lateral panel 'n adalah non-linear, maka
energi luar (E) didefiniskan sebagai berikut:




Hubungan antara p dan G dari hasil pengujian plywood - stud dengan alat sambung paku
atau sekrup juga non-linear sehingga energi dalam (I) dinyatakan sebagai berikut:




Gaya lateral R dapat dihitung dengan anggapan bahwa energi luar (E) sama dengan energi
dalam (I) sebagaimana dirumuskan pada persamaan berikut:





Pada persamaan (10) simbol penjumlahan, 6 diperlukan untuk menjumlahkan energi


dalam yang disumbangkan oleh masing-masing alat sambung mekanik yang ada pada
panel. Apabila p pada Persamaan 10 yang merupakan fungsi G dinyatakan dalam fungsi
yang dapat diintegralkan, maka gaya lateral R dapat diketahui.

439
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

MODEL KURVA BEBAN-SLIP SAMBUNGAN PAKU

Berikut ini akan diuraikan beberapa contoh penyelesaian Persamaan 10 untuk empat
macam fungsi p-G.
A. Fungsi power
Hubungan beban dan slip dinyatakan sebagai berikut:

 

Maka, energi dalam adalah




 

atau



dimana






Dengan demikian, gaya lateral panel adalah



 atau







dimana


 

Sehingga total deformasi lateral panel adalah




B. Fungsi Logaritma 1
Hubungan beban dan slip dinyatakan sebagai berikut:

 

maka energi dalam adalah:


   

dan gaya lateral panel:
   
dimana


 untuk baris paku bawah atau atas

440
REKAYASA KAYU



 untuk baris paku vertikal

C. Fungsi Logaritma 2
Hubungan beban dan slip dinyatakan sebagai berikut:

 

maka energi dalam adalah:


  

dan gaya lateral panel:


  

dimana nilai K sama seperti pada Persamaan 22.

D. Fungsi Asimtotis
Hubungan beban dan slip dinyatakan sebagai berikut:




maka energi dalam adalah:

  


dan gaya lateral panel:



 


Penyelesaian Persamaan 10 untuk ke-empat fungsi p-G diatas dilakukan menggunakan


program MATLab.

PREDIKSI KURVA LOAD-SLIP PANEL

Gambar 2 menunjukkan p-G hasil pengujian menggunakan LVL Paraserianthes


falcataria dengan satu alat sambung sekrup (panjang 40 mm dan diameter 3,9 mm).
Persamaan power yang mewakili kurva hasil pengujian tersebut dengan baik adalah

Persamaan power tidak dapat digunakan untuk memprediksi kurva beban-slip setelah
tercapainya beban maksimum.
Selanjutnya dilakukan prediksi kurva R-' untuk empat macam panel. Perbedaannya
hanya pada jumlah spasi alat sambung sekrup sedangkan data lainnya adalah sama:
lebar panel, B = 1000 mm;
tinggi panel, H = 2000 mm;
tebal penutup panel, t = 10 mm;
modulus geser bahan penutup panel, G = 689 MPa.

441
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

2000

1600

1200
Beban (N)

800
p = 480G0,39

400

0
0 10 20 30 40 50
Slip (mm)
Gambar 2. Kurva beban-slip sambungan panel LVL menggunakan sekrup

2QY GT% WTXG4 CEMKPI4 GURQPUGXU4 CEMKPI& GHQTO CVKQP









) C[CNCVGTCN4 
0














        
& GHQTO CUKNCVGTCN
O O

Gambar 3. Prediksi kurva R-' panel A (n = 8 dan m = 8)

442
REKAYASA KAYU

2QY GT% WTXG4 CEMKPI4 GURQPUGXU4 CEMKPI& GHQTO CVKQP









) C[CNCVGTCN4 
0














          
& GHQTO CUKNCVGTCN
O O

Gambar 4. Prediksi kurva R-' panel B (n = 8 dan m = 16)

2QY GT% WTXG4 CEMKPI4 GURQPUGXU4 CEMKPI& GHQTO CVKQP









) C[CNCVGTCN4 
0














          
& GHQTO CUKNCVGTCN
O O

Gambar 5. Prediksi kurva R-' panel C (n = 12 dan m = 8)

443
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

2QY GT% WTXG4 CEMKPI4 GURQPUGXU4 CEMKPI& GHQTO CVKQP









) C[CNCVGTCN4 
0














       
& GHQTO CUKNCVGTCN
O O

Gambar 6. Prediksi kurva R-' panel D (n = 16 dan m = 8)

Gambar 3 ~ 6 menunjukkan bahwa penambahan alat sambung sekrup pada sisi


vertikal (m) lebih efektif mengurangi deformasi lateral panel dari pada penambahan sekrup
pada sisi horizontal (n). Deformasi lateral panel menyebabkan slip yang terjadi pada alat
sambung sekrup di sisi vertikal lebih besar dari pada slip sekrup di sisi horisontal.

PENUTUP

Prediksi hubungan antara gaya dan deformasi lateral panel dapat diperoleh
berdasarkan konsep keseimbangan energy antara energi yang diakibatkan oleh gaya lateral
panel dengan energi yang ditimbulkan oleh deformasi sambungan mekanik disekeliling
panel. Pada tulisan ini, prediksi kurva gaya-deformasi lateral panel dibuat menggunakan
program MATLab serta hubungan antara beban dengan slip sambungan mekanik
diasumsikan berbentuk persamaan power, logaritma dan asimtotis. Program MATLab
tersebut dapat digunakan untuk menganalisis pengaruh jumlah alat sambung mekanik dan
geometrik panel terhadap kurva gaya-deformasi panel.

DAFTAR PUSTAKA

Awaludin A, Hayashikawa T, Hirai T, (2010) A review on Indonesian traditional timber houses


sustainability, Proceeding of International Conference on Sustainable Built
Environment, Yogyakarta, A-04-29.
McCutcheon WJ., (1985) Racking deformation in wood shear walls, Journal of Structural
Engineering, ASCE, Vol. 111, No. 2, 257-269.
Soltis LA., (1984) Low-rise timber buildings subjected to seismic, wind and snow loads,
Journal of Structural Engineering, ASCE, Vol. 110, No. 4, pp. 744-753.
Toratti T, (2001) Seismic design of timber structures, A Research Report, Seismic design of
timber structures prestudy, Espoo.

444
REKAYASA KAYU

PENGARUH PELABURAN DAN LAMA WAKTU PEREKATAN


TERHADAP AFINITAS DAN KETEGUHAN REKATBAMBU LAMINASI

I B Gede Putra Budiana dan Iwan Suprijanto


Balai Pengembangan Teknologi Perumahan Tradisional Denpasar
Kompleks PU Werdhapura, Jl. DanauTamblingan No 49 Sanur, Denpasar
rsldps@yahoo.comdangusputra_cv01@yahoo.co.id

ABSTRAK

Teknologi perekatan dalam teknik laminasi adalah teknik penggabungan bahan


ukuran kecil untuk menjadi bahan yang lebih besar dan tebal dan dalam proses perekatan
bambu ada tiga aspek utama yang mempengaruhi kualitas hasil perekatan, yaitu aspek
bahan yang direkat (bambu), aspek bahan perekat dan aspek teknologi perekatan.
Permasalahan yang diangkat adalah: 1) bobot labur yang terlalu sedikit akan mengurangi
keteguhan rekat, sedangkan yang terlalu banyak akan menaikkan biaya produksi dan dapat
mengurangi keteguhan rekat. 2) masa tunggu yang terlalu pendek kurang baik karena
perekat masih terlalu basah, sedangkan terlalu lama juga kurang baik karena terlalu kering.
Hipotesis penelitian ini adalah terdapat pengaruh pelaburan dan lama waktu perekatan
terhadap afinitas dan keteguhan rekat bambu laminasi.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah pengujian terhadap spesimen
benda uji keteguhan rekat dengan pelaburan dan lama waktu pelaburan yang bervariasi
yang dibuat di laboratorium. Bahan specimen uji dibuat dari bambu petung dengan ukuran
bilah 20x5x1200 mm dengan tekanan kempa 2,0 MPa. Bahan perekat menggunakan
polymer isocyanate dengan melakukan pelaburan satu sisi (MSGL) dan dua sisi (MDGL)
dengan variasi lama waktu perekatan (assembly time), yaitu 0, 10, 25, 35, 60 dan 120 menit.
Standar pengujian keteguhan rekat berdasarkan SK SNI M-26-1991-03 dan SNI 01-5008.2-
1999, yang juga dilakukan analisys of variance (ANOVA) dengan one way factor.
Keteguhan rekat bamboo laminasi dengan pelaburan satu sisi (MSGL) dengan variasi
lama waktu perekatan diperoleh rata-rata (0 menit,16 kg/m2); (10 menit, 15,12 kg/m2); (25
menit, 14,64 kg/m2); (35 menit, 11,55 kg/m2); (60 menit, 7,99 kg/m2); (120 menit, 0 kg/m2).
Dan pelaburan dua sisi (MDGL) dengan variasi lama waktu perekatan diperoleh rata-rata (0
menit, 19,68 kg/m2); (10 menit, 19,34 kg/m2); (25 menit, 16,38 kg/m2); (35 menit, 21,17
kg/m2); (60 menit, 12,79 kg/m2); (120 menit, 11,74kg/m2). Bobot labor diperoleh optimum
pada 40 MSGL dan 45 MDGL. Berdasarkan analisis variansi yang dilakukan untuk
mengetahui pengaruh pelaburandan lama waktu perekatan terhadap afinitas dan keteguhan
rekat bamboo laminasi dapat disimpukan memang benar pelaburan MDGL dan MSGL dan
lama waktu perekatan mempengaruhi secara signifikan nilai afinitas dan keteguhan rekat
bamboo laminasi pada tingkat kesalahan 5 %.

Kata kunci: Pelaburan perekat, lama waktu perekatan, afinitas, keteguhan rekat

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Pada dasarnya bahan baku untuk bahan bangunan tersedia hampir di seluruh
wilayah Indonesia, baik berupa bahan organik maupun an-organik. Karena penggunaan
secara terus menerus, maka terjadi kelangkaan. Kelangkaan ini kemudian diantisipasi
dengan melakukan inovasi-inovasi teknologi bidang bahan bangunan. Bahan bangunan dari
bahan organik yang terbanyak digunakan adalah kayu dan bambu, karena merupakan
bahan bangunan untuk rumah-rumah tradisional. Sedangkan bahan bangunan an-organik
antara lain adalah bahan bangunan bersemen, bahan bangunan yang dibakar (keramik).

445
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Teknologi perekatan dalam teknik laminasi adalah teknik penggabungan bahan


ukuran kecil untuk menjadi bahan yang lebih besar dan tebal, dalam proses perekatan
bambu ada tiga aspek utama yang mempengaruhi kualitas hasil perekatan, yaitu aspek
bahan yang direkat (bambu), aspek bahan perekat dan aspek teknologi perekatan. Teknologi
laminasi bamboo adalah teknologi yang dapat membentuk bamboo menjadi bahan yang
berdimensi sesuai kebutuhan konstruksi. Dengan cara merekatkan bilah bilah dengan
menggunakan perekat menjadi kesatuan laminasi bamboo, perekat sintetik komersial
Indonesia yang biasa digunakan terdiri atas perekat urea formaldehyde,melamine
formaldehyde, phenol formaldehyde, resorsinol formaldehyde, cresol formaldehyde. Jenis
perekat yang lain adalah perekat epoxsi, polyurethane, polyvinilasetat, perekat berbasis
karet (Prayitno, 1996).
Jenis balok laminasi dibagi atas dasar arah kerja pembebanan yaitu balok laminasi
horizontal dan balok laminasi vertikal. Salah satu sifat balok laminasi adalah lemah terhadap
kuat lentur dengan tipe keruntuhan geser. Sebagai solusi masalah maka lamina bamboo
disusun secara vertikal agar kerusakan geser yang terjadi pada balok laminasi berkurang
sehingga meningkatkan kekuatan geser (ASTMD-3737-92). Pada proses perekatan
permasalahan yang muncul antara lain:1) bobot labur yang terlalu sedikit akan mengurangi
keteguhan rekat, sedangkan yang terlalu banyak akan menaikkan biaya produksi dan dapat
mengurangi keteguhan rekat. 2) masa tunggu yang terlalu pendek kurang baik karena
perekat masih terlalu basah sedangkan terlalu lama juga kurang baik karena terlalu kering.
Sehingga hipotesis penelitian ini adalah terdapat pengaruh pelaburan dan lama waktu
perekatan terhadap afinitas dan keteguhan rekat bamboo laminasi.

Permasalahan
Dari latar belakang tersebut, maka permasalahan yang dapat diungkapkan adalah
belum diperoleh metode pelaburan dan berat perekat yang dapat memberikan kekuatan
optimum maka bagaimanakah pengaruh pelaburan dan lama waktu perekatan terhadap kuat
rekat bamboo laminasi?

Tujuan
Penelitian yang dilakukan mempunyai tujuan untuk mengetahui pengaruh pelaburan
dan lama waktu perekatan sehingga mampu memberikan keteguhan rekat yang optimum
dan ekonomis pada perlakuan kondisi exterior bambu laminasi serta untuk mengetahui
seberapa besar penurunan daya rekat bambu laminasi setelah 25 tahun kemudian.

Ruang Lingkup
Ruang lingkup pembahasan masalah akan dibatasi sebagai berikut :
1. Bambu yang digunakan adalah bambu Petung (Dendracalamus Sp.),
2. Bahan perekat bambu adalah Polymer-Isocyanate, Dimensi tampang bilah bambu yang
digunakan 2,0 x 0,5 cm,
3. Daya kempa yang digunakan 2,0 Mpa 1,
4. Variasi pelaburan adalah : MDGL,MSGL dengan variasi waktu setting di bilah : (0, 10, 25,
35, 60, 120) menit dan (0, 35, 60,120,180,240,300, 420, 480) menit
5. Kondisi lingkungan pemanfaat pada bambu laminasi ini adalah kondisieksterior.

BAHAN DAN METODE PENELITIAN

Bahan Penelitian
1. Bambu Petung
Bambu Petung dari desa Penebel, kabupaten Tabanan dalam bentuk lonjoran dengan
panjang 4000 mm dan diameter rata-rata 120 mm dalam kondisi yang masih segar.

446
REKAYASA KAYU

2. Bahan Perekat
Bahan perekat yang digunakan adalah jenis perekat Polymer dengan kode (KR -7800).
Perekat jenis ini berbentuk cairan putih, agak kental menyerupai kekentalan cat dinding
tembok. Perekat jenis Polymer mudah mengeras pada variasi suhu yang luas, lebih
ramah lingkungan karena tidak mengandung Formaldehyda, ekonomis dan mempunyai
daya rekat yang kuat.

Tabel 1. Karakteristik dan kandungan dari Polymer-Isocyanite

Kode bahan perekat KR 7800


Wujud Cairan putih
Kekentalan pada suhu 250C 60 20 ps
Kepadatan 58 3%
pH 7,5 1,0
Penggunaan
Kode crosslinker AJ 1
Perbandingan normal 100/15 (resin/cross)
campuran (berat)
Waktu tekan normal (250C) 60 120 menit
Pemakaian lem 280 gr/m2
Jenis kayu Kayu keras, kayu lunak dan kayu yang
sangat sulit dilem, seperti : sungkai,
rose wood, red oak, jati, dll
Keistimewaan Berdaya tahan tinggi dan waktu tekan
yang singkat

Alur Penelitian
Kegiatan penyiapan, pengolahan dan pembuatan benda uji dilakukan di Balai
Pengembangan Teknologi Perumahan Tradisional Denpasar (BPTPT), Badan Penelitian
Dan Pengembangan, Departemen Pekerjaan Umum.Pengujian keteguhan geser bambu
laminasi dilaksanakan di Laboratorium Balai Bahan Bangunan Pusat Litbang Permukiman.
Adapunpelaksanaanpenelitiannyasebagaiberikut :
1. Pengolahan Bambu
a. Bahan baku berupa Bambu Petung dipotong-potong menjadi bilah-bilah bambu
dengan lebar 25-30mm.
b. Bilah bambu yang telah dipotong-potong, dibersihkan bagian dalam dan tonjolan-
tonjolan bukunya.
c. Bilah-bilah bambu yang telah bersih, dimasukkan kedalam tabung yang telah berisi
larutan pengawet. Pengawet yang digunakan adalah larutan boron dan direndam
selama 5 hari.
d. Setelah proses pengawetan, dilanjutkan dengan proses pengeringan, yaitu dengan
cara dijemur sampai mencapai kadar air 12 %.
e. Bilah-bilah bambu yang telah kering, diserut pada bagian sisi tebalnya sampai
mencapai tebal 10 mm kemudian bilah-bilah bambu tersebut diletakkan di dalam
ruangan.
2. Pembuatan Bambu Laminasi
a. Dipilih bilah-bilah bambu yang lurus (tidak melengkung).
b. Agar dalam 1 susunan lapis, lebar tiap bilah didapat seragam, terlebih dahulu bilah
diserut. Kemudian bilah siap dilem. Sebelumnya bilah disusun melebar sejumlah 4
bilah dengan lebar tiap lapis 25 mm.
c. Bilah dilem dengan cara dikuas pada kedua sisi lebarnya dengan campuran perekat
dan hardener sesuai komposisi yang dianjurkan. Kemudian dimasukkan kedalam
cetakan/klem dan mur-baut dikencangkan.

447
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

d. Setelah terkumpul 2 lapis susunan bilah dalam satu cetakan/klem, lapis bilah tersebut
dikempa dengan tekanan kempa 2,0 MPa, sambil di baut untuk mempertahankan
tekanan tersebut.
e. Dilanjutkan dengan proses pengeringan/ penjemuran selama 2 jam. Setelah itu, mur-
baut cetakan/klem dilepas, lapis bilah dikeluarkan dari cetakan.
f. Setelah kering, lapis bilah diserut untuk mendapatkan ukuran sisi tebal lapis sesuai
yang telah direncanakan. Kemudian 1 lapis bilah dipotong-potong menjadi 6 bagian. 3
bagian untuk benda uji interior dan 3 bagian untuk benda uji eksterior. Dilanjutkan
pembentukan dimensi benda uji sesuai standar pengujian.

Benda Uji GeserBambu Laminasi


Ukuran/dimensi benda uji dan cara pengujiannya untuk menguji keteguhan geser
bahan baku bambu laminasi mengikuti standar SNI M-26-1991-03. Benda uji berupa balok
bamboo laminasi dengan menggunakan jenis perekat polymer-isocyanate dan tekanan
kempa 2,0Mpa.Setiap pengujian per variasi perekat dibuat masing-masing 3 benda uji
interior dan eksterior. Dimensi benda uji keteguhan geser bambu laminasi secara lengkap
dapat dilihat pada gambar 1.

Tabel 2. Pengujian keteguhan rekat dengan setting perekat dibilah

No. Metode Variasi Waktu dibilah Jumlah Standar Pengujian


(menit) Benda Uji
1. MSGL 0, 5, 10, 25, 35, 60, 120 30 SK SNI M 26 1991 - 03
2. MDGL 0, 5, 10, 25, 35, 60, 120 30 SK SNI M 26 1991 - 03
Total 60

Tabel 3. Pengujian keteguhan rekat dengan setting perekat di wadah

No. Metode Variasi Waktu diwadah Jumlah Standar Pengujian


Benda Uji
1. MDGL (5, 15, 25, 35, 45, 60, 32 SK SNI M 26 1991 - 03
120, 180)menit
2. MDGL (3, 3.5, 4, 4.5, 5, 5.5, 40 SK SNI M 26 1991 - 03
6.5, 7, 7.5, 8) jam
Total 72

Alat Penelitian
1. Alat-alat yang dipergunakan untuk pengolahan bahan baku adalah :Parang, Gergaji
tangan (hand saw), Timbangan digital, Meteran, dan alat bantu lainnya yang menunjang
pengolahan bahan baku.
2. Alat-alat yang dipergunakan untuk membuat bambu laminasi adalah : Alat kempa
hidrolikkapasitas 20 ton, Mesin serut/planner, Ember dan gelas plastik, serta alat-alat

448
REKAYASA KAYU

bantu melaminasi diantaranya klem penjepit baja kanal U beserta mur dan baut, kunci
inggris, kuas dan pengaduk perekat.
3. Alat-alat yang digunakan untuk pengujian keteguhan geser adalah : Kaliper, Timbangan
digital, Mesin pengujian mekanik TTM (Tokyo Testing Machine).

Desain Pengujian:
- Uji mekanika (blending dan internal boding)
- Analis ANOVA
- Data ditampilan dalam bentuk grafik korelasi hubungan waktu dengan kuat tarik
perekat

Perhitungan keteguhan/kekuatan geser.


Cara pengujian keteguhan geser benda uji laminasi ini dilakukan berdasarkan ISO / DIS
3347-1975.
a. Prinsip pengujian adalah menentukan kekuatan atau keteguhan geser (ultimate shearing
stress) sejajar serat dengan cara memberikan beban yang naik secara teratur dan
konstan pada bidang geser contoh uji yang telah disiapkan sebelumnya.
b. Perhitungan kekuatan geser sejajar serat pada bidang rasial dan tangensial dengan kadar
air tertentu dihitung dengan formula :
Pmax
//serat =
b.l
dengan :
//serat = tegangan geser sejajar serat (N/mm2)
Pmax = bebanmaksimum (Newton),
b = tebal benda uji (mm),
l = panjang bidang geser (mm),

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pelaburan Perekat Metode MDGL Dan MSGl Dengan Waktu Setting Di Bilah Dan Di
Wadah
Bambu laminasi adalah suatu produk yang dibuat dari beberapa bilah bambu yang
direkatkan dengan arah serat sejajar. Perekat dilakukan ke arah lebar (horizontal) dan ke
arah tebal (vertikal). Hasil terlabur agar tercapainya garis perekat yang pejal dan kuat.
Satuan luas permukaan rekat ditentukan dengan satuan Inggris yakni seribu kaki persegi
(1000 square feet) dengan sebutan MSGL (Thousand Square Feet Single Glue Line) yang
dinyatakan dalam satuan pound (Lbs). Bila kedua bidang permukaan dilabur maka disebut
MDGL (Thousand Square Feet Double Glue Line) atau pelaburan dua sisi. Pelaburan pereka
denga metode pelaburan satu sisi (MSGL) dengan pelaburan dua sisi (MDGL) merupakan
satu opsi untuk melakukan efisiensi terhadap penggunaan perekat pada proses pelaburan
pada laminasi bambu. Diuji metode pelaburan satu sisi dan dua sisi dan bentuk dengan
variasi waktu setting dibilah dan hasil uji seperti ditunjukkan pada gambar 1 dan 2 berikut.

449
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Gambar 1.Grafik Ku
uat Rekat MSGL
M Setting Time Di B
Bilah (0-120
0) menit

Gamb
bar 2.Grafik
k Kuat Reka
at MDGL Se
etting Time Di Bilah (0-120) menit

Grafik Se
etting Tim
me Perekatt Di Wadah
h
1.00

0.90

0.80 0.78

0.70 0.55
Kuat Geser (MPa)

0.60 0.58
56 0.57
0.5 0.57

0.50 0.50
0.53
0.40 y = -1E-05x 2 + 0.0017x + 0.558
89

0.30

0.20

0.10

0.00
0.00 5.00
25 50.00 75.00 100.00 125. 00 150.00 175.00 20
00.00
Wa ktu (menit)

G
Gambar 3.G
Grafik Kuat Rekat MDG
GL Dengan Setting Tim
me Di Wada
ah (0-180) menit
m
450
REKAYASA KAYU

Grafik Setting Time Perekat Di Wadah


10
9 8.68
Kuat Geser (MPa)

8
7 6.94 7.04
6.74
6.23
6 5.96
5.62 5.47
2
5 y = -0.4969x + 4.7437x - 3.8832
2
R = 0.8321
4
3.64

3
2

1
0
2.00 3.00 4.00 5.00 6.00 7.00 8.00
Waktu (jam)

Gambar 4.Grafik Kuat Rekat MDGL Dengan Setting Time Di Wadah (3-8) jam

Anova: Single Factor


Perihal : Setting time di bilah
Kondisi : Polymer Isocyanate

SUMMARY
Groups Count Sum Average Variance
Tegangan geser 30 167 5,5666667 0,963469885
Setting time (menit) 30 375 12,5 75,43103448

ANOVA
Source of Variation SS df MS F hitung P-value F Tabel
5,68239E-
Between Groups 721,0666667 1 721,06667 18,87744865 05 4,006864174
Within Groups 2215,440627 58 38,197252

Total 2936,507293 59

Anova : Single Factor


Perihal : Setting time di wadah
Kondisi : Polymer Isocyanate

SUMMARY
Groups Count Sum Average Variance
Tegangan geser 45 281,6 6,2577778 2,55661904
Setting time (jam) 45 232,5 5,1666667 2,272727273

451
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

ANOVA
Source of Variation SS df MS F hitung P-value F Tabel
Between Groups 26,78677778 1 26,786778 11,09333481 0,001267527 3,949324423
Within Groups 212,4912378 88 2,4146732

Total 239,2780156 89

Dari gambar 1 dan 2 dapat dilihat bahwa terjadi trend linear negatif, dimana semakin
bertambahnya waktu setting bamboo laminasi maka terjad penurunan kekuatan perekat
(kuat rekat MPa) baik pada pelaburan satu sisi (MSGL) dan pelaburan dua sisi (MDGL).
Keteguhan rekat bamboo laminasi dengan pelaburan satusisi (MSGL) dengan variasi lama
waktu perekatan diperoleh rata-rata: (0 menit, 16 kg/m2); (10 menit, 15.12 kg/m2);(25 menit,
14.64 kg/m2); (35 menit, 11.55 kg/m2); (60 menit, 7.99 kg/m2);(120 menit, 0 kg/m2). Dan
pelaburan dua sisi (MDGL) dengan variasi lama waktu perekatan diperoleh rata-rata: (0
menit, 19.68 kg/m2); (10 menit, 19.34 kg/m2); (25 menit, 16.38 kg/m2) ); (35 menit, 21.17
kg/m2); (60 menit, 12.79 kg/m2); (120 menit, 11.74kg/m2). Bobot labor diperoleh optimum
pada 40 MSGL dan 45 MDGL, berdasarkan analisis variansi yang dilakukan untuk
mengetahui pengaruh pelaburan dan lama waktu perekatan terhadap afinitas dan keteguhan
rekat bamboo laminasi dapat disimpukan memang benar pelaburan MDGL dan MSGL dan
lama waktu perekatan mempengaruhi secara signifikan nilai afinitas dan keteguhan rekat
bamboo laminasi pada tingkat kesalahan 5%.
Dari gambar 3 menujukkan bahwa grafik mengalami trend yang linear, ha ini
mengindikasikan bahwa dari interval waktu 5 menit sampai 180 menit perekat masih memiliki
efektifitas atau kuat geser yang baik, dibuktikan pada interval waktu 180 menit kuat geser
yang dihasilkan sebesar 5 MPa yang masih berada diatas kuat geser bamboo yaitu 4.5 MPa.
Dan dari gambar 4 menujukkan bahwa grafik mengalam perubahan dari trend yang linear
menjadi non linear, hal ini mengindikasikan bahwa kuat rekat atau efektivitas perekat
mengalami penurunan pada interval waktu 6.5 jam dan titik terendah pada interval 7.5 jam
yaitu 3.64 MPa, jadi dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa pada range waktu 3.5 jam sampai
5.5 jam menghasilkan kuat geser yang baik dan optimum pada interval 4.5 jam.
Mengacu pada kuat geser rata-rata bahan bambu yang digunakan yakni sebesar 4.5
Mpa, maka melalui pengujian kuat geser dengan metode pelaburan MDGL dan MSGL dan
berbagai variasi setting waktu dibilah maupun diwadah, dapat diambil nilai kuat geser yang
dicapai mulai diatas 4.5 MPa merupakan kondisi dimana sudah dianggap bahwa bahan
perekat tersebut sudah mampu bertugas atau berfungsi sebagai perekat bambu laminasi.
Pada kondisi interior semua variasi kadar hardener nilai keteguhan gesernya melampui nilai
kuat geser rata-rata bahan bambu petung yang digunakan, tinggal kita memilih kadar
hardener mana yang kita butuhkan yang sesuai dengan waktu layan kecepatan kering yang
dibutuhkan saat proses produksi bambu laminasi

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil pengujian keteguhan geser bambu petung laminasi baik pada
kondisi interior maupun pada kondisi eksterior, maka dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Jumlah perekat terlabur optimum adalah sebesar 40 MDGL. Lebih ekonomis
dibandingkan dengan bahan perekat Non polymer dengan jumlah perekat terlabur
sebesar 50 MDGL.
2. Bahan perekat polymer isocyanate memiliki keunggulan dalam proses pengeras yang
relatif cepat, namun dalam penggunaan sebagai perekat waktu pengerasan akan
berpengaruh terhadap waktu proses pengerjaan.

452
REKAYASA KAYU

3. Setting time bambu laminasi jenis perekat Polymer-Isocyanate komposisi perekat 225
gr/m2, kuat geser pada interval waktu 5 sampai 180 menit masih menunjukan trend linier,
yang artinya kekuatan rekat masih baik.
4. Setting time bambu laminasi jenis perekat Polymer-Isocyanate komposisi lem 225 gr/m2,
kuat geser pada interval waktu 3 jam sampai 8 jam menunjukkan perubahan grafik dari
linear menjadi nonlinear. Tetapi perubahan yang terjadi tidak signifikan, yang berarti
bahan perekat polymer ini waktu perekatannya cukup baik dalam arti tidak cepat
mengeras dengan kekuatan awal yang cukup baik.

SARAN

1. Untuk menjaga kadar air bambu, sebaiknya bambu ditempatkan di dalam ruangan yang
terlindung dari pengaruh cuaca luar secara langsung. Karena kadar air bilah bamboo
berpengaruh terhadap kualitas perekatan.
2. Perlu ketelitian dalam proses penyerutan, agar tebal bilah bambu yang diinginkan
permukaannya seragam, sehingga memudahkan dalam proses perekatan bambu
laminasi yang mendekati sempurna.

453
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

PENGEMBANGAN BALOK BAMBU LAMINASI SKALA PEMAKAIAN

Teguh Darmawan, Sukma Surya Kusumah, Danang S Adi, Yusup Amin,


Ismadi dan Wahyu Dwianto
UPT BPP Biomaterial-LIPI
Jl. Raya Bogor Km. 46, Cibinong, Bogor 16911
Email : dharma_4e@yahoo.com

ABSTRAK

Bambu merupakan salah satu material pengganti kayu yang umum digunakan pada
konstruksi bangunan perumahan. Bentuk penampang bulat tidak pejal dan ketidak
seragaman ukuran diameter batang bambu merupakan sebagian kelemahan khususnya
dalam aplikasi penggunaan material bambu sebagai bahan konstruksi bangunan. Dalam
Penelitian ini akan dipaparkan pengembangan balok berbahan utama dari batang bambu
yang dibuat kotak dan dikombinasikan dengan papan kayu sengon (Paraserienthes
falcataria) sehingga menghasilkan balok kombinasi dengan ukuran yang umum digunakan.
Balok bambu dibuat dari bambu tali (Gigantochloa apus) sebagai lapisan inti balok yang
dikelompokkan menjadi dua bagian (pangkal dan ujung) dan papan kayu sengon sebagai
lapisan luar dengan dua ketebalan pelapis papan (1,5 cm dan 1cm), serta direkatkan dengan
proses kempa dingin.
Balok laminasi dengan kombinasi batang bambu yang dibentuk persegi
penampangnya dan dilapisi dengan papan kayu menghasilkan balok laminasi yang ringan,
yaitu 1,83 2,38 kg/m dengan masa jenis () 0,25-0,32 kg/m3. Nilai optimum MOR dan MOE
diperoleh pada sampel uji balok dengan bambu dengan pelapisan papan yang lebih tebal
memiliki nilai yang lebih baik dibanding dengan pelapisan papan yang lebih tipis pada ukuran
penampang balok yang sama (6/12). Keteguhan tekan tertinggi sebesar 133 N/cm2 pada
sampel uji balok dari bambu bagian pangkal dengan penampang 4 cm. Adanya perekatan
antar sambungan dan buku bambu memberikan kekuatan pada keteguhan tekannya.

Kata kunci : balok bambu, bambu apus, papan sengon, kempa dingin, sifat fisik,
sifat mekanik

PENDAHULUAN

Kebutuhan bahan baku kayu untuk komponen perumahan semakin meningkat,


sedangkan ketersediaan bahan baku kayu baik secara kuantitas maupun kualitas semakin
menurun. Ketidak seimbangan antara ketersediaan dan permintaan tersebut mengakibatkan
bahan baku kayu menjadi mahal. Teknologi dibidang pengolahan kayu terus dikembangkan
sebagai upaya efektifitas dan efisiensi penggunaan kayu serta upaya pengembangan
sumber alternatif lain pengganti kayu. Salah satu diantaranya adalah pengembangan produk
panel untuk komponen bangunan berbahan baku bambu. Alternatif penggunaan bambu
sebagai komponen rumah sebenarnya telah lama dikenal oleh masyarakat. Material ini
memiliki potensi mengingat ketersediaannya cukup melimpah dan harga yang murah(Berlian
dan Rahayu, 1995). Bambu dapat dengan mudah tumbuh dan umur panen relatif lebih
singkat dibandingkan kayu. Bambu memiliki jenis yang beragam dengan karakteristik
kekuatan dan keawetan yang beragam pula. Salah satu jenis bambu yang umum digunakan
masyarakat adalah jenis bambu tali (Gigantochloa apus).
Bambu dipandang penting peranannya sebagai bahan bangunan alternatif pengganti
kayu. Dalam aplikasinya bambu biasa dipakai dalam bentuk utuh, bilah, serpih, ataupun
dibuat zepir untuk berbagai keperluan. Salah satu pemanfaatan bambu adalah untuk papan
ataupun balok laminasi. Laminasi bambu dapat dikombinasikan dengan bahan lain misalnya
dengan papan partikel, kayu lapis, papan kayu pejal (solid). Untuk papan ataupun balok
laminasi biasanya bambu dibuat bilah dan direkatkan sehingga didapat susunan penampang

454
REKAYASA KAYU

papan ataupun balok yang pejal. Hanya saja pembuatan bilah bambu memiliki rendemen
cukup redah. Kelemahan lain dari bambu diantaranya keseragaman diameter dan ketebalan
bambu antara pangkal dan ujung tidak sama. Untuk pemakaian yang agak panjang, sulit
memilih bambu yang lurus dan seragam.
Pembuatan papan atau balok laminasi dengan mengkombinasikan jenis ataupun
struktur lapisannya akan mampu meningkatkan karakteristik mekanik yang dimilikinya.
Keuntungan lain dari produk kayu laminasi ini adalah sifat fisik yang lebih homogen dan
ukuran yang mampu diperoleh sesuai dengan keperluan. Berdasarkan hal tersebut
penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan balok berbahan utama dari batang bambu
yang dibuat berpenampang persegi dan dikombinasikan dengan papan kayu sengon
(Paraserienthes falcataria) sehingga menghasilkan balok laminasi dengan ukuran yang
umum digunakan.

BAHAN DAN METODE

Bahan utama dalam penelitian ini menggunakan bambu tali (Gigantochloa apus) dan
papan dari kayu sengon (Paraserianthes falcataria) sebagai pelapisnya.
Bambu tali diperoleh dari daerah bogor dan dipilih menjadi dua kelompok
berdasarkan diameternya, (1) diameter rata-rata 48,5 mm (46~53 mm) dan (2) diameter rata-
rata 58 mm (57~61 mm). Setiap batang bambu diambil 4 meter dari pangkal, 2 meter awal
ditetapkan sebagai pangkal (A) dan 2 meter selanjutnya ditetapkan sebagai ujung (B).
Panjang pemotongan sampel bambu (ujung dan pangkal) divariasikan 50 cm (50) dan 100
cm (1M), metode pemotongan dan ukuranya ditunjukkan pada gambar 1. Batang bambu
dipotong sisinya sedemikian hingga berpenampang persegi (Gambar 2).
Papan sengon yang dipakai merupakan material bangunan yang umum
diperjualbelikan dilingkungan toko bangunan daerah Cibinong, Bogor. Papan memiliki
kerapatan 0,3 gr/cm3 dibuat sampel uji pada kondisi kering udara (KA 9%),. Selanjutnya
papan sengon dipotong sesuai dengan ukuran yang dibutuhkan (Gambar 2).

Gambar 1. Pemotongan batang bambu

Pembuatan batang bambu dilakukan dengan menyusun potongan-potongan yang


telah berpenampang kotak dengan cara penyambungan sederhana (potongan menyudut
45o) dan direkatkan dengan polyurethane. Batang bambu berpenampang persegi yang telah
di buat digabungkan sisinya dan dikombinasikan dengan papan sengon sehingga berbentuk
balok (6/12). Seluruh penyambungan dan penggabungan dalam pembuatan sampel ini
menggunakan proses dingin dengan berat labur perekat yang digunakan 300 gr/m2.
Pengempaan dilakukan dengan bantuan klem C (ulir).

455
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Gambar 2. Susuna
an Balok

Untuk men
U ngetahui karakteristik balok yang dibuat diuji fisik dan mekaniknya.
Pengujian mekanikk dilakukan n pada sam mpel uji skaala pemakaian dan pengujian ini sebatas
pada pengujian
p leentur statiss dan teka
an Pengujia an yang dilakukan
d m
merujuk paada JAS
(Japane dard) for Sttructural Gllued Laminated Tumb
ese Agriculltural Stand ber.. Dan peengujian
minasi serta masa jenisnya. Delaminasi dinyyatakan dalam %, me
fisik berupa delam erupakan
rasio yaang didapa at dari perrbandingan total garis s rekat russak dengan
n total gariis rekat.
Pengukkuran beratt balok uji dalam kon ndisi balokk utuh dan penghitunngan volumme balok
dilakukaan untuk mengetahui
m kerapatan
n bahan.Mo omen lentuur yan terja
adi pada balok
b uji
dihitung
g dengan

Peersamaan (KKhurmi, 200 02; anonim, 1999)


M = 1/4(L-Li)//F (1)
dengan,
M : Mome en lentur, N.mm
F : Bebann maksimal,, N
L : panjan
ng span, mm m
Li : panjan
ng beban be eban, mm

S
Singer dan Pytel (19995) menyataakan bahwa a tegangan n lentur maksimal yang terjadi
pada se
etiap batan
ng berbeban adalah l =Mc/I, apaabila I/c dissebut modulus penamp pang (S)
sehingg
ga tegangan
n lentur makksimal (MOR) dapat dinyatakan :

l = M/S
S (2)
dengan l : tegangan
t le m2
entur , N/mm
S : Modulus
M pe
enampang balok
b

Moduluss of Elasticity (MOE) dihitung


d den
ngan memb bandingkan tegangan yyang terjadi dengan
reganga
an pada saa at pembeba m, N/mm2.
anan dinyatakan dalam
P
Pengujian Keteguhan tekan dila akukan untuuk mengeta ahui kemam mpuan balo ok untuk
menerim
ma beban searah
s tebal baloknya, metode pengujian diilu
ustrasikan ssebagai berrikut :
F
t=F/A
A

eteguhan tekan (N/cm2)


t : ke

F : Beban
B (N)
Gambarr 3. Mekanissme Uji Tek
kan

456
REKAYASA KAYU

HASIL DAN PEMBAHASAN

Masa jenis dan Rasio Delaminasi


Dengan kombinasi papan dari jenis kayu berkerapatan rendah dan berpenampang
persegi dari bambu utuh menghasilkan sampel balok ukuran pemakaian yang berongga
dibagian tengahnya (Gambar 4) menjadikan balok ini sangat ringan (1,83 2,38 kg/m),
perhitungan kerapatan () balok laminasi berkisar 0,25-0,32 gr/cm3 ditunjukkan pada table 1.
Pengelompokan ujung dan pangkal bambu yang digunakan sedikit menjadikan pembeda
berat atau masa jenis balok yang dihasilkan. Nilai kerapatan balok uji dibawah masa jenis
dari jenis kayu ringan, misalnya sengon, balsa, dan randu (<4 gr/cm3)

Tabel 1. Berat dan Kerapatan

Kode Berat
(kg/m) gr/cm3
A4-50 2,17 0,29
A4-1M 2,15 0,29
B4-50 1,92 0,26
B4-1M 1,89 0,28
A5-50 2,38 0,32
A5-1M 2,09 0,29
B5-50 1,90 0,25
B5-1M 1,83 0,26

Gambar 4. Balok kombinasi bambu dan papan

Hasil pengujian delaminasi menunjukkan bahwa tidak ditemukan kerusakan pada


garis rekat baik antara bambu dengan bambu ataupun kayu dengan kayu (papan) dari
seluruh sampel yang diujikan. Hal ini menunjukkan bahwa berat perekat yang digunakan
dengan berat labur 300 gr/m2 sesuai untuk aplikasi interior maupun exterior. Hasil tersebut
sejalan dengan penelitian yang telah dilakukan dengan perekat yang sama untuk berbagai
produk komposit (Yulianto, 2006; Darmawan, 2009, Kusumah, 2010)

Sifat Mekanik
Pada ukuran balok yang sama (6/12), penampang bambu yang lebih besar (5cm)
dengan pelapisan papan lebih tipis ternyata memiliki nilai MOR yang lebih rendah dibanding
balok dari penampang bambu yang lebih kecil (4 cm) dengan pelapis papan yang lebih tebal.
Nilai MOR tertinggi diperoleh sampel uji A4-50 sebesar 24 MPa. Dengan demikian kekuatan
balok dipengaruhi oleh tebal papan yang dipakai.Pada bagian pangkal (A) dengan rongga
yang lebih kecil atau dinding yang lebih tebal terlihat memiliki kekuatan lebih tinggi bila
dibanding dengan sampel yang menggunakan bambu bagian ujung (B) pada sampel uji
dengan penampang bambu 4 cm, namun kondisi tersebut tidak terlihat pada sampel uji
dengan penampang bambu 5 cm.Panjang potongan bambu 50 cm memiliki jumlah
sambungan lebih banyak dan potongan 100 cm lebih sedikit, namun ternyata secara umum
potongan bambu yang lebih panjang sedikit memberikan pengaruh terhadap nilai MORnya.
Nilai MOR pada balok bambu laminasi ini secara umum masuk dalam Strength grade E60-
F210
Sambungan pada bambu ternyata memberikan perlemahan pada sampel balok uji
bending (Gambar. 5). Dari keseluruhan sampel uji sebagian besar rusak pada sambungan
bambunya, hal tersebut mengindikasikan bahwa jenis sambungan sederhana dengan
perekatan tidak mampu secara optimal menahan beban bending yang terima. Pengunaan

457
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

papan disusun
d ara
ah longitudiinal kayu searah
s panjang balok yang dominan menga andalkan
ketahan nan belah papan
p (radia
al atau tanggensial kayyu) sedangkkan pada umumnya ka ayu kuat
pada be eban tekan dan tarik, sehingga
s MOOR yang dihasilkan ren ndah.
N
Nilai MOE balok uji terlihat nila ai tetinggi pada balokk yang me enggunakan n bagian
pangkal bambu de engan poton ngan 50 cm dan berpenampang 4 cm (A4-50 0) sebesar 3.8
3 GPa.
Seperti halnya pada nilai MO OR, pada ukuran yan ng sama (6 6/12) pembedaan pen nampang
bambu 4 cm dengan pelapis papan lebih tebal mem miliki nilai MOE
M lebih ttinggi diban
ndingkan
pada pe enampang bambu
b 5 cm
m dengan pelapis
p papaan yang lebih tipis. Seccara umum panjang
potonga an bambu 505 cm men nghasilkan balok
b lebih kaku sehin ngga memiliki nilai MO OE yang
lebih tin
nggi dari po
otongan ba ambu yang lebih panja ang, baik pada
p potong gan bambu u bagian
pangkal ataupun ujjungnya.
D
Dari kekura
angan-keku urangan ya ang dimiliki dari balokk laminasi bambu khususnya
keteguh han patahnyya yang relatif rendah h, namun balok ini me emiliki keleb
bihan dari sifat
s fisik
delaminnasi yang baik
b dan be erat persatuuan panjang g yang sangat ringan. Sehingga memiliki
kekuataan spesifik yang
y lebih tinggi (tabel 2).

(a))

(b
b) (c)

Gammbar 5. (a) Nilai MOR,, (b) Nilai MOE,


M
(c) Kerussakan pada s balok laminasi bambu sengon
a pengujian lentur statis

T
Tabel 2. Ke
eteguhan pa
atah spesifik
k balok bam mbu laminassi
Kode MOR specific
(MPa) (MPa)
A4-50 22,8 78,64
A4-1M 24,0 81,52
B4-50 18,4 71,80
B4-1M 21,2 75,81
A5-50 17,1 53,89
A5-1M 17,0 58,45
B5-50 18,3 74,33
B5-1M 15,1 57,30

S
Secara kesseluruhan dengan pela
apisan papa emiliki sifat mekanik
an yang lebih tebal me
dan MOR) yang lebih
(MOE d h baik diba
anding peng
ggunaan pe enampang bambu yang lebih

458
REKAYASA KAYU

besar dengan pelapis papan lebih tipis. Tingkat kelurusan batang bambu mempengaruhi
hasil pembentukan penampang bambu persegi. Dengan memotong batang bambu lebih
pendek tingkat kelurusan potongan bambu akan lebih terjaga. Pada batang bambu yang
bengkok (tidak lurus), ketebalan bambu akan banyak terkikis pada waktu pembentukan
penampang persegi sehingga pada salah satu sisinya menjadi tipis atau bahkan berlubang
karena dinding bambu habis. Pada bagian tersebut akan menjadi lemah, hal tersebut
menghasilkan nilai MOE dan MOR yang kurang optimal.

Keteguhan Tekan
Kemampuan balok untuk menerima beban searah dengan tebalnya disajikan pada
tabel 2. Nilai yang dihasilkan bervariasi berkisar 44-133 N/cm2. Secara umum sepertihalnya
keteguhan patah kemampuan balok menerima beban tekan memiliki tren yang hapir sama,
pada balok yang menggunakan batang bambu berpenampang kotak 4cm dengan lapisan
papan sengon yang lebih tebal (1cm) ada kecenderungan lebih tinggi nilainya. Perbedaan
tebal dinding bambu antara pangkal dan ujung juga terlihat memberikan pengaruh, dimana
bagian pangkal memiliki nilai keteguhan tekan yang lebih baik. Bambu memiliki ketahanaan
belah yang kurang baik tapi memiliki kekuatan tekan dan tarik yang tinggi (Budi A.S., 2009).
Berdasarkan hal tersebut menjadikan keteguhan tekan pada sampel balok ini cenderung
dipengaruhi ketebalan papan yang melapisinya.
Pengamatan kerusakan sampel uji pada tiga konstruksi penggabungan batang
bambu (Gambar 6) terlihat bahwa terjadi perlemahan dinding bambu yang tipis akibat proses
pembentukan penampang persegi. Pada bagian sambungan atar bambu ternyata terlihat
tidak terjadi kerusakan. Perekat yang diberikan pada sambungan antar bambu menambah
kekuatan bambu terhadap pembebanan tekan, kerusakan terjadi pada bagian yang lain
(gambar. 6b). Kondisi tersebut tidak terlihat pada konstruksi balok tanpa sambungan
(Gambar. 6a), pada daerah ini kerusakan terlihat pada dinding yang lebih tipis terdesak, slip
atau pecah sehingga perekatanyapun lepas. Adanya buku pada batang bambu memberikan
kekuatan tekan terlihat pada gambar 6c. pada daerah tersebut pasangan bambu akan
terlebih dahulu rusak.

459
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Table 3. keteguhan tekan pada 3 posisi balok

Keteguhan Tekan
Kode N/cm2
a 84,8
b 107,0
c 133,0
A4-50 rerata 108,3
a 123,9
b 100,9
c 120,1 (a)
A4-1M rerata 115,0
a 59,0
b 62,8
c 62,0
B4-50 rerata 61,3
a 105,5
b 84,0
c 95,9
B4-1M rerata 95,1
a 71,8 (b)
b 70,0
c 88,3
A5-50 rerata 76,7
a 57,8
b 64,6
c 73,4
A5-1M rerata 65,3
a 50,0
b 35,0
c 47,5
B5-50 rerata 44,2
(c)
a 44,6
b 44,6
c 50,0 Gambar 6, Karakteristik kerusakan balok
B5-1M rerata 46,4 uji tekan pada posisi (a) bebas
sambungan, (b) pada sambungan,
dan (c) pada buku

KESIMPULAN

Dari penelitian ini dapat diambil kesimpulan yaitu balok laminasi dengan kombinasi
batang bambu yang dibentuk persegi penampangnya dan dilapisi dengan papan kayu
menghasilkan balok laminasi yang ringan, yaitu 1,83 2,38 kg/m dengan kerapatan () 0,25-
0,32 gr/cm3. Dengan memotong batang bambu lebih pendek tingkat kelurusan potongan
bambu akan lebih terjaga. Pada batang bambu yang bengkok (tidak lurus), ketebalan bambu
akan banyak terkikis pada waktu pembentukan penampang persegi sehingga pada salah
satu sisinya menjadi tipis atau bahkan berlubang karena dinding bambu habis serta
terjadinya perlemahan pada sambungan atar bambu menghasilkan nilai MOE dan MOR
yang kurang optimal. Nilai optimum MOR dan MOE diperoleh pada sampel uji balok dengan
bambu dengan pelapisan papan yang lebih tebal memiliki nilai yang lebih baik dibanding
dengan pelapisan papan yang lebih tipis pada ukuran penampang balok yang sama
(6/12).Keteguhan tekan tertinggi sebesar 133 N/cm2 pada sampel uji balok dari bambu

460
REKAYASA KAYU

bagian pangkal dengan penampang 4 cm (A4-50). Adanya perekatan atar sambungan dan
buku bambu memberikan kekuatan pada keteguhan tekannya.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 1999. Reference Manual. Shimadzu Corporation. Japan


Berlian, Nur V. A. dan Estu Rahayu. 1995. Jenis dan Prospek Bisnis Bambu. Penebar
Swadaya. Jakarta.
Budi A.S, 2009. Kapasitas Lentur Balok Bambu Wulung dengan Bahan Pengisi Mortar.
Media Teknik Sipil. UNS. 9:93-99
Darmawan, T.; W. Dwiyanto; Y. Amin; K. W. Prasetiyo; dan B. Subyanto. 2009. Karakteristik
LVL Lengkung dengan Proses Kempa Dingin. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis
7 (2):62-66
JAS, 2003. Japanese Agricultural Standardfor Structural Glued Laminated Tumber
Khurmi, R.S. 2002. Strength of Materials. S. Chand & Company Ltd. Ram Nagar. New Delhi
Kusumah, S.S.; Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis
Singer, F.L dan A. Pytel. 1995. Kekuatan bahan (Teori Kokoh-Strength of Materials).
Erlangga. Jakarta
Yanto, D.H. Y.; W. Fatriasari; E. Hermiyati. 2006. Fortifikasi Deernol 33E dan PI-120 pada
Perekat Lateks Karet Alam-Stirena. Widyariset 9:49-54

461
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

PENGARUH SERANGAN RAYAP PADA


PENGELOLAAN PEMELIHARAAN DAN PERAWATAN GEDUNG
(STUDI KASUS: GEDUNG FTUKI)

James Rilatupa
Staf Pengajar Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik, Universitas Kristen Indonesia

ABSTRACT

Maintenance management and care of buildings based on building regulations by


Minister of Public Works No: 45/PRT/M/2007 is needed in urban areas, where the
development of building increasingly. The development of building maintenance
management and care of buildings, in fact more difficult, so is needed the knowledge
manage and resources professional to manage it. Aspect of building maintenance and care
aimed in order of the building utilization can be extended by periodic improving, because the
duration of use (lifetime) of each non-structural of building components is not same.
In fact, maintenance and care of buildings is a combination of various treatments
taken to implement the management activities and behavior, business and finance,
technology and engineering which applied for physical assets to get the economical life cycle
costs. Specifically, components of wood material (non-structural components) installed in
the building is food for termites insects are suitable for their environment with humid tropical
climate like in east area of Jakarta. The ground termites are group of organisms that are
able to adapt so well that insect termites pest is the most important buildings. Optimization
of maintenance management and maintenance of buildings especially against pests, should
be done early with an integrated and professional.
This research aimed to characterize termites attack and their influences in
maintenance and care of Technique Faculty UKI building. The procedures of this research
consisted of: assess the similarity of colony termites and asses the condition index of
building. The results showed Coptotermes curvignathus termite has attacked this building
through utility components and small holes between walls and also between cemented walls
and ceramic floor covers.

Keywords: termite attack, Coptotermes curvignathus, condition index

PENDAHULUAN

Pengelolaan pemeliharaan dan perawatan gedung berdasarkan undang-undang


bangunan gedung peraturan menteri pekerjaan umum nomor 45/PRT/M/2007 dibutuhkan
pada daerah perkotaan dimana perkembangan pembangunan gedung semakin
banyak.perkembangan pengelolaan pemeliharaan dan perawatan gedung ternyata semakin
sulit sehingga untuk mengelolanya dibutuhkan pengetahuan dan sumber daya manusia yang
professional.aspek pemeliharaan dan perawatan gedung bertujuan supaya pemanfaatan
gedung dapat diperpanjang dengan melakukan perbaikan berkala karena tingkat lama
pemakaian (usia pakai) setiap komponen gedung non struktural tidak sama. Berdasarkan
hal tersebut, bidang perawatan dan pemeliharaan suatu gedung tentunya memerlukan suatu
perencanaan pemeriksaan secara berkala dan rutin untuk mengetahui kondisi gedung.
Sementara itu, rayap merupakan serangga yang selalu diidentikkan sebagai hama
perusak bangunan, perumahan, arsip, buku, tanaman dan sebagainya. Padahal, pada
awalnya rayap merupakan serangga yang berperan sebagai pembersih sampah alam.
Namun dengan semakin sempitnya lahan yang berakibat juga terhadap sempitnya
kehidupan habitat rayap, mereka mulai masuk ke pemukiman manusia guna mencari
sumber makanan untuk menjaga kelangsungan hidupnya. Salah satu jenis rayap perusak
bangunan yaitu rayap Coptotermes curvignathus dari famili Rhinotermitidae menimbulkan

462
REKAYASA KAYU

tingkat serangan paling ganas dan mampu menyerang hingga ke lantai 33 pada bangunan
tinggi. Serangan rayap ini mampu merusak elemen konstruksi dari satu lantai ke lantai
berikutnya; seperti plafon berbahan gipsum sampai dengan kitchen setberbahan kayu pada
ruang dalam suatu bangunan.
Berdasarkan hal tersebut, penelitian mengenai pengaruh serangan rayap pada
pemeliharaan dan perawan gedung sangat perlu dilakukan. Penelitian pendugaan indeks
kondisi ini hanya dibatasi pada serangan rayap Coptotermes curvignathus. Sementara itu,
dari penelitian ini juga dapat diduga kerugian ekonomi dan pendugaan masa pakai
komponen bahan berkayu pada bangunan yang diakibatkan oleh serangan rayap
Coptotermes curvignathus.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk :
1. Menduga nilai kondisi konstruksi komponen bahan berkayu akibat serangan rayap tanah
Coptotermes curvignathus,
2. Mengetahui penyebab dan dampak kerugian kerusakan komponen bahan berkayu
ditinjau dari aspek perawatan dan pemeliharaan gedung.

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilaksanakan di gedung Fakultas Teknik, Universitas Kristen Indonesia
(FT-UKI). Untuk identifikasi jenis rayap, penelitian dilakukan di Laboratorium Biologi.
Penelitian berlangsung selama 5 bulan, yaitu mulai dari bulan Oktober 2010 sampai dengan
bulan Februari 2011.

Bahan dan Alat Penelitian


Bahan yang digunakan adalah denah (master plan) dan gambar bangunan FT-UKI;
data visual; serta denah khusus untuk bangunan (ruang) yang terserang oleh rayap. Bahan
lainnya yang digunakan untuk pengamatan di luar dan di dalam adalah6buah kotak yang di
dalamnya terdapat tisu (berbentuk rol) yang telah diberi umpan rayap.
Alat-alat yang digunakan adalah perekam data visual; perekam pengamatan data
existing komponen struktur, subkomponen dan lain-lain; alat untuk menyimpan dan
mengamati rayap;alat penerangan (senter); pot/tabung plastik; alkohol; kotak tisu; kantong
plastik; cawan petri dan mikroskop.

Prosedur Penelitian
1. Indeks Kondisi Gedung
Indeks kondisi yang diamati di gedung FT-UKI adalah komponen bahan berkayu
yang ada dalam gedung. Penilaian indeks kondisi tersebut dimaksudkan untuk melihat
akibat serangan rayap terhadap kondisi pada komponen berkayu yang dinilai dari
subkomponen gedung hingga utuh secara keseluruhan dalam suatu gedung.
a. Pengamatan di Gedung
Pengamatan untuk mengetahui indek kondisi dari subkomponen gedung
hingga keseluruhan gedung yang meliputi:
- Melakukan pengamatan terhadap kondisi konstruksi gedung lantai per lantai
sesuai dengan kemungkinan kehidupan koloni rayap pada bagian konstruksi
bangunan di area interior.
- Investigasi lokasi/area kerusakan bagian konstruksi gedungdan penyebab
serangan rayap serta mengidentifikasikan jenis-jenis kerusakan, baik karena
faktor perancangan gedung, faktor konstruksi gedung, kecerobohan pemakai,
sistem pemeliharaan gedung, maupun karena pemanfaatan bahan/material.
Langkah selanjutnya mengkategorikan kondisi konstruksi komponen bahan
berkayu dalam gedung.

463
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

b. Analisa Data Indeks Kondisi


Memperkirakan kondisi komponen gedung dengan menggunakanmodel
modifikasi indeks kondisi konstruksi bangunanEngineered Management Systemoleh
US Army Construction Engineering Research Laboratories(Uzarski et al., 1997).
Model ini menggunakan teknik-teknik percontohan dan pemeriksaan dengan melihat
kondisi gedung hingga komponennya. Nilai ditentukan berdasarkan kombinasi jenis,
tingkat dan kuantitas kerusakan. Dalam penelitian ini pemeriksaan komponen
bangunan hanya ditujukan pada komponen bahan berkayu.Prosedur perhitungan
indeks dimulai dengan komputasi suatu indeks untuk setiap subkomponen dalam unit
contoh komponen. Indeks-indeks digabungkan sampai berbagai hirarki tersebut
dihitungIndeks subkomponen (CIs) dihitung dari bobot yang dikurangi pada model
kuantitas kerusakan. Model berhubungan dengan tingkat deteriorasi dari jenis,
tingkat dan kuantitas kerusakan yang ditemukan sepanjang survei kondisi. Model
untuk estimasi subkomponen adalah:
p mi
CISu = C - a (Ti,Sj,Dij)F(t,d) (1)

I=1 j=1

dimana:
CISu = indeks kondisi untuk subkomponen ke-u, Su
C = konstanta (=100)
a( ) = nilai pengurangan bobot yang tergantung pada jenis kerusakan Ti,
tingkat kerusakan Sj dan kuantitas kerusakan Dij
i = penilaian untuk jenis kerusakan
j = penilaian untuk tingkat kerusakan
p = total jumlah jenis kerusakan untuk subkomponen
mi = jumlah tingkat kerusakan pada ke-i dari jenis kerusakan
F(t,d) = faktor koreksi pada jenis kerusakan dengan jumlah total nilai
pengurang,t dan jumlah pengurangan individu dari tingkat kerusakan, d

Dalam penelitian ini jenis kerusakan pada komponen berkayu yang berhubungan
dengan serangan rayap adalah permukaan bahan berkerut, retak rambut, celah dan lubang,
serta goyah/kendor/lepas. Selanjutnya jenis kerusakan tersebut akan terbagi lagi menurut 3
tingkat kerusakan yaitu rendah (rusak ringan), sedang (rusak sedang) dan tinggi (rusak
berat). Tingkat kerusakan tersebut terdiri dari 5 kuantitas kerusakan (density) yang
dinyatakan dalam persentase <1%, 1-10%, 11-25%, 26-50% dan 50%. Setiap jenis, tingkat
dan kuantitas kerusakan harus diamati untuk mendapatkan nilai pengurang (a dalam
persamaan 1).
Analisa tingkat kerusakan ini berdasarkan hasil pengamatan yang telah dilakukan
pada masing-masing tower. Tabel 1 menjelaskan tingkat kerusakan dari masing-masing
jenis kerusakan beserta hubungannya dengan kuantitas kerusakan yang menghasilkan nilai
pengurang. Nilai pengurang ini digunakan dalam indeks kondisi subkomponen (persamaan
1) sebagai a(Ti,Sj,Dij).
Setiap subkomponen terdiri dari beberapa unsur, sehingga faktor koreksi F(t,d)
dihitung berdasarkan unsur tersebut. Misalnya subkomponen kayu terdiri dari unsur biaya,
fungsi dan perawatan/perbaikan. Nilai pengurang t dan nilai pengurang individu d dihitung
berdasarkan pembobotan pada subkomponen dan unsurnya. Setelah subkomponen
diperiksa dan indeks kondisinya ditentukan, kemudian indeks kondisi unit contoh ditentukan.
Indeks kondisi unit contoh (SUCI) dihitung dari:

w1(CIS1)+w2(CIS2)+w3(CIS3)+ ..+wu(CISu)
SUCIv = (2)

w1+w2+w3+.+wu

464
REKAYASA KAYU

dimana:
SUCIv = indeks kondisi ke unit contoh ke-v yang diperiksa
wu = faktor bobot tiap subkomponen (0-1,0) u
Cis = indeks kondisi setiap subkomponen
u = jumlah subkomponen yang ada

Selanjutnya, unit contoh untuk tiap komponen digabungkan kedalam indeks kondisi
bagian komponen (CSCI) berdasarkan ukurannya. Persamaannya adalah:

SUCI1(A1)+SUCI2(A2)+SUCI3(A3)+...+SUCIv(Av)
CSCIx =  (3)
A1+A2+A3+.+Av

dimana:
CSCIx = indeks kondisi bagian komponen ke-x bagian komponen
SUCIv = indeks kondisi ke-v unit contoh yang diperiksa
Av = panjang area tiap unit contoh yang diperiksa
v = jumlah unit-unit contoh yang diperiksa

Tahap selanjutnya melibatkan gabungan bobot oleh ukuran bagian/section CSCI tiap
komponen bangunan untuk menentukan indeks kondisi komponen bangunan (BCCI). BCCI
dihitung dari :

BCCIy = (4)
CSCI1(A1)+CSCI2(A2)+CSCI3(A3)++CSCIx(Ax)

A1+A2+A3++Ax

dimana:
BCCIy = indeks komponen bangunan penyesuaian/adjusted untuk komponen ke-y
CSCIx = indeks kondisi setiap bagian/section x
Ax = area atau panjang tiap bagian/section x
x = jumlah bagian/section

BCCI dikumpulkan untuk menentukan indeks kondisi sistem (SCI). SCI berfungsi
untuk memperoleh biaya setiap komponen dalam sistem dan dapat dihitung dari:

SCIz = BCCI1($BC1)+BCCI2($BC2)+.+BCCIy($BCy) (5)



$BC1+$BC2++$BCy
dimana:
SCIz = indeks kondisi sistem untuk sistem ke-z
BCCIy = indeks kondisi komponen bangunan untuk tiap komponen y
$Bcy = biaya pengantian tiap komponen bangunan y
y = jumlah komponen bangunan

Selanjutnya indekssistem berikutnya yang ditentukan adalah indeks kondisi


bangunan (BCI) yang dihitung dari persamaan :

SCI1($s1)+SCI2($s2)+ ..+SCz($az)
BCI =  (6)
$s1+$s2++$sz
dimana :
BCI = indeks kondisi bangunan
SCIz = indeks kondisi sistem dari tiap sistem z

465
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

$sz = biaya penggantian tiap sistem z


z = jumlah sistem

Data yang diperoleh untuk model estimasi bagian komponen (CSCI) akan dianalisa
secara statistik untuk melihat adanya serangan rayap pada konstruksi lantai dan ruang
masing-masing tower. Model umum untuk analisa data yang digunakan untuk melihat
adanya serangan rayap pada indeks kondisi bagian komponen tersebut adalah Rancangan
Acak Kelompok (Sudjana, 1982).

Yij = P + Wi + j + Hij

dimana : Yij = nilai dari indeks kondisi bagian komponen bangunan


P = rataan indeks kondisi
Wi = pengaruh indeks kondisi pada lantai
j = Pengaruh indeks kondisi pada ruang
Hij = pengaruh galat percobaan pada indeks kondisi bagian
komponen

2. Pengamatan Patologi Bangunan


Pemanfaatan bahan (bahan berkayu) merupakan komponen dari anatomi suatu
bangunan gedung yang yang mempunyai manfaat terpadu dengan bahan lainnya pada
suatu tipe bangunan untuk mengetahui standard kualitas pemanfataannya yang
berhubungan dengan masa pakai gedung
Data pengamatan 5 (lima) tahun terakhir kerusakan khususnya pada komponen
bahan berkayu terjadi oleh 3 (tiga) faktor,yaitu:
a. Acceleration(percepatan) kerusakan yang terjadi karena pemilihan bentuk
rancangan awal gedung
b. Mitigation, kerusakan oleh faktor luar gedung yaitu serangan rayap dari permukan
tanah sekitar gedung
c. Substitution, pergantian kerusakan material yang lama dengan menggunakan
material yang sama.

Upaya mengatasi kejadian kerusakan secara berkala diperlukan konsep yang


terpadu untuk menghasilkan karya arsitektur dengan meminimalkan tingkat risiko
kerugian ekonomi, keamanan, dan kenyamanan bagi pengguna.Dalam hal ini, bagian
pengelolaan perawatan gedung perlu memiliki pengetahuan tentang kondisi konstruksi
gedung, utilitas gedung hubungannya dengan penggunaan bahan berkayu yang lebih
mendetail, supaya dapat meminimalkan kerusakan yang terjadi.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Indeks Kondisi Komponen Bahan Berkayu pada Gedung


Indeks kondisi gedung dianalisa berdasarkan indeks kondisi sebelumnya secara
berurutan, sehingga semua indeks kondisi dari subkomponen hingga indeks kondisi sistem
gedung memberikan andil dalam penilaian indeks kondisi gedung. Indeks kondisi gedung
dalam penelitian ini hanya dianalisa berdasarkan adanya kerusakan yang disebabkan oleh
serangan rayap, jadi hanya terbatas pada komponen bahan berkayu dan bukan kerusakan
secara keseluruhan. Pengamatan yang dilakukan pada gedung FT UKI secara vertikal
(lantai per lantai).
Dalam penelitian ini, pengertian sistem gedung adalah lantai per lantai; sehingga
untuk sistemnya berjumlah 3 bagian. Sistem 1 pada bangunan ini terdiri dari 2 (dua)
komponen (ruang dekan dan ruang elektro); sistem 2 terdiri dari 6 (enam) komponen (ruang
arsitektur, ruang data, lab. komputer, tangga, studio PASA, dan studio D); dansistem 3
hanya terdiri dari 1 (satu) komponen.

466
REKAYASA KAYU

Setiap komponen dalam penelitian ini terdiri dari 2 (dua) bagian komponen yang
terdiri dari dinding, plafon, dan lantai. Khusus untuk bagian komponen dinding terbagi lagi
menjadi 4 bidang yaitu dinding 1, dinding 2, dinding 3, dan dinding 4.Selanjutnya, untuk
bagian komponen dinding terdiri dari 4(empat) unit contoh, yaitu cat, kayu, plester, dan bata;
bagian komponen plafon terdiri dari 2 (dua) unit contoh (cat dan kayu)

1. Indeks Kondisi Unit Contoh


Indeks kondisi unit contoh yang dianalisa di gedung FT-UKI pada Lantai 1, Lantai
2, dan Lantai 3 adalah bagian dari dinding (cat, kayu, plester dan bata); plafon (cat dan
kayu); dan lantai (plester).

Tabel 1. Indeks Kondisi Unit Contoh Dinding dan Plafon pada Tower 1, Tower 3, dan Tower
4 pada Apartemen dan Hotel Contoh*).

Lantai Unit Contoh


Cat Kayu Plester Bata
1 84,38 78,75 94,69 95,00
2 48,13 51,88 88,75 92,92
3 57,50 62,50 100 100
*)
bahan berkayu

Hasil penelitian menunjukkan cat di lantai 2 mempunyai indeks kondisi terendah


dengan nilai 48,13 (kategori kondisi cukup) dan yang tertinggi pada Lantai1 dengan nilai
84,38 (kategori kondisi lebih baik). Sementara itu, indeks kondisi kayu terendah dijumpai
pada lantai 2 dengan nilai 51,88 (kategori kondisi cukup); dan yang tertinggi di Lantai 1
dengan nilai 78,75 (kategori kondisi lebih baik). Indeks kondisi plesteruntuk semua lantai di
gedung FT-UKI masuk dalam kategori kondisi terbaik dengan nilai masing-masing adalah
94,69 (Lantai 1); 88,75 (Lantai 2); dan nilai 100 (Lantai 3). Sementara itu untuk indeks
kondisi batauntuk semua lantai di gedung FT-UKI masuk dalam kategori kondisi terbaik
dengan nilai masing-masing adalah 95 (Lantai 1); 92,92 (Lantai 2); dan nilai 100 (Lantai 3).
Data lengkap untuk indeks kondisi unit contoh ini dapat dilihat pada Tabel1.

2. Indeks Kondisi Bagian Komponen


Hasil penelitian menunjukkan bahwa indeks kondisi dinding yang terendah terdapat
pada Lantai 2 dengan nilai 62,08 (baik) dan yang tertinggi pada Lantai 3 dengan nilai indeks
kondisi 100 (terbaik). Sementara itu, indeks kondisi plafon yang terendah terdapat di lantai 2
dan lantai 3 dengan nilai 20 (sangat kurang) dan yang tertinggi pada Lantai 1 dengan nilai
92,50 (terbaik). Hasil penelitian selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 2 di bawah ini.

Tabel 2. Indeks Kondisi (IK) dan Kategori Kondisi (KK) Bagian Komponen pada Lantai 1,
Lantai 2 dan Lantai 3 di Gedung FT-UKI*.

Lantai Dinding Plafon


IK KK IK KK
1 70,63 Baik 92,50 Terbaik
2 62,08 Baik 20 Sangat
kurang
3 100 Terbaik 20 Sangat
kurang
*)
bahan berkayu

3. Indeks Kondisi Komponen, Sistem dan Gedung FT-UKI


Indeks kondisi komponen yang dianalisa adalah ruangan per lantainya, dalam
penelitian ini Lantai 1 ada 2 (dua) ruangan, Lantai 2 berjumlah 6 (enam) ruangan, dan Lantai
3 hanya 1 (satu) ruangan. Sementara itu indeks kondisi sistem adalah indeks kondisi per

467
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

lantai dari gedung FT-UKI. Indeks kondisi gedung merupakan indeks kondisi dari gedung
FT-UKI yang diamati dalam penelitian ini. Hasil penelitian menunjukkan indeks kondisi
komponen paling rendah terdapat di Lantai 2; untuk ruang rapat Arsitektur dan ruang data
dengan nilai 37,91 yang termasuk dalam kategori kondisi kurang; dan yang tertinggi juga
terdapat di Lantai 1, yaitu ruang dekan dengan nilai 89,69 (terbaik). Sedangkan indeks
kondisi sistem tertinggi terdapat pada Lantai 1 dengan nilai 83,18 (lebih baik) dan yang
terendah pada Lantai 2 dengan nilai 68,82 (baik). Sementara itu, indeks kondisi bangunan
untuk gedung FT-UKI adalah 77,36 dan termasuk dalam kategori kondisi lebih baik (lihat
Tabel 3). Selama penelitian berlangsung, terlihat bahwa Lantai 2 lebih banyak digunakan,
karena ruangan juga lebih banyak pada Lantai 2 ini; sehingga tingkat penggunaannya juga
lebih tinggi. Semakin tinggi tingkat penggunaan, maka operasional gedung yang
menggunakan air bersih melalui plumbing air bersih serta akibat pemipaan AC juga semakin
tinggi. Sementara itu plumbing air bersih, air kotor, air hujan dan pipa-pipa AC merupakan
sumber kelembaban untuk iklim dan media habitat rayap; sehingga penggunaan yang lebih
sering dari kedua utilitas bangunan tersebut juga menjadi jalur masuk rayap ke dalam
gedung dan merusak komponen bahan berkayunya.

Tabel 3. Indeks Kondisi (IK) dan Kategori Kondisi (KK) Komponen (Ruang),
Sistem (Lantai) dan Bangunan pada Gedung FT-UKI*).

Luas Komponen Sistem Bangunan


(m2) IK KK
Lantai 1
-Ruang Dekan 40 89,69 Terbaik 83,18
-Ruang Elektro 40 75,54 Lebih Baik (Lebih baik)
Lantai 2
-Ruang Rapat Arsitektur 70 37,91 Kurang
-Ruang Data 70 37,91 Kurang 77,36
-Lab. Komputer 42 86,93 Terbaik 68,82 (Lebih baik)
-Tangga 42 86,93 Terbaik (Baik)
-Studio PASA 140 62,31 Baik
-Studio D 140 62,31 Baik
Lantai 3
-Ruang Sekretariat 48 78,67 Lebih baik 78,67
(Lebih baik)
*)
yang mengandung bahan berkayu

4. Hubungan antara Serangan Rayap dengan Kondisi Perawatandan Pemelihara-an


Gedung
Analisa data serangan hama koloni rayap Coptotermes curvignathus pada Gedung
FT-UKI ini berhubungan dengan beberapa faktor seperti : sistem struktur pada konstruksi
dinding, konstruksi lantai dan konstruksi balok lantai. Ketiga faktor tersebut menjadi media
untuk akses masuknya koloni rayap. Koloni rayap tersebut kemudian memperluas wilayah
habitat di dalam area Gedung FT-UKI ini dari satu lantai ke lantai berikutnya. Hal ini terjadi
karena adanya plafon, dinding dan lantai (parket) mengandung bahan berkayu dan dapat
menjadi sumber makanan bagi koloni rayap tersebut. Selain itu, penggunaan komponen
bahan berkayu pada konstruksi panel komposit kayu (mebel) juga menjadi media kehidupan
koloni rayap.

468
REKAYASA KAYU

Tabel 4. Analisa Sidik Ragam Terhadap Indeks Kondisi Komponen (Ruang) akibat
Serangan Rayap Coptotermes curvignathus di Gedung FT-UKI*).

Sumber Derajat Jumlah Kuadrat F Hitung F Tabel


Keragaman Bebas Kuadrat Tengah 5% 1%
Lantai 2 726,056 363,028 1,16tn 4,46 8,65
Galat 8 2.503,088 312,886 - - -
Jumlah 10 3.229,144 - - -
*)
bahan berkayu
tn : tidak nyata

Hasil sidik ragam (Tabel 4) terhadap indeks kondisi komponen menunjukkan tidak
terjadi perbedaan yang nyata pada setiap lantai untuk Gedung FT-UKI. Hal ini menjelaskan
bahwa untuk Gedung FT-UKIperbedaan tingginya lantai dari permukaan tanah tidak
menunjukkan perbedaan kondisi ruanganbila dibandingkan dengan lantai yang dekat dengan
permukaan tanah; yang berarti juga bahwa serangan rayap dapat mencapai hingga ke
ruangan di Lantai 3 gedung ini. Jenis kerusakan umum yang terjadi adalah permukaan
bahan berkerut dan goyah (kendor/lepas) untuk Lantai 1; permukaan berkerut, retak rambut,
dan goyah (kendor/lepas) untuk Lantai 2; dan goyah (kendor/lepas) untuk Lantai 3 yang
ditemukan pada komponen bahan berkayu. Kerugian langsung tersebut hanya disebabkan
oleh hama koloni rayap jenis Coptotermes curvignatus, dan tidak termasuk kerugian tak
langsung untuk merenovasi di sekitar kerusakan yang terjadi. Menurut Harris (2001) pada
banyak struktur modern, rayap tidak hanya merusak bahan konstruksi suatu gedung tetapi
juga menyerang bahan tata ruang dalam (interior) seperti lantai kayu, panel dinding pemisah
ruang, wallpaper, wallboard, perabot dan serat bagian belakang karpet sintetis. Kejadian ini
juga terjadi pada setiap apartemen yang di amati di lokasi penelitian, sehingga kerusakan
tidak langsungnya ini akan menambah nilai bobot persentase kerusakan sebelumnya
menjadi lebih besar.
Ditinjau dari karakter penggunaan gedung, serta lingkungan gedung yang relatif
tenang (noise rendah) mendukung koloni rayap untuk hidup dan membuat sarang.
Diperlukan sistem pengendalian dan pencegahan serangan rayap pada gedung tinggi yang
terpadu dengan bidang maintenance building agar koloni rayap tetap hidup disekitar tapak
gedung tanpa memasuki area dalam gedung untuk mencari makanan berbahan kayu
(selulosa).

Patologi Bangunan
Pengamatan patologi bahan berkayu untuk Gedung FT-UKI yang disebabkan oleh 3
(tiga) faktor kerusakan; yaitu: acceleration, mitigation, dan substitution dapat terjadi kembali
dengan jangka waktu 8 10 tahun.Faktor acceleration dan mitigation merupakan faktor yang
sulit diatasi, karena rancangan/disain awal gedung serta existing lingkungan alami gedung,
sehingga persentase kerusakan bahan berkayu dapat dilakukan oleh faktor substitution.
Faktor mitigation dapat mengurangi laju kerusakan bahan berkayu apabila dilakukan
penataan kembali lansekap sekitar gedung, untuk mempersulit jalur aktifitas rayap kedalam
gedung.Pemecahan masalah faktor substitution dengan penggunaan bahan bukan berkayu
tidak mengurangi daya jelajah rayap; karena rayap mengalihkan serangannya ke sasaran
ruang yang memiliki rak buku serta buku-buku di dalamnya. Pendekatan penyelesaian
secara terpadu antara 3 (tiga) faktor patologitersebut perlu dilakukan supaya biaya
pemeliharaan gedung secara berkala dapat berkurang, begitupula habitat rayap disekitar
gedung dapat terjaga dengan baik sehingga makanan rayap tercukupi di luar
gedung.Penggantian (substitution) bahan berkayu di gedung ini biasanya dilakukan secara
periodik; yaitu setiap 4 (empat) tahun, dan penggantian terakhir dilakukan pada bulan
Oktober 2010. Hal ini dapat diartikan bahwa dapat terjadi nilai penurunan komponen bahan
berkayu pada Gedung FT-UKI akibat serangan rayap (lihat Gambar 1).

469
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

1.4
1.2

Persentase Penurunan
1
0.8
0.6
0.4
0.2
0
Lantai 1 Lantai 2 Lantai 3

Gambar 1. Persentase Penurunan Komponen Bahan Berkayu pada Gedung FT-UKI

Untuk menghitung nilai penurunan komponen bahan berkayu pada Gedung FT-UKI,
maka perhitungan tersebut berdasarkan indeks kondisi lantai serta kandungan bahan
berkayu sebesar 4 (empat) persen dari keseluruhan komponen konstruksi gedung ini
(berdasarkan besaran biaya konstruksi). Hasil perhitungan menunjukkan persentase
penurunan komponen bahan berkayu selama setahun untuk masing-masing lantai dapat
dilihat pada Gambar 1. Sementara itu, laju penurunan komponen bahan berkayu yang
dihitung berdasarkan indeks kondisi masing-masing lantai (dengan asumsi indeks kondisi
tetap hingga tahun ke-20) dan berdasarkan persentase penurunan gedung setiap lima tahun
(Wordsworth, 2001); maka laju penurunan komponen bahan berkayu di Lantai 2 pada
Gedung FT-UKI ini lebih cepat dibandingkan dengan Lantai 1 dan Lantai 3 (Gambar 2).

17,95
11,5
15,35

Gambar 2. Laju Penurunan Komponen Bahan Berkayu di Gedung FT- UKI

470
REKAYASA KAYU

KESIMPULAN

Aktifitas jelajah (foraging) rayap Coptotermes curvignathus ini dalam mencari sumber
makanan di tanah sekitar gedung terjadi secara acak. Hal ini terjadi karena disamping
mengkonsumsi kayu yang diumpankan, rayap juga akan mengkomsumsi sumber makanan
lain (tanaman di sekitar gedung) dan buku-buku didalam ruangan. Sementara itu, pada area
gedung ini ditemukan adanya 1 (satu) koloni rayap Coptotermes curvignathus, baik koloni
yang hidup di dalam gedung maupun hubungannya dengan kehidupan koloni rayap di luar
gedung. Sementara itu, kelembaban yang cukup memadai dan adanya tanaman hidup
(lansekap) yang terpelihara baik sangat dibutuhkan oleh koloni rayap Coptotermes
curvignathus, dan koloninyadapat semakin besar melalui proses perpindahan (migrasi)
kedalam gedung melalui area sekitar KM/WC.Penggunaan indeks kondisi konstruksi dengan
modifikasi model Uzarski etal. (1997) dalam penelitian ini, menghasilkan nilai indeks kondisi
Gedung FT-UKI adalah 77,36 yang termasuk dalam kategori kondisi lebih baik. Secara
umum hasil penelitian menunjukkan bahwa di Gedung FT-UKI perbedaan tinggi lantai dari
permukaan tanah tidak merupakan besar indeks kondisi.Jenis kerusakan umum yang terjadi
adalah permukaan bahan berkerut dan goyah (kendor/lepas) untuk Lantai 1; permukaan
berkerut, retak rambut, dan goyah (kendor/lepas) untuk Lantai 2; dan goyah (kendor/lepas)
untuk Lantai 3 yang ditemukan pada komponen bahan berkayu
Faktor patologi bangunan yaitu perlu penyesuaian tata ulang,seperti disain lansekap
dan pemilihan bahan bukan berkayu sehingga mempersulit jalur jelajah rayap kedalam
gedung serta dapat mengurangi biaya pemeliharaan gedung secara berkala.

DAFTAR PUSTAKA

Anonymous. 2003. SNI : Kumpulan SNI Perlindungan Bangunan Terhadap Serangan


Organisme Perusak. Badan Standardisasi Nasional. Jakarta
__________. 2003. Undang-Undang Republik Indonesia No.28/2002 tentang Bangunan
Gedung beserta Penjelasannya. Citra Umbara. Bandung.
__________. 2005. Sistem Perawatan dan Pemeliharaan Bangunan Gedung Pemda.
Kantor Tata Bangunan dan Gedung Pemda. Jakarta.
Harris, S.Y.2001. Building Pathology : Deterioration, Diagnostics and Intervention. John
Wiley & Sons, Inc. New York.
Ikerd, J.E. 1997. Toward on Economics of Sustainability.http://ssu.missori.edu/jikerd/
papers/econsus.htm.
Juwana, J.S. 2005. Panduan Sistem Bangunan Tinggi. Erlangga. Jakarta.
Leicester, R.H., C.H. Wang, L. Cookson dan J. Creffield. 2002. A Model of Termite for
Hazard in Australia. CSIRO Building, Construction and Engineering. Australia.
(www.landfood.unimelb.edu.au)
Nandika D., Y. Rismayadi dan F. Diba. 2003. Rayap : Biologi dan Pengendaliannya.
Muhammadiyah University Press. Surakarta.
Nurjaman, H.N. 2003. Metoda Penelitian Kehandalan Struktur Bangunan Berdasarkan
Pengukuran Microtremor dalam Rangka Pemeliharaan, Perawatan, dan Pemeriksaan
Berkala. Makalah Seminar di FTSP UPI-YAI, 22 Mei 2003. Jakarta.
Ratay, R.T. 2000. Forensic Structural Engineering Handbook Part I. McGraw Hill. New
York.
Sebastian, A. 2003. Construction Pathology. A. Sebastian Engineering and Investigation
Services. Seattle.
Soeharto, I. 1995. Manajemen Proyek : Dari Konseptual sampai Operasional. Penerbit
Djambatan. Jakarta.
Surjokusumo, S. 2005. Perkembangan Aspek Regulasi Pengendalian Serangan Rayap
pada Bangunan Gedung. Seminar Nasional. Universitas Negeri Semarang.
Semarang.

471
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Uzarski, D.R., Laurence A., and Burley Jr. (1997). Assessing Building Condition by The Use
Condition Indexes in Saito, M. (ed.). 1997. Infrastructure Condition Assesment : Art,
Science, and Practice. American Society of Civil Engineering. New York.
Watt, D.S. 1999. Building Pathology : Principles and Practice. Blackwell Sciences, Ltd.
Oxford.
Wordsworth, P. 2001. Lees Building Maintenance Management. Blackwell Science.
Oxford, USA.

472
REKAYASA KAYU

DETERIORASI KAYU PADA


BANGUNAN RUMAH TRADISIONAL SUKU BAJO

Musrizal Muin1, Muhammad Daud1, Muhammad Junus2 dan Ruslan2


1
Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin
2
Balai Pengembangan Teknologi Perumahan Tradisional Makassar

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik rumah, faktor pendukung dan
penyebab deteriorasi serta lokasi dan bentuk kerusakan bangunan rumah tradisional suku
Bajo.Penelitian dilakukan di pemukiman tradional suku bajo di Desa Kabalutan Kecamatan
Walea Kepulauan, Kabupaten Tojo Una-una, Propinsi Sulawesi Tengah.Pengambilan data
dilakukan dengan metode purpossivesampling.Data yang dikumpulkan meliputi karakteristik
rumah, faktor pendukung deteriorasi, lokasi kerusakan dan faktor penyebab serta bentuk
kerusakan bangunan rumah tradisional suku Bajo.Hasil penelitian menunjukkan bahwa
perumahan tradisional suku Bajo berupa rumah panggung yang dibangun di atas laut,
bentuk bangunan rumah berupa bujur sangkar atau persegi panjang dengan atap bentuk
limasan atau pelana, umumnya masih menggunakan atap rumbia dan sekitar 10% sisanya
mengunakan atap seng. Dinding dan lantai menggunakan papan, beberapa rumah juga
mengunakan dinding dari daun silar dan pelepah sagu.Tiang rumah menggunakan kayu
lokal seperti kayu pingsan, besi, kerikis, togoulu, kalakkadan manjarite berbentuk kayu bulat
yang masih mempunyai kulit dengan ukuran diameter 15-25 cm. Bentuk deteriorasi yang
ditemukan umumnya berupa perubahan warna oleh faktor pencuacaan (weathering), retak
karena faktor mekanis, erosi karena faktor kimia serta pelapukan dan pengikisan akibat
faktor biologis seperti jamur, marine borer, rayap dan kumbang. Kerusakan bangunan terjadi
pada hampir semua komponen bangunan.Bagian-bagian bangunan yang paling rentan
mengalami kerusakan adalah atap, tiang, lantai serta dinding.Kerusakan pada atap
umumnya disebabkan oleh faktor pencuacaan, sedangkan kerusakan pada dinding
disebabkan oleh jamur pelapuk, jamur pewarna, rayap tanah, dan kumbang serta faktor
pencuacaan sedangkan pada tiang disebabkan oleh marine borer. Kontak langsung bahan
bangunan dengan air laut, kebocoran pada atap dan dan pemasangan dinding yang kontak
langsung dengan tanah, intensitas penyinaran serta kelembaban yang sangat tinggi dan
cuaca yang berubah-ubah merupakan faktor nyata yang mendukung terjadinya deteriorasi
kayu pada bangunan rumah tradisional suku Bajo yang telah dibangun selama kurang lebih
15 tahun.

Kata kunci: Deteriorasi kayu, Rumah Tradisional, Suku Bajo, Faktor Perusak Kayu

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Pemukiman adalah tempat hidup atau habitat manusia. Habitat, dalam istilah ekologi
adalah tempat berlangsungnya suatu kehidupan makhluk hidup yang melakukan seluruh
aktivitasnya dengan normal seperti tempat tinggal, mencari makan, berkembang biak,
berinteraksi dengan makhluk lain yang berkaitan erat dengan kelangsungan hidupmakhluk
tersebut dalam ekosistemnya.Dalam penataan pemukiman, keterkaitan ekosistem ini
menjadi unsur penting sehingga pemukiman diharapkan menyatu dalam suatu ekosistem
yang utuh tercipta ekosistem yang harmonis.
Masyarakat tradisional sering dianggap sebagai masyarakat yang hanya hidup dalam
suasana kepercayaan leluhur semata yang di pengaruhi oleh ethos budaya lokal yang
ekslusif serta mempunyai sifat-sifat khusus. Kekhususan itu ditandai dari cara mereka

473
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

mempertahankan suasana hidup selaras, harmonis dan seimbang dengan kehidupan habitat
sekitarnya. Keselarasan hubungan antara manusia dengan lingkungan sekitarnya, menjadi
pola pengendali hubungan antar manusia dengan manusia dan manusia dengan alam. Pola-
pola ini sangat jelas pada pola pemukimannya sedangkan relevansi antara lingkungan dan
kehidupan budaya manusia tersebut terwujud pada penggambaran bentuk rumah tradisional
yang diciptakannya.
Suku Bajo merupakan salah satu komunitas tradisional suku air yang ada di
Indonesia, menyebar ke berbagai pulau-pulau, menempati lahan di sepanjang pesisir pantai
bahkan hingga ke arah lautan bebas dan menyebut rumahnya palemana atau rumah di atas
perahu. Salah satu keunggulan dari kearifan lokal suku Bajo adalah kemampuan
adaptasinya yang luar biasa terhadap lingkungan laut. Hal ini terlihat dari pola dan bentuk
bangun rumah tardisionalnya yang sangat unik. Rumah suku Bajo pada umumnya berbentuk
panggung yang berada di atas laut dan terbuat dari bahan lokal berupa kayu dan hasil hutan
seperti pelapah sagu dan daun nipah untuk komponen pendukung. Meskipun demikian,
kajian tentang kearifan lokal bangunan tradisional suku bajo ini masih sangat kurang. Oleh
karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mempelajari karakteristik dan deteriorasi pada
rumah tradisional suku Bajo.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik perumahan, bentuk dan
tingkat kerusakan kayu bangunan rumah tradisional suku Bajo serta faktor penyebabnya.

METODE PENELITIAN

Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di pemukiman tradional suku bajo di Desa Kabalutan Kecamatan
Walea Kepulauan, Kabupaten Tojo Una-una, Propinsi Sulawesi Tengah. Desa Kabalutan ini
terletak pada koordinat 0o2533-0o2552 LS dan 122o0333-122o0349 BT, sejak awal desa
ini dihuni oleh mayoritas masyarakat Bajo dengan dua karakter wilayah yakni wilayah
daratan yang berada di atas pulau-pulau karang yang dijadikan daratan dan wilayah perairan
yang berada di atas laut.

Metode Pengumpulan Dan Analisis Data


Proses pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan denganbeberapa cara sesuai
dengan jenis data yang akan dihasilkan. Data diambil dari sebanyak 40 rumah dengan umur
rata-rata sekitar 15 tahun. Metode pengumpulan dilakukan metode purposive sampling untuk
menentukan sampel rumah dan informan terpilih. Pengumpulan dataprimer dilakukandua
cara yaitu: (1) wawancara terbuka (open question), dilakukan dengan mengungkapkan dan
memperdalam atau mengeksplorasi hal-hal yang menjadi kebiasaan masyarakat Bajo (gaya
hidup) atau nilai-nilai yang masih digunakan dalam hubungannya dengan kebiasaan mereka
dalam rumah tinggalnya (2)Teknik observasi, dilakukan melalui pengambilan data dengan
pengamatan langsung terhadap kondisi lapangan. Data yang dikumpulkan meliputi
karakteristik perumahan, bentuk kerusakan kayu bangunan, dan faktor penyebab kerusakan
yang terjadi. Data sekunder yang diambil adalah data yang diambil dari laporan hasil
penelitian serta dokumen-dokumen lainnya yang dipandang perlu. Data kemudian dianalisis
secara deskriftif eksploratif dan ditabulasikan dalam bentuk diagram.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Lokasi Penelitian


Desa Kabalutan terletak pada koordinat 0o2533-0o2552 LS dan 122o0333-
o
122 0349 BT, sejak awal desa ini dihuni oleh mayoritas masyarakat Bajo dengan dua
karakter wilayah yaitu wilayah daratan yang berada di atas pulau-pulau karang yang

474
REKAYASA KAYU

dijadikan daratan dan wilayah perairan yang berada di atas laut. Daratan terbentuk dari
beberapa pulau karang yang dihubungkan menjadi sebuah pemukiman. Secara administrasi,
desa Kabalutan mempunyai 90% hunian berada di atas laut (BPTPT, 2010).
Secara umum, desa Kabalutan dipengaruhi oleh dua musim yang tetap yaitu muson
Barat dan muson Timur dengan iklim tropis basah.Curah hujan berkisar antara 1.200-4.100
mm/tahun. Dalam lingkup Kabupaten Tojo Una-Una, jumlah hari hujan tertinggi dalam satu
tahun terdapat di Kecamatan Una-Una yaitu 98 hari hujan, sedangkan curah hujan tertinggi
juga terdapat di kecamatan Una-Una dengan curah hujan 3.515 mm per tahun. Desa
Kabalutan pada umumnya beriklim laut tropis dengan sifat iklim musiman.Berdasarkan
catatan BAKOSURTANAL, musim kemarau terjadi antara bulan Agustus sampai dengan
November dan musim hujan antara Desember sampai Juli.Suhu maksimum berkisar 34oC
dan suhu minimum 26oC.Ombak dan arus di perairan sekitar kepulauan tersebut relatif
tenang sepanjang tahun.Kelembaban di desa Kabalutan sangat tinggi yaitu rata-rata 91%
(BPTPT, 2010).

Karakteristik Rumah Tradisonal Suku Bajo


Di desa Kabalutan saat ini umumnya menempati rumah kayu yang dibangun di atas
laut, bentuk bangunan rumah berupa bujur sangkar atau persegi panjang dengan atap
bentuk limasan atau pelana, umumnya masih menggunakan atap rumbia dan sekitar 10%
bangunan mengunakan atap seng. Dinding dan lantai menggunakan papan, beberapa
rumah juga mengunakan dinding dari daun silar (Corypha utan Lamk.)dan pelepah sagu
(Metroxylon sp.) atau enau (Arenga sp.) . Luas bangunan bervariasi tetapi luas rata 5 x 11
meter (Gambar 1).

Gambar 1. Karakteristik Rumah Tradisional Suku Bajo

Di desa Kabalutan masyarakat Bajo telah menetap secara permanen dengan


membangun hunian/rumah di atas air, yang mana hunian mereka dapat dikelompokkan
dalam tiga tipe yaitu tipe kecil yang umumnya hanya memiliki 2-3 ruang dengan bahan
bangunan dari atap rumbia dan dinding dari daun silar, tipe sedang memiliki 3-4 ruang
dengan bahan bangunan dari atap rumbia dan dinding dari kayu, dan tipe besar umumnya
memiliki lebih dari 4 ruang dengan atap dari seng dan dinding dari kayu olahan.
Rumah suku Bajo di Sulawesi Tengah khususnya di desa Kabalutan yang berbentuk
rumah panggung sebagian besar menggunakan pondasi kayu. Kayu tiang pancang yang
digunakan pada rumah suku Bajo tersebut umumnya menggunakan kayu lokal seperti kayu
pingsan,besi,kerikis, togoulu, kalakkadan manjarite dengan pemakaian berbentuk kayu bulat
yang masih mempunyai kulit dengan ukuran berdiameter antara 15 sampai dengan 25 cm.

Deteriorasi Rumah Tradisional Suku Bajo


Faktor pendukung deteriorasi
Hasil penelitian menujukkan bahwa rumah tradisional suku Bajo rentan mengalami
deteriorasi baik disebabkan oleh faktor biologi maupun non biologi. Faktor lingkungan juga

475
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

merupakan faktor pendukung terjadinya proses deteriorasi seperti letak pemukiman,


kelembaban dan curah hujan yang tinggi sangat tinggi serta cuaca yang selalu berubah-
ubah sangat mendukung perkembangan organisme perusak kayu.
Hasil observasi di lapangan seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2, menunjukkan
bahwa faktor pendukung paling utama terjadinya deteriorasi adalahbahan bangunan yang
berhubungan langsung dengan laut, kebocoran yang terjadi pada atap, adanya
penampungan air pada bagian bangunan, pemasangan kayu pada bagian lantai/tanah, dan
pemasangan dinding kayu yang kontak dengan tanah. Pemasangan tiang yang
berhubungan langsung dengan laut menyebabkan tiang tersebut terserang oleh organisme
pengebor laut (marine borer). Kebocoran yang terjadi atap yang menyebabkan rembesan
pada dinding kayu dan daun sagu sangat mendukung perkembangan jamur, rayap dan
kumbang. Selain itu, keberadaan penampungan air dalam rumah suku Bajo yang berkaitan
erat dengan aktifitas hidup mereka seperti mandi dan mencuci serta aktifitas untuk keperluan
di dapur yang menyebabkan papan lantai di dekat tempat penampungan air tersebut
menjadi lembab juga sangat mendukung perkembangan organisme perusak kayu tersebut.
Pemasangan kayu pada bagian lantai dan pemasangan dinding kayu yang kontak langsung
dengan tanah menyebabkan faktor pendukung utama serangan rayap tanah (subteran).

Berhubungan dengan air laut


Tumpukan kayu di bawah/sekitar bangunan
Kebocoran atap atau saluran air pada atap
Semak/tanaman yang bersentuhan dengan
penampungan air pada bagian bangunan
Ventilasibangunan yang tidak baik
Tidak ada pelindung fondasi bangunan
Dinding kayu yang kontak dengan tanah
Tangga kayu tanpa atap pelindung
Tangga kayu yang berhubungan dengan tanah
Pemasangan kayu pada bagian lantai/tanah
Kayu bekas yang tertinggal/dibiarkan
Kayu kontak dengan tanah

0 20 40 60 80 100
Persentase Rumah yang Mengalami Deteriorasi (%)

Gambar 2. Faktor Pendukung Deteriorasi Rumah Tradisional Suku Bajo

Lokasi kerusakandan faktor penyebab kerusakan bangunan


Lokasi kerusakan pada rumah tradisional suku Bajo umumnya terjadi pada tiang,
dinding, atap dan lantai. Kerusakan juga ditemukan pada bagian lain seperti: kayu fondasi,
tangga, reng, rangka flafon, kusen pintu, kusen jendela, kasau, cross beam, mebel, kuda-
kuda dan listplang. Tiang bangunan yang berhubungan langsung dengan air laut
menyebabkan tiang tersebut mudah terserang oleh marine borer, disamping itu akan
mendapat tekanan mekanis dari ombak dan deteriorasi kimia akibat salinitas yang tinggi dari
air laut sehingga mempercepat proses deteriorasinya.Berdasarkan identifikasi di lapangan
terutama pada lubang gereknya maka dapat diketahui bahwa penggerek yang menyerang
tiangan kayu sebagian besar berasal dari famili Pholadidae terutama dari jenis Martesia
sp.dan Teredinidae terutama dari jenis Teredo sp. Kerusakan dinding umunya disebabkan
oleh serangan jamur pelapuk dan pewarna, rayap, dan kumbangserta faktor pencuacaan.

476
REKAYASA KAYU

Gambar 3. Deteriorasi Rumah Tradisional Suku Bajo

Umumnya serangan pada tiang kayu rumah tradisional ditemukan pada tiang rumah
yang menggunakan kayu lokal seperti kayu besi,kerikis, togoulu, kalakka dan manjarite yang
rentan terhadap marine borer sedangkan serangan marine borer pada kayu pingsan
(Teysmanidendron sp.) sangat jarang ditemukan.Tiang rumah yang menggunakan kayu
pingsan, marine borer hanya menempel pada tiang kayu tersebut tanpa menyebabkan
kerusakan yang signifikan pada tiang kayu tersebut.Seranganmarine borerterhadap tiang
kayu secara signifikan umumnya baru terjadi pada rumah yang berumur sekitar 10 tahun.Hal
ini mengindikasikan bahwa kayu pingsan merupakan jenis kayu yang tergolong awet
terhadap serangan marine borer.Keberadaan ekstraktif pada kayu dan kulit kayu pingsan
menyebabkan kayu tersebut mampu meningkatkan keawetan alami kayu pingsan dari
serangan marine borer. Menurut Eaton and Hale (1993), beberapa zat yang bersifat racun ini
umumnya berasal dari golongan tannin, lignan, kumarin, alkaloid, terpenoid, steroid, stilbena,
dan flavonoid mampu meningkatkan keawetan alami kayu dari serangan organisme perusak
kayu.
Penggunaan kayu palapi (Heritiera sp.) dan daun silar (Corypha utan Lamk.) pada
rumah tradisional suku Bajo sebagai dinding menyebabkan bahan tersebut mudah
mengalami deteriorasi akibat pencuacaan dan deteriorasi faktor biologi seperti rayap, jamur
pewarna, jamur pelapuk, dan kumbang.Adanya kelembaban yang rendah dan rembesan air
pada dinding serta percikan air pada dinding bagian luar pada saat hujan mruapakan faktor
pendukung utama deteriorasi dinding tersebut.Selain itu, fondasi rumah tradisional suku Bajo
berasal dari kayu serta pemasangan dinding rumah berhubungan langsung dengan tanah
menyebabkan dinding menjadi lembab sehingga menjadikannya mudah terserang rayap
tanah.Disamping itu, faktor lingkungan di desa Kabalutan sangat mendukung untuk
perkembangan rayap. Menurut Susanta (2007), kisaran suhu yang disukai rayap adalah
21,1- 26,67oC dan kelembaban optimal 95- 98% sehingga negara Indonesia merupakan
tempat tinggal yang baik bagi perkembangan rayap karena suhu udaranya berkisar antara
25,7- 28,9oC dan kelembaban berkisar antara 84 - 98%.
Deteriorasi pada atap disebabkan oleh faktor pencuacaan.Atap dari daun rumbia
pada rumah tradisional suku Bajo menyebabkan sangat mudah mengalami deteriorasi
terutama perubahan warna (diskolorisasi) dan pelapukan akibat sinar ultraviolet dan air
hujan.Deteriorasi pada atap lebih banyak ditemukan pada atap dengan pemasangan atap
rumbia yang kurang rapat, penyusunan helai daun yang sangat jarang, pengikatan yang
kurang kuat sehingga menyebabkan atap tersebut mudah mengalami kebocoran.Kebocoran
ini menyebabkan lantai rumah menjadi lembab dan rentan terhadap organism perusak kayu.

477
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Atap
Listplang
Kuda-kuda
Mebel
Cross beams
Dinding
Kasau
Kusen jendela
Kusen pintu
Papan lantai
Rangka Flafon
Reng
Tangga
Tiang kayu
Kayu fondasi

0 20 40 60 80 100

Persentase Rumah yang Mengalami Deteriorasi (%)

Gambar 4. Lokasi Terjadinya Deteriorasi Rumah Tradisional Suku Bajo

Pencuacaan

Mekanis

Kimia

Marine Borer

Jamur Pelapuk

Kumbang

jamur Pewarna

Rayap Subterannean

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
Persentase Jumlah Rumah yang Mengalami Deteriorasi (%)

Gambar 5. Faktor Penyebab Deteriorasi Rumah Tradisional Suku Bajo

Bentuk Kerusakan
Bentuk kerusakan pada rumah tradisional pada bangunan rumah tradional suku Bajo
berupa perubahan warna,penurunan kekuatan dan pelapukan. Penurunan warna ditemukan
pada semua atap rumah tradisioal yang menggunakan atap rumbia dan dinding rumah yang
terbuat dari silar. Perubahan warna juga ditemukan pada tiang, dinding dan lantai yang
menggunakan kayu. Perubahan warna yang terjadi diduga disebabkan perubahan struktur
lignin akibat faktor lingkungan terutama serapan cahaya ultraviolet dari matahari sehingga
menyebabkan degradasi warna pada kayu dan daun. Selain itu pada tiang, dinding dan
lantai yang menggunakan kayu perubahan warna disebabkan oleh jamur pewarna. Jamur
pewarna memanfaatkan pigmen kayu yang menyebabkan pewarnaan kayu. Selain itu, ada

478
REKAYASA KAYU

juga pewarnaan kayu yang disebabkan oleh adanya pigmen yang dihasilkan oleh jamur itu
sendiri yang menyebabkan kayu mengalami perubahan warna.

Retak

Lapuk

Pecah

Perubahan Warna

Penurunan kekuatan

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

Persentase Jumlah Rumah yang mengalami Deteriorasi (%)

Gambar 6. Bentuk Kerusakan Rumah Tradisional Suku Bajo

Penurunan kekuatan dan pelapukan kayu umumnya ditemukan pada tiang,lantai dan
dinding rumah. Penurunan kekuatan pada bagian kayu tersebut disebabkan oleh serangan
marine borer, rayap, jamur dan kumbang bubuk sedangkan pelapukan umumnya
disebabkan oleh jamur pelapuk. Bentuk kerusakan lain yang ditemukan adalah retak karena
faktor mekanis dan erosi karena faktor kimia.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
Perumahan tradisional suku Bajo dibangun di atas laut, bentuk bangunan rumah
berupa bujur sangkar atau persegi panjang dengan atap bentuk limasan atau pelana,
umumnya masih menggunakan atap rumbia dan sekitar 10% sisanya mengunakan atap
seng. Dinding dan lantai menggunakan papan, beberapa rumah juga mengunakan dinding
dari daun silar dan pelepah sagu. Deteriorasi yang ditemukan umumnya perubahan warna
oleh faktor pencuacaan (weathering), retak karena faktor mekanis, erosi karena faktor kimia
serta pelapukan dan pengikisan akibat faktor biologis seperti jamur dan marine borer.
Kerusakan bangunan terjadi pada hampir semua komponen bangunan.Bagian-bagian
bangunan yang paling rentan mengalami kerusakan adalah atap, tiang, lantai serta
dinding.Kerusakan pada atap dan dinding umumnya disebabkan oleh faktor pencuacaan,
rayap tanah, jamur pewarna, jamur pelapuk dan kumbangsedangkan pada tiang disebabkan
oleh marine borer. Kontak langsung bahan bangunan dengan air laut, kebocoran pada atap
dan dan pemasangan dinding yang kontak langsung dengan tanah,intensitas penyinaran
serta kelembaban yang sangat tinggi dan cuaca yang berubah-ubah merupakan faktor nyata
yang mendukung terjadinya deteriorasi kayu pada bangunan rumah tradisional suku Bajo
yang telah berumur sekitar 15 tahun.

Saran
Kearifan lokal bangunan tradisional suku bajo perlu dipertahankan dan
dikembangkan. Meskipun demikian, diperlukan teknologi baru terutama dalam penataan dan
pengembangan rumah tradisional tersebut ke depan.Pembangunan rumah tradisonal ini
perlu mempertimbangkan faktor-faktor pendukung dan penyebab deteriorasi sehingga rumah
tradisional ini dapat bertahan lama dengan tetap mengadopsi konsep-konsep kearifan lokal
mereka.

479
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

DAFTAR PUSTAKA

[BPTPT] Balai Pengembangan Teknologi Rumah Tradisional Makassar. 2010.


Pengembangan Perumahan dan Permukiman suku Bajo di Sulawesi Tengah.
BPTPT, Makassar.
Eaton, R. A. and M. D. C. Hale. 1993. Wood: Decay, Pests and Protection. Chapman and
Hall, London.
Susanta, G. 2007. Cara Praktis Mencegah dan Membasmi Rayap. Penebar Swadaya,
Jakarta.

480
REKAYASA KAYU

PENGKAJIAN HASIL PENGUJIAN MODULUS ELASTISITAS


DENGAN ALAT UNIVERSAL TESTING MACHINE DAN
ALAT METRIGUARD STRESS WAVE TIMER
Oleh :
Nurul Aini S1 dan Rudi Hartono2
1
Peneliti Bidang Bahan Bangunan, Pusat Litbang Permukiman, KEMEN PU
(nrlpuskim@yahoo.com)
2
Dosen Jurusan Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera utara
(rudihartono_usu@yahoo.co.id)

ABSTRAK

Pengujian modulus elastisitas (MOE) papan buatan dengan menggunakan alat


universal testing machime (UTM) akan menghasilkan data besaran beban dan defleksi yang
terjadi. Besaran MOE dihitung dengan menggunakan rumusyang telah ditentukan sesuai
dengan standar yang digunakan.Sementara bila pengujian dilakukan dengan menggunakan
alat metriguard stress wave timer (MSWT) akan menghasilkan data besaran waktu
perambatan beban yang terjadi dan besaran nilai MOE dihitung lebih lanjut dengan rumus
yang telah ditentukan dalam penggunaan alat tersebut. Untuk mengetahui hubungan antara
hasil pengujian modulus elastisitas dengan menggunakan alat UTM dan MSWT dilakukan
pengujian dengan menggunakan papan partikel. Hasil pengujian menunjukkan bahwa
modulus elastisitas (MOE) menggunakan alat UTM lebih besar dari pada modulus elastisitas
menggunakan alat MSWT. Modulus elastisitas hasil pengujian UTM berhubungan erat
dengan modulus elastisitas menggunakan alat MSWT. Kuat lentur (MOR) menggunakan alat
UTM berhubungan erat dengan MOE menggunakan alat UTM maupun MOE dengan alat
MSWT.

Kata kunci: modulus elastisitas, kuat lentur, universal testing machime (UTM), metriguard
stress wave timer (MSWT).

PENDAHULUAN

Papan partikel adalah salah satu bentuk papan buatan dari partikel kayu atau bahan
berlignoselulosa, perekat, dan dengan atau tanpa bahan tambah lain yang dikempa.
Penggunaan papan partikel sangat popular untuk dinding penyekat, mebeler seperti meja,
lemari, rak buku, dan sebagainya. Papan partikel ini beratnya ringan, mudah untuk dirakit
dan harganya relatif murah. Kekuatan papan partikel dapat diketahui melalui pengujian
contoh kecil maupun pengujian skala penuh. Pengujian contoh kecil di laboratorium dapat
dilakukan dengan menggunakan mesin universal testing machine (UTM) dengan kapasitas
tertentu. Pengujian yang dilakukan biasanya mengacu standar yang berlaku seperti SNI,
ASTM, BS, JIS, JAS, DIN, dan sebagainya.
Pengujian kuat lentur papan partikeldengan mesin UTM akan diperoleh data
besaran beban dan defleksi yang terjadi. Dari pengujian dengan alat ini dapat diperoleh
sekaligus besaran modulus elastisitas dan kuat lentur papan partikel. Untuk
memperoleh modulus elastisitas dan kuat lentur dihitung lebih lanjut dengan
menggunakan rumus tertentu yang menerjemahkan besaran beban dan defleksi yang
terjadi dengan mempertimbangkan letak tumpuan beban saat pengujian.
Selain mesin UTM, pengujian modulus elastisitas papan partikel dapat dilakukan
dengan alatmetriguard stress wave timer (MSWT). Pada pengujian dengan alat ini hanya
diperoleh data besaran waktu perambatan yang terjadi pada jarak pengukuran tertentu.
Penghitunganbesaran modulus elastisitas dilakukan dengan menggunakan rumus tertentu.
Dalam rangka uji coba penggunaan alat metriguard stress wave timer, dilakukan penelitian

481
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

pengkajian modulus elastisitas papan partikel hasil pengujian mesin MSWT dan UTM.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbandingan hasil uji metriguard
stress wave timer (MSWT) dan mesin UTM.

BAHAN DAN METODE

Bahan dan Alat


Bahan yang digunakan adalah papan partikel yang diperoleh dari pasaran di
Bandung.Sedangkan peralatan yang digunakandalam penelitian ini adalah metriguard stress
wave timermodel 239 A (Gambar 1), universal testing machine (Gambar 2), gergaji dan
peralatan bantu lainnya.

Gambar 1. Metriguard stress wave timer model 239 A

Gambar 2. Universal testing machine

Pembuatan Benda Uji


Pembuatan benda uji merujuk standar SNI 03-2105-2006, benda uji untuk pengujian
kerapatan dan kadar air berukuran 100 mm x 100 mm. Ukuran benda uji kuat lentur 50 mm x
280 mm sebanyak 30 buah yang diambil dari satu lembar papan partikel berukuran 12 mm
x1220 mm x 2240 mm. Pengambilan benda uji kuat lentur pada arah lebar dan panjang
papan partikel (Gambar 3).

482
REKAYASA KAYU

Gambar 3. Pengambilan benda uji

METODE

Metoda penelitian yang digunakan adalah metoda eksperimental dengan melakukan


pengujian kuat lentur papan partikelmenggunakan alat metriguard stress wave timer dan
dilanjutkan dengan alat universal testing machine.

Pengujian Kuat Lentur


Pengujian modulus elastisitas papan partikel dilakukan dengan menggunakan dua
alat uji yaitu MSWT dan UTM. Pada saat pengujian yang pertama dilakukan adalah
pengujian modulus elastisitas dengan alat MSWT. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan
pengujian tersebut tidak merusak benda uji. Kemudian dilakukan pengujian kuat lentur
dengan alat UTM pada benda uji yang sama. Pengujian kuat lentur dengan alat UTM
dilakukan dengan cara pemberian beban secara perlahandi tengah bentang. Jarak sangga
yang digunakan 180 mm. Pembebanan diberikan sampai benda uji mengalami kerusakan
atau patah. Pada saat pengujian dilakukan pencatatan besaran beban dan defleksi yang
terjadi yang dapat dibaca pada monitor mesin UTM. Dengan demikian pada pengujian
dengan mesin UTM akan diperoleh besaran modulus elastisitas dan kuat lentur papan
partikel. Modulus elastisitas dihitung dengan rumus sebagai berikut:

BS 3
MOE (kg/cm2)
4 D LT 3

Keterangan:
B = beban proporsi (kg)
S = jarak sangga (cm)
D = defleksi (cm)
L = lebar contoh uji (cm)
T = tebal contoh uji (cm)

Kuat lentur papan partikel dihitung dengan rumus:

3 BS
MOR (kg/cm2)
2 LT 2

Keterangan:
B = beban maksimum (kg)
S = jarak sangga (cm)
L = lebar benda uji (cm)
T = tebal benda uji (cm)

Pengujian modulus elastisitas papan partikel menggunakan alat MSWT dilakukan


dengan cara menempatkan dua accelerometer yaitu accelerometer awal dan accelerometer

483
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

akhir pada jarak 180 mm. Pemberian beban atau pukulan dilakukan pada accelerometer
awal. Beban tersebut akan merambat hingga ke accelerometer akhir dan pada monitor
pembaca terlihat besaran angka yang menunjukkan waktu perambatan dalam satuan
microsecond. Modulus elastisitaspapan partikel dihitung dengan rumus:
V2 d
E (psi)
g

Keterangan:
E = modulus elastisitas (psi)
V = kecepatan (in/sec)
d = kerapatan (lb/in)
g = gravitasi (386 in/sec2)

Analisis Data
Pengolahan data terlebih dahulu dilakukan dengan mengkonversi hasil pengujian alat
metriguard stress wave timer kedalam satuan kg/cm2. Untuk mengetahui pengaruh ke dua
alat MSWT dan UTMterhadap modulus elastisitas papan partikel dilakukan dengan membuat
analisis ragam. Hubungan antara MOE UTM dengan MOE MSWT, MOE UTM dengan MOR
UTM dan MOE MSWT dengan MOR UTM dilakukan analisis regresi.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil pengujian kerapatan dan kadar air papan partikel sebagai berikut:

Tabel 1.Kerapatan dan kadar air

No Kerapatan Kadar Air


(g/cm3) (%)
1. 0,76 4
2. 0,63 4
3. 0,74 4
4. 0,71 4
5. 0,66 4
Rata-rata 0,70 4

Kerapatan papan partikel rata-rata sebesar 0,70 g/cm3, kerapatan ini telah memenuhi
persyaratan SNI yang menentukan sebesar 0,40 g/cm3 0,90 g/cm3. Kadar air papan
partikelrata-rata sebesar 4 %, hal ini memperlihatkan bahwa papan partikel yang akan diuji
memenuhi persyaratan standar yang menentukan tidak lebih dari 14 % dan sudah dalam
kondisi kering, sehinggapapan partikel ini dapat digunakan dalam pengujian selanjutnya.
Modulus elastisitas papan partikel hasil pengujian UTM dan metriguard stress wave
timer serta kuat lentur (MOR) papan partikel hasil pengujian UTM disajikan pada Tabel 2.
Modulus elastisitas hasil pengujian alat UTM lebih besar dari pada modulus
elastisitas hasil pengujian alat MSWT. Perbedaan ini terjadi karena kedua alat tersebut
mempunyai perbedaan prinsip bekerjanya beban. Pada alat UTM, beban yang bekerja
adalah beban statis. Sementara alat MSWT, beban yang bekerja adalah beban dinamis.
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa jenis alat yang digunakan dalam pengujian
modulus elastisitas yaitu UTM dan MSWT berpengaruh nyata terhadap modulus elastisitas
papan partikel. Hal inimenggambarkan adanya perbedaan hasil pengujian modulus
elastisitas bila menggunakan alat yang berbeda. Untuk mengetahui hubungan antara
modulus elastisitas (MOE) UTM dengan modulus elastisitas MSWT dilakukan analisis
regresi dengan hasil yang menunjukkan bahwa kedua MOE hasil pengujian tersebut
berhubungan erat. Hal ini terlihat dari nilai korelasi r sebesar 0,83 dengan persamaan regresi
MOE MSWT = 0,5811 MOE UTM + 5915 yang dapat dilihat pada Gambar 4.

484
REKAYASA KAYU

Tabel 2.Modulus elastisitas (kg/cm2) dan kuat lentur (kg/cm2)

No, MOE MOE MSWT MOR


UTM UTM
1, 17,219 16,424 104
2, 19,235 20,390 158
3, 22,861 17,081 157
4, 21,949 19,655 195
5, 25,209 19,655 191
6, 24,373 21,981 205
7, 16,442 13,465 126
8, 14,286 12,841 103
9, 16,216 14,750 126
10, 26,481 16,315 142
11, 18,001 15,245 151
12, 16,375 16,037 98
13, 19,478 17,596 165
14, 22,299 17,081 181
15, 22,700 19,689 187
16, 27,535 20,788 241
17, 26,403 23,231 199
18, 25,311 20,788 234
19, 19,146 18,394 173
20, 20,161 19,034 172
21, 20,737 19,367 197
22, 23,521 20,412 222
23, 21,484 19,689 192
24, 20,396 18,626 195
25, 13,005 12,841 110
26, 13,016 11,894 99
27, 14,143 13,828 113
28, 17,590 16,706 156
29, 15,550 15,503 136
30, 15,879 13,906 127

HUBUNGAN MOE UTM DENGAN MOE MSWT

25.000
y = 0,5811x + 5915
R2 = 0,6928
20.000
MOE MSWT

15.000

10.000

5.000

0
0 5.000 10.000 15.000 20.000 25.000 30.000
MOE UTM

Gambar 4.Hubungan MOE UTM dengan MOE MSWT

485
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Hasil analisis regresi antara MOE MSWT dengan MOR UTM memperlihatkan
terdapat hubungan yang erat dengan nilai korelasi r sebesar 0,871. Persamaan garisnya
adalah MOR UTM = 0,0121 MOE MSWT 49,273 dapat dilihat pada Gambar 5.

HUBUNGAN MOE MSWT DENGAN MOR UTM

300
250 y = 0,0121x - 49,273
MOR UTM
200 R2 = 0,7602
150
100
50
0
0 5.000 10.000 15.000 20.000 25.000
MOE MSWT

Gambar 5.Hubungan MOE MSWT dengan MOR UTM

Modulus elastisitas UTM mempunyai hubungan yang erat dengan MOR UTM, hal ini
dapat dilihat dari hasil analisis regresi dengan nilai korelasi sebesar 0,8522. Persamaan
regresinya MOR UTM = 0,0083 MOE UTM 1,9971 yang dapat dilihat pada gambar berikut:

HUBUNGAN MOE UTM DENGAN MOR UTM

300
250 y = 0,0083x - 1,9971
MOR UTM

200 R2 = 0,7263
150
100
50
0
0 10.000 20.000 30.000
MOE UTM

Gambar 6.Hubungan MOE UTM dengan MOR UTM

Dari hasil analisis regresi antara modulus elastisitas UTM dengan MOR UTM dan
antara modulus elastisitas MSWT dengan kuat lentur UTM, terlihat bahwa kedua alat yaitu
UTM dan MSWT dapat digunakan untuk pengujian modulus elastisitas papan partikel.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
1. Modulus elastisitas hasil pengujian UTM lebih besar daripada modulus elastisitas hasil
pengujian MSWT.
2. Modulus elastisitas hasil pengujian UTM berhubungan erat dengan modulus elastisitas
hasil pengujian MSWT.
3. Modulus elastisitas hasil pengujian UTM berhubungan erat dengan kuat lentur hasil
pengujian UTM.
4. Modulus elastisitas hasil pengujian MSWT berhubungan erat dengan kuat lentur hasil
pengujian UTM.

486
REKAYASA KAYU

Saran
Perlu dilakukan penelitian dengan menggunakan papan buatan lainnya untuk
mengetahui apakah sama hasilnya dengan pengujian papan partikel.

DAFTAR PUSTAKA

Aini, N. 2003 . Pengkajian Modulus Elastisitas Kayu Hasil Pengujian Mesin Metriguard
Stress Wave Timer dan Universal Testing Machine. Wawasan Tridharma No. 1 tahun
XVI. Kopertis Wilayah IV. Bandung.
Han G.; Qinglin Wu; and Xiping Wang. 2006. Stress-wave Velocity of Wood-based Panels:
Effect of Moisture, Product Type, and Material Direction.
www.mr.Isu.edu/wu/PDFFiles/Stress-wave.pdf.
SNI 03-2105-2006: Papan Partikel. Badan Standar Nasional. Indonesia.
Soares C.L et all. 2008. Evaluation of Stress Wave and Colorimetric Variable to Predict
Flexural Properties of Brazilian Tropical Woods.
www.ewpa.com/Archive/2008/june/Paper_093.pdf?PHPSESSID.
Sulistyawati,I; N.Nugroho; S.Surjokusumo; Y.S.Hadi. 2008. Kekuatan Lentur Glued
Laminated (Glulam) Kayu Vertikal dan Horizontal dengan Metode Transformed
Croos Section. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis 6(2):49-55.

487
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

PERANGKAT LUNAK UNTUK ANALISIS DAN


DESAIN BALOK LAMINASI

Yosafat Aji Pranata1, Bambang Suryoatmono2 dan


Johannes Adhijoso Tjondro2
1
Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Kristen Maranatha
2
Program Studi Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Katolik Parahyangan
1
e-mail: yosafat.ap@gmail.com

ABSTRAK

Perkembangan perangkat keras komputer yang sangat pesat dalam kurun lima tahun
terakhir ini, sangat menunjang berkembangnya penelitian dan pembuatan perangkat lunak
untuk kepentingan analisis dan desain suatu sistem struktur maupun elemen struktur.
Dengan didasari pemahaman mengenai bahasa pemrograman komputer, sangatlah mudah
mengembangkan perangkat lunak. Tujuan penelitian dalam penulisan ini adalah
mengembangkan perangkat lunak untuk keperluan analisis dan desain sistem balok
laminasi. Fitur yang dibahas adalah perilaku balok terhadap kekuatan dan kekakuan. Ruang
lingkup penelitian adalah balok laminasi tersusun oleh lamina-lamina kayu, baik secara
mekanik (balok laminasi-baut) maupun dengan perekat (glue-laminated atau glulam). Hasil
yang diperoleh adalah berupa perangkat lunak yang dapat dimanfaatkan untuk memprediksi
kuat lentur balok laminasi dan simulasi pembebanan dalam bentuk kurva hubungan beban-
lendutan balok.

Kata kunci: perangkat lunak, balok laminasi, kekuatan, kekakuan.

PENDAHULUAN

Keterbatasan produksi kayu utuh berdiameter besar dari hutan alam dapat diatasi
dengan adanya sistem laminasi. Pembuatan sistem laminasi memberikan manfaat yaitu
(antara lain) membentuk ukuran penampang dan panjang bentang sesuai kebutuhan.
Definisi sistem laminasi balok dalam penelitian ini, adalah suatu sistem struktur balok yang
disusun oleh lebih dari satu lamina kayu secara horisontal, disambung dengan alat sambung
mekanik baut (berfungsi sebagai transfer geser antar lamina) atau menggunakan perekat
(berfungsi menyatukan lamina-lamina kayu menjadi suatu penampang yang diasumsikan
utuh).
Tujuan penelitian dalam penulisan ini adalah mengembangkan perangkat lunak untuk
keperluan analisis dan desain sistem balok laminasi. Fitur yang dibahas adalah perilaku
balok terhadap kekuatan dan kekakuan. Ruang lingkup penelitian adalah balok laminasi
tersusun oleh lamina-lamina kayu, baik secara mekanik (balok laminasi-baut) maupun
dengan perekat (glue-laminated atau glulam).
Perangkat lunak dirancang sebagai alat bantu untuk perhitungan kekuatan dan
kekakuan balok laminasi. Fitur umum yang dapat digunakan yaitu meliputi:
1. Basis data (database) sifat fisik dan mekanis kayu Indonesia, sebagai data masukan
properti material kayu.
2. Basis data sifat mekanis baut beredar di pasaran Indonesia (digunakan untuk sistem
balok laminasi-baut).
3. Basis data ukuran penampang kayu Indonesia.
4. Perhitungan dan plot kurva hubungan beban-lendutan balok laminasi.

Balok glulam adalah balok yang tersusun oleh lamina-lamina kayu yang digabung
menggunakan bahan perekat lem (glue). Pada sistem balok laminasi lem dalam penulisan
penelitian ini, terdapat penyederhanaan (asumsi) bahwa berlaku kompatibilitas regangan

488
REKAYASA KAYU

antar lamina-lamina kayu, sehingga perhitungan distribusi tegangan pada penampang dapat
menggunakan asumsi sebagai balok utuh (solid) kondisi ideal [Bodig dan Jayne 1993].
Sebagai ilustrasi dapat dilihat pada Gambar 1.a.
Sedangkan balok laminasi-baut (bolt-laminated) adalah balok yang tersusun oleh
lamina-lamina kayu secara horisontal, digabung secara mekanik menggunakan baut dengan
spasi, jumlah lamina, ukuran lamina, jumlah baut, dan jumlah baris baut tertentu. Baut
berfungsi sebagai penghubung geser untuk mencegah gelincir horisontal antar lamina atau
menahan geser horisontal di antarmuka. Pada sistem balok laminasi-baut, telah dilakukan
penelitian secara eksperimental dan numerikal [Pranata et.al. 2010, Pranata et.al. 2011],
dimana penampang balok diasumsikan tidak menyatu (sebagai ilustrasi dapat dilihat pada
Gambar 1.b.), sehingga terdapat beberapa parameter yang telah dipelajari sebelumnya,
yaitu rasio kuat lentur dan rasio rigiditas lentur. Yang dimaksud rasio dalam hal ini adalah
rasio antara balok laminasi terhadap model terhadap model balok yang diasumsikan
berbentuk penampang utuh.

(i). Penampang.(ii). Tegangan lentur.


(a). Lamina-lamina dianggap menyatu [Bodig dan Jayne 1993].

(i). Penampang. (ii). Tegangan lentur.


(b). Lamina dianggap terpisah (interaksi parsial antar lamina) [Kamiya 1985].
Gambar 1. Sistem balok laminasi (3 lamina) dengan properti kayu sejenis.

BAHAN DAN METODE

Borland DELPHI adalah bahasa pemrograman untuk sistem operasi Microsoft


Windows, dengan basis bahasa pascal. Varian untuk sistem operasi lain, sebagai contoh
Linux adalah Borland Kylx. Versi pertama bahasa pemrograman DELPHI dirilis tahun 1995,
dan sejalan dengan perkembangan sistem operasi Windows, dikembangkan pula paradigma
Rapid Application Development kedalam system operasi Windows. Versi pertama sampai
dengan ketujuh selalu menggunakan teknologi kompiler dengan optimasi native-code,
eksekusi yang cepat, ukuran binary kecil, dan kemampuan untuk mengkompilasi program
kedalam suatu standalone file yang dapat dijalankan secara mandiri, sehingga hasil dari
pembuatan suatu program menjadi lebih fleksibel [BSC 2002].
Untuk membuat suatu perangkat lunak, diperlukan diagram bagan alir (flowchart),
yang manadibuat dengan simbol-simbol tertentu dan standar (yang telah disepakati
bersama), untuk menunjukkan suatu proses perhitungan, kode mulai atau berhenti,
pengambilan keputusan, atau batas proses (loop-limit). Diagram bagan alir dibuat sebagai

489
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

alur proses suatu pekerjaan, apabila detail langkah-langkah atau tahap demi tahap secara
baik telah dikuasai sebelumnya, sehingga pemahaman terhadap dasar teori tetap
memegang peranan utama, agar hasil yang diperoleh dapat dikaterogikan benar dan tepat
sesuai yang diharapkan. Dengan membuat bagan alir, secara tidak langsung pemrogram
memahami suatu proses dan prinsip kerja dari program tersebut.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Diagram bagan alir (garis besar) tahapan pembuatan perangkat lunak analisis dan
desain balok kayu laminasi-baut selengkapnya ditampilkan pada Gambar 2.

Gambar 2. Diagram bagan alir perancangan perangkat lunak.

Tampilan fitur basis data dan perhitungan selengkapnya ditampilkan pada Gambar
3, Gambar 4, Gambar 5, Gambar 6, Gambar 7, Gambar 8, Gambar 9, dan Gambar 10.
1. Fitur utama yaitu file, define, analysis, design, view, dan help (Gambar 3).
2. Fitur define material berupa database sifat mekanis kayu. Tersedia fasilitas simpan,
tambah (add), modifikasi (modify), dan hapus (remove) data (Gambar 4).
3. Fitur define section berupa input database ukuran penampang kayu dan properti material
yang digunakan (Gambar 5).
4. Fitur laminated system berisi model sistem lamina yang digunakan. Dalam penelitian
Disertasi ini, ruang lingkup dibatas sistem laminasi secara horisontal. Perangkat lunak ini
mampu mengakomodasi properti mekanis masing-masing lamina yang berbeda-beda
(Gambar 6). Fitur laminated system berisi pula data masukan jenis dan ukuran baut yang
digunakan.
5. Fitur selanjutnya yaitu define load type berisi model beban yang bekerja pada balok
(Gambar 7).
6. Fitur beam modeler and anlysis berisi model tumpuan yang digunakan, input beban
rencana, panjang bentang balok, hasil perhitungan gaya-gaya dalam, hasil analisis

490
REKAYASA KAYU

tegaangan norm mal penam mpang, dan n hasil an nalisis kurvva hubunga an beban-llendutan
(Gambar 8).
7. Fitur 2D norma al stress berisi hasil analisis
a teg
gangan norrmal penam mpang (Gam mbar 9).
Hassil berupa plot
p diagra
am teganga an normal disertai tabel nilai te egangan paada tiap
tinja
auan ketingg
gian y.
8. Fitur perhitungan kurva a beban-le endutan ba alok laminasi-baut m menampilka
an hasil
perhhitungan kurva hubung d lendutan balok (Ga
gan beban dan ambar 10).

Fitur File berisi fasilitas buka data


d baru dan
d lama, simpan
s datta, dan ceta
ak. Fitur
Define berisi
b fasilittas input da
ata material, penampang, sistem laminasi ya
ang digunakkan, tipe
beban, pemodelan n balok, da an input daata konektoor yang dig
gunakan. Fitur Analys
sis berisi
fasilitas hasil plo ot tegangan n dan kurrva beban--lendutan. Fitur Desiign berisi fasilitas
perenca anaan balokk laminasi-b baut.

Ga
ambar 3. Ta
ampilan perrangkat luna
ak.

I
Input prope
erti material (sifat meka
anis kayu) dapat
d dilaku
ukan melalu ui dua piliha
an, yaitu
pilihan pertama be erupa inputt data prope erti secara langsung, pilihan ked dua adalah prediksi
nilai sifa
at mekanis kayu berda asarkan koreelasi terhaddap SG. Kemmudian input data pen nampang
yaitu da ata dimensi dan ukuran n penampan nis kayu yang digunakan.
ng, serta jen
T
Tipe laminaasi yang diipelajari dalam penelittian Diserta ah laminasi secara
asi ini adala
horisonttal. Terdap pat fasilitas menentuka an pilihan dimensi da an ukuran p penampang g lamina
serta jenis kayu ya ang digunakkan untuk tiaap lamina kayu
k penyussun balok la
aminasi.

491
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

G
Gambar 4. Fitur
F basis data
d materia
al

Gambar 5.
5 Fitur basiis data pena
ampang lam
mina kayu.

492
REKAYASA KAYU

G
Gambar 6. Fitur lamina
ated system
m.

T
Tipe beban
n yang terssedia untukk analisis adalah cen nter point lloading, thiird point
loading,, beban merata, maupuun kombinaasi dari lebih
h dari satu tipe
t beban.

Gambarr 7. Fitur tipe beban.

P
Pemodelan n tumpuan yang
y ajari dalam penelitian Disertasi in
dipela ni adalah iddealisasi
model tumpuan
t se
endi-rol (ba
alok sederha
ana). Fasiliitas yang te
ersedia padda perangk kat lunak
adalah input bebann dan panja
ang bentangg balok. Selanjutnya kaalkulasi rea
aksi-reaksi tumpuan
t
dan gayya dalam diilakukan se
ecara otomaatis. Untuk memudahk
m an user ma aka ditampillkan plot
gambarr dan besaraan gaya dalam.

493
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Gambar 8. Fitur bea


am model.

Gambar 9. Fitur teganga


an normal 2D.
2

F
Fasilitas deesign merup pakan fasiliitas perencanaan balo
ok laminasi--baut. Hasil berupa
data preediksi nilai rasio kuat lentur, rasio
o modulus penampang g elastik, ra
asio rigidita
as lentur,
dan kurrva beban-le endutan ballok laminasi.

494
REKAYASA KAYU

Gambar 10. Fitur perhitungan kurva beban-lendutan balok laminasi-baut.

Gambar 11 memperlihatkan contoh hasil perhitungan kurva hubungan beban-


lendutan balok, dengan studi kasus balok laminasi-baut, bentang bersih balok 3 meter,
jumlah lamina 4, ukuran masing-masing lamina 110x50 mm, dengan jumlah baris baut 2
baris dan jarak antar baut 100 mm. Sebagai verifikasi digunakan data hasil pengujian
eksperimental [Pranata et.al. 2011b].

Gambar 11. Balok laminasi-baut kayu Akasia Mangium.

KESIMPULAN

Hasil yang diperoleh adalah berupa perangkat lunak mandiri (stand-alone) yang
dapat dimanfaatkan untuk memprediksi kuat lentur balok laminasi dan simulasi pembebanan
dalam bentuk kurva hubungan beban-lendutan balok. Selain itu, fasilitas basis data
(database) sifat fisik dan mekanis kayu bermanfaat sebagai sumber literatur properti kayu
Indonesia.

495
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

DAFTAR PUSTAKA

Bodig, J., Jayne, B.A,1993, Mechanics of Wood and Wood Composites, page 335-393,
Krieger Publishing Company, Malabar, Florida, USA.
Borland Software Corporation. 2002. Borland DELPHI version 7 User Guide, Borland
Software Corporation.
Kamiya, F. 1985. Analytical Studies on The Nonlinear Bending Behavior of Nailed Layered
Components: Part I. Nailed Layered Beams, Journal of Wood and Fiber Science,
Volume 17 No 1 page 117-131, 1985.
Pranata, Y.A., Suryoatmono, B., Tjondro, J.A. 2010. Flexural Behavior of Bolt-Laminated
Beams: Experimental and Numerical Analyses, The 2nd. International Symposium of
IwoRS, Bali, Indonesia, November 12-13, 2010.
Pranata, Y.A., Suryoatmono, B., Tjondro, J.A. 2011a. The Flexural Rigidity Ratio of
Indonesian Timber Bolt-Laminated Beam, The 3rd. International Conference EACEF,
Yogyakarta, Indonesia, September 20-22, 2011.
Pranata, Y.A., Suryoatmono, B., Tjondro, J.A. 2011b. Perilaku Lentur Balok Laminasi-Baut
Kayu Indonesia, Disertasi (tidak dipublikasikan), Program Doktor Ilmu Teknik Sipil,
Program Pascasarjana, Universitas Katolik Parahyangan, Bandung.

496
REKAYASA KAYU

PENINGKATAN RENDEMEN BAMBU PETUNG SEBAGAI BAHAN


BAKU PEMBUATAN BAMBU LAMINASI DENGAN BILAH PERSEGI

Dedi Kusmawan dan Rusli


Balai Pengembangan Teknologi Perumahan Tradisional Denpasar
Kompleks PU Werdhapura, Jl. Danau Tamblingan No 49 Sanur, Denpasar
dedi.kusmawan@gmail.com; rsldps@yahoo.com

ABSTRAK

Bambu termasuk kedalam jenis tanaman hasil hutan bukan kayu (HHBK) yang dapat
dimanfaatkan oleh masyarakat berbagai keperluan dan kegunaannya[4]. Salah satunya jenis
bambu petung (Dendrocalamus Asper) merupakan bahan baku utama dalam pembuatan
bambu laminasi dengan persentase sekitar 54,11 % dalam pembuatan balok dan 51,90 %
pembuatan parquet. Ini menunjukan bahwa harga bambu berpengaruh besar terhadap harga
pokok produksi dan harga jual bambu laminasi. Permasalahannya adalah dalam pembuatan
bambu laminasi terdapat kelemahan yaitu pemanfaatan bambu masih relatif rendah.
Sehingga menyebabkan masih belum optimalnya pemanfaatan bambu sebagai bahan baku
dalam pembuatan bambu laminasi.
Metode yang digunakan yaitu dengan melakukan eksperimen pada proses
pengolahan bambu sebagai bahan baku pembuatan bambu laminasi. Adapun langkah-
langkah dalam peningkatan rendemen bambu, yaitu: (1) Menentukan segmen bambu; (2)
Teknik pembilahan bambu; (3) Mengukur rendemen bambu.
Hasil Penelitian yaitu (1) Dengan pembagian segmen 100 cm pada bagian pangkal,
400 cm pada bagian tengah 1, tengah 2 dan ujung terdapat selisih tebal yaitu pada segmen
pangkal = 0,7 cm; tengah 1 = 0,50 cm; tengah 2 = 0,22 cm; ujung = 0,09 cm. (2) Pembilahan
dilakukan dengan cara pembagian ukuran lebar bilah berdasarkan diameter bambu dari 6
s.d 20 cm, agar diperoleh ketebalan yang optimum. (3) Selisih berat setelah proses
penyerutan pada segmen pangkal = 132,11 gr; tengah 1 = 256,21 gr; tengah 2 = 301,90 gr;
ujung = 302,03 gr. Dengan nilai rendemen pada setiap segmen pangkal = 52,18%; tengah 1
= 63,10%; tengah 2 = 52,23%; ujung = 51,49%. Berdasarkan nilai rendemen tersebut bahwa
pemanfaatan masih rendah sebagai bahan baku pembuatan bambu laminasi dengan tipe
bilah persegi.

Kata kunci: Bambu Petung, Rendemen

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Bambu termasuk kedalam jenis tanaman hasil hutan bukan kayu (HHBK) yang dapat
dimanfaatkan oleh masyarakat berbagai keperluan dan kegunaannya. Bambu merupakan
jenis tanaman yang memiliki karakteristik seperti kayu yaitu batang keras, kuat dan lentur.
Dengan penggunaan teknologi, bambu ini dapat dijadikan sebagai alternatif pengganti kayu
sehingga diharapkan dapat mengurangi penebangan hutan[4].
Salah satu jenis bambu yang digunakan sebagai alternatif pengganti kayu adalah
petung (Dendrocalamus Asper) merupakan bahan baku utama dalam pembuatan bambu
laminasidengan persentase sekitar 54,11 % dalam pembuatan balok dan 51,90 %
pembuatan parquet. Ini menunjukan bahwa harga bambu berpengaruh besar terhadap harga
pokok produksi dan harga jual bambu laminasi.Dalam pembuatan bambu laminasi terdapat
kelemahan yaitu pemanfaatan bambu masih relatif rendah. Sehingga menyebabkan masih
belum optimalnya pemanfaatan bambu sebagai bahan baku dalam pembuatan bambu
laminasi.
Oleh karena itu diperlukan teknik atau sistem produksi dalam mengolah bahan baku,
sehingga dapat meningkatkan rendemen bambu.

497
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Permasalahan
Belum optimalnya yaitupemanfaatan bambu maka, permasalahan yang diangkat antara lain:
1. Bagaimanakah teknik pembagian segmen untuk mengoptimalkan tebal bilah bambu?
2. Bagaimanakah teknik pembilahan untuk mengoptimalkanlebar bilah bambu?
3. Bagaimanakah pengukuran rendemen bambu sebagai bahan bakupembuatan bambu
laminasi?

Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Mengetahui tebal optimum bambu.
2. Mengetahui lebar optimum bilah bambu.
3. Mengetahui nilai rendemen bambu dalam pembuatan bambu laminasi.

Ruang Lingkup
Ruang lingkup dari penelitian ini adalah:
1. Menentukan segmen bambu sebagai bahan baku.
2. Teknik pembilahan yang ditentukan berdasarkan diameter bambu.
3. Mengukur rendemen bambu berdasarkan segmen bambu.

BAHAN DAN METODE

Bahan
Bambu yang digunakan adalah bambu petung (Dendrocalamus Asper) dengan 3
(tiga) variasi ukuran besar (diameter 16,33 cm), sedang (diameter 13,38 cm) dan kecil
(diameter 10,93 cm).

Metode
Metode yang digunakan yaitu dengan melakukan eksperimen pada proses
pengolahan bambu sebagai bahan baku pembuatan bambu laminasi. Adapun langkah-
langkah dalam peningkatan rendemen bambu, yaitu:
1. Menentukan segmen
Penentuan segmen dilakukan untuk mengetahui tebal bambu agar dapat diketahui nilai
selisih tebal antara bagian pangkal dengan ujung pada setiap segmen. Dari nilai selisih
tebal bambu tersebut dapat dijadikan dasar untuk penentuan segmen dalam
meningkatkan rendemen. Dilakukan pembagian segmen agar dapat meningkatkan
rendemen bambu, karena bambu memiliki karakteristik bahwa semakin ujung semakin
tipis. Teknik pemotongan dibagi atas 4 (empat) Bagian yaitu pangkal panjang 100 cm,
tengah 1 panjang 400 cm, tengah 2 panjang 400 cm, ujung panjang 400 cm seperti yang
dijelaskan pada gambar 1

100 cm 400 cm 400 cm 400 cm


Pangkal Tengah 1 Tengah 2 Ujung

Gambar 1. Segmen batang bambu

Kemudian dilakukan pengukuran untuk mengetahui nilai selisih tebal bambu di 4 (empat)
titik menggunakan jangka sorong seperti yang dijelaskan pada gambar 2.

498
REKAYASA KAYU

Gam
mbar 2. Titikk pengukura
an tebal bam
mboo

2. Teknnik pembilah
han bambu
Pembilahan dila dasarkan ukuran diam
akukan berd meter bambuu dengan m menggunakan hand
saw, kemudian dilakukan pengelomp pokan berdasarkan ukkuran bilah yang sesu
uai/sama
untukk mempermmudah prosees laminasi.

Ga eknik pembilahan berda


ambar 3. Te asarkan dia
ameter bamboo

3. Meng gukur rende


emen bamb bu
B
Bilah bamb
bu yang telaah dilakukan n proses peengawetan kemudian d dikeringkan dengan
cara dijemur saampai kada ar air < 15 5%. Kemudian dilakukkan pengukkuran sebellum dan
setellah penyeru
utan bilah berdasarka
b n berat bila
ah dalam setiap
s men bambu dengan
segm
meng ggunakan timbangan digital, se ehingga dip peroleh selisih untuk memperolleh nilai
rendemen bamb bu seperti yang
y dijelaskan pada gambar 4 daan 5.

Ga
ambar 4. Pe
enimbangan
n bilah Ga
ambar 5. Pe
enyerutan B
Bilah

Setelah dilakukan
d p
pengukuran
n kemudian
n dilakukan
n pengolah
han data sehingga
s
dikettahui persen
ntase rende
emen denga
an persama
aaan:

499
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dalam pembuatan bambu laminasi terdiri dari beberapa tahapan, yaitu:


1. Pemilihan bahan
Pemilihan bahan dilakukan sebagai tahap persiapkan untuk menentukan kebutuhan
bahan baku, terutama bambu dalam menentukan segmen agar diperoleh tebal yang
optimal.
2. Pembelahan
Melakukan pembelahan menjadi 2 (dua) bagian untuk mempermudah proses
pembilahan dengan menggunakan table saw.
3. Pembilahan
Setelah dibelah kemudian dilakukan pembilahan sesuai ukuran diameter dengan
menggunakan table saw, sehingga diperoleh ukuran lebar bilah yang bervariasi
kemudian dilakukan pengelompokan berdasarkan lebar bilah yang sama.
4. Pembersihan buku
Dilakukan untuk membersihkan tonjolan-tonjolan pada bagian buku
5. Pengawetan
Pengawetan dilakukan dengan cara perendaman menggunakan borak dengan
konsentrasi 2,5% bertujuan untuk menghindari organisma perusak[3].
6. Pengeringan
Pengeringan dilakukan dengan cara penjemuran oleh matahari atau pengasapan
dalam oven sampai kadar air < 15%[2].
7. Penyerutan
Penyerutan dilakukan agar memperoleh permukaan yang rata pada bilah bambu
dengan menggunakan mesin planner.
8. Proses laminasi Tahap I
a. Pelaburan
Pelaburan menggunakan kuas pada permukaan bilah-bilah yang akan dilabur
dengan komposisi 225 gr/m2 dengan perbandingan crosslinker/hardener sebesar
10%[1&2].
b. Pengempaan
Tumpukan bilah-bilah ke arah vertikal kemudian ditekanan sebesar 2 Mpa
diamkan + 2 jam (Ketentuan dalam penggunaan perekat polymer)[1&2].
c. Perataan sisi
Dilakukan dengan menggunakan mesin planner agar diperoleh bagian sisi balok
yang rata.
9. Proses laminasi Tahap II
a. Pelaburan
Laburkan pada sisi balok yang rata dengan komposisi perekat sesuai pada
proses laminasi tahap I
b. Pengempaan
Tumpukan balok-balok kearah vertikal kemudian beri tekanan sesuai pada proses
laminasi tahap I
10. Penyelesaian Akhir

Dilakukan proses perataan dan pengamplasan agar diperoleh permukaan yang rata.
Adapun langkah-langkah untuk meningkatkan rendemen bambu sebagai bahan baku
pembuatan bambu laminasi, antara lain:

500
REKAYASA KAYU

Menentukan Segmen Bambu


Dari pembagian segmen diperoleh selisih tebal seperti yang dijelaskan pada gambar 6.

3.00

2.50

2.00
Pangkal
Tebal (cm)

1.50 Ujung

1.00

0.50

0.00
Pangkal Segmen
Tengah 1 bambu
Tengah 2 Ujung

Gambar 6. Grafik selisih tebal bambu berdasarkan segmen bambu

Pada gambar 3 menunjukan bahwa dari ke 3 (tiga) variasi ukuran bambu (besar,
sedang, kecil) berdasarkan pembagian segmen dari pangkal sampai ujung memiliki
selisih.Dibagian segmen pangkal selisih tebal sebesar 0,70 cm dengan tebal rata-rata
pangkalnya (bagian bawah ujung) sebesar 2,26 cm dengan nilai simpangan baku sebesar
0,21 dan bagian ujungnya (bagian atas ujung) sebesar 1,55 cm dengan nilai simpangan
baku sebesar 0,44. Dibagian segmen tengah 1 selisih tebal sebesar 0,50 cm dengan tebal
rata-rata pangkalnya 1,51 cm dengan nilai simpangan baku sebesar 0,32 dan bagian
ujungnya sebesar 1,01 cm dengan nilai simpangan baku sebesar 0,15. Dibagian segmen
tengah 2 selisih tebal sebesar 0,22 cm dengan tebal rata-rata pangkalnya 1,03 cm dengan
nilai simpangan baku sebesar 0,11 dan bagian ujungnya sebesar 0,81 cm dengan nilai
simpangan baku sebesar 0,30. Dibagian segmen ujung selisih tebal sebesar 0,09 cm
dengan tebal rata-rata pangkalnya 0,92 cm dengan nilai simpangan baku sebesar 0,13 dan
bagian ujungnya sebesar 0,83 cm dengan nilai simpangan baku sebesar 0,09.

Teknik Pembilahan
Pembilahan dilakukan berdasarkan diameter bambu dengan tujuan untuk
mengoptimalkan pemanfaatan bambu seperti yang dijelaskan pada gambar 4.
Seperti yang dijelaskan pada tabel di atas bahwa ukuran diameter bambu dari pangkal
sampai ujung memiliki ukuran yang berbeda. Untuk itu dilakukan pengkelasan (interval)
dengan ukuran diameter bambu 6 s.d 20 cm dengan selisih tiap diameter sebesar 5 mm,
kemudian dilakukan pengelompokan berdasarkan ukuran lebar bilah yang sama, sehingga
diperoleh ketebalan bilah optimum.

Mengukur Rendemen Bambu


Teknik menghitung rendemen dilakukan dengan cara mengukur berat bilah-bilah
pada setiap segmen, sehingga dapat diperoleh persentase rendemen. Adapun hasil
pengukuran seperti yang dijelaskan pada gambar 7.

501
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Tabel 1.Interval ukuran lebar bilah


Interval Lebar bilah (cm)
19,7-20,0 3,9
19,2-19,6 3,8
18,6-19,1 3,7
18,1-18,5 3,6
17,6-18,0 3,5
17,1-17,5 3,4
16,6-17,0 3,3
16,1-16,5 3,2
15,6-16,0 3,1
15,1-15,5 3,0
14,6-15,0 2,9
14,1-14,5 2,8
13,6-14,0 2,7
13,0-13,5 2,6
12,5-12,9 2,5
12,0-12,4 2,4
11,5-11,9 2,3
11,0-11,4 2,2
10,5-10,9 2,1
10,0-10,4 2,0
9,5-9,9 1,9
9,0-9,4 1,8
8,5-8,9 1,7
7,9-8,4 1,6
7,4-7,8 1,5
6,9-7,3 1,4
6,4-6,8 1,3
6,0-6,3 1,2

900.00
800.00
700.00
600.00
Berat (gr)

500.00
400.00
Sebelum diserut
300.00
200.00 Sesudah diserut
100.00
0.00
Pangkal Tengah 1 Tengah 2 Ujung
Segmen bambu

Gambar 7. Grafik selisih berat bambu berdasarkan segmen

Menunjukan bahwa adanya perbedaan berat rata-rata setelah proses penyerutan dari
berat awal sebesar 276,30 gr menjadi 144,19 gr dengan selisih 132,11 gr pada segmen
pangkal. Pada segmen tengah 1 diperoleh selisih berat sebesar 256,21 gr dari berat awal
sebesar 694,37 gr menjadi 438,15 gr. Pada segmen tengah 2 diperoleh berat selisih sebesar
301,90 gr dari berat awal sebesar 645,50 gr menjadi 343,60 gr. Sedangkan pada segmen
ujung diperoleh selisih sebesar 302,03 gr dari berat awal sebesar 622,56 gr menjadi 320,53
gr. Maka, dari selisih tersebut diperoleh nilai rendemen bambu berdasarkan segmen seperti
yang dijelaskan pada gambar 8.

502
REKAYASA KAYU

70.00

60.00 63.10

50.00 53.23
52.18 51.49
Rendemen (%)

40.00

30.00

20.00

10.00

0.00
Pangkal Tengah 1 Tengah 2 Ujung
Segmen bambu

Gambar 8. grafik rendemen bambu berdasarkan segmen

Gambar 6 menunjukan bahwa nilai rendemen pada segmen pangkal sebesar


52,18%, tengah 1 sebesar 63,10%, tengah 2 sebesar 53,23% dan ujung sebesar 51,49%.

KESIMPULAN

Dari penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut:


1. Pada segmen pangkal dengan panjang 100 cm memiliki selisih tebal yang ekstrim
dibandingkan pada segmen tengah 1, tengah 2, dan ujung dengan panjang 400 cm. Oleh
karena itu dengan pembagian segmen ini dapat meningkatkan rendemen pada segmen
tengah 1 sebagai bahan baku pembuatan bambu laminasi.
2. Pembilahan dilakukan dengan cara pembagian ukuran lebar bilah berdasarkan diameter
bambu dari 6 s.d 20 cm, agar diperoleh ketebalan yang optimum.
3. Selisih berat setelah proses penyerutan pada segmen pangkal = 132,11 gr; tengah 1 =
256,21 gr; tengah 2 = 301,90 gr; ujung = 302,03 gr. Dengan nilai rendemen pada setiap
segmen pangkal = 52,18%; tengah 1 = 63,10%; tengah 2 = 52,23%; ujung = 51,49%.
Berdasarkan nilai rendemen tersebut bahwa pemanfaatan masih rendah sebagai bahan
baku pembuatan bambu laminasi dengan tipe bilah persegi.

DAFTAR PUSTAKA

BPTPT DPS, 2008, Laporan akhir peningkatan kualitas dan pemanfaatan bahan bangunan
lokal guna menunjang pelestarian arsitektur tradisional, Denpasar.
BPTPT DPS, 2009, Laporan akhir peningkatan kualitas dan pemanfaatan bahan bangunan
lokal guna menunjang pelestarian arsitektur tradisional, Denpasar.
BPTPT DPS, 2010, Laporan akhir peningkatan kualitas dan pemanfaatan bahan bangunan
lokal guna menunjang pelestarian bangunan tradisional, Denpasar.
BP DAS Unda Anyar, 2007, Penyebarluasan informasi pengembangan tanaman dan usaha
bambu, Denpasar

503
BIDANG E
PENGOLAHAN
HASIL HUTAN
PENGOLAHAN HASIL HUTAN

PENCEGAHAN SERANGAN BUBUK KAYU KERING


(Heterobostrychus aequalias Wat.) PADA KAYU KARET DENGAN
BAHAN PENGAWET SIPEMETRIN DAN BIFENTRIN

Jasni dan Ginuk Sumarni


Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan
Pengolahan Hasil Hutan, Bogor
Jl.Gunung Batu. No.5 Bogor, Jawa Barat
Jasni_m@yahoo.com

ABSTRAK

Bahan pengawet sipemetrin dan bifentrin yang merupakan pestisida untuk


meningkatkan keawetan kayu terhadap organisme perusak. Salah satu organisme yang
banyak merusak kayu adalah bubuk kayu kering. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
efikasi sipermetrin 100 g/l dan bifentrin 25 g/l sebagai bahan pengawet kayu terhadap
serangan bubuk kayu kering Heterobostrychus aequalias Wat pada kayu karet. Kayu yang
digunakan sebagai contoh uji adalah kayu karet dengan ukuran 7,5 cm x 5 cm x 1,5 cm.
Kemudian kayu ini diawetkan dengan larutan sipermetri maupun bifentrin dengan
konsentrasi 6,25 ml/l; 12,50 ml/l; 18,75 ml/l; 25 m/l dan kontrol dengan metode penguasan
pada seluruh permukaan kayu uji sebanyak 250 ml/m2. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa pemberian bahan pengawet sipermetrin maupun bifentrin dengan konsenrasi 6,25
ml/l sudah cukup efektif menahan serangan bubuk kayu kering pada kayu karet dengan
mortalitas 100 %.

Kata kunci: Bubuk kayu kering, kayu karet, sipermetrin 100 g/l, bifentrin 25 g/l

PENDAHULUAN

Heterobostrychus aequalis adalah serangga hama perusak kayu yang termasuk


famili Bostrychydae. Di Indonesia jenis ini termasuk ke dalam kelompok bubuk kayu kering.
Jenis bubuk ini merupakan jenis bubuk yang paling besar ukuranya. Martawijaya (1996),
mengatakan bahwa di Indonesia terdapat jenis bubuk Heterobostrychus, Minthea, Lyctus
dan Dinoderus, dan yang paling banyak ditemukan dan merusak kayu adalah
Heterobostrychus, sedangkan Dinoderus menyerang bambu dan rotan dan Dinoderus
dikenal juga dengan bamboo powder post beetle.
Menurut Sumarni (1983) Heterobostrychus aequalis mempunyai 4 stadia adapun
stadia yang paling merusak pada waktu berbentuk larva yang lamanya kira-kira 3 bulan.
Pengaruh lingkungan yang mempengaruhi hidupnya yaitu temperatur dan kelembaban
udara. Menurut Sumarni dan Jasni (1988) temperatur 250C 320C dan kelembaban kira-kira
70 % merupakan faktor yang cocok untuk hidupnya.
Zat pati merupakan makanan utamanya bubuk. Adapun jenis kayu yang menjadi
sasaran adalah yang mempunyai kandungan pati lebih tinggi dari 3 %. Menurut Anonymus
(1961) serangga betina untuk meletakkan telur pada kayu yang mempunyai kandungan pati
di bawah 3 %.
Di samping kandungan pati, ukuran pori kayu juga sangat menentukan syarat untuk
tempat hidupnya. Biasanya jenis kayu yang mempunyai ukuran pori besar dipilih oleh
serangga betina untuk meletakkan telur. Jenis kayu yang mempunyai ukuran pori besar dan
kandungan pati yang tinggi dalam jangka waktu satu bulan setelah kering hancur
diserangnya.
Martawijaya dan Barly (2010), menyatakan bubu kayu kerin lazim menyerang kayu
mempunyai kandungan pati tinggi seperti kayu karet (Hevea brasilliensis) dan kayu kemiri

505
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

(Aleurites molucana). Untuk itu dilakukan pengujian ketahanan kayu karet terhadap bubuk
Heterobostrychus aequalis dengan menggunakan bahan pengawet sipemetrin dan bifentrin.

BAHAN DAN METODE

Pengujian dilakukan secara laboratorium di Laboratorium Entomologi Pusat


Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Dalam pengujian ini dipakai kayu karet (Hevea brasiliensis) kering udara sebagai
kayu uji dengan ukuran 75 mm x 50 mm x 15 mm dengan ulangan sebanyak 5 (lima) buah.
Kemudian kayu diawetkan dengan larutan bahan pengawet sipemetrin dan bifentrin pada
konsentrasi 6,25 ml/lt; 12,50 ml/lt; 18,75 ml/lt; 25 ml/lt dan kontrol dengan metode
penguasan pada seluruh permukaan kayu uji sebanyak 250 ml/m2. Kayu uji yang telah
diawetkan selanjutnya diangin-anginkan pada suhu kamar selama 15 hari sampai menjadi
kering udara kembali.
Pada salah satu sisi yang terlebar pada masing-masing contoh uji ditempatkan
lempengan alumunium yang berlubang 10 buah. Lubang tersebut mempunyai diameter 2
mm dengan kedalaman 10 mm. Dalam setiap lubang dimasukkan seekor larva bubuk kayu
kering yang sehat dan aktif berumur kurang lebih satu bulan. Kemudian contoh uji tersebut
disimpan ditempat gelap selama 1,5 bulan.

Lepengan alumenium

Kayu sampel

Gambar 1. Cara pengujian bubuk kayu kering

Pada waktu pengamatan dihitung persentase mortalitas larva dan derajat serangan
contoh uji. Untuk menentukan derajat proteksi dilakukan penilaian dengan skala sebagai
berikut.

Derajat serangan atau derajat kerusakan bubuk kayu kering

Nilai Kondisi Contoh Uji


0 Utuh, tidak ada serangan
40 Ada bekas gigitan
70 Serangan ringan, berupa saluransaluran yang
tidakdalam dan tidak lebar
90 Serangan berat, berupa saluran yang dalam dan
lebar
100 Kayu hancur, kurang lebih 50 % kayu habis dimakan
rayap

506
PENGOLAHAN HASIL HUTAN

Untuk mengetahui pengaruh bahan pengawet terhadap derajat proteksi kayu


dilakukan analisa secara statistik non parametrik (uji Kruskal-Wallis). Sedangkan data
mortalitas dianalisa dengan menggunakan uji beda t-Dunnet. Efikasi bahan pengawet kayu
didasarkan pada batas racun, yaitu dosis/konsentrasi tertinggi dimana masih terdapat
serangan bubuk kayu kering dan dosis/konsentrasi terendah dimana tidak terdapat serangan
pada kayu uji. Pengujian dianggap berhasil apabila nilai rata-rata mortalitas larva pada
contoh uji kontrol tidak lebih 25 % dengan nilai rata-rata derajat proteksi 40 atau kurang.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil pengamatan yang berupa nilai rata-rata persentase mortalitas serangga dan
derajat proteksi kayu uji yang diawetkan dengan berbagai konsentrasi dapat dilihat pada
Tabel 1.

Tabel 1. Hasil pengujian terhadap bubuk kayu kering (Heterobostrychus aequalis).

Perlakuan Retensi Mortalitas Derajat


(ml/lt) (kg/m3) (%) Proteksi
A B A B A B A B
Kontrol Kontrol - - 22 22 40 40
6,25 6,25 0,13 0,13 100 100 0 0
12,50 12,50 0,25 0,25 100 100 0 0
18,75 18,75 0,41 0,41 100 100 0 0
25,00 25,00 0,60 0,60 100 100 0 0

Keterangan: A = Sipemetrin B = Permetrin

Berdasarkan hasil pengujian, ternyata retensi sipemetrin maupun pemetrin adalah


0,13 kg/m3, dengan demikian retensi atau jumlah bahan pengawet sedikit sekali terdapat
dalam kayu. Pelaburan dapat dilakukan terhadap barang yang sudah jadi sebelum barang
tersebut diberi finishing. Cara ini merupakan cara yang paling sederhana dan mudah
dilakukan. Cara pelaburan, karena hanya sedikit bahan pengawet yang masuk ke dalam
kayu dan tidak dalam, sehingga untuk mendapatkan hasil yang baik pelaburan perlu diulang
secara priodik dengan tenggang waktu 1 3 tahun tergantung dari efectifitas bahan
pengawet yang dipakai. Martawijaya (1983) menyatakan, proses pelaburan sangat
sederhana, namun kesederhanaan itu tidak dapat diharapkan untuk memberi hasil yang
baik, karena pada umumnya proses ini hanya menghasilkan penetrasi yang rendah kedalam
kayu. Maka itu pula penggunaan ini sangat terbatas, misalnya dalam hal metode/proses
yang lain lebih baik tidak dapat diterapkan karena tidak ada fasilitas, dan metode ini biasa
juga dipakai untuk mengawetkan kayu yang sudah terlanjur dipasang, misalnya sebagai
konstruksi bangunan, sehingga harus dibongkar dulu jika mau dipakai. Cara ini juga bisa
dipakai untuk melabur pemotongan pada kayu yang sudah diawetkan, dengan maksud untuk
menutup bagian kayu yang terbuka. Dan bahan pengawet yang digunakan harus larut
minyak.
Akan tetapi kalau dilihat mortalitas (Jumlah kematian bubuk), ternyata bubuk mati
100 % dan derajat serangan 0 (Utuh) baik bahan pengawet sipemetrin maupun bifentrin.
Mungkin jenis bahan pengawet ini sejenis bahan pengawet permetrin, dimana bahan
pengawet ini merupakan racun kontak (Tarumingkeng, 1991).

507
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

KESIMPULAN DAN SARAN

Kayu karet (Hevea brasiliensis) yang diawetkan dengan sipemetrin dan bifentrin
pada konsentrasi 6,25 ml/lt dengan retensi 0,13 kg/m3 ke atas dapat menahan serangan
bubuk kayu kering.
Disarankan pengujian dilanjutkan dengan jarak waktu setelah diawetkan dengan
dimulainya pengujian, karena dengan waktu yang 15 hari setelah diawetkan terlalu dekat
dan bahan pengawetnya masih berbau, sehingga kematian bubuk lebih cepat.

DAFTAR PUSTAKA

Anonimus. 1961. The Lyctid Problem. Technical Release. 19: 2-7.


Martawijaya, A. 1983. Pengawetan Kayu untuk Mencegah Serangan Jamur dan Serangga
Perusak Kayu. Diskusi Pencegahan dan Penganggulangan bahaya Rayap pada
Bangunan. Bangunan, Ikatan Arsitek Indonesia. JakartaMartawijaya, A. 1983.
Martawijaya.A. Barly. 2010. Pedoman Pengawetan Kayu Untuk Mengatasi Jamur dan Rayap
pada Bangunan Rumah dan Gedung. IPB Press.
Tarumingkeng,R.C. 1991. Insektisida, sifat mekanisme dan dampak penggunaanya.
Fakultas Kehutanan. IPB. Bogor.
Sumarni,G. Dan Jasni. 1988. Daya Hidup Dan Intensitas Serangan Bubuk Kayu Kering
Heterobostrychus aequalis Wat Pada Kayu Pulai (Alstonia Scholaris R.Br.). Jurnal
Penelitian Hasil Hutan. Pusat Penelitian Dan pengembangan Hasil Hutan. Vol: 5(
5):287-28.

508
PENGOLAHAN HASIL HUTAN

EFIKASI BIOTERMITISIDA YANG DIAPLIKASIKAN PADA KAYU


TERHADAP RAYAP TANAH Coptotermes gestroi
Didi Tarmadi, Maya Ismayati, Khoirul Himmi Setiawan dan Sulaeman Yusuf
UPT. Balai Penelitian dan Pengembangan Biomaterial LIPI
Jl. Raya Bogor Km. 46, Cibinong-Bogor 16911
e-mail: didi@biomaterial.lipi.go.id

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efikasi bahan biotermitisida yang


diaplikasikan pada kayu terhadap rayap tanah Coptotermes gestroi. Bahan biotermitisida
yang digunakan yaitu ekstrak biji bintaro (Cerbera manghas L) biji pinang (Areca catechu L),
dan daun saga (Abrus percatorius) dengan konsentrasi 5%, 10% dan 15%. Penelitian
mengacu pada standar JIS K 1571 - 2004 dengan menggunakan metode umpan paksa
(force feeding test), klasifikasi ketahanan mengacu pada SNI 01-7207-2006 dan Sornnuwat
(1996).
Hasil penelitian diketahui bahwa pemberian ekstrak biji bintaro dengan konsentrasi
15% memenuhi standar JIS K 1571-2004 sedangkan ekstrak biji bintaro pada konsentrasi
5% dan 10% serta ekstrak biji pinang dan daun saga pada konsentrasi 5%, 10%, 15% tidak
tahan terhadap serangan rayap tanah. Kayu karet yang diberi perlakuan ekstrak biji bintaro
dengan konsentrasi 10% dan 15% meningkat ketahanannya dari level sangat buruk menjadi
tahan dan sangat tahan. Pemberian ekstrak biji pinang dengan metoda oles pada
konsentrasi 15% serta ekstrak daun saga pada konsentrasi 10% dan 15% dapat
meningkatkan ketahanan kayu karet menjadi sedang.

Kata kunci: Biotermitisida, rayap tanah, biji bintaro, biji pinang, daun saga.

PENDAHULUAN

Kebutuhan terhadap kayu semakin meningkat seiring dengan peningkatan jumlah


penduduk yang berimplikasi kepada permintaan terhadap kebutuhan perumahan maupun
material berbasis kayu. Disamping itu supply kayu dari hutan alam setiap tahun semakin
berkurang, baik dari segi kualitas maupun volumenya. Hal ini disebabkan kecepatan
pemanenan yang tidak seimbang dengan kecepatan penanaman, konversi lahan hutan
menjadi perkebunan maupun program soft landing Kementrian Kehutanan. Oleh karena itu
perlu dicari alternatif supply kayu. Salah satunya yaitu dengan memanfaatkan kayu-kayu dari
hutan rakyat. Tetapi umumnya kayu-kayu yang berasal dari hutan rakyat cendrung memiliki
kelas keawetan rendah sehingga perlu dilakukan perlakuan pengawetan kayu.
Sampai saat ini bahan pengawet kayu yang beredar dipasaran umumnya masih
didominasi oleh organoposfat, karbamat maupun dari golongan piretroid yang dikhawatirkan
dalam jangka panjang menimbulkan resistensi dan pencemaran lingkungan. Sehingga perlu
dicari alternatif bahan pengawet kayu yang lebih ramah terhadap lingungan. Penelitian
terhadap ekstrak bahan alam yang memiliki aktivitas termitisidal sedang gencar dilakukan
sebagai upaya mensubstitusi bahan termitisida kimia dan mencari alternatif teknologi
proteksi bangunan yang lebih aman terhadap manusia dan lingkungan.
Beberapa jenis bahan alam diantaranya biji bintaro, daun saga, dan biji pinang telah
kami diteliti keandalannya terhadap rayap tanah dengan metoda paper dish menunjukkan
bahwa ekstrak biji bintaro pada konsentrasi 10% menyebabkan mortalitas rayap 100%
(Tarmadi et al. 2010). Ekstrak biji pinang pada konsentrasi 10% menyebabkan mortalitas
sebesar 62% (Tarmadi et al. 2009). Sedangkan ekstrak daun saga pada konsentrasi 10%
menyebabkan mortalitas rayap sebesar 100% (Setiawan et al. 2009). Namun penelitian
tersebut masih preliminary. Sehingga perlu diuji coba ekstrak tersebut pada kayu dengan
metoda yang sederhana yaitu metoda oles.

509
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efikasi bahan biotermitisida yang


diaplikasikan pada kayu dengan metoda oles terhadap rayap tanah Coptotermes gestroi
Wasmann.

METODE PENELITIAN

Prosedur Ekstraksi
Bagian daging biji bintaro, daun saga dan biji pinang terlebih dahulu dikeringkan dan
dihaluskan menjadi serbuk dengan ukuran 40 mesh. Masing-masing serbuk kering seberat
150 g diekstrak dengan pelarut metanol dengan metode maserasi. Ekstrasi diulang
sebanyak empat kali untuk mendapatan larutan ekstrak maksimal. Larutan ekstrak
dievaporasi pada suhu 40 oC dalam waterbath untuk mendapatkan ekstrak kering.
Preparasi Sampel Uji
Ekstrak kering biji bintaro, daun saga dan biji pinang kemudian di buat pengenceran
dengan konsentrasi 5 %, 10% dan 15% (w/v). Masing-masing bahan ekstrak dengan tiga
variasi konsentrasi tersebut kemudian dioleskan ke seluruh permukaan kayu karet (Hevea
brasiliensis) dengan ukuran 20 mm x 20 mm x 10 mm kemudian diangin-anginkan selama 7
hari untuk menghilangkan pelarut. Sebelum dilakukan pengujian sampel uji tersebut terlebih
dahulu dioven pada suhu 60 oC selama tiga hari untuk mengetahui berat awal sebelum
pengujian.

Prosedur Pengujian
Pengujian mengacu pada standar JIS K 1571 tahun 2004, dengan menggunakan
metode forced-feeding test (metode umpan paksa). Sampel yang akan diuji kemudian
bersama 150 ekor rayap pekerja dan 15 ekor rayap prajurit dari jenis Coptotermes gestroi
dimasukkan ke dalam acrylic silinder yang bagian bawahnya telah dilapisi plaster paris
setebal 5 mm. Tissue diletakkan dibawahnya untuk menjaga kelembaban. Unit-unit
pengujian tersebut kemudian disimpan di tempat yang gelap bersuhu 28 r 2qC dengan
kelembaban di atas 85 % selama 21 hari. Data yang diamati yaitu persentase kehilangan
berat (weight loss) dan mortalitas rayap. Pengamatan dilakukan tiap minggu selama tiga
minggu.

Gambar 1. Kontainer pengujian (standar JIS K 1571 tahun 2004)

510
PENGOLAHAN HASIL HUTAN

Persentase mortalitas = ( R1  R 2) u 100%


R1
Dimana:
R1= Jumlah rayap sebelum pengujian
R2= Jumlah rayap yang hidup pada saat pengamatan

Persentase kehilangan berat = (ODW 1  ODW 2)


u100%
ODW 1
Dimana:

ODW1= Berat kering oven sample sebelum pengujian rayap


ODW2= Berat kering oven sample setelah pengujian

Tabel1 . Klasifikasi ketahanan kayu terhadap serangan rayap tanah


berdasarkan penurunan berat (SNI 01-7207-2006)

Kelas Ketahanan Penurunan berat (%)


I Sangat tahan < 3.52
II Tahan 3.52-7.50
III Sedang 7.30-10.96
IV Buruk 10.96-18.94
V Sangat buruk 18.94-31.89

Tabel 2. Klasifikasi ketahanan kayu terhadap serangan rayap tanah


berdasarkan penurunan berat (Sornnuwat, 1996)

Penurunan berat (%) Tingkat ketahanan


0 Sangat tahan
1-3 Tahan
4-8 Sedang
9-15 Tidak tahan
> 15 Rentan

HASIL DAN PEMBAHASAN

Persentase penurunan berat menjadi indikator yang sangat penting untuk


menentukan efikasi suatu bahan ekstrak yang diaplikasikan terhadap kayu. Semakin rendah
persentase penurunan berat berarti bahan ekstrak teersbut semakin baik. Dimana rayap
tidak mampu mengkonsumsi kayu bahkan menyebabkan rayap tersebut mati saat kontak
dengan kayu atau saat makan kayu yang telah diberi perlakuan.
Gambar di bawah menunjukkan prosentase kehilangan berat dari ketiga jenis bahan
ekstrak dengan variasi konsentrasi yang diujikan. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa
jenis bahan ekstrak memberikan variasi penurunan berat yang berbeda. Ekstrak biji bintaro
memberikan pengaruh persentase penurunan berat paling kecil dibandingkan dengan
ekstrak biji pinang dan daun saga. Ekstrak biji bintaro lebih baik daripada ekstrak biji pinang
dan daun saga. Penambahan konsentrasi juga memberikan pengaruh terhadap persentase
penurunan berat. Pada semua ekstrak yang diuji, semakin tinggi konsentrasi, persentase
penurunan berat semakin rendah.

511
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Standar
JIS K 1571

Gambar 2. Rata-rata persentase kehilangan berat dari jenis bahan ekstrak dengan
variasi konsentrasi

Hasil penelitian terhadap kayu karet yang diberi ekstrak biji bintaro dengan
konsentrasi 15% yang memberikan efek terhadap kematian rayap yaitu ditandai dengan
penurunan berat di bawah 3%, sedangkan kayu karet yang diberi ekstrak biji bintaro dengan
konsentrasi 5% dan 10% tidak memberikan efek yang berarti terhadap kematian rayap yang
ditandai dengan penurunan berat yang jauh lebih besar dibandingkan dengan konsentrasi
15%. Hal tersebut sejalan dengan kayu karet yang diberi ekstrak daun saga dan biji pinang
pada semua konsentrasi yang diuji, semuanya kurang efektif terhadap serangan rayap.

Tabel 3. Klasifikasi ketahanan kayu karet setelah diberi perlakuan bahan ekstrak
berdasarkan penurunan berat menurut Standard SNI dan
Standar yang digunakan peneliti lain (Sornuwat, 1996) .

Jenis bahan Konsentrasi Penurunan SNI 01-7207-2006 Sornnuwat (1996)


ekstrak (%) berat (%) Ketahanan Kelas Level ketahanan
5 7.58 Sedang III Sedang
Biji bintaro 10 3.98 Tahan II Sedang
15 2.91 Sangat tahan I Tahan
5 14.84 Buruk IV Tidak tahan
Biji pinang 10 11.12 Buruk IV Tidak tahan
15 7.90 Sedang III Sedang
5 11.61 Buruk IV Tidak tahan
Daun saga 10 8.91 Sedang III Tidak tahan
15 7.58 Sedang III Sedang
Sangat
Kontrol 19.02 V
Buruk Rentan

512
PENGOLAHAN HASIL HUTAN

Pemberian ekstrak biji bintaro dengan metode yang sangat sederhana yaitu metode
oles dapat memberikan peningkatan ketahanannya terhadap serangan rayap tanah
Coptotermes gestroi. Pada konsentrasi 10% dan 15% mampu meningkatkan ketahanan
kayu karet dari level sangat buruk menjadi level tahan dan sangat tahan (SNI 01-7207-
2006) atau meningkat dari level rentan menjadi level sedang dan tahan (klasifikasi
ketahanan menurut Sornnuwat, 1996). Hal ini berbeda dengan pemberian ekstrak biji pinang
dan daun saga. Pemberian ekstrak biji pinang pada konsentrasi 15% hanya mampu
meningkatkan ketahanan kayu karet sampai level sedang (SNI 01-7207-2006; klasifikasi
Sornnuwat, 1996). Pemberian ekstrak daun saga pada konsentrasi 10% dan 15% hanya
mampu meningkatkan ketahanan kayu karet sampai dengan level sedang (SNI 01-7207-
2006) atau level tidak tahan dan sedang (klasifikasi ketahanan menurut Sornnuwat, 1996).
Hal ini diduga karena kandungan ekstraktif dari biji bintaro lebih toksik dari pada kandungan
ekstraktif dalam biji pinang dan daun saga.

Tabel 4. Rata-rata mortalitas rayap selama pengujian.

Konsentrasi Mortalitas (%) hari ke-


Bahan ekstrak
(%) 7 14 21
5 32.33 76.34 91.21
Biji bintaro 10 82.76 100 100
15 92.34 100 100
5 8.25 32.22 42.27
Biji pinang 10 9.22 21.43 48.71
15 9.91 32.89 70.21
5 8.11 32.45 49.91
Daun saga 10 12.45 40.11 61.82
15 15.23 62.21 83.23
Kontrol 6.23 16.34 20.02

Efektifitas suatu bahan ekstrak terhadap rayap tanah Coptotermes gestroi juga
ditandai dengan mortalitas rayap yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan kontrol.
Angka/tingkat mortalitas rayap merupakan indikator dari efikasi suatu bahan ekstrak
disamping persentase penurunan berat. Suatu bahan ekstrak dikatakan memiliki efikasi
tinggi apabila zat ekstraktif yang terkandung dalam suatu bahan ekstrak memberikan
persentase mortalitas rayap yang tinggi (Tarmadi et al. 2009).
Pemberian ekstrak biji bintaro pada konsentrasi 10% dan 15% menyebabkan tingkat
mortalitas rayap mencapai 100% pada akhir pengamatan. Sedangkan pada ekstrak daun
saga hanya menyebabkan tingkat mortalitas sebesar 83% pada konsentrasi 15%. Pada
ekstrak biji pinang konsentrasi 15% menyebabkan mortalitas rayap sebesar 70%. Hal ini
kembali sangat tergantung dari kandungan metabolit sekunder yang bersifat toksik dalam
bahan ekstrak yang diuji.

KESIMPULAN

Pemberian ekstrak biji bintaro dengan konsentrasi 15% dengan metoda oles pada
kayu karet dapat menahan serangan rayap tanah C. gestroi, sedangkan ekstrak biji bintaro
pada konsentrasi 5% dan 10% serta ekstrak biji pinang dan daun saga pada konsentrasi 5%,
10%, 15% kurang dapat menahan serangan rayap tanah. Kayu karet yang diberi perlakuan
ekstrak biji bintaro konsentrasi 10% dan 15% meningkat ketahanannya dari level sangat
buruk menjadi tahan dan sangat tahan. Pemberian ekstrak biji pinang dengan konsentrasi
15% serta ekstrak daun saga pada konsentrasi 10% dan 15% meningkatkan ketahanan kayu
karet menjadi sedang.

513
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

DAFTAR PUSTAKA

Boerhendhy I., C. Nancy., A. Gunawan. 2003. Prospek dan Potensi Pemanfaatan Kayu
Karet sebagai Substitusi Kayu Alam. J. Ilmu & Teknologi Kayu Tropis Vol. 1 No. 1.
Japan Industrial Standard, JIS K 1571 2004
Standar Nasional Indonesia, SNI 01-7207-2006. Uji Ketahanan kayu dan produk kayu
terhadap organisme perusak kayu. Badan Standardisasi Nasional.
Sornnuwat. 1996. Studies on Damage of Constructions caused by Subterranean Termites
and Its Control in Thailand.
Setiawan,K.H., M.Ismayati., D.Tarmadi., S.Yusuf. 2009. Termiticidal Activities of Abrus
Precatorius L. Leaves Extract against against Subterranean Termite Coptotermes
gestroi. The First International Symposium of Indonesian Wood Research Society.
Bogor, 2-3 November.
Tarmadi, D., K.H. Setiawan., M. Ismayati., S. Yusuf. 2009. The Efficacy of Areca catechu L
Kernel Extract against Subterranean Termite, Coptotermes gestroi. The First
International Symposium of Indonesian Wood Research Society. Bogor, 2-3
November.
Tarmadi, D., M. Ismayati., K.H. Setiawan., S. Yusuf. Antitermite activities of Carbera
manghas L seeds Extract. 2010. Proceeding of The 7th Pacific Rim Termite Research
Group. Singapore, March, 1st- 2nd.
Yusuf, S and S. Doi. Feeding behavior of subterranean termite on steamed wood. Proc. of
the 5th International Wood Science Symposium JSPS-LIPI Core University Program in
the Field of Wood Science. Kyoto. Japan. September 17-19, 2004.

514
PENGOLAHAN HASIL HUTAN

PEMANFAATAN ASAP CAIR DARI TEMPURUNG KELAPA


SEBAGAI BAHAN PENGAWET KAYU KARET
(Hevea brasiliensis Muell. Arg.)
Atak Sumedi1, Edy Budiarso2 dan Irawan Wijaya Kusuma2
1
Politeknik Pertanian Negeri Samarinda, email: atak.sumedi@yahoo.com
2
Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman

INTISARI

Asap cair merupakan suatu campuran larutan dari dispersi koloid asap kayu dalam
air yang dibuat dengan mengkondensasikan asap cair dari hasil karbonisasi.Contoh uji
retensi yang digunakan berukuran 3 x 2 x10 cm, sedangkan untuk uji penetrasi berukuran 3
x 2 x 5 cm dan untuk kerusakan kayu dengan ukuran 4 x 2 x 10 cm.Faktor pengawet asap
cair terdiri dari 3 taraf yaitu a2 (konsentrasi 20%), a3 (konsentrasi 30%) dan a4 (konsentrasi
40%) ditambah dengan kontrol (konsentrasi 0%).Berdasarkan hasil penelitian diketahui
bahwa semakin rendah konsentrasi bahan pengawet maka semakin rendah pula nilai
retensinya pada kayu karet. Nilai retensi pada perendaman 1 minggu dengan konsentrasi
20%, 30% dan 40% berturut-turut sebesar 0,04g/cm3,0,05g/cm3, 0,07 g/cm3. Nilai retensi
pada perendaman 2 minggu dengan konsentrasi 20%,30% dan 40% berturut-turut sebesar
0,05g/cm3,0,07g/cm3, 0,08 g/cm3. Sedangkan semakin rendah konsentrasi bahan pengawet
maka semakin besar nilai penetrasi pada kayu karet. Nilai penetrasi pada perendaman 1
minggu dengan konsentrasi 20%, 30% dan 40% berturut-turut sebesar 14,798 mm,12,584
mm dan10,406 mm.Nilai penerasi pada perendaman 2 minggu dengan konsentrasi
20%,30% dan 40% berturut-turut sebesar 18,392 mm,16,086 mm dan 10,356 mm.Faktor
waktu perendaman terdiri dari 2 taraf yaitu b1 (perendaman 1minggu), b2 (perendaman
2minggu).Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada konsentrasi bahan pengawet 30% dan
40% tidak terjadi serangan rayap.

Kata kunci: Asap cair, konsentrasi, pengawet.

PENDAHULUAN

Kebutuhan akan kayu terus meningkat namun ketersediaan kayu semakin merosot
yang diakibatkan oleh cara pengelolaan dan kegiatan eksploitasi hasil hutan yang tidak
menerapkan asas kelestarian. Oleh karena itu perlu dimanfaatkan jenis-jenis kayu yang
selama ini belum digunakan secara maksimal dengan sebaik-baiknya. Kenyataan yang ada
menunjukkan, bahwa tidak semua jenis kayu mempunyai tingkat keawetan yang sama.
Indonesia sebagai salah satu negara penghasil kayu memiliki kira-kira 4.000 jenis kayu. Dari
jumlah tersebut,15-20% di antaranya memiliki sifat keawetan alami yang tinggi, sedangkan
yang lainnya (80-85%) terdiri dari jenis-jenis dengan keawetan alami yang rendah dan
kurang menguntungkan bagi pemakainya (Duljapar, 1996).
Pada saat ini jumlah kayu dengan keawetan tinggi semakin berkurang, sehingga
perlu dilakukan usaha untuk meningkatkan keawetan jenis-jenis kayu yang bermutu rendah
yang penggunaannya masih sangat terbatas. Salah satu dari jenis kayu yang tingkat
keawetannya rendah adalah kayu karet (Hevea brasiliensis Muell. Arg.). Penggunaan kayu
karet sebelumnya hanya sebagai kayu bakar, padahal jenis ini mempunyai kerapatan
sedang dan warnanya yang cerah dan cocok digunakan untuk bahan meubel atau furniture.
Akan tetapi kayu karet ini mempunyai kelemahan yaitu mudah terserang jamur biru,
sehingga dalam pemanfaatan meubel atau furniture akan mengurangi nilai keindahan dari
produk yang dihasilkan.
Hama rayap atau anai-anai merusak tanaman karet terutama bila pada tanaman
tersebut terdapat bagian kayu yang terbuka yang dapat dimakannya (Setyamidjaja, 1993).
Selanjutnya dijelaskan, bahwa rayap tanah dapat juga merusak perakaran dan tunggul atau

515
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

batang dengan cara membuat lorong-lorong di luar atau di dalam kulit batang. Sedangkan
Prasetiyo dan Yusup (2005) mengemukakan bahwa, serangan rayap kayu kering tidak
mudah dideteksi karena hidupnya terisolir di dalam kayu.
Selama ini pengawetan kayu oleh masyarakat menggunakan bahan pengawet
sintetis. Yoesoef (1979) mengelompokkan jenis bahan pengawet berdasarkan sifat-sifat
kimia dan fisikanya ke dalam tiga kelompok, yaitu (1). Kelompok bahan pengawet berupa
minyak seperti kreosot, ter, batubara dan lain-lain, (2). Kelompok bahan pengawet yang
larut dalam minyak, seperti pentaklorophenol, kuprinaftenat dan lain-lain, (3). Kelompok
bahan pengawet yang larut dalam air seperti senyawa arsen, boraks, asam borat, garam
khrom, chlorida seng, sulfat tembaga, sodium pentakloroforat. Penggunaan bahan pengawet
sintetis ini di samping biayanya tinggi juga dapat menimbulkan efek samping terhadap
lingkungan.Tempurung kelapa merupakan salah satu alternatif bahan baku yang dapat
digunakan sebagai bahan dasar pembuatan asap cair untuk pengawetan. Pari (2008)
menjelaskan bahwa, asap cair dari tempurung kelapa mengandung senyawa asam fenolat
dan karbonil. Ketersediaan tempurung kelapa di lapangan, khususnya di Samarinda dan
sekitarnya sangat berlimpah dan belum dimanfaatkan, bahkan untuk membuangnya saja
membutuhkan biaya. Data kuantitatif ketersediaan tempurung kelapa ini belum terpublikasi
secara ilmiah melalui penelitian, tetapi di lapangan nampak sekali kelimpahannya, seperti
yang terdapat di Desa Handil Baru, Kecamatan Samboja, Kabupaten Kutai Kartanegara.
Oleh karenanya, dalam penelitian ini dilakukan analisis pemanfatan asap cair dari tempurung
kelapa untuk pengawetan kayu karet (Hevea brasiliensis Muell. Arg.). Berdasarkan tujuan
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui tingkat konsentrasi dan lama
perendaman asap cair yang efektif dalam pengawetan kayu karet (Hevea brasiliensis Muell.
Arg.) terhadap serangan rayap tanah.

METODE PENELITIAN

Waktu Penelitian
Analisis kandungan kimia asap cair dilakukan dengan alat GC-MS (Gas
Chromatography-Mass Spectrometry), di Lembaga Penelitian Hasil Hutan (LPHH) Bogor.
Waktu efektif yang diperlukan dalam penelitian ini kurang lebih 6 (enam) bulan, meliputi
kegiatan penyiapan contoh uji, pembuatan asap cair, pengamatan serangan rayap,
pengolahan data, analisis hasil, dan penulisan.
Bahan dan Peralatan Penelitian
1. Tempurung kelapa, digunakan sebagai bahan dasar asap cair
2. Kayu karet, digunakan sebagai contoh uji
3. Air bersih, untuk bahan campuran asap cair
4. Minyak tanah, untuk pembakaran awal
5. Asap cair, untuk bahan pengawet
6. Cat, untuk pengecatan di daerah potongan sampel (radial) agar asap cair tidak
meresap terlalu banyak lewat pori-pori tersebut .
7. Tungku Pembakaran, untuk membuat asap cair.
8. Chainsaw, untuk memotong batang kayu karet
9. Circular Saw, untuk memotong dan membelah contoh uji
10. Timbangan elektrik, untuk menimbang contoh uji
11. Pirolisis GC-MS (Gas Chromatography-Mass Spectrometry), untuk alat uji kandungan
asap cair.
12. Plastik milimeter block, untuk mengukur luas serangan jamur
13. Desikator, untuk mendinginkan contoh uji dan menghindari penyerapan uap air dari
udara
14. Bak plastik berdiameter 40 cm, untuk perendaman contoh uji
15. Cangkul, untuk membuat lubang uji rayap
16. Gelas ukur, untuk mengukur banyaknya asap cair
17. Gergaji tangan, untuk memotong contoh uji sesuai ukuran
18. Ketam listrik, untuk menghilangkan bulu contoh uji

516
PENGOLAHAN HASIL HUTAN

19. Oven, untuk menurunkan kadar air contoh uji


20. Meteran, untuk mengukur panjangnya contoh uji
21. Spidol, untuk peberian kode contoh uji
22. Tali rapia, untuk membuat batas plot penelitian
23. Penggaris, untuk mengukur kedalaman penetrasi asap cair yang masuk ke pori-pori
kayu
24. Batu pemberat, untuk pemberat contoh uji agar selalu tenggelam saat perendaman.
25. Korek api,untuk pembakaran tempurung kelapa
26. Kuas, untuk mengecat kedua ujung contoh uji

Prosedur Penelitian
Pengambilan contoh uji dan pembuatan contoh uji

Ujung

Tengah 2b
20 cm 20 cm

4 cm
4 cm

2a 2c
2 2cm
cm
PANGKAL
20 cm
2d

Gambar 1. Cara Pengambilan Contoh Uji

Keterangan :
2a = Pengambilan contoh uji pada pohon dengan memotong bagian pangkal, tengah dan
ujung menggunakan chain saw masing- masing sepanjang 1,5 meter.Diberikan
penandaan agar tidak salah dalam membedakan antara pangkal, tengah dan ujung
dan disemprot dengan larutan asap cair pada kedua ujungnya agar terhindar dari
serangan jamur.
2b = Kemudian batang dibawa ke saw mill untuk dibelah seperti pada Gambar 2b menjadi
sortimen, sedangkan empulur dan kayu gubal tidak digunakan untuk contoh uji.
2c = Selanjutnya sortimen dibuat stik-stik contoh uji dengan panjang 1 meter dipotong
menggunakan circular saw menjadi ukuran 4cm x 4cm x 20 cm dan dimasukkan ke
dalam bak plastik yang sudah disemprot dengan larutan asap cair kemudian ditutup
rapat.
2d = Contoh uji untuk kadar air diambil dari pangkal, tengah dan ujung sehingga dapat
mewakili masing-masing contoh uji, selanjutnya contoh uji dipotong dengan ukuran
2cm x 2cmx 2 cm sebanyak 10 potong.

517
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Pembuatan asap cair


Pembuatan asap cair dimulai dengan proses karbonisasi dengan memasukkan
tempurung kelapa yang sudah kering ke dalam kiln pembuatan arang dengan susunan
secara acak sebanyak 60 kg. Selanjutnya kiln ditutup rapat agar asap hasil pembakaran
tidak bocor. Tempurung kelapa dibakar hingga merata, kemudian lubang bawah ditutup
untuk mengurangi oksigen agar tidak menimbulkan api, sehingga asap saja yang banyak.
Asap tersebut dialirkan melalui pipa stainless yang berbentuk spiral yang direndam di dalam
air pendingin yang ada di dalam drum agar terjadi proses kondensasi. Setiap 60 kg
tempurung kelapa dapat dihasilkan asap cair sebanyak 1,5 liter dengan durasi waktu
pembakaran 6 jam. Secara keseluruhan dalam penelitian ini menggunakan tempurung
kelapa sebanyak 600 kg, yang menghasilkan total asap cair sebanyak 15 liter. Pembuatan
asap cair ini dibutuhkan waktu 10 hari dan diawasi secara terus menerus.

Pembuatan larutan pengawet


Larutan pengawet yang digunakan adalah asap cair dengan konsentrasi 20%, 30%
dan 40%. Cara membuat larutan pengawet adalah dengan mencampurkan asap cair dengan
air dengan perbandingan sebagai berikut :
a. Untuk konsentrasi asap cair 20%, bahan pengawet sebanyak 2 liter dicampur dengan air
sebanyak 8 liter.
b. Untuk konsentrasi asap cair 30%, bahan pengawet sebanyak 3 liter dicampur dengan air
sebanyak 7 liter
c. Untuk konsentrasi asap cair 40%, bahan pengawet sebanyak 4 liter dicampur dengan air
sebanyak 6 liter

Proses pengawetan
Proses pengawetan contoh uji dilakukan dengan metode perendaman dengan tahapan
sebagai berikut :
a. Sebelum diawetkan, contoh uji dikondisikan di dalam ruang konstan selama 2 minggu
untuk mendapatkan air yang relatif seragam pada semua contoh uji.
b. Kemudian dilakukan pengecatan pada kedua ujung contoh uji serta pengukuran
dimensinya dan selanjutnya contoh uji ditimbang
c. Selanjutnya contoh uji dimasukkan ke dalam bak pengawet dan diberi pemberat di
atasnya. Larutan pengawet dimasukkan ke dalam bak sesuai dengan konsentrasi dan
waktu perendaman yang berbeda.
d. Setelah semua proses pengawetan selesai contoh uji diangkat dan dikeringkan atau
dilap dengan kain kemudian contoh uji ditimbang untuk mengetahui retensi bahan
pengawet.

Retensi adalah banyaknya bahan pengawet yang masuk ke dalam kayu dan
dinyatakan dalam satuan kg/m3.
Untuk menghitung besarnya retensi. digunakan rumus sebagai berikut (Peek, 1989).

B - Bo C g
R = ---------- x ---- ( -------)
V 100 cm3

dimana:
R = Retensi bahan pengawet (g/cm3)
B = Berat contoh uji setelah diawetkan (g)
Bo = Berat contoh uji sebelum diawetkan (g)
V = Volume contoh uji (cm3)
C = Konsentrasi bahan pengawet (%)

518
PENGOLAHAN HASIL HUTAN

Pengukuran penetrasi
Pengukuran penetrasi dilakukan dengan cara sebagai berikut:
a. Contoh uji yang telah direndam selama satu minggu dengan konsentrasi 20%,30% dan
40% di lap sampai kering kemudian di potong tengahnya dan diukur di ke empat sisinya
(tepi rembesan) dengan penggaris contoh uji kemudian dibuat rataannya.
b. Contoh uji yang telah direndam selama dua minggu dengan konsentrasi 20%,30% dan
40% dilap sampai kering kemudian di potong dan diukur di ke empat sisinya (tepi
rembesan) dengan penggaris, kemudian dibuat rataannya.

Pengujian contoh uji di lapangan terhadap rayap


Semua contoh uji yang telah diawetkan 1 minggu dan 2 minggu dengan konsentrasi
20%, 30% dan 40%, dikeringkan di ruang konstan selama 3 minggu kemudian contoh uji
ditimbang terlebih dahulu sebelum diujikan ke sarang rayap. Setelah ditimbang, contoh uji
diletakkan di sarang rayap dengan cara ditanam dengan menggunakan cangkul sedalam
15 cm dengan susunan berbeda-beda atau berselangseling termasuk juga contoh uji
untuk kontrolnya. Selanjutnya contoh uji ditutup dengan tanah dan di biarkan selama 4
bulan. Setelah 4 bulan ditanam, contoh uji diangkat dan dibersihkan, kemudian dimasukkan
ke dalam ruang konstan selama 3 minggu, setelah itu baru ditimbang lagi untuk
mendapatkan kehilangan berat terhadap serangan rayap.
Nilai persentasi kehilangan berat contoh uji dihitung berdasarkan JWPA standard
11(1) (1992):

Ma - Mb
% Kehilangan berat = -------------------- x 100 %
Ma

dimana:
Ma = Massa sebelum pengujian rayap (gr)
Mb = Massa setelah pengujian rayap (gr)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil penelitian kayu karet diperoleh nilai rataan kadar air kayu, kerapatan
normal dan kerapatan kering tanur seperti terlihat pada Tabel 1 berikut ini.

Tabel 1. Nilai Rataan Kadar Air, Kerapatan dan Koefisiensi Variasi Kayu Karet

Objek yang diteliti Rataan KV (%)


Kadar Air (%) 13,81 2,86
Kerapatan normal (g/cm3) 0,67 2,49
Kerapatan kering tanur (g/cm) 0,57 3,11

Keterangan : KV= Koefisien Variasi (%)

Tabel 1 memperlihatkan bahwa kayu karet mempunyai nilai kadar air sebelum
diawetkan sebesar 13,81% dengan nilai KV sebesar 2,86%. Untuk nilai kerapatan normal
dan kerapatan kering tanur berturut-turut sebesar 0,67 dan 0,57 g/cm3, dengan nilai KV
masing-masing sebesar 2,49% dan 3,11%.
Nilai kadar air rataan sebesar 13,81% menunjukkan bahwa kadar air tersebut berada
pada kisaran kadar air kayu antara 40 200% dari berat kayu kering mutlak (Soenardi,
1974). Selanjutnya dijelaskan oleh Yoesoef (1974) bahwa nilai persentase kadar air kayu
tersebut bervariasi yang dipengaruhi oleh jenis kayu, posisi ketinggian dalam batang, tempat
tumbuh dan keadaan iklim. Nilai kadar air kayu karet sebesar 13,81% memberikan nilai

519
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

yang cukup rendah (< 10%) yang menunjukkan bahwa kayu yang akan diawetkan tersebut
pada kondisi kadar air yang cukup seragam. Hal ini berarti bahwa keseragaman kadar air
kayu yang diawetkan tidak akan menyebabkan perbedaan pengaruh yang besar pada hasil
proses pengawetan ( retensi dan penetrasi bahan pengawet) kayu.
Tabel tersebut menunjukkan, bahwa kerapatan normal rataan kayu karet dalam
pengkondisian di ruang konstan sebelum dilakukan proses pengawetan sebesar 0,663 g/cm3
dan kerapatan kering tanur rataan sebesar 0,570 g/cm3. Nilai kerapatan normal dan kering
tanur ini tidak berbeda dengan Martawijaya dkk. (1981), bahwa kerapatan kayu karet
berkisar antara 0,56 0,70 g/cm3, kerapatan normal 0,68 g/cm3 dan kerapatan kering tanur
0,62 g/cm3, sedangkan menurut Anonim (1981) kayu karet termasuk dalam kelompok kayu
kerapatan sedang dengan nilai kisaran 0,60 0,75 g/cm3.
Nilai KV pada kerapatan normal dan kerapatan kering tanur masing-masing sebesar
2,489% dan 3,107% menunjukkan nilai yang cukup rendah (< 10%). Hal ini menunjukkan,
bahwa kayu yang akan diawetkan tersebut berada pada kondisi yang cukup seragam.
Pengawet dan Lama perendaman
Setelah proses pengawetan dengan metode rendaman dingin selama 1 (satu) dan 2
(dua) minggu, maka dilakukan pengukuran nilai retensi bahan pengawet yang masuk atau
tinggal di dalam kayu. Hasil pengukuran rentensi dapat dilihat pada gambar 2 grafik berikut:

0,09
Retensi (g/cm3)

0,08
0,07
0,06
0,05
0,04
0,03
0,02
0,01
0
a1b1 a2b1 a3b1 a1b2 a2b2 a3b2

a1b1 a2b1 a3b1 a1b2 a2b2 a3b2

Kombinasi Perlakuan Pengawetan


A1b1 = Konsentrasi 20% lama perendaman 1 minggu
A2b1 = Konsentrasi 30% lama perendaman 1 minggu
A3b1 = Konsentrasi 40% lama perendaman 1 minggu
A1b2 = Konsentrasi 20% lama perendaman 2 minggu
A2b2 = Konsentrasi 30% lama perendaman 2 minggu
A3b2 = Konsentrasi 40% lama perendaman 2 minggu

a0b1 a0b2 a1b1 a1b2 a2b1 a2b2 a3b1 a3b2

37,024
Persentase Kerusakan Kayu

33,941

7,841 7,021

0,618 0,934 0,335 0,204


(%)

a0b1 a0b2 a1b1 a1b2 a2b1 a2b2 a3b1 a3b2

Kombinasi Perlakuan Pengawetan

Gambar 3 Grafik Nilai Rataan Persentase Kerusakan Kayu Akibat Pemberian Bahan
Pengawet Asap Cair pada Berbagai Konsentrasi dan Lama Perendaman.

520
PENGOLAHAN HASIL HUTAN

Gambar 3 di atas menunjukkan, bahwa persentase kerusakan kayu pada berbagai


kombinasi perlakuan antara konsentrasi bahan pengawet asap cair dan lama perendaman
berkisar antara 0.2 37%, dimana tingkat kerusakan kayu dari yang terbesar hingga yang
terkecil secara berurutan adalah perlakuan a0b2 (konsentrasi 0% dan lama perendaman 2
minggu) dengan nilai persentase kerusakan sebesar 37,0% , kemudian a0b1 (konsentrasi
0% dan lama perendaman 1 minggu) dengan nilai persentase kerusakan sebesar 33,9%,
a1b1 ( konsentrasi 20% dan lama perendaman 1 minggu) dengan nilai persentase
kerusakan sebesar 7,8%, a1b2 (konsentrasi 20% dan lama perendaman 2 minggu) dengan
nilai persentase kerusakan sebesar 7,0%, a3b2 (konsentrasi 30% dan lama perendaman 2
minggu) dengan nilai persentase kerusakan sebesar 0,9%, a2b1 (konsentrasi 30% dan lama
perendaman 1 minggu) dengan nilai persentase kerusakan sebesar 0,6%, a3b1 (konsentrasi
40% dan lama perendaman 1 minggu) dengan nilai persentase kerusakan sebesar 0,3%,
dan yang terkecil a3b2 (konsentrasi 40% dan lama perendaman 2 minggu) dengan nilai
persentase kerusakan sebesar 0,2%. Hasil pengujian statistika pada 2 (dua) faktor yang
diduga berpengaruh terhadap kerusakan kayu adalah faktor konsentrasi (faktor A) dan faktor
lama perendaman (faktor B) dimana faktor A sebanyak 4 level yaitu konsentrasi 0%, 20%,
30% dan 40% sedangkan faktor B sebanyak 2 level yaitu lama perendaman 1 minggu dan 2
minggu seperti terdapat pada Tabel 2.
Tabel 2. ANOVA Dari Persentase Kerusakan Kayu pada
Penggunaan Bahan Pengawet Asap Cair pada Kayu Karet.
SK db JK KR F hit F tab 5% F tab1%
Perlakuan 7 16687,5506 2383,9458 593,836** 2,14 2,91
A 3 16636,07907 5545,35969 1381,344** 2,74 4,06
B 1 7,49088 7,49088 1,866ns 3,98 7,01
AB 43,98065 14,6021667 3,637* 2,74 4,06
Galat 72 289,041605 4,014466736 - - -
Total 79 16976,5922 - - - -

Keterangan : ns = non signifikan;


* = signifikan pada taraf kepercayaan 95%;
** = sangat signifikan pada taraf kepercayaan 99%

Berdasarkan Tabel 2 terlihat bahwa perlakuan memberikan pengaruh yang sangat


signifikan terhadap tingkat kerusakan kayu, tetapi hanya faktor A yang memberikan
pengaruh sangat signifikan sedangkan faktor B tidak memberikan pengaruh yang signifikan.
Faktor interaksinya (AB) memberikan pengaruh yang signifikan yang diakibatkan masih
adanya dominasi pengaruh faktor A. Setelah dilakukan analisis sidik ragam dan uji lanjut
LSD, ditampilkan pada Tabel 3.
Tabel 3. Hubungan Signifikansi Antar Pasangan Perlakuan dari Faktor A Terhadap
Persentase Kerusakan Kayu pada Penggunaan Bahan Pengawet Asap Cair
pada Kayu Karet

LSD A Rataan (%) a0 a1 a2 a3


- 28,8515** 34,7065** 35,2130**
a0 35,4825

a1 7,4310 - - 6,6550** 7,1615

- - - 0,5065ns
a2 0,7760
- - - -
a3 0,2695
Ket. LSD 5% = 1,7921; 1% = 2,3835

Berdasarkan Tabel 3 menunjukkan, bahwa ada perbedaan efek yang sangat


signifikan antara perlakuan a0 (konsentrasi 0%) dan perlakuan lainnya yaitu perlakuan a1

521
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

(konsentrasi 20%), a2 (konsentrasi 30%) dan a3 (konsentrasi 40%), serta antara perlakuan
a1 dengan perlakuan lainnya yaitu perlakuan a2 dan a3, sedangkan antara perlakuan a2 dan
a3 tidak berbeda signifikan. Hal ini menunjukkan, bahwa tingkat kerusakan kayu paling
banyak terjadi apabila tidak diberikan bahan pengawet dengan tingkat kerusakan rata-rata
sebesar 35%, kemudian masing-masing disusul oleh pemberian bahan pengawet 20%
dengan tingkat kerusakan rata-rata sebesar 7%, pemberian bahan pengawet 30% dengan
tingkat kerusakan rata-rata sebesar 0,78% dan paling sedikit kerusakan apabila diberikan
bahan pengawet 40% dengan tingkat kerusakan rata-rata hanya 0,27%. Hasil pengujian
menunjukkan, bahwa semakin tinggi konsentrasi asap cair maka semakin rendah tingkat
kerusakan kayu. Hal ini diduga karena pengaruh kandungan asap cair yang didominasi
Acetic Acid sebesar 45% dan Phenol sebesar 24% yang sangat tidak disukai oleh rayap
kayu.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dikemukakan, dapat


disimpulkan beberapa hal penting sebagai berikut :
1. Pada konsentrasi bahan pengawet asap cair 20%, 30% dan 40% serta lama
perendaman 1 minggu dan 2 minggu ternyata semakin tinggi konsentrasi bahan
pengawet asap cair yang diberikan pada pengawetan kayu karet, maka semakin tinggi
nilai retensinya. Demikian pula semakin lama perendaman, maka semakin tinggi pula
nilai retensinya.
2. Ketahanan terhadap serangan rayap rayap tanah pada contoh uji dengan konsentrasi
bahan pengawet 30%
3. Pada konsentrasi bahan pengawet asap cair 20%, 30% dan 40% serta lama
perendaman 1 minggu dan 2 minggu ternyata semakin tinggi konsentrasi bahan
pengawet asap cair yang diberikan pada pengawetan kayu karet, maka semakin rendah
persentase kerusakan kayu. Lama perendaman tidak berpengaruh secara signifikan
terhadap persentase kerusakan kayu pada penggunaan bahan pengawet asap cair pada
kayu karet.
4. Pada konsentrasi bahan pengawet asap cair 20%, 30% dan 40% serta lama
perendaman 1 minggu dan 2 minggu ternyata semakin tinggi konsentrasi bahan
pengawet asap cair yang diberikan pada pengawetan kayu karet, maka semakin rendah
nilai penetrasinya. Namun semakin lama perendaman ternyata semakin tinggi
penetrasinya.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim,1981. Mengenal Sifat-sifat Kayu Indonesia dan Penggunaannya. Kanisius


Yogyakarta.
Duljapar. 1996. Pengawetan Kayu. PT Penebar Swadaya. Jakarta.
Martawijaya, 1981. Masalah Pengawetan Kayu di Indonesia. Kehutanan Indonesia Tahun I.
Direktorat Jendral Kehutanan. Jakarta
Pari, G. 2008. Proses Produksi dan Pemanfaatan Arang,Briket Arang dan Cuka Kayu, Pusat
Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan Bogor.
Peek R.D. 1989. Wood Protection In Indonesia With References To Special Condition In
East Kalimantan. Universitas Mulawarman Samarinda.
Prasetyo, K.W dan S. Yusuf. 2005. Mencegah & Membasmi Rayap. PT. Agro Media
Pustaka Tangerang. 64 h.
Setyamidjaja. 1993. Karet, Budidaya dan Pengolahan. Kanisius. Yogyakarta
Soenardi, 1974. Ilmu Yayasan Pembina Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada.
Yogyakarta.
Yoesoef. 1979. Teknolohi Kayu II Pengawet Kayu. Pusat Pedidikan. Kehutanan. Cepu.
Perum Perhutani. Cepu.

522
PENGOLAHAN HASIL HUTAN

BIOAKTIVITAS CUKA KAYU CAMPURAN KAYU LABAN


(Vitex pubescens Vahl) DAN AKASIA (Acacia mangium Willd)
TERHADAP JAMUR PELAPUK KAYU Schizophyllum commune Fries
Farah Diba dan H.A. Oramahi
Fakultas Kehutanan Universitas Tanjungpura Jalan Ahmad Yani Pontianak
Email: farahdibapramudi@yahoo.com

ABSTRAK

Schizophyllum commune is the most important species because of its damage to


wood product. This research purposed to evaluate wood vinegar as antifungal activity. The
research was conducted in several steps i.e pyrolisis of wood vinegar in 400oC, analysis of
wood vinegar content, and efficacy test of wood vinegar as antifungal. Wood vinegar was
made from burning wood meal from wood wastes. Wood wastes consist of Vitex pubescens
(laban) and Acacia mangium (akasia) Agar media used was PDA (potatoes dextrose agar)
and concentration of wood vinegar was 0; 0.50%; 0.75%; 1.00%; 1.25%; and 1.50% (v/v).
The results showed that wood vinegar on concentration 1.50% has inhibited 100% of fungi
growth. The growth rate of S. commune was decrease as well as increasing the
concentration of wood vinegar. The chemical compound of wood vinegar were consist of
ethanoic acid, butane, acetylcarbinol, phenol, furanone, dimethyl ketone and butanoic acid,2-
propenyl ester.

Key words: cuka kayu, anti jamur, Schizophyllum commune, Laban, Akasia

PENDAHULUAN

Schizophyllum commune dikenal sebagai jamur pelapuk yang ganas karena dapat
menyerang buah, biji-bijian, rotan, bambu dan kayu. Jamur ini dapat menyerang semua jenis
kayu kecuali kayu ulin (Eusideroxylon zwageri). Secara alami S. commune dapat ditemukan
di seluruh lokasi di Indonesia sehingga dapat dikatakan bahwa jamur tersebut bersifat
cosmopolitan (Suprapti dan Djarwanto, 2000). Oleh karena itu, perlu dilakukan pengendalian
terhadap S.commune agar tidak merugikan. Penggunaan fungisida sintetik yang
mengandung zat-zat kimia yang sulit terdegradasi berpotensi dapat menyebabkan
pencemaran lingkungan. Penggunaan fungisida alami yang ramah lingkungan, namun tetap
dapat diguna kan untuk mengatasi kerusakan yang disebabkan oleh jamur sangat perlu
untuk dikembangkan.
Salah satu fungisida alami yang dimaksud adalah bahan-bahan alami yang berasal
dari tumbuh-tumbuhan berupa serbuk gergaji untuk pembuatan cuka kayu. Cuka kayu
merupakan suatu campuran larutan dari dispersi koloid asap kayu dalam air, yang dibuat
dengan mengkondensasikan asap dari hasil pembakaran kayu tersebut. Kayu sebagai
komponen bahan bakar umumnya tersusun atas selulosa, hemiselulosa dan lignin
sedangkan komponen lainnya terdiri dari tanin, resin dan terpentin (Maga, 1987).
Bahan baku untuk pembuatan cuka kayu sangat berlimpah. Salah satunya limbah
serbuk gergaji yang mempunyai potensi yang besar untuk bahan baku pembuatan cuka
kayu. Velmurugan et al. (2009a) melaporkan bahwa serbuk gergaji dari kayu Pinus
densiflora dan Quercus serrata mengandung komponen yang berfungsi sebagai antijamur.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa cuka kayu tersebut mampu menghambat pertumbuhan
jamur Ophiostoma polonicum,O. flexuosum, O. narcissi dan O. tetropii (Velmurugan et al.
2009a ; Velmurugan et al. 2009b). Menurut Inoue et al. (2000), cuka kayu mampu
menghambat pertumbuhan jamur Fomitopsis palustris dan Trametes versicolor.
Sementara itu, kayu Laban (Vitex pubescens Vahl) dan kayu Akasia (Acacia
mangium Willd) merupakan kayu yang relatif tersedia pada saat ini. Pemanfaatan kayu
Laban dan Akasia sebagai bahan baku cuka kayu untuk menjadi bahan pengawet

523
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

merupakan peluang yang harus diteliti karena ketersediaan bahan baku melimpah dan harus
dicoba efektifitasnya. Oleh karena itu, tujuan penelitian adalah penggunaan cuka kayu
campuran dari kayu Laban dan Akasia sebagai bahan pengawet kayu terhadap serangan
jamur pelapuk kayu S. commune. Untuk lebih memudahkan dalam penerapan
penggunaannya, maka perlu diketahui berapa konsentrasi cuka kayu yang optimum yang
mampu menghambat serangan jamur S. commune.

BAHAN DAN METODE

Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah: isolat Schizophyllum commune,
medium PDA, serbuk kayu laban dan akasia, dan cuka kayu

Tempat dan Waktu


Persiapan bahan baku serbuk gergaji dilakukan di Laboratorium Wood Work Shop,
pengujian cuka kayu terhadap jamur dilakukan di Laboratorium Teknologi Kayu Fakultas
Kehutanan Universitas Tanjungpura. Pirolisis cuka kayu serbuk gergaji dilakukan di
Laboratorium Rekayasa Fakultas Teknologi Pertanian UGM, analisis kadar fenol dan asam
dilakukan di Laboratorium Kimia dan Biokimia Fakultas Teknologi Pertanian UGM. Penelitian
dilakukan pada bulan Juli sampai dengan Oktober 2009.

Prosedur Penelitian
Persiapan bahan baku serbuk gergaji
Bahan baku terdiri dari serbuk kayu akasia dan kayu laban. Serbuk diayak dengan
ukuran 40-60 mesh, kemudian dikeringkan sampai kadar air 12%.

Pembuatan cuka kayu


Serbuk kayu sebanyak 3 kg dimasukkan ke dalam reaktor kemudian ditutup dan
rangkaian kondensor dipasang. Selanjutnya dapur pemanas dihidupkan dengan suhu yang
dikehendaki. Pada penelitian ini suhu yang digunakan adalah 400qC. Waktu pirolisis yang
digunakan adalah 90 menit. Asap yang keluar dari reaktor disalurkan ke kolom pendingin
melalui pipa penyalur, kemudian ke dalam kolom pendingin ini dialirkan air dingin dengan
menggunakan pompa. Embunan berupa cuka kayu ditampung dalam botol, sedangkan asap
yang tidak dapat diembunkan dibuang melalui pipa penyalur asap sisa. Rendemen cuka
kayu termasuk di dalamnya tar dan arang yang diperoleh dihitung sebagai % berat
(Tranggono et al., 1996; Darmadji et al., 2000).

Analisis fenol
Satu ml cuka kayu ditimbang dan diencerkan sampai volume 1.000 ml. Kemudian
dari larutan ini diambil 1 ml dan ditambahkan dengan 5 ml larutan NaCO3 alkalis dan
dibiarkan pada suhu kamar selama 10 menit. Kemudian ditambahkan 0,5 ml reagen Folin-
Ciocalteau (reagen komersial : aquades 1:1 v/v) dan digoyang dengan vortex-shaker.
Setelah dibiarkan selama 30 menit absorbansinya dibaca terhadap larutan blanko pada
panjang gelombang 750 mm.Konsentrasi fenolat larutan sampel dihitung berdasarkan kurva
standar yang diperoleh dari larutan fenol murni (Senter et al. 1989).

Analisis asam
Cuka kayu serbuk gergaji ditimbang lebih kurang 1 ml, lalu diencerkan sampai
volume 100 ml. Selanjutnya dititrasi dengan larutan standar NaOH 0,1 N sampai pHnya 8.
Kadar asam dinyatakan dalam persen berat asam asetat (AOAC, 1990).

Efikasi antijamur cuka kayu serbuk gergaji


Pengujian antijamur cuka kayu dilakukan secara in vitro dengan mengacu pada
Loman, 1970 cit. Yoshimoto dan Syafii (1993). Petri dish yang sudah disterilkan diisi dengan
media PDA masing-masing 10 ml, lalu dicampur dengan cuka kayu dengan konsentrasi

524
PENGOLAHAN HASIL HUTAN

sebagai berikut: 0; 0.50%; 0.75%; 1.00%; 1.25%; and 1.50% (v/v). Biakan murni jamur S.
commune diinokulasi di bagian tengah petri dish dan diinkubasi pada suhu kamar.
Pengamatan dilakukan terhadap pertumbuhan koloni jamur dengan mengukur diameter
koloni pada hari ke-10 setelah inokulasi.
Kemudian diukur aktivitas anti cendawannya dengan menggunakan rumus Mori et al
(1997) sebagai berikut :

AFA (%) = GC GT x 100%


GC A

AFA : Aktivitas anti cendawan


GC : Pertumbuhan miselia kontrol (mm)
GT : Pertumbuhan miselia dlm media perlakuan (mm)
A : Ukuran miselia awal inkubasi (mm)

Analisis komponen kimia dengan GCMS


Komponen kimia cuka kayu diidentifikasi dengan menggunakan GCMS (gas
chromatography mass spectra). GC yang digunakan Shimadzu QP 5050 model dengan GC
17a, kolom DB5 MS (panjang 30 m length x diameter 0.25 mm). GC disetting sebagai berikut:
suhu kolom mula-mula 40oC selama 5 menit; suhu program dari 40oC sampai 330oC dengan
rate 4oC/menit. Resolusi Mass spectra 1000, dengan interval 0,5 detik; energy ionisasi 0,90
kv dan waktu retensi 1,6-56,0. Identifikasi komponen dilakukan berdasarkan Clement et al
(2001) dan dibandingkan dengan data dari NIST 62 (National Institute Standard and
Technology), WILEY 229 dan PESTICD.LIB.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Rendemen, Kadar Asam dan Fenol Cuka Kayu


Rendemen cuka kayu yang diperoleh sebesar 20%. Kadar asam dalam cuka kayu
sebesar 7,46% sedangkan kadar fenol sebesar 6,30%. Menurut Tranggono et al. (1996),
kadar asam cuka kayu dari berbagai serbuk kayu dan tempurung kelapa terdapat
perbedaan. Perbedaan ini dipengaruhi oleh berbagai faktor diantaranya jenis kayu, kadar air
kayu dan suhu pirolisis yang digunakan (Maga, 1987). Girard (1992) menyatakan bahwa
baik kuantitas maupun kualitas senyawa fenol yang terdapat pada cuka kayu langsung
berhubungan dengan suhu pirolisis kayu. Hamm & Potthast, (1976) cit Tranggono et al.
(1996) melaporkan bahwa pada suhu 380oC, 600 oC, dan 760oC kadar total fenol di dalam
cuka kayu adalah 998 mg, 4.858 mg dan 2.632 mg per 100 g kayu gergajian. Bila rendemen
cuka kayunya dianggap 50% berarti total fenol pada ketiga suhu tersebut adalah 2%, 9,72%
dan 5,26%. Perbedaan kadar fenol disebabkan oleh perbedaan struktur lignin bahan baku
yang digunakan untuk pirolisis cuka kayu (Girard, 1992).

Aktivitas Antijamur
Rerata aktivitas antijamur S. commune cuka kayu campuran kayu Laban dan Akasia
sebesar 46,34% - 100%. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa konsentrasi cuka
kayu berpengaruh nyata. Semakin tinggi konsentrasi cuka kayu makin tinggi aktivitas
antijamur (AFA) yang disajikan pada Gambar 1.

525
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

120
100
100 86,17
80,07
AFA (%) 80
56,49
60 46,34
40
20
0
0
0 0,50% 0,75% 1,00% 1,25% 1,50%
Perlakuan

Gambar 1. Aktivitas Antijamur (AFA) Cuka Kayu Laban dan Akasia Terhadap
Jamur Schizophyllum commune

Cuka kayu dengan konsentrasi 0,5% menghambat pertumbuhan S.commune dengan


nilai 46,34%, kemudian pada konsentrasi 0,75% menghambat sebesar 56,49%, pada
konsentrasi 1,00% menghambat sebesar 80,07%, konsentrasi sebesar 1,25% menghambat
sebesar 86,17% sedangkan konsentrasi 1,50 menghambat sebesar 100%. Velmurugan et al
(2009a) melaporkan bahwa cuka kayu dari serbuk gergaji kayu Pinus densiflora dan
Quercus serrata yang telah dinetralkan mempunyai kemampuan sebagai antijamur.
Konsentrasi cuka kayu sebesar 2 % mempunyai kemampuan yang kuat menghambat
pertumbuhan jamur Ophiostoma polonicum, O. flexuosum, O. narcissi dan O. tetropii.
Menurut Lin et al (2008), aktivitas antijamur cuka kayu dari bambu moso dipengaruhi oleh
suhu pirolisis. Cuka kayu hasil pirolisis pada suhu 80-150oC mampu menghambat
pertumbuhan jamur Trichoderma viride dengan efisiensi penghambatan sebesar 50-150%.
Hasil analisis komponen penyusun cuka kayu terutama kadar asam dan fenol mampu
berperan sebagai antijamur. Hal ini diperkuat hasil penelitian yang dilakukan oleh
Velmurugan et al.( 2009b) yang menyatakan bahwa komponen 2,6 dimethoxy phenol,
dehydroacetic acid dan 2,3,5 trimethoxytoluene dalam cuka kayu serbuk gergaji dan bambu
mampu berperan sebagai antijamur. Menurut Velmurugan et al.( 2009a), terdapat tujuh
komponen dalam cuka kayu hasil pirolisis dari serbuk Pinus densiflora dan Quercus serrata
yaitu 2,6 dimethoxy Phenol, Phenol (Izal), 2-methyl phenol (o-cresol), 4-methyl phenol (p-
cresol), 2-methoxy phenol (guaiacol), 2-methoxy-4 methyl phenol dan 4-ethyl-2-methoxy
phenol yang mampu berperan sebagai antijamur.
Sifat antimikrobia asam asetat terkait dengan kondisi pH. Hal ini disebabkan karena
asam asetat yang tidak terdisosiasi lebih cepat berpenetrasi ke dalam sel. Sedangkan asam
propionat mampu menghambat mikrobia dengan cara memblok sistem metabolisme sel
melalui penghambatan terhadap aktivitas enzim (Luck and Jager, 1997 cit. Karseno et al.,
2001). Mekanisme aktivitas senyawa antimikrobia fenol meliputi reaksi dengan membran sel
yang menyebabkan meningkatnnya permeabilitas membran sel dan mengakibatkan
hilangnya isi sel, inaktivasi enzim-enzim esensial dan perusakan atau inaktivasi fungsional
materi genetik (Davidson and Branen, 1993 cit. Karseno et al., 2001).

Komponen Kimia Cuka Kayu


Analisis GCMS pada cuka kayu campuran kayu Laban dan kayu Akasia terdiri dari
fenolik dan asam ethanoat. Komponen fenolik seperti fenol, guaicol dan cresol yang
berfungsi sebagai agen biosida yang dapat berfungsi sebagai bahan yang menghambat
pertumbuhan jamur (Higashino et al, 2005). Analisis GCMS cuka kayu disajikan pada
Gambar 2. Komponen kimia terdiri dari asam etanoat (C2H4O2), butana (C4H10), asetil karbinol
(C3H6O2), fenol (C6H6O), furanon (C4H6O2), dimetil keton (C3H6O) dan butanoic acid,2-
propenyl ester (C7H12O2).

526
PENGOLAHAN HASIL HUTAN

Tabel 1. Komponen Kimia dan Waktu Retensi Cuka Kayu

No. No Waktu Area Lebar Komponen kimia


Puncak Retensi (%) Puncak
(menit)
1 6 2.314 47.07 1583189 Ethanoic acid (C2H4O2)
2 3 2.059 19.16 1767218 Butane (C4H10)
3 7 2.553 8.86 211450 Acetylcarbinol (C3H6O2)
4 17 8.061 5.48 92614 Phenol (C6H6O)
5 4 2.112 2.96 181121 Furanone (C4H6O2)

Gambar 2. Kromatogram Cuka Kayu Laban dan Akasia

KESIMPULAN

Cuka kayu dari kayu Laban dan Akasia berperan sebagai antijamur. Konsentrasi
1,5% dapat menghambat pertumbuhan jamur Schizophyllum commune sebesar 100%.
Rendemen cuka kayu yang diperoleh sebesar 20%. Kadar asam dalam cuka kayu sebesar
7,46% sedangkan kadar fenol sebesar 6,30%. Komponen kimia cuka kayu terdiri dari asam
etanoat (C2H4O2), butana (C4H10), asetil karbinol (C3H6O2), fenol (C6H6O), furanon (C4H6O2),
dimetil keton (C3H6O) dan butanoic acid,2-propenyl ester (C7H12O2).

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Kementerian Pendidikan Nasional


Republik Indonesia melalui DP2M DIKTI yang telah memberikan bantuan dana melalui
Progran Penelitian Strategis Nasional BATCH I tahun 2009.

DAFTAR PUSTAKA

AOAC, 1990. Association of Analytical Chemist, Official Method of Analysis, 18th edition,
Benyamin Franklin , Washington DC.
Darmadji, P., Oramahi, H.A., Haryadi dan Armunanto, R., 2000. Optimasi Produksi dan Sifat
Fungsional Cuka kayu Kayu Karet. Agritech 20 (3): 147-155

527
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Girard, J.P.,1992, Technology of Meat and Meat Product Smoking, Ellis Harwood, New York,
London, Toronto, Sydney, Tokyo, Singapore, 162-201.
Higashino T, Shibata A, Yatagai M, 2005, Basic Study for Establishing Specifications for
Wood Vinegar by Distillation, J. Wood Science Vol 51 No 3 p 180-188.
Inoue, S., T. Hata, Y. Imamura & D. Meier, 2000. Component and Antifungal Efficiency of
Wood-Vinegar-Liquor Prepared Under Different Carbonization Condition, Wood
Research, 87: 34-36
Karseno, Darmadji, P., dan R. Kapti. 2001. Daya Hambat Cuka kayu Kayu Karet Terhadap
Bakteri Pengkontaminan Lateks dan Ribbed Smoke Sheet. Agritect, 21 (1): 10-15
Lin, H. C., Y. Murase, T.C, Shiah, . G. S. Hwang, P. K. Chen & W. L. Wu, 2008. Application
of Moso Bamboo Vinegar with Different Collection Temperatures to Evaluate Fungi
Resistance of Moso Bamboo Materials, J. Fac. Agr., 53 (1), 107113
Maga, J.A., 1987, Smoke in Food Processing , Bacarotan, CRC Press, Florida, 1-9.
Pitt. J.I & A.D. Hocking., 1997. Fungi and Food Spoilage. Academic Press, London
Senter, S.d., Robertson, J.A., and Meredith, F.I., 1989, Phenolic Compound of The
Mesocarp of Creathaven Peaches During Storage and Ripening, J. Food Sci,
54:1259-1268.
Tranggono, Suhardi, Setiadji, B., Darmadji, P., Supranto., dan Sudarmanto., 1996,
Identifikasi Cuka kayu dari Berbagai Jenis Kayu dan Tempurung Kelapa, J. Ilmu dan
Teknologi Pangan, vol. 1, No.2: 15-24.
Velmurugan, N. Han, S. S. & Y.S. Lee, 2009a. Antifungal Activity of Neutralized Wood
Vinegar with Water Extracts of Pinus densiflora and Quercus serrata Saw Dusts, Int.
J. Environ. Res., 3(2):167-176
Velmurugan, N., S. S Chun, N. Han, S. S. & Y.S. Lee, 2009b. Characterization of Chikusaku-
Eki and Mokusaku-Eki and Its Inhibitory Effect on Sapstaining Fungal Growth in
Laboratory Scale, Int. J. Environ. Sci. Tech., 6 (1), 13-22
Yoshimoto, T. and W. Syafii, 1993. Extractives from Some Tropical Hardwoods and Their
Influnces on the Growth of Wood Decaying Fungi. Journal Tropical Agriculture, 4 (2):
31-35

528
PENGOLAHAN HASIL HUTAN

PENGARUH ASAP CAIR TERHADAP PROTOZOA


DALAM USUS RAYAP Coptotermes sp.
Arief Heru Prianto, Didi Tarmadi, Sulaeman Yusuf dan Anis Sri Lestari
UPT. BPP Biomaterial-LIPI

ABSTRACT

The purpose of this study was to evaluate the effect of liquid smoke against protozoa
in the termite gut. Liquid smoke was made from Palm kernel shell at temperature of 400 oC.
Dosages of liqiud smokes were 0.025 ml, 0.05 ml, 0.1 ml, 0.15 ml dan 0.2 ml. The result
indicated that there were effect of liquid smoke dosages against survival rate of termite and
total number of protozoa. Liquid smoke showed high termiticidal activity at the dosages of
0.1 ml, 0.15 ml and 0.2 ml. At dosages of 0.025 ml and 0.05 ml, liquid smoke showed
survival rate of 0 % in 4 days. Protozoa observation exhibited that at dosages of 0.025 ml
and 0.05 ml, the total number of protozoa decreased every day.

PENDAHULUAN

Produksi asap cair saat ini banyak digunakan pada pertanian, pengawetan makanan
dan juga industri karet. Menurut Nurhayati (1995), Cuka kayu atau wood vinegar dapat
membuat tanaman menjadi sehat, mereduksi jumlah insektisida dan parasit
tanaman,sebagai growth promotor dan pupuk alam. Asap cair merupakan produk sampingan
pembuatan arang, dimana produsen pembuat arang banyak yang belum memanfaatkan
asap dari proses pengarangan (pirolisis) ini sehingga terbuang percuma.
Asap cair bersifat menolak serangga (repellent), sehingga efektif untuk beberapa
serangga pertanian. Sedangkan menurut Yatagai (2006) penelitian pemanfaatan asap cair
untuk bidang pengawetan kayu belum banyak diteliti, padahal asap cair merupakan produk
yang sampingan yang ramah lingkungan. Proses produksinya yang mudah dan murah
membuka peluang pemanfaatannya untuk berbagai kebutuhan. Demikian juga peluang
pemanfaatannya sebagai bahan alternatif anti rayap, dimana semakin banyak masyarakat
yang mulai sadar untuk tidak menggunakan bahan kimia yang berbahaya terhadap
lingkungan.
Yatagai (2006) menyatakan bahwa kandungan asap cair dipengaruhi oleh bahan
bakunya.Kandungan asam dalam asap cair mencapai lebih dari 50%. Keasaman dan
kandungan fenol mempunyai peranan dalam menghambat pertumbuhan bakteri (Darmadji,
1996).
Protozoa berperan dalam mengkonversi hemiselulosa secara anaerobik menjadi
asetat, karbondioksida, hidrogen dan methan. Fermentasi selulosa ini terjadi karena adanya
enzim selulase yang diproduksi oleh protozoa (Kartika, 2005). Penelitian ini bertujuan untuk
melihat efektivitas asap cair terhadap rayap tanah Coptotermes sp dan pengaruhnya
terhadap protozoa dalam usus rayap Coptotermes sp.

METODE PENELITIAN

Pembuatan Asap Cair


Asap cair dibuat dari cangkang kelapa sawit yang dipirolisis pada suhu + 400 0C
dalam tungku pirolisator. Asap yang keluar dikondensasikan dengan bantuan air. Asap cair
yang diperoleh kemudian disimpan agar tar dan bahan pengotor mengendap.

529
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Uji Aktivitas Anti Rayap


Sifat anti rayap asap cair dilakukan terhadap rayap tanah Coptotermes sp. Rayap
pekerja yang digunakan dipelihara dalam bak rayap yang dijaga kelembabannya dalam suhu
ruang. Uji anti rayap mengacu pada penelitian Yatagai (2002), dimana perlakuan asap cair
diberikan pada kertas saring berdiameter 33 mm. Terlebih dahulu kertas saring dioven dan
timbang untuk mengetahui berat awal. Kertas saring kemudian diberi perlakuan asap cair
dengan dosis 0.025, 0.05, 0.1, 0.15 dan 0.2 ml per kertas saring. Kertas saring kemudian
dikering udarakan. Setelah kering udara kertas saring ditempatkan dalam petri disk yang
telah dilapisi dengan plester paris, dengan terlebih dahulu diberi alas alumunium foil untuk
mencegah kertas saring kontak langsung dengan plester paris. Kertas saring yang diberi air
destilata diujikan sebagai kontrol. Tiap perlakuan dibuat 4 kali ulangan. Rayap pekerja
Coptotermes sp kemudian dimasukkan ke dalam petri disk. Petri disk kemudian ditempatkan
dalam wadah yang terjaga suhu dan kelembabannya. Satu ulangan disediakan untuk
pengamatan protozoa dalam usus rayap. Pengamatan mortalitas rayap dan protozoa
dilakukan setiap hari. Pada akhir pengamatan dilakukan penimbangan kertas saring setelah
dioven terlebih dahulu.

Pengamatan Protozoa
Usus rayap ditarik dari bagian belakang tubuh rayap. Usus rayap kemudian
dimasukkan dalam 50 l larutan NaCl 0.6 %. Usus rayap disobek untuk mengeluarkan
protozoanya. Untuk menghitung jumlah protozoa, diambil 2 l suspensi dan ditempatkan
glass slide. Jumlah protozoa dihitung dengan microscope dengan perbesaran 10 kali.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Survival rate rayap dan weight lost merupakan indikator yang digunakan untuk
mengetahui aktivitas anti rayap dari suatu bahan. Pada gambar 1 terlihat adanya perbedaan
Survival rate tiap perlakuan. Pada dosis 0.025ml dan 0.05 ml masih ditemukan rayap yang
hidup sampai hari ketiga, sedangkan dosis lainnya yaitu 0.1, 0.15 dan 0.2 ml semua rayap
mati pada 24 jam setelah pengumpanan. Hal ini menunjukkan efektifitas yang sangat baik
dari asap cair terhadap kematian rayap. Menurut Yatagai (2007) kandungan asap cair antara
lain asam asetat, propionic, butanoic, n-valeric, dan phenol. Asam terdapat dalam jumlah
paling banyak dalam asap cair berkontribusi besar dalam aktivitas anti rayap terutama asam
asetat karena terdapat dalam jumlah terbesar pada asap cair dibanding jenis asam lainnya.
Asam dan fenol merupakan kombinasi yang kuat dalam menghambat pertumbuhan bakteri
(Darmadji,1996). Sehingga dapat diduga asap cair ini mempengaruhi pertumbuhan bakteri
dan protozoa dalam usus rayap, karena menurut Yoshimura (1995) secara fisiologi nutrisi
dalam tubuh lower termite dipengaruhi oleh protozoa dan juga bakteri, meskipun bakteri
bukan kontributor utama dalam dekomposisi selulosa.

Gambar 1. Survival rate Coptotermes sp akibat perlakuan asap cair

530
PENGOLAHAN HASIL HUTAN

Pada gambar 2 dibawah ini ditunjukkan weight loss (kehilangan berat) dari kertas
saring pada akhir pengujian. Pada grafik terlihat adanya pengaruh penurunan kehilangan
berat akibat pemberian perlakuan s asap cair. Prosentase kehilangan berat pada kertas
saring tanpa perlakuan (kontrol) sebesar 4.7 %. Perlakuan dosis asap cair yang semakin
besar menyebabkan penurunan weight loss kertas saringnya, dimana dosis 0.1 ml, 0.15 ml
dan 0.2 ml memberikan weight loss yang kecil yaitu mendekati 1 %. Hal ini menunjukkan
adanya hubungan antara penurunan prosentase kehilangan berat dan kematian rayap.

Gambar 2. Weight loss kertas saring setelah pengumpanan terhadap rayap Coptotermes sp

Jumlah protozoa dalam usus rayap pada tiap perlakuan dapat dilihat pada tabel 1.
Penghitungan jumlah protozoa hanya dapat dilakukan pada perlakuan 0 (kontrol), 0.025 ml
dan 0.05 ml asap cair,karen pada dosis diatasnya seluruh rayap mati 100%. Identifikasi
terhadap protozoa dalam Coptotermes sp menunjukkan ada tiga jenis protozoa, yaitu
Pseudotrichonympha grasii Koidzumi, Holomastigotoides hartmanni Koidzumi dan
Spirotrichonympha leidy Koidzumi. Ketiga jenis protozoa ini memiliki bentuk yang khas
sehingga sangat mudah dibedakan satu dengan lainnya.

Spirotrichonympha leidy Holomastigotoides hartmanni

531
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Pseudotrichonympha grasii

Tabel dibawah memberikan informasi bahwa jumlah protozoa menunjukkan


penurunan pada dosis perlakuan yang berbeda dimana dosis 0.05 ml menunjukkan jumlah
protozoa yang lebih sedikit dibanding dosis 0.025 ml dan kontrol menunjukkan jumlah
protozoa yang paling banyak pada pengamatan yang sama. Pada satu perlakuan jumlah
protozoa menurun dalam 3 hari pengamatan, hal ini berlaku pada ketiga perlakuan yaitu
0.025, 0.05 dan kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa dosis asap cair berpengaruh terhadap
jumlah protozoa dalam usus rayap, akan tetapi jumlah protozoa juga dipengaruhi lingkungan
dimana rayap berada. Kartika 2008 melaporkan bahwa rayap yang hidup dluar laboratorium
memiliki jumlah protozoa yang lebih sedikit dibanding yang hidup dalam laboratorium. Hal ini
diduga disebabkan laboratorium memiliki fauna protozoa yang lebih stabil (Yoshimura 1995)

Tabel 1. Jumlah protozoa dalam usus rayap Coptotermes sp

Pengamatan (hari)
Perlakuan Protozoa
1 2 3
P 1780 800 220
H 1220 720 260
Kontrol
S 4260 2220 980
Total 7260 3740 1460
P 2200 540 420
Asap cair H 1180 660 140
0.025 ml S 3060 1800 160
Total 6440 3000 720
P 580 260 240
Asap cair H 860 180 160
0.05 ml S 700 560 420
Total 2140 1000 820

Catatan: P: Pseudotrichonympha grasii, H:Holomastigotoides hartmanni dan


S: Spirotrichonympha leidy

KESIMPULAN

Asap cair memberikan efektifitas yang tinggi terhadap kematian rayap tanah
Coptotermes sp dimana pada dosis 0.1 ml dapat menyebabkan kematian rayap 100% dalam
waktu 24 jam. Pengamatan terhadap protozoa selama tiga hari menunjukkan adanya
penurunan jumlah protozoa akibat peningkatan dosis asap cair yaitu dari 0 (kontrol), 0.025
ml dan 0.05 ml

532
PENGOLAHAN HASIL HUTAN

DAFTAR PUSTAKA

Darmadji, P., 1996. Aktivitas antibakteri asap cair yang diproduksi dari bermacam-macam
lLimbah pertanian. Agritech, 16(4) : 19 22
Kartika, T dan S. Yusuf.2008. Study about Intestinal Protozoa of Subterranean Termite,
Coptotermes sp. Proceedings-TRG 5. Bali Indonesia
Nurhayati T, Desviana, Kurnia Sofyan.2005. Tempurung Kelapa Sawit (TKS) sebagai Bahan
Baku Alternatif untuk Produksi Arang Terpadu dengan Pyrolegneous/ Asap Cair.
Jurnal Mapeki.itsuyo
Yatagai M, Madoka Nishimoto, Keko Hori, Tatsuro Ohira and Akira Shibata. (2002).
Termiticidal activity of wood vinegar, its components and their homologues. Jurnal of
Wood Science. Japan Wood Research Society.
Yoshimura T. 1995. Contribution of protozoan fauna to nutritional physiology of thelower
termite, Coptotermesformosanus Shiraki. Doctors thesis.Kyoto University, Japan.
Yudianti, R, L Indrarti, J Azuma, M. Sakamoto, K Tsunoda and T Yoshimura. 2002.
Digestibility of cellulosic Hydrocolloid by Termite Coptotrmes formosanus Shiraki.
Proceedings-TRG 5. Bali Indonesia.
Yuwanti. S, 1999. Potensi pencoklatan fraksi-fraksi asap cair tempurung kelapa. Tesis
Program pascsarjana.UGM.Yogyakarta.

533
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

KETAHANAN KAYU JABON YANG DIMODIFIKASI CAMPURAN


STYRENE DAN MMA TERHADAP SERANGAN RAYAP TANAH
(Coptotermes curvignathus Holmgren)
Lusita Wardani1, Iwan Risnasari1, Yasni2 dan Yusuf Sudo Hadi3
1
Mahasiswa Pascasarjana Dept. Hasil Hutan IPB. Bogor
2
Peneliti LPHH,Dep. Kehutanan Bogor
3
Dept. Hasil Hutan, Fak. Kehutanan IPB. Bogor

ABSTRAK

Kayu sebagai bahan organik mempunyai ketahanan yang bervariasi terhadap


serangan organisme perusak. Ketahanan ini dapat ditingkatkan dengan berbagai upaya,
antara lain dengan memodifikasi kayu dengan bahan-bahan polimer. Kayu Jabon merah dan
Jabon Putih adalah jenis kayu yang cepat tumbuh,sehingga dikategorikan sebagai kayu
yang mempunyai ketahanan terhadap serangan organisme perusak sangat rendah (Klas IV-
V). Penelitian ini adalah memodifikasi kayu tersebut dengan campuran polymer dari styrene
dan MMA dengan tambahan inisiator Mepoxe pada komposisi 60/38 ; 70/28; 80/18 (v/v)
ditambahan larutan Mepoxe 2 %, dengan metode impregnasi selama 45 menit pada tekanan
600 mmHg. Kemudian sampel dibungkus dalam aluminium foil dan dikeringkan pada
temperatur 60 C selama 24 jam agar terbentuk polimerisasi, kayu modifikasi diumpankan
pada rayap tanah (Coptotermes curvignathus Holmgren) berdasarkan SNI SNI 01.7207-
2006. Hasil penelitian menyatakan bahwa persentase penurunan berat menurun 7,26
3,1%, mortalitas 100 % dan derajat serangan menurun antara 8,56-0,66 % dibanding
dengan kayu kontrol. Kayu Jabon hasil modifikasi dapat dikategorikan dalam kelas awet I
II. Perbaikan sifat kayu jabon putih lebih baik banding jabon merah. Peningkatan komposisi
MMA dalan campuran styrene pada dosis lebih dari 30% tidak menunjukan pengaruh yang
signifikan.

Kata kunci : Modifikasi Jabon merah dan jabon putih, Rayap Tanah, Kelas Awet.

PENDAHULUAN

Kayu sangat akrab dengan kehidupan manusia, Berasal dari kebun atau hutan untuk
dimanfaatkan bagi keperluan hidup . Kayu terbentuk melalui proses alami, dengan bantuan
air dari tanah, karbondioksida dari atmosfir serta energi cahaya matahari, daun-daun
membentuk bahan-bahan organik yang menghasilkan antara lain kayu. Butuh waktu yang
cukup lama membentuk sebatang kayu, sehingga sebagai pengguna kita harus bijak dalam
memanfaatkan kayu.
Keunggulan kayu sebagai bahan organik akan lebih lengkap jika kayu yang kita
manfaatkan mempunyai ketahanan terhadap kerusakan, baik oleh faktor biologi maupun
faktor lain. Karena serangan faktor biologi ini tidak saja akan menurunkan umur pakai kayu
tetapi juga menurunkan nilai jualnya, karena saat ini industri kayu sudah mengolah kayu-
kayu hasil hutan tanaman industri yang relatif berumur muda dengan daya tahan terhadap
serangan faktor biologis sangat rendah (kelas awet IV-V)
Perkembangan teknologi untuk memperpanjang masa pakai kayu telah berkembang
sangat pesat, jika pada awalnya kita hanya memanfaatkan kayu langsung , saat ini teknologi
pengolahan kayu telah cukup membantu dengan meningkatkan masa pakai dan nilai jual
produk olahan kayu sehingga lebih efisien dan efektif. Kayu plastik adalah produk olahan
atau modifikasi pengolahan kayu dengan memberikan sentuhan teknologi berbasis plastik
untuk meningkatkan kualitas produk-produk kayu. Akan tetapi tentu saja masih perlu
dikembangkan secara lebih detail agar kita benar-benar mendapatkan produk modifikasi
kayu yang lebih baik dan terutama juga ramah terhadap lingkungan.

534
PENGOLAHAN HASIL HUTAN

Hadi.YS et al (2005) menyatakan tingkat kematian rayap kayu kering Cryptotermes


cynocephalus yang menggunakan furfuryl alkohol pada kayu pinus, agathis dan sengon
mencapai 62.8-100% dibandingkan kontrol tanpa modifikasi bahan tambahan yang hanya
26.8 %, dengan tingkat kehilangan bobot kayu 4.2-0 % dan kontrol 10 %. Lebih lanjut
dikatakan pada perlakuan yang sama kehilangan bobot akibat serangan rayap tanah
Coptotermes curvignathus Holmgren) selama waktu 3 bulan, 6 bulan dan satu tahun antara
7-2 %, sedangkan pada kayu kontrol mencapai 100%.
Uji coba DMDHEU (dymethyloldihydroxyl-ethyleneurea) untuk kayu modifikasi
dengan kayu beech dan pinus yang diumpankan pada rayap tanah lebih rendah daripada di
lapangan. Modifikasi kayu pinus lebih baik daripada beech ( H. Militz S. Schaffert et al,
2010)
Polystyrene yang digunakan pada kayu sengon dan karet juga terbukti dapat
menahan serangan terhadap jamur Trametes versicolor dan Tyromyces palistris , selain itu
juga meningkatkan polimer loading antara 29-42 % (Hadi.YS., et. al(2003). Kartal.S.N., et
al(2003), menguji penggunaan MMA dengan DOT dan AGE pada kayu sugi terhadap
serangan jamur dan rayap tanah dan hasilnya, selain meningkatkan kestabilan dimensi kayu
juga meningkatkan ketahanan kayu sugi terhadap serangan jamur dan rayap. Yildis, 2005.,
menyatakan bahwa WPC yang menggunakan campuran styrene dengan MMA (65 % :28 %)
(V/V %) memberikan hasil terbaik pada sifat fisik dan mekanik kayu dibandingkan WPC
dengan styrene dan atau MMA saja.
Penelitian ini menggunakan kayu Jabon Merah dan Jabon Putih untuk dibuat
menjadi Wood Plastic Composites(WPCs) dengan menggunakan campuran styrene dan
MMA dalam pada 3 komposisi untuk mendapatkan komposisi ideal yakni mengacu pada
percobaan Yildis, 2005.
Perbedaan species kayu jabon untuk menjawab tantangan yang menyatakan bahwa
jabon merah mempunyai sifat yang lebih baik daripada jabon putih karena berat jenisnya
yang lebih tinggi, apakah polimerisasi dengan plastik dapat meningkatkan kualitas kayu
tersebut serta lebih meningkatkan kayu jabon putih yang dianggap lebih rendah kualitasnya
menjadi sama baiknya dengan Jabon merah.
Styrene merupakan suatu jenis monomer yang umum dipakai untuk WPCs. Styrene
dapat dipolimerisasi dalam kayu dengan menggunakan katalis (Vazo atau peroxide) dan
panas, atau radiasi. Monomer lain biasanya ditambahkan untuk mengendalikan tingkat
polimerisasi, meningkatkan polimerisasi dan ikatan silang styrene untuk memperbaiki sifat
fisis dari WPCs (Ibach and Ellis, 2005).
Methylmethacrylate (C5H8O2) adalah senyawa organik , monomer cair bening yang
sangat kuat, karena ikatan rantai pada molekulnya, bisa bervariasi pada materi yang
berbeda. Digunakan sebagai bahan dasar plastik dengan nama dagang litite, diakon dan
lain-lain. Bau dan penampilannya bening dan berbau buah.

Tujuan Penelitian
Menguji dan membandingkan durability dari jabon merah dan jabon putih hasil
impregnasi campuran 3 komposisi larutan styrene dan MMA dengan inisiator mepoxe
terhadap serangan rayap tanah dalam uji laboratorium.

BAHAN DAN METODOLOGI PENELITIAN

Bahan
Jabon merah (A1)dan jabon putih (A2) ukuran ; 20 x 20 x 10 mm; rayap kayu tanah
. Styrene , Methyl Metha Acrilyte (C5H8O2) , katalis mepoxe .dengan komposisi larutan B1
(60 :38 :2) ; B2(70 :28:2) ; (80 :18 :2) (v/v%). Rayap kayu tanah (Coptotermes curvignathus
Holmgren) masing-masing sebanyak 200 ekor per sampel uji.

535
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Polymerisasi
Sampel kayu dari kayu Jabon Merah dan Jabon Putih sebelum diimpregnasi dan
direndam, terlebih dahulu dikeringkan pada suhu 700C selama 24 jam atau sampai kering
tanur, kemudian diukur dimensi dan beratnya. Selanjutnya contoh uji dimasukkan ke dalam
impregnator berisi campuran larutan styrene dan MMA dengan katalis mepoxi kemudian
divakum selama 30 menit pada tekanan 600 mm Hg, Kemudian , sampel dibungkus dalam
aluminium foil dan dikeringkan pada temperatur 60 C selama 24 jam agar terbentuk
polimerisasi dan dikondisoning pada suhu ruangan selama 2 minggu atau sampai bau
menyengat khas polimer menghilang.

Pengumpulan Data
Uji Ketahanan Serangan Rayap Tanah Coptotermes curvignathus Holmgren) . Data
yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri atas volume awal contoh uji (V0), berat awal
contoh uji (M0), berat setelah impregnasi (M1), berat setelah polimerisasi (= berat sebelum
pengumpanan (M2)), berat basah setelah pengumpanan (M3) dan berat kering setelah
pengumpanan (M4). Data ini digunakan untuk mengetahui nilai-nilai:

Polimer Loading (PL) dan Kehilangan Berat (WL), dengan pengertian:


PL=(M2 - M0)100/M0 (%);
WL= (M4 - M2)100/M2 (%)

Prosedur
a) Contoh uji dimasukkan ke dalam jampot, diletakkan dengan cara berdiri pada dasar
jampot dan disandarkan sedemikian rupa sehingga salah satu bidang terlebar contoh uji
menyentuh dinding jampot;
b) Ke dalam jampot dimasukkan 200 gram pasir lembab yang mempunyai kadar air 7 % di
bawah kapasitas menahan air (water holding capacity);
c) Selanjutnya ke dalam setiap jampot dimasukkan rayap tanah (Coptotermes curvignathus
Holmgren) yang sehat dan aktif sebanyak 200 ekor, kemudian contoh uji tersebut
disimpan di tempat gelap selama 6 minggu;
d) Setiap minggu aktivitas rayap dalam jampot diamati dan masing-masing jampot
ditimbang. Jika kadar air pasir turun 2 % atau lebih, maka ke dalam jampot tersebut
ditambahkan air secukupnya sehingga kadar airnya kembali seperti semula.

Gambar 1. Contoh uji kayu terhadap serangan rayap tanah

Pernyataan Hasil
a) Hasil dinyatakan berdasarkan penurunan berat dan dihitung dengan menggunakan
persamaan:

W1 W2
P = ------------- X 100
W2

536
PENGOLAHAN HASIL HUTAN

dengan pengertian:
P adalah penurunan berat, dinyatakan dengan (%);
W1 adalah berat kayu kering tanur sebelum diumpankan, dinyatakan dengan (g);
W2 adalah berat kayu kering tanur setelah diumpankan, dinyatakan dengan (g).

b) Penentuan ketahanan kayu berdasarkan Tabel 1.

Tabel 1. Klasifikasi ketahanan kayu terhadap rayap tanah berdasarkan penurunan berat

Kelas Ketahanan Penurunan berat (%)


I Sangat tahan < 3,52
II Tahan 3,52 7,50
III Sedang 7,30 10,96
IV Buruk 10,96 18,94
V Sangat buruk 18,94 31,89

c) Hasil merupakan nilai rata-rata dari keseluruhan contoh uji.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Polimer Loading
Modifikasi kayu jabon dengan polimer membuat kayu sangat berbau menyengat ,
karena emisi dari polimer . Kekuatan bau tercium dari jarak yang cukup jauh. Dikhawatirkan
sebelum masuk dalam jadwal pengujian rayap, rayap menjadi stress dan mati. Untuk
mengatasi hal tersebut sampel uji dikering angin selang beberapa waktu sampai bau
berkurang sebelum dilakukan pengujian.
Banyaknya monomer-monomer yang dapat mengisi rongga pada dinding sel kayu
ditunjukkan melalui nilai polymer loading (Gambar 2). Polymer loading untuk kayu jabon
putih lebih tinggi daripada pada kayu jabon merah. Hal ini disebabkan kayu jabon putih
memiliki kerapatan yang lebih rendah (0,22-0,34) dibandingkan kayu jabon merah (0,45-
0,47). Menurut Yildiz et al. (2005), kayu dengan kerapatan lebih rendah memiliki jumlah
rongga sel yang besar (dinding sel lebih tipis), yang menyebabkan kayu bersifat lebih porus
dibandingkan kayu dengan kerapatan lebih tinggi.
Pada jabon putih besarnya polimer loading untuk perlakuan B1= 75 %, B2 = 100,89
% dan B3 = 143,66%. Jabon merah B1 = 47,41 %, B2 = 51,28 %dan B3 = 60,88 %.
Besarnya polimer loading pada jabon putih tersebut nantinya sangat mempengaruhi sifat
keawetan kayu modifikasi ini. Persentase perubahan kerapatan juga meningkat antara
36,280,6% dengan persentase penurunan berat dari jabon putih 3,28 7,26 % dan jabon
merah 3,1- 6,84 % maka dapat diduga bahwa jabon putih menunjukan peningkatan kualitas
keawetan yang sangat baik. Hal ini karena kayu modifikasi selain menjadi sangat padat
/rapat juga menjadi lebih stabil .
Komposisi MMA juga berperan pada peningkatan polimer loading, makin tinggi
konsentrasi MMA dalam larutan campuran makin tinggi polimer loading pada setiap sampel
uji.

537
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Gambar 2. Grafik polimer loading modifikasi kayu jabon merah dan jabon putih

Sifat Ketahanan, Modifikasi Kayu Jabon Merah dan Jabon Putih


Kelas awet kayu terhadap serangan rayap tanah ditentukan berdasarkan penurunan
berat pada saat diumpankan pada rayap selama 3 bulan. Selain itu diperhatikan juga
besarnya derajat serangan dan mortalitas rayap umpan. Berikut ini data yang diperoleh
ditabulasi kemudian dibandingkan dengan SNI. 01.7207-2006
Hasil pengujian dalam tabulasi menyatakan bahwa walaupun mortalitas rayap jabon
merah sama nilainya daripada jabon putih tetapi intensitas derajat serangan lebih tinggi pada
jabon putih . Ini bisa berarti bahwa dengan atau modifikasi jabon merah tetap lebih keras
daripada jabon putih sehingga rayap sulit menyerang.

(A) Penurunan berat (%)

Species Kontrol Styrene 60 Styrene 70 Styrene 80

Karet 39.89 - - -
A1(Jabon merah) 16.61 3.1 6.84 5.82
A2 (jabon Putih) 32.4 7.26 5.82 3.28

Pengujian ini juga membuktikan bahwa dengan modifikasi kimia, kayu berkeawetan
rendah dapat diperbaiki sifat-sifatnya terutama sifat ketahanannya terhadap serangan rayap.
(Hadi et al,2002) . Dimulai dengan persentase penurunan berat , modifikasi berkisar antara
3.1- 7.6 % , artinya kurang dari 10 % dibandingkan kayu kontrol persentase penurunan berat
lebih dari 10 %, setelah pengamatan 3 bulan. Ketahanan terhadap serangan rayap ini tidak
berarti bahwa kayu modifikasi menjadi bahan yang tidak dapat di degradasi, tetapi hanya
untuk memperpanjang masa pakai kayu, sehingga penggunaan kayu menjadi lebih lama
dan mengurangi biaya perawatan selama masa pakainya.

(B) Mortalitas (%)

Species Kontrol Styrene 60 Styrene 70 styrene 80

Karet 3.6 - - -
A1(Jabon Merah) 9.8 100 100 100
A2(Jabon Putih ) 32.4 100 100 100

538
PENGOLAHAN HASIL HUTAN

Kemudian mortalitas rayap tanah total untuk kayu modifikasi adalah 100 % , bahkan
rayap telah mati pada pengamatan 1 bulan. Pada kayu kontrol karet sampai akhir
pengamatan tingkat kematian rayap hanya 3.6 %, pada Jabon merah 19.8 % ,dan jabon
putih 32.4 %. Kayu modifikasi pada awal perlakuan menghasilkan bau yang menyengat
akibat emisi bahan kimia, diatasi dengan mengkondisioningkan sampel sebelum
diumpankan pada rayap, akan tetapi kemungkinan bahan tersebut masih menyebabkan bau
yang tidak disukai rayap adalah sangat mungkin, sehingga rayap akan mati karena tidak ada
bahan/subtrat yang dapat dimakan, selain itu juga kayu modifikasi karena mempunyai
polimer loading yang cukup tinggi akan menyebabkan kau menjadi cukup keras dan rayap
tidak dapat leluasa untuk memakannya dan akhirnya mati .

(C) Derajat serangan (%)

Species Kontrol Styrene 60 Styrene 70 Styrene 80

Karet 100 - - -
A1 (Jabon Merah) 47 0.66 3.6 8.56
A2 84 7.5 6.1 0.56

Persentase derajat serangan pada Jabon merah modifikasi sekitar 0.66- 8.56 %
dibandingkan kayu kontrol jabon merah sebesar 47 %, berarti modifikasi pada Jabon merah
menurunkan derajat serangan yang cukup signifikan, Komposisi perlakuan yakni dosis MMA
juga menunjukan pengaruh yang nyata yakni pada dosis MMA yang tinggi derajat serangan
lebih rendah. Akan tetapi pada Jabon putih dosis MMA justru terjadi hal yang sebaliknya,
sehingga dosis MMA bisa dianggap bukan sebagai faktor penentu. Ada kemungkinan arah
pemotongan kayu mempengaruhi sifat kekerasan kayu yang pada pengamatan ini tidak
dibedakan.

(D) Score (Nilai)

Species Kontrol Styrene 60 Styrene 70


Styrene 80
Karet 100 (V) - - -
A1 70 (IV) 0(I) 40(II) 40(II)
A2 100 (V) 40 (II) 40 (II) 0(I)

Hasil kompilasi penurunan berat dan derajat serangan menentukan score yang
menjadi dasar penentuan kelas awet kayu atau ketahanan kayu terhadap serangan rayap,
nilai total yang diperoleh mengklasifikasikan kayu modifikasi jabon merah dan putih ke dalam
kelas ketahanan I- II yakin kayu yang tahan sampai sangat tahan terhadap serangan rayap
tanah karena nilai persetase penurunan berat berkisar antara 0.66- 7.26 %. Peningkatan
yang cukup signifikan pada kayu jabon putih dari kelas awet V menjadi kelas awet I-II, juga
kayu jabon merah dari kelas awet IV menjadi I-II.
Perbedaan konsentrasi dari campuran styrene dengan MMA dengan inisiator Mepoxe
untuk pengujian keawetan kayu tidak berpengaruh nyata, sehingga konsentrasi MMA bisa
saja kita gunakan pada dosis yang rendah , karena harganya relatif cukup mahal.

(E) Polimer Loading (%)

Species Kontrol Styrene 60 Styrene 70 Styrene 80

Karet - - - -
A1 - 47.41 51.28 60.88
A2 - 75 100.89 143.66

539
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Jika kita hubungkan antara besarnya polimer loading dengan derajat serangan
sepertinya tidak terjadi hubungan yang signifikan ,akan tetapi konsentrasi MMA dalam
larutan polimer mempunyai peran terhadap besarnya presentase derajat serangan dengan
kata lain konsentrasi MMA dalam larutan polimer mampu membuat WPC lebih tahan
terhadap serangan rayap , tetapi masih dalam kategori kelas ketahanan I-II. Sedangkan
berdasarkan penurunan berat dengan besarnya polimer loading menunjukan hubungan
yang cukup erat,yakni presentase peningkatan polimer loading menyebabkan meningkatnya
presentase penurunan berat pada masing-masing perlakuan.

KESIMPULAN DAN SARAN

Hasil penelitian ini diperoleh kesimpulan bahwa :


a. Polimerisasi kayu jabon dengan campuran Styrene , MMA dan Mepoxy dapat
memperbaiki sifat keawetan kayu Jabon Merah dan Jabon Putih.
b. Komposisi MMA juga berperan pada peningkatan polimer loading,
c. Penambahan dosis MMA tidak berpengaruh nyata terhadap presentase penurunan
derajat serangan maupun penurunan berat.
d. Nilai keawetan Jabon putih meningkat secara lebih signifikan dari sifat alaminya
dibandingkan Jabon Merah , yaitu dari kelas awet V menjadi kelas awet I-II.
e. Jabon merah termasuk kelas awet IV setelah dimodifikasi dengan campuran Sytrene ,
MMA dan Mepoxe termasuk kelas awet I II.

DAFTAR PUSTAKA

Aikfei Ang, Zaidon Ashaari , Edi Suhaimi Bakar & Mohd Hamami Sahri, 2009. Enhancing the
Properties of Mahang (Macaranga spp.) Wood through Acrylic Treatment in
Combination with Crosslinker .Faculty of Forestry, Universiti Putra Malaysia 43400,
Serdang, Selangor, Malaysia
Baki, H., Yalcin, O., Hakki, A., 1993. Improvement of wood properties by impregnation with
macromonomeric initiators. J. Appl. Polym. Sci. 47, 1097.
Devi, R.R., Ali, I., and Maji, T.K. 2003. Chemical modication of rubber wood with styrene in
combination with a crosslinker: eect on dimensional stability and strength property.
Bioresource Technology 88 (2003) 185188.
Yildiz, U.C., S. Yildiz, and E.D. Gezer. 2005. Mechanical properties and decay resistance of
woodpolymer composites prepared from fast growing species in Turkey.
Bioresource Technology 96 (2005) 10031011.
Hill, C.A.S. 2006. Wood Modification: Chemical, Thermal and Other Processes. John Wiley
& Sons Ltd, The Atrium, Southern Gate, Chichester, West Sussex PO19 8SQ,
England.
Hadi.Y.S., Mats Westin, E.Rasyid, 2005., Resistance of furfurylated wood to termite attack.
Forest Product Journal Vol.55 No.11 p : 85-88 .
Hadi . Y. S . Nurwati Hadjib., Jasni , 2002., Resistance of Polystyrene wood to marine borer
and subteranean termite. Proceedings of the Sixth Pasific Rim Bio-Based
Coposites Symposium and Pre-symposium Workshop on Chemical Modification of
cellulosics. Portland, Oregon State University, USA, 10-13 Nov. 2002, p:528-534.
Hadi, Y.S., D.S.Nawawi , E.N. Herliyana, M. Lawniczak, 1998. Polystyrene poland woods
resistance to biodegradation. Forest Product Journal Vol.48 (9): 60-62
Kartal.S.N., T. Yoshimura, Y.Imamura., 2003, Decay and Termite resistance of boron-treated
and chemically modified wood by in situ co-polymerizatio of allyl glycidyl ether (AGE)
with Methyl methacrylate (MMA). Internatioal Biodeterioration & Biodegradation 53
(2004) 111-117

540
PENGOLAHAN HASIL HUTAN

Rashmi R. Devi, Ilias Ali, T.K. Maji ,2002. Chemical modification of rubber wood with styrene
incombination with a crosslinker: effect on dimensional stability and strength property.
Department of Chemical Sciences, Tezpur University, PO: Napaam, Assam 784028,
India

541
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

PEMANFAATAN DAUN INDIGOFERA SEBAGAI


PEWARNA ALAMI BATIK
Kasmudjo dan Panji Probo Saktianggi
Bagian Teknologi Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada Jl. Agro No.1
Bulaksumur, Yogyakarta

ABSTRAK

Tren mode dunia saat ini cenderung mengarah kepada back to nature atau kembali
ke alam, sehingga perkembangan pewarna alami semakin meningkat. Salah satu yang saat
ini diminati adalah pada pewarnaan batik dengan menggunakan pewarna alami. Penelitian
ini mengemukakan tentang pemanfaatan ekstrak daun indigofera sebagai pewarna alami
batik. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui dan memanfaatkan daun indigofera
sebagai penghasil warna batik. Selain itu, juga untuk mengetahui pengaruh variabel-variabel
penelitian terhadap nilai ketahanan luntur serta mengaplikasikan pewarna alami yang
dihasilkan sebagai penyoga batik yang menghasilkan warna biru.
Ekstraksi daun Indigifera tinctoria LINN dilakukan dengan ekstraksi panas
(perebusan) selama 2 jam. Ekstrak yang dihasilkan digunakan sebagai pewarna kain batik.
Variabel yang diteliti berupa konsentrasi bahan pewarna (1 liter air : 5 kg bahan, 1 liter air :
10 kg bahan dan 1 liter air : 15 kg bahan) dan bahan fiksasi pewarna mineral (tawas, kapur)
maupun alami (jelawe). Parameter pengujian yang diteliti adalah kadar ekstraktif daun,
ketahanan luntur warna terhadap keringat asam, ketahanan luntur warna terhadap sinar
matahari, dan ketahanan terhadap pencucian air panas 400C. Dari penelitian ini diharapkan
pewarna alami yang dihasilkan memiliki ketahanan luntur warna yang tinggi dan dapat
digunakan sebagai pewarna batik yang ramah lingkungan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai pengujian ketahanan luntur warna dan
penodaan terhadap keringat asam dan pencucian 40oC serta ketahanan luntur warna
terhadap sinar matahari menunjukkan hasil yang sangat baik (tinggi) yaitu skala 4-5.
Perbedaan konsentrasi dan bahan fiksasi tidak berpengaruh terhadap tiga parameter di atas.
Analisis mengenai kadar total phenol, kadar tanin, kadar flavonoid daun indigofera berturut-
turut adalah 21,35%, 0,67% dan 0,39% sehingga tergolong tinggi. Berdasarkan hasil diatas
dapat disimpulkan bahwa daun indigofera sangat berpeluang untuk dimanfaatkan sebagai
zat pewarna alami.

Kata kunci : pewarna alami, bahan fiksasi, kualitas batik

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Perkembangan penggunaan pewarna alami sebagai pewarna tekstil belakangan ini
semakin meningkat. Hal tersebut terkait dengan standar lingkungan dan larangan
penggunaan pewarna sintetis yang mengandung gugus azo, seperti di Jerman dan Belanda
yang mensyaratkan penggunaan bahan pewarna tekstil yang ramah lingkungan dan tidak
menghendaki pemakaian pewarna sintetis. Dengan pelarangan penggunaan pewarna
sintetis yang mengandung gugus azo tersebut merupakan moment yang tepat untuk
mengenalkan kembali pewarna alam yang telah lama ditinggalkan.
Penggunaan pewarna tekstil sintetis yang mengandung logam berat akan
menimbulkan dampak lingkungan, antara lain pencemaran tanah, air, udara dan dampak
langsung bagi manusia seperti kanker kulit, kerusakan otak dan lain-lain. Terdapat pewarna
alami pada awal pewarnaan dan proses pewarnaan tidak menggunakan logam berat, besi,
bahan kimia toksin dan garam. Disamping itu bahan pewarna dapat diekstrak dari bagian

542
PENGOLAHAN HASIL HUTAN

tumbuhan hanya memerlukan air sebagai pelarutnya, dan sisa limbah padat yang dihasilkan
dapat didegradasi alam atau dapat digunakan sebagai kompos.
Pewarna alam dapat dihasilkan dari tumbuhan, seperti dari bagian batang, akar,
daun, bunga, kulit batang dan sebagainya. Menurut Heyne (1987) terdapat sekitar 150 jenis
tanaman yang intensif menghasilkan pewarna alam. Warna yang dihasilkan meliputi warna
dasar (merah, biru, kuning) dan warna-warna kombinasi seperti coklat, jingga, dan nila. Dari
keseluruhan jenis tumbuhan yang digunakan sebagai pengahasil zat warna alam, belum
semuanya sudah diuji ketahanan lunturnya.
Pada penelitian ini digunakan daun Indigofera, yang dapat menghasilkan warna biru
indigo (Nila Jawa). Kelemahan dari pewarna alami yaitu ketahanan lunturnya yang lebih
rendah dari pewarna sintetis. Untuk memperoleh ketahanan luntur yang tinggi perlu
dilakukan proses fiksasi (pembangkitan warna) yang bertujuan untuk mempertajam warna
dan supaya tidak mudah luntur.
Dari uraian tersebut, maka dilakukan penelitian berupa usaha pengikatan pewarna
dengan menggunakan bahan fiksasi berupa tawas, kapur dan jalawe. Pemilihan bahan
fiksasi tersebut didasarkan pada sifat zat yang relatif tidak membahayakan lingkungan dan
sering digunakan pada penelitian-penelitian di BBKB. Sebagai bahan pewarna alami
digunakan daun Indigofera dengan cara direndam selama 24 jam dengan mengggunakan
pelarut air. Pada penelitian ini pewarna yang dihasilkan juga akan dicobakan sebagai
pewarna batik dan diuji kualitasnya melalui nilai ketahanan luntur warna yang dihasilkan.

Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah :
1. Memanfaatkan daun Indigofera tinctoria LINN sebagai bahan pewarna alami batik yang
ramah lingkungan.
2. Mengetahui konsentrasi bahan pewarna yang menghasilkan ketahanan luntur warna
yang optimal.
3. Mengetahui bahan fiksasi (tawas, kapur, jelawe) yang menghasilkan ketahanan luntur
warna yang optimal.
4. Mengaplikasikan pewarna yang dihasilkan sebagai penyoga / pewarna batik.

Manfaat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang pewarna alami
dari daun Indigofera sebagai pewarna tekstil/batik sehingga dapat dijadikan pedoman
ataupun pertimbangan bagi pengusaha tekstil/batik atau pengrajin dalam penggunaan
pewarna alam. Disamping itu diharapkan dapat mengurangi penggunaan zat pewarna
sintetis yang mencemari lingkungan.

BAHAN DAN METODE

Bahan dan Alat


Bahan yang digunakan adalah Daun Indigofera (Indigofera tinctoria LINN), dengan
bahan fiksasi berupa Tawas Kapur, dan Jelawe. Bahan lain yang digunakan yaitu Air,
Aquades, Soda Abu, Kanji, Natrium Klorida, Histridin mono hidrochlorida, Asam Laktat,
Dinatrium ortofosfat nonhidrat, Sabun, Lilin, dan Alkohol. Untuk aplikasi digunakan Kain wol,
Kain polyester, Kain mori Birkolin.
Peralatan utama yang gigunakan antara lain : alat ekstraksi, timbangan analitik,
pemanas, pengaduk, gelas ukur, pH meter, linitest, Gray Scale, AATCC Persipirationtester,
Standart celupan berupa Blue wool Gray Scale JIS L 0804 : alat evaluasi perubahan warna
sampel uji. Staining Scale JIS L 0805, Cating, Blue Wool, Fade-Ometer, Wira, Pendingin
Gelas beker : alat uji kadar ekstraktif larut air panas dan dingin, Cawan saring 3 Mikron.

Prosedur
1. Pembuatan ekstrak pewarna : yaitu dengan daun yang memiliki konsentrasi yang
berbeda , yakni (1:5, 1:10 dan 1:15), dimana 1 kg bahan bahan dengan 5, 10 dan 15 liter

543
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

air. Daun direndam di dalam air sampai larutan berubah menjadi warna biru (kurang lebih
24-48 jam), kemudian disaring larutan pewarna diaduk selama 0,5 jam dengan
menambahkan 30 gram kapur. Setelah menjadi pasta, ditambahkan kapur dan gula aren
dengan perbandingan 1:1, campuran larutan ini dibiarkan 10 jam dan larutan siap
digunakan untuk pencelupan.
2. Pewarnaan kain meliputi : pemordanan, penganjian kain, pengecapan kain (pembatikan),
pencelupan dalam pewarna, proses fiksasi (menggunakan tawas, kapur dan jelawe)
dengan konsentrasi masing-masing sebesar 25 g/l, pelorodan dan penjemuran kain.
3. Pengujian : Yaitu pengujian kualitas pewarnaan batik berupa uji Tahan Luntur Warna
Terhadap Keringat Asam, uji Tahan Luntur Warna Terhadap Sinar Matahari, uji Tahan
Luntur Warna Terhadap Pencucian 40C

Analisis Data
Pengujian kualitas pewarnaan batik menggunakan Rancangan Lengkap (CRD).
Faktor yang digunakan yaitu perbedaan konsentrasi dan bahan fiksasi.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil
Pada nilai perubahan ini meliputi pengujian tahan luntur warna terhadap keringat,
sinar matahari dan pencucian (sabun). Secara rinci dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 1. Nilai Perubahan Warna Pengujian Tahan Luntur terhadap Keringat Asam

Konsentrasi (K) Fiksasi Ulangan


(F) 1 2 3
K1 F1 4-5 4-5 4-5
F2 4-5 4-5 4-5
F3 4-5 4-5 4-5
K2 F1 4-5 4-5 4-5
F2 4-5 4-5 4-5
F3 4-5 4-5 4-5
F1 4-5 4-5 4-5
K3 F2 4-5 4-5 4-5
F3 4-5 4-5 4-5

Keterangan :
F1: Kapur K1: Konsentrasi 1 : 5 Kategori nilai rendah = 1, 1-2, 2
F2: Tawas K2 : Konsentrasi 1 : 10 Kategori nilai sedang = 2-3, 3, 3-4
F3: Jelawe K3 : Konsentrasi 1 : 15 Kategori nilai tinggi = 4, 4-5,5

Tabel 2. Nilai Perubahan Warna Pengujian Sifat Tahan Luntur terhadap Sinar Matahari

Konsentrasi (K) Fiksasi Ulangan


(F) 1 2 3
F1 4 4 4
K1 F2 4 4 4
F3 4 4 4
K2 F1 4 4 4
F2 4 4 4
F3 4 4 4
F1 4 4 4
K3 F2 4 4 4
F3 4 4 4
Keterangan : Lihat Tabel 1 (di depan)

544
PENGOLAHAN HASIL HUTAN

Tabel 3. Nilai Perubahan Warna Pengujian Sifat Tahan Luntur terhadap Pencucian 40o

Konsentrasi (K) Fiksasi Ulangan


(F) 1 2 3
K1 F1 4-5 4-5 4-5
F2 4-5 4-5 4-5
F3 4 4 4
K2 F1 4-5 4-5 4-5
F2 4 4 4
F3 4 4 4
F1 4-5 4-5 4-5
K3 F2 4-5 4-5 4-5
F3 4 4 4

Keterangan : Lihat Tabel 1 (di depan)

Pada nilai penodaan warna ini meliputi pengujian tahan luntur warna terhadap
keringat asam dan pencucian sabun. Secara rinci dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 4. Nilai Penodaan Warna Pengujian Tahan Luntur terhadap Keringat Asal

Konsentrasi (F) Fiksasi Penodaan Warna


(F) Kapas Wool Poliester
F1 4-5 4-5 4-5 4-5 4-5 4-5 4-5 4-5 4-5
K1 F2 4-5 4-5 4-5 4-5 4-5 4-5 4-5 4-5 4-5
F3 4-5 4-5 4-5 4-5 4-5 4-5 4-5 4-5 4-5
K2 F1 4-5 4-5 4-5 4-5 4-5 4-5 4-5 4-5 4-5
F2 4-5 4-5 4-5 4-5 4-5 4-5 4-5 4-5 4-5
F3 4-5 4-5 4-5 4-5 4-5 4-5 4-5 4-5 4-5
F1 4-5 4-5 4-5 4-5 4-5 4-5 4-5 4-5 4-5
K3 F2 4-5 4-5 4-5 4-5 4-5 4-5 4-5 4-5 4-5
F3 4-5 4-5 4-5 4-5 4-5 4-5 4-5 4-5 4-5

Keterangan : Lihat Tabel 1 (di depan)

Tabel 5. Nilai Penodaan Warna Pengujian Tahan Luntur terhadap Pencucian 40o

Konsentrasi (F) Fiksasi Penodaan Warna


(F) Kapas Wool Poliester
F1 4 4 4 4 4 4 4 4 4
K1 F2 4-5 4-5 4-5 4 4 4 4-5 4-5 4-5
F3 4-5 4-5 4-5 4 4 4 4-5 4-5 4-5
K2 F1 4-5 4-5 4-5 4 4 4 4-5 4-5 4-5
F2 4-5 4-5 4-5 4 4 4 4-5 4-5 4-5
F3 4-5 4-5 4-5 4 4 4 4-5 4-5 4-5
F1 4-5 4-5 4-5 4 4 4 4-5 4-5 4-5
K3 F2 4-5 4-5 4-5 4 4 4 4-5 4-5 4-5
F3 4-5 4-5 4-5 4 4 4 4-5 4-5 4-5

Keterangan : Lihat Tabel 1 (di depan)


Parameter tambahan untuk kadar ekstraktif daun indigofera yang dilakukan adalah
sebagai berikut :

545
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Tabel 6. Pengujian Kadar Ekstraktif Daun Indigofera

No. Parameter Uji Kadar (%) Metode


1 Flavonoid 0,39 TLC
2 Tanin 0,67 TLC
3 Total Phenol 21,35 Spektrofotometri

PEMBAHASAN

Nilai Perubahan Warna


Pada nilai perubahan warna ini meliputi pengujian terhadap sifat tahan luntur warna
terhadap keringat, sinar matahari dan pencucian (sabun). Secara rinci dapat dilihat pada
tabel dibawah ini:
1. Uji Tahan Luntur Warna Terhadap Keringat
Seluruh nilai perubahan termasuk ke dalam kategori tinggi (4-5), sehingga tidak
perlu dilakukan uji statistik. Nilai ini telah memenuhi syarat kualitas yakni minimal 3
(sedang). Kedua faktor memberikan pengaruh yang sama kuat (memadai) terhadap nilai
perubahan warna pada ketahanan luntur warna terhadap keringat asam.
Hal ini diduga karena bahan fiksasi dapat mengikat kuat bahan pewarna pada
kain dan bahan pewarna dapat meresap masuk dengan sempurna ke dalam serat kain,
sehingga pada saat dikenai larutan asam zat warna tidak terlepas. Hal ini diperkuat oleh
Hasanudin dkk (2001), yang menyatakan bahwa zat warna yang masuk ke dalam serat
kain dengan sempurna tidak akan terlepas pada saat di uji dengan larutan asam. Lestari
(2002) juga menyebutkan bahwa zat warna bejana dari indigofera memiliki ketahanan
luntur warna yang bagus.

2. Uji Tahan Luntur Terhadap Sinar Matahari


Nilai pengujian masuk dalam kategori tinggi (4), dan nilai ini semua memenuhi
syarat kualitas yakni minimal 4 (kategori tinggi). Ikatan yang kuat dan stabil antara kain
dengan zat warna menyebabkan rantai molekul warna tidak mudah putus walaupun
terkena sinar ultraviolet dan energi panas dari sinar matahari. Menurut Hasanudin dkk
(2001), sinar matahari yang mengandung sinar ultraviolet dan energi panas yang
menyerang rantai molekul zat warna dapat menyebabkan rantai molekul zat warna putus.
Menurut Hasanudin dan Widjiati (2002), nilai ketahanan luntur warna terhadap sinar
matahari lebih ditentukan oleh stabil dan tidaknya struktur molekul zat warna apabila
terkena energi panas dan sinar ultra violet. Selain itu, karena indigofera adalah zat warna
bejana yang akan timbul warnanya setelah kontak dengan udara (teroksidasi). Hal ini
menyebabkan zat warna akan menempel kuat pada kain dan daya luntur warna tinggi
(Lestari, 2002)

3. Uji Tahan Luntur Terhadap Pencucian 40oC


Seluruh nilai perubahan termasuk ke dalam kategori tinggi (4-5), sehingga tidak
perlu dilakukan uji statistik. Nilai ini telah memenuhi syarat kualitas yakni minimal 3-4
(sedang). Menurut Hasanudin dan Widjiati (2002) yang menyatakan bahwa sifat tahan
luntur warna pencucian ditentukan oleh kuat lemahnya ikatan yang terjadi antara serat
dan zat warna. Hal ini diperkuat oleh Hasanudin dkk (2001), yang menyatakan dalam
pengujian ini bahan tekstil direndam dalam larutan sabun dan dikenai gerakan-gerakan
mekanik. Warna pada bahan tekstil diserang oleh zat kimia dan gerak mekanik sehingga
apabila ikatan antara zat pewarna dan serat kuat, warna pada kain tidak akan luntur.
Sulaeman dkk (2000) juga menyebutkan adanya Ca2+ dari larutan kapur, ataupun Al3+
dari larutan tawas akan menyebabkan ikatan antara ion-ion tersebut dengan tanin yang
telah berada di dalam serat berikatan dengan serat sehingga molekul zat pewarna alam
yang berada di dalam serat menjadi lebih besar. Hal ini mengakibatkan molekul zat

546
PENGOLAHAN HASIL HUTAN

pewarna alam akan sukar keluar dari pori-pori serat dan akan memperkuat ketahanan
luntur. Lestari (2002) juga menyebutkan bahwa zat warna bejana (misalnya indigo)
merupakan zat warna alam yang memiliki ketahanan luntur warna yang paling unggul jika
dibandingkan dengan zat warna mordan, direk maupun zat warna basa/asam.

Nilai Penodaan Warna


1. Uji Tahan Luntur Warna Terhadap Keringat Asam
Seluruh nilai penodaan termasuk ke dalam kategori tinggi (4-5), sehingga tidak
perlu dilakukan uji statistik. Nilai ini telah memenuhi syarat kualitas yakni minimal 3
(sedang). Hasil ini diduga karena bahan pewarna daun indigo dapat meresap masuk ke
dalam serat kain dengan sempurna pada saat proses pencelupan. Menurut Hasanudin
dkk (2001), menyatakan bahwa zat warna yang masuk ke dalam serat kain dengan
sempurna tidak akan terlepas pada saat di uji dengan larutan asam. Menurut Martono,
Zuhdi dan Retnowati (2007) menyatakan bahwa serat polipetida seperti wool, kapas
merupakan media yang terbaik untuk pewarnaan dengan pewarna alami karena
tingginya kandungan gugus polar yang berikatan dengan pewarna alami secara mudah,
hal inilah yang menyebabkan nilai ketahanan penodaan luntur warna tinggi.

2. UjiTahan Luntur Terhadap Pencucian 40oC


Seluruh nilai penodaan termasuk ke dalam kategori tinggi (4-5), sehingga tidak
perlu dilakukan uji statistik. Nilai ini telah memenuhi syarat kualitas yakni minimal 3
(sedang). Menurut Hasanudin dkk (2001), dalam pengujian ini bahan tekstil direndam
dalam larutan sabun dan dikenai gerakan-gerakan mekanik warna pada bahan tekstil
diserang oleh zat kimia dan gerak mekanik. Apabila ikatan antara zat pewarna dan serat
kuat, warna pada kain tidak akan luntur.

Nilai Kadar Ekstraktif


Kadar ekstraktif adalah informasi tambahan/pendukung, diperoleh : golongan
phenolik yang dihasilkan daun indigofera 21,35%. Menurut Soenardi (1976) kadar zat
ektraktif rata-rata adalah 3-8% dari berat kering tanur, sedangkan menurut Tsoumis (1968)
sebesar 1-10%. Berdasarkan nilai di atas,maka kadar ekstraktif daun indigofera
dikategorikan tinggi. Dari hasil tersebut, maka daun indigofera mempunyai potensi yang
memadai untuk dimanfaatkan sebagai pewarna alami.

KESIMPULAN

1. Daun Indigofera mempunyai peluang yang sangat baik untuk digunakan sebagai zat
pewarna alami khususnya untuk batik.
2. Hasil pengujian kualitas pewarnaan meliputi nilai penodaan dan perubahan warna uji
tahan luntur warna terhadap keringat asam, cahaya matahari dan pencucian
menunjukkan hasil yang sangat baik (tinggi).
3. Perbedaan konsentrasi dan bahan fiksasi tidak mempengaruhi kualitas pewarnaan.
4. Perbedaan bahan fiksasi hanya akan mempengaruhi hasil warna akhir dari batik

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 1994. Katalog Standar Nasional Indonesia. Bidang Industri. Departemen


Perindustrian. Pusat Standarisasi Indonesia. Jakarta.
_______ , 2000. Zat Warna dan Zat Pembantu dalam Pembatikan. Seri BIPIK 18.
Departemen Perindustrian. Yogyakarta
_______ , 2002. Tanaman Obat Indonesia. Edisi : Mahoni. http://iptek.net.htm .
_______ , 2005. Pewarna Alam. http:// www.plh_smk.or.id.
_______ , 2008. Indigofera. www.ditjenbun.deptan.go.id.

547
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

______, 2010. Standar Industri Indonesia. Cara Uji Tekstil. SNI ISO 105-A02-2010. dan SNI
ISO 105-A03-2010. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Industri Tekstil.
Bandung.
Hasanudin dan Widjiati. 2002. Penilaian Proses Pencelupan Zat Warna Soga Alam Pada
Batik Kapas. Departemen Perindutsrian dan Perdagangan Republik Indonesia. Balai
Besar Penelitian dan Pengembangan Industri Kerajinan Batik. Yogyakarta.
Her dan Eka, 2002. Teknologi Pewarna Alam. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan
Industri Kerajinan dan Batik. Yogyakarta.
Heyne, 1987. Tumbuhan Berguna di Indonesia Jilid I. Badan Litbang Kehutanan.
Departemen Kehutanan. Jakarta.
Lestari, K., 1999. Proses Ekstraksi dan Pudarisasi Bahan Pewarna Alam. Makalah Seminar
Revival of Natural Colors. Departemen Perindustrian dan Perdagangan. Yogyakarta.
_________, 2002. Promosi Dagang, Industri dan Investasi Melalui Workshop Pewarnaan
Batik Kria Tekstil (Tekstil Kerajinan Tenun) Dengan Zat Warna Alam. Departemen
Perindutsrian dan Perdagangan Republik Indonesia. Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Industri Kerajinan Batik. Yogyakarta.
Martono, Z.M., dan Retnowati T.H., 2007. Pengembangan Desain Kerajinan Serat Alami
Dengan Pewarna Alami. Laporan Hasil Penelitian. Fakultas Bahasa dan Seni.
Universitas Negeri Yogyakarta.
Sulaiman, Riyanto, Mudjini dan Widjiwati., 2000. Peningkatan Ketahanan Luntur Zat Warna
Alam dengan Cara Penerjaan Iring. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan
Industri Kerajinan dan Batik. Yogyakarta

548
PENGOLAHAN HASIL HUTAN

RENDEMEN DAN MUTU PAPAN SAMBUNG KAYU


HASIL PENJARANGAN HTI
Achmad Supriadi
Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Jalan Gunung Batu No. 5 PO.Box. 182 Bogor 16610. Telp./Fax. (0251) 8633378-8633413
Email : 19Supriadi20.gmail.com

ABSTRAK

Hutan tanaman Industri (HTI) dikembangkan untuk meningkatkan pasokan kayu yang
semakin menurun seiring dengan makin menurunnya kemampuan produksi dari hutan alam.
Dalam pengelolaannya, pada waktu-waktu tertentu dilakukan penjarangan pada tanaman
HTI untuk diperoleh pertumbuhan optimal. Kayu hasil penjarangan HTI memiliki diameter
kecil, menghasilkan papan gergajian dengan ukuran sempit, sehingga menjadi terbatas
dalam penggunaannya. Untuk meningkatkan pemanfaatannya, kayu gergajian tersebut
dapat dibuat menjadi papan sambung. Makalah ini menyajikan hasil penelitian tentang
pembuatan papan sambung dari kayu damar (Agathis loranthifolia) dan leda (Eucalyptus
deglupta Bl.) hasil penjarangan HTI.
Hasil penelitian menunjukkan dimensi dolok kayu dammar adalah rata-rata panjang
432 cm, diameter 22,8 cm, kebundaran 88 cm dan taper 2,2 cm/m. Dimensi dolok kayu leda
adalah rata-rata panjang 306 cm, diameter 20,2cm, kebundaran 74 cm dan taper 2,5 cm/m.
Rendemen penggergajian kayu damar dan leda masing-masing 53,9% dan 50,59%.
Rendemen bilah untuk bahan papan sambung kayu damar dan leda masing-masing 52,43%
dan 49,90%. Papan sambung yang dibuat dari kayu damar, leda dan campuran keduanya,
hanya yang dari kayu damar saja yang memenuhi syarat Standar Indonesia untuk kayu
bangunan non struktural.

Kata kunci : Hutan Tanaman Industri, rendemen, mutu, papan sambung, Standar Industri
Industri

PENDAHULUAN

Sektor kehutanan memiliki peranan penting dalam sumbangannya terhadap


pendapatan nasional Indonesia. Sector ini pada tahun 2007 telah menyumbang pendapatan
domestic brutto (PDB) sebesar Rp 35.734.100.000 atau 0,9% dari PDB Indonesia menurut
harga berlaku (Anonim, 2008a). Sumbangan PDB dari sektor kehutanan berasal dari
berbagai produk dan jasa melalui kegiatan industri pengolahan kayu dan non kayu,
pariwisata dan pemanfaatan sumber daya hutan lainnya.
Industri pengolahan kayu saat ini banyak mengalami kekurangan bahan baku
terutama kayu bundar, karena kemampuan produksi kayu bundar terutama dari hutan alam
yang terus menurun dan semakin terbatas. Realisasi produksi kayu bulat tahun 2007
sebesar 31.491.584 m3, jumlah ini di bawah dari yang dibutuhkan yaitu sekitar 50.000.000
m3, sehingga pada tahun tersebut dilakukan impor kayu bulat sebesar 17.003.001 m3
(Anonim, 2008b). Mengingat kondisi hutan secara umum di Indonesia, diperkirakan
kekurangan ini makin lama makin membesar intensitasnya.
Salah satu upaya pemerintah dalam meningkatkan kemampuan pasokan kayu yang
semakin menurun seiring dengan makin menurunnya kemampuan produksi dari hutan alam,
pemerintah telah mengembangfkan Hutan Tanaman Industri (HTI). Luas areal tanaman HTI
sampai dengan tahun 2008 adalah 4.274.853,67 ha terdiri dari HTI pulp 1.875.804,80 ha;
HTI pertukangan 1.301.491,67 ha; Tanaman Andalan 439.518,49 ha; HPHTC 2.557 ha dan
HTI Swakelola 28.693 ha. (Anonim, 2009). Bebagai jenis tanaman pada HTI antara lain
pinus, Eucalyptus spp., Acacia mangium, Meranti, Sungkai, Gmelina Jabon, Jelutung, Karet,
Leda dan lain-lain.

549
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Dalam pengelolaannya, pada waktu-waktu tertentu dilakukan penjarangan pada


tanaman HTI untuk diperoleh pertumbuhan optimal. Kayu hasil penjarangan HTI memiliki
diameter kecil, menghasilkan papan gergajian dengan ukuran sempit, sehingga menjadi
terbatas dalam penggunaannya. Untuk meningkatkan pemanfaatannya, kayu gergajian
tersebut dapat dibuat menjadi papan sambung. Makalah ini menyajikan hasil penelitian
tentang pembuatan papan sambung dari kayu damar (Agathis loranthifolia) dan leda
(Eucalyptus deglupta Bl.) hasil penjarangan HTI.

BAHAN DAN METODE

Bahan
Dalam penelitian ini digunakan dua jenis kayu dari hasil penjarangan Hutan Tanaman
Industri (HTI) yaitu kayu damar (Agathis loranthifolia) dan kayu leda (Eucalyptus deglupta).
Diameter untuk kayu damar berkisar antara 20 cm sampai dengan 25 cm atau rata-rata 23
cm dengan panjang berkisar antara 350 cm sampai dengan 480 cm atau rata-rata 432 cm.
Diameter untuk kayu leda berkisar antara 19 cm sampai dengan 22 cm atau rata-rata 20 cm
dengan panjang berkisar antara 285 cm sampai dengan 325 cm atau rata-rata 306 cm.
Jumlah contoh dolok adalah 10 batang. Keadaan dolok secara umum bermutu cukup baik,
hanya pada beberapa dolok kayu leda ditemukan adanya tegangan tumbuh. Ukuran dan
keadaan dolok contoh disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Ukuran dan keadaan dolok contoh

Jenis kayu Ulangan Diameter Panjang Kebundaran Taper


(cm) (cm) (%) (cm/m)
Damar (Agathis 1 25 350 84 3,0
loranthifolia) 2 24 480 87 2,6
3 22 475 95 1,0
4 23 455 89 2,0
5 20 400 87 2,5
23 432 88 2,2
Rata-rata
1 20 290 70 3,0
Leda (Eucalyptus deglupta) 2 19 325 80 2,0
3 21 325 70 3,0
4 19 285 82 2,0
Rata-rata 5 22 305 70 2,5
20 306 74 2,5

Metode
Semua dolok digergaji dengan menggunakan pola penggergajian satu sisi terus
menerus (live sawing) dengan menggunakan gergaji utama (band saw) dan gergaji
pembantu (band resaw). Tebal basah papan gergajian adalah 3 cm. Papan gergajian
selanjutnya dikeringkan secara alami sampai mencapai kadar air 12%, kemudian diketam.
Papan sempit hasil pengetaman kemudian digergaji ulang (ripping) untuk dijadikan
bilah yang bebas cacat dengan ukuran tebal 2,5 cm, lebar 5 cm dan panjang 30 cm. Sebagai
bahan pembuatan papan sambung, bilah diserut untuk mendapatkan lebar dan tebal yang
seragam. Selanjutnya bilah siap untuk dibuat papan sambung dengan cara direkat sisi ke
sisi dan ujung ke ujung. Sambungan sisi menggunakan tipe sambungan tegak, sedangkan
sambungan ujung menggunakan tipe sambungan jari. Perekat yang digunakan adalah
polivinil asetat (PVAc) dengan berat labor 200 g/m2. Setelah perekat dilaburkan, dilakukan
pengempaan dingin selama 24 jam dengan tekanan kempa sebesar 10 kg/cm2. Papan
sambung yang dibuat berukuran panjang 30 cm, lebar 5 cm dan tebal 2,5 cm, kemudian
diratakan lebarnya sehingga menjadi 4,8 cm dan panjang tetap 30 cm.

550
PENGOLAHAN HASIL HUTAN

Respon yang diamati dalam proses penggergajian dan proses pembuatan bilah
adalah rendemen penggergajian dan rendemen bilah. Sedangkan pada papan sambung
respon yang diamati adalah perubahan dimensi berupa melengkung (crooks) dan mencawan
(cupping). Cara pengukurannya adalah dengan menarik seutas benang dari sisi pinggir yang
merupakan ujung dari arah penyimpangan bentuk. Besar perubahan dimensi melengkung
dan mencawan diukur dengan jarak antara permukaan papan pada titik tengah benang
dengan benang. Nilai mencawan adalah jarak antara permukaan papan pada titik tengah
benang dibagi dengan lebar papan dikali 100%. Nilai melengkung adalah jarak antara
permukaan pinggir papan pada titik tengah benang dibagi dengan panjang dikali 100%.

Pengolahan Data
Rendemen penggergajian dihitung dengan membagi volume papan gergajian dengan
volume dolok, rendemen bilah dihitung dengan membagi volume bilah dengan volume dolok.
Dari data rendemen tersebut kemudian dihtung rata-ratanya untuk setiap jenis kayu.
Sedangkan hasil pengamatan terjadinya perubahan dimensi pada semua contoh uji papan
sambung dikumpulkan, kemudian dihitung rata-rata persentasenya untuk setiap jenis kayu.
Nilai persentase tersebut kemudian dibandingkan dengan Standar Indonesia mengenai Mutu
Bangunan (Anonim,2000) untuk mengetahui apakah nilai perubahan dimensi yang terjadi
pada papan sambung masing-masing jenis kayu tersebut memenuhi syarat atau tidak
sebagai bahan bangunan non structural.
Untuk mengetahui pengaruh jenis kayu dan campurannya terhadap sifat papan
sambung dilakukan uji sidik ragam. Pengolahan data dilakukan dengan bantuan program
Minitab (Hendradi, 2006).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Rendemen Papan dan Rendemen Bilah


Setelah dilakukan penggergajian pada semua dolok contoh, diperoleh rendemen
papan gergajian kayu damar yang berkisar antara 46,28% sampai dengan 63,42% atau rata-
rata 53,90%. Sedangkan pada kayu leda rendemen berkisar antara 47,28% sampai dengan
54,17% atau rata-rata 50,59%. Rendemen kayu damar lebih tinggi dibanding kayu leda,
karena diameter rata-rata dolok contoh kayu damar lebih besar dibanding leda, disamping
pengurangan diameter (taper) rata-rata dolok contoh kayu damar (2,2 cm/m) yang lebih
rendah dibanding leda (2,5 cm/m). Clark (1970) dalam Steele (1984) menyatakan bahwa
diameter dan taper berpengaruh terhadap rendemen penggergajian yang dihasilkan. Makin
besar diameter dan makin kecil taper makin tinggi rendemen yang dihasilkan.
Setelah semua papan gergajian melalui proses penggergajian lanjutan menjadi
sortimen bilah, diperoleh rendemen bilah kayu damar yang berkisar antara 43,24% sampai
dengan 59,22% atau rata-rata 49,99% Sedangkan pada kayu leda rendemen bilah berkisar
44,15% sampai dengan 51,17% atau rata-rata 47,20%.
Nilai rendemen papan gergajian dolok contoh dan rendemen bilah disajikan pada
Tabel 2.

551
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Tabel 2. Rendemen papan gergajian kayu damar dan leda

Jenis kayu Ulangan Rendemen Papan Rendemen


gergajian (%) bilah (%)
Damar (Agathis 1 46,28 43,24
loranthifolia) 2 51,18 46,92
3 63,42 59,22
4 57,38 52,90
5 51,24 47,65
Rata-rata 53,90 49,99

Leda (Eucalyptus 1 52,77 49,06


deglupta) 2 51,19 47,10
3 47,56 44,15
4 54,17 51,17
5 47,28 44,50
Rata-rata 50,59 47,20

Perubahan Dimensi Papan Sambung


Mencawan
Hasil pengujian perubahan dimensi mencawan pada papan sambung kayu damar,
leda dan campuran damar dan leda disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Nilai mencawan dan melengkung papan sambung kayu damar, leda
dan campuran damar dan leda

Jenis kayu Ulangan Mencawan (%) Melengkung (%)


Damar (Agathis 1 0,60 0,00
loranthifolia) 2 0,00 1,00
3 0,60 1,60
4 0,30 1,30
5 0,30 0,34
Rata-rata 0,36 0,85

Leda (Eucalyptus 1 4,00 1,30


deglupta) 2 2,30 1,60
3 3,60 1,60
4 3,70 1,40
5 3,70 1,44
Rata-rata 3,46 1,47

Campuran Damar dan 1 2,30 0,30


Leda 2 1,60 1,30
3 3,60 1,60
4 3,30 1,30
5 2,50 1,00
Rata-rata 2,66 1,10

Pada table 3 tampak bahwa terjadinya mencawan pada kayu damar berkisar antara
0,00% sampai dengan 0,60% atau rata-rata 0,36%, pada kayu leda berkisar antara 2,30%
sampai dengan 4,00% atau rata-rata 3,46% dan pada campuran damar dan leda berkisar
antara 1,60% sampai dengan 3,30% atau rata-rata 2,66%. Hasil sidik ragam menunjukkan
ada pengaruh nyata jenis kayu terhadap perubahan dimensi mencawan. Terdapat

552
PENGOLAHAN HASIL HUTAN

perbedaan sangat nyata nilai mencawan antara papan sambung kayu damar dengan kayu
leda dan campuran kayu damar dan leda (Tabel 4 dan 5).
Pembuatan papan sambung dari campuran kayu damar dan leda dapat menurunkan
terjadinya perubahan dimensi mencawan dibandingkan bila papan sambung dibuat hanya
dari kayu leda. Mendacu kepada persyaratan Mutu Kayu Bangunan Standar Nasional
Indonesia (Anonim,1981) untuk kayu bangunan non structural, di mana cacat bentuk yang
diperkenankan untuk perubahan dimensi mencawan papan sambung adalah di bawah 1
persen, maka papan sambung yang dibuat dalam penelitian ini hanya dari kayu dammar saja
yang memenuhi syarat.

Melengkung
Hasil pengujian perubahan dimensi melengkung pada papan sambung kayu damar,
leda dan campuran damar dan leda disajikan pada Tabel 3. Pada table 3 tampak bahwa
terjadinya melengkung pada kayu damar berkisar antara 0,00% sampai dengan 1,60% atau
rata-rata 0,85%, pada kayu leda berkisar antara 1,30% sampai dengan 1,60% atau rata-rata
1,47% dan pada campuran damar dan leda berkisar antara 0,30% sampai dengan 1,60%
atau rata-rata 1,10%. Hasil sidik ragam menunjukkan tidak ada pengaruh nyata jenis kayu
terhadap perubahan dimensi melengkung. (Tabel 4).
Pembuatan papan sambung dari campuran kayu damar dan leda ternyata juga dapat
menurunkan terjadinya perubahan dimensi melengkung dibandingkan bila papan sambung
dibuat hanya dari kayu leda saja. Mengacu kepada persyaratan Mutu Kayu Bangunan
Standar Nasional Indonesia (Anonim,1981)untuk kayu bangunan non structural, di mana
cacat bentuk yang diperkenankan untuk perubahan dimensi melengkung papan sambung
adalah di bawah 1 persen. Dengan demikian papan sambung yang dibuat dalam penelitian
ini hanya dari kayu dammar saja yang memenuhi syarat.
Perubahan dimensi baik mencawan maupun melengkung pada papan sambung dari
kayu dammar lebih rendah disbanding kayu leda dan campuran kayu dammar dan leda. Hal
ini diduga karena kayu dammar mengalami kembang susut yang lebih kecil disbanding leda.
Hasil penelitian Karnasudirdja dan Sarwono (1987) menyatakan bahwa kembang susut
sampai kering udara pada kayu dammar adalah radial berkisar 1,833 2,287 dan tangensial
berkisar 3,369 5,606; sedangkan pada kayu leda adalah radial berkisar 3,97 4,48 dan
tangensial 6,31 6,72.

Tabel 4. Sidik ragam nilai mencawan dan melengkung pada papan sambung kayu
damar, leda dan campuran damar dan leda

Sumber keragaman Derajat bebas Kuadrat Tengah F hitung


1. Mencawan
Jenis kayu 2 12,95 33,81**)
Galat 12 0,383
Jumlah 14

2. Melengkung
Jenis kayu 2 0,486 0,169
Galat 12 0,275
Jumlah 14

Keterangan : **) berpengaruh nyat

553
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Tabel 5. Hasil uji beda nyata jujur pengaruh jenis kayu terhadap perubahan dimensi
mencawan pada papan sambung kayu damar, leda dan campuran damar dan leda

No. Perubahan dimensi Perbandingan nilai rata-rata


1. Mencawan Damar Leda Campuran
damar dan leda
0,36 3,46 2,66
a b b

Keterangan : Tanda huruf yang berbeda menunjukkan sangat berbeda nyata

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 1981. Mutu Kayu Bangunan. Standar Industri Indonesia (SII) 0458-81. Departemen
Perindustrian, Jakarta.
_____2008a. Statistik Indonesia. Biro Pusat Statistik. Jakarta.
_____. 2008b. Statistik Kehutanan Indonesia. Departemen Kehutanan. Jakarta
_____. 2009. Eksekutif Data Strategis Kehutanan. Departemen Kehutanan. Jakarta
Haygreen, J.G. and J.L Bowyer. 1982. Forest Products and Wood Science. First Edition. The
Iowa State University Press. Ames
Hendradi, T.C. 2006. Statistik Six Sigma dengan Minitab. Panduan Cerdas Inisiatif Kualitas.
ANDI OFFSET. Yogyakarta.
Karnasudirdja, S. dan E. Sarwono. 1987. Sifat dan Kegunaan Kayu Leda. Diskusi Hutan
Tanaman Industri. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor
Steele, P.H. 1984. Factors Determining Lumber Recovery Sawmilling. Gen. Tech. Rep. FPL-
39. U.S. Department of Agriculture, Madison.

554
PENGOLAHAN HASIL HUTAN

PENINGKATAN KUALITAS BELAHAN KAYU GERGAJIAN DOLOK


BERDIAMETER KECIL MELALUI PROSES PENGGERGAJIAN
KERING (SDR) UNTUK PRODUKSI PAPAN KAYU.

Edi Sarwono
Pustekolah Hasil Hutan, Bogor
(e mail : daisarwon126 @ yahoo.com)

ABSTRAK

Hutan rakyat (HR) yang telah diusahakan sejak lama, ternyata terbukti tidak hanya
bermanfaat bagi pemiliknya saja akan tetapi juga terhadap masyarakat dan lingkungan
sekitarnya, dengan menganut azas pengelolaan hutan sistem tebang butuh, yang secara
kompartemen pengusahaan dapat dikatakan lestari. Prospek tanaman penghijauan cukup
cerah, namun sifat-sifat kayu yang dimilikinya dari hasil tebangan tanaman mudanya
ternyata sebagian kurang menguntungkan seperti mudahnya terserang blue stain, dolok
bengkok, kadar air tinggi. Sementara konsumen kayu gergajian menghendaki agar kayu
yang dihasilkan dari kilang-kilang penggergajian mempunyai kualitas kayu gergajian yang
menguntungkan di pasaran.
Tulisan ini menyajikan upaya penulis untuk meningkatkan kualitas tersebut di atas
yaitu dengan cara menggergaji doloknya dalam keadaan kering (SDR). Beberapa contoh
dapat ditemui selama proses penggergajian seperti cacat bentuk melengkung, membusur
dan menggelinjang, tetapi hasil yang diperoleh dari penelitian ini menunjukkan bahwa
penggergajian kering sangat layak diterapkan di kilang penggergajian dengan sasaran
memperoleh papan-papan kayu gergajian yang berkualitas tinggi.

Kata kunci : Dolok diameter kecil, penggergajian kering SDR, kualitas kayu.

PENDAHULUAN

Karnasudirdja et.al.1986 menyebutkan bahwa kadar air segar kayu jati Cepu yang
sudah diteres selama dua tahun menurut dapat mencapai 41,7 % dibandingkan dengan
yang tidak diteres 95,8 %. Sedangkan jenis kayu lainnya seperti pinus, maka kadar air dolok
kayu segar pinus tanpa teresan posisi paling bawah 90 cm dari tanah adalah 100% dan yang
ketinggian batang pohon 1020 cm dari tanah bisa lebih dari 150%. Pengaruh ketinggian
dolok dalam pohon pinus ternyata mempunyai pengaruh sangat nyata pada penyusutan
volumetric dari basah-kering tanur dan dari kering udara ke kering tanur, sedangkan
perbedaan umur pada selisih waktu 5 tahun (24; 29; 34 tahun) pada kayu pinus nyata/
sangat nyata terhadap berat jenis basah / kering udara.
Penaksiran besarnya potensi tegakan murni sengon umur 4 tahun sebesar 97,76
m3/ha berdiameter 10-15 cm peninggi 13 17 m, sedangkan tegakan murni mahoni umur 4
tahun sebesar 41,40 m3/ha berdiameter 7 13 cm peninggi 12 - 17 m. Tegakan murni jati
umur 6 tahun sebesar 88,32 m3/ha berdiameter 14 20 cm peninggi 15 17 m. Kontribusi
kayu rakyatnya kepada masyarakat akan memberikan keuntungan terhadap pelaku usaha,
masing-masing : Petani hutan rakyat Rp 317.307/m3, buruh penebang sebesar Rp
15.086/m3, buruh pemikulan Rp 35.000/m3, angkutan Rp 25.000/m3, pengepul/ tengkulak Rp
70.000/m3, dan industri penggergajian Rp 75.000/m3. Dan dengan sebagian besar petani
hutan rakyat menganut azas pengelolaan hutan sistem tebang butuh, yang secara
kompartemen pengusahaannya maka hutan rakyat dapat dikatakan lestari karena setiap
tegakan yang dipanen diikuti dengan penanaman. (Sukanda et al., 2009). Namun upaya
penyempurnaan memproduksi kayu gergajian dari dolok kayu berdiameter kecil dimasa lalu
terkendala karena banyaknya kayu hasil gergajian yang tidak terpakai karena bentuknya
yang mengalami cacat melengkung, membengkok dan menggelinjang/ memuntir.

555
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Peneliti Madison Amerika mengatakan bahwa perbaikan proses dengan


penggergajian Saw Dry Rip (SDR) yang mengutamakan produksi kayu gergajian untuk
bahan kayu konstruksi dari dolok kayu berdiameter kecil spesies berberat jenis rendah dan
menengah, menyimpulkan bahwa teknologi proses penggergajian SDR ini berpeluang
sangat bagus terhadap hasil gergajian kayu diameter kecil dalam managemen efisiensi
pengurangan ongkos transportasi dolok berdiameter kecil dan juga dapat untuk
memproduksi kayu gergajian yang berkualitas tinggi dengan berkestabilan dimensi yang
mantap (Maeglin et al, 1988). Tulisan ini disajikan untuk mengetahui sampai sejauh mana
alternatif proses penggergajian dolok berdiameter kecil dapat dilakukan untuk dapat
menghindari lebih banyak cacat bentuk yang timbul dari hasil penggergajian kayu yang
dilakukan.

BAHAN DAN METODE

Penelitian dilaksanakan di laboratorium Pusat Keteknikan dan Pengolahan Hasil


Hutan di Bogor dengan menggunakan kayu mahoni berdiameter kecil 12 15 cm. Cacat
bentuk yang diamati terdiri dari melengkung, membengkok dan menggelinjang/ memuntir.
Melengkung merupakan cacat bentuk yang terjadi pada bilah kayu hasil gergajian kondisi
kering arah kelebaran kayu diukur dari ujung-keujung panjangnya kayu. Membengkok
merupakan cacat bentuk pada bilah kayu hasil gergajian kondisi kering arah menyamping
kayu diukur dari ujung-keujung panjangnya kayu. Memuntir merupakan cacat bentuk bilah
kayu hasil gergajian kondisi kering arah lebar bilah mengarah bagian menyamping atau arah
bidang melebar kayu mengarah bidang menyampingnya diukur simpangan puntiran
spiralnya dari ujung-keujung panjangnya kayu terhadap permukaan meja yang datar. Ukuran
kayu yang dipergunakan adalah panjang 240 cm x lebar 10 cm x tebal 3 cm. Pengukuran
cacat bentuk dilakukan dengan pembalikan punggung vertikal kayu terhadap permukaan
suatu meja yang rata permukaannya. Dengan suatu penggaris besi diselipkan di tengah-
tengah panjang kayu di antara bidang belok yang terbesar sehingga terukur besarnya
simpangan pembengkokan kayu terhadap permukaan meja penyangganya. Pengukuran
hanya dilakukan terhadap ketiga macam cacat bentuk tersebut tanpa melihat cacat-cacat
lainnya seperti terdapatnya mata kayu dan cacat lainnya.
Penggergajian disertai pengeringan dilakukan dengan menggunakan empat proses
menggergaji meliputi penggergajian kering (SDR) pengeringan dapur pengering dan angin-
anginan serta penggergajian basah konvensional (Kon) pengeringan dapur pengering dan
angin-angin. Penggergajian konvensional dilaksanakan segera setelah dolok tiba di tempat
penggergajian dan selanjutnya baru mengalami pengeringan dan diukur cacat bentuknya
setelah kayu kering, sedangkan penggergajian SDR dilaksanakan setelah doloknya
dikeringkan terlebih dahulu baru digergaji dan diamati cacat bentuknya setelah kayu kering.
Dari hasil pengukuran besarnya pelengkungan, pembengkokan dan perpuntiran dilakukan
kompilasi data dan dihitung secara statistik.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Setelah dilakukan pengamatan pada kayu hasil gergajian mahoni dengan


menggunakan tiga proses menggergajian meliputi penggergajian kering (SDR) pengeringan
dapur pengering dan angin-anginan serta penggergajian basah konvensional (Kon)
pengeringan dapur pengering dan angin-angin. Diperoleh hasil bahwa penggergajian kering
SDR nilai cacat bentuknya lebih sedikit dibandingkan dengan penggergajian konvensional
(Kon) pada akhir pengukuran kadar air 14 %. Adapun rinciannya seperti terlihat pada tabel
berikut :

556
PENGOLAHAN HASIL HUTAN

Tabel 1. Pengukuran cacat melengkung, membengkok dan memuntir kayu mahoni.

Metode Melengkung Membengkok Memuntir


Rerata Max SD Rerata Max SD Rerata Max SD
SDR.KD 0,1563 0,2344 0,1000 0,3281 0,4687 0,2490 0,1094 0,3125 0,1673
SDR.An 0,2344 0,6250 0,2517 0,3594 0,8594 0,3952 0,1641 0,6250 0,3132
Kon.KD 0,5547 1,9531 0,5650 0,5781 1,4844 0,4953 0,1406 0,3906 0,1940
Kon.An 0,7578 1,7969 0,7814 0,7656 2,1875 0,7262 0,5326 1,7969 0,6044

Sehingga dengan tabel dapat dilihat bahwa rata-rata melengkung dan


membengkoknya kayu hasil gergajian proses SDR dengan pengeringan dapur pengering
lebih kecil dibandingkan dengan penggergajian konvensional Kon dengan pengeringan
dapur pengering, Namun pada cacat bentuk memuntir hal itu menunjukkan bahwa
penggergajian konvensional dengan pengeringan dapur pengering lebih baik dibandingkan
dengan SDR pengeringan angin-angin. Hal itu dapat disebabkan pada saat penggergajian
konvensional, hasil kayu gergajiannya masih ada internal stress untuk sampai kadar air
kering 14 %. dan lebih dipengaruhi karena proses physiologis dolok kayu yang masih
berlangsung untuk mencapai kadar air kering dan cara meletakkannya di areal pengeringan
Hasil terburuk terjadi pada penggergajian konvensional dengan diangin-anginkan karena
mempunyai besarnya simpangan garis cacat bentuk yang paling tinggi dibandingkan
terhadap ketiga proses penggergajian pengeringan lainnya.
.
KESIMPULAN

Percobaan dengan kedua metode penggergajian dengan masing-masing cara


pengeringannya memperoleh nilai kayu yang bebas cacat bentuk masing-masing berturut-
turut untuk penggergajian kering dapur pengering 100% dan diangin-anginkan 97,3 % cocok
untuk papan kayu, sedangkan proses konvensional dapur pengering dan diangin-anginkan
masing-masing berturut-turut nilai kayu bebas cacat bentuk 79,7 % dan 75,4 % cocok untuk
penggunaan papan kayu berdasarkan penilaian menurut standar Nasional Grading rules for
light structural framing and Light framing (Northen Hardwood and Pine, 1978).

DAFTAR PUSTAKA

Maeglin R.R, Boone and R.Sidney, 1988. Saw Dry Rip improves quality of random length
yellow poplar 2 by 4s . Res Pap. FPL-RP 480. Madison , Wis.US Dept of Agriculture,
Forest Service. Forest Products Laboratory. 15 p.
Northern Hardwood and Pine. 1978. Standard grading rules. Chicago, Il. Northern Hardwood
and Pine Manufactuers Assoc. 125 p.
Sukanda, Sona S dan Yuniawati, 2009. Praktek pemanenan lestari di hutan rakyat sebagai
upaya peningkatan perekonomian masyarakat pedesaan. Laporan penelitan /
perekayasaan. Pusat Litbang Hasil Hutan, Bogor. (tidak dipublikasikan)
Suparman K dan E.Sarwono, 1989. Pengaruh umur dan posisi dalam pohon terhadap
beberapa sifat fisis kayu tusam. Jurnal Penelitian Hasil Hutan Vol.6 No.1 Pusat
Litbang Hasil Hutan. Bogor pp 40-47.

557
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

EFIKASI FORMULASI BIOPESTISIDA BERBAHAN DASAR NIMBA


TERHADAP RAYAP TANAH (Coptotermes gestroi)
Maya Ismayati, Didi Tarmadi, Khoirul Himmi Setiawan, dan Sulaeman Yusuf
UPT. BPP. Biomaterial LIPI
Jl. Raya Bogor Km. 46 Cibinong, Bogor

ABSTRACT

Neem, Azadirachta indica A. Juss has been widely used as bio-pesticide. Neems are
a native tree from south East Asia which contains a natural chemical called Azadirachtin. As
biopesticide, neem extracts do not kill pest in immediately, they works as feeding deterrent
and also change the life cycle of insect and then led to died of insects. Preliminary research
on efficacy of neem against subterranean termite (Coptotermes gestroi) was conducted and
the results showed that 10% (w/v) neem extracts gave 100% termite mortality on day 6 while
the others (5% and 7,5% (w/v) gave on day 8 (Setiawan et al., 2011). In this study, targeted
formulations are emulsifier concentrate bio-pesticide. The formulations consist of
azadirachtin as active ingredient, Geronol BC/5 dan Rhodacal 70 B/C as surfactant, p.
Xylene as thinner and ethanol used as solvent. Physical properties of biopesticide
formulations such as color, smell, density, thickness, pH, corrosion level and expired date
are tested. After we get a biopesticide formulations, termite bioassay of this formulation
conducted in laboratory according to Japan Industrial Standard (JIS) K 1571 2004. In termite
bioassay, samples which are treated with 7,5% and 10% (w/v) neem-based formulation gave
100% termite mortality just after 6 days test periode. This results indicated that the efficacy of
neem-based formulation has termicide activity towards Subterranean termite (C. gestroi) is
higher than neem extract.

Keyword : Azadirachta indica A. Juss neem-based formulation, Coptotermes gestroi.

PENDAHULUAN

Tanaman Nimba (Azadirachta indica) telah sangat populer di seluruh dunia sejak
Azadirachtin A pertama kali diisolasi oleh Morgan (Butterworth and Morgan, 1968; 1972).
Senyawa Azadirachtin merupakan senyawa tetranortriterpenoid, yang mudah teroksidasi dan
memiliki gugus decalin serta furan yang dihubungkan oleh ikatan tunggal antara C-8 dan C-
14 (Mahadik, 2005). Banyak produk bio-pestisida yang berasal dari biji dan atau bagian lain
dari tanaman A. indica. Hal ini dikarenakan produk nimba memiliki low toxic terhadap
burung, ikan ataupun hewan mamalia lain dan tidak bersifat resistent dikarenakan cara
kerjanya terhadap serangga. Biji A. indica mengandung hampir 99 senyawa aktif, dengan
azadirachtin, nimbin, nimbidin dan nimbolides sebagai senyawa utama. Produk derivat
senyawa tersebut memiliki sifat anti-feedant, dan penghambat pertumbuhan beberapa
serangga hama pada tingkat konsentrasi ppm (Schmutterer, 1995). Oleh karena itu,
Azadirachtin sebagai bahan aktif alami telah dipromosikan sebagai bahan bio-pestisida baru
yang lebih ramah lingkungan daripada senyawa sintetik.
Di Indonesia, penelitian mengenai isolasi senyawa aktif dari A. indica telah banyak
dilakukan. Akan tetapi, hanya sedikit yang mengulas lebih dalam mengenai formulasi bio-
pestisida. Dari serangkaian penelitian sebelumnya, telah ditemukan berbagai jenis ekstrak
alam yang efektif terhadap rayap tanah, seperti Bintaro (Carbera odollam Gaertn dan
Carbera manghas L), Kecubung (Brugmansia candida Pers), Antiaris toxicaria, Nimba
(Azadirachta indica), Sirih (Piper betel L), Srikaya (Annona squamosa L), Sirsak (Annona
muricata l), Tembakau (Nicotiana tabacum), Pinang (Areca catechu L), Keluek (Pangium

558
PENGOLAHAN HASIL HUTAN

edule R), Saga (Abrus Precatorius L), Cengkeh (Eugenia caryophyllata Tumberg), Cengkeh
(Syzygium aromaticum L), Picrasma javanica, Kemukus (Piper cubeba L), dan Serai
(Cymbopogon winterianus Jowitt) (Tarmadi, et al., 2010). Berdasarkan ketersediaan bahan
dan proses isolasinya, A. indica merupakan ekstrak bahan alam yang berpotensi untuk
dikembangkan lebih lanjut. Sehingga pada penelitian ini, akan dibahas mengenai formulasi
bio-pestisida berbahan dasar azadirahtin yang diisolasi dari biji A. indica dan menguji
aktifitasnya terhadap rayap tanah, C. gestroi. Hasil yang diperoleh pada penelitian ini
diharapkan dapat menjawab kebutuhan bio-pestisida yang efektif dan ramah lingkungan
serta memiliki nilai ekonomis.

METODE PENELITIAN

Formulasi Minyak Nimba


Formulasi bio-pestisida yang digunakan adalah dalam bentuk emulsi konsentrat (EC),
yang terdiri dari azadirachtin sebagai bahan aktif, Geronol BC/5 dan Rhodacal 70 B/C
sebagai surfaktan, p.Xylene sebagai pengencer dan digunakan etanol sebagai pelarut.
Campuran bahan-bahan tersebut dimasukkan ke dalam labu leher tiga pada temperatur
kamar 25oC, sambil dilakukan pengadukan selama 15 menit dengan kecepatan 1480 rpm
sehingga terbentuk formula. Proses pembuatan formulasi dilakukan di laboratorium R&D,
PT. Johny Jaya makmur, Jakarta.

Uji Kestabilan Emulsi


Konsentrat yang sudah jadi selanjutnya dilakukan uji kestabilan emulsi dengan
menggunakan air sebagai fase disperse. Uji kestabilan emulsi menggunakan metode bottle
test. Ke dalam bottle glass, dimasukkan 100 ml aquadest dan 3 tetes formulasi emulsifier
konsentrat. Pemilihan konsentrasi emulsifier yang optimum berdasarkan hasil emulsi yang
paling stabil. Dilihat dari banyaknya presentasi air / minyak yang terpisah pada akhir periode
merupakan hasil yang tidak stabil. Sedang yang stabil adalah kebalikannnya yang sedikit
terpisah baik untuk fase air maupun fase minyak.

Bioassay Produk Biopestisida terhadap rayap tanah (C. gestroi)


Pada pengujian ini, formulasi biopestisida dilarutkan dalam air sehingga diperoleh
variasi konsentrasi (1%, 2.5%, 5%, 7,5% dan 10% v/v formulasi). Pengujian ketahanan rayap
mengacu pada standar JIS K 1571 tahun 2004, dengan menggunakan metode forced-
feeding test (metode umpan paksa). Sampel yang telah diolesi bio-pestisida azadirachtin 100
EC bersama 150 ekor rayap pekerja dan 15 ekor rayap prajurit dari jenis C. gestroi
dimasukkan ke dalam acrylic silinder yang bagian bawahnya telah dilapisi plaster paris
setebal 5 mm. Tissue diletakkan dibawahnya untuk menjaga kelembaban. Sebelum
diumpankan terlebih dahulu sample dioven pada suhu 60oC selama 3 hari untuk mengetahui
beratnya. Data yang diamati yaitu persentase kehilangan berat (weight loss). Pengamatan
dilakukan tiap minggu selama tiga minggu. Persentase kehilangan berat dihitung dengan
membandingkan berat kering sampel sebelum pengujian dengan setelah pengujian.

Uji Sifat Fisik Formulasi


Hasil formulasi bio-pestisida berbahan azadirachtin dilakukan uji sifat fisik yang
meliputi, warna, bau, eksposifitas, korosif, pH, berat jenis dan kekentalan. Pengujian sifat
fisik dilakukan di laboratorium R&D, PT. Johny Jaya makmur, Jakarta.

559
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

HASIL PEMBAHASAN

Formulasi dan Uji Kestabilan Emulsi


Tanaman Nimba (A. indica) yang berasal dari India dan tersebar di daerah tropis
seperti di Asia tenggara (termasuk Indonesia) ini telah lama digunakan sebagai bahan obat
dan juga pestisida. Azadirachtin sebagai komponen utama dari biji nimba memiliki aktifitas
insectisida terhadap beberapa serangga target (Schmutterer, 1995). Pada penelitian ini,
dilakukan penelitian lanjutan mengenai formulasi bio-pestisida berbahan Azadirachtin dari
minyak biji nimba dalam bentuk EC (Emulsifiable Consentrate). Jenis formulasi ini dipilih
karena kemudahan pembuatan dan aplikasinya, bentuk EC lebih disukai karena pada
aplikasinya digunakan air sebagai pelarut yang ekonomis dan mudah didapat serta
menghasilkan emulsi berwarna putih yang mudah teridentifikasi oleh pemakai pada
pemakaian dilapangan.
Tahapan penting dalam pembuatan formulasi adalah proses pencampuran bahan-
bahan yang tidak larut menjadi formulasi yang larut, homogen dan stabil dalam jangka waktu
yang lama. Pemilihan jenis emulsifier, surfaktan dan pelarut sangat penting dilakukan karena
akan berpengaruh pada mutu dan kestabilan formulasi EC. Pada pembuatan emulsi yang
paling penting adalah menyatukan bahanbahan yang tidak larut menjadi sebuah formulasi
yang homogen dan stabil untuk jangka waktu yang lama. Pemilihan jenis emulsifier
merupakan hal yang sangat penting karena berpengaruh pada mutu dan kestabilan
formulasi EC. Formulasi biopestisida minyak biji nimba ini terdiri dari azadirachtin sebagai
bahan aktif, Geronol BC/5 dan Rhodacal 70 B/C sebagai surfaktan, p.Xylene sebagai
pengencer dan digunakan etanol sebagai pelarut.
Konsentrat yang sudah jadi selanjutnya dilakukan uji kestabilan emulsi dengan
menggunakan air sebagai fase disperse. Uji kestabilan emulsi menggunakan metode bottle
test ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana kestabilan formulasi biopestisida yang
dihasilkan dalam air sebagai pendispersi. Hal tersebut juga akan menentukan sejauh mana
masa kadaluarsa dari produk biopestisida. Pemilihan konsentrasi emulsifier yang optimum
berdasarkan hasil emulsi yang paling stabil. Dilihat dari banyaknya presentasi air / minyak
yang terpisah pada akhir periode merupakan hasil yang tidak stabil. Sedang yang stabil
adalah kebalikannnya yang sedikit terpisah baik untuk fase air maupun fase minyak.
Hasil percobaan dilaboratorium menunjukkan pencampuran biopestisida berbahan
biji nimba dengan formulasi diatas teremulsi sempurna ditandai dengan warna putih pekat
yang langsung terbentuk sesaat biopestisida diteteskan kedalam air. Setelah 3 x 24jam
didalam oven dengan suhu 60oC emulsi masih stabil ditandai dengan tidak adanya lapisan
batas antara fasa minyak dan fasa air.
Tahapan selanjutnya setelah didapat formulasi biopestisida yang stabil adalah
pengujian beberapa sifat fisik. Sifat fisik dari formulasi biopestisida minyak biji nimba
ditunjukkan oleh tabel 1 dibawah ini.

Tabel 1. Sifat fisik formulasi biopestisida berbahan minyak biji nimba.

Sifat Fisik Formulasi:


a. warna : Coklat keemasan
b. berat jenis : 0,88gr/cc pada 25 0C
c. Kekentalan : 42 sec/100 ml
d. Kadaluarsa : 2 tahun
e. pH :5
f. Korosifitas : tidak korosif
g. Bau : Khas
h. eksposifitas : tidak mudah meledak

560
PENGOLAHAN HASIL HUTAN

Uji Efikasi Formulasi


Penelitian sebelumnya (Setiawan et al., 2011) menyatakan bahwa 10% (w/v) ekstrak
biji nimba efektif terhadap rayap tanah (C. gestroi) dimana kematian 100% tercapai pada hari
ke-6 pengujian dengan persentase kehilangan berat sampel sebesar 7% pada akhir
pengujian. Konsentrasi ekstrak biji nimba berbanding terbalik dengan persentase kehilangan
berat sampel. Tingkat konsumsi rayap tanah berkurang seiring tingginya konsentrasi bahan
pengawet ekstrak biji nimba. Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak biji nimba memiliki daya
anti-feedant dan atau penolak makan (repellent) (Dua et al., 2009]. Hasil uji efikasi formulasi
bio-pestisida terhadap rayap tanah ditunjukkan oleh Gambar 1.

Gambar 1. Persentase kematian rayap tanah (C. gestroi) Vs perlakuan formulasi bio-
pestisida berbahan minyak biji nimba.

Kematian rayap tanah 100% pada perlakuan formulasi biopestisida berbasis nimba
terjadi pada konsentrasi 7,5% dan 10% setelah hari ke-8. Sedangkan konsentrasi kurang
dari 7,5% baru mencapai kematian rayap tanah 100% di akhir penelitian. Hal ini
menunjukkan zat aktif Azadirachtin bersifat low toxic. Dibandingkan dengan uji efikasi
ekstrak biji nimba, aktifitas termisidada formulasi berbasis nimba lebih besar dua kali.
Persentase kematian rayap tanah pada konsentrasi 10% di akhir pengujian adalah sebesar
52,67%, sedangkan pada formulasi biopestisida kematian rayap tanah mencapai 100%
(Tabel 2.). Peningkatan aktifitas tersebut dikarenakan adanya sinergis antara bahan aktif
azadirachtin dengan zat-zat pendukung lainnya dalam formulasi biopestisida. Sebagai
bentuk EC (Emulsifiable Concentrate), formulasi biopestisida minyak biji nimba ini telah
dengan baik mereduksi ukuran partikel sehingga tercampur sempurna dalam pelarut air dan
merata dipermukaan air. Penyebaran partikel tersebut dimungkinkan telah meningkatkan
efektifitas formulasi biopestisida terhadap serangan rayap tanah (Dua et al., 2009).

561
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Tabel 2. Perbandingan mortalitas rayap akibat perlakuan ekstrak azadirachtin dan


formulasi bio-pestisida berbahan minyak biji nimba.

Persentase kematian rayap tanah setelah hari ke- (%)


Kons. Rata-rataSDev
Perlakuan
(%)
2 4 6 8 10 12
Kontrol 0 00 2,330,58 3,331,15 6,001,00 6,330,58 7,001,00
1 3,001,73 7,331,53 10,331,53 16,671,53 21,671,53 25,001,00
2,5 2,331,53 7,002,00 14,671,53 22,332,08 24,330,58 28,671,53
5 4,670,58 11,331,15 17,331,53 24,330,58 29,670,58 35,001,00
Ekstrak 7,5 5,671,53 13,001,00 23,670,58 30,001,73 39,672,08 44,001,00
Azadirachtin 10 6,671,15 15,330,58 28,331,53 36,001,00 47,001,00 52,671,53
1 5,670.58 15,330,58 31,001,00 47,670,58 55,001,00 67,670,58
2,5 13,670,58 25,670,58 45,670,58 59,671,53 74,671,15 87,331,53
5 17,670,58 33,670,58 51,670,58 76,331,53 91,001,00 98,331,53
7,5 29,671,53 53,330,58 98,671,53 1000 1000 1000
Biopestisida 10 39,671,53 63,670,58 99,331,15 1000 1000 1000

Selain variabel kematian rayap tanah akibat perlakuan formulasi biopestisida, pada
uji force feeding test ini juga diketahui persentase kehilangan berat sampel. Hal ini bertujuan
untuk mengetahui pengaruh perlakuan formulasi biopestisida terhadap tingkat konsumsi
rayap tanah.

Gambar 2. Perbandingan Persentase Kehilangan berat sampel pada perlakuan ekstrak


minyak biji nimba, formulasi biopestisida dan Thiacloprid.

Pada gambar 2. diketahui persentase kehilangan berat sampel pada perlakuan


ekstrak minyak nimba lebih kecil dibandingkan pada perlakuan formulasi biopestisida.
Persentase kehilangan berat sampel konsentrasi terendah pada perlakuan minyak nimba
dan formulasi adalah 5,92% dan 1,41% sedangkan untuk konsentrasi paling tinggi adalah
sebesar 3,24% dan 0,5%. Perbedaan yang signifikan tersebut menunjukkan tingginya efikasi
formulasi dibandingkan perlakuan hanya ekstak minyak biji nimba saja. Hal ini menunjukkan,
tingkat konsumsi makan rayap tanah tergantung pada tingkat konsentrasi perlakuan baik itu
ektrak maupun formulasi biopestisida pada sampel.
Selain membandingkan dengan ekstrak minyak biji nimba, efikasi formulasi juga
dibandingkan dengan senyawa kimia sintetik yang biasa digunakan sebagai termisida yaitu
Thiacloprid. Pada Gambar 2 terlihat nilai weight loss perlakuan Thiacloprid lebih kecil

562
PENGOLAHAN HASIL HUTAN

dibandingkan dengan perlakuan formulasi ataupun ekstrak. Hal ini, menunjukkan aktifitasnya
lebih tinggi dibandingkan keduanya. Akan tetapi, pemakaian senyawa kimia sintetik secara
terus menerus dapat mengakibatkan sifat resistent terhadap serangga hama target,
terbunuhnya serangga atau hewan bukan target serta mengakibatkan pencemaran terhadap
lingkungan akibat tidak terurainya senyawa kimia sintetik tersebut. tidak ramah lingkungan.
Nilai LD50 oral toxic dan LD95 dermal toxic untuk Thiacloprid adalah sebesar 836
mg/kg Berat badan (BB) dan >2000 mg/kg BB dan senyawa aktif Azadirachtin adalah
sebesar >5000 mg/kg BB dan tak terhingga. Hal ini menunjukkan sifat azadirachtin sebagai
low toxic yang efektif terhadap serangga target C. gestroi dan ramah lingkungan. Oleh
karena itu formulasi minyak biji nimba ini sangat berpotensi sebagai alternatif bio-pestisida
yang ramah lingkungan, walaupun bersifat low toxic jika dibandingkan dengan pestisida
sintetik.

KESIMPULAN

Formulasi biopestisida berbahan aktif azadirachtin dengan konsentrasi sebesar 10%


(v/v) berpotensi sebagai alternatif pestisida yang ramah lingkungan terhadap serangan rayap
tanah, C. gestroi.

ACKNOWLEDGEMENT

Penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Kementrian RISTEK


atas Grant yang kami peroleh dalam program Insentif tahun 2010-1011. Selain itu, penulis
juga mengucapkan terima kasih kepada PT. Johnny Jaya makmur (JJM) atas kerjasamanya
dalam proses analisis kandungan kimia bahan aktif dan proses formulasi bio-pestisida
selama penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

Butterworth, J.H., Morgan, E.D. 1968. J Chem Soc Chem Commun. 23-24
Butterworth, J.H., Morgan, E.D. 1972. J Insect Physiol 17:969-977.
Dimetry, N.Z., S. El-Gengaihi, dan A.S. Reda.1992. Biological Effect of some isolated from
Abrus precatorius L. alkaloids towards Tetranychus urticae K. National Research
Centre, Dokki, Cairo, Egypt; Dept. of Plant Protection1; Pharm. Sci. Dept. 2
Dua, V.K., Pandey, A.C., Raghavendra, K., Gupta A., Sharma, T., Dash, A.P. 2009.
Larvicidal activity of neem oil (Azadirachta indica) formulation against mosquitoes.
Malaria Journal. 2009, 8:124
Mahadik, K.R., Agrawal, H., Kaul, N., Paradkar, A.R. 2005. Standardization of Crude Extract
of Neem Seed Kernels (Azadirachta indica A. Juss) and Commercial Neem Based
Formulations using HPTLC and Extended Lenght Packed-Coloums SFC Method.
Chromatographia 2005, 62, 183-195.
Schmutterer, H. 1995. Insecta, Insects in the Neem Tree (H. Schmutterer, ed.) VCH,
Weinheim, 167-365.
Setiawan, K.H., Tarmadi, D., Ismayati, M., Yusuf, S. 2011. Efficacy Test of Azadirachtin
isolated from Azadirachta indica A. Juss. against subterranean termite, Coptotermes
gestroi. Prosiding Seminar Nasional Kimia V. UII-Jogjakarta, 6 Juli 2011. Hal. 42-45
Tarmadi, D., Setiawan, K.H., Ismayati, M., Yusuf, S. 2010. Evaluasi Ekstrak Bahan Alam
Pada Perlakuan Tanah (Soil treatment). Laporan Teknik 2010. Penelitian dan
Penguasaan teknologi. UPT. Balitbang Biomaterial-LIPI. Un-published

563
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

KEAWETAN ALAMI KAYU ULIN (Eusideroxylon zwageri T. et B.)


DARI HUTAN TANAMAN DI KALIMANTAN SELATAN
PADA UMUR YANG BERBEDA
Arinana1, Yusuf Sudo Hadi1, Ade Zumarlin1 dan Lusita Wardani2
1)
Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor-Bogor
2)
Fakultas Kehutanan Universitas Lambungmangkurat-Banjarbaru

ABSTRAK

Saat ini pemerintah Kalimantan Selatan dan perusahaan HTI di Kalimantan sudah
mulai menggalakkan penanaman kayu Ulin (Eusideroxylon zwageri T. et B.) pada hutan
tanaman guna mengantisipasi kepunahan dan keberlangsungan tetap tersedianya Ulin di
pasaran. Penelitian ini menggunakan kayu Ulin yang berasal dari hutan tanaman di
Kalimantan Selatan dengan umur 39 tahun (diameter 30 cm) dan umur 26 tahun (diameter
16 cm). Sebagai kontrol digunakan Pinus merkusii. Jenis rayap tanah yang digunakan
adalah Coptotermes curvignathus Holmgren. Metode pengujian mengacu pada prosedur dari
Standar Nasional Indonesia (SNI) 01.7207-2006 untuk uji laboratorium dan standar
American Society for Testing and Material (ASTM) D 1758-06 untuk uji lapang. Parameter
yang dilihat adalah nilai kehilangan berat, mortalitas rayap tanah dan tingkat kerusakan
contoh uji. Hasil penelitian menunjukkan bahwa umur kayu Ulin berpengaruh nyata terhadap
kehilangan berat contoh uji. Berdasarkan SNI 01.7207-2006, hasil pengujian laboratorium
menunjukkan bahwa nilai rata-rata kehilangan berat kedua umur contoh uji masih dibawah
3,52% dan diklasifikasikan kedalam kelas awet I. Berdasarkan penilaian secara visual pada
contoh uji kayu Ulin di lapang, tidak terjadi kerusakan yang berarti karena tidak ditemukan
bekas gigitan rayap tanah. Berdasarkan ASTM D 1758-06, kedua umur contoh uji termasuk
dalam nilai 10. Hal ini menunjukkan bahwa kayu Ulin memiliki ketahanan yang baik terhadap
serangan rayap tanah meskipun berasal dari hutan tanaman yang berumur lebih muda, yaitu
26 dan 39 tahun. Berbeda dengan contoh uji kontrol, dimana contoh uji diserang rayap
dengan nilai klasifikasi ASTM D 1758-06 adalah 4. Hasil identifikasi bahwa jenis rayap yang
menyerang adalah Macrotermes gilvus dan Schedorhinotermes javanicus.

Kata kunci: Eusideroxylon zwageri, hutan tanaman, keawetan, Coptotermes curvignathus,


umur, SNI, ASTM

PENDAHULUAN

Kayu Ulin (Eusideroxylon zwageri T. et B.) telah lama dikenal memiliki mutu yang
tinggi, tahan terhadap serangan rayap dan berbagai kondisi alam, namun daya regenerasi
dan pertumbuhannya sangat lambat. Semakin gencarnya permintaan akan kebutuhan kayu
Ulin maka keberadaan jenis ini di hutan alam mulai terancam. Saat ini pemerintah
Kalimantan Selatan telah menggalakkan penanaman kayu Ulin pada hutan tanaman. Sejak
tahun 2007 lalu pihak Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan dan perusahaan HTI
di Kalimantan sudah mulai membudidayakan Ulin guna mengantisipasi kepunahan dan
keberlangsungan tetap tersedianya Ulin di pasaran. Pada hutan alam, pohon Ulin yang
ditebang biasanya pohon yang berdiameter 60-80 cm, sedangkan pada lahan budidaya
biasanya penebangan kayu Ulin dilakukan pada pohon yang berdiameter 20-30 cm bahkan
yang baru berdiameter 10 cm pun ikut ditebang. Menurut Heyne (1987), tiap jenis kayu Ulin
memiliki variasi struktur anatomi dan warna kayu yang cukup tinggi. Tetapi sampai saat ini
belum pernah dilakukan penelitian mengenai keawetan alami kayu Ulin yang dihubungkan
dengan umur dan sebagai bahan pertimbangan dalam penurunan umur tebang, maka perlu
dilakukan penelitian mengenai keawetan alami kayu Ulin pada umur yang lebih muda.
Martawijaya (1989) menyatakan bahwa keawetan alami kayu Ulin adalah kelas awet I. Hal
ini berarti kayu Ulin dapat digunakan lebih dari delapan tahun pada penggunaan tanpa

564
PENGOLAHAN HASIL HUTAN

naungan (eksterior) yang dipengaruhi oleh cuaca (panas dan hujan). Semakin
berkembangnya hutan tanaman Ulin, perlu dilakukan penelitian mengenai keawetan alami
kayu Ulin yang berasal dari hutan tanaman pada umur pohon yang lebih muda.

BAHAN DAN METODE

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Kayu Ulin (E. zwageri ), kayu
Pinus (Pinus merkusii), rayap tanah Coptotermes curvignathus Holmgren, air destilata,
alkohol, aluminium foil, dan pasir. Kayu Ulin yang digunakan berasal dari hutan tanaman di
Kalimantan Selatan dengan umur 39 tahun (diameter 30 cm) dan umur 26 tahun (diameter
16 cm). Contoh uji adalah bagian kayu teras dengan ukuran (2,5 x 2,5 x 0,5) cm3 untuk
pengujian laboratorium, sedangkan contoh uji lapang berukuran (20 x 2 x 1) cm3. Alat yang
digunakan adalah kaliper, oven, desikator, timbangan elektrik, botol uji kaca dengan
diameter 7 cm dan tinggi 12 cm, nampan plastik, dan laminar flow.

Uji Laboratorium
Uji laboratorium mengacu pada prosedur dari Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-
7207-2006. Contoh uji berukuran (2,5 x 2,5 x 0,5) cm3 dengan sepuluh kali ulangan. Contoh
uji terlebih dahulu dikeringkan dalam oven pada suhu (60 2) oC sampai beratnya konstan
(B1). Contoh uji kayu, pasir, dan botol uji disterilkan dengan cara dioven pada suhu (60 2)
o
C selama 48 jam, kemudian dilakukan penyinaran di dalam laminar flow dengan sinar UV
selama 48 jam. Selanjutnya contoh uji dengan kadar air kering tanur dan steril tersebut
dimasukkan ke dalam botol uji dengan posisi berdiri dan disandarkan sehingga salah satu
bidang terlebar menyentuh dinding botol uji (Gambar 1). Ke dalam botol uji dimasukkan 200
g pasir dan ditambahkan air sebanyak 50 ml (kadar air pasir 25%) dari sisi berlawanan
dengan contoh uji. Sebanyak 200 ekor rayap tanah C. curvignathus dari kasta pekerja yang
sehat dan aktif dimasukkan ke dalam botol uji, kemudian ditutup dengan aluminium foil yang
telah dilubangi dan diletakkan di ruang gelap (termite room) selama 4 minggu. Setelah 4
minggu botol uji dibongkar dan dilakukan penghitungan rayap yang masih hidup, sedangkan
contoh uji dicuci dan dikeringkan dalam oven pada suhu (60 2) oC sampai beratnya
konstan (B2).

Gambar 1 Pengujian keawetan kayu terhadap serangan rayap tanah berdasarkan standar
SNI 01. 7207-2006.

565
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Kehilangan berat contoh uji dan mortalitas rayap setelah 4 minggu pengumpanan dihitung
menggunakan rumus sebagai berikut:

Dimana: B1 = Berat contoh uji kering tanur sebelum diumpankan (g)


B2 = Berat contoh uji kering tanur setelah diumpankan (g)

Dimana: N1 = jumlah rayap hidup sebelum diumpankan


N2 = jumlah rayap hidup setelah diumpankan

Selanjutnya tingkat ketahanan contoh uji berdasarkan indikator kehilangan berat


dihitung dari nilai rata-rata keseluruhan contoh uji dengan menggunakan klasifikasi yang
dibuat oleh Badan Standardisasi Nasional Indonesia. Klasifikasi tersebut dapat dilihat pada
Tabel 1.

Tabel 1 Klasifikasi ketahanan kayu terhadap serangan rayap tanah

Kelas Ketahanan Kehilangan Berat (%)


I Sangat Tahan < 3,52
II Tahan 3,52 7,50
III Sedang 7,50 10,96
IV Buruk 10,96 18,94
V Sangat Buruk 18,94 31,89
Sumber : SNI 01. 7207-2006

Uji Lapang (Graveyard Test)


Prosedur pengujian lapangan dilakukan berdasarkan standar American Society for
Testing and Material (ASTM) D 1758-06. Menurut ASTM D 1758-06, ukuran contoh uji
adalah (45,7 x 1,9 x 1,9) cm3. Karena keterbatasan bahan uji, maka pada penelitian ini
menggunakan contoh uji dengan ukuran (20 x 2 x 1) cm3 dan ulangan sebanyak empat kali.
Contoh uji terlebih dahulu dikeringkan dalam oven pada suhu (60 2) oC sampai beratnya
konstan (B1). Selanjutnya contoh uji dikubur secara acak dalam tanah di Arboretum Fakultas
Kehutanan IPB dengan jarak kubur antar contoh uji adalah 30 cm dan antar baris sejauh 60
cm serta kedalaman contoh uji yang terkubur adalah 2/3 dari panjangnya. Pengujian
dilakukan selama tiga bulan. Setelah tiga bulan contoh uji dicabut dari tanah dengan posisi
tegak, dibersihkan dan diamati kerusakannya, kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu
(60 2) oC hingga beratnya konstan (B2). Kehilangan berat contoh uji setelah tiga bulan
penguburan dihitung menggunakan rumus sama dengan metode SNI. Selanjutnya dilakukan
penilaian tingkat kerusakan contoh uji oleh rayap pada uji lapang dengan menggunakan
skoring yang mengacu pada Tabel 2.

Tabel 2 Penilaian kerusakan contoh uji oleh rayap

Nilai Kondisi Serangan


10 Tidak ada serangan: 1-2 lubang gerek kecil
9 Lubang gerek mencapai 3% dari cross section
8 Penetrasi mencapai 3-10% dari cross section
7 Penetrasi mencapai 10-30% dari cross section
6 Penetrasi mencapai 30-50% dari cross section
4 Penetrasi mencapai 50-75% dari cross section
0 Rusak
Sumber: ASTM D 1758-06

566
PENGOLAHAN HASIL HUTAN

HASIL DAN PEMBAHASAN


Pengujian Laboratorium
Kehilangan berat
Nilai rata-rata kehilangan berat contoh uji kayu Ulin dapat dilihat pada Gambar 2.
Nilai rata-rata kehilangan berat contoh uji kayu Ulin umur 26 tahun adalah 2,03% 0,15%
sedangkan contoh uji kayu Ulin umur 39 tahun adalah 1,09% 0,32%. Untuk nilai rata-rata
kehilangan berat kayu kontrol yaitu sebesar 25,4%3,35%.
Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa umur kayu memberikan pengaruh
nyata terhadap kehilangan berat contoh uji. Contoh uji kayu Ulin umur 26 tahun memiliki nilai
kehilangan berat rata-rata yang berbeda nyata dengan contoh uji kayu Ulin umur 39 tahun.
Hal ini memberikan indikasi bahwa contoh uji tersebut mempunyai kandungan daya racun
terhadap perkembangan rayap, yang ditunjukkan oleh hilangnya kemampuan rayap dalam
mengkonsumsi contoh uji tersebut, sehingga berpengaruh terhadap besarnya kehilangan
berat contoh uji.

3,52 Kelas Awet


I

Gambar 2 Nilai rata-rata kehilangan berat contoh uji kayu Ulin pada uji laboratorium.

Kandungan zat ekstraktif yang terdapat di dalam kayu Ulin yang memiliki daya racun
diduga adalah eusiderin yang jumlahnya berbeda untuk tiap umur kayu. Syafii (2000)
menyatakan bahwa berdasarkan analisis laboratorium, komponen bioaktif yang berperan
dalam keawetan kayu Ulin adalah eusiderin yang termasuk dalam kelas neolignan.
Berdasarkan SNI 01.7202-2006 seperti pada Tabel 1, maka kayu Ulin pada kedua umur
tersebut termasuk dalam kelas awet I (sangat tahan) dengan kehilangan berat kurang dari
3,52%. Sesuai dengan penelitian Wardani & Hadi (2011) yang menyatakan bahwa keawetan
alami kayu Ulin umur 70 tahun (diameter 36 cm) dari hutan alam memiliki kelas awet I
terhadap serangan rayap tanah C. curvignathus. Secara umum dapat dikatakan bahwa
semakin tinggi umur kayu contoh uji, maka kandungan ekstraktifnya semakin banyak
sehingga kehilangan berat contoh uji tersebut semakin kecil. Semakin kecil persentase
kehilangan berat contoh uji menunjukkan bahwa semakin sedikit bagian contoh uji yang
dimakan oleh rayap tanah C. curvignathus. Hal ini mungkin dapat diakibatkan oleh adanya
pengaruh kandungan zat ekstraktif dengan jumlah yang sesuai dengan kondisi yang tidak
disukai oleh rayap sehingga contoh uji yang dimakan oleh rayap sangat sedikit.

567
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Nandika et al. (1996) menyatakan bahwa keawetan alami kayu ditentukan oleh jenis
dan banyaknya zat ekstraktif yang bersifat racun terhadap organisme perusak kayu yang
jumlahnya bervariasi menurut jenis kayu, umur pohon, dan posisi dalam batang. Hal inilah
yang menyebabkan keawetan alami setiap jenis kayu berbeda-beda bahkan pada jenis kayu
yang sama dan pada batang kayu yang sama. Lebih lanjut Wistara et al. (2002) menyatakan
bahwa umumnya semakin tinggi kandungan ekstraktif dalam kayu, maka keawetan alami
kayu cenderung meningkat dan umur kayu memiliki hubungan yang positif dengan keawetan
kayu. Bentuk contoh uji kayu Ulin sebelum dan setelah pengujian laboratorium seperti
terlihat pada Gambar 3.

P. merkusii E. zwageri (26 tahun) E. zwageri (39 tahun)

a a a

b b b
Gambar 3 Contoh uji kayu sebelum (a) dan setelah (b) pengujian laboratorium

Pengujian Lapangan
Berdasarkan penilaian secara visual, contoh uji kayu Ulin tidak mengalami
kerusakan, karena tidak ditemukan bekas serangan rayap tanah, sehingga sesuai dengan
klasifikasi ASTM D 1758-06 pada Tabel 2 kayu Ulin yang berbeda umur ini termasuk dalam
nilai 10 (tidak ada serangan: 1-2 lubang gerek kecil). Hal ini memberikan hasil yang sama
dengan penelitian Wardani et al. (2009) yang menyatakan bahwa kayu Ulin dari hutan alam
yang diuji di lapangan adalah sangat tahan dan tidak ada serangan atau memiliki tingkat
serangan 0%. Berbeda sekali dengan kontrol, dimana contoh uji rusak dan terlihat dengan
jelas serangan rayapnya, dan berdasarkan klasifikasi pada Tabel 2 maka kayu kontrol
masuk dalam nilai 4 (penetrasi mencapai 50-75% dari cross section). Bentuk contoh uji kayu
setelah pengujian lapangan seperti terlihat pada Gambar 4.

568
PENGOLAHAN HASIL HUTAN

P. merkusii E. zwageri (26 tahun) E. zwageri (39 tahun)

Gambar 4 Bentuk contoh uji setelah pengujian lapangan.

Hasil identifikasi jenis rayap yang menyerang contoh uji kayu adalah rayap
Macrotermes gilvus Hagen (Famili Termitidae) dan Schedorhinotermes javanicus Kemner
(Famili Rhinotermitidai) seperti terlihat pada Gambar 5. Ciri rayap tanah M. gilvus adalah
kepala berwarna coklat tua, mandibel berkembang dan berfungsi, madibel kanan dan kiri
simetris dan tidak memiliki gigi marginal. Mandibel melengkung pada ujungnya dan
digunakan untuk menjepit. Ujung dari labrum tidak jelas, pendek dan melingkar. Labrum ini
mempunyai hyalin pada ujungnya. Antena terdiri dari 16-17 ruas. Rayap M. gilvus memiliki
dua jenis kasta prajurit. Sedangkan rayap S. javanicus juga memiliki dua jenis kasta prajurit,
yaitu kasta prajurit yang berukuran besar (major) dan kasta prajurit berukuran kecil (minor).
Karakteristik morfologi kasta prajurit major adalah: kepala berwarna kuning muda, panjang
kepala dengan mandibel 1,47-1,57 mm; lebar maksimum kepala 1,37-1,47 mm; dan jumlah
segmen antena sebanyak 16 segmen. Panjang labrum 0,40-0,45 mm dan lebarnya 0,16-
1,17 mm. Postmentum berukuran panjang 0,47-0,56 mm. Kasta prajurit minor mempunyai
kepala yang berwarna kuning muda dengan panjang kepala beserta mandibel 1,09-1,21 mm,
lebar kepala 1,61-1,66 mm, dan jumlah segmen antena 15 (Tho 1992, Nandika et al. 2003).

Macrotermes gilvus Schedorhinotermes javanicus

Gambar 5 Jenis rayap yang menyerang contoh uji di (perbesaran 20x)

569
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
Pada pengujian terhadap rayap tanah Coptotermes curvignathus Holmgren,
perbedaan umur kayu Ulin (E. zwageri) 26 tahun dan 39 tahun secara statistik berpengaruh
nyata terhadap kehilangan berat contoh uji, namun tidak memberikan perberbedaan
terhadap kelas awet pada kedua umur kayu tersebut. Hal ini berarti kayu Ulin umur 26 tahun
dan 39 tahun yang diperoleh dari hutan tanaman di Kalimantan Selatan mempunyai kelas
awet I (sangat tahan) dan memberikan hasil yang sama dengan kelas awet kayu Ulin dari
hutan alam.

Saran
Saran dari penelitian ini adalah perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk variasi
umur kayu Ulin yang lebih banyak dengan perbedaan umur lima tahun dari berbagai daerah
penghasil kayu Ulin di Kalimantan dan Sumatera. Selain itu juga perlu dilakukan pengujian
sifat anatomi, fisis, mekanis, dan kimia kayu Ulin yang digunakan, serta serta pengujian
ketahanan kayu Ulin terhadap cuaca.

DAFTAR PUSTAKA

[ASTM] American Society for Testing and Materials. 2008. Standard Test Method of
Evaluating Wood Preservatives by Field Test with Stakes. American Society for
Testing and Materials. United States: ASTM D 1758-08.
Heyne K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia Jilid I-IV. Jakarta: Penerjemah Balitbang
Kehutanan.
Martawijaya A, Kartasujana I, Mandang YI, Prawira SA, Kadir K. 1989. Atlas Kayu Indonesia
Jilid II. Jakarta: Departemen Kehutanan.
Nandika D, Soenaryo, Saragih A. 1996. Kayu dan Pengawetan Kayu. Jakarta: Dinas
Kehutanan DKI Jakarta.
Nandika D, Rismayadi Y, Diba F. 2003. Rayap: Biologi dan Pengendaliannya. Surakarta:
Muhamadiyah University Press.
[SNI] Standar Nasional Indonesia. 2006. Uji Ketahanan Kayu dan Produk Kayu terhadap
Organisme Perusak Kayu. Badan Standardisasi Nasional. Jakarta: SNI 01.7207-
2006.
Syafii W. 2000. Sifat Anti Rayap Zat Ekstraktif Beberapa Jenis Kayu Daun Lebar Tropis.
Buletin Kehutanan No. 42/2000. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.
Tho YP. 1992. Termites of Peninsular Malaysia. Forest Research Institute Malaysia, Kepong,
Kualalumpur.
Wardani L, Subari D, Jasni, Hadi YS. 2009. Termite Resistance of Some Woods from
Natural and Plantation Forests in South Kalimantan Indonesia. Proceedings of the 6th
Conference of the Pacific Rim Termite Research Group. 2nd and 3rd March, 2009,
Kyoto, Japan. p. 105-108.
Wardani L, Hadi YS. 2011. Durability of Natural and Cultured Ironwood (Eusideroxylon
zwageri T. et B.) on Subterranean Termite (Coptotermes curvignathus Holmgren).
Proceedings of the 8th Conference of the Pacific Rim Termite Research Group.
Februari 28 & March 1, 2011, Bangkok, Thailand. p. 122-125.
Wistara INJ, Rachmansyah R, Denes F, Young RA. 2002. Ketahanan 10 Jenis Kayu Tropis.
Jurnal Teknologi Hasil Hutan Volume XV. Badan Litbang Kehutanan. Bogor.

570
PENGOLAHAN HASIL HUTAN

PENGARUH PENERAPAN FORMULASI SKEDUL SUHU DAN


KELEMBABAN TERHADAP KARAKTER PENGERINGAN KAYU
MERANTI MERAH BERSORTIMEN CASING
Yustinus Suranto1 dan Taufik Haryanto2
1
Dosen Jurusan Teknologi Hasil Hutan
2
Alumnus Jurusan Teknologi Hasil Hutan
Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, Bulaksumur, Yogyakarta
Email: surantoyustinus@yahoo.com

ABSTRAK

Meranti merah (Shorea spp) merupakan salah satu jenis kayu tropis basah yang
digunakan sebagai bahan baku industri konstruksi bangunan untuk pasar internasional.
Proses pengolahannya, khususnya pengeringan, telah dilakukan secara moderen, tetapi
belum mengakomodasi sifat spesifik dan dimensi kayu. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui pengaruh penerapan formulasi skedul suhu dan kelembaban menurut metode
Terazawa terhadap karakter pengeringan kayu meranti merah.
Kayu gelondong meranti merah sebanyak 150 m3 dari Pulau Buru digergaji secara
tangensial antara lain menjadi sortimen Casing berukuran tebal 17 mm, lebar 76 mm dan
panjang 4000 mm. Sortimen Casing dipilah secara random menjadi dua kelompok.
Kelompok pertama dikeringkan di dalam tanur pengering konvensional dengan penerapan
skedul suhu dan kelembaban yang dimiliki oleh Industri Perkayuan di Makassar. Kelompok
kedua juga dikeringkan di dalam tanur pengering tersebut, tetapi pengeringannya dilakukan
dengan penerapan skedul suhu dan kelembaban yang dirumuskan menurut metode
Terazawa. Penelitian kadar air dan berat jenis dilakukan menurut standar British, dan
penyusunan skedul suhu dan kelembaban menurut metode Terazawa dilakukan di Lab.
Pengeringan dan Pengawetan Kayu, Fak. Kehutanan UGM. Pengamatan selama proses
pengeringan kayu kelompok pertama dan kelompok kedua dilakukan masing-masing
terhadap 21 contoh uji sortimen dari masing-masing kelompok itu. Parameter pengamatan
meliputi: kecepatan pengeringan, kadar air akhir, penyusutan dan intensitas cacat. Hasilnya
dianalisis dengan Analisis varians.
Hasil penelitian memperlihatkan, bahwa kadar air awal 57,97% dan berat jenis 0,66.
Skedul pengeringan yang dimiliki industri bersuhu 50 s.d 75oC dan kelembaban relatif 84 s.d
22%, sedangkan skedul terazawa bersuhu 50 s.d 77 oC dan kelembaban relatif 81 s.d 21%.
Parameter-parameter penentu karakter pengeringan menurut metode terazawa dan metode
industri secara berurutan adalah laju pengeringan 32,92 dan 18,09%/jam, penyusutan tebal
4,5 dan 5,26%, penyusutan lebar 6,66 dan 7,63%, jumlah retak ujung 0,24 dan 0,86
Dibandingkan dengan pengeringan skedul industri, pengeringan skedul Terazawa
menghasilkan laju pengeringan yang lebih tinggi, durasi pengeringan yang lebih pendek,
penyusutan tangensial dan penyusutan radial serta jumlah retak ujung yang lebih kecil. Hasil
pengeringan dengan skedul terazawa lebih baik daripada skedul industri.

Kata kunci: Pengeringan Metode Terazawa, Meranti, sortimen 17 mm x 76 mm x 4000 mm.

PENDAHULUAN

Kayu meranti merah merupakan salah satu kayu dalam kelompok kelas
Dipterocarpaceae dari 260 jenis kayu unggulan untuk digunakan sebagai bahan baku
industri perkayuan penghasil bahan bangunan untuk perdagangan internasional (Anonimus,
2011). Kayu jenis ini dihasilkan dari hutan tropika Indonesia (Whitmore, 1975), khususnya
dari P. Sumatera, Kalimantan dan Maluku (Soerianegara dan Indrawan, 2005). Kayu
meranti merah dihasilkan dari 22 spesies pohon, antara lain Shorea acuminata dan S.

571
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

uliginosa. Berdasarkan berat jenisnya, kayu meranti merah dikelompokkan menjadi dua,
yaitu meranti merah ringan yang berat jenisnya kuarang dari 0,60 dan meranti merah berat
yang berat jenisnya minimum 0,60. Sampai dengan kadar air 12%, penyusutan radial
berkisar 2,0 3,5% dan tangensial 6,0-7,0% (Martawijaya dkk, 1981).
Hutan hujan tropika di Indonesia, khususnya di .P Sumatra, P. Kalimantan dan P.
Sulawesi pada saat ini mengalami degradasi yang serius sebagai akibat dari manajemen
hutan tropika yang tidak tepat (Anonim, 2011a). Degradasi kondisi hutan di tiga pulau
tersebut berakibat pada pengurangan kemampuannya untuk menyediakan kayu meranti
merah untuk sebagai bahan baku bagi berbagai industri perkayuan nasional. Sebuah unit
industri perkayuan yang relatif besar yang berlokasi di Makasar juga mengalami kesulitan
dalam memenuhi bahan baku. Pada suatu saat, suatu industri kayu yang berlokasi di
Makasar tersebut berhasil membuat persetujuan mengenai transaksi perdagangan kayu
dengan pembeli dari mancanegara, yakni kayu dari jenis meranti merah dengan spesifikasi
sortimen casing dalam kondisi kering oven yang berkadar air maksimal 12%. Sortimen
casing adalah suatu sortimen kayu gergajian yang memiliki dimensi tebal 1,7 cm, lebar 7,6
cm dan panjang 400 cm. Dalam usahanya untuk memenuhi transaksi perdagangan ini,
industri kayu tersebut membeli kayu meranti merah berupa balak yang berasal dari hutan di
P. Buru.
Di dalam rangka menyediakan kayu meranti merah dengan spesifikasi yang
dimaksud, industri kayu tersebut menggergaji balak kayu secara blambangan untuk
mengubahnya menjadi sortimen casing. Kayu gergajian casing ini kemudian dikeringkan di
dalam tanur pengeringan konvensional yang dimilikinya sehingga mencapai kadar air
maksimal 12%. Di dalam proses pengeringannya, industri perkayuan ini menerapkan skedul
suhu dan kelembaban yang dimilikinya. Pengamatan terhadap proses pengeringan yang
diselenggarakan menurut cara yang biasa dilakukan oleh industri kayu tersebut
menghasilkan dua realitas menarik mengenai karakter pengeringan kayu. Pertama,
pengeringan tersebut berlangsung dalam durasi waktu yang sangat lama dan kadar air akhir
kayu kering tidak seragam. Kedua, pengeringan tersebut menghasilkan kayu kering yang
relatif banyak mengalami cacat pengeringan.
Karakter pengeringan kayu sebagaimana disajikan merupakan karakter pengeringan
yang kurang berkualitas. Pengeringan kayu dinyatakan berkualitas bila memenuhi beberapa
kriteria berikut. Pertama, pengeringan berlangsung di dalam durasi waktu yang pendek.
Kedua, kadar air akhir kayu adalah relatif seragam diantara kayu-kayu yang dikeringkan.
Ketiga, penyusutan kayu relatif rendah. Keempat, kayu kering terbebas dari berbagai cacat
pengeringan kayu, baik berupa cacat perubahan bentuk, catat retak, pecah dan terbelah
(Gorisek and Straze, 2007)
Mengingat bahwa pengeringan kayu dilaksanakan di dalam tanur pengering
konvensional yang masih dalam kondisi baru dan standar, maka pengeringan kayu dengan
karakter pengeringan yang demikian ini patut diduga bahwa hal itu disebabkan oleh
penerapan skedul suhu dan kelembaban yang tidak tepat. Skedul suhu dan kelembaban
dinyatakan tidak tepat bila skedul suhu dan kelembaban itu tidak bersesuaian dengan
karakter kayu yang dikeringkan. Dugaan ini didasarkan pada teori yang menyatakan bahwa
skedul suhu dan kelembaban merupakan salah satu faktor utama penentu kualitas proses
pengeringan kayu (Rasmussen, 1961)
Penelitian ini dilakukan untuk mencapai beberapa tujuan. Pertama, untuk menyusun
skedul suhu dan kelembaban berdasarkan metode Terazawa yang diperuntukan bagi
pengeringan kayu meranti merah bersortimen casing yang berasal dari P. Buru. Kedua,
untuk memperbandingkan kualitas proses pengeringan kayu antara pengeringan yang
dilakukan berdasarkan skedul suhu dan kelembaban yang dimiliki oleh industri dan
pengeringan yang dilakukan berdasarkan skedul suhu dan kelembaban yang disusun
menurut metode Terazawa.

572
PENGOLAHAN HASIL HUTAN

BAHAN DAN METODE

Bahan penelitian berupa kayu gelondong (balak) meranti merah yang didatangkan
dari P. Buru dengan jumlah total sebanyak 150 m3. Balak yang berada di suatu industri kayu
di Makassar tersebut digergaji secara belambangan dengan menggunakan gergaji pita,
sehingga diperoleh dua macam kayu gergajian, satu diantaranya adalah sortimen casing
yang memiliki dimensi tebal 1,7 cm, lebar 7,6 cm dan panjang 400 cm.
Tiga buah sortimen casing yang sepenuhnya terdiri atas kayu teras dipilih secara
random dari banyak sortimen casing yang dihasilkan dari penggergajian. Tiga sortimen ini
difungsikan sebagai sample untuk merumuskan skedul suhu dan kelembaban berdasarkan
metode terazawa.. Sortimen-sortimen casing yang lain dipilah menjadi dua kelompok yang
bervolume sama. Kelompok pertama dikeringkan di dalam tanur pengering konvensional
yang dioperasikan berdasarkan skedul suhu dan kelembaban yang dimiliki oleh industri.
Kelompok kedua dikeringkan di dalam tanur pengering yang sama yang dioperasikan
berdasarkan skedul suhu dan kelembaban yang dirumuskan berdasarkan metode terazawa
tersebut.
Masing-masing sortimen casing terpilih secara random itu kemudian digergaji secara
longitudinal pada setiap panjang 50 cm, sehingga diperoleh 8 potongan masing-masing
berukuran panjang 50 cm, lebar 7,6 cm dan tebal 1,7 cm. Dua potongan yang berasal dari
kedua ujung balak, yakni potongan pada bagian pangkal dan bagian ujung, dibuang untuk
menghindarkan pengaruh perbedaan kadar air yang disebabkan oleh penguapan air melalui
bagian ujung. Dengan demikian, diperoleh enam potongan sortimen dari masing-masing
sample. Ke-6 potongan sortimen yang terakhir ini dibungkus plastik secara rapat. Aktivitas
yang sama juga diterapkan kepada sampel kedua dan ketiga. Dengan demikian, terdapat
tiga bungkusan kayu dan diangkut dari Makkasar menuju ke Laboratorium Pengeringan dan
Pengawetan Kayu, Jurusan Teknologi Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah
Mada di Yogyakarta.
Di dalam Laboratorium ini, bungkusan sampel pertama itu dibuka. Satu potong kayu
dipilih secara random di antara 6 potongan yang ada, dan satu potongan terpilih inilah yang
akan dijadikan obyek penelitian. Aktivitas yang dilakukan terhadap bungkusan sampel
pertama juga diberlakukan terhadap bungkusan sampel kedua dan ketiga. Penelitian
dilakukan terhadap sifat fisis dan sifat pengeringannya.
Peralatan yang digunakan dalam penelitian imeliputi gergaji lingkar dan mesin
pengetam. Selain itu, digunakan kaliper, oven bermerk Memmert, desikator, Timbangan
digital analitis bermerk OHauss serta tanur pengering konvensional berkapasitas 75 m3
buatan Aluna Engineering.
Untuk mendapatkan contoh uji bagi masing-masing aspek pada pengujian sifat fisika
dan penentuan skedul suhu dan kelembaban, maka sebuah potongan terpilih sepanjang 50
cm kemudian dipotong-potong lagi menjadi tujuh potongan. Masing-masing potongan secara
berurutan memiliki panjang (1) 11 cm, (2) 2 cm, (3) 2 cm, (4) 20 cm, (5) 2 cm, (6) 2 cm dan
(7) 11 cm. Dua potongan masing-masing sepanjang 11 cm pada kedua bagian ujung ini,
yakni potongan (1) dan (7), dibuang untuk menghindarkan pengaruh perbedaan kadar air
yang disebabkan oleh penguapan air melalui bagian ujung. Dua buah potongan masing-
masing sepanjang 2 cm, yakni potongan (2) dan (6), merupakan bagian yang digunakan
untuk membuat contoh uji bagi pengukuran kadar air awal. Dua buah potongan berikutnya
yang masing-masing sepanjang 2 cm, yakni potongan (3) dan (5), merupakan bagian yang
digunakan untuk membuat contoh uji bagi pengukuran berat jenis. Sebuah potongan
berukuran panjang 20 cm, yakni potongan ke-4, difungsikan sebagai bahan untuk membuat
contoh uji pada pengujian pengeringan secara cepat. Potongan ke-4 ini diserut pada kedua
permukaannya, digergaji secara longitudinal, sehingga mendapatkan contoh uji berukuran
tebal 1,7 cm, lebar 7,6 cm dan panjang 20 cm. Setelah dipotong dan menjadi contoh uji,
setiap contoh uji itu segera ditimbang.

573
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Pengujian Sifat Fisika Kayu


Penentuan sifat fisika berupa kadar air, berat jenis dan penyusutan pada sampel-
sampel itu dilakukan dari kondisinya yang basah menuju ke kondisi kering tanur.
Penentuan sifat-sifat fisika kayu ini dilakukan berdasarkan metoda British Standard (BS)
nomor 373 tahun 1957 dengan sedikit modifikasi.

Pengujian Pengeringan secara Cepat dan Penyusunan Skedul Suhu dan Kelambaban
Pengujian pengeringan secara cepat merupakan metoda empiris yang digunakan
untuk menentukan skedul suhu dan kelembaban. Metode ini digunakan sebagai titik awal
bagi penyusunan skedul suhu dan kelembaban dasar yang aktual dan tepat bagi kayu
gergajian yang berasal dari spesies yang manapun (Terazawa, 1965). Prosedur bagi
penerapan metoda Terazawa untuk menetapkan skedul suhu dan kelembaban terdiri atas
beberapa langkah sebagai berikut:
1. Sampel berukuran tebal 1,7 cm, lebar 7,6 cm dan panjang 20 cm yang berasal dari
potongan nomor 4, diletakkan di dalam oven bertenaga listrik yang diatur pada kondisi
suhu 103 + 2oC.
2. Sampel ditimbang dan pemunculan serta perkembangan retak permukaan dan retak
ujung diamati secara periodis setiap 2 jam selama proses pengeringannya sampai
sampel itu mencapai kadar air yang konstan pada tingkat 1 persen.
3. Pada akhir proses pengeringan, sampel itu dihitung dan diukur jumlah retak permukaan
dan retak ujung (sebagai Cacat 1), juga cacat deformasi (sebagai Cacat 2). Sample ini
kemudian dipotong tepat pada bagian tengah dalam arah longitudinalnya untuk
mengetahui dan mengukur retak-dalam atau honey-comb (sebagai Cacat 3). Penetapan
tingkat kerusakan bagi masing-masing jenis cacat ini didasarkan pada jumlah dan
ukuran cacat yang terjadi pada permukaan kayu dalam kondisi kering mutlak.
4. Tingkat cacat kemudian ditentukan dan diperingkat berdasarkan sekala nilai yang
berkisar antara 1 sampai dengan 8 bagi cacat retak permukaan dan ujung (cacat 1) dan
juga bagi cacat deformasi (cacat 2), dan antara 1 sampai dengan 6 bagi cacat retak-
dalam (cacat 3). Penentuan itu didasarkan pada tabel yang ditetapkan oleh Terguson
pada tahun 1951 (Terazawa, 1965). Nilai pada pemeringkatan ini diartikan bahwa
semakin rendah nilainya, maka semakin rendah (sedikit) pula cacat yang terjadi, atau
sebaliknya, semakin tinggi nilai pada peringkat ini, maka semakin tinggi (banyak) pula
cacat yang terjadi.
5. Berdasarkan pada dua hal, yaitu hasil pemeringkatan di atas dan tabel termometer
suhu bola kering (TSBK) dan tabel depresi suhu bola basah (DSBB) sebagaimana
disajikan pada manual Forest Product Laboratory (Rasmussen, 1961), ditentukanlah
suhu minimum dan maksimum termometer suhu bola kering serta depresi suhu bola
basah bagi kayu-gergajian dari spesies tertentu. Kedua hal itu, yaitu suhu minimum dan
suhu maksimum serta depresi suhu bola basah, pada gilirannnya dijadikan dasar yang
berguna untuk menyusun skedul suhu dan kelembaban yang sesuai bagi kayu meranti
merah.

Komparasi Karakteristik Pengeringan Kayu di dalam Tanur.


Komparasi karakteristik pengeringan kayu dimaksudkan untuk membandingkan
antara karakter kayu yang dihasilkan dari proses pengeringan di dalam tanur pengering yang
dilaksanakan berdasarkan skedul suhu dan kelembaban Terazawa dan yang dilaksanakan
berdasarkan skedul suhu dan kelembaban milik Industri. Karakter pengeringan dilihat dari
beberapa parameter, yaitu (1) laju pengeringan, (2) kadar air akhir, (3) penyusutan, (4) cacat
deformasi, (5) cacat retak-permukaan, (6) cacat retak- dalam. Skedul suhu dan kelembaban
Terazawa merupakan skedul yang dihasilkan dari penelitian ini, sedangkan skedul suhu dan
kelembaban industri disajikan di dalam tabel berikut.

574
PENGOLAHAN HASIL HUTAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

Sifat Fisika Kayu


Sifaf fisika sampel kayu meranti merah disajikan di dalam Tabel 1 sebagai berikut.

Tabel 1. Sifat Fisika Kayu Meranti Merah

Kadar air Berat


Sampel
(%) Jenis
1 56,24 0,68
2 56,94 0,68
3 60,72 0,63
Rata-rata 57,97 0,66

Tabel 1 memperlihatkan hasil sebagai berikut. Nilai rata-rata kadar air rata-rata
adalah 57,97 %. Nilai berat jenis rata-rata adalah 0,66. Berdasarkan nilai kadar airnya, kayu
ini dapat dinyatakan masih dalam kondisi basah. Berdasarkan berat jenisnya, kayu ini
tergolong dalam kayu meranti merah berat.

Pengujian Pengeringan secara Cepat


Hasil penelitian mengenai pengeringan secara cepat disajikan sebagai berikut:

Status dan klasifikasi cacat


Jenis dan peringkat cacat pada sampel pengujian pengeringan, baik berupa retak -
pecah - terbelah ujung, deformasi dan retak-dalam disajika pada Tabel.

Tabel. Intensitas Cacat Pengeringan dan Peringkatnya

Sample Retak awal (retak- Deformasi Retak-dalam


pecah-terbelah ujung-
permukaan)
jumlah peringkat Dimensi peringkat jumlah peringkat
(mm)
1 Terbelah 5 0,96 4 2 2
1 pecah 3
2 Pecah 3 4 1,22 5 0 1
3 Pecah 5 5 1,15 4 2 2
Rata-rata 4,66 1,11 4,33 1,67

Berdasarkan keberadaan cacat tersebut, maka sampel pengujian pengeringan


diklasifikasikan sebagai peringkat 4,66 (5) dalam hal retak awal, peringkat 4,33 (5) dalam
hal deformasi dan peringkat 1,67 (2) dalam hal retak-dalam.

Penetapan suhu awal, depresi suhu bola basah dan suhu akhir
Berdasarkan hasil pengklasifikasian di atas, dapat ditentukan suhu minimum, suhu
maksimum dan depresi suhu bola basah pada awal dan akhir proses pengeringan.
Penentuan dilakukan mengikuti acuan dibuat Terazawa (1965) sebagaimana tersaji pada
Tabel 2.
Berdasarkan Tabel 2, dengan retak awal yang tergolong ke dalam kelas 5, maka
suhu awal dan depresi suhu bola basah serta suhu akhir secara berurutan adalah 53oC dan
3,0oC serta 82oC. Berdasarkan deformasi yang tergolong ke dalam kelas 5, maka suhu awal
dan depresi suhu bola basah serta suhu akhir secara berurutan adalah 50 oC dan 3,6oC serta
77oC. Berdasarkan retak-dalam yang tergolong ke dalam kelas 2, maka suhu awal dan

575
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

depresi suhu bola basah serta suhu akhir secara berurutan adalah 55oC dan 4,5oC serta
83oC.

Tabel 2. Hubungan antara jenis cacat dan suhu awal, depresi dan suhu akhir.

Variasi Tingkat cacat


Kondisi Pengeringan (oC)
Cacat 1 2 3 4 5 6 7 8
Retak Awal Suhu Awal 70 65 60 55 53 50 47 45
Depresi Suhu Bola Basah 6,5 5,5 4,3 3,6 3,0 2,3 2,0 1,
8
Suhu Akhir 95 90 85 83 82 81 80 79
Deformasi Suhu Awal 70 66 58 54 50 49 48 47
Depresi Suhu Bola Basah 6,5 6,0 4,7 4,0 3,6 3,3 2,8 2,
5
Suhu Akhir 93 88 83 80 77 75 73 70
Retak- Suhu Awal 70 55 50 49 48 45 - -
Dalam Depresi Suhu Bola Basah 6,5 4,5 3,8 3,3 3,0 2,5 - -
Suhu Akhir 95 83 77 73 71 70 - -

Dengan memperbandingkan kelompok angka yang disajikan oleh masing-masing


peringkat itu, jelaslah bahwa aspek cacat deformasi menghasilkan angka yang paling aman
yang merefleksikan kondisi pengeringan yang paling ringan. Dengan alasan itu, aspek cacat
deformasi dipilih sebagai penentu untuk menyusun skedul suhu dan kelembaban. Oleh
karena itu, maka suhu awal 50oC dan depresi suhu bola basah 3,6oC serta suhu akhir 77oC
dipilih sebagai kondisi proses pengeringan.

Penentuan kadar air pada setiap langkah proses pengeringan.


Nilai kadar air awal rata-rata sampel adalah 57,97%. Berdasarkan klasifikasi kadar
air yang dibuat oleh Terazawa (1965) sebagaimana ditampilkan pada Tabel 3 berikut,
Tingkat kadar air awal 57,97% ini berkonsekuensi pada terpilihnya kelas B sebagai
penyusun skedul suhu dan kelembaban.

Tabel 3. Klasifikasi kadar air dan langkah perubahannya

Lang- Klasifikasi Kadar Air Berdasarkan Kadar Air Awal (%)


kah A B C D E F G H I
1 40-30 50-35 60-40 80-50 100- 120- 140- 170- 220-
60 68 75 90 110
2 30-28 35-32 40-35 50-43 60-47 68-55 75-60 90-70 110-
80
3 28-26 32-29 35-31 43-36 47-40 55-45 60-45 70-55 80-65
4 26-24 29-26 31-27 36-30 40-34 45-38 45-38 55-45 65-50
5 24-22 26-23 27-24 30-25 34-29 38-32 38-32 45-35 50-40
6 22-20 23-20 24-21 25-21 29-24 32-27 32-27 35-27 40-32
7 20-18 20-18 21-18 21-18 24-20 27-22 27-22 27-22 32-25
8 18-16 18-16 18-16 18-16 20-16 22-18 22-18 22-18 25-20
9 16-14 16-14 16-14 16-14 16-14 18-14 18-14 18-14 20-15
10 14-12 14-12 14-12 14-12 14-12 14-12 14-12 14-12 15-12
11 < 12 < 12 < 12 < 12 < 12 < 12 < 12 < 12 < 12

Kelas B untuk kadar air ini terdiri atas langkah-langkah penurunan berikut: 50-35; 35-
32; 32-29; 29-26; 26-23; 23-20; 20-18; 18-16; 16-14; 14-12; dan kurang dari 12% sebagai
langkah akhir pada proses pengeringan.

576
PENGOLAHAN HASIL HUTAN

Penentuan depresi suhu bola basah


Depresi suhu bola basah pada tahap awal adalah 3,6 oC untuk sampel sortimen
berketebalan 1,7 cm. Berdasarkan ketebalan kayu sebesar 1,7 cm yang tergolong papan,
maka dipilih Bagan A pada kolom 5. Penampilan langkah-langkah perubahan depresi suhu
bola basah pada kolom 5 sebagai berikut: 3,5; 5, 8, 12, 18, 25; 30; 30; masing-masing dalam
satuan oC. Menurut Terazawa (1965), Bagan A sebagai acuan memilih depresi suhu bola
basah disajikan pada Tabel 4 berikut.

Tabel 4. Klasifikasi depresi suhu bola basah dan langkah perubahannya

Lang- Klasifikasi Depresi Suhu Bola Basah (oC)


kah 1 2 3 4 5 6 7 8
1 1,5 2 2,5 3 3,5 4 5 7
2 2 3 3,8 4,5 5 6 8 11
3 3 4,5 6 7 8 9 12 17
4 4,5 7 9 11 12 14 18 21
5 7 11 14 17 18 18 25 25
6 11 21 19 21 25 25 30 30
7 17 25 25 25 30 30 30 30
8 20 30 30 30 30 30 30 30
9 20 30 30 30 30 30 30 30
10 30 30 30 30 30 30 30 30
11 30 30 30 30 30 30 30 30

Penentuan perubahan suhu selama proses pengeringan.


Berdasarkan sampel pengeringan, diperoleh suhu awal pada termometer bola kering
adalah 50 oC dan suhu akhir adalah 77oC. Untuk menentukan perubahan suhu selama
proses pengeringan, diperlukan Klasifikasi Suhu Awal dan Perubahannya selama
Pengeringan yang dibuat oleh Terazawa (1965) sebagaimana disajikan pada Tabel 5
berikut.

Tabel 5. Klasifikasi Suhu Awal dan Langkah Perubahannya.

Perubahan Klasifikasi Suhu Awal (oC) dan Perubahannya selama Pengeringan


Kadar Air (%) T1 T2 T3 T4 T5 T6 T7 T8 T9 T10
Segar-40 35 40 45 50 55 60 65 70 80 85
40-35 35 40 45 50 55 60 65 70 85 90
35-30 35 40 45 50 58 65 70 75 90 100
30-25 35 43 48 55 63 70 75 80 95 110
25-20 38 48 53 60 68 75 80 85 100 120
20-15 40 53 58 65 70 80 85 95 110 120
15-12 45 60 65 70-80 70-80 80-90 85-90 10 120 120
5
< 12 55 60 65 70-80 70-80 80-90 85-90 10 120 120
5

Berdasarkan klasifikasi suhu pada Tabel 5 di atas, maka wilayah suhu antara suhu
awal 50oC dan akhir 77oC ini berkonsekuensi pada pemilihan kolom suhu T4 untuk
mengekspresikan perubahan suhu selama proses pengeringan. Langkah-langkah
perubahan suhu ini sebagai berikut: 50,50, 50, 55, 60, 65, 77, 77, 77, 77.

Perumusan skedul suhu dan kelembaban.


Berdasarkan beberapa kriteria sebagaimana disajikan di atas, skedul suhu dan
kelembaban dasar bagi kayu meranti merah yang berdimensi tebal 1,7 cm dan lebar 7,6 cm
dapat dirumuskan dengan kode T4B5. Dibantu dengan tabel kelembaban relatif yang

577
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

disajikan oleh Bollmann (1977), penampilan skedul suhu dan kelembaban T4B5 ini disajikan
pada Tabel 6 berikut.

Tabel 6. Skedul Suhu dan Kelembaban berkode T4B5

Depresi Suhu Suhu


Suhu
Kadar Air Termometer Termometer Kelemban
Langkah Termometer
(%) Bola Basah Bola Basah Relatif (%)
Bola Kering (oC)
(oC) (oC)
1 50-35 50 3,8 46,2 80
2 35-32 50 5 45 74
3 32-29 50 8 42 62
4 29-26 55 11 43 50
5 26-23 60 18 48 35
6 23-20 60 25 35 25
7 20-18 65 30 35 14
8 18-16 65 30 35 14
9 16-14 70-77 30 40-50 11
10 14-12 70-77 30 40-50 11
11 < 12 70-77 30 40-50 11

Pembandingan Karakteristik Pengeringan Kayu


Pembandingan hasil proses pengeringan merupakan hasil pengamatan terhadap
karakterisitik proses pengeringan kayu di dalam tanur pengering konvensional dengan
penerapan dua macam skedul suhu dan kelembaban, yakni skedul Terazawa sebagaimana
disajikan pada Tabel 6 dan skedul suhu dan kelembaban yang dimiliki oleh industri disajikan
di dalam Tabel 7 berikut. Hasil pembandingan berupa karakteristik pengeringan disajikan
pada Tabel 8 berikut.

Tabel 7 . Skedul Suhu dan Kelembaban Milik Industri Kayu

Depresi
Suhu Suhu
Suhu
Kadar Air Termometer Termometer Kelemban
Langkah Termometer
(%) Bola Kering Bola Basah Relatif (%)
Bola Basah
(oC) (oC)
(oC)
1 > 50 50 2 48 80
2 50 40 55 3 52 70
3 40 35 58 3,5 54,5 60
4 35 30 62 5,5 56,5 55
5 30 25 64 8 56 47,5
6 25 20 67,5 12 55,5 32
7 20 15 72 20 25 47 52 25
8 < 15 80 20 - 25 47 - 52 20 -25

578
PENGOLAHAN HASIL HUTAN

Tabel 8. Karakteristik Proses Pengeringan menurut skedul Industri dan Terazawa

No Parameter Skedul Suhu dan Kelembaban


Industri Terazawa
1 Laju pengeringan (%/jam) 18,09 32,92
2 Kadar air akhir (%) 8,17 9,18
3 Penyusutan tebal (%) 5,263 4,357
4 Penyusutan lebar (%) 7,634 6,666
5 Penyusutan panjang (%) 0,126 0,119
6 Jumlah cacat membusur 7 2
7 Besar pembusuran 0,00219 0,00053
8 Jumlah cacat memangkok 15 2
9 Besar pemangkokan 0,0091 0,00289
10 Jumlah cacat melekuk 11 4
11 Besar pelekukan 0,00898 0,00311
12 Jumlah cacat mengintan (o) 3 2
13 Besar cacat mengintan 0,21 0,16
14 Jumlah retak ujung 0,86 0,24
15 Rata-rata panjang retak ujung (mm) 1,76 0,35
16 Retak terpanjang retak ujung (mm) 2,01 0,45
17 Total panjang retak ujung (mm) 3,91 0,61
18 Jumlah retak permukaan 0,66 0,19
19 Rata-rata panjang retak permukaan 3,06 1,16
(mm)
20 Retak terpanjang retak permukaan 3,47 1,16
(mm)
21 Total panjang retak permukaan (mm) 5,16 1,16
22 Jumlah retak dalam 0,19 0,05
23 Rata-rata panjang retak dalam (mm) 0,41 0,06

579
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Tabel 9. Analisis Varians terahadap Setiap Parameter


Penentu Karakteristik Pengeringan Kayu.

No Parameter Sumber Derajat Jumlah Rata- F hitung Signifikansi


variasi bebas Kuadrat rata F
kuadrat
1 Laju Antar 1 1281,30 1281,30 116,09 0,012*
pengeringan Kelompok
Dalam 4 44,15 11,04
Kelompok
Total 5 1325,45
2 Kadar air Antar 1 0,49 0,49 1,60 0,21NS
akhir Kelompok
Dalam 40 12,46 0,31
Kelompok
Total 41 12,86
3 Penyusutan Antar 1 0,01 0,1 6,10 0,018*
Tebal Kelompok
Dalam 40 0,01 0,00025
Kelompok
Total 41 0,01
4 Penyusutan Antar 1 0,01 0,01 5,71 0,025*
Tebal Kelompok
Dalam 40 0,07 0,00175
Kelompok
Total 41 0,08
5 Penyusutan Antar 1 0,01 0,01 6,10 0,65NS
Panjang Kelompok
Dalam 40 0,01 0,00025
Kelompok
Total 41 0,02
6 Jumlah Antar 1 0,59 0,59 3,68 0,062NS
Cacat Kelompok
Membusur
Dalam 40 6,48 0,16
Kelompok
Total 41 7,07
7 Besarnya Antar 1 0,01 0,01 4,26 0,046*
Cacat Kelompok
Membusur
Dalam 40 0,01 0,00025
Kelompok
Total 41 0,02
8 Jumlah Antar 1 0,21 0,21 1,53 0,224NS
Cacat Kelompok
Memangkok
Dalam 40 5,62 0,14
Kelompok
Total 41 5,83

580
PENGOLAHAN HASIL HUTAN

Tabel 9. (lanjutan)

No Parameter Sumber Derajat Jumlah Rata-rata F Signifikansi


variasi bebas Kuadrat kuadrat hitung F
9 Besarnya Antar 1 0,01 0,01 2,21 0,145NS
Cacat Kelompok
Memangkok
Dalam 40 0,01 0,00025
Kelompok
Total 41 0,02
10 Jumlah Cacat Antar 1 1,17 1,17 5,51 0,024*
Melekuk Kelompok
Dalam 40 8,48 0,21
Kelompok
Total 41 9,64
11 Besarnya Antar 1 0,01 0,01 5,41 0,025*
Cacat Kelompok
Membusur
Dalam 40 0,01 0,00025
Kelompok
Total 41 0,02
12 Jumlah Cacat Antar 1 0,02 0,02 0,22 0,64NS
Mengintan Kelompok
Dalam 40 4,38 0,11
Kelompok
Total 41 4,40
13 Besarnya Antar 1 0,02 0,02 0,08 0,78NS
Cacat Kelompok
Mengintan
Dalam 40 11,45 0,29
Kelompok
Total 41 11,47
14 Jumlah Retak Antar 1 4,02 4,02 4,42 0,042*
Ujung Kelompok
Dalam 40 36,38 0,91
Kelompok
Total 41 40.40
15 Panjangnya Antar 1 20,73 20,73 6,70 0,013*
Retak Ujung Kelompok
Dalam 40 123,76 3,09
Kelompok
Total 41 144,50
16 Retak Antar 1 25,63 25,63 6,02 0,019*
Terpanjang Kelompok
Retak Ujung
Dalam 40 170,37 4,26
Kelompok
Total 41 195,99

581
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Tabel 9. (lanjutan)

No Parameter Sumber Derajat Jumlah Rata-rata F Signifikansi


variasi bebas Kuadrat kuadrat hitung F
16 Retak Antar 1 25,63 25,63 6,02 0,019*
Terpanjang Kelompok
Retak Ujung
Dalam 40 170,37 4,26
Kelompok
Total 41 195,99
17 Total Antar 1 114,54 114,54 7,23 0,010**
Panjang Kelompok
Retak Ujung
Dalam 40 634,03
Kelompok
Total 41 748,57
18 Jumlah Retak Antar 1 2,38 2,38 4,35 0,043*
Permukaan Kelompok
Dalam 40 21,90
Kelompok
Total 41 24,29
19 Panjangnya Antar 1 38,06 38,06 3,16 0,083NS
Retak Kelompok
Permukaan
Dalam 40 481,64 12,04
Kelompok
Total 41 519,70
20 Retak Antar 1 56,01 56,01 3,88 0,056NS
Terpanjang Kelompok
Retak
Permukaan
Dalam 40 577,43 14,46
Kelompok
Total 41 633,43
21 Total Antar 1 168,08 168,08 5,69 0,022*
Panjang Kelompok
Retak
Permukaan
Dalam 40 1179,71 29,49
Kelompok
Total 41 1347,80
22 Jumlah Retak Antar 1 0,21 0,21 2,04 0,160NS
Dalam Kelompok
Dalam 40 4,19 0,10
Kelompok
Total 41 4,40
23 Panjang Antar 1 1,31 1,31 3,11 0,085NS
Retak Dalam Kelompok
Dalam 40 16,83 0,42
Kelompok
Total 41 18,14

582
PENGOLAHAN HASIL HUTAN

Dari Tabel 8. dan 9 terlihat empat fakta berkait dengan karekteristik peneringan
sebagai berikut. Pertama, laju pengeringan pada skedul terazawa (32,92 %/jam) lebih tinggi
secara signifikan daripada pada skedul industri (18,09 %/jam), sehingga pengeringan
dengan skedul Terazawa berlangsung lebih cepat dibandingkan dengan skedul industri.
Dengan demikian, pengeringan berbasis terazawa sudah tentu akan lebih berhemat dalam
hal durasi waktu pengeringan, energi dan beaya yang diperlukan dalam pengeringan.
Kedua, kadar air akhir pengeringan pada skedul terazawa (9,18%) lebih tinggi daripada pada
skedul industri (8,17%), tetapi tidak berbeda secara signifikan dan keduanya masih
memenuhi kriteria karena nilainya kurang dari ketentuan yang standar yaitu sebesar 12%.
Ketiga, semua parameter berkait dengan penyusutan kayu akibat pengeringan skedul
terazawa lebih rendah secara signifikan, khususnya penyusutan tebal dan lebar, daripada
pada skedul industri. Dengan demikian, volume kayu kering pada pengeringan skedul
terazawa lebih tinggi daripada skedul industri. Keempat, semua parameter yang menunjuk
pada tingkat kerusakan kayu akibat proses pengeringan dengan skedul Terazawa lebih
rendah daripada skedul industri, baik kerusakan dalam bentuk deformasi, retak, pecah
maupun terbelah. Dengan demikian, kualitas kayu kering hasil pengeringan skedul terazawa
lebih tinggi daripada skedul industri.
Berdasarkan keempat fakta di atas maka dapat disimpulkan bahwa pengeringan
dengan skedul Terazawa menghasilkan pengeringan dengan: durasi waktu yang lebih
pendek, lebih hemat energi dan beaya pengeringan, penyusutan yang lebih rendah, dan
intensitas cacat kayu kering yang lebih rendah pula dibandingkan dengan pengeringan
dengan skedul industri. Dengan demikian, karakterisitik pengeringan kayu meranti merah
yang dilakukan dengan penerapan skedul Terazawa lebih baik dibandingkan dengan
penerapan skedul industri.

KESIMPULAN

Beberapa butir kesimpulan dapat disjaikan sebagai berikut. Pertama, kayu meranti
merah memiliki nilai kadar air awal 57,97 %, berat jenis 0,66. Kedua, skedul suhu dan
kelembaban berbasis Terazawa dapat dirumuskan dengan kode T4B5, dengan wilayah suhu
50- 77oC, dan kelembaban 80 11%. Ketiga, laju pengeringan pada skedul terazawa (32,92
%/jam) lebih tinggi secara signifikan daripada pada skedul industri (18,09 %/jam). Keempat,
penyusutan tebal (4,357%) dan lebar (6,666%) pada pengeringan skedul terazawa lebih
rendah daripada pada skedul industri, yakni penyusutan tebal 5,263% dan lebar 7,634.
Kelima, kualitas kayu kering pengeringan Terazawa lebih tinggi daripada pengeringan
dengan skedul industri. Keenam, karakteristik pengeringan dengan skedul terazawa lebih
baik daripada pengeringan dengan skedul industri.

DAFTAR PUSTAKA

Anonimus. 1957. British Standard (BS) nomor 373 Methods of Testing Small Clear
Specimen of Timber, London.
Anonimus, 2011. http://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_kayu_di_Indonesia. Diunduh pada 15
September 2011.
Anonimus, 2011a. Degradasi Hutan Tropis di Indonesia.
http://pdf.wri.org/indoforest_chap3_id.pdf. Diunduh pada 15 September 2011.
Bollmann, 1977. Manual for Technical Drying of Timber. Ludwig Bolmann Kg.
Maschinenfabrik. Rielasingen. West Germany.
Rasmussen EF. 1961. Dry Kiln, Operators Manual. U.S. Department of Agriculture
Handbook, 188.
Terazawa S. 1965. An Easy Method for the Determination of Wood Drying Schedule. Wood
Industry Japan.
Martawijaya, S., Kartasujana, I., Kadir, K., Suwanda A.P., 1981. Atlas Kayu Indonesia. Jilid I.

583
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Pusat Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Direktur Jenderal Kehutanan.


Bogor.
Whitmore, T.C. 1975. Tropical Rain Forest of Far- East. Oxford Univ. Press. New York.
Gorisek, Z. dan Straze A., 2007. Influence of wood Drying Technique and Process Condition
on Drying Quality of Beech Wood (Fagus silvatica L). Conference on Quality Control
For Competitivenes of Wood Industries. Warsaw, 15 17 Oktober 2010. Diunduh
pada 13 September 2010 dari http://www.coste53.net/downloads/Warsaw/Warsaw-
presentation/COSTE53-ConferenceWarsaw-Presentation-Gorisek.pdf
Soerianegara I dan A. Indrawan. 2005. Ekosistem Hutan Indonesia. Laboratorium Ekologi
Hutan, Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

584
PENGOLAHAN HASIL HUTAN

PENINGKATAN SIFAT MEKANIS BEBERAPA JENIS KAYU


MENGGUNAKAN BAHAN KIMIA BLENG, LINSEED OIL
DAN KARBOKSIMETILSELULOSA

Abdurachman dan Barly


Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Jl. Gunung Batu No.5. Bogor.1610. Telp./Fax: 0251-8633413, 8633378.

ABSTRAK

Penelitian sifat penyerapan dan sifat mekanis kayu karet, afrika, mindi, mangium, jati,
sengon dan puspa yang direndam dalam bleng, linseed oil (LO) dan karboksimetil selulosa
(CMC) berpengaruh sangat nyata terhadap keteguhan tekan sejajar serat. Interaksinya
terhadap semua sifat mekanik yang diteliti tidak berbeda nyata. Banyaknya bahan yang
diserap cenderung tidak berpengaruh terhadap kekuatan mekanis kayu. Nilai tegangan
lentur maksium (MOR) tertinggi, yaitu 440 kg/cm2 diperoleh pada penggunaan CMC yang
juga berpengaruh tehadap kekuatan tekan sejajar serat kayu karet, yaitu 227 kg/cm2.
Bleng dapat meningkatkan tegangan pada batas proporsi (MPL) dan MOR kayu karet, dan
keteguhan geser sejajar serat pada kayu afrika, karet dan puspa. Nilai kekakuan lentur
(MOE) tertinggi, yaitu 39.493 kg/cm2 diperoleh dengan penggunaan LO, meskipun tidak
berbeda nyata dengan kontrol, bleng dan CMC.

Kata kunci: Perlakuan, bahan kimia, sifat mekanis

PENDAHULUAN

Menurut Tantra (2001) di Indonesia terdapat lebih dari 25.000 jenis flora yang
berkembang biak dengan biji (Spermatophyta), 4000 jenis diantaranya berupa pohon yang
bisa mencapai diameter 35 cm. Dari jumlah tersebut, sebagaian besar merupakan jenis kayu
yang belum dimanfaatkan atau kurang dikenal (lesser-known). Hal itu mungkin disebabkan
oleh volumenya sedikit atau memiliki sifat kurang baik, seperti mudah pecah, menggeliat
atau memangkuk (Sosef et al., 1998). Kayu yang memiliki sifat semacam itu sekarang
banyak ditemukan pada jenis kayu tanaman yang dipanen pada umur muda. Sehingga kayu
yang dihasilkan memiliki karakteristik berbeda dengan kayu dari hutan alam. Keadaan
tersebut dapat berpengaruh pada kualitas, kuantitas dan teknologi pemanfaatannya
(Brazier,1986 dalam Martawijaya, 1989). Salah satu cara untuk memperbaiki sifat buruk
kayu dapat dilakukan dengan pemberian bahan kimia pengawet kayu. Bahan kimia
pengawet kayu adalah bahan kimia senyawa tunggal atau campuran yang dapat mencegah
salah satu atau kombinasi antara bakteri, jamur, serangga, rayap, binatang laut penggerek
kayu, pecah-retak dan api (Anonim,1976). Bahan tersebut apabila diterapkan dengan cara
yang tepat dapat meningkatkan keawetan dan umur layanan kayu. Bahan pengawet kayu
yang beredar di Indonesia merupakan produk impor, ketersediaannya mulai berkurang
sehingga sukar diperoleh dan harganya relatif mahal. Penelitian ini dilakukan dengan
menggunakan bahan kimia kualitas teknis bertujuan untuk memperoleh fomulasi yang efektif
untuk meningkatkan keawetan dan stabilitas dimensi kayu serta sifat inferior lainnya. Hasil
penelitian diharapkan dapat digunakan sebagai substitusi bahan pengawet kayu produk
impor.

METODOLOGI

Kayu yang digunakan sebagai media pengujian yaitu afrika (Maesopsis eminii),
mangium (Acacia mangium), puspa (Schima wallichii), karet (Hevea brasiliensis) dan sengon
(Paraserthes falcataria). Pengujian sifat mekanis menggunakan contoh kecil bebas cacat

585
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

berdasarkan Anonim (1991) dan dibatasi pada uji: (a) lentur statik dengan pembebanan di
tengah bentang berukuran contoh uji 2 cm x 2 cm x 34 cm dengan jarak antara tumpuan 28
cm, pembebanan statis dengan kecepatan 25 kg/menit. (b) tekan sejajar serat, ukuran
contoh uji 2 cm x 2 cm x 8 cm. (c) keteguhan geser sejajar serat, ukuran 2 cm x 2 cm x 4 cm.
Bahan kimia yang digunakan yaitu bleng, linseed oil (LO) dan karboksimetilselulosa (CMC).
Contoh uji secara terpisah direndam dalam larutan 50% (b/b) bleng, linseed oil teknis, dan
larutan campuran CMC : NaCl (60 : 40), BJ 1,020 (27,8o C). Untuk setiap perlakuan
disediakan 5 buah contoh uji sebagai ulangan. Contoh uji yang sudah diperlakukan
selanjutnya diangin-anginkan dalam ruangan sampai mencapai kadar air kering udara.
Selisih berat sebelum dan sesudah pengawetan dinyatakan dalam persen penambahan
berat kayu (weight percent gain/WPG)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Banyaknya bahan yang diserap kayu, dinyatakan dalam persen penambahan berat.
Hasil perhitungan rata-rata persentase penambahan berat dapat dilihat dalam Tabel 1.

Tabel 1. Nilai rata-rata persentase penambahan berat (%) berdasarkan ukuran contoh uji

Ukuran contoh uji (cm)


Jenis 2x2x4 2x2x8 2 x 2 x 35
Kayu Bahan kimia Bahan kimia Bahan kimia
Bleng LO CMC Bleng LO CMC Bleng LO CMC
Afrika 55,01 69,87 76,88 47,68 70,52 73,23 36,99 43,82 44,77
Mangium 32,76 46,27 25,27 23,34 32,44 25,27 18,90 23,84 19,28
Karet 48,74 65,19 55,27 38,18 59,18 68,12 37,82 56,67 58,17
Puspa 31,66 37,68 40,76 25,87 28,27 28,08 26,18 32,32 28,52
Sengon 123,22 110,50 70,06 117,21 87,60 59,90 74,48 77,05 41,42

Hasil analisis sidik ragam pengaruh bahan kimia, ukuran contoh uji dan jenis kayu
terhadap penambahan berat, dapat dilihat dalam Tabel 2.

Tabel 2. Hasil analisis sidik ragam pengaruh bahan kimia, ukuran contoh uji dan
jenis kayu terhadap penambahan berat

Sumber Df JK RJK Fhitung Pr


Bahan kimia (A) 2 1932,8 966,4 1,65tn 0,3000
Ukuran (B) 2 13409,3 6704,6 26,87** 0,0000
Jenis kayu (C) 4 85809,0 21452,3 85,97** 0,0000
AxB 4 2337,7 584,4 2,34 tn 0,0560
AxC 8 24573,2 3071,6 12,31** 0,0000
Galat 204 50903,1 249,5
Total 224 178965,1

Dari Tabel 2, dapat diketahui bahan kimia yang digunakan tidak menunjukkan
perbedaan nyata terhadap penambahan berat kayu. Jenis kayu dan ukuran contoh uji
masing-masing berpengaruh sangat nyata terhadap penambahan berat kayu. Interaksi
antara bahan kimia dengan ukuran contoh uji tidak berpengaruh nyata terhadap
penambahan berat. Sementara interaksi antara bahan kimia yang digunakan dengan jenis
kayu menunjukkan perbedaan sangat nyata. Dari Tabel 1, diketahui bahwa persentase
penambahan berat terendah terjadi pada jenis kayu mangium beukuran 2 cm x 2 cm x 35 cm
menggunakan bahan kimia bleng, yaitu sebesar 18,90%. Sementara, persentase
penambahan berat tertinggi terjadi pada kayu sengon berukuran 2 cm x 2 cm x 4 cm
menggunakan bahan kimia bleng, yaitu sebesar 123,22%. Hal itu menunjukkan bahwa

586
PENGOLAHAN HASIL HUTAN

banyaknya bahan kimia yang masuk ke dalam kayu bergantung pada jenis kayu, ukuran
contoh uji dan bahan kimia yang digunakan. Menurut Martawijaya dan Barly (1982), sifat
keterawetan kayu paling sedikit ditentukan oleh empat faktor, yaitu jenis kayu, keadaan kayu
(struktur anatomi, permeabilitas, kerapatan, kadar air), teknik pengawetan dan bahan
pengawet yang digunakan. Kayu yang memiliki kerapatan rendah relatif lebih mudah
ditembus oleh bahan pengawet jika dibandingkan dengan kayu yang memiliki kerapatan
tinggi. Sifat kimia bahan yang digunakan (sifat fisis dan kelarutan) juga dapat berpengaruh
terhadap persentase penambahan berat kayu.
Hasil pengujian sifat mekanis berdasarkan jenis kayu dan bahan yang digunakan
dapat dilihat pada Tabel 3. Dari Tabel 3, dapat diketahui bahwa MOE atau kekakuan lentur
pada kayu afrika dan sengon dengan nilai MOE masing-masing 32.611 kg/cm2 dan 20.143
kg/cm2 dengan bahan kimia CMC dapat meningkatkan kekakuan lentur sebesar 13% dan
10% dibandingkan dengan kayu kontrol. Kayu karet 45.146 kg/cm2 meningkat 8% dengan
bahan kimia LO, sedangkan kayu mangium dan puspa MOE tertinggi 53.787 kg/cm2 dengan
bahan kimia bleng (menurun 8%) dan 55.866 kg/cm2 (hampir sama dengan kontrol) dengan
bahan kimia CMC. MOR menunjukkan kekuatan lentur suatu bahan dan merupakan penentu
kelas kekuatan kayu. Kayu mangium dan puspa dengan bahan kimia CMC masing-masing
680 kg/cm2 dan 617 kg/cm2 sedikit lebih tinggi dari kontrolnya. Keteguhan tekan sejajar serat
pada semua jenis kayu yang diteliti meningkat rata-rata 6% dengan bahan kimia CMC.
Berdasarkan klasifikasi kekuatan kayu Indonesia menurut Den Berger (1923) jenis-jenis
kayu yang diteliti dengan perlakuan bahan kimia masih tetap berada pada kelas kuatnya
masing-masing yaitu kayu sengon, afrika dan karet tergolong kelas kuat IV ~ V, sedangkan
mangium dan puspa tergolong kelas kuat III. Analisa sidik ragam pengaruh bahan kimia
terhadap beberapa sifat mekanik yang diteliti dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 3. Nilai rataan sifat mekanis berdasarkan jenis kayu dan bahan yang digunakan

Sifat mekanik (kg/cm2)


Bahan
Jenis kayu Tekan // Geser //
kimia MOE MPL MOR
Serat Serat
Afrika Kontrol 28.887,75 259,99 455,29 144,73 30,68
(Maesopsis Bleng 28.532,01 200,44 375,53 98,06 33,06
eminii) LO 28.656,08 243,05 370,21 145,61 23,37
CMC 32.611,09 259,54 384,48 154,92 28,66
Karet Kontrol 41.960,76 275,98 380,78 206,30 34,32
(Hevea Bleng 37.960,76 308,32 413,75 175,44 38,26
brasiliensis) LO 45.146,31 316,30 435,16 224,14 27,30
CMC 35.047,84 263,68 367,97 209,73 35,91
Akasia mangium Kontrol 58.209,35 461,58 679,69 303,19 44,47
(Acacia mangium) Bleng 53.787,90 402,36 625,39 261,98 42,08
LO 51.089,35 438,49 356,57 300,52 41,12
CMC 49.915,00 454,34 680,34 320,98 51,88
Sengon Kontrol 18.333,39 108,22 158,80 98,48 14,26
(Paraserianthes Bleng 18.188,22 97,39 137,43 62,66 11,98
falcataria) LO 17.593,96 90,46 134,51 104,58 14,64
CMC 20.143,71 111,61 148,94 110,06 16,86
Puspa Kontrol 56.320,39 425,72 603,11 330,02 43,70
(Shima wallici) Bleng 50.015,95 340,21 494,35 232,64 47,12
LO 54.980,46 394,93 541,33 322,83 45,25
CMC 55.866,25 456,90 617,22 338,19 51,26

Keterangan: MPL = tegangan lentur pada batas proporsi , MOE = modulus elastisitas
(kekakuan lentur), MOR = tegangan lentur patah (maksimum)

587
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Tabel 4. Hasil analisis sidik ragam sifat mekanis kayu

Sumber Fhitung
Keragaman db Tekan // Geser //
MOE MPL MOR
Serat Serat
Jenis kayu 4 96,40** 101,24** 104,06** 333,92** 63,72**
Bahan kimia 2 0,84tn 2,24tn 1,29tn 333,92** 3,42tn
Interaksi 8 0,98tn 1,06tn 0,78tn 1,71tn 0,93tn

Keterangan : db = derajat bebas, ** sangat berbeda nyata, tn = tidak berbeda nyata


MPL = tegangan lentur pada batas proporsi (kg/cm2), MOE = modulus elastisitas (kekakuan
lentur) (kg/cm2), MOR = tegangan lentur patah (maksimum) (kg/cm2)

Dari Tabel 4, dapat dilihat bahwa jenis kayu berpengaruh sangat nyata terhadap
MOE, MPL, MOR, tekan sejajar serat dan geser sejajar serat, sedangkan bahan kimia
pelarut berbeda sangat nyata terhadap keteguhan tekan sejajar serat sedangkan
interaksinya tidak berbeda nyata terhadap semua sifat mekanik yang diteliti. Hal ini berarti
bahwa bahan kimia yang terserap oleh kayu cenderung tidak merubah integritas kekuatan
mekanis. Berdasarkan uji beda jarak nyata Duncan, diketahui bahwa MOE kayu puspa dan
akasia mangium tidak berbeda nyata dan berbeda sangat nyata dengan jenis kayu yang
lainnya. Nilai MOE tertinggi dicapai pada kayu puspa (54.296 kg/cm2) dan terendah kayu
sengon (18.565 kg/cm2). Pada pemberian linseed oil (LO), MOE tertinggi dicapai 39.493
kg/cm2, namun nilai ini tidak berbeda nyata dengan kontrol, bleng dan CMC. MOR kayu
karet, afrika dan sengon tidak berbeda nyata satu sama lain, tetapi berbeda nyata dengan
mangium dan puspa. Berdasarkan niai rata-rata semua jenis kayu yang diteliti, MOR paling
tinggi, yaitu 439.79 kg/cm2 dihasilkan oleh perlakuan dengan bahan kimia CMC. Keteguhan
tekan sejajar serat paling tinggi, yaitu 305 kg/cm2 diperoleh pada kayu puspa meskipun
hasilnya tidak berbeda nyata dengan kayu akasia yaitu 296 kg/cm2 tetapi berbeda nyata
dengan jenis kayu lainnya. Bahan kimia CMC berkontribusi terhadap kekuatan tekan sejajar
serat, paling tinggi dicapai 226 kg/cm2 pada kayu karet. Berdasarkan jenis kayu, keteguhan
geser sejajar serat paling tinggi dicapai oleh kayu puspa sebesar 46 kg/cm2 dan
berdasarkan bahan kima pelarut tertinggi adalah 36 kg/cm2 dengan bahan kimia CMC.
Pemberian bahan kimia CMC dapat meningkatkan nilai keteguhan tekan sejajar serat pada
semua jenis kayu yang diteliti, MOE kayu afrika dan sengon serta keteguhan geser sejajar
serat kayu mangium, sengon, dan puspa. Bahan kimia LO dapat meningkatkan MOE, MPL,
MOR dan tekan sejajar serat kayu karet, keteguhan geser sejajar serat kayu sengon dan
puspa, tekan sejajar serat kayu afrika dan sengon. Bahan kimia bleng meningkatkan MPL
dan MOR kayu karet, keteguhan geser sejajar serat kayu afrika, karet dan puspa. Dapat
disimpulkan bahwa pemberian masing-masing bahan kimia memberikan pengaruh yang
berbeda terhadap jenis kayu dan sifat mekanisnya. Hasil uji beda jarak nyata Duncan pada
tingkat nyata D = 0.05 dapat dilihat dalam Tabel 5.

588
PENGOLAHAN HASIL HUTAN

Tabel 5. Hasil uji beda jarak nyata Duncan

Sifat mekanis yang diuji Perlakuan Nilai rataan


Puspa Akasia Karet Afrika Sengon
Jenis kayu 54296 53250 40011 29672 18565
MOE (kg/cm2)
Kontrol LO CMC Bleng
Bahan kimia 40728 39493 38717 37697

Akasia Puspa Karet Afrika Sengon


Jenis kayu 443 404 291 240 101
MPL (kg/cm2)
Kontrol LO CMC Bleng
Bahan kimia 309 306 300 269

Akasia Puspa Karet Afrika Sengon


Jenis kayu 660 564 399 396 144
MOR (kg/cm2)
Kontrol CMC LO Bleng
Bahan kimia 455 439 427 409

Puspa Akasia Karet Afrika Sengon


Jenis kayu 305 296 203 135 93
Tekan sejajar serat (kg/cm2)
CMC LO Kontrol Bleng
Bahan kimia 226 219 216 166

Puspa Akasia Karet Afrika Sengon


Jenis kayu 46 44 33 28 14

Geser sejajar serat (kg/cm2) CMC Bleng Kontrol LO


Bahan kimia 36 35 33 30

KESIMPULAN DAN SARAN

Hasil pengujian sifat mekanis kayu yang diberi perlakuan bleng, LO dan carboxy
methyl cellulose menunjukkan bahwa :
1. MOE atau kekakuan lentur pada kayu afrika dan sengon dengan bahan kimia CMC dapat
meningkatkan kekakuan lentur sebesar 13% dan 10% dibandingkan dengan kayu
kontrol, kayu karet dengan bahan kimia LO meningkat 8%, sedangkan kayu mangium
dengan bahan kimia bleng (menurun 8%) dan pada kayu puspa dengan bahan kimia
CMC tidak menunjukkan perubahan sifat kekakuan lentur (hampir sama dengan kontrol).
2. MOR kayu mangium dan puspa dengan bahan kimia CMC masing-masing 680 kg/cm2
dan 617 kg/cm2 sedikit lebih tinggi dari kontrolnya.
3. Keteguhan tekan sejajar serat pada semua jenis kayu yang diteliti meningkat rata-rata
6% dengan bahan kimia CMC.
4. Pemberian bahan kimia bleng, LO dan CMC tidak merubah kelas kuat kayu yang diteliti
atau masih tetap berada pada kelas kuat masing-masing yaitu kayu sengon, afrika dan
karet tergolong kelas kuat IV ~ V, sedangkan mangium dan puspa tergolong kelas kuat
III.

589
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 1976. Glossary of Terms in Wood Preservation. American Wood Preservers


Association Standard. P 1-9. New York-Washington.
Anonim.1991.Annual Book of ASTMStandars 22. Standard Methods of Testing Small Clear
Specimens of Timber Testing Materials. Philadelphia.
Anonim.1994. Environmental aspects of industrial wood preservation.Technical Report
Series No.20 UNEP IE/PAC FAO. Paris
I. Gusti M. Tantra. 2001. Flora Indonesia: Keragaman dan berbagai aspeknya. Materi kuliah
Ilmu Lingkungan II. Unversitas Pakuan. Bogor.
Iriawan, N. dan S.P. Astuti. 2006. Mengolah Data Statistik dengan Mudah Menggunakan
Minitab 14. Penerbit Andi. Yogyakarta.
Martawijaya, A. dan Barly. 1982. Ristensi kayu Indonesia terhadap impregnasi dengan
bahan pengawet CCA. Pengumuman No. 5. Balai Penelitian Kehutanan, Bogor.
Martawijaya, A. 1989. Keawetan kayu yang berasal dari hutanan alam dan hutan tanaman.
Prosiding Diskusi Sifat dan kegunaan Kayu HTI, 23 Maret 1989 di Jakarta : 281.
Sosef, L.T. Hong and S. Prawirohatmdjo (Editors), 1998. Timber trees: Lesser known
timbers. Plant Resources of South-East Asia 5.Prosea. Bogor: p.29-30.
Zahid, D.M., Z.H.Khan and M.A.A. Quraishi. 2001. Chemical modification of farm-grown
eucalyptus wood to reduce seasoning deformities. Journal of Research (Science)
12(1): p.08-14. Bahauddin Zakariya University. Multan. Pakistan.

590
PENGOLAHAN HASIL HUTAN

RENDEMEN DAN KUALITAS MINYAK KENANGA


Hikma Yanti, Evy Wardenaar, Fathul Yusro
Dosen Jurusan Kehutanan Fakultas Kehutanan UNTAN
email : yanti_hikma@yahoo.com
email : e_wardenaar@yahoo.com
email : fathulyusro@yahoo.com

ABSTRAK

Telah dilakukan analisis terhadap rendemen dan kualitas minyak kenanga


berdasarkan waktu pengambilan bunga. Hasil penelitian menunjukkan bahwa waktu
pengambilan bunga berpengaruh sangat nyata terhadap kualitasnya yang meliputi berat
jenis, indeks bias dan bilangan penyabunan, sedangkan putaran optic tidak dipengaruhi oleh
waktu pengambilan bunga.
Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa perlakuan waktu pengambilan bunga pada
pagi hari menghasilkan rendemen, berat jenis, indeks bias, putaran optic dan bilangan
penyabungan secara berturut-turut yaitu : 0,1833%, 0,90797 gr/cm3; 1,4955- 15,0000 dan
14,8852. Sedangkan waktu pengambilan bunga pada sore hari menghasilkan rendemen,
berat jenis, indeks bias, putaran optik dan bilangan penyabunan secara berturut-turut yaitu :
0,1207%; 0,9167 gr/cm3; 1,5022 14,41670 dan 10,3977. Minyak kenanga yang dihasilkan
telah memenuhi standar EOA (Essential Oil of Association of USA).

Kata kunci : minyak kenanga, berat jenis, indeks bias, putaran optik, bilangan penyabunan.

PENDAHULUAN

Indonesia adalah negara tropis yang kaya beraneka ragam tumbuhan. Berbagai jenis
tumbuhan tersebut ada yang mengandung minyak atsiri. Minyak atsiri disebut juga minyak
eteris atau essential oil, dipergunakan sebagai bahan baku dalam pelbagai industri, misalnya
pada industri parfum, kosmetik, essence, industri farmasi dan flavoring agent. Dalam
pembuatan parfum dan wangi-wangian, minyak atsiri tersebut berfungsi sebagai zat
pewangi, terutama minyak atsiri yang berasal dari bunga (Kasmudjo, 2010).
Salah satu tumbuhan yang mengandung minyak atsiri adalah suku Annonaceae.
Kenanga (Canangium odoratum, Baill) merupakan salah satu jenis tumbuhan yang
mengandung minyak atsiri. Kenanga juga termasuk tanaman sumber minyak atsiri yang
berprospek baik untuk dikembangkan. Minyak kenanga diperoleh dari penyulingan yaitu
bagian bunga yang sudah benar-benar masak. Minyak kenanga dari Indonesia yang telah
dikenal di mancanegara, banyak digunakan sebagai bahan baku pada industri parfum dan
kosmetik (Lutony dan Rahmawaty, 1994).
Sebagai salah satu komoditas andalan ekspor, produk minyak kenanga Indonesia
sebenarnya belum mantap. Hal tersebut disebabkan rendahnya produksi bunga kenanga
dan rendahnya teknologi penyulingan minyak kenanga. Oleh sebab itu pembudidayaan
tanaman kenanga dalam upaya menghasilkan bahan baku berupa bunga dan memproduksi
minyaknya harus dilakukan dengan efektif agar diperoleh rendemen dan kualitas setinggi-
tingginya.
Rendemen dan kualitas minyak kenanga yang dihasilkan dari suatu proses
penyulingan sangat bervariasi. Faktor yang mempengaruhi diantaranya waktu pengambilan
bunga kenanga yang akan disuling karena diduga sangat berpengaruh terhadap rendemen
dan kualitas minyak kenanga. Hal ini disebabkan oleh ester yang ada pada bunga akan
sangat mudah menguap jika terkena sinar matahari. Padahal kandungan ester dalam minyak
kenanga merupakan tolak ukur yang utama dalam penentuan kualitas minyak kenanga
(Marsoem dan Trimulyo, 2000).

591
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Untuk itu perlu diketahui dan diteliti sampai sejauh mana faktor tersebut berpengaruh
agar dapat memilih alternatif terbaik untuk menghasilkan minyak kenanga dengan rendemen
dan kualitas yang tertinggi atau yang sesuai dengan standar.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui waktu pengambilan bunga
kenanga yang terbaik sehingga menghasilkan rendemen dan kualitas yang dapat memenuhi
standar.

BAHAN DAN METODE

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Biokimia Fakultas Pertanian Universitas


Tanjungpura Pontianak. Sedangkan lamanya penelitian 6 (enam) bulan dari persiapan
sampai dengan pengolahan data.
Alat-alat penelitian yang digunakan adalah satu set alat suling dan perlengkapannya,
neraca analitic, lembaran plastik tipis, botol, gelas ukur, pipet, gelas piala, pisau, jam,
piknometer, polarimeter, termometer dan refraktometer.
Bahan-bahan penelitian yang digunakan adalah bunga kenanga (Cananga odoratum
Baill) yang telah masak (berwarna kuning), aquadest, minyak kenanga hasil penyulingan,
alkohol 95%, Indikator Penofthalein (PP), NaOH 0,5 N dan 0,1 N, asam klorida (HCl) 0,5 N
serta etanol 95%.
Pelaksanaan penelitian dimulai dengan memanen bunga kenanga yang sudah masak
atau berwarna kuning, selanjutnya bunga dipotong-potong berukuran + 1 cm, sesaat
sebelum penyulingan bahan yang akan disuling ditimbang sebanyak 1 kg dan dimasukkan
ke dalam sarangan.
Penyulingan dilaksanakan selama 2 jam pada suhu + 100oC. Minyak yang didapat
kemudian ditampung dalam botol yang sebelumnya telah ditimbang beratnya. Minyak
tersebut ditimbang dan botolnya ditutup rapat.
Selanjutnya dilakukan pengukuran rendemen dan kualitasnya meliputi berat jenis,
indeks bias, putaran optik dan kandungan ester (bilangan penyabunan).
a. Rendemen Minyak Kenanga
Rendemen minyak kenanga ditetapkan berdasarkan berat, yaitu perbandingan berat
minyak kenanga yang diperoleh dengan berat bahan yang disuling. Rumus kuantitas
menurut Guenther (1987:37) adalah

Berat minyak kenanga (gr)


Rendemen = x 100%
Berat bahan yang disuling (gr)

b. Kualitas Minyak Kenanga


b1. Berat Jenis pada 25o / 25oC
Siapkan piknometer kosong. Kemudian masukkan aquadest ke dalam piknometer
yang mempunyai suhu 25oC. Atur permukaan aquadest sampai puncak kapiler dan
membuang kelebihannya dengan kain/tissue, kemudian ditimbang. Setelah itu buang
aquadest yang teradapat di dalam piknometer dan dibersihkan dengan etanol.
Kemudian keringkan ke dalam oven selama 30 menit dan dinginkan dalam desikator
selama 15 menit. Kemudian masukkan minyak atsiri ke dalam piknometer pada suhu
25oC dan timbang. Hitung bobot jenis minyak pada 25o / 25oC dengan menggunakan
rumus:
A-B
Berat Jenis =
CB
Dimana :
A = Berat piknometer + minyak (gram)
B = Berat piknometer kososng (gram)
C = Berat piknometer + aquadest (gram)

592
PENGOLAHAN HASIL HUTAN

b2. Indeks Bias


Ditentukan dengan alat refraktometer yaitu dengan cara menempatkan alat tersebut
pada tempat yang datar dan terkena cahaya, sehingga intensitas matahari atau sinar
bantuan dapat ditangkap. Kemudian dialirkan pada suhu 20oC.
b3. Putaran Optik
Putaran optik ditetapkan dengan alat polarimeter yaitu dengan cara mengisi alat
tersebut dengan minyak atau cairan yang akan diperiksa sebanyak 10 ml. Secara
perlahan-lahan putar analiser sampai setengahnya sehingga intensitas sinarnya
sama dengan penerangannya. Setelah itu dapat dibaca nilai derajat dan menitnya.
b4. Bilangan Penyabunan
- Bilangan Asam
Timbang 2,5 gram minyak atsiri salam labu erlenmeyer 250 ml, kemudian
tambahkan 25 ml etanol 95% dan 3 tetes indikator penofthalein (PP) dan titrasi
dengan NaOH 0,1 N hingga tercapai warna merah muda dan catat ml NaOH yang
digunakan.

BM KOH x N NaOH x ml NaOH


Bilangan Asam =
Berat Minyak (gram)

Keterangan : BM KOH = 56,1


- Bilangan Ester

Timbang 1,5 gram sampel minyak dalam erlenmeyer 250 ml. Tambahkan 5 ml
etanol 95% dan 3 tetes indikator PP. Kemudian netralkan asam bebas yang
terdapat dalam larutan tersebut dengan menggunakan larutan NaOH 0,1 N
dengan penitaran hingga berbentuk warna merah. Tambahkan beberapa tetes
lagi indikator PP (untuk memperjelas warna pada titik akhir) dan titrasi kelebihan
NaOH 0,1 N dengan menggunakan HCl 0,5 N hingga kembali ke warna semula.
Lakukan pula titrasi blanko (tanpa sampel).

BM KOH x N HCl x (ml blanko ml sammpel)


Bilangan Ester =
Berat Minyak

Keterangan :
BM KOH = 56,1
N HCl = 0,5 N

Bilangan penyabunan dapat ditentukan dengan menjumlahkan bilangan asam


dan bilangan ester.

Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 2 waktu


pengambilan dan 3 kali ulangan, sehingga didapat 6 kali kombinasi perlakuan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penyulingan minyak kenanga dengan metode uap langsung sebanyak 1 kg bunga


kenanga dapat menghasilkan rendemen minyak yang berbeda-beda berdasarkan waktu
pengambilan bunga. Pengambilan bunga pada waktu pagi hari (05.00 06.30) dan sore
(15.30 17.00) merupakan perlakuan yang dapat memberikan pengaruh yang sangat nyata
terhadap rendemen minyak kenanga.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan pengambilan bunga pada waktu pagi
hari menghasilkan rendemen minyak paling besar yautu sebesar 0,202% dan pada waktu
sore hari cenderung lebih rendah yaitu 0,110%. Sedangkan menurut Lutony dan Rahmayati

593
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

(1994) bahwa melalui cara penyulingan yang benar serta penggunaan bahan baku dan
peralatan yang memenuhi standar akan diperoleh rendemen minyak kenanga berkisar
antara 1,5 2,0%. Dari hasil penelitian mempunyai nilai yang lebih kecil. Hal ini dapat
disebabkan oleh faktor iklim dan tempat tumbuh. Sesuai dengan pernyataan
Kasmudjo(1982) bahwa rendemen penyulingan dipengaruhi banyak faktor antara lain iklim,
tempat tumbuh, musim, umur tanaman, jenis tanaman dan cara penyulingan.
Pada perlakuan pengambilan bunga pada waktu pagi hari penyulingan menghasilkan
minyak dengan rendemen paling besar jika dibandingkan dengan perlakuan pengambilan
bunga pada waktu sore hari. Dari hasil penelitian tersebut membuktikan bahwa waktu
pengambilan bunga sangat berpengaruh terhadap rendemen minyak. Hal ini karena
pemetikan yang dilakukan pagi hari sebelum matahari terbit atau pada saat suhu rendah
menyebabkan minyak yang ada pada bunga belum menguap. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Marsoem dan Trimulyo (2000) bahwa kandungan ester yang ada pada bunga
kenanga (Cananga odoratum Baill) akan sangat mudah menguap jika terkena sinar matahari
karena titik didik ester sangat rendah.
Hasil pengujian kualitas minyak kenanga dapat dilihat pada Gambar 1 dan 2. Sifat
yang diuji adalah berat jenis, indeks bias, putaran optik dan bilangan penyabunan.

15
14
13
12
11
10
9
8
7 Pagi
6
5 Sore
4
3
2
1
0
Berat Jenis Bil.
Penyabunan

Gambar 1 Nilai Rerata Berat Jenis, Indeks Bias dan Bilangan


Penyabunan Minyak Kenanga

0
-1
-2
-3
-4
-5
-6
-7
-8 Pagi
-9
-10 , Sore
-11
-12
-13
-14
-15
Putaran
Optik

Gambar 2. Nilai Rerata Putaran Optik Minyak Kenanga

Berat Jenis
Berat jenis merupakan salah satu kriteria penting dalam menentukan mutu dan
kemurnian minyak atsiri (kualitas minyak). Menurut Guenther (1987) mengemukakan bahwa

594
PENGOLAHAN HASIL HUTAN

pada umumnya nilai berat jenis minyak atsiri lebih kecil dari 1,0000. Jadi batas nilai tersebut
lebih sempit dan tentunya hal ini telah diteliti bertahun-tahun.
Berdasarkan nilai rerata berat jenis minyak kenanga bahwa berat jenis tertinggi
dihasilkan dari perlakuan pengambilan waktu sore hari yaitu sebesar 0,9167, sedangkan
untuk pengambilan pada pagi hari sebesar 0,90797.
Nilai rerata berat jenis secara keseluruhan menunjukkan bahwa semua perlakuan
menghasilkan berat jenis yang memenuhi standar EOA (Essential Oil Association of USA),
sehingga berdasarkan analisa berat jenis maka mutu dan kemurnian minyak sudah baik.
Pengambilan bunga waktu pagi hari yang memiliki berat jenis yang paling rendah,
ternyata menghasilkan rendemen yang paling tinggi, sedangkan perlakuan pengambilan
bunga pada waktu sore hari yang memiliki berat jenis paling tinggi, justru menghasilkan
rendemen paling rendah. Hal ini sesuai dengan pednapat Sumadiwangsa, Roliadi dan
Djumria (1978) menyatakan bahwa zat yang memiliki berat jenis tinggi lebih sukar tersuling,
sehingga rendemen hasil penyulingan rendah dan umumnya nilai indeks bias juga tinggi.
Selanjutnya Guenther (1987) menyatakn bahwa minyak yang berasal dari bahan
segar mempunyai berat jenis lebih rendah dibandingkan dengan minyak dari bahan yang
kurang segar/disimpan. Hal ini disebabkan selama penyulingan bahan yang tidak segar akan
menghasilkan sejenis resin yang keluar bersama minyak atsiri, terutama pada akhir
penyulingan. Dimana resin ini sebagian besar larut dalam minyak atsiri. Selanjutnya
dikatakan bahwa berat jenis minyak cenderung naik sebanding dengan lama penyimpanan,
karena selama proses penyimpanan, cairan sel dengan bebas keluar masuk dari sel ke sel
lainnya sehingga membentuk campuran yang baru.

Indeks Bias
Penentuan indeks bias menggunakan refraktometer yang berprinsip kepada
penyinaran yang menembus dua macam media dengan kerapatan yang berbeda. Karena
perbedaan kerapatan media, maka akan terjadi pembiasan (perubahan arah sinar).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengambilan bunga waktu sore hari
menunjukkan nilai sebesar 1,5022 dan pengambilan pada waktu pagi hari sebesar 1,4955.
Kenyataan ini menunjukkan bahwa kedua perlakuan menghasilkan indeks bias yang
memenuhi standar minyak kenanga yang telah ditentukan yaitu EOA. Dan karena indeks
bias ini ditetapkan untuk menentukan kemurnian minyak maka ditinjau dari nilainya, maka
minyak kenanga yang dihasilkan sudah baik.
Dari hasil penelitian ternyata membuktikan berat jenis tinggi cenderung akan
menghasilkan indeks bias yang tinggi pula. Sesuai dengan pernyataan Sumadiwangsa,
Roliadi dan Djumria (1978) bahwa biasanya fraksi minyak yang berat jenis lebih tinggi akan
sukar tersuling dan biasanya indeks bias juga tinggi. Hal ini dapat dilihat pada perlakuan
pengambilan waktu sore hari yang memiliki berat jenis paling tinggi, jika dilihat indeks bias
juga tinggi, sama halnya juga dengan perlakuan pengambilan bunga pada waktu pagi hari
yang berat jenis dan indeks biasnya rendah. Kondisi ini dikarenakan minyak kenanga
dengan berat jenis yang tinggi akan membiaskan cahaya yang melaluinya lebih besar.

Putaran Optik
Sebagian minyak atsiri jika ditempatkan dalam sinar atau cahaya yang
dipolarisasikan mempupnyai sifat memutar bidang polarisasi ke arah kanan (dextrorotatory)
atau ke kiri (laevorotatory). Sedangkan nilainya dinyatakan dalam derajat rotasi (o). Menurut
Guenther (1987) derajat rotasi dan arahnya sangat penting untuk menentukan kriteria
kemurnian minyak atsiri.
Hasil dari analisis sidik ragam putaran optik menunjukkan bahwa waktu pengambilan
bunga kenanga tidak berpengaruh nyata. Dari kenyataan tersebut menunjukkan bahwa
waktu pengambilan bunga hanya menyebabkan variasi rerata putaran optik, namun variasi
tersebut tidak berbeda nyata.
Berdasarkan hasil pengukuran nilai rerata putaran optik ternyata perlakuan waktu
pengambilan bunga pada pagi hari menghasilkan putaran optik yang paling tinggi yaitu
sebesar -15,000, sedangkan perlakuan pengambilan bunga pada waktu sore hari sebesar -

595
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

14,4176. Nilai rerata putaran optik menunjukkan bahwa perlakuan pengambilan bunga pada
waktu pagi hari memenuhi standar minyak kenanga yang telah ditetapkan, sedangkan
perlakuan pengambilan waktu sore hari belum memenuhi standar yang digunakan.
Kenyataan ini menunjukkan bahwa pengambilan bunga pada waktu pagi hari lebih baik
dibandingkan dengan pengambilan bunga pada waktu sore hari, walaupun tidak
menunjukkan pengaruh nyata.

Bilangan Penyabunan
Bilangan penyabunan dapat dipergunakaan untuk menentukan berat molekul minyak
secara kasar. Bilangan penyabunan dinyatakan sebagai banyaknya (mg) KOH yang
dibutuhkan untuk menyabunkan 1 gr minyak (Susilo DUM dkk, 2003). Bilangan penyabunan
ditentukan dengan menjumlahkan bilangan asam dan bilangan ester.
Menurut Guenther (1987) sebagian besar minyak atsiri mengandung sejumlah kecil
asam bebas. Jumlah asam bebas biasanya dinyatakan sebagai bilangan asam. Bilangan
asam dari suatu minyak didefinisikan sebagai jumlah (mg) KOH yang dibutuhkan untuk
menetralkan asam bebas dalam 1 gram minyak.
Minyak kenanga mengandung zat-zat diantaranya ester dan fenol, sehingga dalam
penentuan bilangan asam digunakan alkali encer, karena jika alkali kuat maka sejumlah
ester dalam minyak atsiri ikut tersabunkan walaupun dalam keadaan dingin. Sedangkan
senyawa fenol akan bereaksi dengan alkali hidroksida sehingga perlu digunakan indikator
khusus seperti phenoftalein (Guenther, 1987).
Berdasarkan hasil pengukuran nilai rerata bilangan asam ternyata perlakuan
pengambilan bunga pada waktu sore hari menghasilkan bilngan asam yang paling tinggi
yaitu sebesar 5,8344, sedangkan perlakuan pengambilan bunga pada waktu pagi hari
sebesar 5,5352. Susilo DUM dkk (2003) menyatakan bahwa semakin tinggi bilangan asam,
maka kualitas minyak akan semakin rendah. Karena bilangan asam yang besar
menunjukkan asam lemak bebas yang berasal dari hidrolisa minyak ataupun karena proses
pengolahan yang kurang baik. Sedangkan menurut Guenther (1987) bilangan asam akan
bertambah jika umur simpan minyak bertambah, penyimpanan kuran baik, proses oksidasi
aldehid dan hidrolisa ester. Oleh sebab itu minyak yang dihasilkan harus disimpan dengan
baik yang terlindung dari udara dan sinar, karena minyak yang terlindung dari udara dan
sinar mempunyai asam bebas yang relatif lebih kecil. Melihat dari pernyataan di atas,
menunjukkan bahwa perlakuan pengambilan bunga pada waktu pagi hari mempunyai
kualitas yang lebih baik daripada perlakuan pengambilan bunga pada waktu sore hari.
Penentuan jumlah ester sangat penting dalam menentukan minyak kenanga, karena
kandungan ester merupakan tolok ukur yang paling utama dalam penentuan kualitas minyak
kenanga. Bilangan ester adalah jumlah (mg) KOH yang dibuutuhkan untuk menyabunkan
ester yang terdapat dalam 1 gr minyak. Bilangan ester khusus digunakan jika jenis ester
dalam minyak tidak diketahui (Guenther, 1987).
Berdasarkan hasil pengukuran nilai rerata bilangan ester ternyata perlakuan
pengambilan bunga pada waktu pagi hari menghasilkan bilangan ester yang paling tinggi
yaitu sebesar 9,3500, sedangkan perlakuan pengambilan bunga pada waktu sore hari
sebesar 4,3633. Hal ini sesuai dengan pendapat Marsoem dan Trimulyo (2000) bahwa
waktu pengambilan bunga kenanga (Cananga odoratum Baill) sangat berpengaruh terhadap
kualitas minyak kenanga. Hal ini disebabkan oleh ester yang ada pada bunga akan sangat
mudah menguap jika terkena sinar matahari. Disusul oleh pendapat Guenther (1987) bahwa
suhu yang tinggi mengakibatkan pengaruh yang kurang baik bagi beberapa komponen
minyak kenanga. Kenyataan ini menunjukkan bahwa perlakuan pengambilan bunga pada
waktu pagi hari lebih baik kualitasnya dibandingkan dengan perlakuan pengambilan bunga
pada waktu sore hari.
Berdasarkan hasil pengukuran bilangan asam dan bilangan ester dapat diketahui
bilangan penyabunannya. Hal ini sesuai dengan pendapat Guenther (1987) yang
menyatakan bahwa bilangan penyabunan merupakan penjumlahan bilangan asam dan
ester. Dari hasil penelitian didapat nilai rerata bilangan penyabunan minyak kenanga
menunjukkan bahwa perlakuan pengambilan bunga pada waktu pagi hari menghasilkan nilai

596
PENGOLAHAN HASIL HUTAN

tertinggi yaitu sebesar 14,8852, kemudian untuk perlakuan pengambilan bunga pada waktu
sore hari sebesar 10,1977.
Nilai rerata bilangan penyabunan menunjukkan bahwa perlakuan pengambilan bunga
pada waktu pagi dan sore hari menghasilkan bilangan penyabunan yang memenuhhi
standar EOA (Essential Oil Association of USA) sehingga berdasarkan analisa bilangan
penyabunan maka mutu minyak sudah baik.

KESIMPULAN

1. Waktu pengambilan bunga berpengaruh terhadap rendemen dan kualitas minyak


kenanga, dimana pengambilan bunga pada waktu pagi hari menghasilkan rendemen
minyak kenanga yang lebih tinggi (0,1833%) daripada pengambilan bunga pada waktu
sore hari (0,1207%). Dan pengambilan bunga pada waktu pagi hari menghasilkan
kualitas yang terbaik.
2. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa waktu pengambilan bunga kenanga
memberikan pengaruh yang sangat nyata dan nyata terhadap kualitas minyak kenanga
yaitu pada berat jenis, indeks bias dan bilangan penyabunan dan tidak memberikan
pengaruh yang nyata terhadap putaran optik.
3. Dari hasil penelitian bahwa berat jenis, indeks bias, putaran optik dan bilangan
penyabunan minyak kenanga sudah memenuhi standar EOA (Essential Oil Association
of USA).

DAFTAR PUSTAKA

Gaspersz V. 1991. Metode Perancangan Percobaan. Penerbit Armico. Bandung.


Guenther E. 1987. Essential Oil. Jilid I. Robert E Krieger Publishing Co. Inc. Huntington. New
York.
Kasmudjo. 1982. Pengantar Pengolahan Minyak Kayu Putih. Penerbit Yayasan Pembina
Fakultas Kehutanan UGM. Yogyakarta.
. 2010. Suatu Pengantar Identifikasi Kayu, Sifat-Sifat Kayu, Teknologi Pengolahan
Hasil Hutan, Potensi dan Prospek. Cakrawala Media. Yogyakarta.
Lutony TL dan Rahmayati Y. 1994. Produksi dan Perdagangan Minyak Atsiri. Penebar
Swadaya. Jakarta.
Marsoem dan Trimulyo T. 2000. Pengaruh Lama penyimpanan Dan Tahap penyulingan
Bunga Kenanga (Cananga odoratum Baill) Terhadap Rendemen Dan Kualitas Minyak
Kenanga Dari daerah Bantul. Pusat Penelitian Hasil Hutan Bogor. Prosiding Seminar
Nasional III. MAPEKI.
Standar Nasional Indonesia. 1995. Minyak Kenanga. SNI No. 06-33949. Dewan Standarisasi
Nasional (DSN).
Sumadiwangsa S. 1976. Teknik Pengolahan Dan Kualitas Minyak Kayu Putih. Laporan No.
67. Lembaga Penelitian Hasil Hutan. Bogor.
Susilo DUM, Abdi Redha, Susana, Setyaningrum A. 2003. Petunjuk Praktikum Pengolahan
Aneka Tanaman Kebun. Jurusan Pengolahan Hasil Perkebunan Politeknik Negeri
Pontianak.
Sutedjo M. 1990. Pengembangan Kultur Tanaman Berkhasiat Obat. Rineka Cipta. Jakarta.
Widodo K. 1999. Penyulingan Daun Dan Ranting Kayu Putih (Melaleuca leucadendron Linn)
Dengan cara Uap Langsung. Skripsi Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian
Universitas Tanjungpura. Pontianak.

597
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

PENGEMBANGAN METODE PENGERINGAN UNTUK


KAYU RANDU (Ceiba pentandra Gaertn.)

Agung Dwi Anggoro1, J.P. Gentur Sutapa2 dan Sri Nugroho Marsoem2
1
Mahasiswa Jurusan Teknologi Hasil Hutan Fakultas Kehutanan UGM
2
Dosen Jurusan Teknologi Hasil Hutan Fakultas Kehutanan UGM

ABSTRACT

Kapok wood is potential fast-growing timber species in the community forest. Kapok
wood usually only used for firewood, so it will be necessary effort to improve the quality of
kapok wood to be used as industrial raw materials. Wood usually cut by two kind of sawing
pattern, flat sawn and quarter sawn. These mills is never apply pattern drying schedule of
kapok wood. The purpose of this research is arrange of drying schedule on sortiment of
kapok wood with two sawmills pattern and three thicknesses.
The arranging of drying schedule used the Terazawa method (1965), to drying for 72
hours within temperature of 1000 C. The observed parameters are moisture content, checks,
collaps, honeycombing and specific gravity. The arranging of drying schedule based on the
biggest defect level at drying process and initial moisture content, is analyzed by chi square
test in order to know the relation of the sawing pattern and sortiment thickness. This drying
schedule which arranged by two sawmills pattern and three thicknesses is shown in table 7
of research methodology.
The research show that kapok wood which cut in a sawing pattern of flat sawn with
three thickness got the schedule with an initial temperature was 470 C, wet bulb depression
was 2.5, and the final temperature was 700 C, while the quarter sawn with a thickness of 2
cm get the schedule with an initial temperature was 550 C, wet bulb depression was 3.5, and
the final temperature was 700 C, a thickness of 3 cm get the schedule with an initial
temperature was 530 C, wet bulb depression was 3 and the final temperature was 700 C,
while the thickness of 4 cm get the schedule with an initial temperature was 500 C, wet bulb
depression was 2 and the final temperature was 700 C.

Keywords :community forest, kapok wood, flat sawn, quarter sawn, sortiment thickness (2
cm, 3 cm, and 4 cm), Terazawa method, drying schedule

PENDAHULUAN

Peluang pengembangan hutan rakyat terbukadalam rangka penyediaan bahan baku


kayu untuk mengatasi kekurangan pasokan kayu dari hutan alam dan hutan produksi.
Kebutuhan kayu perlu dipenuhi secara kontinyu untuk keberlangsungan industri
perkayuan.Salah satu usaha untuk dapat memenuhi kebutuhan tersebut yaitu dengan
memanfaatkan kayu jenis non komersil yang keberadaannya cukup melimpah seperti kayu
randu.
Tanaman randu memiliki pertumbuhan yang cepat serta ukuran batangnya besar dan
bentuknya silindris.Tanaman randu selama ini ditanam dengan tujuan untuk menghasilkan
serat kapuk dan biji. Sebagai penghasil kapuk dan biji, randu memiliki masa produktif
sekitar 30 tahun, sehingga pada umur tersebut tanaman randu perlu untuk diremajakan/
ditebang. Ketika ditebang, kayu yang dihasilkan selama ini kurang mendapatkan perhatian
karena kualitasnya yang rendah. Terbatasnya pengetahuan tentang sifat-sifat dan
penanganannya, menyebabkan pemanfaatan kayu randu sebagai bahan baku industri
kurang diminati dan hanya dimanfaatkan sebagai kayu bakar.
Pengetahuan sifat dalam pemanfaatan kayu dimulai dari penggergajian kayu
selanjutnya dengan pengeringan kayu. Pengeringan kayu bertujuan untuk mengeluarkan air
dari dalam kayu, keluarnya air akan menyebabkan perubahan dimensi dan seringkali

598
PENGOLAHAN HASIL HUTAN

mengakibatkan cacat. Cacat akibat pengeringan dapat diminimalisir dan dikendalikan


dengan menerapkan pengaturan suhu dan kelembaban dalam proses pengeringan kayu
yang diwujudkan dalam bentuk bagan pengeringan.Penyusunan bagan pengeringan
menggunakan metode Terazawa karena relatif cepat dengan hasil yang tidak jauh berbeda
dengan aplikasinya dan dapat dilakukan dengan mudah (Terazawa, 1965).
Penyusunan baganpengeringan ditentukan oleh beberapa faktor diantaranya pola
penggergajian dan ketebalan sortimen.Pola penggergajian yang sering digunakan dalam
industri perdagangan yaitu pola menggergaji kayu tangensial (flat sawn) dan radial (quarter
sawn). Ukuran tebal sortimen yang banyak ditemukan dan digunakan industri perkayuan
maupun tempat penjualan kayu gergajian yaitu papan dengan ukuran tebal 2 cm, 3 cm, dan
4 cm.
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk menyusun bagan pengeringan kayu
randu dengan dua pola penggergajian dan tiga ketebalan.Pengamatan kadar air, berat jenis
dan cacat pada hasil penelitian ini digunakan sebagai dasar penyusunan bagan pengeringan
yang tepat untuk kayu randu.

METODOLOGI PENELITIAN

Dipilih pohon randu yang sehat dan umurnya telah mencapai masa tidak produktif
sebagai penghasil kapuk dan biji yang tumbuh di hutan rakyat wilayah jalan parangtritis
Kabupaten Bantul dan wilayah Bagelen Kabupaten Purworejo. Pohon tersebut ditebang dan
batangnya digergaji menggunakan pola penggergajian flat sawn dan quarter sawn dengan
masing masing sampel ketebalannya 2 cm, 3cm, dan 4 cm dengan lebar 10 cm dan
panjang 30 cm. Dilakukan pengulangan sampel sebanyak 11 kali, sehingga total sampel
berjumlah 66 sampel, agar diperoleh hasil yang lebih seragam. Contoh uji ini termasuk
dalam kategori Papan Sempit(SNI 01-5008.1-1999) dengan ukuran tebal 5 cm, lebar 10 -
<15 cm. Setiap sampel tersebut dibuat contoh uji kadar air agar diketahui kadar air per
sampel/papan.Setelah sampel pengeringan, kadar air dan berat jenis sudah dibuat
selanjutnya dibungkus dengan plastik (killing pack) agar air dalam kayu tidak menguap dan
dapat diketahui kadar air segar (green moisture content). Selanjutnya sampel dibawa ke
Laboratorium Pengeringan dan Pengawetan kayu Bagian Teknologi Hasil Hutan Fakultas
Kehutanan Universitas Gadjah Mada untuk diuji dan dikeringkan didalam oven selama 72
jam yang diamati setiap 2 jam sekali (berat, dimensi, cacat pengeringan).

Penentuan Kadar Air dan Berat Jenis


Penentuan kadar air dan berat jenis dilakukan dari kondisi segar (green moisture
content) menuju ke kondisi kering tanur. Penentuan kadar air dan berat jenis kayu ini dibuat
dengan ukuran 2x2x2 cm dari bagian sampel/papan pengeringan berdasarkan British
Standard nomor 373 tahun 1957.

Pengujian Pengeringan
Pengujian pengeringan dengan cepat dan mudah merupakan suatu metode skematis
yang digunakan untuk menyusun bagan pengeringan dengan tepat dan cepat
tanpamengalamicacat yang terjadi dalam proses pengeringan pada jenis sortimen dan
ketebalannya (Terazawa, 1965). Metode tersebut digunakan sebagai titik awal bagi
penyusunan bagan pengeringan untuk kayu gergajian. Penerapan metode Terazawa
memilki beberapa tahapan sebagai berikut :
1. Sampel dengan dua pola penggergajian dan tiga ketebalan di keringkan dengan
menggunakan oven dengan suhu 100oC selama 72 jam
2. Dilakukan pengamatan dan pengukuran berat, dimensi (lebar, tebal, dan panjang), dan
cacat-cacat pengeringan (retak permukaan, retak ujung, pecah ujung dan collapse)
setiap 2 jam sekali.Setelah 72 jam, contoh uji dipotong menjadi dua dan diamati
terhadap cacat honeycombing.

599
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

3. Penilaian tingkat cacat ditentukan berdasarkan skala nilai yang diperoleh dari
pengukuran jumlah dan ukuran cacat yang terjadi pada kayu selama proses
pengeringan dan sampai akhir pengeringan, skala/tingkat cacat berkisar antara 1
sampai 8 bagi cacat retak permukaan, retak ujung, pecah ujung, collapse dan
honeycombing.Penentuan didasarkan pada tabel yang ditetapkan oleh Terazawa pada
tahun 1965. Nilai pada tingkatan cacat menunjukkan bahwa semakin rendah tingkat
cacat berarti semakin rendah/sedikit pula cacat yang terjadi dan sebaliknya semakin
tinggi nilai/tingkat cacatnya maka semakin tinggi (banyak) cacat yang terjadi pada
sampel yang dikeringkan.
4. Berdasarkan tingkat cacat yang diperoleh pada waktu proses pengeringan, maka dapat
ditentukan suhu awal (minimun) dan suhu akhir (maksimum) pengeringan serta
depresiasi bola basah. Pemeringkatan cacat yang terjadi dan tabel termometer suhu
bola kering (SBK) dan tabel depresiasi bola basah (DBB) sudah disajikan dan ditetapkan
secara manual oleh Forest Product Laboratory (Rasmussen, 1961), sehingga dapat
disusun bagan pengeringan yang sesuai dengan kayu randu dengan dua pola
penggergajian dan tiga ketebalan untuk kayu randu.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Penyusutan Papan
Selama proses pengeringan, sampel kayu randu mengalami penyusutan yang
besarnya bervariasi pada setiap sampel yang berbeda pada ketiga arah/penampang dan
ketebalannya. Dapat dilihat pada Tabel 1 bahwa T/R rasio pola flat sawn lebih besar
dibanding pola quarter sawn.Penyusutan dipengaruhioleh interaksi dari banyaknya zat kayu
yang ada serta rata-rata sudut mikrofibril pada dinding sel terhadap sumbu panjang selnya.

Tabel 1.Rata-rata penyusutan pada pola penggergajian flat sawn dan quarter sawn.

Pola Longitudinal Radial Tangensial


T/R Rasio
Penggergajian (%) (%) (%)
Flat Sawn 0,36 3,99 10,25 2,57
Quarter Sawn 0,35 4,89 6,97 1,42

Pengujian Pengeringan Secara Cepat


1. Status dan Klasifikasi Tingkat Cacat
Berdasarkan pengamatan cacat yang terjadi pada sampel selama proses
pengeringan, diambil cacat yang terbesar. Selama proses pengeringan, pola
penggergajianflat sawn memiliki cacat terbesar collapse tingkat 8 pada ketiga
ketebalannya, sedangkan pada pola penggergajian quarter sawn pada ketiga
ketebalannya memiliki perbedaan tingkat cacat. Cacat terbesar yang terjadi pada
ketebalan 2 cm yaitu retak tingkat 4, ketebalan 3 cm yaitu retak tingkat 5, sedangkan
ketebalan 4 cm yaitu retak tingkat 6.
Hasil rekapitulasi rata-rata tingkat cacat diambil dari hasil dan terbesar,
disebabkan ulangan dengan cacat terbesar dapat mewakili bagian dari yang lainnya dan
dapat mengurangi resiko cacat yang dihasilkan. Rekapitulasi tingkat cacat pada pola
penggergajian flat sawn dan quarter sawn dengan ketebalan 2 cm, 3 cm, dan 4 cm dapat
dilihat pada Tabel dibawah ini.

600
PENGOLAHAN HASIL HUTAN

Tabel 2. Rekapitulasi tingkat cacat retak terbesar pada pola penggergajian flat sawn dan
quarter sawn denganketebalan 2cm, 3 cm, dan 4 cm.

Tingkat cacat yang terjadi pada sampel ulangan


ke- Kadar Air Rata-rata
Pola Ketebalan rata-rata Tingkat
Penggergajian (cm) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 (%) Berat Jenis Cacat (retak)
2 8 1 1 2 3 3 1 3 1 1 3 173,319 0,19 1
Flat sawn 3 5 5 1 3 5 7 6 6 6 6 3 172,385 0,23 6
4 5 2 5 1 2 5 8 7 5 8 6 165,612 0,21 5
2 3 4 4 5 4 4 4 4 4 4 4 166,453 0,23 4
Quarter sawn 3 4 5 5 4 5 5 5 5 5 5 5 161,341 0,22 5
4 5 6 6 5 6 7 6 6 6 6 7 163,280 0,25 6

Tabel 3. Rekapitulasi tingkat cacat collapse terbesar pada pola penggergajian flat sawn dan
quarter sawn denganketebalan 2cm, 3 cm, dan 4 cm.

Rata-rata
Pola Ketebalan Tingkat cacat yang terjadi pada sampel ulangan ke- Berat Tingkat
Penggergajian (cm) Kadar Air Jenis Cacat
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 rata-rata (%) (collapse)
2 8 7 7 8 8 8 8 8 8 8 8 173,319 0,19 8
Flat sawn 3 8 8 5 7 8 8 8 8 8 6 8 172,385 0,23 8
4 5 6 6 7 8 8 8 8 7 7 8 165,612 0,21 8
2 1 1 2 1 1 1 1 1 1 1 1 166,453 0,23 1
Quarter sawn 3 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 161,341 0,22 1
4 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 163,280 0,25 1

Tabel 4.Rekapitulasi tingkat cacat honeycombing terbesar pada pola penggergajian flat sawn
dan quarter sawn denganketebalan 2cm, 3 cm, dan 4 cm.

Tingkat cacat yang terjadi pada sampel ulangan ke- Kadar Rata-rata Tingkat
Pola Ketebalan Berat
Air rata- Cacat (honey
Penggergajian (cm) Jenis
rata (%) combing)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 173,319 0,19 1
Flat sawn 3 1 1 1 1 2 1 2 3 2 1 1 172,385 0,23 1
4 1 2 3 4 2 3 5 4 3 3 4 165,612 0,21 3

2 1 1 1 1 2 1 1 1 1 1 1 166,453 0,23 1
Quarter sawn 3 1 1 1 1 2 1 1 1 1 1 1 161,341 0,22 1
4 2 1 1 1 3 2 2 1 2 1 2 163,280 0,25 2

2. Penyusunan Bagan Pengeringan Berdasarkan Klasifikasi Tigkat Cacat Terbesar


Berdasarkan klasifikasi tingkat cacat terbesar dan kadar air pada tabel diatas, dapat
ditentukan suhu awal (minimum), suhu akhir (maksimum), dan depresiasi bola basah pada
awal maupun akhir proses pengeringan, pengaturan suhu awal, suhu akhir, depresiasi bola
basah dan kadar air tersebut diwujudkan dalam bentuk bagan pengeringan.

601
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Tabel 5. Bagan pengeringan dengan kadar air awal 200% - 110%, suhu awal 47C, epresiasi
bola basah 2,5, dan suhu akhir pengeringan 70C (untuk pola penggergajian flat sawn
dengan ketebalan 2 cm, 3 cm, dan 4 cm).

KA (%) SBK (C) DBB SBB KR KAS


200 -110 47 2,5 44,5 87 17
110 - 80 47 3,5 43,5 82 15
80 - 65 47 5 42 74 12,5
65 - 50 47 7,5 39,5 63 10,2
50 - 40 47 11 36 49 8
40 - 32 50 15 35 38 6,2
32 - 25 55 20 35 27 4,5
25 - 20 60 25 35 20 3,5
20 - 15 65 25 40 22 3,5
15 - 12 70 25 45 25 3,5
12 70 25 45 25 3,5

Bagan pengeringan untuk pola penggergajian flat sawn dengan tiga ketebalan
memiliki bagan pengeringan yang sama. Hal ini disebabkan pola penggergajian flat sawn
dengan tiga ketebalan memiliki tingkat terbesar cacat hampir seragam, yaitu collapse tingkat
8.Collapse kemungkinan disebabkan oleh tegangan kompresi (tekan) dilapisan tengah kayu
yang melebihi kekuatan tekan kayu atau bisa juga disebabkan oleh tegangan cairan di dalam
rongga sel yang penuh dengan air.

Tabel 6. Bagan pengeringan dengan kadar air awal 200% - 110%, suhu awal 55C,
depresiasi bola basah 3,5 , dan suhu akhir pengeringan 70C (untuk pola penggergajian
quarter sawn dengan ketebalan 2 cm).

KA (%) SBK (C) DBB SBB KR KAS


200 - 110 55 3,5 51,5 82 14,5
110 - 80 55 5 50 76 12,5
80 - 65 55 7,5 47,5 65 10,2
65 - 50 55 11 44 52 8
50 - 40 55 15 40 40 6,4
40 - 32 58 20 38 28 4,8
32 - 25 63 25 38 21 3,5
25 - 20 68 25 43 25 3,8
20 -15 70 25 45 25 3,5
15 - 12 70 25 45 25 3,5
12 70 25 45 25 3,5

602
PENGOLAHAN HASIL HUTAN

Tabel 7. Bagan pengeringan dengan kadar air awal 200% - 110%, suhu awal 53C,
depresiasi bola basah 3 dan suhu akhir pengeringan 70C (untuk pola penggergajianquarter
sawn dengan ketebalan 3 cm).

KA (%) SBK (C) DBB SBB KR KAS


200 - 110 53 3 50 85 15,8
110 - 80 53 4 49 80 14
80 - 65 53 6 47 71 11,5
65 - 50 53 9 44 59 9,3
50 - 40 55 13 42 46 7,1
40 - 32 58 17 41 35 5,7
32 - 25 63 21 42 28 4,8
25 - 20 68 25 43 24 3,8
20 - 15 70 25 45 25 3,5
15 - 12 70 25 45 25 3,5
12 70 25 45 25 3,5

Tabel 8. Bagan pengeringan dengan kadar air awal 200 % - 110 %, suhu awal 50C,
depresiasi bola basah 2, dan suhu akhir pengeringan 70C (untuk pola penggergajian
quarter sawn dengan ketebalan 4 cm).

KA (%) SBK (C) DBB SBB KR KAS


200 - 110 50 2 48 89 18
110 - 80 50 3 47 83 15,5
80 - 65 50 4 46 79 14
65 - 50 50 6 44 70 11,5
50 - 40 50 9 41 58 9
40 - 32 50 13 37 42 7
32 - 25 55 18 37 32 5
25 - 20 60 20 40 30 4,5
20 - 15 65 20 45 32 5
15 - 12 70 20 50 35 5
12 70 20 50 35 5

Keterangan :
KA : Kadar Air Kayu
SBK : Suhu Bola Kering
DBB : Depresiasi Bola Basah
SBB : Suhu Bola Basah
KR : Kelembaban Relatif(Relative Humidity)
KAS : Kadar Air Setimbang (Equilibrium Moisture Content)

Bagan pengeringan yang diperoleh dari pola penggergajian quarter sawn pada tiga
ketebalan memiliki bagan pengeringan yang bervariasi. Hal ini disebabkan karena pola
penggergajian quarter sawn pada tiap ketebalannya memiliki perbedaan tingkat cacat, papan
yang yang lebih tebal cenderung memiliki tingkat cacat retak lebih besar dibanding papan
yang lebih tipis. Kayu dengan ketebalan yang lebih besar akan lebih sulit mengering dan
lebih banyak mengalami cacat ketika kayu dikeringkan pada kondisi yang sama, hal ini
disebabkan semakin tebal kayu maka semakin panjang perjalanan air dari pusat menuju
permukaan kayu. Kayu dengan ketebalan yang tinggi akan memiliki gradient kadar air
(perbedaan kadar air antara permukaan dengan kadar air inti) yang lebih besar.
Berdasarkan bagan pengeringan yang diperoleh pada masing-masing pola
penggergajian dan ketebalannya di atas, pengaturan suhu dan kelembaban yang didapat
dalam bagan pengeringan, disesuaikan dengan Tabel 9 dibawah ini.

603
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Tabel 9. Pengaturan suhu bedasarkan suhu awal

Kadar Air Pengaturan suhu berdasar suhu awal (oC)


35 40 45 50 55 60 65 70 80 85
Basah - 40 35 40 45 50 55 60 65 70 85 90
40-35 35 40 45 50 55 60 65 75 90 100
35-30 35 40 45 50 58 65 65 80 95 110
30-25 35 43 48 55 63 70 70 85 100 120
25-20 38 48 53 60 68 75 80 95 110 120
20-15 40 53 58 65 70 80 85 105 120 120
15-10 45 60 65 70-80 70-80 80-90 85-90 105 120 120
<10 55 60 65 70-80 70-80 80-90 85-90 105 120 120

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat diambil kesimpulan


sebagai berikut:
1. Pola penggergajian flat sawn memiliki penyusutan yang lebih besar (T/R rasio)
dibandingkan pola penggergajian quarter sawn.
2. Pola penggergajian flat sawn dengan ketebalan sortimen 2 cm, 3 cm, dan 4 cm memiliki
jenis dan tingkat cacat yang hampir seragam yaitu collapse tingkat 8.
3. Pola penggergajian quarter sawn memiliki perbedaan cacat pada setiap ketebalannya,
semakin tebal sortimen cacat retak yang dihasilkan semakin besar pada saat proses
pengeringan.
4. Pola penggergajian flat sawn pada ketebalan 2 cm, 3 cm, dan 4 cm dapat dikeringkan
dengan suhu awal 47C, depresiasi bola basah 2,5 dan suhu akhir pengeringan 70C,
pengaturan bagan tersebut disesuaikan dengan tabel 7 pada metode penelitian.
5. Bagan pengeringan yang dapat digunakan untuk sortimen dengan pola penggergajian
quarter sawn berketebalan 2 cm yaitu bagan pengeringan dengan suhu awal 55C,
depresiasi bola basah 3,5 dan suhu akhir pengeringan 70C. Sortimen berketebalan 3
cm yaitu suhu awal 53C, depresiasi bola basah 3, dan suhu akhir pengeringan 70C.
Sortimen berketebalan 4 cm yaitu suhu awal 50C, depresiasi bola basah 2, dan suhu
akhir pengeringan 70C. Pengaturan suhu, kelembaban, dan kadar air dari bagan
tersebut disesuaikan dengan tabel 7 pada metode penelitian.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 1957.Standar British 373, 1957.Methods of Testing Small Clear Specimen of


Timber. London.
Rasmussen, E.F., 1961. Dry Kiln, Operators Manual. U.S. Department of Agricultur
Handbook, 188.
Terazawa, S. 1965. Methods For Easy Determination Of Kiln Dryig Schedules Of Wood.
Japan Wood Industry, Vol. 20, Hal. 216-226.
Terazawa, S., Y. Kikata, dan T. Shigeaki. 1997. Wood Based Materials Application
Technology Course. Nagoya International Training Centre, JICA. Nagoya.

604
PENGOLAHAN HASIL HUTAN

PENGENDALIAN SERANGAN RAYAP PADA


TANAMAN KELAPA SAWIT
Yuliati Indrayani, Nurhaida, dan HA Oramahi
Fakultas Kehutanan - Universitas Tanjungpura
Jl. Imam Bonjol, Pontianak 78124
E-mail: mandaupermai@yahoo.com

ABSTRAK

Kelapa sawit merupakan salah satu komoditas andalan dalam menghasilkan devisa
negara yang juga memberikan kontribusi dalam perluasan lapangan kerja. Dalam
pertumbuhannya, kelapa sawit tidak terlepas dari serangan hama. Rayap merupakan hama
penting pada tanaman kelapa sawit yang ditanam di atas lahan gambut. Sampai saat ini,
cara penanggulangan serangan rayap yang banyak digunakan adalah dengan penggunaan
bahan kimia yang dapat berbahaya baik bagi manusia maupun bagi lingkungan. Hasil yang
ditargetkan dalam penelitian ini adalah mengembangkan bio-termitisida asap cair untuk
pengendalian rayap pada tanaman kelapa sawit di lahan gambut. Pemanfaatan asap cair
sebagai termitisida alami untuk mengendalikan rayap merupakan suatu pilihan teknologi
yang tepat dan menarik untuk dikembangkan. Dengan digunakannya asap cair sebagai
bahan untuk mengendalikan aktifitas rayap maka diharapkan tidak terjadi lagi pencemaran
yang diakibatkan oleh penggunaan bahan kimia.
Penelitian ini bertujuan untuk: (1) Menghasilkan produk asap cair dari limbah TKKS
melalui proses kondensasi dengan suhu pembakaran 450C, (2) Mengevaluasi bioaktivitas
asap cair TKKS terhadap rayap pada tanaman kelapa sawit di lahan gambut di lapangan, (3)
Mengevaluasi metode aplikasi asap cair dilapangan, yaitu metode umpan (baiting method)
dan metode semprot (spraying method). Hasil aplikasi asap cair di lapangan membuktikan
bahwa metode semprot lebih efektif dibandingkan metode umpan. Metoda semprot
menghasilkan derajat proteksi 40-70 dengan artian bahwa terjadi serangan rayap kembali
pada bulan ke 2-3. Sedangkan metoda umpan memiliki derajat proteksi 0 karena pada bulan
pertama rayap sudah menyerang kembali.

Kata kunci: Asap Cair, TKKS, Bio-termitisida, Kelapa sawit, Lahan gambut.

PENDAHULUAN

Kelapa sawit memainkan peranan penting dalam perekonomian Indonesia dan


merupakan salah satu komoditas andalan dalam menghasilkan devisa negara (mencapai
US$ 8,87 miliar pada tahun 2007 dan meningkat menjadi US$ 12,38 miliar pada tahun
2008). Saat ini, Indonesia merupakan negara produsen Crude Palm Oil (CPO) terbesar
dunia setelah menggeser dominasi Malaysia sejak tahun 2006 (elibrary.mb.ipb.ac.id). Selain
itu, perkebunan dan industri kelapa sawit ini pun telah memberikan kontribusi signifikatif
dalam perluasan lapangan kerja, penyediaan bahan baku untuk industri hilir dan
pengembangan wilayah.
Dalam pertumbuhannya, kelapa sawit tidak terlepas dari serangan hama. Rayap
merupakan hama penting pada tanaman kelapa sawit khususnya yang ditanam di atas lahan
gambut. Jenis rayap yang mendominasi serangan kelapa sawit dilahan gambut adalah dari
spesies Coptotermes sp. Serangan rayap pada tanaman mengakibatkan kerusakan fisik dan
akan mengganggu perakaran tanaman. Jika perakaran tanaman terganggu, suplai hara dan
air akan terhambat serta tanaman menjadi rentan terhadap serangan penyakit.

605
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Cara penanggulangan serangan rayap yang banyak digunakan sampai saat ini
adalah dengan penggunaan bahan kimia yang dapat berbahaya bagi operator maupun bagi
lingkungan. Kebanyakan pestisida untuk rayap banyak dirancang untuk melindungi
bangunan terutama bagian yang terbuat dari kayu. Oleh karena itu, termitisida yang banyak
beredar saat ini memiliki residu yang dapat bertahan lama dalam tanah dan sulit terurai
sehingga dapat mencemari lingkungan. Termitisida tersebut tidak sesuai bila digunakan
untuk tanaman.
Pengendalian rayap secara biologis menggunakan agen hayati dari golongan
cendawan, nematoda, virus dan bakteri entomopatogen untuk pengendalian rayap tanah
sudah pernah diteliti (Khan et.al. 1991, Suzuki 1991, Milner 1996, John et.al. 1996, dan
Pearce 1997). Penggunaan ekstraktif dari berbagai macam jenis kayu dan tumbuhan untuk
mengendalikan serangan rayap juga sudah ada yang melakukan (Ohmura et.al.1997, Syafii,
1996). Penerapan teknologi pengumpanan (baiting) untuk mengeliminasi koloni rayap sudah
pernah diteliti pula (Indrayani et.al, 2007).
Aternatif lain yang dapat dilakukan untuk mengendalikan hama rayap adalah dengan
menggunakan bahan kimia ramah lingkungan yaitu dengan menggunakan asap cair (liquid
smoke). Asap cair merupakan suatu campuran larutan dari dispersi koloid asap kayu dalam
air, yang dibuat dengan mengkondensasikan asap dari hasil pembakaran kayu tersebut
(Maga 1987). Hasil-hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa asap cair dari berbagai
jenis kayu mempunyai potensi sebagai pengawet alami, yaitu sebagai antibakteri dan anti
jamur. Di Indonesia, pemanfaatan asap cair dari TKKS untuk mengendalikan rayap pada
tanaman kelapa sawit masih belum ada yang melakukan.
Tujuan dari penelitian ini adalah mengembangkan bio-termitisida asap cair dari
limbah TKKS untuk pengendalian hama rayap pada tanaman kelapa sawit di lahan gambut.
Pemanfaatan asap cair sebagai termitisida alami untuk mengendalikan rayap merupakan
suatu pilihan teknologi yang tepat dan menarik untuk dikembangkan. Dengan digunakannya
asap cair sebagai bahan untuk mengendalikan aktifitas rayap maka diharapkan tidak terjadi
lagi pencemaran yang diakibatkan oleh penggunaan bahan kimia beracun.

BAHAN DAN METODA

Pembuatan asap cair


Asap cair dibuat dengan memasukkan limbah TKKS ke dalam reaktor kemudian
ditutup dan rangkaian kondensor dipasang (Tranggono 1996; Darmadji et al. 2000).
Selanjutnya dapur pemanas dihidupkan dengan suhu yang dikehendaki. Pada penelitian ini
suhu yang digunakan adalah 450 C selama 90 menit. Asap yang keluar dari reaktor
disalurkan kekolom pendingin melalui pipa penyalur, kemudian ke dalam kolom pendingin ini
dialirkan air dingin dengan menggunakan pompa. Embunan berupa asap cair ditampung
dalam botol, sedangkan asap yang tidak dapat diembunkan dibuang melalui pipa penyalur
asap sisa.

Pendataan pohon kelapa sawit terserang rayap


Pada kebun kelapa sawit dilakukan pendataan pohon yang terserang rayap.
Keberadaan serangan rayap tanah pada kelapa sawit ditandai dengan adanya liang kembara
yang masih aktif (Gambar 1). Serangan rayap juga dapat terjadi dari mulai tanah sekeliling
pohon, bagian batang, bekas potongan pelepah daun sawit sampai bagian ujung tanaman
sawit. Pohon yang terserang ditandai sebagai pohon sampel. Pengaturan letak petak
perlakuan diusahakan sedemikian rupa agar penyebaran hama rayap merata. Setiap petak
terdiri dari 4 pohon dan diantara petak percobaan dipisahkan oleh 2 baris pohon atau lebih.

Aplikasi asap cair pada pohon kelapa sawit terserang rayap


Asap cair disiapkan dalam konsentrasi 15%. Untuk pengujian dilapangan dengan
teknik aplikasi penyemprotan langsung pada tanaman, asap cair tersebut dimasukkan
kedalam sprayer sesuai perlakuan yaitu sebanyak 1 liter dan 2 Liter kemudian disemprotkan

606
PENGOLAHAN HASIL HUTAN

langsung keseluruh bagian batang pohon sampel terserang rayap (Gambar 2). Sedangkan
pada teknik aplikasi dengan sistim umpan, pertama-tama pada pohon sampel diberi umpan
berupa stik kayu karet berukuran 8 cm x 8 cm x 20 cm (Gambar 3). Pemasangan umpan
dilakukan sebanyak 4 buah pada setiap pohon sampel. Setelah umpan kayu karet terserang
rayap (sekitar 1 minggu) kemudian pada umpan tersebut disemprotkan asap cair dengan
konsentrasi dan perlakuan yang sama dengan metoda penyemprotan langsung. Setiap
Perlakuan dilakukan pengulangan sebanyak 4 pohon. Pengamatan dilakukan satu kali dalam
sebulan selama 4 (empat) bulan untuk mengevaluasi aktifitas asap cair terhadap rayap pada
tanaman kelapa sawit di lahan gambut.

Gambar 1. Pohon kelapa sawit terserang rayap

Gambar 2. Aplikasi asap cair dengan Gambar 3. Aplikasi asap cair dengan
metode penyemprotan langsung metode umpan

Teknik Pengumpulan Data


Data yang dikumpulkan dari penelitian ini adalah kriteria efikasi berupa derajat
proteksi asap cair terhadap rayap. Derajat proteksi ditentukan oleh lamanya serangan ulang
rayap setelah waktu aplikasi. Pengamatan derajat proteksi ditentukan dengan cara nilai
(scoring) dengan skala sebagai berikut:

Tabel 1. Klasifikasi Derajat Proteksi

Kondisi serangan Derajat proteksi


0 1 bulan diserang 0
> 1 2 bulan diserang 40
> 2 3 bulan diserang 70
> 3 4 bulan diserang 90
> 4 bulan diserang 100

607
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Efikasi asap cair ditentukan berdasarkan pada rentan waktu lamanya rayap
menyerang kembali tanaman kelapa sawit. Pengujian dianggap berhasil apabila rayap tidak
menyerang lagi dalam waktu minimal 2 bulan (nilai scoring diatas 70).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pendataan pohon kelapa sawit terserang rayap


Serangan rayap tanah pada kelapa sawit ditandai dengan adanya liang kembara
yang masih aktif. Serangan rayap juga dapat dilihat mulai tanah sekeliling pohon, bagian
batang, bekas potongan pelepah daun sawit sampai bagian ujung tanaman sawit. Pohon
yang digunakan sebagai sampel berjumlah 16 pohon, dengan perincian 8 pohon untuk
metoda semprot dan 8 pohon untuk metode umpan. Dari masing-masing kedelapan pohon
tersebut, 4 pohon dipilih untuk diaplikasikan asap cair sebanyak 1 liter dan 4 pohon lainnya
untuk diaplikasikan asap cair sebayak 2 liter. Pohon sampel adalah pohon yang terserang
rayap hebat dan dipilih secara acak.

Hasil aplikasi asap cair pada pohon kelapa sawit terserang rayap
Rekapitulasi hasil pengamatan aplikasi asap cair pada pohon kelapa sawit terserang
rayap dapat dilihat pada Tabel 2. Dari Tabel 2 dapat dilihat bahwa sebagian besar rayap
menyerang kembali pada bulan ke 0-1 setelah aplikasi asap cair pada tanaman kelapa
sawit. Hal ini dikarenakan oleh aplikasi asap cair dilakukan pada musim hujan, akibatnya
asap cair yang sudah diberikan pada pohon tercuci oleh air hujan. Cepatnya serangan
kembali oleh rayap pada beberapa pohon dikarenakan pohon tumbuhnya condong
dikarenakan kondisi tanah gambut sehingga asap cair yang diaplikasikan tercuci oleh air
hujan. Selain itu ada beberapa pohon sampel dengan kondisi terdapat tandan buah dimana
hal ini menyebabkan asap cair sulit masuk meresap kedalam batang pohon yang terserang
rayap. Akibatnya pada pohon ini cepat terjadi serangan rayap kembali.
Faktor iklim, terutama curah hujan, sangat berpengaruh terhadap penelitian di
lapangan. Seperti halnya penelitian aplikasi asap cair pada pohon kelapa sawit ini, curah
hujan menyebabkan tercucinya asap cair yang diaplikasikan ke pohon. Hal ini menyebabkan
efektifitas asap cair terhadap rayap pada pohon kelapa sawit tidak maksimal. Sehingga
dapat disarankan aplikasi asap cair harus dilakukan pada musim kering agar efektivitas asap
cair dapat maksimal.
Dalam perjalanan penelitian ini, terdapat satu pohon yang tumbang akibat serangan
rayap yang hebat. Pada bagian luar pohon yang tumbang ini tidak terdapat rayap, tetapi
pada bagian dalam pohon masih terdapat rayap dalam jumlah yang cukup banyak. Pohon
sampel ini pada awalnya sudah terserang rayap yang cukup serius sehingga asap cair
sejumlah 2 liter yang diaplikasikan tidak berpengaruh pada pohon ini.

608
PENGOLAHAN HASIL HUTAN

Tabel 2. Pengamatan aplikasi asap cair pada pohon kelapa sawit

No Pohon sampel Serangan rayap masuk pada bulan ke


0-1 1-2 2-3 3-4 >4
Metoda umpan
1 90/6 (asap cair 2 liter) X O O O O
2 95/15 (asap cair 2 liter) X O O O O
3 101/2 (asap cair 2 liter) X O O O O
4 101/20 (asap cair 2 liter) O O O O O
5 73/22 (asap cair 1 liter) X O O O O
6 72/19 (asap cair 1 liter) X O O O O
7 112/6 (asap cair 1 liter) X O O O O

Metoda semprot
8 112/19 (asap cair 2 liter) X X X O O
9 113/19 (asap cair 2 liter) X X O O O
10 114/20 (asap cair 2 liter) O O O O O
11 112/13 (asap cair 2 liter) X X O O O
12 112/22 (asap cair 1 liter) X O O O O
13 114/11 (asap cair 1 liter) X O O O O
14 114/6 (asap cair 1 liter) O O O O O
15 114/9 (asap cair 1 liter) O O O O O
Keterangan:
X: Tidak diserang
O: Diserang

Pada Tabel 2 terlihat bahwa aplikasi asap cair dengan metoda semprot dengan
jumlah asap cair sebanyak 2 liter dapat menahan serangan rayap tanah sampai dengan 2
bulan, sedangkan metoda umpan hanya dapat menahan serangan rayap tanah dibawah 2
bulan. Akan tetapi hasil ini belum maksimal mengingat pengaruh faktor iklim seperti curah
hujan yang tidak dapat dihindari pada saat pelaksanaannya.
Apabila hasil pengamatan periode serangan disesuaikan dengan derajat proteksi,
maka metode pengujian semprot sebanyak 2 liter mempunyai derajat proteksi 40 sampai 70
yang artinya bahwa terjadi serangan rayap kembali pada bulan ke 2-3. Sedangkan metoda
umpan memiliki derajat proteksi 0 karena pada bulan pertama rayap sudah menyerang
kembali.

KESIMPULAN

Kesimpulan
1. Aplikasi asap cair pada kelapa sawit dengan metoda semprot sebanyak 2 liter dapat
menahan serangan rayap sampai dengan 2 bulan dalam penelitian ini.
2. Faktor iklim seperti curah hujan juga mempengaruhi keberhasilan aplikasi asap cair di
lapangan. Direkomendasikan sebaiknya aplikasi asap cair pada kelapa sawit dilakukan
tidak pada musim hujan.

Saran
Perlu dilakukan penelitian lapangan selanjutnya dengan jumlah asap cair yang lebih
banyak dari 2 liter, mengingat serangan rayap yang serius tidak cukup hanya diberi asap cair
sebanyak 2 liter.

609
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2008. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Kelapa. www.


Litbang.deptan.go.id (diakses tanggal 12 Februari 2008).
Darmadji, P., Oramahi, H.A. dan Haryadi. 2000. Optimasi Produksi dan Sifat Fungisional
Asap Cair Kayu Karet. Agritecth 20 (3): 147-155.
Fatimah, F. 2000. Analisis Komponen Penyusun Asap Cair dari Tempurung Kelapa. Tesis
Program Studi Kimia, Universitas Gadjah Mada (Tidak diterbitkan).
Fengel, D., dan Wagener, G. 1995. Kayu: Kimia, Ultra Struktur, Reaksi-reaksi. Hardono
Sastrohamidjojo (Penerjemah), Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Hunt, G.M. and G.A. Garrat. 1986. Wood Preservation. The American Forestry Series, New
York: Mac Graw-Hill.
Indrayani, Y., T. Yoshimura, and Y. Imamura. 2007. A novel control strategy for dry-wood
termite Incisitermes minor infestation using a bait system. Journal of Wood Science
20 (3): 147-155.
Jones, W.E, Grace, J.K and Tamashiro, M. 1996. Virulence of seven isolates of beauveria
and Metharhizium anisopliae to Coptotermes formosanus (Isoptera :
Rhinotermitidae). Biological Control 25 (2): 481-487.
Khan K. Jyaraj and Goipalan, M. 1991. Mycopathogenes for biological control of
Odontotermes brunneus (Hagen). J. Biol. Control 5(1), 32-35.
Kuntjahjawati dan Darmadji, P. 2003. Identifikasi komponen volatile asap cair daun tembakau
(Nicotiana tabacum L.) rajangan. Agritech 24(1), 17-22.
Milner, R.J. Staples, J.A. and Lenz, M. 1996. Option for termite management using the insect
pathogenic fungus Metarhizium anisopliae. The Int. Res. Group on Wood
Preservation, Rosenheim, 7-11 June 1999, IRG/WP/10324.
Ohmura, W., Seiji Ohara, and Atsushi Kato. 1997. Synthesis of Triterpenoid Saponins and
Their Antitermitic Activities. The Japan Wood Research Society, vol. 43, No.10: 869-
874.
Oramahi, H.A., Darmadji, P., dan Haryadi. 2003. Optimasi Kadar Asam pada Asap Cair
dengan Menggunakan Response Surface Methodology (RSM), Agrosains, 16 (1):
109-119
Pearce MJ. 1997. Termite: biologi and management. New York: CAB International Publisher.
Prasetiyo, K. dan Sulaeman Yusuf. 2005. Mencegah dan Membasmi Rayap Secara Ramah
Lingkungan dan Kimiawi. Penerbit PT. AgroMedia Pustaka.
Suarta, S. 2006. Pembuatan Biopreservative Asap Cair Cangkang Kelapa Sawit dan
Aplikasinya untuk Pengawetan Kayu. Tesis. Pascasarjana Universitas Gadjah Mada.
Syafii, W. 1996. Zat ekstraktif dan pengaruhnya terhadap keawetan alami kayu. Jurnal
Teknologi Hasil Hutan, Vol. 9 No.2. Fakultas Kehutanan. IPB. Bogor.
Tranggono, Suhardi, Setiadji, B., Darmadji, P., Supranto., dan Sudarmanto. 1996. Identifikasi
Asap Cair dari Berbagai Jenis Kayu dan Tempurung Kelapa, J. Ilmu dan Teknologi
Pangan, vol. 1, No.2: 15-24.

610
BIDANG F
ILMU KEHUTANAN
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

PERTUMBUHAN SENGON (Falcataria mollucana),


MAHONI AFRIKA (Khaya anthotecha) DAN SUNGKAI
(Peronema canescens) PADA POLA PERTANAMAN CAMPUR
Aditya Hani
Balai Penelitian Kehutanan Ciamis
Jl.Ciamis-Banjar Km. 4 Po. Box 5. Ciamis
Email : adityahani@gmail.com

ABSTRAK

Hutan rakyat campuran dengan berbagai jenis tanaman dan daur tebang diharapkan
akan mempertahankan keanekaragaman jenis, menghindari kekurangan satu jenis unsur
hara tertentu, konservasi tanah serta meminimalkan kerugian sebagai akibat adanya
gangguan hama/penyakit pada satu jenis tanaman tertentu. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui pertumbuhan jenis mahoni afrika, sengon dan sungkai pada pola tanam
campuran. Ketiga jenis tersebut merupakan jenis-jenis yang dominan menyusun hutan
rakyat. Penelitian ini menggunakan rancangan Rancangan Acak Lengkap Berblok (RCBD).
Perlakuan yang di uji cobakan adalah tiga jenis pohon yaitu : sengon (Falcataria mollucana),
sungkai (Peronema canescens), mahoni afrika (Khaya anthotecha). Jumlah tanaman tiap
jenis sebanyak 60 tanaman dan diulang sebanyak tiga ulangan, sehingga jumlah total
tanaman sebanyak 540 pohon.Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertumbuahan tinggi
rata-rata terbaik pada umur dua tahun yaitu jenis sengon (739 cm) diikuti sungkai (324 cm)
dan mahoni afrika (273 cm) demikian pula dengan pertambahan diameter tanaman terbaik
yaitu jenis sengon (7,07 cm), sungkai (4,40 cm) dan mahoni afrika (4,04 cm), dan
pertumbuhan lebar tajuk terbaik yaitu sengon (2,65 cm), mahoni afrika (2,65 cm) dan
sungkai (1,42 cm). Tanah disekitar jenis sengon dan mahoni afrika mempunyai kandungan
unsur hara jenis nitrogen dan karbon organik yang lebih tinggi dibandingkan dengan tanah
sebelum penanaman dan dibandingkan pada tanah disekitar jenis sungkai dengan nilai
masing masing sengon (Nitrogen 0,23; karbon organik 2,314) serta mahoni afrika (Nitrogen
0,238; karbon organik 2,445). Peningkatan pH tertinggi diperoleh pada tanah disekitar
tanaman sungkai sebesar 5,13 dari pH sebelumnya 4,5.

Kata kunci : hutan campuran, keanekaragam jenis, kelestarian, unsur hara

PENDAHULUAN

Hutan tropis mempunyai ciri memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi dengan
penutupan lapisan strata tajuk ayng lengkap. Kondisi ini juga hampir disamai dengan kondisi
hutan rakyat yang terdiri dari berbagai macam jenis tanaman. Tujuan masyarakat menanam
berbagai jenis tanaman di hutan rakyat sebenarnya dalam rangka untuk memenuhi berbagai
macam kebutuhan yang harus dipenuhi dari sebidang tanah yang mereka miliki. Sehingga
hutan rakyat seringkali terdiri dari jenis penghasil kayu pertukangan, kayu bakar, buah-
buahan, tanaman obat, bambu, hijauan makanan ternak dan memenuhi kebutuhan dapur
masyarakat. sementara itu pertimbangan dari aspek produktivitas tanaman penyusun belum
menjadi perhatian utama. Padahal kombinasi antar jenis penyusun akan menyebabkan
persaingan dalam mendapatkan cahaya, unsur hara, air dan ruang tumbuh. Oleh karena itu
pemilihan jenis diharapkan mempertimbangkan jenis yang dapat tumbuh bersama. Hutan
rakyat campuran yang dikembangkan dapat berupa campuran dari jenis yang mempunyai
daur tebang pendek (<10 tahun), menengah (10-20 tahun) dan panjang (>30 thun). Kosasih
et al.(2006)mengemukakan model-model hutan tanaman campuran yaitu: (1) hutan
campuran berdaur sama yaitu terdiri dari pohon dengan daur tebang yang sama, (2) hutan
campuran beda daur yaitu terdiri dari berbagai jenis yang berbeda daur tebangnya dan (3)

612
ILMU KEHUTANAN

hutan campuran beda strata yaitu apabila memiliki sifat pertumbuhan vertikal berbeda atau
berbeda umur sehingga membentuk strata tajuk yang berbeda. Pengusahaan hutan rakyat
yang hanya bertumpu pada salah satu jenis pohon seperti sengon menyebabkan pohon
rentan terhadap hama dan penyakit yang mengganggu pertumbuhan dan menurunkan
tingkat kualitas tegakan. Selain itu penanaman tanaman sejenis pada luasan tertentu, akan
menyebabkan satu jenis nutrisi akan terambil secara terus menerus, sehingga tanah akan
kehilangan unsur tertentu dan berakibat penanaman selanjutnya dikhawatirkan akan
mengalami malnutrisi sehingga terjadi penurunan kualitas tegakan.
Hutan tanaman campuran diharapkan seperti halnya dengan tumbuhan di alam yang
dapat saling bergabung membentuk hutan dengan berbagai pelapisan tajuk yang satu
dengan yang lainnnya saling menutup sehingga pemanfaatan ruang tumbuh dapat lebih
optimal. Menurut Soekotjo (2004) hutan yang sehat memiliki ciri-ciri dari sudut pandang
lingkungan adalah 1) hutan dalam kondisi puncak suksesi (klimaks), 2) tajuknya berstrata
banyak, memiliki gap yang relatif luas, dan berkelas umur tidak sama, dan 3) jenis langka
dan specialist merupakan indikator bagi hutan yang sehat. Indriyanto (2006), stratifikasi atau
pelapisan tajuk merupakan susunan tetumbuhan secara vertikal di dalam suatu komunitas
tumbuhan atau ekosistem hutan yang terjadi karena dua hal penting yaitu : 1) akibat
persaingan antar tumbuhan, 2) akibat sifat toleransi spesies pohon terhadap intensitas
radiasi matahari.
Salah satu cara untuk mempertahankan kelestarian hutan tanaman yaitu dengan
pembangunan hutan tanaman campuran. Hutan rakyat campuran dengan berbagai jenis
tanaman dan daur tebang diharapkan akan mempertahankan keanekaragaman jenis,
menghindari kekurangan satu jenis unsur hara tertentu, konservasi tanah serta
meminimalkan kerugian sebagai akibat adanya gangguan hama/penyakit pada satu jenis
tanaman tertentu. Sensus pertanian tahun 2003 menunjukkan bahwa potensi kayu di hutan
rakyat di Pulau Jawa didominasi oleh jenis : akasia, bambu, jati, maboni, pinus, sengon dan
sonokeling, sedangka di luar Jawa hutan rakyat di dominasi oleh jenis cendana, rotan dan
sungkai. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pertumbuhan jenis mahoni afrika, sengon
dan sungkai pada pola tanam campuran. Ketiga jenis tersebut merupakan jenis-jenis yang
dominan menyusun hutan rakyat.

BAHAN DAN METODE

Tempat, waktu dan Bahan


Lokasi penelitian terletak di desa Bojonggedang, Kecamatan Rancah kabupaten
Ciamis. Lokasi penelitian berada pada ketinggian 400 mdpl. Topografi berbukit dengan
kelerengan 5%-35%. Curah hujan rata-rata 3193 mm/tahun. Suhu udara rata-rata sedang
(26 C-35 C).
Penelitian dilakukan mulai Bulan November 2008 s/d April 2011. Bahan yang
digunakan adalah pupuk organik. Peralatan yang digunakan adalah parang, cangkul,
pengukur tinggi, pengukur diameter, alat tulis dan kamera.

Metode
Penelitian ini menggunakan rancangan Rancangan Acak Lengkap Berblok (RCBD).
Perlakuan yang di uji cobakan adalah tiga jenis pohon yaitu : sengon (Paraserianthes
falcataria), sungkai (Peronema canescens), mahoni afrika (Khaya anhtotecha). Jumlah
tanaman tiap jenis sebanyak 60 tanaman dan diulang sebanyak tiga ulangan, sehingga
jumlah total tanaman sebanyak 540 pohon. Tiap jenis tanaman ditanam secara jalur yaitu 4
(empat) baris jenis sengon, 4 (empat) baris jenis mahoni Afrika dan 4 (empat) baris jenis
sungkai. Pengukuran pertumbuhan tanaman setiap 6 bulan sekali pada tahun pertama dan
1 tahun sekali pada tahun kedua. Parameter yang diukur yaitu: tinggi, diameter, dan lebar
tajuk. Kondisi tanah pada masing-masing jenis dianalisa dengan cara diambil sampel
tanahnya untuk mengetahui tingkat kesuburannya.

613
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Analisa Data
Hasil pengukuran tinggi, diameter dan lebar tajuk dianalisis dengan analisis varian
dan apabila terjadi beda nyata maka dilanjutkan dengan uji lanjut Duncan. Analisis data
dilakukan dengan alat bantu program SPSS. Kualitas tanah pada masing-masing jenis
tanaman dianalisa di laboratorium tanah Fakultas Pertanian, Universitas Jenderal
Soedirman.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pertumbuhan Tanaman
Pertumbuhan tiga jenis tanaman memberikan hasil yang berbeda secara nyata
seperti disajikan pada Tabel 1. Sedangkan untuk mengetahui jenis yang mempunyai
pertumbuhan terbaik maka dilakukan uji jarak Duncan yang hasilnya disajikan pada Tabel 2.

Tabel 1. Hasil Analisa Sidik Ragam Pertumbuhan Tiga Jenis Tanaman

Sumber Parameter Jumlah Db Nilai F Hitung Signifikansi


Variasi Kuadrat Tengah
Jenis Tinggi 2,06 2 1,03 69,578 0,000
Tanaman diameter 885,965 2 442,983 229,532 0,000
Lebar tajuk 1622214,172 2 811107,086 285,378 0,000

Tabel 2. Hasil Uji Jarak Duncan Pengaruh Jenis Tanaman

Perlakuan Tinggi Diameter Lebar Tajuk


(Cm) Ket (Cm) Ket (Cm) Ket
Sengon 739 a 7,07 a 2,65 a
Sungkai 324 b 4,40 a 1,42 b
Khaya 273 b 4,04 b 2,65 b

Tinggi (cm)

Umur

Gambar 1. Grafik pertumbuhan tinggi tanaman

614
ILMU KEHUTANAN

Diameter (cm)

Umur

Gambar 2. Grafik pertumbuhan diameter tanaman

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertumbuhan tinggi rata-rata terbaik pada umur
dua tahun yaitu jenis sengon (739 cm) diikuti sungkai (324 cm) dan mahoni afrika (273 cm)
demikian pula dengan pertambahan diameter tanaman terbaik yaitu jenis sengon (7,07 cm),
sungkai (4,40 cm) dan mahoni afrika (4,04 cm), dan pertumbuhan lebar tajuk terbaik yaitu
sengon (2,65 cm), mahoni afrika (2,65 cm) dan sungkai (1,42 cm).
Pemanfaatan lahan dengan Penggunaan jenis campuran legum (sengon) dan non
legum (sungkai dan mahoni afrika) diharapkan memberikan keuntungan yaitu (Huxley, 1999
dalam Hairiah et al., 2000):
1. Adanya penambahan jumlah kandungan N tanah melalui penambatan N dari udara oleh
tanaman sengon
2. Membentuk kurang lebih sistem ekologi yang tertutup yaitu menahan semua, atau
hampir semua atau sebagian besar unsur hara di dalam sistem)
3. Mengurangi kemasaman tanah (melalui pelepasan kation dari hasil mineralisasi
seresah)
4. Memperbaiki kesuburan tanah lewat masukan biomass dari sistem perakaran pohon dan
kontribusi dari bagian atas pohon
5. Memperbaiki asosiasi mikoriza lewat interaksi antar pohon
6. Memperbaiki efesiensi penyerapan hujan, cahaya dan nutrisi mineral yang terpakai
7. Terhindar dari penyebaran dan kerusakan yang disebabkan oleh serangan hama dan
penyakit.

Penanaman dengan satu jenis tanaman dan satu daur memiliki beberapa kelemahan
karena kemungkinan kekurangan unsur hara tertentu dapat terjadi. Karena tiap jenis
tanaman membutuhkan unsur hara yang berbeda-beda sehingga apabila hutan terdiri dari
berbagai jenis tanaman maka penggunaan unsur hara falam tanah akan lebih optimal serta
tidak terjadi adanya kekurangan unsur hara tertentu. Hairiah et. al.(2000) menyebutkan
bahwa jika penanaman dengan jenis yang lambat pertumbuhannya, maka pada saat bahan
organik lapuk dan unsur hara dilepaskan dalam jumlah maksimal, ternyata tanaman belum
membutuhkan N dalam jumlah banyak, sehingga unsur hara tersebut tidak dimanfaatkan
dalam jumlah banyak dan pada akhirnya sisa unsur hara tersebut akan hilang melalui
pencucian dan penguapan. Sebaliknya bila tanaman yang ditanam hanya jenis daur cepat
maka pada saat tanaman membutuhkan unsur hara dalam jumlah banyak, bahan organik
belum termineralisasi, sehingga N tersedia dalam tanah tidak cukup. Oleh karena itu
kombinasi tanaman cepat tumbuh (jenis sengon) dan tanaman lambat tumbuh (mahoni afrika
dan sungkai) dapat mengurangi permasalah ketersediaan hara.
Milda (2004), memberikan hasil penelitian mengenai total panjang akar (Lrv, cm cm-
3) dan total berat kering akar (Drv, mg cm-3). Pada kedalaman 0-80 cm nilai Lrv dan Drv
jenis mahoni (0.066 cm cm-3 dan 0.109 mg cm-3) , dan sengon (0.042 cm mg cm-3 dan

615
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

0.107 mg cm-3). Sedangkan pada lapisan tanah bawah >80 cm, mahoni menurun sebesar
79% dan 85 %; namun Lrv sengon justru meningkat Sebesar 38% dan Drv menurun 31%.
Bila ditinjau dari efisiensi jaring penyelamat hara (nisbah N yang diserap: N yang hilang)
mahoni dan sengon yaitu sekitar 75 %. Sehingga kedua jenis tersebut cocok untuk ditanam
pada pola tanam campuran.

Kesuburan Tanah
Kegiatan penanaman jenis tanaman kayu-kayuan diharapkan akan memperbaiki
kondisi kesuburan tanah. Hal ini terjadi karena adanya proses pelapukan bahan-bahan
organi berupa seresah, limbah hasil pembersihan serta pemupukan. Selain itu jenis sengon
sebagai jenis legum yang mempunyai bintil akar mempunyai kemampuan untuk menyerap
unsur N dalam udara dan akan memberi masukan kedalam tanah. Hasil analisa kesuburan
tanah sebelum penanaman disajikan pada Tabel 3 dan hasil analisa kesuburan tanah
setelah 2 (dua) tahun penanaman disajikan pada Tabel 4.

Tabel 3. Kondisi Kesuburan Tanah Pada Sebelum Penanaman

Tekstur Bahan organik


P2O5 K2O
Tecture Organic matter
Keterangan
Pasir Debu Liat pH
Remark C N
sand ash clay C/N ppm ppm
% %
1 14 85 Liat(Clay) 2,17 0,15 14 3,3 13 4,5

Sumber : hasil analisa tanah laboratorium tanah Universitas Jenderal Soedirman

Tanah disekitar jenis sengon dan mahoni afrika mempunyai kandungan unsur hara
jenis nitrogen dan karbon organik yang lebih tinggi dibandingkan dengan tanah sebelum
penanaman dan dibandingkan pada tanah disekitar jenis sungkai dengan nilai masing
masing sengon (Nitrogen 0,23; karbon organik 2,314) serta mahoni afrika (Nitrogen 0,238;
karbon organik 2,445). Peningkatan pH tertinggi diperoleh pada tanah disekitar tanaman
sungkai sebesar 5,13 dari pH sebelumnya 4,5. Hal ini disebabkan karena adanya pengaruh
pertumbuhan tanaman tersebut serta adanya kegiatan pemupukan yang dilakukan terhadap
tanaman. Pemberian pupuk sebanyak 5 kg pada awal penanaman dan 6 bulan setelah
penanaman telah meningkatkan kandungan unsur hara serta meningkatkan nilai pH tanah.
Kandungan unsur hara yang meningkat adalah unsur Nitrogen dan karbon organik.
Peningkatan unsur tersebut berasal dari adanya pemberian pupuk kandang sebanyak 2 kali
masing-masing 5 kg sehingga adanya penambahan bahan organik. Hal ini juga
mengakibatkan nilai pH tanah meningkat. Kenaikan pH tersebut karena adanya
penambahan OH- ataupun kation-kation basa hasil penguraian bahan organik (Kastono,
2005).

Tabel 4. Kondisi Kesuburan Tanah Setelah 2 Tahun Penanaman

Jenis Tanaman Unsur


Nitroge Karbon Bahan P2O5 K2O pH H2O
n total organik organik tersedia tersedia
(%) (%) (%) ppm me%
Sengon (F. mollucana) 0,23 2,314 3,990 0,306 0,123 4,86
Sungkai (P. canescens) 0,203 2,129 3,671 0,414 0,156 5,13
Mahoni afrika (K. anthotecha) 0,238 2,445 4,215 0,142 0,128 5
Harkat BPT 2005 Sedang Sedang Sangat Rendah Masam
rendah
Sumber : hasil analisa tanah laboratorium tanah Universitas Jenderal Soedirman

616
ILMU KEHUTANAN

Hairiah et.al. (2000) jenis sengon, sungkai dan mahoni adalah contoh jenis-jenis
tanaman kayu-kayuan yang toleran terhadap tingkat kemasaman tinggi selain jenis pulai
(alstonia spp), gmelina (gmelina arborea), akasia (Acacia mangium). Jenis sengon dan
mahoni afrika memberikan peningkatan kandungan unsur hara N dan karbon organik lebih
tinggi dibandingkan dengan sungkai. Hal ini mungkin disebabkan karena walaupun sengon
memilki pertumbhan yang paling cepat yang tentu saja membutuhkan nutrisi lebih banyak,
namun sengon mempunyai kemamampuan mengikat nitrogen bebas diudara dengan
adanya bintil akar. Sementara itu mahoni memiliki peningkatan yang lebih besar
dibandingkan sungkai walaupun mahoni bukan jenis legum. Hal ini terjadi karena
kemungkinan mahoni memiliki pertumbuhannya paling lambat sehingga nutrisi yang
digunakan lebih sedikit dibandingkan jenis sungkai.
Unsur phospor (P) merupakan unsur hara makro yang sangat dibutuhkan oleh
tanaman untuk pertumbuhan (perkembangan batang dan akar), pembentukan protein dan
proses metabolisme. Unsur phospor tersedia dalam bentuk P2O5. Hasil analisa tanah
menunjukkan bahwa kandungan unsur phospor dari setiap jenis tanaman dalam kondisi
dangat rendah. Hal ini disebabkan karena ketersediaan phospor sangat dipengaruhi oleh pH
tanah. Novizan (2002) Pada tanah ber pH rendah (asam), phospor akan bereaksi dengan ion
besi dan aluminium. Reaksi ini membentuk besi fosfat atau aluminium fosfat yang sukar larut
didalam air sehingga tidak dapat digunakan oleh tanaman selain itu pada tanah alkali dapat
ditmukan unsur yang dapat meracuni tanaman yaitu natrium (Na) dan molibdenum (Mo).
Oleh karena itu perlu upaya peningkatan kandungan unsur phospor. Beberapa cara yang
dapat digunakan untuk meningkatkan kandungan unsur phospor yaitu dengan cara : 1)
meningkatkan pH tanah, 2) meningkatkan kandungan bahan organik tanah, 3) memperbaiki
aerasi tanah.sementara itu kalium (K) dalam jumlah yang rendah hal ini disebabkan karena
kondisi pH tanah yang masam sehingga mudah tercuci.
Unsur hara makro esensial yaitu N, P, K harus dalam jumlah yang mencukupi di
dalam tanah untuk mendukung pertumbuhan tanaman. Oleh karena itu perlu untuk
meningkatkan kandungan unsur-unsur hara tersebut dapat dilakukan dengan cara
pemupukan. Noviardi et.al. (2009) menyebutkan bahwa kandungan N pada tanah dapat
ditingkatkan dengan pemberian pupuk sumber nitrogen seperti NPK, amonium nitrat,
amonium sulfat (NH4SO4), Kalsium nitrat dan urea (CO (NH2)). Tanah yang memiliki
kandungan P rendah dapat ditingkatkan dengan pemberian pupuk NPK, SP36 dan amonium
phospat. Konsentrasi hara K (kalium) dapat ditingkatkan dengan pemberian pupuk NPK,
kalium khlorida (KCl), kalium sulfat (K2SO4), kalium nitrat (KNO3).

KESIMPULAN

1. Pertumbuahan tinggi rata-rata terbaik pada umur dua tahun yaitu jenis sengon (739 cm)
diikuti sungkai (324 cm) dan mahoni afrika (273 cm) demikian pula dengan pertambahan
diameter tanaman terbaik yaitu jenis sengon (7,07 cm), sungkai (4,40 cm) dan mahoni
afrika (4,04 cm), dan pertumbuhan lebar tajuk terbaik yaitu sengon (2,65 cm), mahoni
afrika (2,65 cm) dan sungkai (1,42 cm).
2. Tanah disekitar jenis sengon dan mahoni afrika mempunyai kandungan unsur hara jenis
nitrogen dan karbon organik yang lebih tinggi dibandingkan dengan tanah sebelum
penanaman dan dibandingkan pada tanah disekitar jenis sungkai dengan nilai masing
masing sengon (Nitrogen 0,23; karbon organik 2,314) serta mahoni afrika (Nitrogen 0,238;
karbon organik 2,445).
3. Peningkatan pH tertinggi diperoleh pada tanah disekitar tanaman sungkai sebesar 5,13
dari pH sebelumnya 4,5.

617
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

DAFTAR PUSTAKA

Hairiah.K; Widianto; S.R. Utami; D. Suprayogo; Sunaryo; SM.Sitompul; B. Lusiana; R. Mulia.


Meine van Noordwijk & G. Cadisch. 2000. Pengelolaan Tanah Masam Secara
Biologi. ICRAF. Bogor.
Indriyanto. 2006. Ekologi Hutan. PT Bumi Aksara. Jakarta.
Kastono, D. 2005. Tanggapan Pertumbuhan dan Hasil Kedelai Hitam Terhadap Penggunaan
Pupuk Organik dan Biopestisida Gulma Siam (Chromolaena odorata). Jurnal Ilmu
Pertanian Vol. 12 No.2. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Kosasih, S., R. Bogidarmanti dan B. Rustaman. 2006. Silvikultur Hutan Tanaman Campuran.
Pusat Litbang Hutan Tanaman. Bogor.
Milda. Hema. 200 Studi Distribusi Akar Beberapa Pohon Dalam Sistem Agroforestri: Estimasi
Peran Akar Sebagai Jaring Penyelamat Hara.Thesis. Universitas Brawijaya. Tidak
Dipublikasikan. Malang
Novizan. 2002. Petunjuk Pemupukan Yang Efektif. Agormedia Pustaka. Jakarta.
Noviardi, R.; A. Subardja; & N. Sumawijaya. 2009. Evaluasi Kesuburan Tanah Pada Lahan
Revegetasi Pasca Penambangan Batu Gamping: Kasus di Pulau Nusakambangan,
Kabupaten Cilacap. Jawa Tengah. Prosiding Pemaparan Hasil Penelitian Puslit
Geoteknologi. Lipi. Bandung.
Soekotjo. 2004. Status Riset Konservasi KSDG Indigenous species Indonesia. Workshop
Nasional Konservasi, Pemanfaatan dan Pengelolaan Sumberdaya Getik Tanaman
Hutan. Pusat Litbang Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan dan JICA.
Yogyakarta.

618
ILMU KEHUTANAN

PERTUMBUHAN DIAMETER DAN TINGGI


Dryobalanops lanceolata DENGAN TEKNIK SILIN PADA PLOT TPTJ
PT. BFI, KALIMANTAN TIMUR

Karmilasanti dan Andrian Fernandes


Balai Besar Penelitian Dipterokarpa, Samarinda, Kaltim1
karmilasanti@gmail.com

ABSTRAK

Dari segi pertumbuhan jenis Shorea leprosula adalah jenis yang cepat tumbuh (fast
growing species) tetapi memiliki kecenderungan berat jenis yang lebih rendah dan rentan
terhadap serangan organism perusak kayu. Walaupun target spesies untuk kegiatan SILIN
adalah Shorea leprosula namun ada salah satu spesies yang memiliki sifat dan kualitas kayu
yang lebih baik yaitu Dryobalanops lanceolata, meskipun dari segi pertumbuhannya belum
diketahui lebih jauh. Oleh karena itu dilakukan penelitian untuk mengetahui pertumbuhan
diameter dan tinggi dari jenis Dryobalanops lanceolata. Penelitian dilakukan di PT. BFI,
Kalimantan Timur dari tahun 2006 sampai dengan tahun 2010. Metode yang digunakan
adalah pengukuran diameter dan tinggi tanaman setiap tahun selama 5 (lima) tahun. Data
dianalisis dengan SPSS 16 untuk mengetahui kurva pertumbuhannya. Hasil penelitian
menunjukan bahwa pertumbuhan diameter mengikuti kurva linear y = 0,947x 0,611,
dengan r = 0,687, taraf kepercayaan sangat signifikan. Sedang pertumbuhan tinggi
mengikuti kurva linear y = 106,881x 77,166, dengan r = 0,617 taraf kepercayaan sangat
signifikan. Sehingga diperoleh hubungan antara diameter dan tinggi mengikuti kurva linear y
= 107,404x + 10,345, dengan r = 0,814 taraf kepercayaan sangat signifikan.

Kata kunci : pertumbuhan, diameter, tinggi, kurva linear, Dryobalanops lanceolata

PENDAHULUAN

Silvikultur Intensif (SILIN) bukan merupakan regim atau sistem silvikultur tetapi
merupakan teknik silvikultur, SILIN muncul di dorong oleh dua kondisi yang sangat
bertentangan yaitu : (1) kecenderungan kerusakan hutan alam yang terus berlangsung, dan
(2) kebutuhan produk hasil hutan untuk mendukung kehidupan umat manusia terus
bertambah. Silvikultur intensif adalah teknik silvikultur yang memadukan tiga elemen utama
silvikultur yaitu (1) spesies target yang telah dimuliakan; pada awalnya spesies target saja
karena pemuliaan memerlukan waktu (2) manipulasi lingkungan; pada awalnya masih
terbatas perlakuan dasar tetapi perlu terus diupayakan optimalisasi tindakan silvikultur
sehingga hasilnya bisa optimal dan (3) pengendalian hama terpadu (Soekotjo, 2009).
Salah satu sistem silvikultur yang dapat mewadahi SILIN adalah tebang pilih dengan
tanaman pengkayaan berupa jalur tanam atau dikenal dengan TPTJ. Berdasarkan Peraturan
Menteri Kehutanan No. P.11/Menhut-II/2009, dinyatakan bahwa pemanenan tebang pilih
adalah tebangan berdasarkan limit diameter tertentu pada jenis-jenis niagawi dengan tetap
memperhatikan keanekaragaman hayati setempat. Penanaman dalam jalur adalah kegiatan
menanam dalam rangka pemanfaatan ruang tumbuh dengan jenis-jenis tanaman unggulan
setempat. Jalur antara adalah jalur tegakan tinggal yang dibina dan dimanfaatkan untuk
meningkatkan produktivitas dan mempertahankan keanekaragaman hayati. Tujuan TPTJ
adalah meningkatkan produktivitas hutan alam tegakan tidak seumur melalui tebang pilih
dan memanfaatkan ruang tumbuh dalam jalur untuk meningkatkan riap dalam rangka
memperoleh panenan yang lestari. Sasaran TPTJ adalah pada hutan alam produksi bekas
tebangan di areal IUPHHK atau KPHP.Enam prinsip yang harus dipenuhi dalam sistem
silvikultur TPTJ adalah a). Sistem silvikultur untuk tegakan tidak seumur. b). Teknik
pemanenan dengan tebang pilih, c). Meningkatkan riap, d). mempertahankan

619
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

keanekaragaman hayati, e). menciptakan ruang tumbuh optimal bagi tanaman dan f).
Penanaman jenis unggulan lokal dalam jalur. Terdapat sebelas tahapan dalam TPTJ,
meliputi a). Penataan Areal Kerja (PAK), b). Inventarisasi Hutan, c). Pembukaan Wilayah
Hutan (PWH), d). Pengadaan Bibit, e). Tebang Naungan, f). Penyiapan dan Pembuatan
Jalur Tanam, g). Penanaman dan Pemeliharaan Tanaman Jalur, h). Pembebasan dan
Penjarangan, i). Pemanenan dan j). Perlindungan dan Pengamanan Hutan.
Dengan demikian TPTJ adalah sistem silvikultur hutan alam yang mengharuskan
adanya tanam pengkayaan pada areal pasca penebangan secara jalur. Jalur dibuat dalam
rangka manipulasi lingkungan untuk menyediakan ruang untuk dilakukan pengkayaan.
Jarak antar jalur adalah 20 meter dan jarak tanam dalam jalur adalah 5 meter, jadi per
hektarnya ditanam sebanyak 100 tanaman. Tanaman tersebut adalah jenis unggulan
setempat yang berasal dari biji, atau cabutan, atau stek, atau kultur jaringan. Jalur dibuat
terbuka selebar 3 meter yang bertujuan untuk memberi ruang bagi tanaman dalam
mendapatkan cahaya untuk pertumbuhannya. Sementara itu, pada ruang di antara jalur (17
meter) disediakan dalam rangka mempersiapkan pohon binaan yang diproduksi pada
berikutnya. Tujuan lain ada jalur antara adalah untuk mempertahankan keanekaragaman
hayati.
Menurut Soekotjo (2009), menyatakan bahwa tujuan khusus program SILIN adalah
lebih menekankan pada kemampuan IUPHHK membangun hutan tanaman operasional
berskala komersial beserta tanaman pendukungnya yang mampu meningkatkan
produktivitas dan kualitas produk dari rotasi ke rotasi berikutnya secara dinamis. Tujuan
khusus ini mengandung pemahaman bahwa bibit yang ditanam harus berasal dari spesies
target, spesies prioritas yang riapnya tinggi, harga sangat baik dan dibutuhkan dalam jumlah
yang besar oleh pasar. Untuk Kalimantan, produk kayunya untuk memenuhi kebutuhan
bahan baku industri plywood, sehingga spesies target pada awalnya disarankan : Shorea
parvifolia, S. leprosula, S. johorensis, S. Smithiana dan Dryobalanops lanceolata. Di
beberapa lokasi misalnya di tempat yang sering tergenang air adalah : Shorea macrophylla,
Pada areal yang memiliki ketinggian di atas 800 m dpl, disarankan spesies target Shorea
platyclados.
Jenis Shorea leprosula yang prioritas digunakan untuk penanaman di plot TPTJ
dengan teknik silvikultur intensif (SILIN) menghasilkan kayu yang rentan terhadap serangan
hama perusak kayu karena tingkat keawetannya rendah yaitu termasuk dalam kelas kuat III-
IV dan memiliki berat jenis 0,52 (0,30 0,86), sehingga jenis ini tergolong dalam kelas awet
terhadap rayap kayu kering Cryptotermes cynocephalus Light kelas III (Martawijaya, 1981).
Sedang jenis dipterokarpa alternatif adalah Dryobalanops lanceolata yang kayunya
memiliki zat ekstraktif sehingga lebih tahan terhadap serangan organisme perusak kayu,
termasuk dalam kelas kuat II-I dan memiliki berat jenis 0,74 (0,61 1,01), sehingga jenis ini
tergolong kelas awet terhadap rayap kayu kering Cryptotermes cynocephalus Light termasuk
kelas II (Martawijaya, 1981).Philips, dkk (2002) menyatakan bahwa Dryobalanops
lanceolata merupakan jenis pohon besar yang toleran terhadap naungan dan memiliki sifat
cepat tumbuh.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas maka dilakukan penelitian terhadap
tanaman di plot TPTJ PT. BFI dengan salah satu jenis yang ditanam adalah Dryobalanops
lanceolata, karena PT. BFI adalah IUPHHK yang konsentrasi menghasilkan jenis kayu
pertukangan yang berkualitas.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui produktifitas pertumbuhan Dryobalanops
lanceolata dan siklus tebangnya jika menggunakan sistem TPTJ dengan teknik SILIN.

620
ILMU KEHUTANAN

BAHAN DAN METODE PENELITIAN

Lokasi
Areal IUPHHK PT. BFI secara geografis terletak antara 11601 - 11645 Bujur
Timur (BT) dan antara 0042 - 0118 Lintang Selatan (LS). Berdasarkan klasifikasi iklim
Schmidt dan Fergusson (1952) dari stasiun pengamat Sepinggan (30 m dpl), areal kerja PT.
Balikpapan Forest Industries (BFI) termasuk ke dalam tipe iklim A, sangat basah tanpa bulan
kering. Rerata curah hujan tahunannya adalah 2.709 mm, dengan curah hujan tertinggi
terjadi pada bulan Juni.
Berdasarkan hasil pengamatan Stasiun Metereologi Sepinggan, areal IUPHHK
PT.BFI berada pada ketinggian 30 m dpl, suhu udara rata-rata bulanan berkisar antara 26,4
- 27,0C. Secara umum topografi areal IUPHHK didominasi oleh lereng datar seluas 76.766
ha, landai seluas 33.652 ha, agak curam seluas 36.973 ha, curam seluas 19.838 ha, dan
areal lereng sangat curam seluas 7.371. Pada umumnya jenis tanah yang terdapat di areal
IUPHHK tergolong ke dalam ordo ultisols, sub-ordo Udalts great group Tropudalts sebagian
kecil termasuk ordo Entisol.

Pengumpulan Data
Data yang diambil dari penelitian ini adalah tanaman yang telah ditanam pada tahun
2006 dengan jarak tanam 2,5 x 2,5 m, dari tanaman yang ada tersebut dilakukan
pengukuran diameter dan tingginya secara sensus.

Cara Pengukuran
Pengukuran tinggi total pada semua pohon yang masuk dengan menggunakan
tongkat ukur. Nilai tinggi diperoleh dengan rumus :

H= x tinggi galah

= Skala persen puncak pohon


= Skala persen ujung galah
= Skala persen dasar pohon

Pengukuran diameter setinggi dada dilakukan dengan menggunakan alat ukur


keliling, kemudian dikonversi menjadi diameter dengan cara membaginya dengan phi ( )
yaitu 3,14 (dbh = k/

HASIL DAN PEMBAHASAN

Data hasil pengukuran diameter di lapangan ditunjukkan pada Tabel1.Rata-rata


diameter semai D. lanceolata pada tahun 2006 sebesar 2,4 mm, nilai ini lebih rendah bila
dibandingkan dengan hasil penelitian Nussbaun, dkk (1995) yang menyebutkan bahwa
diameter semai D. lanceolata umur 6 bulan yang ditanam di persemaian pada media tanah
hutan memiliki diameternya 4,1 mm. Namun, nilai rata-rata diameter semai pada tahun 2006
lebih tinggi daripada hasil penelitian Suhardi, dkk (1994) yang menyatakan bahwa rata-rata
pertumbuhan diameter semai D. lanceolata yg umur 10 bulan yg tidak diinokulasi mikoriza
dan ditanam di persemaian tempat terbuka sebesar 0,64 mm.

621
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Tabel 1. Rata-rata Diameter D. lanceolata Selama 5 Tahun

Tahun 2006 2007 2008 2009 2010


Rata-rata diameter (mm) 2,4 10,3 26,2 27,1 34,8

Data yang diperoleh dianalisis menggunakan SPSS 16 for windows untuk


memperoleh kurva estimasi pertumbuhan diameter. Hasil analisis menunnjukkan bahwa
pertumbuhan diameter dalam satuan cm mengikuti kurva linear y = 0,947x -0,611, dengan r2
= 0,687, taraf kepercayaan sangat signifikan. Berdasarkan gradient kurva linear, diperoleh
riap diameter setiap tahun sebesar 0,947 cm. Riap diameter ini lebih rendah bila
dibandingkan dengan hasil penelitian Vincent dan Davies (2003) yang menyatakan bahwa D.
lanceolata yang ditanam dengan lubang tanam 20cm x 30cm, di Sampadi memiliki riap
diameter 3,1 mm/tahun, sedang yang ditanam di Balai Ringin memiliki riap diameter 3,7
mm/tahun.
Berdasarkan Permenhut P.11/Menhut-II/2009 tentang sistem silvikultur areal izin
usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan produksi, dinyatakan bahwa siklus tebang
dan diameter tebang berumur 25 tahun untuk sistem TPTJ pada jalur tanam selebar 3 meter
dilakukan tebang habis, dan pada jalur antara ditebang pohon berdiameter 40 cm. Bila
keadaan pertumbuhan tetap, maka dalam waktu 25 tahun diameter pohon mencapai 23,064
cm. Untuk mencapai diameter 40 cm dibutuhkan waktu sekitar 42,88 tahun atau dibulatkan
menjadi 43 tahun.
Data hasil pengukuran tinggi di lapangan yang ditunjukan pada Tabel 2 berikut ini.

Tabel 2. Rata-rata Tinggi D. lanceolata Selama 5 Tahun

Tahun 2006 2007 2008 2009 2010


Rata-rata tinggi (cm) 30,31 82,4 285,45 385 427

Rata-rata tinggi semai D. lanceolata pada tahun 2006 sebesar 30,31 mm, nilai ini
lebih rendah bila dibandingkan dengan hasil penelitian Nussbaun, dkk (1995) yang
menyebutkan bahwa tinggi semai D. lanceolata umur 6 bulan yang ditanam di persemaian
pada media tanah hutan memiliki tinggi 42,5 cm. Namun, nilai rata-rata tinggi semai pada
tahun 2006 lebih tinggi daripada hasil penelitian Suhardi, dkk (1994) yang menyatakan
bahwa rata-rata pertumbuhan tinggi semai d. lanceolata yg umur 10 bulan yg tidak
diinokulasi mikoriza dan ditanam di rumah kaca sebesar 27,20 cm.
Data yang diperoleh dianalisis menggunakan SPSS 16 for windows untuk
memperoleh kurva estimasi pertumbuhan tinggi. Hasil analisis menunnjukkan bahwa
pertumbuhan tinggi mengikuti kurva linear y = 106,881x 77,166, dengan r2 = 0,617, taraf
kepercayaan sangat signifikan. Berdasarkan gradient kurva linear, diperoleh riap tinggi
setiap tahun sebesar 106,881 cm. Riap tinggi ini lebih besar bila dibandingkan dengan hasil
penelitian Vincent dan Davies (2003) yang menyatakan bahwa D. lanceolata yang ditanam
dengan lubang tanam 20cm x 30cm, di Sampadi riap tinggi 50,5cm/tahun, sedang yang
ditanam di Balai Ringin memiliki riap tinggi 57,9cm/tahun. Bila keadaan pertumbuhan tetap,
maka dalam waktu 25 tahun tinggi pohon mencapai 25,95 m, atau saat pohon mencapai
diameter 40 cm maka tinggi pohon 45,19 m.
Data diameter dan tinggi tanaman dianalisis hubungannya untuk memperoleh kurva
estimasi diameter dan tinggi. Hasil analisis menunjukkan bahwa hubungan antara diameter
dan tinggi mengikuti kurva linear y = 107,404x + 10,345, dengan r2 = 0,814, taraf
kepercayaan sangat signifikan.

622
ILMU KEHUTANAN

KESIMPULAN

1. Pertumbuhan diameter mengikuti kurva linear y = 0,947x 0,611, dengan r = 0,687.


2. Pertumbuhan tinggi mengikuti kurva linear y = 106,881x 77,166, dengan r = 0,617.
3. Hubungan antara diameter dan tinggi mengikuti kurva linear y = 107,404x + 10,345,
dengan r = 0,814.
4. Daur untuk SILIN menggunakan jenis D. lanceolata agar dapat dipergunakan sebagai
kayu pertukangan minimal 43 tahun untuk memperoleh diameter kayu 40 cm.

DAFTAR PUSTAKA

Martawijaya, A., et al., 1981, Atlas Kayu Indonesia, Jilid I.


Nussbaum, R., J Anderson dan T Spencer, 1995, Factors Limiting the Growth of Indigenous
tree seedling Planted on Degraded Rainforest Soils in Sabah, Malaysia, Forest
Ecology and Management, vol. 74, hal. 149-159.
Peraturan Menteri Kehutanan No. P.11/Menhut-II/2009 Tentang Sistem Silvikultur Dalam
Areal Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Produksi. Departemen
Kehutanan. Jakarta.
Phillips, P. D., I. Yasman, T.E. Brash, dan P. R. van Gardingen, 2002, Grouping Tree
Species for Analysis of Forest Data in Kalimantan (Indonesian Borneo), Forest
Ecology and Management, vol. 157, hal 205-216.
Soekotjo, 2009. Teknik Silvikultur Intensif (SILIN). Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta.
Suhardi, M Ogawa, Y Kikichi, 1994, Seedling Growth of Dryobalanops sp Inoculated with
Mycorrhiza at Wanagama I, Bulletin Fak. Kehutanan no. 25, hal. 54-62.
Vincent, A. dan S. J. Davies, 2003, Effects of Nutrient Addition, Mulching and Planting-hole
Size on Early Performance of Dryobalanops aromatica and Shorea parvifolia Planted
in Secondary Forest, Forest Ecology and Management, vol. 180, hal. 261-271.

623
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

PERAN PUPUK DASAR DALAM PENINGKATAN


PERTUMBUHAN AWAL TANAMAN SUNGKAI

Sahwalita, Imam Muslimin dan Joni Muara


Balai Penelitian Kehutanan Palembang
Jln. Kol. H. Burlian KM 6,5 Punti kayu, Palembang
Sumatera Selatan
e-mail : sahwa_lita@yahoo.co.id

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan memperoleh informasi tentang besarnya pengaruh pupuk


dasar terhadap pertumbuhan awal tanaman sungkai di lapangan. Penelitian dilakukan di
KHDTK Kemampo Balai Penelitian Kehutanan Palembang, di Kabupaten Banyuasin,
Provinsi Sumatera Selatan pada bulan Agustus 2010 sampai dengan bulan Juli 2011.
Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok dengan tiga kali
ulangan dan setiap perlakuan terdiri 25 tanaman. Perlakuan yang diuji meliputi 2 jenis pupuk
yaitu SP 36% (dosis: 0; 25; 50; 75; 100; 125 gram/tanaman) dan Pupuk Majemuk Lengkap
Lambat Urai (dosis: 0; 100; 200; 300; 400; 500 gram/tanaman). Parameter yang diamati
adalah persentase hidup, pertumbuhan tinggi dan diameter serta angka pembentuk volume
(t*d). Hasil penelitian menunjukkan bahwa aplikasi pupuk dasar berpengaruh nyata terhadap
semua parameter yang diamati kecuali persentase hidup tanaman. Pupuk dasar terbaik
terhadap pertumbuhan diameter dan angka pembentuk volume (t*d) adalah pupuk SP 36%
dosis 125 gr, sedangkan untuk pertumbuhan tinggi adalah pupuk majemuk lengkap lambat
urai dosis 100 gr/tanaman dengan nilai persentase peningkatan pertumbuhan berturut-turut
sebesar 20,19%; 10,65% dan 14,79% lebih baik bila dibandingkan kontrol.

Kata kunci : Diameter, persentase hidup, pupuk dasar, sungkai, tinggi

PENDAHULUAN

Kebutuhan kayu nasional dari tahun ke tahun terus mengalami defisit. Hal ini
disebabkan tidak seimbang antara supply dan demand. Supply kayu yang mengandalkan
hutan alam terus mangalami penurunan, sedangkan demand kayu terus bertambah seiring
dengan bertambahnya jumlah penduduk yang memerlukan kayu baik untuk konstruksi
maupun bahan baku industri kehutanan. Rendahnya supply kayu dari hutan alam
disebabkan luas hutan yang terus berkurang dan rendahnya standing stock kayu yang ada.
Degradasi hutan sulit dihindari karena perubahan peruntukan lahan untuk berbagai
kepentingan, seperti: lahan perkebunan, pemukiman dan infrastruktur lain. Sedangkan
deforestasi hutan terus terjadi akibat penebangan yang dilakukan tertuju pada kayu
berkualitas tanpa memperhatikan azas kelestarian. Menyikapi hal tersebut perlu adanya
usaha pengembangan hutan tanaman untuk memenuhi kebutuhan kayu dan menjaga hutan
alam yang masih tersisa. Pengembangan hutan tanaman bertujuan untuk meningkatkan
produktifitas hutan dan nilai ekonomi lahan (Badan Litbanghut, 2010).
Upaya yang perlu dilakukan dalam pembangunan hutan tanaman adalah melalui
penerapan praktik silvikultur yang tepat pada setiap jenis tanaman hutan sesuai dengan
kondisi lahannya. Pembangunan hutan tanaman diusahakan mempunyai produktivitas yang
lebih baik dibandingkan hutan alam baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Produktivitas
ini dipengaruhi oleh dua faktor utama yaitu faktor genetik dengan memanfaatkan bibit unggul
dan lingkungan tempat tumbuh. Lingkungan tempat tumbuh meliputi: kesesuaian lahan,
ruang tumbuh, cahaya dan ketersediaan hara. Setiap jenis tanaman memiliki spesifikasi
terhadap kebutuhan dasar untuk pertumbuhannya. Oleh sebab itu diperlukan informasi yang

624
ILMU KEHUTANAN

tepat terhadap kebutuhan tersebut pada setiap jenis tanaman. Salah satu upaya dalam
memenuhi kebutuhan hara tanaman adalah dengan pemupukan, karena rata-rata lahan
yang ada memiliki unsur hara rendah.
Pemupukan merupakan salah satu kegiatan mendukung pertumbuhan tanaman
dengan memberikan input nutrisi yang optimal. Keberhasilan pemupukan ditentukan oleh
banyak faktor antara lain: kondisi tempat tumbuh, dosis, waktu aplikasi dan juga diperlukan
pertimbangan ekonomi. Pemupukan dapat dilakukan pada saat penanaman maupun secara
periodik berdasarkan kebutuhan tanaman. Pemilihan jenis pupuk dan waktu pemberian
disesuaikan dengan kebutuhan tanaman dan jenis pupuk. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui peran pupuk dasar pada tahap awal pertumbuhan tanaman sungkai (Peronema
canescen Jack.) pada jenis tanah Ultisol di KHDTK Kemampo, Kabupaten Banyuasin
Provinsi Sumatera Selatan.

BAHAN DAN METODE

Bahan dan Alat


Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah plot tanaman sungkai di
KHDTK Kemampo Kabupaten Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan, pupuk majemuk
lengkap lambat urai (kandungan hara pada Lampiran 1) dan pupuk SP 36%, kompas,
teodolit, ajir, cangkul, kantong plastik, label plastik, timbangan analitik, kamera digital, spidol,
kaliper digital, mistar ukur, tally sheet dan alat tulis.

Metode Penelitian
Tempat dan Waktu penelitian
Penelitian dilaksanakan di Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK)
Kemampo-Banyuasin yang dikelola oleh Balai Penelitian Kehutanan Palembang, Sumatera
Selatan. KHDTK Kemampo termasuk dalam wilayah kerja Resort Pemangkuan Hutan
Kemampo yang berlokasi di Desa Kayuara Kuning, Kecamatan Banyu Asin III, Kabupaten
Banyuasin, Propinsi Sumatera Selatan. Secara geografis hutan Kemampo terletak antara
104o 18 07104o 22 09 Bujur Timur dan 2o 54 28-2o 56 30 Lintang Selatan. Topografi
tergolong datar sampai bergelombang ringan dengan kemiringan 0%-10%, jenis tanah
tergolong dalam Ultisol (Podsolik Merah Kuning), termasuk tipe iklim B berdasarkan
klasifikasi Schmidt dan Ferguson, dengan rata-rata curah hujan 1.800-2.000 mm per tahun
(Balittaman dan Unsri, 2002). Penelitian dilaksanakan pada Agustus 2010 sampai dengan
bulan Juli 2011.

Prosedur kerja
Penelitian dilakukan sesuai dengan tahapan pada penanaman jenis tanaman
kehutanan, sebagai berikut:
a. Persiapan lahan dilakukan secara manual melalui sistem Persiapan Lahan Tanpa Bakar
(PLTB). Selanjutnya dibuat lorong dengan membersihkan jalur tanam dari sisa tebangan
berupa batang, ranting dan serasah.
b. Pada lorong selanjutnya dilakukan penyemprotan herbisida sehingga saat penanaman
lahan bersih dari rumput.
c. Dilakukan pemasangan ajir sesuai jarak tanaman yaitu blok I: 3x3m, blok II: 3x2m dan
blok III: 4x2 m.
d. Pembuatan lubang tanam dengan ukuran 30x30x30 cm.
e. Pengangkutan bibit dari persemaian dan pengeceran bibit pada setiap lubang tanam.
f. Pemberian pupuk dasar sesuai jenis dan dosis pada setiap lubang tanam dan bibit
langsung ditanam.
g. Penanaman dilakukan dengan melepas polybag untuk mempercepat perkembangan
akar.

625
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK)
dengan tiga kali ulangan dan 25 tanaman setiap perlakuan. Perlakuan yang diaplikasikan
terdapat 12 macam perlakuan yang dikelompokkan menjadi dua jenis pupuk yaitu pupuk
tunggal P 36% dengan dosis 0 (kontrol), 25, 50, 75, 100 dan 125 gram/tanaman; serta pupuk
majemuk lengkap lambat urai dengan dosis 0 (kontrol), 100, 200, 300, 400 dan 500
gram/tanaman, jadi jumlah tanaman yang diujikan 12x25x3 = 900 tanaman. Notasi dari
masing-masing perlakuan pupuk dasar adalah sebagai berikut :

Tabel 1. Kodefikasi perlakuan pupuk dasar tanaman sungkai di KHDTK-Kemampo

No Jenis Pupuk No Jenis Pupuk


1. PMLLU 0 gr/ tanaman 7. Pupuk P 0 gr/ tanaman
2. PMLLU 100 gr/ tanaman 8. Pupuk P 25 gr/ tanaman
3. PMLLU 200 gr/ tanaman 9. Pupuk P 50 gr/ tanaman
4. PMLLU 300 gr/ tanaman 10. Pupuk P 75 gr/ tanaman
5. PMLLU 400 gr/ tanaman 11. Pupuk P 100 gr/ tanaman
6. PMLLU 500 gr/ tanaman 12. Pupuk P 125 gr/ tanaman

Keterangan: PMLLU = Pupuk Majemuk Lengkap Lambat Urai

Parameter yang diamati adalah persentase hidup, pertumbuhan tinggi dan diameter
serta angka pembentuk volume. Analisa data yang dilakukan adalah analisis varian. Jika
hasil analisa varian terhadap parameter yang diamati menunjukkan perbedaan yang nyata
akan dilakukan uji lanjut jarak berganda duncan (DMRT).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pertumbuhan Tanaman
Data hasil pengamatan menunjukkan variasi data yang sangat lebar dengan pola
distribusi yang tidak normal, sehingga data yang ada perlu untuk dilakukan transformasi data
dalam bentuk Log. Hasil analisis varians data hasil pengamatan pertumbuhan tanaman
sungkai umur 7 bulan di KHDTK Kemampo dengan berbagai aplikasi pupuk dasar terdapat
pada Tabel 2, sedangkan hasil analisis uji lanjut dan rerata perlakuan terdapat pada Tabel 3.

Tabel 2. Analisis varians pengaruh pupuk dasar terhadap pertumbuhan tanaman sungkai
umur 7 bulan di KHDTK Kemampo-Sumatera Selatan.

Jumlah kuadrat pada parameter


Log Diameter Log Tinggi Log Dia*Ting Persen hidup
Repilkasi 6,80 ** 5,78 ** 15,61** 1243, 56 **
Pupuk 3,27 ** 3,16 ** 11,60** 431,56
Rep*pupuk 6,49 ** 14,65 ** 39,58**
Error 36,22 25,16 64,69 1113,78
Keterangan : ** Berbeda sangat nyata pada taraf kepercayaan 1%

626
ILMU KEHUTANAN

Tabel 3. Rerata perlakuan aplikasi pupuk dasar pada tanaman sungkai di KHDTK
Kemampo-Sumatera Selatan

Log Diameter Log Tinggi Log Dia*Ting Persen hidup


Rerata Pupuk Rerata Pupuk Rerata Pupuk Rerata Pupuk
1,25 a 12 1,94 a 2 3,22 a 12 94,67 8
1,19 a b 6 1,91 a 5 3,19 a 2 93,33 3
1,18 a b c 2 1,90 a 12 3,17 a 5 92,00 12
1,13 b c d 3 1,85 a b 4 3,01 b 4 89,33 9
1,12 b c d 5 1,80 b c 3 2,99 b 9 89,33 5
1,10 cd 4 1,78 b c d 9 2,96 b 6 89,33 6
1,09 d 8 1,78 b c d 11 2,95 b c 3 88,00 1
1,09 d 11 1,77 b c d e 7 2,91 b c 7 88,00 10
1,07 d 1 1,76 b c d e 8 2,91 b c 11 86,67 2
1,06 d 9 1,75 cde 6 2,86 b c d 8 85,33 4
1,05 d 10 1,69 de 1 2,79 cd 1 84,00 7
1,04 d 7 1,67 de 10 2,74 d 10 82,67 11

Keterangan : - Angka yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan berbeda tidak
nyata pada taraf kepercayaan 5%
- Kodefikasi perlakuan pupuk dasar terdapat pada Tabel 1.

Berdasarkan Tabel 2. diatas secara umum aplikasi pupuk dasar memberikan


pengaruh yang sangat nyata terhadap pertumbuhan tinggi, diameter dan angka pembentuk
volume (tinggi**diameter, kecuali persentase hidup tanaman pada tanaman sungkai umur 7
bulan di lapangan. Pertumbuhan diameter, tinggi dan angka pembentuk volume tanaman
terbaik berturut-turut terdapat pada perlakuan pupuk 12 (Pupuk P 125 gr/tanaman), pupuk 2
(pupuk majemuk lengkap lambat urai 100 gr/tanaman) (Tabel 3.). Peningkatan pertumbuhan
dengan nilai persentase berturut-turut sebesar 20,19%; 14,79% dan 10,65% lebih baik bila
dibandingkan kontrol.
Persentase hidup tanaman di lapangan ditentukan oleh banyak faktor mulai dari
kualitas bibit, lingkungan dan potensi hama dan penyakit. Pertimbangan yang tepat sebelum
penanaman sangat diperlukan untuk memperoleh meningkatkan persentase hidup tanaman.
Pemberian pupuk dasar pada tanaman diperlukan untuk mempercepat tanaman beradaptasi
dengan lingkungan. Pertumbuhan awal tanaman di lapangan memerlukan banyak unsur
hara sehingga memerlukan tambahan berupa pupuk.
Aplikasi pupuk dasar pada tanaman sungkai tidak memberikan pengaruh yang nyata
pada persentase hidup tanaman (Tabel 2), dengan nilai berkisar 82,67-94,67%. Tingginya
persentase hidup disebabkan berbagai faktor yang mendukung seperti lokasi persemaian
yang berada dekat di lokasi penanaman sehingga bibit tidak mengalami stres akibat
pengangkutan. Selain itu kondisi lingkungan yang mendukung karena waktu penanaman
dilakukan pada awal musim penghujan. Serta bibit yang digunakan telah siap tanam di
lapangan tanpa ada potensi serangan hama dan penyakit.
Tingginya persentase hidup dengan menggunakan pupuk dasar menunjukkan bahwa
kemampuan tanaman di lapangan meningkat. Tanaman lebih cepat beradaptasi terhadap
lingkungan dan kebutuhan unsur hara untuk pertumbuhan tersedia mencukupi, sehingga
mampu bertahan hidup difase awal pertumbuhan. Kedua jenis pupuk yang digunakan yaitu
Sp 36% dan pupuk majemuk lengkap lambat urai semua dosis menunjukkan persen hidup
yang tinggi, berarti dosis tersebut masih dalam ambang batas sehingga tidak menyebabkan
kematian atau keracunan. Ketersediaan hara yang berlebihan pada suatu lokasi yang
melebihi kebutuhan optimum tanaman akan menyebabkan terganggunya sistem
metabolisme dan rusaknya sistem enzim, sehingga menghambat proses pengambilan unsur
hara oleh akar sehingga menghambat pertumbuhan tanaman. Penambahan hara yang
berlebihan dapat bersifat racun yang menghambat pertumbuhan tanaman (De La Cruz,
1982). Kerusakan tersebut terjadi melalui proses plasmolisa dan besarnya kerusakan

627
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

tergantung pada setiap spesies tanaman. Hardjowigeno (2005), menyatakan bahwa


kelebihan unsur hara N, P dan K di dalam tanah dapat mengakibatkan berkurangnya
ketersediaan unsur Zn, Fe dan Cu serta mempersulit penyerapan unsur Mn.
Pertumbuhan tinggi selama 7 (tujuh) bulan dengan perlakuan pemberian pupuk dasar
menunjukkan hasil berkisar 56,51-86,79 cm. Hasil ini menunjukkan bahwa pertumbuhan
tinggi dipengaruhi oleh jumlah unsur hara yang diserap tanaman. Pada jenis pupuk majemuk
lengkap lambat urai pemberian dosis 100 gr/tanaman memberikan pertumbuhan optimum
(Tabel 3) karena kandungan unsur Nitrogen (N) pupuk yang mencapai 3% (Lampiran 1).
Sedangkan dosis pupuk lebih tinggi dapat menghambat pertumbuhan tinggi tanaman.
Penambahan unsur Nitrogen (N) untuk mendukung pertumbuhan tinggi tanaman disebabkan
ketersediaannya pada areal penanaman rendah berkisar 0,10,14 % (Tabel 2).
Dibandingkan dengan pupuk dasar Acacia mangium dengan jenis pupuk Sp 36% berkisar
55-75 gr/lubang (Hardiyanto, dkk, 2010), kebutuhan pupuk dasar pada sungkai lebih tinggi.
Unsur Nitrogen (N) untuk diperlukan untuk pertumbuhan tinggi karena unsur tersebut
berperan dalam pembentukan klorofil yang dibutuhkan pada proses fotosintesis yang
mempengaruhi terhadap fotosintat yang dihasilkan. Unsur N yang diserap tanaman dalam
bentuk NO3- dan NH4 +. Laju fotosintesis pada tanaman muda lebih tinggi dibandingkan
tanaman dewasa. Hal ini disebabkan tanaman tersebut memerlukan energi dan makanan
lebih banyak. Hasil fofosintesis berupa fotosintat dikirim ke jaringan-jaringan yang terdekat
dan membutuhkan seperti: bagian pucuk untuk membentuk tunas yang selanjutnya berubah
menjadi daun dan batang (Anonim, 2009a). Selain kebutuhan unsur Nitrogen (N), peran
unsur mikro juga menentukan pertumbuhan tanaman. Penambahan unsur mikro melalui
pupuk majemuk lengkap lambat urai sangat dibutuhkan tanaman, karena di areal
penanaman kandungan unsur mikro termasuk rendah-sangat rendah (Tabel 4).
Pertumbuhan diameter menunjukkan hasil berbeda sangat nyata pada hasil analisis
Tabel 2, hasil tertinggi pada pupuk SP 36% 125 gr/tanaman dengan kandungan P sebesar
40 gr yang tidak berbeda nyata dengan perlakuan pupuk majemuk lengkap lambat urai dosis
100 gr/tanaman dengan kandungan P 5 gr (Tabel 3). Pupuk majemuk lengkap lambat urai
sangat ideal dengan tipikal tanah podsolik merah kuning yang mempunyai nilai KTK rendah,
sehingga unsur hara bisa terserap dengan maksimal dan lebih sedikit yang tercuci. Selain
kandungan pupuk yang lengkap (makro maupun mikro) akan memberikan suplai unsur hara
secara maksimal yang akan mengatasi masalah defisiensi unsur hara yang dapat menjadi
faktor pembatas bagi penyerapan unsur hara lainnya. Selain itu, adanya kandungan bahan
organik dalam pupuk ini mempunyai fungsi yang sangat baik untuk meningkatkan kesuburan
tanah baik secara kimia, fisika maupun biologi tanah melalui perbaikan agregat tanah,
peningkatan nilai pH tanah, KTK dan aktifitas mikroorganisme tanah untuk mendukung
kesuburan tanah (Hardjowigeno, 2005).
Kecenderungan makin meningkat pertumbuhan diameter seiring dengan peningkatan
dosis pupuk. Semakin tinggi dosis pupuk digunakan maka P dan K tersedia semakin besar.
Sementara kandungan kedua unsur tersebut pada areal penanaman termasuk rendah
(Tabel 4). Unsur P diserap oleh tanaman dalam bentuk H2PO4-, HPO4- dan unsur K dalam
bentuk K+. Fungsi unsur P merangsang pertumbuhan akar terutama pada tanaman muda,
mempercepat pertumbuhan tanaman muda menjadi tanaman dewasa dan sebagai
pembentuk protein, sedangkan unsur K membantu pembentukan protein dan karbohidrat,
memperkuat batang dan meningkatkan daya tahan terhadap kekeringan dan penyakit
(Anonim, 2009b). Selain itu, unsur K juga berperan penting dalam aktivitas pembelahan sel
dan perkembangan jaringan meristematik tanaman yang berakibat peningkatan riap batang.
Penambahan unsur P dan K yang diperoleh dari pupuk dasar yang diberikan akan
membantu dalam proses perkembangan diameter batang tanaman. Menurut Hardjowigeno
(2005), unsur hara N, P dan K sangat dibutuhkan tanaman karena memiliki banyak fungsi
antara lain: unsur N untuk memperbaiki pertumbuhan vegetatif tanaman dan pembentukan
protein; unsur P untuk pembentukan sel, perkembangan akar, metabolisme karbohidrat dan
pemeliharaan pengaktifan struktur; unsur K untuk pembentukan pati, enzim, pembukaan
stomata, proses fisiologi tanaman, proses metabolik dalam sel, mempengaruhi penyerapan
unsur lain, perkembangan akar, dan mempertinggi daya tahan terhadap kekeringan.

628
ILMU KEHUTANAN

Kekurangan unsur hara P dapat mengakibatkan pertumbuhan tanaman menjadi kerdil,


lamban pemasakan dan produksi tanaman rendah.
Kebutuhan unsur hara tanaman kehutanan pada dasarnya lebih rendah dibandingkan
tanaman pangan atau perkebunan, karena tanaman kehutanan memiliki pertumbuhan
lambat. Untuk pertimbangan ekonomi pemupukan tanaman kehutanan biasanya dilakukan
pada awal pertumbuhan agar tanaman cepat beradaptasi dengan kondisi lingkungan.
Selanjutnya tanaman dapat tumbuh dengan kondisi lingkungan yang tersedia di sekitar
tanaman dengan memanfaatkan persediaan unsur hara pada tanah. Tempat tumbuh dapat
dimodifikasi melalui perlakuan yang bisa meningkatkan produktifitas dengan memodifikasi
yang baik untuk setiap faktor biologis atau fisik. Cara yang paling umum untuk meningkatkan
produktifitas adalah melalui pemupukan, yang meningkatkan modal hara tempat tumbuh
dengan menambahkan sumber hara yang langsung tersedia.
Aplikasi pupuk tunggal P mempunyai kontribusi yang signifikan terhadap
pertumbuhan tanaman pada aplikasi pupuk yang terbesar (125 gr/ tanaman) dengan kadar P
sebesar 40 gr. Aplikasi pupuk P dengan dosis yang lebih kecil mempunyai tingkatan hasil
yang lebih rendah dibandingkan dengan pupuk yang lainnya. Kondisi semacam ini
dimungkinkan disebabkan oleh sifat pupuk SP 36% yang mudah larut dalam air (Petrokimia
Gresik, 2002), dilain pihak kandungan KTK tanah yang rendah menyebabkan unsur P hanya
sedikit yang bisa terserap dan sebagian besar tercuci/ terlindi (Madjid, 2009). Kondisi ini
diperburuk dengan adanya fiksasi P oleh Al yang bisa menyebabkan racun bagi tanaman.
Respon pertumbuhan tanaman sungkai terlihat dengan penambahan dosis pupuk tunggal P
yang tinggi, sehingga penyerapan unsur P untuk pertumbuhan tanaman yang lebih besar
pula. Pada dosis pupuk tunggal P yang lebih kecil yang dimungkinkan banyak terbuang
akibat terjadinya pencucian.

Kesuburan Tanah
Hasil analisis sifat fisik tanah disajikan pada Tabel 4. Hasil analisis tekstur tanah di
areal penelitian menunjukkan tanah termasuk lempung liat berpasir. Persentase tekstur pasir
43,11- 49,46% berarti di areal ini kandungan butir pasir lebih tinggi dibandingkan butir-butir
tanah lain. Butir-butir yang paling kecil adalah butir liat kemudian diikuti oleh yang lebih kasar
yaitu butir debu dan pasir. Tekstur tanah yang baik adalah komposisi antara ketiganya
seimbang, dengan demikian tekstru tanah di areal penanaman termasuk kasar. Semakin
kasar tekstur tanah semakin lemah menyerap (menahan) air dan unsur hara. Tanah yang
demikian perlu dilakukan penambahan unsur hara secara periodik sehingga kebutuhan
tanaman selalu terpenuhi.

629
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Tabel 4. Hasil analisis tanah di areal penanaman

Nilai pada kedalaman tanah


0-20 cm Ket. 20-40 cm Ket.
1. pH H2O 4,07 SM 4,16 SM
2. pH KCl 3,71 SM 3,74 SM
3. C-Organik (C-Organic), % 1,83 R 0,99 SR
4. N-Total, % 0,14 R 0,10 R
5. P-Bray, ppm 4,95 SR 15,45 R
6. K, me/100 g 0,30 S 0,24 R
7. Na, me/100 g 0,22 R 0,33 R
8. Ca, me/100 g 0,58 SR 0,43 SR
9. Mg, me/100 g 0,13 SR 0,06 SR
10. KTK (CEC), me/100 g 15,23 R 14,88 R
Al-dd (Al-exchangable), 1,64 1,32
11.
me/100 g
H-dd (H-exchangable), 0,36 0,56
12.
me/100 g
Lempung Lempung
13. Tekstur (Texture): liat
berpasir
- Pasir (Sand), % 49,46 43,11
- Debu (Silt), % 32,98 28,94
- Liat (Clay), % 17,56 27,95

Catatan: Dianalisis oleh Laboratorium Tanah Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya:


SM=Sangat Masam, SR=Sangat Rendah, R=Rendah, S=Sedang
(Hardjowigeno, 2005)

Hasil analisis sifat kimia tanah disajikan pada Tabel 4. Penilaian sifat kimia tanah
berdasarkan kriteria penelitian Pusat Penelitian Tanah, 1983 dalam Hardjowigeno, 2005.
Nilai pH termasuk sangat masam (pH 4,07-4,16), pada kondisi ini tanah lambat
menghancurkan bahan organik. Demikian pula ketersediaan unsur hara makro termasuk
rendah, sedangkan unsur hara mikro termasuk rendah-sangat rendah. Unsur hara tersebut
sangat dibutuhkan oleh tanaman untuk pertumbuhan oleh karena itu diperlukan
penambahan unsur hara melalui pemupukan.
Kondisi tanah ultisol (podsolik merah kuning) yang mempunyai karakteristik (Tabel 4),
pH tanah yang rendah, KTK rendah, status unsur hara makro (N, P, Ca, Mg) dan hara mikro
(Zn, Mo, Cu dan B) serta bahan organik yang sangat rendah, mempunyai kandungan Al, Fe
dan atau Mn dalam jumlah tinggi sehingga dapat meracuni tanaman. Toksisitas tanah
bersumber dari Al-dd yang berpengaruh buruk terhadap ketersediaan unsur P. Tingginya
tingkat kejenuhan Al tanah menyebabkan tingginya daya jerap (fiksasi) tanah terhadap unsur
P tanah dan P yang berasal dari Pupuk (Hasanudin dan Ganggo, 2004 dalam Madjid, 2004).

630
ILMU KEHUTANAN

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
Beberapa kesimpulan yang didapatkan dari hasil penelitian ini adalah
1. Aplikasi pupuk dasar memberikan pengaruh sangat nyata pada pertumbuhan diameter,
tinggi, angka pembentuk volume; namun berpengaruh tidak nyata pada persentase hidup
tanaman.
2. Aplikasi pupuk dasar terbaik untuk pertumbuhan diameter dan angka pembentuk volume
adalah pupuk SP 36% dosis 125 gr, sedangkan untuk pertumbuhan tinggi adalah pupuk
majemuk lengkap lambat urai dosis 100 gr dengan nilai persentase berturut-turut sebesar
20,19%; 10,65% dan 14,79% lebih baik bila dibandingkan kontrol.
3. Tanah di lokasi penelitian termasuk jenis tanah Ultisol dengan tekstur lempung liat
berpasir, pH asam dan mempunyai kandungan unsur hara rendah. Oleh karena itu untuk
meningkatkan pertumbuhan tanaman diperlukan pemupuk.

Saran
Secara umum aplikasi pupuk SP 36% dosis 125 gr/ tanaman dan pupuk majemuk
lengkap lambat urai dosis 100 gr/ tanaman mempunyai keunggulan pertumbuhan tanaman
terbaik pada parameter pengamatan tertentu, namun berbeda tidak nyata satu dengan yang
lainnya. Sehingga, dalam aplikasi pupuk dasar di lapangan untuk pertanaman tanaman
sungkai sangat disarankan untuk menggunakan pupuk dasar dengan pupuk majemuk
lengkap lambat urai, dengan pertimbangan mempunyai komposisi unsur hara yang lengkap
dan terurai secara lambat sehingga unsur hara tidak banyak yang terlindi/ tercuci.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2009a. Fotosintesis. Website: wikipedia. Diakses pada tanggal 20 Maret 2009.
Anonim. 2009b. Khasiat Unsur Hara Bagi Tanaman. Website: http://pusri.wordpress.com.
Diakses tanggal 20 Maret 2009.
Badan Penelitian Dan Pengembangan Kehutanan. 2010. Rencana Penelitian Integratif 2010-
2014. Badan Penelitian Dan pengembangan Kehutanan. Kementerian Kehutanan.
Maret 2010. Jakarta
Balai Litbang Hutan Tanaman dan Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya. 2002. Design
Engineering Wanariset Kemampo. Palembang. Tidak dipublikasikan.
De La Cruz, R. E. 1982. Tree Nutrition and Fertilization. Lectura Presented during Training
Course in Biological Aspect of Silvicultura. Biotrop. Bogor.
Hardiyanto, E.B., Djoko S., Agus, W., Slamet, U. Dan Makruf N. 2010. Panduan Budidaya
Pohon Acacia mangium. Kerjasama Universitas Gadjah Mada, Musi Hutan Persada,
CSIRO, Badan Litbang Kehutanan dan Universitas Sriwijaya. Maret 2010.
Hardjowigeno, S. 2005. Ilmu Tanah. Edisi Revisi. Penerbit Akademika Pressindo.
Jakarta.
Madjid, A. R. 2009. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Bahan Ajar Online untuk mata kuliah: (1)
Dasar-Dasar Ilmu Tanah, (2) Kesuburan Tanah, dan (3) Pengelolaan Kesuburan
Tanah Lanjut. Fakultas Pertanian Unsri & Program Pascasarjana Unsri.
Petrokimia Gresik. 2002. Pupuk SP 36 (SNI 02-3769-2005). http://www.petrokimia-
gresik.com. Diakses tanggal 20 September 2011.

631
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Lampiran 1. Komposisi unsur pupuk majemuk lengkap lambat urai

No Unsur Hara Komposisi


1 Nitrogen (N) 3%
2 Phosphorus (P2O5) 5%
3 Potassium (K2O) 3%
4 Calcium (Ca) 6,81 %
5 Mg 0,88 %
6 S 0,95 %
7 Na 0,48 %
8 Fe 0,82 %
9 Zn 0,15 %
10 Mn 0,10 %
11 B 0,11 %
12 Cu 94,94 ppm
13 Mo 15,03 ppm
14 Se 0,21 ppm
15 C- Organik 16 %
16 C/N 10
17 PH 8
18 KA 8%
19 pH 7.7 - 8
20 KTK 75,65 me/ 100 g

632
ILMU KEHUTANAN

PERTUMBUHAN AWAL TANAMAN Shorea balangeran BURCH


PADA UMUR 1 TAHUN DI SEMOI, KABUPATEN PANAJAM PASER
UTARA, KALIMANTAN TIMUR

Abdurachman1 dan Sri Purwaningsih2


Balai Besar Penelitian Dipterokarpa Samarinda1
Jl. A.W Syahranie No.68 Sempaja - Samarinda Kaltim. Abdurachman1@yahoo.co.id
Balai Penelitian Teknologi Agroforestry Ciamis2
Jl Raya Ciamis Banjar KM 4 Ciamis, Jabar. sripurwamei@yahoo.co.id

ABSTRAK

Pemenuhan kebutuhan kayu bulat nasional dari hutan alam semakin mengalami
penurunan. Hutan tanaman merupakan salah satu sumber lain yang menjadi alternatif
pemenuhan kebutuhan kayu bulat tersebut.Shorea balangeran Burch merupakan salah satu
jenis alternatif yang dapat dipilih untuk pembangunan hutan tanaman Dipterokarpa.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat keberhasilan dan pertumbuhan awal
penanaman. Penanaman dilaksanakan di Semoi, Kab. Penajam Paser Utara, Kalimantan
Timur terdiri atas 321 tanaman dengan menggunakan jarak tanam 10 x 2,5 m. Hasil
pengamatan awal selama setahun menunjukan bahwa persentasi hidup tanaman mencapai
89,10%. Adapun pertumbuhan rata rata diameter sebesar 0,48 cm/thn, sedangkan
pertumbuhan tinggi rata rata mencapai 67,39 cm/th. Pola sebaran diameter berbentuk
kurva normal seperti pada umumnya hutan tanaman.

Kata kunci: Shorea balangeran, pertumbuhan, Semoi

PENDAHULUAN

Industri perkayuan di Indonesia saat ini mengalami kekurangan bahan baku cukup
tinggi terutama kayu bulat. Kebutuhan bahan baku berupa kayu diperkirakan sekitar 63,5 juta
m3 pertahun, tetapi rata rata poduksi kayu bulat hutan alam hanya sebesar 10 juta m3
pertahun. Ini berarti hutan alam Indonesia hanya mampu memasok sekitar 16 % dari
keseluruhan bahan baku kayu yang diperlukan (Supriadi, 2006). Untuk mengurangi
kesenjangan ini, maka produksi kayu perlu ditingkatkan yang antara lain dengan
peningkatan produktivitas kayu dari Hutan Tanaman Industri (HTI).
Meranti, keruing, dan tengkawang adalah jenis kayu komersil yang merupakan
komoditas unggulan Dipterokarpa di hutan hujan tropis Kalimantan Timur. Pembangunan
hutan tanaman dengan menggunakan jenis jenis ini terus digalakkan. Shorea balangeran
merupakan salah satu jenis alternatif yang dapat dipilih untuk mendukung pembangunan
hutan tanaman tersebut. Jenis ini dipilih karena termasuk kayu yang mempunyai kontribusi
penting pada kebutuhan domestik (Soerianegara dan Lemmens, 2004).Secara alami, jenis
ini hidup pda daerah rawa gambut, juga mampu tumbuh baik pada lahan daratan kering
(Suyana dan Abdurahman, 2009). Kayunya memiliki kelas awet II dan kelas kuat II,
biasanya digunakan sebagai bahan bangunan dan jembatan. Jenis ini termasuk dalam
kategori critically endangered species (Ashton, 1998) sehingga penanamannya berfungsi
pula sebagai salah satu bentuk menjaga kelestariannya.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui informasi awal mengenai pertumbuhan dan
keberhasilan dari penanaman S. Balangeran Burch. Hasilnya diharapkan dapat menjadi
bahan pertimbangan untuk pembangunaan hutan tanaman jenis Dipterocarpaceae.

633
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

METODE PENELITIAN

Penelitian dilaksanakan di Semoi, Kab. Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur.


Semoi merupakan bagian dari Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Samboja,
Kalimantan Timur yang terletak antara 40 140 m dpl. Jenistanah di kawasan iniadalah
Podsolik Merah Kuning (PMK) dan terletak di daerah lipatan dengan bentuk wilayah
bergelombang sampai berbukit. Tanah bagian atas mempunyai struktur rendah dengan
konsistensi gembur sedangkan bagian bawah mempunyai struktur rendah sampai gempal
dengan konsistensi gembur sampai teguh. Tekstur tanah lempung berdebu dengan laju
perkolasi agak lambat. Berdasarkan klasifikasi Schmidt dan Ferguson, daerah ini termasuk
kedalam tipe curah hujan A. Suhu udara maksimum pada siang hari 32,77oC dan minimum
29, 10oC, suhu udara maksimum pada malam hari 24,26oC dan minimum 23,26oC.
Kelembaban udara relatif rata-rata berkisar antara 63-89%. Rata-rata curah hujan tahunan
berkisar 1.682 2.314 mm dengan jumlah hari hujan 72 154 hari.
Penanaman menggunakan jarak tanam 10 x 2,5 m dengan jumlah tanaman 321 bibit.
Bibit yang digunakan berasal dari cabutan alam di Kalimantan Timur. Bibit dipelihara di
persemaian selama 8 bulan dengan menggunakan media sekam dan tanah ( 1 :
1).Pengamatan dilakukan selama setahun. Variabel yang diamati adalah daya hidup, tinggi
dan diameter tanaman tanaman. Daya hidup adalah persentase dari tanaman hidup
dibandingkan dengan tanaman awalnya. Tinggi yang diukur adalah tinggi total tanaman,
sedangkan diameter diukur pada posisi 10 cm diatas permukaan tanah. Tempat pengukuran
diberi tanda supaya batas pengukuran konsisten. Data hasil pengukuran tinggi dan diameter
dianalisis secara statistik untuk mendapatkan pertumbuhan tahunan dan prediksi
sebarannya.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Persentase Hidup Tanaman


Pengamatan terhadap persentase hidup tanaman menunjukan gambaran tingkat
keberhasilan dari daya hidup penanaman. Persentase hidup merupakan perbandingan
antara tanaman yang mampu bertahan dengan jumlah tanaman pada waktu penanaman
dikalikan dengan 100%. Hasil pengamatan menunjukan bahwa S. BalangeranBurch pada
umur 1 tahun, daya hidup tanaman mencapai 89,10%. Berdasarkan hasil perhitungan
persentase hidup yang mencapai > 80%, maka penanaman S. balangeran Burch termasuk
dalam kategori berhasil (Lampiran PP Menhut No.20, 2009).
Persentase hidup tanaman dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya yaitu lokasi
penanaman (tanah), cuaca, kondisi bibit, tata air atau erosi permukaan, hama dan penyakit,
kompetisi dengan gulma (Evans, 1982).

Sebaran Diameter
Pendugaan sebaran diameter dilakukan dengan menyusun tabel distribusi diameter
dari hasil pengukuran lapang (Tabel 1). Data diameter diklasifikasikan ke dalam kelas kelas
diameter dengan interval 0,25 cm sehingga menjadi 8 kelas diameter. Sebaran/ distribusi
diameter merupakan pendugaan dari struktur tegakan dalam kondisi yang lebih besar
(Loetsch et.al, 1973).

634
ILMU KEHUTANAN

Tabel 1. Sebaran Diameter Shorea balangeranBurch di Semoi, Kab. Penajam Paser


Utarapada umur 1 tahun

Kelas Diameter Jumlah pohon


0 0,25 5
0,26 0,50 25
0,51 0,75 54
0,76 1,00 101
1,10 1,25 67
1,26 1,50 26
1,51 1,75 7
1,76 2,00 1
Jumlah 286

Dari Tabel 1 tersebut terlihat bahwa jumlah pohon terbanyak berada pada kelas
diameter pertengahan atau di antara diameter yang terbesar dan terkecil. Walaupun ditinjau
dari segi umur bahwa tanaman ini masih muda sehingga belum menunjukkan kondisi pada
hutan tanaman yang sebenarnya, akan tetapi model sebaran ini sudah menyerupai sebaran
normal, yang merupakan suatu kondisi yang biasa terjadi berada pada hutan tanaman.
Bentuk sebaran dari tanaman tersebut dapat dilihat pada Gambar 1.Pada Gambar 1
tersebut terlihat bahwa kurva sebaran diameter hampir menyerupai bentuk lonceng yang
berarti menyebar secara normal. Bentuk kurva ini merupakan ciri dari hutan tanaman, seperti
terjadi pada tegakan hutan tanaman meranti di Semoi (Suyana dan Abdurachman, 2008), di
KHDTK Sebulu (Suyana dan Abdurachman, 2006), dan tanaman Acacia mangium di PT
ITCI Kenangan (Rizal, 1987). Perlakuan penjarangan di hutan tanaman adalah suatu usaha
untuk memperoleh hasil atau volume yang besar sehingga dalam proses yang lebih jauh
diperlukan suatu upaya untuk menggeser bentuk kurva ini pada area disekitar titik puncak
ke arah sebelah kanan pada sumbu X sehingga hasil produksi yang diperoleh menjadi
besar.

Gambar 1 Kurva sebaran diameter tanaman Shorea balangeran

635
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Pertumbuhan Tanaman
Pengukuran setahun setelah penanaman menunjukan bahwa tanaman S.
balangeranBurch mencapai diameter 1,87 cm dengan diameter rata rata 0,90 cm.
Sedangkan tinggi tanaman mencapai 2,73 m dengan tinggi rata rata 1,27 m. Selengkapnya
data tersaji pada Tabel 2.

Tabel 2. Statistik diameter dan tinggi pada tanaman S. balangeran umur 1 tahun di Semoi,
Kab. Penajam Pasir Utara, Kaltim.

Peubah Rataan Nilai Max. Nilai Min. Stand.Dev. Varian


Diameter (cm) 0,90 1,87 0,12 0,31 0,10
Tinggi (m) 1,27 2,73 0,15 0,50 0,25

Gambar 2. Model regresi hubungan diameter dan tinggi pada Shorea balangeran Burch
pada umur setahun di Semoi, Kalimantan Timur

Gambar 2 menunjukan bahwa hubungan antara diameter dan tinggi membentuk


kurva linier dengan persamaan y = 117,12 x + 21,394, dimana y adalah tinggi tanaman dan x
adalah diameter tanaman. Variabel diameter dan tinggi mempunyai hubungan yang erat, hal
ini ditunjukan oleh nilai koefisian Determinasi (R2) > 0,5.
Pengamatan pertumbuhan tanaman akan memudahkan dalam menghitung riap
tanaman pertahun (Mean Annual Increment/MAI). Adapun data riap diameter dan tinggi pada
tanaman S.balangeranBurch ini tersaji pada tabel 3.

Tabel 3. Riap diameter dan tinggi tanaman S. balangeran Burch pada umur setahun di
Semoi, Kab. Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur.

Peubah Rataan Nilai Max. Nilai Min. Stand.Dev. Varian


Diameter (cm/th) 0,48 1,22 0,02 0,23 0,05
Tinggi (m/th) 0,67 2,23 0,02 0,38 0,15

Tabel 3 menunjukan bahwa riap diameter mencapai 0,48 cm/th. Nilai ini lebih rendah
dibandingkan dengan pertumbuhan S. Balangerandi Samboja Lestari yang mancapai 2,75
cm/th dan 3,15 cm/th (Yassir et al, 2003). Pada umur setahun tanaman masih melakukan
proses adaptasi terhadap media tumbuhnya, sehingga konsentrasi terhadap pertumbuhan

636
ILMU KEHUTANAN

masih belum terlihat. Hal ini didukung pula dengan tahap awal penanaman yang tanpa
menggunakan media tambahan lainnya, sehingga tidak ada katalis untuk proses percepatan
pertumbuhan.

KESIMPULAN

Hasil pengamatan ini merupakan pengamatan awal dari pertumbuhan S. balangeran.


Pengamatan ini masih harus ditindak lanjuti secara periodik. Melihat persentasi hidup yang
cukup baik, maka secara teknis penanaman S. balangeran relatif mudah. Dalam hal ini
belum ada hambatan baik hama penyakit maupun teknis penanaman.Jadi, S. balangeran
dapat dijadikan salah satu alternatif dalam pemilihan jenis untuk pebangunan HTI
Dipterokarpa.

DAFTAR PUSTAKA

Ashton, P. 1998. Shorea balangeran in IUCN 2011. IUCN Redlist of Threatened in species
version 2011. www.iucnredlist.org diakses pada tanggal 10 Juli 2011
Evans, J. 1982. Plantatioan Forestry In the Tropics. Clarendon Press- Oxford, New York.
Loetch, F. Zohrer, F. and Haller, K.E., 1973. Forest InventoryVol II. Forest Inventory
Section. Federal Research Organization Far Forest and Forest Products, Reinbeck.
BLV.VerlagsgeselllSchaftMunchen Bern Wien.
P.20/Menhut-II/2009. Panduan Penanaman Satu Orang Satu Pohon (One Man One Tree).
Lampiran.
Rizal. A. 1987. Studi tentang pengaruh penjarangan terhadap pertumbuhan tegakan Aacia
mangium Willd. Pada periode 1983-1987. Skripsi Fakultas Kehutanan Unmul.
Samarinda.
Soerianegara, I. and Lemmens, R.H.M.J. (Eds.). (1994) Timber trees: Major ommercial
timbers. Plant resources of South-East Asia No. 5 (1). Prosea, Bogor, Indonesia.
Supriadi, A. 2006. Potensi, kegunaan dan nilai tambah kayu dari hutan rakyat di Kabupaten
Bogor. Prosiding Sminar Litbang Hasil Hutan.
Suyana, A dan Abdurachman, 2006. Kondisi tegakan Shorea leprosula Miq. umur 13 tahun
pada berbagai jarak tanam di KHDTK Sebulu, Kabupaten Kutai Kartanegara,
Kalimantan Timur. Prosiding Seminar Bersama Hasil-hasil Penelitian. Balai Litbang
Kehutanan Kalimantan, Balitbang Hutan Tanaman, Loka Litbang Satwa Primata.
Samarinda.
Yassir, Suwaji & RM Omon. 2003. Prospek pengembangan meranti rawa (Shorea
balangeran Korth) pada lahan alang alang (Imperata cylindrica) dengan sistem
agroforestry di areal rehabilitasi Samboja Lestari. hhtp://digilib.litbang.deptan.go.id
diakses pada tanggal 26 September 2011

637
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

KAJIAN KELOLA KAWASAN SUMBER BAHAN BAHAN BAKU


INDUSTRI KECIL ANYAMAN BAMBU DI MOYUDAN SLEMAN
Retno Widiastuti1, San Afri Awang2,
T.A. Prayitno2 dan Sofyan P. Warsito2
1
Peneliti pada Balai Besar Kerajinan dan Batik Yogyakarta; kandidat Doktor pada Program
Studi Ilmu Kehutanan UGM
Balai Besar Industri Kerajinan dan Batik Jl. Kusumanegara 7 Yogyakarta
Telp 0816686965 .e-mail : retnowidiastuti@yahoo.com
2
Staf Pengajar fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

ABSTRAK

IKM anyaman bambu adalah salah satu sub sektor IKM kerajinan yang mampu
menggerakkan ekonomi dan menjadi ikon Kabupaten Sleman. Teknologi yang digunakan
masih sangat sederhana, namun produk yang dihasilkan sangat unik dan diminati tidak
hanya di pasaran lokal saja,namun sudah merambah ke pasar manca Negara seperti Eropa,
Australia, Malaysia, Jepang.
Sub Sektor industri kecil dan menengah adalah pilihan yang paling mungkin
dilakukan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan menampung ledakan permintaan jumlah
tenaga kerja yang semakin meningkat. IKM anyaman bambu yang semula mampu
mendapatkan bahan baku dari sekitar rumah dan desa setempat, saat ini harus dipenuhi dari
wilayah kabupaten bahkan propinsi lain. Kualitas bahan juga semakin turun karena
penebangan bambu tidak lagi memperhatikan tatanan musim.Untuk menebangnya ia hanya
berpedoman pada perkiraan umur bambu. Akibatnya bambu sering dimangsa hama bubuk.
Permasalahan tanaman bambu saat ini adalah keterbatasan lahan tumbuh,
penolakan sebagian masyarakat atas keberadaan bambu, tiadanya usaha penanaman
kembali maupun pemeliharaan, dan belum adanya kebijakan antar daerah pendukung
industri.Sebagai upaya untuk menjaga kelangsungan usaha IKM anyaman bambu ini adalah
dengan melakukan budidaya tanaman bambu secara agroforestry; pemeliharaan dan
mengembalikan status bambu sebagai the tree of life, serta diwujudkannya kebijakan antar
daerah pendukung indutri. Kajian ini menggambarkan strategi kelola kawasan pada IKM
anyaman bambu di Moyudan,kabupaten Sleman.

Kata kunci : bambu, IKM anyaman, pasokan bahan baku, penanaman kembali

PENDAHULUAN

Industri anyaman adalah salah satu cabang dari industri kerajinan dalam Industri
Kecil Menengah (IKM) yang telah dikenal dalam kehidupan nenek moyang bangsa Indonesia
sejak zaman prasejarah. Ini dapat dibuktikan dari beberapa peninggalannya. Perkembangan
desain anyaman sampai saat ini menunjukkan motif dan bentuk anyaman yang semakin
rumit , indah, dan beragam sehingga mampu meningkatkan jumlah peminatnya. Demikian
juga dengan perkembangan kegunaan produknya, terutama dengan semakin meningkatnya
kebutuhan dan pola hidup masyarakat (Handoyo,et al,. 1989; Dirjen IKM, 2006).
Dua ratus tiga puluh juta lebih penduduk yang tersebar di tempat dengan tatanan
geografis unik seperti Negara Indonesia dengan kelimpahan berbagai sumber daya alam
yang berpotensi untuk diolah menjadi bahan usaha dan industri, menjadikan Industri Kecil
Menengah (IKM) adalah pilihan yang tepat sebagai upaya mensejahterakan rakyatnya.
Terlebih infrastruktur antar pulau yang terbatas, yang membuat perekonomian tak mungkin
hanya dilakukan oleh perusahaan-perusahaan besar, sehingga perusahaan-perusahaan
kecil kemudian ikut memegang kendali perekonomian (Aca,2007; Dirjen IKM, 2006).

638
ILMU KEHUTANAN

Meskipun secara ekonomi makro, pertumbuhan ekonomi Indonesia dari tahun 2007
2008 tumbuh sebesar 6,1 % dan pendapatan per kapita Indonesia naik sebesar 11,06 %
yaitu dari Rp. 17,6 juta pada tahun 2007 menjadi Rp. 21,7 juta pada tahun 2008, tapi
disinyalir kenaikan tersebut hanya dinikmati sektor moneter dan keuangan. Masih banyak
persoalan keuangan di daerah yang menuntut perhatian pemerintah pusat, terutama
terhadap ketahanan ekonomi masyarakat menghadapi pasar bebas (Reza, 2010).
Saat ini sektor pertanian dalam arti luas tidak hanya terjadi penurunan daya tampung
terhadap serapan tenaga kerja karena konversi lahan pertanian ke penggunaan lain, namun
juga kemampuannya yang semakin menurun terhadap kesejahteraan petaninya, sehingga
sektor pertanian harus dihela oleh sektor lain agar kesejahteraan para petani akan lebih baik
lagi (Suparlan, 1995). Pada kenyataannya, banyak potensi desa yang dapat meningkatkan
kesejahteraan masyarakat namun belum dapat dimanfaatkan secara optimal disebabkan
oleh terbatasnya informasi jenis SDA yang dapat diperdagangkan, minimnya sarana
pemasaran; rendahnya penguasaan teknologi pengolahan, terbatasnya sarana transportasi,
dan lemahnya kelembagaan (Prayitno, 1985; Rintuh dan Miar, 2005; Awang, 2006).
Industri kerajinan merupakan sub sektor industri kecil menengah (IKM) yang
menjadi tulang punggung penggerak perekonomian Indonesia .Kedudukan IKM sangat
strategis dalam perekonomian nasional karena jumlah unit usahanya yang cukup besar (+
3,4 juta), dan menyerap tenaga kerja + 8,5 juta (Dirjen IKM, 2006). Daerah penyebaran IKM
kerajinan anyaman Indonesia merata hampir di seluruh propinsi dengan sentra-sentra utama
di Jawa Barat, Jawa Tengah, D.I.Y. Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan
Selatan, Kalimantan Tengah (Widiastuti,2009).
Bambu adalah salah satu jenis bahan untuk anyaman dari sejenis rumput-rumputan
yang tumbuh tegak, berkayu, berakar rimpang, dan akarnyapun berkayu, batangnya
berbuku-buku, berongga, pertulangan daun sejajar, bentuk bunga malai. Perbanyakan
bambu dengan cara stek batang, stek cabang, biji, maupun akar rimpangnya. Bambu
termasuk tanaman yang tergolong cepat pertumbuhannya. Menurut Widiastuti, 1988 bambu
mampu tumbuh 50 cm dalam sehari semalam. Tinggi batang bisa mencapai 15 m dan saat
pertumbuhannya paling cepat antara bulan 2 dan 3. Percabangan bawah terjadi pada bulan
ke 4 dan cabang atas terjadi pada tahun 2 dan 3, kemudian pada tahun ke 3 terjadi ligno-
silikasi (penebalan dinding sel). Oleh karena itu setelah umur 2 tahun bambu umumnya
sudah bisa dimanfaatkan untuk anyaman karena relatif tidak membutuhkan kekuatan serat,
sedangkan untuk keperluan konstruksi dan mebel sebaiknya menggunakan bambu yang
telah berumur lebih dari 4 tahun, dimana bambu sudah cukup keras dan lebih tahan
terhadap serangan hama bubuk (Kaseno,1965).
Menurut Widiastuti,2001; Lessard,G and A. Chouinard,1980; Hildebrand,F.H.
1954;dan Morisco, et al,. 2005 berbagai gambaran mengenai bambu di Indonesia yang
sangat beragam menjadikan tanaman ini dijuluki sebagai the tree of life karena sejak
manusia lahir sampai mati tidak bisa dilepaskan dari bambu antara lain:
Keunggulan bambu untuk pemberdayaan ekonomi rakyat
Relatif mudah diperoleh
Banyak jenisnya
Tersedia sepanjang tahun
Murah harganya
Mudah dikerjakan (mudah dibelah, dibengkokkan, dipotong, dianyam, diirat)
Industri yang tahan krisis : berbasis pada sumber daya alam setempat;
ketrampilan & seni turun temurun
Benda seni yang dibeli karena keindahannya
Keunggulan bambu dari segi ekologis :
Membentuk iklim mikro
Membentuk agregat tanah penahan longsor dan erosi
Menguraikan tanah menjadi gembur
Kebutuhan bambu untuk IKM anyaman , meskipun diakui cukup tinggi nilai
ekonominya namun seringkali berbenturan dengan persoalan penataan kawasan. Hal
tersebut timbul oleh sebab tanaman bambu tidak dipelihara sehingga sering menimbulkan

639
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

kerusakan terutama pada genteng rumah yang berdekatan. Rendahnya perhatian pada
pengelolaan kawasan dalam menyediakan pasokan bahan baku turut mengancam
kelangsungan usaha ,sehingga permasalahan bambu saat ini sebagai sumber daya alam :
Jenis yg pertama dipinggirkan
Belum / tidak ada usaha budidaya
Hanya sebagai hasil hutan ikutan
Peneliti masih terbatas
Penolakan sebagian besar masyarakat untuk berdampingan hidup dengan
tanaman bambu
Perhatian dari pihak-pihak yang seharusnya berkepentingan terutama pemerintah
daerah dan pelaku usaha terhadap kelola kawasan penyedia bahan baku nyaris tidak ada.
Oleh sebab itu diharapkan hasil penelitian nantinya akan dapat mengungkap kenapa hal
tersebut terjadi dan apa yang seharusnya dilakukan agar pasokan bahan baku IKM
anyaman SANT dapat berkelanjutan. Menurut Bennett,2003 persoalan penataan kawasan
tidak bisa dilepaskan dengan masalah pengaturan tata ruang, dimana menurut Undang-
undang no 267 tahun 2007 tersebut penataan ruang adalah berdasarkan 9 asas yaitu
a)keterpaduan ; b) keserasian,keselarasan dan keseimbangan; c) berkelanjutan;
d)keberdayagunaan dan keberhasilgunaan;e)keterbukaan;f) kebersamaan dan kemitraan; g)
perlindungan kepentingan umum; h) kepastian hukum dan keadilan; i) akuntabilitas.
Menurut Giddens (Awang, 2006) mengatakan bahwa peran manusia dalam
melakukan eksploitasi terhadap sumber daya alam ternyata tidak dapat dilihat hanya dari
satu sisi. Sisi lain seperti politik dan globalisasi lingkungan ternyata sangat mempengaruhi
terjadinya perubahan sumber daya.Barry (Awang, 2006) menyatakan bahwa mengingat
manusia hidup dalam ruang, tempat dan waktu yang berbeda-beda, serta adanya perbedaan
kultur antar komunitas manusia, menyebabkan interpretasi atas makna lingkungan juga
memiliki makna yang berbeda.
Terkait dengan persoalan terbatasnya lahan untuk memasok bahan baku IKM
anyaman, barangkali teori agroforestry akan menjadi pijakan pengembangan kawasan yang
tidak terbatas pada lahan hutan saja. Para pelaku usaha yang berkecimpung menyediakan
bahan baku anyaman dapat memanfaatkan lahan di halaman, di bawah tegakan hutan, tepi
jalan desa, tepi pantai, dan lain-lain yang memungkinkan sumber bahan baku tersebut
ditanam dan dipelihara (Awang, 2006; Andayani, 2008; Kurtzet al. 2008; Sabarnurdin,2008)

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan model penelitian kualitatif. Ciri penelitian kualitatif adalah
tidak menekankan pada kuantum atau jumlah, tetapi lebih menekankan pada kualitas secara
alamiah karena menyangkut pengertian, konsep, nilai, serta ciri-ciri yang melekat pada
obyek penelitian lainnya (Kaelan,2005). Metode penelitian yang digunakan bersifat deskriptif
eksploratif, yaitu penelitian yang dimaksudkan untuk memberikan gambaran sistematis dan
akurat mengenai fakta, sifat serta kondisi obyek yang diteliti. Oleh karena itu metode
kualitatif senantiasa memiliki sifat holistik, yaitu penafsiran terhadap data dalam
hubungannya dengan berbagi aspek yang mungkin ada(Muhajir,2000; Yin, 2002 ;Kaelan,
2005).
Cara pengambilan data primer dengan cara melakukan wawancara mendalam
terhadap tokoh-tokoh kunci(Key informan person) yang dipilih berdasarkan keterlibatannya
pada IKM anyaman. Dipilihnya cara wawancara adalah untuk mengetahui secara mendalam
hal-hal yang terkait dengan tujuan penelitian yaitu hal yang menyangkut dengan konsep,
nilai, ciri-ciri yang melekat pada obyek penelitian secara dua arah dan tidak mungkin
diperoleh dengan cara pengambilan data selain wawancara. Data sekunder diperoleh dari
Monografi Desa; Kecamatan dalam Angka; Kabupaten Dalam Angka; Data IKM dari
Disperindag; Data Jenis tanaman dari Dinas Pertanian,Perkebunan dan Kehutanan, dan
data-data lain yang relevan dengan penelitian.
Lokasi yang dijadikan kajian adalah kecamatan Moyudan- Kabupaten Sleman.
Dipilihnya lokasi tersebut adalah sejarah munculnya IKM anyaman bambu bermula dari

640
ILMU KEHUTANAN

desa di wilayah Moyudan dan berkembang ke berbagai desa dan wilayah lain. Penelitian ini
akan mengkaji karakter sumber bahan baku, kondisi sikap masyarakat, dan kebijakan
pemerintah daerah yang berpengaruh terhadap kontinyuitas suplay bahan baku
anyaman.Waktu penelitian secara intensif dilakukan pada Oktober 2008 Januari 2010.
Keseluruhan data yang diperoleh diklasifikasi; direduksi; dievaluasi; dianalisa; kemudian
dikomunikasikan secara kualitatif sesuai dengan tujuan penelitian.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Lokasi Penelitian IKM Kerajinan Anyaman Bambu


Berdasarkan Monografi tahun 2009, Kecamatan Moyudan adalah salah satu dari 17
kecamatan di kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta yang berada di wilayah kerja
Pembantu Bupati Sleman Barat. Kecamatan Moyudan terletak pada 98,00 m di atas
permukaan laut. Moyudan terdapat aliran 5 buah sungai dan 20 Dam sarana irigasi teknis.
Bentuk wilayah datar sampai berombakBerjarak + 16 km dari pusat pemerintahan kabupaten
Sleman dan + 18 km dari pusat pemerintahan Propinsi D.I.Y.
Luas wilayah kecamatan Moyudan + 2.762,000 Ha, terdiri dari 1.477,8095 Ha sawah
irigasi teknis; 1.018,1264 Ha tanah kering;30,4750 Ha Balong/kolam/empang; 28,3204 Ha
tanah keperluan fasilitas umum; dan 207,2687 Ha berupa tanah tandus/berpasir. Sebanyak
176,7035 Ha merupakan tanah sawah yang menjadi bengkok perangkat desa dan 453,1931
Ha tanah sawah untuk kepentingan desa.
Prasarana jalan di kecamatan Moyudan terdiri atas 7 km jalan propinsi; 8 km jalan
kabupaten; dan 105 km jalan desa. Jalan beraspal 75 km dalam kondisi baik, 35 km
sedang, dan 12 km dalam kondisi rusak. Sarana perekonomian terdiri dari 135 buah
Koperasi simpan pinjam; 1 buah Koperasi Unit Desa; 1 buah Badan Perkreditan Rakyat; 1
buah BPKD; 108 Badan-badan Kredit; dan 5 buah Koperasi Produksi. Pasar umum 4 buah
dan pasar ikan 1 buah. Jumlah toko 55 buah; warung 175 buah; kios 75 buah, bank 2 buah,
lumbung desa 6 buah.
Untuk melihat kepadatan wilayah dapat dilihat pada table 1 berikut.

Tabel 1.Luas Wilayah,Penduduk, Kepadatan Penduduk Menurut Desa


di Kecamatan Moyudan tahun 2007

NO DESA LUAS WILAYAH PENDUDUK KEPADATAN


(KM2) (ORANG) PER KM2
1 Sumber Rahayu 6,31 7.185 1.139
2 Sumber Sari 5,46 8.357 1.530
3 Sumber Agung 8,2 12.231 1.491
4 Sumber Arum 7,65 7,211 943
Kecamatan 27,62 34,988 1.267
Sumber : Kecamatan Moyudan Dalam Angka,2009

Untuk melihat bagaimana lahan peruntukan di wilayah kecamatan Moyudan maka


disajikan tabel wilayah menurut jenis penggunaan tanah.

641
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Tabel 2. Luas Wilayah Menurut Jenis Penggunaan Tanah per Desa


di Kecamatan Moyudan Tahun 2007 (Ha)

NO DESA TANAH BANGUNAN/ TEGAL LAIN JUMLAH


SAWAH PEKARANGAN
1 Sumber rahayu 313,36 236,42 10,19 71,03 631,00
2 Sumber sari 323,49 175,95 1,44 45,12 546,00
3 Sumber Agung 437,33 299,74 5,98 76,95 820,00
4 Sumberarum 346,91 317,88 24,10 76,11 765,00
Kecamatan 1.421,09 1.029,99 41,71 269,21 2.762,00
Sumber: Kecamatan Moyudan Dalam Angka,2009

Permasalahan utama bagi masyarakat disana adalah rendahnya kepemilikan lahan


pertanian mereka sehingga memaksa mereka untuk mencari alternatif lain selain
mengandalkan kehidupan mereka dari lahan pertanian. Dahulu di wilayah mereka banyak
ditumbuhi pohon bambu baik di pekarangan maupun pereng-pereng sekitar sungai yang
mengalir di wilayah tersebut. Warga di wilayah Moyudan memiliki ketrampilan menganyam
bambu yang mereka peroleh secara turun temurun. Saat ini ada ratusan keluarga yang
menggantungkan hidupnya dari industri anyaman bambu.
Industri ini mampu menggerakkan lebih dari 226 unit usaha dengan nilai investasi
lebih dari Rp. 802.367.000 per tahun (Disperindagkoptam D.I.Y, 2004). Tenaga kerja yang
dapat diserap dari industri kerajinan bambu selain tenaga anyam adalah petani penanam,
buruh tebang, pengumpul, pengepul, buruh angkut, transportasi.

Gambaran Kondisi Tanaman Bambu di Moyudan,Sleman


Menurut data Statistik Kehutanan Kabupaten Sleman tahun 2005 tanaman bambu di
kecamatan Moyudan tercatat 197.950 batang 17,09 % dari 1.157.800 batang tanaman
bambu yang terdapat di Kabupaten Sleman. Tanaman bambu di kecamatan Moyudan,
seperti halnya di wilayah lain umumnya terdapat di pekarangan belakang rumah; pereng-
pereng sungai dan bukit., serta jurang yang berguna sebagai pembatas pekarangan dan
juga sebagai talud alam penahan tanah agar tidak longsor.

Kondisi Sumber Bahan Baku Bambu di Moyudan, Tempel, Minggir Kab. Sleman

Minggir Tempel Moyudan

Gambar 1. Bambu sebagai penahan talud di Moyudan; Tempel; Minggir Sleman

Untuk melihat permasalahan bahan baku bambu di sentra IKM anyaman bambu di
desa Malangan, kelurahan sumber rahayu, kecamatan Moyudan ini dilakukan dengan
mengikuti perjalanan bambu sejak bahan baku ditebang sampai menjadi produk yang siap
dipasarkan .Hasil penelitian mengenai kondisi tanaman, tempat tumbuh bambu, dan sikap
masyarakat digambarkan dalam skema berikut :

642
ILMU KEHUTANAN

Pengangkut Penebas Pemilik

Bambu
Pengepul Juragan
Kecil iratan
Juragan Para Buruh
Besar anyam,warna,finishing
Anyaman

Gambar 2. Saluran distribusi IKM bambu di Desa Malangan, Kecamatan Moyudan

Pada penelitian ini bambu dipasok dari desa Sendang Arum, Minggir , Sleman yang
berjarak + 1 km dari pemasok yang berasal dari desa Tangisan Wetan, kecamatan Tempel,
Kabupaten Sleman. Bambu yang dibeli di kebun dan ditebang sediri dihargai Rp. 3000 Rp.
4.000 tergantung jarak dan tingkat kesulitan menebangnya. Jarak yang lebih dekat dan
mudah ditebang biasanya dihargai Rp. 4.000/batang, namun jika tempat tumbuh bambu di
perengan kali atau sulit lokasinya dihargai Rp. 3000.
Pada penelitian ini, bambu yang dibeli tumbuh di pekarangan yang relatif dekat jarak
dari rumah penebang dan mudah teknik penebanganya sehingga per batang dihargai Rp.
4000. Dalam satu rumpun yang boleh ditebang hanya diperoleh 20 batang, sehingga
penebas/pengumpul harus mencari di tempat lain agar jumlahnya 30- 35 batang. Jumlah ini
menyesuaikan dengan tenaga angkut 2 orang yang menggunakan gerobak dorong. Lebih
dari itu pengumpul akan keberatan mendorongnya. Kalau kurang dari jumlah itu mereka
akan rugi waktu dan tenaga. Pagi setelah subuh pada pasaran Legi (1 2 hari setelah
bambu dikumpulkan), mereka mendorong keseran ke pangkalan di dusun Malangan yang
berjarak + 8 km dari desa Tangisan Wetan. Biasanya bambu yang mereka bawa akan habis
terjual seharga Rp. 9000 Rp. 10.000 pada hari itu.
Di Perajin, bambu yang telah dibeli dari pengumpul, akan dipotong ruasnya untuk
dibelah dan diirat oleh perajin untuk dijual dalam bentuk iratan. Namun berdasarkan
penelitian di lapangan kebanyakan perajin melakukan pemotongan, pembelahan,
pengiratan, pewarnaan, pengeringan dan penganyaman sekaligus menjadi produk setengah
jadi/produk jadi . Produk setengah jadi/produk jadi disetorkan kepada juragan besar untuk
difinishing, diawetkan, dikeringkan. Selanjutnya produk dikirim ke pemesan dalam/luar
negeri.

Gambar 3. Produk IKM Bambu di Moyudan Sleman

643
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

PEMBAHASAN

Sebagai bahan industri kerajinan bambu mempunyai beberapa keunggulan misalnya


umur 2-5 tahun sudah dapat dipanen, tersedia sepanjang musim ; murah harganya; relatif
mudah diperoleh; mudah dikerjakan dan mudah dibentuk; dapat diwarnai dengan zat warna
sintetis maupun zat warna alam (Widiastuti,2001). Karena sifat-sifat bambu yang unggul
tersebut mengakibatkan gejala booming pemanfaatan bambu yang nampak saat dimana
para perajin mendapati hasil produknya terserang hama bubuk. Hal tersebut menunjukkan
terjadinya eksploitasi bambu tanpa memandang daya dukung alam. Memang tidak perlu
disangkal bahwa bambu adalah salah satu jenis komoditi yang mampu mengangkat ekonomi
kerakyatan. Bahan baku yang tersedia sepanjang musim dan tidak mengandung komponen
impor, serta ketrampilan turun temurun menjadikan industri ini menunjukkan eksistensinya di
saat krisis ekonomi melanda negeri kita (Prayitno,2005; Widiastuti,2001).
Kalau dahulu orang memakai bambu karena kurang mampu dan dianggap sebagai
barang inferior, sekarang bambu telah bergeser menjadi barang seni yang dibeli karena
keindahannya. Perlengkapan rumah tangga seperti meja, kursi, dipan, sekat, pot, almari, rak,
kap lampu, aneka anyaman dari bambu sudah masuk hotel-hotel berbintang.
Keberadaannya sudah bukan sebagai pelengkap lagi, namun sudah menjadi bagian tak
terpisahkan dari kesatuan interior (Widiastuti,1988; Hildebrand,1954).
Pentingnya peranan bambu disadari oleh Sri Sultan Hamengkubuwana I sehingga
saat dibangunnya kota Yogyakarta dengan kampung-kampung mengelilingi kraton bagi para
anggota bredaga/prajurit yang masing-masing disediakan kapling seluas lebih kurang 1000 -
1500 meter persegi.Bambu menjadi salah satu jenis yang wajib ditanam selain jenis buah-
buahan dan tanaman berguna lain (Widiastuti,2001). Namun oleh sebab hausnya lahan
untuk perumahan tanaman bambu menjadi jenis yang paling pertama terpinggirkan. Saat ini
bukan saja sulit untuk memperoleh jenis bambu dengan kualitas yang diinginkan,
harganyapun sudah terbilang tidak murah lagi. Permintaan yang sangat tinggi dengan
pasokan yang sangat terbatas memaksa para perajin bambu mamanfaatkan bambu yang
belum siap tebang dan dipanen tidak pada saat tebang. Berbagai penelitian dilakukan agar
dapat meningkatkan umur pakai bambu belum siap tebang (Prayitno, 2005).
Dengan latar belakang seperti itu wajar apabila para pemerhati masalah bambu
melakukan berbagai terobosan agar jangan sampai keberadaan bambu suatu saat tinggal
kenangan saja. Hal itu bukan hanya sekedar kekawatiran yang tidak beralasan, namun
sudah dan makin tampak oleh digantikannya peran bambu sebagai penahan/talud di tebing-
tebing sungai, jurang atau bukit dengan bangunan bersemen. Bahkan ada sebagian
perangkat desa yang merasa bangga karena desanya sudah bebas dari tanaman
bambu.Sementara disisi lain diakui nilai ekonomis bambu terutama sebagai bahan baku
industri kerajinan semakin lama semakin meningkat (Prayitno,2005).
Berdasarkan data dan gambaran tentang kondisi IKM anyaman bambu di Moyudan
dapat dijelaskan dari perpektif ekonomi agroforestry .Konsep ekonomi agroforestry tidak
bisa dilepaskan dari konsep Keberlajutan menurut Kurtz et al,.2008 yang didefinisikan
sebagai pertanian yang dapat lebih meningkatkan utilitas manusia; penggunaan sumber
daya yang lebih efisien dengan lingkungan yang lebih nyaman bagi manusia dan
kebanyakan spesies lain.
Menurut Kurtz et al,.2008 keberlanjutan mempertemukan kebutuhan dan aspirasi
saat sekarang dengan tanpa kompromi kebiasaan kebutuhan generasi yang akan datang.
Definisi tersebut mengekspresikan persepsi dasar bahwa kita tidak dapat mengambil hak
generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhan kita sekarang.Beberapa kondisi
yang harus dipenuhi untuk keberlanjutan IKM bambu adalah :
1. Kondisi dimana IKM harus mampu menyerap tenaga kerja
2. Kondisi dimana IKM harus melindungi sumber daya berdasarkan dinamika dan
keberlanjutan. IKM eksis tidak hanya saat ini namun juga di masa datang.

644
ILMU KEHUTANAN

3. Kondisi dimana IKM harus mengamankan lingkungan. System IKM berdampak pada
dan diluar IKM bukanlah tanpa batasan, mereka terbatas dalam hal sosial, waktu,
keuangan dan pisik.

Seiring dengan kontinyuitas penyediaan bahan baku bambu untuk keberlanjutan usaha
IKM anyaman bambu di Moyudan, meminjam teori Kurtz et al,. (2008) mengemukakan 4
(empat) hal penelitian ekonomi yang perlu dicermati dalam pengelolaan sistem agroforestry
yaitu : keuntungan; dinamika (waktu); eksternalitas; dan pasar.

Keuntungan
Mengingat rumpun bambu bersifat menaungi, maka perlu dipikirkan jenis tanaman
yang cocok di bawah naungan. Selama ini yang terlihat adalah tanaman bambu menguasai
hampir keseluruhan ruang tumbuh. Hal tersebut juga terjadi pada hampir seluruh tanaman
sumber bahan baku anyaman di Moyudan. Hampir-hampir tiada tanaman yang mampu
tumbuh secara optimal di bawah rumpun bambu. Kondisi lain adalah tiadanya perlakuan dan
pemeliharaan khusus terhadap tanaman bambu. Selama ini bambu dibiarkan tumbuh secara
alami. Akibatnya sering batang bambu tumbuh kecil di atas tonggak yang minim suplay
makanan, bambu tidak diikat sehingga bambu menjadi bengkok karena tiupan angin,
rumpun bambu tidak tumbuh tegak sehingga memakan ruang tumbuh yang luas.

Dinamika
Dinamika tumbuhnya IKM anyaman bambu di Moyudan sementara keterbatasan
lahan sudah terjadi adalah bentuk kegiatan ekonomi dan sosial yang perlu diperhatikan agar
agroforestry dapat berjalan seperti yang diharapkan

Eksternalitas
Diakui oleh para pemangku kepentingan pada IKM anyaman bambu bahwa
kebutuhan bahan baku bambu sudah semakin sulit diperoleh dan harga yang harus dibayar
semakin mahal. Hampir semua bahan baku bambu di IKM anyaman bambu di Moyudan
diperoleh dari wilayah kecamatan lain, bahkan dari kabupaten lain seperti Kulon Progo dan
Propinsi lain seperti Magelang, Temanggung, Purworejo. Sementara dengan diterapkannya
otonomi daerah, maka tiap-tiap daerah berusaha untuk meningkatkan semua potensi yang
ada di wilayahnya. Dikawatirkan suatu saat masing-masing daerah memberlakukan larangan
penjualan bambu gelondongan ke kabupaten/ kota lain. Oleh karena itu mau tidak mau
bambu harus mulai dibudidayakan (wawancara nara sumber,2009).

Pasar
Berkembangnya IKM anyaman bambu di Moyudan tentu tidak bisa dilepaskan dari
terbukanya pasar domestik, maupun manca negara. Produk alat-alat rumah tangga seperti
besek, ireg, tambir, tampah, cething, meski harus bersaing dengan produk alat rumah
tangga dari plastik, logam, kardus keberadaannya tetap diminati tidak hanya pasar desa,
tetapi juga sampai ke Jakarta, Surabaya, Bali. Produk kerajinan anyaman untuk interior
seperti kap lampu, laundry box, placemath, house hold tidak bisa dipandang sebelah mata
karena mampu bersaing dengan produk-produk sejenis dari Vietnam, China, Thailand
(Widiastuti,2001).

Batasan/ Hambatan Sosial


Pertimbangan ekonomi pada petani mungkin tidak hanya memaksimumkan
keuntungan. Kebanyakan alternatif makalah adalah petani memaksimumkan harapan
mereka terhadap kondisi yang tidak menentu. Berdasarkan wawancara dengan masyarakat
perajin bambu dan perangkat desa yang semuanya sudah tidak memiliki lahan yang
ditanami bambu mengatakan bahwa memang bambu sangat dibutuhkan untuk industri yang
digeluti namun umumnya mereka menolak jika ada usaha penanaman bambu di wilayahnya.
Alasannya adalah terbatasnya lahan yang tersisa. Bambu yang tersisa tinggal di pereng-

645
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

pereng sungai yang jauh dari pemukiman dan tidak lagi mampu untuk mensuplay bahan
anyaman.
Hal tersebut perlu dipertimbangkan dalam memperoleh keuntungan, dinamika,
eksternalitas, pasar, dan hambatan sosial agar pemberdayaan petani bambu akan lebih
progresif. Di Malangan, kecamatan Moyudan perajin bambu sudah menjadi profesi yang
layak diperhatikan mengingat terbatasnya jenis usaha di desa tersebut dan potensi pasar
industri kerajinan anyaman yang masih sangat terbuka namun kesadaran terhadap
kelangsungan bahan baku nampaknya perlu diperhatikan.

KESIMPULAN

Mengingat keunggulan bambu sebagai bahan baku kerajinan anyaman, maka perlu
dilakukan beberapa langkah agar keberlanjutan pasokan bahan baku dapat terjaga, antara
lain adalah sebagai berikut:
1. Usaha budidaya mutlak untuk dilakukan dengan memperhatikan keuntungan,
eksternalitas, dinamika, pasar, dan batasan sosial.
2. Usaha pemeliharaan( pemberian tali, pemupukan) bambu harus dilakukan agar
keberadaannya tidak lagi dianggap sebagai tanaman yang merusak rumah .
3. Mengubah mind set dan promosi agar tanaman bambu dikembalikan sebagai
tanaman serbaguna dan bukan sebagai tanaman pengganggu.
4. Mengingat bambu untuk industri di Moyudan Sleman tidak hanya dipasok dari
kabupaten Sleman saja, namun sudah melampaui batas kabupaten dan propinsi,
maka agar keberlanjutan usaha dari segi baku dapat terjaga, diperlukan suatu
kebijakan antar daerah yang mengatur tata niaga bambu.

DAFTAR PUSTAKA

Aca. 2007. Usaha Kecil dan Menengah. Inspiratorial .Kompas hal G-J. Selasa 17 Juli 2007.
Ahimsa, P.H., Sumintarsih,Sarmini,dan Raharjana,D.T. 2003.Ekonomi Moral, Rasional, dan
Politik dalam Industri Kecil di Jawa. Kepel Press. Yogyakarta.
Andayani,W.2008. Modul Mata Kuliah Pengelolaan Agroforestry. Jurusan Manajemen Hutan.
Fakultas Kehutanan.Universitas Gadjahmada.Yogyakarta.
Anonimus.1984. The Philippines Recommends for Bamboo. Philippine Council For
Agriculture and Resources Research and Development. Los Banos, Laguna
(PCARRD). Technical Bulletine Series No. 53.
Awang,S.A. 2006. Sosiologi Pengetahuan Deforestasi. Konstruksi Sosial dan
Perlawanan.Debut Press.Yogyakarta.
_________. 2000. Kelembagaan Kehutanan Masyarakat. Belajar dari Pengalaman. Pustaka
Kehutanan Masyarakat. Aditya Media. Yogyakarta
Badan Pusat Statistik. 2005. Profil Usaha Keci dan Menengah Tidak Berbadan Hukuml.
Survey Usaha Terintegrasi 2004. Jakarta
Badan Pusat Statistik Kabupaten Sleman.2009. Kecamatan Moyudan Dalam Angka
Bennett, C.P.A. 2003. Tanggung Jawab, Tanggung Gugat (Akuntabilitas), dan Persatuan
Nasional Dalam Tata Pemerintahan Desa. Yayasan Obor. Jakarta
Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi, DIY. 2005.Pendataan Potensi Industri
Dagang Kecil dan Menengah tahun 2004 di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Direktorat Jendral Industri kecil dan Menengah. 2006. Pembinaan dan Pengembangan IKM
Kerajinan. Jakarta.
Handoyo, Rahayu,S.,dan Riyanto. 1989. Sejarah & Perkembangan Desain Anyaman.
Proyek Peningkatan Teknologi Industri . Balai Besar Kerajinan dan Batik. Yogyakarta
Hildebrand,F.H. 1954. Catatan Tentang Bambu di Jawa. Laporan Balai Penyelidikan
Kehutanan No.66. Bogor.
Kaelan, 2005. Metode Penelitian Kualitatif Bidang Filsafat. Paradigma. Yogyakarta

646
ILMU KEHUTANAN

Kaseno,S. 1965. Gigantochloaapus Kurz (bambu apus). Penyelidikan Mengenai Pengaruh


Umur Terhadap Sifat-sifat Fisis,Morphologis, dan kimia.
K. Heyne. 1987. Tumbuhan berguna Indonesia vol I IV, cetakan I. Badan Penelitian dan
Pengembangan Kehutanan, Departemen Kehutanan. Penerbit Yayasan Sarana
Warna Jaya, Jakarta
Kurtz.W.B, Garrett.H.E,and Slusher,J.P.2008. Economic Agroforestry. Journal Departement
of Agricultural Economics.University of Missouri.
Lessard,G and A. Chouinard,1980. Proceeding of A Workshop Held In Singapore 28 - 30
May 1980. Organized By The International Union of Forestry Research
Organizations.
Morisco; F. Mardjono dan Prayitno, T.A. 2005. Pembuatan Balok Laminasi Kualitas Tinggi
Bambu. Laporan Hibah Bersaing.UGM. Yogyakarta.
Muhadjir,N. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif. Edisi IV.Penerbit Rake Sarasin.
Yogyakarta.
Prayitno,T.A. 2005. Pidato Dies Natalis ke 42 Fakultas Kehutanan. UGM . Yogyakarta .
Reza,M.2010. APBN 2008 Terbaik dalam Sepuluh Tahun Terakhir. Bisnis / Finansial. Koran
Tempo halaman A15. Rabu 20 Januari 2010.
Rintuh,C dan M.S, Miar.2005. Kelembagaan dan Ekonomi Rakyat. Badan Penerbit Fakultas
Ekonomi, UGM. Yogyakarta.
Sabarnurdin,S.2008.Agroforestry: Strategi Penggunaan Lahan Multifungsi,Fleksibel
Terhadap Perubahan Tuntutan Pembangunan Berkelanjutan. Pidato Pengukuhan
Jabatan Guru Besar dalam Ilmu Agroforestry pada Fakultas Kehutanan Universitas
Gadjahmada.Yogyakarta
Suparlan. 1994. Mempersiapkan Masyarakat Pedesaan Menuju Era Industrialisasi. Makalah
dalam Semiloka Nasional Pembangunan Masyarakat Pedesaan yang Terpadu dan
Berkesinambungan. Balitbangsos DepSos R.I.Jakarta.
Syavira,F.2010. Stabilitas Penentu Ekonomi 2010. Bisnis/Finansial. Koran Tempo A14. Rabu
20 Januari 2010.
Tjondronegoro,S.M.P. dan Wiradi,G. 2008. Dua Abad Penguasaan Tanah.Pola Penguasaan
Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.
Widiastuti,R.2009. Pengenalan Serat Alam Non Tekstil. Makalah Pelatihan Kerajinan
Anyaman Bambu. Kerjasama Badan Penelitian dan Pengembangan Industri dengan
Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kab. Bangli. 4 5 Maret 2009
Widiastuti, R.2002. Bambu Sebagai Bahan Baku Kerajinan .Makalah pada Sarasehan The
Art of Bamboo,2002 di Universitas Kristen Duta Wacana Yogyakarta
Widiastuti, R.2001. Peralatan dan Pengolahan Serat Alam Non Tekstil. Makalah pada
training programme on Production Process of Non Textile Natural Fiber for Small and
Medium Scale Weaving and Knitting Industries. Kerjasama BBKB dan JICA.
Yogyakarta
Widiastuti,R.1987. Pengaruh Beberapa Faktor Lingkungan terhadap riap tinggi Rebung
Gigantochloa apus Kurz di DIY. Problema Kehutanan. Fakultas Kehutanan UGM,
Yogyakarta.
Yin, R.K, 2002. Studi Kasus (Desain dan Metode). Edisi Revisi.Divisi Buku Perguruan Tinggi.
PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta
Yustika,A.E.2008. Ekonomi Kelembagaan. Definisi,Teori,dan Strategi. Bayumedia
Publishing. Malang.

647
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

KARAKTERISTIK PERTUMBUHAN AWAL TANAMAN BAMBU TALI


(Gigantochloa apus kurz.) DAN BAMBU MAYAN (G. robusta kurz.)
UMUR DUA TAHUN DI STASIUN PENELITIAAN HUTAN
ARCAMANIK, BANDUNG
Sutiyono1 dan Marfuah Wardani2
1
Peneliti Pusat Penelitian dan Pengembangan Peningkatan Produktivitas Hutan
e-mail : irsutiyono@yahoo.com
2
Peneliti Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi
e-mail : marfuah58@yahoo.co.id

ABSTRAK

Bambu tali (Gigantochloa apus Kurz) dan bambu mayan (Gigantochloa robusta Kurz.)
tergolong jenis bambu berukuran sedang yang berpotensi sebagai bahan baku industri
berbasis bahan baku bambu seperti sumpit, kertas dan bambu lamina. Sampai saat ini kedua
jenis bambu masih berasal dari bambu masyarakat sehingga jika dimanfaatkan harus
dilakukan budidaya. Untuk membudidayakan kedua jenis bambu dibutuhkan informasi
karakteristik pertumbuhnnya. Penelitian karakteristik pertumbuhan tanaman bambu tali
(Gigantochloa apus kurz.) dan bambu mayan (Gigantochloa robusta kurz.) umur 2 tahun telah
dikerjakan. Tujuan penelitian mendapatkan informasi karakteristik pertumbuhan awal bambu
tali dan bambu mayan umur 2 tahun. Penelitian dilakukan di di stasiun penelitian hutan (SPH)
Arcamanik, Bandung yang terletak pada ketinggian 1350 m dpl. Bibit yang ditanam berasal
dari stek batang. Data yang dikumpulkan adalah jumlah batang/rumpun, tinggi batang dan
diameter batang yang dikerjakan umur 1 dan 2 tahun setelah tanam. Seluruh data yang
diperoleh diolah dengan sidik ragam. Hasil penelitian menunjukan bahwa karakteristik
pertumbuhan kedua jenis bambu sampai umur 2 tahun tidak berbeda nyata. Selanjutnya
pembahasan karakteristik pertumbuhan kedua jenis bambu disajikan dalam paper ini.

Kata kunci : bambu tali (Gigantochloa apus Kurz.), bambu mayan (Gigantochloa robusta
Kurz.), karakteristik pertumbuhan, umur dua tahun.

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Bambu tali (Gigantochloa apus Kurz.) dikenal sebagai jenis bambu yang kuat, ulet,
lentur dan awet, sehingga banyak dimanfaatkan oleh masyarakat. Widjaja (987)
menyebutkan bahwa bambu tali secara alami tumbuh di Jawa dan Bali dapat memiliki tinggi
batang 8-22 meter dengan diameter 4-13 cm. Sementara itu, Sutiyono (2008) menyatakan
bahwa jenis bambu tali yang terdapat di lahan masyarakat di daerah Tasikmalaya dan
Ciamis rumpunnya relatif bersih dan rapi berstrukstur 3 (tiga) generasi umur batang yaitu
kelompok batang umur 1, 2 dan 3 tahun. Hal ini menunjukan bahwa batang-batang bambu
tali sering ditebang dan digunakan untuk berbagai keperluan. Rasa rebungnya yang sangat
pahit sehingga permudaannya cukup besar (43,9%) karena masyarakat enggan
memngambilnya. Di daerah seperti Tasikmalaya dan Ciamis yang dikenal sentar industri
kerajinan bambu, populasi bambu tali mendominasi (49,3%) jenis-jenis bambu diantara 6
jenis bambu yang dimiliki oleh masyarakat.
Sementara itu, bambu mayan (Gigantochloa robusta Kurz.) adalah jenis bambu
berbatang lurus, berdidnding tebal sehingga berpotensi digunakan sebagai bahan bambu
lamina atau bambu lapis. Seperti bambu tali, di lahan masyarakat, bambu mayan diketahui
tumbuh rapi dan bersih karena sering dimanfaatkan terutama untuk kerajinan mebeler.
Menurut Sulastiningsih (2010) dalam Sutiyono (2010) bambu mayan termasuk jenis yang

648
ILMU KEHUTANAN

baik untuk bahan baku industri bambu lamina. Sementara itu, Widjaja (1987),
meninformasikan tinggi batang bambu mayan dapat mencapai 20 m dengan diameter
batang 7-9 cm dan tebal dinding dapat mencapai 18 mm. Persebaran alami bambu mayan
ada di Jawa Barat bagian barat (Banten) dengan nama bambu mayan, di Bali dengan nama
tiying jelepung, di Sumatera Barat dengan naman buluh riaw dan di Tapanuli dengan nama
buloh paring. Selain itu, Sutiyono (1988) mendapatkan bambu mayan di hutan Soko di
daerah Banyuwangi dan Jember dengan naman pring serit.
Mengingat potensi pemanfaatan kedua jenis bambu tersebut di atas, maka kedua
jenis bambu sudah harus dibudidayakan untuk bahan baku substitusi industri produk kayu
seperti kayu lapis. Pemanfaatan bambu sebagai bahan substitusi produk kayu berpotensi
meningkatkan kualitas hutan dan kelestarian hutan melalui penundaan penebangan pohon
sehingga berumur lebih lama. Selain itu, bambu tergolong ramah lingkungan karena sekali
tanam akan dipanen terus menerus tanpa harus menghilangkan tegakannya. Untuk maksud
tersebut, salah satu informasi yang penting diketahui adalah karakteristik pertumbuhan
kedua jenis bambu di tempat-tempat tinggi. Informasi ini sangat penting untuk memprediksi
kesesuaian jenis bambu terhadap tinggi tempat di atas muka laut.

Tujuan
Penelitian bertujuan mendapatkan informasi karakteristik pertumbuhan bambu tali (G.
apus Kurz.) dan bambu mayan (G. robusta Kurz.) di lokasi yang breketinggian > 1350 m dpl.

BAHAN DAN METODE

Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di SPH (Stasiun Penelitian Hutan) Arcamanik yang terletak di
Desa Mekarmanik, Kecamatan Ujung Beurung, Kabupaten Bandung, Propinsi Jawa Barat.
Menurut administrasi kehutanan, SPH Arcarmanik termasuk dalam wilayah kerja RPH
Arcamanik, BKPH Mangalayang Barat, KPH Bandung Utara, Perum Perhutani Unit III Jawa
Barat. Menurut catatan BKPH Mangalayang Barat, luas SPH Arcamanik r 17 Ha. Terletak
pada ketinggian r 1350 m dpl yang dapat dicapai dengan kendaraan roda empat dari 2 (dua)
arah yaitu dari Sukamiskin dan Ujung Berung dengan kondisi jalan sebagian beraspal dan
sebagian masih berupa jalan batu.
Berdasarkan Peta Tanah Tinjau Propinsi Jawa Barat berskala 1:250.000 (LPT, 1966)
maka tanah di SPH Arcamanik tergolong berjenis asosiasi andosol coklat dengan regosol
coklat yang berasal dari bahan induk abu/pasir dan tuf volkan intermedier dan bertopografi
volkan Pengamatan di lapangan menunjukan tanah di SPH Arcamanik bertekstur gembur
dan remah, bertopografi lereng hingga 45% sehingga mudah tererosi dan longsor. Di
beberapa tempat tersembul batu-batu mulai dari yang berukuran kecil sampai besar. .
Menurut Soepraptohardjo (1979) jenis tanah andosol tergolong tanah subur dan inforamsi
analisa tanah disajikan pada Lampiran 1.
Data iklim yang diperoleh menunjukan rata-rata bulan basah (BB) = 7,6 dan rata-rata
bulan kering (BK) = 2,6 sehingga termasuk bertipe hujan C dengan nilai Q sebesar 34,0 %
(Schmidt dan Ferguson, 1951). Dari data iklim juga diketahui curah hujan tahunan rata-rata
2597 mm dan hari hujan sebanyak 131,3 hari. Hampir setiap bulan terjadi hujan dimana
curah hujan tertinggi pada bulan Maret (438,7 mm) dan terendah bulan Agustus (47 mm).

649
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Tabel 1. Curah hujan dan hari hujan rata-rata di SPH Arcamanik, Bandung, Jawa Barat*

No. Bulan Curah hujan (mm) Hari Hujan (hari)


1 Januari 355.1 19.4
2 Pebruari 292.4 19.0
3 Maret 295.9 14.0
4 April 299.7 14.6
5 Mei 113.6 8.4
6 Juni 84.0 5.3
7 Juli 190.1 4.9
8 Agustus 47.0 2.7
9 September 74.4 5.4
10 Oktober 151.3 9.6
11 Nopember 247.1 12.6
12 Desember 304.4 15.4
Curah Hujan tahunan 2597.9 131.29
*Diolah dari data iklim stasiun klimatologi Cikole 2000-2006.

Bahan dan Alat


1. Areal
2. Bibit bambu tali (Gigantochloa apus Lurz.) dan bambu mayan (G. robusta Kurz.) berasal
dari stek batang
3. Pupuk kandang
4. Pupuk NPK

Metode
Bibit bambu tali (G. apus) dan bambu mayan (G. robusta) yang berasal dari stek
batang ditanam di areal SPH Arcamanik. Setiap jenis bambu ditanam sebanyak 7 (tujuh)
bibit yang ditanam i tanpa jarak tanam, terpencar-pencar mengisi ruang-ruang kosong. Bibit
ditanam pada lubang tanam berukuran 40x40x40 cm yang sudah diisi pupuk kandang 1 kg
dan pupuk NPK 1 gram. Pemeliharaan yang dilakukan adalah penyiangan sekitar bibit
melingkar 0,5 meter yang dikerjakan 3 bulan sekali. Pengumpulan data dilakukan setelah
umur 1 tahun dan 2 tahun terhadap jumlah batang/rumpun, tinggi dan diameter batang.
Seluruh data diolah dengan sidik ragam dan pada perlakuan yang nyata diuji dengan uji-
Tukeys.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pertumbuhan Jumlah Batang/rumpun


Pertumbuhan tanaman bambu diawali dengan munculnya tunas-tunas dari dasar bibit
yang terus berkembang menjadi batang-batang baru. Banyaknya batang-batang baru sering
tidak merata sehingga dalam satu periodik yang lamanya satu tahun pada setiap lubang
tanam yang ditanami akan terdapat perbedaan jumlah batang/rumpun (Sutiyono, 2007).
Banyaknya jumlah tunas (batang) yang muncul dari bambu tali dan bambu mayan pada setiap
bibit yang ditanam baik umur 1 dan 2 tahun disajikan pada Lampiran 1 dan 2 dan rata-ratanya
disajikan pada Tabel 1. Dari Tabel 1 dapat diketahui bahwa pada umur 1 tahun, banyaknya
jumlah batang/rumpun bambu tali (1,43 batang/rumpun) lebih sedikit dibanding bambu mayan
(1,57 batang/rumpun) tetapi pada umur 2 tahun, jumlah batang/rumpun bambu tali (2,71
batang/rumpun) lebih banyak dibanding bambu mayan (1,86 batang/rumpun).

650
ILMU KEHUTANAN

Tabel 1. Rata-rata jumlah batang/rumpun bambu tali (G. apus) dan bambu mayan
(G. robusta) umur 1 dan 2 tahun

Jenis bambu Umur


1 tahun 2 tahun
Bambu tali (G. apus) 1.43 2.71
Mayan (G. robusta) 1.57 1.86
Rata-rata 1,50 2,29

Namun demikian sidik ragam pertumbuhan jumlah batang/rumpun bambu tali (G.
apus) dan bambu mayan (G. robusta) yang disajikan pada Lampiran 3 menunjukan bahwa
perbedaan jumlah batang/rumpun antara bambu tali dan bambu mayan tidak berbeda nyata.
baik umur 1 dan 2 tahun. Dengan demikian pada awal pertumbuhan kedua jenis bambu yaitu
bambu tali dan bambu mayan memiliki karakteristik pertumbuhan jumlah batang/rumpun yang
sama. Hasil penelitian di atas berbeda dengan hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan
oleh Sutiyono (2007) di SPH Tanjungan, Lampung Selatan. Dari hasil penelitian di SPH
Tanjungan diketahui bahwa rata-rata pertumbuhan jumlah batang/rumpun bambu tali dan
bambu mayan lebih besar dibanding dengan rata-rata pertumbuhan jumlah batang/rumpun di
SPH Arcamanik baik pada umur 1 dan 2 tahun yang masing-masing adalah 2 batang/rumpun
dan 3,45 batang/rumpun.

Pertumbuhan Tinggi dan Diameter Batang


Sidik ragam pertumbuhan tinggi bambu tali (G. aspus) dan bambu mayan (G. robusta)
disajikan pada Lampiran 2. Dari Lampiran 2 dapat diketahui bahwa pertumbuhan tinggi kedua
jenis bambu yaitu bambu tali dan mayan baik pada umur 1 dan 2 tahun tidak berbeda nyata.
Demikian juga dengan sidik ragam pertumbuhan diameter bambu tali dan bambu mayan yang
disajikan pada Lampiran 3 menunjukan tidak berbeda nyata pada umur 1 dan 2 tahun. Oleh
karena itu, kedua jenis bambu memiliki karakteristik pertumbuhan tinggi dan diameter batang
yang sama dimana rata-rata pertumbuhan tinggi pada umur 1 dan 2 tahun masing-masing
adalah 2,93 m dan 3,95 m dan pertumbuhan diameter pada umur 1 dan 2 tahun masing-
masing 2,60 cm dan 4,43 cm seperti ditunjukan Tabel 2.

Tabel 2. Rata-rata tinggi batang bambu tali (G. apus) dan bambu mayan
(G. robusta) umur 1 dan 2 tahun

Jenis bambu Umur


1 tahun 2 tahun
Tinggi batang m
Bambu tali (G. apus) 2.7 4.3
Mayan (G. robusta) 3.0 3.6
Rata-rata 2,93 3,95
Diameter batang, cm
Bambu tali (G. apus) 2.79 4.36
Mayan (G. robusta) 2.41 4.50
2,60 4,43

Pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Sutiyono (2007) di SPH Tanjungan,
Lampung Selatan, diketahui pertumbuhan bambu tali dan bambu mayan adalah umur 1 dan 2
tahun masing-masing memiliki karakteristik jumlah batang/rumpun tidak berbeda nyata
dengan rata-rata pada umur 1 dan 2 tahun 1,5 batang/rumpun dan 3,5 batang/rumpun.
Demikian juga untuk karakteristik pertumbuhan tinggi dan diameter batang, kedua jenis
bambu tidak berbeda nyata baik umur 1 dan 2 tahun. Hasil penelitian menunjukkan rata-rata
tinggi batang kedua jenis pada umur 1 dan 2 tahun ,masing-masing 0,88 meter dan 1,56

651
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

meter. Sementara rata-rata diameter batang kedua jenis pada umur 1 dan 2 tahun adalah 0.7
cm dan 1,46 cm.
Dibanding dengan hasil penelitian di SPH Tanjungan di atas menunjukan
pertumbuhan tinggi dan diameter bamboo tali dan bamboo mayan lebih besar di SPH
Arcamanik. Diduga, perbedaan tersebut disebabkan oleh perbedaan kondisi lingkungan
seperti ketinggian tempat di atas muka laut, jenis tanah dan curah hujan. Lokasi SPH
Tanjungan, Lampung Selatan berketinggian tempat 50 m dpl, dengan jenis tanah podsolik
merah kuning. Seperti telah dikemukakan sebelumnya, tanah di SPH Arcamanik tergolong
jenis tanah asosiasi andosol coklat dengan regosol coklat. Sedangkan di lokasi SPH
Tanjungan tergolong jenis tanah podsolik merah kuning. Menurut Soepraptohardjo (1979)
jenis tanah andosol tergolong jenis tanah dengan tingkat kesuburan tinggi sedangkan tanah
podsolik merah kuning memiliki kesuburan sangat rendah.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
1. Karakteristik pertumbuhan jumlah batang/rumpun, tinggi dan diameter batang bambu tali
(Gigantochloa apus Kurz.) dan bambu mayan (G. robusta Kurz.) tidak berbeda nyata baik
umur 1 dan 2 tahun.
2. Pada umur 1 tahun dan 2 tahun, rata-rata jumlah batang/rumpun bambu tali dan bambu
mayan masing-masing 1,5 dan 2,29 batang/rumpun.
3. Pada umur 1 dan 2 tahun, rata-rata tinggi batang bambu tali dan bambu mayan masing-
masing 2,93 meter dan 3,95 meter,
4. Pada umur 1 dan 2 tahun, rata-rata diameter batang bambu tali dan bambu mayan masing-
masing 2,60 cm dan 4,43 cm

Saran
1. Bambu tali (Gigantochloa apus Kurz.) dan bamboo mayan (G. robusta Kurz.) dapat
dikembangkan bersama-sama di tempat-tempat berketinggian sampai 1350 m dpl.

DAFTAR PUSTAKA

LPT. 1966. Peta Tanah Tinjau Propinsi Jawa Barat skala 1:250.000. LP Tanah, Bogor.
Schmidt, F, H and J.H.A. Ferguson. 1951. Rainfall types based on wet and dry period ratios
for Indonesia with western New Guinea. Jawatan Meteorology dan Geofisika, Jakarta.
Soepraptohardjo, M. 1979. Klasifikasi tanah. Penataran Asisten Soil Surveyor I. IPLPP-LP
Tanah. Bogor. 06/78/79: 13-14.
Sutiyono. 1988. Silvikultur hutan bambu di hutan Soko, Banyuwangi. Bul.Pen. Hutan.Pusat
Litbang. Hutan Bogor. (497) : 29-40.
------------. 2007. Pertumbuhan empat jenis bambu asal stek batang umur 2 tahun. Info Hutan
Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam, Bogor. IV(6):575-583.
------------. 2008. Tanaman bambu rakyat untuk kerajinan di daerah Tasikmalaya-Ciamis,
Jawa barat. Dukument.
Widjaja, E, A. 1987. A. revesion of malesian Gigantochloa (Poacea Bambusoidae).
Reinwardtia. 10 (3) : 311-315 ; 349-352..

652
ILMU KEHUTANAN

Lampiran 1. Data pertumbuhan bambu tali (G. apus) dan bambu mayan (G. robusta) umur 1
tahun di SPH Arcamanik, Bandung.

Nomor Bambu tali (G. apus) Bambu mayan (G robusta)


rumpun JB T D JB T D
1 1 3.0 2.87 1 5.0 2.23
2 2 3.0 3.28 1 4.0 3.82
3 1 4.0 3.18 2 2.5 2.23
4 3 2.0 2.23 3 2.0 2.23
5 1 3.0 2.87 2 3.0 2.23
6 1 2.0 2.23 1 2.0 1.91
7 1 3.0 2.87 1 2.5 2.23
Keterangan : JB = jumlah batang/rumpun; T = tinggi batang (m); D = diameter batang (cm)

Lampiran 2. Data pertumbuhan bambu tali (G. apus) dan bambu mayan (G. robusta) umur 2
tahun di SPH Arcamanik, Bandung.

Nomor Bambu tali (G. apus) Bambu mayan (G. robusta)


rumpun JB T D JB T D
1 3 4.0 3.82 1 6.0 4.78
2 4 4.0 4.78 1 4.5 5.41
3 3 5.0 4.14 2 3.0 5.1
4 4 3.0 4.12 3 2.5 3.82
5 2 4.2 5.41 2 2.5 4.78
6 1 5.6 4.31 1 3.0 3.18
7 2 4.0 3.92 1 4.0 4.46
Keterangan : JB = jumlah batang/rumpun; T = tinggi batang (m); D = diameter batang (cm)

Lampiran 3. Sidik ragam jumlah batang/rumpun bambu tali (G. apus) dan bambu mayan (G.
robusta) umur 1 dan 2 tahun setelah tanam

F-Tabel
Sumber variasi db JK KT F-hitung
0.05 0.1
Umur 1 tahun
Rumpun 6 6.00 1.00 4.20 4.28 8.47
Jenis bambu 1 0.07 0.07 0.30tn 5.99 13.74
Galat 6 1.43 0.24
Umur 2 tahun
Rumpun 6 3.86 0.64 0.60 4.28 8.47
Jenis bambu 1 2.57 2.57 2.40tn 5.99 13.74
Galat 6 6.43 1.07
Keterangan : tn = tidak nyata

653
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Lampiran 4.Sidik ragam tinggi batang bambu tali (G. apus) dan bambu mayan (G. robusta)
umur 1 dan 2 tahun setelah tanam

F-Tabel
Sumber variasi db JK KT F-hitung
0.05 0.1
Umur 1 tahun
Rumpun 6 6.68 1.11 1.82 4.28 8.47
Jenis bambu 1 0.07 0.07 0.12tn 5.99 13.74
Galat 6 3.68 0.61
Umur 2 tahun
Rumpun 6 6.24 1.04 0.80 4.28 8.47
Jenis bambu 1 1.32 1.32 1.02tn 5.99 13.74
Galat 6 7.75 1.29
Keterangan : tn = tidak nyata

Lampiran 5. Sidik ragam diameter batang bambu tali (G. apus) dan bambu mayan (G.
robusta) umur 1 dan 2 tahun setelah tanam

F-Tabel
Sumber variasi db JK KT F-hitung
0.05 0.1
Umur 1 tahun
Rumpun 6 2.68 0.45 3.52tn 4.28 8.47
Jenis bambu 1 0.50 0.50 3.95tn 5.99 13.74
Galat 6 0.76 0.13
Umur 2 tahun
Rumpun 6 3.35 0.56 1.62 tn 4.28 8.47
Jenis bambu 1 0.08 0.08 0.22 tn 5.99 13.74
Galat 6 2.07 0.35
Keterangan : tn = tidak nyata

654
ILMU KEHUTANAN

KEMAMPUAN POHON GELAM MENYERAP CO2


DAN MEMPRODUKSI O2
Alpian1, T.A. Prayitno2 , J.P. Gentur Sutapa2 dan Budiadi2
1
Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Palangka Raya
(alpianmeran@yahoo.com)
2
Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada (taprayitno@yahoo.com,
jpgentursutapa@yahoo.com dan budifitri@yahoo.com)

ABSTRAK

Fungsi hutan saat ini masih dititikberatkan pada aspek produksi yaitu produksi kayu,
sedangkan aspek lingkungan masih kurang diperhatikan. Salah satu aspek lingkungan yang
populer saat ini adalah penyerapan karbondioksida dan produksi oksigen. Penelitian
bertujuan mengkaji kemampuan tegakan Gelam yang tumbuh alami dalam menyerap
karbondioksida (CO2) dan memproduksi oksigen (O2) berdasarkan tingkat pertumbuhan
(semai, pancang, tiang dan pohon) dan lokasi tempat tumbuh, yaitu lokasi A (rawa pasang
surut terluapi pasang besar dengan ketebalan gambut dangkal) dan B (rawa pasang surut
tidak terluapi pasang air tanah dangkal < 50 cm dengan ketebalan gambut sedang) pada
Eks. PLG Blok D di Kalimantan Tengah.
Penelitian berdasarkan tingkat pertumbuhan pohon yaitu semai, pancang, tiang dan
pohon pada 2 lokasi tempat tumbuh. Metode pengukuran karbon dilakukan dengan 2 cara
yaitu berdasarkan berat biomassa (Karbon= 0,5 x biomassa) dan pengarangan (pirolisis)
berdasarkan berat arang (karbon = 0,8 x arang).
Hasil Penelitian menunjukkan bahwa tegakan Gelam berdasarkan tingkat
pertumbuhan yang tumbuh pada lokasi pada lokasi A potensi biomassa terbesar pada
tingkat tiang memiliki diikuti tingkat pancang, pohon dan semai sedangkan pada lokasi B
potensi biomassa terbesar pada tingkat tiang disusul tingkat pohon, pancang dan semai.
Tegakan Gelam yang tumbuh pada lokasi B memiliki potensi biomassa, karbon,
kemampuan menyerap CO2dan memproduksi O2 lebih besar daripada lokasi A.

Kata kunci: Gelam, biomassa, karbon, karbondioksida, oksigen.

PENDAHULUAN

Tegakan Gelam tumbuh secara alami di kawasan rawa pasang surut di Kalimantan
Tengah yang termasuk dalam kawasan eks. PLG. Pohon Gelam (Melaleuca sp) famili
Myrtaceae adalah jenis pohon yang dominan tumbuh dan toleran pada kondisi tanah yang
ekstrim, seperti keasaman dan salinitas tinggi serta genangan air. Tanah yang mengandung
pirit dan sulfat masam, pohon Gelam dapat tumbuh rapat karena tumbuhan lain tidak dapat
tumbuh di habitat tersebut. Mengingat potensi pohon Gelam pada daerah rawa pasang surut
eks. PLG cukup besar, maka penelitian kemampuan menyerap CO2 dan memproduksi O2
pohon Gelam perlu dilakukan guna pengembangan pemanfaatan pohon Gelam lebih lanjut
ditinjau dari aspek lingkungan.
Fungsi hutan saat ini masih dititikberatkan pada aspek produksi yaitu produksi kayu,
sedangkan aspek lingkungan masih kurang diperhatikan. Salah satu aspek lingkungan yang
penting untuk dipelajari dan diteliti adalah kemampuan pohon dalam penyerapan
karbondioksida dan produksi oksigen. Penelitian bertujuan mengkaji kemampuan tegakan
Gelam yang tumbuh alamidalam menyerap karbondioksida (CO2) dan memproduksi oksigen
(O2) berdasarkan tingkat pertumbuhan (semai, pancang, tiang dan pohon) dan lokasi tempat
tumbuh, yaitu lokasi A (rawa pasang surut terluapi pasang besar dengan ketebalan gambut
dangkal) dan B(rawa pasang surut tidak terluapi pasang air tanah dangkal < 50 cm dengan
ketebalan gambut sedang) pada Eks. PLG Blok D di Kalimantan Tengah.

655
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

METODE PENELITIAN

Diskripsi Lokasi Penelitian


Kawasan eks. PLG Undang-Undang No. 5 tahun 2002, mencakup bagian dari
wilayah Kabupaten Kapuas, Kabupaten Pulang Pisau, Kabupaten Barito Selatan dan Kota
Palangka Raya Propinsi Kalimantan Tengah.Sedangkan luas kawasan Proyek PLG
sesuaiSK. Menteri Kehutanan Nomor : 166/Menhut/VII/1996 perihal Pencadangan Areal
Hutan untuk Tanaman Pangan di Provinsi Kalimantan Tengah r 1.457.100 ha.
Lokasi penelitian terbagi dua, yaitu lokasi A dengan rawa pasang surut tipe B
(terluapi pasang besar) dengan ketebalan gambut dangkal terletak pada S 02050,355 S
02050,520 ; E 1140 20,383E 114020,544 dan lokasi B dengan rawa pasang surut tipe C
(tidak terluapi pasang air tanah dangkal < 50 cm) dengan ketebalan gambut sedang terletak
pada S 02049,369 S 02049,627 ; E 114017,462E 114018,109.

Bahan dan Alat Penelitian


Bahan yang digunakan dalam penelitian terdiri dari : pohon Gelam dari 2 lokasi yang
dibagi ke dalam 4 kelas, yaitu tingkat semai (sedling) tinggi pohon < 1,5 m, tingkat pancang
(sapling) tinggi pohon >1,5 m diameter pohon < 10cm, tingkat tiang (pole) diameter pohon
10cm 20cm dan tingkat pohon (tree) diameter pohon > 20cm (Anonim 1990 ;
Soerianegara dan Indrawan 2005))
Peralatan yang dipergunakan untuk inventarisasi lokasi dan pohon, pengambilan
sampel, pembuatan contoh uji seperti kompas, GPS, tali, paku, palu, plat seng, parang,
karung, karung plastik, gergaji tangan, kapak, chainsaw, meteran gulungan, kaliper, diameter
tape, kamera, mesin pompa air, slang, habegge kekuatan 3 ton, kawat baja, perahu, kapal
kecil, kamera, gergaji mesin, mesin ketam, retort listrik, timbangan analitik, pengukur suhu,
jam dan alat tulis menulis.

Prosedur Penelitian
Pelaksanaan Penelitian dilakukan dalam beberapa tahapan seperti terlihat pada
bagan penelitian pada Gambar 1.

656
ILMU KEHUTANAN

Inventarisasi potensi tegakan Gelam (jumlah pohon dan diameter pohon) menggunakan cara petak
tunggal pada areal eks. PLG seluas 10 ha pada blok D masing-masing 5 ha 1*)

Pemilihan sampel pohon Gelam dari blok D Eks. PLG di Lokasi A dan B pohon berdasarkan tingkat
pertumbuhan, semai (sedling) T < 1,5 m (30 pohon), pancang (sapling) T >1,5 m <10cm (5 pohon),
tiang (pole) 10-20cm (5 pohon) dan pohon (tree) >20cm (5 pohon) 1*

Dicabut1*)

Pengukuran biomassa berdasarkan organ pohon (akar, batang, buah, bunga cabang/ranting dan daun)
dan tingkat pertumbuhan pohon Gelam (semai/sedling, pancang/sapling, tiang/pole dan pohon/tree)
dengan menimbang berat total masing-masing dalam kondisi berat segar 1*)

Pengambilan sampel berupa potongan kecil atau helai secukupnya berdasarkan organ pohon dan
tingkat pertumbuhan pohon Gelam dengan menimbang berat masing-masing dalam kondisi berat segar
serta sampel dibiarkan sampai kering udara kemudian di timbang 1*)

Pengovenan sampel yang sudah kering udara berupa potongan kecil atau helai secukupnya
berdasarkan organ pohon dan tingkat pertumbuhan pohon Gelam dengan suhu 1032 0C kemudian
menimbang berat masing-masing dalam kondisi kering udaraberat konstan/tanur 1*)

Biomassa total per pohon1*)

Membuat model persamaan allometrikdihubungkan dengan diameter pohon setinggi dada atau tinggi
pohon W = a X b aplikasikan pada data dari kegiatan inventarisasi tegakan Gelam1*)

Biomassa ton/ha1*)

Pengambilan sampel berdasarkan organ pohon (akar, batang, cabang/ranting dan daun) dan tingkat
pertumbuhan pohon (semai/sedling, pancang/sapling, tiang/pole dan pohon/tree) 2*)

Sampel dikeringkan sampai kering udara2*)

Sampel kering udara ditimbang 2*)

Pengarangan/pirolisis Gambar 1. Bagan


sampel berdasarkan Kerja
organ Penelitian
pohon dan tingkat pertumbuhan pohon dengan
retort listrik pada suhu 500 C selama 3 jam 2*)
0

Arang hasil proses pengarangan/pirolisis ditimbang 2*)

657
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Analisis Data
Berat Kering
Berat kering contoh uji digunakan rumus dari JICA (2002) sebagai berikut :

BKC
BKT = X BBT
BBC

dimana : BKT=Berat kering total (kg) ; BKC=Berat kering contoh (g) ; BBC=Berat basah
contoh (g) ; BBT=Berat basah total (kg)

Persamaan Allometrik
Pendugaan biomassa dan kandungan karbon pohon Gelam menggunakan
persamaan allometrik sebagai berikut :

Y=aXb
Dimana :
Y = Biomassa dan karbon pohon Gelam
X = Diameter pohon setinggi dada (Dbh) untuk tingkat pancang, tiang dan pohon
Diameter pohon setinggi 30 cm dari permukaan tanah untuk tingkat semai.
a, b = Koefisien

Tahapan selanjutnya memasukan hasil perhitungan biomassa dan arang ke dalam


persamaan untuk menghitung kandungan karbon (C) dengan dua metode (2 rumus). Hasil
perhitungan karbon dipakai untuk menghitung kemampuan menyerap menyerap CO2 dan
memproduksi O2 pohon Gelam seperti tersaji di bawah ini.

Perhitungan Kandungan karbon


Pengukuran dengan menggunakan angka konstanta yang dihasilkan dari penelitian
sebelumnya dengan mengkonversi menghitung karbon tersimpan berdasarkan :
x kandungan Karbon diduga dengan mengalikan biomassa dengan faktor konversi
(Murdiyarso, et. al., 2002 ; Brown, et.al., 1986) sebagai berikut:
C = 0,5 W dimana W = Biomassa
x Kandungan karbon diduga dengan mengalikan berat arang dengan faktor konversi
(Bansal, et. al., 1988) sebagai berikut :
C = Berat arang x 0,8

Perhitungan Kemampuan Menyerap CO2


Kemampuan menyerap CO2 dari udara oleh pohon diperoleh dengan mengkonversi
karbon dalam biomassa dengan rumus (Morikawa, et.al. 2003 ; Manual of Biomass
Measurements by JIFPRO and JOPP, 2001 dalam Basuki, dkk., 2004) :

CO2= 44/12 x C
Dimana
CO2 = Banyaknya CO2 yang diserap (ton/ha)
C = Berat total karbon pohon (ton /ha)
44/12 = Angka konversi unsur karbon (C) ke CO2 (massa atom C=12 dan O=16) sehingga
C = 12 (1x12) dan CO2 = 44 (1x12) + (2x16)

Perhitungan Kemampuan Memproduksi O2


Kemampuan memproduksi O2ke udara oleh pohon diperoleh dengan mengkonversi
CO2 dengan rumus :

O2 = 32/44 x CO2

658
ILMU KEHUTANAN

Dimana :
O2 = Banyaknya O2 yang diproduksi (ton/ha)
CO2 = Berat CO2 yang diserap (ton/ha)
32/44 = Angka konversi CO2 ke O2 (massa atom C=12 dan O=16)
sehingga CO2 = 44 (1x12) + (2x16) dan O2 = 32 (2x16)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Data hasil survey inventarisasi dengan menghitung jumlah pohon dan besar diameter
pohon pada lokasi penelitian lokasi A dan B dengan seluas masing-masing 5 ha tersaji pada
Tabel 1 berikut (Alpian, dkk., 2010).

Tabel 1. Data Potensi Gelam berdasarkan Survey pada Lokasi A dan B

Lokasi A Lokasi B
Rata-Rata Rata-Rata Rata-Rata Rata-Rata
Tingkat Jumlah Jumlah
Keliling Diameter Keliling Diameter
Pertumbuhan Pohon Pohon
Pohon Pohon Pohon Pohon
/ha /ha
(cm) (cm) (cm) (cm)
Semai 14400 1.510 0.481 23900 1.125 0.358
Pancang 7082 12.821 4.079 1837 17.007 5.411
Tiang 1029 39.228 12.482 945 41.947 13.347
Pohon 65 75.036 23.875 70 74.566 23.726
Jumlah/Rataa
22575 32.149 10.229 26746 33.661 10.710
n
Diameter Pohon (cm) = Keliling Pohon / (3.142857)

Jumlah pohon Gelam per hektar pada lokasi B sebesar 26.746 lebih besar daripada
lokasi A disebabkan karena pengaruh jumlah pohon tingkat pertumbuhan semai yang besar
pada lokasi B. Pasca kebakaran yang mematikan tanaman gulma menyebabkan lantai hutan
pada lokasi B terbuka sehingga membentuk ruang tumbuh bagi anakan Gelam. Tingkat
pertumbuhan pancang menunjukkan bahwa jumlah pohon pada lokasi B lebih sedikit
dibandingkan pada lokasi A disebabkan pohon Gelam pada tingkat pertumbuhan pancang
pasca kebakaran banyak yang mati. Jumlah pohon Gelam tingkat pertumbuhan tiang dan
pohon pada lokasi A dan B tidak berbeda jauh disebabkan bahwa pasca kebakaran hutan
pohon Gelam pada tingkat tiang dan pohon tidak mati akibat kebakaran. Kebakaran
membersihkan serasah atau sisa tumbuhan lain yang akan menghambat perkecambahan biji
Gelam (Kinnon, et.al., 1996).Penelitian tentang potensi Gelam di Rawa Lebak Teluk Gelam
Sumatera Selatan yang dikelompokan menjadi semai, anakan, pancang, tiang dan pohon,
menunjukkan hasil bahwa kebakaran lahan memicu terjadinya perkecambahan dan
pertumbuhan semai dan anakan (Santri, 2004).
Manfaat metode allometrik dapat digunakan untuk menaksir besarnya biomassa atau
kandungan karbon suatu tegakan hutan. Pohon sampel yang digunakan untuk pengukuran
biomassa diukur dan dihitung pada bagian organ pohon (akar, batang, buah, bunga, cabang
dan daun). Persamaan allometrik pada Tabel 2 merupakan persamaan untuk menaksir
biomassa segar, biomassa kering kering tanur dan karbon tegakan Gelam pada lokasi A dan
B berdasarkan nilai diameter pohon yang diperoleh. Berdasarkan analisis varian dan nilai R2
menunjukan nilai yang signifikan bahwa diameter pohon berpengaruh signifikan terhadap
biomassa segar, biomassa kering udara, kering tanur dan karbon.

659
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Tabel 2. Model Persamaan Allometrik untuk Penduga Biomassa


(Basah, Kering Udara, Kering Tanur) dan Karbon

Bentuk Hubungan Kriteria Persamaan


2
R = 0,99392
Diameter Pohon Biomassa segar A WWB =0,334D2,35
SSR = 1,53054
Diameter Pohon Biomassa Kering R2 = 0,99401
WDuB =0,145D2,42
Udara A SSR = 1,60466
Diameter Pohon Biomassa Kering R2 = 0,99399
WDtB =0,127D2,42
Tanur A SSR = 1,60696
R2 = 0,99617
Diameter Pohon Biomassa segar B WWB =0,280D2,48
SSR = 1,07618
Diameter Pohon Biomassa Kering R2 = 0,99612
WDuB =0,126D2,58
Udara B SSR = 1,17669
Diameter Pohon Biomassa Kering R2 = 0,99611
WDtB =0,111D2,57
Tanur B SSR = 1,17853
Sumber : Alpian, dkk ., 2010

Berdasarkan data hasil survey pada Tabel 1 dipadukan dengan model persamaan
allometrik yang diperoleh pada Tabel 2digunakan untuk perhitungan biomassa segar,
biomassa kering udara, biomassa kering tanur dan karbon dalam satuan ton/ha tersaji pada
Tabel 3 dan 4 berikut.

Tabel 3. Data Rangkuman Biomassa (Basah, Kering Udara dan Kering Tanur)

Lokasi A Lokasi B
Biomassa Biomass Biomassa Biomassa
Tingkat Biomassa Biomassa
Kering a Kering Kering Kering
Pertumbuhan segar segar
Udara Tanur Udara Tanur
ton/ha ton/ha
Ton/ha ton/ha Ton/ha ton/ha
Semai 1.243 0.523 0.460 0.977 0.419 0.371
Pancang 109.758 54.304 47.287 58.517 32.452 28.155
Tiang 136.555 70.656 61.376 172.322 101.463 87.595
Pohon 39.254 21.236 18.402 52.859 32.942 28.307
Jumlah 286.811 146.718 127.524 284.676 167.276 144.428
Sumber : Alpian, dkk ., 2010

Data pada Tabel 3 menunjukan bahwa tegakan Gelam pada lokasi A tingkat tiang
memiliki potensi biomassa terbesar diikuti tingkat pancang, pohon dan semai. Tegakan
Gelam pada lokasi B mengandung potensi biomassa terbesar pada tingkat tiang disusul
tingkat pohon, pancang dan semai.
Data karbon pada Tabel 4 diperoleh berdasarkan data pada Tabel 1, 2, 3 dan proses
pengarangan menunjukan bahwa kedua metode perhitungan karbon di peroleh hasil yang
berbeda.

660
ILMU KEHUTANAN

Tabel 4. Data Rangkuman Karbon Berdasarkan 2 Metode Pengukuran Karbon

Lokasi A Lokasi B
Tingkat
Karbon 0,5 x B Karbon 0,8 x A Karbon 0,5 x B Karbon 0,8 x A
Pertumbuhan
(ton/ha) (ton/ha) (ton/ha) (ton/ha)
Semai 0,230 0,127 0,185 0,105
Pancang 23,658 12,857 14,064 7,506
Tiang 30,687 16,621 43,798 23,052
Pohon 9,195 4,963 14,167 7,359
Jumlah total 63,770 34,568 72,214 38,021

Keterangan : B = Berat Biomassa Kering Tanur ; A = Berat Arang

Metode perhitungan karbon berdasarkan biomassa (0,5 x biomassa) menghasilkan


perhitungan kandungan karbon lebih besar dari perhitungan berdasarkan arang (0,8 x
arang).
Data karbon yang diperoleh pada Tabel 5 dikonversi untuk menghitung kemampuan
pohon Gelam menyerap CO2 dari udara dengan rumus (Morikawa, et.al. 2003) dan
memproduksi O2 tersaji di bawah ini.

Tabel 5. Kemampuan Menyerap CO2 dan Produksi O2

Karbon Penyerapan Produksi O2


Lokasi Metode Pengukuran
(ton/ha) CO2 (ton/ha) (ton/ha)
Lokasi A (0,5 x B) 63,770 233,823 170,053
Lokasi B (0,5 x B) 72,214 264,785 192,571
Lokasi A (0,8 x A) 34,568 126,749 92,181
Lokasi B (0,8 x A) 38,021 139,410 101,389

Keterangan : B= Berat biomassa ; A= Berat arang ; CO2= 44/12 x C ; O2 = 32/44 x CO2

Data pada Tabel 5 terlihat potensi karbon, penyerapan CO2 dan produksi O2 tegakan
Gelam berdasarkan tempat tumbuh menunjukkan bahwa lokasi B lebih besar dari pada
lokasi A sedangkan berdasarkan metode pengukuran menunjukkan bahwa pengukuran
dengan metode berat biomassa lebih besar dari metode berat arang. Manusia membutuhkan
Oksigen (O2) untuk pernapasan demi keberlangsungan hidupnya. Setiap orang
membutuhkan oksigen 2,9 kg/hari atau 0,12 kg/jam (Ismaun, 2008). Data Tabel 5
berdasarkan perhitungan berat biomassa pada lokasi A produksi O2 sebesar 170,053 ton/ha
atau 170053 kg/ha dapat memenuhi kebutuhan oksigen sebanyak 58.639 orang/hari dan
lokasi B sebesar 192,571 ton/ha atau 192571 kg/ha dapat memenuhi kebutuhan oksigen
sebanyak 66.404 orang/hari. Data Tabel 5 berdasarkan perhitungan berat arang pada lokasi
A produksi O2 sebesar 92,181 ton/ha atau 92181 kg/ha dapat memenuhi kebutuhan oksigen
sebanyak 31.787 orang/hari dan lokasi B sebesar 101,389 ton/ha atau 101389 kg/ha dapat
memenuhi kebutuhan oksigen sebanyak 34.962 orang/hari.
Alpian, dkk 2010 menyatakanpersentase Biomassa kering tanur berdasarkan organ
pohon pada lokasi A sebesar : batang (57,66 %), akar (22,24 %), cabang/ranting (17,92 %),
daun (1,35 %), buah (0,65 %) dan bunga (0,18 %), sedangkan pada lokasi B sebesar :
batang (61,95 %), akar (21,64 %), cabang/ranting (14,29 %), daun (1,91 %), buah (0,18 %)
dan bunga (0,04 %). Data Tabel 5 berdasarkan perhitungan berat biomassa lokasi A
menghasilkan oksigen sebesar 170,053 ton/ha dan persentase biomassa organ daun
sebesar 1,35 % maka organ daun menghasilkan oksigen sebesar 2,294 ton/ha dapat
memenuhi kebutuhan oksigen 791 orang/hari, sedangkan lokasi B menghasilkan oksigen
192,571 ton/ha dan persentase biomassa organ daun sebesar 1,91 % maka organ daun

661
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

3,670 ton/ha dapat memenuhi kebutuhan oksigen 1.266 orang/hari.Data Tabel 5


berdasarkan perhitungan berat arang lokasi A menghasilkan oksigen sebesar 92,181 ton/ha
dan persentase biomassa organ daun sebesar 1,35 % maka organ daun menghasilkan
oksigen sebesar 1,224 ton/ha dapat memenuhi kebutuhan oksigen 429 orang/hari,
sedangkan lokasi B menghasilkan oksigen 101,389 ton/ha dan persentase biomassa organ
daun sebesar 1,91 % maka organ daun 1,932 ton/ha dapat memenuhi kebutuhan oksigen
666 orang/hari.Berdasarkan Tabel 3 dan 5 dapat dibuat rumusan perhitungan karbon,
penyerapan CO2 dan produksi O2 berdasarkan kondisi biomassa berat segar (BS), biomassa
kering udara (BKU) dan biomassa kering tanur (BKT) seperti tersaji pada Tabel 6 berikut.

Tabel 6. Rumus Perhitungan Kandungan Karbon, Kemampuan Menyerap CO2 dan


Memproduksi O2 berdasarkan Metode Pengukuran dan Kondisi Biomassa

Lokasi A Lokasi B
Metode
BS BKU BS BKU
Pengukuran BKT ton/ha BKT ton/ha
ton/ha ton/ha ton/ha ton/ha
286,811 146,718 127,524 284,676 167,276 144,428
C (ton/ha) C (ton/ha) C (ton/ha) C (ton/ha) C (ton/ha) C (ton/ha)
(0,5 x B) 63,770 63,770 63,770 72,214 72,214 72,214
C=0,22x C=0.43 x C=0.50 x C=0.25 x C=0.43 x C=0.50 x
Rumusan
BS BKU BKT BS BKU BKT
(0,8 x A) 34,568 34,568 34,568 38,021 38,021 38,021
C=0.12 x C=0.24 x C=0.27 x C=0.13 x C=0.23 x C=0.26 x
Rumusan
BS BKU BKT BS BKU BKT
CO2 CO2 CO2
CO2 (ton/ha) CO2 (ton/ha) CO2 (ton/ha)
ton/ha) (ton/ha) ton/ha)
(0,5 x B) 233,823 233,823 233,823 264,785 264,785 264,785
CO2=0.82 x CO2=1,59 x CO2=1,83 x CO2=0,93 x CO2=1,58 x CO2=1.83 x
Rumusan
BS BKU BKT BS BKU BKT
(0,8 x A) 126,749 126,749 126,749 139,410 139,410 139,410
CO2=0,44 x CO2=0,86 x CO2=0,99 x CO2=0,49 x CO2=0,83 x CO2=0,97 x
Rumusan
BS BKU BKT BS BKU BKT
O2 (ton/ha) O2 (ton/ha) O2 (ton/ha) O2 (ton/ha) O2 (ton/ha) O2 (ton/ha)
(0,5 x B) 170,053 170,053 170,053 192,571 192,571 192,571
O2=0,59 x O2=1,16 x O2=1,33 x O2=0,68 x O2=1,15 x O2=1.33 x
Rumusan
BS BKU BKT BS BKU BKT
(0,8 x A) 92,181 92,181 92,181 101,389 101,389 101,389
O2=0,32 x O2=0,63 x O2=0,72 x O2=0,36 x O2=0,61 x O2=0,70 x
Rumusan
BS BKU BKT BS BKU BKT

Keterangan : BS = Berat Segar ; BKU = Berat Kering Udara ; BKT = Berat Kering Tanur ;
B = Berat Biomassa Kering Tanur ; A = Berat Arang

Data pada Tabel 3, 4 dan 5 menunjukan nilai biomassa segar, biomassa kering
udara, biomassa kering tanur, kandungan karbon, kemampuan menyerap CO2 dan
memproduksi O2 tegakan Gelam yang tumbuh pada lokasi B lebih besar daripada lokasi A.
Perbedaan disebabkan pasca kebakaran pada lokasi B membuka ruang tumbuh membunuh
gulma pengganggu sekaligus terjadi proses penjarangan sehingga tegakan Gelam yang ada
di areal tersebut tumbuh lebih baik terutama semai Gelam tumbuh lebih banyak dan masih
muda terlihat pada besaran diameter yang lebih kecil dari semai pada lokasi A. Pohon
Gelam pada lokasi A tidak terjadi kebakaran karena walaupun musim kemarau ada pasang
besar yang mengenangi areal tersebut sehingga tidak terjadi kebakaran. Pertumbuhan
tegakan Gelam di lokasi A lebih lambat disebabkan tumbuhan bawah yang lebat berupa
semak belukar yang mengganggu pertumbuhan yang merabat sampai menutupi semua
pohon Gelam yang tumbuh di areal tersebut seperti Kalakai (Stenochlaena palustris). Ruang

662
ILMU KEHUTANAN

tumbuh yang kurang baik akibat adanya gulma menyebabkan pertumbuhan pohon
terganggu. Pengamatan di lapangan menunjukan bahwa pada lokasi B jika musim kemarau
areal hutan pada lokasi B tersebut terbakar tetapi tidak mematikan pohon Gelam khususnya
pohon Gelam tingkat tiang dan pohon sehingga pasca kebakaran terlihat pohon Gelam
semakin tumbuh subur (bertambah besar tinggi dan diameter pohon) disebabkan adanya
abu yang terbentuk sewaktu kebakaran hutan. Tingkat pertumbuhan semai dan sapling pada
lokasi B sebagian mati terlihat dari jumlah batang hasil inventarisasi jumlah semai yang
banyak pada lokasi B tetapi nilai rata-rata diameter pohon lebih kecil dibandingkan pada
lokasi A karena masih muda, sedangkan tingkat pancang dan tiang jumlah pohon lebih
sedikit dibanding pada lokasi A seperti terlihat pada Tabel 1. Abu banyak mengandung silikat
yang berpengaruh positif terhadap pertumbuhan tegakan Gelam pada lokasi Bseperti terlihat
pada Gambar 2 dan 3 berikut.

Gambar 2. Pohon Gelam pada Lokasi B Gambar 3. Pohon Gelam pada Lokasi B

Najiyati, et.al. 2005 menjelaskan abu merupakan sisa hasil pembakaran bahan
organik seperti kayu, sampah, gulma dan sisa hasil pertanian seperti sekam dan serasah.
Kelebihan abu mengandung semua unsur hara secara lengkap baik mikro maupun makro
(kecuali N, pembakaran abu yang sempurna menghilangkan unsur N), pH tinggi (8,5-10),
tidak mudah tercuci, mengandung kation basa seperti K, Ca, Mg dan Na yang relatif tinggi.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
Tegakan Gelam berdasarkan tingkat pertumbuhan yang tumbuh pada lokasi pada
lokasi A potensi biomassa terbesar pada tingkat tiang memiliki diikuti tingkat pancang, pohon
dan semai sedangkan pada lokasi B potensi biomassa terbesar pada tingkat tiang disusul
tingkat pohon, pancang dan semai.
Tegakan Gelam yang tumbuh pada lokasi B memiliki potensi biomassa, karbon,
kemampuan menyerap CO2dan memproduksi O2 lebih besar daripada lokasi A disebabkan
karena lokasi B pasca kebakaran membentuk ruang tumbuh yang baik untuk pertumbuhan
pohon (matinya tumbuhan gulma dan berkurangnya jumlah pohon terutama tingkat pancang)
serta terbentuknya abu.
Metode perhitungan karbon berdasarkan berat biomassa menghasilkan nilai
kemampuan menyerap CO2dan memproduksi O2 lebih besar dari metode perhitungan
karbon berdasarkan berat arang

Saran
Pembudidayaan pohon Gelam pada lokasi A memerlukan perlakuan pemeliharaan
berupa pembersihan gulma dan penjarangan untuk menciptakan ruang tumbuh yang yang
baik sedangkan pada lokasi B memerlukan perhatian khusus terhadap bahaya kebakaran

663
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

terutama pada musim kemarau agar tanaman budidaya Gelam terhindar dari bahaya api
akibat kebakaran misalnya perlu pembuatan sekat bakar.

UCAPAN TERIMA KASIH

Peneliti mengucapkan terima kasih kepada Kementerian Pendidikan Nasional, Direktorat


Jenderal Pendidikan Tinggi dan Direktorat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat
melalui Lembaga Pengabdian pada Masyarakat Universitas Gadjah Mada karena telah
membiayai sebagian dari kegiatan penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

Alpian, Prayitno, T. A., Sutapa, J. P. G., Budiadi dan Supriyati, W., 2010. Potensi Biomassa
dan Karbon Pohon Gelam di Hutan Rawa Kalimantan Tengah. Prosiding Seminar
Nasional MAPEKI XIII tanggal 10-11 Nopember 2010, Sanur, Bali. Masyarakat
Peneliti Kayu Indonesia. Bogor. Indonesia. p. 889-900.
Anonim. 1990. Pedoman Sistem Silvikultur Tebang Pilih dan Tanam Indonesia. Ditjen
PH.Jakarta. p. 5.
Bansal, R.C., J.P. Donnet and F. Stoeckli. 1988. Active Carbon. Marcel Dekker Inc. New
York and Basel.
Basuki, T.M., Adi, R. N. dan Sukresno. 2004. Informasi Teknis Stok Karbon Organik dalam
Tegakan Pinus merkusii, Agathis loranthifolia dan Tanah. Prosiding Ekspose
BP2TPDAS-IBB. Surakarta. p. 87.
Brown, S., Logo, A.E. and Chapman, J. 1986. Biomass of Tropical Tree Plantation and Its
Implications for The Global Carbon Budget. Can.J.For. Res., Vol 16 : p.390-394.
Ismaun, I., 2008. Ruang Terbuka Hijau Kawasan Reklamasi Jakarta International Resort.
Jurnal Arsitektur Lansekap. Jurusan Arsitektur Lansekap. Fakultas Arsitektur
Lansekap dan Teknologi Lingkungan. Universitas Trisakti. Jakarta. Indonesia. Vol.2
No.1. p. 1-10.
JICA. 2002. Demontration Study on Carbon Fixing Forest Management Project. Progress
Report of The Project 2001.
Kinnon, M., K., Hatta, G., Halim, H and Mangalik, A. 1996. The Ecology of Kalimantan
(Indonesia Borneo). Periplus Editions (HK) Ltd.
Morikawa, Y., H. Inoue, M. Yamada, D. Hadriyanto, R. Diana, Marjenah and M. Fatawi. 2001.
Carbon Accumulation of Man-Made Forest. In Monsoon Asia in Relation to CDM. Proc.
Inter. Workshop BIO-REFOR Tokyo. p. 42-51.
Murdiyarso, D., Widodo, M, dan Suyanto, D. 2002. Fire Risks in Forest Carbon Projects in
Indonesia. Science in China (Series C). Vol 45. p. 65-74.
Najiyati, S., Lili Muslihat dan I Nyoman N. Suryadiputra, 2005. Panduan Pengelolaan Lahan
Gambut untuk Pertanian Berkelanjutan. Wetlands International - Indonesia Programme.
Indonesia. p. 14-16 ; 40.
Najiyati, S., Lili Muslihat dan I Nyoman N. Suryadiputra, 2005. Panduan Pengelolaan Lahan
Gambut untuk Pertanian Berkelanjutan. Wetlands International - Indonesia Programme.
Indonesia. p. 14-16 ; 40.
Soerianegara, I. dan Indrawan, A. 2005. Ekologi Hutan Indonesia. Fakultas Kehutanan.
Institut Pertanian Bogor. Bogor. p. 32-33.

664
ILMU KEHUTANAN

NILAI JASA OKSIGEN PADA MERANTI


Andrian Fernandes dan Suryanto
Balai Besar Penelitian Dipterokarpa, Samarinda, Kaltim
af.andrian.fernandes@gmail.com

ABSTRAK

Nilai ekonomi suatu pohon tidak hanya dinilai dari produk kayu dan non kayunya
saja. Salah satu potensi ekonomi penting adalah nilai jasa lingkungan berupa oksigen hasil
dari proses fotosintesis. Berdasarkan studi pustaka tentang laju fotosintesis pada Shorea
leprosula Miq., S. pauciflora King., dan S. smithiana Sym, dapat dibuat simulasi perhitungan
jasa oksigen hasil fotosintesisnya. Bila diasumsikan pohon meranti berdiameter 20 cm
memiliki 25 cabang dan padan cabang terendah memiliki 100 daun, maka oksigen yang
dihasilkan dari proses fotosintesis paling rendah pada S. leprosula Miq. pada kondisi
ternaung, sebesar 28,002 liter/hari. Oksigen sebesar 28,002 liter dapat dimanfaatkan untuk
bernafas 77 orang/hari, bila dirupiahkan sebesar Rp.255.500,00/tahun. Gas oksigen hasil
fotosintesis yang tertinggi pada S. smithiana Sym. pada kondisi terkena sinar matahari
penuh sebesar 127,772 liter/hari. Volume oksigen ini menyupai kebutuhan pernafasan 354
orang/hari dan bila dikonversi ke dalam mata uang sebesar Rp.1.165.900,00/tahun.

Kata kunci : meranti, fotosintesis, oksigen

PENDAHULUAN

Di Indonesia marga Meranti (Shorea spp.) mempunyai jumlah jenis yang sangat
banyak di Indonesia, yaitu sekitar 114 jenis. Berdasarkan keadaan dan sifat kayunya,
meranti dapat dikelompokkan menjadi 4 kelompok, yaitu meranti merah, meranti kuning,
meranti putih dan meranti balau (Anonim 1991).
Secara umum kelompok meranti sangat dikenal di dunia perdagangan. BPS
menyatakan bahwa tahun 2008, produksi kayu meranti sebesar 4.362.297 m3, dari total
produksi kayu Indonesia sebesar 8.058.734 m3. Selama 2009 total kayu meranti yang
diekspor sebanyak 5.990.484 kg atau 9.448.276 us$ ke berbagai negara, diantaranya
Inggris, Korea, Jepang, Australia, Belanda, Amerika, Singapura, dan beberapa negara
lainnya (Anonim 2010).
Selain nilai ekonomi kayu, kelompok meranti juga memiliki nilai ekonomi non kayu,
misalnya jenis-jenis tengkawang. Jenis-jenis tengkawang yang dikenal diantaranya Shorea
stenoptera Burck., Shorea macrophylla P. Ashton, dan Shorea pinanga R. Scheffer. Minyak
biji tengkawang digunakan sebagai bahan baku kosmetik dan makanan. Sumarhani (2007)
menjelaskan produksi tengkawang produktif sebesar 100-250 kg biji kering/pohon. Bila
kerapatan pohon per ha sebanyak 150 pohon dengan asumsi harga tengkawang sebesar
Rp.2.000,00/kg, maka pendapatan kotor setiap tahun sebesar Rp.30.000.000,00 s/d
Rp.75.000.000,00.
Seiring dengan perkembangan jaman, nilai jasa pohon berkembang. Nilai jasa
terbaru adalah diluncurkannya konsep carbon trade, yang menghitung jasa pohon dalam
mengurangi dampak emisi karbon dioksida. Fulton dan Kahn (2010) menjelaskan bahwa
IEA memprediksikan dari tahun 2005 hingga 2050, kebutuhan bahan bakar meningkat
sebesar 70% dan emisi karbon dioksida meningkat sebesar 130%. Untuk mengurangi efek
rumah kaca sebesar 50% diperlukan investasi sebesar 45 triliun dolar amerika. Lebih jauh
Weiss dan Bugnion (2010) menyebutkan bahwa Bank Dunia memiliki Prototype Carbon
Fund dan mengelola 1,4 milyar dolar amerika yang terbagi dalam delapan investasi dana
karbon.

665
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Potensi Ekonomi Oksigen Hasil Fotosintesis Meranti


Dari beberapa paparan sebelumnya, diketahui bahwa pohon, khususnya dari jenis
Meranti memiliki nilai ekonomi yang besar dan beragam. Namun masih ada jasa pohon
yang belum terhitung, yaitu jasa pohon dalam menyediakan gas oksigen.
Clayden (2000) menyebutkan bahwa oksigen merupakan gas terbanyak kedua
setelah nitrogen dalam atmosfer bumi, yaitu sebesar 20,99% volume. Gas oksigen sangat
dibutuhkan oleh manusia untuk proses pernafasan. Gustia (2010) menyebutkan bahwa jika
sama sekali tidak mendapat suplai oksigen dalam waktu 3-7 menit saja, sel-sel otak akan
mulai mengalami kematian.
Oksigen dikeluarkan oleh tumbuhan dari proses fotosintesis. Jalannya proses
fotosintesis seperti reaksi kimia berikut ini.

6 CO2 + 6 H2O C6H12O6 + 6 O2

Laju penyerapan fotosintesis (mol m-2 s-1) yang diukur oleh Shimizu, dkk (2006)
pada semai empat jenis dipterokarpa, yaitu Shorea leprosula Miq., S. pauciflora King., S.
gratissima (Wallich ex Kurz) Dyer. dan S. smithiana Sym. di persemaian Hutan Penelitian
Sebulu, Kaltim, dapat dilihat pada tabel berikut ini :

Tabel 1. Laju Penyerapan Oksigen yang Terjadi pada Proses Fotosintesis Shorea spp.

Cahaya Shorea Shorea Shorea Shorea


leprosula pauciflora gratissima smithiana
Ternaung / 7% cahaya penuh 5,4 5,8 4,8 5,1
(mol m-2 s-1)
Cahaya penuh (mol m-2 s-1) 10,9 7,3 8,0 8,4
Sumber : Shimizu, dkk (2006)

Karena proses fotosintesis terjadi pada daun, maka diperlukan perhitungan luas
permukaan daun. Hong (1992) dalam buku PROSEA menyebutkan ukuran daun Shorea
spp. seperti pada tabel 2.

Tabel 2. Ukuran Daun Shorea spp.

Uraian Shorea leprosula Shorea pauciflora Shorea smithiana


Ukuran daun 8-14 cm x 3,5-5,5 cm 9-15 cm x 4-5,5 cm 12-20 cm x 6,5-11,5 cm
Luas permukaan 28 77 cm2 36 82,5 cm2 78 230 cm2
daun
Rata-rata luas 52,5 cm2 59,25 cm2 154 cm2
permukaan daun
Sumber : Hong, dkk (1992)

Dari ukuran daun, dengan menggunakan formulasi rumus :


Laju Fotosintesis Daun = Rata-rata Luas Daun x Laju Fotosintesis Tiap Detik
maka laju fotosintesis daun setiap detik adalah seperti yang disajikan dalam Tabel 3 berikut.

666
ILMU KEHUTANAN

Tabel 3. Laju Fotosintesis Daun Shorea spp.

Ternaung Cahaya Penuh


Uraian
SL SP SS SL SP SS
Laju Fotosintesis
(mol m-2 s-1) 5,4 5,8 5,1 10,9 7,3 8,4
Rata-rata Luas
Daun (m2) 5,25 x 10-3 5,925 x 10-3 1,54 x 10-2 5,25 x 10-3 5,925 x 10-3 1,54 x 10-2
Fotosintesis Tiap
Detik (mol) 0,02835 0,034365 0,07854 0,057225 0,043253 0,12936

Keterangan : SL = Shorea leprosula, SP = Shorea pauciflora, SS = Shorea smithiana

Bila diasumsikan fotosintesis berjalan optimal pada pukul 09.00 hingga 15.00 atau
selama 6 (enam) jam atau 21.600 detik, maka berdasarkan formulasi rumus berikut :
Jumlah Oksigen yang Dihasilkan = Fotosintesis tiap detik x waktu fotosintesis
maka dapat dihitung jumlah oksigen yang dihasilkan oleh sebuah daun meranti sebagai
mana di sajikan dalam Tabel 4. berikut ini (Catatan : massa molekul oksigen 32 gram/mol)

Tabel 4. Jumlah Oksigen yang Dihasilkan oleh Daun Meranti pada Shorea spp.

Ternaung Cahaya Penuh


Uraian
SL SP SS SL SP SS
Fotosintesis tiap detik 0,02835 0,034365 0,07854 0,057225 0,043253 0,12936
Fotosintesis dalam 1 hari (mol) 612,36 742,284 1.696,464 1.236,06 934,254 2.794,176

Keterangan : SL = Shorea leprosula, SP = Shorea pauciflora, SS = Shorea smithiana

Bila diasumsikan sebatang pohon meranti berdiameter 20 cm memiliki 25 cabang,


dan tiap cabang memiliki 100 daun, maka jumlah oksigen yang terbentuk sebagai hasil dari
fotosintesis satu pohon meranti dapat dilihat pada Tabel 5 berikut ini :

Tabel 5. Jumlah Oksigen yang Dihasilkan oleh Setiap Pohon Meranti pada Shorea spp.

Ternaung Cahaya Penuh


Uraian
SL SP SS SL SP SS
Fotosintesis setiap daun dalam 1
hari (mol) 612,36 742,284 1.696,464 1.236,06 934,254 2.794,176
Fotosintesis tiap pohon ( mol) 122.472 148.456,8 339.292,8 247.212 186.850,8 558.835,2
Fotosintesis pohon dalam 1 hari
(mol) 0,122472 0,148457 0,339293 0,247212 0,186851 0,558835
Jumlah oksigen yang 19,59552 23,75309 54,28685 39,55392 29,89613 89,41363
terbentuk sebagai hasil
fotosintesis dalam 1 hari
(gram)
Massa jenis oksigen 1,429 28,002 33,94316 77,57591 56,52255 42,72157 127,7721
g/liter (liter oksigen)

Keterangan : SL = Shorea leprosula, SP = Shorea pauciflora, SS = Shorea smithiana

Rogers, 2011, menyebutkan bahwa manusia pada saat istirahat mengkonsumsi


oksigen sebanyak 250 ml setiap menit, maka dalam satu hari manusia minimal

667
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

membutuhkan oksigen sebanyak 360 cc. jumlah orang yang dapat memanfaatkan oksigen
hasil fotosintesis satu pohon meranti dissajikan pada tabel 6 berikut ini.

Tabel 6. Rasio Jumlah Orang yang Dapat Memanfaatkan Oksigen


Hasil Fotosintesis Pohon Shorea spp.

Ternaung Cahaya Penuh


SL SP SS SL SP SS
massa jenis oksigen 1,429 g/liter 28,002 33,94316 77,57591 56,52255 42,72157 127,7721
(liter oksigen)
istirahat 250 ml setiap menit, maka 360000 360000 360000 360000 360000 360000
dalam satu hari (ml)
maka jumlah orang yg dapat 77,78333 94,28656 215,4886 157,0071 118,671 354,9224
menggunakan oksigen sebanyak

Keterangan : SL = Shorea leprosula, SP = Shorea pauciflora, SS = Shorea smithiana

Bila harga refill gas oksigen sebesar Rp. 25.000,00 untuk 1 m3 tabung gas oksigen,
maka nilai jasa lingkungan oksigen hasil fotosintesis meranti pada jenis meranti disajikan
pada tabel 7 berikut ini.

Tabel 7. Nilai Jasa Lingkungan dari Hasil Fotosinteis Shorea spp.


Berdasarkan Nilai Manfaat Oksigen yang Dihasilkan

Ternaung Cahaya Penuh


SL SP SS SL SP SS
Massa jenis oksigen 1,429 g/liter 28,002 33,94316 77,57591 56,52255 42,72157 127,7721
(liter oksigen)
Bila harga refill oksigen per liter 700,05 848,5791 1939,398 1413,064 1068,039 3194,302
sebesar 25rb tiap 1 m kubik
(rupiah per hari)
Potensi 1 tahun (Rp.) 255518,2 309731,4 707880,1 515768,3 389834,3 1165920

Keterangan : SL = Shorea leprosula, SP = Shorea pauciflora, SS = Shorea smithiana

KESIMPULAN

1. Oksigen yang terbentuk pada tempat cahaya penuh lebih banyak daripada tempat
ternaung.
2. Hasil simulasi perhitungan dengan batasan asumsi tertentu, menunjukkan bahwa
oksigen yang dihasilkan dari proses fotosintesis paling rendah pada S. leprosula Miq.
pada kondisi ternaung, sebesar 28,002 liter/hari. Oksigen sebesar 28,002 liter dapat
dimanfaatkan untuk bernafas 77 orang/hari, bila dirupiahkan sebesar
Rp.255.500,00/tahun.
3. Hasil simulasi perhitungan dengan batasan asumsi tertentu, menunjukkan bahwa gas
oksigen hasil fotosintesis yang tertinggi pada S. smithiana Sym. pada kondisi terkena
sinar matahari penuh sebesar 127,772 liter/hari. Volume oksigen ini menyupai
kebutuhan pernafasan 354 orang/hari dan bila dikonversi ke dalam mata uang sebesar
Rp.1.165.900,00/tahun.

668
ILMU KEHUTANAN

DAFTAR PUSTAKA

Anonimous. 1991. Vademicum Dipterocarpaceae. Badan Litbang Departemen Kehutanan.


www.indonesianforest.com
Anonimous. 2010. Ekspor dan Impor Komoditi Kehutanan 2007-2009. Kementrian
Kehutanan.
Calyden, J., dkk. 2000. Organic Chemistry. Oxford University Press, USA.
Fulton, M. dan Bruce M. Kahn, B. M. 2010. Investing in Climate Change, p. 175 194, buku
: Environmental Alpha, Editor : Angelo A. Calvello, John Wiley & Son Inc.
Gustia, I.2010. Otak Sangat Rakus Akan
Oksigen.http://health.detik.com/read/2010/12/16/154603/1526561/763/otak-sangat-
rakus-akan-oksigen?ld991107763
Hong., L.T., dkk. 1992. PROSEA Timber Trees Database. Yayasan PROSEA.
Jeans, S. J. 2008. An Introduction to The Kinetic Theory of Gases. Cambridge University
Press, New York, USA
Rogers, K., dkk. 2011. The Respiratory System. Britannica Educational Publishing, USA.
Shimizu, M., dkk. 2006. Leaf Turnover and Growth Responses of Shade-grown Saplings of
Four Shorea Rain Forest Species to a Sudden Increase in Light. Tree Physiology
Journal, Vol. 26; p. 449-457. Heron Publising-Victoria, Canada.
Sumarhani. 2007. Pemanfaatan dan konservasi jenis meranti merah penghasil biji
tengkawang (S. stenoptera dan S. pinanga). Info hutan vol. IV no. 2 tahun 2007.
Weiss, J. dan Bugnion, V. 2010. Carbon as an Investment Opportunity, p. 195 211, buku :
Environmental Alpha, Editor : Angelo A. Calvello, John Wiley & Son Inc.

669
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

KETERKAITAN BEBERAPA KARAKTER FENOTIPIK TERHADAP


PRODUKSI RESIN PADA Pinus merkusii Jungh et de Vries
KANDIDAT BOCOR GETAH

Arida Susilowati1, Supriyanto2, Iskandar Z. Siregar2,


Imam Wahyudi3, dan Corryanti4
1
Mahasiswa Pascasarjana Silvikultur Tropika
2
Staf Pengajar Dept. Silvikultur, Fakultas Kehutanan IPB
3
Staf Pengajar Dept. Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan IPB
4
Puslitbang SDH Perum Perhutani

ABSTRAK

Kandidat Pinus bocor getah merupakan sebutan untuk genotipa pinus yaang mampu
menghasilkan getah di atas 50 gr/3 hari/pohon atau 16 gr/hari/pohon lebih tinggi
dibandingkan rata-rata produksi saat ini yang hanya mencapai 7 gr/hr/pohon. Produksi resin
pada pinus merupakan karakter kompleks yang dipengaruhi oleh faktor internal maupun
eksternal. Pada beberapa pohon bergetah seperti karet produksi getah terkait dengan
peranan sejumlah karakter komponen hasil seperti jumlah pembuluh, lilit batang, tinggi dan
tebal kulit. Penelitian ini bertujuan untuk (1). Mempelajari data karakteristik produksi dan
karakter-karakter yang diduga berkaitan dengan produksi resin, (2). Mengetahui karakter-
karakter yang memiliki korelasi nyata dan berpengaruh langsung terhadap produksi resin.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan nyata antara produksi resin
dengan beberapa karakter fenotipik yang diukur, hal tersebut mengindikasikan bahwa
produksi resin yang tinggi sangat kuat dipengaruhi oleh faktor genetik sehingga
memungkinkan dilakukan kegiatan breeding untuk karakter tersebut pada Pinus merkusii.

Kata kunci: Pinus merkusii, bocor getah, produksi, fenotipik

PENDAHULUAN

Pinus merkusii merupakan satu-satunya jenis pinus yang tersebar secara alami
melewati garis katulistiwa dan memiliki keistimewaan pada proses reproduksi yaitu berbunga
dan menghasilkan buah sepanjang tahun (Mirov 1967). Di Indonesia, P.merkusii dikenal
sebagai jenis pohon yang penting untuk kayu pertukangan, produksi resin dan untuk
rehabilitasi lahan (Suhardi et al. 1994). Salah satu produk hasil pemasakan resin yang
bernilai tinggi dan sangat diminati pasar di dalam dan luar negeri adalah gondorukem (gum
rosin). Gondorukem termasuk produk potensial yang dikelompokkan sebagai pine chemical
product dan memegang peranan penting sebagai andalan hasil hutan non kayu di Indonesia
karena menghasilkan devisa negara sekitar US$ 50 juta setiap tahunnya (Fahrodji 2010) dan
menyerap tenaga kerja yang cukup besar (Perhutani 2009).
Permasalahan yang dihadapi dalam ekspor gondoruukem adalah adanya fluktuasi
harga dan fluktuasi kuota ekspor sehingga Indonesia masih kalah bersaing dengan RRC dan
Brazil. RRC memiliki hutan pinus terluas yaitu r 1.3 juta hektar mampu menyumbangkan r
75% gondorukem di pasar internasional. Brazil memiliki hutan pinus seluas r 100.000 hektar
dengan kerapatan pohon sebanyak 800 pohon/Ha dan produksi getah 6 kg/phn/tahun atau 8
ton/Ha/tahun serta mampu menyumbangkan r 20% gondorukem di pasaran dunia setiap
tahunnya (Mello 2008). Indonesia memiliki luasan hutan pinus r 476.000 hektar, mampu
menyumbangkan 0.85 ton/Ha/tahun atau r 8% gondorukem dunia. Dari uraian tersebut,
dapat disimpulkan bahwa produktifitas pinus di Indonesia relatif lebih rendah di bandingkan
RRC dan Brazil. Berangkat dari permasalahan produktifitas, keterbatasan luasan hutan
pinus di Jawa dan dalam rangka peningkatan pendapatan masyarakat sekitar hutan

670
ILMU KEHUTANAN

beberapa alternatif solusi yang dapat ditawarkan antara lain: kegiatan pemuliaan pohon,
perbaikan teknik silvikultur, perbaikan teknik penyadapan dan perbaikan manajemen
pengelolaan (Fahrodji et al. 2009). Kegiatan pemuliaan tanaman untuk menghasilkan
genotipa dengan kemampuan menghasilkan getah banyak (bocor getah) merupakan cara
yang cukup prospektif untuk dikembangkan, mengingat telah ditemukannya beberapa
genotipa dengan produktifitas yang lebih tinggi dibandingkan rata-rata. Kandidat pinus bocor
getah merupakan sebutan untuk genotipa pinus yang mampu menghasilkan getah diatas 50
gr/3 hari/pohon atau 16 gr/hari/pohon lebih tinggi dibandingkan rata-rata produksi saat ini
yang hanya mencapai 7 gr/hr/pohon (www.puslitbangsdh.perumperhutani.com).
Tingkat produksi resin pada pinus merupakan resultante dari peranan sejumlah
karakter komponen hasil. Beberapa karakter fenotipik dilaporkan memiliki kaitan dengan
produksi getah pada beberapa jenis pohon bergetah. Informasi mengenai keterkaitan
karakter fenotipik dengan produksi getah di Indonesia banyak dilaporkan pada tanaman
karet. Beberapa studi yang telah dilakukan menunjukkan variabel seperti lilit batang dan
indeks penyumbatan memiliki pengaruh langsung terhadap produksi lateks (Novalina et al.
2008). Pada tanaman karet produksi lateks dipengaruhi oleh jumlah pembuluh lateks,
diameter pembuluh lateks, kadar sukrosa, kadar fosfat, kadar thiol dan juga lilit batang dan
tebal kulit (Goncalves et al. 2005), namun pada pohon pinus untuk tujuan produksi getah
informasi tersebut belum diperoleh. Penelitian ini bertujuan untuk (1). Mempelajari data
karakteristik produksi dan karakter-karakter yang diduga berkaitan dengan produksi resin,
(2). Mengetahui karakter-karakter yang memiliki korelasi nyata dan berpengaruh langsung
terhadap produksi resin.

BAHAN DAN METODE

Bahan penelitian ini adalah 106 pohon plus kandidat bocor getah asal Kebun Benih
Semai (KBS) Cijambu, Sumedang Jawa Barat. Metode yang digunakan dalam pengamatan
variasi fenotipik pohon plus kandidat bocor getah adalah metode observasi deskriptif non
eksperimen dengan cara pengumpulan data lapang melalui pengamatan penampilan
fenotipik terhadap 9 karakter (karakter batang dan tajuk).
Pengamatan fenotipik terhadap 9 karakter dapat disajikan pada Tabel 1. Analisis
statistik dilakukan dengan menggunakan program MS Excel dan SPSS versi 15 untuk
mendapatkan nilai rata-rata pada masing-masing tanaman dan peubah pengamatan dan
nilai tengah dari masing-masing peubah pengamatan. Uji korelasi pearson antar masing-
masing peubah dilakukan dengan SPSS versi 15. Analisis regresi bertatar dan analisis lintas
dilakukan dengan program SPSS versi 15. Pada analisis regresi produksi resin dijadikan
sebagai peubah tak bebas.

671
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Tabel 1. Karakter fenotipik dan cara pengukuran pada penelitian


fenotipik pinus kandidat bocor getah

No Karakter Satuan Kode Cara pengukuran


1 Tinggi Total M TTB Diukur dengan menggunakan alat
hagahypsometer dari mulai pangkal batang
sampai ujung batang utama
2 Tinggi Bebas M TBC Diukur dengan menggunakan alat
cabang hagahypsometer dari mulai pangkal batang
sampai cabang pertama pembentuk tajuk
3 Diameter Cm D Diukur dengan menggunakan alat phiband
pada ketinggian batang utama setinggi dada
(1, 3 m diatas permukaan tanah)
4 Rasio - RDCPT Dihitunng dari nilai perbandingan diameter
diameter cabang pembentuk tajuk dengan diameter
cabang batang dimana cabang tersebut tumbuh.
pembentuk
tajuk
5 Tebal kulit Cm TKB Diukur dengan menggunakan alat mistar dari
batang kulit luar hingga kulit dalam dekat permukaan
kayu
6 Panjang tajuk M PT Diukur dengan menggunakan meteran
terhadap proyeksi horizontal tajuk
7 Lebar tajuk M LT Diukur dengan menggunakan meteran
terhadap proyeksi horizontal tajuk
8 Tinggi Tajuk M TT Dihitung dari pengurangan nilai TTB dengan
TBC
9 Leaf Crown - LCR Dihitung dari nilai TTB dikurangi nilai TBC
Ratio dibagi TT

30

25

20
Frequency

15

10

Mean = 101.5604
Std. Dev. = 30.2905
N = 106
0
50.00 100.00 150.00 200.00 250.00 300.00

Cijambu

Gambar 1. Produksi resin (gr/3hr/ph) pinus asal KBS Cijambu dari 106 tanaman
(Sumber data: Puslitbang SDH, Perum Perhutani 2006)

672
ILMU KEHUTANAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

Produksi resin dari 106 pohon plus kandidat bocor getah


Pinus bocor getah merupakan sebutan untuk genotipa pinus yaang mampu
menghasilkan getah di atas 50 gr/3 hari/pohon atau 16 gr/hari/pohon lebih tinggi
dibandingkan rata-rata produksi saat ini yang hanya mencapai 7 gr/hr/pohon. Data hasil
pengukuran (Tabel 1) menunjukkan rata-rata produksi resin yang cukup tinggi yaitu 101.56
gr/3hr/pohon. Terdapatnya keragaman produksi yang tinggi pada populasi di KBS Cijambu
kemungkinan disebabkan adanya pengaruh faktor genetik. Hal tersebut dapat dipahami
mengingat pohon plus yang ditanam di KBS Cijambu berasal dari tetua yang berbeda dari
asal sumber benih yang berbeda.
Menurut Suharlan (1983) dalam Yunanto dan Siregar (2008) ada 2 (dua) faktor yang
mempengaruhi produksi resin yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yaitu
fisiologis pohon (umur dan diameter pohon, jumlah dan ukuran saluran getah, suplai nutrisi
dan air terutama pada bagian luka) dan faktor genetik pohon (terdapat pohon penghasil
getah kurang produktif) sedangkan faktor eksternal adalah kondisi lingkungan tempat
tumbuh (iklim, kerapatan pohon serta intensitas cahaya). Faktor eksternal dan internal
saling berkaitan dalam mempengaruhi fenotipik tertentu.

Hubungan antara hasil dan komponen hasil


Pendugaan parameter genetik yang meliputi nilai variabilitas genetik, ragam
genotip, fenotip dan ragam lingkungan, nilai heritabilitas, kemajuan genetik, serta nilai
korelasi fenotip dan genotip, merupakan hal penting sebagai informasi dasar bagi upaya
perbaikan suatu karakter tanaman melalui seleksi dan atau kegiatan pemuliaan lainnya.
Penampilan fenotipik suatu karakter tanaman adalah merupakan hasil total dari faktor
genetik, faktor lingkungan, dan interaksi antara faktor genetik dengan faktor lingkungannya
(Falconer & Mackay, 1996). Berdasarkan teknik pendugaan parameter genetik, nilai ragam
genotip, fenotip, dan ragam lingkungan dapat dipisahkan dan diduga antara satu dan lainnya
sehingga mudah dalam mengukur nilai variabilitas genetik, heritabilitas, dan nilai kemajuan
genetiknya. Keterkaitan fenotipik dengan karakter tertentu telah banyak diteliti pada
beberapa jenis pohon seperti pada jarak pagar (Wardiana&Pranowo 2010); kayu putih
(Susanto et al. 2008), quaking aspen (Kanaga et al. 2008); P. elliottii (Pswarayi et al. 1998);
P.pinaster (Gaspar et al. 2008) dan Janson&Baumanis (2009), namun pada P. merkusii
informasi tersebut belum tersedia.
Hasil uji korelasi antara masing-masing peubah yang diamati pada populasi KBS
Cijambu disajikan pada Tabel 2.Berdasarkan hasil uji korelasi antara masing-masing peubah
yang diamati dengan variabel produksi (Tabel 2) diketahui tidak terdapat hubungan yang
nyata antara produksi dengan tinggi total batang (TTB), tinggi bebas cabang (TBC),diamater
(D), kekokohan batang (KB), tebal kulit (TK), panjang tajuk (PT), lebar tajuk (LT), tinggi tajuk
(TT) dan Leaf crown ratio (LCR). Hal tersebut sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan
pada P.roxburghii (Sehgal et al. 1994) P. pinaster (Tadesse et al. 2001) dan P. taeda
(Roberds et al. 2003). Hasil penelitian yang dilakukan tersebut melaporkan bahwa karakter
bergetah banyak pada konifer lebih terkait kuat dengan faktor genetik sehingga kecil
kemungkinan dapat dideteksi secara morfologi.

673
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Tabel 2. Matriks koefisien korelasi antara 9 peubah komponen hasil pinus


dari 106 pohon plus

Peubah Produksi TTB TBC D KB TK PT LT TT LCR


Produksi 1 0.108 0.078 0.044 0.057- 0.041 - 0.028 -
0.106 0.108 0.028
TTB 1 0.58** 0.130 0.55** -0.19 -0.15 0.08 0.38** -0.12
TBC 1 0.28 0.35** -0.19* -0.06 -0.03 -0.54 -
0.88**
D 1 - 0.30** 0.06 0.06 0.10 0.06
0.74**
KB 1 - 0.04 -0.01 0.17 -0.13
0.36**
TK 1 0.09 0.10 0.015 0.14
PT 1 0.15 0.23** 0.16
LT 1 0.12 0.08
TT 1 0.87**
LCR 1

Penanda morfologi banyak digunakan karena lebih mudah, cepat, sederhana dan
murah namun memiliki kelemahan karena dipengaruhi oleh tahap perkembangan tanaman
dan lingkungan sehingga sering tidak dapat membedakan antara genotipa yang diamati
karena secara morfologi terlihat sama tetapi sebenarnya berbeda akibat sifat resesif yang
tertutup oleh sifat dominan. Hal tersebut juga terkait dengan pernyataan Fikeldey (2005)
yang mengatakan bahwa kandungan produksi metabolit sekunder tertentu yang merupakan
hasil dari aliran metabolit kompleks hanya dikendalikan oleh satu atau sejumlah kecil gen.
Studi secara morfologi lain terhadap kandidat pinus bocor getah yang dilakukan oleh
Burczyk et al. 1998; Kassuth et al.1984 dan Mergen et al. 1955 pada pinus jenis lain,
menyimpulkan bahwa intensitas produksi resin sangat dipengaruhi oleh faktor genetik, dan
menduga adanya sejumlah gen yang berpengaruh terhadap karakter kuantitatif tersebut
sehingga disarankan untuk melakukan studi molekuler lebih lanjut.

KESIMPULAN

Pengamatan fenotipik terhadap 9 (sembilan) karakter batang dan tajuk yang


meliputi tinggi total batang (TTB), tinggi bebas cabang (TBC),diamater (D), kekokohan
batang (KB), tebal kulit (TK), panjang tajuk (PT), lebar tajuk (LT), tinggi tajuk (TT) dan Leaf
crown ratio (LCR) belum dapat digunakan untuk membedakan pohon plus kandidat bocor
getah, hal tersebut diduga karena karakter bergetah banyak pada pinus lebih terkait erat
dengan faktor genetik dan keberadaan gen yang mempengaruhi produksi resin. Deteksi
secara molekuler lebih lanjut diharapkan mampu menjawab dugaan tersebut.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih disampaikan kepada : (1). Direktur SEAMEO-BIOTROP, (2)


Tim peneliti PUSLITBANG SDH Perum Perhutani dan Administratur KPH Sumedang.

674
ILMU KEHUTANAN

DAFTAR PUSTAKA

Burczykj, Lewandowskai & Chojnackib. 1998. Resin Production Of Scots Pine Trees May Be
Associated With Multilocus Allozyme Variation. Arboretum Kdrnickie 43:79-83.
Fahrodji A. 2010. Model Daya Saing Produk Gondorukem Di Pasar Internasional Dan
Implikasinya Terhadap Pengembangan Industri Gondorukem Di Indonesia. Disertasi.
Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor.
Fachrodji A, Sumarwan U, Suhendang E dan Harianto. 2009. Perbandingan Daya Saing
Gondorukem Di Pasar International. Jurnal Manajemen dan Agribisnis:6:2:140-151
Falconer, D.S dan Mackay T.F.C. 1996. Introduction To Quantitative Genetic. 4th edition.
Addison Wesley Longman, Essex, UK..
Gaspar, M.J., Louzada, J.L., Aguilar, A & Almeida, M.A. 2008. Genetic Correlations
Between Wood Quality Traits Of Pinus Pinaster Ait. Ann. For. Sci. 65: 703
Goncalves, P.S.,R.Narayanan, K.T Chen. 1972. Some structural factor affecting the
productivity of Hevea braziliensis:Quantitative determinaation of laticiferous tissue.
Rubb Res Inst Malaya 23 (3):193-203
Janson, A &Baumanis,I. 2009. Branch Trait as Selection Criteria In Scot Pine Breeding in
Latvia. LLU Raksti: 23:318
Kanaga, M.K,, Ryel, R.J., Mock, K.J, &.Frender, P. 2008. Quantitative-Genetic Variation in
Morphological and Physiologycal Trait Within Quaking Aspen (Populus tremuloides)
population
Kossuths V. 1984. Multipurpose Slash Pine - Genetics And Physiology Of Gum Naval
Stores Production. Usda. Fol: Sew. General Tech. Report, Northeastern Sta. Ne-90:
77-83.
Mirov,N.T. 1967. The genus of Pinus. Roland Press Company. New York. 602 pp.
Mello,B. 2008. Brazilian Rosin,Turpentine and Hydrocarbon Resin Market Factor During
2008. Praque:Pine Chemicals Association International Conference.
Mergen, Hoekstrap & Echols.RM. 1955. Genetic Control Of Oleoresin Yield And Viscosity
In Slash Pine. Forest Science 1(1):19-30
Novalina, Jusuf, M.,Wattimena, G.A., Suharsono, Sumarmadji&Dalin, A. 2008. Keragaan dan
hubungan berbagai komponen hasil tanaman karet pada dua populasi hasil
persilangan PB 260 dengan Pn. Bul. Agron 32:152-159
Pswarayi, I.Z., Barnes, R.D., Birks, J.S., dan Kanowski, P.J. 1996. Genetic Parameter
Estimates for Production and Quality Traits of Pinus elliottii ENGELM. var. elliottii in
Zimbabwe. Silvae Genetica :45,
Puslitbang Perhutani. 2010. Pinus bocor getah. .www.puslitbangsdh.perumperhutani.com
[Tanggal akses 1 Februari 2011]
Roberds, J.H., Strom, B.L., Brain, F.P., Gwaze, D.P., Mc Keand, D.P& Lot. L,H. Estimates of
genetic parameters for oleoresin and growth traits in juvenile loblolly pine. Can. J.
For. Res. 33: 24692476
Suhardi, Sosef, M,S,M., Laming, P,B., & Ilic J. 1994. Pinus L. In Plant Resources of South-
East Asia 5(1) Timber trees: Major commercial. Jansen, P.C.M., Westphal, E.,
Kartasubrata, J. (eds.) 349-357 pp. PROSEA Bogor Indonesia 610 pp.
Tadesse,W., Nano, N., Aunon, F,J., Alia, R.&Luis, G. Evaluation Of High Resin Yielders Of
Pinus Pinaster Ait. Forest Genetic: 271-278.
Wardiana, E &Pranowo, D. 2010. Pendugaan Parameter Genetik, Korelasi, Dan
Klasterisasi Dua Puluh Genotip Jarak Pagar (Jatropha Curcas L.) Di Kebun
Percobaan Pakuwon. Zuriat: 21:1,
Yunanto,T dan Siregar,I.Z. 2008. Pemuliaan Pohon agathis loranthifolia Salisb. Mitra
Hutan Tanaman:3:3: 149-155

675
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

PENDUGA MODEL HUBUNGAN TINGGI DAN DIAMETER POHON


JENIS JAMBU-JAMBU (Kjellbergiodendron sp.) PADA
HUTAN ALAM DI KAB MAMUJU SULAWESI BARAT

Beta Putranto
Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin
Jalan Perintis Kemerdekaan KM 10 Tamalanrea Makassar
Alamat email : betaputranto@yahoo.co.id

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan penduga model hubungan tinggi dan
diameter pohon yang paling sesuai untuk jenis jambu-jambu pada hutan alam di Mamuju,
Sulawesi Barat. Penduga model yang diperoleh diharapkan dapat digunakan untuk menduga
volume pohon, menentukan posisi sosial pohon dalam tegakan, menentukan indeks
produktivitas tegakan, dan menggambarkan dinamika pertumbuhan tegakan. Penelitian
dilakukan pada dua lokasi di Mamuju. Petak ukur berbentuk bujur sangkar 20 m x 20 m
sebanyak 50 petak ukur yang dipilih secara sistematis dengan jarak sama pada masing-
masing lokasi. Setiap pohon dalam petak ukur diukur diameter setinggi dada dan tinggi total.
Analisis dilakukan terhadap 38 pohon jambu-jambu yang ditemukan pada 100 petak ukur.
Sebanyak 27 pohon digunakan dalam penyusunan model. Enam model yang terdiri atas tiga
model yang secara intrinsik linier dan tiga model non-linier digunakan dalam analisis.
Validasi model dilakukan dengan menghitung skor berdasarkan besarnya bias rata-rata,
penduga kuadrat tengah galat (MSEP) dan indeks galat (EI) terhadap seluruh pohon.
Analisis yang sama juga dilakukan terhadap tinggi maksimum untuk setiap pengamatan
diameter. Hasil analisis menunjukkan bahwa berdasarkan kriteria R2, model yang secara
intrinsik linier memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan model non-linier.
Model yang menggunakan peubah tak bebas tinggi maksimum mempunyai nilai R2 yang
lebih besar dibandingkan dengan model yang menggunakan peubah tak bebas tinggi
seluruh pohon sehingga penduga model yang digunakan adalah model yang menggunakan
peubah tak bebas tinggi total maksimum. Hasil validasi model menunjukkan bahwa tiga
peringkat teratas adalah model non-linier sehingga model yang secara intrinsik linier tidak
dipertimbangkan sebagai penduga model meskipun mempunyai nilai R2 yang lebih besar.
Hasil Uji-t menunjukkan bahwa ke tiga penduga model non-linier tersebut merupakan
penduga yang tidak berbias. Penduga model yang paling baik bagi jenis jambu-jambu adalah
model non-linier yang mempunyai bentuk sigmoid bertipe logistik.

Kata kunci : tinggi, diameter, jambu-jambu, linier, non-linier.

PENDAHULUAN

Pertambahan penduduk dan laju pembangunan yang sangat pesat berimplikasi pada
meningkatnya permintaan kayu secara tajam, sementara persediaan kayu semakin terbatas
karena berkurangnya luas hutan sebagai akibat dari praktik-praktik pembalakan liar serta
konversi hutan untuk kepentingan-kepentingan lain di luar kehutanan. Dalam rangka untuk
memenuhi kebutuhan kayu yang semakin terbatas jumlahnya, berbagai upaya telah
dilakukan, baik yang berhubungan dengan perbaikan sistem pengelolaan hutan, perbaikan
sifat-sifat kayu melalui teknik-teknik silvikultur dan pemuliaan pohon maupun teknik-teknik
yang berhubungan dengan pemanfaatan kayu mulai dari pemanenan sampai ke industri.
Pengelolaan hutan yang baik harus didasarkan pada perencanaan yang didukung oleh
informasi yang akurat dan dapat dipercaya yang berhubungan dengan keadaan hutan itu
sendiri, mulai dari kondisi permudaan, potensi hutan serta pertumbuhannya.

676
ILMU KEHUTANAN

Pada umumnya, dalam pendugaan potensi hutan, khususnya potensi volume,


memerlukan pengukuran tinggi dan diameter pohon. Pengukuran tinggi pohon biasanya
lebih sulit sehingga dapat memakan waktu lama dan mahal sedang pengukuran diameter
dapat dilakukan dengan mudah dan relatif murah. Jika tersedia data tinggi dan diameter
maka dapat dirumuskan model hubungan tinggi-diameter di mana tinggi merupakan fungsi
dari diameter. Selanjutnya, berdasarkan penduga model hubungan tinggi-diameter tersebut
dapat diduga besarnya tinggi pohon hanya dengan melakukan pengukuran diameter
sehingga waktu dan biaya yang dibutuhkan dalam kegiatan inventarisasi hutan, khususnya
dalam pendugaan volume tegakan dapat ditekan.
Pertumbuhan merupakan pertambahan dimensi dari satu atau lebih individu dalam
suatu tegakan hutan pada periode waktu tertentu (Husch et al.(1972); Vanclay (1994)).
Setiap pohon mengalami dua bentuk pertumbuhan yang berbeda, yaitu pertumbuhan vertikal
atau tinggi dan pertumbuhan horizontal atau diameter. Pertumbuhan tinggi dan diameter
menyebabkan terjadinya perubahan ukuran dan bentuk pohon yang pada gilirannya sangat
menentukan dalam pendugaan volume pohon maupun tegakan. Pengembangan metode
pendugaan potensi hutan, termasuk di dalamnya pendugaan model hubungan antara
karakteristik individual pohon seperti tinggi dan diameter telah banyak dilakukan. Berbagai
fungsi yang menyatakan hubungan tinggi dan diameter telah banyak dipelajari dan diteliti
(Husch et al.(1972); Huang et al. (2000); Newton dan Amponsah (2007); Adame, et al.
(2008)). Meskipun demikian, penelitian-penelitian tentang pertumbuhan dan hubungan
antara karakteristik pohon masih terus dilakukan karena tidak ada satupun model atau
formula yang sesuai untuk semua jenis pohon. Selain itu, pertumbuhan suatu pohon
dipengaruhi oleh kemampuan genetiknya dalam berinteraksi dengan faktor lingkungan
seperti iklim, tanah dan topografi serta kemampuan berkompetisi dalam memperoleh
makanan dan ruang tumbuh. Jadi setiap jenis atau kelompok jenis pohon dapat mempunyai
pertumbuhan dan ukuran batang yang berbeda sebagai akibat dari interaksi faktor-faktor
tersebut (Husch et al.(1972); Huang et al. (2000)).
Dalam rangka untuk meningkatkan keakuratan model sebagai dasar dalam
pengambilan keputusan pengelolaan hutan perlu dilakukan penelitian yang berhubungan
dengan pengembangan model hubungan tinggi dan diameter pohon yang berbasis wilayah
karena hubungan antara pertumbuhan dan hasil sering bervariasi antara satu wilayah
dengan lainnya. Selama ini penelitian-penelitian tentang hubungan antara tinggi dan
diameter pohon lebih banyak diarahkan pada hutan tanaman yang pada umumnya
merupakan tegakan seumur dibandingkan pada hutan alam yang terdiri atas berbagai jenis
pohon dengan umur yang bervariasi. Belum banyak penelitian sejenis yang dilakukan pada
hutan alam tropika terutama hutan alam tropika di Sulawesi. Berdasarkan alasan tersebut
maka dilakukan penelitian yang berhubungan dengan model hubungan tinggi dan diameter
pohon jenis jambu-jambu pada hutan alam di Kabupaten Mamuju Sulawesi Barat.

ALAT DAN BAHAN

Alat dan Bahan


Alat-alat yang digunakan adalah roll meter, pita diameter, Hagameter, GPS, Abney
Level, komputer, seperangkat alat keamanan kerja & survei dan alat tulis. Bahan yang
dibutuhkan adalah batang pohon yang ada pada lokasi penelitian.

Metode Pengambilan Sampel


Penelitian dilakukan pada dua lokasi di Kabupaten Mamuju Sulawesi Barat. Lokasi I
terletak di Kecamatan Bonehau, yaitu pada posisi koordinat 119o1438 Bujur Timur (BT) dan
2o3258 Lintang Selatan (LS), sedang lokasi II terletak di Kecamatan Topoyo, yaitu pada
posisi koordinat 119o3113 BT dan 1o5541 LS Petak ukur untuk pengukuran pohon
berbentuk bujur sangkar berukuran 20 m x 20 m yang ditetapkan sebanyak 50 petak ukur
pada masing-masing lokasi. Penentuan petak ukur dilakukan dengan menggunakan teknik
penarikan sampel secara sistematik dengan jarak antar petak ukur 50 m.

677
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Metode Pengumpulan Data


Pengumpulan data dilakukan dengan cara pengukuran, pengamatan dan studi
dokumen. Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder. Data primer
terdiri atas diameter setinggi dada dan tinggi total pohon. Setiap pohon dalam petak ukur
diukur diameter setinggi dada dan tinggi total serta dicatat jenis pohonnya. Pengukuran
tinggi dilakukan dengan menggunakan Hagameter. Pengukuran diameter setinggi dada
dilakukan dengan menggunakan pita diameter atau pita meter pada tinggi 130 cm dari
permukaan tanah. Untuk pohon yang berbanir, jika tinggi banir kurang dari 130 cm, diameter
diukur pada tinggi 130 cm. Jika tinggi banir lebih dari 130 cm, pengukuran diameter
dilakukan pada jarak 20 cm di atas banir. Data sekunder terdiri atas kondisi biofisik lokasi
pengambilan sampel, seperti jenis tanah, curah hujan dan topografi.

Metode Analisis Data


Sekitar 70% dari data hasil pengukuran digunakan untuk menentukan penduga
model hubungan antara tinggi pohon sebagai peubah tak bebas dan diameter pohon
sebagai peubah bebas dengan menggunakan analisis regresi, baik regresi linier maupun
non linier. Enam model yang terdiri atas tiga model yang secara intrinsik linier dan tiga model
non-linier digunakan dalam analisis. Untuk keperluan analisis, ditambahkan satu informasi
mengenai diameter semai pada tinggi total sekitar 130 cm (untuk menghindari kesalahan
dalam perhitungan bilangan riil yang melibatkan pembagian dan logaritma maka ditetapkan
pada tinggi 131 cm, diameternya 0,1 cm). Selain menggunakan data seluruh pohon hasil
pengukuran, analisis juga dilakukan terhadap hubungan antara diameter dengan tinggi
maksimum dari pohon yang mempunyai diameter yang sama dengan pertimbangan bahwa
tinggi maksimum dari setiap diameter lebih mencerminkan pertumbuhan ideal pohon.

Persamaan dari model yang dianalisis adalah :


(1). MT1 :
(2). MT2 :
(3). MT3 :
(4). MT4 :
(5).MT5 :
(6).MT6 :
Di mana :
H adalah tinggi total pohon (m)
D adalah diameter setinggi dada (cm)
a, b, dan c adalah penduga parameter

Model MT1, MT2 dan MT3 merupakan persamaan dari model yang secara intrinsik
linier sehingga untuk keperluan analisis, model tersebut ditransformasikan lebih dahulu
menjadi bentuk linier dalam parameter. Setelah ditransformasi, ke tiga model tersebut
dianalisis dengan menggunakan analisis regresi linier sederhana. Bentuk transformasi dari
model tersebut adalah :
MT1 :
MT2 :
MT3 :

Evaluasi kesesuaian model dan penentuan calon penduga model terbaik dilakukan
dengan menggunakan kriteria Koefisien Determinasi (R2) untuk model linier atau pseudo-
coefficient of multiple determination untuk model non linier. Pseudo-coefficient of multiple

678
ILMU KEHUTANAN

determination adalah nilai R2 pada model non linier yang dihitung dengan menggunakan
rumus :

Untuk menentukan model mana yang paling baik sebagai penduga hubungan antara
diameter dan tinggi pohon, dilakukan validasi terhadap ke-enam model tersebut . Salah satu
pendekatan yang dilakukan sebagai pertimbangan untuk melakukan validasi menurut Draper
dan Smith (1992) adalah membuang m amatan dan menggunakan n-m amatan lainnya
untuk memperoleh persamaan regresi. Selanjutnya memvalidasi persamaan tersebut
dengan m amatan yang dibuang. Kriteria yang digunakan dalam melakukan validasi adalah
besarnya bias rata-rata absolut, mean squared error prediction (MSEP) dan Indeks galat
(EI). Semakin rendah nilai ketiganya semakin baik penduga model yang digunakan.
Penduga model dengan nilai bias, MSEP dan EI terendah diberi skor 6, sedang penduga
model dengan nilai tertinggi diberi skor 1. Penduga model dengan jumlah total skor tertinggi
dipertimbangkan sebagai model terbaik. Rumus bias rata-rata dan MSEP (Rawlings, 1988)
serta EI (Reynolds et al., 1988) adalah sebagai berikut :

Di mana :
adalah nilai pengamatan ke i
adalah nilai dugaan ke i
n adalah banyaknya pengamatan

Selanjutnya, kelayakan dari suatu model dapat dilihat dari apakah penduga model
yang diperoleh berbias atau tidak, dengan mengujinya menggunakan uji-t. Di samping itu,
grafik dari model yang diperoleh harus juga diperiksa untuk mengetahui kesesuaian dari
kecenderungan perilaku peubah respon (peubah tak bebas) dengan model.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kedua lokasi pengambilan sampel mempunyai keadaan topografi yang relatif sama,
yaitu bervariasi dari datar hingga sangat curam. Lokasi I terletak pada ketinggian sekitar 520
m dari permukaan laut dan Lokasi II terletak pada ketinggian sekitar 612 m dari permukaan
laut.
Jenis tanah pada lokasi I terdiri atas alluvial, latosol dan kambisol. Jenis tanah alluvial
pada umumya berada pada daerah datar, latosol berada pada daerah landai dan daerah
curam hingga sangat curam, sedangkan jenis tanah kambisol pada umumnya berada pada
daerah yang agak curam. Jenis tanah pada lokasi II terdiri atas podsolik merah kuning dan
alluvial. Jenis tanah podsolik merah kuning terdapat pada topografi berbukit dan bergunung
sedang tanah aluvial terdapat pada topografi datar.
Berdasarkan klasifikasi iklim Schmidt dan Ferguson, tipe iklim pada kedua lokasi
adalah sama yaitu termasuk dalam tipe iklim B. Kondisi iklim selalu basah atau hujan dengan
curah hujan rata-rata tahunan di atas 2500 mm dan rata-rata bulan kering sekitar 1-2 bulan
per tahun yang pada umumnya terjadi antara bulan Juni sampai dengan Oktober.

679
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Komposisi jenis pohon yang menyusun hutan pada ke dua lokasi berdasarkan dari
jumlah jenis yang ditemukan pada petak ukur yang diamati adalah relatif sama meskipun
ada beberapa jenis yang ditemukan di lokasi I tetapi tidak ditemukan pada lokasi II dan
sebaliknya. Pada lokasi I untuk tingkat semai ditemukan 26 jenis, tingkat pancang sebanyak
28 jenis, tingkat tiang sebanyak 32 jenis dan pohon sebanyak 32 jenis. Pada lokasi II untuk
tingkat semai ditemukan 25 jenis, tingkat pancang sebanyak 28 jenis, tingkat tiang sebanyak
32 jenis dan pohon sebanyak 39 jenis. Jumlah pohon yang mempunyai diameter di atas 10
cm pada lokasi I sebanyak 455 pohon/ha. Dari jumlah tersebut, sekitar 4% adalah jenis
jambu-jambu. Pada lokasi II terdapat sebanyak 582 pohon/ha, di mana 8% diantaranya
adalah jenis jambu-jambu.
Berdasarkan hasil pengukuran pohon pada 100 petak ukur ditemukan sebanyak 38
batang pohon jenis jambu-jambu. Dari jumlah tersebut, sebanyak 27 batang yang dipilih
secara acak digunakan dalam perhitungan pendugaan persamaan model yang dianalisis.
Diameter pohon hasil pengukuran berkisar antara 21-65 cm dengan rata-rata 34,6 cm dan
simpangan baku 11,6 cm. Tinggi pohon berkisar antara 14-28 m dengan rata-rata 19,0 m
dan simpangan baku sebesar 3,2 m. Diagram pencar dari 38 pasang hasil pengukuran dapat
dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. menunjukkan bahwa secara umum pohon yang mempunyai diameter
antara 20-30 cm mempunyai tinggi total rata-rata masih di bawah 20 m, kemudian ada
kecenderungan tinggi pohon mengalami kenaikan yang relatif kecil pada kisaran diameter
antara 30-70 cm. Fakta ini merupakan suatu indikasi bahwa pertumbuhan tinggi pohon pada
kisaran diameter tersebut sudah mencapai pertumbuhan maksimum. Hasil analisis regresi
menunjukkan bahwa ada hubungan yang nyata antara tinggi dengan diameter pohon, baik
yang menggunakan peubah tak bebas tinggi setiap individu pohon maupun tinggi
maksimum. Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan oleh Husch et al. (1972) bahwa jika ada
dua variabel mempunyai korelasi dengan variabel lain maka kedua variabel tersebut akan
berkorelasi satu dengan lainnya. Karena pertumbuhan tinggi dan diameter merupakan fungsi
dari waktu yang berarti bahwa tinggi dan diameter mempunyai korelasi dengan waktu maka
tinggi dan diameter mempunyai korelasi yang cukup kuat. Kuatnya hubungan antara tinggi
dan diameter dinyatakan dengan besarnya nilai R2 dari keenam model yang dianalisis seperti
yang disajikan pada Tabel 1.

Gambar 1. Diagram pencar hubungan tinggi dan diameter jenis jambu-jambu

680
ILMU KEHUTANAN

Tabel 1. Nilai R2 penduga model hubungan diameter dan tinggi pohon jenis jambu-jambu

No. Model Koefisien Determinasi (R2)


Model dengan tinggi individu Model dengan Tinggi maksimum
1. MT1 0,990* 0,995*
2. MT2 0,938* 0,950*
3. MT3 0,999* 0,999*
4. MT4 0,647 0,799
5. MT5 0,653 0,790
6. MT6 0,653 0,794

Keterangan : * diperoleh dari transformasi model aslinya menjadi model linier sederhana

Tabel 1. menunjukkan bahwa berdasarkan kriteria besarnya nilai R2 , ternyata model


yang secara intrinsik linier memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan model
non linier. Secara umum, model yang menggunakan peubah tak bebas tinggi maksimum
mempunyai nilai R2 yang lebih besar dibandingkan dengan model yang menggunakan
peubah tak bebas tinggi individu pohon hasil pengukuran. Kenaikan nilai R2 yang cukup
signifikan terjadi pada model non linier yaitu lebih besar dari 10%, sedang pada model yang
secara intrinsik linier perubahan nilai R2 nya relatif kecil. Dengan demikian, model yang
digunakan dalam menduga hubungan antara diameter dengan tinggi pohon untuk jenis
jambu-jambu adalah model yang menggunakan peubah tak bebas tinggi total maksimum.
Berdasarkan Tabel 1., besarnya nilai R2 untuk persamaan regresi yang menggunakan
peubah tak bebas tinggi maksimum semuanya lebih besar dari 79%. Hal ini bermakna
bahwa lebih dari 79% dari keragaman tinggi maksimum dapat dijelaskan oleh diameter
setinggi dada. Dengan demikian, ke-enam model tersebut sudah cukup layak untuk
menggambarkan hubungan antara tinggi dan diameter. Penduga parameter dari setiap
model yang menggunakan peubah tak bebas tinggi maksimum disajikan pada Tabel 2,
sedang Grafik ke enam persamaan penduga model hubungan antara tinggi dan diameter
pohon jenis jambu-jambu dapat dilihat pada Gambar 2.

Tabel 2. Penduga parameter model hubungan diameter dan


tinggi maksimum pohon jenis jambu-jambu

No. Model Penduga Parameter R2


A b c
1. MT1 18,6463 -0,7531 - 0,995*
2. MT2 0,2306 1,2188 - 0,950*
3. MT3 0,9995 0,0543 - 0,999*
4. MT4 18,6013 1611,373 0,4524 0,799
5. MT5 19,730 2,487 - 0,790
6. MT6 18,8201 0,001 3,1007 0,794

Keterangan : * diperoleh dari transformasi model aslinya menjadi model linier sederhana

681
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Gambar 2. Grafik model hubungan tinggi dan diameter jenis jambu-jambu

Untuk mengetahui model terbaik dari keenam persamaan regresi yang telah
dihasilkan, dilakukan validasi terhadap keenam persamaan tersebut. Validasi model
dilakukan dengan menggunakan seluruh data yang merupakan gabungan dari data yang
digunakan dalam perhitungan penentuan persamaan regresi dari model yang dianalisis dan
data sisanya karena jumlah data relatif kecil. Hasil validasi terhadap keenam persamaan
regresi yang dihasilkan dinyatakan berdasarkan besarnya nilai Bias, MSEP dan EI yang
disajikan pada Tabel 3.

Tabel3. Validasi model hubungan diameter dan tinggi jenis jambu-jambu

No. Model Bias MSEP Indeks galat (EI)


Nilai Skor Nilai Skor Nilai Skor Total Peringkat
Skor
1. MT1 0,5239 3 12,1258 3 52,5869 3 9 4
2. MT2 -0,6711 2 87,7491 1 145,1185 1 4 6
3. MT3 0,6775 1 12,2383 2 52,3577 5 8 5
4, MT4 0,4045 4 11,7357 6 51,6842 6 16 1
5. MT5 0,3878 6 11,9339 4 53,0252 2 12 3
6. MT6 0,3975 5 11,7848 5 52,4423 4 14 2

Berdasarkan peringkat yang diperoleh sesuai dengan total skor hasil validasi,
ternyata bahwa model-model non linier lebih baik dibandingkan dengan model yang secara
intrinsik linier meskipun mempunyai nilai R2 lebih kecil. Posisi tiga model dengan peringkat
terbaik berturut-turut adalah MT4, MT6 dan MT5. Hal ini sesuai dengan urutan nilai R2 dari
ke tiga model tersebut. Model yang secara intrinsik linier tidak dipertimbangkan sebagai
penduga model hubungan diameter dan tinggi untuk jenis jambu-jambu meskipun
mempunyai nilai R2 yang jauh lebih besar karena ternyata hasil validasi terhadap model
tersebut mempunyai nilai Bias, MSEP dan EI dengan jumlah skor rendah. Hasil Uji-t bagi
hipotesis bahwa bias = 0 bagi model MT4, MT5 dan MT6 (Tabel 4.) menunjukkan bahwa ke
tiganya merupakan model yang tidak berbias.

682
ILMU KEHUTANAN

Tabel 4. Uji bias model jenis jambu-jambu

No. Model Uji Ho : Bias = 0


t hitung P(T>|t|)
1. MT4 0,504 0,620
2. MT5 0,479 0,637
3. MT6 0,495 0,627

Grafik pada Gambar 2. menunjukkan bahwa MT1, MT3, MT4, MT5 dan MT6
merupakan penduga model yang mempunyai batas atas, sedang MT2 merupakan penduga
model monoton naik. Jika diperhatikan besarnya MSEP dan EI, sebetulnya lima model selain
MT2 mempunyai nilai yang relatif sama, sehingga ke lima model tersebut layak digunakan
untuk menggambarkan hubungan diameter dan tinggi pohon yang sudah mencapai kondisi
pertumbuhan maksimum. Hal ini sesuai dengan perilaku pertumbuhan tinggi pohon, di mana
pada suatu tahap tertentu pertumbuhan tinggi pohon relatif tidak mengalami perubahan,
meskipun diameter pohon masih bertambah (Whitmore, 1984). Ke lima model tersebut
mempunyai batas atas pertumbuhan tinggi sekitar 20 m. Dari ke tiga model yang mempunyai
total skor tertinggi pada validasi model, MT4 menggambarkan pertumbuhan tinggi yang
lambat pada diameter di bawah 10 cm, sedang MT5 menggambarkan pertumbuhan tinggi
yang terlalu cepat. MT6 menggambarkan pertumbuhan yang moderat pada fase
pertumbuhan awal, yaitu pada diameter di bawah 20 cm. Menurut Prodan (1968) dan
Whitmore (1984), pertumbuhan tinggi dan diameter dari individual pohon pada kondisi yang
sangat baik mempunyai kecenderungan mengikuti bentuk kurva sigmoid, yaitu dimulai pada
titik nol, lambat pada saat masih semai yang diikuti oleh pertumbuhan yang lebih cepat
berbentuk linier. Sesudah melewati titik belok mengalami laju pertumbuhan yang semakin
menurun dan akhirnya berhenti pada saat mencapai batas atas. Kurva berbentuk sigmoid ini
merupakan ragam dari fungsi yang bertipe logistik. Gambar 1 menunjukkan bahwa penduga
model MT4, MT5 dan MT6 merupakan persamaan dari fungsi yang bertipe logistik. Fungsi
yang bertipe logistik mengandung ciri-ciri yang diinginkan dan bentuk kurva yang bervariasi
berdasarkan nilai parameternya serta menghasilkan kurva yang memuaskan pada berbagai
kondisi. Semua kurva bertipe logistik mempunyai bentuk yang masuk akal secara biologis
yaitu mencegah terjadinya pendugaan tinggi yang tidak realistis jika dilakukan ekstrapolasi di
luar kisaran data aslinya (Huang et al.,2000). Persamaan tersebut sangat cocok untuk
menggambarkan hubungan tinggi dan diameter. Dari ketiga model tersebut, MT6 merupakan
penduga model yang paling sesuai untuk jenis jambu-jambu karena mempunyai
pertumbuhan awal yang tidak terlalu cepat dan tidak terlalu lambat. Hasil yang sama juga
direkomendasikan oleh Huang et al. (2000), yang mengevaluasi 27 model untuk
mengggambarkan hubungan tinggi dan diameter dari jenis white spruce (Picea glauca
(Moench) Voss) pada hutan boreal.

KESIMPULAN

1. Model non linier merupakan penduga model yang lebih baik bagi hubungan tinggi dan
diameter jenis jambu-jambu dibandingkan dengan model yang secara intrinsik linier.
2. Model yang paling sesuai untuk menduga hubungan tinggi dan diameter jenis jambu-
jambu adalah model non-linier berbentuk sigmoid (MT6) dengan persamaan

683
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

DAFTAR PUSTAKA

Adame, P., del Ro, M., and Caellas, I. 2008. A mixed nonlinear height-diameter model for
pyrenean oak (Quercus pyrenaica Willd.). Forest Ecology and Management256, 88-
98.
Draper, N.R. dan Smith, H. 1992. Analisis Regresi Terapan (Alihbahasa oleh Bambang
Sumantri). Edisi Kedua. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Huang, S., Price, D., and Titus, S.J. 2000. Development of ecoregion-based height-diameter
models for white spruce in boreal forests. Forest Ecology and Management129, 125-
141.
Husch, B., Miller, C.I. and Beers, T.W. 1972. Forest Mensuration. Second Edition. The
Ronald Press Company. New York.
Newton, P. F., and Amponsah, I. G. 2007. Comparative evaluation of five height-diameter
models developed for black spruce and jack pine stand-types in terms of goodness-
of-fit, lack-of-fit and predictive ability. Forest Ecology and Management247, 149-166.
Prodan, M. 1968. Forest Biometrics. (Translated by Sabine H. Gardiner). Pergamon Press
Ltd. Oxford. London.
Rawlings, J.O. 1988. Applied Regression Analysis : A Research Tool. Wadsworth &
Brooks/Cole Advanced Books & Software. Pacific Grove, California.
Reynolds, M.R., Burk, T.E., and Huang, W.C. 1988. Goodness of fit tests and model
selection procedures for diameter distribution model. Forest Science 34: 373-399.
Vanclay, J.K. 1994. Modelling Forest Growth and Yield, Applications to Mixed Tropical
Forests. CAB INTERNATIONAL, Wallingford. UK.
Whitmore, T.C. and C.P. Burnham. 1984. Tropical Rain Forests of the Far East. second
Edition. Oxford University Press. New York.

684
ILMU KEHUTANAN

PROSPEK PENGEMBANGAN HUTAN


TANAMAN DIPTEROKARPA DAN TANTANGANNYA
M. Fajri
Balai Besar Penelitian Dipterokarpa

ABSTRAK

Kelompok jenis dipterokarpa terutama dari jenis meranti (Shorea spp) pada era 70-an
sampai 80-an pernah menjadi pendukung utama produksi kayu dari hutan alam yang
menghasil devisa yang cukup besar bagi negara dari sektor kehutanan. Sekarang ini kondisi
itu mulai berubah seiring dengan semakin berkurangnya luasan hutan alam produksi di
Indonesia semakin membuat berkurangnya juga jumlah jenis tanaman serta kuantitas dari
kelompok jenis dipterokarpa terutama yang bernilai ekonomi tinggi seperti meranti Shorea
sp. Hal yang lebih salah lagi adalah lahan hutan yang dulunya merupakan ekosistem yang
didominasi oleh jenis pohon dipterokarpa, sekarang banyak di alihkan menjadi hutan
tanaman yang jenisnya bukan berasal dari jenis dipterokarpa tetapi tanaman dari jenis cepat
tumbuh seperti Akasia, Gmelina, Sengon dan Pinus. Oleh sebab itu perlu dilakukan berbagai
langkah-langkah untuk mendukung pengembangan hutan tanaman dipterokarpa ini.
Beberapa alasan kuat yang diperlukannya pengembangan hutan tanaman dipterokarpa
adalah sebagai berikut : 1. Kondisi hutan alam produksi kita yang semakin berkurang; 2.
Produksi kayu yang terus menurun terutama dari kelompok jenis dipterokarpa; 3. Hutan alam
bekas tebangan yang tidak dikelola dengan baik. Hal lain yang menjadi pendukung dalam
pengembangan hutan tanaman dipterokarpa adalah : 1. Kayu dari kelompok jenis
dipterokarpa bernilai ekonomi tinggi; 2. Adanya uji coba Silin dengan jenis dipterokarpa pada
hutan alam bekas tebangan; 3. Tersedianya bibit unggul dan 4. Adanya niat baik dari
pengusaha kehutanan dalam mendukung pengembangan hutan tanaman dipterokarpa.
Selain faktor-faktor alasan dan pendukung dalam pengembangan hutan tanaman
dipterokarpa ada juga faktor-faktor penghambat yang menjadi tantangan dalam
pengembangan hutan tanaman dipterokarpa ini antara lain : 1. Modal yang besar dan daur
tebangan yang lama; 2. kebijakan pusat dan daerah yang kurang mendukung.

PENDAHULUAN

Pada era 70-an sampai 80-an, Indonesia masih sangat mengandalkan devisa negara
dari sektor kehutanan. Pada waktu itu merupakan era emas produksi hasil hutan (kayu log),
dimana dari ekspor kayu log diperoleh devisa negara sebesar US$ 1,8 Milyar setiap
tahunnya. Setelah tahun 80 sampai 90-an, produksi kayu log di ubah menjadi era industri
kehutanan. Dari industri kehutanan ini, Indonesia memperoleh devisa negara sebesar US$ 4
Milyar. Pada puncak momentum industri kehutanan dan ekspor kayu log, sektor kehutanan
mampu memberikan kontribusi devisa negara sebesar US$ 7-8 Milyar (Ngadiono, 2004).
Salah satu dampak sosial ekonomi bagi bangsa Indonesia akibat pembangunan
kehutanan pada waktu itu ialah bisa meningkatkan pendapatan Negara, memacu
pembangunan daerah, meningkatkan penerimaan devisa ekspor, menjadi penyedia bahan
baku industri pengolahan kayu, memperluas lapangan kerja dan membuka kesempatan
kerja sehingga meningkatkan kesejahteraan rakyat. Kondisi hutan alam yang masih bagus
dengan produksi kayu yang tinggi sangat mendukung devisa negara. Besarnya devisa
negara tersebut karena produksi kayu yang besar dan mempunyai nilai ekonomi yang tinggi.
Kelompok jenis dipterokarpa terutama dari jenis meranti (Shorea spp) merupakan
pendukung utama produksi kayu dan termasuk bagian penting yang mendukung devisa
negara saat itu (Fajri, 2008).
Sekarang ini kondisi itu mulai berubah seiring dengan semakin berkurangnya luasan
hutan alam produksi di Indonesia semakin membuat berkurangnya juga jumlah jenis

685
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

tanaman serta kuantitas dari kelompok jenis dipterokarpa terutama yang bernilai ekonomi
tinggi seperti meranti Shorea sp. Hal yang lebih salah lagi adalah lahan hutan yang dulunya
merupakan ekosistem yang didominasi oleh jenis pohon dipterokarpa, sekarang banyak di
alihkan menjadi hutan tanaman yang jenisnya bukan berasal dari jenis dipterokarpa tetapi
tanaman dari jenis cepat tumbuh seperti Akasia, Gmelina, Sengon dan Pinus.
Tulisan ini bertujuan bagaimana kita bersama-sama mendukung pengembangan dan
pembangunan hutan tanaman dipterokarpa kedepan ini.

Perlunya Pengembangan Hutan Tanaman Dipterokarpa


Beberapa faktor yang bisa di lihat yang mempengaruhi mengapa perlu dilakukan
pengembangan hutan tanaman jenis dipterokarpa adalah :
1. Kondisi Hutan Produksi di Indonesia
Menurut Purnama, dan Daryanto, (2006) dalam Soeparna, (2008), setelah sekian
lama terjadi eksploitasi terhadap hutan alam produksi, maka terjadi pengurangan luasan
yang cukup signifikan sehingga saat ini luasan hutan alam produksi di Indonesia
diperkirakan hanya sekitar 57,7 juta ha dengan luasan hutan yang telah rusak sekitar sekitar
16,45 juta ha. Hal ini mengakibatkan beban bagi hutan alam produksi di Indonesia dalam
menyediakan kebutuhan kayu di Indonesia. Semakin luasnya hutan alam produksi bekas
tebangan, akan menyebabkan terbentuknya suatu lahan hutan yang tidak terkelola dan tidak
produktif.
Menurut Soekotjo (2008), penyebab kerusakan hutan alam produksi di Indonesia
adalah : 1. Bencana alam (kebakaran hutan yang dahsyat dan dalam skala luas), 2. Illegal
logging yang terang-terangan dan sulit diberantas, 3. Illegal logging yang legal atau
menebang pohon diluar batas yang di ijinkan, 4. Ekploitasi hutan yang melebihi kemampuan
hutan itu sendiri.
Kelompok jenis dipterokarpa adalah jenis pohon yang mendominasi hutan hujan
tropis di Indonesia dan merupakan jenis kayu yang bernilai ekonomi tinggi yang dijadikan
pemerintah sebagai komoditi ekspor. Kerusakan hutan yang terjadi di Indonesia, akibat
faktor-faktor diatas, maka kondisi tersebut bisa dijadikan indikator utama yang menyebabkan
terancamnya keberadaan dari kelompok jenis dipterokarpa, baik keberadaan jenisnya
(terutama yang bernilai ekonomi tinggi seperti jenis meranti) dan kuantitasnya semakin
berkurang dihutan alam dan lama-kelamaan akan mengalami kepunahan.

2. Produksi Kayu yang Terus Menurun


Seiring dengan semakin berkurangnya luasan hutan alam produksi di Indonesia
menyebabkan juga produksi kayu dari hutan alam produksi semakin berkurang. Hal ini
menyebabkan banyaknya hak pengusahaan hutan mengalami kebangkrutan dan semakin
lama jumlahnya semakin berkurang. Menurut Suparna (2008) produksi kayu pada tahun
2007 sangat jauh berkurang bila dibandingkan dengan produksi kayu pada tahun 1992, ini
juga termasuk jumlah HPH yang masih eksis. Pada tahun 1992, produksi kayu dari hutan
alam produksi sekitar 26,5 juta m dengan luasan areal 61,38 juta hektar dan jumlah HPH
sekitar 580 perusahaan, sedangkan pada tahun 2007, produksi kayu dari hutan alam hanya
3,6 juta m dengan luas areal sekitar 28,16 juta hektar dan jumlah HPH hanya 323 yang
masih eksis.
Ini membuktikan bahwa standing stock dari hutan alam produksi semakan lama
semakin berkurang sehingga potensi kayu menurun dan ini akan mempengaruhi eksistensi
dari HPH itu sendiri. Hubungan penurunan produksi kayu dengan penurunan produksi dari
jenis dipterokarpa adalah bahwa produksi kayu dari hutan alam di dominasi dari jenis kayu
dipterokarpa terutama dari jenis meranti. Sehungga penurunan produksi kayu dari hutan
alam bisa juga dijadikan sebagai indikator semakin berkurangnya jenis dan kuantitas dari
kelompok jenis dipterokarpa.

686
ILMU KEHUTANAN

3. Hutan Alam Bekas Tebangan yang Belum Terkelola dengan Baik


Hutan alam produksi kita sekarang ini banyak menyisakan kawasan bekas tebangan
yang cukup luas. Menurut Purnama dan Daryanto, (2006) dalam Suparna, (2008), luasan
hutan alam yang di usahakan tetapi potensinya jauh menurun sekitar 12,98 juta hektar.
Standing stok sebagian hutan bekas tebangan sekarang ini berkisar antara 30 m 3 /ha 40
m 3 /ha, sebagian besar kurang dari 30 m 3 /ha dan bahkan banyak yang sudah tidak ada
kayunya lagi (Soekotjo, 2008). Hal ini disebabkan banyak perusahaan setelah masa
pemanenan hanya melakukan penanaman atau pemeliharaan pada kawasan bekas
tebangan secara tidak maksimal sehingga hutan bekas tebangan pada hutan alam produksi
kurang terkelola dengan baik. Hal ini meyebabkan pada kawasan hutan bekas tebangan
terjadi penambahan banyak jenis yang kurang berharga secara ekonomi, tegakan tinggal
jenis dipterokarpa yang sangat minim, diameter dan tinggi pohon yang sangat bervariasi
sehingga menyusahkan pemeliharaannya dan produktivitasnya yang rendah (Suparna,
2008).

Prospek Pembangunan Hutan Tanaman Dipterokarpa Kedepan


1. Kayu yang Bernilai Ekonomi Tinggi
Kelompok jenis dipterokarpa merupakan jenis kayu yang bernilai ekonomi tinggi
terutama jenis meranti (Shorea spp) Sejak tahun 70-an kayu dari kelompok jenis
dipterokarpa mendominasi produksi kayu dari hutan alam baik untuk keperluan pasar dalam
negeri maupun luar negeri.
Menurut Widyantoro dan Sukadri (2007), mengapa Konsumen di dalam negeri dan
luar negeri menyukai kayu dari kelompok jenis dipterokarpa adalah : 1. Kayu dari kelompok
jenis dipterokarpa ini mudah dikerjakan; 2. Harga kayu yang masih terjangkau oleh
masyarakat; 3. Tersedia dalam jumlah yang cukup; 4. Beberapa jenis diantaranya tahan
terhadap serangan rayap; dan 5. Memiliki tekstur kayu yang baik. Kayu ini juga sangat
fleksibel dalam pemanfaatannya, dan mudah pengerjaannya.
Selain dari hasil kayunya, kelompok jenis dipterokarpa ini juga menghasilkan produk
non kayunya. Produk-produk non kayu dari jenis dipterokarpa antara lain adalah Minyak
Keruing, Damar, Lemak Tengkawang, Kapur Barus, dan Tanin (Yusliansyah , 2007).

2. Uji Coba Teknik SILIN pada Hutan Alam Bekas Tebangan


Uji coba tehnik silin yang dilakukan oleh Departemen Kehutanan dan tim pakar Silin
merupakan langkah yang cukup strategis kedepannya. Uji coba tehnik silvikultur intensif ini
dilakukan pada kawasan hutan bekas tebangan dengan tujuan untuk memperbaiki kondisi
hutan bekas tebangan dalam jangka panjang. Kegiatan dari silvikultur intensif ini adalah
melakukan penanaman jenis unggul dari kelompok jenis dipterokarpa yang bebas dari hama
dan penyakit serta merekayasa kondisi lingkungannya.
Apabila uji coba ini berhasil, diharapkan kondisi tegakan hutan alam akan naik
dengan riap tegakan 20 tahun dan setelah itu diharapkan kondisi hutan akan kembali seperti
semula dan konsep hutan lestari akan tercipta, (Suparna, 2008)
Konsep dari silvikultur intensif ini sesuai dengan tujuan dari pengembangan hutan
tanaman dipterokarpa yaitu pengembangan jenis-jenis dipterokarpa pada kawasan hutan
bekas tebangan sehingga terciptanya suatu kawasan hutan bekas tebangan menjadi
kawasan hutan alam produksi yang lestari.

3. Tersedianya Bibit Unggul dari Jenis Dipterokarpa


Dalam upaya menunjang program pembangunan hutan tanaman dipterokarpa,
masalah kebutuhan bibit unggul bukan merupakan suatu permasalahan yang sulit diatasi.
Departemen Kehutanan melalui Puslitbang Hutan dan Konservasi Alamnya sendiri telah
mengembangkan bibit Meranti (Shorea leprosula) berkualitas yang dinamakan meranti
Bintang. Bibit ini dihasilkan dari serangkaian penelitian dan pengembangan yang mencakup
pengembangan teknologi stek meranti secara masal, teknik penyemaian, teknik silvikultur
pembangunan hutan tanaman dan pemuliaan pohon (Departemen Kehutanan, 2003).

687
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Selain itu berbagai jenis meranti juga telah dikembangkan di beberapa hutan
penelitian (HP) yang dikelola oleh P3HKA sejak tahun 1940, mulai di dataran rendah di HP
Carita, Banten, di dataran sedang di HP Haurbentes, HP Dramaga, HP Yanlappa, Jawa
Barat sampai di dataran tinggi di HP Pasir Hantap dan HP Cikole, Jawa Barat bahkan juga
dikembangkan di daerah lebih kering seperti di HP Cikampek, Jawa Barat. Kondisi hutan
tanaman jenis ini sudah menyerupai kondisi di hutan alam dengan strata tajuk yang lengkap
mulai dari tingkat seedling, sapling, pole sampai tingkat pohon. Selain berfungsi sebagai
konservasi jenis, dan sumber benih/bibit, juga sebagai pengatur tata air dan hunian bagi
berbagai satwa liar. Keberhasilan ini kemudian diimplementasikan oleh Perum Perhutani III,
Jawa Barat dengan membuat kelas perusahaan meranti secara operasional, dengan
memanfaatkan hutan penelitian sebagai sumber benih (Heriansyah, 2006).
Menurut Heriansyah (2006), Setidaknya ada dua jenis meranti yaitu Shorea leprosula
dan Shorea selanica yang cepat pertumbuhannya dan berpotensi untuk dikembangkan
sebagai tanaman HTI. Berdasarkan hasil riset di HP Haurbentes, diketahui bahwa
produktifitas kayunya jauh lebih tinggi dibanding dengan HTI Acacia mangium, baik yang
dijarangi seperti di areal KPH Bogor, Perum Perhutani Jawa Barat, maupun dengan yang
tidak dijarangi seperti di PT Musi Hutan Persada, Sumatra Selatan. Pada umur masak
tebang, HTI Acacia mangium di Jawa Barat dan Sumatra Selatan menghasilkan volume
kayu perdagangan rata-rata 17.9 m/ha/tahun dan 15.6 m/ha/tahun sedangkan tanaman
Shorea leprosula dan Shorea selanica di HP Haurbentes menghasilkan volume kayu
perdagangan masing-masing 38.4 m/ha/tahun dan 45.0 m/ha/tahun. Belum lagi jika ditinjau
dari segi kualitas, ukuran log dan nilai jualnya, kayu dari jenis meranti ini dapat digunakan
untuk berbagai keperluan mulai dari meubeler sampai dengan konstruksi sedang, dengan
harga yang lebih tinggi.

4. Adanya Niat Baik dari Pengusaha Kahutanan


Para pemegang IUPHHK sebagai pelaku di bidang kehutanan sebenarnya cukup
konsern dengan permasalahan kehutanan saat ini. Para pengusaha mempunyai itikad baik
untuk mengembangkan tanaman dari kelompok jenis dipterokarpa dan memperbaiki kondisi
hutan bekas tebangan yang kurang terkelola dengan baik. Mereka juga siap bekerja sama
dengan pemerintah dalam pengelolaan hutan alam bekas tebangan dengan menanam
kembali kawasan-kawasan tersebut dengan jenis-jenis tanaman dipterokarpa. Malahan
beberapa IUPHHK (diantaranya PT. Balikpapan Forest Industries, PT. Sari Bumi Kusuma,
PT. ITCIKU) punya inovasi sendiri dalam mengembangkan bibit-bibit unggul dari jenis
dipterokarpa untuk mendukung pengelolaan kawasan hutan bekas tebangan tersebut. Tetapi
mereka juga meminta kepada pemerintah untuk mendukung dalam segi kebijakan yang jelas
dan tidak memberatkan mereka, karena para pengusaha kehutanan beralasan bahwa
investasi mereka adalah investasi jangka panjang, resiko besar, modal besar dan
pengembalian modal yang cukup lama.

Tantangan dalam Pengembangan Hutan Tanaman Jenis Dipterokarpa


Pembangunan hutan tanaman dipterokarpa selain mempunyai prospek yang bagus
tetapi juga akan akan menemui berbagai hambatan-hambatan yang menjadi tantangan
semua pihak untuk mengatasinya. Tantangan tersebut diperkirakan sebagai berikut :
1. Modal yang Besar dan Daur Tebangan yang Lama
Pembangunan hutan tanaman dipterokarpa memerlukan modal yang cukup besar,
menurut Sutisna (2008), diperkirakan untuk membangun hutan tanaman dipterokarpa pada
kawasan hutan bekas tebangan memerlukan biaya sebesar kurang lebih 7,8 juta/hektarnya.
Hal ini akan membuat para pengusaha kehutanan akan berpikir ulang untuk melakukan
investasinya. Belum lagi daur tebang dari tanaman jenis dipterokarpa diatas 30 tahun
sehingga tidak adanya jaminan kembalinya modal para pengusaha secara cepat.

2. Kebijakan Pusat dan Daerah yang Kurang Mendukung


Sampai saat ini kebijakan-kebijakan pemerintah mengenai pengembangan hutan
tanaman dipterokarpa hanya masih sebatas uji coba dan mirip semacam sebuah proyek.

688
ILMU KEHUTANAN

Kegiatan pengembangan tanaman dari kelompok jenis dipterokarpa yang mirip kearah
pengembangan hutan tanaman dipterokarpa adalah kegiatan silvikultur intensif. Kegiatan
inipun masih sebatas uji coba di beberapa HPH dan belum memperlihatkan keberhasilan,
hanya masih sebatas keberhasilan sebuah teori dan harapan. Regulasi ini belum dijadikan
sebuah kebijakan yang jelas dari pemerintah, silin masih menjadi sebuah tehnik silvikultur
dan belum dijadikan sebuah sistem silvikultur seperti sistem silvikultur TPTI.
Pemerintah, dalam hal ini sebagai pembuat kebijakan seharusnya benar-benar
memperhatikan masalah ini, karena kita tidak boleh melupakan bagaimana tanaman dari
jenis dipterokarpa pernah menjadi penyumbang devisa yang sangat besar bagi negara
karena nilai ekonominya yang tinggi. Bila pemerintah kurang memperhatikan hal tersebut,
maka hal ini akan menjadi preseden buruk bagi pemerintah karena telah mengeluarkan
suatu kebijakan yang kurang bijak dan kurang memikirkan nasib hutan alam kita termasuk
tanaman hutan alam dari kelompok jenis dipterokarpa.
Kebijakan di daerah juga belum sepenuhnya memperhatikan kondisi hutan alam
maupun hutan bekas tebangan untuk dikelola secara baik. Besarnya kewenangan untuk
memberikan izin pengelolaan hutan oleh bupati atau kepala daerah menyebabkan mereka
sering dimanfaatkan oleh pihak tertentu untuk melakukan kegiatan yang berdampak negatif
terhadap kelestarian kawasan hutan (Noor, 2006). Maraknya pemberian ijin kawasan hutan
alam menjadi kawasan budidaya non kayu atau perkebunan semakin memperparah kondisi
hutan tropis Indonesia.

PENUTUP

Setelah melihat berbagai uraian diatas tentang pengembangan hutan tanaman


dipterokarpa. Disini dapat kita tarik benang merahnya bahwa apa yang kita harapkan dari
pembangunan hutan tanaman dipterokarpa itu bukan berdiri sendiri, seperti IUPHHK dan
IUPHTI tetapi pembangunan hutan tanaman dipterokarpa tersebut memiliki konsep yang
jelas bagaimana kita bisa mengembalikan keberadaan tanaman jenis dipterokarpa dengan
melakukan pembangunan hutan tanaman dipterokarpa baik di hutan alam produksi
(dikawasan bekas tebangan) dan Hutan tanaman industri.
Konsep dari pembangunan hutan tanaman dipterokarpa yang bisa kita kembangkan
adalah : Pertama. Konsep pembangunan hutan tanaman dipterokarpa di hutan alam
produksi (kawasan bekas tebangannya), yang akan kita jelaskan bahwa kondisi hutan alam
bekas tebangan sekarang boleh dikatakan pengelolaannya kurang maksimal dengan jumlah
standing stok yang minim terutama dari jenis tanaman dipterokarpa sehingga menurunkan
nilai hutannya secara ekonomi. Konsep pembangunan hutan dipterokarpa pada kawasan
hutan bekas tebangan bisa meniru dari konsep kegiatan silvikultur intensif dengan
menggunakan jenis tanaman dipterokarpa. Setelah itu, pemerintah harus membuat suatu
kebijakan yang saling menguntungkan dengan para pengusaha kehutanan. Kebijakan-
kebijakan tersebut seperti bagaimana bisa membuat para pemegang IUPHHK bergairah dan
ingin berinvestasi membangun kawasan hutan alam bekas tebangannya dengan menanam
jenis-jenis dipterokarpa. Salah satu opsinya adalah pemerintah mengembalikan dana
reboisasi kepada masing-masing IUPHHK untuk membangun hutan bekas tebangannya
tersebut; Kedua. Konsep pembagunan hutan tanaman dipterokarpa di kawasan Hutan
Tanaman Industri. Konsep yang diharapkan pada kawasan HTI yaitu bagaimana mewajibkan
para pemegang IUPHTI untuk membangun tanaman jenis diperokarpa minimal 25 % dari
luas kawasan konsesinya. Hal ini merupakan tugas pemerintah dalam membuat regulasinya.
Hal ini penting, untuk menjaga kelestarian dan keberadaan tanaman dari jenis dipterokarpa.
Seperti yang kita ketahui, bahwa aturan pemerintah sekarang ini tidak mewajibkan para
IUPHTI untuk mengembangkan tanaman dari kelompok jenis dipterokarpa pada kawasan
tanaman utamanya, sehingga para pemegang IUPHTI menanam jenis dipterokarpa hanya
pada kawasan konservasinya yang maksimal luasnya 10 % saja. Selama ini para
pemegang IUPHTI hanya mengembangkan tanaman jenis cepat tumbuh saja seperti akasia,
gmelina, dll, padahal dulunya kawasan tersebut didominasi oleh ekosistem tanaman

689
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

dipterokarpa. Alasan para pemegang IUPHTI tidak mengembangkan tanaman jenis


dipterokarpa karena daur tebangnya yang lama sehingga memerlukan biaya yang besar
dalam pemeliharaannya. Ini menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah, untuk tetap
melestarikan keberadaan tanaman dari kelompok jenis dipterokarpa dan apabila tidak
dilakukan segera perubahan kebijakan yang mendukung pembangunan hutan tanaman
dipterokarpa, maka suatu saat tanaman dari kelompok jenis dipterokarpa lama kelamaan
akan punah.

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Kehutanan. 2003. Meranti Bintang, Suatu Inovasi. Balitbanghut Departemen


Kehutanan. Jakarta.
Fajri, M., 2008. Pengenalan Umum Dipterocarpaceae, Kelompok Jenis Bernilai Ekonomi
Tinggi. Info Teknis Dipterokarpa Volume II/2008. Samarinda.
Heriansyah, I. 2006.Meranti (Shorea sp), Mampukah Menjadi Primadona HTI Indonesia?.
INOVASI Online edisi Vol. 8/XVIII/Nopember 2006
Hidayat, N., 2006. Luas Hutan Indonesia Diperkirakan Tinggal 10 Persen pada 2020.
Antara. Jakartaol.8/XVIII/Nove 2006
Ngadiono, 2004. Pengelolaan Hutan Indonesia. Yayasan Adi Sanggoro. Bogor
Soedirman, S. 2008. Kajian Kebijakan Pengelolaan Hutan Produksi Alami dan Tanaman di
Indonesia. Seminar PAPSI. Samarinda
Soekotjo, 2008. Arah dan Strategi Pengelolaan Hutan Produksi Alami dan Tanaman pada
Masa Mendatang. Seminar PAPSI. Samarinda
Suparna, N., 2008. Status Terkini dan Harapan Pengusaha Terhadap Pengelolaan Hutan
Produksi Alami dan Tanaman. Seminar PAPSI. Samarinda
Sutisna, M., 2008. Status Terkini Silvikultur Hutan Alami dan Tanaman. Seminar PAPSI.
Samarinda
Widyantoro, B., D.S., Sukadri, 2007. Peluang Pasar Kayu Hasil Hutan Tanaman
Dipterokarpa. Prosiding Seminar Pengembangan Hutan Tanaman Dipterokarpa dan
Ekspose TPTII/SILIN hal 87 103. Samarinda
Yusliansyah, 2007. Hasil Hutan Ikutan Dari Diptercarpaceae. Info Teknis Dipterokarpa Vol. 1
No 1.

690
ILMU KEHUTANAN

Lampiran 1.

Tabel 1 : Jumlah HPH, Luas Areal HPH, Produksi kayu Indonesia dan Produktivitasnya.

Total produksi (juta m 3) Perkiraan Produktivitas


Jum lah HPH Luas Areal
Tahun Luas Efektif*) Hutan alam
(unit) (juta Ha) RKT
IPK (juta Ha) (m 3/ha/th)
Realisasi Kuota
1 2 3 4 5 6 7 8 (4 : 7)
1992 580 61.38 26.05 5.0 42.97 0.61
1993 575 61.70 25.19 16.6 43.19 0.58
1994 540 61.03 22.25 8.5 42.72 0.52
1995 487 56.17 22.93 0.1 39.32 0.58
1996 447 54.09 25.29 pm 37.86 0.67
1997 427 52.28 19.72 16.6 36.60 0.54
1998 420 51.58 14.33 38.0 36.11 0.40
1999 387 41.84 10.37 21.1 29.29 0.35
2000 362 39.16 3.40 24.4 27.41 0.12
2001 351 36.42 1.81 5.6 21.0 25.49 0.07
2002 270 28.08 3.02 5.3 12.1 19.66 0.15
2003 267 27.80 3.65 6.1 11.0 19.46 0.19
2004 287 27.82 3.51 6.7 10.6 19.47 0.18
2005 285 27.72 6.16 7.2 9.1 19.40 0.32
2006 322 28.78 5.42 9.1 6.9 20.15 0.27
2007 323 28.16 3.60 9.1 7.0 19.71 0.18

Catatan : - Asumsi luas areal efektif : 70% (dari 7 HPH sample dataran tinggi : 54% s/d 85%)
Sumber : Suparna, N, 2008.

691
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

JENIS -JENIS POHON DI PANTAI PASIR PUTIH PANGANDARAN


DAN PROSPEK PEMANFAATAN KAYU INFERIORNYA
Marfuah Wardani
Peneliti Botani dan Ekologi Tumbuhan
Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi
Jalan Gunung Batu No. 5, Po Box 165; Telp. 0251-633234, 7520067;
Fax 0251-638111 Bogor, E mail: marfuah58@yahoo.co.id

ABSTRAK

Hutan pantai diketahui memiliki keanekaragaman jenis pohon dengan potensi


pemanfaatan kayu inferior yang belum terungkap secara luas. Kondisi demikian
menyebabkan banyak jenis pohon pantai potensial tidak termasuk jenis prioritas dalam
upaya pengembangannya. Eksplorasi untuk memperoleh data dan informasi tentang
beragam jenis pohon pantai dan pemanfaatan kayunya, telah dilakukan di pantai Pasir Putih
Pangandaran, Jawa Barat pada bulan Mei 2010. Hasil eksplorasi diperoleh sejumlah 19 jenis
pohon teridentifikasi berprospek dimanfaatkan kayunya, terdiri atas delapan jenis dengan
kayu kelas awet IV-V, tujuh jenis kelas awet III, dua jenis kelas awet II-III, satu jenis kelas
awet I-II, dan satu jenis pohon kecil belum diketahui kelas awet kayunya. Diantara jenis,
tercatat ada 14 jenis bermanfaat kayu dan bukan kayu. Delapan jenis pohon yang secara
alami diketahui mudah tumbuh dan dimanfaatkan kayunya oleh masyarakat setempat terdiri
atas: Dysoxylum gaudichaudianum (A.Juss.) Miq. (kadoya), Hernandia nymphaeifolia (Presl.)
Kubitzki (borogondolo), Mallotus blumeanus Muell. Arg. (waru laut), Pongamia pinnata (L.)
Pierre (babangkongan), Mallotus philippensis (Lamnk.) Muell. Arg. (ki meong), Palaquium
amboinense Burck (walikukun), Pterospermum diversifolium Willd (ki bangbara),
Pterospermum javanicum Jungh (bayur). Berdasarkan pada prospek pemanfaatan kayu dan
siifat tumbuhnya, kedelapan jenis pohon pantai tersebut berprospek sebagai prioritas jenis
dalam pengembangannya. Untuk lebih mengenal kedelapan jenis pohon tersebut,
diinformasikan secara sistimatis sifat-sifat habitus, tempat tumbuh dan pemanfaatannya.
Ketersediaan informasi diharapkan dapat sebagai bahan pertimbangan dalam upaya
pengembangan kawasan pantai sebagai sumber pasokan bahan baku kayu lokal.

Kata kunci: jenis pohon, pantai, habitus, manfaat, kayu inferior

PENDAHULUAN

Hutan alam Indonesia dikenal sebagai penghasil kayu tropis, memegang peranan
penting dalam perdagangan kayu internasional. Pemanfaatan kayu tanpa diimbangi dengan
pengelolaan yang berkelanjutan dan lestari, dapat mengakibatkan terjadi penyusutan luasan
hutan atau kerusakan habitat. Cahyana dan Parlan ( 2004) menginformasikan luasan hutan
di seluruh Indonesia pada tahun 2003 menyusut sampai 101,73 juta hektar, dan pada
periode 1997 2000 mengalami penyusutan 3,8 juta hektar per tahun. Sudarmono (2006)
menyebutkan bahwa kerusakan habitat dapat mengancam keanekaragaman jenis, tingkat
kerusakan habitat 2,8 juta hektar per tahun dapat menyebabkan kepunahan antara 2,9
sampai 12 spesies tumbuhan endemik setiap 100 km2. Kondisi demikian menyebabkan stok
bahan kayu menjadi terbatas dan langka.
Permintaan bahan baku kayu untuk kepentingan masyarakat lokal maupun industri
perkayuan pada saat ini dirasakan semakin meningkat. Industri pengolahan kayu di
Indonesia diperkirakan memerlukan 80 juta meter kubik kayu setiap tahunnya untuk
memasok industri kayu lapis, pulp dan kertas, dan industri penggergajian (Wishnu, 2011).
Hal ini menuntut ketersedian pasokan kayu yang memadai dan berkesinambungan. Untuk
memenuhi kebutuhan kayu, tidak dapat secara terus menerus mengandalkan pada jenis-

692
ILMU KEHUTANAN

jenis kayu berkualitas dan kayu perdagangan. Jenis-jenis kayu inferior dengan upaya teknik
pengolahan kayunya, berprospek dikembangkan sebagai jenis kayu berkualitas untuk
industri.
Hutan pantai merupakan salah satu kawasan hutan yang memiliki keanekaragaman
jenis pohon dengan potensi pemanfaatan kayu inferior belum terungkap secara luas. Banyak
jenis pohon pantai potensial belum termasuk jenis prioritas dalam upaya pengembangannya.
Oleh karena itu ketersedian data dan informasi tentang jenis-jenis pohon pantai bermanfaat
kayu sangat diperlukan. Ketersediaan data dan informasi diharapkan dapat
memperkenalkan lebih banyak jumlah jenis pohon pantai potensial bermanfaat kayu,
sehingga dapat sebagai bahan pertimbangan dalam pemilihan maupun pentuan jenis yang
akan dikembangkan.

METODOLOGI

Lokasi Penelitian
Peneltian dilaksanakan di kawasan hutan pantai Pasir Putih, Pangandaran, pada
bulan Mei 2010. Lokasi penelitian, berdasarkan administrasi pemerintahan termasuk dalam
wilayah Desa Pangandaran, Kecamatan Pangandaran, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat.
Secara geografis pantai Pasir Putih terletak pada koordinat 070 42 302 - 070 42 455 LS
dan 1080 39 173 - 1080 39 451 BT, dengan keadaan lapangan berupa daratan
dataranrendah, ketinggian 0 39 meter dari permukaan laut (dpl.), topografi landai hingga
bergelombamg dan berbukit, dengan kemiringan 5% - 40%, jenis tanah Latosol, tanah
berpasir dan tanah endapan aluvial berasal dari laut. Berdasarkan data curah hujan di
stasiun Klimatologi Pangandaran, lokasi penelitian memiliki tipe curah hujan B, dengan
curah hujan 3.196 mm per tahun (Schimdt & Ferguson, 1951). Suhu udara 250 hingga 300 C,
kelembaban udara 80% hingga 90%.

Bahan dan Alat


Bahan utama adalah jenis-jenis pohon pantai potensial dimanfaatkan kayunya.
Bahan penunjang berupa bahan pemrosesan material herbarium antara lain alkohol 70%,
plastik transparan ukuran 40 x 60 cm, kertas koran, kertas label, tali rafia, selotip, sasak
bambu, karung plastik, kertas herbarium. Peralatan yang digunakan terdiri dari kompas,
altimeter, meteran, Global Positioning System (GPS), parang, gunting ranting, tali tambang,
kamera, alat tulis, komputer dan lain-lain.

Metoda Pengumpulan Data


Ruang lingkup penelitian meliputi pengumpulan data sekunder dan primer.
Pengumpulan data sekunder dilakukan dengan penelusuran pustaka dan mencari informasi
tentang data keadaan lokasi penelitian dari Instasi Kehutanan atau Instansi Pemerintah
Daerah setempat. Data primer diperoleh dengan melakukan pengamatan dan pengumpulan
data lapangan melalui eksplorasi menyelusuri pantai sepanjang 5.000 m, dengan lebar 500
m ke arah daratan. Pengamatan dilakukan terhadap individu-individu pohon yang tumbuh di
sepanjang pantai, berdiameter batang lebih dari 20 cm dan memiliki manfaat kayu. Data
yang dikumpulkan terdiri atas tempat tumbuh, penampilan pohon secara umum, dan
pemanfaatannya (kayu atau bukan kayu). Informasi pemanfaatan diperoleh melalui
wawancara dengan masyarakat setempat serta penulusuran pustaka (Heyne, 1987; Oey
Djoen Seng, 1990). Semua jenis pohon yang tercatat dalam pengamatan diambil sampel
material herbariumnya untuk diidentifikasi nama spesies. Ketepatan nama spesies
diidentifikasi dengan pendekatan metode komparatif yaitu membandingkan sampel
herbarium dari lapangan dengan koleksi spesimen herbarium yang ada di laboratorium
herbarium Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi, Bogor.

693
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Jenis Pohon Dan Pemanfaatannya


Jenis pohon bermanfaat kayu di kawasan hutan pantai Pasir Putih Pangandaran
tercatat ada 19 jenis terdiri atas 15 marga dan 12 famili. Hasil pengamatan di lapangan
menunjukkan bahwa terdapat tiga jenis pohon mendominasi lokasi penilitian yaitu Hernandia
nymphaeifolia (Presl.) Kubitzki (borogondolo), Mallotus blumeanus Muell. Arg. (waru laut),
dan Mallotus philippensis (Lamk.) Muell. Arg. (ki meong). Diantara jenis, terdapat 14 jenis
pohon selain bermanfaat kayu juga bermanfaat bukan kayu seperti: Aegiceras corniculatum
(L.) Blanco (lampeni), Dysoxylum gaudichaudianum (A.Juss.) Miq. (kadoya), Flacourtia
rukam Zoll. & Mor. (rukam), Heritiera littoralis Aiton (dungum), Hernandia nymphaeifolia
(Presl.) Kubitzki (borogondolo), Mallotus blumeanus Muell. Arg. (waru laut), Mallotus
philippensis (Lamnk.) Muell. Arg. (ki meong), Palaquium amboinense Burck (walikukun),
Pongamia pinnata (L.) Pierre (babangkongan), Pterospermum diversifolium Willd. (ki
bangbara), Pterospermum javanicum Jungh. (bayur), Syzygium polyanthum (Wight)
Walp.(salam), Syzygium racemosum (Blume) A.DC. (ki pancar), Thespesia populnea (L.)
Sol. ex Correa (waru laut). Jenis pohon dan pemanfaatannya di sajikan dalam Lampiran 1.
Dalam hal pemanfaatan kayunya, terdapat 18 jenis pohon dari 19 jenis termasuk
jenis kayu kurang dikenal dan dianggap memiliki kayu berkualitas rendah. Satu jenis sudah
dikenal dan kayu sudah diperdagangkan, akan tetapi belum dikembangkan dalam bentuk
hutan tanaman adalah Pterospermum javanicum Jungh. (bayur). Untuk menunjang upaya
pengembangan pemanfaatan kayu, pengetahuan sifat dasar sangat diperlukan.
Berdasarkan pada kelas awet kayu, ke 19 jenis pohon dapat dikelompokkan menjadi lima.
Kelompok kelas awet IV-V berjumlah delapan jenis, kelompok kelas awet III berjumlah tujuh
jenis, kelompok kelas awet II-III berjumlah dua jenis, kelompok kelas awet I-II hanya satu
jenis, dan satu jenis pohon kecil belum diketahui kelas awet kayunya (Oey Djoen Seng,
1990). Kelompok kelas awet kayu dari 19 jenis pohon disajikan dalam Tabel 1.Pada Tabel 1
dapat diketahui tentang kelas awet, kelas kuat dan berat jenis ke 19 jenis pohon di pantai
Pasir Putih Pangandaran. Pengetahuan tersebut sangat penting sebagai bahan
pertimbangan dalam menentukan atau memilih jenis pohon pantai yang akan di
kembangkan. Sebagai contoh, berat jenis kayu dapat dipakai sebagai salah satu bahan
pertimbangan dalam pemanfaatan kayu untuk industri kayu lapis. Kayu dengan berat jenis
antara 0,4 0,6 umumnya lebih disukai untuk industri kayu lapis (Sulastiningsih et al., 1999).
Jenis pohon di lokasi penelitian dengan berat jenis kayu kurang dari 0,6 adalah: Hernandia
nymphaeifolia (borogondolo),Palaquium amboinense(walikukun),Pterospermumjavanicum
(bayur)dan Dysoxylum gaudichaudianum (kadoya).
Hasil wawancara dengan masyarakat setempat diperoleh informasi bahwa
masyarakat memanfaatkan kayu dari jenis pohon pantai untuk perkakas rumah tangga,
konstruksi rumah, bahan bangunan, bahan asesori atau bahan perahu dan kayu bakar. Jenis
pohon yang sering dimanfaatkan adalah tumbuh secara alami, cukup tersedia karena mudah
dan cepat pertumbuhannya. Jenis pohon cepat dan mudah tumbuh pada umumnya memilik
kelas awet kayu rendah, seperti pada marga Pterospermum dan Mallotus. Boer dan
Lemmens (1998) menyebutkan bahwa Pterospermum termasuk jenis pohon cepat tumbuh
yang banyak terdapat di tepi-tepi hutan. Nguyen Nghia Thin & Tran Van On (1998)
mengatakan Mallotus merupakan jenis pohon pioner mudah dan cepat tumbuh, manfaat
kayunya potensial untuk bahan industri.
Delapan jenis pohon sering dimanfaatkan kayunya oleh masyarakat setempat adalah:
Dysoxylum gaudichaudianum (kadoya), Hernandia nymphaeifolia (borogondolo), Mallotus
blumeanus (waru laut), Pongamia pinnata (babangkongan), Mallotus philippensis (ki meong),
Palaquium amboinense (walikukun), Pterospermum diversifolium (ki bangbara),
Pterospermum javanicum (bayur). Dalam Tabel 1 menunjukkan bahwa kedelapan jenis
pohon tersebut memiliki kelas awet kayu IV dan V. Pemanfaatan kayu secara terus menerus,
tanpa adanya upaya budidaya menyebabkan keberadaan kedelapan jenis pohon di
habitatnya menjadi semakin langka.

694
ILMU KEHUTANAN

Tabel 1. Kelompok kelas awet kayu jenis-jenis pohon di Pantai Pasir Putih Pangandaran

Kelomp Sifat Kayu


ok/ Spesies Nama Lokal Famili Kls Kls BJ
No. Awet Kuat
1 2 3 4 5 6 7
I. 1. Dysoxylum gaudichaudianum Kadoya Meliaceae V III II 0,56
(A.Juss.) Miq.
2. Hernandia nymphaeifolia Borogondolo Hernandiaceae V IV - 0,36
(Presl.) Kubitzki (V)
3. Mallotus blumeanus Muell. Waru laut Euphorbiaceae V II 0,63
Arg.
4. Pongamia pinnata (L.) Pierre Babangkongan Fabaceae V II III 0,67
5. Mallotus philippensis Ki meong Euphorbiaceae IV - V II 0,75
(Lamnk.) Muell. Arg.
6. Palaquium amboinense Walikukun Sapotaceae IV III 0,48
Burck
7. Pterospermum diversifolium Ki bangbara Sterculiaceae IV II III 0,65
Willd.
8. Pterospermum javanicum Bayur Sterculiaceae IV III 0,53
Jungh.
II. 1. Eugenia densiflora (Blume) Jambu laut Myrtaceae III II 0,73
Duthie
2. Flacourtia rukam Zoll. & Mor. Rukam Flacourtiaceae III I 0,93
3. Syzygium acuminatissimum Ipis kulit Myrtaceae III II 0,72
(Blume) A.DC.
4. Syzygium polyanthum Salam Myrtaceae III II 0,64
(Wight) Walp.
5. Syzygium racemosum Ki pancar Myrtaceae III II 0,89
(Blume) A.DC
6. Arytera littoralis Blume Kilalayu Sapindaceae III I II 0,78
7. Carallia brachyata (Lour.) Ki kukuran Rhizophoraceae III II - (I) 0,82
Mer.
III. 1. Dysoxylum parasticum Kokosan Meliaceae II - III II 0,75
(Osb.) Kosterm. monyet
2. Thespesia populnea (L.) Sol. Waru laut Malvaceae II - III II III 0,69
ex Correa

IV. 1. Heritiera littoralis Aiton Dungum Sterculiaceae I - II I 0,98


V. 2. Aegiceras corniculatum (L.) Lampeni Myrsinaceae II 0,64
Blanco.

Jenis pohon bermanfaat kayu dan sangat jarang dimanfaatkan kayunya oleh
masyarakat setempat karena keberadaan dan pertumbuhannya di alam terbatas, berjumlah
11 jenis (lihat Tabel 1). Tujuh jenis dengan kelas awet kayu III terdiri atas Eugenia
densiflora (Blume)Duthie (jambu laut), Flacourtia rukam Zoll. & Mor. (rukam), Syzygium
acuminatissimum (Blume) A.DC. (ipis kulit), Syzygium polyanthum (Wight) Walp.(salam),
Syzygium racemosum (Blume) A.DC. (ki pancar), Arytera littoralis Blume (kilalayu), Carallia
brachyata (Lour.) Mer. (kikukuran). Dua jenis dengan kelas awet kayu II III ialah Dysoxylum
parasticum (Osb.) Kosterm. (kokosan monyet) dan Thespesia populnea (L.) Sol. ex Correa
(waru laut). Satu jenis dengan kelas awet I II ialah Heritiera littoralis Aiton (dungun) dan
satu jenis belum diketahui kelas awet yaitu Aegiceras corniculatum (L.) Blanco (lampeni).
Satu jenis dari sebelas jenis tersebut yaitu Flacourtia rukam (rukam), buah dan daunnya
sering dimanfaatkan oleh masayarakat. Buah masak dimakan mentah atau untuk rujak, daun

695
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

muda dimakan sebagai lalap. Sunarjono (1992) menyebutkan pohon rukam bermanfaat kayu
dan bukan kayu. Kayunya keras dan kuat digunakan untuk membuat peralatan rumah
tangga dan mebel; buah rukam masak dapat dimakan mentah, untuk bahan rujak, selai,
manisan dan acar; buah muda untuk obat deare dan desentri.

Prioritas Jenis dan Prospek Pemanfaatan Kayu


Dalam rangka menunjang tersedianya pasok kayu lokal, ke 19 jenis pohon di pantai
Pasir Putih Pangandaran merupakan jenis potensial bermanfaat kayu dan berprospek
dikembangkan dalam bentuk hutan tanaman kawasan pantai. Disamping itu, ke 19 jenis
pohon ini juga dapat dipertimbangkan sebagai jenis andalan kawasan pantai Pantai
Pangandaran atau pantai Jawa Barat pada umumnya. Banyaknya jumlah jenis pohon
potensial bermanfaat kayu, jenis yang akan dikembangkan dapat diprioritaskan berdasarkan
sifat tumbuh, prospek pemanfaatannya dan sering dimanfaatkan masyarakat setempat.
Pratiwi (2000) mengemukakan, bahwa dalam hal pemilihan jenis pohon yang akan
dikembangkan diutamakan pada jenis setempat yang sudah terbukti baik pertumbuhannya,
bernilai ekonomi dan dapat diterima masyarakat.
Untuk kawasan pantai Pangandaran dan sekitarnya dapat diprioritaskan delapan
jenis pohon yang kayunya sering dimanfaatkan masayarakat, memiliki sitaf mudah dan cepat
tumbuh. Namun demikian tidak menutup kemungkinan untuk ke 11 jenis pohon belum
prioritas, dapat sebagai bahan pertimbangan dalam penentuan atau pemilihan jenis. Berikut
ini diinformasikan secara sistimatis tentang habitus, tempat tumbuh, pemanfaatan dan
prospek pemanfaatan dari kedelapan jenis prioritas tersebut.

Dysoxylum gaudichaudianum (A.Juss.) Miq.(kadoya)


Jenis pohon dari famili Meliaceae, dengan sinonim nama ilmiah: Dysoxylum
amooroides Miq., D. decandrum (Blanco) Merr. Nama local antara lain: kadoya, ki tai
(Sunda); doya, kedoya (Jawa); ketujeuh (Madura). Di Australi disebut ivory mahogany
(Plantamor, 2011).Habitus pohon besar, tinggi 30 m, diameter 100 cm, tinggi bebas cabang
12m. Sifat khas sebagai pengenal jenis antara lain: kulit kayu berbau memuakkan, berdaun
majemuk menyirip ganjil, kedudukan daun spiral dan terkumpul pada ujung ranting, anak
daun umumnya asimetris berukuran 12-30 x 3.5-8 cm; buah bulat, berdiameter 2,5 cm,
warna kuning orange, tersusun dalam bentuk malai. Pohon kadoya di Indonesia secara
alami memiliki daerah persebaran Jawa, Nusa Tenggara, Maluku dan Papua, tumbuh mulai
dari daerah dataran rendah hingga ketinggian 1800 m dari permukaan laut (Whitmore et al.
1997).
Pemanfaatan oleh penduduk setempat: kayu untuk bahan perkakas rumah tangga,
dan asesoris atau papan perahu. Kayu D. gaudichaudianum memiliki kelas awet V, kelas
kuat III-II, berat jenis 0,56 (Oey Djoen Seng,1990). Heyne (1987) menyebutkan, kayu untuk
bahan kotak dan batang korek api, batang pohon tua papan perahu atau pagar, cairan
perasan kulit kayu untuk obat luar. Prospek pemanfaatan kayu jenis ini dapat
dipertimbangkan sebagai bahan kayu lapis, menginat kayunya cukup ringan dengan berat
jenis 0,56. Jenis ini juga dapat dibudidayakan di daerah pantai hingga dataran tinggi.

Hernandia nymphaeifolia (Presl.) Kubitzki (borogondolo)


Pohon borogondolo termasuk kedalam famili Hernandiaceae. Sinonim nama ilmiah:
Hernandia peltata Meissn., Hernandia ovigera Auctt. (plantsforuse, 2008). Dalam bahasa
Indonesia jenis ini disebut pohon kampak, dan di Jawa memiliki nama lokal: borogondolo,
binong, kampis, bengkak, kemiren (Wardani, 2010). Habitus pohon sedang hingga besar,
tinggi 7 27 m, tinggi bebas cabang 1 8 m, diameter batang 25-80 cm. Batang silindris
atau kadang banyak percabangan, permukaan batang berlentisel, batang berwarna kuning
kecoklatan. Daun tunggal dengan kedudukan tersebar, tangkai daun bentuk perisai
(peltatus). Helai daun berbentuk bundar, bundar telur melebar atau jantung, berukuran 15 -
30 cm x 9 - 20 cm, permukaan atas helaian berwarna hijau mengkilat licin, ujung helaian
meluncip, pangkal helaian bundar atau bentuk perisai. Perbungaan pada ketiak daun, bentuk
malai, panjang 5-20 cm, mahkota bunga berwarna putih, kelopak bunga berwarna hijau

696
ILMU KEHUTANAN

muda. Buah berbentuk bundar mengotak, buah masak berdiameter 3-4 cm, berwarna hujau
muda. Berbiji satu, bentuk bulat atau bulat telur, diameter 1.5-2 cm, biji berwarna coklat.
Daerah persebaran borogondolo cukup luas, terdapat di seluruh Indonesia atau tersebar
mulai dari India hingga Kepulauan Pasifik, dan memiliki tempat tumbuh di daerah pantai
(Whitmore et al.1997).
Pemanfaatan kayu oleh masyarakat, digunakan untuk bahan bangunan dan asesori
perahu, tumbukan daun atau biji dioleskan ke badan atau kepala dapat menghilangkan sakit
pening dan masuk angin. Kuncup daun dan batang muda sering dimakan kera atau satwa.
Bunga yang berkembang secara rutin potensial untuk lebah madu. Kayu H. nymphaeifolia
menurut Oey Djoen Seng (1990), memiliki kelas awet V, kelas kuat IV-V, berat jenis 0,36.
Pemanfaatan di kepulauan Pasifik Selatan, kayu digunakan untuk batang pemancing,
sandal, kipas tangan, papan gambar, asesoris kano, perabot dan kayu bakar, sedangkan
bijinya setelah dipernis dibuat perhiasan kalung, remasan daun dicampur dengan air mandi
dapat menyembuhkan sakit kepala pada anak-anak (Fujita dalam batplants, 1991). Heyne
(1987) mengemukakan pemanfatan pohon borogondolo antara lain: akar dikunyah dengan
pinang sebagai penawar racun setelah makan kepiting; remasan inti batang dekat pangkal
akar berwarna hitam dicampur dengan gambir dan air mawar untuk mengobati muntah
darah; biji mengandung 51% minyak lemak kental berwarna kuning dipakai untuk lampu dan
lilin. Simanjuntak (2005) memasukkan H. nymphaeifolia dalam daftar tumbuhan Indonesia
penghasil minyak lemak, dan berpotensi sebagai energi alternatif (biofuel). Petit et al. (2004)
dari hasil penelitiannya menginformasikan adanya enam agen yang berasal dari lignin dari
H. nymphaeifolia diidentifikasi penghambatan aktivitas sel kanker. Prospek pemanfaatan
pohon borogondolo cukup potensial, baik pemanfaatan kayu maupun bukan kayu.
Pemanfaatan kayu diantaranya dapat dikembangkan di kawasan pantai sebagai hutan
tanaman untuk industri kayu, kayu lapis dan sebagainya.

Mallotus blumeanus Muell. Arg. (waru laut).


Pohon waru laut termasuk dalam family Euphorbiacae, dengan sinonim nama ilmiah:
Rottlera oppositifolia Blume, Rottlera blumeana (Muell Arg.) Scheff, Plagianthera oppositifolia
(Blume) Rchb.f. & Zoll . (Apirizio et al., 2011). Nama local: waru laut (Indonesia), entau, kijak
tukau, medang tekuku (Sumatera), bungbulang, calik angin, ki cepel, ki tenjo, ki tengi, ki
sero, mara leutik, peucang (Sunda), katimuru (Jawa) (Apirizio et al., 2011; Heyne, 1987).
Pada umumnya berhabitus pohon kecil, jarang pohon besar, tinggi 13-18 m, tinggi bebas
cabang batang 3-6 m, diameter 15 atau kadang dapat mencapai 60 cm. Batang silindris,
kulithalus, berwarna abu-abu kecoklatan. Daun tunggal, berdaun penumpu bentuk segitiga
menyempit, berbulu padat. Helai daun bundar telur hingga bundar memanjang,berukuran 13-
33 cm x 5-15 cm,dasar daun bulat atau tumpul, ujung daun lancip hingga berekor, pinggir
daun bergerigi permukaan atas helai daun berbulu tipis, Bunga majemuk tersusun dalam
malai, Buah berkulit mengayu, bentuklonjong atau jorong, berukuran 10-12 x 4-4,4
mm,permukaan halus, jarang berbulu. Biji kecil berwarna hitam berkerut, ukuran 5-7 mm x 4-
5 mm.
Daerah persebaran Sumatera, Jawa, Sulawesi dan Flores (Nguyen Nghia Thin &
Tran Van On, 1998), tempat tumbuh pada tanah berpasir, berlempung atau batu kapur,
ketinggian 1 10 m dpl. (Aparicio et al., 2011). Pemanfaatan kayu oleh masyarakat untuk
perkakas rumah tangga, kulit kayu untuk tali dan kayu bakar. Kayu M. blumeanusmemiliki
kelas awet V, kelas kuat II, berat jenis 0,63 (Oey Djoen Seng,1990). Heyne (1987)
menyebutkan bahwa kulit batang bagian dalam dipakai sebagai bahan pengikat, daun
dimakan wanita bersalin dan air dari tumbukan daun untuk tetes mata. Prospek
pemanfaatan kayu dengan ukuran batang yang umumnya kecil, antara lain sebagai bahan
produksi sumpit sekali pakai, papan partikel, papan serat,pulp dan kertas (Nguyen Nghia
Thin & Tran Van On, 1998).

697
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Pongamia pinnata (L.) Pierre (babangkongan)


Pohon babangkongan termasuk family Fabaceae. Sinonim nama ilmiah: Pongamia
glabra Ventenat, Millettia novo-guineensis Kanehira & Hatusima, Derris indica (Lamk) J.J.
Bennett (Hanum & Maesen, 1997). Nama lokal: malapari (Indonesia), babangkongan,
cangkil, dasapri, ki pahang, pahang laut (Sunda), bangkong, kepik (Jawa) (Bagian Botani
Hutan, 1977; Plantamor, 2008).Habitus berupa pohon kecil hingga besar, tinggi 6 - 15 m,
tinggi batang bebas cabang 0.5 - 6 m, diameter 20 - 60 cm. Batang silindris, percabangan
simpodial atau banyak percabangan; permukaan batang halus dengan sedikit berlekah,
warna abu-abu kehitaman. Daun majemuk menyirip ganjil, kedudukan selang-seling hingga
tersebar, anak daun berjumlah 5 hingga 9 helai. Helai anak daun berbentuk bundar telur
hingga jorong melebar atau lonjong, helaian asimetris, berukuran 5-10 cm x 3-6 cm, pinggir
helaian rata, permukaan atas helaian berwarna hijau mengkilat dengan permukaan bawah
berwarna hijau pudar, ujung helaian meluncip atau tumpul, pangkal helaian tumpul atau
bentuk baji. Perbungaan pada ketiak daun, bentuk tandan, panjang 5-25 cm, mahkota
bunga berwarna ungu keputihan, kelopak bunga berwarna hijau kecoklatan, bunga harum.
Buah polong berbentuk lonjong memipih, asimetris, buah masak berukuran 3-6 cm x 2-3 cm,
kulit mengayu berwarna hijau, membelah pada tepi buah dengan 1 atau 2 tempat biji. Biji
bulat telur memipih, berukuran 15-20 mm x 10-15 mm, tebal 5-10 mm, biji segar berwarna
hijau keputihan, biji kering warna coklat kemerahan.
Daerah persebaran alami mulai dari India, Asia Tenggara termasuk Indonesia hingga
Melanesia dan Australia (Whitmore et al.,1997). Hanum dan Maesen (1997),
menginformasikan bahwa jenis ini telah diintroduksi ke Mesir, Florida, Hawai. Tempat
tumbuh alami P. pinnata di daerah pantai (Whitmore et al.,1997). Hanum dan Maesen
(1997), menyebutkan P. pinnata tumbuh alami mulai dari daerah pantai hingga dataran tinggi
pada ketinggian 0 1200 m dari permukaan laut (dpl.). Disebutkan pula oleh Hanum dan
Maesen (1997), habitat alaminya pada batu gamping dan karang berbatu, sepanjang sungai
dan arus pasang surut, lahan berpasir dan tanah liat berat.
Pemanfaatan oleh masayarakat setempat antara lain kayu berdiameter kecil untuk
kayu bakar, kayu berdiameter besar dipakai untuk menambah asesori perahu dan alat
rumah tangga. Daun, bunga serta buah untuk pakan ternak pada saat musim kemarau.
Disamping itu, manfaat secara fisik adalah adanya tegakan P. pinnata mampu melindungi
daratan dari terpaan angin laut, ombak dan tsunami. Oey Djoen Seng (1990) melaporkan
bahwa kayu P. pinnata dengankelas awet V, kelas kuat II-III, berat jenis 0,67. Kayu memiliki
serat yang indah, akan tetapi belum dimanfaatkan secara optimal. Hanum dan Maesen
(1997), menginformasikan kayu selain untuk kayu bakar, dipakai sebagai bahan pembuatan
lemari, roda kereta dan pulp kertas.
Pemanfaatan bukan kayu diantanya untuk pakan, kompos, obat-obatan dan minyak.
Garsetiasih dan Takandjandji (2007) menyebutkan bahwa daun P. pinnata sebagai jenis
hijauan pakan rusa Timor yang biasa dimakan di habitat alaminya. Kristina (2007) menulis
tentang daun P. pinnata dapat dimanfaatkan untuk pupuk kompos dan insektisida. Wikipedia
(2010) menyebutkan, bunga-bunga digunakan untuk kompos karena mengandung nutrisi
tinggi bagi tanaman. Warna bunga yang indah menyebabkan pohon P. pinnata sering
dimanfaatkan sebagai pohon hias di taman dan tepi jalan (Wikipedia, 2010). Pohon
berbunga secara rutin dapat sebagai sumber nectar pakan lebah madu yang selalu tersedia.
Mardjono (2008) menginformasikan bahwa ekstrat akar dan kulit batang dapat
menyembuhkan penyakit akibat tusukan ikan beracun, ekstart kulit batang dapat untuk obat
kudis, serta kulit batang dapat dibuat tali. Biji P. pinnata menghasilkan minyak dan memiliki
banyak kegunaan. Di India, minyak biji digunakan sebagai bahan bakar untuk memasak dan
lampu, bahan pelumas, bahan cat, pestisida, minyak penyamak, bahan pembuat sabun, obat
rematik, obat penyakit kulit manusia dan hewan (Wikipedia, 2010). Mardjono (2008)
menyebutkan, biji menghasilkan minyak nabati untuk bahan baku biodiesel, limbah bungkil
minyak untuk bahan bakar dan pupuk organik atau pakan ternak. Biji yang dihasilkan dari
setiap pohon dewasa diprediksi hingga 50 kg, dan 25 persennya menghasilkan minyak untuk
bahan bakar (Kristiani, 2007). Pemakaian minyak biji P. pinnatasebagai bahan bakar nabati

698
ILMU KEHUTANAN

ramah lingkungan, dapat dicampur dengan solar atau murni tanpa campuran solar, dan
penggunaannya bisa dilakukan tanpa perlu modifikasi mesin (Raharjo, 2010).
Prospek pemanfaatan jenis ini multi guna, yaitu dapat dikembangkan sebagai hutan
tanaman untuk industri kayu, kayu bakar dan pemanfaatan bukan kayu seperti industri
minyak nabati biodiesel.

Mallotus philippensis (Lamnk.) Muell. Arg. (ki meong).


Jenis ini termasuk dalam kelompok suku Euphorbiaceae, memiliki sinonim nama
ilmiah adalah: Mallotus reticulatus Dunn, Rottlera tinctoria Roxb., nama lokal : ki meong
(Sunda), kapasan (Jawa) dan di Ternate disebut pohon galuga furu (Nguyen Nghia Thin &
Tran Van On, 1998). Di India memiliki nama lokal; kamala, kampillaka, kapila, shendri dan
dalam bahasa Inggris disebut monkey-face tree (Oudhia, 2004).
Habitus pohon pada umumnya pohon kecil, tinggi 10 m. Heyne (1987) menyebutkan
berhabitus pohon dengan tinggi 24 m, diameter 50 cm. Batang silindris, kulithalus, berwarna
abu-abu keputihan atau abu-abu hijau. Daun tunggal, berdaun penumpu bentuk segitiga
menyempit, berbulu. Helai daun bundar telur hingga bundar belah ketupat,berukuran7-15cm
x3-7 cm,dasar daun bulat atau tumpul, ujung daun lancip hingga berekor, pinggir daun
bergerigi permukaan atas helai daungundul, pangkal tulang daun terdapat kelenjar. Bunga
majemuk tersusun dalam malai, Buah berkulit mengayu, bentukkapsul, berbulu merah
karat. Daerah persebaran dari India hingga Australia dan Melanesia. Di Indonesia terdapat di
seluruh kepulauan, tumbuh secara alami sebagai jenis pioner di hutan sekunder.
Pemanfaatan oleh masyarakat, kayu batang untuk perkakas rumah tangga,
konstruksi dan kayu bakar.Kayu M. philippensismemiliki kelas awet IV-V, kelas kuat II, berat
jenis 0,75 (Oey Djoen Seng,1990). Pohon M. philippensis bermanfaat kayu dan bukan
kayu. Manfaat bukan kayu menurut Oudhia (2004), diantaranya daun untuk penurun demam,
buah secara tradisional untuk pengobatan bronchitis, sakit perut, pembesaran limpa dan
sebagainya. Disebutkan pula oleh Oudhia (2004), kelenjar buah dipakai sebagai bahan
pewarna merah pada kain sutra dan wool, minyak biji untuk pencampur salep, bahan cat dan
pernis. Jenis ini berprospek dikembangkan sebagai jenis penghasil kayu dan bukan kayu.
Prospek pemanfaatan kayu M. philippensis untuk konstruksi, batang korek api, sumpit, peti
pengepak, papan partikel, papan serat, pulp dan kertas, serta kayu bakar (Nguyen Nghia
Thin & Tran Van On, 1998).

Palaquium amboinense Burck (walikukun)


Jenis pohon termasuk family Sapotaceae, sinonim nama ilmiah: Isonandra
amboinensis (Burck) Baehni, Palaquium jambos Pierre Ex Dubard, Palaquium javense Burck
(Govaerts, 2003). Nama lokal : walikukun (Sunda), kawang, nyatu (Jawa), nyatoh (Madura),
katengah (Kangean)(Heyne, 1987).
Pohon besar, tinggi 40 - 50 m, diameter batang 60 - 120 cm. Batang silindris tegak,
kadang berbanir, kadang berakar jangkang. Permukaan batang licin atau berlentisel,
berwarna merah kecoklatan, batang bergetah putih. Daun penumpu kecil, mudah gugur.
Daun tunggal, kedudukan tersebar atau spiral dan umumnya mengumpul pada ujung ranting.
Helai daun bundar telur atau bundar telur menyempit, berukuran 5 16 cm x 2 6 cm,
pangkal daun simetrik, ujung daun lancip, pinggir daun rata, helaian gundul. Bunga
majemuk, pada ketiak daun, bunga berjumlah 2-6 kuntum. Mahkota bunga berwarna putih
krem hingga putih kekuningan, Buah lonjong, panjang 3,6 5 cm, warna merah kecoklatan,
berbiji satu, bundar pipih, panjang 3 5 mm, diameter 1-10 mm.Daerah persebaran meliputi
Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku, Papua, Filippina; tumbuh pada daerah
dataran rendah (Whitmore et al., 1997).
Pemanfaatan kayu oleh masyarakat setempat untuk perkakas rumah tangga,
konstruksi rumah dan perkakas perahu. Oey Djoen Seng (1990) melaporkan bahwa kayu P.
amboinense dengankelas awet IV, kelas kuat III, berat jenis 0,48. Heyne (1987)
menyebutkan kayu P. amboinense di Jawa Tengah digemari untuk gamelan dan perkakas
rumah tangga yang halus; biji dapat menghasilkan minyak padat. Prospek pemanfaatan
kayu, antara lain dapat sebagai bahan alat musik gamelan, dan sangat sesuai sebagai

699
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

bahan kayu lapis karena memiliki berat jenis sesuai persyaratan yaitu 0,48. Mandang dan
Suhaendra (2003), menyarankan kayu P. amboinense termasuk salah satu kayu nyatoh
yang berprospek dikembangkan untuk bahan baku pensil, karena sifat kayu agak ringan
dengan kerapatan berkisar antara 0,40 0,60 gr/cm3 , dan mempunyai parenkim bentuk pita
berjarak rapat.

Pterospermum diversifolium Willd. (kibangbara)


Jenis pohon termasuk dalam famili Sterculiaceae, memiliki sinonim nama ilmiah:
Pterospermum glabrescens Wt. & Arn. (Biotik, 2011). Nama lokal: kibangbara, cerlang
(Sunda), balang (Jawa), balangkoras (Batak) dan dalam perdagangan disebut bayur (Boer
dan Lemmens, 1998).
Habitus pohon dengan tinggi 20 30 m, diameter batang 20 50 cm atau 105 cm.
Batang silindris, tegak, licin atau ber alur dan berbonggol, permukaan batang berwarna
coklat kemerahan. Daun tunggal, kedudukan berselang-seling, daun penumpu kecil mudah
gugur. Helai daun dengan bentuk bervariasi mulai dari jorong hingga bentuk jantung
menyempit, berukuran 11 25 cm x 8 17 cm, ujung daun luncip, pangkal daun bentuk hati
atau datar atau asimetrik, permukaan atas helai daun gundul, permukaan bawah berbulu
tipis warna keperakan, pada daun kering berwarna coklat kemerahan. Perungaan soliter
atau terdapat 2-3 bunga pada ketiak daun atau terminal, mahkota bunga berwarna putih.
Buah lonjong, kulit berkayu, berukuran 7-8 cm x 3-4 cm, membelah menjadi 5 bagian
dengan banyak biji. Biji bentuk pipih, bersayap pada salah satu ujungnya.Daerah persebaran
meliputi India, Vitnam, Thailand, Semenanjung Malaya, Sumatera, Jawa dan Filippina (Boer
dan Lemmens, 1998). Pada umumnya tumbuh berkelompok pada hutan primer dan
sekunder, sering di pinggir-pinggir sungai, serta dapat hidup pada tanah masin, pada
dataran rendah hingga ketinggian 700 m dari permukaan laut.
Pemanfaatan kayu oleh masyarakat antara lain untuk bahan perahu, perkakas rumah
tangga, bangunan rumah dan kayu bakar. Kayu P. diversifolium memiliki kelas awet IV, kelas
kuat II-III, berat jenis 0,65 (Oey Djoen Seng,1990). Heyne (1987) menyebutkan bahwa
kayunya digunakan untuk bangunan rumah, kerangka perahu, biduk perahu, dayung perahu,
gandar pedati dan gelam kayu untuk pewarna kuning. Prospek pemanfaatan dapat
dikembangkan sebagai hutan tanaman untuk industri kayu, termasuk kayu untuk papan,
balok, kasau, kerangka jembatan, pulp dan kertas (Boer dan Lemmens, 1998).

Pterospermum javanicum Jungh.(bayur)


Jenis pohon termasuk dalam kelompok family Sterculiaceae, dengan sinonim nama
ilmiah: Pterosepermum blumeanum Korth.; nama lokal: bayur (Indonesia), bayur, cayur
(Sunda), bayur, wayur, wadang, walang (Jawa) dan di Madura disebut pohon wadang (Boer
dan Lemmens, 1998).
Habitus pohon , tinngi 30 45 cm, tinggi bebas cabang 20 30 m, diameter 60 - 100
cm, sering batang berbanir tajam. Batang silindris tegak, permukaan licin atau sering beralur
dangkal dan bersisik, berlentisel, permukaan batang abu-abu kecoklatan. Daun tunggal,
kedudukan selang-seling, terdapat daun penumpu, panjang daun penumpu 5 mm; helaian
bentuk lanset, lonjong hingga bundar, berukuran 4 -15 cm x 3 8 cm, ujung daun luncip,
pangkal daun asimetrik, tepi daun rata atau bergelombang dan bergerigi, permukaan bawah
daun berbulu halus waran coklat keperakan, pertulangan daun pada pangkal daun menjari
tiga. Perbungaan bentuk malai, pada ketiak daun atau terminal, bunga panjang 6 cm,
mahkota bunga warna kuning. Buah bentuk lonjong mengotak, kulit berkayu, berukuran 5
13 cm x 2 5 cm, berwarna hijau coklat, buah muda berambut, buah tua gundul; berbiji
banyak, biji pipih dan bersayap pada salah satu ujungnya.
Daerah persebaran mulai dari Birma, Semenanjung Malaya, Sumatera, Jawa,
Kalimantan, Nusa Tenggara dan Maluku (Boer dan Lemmens, 1998). Tempat tumbuh di
hutan dataran rendah atau hutan sekunder hingga ketinggian 1000 m dari permukaan laut,
pada tanah lembab tidak tergenang air, tanah kering, tanah liat, tanah pasir dan tanah liat
berpasir.

700
ILMU KEHUTANAN

Pemanfaatan kayu oleh masyarakat diantaranya untuk bahan bangunan di bawah


atap, perkakas rumah tangga dan bahan perahu. Kayu P. javanicum memiliki kelas awet IV,
kelas kuat III, berat jenis 0,53 (Oey Djoen Seng,1990). Heyne (1987) menulis bahwa kayu
bayur di Jawa banyak dipakai untuk jembatan, bangunan rumah, papan, bahan perahu dan
kulit kayu diperdagangkan untuk pengganti kulit kayu soga (Peltophorum pterocarpum) dan
dikenal dengan nama kulit kayu Timor. Menurut Martawijaya et al. (1989), kayu bayur mudah
diplitur dan mudah dijadikan venir. Boer dan Lemmens (1998)menyebutkan bahwa kayu dari
marga Pterospermum cocok untuk bahan pembuatan papan, balok, kasau, kerangka
jembatan, pulp, kertas dan sebagainya. Prospek pemanfaatan dapat dikembangkan dalam
bentuk hutan tanaman tebang pilih di kawasan pantai untuk memenuhi pasokan industri
kayu atau industri kayu lapis. Sulastiningsih et al. (1999), menginformasikan bahwa kayu P.
javanicum bercorak indah dan sesuai untuk bahan kayu lapis indah.

KESIMPULAN DAN SARAN

1. Kawasan pantai Pasir Putih Pangandaran terdapat 19 jenis pohon potensial bermanfaat
kayu, terdiri dari 15 marga dan 12 famili. Ke 19 jenis pohon berprospek dikembangkan
pada kawasan pantai untuk memenuhi kebutuhan kayu lokal dan kayu industri.
2. Delapan jenis pohon di pantai Pasir Putih Pangandaran sebagai jenis prioritas untuk
dikembangkan terdiri atas Dysoxylum gaudichaudianum (kadoya), Hernandia
nymphaeifolia (borogondolo), Mallotus blumeanus (waru laut), Pongamia pinnata
(babangkongan),Mallotus philippensis (ki meong), Palaquium amboinense (walikukun),
Pterospermum diversifolium (ki bangbara), Pterospermum javanicum (bayur).
3. Dalam hal pengembangan ke 19 jenis potensial bermanfaat kayu di pantai Pasir Putih
Pangandaran, disarankan adanya promosi atau sosialisasi pengenalan jenis dan
penelitian dari berbagai aspek termasuk teknik silvikultur dan teknik pengolahan
kayunya. Dalam hal ini diperlukan kerjasama penelitian dan pengembangan antara
instansi terkait, baik pemerintah maupun swasta.

DAFTAR PUSTAKA

Aparicio, M., S.M. Bollendorff, M.J.H. Gebraad, K.K.M. Kulju, S.E.C. Sierra, J.W.F. Slik &
P.C. van Welen. 2011. Mallotus. Flora Malesiana. www.nationalherbarium.nl , diakses
tanggal 18 September 2011.
Bagian Botani Hutan, 1997. Hernandiaceae dan Papilionacea. Daftar Nama Pohon-Pohonan
Jawa-Madura. Lembaga Penelitian Hutan, Bogor.pp:61,62,73,98,96,111.
Biotik. 2011. Pterospermum diversifolium Sterculiaceae. www.biotik.org/india/ , diakses
tanggal 4 September 2011
Boer, E. & R.H.M.J. Lemmens. 1998. Pterospermum. Timber trees:Lesser-know timper. No5
(3):479-482.
Cahyana, L. Dan T.M. Parlan. 2004. Potret buram hutan Indonesia. Institut Studi Arus
Informasi (ISAI). http://fwi.or.id/publikaasi/potret.htm , diakses tanggal 20 Agustus
2011.
Fujita dalam batplants, 1991. Hernandia nymphaeifolia. www.batplants.co.uk Diakses tanggal
7/3/2010.
Garsetiasih, R. dan M. Takandjandji, 2007. Model Penangkaran Rusa. Proseding Ekspos
Hasil-Hasil Penelitian di Padang. Pusal Litbang Hutan dan Konservasi Alam.
Bogor.pp:35-46.
Govaerts,R. 2003. Palaquium amboinense Burck. www.zipcodezoo.com diakses tanggal 19
September 2011
Hanum, F.I. & van der Maesen, L.J.G.,1997. Pongamia pinnata (L.) Pierre in Auxiliary plants.
PROSEA Vol 11:209-211.

701
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Heyne, K., 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia. Badan Litbang Kehutanan. Jakarta.
Vol.II:1005-1007,1123, 1159, 1161; III:1349-1350, 1576-1577.
Kristiani, 2007. Tanaman Alternatif Sumber Biodisel: Pongamia (Pongamia pinnata (L.)
Pierre). www.old.gardenweb.infoDiakses tanggal 21/9/2010.
Mandang, Y.I. dan H. Suhaendra. 2003. Sifat-sifat kayu Nyatoh (Palaquium obtusifolium
Burck) sehubungan dengan kemungkinan penggunaannya sebagai bahan bilah pensil.
Buletin Penelitian Hasil Hutan. Vol. 21:1-14.
Mardjono, Rusim, 2008. Mengenal Ki Pahang (Pongamia pinnata) Sebagai Bahan Bakar
Alternatifharapan Masa Depan. Warta Penelitian dan Pengembangan Tanaman
Industri, Pusat Penelitian Dan Pengembangan Perkebunan. Bogor. Volume 14 Nomor
1.pp:1-2.
Martawijaya, A., I. Kartasujana, Y.I. Mandang, S.A. Prawira, dan K. Kadir. 1989. Atlas Kayu
Indonesia. Badan Litbang Kehutanan, Bogor. Jilid 2:11-15.
Nguyen Nghia Thin & Tran Van On, 1998. Mallotus. Timber trees:Lesser-know timper. No5
(3):347-351.
Oudhia, P. 2004. Kamala or kamopillaka (Mallotus philippinensis Muell.).
www.pankajoudhia.com diakses tanggal 12 September 2011.
Pratiwi, 2000. Jenis-jenis Pohon Andalan Setempat di Pulau Jawa dan Sumatera Selatan,
Sebaran dan beberapa Data Dasarnya. Info Hutan 12(3): 1-27.
Pettit, G. R; M. Yanhui; G. R. Patrick; D,L. Herald; R.K. Pettit; D. L. Doubek; J.C. Chapuis;
Tackett L. P. 2004. Antineoplastic agents Hernandia peltata (Malaysia) and Hernandia
nymphaeifolia(Republic of Maldives). Journal of natural products 67(2):214-20.
Plantamor, 2011. Informasi spesies, Dysoxylum gaudichaudianum. www.plantamor.com .
Diakses tanggal 22 Juli 2011.
Plantamor, 2008. Informasi Spesies Hernandia peltata sinonim Hernandia nymphaeifolia. On
Line www.Plantamor.com Diakses tanggal 22/6/2010.
Plantamor, 2008. Informasi Spesies Pongamia pinnata. On Line www.Plantamor.com
Diakses tanggal 22/6/2010.
Plantsforuse, 2008. Hernandia nymphaeifolia. On Line www.plantsforuse.com Diakses
tanggal 6/3/2010.
Raharjo, A. A., 2010. Penghasil Solar Anyar. Majalah Trubus On Line.www.trubus-
online.co.id. Diakses tanggal 29/1/2010.
Schimdt, F.H. and J.H.A. Ferguson, 1951. Rain fall type based on wet and dry period ratios
for Indonesia with Western New Guinea. Verh. No.42. Direktorat Metereologi dan
Geofisika jakarta.
Simanjuntak, M.E.,2005. Beberapa Energi Alternatif yang Terbarukan dan Proses
Pembuatannya. Jurnal Teknik Simetrika, Universitas Sumatera Utara. Vol.4. No.1:295.
Sudarmono, 2006. Perlunya keterpaduan pemerintah dan masyarakat mengatasi kepunahan
tumbuhan endemik di Indonesia. Inovasi On Line, PPI JEPANG, Edisi Vol.7/XVIII-Juni.
http://io.ppi.jepang.org/article.php, diakses tanggal 28/5/2008.
Sulastiningsih, I.M., M. Wardani dan P. Sutigno, 1999. Pengembangan Jenis Andalan
Setempat Untuk Menunjang Industri Kayu Lapis. Prosiding Lokakarya Kayu Lapis.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan, Bogor.pp:184-208.
Sunarjono, H.H. 1992. Flacourtia rukam Zoll. & Moritzi. Edible fruits and nuts. Plant
Resources of South_East Asia (PROSEA) 2:168-169Wardani, M. 2010.
Pengembangan Dua Jenis Pohon Multiguna Untuk Rehabilitasi Kawasan Hutan Pantai
Di Jawa. Naskah Seminar Hutan Tanaman, Bogor (belum diterbitkan).
Whitmore, T.C.; IGM Tantar dan U. Sutisna, 1997. Tree Flora Of Indonesia Check List For
Irian Jaya. Forest Research and Development Centre, Bogor.p:125,154,178, 275.
Wikipedia, 2010. Milletia pinnata is a species of tree in the pea family, Fabaceae, that is
native to southern Asia. It is often known by the synonym Pongamia pinnata.
www.wikipedia.org Diakses tanggal 2/3/2010.
Wishnu. 2011. Hutan hutan Indonesia : apa yang dipertaruhkan.indoforest_chap1_id.pdf.
http://indoforest.org , diakses tanggal 15 September 2011.

702
ILMU KEHUTANAN

Lampiran1. Jenis pohon bermanfaat kayu di pantai Pasir Putih Pangandaran

No. Spesies Nama Lokal Famili Habitus Kegunaan

1 2 3 4 5 6
1 Aegiceras Lampeni Myrsinaceae Pohon kecil, Kayu berserat
corniculatum (L.) perdu indah, kayu utk
Blanco. arang, daun utk
obat
2 Arytera littoralis Kilalayu Sapindaceae Pohon Kayu berat, awet,
Blume sedang utk bangunan
rumah
3 Carallia brachyata Ki kukuran Rhizophoraceae Pohon Kayu utk
(Lour.) Mer. sedang perkakas
4 Dysoxylum Kadoya Meliaceae Pohon Kayu utk korek
gaudichaudianum besar api, kulit kayu utk
(A.Juss.) Miq. obat luar
5 Dysoxylum Kokosan Meliaceae Pohon Kayu utk korek
parasticum (Osb.) besar api
Kosterm.
6 Eugenia densiflora Jambu laut Myrtaceae Pohon Kayu utk
(Blume)Duthie sedang perkakas
7 Flacourtia rukam Rukam Flacourtiaceae Pohon kecil Kayu utk alu,
Zoll. & Mor. - sedang, galah pedati,
btng kereta,
berbongkol daun utk kompres
& berduri mata, daun muda
dimakan, buah
dimakan rasa
manis
8 Heritiera littoralis Dungum Sterculiaceae Pohon Kayu utk tiang,
Aiton besar, btng perahu, kuat di air
berbongkol laut, ranting utk
gosok gigi, gelam
& biji utk obat
9 Hernandia Borogondolo Hernandiaceae Pohon Kayu utk selop,
nymphaeifolia besar papan, dll,
(Presl.) Kubitzki biji utk biofuel,
obat
10 Mallotus blumeanus Waru laut Euphorbiaceae Pohon kecil, Kayu utk
Muell. Arg. kadang perkakas, kulit
besar btng utk tali &
obat
11 Mallotus philippensis Ki meong Euphorbiaceae Pohon kecil Kayu utk
(Lamnk.) Muell. Arg. - sedang perkakas, utk
obat, daun pakan
satwa, buah
bahan pewarna
12 Palaquium Walikukun Sapotaceae Pohon Kayu utk gamelan
amboinense Burck besar & perkakas rmh
tngg yg halus, biji
penghsl minyak &
mentega

703
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Lanjutan Lampiran 1

1 2 3 4 5 6
13 Pongamia pinnata Babangkongan Fabaceae Pohon kecil Kayu, arang,
(L.) Pierre - besar obat, biji utk
minyak
14 Pterospermum Ki bangbara Sterculiaceae Pohon Ky utk rangka
diversifolium Willd. besar perahu, papan,
bngn rmh, gelam
ky utk pewrn
kuning
15 Pterospermum Bayur Sterculiaceae Pohon Kayu, kulit kayu
javanicum Jungh. besar
16 Syzygium Ipis kulit Myrtaceae Pohon Kayu konstruksi
acuminatissimum sedang rmh, peti kemas,
(Blume) A.DC. kayu bakar
Kayu padat,
Syzygium struktur hls, bngn
Pohon
17 polyanthum (Wight) Salam Myrtaceae rmh, perabt rmh
besar
Walp. tangga, kulit utk
penyamak & obat
Kayu bangunan
Syzygium
Pohon rmh, kulit kayu
18 racemosum (Blume) Ki pancar Myrtaceae
sedang utk pewarna
A.DC
hitam
Ky pertukangan,
indah wrnanya,
Thespesia populnea Pohon kecil ky utk obat,
19 Waru laut Malvaceae
(L.) Sol. ex Correa -sedang gelam utk tali,
daun/buah/biji utk
obat

Keterangan :
- pohon besar : diameter batang mencapai > 40 cm, - pohon sedang: diameter batang < 40
cm,
- pohon kecil: diameter batang < 20 cm

704
ILMU KEHUTANAN

POLA PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT BERBASIS


MODAL SOSIAL TENUR DI SUB DAS MINRALENG HULU
KECAMATAN CAMBA KABUPATEN MAROS
Muh. Dassir
Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin, Makasar

ABSTRAK

Kawasan hutan produksi di Sub DAS Minraleng Hulu seluas 6.623 ha, sejak tahun
2008 telah ditetapkan oleh Departemen Kehutanan menjadi wilayah pengembangan Hutan
tanaman rakyat (HTR) yang hak kelola kawasan hutan diserahkan kepada masyarakat
sekitar hutan melalui lembaga desa, melalui tiga pola pembangunan HTR, yaitu pola
mandiri, pola kemitraan dan pola developer. Pola yang bagaimana dalam pembangunan
HTR sesuai modal sosial tenur setempat yang dapat mengatasi konflik lahan dan
peningkatan produktifitas ekologis dan ekonomis lahan, merupakan tujuan penelitian.
Penelitian dilakukan dengan pendekatan partisipatif untuk proses fasilitasi memperoleh hak
kelola masyarakat miskin sekitar hutan, sedang pendekatan intervensionis dilakukan dengan
teknik RRA untuk memperoleh data menyangkut modal sosial tenur. Analisis data dilakukan
secara deskriftif. Hasil penelitian menggambarkan, modal sosial tenur menyangkut jaringan
sosial dan kepercayaan sosial (trus), pola HTR yang sesuai diterapkan pada Dusun
Lempong Desa Benteng dan Dusun Holiang Desa Cenrana Kecamatan Camba adalah
murni pola mandiri, mulai peyiapan lahan, penanaman, pemeliharaan tanaman, pemanenan
hasil dan selanjutnya pemasaran hasil, pengelolaannya kepada masing-masing petani
pemegang IUPHHK-HTR, sedang pada Dusun Tanatengnga Desa Cenrana adalah pola
HTR mandiri yang di dalamnya ada unsur kemitraan antar sesama petani dalam lingkup
dusun atau antar dusun. Pola HTR mandiri disertai kemitraan, terjadi saat pemilik IUPHHK-
HTR tidak mampu menangani budidaya penanaman tanaman dan pemeliharaan tanaman
pokok dan tanaman semusim. Pada kondisi demikian tenur mallolo amliri dan tenur teseng
sangat diperlukan dalam membangun HTR melalui pola mandiri yang didalamnya terdapat
unsur kemitraan antar petani pada lapisan sosial bawah. Sedang pemanenan hasil dan
pemasaran hasil dapat dilakukan sendiri secara mandiri oleh petani pemegang IUPHHK-
HTR. Pengolahan hasil hutan kayu HTR perlu menerapkan pola developer yang difasilitasi
pemerintah dengan mengundang industri pengolahan kayu plywood dari luar dan
menempatkan industri veneer skala kecil pada lokasi HTR yang dapat mendorong iklim
investasi kehutanan dan pengembangan HTR di wilayah bersangkutan.

Kata kunci: Pola HTR, Modal Sosial, Tenur

PENDAHULUAN

Sub DAS Minraleng Hulu di Kabupaten Maros yang menjadi lahan penelitian,
luasnya 56.623 ha, dimana 18.446 ha diantaranya merupakan lahan kritis dan merupakan
wilayah yang termasuk prioritas penanganan DAS (Millang dkk ,2003).Permasalahan pada
sub DAS ini, yaitu terjadi peningkatan luas lahan kritis, sebagai akibat dari hak kelola
kawasan hutan yang tidak jelas, sehingga masyarakat tidak memiliki hak dan kewajiban
moral secara jelas untuk pemanfaatan lahan dengan sebaik mungkin dan kewajiban moral
untuk tetap menjaga kelestarian produktifitas lahan (Dassir, 2008). Kawasan hutan produksi
di Sub DAS Minraleng Hulu ini sejak tahun 2008 telah ditetapkan oleh Pemerintah melalui
Departemen Kehutanan menjadi wilayah pengembangan Hutan tanaman rakyat (HTR) yang
hak kelolanya kawasan hutan diserahkan kepada masyarakat sekitar hutan melalui lembaga
desa. Hanya selama dua tahun, proses fasilitasi untuk perolehan hak kelola tersebut belum

705
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

samasekali berjalan, Kebijakan pemerintah tersebut perlu diimplementasikan di lapangan


untuk mengatasi permasalahan konflik lahan dan kerusakan sumberdaya hutan yang
semakin meningkat serta untuk mengatasi kemiskinan struktural masyarakat di dalam dan
sekitar hutan.
Departemen Kehutanan telah menentukan tiga pola pembangunan HTR, yaitu pola
mandiri, pola kemitraan dan pola developer. Pola yang bagaimana yang sesuai diterapkan
dalam pembangunan HTR sesuai modal sesuai yang terdapat pada lokasi penelitian,
sekaligus dapat mengatasi konflik lahan peningkatan produktifitas ekologis dan ekonomis
lokasi penelitian.

TUJUAN PENELITIAN

1. Mengetahui modal sosial tenur yang terdapat dalam kegiatan usaha tani yang dilakukan
petani di Sub DAS Minraleng Hulu Kecamatan Camba Kabupaten Maros
2. Menentukan pola HTR yang sesuai modal sosial tenur pada lokasi penelitian

METODE PENELITIAN

Populasi dan Target Group Penelitian


Populasi pada penelitian ini, yaitu seluruh petani dan stakeholder yang terkait dalam
pembangunan HTR di Sub DAS Minraleng Hulu Kecamatan Camba, Sedang target group,
yaitu Kelompok petani gurem yang beraktivitas dan bermukim di dalam dan sekitar hutan
dan beraktivitas di dalam kawasan hutan. Jumlah peserta petani gurem yang diharapkan
terjaring untuk ikut pada program penelitian ini sebanyak 40 orang pada dua desa yang
terletak berbatasan langsung atau sebagian besar wilayah administrasi desanya masuk
kawasan hutan produksi di Sub DAS Minraleng Hulu.

Teknik Pengumpulan Data dan Analisis Data


Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan intervensionis dan pendekatan
partisipatif. Pendekatan partisipatif dilakukan untuk proses fasilitasi memperoleh hak kelola
masyarakat miskin sekitar hutan, sedang pendekatan intervensionis dilakukan dengan teknik
RRA untuk memperoleh data menyangkut Modal sosial tenur setempat, meliputi sistem
pranata sosial tenur (norma), jaringan sosial (net working), dan kepercayaan (trust).
Berdasarkan data yang terkumpul, selanjutnya dilakukan analisis deskriptif untuk
menentukan pola HTR yang sesuai modal sosial tenur pada lokasi penelitian.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pembentukan Kelompok Tani HTR dan Pemetaan Partisipatif


Kelompok tani HTR terbentuk pada dua desa studi, yaitu satu kelompok tani HTR
Samaenre di Dusun Lempong Desa Benteng dan tiga kelompok tani HTR di Desa Cenrana.
Kelompok tani HTR yang terbentuk di Desa Cenrana meliputi dua kelompok tani di Dusun
Holiang, yaitu kelompok tani Bukit Hijau dan kelompok tani Tunas Harapan dan Kelompok
tani HTR Duppa Siruntu di Dusun Tanatengnga. Gambaran jumlah kelompok tani HTR yang
terbentuk dalam penelitian diperlihatkan pada Tabel 1.

Hasil Verifikasi Areal HTR oleh Departemen Kehutanan


Hasil verifikasi yang dilakukan oleh Balai departemen kehutanan melalui BP2HP
sebagai UPT pusat Departemen Kehutanan di daerah menyangkut persyaratan administrasi
dan sketsa/peta areal yang dimohon oleh kelompok tani HTR pada dua desa, yaitu Desa
Benteng dan Desa Cenrana kecamata Camba (Tabel 5), hanya dua kelompok tani HTR
yang lokasinya direkomendasikan disetujui untuk diteruskan memperoleh izin hak kelola.
Kedua kelompok tani HTR tersebut masing-masing-masing kelompok tani Tunas harapan

706
ILMU KEHUTANAN

seluas 80 ha dan kelompok tani Bukit Hijau seluas 80 ha, keduanya berada di dusun
Holiang Desa cenrana. Sedangkan dua kelompok tani HTR lainnya direkomendasikan untuk
memperbaiki sketsa petanya (Tabel 2)

Tabel 1. Kelompok tani Hutan (KTH) HTR yang terbentuk


dan Luas areal calon HTR yang diusulkan

No Desa Dusun Kelompok Tani Jumlah anggota Luas Areal HTR


HTR kelompok tani yang diusulkan
(Org) (ha)
1. Cenrana Tanatengnga Duppasiruntu 35 122,5
2. Cenrana Holiang Bukit Hijau 10 80
3. Cenrana Holiang Tunas Harapan 10 80
4. Benteng Lempong Samaenre' 10 88
5. Jumlah 65 364,5

Tabel 2.Hasil Verifikasi Departemen Kehutanan terhadap Usulan Kelompok Tani HTR di Sub
DAS Minraleng Hulu Kecamatan Camba Kabupaten Maros

No Desa Dusun Kelompok


Jumlah Luas HTR Hasil verifikasi
Tani HTR
anggota KTH yang di-
HTR (Org) usulkan (ha)
1. Cenrana Tanatengnga Duppasiruntu 35 122,5 Sebagian areal
disetujui, perlu
mencari areal
usulan HTR
tambahan
2. Cenrana Holiang Bukit Hijau 10 80 Menlanjutkan
3. Cenrana Holiang Tunas Harapan 10 80 proses
pengurusan izin
hak kelola
4. Benteng Lempong Samaenre' 10 88 mencari areal
usulan HTR
tambahan
5. Jumlah 65 364,5

1. Modal Sosial Tenur yang terdapat pada Masyarakat Petani di Sub DAS Minraleng
Hulu Kecamatan Camba kabupaten Maros

a. Sistem Tenur pada lahan milik


Kelembagaan penguasaan lahan yang terdapat pada Wanatani dan usahatani di
Kecamatan Camba yang masih berlangsung dan diakui oleh masyarakat pada daerah
tersebut, yaitu kelernbagaan kepemilikan dan penyakapan lahan, kelernbagaan pengelolaan
agroforestry, kelembagaan pasca panen, kelembagaan panen, secara garis tenur tersebut
diuraikan sebagai berikut :
1). Kelembagaan kepemilikan
a) Pemilik Penggarap
Yang dimaksudkan dengan petani pemilik penggarap adalah petani yang
rnengelola sendiri lahan usahatani/wanataninya dengan tanggung jawab atas
pengelolaannya menjadi tanggung jawab sepenuhnya kepada pernilik lahannya. Petani
pemilik penggarap mempunyal hak untuk rnemperoleh hasil yang dipoduksi dari areal
hutan yang dikelolanya serta mempertahankannya, termasuk dalam
mengembangkannya, seperti penanaman, pemeliharaan, dan penebangan untuk

707
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

tujuan peremajaan (mallolo). Pelaksanaan kelembagaan pemilik penggarap pada


petani dijumpai pada lahan persawahan, lahan kebun dan ladang.

b) Teseng/ruma
Kelembagaan sistem teseng hanya terdapat pada lahan persawahan.
Kelembagaan pengelolaan lahan dengan sistem teseng/ruma adalah pemberian lahan
usahatani kepada orang lain untuk dikelola dengan cara bagi hasil. Masyarakat yang
mengelola lahan usaha tani rakyat disebut Patteseng/paruma. Pelaksanaan
kelembagaan teseng/ruma dijumpai hanya dalam pengelolaan lahan persawahan,
tidak dijumpai pada pengelolaan lahan kering dan areal ladang.
Kegiatan teseng/ruma ini biasanya dilakukan dengan cara pemilik lahan
memberihan kepada keluarga dekat atau orang lain yang dipercaya dengan sistem
bagi hasil, besarnya bagi hasil yang berlaku umum adalah 2: 1 dimana pemilik lahan
mendapatkan bagian sebesar 2 bagian dan patteseng/paruma sebesar I bagian
setelah dikeluarkan ongkos biaya bibit tanaman padi dan biaya sarana produksi (pupuk
dan pestisida/herbisida). Kelembagaan teseng/ruma ini biasanya terjadi pada pemilik
lahan yang tinggalnya diluar dari daerah dimana lahannya berada, sehingga tidak
mampu mengurusi lahannya sendiri, maka untuk mengelola lahan tersebut diserahkan
kepada orang lain.
Patteseng/paruma berkewajiban mengelola lahan mulai dari kegiatan persiapan
lahan, penanaman, pemeliharaan lahan sampai pemanenan lahan. Biaya bibit
tanaman padi dan sarana produksi seperti pupuk dan pestisida disediakan oleh
patteseng. Pembayaran pajak atas lahan yang diusahakan olen patteseng merupakan
tanggung jawab pemilik lahan.

c) Sanra/Katenni
Kelembagaan sanra/katenni adalah kelembagaan yang berlaku di masyarakat
dalam pengelolaan lahan dimana pemilik lahan menyerahkan lahannya untuk
diusahakan oleh orang lain dengan ketentuan orang lain menyerahkan jaminan berupa
uang kepada pemilik lahan. Sedang lahan tersebut dikembalikan kepada pemiliknya
selama beberapa waktu kemudian yang telah disepakati bersama. Pada kelembagaan
sanra/katenni ini ada yang diistilahkan dengan Passanra/Pakkateni yaitu orang yang
berhak, mengelola lahan berdasarkan kesepakatan dengan pemilik lahan.
Passanra/Pakkateni berhak mengelola lahan tersebut dan seluruh hasilnya
menjadi miliknya. Hasil baru dapat diperoleh pamilik lahan setelah hak sanra telah
berakhir atau Jaminan telah diikernbalikan dari pemilik kepada passanra/pakkatenni.
Nilai jaminan yang akan dikembalikan ke pakkatenni/passanra setelah hak sanra
berakhir berpatokan pada harga beras atau harga emas pada saat pengembalian
uang, sehingga uang yang dikembalikan oleh pemilik lahan tidak mutlak harus sama
banyaknya dengan jumlah uang yang diambil dari pakkatenni/passanra.
Sanra/katenni ini biasanya terjadi pada saat masyarakat membutuhkan uang
secara mendadak sehingga lahan yang dimiliki dapat dimanfaatkan untuk
mendapatkan uang secara cepat disarnping tidak menjual lahannya. Nilai sosial dan
ekonomi yang terdapat pada kelembagaan penguasaan lahan sanra (Tabel 9) adalah
memberikan peluang kepada masyarakat yang tidak memiliki lahan atau punya lahan
sernpit tetapi mempunyal modal dan kemampuan untuk mengelola lahan, dipihak lain
terdapat masyarakat yang memerlukan modal untuk memenuhi kabutuhan dalam
malaksanakan aktifitas ekonomi lain. Dengan demikian maka masyarakat dalam
melakukan aktivitasnya dapat saling menunjang dalam rangka pernenuhan kebutuban
sementara aktivitas lainnya masih dapat berjalan. Pelaksanaan tenurial sanra pada
kedua lokasi desa studi hanya dilakukan pada lahan persawahan, sedang pada lahan
kebun dan ladang tidak diterapkan karena nilai lahan dan komoditas yang diusahakan
tidak mempunyai nilai ekonomis.

708
ILMU KEHUTANAN

d) Sistem ongko lahan (Lakara)


Sistem tenurial ongko (lakara) melalui wanatani ladang berlangsung pada desa
ini dikarenakan tanah-tanah negara bebas masih banyak tersedia, sehingga tenurial
lakara merupakan tanda kepemilikan yang disepakati secara tidak tertulis diantara
penduduk. Sejak ditetapkannya tapal batas kawasan hutan pada kedua desa studi ,
menyebabkan lahan untuk ongko mulai terbatas. Terjadi konflik lahan antara
masyarakat dengan pihak instansi kehutanan, dikarenakan banyak lahan lakara
penduduk terdapat di dalam patok kawasan hutan.

e) Kelembagaan Panen
Tenurial kelembagaan panen yang terdapat pada desa lokasi studi, yaitu sistem
Massaro padi dilakukan penduduk yang tidak mempuyai sawah atau mempunyai
waktu bero dari lahan ladangnya. Sebagian besar penduduk yang menjadi tenaga
buruh pemanenan padi merupakan petani yang terbatas ataupun tidak mempunyai
lahan, sehingga kecukupan (subsistensi) pangannya tidak mencukupi dari lahan
usahataninya, menyebabkan harus menjadi tenaga buruh pemanenan pada pada
desa-desa penghasil padi, seperti Desa-desa di Kecamatan Cenrana, Camba dan
Mallawa. Besarnya sistem bagi hasil dalam pemanenan padi adalah I : 6, yaitu 1
bagian diambil oleh buruh tani pemanen padi, sedang pemilik sawah memperoleh
bagian hasil panen sebesar lima bagian.

f) Kelembagaan Pemasaran Hasil


Berdasarkan uraian di atas fungsi kelembagaan pemasaran hasil dan lokasi
penerapan modal sosial tenur diperlihatkan pada Tabel 3 dan Tabel 4.

Tabel 3. Fungsi dan lokasi Penerapan Tenur dalam pemilikan lahan

No. Nama Tenurial Fungsi Tenurial Lokasi Penerapan


Tenurial
1. Lakara x Penanda kepemilikan kawasan hutan
2. Sanra (sawah) Distribusi lahan x Sawah
Kebutuhan uang tunai pemilik
lahan
3. Sanra (kemiri) Distribusi lahan x Kemiri
Kebutuhan uang tunai pemilik
lahan
4. Teseng (sawah Distribusi lahan x Sawah
Patron-klien
5. Teseng Distribusi lahan x Kemiri
(kemiri) Patron-klien
Usaha komoditas komersial
6. Paje Distribusi dan intensifikasi x Sawah
lahan subur antar petani

g) Kelembagaan Pemasaran Kayu


Pedagang lokal membeli pohon berdiri atau kayu gelondongan pada tingkat
petani pemilik lahan hutan kemiri dan atau hutan jati rakyat. Pedagang lokal mengolah
kayu tersebut menjadi sortimen kayu sesuai permintaan pedagang pengumpul di
tingkat kabupaten. Pedagang pengumpul di tingkat kabupaten selanjutnya menjual
kepada industri pengolahan kayu di tingkat kabupaten untuk diolah menjadi meubel.
Pedagang pengumpul di tingkat kabupaten yang sekaligus mempunyai industri
pengolahan kayu, mengolah sortimen kayu yang dibeli dari pedagang lokal untuk
selanjutnya dijual ke industri pengolahan kayu di pulau Jawa, yang mengolah lebih
lanjut sortimen kayu tersebut menjadi produk eksport.

709
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

b. Jaringan Sosial
Adanya perdagangan kayu antara petani pemilik lahan kemiri dan hutan jati
rakyat dengan pedagang lokal, pedagang atar kabupaten dan tenaga pemikul
(penyarad) merupakan suatu jaringan sosial dalam pemanenan hutan rakyat yang
dijumpai di Dusun Lempong Kecamatan Benteng dan Dusun Tanatengnga Desa
Cenrana. Pedagang lokal dengan industri pengolahan kayu mal merupakan yang
menghubungkan komunitas dengan wilayah luar.
Jaringan sosial lainnya (Tabel 5) yang terjadi adalah dalam tenur massaro ase
antara pemilik lahan sawah pada desa atau dusun tetangga dengan buruh tani dalam
Dusun Holiang dan Lempong yang merupakan petani susisten. Sedang tenur
pemanenan cengkeh merupakan tenur pemanenan yang jaringan sosilnya
menghubungkan antara petani didusun Holiang dengan petani antar kabupaten lain.

Tabel 4. Fungsi dan lokasi Penerapan Tenur dalam pengelolaan lahan

No. Fungsi Tenurial Lokasi Penerapan


Nama Tenurial Tenurial
1. Madumme pengendalian hama babi &n monyet ladang, sawah
(Ronda pada kelompok peladang/ petani
kelompok) sawah
2. Massaro kekurangan tenaga kerja pemanen Sawah, hutan kemiri,
padi, kemiri, jati, dan cengkeh) dan kebun cengkeh
Individu-komunal untuk subsistensi
pangan antar distrik/masyarakat
3. Makkampiri ------ ------
4. Makkallice x Lahan kemiri luas/ KK
x Penyediaan lapangan pekerjaan petani Hutan Kemiri
5. Madeppa
gurem
x mencegah pencurian kemiri
6. Mallolo x Peremajaan kemiri Hutan Kemiri
x keberlangsungan hak pemilikan lahan

Pedagang kemiri dan pedagang kayu jati dan kayu kemiri mempunyai peranan dalam
menghubungkan pemasaran hasil hutan kayu dan non kayu seperti kemiri ke kota seperti
makassar. Sedangkan komoditas seperti gula merah dan madu hanya dipasarkan secara
lokal dalam desa atau dipasarkan pada ibukota kecamatan. Broker kayu kemiri dan kayu jati
yang terdapat di Panagi ibukota Desa Cenrana mempunyai peranan dalam menghubungkan
petani kemiri dengan pedagang kayu di luar yang mempunyai peralatan seperti chainsaw
dan mobil.

Tabel 5. Jaringan Sosial yang terdapat dalam Pengelolaan Lahan pada Masyarakat
di Sub DAS Minraleng Hulu Kecamatan Camba

No Nama tenur Jaringan sosial yang terjadi Lingkup wilayah jaringan Jenis kelamin yang
sosial terlibat
1 Lakara Tuan tanah petani gurem Antar Dusun Laki laki
2 x Pemilik sawah dengan - Antar Dusun dan Laki dan
Massaro buruh tani antar Kecamatan perempuan
x Pemilik cengkeh dengan - Antar Kabupaten Laki
buruh tani
3 Madeppa Pemilik kemiri dengan buruh -antar dusun Perempuan
4 Mallolo Pemilik lahan pedagang - Antar Desa Laki laki dan
kemiri (petani gurem) - Antar Dusun perempuan

710
ILMU KEHUTANAN

c. Trust
Petani hutan pada berbagai lapisan sosial yang menjaga sistem pelaksanaan pranata
tenur, seperti teseng, sanra, mallolo kemiri maka keberlangsungan hubungan sosial dalam
pengelolaan lahan dapat berlangsung. Kepercayaan untuk memenuhi pranata sosial tenur
pada lapisan sosial bawah (buruh tani atau petani penyakap) terhadap petani. Lapisan sosial
atas (tuan tanah atau petani pemodal) sangat dijaga. Dikarenakan jika lapisan sosial bawah
tidak memenuhi pranata sosial tenur tersebut memperoleh sangsi untuk tidak
memperpanjang sistem penyakapan lahan berbentuk tenur teseng, sanra, maupun
peremajaan kemiri. Sangsi lainnya yang terjadi adalah petani penyakap tidak dapat
memperluas jaringan sosial terhadap tuan tanah lainnya dalam lingkup kampung, dusun
ataupun antar kampung, dusun serta antar desa.
Fungsi trust dalam peningkatan kualitas sumber daya lahan hutan, yaitu tree tenur
yang dilakukan dalam sanra lahan kemiri cenderung stagnan. Dikarenakan petani penyakap
hanya memungut hasil tanpa ada tindakan pengelolaan tegakan kemiri. Sedang tenur
peremajaan kemiri (mallolo ampiri) faktor trust sangat memegang peranan dalam
pembentukan kualitas tegakan kemiri dan tegakan jati serta keberlanjutan tegakan kemiri
dan tegakan jati pada lahan-lahan milik tuan tanah.

2. Pola Pembangunan HTR pada Kawasan Hutan Produksi di Sub DAS Minraleng
Hulu
a. Pola Pembangunan HTR oleh Departemen Kehutanan
HTR merupakan hutan tanaman pada hutan produksi yang dibangun oleh
perorangan atau kelompok masyarakat dan koperasi untuk meningkatkan potensi
dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan silvikultur dalam rangka menjamin
kelestarian sumber daya hutan. Pola HTR yang di tetapkan Departemen Kehutanan
untuk dipilih oleh setiap kelompok tani atau koperasi pengusul areal HTR , terdiri
atas :
1) HTR Pola Mandiri adalah HTR yang dibangun oleh Kepala Keluarga pemegang
IUPHHK-HTR.
2) HTR Pola Kemitraan adalah HTR yang dibangun oleh Kepala Keluarga
pemegang IUPHHK-HTR bersama dengan mitranya berdasarkan kesepakatan
bersama dengan difasilitasi oleh pemerintah agar terselenggara kemitraan yang
menguntungkan kedua pihak.
3) HTR Pola Developer adalah HTR yang dibangun oleh BUMN atau BUMS dan
selanjutnya diserahkan oleh Pemerintah kepada Kepala Keluarga pemohon
IUPHHK-HTR dan biaya pembangunannya menjadi tanggung jawab pemegang
ijin dan dikembalikan secara mengangsur sejak Surat Keputusan IUPHHK-
HTR diterbitkan.

b. Pola Pembangunan HTR di Sub DAS Minraleng Hulu.


Pola pembangunan HTR di Sub DAS Minraleng Hulu berdasarkan modal
social Agraria dan struktur sosial menyangkut peran sosial dan kedudukan sosial
pada masyarakat petani di kedua desa lokasi studi, maka pola HTR yang sesuai
untuk diterapkan adalah pola mandiri.

1) Model HTR Pola Mandiri di Dusun Lempong dan Dusun Holiang


Struktur sosial masyarakat Dusun Lempong dan Dusun Holiang yang
hanya terdapat satu lapisan sosial, yaitu lapisan sosial bawah dengan pekerjaan
utama sebagai petani peladang kemiri. Lapisan sosial demikian sangat
membutuhkan lahan garapan untuk areal berladang dengan menanam tanaman
semusim, seperti jagung, padi, kacang tanah, dan atau sayur mayur untuk
pemenuhan kebutuhan subsistensi.
Modal sosial tenur yang terdapat di Dusun Lempong, meliputi tenur
pemilikan lahan ( teseng, paje, sanra,) dan tenur pengelolaan lahan ( mallolo
ampiri, massaro, ma.deppa) merupakan modal sosial tenur yang dapat

711
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

diterapkan dalam membangun HTR secara mandiri dalam lingkup antar warga
dalam dusun terebut. Sedangkan untuk pemasaran hasil pemanenan kayu dan
non kayu nantinya dari lahan HTR dapat menggunakan jaringan sosial
(networking) dalam dusun, antar dusun, antar desa, dan jarigan sosial antar
kabupaten, serta kepercayaan sosial (trust) yang terdapat pada tenur pemilikan
lahan dan pengelolaan lahan.
Berdasarkan struktur sosial dan modal sosial tenur yang terdapat pada
Dusun Holiang dan Dusun Lempong, maka pola HTR yang memungkinkan dapat
diterapkan pada Dusun Lempong Desa Benteng dan Dusun Holiang Desa
Cenrana Kecamatan Camba adalah murni Pola mandiri. HTR pola mandiri pada
kedua dusun terebut, yaitu sejak peyiapan lahan, penanaman, pemeliharaan
tanaman, pemanenan hasil dan selanjutnya pemasaran hasil dapat
dipercayakan pengelolaannya kepada masing-masing masyarakat dusun
bersangkutan.

2) Model HTR Pola Mandiri di Dusun Tanatengnga Desa Cenrana


Berbeda dengan Dusun Holiang dan Dusun Lempong yang struktur
sosialnya hanya satu lapisan sosial, maka pada Dusun Tanatengnga Desa
Cenrana terdiri atas tiga lapisan sosial, yaitu tuan tanah sekaligus keturunan
ningrat (biasanya bergelar andi) sebagai lapisan sosial paling atas, kelas sosial
menengah ditempati oleh petani biasa dengan luas lahan yang cukup untuk
pangan setahun tanpa melakukan tenur massaro. Kelas sosial menengah
lainnya yang terdapat pada dusun tersebut adalah kelompok pedagang yangg
melakukan aktivitas pemasaran hasil pertanian, peternakan, dan hasil hutan
kayu dan non kayu. Sedang Lapisan sosial paling bawah adalah petani dengan
kepemilikan kahan sempit ataupun yang tidak memiliki lahan samasekali.
Lapisan sosial paling bawah ini menggunakan tenur massaro dan tenur
penyakapan lahan (mallolo ampiri dan teseng).
Modal sosial tenur yang terdapat pada Dusun tanatengnga, hanya tenur
pemanenan cengkeh (massaro cengkeh) yang tidak terdapat pada dusun
tersebut, sedang modal sosial tenur lainnya yang terdapat di Dusun Holiang dan
Dusun lempong juga terdapat pada dusun bersangkutan. Kelas sosial paling
bawah pada dusun tersebut tidak menjadi buruh tani dalam pemanenan cengkeh
dikarenakan lapangan kerja melalui tenur mallolo ampiri, tenur teseng,
makkampiri,dan tenur massaro ase (buruh pemanenan padi dan kemiri) masih
tersedia banyak yang ditawarkan oleh kelompok sosial paling atas. Masyarakat
Dusun Holiang dan Lempong juga banyak yang datang ke Dusun Tanatengnga
untuk menjadi buruh tani melalui sistem tenur yang dilakukan lapisan sosial
paling bawah pada dusun bersangkutan, seperti pada saat musim panen padi
dan musim panen kemiri.
Berdasarkan modal sosial tenur yang terdapat pada Dusun Holiang dan
Dusun Lempong, maka pola HTR yang memungkinkan dapat diterapkan pada
Dusun Lempong Desa Benteng dan Dusun Holiang Desa Cenrana Kecamatan
Camba adalah murni Pola mandiri yang didalamnya ada unsur kemitraan atar
sesama petani dalam lingkup dusun atau antar dusun. Pola HTR mandiri
disertai kemitraan ini, terutama terjadi kemitraan pada saat pemilik IUPHHK-HTR
tidak mampu menangani budidaya penanaman tanaman dan pemeliharaan
tanaman pokok dan tanaman semusim. Pada kondisi demikian tenur mallolo
ampiri dan tenur teseng sangat diperlukan dalam membangun HTR melalui pola
mandiri yang didalamnya terdapat unsur kemitraan antar petani pada lapisan
sosial bawah. Sedang pemanenan hasil dan pemasaran hasil dapat dilakukan
sendiri secara mandiri oleh rumah tangga petai pemegang IUPHHK-HTR.

712
ILMU KEHUTANAN

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
a. Program pembangunan HTR pada petani gurem yang terdapat pada desa-desa yang
didominasi oleh kawasan hutan jadi sarana mobilitas sosial vertikal dalam mengatasi
kemiskinan struktural di pedesaan
b. Berdasarkan struktur sosial menyangkut peran sosial dan kedudukan sosial, dan modal
sosial tenur menyangkut pranata sosial tenur, jaringan sosial dan kepercayaan sosial
(trus), pola HTR yang sesuai diterapkan pada Dusun Lempong Desa Benteng dan
Dusun Holiang Desa Cenrana Kecamatan Camba adalah murni Pola mandiri., yaitu
sejak peyiapan lahan, penanaman, pemeliharaan tanaman, pemanenan hasil dan
selanjutnya pemasaran hasil dapat dipercayakan pengelolaannya kepada masing-
masing rumah tangga petai pemegang IUPHHK-HTR.
c. Berdasarkan struktur sosial menyangkut peran sosial dan kedudukan sosial, dan modal
sosial tenur menyangkut pranata sosial tenur, jaringan sosial dan kepercayaan sosial
(trus), pola HTR yang sesuai diterapkan pada Dusun Tanatengnga Desa Cenrana
adalah pola HTR mandiri yang didalamnya ada unsur kemitraan antar sesama petani
dalam lingkup dusun atau antar dusun. Pola HTR mandiri disertai kemitraan ini,
terutama terjadi kemitraan pada saat pemilik IUPHHK-HTR tidak mampu menangani
budidaya penanaman tanaman dan pemeliharaan tanaman pokok dan tanaman
semusim. Pada kondisi demikian tenur mallolo ampiri dan tenur teseng sangat
diperlukan dalam membangun HTR melalui pola mandiri yang didalamnya terdapat
unsur kemitraan antar petani pada lapisan sosial bawah. Sedang pemanenan hasil dan
pemasaran hasil dapat dilakukan sendiri secara mandiri oleh rumah tangga petani
pemegang IUPHHK-HTR.

Saran
Perlu pelatihan pada petani peserta HTR dalam pembuatan sketsa peta, dan
penyusunan rancangan perencanaan HTR oleh Departemen kehutanan melalui UPT BPKH
dan BP2HP bersama dengan Dinas kehutanan Kabupaten Maros, agar petani memahami
mekanisme perencanaan dan pengelolaan HTR sesuai peraturan yang pada akhirnya kelak
dapat mengusulkan, merencanakan dan mengelola HTR secara mandiri.

DAFTAR PUSTAKA

Dassir 2008. Dinamika Wanatani dan Sistem Tenur Petani Pada Sub DAS Minraleng Hulu
Kabupaten Maros. Disertasi Pascasarjana UNHAS. Tidak dipblikasikan.
____ 2008. Pendapatan Petani dan Keanekaragaman Tanaman pada Berbagai pola Usaha
Wanatani di Sub DAS Minraleng Hulu Kabupaten Maros. 2007. Jurnal Perennial
Volume 3.
____.2006. Sistem Penguasaan Lahan dan Pendapatan Petani pada Wanatani Kemiri di
Kecamatan Camba Kabupaten Maros, Provinsi Sulawesi Selatan. Lembaga
Penelitian UNHAS. 2006. Tidak dipublikasikan.
Departemen Kehutanan, 2007. Peraturan Menteri Kehutanan No. P.23/menhut-II/2007
tentang Hutan tanaman Rakyat (HTR). Departemen Kehutanan Republik Indonesia,
Jakarta.
Millang, S. 2003. Master Plan Study on Integrated Development and management of The
Walanae-Cenranae River Basin. Departemen Pemukiman dan Infrastruktur Wilayah
Republik Indonesia, Direktorat Umum Sumberdaya Air. Tidak Dipublikasikan

713
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

PERBANDINGAN PENGARUH LUAS LAHAN MURBEI TERHADAP


PRODUKTIVITAS KOKON PADA TIGA DAERAH PENGEMBANGAN
Andi Sadapotto
Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin, Kampus UNHAS Tamalanrea Makassar
Email: sadapotto@yahoo.com

ABSTRAK

Pengusahaan ulat sutera merupakan usahatani yang sifatnya padat karya yang
sangat bergantung pada kemampuan petani dalam mengelola usaha tani suteranya. Luas
lahan merupakan salah satu faktor produksi yang penting dalam pengusahaan kokon ulat
sutera. Kepemilikan lahan bagi petani merupakan hal yang krusial karena petani hanya
memilki lahan yang relative sempit. Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh luas
lahan murbei terhadap produktivitas kokon yang diusahakan oleh satu rumah tangga petani
ulat sutera. Penelitian dilaksanakan pada Januari 2008 dan Oktober 2008 berlokasi di
Kabupaten Soppeng, Enrekang Propinsi Sulawesi Selatan dan Luoding City, Guangdong
Province, China. Penelitian ini termasuk penelitian survey dan hasil yang didapatkan adalah
suatu preskripsi untuk memecahkan masalah yang dihadapi oleh sesorang atau sekelompok
pengambil keputusan. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui observasi atau
pengamatan lapangan, wawancara terstruktur dan tidak terstruktur, pengisian kuesioner dan
studi literature. Pengambilan data dilakukan dengan purposive sampling dengan jumlah
responden 34 orang di Kabupaten Enrekang, 30 orang di Kabupaten Soppeng, 20 orang di
Luoding City. Data yang berhasil dikumpulkan dianalisis dengan analisis deskriptif dengan
menggunakan tabel dan scatter plot dan analisis regresi. Hasil menunjukkan bahwa semakin
luas lahan murbei yang dimiliki dan dikelola petani tidak berkorelasi positif dengan
produktivitas kokon. Kemampuan petani dalam mengelola lahan murbei mempunyai
keterbatasan sehingga semkain luas areal yang dimiliki, produktivitas kokon yang dihasilkan
justru semakin rendah. Hal ini disebabkan oleh karena sifat pengusahaan ulat sutera yang
padat karya yang sangat bergantung kepada fisik dari petani itu sendiri, kecuali pada petani
yang menyewa tenaga kerja dari luar. Ketiga lokasi menunjukkan karakteristik pengelolaan
yang berbeda. Produktivitas kokon tertinggi dicapai di Luoding City, China disusul oleh
Kabupaten Enrekang dan Kabpaten Soppeng, tetapi rata-rata luas lahan di Luoding City
China terendah dibanding di Kabupaten Enrekang dan Kabupaten Soppeng. Ini berarti
bahwa pengelolaan sutera alam di Luoding City sangat intensif dibanding di Sulawesi
Selatan.

Kata kunci : Perbandingan, luas murbei, produktivitas kokon

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Pengembangan komoditas sutera alam dianggap mampu membuka lapangan kerja,
memperbaiki lahan kritis, meningkatkan pendapatan masyarakat, karena sifatnya yang padat
karya, sifat tanaman murbei yang mampu tumbuh pada lahan kritis, dan masa pemeliharaan
ulat sutera sampai menghasilkan kokon yang bisa dijual yang relatif pendek. Dalam bidang
kehutanan, pengembangan komoditas sutera alam merupakan salah satu kegiatan
perhutanan sosial (social forestry) yang bertujuan memberikan alternatif lapangan kerja,
pendapatan kepada masyarakat pedesaan di sekitar hutan agar mereka tidak masuk ke
dalam hutan yang bisa menyebabkan terjadinya kerusakan hutan.
Sutera Alam di Sulawesi Selatan telah lama menjadi bagian dari kehidupan budaya
masyarakat. Sarung sutera merupakan salah satu perangkat yang dipergunakan pada tiap
upacara kebudayaaan seperti perkawinan, pesta adat. Budidaya sutera alam telah dikenal
sejak tahun 1950 an dan sampai sekarang masih digeluti oleh sebagian masyarakat

714
ILMU KEHUTANAN

pedesaan. Menurut Balai Persuteraan Alam, Departemen Kehutanan (2008b) di Sulawesi


Selatan terdapat 3 214 kepala keluarga yang menggeluti usahatani murbei dan kokon,
dengan luas areal tanaman murbei 1 713 hektar yang tersebar di 11 kabupaten (data
selengkapnya disajikan pada Lampiran 1). Sedangkan pada bagian hilir, industri
pertenunan di Kabupaten Wajo sebagai sentra pertenunan melibatkan 3 364 unit usaha
yang mempekerjakan 19 431 tenaga kerja dengan nilai investasi Rp5 518 627 000 (BPS
Kabupaten Wajo, 2006). Sampai saat ini produksi benang sutera Sulsel masih merupakan
yang terbesar di Indonesia dengan produksi 54.3 ton dari 64.02 ton produksi nasional atau
84.8 persen (BPA, 2008b). Selain di Sulawesi Selatan, pengusahaan sutera alam juga
banyak terdapat di Jawa Barat. Tingginya produksi sutera alam di Sulawesi Selatan
diperkirakan karena selain faktor fisik juga karena faktor budaya.
Namun demikian, produksi kokon terus menurun karena berbagai sebab antara lain
banyaknya petani yang beralih ke komoditas lain seperti kakao dan masuknya benang
sutera impor (Fajar, 2005). Produksi benang sutera lokal terus mengalami penurunan dari
140 ton pada tahun 1971 menjadi 37.47 ton pada 2004. Pemerintah melalui Departemen
Kehutanan sudah mencoba berbagai langkah untuk memperbaiki kondisi tersebut dengan
berbagai kebijakan.
Produksi sutera alam Sulawesi Selatan sampai sekarang ini terus mengalami
penurunan secara fluktuatif. Produksi benang sutera Sulawesi Selatan pada tahun 2004
tercatat 37.47 ton dibanding produksi tahun 1971 sebesar 140 ton. Kebutuhan benang
sutera di Sulawesi Selatan kurang lebih 120 ton yang diperuntukkan bagi industri sutera
yang menghasilkan kain sutera polos dan sarung sutera. Kain sutera polos ditenun dengan
mesin Alat Tenun Bukan Mesin yang sebagian besar dikirim ke Jawa untuk dilakukan proses
pembatikan, sedangkan sarung sutera dikerjakan oleh perajin glodogan sebagai industri
rumah tangga dan sebagin besar untuk konsumsi lokal. Benang sutera lokal mengisi
kebutuhan untuk perajin sarung sutera dan sebagian kecil untuk produksi kain sutera polos.
Sedangkan benang impor seluruhnya untuk produksi kain sutera polos. Karena produksi dan
kualitas benang sutera lokal tidak mencukupi, maka dilakukan impor benang sutera dari
Cina. Produksi sutera lokal 50 ton, sedangkan impor 70 ton (Herlina, 2010).
Sejumlah program pemerintah telah dilaksanakan untuk mengembalikan ke kondisi
seperti tahun 1971, tetapi perkembangan sutera alam di Sulawesi Selatan belum bisa
kembali seperti dulu. Rerung (2004) mendapatkan sejumlah permasalahan kemitraan antara
PT. Kokon Sutera Sulawesi dengan petani yang menggunakan Kredit Usaha Persuteraan
Alam antara lain pasokan kokon dari petani mitra yang rendah, loyalitas petani mitra ke pihak
perusahaan yang rendah, posisi tawar menawar tidak seimbang, komitmen kerjasama
antara kedua belah pihak belum kuat, tingkat pengetahuan petani masih rendah, kurangnya
informasi dan pembinaan bagi petani mitra.
Pendekatan kebijakan pengusahaan sutera alam represif terhadap penggunaan bibit
lokal Polivoltin pada tahun 1970an. Pemerintah1 melarang penggunaan bibit lokal Polyvoltine
karena dianggap menjadi penyebab menyebarnya penyakit pebrine, suatu jenis penyakit ulat
sutera yang disebabkan oleh Protozoa. Pemerintah kemudian secara sepihak mewajibkan
masyarakat membeli bibit impor Bivoltine yang ditunjuk oleh pemerintah. Hal ini membatasi
hak dan akses masyarakat untuk memilih bibit yang akan digunakan. Pemerintah yang
bertindak seharusnya menjadi pembina menjadi pemusnah bibit-bibit yang diusahakan oleh
masyarakat. Bibit yang digunakan masyarakat sekarang adalah produk Perum Perhutani.
Sampai sekarang produsen telur legal satu-satunya adalah Perum Perhutani melalui dua unit
usahanya yang berada di Candiroto, Jawa Tengah dan Soppeng, Sulawesi Selatan.
Walaupun demikian, terdapat produsen bibit ilegal di Kabupaten Soppeng yang
memproduksi telur dan menyalurkan ke masyarakat walaupun dengan volume yang kecil
(Salman et al. 2005). Hal ini merupakan monopoli yang dapat mengganggu kinerja
pengusahaan secara keseluruhan, dan dalam pendekatan SCP masuk ke dalam faktor
struktur. Informasi terakhir, kelompok tani di Kabupaten Soppeng memasukkan bibit impor

715
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

dari Cina secara ilegal2 dan sekarang dalam proses untuk mendapatkan legalitas dari
Departemen Kehutanan.
Banyaknya petani yang beralih ke komoditas lain seperti kakao karena usahatani
sutera alam di Kabupaten Soppeng yang tidak menguntungkan dan tidak efisien (Tambunan
et al. 1998), sementara Asis (2005) menjelaskan bahwa keuntungan dari usahatani kakao
lebih besar Rp 254 125/ha/tahun dibanding keuntungan dari usahatani ulat sutera. Cina
sampai saat ini merupakan produsen kokon dan benang.terbesar din dunia.

Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membandingkan luas tanaman murbei dan
produktivitas kokon pada tiga daerah pengembangan, yaitu Enrekang, Soppeng dan Luoding
City.

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat


Penelitian Februari 2008 bertempat di Kabupaten Enrekang dan Soppeng, Sulawesi
Selatan dan di Luoding City Propinsi Guangdong, RRC pada Oktober sampai dengan
Desember 2009.

Rancangan Penelitian
Penelitian ini termasuk penelitian survey dan hasil pengetahuan yang didapatkan
adalah suatu preskripsi untuk memecahkan masalah yang dihadapi oleh seorang atau
sekelompok pengambil keputusan dan bisa digolongkan ke dalam studi kasus (Singarimbun
et al. 1989; Irawan, 2006). Teknik yang digunakan merupakan campuran metode kuantitatif
dan kualitatif (Bungin, 2006; Creswell, 2003).

Teknik pengumpulan data dilakukan melalui :


1. Observasi ; pengamatan di lapangan
2. Wawancara baik wawancara yang terstruktur maupun wawancara yang semi terstruktur
kepada responden dan informan
3. Pengisian kuesioner
4. Studi literatur dan dokumentasi dilakukan dengan mempelajari beberapa dokumen-
dokumen kebijakan pengelolaan sutera alam, kontrak, laporan-laporan, buletin, jurnal
dan dokumen-dokumen lainnya yang relevan.

Pengambilan Data
Pengambilan data dilakukan dengan purposive sampling. Penentuan kecamatan
dalam kabupaten, desa dalam kecamatan dan responden petani dilakukan secara purposive.
Jumlah responden petani murbei dan ulat sutera sebanyak 34 orang di Kabupaten
Enrekang, 30 orang di Kabupaten Soppeng, 20 orang di Luoding City, Propinsi Guangdong.
Selain itu wawancara juga dilakukan terhadap responden dari staf Balai Persuteraan Alam,
pemerhati dan pelaku sejarah sutera Sulawesi Selatan, pakar persuteraan alam Sulsel,
Direktur Perusahaan Daerah Enrekang, staf Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten
Enrekang, staf Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Soppeng, Pimpinan Perum
Perhutani Soppeng, pakar persuteraan alam Cina, produsen telur Cina, pengelola pabrik
pemintalan Cina, staf pusat penelitian persuteraan Cina. Data pembanding institusi diambil di
Luoding City untuk petani murbei dan ulat sutera di Propinsi Guangdong, China
Data sekunder diambil dari instansi yang terkait seperti Departemen Kehutanan,
Pemda Kabupaten Enrekang, Soppeng, Pusat Penelitian Sutera di Guangdong, hasil-hasil
penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan pengelolaan sutera alam.

716
ILMU KEHUTANAN

Analisis Data
Analisis data yang digunakan adalah anlisis regresi sederhana. Setelah itu
dilakukan uji t untuk melihat signifikansi (bermakna tidaknya) variabel independen terhadap
variabel dependen. Adapun hiptesis pada uji t ini adalah sebagai berikut :
- Ho : 1 = 0 (tidak terpengaruh)
- Ho : 1 0 (berpengaruh)
Jika nilai t hitung lebih besar dibandingkan dengan nilai t maka Ho ditolak artinya terdapat
pengaruh variable independen terhadap variable dependennya, begitu juga sebaliknya.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Luas Tanaman Murbei dan Produksi Kokon di Sulawesi Selatan


Produksi kokon di Sulawesi Selatan menunjukkan terjadinya penurunan. Data
selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 1

Tabel 1. Luas Tanaman Murbei, Produksi dan Produktivitas Kokon di Sulawesi Selatan 2010

No Kabupaten Luas tanaman Produksi Kokon Produktivitas


murbei (ha) (kg) (kg/ha)
1 Tana Toraja 106.65 3,743.50 35.1
2 Enrekang 221 86,867.30 393.06
3 Sidrap 7 159,60 22.8
4 Soppeng 79.92 13,669.08 171.03
5 Wajo 11.35 11,531.00 1015.95
6 Barru 12.75 173.00 13.57
7 Sinjai 105.00 174.00 1.66
Sumber : BPA, 201

Dari Tabel 1 atas terlihat bahwa produksi kokon terbesar dicapai di Kabupaten Enrekang,
yaitu 86,867 kg, disusul oleh Kabupaten Soppeng, Kabupaten Wajo, Kabupaten Tana
Toraja, Kabupaten Sinjai, Kabupaten Barru, Kabupaten Sidrap. Produktivitas kokon terbesar
dicapai oleh Kabupaten Wajo dengan produktivitas 1015.95 kg/ha disusul oleh Kabupaten
Enrekang, Kabupaten Soppeng, Kabupaten Tana Toraja, Kabupaten Sidrap, Kabupaten
Sinjai.
Hasil pengumpulan data lapangan ditunjukkan pada Tabel 2 berikut :

Tabel 2 . Luas Murbei Rata-rata, Produksi kokon rata-rata dan produktivitas kokon rata-rata

No Lokasi Luas murbei rata-rata Produktivitas kokon (kg/ha)


(ha)
1 Enrekang 1.01 407
2 Soppeng 0.92 240
3 Luoding City 0.56 1618
Sumber : Data Diolah

Dari Tabel tersebut terlihat bahwa lokasi pengembangan di Luoding City


memperlihatkan produktivititas kokon tertinggi diikuti oleh Kabupaten Enrekang dan
Kabupaten Soppeng. Hal ini memperlihatkan bahwa luasan murbei yang sedikit membuat
petani mengelola lahan murbeinya dengan intensif , karena sesuai dengan cirri khas
budidaya sutera alam yang sifatnya padat karya.

717
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

KESIMPULAN

Hal yang dapat disimpulkan dari penelitian ini adalah :


1. Semakin luas lahan murbei yang dikelola maka semakin rendah produktivitas kokon yang
dihasilkan oleh petani
2. Produktivitas kokon tertinggi didapatkan oleh petani sutera alam di Luoding City, China

DAFTAR PUSTAKA

Asis. 2005. Kajian Komponen-Komponen Biaya dan Keuntungan Usahatani Ulat Sutera dan
Usahatani Kakao di Desa Kessing Kecamatan Donri-Donri Kabupaten Soppeng
[Skripsi]. Makassar : Fakultas Pertanian dan Kehutanan, Universitas Hasanuddin
Atmosoedarjo S, Kartasubrata J, Kaomini M, Saleh W, Moerdoko W. 2000. Sutera Alam
Indonesia. Jakarta: Yayasan Sarana Wana Jaya.
[Balai Persuteraan Alam]. 2008b. Statistik Pembangunan Balai Persuteraan Alam. Gowa :
BPA Direktorat Jendral RLPS Departemen Kehutanan.
[BPS Kabupaten Wajo]. 2006. Statistik Kabupaten Wajo. Sengkang : BPS Kabupaten Wajo
Bupati Enrekang. 2007. Kebijakan Pemerintah Kabupaten Enrekang dalam Pengembangan
Usaha Sutera. Makalah pada Workshop Mencari Format Baru Pengembangan
Persuteraan Alam dalam Upaya Menjadikan Sulawesi Selatan Sebagai Pusat Industri
Sutera Nasional pada 28 Februari 2007 di Makassar.
Bupati Wajo. 2007. Kebijakan Pengembangan Industri Persuteraan Alam di Kabupaten
Wajo. Makalah pada Workshop Mencari Format Baru Pengembangan Persuteraan
Alam dalam Upaya Menjadikan Sulawesi Selatan Sebagai Pusat Industri Sutera
Nasional pada 28 Februari 2007 di Makassar.
Creswell JW. 2003. Research Design Qualitative-Quantitative and Mixed Methods
Approaches. London : Sage Publication
Ditjen RLPS. 2007. Sambutan Ditjen RLPS pada Pembukaan Workshop Persuteraan Alam
20 Agustus 2008 di Makassar.
Guangdong Government. 2008. Guangdong Statistical Yearbook 2008. Guangzhou.
http://www.gdstats.gov.cn/tjnj/table/10/c10_13.htm [18 Ags 2009]
Harizanis PC. 2007. Manual of Sericulture Silkworm Rearing Mulberry Cultivation. Athens :
Agricultural University of Athens.
Herlina L. 2010. Sutra Sulsel Benang China. www. Bataviase.co.id [26 Juni 2010]
[International Sericultural Commission]. 2010. Fresh Cocoon Production.
http://www.inserco.org/uk/Freshcocoonsproductionfrom2007.php.htm. [13 Apr 2010]
Irawan P. 2006. Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif untuk Ilmu-ilmu Sosial. Jakarta :
Departemen Ilmu Administrasi FISIP UI
[Japan International Cooperation Agency]. 1985. Proyek Pengembangan Persuteraan Alam
di Indonesia : Buku Pelengkap Audio-Visual. Jakarta : JICA
Jianmo H. 2002. China Endeavors To Become A Silk Power. [23 Jun 2004]
Kanto S. 2006. Sampling, Validitas, dan Reliabilitas dalam Penelitian Kualitatif. Di dalam
Bungin, B. Edt. Analisis Data Penelitian Kualitatif, Pemahaman Filosofis dan
Metodologis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi. Jakarta : PT Rajagrafindo Persada.
Kiyokawa Y. 1993. Possibilities for Producing High Quality Raw Silk and Fostering a Skilled
Work Force in the Indian Silk-reeling Industry. Hitotsubashi Journal of Economics,
34(2) : 87 - 109
Krishnaswami S, Narasimhanna S, Suryanarayan S, Kumararaj S. 1973. Sericulture
Manual : Silkworm Rearing. Rome: FAO Of The United Nations.
Kumaresan P, Sinha RK, Raje Urs S. 2007. An Analysis of Genetic Variation and
Divergence in Indian Tropical Polyvoltine (Bombyx mori L) Genotypes. Caspian J.
Env. Sci., 5(1) : 11 - 17

718
ILMU KEHUTANAN

Omura, Seinosuke. 1980. Silkworm Rearing in The Tropics. Tokyo : Japan International
Cooperation Agency
Rangaswami G, Narasimhanna S, Kasiviswanathan S, Sastry S. 1976. Sericulture Manual.
1 Mulberry Cultivation. Rome : FAO.
Rao CGP, Seshagiri SV, Ramesh C, Ibrahim BK, Nagaraju H, Chandrashekariah. 2006.
Evaluation of Genetic Potential of The Polyvoltine Silkworm (Bombyx mori L.)
Germplasm and Identification of Parents for Breeding Programme. J. Zhejiang Univ.
Sci. B., 7(3) : 215 220
Ryu Choong-Hee. 1994. Panduan untuk Sericulture Seri ke VI. Sukabumi : PT Indo Jado
Wanasutera.
Singarimbun M, Effendi S. 1989. Metode Penelitian Survai. Ed. Rev. Jakarta : LP3ES

719
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

TAKSONOMI DAN POPULASI SPECIES


Vatica javanica subsp.javanica V. Slooten
ENDEMIK PULAU JAWA

Titi Kalima
Kelti Botani dan Ekologi Hutan Puslitbang Konservasi dan Rehabilitasi
Jl.Gunung Batu No.5. Kotak Pos 165 Bogor 16610
e-mail: titi_kalima@yahoo.co.id

ABSTRAK

Vatica javanica subsp.javanica V. Slooten atau dikenal dengan nama keruing laki,
terdapat endemik di Jawa. Penelitian taksonomi dan populasi spesies Vatica javanica
subsp.javanica V. Slooten telah dilaksanakan di kawasan hutan lindung Capa, Brebes, jawa
Tengah. Pengumpulan data dilakukan dengan survei eksploratif dengan metode
wawancara dan pengamatan langsung di lapangan. Berdasarkan hasil pengamatan di
lapangan, menunjukan bahwa populasi spesies Vatica javanica subsp.javanica V. Slooten
ditemukan di blok Cikadu sebanyak delapan (8) individu tingkat pohon dan anakan pohon
yang tumbuh dari tunas pohon induk, dengan pola persebaran mengelompok di blok Cikadu.
Populasi Vatica javanica subsp.javanica V. Slooten di Jawa masih relatif kecil, oleh karena
itu salah satusolusi alternatif untuk mengatasi kepunahan adalah perlu ditingkatkan upaya
konservasi baik eks-situ maupun in-situ terhadap populasinya secara terpadu untuk masa
depan.

Kata kunci: Populasi, Vativa javanica subsp. javanica V. Slooten, Hutan Lindung Capar

PENDAHULUAN

Pulau Jawa sebagai salah satu pulau yang menyimpan keunikan berupa kekayaan
keanekaragaman tumbuhan yang tinggi. Dalam Whitten (1994), menyebutkan bahwa jumlah
total tumbuhan yang teridentifikasi di pulau Jawa adalah 4.101 spesies, dari jumlah tersebut
285 spesies merupakan endemik pulau Jawa. Sedangkan Prof. Dr. Elizabeth A Widjaja
(ANTARA News, 2010) seorang peneliti senior dari LIPI mengatakan di pulau Jawa terdapat
6.258 spesies tumbuhan berbunga yang teridentifikasi dan 288 spesies endemik pulau Jawa,
salah satunya spesies Vatica javanica subsp.javanica dari suku Dipterokarpa. Banyaknya
catatan spesies-spesies tumbuhan ini tidaklah mengherankan, karena pulau Jawa
merupakan lokasi yang paling diketahui mengenai botaninya di Asia Tenggara.
Vatica javanica subsp.javanica merupakan salah satu spesies pohon endemik Jawa
dari suku Dipterokarpa, yang mempunyai persebaran terbatas hanya di daerah Jawa Barat
dan Jawa Tengah. Spesies ini dikenal dengan nama lokal keruing laki, keruwing, damar, dan
pahlalar laki. Kayunya digunakan untuk bahan bangunan, plywood, lantai, papan, jembatan,
bak kayu, rangka pintu & jendela, kayu perkapalan (Serianegara dkk, 1995). Di pulau Jawa
terdapat tiga spesies dari marga Vatica meliputi Vatica bantamensis (Hassk.) B & H ex Miq.,
V. javanica subsp. javanica V.Sloot., V. venulosa. subsp. venulosa Blume, dimana habitat
tumbuhnya di daerah dataran rendah, lereng dan punggung bukit pada hutan hujan tropis
(lowland rain forest ) dengan ketinggian tidak lebih dari 1000 m dpl. (Ashton, 1982). Namun
demikian, melihat dari persebarannya yang endemik dan tingkat kerusakan hutan yang
semakin tinggi membuat populasi keruing laki terancam. Penurunan populasi suatu spesies
di ekosistemnya dapat menjadi indikasi bahwa keseimbangan ekosistem di daerah tersebut
mulai terganggu, untuk itu diperlukan pengkajian, penelitian dan pengembangan terhadap
tumbuhan endemik terutama yang terancam punah. Untuk itu, konservasi secara in-situ
maupun ex-situ sangat diperlukan untuk spesies-spesies endemik dan terancam kepunahan.

720
ILMU KEHUTANAN

Tujuan penelitian adalah mengidentifikasi populasi tumbuhan Vatica javanica


subsp.javanica endemik dan terancam kepunahan di hutan lindung Capar, Jawa Tengah.
Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk membangun strategi konservasi.

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini dilakukan di Hutan Lindung Capar pada bulan Juli 2006 dan November
2009, secara administrasi pemerintahan terletak di dua provinsi yaitu Jawa Barat dalam
wilayah kabupaten Kuningan, Ciamis dan Jawa Tengah, tepatnya berada dan kabupaten
Brebes, Cilacap. Secara geografis lokasi penelitian terletak antara 70 00 - 7015 LS dan
108030 - 109000 BT. Hutan Lindung ini memanjang dari barat ke timur dengan ketinggian
150 1350 m dpl., berarti termasuk hutan dataran rendah dan hutan pegunungan bawah
(Whitten et al.,1999). Lokasi Penelitian berada di bagian timur yaitu Desa Capar, Kecamatan
Salem, Kabupaten Brebes, Provinsi Jawa Tengah. Kawasan hutan lindung Capar
mempunyai luas sekitar 528,05 hektar, termasuk dalam wilayah Pengelolaan Perhutani,
Kesatuan pemangkuan Hutan (KPH) Pekalongan Barat dan Bagian Kesatuan Pemangkuan
Hutan (BKPH) Salem(http://rudesign.blogspot.com/search/label/Hutan%20Salem).Menurut
Schmidt dan Ferguson (1951) lokasi penelitian termasuk tipe iklim A dengan curah hujan
rata-rata tahunan 2.273 mm, suhu udara di lokasi penelitian antara 16C sampai dengan
22C. Jenis tanah dataran alluvial dan lembah alluvial, jenis tanah latosol dan grumusol,
topografi datar sampai berbuki-bukit dengan kemiringan agak curam sampai curam (30
70%) (http://id.wikipedia.org/ wiki/Kabupaten_Brebes).
Bahan yang diperlukan antara lain label herbarium, plastik herbarium, kertas koran,
karung plastik, tali rafia, alkohol 70 % dan lain-lainnya. Alat yang digunakan meliputi:
altimeter, kompas, diameter tape, global positioning system (GPS), gunting ranting, parang,
alat untuk mengukur suhu dan kelembaban udara, pH dan kelembaban tanah, kamera, dan
alat tulis.
Pengamatan dan peninjauan langsung di hutan lindung Capar untuk mengetahui
keanekaragaman sifat morfologi spesies Vatica javanica subsp.javanica secara lengkap.
Pengumpulan data dilakukan dengan survei eksploratif yaitu dengan metode wawancara dan
pengamatan langsung di lapangan. Wawancara ditujukan terhadap penduduk setempat
antara lain kepala desa dan kepala keluarga yang mengenal spesies keruing laki atau
dengan nama latin Vatica javanica subsp.javanica. Variabel yang diukur yaitu jumlah individu
tumbuhan, diameter batang pohon, khususnya spesies Vatica javanica subsp. javanica.
Dalam Ashton (1982) menyebutkan spesies Vatica javanica subsp.javanica termasuk
kategori endemik. Spesies tersebut diambil contohnya, dibuat herbarium dan diidentifikasi
di Herbarium Botani dan Ekologi Hutan, Pslitbang Konservasi dan Rehabilitasi, Bogor.

HASIL DAN PEMBAHASAN

TAKSONOMI
Vatica merupakan salah satu marga dari suku Dipterokarpa yang ke 4 yang terdapat
di kawasan Indonesia di antaranya Anisoptera, Dipterocarpus, Hopea, dan Shorea. Sampai
sekarang terdapat kurang lebih 10 marga, yang meliputi 386 spesies yang tersebar di
seluruh kawasan Malesia. Akan tetapi, jika dilakukan pengamatan spesimen herbarium di
Herbarium Botani dan Ekologi menunjukkan bahwa telah dikumpulkan sebanyak tiga spesies
Vatica dari kawasan hutan Jawa yaitu Vatica javanica,V.bantamensis dan V.venulosa.
Vatica javanica V.Slooten mempunyai hubungan yang erat sekali dengan spesies
Vatica scaphifolia Kosterm. merupakan salah satu spesies yang mempunyai banyak
persamaan ciri spesies tumbuhan di Indonesia. Tidak mengherankan bahwa dalam deskripsi
Ashton (1982) menyebutkan bahwa Vatica javanica di Jawa terdapat dua hal yang dapat
dibedakan yaitu subsp. scaphifolia (Kosterm) P.Ashton (sinonim: Vatica scaphifolia Kosterm
dan Sunaptera scaphifolia (Kosterm) Kosterm., pada umumnya tersebar berlimpah di hutan
dipterokarpa dataran rendah pada lahan bergelombang berdrainase baik di Kalimantan Timur

721
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

(Balikpapan) dan subsp. javanica tumbuh di Jawa Barat. Selain ditemukan di Jawa Barat,
juga ditemukan lokasi baru tempat tumbuhnya Vatica subsp.javanica yaitu di hutan lindung
Capar, Brebes, Jawa Tengah (Kalima, 2010), dapat dilihat pada Tabel 1 di bawah. Adapun
perbedaan yang jelas antara sub sp. javanica dan subsp.scaphifolia, sebagai berikut:
x subsp. javanica : helaian daun berbentuk seperti perahu dengan permukaan bagian
bawah cekung
x subsp. scaphifolia : helaian daun berbentuk tidak seperti perahu

Sesungguhnya taksonomi sebagian besar berpijak pada persamaan ciri spesies


tumbuhan. Tumbuhan yang memiliki ciri yang sama dimasukkan ke dalam kelompok yang
sama, jadi dalam hal ini pengklasifikasian secara ilmiah adalah:

Divisio: Plantae
Filum: Tracheophyta
Kelas: Magnoliopsida
Ordo: Malvales
Famili: Dipterocarpaceae
Genus: Vatica
Species: Vatica javanica
Sub spesies : javanica
Binomial name Vatica javanica subsp. javanica V. Slooten

Vatica javanica subsp. javanica merupakan salah satu spesies pohon berkayu dari
suku Dipterokarpa yang ada di pulau Jawa. Di Jawa Tengah spesies ini ditemukan tumbuh
di lereng atau punggung bukit pada ketinggian 250 m dpl. di hutan lindung Capar, Brebes,
Jawa Tengah dengan nama daerah keruing laki (Kalima, 2010). Adapun keanekaragaman
sifat morfologinya adalah sebagai berikut:
Pohon berukuran sedang, tinggi sampai 27 m. Batang bebas cabang 10 20 m.
Diameter batang sampai 60 cm. Tidak berbanir. Kulit batang bagian luar warnanya abu-abu
atau keputihan, kadang-kadang ada yang warna sawo muda, tidak beralur, tidak mengelupas,
berdamar warna putih. Daun tunggal, bentuk elips memanjang sampai bulat telur
sungsang, berukuran 13 - 24 cm x 6 10 cm, urat daun sekunder berjumlah 22 - 25
pasang. Tidak ditemukan bunga dan buah (Steril) (Gambar 1).

722
ILMU KEHUTANAN

Tabel 1. Koleksi spesimen herbarium Vatica javanica di Herbarium Botani dan Ekologi

Tempat
Tumbuh Tahun Pengamatan
Kolektor Nama
No. Spesies Kabupaten Desa (dpl.) Koleksi di lapangan
No. kolektor daerah

Vatica Pleihari
F.H.Hildebrand
1 scaphifolia Kalimantan Pleihari Damar 45 m 9-11-1925
bb. 9490 -
Kosterm Selatan

Vatica
2 F.H.Hildebrand Garut, 2006 - skrg
javanica Gn.Halimun Ki tenjo 950 m 28-1-1939
Ja. 4673 Jawa Barat X
v. Sloot.
Vatica
javanica 17 -10-
3 Balikpapan, - 30 m
Achmad subsp. Keruwing 1950
Kalimantan
bb. 34419 scaphifolia
Timur -
(Kosterm)
Ashton
Vatica
javanica Balikpapan,
4 Kostermans
subsp. Kalimantan Sei Riho Keruwing - 1950
bb. 34475 -
scaphifolia Timur
(Kosterm)
Ashton
Vatica
5 F.H.Hildebrand javanica 28-1-1939
Garut, Gn.Halimun Ki tenjo 950 m 2006 - skrg
Ja. 4673 subsp.
Jawa Barat
javanica
x
v.Slooten

1985
6 CA 2006
Sidiyasa Vatica
Garut, Leuweung
javanica v
Jawa Barat Sancang x
v. Sloot.
(Cibalong )

Vatica
javanica Garut, Cibalong & -
7 Kalima 2006-2007
subsp. Jawa Barat Sagara
x
javanica
v.Slooten
8 Vatica
Kalima Capar Keruing 250 m 2006-2009
javanica HL. Capar 23 -7-2006
laki
subsp. Brebes,
V
javanica Jawa
v.Slooten Tengah

Keterangan : x = tidak ditemukan; v = ditemukan; - = tidak ada keterangan

Kelimpahan di alam
Pengamatan Vatica javanica subsp. Javanica di kawasan hutan lindung Capar,
dilakukan penjelajahan di blok Cikadu dan blok Gunung Bongkok (Kalima, 2006), ditemukan
sebanyak delapan (8) individu tingkat pohon dan anakan pohon yang tumbuh dari tunas
pohon induk, dengan pola persebaran mengelompok di blok Cikadu . Ukuran populasi yang
demikian dianggap ukuran yang kecil, akibat dari fragmentasi dan kerusakan habitat oleh
manusia, akan menyebabkan laju yang lebih cepat menuju ke arah kepunahan. Sedangkan
di lokasi blok Gunung Bongkok tidak menunjukkan hasil. Pohon-pohon tersebut merupakan
pohon besar, dengan tinggi sekitar 25 30 meter, tumbuh di tempat terbuka yang terkena
sinar matahari secara langsung. Hutan tersebut rnerupakan hutan yang telah mengalami alih
fungsi lahan dan bencana longsor.

723
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

b
a

c
Gambar 1. a. Habitus; b. Batang dan tunas; c. tunas spesies Vatica javanica
subsp.javanicadi hutan lindung Capar, Brebes, Jawa Tengah (Foto Titi Kalima)

Gambar 2. V. javanica subsp.javanica (Foto Titi Kalima)

724
ILMU KEHUTANAN

a b
Gambar 3. Koleksi Spesimen herbarium a. V.javanica sbsp.javanica dan
b. V.javanica subsp.scaphifolia (Foto Titi Kalima)

Penjelajahan yang dilakukan oleh F.H.Hildebrand pada tahun 1939 dalam Ashton
(1982) menyebutkan bahwa salah satu daerah persebaran Vatica javanica subsp. javanica
adalah hanya Jawa Barat yaitu di kabupaten Garut, desa Gunung Halimun, dapat dilihat
pada Tabel 1. Selain itu, penjelajahan Sidiyasa, dkk (1985) di tempat yang menjadi habitat
populasi keruing laki (Vatica javanica subsp. javanica) adalah Cagar Alam Leuweung
Sancang, Garut, Jawa Barat. Pada tahun 2006 2009, spesies tersebut sudah tidak
ditemukan lagi bahkan hilang atau punah.
Menurut IUCN redlist 2009 (www.iucnredlist.org), Status kelangkaan spesies
Dipterokarpa di Indonesia terdapat 143 spesies yang terancam kepunahan antara lain yang
termasuk kategori Punah (EX) : 1 spesies; Kritis (CR) : 98 spesies; Genting (EN) : 40 spesies
dan Rentan (VU) : 4 spesies. Salah satunya Vatica javanica subsp. javanica merupakan
spesies endemik Jawa yang memiliki status keterancaman critically endangered (CR A1cd,
D ), yang berarti species ini menghadapi resiko kepunahan di alam yang sangat tinggi
sehingga perlu mendapatkan prioritas perlindungan (Ashton, 1998).

Ancaman
Setiap harinya luas hutan di Jawa Tengah berkurang karena pembukaan lahan untuk
pemukiman dan pertanian. Konversi lahan ini menyebabkan kerusakan dan penyempitan
pada habitat asli spesies Vatica javanica subsp.javanica. Spesies Vatica javanica
subsp.javanica di lokasi penelitian ini terancam akibat perubahan kondisi fisik lingkungan
dan berkurangnya lahan tempat tumbuhnya. Penebangan liar juga mengancam
keberlangsungan hidup populasi Vatica javanica subsp. javanica yang tersisa. Spesies
tersebut ditebang untuk diambil kayunya digunakan sebagai bahan bangunan atau
kebutuhan hidup masyarakat sekitar hutan.

Upaya konservasi
Dengan berbagai ancaman yang ada, telah menyebabkan spesies Vatica javanica
subsp.javanica berkurang populasinya. Kalau sampai ini terjadi baik habitat maupun
populasinya akan musnah. Oleh karena itu, untuk menjaga kelestarian spesies tersebut tidak
hanya keanekaragaman spesies saja, tetapi keanekaragaman plasma nutfahnya perlu di
jaga untuk memungkinkan diadakannya pengembangan di masa akan datang. Upaya
konservasi spesies tersebut, dilakukan langkah-langkah penyelamatan melalui penetapan
habitat dimaksud sebagai kawasan tumbuhan konservasi in-situ disamping mengadakan
budidaya di luar habitat aslinya (konservasi ex- situ).

725
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

KESIMPULAN SARAN

Vatica javanica subsp.javanica V. Slooten dalam kawasan Hutan Lindung Capar, Brebes
tercatat berjumlah 8 individu pohon dan anakan pohon dengan pola sebaran mengelompok
pada lereng dan punggung bukit bagian blok Cikadu.
Populasi Vatica javanica subsp.javanica V. Slooten saat ini sedang mengalami
degradasi yang sangat cepat. Hal ini disebabkan proses penebangan liar yang terjadi terus
menerus, sehingga dapat berakibat terhadap keberadaan spesies tersebut di alam sudah
mulai menurun.
Vatica javanica subsp.javanica V. Slooten di kawasan Hutan Lindung Capar, Brebes
perlu ditingkatkan upaya konservasinya baik secara in-situ maupun eks-situ untuk masa
yang akan datang.

DAFTAR PUSTAKA

ANTARA News, 2010. Pulau Jawa Kehilangan Keanekaragaman Flora. Warta Konservasi,
Rabu 12 Mei 2010. Bogor
Ashton, P.S., 1982. Dipterocarpaceae. In: Van Steenis, C.G.G.J (ed.) Flora Malesiana (9):
237-552.
Ashton, P. 1998. Vatica javanica ssp. javanica. In : IUCN 2009. IUCN Red List of Threatened
Species. Version 2009.2. <www.iucnredlist.org>. Di unduh 10 Februari 2010.
Kalima, T. 2006. Keberadaan Spesies Dipterocarpaceae di Jawa dan Ancaman
Kepunahannya. Wana Tropika Vol. 1 No. 4. Warta Pusat Litbang Hutan dan
Konservasi Alam, Bogor.
Kalima, T. 2007. Laporan perjalanan sebaran spesies pohon Dipterocarpaceae di Hutan
Lindung Capar, Brebes, Jawa Tengah. Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam,
Bogor. Belum dipublikasi.
Kalima, T.2010. Status Populasi Dipterocarpaceae di Hutan Lindung Capar, Brebes, Jawa
Tengah
Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan
dan Konservasi Alam, Bogor.
Schmidt, F.H. and J.F.Ferguson. 1951. Rainfall types based on wet and dry period ratios
forIndonesia with Western New Guinea. Verhand. No.42. Kementerian Perhubungan
Djawatan metereologi dan Geofisika. Jakarta.
Sidiyasa, K; S.Sutomo; dan R.S.A.Prawira. 1985. Struktur dan komposisi hutan
Dipterocarpaceae tanah rendah di Cagar Alam Leuweung Sancang, Jawa Barat.
Buletin Penelitian Hutan No.471. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan, Bogor.
Whitten T.,Soeriaatmadja R.E.,Afiff S.A., Kartikasari S.N.,Utami T.B., Widyantoro A., (1999)
Ekologi Jawa dan Bali, Prenhallindo, Jakarta

726
ILMU KEHUTANAN

INTRODUKSI MERANTI MERAH (Shorea platyclados) PADA


DATARAN TINGGI DI KAWASAN HUTAN DENGAN TUJUAN
KHUSUS CIKOLE, LEMBANG, JAWA BARAT
A. Syaffari Kosasih
Pusat Penelitian dan Pengembangan Peningkatan Produktivitas Hutan
Email :safari_silvik@yahoo.co.id

ABSTRAK

Introduksi dimaksudkan untuk menguji pertumbuhan dari suatu jenis pohon, di


tempat yang baru atau secara ekologi masih asing bagi jenis tersebut. Introduksi dinyatakan
berhasil apabila pertumbuhannya normal dan bisa berkembang biak secara alami di tempat
yang baru, melalui fase aklimatisasi, adaptisasi dan domestikasi. Salah satu jenis meranti
merah(Shorea platyclados) yang di daerah asalnya tumbuh pada dataran tinggi di Sumatera
Utara, pada tahun 1999 diintroduksi ke Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK)
Cikole di Lembang, Jawa Barat pada ketinggian 1400 meter dari permukaan laut (m dpl),
memiliki jenis tanah andosol muda serta tipe iklim A menurut Schmidt dan Ferguson. Hasil uji
coba introduksi setelah tanaman berumur 13 tahun pada puncak lereng rata-rata tinggi 11,53
m dengan rata-rata diameter 19,8 cm, bagian tengah lereng rata-rata tinggi 10,80 m dan
rata-rata diameter 18,60 cm, bagian bawah lereng (lembah) rata-rata tinggi 11,80 m dan
rata-rat diameter mencapai 19,30 cm. Mean Annual Increment batang sebesar 1,51 cm ;
1,43 cm ; 1,48 cmper tahun. Belum dijumpai adanya regenerasi alami maka tahap introduksi
Shorea platyclados di KHDTK Cikole baru mencapai fase aklimatisasi dan naturalisasi.

Kata Kunci : Introduksi, Shorea platyclados, dataran tinggi.

PENDAHULUAN

Salah satu misi dari enam misi kementrian kehutanan di dalam Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Kehutanan Tahun 2006 2025 adalah membangun dan
menimngkatkan produktivitas dan nilai Sumber Daya Alam Hutan. Tujuannya adalah
menjamin kesinambungan/kelestarian manfaat dan fungsi hutan dalam mendukung
pembangunan nasional. Kelestarian manfaat dan fungsi tersebut sangat tergantung pada
keberadaan kawasan hutan yang lestari dan terus berkembang baik untuk fungsi ekonomi
(produser kayu dan non kayu) maupun fingsi ekologi (pengendali daya dukung lingkungan
dan kehidupan). Sebagai produser kayu, maka kawasan hutan secara buatan (hutan
tanaman) harus terus berkembang baik jenis maupun luasannya guna mengimbangi
kemajuan industri perkayuan dan pasar.
Meranti gunung (Shorea platyclados) mendominasi tipe hutan dipterocarpa dataran
tinggi pada 800 1500 m di atas permukaan laut (Bratawinata, 1998), kayunya termasuk
dalam kelompok meranti merah, dipergunakan untuk bahan kontruksi, meubel, veneer, kayu
lapis, papan, balok ( Kartasudjana dan Martawijaya, 1979 ). Karena nilai ekonominya tinggi,
sejak tahun 1970 meranti gunung sudah diekploitasi dan tanpa usaha penanaman kembali
sehingga dihawatirkan keberadaannya semakin berkurang.
Dengan tujuan untuk melestarikan keberadaan jenis meranti gunung , maka
dilakukan upaya penanaman secara buatan di luar habitat asalnya (introduksi) yaitu di Hutan
Penelitian dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Cikole yang memiliki kemiripan biofisik dengan
tempat asalnya.

727
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Riwayat Tanaman Dipterocarpaceae di Jawa


Untuk pertama kalinya jenis jenis dipterocarpaceae asal Kalimantan dan Sumatera,
ditanam oleh Kebun Raya Bogor dalam rangka koleksi dan konservasi jenis pohon hutan,
sampai terjadi proses naturalisasi, aklimatisasi dan domestikasi. Hasil regenerasi alami dari
Kebun Raya Bogor tersebut, oleh Bosbouw profstation pada tahun 1937 dan 1939 buahnya
disemaikan, setelah jadi anakan siap tanam lalu dilakukan percobaan penanaman untuk
jenis Shorea leprosula di Pasir Hantap, Sukabumi sedangkan di Cigerendeng, Ciamis
ditanami dengan jenis Shorea ovalis, Hopea sangal, H bancana dan H mangerawan. Hingga
saat ini dikedua tempat tersebut masih tersisa beberapa pohon yang masih tegak ( Alrasyid,
2000).
Bosbouw profstation berdasarkan saran yang disampaikan oleh Hellinga dan hasil
pengamatan kondisi tanah dan iklim oleh H.J. Te Riele bahwa hutan di Haur Bentes,
Jasinga, Bogor cocok sebagai tempat tumbuh untuk hutan buatan dipterocarpaceae . Pada
mulanya lokasi percobaan, ditanami terlebih dahulu dengan jenis cepat tumbuh yaitu sengon
untuk menaungi jenis dipterocarpaceae yang akan ditanam. Benih yang berasal dari
Kalimantan, Sumatera disemaikan terlebih dahulu sampai anakan siap tanam. Setelah
pohon peneduh dianggap cukup maka pada tahun 1940 pertama kali ditanam 7 jenis
penghasil tengkawang terdiri dari Shorea stenoptera.. S pinanga, S palembanica, S
mecistopteryx, S seminis, S compressa, S martiniana ditambah jenis penghasil kayu yaitu S
leprosula serta Dipterocarpus tempehes. Pada tahun 1950 hingga 1985 kembali dilakukan uji
introduksi Dipterocarpaceae oleh Ardikusumah yaitu Vatica sumatrana, S selanica,
Dipterocarpus grandiflorus, S chrysophylla, Hopea mangerawan, H sangal, H bancana, S
ovalis, S guiso, S stenoptera forma , S leptoclados dan Dryobalanops lanceolata.(Alrasyid,
2000) Pada tahun 1993 kembali di tanam tiga jenis penghasil kayu yaitu S. leprosula, S
selanica dan S mecistopteryx oleh Syaffari dkk dan S johorensis pada tahun 1995. Tahun
1996 Mindawati dkk juga mengembangkan tehnik pemeliharan untuk 7 jenis penghasil
tengkawang seluas 5 ha di KHDTK Haur Bentes, Jasinga, Bogor.

Introduksi Jenis Pohon


Salah satu faktor penting dalam membangun hutan tanaman, menurut Mindawati
(2003) dan Manan (1997) adalah pemilihan dan penetapan jenis yang akan ditanam apakah
cocok secara ekologi dan tepat secara ekonomi. Hal mana sejalan dengan pendapat
Ardikusumah (1956) bahwa suatu jenis pohon penghasil kayu baru dapat dikembangkan
secara luas apabila jenis pohon tersebut tumbuh dengan baik, cepat berproduksi (riap
tinggi) dan mampu menghasilkan benih yang viable. Dalam uji coba introduksi jenis pohon
menurut Alrasyid (2000) tahap pertama tanaman mampu menyesuaikan dengan iklim
setempat tetapi belum berkembang dengan baik (aklimatisasi), tahap kedua tanaman
mampu tumbuh dan berbunga tetapi belum mampu berbuah (naturalisasi) , tahap ketiga
tanaman mampu tumbuh dan berkembang biak secara alami (domestikasi). Di KHDTK Haur
Bentes, Cigerendeng, Pasir Hantap, dan Carita jenis S leprosula, S mecistopteryx, S
stenoptera, S selanica, S platyclados, S pinanga, S palembanica telah mencapai tahap
domestikasii, Pengamatan yang dilakukan Syaffari pada tahun 2006 pada jenis S
mecistopteryx dan S selanica di KHDTK Haurbentes pertama kali berbunga dan berbuah
pada umur 13 tahun dan sudah bisa menghasilkan anakan alam.

LOKASI PERCOBAAN

Lokasi percobaan yang digunakan untuk uji introduksi jenis Shorea platyclados
adalah KHDTK Cikole di Lembang dengan kondisi umum sebagai berikut :Kondisi topografi
bergelombang sampai berbukit dengan ketinggian antara 1.350 s/d 1500 m dari permukaan
laut(dpl). Bentuk wilayah bergunung dengan tingkat kelerengan > 25 % arah lereng
menghadap ke selaltan. Secara geografi terletak di 60 45 30 sampai 604730 Lintang
Selatan dan 10703959 sampai 10704159 Bujur Timur.
Berdasarkan klasifikasi Schmidt dan Ferguson 1959, tipe curah hujan di wilayah
Cikole Lembang termasuk tipe A dengan Curah Hujan rata-rata sebesar 2.996 mm/tahun.

728
ILMU KEHUTANAN

Jenis tanah termasuk komplek andosol muda, beraqsal dari bahan gunung berapi dari tupa
batu apung yang ringan, bersolum dalam tektur halus, struktur remah, gumpal dan massif
berwarna coklat, coklat tua sampai kehitam-hitaman dikarenakan kadar bahan organiknya
tinggi ( Lembaga Penelitian Tanah, 1981 )

METODE PENELITIAN

Bahan dan Alat


Bahan penelitian adalah tegakan Shorea platyclados yang ditanam pada musim
tanam tahun 1998 atau telah berumur 13 tahun dengan membuat plot pengamatan di bagian
atas lereng, di bagian tengah lereng dan di bagian bawah lereng. Permukaan lereng
kemiringannya > 25% dan seluruhnya menghadap keselatan. Alat yang digunakan berupa
alat pengukur tinggi dan diameter pohon.

Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam uji introduksi jenis Shorea platyclados adalah
melakukan pengukuran dimensi pohon berupa dimensi tinggi total pohon dan dimensi
diameter batang setinggi dada. Pengukuran dilakukan terhadap 30 pohon contoh di setiap
bagian lereng (atas, tengah dan bawah). Selanjutnya digunakan kriteria untuk menetapkan
cepat atau lambatnya pertumbuhan pohon berdasarkan penambahan raata-rata diameter
pertahun / Mean Annual Increment (MAI) dari Meijer (1974) yaitu :
1. Sangat cepat: jika MAI > 1,4 cm/tahun (daur 40 tahun)
2. Cepat : MAI 1,19 sampai 1,39 cm/tahun (daur 40 tahun)
3. Normal : MAI 0,79 sampai 1,18 cm/tahun (daur 40 tahun)
4. Agak lambat : MAI 0,35 sampai 0,78 cm/tahun (daur 80 tahun)
5. Lambat : MAI < 0,35/tahun (daur 80 tahun)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keberhasilan membangun hutan tanaman dipengaruhi oleh berbagai faktor, salah


satunya adalah kemampuan jenis pohon untuk beradaptasi dengan lingkungan barunya dan
nilai MAI selama pertumbuhannya. Hasil uji mengintroduksi jenis Shorea platyclados di
KHDTK Cikole berdasarkan pertumbuhan dimensi tinggi total pohon dan dimensi diameter
batang setinggi dada, disajikan pada tabel 1.

Tabel 1. Dimensi tinggi total, diameter batang dan kriteria kecepatan tumbuh Shorea
platyclados umur 13 tahun di KHDTK Cikole, Lembang.

Rata -rata Dimensi Pohon


Lereng N Tinggi (m) Standar Diameter Standar MAI
deviasi (cm) deviasi (cm)
Bagian Atas 30 11,53 0,76 19,8 1,40 1,51
Bagian Tengah 30 10,80 1,05 18,6 0,50 1,43
Bagian Bawah 30 11,80 0,90 19,3 1,38 1,48

Penanaman suatu jenis pohon di luar habitat aslinya, tentunya memerlukan syarat
syarat tertentu, menurur Ginting (1990) kesesuaian lahan bagi tanaman berupa perubahan
suhu, temperatur rata-rata, ketersediaan air, kondisi perakaran, hara terikat, keadaan
lapangan. Hasil pertumbuhan Shorea platyclados dalam penelitian introduksi di KHDTK
Cikole, ternyata dari pengukuran dimensi tinggi total dan diameter sangat cocok, bahkan nilai
MAI berdasarkan kriteria Meijer (1974) termasuk pada kriteria sangat cepat, terbukti bahwa
disemua bagian lereng (atas, tengah dan bawah) nilainya di atas 1,4 cm/tahun. Hasil
penelitian Alrasyid (2000) riap tinggi rata-rata per tahun untuk genus Sorea di Jawa Barat

729
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

berkisar 0,61 1,34 m dan riap rata rata diameter antara 0,75 2,42 cm per tahun,
selengkapnya disajikan pada Tabel 2.
Untuk mengetahui intensitas cahaya di hutan alam produksi telah dilakukan oleh
Noor dan Leppe (1995) serta Effendi dan Leppe (2000) dimana proses percepatannya
menurut Sutisna (1999) dipengaruhi oleh besar kecilnya intensitas pembebasan
tajuk,dimana makin besar tajuk semakin cepat pertumbuhannya. Percobaan binapilih II
melaporkan bahwa genus shorea riapnya antara 1,7 - 2,9 cm/tahun pada tiga tahun pertama
( Abdurachman, 1999. Sutisna dan Ruhiyat,2000 dalam Siran ,2007).

Tabel 2. Mean Annual Increment (MAI) genus Shorea di Jawa Barat.

No. Jenis pohon Umur MAI MAI


(tahun) Tinggi ( m ) Diameter ( cm)
1 Shorea mecistopteryx Ridl 42 0,69 1,65
2 S stenoptera Burck 42 1,10 2,42
3 S selanica Bl 32 0,88 1,69
4 S compressa Burck 42 0,76 1,32
5 S seminis V.Sl. 42 0,61 0,75
6 S guiso Bl 28 0,68 1,91
7 S virescens Parijs 30 0,80 1,70
8 S multiflora Sym. 42 0,63 1,79
9 S chrysophylla Ridl 17 1,19 1,60
10 S martiniana Sheff 42 0,63 1,57
11 S palembanica Bl 42 0,81 1,75
12 S pinanga Scheff 42 0,73 1,30
13 S leprosula Miq 35 1,27 2,21
14 S stenoptera Burck,forma 42 0,66 1,20
Sumber : Alrasyid, 2000

Dari Tabel 2 di atas ternyata bahwa ke empatbelas senis shorea yang ditanam di
Jawa Barat, termasuk katagori lambat satu jenis yaitu S seminis, katagori tumbuh cepat tiga
jenis yaitu S compressa, S pinanga dan S stenoptera Burck,forma sedangkan sepuluh jenis
lainnya sangat cepat. dimana jenis Shorea stenoptera dan S leprosula disamping telah
mencapai tahapan domestikasi, tetapi juga memiliki nilai MAI untuk tinggi dan diameter yang
tercepat. Kesesuai tumbuh untuk genus shorea di Jawa Bara, sebagai mana uraian di atas
didukung oleh pernyataan Ashton (1982) bahwa dipterocarpaceae endemik di Jawa Barat
seperti Shorea javanica, Dipterocarpus gracilis, D returnus, Anisoptera costata dan Hopea
sangal.
Meskipun pertumbuhannya termasuk katagori sangat cepat, belum bisa dikatakan
berhasil, karena berdasarkan ketentuan uji introduksi jenis belum diketahui kemampuannya
untuk berkembang biak secara alam. Sampai tanaman berumur 13 tahun, masa berbunga
dan berbuahnya belum terjadi Dalam kaitan dengan kemampuan berkembang biak secara
alami (generatif) maka uji coba introduksi ini baru mencapai tahap naturalisasi. Berbeda
dengan jenis yang ditanam di KHDTK Haur Bentes di Jasinga ,Bogor. Pengamatan penulis
pada jenis Shorea mecistopteryx dan S selanica pada umur 13 tahun sudah mulai berbunga
dan berbuah serta menghasilkan anakan alam di bawah tegakannya (naturalisasi).

730
ILMU KEHUTANAN

KESIMPULAN

1. Jenis pohon Shorea platyclados ( Meranti gunung ) yang di introduksi pada daerah
pegunungan di ketinggian 1500 m dpl, jenis tanah andosol muda , topografi
bergelombang dan berlereng > 25 %, tipe iklim A seperti di KHDTK Cikole, terbukti dapat
tumbuh dengan kriteria sangat cepat (MAI> 1,4 cm per tahun ). Namun sampai tanaman
berumur 13 tahun belum mampu mencapai tahap Domestikasi. Artinya belum bisa
dikategorikan dapat berkembang biak secara alami.
2. Beberapa tempat di Jawa Barat, cukup potensial untuk penanaman genus shorea
sebagaimana dapat diketahui dari nilai MAI, sebagian besar masuk pada kriteria cepat
dan sangat cepat.

DAFTAR PUSTAKA

Abdurachman, 1999. Pertumbuhan Diameter Jenis jenis Shorea di Hutan Bekas Tebangan
PT Sari Bumi Kusuma, Kalimantan Tengah, Buletin Penelitian Kehutanan vol 14 No
2. Balai Penelitian Kehutanan Samarinda.
Alrasyid, H. 2000 . Sejarah dan Pengalaman Pembuatan Tegakan Dipterocarpaceae di
Jawa. Prosiding Seminar Nasional Status Silvikultur 1999. Peluang dan Tantangan
Menuju Produktivitas dan Kelestarian Sumber Daya Hutan Jangka Panjang. Fakultas
Kehutanan Universitas Gajah Mada, Jogyakarta.
Ardikusuma, R,I. 1956. Percobaan Penanaman dalam Kebun Kayu Asing. Pengumuman No
8 Balai Penyelidikan Kehutanan.Bogor.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, 2009. Road Map Penelitian dan
Pengembangan Kehutanan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan,
Departemen Kehutanan.
Bratawinata, A.A., 1998. Ekologi Hujan Tropis dan Metoda Analisis Hutan. Laboratorium
Ekologi dan Dendrologi Universitas Mulawarman. Samarinda
Departemen Kehutanan , 2006. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Kehutanan tahun
2006 2025. Departemen Kehutanan, Jakarta.
Effendi R dan Leppe. 2000. Pertumbuhan Shorea leprosula pada Areal Terbuka di Hutan
Penelitian Wanariset Sangai, Kalimantan Tengah, Dipterocarpa vol 5 No 1. Balai
Penelitian Kehutanan Samarinda
Evans, J. 1987. Plantation Forestry in the Tripics. Clarendon Press. Oxford.
Kartasudjana,I dan A Martawijaya, 1979. Kayu Perdagangan Indonesia ; Sifat dan
Kegunaannya. Gabungan Laporan LPHH No 3 1973 dan LPHH No 56 1979
Balitbang Kehutanan. departemen Pertanian
Manan, S. 1997. Hutan Rimbawan dan Masyarakat. IPB Press, Bogor
Meijer, W. 1974. Field Guiden of Trees of West Malesi
Noor,M.dan.Leppe,1995 Pengaruh Pembukaan Celah Terhadap Pertumbuhan
dipterocarpaceae paeda Areal Bekas Terbakar, Wanatrop Vol 8 No 1. Balai
Penelitian Kehutanan Samarinda.

731
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

PENGARUH KERAPATAN SEMAI Mallotus miquelianus


PADA HERBIVORI DI HUTAN DIPTEROKARPA
CAMPURAN DATARAN RENDAH

Agus Wahyudi1, Francesca F. Dem2


1
Balai Besar Penelitian Dipterokarpa, Samarinda Jl. AW. Syahrani No. 68 Samarinda,
Kalimantan Timur.
Email: agus_b2pd@yahoo.com
2
New Guinea Binatang Research Centre, PNG. PO Box 604, Madang, Papua New Guinea.
E-mail: fdem@binatang.org.pg

ABSTRACT

Mallotus miquelianus is a shade-tolerant shrub (Euphorbiaceae) which is usually


found in both primary and secondary forest. This research reports the results of a study on
M. miquelianus. There was no relationship between seedling density and herbivory. This
may be insects feeding on the plant species are generalist species. The study also showed
that younger leaves exhibit more herbivory level than the mature leaves, which could be
explained in terms of the nutritional value where young leaves mean higher nitrogen
concentrations. Herbivory levels were not related to seedling height and the distance to the
nearest neighbor. This could be because the insect types feed on the plant are mobile and
not restricted to localized feeding areas (dense seedlings). There is a significant negative
relationship between the number of parent trees nearby and seedling density. Our study also
showed M. maquelianus seedlings prefer high canopy cover compared with open canopy
areas. Shaded areas may be the optimum condition where seedlings are high in number.
Herbivory is influenced by a range of factors all occurring simultaneously and a better
understanding of this very important concept would be to look into these various factors
insect herbivores, floristic composition and the abiotic factors.

Keywords: Mallotus miquelianus, seedling density, herbivory, insect

PENDAHULUAN

Pertumbuhan dan perkecambahan semai sangat penting dalam memelihara


keanekaragaman spesies tanaman. Namun, beberapa faktor seperti herbivori, cahaya, hama
dan patogen dalam satu cara atau lainnya menghambat pertumbuhan dan kelangsungan
hidup semai. Untuk semai di hutan tropis herbivori dipengaruhi oleh faktor biotik dan abiotik
(Clark & Clark, 1985) dan beberapa studi telah menunjukkan bahwa herbivori meningkatkan
kematian semai di bawah naungan daripada di tempat terbuka (Osunkoya, et al. 1993).
Di hampir semua ekosistem, serangga herbivora merupakan spesies terbesar yang
memakan dedaunan, tanaman getah, atau bagian tanaman lainnya dari hampir seluruh flora.
Keragaman serangga herbivora tertinggi berada di daerah tropis (Novotny, et al., 2004).
Ketika serangga herbivora mengekstrak makanan yang dibuat oleh tanaman, mereka dapat
menyebabkan kerusakan besar pada tanaman tersebut. Serangga memiliki cara yang
berbeda makan, beberapa makan dengan mengunyah seluruh jaringan, beberapa makan
dengan menggigit, yang lain hidup dan makan di dalam jaringan, sementara yang lain makan
dengan mengisap. Setiap jenis tanaman memiliki sifat-sifat khususnya sendiri seperti bau,
warna, rasa dan bentuk sebagai isyarat dasar yang digunakan serangga untuk mencari dan
mengenali tanaman inang mereka. Namundemikian, serangga herbivora dapat makan,
tumbuh dan bereproduksi hanya bila tanaman aktif tumbuh (Speight, et al., 1999).

732
ILMU KEHUTANAN

Dalam studi ini, kita meneliti herbivori yang disebabkan oleh serangga pada Mallotus
miquelianus dan apakah herbivori dipengaruhi oleh kerapatan semai.Mallotus miquelianus
(Euphorbiaceae) adalah tumbuhan semak yang tumbuh tinggi sampai dengan 7 m dengan
diameter 17 cm dbh dan bisa mencapai kematangan pada ketinggian 0,5 m dan 1 cm dbh.
Mallotusmiquelianus adalah spesies yang toleran terhadap naungan dan biasanya
cenderung tumbuh pada tempat yang sedikit terganggu atau pada tempat terbuka di hutan
primer dan sekunder (National Herbarium, Netherland).
Hipotesis dari penelitian ini memperkirakan bahwa dengan kepadatan semai
meningkat, maka herbivori akan lebih tinggi karena semai semakin dekat satu sama lain,
sehingga semakin mudah akan bagi serangga herbivora untuk menemukan tanaman inang
mereka. Kami juga menduga bahwa semakin banyak pohon induk yang dekat, semakin
tinggi densitas semai. Pertanyaan penelitian yang diajukan adalah: (1) Apakah ada
hubungan antara kepadatan bibit dan herbivori?; (2) Apakah ada perbedaan antara herbivori
pada daun muda dan daun dewasa?; (3) Apakah herbivori meningkat dengan semakin
tingginya bibit ?; (4) Apakah herbivori pada semai dipengaruhi oleh semai terdekat yang
sejenis?; (5) Bagaimana jumlah pohon induk yang terdekat mempengaruhi kerapatan
semai?; dan (6) Apakah ada hubungan antara kepadatan semai dan intensitas cahaya?.

METODOLOGI

Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ini berada di Danum Valley Conservation Area (DVCA) di Negara
Sabah, Malaysia yang memiliki luas 43.800 ha dengan lebih dari 200 spesies pohon dalam
satu hektar. Komposisi tumbuhan di daerah ini sebagian besar didominasi oleh suku
Dipterocarpaceae yang meliputi 88% dari total volume pohon besar di daerah tersebut
(Marsh, 1995). Pekerjaan lapangan dilakukan di dalam hutan primer baik di West Trail
maupun East Trail.

Sampling
Kami membuat 22 petak ukur, dengan masing-masing petak berukuran 3 mx3 m
pada tiap interval 50 m atau lebih, tergantung pada apakah kita dapat menemukan spesies
tanaman pada interval l50 m. Dalam setiap petak ukur, kami mencatat jumlah semai dan
juga jumlah pohon induk yang terdekat. Pengukuran juga dilakukan untuk tutupan tajuk
dengan menggunakan densiometer, tinggi semai dan jarak semai sejenis terdekat.
Kerusakan herbivore diukur dengan memperkirakan dalam persentase dari dua daun atas
(muda) dan dua daun bawah (dewasa) untuk setiap semai.

Analisis Data
Kami menggunakan perangkat lunak Minitab 14 untuk analisis data, khususnya Linear
Model. Kami menggunakan uji-t berpasangan (Paired t-test) untuk menguji perbedaan antara
herbivore daun muda dan dewasa, dan regresi sederhana untuk menjawab seluruh
pertanyaan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil
Secara total, kami mengukur 349 bibit dengan rata-rata kepadatan benih 16,50 cm
(kisaran interkuartil: IQ = 12). Tinggi bibit sekitar 51,45 cm (IQ = 20,60). Tidak ada hubungan
antara kepadatan bibit dan kerusakan herbivori (DF = 21, F = 0,03, P = 0,861). Herbivori
secara signifikan lebih tinggi pada daun tua lebih muda dari (DF = 1, Paduan t-test: T = 3.20,
P = 0,004, Gambar 1).

733
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

60

50

40
Data

30

20

10
Av. HD T Av. HD B

Gambar 1. Boxplot daun belum dewasa (T =top) dan daun dewasa (B =bottom)

Herbivori tidak berbeda secara signifikan dengan meningkatnya ketinggian bibit (DF
=21, F=0,24, P=0,628). Bibit yang saling berdekatan atau yang lebih jauh dari satu sama lain
memiliki prosentase kerusakan herbivori yang sama (DF =21, F=0,07, P=0,795). Semakin
banyak pohon induk yang dekat, semakin rendah kepadatan semainya (DF =21, F=7,05,
P=0,015, Gbr.2). Kerapatan semai tidak dipengaruhi oleh jumlah cahaya yang mencapai
lapisan bawah (DF =21, F=0,99, P=0,332). Lebih banyak pohon induk terdekat, jumlah semai
semakin berkurang (DF =21, F=7,05, P=0,015, Gambar 2).

30
Total number of seedlings/Quadrat

25

20

15

10

0 2 4 6 8 10 12 14
Number of parent trees nearby

Gambar. 2. Hubungan antara kepadatan bibit dan pohon induk terdekat.

Pembahasan
Berdasarkan analisa data dan hasil penelitian dapat diketahui bahwa kerapatan
semai Mallotus miquelianus tidak berpengaruh pada herbivori (kerapatan diukur pada petak
3x3m). Hal ini dapat dimungkinkan karena serangga ada yang generalis ada pula yang
spesialis. Serangga generalis cenderung ada di mana-mana karena ada distribusi tanaman
inang mereka. Sementara serangga spesialis hanya ditemukan di sekitar atau dekat dengan
tanaman inang mereka. Studi kami menunjukkan bahwa serangga pada semai M.
miquelianus merupakan serangga yang generalis. Penelitan Basset (1999) melaporkan
bahwa ada proporsi yang tinggi dari serangga herbivora yang generalis dibandingkan
dengan yang spesialis. Fakta lain yang kami temukan adalah bahwa herbivori pada daun
muda lebih besar prosentasenya daripada daun yang lebih tua. Hal ini bisa jadi karena daun
muda lebih tinggi kandungan nitrogennya dibandingkan daun tua (Coley, 1983; Coley dan

734
ILMU KEHUTANAN

Aide, 1991). Alasan lain mungkin karena daun muda kurang kuat dan lebih mudah untuk
dikunyah dan dicerna. Semakin tua suatu daun, pembelahan dan ekspansi sel ditekan oleh
pembentukan dinding sel sekunder berlignin yang membuat sulit dikunyah. Setelah daun
muda mencapai kematangan dan mulai mengeras, tingkat herbivori dapat turun drastis
(Coley, 1983). Dalam hampir semua spesies tumbuhan, daun muda juga lebih mudah
dimakan baik dengan dikunyah maupun dihisap (Feeny, 1976; Lowman, 1985; Slansky &
Rodriguez, 1987).
Prosentase kerusakan herbivori dalam kaitannya dengan tinggi tanaman mungkin
berbeda antar kelompok serangga. Serangga terbang yang sangat lincah, mungkin
mengkonsumsi sebagian dari setiap tumbuhan dalam populasi terlepas dari seberapa tinggi
tumbuhan tersebut. Sedangkan serangga yang tidak mobile hanya dapat makan hanya dari
beberapa tumbuhan, yang mungkin pendek dan dapat dengan mudah dicapai. M.
miquelianus kemungkinan adalah tumbuhan inang untuk setidaknya beberapa kelompok
baik serangga merayap dan terbang. Ashley et al., (2008) melaporkan bahwa jika tidak ada
korelasi antara daun atau tinggi tanaman dan persentase kerusakan daun, bisa jadi bahwa
serangga merayap dan terbang makan pada tumbuhan tersebut. Hal ini tampaknya menjadi
kasus dalam penelitian kami, meskipun kami tidak meneliti lebih jauh serangga apa yang
menyebabkan kerusakan terhadap semai M. miquelianus.
Ada kemungkinan bahwa hasil kami bisa dipengaruhi oleh cara kita mengukur
herbivori. Pada umumnya cara mengukur adalah dengan melihat seluruh tanaman dan
melakukan estimasi pada daerah yang sedang dimakan, dan ada juga dengan secara acak
memilih hanya beberapa daun dan membuat estimasi pada jumlah kerusakan yang
dilakukan. Cara lain adalah dengan secara ketat mengikuti prosedur memilih daun dan
mengukur herbivori pada tumbuhan. Ashley et al., (2008) mengukur herbivori kerusakan
dengan memilih daun terendah pada tanaman dan kemudian setiap daun ketujuh naik ke
arah batang dari posisi semula. Dalam studi ini, kami memilih dua daun atas dan dua daun
bawah yang kemungkinan akan menjadi ukuran yang memadai.
Kami menduga sebelumnya bahwa tingginya jumlah pohon induk terdekat akan
menghasilkan kepadatan semai yang tinggi. Namun, kami menemukan sebaliknya. Satu
alasan yang mungkin untuk ini kemungkinan karena persaingan antar semai untuk cahaya
dan nutrisi. Di sisi lain, hipotesis Janzen-Connell tentang jarak responsif predasi menyatakan
bahwa semakin jauh jarak dari pohon induk, tingkat ketahanan hidup semai meningkat
(Burkey, 1994; Gilbert, 2002). Kematian benih dan semai langsung di bawah dan dekat
pohon induk dipengaruhi oleh fakta bahwa pohon-pohon dewasa cenderung untuk lebih
tahan terhadap hama dan patogen, sehingga hama dan pathogen tersebut lebih memilih
semai di dekat pohon. Kerusakan pada pohon dewasa oleh hama dan patogen mungkin
memiliki konsekuensi negatif, namun dengan tingkat kerusakan yang sama sering berakibat
kematian pada semai. Selanjutnya pada hutan alam sebagian besar benih tersebar dengan
kepadatan tinggi langsung di bawah atau dekat pohon induk, menciptakan sebuah
'bayangan benih'. Jadi sementara pohon induk dapat menarik sendiri jarak-responsif
predator, bayang-bayang benih bertindak sebagai atraktan baik jarak maupun kepadatan-
responsif predator, yang kemudian serangan mereka berkonsentrasi di area tersebut,
sehingga menghasilkan angka kematian yang lebih tinggi pada benih dan semai di sekitar
induk pohon (Clark dan Clark, 1984).
Cahaya adalah faktor penting untuk pertumbuhan dan reproduksi. Karena Mallotus
miquelianus adalah spesies yang tahan naungan, semai lebih memilih untuk tumbuh dalam
kondisi cahaya rendah karena hal ini bisa menjadi kondisi optimum untuk pertumbuhan
mereka.

735
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

KESIMPULAN

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kerapatan semai tidak berpengaruh terhadap


herbivori. Hal ini kemungkinan disebabkan karena serangga pemakan M. miquelianus
merupakan spesies generalis. Penelitian ini juga melaporkan bahwa herbivori daun muda
lebih tinggi daripada daun tua. Ini dapat dijelaskan dari segi nilai gizi, di mana daun muda
memiliki konsentrasi nitrogen yang lebih tinggi. Tingkat herbivori juga menunjukkan tidak
terkait dengan tinggi semai dan jarak ke tanaman lain yang terdekat. Hal ini dapat terjadi
karena jenis serangga pada tanaman M. miquelianus merupakan serangga yang mobile,
sehingga tidak terbatas pada daerah makan lokal. Ada hubungan negatif yang signifikan
antara jumlah pohon induk terdekat dan kerapatan semai. Penelitian kami juga menunjukkan
bibit M. miquelianus menyukai area dengan kanopi tertutup daripada kanopi terbuka. Kondisi
optimum semai kemungkinan diperoleh dengan berada di bawah naungan.
Penelitian lebih lanjut tentang spesies tumbuhan bawah dalam kaitannya dengan
herbivori dan intensitas cahaya akan lebih sesuai untuk memahami bagaimana spesies-
spesies dapat mampu mengatasi herbivori serta persaingan untuk bertahan hidup dan
mempertahankan keragaman dalam ekosistem alami.

UCAPAN TERIMA KASIH


Banyak orang telah memberikan kontribusi terhadap penelitian ini. Pertama dan terpenting,
kita berterima kasih kepada supervisor kami Dr Rosie Travelyan, Craze Dr.Paul, Dr Dan
Metcalfe, Dr Robert Jehle dan Dr Tom Fayle untuk semua bantuan dan nasihat bermanfaat.
Kami juga berterima kasih kepada Tropical Biology Association atas pendanaan dan
penyediaan tempatnya. Dan tak lupa, kami menyampaikan terima kasih kepada Mike dan
Didi yang telah membantu dalam identifikasi tanaman.

DAFTAR PUSTAKA
Auckerman, A., Brandon A., Kelsey B. and Emily F. 2008. Report: Insect Herbivory On The
Leaves of Plygonm sp. In Relation to Foliage Height. St. Ambrose University,
Davenport, Iowa.
Burkey, T. V. 1994. Tropical Tree Species Diversity: a test of Janzen-Connel Model.
Oecologia, 97: 533-540.
Clark, D. B. and D. A Clark. 1989. The Role Of Physical Damage In The Seedling Mortality
Regime Of Neotropical Rainforest. Oikos, 55: 225-230.
Clark, D. B. and D. A Clark. 1984. Spacing Dynamic Of Tropical Rainforest Tree: Evaluation
Of Janzen-Connel Model. The American Naturalist, 124 (6): 769-788.
Coley, P. D. 1983. Herbivory and defensive characteristics of tree species in a lowland
tropical forest. Ecol. Monogr. 53: 209-233.
Coley, P. D. and T. M. Aide. 1991. A comparison of herbivory and plant defenses in
temperate and tropical broadleaved foreses. In P. W. Price, T. M. Lewinsohn, G. W.
Fernandes and W. W. Benson (Eds.). Plant-animal interaction: evolutionary ecology
in tropical and temperate regions. pp. 25-49. John Wiley and Sons, New York.
Feeny, P. 1976. Plant Apparency And Chemical Defence. Recent Adv. Phytocem. 10: 1-40.
Gilbert, G.S. 2002. Evolutionary Ecology of Plant Diseases in Natural Ecosystem. Annual
Review Phytopathology, 40: 13-43.
Howe, H. F. 1990. Survival Growth Of Juvenile Vivola surinamansis In Panama: Effect Of
Herbivory And Canopy Closure. Jounal of Tropical Ecology, 6: 259-280.
Lowman, MD. 1985. Temporal And Spatial Variability In Insect Grazing Of Canopies Of Five
Australian Rainforest Tree Species. Australian Journal of Ecology, 10: 7-24.
Marsh, C. W. 1995. Danum Valley Conservation Area, Sabah, Malaysia: Management Plan.
Danum Valley Management Committee, Kota Kinabalu, Sabah, Malaysia.
Novotny, V., Y. Basset, S.E. Miller, R. L. Kitching, M. Laidlaw, P. Drozd and L. Cizek. 2004.
Local Species Richness Of Leaf-Chewing Insect Feeding On Woody Plant From One
Hectare Of A Lowland Rainforest. Conservation Biology, 18: 227-230.

736
ILMU KEHUTANAN

Osunkoya, O.O., J.E. Ash, A.W. Graham and M.S. Hopkins. 1993. Growth of tree seedlings
in tropical rainforest of North Queensland, Australia. Journal of Tropical Ecology, 9: 1-
18.
Slansky, F. Jr. and J. G. Rodriguez. 1987. Nutritional Ecology Of Insect, Mices, Spiders And
Related Invertebrates. John Wiley an Sons, New York.
Speight, R. M., et al. (1999) Ecology of Insects: Concepts and Application. Blackwell Science
Ltd.

737
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

PREFERENSI MASYARAKAT SEKITAR HUTAN GUNUNG


KENDENG, JAWA BARAT TERHADAP JAMUR ALAM SEBAGAI
SUMBER PANGAN DAN OBAT
Hesti Lestari Tata
Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi
Jalan Gunung Batu 5, Bogor 16610
Email: hl.tata@gmail.com

ABSTRAK

Jamur merupakan salah satu keragaman mikroflora di hutan alam tropis. Beberapa
jenis jamur merupakan jenis-jenis yang dapat dikonsumsi dan menjadi sumber protein nabati
dan beberapa jenis yang lain berpotensi memiliki khasiat obat. Gunung Kendeng memiliki
keragaman jamur yang cukup tinggi. Di daerah sekitar hutan Gunung Kendeng, rata-rata
dijumpai 34 jenis jamur di dalam 100 m2 area, sebagian besar merupakan jenis yang
berperan sebagai decomposer (76.5%) dan beberapa jenis yang dikenal dapat dikonsumsi
dan berkhasiat obat (17.6%), dan jamur mikoriza (5.9%). Preferensi masyarakat sekitar
hutan Gunung Kendeng terhadap jamur hutan yang dapat dikonsumsi sangat rendah.
Masyarakat lebih menyukai jamur yang dibeli di pasar untuk dikonsumsi dengan alasan
keamanan dari keracunan jamur hutan. Sebagian besar masyarakat sekitar hutan (80% dari
responden) pada umumnya hanya mengenal dua jenis jamur hutan yang aman untuk
dikonsumsi, seperti supa lember (Auricularia auricula) dan supa bulan (Termitomyces sp.).
Beberapa jenis jamur hutan yang aman dikonsumsi seperti supa banteng, supa nyiruan,
supa beas (Schizophyllum commune) hanya dikenal oleh beberapa orang saja (10%).
Masyarakat pada umumnya tidak menggunakan jamur sebagai obat tradisional, padahal di
hutan terdapat jenis-jenis jamur yang berpotensi obat, seperti jenis jamur Ganoderma
lucidum. Rendahnya pengetahuan tradisional masyarakat di sekitar Gunung Kendeng
terhadap jenis-jenis jamur yang bermanfaat mempengaruhi ketergantungan masyarakat
terhadap sumber daya hayati yang tersedia di dalam hutan. Pengenalan jenis dan manfaat
jamur akan menimbulkan minat masyarakat untuk mengembangkan teknik budidaya dan
pengelolaan jamur. Masyarakat yang telah melakukan budidaya jamur dalam skala industry
rumah tangga, akan mampu mengelola dan mengolah jamur menjadi produk akhir yang
memiliki nilai ekonomi lebih tinggi.

Kata kunci: Auricularia auricula, Basidiomycetes, Ganoderma lucidum, protein nabati

PENDAHULUAN

Jamur (istilah umum untuk macro fungi) merupakan salah satu sumber kekayaan
hayati di hutan tropis Indonesia. Jamur memiliki peran penting dalam siklus biogeokimia
tanah, siklus hara, pendekomposer, fungi simbiont pada tanaman yang bersifat saling
menguntungkan, atau bersifat merugikan sebagai parasit bagi hewan dan tumbuhan. Selain
peran penting tersebut, jamur memiliki nilai ekonomi sebagai agen biokontrol dan produser
bagi farmasi dan industri lain, misalnya industi pangan dan fermentasi. Jamur pangan adalah
jamur yang enak dan aman dikonsumsi, tidak mengandung racun, aman bagi kesehatan.
Sedangkan jamur obat adalah jamur yang digunakan sebagai sumber obat-obatan, baik
vitamin, mineral maupun suplemen. Sejak puluhan tahun yang lalu, masyarakat tradisional di
Cina telah menggunakan jamur sebagai bahan baku obat. Hal ini disebabkan karena
kandungan senyawa aktif dalam jamur yang bersifat anti kanker, anti kolesterol, anti mikroba
(bakteri) dan virus (Chang dan Miles 1989).
Jumlah keragaman fungi (macro dan micro fungi) di dunia diperkirakan mencapai 1.5
juta species (Hawksworth 2001), namun laporan terbaru menyatakan jumlah yang lebih

738
ILMU KEHUTANAN

rendah yaitu 712,000 species (Schimt dan Mueller 2007). Laporan menunjukkan bahwa
kekayaan jenis jamur di daerah tropis (dalam hal ini Malaysia) tercatat 400 species dari grup
argariks dan boletes (Mueller et al. 2007). Sementara informasi dari Indonesia tidak
terdokumentasi dengan baik. Walapun kekayaan jenis vegetasi di negara asia tropis (sekitar
46,000 species) lebih besar dari pada di hutan temperate di Eropa (12,500 species), tetapi
perbandingan jumlah jenis tanaman tingkat tinggi dan makro fungi di Asia tropis hanya 0.01.
Rasio ini sangat rendah jika dibandingkan dengan rasio tanaman dan makro fungi Eropa,
yaitu 0.55 (Schimt dan Mueller 2007).
Pada umumnya masyarakat mengenal jamur yang dikonsumsi dari jamur yang telah
dibudidayakan. Produksi jamur untuk kebutuhan pangan banyak berasal dari Jawa Barat dan
Jawa Tengah. Untuk kebutuhan jamur pangan di dalam negeri (khususnya di Pulau Jawa)
saja, baru tercukupi 50%. Jadi pengembangan jamur pangan masih berpotensi luas. Selain
itu, jamur yang memiliki juga senyawa aktif sebagai sumber obat dan nutracetical (suplemen,
mineral dan vitamin), akan memiliki nilai ekonomi lebih. Akan tetapi belum ada informasi
mengenai pemahaman masyarakat local terhadap jenis-jenis jamur hutan yang dapat
dikonsumsi dan digunakan sebagai obat.
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi mengenai preferensi
masyarakat di Gunung Kendeng, Jawa Barat terhadap jamur hutan yang dapat dikonsumsi
dan beroptensi sebagai obat.

METODE PENELITIAN

Penelitian di lakukan di area Gunung Kendeng, Taman Nasional Gunung Halimun-


Salak yang merupakan wilayah administrasi Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat pada tahun
2010. Data-data penelitian diambil dengan cara observasi dan wawancara semi terstruktur
dengan masyarakat local, dengan jumlah responden sebanyak 10 orang yang meliputi 8
orang laki-laki (kepala rumah tangga) dan 2 orang perempuan. Data yang diambil adalah
nama lokal; lokasi tempat tumbuh; musim pembentukan tubuh buah; pemanfaatan jamur
(pangan atau obat dan penyakit yang biasa diobati dengan jamur); bagian yang
dimanfaatkan, cara pemanfaatan, perilaku mengkonsumsi jamur (frekuensi dan jumlah
konsumsi jamur pangan, serta nilai komersial. Selanjutnya data dianalisis secara deskriptif
dan diinterpretasi dengan membandingkan dengan data sekunder dari studi literatur.

Gambar 1. Model desa konservasi Citalahab di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak

739
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gunung Kendeng merupakan salah satu bagian dari TNG Halimun Salak.
Masyarakat local telah lama bermukim di wilayah ini. Model desa konservasi dibentuk
dengan tujuan agar masyarakat dapat hidup berdampingan di dalam kawasan taman
nasional dalam taraf hidup yang layak, baik secara ekonomi, sosial dan ekologi (Hartono et
al. 2007). Jumlah penduduk di desa konservasi hanya 30 kepala keluarga (KK), yang
sebagian besar bermata pencaharian sebagai buruh harian pemetik teh, selain bertani
sawah di kawasan penyangga. Kebutuhan pangan sehari-hari diperoleh dari hasil kebun.
Pola hidup masyarakat sangat bersahaja, karena sumber pendapatan yang sangat terbatas.
Walaupun hutan di Gunung Kendeng memiliki biodiversitas yang tinggi, namun
kebutuhan protein, sangat jarang diperoleh dari hasil hutan. Masyarakat di sekitar hutan
Gunung Kendeng bahkan tidak memanfaatkan jamur yang tumbuh di hutan sebagai sumber
pangan. Dari hasil studi dijumpai 34 jenis jamur yang tumbuh di lantai hutan, yaitu terdiri dari
jamur decomposer, jamur pangan, jamur obat dan mikoriza, secara berturut-turut terdiri dari
76.5%, 8.8%, 8.8% dan 5.9% (Gambar 2).

Gambar 2. Jenis jamur berdasarkan fungsinya yang dijumpai


di sekitar hutan Gunung Kendeng

Sembilan puluh persen responden mengenal satu jenis jamur yang dapat dikonsumsi,
dan hanya 10% responden yang mengenal lebih dari lebih dari satu jenis jamur hutan yang
dapat dikonsumsi. Kedua jenis jamur tersebut adalah supa lember (Auricularia auricula).
Walaupun supa tiram juga dapat dijumpai secara alami di batang-batang kayu lapuk di
hutan, akan tetapi masyarakat pada umumnya mengenal supa tiram (Pleurotus ostreatus)
sebagai jamur yang telah dibudidayakan dan dijual di pasar. Selain supa lember, jamur
hutan yang dapat dikonsumsi adalah supa nyiruan, supa jantung, supa banteng, supa beas
(Schizophyllum commune), dan supa bulan (Termitomyces sp.). Keempat jenis pertama
dijumpai tumbuh di batang kayu yang telah mati, sedangkan supa bulan dapat dijumpai di
atas permukaan tanah. Musim yang tepat untuk mengumpulkan jamur hutan adalah pada
awal musim penghujan, sekitar bulan akhir September Oktober, pada saat curah hujan
tidak terlalu tinggi.
Selain jamur pangan, di hutan Gunung Kendeng juga dijumpai jamur yang berpotensi
obat. Hanya 10% responden yang mengenal jamur sebagai obat. Penduduk lokal dewasa ini
lebih menyukai obat kimiawi, yang dapat langsung di beli di warung atau apotek. Jenis jamur
yang dipercaya berpotensi sebagai obat pun hanya 8.8% dari total jenis yang dijumpai di plot
pengamatan, yaitu jamur dari family Gomphaceae, yaitu Geoglossum sp. dan Trichoglossum
sp. Kedua jenis jamur tersebut digunakan sebagai obat sakit mata, dengan meneteskan
cairan yang terkandung didalam tubuh buahnya. Selain itu, budaya lokal menunjukkan
bahwa jamur juga dapat berperan dalam kehidupan masyarakat. Walaupun dalam petak
pengamatan dijumpai dua jenis jamur Ganoderma yang diduga berpotensi obat, namun
penduduk lokal tidak mengenal jamur tersebut.
Budaya masyarakat local juga mengenal penggunaan jamur dalam tradisi
masyarakat setempat. Satu jenis jamur dipercaya dapat digunakan untuk merangsang anak
balita supaya cepat berjalan. Akan tetapi tradisi kepercayaan ini telah banyak ditinggalkan

740
ILMU KEHUTANAN

oleh keluarga muda. Apabila ini tidak dipelihara, maka lambat laun pengetahuan lokal
tersebut dikhawatirkan akan punah. Dari pengamatan morfologi, jamur tersebut diidentifikasi
dengan nama Ganoderma lucidum (Gambar 3).

Gambar 3. Ganoderma lucidum di Gunung Kendeng

Perhitungan nilai ekonomi jamur berpotensi obat dan pangan dari habitat aslinya sulit
diimplemetasikan, karena terkendala oleh faktor pemanfaatan langsung oleh masyarakat. Di
lokasi penelitian, masyarakat tidak mengambil manfaat jamur hutan, baik untuk konsumsi
rumah tangga maupun untuk dijual. Pada umumnya masyarakat takut mengkonsumsi jamur
secara sembarangan, karena takut keracunan. Mereka hanya mengkonsumsi jamur yang
sudah umum dikenal untuk dikonsumsi seperti supa lember, supa jantung dan supa banteng,
tetapi ketersediaannya di alam sangat rendah dan tidak menentu. Masyarakat sekitar lebih
menyukai jamur yang sudah dibudidayakan karena lebih terjamin dan pasti tidak beracun.

KESIMPULAN

Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa preferensi masyarakat Gunung Kendeng
terhadap jamur hutan sebagai sumber pangan dan obat sangat rendah. Hanya satu jenis
jamur hutan yang dikenal secara luas, yaitu jamur A. auricula (supa lember). Penduduk lokal
lebih menyukai jamur yang telah dibudidayakan dan di jual di pasar karena lebih terjamin
aman dikonsumsi dan tidak beracun.
Saran yang dapat disampaikan adalah perlu pengenalan jenis dan manfaat jamur
hutan sehingga masyarakat berminat untuk mengembangkan teknik budidaya dan
pengelolaan jamur. Budidaya jamur dalam skala industry rumah tangga, akan memberikan
sumber penghidupan bagi masyarakat sekitar hutan Gunung Kendeng.

DAFTAR PUSTAKA

Chang, S. T., Miles, P.G.1989. Edible Mushrooms and Their Cultivation. CRC Press Inc.
Boca Raton, Florida.
Hartono, T., Kobayashi, H., Widjaja, H., Suparmo, M. 2007. Taman Nasional Gunung
Halimun Salak. Edsi Revisi. JICA BTNGHS Puslitbang Biologi LIPI PHKA.
Bogor.
Hawksworth, D.L. 2001. The magnitude of Fungal Divers: the 1.5 million species estimate
revisited. Mycol. Res. 105:1422-1432.
Mueller, G.M., Schimt, J.P., Leacock, P.R., Buyk, B., Cifuentes, J., Desjardin, D.E., Halling,
R.E., Hjortstam, K., Iturruaga, T., Larsson, K-H. Lodge, D.J., May, T.W., Minter, D.,
Rajchenberg, M., Redhead, S.A., Ryvarden, L., Trapper, J.M., Watling, R, Wu, Q.
2007. Global diversity and distribution of macrofungi. Bidivers Conserv 16:37-48. DOI
10.1007/s10531-006-9108-8
Schmit, J. P., Mueller, G. M.. 2007. An estimate of the lower limit of global fungal diversity.
Biodiversity and Conservation 16: 99-111.

741
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

PENINGKATAN PRODUKTIVITAS, PENURUNAN BIAYA DAN


PENGGESERAN LAPISAN TANAH ATAS MELALUI PENERAPAN
TEKNIK PENYARADAN TERKONTROL : KASUS DI KPH CIANJUR

Sona Suhartana,Yuniawati, dan Rahmat


Puslitbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan, Jl. Gunung Batu No. 5
BOGOR 16610. E-mail: ssuhartana@yahoo.com

ABSTRAK

Kegiatan penyaradan di KPH Cianjur masih menggunakan sistem manual, karena


memerlukan investasi yang rendah, dampak kerusakan hutan relatif kecil dan banyak
menyerap tenaga kerja. Namun demikian penyaradan sistem tersebut menghasilkan
produktivitas relatif rendah. Untuk itu perlu diterapkan teknik penyaradan yang efisien dan
efektif atau terkontrol agar dicapai produktivitas yang tinggi, biaya dan kerusakan minimal.
Penelitian dilaksanakan di KPH Cianjur, Perum Perhutani Unit III Jawa Barat pada bulan
Oktober 2010. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui pengaruh penerapan teknik
penyaradn terkontrol (TT) dan teknik setempat (TS) terhadap produktivitas, biaya sarad dan
penggeseran lapisan tanah atas. Tahapan penelitian dilakukan dengan pengambilan data
lapangan dan wawancara yang kemudian dianalisis secara tabulasi. Untuk
merekomendasikan teknik sarad yang digunakan, kedua teknik dianalisis dengan uji-t.
Hasil penelitian menunjukkan: (1) Rata-rata produktivitas sarad TT (3,148 m3/jam)
lebih tinggi daripada TS (2,971 m3/jam); (2) Rata-rata biaya produksi sarad TT (Rp
15.941,9/m3) lebih rendah daripada TS ( Rp 16.842,4/m3 ); dan (3) Penerapan TT dengan
pengaturan letak kayu dapat memperkecil kedalamanan penggeseran lapisan tanah atas
sebesar 6,9 5,7 mm = 1,2 mm.

Kata Kunci : Penyaradan manual, produktivitas, biaya, penggeseran lapisan tanah atas

PENDAHULUAN

Penyaradan kayu merupakan salah satu tahap dari serangkaian kegiatan


pemanenan kayu bertujuan untuk memindahkan kayu dari tempat tebangan ke tempat
pengumpulan. Penyaradan kayu di luar Pulau Jawa dilakukan secara mekanis yaitu dengan
menggunakan jenis traktor berban ulat (crawler tractor) maupun traktor beroda karet (rubber
tired tractor) serta ekskavator. Penggunaan alat penyarad kayu ini mengakibatkan kerusakan
pada pohon-pohon di sekitarnya. Demikian pula kontak yang terjadi antara tapak atau roda
traktor dan kayu yang disarad dengan tanah hutan dapat mengakibatkan kerusakan struktur
tanah tersebut (Hamzah, 1988).
Tanah merupakan suatu sistem yang dinamis yang secara fisik terdiri dari tiga
macam bahan yaitu padatan, cairan dan gas. Komposisi ketiga bahan penyusun tanah
tergantung pada jenis tanah dan kondisi lingkungan, sehingga ketiga bahan penyusun tanah
ini memiliki ketergantungan satu sama lain. Hubungan ketiga bahan penyusun tanah dapat
menunjukkan sifat-sifat fisik tanah (Hillel, 1971).
Penyaradan manual menggunakan tenaga manusia dengan bantuan alat-alat
tradisional yang sederhana, berinvestasi rendah dan berdampak kecil terhadap kerusakan
lingkungan. Karena itulah penyaradan manual masih diterapkan meskipun produkivitas jauh
lebih kecil dibandingkan secara mekanis. Selain itu, penyaradan manual banyak menyerap
tenaga kerja manusia sehingga membuka kesempatan kerja bagi masyarakat yang tinggal di
sekitar hutan.
Kegiatan penyaradan merupakan salah satu dari kegiatan pemanenan kayu yang
banyak menimbulkan kerusakan tanah hutan. Salah satu bentuk kerusakan tanah yang

742
ILMU KEHUTANAN

terjadi akibat penyaradan adalah : penggeseran lapisan tanah atas (top soil), apabila tidak
diantisipasi sejak dini dapat menurunkan kualitas tanah sehingga dapat berakibat pada
menurunya produktivitas hutan. Arsyad (2000) mengemukakan bahwa penyaradan kayu
dapat mengakibatkan hilangnya lapisan top soil sehingga beberapa unsur hara yang
dibutuhkan untuk kesuburan tanah menjadi hilang, bahkan terkadang karena penyaradan
tersebut sering menimbulkan erosi tanah.
Berdasarkan latar belakang di atas maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
pengaruh penerapan teknik penyaradan terkontrol (TT) dan teknik setempat (TS) terhadap
produktivitas, biaya sarad dan penggeseran lapisan tanah atas.

BAHAN DAN METODE

Waktu, Lokasi dan Bahan Penelitian


Penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober 2010 di areal kerja KPH Cianjur, BKPH
Ciranjang Utara, RPH Majalaya, Petak Tebang 24 A, tahun tanam 1987. Areal ini termasuk
ke dalam wilayah Kecamatan Cikalong Kulon, Kabupaten Cianjur, Provinsi Jawa Barat.
Berdasarkan letak goegrafisnya, kelompok hutan ini terletak di antara 6o 36- 71626 LS dan
10630 107 25 BT. Keadaan areal penelitian sebagian besar memiliki kemiringan
lapangan antara 8 15 % dengan ketinggian tempat 850 meter dari permukaan laut. Jenis
tanah didominasi oleh latosol coklat, agak dalam, agak sarang, mantap, sedikit berbatu,
berhumus. Adapun tipe Iklim menurut Schmit & Ferguson termasuk tipe B dengan curah
hujan 1.000-2.500 mm /th. Keadaan tegakan pada areal penelitian berupa jenis pohon
Tectona grandis. Memiliki kerapatan sekitar 600 pohon/ha (untuk pohon berdiameter 10 cm
ke atas). Untuk tumbuhan bawah rata-rata memiliki kerapatan sedang dengan jenis.
Bahan yang digunakan adalah meteran, pengukur waktu (stopwatch) sedangkan alat
yang digunakan adalah alat tulis, komputer.

Prosedur Penelitian
Penelitian dilaksanakan melalui tahap kegiatan sebagai berikut :
1. Menentukan secara purposif petak tebang yang segera akan dilakukan penebangan dan
penyaradan.
2. Melaksanakan penyaradan TS dan TT dengan masing-masing ulangan 5 rit.
3. Mencatat waktu kerja dan volume kayu yang disarad.
4. Pengukuran penggeseran lapisan tanah atas dilakukan di atas bekas jalan sarad dengan
cara mengukur kedalaman lapisan tanah atas yang tergeser. Sepanjang jalan sarad (rata-
rata panjang jalan sarad 180 meter) dibuat 1 titik kedalaman bergerak ke arah panjang
jalan setiap 20 meter untuk masing-masing TS dan TT. Dengan demikian jumlah titik ukur
sebanyak 20 buah. Untuk mengetahui volume tanah yg tergeser diambil rata-rata ukuran
panjang telapak kaki 25 cm dan lebar 8 cm.
Yang dimaksud TS, penyaradan diserahkan sepenuhnya kepada operator setempat
sesuai kebiasaannya. Yang dimaksud teknik TT, penyaradan dilaksanakan sesuai arahan
peneliti, yaitu dengan pengaturan letak kayu yang akan dipikul sedemikian rupa agar
telapak kaki tidak terlalu dalam membekas, pemikul tidak cepat lelah serta produktivitas
tinggi.
5. Pengukuran parameter meliputi produktivitas dan biaya sarad serda penggeseran lapisan
tanah atas.
a. Produktivitas sarad dihitung dengan rumus berikut:

V ... (1)

di mana: Ps = produktivitas sarad (m3/jam); W = waktu efektif (jam); V = volume kayu


(m3) diperoleh dari V = 0,25 D2 L, di mana: = bilangan bernilai 3,1416; L = panjang
batang (m); D = diameter rata-rata (m) diperoleh dari: D = 0,5 (Dp+Du) di mana Dp =
diameter pangkal dan Du = diameter ujung.

743
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

c. Biaya penyaradan dihitung dengan menggunakan rumus :

Bs = U : Ps ................................................................ (2)

di mana: Bs = biaya sarad (Rp/ m3); U = biaya upah (Rp/jam), upah = Rp 400.000/hari,
8 jam/hari = Rp 50.000/jam; Ps = produktivitas sarad (m3/jam).

Analisis Data
Data lapangan berupa produktivitas dan biaya sarad serta penggeseran lapisan
tanah atas dari masing-masing teknik penyaradan, diolah ke dalam bentuk tabulasi dengan
menghitung nilai rata-ratanya. Untuk membandingkan kedua teknik penyaradan dari ketiga
aspek tersebut, dilakukan uji-t (Steel & Torrie, 1976).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Produktivitas dan Biaya Penyaradan


Penyaradan yang dilakukan di Perhutani Cianjur tidak menggunakan peralatan semi
mekanis maupun mekanis melainkan secara manual (tenaga manusia) dengan cara.dipikul
dan menggunakan tali tambang untuk menggelindingkan kayu.Kegiatan tersebut dilakukan
secara perorangan dan beregu. Tidak ada pembagian tugas khusus. Di mana masing-
masing pekerja melaksanakan sendiri pekerjaannya. Kegiatan tersebut dimulai dengan
berjalan kosong menuju areal tebangan kemudian langsung memikul kayu jati. Bila areal
lokasi memiliki kelerengan yang landai sampai curam maka penyaradan dilakukan dengan
menggunakan teknik mendorong atau menggelindingkan kayu jati dari atas ke bawah dan
memikul kayu jati dari atas menuju bawah.
Hasil perhitungan rata-rata produktivitas dan biaya penyaradan secara manual dapat
dilihat pada Tabel 1. Dari Tabel 1 menunjukkan bahwa rata-rata produktivitas kerja
penyaradan menggunakan TT dan TS masing-masing adalah 3,148 m3/jam dan 2,971
m3/jam. Penggunaan TT menghasilkan rata-rata produktivitas lebih tinggi daripada TS. Hal
ini disebabkan karena pada TT dilakukan pengaturan letak kayu yang akan dipikul
sedemikian rupa sehingga pemikul tidak cepat lelah serta produktivitas tinggi.
Karena adanya pengaturan letak kayu tersebut sehingga memudahkan pekerja
melakanakan pekerjaannya. Hal ini berpengaruh terhadap waktu penyelesaian pekerjaan. Di
mana dengan penyaradan TT rata-rata waktu yang digunakan adalah 0,038 jam (2,28 menit)
sedangkan dengan TS rata-rata 0,040 jam (2,4 menit).
Apabila hasil penelitian ini (3,148 m3/jam untuk TT dan 2,971 m3/jam untuk TS)
dibandingkan dengan hasil penelitian Maryudi (2000) tentang prestasi kerja penyaradan
manual dengan dipikul di Jawa Tengah yang menghasilkan prestasi kerja sarad sebesar
0,985 m3/0,254 jam atau 3,878 m3/jam, ternyata hasil penelitian di KPH Cianjur lebih kecil.
Hal ini dapat terjadi karena keadaan lapangan areal penelitian di KPH Cianjur lebih sulit
dibanding areal di Jawa Tengah. Di samping itu keterampilan pekerja sarad di Jawa Tengah
lebih terampil daripada di KPH Cianjur.
Hasil uji-t,untuk membandingkan kedua teknik dari aspek produktivitas, didapat t-
hitung = 2,955*>t-tabel 95% = 2,306, berbeda nyata. Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa dilihat dari aspek produktivitas ternyata TT lebih baik daripada TS.
Dari hasil produktivitas kedua teknik tersebut diperoleh rata-rata biaya produksi yang
berbeda, di mana dengan TT dan TS mengeluarkan rata-rata biaya produksi masing-masing
adalah Rp 15.941,9/m3 dan Rp 16.842,4 /m3. Dari rerata biaya produksi tersebut dapat
dilihat bahwa dengan menggunakan TS menghasilkan biaya produksi lebih tinggi. Hasil uji-t
untuk biaya sarad untuk membandingkan kedua teknik dari aspek biaya sarad, didapat t-
hitung= 2,966*>(t-tabel 95% = 2,306) berarti berbeda nyata. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa dilihat dari aspek biaya penyaradan ternyata TT lebih baik daripada TS.

744
ILMU KEHUTANAN

Tabel 1. Produktivitas dan biaya sarad manual di KPH Cianjur

No Volume kayu Waktu sarad (jam) Produktivitas Biaya sarad Jarak sarad
. (m3) (m3/jam) (Rp/ m3) (Hm)
1. Teknik Terkontrol (TT)
1. 0,103 0,034 3,029 16.507,1 2,0
2. 0,125 0,041 3,049 16.398,8 1,5
3. 0,115 0,035 3,286 15.216,1 1,7
4. 0,120 0,041 2,927 17.082,3 1,8
5. 0,131 0,038 3,447 14.505,4 1,9
R 0,119 0,038 3,148 15.941,9 1,78
SD 0,011 0,003 0,213 1.051,1 0,19
2. Teknik Setempat (TS)
1. 0,105 0,036 2,917 17.140,9 1,7
2. 0,120 0,040 3,000 16.666,7 1,8
3. 0,125 0,044 2,841 17.599,4 1,9
4. 0,115 0,038 3,026 16.523,5 2,0
5. 0,129 0,042 3,071 16.281,3 1,6
R 0,119 0,040 2,971 16.842,4 1,8
SD 0,009 0,003 0,092 526,7 0,16

Keterangan: R = rata-rata; SD = simpangan baku.

Penggeseran Lapisan Tanah Atas


Kegiatan penyaradan kayu tidak terlepas dari kerusakan tanah berupa penggeseran
lapisan tanah atas. Walaupun penyaradan di lokasi penelitian hanya menggunakan sistem
manual tetapi tidak menutup kemungkinan penggeseran lapisan tanah atas akan terjadi
akibat kayu yang digelindingkan dari atas ke bawah dan kayu yang ditarik menggunakan alat
bantu tali.
Hasil pengamatan di lapangan terhadap kedalaman penggeseran lapisan tanah atas
dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Kedalaman penggeseran lapisan tanah atas akibat kegiatan penyaradan

No. Penyaradan Setempat (TS) Penyaradan Terkontrol (TT)


Kedalaman Volume (cm3) Kedalaman (mm) Volume (cm3)
(mm)
1. 9 180 8 160
2. 8 160 7 140
3. 7 140 6 120
4. 6 120 5 100
5. 4 80 4 80
6. 5 100 5 100
7. 4 80 6 120
8. 9 180 4 80
9. 8 160 5 100
10. 9 180 7 140
R 6,9 138 5,7 114
SD 2,02 40,5 1,3 26,8

Keterangan: rata-rata panjang dan lebar telapak kaki adalah 25 cm dan 8 cm; R = rata-rata;
SD = simpangan baku.

745
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Dari Tabel 2 menunjukkan bahwa penggunaan TT (5,7 mm) dapat menyebabkan


rata-rata kedalaman penggeseran lapisan tanah atas lebih kecil daripada TS (6,9 mm). Hal
ini disebabkan pada penggunaan TT para pekerja diarahkan oleh peneliti untuk melakukan
penyaradan yaitu dengan melakukan pengaturan letak kayu sehingga langkah kaki mereka
saat memikul kayu jati dilakukan secara zigzag sehingga pada saat dilakukan pengulangan
pemikulan berikutnya tidak menginjak bekas injakan kaki semula. Dengan demikian langkah
kaki yang dilakukan secara zigzag (tidak berulang kali menginjak bekas kaki awal) dapat
mengurangi intensitas kedalam penggeseran lapisan tanah atas. Sedangkan dengan TS
karena kayu tidak diatur sehingga bekas langkah kaki pekerja bisa berulang kali terinjak
dengan pola yang sama atau sejajar sehingga menambah dalam penggeseran lapisan tanah
atas.
Akan tetapi hasil uji-t untuk membandingkan kedua teknik penyaradan dari aspek
kedalaman penggeseran lapisan tanah atas didapat t-hitung = 1,580 < (t-tabel 95% = 2,101)
dan t-hitung untuk volume = 1,563 <(t-tabel 95% = 2,101). Dilihat dari aspek pengeseran
lapisan tanah atas, ternyata kedua teknik berbeda tidak nyata atau dapat dikatakan kedua
teknik penyaradan sama.

KESIMPULAN

1. Rata-rata produktivitas menggunakan TT (3,148 m3/jam) lebih tinggi daripada TS (2,971


m3/jam).
2. Rata-rata biaya produksi penyaradan menggunakan TT (Rp 15.941,9/m3) lebih rendah
daripada TS ( Rp 16.842,4/m3 ).
3. Penerapan TT dengan pengaturan letak kayu dapat memperkecil kedalamanan
penggeseran lapisan tanah atas yaitu dari 6,9 mm menjadi 5,7 mm
4. Penyaradan sistem manual dapat membuka kesemapatan kerja bagi masyarakat sekitar
hutan.

DAFTAR PUSTAKA

Arsyad, S. 2000. Konservasi Tanah dan Air. IPB Press. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Hamzah, Z. 1988. Ilmu Tanah Hutan. Proyek Peningkatan Pengembangan Perguruan
Tinggi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Hillel, D. 1971. Soil and water Physical Principles and Processess. Academic Press. New
York.
Steel, R.G.D. and J.H. Torrie. 1976. Principles and procedure of statistic. Mc. Graw-Hill Book
Co., New York.
Maryudi, A. 2000. Prestasi Kerja di Bidang Pemanenan Hasil Hutan Kayu di Hutan Jati.
http://www.google.co.id/#hl=id&biw=1280&bih=568&q=penyaradan+kayu+jati+dipikull
&aq=&aqi=&aql=&oq=penyaradan+kayu+jati+dipikull&gs_rfai=&fp=6c0745768df1cbe
5 . Diakses tanggal 13 Januari 2011.

746
ILMU KEHUTANAN

POLA PEMANFAATAN LAHAN DENGAN ANEKA USAHA


KEHUTANAN (AUK) UNTUK MENGURANGI KETERGANTUNGAN
MASYARAKAT TERHADAP HUTAN
(Studi Kasus di KHDTK Carita, Banten)

Sri Suharti
Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi
Jl. Gunung Batu 5, Bogor, 16610
Email: suharti23@yahoo.co.id

ABSTRAK

Pengembangan berbagai program untuk mengatasi permasalahan di bidang


kehutanan baik yang bersifat preventif (konservasi) maupun kuratif (rehabilitasi) belum
memberikan hasil sebagaimana yang diharapkan. Sementara itu krisis ekonomi yang
berkepanjangan membuat kehidupan masyarakat makin terpuruk. Dampak nyata dari hal ini
adalah makin besarnya tekanan masyarakat terhadap hutan baik itu berupa penjarahan dan
pencurian kayu (illegal logging) maupun perambahan hutan sehingga mengakibatkan kondisi
kawasan hutan semakin memprihatinkan. Untuk itu diperlukan pendekatan lain agar tujuan
konservasi dapat dicapai dan kepentingan masyarakat dapat diakomodasikan secara tepat.
Bentuk kegiatan yang diharapkan mampu menjembatani antara kepentingan ekologis
dengan pertimbangan sosial, ekonomi dan budaya masyarakat adalah model-model
pemanfaatan lahan dengan aneka usaha kehutanan (AUK). Pengembangan komoditi AUK
didalam kawasan hutan yang sudah ada tegakan pohonnya yang cukup rapat merupakan
salah satu alternatif yang baik untuk optimalisasi pemanfaatan ruang tumbuh dan juga
mengurangi ketergantungan dan tekanan masyarakat terhadap hutan. Jenis tanaman dilipih
yang relatif tahan terhadap naungan, tajuk tidak lebar, tidak memerlukan ruang tumbuh yang
luas, cepat menghasilkan serta teknik budidayanya sudah dikuasai oleh petani penggarap.
Penelitian Pola Pemanfaatan Lahan Dengan AUK bertujuan untuk mempelajari alternatif
pola pemanfaatan lahan yang berpotensi untuk dikembangkan terutama pada kawasan
rawan illegal logging/tidak produktif seperti di KHDTK Carita. Penelitian dilakukan dengan
membuat plot uji coba seluas 2 (dua) hektar dengan jenis tanaman lada dan kapolaga yang
disisipkan diantara tegakan pohon yang sudah ada. Sifat tanaman lada yang membutuhkan
tanaman inang/panjat untuk pertumbuhannya serta kapolaga yang dapat tumbuh di bawah
naungan sangat sesuai dengan kondisi biofisik lokasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
pengembangan tanaman AUK diantara pohon hutan jika dipelihara dengan baik telah
mampu meningkatkan pendapatan masyarakat sebesar 23% terhadap pendapatan
sebelumnya. Dengan pengembangan aneka usaha kehutanan ini diharapkan diversifikasi
usaha dapat dilaksanakan sehingga ketergantungan serta tekanan masyarakat terhadap
hutan akan jauh lebih berkurang (hutan bukan hanya berarti kayu) sehingga upaya
kelestarian hutan dapat diwujudkan.

Kata kunci: Pemanfaatan lahan, Aneka Usaha Kehutanan (AUK), Pendapatan Masyarakat,
Kelestarian

747
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

PENDAHULUAN

Terbatasnya alternatif sumber pendapatan dan kesempatan kerja menyebabkan


tingkat ketergantungan masyarakat terhadap hutan yang ada di sekitarnya sangat tinggi. Hal
ini menyebabkan tekanan masyarakat terhadap hutan dari waktu ke waktu terus meningkat.
Disisi lain, pengembangan berbagai program yang telah dilakukan pemerintah untuk
mengatasi permasalahan di bidang kehutanan baik yang bersifat preventif (konservasi)
maupun kuratif (rehabilitasi) ternyata belum memberikan hasil sebagaimana yang
diharapkan. Kondisi tersebut terjadi hampir di seluruh kawasan hutan di Pulau Jawa yang
umumnya dikelilingi oleh desa-desa dengan kepadatan penduduk yang tinggi seperti halnya
di Carita, Banten.
Pada tahun 2003, menteri kehutanan mengeluarkan SK Menhut No. 290 yang
menetapkan kawasan hutan produksi (HP) dan hutan produksi terbatas (HPT) seluas
3026,52 Ha di Carita sebagai kawasan hutan dengan tujuan khusus (KHDTK) yang
pengelolaannya menjadi kewenangan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan.
Areal KHDTK Carita merupakan ekosistem hutan dataran rendah yang mempunyai fungsi
ekologi terutama sebagai habitat satwa yang terancam punah dan/atau dilindungi serta
merupakan kawasan penyangga tata air bagi wilayah di sekitarnya. Kawasan ini dikeliligi
oleh 8 (delapan) desa yaitu Citaman, Jaya Mekar, Sindang Laut, Sukarame, Sukanagara,
Kawoyang, Sukajadi dan Cinoyong. Tingkat kepadatan penduduk desa-desa sekitar yang
tinggi ditambah dengan lokasinya yang berdampingan dengan KHDTK Carita menyebabkan
ketergantungan masyarakat terhadap kawasan hutan di sekitarnya sangat tinggi sehingga
sangat rentan terhadap perambahan. Hakim et al.(2004) menyebutkan bahwa dari seluruh
areal KHDTK Carita 75% nya sudah diokupasi masyarakat. Sementara itu hasil penelitian
lain menyebutkan bahwa perambahan kawasan hutan telah mencapai 57% (Samsoedin et
al., 2007). Tujuan okupasi masyarakat di areal KHDTK Carita antara lain untuk
pengembangan usaha pertanian, mencari berbagai hasil hutan, sumber kayu bakar, dll.
Kondisi ini menyebabkan kondisi areal KHDTK Carita sangat memprihatinkan. Kerapatan
pohon hutan rata-rata per hektar hanya 19 pohon, sementara populasi tumbuhan
masyarakat (jenis pohon serba guna/JPSG) rata-rata mencapai 378 pohon/ha (Murniati,
2010).
Pada beberapa kasus, selain merambah kawasan hutan, sebagian masyarakat juga
telah melakukan praktik jual-beli lahan garapan Hal ini menjadi pertanyaan yang cukup
serius karena sesungguhnya masyarakat tidak diperbolehkan melakukan jual beli lahan
hutan KHDTK yang secara de jure merupakan milik negara. Bukti-bukti kepemilikan lahan
yang menjadi jaminan dalam transaksi lahan tersebut perlu dibuktikan keasliannya
(Samsoedin et al., 2007).
Untuk mengatasi permasalahan di atas, saat ini upaya yang sudah dilakukan baru
meliputi kerjasama pengamanan antara Perum Perhutani, Badan Penelitian dan
Pengembangan dan BKSDA melalui praktik patroli pengawasan bersama. Namun demikian,
hal ini masih menemui kendala berkaitan dengan keterbatasan dana operasional
pengamanan. Untuk itu diperlukan pendekatan lain agar tujuan penyelamatan hutan yang
masih tersisa/konservasi dapat dicapai dan kepentingan masyarakat dapat diakomodasikan
secara tepat. Upaya yang komprehensif dan berkelanjutan diperlukan agar vegetasi hutan di
KHDTK Carita dapat kembali atau paling tidak mendekati kondisi/populasi awal sebelum
diokupasi masyarakat, namun disisi lain juga mampu memberi kesempatan kepada
masyarakat untuk mengambil manfaat bagi peningkatan pendapatannya.
Agar tujuan tersebut dapat dicapai, diperlukan pengembangan pola-pola kegiatan
yang bersifat fleksibel dan inovatif yang disesuaikan dengan kondisi biofisik lahan, sosial
ekonomi dan budaya masyarakat. Bentuk kegiatan yang diharapkan mampu menjembatani
antara kepentingan/pertimbangan ekologis dengan pertimbangan sosial, ekonomi dan
budaya adalah model-model pemanfaatan lahan dengan aneka usaha kehutanan (AUK).
Pola pemanfaatan lahan dengan AUK diarahkan pada pengembangan komoditi hasil hutan
bukan kayu seperti wanatani, wanafarma, tanaman penghasil buah dan getah, tanaman
penghasil minyak atsiri serta hutan cadangan pangan (Direktorat Bina Usaha Perhutanan

748
ILMU KEHUTANAN

Rakyat, 2002). Pengembangan komoditi AUK dapat dilakukan pada berbagai kawasan hutan
baik hutan produksi, hutan lindung maupun kawasan konservasi. Pengembangan komoditi
AUK dilaksanakan tidak dengan cara merombak hutan melainkan mengupayakan
optimalisasi ruang tumbuh melalui perbaikan struktur dan komposisi hutan. Penelitian ini
bertujuan untuk mempelajari alternatif bentuk-bentuk pola pemanfaatan lahan dengan AUK
yang berpotensi untuk dikembangkan pada kawasan rawan illegal logging/tidakproduktif.
Data dan informasi yang disampaikan dalam tulisan ini merupakan rangkuman hasil
penelitian penulis di berbagai daerah dan dilengkapi dengan hasil kajian pustaka.

BAHAN DAN METODE

Penelitian dilakukan selama 5 (lima) tahun yaitu dari tahun 2004 2008 di areal
KHDTK Carita, Banten. Tahapan penelitian yang dilaksanakan meliputi kegiatan survai
awal/baseline survey untuk memperoleh deskripsi tentang tipologi masyarakat, persepsi
serta prospek partisipasi masyarakat dalam kegiatan penelitian, identifikasi alternatif
komoditi AUK yang prospektif dikembangkan pada kondisi yang ada serta pola-pola
pemanfaatan lahan dengan AUK yang layak dikembangkan. Tahapan selanjutnya adalah
perumusan model-model hipotetis yang optimum dan dilanjutkan dengan pembangunan uji
coba pola pemanfaatan lahan dengan komoditi AUK.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Model Pengembangan Komoditi AUK


Sebagaimana diuraikan sebelumnya, komoditi AUK merupakan salah satu alternatif
kegiatan yang dapat menjembatani antara kepentingan ekologi di satu sisi dengan
kepentingan sosial ekonomi di sisi yang lain. Tujuan pengembangan komoditi AUK adalah
mengupayakan optimalisasi ruang tumbuh melalui perbaikan struktur dan komposisi hutan.
Selain dapat dilakukan secara simultan dengan budidaya komoditi yang lain, pengembangan
komoditi AUK juga bertujuan untuk memberikan peluang kepada masyarakat untuk
mendapatkan manfaat langsung dan nyata (tangible) dari berbagai komoditi yang
dikembangkan. Dengan pengembangan AUK, masyarakat dapat mengembangkan komoditi
non kayu tanpa mengganggu pertumbuhan tanaman yang sudah ada, meningkatkan
manfaat hutan/lahan serta sekaligus dapat memperoleh cash income secara kontinyu.
Komoditi AUK yang berpotensi untuk dikembangkan baik di dalam kawasan hutan negara
maupun pada lahan milik/hutan rakyat (SK DirJen RLPS, 2004) antara lain:

Pengembangan Wanafarma
Pola tanam yang menyisipkan tanaman pertanian di antara tanaman hutan (kayu)
sudah cukup dikenal di Indonesia dengan istilah agroforestry (wanatani/tumpangsari).
Selama ini wanatani terfokus terutama pada tumpangsari tanaman pangan seperti serealia
dan palawija. Wanafarma adalah bentuk lain dari wanatani yang mengedepankan tanaman
obat herbal sebagai tanaman utama tumpang sari dengan tanaman hutan. Potensi
wanafarma di Indonesia cukup besar sehingga bermanfaat untuk meningkatkan pendapatan
masyarakat tani di sekitar hutan dan sekaligus mempertahankan fungsi ekonomi dan ekologi
kawasan hutan baik pada hutan rakyat/milik maupun pada hutan negara. Rizal (2011)
menyatakan bahwa prospek pengembangan wanafarma cukup bagus karena dua hal;
pertama, potensi lahan yang tersedia untuk pengembangan wanafarma di Indonesia cukup
besar; kedua, trend peningkatan permintaan pasar untuk jenis-jenis tanaman obat dalam
dekade terakhir cukup kuat.
Dibanding tanaman pangan yang biasa ditumpangsarikan pada tanaman kayu seperti
padi, jagung dan kacang-kacangan, beberapa jenis tanaman obat diketahui lebih tahan
terhadap naungan (shade tolerant). Di antaranya yang masih bisa berproduksi optimal di
bawah lindungan hutan dengan intensitas pencahayaan 45% (umur tanaman hutan sudah
sekitar 5 tahun) adalah tanaman obat rimpang seperti jahe, kunyit, temulawak dan kencur.

749
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Jenis lain yang cukup tahan naungan ialah Umbeliferae seperti kumis kucing dan Piperaceae
seperti cabai jawa, sirih dan kemukus. Jenis tanaman obat ini bisa ditanam dengan cara
sisipan diantara tegakan pohon hutan yang sudah ada atau juga berdampingan dengan
tanaman pangan yang ditanam saat tajuk tegakan pohon belum terlalu lebar sehingga
tanaman pangan masih dapat tumbuh dengan baik dibawahnya. Dengan pola sisipan,
berbagai jenis tanaman ini (pangan dan obat), bisa memberi penghasilan bagi petani secara
periodik. Tanaman pangan serealia dan kacang-kacangan lebih pendek umurnya dibanding
tanaman obat sehingga dapat dipanen lebih cepat (sebelum tanaman obat menghasilkan).
Direktorat Bina Usaha Perhutanan Rakyat (2002) menetapkan bahwa pengembangan
wanafarma merupakan usaha penanaman tanaman obat di dalam kawasan hutan sebagai
upaya optimalisasi pemanfaatan ruang tumbuh. Prinsip utama pengembangan wanafarma
adalah pengayaan hutan dan jenis yang dikembangkan mempunyai habitat alami di daerah
tersebut (local specific) serta mempunyai nilai ekonomi. Tanaman obat yang ditanam berupa
pohon, perdu, atau kombinasi keduanya. Jika tanaman obat diintegrasikan pada
lahan/kawasan yang sudah ada tegakan pohonnya, jenisnya dipilih yang relatif tahan
terhadap naungan atau lebih baik lagi jika dapat menggunakan tanaman/pohon yang sudah
ada sebagai inang bagi pertumbuhannya seperti lada dan vanili.

Penanaman Tanaman Penghasil Buah dan Getah


Sampai saat ini, potensi buah dan getah belum dikembangkan secara optimal baik
untuk konsumsi domestik maupun sebagai komoditi ekspor non migas. Beberapa jenis
komoditi AUK penghasil buah non pangan yang menjadi prioritas serta sangat berpotensi
untuk dikembangkan antara lain tengkawang, kemiri, pinang, jarak, macadamia dan matoa.
Sedangkan pohon penghasil getah yang sangat prospektif untuk dikembangkan antara lain
adalah pohon pinus, damar, jelutung, kemenyan, pohon penghasil gaharu dan pohon
kesambi penghasil sirlak.

Budidaya Tanaman Penghasil Minyak Atsiri


Minyak atsiri adalah minyak yang diperoleh dengan cara penyulingan, pemerasan atau
ekstraksi dari berbagai bagian tanaman seperti daun, bunga, buah, biji, kulit dan akar
tanaman. Minyak atsiri juga biasa disebut minyak eternis, essential oil atau volatile oil. Jenis
tanaman penghasil minyak atsiri antara lain adalah sereh wangi, kayu putih, nilam, cengkeh
(ekstrak daun dan/atau bunga), kenanga, pala, kemukus (ekstrak buah), jahe (ekstrak umbi),
akar wangi (ekstrak akar) serta cendana (ekstrak kayu).

Hutan cadangan pangan


Selain beberapa komoditi AUK yang telah disebutkan di atas, masih terdapat beberapa
komoditi AUK lain yang juga sangat berpotensi dikembangkan dalam kawasan hutan namun
tujuan utamanya lebih banyak untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat. Bentuk
kegiatannya berupa pengembangan hutan cadangan pangan serta wanatani. Tujuan utama
pengembangan hutan cadangan pangan adalah diversifikasi tanaman penghasil pangan baik
jenis umbi-umbian seperti garut, gadung, ganyong, iles-iles, uwi, maupun jenis pohon-
pohonan seperti sukun, sagu, nipah, aren dan lontar. Sedangkan tujuan utama kegiatan
wanatani adalah peningkatan produksi pangan yang berasal dari hutan melalui pemanfaatan
ruang tumbuh di bawah tegakan hutan denga jenis tanaman umbi-umbian seperti ganyong,
gadung, talas, garut, suweg/iles-iles dan ubi. Dari kedua kegiatan terakhir ini selain mutu
hutan meningkat, hutan juga dapat mengoptimalkan fungsinya sebagai hutan penghasil
pangan. Agar tujuan pelaksanaan dapat dicapai secara optimal, pengembangan komoditi
yang disebut belakangan perlu diintegrasikan dengan komoditi AUK lain yang secara fisik
dan morfologis benar-benar berfungsi merehabilitasi lahan tempat tumbuhnya.

Tipologi Masyarakat Sekitar KHDTK Carita & Preferensinya terhadap Komodoti AUK
Dari hasil wawancara dengan responden terpilih di Desa Sukarame (desa dimana
petani peserta plot uji coba berasal) didapatkan bahwa rata-rata luas pemilikan lahan relatif
sempit, bahkan mayoritas responden tidak memiliki lahan sama sekali. Dengan demikian

750
ILMU KEHUTANAN

Nampak jelas bahwa ketergantungan masyarakat terhadap lahan garapan di KHDTK Carita
II sangat besar karena mayoritas responden menggantungkan kegiatan usahataninya dari
lahan garapan di areal KHDTK. Sebelum ditetapkan menjadi areal KHDTK melalui SK
Menhut No.290 tahun 2003, areal tersebut merupakan daerah pengembangan kegiatan
pengelolaan hutan bersama masyarakat (PHBM) yang dikelola oleh Perhutani. Dengan
PHBM, rata-rata luas lahan yang digarap masing-masing petani di areal KHDTK sangat
bervariasi (dari 0,2 ha - > 2 ha). Jenis tanaman yang dibudidayakan sangat beragam dan
umumnya merupakan kombinasi antara tanaman buah-buahan dan tanaman serbaguna
(JPSG) seperti pisang, mangga, alpukat, durian, manggis, jengkol, petai, mlinjo, nangka,
cengkeh, kopi dan berbagai empon-emponan seperti kapolaga, kunyit dan lengkuas.
Sebagaimana diuraikan sebelumnya, terdapat delapan (8) desa yang berdampingan
langsung dengan areal KHDTK Carita. Sebagian besar masyarakat di desa-desa tersebut
memiliki mata pencaharian sebagai petani ataupun buruh tani. Hanya sebagian kecil yang
bekerja sebagai pedagang, wiraswata maupun karyawan instansi pemerintahan. Selain itu,
umumnya tingkat pendidikan masyarakat di desa-desa tersebut juga cukup rendah (hanya
sebagian kecil yang lulus sekolah tingkat menengah atas maupun sarjana), yang mana hal
ini dapat menjadi kendala dalam alih ilmu pengetahuan maupun tekologi. Walaupun
demikian, umumnya masyarakat setempat masih memiliki jiwa kebersamaan dan semangat
gotong royong yang cukup kuat, di samping memiliki jiwa religiusitas yang cukup tinggi.
Selama ini walaupun telah beralih status dari areal PHBM menjadi areal KHDTK,
kegiatan masyarakat menggarap lahan di dalam kawasan tetap berlangsung. Namun,
karena pohon dalam areal KHDTK semakin besar maka tajuk tanaman juga semakin lebar
sehingga menyebabkan ruang untuk kegiatan usahatani mereka menjadi sempit. Sebagai
akibatnya, dalam rangka memperluas ruang bagi kegiatan usahataninya, mereka membuka
lahan lagi ke daerah yang belum digarap sebelumnya. Hal ini menyebabkan kegiatan
perambahan berlangsung makin masuk ke dalam kawasan hutan yang sebelumnya belum
terganggu.
Minat masyarakat untuk mengembangkan komoditi AUK di areal KHDTK Carita cukup
tinggi. Sebagian masyarakat bahkan sudah pernah mencoba mengembangkan beberapa
jenis komoditi AUK di lahan garapan mereka dalam skala kecil/coba-coba sekedar untuk
memenuhi kebutuhan keluarga (subsisten). Namun dari hasil wawancara dengan responden
ketika ditawarkan untuk mengembangkan komoditi AUK di lahan garapan mereka
didapatkan bahwa minat mereka untuk mengembangkan komoditi AUK telah bergeser tidak
hanya untuk sekedar memenuhi kebutuhan keluarga tetapi sudah mempertimbangkan aspek
pasar dan harga (komersil). Namun jenis diminati umumnya tidak berbeda jauh dengan
jenis-jenis yang pernah mereka coba sebelumnya. Dengan adanya pasar yang dapat
menampung hasil produksi mereka , diharapkan budidaya komoditi AUK yang akan
dikembangkan dapat memberikan tambahan pendapatan yang cukup signifikan. Gambaran
lengkap tentang komoditi AUK yang telah/ingin dikembangkan oleh warga desa Sukarame
dapat dilihat pada Tabel 1.

751
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Tabel 1. Jenis komoditi AUK yang telah/ingin dibudidayakan di areal KHDTKCarita

%
Jenis komoditi Telah/Belum Alasan Pemilihan
Upaya Responden
AUK yang pernah Jenis Komoditi
Pengembangan yang
diminati dikembangkan AUK
memilih
Perawatan mudah,
Tanaman pangan
untuk konsumsi
di bawah tegakan Th 2002 Swadaya 83
dendiri &
(pisang, ubi kayu)
dipasarkan
Perawatan dan
Kapolaga Th 1984 Swadaya pemasaran 87
mudah
Perawatan dan
Kemiri Th 2000 Swadaya pemasaran 13
mudah
Perawatan
Tanaman obat- mudah, tidak
obatan(serai, memerlukan
Th 2000 Swadaya 47
kunyit, kapolaga, lahan yanq luas
jahe) (bisa di bawah
tegakan)
Kerjasama Perawatan
Tengkawang Th 2002 dengan mudah, bibit 20
Perhutani tersedia
Pemasaran
mudah, tidak
Lada panjat 2002 Swadaya memerlukan 87
ruang tumbuh
khusus
Berminat namun
harga bibit mahal Harga & pasar
Vanili Baru mencoba 10
dan perawatan bagus
sulit
Sumber : Analisa data primer

Kondisi Biofisik KHDTK Carita


Legalitas Kawasan Hutan dengan Tujuan Khusus (KHDTK) didasarkan pada SK
Menteri Kehutanan No. 290/Kpts-II/2003 tentang Penunjukan Kawasan Hutan dengan
Tujuan Khusus Seluas + 3000 ha yang Terletak di Kecamatan Labuan, Kabupaten
Pandeglang, Provinsi Banten sebagai Hutan Penelitian Carita per tanggal 26 Agustus 2003
dan SK Menteri Kehutanan No. 291/Kpts-II/2003 tentang Penggunaan Kawasan Hutan
dengan Tujuan Khusus di Kawasan Hutan Produksi Terbatas dan Hutan Produksi Tetap
seluas 3000 hektar di Kecamatan Labuan, Kabupaten Pandeglang, Banten sebagai Hutan
Penelitian Carita- per tanggal 26 Agustus 2003. Kedua SK tersebut secara eksplisit
menunjuk Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan sebagai pengelola kawasan
serta memerintahkan Badan Planologi Kehutanan untuk mengatur penataan batas di
kawasan tersebut.
Akses menuju KHDTK Carita sangat mudah karena dapat dijangkau dengan semua
jenis kendaraan umum dan dapat ditempuh melalui Jasinga-Rangkasbitung atau Jakarta-
Serang selama 3 sampai 4 jam dari Bogor. Secara astronomis letak KHDTK Carita berada di
posisi 06o8 06o14 LS dan 105o50 - 105o55 BT, sedangkan berdasarkan administrasi
pemerintahan, terletak di Kecamatan Labuan, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten.
Kawasan KHDTK Carita termasuk dalam wilayah pengelolaan Perum Perhutani Unit III Jawa

752
ILMU KEHUTANAN

Barat, tepatnya masuk dalam wilayah RPH Carita, RPH Pasauran, BKPH Pandeglang, KPH
Banten, Perum Perhutani Unit III Jawa Barat.
Secara mikro keadaaan topografi KHDTK Carita landai sampai curam (10 - 35%) dan
terletak pada ketinggian sampai 100 meter di atas permukaan laut (Carita I dan II) serta
sebagian lagi di atas 100 meter dari permukaan laut. Berdasarkan klasifikasi Schmidt-
Ferguson, tipe curah hujan di wilayah KHDTK Carita adalah tipe A. Suhu berkisar antara
23C sampai 32C. Curah hujan rata-rata tahunan sebesar 3,950 mm. Kelembaban nisbi
rata-rata berkisar antara 77% sampai 85%. Tipe hutan di kawasan KHDTK Carita adalah
hutan hujan tropika basah dataran rendah.
Jenis tanah di kawasan KHDTK Carita adalah aluvial kelabu dengan bahan induk
endapan liat. Secara umum sifat fisik tanah aluvial adalah tekstur liat, stuktur pejal,
konsistensi teguh (lembab), plastis (basah), keras (kering) tanpa batas horizon, warna
kelabu hingga coklat, tanpa solum sampai bersolum sedang. Sedangkan sifat kimianya
adalah bahan organik rendah, kejenuhan basa sedang hingga tinggi, adaptasi tinggi,
kemasaman bervariasi dan permeabilitasnya rendah (Badan Penelitian dan Pengembangan
Kehutanan, 2005).
Perambahan areal KHDTK Carita oleh masyarakat sudah dimulai sejak tahun 70 an
dan mencapai puncaknya saat reformasi digulirkan (sekitar tahun 1998) (Hakim, et.al, 2004).
Dari seluruh areal seluas 3000 ha, 75% diantaranya telah dirambah oleh masyarakat desa
sekitar untuk budidaya tanaman semusim (pangan) dan berbagai jenis tanaman buah-
buahan seperti petai, jengkol, melinjo, pisang, dll. Hasil penelitian Murniati (2010)
menyebutkan bahwa dari waktu ke waktu okupasi areal KHDTK oleh masyarakat sekitar
terus berlangsung dan masing-masing penggarap rata-rata memiliki lahan garapan seluas
0,5 ha dengan variasi antara 0,1 - 4 ha/KK. Kontribusi pendapatan rata-rata yang diperoleh
masyarakat dari kegiatan budidaya di dalam areal KHDTK Carita terhadap total pendapatan
keluarga adalah sebesar 26,3%.
Potensi biologi dalam kawasan ini terbagi ke dalam potensi flora dan fauna. Sebelum
ditetapkan menjadi KHDTK Carita dengan luasan 3.000 Ha, kawasan hutan Carita pada
awalnya sebagian merupakan kawasan hutan lindung, kawasan hutan produksi terbatas dan
kawasan hutan produksi tetap serta kawasan hutan yang dikelola sebagai kebun percobaan
oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam, seluas 50 Ha.
Hutan lindung dalam KHDTK Carita termasuk kedalam formasi hutan hujan dataran
rendah dengan jenis vegetasi antara lain: Bayur (Pterospermum javanicum), Kihujan
(Engelhardia rigida), Merbau (Intsia bijuga), Bungur (Lagerstroemia speciosa), Beringin
(Ficus sp.), Palahlar (Dipterocarpus haseltii), Kipela (Aphanamixis sp.), Pulai (Alstonia
scholaris), Salam (Eugenia poleanta) dan Teureup (Artocarpus indicus). Vegetasi yang
terdapat di kawasan yang tadinya merupakan hutan produksi adalah jenis hutan tanaman
yang antara lain terdiri dari vegetasi: Mahoni (Swietenia macrophylla), Jati (Tectona grandis),
Ketapang (Terminalia catappa), Melinjo (Gnetum gnemon), Mindi (Melia azedarach) dan
Meranti (Shorea sp.). Untuk vegetasi di hutan penelitian antara lain ditemukan jenis-jenis:
Araucaria cunninghamii (asal dari Australia), Lagerstroemia duperiana (asal dari Vietnam),
Hopea odorata (asal dari India) dan Maesopsis eminii (asal dari Amerika). Pada hutan
penelitian seluas 50 Ha ditemukan spesies pohon sebanyak 96 spesies dengan jumlah
pohon sebanyak 4.599 pohon. Selain vegetasi kelas pohon, ditemukan pula vegetasi
tumbuhan bawah yang antara lain terdiri dari: Rotan (Calamus sp.), Tepus (Achasma sp.),
Kikandil (Criteronia paniculata), Alang-alang (Imperata cylindrica), Gelagah (Sacharum
spontanicum) dan Rumput memerahan (Themida orgulus) (Samsoedin et al. 2007).
Potensi fauna yang dapat ditemukan dalam kawasan ini antara lain Lutung
(Trachypitechus auratus), Kera Ekor Panjang (Macaca fascicularis), Babi Hutan (Sus
vittasus), Luwak (Paradoxiurus hermaproditus), Srigunting (Dicrurus macrocercus), Alap-alap
(Falco moluccensis), Elang (Spilornis chella), Kadal (Mabouya multifasciata) dan Ular sanca
(Phyton sp.).
Nilai aset yang khas dari KHDTK Carita adalah tersisanya hutan alam dataran rendah
primer Jawa Barat, dengan keragaman jenis tinggi di mana dalam plot 1 ha terdapat 96
spesies tumbuhan diantaranya terdapat 2 jenis Dipterocarpaceae yang cukup langka

753
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

(Samsoedin et al. 2007). Sementara itu menurut pengamatan Murniati (2010), dalam plot-
plot pengamatan seluas 1 ha, rata-rata hanya terdapat 397 pohon yang terdiri dari 19 pohon
hutan dan 378 jenis pohon serba guna (JPSG). Hutan primer dan hutan primer sedikit
terganggu di KHDTK Carita ini sangat penting artinya bagi penelitian hutan alam di Jawa
Barat karena mudah dijangkau dan cukup aman terpelihara. Selain itu dapat menjadi sumber
plasma nutfah bagi pohon-pohon langka yang hendak dikembangkan sebagai campuran
hutan tanaman, arboretum atau areal wisata vegetasi Jawa Barat. Jumlah jenis pohon di
hutan alam primer KHDTK Carita adalah sebanyak 96 jenis/0,25 sedangkan di hutan primer
terganggu sebanyak 98 jenis/0,25 ha dan di hutan sekunder tersisa sebanyak 67 jenis/0,25
ha (Samsoedin et al., 2007).

Pembangunan Plot Uji Coba di KHDTK Carita


Agar tujuan utama mengembalikan populasi vegetasi hutan dan peningkatan
pendapatan masyarakat dapat tercapai, disepakati untuk membuat plot uji coba yang
melibatkan masyarakat secara aktif dalam semua tahapan kegiatannya. Sesuai hasil
wawancara dengan responden terpilih serta pelaksanaan Participatory Rural AppraisalPRA
di Desa Sukarame pada tahun 2004, disepakati untuk dibangun plot uji coba AUK pada
lahan garapan petani di petak 29, 30, 31 dengan komoditi wanafarma lada dan kapolaga
seluas 2 ha. Luas garapan penggarap yang dilibatkan dalam plot uji coba beragam (0,2 ha
- 1 ha). Perlakuan yang diujicobakan kombinasi tanaman lada dan kapolaga dengan
perbandingan 50% : 50%Sebagai inang/tanaman panjat bagi lada dan peneduh bagi
kapolaga, tanaman gamal ditanam terlebih dulu (lada maupun kapolaga memerlukan lahan
yang relatif terbuka/pencahayaan antara 30%-70%).
Hasil penelitian di KHDTK Carita sampai dengan tahun 2008 menunjukkan bahwa
pertumbuhan tanaman uji coba cukup bagus dengan rata-rata pertumbuhan tanaman lada >
80%. Namun untuk tanaman kapolaga pertumbuhannya kurang begitu optimal yaitu rata-rata
sebesar 67%, masih lebih rendah dari pada persen hidup tanaman lada (Gambar 1). Rata-
rata tinggi dan diameter tanaman lada sampai tahun 2008 adalah 176 cm dan 1,05 cm
(Gambar 2), sedangkan untuk tanaman kapolaga rata-rata tinggi dan jumlah anakannya
adalah 120,5 cm dan 15,6 anakan (Gambar 3). Tingkat partisipasi dan inisiatif petani dalam
pemeliharaan tanaman uji coba cukup baik. Hal ini dapat dilihat dari upaya penggarap untuk
melakukan pemeliharaan tanaman uji coba secara intensif. Dengan demikian apabila terjadi
serangan penyakit dan hama (rayap, dll) dapat terdeteksi secara dini, sehingga
penanggulangannya dapat dilakukan seawal mungkin. Selain itu kelompok penggarap
peserta uji coba AUK juga sering mengadakan pertemuan kelompok untuk membahas
segala permasalahan yang terkait dengan pemeliharaan tanaman uji coba, sehingga
dinamika kelompok terlihat juga semakin baik.

Gambar 1. Persen tumbuh tanaman lada dan kapolaga di dalam plot uji coba

754
ILMU KEHUTANAN

Gambar 2. Pertumbuhan tinggi dan diameterlada

Gambar 3. Pertumbuhan tinggi dan anakan kapolaga

Permasalahan utama yang dihadapi masyarakat dalam mengembangkan tanaman


lada adalah serangan hama rayap dan penggerek batang. Untuk mengatasi permasalahan
hama tersebut dan untuk meningkatkan daya tahan serta persen tumbuh tanaman, sudah
dilakukan berbagai langkah seperti kegiatan penyulaman, pemberian pestisida dan
insektisida (furadan dan buldok) dan dilanjutkan dengan pemberian pupuk NPK dengan
dosis 10 gram untuk masing-masing tanaman lada dan kapolaga.
Selain itu juga dilakukan pembinaan petani dengan pendekatan yang lebih intensif
untuk lebih meningkatkan motivasi mereka dalam memelihara tanaman uji coba. Dampak
positif dari pengembangan plot uji coba di KHDTK Carita terlihat dari adanya inisiatif petani
(baik peserta plot maupun bukan peserta plot) untuk mengembangkan tanaman lada
maupun kapolaga di lahan garapan mereka di luar plot uji coba secara swadaya.
Kerjasama serta sifat gotong royong juga terlihat dari kekompakan mereka dalam
mempersiapkan bibit tanaman secara bersama-sama. Pada lahan garapan ketua kelompok
petani peserta uji coba selalu tersedia stek lada yang sudah ditanam dalam polibag yang
siap tanam. Untuk mempersiapkan bibit lada ini kelompok bekerja secara gotong royong.
Polibag dibeli secara patungan, sedangkan stek lada diambil dari tanaman lada yang sudah
besar yang dikerjakan secara bersama-sama. Jika ada tanaman yang mati maka
penyulamaM dapat langsung dilakukan dengan menggunakan bibit stek lada yang telah
disiapkan oleh petani tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa animo serta harapan masyarakat
untuk mengembangkan komoditi AUK (dalam hal ini lada dan kapolaga) sebagai sumber
pendapatan tambahan cukup besar. Dengan adanya tambahan pendapatan yang
proporsinya cukup besar (23%) ini diharapkan sudah cukup dapat memenuhi sebagian
kebutuhan hidup keluarga sehingga ketergantungan masyarakat sekitar terhadap hasil dari
hutan dapat berkurang secara signifikan.

755
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
a. Pola pemanfaatan lahan dengan komoditi AUK sangat berpotensi untuk dikembangkan
di areal KHDTK Carita yang mayoritas penduduk di sekitarnya sangat tergantung pada
hutan.
b. Hasil penelitian di KHDTK Carita sampai dengan tahun 2008 menunjukkan bahwa
pertumbuhan tanaman uji coba lada cukup bagus dengan rata-rata pertumbuhan
tanaman lada > 80%. Namun untuk tanaman kapolaga pertumbuhannya kurang begitu
optimal (62%) masih lebih rendah dari pada persen hidup tanaman lada meskipun.
c. Tingkat partisipasi dan inisiatif petani dalam pemeliharaan tanaman uji coba cukup baik,
hal ini dapat dilihat dari inisiatif petani untuk menyiapkan bibit tanaman untuk kegiatan
penyulaman secara swadaya dengan cara gotong royong.
d. Model pengembangan komoditi AUK berbasis masyarakat yang telah diujicobakan di
areal KHDTK Carita dengan rata-rata luas garapan 0,1 - 1 ha memberikan kontribusi
sebesar 23 % terhadap pendapatan total masyarakat sehingga sangat berpotensi
dikembangkan di lokasi lain.

Saran
a. Untuk mengatasi masalah perambahan hutan khususnya dalam kawasan hutan negara,
model pengelolaan yang sebaiknya dikembangkan secara luas adalah berbagai aplikasi
pola-pola usahatani alternatif yang merupakan kombinasi antara tanaman AUK dengan
tanaman kehutanan berumur panjang.
b. Jenis kombinasi tanaman yang dikembangkan sebaiknya adalah yang tidak saling
merugikan. Untuk tanaman AUK dipilih yang tidak memerlukan ruang tumbuh terlalu
luas, tajuk tanaman tidak lebar, cepat tumbuh serta mudah dalam pemeliharaannya.
Sementara itu untuk tanaman kayu/pohon dipilih yang tajuk tanaman tidak terlalu lebar,
lebih baik lagi jika bisa dimanfaatkan sebagai inang/panjatan bagi tanaman AUK seperti
lada atau vanili yang untuk pertumbuhannya mutlak memerlukan inang/panjat.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, 2005. Hutan Penelitian (HP) Carita.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Jakarta.
Departemen Kehutanan, 2003. Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 290/Kpts-II/2003
tentang Penunjukan Kawasan Hutan dengan Tujuan Khusus Seluas + 3000 ha yang
Terletak di Kecamatan Labuan, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten sebagai
Hutan Penelitian Carita per tanggal 26 Agustus 2003
Departemen Kehutanan, 2003. Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 291/Kpts-II/2003
tentang Penggunaan Kawasan Hutan dengan Tujuan Khusus di Kawasan Hutan
Produksi Terbatas dan Hutan Produksi Tetap seluas 3000 hektar di Kecamatan
Labuan, Kabupaten Pandeglang, Banten sebagai Hutan Penelitian Carita- per tanggal
26 Agustus 2003.
Departemen Kehutanan, 2004. Surat Keputusan Direktur Jenderal Rehabilitasi lahan dan
Perhutanan Sosial No. 50 tahun 2004 tanggal 14 April 2004 tentang Pedoman
Pembangunan Model aneka Usaha Kehutanan, Jakarta.
Direktorat Bina Usaha Perhutanan Rkyat, 2002. Pengembangan Aneka Usaha Kehutanan
Untuk Pemberdayaan Ekonomi Rakyat. Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan
Perhutanan Sosial, Jakarta.
Hakim, I., Sakuntaladewi, N, dan Ariawan, K. 2004. Kajian Pengembangan Social Forestry
(Kajian Potensi Sumberdaya Hutan dan jasa Lingkungan serta Tingkat
Ketergantungan Masyarakat). Laporan Hasil Penelitian Tahun Anggaran 2004. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Sosial Budaya dan Ekonomi Kehutanan, Bogor.

756
ILMU KEHUTANAN

Murniati, 2010. Vegetasi dan Pola Penggunaan lahan Hutan Penelitian Carita. Info Hutan
Volume Vii Nomor 3 Tahun 2010. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan
Konservasi Alam, Bogor.
Rizal, M. F. 2011. Peluang Mengembangkan Wanafarma.
http://www.sinartani.com/index.php?option=com_content&view=article&id=3751&cati
d=310:iptek &Itemid=577 diakses 6 Agustus 2011.
Samsoedin, I., Bismark, M., Irianto, R. S. B., Wibowo, A., Dharmawan, I.W.S., Yuniarti, K.,
Muttaqin, M.Z., Nurfatriani, F., 2007. Kajian Rencana Strategis Pengelolaan KHDTK,
Nopember 2007. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Jakarta.

757
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

PREDIKSI NILAI KOEFISIEN LIMPASAN PERMUKAAN DENGAN


METODE COOK MENGGUNAKAN PENDEKATAN SIG
PADA BEBERAPA DAS DI KALIMANTAN TIMUR

Sukariyan1, Sigit Hardwinarto2, dan Garini Widosari3


1
Politenik Pertanian Negeri Samarinda, email: sukariyan.poliagro@yahoo.com
2
Laboratorium Konservasi Tanah dan Air Fahutan Unmul
3
Politenik Negeri Samarinda

ABSTRAK

Banjir merupakan peristiwa yang terjadi karena limpasan air permukaan yang tidak
mampu dialirkan oleh alur sungai atau debit air lebih besar dari kapasitas pengaliran sungai,
berkaitan dengan masalah banjir maka, koefisien limpasan permukaan atau yang sering
disingkat C menjadi penting untuk diketahui. Nilai C ini merupakan salah satu indikator untuk
menilai suatu DAS sedang mengalami gangguan secara fisik atau tidak. Penelitian ini
dilaksanakan pada 31 DAS di Kalimantan Timur. Tujuan Penelitian ini adalah untuk
memprediksi nilai Koefisien Limpasan Permukaan (C) dengan menggunakan metode Cook.
Metode analisis dalam penelitian ini antara lain menggunakan analisis data tabular dan
analisis data spasial. Analisis data spasial dilakukan dengan teknik overlay, sementara untuk
data tabular dengan metode skoring, penjumlahan, perkalian, pembagian, dan pengurangan.
Pada unit analisis hasil tumpangsusun data spasial, dihitung nilai totalnya yang selanjutnya
diklasifikasikan. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa sebaran nilai C dengan metode Cook
pada kelas rendah (0-25%) sebesar 0%, kelas normal (>25 - 50%) sebesar 30,33%, kelas
tinggi (>50 - 75%) sebesar 66,98%, kelas sangat tinggi (>75 - 100%) sebesar 2,7%. Nilai C
yang dominan pada 31 DAS di Kalimantan Timur dengan menggunakan metode Cook
terdapat pada kelas tinggi (>50 - 75%) seluas 13.071.869,11Ha atau 66,98%.

Kata kunci: koefisien limpasan, banjir,daerah aliran sungai

PENDAHULUAN

Permasalahan yang terjadi pada beberapa Daerah Aliran Sungai (DAS) yang
terdapat di wilayah Kalimantan Timur adalah berupa banjir, erosi tanah, pendangkalan
(sedimentasi) dan pencemaran air. Permasalahan banjir tersebut diakibatkan oleh faktor
karakteristik curah hujan yang turun relatif deras selain kondisi biofisiknya seperti
fisiografi/topografi, jenis tanah dan pola jaringan sungai, di samping kondisi tutupan vegetasi
hutan yang semakin menurun akibat pembukaan lahan yang semakin luas sehingga
terganggunya keseimbangan tata air pada beberapa DAS di Kalimantan Timur
(Hardwinarto,2009).
Banjir merupakan peristiwa yang terjadi karena limpasan air permukaan yang tidak
mampu dialirkan oleh alur sungai atau debit air lebih besar dari kapasitas pengaliran sungai
yang ada, akibatnya air meluap dari badan sungai dan menimbulkan kerugian yang sangat
besar, baik berupa korban jiwa maupun materiil. Permasalahan atau penyebab banjir
diakibatkan oleh hancurnya atau menurunnya daya dukung DAS yang merupakan faktor
dominan yang menyebabkan terjadinya banjir, DAS berdaya dukung rendah ditandai dengan
perubahan tata guna lahan dari daerah tangkapan hujan berubah menjadi tanah terbuka dan
kritis, semakin mengecil areal hutan, tidak terurusnya lahan pertanian, semakin luasnya
lahan untuk hunian dan prasarana, eksploitasi hutan yang berlebihan, kegiatan
pertambangan serta adanya pola penggunaan lahan yang salah atau tumpang tindih
peruntukan kawasan. Terjadinya banjir dipengaruhi oleh adanya kontribusi limpasan air

758
ILMU KEHUTANAN

permukaan (surface run off) atau adanya faktor nilai koefisien limpasan permukaan (C)
relatif lebih besar dari 1 atau sebagian besar air hujan menjadi aliran permukaan (Maryono,
2005).
Berkaitan dengan masalah banjir, maka koefisien limpasan permukaan atau yang
sering disingkat C menjadi penting untuk diketahui. Nilai C ini merupakan salah satu
indikator untuk menilai suatu DAS sedang mengalami gangguan secara fisik atau tidak.
Dalam pengertian lain nilai C merupakan respons DAS terhadap curah hujan, dimana
semakin mendekati angka 1 berarti semakin banyak air hujan yang menjadi air larian atau
menunjukkan kondisi DAS semakin terganggu (Asdak, 2007) dan (Arsyad, 2006).
Dari uraian-uraian tersebut di atas perlu diketahui serta dilakukan suatu penelitian
yang memfokuskan pada nilai Koefisien Limpasan Permukaan (C) dengan pendekatan SIG.
Penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan nilai Koefisien Limpasan Permukaan (C) pada
berbagai DAS di Kalimatan Timur, yang dapat digunakan untuk memprediksi terjadinya
banjir.Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memprediksi nilai Koefisien Limpasan
Permukaan (C) dengan menggunakan metode Cook pada 31 DAS di Kalimatan
Timur.Hasil yang diharapkan dari penelitian ini adalah:
1. Dihasilkan peta nilai Koefisien Limpasan Permukaan (C) pada 31 DAS di Kalimantan
Timur.
2. Dapat dijadikan bahan acuan khususnya Pemerintah Kalimatan Timur dan pihak-pihak
yang terkait untuk perencanaan pengembangan wilayah berdasarkan nilai Koefisien
Limpasan Permukaan (C) pada seluruh DAS di Kalimatan Timur.

METODE PENELITIAN

Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada 31 DAS di Kalimantan Timurmulai dari
pengambilan data, pengolahan data, penulisan hasil penelitian.

Bahan dan Alat


Beberapa bahan dan peralatan yang digunakan dalam penelitian meliputi:
1. Citra Landsat
2. Citra Radar (SRTM- shuttleRADAR Topografi Mission) tahun 2006
3. Peta Penutupan Lahan Provinsi Kalimantan Timur tahun 2004
4. Peta Sistem Lahan
5. Data Curah Hujan
6. Software ArcGIS 9.2
7. Software Global Mapper 10
8. Seperangkat Komputer dengan Spesifikasi:
Intel Pentium Core 2 Duo T6400 @2.00GHz
DDRII SDRAM 2048 MB.
VGA Card Intel 945 GMA 1024 MB (MemoryShare).
SATA Harddisk 320 GB 5400 RPM
Microsoft Windows XP Home EditionTM ServicePack 2

Prosedur Penelitian
Kegiatan penelitian ini dilaksanakan dengan tahapantahapan yang meliputi kegiatan
studi pustaka, pengumpulan data, analisis data, pemodelan, pembahasan dan penulisan.
Dalam proses perhitungan besarnya nilai Koefisien Limpasan Permukaan (C) digunakan
metodeCook.

759
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Prediksi Nilai Koefisien Limpasan Permukaan dilakukan dengan metode Cook


melalui analisis tumpang susun (overlay) dari beberapa karakter data spasial yang
dibutuhkan Untuk mempermudah dan mempercepat proses analisis tumpang susun
digunakan perangkat lunak Sistem Informasi Geografi (SIG). Hasil nilai C dikelompokkan
berdasarkan Daerah Aliran Sungai (DAS) yang ada di Kaltim untuk mengenali distribusinya
di setiap kelompok DAS. Terdapat 31 DAS utama di Kaltim yang dirinci distribusi spasial nilai
C-nya berikut luasan per masing-masing kelas dari rendah hingga sangat tinggi. Hasil
pengelompokkan terhadap nilai C dari metode Cook ditampilkan sebagai berikut:
Prediksi Koefisien Limpasan Permukaan (C) dengan metode Cook (Chow, V.T. 1964)
memerlukan 4 sumber data spasial yakni kelas kelerengan wilayah Provinsi Kaltim dengan
pembagian 0 - 5%, >5 - 10%, >10 - 30% dan >30%, data infiltrasi tanah, data spasial
penutupan lahan provinsi Kaltim dari hasil interpretasi Landsat tahun 2004 dan data
timbunan air permukaan. Timbunan air permukaan diperoleh dari informasi sistem lahan
provinsi Kaltim. Selanjutnya nilai C dikelompokkan ke dalam 4 kelas yakni rendah (0 -25%),
sedang (>25 - 50%), tinggi (>50 - 75%) dan sangat tinggi (>75 - 100%). Dengan analisis
spasial diperoleh luasan masing-masing kelas nilai C di Kaltim secara berturut-turut dari
rendah hingga sangat tinggi yakni 0 Ha, 5.920.619,9 Ha, 13.071.869,1 Ha dan 524.352,1 Ha.
Kelas sedang sebesar 30%, kelas tinggi 67% dan kelas sangat tinggi sebesar 3%.
Tabel 1.Menyajikan kelas koefisien limpasan permukaan berikut luasannya untuk
masing-masing DAS yang ada di Kaltim dengan metode Cook. Tidak ada satu DAS pun
yang memiliki kelas rendah (C) dibawah 25%, sedangkan sebanyak 12 DAS dominan
memiliki nilai C>25-50% atau kategori normal (sedang), 19 DAS yang dominan memiliki nilai
C >50-75% atau berkategori tinggi. Meskipun belum ada DAS yang dominan kelas sangat
tinggi namun perlu diwaspadai beberapa DAS yang memiliki luas kelas sangat tinggi cukup
besar seperti DAS Mahakam mencapai hampir 380 ribu hektar.

Tabel 1. Kelas Koefisien Limpasan Permukaan Metode Cook per DAS di Kaltim

Luas (Ha)
Sangat
No DAS
Rendah Normal Tinggi Tinggi Total
0-25% >25-50% >50-75% >75-100%
1 Adang Kuaro 0,00 94.248,72 10.237,74 0,00 104.486,46
2 Batakan 0,00 1.737,67 5.568,24 0,00 7.305,90
3 Bengalon 0,00 121.474,30 265.468,20 526,15 387.468,64
4 Berau 0,00 521.363,04 1.116.415,00 39.879,19 1.677.657,23
5 Bontang 0,00 4.063,99 5.491,73 0,00 9.555,72
6 Derawan 0,00 3.389,51 0,01 0,00 3.389,51
7 Dumaring 0,00 105.888,64 76.300,67 0,00 182.189,31

760
ILMU KEHUTANAN

Lanjutan Tabel 1.

8 Karangan 0,00 156.755,60 369.185,02 3.729,62 529.670,24


9 Kayan 0,00 470.199,96 3.180.737,77 54.866,25 3.705.803,98
10 Kendilo 0,00 247.249,67 194.488,96 5.245,90 446.984,53
Kerang
11 Segendang 0,00 187.388,59 42.226,46 1.509,96 231.125,02
12 Mahakam 0,00 2.479.242,54 4.811.198,35 379.344,57 7.669.785,46
13 Manggar 0,00 5.072,36 6.954,68 0,00 12.027,04
14 Manubar 0,00 186.185,68 189.539,32 0,00 375.725,00
15 P. Nunukan 0,00 10.582,11 12.904,18 14,00 23.500,29
16 P. Tarakan 0,00 14.795,24 10.486,32 0,00 25.281,55
17 Pemaluan 0,00 19.116,94 7.421,88 0,00 26.538,82
18 Riko 0,00 36.048,58 24.120,65 0,00 60.169,23
19 Samboja 0,00 24.800,19 46.743,52 0,00 71.543,71
20 Santan 0,00 66.414,33 126.326,66 377,36 193.118,35
21 Sebuku 0,00 240.435,22 240.448,20 0,00 480.883,42
22 Sembakung 0,00 204.679,81 383.488,88 9.734,55 597.903,24
23 Semoi 0,00 2.141,48 6.260,15 0,00 8.401,63
24 Sengata 0,00 123.422,65 139.031,80 67,41 262.521,85
25 Sepaku 0,00 17.987,02 5.932,02 0,00 23.919,04
26 Sesayap 0,00 206.190,79 1.411.640,46 27.775,33 1.645.606,58
27 Tabalar 0,00 79.221,14 146.337,39 19,80 225.578,33
28 Telake 0,00 203.609,57 188.892,52 1.262,06 393.764,14
29 Tengin 0,00 18.097,48 14.329,16 0,00 32.426,64
30 Tunan 0,00 64.655,17 13.741,21 0,00 78.396,38
31 Wain 0,00 4.161,93 19.951,98 0,00 24.113,91
Jumlah 0,00 5.920.619,92 13.071.869,11 524.352,13 19.516.841,15

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
1. Sebaran nilai C dengan metode Cook pada kelas rendah (0 - 25%) sebesar 0%, kelas
normal (>25 - 50%) sebesar 30,33%, kelas tinggi (>50 - 75%) sebesar 66,98%, kelas
sangat tinggi (>75 - 100%) sebesar 2,7%.
2. Nilai C dominan DAS di Kalimantan Timur dengan metode metode Cook terdapat pada
kelas tinggi (>50 - 75%) seluas 13.071.869,11 Ha atau 66,98%.

Saran
1. Pemprov. Kalimatan Timur dalam rangka pengelolaan DAS Kaltim termasuk di dalamnya
DAS Mahakam, agar lebih diperhatikan.
2. Hasil nilai C pada 31 DAS bisa digunakan sebagai salah satu bahan pertimbangan dalam
perhitungan prediksi banjir pada beberapa DAS di Kalimantan Timur.

761
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

DAFTAR PUSTAKA

Arsyad. 2006. Konservasi Tanah dan Air. Penerbit IPB Bogor.


Asdak, C. 2007. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gajah Mada Universisity
press. Yogyakarta.
Chow, V. T. 1964. Handbook of Applied Hydrology. A. Compedium of Water Resources.
McGraw Hill Book Company Inc, New York.
Hardwinarto,S. 2009. Kondisi Biofisik dan Hidroorologi serta Penanganan DAS-DAS di
Kalimantan Timur. Materi Lokakarya Upaya Penanganan Daerah Aliran Sungai (DAS)
Dalam Rangka Pengendalian Banjir di Kalimantan Timur. Samarinda. 13 h.
Maryono. 2005. Menangani Banjir, Kekeringan dan Lingkungan,Gadjah Mada University
Press, Yogyakarta.

762
ILMU KEHUTANAN

UPAYA PELESTARIAN MANGROVE MELALUI PEMBERDAYAAN


MASYARAKAT DENGAN BUDIDAYA KEPITING SOKA
(Scylla seratta) DI SEGARA ANAKAN, CILACAP, JAWA TENGAH

Sumarhani
Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi, Bogor
Jln Gunung Batu No. 5 P.O Box 165; Telp 0251-315222
Sumarhani26@yahoo.co.id

ABSTRAK

Penelitian budidaya kepiting soka dengan mengkombinasikan penyelamatan hutan


mangrove telah dilakukan dari bulan Agustus sampai September 2010 Penelitian bertujuan
untuk mendapatkan data dan informasi upaya pelestarian mangrove melalui sistem empang
parit dengan teknik budidaya kepiting soka atau kepiting cangkang lunak yang mempunyai
nilai ekonomi tinggi. Wawancara terstruktur dan pengamatan lapangan dilakukan untuk
mendapatkan data persepsi masyarakat lokal terhadap kawasan, pendapatan masyarakat
dari budidaya kepiting soka dan model hutan mangrove yang dikelola dan dikembangkan
oleh masyarakat lokal. Penelitian dilakukan di kawasan hutan Segara Anakan dengan desa
pangkuannya adalah Kelurahan Kutawaru, Kecamatan Cilacap Tengah, Kecamatan Cilacap.
Wawancara terstruktur dan pengamatan lapangan dilakukan untuk mengetahui populasi
mangrove, pendapatan masyarakat dari empang parit dan model hutan mangrove yang
dikelola dan dikembangkan oleh masyarakat lokal. Hasil penelitian menunjukkan responden
menganggap hutan mangrove sangat bermanfaat, terutama untuk fungsi produksi (80%
responden). Pengelolaan hutan mangrove dengan pola empang parit di kawasan Laguna
Segara Anakan dapat membantu melestarikan ekosistem hutan mangrove dengan jenis
tanaman meliputi: bakau-bakau (Rhizophora spp.), Api-api (Avicenia marina) dan secang
(Caesalpinea sapan) dengan populasi 750 pohon/ha di dalam kawasan. Budidaya kepiting
soka boleh dikatakan masih baru taraf uji coba dan belum banyak masyarakat
mengembangkan kepiting soka. Pendapatan petani dari hail usahatani empang parit berkisar
antara Rp 4.629.000,- sampai Rp 15.588.438,-/ha/tahun. Demikian halnya dengan program
PHBM juga baru tahap upaya rehabilitasi belum melakukan ketentuan yang seharusnya
ditetapi.

Kata kunci: pemberdayaan masyarakat, empang parit, budidaya kepiting Soka, hutan
mangrove

PENDAHULUAN

Segara Anakan merupakan sebuah laguna yang unik dengan ekosistem yang langka
terletak di pantai selatan Pulau Jawa. Sungai yang mengalir masuk ke laguna Segara
Anakan terdiri dari sungai Citanduy sebagai sungai terbesar dan menyumbang sekitar 80 %
debit air yang masuk ke laguna selain sungai Cibeureum, sungai Cikonde, sungai Kayu Mati
dan sungai Donan. Kearah Samudra Hindia terdapat Pulau Nusa Kambangan yang menjadi
penghalang atau pelindung kawasan perainan Laguna Segara Anakan. Letak geografis
Laguna Segara Anakan yang demikian menyebabkan kaya akan potensi, seperti : a) potensi
konservasi mangrove yang memiliki fungsi menjaga garis pantai, melindungi abrasi pantai
dan intrusi air laut, b) potensi perikanan sebagai tempat budidaya ikan, udang dan kepiting,
c) potensi transportasi laut dan sungai antar kecamatan dan pusat-pusat keramaian ditepi
Barat, Selatan dan Timur perairan Segara Anakan, d) potensi pelayaran terdapatnya
pelabuhan milik P.T. Semen Holcim dan Pertamina, e) potensi industri pertambangan pasir
besi dan batu kapur oleh P.T. Semen Holcim serta minyak dan gas oleh Pertamina, f)
potensi sebagai obyek penelitian dan g) potensi wisata bahari mengelilingi P.

763
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Nusakambangan dengan perahu atau kapal pesiar sebagai aset penting pemerintah daerah
Kabupaten Cilacap. Selain itu, Laguna Segara Anakan juga memiiliki potensi yang
menimbulkan dampak lingkungan, karena sebagai saluran pembuangan limbah dari instalasi
pengelolaan akhir imbah (IPAL) industri.
Keberadaan Laguna Segara Anakan yang masih dipengaruhi oleh pasang surut air
laut dari Samudra Hindia dan air tawar dari beberapa sungai besar, mengakibatkan daerah
ini tumbuh berbagai jenis mangrove yang membentuk kawasan hutan. Menurut Kantor
Pengelola Sumberdaya Kawasan Segara Anakan (2009), ekosistem hutan mangrove di
Segara Anakan merupakan kawasan hutan mangrove yang terluas di P. Jawa dengan
keanekaragaman jenis yang tinggi sekitar 26 jenis mangrove atau 29 % dari seluruh jenis
mangrove yang ada di Indonesia sebanyak 89 jenis.
Namun, keberadaan hutan magrove di perairan Segara Anakan mengalami tekanan
yang cukup berat akibat penebangan kayu, konversi menjadi lahan pertanian, pertambakan
dan pemukiman. Selain itu, adanya sedimentasi dari beberapa sungai besar dan kecil yang
bermuara di laguna sebagai dampak dari pemanfaatan hutan di wilayah hulu yang kurang
memperhatikan kaidah-kaidah konservasi menyebabkan terjadinya delta atau tanah
timbul. Kehadiran tanah timbul dari tahun ke tahun membentuk daratan dengan rumah-
rumah penduduk yang tadinya merupakan rumah panggung di atas air, secara alami berada
di daratan baru tanah timbul. Kondisi seperti ini, perubahan bentang lahan di sekitar Segara
Anakan berpengaruh terhadap keberadaan mangrove sebagai fungsi konservasi.
Kompleksitas permasalah yang terjadi di Laguna Segara Anakan telah menarik
perhatian pihak-pihak yang peduli terhadap masalah kelestarian lingkungan. Berbagai
institusi pemerintah dan swasta baik dari dalam maupun luar negeri telah melakukan banyak
studi dan kegiatan dalam menangani keberadaan perairan Laguna Segara Anakan yang
semakin berkurang luasnya belum juga memberikan hasil yang optimal. Selanjutnya, untuk
menjaga kesimbangan daya dukung perairan laguna yang berkelanjutan, segala bentuk
kegiatan pembangunan yang melintasi Daerah Aliran Sungai mulai dari hulu sampai hilir
tidak perlu merusak ekosistem pantai dan hutan mangrovenya, asalkan mengikuti penataan
yang rasional, yaitu dengan memperhatikan fungsi ekosistem pesisir dan laut.
Paradigma konsep pengelolaan hutan lestari yang pernah dilakukan yaitu hanya
memperhitungkan aspek biofisik dan ekonomi semata, kurang memperhitungkan nilai-nilai
kearifan lokal masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan, ternyata banyak
mengalami kendala dalam pelaksanaan. Bahknan degradasi hutan dan lahan terus
meningkat dari tahun ketahun, mengakibatkan kerusakan lingkungan juga semakin berat dan
kemiskinan bertambah. Mengingat pentingnya peran masyarakat dalam pengelolaan hutan,
maka melalui Program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM), masyarakat desa
sekitar Laguna Segara Anakan dilibatkan dalam pengembangan pola empang parit
(Silvofishery).
Menurut Inoue, et al. (1999), silvofishery merupakan bentuk terpadu antara kegiatan
budidaya tanaman mangrove dengan budidaya tambak dengan input rendah. Selanjutnya,
penerapan program empang parit diharapkan mampu mencegah meluasnya kerusakan
hutan, memperbaiki hutan yang telah rusak dan melestarikan hutan mangrove serta mampu
memberikan keuntungan ekonomi bagi petani tambak.
Tulisan ini memaparkan upaya pelestarian mangrove melalui sistem empang parit
dengan teknik budidaya kepiting soka atau kepiting cangkang lunak yang mempunyai nilai
ekonomi tinggi.

764
ILMU KEHUTANAN

METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian dilaksanakandi kawasan perairan Segara Anakan, Cilacap, yaitu di Desa
Kutawaru Kecamatan Cilacap Tengah, Kabupaten Cilacap, yang dimulai pada bulan Agustus
September 2010.

Teknik Pengumpulan dan Analisis Data


Data yangdikumpulkan berupa data primer yang dilakukan dengan wawancara
terstruktur dari 20 responden yang diambil secara purposive sampling terhadap petani yang
mengelola hutan mangrove dengan sistem empang parit. Observasi fisik lapangan dilakukan
sebagai cross check hasil wawancara dan untuk mengetahui kerapatan pohon dalam suatu
uni empang parit. Data sekunder dikumpulkan dari instansi-instansi terkait, seperti Perum
Pehutani, Kantor Pengelola Kawasan Segara Anakan dan dari kantor Desa.
Data yang dikumpulkan selanjutnya dianalisis secara diskriptif kuantitatif dan apakah
kerapatan mangrove yang ada sudah dalam katagori lestari atau masih perlu ditingkatkan.
Mengingat model silvofishery yang dikembangkan di lokasi Perum Perhutani menggunakan
proporsi: 80 % mangrove dan 20 % parit, jarak tanam mangrove 5 x 5 meter

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Ekosistem Hutan Mangrove


Ekosistem Hutan mangrove atau mangal yang sering disebut hutan mangrove
merupakan karakteristik yang unik dan spesifik. Hal tersebut dikarenakan ekosistem
mangrove diipengaruhi oleh lautan dan daratan, sehingga terjadi interaksi kompleks antara
sifat fisika dan biologi (Arief, 2003). Menurut Dahuri (2003), hutan mangrove merupakan
ekosistem perairan yang dangkal yang memiliki produktivitas tinggi, banyak dijumpai
diwilayah pesisir yang terlindung dari hempasan ombak, daerah yang landai, di estuari dan
lingkungan delta/muara sungai. Dimana mangrove sering membentuk unit-unit vegetasi
yang berbeda dengan daratan dan lautan. Lingkungan fisik yang dibutuhkan untuk
tumbuhnya hutan mangrove adalah gerakan air yang minimal (tenang), terjadinya endapan
atau sedimen partikel yang selanjutnya menjadi lumpur, bersifat an-oksik/tak beracun, tanah
dangkal dengan kadar oksigen yang rendah dan kadar garam yang tingi serta kandungan
organik tinggi (Nybakken, 1998). Lingkungan fisik lainnya yang mencirikan habitat penting
untuk mangrove adalah adanya air pasang surut.
Menurut Soerianegara dan Indrawan (1980), ciri-ciri hutan mangrove adalah : a) tidak
dipengaruhi oleh iklim, b) dipengaruhi oleh pasang surut air laut, c) tanah tergenang air laut,
d) pantai datar, d) hutan tidak mempunyai struktur tajuk, e) membentuk suatu pola zonasi
vegetasi dari laut ke pantai/hingga daratan yang sedikit berair payau. f) tumbuh di pantai
membentuk jalur, g) tinggi pohon mangrove dapat mencapai 30 meter, h) tumbuhan bawah
didominasi oleh Acrostichum ilicifolius, A.ebracteatus. dan lain-lain.
Pertumbuhan komunitas vegetasi mangrove secara umum mengikuti pola zonasi.
Pola zonasi berkaitan erat dengan faktor lingkungan seperti tipe tanah, keterbukaan
terhadap hempasan gelombang, salinitas dan pengaruh pasang surut (Dahuri, 2003).
Zonasi berdasarkan jenis vegetasi yang mendominasi dari laut menuju daratan adalah zona
Avicennia, zona Rhizophora dan zona Nipah. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa
ekosistem hutan mangrove hanya dapat tumbuh dan berkembang di habitat dengan
persyaratan tertentu. Persyaratan tumbuh mangrove yang demikian, dengan keunikan dan
kekhasan dari hutan mangrove dapat menjadi daya tarik ekoturisme.
Di kawasan hutan mangrove, banyak jenis hewan dan jasad renik yang hidupnya
berassosiasi dengan hutan mangrove. Diantara berbagai jenis hewan dan jasad renik, baik
yang terdapat pada lantai hutan maupun yang menempel pada tanaman sebagian dari luar
hidupnya membutuhkan lingkungan mangrove. Kawasan mangrove secara nyata menjadi

765
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

penyedia bahan makanan dan energi bagi kehidupan di pantai tropis, serupa dengan
phytoplankton dan berbagai jenis algae di laut.
Diperkirakan terdapat sekitar 89 spesies mangrove tumbuh di dunia, dan sebanyak
38 spesies diantaranya tumbuh di Indonesia. Jenis pohon mangrove yang umum dijumpai
tumbuh di wilayah pesisir Indonesia adalah api-api (Avicenia Sp), pedada (Sonneratia Sp),
bakau (Rhizophora Sp), tanjang (Bruguiera Sp), nyirih (Xylocarpus Sp.), tengar (Ceriops
Sp.), buta-buta (Exoecaria Sp), nipah (Nypa Sp.) (Supriharyono, 2000).
Spesies mangrove penyususn kawasan hutan mangrove di Segara Anakan terdiri dar
26 spesies dengan tingkat keanekaragaman yang tinggi (KPSKSA, 2009). Selanjutnya,
dominasi masing-masing spesies sangat tergantung pada kondisi perairan dan substrat yang
berbeda dimasing-masing lokasi. Sebagai contoh jenis mangrove di perairan Segara
Anakan, yaitu di desa Ujung gagak jenis bakaunya adalah kacangan (Rhizophora apiculata),
bandul (R. mucronata) dan api-api (Avicenia spp). Adapun jenis mangrove yang ada di lokasi
penelitian yaitu di desa Kutawaru adalah api-api, bakau dan tancang (Bruguiera
gymnorrhiza) dengan populasi 750 pohon/ha .

Fungsi dan Manfaat Ekosistem Hutan Mangrove.


Hutan mangrove merupakan ekosistem utama pendukung kehidupan yang penting
di wilayah pesisir dan lautan. Besarnya peranan ekosistem hutan mangrove bagi kehidupan
dapat diketahui dari banyaknya jenis hewan, baik yang ada di perairan, lantai hutan, maupun
tajuk pohon dan banyaknya manusia yang hidupnya bergantung pada hutan mangrove.
Hutan mangrove mempunyai banyak fungsi, dimana fungsi ekologi dan ekonomi mempunyai
peran yang cukup tinggi bagi kelangsungan hidup seluruh mahluk hidup di alam. Fungsi
ekologi merupakan gabungan dari fungsi fisik, kimia dan biologis dari ekosistem mangrove.
Sebagai fungsi fisik, ekosistem mangrove dapat menjaga garis pantai agar tetap stabil,
memecah gelombang, meredam gelombang tsunami, melindungi pantai dan tebing sungai
dari proses abrasi dan intrusi air laut ke daratan. Secara kimia, ekosistem mangrove dapat
berfungsi sebagai tempat proses daur ulang untuk menghasilkan oksigen dan menyerap
karbondioksida dalam proses fotosintesa. Demikian halnya dalam perubahan iklim global,
hutan mangrove mampu menyimpan karbon (C), menyerap karbon dioksida (CO2) sehingga
sangat berperan dalam mitigasi perubahan iklim.
Mustari (2005), mangrove jenis api-api (Avicennia marina) memiliki kemampuan
akumulasi logam berat yang tinggi. Jenis mangrove Avicennia spp. umumnya terletak paling
ujung luar dalam assosiasi mangrove, memiliki sistem penanggulangan materi toksin,
diantaranya dengan melemahkan efek racun melalui pengenceran yaitu menyimpan banyak
air untuk mengencerkan konsentrasi logam berat dalam jaringan tubuh tanaman, sehingga
mengurangi toksinitas logam tersebut. Jenis ini dapat dikembangkan sebagai benteng
pengendalian logam berat di wilayah pesisir.
Sebagai fungsi biologis, mangrove sebagai habitat satwa liar (primata, reptilia,
amphibia dan burung), tempat pengasuhan (nursery ground), berlindung, mencari makan
(feeding ground), dan berpijah (spawning ground) dari jenis ikan, udang dan kepiting serta
sebagai sumber plasma nutfah. Mangrove mengangkut nutrient dan deritus ke perairan
pantai, sehingga produksi primer perairan di sekitar mangrove cukup tinggi dan penting bagi
kesuburan perairan. Sedikitnya tercatat lebih dari 7 ton/ha/tahun serasah diproduksi oleh
ekosistem mangrove di pesisir Surabaya (Mustari, 2005). Hal inilah yang membuat
kawasan mangrove sering dikunjungi oleh beragam satwa liar dan burung air untuk
mendapat nutrisi dan garam mineral.
Hutan mangrove selain memiliki fungsi dan manfaat ekologis juga memiliki fungsi dan
manfaat ekonomis yang cukup tinggi, seperti:
1. Penghasil kayu bakar dan arang kayu
Kayu mangrove jenis Rhizophora apiculata, Rhizophora mucronata dan
Bruguiragymnorrhiza memiliki kualitas kayu bakar yang sangat baik (Inoue et al.,
1999). Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan oleh Ditjen Pembangunan Daerah,
Depdagri bekerjasama dengan Fahutan IPB tahun 2000, dapat diketahui bahwa kayu
bakar yang berasal dari Segara Anakan memiliki nilai netto sebesar Rp 4.988.051,-

766
ILMU KEHUTANAN

/tahun. Adapun arang kayu yang berasal dari hutan mangrove di eksport ke Jepang
dan Taiwan, pada tahun 1993 sebanyak 83.000.000 kg dengan harga 13.000.000,-.
2. Penghasil bahan baku kayu bangunan.
Kayu mangrove dari jenis Rhizophora apiculata, Rhizophora mucronata dan
Bruguiragymnorrhiza memiliki batang yang lurus dan tahan lama sehingga banyak
disenangi untuk tiang/kaso (Inoue et al., 1999). Menurut laporan Ditjen Pembangunan
Daerah, Depdagri bekerjasama dengan Fahutan IPB tahun 2000, menyebutkan bahwa
nilai ekonomi netto kayu bangunan asal Segara Anakan sebesar Rp 13.939.730 ,-
/tahun.
3. Penghasil Chip
Chip mangrove mempunyai daya saing yang lebih tinggi karena harganya lebih murah
dibanding dengan chip yang berasal dari kayu jenis lain seperti Accacia mangium
(Inoue et al., 1999).
4. Penghasil Tanin
Tanin merupakan ekstrak dari kulit kayu jenis tertentu yang digunakan untuk
menyamak kulit, seperti sepatu, tas dan sebagainya. Jenis vegetasi mangrove yang
baik menghasilkan tanin adalah Rhizophora apiculata, Rhizophora mucronata, Ceriops
tagal dan Xylocarpus granatum (Inoue et al., 1999).
5. Penghasil Nipah
Nypah (Nypa fruticans), daunnya dapat dimanfaatkan sebagai atap dan niranya dapat
dimanfaatkan sebagai gula serta bahan minuman. Ditjen Pembangunan Daerah,
Depdagri bekerjasama dengan Fahutan IPB tahun 2000, menyebutkan bahwa
kawasan Segara Anakan, Cilacap, memiliki nilai ekonomi netto dari nipah sebesar
Rp5.140.800,-/tahun dan nilai ekonomi dari gula nira sebesar Rp 88.400/tahun.
6. Sumber pakan ternak
Daun Rhizophora apiculata, Rhizophora mucronata sangat disenangi oleh
kambing.Pemanfaatan daun mangrove untuk pakan ternak dikawasan segara anakan
memiliki nila ekonomi netto sebesar Rp 936.128,-/tahun.
7. Sebagai pembuatan tambak
Kawasan hutan mangrove di wilayah Perum Perhutani dikelola bersama masyarakat
dengan menggunakan pola empang parit (Silvofishery), yaitu kombinasi hutan (80 %)
dengan parit (20 %). Berbeda dengan hutan mangrove milik petani, hampir
kebanyakan petani menanam mangrove ditepi-tepi tambak dengan jarak tanam 5 - 7
meter.Jenis ikan yang dibudidayakan adalah ikan bandeng, mujaer nila dan udang.
Ditjen Pembangunan Daerah, Depdagri bekerjasama dengan Fahutan IPB tahun 2000,
menyebutkan bahwa kawasan Segara Anakan, Cilacap, memiliki nilai ekonomi netto
dari nipah sebesar Rp 259.216.104,-/tahun.

Kondisi Mangrove di Indonesia Saat ini dan Upaya Pelestariannya


Data Dirjen Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial (1999), luas hutan mangrove
di Indonesia sekitar 8,6 juta ha yang terdiri atas 3,8 juta ha di dalam kawasan dan 4,8 juta ha
di luar kawasan. Hampir seluruh kawasan hutan mangrove di Indonesia mengalami rusak
parah yaitu 1,7 juta ha ( 44,73 %) di dalam kawasan dan 4,2 juta ha ( 87,50 %) berada di
luar kawasan. Menurut Mangrove Invormation Centre (MIC), luas hutan mangrove di
Indonesia tersisa hanya 4,5 juta ha (Subadra, 2007 dalam Sri Suharti, 2010).
Berkaitan dengan manfaat ekonomi dari hutan mangrove, seringkali terjadi kegiatan
pemanfaatan sumberdaya hayati melebihi daya dukung kawasan sehingga menyebabkan
terjadinya kerusakan ekosistem mangrove. Ekosistem mangrove yang rusak dapat
dipulihkan dengan cara restorasi/rehabilitasi. Restorasi dipahami sebagai usaha
mengembalikan kondisi lingkungan seperti semula atau mendekati kondisi awal. Campur
tangan manusia diusahakan sekecil mungkin terutama dalam memaksakan keinginan untuk
menumbuhkan jenis mangrove tertentu. Dalam budidaya perikanan misalnya, harus
diterapkan teknik budidaya yang ramah mangrove, artinya dalam satu hamparan tambak
harus ada hamparan mangrove yang berfungsi sebagai biofilter dan tandon air sebelum air
masuk ke petakan tambak. Upaya penghutanan kembali tepi perairan pantai dan sungai

767
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

dengan tanaman mangrove perlu dilakukan dengan melibatkan partisipasi masyarakat.


Seperti upaya restorasi/rehabilitasi ekosistem mangrove di pesisir Pekalongan, Jawa
Tengah, dilakukan bersama masyarakat dan difokuskan pada areal pertambakan. Kegiatan
restorasi/rehabilitasi, selain untuk meningkatkan konservasi lingkungan pesisir kota
Pekalongan juga untuk meningkatkan produktifitas lahan tambak yang saat ini kurang
produktif. Selanjutnya untuk menjaga kesimbangan antara aspek ekologi dan ekonomi maka
disain pertambakan yang dipilih adalah sistem empang parit (silvofishery) dan komplangan.
Meningkatkan produktivitas mangrove tanpa merusak ekosistem hutannya juga telah
dilakukan oleh masyarakat di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Sistem pertambakan di
kawasan hutan mangrove yang dikembangkan masyarakat Sidoarjo adalah sistem tambak
tradisional atau disebut pola komplangan. Sistem tambak tradisional adalah pengelolaan
tambak yang dilakukan secara tradisional, diantaranya : a) bentuk tambaknya tidak
mengalami perubahan atau modivikasi, b) bahan makanan ikan didapat disekitar empang
yaitu berasal dari daun-daun mangrove yang telah membusuk, ganggang hijau yang telah
didekomposisi, detritus dan plankton atau biota air didapat dari tambak, c) daun-daun
mangrove diperlukan untuk menjaga kestabilan suhu dan kelembaban ikan-ikan yang baru
ditebar (umur 2 minggu), d) probiotik yang didapat dari alam digunakan sebagai bahan
pemeliharaan ikan.

Pemberdayaan Masyarakat Melalui Teknik Budidaya Kepiting Soka


Sesungguhnya pemberdayaan masyarakat di dalam dan sekitar hutan bukan
merupakan suatu hal yang baru. Kementrian Kehutanan dan berbagai lembaga serta elemen
masyarakat lainnya telah banyak melakukan kegiatan yang berkaitan dengan pemberdayaan
masyarakat di dalam dan sekitar hutan. Meskipun kegiatan pemberdayaan masyarakat yang
dilakukan selama ini tidak semuanya menuai sukses, namun juga tidak sedikit manfaat yang
telah dapat dirasakan oleh masyarakat di dalam dan sekitar hutan. Disadari bahwa
kelemahan kegiatan pemberdayaan masyarakat selama ini adalah sangat kurangnya
koordinasi antar instansi dan pelaku pemberdayaan masyarakat sehingga tidak ada
sinergitas, kurang terarah, dan bahkan sering terjadi tumpang tindih kegiatan. Oleh karena
itu, agar kegiatan pemberdayaan dapat lebih terarah diperlukan suatu koordinasistakeholder
terkait.
MacKinnon, dkk (1993), mengungkapkan bahwa keberhasilan pengelolaan kawasan
yang dilindungi sangat tergantung pada tingkat dukungan dan penghargaan masyarakat
sekitar yang diberikan pada kawasan tersebut, jika kawasan yang dilindungi dianggap
sebagai penghalang maka penduduk setempat dapat menggagalkan upaya pelestarian,
sementara bila pelestarian dianggap sebagai suatu yang positif manfaatnya, maka penduduk
setempat sendiri yang akan bekerjasama dengan pengelola dalam melindungi kawasan dari
pengembangan yang membahayakan. Dengan demikian diperlukan pendekatan yang khas
pada masing-masing kawasan yang dilindungi dalam menjalin hubungan partisipatif sebagai
bentuk pemberdayaan masyarakat sekitar dengan memperhatikan pola pemanfaatan
sumberdaya tertentu.
Berkaitan dengan pemberdayaan masyarakat melalui usaha budidaya perikanan di
kawasan Segara Anakan, terdapat permasalahan yaitu kadar salinitas yang sulit terkontrol
suatu waktu terlalu tinggi dan terlalu rendah, maka pihak Kantor Pengelolaan Kawasan
Segara Anakan (KPKSA) sebagai kepanjangan tangan dari Pemerintah Kabupaten Cilacap
mencoba mengenalkan alternatif usaha perikanan budidaya kepiting Soka yang
dikembangkan dengan sistem empang parit (Silvofishery) selain budidaya ikan dan kepiting
yang umum dilakukan.dengan tujuan penyelamatan hutan mangrove dengan peningkatan
ekonomi masyarakat.
Kepiting soka atau disebut kepiting lemburi, sebenarnya bukan kepiting baru,
melainkan hasil rekayasa pembudidayaan kepiting bakau untuk menghasilkan kepiting
dengan cangkang/kerapas yang lunak (soft shell). Kepiting soka dipanen saat ganti kulit
(moulting) sehingga dapat dikonsumsi secara utuh. Budidaya kepiting bakau masih jarang
dilakukan masyarakat karena disamping benih yang masih mengandalkan tangkapan dari
alam, pembesaran atau penggemukan kepiting di tambak sering membuat kebocoran pada

768
ILMU KEHUTANAN

pematang tambak sehingga kepiting bakau hanya dianggap sebagai hama bagi petambak.
Tetapi setelah kepiting mempunyai nilai ekonomis yang cukup tinggi dan mempunyai pasar
yang cerah baik di dalam maupun di luar negeri maka keberadaannya banyak diburu dan
ditangkap petambak sebagai penghasilan tambahan.
Berbagai jenis krustasea dengan berbagai spesies yang hidup di hutan mangrove
dan mempunyai nilai ekonomi tinggi, diantaranya kepiting bakau dari famili Portunidae yaitu
Scylla serrata, S. oceanica, dan S. Transquebarica. Kepiting bakau (Scylla serrata) atau
red/orange mud carb yang disebut juga kepiting lemburi memiliki rasa daging yang lezat dan
kandungan gizi yang tinggi. Kepiting soka (Soft shell crab) merupakan kepiting bakau yang
karena rekayasa budidaya menghasilkan kepiting yang cangkangnya lunak. Kepiting soka
sangat digemari oleh pecinta kuliner sea food, karena selain tidak repot memakannya karena
kulitnya tidak perlu disisihkan, nilai nutrisinya juga lebih tinggi, terutama kandungan chitosan
dan karotenoid yang biasanya banyak terdapat pada kulit kepiting berfungsi menyerap lemak
dan kolesterol, selain racun-racun lain , semuanya dapat dimakan.
Dalam mengembangkan budidaya kepiting bakau, beberapa hal yang perlu
diperhatikan yaitu :
1. Persiapan tambak dan keramba
Penentuan lokasi atau tempat sangat membantu dalam keberhasilan budidaya kepiting
soka. Tambak yang sudah terbentuk dilakukan pengeringan dengan tujuan untuk
mendapatkan proses oksidasi gas-gas beracun dari dalam tanah. Sekitar satu minggu
tekstur tanah akan retak-retak mencirikan bahwa proses oksidasi berjalan sempurna.
Selanjutnya dilakukan pemberian kapur pertanian (CaCO3) dengan dosis 100 kg/ha
dengan maksud untuk meningkatkan pH tanah dan membunuh organisme pengganggu
yang dapat menghambat perkembangan kepiting. Selang 2-4 hari kemudian pengisian
air sekitar 1 meter. Teknik budidaya kepiting soka menggunakan sistem keramba apung
atau keranjang apung yang dibuat kotak-kotak kecil untuk menaruh bibit kepiting dan
setiap kotak berisi satu bibit kepiting soka. Keramba di buat dari kotak plastik yang
belubang dan dilengkapi dengan tutup (panjang 30 cm x lebar 20 cm x tinggi 20 cm).
Masing-masing keramba diapungkan pada rakit bambu (1x1 m) memanjang sesuai
dengan ukuran tambak. Terdapat 2 4 rakit bambu yang letaknya sejajar. Balitbang
Provinsi Jateng (2004), melaporkan penggunaan rakit dua baris untuk keramba apung
kepiting soka memberikan pertumbuhan kepiting soka yang lebih baik dibanding dengan
yang tiga dan empat baris. Hal ini dikarena banyaknya kotoran yang menumpuk di sela-
sela kotak keramba yang lambat laun mengakibatkan turunnya kualitas air terutama
oksigen terlarut dalam air. Gunarto dan Rusdi (1993), faktor lingkungan seperti perairan,
salinitas, oksigen, suhu dan pH, NO2, NO3, NH4 dan kecerahan sangat berpengaruh
terhadap pertumbuhan kepiting bakau. Selain itu, kondisi lingkungan yang kurang baik
menyebabkan terganggunya proses aktivitas moulting, dengan kata lain pebedaan
jumlah rakit mengakibatkan perbedaan jumlah moulting kepiting bakau.

2. Persiapan bibit
Setelah tambak dan karamba dipersiapkan sebagai tempat pemeliharaan kepiting
sudah siap maka selanjutnya adalah mempersiapkan bibit kepiting yang akan
dibudidayakan. Ukuran bibit kepiting yang kita pilih tergantung dari kebutuhan dan
keinginan kita dengan memperhatikan. Bibit kepiting bakau yang digunakan mempunyai
kriteria, bibit tidak lembek dengan ukuran berat 30-50 gram/ekor. Ciri benih yang baik,
mempunyai anggota tubuhnya lengkap dan menunjukkan tingkah laku yang menghidar
atau melawan bila akan dipegang serta warna cerah hijau kecoklaan atau . Bibit
kepiting yang akan di dilepas keramba terlebih dahulu dilakukan adaptasi dengan
kondisi air dimana kepiting akan dipelihara. Selanjutnya dilakukan pengguntingan
terhadap dua capit utama dan seluruh kaki kecil bagian kiri dan kanan serta satu kaki
pendayung bagian belakang kiri atau kanan, sehingga tinggal satu kaki pendayung
bagian kiri atau kanan. Pengguntingan bagian anggota kepiting tersebut harus
dilakukan secara hati-hati, dan apabila salah mengguntingnya akan menimbulkan
pendarahan pada kepiting, selanjutnya berpengaruh terhadap kematian bibit.

769
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

3. Penempatan bibit kepiting soka dalam keramba


Penempatan bibit kepiting dalam keramba dilakukan dengan mudah, dimana satu
keramba berisi satu bibit. Sangat dianjurkan berhati tidak dengan hentakan agar tidak
menambah stress terhadap bibit yang baru mengalami pemotongan organ tubuh.

4. Pemeliharaan bibit kepiting soka


Pemeliharaan kepiting soka cukup berbeda dengan pemeliharaan kepiting pembesaran,
walaupun sama-sama bibit berasal dari kepiting bakau. Pemeliharaan bibit kepiting
soka, meliputi pemberian makan, menjaga pasang surut air (salinitas), menjaga
kelembaban/naungan, perlindungan terhadap hama dan penyakit. Pemberian makan,
terdapat beberapa hal yang perlu diperhatiakan adalah jenis pakan, dosis dan saat
pemberian pakan. Jenis pakan untuk budidaya kepiting soka adalah pakan alami seperti
bentos dan cacing, untuk pakan buatan dapat diberikan ikan rucah dan pelet. Herlinah
dkk, (2010), pemberian pakan berupa ikan rucah atau campuran ikan rucah dengan
pelet memberikan pertumbuhan bobot lebih baik dibanding dengan pelet saja. Tim
Peneliti Balitbang Provinsi Jateng (2004), pemberian pakan dapat dilakukan setiap hari
atau dua hari sekali sebanyak 5 10 % dari berat badan kepiting. Di Desa Lempong
Pucung, Kecamatan kampung Laut, Cilacap, pemberian makan kepiting soka dilakukan
dua kali sehari dengan ikan rucah yang dibeli dengan harga Rp 1.500,-/kg.
Pemeliharaan kepiting bakau yaitu pengontrolan kualitas air sangat diperlukan.
Pergantian air dilakukan secar bertahap pada pagi dan sore hari karena proses
pergantian menunggu air laut pasang

5. Pemanenan dan pasca panen


Panen dilakukan secara bertahap pada umur 15 -20 hari dan kepiting sudah mengalami
moulting. Kepiting yang sudah dipanen harus segera diambil dan direndam di air tawar
selama 25 menit, hal ini untuk menghindari kepiting akan keras kembali. Setelah itu,
kepiting diikat dan disimpan dalam tempat yang diberi handuk basah, kemudian di
atasnya ditutup dengan handuk basah lagi. Selanjutnya kepiting hasil panen segera di
simpan di dalam cold storage atau dimasukkan ke dalam ember yang telah diisi air
tawar selam 25 30 menit supaya kepiting tidak kembali keras. Produksi kepiting soka
di Kabupaten Pemalang selama 2 tahun berturut-turut tahun 2004 produksi 79,155 kg
dengan nilai produksi produksi sebesar Rp. 4.909.973,00 dan tahun 2005 produksi
183,695 kg dengan nilai produksi Rp. 5.434.218,00 hingga sekarang kepiting diproduksi
oleh petani melalui pengelolaan tambak.

PENUTUP

Hutan mangrove di sekitar perairan Segara Anakan, merupakan hutan mangrove


yang cukup luas akan tetapi harus mengalami tekanan akibat penebangan kayu dan untuk
keperluan ekonomis dan konversi menjadi lahan pertanian, pertambakan maupun
pemukiman. Pengelolaan hutan mangrove dengan pola empang parit di kawasan Laguna
Segara Anakan dapat membantu melestarikan ekosistem hutan mangrove dengan jenis
tanaman meliputi: bakau-bakau (Rhizophora spp.), Api-api (Avicenia marina) dan secang
(Caesalpinea sapan) dengan populasi 750 pohon/ha di dalam kawasan.Di sisi lain teknik
budidaya kepiting soka yang masih merupakan uji coba juga diharapkan dapat menambah
pendapatan petani tambak dengan menjaga kelestarian hutan mangrove. Pendapatan
petani dari hail usahatani empang parit berkisar antara Rp 4.629.000,- sampai Rp
15.588.438,-/ha/tahun. Demikian halnya dengan program PHBM juga baru tahap upaya
rehabilitasi belum melakukan ketentuan yang seharusnya dilakukan.

770
ILMU KEHUTANAN

DAFTAR PUSTAKA

Balitbang Provinsi Jateng. 2004. Pembuatan Demplot Budidaya Kepiting Soft Shell Sebagai
Upaya Pemberdayaan Masyarakat Pesisir. Badan Litbang Provinsi Jateng.
Damhuri, R.J., Rais, S. P. Ginting dan M.J. Sitepu. 1996. Pengelolaan Sumberdaya
Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. P.T. Pradnya Paramita. Jakarta.
Dahuri, R. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut Aset Pembangunan Berkelanjutan
Indonesia. Gramedia. Jakarta.
Inoue, Y., O. Hadiyanti, H. M. A. Affendi, K. R. Sudarma dan I. N. Budiana. 1999. Model
Pengelolaan Hutan Mangrove Lestari: Hasil Studi Kelayakan di Republik Indonesia.
Departemen Kehutanan dan Perkebunan bekerjasama dengan Japan International
Cooperation Agency. Bali
Gunarto dan Rusdi,I. 1993. Budidaya Kepiting Bakau, Scylla serrata di Tambak Pada Padat
Penebaran Berbeda. Journal Penelitian. Budidaya Pantai 9 (3): 7-12. Balai Riset
Perikanan Budidaya Air Payau. Maros, Sulawesi Selatan.
Herlinah, Sulaeman dan Andi T. 2010. Pembesaran Kepiting Bakau (Scylla serrata) Di
Tambak Dengan Pemberian Pakan Berbeda. Prosiding Forum Inovasi Teknologi
Akuakultur. Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar. Maros, Sulawesi Selatan
Kantor Pengelola Sumberdaya Kawasan Segara Anakan. 2009. Data dan Informasi Segara
Anakan, Laguna Unik di Pantai Selatan Jawa. Cilacap. Jawa Tengah.
Mustari Tepu. 2005. Fungsi dan Manfaat Hutan Mangrove. Buletin Konservasi Alam.
Direktur Jenderal Pengusahaan Hutan dan Konservasi Alam. Jakarta
Nybakken, J. W. 1992. Biologi Laut: Suatu Pendekatan Ekologis. P.T. Gramedia,Jakarta.
Soerianegara I. dan A. Indrawan 1980. Ekologi Hutan. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.
Supriharyono. 2002. Pelestarian dan Pengelolaan Sumberdaya Alam di Wilayah Pesisir
Tropis. Gramedia.Jakarta

771
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

ANALISIS DISKURSUS KEBIJAKAN PERHUTANAN SOSIAL


DI INDONESIA

Tuti Herawati
Pusat Litbang Produktivitas Hutan Badan Litbang Kehutanan
Jalan Gunung Batu No.5 Bogor, PO BOX 331 Fax/Phone +62 251 7520007
e_mail : tuti_hera_wati@yahoo.com

ABSTRAK

Paper ini menguraikan hasil kajian tentang proses perumusan kebijakan perhutanan
sosial melalui metode desk-analisis atas diskursus kebijakan. Perhutanan sosial merupakan
strategi pembangunan kehutanan untuk mewujudkan visi hutan lestari-masyarakat sejahtera.
Undang-undang Kehutanan 41 Tahun 1999 sebagai rujukan utama dalam melakukan
program pembangunan kehutanan telah memuat aturan terkait kebijakan perhutanan sosial.
Praktek perhutanan sosial pada dasarnya telah ditetapkan jauh sebelum Undang-undang 41
ditetapkan, namun demikian pengelolaan hutan di Indonesia masih menghadapi
permasalahan terkait marginalisasi masyarakat sekitar hutan. Untuk itu diperlukan kajian
untuk menggali latar belakang dirumuskannya sebuah kebijakan. Analisis diskursus
merupakan metode yang digunakan untuk menguraikan para aktor yang terlibat, jejaring
antar aktor yang terbentuk, serta ide atau gagasan yang diakomodir atau bahkan diabaikan
selama proses perjalanan perumusan kebijakan. Hasil kajian menunjukkan bahwa Undang-
undang Kehutanan 41 lahir dari hasil perdebatan diantara para pihak yang berbeda
kepentingan. Kelompok penggiat lingkungan yang tergabung dalam forum NGO telah
memberikan sejumlah gagasan untuk memberikan ruang gerak yang lebih lebar bagi
masyarakat sekitar hutan. Namun gagasan tersebut tidak mendapat tempat yang memadai
dalam UU yang akhirnya disahkan. Dengan demikian kebijakan perhutanan sosial yang
digariskan dalam Undang-undang Kehutanan masih mengandung kelemahan dalam hal
belum menjamin hak dan keadilan atas keuntungan, serta bentuk pembagian kekuasaan
antara pemerintah pusat dengan masyarakat lokal dalam mengelola hutan. Oleh karenanya
terbuka ruang kebijakan untuk melakukan manufer atas kepastian hak masyarakat serta
mekanisme yang sesuai untuk mencapai tujuan perhutanan sosial.

Kata kunci : perhutanan sosial, kebijakan, analisis, diskursus, kepentingan

PENDAHULUAN

Perhutanan Sosial atau Social Forestry (SF) merupakan sebuah sistem pengelolaan
hutan dimana masyarakat merupakan pelaku utama dan atau mitra. Social Forestry telah
digunakan sebagai bahasa yang umum dipakai, dan memiliki makna yang sama dengan
perhutanan sosial. Istilah ini merujuk pada berbagai bentuk kegiatan perhutanan sosial yang
selama ini telah banyak dilakukan seperti HKm, PHBM, dan lain sebagainya. Tujuan dari SF
adalah terwujudnya pengelolaan hutan lestari dan meningkatnya kesejahteraan masyarakat.
Social Forestry di Indonesia dicanangkan sebagai program nasional pada tanggal 2
Juli 2003. Kebijakan ini berawal dari arahan Presiden Megawati yang menyatakan bahwa
hutan di Indonesia harus diberi waktu untuk bernapas. Departemen Kehutanan kemudian
menerjemahkan arahan tersebut dengan merumuskan lima kebijakan prioritas, sebagai
upaya menata kembali pembangunan kehutanan dan menghentikan laju kerusakan hutan.
Social Forestry dicanangkan sebagai jiwa atau pilar penyangga lima kebijakan prioritas
tersebut (Rusli,Y, 2003).
Selama tiga dasawarsa sebelumnya, hutan Indonesia mendapat beban berat sebagai
roda penggerak perekonomian bangsa karena diandalkan sebagai sumber penghasil devisa.

772
ILMU KEHUTANAN

Di Pulau Jawa terdapat dua juta hektar hutan yang dikelola Perum Perhutani; di luar Pulau
Jawa pengelolaan hutan diserahkan kepada pihak swasta dengan ijin konsesi. Negara
merupakan penentu bentuk pengelolaan hutan, karena status kawasan hutan di Indonesia
sebagian besar hutan negara.
Pemberian ijin konsesi HPH dinilai sebagai tindakan yang pro pengusaha tanpa
memperdulikan keberadaan masyarakat yang selama ini hidup di dalam maupun sekitar
kawasan hutan. Keuntungan dari sumberdaya hutan sebagian besar dirasakan oleh para
pengusaha HPH. Sementara itu, masyarakat yang hidupnya bergantung pada hutan
menjadi terpinggirkan. Hutan merupakan sumber penghidupan, penyedia bahan pangan,
bahan bangunan, kayu bakar, sumber penghasilan, dan kehidupan spiritual. World
Research Institute (1995) menyatakan bahwa jumlah masyarakat yang kehidupannya
tergantung pada sumber daya hutan sekitar 60 juta orang atau sekitar 30% dari total
penduduk Indonesia.
Selain telah memarginalkan hak-hak masyarakat lokal, pengelolaan hutan juga
dilakukan dengan kinerja yang kurang baik. Hal ini diindikasikan dari degradasi hutan di
Indonesia yang termasuk sangat menonjol diantara negara-negara Asia Pasific. Tahun 1950-
an luas hutan di Indonesia mencapai 84% dari total luas daratan, tahun 1989 luas hutan
telah menurun menjadi 60%. Laju deforestrasi diyakini mencapai angka 1,3 juta hektar atau
1% per tahun (Lynch & Talbot, 1995). Data Kementerian Kehutanan menunjukkan bahwa
luas hutan di Indonesia saat ini 120 juta ha dan laju kerusakan hutan mencapai angka 1,6
juta ha/tahun.
Paper ini bertujuan untuk menguraikan hasil kajian tentang proses perumusan
kebijakan perhutanan sosial di Indonesia meliputi sejarah perkembangannya sejak pertama
kali digagas hingga perkembangan terkini.

BAHAN DAN METODE

Kajian terhadap proses perumusan kebijakan perhutanan sosial dilakukan melalui


studi pustaka (literatur review). Bahan pustaka yang dirujuk adalah peraturan perundangan
terkait kehutanan dan pustaka-pustaka yang membahas program perhutanan sosial serta
metode analisis diskursus kebijakan yang dikembangkan oleh Institute of Development
Studies (2006).
Menurut IDS (2006) perumusan kebijakan merupakan suatu proses yang kompleks
dengan karakteristik sebagai berikut : 1) bertahap, pembuatan kebijakan merupakan proses
yang berulang, berdasarkan pengalaman, dan belajar dari kesalahan sebelumnya; dan 2)
diwarnai oleh berbagai kepentingan; ada pihak yang diakomodir ada juga yang diabaikan. 3)
tidak hanya mempertimbangkan hal teknis, nilai dan fakta sangat berperan penting; 4) para
ahi teknis dan pembuat kebijakan secara bersama-sama terlibat dalam proses membangun
kebijakan
Berdasarkan karakteristik tersebut, IDS (2006) membangun sebuah kerangka
sederhana yang menghubungkan tiga bagian penting dalam proses pembuatan kebijakan,
yaitu: diskursus narasi, aktor, dan kepentingan/interest sebagaimana diilustrasikan pada
skema di Gambar 1.

773
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Diskursus

Kepenting Aktor
an

Gambar 1. Skema analisis diskursus perumusan kebijakan

Pengetahuan dan diskursus, menjelaskan apa yang menjadi policy naratif (perjalanan
perubahan kebijakan secara keseluruhan dari awal hingga akhir. Aktor dan jejaring kerja,
menjelaskan siapa yang terlibat dan bagaimana mereka terhubung. Sedangkan Politik dan
interest, menjelaskan apa yang menjadi dinamika kekuatan dalam pengambilan keputusan.
Sutton (1999) mendefinisikan narasi sebagai cerita yang menjelaskan sebuah
kejadian tertentu sehingga memiliki kaitan dengan pengetahuan dan kearifan yang telah
dianut dalam pembangunan. Sebuah narasi yang terkenal adalah tragedy of the common
(Hardin 1968) yang menceritakan serangkaian kejadian over-eksploitasi pada sebuah
padang rumput milik bersama. Narasi kebijakan ditujukan untuk mengurutkan suatu
interaksi dan proses kompleks yang dicirikan dalam situasi pembangunan. Narasi berfungsi
untuk menyederhanakan situasi, memperjelas masalah dan menghindarkan kemenduaan
(Roe 1991; 1994).
Dalam kaitannya dengan narasi yang digunakan, Sutton juga menyatakan terminologi
diskursus (discourse) sebagai alat analisis terhadap kajian latar belakang dirumuskannya
sebuah kebijakan. Sutton (1999) mendefinisikan diskursus (discource) sebagai ide dasar,
konsep atau kategorisasi yang dihasilkan atau dihasilkan kembali, dan ditransformasikan
kedalam segenap praktek-praktek dengan cara melalui pemaknaan yang diwujudkan dalam
hubungan sosial. Melalui pemaknaan baru dan tindakan, diskurus memegang peran
penting dalam perubahan kebijakan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Policy Naratif
Keberpihakan kepada masyarakat dalam pembangunan kehutanan mulai muncul
pada Kongres Kehutanan Dunia kedelapan di Jakarta tahun 1978. Pada kongres tersebut
diperkenalkan konsep social forestry dan retorika forest for people. Istilah Social Forestry
sendiri, menurut Kartasubrata (2003) untuk pertama kali digunakan pada tahun 1968 oleh
Westoby dalam Ninth Commonwealth Forestry Congress 1968 di New Delhi India. Definisi
Westobi (1968) tentang SF adalah a forestry which aims at producing flows of protection
and recreation benefits for the community.
Definisi di atas kemudian berkembang sesuai dengan perubahan kondisi lingkungan.
Tiwari (1983) mendefinisikan SF dengan The science and art of growing tress and/or other
vegetation on all land available for the purpose, in and outside traditional forest areas, and a
managing the existing forest with intimate involvement of the people and moe or less
integrated with other operations, resulting in balanced and complementary land use with a
view of provide a wide range of goods and services to the individuals as well as to the
society. Selanjutnya Tiwari menyatakan bahwa SF pada dasarnya bertujuan untuk
memenuhi kebutuhan dasar manusia di pedesaan dari hutan, yaitu fuel, fodder, food, timber,
income, environment.

774
ILMU KEHUTANAN

Ketika dicanangkan sebagai program nasional tahun 2003, SF sebenarnya bukan hal
baru di Indonesia. Praktek SF bahkan sudah ada sejak pemerintah Belanda melaksanakan
pengelolaan hutan jati dengan sistem tumpangsari, meskipun pada saat itu orientasinya
lebih kepada penyediaan tenaga kerja.

Social Forestry oleh Perum Perhutani di Pulau Jawa


Abad ke-19 merupakan titik awal pengelolaan dan bentuk penguaasaahn hutan di
Jawa.. Birokrat Kehutanan pemerintahan kolonial menetapkan batas pemisah yang jelas
antara hutan dan lahan pertanian serta menutup akses masyarakat terhadap pohon dan
hasil hutan lainnya (Peluso, 1992). Hutan dikuasai pemerintahan kolonial dan dieksploitasi
untuk kepentingan penjajah, akibatnya hutan mulai terdegradasi. Melihat eksploitasi hutan
secara besar-besaran, seorang rimbawan Belanda (W.Groeneveld) pada saat itu telah
memberikan gagasan untuk melakukan pengelolaan hutan secara lebih arif, yaitu berbasis
masyarakat. Namun sayang ide ini tidak terwujud (Lynch & Talbot, 1995).
Menurut Verkuyl (1955) dalam Kartasubrata (2003) sistem pengelolaan hutan di Jawa
dipengaruhi oleh Ajaran Jerman yang dibawa oleh Dirk van Hogendorp. Ajaran Jerman ini
diwarnai pengaruh biara abad pertengahan. Hak-hak istimewa rakyat setempat berupa
pengambilan hasil hutan untuk keperluan sehari-hari berangsur-angsur dibeli oleh gereja,
dan lahan pertanian dipisahkan secara tegas dari lahan hutan. Para petugas kehutanan
memandang dirinya sebagai penjaga hutan dari gangguan masyarakat. Praktek seperti
inilah yang diadopsi dalam pengelolaan hutan di Pulau Jawa. Setelah Indonesia merdeka,
praktek ini pulalah yang dilanjutkan oleh Perum Perhutani.
Sejalan dengan perkembangan penduduk yang semakin pesat, kepadatan mencapai
750 jiwa/km2 maka terjadilah fenomena lapar lahan. Sebagai akibatnya konflik antara
masyarakat sekitar hutan dan petugas kehutanan makin sering terjadi. Demi menjaga
hubungan dengan masyarakat sekitar hutan, Perhutani akhirnya melibatkan masyarakat
melalui program tumpangsari pada tahun 80-an. Telah terjadi beberapa perubahan program
SF di Perhutani, namun paradigma yang mendasari SF tidak berubah, yaitu untuk
meminimalisasi konflik yang terjadi antara perusahaan dan masyarakat lokal (Barber 1989
dalam Lindayati 2002).
Perkembangan program SF oleh perhutani dapat dilihat pada tabel 1. Analisa
perubahan kebijakan yang mendasarii perubahan dari program satu ke program berikutnya
akan dijelaskan sekaligus bersama dengan proses perubahan kebijakan SF di luar pulau
Jawa.

Social Forestry di Luar Jawa


Perkembangan kebijakan SF dalam pengelolaan hutan di luar pulau Jawa dapat
dibagi menjadi 3 periode waktu yaitu; antara akhir tahun 60-an sampai pertengahan 80-an,
tahun 80 sampai 1997, dan 1997 sampai sekarang (Lindayati, 2002).

775
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Tabel 1. Program-program SF di Perhutani selama empat dasawarsa terakhir


(Sumber : Sardjono 2006)

Periode Istilah Substansi Konsep Catatan Komparasi


Pendekatan Pendekatan a.l.
Sosial
< 80-an Tumpang x Penanaman palawija diantara x Pada wilayah tertentu dari
Sari tanaman kawasan hutan dan kelompok
x Pemeliharaan tanaman pokok sasaran terbatas
tanpa memperoleh hasil kayu; x Desain ditetapkan
x Waktu terbatas (3 tahun) perusahaan

Sejak mid. Perhutanan x Penanaman palawija dengan x Pada wilayah tertentu dari
80-an Sosial jarak tanam lebih lebar dari kawasan hutan dan kelompok
tumpang sari biasa; sasaran terbatas;
x Disamping palawija juga bisa x Desain ditetapkan
ditanam buah-buahan perusahaan;
x Kayu tetap menjadi bagian
Perhutani

Periode 90- PMDH (T) x Pengelolaan hutan dikaitkan x Pada sebagian kawasan
an dengan program hutan atau di luar kawasan;
pembangunan pedesaan dan x Bantuan perusahaan sesuai
pembinaan masyarakat /kemampuan perusahaan;
secara lebih luas; x Sasaran kelompok
x Kegiatan dapat meliputi aspek masyarakat desa.
agraris dan non-agraris

Sejak akhir PHBM x Pelibatan masyarakat dalam x Seluruh kawasan perusahaan


90-an bentuk Kelompok Tani Hutan (KPH) dalam wilayah desa
(hingga (KTH) dan/atau LMDH serta dikerjasamakan dengan
kini) parapihak lainnya dalam masyarakat tanpa perubahan
pengelolaan hutan status lahan;
x Masyarakat memperoleh x Sasaran masyarakat desa
bagian keuntungan penjualan keseluruhan ataupun anggota
kayu/ hasil hutan lainnya yang KKTH;
dikuasai Perhutani; x Desain
x Masyarakat dapat dikonsultasikan/dididskusikan
mengusahakan ruang sela bersama dengan
diantara tanaman pokok masyarakat/anggota LMDH
dengan fasilitasi perusahaan. serta parapihak teridentifikasi

Akhir tahun 60-an sampai pertengahan tahun 80-an (era pra social forestry)
Sebelum masa pemerintahan orde baru, hutan di luar jawa dikelola oleh masyarakat
adat. Terdapat sekitar 250 kelompok etnis yang hidup di dalam/sekitar hutan dan
menyandarkan hidupnya kepada sumberdaya hutan (Moniaga, 2000). Setiap kelompok adat
memiliki aturan sendiri dalam memanfaatkan dan memelihara hutan. Mereka hidup
bergantung pada sumberdaya hutan dan mereka juga menjaga kelestarian hutan. Namun,
pengelolaan hutan oleh masyarakat adat ini dianggap tidak sejalan dengan rencana
Pembangunan Orde Baru yang mengedepankan pertumbuhan ekonomi dan modernisasi
atau industrialisasi. Masyarakat lokal dipandang sebagai terbelakang dan sistem
perladangan berpindah yang mereka lakukan secara ekonomi dinilai tidak produktif dan
secara ekologi merusak lingkungan.
Pada periode ini terjadi adopsi intrumen kebijakan yang menggambarkan penolakan
pemerintah secara mutlak atas akses masyarakat terhadap hutan. Program yang
dilluncurkan adalah pemukiman peladang berpindah dan sistem pertanian menetap.

776
ILMU KEHUTANAN

Peraturan perundangan yang dikeluarkan diantaranya PP 21/1970 tentang Hak


Pengusahaan Hutan (HPH) dan Hak Pengelolaan Hasil Hutan (HPHH), serta PP 28/1985
tentang Perlindungan Lingkungan. Kedua PP ini mengakibatkan tertutupnya akses
masyarakat lokal terhadap hutan negara yang telah dikelola HPH dan kawasan konservasi.

Pertengahan tahun 80-an sampai 1997 (Periode Adopsi SF)


Sebagai imbas dari retorika forest for people, pengelolaan hutan pada era ini mulai
menganut distribusi keuntungan, keadilan, partisipasi masyarakat, dan pemenuhan
kebutuhan dasar masyarakat lokal, Orientasi pembangunan diarahkan pada pemenuhan
kebutuhan dasar bagi masyarakat sekitar hutan. Namun demikian tidak berarti telah terjadi
perubahan cara pandang terhadap penguasaan hutan oleh negara dan pandangan
terbelakang dan desktruktif bagi masyarakat lokal.
Program pemukiman dan pengendalian perladangan berpindah dinilai masih sejalan
dengan jiwa SF, karena berupaya untuk meningatkan taraf hidup kesejahteraan rakyat.
Dalam perayaan pekan penghijauan tahun 1987, Presiden Soeharto menyatakan dukungan
serius terhadap pembenahan praktek pengelolaan hutan oleh masyarakat lokal mengingat
degradasi lahan makin meluas dan praktek perladangan berpindah masih berlanjut.
Awal tahun 1980, Pemerintah bersama Ford Foundation mulai mendiskusikan untuk
melakukan berbagai program SF. Program akhirnya dilaksanakan tahun 1985 berupa kajian
tentang hak akses dan hak tenurial masyarakat lokal dilakukan di beberapa pilot projet
misalnya Kalimantan Timur, Irian Jaya, dan Sulawesi. Hasil kajian mempengaruhi
pemahaman berbagai pihak mengenai SF.
Tahun 1991, pemerintah menggulirkan program PMDH (Pembinaan Masyarakat
Desa Hutan). Kebijakan ini memberikan kewajiban bagi para pemegang HPH untuk
membantu pembangunan ekonomi masyarakat desa hutan. Kewajiban ini diinterpretasikan
pengusaha sebagai pemberian bantuan berupa pembangunan infrastruktur (membangun
mesjid, plot pertanian permanen, klinik kesehatan, dan sekolah), dan tidak sebagai
pendekatan hubungan partnership. Hak akses masyarakat terhadap hutan masih
dipandang sebagai previlege dibanding sebagai right.
Pelibatan masyarakat dalam sistem pengelolaan hutan secara formal dimulai ketika
Departemen Kehutanan meluncurkan program Hkm (Hutan Kemasyarakatan) dengan SK
No. 622/1996. Program ini bertujuan memberi peluang kepada masyarakat untuk melakukan
kegiatan rehabilitasi hutan dengan luasan tertentu per-kepala keluarga. Implementasinya
baru sampai pada pengembangan model atau percontohan. Program ini akhirnya berhenti
begitu saja karena kurangnya peminat.
SK 622 kemudian diperbaharui dengan SK No. 677/1998, yang memberi peluang
kepada masyarakat setempat melalui koperasi untuk mengelola konsesi hutan. Dalam
prakteknya, pendekatan ini pun tidak mampu memberi manfaat kepada masyarakat
setempat karena tidak memperhitungkan betapa lemahnya posisi mereka di dalam mata
rantai sistem perizinan dan sistem usaha konsesi hutan. Kebijakan ini lebih memberi
manfaat bagi pihak yang mampu mengakseskan birokrasi perizinan dengan
mengatasnamakan rayat (Suryamihardja, 2006). Terlebih masyarakat menganggap bahwa
dengan terlibat HKm, justru menegaskan pengakuan status hutan sebagai milik negara.

Tahun 1998 hingga sekarang


Periode ini ditandai dengan terbitnya SK Menhut tentang tentang Krui Kawasan
dengan Tujuan Istimewa (KdTi) tahun 1998. Januari tahun 1998, untuk pertama kalinya
dalam sejarah pemerintahan Orde Baru, Menhut Djamaludin Suryohadikusumo,
menandatangani SK Kawasan dengan Tujuan Istimewa. SK ini mengakui 29.000 ha hutan
negara di Krui (Lampung) sebagai kawasan yang pengelolaannya diserahkan kepada
masyarakat lokal. Sebelum keputusan ini ditetapkan, masyarakat Krui tidak memiliki akses
bahkan dilarang untuk memanfaatkan hutan. Awal tahun 90-an pemerintah mengeluarkan
ijin pembangunan perkebunan sawit di areal ini, sehingga terjadi penebangan secara besar-
besaran terhadap pohon damar (Shorea javanica) yang mendominasi sistem agroforestry di
kawasan ini. Masyarakat Krui berusaha dengan berbagai cara untuk menghentikan operasi

777
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

perusahaan ini, termasuk mencari bantuan dari pihak luar. ICRAF dan beberapa LSM lokal
bergerak untuk memfasilitasi masyarakat menyampaikan suaranya. Setelah melalui
perdebatan panjang, akhirnya Menhut setuju untuk memberikan status khusus bagi Krui.
Namun demikian status khusus ini hanya sebatas hak masyarakat untuk menggunakan dan
tidak merubah status sebagai hutan negara(Lindayati, 2002).
Terbitnya aturan ini merupakan sinyal bahwa pemerintah mulai memberikan
pengakuan bagi masyarakat lokal untuk mengelola hutan. Namun, kasus Krui sebagai KDTI
ternyata bukanlah perubahan aksi birokrasi secara kolektif, melainkan lebih berupa inovasi
kebijakan secara individual yang disebabkan karena kuatnya desakan sosial. Kawasan
Bentian di Kalimantan Timur juga mengajukan pengakuan hak serupa dengan Krui, akan
tetapi kasus Bentian tidak berhasil. Salah satu faktornya adalah karena kawasan Bentian
memiliki hubungan langsung dengan beberapa HPH yang dimiliki kalangan elit politik
(Lindayati, 2002).
Reformasi kebijakan SF kemudian menjadi lebih intensif pasca pemerintahan
Presiden Suharto. Menteri Kehutanan dan Perkebunan saat itu membentuk suatu panitia
yang keanggotaannya berasal dari pemerintah dan non pemerintah. Tugas utama panitia ini
adalah mengkaji dan menyusun peraturan perundangan kehutanan yang baru untuk
menggantikan UUPK No.5/1967.
Banyak aktor politik non pemerintah yang menyambut gembira era keterbukaan ini,
namun kemudian segera kecewa ketika mengetahui bahwa Dephutbun secara internal telah
membentuk komisi tersendiri dengan mandat yang sama. Didorong oleh ketidakpuasan
maka FKKM (Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat) mengkoordinir terbentuknya koalisi
para pendukung kehutanan masyarakat dan membuat sendiri proposal UU Kehutanan.
Dengan demikian, maka terdapat 3 draft UU Kehutanan dari 3 kelompok yang berbeda yaitu
FKKM, Komisi Internal Dephutbun, dan Panitia yang dibentuk oleh Menhutbun. Proposal
FKKM mengusulkan perubahan signifikan mengenai kekuasaan negara atas hutan dan
memberikan hak penuh bagi masyarakat lokal untuk mengelola, mengontrol, dan memiliki
hutan, terutama bagi masyarakat adat.
Draft yang akhirnya disahkan sebagai UU Kehutanan No.41/1999 adalah yang
diusulkan oleh komite internal Dephutbun (Lindayati,2002). Dibandingkan dengan UUPK
No.5/1967 terdapat beberapa perubahan sehubungan dengan hak akses masyarakat lokal.
Masyarakat akhirnya memiliki hak setara seperti halnya HPH dan BUMN untuk mengelola
hutan, dengan syarat telah memiliki lembaga koperasi. Masyarakat adat juga diberi status
khusus dan pengelolaan atas sumberdaya alam. Skema yang ditawarkan dalam UU 41
adalah hutan hak, hutan adat dan hutan desa. Tidak seperti proposal yang diajukan FKKM,
UU Kehutanan 41/1999 masih menetapkan Dephutbun sebagai institusi tertinggi dalam
mengendalikan dan mengatur kawasan hutan, fungsi, penggunaan, dan pengaturan tenurial.
Produk hukum berikutnya tentang perhutaan sosial diterbitkan tahun 2004 yaitu
Peraturan Menteri Kehutanan No. P.01/2004 tentang Pemberdayaan Masyarakat di dalam
dan di sekitar Kawasan Hutan dalam rangka Social Forestry. Permenhut ini menegaskan
bahwa pelaksanaan SF harus mematuhi rambu-rambu yang telah ditetapkan, antara lain
tidak merubah status dan fungsi kawasan, tidak memberikan hak kepemilikan atas kawasan
hutan, kecuali hak pemanfaatan sumberdaya hutan (pasal 8 ayat 1 dan 2).
Bentuk-bentuk program Social Forestry selanjutnya mengalami perkembangan.
Pada tahun 2007 mulai diterapkan kebijakan HTR (Hutan Tanaman Rakyat). Kebijakan ini
pada prinsipnya serupa dengan HKM yaitu pemberian hak akses masyarakat untuk
mengelola hutan negara. Akan tetapi terdapat beberapa perbedaan prinsip pada
pelaksanaannya. Setelah berjalan selama beberapa tahun, implementasi program HTR juga
belum begitu menunjukkan hasil yang memuaskan. Pencapaian implementasi program di
lapangan berada jauh di bawah target yang ditetapkan.

Aktor dan jejaring kerja


Aktor pengambil kebijakan pada era tahun 60 hingga 80-an dikuasai oleh birokrat
pemerintahan. Lembaga donor internasional juga memiliki pemikiran yang sejalan mengenai
pembangunan industrialisasi dan modernisasi. Sementara itu para akademisi yang sering

778
ILMU KEHUTANAN

menjadi sumber rujukan juga memiliki paradigma yang sama. Arus pemikiran ini dikuatkan
dengan tindakan nyata dari pemerintah daerah tingkat propinsi yang selalu mendesak
pemerintah pusat untuk segera mengeluarkan SK pelarangan perladangan berpindah. Pada
masa ini peran dari LSM dan pihak non rimbawah masih sangat jarang.
Sejak tahun 1990an mulai terjadi perubahan, terutama selama masa peluncuran
program SF. Pemerintah mulai melibatkan pihak non birokrat dan non rimbawan, karena
adanya kesadaran akan ketidakmampuan (kurangnya pengetahuan dan pengalaman)
Departemen Kehutanan dalam menangani program pengembangan masyarakat.
Pengaruh LSM mulai menguat. LSM berdiri diantara masyarakat lokal dan
pemerintah. Mereka membangun kerjasama yang kuat dengan jaringan internasional untuk
menyebarluaskan gerakan hak-hak masyarakat adat. Meskipun peran LSM dalam
pengambilan kebijakan masih belum signifikan, tetapi pemerintah tidak dapat menutup
telinga terhadap suara-suara kritis yang dilontarkan. WALHI dan SKPHI (Sekretariat
Kerjasama Pelestarian Hutan Indonesia) merupakan dua LSM pionir yang gigih mendukung
sistem SF. Tahun 1990-an dibentuk jaringan nasional Sistem Hutan Kerakyatan yang fokus
pada penelitian serta advokasi untuk mempromosikan pengelolaan hutan berbasis
masyarakat.
Suara-suara dari aktor non pemerintah akhirnya juga dijadikan masukan untuk
menentukan pengambilan kebijakan di Departemen Kehutanan. Mereka diundang untuk
menyampaikan ide dan gagasan pembangunan SF. Sepertinya telah terjadi keterbukaan
antara Dephut dengan berbagai pihak. Namun dalam prakteknya, otorita Dephut masih
sangat kuat, Jika ada suara-suara keras yang menentang paradigma penguasaan hutan
oleh negara, maka ide tersebut akan langsung disensor dan bahkan aktor yang
bersangkutan tidak lagi diundang (Lindayati,2002).
Perdebatan yang berlangsung dari tahun 1985 hingga 1998 hanya sebatas masalah
teknis (metode dan implementasi program). Aktor non pemerintah yang mengadvokasi adat
dan hak masyarakat lokal seringkali frustasi menghadapi situasi tersebut. Sebagian pihak
berpendapat bahwa undangan ini hanya kepura-puraan, karena tidak ada satupun
rekomendasi mereka yang dipertimbangkan. Namun demikian, forum ini paling tidak telah
memberikan ruang bagi pertukaran ide, pikiran dan membangun hubungan.
Peta aktor dalam pembuatan kebijakan SF akhirnya tidak lagi dimonopoli dengan
philosophi penguasaan hutan oleh negara yang sentralistik. Jaringan kebijakan terdiri dari
dua jalur idelogi, yang pertama adalah aliran penguasaan hutan oleh negara dan yang kedua
adalah bahwa kekuasaan ini perlu untuk diserahkan kepada masyarakat lokal. Para birokrat
tetap sebagai pusat pengambil kebijakan, tetapi kekuatannya tidak terlalu powerfull seperti
sebelumnya. DPR mulai memainkan perannya, grup-grup sosial juga mulai berpartisipasi.

Politik/Kepentingan
Perum Perhutani yang telah melakukan program SF sejak tahun 80-an, saat ini masih
menuai konflik dengan masyarakat sekitar hutan, tingkat kesejahteraan masyarakat-pun
masih rendah. Pelaksanaan program SF oleh Perhutani lebih mengedepankan asas
rasionalitas pengusaha dengan penerapan prinsip ekonomi perolehan keuntungan sebesar-
besarnya dan pengorbanan sekecil-kecilnya.
Paradigma SF di Perhutani dan juga perusahaan-perusahaan lain seperti HPH,
HPHTI ditujukan untuk menekan konflik antara pengusaha dan masyarakat sekitar hutan.
Dengan terwujudnya hubungan baik antara pengusaha dengan masyarakat, maka
pengusaha dapat dengan leluasa menjalankan roda perusahaannya, yang ujung-ujungnya
adalah pencapaian profit setinggi-tingginya.
Social forestry di kawasan konservasi juga tidak jauh berbeda. Pegawai pemerintah
pengelola kawasan konservasi merangkul masyarakat sekitar dengan memberikan akses
berupa pemungutan hasil hutan bukan kayu, adalah demi terjaminnya keamanan kawasan
dari gangguan masyarakat. Sementara keberpihakan kepada kepentingan masyarakat
masih dilakukan setengah hati.
Skema HKM masih juga dipertahankan meskipun hasilnya belum memuaskan,
karena birokrat kehutanan memandang HKm sebagai salah satu kegiatan penting dalam

779
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

melibatkan masyarakat. Di satu sisi, berbagai pihak telah memberikan kritik terhadap
pelaksanaan HKM, misalnya CIFOR (2003) menyatakan bahwa HKm telah dimodifikasi oleh
beberapa orang di lapangan seingga lebih mirip sebagai IPK (Ijin Pemanfaatan Kayu).
Model ini tidak menjamin partisipasi masyarakat secara utuh dalam pengelolaan hutan.

Ruang Kebijakan
Kebijakan SF yang saat ini berlaku dinilai masih belum menyediakan ruang yang
cukup bagi pengakuan hak milik masyarakat terhadap kawasan hutan, kebijakan masih
menganut aliran hutan milik negara. Pada era tahun 1999 ditegaskan bahwa kebijakan SF
bukan merupakan langkah untuk membuka peluang atas kepemilikan dan penguasaan lahan
negara.
Gerakan transformasi kebijakan SF yang dimotori oleh LSM masih terus bergulir,
sekalipun masalah hak tenurial sangat sulit untuk dipromosikan. Permasalahan yang terjadi
adalah adanya anggapan bahwa ketika bicara tentang hak tenurial, maka kawasan hutan
yang saat ini dikuasai negara akan dibagi habis menjadi hutan milik masyarakat.
Elsworth (2004) menyatakan bahwa dalam perjuangan hak tenurial terdapat 4 aliran
yaitu; property right, ketimpangan struktur agraria, advokasi hak properti masyarakat adat,
dan aliran institusionalist. Aliran property right memperjuangkan pemilikan secara individu
yang dapat diperdagangkan secara bebas, proses yang diperjuangkan adalah sertifikasi.
Aliran ketimpangan struktur agraria mempertanyakan distribusi yang adil lahan pertanian
kepada petani, sertifikasi tidak menjamin petani tetapi harus ada kebijakan melindungi
kelompok kecil dari ancaman pasar bebas. Aliran hak property masyarakat adat
memperjuangkan pengakuan terhadap tanah-tanah komunal untuk dikuasai secara
kelompok sebagia katup penyelamat masyarakat miskin.Aliran institusionalis
mempertimbangkan aspek pengaruh makro politik ekonomi terhadap rejim property yang
ada dan yang akan menentukan kepastian hukum bagi para pengklaim hak.
Hal yang perlu didiskusikan lebih lanjut adalah aliran manakah yang paling tepat dan
sesuai dengan jiwa SF yang dianut di Indonesia. Aliran advokasi hak properti masyarakat
adat menyatakan bahwa konteks tenurial tidak semata-mata dicapai lewat sertifikasi formal,
namun dapat juga ditemukan dalam bentuk rejim pengelolaan tanah (SDA) berbasis
masyarakat. Dengan melihat kondisi sosial politik di Indonesia, aliran inilah yang sepertinya
memiliki peluang untuk diakomodir dalam perubahan kebijakan SF. Namun demikian,
diperlukan kajian lebih lanjut.

KESIMPULAN

1. Kebijakan perhutanan sosial mulai berkembang dalam diskursus pembangunan


kehutanan dunia sejak dicanangkannya slogan forest for people pada Kongres
Kehutanan Dunia tahun 1978. Ide pelibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan mulai
diakomodir meskipun belum membuka hak akses yang penuh atas hutan negara.
2. Proses perumusan Undang-undang Kehutanan No.41 tahun 1999 diwarnai dengan
perdebatan antara berbagai pihak yang berkepentingan. Lembaga Swadaya Masyarakat
menggagas ide agar masyarakat sekitar hutan diberi kesempatan penuh untuk
mengelola hutan. Ide ini tidak sepenuhnya terwadahi dalam UU dengan pertimbangan
bahwa negara tetap memegang kontrol penuh atas pengelolaan hutan.
3. Paradigma pemberian hak akses bagi masyarakat sekitar hutan untuk memiliki
wewenang secara penuh mengelola hutan negara diwujudkan dalam berbagai kebijakan
antara lain HKM (Hutan kemasyarakatan) dan HTR (Hutan Tanaman Rakyat).
4. Perdebatan masalah aspek tenurial bagi masyarakat dalam mengelola hutan negara
terus bergulir diantara berbagai aliran pemikiran. Perlu dipertimbangkan kondisi yang
paling tepat untuk diterapkan di kawasan hutan Indonesia.

780
ILMU KEHUTANAN

DAFTAR PUSTAKA

CIFOR. 2003. Perhutanan Sosial. Warta Kebijakan No.9 tahun 2003. Centre for
International Forestry Research. Bogor.
Ellsworth, L. 2004. A Place in The World; Tenure Security and Community Livelihood.
Forest Trebn and Ford Foundation.
IDS. 2006. Understanding Policy Process : A Review of IDS Research on the Environment.
Institut of Development Studies Bringhton, UK.
Kartasubrata, J. 2003. Social Forestry dan Agroforestry di Asia Buku I. Lab Politik Ekonomi
dan Sosial Kehutanan. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.
Lynch, O.J, and Talbott. 1995. Balancing Acts; Community Based Forest Management and
National Law in Asia and the Pasific. World Resources Institute.
Lyndayati, R. 2002. Ideas and Insitutions in Social Forestry Policy. Dalam Which Way
Forward? People, Forest, and Policymaking in Indonesia. Coffer and Ida Ayu edt.
CIFOR.
Moniaga, S. 2000. Advocating for Community-Based Forest Management in
indonesiasOuter Islam; Political and Legal Constraints and Opportunities. IGES
International Workshop.
Peluso, N.L. 1992. Rich forest, Poor People: Resource Control and Resistance in Java,
Bereley University of California Press .
Suryamidhardja, S. 2006. Kebijakan dan Kelembagaan CBFM di Tingkat Nasional dan
Pengalaman mengelola Kerja-Kerja Multipihak. Makalah disampaikan pada Pekan
Raya Hutan dan Masyarakat 2006; Fahutan UGM-JAVLEC, Yogyakarta, 19-22
September 2006.
Rusli, Y. 2003. The Policy of The Ministry of Forestry on Social Forestry. Paper Presented
on International Conference on Rural Livelihoods, Forest and Biodiversity, May 19-23,
2003. Bonn.
Sardjono, M.A. 2006. PHBM dan Masa Depan Kehutanan Masyarakat di Indonesia.
Makalah disampaikan pada Pekan Raya Hutan dan Masyarakat 19-22 September
2006.

781
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

FORMULASI PERENCANAAN POLA TANAM HUTAN RAKYAT


Asmanah Widiarti
Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi
Jln. Gunung Batu No. 5 Bogor

ABSTRAK

Hutan rakyat memiliki fungsi ganda (multi fungsi) yakni mencakup aspek
produksi/pangan untuk peningkatan kesejahteraan petani dan menjaga kelestarian
lingkungan hidup. Hutan rakyat yang diuasahakan pada lahan dengan status hak milik,
sangat perlu mempertimbangkan nilai fungsi lahan terutama di Jawa yang ketersediaanya
semakin terbatas dan nilainya semakin tinggi . Keberhasilan pola tanam dalam sistim usaha
hutan rakyat, akan dapat memberikan kontribusi positif khususnya bagi ekonomi petani dan
kualitas lingkungan, dan bila gagal akan berdampak sebaliknya. Oleh karena itu formulasi
perencanaan pola tanam, merupakan faktor kunci agar pengembangan hutan rakyat
memberikan dampak yang menguntungkan. Dalam tulisan ini akan diuraikan formulasi
dalam memilih atau menentukan pola tanam hutan rakyat bekaitan dengan factor tata guna
lahan, pemilihan jenis dan komposisi tanaman dengan pertimbangan aspek lingkungan,
ekonomi dan sosial budaya agar terjalin interaksi yang serasi antara petani - pohon - tanah
sehingga diharapkan hasilnya. akan optimal. Salanjutnya akan ditampilkan beberapa pola
tanam di lapangan.

Kata kunci : hutan rakyat, lahan, pola tanam, nilai, dampak, formulasi

PENDAHULUAN

Memasuki era globalisasi dan perdagangan bebas dengan penerapan otonomi


daerah, sehingga setiap daerah dituntut untuk menggali dan memanfaatkan potensi
wilayahnya secara optimum, terutama berkaitan dengan pemanfaatan potensi sumberdaya
lahan yang pengaruhnya sangat besar dalam pembangunan. Dengan demikian kebijakan
pengelolaan sumberdaya lahan berkonsekuensi langsung terhadap arah dan kebijakan
pembangunan, yang mana salah satunya adalah pembangunan sector kehutanan, tentu saja
yang difokuskan pada pemberdayaan ekonomi rakyat.
Pulau Jawa dengan jumlah penduduk 124 juta (BPS, 2005) dan luas wilayah 132,000
km persegi merupakan pulau paling padat penduduknya di Indonesia, dengan tingkat
kepadatan mencapai 979 orang setiap kilometer persegi. Di sisi lain sebanyak 16,73 juta
orang atau 55,7% dari jumlah penduduk miskin di Indonesia pada Maret 2011 (30,02 juta)
berada di Pulau Jawa. Kondisi ini menyebabkan kawasan hutan sebagai penyangga
lingkungan di Pulau Jawa terus menerus mengalami tekanan besar oleh kebutuhan akan
lahan pertanian sehiingga saat ini hanya tinggal 14 % dari total luas daratannya.
Namun di tengah keprihatinan semakin menyusutnya kawasan hutan negara, terjadi
hal yang menggembirakan dimana hutan rakyat berkembang luas di Pulau Jawa. Hutan
rakyat yang paling baik perkembangan dan kontribusinya dalam penyediaan kayu,
umumnya berasal dari kebun campuran hasil swadaya masyarakat. Dalam Djajapertjunda
(2003), disebutkan bahwa luas hutan milik rakyat, hasil swadaya yang dilaksanakan
masyarakat sudah mencapai 1.151.000 ha atau 80% dari luas hutan rakyat yang ada
(1.265.000 ha).
Hutan rakyat dengan pola kebun campuran memiliki banyak keunggulan,
diantaranya karena komposisi pilihan jenis tanaman yang diusahakan merupakan kombinasi
antara kehutanan dengan cabang usaha tani lainnya secara terpadu. Dijumpai 2 - 5 jenis
kayu-kayuan yang merupakan kombinasi dari daur pendek dan daur panjang untuk berbagai

782
ILMU KEHUTANAN

kegunaan seperti untuk kayu pertukangan, bahan baku industri, kayu bakar/energi dengan
hasil tambahan seperti pangan, buah-buahan, bambu dan tumbuhan obat. Selain itu dengan
makin meningkatnya kebutuhan akan peran jasa lingkungan hutan, hutan rakyat pola kebun
campuran juga memiliki peran dalam penyerapan karbondioksida, peran ini merupakan nilai
jasa lingkungan yang dapat memberikan insentif tambahan untuk pendapatan petani.
Pengembangan hutan rakyat di Pulau Jawa mempunyai peranan yang strategis
karena selain diperlukan untuk meningkatkan daya dukung ekologis khususnya dalam
perbaikan tata air dan perlindungan lingkungan juga tidak diragukan lagi perannya dalam
kehidupan sosial ekonomi masyarakat walaupun saat ini pengelolaannya masih dilakukan
secara tradisional.
Namun dengan keterbatasan sumberdaya lahan di Jawa, pemanfaatan sumberdaya
lahan untuk usaha tani hutan rakyat akan semakin bersaing dengan usaha tani komoditas
pertanian lainnya. Bila kontribusi ekonomi persatuan luasan lahan dari usaha tani hutan
rakyat ini lebih kecil dibandingkan usaha tani komoditas lain, maka pemerintah daerah akan
lebih mendukung pengembangan komoditas lain. Hal ini disebabkan kesadaran akan nilai
manfaat jasa lingkungan dari hutan masih sulit dihitung nilai ekonominya. Beberapa contoh
kasus pengalihan pemanfaatan kawasan hutan seluas 38.000 ha dalam kebijakan
pengembangan tanaman tebu untuk target swasembada gula nasional di Kabupaten Pati
dan Malang (http://agroindonesia.co.id). Pengembangan tanaman sawit di Jawa (Provinsi
Banten, Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Blitar) merupakan bukti kurangnya daya saing
nilai ekonomi pemanfaatan lahan untuk sektor kehutanan.
Untuk meningkatkan kontribusi nilai ekonomi usaha hutan rakyat maka perlu
formulasi perencanaan pola tanam yang matang dan perlu didukung dengan kebijakan
daerah tentang penggunaan dan pengelolaan lahan nasional. Selain itu pada era
perdagangan karbon, pemerintah daerah sudah seharusnya berperan aktif dalam kebijakan
penggunaan lahan untuk usaha tani hutan rakyat karena memiliki keunggulan tersendiri
dibandingkan usahatani lainnya. Sehingga diharapkan pengusahaan hutan rakyat memiliki
daya saing yang tinggi dibandingkan dengan pengusahaan komoditi lain didalam alternatif
penggunaan sumberdaya lahan. Pengusahaan hutan rakyat selain membantu memenuhi
kebutuhan kayu nasional juga mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan jasa
lingkungan dihasilkannya merupakan penyangga bagi keberhasilan pembangunan sektor
lainnya.

Konsepsi Pengunaan Sumberdaya Lahan


Lahan mempunyai peranan sangat penting bagi kehidupan manusia untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya. Segala bentuk intervensi manusia dalam memanfaatkan lahan
tercakup dalam pengertian penggunaan lahan.
Dalam ketentuan TAP MPR No. IX Tahun 2001 Tentang Pembaruan Agraria Dan
Pengelolaan Sumber Daya Alam ditegaskan asas-asas tata guna tanah pada suatu wilayah
harus didasarkan pada tiga prinsip:
a. Prinsip penggunaan aneka (principle of multiple use), dimaksudkan agar lahan
memenuhi beberapa kepentingan sekaligus pada satu kesatuan lahan tertentu.
b. Prinsip penggunaan maksimum (principle of maximum production), dimaksudkan agar
suatu bidang lahan diarahkan untuk memperoleh hasil yang setinggi-tingginya untuk
memenuhi kebutuhan rakyat yang mendesak (pangan).
c. Prinsip penggunaan optimum (principle of optimum use),dimaksudkan agar
penggunaan suatu bidang lahan dapat memberikan keuntungan ekonomis yang
sebesar-besarnya kepada orang yang menggunakan/mengusahakan tanpa merusak
sumber alam itu sendiri.

Untuk daerah pedesaan, perencanaan penggunaan lahan (rural land use planning),
berdasarkan pada ketentuan yang biasa disingkat dengan LOSS : Lestari, tanah harus
dimanfaatkan/digunakan dalam jangka waktu lama dan berdampak pada penghematan
penggunaan tanah karena generasi sekarang memiliki kewajiban untuk mewariskan sumber
daya lahan kepada generasi yang akan datang dalam keadaan baik. (Jadi tanah bukan milik

783
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

masyarakat sekarang saja, tetapi tanah milik dari masyarakat dulu masyarakat sekarang dan
masyarakat yang akan datang). Optimal, pemanfaatan tanah harus mendatangkan hasil atau
keuntungan ekonomis yang setinggi-tingginya. Serasi dan Seimbang, dimaksudkan agar
suatu ruang atas lahan harus dapat menampung berbagai macam kepentingan pihak-pihak
lain, sehingga dapat dihindari adanya pertentangan atau konflik dalam penggunaan lahan
(http://tatagunatanah.blogspot.com).
Dari ketiga asas tersebut di atas memberikan petunjuk bahwa dalam penggunaan
suatu lahan harus bijaksana atau mengandung unsur-unsur kearifan, karena lahan adalah
bukan milik pribadi. Lahan merupakan sarana untuk melaksanakan pembangunan pada
suatu pemerintahan yang seharusnya berdampak untuk kesejateraan penduduknya dan
bukan untuk orang perorang masa kini tetapi juga kesejateraan generasi yang akan datang.
Oleh karena itu persoalan lahan juga sering menimbulkan konflik yang berdampak luas di
bidang social, politik dan ekonomi. Untuk menghindari hal tersebut maka perlu
menumbuhkan pengertian mengenai pentingnya penggunaan tanah secara berencana dan
sesuai dengan kemapuan tanah..
Tanpa adanya perencanaan (planning), penggunaan sumberdaya lahan hanya akan
berpedoman pada kepentingan individu dan pengembangan dari jenis-jenis tanaman tertentu
atau pada keuntungan insidentil yang bersifat jangka pendek sedangkan kepentingan jangka
panjang atau jasa lingkungan sering diabaikan. Dengan planning maka dapat dicapai
keseimbangan yang baik antara luas lahan dengan jenis-jenis tanaman yang penting bagi
program sandang, pangan, papan namun juga untuk kepentingan jasa lingkungan.
Hutan rakyat umumnya dimiliki oleh kaum petani dengan luasan terbatas dan tingkat
pendidikan yang rendah. Dengan kondisi ini mestinya pemerintah secara aktif dan
bertangtung jawab membantu dalam perencanaan pemanfaatan lahan nya tersebut. Saat ini
sudah sering terjadi di lapangan dimana masyarakat mengeluh dan kecewa dengan
program-program pemerintah berkaitan dengan pengembangan suatu komoditas yang tidak
cermat, karena yang menanggung kerugian dan terkena dampaknya adalah petani. Kondisi
ini terjadi akibat perencanaan penggunaan sumberdaya lahan yang kurang matang baik di
tingkat pemerintahan daerah maupun nasional.
Berdasarkan Pasal 13 PP No. 16 Tahun 2004 ditentukan mengenai penggunaan dan
pemanfaatan tanah, dimana harus sesuai dengan fungsi kawasan dalam RTRW.
Penggunaan dan pemanfaatan tanah di kawasan lindung misalnya tidak boleh mengganggu
fungsi alam, tidak mengubah bentang alam dan ekosistem alami. Sedangkan penggunaan
tanah di kawasan budidaya tidak boleh ditelantarkan, tetapi harus dipelihara dan dicegah
kerusakannya. Dalam pemanfaatannya tidak saling bertentangan, tidak saling mengganggu
tetapi justru memberikan peningkatan nilai tambah terhadap pengguna tanahnya.
Ketentuan mengenai penggunaan dan pemanfaatan tanah ditetapkan melalui
pedoman teknis penatagunaan tanah, yang menjadi syarat menggunakan dan
memanfaatkan lahan. Oleh karena itu pemerintah daerah seharusnya terlebih dahulu
menyusun rencana penggunaan lahan berdasarkan hasil survey kondisi
kharakteristikkemampuan lahan yang ada di wilayahnya untuk menentukan arah kebijakan
pembangunan pengelolaan sumberdaya lahan agar bisa dimanfaatkan secara optimal dan
lestari.

Perencanaan Pemanfaatan Sumberdaya Lahan.


Dengan semakin terbatasnya ketersediaan sumberdaya lahan sementara kebutuhan
akan lahan semakin tinggi baik untuk fungsi produksi maupun untuk fungsi penyangga
lingkungan. Kondisi ini akan menyebabkan sering terjadi benturan di antara sector-sektor
pembangunan. Bahkan mungkin mengakibatkan penggunaan lahan yang kurang sesuai
dengan kapabilitasnya.
Dalam hubungannya dengan penggunaan lahan ini, ada dua faktor yang mem-
pengaruhi nilai lahan, yaitu (1) kualitas fisik lahan, (2) lokasi lahan terhadap pasar. Lahan
semakin semakin tinggi nilainya apabila kualitas biofisiknya baik dan lokasinya dekat dengan
pasar. Hal ini akan berimplikasi bahwa lahan dengan kualitas baik, akan lebih dahulu
digunakan dalam proses produksi terutama dengan pengembangan komoditas yang bernilai

784
ILMU KEHUTANAN

ekonomi tinggi. Kondisi fisik lahan yang baik mempunyai keunggulan komparatif bagi
pengembangan berbagai jenis penggunaan lahan pertanian dengan banyak pilihan alternatif
komoditi. Potensi seperti ini akan banyak mengundang investor untuk memanfaatkan lahan
secara lebih intensif. Namun semakin besar intensitas penggunaan sumberdaya dan
melampaui batas ambang toleransi daya dukungnya maka akan terjadi laju degradasi
sumberdaya lahan.
Sehubungan dengan kualitas fisik lahan, keberhasilan suatu sistem pengelolaan la-
han juga dibatasi oleh persyaratan- persyaratan faktor kesesuaian jenis yaitu agroklimat
(Alrasyid,2003).Kesesuaian agroklimat merupakan hal pentingdalam pengembangan
komoditas pertanian. Penyimpangan dari persyaratan ini bukan hanya akan menimbulkan
kerugian ekonomis, tetapi juga akan mengakibatkan biaya-sosial, berupa penurunan kualitas
sumberdaya lahan.
Hutan rakyat umumnya merupakan pilihan usahatani pada pemanfaatan
sumberdaya lahan dengan keadaan kualitas lahan kritis atau mempunyai potensi sangat
besar untuk menjadi kritis. Disisi lain dihadapkan pada persoalan memenuhi kebutuhan
hidup dengan luasan lahan yang dimiliki sempit. Sehingga dalam kondisi seperti ini
diperlukan pola tanam yang memungkinkan dilakukannya integrasi antara kepentingan
rehabilitasi lahan dengan pemenuhan kebutuhan petani (Widiarti, 2000).
Untuk memperbaiki lahan-lahan kritis menjadi produktif kembali, menurut Arsyad
(1989 ) harus dilakukan dengan dua cara : (1) vegetative, yaitu pemanfaatan lahan cukup
dengan mengadakan pengaturan penanaman yang baik dan tepat, dengan jenis-jenis
tanaman yang sesuai untuk diusahakan. (2) vegetatif-mekanis, disamping mengadakan
penanaman dengan baik dan tepat, juga disertai dengan tindakan konservasi tanah seperti
pembuatan teras-teras atau sengkedan-sengkedan dan lain-lain. Namun selain faktor di
atas, juga perlu diperhatikan dari segi klas kemampuan tanah, yang dibagi menjadi dua
golongan yaitu : (1) tanah-tanah yang sesuai digarap/diusahakan untuk usaha-usaha
pertanian tanaman pangan (arable land) yaitu lahan-lahan dengan kemiringan tanah 0-18%.
Sedangkan bagi tanah dengan kemiringan tanah dari 18-45% dan/atau sampai lebih besar
dari 45%. diperlukan tindakan-tindakan konservasi tanah yang intensif dan tepat. Tanah-
tanah kritis yang terdapat dalam golongan ini umumnya kritis phisis-chemis. (2) Tanah-tanah
yang tidak sesuai digarap untuk usaha-usaha pertanian tanaman pangan ( semusim), akan
tetapi bagi tanaman tahunan kayu-kayuan dan buah-buahan masih dapat dilakukan dengan
baik, tanah dengan kemiringan dari 18-45% dan/atau sampai lebih besar dari 45% umumnya
selain kritis phisis-chemis juga kritis hydro-orologis.
Oleh karena itu kegiatan rehabilitasi lahan dalam bentuk Gerakan Nasional
Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNRHL) diperlukan disemua wilayah lahan terdegradasi baik
pada kawasan hutan maupun lahan milik dan telah menjadi salah satu prioritas
pembangunan yang tidak dapat dipisahkan dari program pembangunan sektor lainnya, untuk
penyelamatan lingkungan dan memacu peningkatan kesejahteraan masyarakat (Dirjen
RLPS,2002) .
Namun dari pengalaman di lapangan, upaya penutupan fisik lahan terdegradasi
dengan tumbuhan untuk penyelamatan lingkungan umumnya kurang berhasil dengan baik
bahkan pada beberapa wilayah pencapaian kegiatan rehabilitasi seringkali kurang
memenuhi harapan baik dari kuantita (target luasan) maupun kualita (tingkat pertumbuhan
tanaman). Kondisi ini menyebabkan dari tahun-ketahun luasan (kumulatif) lahan
terdegradasi tidak berkurang bahkan semakin luas dengan tingkat kerusakan semakin tinggi.
Untuk mencapai keberhasilan penanaman kembali secara nyata dan
berkesinambungan, maka bukan saja terukur secara kuantitas luas lahan yang ditanami
namun juga berkesesuaian dengan harapan masyarakat setempat yang berperan langsung.
Oleh karena itu rehabilitasi lahan agar mendapat respon baik dari masyarakat sekitarnya
maka dalam pemilihan jenis-jenis yang akan ditanam perlu juga memperhatikan faktor
ekologis, sosial-ekonomi dan budaya masyarakat setempat serta kebijakan pemerintah
dalam bidang pengelolaan lahan. Dengan adanya Rancangan Pola Tanam pemanfatan
sumberdaya lahan khususnya lahan kering dapat meningkatkan keberhasilan tanaman,

785
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

pendapatan petani dan selanjutnya berdampak positif terhadap pelestarian lingkungan


khususnya penyelamatan hutan, tanah dan air.

Rancangan Pola Tanam Hutan Rakyat


Hutan rakyat dengan pola kebun campuran atau pola wanatani memiliki banyak
keunggulan karena komposisi pilihan jenisnya dapat dipadukan untuk berbagai keperluan
seperti untuk kayu pertukangan, bahan baku industri, kayu bakar/energi dan diperoleh hasil
tambahan seperti pangan, buah-buahan, bambu dan tumbuhan obat. Pola tanam wanatani
menjadi pilihan masyarakat karena memberikan penghasilan bersifat rutin, harian,
mingguan, bulanan, musiman dan tahunan (Suharjito, 2000), sehingga kebun campuran
memberikan hasil secara berkelangsungan kepada petani. Selain itu dengan makin
meningkatnya kebutuhan peran jasa lingkungan hutan, hutan rakyat pola kebun campuran
juga memiliki peran dalam penyerapan karbondioksida (Ginoga, 2002).
Dengan pola wanatani akan diperoleh beberapa keuntungan lain yaitu : (1)
meminimum kan resiko yang kelak akan ditanggung pemilik, karena dengan adanya
diversifikasi tanaman jika salah satu komoditi mengalami kegagalan maka jenis lain masih
diharapkan dapat menghasilkan, (2) peningkatan frekwensi panen, sehingga ada
keberlangsungan pendapatan, (3) mengantisipasi pengangguran musiman karena ada
jaminan kontinuitas pekerjaan di lahan usahatani, (4) menjamin stabilitas ekologis dan
memperbaiki kesuburan tanah, (5) minimum dalam pengolahan lahan/tillage dan efisiens
dalam penggunaan air. Beberapa keuntungan di atas tidak dijumpai pada pola tanam
tunggal/monokultur. Dengan demikian, pola wanatani tidak hanya memberikan manfaat
ekonomis, tetapi memiliki manfaat sosial dan lingkungan (Simon , 1995; Nair 1993).
Wanatani sebagai salah satu pola tanam dalam pengembangan hutan rakyat,
merupakan salah satu jawaban bagi usaha produktf yang mempertimbangkan pemanfaatan
sumber daya lahan kering yang terbatas dan rapuh secara ekologis. Dengan pola wanatani
pemanfaatan lahan lebih efisien dan hasil yang diperoleh lebih bervariasi dan sekaligus
mampu meningkatkan kualitas lingkungan. Wanatani tradisional biasanya tidak direncanakan
secara sistematis dan pengelolaannya tidak intensif.
Pola wanatani sebaiknya dikembangkan dalam berbagai bentuk disesuaikan dengan
kebutuhan dan kondisi setempat. Bagaimana merancang pola tanam wanatani dan
pelaksanaannya di lapangan, maka perlu mengetahui prinsip dasar wanatani. Sifat utama
dari wanatani adalah bahwa sistem ini memberikan aneka hasil dari suatu unit lahan secara
berkesinambungan. Oleh karena itu dalam mengembangkan sistem wanatani, diperlukan
suatu model yang direncanakan dengan baik, yaitu yang memenuhi tiga kriteria pokok :
produktivitas, berkesinambungan, dan mudah dipraktekan oleh petani
Dalam merancang pola tanam wanatani, pada dasarnya adalah melakukan pemilihan
jenis pohon agar lahan, baik secara langsung maupun tidak langsung bermanfaat sebesar-
besarnya untuk kepentingan masyarakat. Beberapa faktor yang perlu diperhatikan yang
diperhatikan dalam pemilihan jenis pohon, yaitu :
- Faktor ekologis: yang jadi pertimbangan adalah : Iklim ( ketinggian tempat, curah hujan
dan temperatur), Tanah (jenis, tektur, PH, drainase, ketebalan solum/tingkat kesuburan).
Berdasarkan faktor ini maka pilihan jenis diarahkan pada jenis andalan setempat.
- Faktor hidroorologis: sesuai dengan topografi (kemiringan tempat) dan tanah
(permeabilitas tanah, kepekaan terhadap erosi, struktur tanah dan drainase). Pada
kondisi lahan yang rusak, disarankan menggunakan jenis-jenis yang dalam
pertumbuhannya tidak memerlukan air yang cukup banyak, evapotranspirasi rendah dan
mempunyai sifat tahan terhadap kekeringan, pengawetan tanah dan mencegah banjir
dan erosi. Selain itu, disarankan jenis pohon yang dipilih mempunyai perakaran yang
dalam, memiliki akar serabut yang panjang dan kerapatan akar yang tinggi serta
pertumbuhannyya secepat mungkin menutup tanah, sehingga dapat mengurangi
bahaya erosi yang akan terjadi. Selanjutnya sebaiknya dipilih yang mempunyai
evapotranspirasi besar pada daerah curah hujan tinggi dan evapotranspirasi sedang
sampai sedikit pada daerah curah hujan rendah.

786
ILMU KEHUTANAN

- Faktor sosial-ekonomi dan budaya : Berkaitan dengan (1) luas pemilikan lahan, pada
lahan sempit sebaiknya dipilih jenis pohon yang berproduksi tinggi dan pertumbuhannya
cepat atau dikombinasikan antara yang berdaur pendek dan panjang. Lahan
dimanfaatkan seoptimal mungkin dengan pengembangan jenis-jenis pohon yang tahan
naungan. (2) Harga dan pemasaran hasiljenis produknya (kayu dan nonkayu) baik pasar
lokal, regional atau global (ekspor yang bernilai ekonomi tinggi dan permintaan pasar
terhadap produk tersebut juga tinggi. (3) Kebutuhan/kesukaan masyarakat, produk
memiliki kegunaan cukup luas terutama untuk bahan pangan, papan dan obat-obatan.
(4) Adat istiadat/kebiasaan masyarakatsangat spesifik dan berbeda dari suatu tempat ke
tempat lain. Oleh sebab itu, sebaiknya menggunakan jenis-jenis yang sudah
memasyarakat.

Adapun penerapan teknologi yang digunakan dalam pemanfaatan lahan menurut


Soemarno (2010.), mutlak diperlukan yang memenuhi sebagai berikut : 1) Teknis dapat
dilaksanakan sesuai dengan kondisi setempat, 2) Ekonomis menguntungkan, 3) Sosial tidak
bertentangan dan bahkan mampu mendorong motivasi petani, 4) Aman bagi lingkungan, dan
5) Mendorong pertumbuhan wilayah secara berkelanjutan.
Program rehabilitasi lahan dan konservasi tanah, menurut Douglas (1991) dalam
Soemarno,2010, ada lima prinsip dasar bagi keberhasilannya pada tingkat lapangan, yaitu:
1) program harus merupakan bagian integral dari program pembangunan pertanian yang
lebih luas, dan harus dimulai dengan peningkatan produksi, 2) program ini harus bersifat
bottom-up yang dirancang dengan melibatkan kepentingan masyarakat petani, 3) asistensi
teknis dilakukan melalui program jangka panjang, 4) suatu aktivitas konservasi dan
pengelolaan lahan harus mampu menunjukkan benefit jangka pendek dan panjang dan 5)
degradasi lahan harus dapat dikendalikan sebelum melampaui batas ambangnya.
Setelah ditentukan jenis-jenis pohon yang akan ditanam, selanjutnya bagaimana
memanfaatkan ruang dan waktu secara optimal sehingga unsur-unsur hara, air dan cahaya
dapat dimanfaatkan secara optimal pula. Ruang tumbuh tanaman berhubungan erat dengan
tata-letak dan akan menentukan ruang tumbuh/ permukaan batas (interfase), baik antara
satu pohon dengan pohon lainnya atau tanaman bawah dengan pohon. Ruang tumbuh ini
dapat dimaksimalkan dengan cara pengaturan secara horisontal dan vertikal. Luas tapak
antara tanaman bawah dan pohon akan maksimum bila terdapat banyak jenis tanaman dan
masing-masing ditanam(diatur) secara heksagonal. Luas tapak akan bertambah dengan
penanaman secara barisan ganda, acak, barisan tunggal, persegi empat dan bujur sangkar.
Dengan cara ini permukaan batas antara tanaman bawah dengan pohon akan berubah
(bertambah) menjadi tiga hingga lima kali lipat. Demikian juga perlu diperhatikan pengaturan
unsur waktu tanam dan panen. Dengan pengaturan ruang dan waktu yang optimal
diharapkan komponen yang satu tidak akan menekan komponen yang lain, malah
sebaliknya terjadi saling menunjang antar komponen.
Jika cahaya adalah faktor pembatas utama bagi pertumbuhan beberapa jenis
tanaman dalam suatu pola wanatani, dimana daun-daun menjadi bagian yang sangat
menentukan, maka tanaman yang dominan adalah tanaman yang paling tinggi. Cara yang
paling baik dalam pengaturan penggunaan sumber cahaya dalam suatu pola wanatani
adalah menanam berbagai jenis tanaman sedemikian rupa sehingga masing-masing
tanaman akan mencapai tinggi maksimum secara bergilirian (pada waktu yang berbeda).
Dalam hal ini ada lima cara yang dapat dilakukan, yaitu :
a. Menaman beberapa jenis tanaman secara bersamaan dimana tanaman-tanaman
tersebut mempunyai tinggi yang sama, tetapi siklus hidupnya berbeda.
b. Menanam beberapa jenis tanaman yang mempunyai tinggi yang berbeda secara
bersamaan dimana tanaman yang lebih rendah akan dewasa sebelum tanaman yang
lebih tinggi dewasa.
c. Menanam beberapa jenis tanaman pada waktu yang berbeda
d. Menaman beberapa jenis tanaman yang dapat memanjat / merambat pada tanaman lain
yang akan dewasa sebelum tanaman tersebut dewasa.

787
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

e. Meminimalkan naungan dari tanaman-tanaman yang lebih tinggi dengan menggunakan


atau menanam tanaman yang berdaun tegak misalnya jagung, melakukan
pemangkasan cabang atau ranting pohon-pohonan, atau menanam jenis tanaman yang
menggugurkan daun.

Pengaturan tata ruang pola wanatani harus bersifat dinamis sejalan perubahan pada
pertumbuhan tanaman pokok agar pemanfaatan lahan efisien sepanjang daur. Oleh karena
itu perlu dicari jenis tanaman bernilai ekonomi tinggi yang dapat tumbuh dibawah
tegakan/tahan naungan baik jenis tanaman pangan maupun tanaman rempah/obat.
Pola tanam dalam sistem wanatani diatur sedemikian rupa sehingga pada tahap
awal, dimana faktor naungan belum menjadi masalah, beberapa komponen dapat tumbuh
bersamaan dalam satu lapisan tajuk. Pada tahap lanjut sistem wanatani akan menyerupai
ekosistem hutan yang terdiri dari banyak lapisan tajuk (multi strata). Lapisan tajuk atas
ditempati oleh jenis-jenis dominan, dan dibawahnya ditempati oleh jenis-jenis yang kurang
dominan yang tahan setengah naungan, kemudian lapisan bawah ditempati oleh jenis-jenis
tahan naungan.
Pola wanatani yang dikembangkan di daerah hulu (dataran tinggi) dengan topografi
yang umumnya bergelombang sampai berbukit dan ketersediaan air yang tebatas, berbeda
dengan di daerah hilir (dataran rendah) dengan topografi yang lebih datar. Untuk daerah
hulu pemilihan jenis diarahkan pada jenis-jenis yang berakar dalam, sistem pengolahan
tanah minimum, penanaman mengikuti garis kontur, membuat teras bangku/tangga, dan
menanami ujung dan muka teras (galengan dan tampingan) dengan tanaman penguat
teras/penyangga erosi yang dapat dipangkas, sehingga selain dapat digunakan sebagai
pupuk hijau juga untuk makanan ternak. Sedangkan untuk daerah hilir dan landai dengan
tiupan angin yang kencang, lebih ditekankan untuk menggunakan pola tanam dengan
menggunakan tanaman pagar (shelterbelt).
Beberapa contoh pola hutan rakyat wanatani yang telah berhasil diusahakan di
beberapa tempat ( Mindawati dan Widiarti 2006) dimana komposisi tanaman yang
diusahakan campuran dari :
a. Tanaman Kehutanan + Tanaman Perkebunan + Tanaman Semusim
Komposisi jenis terdiri dari :
sengon + kopi + tembakau (Ds. Sidoarjo, Kec. Kemalang, Kab. Klaten )
sengon + mahoni + suren + kopi + kelapa + pisang + cabe (Ds. Pacekalan, Kab.
Wonosobo)
mahoni + sengon + kelapa + ubi kayu+ ubi jalar (Desa Boja, Kec Majenang)
sengon + kopi + cokelat + kelapa + ubi kayu + gamal (Desa Sumberurip Kec. Doko
Kab. Blitar)

b. Tanaman Kehutanan + Tanaman Perkebunan + Tanaman Buah


Komposisi jenis terdiri dari :
Sengon + Mahoni + Suren + Cengkeh + Kopi + Kapulaga + Kelapa + Nangka +
Jengkol + Durian + Pete + Melinjo (Ds. Pacekelan, Kec. Sapuran, Kab. Wonosobo )
sengon + kelapa + teh + jengkol (Desa Mangunreja, Kab Ciamis)
Sengon + Suren + Kelapa + Nangka + Petai + Durian + Melinjo (Desa Sedayu, Kec.
Sapuran, Kab. Wonosobo)

c. Tanaman Kehutanan + Tanaman Perkebunan


Pola tanam ini telah diterapkan di :
Sengon + Kopi + Kelapa + Cengkeh ( Ds. Ngaliyan, Kab. Wonosobo)
Sengon + Mahoni + Kopi + Lada dan Cengkeh Ds. Sukarasa, Kec. Darma, Kab.
Kuningan):
sengon + kopi + kelapa (Ds. Sumberurip, Kec. Doko Kab. Blitar )

788
ILMU KEHUTANAN

d. Tanaman Kehutanan + tanaman Semusim


Sengon + Jati putih + Labu Kuning ( Desa Kadipaten, Kec. Kadipaten Kab.
Tasikmalaya)
Sengon + Mentimun + Kacang panjang ( Desa Batulawang, Kec. Pataruman, Kab.
Banjar)

Saat ini keuntungan komparatif, menjadi bagian dari dasar pertimbangan


perdagangan bebas, bahwa setiap usaha pada satu bidang lahan harus digunakan untuk
aktivitas-aktivitas yang menghasilkan barang dan jasa yang paling baik manfaatnya bagi
mayarakat luas. Kondisi ini menuntut pentingnya perancangan yang baik pola tanam hutan
rakyat agar pengusahaan hutan rakyat memiliki nilai manfaat yang tinggi sehingga menjadi
salah satu alternatif dalam pemanfaatan lahan. Nilai sumberdaya lahan dengan
mengusahaan hutan rakyat selain menghasilkan nilai produk usahatani juga menghasilkan
nilai jasa lingkungan serta unsur penyerap karbon, maka keuntungan komparatif (com-
parative advantage) pengusahaan hutan rakyat sesungguhnya lebih tinggi, dibandingkan
usahatani di sector lainnya.

PENUTUP

9 Dengan keterbatasan sumberdaya lahan di Jawa, pemanfaatan sumberdaya lahan akan


semakin bersaing dengan usaha tani komoditas pertanian lainnya. Oleh karena itu
pengusahaan hutan rakyat harus memiliki daya saing kompetitif dalam memberikan nilai
kontribusi ekonomi persatuan luasan lahan.
9 Pelaksanaan rehabilitasi lahan sebaiknya dilakukan melalui perencaan pola tanam yang
merujuk kepada pemahaman kondisi fisik lahan dan keinginan masyarakat serta
kebijakan pemerintah dalam bidang pengelolaan lahan. Dengan rancangan pola tanam
yang matang dapat meningkatkan keberhasilan tanaman, pendapatan petani dan
selanjutnya berdampak positif terhadap pelestarian lingkungan khususnya penyelamatan
hutan, tanah dan air.
9 Pola tanam wanatani banyak dinilai oleh para ahli sebagai pola tanam yang paling cocok
untuk wilayah-wilayah berpenduduk padat, baik ditinjau dari fungsi ekonomi (pendapatan
masyarakat), fungsi sosial (penyerapan tenaga kerja) maupun fungsi lingkungan.
Sehingga pemanfaatan sumberdaya lahan dengan pengembangan usaha hutan rakyat
sangat sesuai dengan azas-azas penggunaan lahan yang ditetapkan.
9 Pilihan jenis pohon untuk rehabilitasi lahan sebaiknya tidak digenelalisir pada satu wilayah
yang luas namun bervariasi tergantung kondisi lingkungan wilayah masing-
masing/bersifat site spesifik, mempertimbangkan faktor-faktor teknis, ekonomis, ekologis
dan sosial/budaya, agar usahatani hutan rakyat menjadi pilihan usaha yg produktif dan
lestari.
9 Diperlukan pembinaan & bimbingan teknis dalam perancangan pola tanam ylm
pelaksanaan pembangunan hutan rakyat di lapangan.
9 Usahatani hutan rakyat memiliki nilai keuntungan komparatif (comparative advantage)
lebih tinggi. dibandingkan usahatani di sector lainnya apalagi bila diperihitungkan nilai jasa
terhadap pelestarian lingkungan.

789
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

DAFTAR PUSTAKA

Alrasjid, H. 2003. Metode Penentuan Kesesuaian Lahan. Orasi Ilmiah APU. Jakarta (tidak
diterbitkan).
Arsyad Sitanala, 1989. Konservasi Tanah dan Air. Penerbit IPB. Bogor.
Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial. 2002. Buku Panduan
Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial. Departemen Kehutanan. CV. Bina Niaga
Sejati, Jakarta.
Djajapertjunda, S. 2003. Pengembangan Hutan Milik di Jawa. ALQAPRINT Jatinangor.
Bandung.
Ginoga, K. Wulan YC, Djaenudin D. 2002. Potential of Indonesian Smallholder Agroforestri in
The CDM: A Case Study in The Upper Citanduy Watershed Area. Working Paper
CC12.
2004 ACIAR Project ASEM 2002/2006.
http://agroindonesia.co.id/2010/02/11/. Perhutani-terapkan-syarat-ketat. Diakses 6 Febuari
2011.
http://tatagunatanah.blogspot.com , Labels: Kebijakan Penatagunaan Tanah. Kamis, 14
Agustus 2008. Diaksi 25 Juni 2011.
http://soemarno.blogspot.com. Sumberdaya Lahan. Diakses 23 Mei 2011.
Mindawati,N dan Asmanah Widiarti, 2007 Review Hutan Rayat. Pus Litbang Hutan
Tanaman. Bogor.
Nair, P.K.R. 1993. An Introduction to Agroforestri. Kluwer Academic Publishers and ICRAF.
Dordrecht, The Netherlands.
Simon, H. 1995. Srategi Pengembangan Pengelolaan Hutan Rakyat. Makalah Utama pada
Lokakarya Pengembangan Hutan Rakyat di Bandung. Direktorat Jenderal Reboisasi
dan Rehabilitasi lahan. Departemen Kehutanan. Jakarta.
Suharjito, D. 2000. Hutan Rakyat : Kreasi Budaya Bangsa. Hutan Rakyat di Jawa. Perannya
dalam Perekonomian Desa. P3KM. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.
Widiarti, A. 2000. Kajian Teknik Silvikultur Hutan Rakyat, Makalah pada Seminar Hasil
Hasil Penelitian Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam
di Bogor.

790
ILMU KEHUTANAN

KAJIAN PEMANENAN BAMBU SECARA TRADISIONAL


DI PURWOKERTO DAN GUNUNGKIDUL

Sukadaryati dan Dulsalam


Peneliti Pustekolah
Email: daryatielin@yahoo.co.id dan dul.salam@gmail.com

ABSTRAK

Praktek pemanenan bambu yang dilakukan selama ini masih banyak yang
berorientasi pada pemenuhan kebutuhan saat ini, belum mempedulikan kelanjutan di masa
yang akan datang sehingga banyak yang tidak mengindahkan aspek kelestariannya, baik
hasil maupun sumber penghasilnya. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan
informasi ilmiah pengaruh teknik pemanenan bambu terhadap kerusakan permudaan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata volume bambu, produktivitas
penebangan, efisiensi pemanfaatan dan jumlah kerusakan permudaan bambu di Purwokerto
berturut-turut sebesar 0,056 m3; 0,667 m3/jam; 69% dan 7 batang/rumpun. Sementara itu,
rata-rata volume bambu, produktivitas penebangan, efisiensi pemanfaatan, dan jumlah
kerusakan permudaan bambu di Gunungkidul berturut-turut sebesar 0,026 m3; 0,232 m3/jam;
48,67% dan 3 batang/rumpun. Efisiensi pemanfaatan bambu di Gunungkidul lebih rendah
daripada di Purwokerto, hal ini ditunjukkan dengan tingginya tunggak bambu yang
ditinggalkan. Teknik pemanenan yang tepat perlu diterapkan untuk meningkatkan efisiensi
pemanfaatan bambu sekaligus dapat menjamin kelestarian produk dan sumber penghasil
bambu.

Kata kunci : bambu, produktivitas, efisiensi, permudaan, kelestarian

PENDAHULUAN

Bambu sebagai bahan baku yang sudah lama dikenal dan digunakan terutama oleh
masyarakat pedesaan, memegang peran yang cukup penting sebagai salah satu produk
hasil hutan non kayu. Bagi mereka, bambu merupakan bahan baku yang murah harganya,
mudah didapat, mudah dikerjakan, ringan dan mempunyai kekuatan yang cukup kuat.
Banyak masyarakat yang menananam bambu di pekarangan mereka sekedar untuk
mencukupi kebutuhan sendiri dan sisanya dijual. Bahkan akhir-akhir ini, ekpor bambu dari
Jawa Timur dalam bentuk furnitur akan segera dipasarkan ke Tunisia. Anonim (2009a)
menyebutkan besarnya ekspor furnitur bambu ke sana mencapai 5 hingga 10 kontainer. Di
mana 1 kontainer seharga USD 20.000.
Bambu digunakan masyarakat dalam berbagai bentuk produk dan tidak terbatas
bagian batang bambu saja tetapi juga pada bagian rebung bahkan akarnya. Batangnya
biasa digunakan untuk bahan bangunan, bambu lamina, kayu lapis, bahan baku kertas dan
tisue, mebel (meja dan kursi), anyaman bambu untuk dinding, tikar hingga alat musik seperti
angklung dan suling. Rebungnya biasanya dimakan setelah diolah dahulu menjadi sayur
atau juga digunakan untuk isi makanan kudapan lunpia, yang menjadi makanan khas dari
Semarang. Namun demikian rebung yang bisa dimakan berasal dari jenis rebung bambu
tertentu (Anonim, 2009b), seperti bambu ori (Bambusa bambos); bambu petung
(Dendrocalamus asper) dan bambu wulung/bambu hitam (Gigantochloa atroviolaceae),
sedang jenis rebung tertentu justru mengandung racun sehingga bila dimakan dapat
membahayakan jiwa. Sementara itu bambu yang biasa digunakan untuk alat musik seperti
angklung berasal dari bambu wulung. Ada juga bambu yang berguna untuk kesehatan,

791
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

seperti rebusan rebung bambu ampel/haur (Bambusa vulgaris) dapat digunakan untuk obat
hepatitis, rebusan daun bambu ori dapat digunakan untuk penyejuk mata, obat bronkitis,
demam dan gonorhoe.
Bambu merupakan tanaman simpodial, yaitu tanaman berbentuk rumpun dengan
batang-batang yang mengumpul karena perakaran di dalam tanah cenderung mengumpul.
Dalam proses pemanenannya kurang menguntungkan, karena batang yang lebih tua berada
di tengah rumpun. Oleh karena itu pemanenan dilakukan dengan cara tebang habis, artinya
semua batang bambu ditebang baik yang muda maupun yang tua. Cara ini akan
mengganggu perebungan bambu, karena perebungan bambu dipengaruhi oleh batang
bambu yang ditinggalkan. Selain itu, cara pemanenan tebang habis juga menghasilkan
produk bambu yang mempunyai kualitas yang beragam, mulai dari bambu tua hingga bambu
muda. Selain tebang habis, cara pemanenan bambu dilakukan dengan tebang pilih. Pada
cara ini bambu yang ditebang adalah bambu yang sudah masak tebang. Sudiono dan
Soemarno (1964) dalam Krisdianto, dkk (2000) mengelompokkan bambu dalam empat
generasi, yaitu :
x Generasi I : bambu berumur 3 4 tahun
x Generasi II : bambu berumur 2 3 tahun
x Generasi III : bambu berumur 1 2 tahun
x Generasi IV : bambu berumur 0 1 tahun

Pada cara pemanenan tebang pilih, bambu yang ditebang adalah bambu yang
masuk dalam kelompok generasi I. Kemudian bambu pada generasi ke II dan seterusnya.
Pada dasarnya, batang yang banyak ditinggal untuk memacu proses perebungan adalah
bambu pada generasi ke IV. Namun demikian, metode tebang pilih ini dalam prakteknya
cukup sulit dikerjakan.
Praktek pemanenan bambu yang digunakan hingga saat ini berdasarkan pada cara
tradisional dan berlaku secara turun temurun, dari generasi ke generasi tanpa ada panduan
tertulisnya/dituangkan dalam buku panduan, misalnya. Mungkin karena bambu belum
dikelola sebagaimana tanaman penghasil kayu padahal dalam pemanfaatannya bambu
dapat menjadi salah satu bahan alternatif pangganti kayu. Selama ini tanaman bambu
dibiarkan tumbuh begitu saja di tanah-tanah kosong, di tepi sungai atau di pekarangan milik
rakyat tanpa ada perawatan khusus. Berdasarkan cara tradisional, para penebang bambu
akan mengikuti persyaratan yang harus dilakukan. Beberapa persyaratan tersebut adalah
tidak menebang bambu pada saat terang bulan, pada pagi hari, saat muncul rebung, dan
saat rumpun bambu mulai berbunga (Anonim, 2009b). Bambu tidak boleh ditebang pada
saat terang bulan karena kadar airnya sedang tinggi, dimanakadar air yang tinggi akan
menimbulkan kadar gula yang tinggi juga. Kadar gula yang tinggi menjadi tempat yang
menyenangkan bagi organisme perusak kayu karena menjadi sumber makanannya. Bambu
yang ditebang pada pagi hari juga tidak tepat karena pada pagi hari bambu biasanya sedang
menghisap makanan yang mengandung banyak gula untuk bahan makanan bagi daun
untuk berfotosintesa. Akibatnya, ketika ditebang pada pagi hari, bambu memiliki kadar gula
tinggi yang memudahkannya dimakan organisme perusak. Bambu seperti itu tidak bisa
tahan lama dalam pemakaiannya.Sementara itu, saat bambu sedang memiliki rebung juga
tidak boleh ditebang. Hal ini disebabkan oleh bambu yang lebih tua sedang mengalihkan zat
kalk pada anak bambu atau rebung untuk pertumbuhannya. Selain itu bambu yang sedang
berbunga juga tidak boleh ditebang karena menandakan bambu sudah akan mati.
Praktek pemanenan bambu yang dilakukan biasanya dengan menebang bambu pada
umur tertentu tergantung jenis bambunya. Menurut Sonjaya (2009), bambu ori (Bambusa
bambos) dapat dipanen pada umur 34 tahun, sedang bambu ampel (Bambusa vulgaris)
dipanen setelah umur 3 tahun dan mengalami puncaknya pada umur 68 tahun. Bambu
petung (Dendrocalamus asper) dan bambu wulung/bambu hitam (Gigantochloa
atroviolaceae) masing-masing dipanen pada umur 3 tahun (mencapai puncaknya pada umur
56 tahun) dan 45 tahun. Pada umumnya praktek pemanenan tradisional yang dilakukan
selama ini tidak menebang habis semua batang bambu tetapi dengan menyisakan beberapa
batang untuk proses regenerasi.

792
ILMU KEHUTANAN

Di negara-negara Jepang, RRC, Taiwan, Vietnam dan Thailand, bamboo telah


dibudidayakan secara baik (Anonim, 2008). Jarak tanamnya diatur rapi. Lahan di bawah
tegakan bamboo itu bersih. Untuk bambu simpodial, dalam satu rumpun bamboo hanya
akan dipelihara maksimal 5 batang. Di Jepang dan RRC, di mana bambunya didominasi
bambu monopodial (bambu tumbuh tidak dalam rumpun) sehingga mudah dalam
pemanenannya.Karena kebun bamboo ini memperoleh pengairan, maka panen rebung bias
dilakukan secara teratur sepanjang tahun, kecuali di kawasan temperate (bersalju), yang
panen rebungnya ditentukan oleh musim, bukan oleh faktor pengairan. Pada musim dingin,
tanaman bamboo akan menjalani istirahat panjang (dorman). Begitu musim semi tiba, maka
rebung pun akan bermunculan. Meskipun diberi pengairan cukup, panen rebung di kawasan
temperate hanya akan terjadi sekali dalam setahun. Sementara itu, di kawasan tropis,
bamboo akan mampu menghasilkan rebung sepanjang tahun, asal airnya cukup. Secara
alamiah, pada musim kemarau, bambu di kawasan tropis juga akan mengalami istirahat.
Namun pada saat itu sinar matahari justru sedang optimal. Demikian pula dengan adanya air
irigasi, maka produktifitas rebung justru akan lebih tinggi pada musim kemarau tersebut.
Pemanfaatan bamboo tidak terbatas pada bagian batangnya saja. Di banyak negara,
seperti Indonesia, Thailand, China, Vietnam dan lain-lain memanfaatkan rebung bambu
untuk diolah menjadi makanan. Di Indonesia, misalnya rebung banyak digunakan untuk isi
kudapan lumpia atau disayur lodeh. Di Thailand yang mengembangkan kebun rebung
bamboo mempunyai sebuah mitos bahwa jenis bamboo unggul yang dijadikan induk untuk
kebun bambu, berasal dari biji. Selanjutnya, pengembangbiakannya dilakukan secara
vegetative dengan pemberian media pada pangkalcabang yang menempel di batang.Istilah
gampangnya disebut cangkokan. Namun seluruh bambu yang dikebunkan untuk diambil
rebungnya itu, setelah 80 tahun akan berbunga dengan serentak kemudian mati semua.
Pada saat itulah harus dimulai lagi pengembangan bamboo secara generative melalui biji.
Demikian seterusnya setiap 80 tahun harus dilakukan peremajaan tanaman bamboo melalui
penumbuhan biji (Anonim, 2008). Di Indonesia sendiri, kita belum mengetahuinya sebab di
sini memang belum ada kebun bambu yang dikelola secara professional seperti halnya di
Thailand.
Sebagai gambaran, jika dari satu hektar kebun bambu, per minggu dapat dipanen
400 rebung maka bobot satu rebung hanya sekitar 1 s/d. 1,5 kg setelah dibersihkan dan
bagian pangkalnya dibuang. Hasil per hektar per tahun sekitar 20 s/d. 30 ton rebung yang
sudah terkupas dan dibuang bagian pangkalnya yang berkayu. Dengan harga sekitar Rp
2.000,- per kg. maka dari satu hektar lahan itu akan dapat diperoleh pendapatan kotor dari
rebung Rp 40.000.000,- s/d. Rp 60.000.000,- dalam setahun. Sebagian besar dari
pendapatan tersebut akan digunakan untuk biaya penyusutan, tenaga kerja (pengambilan
rebung dan pengupasan), serta untuk pengairan. Pendapatan bersih bisa setengah dari
pendapatan kotor tersebut. Dibanding dengan tanaman palawija (jagung, singkong, kedelai),
pendapatan bersih Rp 20.000.000,- s/d. Rp 30.000.000,- per tahun tersebut sudah termasuk
bagus (Anonim, 2008).
Menurut Riyadi (2007), bambu di Indonesia diperkirakan akan punah pada sepuluh
tahun ke depan. Hal ini disebabkan karena pemakaian yang besar dan aktivits ekpor yang
tak terkendali. Untuk memenuhi permintaan pasar seringkali masalah pemanenannya
diabaikan bahkan mengarah ke ekploitasi sumberdaya yang berlebihan. Penggunaan yang
tidak terkontrol dan tidak adanya upaya penanaman kembali, bisa dipastikan bambu akan
punah. Permasalahan timbul manakala pemanenan hasil hutan non kayu seperti bambu
tidak mengindahkan sisi kelestarian, baik kelestarian hasil maupun pohon penghasilnya.
Untuk itu diperlukan teknik pemanenan yang tepat dan tidak mengganggu permudaannya
agar kelesariannya tetap terjaga.
Tulisan ini bertujuan untukmemberikan informasi pengaruh teknik pemanenan bambu
terhadap kerusakan permudaan. Teknik pemanenan yang dialkukan secara tradisional
sesuai kebiasaan masyarakat setempat.

793
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

METODOLOGI

Lokasi penelitian
Penelitian dilakukan di areal hutan rakyat atau lahan milik rakyat di daerah Purwokerto,
Jawa Tengah dan Gunungkidul, DIY.

Bahan dan Alat Penelitian


Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitain ini :alat bantu pemanenan
bambu, parang, cat, kuas, pita meter, klinometer, stop watch, alat tulis, dan komputer.

ProsedurPenelitian
1). Pengumpulan data primer :
a. Menentukan lokasi penelitian secara purposif didasarkan pada kemudahan
pelaksanaan penelitian untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
b. Mencatat kondisi awal rumpun bambu yang akan dipanen, yaitu jumlah bambu (tua
dan muda) dan jumlah rebung per rumpun.
c. Memilih dan menandai batang bambu yang akan ditebang.
d. Mengamati kegiatan pemanenan bambu dengan berbagai alat panen tradisional
maupun dengan perlakukan pada lokasi yang telah ditentukan.
e. Setiap pengamatan kegiatan pemanenan dicatat jarak (m) dari tempat bambu
ditebang hingga ke pengumpulan sementara, waktu kerja (detik), diameter (cm) dan
panjang (m) bambu yang dipanen. Diameter dan panjang bambu diukur dengan
meteran dan waktu kerja diukur dengan stopwatch.
f. Setiap waktu pengamatan dicatat waktu yang terbuang (waktu tidak tetap) akibat
gangguan alat yang digunakan ataupun faktor lain.
g. Mencatat dan menghitung jumlah rebung dan bambu muda yang rusak akibat
kegiatan penebangan bambu.
2). Pengumpulan data sekunder
a. Studi pustaka : mengumpulkan referensi yang berkaitan dengan teknik pemanenan
bambu.
b. Mencatat produksi bambu dan rebung per rumpun per tahunan.
c. Mencatat kondisi umum areal hutan tempat penelitian.
d. Mencatat tarif upah penebang, pengumpul dan pengangkut bambu
e. Mencatat harga jual bambu dan rebung.

Analisis Data
Hasil pengamatan di lapangan dianalisis dan dikaji untuk mengetahui pengaruhteknik
pemanenan bambu terhadap kerusakan permudaan. Rumus-rumus yang digunakan dalam
pengolahan data adalah sebagai berikut:
1). Produktivitas alat pemanenan dihitung dengan rumus:
Vm
Pm =
Wm

di mana : Pm = Produktivitas pemanenan (m3.m/jam); Vm = jumlah volume bambu yang


dihasilkan per rumpun; W = Waktu yang diperlukan untuk pemanenan (jam)

2). Volume bambuyang dipanen dihitung dengan rumus seperti di bawah ini dengan asumsi
bambu yang berbentuk bulat pejal seperti kayu (tanpa ada growong di tengahnya) :

V = 1/4 S D2 x L
di mana : V = Volume bambu; D = Diameter rata-rata (pangkal dan ujung) dalam meter;
L= Panjang sortimen (m)

794
ILMU KEHUTANAN

3). Efisiensi pemanfaatan bambu :


Be
E= x 100%
Bt
di mana : E = Efisiensi (%); Be = panjang batang yang dimanfaatkan (m); Bt = panjang
batang total (m)

4). Kerusakan bambu muda/rebung :

rusak
K= x 100%
awal

di mana :K = Kerusakan bambu muda/rebung (%); rusak = jumlah


bambumuda/rebung yang rusak (batang/rumpun); awal = jumlah bambu
muda/rebung sebelum penebangan (batang/rumpun)

Kriteria kerusakan permudaan akibat kegiatan penebangan yang dimaksud adalah :


x pada bambu muda, dikatakan rusak apabila batang bambu patah hingga sebesar
50%
x pada rebung, dikatakan rusak apabila rebung tercabut/tumbang.

Rebung dalam hal ini dibatasi sebagai tanaman bambu yang masih dapat
dimakan/dikonsumsi manusia untuk dimakan (Winarto B, 2006).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Purwokerto (Jawa Tengah)


Bambu yang tumbuh di daerah itu merupakan hasil tanaman yang tumbuh di
pekarangan, tanah-tanah kosong milik penduduk dan tumbuh di pinggir-pinggir sungai. Janis
bambu yang banyak tumbuh di sana adalah bambu tali. Sementara itu, industri kerajinan
bambu banyak berkembang di sana, antara lain industri mebel (meja, kursi, buffet, lemari,
dll), perlengkapan dapur (seperti tudung saji, tatakan gelas, piring, nampan, dll), tirai
(penyekat ruangan), dan lain-lainnya. Semua produk home industri tersebut dibuat secara
home industri dengan bahan baku bambu sebagian besar berasal dari daerah lain. Di desa
Kemutuk Kidul, Kecamatan Baturaden terdapat 16 home industri bambu.
Jenis bambu yang digunakan untuk bahan baku indutri sebagian besar bambu
wulung, sedang jenis yang lainnya hanya sedikit saja, seperti jenis bambu tutul. Hal ini
disebabkan karena jenis bambu tutul sudah sulit diperoleh. Bambu tutul ini didatangkan dari
luar Banyumas, yaitu dari Kutoarjo. Selain dari Banyumas sendiri, bambu jenis wulung
didatangkan juga dari daerah lain, yaitu dari daerah Kebumen dan Cilacap.
Jenis bambu yang ditebang adalah bambu jenis wulung. Bambu wulung yang
ditebang berumur tua dan sebagian besar terletak di tengah rumpun, namun demikian ada
juga yang terletak di bagian pinggir. Lokasi penebangan bambu dilakukan di desa Kemutuk
Kidul dan desa Tamansari, kecamatan Karanglowas. Di desa ini bambu wulung sebagian
besar tumbuh di pekarangan/tanah kosong milik pribadi.
Dalam penelitian ini dilakukan dengan membuat 3 plot, di mana masing-masing plot
dipilih berdasarkan jumlah bambu masak tebang terbanyak per rumpunnya. Luas plot yang
digunakan kurang lebih 5 x 5 m. Data yang dikumpulkan di lapangan sesuai dengan
prosedur penelitian pada halaman 23 dan dianalisa sesuai rumus yang tertera dalam
halaman 24. Hasil pengamatan kegiatan penebangan bambu yang dilakukan sesuai
kebiasaan masyarakat setempat (turun-temurun) dapat dilihat pada Tabel 1 berikut ini.

795
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Tabel 1. Hasil rerata kegiatan penebangan bambu sesuai kebiasaan


masyarakat lokal di Purwokerto

Jumlah
Produktivitas Efisiensi
Volume Kerusakan
No plot penebangan pemanfaatan
bambu (m3) permudaan
(m3/jam) (%)
(batang)
1. 0,059 0,744 70 8
2. 0,057 0,616 69 7
3. 0,051 0,643 68 7
Rerata 0,056 0,667 69 7

Dalam setiap pekarangan, bambu wulung yang tumbuh rata-rata terdapat 36


rumpun, di mana masing-masing rumpun terdiri dari 20-30 batang bambu, baik yang masih
muda maupun yang sudah tua. Bahkan dalam 1 rumpun ada yang berjumlah hingga 70
batang (terdiri dari bambu tua dan muda). Dari 1 rumpun bambu, jumlah batang bambu tua
berkisar antara 1012 batang, sedang bambu muda berjumlah 810 batang (berumur kurang
lebih 4 bulan), sementara sisanya berupa bambu dewasa yang belum siap panen.
Rumpun bambu tersebut sudah pernah dipanen sebelumnya, sehingga penebangan
yang dilakukan pada saat penelitian merupakan penebangan yang ke 2 atau 3 dan dalam
melakukan kegiatan penebangan tersebut tidak banyak menemui kendala/kesulitan. Namun
demikian kerusakan tegakan bambu muda akibat penebangan tetap terjadi. Hal ini terjadi
karena pada ujung batang bambu saling bersilang atau terkait satu dengan yang lainnya.
Keadaan ini menyebabkan kerusakan batang bambu muda saat bambu tua yang dipanen
ditarik karena tersangkut di antara ujung batang bambu yang lainnya. Bambu yang sudah
tua pada jenis bambu wulung dicirikan dengan totol-totol putih di sepanjang batangnya
(kelihatan seperti penyakit kulit panu pada manusia), sedang bambu yang sudah dewasa
tetapi belum masak tebang, batangnya berwarna hijau tanpa totol-totol tersebut.
Dalam satu rumpun, bambu wulung yang ditebang berkisar antar 47 batang,
tergantung jumlah batang yang sudah tua/siap panen dan kebutuhannya. Bambu muda yang
rusak akibat kegiatan penebangan tersebut adalah :
x 34 batang bambu muda rusak karena sengaja ditebang untuk membuka
jalan/memberi ruang gerak untuk mencapai bambu tua di bagian tengah rumpun.
Diameter bambu yang rusak rata-rata 6 cm.
x 24 batang bambu rusak pada saat penebangan, yaitu patah karena tertimpa pohon
yang ditebang atau patah karena kegiatan penarikan batang bambu yang ditebang
(tersangkut di bagian ujung batang).

Kerusakan permudaan bambu saat kegiatan penebangan tidak ditemukan pada


tingkat rebung, karena memang pada saat kegiatan penebangan tersebut tidak ditemukan
rebung. Dengan kata lain, semua rebung sudah tumbuh menjadi batang bambu berumur 4
bulan dan rebung yang terlambat tumbuh akhirnya busuk dan mati sendiri.
Alat yang digunakan dalam penebangan bambu adalah parang dan gergaji tangan.
Tenaga kerja yang digunakan sekitar 3 orang, satu orang bertugas sebagai penebang, dan
dua orang membantu menebang, menarik batang bambu yang sudah roboh dan membagi
batang bambu.
Berdasarkan Tabel 1 di atas, volume bambu yang ditebang berkisar antara 0,051
0,059 m3 dengan rata-rata 0,056 m3. Produktivitas penebangan berkisar antara 0,6160,744
m3/jam. Produktivitas penebangan bambu dipengaruhi oleh volume bambu yang ditebang
dan berbanding terbalik terhadap waktu yang dibutuhkan untuk menebangnya. Semakin
besar volume bambu yang ditebang cenderung meningkatkan produktivitas penebangan.
Efisiensi pemanfaatan bambu berkisar antara 6870% dengan rata-rata 69%. Efisiensi
pemanfaatan ini menunjukkan perbandingan antara panjang bambu yang dapat
dimanfaatkan dengan panjang bambu total yang ditebang. Semakin tinggi nilai efisiensinya

796
ILMU KEHUTANAN

berarti tingkat pemanfaatan batang bambu juga semakin tinggi. Dengan kata lain, limbah
batang bambu yang tidak dimanfaatkan semakin rendah. Jumlah kerusakan permudaan
berkisar antara 78 batang/rumpun dengan rata-rata 7 batang/rumpun.

Gunungkidul (Daerah Istimewa Yogyakarta)


Menurut data dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Gunungkidul pada
tahun 2002, luas hutan rakyat yang ada 12.615 Ha. Dari hutan rakyat ini berbagai potensi
kehutanan dan perkebunan dapat dikembangkan, dengan beberapa hasil komoditas
kehutanan seperti kayu jati, mahoni, sonokeling, bambu, akasia, dll. Dari hutan rakyat itu
pula beberapa komoditas perkebunan dapat dihasilkan seperti cengkeh, jambu mete, kakao,
kapas, dll.
Daerah yang banyak menghasilkan kerajinan bamboo antara lain: Kelurahan Sodo
Kecamatan Paliyan, Nitikan Kecamatan Semanu, Bendungan Kecamatan Karangmojo,
sebagian desa di Kecamatan Patuk, Sidodadi Kecamatan Rongkop, Kepek Kecamatan
Semin dan sebagainya.Untuk pusat transaksi jual beli bambu di Gunungkidul dipusatkan di
Pasar Pring,Kepek Wonosari Gunungkidul. Untuk penjualan dan pembelian transaksi
langsung bias dilokasi pasar. Berbagai macam barang kerajinan bambu yang dihasilkannya
dipasarkan keluar daerah seperti Yogyakarta, Surakarta, Jakarta, Denpasar dan, Makassar.
Para perajin bambu di Playen memproduksi berbagai macam barang kerajinan diantaranya
anyaman bambu, kerajinan daun kering, kerajinan kain perca, dan kerajinan fiberglass.
Perajin di sentra industri kerajinan Kecamatan Playen juga memproduksi tempat tisu, pigura,
tempat sampah dalam berbagai ukuran, tatakan tempat makan, sanggan pengantin, serta
aneka pernak-pernik hiasan rumah. Akhir-akhir ini mereka menyelesaikan pesanan 2.000
lampion yang sebagian akan dikirim ke Australia, dan sebagian lainnya ke sejumlah negara
di Eropa. Selain itu juga ada aneka kerajinan kayu batik dan cat di Bobung, Putat, Patuk,
Gunungkidul, kerajinan akar wangi dan seruling bambu di Kepek RT 05/28Kepek, Semin,
Gunungkidul, kerajinan caping di dusun Kaliwaru RT 02 RW 29, dusun Kampung Kecamatan
Ngawen.
Seperti halnya di daerah Purwokerto, jenis bambu yang digunakan untuk penelitian di
Gunungkidul adalah bambu jenis wulung. Bambu wulung yang ditebang berumur tua dan
sebagian besar terletak di tengah rumpun, namun demikian ada juga yang terletak di bagian
pinggir. Lokasi penebangan bambu dilakukan di desa Trimulyo. Di desa ini bambu wulung
sebagian besar tumbuh di pekarangan/tanah kosong milik pribadi.
Dalam penelitian ini dilakukan dengan membuat 3 plot, di mana masing-masing plot
dipilih berdasarkan jumlah bambu masak tebang terbanyak per rumpunnya. Luas plot yang
digunakan kurang lebih 5 x 5 m. Data yang dikumpulkan di lapangan sesuai dengan
prosedur penelitian pada halaman 23 dan dianalisa sesuai rumus yang tertera dalam
halaman 24. Hasil pengamatan kegiatan penebangan bambu yang dilakukan sesuai
kebiasaan masyarakat setempat (turun-temurun) dapat dilihat pada Tabel 2 berikut ini.

Tabel 2. Hasil rerata kegiatan penebangan bambu sesuai


kebiasaan masyarakat lokal di Gunungkidul

Jumlah
Produktivitas Efisiensi
Volume Kerusakan
No plot penebangan pemanfaatan
bambu (m3) permudaan
(m3/jam) (%)
(batang)
1. 0,038 0,342 50 3
2. 0,013 0,117 48 3
3. 0,026 0,238 48 2
Rerata 0,026 0,232 48,67 3

Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa dalam satu rumpun, bambu wulung yang
ditebang berkisar antar 1015 batang, namun demikian diameter batang bambu kecil (rata-
rata 12 cm) jika dibamdingkan dengan bambu wulung yang berasal dari Purwokerto

797
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

(penelitian sebelumnya). Jumlah batang bambu yang tua/masak tebang dalam satu rumpun
pun juga lebih sedikit, yaitu berkisar antara 35 batang/rumpun. Hal ini kemungkinan
disebabkan oleh pengelolaan bambu yang masih kurang. Masyarakat masih mengganggap
bambu mempunyai nilai yang lebih rendah dibandingkan barang lainnya (kayu), sehingga
tanaman bambu dibiarkan tumbuh dengan sendirinya tanpa perlakuan tertentu bahkan
dalam teknik penebangannya pun tidak memperhatian aspek kelestarian. Misalnya
menebang bambu yang masih muda/belum masak tebang: tinggi sisa batang bambu yang
ditebang/tinggi tunggak masih cukup tinggi, yaitu sekitar 100 m; dan tidak dilakukan
kegiatan penebangan secara rutin (bambu yang sudah masak tebang) untuk merangsang
pertumbuhan tunas-tunas bambu yang baru.
Berdasarkan penebangan bambu yang dilakukan sesuai kebiasaan masyarakat
setempat, jumlah kerusakan permudaan yang terjadi adalah :
x 23 batang bambu muda rusak karena sengaja ditebang untuk membuka
jalan/memberi ruang gerak untuk mencapai bambu tua di bagian tengah rumpun.
Diameter bambu yang rusak rata-rata 5 cm.
x 23 batang bambu rusak pada saat penebangan, yaitu patah karena tertimpa pohon
yang ditebang atau patah karena kegiatan penarikan batang bambu yang ditebang
(tersangkut di bagian ujung batang).

Yang perlu dicatat di sini adalah tingginya sisa batang bambu bekas tebangan/tinggi
tunggak bambu yang ditinggalkan, yaitu mencapai 100 m. Berdasarkan wawancara dengan
penebang menyatakan bahwa mereka merasa cukup memanfaatkan batang bambu yang
ada tanpa mempedulikan sisa batng bambu yang ditinggalkan masih tinggi. Dengan kata
lain, pemanfaatan batang bambu tidak maksimal karena tunggak yang ditinggalkan masih
tinggi. Kerusakan permudaan bambu saat kegiatan penebangan tidak ditemukan pada
tingkat rebung, karena memang pada saat kegiatan penebangan tersebut tidak ditemukan
rebung.
Alat yang digunakan untuk menebang bambu berupa gergaji tangan. Tenaga kerja
yang digunakan sekitar 3 orang, satu orang bertugas sebagai penebang, dan dua orang
membantu menebang, menarik batang bambu yang sudah roboh dan membagi batang
bambu.
Berdasarkan Tabel 2 di atas, volume bambu yang ditebang berkisar antara 0,013
0,038 m3 dengan rata-rata 0,026 m3. Produktivitas penebangan berkisar antara 0,1170,342
m3/jam. Produktivitas penebangan bambu dipengaruhi oleh volume bambu yang ditebang
dan berbanding terbalik terhadap waktu yang dibutuhkan untuk menebangnya. Semakin
besar volume bambu yang ditebang cenderung meningkatkan produktivitas penebangan.
Efisiensi pemanfaatan bambu berkisar antara 4850% dengan rata-rata 48,67%. Efisiensi
pemanfaatan ini menunjukkan perbandingan antara panjang bambu yang dapat
dimanfaatkan dengan panjang bambu total yang ditebang. Semakin tinggi nilai efisiensinya
berarti tingkat pemanfaatan batang bambu juga semakin tinggi. Dengan kata lain, limbah
batang bambu yang tidak dimanfaatkan semakin rendah. Efisiensi pemanfaatan bambu di
Gunungkidul ternyata lebih rendah dibandingkan dengan di Purwokerto. Hal ini berarti limbah
batang bambu yang tidak dimanfaatkan masih tinggi. Kenyataan di lapangan menunjukkan
bahwa tinggi tunggak bambu yang ditinggalkan cukup tinggi, yaitu sekitar 100 cm. Jumlah
kerusakan permudaan berkisar antara 23 batang/rumpun dengan rata-rata 3
batang/rumpun.
Tanaman bambu ternyata sudah dikembangbiakkan secara kultur jaringan, yaitu di
daerah Sleman (sebelum terjadi letusan gunung Merapi 2010).Kultur jaringan bambu
tersebut dikembangkan oleh PT Bambu Nusa Verde. Gambaran tentang PT Bambu Nusa
Verde adalah sebagai berikut, PT. Bambu Nusa Verde (BNV) adalah perusahaan yang
mengembangkan bioteknologi, bergerak di bidang perbanyakan tanaman bambu. BNV
menerapkan teknologi kultur jaringan yang telah dikembangkan oleh perusahaan Belgia
yaitu OPRINS PLANT Company dan melakukan transfer teknologi di BNV.
Pengembangbiakan bamboo dengan cara kultur jaringan telah dilakukan oleh banyak
ilmuwan laboratorium, namun tingkat keberhasilannya masih sangat terbatas. Pada

798
ILMU KEHUTANAN

kenyataannya di dunia hasil penelitian menunjukkan tingkat kesuksesan


pengembangbiakanhanya 5% itu berarti 95% hasilnya gagal untuk produksi komersial.
OPRINS PLANT mempelopori pengembangan teknologi kultur jaringan untuk bambu,
dengan mengembangbiakan dalam jumlah yang banyak dari berbagai macam jenis bambu,
baik bambu temperate maupun bamboo tropis dalam jumlah yang besar. PT. Bambu Nusa
Verde berlokasi di Jl. Mangunan, Tebonan, Pakem, Sleman, Yogyakarta, Indonesia. Produk
bambu yang dikembangkan dengan metode kultur jaringan adalah jenis: Bambusa balcooa
(Bambu Balcoa), Bambusa vulgaris (Bambu Ampel), Gigantochloa atroviolaceae (Bambu
Wulung), Giganthochloa atter (BambuAtter), Gigantochloa apus (Bambu Apus),
Dendrocalamus asper (Bambu Petung), Bambusa tultoides, Dendrocalamus giganteaus
(Bambu Sembilang), Bambusa bamboos (Bambuduri/PringOri) dan Bambusa vulgaris
'Vitatta' (Bambu Kuning).

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Volume bambu, produktivitas penebangan, efisiensi pemanfaatan, dan jumlah kerusakan
permudaan bambu di Purwokerto berturut-turut sebesar 0,0510,059 m3 dengan rata-
rata 0,056 m3; 0,6160,744 m3/jam dengan rata-rata 0,667 m3/jam; 6870% dengan
rata-rata 69% dan 78 batang/rumpun dengan rata-rata 7 batang/rumpun.
2. Volume bambu, produktivitas penebangan, efisiensi pemanfaatan, dan jumlah kerusakan
permudaan bambu di Gunungkidul berturut-turut sebesar 0,0130,038 m3 dengan rata-
rata 0,026 m3; 0,1170,342 m3/jam dengan rata-rata 0,232 m3/jam; 4850% dengan
rata-rata 48,67% dan 23 batang/rumpun dengan rata-rata 3 batang/rumpun.
3. Efisiensi pemanfaatan bambu di Gunungkidul lebih rendah daripada di Purwokerto, hal
ini ditunjukkan dengan tingginya tunggak bambu yang ditinggalkan.

Saran
1. Perlu penerapan teknik pemanenan bambu berupa model horse shoe/tapak kuda
untuk membuka jalan dalam menebang bambu tua yang posisinya berada di bagian
tengah rumpun. Atau dengan menggunakan alat pemotong ranting bambu pada bagian
ujung sehingga tidak merusak bambu yang tidak ditebang, pada saat bambu yang
ditebang ditarik.
2. Perlu peningkatkan efisiensi pemanfaatan bambu untuk menghemat bahan baku bambu
dan penebangan bambu perlu dilakukan secara rutin untuk merangsang tumbuhnya
permudaan bambu dan pertumbuhan bambu dapat optimal (diameter dan panjangnya).
3. Perlu diteliti aspek kelembagaan bambu sebagai bahan baku industri masyarakat
setempat.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2008. Berkebun Rebung Bambu. Forum Kerjasama Agribisnis. Website :


www.foragri.blogsome.com. Diakses tangaal 26 Januari 2009.
Anonim. 2009a. Tembus pasar Uni Eropa, furnitur bambu Jatim harus berlabel Tunisia.
Website : www.bisniskeuangan.kompas.com. Diakses pada tanggal 5 November
2009.
Anonim. 2009b. When to harvest bamboo? Wet or dry season? Website :
www.bamboocraft.net. Diakses tanggal 10 Januari 2009.
Anonim. 2009c. Pengawetan bambu. Website : www.sahabatbambu.com. Diakses pada
tanggal 11 Januari 2009.

799
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Anonim. 2009d. Siaran Pers No S.504/II/PIK-1/2004. Diakses dari website : www.dephut.go.


Diakses pada tanggal 9 November 2009.
Anonim. 2007. Spesies Bambu Dunia ada di Jabar. Website : www.litbangkompas.com.
Diakses pada tanggal 8 januari 2010.
Anonim. 2006. Kemenyan Tapanuli Utara:komoditas andalan yang kurang diminati. Majalah
Kehutanan Indonesia (MKI) Website : www.dephut.go.id. Diakses pada tanggal 5
November 2009.
Krisdianto, Ginuk Sumaryani dan Jasni. 2000. Himpunan Sari Hasil Penelitian Rotan dan
Bambu. Pusat Penelitian Hasil Hutan. Bogor.
Riyadi, W. 2007. Bambu akan punah dari Indonesia. Website:
www.wahyuriyadi.blogspot.com. Diakses tpada tanggal 10 November 2009.
Supriadi, R., L.S.B. Darmi, A.P. SukadanKaryono. 2005. KajianSosialEkonomi HHBK
Priorotas, Rotan. LaporanHasilPenelitian. Bogor.
Sonjaya, A.J. 2009. Jenis-jenis bambu yang bernilai ekonomi. Website :
www.sahabatbambu.com. Diakses pada tanggal 11 Januari 2009.
Trubus. 2008. Menapak pedalaman Toba-Samusir. Website: www.trubus-online.co.id.
Diakses pada tanggal 5 November 2009.
Wahyuddin. 2008. Pelestarian Hutan Bambu untuk Menanggulangi Illegal Logging dan
Global Warming. Lomba Karya Tulis Ilmiah YPHL. Website :
www.kabarindonesia.com. Diakses pada tanggal 10 Januari 2009.
Winarto, Bambang. 2006. Kamus Rimbawan. Cetakan pertama. Yayasan Bumi Indonesian
Hijau. Bogor.

800
ILMU KEHUTANAN

LAMPIRAN
KEGIATAN PENEBANGAN BAMBU

Gambar1.Rebung bambu wulung Gambar 2. Bambu muda


berumur 2 minggu berumur 2 bulan

Gambar 3. Rumpun bambu wulung Gambar 4. Kegiatan penebangan bambu

Gambar 6. Kegiatan menarik bambu Gambar 5. Menggergaji bambu yang


tersangkut bambu lain

801
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Gambar 7. Batang bambu yang sudah Gambar 8. Tumpukan bambu wulung hasil
terpotong tetapi batang ujungnya masih penebangan
tersangkut di bagian atas dengan bambu lain

Gambar 9. Tinggi tunggak bambu yang Gambar 10. Tinggi tunggak bambu yang
ditinggalkan oleh masyarakat Gunungkidul ditinggalkan oleh masyarakat Purwokerto

802
ILMU KEHUTANAN

TINGKAT KESUKAAN RAYAP PADA TIPE TANAH DAN SELEKSI


PARTIKEL: SUATU STRATEGI EKOLOGI
(Termite Soil Preference and Particle Selections:
Strategies Related to Ecological Requirements)
Niken Subekti
Semarang State University

ABSTRACT

At the Dungus Iwul natural forestry, West Java ecological station, Macrotermes gilvus
Hagen (Macrotermitidae) was observed to build mounds enriched with fine particles. Using
laboratory experiments we studied the selection of building materials by worker termites
offered (0-20 cm), (20-40 cm) and deeper layer (40-60 cm). the physical and chemical
properties of the unused soil and subsequent termite constructions (foraging galleries and
fungus comb chambers) were compared in each case.
When presented with a single soil type, the termites modified soil texture for different
parts of their structure. Termite building activity increased when presented with both soil
types and a notable selection was observed in the use of a given soil type for a specific part
of the structure built.
We conclude that termites utilize soil particle selectivity, favoring finer and making
construction which match ecological, physiological, and behavioral needs. Compared with
material from deeper horizon, less energy was expended when surface soil was used as a
resource for gallery building and less C and N supplementation was needed. In contrast,
termites preferred deeper soil for constructing fungus-comb chamber walls because this
material has greater water holding capacity.

Keywords :Macrotermes gilvus Hagen, building, soil preference.

ABSTRAK

Lokasi pengambilan sampel di Hutan Alam Dungus Iwul, Jawa Barat, dengan
specimen Macrotermes gilvus Hagen diamati sarang dengan partikel tanahnya sebagai
bahan pengamatan. Penelitian di laksanakan dengan metode lapang dan metode
laboratorium di dengan material bangunan sarang yang dibawa oleh kasta pekerja pada
kedalaman (0-20 cm), (20-40 cm) dan (40-60) dari permukaan tanah. Sifat fisik dan kimia
tanah diamati adalah tanah diluar dan didalam sarang.
Kehadiran rayap dapat merubah satu tipe tanah, hal ini disebabkan karena rayap
dapat memodifikasi tekstur tanah disekitarnya. Aktivitas rayap dapat meningkatkan tipe
tanah dan menseleksi dalam penggunaan tanah disekitarnya untuk membangun sarang
Dapat disimpulkan bahwa rayap dapat menseleksi tipe tanah dalam membangun
sarang untuk kebutuhan ekologi, fisologi dan tingkah laku yang diperlukan dalam
kehidupannya. Pada lapisan horizontal, energi sangat diperlukan rayap untuk membangun
sarang, sehingga dibutuhkan persediaan unsur C dan N di dalam sarang. Sementara itu,
rayap menyukai lapisan tanah paling bawah untuk konstruksi kebun jamur dan tempat kawin
ratu raja. Dengan demikian, porositas yang tinggi terdapat didalam sarang.

Kata kunci :Macrotermes gilvus Hagen, bangunan, kesukaan tipe tanah

803
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

PENDAHULUAN

Rayap merupakan komponen biotik suatu ekosistem yang ada di alam. Rayap dalam
ekosistem tersebut secara keseluruhan merupakan pengguna energi, konsumen tingkat
pertama dan dekomposer bahan organik. Rayap mampu menghancurkan dan
mengkonsumsi bagian-bagian tumbuhan mati atau hidup dan sekaligus menguraikannya
menjadi bahan anorganik dengan memanfaatkan simbiosis dengan organisme lain di dalam
sistem pencernaannya. Akibat perilakunya tersebut, rayap dapat mengubah sifat fisik dan
sifat kimia tanah daerah yang ditempatinya (Bignell dan Eggleton, 2000). .
Sarang M. gilvus Hagen memiliki tata ruang yang telah berkembang baik terdiri dari
dinding sarang, pusat sarang, bilik ratu, kebun jamur, liang kembara dan sistem pergantian
udara. Beberapa peneliti melihat bahwa sarang rayap memiliki peranan dalam membentuk
kondisi lingkungan sarang yang ideal seperti temperatur, kelembaban dan konsentrasi gas
yang diperlukan untuk respirasi (Bronick dan Lal, 2005).
Faktor lingkungan yang mempengaruhi perkembangan populasi rayap meliputi curah
hujan, suhu, dan kelembaban. Faktor-faktor tersebut saling berinteraksi dan saling
mempengaruhi satu sama lain (Jouquet et al. 2002). Kelembaban dan suhu merupakan
faktor yang secara bersama-sama mempengaruhi aktivitas rayap. Perubahan kondisi
lingkungan menyebabkan perubahan perkembangan, aktivitas, dan perilaku rayap.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sebagian dari karakteristik tanah yang merupakan
habitat rayap Macrotermes gilvus Hagen, sehingga diperoleh gambaran mengenai kondisi
habitat rayap tersebut.

METODE PENELITIAN

Pada tahap pertama dilakukan pada komunitas hutan alam Cagar Alam Dungus Iwul,
Jawa Barat. Sementara itu, tahap kedua dilakukan di Laboratorium Terpadu Institut
Pertanian Bogor serta laboratorium Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Institut Pertanian
Bogor. Sarang yang ada di lokasi penelitian dengan komposisi 3 sarang ukuran besar, 3
sarang ukuran sedang, dan 3 sarang ukuran kecil. Parameter Sifat Fisik Tanah yang diukur
adalah tanah didalam sarang dan tanah diluar sarang suhu, pH, Profil Tanah, dan Tekstur
Tanah.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tabel 1. Kandungan Fraksi Pasir, Debu dan Liat pada Sarang Rayap Macrotermes gilvus
Hagen Tanah dalam Sarang dan Tanah Sekitar Sarang pada Komunitas Hutan Alam

TEKSTUR
LOKASI
Pasir (%) Debu (%) Liat (%)
Sarang Macrotermes (L) 10.4511.49 34.0138.48 51.0754.8
Sekitar Sarang 8.710.22 36.3146.33 44.9754.91
Macrotermes (L)
Sarang Macrotermes (M) 12.3113.81 17.9438.91 47.2869.75
Sekitar Sarang 11.9413.99 36.4238.55 47.4651.64
Macrotermes (M)
Sarang Macrotermes (S) 12.5716.37 28.5937.23 50.255.04
Sekitar Sarang 10.3814.92 20.4933.67 52.9669.13
Macrotermes (S)

Perubahansifat fisik dan kimia tanah seperti yang telah dikemukakan diatas, secara
tidak langsung dapat mempengaruhi kondisi tanah sehingga dapat mengganggu

804
ILMU KEHUTANAN

pertumbuhan tanaman. Pengaruh perubahan sifat tanah dapat dijelaskan bahwa perubahan
dalam tekstur, bobot isi dan porositas menyebabkan perubahan dalam kepadatan tanah,
struktur tanah, drainase dan aerasi tanah. Pada sarang M. gilvus tanah terlihat lebih padat,
struktur lebih pejal dan kompak, aerasi lebih baik,
Faktor tanah (edafik) merupakan faktor yang mempengaruhi kelimpahan sarang.
Tanah dengan tekstur liat yang mendominasi sangat disukai rayap M. gilvus dalam
membangun sarang. Pada lahan dengan kemiringan lereng 3-8% tanah kohesif seperti
lempung atau liat tetap kuat meskipun dalam keadaan tidak dapat mengikat (unconfined)
seperti tanah berbutir (pasir, kerikil). Tekstur liat dengan perekat air ludah (saliva) yang
berfungsi sebagai semen membuat sarang rayap M. gilvus manjadi kuat. Sementara itu,
tanah dengan tekstur liat juga berguna untuk kehidupan mikroorganisme dalam tanah
(Sarcinelli et al. 2009). Tanah dengan tipe seperti ini banyak mengandung bahan organik
yang membantu rayap M. gilvus dalam mendegradasi bahan-bahan organik menjadi bahan
anorganik.
Porositas tanah dalam sarang M. gilvusmerupakan jumlah ruang pori dalam tanah.
Banyaknya ruang pori dalam tanah dipengaruhi oleh kandungan bahan organik, struktur, dan
tekstur tanah (Nash & Whitford 1995). Porositas tanah dalam sarang semakin banyak
apabila kandungan bahan organiknya tinggi. Tanah bertekstur pasir memiliki porositas lebih
rendah dibanding tanah yang bertekstur liat.Hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan
nyata porositas dari tanah dalam sarang dibandingkan dengan tanah diluar sarang.
Banyaknya liang kembara, ruangan-ruangan dalam sarang, serta kandungan liat yang tinggi
dalam sarang menyebabkan tingginya porositas tanah di dalam sarang rayap M. gilvus.
Rayap tanah M. gilvus Hagen membentuk sistem konstruksi bangunan sarang tidak
menjulang tinggi keatas, tetapi melebar kesamping. Hal ini berbeda dengan M. michaelseni
di Kenya, yang memiliki kekuatan untuk membentuk konstruksi sarang menjulang keatas.
Seperti halnya dengan bangunan yang dibuat oleh manusia, dalam pembuatan bangunan
dan konstruksi sarang, rayap Macrotermes selalu merubah konstruksi bangunan sarang, hal
ini disesuaikan dengan kondisi iklim dihabitatnya (Turner 2000).

KESIMPULAN

Karakteristik tanah pada sarang M. gilvus, tanah dalam sarang dan tanah sekitar
sarang dalam hal kandungan fraksi pasir, debu dan liat; kadar air tanah. Berdasarkan
komposisi kandungan tekstur tanahnya, maka keempat lokasi diatas memiliki kelas tekstur
tanah liat.

DAFTAR PUSTAKA

Bignell DE, Eggleton P. 2000. Termites in ecosistem. In Termites: Evolution, Sociality,


Symbioses, Ecology. Edited by: Takuya Abe, David Edward Bignell and Masahiko
Higashi. Kluwer Academic Publisher London. hlm 363-388.
Bronick CJ, Lal R. 2005. Soil structure and management. Geoderma 124: 3-22
Jouquet P, Lepage M, Velde B. 2002. Termite soil preference and particle selection:
strategies related to ecological requirements. Insectes Soc. 49:1-7.
Nash MH, Whitford WG. 1995. Subterranean termites: regulators of soil organic matter in
the Chihuhuan Desert. Biol Fertil Soils. 19: 15-18.
Sarcinelli TS, Schaefer CEGR, Lynch LDS, Arato HD, Viana JHM, Filho MRDA, Goncalves
TT. 2009. Chemical, physical and micromorphological properties of termite mounds
and adjacent soils along a toposequence in zona da mata, Minas Gerais State, Brazil.
Catena 76: 107-113.
Turner JS. 2000. Architecture and morphogenesis in the mound of Macrotermes
michaelseni (Isoptera : Termitidae) in Northern Namibia. Cimbebasia 16:143-175.

805
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

HUTAN TANAMAN MANGIUM


UNTUK KAYU PERTUKANGAN DAN KAYU SERAT

Riskan Effendi1 dan Haruni Krisnawati2


1
Puslitbang Peningkatan Produktivitas Hutan, Bogor.
Email: riskan51@yahoo.co.id
2
Puslitbang Konservasi dan Rehabilitasi Hutan, Bogor.
Email :h.krisnawati@yahoo.co.id

ABSTRACT

Plantation forest is a major source to meet timber industry and community needs.
One of native tree species in Indonesia which has been widely known is mangium (Acacia
mangium Willd.). This species is categorized as a fast-growing tree species and has many
advantageous in addition to several weaknesses. The results of breeding species have
obtained superior seeds having high productivity. This paper aims to present information on
A. mangium species that can be used for pulp and paper as well as for construction wood. A.
mangium has been widely planted as a producer of fiber wood with a 6-7 year cutting
rotation producing 175-300 m3/ha depending on soil fertility. Meanwhile, many people have
accepted A. mangium wood as a construction wood, among others, for light construction,
furniture and parquet. Considering this it is necessary to review A. mangium plantations for
pulp and construction wood. The results showed that 8-10 years cutting rotation, trees can
reach diameter of 30 cm with a production of 150-200 m3/ha, consisted of construction
wood 50-60 m3/ha and pulp as much as 100-140 m3/ha. If the tree diameter is 40 cm dbh
then the cutting rotation is about 12 years and the produced construction wood ranges 80-
160 m3/ha and for pulp 150-230 m3/ha. To enrich paper the examples of successful A.
mangium forest plantation development in provinces of South Sumatra and Riau are also
presented.
Key words: Acacia mangium, construction wood, pulp

ABSTRAK

Hutan tanaman menjadi andalan utama untuk memenuhi kebutuhan industri


perkayuan maupun kebutuhan masyarakat. Salah satu jenis pohon asli Indonesia yang
sudah dikenal secara luas adalah mangium (Acacia mangium Willd.). Jenis yang
dikategorikan sebagai jenis pohon tumbuh cepat (fast growing tree species) ini mempunyai
banyak kelebihan selain beberapa kelemahan. Hasil pemuliaan jenis mangium telah
diperoleh keturunan (F2) yang unggul dengan produktivitas yang tinggi. Makalah ini
bertujuan untuk menyajikan informasi jenis mangium yang dapat digunakan sebagai kayu
pertukangan dan kayu serat. Selama ini mangium banyak ditanam sebagai penghasil kayu
serat untuk industri pulp dan kertas dengan daur 6-7 tahun dengan hasil 175-300 m3/ha
tergantung kesuburan tanah. Sementara itu masyarakat telah menerima kayu mangium
sebagai kayu pertukangan antara lain untuk mebel dan parket. Sehubungan dengan hal
tersebut diperlukan kajian tanaman mangium untuk kayu pertukangan dan kayu serat. Hasil
kajian menunjukkan bahwa dengan daur 8-10 tahun, diameter pohon mencapai 30 cm dan
produksi kayu 150 200 m3/ha, yang terdiri dari kayu pertukangan 50 60 m3/ha serta kayu
serat sebanyak 100 140 m3/ha. Bila diameter pohon 40 cm maka daurnya sekitar 12 tahun
dan hasil kayu pertukangan 80 160 m3/ha serta kayu serat 150 230 m3/ha. Untuk
melengkapi makalah akan disajikan contoh pembangunan hutan tanaman mangium yang
telah berhasil di berbagai lokasi seperti di Provinsi Sumatera Selatan dan Riau.
Kata kunci :Acacia mangium, kayu pertukangan, pulp

806
ILMU KEHUTANAN

PENDAHULUAN

Salah satu jenis pohon asli (native tree species) Indonesia yang dikategorikan
sebagai jenis tumbuh cepat (fast growing species) adalah mangium dengan nama botani
Acacia mangium Willd, termasuk suku Leguminoceae. Jenis pohon ini tumbuh secara alami
di Maluku yaitu di Pulau Sula, Seram dan Papua (Pulau Aru). Diluar Indonesia menurut
Awang dan Taylor (1993) A. mangium terdapat di Papua New Guinea dan Australia
(Quensland).
A. mangium termasuk jenis pionir dan memerlukan cahaya penuh (full light) untuk
pertumbuhan yang baik. Dibawah naungan jenis ini tumbuh kerdil dan kurus. A. mangium
dikenal karena kekuatan/keteguhannya (robustness) dan kemampuannya untuk
menyesuaikan (adaptability) sehingga banyak ditanam antara lain di padang alang-alang
sebagai pemecah angin (Lemmens et al., 1995). Kegiatan penghijauan dan rehabilitasi lahan
kritis juga banyak menggunakan A. mangium sebagai salah satu jenis yang ditanam. Akan
tetapi, bila pertumbuhannya tidak dikendalikan dengan baik A.mangium berpotensi sebagai
jenis invasif.
Jenis ini telah ditanam dalam skala besar pada pembangunan Hutan Tanaman
Industri (HTI) terutama di Provinsi Riau antara lain pada areal PT Riau Andalan Pulp and
Paper (RAPP) APRIL Group; Provinsi Sumatera Selatan diantaranya PT Musi Hutan
Persada; Provinsi Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur. Rimbawanto (2002) dan Barry
et al. (2004) melaporkan bahwa sekitar 80% hutan tanaman di Indonesia ditanami dengan A.
mangium..Karena mempunyai prospek yang menjanjikan maka sejak tahun 1992 berbagai
kegiatan program pemuliaan pohon (tree breeding) telah dilakukan pada jenis A. mangium,
antara lain oleh Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Pohon Hutan
Yogyakarta. Sampai saat ini telah dihasilkan A. mangium yang unggul (F1 dan F2) dimana
pada umur 4 tahun dapat dihasilkan volume tegakan sekitar 86 m3/ha - 118 m3/ha
(Puslitbang Hutan Tanaman, 2006). Program pemuliaan pohon untuk mendapatkan bibit
unggul dengan produktivitas yang tinggi juga telah dilaksanakan oleh PT RAPP APRIL
Group Riau (Golani et al., 2009).
Pembangunan HTI jenis A. mangium terutama ditujukan untuk memproduksi pulp
dan kertas dalam waktu yang relatif singkat. Hardiyanto et al., (2010) mengemukakan bahwa
pemanenan kayu A. mangium untuk pulp dilakukan pada umur 6-7 tahun. Pada umur
tersebut akan diperoleh volume sebesar 175 300 m3/ ha tergantung pada kesuburan
tanah dan intensifikasi pemeliharan. Pada lahan yang subur dan baik mangium dapat
mencapai riap 46 m3/ha dengan volume 415 m3/ha pada umur 9 tahun (Sindusuwarno et al.,
1981; Ginoga et al., 1999 dalam Santoso et al., 2005).
Penggunaan kayu mangium untuk kayu pertukangan dan belakangan ini untuk bahan
baku mebel telah dilakukan oleh masyarakat. Menurut Krisdianto dan Hendarto (2006),
pemakaian kayu mangium untuk pembuatan mebel pada industri perkayuan telah dilakukan
di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Keuntungan menggunakan kayu mangium karena jenis ini
memiliki kemiripan dengan kayu jati yaitu bagian terasnya. Dikemukakan lebih lanjut bahwa
kayu mangium banyak digunakan untuk membuat siku, sambungan, dan penyangga dalam
pembuatan lemari kayu.

BUDIDAYA MANGIUM

Pembangunan hutan tanaman khususnya jenis Acacia mangium akan menghasilkan


produksi yang tinggi bila dilakukan dengan teknik silvikultur intensif (SILIN). Menurut
Soekotjo dan Naiem (2006) ada tiga pilar utama dalam SILIN, yaitu: (1) penggunaan bibit
yang unggul (2) manipulasi lingkungan, dan (3) pencegahan hama dan penyakit terpadu.
Vance et al. (2010) mengemukakan bahwa praktek pembinaan hutan yang intensif dapat
meningkatkan produktivitas hutan tanaman diantaranya melalui pengaturan tapak dan
tegakan hutan.

807
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Hutan tanaman A. mangium yang dilakukan dalam skala besar untuk produksi kayu
untuk bahan baku pulp umumnya telah melaksanakan SILIN. Bibit unggul melalui
persilangan untuk mendapatkan keturunan yang baik dengan produktivitas tinggi telah
diterapkan. Program pemuliaan pohon telah dilaksanakan oleh beberapa perusahaan.
Misalnya, PT RAPP pada tahun 2009 sudah memiliki 237 ha kebun benih yang terdiri dari
CSO/CBO/SSO seluas 106 ha dan SPA seluas 136 ha (Golani et al., 2009). Berbagai
kegiatan pemuliaan pohon untuk meningkatkan kualitas benih diantaranya melalui uji
provenan telah mampu meningkatkan volume tegakan mencapai 46 % dibandingkan dengan
provenan lokal (Purwita et al., 2010).
Penanaman A. mangium dilakukan pada musim penghujan namun ada pula yang
menanam sepanjang tahun seperti yang dilakukan oleh PT MHP Sumatera Selatan. Jarak
tanam tergantung dari tujuan penanaman. Untuk penghasil kayu serat jarak tanam mulai dari
2 m x 2 m sampai 4 m x 4 m. Untuk kayu pertukangan jarak tanam umumnya 3 m x 3 m dan
dilakukan penjarangan agar diperoleh batang kayu yang cukup besar. Penanaman dapat
dilakukan dengan biji dan juga stek batang (Lemmens et al., 1995).
Manipulasi lingkungan termasuk pemberian pupuk dan pemeliharaan tanaman
secara intensif telah meningkatkan produksi A. mangium. Hardiyanto dan Wicaksono (2008)
dalam Golani et al. (2009) melaporkan penggunaan pupuk P pada tanaman A. mangium
umur lima tahun di PT Musi Hutan Persada Sumatera Selatan, dengan dosis 28,0 gram per
pohon atau 30,9 kg per ha telah meningkatkan volume batang sebesar 311 m3 per ha
dibandingkan dengan tanpa pemupukan sebesar 291 m3 per ha. Pemberian pupuk pada
hutan tanaman telah dilakukan mulai dari tingkat semai sampai tanaman muda. Purwita et al.
(2010) melaporkan bahwa pada jenis pohon A. mangium yang ditanam pada tanah podsolik
merah kuning dan diberi pupuk P memberikan respon pertumbuhan yang sangat signifikan.
Dikemukakan lebih lanjut bahwa selain dosis juga perlu diperhatikan waktu pemupukan yang
tepat.
Pemeliharaan tanaman dari gulma dilakukan dengan cara penyemprotan herbisida
terhadap tanaman bawah sampai tajuk menutupi lahan sehingga tanaman A. mangium
bebas dari gulma. Manajemen tapak yang tepat antara lain seperti yang dilakukan di PT
Musi Hutan Persada Sumatera Selatan dapat meningkatkan volume tanaman A. mangium
umur 6 tahun sebesar 271,8 m3/ha/tahun yaitu pada perlakuan semua gulma, serasah dan
residu tebang ditinggalkan di sekitar lahan ditambah dengan residu tebang dari luar (Purwita
et al., 2010).

PEMANFAATAN MANGIUM

Kayu Serat
Pembangunan HTI khususnya jenis A. mangium sebagian besar ditujukan sebagai
penghasil kayu serat untuk bahan baku pulp dan kertas.
Beberapa sifat kayu A. mangium yang terkait dengan pemanfaatannya sebagai bahan baku
pulp dan kertas adalah:
x Tumbuh cepat dimana untuk pulp daur tebang sekitar 5-6 tahun,
x Dapat tumbuh pada sebagian besar jenis tanah, bahkan pada tanah-tanah kritis.
x Pembuatan pulp dan kertas dengan proses sulfat pada alkali aktif 16 %, sulfiditas 25 %,
lama perendaman 2 jam, suhu maksimum 170C selama 1,5 jam diperoleh rendemen pulp
tersaring sebesar 51,46 % (Santoso et al., 2005)
x Sebagai bahan baku pulp dan kertas jenis ini dimasukkan dalam Kualitas II (cukup baik),
dimana pulp mudah diputihkan. Kekuatan kertas termasuk sedang dengan Nilai II
(Santoso et al., 2005)

Marsoem (2004) mengemukakan sifat-sifat kayu mangium yang meliputi sifat fisik dan
kimiawi seperti disajikan pada Tabel 1.

808
ILMU KEHUTANAN

Tabel 1. Sifat fisik dan kimiawi kayu mangium

Sifat fisik Nilai Komponen Nilai


Berat jenis 0,36-0,53 Lignin 19,7 -27,3 %
g/cm3
Panjang serat 0,78-1,12 mm Hollocelluloce 73,16 81,75 %
Diameter sel 13,8 25,0 Alphacelluloce 44,0 47,2 %
mm
Tebal dinding sel 2,9 4,5 mm Pentosan 14,2 20,76 %
Nisbah Runkel 0,30 0,45 Kelarutan dalam air panas 1,9- 9,8 %
Kekasaran serat 0,070 mg/m Kelarutan dalam NaOH 1 % 9,84 16,41 %
Nisbah 40,4 - 45 Kelarutan dalam ethanol 2,9 5,6 %
panjang/lebar benzene
Abu 0,32 0,68 %

Sejak tahun 1999 PT Musi Hutan Persada Sumatera Selatan telah menanam A.
mangium dalam skala besar dan kayunya digunakan untuk pembuatan pulp mencapai
450.000 ton per tahun (Marsoem, 2004). Menurut Hardiyanto et al. (2010) produktivitas HTI
mangium di PT Musi Hutan Persada untuk bahan baku pulp adalah sebesar 175-300 m3/ha
pada pemanenan umur 6-7 tahun. Dikemukakan lebih lanjut bahwa volume tersebut
ditentukan oleh berbagai faktor yaitu kesuburan tanah, iklim, dan teknik budidaya yang
digunakan.
Penjarangan tidak diperlukan untuk hutan tanaman mangium yang ditujukan untuk
menghasilkan pulp, karena untuk produksi pulp tidak ada pembatasan ukuran produk. Rotasi
tebang optimal hutan tanaman mangium untuk produksi kayu pulp pada umumnya menurun
(lebih cepat) dengan makin meningkatnya kualitas tempat tumbuh dan kerapatan tegakan
(jarak tanam). Semakin tinggi indeks tempat tumbuh, semakin banyak kayu pulp yang dapat
dihasilkan dari tegakan. Begitu pula, semakin tinggi kerapatan tegakan awal, semakin
banyak kayu pulp yang dihasilkan, meskipun peningkatan produksinya tidak sebesar seperti
pada peningkatan kualitas tempat tumbuh. Tegakan mangium dengan jarak tanam 2m x 2.5
m (2000 pohon/ha) bisa menghasilkan kayu pulp sekitar 200-350 m3/ha pada umur 8 tahun
(tergantung kualitas tapak).

Kayu Pertukangan
Selain untuk pulp kayu mangium saat ini banyak digunakan oleh masyarakat untuk
kayu pertukangan. Sebagai kayu pertukangan A. mangium memiliki sifat-sifat yang
menguntungkan diantaranya:
x Ukuran kayu cukup besar, dan dapat mencapai diameter sekitar 30 cm pada umur
sekitar 10 tahun, sehingga tidak memerlukan waktu yang relatif lama untuk
memproduksinya.
x Memiliki kerapatan kayu (wood density) 450 (530-690) kg/m3 pada kandungan
kelembapan 15 %. Bobot jenis 0,50-0,60 termasuk ringan dan sedang. Kelas Keawetan
tergolong dalam Kelas Awet II-III dan Kelas Kuat II-III; sedangkan Kelas Ketahanan
digolongkan dalam III-IV.(Lemmens et al., 1950; Martawijaya dan Barly, 1990; Ginoga,
1997; Muslich dan Sumarni, 1993; Ismanto, 1995).
x Rendemen dolok mangium sebesar 39,6 % untuk diameter rata-rata 22,4 cm dan
panjang 257,5 cm (Rachman dan Balfas, 1990 dalam Santoso et al., 2005) dan dengan
teknik Pembelahan Pertama Terbaik (PPT) dan simulasi komputer rendemen dapat
mencapai 51,24 % (Santoso et al., 2005). Rendemen kayu maksimum menurut Kliwon et
al. (2000) untuk penggergajian kayu mangium berkisar 35 sampai 53 % dimana lebar
maksimum 6,5 cm. Bahkan rendemen dapat mencapai 33 54 % untuk dolok berukuran
15-40 cm dimana lebar papan maksimum sebesar 10 cm (Supriadi dan Amelia, 2004).
x Karakteristik pengerjaan kayu secara umum baik, dimana sifat permesinan kayunya
termasuk kelas II I (Baik-Sangat Baik). Sifat mekanis mangium yang terdiri dari MOR:

809
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

725,37-942,23 kg/cm2, MOE: 113.664-118.693kg/cm2, MPL: 528,32-686,13 kg/cm2,


tekanan maksimum sejajar serat: 416,48-435,85 kg/cm2 sehingga mangium dapat
digunakan sebagai bahan baku produk kayu utuh, diantaranya untuk konstruksi ringan,
furniture dan barang kerajinan (Ginoga, 1997).

Marsoem (2004) melaporkan bahwa kayu mangium dapat dibuat kayu lapis
(plywood), kayu OSB (oriented strand band), dan kayu gergajian (sawn wood). Hal yang
serupa juga dikemukakan sebelumnya oleh Lemmens et al. (1995) dimana kayu mangium
berpotensi untuk digunakan sebagai kayu gergajian, moulding, furniture dan vinir. Hasil
percobaan pembuatan papan serat berkerapatan sedang (Mediun Density Fiberboard,
MDF) jenis mangium diperoleh hasil yang memuaskan dan memenuhi persyaratan FAO
maupun Jepang (JIS) (Santoso et al., 2005).
Pemanfaatan mangium untuk kayu pertukangan diperoleh dari hutan tanaman yang
umurnya lebih dari delapan tahun. Krisnawati et al. (2011) mengemukakan bahwa daur
optimum jenis mangium untuk kayu pertukangan adalah 11-17 tahun tergantung pada jarak
tanam dan kualitas tapak. Pada kisaran umur ini tegakan mangium bisa menghasilkan kayu
pertukangan sebesar 130-260 m3/ha dengan kisaran diameter rata-rata 33-45 cm.
Hardiyanto et al. (2010) melaporkan bahwa di areal HTI A. mangium PT Musi Hutan
Persada, Sumatera Selatan, dengan daur 8-10 tahun diameter pohon mangium mencapai 30
cm dengan produksi kayu total sekitar 150-200 m3/ ha dimana kayu pertukangan diperoleh
sebanyak 50-60 m3/ha dan sisanya dimanfaatkan untuk pulp dan keperluan lainnya. Bila
diameter pohon yang diinginkan sekitar 40 cm maka daur tebang yang diperlukan kurang
lebih 12 tahun tergantung tingkat pemeliharaan dan hasil kayu pertukangan yang akan
diperoleh berkisar antara 80 160 m3/ha serta kayu serat 150 230 m3/ha.
Untuk menghasilkan kayu pertukangan yang berkualitas penjarangan perlu
dilakukan. Penjarangan pertama sebaiknya dilakukan pada umur 24 tahun. Pada kisaran
umur ini, tegakan umumnya memiliki rata-rata tinggi sekitar 9 m. Jumlah penjarangan yang
optimal dalam satu periode rotasi meningkat dengan meningkatnya kerapatan tegakan.
Penjarangan mungkin cukup dilakukan satu kali selama rotasi dengan intensitas 30-60% dari
jumlah pohon. Apabila penjarangan dilakukan lebih dari dua kali dalam satu rotasi,
penjarangan kedua dilakukan paling cepat 2 tahun setelah penjarangan pertama dengan
intensitas penjarangan yang optimal adalah 50% dari jumlah batang Krisnawati et al. (2011).

Manfaat Lain Mangium


Disamping sebagai bahan baku pulp dan kayu pertukangan, mangium juga memiliki
manfaat lain. Santoso et al. (2005) melaporkan bahwa kulit pohon mangium, yang saat ini
masih dianggap limbah, dapat dijadikan sumber tannin untuk bahan perekat kayu. Limbah
kayu mangium dapat dibuat arang dan arang aktif.
Lemmens et al. (1995) mengemukakan penggunaan kayu mangium selain pulp dan
kayu pertukangan yaitu untuk kayu bakar atau arang (kandungan nilai kalor mangium 4800
4900 Kcal/kg). Daunnya dapat digunakan untuk pakan ternak, ranting dan daun kering
digunakan untuk bahan bakar terutama di pedesaan. Manfaat pohon mangium lainnya
adalah untuk produksi madu, serbuk gergajinya dapat digunakan untuk media jamur yang
dapat dimakan. Pohon mangium juga dapat digunakan sebagai pohon hias, pohon batas,
pematah angin (wind break) dan pengontrol erosi. Pohon A. mangium juga dapat digunakan
sebagai sekat bakar sebab pohon mangium yang berdiameter 7 cm keatas umumnya tahan
api (fire resistant) (National Research Council, 1983). Tannin kulit mangium juga dapat
dimanfaatkan untuk mengawetkan telur. Hasil percobaan penggunaan tannin kulit mangium
pada telur diperoleh hasil bahwa telur dapat tahan lebih lama sampai 35,7 hari dibandingkan
dengan kontrol yaitu 32,5 hari (Sumiati dan Husein, 2002).

810
ILMU KEHUTANAN

PEMBANGUNAN HTI MANGIUM

Pembangunan HTI jenis A. mangium telah dilakukan di berbagai daerah seperti


Sumatera Selatan, Riau, Jambi, Jawa, Kaltim, Kalsel. Di Provinsi Sumatera Selatan PT Musi
Hutan Persada telah membangun HTI dengan jenis A. mangium sejak tahun 1990an. Luas
areal perusahaan ini adalah 296.400 ha yang terletak di kelompok hutan Benakat seluas
198.741 ha, Subangjeriji seluas 87.354 ha dan Martapura seluas 10.306 ha. Penanaman A.
mangium dilaksanakan sepanjang tahun secara manual. Jarak tanam yang digunakan
adalah 3 m x 3 m atau sebanyak 1111 pohon per ha atau 3 m x 2,5 m atau sebanyak
1333 pohon per ha. Bibitnya diperoleh dari persemaian perusahaan yang berkualitas baik.
Lobang tanam yang diterapkan berukuran 20 cm x 20 cm x 20 cm. Pemberian pupuk Pospat
dilakukan pada saat penanaman. Jenis kayu A. mangium terutama digunakan sebagai
bahan baku pembuatan pulp. Produksi kayu A. mangium mencapai 2.200.000 m3/tahun yang
dikirim ke PT Tanjung Enim Lestari untuk dijadikan pulp. (PT MHP, 2008).
Di Provinsi Riau, PT Riau Andalan Pulp & Paper (RAPP) yang termasuk dalam Group
APRIL telah menanam A. mangium sejak tahun 2008 dengan luas 303,074 ha. Program
penanaman tahunan mencapai 60.000 ha. Bibit tananam A. mangium yang diproduksi untuk
penanaman tersebut sekitar 100 juta seedlings per tahun. Bibit tersebut dihasilkan dari
Persemaian Pusat dan persemaianpersemian satellite yang tersebar di areal perusahaan.
Program pemuliaan pohon telah diterapkan di perusahaan ini sehingga telah mampu
menghasilkan bibit yang berkualitas tinggi. Kerjasama penelitian bidang-bidang pemuliaan
pohon, managemen hutan, kesehatan tanaman dilakukan oleh IPB Bogor, UGM Yogyakarta,
Badan Litbang Kehutanan, Universitas Quensland, CSIRO, dan ACIAR Australia. Kerapatan
tegakan tanaman A. mangium di PT RAPP berkisar dari 1333 pohon/ha sampai 1667
pohon/ha. Rotasi tebang yang digunakan adalah 5-7 tahun. Kayu A. mangium digunakan
terutama untuk pulp dan kertas (Golani et al., 2009.)

PENUTUP

1. Hutan tanaman Acacia mangium merupakan sumber utama bahan baku industri pulp dan
kertas di Indonesia terutama di provinsi Riau dan Sumatera Selatan. Daur tebang untuk
pulp umur 6-7 tahun dengan volume sebesar 175-300 m3.
2. Daur tebang untuk kayu pertukangan berkisar antara 11-17 tahun. Pada umur 12 tahun
diameter pohon sekitar 40 cm dan hasil kayu pertukangan antara 80 160 m3/ha serta
sisanya untuk kayu serat. Pemanfaatan kayu mangium untuk kayu pertukangan meliputi
kayu gergajian, kayu lapis indah, mebel.

DAFTAR PUSTAKA

Awang, K and Taylor, D. 1993. Acacia mangium Growing and Utilization. Winrock
International and the Food and Agricultural Organization of the United Nations.
Bangkok, Thailand.
Barry, K.M., Irianto, R.S.B., Santoso, E., Turjaman, M., Widyati, E., Sitepu, I. and
Mohammed, C.L., 2004. Incidence of heartrot in harvest-age Acacia mangium in
Indonesia, using a rapid survey method. Forest Ecology and Management 190: 273-
280.
Ginoga, B. 1997. Beberapa Sifat Kayu Mangium (Acacia mangium Willd) pada beberapa
Tingkat Umur. BuletinPenelitian Hasil Hutan 13 (5):132-149.
Golani, G.D., Siregar, S.T.H., Gafur, A. 2009. Tree Improvement and Silvicultural Research
Progress at PT Riau Andalan Pulp and Paper APRIL Group: Challenges and
Opportunities. Proceedings International Seminar Research on Plantation Forest

811
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Management: Challenges and Opportunities. Center for Plantation Research and


Development, Bogor.
Hardiyanto, E.B., Soepriyadi, D., Wicaksono, A., Untung, S., Nurudin, M. 2010. Panduan
Budidaya Pohon Acacia mangium. PT Musi Hutan Persada, Palembang.
Krisdianto dan Hendarto, K.A. 2006. Pemanfaatan Kayu Mangium (Acacia mangium Willd)
sebagai BahanBaku Mebel. Prosiding Seminar Hasil Penelitian Acacia mangium.
Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan. Bogor.
Krisnawati,H., Kallio, M., Kanninen, M. 2011. Acacia mangiumWilld. Ecology, silviculture and
productivity. Center for International Forestry Research, Bogor.
Lemmens, R.H.M.J., Soerianegara, I. and Wong, W.C. (eds) 1995.Plant resources of South-
east Asia No. 5(2). Timber trees: Minor commercial timbers. Backhuys Publishers,
Leiden. 655p.
Marsoem, S.N. 2004. Pemanfaatan Hasil Hutan Tanaman Acacia mangium. Dalam :
Pembangunan Hutan Tanaman Acacia mangium. Pengalaman di PT Musi Hutan
Persada Sumatera Selatan. Eds/ Hardiyanto E/B., Arisman, H. 2004. PT Musi Hutan
Persada Palembang, Sumatera Selatan.
National Research Council, 1983, Mangium and other fast-growing Acacias for the humid
tropics. National Academy Press, Washington, DC.
PT MHP. 2008. Company Profile PT Musi Hutan Persada.
Purwita, T., Supriadi, B. 2010. Pembangunan Hutan Tanaman Industri A.mangium di PT
Musi Hutan Persada. Diskusi Multi Pihak Peran Litbang dalam Mendukung
Percepatan Pembangunan Hutan Tanaman di Sumatera Selatan. Balai Penelitian
Kehutanan Palembang, Palembang.
Puslitbang Hutan Tanaman. 2006. Teknologi Pemuliaan Acacia mangium. Prosiding Seminar
Hasil Penelitian Acacia mangium. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan
Kehutanan. Bogor.
Rimbawanto, A., 2002. Plantation and tree improvement trends in Indonesia. In: Barry, K.
(Ed.), Heartrots in Plantation Hardwoods in Indonesia and Australia. CSIRO
Publishing, ACIAR Technical Report 51e, Canberra, pp. 3-7.
Santoso, A., Kliwon, S., Iskandar, M.I., Malik, J. 2005. Teknologi Pemanfaatan Kayu Acacia
mangium. Prosiding Seminar Hasil Penelitian Acacia mangium. Pusat Penelitian
Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan. Bogor.
Sumiati dan Husein, N. 2002. Penggunaan Tanin Kulit Akasia (Acacia mangium Willd)
sebagai Bahan Pengawet Telur. Dalam Priadjati dkk. 2003. Kumpulan Abstrak Hasil-
hasil Penelitian Acacia mangium. Asosiasi Pengusahaan Hutan Indonesia (APHI)
Jakarta. P. 137.
Supriadi, A., Amelia, L. 2004. Studi Kelayakan Rendemen Kayu Gergajian Acacia mangium
untuk Berbagai Kelas Diameter. Prosiding MAPEKI VII. Makassar.
Vance, E.D., Maguire, D.A., Zalesny Jr, R.S. 2010. Research Strategis for Increasing
Productivity of Intensively Managed Forest Plantations. Journal of Forestry 108 (4).
Society of American Forester Bethesda, USA.

812
POSTER
BIDANG A
ANATOMI DAN SIFAT
DASAR KAYU
ANATOMI DAN SIFAT DASAR KAYU

OBSERVASI ANATOMI TIGA JENIS MERANTI:


KAJIAN TERHADAP MIKROSKOPIK DAN
MAKROSKOPIK KAYUNYA

Danang Sudarwoko Adi1, Sukma Surya Kusumah1, Teguh Darmawan1,


Ika Wahyuni1, Wahyu Dwianto1, dan Takahisa Hayashi2
1
Research and Development Unit for Biomaterials, Indonesian Institute of Sciences,
INDONESIA
2
Department of Bioscience, Tokyo University of Agriculture, JAPAN
*Corresponding author: hatmiadi_dsa@yahoo.com

ABSTRAK

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui karakteristik anatomi yang meliputi sifat
makroskopik dan sifat mikroskopik dari tiga jenis meranti yang berbeda. Kayu yang
digunakan adalah kayu cabang dari jenis Meranti Sangkan, Meranti Bakau, dan Meranti
Bunga Kulit Hitam yang berasal dari Hutan Alam Gambut Bukit Batu, Kab. Bengkalis, Riau.
Hasil penelitian menunjukkan karakteristik sifat mikroskopik dan makroskopik yang berbeda
dari ketiga jenis meranti tersebut. Proporsi sel serabut dalam Meranti Bakau lebih banyak
daripada Meranti Sangkan dan Meranti Bunga Kulit Hitam. Proporsi pembuluh tertinggi
adalah jenis Meranti Sangkan, sedangkan proporsi sel jari-jari dan parenkim kayu Meranti
Bunga Kulit Hitam lebih tinggi daripada dua jenis Meranti yang lainnya.

Kata kunci: mikroskopik, makroskopik, meranti sangkan, meranti bakau, meranti bunga
kulit hitam

PENDAHULUAN

Penelitian sifat dasar kayu sangat penting dilakukan. Hal ini diperlukan untuk
mengetahui peluang penggunaan kayu tersebut. Selain itu, sifat dasar kayu juga dapat
digunakan untuk mengetahui karakteristik maupun ciri-ciri suatu jenis kayu. Pada umumnya,
sifat dasar kayu yang sering dilakukan adalah sifat fisika, mekanika, anatomi, dan kimia kayu.
Sifat fisika dan mekanika kayu dapat digunakan untuk mengetahui peluang dalam
penggunaan kayu untuk tujuan konstruksi dan struktural, sedangkan sifat kimia kayu
digunakan untuk mengetahui peluang penggunaan kayu bukan dalam bentuk kayu aslinya,
misalnya digunakan untuk pulp dan kertas.
Sifat anatomi kayu merupakan salah satu cara untuk mengidentifikasi kayu sehingga
akan diketahui karakter, sifat, maupun ciri-ciri suatu jenis kayu. Hal ini bisa digunakan untuk
membedakan antar jenis kayu. Pada umumnya, anatomi kayu terdiri atas pengenalan sifat
makroskopis dan sifat mikroskopisnya. Dari perbedaan sifat inilah suatu kayu akan dapat
dikenali. Penelitian ini menggunakan tiga jenis Meranti yang berasal dari Hutan Alam
Gambut Bukit Batu, Kab. Bengkalis, Riau, yaitu Meranti Sangkan, Meranti Bakau, dan
Meranti Bunga Kulit Hitam. Masing-masing jenis kayu ini diduga mempunyai sifat yang khas
yang membedakannya dengan yang lainnya. Sebagaimana diketahui bahwa hutan alam
gambut mempunyai ciri yang berbeda dengan kebanyakan jenis hutan yang lainnya. Hal ini
karena hutan gambut mempunyai kandungan keasaman yang sangat tinggi. Maka dari itu,
masing-masing jenis diduga akan mempunyai karakter yang khas akibat proses adaptasinya.
Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui karakteristik makroskopik dan
mikroskopik dari tiga jenis meranti tersebut.

815
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

BAHAN DAN METODE

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kayu cabang pertama dari Meranti
Sangkan, Meranti Bakau, dan Meranti Bunga Kulit Hitam yang diambil dari Hutan Alam
Gambut Bukit Batu, Kabupaten Bengkalis, Riau. Hutan ini merupakan hutan alam gambut
dan merupakan hutan cagar biosfer. Struktur anatomi yang diamati meliputi struktur
makroskopik (ciri umum) dan mikroskopik. Struktur makro diamati pada contoh kayu yang
telah dihaluskan permukaannya meliputi: warna, corak, tekstur, arah serat, kilap, kesan raba,
kekerasan dan bau (Mandang dan Pandit, 2002). Struktur mikro diamati pada preparat
lintang, radial dan tangensial yang dibuat menggunakan mikrotom setebal 15-25 . Dehidrasi
dilakukan menggunakan alkohol 30%, 50%, 70%, 96% dan alkohol absolut. Pembeningan
dilakukan dengan merendamnya beberapa saat dalam karboxylol dan toluena, lalu direkat
dengan entelan di atas gelas obyek. Ciri anatomi kayu yang diamati dan dicantumkan
meliputi ciri-ciri yang dianjurkan oleh Komite Internasional Association of Wood Anatomist
(Wheeler et al., 1989). Selain itu juga akan dihitung proporsi dari sel penyusun kayu, meliputi
sel pembuluh, serabut, jari-jari, dan sel parenkim. Proporsi ini dihitung berdasarkan
perbandingan luas tipe sel dengan sistem dot grid yang telah baku, yaitu titik-titik dalam jarak
yang sama dalam luasan tertentu. Penghitungan poporsi dilakukan dengan software Image
Pro Plus V 4.5.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Meranti Sangkan
Ciri Makroskopis
Sifat makroskopis dari Meranti sangkan adalah sebagai berikut:
Warna: abu-abu-coklat keputihan. Corak: polos. Tekstur: agak kasar-halus. Arah serat: lurus.
Kilap: agak mengkilap. Kesan raba: tidak licin. Kekerasan: agak lunak-keras, ringan. Bau:
tidak ada bau khas.

Ciri Mikroskopis
Lingkaran tumbuh: terdapat lingkaran tumbuh. Pembuluh: baur karena ukuran pembuluh
kurang lebih sama, pengelompokan pembuluh hampir semuanya tunggal. Bidang perforasi
sederhana. Ceruk selang-seling poligonal. Tilosis tidak ada. Parenkim: parenkim baur
sampai baur berkelompok. Jari-jari: berseri satu sampai tiga, dengan komposisi sel jari-jari
baring. Serabut: panjang serabut termasuk kategori agak panjang (kelas III 900-1600 ;
Marsoem, 2005). Serat bersekat. Terdapat saluran interselular dalam deret tangensial
panjang.

Meranti Bakau
Ciri Makroskopis
Sifat makroskopis dari Meranti Bakau adalah sebagai berikut:
Warna: coklat keputihan-coklat muda. Corak: polos. Tekstur: halus. Arah serat: lurus. Kilap:
mengkilap. Kesan raba: licin. Kekerasan: agak keras-keras, sedang. Bau: tidak ada bau khas.

Ciri Mikroskopis
Lingkaran tumbuh: lingkaran tumbuh tidak jelas. Pembuluh: baur karena ukuran pembuluh
kurang lebih sama, pengelompokan pembuluh hampir semuanya tunggal, namun ada
beberapa pembuluh yang berupa ganda radial. Bidang perforasi sederhana. Ceruk selang-
seling dan bersegi banyak. Tilosis tidak ada. Parenkim: parenkim kebanyakan baur
berkelompok. Jari-jari: berseri satu sampai tiga, dengan komposisi sel jari-jari baring.
Serabut: panjang serabut termasuk kategori agak panjang (kelas III 900-1600 ; Marsoem,
2005). Serat ada yang bersekat dan tidak bersekat. Terdapat saluran interselular dalam

816
ANATOMI DAN SIFAT DASAR KAYU

deret tangensial panjang (terlihat jelas pada penampang makro, namun dalam penampang
mikro tidak kelihatan karena diduga adanya perbedaan posisi pengambilan gambar).

Meranti Bunga Kulit Hitam


Ciri Makroskopis
Sifat makroskopis dari Meranti Bunga Kulit Hitam adalah sebagai berikut:
Warna: coklat muda-coklat merah. Corak: polos. Tekstur: halus. Arah serat: lurus. Kilap:
mengkilap. Kesan raba: licin. Kekerasan: agak keras-keras, sedang. Bau: tidak ada bau khas.

Ciri Mikroskopis
Sifat mikroskopis dari Meranti Bunga Kulit Hitam adalah sebagai berikut:
Lingkaran tumbuh: lingkaran tumbuh jelas dikarenakan adanya perbedaan pembuluh kayu
awal dan akhir dan parenkim marjinal. Pembuluh: pori tata lingkar, karena ukuran pembuluh
besar dan kecil, pengelompokan pembuluh hampir semuanya tunggal. Bidang perforasi
sederhana. Ceruk selang-seling dan bersegi banyak. Tilosis tidak ada. Parenkim: parenkim
kebanyakan baur berkelompok. Jari-jari: berseri satu sampai tiga, dengan komposisi sel jari-
jari baring. Serabut: panjang serabut termasuk kategori agak panjang (kelas III 900-1600 ;
Marsoem, 2005). Serat tidak bersekat.

Dilihat dari proporsi sel penyusun kayunya, Meranti Bakau mempunyai proporsi serat
yang lebih tinggi dibandingkan Meranti Sangkan dan Meranti Bunga Kulit Hitam. Ketiga jenis
meranti ini sesuai dengan pernyataan Biermann (1996) bahwa proporsi serabut kayu daun
lebar adalah dalam kisaran 36-70%. Begitu juga dengan pendapat Bowyer et.al. (2003)
bahwa kisaran serabut adalah 15-60%. Namun dalam penelitian ini, jenis Meranti Bakau
mempunyai proporsi serabut yang lebih tinggi dari pendapat Bowyer et.al. (2003). Dilihat dari
sel pembuluh, proporsi sel pembuluh kayu Meranti Sangkan lebih tinggi dari Meranti Bakau
dan Meranti Bunga Kulit Hitam. Data yang diperoleh sesuai dengan pernyataan Panshin dan
De Zeeuw (1980) dan Prawirohatmodjo (1999) dimana kisaran pembuluh adalah 6,5-55%.
Proporsi sel jari-jari yang tertinggi adalah Meranti Bunga Kulit Hitam, diikuti oleh Meranti
Sangkan dan Meranti Bakau, dengan kisaran 5-30% (Tsoumis, 1991; Bowyer et.al. 2003).
Sedangkan untuk sel parenkim, ketiga jenis kayu Meranti tersebut tidak mempunyai
perbedaan yang sangat besar. Proporsi sel parenkim dari ketiga jenis tersebut sesuai
dengan pendapat Panshin dan De Zeeuw (1980) dan Prawirohatmodjo (1999) dimana
kisarannya adalah 0-15%. Namun, proporsi parenkim yang didapat masih lebih rendah dari
pendapat Biermann (1996) yang berada dikisaran 10-35%.
Struktur anatomi kayu-keras (hardwood) terdiri atas sel parenkim, pembuluh, serabut,
dan jari-jari, sedangkan kayu-lunak (softwood) hanya terdiri atas sel trakeid dan jari-jari
(Panshin dan de Zeeuw, 1980). Pada penggunaan struktural, proporsi serat yang lebih
banyak akan menentukan kekuatan dari kayunya. Serabut (serat dalam kayu-keras)
mempunyai fungsi kekuatan dalam sel penyusun kayu, sehingga semakin banyak proporsi
serat, maka akan semakin kuat kayu tersebut. Berdasarkan data dari penelitian ini, maka
Meranti Bakau diduga mempunyai kekuatan fisik dan mekanik yang lebih tinggi dari kayu
Meranti Sangkan dan Meranti Bunga Kulit Hitam. Namun hal ini masih diperlukan penelitian
lanjutan terhadap sifat fisik dan mekanik kayu tersebut.
Sedangkan dalam penggunaan kayu berbasis seratnya, terutama dalam proses
pembuatan kertas, peran dari serabut ini sangat penting. Pada proses pembuatan pulp dan
kertas dari kayu-keras, proporsi dari pembuluh, serat, dan jari-jari sangat penting karena sel-
sel jari-jari dan pembuluh (terutama pembuluh yang besar) mempunyai kecenderungan
untuk hilang dalam proses pulping. Kayu yang mengandung proporsi pembuluh yang banyak
akan menurunkan rendemen pulp yang dihasilkan daripada kayu dengan kandungan serat
tinggi (Bowyer et.al., 2003). Sebaliknya, kayu dengan serat yang tinggi maka akan
mempunyai rendemen dan kekuatan (jebol, tarik) yang tinggi pula. Kayu dengan proporsi sel
pembuluh, jari-jari, dan terutama parenkim yang tinggi akan menurunkan kekuatan tarik dan
jebol dari kertas. Sel-sel ini akan mengganggu ikatan serat ke serat sehingga ikatan
hidrogen antar serat tidak terbentuk sempura. Pada bagas tebu, yang mempunyai parenkim

817
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

dengan panjang 0,4 mm sehingga tidak ikut berperan serta dalam kekuatan kertas,
mengkonsumsi bahan kimia, dan mengganggu pelepasan air pulp ketika dalam cetakan
(Casey, 1980). Meranti Bakau mempunyai proporsi serat yang sangat tinggi, diikuti oleh
Meranti Sangkan dan Meranti Bunga Kulit Hitam. Oleh karena itu, Meranti Bakau mempunyai
prospek yang bagus untuk dikembangkan. Serat dalam kayu sangat identik dengan selulosa
kayu, dimana hubungannya diduga dengan semakin banyak proporsi serat kayu, maka
diduga semakin tinggi pula kandungan selulosa dalam kayu. Penggunaan selulosa dari kayu
penting terutama dalam pemanfaatan kayu untuk pulp maupun untuk energi seperti
bioethanol.

KESIMPULAN

Tiga jenis Meranti dari Hutan Alam Gambut Bukit Batu, Kab. Bengkalis, Riau
mempunyai karakteristik anatomi yang berbeda, baik sifat makroskopis maupun
mikroskopisnya. Meranti Bakau dan Meranti Sangkan mempunyai saluran interselular dalam
baris tangensial panjang. Dilihat dari proporsi selnya, Meranti Bakau mempunyai proporsi
serat yang lebih banyak dari Meranti Sangkan dan Meranti Bunga Kulit Hitam. Dengan
proporsi serat yang banyak, peluang pemanfaatan kayu Meranti Bakau akan lebih terbuka.

DAFTAR PUSTAKA

Biermann, C.J. 1996. Hand Book of Pulping and Papermaking. Second Edition. Academic
Press. California. USA.
Bowyer J.L., J. G. Haygreen, dan R. Schmulsky. 2003. Forest Products and Wood Science :
An Introduction. 4th Ed. Iowa State Press. USA.
Casey, J.P., 1980. Pulp and Paper Chemistry and Chemical Technology. Vol I: Pulping and
Bleaching.Thitd Edition. Wild Interscience Publication. New York.
Mandang dan Pandit, 2002. Pedoman identifikasi jenis kayu di lapangan. Yayasan Prosea,
Bogor dan Pusat Diklat Pegawai SDM Kehutanan, Bogor. 194 hal.
Marsoem, S. N. 2005. Pulp dan Kertas. Bahan Kuliah Mahasiswa Jurusan Teknologi Hasil
Hutan Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada (Tidak dipublikasikan).
Yogyakarta.
Panshin, A.J. dan Carl de Zeeuw. 1980. Text Book of Wood Technology. Fourth Edition. Mc
Graw Hill Book Company. New York, USA.
Prawirohatmodjo, S., Prof.,Dr., 1999. Struktur dan Sifat-Sifat Kayu (Anatomi Kayu, Anatomi
Kayu Daun, Anatomi Kayu Jarum). Jilid III. Diktat Kuliah Kimia Kayu Mahasiswa
Jurusan Teknologi Hasil Hutan Fakultas Kehutanan. Universitas Gadjah Mada (Untuk
Kalangan Sendiri). Yogyakarta.
Tsoumis, G. ,1991. Science and Technology of Wood. Structure, Properties, Utilization. Van
Nostrand Reinhold. New York.
Wheeler, E.A., P. Baas and E. Gasson. 1989. IAWA list of microscopic features for hardwood
identification. IAWA Bulletin. N.s. 10 (3) : 219-332.

818
ANATOMI DAN SIFAT DASAR KAYU

JENIS KAYU PRIMADONA HASIL HUTAN TANAMAN RAKYAT


UNTUK PENGEMBANGAN INDUSTRI KREATIF DAN
INDUSTRI MEBEL

I Ketut N. Pandit, Dodi Nandika dan I W. Darmawan


Staf Pengajar Bagian Teknologi Peningkatan Mutu Kayu,
Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

ABSTRAK

Krisis bahan baku merupakan masalah utama yang dihadapi industri kayu di dalam
negeri. Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat (HTR) merupakan salah satu program
pemerintah yang sedang dikembangkan untuk mengatasi masalah tersebut. Jenis pohon
yang ditanamn dalam program HTR jumlahnya cukup banyak dan kualitas kayunya sangat
beragam, umumnya merupakan small diameter logs, ratio juvenile and maturewood masih
sangat tinggi sedangkan ratio heartwood and sapwood masih sangat rendah. Kayu hasil
HTR tidak direkomendasikan untuk bahan bangunan dan kayu konstruksi.
Analisis struktur makro dan mikroskopik kayu HTR untuk melihat karakteristiknya
sebagai bahan baku indusri kreatif dan industri mebel perlu dilakukan. Jenis Kayu
Primadona untuk bahan baku industri kreatif adalah : jabon (Anthocephalus chinensis),
sengon (Paraserianthes falcataria) dan kayu pulai (Alstonia scholaris). Sedangkan Jenis
Kayu Primadona untuk bahan baku industri mebel adalah : jati (Tectona grandis.), mindi
(Melia ezedarach), mahoni (Swietenia macrophylla), sungkai (Peronema canescens), suren
(Toona sureni) dan kayu sonokeling (Dalbergia latifolia).

Kata kunci: small diameter logs, juvenile and maturewood, heart and sapwood.

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Kerusakan hutan alam periode tahun 1997-2000 mencapai rata-rata 2,84 juta ha
setiap tahunnya. Total kerusakan hutan sampai tahun 2005 mencapai sekitar 59,1 juta ha.
(Badan Planologi Kehutanan 2005). Laporan terakhir diperoleh dari Asosiasi Pengusaha
Hutan Indonesia (APHI 2007) : Jatah Produksi Tebangan (JPT) dari hutan alam tahun 2007
yang ditetapkan Departemen Kehutanan, hanya sebesar 9,1 juta m3. Sedangkan konsumsi
kayu untuk industri (terutama industri pulp dan paper, industri sawn-timber dan plywood)
saja telah mencapai sekitar 50 juta m3. Kondisi ini menunjukkan bahwa produksi hutan alam
tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan industri kayu di dalam negeri.
Untuk mengatasi masyalah tersebut pemerintah membangun HTI dan HTR. Jenis
yang dikembangkan dalam HTI tidak banyak umumnya berasal dari fast growing species,
seperti Acacia mangium dan Eucalyptus spp. Pembangunan HTI lebih diprioritaskan
memenuhi kebutuhan bahan baku industri pulp dan kertas. Berbeda dengan HTI, program
HTR diharapkan dapat menambah pasokan kayu untuk industri kayu lainnya. Jenis kayu
yang dikembangkan dalam program HTR sangat beragam. Informasi tentang karakteristik
sifat dasar kayu hasil HTR belum diperoleh informasi yang memadai.
Analisis Sifat Dasar Kayu Hasil Hutan Tanaman Rakyat ini perlu dilakukan,
pengetahuan sifat dasar kayu sebagai bahan penting, mengingat setiap jenis kayu
mempunyai karakteristik yang berbeda. Pemanfaatan kayu yang sesuai dengan karakter
yang dimiliki, mampu memberi efisiensi dan nilai tambah yang lebih baik. Orang bijak
mengatakan bahwa : We may use wood with intelligence, only if we understand wood
(Panshin 1980).
Kualitas kayu hasil HTR sangat berpengaruh terhadap mutu produk yang dihasilkan.
Oleh karena itu untuk meningkatkan efisiensi dan nilai tambah industri perkayuan di tanah

819
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

air, perlu didukung persediaan bahan baku berkualitas, yang mempunyai karakteristik sifat
dasar yang sesuai dengan pola pemanfaatannya, dalam jumlah cukup secara berkelanjutan.

Dasar Pemikiran
Program pembangunan HTI dan HTR, perlu terus dikembangkan untuk menambah
pasokan bahan baku kayu untuk mendukung industri di dalam negeri. Kayu merupakan bio-
material, sifat dasar kayu inherent di dalam struktur anatomi sel-sel penyusunnya (Panshin
1980; Tsoumis 1991; Bowyer 2003). Oleh karena itu perlu dilakukan analisis struktur makro
dan mikroskopik kayu hasil HTR untuk menentukan karakteristik sifat dasar kayunya sebagai
bahan.

Tujuan dan Manfaat Penelitian


Tujuan penelitian ini adalah untuk melakukan observasi struktur makro dan
mikroskopik kayu hasil HTR dan selanjutnya dilakukan analisis sebagai dasar untuk
menentukan karakteristik sifat dasar kayunya sebagai bahan baku. Penelitian ini dinilai
sangat strategis dan diharapkan akan memperoleh manfaat sbb : (1) Dengan mengetahui
karakteristik sifat dasar kayunya akan dapat ditetapkan secara tepat pola pengolahan dan
pemanfaatannya secara bijaksana. (2) Pola pengolahan dan pemanfaatan kayu secara
bijaksana, dinilai akan mampu memberi nilai tambah dan efisiensi yang lebih tinggi.

METODA PENELITIAN

Bahan dan Alat Penelitian


Kayu untuk bahan penelitian diperoleh dari informasi hasil Penelitian Strategis
Nasional Tahap I Tahun 2009 kerjasama Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada
Masyarakat IPB dengan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan
Nasional.
Penelitian selain menggunakan alat gergaji dsb. untuk membuat contoh penelitian,
juga diperlukan alat untuk observasi struktur mikroskopik kayu menggunakan Stereoscopic
Microscope with Digital Camera Model DCZ-456H National Optical & Scientific Intrument Inc.

Gambar 1. Jenis kayu hasil HTR yang dipakai bahan penelitian

Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian dilakukan di Laboratorium Anatomi dan Identifikasi Kayu, Bagian Teknologi
Peningkatan Mutu Kayu, Departemen Hasil Hutan Fakultas Kehutanan IPB di Bogor. Waktu
penelitian dilaksanakan selama delapan bulan mulai bulan April sampai dengan bulan
Oktober tahun 2010.

820
ANATOMI DAN SIFAT DASAR KAYU

METODE PENELITIAN

Penelitian struktur anatomi kayu hasil HTR dilakukan baik secara makro maupun
mikroskopik di Laboratorium. Semua jenis kayu dbuat contoh berukuran 20x7x1,5 cm untuk
penelitian sifat makroskopis (Gambar 1). Penelitian sifat mikroskopis dibuat preparat
(Gambar 2). Observasi sifat makroskopik dilakukan dengan bantuan lensa tangan terhadap
grain orientasion, texture dan figure of wood. Observasi sifat mikroskopik dilakukan dengan
bantuan alat Stereoscopic Microscope with Digital Camera Model DCZ-456H.

Gambar 2. Preparat untuk bahan observasi sifat mikroskopik

HASIL DAN PEMBAHASAN

Risalah Sifat Anatomi


Kayu jati (Tectona grandis L.f.) dalam dunia perdagangan tergolong medium-
weight hardwood. Hasil risalah sifat makroskopik menunjukkan : terasnya berwarna kuning
emas kecoklatan, mudah dibedakan dengan gubalnya yang berwarna putih keabu-abuan,
coraknya sangat indah terutama bila dibuat flat-sawn. Struktur ringporous ini menyebabkan
pada penampang melintang riap tumbuh terlihat jelas. Kayunya agak keras, arah serat lurus
sampai bergelombang, teksturnya moderat. Sel pembuluh bentuknya bundar sampai oval,
early-wood diameter tangensialnya berukuran 320-370 mikron, late-wood ukuran 50-210
mikron. Parenkim aksial berupa parenkim paratrakeal selubung tipis sampai pita marginal.
Parenkim jari-jari terdiri dari empat seri atau lebih, komposisinya homoceluler terdiri hanya
dari procumbent cells. Berat jenis kayu diameter kecil 0,63 (0,60-0,72), termasuk kelas awet
I-II dan kelas kuat II.
Kayu sungkai (Peronema canescens Jack.) tergolong light-weight hardwood.
Terasnya berwarna putih kream sampai coklat muda, sulit dibedakan dengan gubalnya,
empulur persegi empat, corak kayunya unik terutama permukaan flatsawn, kekerasan dan
teksturnya tergolong moderat, seratnya lurus sampai berpadu. Susunan sel pembuluh pada
bidang melintang tata lingkar, soliter dan bergabung radial sampai miring terdiri 2-3 pori,
jumlahnya 5-8 pori per mm2, diameter tangensial kayu awal 180-260 mikron dan diameter
kayu akhir 100-170 mikron. Parenkim agak banyak umumnya paratrakeal selubung dan
parenkim terminal. Jari-jarinya sempit sampai agak lebar terdiri 2-3 seri, jumlahnya 4-8 per
mm arah tangensial, tingginya 200-800 mikron, heterocellular. Berat jenis rata-rata 0,63
(0,52-0,73) dan tergolong kelas awet III dan kelas kuat II-III.
Kayu jabon (Anthocephalus chinensis Lamk.) dalam dunia perdagangan
tergolong light-weight hardwood. Warna terasnya sulit dibedakan dengan gubalnya, terasnya
berwarna putih seperti warna jerami, lambat laun berubah menjadi putih kekuningan.
Teksturnya agak halus sampai kasar dan arah serat lurus, rata, licin dan agak mengkilap.
Sel pembuluh umumnya bergabung radial 2-3 pori, penyebarannya soliter, diameter
tangensialnya 135-220 mikron, frekuensinya 3-5 pori per mm2, tergolong agak jarang.
Parenkim aksial umumnya terdiri dari parenkim apotrakeal garis pendek arah tangensial
bentuk pita memotong jari-jari sehingga membentuk seperti jala, jari-jarinya uniseriate,

821
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

prequensinya 2-3 per mm arah tangensial. Kayu jabon berat jenisnya 0,40 (0,29-0,56),
tergolong kelas awet IV-V dan kelas kuat III-IV.
Kayu mahoni (Swietenia macrophylla Jack.) dalam perdagangan tergolong
medium-weight hardwood. Bila masih segar terasnya berwarna merah kekuningan, lama
kelamaan berubah menjadi merah kecoklatan, mudah dibedakan dengan gubalnya yang
berwarna putih kekuningan. Teksturnya halus sampai agak kasar, coraknya polos tetapi
kadang-kadang bergaris agak gelap, papan quarter-sawn coraknya kadang-kadang unik
karena arah seratnya interlocked grain, permukaan kayunya licin dan mengkilap.
Pola penyebaran sel pembuluh semi tatalingkar terdiri dari pori soliter dan bergabung
radial terdiri dari 2 pori, diameter tangensialnya 130-230 mikron, prequensinya 5-12 pori per
mm2. Parenkim aksialnya terdiri dari paratracheal vasicentric dan sering juga membentuk
paratracheal terminal. Parenkim jari-jari umumnya agak lebar terdiri 3-4 seri. Kayu mahoni
mempunyai berat jenis 0,60 (0,53-0,67), tergolong kelas awet III dan kelas kuat II-III.
Kayu suren (Toona sureni Merr.) dalam dunia perdagangan tergolong light-weight
hardwood. Kayu terasnya berwarna merah pucat sampai merah dan lama kelamaan
berubah menjadi merah kecoklatan, mudah dibedakan dengan gubalnya berwarna putih
keabu-abuan. Arah seratnya lurus sampai berpadu dan teksturnya agak kasar. Pola
penyebaran sel pembuluh tatalingkar, sehingga mampu menampilkan corak dekoratif unik.
Pori sebagian soliter dan bergabung radial sampai miring terdiri 2-3 pori, berisi endapan
berwarna merah. Parenkim aksial tersusun atas parenkim selubung sampai bentuk pita
marginal. Parenkim jari-jari agak sempit sampai lebar, prequensinya agak jarang dan
tergolong berukuran pendek. Kayu suren berat jenisnya : 0,37 (0,27-0,65), tergolong kelas
kuat IV dan kelas awet IV-V.
Kayu mangium (Acacia mangium Miller) terasnya berwarna coklat pucat sampai
coklat dan mudah dibedakan dengan gubalnya berwarna putih jerami, teksturnya halus
sampai agak kasar tapi rata, seratnya lurus sampai berpadu. Kayunya umumnya tidak
mempunyai corak unik tetapi kadang-kadang ada pola bergaris-garis, kayunya tergolong
agak keras dan agak mengkilap. Porinya tersusun tatabaur terdiri dari pori soliter dan
bergabung radial terdiri 2-3 pori, kadang-kadang sampai 4 pori, diameter tangensial sekitar
100-165 mikron Parenkim aksial terdiri dari paratrakeal selubung dan pada sel pembuluh
yang berdiameter kecil sering parenkimnya aliform bentuk sayap. Jari-jari tergolong agak
sempit dan pendek. Berat jenis kayu Acacia mangium rata-rata 0,59 (0,43-0,66), tergolong
kelas awet III dan kelas kuat II-III.
Kayu mindi (Melia azedarach L. ) dalam dunia perdagangan kayu tergolong light to
medium weight hardwood, di Bali dan Nusa Tenggara Barat disebut kayu jempinis. Warna
kayu teras mudah dibedakan dengan gubalnya, teras berwarma merah muda keunguan,
gubalnya berwarna putih seperti jerami. Tekstur agak kasar, arah seratnya lurus sampai
agak terpadu, permukaan kayu agak licin dan agak mengkilap. Corak kayu terutama pada
arah tangensial kelihatan cukup dekoratif akibat adanya gambar seperti pita tipis warnanya
kecoklatan. Sel pembuluh sebagian besar soliter dan sebagian lagi bergabung radial 2-3
pori, miring sampai tangensial, diameter tangensialnya 50- 300 mikron bersisi amorf
berwarna coklat. Parenkim aksial berupa parenkim paratrakeal selubung lengkap sampai
confluent. Parenkim apotrakeal berupa pita tipis pendek arah tangensial. Parenkim jari-jari
homocellular, multiseriate, prequensinya 3-4 per mm arah tangensial. Kayu mindi berat
jenisnya rata-rata : 0,52 (0,42-0,65), tergolong kelas awet II-III dan kelas kuat II-III.
Kayu pulai (Alstonia scholaris R.Br.) tergolong light-weight hardwood, terasnya
berwarna putih sampai kuning pucat, jarang ditemukan kayu terasnya (sap-wood trees).
Arah serat lurus sampai berpadu, teksturnya agak halus, rata dan sedikit mengkilap.
Kayunya tidak menampilkan corak dekoratif dan kayunya agak lunak Pola penyebaran sel
pembuluhnya tatabaur dan sebagian besar terdiri dari pori bergabung radial terdiri 2-6 pori,
diameter tangensial berkisar 70-220 mikron. Parenkim aksialnya apotrakeal garis tangensial
panjang teratur memotong jari-jari sehingga membentuk struktur seperti jala. Parenkim jari-
jari terdiri 1-2 seri, kadang-kadang terdiri dari 3 seri, prequensinya 6-7 per mm arah
tangensial. Kayu pulai dikenal mempunyai saluran radial ukuran besar, mudah dilihat

822
ANATOMI DAN SIFAT DASAR KAYU

dengan mata telanjang pada bidang tangensial. Kayu pulai berat jenis rata-rata : 0,34 (.0,21-
0,48), tergolong kelas kuat III-V dan kelas awet V.
Kayu sengon (Paraserianthes falcataria Nielsen.) dalam dunia perdagangan
tergolong light-weight hardwood, sering juga dikenal dengan nama daerah jeungjing atau
albasia tergolong light-weight hardwood.. Terasnya berwarna putih seperti jerami, sukar
dibedakan dengan gubalnya. Teksturnya kasar tapi rata dan agak licin, arah seratnya lurus
sampai bergelombang, dalam kondisi basah kayunya berbau seperti petai, setelah kering
hilang. Pori soliter dan bergabung radial 2-4 pori, diameter tangensial 140-220 mikron,
prequensinya 1-3 pori per mm2. Parenkim paratrakeal tipe selubung lengkap tipis. Parenkim
jari-jarinya uniseriate, prekuensinya 5-6 per mm arah tangensial. Berat jenisnya rata-rata :
0,32 (0,24-0,49), tergolong kelas awet IV-V dankelas kuat IV-V.
Kayu sonokeling (Dalbergia latifolia Roxb. ) tergolong medium to heavy-weight
hardwood dan fancy-wood terutama disebabkan karena kayu terasnya berwarna coklat tua
bergaris kehitaman, sehingga terkesan mempuyai corak dekoratif indah, teksturnya halus,
arah seratnya lurus, licin, rata dan agak mengkilap. Sonokeling mempunyai corak indah
karena pola pembentukan kayu terasnya khas yang disebut trees with irregular heartwood.
Kekerasan tergolong sedang sampai agak keras. Pola penyebaran sel pembuluh tatabaur
terdiri dari pori soliter dan bergabung radial 2-3 pori, prequensinya 5-8 pori per mm2,
diameter arah tangensial 80-175 mikron. Parenkim aksial type paratrakeal selubung sampai
aliform bentuk sayap kadang jelas confluent. Jari-jarinya 1- 4 seri, pendek terdiri 7-8 sel,
prequensinya 8-12 per mm arah tangensial dan sering ada gejala ripple-mark. Berat jenis
sonokeling diameter kecil sekitar 0,79 (0,77-0,86), tergolong kelas awet I dan kelas kuat II.

PEMBAHASAN HASIL

Mebel atau perabot rumah tangga dan perkantoran adalah merupakan barang yang
multifungsi, karena di samping merupakan barang fungsional mebel juga sebagai barang
pajangan yang menampilkan estetika indah. Mebel juga merupakan barang yang agak mobil,
maksudnya sering digeser atau dipindahkan tempatnya. Mebel juga diketahui merupakan
barang yang mempunyai presisi tinggi dan secara umum memperoleh pemeliharan yang
relatif lebih intensif. Oleh karena itu bahan baku untuk industri mebel berbeda
karakteristiknya dengan kayu untuk bahan bangunan dan kayu konstruksi.
Karakteristik sifat dasar kayu untuk bahan baku industri mebel mempunyai criteria
antara lain : Tidak memerlukan kayu dengan berat jenis, kekuatan dan keawetan yang terlalu
tinggi. Kayu untuk bahan baku mebel lebih menghendaki kayu dengan berat jenis, keawetan
dan kekuatan moderat. Warna kayu umumnya tidak menjadi masalah penting. Bahan baku
industri mebel juga menginginkan kayu yang mempunyai tekstur halus atau paling tidak
moderat, sangat disenangi kayu yang mempunyai corak dekoratif yang unik dan juga sangat
diinginkan kayu yang mempunyai stabilitas dimensi yang baik.
Industri kayu kreatif yaitu suatu proses yang menggunakan kayu sebagai bahan
untuk peningkatan nilai tambah melalui karya kreatif seseorang dengan mengembangkan
daya imajinasi, kreatifitas, inovasi, daya seni dan kearifan intelektualnya untuk menghasilkan
suatu produk. Kayu untuk bahan baku industri kreatif juga memerlukan karakteristik sifat
dasar yang berbeda dengan bahan baku industri mebel. Kriteria sifat dasar kayu yang cocok
untuk bahan baku industri kreatif antara lain: berat jenis dan kerapatan relatif rendah, tekstur
kayu halus atau paling tidak moderat, warna kayu lebih disenangi yang berarna terang. Kayu
untuk bahan baku industri kreatif tidak memerlukan kayu yang berat, keras dan
keawetannya tinggi. Oleh karena itu kayu hasil HTR berupa small diameter logs umumnya
cocok untuk bahan baku industri kreatif.

823
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Tabel : 1. Berat jenis, kelas kuat dan kelas awet jenis kayu HTR

Berat Kelas Kelas


N0. Jenis Kayu Jenis *) Berat Jenis Kuat Awet

1 Jati 0,63 0,65 (0,62-0,75) II I II


2 Sungkai 0,63 0,63 (0,52-0,73) II III III
3 Jabon 0,40 0,41 (0,29-0,56) III IV V
4 Mahoni 0,60 0,60 (0,53-0,72) II III III
5 Suren 0,37 0,37 (0,27-0,67) IV IV V
6 Mangium 0,59 0,60 (0,43-0,66) II III III
7 Mindi 0,50 0,51 (0,42-0,65) II III II II
8 Pulai 0,36 0,36 (0,27-0,49) III IV V
9 Sengon 0,32 0,33 (0,24-0,49) IV V IV V
10 Sonokeling 0,79 0,80 (0,77-0,86) II I

Keterangan : *) Berat Jenis hasil penelitian.


Sumber : Mandang, YI. dan IK.N.Pandit, 1997 dan Martawijaya, 1989.

Hasil analisis struktur makro dan mikroskopik kayu hasil HTR yang mempunyai
karakteristik sifat dasar cocok untuk bahan baku indusri kreatif adalah : jabon
(Anthocephalus chinensis), sengon (Paraserianthes falcataria) dan kayu pulai (Alstonia
scholaris). Sedangkan jenis kayu yang cocok untuk bahan baku industri mebel adalah : jati
(Tectona grandis.), mindi (Melia ezedarach), mahoni (Swietenia macrophylla), sungkai
(Peronema canescens), suren (Toona sureni) dan kayu sonokeling (Dalbergia latifolia).

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Kesimpulan
Hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan dapat diambil kesimpulan
sebagai berikut :
(1) Karakteristik sifat dasar kayu : jabon (Anthocephalus chinensis), sengon
(Paraserianthes falcataria) dan pulai (Alstonia scholaris) secara umum sbb: kayunya
berwarna putih, teksturnya halus sampai moderat, arah serat lurus sampai interlocked,
coraknya polos, kerapatan dan berat jenis rendah, cocok untuk bahan baku industri
kayu kreatif.
(2) Karakteristik sifat dasar: jati (Tectona grandis), mindi (Melia azedarach), mahoni
(Swietenia macrophylla), suren (Toona sureni),sungkai (Peronema canescens) dan
sonokeling (Dalbergia latifolia) sbb: warna kayu bervariasi, teksturnya halus sampai
moderat, arah serat lurus sampai interlocked, kayunya mempunyai corak indah dan
berat jenis moderat sampai agak keras, cocok untuk bahan baku industri mebel.

Rekomendasi
(1) Usaha peningkatkan produksi kayu hasil HTR hendaknya tidak hanya melalui rekayasa
dengan mempercepat pertumbuhan, tetapi harus juga diikuti dengan teknologi
peningkatan mutu kayunya sebagai bahan.
(2) Dalam program HTR mengembangan fast-growing species hendaknya selalu diikuti
dengan menanam slow-growing spesies, untuk menjaga keseimbangan alami yang
harmoni.
(3) Program pengembangan HTR harus terus dibina dan dipacu untuk terus ditingkatkan
karena telah terbukti mampu menambah pasokan bahan baku untuk industri dan
sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat terutama di pedesaan.

824
ANATOMI DAN SIFAT DASAR KAYU

DAFTAR PUSTAKA

APHI 2006. Pemerintah Naikkan JPT 2007 Menjadi 9,1 juta m3. Buletin Asosiasi Pengusaha
Hutan Indonesia. Nomor 18 Tahun 2, Juli 2006.
Badan Planologi Kehutanan 2005. Data Strategis Departemen Kehutanan RI
Bowyer JL, Shmulsky R, Haygreen JG. 2003. Forest Products and Wood Science An
Introduction. Fourth Edition. Iowa State Press. A Blackwell Publ.
Martawijaya A. dan Iding K. 1989 Atlas Kayu Indonesia. Departemen Kehutanan Badan
Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Bogor.
Panshin AJ, Carl de Zeeuw 1980. Textbook of Wood Technology. Third Edition.
McGrow-Hill Book Company. New York. Toronto. London.
Pandit IKN. 2008. Karakteristik Sifat Dasar Kayu Small Diameter Log. Jurnal WoodBiz
Indonesia Edition 34 Desember 2008.
Pandit IKN, 2010. Evaluasi Jenis dan Kualitas Kayu Hasil Hutan Tanaman Rakyat. Proyek
Strategis Nasional Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kemdiknas.
Prosea 1994. Timber Trees : Major Commercial Timbers. Plant Resources of South-East
Asia. No. 5(1) Bogor Indonesia.
Tsoumis G. 1991. Science and Technology of Wood Structure, Properties and Utilization.
Van Nostrand Reinhold. New York.

825
BIDANG B
BIOKOMPOSIT
BIOKOMPOSIT

KUALITAS PAPAN PARTIKEL DARI SERBUK GERGAJI


KAYU SENGON (Paraserianthes falcataria)
M.I. Iskandar
Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Jalan Gunung Batu No. 5 PO. Box. 182 Bogor 16610. Telp./Fax. (0251) 8633378-8633413
Email: mi.iskandar@yahoo.co.id.

ABSTRAK

Serbuk gergaji adalah suatu bahan yang potensial untuk digunakan sebagai bahan
baku papan partikel. Serbuk gergaji yang berasal dari penggergajian kayu sengon perlu
diteliti kesesuaiannya sebagai bahan baku untuk pembuatan papan partikel. Tujuan
penelitian untuk mengetahui pengaruh tingkat kadar perekat terhadap sifat fisis mekanis
papan partikel yang terbuat dari serbuk gergaji kayu sengon (Paraserianthes falcataria).
Papan partikel yang dibuat adalah tipe papan partikel berlapis tunggal (homogen) dengan
ukuran 2,5 cm x 2,5 cm x 1 cm. Bahan baku yang digunakan adalah partikel-partikel yang
lolos dari lubang saringan 4 mm dan sebagai partikel halus. Partikel-partikel yang digunakan
memiliki kadar air 5 % dan bahan pengikat partikel-partikel adalah Urea formaldehida cair
dengan kadar resin padat 65 %, viskositas 2,0 % poise dan kadar keasaman (pH) 6,8.
Kerapatan papan partikel yang dibuat berkerapatan sedang (0,70 g/cm3). Tingkat perekat
sebagai perlakuan terdiri dari 6 %, 7 %, 8 %, 9 %, dan 10 %. Emulsi parafin digunakan
sebanyak 2 % dari berat kering partikel. Suhu kempa panas 120 OC, tekanan 35 kg/cm2,
dengan lama waktu kempa 5 menit. Sifat-sifat papan partikel yang diuji adalah kadar air,
kerapatan, pengembangan tebal, modulus patah, modulus elastisitas, keteguhan rekat
internal, kuat pegang sekrup tegak lurus permukaan dan sejajar permukaan. Pengolahan
data menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL). Hasil penelitian menunjukkan bahwa
papan partikel berkadar perekat 10 % memiliki sifat-sifat terbaik dalam hal nilai kadar air
dengan nilai terendah 8,3 %, kerapatan dengan nilai 0,71 gr/cm3, pengembangan tebal
setelah perendaman selama 24 jam dengan nilai terendah 14, 80 %, modulus patas (MOR)
dengan nilai tertinggi 152,79 kg/cm2, modulus elastis (MOE) dengan nilai tertinggi 14.424,44
kg/cm2 dan sejajar permukaan dengan nilai tertinggi 41,6 kg/cm2. Sifat-sifat papan partikel
yang memenuhi persyaratan Standar Nasional Indonesia adalah nilai kadar air, kerapatan,
pengembangan tebal, modulus patah, kuat pegang sekrup tegak lurus permukaan,
sedangkan hasil pengujian nilai dari rekat internal tidak memenuhi syarat.

Kata Kunci: Kualitas, papan partikel, serbuk gergaji

PENDAHULUAN

Hutan merupakan sumber daya alam yang dapat diperbaharui. Pemanfaatannya


dapat dilakukan sesuai dengan fungsi yang dimilikinya, yaitu fungsi fisiologi, fungsi ekonomi,
dan fungsi sosial dengan dukungan kemampuan pengembangan sumber daya ilmu
pengetahuan, teknologi, dan dana. Hutan sebagai salah satu kekayaan alam yaitu kayu dan
hasil hutan lainnya, semua dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat, serta dapat menjadi sumber devisa yang dapat dimanfaatkan untuk
pembangunan negara.
Dalam proses pengolahaan kayu dihasilkan limbah, diantaranya limbah dari
penggergajian. Serbuk gergaji kayu sengon merupakan bahan berserat lignosekulosa yang
mengandung bahan organik cukup tinggi. Sampai saat ini pemanfaatan serbuk gergaji belum
dimanfaatkan secara berarti, salah satu pemanfaatan serbuk gergaji kayu sengon tersebut
adalah pembuatan papan partikel (Joesoep, 1980).
Dalam pembuatan papan partikel dibutuhkan perekat dan bahan penolong lainnya,
diantaranya adalah emulsi paraffin. Kebutuhan perekat yang digunakan dalam pembuatan

827
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

papan partikel yang baik berbeda untuk setiap jenis perekat, misalnya Urea formaldehida,
banyaknya perekat resin yang dicampurkan ke dalam perekat (Haygreen dan Bowyer, 1989).

BAHAN DAN METODE

Bahan dan Alat


Bahan yang digunakan ini adalah limbah penggergajian kayu sengon (serbuk gergaji),
perekat Urea formaldehida dan parafin (bentuk emulsi).

Metode Penelitian
1. Pembuatan Papan Partikel
Papan partikel yang akan dibuat adalah papan partikel homogen dengan kerapatan
sedang (0,70 g/cm3) (Anonim, 1991).
2. Pembuatan Contoh Uji
Prosedur pembuatan contoh uji dan metode pengujian sifat-sifat papan partikel
dilakukan dengan ukuran dan jumlah uji berdasarkan SNI (Anonim, 1991).
3. Pengujian Sifat Fisis Mekanis Papan Partikel
Sifat-sifat yang akan di uji dari papan partikel tersebut yaitu: kadar air, kerapatan,
pengembangan, modulus patah dan modulus elastisitas, keteguhan tarik tegak lurus
permukaan (Internal bond), dan kuat sekrup.
4. Rancangan Percobaan
Dalam penelitian ini digunakan analisis rancangan acak lengkap 5 x 3. Faktor kadar
berat katalis konstan yaitu 2 % dari berat kering tanur partikel, sedang kadar berat
perekat resin terdiri atas 5 taraf, yaitu 6 %, 7 %, 8 %, 9 %, 10 % dari berat kering tanur
partikel. Setiap perlakuan dilakukan 3 kali ulangan, sehingga diperlukan contoh uji papan
partikel sebanyak 5 x 3 = 15 buah papan partikel (Sudjana, 1975).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Sifat Fisis
Kadar air
Kadar air papan partikel adalah jumlah air yang masih tinggal di dalam rongga sel,
rongga inter seluler dan antar partikel selama proses pengerasan perekat dengan kempa
panas. Kadar air ini ditentukan oleh kadar air partikel sebelum kempa panas, jumlah air yang
terkandung dalam perekat serta jumlah uap air yang keluar dari sistem perekat sewaktu
memperoleh energi panas pada proses pengerasan yang berupa tekanan dan suhu pelat
kempa panas. Selain itu kadar air papan partikel juga tergantung pada kelembaban udara
sekelilingnya karena adanya lignoselulosa yang bersifat higroskopis yang akan menyerap air
dari lingkungannya (Trisyulianti, 1996). Nilai rata-rata pengujian kadar air disajikan pada
Tabel 1 dibawah ini.

Tabel 1. Nilai rata-rata kadar air

Kadar Perekat (%) Rata-rata kadar air


(%)
6 10,31
7 9,45
8 9,22
9 8,25
10 8,43

Berdasarkan data Tabel 1, maka diketahui nilai kadar air terendah dihasilkan dari
papan partikel berkadar 9 % yaitu 8,25 %, sedangkan kadar air tertinggi diperoleh dari papan
partikel berkadar perekat 6 % yaitu dengan nilai 10,31 %. Untuk mengetahui pengaruh

828
BIOKOMPOSIT

tingkat kadar perekat terhadap nilai kadar air papan partikel, maka dilakukan pengujian sidik
ragam dan hasilnya dijelaskan pada Tabel 2 dibawah ini.

Tabel 2. Sidik ragam kadar air papan partikel

Sumber Derajat Jumlah Kuadrat F F Tabel


Keragaman Bebas Kuadrat Tengah Hitung 5% 1%
Perlakuan 4 8,32 2,08 17,5 3,48 5,99
Gallat 10 1,19 1,12
Total 14 9,51

Hasil sidik ragam pada Tabel 2 menunjukkan adanya pengaruh yang sangat nyata
dari tingkat kadar perekat terhadap kadar air papan partikel. Untuk mengetahui respon kadar
perekat papan partikel terhadap kadar air, maka dilakukan sidik ragam dengan uji jarak
Duncan, hasil dari pengujian disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Uji jarak Duncan kadar air papan partikel

Kadar perekat Rata-rata Uji Duncan


6 10,31 B
7 9,45 AB
8 9,22 A
9 9,25 A
10 8,43 A

Keterangan: Huruf yang sama menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata

Dari hasil sidik ragam uji jarak Duncan seperti pada Tabel 3 menunjukkan bahwa
pada tingkat kadar perekat 6 % dan 7 % dengan nilai masing-masing 10,31 % dan 9,45 %
berbeda sangat nyata dengan tingkat kadar perekat 8 %, 9 %, dan 10 % dengan nilai
masing-masing 9,22 %, 8,25 %, dan 8,43 %.

Kerapatan
Kerapatan papan partikel yang dihasilkan untuk setiap tingkat kadar perekat disajikan
pada Tabel 4.

Tabel 4. Nilai rata-rata kerapatan papan partikel

Kadar Perekat Realisasi g/cm3


6 0,68
7 0,66
8 0,69
9 0,70
10 0,71

Berdasarkan pada Tabel 4, terlihat bahwa nilai realisasi kerapatan terendah yaitu
0,66 g/cm3 pada target kerapatan 7 %, sedangkan realisasi kerapatan tertinggi adalah 0,71
g/cm3 dari target kerapatan 10 %. Selanjutnya dilakukan pengujian sidik ragam untuk
mengetahui pengaruh tingkat kadar perekat terhadap realisasi nilai rata-rata kerapatan
papan partikel menghasilkan data seperti pada Tabel 5.

829
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Tabel 5. Sidik ragam kerapatan papan partikel

Sumber Derajat Jumlah Kuadrat F Tabel


F Hitung
Keragaman Bebas Kuadrat Tengah 5% 1%
Perlakuan 4 0,004 0,001 0,0014 TN 3,48 5,99
Gallat 10 7,079 0,708
Total 14 7,083

Pengembangan tebal
a. Pengembangan tebal 2 jam
Papan partikel kayu sengon merupakan material yang komponen utamanya
adalah bahan berlignoselulosa, maka sifat-sifatnya dipengaruhi oleh adanya air dan
kelembaban yang terdapat hampir di setiap kondisi pemakaian (Trisyulianti, 1996). Nilai
rata-rata pengembangan tebal dijelaskan pada Tabel 6.

Tabel 6. Nilai rata-rata pengembangan tebal 2 jam papan partikel

Kadar Perekat Rata-rata


pengembangan tebal (%)
6 19,14
7 14,81
8 11,83
9 10,02
10 9,98

Berdasarkan Tabel 6, maka diketahui bahwa nilai pengembangan tebal terendah


diperoleh dari papan partikel berkadar 10 % yaitu 9,98 %, sedangkan nilai
pengembangan tebal tertinggi diperoleh dari kadar perekat 6 % dengan nilai 19,14 %
untuk mengetahui pengaruh kadar perekat terhadap sifat pengembangan tebal, maka
dilakukan pengujian sidik ragam, seperti pada Tabel 7.

Tabel 7. Sidik ragam pengembangan tebal 2 jam papan partikel

Sumber Derajat Jumlah Kuadrat F F Tabel


Keragaman Bebas Kuadrat Tengah Hitung 5% 1%
Perlakuan 4 180,65 45,16 79,49 3,48 5,99
Gallat 10 6,05 0,61
Total 14 186,71

Tabel 7 membuktikan adanya pengaruh yang sangat nyata dari tingkat terhadap sifat
pengembangan tebal papan partikel, untuk mengetahui respon kadar perekat terhadap
sifat pengembangan tebal maka dilakukan pengujian jarak Duncan dapat dilihat pada
Tabel 8.

Tabel 8. Uji jarak Duncan sifat pengembangan tebal 2 jam

Kadar perekat Rata-rata Uji Duncan


6 10,31 B
7 9,45 AB
8 9,22 A
9 9,25 A
10 8,43 A

Keterangan: Huruf yang sama menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata

830
BIOKOMPOSIT

Data pengujian jarak Duncan pada sifat pengembangan tebal 2 jam


menunjukkan bahwa ada perlakuan yang berbeda sangat nyata pada papan partikel
berkadar perekat 6 % dibandingkan dengan tingkat kadar perekat 10 %, hal ini
disebebkan karena pada kadar pererkat 10 % kerapatan papan partikel lebih baik,
sehingga pengembangan tebalnya kecil.
b. Pengembangan tebal 24 jam
Nilai rata-rata pengembangan tebal dijelaskan pada Tabel 9 berikut ini.

Tabel 9. Nilai rata-rata pengembangan tebal 24 jam papan partikel

Kadar Perekat Rata-rata


(%) pengembangan tebal (%)
6 34,57
7 25,64
8 21,44
9 19,25
10 15,56

Berdasarkan data Tabel 9, maka diketahui nilai pengembangan tebal terendah


diperoleh dari papan partikel berkadar perekat 10 % yaitu 15,56, sedangkan nilai
pengembangan tebal tertinggi diperoleh dari tingkat kadar perekat 6 % dengan nilai
34,57 %, untuk mengetahui pengaruh tingkat kadar perekat terhadap sifat
pengembangan tebal, maka dilakukan pengujian sidik ragam, seperti pada Tabel 10.

Tabel 10. Sidik ragam pengembangan tebal 24 jam papan partikel

Sumber Derajat Jumlah Kuadrat F Tabel


F Hitung
Keragaman Bebas Kuadrat Tengah 5% 1%
Perlakuan 4 636,07 159,02 81,486** 3,48 5,99
Gallat 10 19,52 1,95
Total 14 655,59
Keterangan: ** Sangat nyata

Tabel 10 menunjukkan adanya pengaruh yang sangat nyata dari tingkat kadar
perekat terhadap sifat pengembangan tebal papan partikel. Untuk mengetahui respon
kadar perekat terhadap sifat pengembangan tebal maka dilakukan pengujian jarak
Duncan. Hasil pengujian jarak Duncan dapat dilihat pada Tabel 11 dibawah ini.

Tabel 11. Uji jarak Duncan sifat pengembangan tebal 24 jam

Kadar perekat Rata-rata Uji Duncan


6 34,57 C
7 25,64 B
8 21,44 B
9 19,25 A
10 15,56 A

Keterangan: Huruf yang sama menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata

Data pengujian jarak Duncan pada sifat pengembangan tebal 24 jam


menunjukkan bahwa ada perlakuan yang berbeda sangat nyata pada papan partikel
berkadar perekat 6 %, 7 %, 8 % dibandingkan dengan tingkat kadar perekat 9 % dan 10
%, hal ini disebabkan karena pada kadar perekat 9 % dan 10 % kandungan perekatnya
lebih banyak, sehingga ikatan antar partikelnya menjadi lebih kuat.

831
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Sifat Mekanis
Modulus patah (MOR)
Nilai rata-rata modulus patah disajikan pada Tabel 12 berikut ini. Berdasarkan data
Tabel 12, maka diketahui nilai modulus patah terendah diperoleh pada tingkat kadar perekat
6 % yaitu dengan nilai 52,36, sedangkan nilai tertinggi modulus patah diperoleh dari tingkat
kadar perekat 10 % yaitu dengan nilai 142,69 kg/cm2.

Tabel 12. Nilai rata-rata modulus patah (MOR)

Kadar Perekat (%) Rata-rata modulus patah


(kg/cm2)
6 52,36
7 109,53
8 113, 50
9 116,19
10 142,69

Agar diketahui pengaruh tingkat kadar perekat papan partikel terhadap modulus
patah maka dilakukan perhitungan sidik ragam seperti pada Tabel 13 berikut ini.

Tabel 13. Sidik ragam modulus patah papan partikel

Sumber Derajat Jumlah Kuadrat F Tabel


F Hitung
Keragaman Bebas Kuadrat Tengah 5% 1%
Perlakuan 4 3175,22 3293,8 82,434** 3,48 5,99
Gallat 10 399,57 39,957
Total 14 13574,79

Keterangan: ** Sangat nyata

Pada Tabel 13 dijelaskan bahwa kadar perekat papan partikel berpengaruh sangat
nyata terhadap modulus patah. Untuk mengetahui respon kadar perekat terhadap nilai
modulus patah selanjutnya dilakukan pengujian jarak Duncan seperti pada Tabel 14.

Tabel 14. Uji jarak Duncan modulus patah papan partikel

Kadar perekat Rata-rata Uji Duncan


6 52,36 A
7 109,53 B
8 113,50 B
9 116,25 B
10 142,69 C

Dari hasil pengujian jarak Duncan menunjukkan adanya perbedaan yang sangat
nyata antara papan partikel berkadar perekat 6 % dengan nilai 52,36 kg/cm2 dibandingkan
dengan papan partikel berkadar perekat 10 % dengan nilai 142,69 kg/cm2. Dari hasil analisis
menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat kadar perekat papan partikel maka nilai modulus
patahnya semakin meningkat.

Modulus elastisitas (MOE)


Nilai rata-rata modulus elastisitas disajikan pada Tabel 15 berikut ini. Berdasarkan
data Tabel 15, maka diketahui nilai modulus elastisitas terendah diperoleh pada tingkat
kadar perekat 6 % yaitu dengan nilai 5942,21 kg/cm2, sedangkan nilai tertinggi modulus
elastisitas diperoleh dari tingkat kadar perekat 10 % yaitu dengan nilai 14035,33 kg/cm2.

832
BIOKOMPOSIT

Tabel 15. Nilai rata-rata modulus elastisitas papan partikel

Kadar Perekat (%) Rata-rata modulus elastisitas


(kg/cm2)
6 5942,21
7 9321,33
8 11088,42
9 11544,42
10 14035,33

Untuk mengetahui pengaruh tingkat kadar perekat papan partikel terhadap modulus
elastisitas maka dilakukan perhitungan sidik ragam seperti pada Tabel 16 berikut ini.

Tabel 16. Sidik ragam modulus elastisitas papan partikel

Sumber Derajat Jumlah Kuadrat F Tabel


F Hitung
Keragaman Bebas Kuadrat Tengah 5% 1%
Perlakuan 4 108101176,3 41337703,2 20,984** 3,48 5,99
Gallat 10 12878693,3 1287869,3
Total 14 120979869,6
Keterangan: ** Sangat nyata

Pada Tabel 16 dijelaskan bahwa kadar perekat papan partikel berpengaruh sangat
nyata terhadap modulus elastisitas, untuk mengetahui respon kadar perekat terhadap nilai
modulus elastisitas selanjutnya dilakukan pengujian jarak Duncan seperti pada Tabel 17.
Tabel tersebut menunjukkan bahwa tingkat kadar perekat 6 % (5942,21 kg/cm2) dan 7 %
(9321,33 kg/cm2) berbeda nyata dengan kadar perekat 8 % (11088,42 kg/cm2) 9 %
(11544,42 kg/cm2) dam 10 % (14035,33 kg/cm2).

Tabel 17. Uji jarak Duncan modulus elastisitas papan partikel

Kadar perekat Rata-rata Uji Duncan


6 5942,21 A
7 9321,33 A
8 11088,42 B
9 11544,42 C
10 14035,33 D

Kesimpulan yang dapat diperoleh dari pengujian modulus elastisitas adalah semakin
meningkatnya kadar perekat papan partikel maka nilai modulus elastisitasnya semakin
meningkat. Hal ini sesuai dengan pendapat Sutigno (1994) mengatakan bahwa bila kadar
perekat berbeda maka keteguhan elastisitas papan partikelnya akan meningkat pada kadar
perekat yang lebih besar.

Keteguhan tarik tegak lurus permukaan


Nilai rata-rata keteguhan tarik tegak lurus permukaan pada berbagai tingkat kadar
perekat dijelaskan pada Tabel 18 berikut ini. Berdasarkan data Tabel 18, maka diketahui
nilai keteguhan tarik tegak lurus permukaan terendah dihasilkan dari papan partikel berkadar
perekat 6 % yaitu 2,64 kg/cm2, sedangkan nilai keteguhan tarik tegak lurus permukaan
tertinggi diperoleh dari papan partikel berkadar perekat 10 % yaitu dengan nilai 5,77 kg/cm2.

833
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Tabel 18. Nilai rata-rata keteguhan tarik tegak lurus permukaan papan partikel

Kadar Perekat (%) Rata-rata keteguhan tarik


tegak lurus permukaan
(kg/cm2)
6 2,64
7 3,66
8 3,74
9 4,24
10 5,77

Selanjutnya dilakukan pengujian sidik ragam agar pengaruh tingkat kadar perekat
terhadap keteguhan tarik tegak lurus permukaan dapat diketahui seperti pada Tabel 19.

Tabel 19. Sidik ragam keteguhan tarik tegak lurus permukaan papan partikel

Sumber Derajat Jumlah Kuadrat F F Tabel


Keragaman Bebas Kuadrat Tengah Hitung 5% 1%
Perlakuan 4 15,74 3,93 194,80 3,48 5,99
**
Gallat 10 0,20 0,02
Total 14 15,94

Keterangan: ** Sangat nyata

Hasil sidik ragam pada Tabel 19 menunjukkan adanya pengaruh yang sangat nyata
dari tingkat kadar perekat terhadap keteguhan tarik tegak lurus permukaan papan partikel.
Untuk mengetahui respon kadar perekat papan partikel terhadap keteguhan tarik tegak lurus
permukaan, maka dilakukan sidik ragam dengan uji jarak Duncan, hasil pengujian disajikan
pada Tabel 20 berikut ini.

Tabel 20. Uji jarak Duncan keteguhan tarik tegak lurus permukaan papan partikel

Kadar perekat Rata-rata Uji Duncan


6 2,64 A
7 3,66 B
8 3,74 B
9 4,24 C
10 5,77 D

Data hasil sidik ragam uji jarak Duncan seperti pada Tabel 20 menunjukkan bahwa
tingkat kadar perekat 7 % dan 8 % dengan nilai masing-masing 3,66 kg/cm2 dan 3,74 kg/cm2
berbeda nyata dengan tingkat kadar 6 %, 9 % dan 10 % dengan masing-masing 2,64
kg/cm2, 4,24 kg/cm2, dan 5,77 kg/cm2, hal ini diduga karena perbedaan tingkat kadar
perekat.

Kuat pegang sekrup tegak lurus permukaan


Nilai rata-rata kuat pegang sekrup tegak lurus permukaan dikemukakan pada Tabel
21 berikut ini.

834
BIOKOMPOSIT

Tabel 21. Nilai rata-rata kuat pegang sekrup tegak lurus permukaan papan partikel

Kadar Perekat (%) Rata-rata kuat pegang sekrup


tegak lurus permukaan (kg)
6 25,07
7 37,93
8 29,87
9 33,27
10 41,87

Dari Tabel 21, maka diketahui nilai kekuatan pegang sekrup tegak lurus permukaan
terendah diperoleh pada tingkat kadar perekat 6 % yaitu dengan nilai 25,07 kg, sedangkan
nilai kuat pegang sekrup tegak lurus permukaan tertinggi diperoleh dari tingkat kadar perekat
10 % yaitu dengan nilai 41,87 kg. Guna mengetahui pengaruh kadar perekat terhadap
kekuatan pegang sekrup tegak lurus permukaan, selanjutnya dilakukan sidik ragam dimana
hasilnya dijelaskan pada Tabel 22.

Tabel 22. Sidik ragam kuat pegang sekrup tegak lurus permukaan papan partikel

Sumber Derajat Jumlah Kuadrat F F Tabel


Keragaman Bebas Kuadrat Tengah Hitung 5% 1%
Perlakuan 4 521,947 130,487 7,74** 3,48 5,99
Gallat 10 168,693 16,869
Total 14 690,640

Keterangan: ** Sangat nyata

Setelah dilakukan sidik ragam pada Tabel 22 maka diketahui bahwa ada pengeruh
perlakuan yang berbeda nyata, kemudian selanjutnya dilakukan pengujian dengan uji jarak
Duncan guna mengetahui respon tingkat kadar perekat terhadap kekuatan pegang sekrup
tegak lurus permukaan papan partikel. Hasil pengujian jarak Duncan dapat dilihat pada
Tabel 23. Dari data hasil sidik ragam uji jarak Duncan seperti pada Tabel 23 menunjukkan
bahwa tingkat kadar perekat 6 % dan 10 % merupakan perlakuan yang berbeda nyata.

Tabel 23. Uji jarak Duncan kekuatan pegang sekrup tegak lurus permukaan papan partikel

Kadar perekat Rata-rata Uji Duncan


6 25,07 A
7 37,93 B
8 29,87 C
9 33,27 C
10 41,87 B

Keterangan: Huruf yang sama menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata

Kuat pegang sekrup sejajar permukaan


Nilai rata-rata uji kuat pegang sekrup sejajar permukaan disajikan pada Tabel 24
berikut ini.

835
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Tabel 24. Nilai rata-rata kuat pegang sekrup sejajar permukaan papan partikel

Rata-rata kuat pegang


Kadar Perekat (%) sekrup
sejajar permukaan (kg)
6 22,27
7 35,73
8 23,67
9 31,20
10 40,07

Berdasarkan Tabel 24, terlihat bahwa nilai kuat pegang sekrup sejajar permukaan
terendah diperoleh pada tingkat kadar perekat 6 % yaitu dengan nilai 22,27 kg, sedangkan
nilai kuat pegang sekrup sejajar permukaan tertinggi diperoleh dari tingkat kadar perekat 10
%. Guna mengetahui pengaruh tingkat kadar perekat terhadap kekuatan pegang sekrup
sejajar permukaan, selanjutnya dilakukan sidik ragam dimana hasilnya dijelaskan pada
Tabel 25.

Tabel 25. Sidik ragam kuat pegang sekrup sejajar permukaan papan partikel

Sumber Derajat Jumlah Kuadrat F F Tabel


Keragaman Bebas Kuadrat Tengah Hitung 5% 1%
Perlakuan 4 701,531 175,383 6,80** 3,48 5,99
Gallat 10 258,027 25,803
Total 14 959,558

Keterangan: ** Sangat nyata

Data hasil sidik ragam pada Tabel 25 menunjukkan adanya pengaruh yang sangat
nyata dari tingkat kadar perekat terhadap nilai kekuatan pegang sekrup sejajar permukaan.
Untuk mengetahui respon tingkat kadar perekat terhadap kekuatan pegang sekrup sejajar
permukaan papan partikel, maka dilakukan uji jarak Duncan seperti pada Tabel 26 berikut
ini.

Tabel 26. Uji jarak Duncan kuat pegang sekrup sejajar permukaan papan partikel

Kadar perekat Rata-rata Uji Duncan


6 22,27 A
7 35,73 B
8 23,67 A
9 31,20 A
10 40,07 B

Keterangan: Huruf yang sama menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata

Hasil pengujian jarak Duncan pada Tabel 26 membuktikan adanya pengaruh yang
berbeda-beda. Dari hasil analisi, hal ini diduga karena adanya perbedaan tingkat kadar
perekat dari tiap perlakuan. Hal ini sesuai dengan pendapat Sutigno (1994), yang
menyatakan bahwa dengan bertambahnya kadar perekat, ikatan antar partikelnya menjadi
lebih kuat sehingga akan memperbaiki kesetabilan tebal papan partikelnya.

836
BIOKOMPOSIT

KESIMPULAN

1. Penambahan kadar perekat papan partikel berpengaruh terhadap hasil pengujian kadar
ari, sifat pengembangan tebal, modulus patah (MOR), modulus elastisitas (MOE), dan
kuat pegang sekrup tegak lurus permukaan serta sejajar permukaan.
Tingkat kadar perekat 9 %, 8 %, 7 %, 6 % untuk nilai kadar air, kerapatan,
pengembangan tebal, modulus patah, modulus elastisitas, keteguhan tarik tegak lurus
permukaan, kuat pegang sekrup tegak lurus permukaan dan sejajar permukaan makin
menurun dengan semakin rendahnya tingkat kadar perekat.
2. Tingkat kadar perekat 10 % memberikan hasil terbaik terhadap nilai pangujian kadar air
(nilai 8,43 %), kerapatan (nilai 0,719 g/cm3), modulus patah (nilai 142,69), modulus
elastisitas (nilai 14035,33 g/cm3), pengembangan tebal 2 jam (nilai 9,98 %),
pengembangan tebal 24 jam (nilai 15,56 %), kuat pegang sekrup tegak lurus permukaan
(nilai 41,87 kg), dan kuat pegang sekrup sejajar permukaan (nilai 40,07 kg).
3. Menurut standar pengujian yang digunakan Standar Nasional Indonesia (SNI-2105-1991-
A), nilai hasil pengujian papan partikel dari penelitian ini yang memenuhi standar adalah
untuk jenis pengujian kadar air, kerapatan, pengembangan tebal, modulus patah,
modulus elastisitas, kuat pegang sekrup tegak lurus permukaan dan sejajar permukaan.
Sedangkan hasil pengujian tarik tegak lurus permukaan tidak dapat memenuhi syarat
standar pengujian.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 1991. Papan Partikel Datar. SNI-2105-1991-A Dewan Standarisasi Nasional.


Jakarta
Djalal. M. 1984. Peranan Kerapatan Kayu dan Kerapatan Lembaran Dalam Usaha
Perbaikan Sifat-sifat Mekanik dan Stabilitas Dimensi Papan Partikel dari Beberapa
Jenis Kayu dan Campurannya, Fakultas Pasca Sarjana IPB Bogor.
Haygreen J.G. dan J.L. Bowyer. 1989. Hasil Hutan dan Ilmu Kayu Suatu Pengantar. Gajah
Mada University Press. Yogyakarta.
___________. 1982. Forest Product and Wood Science an Introduction. The Iowa State
University, Press Ames. Iowa.
Joesoep, M.Ir. 1980. Diktat Teknologi Kayu I dan II. Pusat Pendidikan Kehutanan Cepu.
Direksi Perum Perhutani. Cepu.
Kollman, F.F.P. Kuenzi. E. dan Stamm A.J. 1975. Principles of Wood Science and
Technology II Wood Based Materials. Springer-Verlag Berlin Heidelberg, New York.
Maloney, T.M. 1977. Modern Particle Board Fiberboard Manufacturing. Miller Freeman
Publication. San Fancisco.
Sudjana. 1975. Metode Statistika. Penerbit Tarsito Bandung
Sutigno, P. 1994. Teknologi Papan Partikel Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil
Hutan dan Sosial Ekonomi Kehutanan Bogor.
Trisyulianti, E. 1996. Sifat Fisik Mekanik Papan Partikel dari Tandan Kosong dan Sabut
Kelapa Sawit. Skripsi Fakultas Pertanian IPB Bogor.

837
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

KARAKTERISTIK VENIR DAN KAYU LAPIS


ENAM JENIS KAYU JAWA BARAT
M.I. Iskandar

Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Jalan Gunung Batu No. 5 PO. Box. 182 Bogor 16610. Telp./Fax. (0251) 8633378-8633413
Email: mi.iskandar@yahoo.co.id.

ABSTRAK

Dari 4000 jenis kayu yang ada di Indonesia hanya sebagian kecil saja yang sudah
diketahui sifat serta kegunaannya. Salah satu kegunaan kayu adalah untuk pembuatan venir
dan kayu lapis. Tujuan Penelitian ini untuk mengetahui sifat venir dan kayu lapis dari Ki Hiur
(Castanopsis acuminatissima A.DC), Tunggeureuk (Castanopsis sp.), Huru Pedes
(Cinnamomum iners Reinw Ex. Blume), Huru Koja/Huru Puspa (Listsea angulata BI), Ki
Kanteh/Ki Julang (Ficus nervosa Heyne), Kelapa Ciung/Ki Bonin (Horsfieldia glaebra Warb).
Kayu yang diteliti berasal dari Jawa Barat yaitu Ki Hiur (Castanopsis acuminatissima A.DC),
Tunggereuk (Castanopsis sp.), Huru Pedes (Cinnamomum iners Reinw Ex. Blume), Huru
Koja/Huru Puspa (Listsea angulata BI), Ki Kanteh/Ki Julang (Ficus nervosa Heyne), Kelapa
Ciung/Ki Bonin (Horsfieldia glaebra Warb). Hasil penelitian menunjukkan semua jenis kayu
dapat dikupas dalam keadaan dingin dengan sudut kupas berkisar antara 900 920.
Keragaman tebal venir cukup baik. Penyusutan venir dari basah ke kering mutlak rata-rata
6,2 persen. Pengembangan venir dari kering mutlak ke kering udara rata-rata 2,0 persen.
Penambahan berat jenis tripleks rata-rata 0,036 dibandingkan dengan berat jenis kayunya.
Keteguhan rekat kayu lapis semuanya memenuhi syarat Standar Nasional Indonesia,
Jepang dan Jerman.

Kata Kunci: Sudut kupas, keragaman, penyusutan, pengembangan dan keteguhan rekat.

PENDAHULUAN

Menurut perkiraan di Indonesia terdapat 4000 jenis kayu termasuk jenis kayu
perdagangan dan kayu kurang dikenal (Martawijaya dan Kartasudjana, 1977). Dari 4000
jenis kayu diperkirakan 400 jenis dianggap penting karena merupakan jenis yang sekarang
sudah dimanfaatkan atau secara alami terdapat dalam jumlah besar sehingga mempunyai
potensi untuk memegang peranan penting pada masa yang akan datang. Dari sejumlah itu
banyak yang belum dikenal serta belum diketahui sifat dan kegunaannya. Salah satu
kegunaan kayu adalah dibuat produk venir dan kayu lapis. Untuk mengetahui dan
menetapkan suatu jenis kayu secara baik, terlebih dahulu harus diketahui sifat-sifat dasar
kayu yang bersangkutan sekaligus dengan sifat pengolahannya. Sifat pengolahan kayu
antara lain sifat pengolahan venir dan kayu lapis. Hasil penelitian ini akan bermanfaat
perkembangan ilmu dan teknologi hasil hutan serta perkembangan industri pengolahan kayu
seperti pengolahan venir dan kayu lapis.

METODOLOGI

Lokasi
Penelitian di lapangan meliputi pengambilan contoh Ki Hiur (Castanopsis
acuminatissima A.DC), Tunggereuk (Castanopsis sp.), Huru Pedes (Cinnamomum iners
Reinw Ex. Blume), Huru Koja/Huru Puspa (Litsea angulata BI), Ki Kanteh/Ki Julang (Ficus
nervosa Heyne), Kelapa Ciung/Ki Bonin (Horsfieldia glabra Warb) dari Jawa Barat.
Pengujian sifat venir dan kayu lapis dilakukan di Laboratorium Produk Majemuk Pusat
Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan, Bogor.

838
BIOKOMPOSIT

Bahan dan Peralatan


Bahan
Bahan kayu diambil dari Jawa Barat. Perekat Urea formaldehida, ekstender (tepung
terigu) dan pengeras (NH4Cl) diperoleh dari PT Pamolite Adhesive Industry (PT PAI)
Probolinggo, Jawa Timur.

Peralatan
Peralatan yang digunakan dalam penelitian sifat venir dan kayu lapis adalah mesin
gergaji, mesin kupas, kaliper, timbangan, oven, kempa dingin, kempa panas, alat tulis dan
mesin uji universal.

Prosedur Kerja
Pengamatan
(1) Ukuran dan keadaan dolok dicatat.
(2) Penetapan berat jenis kayu dari lempengan tebal 5 cm, dilakukan berdasarkan metode
ASTM D 805-52 dengan 4 buah ulangan.
(3) Pembuatan venir dengan mesin kupas tebal 1,5 mm dilakukan dalam keadaan dingin.
Mesin kupas diatur, jarak vertikal 0,5 mm, jarak horizontal 90% dari tebal pengupasan
dengan sudut kupas yang dapat menghasilkan venir yang tebalnya sesuai dengan
yang dikehendaki. Pada saat pengupasan dicatat: diameter bulat, diameter sisa
kupasan, keadaan dolok, keadaan venir dan hasil venir. Mutu venir ditetapkan
berdasarkan cacat alami (Standar Nasional Indonesia).
(4) Penetapan kadar air dan kembang susut venir dilakukan terhadap venir bagian luar
dan dalam dari dolok, masing-masing sebanyak 5 ulangan dengan ukuran 20 x 20 cm.
Selain itu diukur pula tinggi tumpukan dari 10 lembar venir tersebut dan kerapatannya.
Kadar air venir ditetapkan berdasarkan metode oven.
(5) Pengukuran tebal venir dilakukan terhadap 5 lembar venir berukuran 100 cm x 100 cm
yang diambil secara sistematik dengan awal acak. Pengukuran pada setiap lembar
dilakukan dengan selang 1 cm.
(6) Pengeringan venir dilakukan secara penjemuran, dan dengan oven pada suhu 60 80
0
C.
(7) Pembuatan kayu lapis dilakukan dengan venir 40 cm x 40 cm berbentuk tripleks dan
multipleks (5 lapis) dari venir tebal 1,5 mm, masing-masing dengan 5 buah ulangan
dengan 1 buah sebagai cadangan, sehingga untuk setiap jenis kayu dibuat 6 buah
kayu lapis. Venir dikeringkan dalam oven 60 80 0C sehingga mencapai kadar air 10
12%.
(8) Perekat yang dipakai adalah Urea formaldehida cair yang terlebih dahulu diperiksa
sifatnya untuk mengetahui baik atau tidaknya. Komposisi yang dipakai adalah sebagai
berikut :

Bahan Perbandingan berat (g)


Urea formaldehida cair 100
Tepung terigu 20
Pengeras 0,5

Pelaburan perekat dilakukan secara tunggal sebanyak 170 gr/m2/permukaan


yang berarti untuk setiap lembar tripleks berukuran 40 cm x 40 cm memerlukan perekat
sebanyak 54,4 gram. Setiap lembar venir diukur dahulu tebalnya demikian pula setelah
menjadi tripleks sehingga akan diketahui pengurangan tebal akibat pengempaan.
Bahan tripleks yang sudah dilaburi perekat dikempa dengan mesin kempa dingin
selama 10 menit. Setelah itu susunan kayu lapis dimasukkan dalam mesin kempa
panas selama 5 menit untuk multipleks dan 3 menit untuk tripleks dengan tekanan
spesifik 10 kg/cm2 dan suhu 110 0C. setelah 1 minggu kayu lapis yang dihasilkan
diamati keadaannya (cacat-cacat dll) lalu dipotong menjadi contoh uji untuk pengujian.

839
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Sifat yang diuji adalah kadar air berat jenis venir dan kayu lapis serta uji
keteguhan rekat. Kadar air kayu lapis ditetapkan berdasarkan metode oven dan alat.
Pembuatan contoh uji keteguhan rekat dan pengujiannya dilakukan menurut metode:
(a) Indonesia jenis II (Anonim, 2002)
(b) Jepang (JAS) tipe II (Anonim, 2003)
(c) Jerman (DIN) tipe II IW 67 (Anonim, 2000)
Dari hasil pengujian diamati pula kerusakan kayu akibat pengujian tarik
(keteguhan rekat) tripleks. Contoh uji yang dibuat pada setiap lembar adalah 4 buah
sehingga untuk setiap jenis kayu dan setiap metode ada 20 contoh uji. Pada
pembuatan contoh uji keteguhan rekat diperhatikan orientasi retak kupas sehingga dari
4 buah contoh uji/lembar dua buah orientasinya terbuka dan dua buah tetutup.

Perhitungan venir
(1) Dolok yang dikupas dihitung pengurangan diameter, perbedaan diameter dan
rendemennya.
(2) Kadar air venir dihitung dalam keadaan basah, kering udara dan kering mutlak dengan
metode oven dan alat sehingga diketahui perbedaanya.
(3) Penyusutan venir dihitung dari basah ke kering mutlak sedangkan pengembangannya
dari kering mutlak ke kering udara.
(4) Dihitung kerapatan venir pada keadaan kering udara.
(5) Sifat bergelombang venir dinilai berdasarkan perbandingan tinggi tumpukan dengan
jumlah tebal 10 lembar venir.
(6) Koefisien keragaman dan penyimpanan dari tebal pengupasan dihitung.
(7) Mutu venir ditetapkan berdasarkan cacat alami dihitung berapa persen tiap mutu.

Pembuatan kayu lapis dengan Urea formaldehida


(1) Dicatat beban maksimum dari pengujian keteguhan lentur, tarik dan tekan dan dihitung
nilai tengah dan simpangan bakunya.
(2) Dilakukan penetapan kadar air dan kerapatan dari tripleks.
(3) Dicatat beban putus dari pengujian keteguhan rekat dan dihitung nilai tengah, Sx dan
X - tSx serta kerusakan kayunya.
(4) Dibandingkan antara tiga macam standar.
(5) Data pengurangan tebal kayu lapis dihubungkan dengan data berat jenisnya, berat
jenis kayu dan kerapatan venir.

Analisa Data
Sifat keteguhan rekat kayu lapis dihitung rata-ratanya kemudian dibandingkan
dengan Standar Nasional Indonesia, Jepang dan Jerman.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan Tabel 1 dapat dikemukakan bahwa berat jenis kayu yang diteliti berkisar
antara 0,35 sampai dengan 0,78 dengan rata rata 0,58. Data pengupasan dolok
sebagaimana tercantum dalam Tabel 2 menunjukkan bahwa dolok yang dipakai dalam
penelitian ini ukurannya relatif kecil, yaitu dengan diameter rata-rata 44,8 cm (39,0 51,0
cm) sehingga rendemennya pun relatif rendah pula, yaitu rata-rata 79,3 persen (72 83
persen). Diameter kayu sisa kupasan ternyata semuanya berada diantara 12 cm 15 cm,
karena cakar yang dipakai dalam pengupasan ini 10 cm. Limbah berupa venir hasil kupasan
ini rata-rata 9,4 persen (8,5 10,2 persen). Karena diameter kayu sisa kupasan ini tidak
bervariasi banyak, maka persentase limbah berupa sisa kupasan ini meningkat dengan
menurunnya diameter kayu. Diameter kayu sisa kupasan kayu Kelapa Ciung mencapai 15
cm karena adanya cacat dibagian dalam dolok, yaitu lubang, lapuk dan pecah.
Limbah berupa venir dibedakan antara yang terjadi pada awal pengupasan, yaitu
sampai bentuk dolok menjadi silindris dan yang terjadi karena sobek, yaitu pada saat
pemotongan venir serta yang dihasilkan dari bagian tepi dolok. Limbah awal pengupasan

840
BIOKOMPOSIT

besarnya rata-rata 7,3 persen (6,1 9,9 persen) tergantung pada pengurangan diameter,
perbandingan diameter dan bentuk doloknya, maka limbah awal pengupasan pada kayu
Kelapa Ciung mencapai 9,9 persen. Perbandingan diameter menunjukkan silindris atau
tidaknya penampang-penampang dolok. Makin rendah angka ini makin silindris dolok yang
dipakai pada penelitian ini. Berdasarkan data dalam Tabel 2 pengaruh perbandingan
diameter ternyata tidak begitu jelas, karena sebagian besar mempunyai perbandingan
diameter di atas 0,90. Limbah venir lainnya tampak bervariasi antara 1,0 8,3 persen
dengan rata-rata 3,8 persen.
Tabel 3 menyajikan penilaian pengupasan berdasarkan tebal venir sudut kupas yang
dipakai berkisar antara 90o 92o. Koefisien keragaman sudah sesuai untuk semua jenis
kayu karena tidak lebih dari 5 persen. Penyusutan venir dari basah ke kering mutlak dan
pengembangannya dari kering mutlak ke kering udara dapat dilihat pada Tabel 4.
Penyusutan yang terbesar pada Ki Kanteh (6,8 %) yang terkecil pada Tunggeureuk (5,3 %).
Pengembangan yang terbesar pada Ki Kanteh (2,15 %) dan yang terkecil pada Tunggeureuk
(1,85 %). Venir yang bergelombang setelah kering terjadi pada kayu Huru Koja.
Pada pembuatan kayu lapis akan terjadi pengurangan tebal, ini terjadi pada proses
pengempaan (Tabel 5). Pengurangan tebal kayu lapis berkisar antara 0,25 0,37 mm
dengan rata-rata 0,29 mm. Hal ini mengakibatkan naiknya berat jenis kayu lapis menjadi
lebih tinggi dari pada berat jenis kayunya atau venirnya.
Tabel 1. Jenis kayu yang diteliti
Kelas
No Nama Daerah Nama Botanis Berat Jenis
Awet Kuat
1. Ki Hiur Castanopsis acuminatissima A.DC 0,74 (0,59 0,88) III II
2. Tunggeureuk Castanopsis sp. 0,78 (0,69 0,92) III II III
3. Huru Pedes Cinnamomum iners Reinw. Ex. Blume 0,57 (0,38 0,63) IV / V III II
4. Huru Koja/Huru Puspa Litsea angulata BI 0,56 (0,39 0,64) V III
5 Ki Kanteh Ficus nervosa Heyne Horsfieldia 0,35 (0,30 0,39) V IV
6 Kelapa Ciung/Ki Bonin Horsfieldia glabra Warb. 0,35 (0,54 0,65) V III / II
Sumber : Oey Djoen Seng (1964)

Tabel 2. Data dolok yang dikupas


Perb. Kayu sisa kupasan limbah venir (%)
Pengurang- Ren-
Diameter Panjang diameter
No Jenis Kayu an diameter demen
(cm) (cm) d - min. Diameter % Volume Pengupasan Lainnya
(cm/m) (%)
d-max. (cm) dari dolok awal (%) (%)
1 Ki Hiur 41 125 0,90 0,96 80 12 8,5 7,4 4,1
2 Tunggeureuk 45 125 0,91 0,99 82 12 9,2 7,8 1,0
3 Huru Pedes 47 125 0,92 0,93 81 13 9,4 6,1 3,5
4 Huru Koja/ 39 125 0,98 0,95 78 12 10,2 6,8 5,0
Huru
5 Puspa 46 125 0,95 0,96 83 12 9,5 6,3 1,2
6 Ki Kanteh 51 125 0,85 0,90 72 15 9,8 9,9 8,3
Kelapa
Ciung/
Ki Bonin

Tabel 3. Tebal venir


Tebal venir
Tebal
Sudut Tebal rata- Simpangan dari Koefisien Mutu
No Jenis Kayu Pengupasan Simpangan
Kupas rata tebal pengupasan Keragaman Venir
(mm) baku
(mm) (%) (%)
1. Ki Hiur 1,50 90q 1,51 1,21 0,022 2,05 A
2. Tunggeureuk 1,50 90q 1,51 1,21 0,022 2,10 C
3. Huru Pedes 1,50 91q 1,51 1,21 0,022 2,10 B
4. Huru Koja/Huru 1,50 92q 1,52 1,45 0,033 2,23 C
5. Puspa 1,50 92q 1,52 1,45 0,034 2,23 B
6. Ki Kanteh 1,50 91q 1,51 1,21 0,034 2,10 B
Kelapa Ciung/Ki
Bonin

841
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Tabel 4. Sifat fisis venir

Kadar air Perbandingan tinggi


Berat
Penyusutan Pengembangan tumpukan
No Jenis Kayu Jenis
Basah Kering Udara (%) (%) dengan jumlah tebal
Venir
(%) (%) venir

1. Ki Hiur 78 13,7 0,72 5,8 1,78 1,90


2. Tunggeureuk 74 13,3 0,75 5,3 1,85 1,95
3. Huru Pedes 81 14,0 0,55 6,5 2,10 2,56
4. Huru Koja/Huru 80 12,9 0,44 6,4 2,05 2,67
5. Puspa 75 12,4 0,34 6,8 2,15 2,78
6. Ki Kanteh 73 13,0 0,56 6,6 2,0 2,54
Kelapa Ciung/Ki
Bonin

Tabel 5. Pengurangan tebal dalam pembuatan kayu lapis

Berat jenis
Pengurangan Selisih
No Jenis Kayu Veni
Tebal (mm) Tripleks a Kayu b a-b
r
1. Ki Hiur 0,26 0,72 0,77 0,73 0,04
2. Tunggeureuk 0,25 0,75 0,80 0,77 0,03
3. Huru Pedes 0,30 0,55 0,60 0,56 0,04
4. Huru Koja/Huru 0,31 0,44 0,49 0,46 0,03
5. Puspa 0,37 0,34 0,39 0,35 0,04
6. Ki Kanteh 0,29 0,56 0,61 0,57 0,04
Kelapa Ciung/Ki
Bonin

Tabel 6. Keteguhan rekat kayu lapis

Indonesia (SNI) Jepang (JAS) Jerman (DIN 68705)


Keteguhan
Keteguhan Kerusakan Keteguhan Kerusakan kayu Kerusakan
2 rekat
No. Jenis Kayu rekat (kg/cm ) kayu (%) rekat (kg/cm2) (%) 2 kayu (%)
(kg/cm )
Rata- Mini- Rata- Mini- Rata- Mini-
X SX rata mum X SX rata mum X SX rata mum
1. Ki Hiur 8,75 0,69 57,5 36,1 9,45 0,60 59,1 31,7 11,47 0,65 59,4 33,3
2. Tunggeureuk 8,89 0,68 59,1 37,7 9,97 0,61 58,9 33,8 11,16 0,69 58,3 38,7
3. Huru Pedes 9,70 0,55 68,7 39,3 10,47 0,55 60,6 40,4 12,9 0,79 65,5 39,6
4. Huru Koja/Huru 9,35 0,45 69,4 40,5 10,22 0,57 63,2 42,7 13,4 0,74 65,3 41,2
5. Puspa 9,60 0,43 70,5 40,8 10,12 0,63 65,5 45,5 13,7 0,76 66,2 40,4
6. Ki Kanteh 9,81 0,71 65,5 38,9 10,56 0,58 55,5 40,2 12,8 0,63 60,2 35,7
Kelapa Ciung/Ki
Bonin

Pengujian keteguhan rekat kayu lapis dilakukan menurut Standar Nasional Indonesia
(SNI), Jepang (JAS) dan Jerman (DIN). Hasil pengujian menunjukkan (Tabel 6), dari lima
jenis kayu yang diteliti yang diuji keteguhan rekatnya semuanya memenuhi syarat Standar
Nasional Indonesia karena keteguhan rekatnya tidak kurang dari 7 kg/cm2, Standar Jepang
karena keteguhan rekatnya tidak kurang dari 7 kg/cm2 dan Standar Jerman karena
keteguhan rekatnya tidak kurang dari 10 kg/cm2.

842
BIOKOMPOSIT

KESIMPULAN

1. Jenis kayu Ki Hiur (Castanopsis acuminatissima A.DC), Tunggereuk (Castanopsis sp.),


Huru Pedes (Cinnamomum iners Reinw Ex. Blume), Huru Koja/Huru Puspa (Litsea
angulata BI), Ki Kanteh/Ki Julang (Ficus nervosa Heyne), Kelapa Ciung/Ki Bonin
(Horsfieldia glabra Warb). Dapat dikupas dalam keadaan dingin dengan sudut kupas
berkisar antara 900 920. Keragaman tebal vinir cukup baik.
2. Penyusutan vinir dari basah ke kering mutlak rata-rata 6,2 persen. Pengembangan vinir
dari kering mutlak ke kering udara rata-rata 2,0 persen. Penambahan berat jenis kayu
lapis rata-rata 0,036 dibandingkan dengan berat jenis kayunya.
3. Keteguhan rekat kayu lapis semua jenis kayu yang diteliti memenuhi syarat Standar
Nasional Indonesia (SNI), Jepang (JAS) dan Jerman (DIN).

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 1959. ASTM Standard on Wood. Wood Preservatives and Related Materials.
American Society for Testing Materials, Philadelphia.
______. 2000. DIN Taschenbuch 60 Beuth Verlag Gm BH, Koln. Frankfurt (Main).
______. 2002. Kayu lapis penggunaan umum Standar Nasional Indonesia (SNI 01-5008-2-
2000). Badan Standardisasi Nasional (BSN), Jakarta.
______. 2003. JAS Japanese Agricultural Standard for Common Plywood its Commentary
the Japan Plywood Manufactures Association.
Martawijaya, A. & I. Kartasujana. 1977. Ciri Umum Sifat dan Kegunaan. Jenis-Jenis Kayu
Indonesia. Publikasi Khusus LPHH No. 41, Bogor.
Oey Djoen Seng. 1964. Berat Jenis Kayu Untuk Keperluan Praktik. Laporan Lembaga
Penelitian Hasil Hutan, Bogor

843
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

PENGARUH KOMPOSISI BAHAN DAN WAKTU KEMPA TERHADAP


SIFAT PAPAN PARTIKEL SERUTAN BAMBU PETUNG BERLAPIS
MUKA PARTIKEL FESES SAPI
TA. Prayitno1 dan PP. Ringgar2
1
Staf Pengajar, Fakultas Kehutanan UGM, Yogyakarta
2
Alumni Fakultas Kehutanan UGM, Yogayakarta

ABSTRAK

Limbah serutan pada pengolahan bambu dapat dibentuk menjadi papan serutan
yang dapat mengganti papan partikel atau panil kayu. Sejalan dengan pemanfaatan limbah,
dijumpai limbah kotoran (feses) sapi yang melimpah pada peternakan sapi yang berpotensi
sebagai pelapis permukaan papan serutan bambu yang kasar. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui sifat papan serutan bambu dengan pelapis kotoran sapi.
Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan percobaan
faktorial. Bahan penelitian berupa serutan bambu yang merupakan limbah pengolahan
bambu dengan ukuran - 0,5 cm x 0,5 cm/ + 0,2 cm x 0,2 cm dan feses sapi. Perekat yang
digunakan perekat urea formaldehida (UA - 125) dengan pengeras HU - 12. Faktor pertama
adalah lapisan feses sapi (shelling ratio) yaitu 50:50 ; 40:60 ; 30:70 dimana feses sapi
sebagai lapisan permukaan. Faktor kedua adalah waktu kempa 11 menit dan 17 menit,
ulangan percobaan 3 kali. Parameter sifat papan serutan diuji mengikuti standar ASTM D-
1037-99.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa interaksi antara faktor lapisan feses dengan
waktu kempa tidak berpengaruh nyata pada semua parameter sifat papan serutan bambu.
Faktor waktu kempa juga tidak berpengaruh nyata pada semua parameter sifat papan
serutan bambu. Faktor lapisan feses berpengaruh sangat nyata pada MoE saja. Makin tinggi
shelling ratio, maka makin rendah MoE dengan nilai 384,29 kg/cm2 (shelling ratio 50 : 50),
sedangkan nilai MoE teritinggi yaitu 856,77 kg/cm2 (shelling ratio 30 : 70).
Kata kunci : Feses sapi, papan serutan bambu, urea formaldehida, waktu kempa

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Bambu sampai saat ini sudah dimanfaatkan secara sangat luas oleh masyarakat
mulai dari penggunaan teknologi yang paling sederhana untuk bahan bangunan di rumah
pedesaaan sampai pemanfaatan teknologi tinggi pada skala industri, misalnya pada
pembuatan laminasi bambu, venir bambu, bambu lapis (plybamboo) dan lain - lain. Seiring
dengan meningkatnya teknologi pemanfaatan bambu , maka limbah berupa serutan bambu
yang dihasilkan meningkat jumlahnya Hal ini diakibatkan karena batang bambu yang semula
berbentuk silindris dan bilah bambu berbentuk melengkung atau membusur kemudian
dibersihkan kulit luar dan kulit dalam untuk pemanfaatan langsung. Pemanfaatan bilah
bambu untuk laminasi menghendaki penampang persegi atau prismatik sehingga
menghilangkan lebih banyak material bambu khususnya yang sementara ini sulit direkat.
Proses pembuatan bilah bambu akan lebih banyak memproduksi limbah serutan bambu
(Prayitno, 2005a).
Di bidang peternakan, berbagai usaha digalakkan untuk meningkatkan jumlah hewan
sapi, kerbau, kambing maupun domba. Usaha penggemukan sapi untuk produksi daging
digalakkan dalam rangka meningkatkan konsumsi daging. Usaha memperbanyak populasi
daging mengakibatkan meningkatkan limbah kotoran sapi. Meskipun kotoran hewan seperti
sapi, kambing dan domba dapat digunakan sebagai pupuk organik bagi pertanian, tetapi
masih perlu dicari manfaat kotoran sapi bagi penggunaan lain seperti papan partikel. Warna
partikel sapi dalam keadaan kering sangat bagus dan menarik sehingga pemanfaatan pada
lapis muka partikel bambu merupakan teknologi tepat guna.

844
BIOKOMPOSIT

Pada era kesadaran tinggi tentang lingkungan sekarang ini, penanganan limbah
merupakan salah satu aspek penting yang banyak mendapat perhatian masyarakat
Indonesia khususnya dan masyarakat dunia pada umumnya. Limbah adalah suatu bahan
sisa dari suatu proses produksi atau aktivitas manusia yang sudah belum dimanfaatkan
karena berbagai pertimbangan. Limbah yang tak termanfaatkan dapat menjadi sumber
penyakit dan polusi lingkungan bagi kehidupan bersih dan nyaman (Tanggara, 2010).
Teknologi papan partikel berlapis dapat memberikan peluang pemanfaatan jenis,
ukuran partikel yang beragam sehingga pemanfaatan limbah dapat dilakukan secara
optimal, seperti misalnya menggunakan ukuran partikel yang besar sebagai lapisan tengah
dan ukuran partikel ukuran yang kecil sebagai lapisan atas dan bawah. Kedua bahan
tersebut yaitu serutan bamboo dan feses sapi kering yang berwarna menarik dijadikan
bahan baku alternatif papan partikel yang lebih murah dan lebih efisien sebagai bahan baku
pembuatan papan partikel dengan 3 lapis. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui
interaksi antara waktu kempa dan komposisi lapisan serutan bambu dan feses sapi terhadap
sifat-sifat papan partikel tiga lapis berbahan baku bambu petung (Dendrocalamus sp)
dengan feses sapi.

METODE PENELITIAN

Hipotesis
Perbandingan komposisi 15% : 70% : 15% (feses : bambu : feses) pada pembuatan
papan partikel berlapis diduga mempunyai kualitas yang paling baik. Karena partikel bambu
petung mempunyai sifat yang lebih kuat daripada partikel feses sapi.

Rancangan Peercobaan
Model rancangan peercobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pola acak
lengkap RAL atau Completely Randomized Design, CRD dengan percobaan faktorial. Faktor
yang digunakan terdiri dari 2 faktor yaitu :
1. Komposisi bahan pada lapisan papan partikel , yaitu feses : bambu : feses, terdiri
dari 3 aras (A) yaitu:
a. 25% : 50 % : 25% (A1)
b. 20% : 60% : 20 % (A2)
c. 15% : 70% : 15% (A3)
2. Waktu kempa yang terdiri dari 2 aras (B) yaitu :
a. 11 menit (B1)
b. 17 menit (B2)

Cara Penelitian
Untuk membuat papan partikel 3 lapis tersebut, maka diperlukan cara penelitian yang baik
dan benar sehingga menghasilkan suatu papan partikel yang mempunyai kualitas baik.
Penelitian ini digambarkan dalam bagan alir pada Gambar 1.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Hasil Penelitian
Hasil penelitian dan analisis varians disajikan pada Tabel 1 dan 2 berikut ini. Analisis
varians menunjukkan hanya komposisi lapisan saja yang berpengaruh sangat nyata
terhadap nilai MoE (Modulus of Elasticity), sedangkan interaksi dan faktor tunggal lain tidak
berpengaruh pada sifat papan partikel yang diteliti atau seluruh parameter kualitas papan
partikel yang diteliti

845
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Feses Sapi
Basah Partikel Bambu

Dikeringkan hingga KA 10% - 12% Dikeringkan hingga KA 10% - 12 %

Penyaringan partikel feses sapi


Penyaringan partikel bambu

Partikel Feses Sapi


Partikel bambu

Penimbangan Partikel Feses sapi


Penimbangan Partikel Bambu

Penimbangan perekat dan Dicampur + Perekat + hardener


hardener

Penyusunan partikel dalam mat

Feses : Bambu : Feses (3 lapis)


25% : 50%: 25% 20% : 60% : 20% 15% : 70% : 15%

Press pendahuluan

Pengempaan Panas
11 menit 17 menit

Papan partikel

Pengkondisian

Pembuatan contoh uji papan partikel

Pengujian sifat fisik dan mekanik contoh uji papan partikel


Gambar 1. Bagan alir penelitian

846
BIOKOMPOSIT

Tabel 1. Sifat papan partikel serutan bambu berlapis feses sapi

Sifat Fisika dan Mekanika Papan Partikel


Kode
Kadar Internal
Perlakuan Penyerapan Pengembangan MoR MoE
Air Kerapatan bonding
air (%) Tebal (%) (kg/cm2) (kg/cm2)
(%) (kg/cm2)
A1B1 10,47 0,71 61,90 13,00 38,86# 384,29# 1,88
A1B2 11,04* 0,68 60,82 13,96 45,29 438,39 1,62#
A2B1 9,48 0,72* 59,45 14,20 52,19 572,14 2.08
A2B2 9,47 0,64# 63,96 12,23 # 51,86 633,60 2,19
A3B1 9,48 0,67 58,68# 14,17 56,55* 856,77* 2.23*
A3B2 8,30# 0,71 72,26* 14,62* 55,64 799,01 1,58

Tabel 2. Analisis varians sifat papan partikel serutan bambu berlapis feses sapi

Komposisi lapisan*
Parameter Komposisi lapisan Waktu kempa
Waktu kempa

Kadar Air 0,155ns 0,79ns 0,634ns


Kerapatan 0,472ns 0,121ns 0,630ns
Penyerapan air 0,476ns 0,80ns 0,167ns
Pengembangan tebal 0,563ns 0,843ns 0,412ns
MoR (Modulus of Rupture) 0,150ns 0,761ns 0,838ns
MoE (Modulus of Elastisity) 0,000** 0,657ns 0,459ns
IB (Internal Bonding) 0,444ns 0,292ns 0,452ns

Keterangan:
** = berbeda nyata pada taraf uji 99%
ns = tidak signifikan
A1 = Komposisi lapisan feses : bambu : feses yaitu 25% : 50 % : 25%
A2 = Komposisi lapisan feses : bambu : feses yaitu 20% : 60% : 20 %
A3 = Komposisi lapisan feses : bambu : feses yaitu 15% : 70% : 15%
B1 = Waktu kempa 11 menit
B2 = Waktu kempa 17 menit
* = nilai tertinggi
# = nilai terendah

PEMBAHASAN

Sifat fisika papan partikel


Sifat fisika papan partikel yang diteliti dalam penelitian papan partikel serutan bambu
berlapis feses sapi meliputi kadar air , kerapatan, penyerapan air, dan pengembangan tebal.
Kadar air papan partikel dapat didefinisikan sebagai berat air yang terdapat dalam sepotong
papan partikel yang dinyatakan dalam persen dari berat papan partikel kering tanur..
Interaksi faktor tidak berpengaruh pada kadar air papan partikel. Hal ini berarti kedua faktor
komposisi lapisan dan waktu kempa baik secara tunggal dan bergabung tidak berpengaruh
pada kadar air papan partikel. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata rata kadar air
tertinggi yaitu 11,04%, terdapat pada komposisi lapisan A1 dengan waktu kempa 11 menit.
Kadar air terendah terdapat pada komposisi lapisan A3 dengan waktu kempa yaitu 17 menit,

847
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

yaitu sebesar 8,30%. Gambaran ini menunjukkan bahwa waktu kempa yang lebih lama
menguapkan air dalam papan partikel yang lebih banyak sehingga kadar air lebih rendah
dari waktu kempa yang lebih pendek.
Rata-rata kerapatan papan partikel dikempai 11 menit adalah 0,70, sedangkan
kerapatan papan partikel dikempa 17 menit adalah 0,67. Berdasarkan komposisi pelapisan,
maka pelapisan A1 rata-rata kerapatan papan partikel sebesar 0,695, pelapisan A2 0,68
dan pelapisan A3 sebesar 0,69. Ini berarti papan partikel relatif sama kerapatannya. Hal ini
dapat diterima karena dalam pembuatan papan partikel diberikan spacer atau ganjal untuk
mempertahankan ketebalan sehingga kerapatan papan sama. Kerapatan yang diperoleh
pada penelitian ini berbeda dengan kerapatan papan partikel yang dituju, yaitu 0,8. Hasil
kerapatan aktual lebih rendah dari yang dituju karena pemulihan lapisan bambu yang cukup
besar (Prayitno, 2005b). Profil kerapatan merupakan variasi kerapatan di seluruh tebal
papan. Perbedaan geometri dan jenis partikel antara muka dan inti serta adanya pelapisan
pada papan partikel dalam penelitian ini mempengaruhi profil kerapatan. Pada bagian muka
dan belakang (face dan back) menggunakan ukuran lolos saringan 0,2 cm x 0,2 cm yang
lebih kecil ukurannya daripada inti. Partikel ukuran kecil ketika diberi tekanan mengakibatkan
kontak antar partikel menjadi lebih baik sehingga papan yang terbentuk akan lebih mampat
dan lebih mendekati pada kerapatan yang dituju (Suryadi, 2008), sedangkan partikel bambu
yang berukuran besar mempunyai pemulihan yang besar dan kurang mampat. Haygreen
dan Bowyer (1989) menegaskan banyaknya papan yang dibuat dalam 3 atau 5 lapisan
dengan partikel partikel kecil pada lapisan permukaan dan partikel yang lebih besar pada
lapisan inti dapat menghasilkan kekuatan yang memadai dan kehalusan permukaan yang
baik. Konsep ini yang dituju oleh pelapisan feses sapi dengan serutan bambu dalam
penelitian ini.
Rata-rata nilai penyerapan air papan partikel adalah 62,85%, sedangkan
pengembangan tebal rata-rata sebesar 13,70%. Pengaruh faktor pelapisan dan waktu
kempa tidak nyata dan variasinya sangat random. Sari (2006), menyebutkan bahwa waktu
kempa yang lebih lama menghasilkan penyerapan air papan partikel bambu petung yang
lebih rendah pada papan partikel. Persen pengembangan tebal papan partikel bambu petung
searah dengan penyerapan air dimana makin kecil penyerapan air maka makin kecil pula
pengembangan tebal papan partikel.

Sifat mekanika papan partikel


Sifat mekanika papan partikel meliputi modulus patah, MOR (Modulus of Rupture),
modulus elastisitas, MOE (Modulus of Elasticity) dan kekuatan rekat internal atau keteguhan
tarik tegak lurus papan, IB(internal bonding). Hasil analisis varians menunjukkan bahwa
hanya MOE saja yang dipengaruhi oleh faktor komposisi pelapisan, sedangkan faktor waktu
kempa dan interaksinya tidak berpengaruh. Paramater MOR dan IB tidak dipengaruhi oleh
interaksi kedua faktor beserta faktor tunggalnya. Kondisi ini sejalan dengan sifat fisika papan
partikel dimana kerapatan, penyerapan air dan pengembangan tebal juga tidak dipengaruhi
oleh interaksi faktor dan faktor tunggalnya.
Pengempaan panas sampai titik plastisitas kayu mempunyai efek menurunkan
kekuatan serat. Oleh sebab itu pemanasan dengan pengempaan sekaligus akan membuat
lapisan serat menjadi menurun kekuatannya bila titik plastisitas terlampaui (Prayitno, 2007).
Bila ini yang terjadi maka pemanasan menyebabkan komponen penyusun hemiselulosa dan
penurunan ini berhubungan langsung dengan berkurangnya kekuatan papan partikel yang
dihasilkan (Prasetyo,2008). Dengan demikian dapat dipahami bila makin lama pengempaan
panas maka makin rendah kekuatan papan partikel. Sebaliknya bila pemanasan belum
mencapai titik plastisitas kayu atau material lignoselulosa maka efek pemanasan tak begitu
nyata. MoR papan serut pada pemanasan 11 menit rata-rata sebesar 49,2kg/cm2.
Pengempaan 17 menit menghasilkan MoR sebesar 50,93kg/cm2. Dengan demikian belum
terjadi penurunan kekuatan mekanika serat atau partikel.
Pengaruh komposisi serutan bambu menunjukkan bahwa makin besar porsi serutan
bambu maka makin besar MoR. Nilai MoR sebesar 42,08, 52,03 dan 56,10kg/cm2 adalah

848
BIOKOMPOSIT

nilai MoR papan serutan dengan komposisi 50,60 dan 70%. Ini berarti makin banyak serutan
bambu dalam papan serutan maka makin besar nilai MoR nya.
MoE merupakan ukuran kekakuan kayu bukan kekuatan, rasio antara stress dan
strain, berlaku hanya dalam batas proporsi (Haygreen dan Bowyer, 1986). Hasil analisis
varians menunjukkan bahwa faktor komposisi lapisan berpengaruh sangat nyata terhadap
nilai MoE, pada taraf uji 0,01%, sedangkan faktor waktu kempa serta interaksi antara
komposisi lapisan dan waktu kempa tidak berpengaruh nyata terhadap MoE. Hasil uji HSD
terhadap komposisi lapisan menunjukkkan bahwa ketiga aras komposisi lapisan
berpengaruh sangat nyata satu sama lain.

Gambar 2. Nilai MoE papan partikel

Keterangan:
A1 = Komposisi lapisan feses : bambu : feses yaitu 25% : 50 % : 25%
A2 = Komposisi lapisan feses : bambu : feses yaitu 20% : 60% : 20 %
A3 = Komposisi lapisan feses : bambu : feses yaitu 15% : 70% : 15%
B1 = Waktu kempa 11 menit
B2 = Waktu kempa 17 menit

Dari gambar 2 tersebut dapat diketahui bahwa semakin banyak komposisi


bambunya maka semakin tinggi nilai MoE papan partikelnya. Hal ini disebabkan serutan
bambu mengandung banyak serat dibanding feses sapi. Bambu menunjukkan sifat mekanika
yang superior dibandingkan feses sapi. Tanggara (2010), menjelaskan bahwa MoE tertinggi
pada feses sapi yaitu 502,57 kg/cm2,. Penelitian papan serutan bambu di Laboratorium
komposit menunjukkan MOE papan serut bambu sebesar 15.000 sampai 20.000 kg/cm2
(Prayitno, 2005a)
Keteguhan internal bonding merupakan salah satu sifat terpenting dari papan
partikel. Internal bonding merupakan kekuatan tarik tegak lurus bidang panil (Haygreen dan
Bowyer, 1989). Internal bonding atau ikatan internal adalah ukuran tunggal terbaik tentang
kualitas pembuatan suatu papan karena menunjukkan kekuatan ikatan antara partikel
partikel. Kekuatan internal adalah suatu uji pengendalian kualitas yang penting karena
menunjukkan kebaikan pencampurannya, pembentukannya, dan proses pengepresan papan
partikel. Keteguhan rekat internal papan serut bambu dengan feses sapi rata-rata sebesar
1.93kg/cm2. Faktor komposisi lapisan menghasilkan variasi keteguhan rekat yaitu 1,75; 2,13
dan 1,91 kg/cm2 untuk ketebalan serutan bambu dari 50, 60 dan 70%. Ini berarti makin tebal
porsi lapisan serutan bambu makin kuat keteguhan internal papan serutan bambu. Prayitno
(1995) menjelaskan bahwa komposisi partikel berpengaruh sangat nyata terhadap
keteguhan internal bonding. Lapisan partikel yang lembut di permukaan dan kasar di tengah
akan menghasilkan efek yang berbeda bila yang kasar di muka dan belakang dan yang
lembut di tengah. Semakin seimbang (seragam) komposisi partikel yang digunakan, maka
keteguhan internal bondingnya semakin baik.

849
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Papan partikel dengan porsi feses sapi yang paling besar hanya menghasilkan
kekuatan papan yang paling kecil. Papan dengan poris feses sapi semakin sedikit dan porsi
lapisan bambu yang besar menghasilkan papan dengan kekuatan mekanika yang paling
besar (secara numerik) walaupun secara uji statistik tidak berbeda nyata.

Potensi papan partikel feses sapi


Kotoran sapi merupakan bahan atau material berlignoselulosa yang selama ini belum
pernah diteliti potensinya sebagai bahan baku pembuatan papan partikel. Meskipun hampir
semua bahan berlignoselulosa dapat dimanfaatkan sebagai papan partikel, namun dalam
proses pembuatannya perlu mempertimbangkan berbagai faktor agar produk yang
dihasilkan dapat memenuhi persyaratan teknis maupun ekonomis (Tanggara, 2010).
Total limbah yang dihasilkan peternakan tergantung dari besar usaha, tipe usaha
dan lantai kandang. Komponen yang terdiri dari feses dan urin merupakan limbah ternak
yang terbanyak dihasilkan dan sebagian besar dihasilkan oleh ternak ruminansia seperti
sapi, kerbau, kambing, dan domba. Satu ekor sapi dewasa dapat menghasilkan 23,59 kg
kotoran tiap harinya (Ridwan, 2006). Dengan kadar air sebesar 60-80 % (Wuryantoro,
2009), ada sekitar 5,9 juta ton kotoran sapi per tahun di Indonesia yang belum dimanfaatkan
padahal jauh lebih baik sebagai campuran pasir karena mengandung isolate 9,6% sehingga
mempunyai daya ikat yang jauh lebih kuat, dalam pembuatan keramik selama ini (Anonim,
2011b).
Potensi kotoran sapi untuk dimanfaatkan sebagai bahan pembuatan biogas
sebenarnya cukup besar, namun belum semua peternak memanfaatkannya. Bahkan selama
ini telah menimbulkan masalah pencemaran dan kesehatan lingkungan. Umumnya para
peternak membuang kotoran sapi tersebut ke sungai atau langsung menjualnya ke pengepul
dengan harga sangat murah. Padahal dari kotoran sapi saja dapat diperoleh produk-produk
sampingan (by-product) yang cukup banyak (Anonim, 2011a).

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian pengaruh komposisi lapisan dan waktu kempa terhadap
sifat fisika dan mekanika papan partikel berbahankan bambu petung dan feses sapi, maka
dapat diambil beberapa kesimpulan sbagai berikut:
1. Interaksi antara faktor komposisi lapisan dan waktu kempa tidak berpengaruh pada
semua parameter pengujian papan partikel.
2. Faktor waktu kempa tidak berpengaruh pada semua parameter pengujian papan
partikel.
3. Faktor komposisi lapisan hanya berpengaruh sangat nyata terhadap nilai MoE.Semakin
banyak komposisi lapisan bambunya, maka semakin besar nilai MoE yang dihasilkan.
Komposisi lapisan A3 (perbandingan feses : bambu : feses yaitu 15% : 70% : 15%)
mempunyai MoE tertinggi, dan komposisi lapisan A1 (perbandingan feses : bambu :
feses yaitu 25% : 50 % : 25% ) mempunyai nilai MoE terendah. Nilai kadar air,
kerapatan, pengembangan tebal, penyerapan air, MoR dan internal bonding tidak
dipengaruhi secara nyata oleh faktor komposisi lapisan.
4. Kadar air, kerapatan,penyerapan air,pengembangan tebal, internal bonding sebagian
besar sudah memenuhi standar FAO,DIN,SII dan USDA, akan tetapi nilai MoR dan MoE
belum memenuhi standar FAO, DIN, SII dan USDA.

850
BIOKOMPOSIT

Saran
Berdasarkan hasil penelitian pengaruh komposisi lapisan dan waktu kempa terhadap
sifat fisika dan mekanika papan partikel berbahankan bambu petung dan feses sapi, maka
dapat disarankan sebagai berikut :
1. Perlu dilakukan penelitian kelayakan pembuatan papan partikel dengan feses sapi
sebagai industri kecil atau sedang di lingkungan peternakan.
2. Penelitian pencampuran berbagai bahan lignoselulosa di lingkungan peternakan dalam
pembuatan papan partikel

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2011a. Teliti Kotoran sapi. http: www.ugm.ac.id. diakses tanggal 18 Mei 2011 pukul
13.06 WIB.
______. 2011b. Pembuatan Biogas dari Kotoran Sapi Sebagai Alternatif untuk Mencapai
Swadaya energi. http: www.kliksaya.com. diakses tanggal 18 Mei 2011 pukul 13.30
WIB.
Haygreen, J. G dan J. L., Bowyer 1989. Hasil Hutan dan Ilmu kayu. Suatu pengantar
(terjemahan). Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Prasetyo, H., 2008. Pengaruh Komposisi Lapisan Partikel Dan Jumlah Perekat Urea
Formaldehida Terhadap Sifat Papan Partikel Limbah Gergajian Kayu Kelapa
(Skripsi). Fakultas Kehutanan UGM. Yogyakarta.
Prayitno,TA. 1995. Teknologi papan partikel. Modul ajar . Fakultas Kehutanan UGM.
Yogyakarta.
-------------. 2005a. Laminasi bamboo. Kursus Teknologi Bambu. Pusat Penelitian Bambu
PAU-Teknik UGM.
----------------. 2005b. Bamboo Stabilization. Kursus Teknologi Bambu. Pusat Penelitian
Bambu PAU-Teknik UGM
--------------. 2007. Pengaruh pemanasan pada sifat perekatan kayu kelapa. Laporan
penelitian Fakultas Kehutanan UGM
Ridwan., 2006. Kotoran Ternak Sebagai Pupuk dan Sumber Energi. Harian Independen
Singgalang.
Sari E., 2006. Pengaruh Suhu Dan Waktu Kempa Terhadap Sifat - Sifat Papan Partikel
Limbah Serutan Bambu Petung (Skripsi). Fakultas Kehutanan UGM. Yogyakarta.
Suryadi, F., 2008. Pengaruh Cara Pelaburan dan Jumlah Perekat Labur Terhadap Sifat
Sifat Papan Partikel Limbah serutan Bambu Petung (Skripsi). Fakultas Kehutanan
UGM. Yogyakarta.
Tanggara, R., 2010. Pengaruh Suhu Dan Tekanan Terhadap Kualitas Fisik Dan Mekanik
Papan Partikel Berbahan Baku Kotoran Sapi (Skripsi). Fakultas Peternakan UGM.
Yogyakarta.
Wirnasari., 2011. Pengaruh Komposisi Partikel Dan Jumlah Perekat Urea Formaldehida
Terhadap Sifat Papan Serutan Bambu Petung (Dendrocalamus asper Backer)
(Skripsi). Fakultas Kehutanan UGM. Yogyakarta.
Wuryantoro. D., 2009. Praktikum Manajemen Limbah. Fakultas Peternakan UGM.
Yogyakarta.

851
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

SIFAT FISIS DAN MEKANIS KAYU DAN PAPAN PARTIKEL BATANG


DAN CABANG JABON (Anthocephalus cadamba Miq )
{THE PHYSICAL AND MECHANICAL PROPERTIES OF WOOD AND
PARTICLE BOARD MADE OF TRUNK AND BRANCHES OF JABON
( Anthocephalus cadamba Miq )}
Surdiding Ruhendi
Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan IPB, Bogor

ABSTRACT

Physical and mechanical properties of jabon wood and their particle boards were
studied.The wood from lower, upper part of trunk and branches of jabon tree were used.
The physical properties of wood in terms of wettability and desity were observed and
compared to the gluability in internal bond of particle board which were made of lower, upper
part of trunk and branches of jabon tree. Thr quality of particle board were tested accordance
with JIS 5908:2003.
The results show that there were a variability in wettability and density of jabon wood
between part of tree.Furthermore, the variabilities were also happened in internal bond of the
particle board.The higher the wettability the higher the internal bond, means that wettability
as a good indicator for gluability of jabon woods.The quality of particle board made of woods
from branches were better than others.

Keywords: particleboard, jabon, wettability, gluability

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Jabon (Anthocephalus cadamba Miq) adalah jenis kayu cepat tumbuh, berbatang
silinders, lurus, kayunya berwarna putih kekuningan, potensial untuk bahan baku industri
bahan bangunan non-konstruksi, produk biokomposit (kayu lapis, papan partikel, papan
semen), papan, peti pembungkus, cetakan beton, mainan anak-anak, alas sepatu, korek api,
konstruksi darurat yang ringan, cocok untuk pulp (Pratiwi 2003).
Pemanfaatan pohon, termasuk pohon jabon hanya bagian batangnya khususnya
batang bebas cabang,sedangkan cabang bahkan batang atas cabang ditinggalkan sebagai
limbah.Kualitas kayu sebagai bahan baku industri,khususnya untuk papan partikel, diduga
beragam menurut asal kayu dari bagian pohon:batang atau cabang.Untuk pohon muda kayu
dari batang bawah atau batang bebas cabang diduga memiliki sifat yang berbeda karena
tingkat kedewasaan kayu yang berbeda.
Kayu dari batang atas pohon jabon dan cabang yang potensinya cukup besar
dibandingkan kayu dari batang bebas cabang akan dimanfaatkan sebagai bahan baku
papan partikel.

Tujuan Penelitian
a. Mengetahui pengaruh posisi kayu dalam pohon (batang bawah, batang atas dan cabang)
dan kadar perekat terhadap kualitas papan partikel.
b. Mengetahui nilai keterbasahan kayu yang berasal dari batang bawah, batang atas,
cabang dan hubungannya terhadap internal bond papan partikel.

852
BIOKOMPOSIT

Hipotesis
a. Posisi kayu dalam pohon diduga akan mempengaruhi sifat fisis dan mekanis papan
partikel.
b. Kadar perekat diduga akan memepengaruhi kualitas papan partikel.

Manfaat Penelitian
a. Memberikan informasi bagaimana pengaruh posisi kayu dalam pohon dan kadar perekat
terhadap kualitas papan partikel yang dihasilkan.
b. Memberikan informasi nilai keterbasahan partikel batang bawah, batang atas, cabang
dan hubungannya dengan internal bond papan partikel.

METODOLOGI PENELITIAN

Waktu dan Tempat


Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari sampai dengan bulan April 2011,
bertempat di Laboratorium Bio-Komposit, Laboratorium Rekayasa dan Desain Bangunan
Kayu Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

Bahan dan Alat


Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kayu jabon (Anthocephalus
cadamba Miq.) yang diperoleh dari Desa Cibanteng,Kecamatan Ciampea,Kabupaten Bogor.
Perekat yang digunakan adalah perekat urea formaldehida yang diperoleh dari PT. Pamolite
Adhesive Industry. Kayu jabon yang dijadikan partikel berasal dari batang bawah, batang
atas dan cabang. Partikel yang digunakan adalah yang lolos 20 mesh, kebutuhan partikel
17,2 kg dan perekat sebanyak 1,3 kg.
Alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi circular saw, disk flaker, willey mill,
oven, desikator, ayakan, karung, timbangan elektrik, rotary blender, spray gun, kempa
panas, gelas ukur, gelas plastik, pipa gelas berdiameter 0,460,02 cm dan tinggi 60 cm,
kapas, pencetak papan, plat alumunium, kaliper, micrometer, cutter, kantong plastik, ember
plastik dan Universal Testing Machine.

Rancangan Percobaan dan Analisis Data


Penelitian ini menggunakan analisis faktorial dalam Rancangan Acak Lengkap (RAL).
Faktor yang diteliti meliputi faktor A adalah posisi kayu dalam pohon yaitu: batang bawah
(a1), batang atas (a2) dan cabang (a3). Faktor B adalah kadar perekat yaitu 8% (b1), 10% (b2),
dan 12% (b3). Masing-masing taraf dilakukan sebanyak tiga ulangan, sehingga jumlah papan
yang dibuat adalah 27 papan. Model statistik linier dari rancangan percobaan yang
digunakan adalah sebagai berikut:

Yijk = + Ai + Bj + (AB)ij + Hijkl

Keterangan:
Yijk = Nilai respon pada taraf ke-i faktor posisi kayu dalam pohon, taraf ke-j faktor kadar
perekat pada
taraf ke-i
= Nilai rata-rata pengamatan
Ai = Pengaruh faktor posisi kayu dalam pohon pada
taraf ke-i
Bj = Pengaruh faktor kadar perekat pada taraf ke-j

(AB)ij = Pengaruh interaksi faktor posisi kayu dalam pohon


pada taraf ke-i dan faktor kadar perekat pada taraf
ke-j

853
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

ijk = Kesalahan percobaan pada faktor posisi kayu dalam pohon pada taraf ke-i, faktor
kadar perekat pada taraf ke-j
i = Posisi kayu dalam pohon yaitu batang bawah (a1), batang atas (a2), dan cabang
(a3)
j = Kadar perekat 8%, 10% dan 12%
k = Ulangan 1,2 dan 3

Selanjutnya dilakukan analisis keragaman dengan menggunakan uji F pada tabel


ANOVA untuk tingkat kepercayaan 95% agar diketahui pengaruh perlakuan yang diberikan,
kemudian dilakukan uji lanjut dengan menggunakan uji Duncan Multiple Range Test
(DMRT).

Prosedur Penelitian
Persiapan Partikel
Batang bawah dan batang atas dipotong menjadi ukuran 5 cm x 5 cm x 3 cm,
kemudian dimasukkan kedalam mesin disk flaker hingga berbentuk flakes dengan ukuran
panjang 2-3 cm dan lebar 2 cm, sedangkan cabang dicacah menggunakan golok dengan
ukuran panjang 1-3 cm dan lebar 1-2 cm, selanjutnya digiling dengan menggunakan mesin
willey mill sehingga menjadi partikel yang berukuran lolos 20 mesh. Kemudian partikel
dikeringkan di dalam oven dengan suhu 60-80C hingga mencapai kadar air 5% selama 2
hari.

Pengujian Keterbasahan (Wettability)


Pengujian keterbasahan menggunakan partikel yang berukuran 60 mesh dengan
kadar air 5%. Pengujian keterbasahan dilakukan dengan metode Tinggi Absorpsi Air
Terkoreksi (Corrected Water Absorption Height) pada partikel. Menurut Surdiding (1983),
prosedurnya adalah sebagai berikut:
1. Alat uji untuk keterbasahan dibersihkan dan dikeringkan.
2. Pipa gelas berdiameter 0.460.02 cm dan tinggi 60 cm ditimbang dengan timbangan
ketelitian 0.01 g.
3. Salah satu ujung pipa gelas ditutup dengan kapas.
4. Pipa gelas diisi dengan partikel sampai ketinggian 50 cm.
Pengisian partikel dilakukan dalam tiga tahap, setiap
pengisian harus diketuk dengan ketukan yang sama.
5. Pipa gelas yang telah diisi partikel kemudian ditimbang,
dan ditegakkan dengan ujung bawah direndam air inch (1.25cm).
6. Pipa gelas tersebut dibiarkan selama 48 jam, kemudian diukur tinggi absorpsi air. Tinggi
absorpsi air terkoreksi dihitung dengan menggunakan rumus:

CWAH = h1b = h1 d h2
4ws

Keterangan:
CWAH = Corrected Water Absorption Height (mm)
h1 = Tinggi penyerapan air (mm)
b = Faktor koreksi (bulk factor)
h2 = Tinggi partikel (cm)
w = Berat kering oven partikel (g)
d = Diameter dalam pipa gelas (cm)
= 3,1415
s = Volume jenis air (cm/g)

Pembuatan Papan Partikel


Papan partikel yang dibuat berukuran 30 cm x 30 cm x 1 cm dengan target kerapatan
0,7 gr/cm, melalui tahapan sebagai berikut:

854
BIOKOMPOSIT

Pencampuran Bahan
Partikel dan perekat ditimbang sesuai dengan kebutuhan yang digunakan kemudian
partikel dimasukan ke dalam rotary blender sedangkan perekat urea formaldehida
dimasukan ke dalam spray gun. Saat rotary blender berputar perekat urea formaldehida
disemprotkan dengan menggunakan spray gun dengan kadar perekat 8%, 10%, 12%
sampai perekat dan partikel tercampur merata.

Pembuatan Lembaran
Setelah perekat dan partikel tercampur merata, masukkan adonan ke dalam
pencetak lembaran yang berukuran (30 x 30 x 10) cm kemudian dipadatkan disemua sisinya.
Pada bagian bawah dan bagian atas cetakan dilapisi dengan plat alumunium dan kertas
teflon.

Pengempaan
Sebelum pengempaan dilakukan pada bagian dua sisi kiri dan kanan diletakkan
batang besi dengan ketebalan 1 cm. Kemudian di kempa dengan menggunakan mesin
kempa panas (hot pressing) dengan waktu pengempaan kurang lebih 10 menit, suhu kempa
110oC dan tekanan kempa 25 kgf/cm2. Setelah pengempaan selesai biarkan selama 30
menit agar lembaran panil mengeras.

Pengkondisian
Setelah pengempaan, papan dikeluarkan dan ditumpuk dengan menggunakan
sticker pada suhu kamar selama 14 hari.

Pemotongan dan Pengujian Contoh Uji


Papan partikel yang telah dilakukan pengkondisian kemudian dipotong dan diuji
mengacu pada standar JIS 5908 : 2003.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Sifat Fisis Papan Partikel


Kerapatan
Nilai rata-rata kerapatan papan partikel yang diperoleh berkisar antara 0,56 g/cm
sampai 0,66 g/cm. Secara keseluruhan nilai kerapatan papan partikel yang dihasilkan telah
memenuhi standar JIS A 5908-2003 yaitu berkisar antara 0,4 g/cm sampai 0.9 g/cm . Nilai
rata-rata kerapatan papan partikel dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Histogram kerapatan papan partikel

Gambar 1 menunjukkan bahwa nilai kerapatan papan partikel yang dihasilkan lebih
rendah dari target yang diinginkan yaitu 0,7 g/cm. Hal ini diduga karena tidak merata
penyebaran partikel pada saat proses penaburan partikel kayu dalam cetakan dan pada saat

855
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

pengempaan dan terjadi pergerakan partikel ke arah samping sebagai akibat plat penahan
partikel yang digunakan hanya terdapat pada dua sisi saja sedangkan dua sisi lainya tidak
diberi plat besi untuk menahan penyebaran partikel kayu sehingga papan partikel yang
dihasilkan memiliki luasan yang lebih besar dan kerapatanya menjadi lebih rendah. Menurut
Sutigno (1994) menyatakan bahwa jumlah dan keadan bahan pada hamparan bersama-
sama dengan teknik pengempaan mempengaruhi kerapatan papan partikel.
Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa posisi kayu dan interaksi keduanya
berpengaruh nyata terhadap kerapatan papan partikel yang dihasilkan, sedangkan untuk
kadar perekat tidak berpengaruh nyata terhadap kerapatan papan partikel. Hasil uji lanjut
Duncan menunjukkan bahwa nilai kerapatan terbaik terdapat pada papan partikel cabang
dengan kadar perekat 8%.

Kadar Air
Nilai rata-rata kadar air papan partikel yang dihasilkan berkisar antara 9,55% sampai
10,09%. Secara keseluruhan nilai kadar air papan partikel yang dihasilkan telah memenuhi
standar JIS A 5908-2003 yaitu berkisar antara 5% sampai 13%. Nilai rata-rata kadar air
papan partikel dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Histogram kadar air papan partikel

Gambar 2 menunjukkan bahwa nilai kadar air papan partikel yang dihasilkan cukup
tinggi, hal ini diduga disebabkan kayu yang bersifat higroskopis yang berarti kayu dapat
menyerap dan melepaskan air, sehingga kadar air dapat berubah sewaktu-waktu sesuai
dengan kondisi lingkungannya. Widarmana (1977) menyatakan bahwa kadar air papan
komposit sangat tergantung pada kondisi udara disekitarnya, karena bahan baku papan
komposit adalah bahan-bahan yang mengandung lignoselulosa yang bersifat higroskopis.
Hasil analisis sidik ragam yang telah dilakukan diketahui bahwa posisi kayu dan
interaksi keduanya tidak berpengaruh nyata terhadap kadar air papan partikel namun kadar
perekat berpengaruh nyata terhadap papan partikel yang dihasilkan. Hasil uji lanjut Duncan
menunjukkan bahwa kadar perekat 8% merupakan kadar perekat yang optimal untuk
merespon kadar air papan partikel.

Daya Serap Air


Nilai rata-rata daya serap air papan partikel setelah perendaman 2 jam berkisar
antara 79,69% sampai163,50%. Nilai daya serap air dapat dilihat pada Gambar 3.

856
BIOKOMPOSIT

Gambar 3. Histogram daya serap air papan partikel dengan perendaman 2 jam

Nilai rata-rata daya serap air setelah perendaman 24 jam berkisar antara 110,14%
sampai 210,05%. Nilai rata-rata daya serap air 24 jam dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Histogram daya serap air papan partikel dengan perendaman 24 jam

Nilai daya serap air papan partikel yang dihasilkan baik perendaman 2 jam maupun
24 jam cukup tinggi terutama pada daya serap air pada papan partikel batang atas
dibandingkan papan partikel batang bawah dan papan partikel cabang. Hal ini diduga karena
kayu jabon mempunyai berat jenis yang rendah, dimana rongga selnya besar sehingga
mudah menyerap air dalam kapasitas besar. Penggunaan perekat urea formaldehida
mempengaruhi tingginya daya serap air papan partikel dimana ikatan yang dihasilkan
tersebut tidak tahan air sehingga air mudah sekali merusak ikatan-ikatan antar perekat dan
partikel (Djalal 1984).
Hasil analisis sidik ragam yang telah dilakukan diketahui bahwa posisi kayu, kadar
perekat dan interaksi keduanya berpengaruh nyata terhadap daya serap air pada
perendaman 2 jam dan 24 jam. Pada daya serap air 2 jam hasil uji lanjut Duncan
menunjukkan bahwa posisi kayu, kadar perekat dan interaksi keduanya memberikan
pengaruh terbaik terhadap papan partikel dengan daya serap 2 jam yaitu cabang dengan
kadar perekat 8% dengan nilai daya serap air sebesar 86,07% sedangkan pada daya serap
air 24 jam hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa posisi kayu, kadar perekat dan
interaksi keduanya memberikan pengaruh terbaik terhadap papan partikel dengan daya
serap air 24 jam yaitu cabang dengan kadar perekat 8% dengan nilai daya serap air sebesar
117,30%. Standar JIS A5908-2003 tidak mensyaratkan nilai untuk daya serap air.

857
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Pengembangan Tebal
Nilai rata-rata pengembangan tebal papan partikel setelah perendaman 2 jam
berkisar antara 30,87% sampai 69,71. Nilai rata-rata pengembangan tebal 2 jam dapat
dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5. Histogram pengembangan tebal papan partikel dengan perendaman 2 jam

Nilai rata-rata pengembangan tebal setelah perendaman 24 jam berkisar antara


38,11% sampai 86,50%. Nilai pengembangan tebal 24 jam dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Histogram penegembangan tebal papan partikel dengan perendaman 24 jam

Secara keseluruhan nilai pengembangan tebal papan partikel yang dihasilkan


melebihi standar JIS A 5908-2003 yang mensyaratkan nilai pengembangan tebal papan
partikel yaitu maksimal 12%. Tingginya nilai pengembangan tebal papan partikel yang
dihasilkan diduga disebabkan tingkat absorpsi air oleh bahan baku yang tinggi dan sifat
perekat yang digunakan.
Setiawan (2008) menyatakan bahwa pengembangan tebal diduga ada hubungan
dengan absorbsi air, karena semakin banyak air yang diabsorbsi dan memasuki struktur
partikel maka semakin banyak pula perubahan dimensi yang dihasilkan, hal tersebut
dibuktikan dengan besarnya nilai daya serap air yang tinggi. Berdasarkan sifat perekat urea
formaldeida yang digunakan menurut Maloney (1993) menyatakan bahwa terdapat
kelemahan utama perekat urea formaldehida yaitu terjadinya kerusakan pada ikatannya
yang disebabkan oleh air dan kelembapan.
Pada penelitian ini pembuatan papan partikel tidak menambahkan bahan aditif
sebagai penolak air sehingga menyebabkan nilai daya serap air papan partikel menjadi

858
BIOKOMPOSIT

tinggi. Menurut Haygreen dan Bowyer (2003) ada beberapa bahan aditif yang dapat
ditambahkan pada papan komposit dan paling banyak digunakan adalah wax sehingga akan
meningkatkan resistensi ketahanan terhadap air.
Berdasarkan hasil analisis sidik ragam yang telah dilakukan diketahui bahwa posisi
kayu, kadar perekat dan interaksi keduanya berpengaruh nyata terhadap pengembangan
tebal selama 2 jam dan 24 jam. Pada pengembangan tebal 2 jam hasil uji lanjut Duncan
menunjukkan bahwa posisi kayu, kadar perekat dan interaksinya memberikan pengaruh
terbaik terhadap terhadap pengembangan tebal 2 jam yaitu cabang dengan kadar perekat
8% sebesar 34,00%. Sedangkan pada pengembangan tebal 24 jam, hasil uji lanjut Duncan
menunjukkan bawa posisi kayu, kadar perekat dan interaksi keduanya memberikan
pengaruh terbaik pada pengembangan tebal 24 jam. Nilai rata-rata pengembangan tebal 24
jam yang terbaik terhadap papan partikel yang dihasilkan yaitu cabang dengan kadar
perekat 12%. Kombinasi cabang dengan kadar perekat 12% merupakan kombinasi yang
optimal terhadap pengembangan tebal papan partikel.

Sifat Mekanis Papan Partikel


Keteguhan Lentur (Modulus of Elasticity)
Nilai rata-rata MOE papan pertikal yang dihasilkan berkisar antara 6244,69 kg/cm
sampai 15426,47 kg/cm. Nilai rata-rata MOE papan partikel dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7. Histogram Modulus of Elasticity papan partikel

Gambar 7 menunjukan bahwa semua papan partikel yang dihasilkan tidak


memenuhi standar JIS A 5908-2003 yang mensyaratkan nilai MOE papan partikel yaitu
minimum 20400 kg/cm. Hal ini diduga disebabkan oleh ukuran partikel yang digunakan
dalam pembuatan papan partikel yang bervariasi, sehingga diduga kandungan debu cukup
tinggi akibatnya distribusi perekat tidak merata dan lebih banyak menutupi permukaan debu
akibatnya ikatan antara partikelnya kurang kompak. Haygreen dan Bowyer (1996)
menyatakan bahwa selain kerapatan, kadar perekat, geometri partikel merupakan ciri utama
yang menentukan sifat MOE yang dihasilkan. Faktor lain yang mempengaruhi rendahnya
nilai MOE papan partikel yang dihasilkan masih banyaknya pith yang tidak ikut terbuang.
Hesh (1973) diacu dalam Muharam (1995) menyatakan bahwa pith merupakan bahan yang
berupa spons yang bersifat tidak memberikan kekuatan oleh karena itu bila dalam
pembuatan papan partikel, pith diikutsertakan maka akan menghasilkan kekuatan yang
rendah dan memerlukan banyak perekat.
Hasil analisis sidik ragam yang telah dilakukan diketahui bahwa posisi kayu dan
interaksi keduanya berpengaruh nyata terhadap MOE papan partikel, sedangkan kadar
perekat tidak berpengaruh nyata terhadap MOE papan partikel. Hasil uji lanjut Duncan
menghasilkan nilai MOE terbaik yaitu cabang dengan kadar perekat 8% memiliki nilai yang
optimal terhadap MOE papan partikel yang dihasilkan yaitu 12854,03 kg/cm.

859
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Keteguhan Patah (Modulus of Rupture)


Nilai rata-rata MOR papan partikel yang dihasilkan berkisar antara 63,04 kg/cm
sampai 109,06 kg/cm. Nilai rata-rata MOR papan partikel dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8. Histogram Modulus of Rupture papan partikel

Gambar 8 menunjukkan bahwa nilai rata-rata keteguhan patah papan partikel yang
dihasilkan sebagian besar telah memenuhi standar JIS A 5908-2003 yang mensyaratkan
nilai keteguhan patah papan partikel minimal 82 kg/cm. Hanya terdapat 4 buah papan yang
tidak memenuhi standar yaitu batang bawah 8%, batang atas 8% dan batang atas 10% serta
cabang 12% dengan nilai keteguhan patah masing-masing sebesar 64,09 kg/cm, 66,73
kg/cm dan 63,04 kg/cm serta 77,64 kg/cm. Hal ini diduga disebabkan kerapatan yang
dihasilkan lebih rendah bila dibandingkan dengan papan partikel lainnya. Semakin tinggi
kerapatan papan partikel yang dihasilkan maka sifat keteguhan patah papan partikel juga
akan semakin tinggi (Haygreen dan Bowyer 1996). Faktor yang mempengaruhi keteguhan
patah papan partikel adalah berat jenis kayu, geometri partikel, kadar perekat, kadar air
lapik, prosedur kempa (Koch 1972 dalam Nurywan 2007).
Berdasarkan hasil analisis sidik ragam yang telah dilakukan diketahui bahwa posisi
kayu, kadar perekat dan interaksi keduanya tidak berpengaruh nyata terhadap MOR papan
partikel yang dihasilkan.

Keteguhan Rekat Internal (Internal Bond)


Nilai rata-rata internal bond papan partikel yang dihasilkan berkisar antara 2,32
kg/cm sampai 7,10 kg/cm. Secara keseluruhan nilai internal bond papan partikel yang
dihasilkan sudah memenuhi standar JIS A 5908-2003 yang mensyaratkan internal bond
papan partikel yaitu 1,5 kg/cm. Nilai rata-rata internal bond papan partikel dapat dilihat pada
Gambar 9.

Gambar 9. Histogram Internal bond papan partikel

860
BIOKOMPOSIT

Gambar 9 menunjukkan bahwa nilai keteguhan rekat internal papan partikel batang
atas lebih rendah bila dibandingkan dengan nilai keteguhan rekat internal papan partikel
batang bawah dan cabang. Hal ini diduga disebabkan pada pengempaan waktu yang
diberikan terlalu singkat sehingga pemadatan dan pematangan perekat tidak maksimal.
Semakin lama waktu kempa yang digunakan pada saat pengempaan maka semakin besar
nilai keteguhan rekat internal papan partikel. Kualitas keteguhan rekat internal papan partikel
dipengarui oleh pencampuran, pembentukan dan pengempaan yang baik (Bowyer et al.
2003).
Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa posisi kayu berpengaruh nyata
terhadap keteguhan rekat internal papan partikel, sedangkan kadar perekat dan interaksi
keduanya tidak berpengaruh nyata terhadap keteguhan rekat internal papan partikel. Hasil
uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa cabang merupakan posisi kayu yang paling optimal
dalam merespon keteguhan rekat internal papan partikel hal ini karena cabang
menghasilkan nilai internal bond tertinggi dibandingkan batang atas dan batang bawah.

Kuat Pegang Sekrup


Nilai rata-rata kuat pegang sekrup papan partikel dihasilkan berkisar antara 37,28 kg
sampai 46,55 kg. Secara keseluruhan nilai kuat pegang sekrup papan partikel yang
dihasilkan telah memenuhi standar JIS A 5908-2003 yang mensyaratkan kuat pegang
sekrup papan partikel yaitu minimal 31 kg. Nilai rata-rata kuat pengang sekrup dapat dilihat
pada Gambar 10.

Gambar 10. Histogram kuat pegang sekrup papan partikel

Gambar 10 menunjukkan bahwa papan partikel cabang memiliki nilai kuat pegang
sekrup yang lebih tinggi dibandingkan dengan papan partikel batang bawah dan papan
partikel batang atas. Hal ini diduga papan partikel cabang yang dihasilkan memiliki
kerapatan yang lebih tinggi sehingga mampu menggenggam sekrup yang lebih kuat.
Haygreen dan Bowyer (1996) menyatakan bahwa kerapatan papan partikel mempengaruhi
nilai kekuatan papan partikel dalam menahan paku dan sekrup. Semakin besar kerapatan
papan partikel, maka semakin besar pula nilai kekuatan pegang sekrup yang dihasilkan.
Hasil analisis sidik ragam yang telah dilakukan diketahui bahwa posisi kayu, kadar perekat
dan interaksi keduanya tidak berpengaruh nyata terhadap kuat pengang sekrup papan
partikel.

Hubungan Antara Keterbasahan Dengan Internal Bond Papan Partikel


Keterbasahan merupakan kondisi suatu permukaan yang menentukan sejauh mana
cairan akan ditarik oleh permukaan. Pengujian keterbasahan dilakukan dengan metode
Corrected Water Absorption Height (CWAH).

861
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Gambar 11. Histogram hubungan antara keterbasahan dengan internal bond papan partikel

Gambar 11 menunjukkan bahwa nilai keterbasahan batang atas sebesar 1800,4 mm


menghasilkan papan partikel dengan nilai internal bond sebesar 9,07 kg/cm, nilai
keterbasahan batang bawah sebesar 2126,1 mm menghasilkan papan partikel dengan nilai
internal bond sebesar 15,77 kg/cm dan nilai keterbasahan cabang sebesar 2169,7 mm
menghasilkan papan partikel dengan nilai internal bond sebesar 18,35 kg/cm. Dapat
disimpulkan bahwa cabang memiliki nilai keterbasahan dan internal bond papan partikel
tertinggi yaitu untuk keterbasahan 2169,70 mm dan internal bond 18,35 kg/cm. Pada
Gambar 11 dapat dilihat bahwa adanya kecenderungan semakin tinggi nilai keterbasahan
maka semakin tinggi juga nilai internal bond papan partikel yang dihasilkan. Jordan dan
Wellons (1977) menyatakan bahwa nilai keterbasahan yang tinggi cenderung menghasilkan
keteguhan rekat yang tinggi.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
a. Sifat fisis dan mekanis papan partikel beragam menurut asal kayu dalam pohon.
b. Kayu yang berasal dari cabang, menghasilkan papan partikel yang lebih baik.
c. Nilai keterbasahan kayu dalam tingkat penyerapan air terkoreksi beragam menurut asal
kayu dalam pohon dan terdapat kecenderungan ada korelasi dengan keterekatan kayu
dalam internal bond,dimana makin tinggi keterbasahan makin tinggi pula kerekatannya.
Keterbasahan bisa dijadikan indikator keterekatan kayu jabon.

Saran
a. Perlu adanya penambahan parafin untuk mengurangi daya serap air dan pengembangan
terhadap papan partikel jabon.
b. Perlu dilakukannya penelitian mengenai sifat kimia dan anatomi kayu bagian batang
bawah, batang atas dan cabang.

UCAPAN TERIMA KASIH


Ucapan terima kasih disampaikan kepada pihak-pihak yang telah memungkinkan
terlaksananya penelitian dan penulisan artikel ini khususnya kepada Dr. Ir. Irdika Mansur M.
For Sc. Dan Erwinsyah Putra S.Hut.

862
BIOKOMPOSIT

DAFTAR PUSTAKA

Bowyer JL, Shmulsky, Haygreen JG. 2003. Forest Products and Wood Science - An
Introduction, Fourth edition. Iowa State University Press
Brown, H. P.; A. J Panshin and C. C. For Saith. 1952. Textbook of wood Tecnoloy. Vol II. MC
Graw Hill Book. Co. Inc. New York.
Frihart, C.R. 2005. Adhesive bonding and performance testing of bonded wood products.
Journal of ASTM International 2(7):.
Haygreen, J.G dan J.L. Bowyer. 1996. Hasil Hutan dan Ilmu Kayu : Suatu Pengantar.
Sujipto, A.H, penerjemah; Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Terjemahan
dari : Forest Product and Wood Science: An Introduction.
[JSA] Japanese Standard Association. 2003. JIS A 2003:5908 Particleboards. Jepang:
Japanese Standard Association.
Jordan, D.L. and J.D. Wellons. 1977. Wettability of Dipterocarps veneers. Wood Science 10
(1) : 22-27.
Maloney, T.M. 1993. Modern Particleboard and Dry-Process Fiberboard Manufacturing.
Miller Freeman Inc. California.
Marra, A.A. 1992. Technology of Wood Bonding : Principles in Practise. Van Nostrand
Reinhold. New York.
Martawijaya, A, I. Kartasujana, Y.I. Mandang, S.A. Prawira, K. Kadir. 1989. Atlas Kayu
Indonesia Jilid II. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Departemen
Kehutanan. Bogor.
Pratiwi. 2003. Prospek pohon jabon untuk pengembangan hutan tanaman. Buletin Penelitian
dan Pengembangan Kehutanan 4(1):61-66.
Rowell, R.M. 2005. Handbook of Wood Chemistry and Wood Composites: Wood Adhesion
and Adhesives. CRC Press.
Surdiding, R., D.N. Koroh, F.A. Syamani, H. Yanti, Nurhaida, S. Saad, T. Sucipto. 2007.
Analisis Perekatan Kayu. Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Wellons, J.D. 1980. Wettability and Gluability of Douglas-fir Veneer. Forest Products Journal.
30 (7) : 53-55.

863
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

VARIASI TEMPERATUR KEMPA PANAS TERHADAP SIFAT


FISIKA DAN MEKANIKA PAPAN PARTIKEL DARI CAMPURAN
BATANG KELAPA SAWIT (Elaeis gueneensis Jacq) DAN LIMBAH
ROTAN SEGA (Calamus caesius BL.)
Jufriah, Supriyanto Wagiman dan Masrinah
Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman, Samarinda Kalimantan Timur

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini adalah untuk memanfaatkan batang kelapa sawit yang tidak
produktif (usia 20 25 tahun) dan limbah serutan rotan Sega sebagai bahan baku papan
partikel, dan untuk mengetahui pengaruh variasi temperatur kempa panas terhadap sifat
fisika dan mekanika papan partikel yang dihasilkan dari campuran batang kelapa sawit dan
limbah rotan Sega tersebut.
Hasil pengujian terhadap sifat fisika dan mekanika papan partikel yang dihasilkan dari
campuran batang kelapa sawit dan limbah rotan untuk semua perlakuan temperatur kempa
panas memenuhi standar nilai yang ditetapkan FAO, kecuali keteguhan geser pada
temperatur kempa 100C tidak memeneuhi standar.

Kata kunci : batang kelapa sawit,limbah rotan sega, temperatur kempa panas, papan
partikel

PENDAHULUAN

Industri pengolahan kayu sampai saat ini sebagian besar masih menggunakan kayu
sebagai bahan bakunya, sementara sumber daya hutan sebagai penghasil kayu cenderung
semakin terdegradasi. Jika kondisi ini terus berlangsung, maka industri perkayuan dan
industri yang bergerak dibidang pengolahan kayu akan mengalami masalah dalam
penyediaan bahan baku. Untuk mengatasi masalah tersebut perlu adanya upaya alternatif
untuk menggunakan bahan baku selain dari kayu yang berasal dari pohon hutan, misalnya
memanfaatkan tanaman perkebunan contohnya tanaman kelapa sawit yang sudah tidak
produktif sebagai substitusi kayu sebagai bahan baku industri. Kelapa sawit banyak ditanam
di Indonesia dan areal perkebunannya cukup luas. Dalam Anonim (1992) disebutkan bahwa
usia produktif kelapa sawit 3 25 tahun dengan produksi optimal pada usia 10 19 tahun.
Setelah melewati usia produktif pohon-pohon kelapa sawit yang ditebang tidak dimanfaatkan
secara optimal sehingga hanya menjadi limbah saja.
Di samping kelapa sawit, limbah dari industri pengolahan rotan yang berupa serutan
juga potensial untuk dimanfaatkan. Limbah rotan yang selama ini tidak terpakai karena
dirasa tidak memiliki manfaat yang berarti oleh pemilik industri hanya dibuang saja atau
dibakar.
Salah satu industri pengolahan kayu yang dapat memanfaatkan limbah kelapa sawit
dan limbah serutan rotan tersebut sebagai bahan baku adalah industri papan partikel, karena
bahan baku dalam pembuatan papan partikel tidak memerlukan persyaratan yang tinggi
bahkan lebih mengutamakan limbah.
Papan partikel adalah suatu produk panel yang dihasilkan dengan memanfatkan
partikel-partikel kayu dan sekaligus mengikatnya dengan suatu perekat dimana sifat papan
yang dihasilkan masih mendekati sifat asli dari kayu asalnya (Haygreen dan Bowyer, 1989).
Dibandingkan sifat asli kayu asalnya, papan partikel mempunyai beberapa sifat keunggulan
secara teknis, diantaranya : mempunyai sifat lebih isotropi dari kayu solidnya yaitu untuk
setiap arah mempunyai sifat kembang susut yang relative sama ; ukuran dan kekuatan
papan partikel dapat disesuaikan menurut kebutuhan atau peruntukkannya ; serta kualitas

864
BIOKOMPOSIT

dan tampak muka papan partikel dapat diatur menurut permintaan pasar atau disesuaikan
dengan selera konsumen (Sastradimadja, 1990).
Kualitas akhir papan partikel yang dihasilkan dipengaruhi oleh beberapa faktor dalam
proses pembuatannya, satu diantara faktor yang berpengaruh menurut Kelly (1977) adalah
besarnya temperatur kempa yang dipergunakan dalam pres panas. Pres panas dalam
pembuatan papan partikel berfungsi menekan mat agar tercapai ketebalan dan kerapatan
papan yang diinginkan.
Berdasarkan uraian di atas maka penelitian ini bertujuan untuk memanfaatkan
campuran batang kelapa sawit yang tidak produktif (usia 20 25 tahun) dan limbah rotan
sebagai bahan baku papan partikel, dan untuk mengetahui pengaruh temperatur kempa
panas terhadap sifat fisika dan mekanika papan partikel yang dihasilkan.

BAHAN DAN METODE PENELITIAN

Bahan
Bahan baku yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah :
Batang kelapa sawit (Elaeis gueneensis Jacq) yang berumur 20 25 tahun yang berasal
dari perkebunan kelapa sawit yang terdapat di Kecamatan Waru Kabupaten Penajam Paser
Utara, limbah serutan rotan Sega yang berasal dari industri pengolahan rotan di daerah Loa
Bakung Samarinda dan perekat Urea Formaldehyde yang diperoleh dari PT. Segara Timber
Samarinda.

Prosedur Penelitian
Pembuatan dan pengeringan partikel
Batang kelapa sawit dipotong-potong menjadi lempengan dengan tebal kurang lebih
5 cm, kemudian dicacah menjadi potongan-potongan kecil (chip) dan dikering udarakan.
Demikian juga dengan limbah serutan rotan Sega dipotong-potong dengan ukuran panjang 5
cm Selanjutnya chip dari batang sawit dan potongan-potongan dari limbah rotan
dimasukkan kedalam mesin pembuat partikel. Partikel yang dihasilkan adalah tipe splinter,
kemudian diayak / disaring menggunakan ayakan ukuran 36 mesh. Proses pengayakan
bertujuan untuk memperoleh partikel dengan ukuran yang relatif seragam dan untuk
memisahkan partikel yang diinginkan dari serbuk-serbuk kayu / debu kayu. Kemudian
partikel dikeringan secara pengeringan alami selama 4 (empat) minggu untuk mengurangi
kandungan air dari partikel.

Pembuatan papan partikel


Papan partikel yang dibuat adalah adalah tipe papan satu lapis (single layer board /
homogenous) berkerapatan sedang dari campuran 50% partikel batang kelapa sawit dan
50% partikel limbah rotan. Banyaknya perekat yang digunakan adalah 12% dari berat
partikel kering tanur. Pencampuran partikel dengan perekat dilakukan secara semi mekanis,
yaitu dengan menyemprotkan perekat dengan alat sprayer sedikit demi sedikit pada partikel
sampai perekat tercampur merata. Selanjutnya dimasukkan kedalam cetakan dan dikempa
dingin selama 5 menit sampai ketebalan mat mencapai 10 kali ketebalan akhir papan yang
diinginkan. Kemudian dilakukan kempa panas dengan besar tekanan 285 psi selama 1 menit
dan 215 psi selama 9 menit. Pengepresan dilakukan secara pres datar (flat press
particleboard). Besarnya temperatur kempa yang digunakan sesuai perlakuan masing-
masing yaitu 100C, 120C dan 140C.

Pembuatan contoh uji


Lembaran papan partikel yang terbentuk kemudian dipotong-potong sesuai ukuran
contoh uji. Selanjutnya sebelum pengujian, contoh uji disimpan didalam ruang konstan
selama 1 minggu.

865
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Pengujian contoh uji


Pengujian sifat fisika dan mekanika papan partikel yang dihasilkan dilakukan
berdasarkan pada standar DIN (1965).Pengujian sifat fisika papan partikel meliputi
kerapatan, kadar air, penyerapan air dan pengembangan tebal setelah perendaman selama
24 jam. Sedangkan untuk pengujian sifat mekanika meliputi pengujian modulus elastisitas
(MoE), keteguhan patah (MoR), keteguhan tarik tegak lurus permukaan papan (IBS).

Analisis Data
Data hasil pengujian dianalisis menggunakan Rancangan Acak Lengkap dengan 3
perlakuan temperatur kempa panas (100C, 120C 140C), dan masing-masing dlakukan
sebanyak 10 kali ulangan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Sifat Fisika Papan Partikel


Nilai rata-rata sifat fisika papan partikel yang dihasilkan dari campuran batang kelapa
sawit dan limbah rotan Sega berdasarkan variasi temperatur kempa panas dapat dilihat pada
Gambar 1 berikut.

Gambar 1. Nilai Rata-rata Sifat Fisika Papan Partikel dari Campuran Batang Kelapa Sawit
dan Limbah Rotan Sega Berdasarkan Temperatur Kempa Panas

Berdasarkan Gambar 1 di atas menunjukkan bahwa semakin tinggi temperatur


kempa panas yang diberikan cenderung semakin meningkatkan sifat fisika papan partikel
yang dihasilkan.
Nilai rata-rata kerapatan papan partikel yang dihasilkan berkisar antara 0,62 0,66
g/cm3. Semakin tinggi temperatur kempa yang diberikan pada pres panas cenderung
semakin meningkatkan kerapatan papan partikel yang dihasilkan. Hal ini karena pada
temperatur rendah (100C) proses pematangan perekat berjalan kurang sempurna sehingga
proses perekatan kurang berjalan dengan baik akibatnya pada saat tekanan dibuka papan

866
BIOKOMPOSIT

partikel mengalami kembang balik (spring back) yang lebih besar sehingga tebal akhir papan
yang diinginkan kurang terpenuhi sehingga menyebabkan kerapatan papan partikel
cenderung lebih rendah. Sebaliknya pada temperatur tekan yang tinggi (140C) perekat
akan matang secara sempurna sehingga proses perekatan berjalan dengan baik sehingga
pada saat tekanan dibuka papan partikel yang dihasilkan mengalami kembang balik yang
relatif kecil sehingga kerapatan papan partikel yang dihasilkan juga semakin tinggi. Hal ini
sejalan dengan yang dikemukakan Chow dan Steiner (1979) bahwa naiknya temperatur
tekan akan diikuti dengan naiknya kerapatan sampai batas tertentu. Mengenai
pengembangan tebal atau kembang balik (spring back) yang terjadi pada setiap papan yang
dihasilkan menurut Kelly (1977) merupakan karakteristik papan partikel yang diproses
dengan press datar.
Nilai rata-rata kadar air papan partikel dihasilkan berkisar antara 8,62 9,69%.
Berdasarkan Gambar 1 di atas dapat dilihat bahwa semakin tinggi temperatur kempa yang
diberikan cenderung menurunkan kadar air papan partikel yang dihasilkan. Hal ini karena
semakin tinggi temperatur yang diberikan mengakibatkan proses penguapan air dari mat
juga semakin banyak sehingga menyebabkan air yang ada didalam papan partikel juga
semakin rendah. Sesuai dengan Kollmann, et.al. (1975) bahwa semakin meningkatnya
temperatur yang digunakan pada pres panas sampai batas tertentu akan mempercepat
pematangan perekat dan penguapan air dari mat.
Nilai rata-rata penyerapan air papan partikel setelah perendaman selama 24 jam
berkisar antara 60,61 69,57%, sedangkan nilai rata-rata pengembangan tebalnya berkisar
antara 11,67 13,62%. Semakin tinggi temperatur kempa yang diberikan pada pres panas
cenderung semakin menurunkan nilai penyerapan air dan pengembangan tebal papan
partikel yang dihasilkan. Hal ini disebabkan karena pada papan partikel yang diberikan
temperatur tinggi mempunyai ikatan antar pantikel yang lebih rapat dan kompak karena
pematangan perekat terjadi lebih sempurna sehingga celah atau rongga-rongga antar
partikel-partikel penyusunnya lebih sedikit, apabila dilakukan perendaman peluang air untuk
masuk akan semakin kecil sehingga kemampuan menyerap airnya lebih rendah dibanding
papan partikel dengan temperatur tekan yang lebih rendah. Hal ini sesuai dengan pendapat
Chow dan Steiner (1979) bahwa temperatur yang rendah akan menghasilkan papan yang
kurang rapat dan mempunyai banyak rongga, temperatur tekan yang tinggi akan
menurunkan sifat penyerapan air papan partikel yang dihasilkan. Sejalan dengan pernyataan
Lehmann (1960) dalam Kelly (1977) bahwa ketebalan papan partikel yang dihasilkan setelah
pres panas adalah lebih rendah dengan semakin meningkatnya temperatur tekan, hal ini
terjadi karena papan partikel yang dihasilkan lebih kering sehingga stabilitas dimensi menjadi
lebih tinggi sehingga pengembangan tebal menjadi lebih rendah.
Satu diantara kelemahan perekat urea formaldehid adalah kurang tahan terhadap air
dan kelembaban, sehingga apabila papan partikel direndam selama periode tertentu akan
menyebabkan perekat urea formaldehid terhidrolisa oleh air yang pada akhirnya ikatan antar
partikel akan semakin lemah sehingga dimensi papan akan lebih mudah pula terdegradasi.
Hal ini sesuai dengan pernyataan Kelly (1977) bahwa hidrolisa urea formaldehid pada saat
naiknya kadar air akan menghasilkan degradasi stabilitas dimensi papan partikel
Berdasarkan hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan temperatur
kempa berpengaruh sangat signifikan terhadap sifat fisika papan partikel yang dihasilkan,
kecuali kerapatan berpengaruh signifikan.
Jika dibandingkan dengan standar FAO, maka sifat fisika papan partikel yang
dihasilkan dari campuran batang kelapa sawit dan limbah rotan Sega memenuhi standar nilai
yang ditetapkan.

Sifat Mekanika Papan Partikel


Nilai rata-rata sifat mekanika papan partikel yang dihasilkan dari campuran batang
kelapa sawit dan limbah rotan Sega berdasarkan variasi temperatur kempa panas dapat
dilihat pada Gambar 2 berikut.

867
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Gambar 2. Nilai Rata-rata Sifat Mekanika Papan Partikel dari Campuran Batang Kelapa
Sawit dan Limbah Rotan Sega Berdasarkan Temperatur Kempa Panas

Gambar 2 di atas menunjukkan bahwa semakin tinggi temperatur kempa panas yang
diberikan, cenderung akan semakin tinggi sifat mekanika papan partikel yang dihasilkan.
Nilai rata-rata MoE dari papan partikel yang dihasilkan berkisar antara 3.611,26 3.910,90
N/mm2 , nilai rata-rata MoR berkisar antara 20,32 29,80 N/mm2 , nilai rata-rata keteguhan
geser berkisar antara 7,00 9,20 N/mm2 dan nilai rata-rata IBS berkisar antara 0,58 0,63
N/mm2.
Berdasarkan Gambar 2 diatas dapat dilihat bahwa nilai MoE dan MoR akan semakin
meningkat seiring dengan meningkatnya temperatur kempa yang diberikan. Hal ini
disebabkan dengan temperatur yang tinggi pemanasan bagian tengah mat akan berjalan
dengan lebih sempurna sehingga daya rekat atau ikatan antara partikel dengan perekat
pada bagian tengah akan semakin kuat dan kompak sehingga meningkatkan kekuatan
papan. Sebaliknya pada temperatur yang rendah pemanasan tidak sepenuhnya mencapai
bagian tengah mat, akibatnya ikatan pada bagian tengah merupakan bagian yang paling
lemah sehingga apabila dilakukan pengujian lengkung statis (MoE dan MoR) bagian yang
cepat rusak adalah pada bagian tengahnya. Chow dan Steiner (1979) mengemukakan
bahwa dengan naiknya temperatur tekan yang dipergunakan pada pres panas akan
meningkatkan keteguhan patah papan partikel yang dihasilkan. Selanjutnya Turner (1954)
menambahkan bahwa terdapat suatu keterikatan yang erat dalam suatu hubungan positif
antara elastisitas (MoE) dan keteguhan patah, hal inilah yang menyebabkan tingginya nilai
elastisitas akan diikuti oleh nilai keteguhan patah yang tinggi pula.
Nilai keteguhan geser akan semakin meningkat seiring dengan meningkatnya
temperatur kempa yang diberikan. Hal ini disebabkan pada temperatur yang rendah transfer
panas dari permukaan ke bagian tengah mat berjalan agak lambat sehingga pada bagian
tengah pematangan perekat kurang maksimal. Hal ini menyebabkan terjadinya perbedaan
kerapatan (density profile) yang besar antara lapisan permukaan dengan bagian tengahnya
dimana pada lapisan permukaan akan mempunyai kerapatan yang lebih tinggi dibandingkan
kerapatan pada bagian tengah, sehingga ikatan antar partikel dengan perekat pada bagian
tengah lebih lemah, hal ini mengakibatkan keteguhan geser yang dihasilkan akan lebih
rendah daripada papan yang dihasilkan dengan temperatur kempa yang tinggi. Pada papan

868
BIOKOMPOSIT

yang dihasilkan dengan temperatur kempa yang lebih tinggi perbedaan kerapatan antara
lapisan permukaan dengan lapisan inti menjadi relatif kecil, sehingga ikatan antara partikel
dengan perekat menjadi lebih kuat, kompak dan padat sehingga diperlukan gaya yang lebih
besar untuk menggeser lapisan papan. Sesuai dengan pernyataan Maloney (1976) serta
Haygreen dan Bowyer (1989) bahwa perbedaan nilai keteguhan geser disebabkan oleh
keadaan kerapatan yang berbeda, yaitu perbedaan antara kerapatan pada lapisan
permukaan dengan kerapatan pada lapisan inti (density profile), hal ini terjadi dominant pada
papan partikel yang dibuat dengan tipe satu lapis (single layer board). Keteguhan geser
yang tinggi dapat diperoleh dengan mengusahakan keseragaman kerapatan antara
permukaan dengan inti. Plath (1967) dalam Kelly (1977) mengemukakan bahwa
pematangan perekat pada bagian tengah akan lebih baik dengan temperatur kempa yang
tinggi daripada temperatur kempa yang rendah. Selanjutnya Hunt dan Suddarth (1974)
mengemukakan bahwa pada saat pres panas dilakukan, lapisan permukaan mencapai suhu
yang lebih tinggi dibandingkan lapisan inti, keadaan ini menyebabkan partikel menjadi lebih
rapat.
Nilai IBS cenderung semakin tinggi sejalan dengan semakin meningkatnya
temperatur kempa yang diberikan. Hal ini karena semakin banyak kadar air yang
dipindahkan sehingga proses perekatan meningkat yang selanjutnya akan menguatkan daya
rekat antara partikel dengan perekat. Selain itu juga dipengaruhi oleh variasi kerapatan
antara lapisan permukaan dengan bagian tengah papan partikel akan relatif kecil dengan
temperatur tekan yang tinggi. Raffael, et.al. (1972) dalam Kelly (1977) nenyatakan bahwa
dengan menaikkan temperatur kempa maka keteguhan tarik tegak lurus permukaan akan
meningkat pula.
Berdasarkan hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan temperatur
kempa panas memberikan pengaruh yang sangat signifikan terhadap nilai MoR dan
keteguhan geser papan partikel yang dihasilkan. sedangkan terhadap MoE dan IBS tidak
berpengaruh signifikan.
Apabila dibandingkan dengan standar FAO, maka papan partikel yang dihasilkan dari
campuran batang kelapa sawit dan limbah rotan memenuhi standar yang ditetapkan, kecuali
maka nilai tersebut memenuhi nilai yang ditetapkan kecuali keteguhan geser sejajar
permukaan papan pada temperatur kempa 100C tidak memenuhi standar yang ditetapkan.

KESIMPULAN

1. Semakin tinggi temperatur kempa yang diberikan, cenderung semakin meningkatkan


sifat fisika dan mekanika papan partikel yang dihasilkan.
2. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa temperatur kempa panas berpengaruh
sangat signifikan terhadap sifat fisika dan mekanika papan partikel yang
dihasilkan,kecuali kerapatan berpengaruh signifikan, sedangkan MoE dan IBS tidak
berpengaruh signifikan
3. Sifat fisika dan mekanika papan partikel yang dihasilkan dari campuran batang kelapa
sawit dan limbah rotan Sega untuk semua perlakuan temperatur kempa panas
memenuhi standar nilai yang ditetapkan FAO, kecuali keteguhan geser sejajar
permukaan papan pada temperatur kempa 100C tidak memenuhi standar.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 1966. Plywood and Other Wood-Based Panels. Food and Agriculture Organization
of United Nations. Rome
Chow, S.Z. dan P.R. Steiner. 1979. Comparison of Curing and Bonding Properties of
Particleboard and Waferboard Type Phenolic Resin. Forest Product Jurnal Vol.29 No.
11.

869
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Haygreen, J.G. dan Jim L. Bowyer. 1989. Hasil Hutan dan Ilmu Kayu. Suatu Pengantar.
Diterjemahkan oleh Sutjipto A. Hadikusumo. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta.
Hunt, O.M. dan K.S. Suddarth. 1974. Prediction of Elastic Constant of Particleboard. Forest
Product Journal Vol. 24 No.5.
Kelly, M.W. 1977. Critical Literature Review of Relationship Between Processing
Parameters and Physical Properties of Particleboard. V.S. Department of Agriculture
Forest Service Forest Product Laboratory. Madison, Wis.
Kollmann, F.F.P., E.W. Kuenzi dan A.J. Stamm. 1975. Principles of Wood Science and
Technology Vol.II. Wood Based Materials. Springer Verlag Berlin Heidelberg. New
York.
Maloney, T.M. 1976. Modern Particleboard and Dry Process Fibreboard Manufacturing.
Miller Freeman Publication. California.
Turner, D.H. 1954. Effect of Particle Size and Shape on Strength and Dimensional Stability
of Resin Bonded Wood Particle Bonded. Forest Product Laboratory. Forest Service
V.S. Department of Agriculture Madison. Wis.

870
BIOKOMPOSIT

PENELITIAN PAPAN BROTI LAMINA KAYU SENGON DAN


SIFAT KETEGUHAN LENTUR STATIK PRODUK REKONSTITUSINYA

Edi Sarwono
Pustekolah Hasil Hutan, Bogor

ABSTRAK

Di masa mendatang sulit bagi Indonesia untuk memdapatkan dolok kayu berdiameter
besar. Sebagai akibatnya, perlu dicari bahan baku kayu alternatif guna memasok kebutuhan
industri kayu dan usaha perkayuan lain. Di lain pihak, sumber kayu alternatif seperti dari
hutan tanaman umumnya berdiameter kecil dan bercacat. Ukuran kayunya berdiameter kecil
dan sifat inferior dolok kayu dapat mempersulit pengerjaan pengolahan kayu. Salah satu
usaha memecahkan masalah tersebut adalah memanfaatkan kayu hutan tanaman yang
umumnya berdiameter kecil dan mengandung kayu bersifat inferior tersebut melalui proses
modifikasi menjadi produk rekonstitusi kayu berbentuk papan broti lamina yang bermanfaat
untuk berbagai produk pertukangan.
Penelitian ini bertujuan untuk memanfaatkan dan memperbaiki mutu kayu hutan
tanaman menjadi broti lamina tipe papan dengan sasaran adalah menyediakan data dan
informasi teknis pembuatan papan lamina dari bilah broti untuk berbagai produk kayu
pertukangan, kayu bangunan. Pengujian papan broti lamina dan bahan pembanding kayu
hutan tanaman mengacu pada standar ASTM D 143. Hasil pembuatan papan broti lamina
menggunakan kayu sengon, pada saat pengujian mekanis sejajar arah perekatan (glue line)
terhadap keteguhan lentur statik meliputi MPL, MOE dan MOR menunjukkan bahwa pada
jarak sangga yang berbeda, analisis keragaman terhadap keteguhan lentur statik MPLnya
menunjukkan ada beda sangat nyata, sedangkan yang lainnya (MOE dan MOR) berbeda
nyata saja. Nilai hasil pengujian dan keragaman dalam aplikasi penggunaannya dipengaruhi
oleh tahapan proses laminasi yang dikerjakan.

Kata kunci: Papan broti lamina, analisis keteguhan lentur statik.

PENDAHULUAN

Ketersediaan kayu komersial berdiameter besar dari hutan alam tropis Indonesia
untuk pasokan industri pengolahan kayu semakin terbatas dan langka. Sehingga di masa
mendatang Indonesia kemungkinan besar kesulitan untuk memdapatkan dolok kayu
berdiameter besar. Sedangkan sumber kayu alternatif seperti dari hutan tanaman umumnya
berdiameter kecil dan bercacat, yang hingga kini dianggap sebagai kayu bernilai rendah,
potensinya cukup besar akan tetapi menimbulkan banyak kesulitan dalam pemanfaatannya
oleh industri kayu. Ini disebabkan ukuran kayu berdiameter kecil dan sifat inferior kayu dapat
mempersulit pengerjaan pengolahan kayu, dan mempengaruhi macam dan mutu produk
pengolahan tersebut. Salah satu usaha memecahkan masalah tersebut adalah
memanfaatkan kayu hutan tanaman yang umumnya berdiameter kecil dan mengandung
kayu reaksi dan sekaligus memperbaiki sifat inferioritasnya melalui proses modifikasi
menjadi produk rekonstitusi kayu broti lamina di mana bermanfaat untuk berbagai produk
kayu pertukangan.
Terkait dengan segala uraian di atas, telah dilakukan penelitian Teknologi
Pembuatan Broti Lamina Tipe Papan untuk Produk Kayu Pertukangan. Yang bertujuan
memanfaatkan kayu hutan tanaman dan sekaligus memperbaiki sifat inferior/ kelemahannya
melalui teknologi modifikasi menjadi broti lamina tipe papan.

871
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

BAHAN DAN METODE

Penelitian dilaksanakan di laboratorium Pusat Keteknikan dan Pengolahan Hasil


Hutan di Bogor dengan menggunakan kayu mahoni berdiameter kecil 12 15 cm. Kayu
yang digunakan adalah sengon (Paraseriantes falcataria (L)), diambil dari hutan tanaman
(HTI dan HR) yang terdapat di daerah Jawa Barat dan Banten. Untuk broti lamina, kayu
hutan tanaman yang digunakan adalah jenis sengon berdiameter kecil. Pembuatan broti
tersebut mula-mula diawali dengan pentiapan sortimen papan dilakukan dengan cara
menggergaji dolok kayu sengon. Selesai penggergajian, sortimen dibentuk menjadi broti
dan lalu dimoulding. Pembentukan tersebut sedemikian rupa sehingga kedua sisi miringnya
menjadi sortimen broti berpenampang lintang trapesium sama kaki. Ke dua bidang
trapesium tersebut direkat pada bagian antara sisinya menggunakan perekat tipe interior.
Sebelum perekatan, sortimen berbentuk trapesium tersebut dikeringkan lebih dulu hingga
kadar air mencapai sekitar 12-14% (kering udara), dan bidang kaki trapesiumnya dimoulding
menjadi bentuk bergerigi. Bahan perekat yang digunakan adalah polivinil asetat (PVAc).
Perekatan dilakukan dengan cara kempa dingin (suhu kamar), dilanjutkan dengan
conditioning. Sebagai variabel dalam pembuatan broti lamina tipe papan adalah variasi
panjang dan lebarnya. Sifat broti lamina yang diamati mencakup rendemen bilah broti/kayu,
sifat fisis (kadar air dan kerapatan), dan sifat mekanis (keteguhan lengkung pada batas
proporsi (FSPL), keteguhan lengkung pada batas patah (MOR), keteguhan lentur melalui
pelengkungan (MOE), keteguhan geser sejajar bidang terluas). Pengujian tersebut mengacu
pada standar ASTM (Anonim, 2007a).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Berat jenis (kerapatan) kayu sengon (0.29 g/cm3) termasuk kategori rendah (di
bawah 0.35 g/cm2). Berat jenis perlu karena berpengaruh positif terhadap sifat
kekuatan/mekanis kayu dan produk hasil rekayasa/perakitan broti lamina.
Rendemen bilah hasil penggergajian kayu sengon (39-44%) relatif lebih rendah dari
pada rendemen yang umum dari penggergajian kayu yaitu 50-55% (Rachman, 1999).
Rendahnya rendemen tersebut diduga akibat diameter dolok kayu sengon yang relatif kecil
di bawah 25 cm
Sifat mekanis/kekuatan broti lamina, yang dirakit dengan bilah kayu sengon,
menunjukkan variasi yaitu keteguhan lengkung pada batas proporsi (FSPL) 110.334-126.82
kg/cm2, keteguhan lengkung pada batas patah (MOR) 155.12-199.87 kg/cm2, keteguhan
lentur/elastis (MOE) 25573-41203.96 kg/cm2, dan keteguhan geser horisontal maksimum
5.512-4.123 kg/cm2.
Sifat mekanis/ kekuatan broti lamina, menggunakan bilah kayu sengon yang saling
direkat dengan perekat polivinil asetat (PVAc), dipengaruhi secara negatif oleh panjang
balok tersebut, sedangkan perubahan lebarnya dari 15 cm ke 24 cm masih bisa ditolerir.
Sifat broti lamina dari kayu sengon yang paling menjanjikan dalam penerapaannya untuk
tujuan pertukangan dan konstruksi adalah yang memiliki panjang sekitar 50 cm dan selang
lebar 15-24 cm.
Broti lamina dengan sifat menjanjikan tersebut ternyata cukup sebanding dengan
selang sifat kayu di Amerika Serikat yang umum digunakan untuk tujuan konstruksi
(pertukangan) setelah dikoreksi dengan faktor realitas.

872
BIOKOMPOSIT

Tabel 1. Analisis keragaman terhadap sifat mekanis/kekuatan broti lamina


tipe papan kayu sengon

Sumber Sifat mekanis/ F hitung


Keragaman db FSPL MOR MOE Sh
Total 11
Kombinasi 3
perlakuan (T)
Jarak sangga (J) 1 23.42 ** 7.53* 12.45* 8.13*
Lebar broti (L) 1 1.31tn 2.41 tn 1.91 tn 2.79 tn
Interaksi (JxL) 1 0.34tn 1.18tn 2.45tn 3.09tn
Sisa (galat) 8 - - - -
Rata-rata - 117.79 175.77 33108.42 3.798
Satuan - kg/cm2 kg/cm2 kg/cm2 kg/cm2
Koefisien - 7.0632 10.2967 11.9281 6.3242
Keragaman (%)
D0.053) - 7.3421 11.2142 8235.64 0.3712

KESIMPULAN

Hasil pembuatan broti lamina dari bilah kayu sengon diharapkan menarik pengguna
tertentu terkait dengan struktur konstruksi bangunan. Sebagai salah satu bentuk produk
komposit kayu, broti lamina karena sifatnya bisa menyamai kayu solid terutama dari hutan
alam yang semakin langka sumbernya, diharapkan berfaedah untuk tujuan pertukangan/
konstruksi seperti keperluan perumahan, bagian kerangka kapal laut dan sebagainya.
Hasil yang menjanjikan/ berprospek positif dari pembuatan broti lamina
menggunakan kayu hutan tanaman sengon, mengindikasikan bahwa produk tersebut dapat
berperan nyata memberi nilai tambah dan meningkatkan daya guna kayu hutan tanaman.
sedangkan dari hasil pengujian perakitan broti lamina menggunakan perekat polivinil asetat
(PVA), terutama aspek mekanisnya paling prospektif untuk tujuan tersebut adalah yang
memiliki panjang sekitar 50 cm, lebar 15-24 cm, dan tinggi 5 cm dibandingkan dengan
yang panjangnya 90 cm pada ukuran lebar dan tinggi yang sama.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2003. The development of small-diameter logs and non-wood forest products
processing industry. Forestry Research and Development Agency. Brief Report.
Jakarta, Indonesia.
_______. 2005. Statistik Kehutanan Indonesia tahun 2004-2005. Departemen Kehutanan.
Jakarta.
_______. 2007. Standard methods of testing clear specimens of timber. American Standard
for Testing Material (ASTM) D 143. Philadelphia, Pensylvania.
Sarwono, E., M.I. Iskandar, dan K. Yuniarti. 2009. Pengembangan teknologi pemanfaatan
dolok kayu hutan tanaman untuk broti lamina berbentuk papan dan tubular.
Proposal Penelitian Tim Peneliti 2010-2014 (Konsep Awal). Tidak dipublikasikan.
Pusat Litbang Hasil Hutan. Bogor

873
BIDANG C
KIMIA KAYU, PULP
DAN KERTAS
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS

SIFAT KELARUTAN DALAM AIR, KEASAMAN DAN KAPASITAS


PENYANGGA PADA KAYU JATI

Ganis Lukmandaru
Bagian Teknologi Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada
Email : ganisarema@lycos.com

ABSTRAK

Salah satu sifat perlu diperhatikan untuk produk akhir berupa papan panel adalah
sifat perekatannya. Sifat tersebut bisa dievaluasi dengan mempelajari sifat kimianya yaitu
kelarutan dalam air dingin, keasaman serta kapasitas penyangganya. Sampel penelitian
berasal dari 8 pohon jati berumur muda (8 dan 22 tahun) dari hutan rakyat di Jogja serta 5
pohon jati berumur 51 tahun dari Perhutani di Randublatung. Bagian yang dipakai adalah
pangkal pohon yang dibagi menjadi teras (luar, tengah, dalam), gubal (dalam dan luar), dan
kulit. Kadar kelarutan air dingin mengacu pada standar ASTM. Kapasitas penyangga asam
(KPA) ditentukan dengan titrasi NaOH 0,05 N dari pH awal sampai mencapai pH 10
sedangkan kapasitas penyangga basa (KPB) dengan titrasi H2SO4 dari pH awal sampai ke
pH 3. Kapasitas penyangga total (KPT) dan relatif (KPR) dihitung dari penjumlahan dan rasio
antara KPA dan KPB. Kadar kelarutan air dingin (1,5 7,6 %) dipengaruhi secara nyata oleh
faktor arah radial sedangkan nilai pH (4,8 6,8) dipengaruhi secara nyata oleh faktor umur
dan arah radial. Kisaran rerata nilai KPA 0,0046-0,0095 ml/ml ; KPB 0,0056-0,0104 ml/ml ;
KPT 0,0102-0,0199 ml/ml ; dan KPR 0,48-1,82. Faktor umur berpengaruh nyata terhadap
KPA, KPB, dan KPT dimana nilai tertinggi diamati pada umur 51 tahun. Dengan analisa
korelasi, didapatkan bahwa nilai pH di bagian kulit kayu berkorelasi dengan derajat moderat
dengan parameter kadar kelarutan pada air dingin (r = -0,63) serta nilai KPR (r = -0,54).

Kata kunci: Tectona grandis, pH, kapasitas penyangga, ekstraktif, perekatan

PENDAHULUAN

Objek dari penelitian ini adalah kayu jati (Tectona grandis) yang juga merupakan
komoditas utama kelompok kayu keras di Indonesia. Setelah bertahun-tahun pasokan kayu
jati umumnya dari hutan tanaman Perhutani, lambat laun sejak dua dekade terakhir ini
banyak digunakan kayu jati dari hutan rakyat yang dipanen lebih awal atau masih muda.
Kayu muda yang diasumsikan banyak mengandung gubal atau kayu juvenil diduga akan
berpengaruh pada kualitas kayunya. Beberapa penelitian pada sifat kimia kayu jati berumur
muda dari hutan rakyat sudah dilakukan dengan bahasan ekstraktif dan ketahanan rayapnya
(Lukmandaru dan Takahashi 2008; 2009) atau sifat ketahanan jamurnya (Bhat dan Florence
2003).
Kayu jati telah digunakan dalam berbagai produk, diantaranya produk yang
memerlukan perekatan untuk kayu pejal maupun limbahnya. Jati sendiri termasuk spesies
yang susah untuk direkat karena zat ekstraktif dan kandungan mineralnya (Kanazawa et al.
1978). Apabila memakai perekat urea formaldehida (UF), nilai pH dan kapasitas penyangga
asam berkorelasi kuat pada lamanya pengerasan perekat yang dicampur dengan tepung
kayu (Johns dan Niazi 1980). Lama pengerasan perekat UF dipengaruhi oleh kapasitas
penyangga asam mutlak dan rasio kapasitas penyangga asam terhadap basa (Xing et al.
2004). Nilai pH beserta kadar ekstraktif terlarut air panas, kapasitas penyangga basa, dan
rasio kapasitas penyangga asam terhadap basa merupakan empat parameter yang
berpengaruh pada kompatibilitas kayu-semen (Hachmi dan Moslemi 1990).
Pada penelitian kali ini, telah dievaluasi beberapa sifat yang berpengaruh pada
perekatan pada dua kelompok umur pohon jati dari hutan rakyat serta pembanding kayu dari

875
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

hutan tanaman Perhutani. Faktor yang diuji adalah umur pohon beserta arah radialnya dari
kulit menuju empulur, Hubungan antar parameter juga dibahas berdasar arah radial pohon.

BAHAN DAN METODE

Penyiapan Bahan
Sampel pohon diambil dari hutan rakyat Gunung Kidul, Jogja yaitu pohon berumur 8
tahun (5 pohon) dan 22 tahun (4 pohon). Sebagai pembanding, 5 pohon kelas umur VI (51
tahun) diambil dari hutan tanaman Perhutani, Randublatung. Pada setiap pohon tersebut
diambil piringan kayu (disk) setebal 5 cm pada ketinggian sekitar 1 m dari permukaan tanah.
Selanjutnya, pada setiap disk tersebut, diambil serbuk kayunya untuk analisa kimia sesuai
arah radial (kulit, gubal luar, gubal dalam, teras luar, teras tengah, dan teras dalam). Karena
keterbatasan ukuran, teras tengah dan dalam tidak didapatkan pada kayu umur 8 tahun,
sedangkan pada umur 51 tahun tidak diambil bagian gubal dalam karena persentase gubal
yang rendah. Serbuk kayu untuk analisis kimia dihaluskan sampai ukuran 40-60 mesh.

Penentuan kelarutan dalam air dingin


Pengukuran mengacu ASTM D-1110-84. Serbuk kayu sebanyak 2 g setara berat
kering tanur direndam dengan aquades (300 ml) selama 48 jam. Selanjutnya dilakukan
penyaringan, dan dikeringkan sampai mencapai berat konstan. Kelarutan dalam air dingin
dihitung dari persen kehilangan berat serbuk kering dari berat awal serbuk.

Penentuan Nilai pH
Serbuk kayu sebanyak 1 g setara berat kering tanur direndam dengan aquades (20
ml) selama 24 jam. Selanjutnya dilakukan penyaringan sehingga didapatkan filtrat yang
kemudian diukur nilai pH-nya dengan alat pHTestr 10. Pengukuran dilakukan dengan 2 kali
ulangan.

Penentuan Nilai Kapasitas Penyangga


Pengukuran kapasitas penyangga dilakukan menurut Adamopoulos et al. (2005)
dengan sedikit modifikasi. Filtrat dari pengukuran nilai pH (kira-kira 15 ml) diukur volume
senyatanya dan dilakukan titrasi. Kapasitas penyangga asam (KPA) didefinisikan sebagai
jumlah (ml) NaOH yang dibutuhkan untuk meningkatkan pH awal dari 1 ml larutan sampel
sampai mencapai pH 10. Titrasi dilakukan dengan NaOH 0,05 N sehingga nilai KPA
merupakan jumlah ml titrasi dikalikan dengan normalitas larutan. Perhitungan yang sama
juga diterapkan pada penentuan kapasitas penyangga basa (KPB) dengan menggunakan
larutan asam sulfat (H2SO4) 0,05 N untuk menurunkan pH awal ke pH 3. Kapasitas
penyangga total (KPT) merupakan penjumlahan KPA dan KPB. Kapasitas penyangga relatif
(KPR) adalah perbandingan antara KPA dan KPB.

Analisis Statistik
Pengaruh faktor umur dan arah radial pada nilai pH maupun kapasitas penyangga
dihitung dengan analisis variansi (ANOVA) dwi-arah univariat. Pengaruh dianggap nyata
pada tingkat 95 %. Uji lanjut untuk menunjukkan kelompok yang berbeda menggunakan uji
perbandingan berganda Duncan. Korelasi Pearson digunakan untuk menilai keeratan
hubungan antara parameter yang diteliti. Seluruh perhitungan statistik menggunakan
program SPSS versi 10.0.

876
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kelarutan dalam air dingin dan nilai pH


Kisaran kelarutan dalam air dingin (KAD) sebesar 1,5 7,6 % dan nilai pH sebesar
4,8 6,8. Nilai KAD yang diperoleh tersebut lebih tinggi dari data sebelumnya (Martawijaya
et al. 2005), serta dalam kisaran data sebelumnya; Fengel dan Wegener 1989, Windeisen et
al. 2003, )
Berdasarkan hasil analisa sidik ragam (Tabel 1), tidak didapatkan adanya interaksi
antara faktor umur dan arah pada KAD dan nilai pH. Secara terpisah, faktor arah radial
berpengaruh nyata pada 2 parameter tersebut sedangkan faktor umur berpengaruh pada
nilai pH. Apabila diuji lanjut, perbedaan nyata hanya terjadi antara bagian kulit (4-8 %) dan
kayu (1-3 %) serta antara gubal luar (2,94 %) dan teras dalam (1,70 %) serta antara umur 8
tahun dan yang lebih tua (Gambar 1). Pada rerata nilai pH (Gambar 2), umur 51 tahun
memberikan nilai pH terendah (pH = 5,2) atau lebih asam dibandingkan umur muda (pH =
6,0-6,2). Pada arah radial, kayu teras, khususnya teras tengah dan teras dalam memberi pH
terendah (pH = 5,2), sedangkan bagian gubal memberi nilai lebih tinggi (pH = 6,7). Apabila
nilai keseluruhan dua paramater tersebut dihubungkan, maka nilai derajat korelasinya sangat
rendah (Tabel 2). Bila dilakukan korelasi berdasarkan pada masing-masing arah radial
kayunya, derajat hubungan tertinggi didapatkan antara nilai pH dan KAD di bagian kulit (r = -
0,63). Nilai korelasi negatif menunjukkan semakin tinggi kadar KAD maka nilai pH akan turun.

Tabel 1. Analisis variansi nilai kelarutan dalam air dingin dan pH pada kayu jati
Sumber variasi Derajat bebas Kelarutan dalam air pH
dingin
Umur 2 0.10 ns 0.001>**
Arah radial 5 0.001>** 0.03*
Umur x Rad 7 0,41 ns 0.37 ns
Eror 50 ----
Total 65

Keterangan : ** = nyata dalam taraf uji 1 %


* = nyata dalam taraf uji 1 %
ns = non significant

Gambar 1. Kadar kelarutan dalam air dingin kayu jati berdasarkan posisi radial
(a) dan umur (b) dengan error bar sebagai standar deviasi. Huruf yang sama menandakan
tidak ada beda nyata pada taraf uji 5 %.

877
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Gambar 2a-b. Nilai pH berdasar faktor umur (a) dan arah radial (b) pada kayu jati dengan
error bar sebagai standar deviasi. Huruf yang sama dalam satu grafik
menandakan tidak ada beda nyata pada taraf uji 5 %

Tabel 2. Koefisien korelasi Pearson (r) antara kelarutan dalam air dingin dan nilai pH

Parameter Nilai pH
Kadar kelarutan dalam air dingin (semua bagian) -0.19
Kadar kelarutan dalam air dingin di kulit -0.63*
Kadar kelarutan dalam air dingin di gubal -0.56*
Kadar kelarutan dalam air dingin di teras -0.07

Berdasarkan kepraktisannya, dalam penelitian ini KAD diukur sebagai pengganti


kelarutan dalam air panas. Selain karena kepraktisan, adalah karena keingintahuan akan
hubungan KAD dengan parameter-parameter lainnya karena asumsi perilaku KAD tidak
akan jauh berbeda dengan kelarutan dalam air panasnya. Komponen yang terlarut dalam
ekstraksi air dingin meliputi adalah tanin, getah-getahan, gula-gula, dan zat-zat warna
(ASTM 2002). Secara umum, kadar ekstraktif di kulit lebih tinggi daripada kayu pada
berbagai spesies (Fengel dan Wegener 1989), sedangkan tingginya kadar ekstraktif dalam
gubal dibandingkan terasnya diduga karena gubal sebagai sel yang masih hidup
mengandung lebih banyak gula atau karbohidrat. Secara teoritis,keasaman kayu disebabkan
dari ion-ion yang dilepaskan terutama dari asam-asam organik dalam bentuk bebas maupun
terikat dari ekstraktif atau polisakarida non-selulosa, serta fenol-fenol sederhana maupun
kompleks. Nilai pH yang lebih rendah di teras dibandingkan gubal diasumsikan karena
kadar fenol maupun ekstraktif lainnya akan lebih tinggi di daerah teras.
Nilai korelasi yang moderat menunjukkan semakin tinggi kadar KAD akan
menurunkan nilai pH diduga karena peranan zat tanin dalam kulit kayu. Meski nilai korelasi
tertinggi didapatkan pada bagian kulit, hal tersebut menunjukkan bahwa umur pohon sedikit
banyak berpengaruh. Pada umur muda, berdasar fakta di atas, nilai pH akan lebih sukar
diramal oleh nilai kelarutan dalam air dinginnya dibanding umur tua. Pada kayu gubal,
korelasinya juga nyata meski tidak sebesar pada kulit sedangkan pada teras korelasinya
sangat lemah. Penelitian lanjutan mengenai pengaruh ekstraktif khususnya senyawa fenol,
senyawa non-selulosa atau zat inorganik terhadap nilai pH pada kayu jati perlu dilakukan
untuk menjelaskan fenomena tersebut.
Dari aspek perekatan kayunya, nilai pH rendah akan mempercepat pengerasan
perekat UF selama pengempaan panas papan partikel (Maloney 1993). Sebelumnya diteliti
bahwa nilai pH juga berkorelasi bagus dengan waktu pengerasan dari perekat UF (Slay et al.
1980). Tidak ada kisaran lebar antar bagian di zona teras tentunya akan menghasilkan
respons yang seragam bila bagian tersebut direkat. Lain halnya pada kompatibilitas kayu-

878
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS

semen, dimana pH rendah cenderung menghambat kristalisasi dibanding pH tinggi (Hachmi


dan Moslemi 1990). Perlu dicatat bahwa jati umur muda banyak mengandung kayu gubal.
Nilai pH gubal jati yang mendekati netral cukup menguntungkan apabila dipakai untuk papan
semen jika merujuk studi yang dilakukan oleh Gnanaharan dan Dhamodaran (1985).

Kapasitas Penyangga
Dari hasil pengamatan, diperoleh kisaran KPA 0,0046-0,0095 ml/ml ; KPB 0,0056-
0,0104 ml/ml ; KPT 0,0102-0,0199 ml/ml ; dan KPR 0,48-1,82. Di beberapa bagian kayu nilai
KPB lebih besar dibanding KPA meski secara umum nilai KPA di jati masih sedikit lebih
tinggi dibandingkan nilai KPB. Kecuali nilai rerata pada kayu umur 51 tahun yang lebih tinggi,
nilai yang berkesesuaian masih dalam kisaran dari kayu mangium (Lukmandaru et al. 2010),
maupun pada Robinia pseudoacacia (Adamopoulous et al. 2005).
Dari hasil analisa sidik ragam (Tabel 3), pada semua parameter kapasitas penyangga
tidak diamati interaksi antara umur dan arah radial. Faktor umur berpengaruh sangat nyata
pada semua parameter kecuali kapasitas penyangga relatif. Dari uji lanjut, nilai KPA, KPB
dan KPT memberikan pola yang sama dimana nilai tertinggi diperoleh pada umur 51 tahun
sedangkan rerata nilai umur 8 dan 22 tidak berbeda nyata (Gambar 3). Nilai rerata tertinggi
pada umur 51 tahun untuk parameter KPA, KPB, dan KPT secara berturutan adalah 0,0073 ;
0,0104 ; dan 0,0173 ml/ml. Tidak seperti yang diharapkan, faktor arah radial ternyata tidak
berpengaruh nyata, yang hal ini disebabkan tingginya variasi dalam satu bagian batang.
Pada kulit misalnya, KPA berkisar antara 0,0046-0,0104 ml/ml, sedangkan di teras antara
0,0054-0,0176 ml/ml.
KPA merupakan jumlah basa kuat yang harus ditambahkan untuk mengubah nilai pH
satu unit pengukuran dalam 1 lt larutan sedangkan KPB adalah jumlah asam kuat yang
harus ditambahkan mengubah nilai pH satu unit pengukuran dalam 1 lt larutan. Dalam
prakteknya, perlu nilai pH yang rendah untuk membantu proses pengerasan perekat UF,
sehingga diperlukan suatu katalisator untuk mencapai pH tertentu. Nilai KPA relatif tinggi
pada umur 51 tahun bukan merupakan suatu keuntungan karena akan dibutuhkan katalis
asam yang lebih banyak untuk mengurangi nilainya ke tingkat optimum. Korelasi positif
antara lama pengerasan perekat UF dengan KPA pada beberapa spesies telah diamati oleh
Johns dan Niazi (1980), dalam artian semakin tinggi KPA maka akan mempersulit proses
perekatan. Nilai KPA pada kayu muda dari hutan rakyat relatif rendah merupakan
keuntungan apabila dipakai dalam produk panel.
Dari hasil analisis korelasi (Tabel 4), apabila nilai kapasitas penyangga dihubungkan
dengan nilai pH-nya, derajat hubungan tertinggi diamati pada kulit (r = -0,54) dengan
parameter KPR meski KPR sendiri tidak secara nyata dipengaruhi oleh faktor arah radial dan
umur pohon. Nilai korelasi negatif berarti menunjukkan bahwa semakin tinggi nilai pH seiring
dengan penurunan nilai KPR. KPR merupakan indikator efisiensi KPA terhadap KPB dalam
suatu larutan. Xing et al. (2004) mengamati bahwa lama pengerasan UF akan diperpendek
dengan kenaikan KPR. Dalam penelitian ini, nilai KPR tidak dipengaruhi secara nyata oleh
umur maupun arah radial. Sampel yang diteliti menunjukkan nilai rerata KPR kayu jati di
bawah 2,5. Dalam studinya, Hachmi dan Moslemi (1990) mendapatkan fakta spesies dengan
kadar ekstraktif di atas 7 % dan KPA kurang dari 2,5 dianggap tidak cocok untuk papan
semen.

879
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Tabel 3. Analisis variansi kapasitas penyangga dengan faktor provenans dan


arah radial kayu Acacia mangium .

Sumber Derajat KPA KPB KPT KPR


variasi bebas
Umur 2 0.01> ** 0.01> ** 0.01> ** 0.46 ns
Arah radial 5 0.92 ns 0.74 ns 0.81 ns 0.33 ns
Umur x Rad 7 0.97 ns 0.81 ns 0.93 ns 0.24 ns
Eror 50 ---- ---- ------ -----
Total 65

Keterangan :
PA = kapasitas penyangga asam
KPB = kapasitas penyangga basa
KPT = kapasitas penyangga total
KPR = kapasitas penyangga rela
** = nyata dalam taraf uji 1 %
* = nyata dalam taraf uji 1 %
ns = non significant

Gambar 3a-b. Nilai kapasitas penyangga asam (a) dan basa (b) berdasar faktor umur (pada
kayu jati dengan error bar sebagai standar deviasi. Huruf yang sama dalam
satu grafik menandakan tidak ada beda nyata pada taraf uji 5 %.

880
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS

Tabel 4. Koefisien korelasi Pearson (r) untuk nilai pH dan kapasitas penyangga

Parameter KPA KPB KPT KPR


Nilai pH (semua bagian) -0.29* -0.30* -0.29* -0.22
Nilai pH di kulit -0.16 -0.03 -0.10 -0.54*
Nilai pH di gubal -0.25 -0.31 -0.28 -0.10
Nilai pH di teras -0.35 -0.40* -0.37* -0.04

Kadar kelarutan dalam air dingin (semua -0.00 -0.05 0.00 -0.13
bagian)
Kadar kelarutan dalam air dingin di kulit 0.01 -0.10 -0.03 0.33
Kadar kelarutan dalam air dingin di gubal
Kadar kelarutan dalam air dingin di teras 0.47* 0.36 0.44* -0.03

-0.04 -0.15 -0.06 0.07

Bila kapasitas penyangga dihubungkan dengan kadar kelarutan dalam air dingin
maka tidak ada hubungan yang kuat meski cukup nyata (Tabel 4). Dengan demikian, nilai pH
atau kadar kelarutan dalam air dingin yang tinggi tidak secara otomatis akan menyebabkan
KPA atau KPB rendah, demikian pula sebaliknya. Pola yang sama juga diamati pada
hubungan antara nilai pH dan KAD. Hasil ini diinterpetasikan bahwa nilai kapasitas
penyangga di kayu jati dipengaruhi oleh bermacam-macam faktor yang saling berkaitan, hal
ini diperkuat oleh korelasi antara data secara keseluruhan (kulit, gubal, teras) bila digabung
nilainya rendah. Sebagai penelitian lebih lanjut, penambahan parameter seperti zat
anorganik, komponen hemiselulosa serta analisis multivariat perlu dilakukan untuk
menjelaskan fenomena tersebut.

KESIMPULAN

1. Kisaran rerata kadar kelarutan dalam air dingin sebesar 1,5 7,6 %, yang dipengaruhi
secara nyata oleh faktor arah radial. Nilai rerata tertinggi didapatkan pada bagian kulit.
2. Kisaran rerata nilai pH sebesar 4,8 6,8 yang dipengaruhi secara nyata oleh faktor umur
dan arah radial. Nilai rerata terendah diamati pada bagian teras tengah dan umur 51
tahun.
3. Kisaran rerata nilai kapasitas penytangga asam (KPA) 0,0046-0,0095 ml/ml ; kapasitas
penyangga basa (KPB) 0,0056-0,0104 ml/ml ; kapasitas penyangga total (KPT) 0,0102-
0,0199 ml/ml ; dan kapasitas penyangga relatif (KPR) 0,48-1,82. Faktor umur
berpengaruh nyata terhadap KPA, KPB, dan KPT dimana nilai tertinggi diamati pada umur
51 tahun.
4. Kadar kelarutan dalam air dingin berkorelasi moderat dengan nilai pH di bagian kulit dan
gubal.
5. Nilai pH berkorelasi moderat dengan kapasitas penyangga relatif di bagian kulit.

DAFTAR PUSTAKA

ASTM International. 2002. D1110 Test Methods for Water Solubility of Wood. Annual Book of
ASTM Standards 2002, Section 4 : Construction. West Conshohocken, PA. hal. 187.
Adamopoulos, S., Voulgaridis, E., Passialis, C. 2005. Variation of Certain Chemical
Properties within the Stemwood of Black Locust (Robinia pseudoacacia L.). Holz als
Roh- und Werkstoff 63: 327333.
Bhat, K.M., Florence, E.J.M. 2003. Natural decay resistance of juvenile teak wood grown in
high input plantations. Holzforschung 57:453455.

881
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Fengel, D., Wegener, G. 1989. Kayu: Kimia, Ultrastuktur, Reaksi-reaksi. Gadjah Mada
University Press (diterjemahkan oleh Sastrohamidjojo, H.), Jogja.
Gnanaharan, R., Dhamodaran, T.K. 1985. Suitability of Some Tropical Hardwoods for
Cement-bonded Wood Wool Board Manufacture. Holzforschung 39: 337-340.
Hachmi, A., Moslemi, A.A. 1990. Effect of Wood pH and Buffering Capacity on Wood-cement
Compatibility. Holzforschung 44:425-430.
Johns, W.E., Niazi, K.A. 1980. Effect of pH and Buffering Capacity of Wood on the Gelation
Time of Urea-formaldehyde Resin 12 (4): 255-263
Lukmandaru, G., Gustomo, L.S., Sayudha, I.G.N.D., Prasetyo, V.E. 2010. Studi Keasaman
dan Kapasitas Penyangga pada Kayu Mangium. Prosiding Seminar Nasional
MAPEKI XIII, Bali, hal. 388-396.
Kanazawa, H., Nakagami, T., Nobashi, K., Yokota, T. 1978. Studies on the Gluing of the
Wood. Articles. XI. The Effects of Teak wood Extractives on the Curing Reaction and
the Hydrolysis Rate of the Urea Resin. Mokuzai gakkaishi, 24: 55-59.
Lukmandaru, G., Takahashi, K. 2008. Variation in the Natural Termite Resistance of Teak
(Tectona grandis L.f.) as a Function of tree age. Annals of Forest Science 65: 708 p1
- p8
Lukmandaru, G., Takahashi, K. 2009. Radial Distribution of Quinones in Plantation Teak
(Tectona grandis L.f.). Annals of Forest Science 66: 605 p1 p9
Maloney, T.M. 1993. Modern Particleboard and Dry-process Fberboard Manufacturing
(updated edition). Miller Freeman, San Francisco.
Martawijaya, A., Kartasujana, I., Kadir, K., Prawira, S.A. 2005. Atlas Kayu Jilid I (Edisi 3).
Departemen Kehutanan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Bogor.
Hal. 43.
Slay, J.R., Short, P.H., Wright, D.C. 1980. Catalytic Effects of Extractives from Pressure-
refined Hardwood Fiber on the Gel Time of Urea Formaldehyde Resin. Forest
Product Journal. 30:22-23.
Windeisen, E., Klassen, A., Wegener, G. 2003. On the Chemical Characterization of
Plantation Teakwood (Tectona grandis L.) from Panama. Holz Roh- Werkst. 61: 416
418
Xing, C., Zhang, S.Y., Deng, J. 2004. Effect of Wood Acidity and Catalyst on UF Resin Gel
Time. Holzforschung 58: 408412.

882
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS

PENGENDALIAN BEBERAPA SERANGGA


DENGAN EKSTRAK DAUN SUREN (Toona Sureni Merr)

Hafiq Prasetiadi, IGN Danu Sayudha, Afifi Fauzy, Gita Abu Rizal,
dan Ganis Lukmandaru
Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada
Email: ha_fiii@yahoo.com

ABSTRAK

Kecoa, nyamuk, dan lalat serta ulat bulu sering meresahkan masyarakat dalam
kehidupan sehari-hari. Beberapa serangga ini menjadi penyebab menyebarnya sumber
penyakit. Perkembangan serangga ini sangat cepat apalagi didukung dengan kondisi
lingkungan yang cocok untuk berkembang biak. Keberadaan keempat serangga ini apabila
dibasmi maka akan menyebabkan rusaknya rantai makanan, oleh karena itu perlu adanya
cara menghalau mereka secara alami yakni dengan menggunakan daun suren. Daun suren
diduga memiliki zat bioaktif yang dapat bersifat racun dan penolak pada serangga. Daun
suren diekstrak secara berurutan menggunakan pelarut n-heksana, etil asetat, dan metanol.
Hasil pengujian menunjukan bahwa pengaruh senyawa bioaktif daun suren terhadap lalat
adalah beracun, pada nyamuk dan ulat bulu bersifat menolak sedangkan pada kecoa,
ekstrak tersebut tidak berpengaruh. Pelarut Ekstrak metanol menunjukkan rendemen yang
relatif tinggi. Dari uji fitokimia, pada ekstrak daun suren terdeteksi senyawa saponin, tanin,
dan flavonoid.

Kata kunci : Toona sureni, ekstrak daun, racun, penolak, anti-serangga

LATAR BELAKANG

Hampir tiap rumah di Indonesia memiliki masalah dengan kecoa, nyamuk, dan lalat
serta ulat bulu. Beberapa serangga ini, sering muncul di tiap sudut rumah, apalagi jika
keadaan rumah sangat kotor. Semua merasa terganggu dan menganggap beberapa
serangga ini sangat menggangu dan menyebabkan menyebarnya sumber penyakit.
Perkembangan beberapa serangga ini sangat cepat apalagi didukung dengan kondisi
lingkungan yang cocok untuk berkembang biak. Selain faktor lingkungan, kebiasaaan hidup
manusia pun turut membantu pertumbuhan ketiga serangga ini.
Kecoa memang tidak menularkan penyakit kepada manusia seperti lalat, akan tetapi
kecoa memiliki bau sangat khas yang begitu menyengat. Hal ini, karena keberadaan kecoa
yang senang di tempat lembab. Nyamuk merupakan musuh tahunan manusia dapat
membawa penyakit demam berdarah yang tiap tahun mewabah dan memakan korban.
Mewabahnya demam berdarah sering terjadi pada musim hujan, selain itu pola hidup
manusia yang tidak mengindahkan kebersihan menjadi tempat favorit nyamuk untuk dapat
berkembang biak. Sama halnya dengan kecoa, lalat juga serangga yang dianggap menjijikan
karena hidup ditempat-tempat kotor. Beberapa penyakit yang disebabkan atau ditularkan
oleh lalat, yaitu diare, muntaber, dan lain-lain. Ulat bulu menjadi hama yang sangat
meresahkan di awal tahun 2011 karena populasinya sangat meningkat secara signifikan.
Ulat ini menyebar dibeberapa daerah di indonesia diantaranya Jawa tengah, Jawa timur,
Jawa barat, Yogyakarta dll. Ulat ini perlu di kendalikan agar persebarannya tidak meluas dan
tidak menggangu ekosistem lingkungan.
Keberadaan beberapa serangga diatas tidak boleh disepelekan, namun jika kita
membasminya, maka dapat menggangu kestabilan rantai makanan hewan yang berimplikasi
pada keseimbangan kehidupan. Maka yang diperlukan adalah cara menghalau mereka dari
kehidupan kita dan tidak membuat tempat yang cocok untuk berkembangnya ketiga
serangga ini. Daun suren dipilih sebagai objek penelitian disebabkan daun tersebut mudah

883
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

diperoleh dan memiliki banyak fungsi. Hal tersebut diperkuat dengan adanya berbagai
penelitian sebelumnya tentang daun suren sebagai pestisida nabati dan merupakan bahan
alam yang potensial dikembangkan menjadi antikanker ovarium, minyak atsiri, serta ektrak
kulit, batang dan daun suren sebagai insektida botani untuk pengendalian hama kubis
(Darmansyah, 2009).
Beberapa penelitian menyebutkan bahwa daun suren mengandung senyawa
tetranortriterpenoid, yaitu surenon, surenin, karotenoid yang terdiri dari -karotena,
zeasantin, laktukasantin dan triterpenoid yang mempunyai aktivitas antiplasmodial. Adanya
kandungan senyawa monoterpenoid dan seskuiterpenoid dalam minyak atsiri suren
dilaporkan oleh (Chozin,1995). Daun suren juga mengandung senyawa kimia yang bernama
metil galat yang memiliki bioaktivitas seperti antibakteri, antioksidan. Selain metil galat daun
suren juga mengandung senyawa karotenoid, yaitu lutein yang berperan dalam pencegahan
kerusakan macular mata dari sinar biru matahari. Fakta ini memperlihatkan kemungkinan
daun suren sebagai sumber senyawa antioksidan dan antibakteri alam yang aman bagi
kesehatan manusia (Anonim, 2010). Oleh karena itu, dalam penelitian bertujuan untuk
mengetahui efektifitas ekstrak daun suren agar beberapa serangga ini tidak hidup di sekitar
kita.

BAHAN DAN METODE PENELITIAN

Persiapan bahan dilakukan dengan menyiapkan daun suren yang baru diambil dari
pohon sebanyak r0,5 kg. Daun tersebut kemudian dirajang lalu dikeringudarakan selama
kurang lebih 2 hari. Pengekstrakan bahan dilakukan dengan mengambil daun yang sudah
siap kemudian ditimbang sebanyak 500 gram. Ekstraksi lalu dilakukan dengan 200 ml
larutan n-heksana dan peralatan soxhlet selama 6 jam. Pelarut diuapkan dengan hasil
ekstrak kemudian ditimbang setelah pelarut diuapkan. Daun yang sudah diekstrak dengan
larutan n-heksana kemudian secara terpisah diekstrak lagi dengan etil asetat dan metanol
secara berurutan dengan metode yang sama. Secara terpisah, sebagai kontrol pengujian
ulat bulu dilakukan pengekstrakan daun jambu dengan air panas dilakukan pada suhu 100
0
C selama 6 jam. Ekstrak yang diperoleh kemudian diuji fitokimianya yakni untuk
senyawa alkaloid, flavonoid, tanin, dan saponin.

Alkaloid
Sebanyak 1 gram ekstrak ditambahkan 5 ml kloroform-amoniak, lalu disaring ke
dalam tabung reaksi. Filtrat ditambahkan dengan beberapa tetes H2SO4 2 M dan dikocok
sehingga terpisah dua lapisan, lalu diambil lapisan yang atas (bening) dan ditaruh diwadah
gelas.Lapisan atas tersebut ditetesi reagen Meyer, lalu bila terlihat endapan putih maka
ekstrak tersebut positif mengandung alkaloid.

Flavonoid
Sejumlah 1 gram ekstrak ditambah 1-2 ml metanol 50 % sampai serbuk terendam
seluruhnya dan diaduk. Setelah itu dipanaskan sampai mendidih lalu disaring dengan kertas
saring. Hasil saringan ditetesi 1-5 tetes NaOH 1%. Setelah itu dikocok, dan bila terlihat
warna kuning berarti ekstrak tersebut positif mengandung flavonoid.

Saponin
Sebanyak 1 gram ekstrak dimasukkan ke dalam tabung reaksi lalu ditambahkan air
sebanyak 5 ml lalu diaduk. Kemudian dipanaskan selama 5 menit lalu disaring dengan
kertas saring dan dikocok-kocok. Setelah dikocok terlihat buih yang tidak hilang sampai 10
menit, maka ekstrak tersebut mengandung saponin.

Tanin
Sebanyak 1 gram ekstrak dimasukkan ke dalam tabung reaksi lalu ditambahkan air
sebanyak 5 ml kemudian diaduk-aduk. Setelah itu dipanaskan selama beberapa menit lalu

884
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS

disaring dengan kertas saring. Hasil penyaringan ditetesi 5-10 tetes FeCl3 1%. Bila warnanya
menjadi biru gelap atau hijau gelap maka ekstrak tersebut positif mengandung tanin.
Ekstrak daun suren kemudian diuji hayati yakni uji anti nyamuk dan kecoa, uji anti
lalat, uji anti ulat bulu.

Uji anti nyamuk dan kecoa


Pengujian menggunakan cara yang dipakai oleh Toshihiko (Anonim 2009) dengan
sedikit modifikasi pada jumlah serangga yang digunakan. Langkah yang dilakukan dengan
menyiapkan nyamuk sebanyak 20 ekor, kemudian dimasukkan ke dalam kotak kaca
berukuran 30x30x30 cm. Kain bekas yang disiapkan selanjutnya direndam selama r 1 hari
ke dalam larutan ekstrak daun suren dengan konsentrasi 20% hingga meresap. Setelah itu
kain tersebut dimasukkan ke dalam kotak yang berisi penuh dengan nyamuk dan dilihat
apakah nyamuk tersebut berhamburan atau mengumpul pada satu tempat lalu diamati
selama 300 menit. Pengujian pada kecoa sama dengan pengujian pada nyamuk tapi yang
membedakan adalah lama pengamatan yakni pada kecoa selama 3 hari. Kontrol
menggunakan cara yang sama tetapi tidak diberi perlakuan penambahan ekstrak daun
suren.

Uji anti lalat


Pengujian mengacu pada Roemer (2006) dengan sedikit modifikasi pada jumlah
serangga yang digunakan. Langkah yang dilakukan dengan menyiapkan lalat sebanyak 30
ekor, kemudian dimasukkan ke dalam kotak kaca berukuran 30x30x30 cm. Kemudian cairan
ekstrak daun suren disemprotkan dengan konsentrasi 20% ke dalam kotak yang berisi lalat.
Setelah itu, dilihat berapa jumlah lalat yang mati dalam jangka waktu 5 jam dan dihitung
persen mortalitas serangga pada akhir pengamatan. Kontrol menggunakan cara yang sama
tetapi tidak diberi perlakuan penambahan ekstrak daun suren.

Uji Ulat bulu


Pengujian ulat bulu dilakukan di kotak dengan ukuran 15 x 20 cm. Kemudian
menyiapkan ulat bulu sebanyak 30 ekor, kemudian dimasukkan ke dalam kotak kaca.
Ekstrak daun suren dengan konsentrasi 20% kemudian dilaburkan ke daun jambu yang
berfungsi sebagai bahan makanan ulat bulu. Setelah itu, dihitung derajat kerusakan daun
dengan menghitung persen luasannya. Kontrol uji ulat bulu dengan menggunakan daun
jambu tanpa diberi perlakuan apa-apa.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengekstrakan daun suren suren ini bertujuan untuk mengeluarkan senyawa bioaktif
daun suren, selain itu untuk mengetahui jumlah ekstaktif yang dihasilkan dengan
menggunakan pelarut n-heksana, etil asetat, dan metanol. Proses mengekstrak daun suren
ini dilakukan 3 kali agar diperoleh ekstrak yang cukup untuk pengujian. Hasil menunjukan
bahwa senyawa bioaktif terbanyak diperoleh dengan mengekstraksi menggunakan pelarut
metanol dengan rerata 7,72%, urutan selanjutnya n-heksana dengan rerata 4,10% dan
pelarut etil asetat dengan rerata 2,89%. Rendemen tersebut secara total termasuk tinggi bila
dihubungkan dengan potensi senyawa bioaktifnya karena di dalam satu pohon terdapat daun
seberat kurang lebih 1 ton. Hasil uji fitokimia disajikan pada Tabel 1 berikut:

Tabel 1.Uji kandungan zat yang terdapat dalam ektraktif daun suren

Ekstrak Uji Fitokimia


daun suren Flavonoid Saponin Alkaloid Tanin

n-heksana (+) (+) (-) (+)


Etil asetat (+) (+) (-) (+)
Metanol (+) (+) (-) (+)

885
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Keterangan :
(+) = senyawa teridentifikasi
(-) = senyawa tidak teridentifikasi

Data pada Tabel 1 menunjukan bahwa semua ekstrak mengandung flavonoid,


saponin dan tanin serta tidak terdeteksi alkoloid. Apabila dibandingkan dengan kontrol daun
jambu perbedaan terletak pada senyawa tanin yang tidak terdeteksi pada daun jambu. Hasil
pengujian hayati terhadap ekstrak daun suren disajikan pada Tabel 2, Tabel 3 dan Gambar 1
berikut :

Tabel 2. Nilai mortalitas (%) uji hayati pada ketiga jenis serangga (rerata 3 Ulangan)

Perlakuan Mortalitas Lalat Mortalitas kecoa Mortalitas Nyamuk

Kontrol 10,0 3,3 0


Metanol 26,7 3,3 0
Etil Asetat 34,5 2,2 0
n-heksana 25,6 1,0 0

Tabel 3. Jumlah nyamuk yang menghindar terhadap ekstrak daun suren

Perlakuan Menit ke -
30 60 90 120 150 180 210 240 270 300
n-heksana 18 19 18 19 19 19 20 19 19 20
Etil asetat 19 19 18 18 18 20 19 19 20 20
Metanol 18 19 19 19 19 20 19 20 18 19

Gambar 1. Uji anti lalat, uji anti kecoa dan Uji anti nyamuk

Uji anti lalat menunjukan mortalitas terbanyak diamati pada perlakuan ekstrak etil
asetat yang menunjukan adanya sifat racun lebih pada ekstrak tersebut dibanding dengan
kontrol. Lain halnya pada perlakuan senyawa bioaktif ekstrak daun suren terhadap kecoa
yang didapatkan hasil mortalitas antar perlakuan tidaklah berbeda jauh. Hasil ini
menunjukkan bahwa senyawa bioaktif ekstrak daun suren terhadap kecoa tidaklah
berpengaruh. Pengujian anti nyamuk didapatkan hasil bahwa pada kontrol sebagian
nyamuk tidak menghindar dari kain sedangkan pada kain yang telah diberi umpan atau
ekstrak daun suren hampir semua nyamuk menghindar yakni sekitar 18-20 ekor nyamuk dari
total 20 ekor nyamuk meski semua perlakuan nyamuk tidak mengalami kematian.
Menghindarnya nyamuk terhadap ekstrak daun suren menunjukan senyawa bioaktif ektrak
daun suren bersifat menolak terhadap nyamuk.
Hasilnya pengujian ekstrak daun suren dan daun jambu terhadap ulat bulu disajikan
pada Gambar 2 dan Gambar 3 berikut. Dari Gambar 2 menunjukan semua ekstrak
berpengaruh mengurangi derajat kerusakan pada umpan. Hal tersebut wajar karena pada

886
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS

daun suren sendiri persen kerusakannya relatif kecil sedangkan derajat kerusakan terbesar
diamati pada kontrol daun jambu. Perlakuan dengan ekstrak n-heksana menunjukan laju
kerusakan akibat ulat bulu yang terkecil.
Apabila ditinjau dari hasil uji fitokimia, bahwa daun jambu memiliki kandungan
saponin dan flavonoid tetapi tidak terdeteksi alkaloid dan tannin sedangkan daun suren
terdeteksi adanya saponin, tanin dan flavonoid tetapi tidak terdeteksi adanya alkaloid.
Diduga salah satunya adalah adanya perbedaan kadar tanin pada suren yang
menyebabkan sifat bioaktif terhadap ulat bulu. Perlu diteliti juga penyebab secara pasti sifat
racun pada lalat serta sifat penolak pada nyamuk. Hasil pengujian ekstrak daun suren
terhadap serangga sesuai dengan hasi dari percobaan (Darmansyah 2009) yang
menyatakan daun suren sebagai insektida botani.

Gambar 2. Derajat kerusakan pada daun jambu pada beberapa perlakuan

Gambar 3. Pengujian anti ulat bulu dengan menggunakan daun jambu


yang diberi ekstrak daun suren

KESIMPULAN

Dari hasil pengujian hayati ekstrak daun suren, diamati adanya sifat racun terhadap
lalat, dan bersifat penolak pada ulat bulu dan nyamuk. Rendemen tertinggi dihasilkan
dengan ekstraksi metanol (7,72 %) sedangkan uji fitokimia ekstrak daun suren menunjukkan
adanyanya senyawa saponin, tanin, dan flavonoid.

887
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2009. Basmi Lalat dengan Jeruk Manis. http://anekaplanta.wordpress.com. Diakses


hari Sabtu 2 Oktober 2011 pukul 16.00WIB.
Anonim. 2010. Penyakit Menular akibat Nyamuk Masih Jadi Masalah. www.kompas.kom.
Diakses hari Sabtu 2 Oktober 2011 pukul 16.00 WIB.
Darmansyah, 2009. Pemanfaatan Ektrak Kulit, Batang dan Daun Suren (Toona sureni Merr)
sebagai Insektida Botani untuk Pengendalian Hama Kubis (Brassica oleracea
var.capitata) di Lapangan Politeknik Pertanian Negeri Payakumbuh.
Roemer, M.S. 2006. Detail Penelitian Obat Alam.http://bahan-alam.fa.itb.ac.id. Diakses hari
Sabtu 2 Oktober 2011 pukul 16.00 WIB.

888
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS

PEMANFAATAN SISA MEDIA TUMBUH JAMUR TIRAM


UNTUK ARANG KOMPOS

Sri Komarayati, Gusmailina dan Djarwanto


Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan
Pengolahan Hasil Hutan. Jl. Gunung Batu, no.5. Bogor.
Telp. 0251 - 8633378, Fax. 0251 8633413

ABSTRAK

Tujuan penelitian adalah untuk memberikan teknologi inovatif produksi arang


kompos/pupuk organik dari sisa media tumbuh jamur tiram, dalam rangka meningkatkan
nilai manfaat limbah tersebut. Penelitian berlangsung selama lima minggu, proses
pengomposan secara anaerobik dengan suhu termofilik Untuk mempercepat proses
pengomposan digunakan aktivator hayati dengan dosis 5% (b/v) dan penambahan arang
serbuk gergaji sebesar 5% (b/v).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kualitas arang kompos yang dihasilkan dari sisa
media tumbuh jamur tiram setelah 5 minggu proses pengomposan : pH 7,32; kadar air
35,40%; C organik 25,87%; N total 1,66%; nisbah C/N 21,05; P2O5 0,56%; CaO 2,43%; MgO
0,46%; K2O 2,00% dan KTK 27,70 meq/100g, telah memenuhi persyaratan/standar yang
ditetapkan.

Kata kunci: Serbuk gergaji, arang, jamur tiram, arang kompos, kualitas.

PENDAHULUAN

Kemajuan suatu negara ditunjukkan dari adanya perkembangan di bidang pertanian


maupun industri, karena makin maju suatu negara makin meningkat limbah hasil pertanian
maupun hasil industri. Salah satu limbah industri yang sangat potensial untuk dimanfaatkan
adalah limbah serbuk gergaji yang dihasilkan dari industri penggergajian kayu. Beberapa
penelitian yang menggunakan serbuk gergaji sebagai bahan baku adalah pembuatan arang,
briket arang, arang aktif, kompos, arang kompos, media jamur kayu dan lain-lain (Pasaribu,
1987; Suprapti, 1988; Komarayati, 1996 ; Gusmailina et al, 2002 ; Pari et al, 2006).
Untuk lebih meningkatkan nilai tambah dan manfaat dari sisa media tumbuh jamur
tiram, maka dilakukan pembuatan arang kompos sebagai pupuk organik Penelitian ini
bertujuan untuk memberikan teknologi inovatif produksi arang kompos sebagai pupuk
organik dari sisa media tumbuh jamur tiram, dalam rangka meningkatkan nilai manfaat
limbah budidaya jamur.

BAHAN DAN METODE

Bahan dan Alat


Bahan yang digunakan untuk membuat arang kompos adalah sisa media tumbuh
jamur tiram yang terbuat dari campuran serbuk gergaji, dedak, gips, air dan kapur. Bahan
suplemen berupa mikroba aktivator untuk mempercepat proses pengomposan yaitu bakteri
Cytophaga sp dan Trichoderma pseudokoningii, dan arang serbuk gergaji untuk
meningkatkan kualitas kompos. Peralatan yang digunakan di antaranya sekop, karung,
timbangan, pH meter, higrometer, termometer dan lain-lain.

889
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Metode
Sebelum dibuat arang kompos, sisa media tumbuh jamur tiram yang berumur 4 bulan
dianalisis kandungannya, dengan tujuan untuk mengetahui kualitas dan kandungan unsur
hara. Pada proses pembuatan arang kompos, dilakukan penambahan aktivator yang terdiri
dari bakteri Cytophaga sp dan Trichoderma pseudokoningii dan ditambahkan arang serbuk
gergaji.
Bahan ditimbang sesuai kebutuhan, ditambahkan aktivator sebesar 5% (b/v), arang
serbuk gergaji sebesar 5% (b/v) dan di tambah air secukupnya, kemudian diaduk sampai
homogen. Selanjutnya dimasukkan ke dalam karung plastik jumbo, ditumpuk sedemikian
rupa agar tidak terlalu padat. Proses pengomposan berlangsung selama lima minggu
dengan kondisi sebagai berikut: suhu 56oC (termofilik), pH 6,00 - 7,30 dan kelembaban 60%
- 85%. Setiap satu minggu (tergantung kondisi) dilakukan pembongkaran, pengadukan,
penumpukan kembali agar proses pengomposan berjalan dengan sempurna. Pada minggu
ke 2, 4 dan 5 dilakukan pengambilan sampel untuk dianalisis. Penambahan arang dilakukan
pada minggu ke 2 pengomposan.
Untuk mengetahui kualitas arang kompos dilakukan analisis kadar air, pH, unsur hara
makro, nisbah C/N dan kapasitas tukar kation (KTK). Hasil analisis dibandingkan dengan
standar kompos/pupuk organik yang dikeluarkan oleh BIOTROP (Anonim, 2000), Standard
Nasional Indonesia (Anonim, 2004) dan persyaratan teknis minimal pupuk organik (Anonim,
2009).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada Tabel 1, ditunjukkan hasil analisis kandungan unsur hara sisa media tumbuh
jamur tiram. Sedangkan pada Tabel 2, dapat diketahui hasil analisa kandungan unsur hara
arang kompos dari sisa media tumbuh jamur tiram.

Tabel 1. Kandungan unsur hara sisa media tumbuh jamur tiram

No. Parameter Hasil


1. pH (1 : 1) 5,92
2. Kadar air, % 33,71
3. C organik, % 9,94
4. N total, % 0,68
5. Nisbah C/N 39,80
6. P2O5 total, % 0,48
7. K2O total, % 0,46
8. CaO total, % 1,38
9. MgO total, % 0,21
10. KTK, meq/100 g 3,95

Keterangan : KTK= Kapasitas Tukar Kation

Hasil analisa menunjukkan bahwa kandungan pH sebesar 5,92 dan kadar air sisa
media tumbuh jamur tiram 33,71%. Pada pH dan kadar air tersebut jamur masih tumbuh
sehingga proses degradasi masih terjadi. Nisbah C/N 39,80 sangat cocok untuk proses
pengomposan karena C/N bahan yang optimal antara 25 - 40 (Gaur, 1982). Bila C/N terlalu
rendah maupun terlalu tinggi, akan berpengaruh terhadap proses pengomposan. Nilai C/N
tersebut adalah rendah jika dibandingkan dengan nilai C/N pada laporan sebelumnya yaitu
berkisar antara 36-76 (Suprapti, 1998). Perbedaan ini mungkin disebabkan karena komposisi
media tumbuhnya berlainan yaitu terdiri dari serbuk gergaji, ditambah dedak 10%, kapur 1%,
gips 0,4% dan air bersih secukupnya (Djarwanto dan Suprapti, 2010).

890
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS

Tabel 2. Kandungan hara arang kompos dari sisa media tumbuh jamur tiram

Lama pengomposan, Minggu


No. Parameter
2 4 5
1. pH (1:1) 6,95 7,20 7,32
2. Kadar air, % 36,00 32,70 35,40
3. C - organik, % 19,18 23,19 25,87
4. N total,% 0,71 0,92 1,66
5. Nisbah C/N 30,40 25,60 21,05
6. P2O5 total, % 0,49 0,49 0,56
7. K2O total, % 1,40 1,29 2,00
8. CaO total, % 1,40 2,41 2,43
9. MgO total, % 0,25 0,44 0,46
10. KTK, meq/100g 9,14 12,34 27,70

Keterangan : KTK= Kapasitas Tukar Kation

Sedangkan kadar air sisa media tumbuh jamur tiram tersebut lebih rendah jika
dibandingkan dengan kadar air optimum bahan untuk pengomposan yaitu 50-60% (Dalzell et
al., l987). Berarti kadar air tersebut dapat mempengaruhi lamanya proses pengomposan dan
kualitas arang kompos yang dihasilkan.
Hasil analisa kandungan hara arang kompos dapat diketahui pada Tabel 2. Nisbah
C/N arang kompos pada minggu kedua 30,40; minggu ke empat 25,60 dan minggu ke lima
turun menjadi 21,05, bila dibandingkan dengan standar MENTAN (Anonim, 2009) sudah
memenuhi standar yang ditetapkan. Akan tetapi bila dibandingkan dengan standar
BIOTROP dan SNI (Anonim, 2000 dan 2004) termasuk tinggi. Tingginya nisbah C/N pada
arang kompos sisa media tumbuh jamur tiram ini diakibatkan oleh penambahan arang
serbuk gergaji pada saat proses pengomposan. Khususnya pada saat arang kompos
diaplikasikan pada tanaman tidak akan menghambat pertumbuhan, bahkan sebaliknya akan
merangsang pertumbuhan tanaman, karena arang dapat meningkatkan porositas tanah,
meningkatkan keasaman tanah, sehingga akan merangsang pertumbuhan tanaman, antara
lain akar. Juga arang dapat menyerap air dan unsur hara dari tanah sehingga akan
meningkatkan pertumbuhan tanaman, yang akhirnya akan meningkatkan produksinya
(Komarayati et al, 2003). Nisbah C/N yang lebih besar dari 20 cocok untuk tanaman
kehutanan, perkebunan, pertanian maupun tanaman keras lainnya. Hasil analisa kualitas
arang kompos pada minggu kedua kelima dapat diketahui pada Tabel 2. Hasilnya sebagai
berikut: pH 6,95 7,32; kadar air 32,70% - 36,00%; C organik 19,18% 25, 87%; N total
0,71% - 1,66%; nisbah C/N terjadi penurunan sesuai lama proses pengomposan yaitu dari
30,40 menjadi 21,05. Untuk kadar P2O5 total 0,49% - 0,56%; CaO total 1,40% 2,42%; MgO
total 0,25% - 0,46%; K2O total 1,40% - 2,00% dan KTK (kapasitas tukar kation) 9,14 27,70
meq/100g. Kandungan P2O5 termasuk kategori sedang dan K2O termasuk tinggi. Phosphat
bagi tanaman berfungsi dalam proses metabolisme dan reproduksi seperti pembentukkan
bunga, buah dan biji, serta dapat memperkuat batang agar tidah mudah roboh. Kalium
berfungsi untuk sintesa protein, mengaktifkan enzim dan memperlancar proses metabolisme
sel. Apabila dibandingkan dengan stndar yang ditetapkan oleh BIOTROP, SNI dan
MENTAN (Anonim, 2000, 2004 dan 2009), lihat Tabel 3,4 dan 5, maka arang kompos dari
limbah media tumbuh jamur tiram ternyata telah memenuhi kriteria yang ditetapkan. Selain
unsur hara dan KTK, pH sangat menentukan mudah tidaknya unsur-unsur hara diserap oleh
tanaman. Pada umumnya unsur hara mudah diserap akar tanaman pada pH netral, karena
pada pH netral, unsur hara mudah larut dalam air.

891
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Tabel 3. Pedoman Pengharkatan Hara Kompos

Parameter Satuan Harkat


Rendah Sedang Tinggi
Kadar air % 24.9 35.9 52.6
pH % 6.6 7.3 8.2
C organic % 14.5 19.6 27.1
N total % 0.6 1.1 2.1
P2O5 % 0.3 0.9 1.8
K2O % 0.2 0.6 1.4
KTK meq/100g 20.1 30 45
C/N rasio - < 10 10 - 20 > 20

Sumber : Anonim (2000)

Tabel 4. Persyaratan teknis minimal pupuk organic

Pupuk organik curah tanpa


No. Parameter
diperkaya mikroba
1 pH (1 : 1) 4,00 8,00
2 Kadar air, % 15,00 25,00
3 C- organik, % > 12,00
4 N total, % < 6,00
5 Nisbah C/N 15,00 25,00
6 P2O5 total, % < 6,00
7 K2O total, % < 6,00

Sumber : Anonim, 2009


.
Tabel 5. Standar Nasional Indonesia

Standar
No. Parameter
Minimum Maksimum
1. pH (1:1) 6,80 7,49
2. Kadar air, % - 50
3. C organik, % 9,80 3
4. N total, % 0,40 -
5. Nisbah C/N 10 20
6. P2O5 total, % 0,10 -
7. K2O total, % 0,20 -
8. CaO total, % - -
9. MgO total, % - -
10. KTK, meq/100g - -

Keterangan : SNI 19-70 30-2004 (Anonim, 2004)

Dari hasil penelitian pembuatan arang kompos dapat disimpulkan bahwa sisa media
tumbuh jamur tiram dapat dibuat arang kompos dan dimanfaatkan sebagai pupuk organik
untuk tanaman, baik tanaman pertanian maupun tanaman keras/kehutanan. Waktu
pengomposan relatif singkat, karena adanya campuran bahan- bahan lain seperti dedak,
gips dan kapur. Selain itu, serbuk gergaji yang terdapat dalam sisa media tumbuh jamur
tiram telah mengalami perombakan selama digunakan sebagai media produksi jamur yaitu
sekitar 4 bulan, sehingga pada saat diproses menjadi arang kompos hanya memerlukan
waktu singkat.

892
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS

Hal ini berbeda dengan pembuatan arang kompos dari serbuk gergaji segar/ tanpa
diberi campuran bahan lainnya, sehingga memerlukan waktu pengomposan sangat lama
kurang lebih 4 bulan (Komarayati, 1996). Selain waktu proses yang singkat, juga kualitas
arang kompos dari sisa media tumbuh jamur tiram ini lebih baik dan hieginis dibandingkan
dengan kompos lainnya, karena prosesnya terkendali, aktivator yang digunakan mempunyai
keunggulan dari aktivator lain, juga karena ada penambahan arang
Produksi arang kompos merupakan salah satu alternatif penanganan dan
pengelolaan sisa media tumbuh jamur tiram. Selama ini, sisa media tumbuh jamur tiram
hanya ditumpuk di sekitar kumbung tempat budidaya jamur, dibuang, dibakar, sebagian
digunakan sebagai kompos tanpa melalui proses pengomposan. Volume sisa media tumbuh
jamur tiram umur pemeliharaan 4 bulan adalah sekitar 20%.

KESIMPULAN DAN SARAN

1. Kualitas arang kompos yang dihasilkan dari sisa media tumbuh jamur tiram setelah 5
minggu proses pengomposan : pH 7,32; kadar air 35,40%; C organik 25,87%; N total
1,66%; nisbah C/N 21,05; P2O5 0,56%; CaO 2,43%; MgO 0,46%; K2O 2,00% dan KTK
27,70 meq/100g, telah memenuhi persyaratan/standar BIOTROP, SNI dan MENTAN.
2. Sisa media tumbuh jamur tiram dapat dimanfaatkan untuk arang kompos sebagai
pupuk organik pada tanaman.
3. Salah satu alternatif pemanfatan sisa media tumbuh jamur tiram yaitu diproses kembali
menjadi arang kompos sehingga dapat dimanfaatkan untuk digunakan sebagai pupuk
organik pada berbagai jenis tanaman.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2000. Pedoman pengharkatan hara kompos. Laboratorium Natural Products,


SEAMEO BIOTROP. Bogor.
---------. 2004. Spesifikasi kompos dari sampah organik domestik. SNI 19 7030 2004.
Badan Standardisasi Nasional. Jakarta.
----------. 2009. Persyaratan teknis minimal pupuk organik S.K. MENTERI PERTANIAN No.
28/Permentan/SR.130/5/2009, tanggal 22 Mei 2009.
Dalzell, H.W., A.J. Biddlestone, K. R. Gray and K. Thurairajan. 1987. Soil Management
Compost Production and Use In Tropical and Subtropical Environment. Soil Bulletin.
Vol. 56. FAO. Rome.
Djarwanto dan Sihati Suprapti. 2010. Pengaruh sumber bibit terhadap pertumbuhan jamur
tiram. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 28 (2): 156-168. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Hasil Hutan . Bogor.
Gaur, A.C. 1982. A manual of Rural Composting. Food Agriculture Organization of United
Nations. Rome.
Gusmailina, G. Pari dan S. Komarayati. 2002. Implementation study of compost and
charcoal compost production. Laporan Kerjasama Puslitbang Teknologi Hasil Hutan
dengan JIFPRO Jepang. (Tidak dipublikasikan).
Komarayati, S. 1996. Pemanfaatan serbuk gergaji limbah industri sebagai kompos. Buletin
Penelitian Hasil Hutan, 14 (9) : 337 - 343. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil
Hutan dan Sosial Ekonomi Kehutanan. Bogor.
Komarayati, S; Gusmailina dan G. Pari. 2003. Aplikasi arang kompos pada anakan tusam
(Pinus merkusii). Buletin Penelitian Hasil Hutan 21 (1) : 15 21. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Hasil Hutan. Bogor.
Pari, G; D. Tohir; Mahpudin dan J. Ferry. 2006. Arang aktif serbuk gergaji kayu sebagai
bahan adsorben pada pemurnian minyak goreng. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 24
(4): 309 322. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor.

893
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Pasaribu, R. 1987. Pemanfaatan serbuk gergaji jeungjing sebagai kompos untuk pupuk
tanaman. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 4 (4) : 15 21. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Hasil Hutan. Bogor.
Suprapti, S. 1988. Budidaya jamur perusak kayu I. Pengaruh penambahan dedak terhadap
produksi jamur tiram. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 5 (6) : 337 339. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor.
Suprapti 1998. Biokonversi limbah penggergajian untuk produksi jamur dan kompos. Diskusi
Evaluasi Penelitian Bioteknologi Tanaman Kehutanan dan Perkebunan, tanggal 4
September 1998 di Yogyakarta. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan
dan Perkebunan.

894
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS

PRODUKSI TERPADU ARANG DAN CUKA KAYU YANG


DIHASILKAN DARI DUA MODEL TUNGKU

Sri Komarayati dan Gusmailina


Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Jl. Gunung Batu No. 5 Bogor
Telp. 0251- 8633378 ; Fax. 0251 8633413

ABSTRAK

Penelitian pembuatan arang dan cuka kayu secara terpadu telah dilakukan dengan
menggunakan dua model tungku hasil modifikasi yaitu tungku pertama adalah tungku
sungkup/tungku drum yang dilengkapi sungkup dari besi dan cerobong bambu yang
berfungsi mengalirkan asap yang keluar dari proses pengarangan dan tungku kedua adalah
tungku spiral/tungku drum ganda yang dilengkapi cerobong asap dan pipa berbentuk spiral
yang terbuat dari stainles, yang berfungsi untuk mengalirkan asap yang keluar dari proses
pengarangan. Selanjutnya asap dalam pipa spiral didinginkan dalam drum yang berisi air.
Bahan yang digunakan untuk membuat arang dan cuka kayu merupakan sisa tebangan kayu
mindi. Tujuan penelitian yaitu untuk mengetahui produksi, kualitas arang dan cuka kayu,
komponen kimia organik dalam cuka kayu.
Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa dari tungku sungkup dihasilkan arang
10,00 kg dengan rendemen arang 19,83%. Kadar air arang 2,03%, kadar abu 5,07%, kadar
zat terbang 15,08%, kadar karbon terikat 79,84% dan nilai kalor 6709 kal/g. Produksi cuka
kayu 10,50 liter, rendemen cuka kayu 20,83%, pH 3,76 dan berat jenis 0,97. Hasil analisis
GC-MS pirolisis menunjukkan bahwa komponen kimia organik cuka kayu mengandung 25
komponen kimia. Sedangkan dari tungku drum ganda yang dilengkapi pipa pendingin
berbentuk spiral dihasilkan arang 6,50 kg dengan rendemen arang 16,88%. Kadar air arang
8,54%, kadar abu 4,50%, kadar zat terbang 17,63%, kadar karbon terikat 77,86% dan nilai
kalor 6.501 kal/g. Produksi cuka kayu 5,00 liter, rendemen cuka kayu 12,98%, pH 3,98 dan
berat jenis 0,97. Hasil analisis GC-MS pirolisis menunjukkan bahwa komponen kimia organik
cuka kayu mengandung 30 komponen kimia.

Kata kunci: arang, cuka kayu, komponen kimia, produksi, kualitas.

PENDAHULUAN

Produksi terpadu arang dan cuka kayu dapat dilakukan pada berbagai jenis tungku,
dengan hasil arang dan cuka kayu yang berbeda. Hasil penelitian Komarayati et al., 2010,
menyebutkan bahwa cuka kayu yang dihasilkan dari tungku drum ganda hasil modifikasi
yang dilengkapi pipa berbentuk spiral, kualitasnya lebih baik, ditandai dari warna lebih
bening, tidak berbau menyengat, walaupun produksi dan rendemen rendah. Kualitas cuka
kayu/asap cair ditentukan oleh kondisi proses pembakaran, yaitu tekanan, suhu pembakaran
dan lamanya waktu pembakaran, juga ditentukan dari banyaknya kandungan asam, ter dan
fenol didalamnya (Sutin, 2008).
Kualitas dari asap cair juga ditentukan oleh kemurnian dari senyawa senyawa yang
terkandung didalamnya. Asap cair mengandung kelompok senyawa asam dan turunannya,
alkohol, aldehid, hidrokarbon, keton, fenol dan piridin (Zaitsev, 1969). Senyawa-senyawa ini
tidak sepenuhnya sesuai dengan penggunaan asap cair sebagai zat antimikroba,
antioksidan, bioinsektisida dan penggunaan lainnya. Oleh karena itu, proses pemurnian
perlu dilakukan untuk memisahkan senyawa-senyawa tersebut sehingga didapatkan
komponen asap cair yang diinginkan. Pada umumnya proses pemurnian yang dilakukan
pada asap cair hanya sebatas menghilangkan kandungan tar dengan cara
mengendapkannya selama 24 jam.

895
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Arang sudah lama dikenal masyarakat sebagai bahan bakar alternatif, akhir-akhir ini
tidak hanya arang yang dikenal, akan tetapi asap yang keluar dari proses pengarangan
merupakan bahan yang dapat dimanfaatkan untuk berbagi kebutuhan, baik di bidang
pertanian, kehutanan, maupun kesehatan (Nurhayati, 2007). Asap yang keluar dari proses
pengarangan, setelah melalui pendinginan akan keluar dalam bentuk cairan yang biasa
disebut asap cair atau cuka kayu.
Tujuan penelitian yaitu untuk mengetahui produksi, kualitas arang dan cuka kayu,
komponen kimia organik dalam cuka kayu. Manfaat penelitian adalah untuk mengetahui
kegunaan arang dan cuka kayu/asap cair yang dihasilkan dilihat dari kandungan, sifat arang
dan komponen kimia organik cuka kayu tersebut.

BAHAN DAN METODE

Lokasi
Penelitian dilakukan di Laboratorium Kimia dan Energi Hasil Hutan, Pusat Litbang
Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan, Bogor. Analisis dilakukan di
Laboratorium Terpadu, Bogor.

Bahan dan Alat


Bahan
Bahan yang digunakan adalah potongan kayu yang merupakan sisa tebangan kayu
mindi.

Alat
Peralatan yang digunakan untuk membuat arang dan cuka kayu adalah dua model
tungku yang berbeda yaitu tungku pertama merupakan tungku drum yang dilengkapi
sungkup terbuat dari besi dan cerobong asap yang terbuat dari bambu, biasa disebut tungku
sungkup. Tungku kedua yaitu tungku yang sudah dimodifikasi yang terdiri dari 2 buah drum
(drum ganda). Drum pertama digunakan untuk pembuatan arang, dimana drum tersebut
dilengkapi dengan cerobong asap yang terbuat dari stainles untuk mengalirkan asap keluar
(udara terbuka)/gas tidak terkondensasi yang terbentuk selama pengarangan. Drum pertama
juga dilengkapi dengan pipa untuk mengalirkan gas/uap yang dapat terkondensasi,
kemudian disambungkan ke pipa berbentuk spiral yang sudah terpasang dalam drum kedua.
Pipa berbentuk spiral tersebut berfungsi mendinginkan asap/uap terkondensasi di dalamnya.
Pendinginan asap/uap terjadi karena peranan air yang dialirkan dan ditampung dalam drum
kedua. Hasil kondensasi asap/uap tersebut ditampung dan diberi nama cuka kayu. Untuk
lebih jelasnya, rincian dan sistim kerja tungku drum ganda tersebut disajikan pada Gambar 1
dan 2. Alatalat lainnya yaitu timbangan, golok, gergaji, ember plastik, karung, jerigen
plastik, termokopel dan lain-lain.

Prosedur Penelitian
Limbah kayu mindi berupa potongan kayu, dibuat arang dengan menggunakan dua
model tungku yang berbeda seperti tersebut di atas. Setelah potongan kayu masuk tungku,
kemudian dilakukan pembakaran dengan umpan kayu bakar dan sedikit minyak tanah pada
bagian bawah tungku. Asap yang telah dingin, dialirkan dan ditampung dalam ember plastik,
sehingga akan diperoleh asap cair/cuka kayu. Proses pengarangan berlangsung antara 28
jam 30 jam, tergantung kadar air dan jumlah kayu/berat kayu yang digunakan. Suhu
pengarangan sekitar 400 450o C. Setelah tungku dingin kurang lebih 24 jam, arang
dikeluarkan, kemudian dilakukan penimbangan arang.

896
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS

Gambar 1. Tungku drum yang dilengkapi sungkup dan cerobong asap


dari bambu (Tungku Sungkup)

Gambar 2. Tungku drum ganda yang dilengkapi pipa pendingin berbentuk spiral
(Tungku Spiral)

Analisis kualitas
Analisis kualitas arang seperti : rendemen, kadar air, kadar abu, kadar zat mudah
menguap, kadar karbon terikat dan nilai kalor dilakukan di Laboratorium Kimia dan Energi,
Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan, Bogor. Selanjutnya kualitas
arang dibandingkan dengan SNI, sedangkan komponen kimia organik dari cuka kayu dianalisis
dengan alat GC-MS (Gas Chromatography - Mass Spectrometer) pirolisis dilakukan di
Laboratorium Terpadu. Cuka kayu hasil penelitian dibandingkan dengan Standar Jepang
(Yatagai, 2002).

897
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Analisis Data
Data yang terkumpul, ditabulasi, dianalisis secara deskriptif dan hasilnya
dibandingkan dengan standar.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada Tabel 1 5 dapat diketahui produksi, rendemen, sifat arang, cuka kayu dan
komponen kimia organik dalam cuka kayu.

Tabel 1. Produksi arang dan cuka kayu

Parameter Kayu Mindi


Tungku Sungkup Tungku Spiral
Kadar air, % 42,84 42,84
Berat kayu basah, kg 72,00 55,00
Berat kayu kering, kg 50,41 38,50
Suhu pengarangan, oC 400 - 450 400 - 450
Lama pengarangan, jam 30,00 28,00
Produksi arang, kg 10,00 6,50
Produksi cuka kayu, liter 10,50 5,00

Hasil penelitian dapat diketahui pada Tabel 1, produksi arang dan cuka kayu dari
tungku sungkup 10,00 kg dan 10,50 kg, sedangkan produksi arang dan cuka kayu dari
tungku spiral 6,50 liter dan 5,00 liter. Perbedaan produksi ini disebabkan berat kayu yang
dibuat arang jumlahnya berbeda, juga pada tungku spiral, asap dialirkan melalui pipa
berbentuk spiral sehingga aliran asap cair agak terhambat, dan hasilnya menjadi
sedikit/rendemen rendah. Akan tetapi cuka kayu yang dihasilkan kualitasnya lebih baik,
warna lebih jernih karena kotoran dari asap akan tersaring oleh pipa spiral, dibandingkan
dengan cuka kayu yang dihasilkan oleh tungku sungkup. Pada tungku sungkup, asap yang
diperoleh tanpa melalui penyaringan terlebih dahulu, sehingga cuka kayu yang dihasilkan
warnanya lebih gelap dan kotor. Selain itu, produksi cuka kayu dipengaruhi pula oleh kadar
air bahan, kalau bahannya masih baru/basah, berarti kadar air masih tinggi, maka produksi
cuka kayu akan tinggi.

Tabel 2. Rendemen dan sifat arang

Jenis analisis Kayu Mindi


Tungku Sungkup Tungku Spiral
Rendemen dari berat kering oven, % 19,83 16,88
Rendemen dari berat basah, % 13,88 11,81
Kadar air, % 2,03 8,54
Kadar abu, % 5,07 4,50
Kadar zat mudah menguap, % 15,08 17,63
Kadar karbon terikat, % 79,84 77,86
Nilai kalor, kal/g 6709 6501

Pada Tabel 2, dapat dilihat rendemen dan sifat arang yang dihasilkan dari masing-
masing model tungku. Rendemen arang berkisar 19,83% (sungkup) dan 16,88% (spiral). Bila
dibandingkan dengan rendemen arang kayu sengon (12,62%) yang dihasilkan tungku spiral
(Komarayati, et al 2010), ternyata rendemen arang kayu mindi jauh lebih besar (16,88%).
Hal ini disebabkan karena perbedaan berat jenis kayu, dimana kayu dengan berat jenis
tinggi, strukturnya lebih padat, sehingga lebih tahan terdegradasi oleh panas pada saat
pengarangan. Juga karena kayu yang digunakan masih baru, sehingga kadar air masih
tinggi, akibatnya produksi cuka kayu lebih banyak.

898
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS

Sifat dan nilai kalor arang yang dihasilkan dari tungku sungkup antara lain kadar air
2,03%; kadar abu 5,07%; kadar zat terbang 15,08%; kadar karbon terikat 79,84% dan nilai
kalor 6709 kkal/g. Sedangkan hasil dari tungku spiral adalah kadar air 8,54%; kadar abu
4,50%; kadar zat terbang 17,63%; kadar karbon terikat 77,86% dan nilai kalor 6501 kkal/g.
Bila dibandingkan dengan Standar Nasional Indonesia ternyata kadar air (rendah), kadar abu
(tinggi) dan zat mudah terbang (rendah) dari arang yang dihasilkan dari dua model tungku,
masih belum memenuhi standar. Untuk kadar air, zat mudah terbang dan nilai kalor ternyata
arang hasil penelitian ini sudah memenuhi persyaratan untuk arang aktif (Smisek dan Cerny,
1970).
Pada Tabel 3, dapat diketahui bahwa rendemen cuka kayu tertinggi (20,83%)
diperoleh dari cuka kayu yang dihasilkan tungku sungkup, diikuti rendemen cuka kayu dari
tungku spiral yaitu 12,98%. Nilai pH cuka kayu berkisar 3,76 3,98, ternyata cuka kayu yang
dihasilkan dari kedua model tungku ini tidak jauh berbeda nilainya, dua-duanya bersifat
asam. Akan tetapi bila dibandingkan dengan standar Jepang (Yatagai, 2002), ternyata cuka
kayu dari tungku sungkup (3,76) sudah memenuhi standar Jepang. Berat jenis cuka kayu
yang dihasilkan tidak memberikan perbedaan yang nyata dari kedua hasil berat jenis ini yaitu
0,98 0,98 dan dua-duanya tidak memenuhi standar Jepang. Bau dan warna cuka kayu dari
dua model tungku memberikan hasil yang berbeda, dimana cuka kayu dari tungku drum
yang dilengkapi sungkup warnanya coklat kehitaman, keruh dan terdapat suspensi, baunya
menyengat/kuat. Sedangkan cuka kayu dari tungku drum ganda yang dilengkapi pipa
berbentuk spiral, warnanya kuning kecoklatan, tidah keruh dan tidak ada suspensi, baunya
tidak menyengat/ lemah, sesuai dengan standar cuka kayu Jepang (Yatagai, 2002).
Perbedaan warna cuka kayu yang dihasilkan dari dua model tungku disebabkan kalau pada
tungku drum sungkup dan cerobong bambu, asap yang keluar dari proses pengarangan
melalui cerobong bambu langsung turun melalui sungkup dan langsung ditampung.
Sedangkan pada tungku drum ganda, asap yang keluar dari proses pengarangan disaring
terlebih dahulu melalui pipa spiral yang terdapat pada drum yang berisi air sebagai
pendingin, sehingga cuka kayu yang keluar sudah bersih dan lebih jernih.

Tabel 3. Rendemen dan sifat cuka kayu

Jenis Analisis Kayu Mindi Mutu cuka kayu Jepang *


Tungku Tungku
Sungkup Spiral
Rendemen dari berat kering, % 20,83 12,98 -

Rendemen dari berat basah, % 14,58 9,09 -


pH 3,76 3,98 1,50 3,70
Berat jenis 0,98 0,97 > 1,05
Bau Kuat Lemah -
Warna Coklat Kuning Kuning coklat kemerahan
kehitaman kecoklatan
Transparansi Keruh, ada Tidak Tidak keruh, tidak ada
suspensi keruh. Tidak suspensi
ada suspensi

Sumber : *) Yatagai (2002)

899
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Tabel 4. Komposisi kimia asap cair

No. Komposisi Kandungan (%)


1. Air 11 92
2. Fenol 0,20 2,90
3. Asam 2,80 4,50
4. Karbonil 2,60 4,60
5. Ter 1 17

Sumber : Maga (1988)

Pada Tabel 4, dapat diketahui bahwa cuka kayu/asap cair mengandung air 11
92%; fenol berkisar antara 0,20 2,90%; asam, dalam hal ini bermacam-macam asam
seperti asam asetat, asam propionat dan lain-lain sekitar 2,80 4,50%; karbonil 2,60
4,60% dan ter 1 17%. Komposisi ini akan berbeda tergantung masing-masing jenis bahan
yang digunakan untuk dibuat cuka kayu, seperti kayu daun jarum, kayu daun lebar,
tempurung kelapa, bambu, kayu dengan berat jenis rendah dan tinggi. Juga dipengaruhi
tungku yang digunakan dan proses pengarangan.

Gambar 3. Komponen kimia dalam cuka kayu dari kayu mindi yang dihasilkan dari
tungku drum yang dilengkapi sungkup dari bambu

900
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS

Gambar 4. Komponen kimia dalam cuka kayu dari kayu mindi yang dihasilkan dari
tungku drum ganda yang dilengkapi pipa pendingin berbentuk spiral

Selanjutnya untuk mengetahui komponen kimia organik dari cuka kayu, maka
dilakukan analisa dengan GC-MS pirolisis, hasilnya dapat dilihat pada Gambar 3 dan 4. Dari
hasil analisa diketahui adanya kandungan komponen kimia cuka kayu seperti turunan fenol,
asam asetat dan lain-lain. Pada Gambar 3 dapat dilihat bahwa konsentrasi tertinggi
komponen cuka kayu yaitu fenol 23,41% dan asam asetat 17,14% beserta turunan fenol dan
asam; sedangkan pada Gambar 4, konsentrasi tertinggi yaitu asam asetat 27,28% diikuti
oleh fenol 22,80%. Selain turunan asam asetat dan fenol, juga terdapat benzen, furan,
pyran, furanone, tar putih/naptalen, asam propionat dan lain-lain. Walaupun bahan yang
digunakan sama, yaitu kayu mindi, akan tetapi karena model tungku yang digunakan
berbeda ternyata hasil asap cair yang diperoleh setelah dianalisa berbeda kandungan dan
konsentrasinya.

901
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Beberapa manfaat cuka kayu/asap cair antara lain dapat mempercepat/merangsang


pertumbuhan tanaman, mengendalikan gulma, mengusir serangga perusak, anti bakteri, anti
jamur, anti oksidan, antiseptik, pengawet kayu, juga dapat digunakan sebagai bahan
tambahan dalam proses penyamakan kulit dan dari hasil uji coba telah terbukti bahwa cuka
kayu / asap cair dapat mempertahankan keawetan kulit yang telah disamak (Sutin, 2008).
Menurut Darmadji (1995), senyawa yang sangat berperan sebagai antimikrobial
adalah senyawa fenol dan asam asetat, dimana peranannya semakin meningkat apabila
kedua senyawa tersebut ada bersamasama. Selain itu fenol dan turunannya, dalam
kehidupan sehari - hari dapat digunakan untuk bahan desinfektan dan inhibitor (Yatagai,
2002 dan Nurhayati et al, 2009). Fenol selain bersifat bakteriosidal , juga sebagai
antioksidan. Sifat ini terutama terdapat pada senyawa turunan fenol dengan titik didih tinggi,
seperti 2,6-dimethoksi fenol; 2,6- dimethoksi-4- metil fenol dan 2,6-dimethoksi-4-ethyl fenol
(Pearson dan Tauber, 1973). Moeljanto (1982 a), menyatakan bahwa senyawa-senyawa
seperti alkohol, aldehida, keton, asam organik (karboksilat) termasuk juga furfural,
formaldehida merupakan bahan pengawet yang sudah dikenal, sedangkan fenol, quinol,
quicol dan pirogalol merupakan bagian dari 20 jenis senyawa-senyawa antioksidan dan
antiseptik

KESIMPULAN DAN SARAN

1. Produksi arang terpadu dengan cuka kayu dari limbah kayu mindi dengan menggunakan
tungku drum yang dilengkapi sungkup dan cerobong bambu yaitu 10,00 kg dengan
rendemen arang 19,83%. Produksi cuka kayu 10,50 liter, rendemen cuka kayu 20,83%,
pH 3,76 dan berat jenis 0,98.
2. Produksi arang terpadu dengan hasil cuka kayu dari limbah kayu mindi dengan
menggunakan tungku drum ganda yang dilengkapi alat pengkondensasi asap berbentuk
spiral yaitu 6,50 kg dengan rendemen arang 16,88%. Produksi cuka kayu 5,00 liter,
rendemen 12,98%, pH 3,98 dan berat jenis 0,97.
3. Hasil analisis GC-MS pirolisis menunjukkan bahwa pada cuka kayu dari masing-masing
model tungku terdapat 25 - 30 macam komponen kimia organik dengan konsentrasi
setiap komponen saling berbeda.
4. Adanya berbagai macam komponen kimia organik tersebut, cuka kayu terindikasi
berperan sebagai penyubur tanaman, pengawet makanan, penyembuh penyakit
tanaman, disinfektan, penghambat pertumbuhan mikroorganisme, sebagai bahan
tambahan dalam proses penyamakan kulit, pencegah jamur dan bakteri.
5. Perlu dilakukan uji coba cuka kayu tersebut di atas pada berbagai jenis tanaman untuk
meningkatkan pertumbuhan, pembasmi hama dan penyakit.

DAFTAR PUSTAKA

Darmadji, P. 1995 Produksi Asap Cair dan Sifat-Sifat Fungsionalnya. Fakultas Teknologi
Pangan, Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Moeljanto. 1982a. Pengasapan dan Fermentasi Ikan. PT. Penebar Swadaya IKAPI. Jakarta.
Metia, R. 2010. Kegunaan unsur kimia fenol dalam kehidupan sehari-hari.
Nurhayati, T. 2007. Produksi arang terpadu dengan cuka kayu dan pemanfaatan cika kayu
pada tanaman pertanian. Makalah pada Pelatihan pembuatan arang terpadu dan
produk turunannya di Dinas Kehutanan Kabupaten Bulungan-Kalimantan Timur.
Tanggal 17 -26 Juli , 2007.
Nurhayati, T., P. Jayanto dan P. Sumantoro. 2009. Respon cuka kayu terhadap
pertumbuhan dan pengendalian penyakit bercak daun bibit tusam. Buletin Hasil
Hutan 15 (2) : 101 116. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor.
Pearson, A.M. dan F.W. Tauber. 1973. Processed Meats, second edition. AVI. Publishing
Company Inc., Wesport Connecticut.

902
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS

Smisek, M. and S. Cerny. 1970. Active Carbon Manufacturing, Properties and Application.
Elsiever Publishing Company. New York.
Sutin. 2008. Pembuatan asap cair dari tempurung dan sabut kelapa secara pirolisis serta
fraksionasinya dengan ekstraksi. Skripsi Sarjana (S1). Fakultas Teknologi
Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Tidak diterbitkan.
Yatagai. 2002. Utilization of charcoal and wood vinegar in Japan. Graduate School of
Agricultural and Life Sciences, The University of Tokyo.
Zaitsev, I., I. Kizeveter, L. Lacunov, T. Makarova, L. Mineer, dan V. Podsevalor. 1969. Fish
Curing and Processing. Mir Publishers. Moskow.

903
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

PENGGUNAAN WAKTU PEMASAKAN DAN KONSENTRASI


KATALISATOR YANG BERBEDA PADA PROSES PULPING
ACETOSOLV KAYU SENGON
(Paraserianthes falcataria L. Nielsen)

Wiwin Suwinarti1, Ritson Purba2 dan Dewi Safta Anggriani2


1
Fakultas Kehutanan 2Fakultas MIPA, Universitas Mulawarman
Jl. Ki hajar Dewantara Kampus Gunung Kelua Samarinda
Email: wsuwinarti@fahutan.unmul.ac.id

ABSTRAK

Kendala mahalnya biaya investasi selalu dijadikan alasan utama tidak


dikembangkannya proses pulping yang ramah lingkungan seperti acetosolv pulping ini,
sehingga sampai saat ini masih belum banyak diterapkan dalam industri pulp khususnya di
Indonesia.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kualitas pulp kayu sengon (Paraserianthes
falcataria L. Nielsen) yang dihasilkan dari proses pulping acetosolv dengan menggunakan
perbedaan waktu pemasakan dan konsentrasi asam klorida (HCl) sebagai katalisator.
Berdasarkan variasi waktu pemasakan dan konsentrasi asam klorida yang telah dilakukan,
diperoleh nilai optimum pada waktu pemasakan 3 jam dan konsentrasi asam klorida 0,19%.
Hasil analisis uji-t menunjukkan pencucian pulp dengan menggunakan air dan asam asetat
ternyata berbeda sangat signifikan terhadap nilai bilangan Kappa.

Kata kunci: Proses pulping acetosolv, sengon, waktu pemasakan dan katalisator

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Percepatan pembangunan hutan tanaman oleh industri maupun masyarakat
merupakan salah satu prioritas sektor kehutanan. Hal tersebut diharapkan dapat menjadi
salah satu tulang punggung tumbuhnya perekonomian Indonesia (Anonim, 2006). Sejak
dicanangkannya pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) pada tahun 1984 di
Indonesia, kayu sengon (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen) telah dipilih sebagai salah
satu jenis tanaman favorit yang ditanam di Areal HTI. Hal ini karena sengon merupakan
tanaman yang tumbuh cepat di iklim tropis, selain itu sengon dapat tumbuh pada tanah yang
kurang subur, tanah kering atau tanah becek dan agak asin.
Proses pembuburan kayu (pulping) berbeda-beda sesuai dengan bahan kimia yang
digunakan. Produk pulp yang dihasilkan sekarang ini umumnya menggunakan metoda
pulping sulfat dan sulfit. Keunggulan dari proses pulping sulfit adalah warna pulp yang lebih
cerah dan mudah diputihkan, namun sifat kekuatan kertasnya lebih rendah jika dibandingkan
dengan proses sulfat. Proses pulping sulfat memiliki keunggulan antara lain reaksi kimia
pada pemutusan rantai lignin lebih besar, sehingga bilangan Kappa pada pulp relatif kecil
dan kekuatan kertasnya lebih baik daripada proses sulfit. Kelemahan dari metoda ini adalah
pencemaran udara akibat timbulnya gas merkaptan dalam jumlah yang lebih besar. Oleh
karena itu perlu dikembangkan cara lain dalam pengolahan pulp yang berbasis ramah
lingkungan, yaitu dengan menggunakan bahan kimia organik sebagai bahan kimia pemasak.
Salah satu bahan kimia yang dapat digunakan adalah asam asetat (CH3COOH). Proses
pengolahan pulp dengan menggunakan asam asetat sebagai bahan kimia pemasak
dinamakan proses pulping acetosolv. Dalam proses pulping ini biasanya digunakan katalis
berupa HCl atau AlCl3 dan HBr. Kelebihan dari metoda ini adalah semua jenis kayu dan
tanaman musiman bisa digunakan sebagai bahan baku, selain itu proses ini juga

904
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS

memungkinkan untuk pemanfaatan lignin dan hemiselulosa sebagai bahan baku produk
kimia tertentu, seperti benzen, fenol, furfural dan sebagainya (Muladi, 2005).
Penelitian sebelumnya mengenai proses pulping kayu sengon dengan metoda Kraft
telah dilakukan oleh Yuliansyah (1998), hasil yang diperoleh untuk nilai rendemen total pulp
sebesar 54,64% dan bilangan Kappa sebesar 17,69. Metoda ini memang menguntungkan
dari segi ekonomi, namun tidak ramah lingkungan. Dengan pertimbangan tersedianya kayu
sengon sebagai bahan baku pembuatan pulp dan tingginya dampak pencemaran lingkungan
yang ditimbulkan dari industri pulp dan kertas saat ini, maka dikembangkan suatu metoda
pulping yang ramah lingkungan yaitu proses pulping kayu sengon (Paraserianthes falcataria
(L.) Nielsen) dengan metoda acetosolv. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh
Muladi (1994) mengenai proses pulping acetosolv, untuk mendapatkan nilai bilangan Kappa
yang rendah ( 25) maka pulp yang dihasilkan dicuci dengan asam asetat 93% panas.

Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui variasi konsentrasi asam klorida dan waktu
pemasakan yang optimum pada proses pulping acetosolv pada kayu sengon yang dapat
menghasilkan kualitas pulp yang rendah bilangan Kappanya dan tinggi rendemennya.

BAHAN DAN METODE

Bahan dan Peralatan Penelitian


Bahan baku yang digunakan adalah pohon sengon (Paraserianthes falcataria (L.)
Nielsen) yang berumur 6-7 tahun dengan panjang batang bebas cabang 5 meter, yang
diambil di Desa Jembayan, Kecamatan Loa Kulu, Kabupaten Kutai Kartanegara. Bahan
kimia yang digunakan dalam penelitian antara lain: Asam Asetat pekat 93%, Larutan HCl
pekat, H2SO4 4 N, KMnO4 0,1 N, Na2S2O3 0,2 N, KI 0,1 N, Amilum/Kanji, Aquades dan Oli.
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini teridiri dari: oven, neraca analitik,
beaker glass, gelas ukur, pipet volume, pipet tetes, kompor, kondensor, labu alas,
termometer, penyaring buchner, labu alas leher tiga, mixer, desikator, panci, erlenmeyer,
buret dan magnetic stirer

Metode
Penyiapan sampel
Batang kayu sengon yang berukuran 20 cm dipotong-potong menjadi chip
berukuran menyerupai batang korek api, kemudian dijemur di bawah sinar matahari secara
langsung selama 4-5 hari. Setelah itu chip kayu tadi disimpan di ruang konstan selama 1
minggu dan dihitung nilai faktor kelembabannya (Moisture Factor/ MF).

Proses pulping
Chip kayu sebanyak 30 gram (OD) dimasukkan kedalam labu alas leher tiga dan
ditambahkan asam asetat pekat sebanyak 195,69 ml dan asam klorida dengan variasi
konsentrasi masing-masing 0,15 %; 0,17 % dan 0,19 %, kemudian ditambahkan aquades.
Proses pulping dilakukan dengan menggunakan variasi waktu pemasakan masing-masing 1,
2 dan 3 jam dengan suhu 110C. Setelah itu pulp dicuci sambil disaring dengan
menggunakan ayakan 200 mesh, dikeringkan dengan centrifugal dryer dan disimpan di
ruang konstan untuk kemudian dihitung kembali nilai faktor kelembabannya.

Pengujian
Pengujian sampel meliputi nilai rendemen tersaring, sisa kayu yang tidak termasak,
rendemen total dan bilangan Kappa. Data hasil penelitian ditampilkan dengan menggunakan
tabel dan grafik. Sebagai dasar dalam penentuan optimalisasi, penilaiannya mengacu pada
pendapat Patt (1992) yang menyatakan bahwa hasil proses pulping dianggap baik apabila
nilai rendemen pulpnya minimal 40% dan bilangan Kappa maksimal 25.

905
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Proses pulping kayu sengon (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen) telah dilakukan
dengan menggunakan asam asetat sebagai larutan pemasak, pada temperatur 120oC
130oC dan rasio 1:7 (perbandingan antara jumlah sampel dan bahan pemasak yang
digunakan). Pada pembuatan pulp ini divariasikan konsentrasi asam klorida (0,15; 0,17 dan
0,19%) dan waktu pemasakan (1, 2 dan 3 jam) yang digunakan, sehingga dapat diketahui
hasil optimal dari proses pulping.
Rendemen pulp tersaring merupakan pulp yang telah menjadi serat-serat yang
terpisah antara satu dengan lainnya pada kisaran 200 mesh. Berdasarkan hasil penelitian
dapat dilihat bahwa rendemen tersaring pada pemasakan dengan konsentrasi asam klorida
0,15% dari waktu pemasakan 1 jam hingga 3 jam mengalami peningkatan, nilainya yaitu
sebesar 20,70%; 32,94% dan 42,38%. Pada pemasakan dengan konsentrasi asam klorida
0,17% nilai rendemen tersaring pada waktu 1 jam, 2 jam dan 3 jam yaitu 41,74%; 40,02%
dan 45,74%. Terlihat nilai rendemen tersaring mengalami penurunan pada saat 2 jam
pemasakan, selanjutnya akan meningkat kembali pada waktu pemasakan 3 jam. Pada
pemasakan dengan konsentrasi asam klorida 0,19% dari waktu 1 jam hingga 3 jam adalah
sebesar 46,33%; 50,21% dan 51,6%. Pada konsentrasi asam klorida 0,19% nilai rendemen
tersaring mengalami peningkatan dari waktu pemasakan 1 jam hingga 3 jam.

Gambar 1. Grafik Pengaruh Konsentrasi Asam Klorida dan Waktu Pemasakan


Terahadap Hasil Rendemen Tersaring

Grafik di atas menunjukkan jumlah rendemen tersaring pada konsentrasi asam


klorida 0,15% cukup kecil, hal ini dikarenakan rendahnya konsentrasi asam klorida yang
digunakan sebagai katalisator sehingga penetrasi asam asetat ke dalam serat-serat kayu
berjalan dengan lambat. Reaksi yang berjalan dengan lambat ini menyebabkan reaksi kimia
yang terjadi kurang sempurna dan proses penetrasi tidak terjadi secara menyeluruh dalam
proses pulping. Sesuai dengan pendapat Fengel dan Wegener (1995), bahwa penetrasi
secara sempurna terjadi apabila seluruh serat telah terpisah dari ikatannya, khususnya
jaringan pengikat lamela tengah, hal ini dapat terjadi apabila larutan pemasak sudah
melakukan penetrasi ke seluruh bagian bahan baku. Secara khusus, pada konsentrasi asam
klorida yang rendah nilai rendemen sangat dipengaruhi oleh waktu pemasakan.
Secara umum, pada konsentrasi asam asetat 0,15% dan 0,19% dari waktu
pemasakan 1 hingga 3 jam nilai rendemen tersaring mengalami peningkatan. Kondisi
tersebut sesuai dengan pendapat Patt (1992) dalam Muladi (1992), bahwa pada pemasakan
dengan jenis bahan baku yang sama, temperatur dan waktu pemasakan mempengaruhi
kecepatan larutan komponen kimia yang terkandung di dalam bahan baku.
Disi lain data hasil penelitian sisa kayu menunjukkan pada pemasakan dengan
konsentrasi asam klorida 0,15% pada waktu pemasakan 1 jam hingga 3 jam terjadi
penurunan jumlah sisa kayu yang tidak termasak sebesar 46,13%; 32,43% dan 16,56%.

906
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS

Pada konsentrasi asam klorida 0,15% sisa kayu yang tidak termasak cukup tinggi yang
berarti dapat dikatakan bahwa proses pemasakan tidak berlangsung dengan baik. Hal ini
dikarenakan rendahnya konsentrasi asam klorida yang dipakai sebagai katalisator dalam
pemasakan, sehingga menyebabkan reaksi penetrasi asam asetat ke dalam serat-serat kayu
berlangsung lambat, jadi serat-serat kayu belum terpisah secara sempurna. Semakin kecil
persentase sisa kayu yang tidak termasak, maka proses pemasakan semakin bagus. Pada
pemasakan dengan konsentrasi asam klorida 0,17% untuk pemasakan 1 jam, 2 jam dan 3
jam sebesar 22,80%; 25,83% dan 14,80%. Pada pemasakan dengan konsentrasi asam
klorida 0,19% nilai sisa kayu yang diperoleh untuk waktu pemasakan 1 jam hingga 3 jam
yaitu sebesar 9,96%; 24,9% dan 7,13%. Secara umum nilai sisa kayu yang tidak termasak
akan berkurang setelah konsentrasi asam klorida ditambah, yaitu pada konsentrasi 0,17%
dan 0,19%. Nilai sisa kayu yang tidak termasak meningkat pada 2 jam pemasakan. Untuk
lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar di bawah ini:

50
45
40
Sisa Kayu (%)

35
30
25
20
15
10
5
0
0 1 2 3 4
Waktu pemasakan (jam)
Konsentrasi asam klorida 0,15%
Konsentrasi asam klorida 0,17%
Konsentrasi asam klorida 0,19%

Gambar 2. Grafik Pengaruh Konsentrasi Asam Klorida dan Waktu Pemasakan


Terhadap Sisa Kayu Yang Tidak Termasak

Nilai rendemen total merupakan hasil akumulasi dari sisa kayu yang tidak termasak
dengan rendemen tersaring. Besarnya rendemen total tidak dapat dijadikan indikator baik
tidaknya proses pemasakan, karena tingginya rendemen total bisa saja disebabkan oleh
tingginya nilai persentase dari kayu yang tidak termasak. Jadi, menurunnya sisa kayu yang
tidak termasak juga akan menurunkan rendemen total yang diperoleh (Anonim,1963 dalam
Muladi, 1992). Di dalam proses pulping diharapkan pulp yang diperoleh memiliki nilai
rendemen tersaring tinggi dan sisa kayu yang tidak termasak sedikit. Hubungan antara
pengaruh asam klorida dan lama pemasakan terhadap rendemen total pulp dapat dilihat
pada gambar di bawah ini :

Gambar 3. Grafik Pengaruh Konsentrasi Asam Klorida dan Waktu Pemasakan


Terhadap Rendemen Total Pulp

907
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Pada grafik di atas terlihat saat konsentrasi asam klorida 0,19% dengan waktu 2 jam
menghasilkan rendemen total yang tinggi yaitu 75,11%. Tingginya nilai rendemen total
tersebut dikarenakan jumlah sisa kayu dan rendemen tersaring yang cukup besar pada
kondisi tersebut.
Bilangan Kappa didefinisikan sebagai volume (dalam mililiter) dari larutan kalium
permanganat 0,1 N yang dipakai oleh satu gram pulp kering tanur. Bilangan Kappa
digunakan untuk mengetahui kadar lignin yang masih tersisa di dalam pulp, dapat digunakan
sebagai indikator untuk menentukan banyaknya bahan pemutih yang akan dipakai pada
proses pemutihan serta untuk mengetahui mudah tidaknya pulp diputihkan (Anonim,1963
dalam Muladi, 1992). Pengujian Bilangan Kappa dilakukan pada pulp yang berbeda yaitu
setelah dilakukan pencucian pulp dengan menggunakan air dan asam asetat.
Hubungan antara pengaruh konsentrasi asam klorida dan lama waktu pemasakan
terhadap nilai bilangan Kappa, pada pencucian pulp dengan menggunakan air dapat dilihat
pada gambar di bawah ini:

Gambar 4. Grafik Pengaruh Konsentrasi Asam Klorida dan Waktu Pemasakan


Terhadap Bilangan Kappa pada Pencucian Pulp Dengan Menggunakan Air

Nilai bilangan kappa pada perlakuan pencucian pulp dengan menggunakan air masih
jauh dari nilai yang diharapkan. Menurut Martawijaya (1981), pulp dan kertas yang baik
harus mengandung lignin yang rendah yaitu 4-6 % sehingga mempunyai kekuatan sobek,
tarik, jebol dan lipat yang tinggi. Sebagai dasar dalam penentuan optimalisasi proses
pulping, penilaian mengacu pada pendapat Patt (1992) di dalam Muladi (1992) yang
menyatakan bahwa hasil pulping dianggap baik apabila nilai rendemen pulpnya minimal 40%
dan bilangan Kappa maksimal 25.
Nilai bilangan Kappa yang tertinggi pada perlakuan ini adalah pada konsentrasi asam
klorida 0,15% dengan waktu pemasakan 1 jam, yaitu 81,41. Bilangan Kappa 81,41
menunjukkan sisa lignin yang tertinggal di dalam pulp adalah sebesar 12,21%. Pulp dengan
sisa lignin sebesar 12,21% hanya bisa dimanfaatkan untuk pembuatan kertas buram dengan
kualitas rendah, misalnya kertas koran. Apabila pulp ingin dibuat kertas cetak maka harus
dilakukan proses bleaching terhadap pulp. Namun, hal ini tidak menguntungkan dari segi
biaya, karena memerlukan bahan kimia pemutih yang cukup banyak. Berdasarkan hasil Uji
ANOVA yang dilakukan terhadap bilangan Kappa dari pulp acetosolv, terdapat pengaruh
yang sangat signifikan antara variasi konsentrasi asam klorida (HCl) dan lama pemasakan
terhadap nilai bilangan Kappa dari pulp kayu sengon (Paraserianthes falcataria (L.)
Nielsen).
Pencucian pulp dengan asam asetat dilakukan karena nilai bilangan Kappa pada
pencucian pulp dengan menggunakan air masih terlalu tinggi. Pencucian dilakukan dengan
menggunakan asam asetat 93% dalam keadaan panas hingga filtrat berwarna bening,
kemudian pulp dicuci dengan air hingga bau asam asetat tidak tercium. Tujuan dari

908
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS

pencucian kembali pulp menggunakan asam asetat ini adalah untuk mendapatkan nilai
bilangan Kappa yang rendah dan untuk mengikat sebagian zat ekstraktif tanpa
mempengaruhi kualitas pulp, tetapi pada perlakuan ini ternyata masih belum diperoleh nilai
bilangan Kappa di bawah 25. Sebagai contoh perlakuan pemasakan kayu pada konsentrasi
0,15% selama 1 jam bilangan Kappa menurun dari 81,41 menjadi 51,76.
Hubungan antara pengaruh konsentrasi asam klorida dan lama pemasakan terhadap
bilangan Kappa, pada pencucian pulp dengan menggunakan asam asetat dapat dilihat pada
gambar di bawah ini :

Gambar 5. Grafik Hubungan Antara Konsentrasi Asam Klorida dan Waktu Pemasakan
Terhadap Bilangan Kappa pada Pencucian Pulp dengan Menggunakan Asam Asetat 93%

Berdasarkan grafik pada gambar di atas, terlihat nilai bilangan Kappa pada
konsentrasi asam klorida 0,15%; 0,17% dan 0,19% setelah pulp di cuci dengan asam asetat
lebih baik dari pada pencucian yang hanya menggunakan air. Hal ini berarti, asam asetat
lebih efektif melarutkan lignin dibandingkan dengan air. Nilai bilangan Kappa pada perlakuan
ini adalah 35,00 - 52,51. Bila dihitung sisa lignin yang tertinggal di dalam pulp berdasarkan
rumus lignin Klason nilainya adalah sebesar 5,97% hingga 7,87%.
Uji-t pada perlakuan pencucian pulp dengan air dan asam asetat menunjukkan
bahwa perlakuan pencucian pulp dengan pelarut yang berbeda yaitu air dan asam asetat
memberikan pengaruh yang sangat signifikan terhadap nilai bilangan Kappa. Pencucian pulp
dengan asam asetat mampu menurunkan nilai bilangan Kappa dari pulp yang dihasilkan.
Berdasarkan hasil penelitian di atas, selanjutnya dapat ditentukan waktu pemasakan
dan konsentrasi asam klorida yang optimal pada proses pulping kayu sengon
(Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen) secara acetosol yaitu sebagai berikut:

Tabel 1. Nilai Optimal pada Pengujian Rendemen dan Bilangan Kappa dari
Proses Pulping Kayu Sengon (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen)

Waktu Rendemen Rendemen Bilangan Kappa


Konsentrasi Sisa Kayu
pemasakan Tersaring Total Pencucian dengan
HCl (%)
(jam) (%) (%) air asam asetat
0,15% 3 jam 42,38 16,56 58,97 59,13 35,08
0,17% 3 jam 45,74 14,80 60,54 68,19 39,82
0,19% 1 jam 46,33 9,96 53,29 69,66 44,49

909
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

KESIMPULAN

1. Semakin tinggi konsentrasi asam klorida dan waktu pemasakan yang digunakan, nilai
rendemen tersaring yang dihasilkan semakin besar pula.
2. Berdasarkan hasil uji ANOVA variasi konsentrasi asam klorida dan lama waktu
pemasakan berpengaruh sangat signifikan terhadap nilai bilangan Kappa.
3. Hasil uji-t menunjukkan pencucian pulp dengan asam asetat berpengaruh sangat
signifikan terhadap penurunan nilai bilangan Kappa dari pulp yang dihasilkan. Pencucian
pulp dengan asam asetat menghasilkan nilai bilangan Kappa yang lebih rendah
dibandingkan dengan hasil bilangan Kappa pada pencucian pulp dengan menggunakan
air.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2006. Hutan Tanaman Industri. http://www.cifor.cgiar.org/PressRoom/


MediaRelease/2006/2006_06_28.htm. 10 Februari 2009
Casey. J.P., 1960. Pulp and Paper Chemistry and Chemical Technologi. Volume 1. Pulping
and Bleaching. Intersclence publisher, inc. New York
Davis, J.L., 1986. Organic Acid Pulping of Word III. Acetic Acid Pulping of Spruce. Morkuzai
Gakkaishi. Japan
Fengel, D. dan G. Wegener, 1995. Kimia Kayu dan Reaksi-Reaksi Ultrastruktur
(terjemahan). Gadjah Mada Universitas Press. Yogyakarta
Hidayat, J., 2002. Informasi Singkat Benih Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen. Jurnal
Direktorat Pembenihan Tanaman Hutan No. 23
Muladi, S., 1992. Proses Pulping dan Pemutihan Kayu Daun Jarum Spruce (Picea Abies)
dengan Metoda Acetosolv. Disertasi Doktor. Hamburg
Muladi, S., 2005. Kimia Kayu dan Teknologi Pulp-Kertas. Universitas Mulawarman.
Samarinda
Sanoesi, 2008. Mengenal Kayu Sengon. http://sanoesi.wordpress.com/
2008/12/18/mengenal-kayu-sengon-paraserianthes-falcataria. 12 Mei 2009
Sunyoto, 1991. Pengaruh Konsentrasi Katalisator dan Waktu Pemberian Katalisator
Terhadap Rendemen Pulp pada Proses Acetosolv Pulping Kayu Leda (Eucalyptus
deglupta) Blume. Skripsi Strata 1 Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman.
Samarinda
Yuliansyah, 1999. Variasi Proses Pulping Kraft dari Kayu Sengon Sebagai Bahan Baku Pulp
dan Kertas. Skripsi Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman. Samarinda.

910
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS

PERUBAHAN KOMPONEN KIMIA KAYU TERPADATKAN


SECARA PARSIAL
(Changes of Chemical Component Densified Wood to Partially)

Anne Hadiyane1, Zahrial Coto2, Imam Wahyudi2, Fauzi Febrianto2,


dan Gustan Pari3
1
Dosen Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati Institut Teknologi Bandung
2
Dosen Departemen Teknologi Hasil Hutan Institut Pertanian Bogor
3
Peneliti pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan Bogor
Email : ahadiyane@yahoo.com

ABSTRACT

Densifying by compression namely in certain temperature and pressure determined,


can modification properties of wood. Until now, it was carried out comprehensively, but not
partially, resulting in over density problem of densified wood. Therefore, using partial
densification this study will evaluate and analysis the phenomenon occurred in chemical
components of cell wall. Wood of Mangium and Agathis representing hardwood and
softwood species, respectively, were used as the sample. Several temperature levels and
heating durations were used in this experiment, while compression level was only one
namely 20%. From this study It was found that wood density of lignin relocation inner part to
surface part. It was also found that occurred degradation of cellulose and hemicelluloses.

Keywords: densification, partial, lignin, cellulose, hemicellulose.

PENDAHULUAN

Kayu dari hutan tanaman baik hutan tanaman industri (HTI) maupun hutan rakyat dan
lain sebagainya diperkirakan akan terus mendominasi pasar kayu pada masa mendatang
seiring berkurangnya produksi dan kualitas tegakan hutan alam yang ada. Hal ini terlihat dari
meningkatnya jumlah permintaan akan jenis-jenis kayu yang selama ini kurang dikenal sejak
lima tahun terakhir. Kayu-kayu yang demikian membutuhkan perlakuan tertentu sebelum
digunakan karena karakteristiknya diketahui lebih inferior dibandingkan dengan karakteristik
kayu-kayu hutan alam.
Salah satu perlakuan yang telah diterapkan dalam rangka meningkatkan kualitas dan
sifat-sifat kayu tersebut adalah pemadatan dengan pengempaan (densifying by
compression). Penelitian mengenai pemadatan kayu telah banyak dilakukan , hasil yang
diperoleh menunjukkan adanya peningkatan beberapa sifat fisis dan mekanis kayu secara
signifikan. Densifikasi juga mengakibatkan terjadinya perubahan warna dan meningkatkan
kualitas permukaan kayu. Akibat dipadatkan, kayu menjadi lebih gelap dan lebih atraktif,
sementara permukaannya menjadi lebih halus dan mengkilat (Mc.Millan et al. 1977;
Kubojimo et al. 1998).
Perlakuan pemadatan yang diterapkan oleh para peneliti terdahulu pada umumnya
bersifat menyeluruh, bukan parsial. Akibatnya springback dan over density acap kali
merupakan suatu masalah. Dengan pemadatan parsial peningkatan sifat-sifat kayu yang
diinginkan dapat diusahakan semaksimal mungkin, sementara springback atau pun
kerusakan pada komponen sel-sel penyusun kayu dapat diminimalisir. Meskipun proses
pemadatan yang selama ini dilakukan pada umumnya telah berhasil membuktikan adanya
peningkatan beberapa sifat fisis, mekanis dan keragaan kayu, namun penelitian-penelitian
tersebut belum menjelaskan fenomena yang terjadi. Oleh karena itu, penelitian ini akan
lebih memfokuskan pada fenomena yang terjadi pada kayu saat kayu dipadatkan secara
parsial khususnya yang terkait dengan perubahan komponen kimiawi kayu terpadatkan.
Dengan mengetahui fenomena yang terjadi, kondisi pemadatan dapat ditetapkan dengan

911
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

lebih baik sehingga memberikan manfaat yang lebih besar dimana kualitas kayu meningkat
secara permanen tanpa menimbulkan kerusakan yang berarti.
Target penelitian ini adalah memperoleh kayu terpadatkan yang sifat dan kualitasnya
minimal sama dengan kayu-kayu yang selama ini diminati sesuai dengan peruntukannya
tanpa merusak struktur sel penyusun kayu dan tanpa adanya penambahan berat kayu yang
berarti. Adapun tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk menganalisis perubahan
kimiawi dinding sel dalam rangka menjelaskan fenomena peningkatan sifat fisis dan
kekuatan kayu terpadatkan.

METODOLOGI

Bahan dan Peralatan


Bahan yang digunakan adalah 2 (dua) jenis kayu yaitu Akasia mangium dan Agatis.
Pada proses pengempaan dibuat papan radial dan tangensial dengan ukuran 10 cm x 20 cm
x 2,5 cm3. Sebelum dipadatkan, papan dikeringkan sampai konstan (kondisi kering tanur).
Peralatan yang digunakan adalah gergaji mesin, kaliper digital (digital caliper), moisture
meter, timbangan digital, oven pemanas, kempa panas (hot press) berikut alat bantunya
seperti plat besi, baut dan mor.

Metode
Kayu digergaji untuk mendapatkan contoh uji papan tangensial dan papan radial
dengan tebal 2,5 cm. Kemudian dipotong menjadi berukuran 20 cm (P) x 10 cm (L) x 2,5 cm
(T) tanpa cacat. Contoh uji setiap jenis kayu dibuat dalam 3 ulangan. Jumlah contoh uji
adalah 72 papan, yang terdiri dari 36 papan setiap jenis dimana masing-masing terdiri dari
18 papan tangensial dan 18 papan radial. Contoh uji dimasukkan ke dalam oven suhu 50C
sampai mencapai kadar air dibawah 15% dan dikeringtanurkan pada suhu (103 2)C.
Kemudian contoh uji secara bertahap diberi perlakuan pemanasan sebelum
dipadatkan dengan menggunakan 3 (tiga) macam suhu yaitu 170-, 180- dan 190C dengan
waktu pemanasan 30 dan 60 menit. Setelah mengalami perlakuan pemanasan, contoh uji
segera dipadatkan dengan mesin kempa panas dengan suhu yang sesuai dengan suhu
pada saat perlakuan pemanasan. Persentase kempa 20% atau ketebalan sararan sampai
mencapai ukuran tebal papan 2 cm dan waktu kempa 15 menit.
Pada saat contoh uji dipanaskan dan kemudian dikempa, masing-masing papan
dengan 3 (tiga) ulangan ditahan menggunakan alat yang terbuat dari besi serta dibaut agar
bagian pinggir papan tidak menggelembung karena adanya tekanan pada papan.
Selanjutnya contoh uji yang sudah dipadatkan dikering udarakan dan masing-masing contoh
uji diukur dimensi dan beratnya.

Pengujian dan Pengamatan


Komposisi kimiawi dinding sel yang diamati terdiri dari struktur kimia, gugus fungsi
dan dekomposisi senyawa kimiawi kayu. Ketiga parameter tersebut juga diamati pada kayu
hasil pemadatan dan kayu kontrol (tanpa perlakuan) pada setiap sayatan pada arah tebalnya
(metode pengempaan) dan kayu utuh. Pengamatan struktur kimia termasuk perubahannya
dilakukan dengan pirolisis gas chromatography mass spectroscopy (Py-GCMS) dan
pengamatan dekomposisi kimiawi kayu dengan thermogravimetry differential thermal
analysis (TG-DTA).
Data hasil pengujian komposisi kimia kayu merupakan data kualitatif dianalisis secara
deskriptif. Hasil pengujian pemadatan dibandingkan dengan control dan dianalisis dari
sayatan bagian permukaan ke bagian dalam.

912
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS

HASIL DAN PEMBAHASAN

Komponen Kimiawi Dinding Sel Kayu Terdensifikasi


Hasil pengujian komponen kimiawi dinding sel penyusun masing-masing jenis kayu
akibat pengempaan disajikan pada Gambar 1. Hasil pengujian menggunakan pirolisis-GCMS
menunjukkan bahwa kayu agatis dan mangium memiliki kadar selulosa (yang ditandai dengan
adanya grup senyawa aldehid), kadar hemiselulosa (adanya grup senyawa piranosa dan
ribosa), kadar lignin (adanya grup senyawa phenol), dan kadar ekstraktif (adanya grup
senyawa keton dan lemak) yang bervariasi.
Komponen kimiawi dinding sel secara keseluruhan pada bagian permukaan kayu
(lapisan ke-1) akan bertambah setelah kayu dikempa. Perubahan komposisi kimiawi dinding
sel pada bagian dalam tergantung pada jenis kayu: berkurang pada kayu agatis tetapi sedikit
bertambah pada kayu mangium. Hal ini membuktikan bahwa panas yang ada saat kayu
dikempa akan mempengaruhi jumlah komponen kimia penyusun dinding sel kayu. Dengan
kata lain, pemadatan secara parsial mengakibatkan terjadinya relokasi lignin dan
terdegradasinya komponen kimiawi lainnya.

(a) (b)

Gambar 1. Histogram kandungan komponen kimiawi kayu akibat pengempaan :


(a) Agatis dan (b) Mangium

Perubahan kadar masing-masing komponen kimiawi penyusun dinding sel sangat


bergantung pada jenis kayu dan jenis komponennya. Pada kayu agatis, setelah dipadatkan
secara parsial, ternyata kadar selulosa dan kadar lignin meningkat, sedangkan kadar
hemiselulosanya berkurang. Pada kayu mangium, hanya kadar ekstraktif yang berkurang
sedangkan kadar lignin, selulosa dan hemiselulosanya meningkat.
Dibandingkan dengan yang di bagian permukaan kayu (lapisan ke-1 / terluar),
komponen kimiawi dinding sel di bagian tengah (lapisan sebelah dalam) pada umumnya lebih
rendah, kecuali kadar selulosa pada kayu mangium. Ini diduga terkait dengan kurang
sempurnanya pendegradasian fraksi kristalin selulosa yang ada.
Khusus pada lapisan terluar, dari gambar di atas dapat dilihat bahwa lignin
merupakan komponen kimiawi dinding sel yang pertambahannya paling tinggi, baru
kemudian diikuti oleh selulosa. Hal ini membuktikan bahwa pemadatan secara parsial
mampu merelokasi lignin dari bagian dalam ke bagian permukaan dan meningkatkan
kristalinitas selulosa. Menurut Dwianto et al. (1998), selama proses pengempaan panas
khususnya di atas suhu 180C, lignin yang merupakan polimer berikatan silang (cross-link)
akan melunak sehingga mampu berpindah (mengalir) dan mengisi ruang matriks yang ada di
dinding sel. Lunaknya lignin akan dipercepat dengan relaksasi (hilangnya) tegangan yang
tersimpan dalam mikrofibril akibat panas.

913
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Pengempaan secara parsial juga mengakibatkan terjadinya penurunan kadar


hemiselulosa (pada agatis) dan kadar ekstraktif (pada mangium). Perubahan yang terjadi
pada kedua komponen kimiawi dinding sel tersebut diakibatkan oleh putusnya ikatan
hidrogen antar komponen hemiselulosa dan lignin (Hill, 2006) serta terlarutnya zat-zat
ekstraktif.
Dengan demikian maka terbukti bahwa pemadatan parsial yang dilakukan dapat
mengakibatkan terjadinya perubahan fisik pada kayu terpadatkan baik untuk kayu agatis
maupun mangium yaitu warna menjadi lebih gelap, permukaan menjadi mengkilap dan
teksturnya menjadi licin. Kayu terpadatkan bila diraba terasa lebih licin, bertekstur halus dan
permukaan kayu seolah-olah berlilin. Warna kayu menjadi lebih gelap dibanding kayu
kontrol.
Pada Gambar 2 dan 3 terlihat bahwa warna kayu berangsur-angsur menjadi lebih
gelap berturut-turut mulai dari suhu pemansan 1700 C, 1800 C dan 1900 C. Hal ini
merupakan akibat dari suhu yang digunakan pada proses perlakuan pendahuluan
pemanasan yang menyebabkan adanya relokasi lignin dari bagian dalam ke bagian
permukaan dan degradasi komponen kimia penyusun kayu.
Fenomena ini ditunjukkan pada hasil pengujian pirolisis GCMS yang menjelaskan
adanya relokasi lignin, degradasi selulosa, hemiselulosa dan zat ektraktif pada kayu
terpadatkan. Menurut Inoue et al. (1992) menyatakan bahwa kayu memberikan tampilan
warna yang atraktif, dimana warnanya menjadi lebih gelap sebagai akibat dari pengaruh
suhu pemanasan saat proses pemadatan.

(1) (2) (3) (4)


Gambar 2. Perubahan fisik kayu agathis terpadatkan (1). kontrol,
(2). suhu 1700C (3). suhu 1800C dan (4). suhu 1900C

(1) (2) (3) (4)

Gambar 3. Perubahan fisik kayu mangium terpadatkan (1). kontrol, (2). suhu 1700C
(3). suhu 1800C dan (4). suhu 1900C

Dekomposisi kimia kayu


Hasil pengujian menggunakan thermogravimetry differential thermal analysis (TG-
DTA) pada kayu kontrol muncul puncak pada temperatur sekitar 3370C yang diidentifikasi
sebagai temperatur degradasi, sedangkan temperatur terdekomposisi (terbakar) pada
temperatur 368C. Pada kayu terpadatkan temperatur degradasi dan terdekomposisi pada
temperatur 340C dan 372C. Adanya perubahan titik degradasi dan terdekomposisi dari
kayu kontrol dengan kayu terpadatkan yang diduga akibat perlakuan pengempaan yang
menggunakan suhu. Selain itu kristalisasi kayu pada fasa amorf menjadi kristalin terjadi pada

914
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS

temperatur 311,3C pada kontrol dan temperatur 315,4C untuk kayu terpadatkan. Perlakuan
pemanasan akan mendegradasi kelompok-kelompok hidroksil selulosa dari amorphous
menjadi kristalin yang akan mengakibatkan penurunan daya serap air sehingga kayu akan
lebih stabil. Hal ini akan meningkatkan kestabilan dimensi kayu. Perubahan ini juga ada
hubungannya dengan penurunan berat pada kayu yang dipanaskan. Lamanya pemanasan
yang diberikan akan mempengaruhi besarnya pengurangan berat sampel.

KESIMPULAN

Proses pemadatan parsial mengakibatkan terelokasinya lignin dan terdegradasinya


beberapa komponen kimiawi dinding sel, Komponen kimiawi dinding sel secara keseluruhan
pada bagian permukaan kayu akan bertambah setelah kayu dikempa. Perubahan komposisi
kimiawi dinding sel pada bagian dalam tergantung pada jenis kayu: berkurang pada kayu
agatis tetapi sedikit bertambah pada kayu mangium.
Perubahan komponen kimia kayu terpadatkan membuktikan bahwa pemadatan
parsial yang dilakukan dapat mengakibatkan terjadinya perubahan fisik pada kayu
terpadatkan baik untuk kayu agatis maupun mangium yaitu warna menjadi lebih gelap,
permukaan menjadi mengkilap dan teksturnya menjadi licin. Kayu terpadatkan bila diraba
terasa lebih licin, bertekstur halus dan permukaan kayu seolah-olah berlilin.

DAFTAR PUSTAKA

Darwis, A. 2008. Fiksasi Kayu Agathis dan Gmelina Terpadatkan Pada Arah Radial serta
Observasi Struktur Anatominya. Ilmu Pengetahuan Kehutanan. Sekolah Pascasarjana.
Institut Pertanian Bogor. Tidak Diterbitkan.
Dwianto, W. 1999. Mechanism of Permanent Fixation of Radial Compressive Deformation of
Wood by Heat or Steam Treatment. Thesis Tidak Diterbitkan.
Dwianto, W., T. Morooka, and M. Norimoto. 1998. The Compressive Stress Relaxation of
Wood during Heat Treatment. Mokuzai Gakkaishi 44 (6), 403-409.
Haygreen, J. G, dan J. L. Bowyer. 1987. Forest Product and Wood Science. ,An Introduction.
Iowa State University Press. Iowa.
Hill, C. 2006. Wood Modification, Chemical, Thermal and Other Processes. School of
Agricultural and Forest Science. University of Wales. Bangor.
Inoue et al. 1992. Permanent Fixation of Compressive Deformation of Wood. (II). Mechanism
of Permanen Fixation. FRI Buletin No. 176 : 181 189.
Kollmann, F. F. P dan Cote WA. 1968. Principle of Wood Science and Technology. Vol. I Solid
Wood. Spinger Verlag. Berlin.
Kubojimo, Y., S. Shida and T. Okano. 1998. Mechanical and Chromatic Properties of High
Temperatures Dried Sugi Wood. Mokuzai Gakkaishi. 53 (3) : 115 119.
McMillan, John M. G. M. Wengert. 1977. Drying Eastern Hardwood Lumber. U.S. Dep. Agric.
Handbook. 528.
Stamm, A. J. 1964. Wood and Cellulose Science. The Ronald Press Company. New York.
Tomme, F. Ph., F. Girardet, B. Gfeller dan P. Navi. 1998. Densified Wood : An Innovative
Products with Highly Enchanced Character. Proceeding 5th World Conference on
Timber Engineering Vol. 2. Montreux, Swizerland : 640 647.
Tsoumis, G. 1991. Science and Technology of Wood; Structure, Properties, Utilization. Van
Nostrand Reinhold. New York.

915
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

PENGGUNAAN GELOMBANG MIKRO UNTUK PRETREATMENT


DARI DUA JENIS KAYU CEPAT TUMBUH

Lucky Risanto, Euis Hermiati, dan Danang Sudarwoko Adi


UPT. BPP. Biomaterial LIPI
Jl. Raya Bogor Km. 46 Cibinong, Bogor 16911, Indonesia
Email: luki@biomaterial.lipi.go.id; luckyrisanto@yahoo.co.uk

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik komponen kimia kayu serta
sebagai studi dasar pengaruh penggunakan iradiasi gelombang mikro sebagai pretreatment
untuk produksi bioetanol dari dua jenis kayu cepat tumbuh, yaitu balik angin daun kecil dan
sedang. Kayu dihaluskan hingga 40-60 mesh, kemudian diuji komponen kimianya. Kayu
ditambahkan gliserol (perbandingan padatan dan larutan 1:10) dan asam sulfat 0,5% hingga
diperoleh perbandingan padatan dan larutan 1:20, kemudian dipaparkan gelombang mikro
selama 2,5-10 menit dengan power 50 dan 70%. Pulp kemudian dihidrolisis menggunakan
selulase selama 48 jam, selanjutnya diuji rendemen gula pereduksinya. Analisa komponen
kimia menunjukkan bahwa balik angin daun kecil memiliki kadar holoselulosa dan alfa
selulosa lebih tinggi daripada daun sedang, sedangkan kadar lignin dalam balik angin daun
kecil lebih rendah daripada daun sedang. Hasil pretreatment gelombang mikro diperoleh
bahwa untuk balik angin daun kecil rendemen gula pereduksi per kayu tertinggi (22,06%)
diperoleh pada pemaparan selama 7,5 menit dengan power 70%, sedangkan untuk balik
angin daun sedang (23,41%) diperoleh pada pemaparan selama 5 menit dengan power
70%.

Kata kunci: balik angin, bioetanol, gelombang mikro, hidrolisis enzimatik, kimia kayu

PENDAHULUAN

Kayu sebagai bahan lignoselulosa merupakan komponen organik berlimpah di alam,


yang terdiri dari tiga polimer yaitu selulosa, hemiselulosa dan lignin. Komponen ini
merupakan sumber utama untuk menghasilkan produk bernilai seperti gula dari hasil
fermentasi, bahan kimia, bahan bakar cair, sumber karbon dan energi (Anindyawati, 2009).
Ketersediaannya yang cukup melimpah menjadikan bahan ini berpotensi sebagai salah satu
sumber energi melalui proses konversi, salah satu yang banyak diteliti adalah proses
konversi lignoselulosa menjadi bioetanol (Hermiati et al., 2010).
Sumber kayu banyak ditanam dalam bentuk hutan tanaman industri (HTI). Jenis
dominan yang ditanam adalah jenis pohon cepat tumbuh (fast growing species) seperti
akasia, ekaliptus, dan sengon. Di lain pihak, jenis pohon cepat tumbuh jumlahnya sangat
melimpah dan belum banyak kajian tentang sifat-sifat kayunya, padahal jenis-jenis ini sangat
prospektif untuk dijadikan sumber kayu alternatif di masa mendatang. Salah satu pohon
cepat tumbuh yang belum banyak kajian tentang sifat-sifat kimia kayunya dan prospeknya
sebagai bahan dasar untuk bioetanol adalah balik angin. Pada kegiatan ini akan dikaji sifat
kimia dan studi dasar pengaruh penggunaan gelombang mikro sebagai pretreatment untuk
produksi bioetanol dari dua jenis kayu balik angin.
Kunci dari penelitian konversi lignoselulosa menjadi bioetanol ini adalah untuk
mengurangi biaya proses sehingga meningkatkan daya saing bioetanol terhadap bahan
bakar minyak bumi. Faktor utama yang menjadi penyebab adalah tingginya tingkat
kekompleksan dalam memproses bahan ini, sehingga membutuhkan pengolahan awal
(pretreatment) untuk merubah struktur dan komposisi kimia dari lignoselulosa untuk
mengefisiensi hidrolisis karbohidat menjadi gula fermentasi (Riyanti, 2009). Teknologi
pretreatment telah banyak dikembangkan, salah satunya adalah penggunaan gelombang

916
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS

mikro (Hu & Wen, 2008; Zhu et al., 2005; Zhu et al., 2006a; Zhu et al., 2006b; Liu et al.,
2010). Pretreatment ini mampu meningkatkan kinerja enzim pada proses hidrolisis selulosa.

METODOLOGI

Persiapan serbuk kayu balik angin


Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kayu balik angin daun kecil dan
daun sedang yang diperoleh dari Hutan Areal Konsesi SBK (Sari Bumi Kusuma), Kalimantan
Barat. Kayu kemudian dikuliti dan dipotong-potong menjadi chip dengan ukuran 10x10x1 cm,
lalu dihaluskan dengan menggunakan ring flaker, hammer mill, dan disc mill, hingga
diperoleh serbuk dengan ukuran 40-60 mesh.

Analisis kandungan kimia kayu


Pengujian kadar ekstraktif larut alkohol benzene, kadar holoselulosa, kadar
alfaselulosa, dan kadar lignin mengacu kepada Mokushitsu Kagaku Jiken Manual (2000).

Pretreatment
Contoh serbuk kayu dimasukkan ke dalam tabung (vessel) yang terbuat dari teflon
(Gambar 1), kemudian ditambahkan gliserol (perbandingan padatan dan larutan 1:10 w/w)
dan katalis asam sulfat 0,5% sehingga diperoleh perbandingan padatan dan larutan 1:20
(w/w). Bahan dalam vessel dipaparkan pada iradiasi gelombang mikro (Sharp R-360J) pada
tingkat daya 50 dan 70% selama 2,5 sampai 10 menit. Setelah waktu tercapai, bahan
dikeluarkan dari dalam oven dan segera didinginkan dengan cara merendamnya dalam air
es. Kemudian hidrolisat dipisahkan dari pulp dengan melakukan penyaringan. Pulp basah
dicuci dengan 100 ml aseton, lalu dengan 3 x 100 ml air suling. Pulp basah selanjutnya
dihitung rendemennya (Liu et al., 2010).

(a) (b)
Gambar 1. Contoh serbuk kayu dimasukkan ke dalam tabung (vessel) yang terbuat dari
teflon (a), kemudian dipaparkan dalam gelombang mikro (b).

Hidrolisis enzimatik
Pulp basah kemudian dihidrolisis dengan menggunakan enzim selulase komersial,
Meisellase dari Trichoderma viride (Meiji Seika Co., Ltd., 224 FPU/g, aktifitas -glucosidase
264 IU/g). Enzim selulase digunakan sebanyak 8 FPU/g substrat. Hidrolisis enzimatik
dilakukan dengan menggunakan buffer asam sitrat 0,05 M (pH 4,5) pada 45 C di dalam
waterbath shaker (Memmert WNB 14, Germany) selama 48 jam. Kadar gula pereduksi
diukur dengan menggunakan metode Somogyi-Nelson (Wrolstad, 2001). Rasio sakarifikasi
per pulp dihitung berdasarkan NREL LAP (Selig et al., 2008).

917
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

HASIL DAN PEMBAHASAN


Komponen Kimia Kayu
Tabel 1 menunjukkan bahwa secara umum kandungan kimia kayu dua jenis balik
angin ini memiliki komposisi yang tidak jauh berbeda. Kadar holoselulosa dan alfa selulosa
dalam balik angin daun kecil lebih tinggi daripada daun sedang, namun apabila dibandingkan
dengan sengon kandungannya lebih rendah. Holoselulosa merupakan suatu fraksi
keseluruhan dari selulosa, sebagai contoh selulosa ditambah hemiselulosa. Umumnya alfa
selulosa dianggap sebagai selulosa murni, yang merupakan polisakarida dengan monomer
glukosa (Biermann, 1996). Kandungan selulosa dapat digunakan untuk memperkirakan
besarnya rendemen pulp yang dihasilkan, dimana semakin besar kadar selulosa maka
semakin besar pula rendemen pulp yang dihasilkan (Syafii & Siregar, 2006).
Kadar lignin balik angin daun kecil lebih rendah daripada daun sedang, namun
apabila dibandingkan dengan sengon lebih tinggi kandungannya. Struktur molekul lignin
sangat berbeda bila dibandingkan polisakarida karena terdiri atas sistem aromatik yang
tersusun atas unit-unit fenilpropana yamg bersifat sebagai perekat serat dalam kayu (Octavia
et al., 2011). Degradasi lignin dalam produksi bioetanol sangat berperan penting karena
lignin menghambat proses hidrolisis selulosa. Dalam proses delignifikasi, semakin tinggi
kandungan lignin maka akan memerlukan konsentrasi yang lebih tinggi lagi dalam
menghancurkan ikatan lignin dalam lignoselulosa.

Tabel 1. Analisis komponen kimia dua jenis kayu balik angin


dibandingkan dengan sengon.

Balik Angin
Parameter Daun SeSengona
Daun Kecil
Sedang
Holoselulosa 72,61 71,63 75,2
(%)
Alfa selulosa 40,32 38,42
(%)
Lignin (%) 27,97 30,23 22,3
Ekstraktif (%) 2,00 2,03 5,25
Kadar Air (%) 8,15 8,61

a
Kandungan komponen kimia kayu sengon yang tumbuh di daerah Cibinong, Bogor
berdasarkan Fitria et al., 2006.

Tabel 2 menunjukkan bahwa semakin lama waktu pemaparan gelombang mikro akan
memperbesar kandungan gula pereduksi pada produk hidrolisis enzimatik, baik dengan
power 50% maupun 70%. Rendemen gula pereduksi per kayu tertinggi untuk balik angin
daun kecil (22,06%) diperoleh pada pemaparan selama 7,5 menit dengan power 70%
(rendemen gula pereduksi teoritis pada kondisi optimum ini mencapai 54,16%) sedangkan
untuk balik angin daun sedang (23,41%) diperoleh pada pemaparan selama 5 menit dengan
power 70% (rendemen gula pereduksi teoritis pada kondisi optimum ini mencapai 60,62%).
Penggunaan gelombang mikro dengan power yang lebih tinggi dan waktu yang relatif singkat
mampu menghasilkan rendemen gula yang lebih baik dibandingkan dengan mengunakan
power yang lebih rendah dengan waktu yang lebih lama. Hal ini memberikan keunggulan
penggunaan gelombang mikro dalam pretreatment bahan lignoselulosa, dimana waktu
digunakan relatif singkat.

918
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS

Tabel 2. Efek waktu dan power pada penggunaan gelombang mikro terhadap
proses hidrolisis enzimatik dua jenis kayu balik angin.

50% 70%
Balik Waktu Rendemen
Kehilangan Rendemen Kehilangan Rendemen gula Rendemen
angin (min) a gula per a b
berat gula per pulp berat per pulp gula per kayu
kayub
(%) (%) (%) (%) (%)
(%)
daun
2,5 2,39 6,07 5,93 5,84 7,17 6,75
kecil
5 8,93 6,94 6,32 31,63 32,09 21,94
7,5 27,97 23,87 17,20 49,79 43,94 22,06
10 35,77 30,29 19,45
daun
2,5 1,82 4,51 4,43 4,79 4,41 4,20
sedang
5 4,29 8,53 8,16 27,99 32,51 23,41
7,5 23,61 22,97 17,55 49,60 34,16 17,22
10 43,51 39,01 22,04

a
Nilai yang dinyatakan sebagai rendemen gula pereduksi setelah hidrolisis enzimatik
berdasarkan berat pulp
b
Nilai yang dinyatakan sebagai rendemen gula pereduksi setelah hidrolisis enzimatik
berdasarkan berat kayu awal

Pada penggunaan gelombang mikro menimbulkan panas karena adanya rotasi


molekul dalam bahan yang bersifat polar seperti selulosa, air, gliserol, dan asam sulfat yang
memiliki sifat dielektrik yang tinggi, sehingga molekul-molekul tersebut bergerak, saling
bertumbukan dan bergesekan, sehingga menghasilkan panas. Hal ini dapat menurunkan
ikatan yang terdapat dalam kompleks lignin-hemiselulosa-selulosa dalam kayu.

Gambar 2. Perbandingan rendemen gula pereduksi per kayu antara dua jenis balai angin
tanpa pretreatment dengan pretreatment gelombang mikro (balai angin daun
kecil dipaparkan gelombang mikro selama 7,5 menit dengan power 70%,
sedangkan daun sedang dipaparkan selama 5 menit dengan power 70%).

Semakin lama waktu pemaparan dan semakin tinggi power yang digunakan maka
rendemen pulpnya akan semakin rendah. Hal ini disebabkan karena terdegradasinya
hemisellulosa dan lignin menjadi unit-unit penyusunnya. Pemaparan gelombang mikro
menyebabkan meningkatnya porositas serat, sehingga kinerja enzim pada proses hidrolisis

919
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

berjalan lebih optimal walaupun dengan konsentrasi enzim yang digunakan rendah. Hal ini
bisa dilihat pada rendemen gula pereduksi per kayu yang rendah untuk balai angin tanpa
pretreatment (Gambar 2). Faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan enzim
menghidrolisis bahan lignoselulosa diantaranya kandungan lignin dan hemiselulosa dan
tingkat kekristalan selulosa. Oleh karena itu pretreatment diperlukan untuk menghilangkan
lignin dan hemiselulosa, menurunkan tingkat kekristalan selulosa sehingga meningkatkan
fraksi amorf selulosa, dan meningkatkan porositas material (Octavia et al., 2011).

KESIMPULAN

Hasil analisa komponen kimia pada dua jenis kayu balik angin menunjukkan bahwa
balik angin daun kecil memiliki kadar holoselulosa dan alfa selulosa lebih tinggi daripada
daun sedang, sedangkan kadar lignin untuk balik angin daun kecil lebih rendah daripada
daun sedang. Hasil analisa untuk mendapatkan kondisi optimum penggunaan gelombang
mikro sebagai pretreatment untuk produksi bioetanol dari dua jenis kayu balik angin
diperoleh bahwa untuk balik angin daun kecil rendemen gula pereduksi per kayu tertinggi
(22,06%) diperoleh pada pemaparan selama 5 menit dengan power 70%, sedangkan untuk
balik angin daun sedang (23,41%) diperoleh pada pemaparan selama 10 menit dengan
power 50%.

UCAPAN TERIMAKASIH

Penulis mengucapkan terimakasih kepada Prof. Takashi Watanabe atas


kesempatannya untuk menulis makalah ini dan juga atas tersedianya sampel kayu balik
angin.

DAFTAR PUSTAKA

Anindyawati, T. 2009. Potensi Selulase dalam Mendegradasi Lignoselulosa Limbah


Pertanian untuk Pupuk Organik. Berita Selulosa. 45(2): 70-77
Biermann, C. J. 1996. Hand Book of Pulping and Paper Making. Second Edition. Academic
Press. California. USA.
Fitria, W. Fatriasari, E. Hermiati, N. Sri Hartati. 2006. Perbandingan Sifat Kimia Kayu Sengon
(Paraserianthes falcataria L. Nielsen) Pada Empat Lokasi di Pulau Jawa Sebagai
Bahan Baku Pulp. Dipresentasikan dalam Seminar Masyarakat Peneliti Kayu
Indonesia IX. Banjarbaru Kalimantan Selatan.11-13 Agustus 2006.
Hermiati E., D. Mangunwidjaja, T. C. Sunarti, O. Suparno, & B. Prasetya. 2010.
Pemanfaatan Biomassa Lignoselulosa Ampas Tebu Untuk Produksi Bioetanol. Jurnal
Litbang Pertanian. 29(4) :121-130
Hu, Z. & Z. Wen. 2008. Enchancing Enzymatic Digestibility of Switchgrass by Microwave-
assisted Alkali Pretreatment. Biochemical Engineering Journal. 38: 369-378
Liu, J., R. Takada, S. Karita, T. Watanabe, Y. Honda, & T. Watanabe. 2010. Microwave-
assisted Pretreatment of Recalcitrant Softwood in Aqueous Glycerol. Bioresource
Technology. 101: 93559360
Mokushitsu Kagaku Jiken Manual, 2000, Japan Wood Research Society Publisher.
Octavia S., T. H. Soerawidjaja, R. Purwadi, & I. D. G. A. Putrawan. 2011. Pengolahan Awal
Lignoselulosa Menggunakan Amoniak Untuk Meningkatkan Perolehan Gula
Fermentasi. Prosiding Seminar Nasional Teknik Kimia Kejuangan. B13-1 B13-6.
Riyanti, E. I. 2009. Biomassa Sebagai Bahan baku Bioetanol. Jurnal Litbang Pertanian. 28(3)
:101-110
Selig M., N. Weiss, & Y. Ji. 2008. Laboratory analytical procedure : Enzymatic
saccharification of lignocellulosic biomass. NREL (National Renewable Energy
Laboratory).

920
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS

Syafii, W. & I. Z. Siregar. 2006. Sifat Kimia dan Dimensi Serat Kayu Mangium (Acacia
mangium Willd.) dari Tiga Provenans. J. Tropical Wood Science & Technology. 4 (1):
28-32
Zhu, S., Y. Wu, Z. Yu, J. Liao, & Y. Zhang. 2005. Pretreatment by Microwave/alkali of Rice
Straw and Its Enzymic Hydrolysis. Process Biochemistry. 40: 3082-3086
Zhu, S., Y. Wu, Z. Yu, X. Zhang, H. Li, & M. Gao. 2006a. The Effect of Microwave Irradiation
on Enzymatic Hydrolysis of Rice Straw. Bioresource Technology. 97: 1964-1968
Zhu, S., Y. Wu, Z. Yu, X. Zhang, C. Wang, F. Yu, & S. Jin. 2006b. Production of Etanol from
Microwave-assisted Alkali Pretreated Wheat Straw. Process Biochemistry. 41: 869-
873
Wrolstad, R. E. 2001. Current Protocols in Food Analytical Chemistry. John Wiley & Sons
Inc. USA. E1.1.1-E1.1.8

921
BIDANG E
PENGOLAHAN
HASIL HUTAN
PENGOLAHAN HASIL HUTAN

PENGARUH PENAMBAHAN EKSTRAK MIMBA TERHADAP


EFEKTIVITAS BAHAN PENGAWET BORON DALAM MENCEGAH
SERANGAN RAYAP TANAH

Agus Ismanto1 dan Neo Endra Lelana2


1
Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan
Pengolahan Hasil Hutan
(e-mail: ismanto_agus@yahoo.com)
2
Pusat Penelitian dan Pengembangan Peningkatan Produktivitas Hutan
(e-mail: neo_3L@yahoo.com)

ABSTRAK

Setelah dilarangnya penggunaan arsenik sebagai bahan pengawet kayu, boron


menjadi pilihan utama untuk menggantikannya. Bahan pengawet boron digunakan baik
dalam bentuk formula campuran maupun tunggal. Untuk meningkatkan tingkat
keramahannya terhadap lingkungan, bahan pengawet boron perlu dikombinasikan dengan
bahan pengawet alami (pestisida nabati). Pada penelitian ini diuji efektivitas campuran boron
dan ekstrak mimba terhadap rayap tanah Coptotermes curvignathus Holmgreen. Empat
konsentrasi ekstrak mimba, yaitu 5%, 10%, 25% dan 50% dicampur dengan 1% boraks.
Contoh uji berupa kayu pinus yang berukuran 2,5 x 2,5 x 0,5 cm direndam dalam larutan
bahan pengawet selama 3 hari. Setelah dikering-anginkan, contoh uji dimasukkan ke dalam
jam pot yang berisi media pasir. Sebanyak 200 ekor rayap dengan komposisi 90% pekerja
rayap tanah dan 10 prajurit rayap tanah dimasukkan ke dalam jampot kemudian
diinkubasikan selama satu bulan dalam ruangan gelap. Hasil pengujian menunjukkan
penambahan ekstrak mimba berpengaruh terhadap efikasi bahan pengawet boron. Pada
konsentrasi 5%, nilai rata-rata derajat serangan terlihat meningkat. Nilai derajat serangan
pada kontrol negatif (tanpa perlakuan), kontrol positif (boraks 1%) dan perlakuan dengan
konsentrasi 5% yaitu berturut-turut 90, 95 dan 100. Sementara itu untuk nilai rata-rata
mortalitas berturut-turut 55%, 100% dan 100%.

Kata kunci: Coptotermes curvignathus Holmgren, bahan pengawet, boron, ekstrak mimba

PENDAHULUAN

Pengawetan kayu merupakan salah satu cara yang sangat potensial untuk
mencegah serangan organisme perusak kayu, sehingga dapat meningkatkan umur pakai
kayu. Setelah dilarangnya penggunaan arsenik sebagai bahan pengawet kayu, boron
menjadi pilihan utama untuk menggantikannya. Bahan pengawet boron digunakan baik
dalam bentuk formula campuran maupun tunggal. Bahan pengawet boron beracun terhadap
jamur dan serangga perusak kayu (Anonim, 1962), namun demikian bahan ini mempunyai
toksisitas yang lebih rendah (Yamauchi et al., 2007; Mampe, 2010), sehingga dapat
mengurangi potensi pencemaran lingkungan.
Pengembangan bahan pengawet kayu cenderung mengarah pada pemanfaatan
bahan-bahan yang ramah lingkungan. Pemanfaatan berbagai bahan alami yang diekstrak
dari tanaman sebagai agen pengendali hama merupakan salah satu alternatif yang sangat
potenisal. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa berbagai jenis ekstrak tanaman
dilaporkan terbukti mempunyai aktivitas anti serangga (Dharmagadda et al., 2005; Ayvaz et
al., 2010) sehingga dapat dimanfaatkan sebagai pestisida nabati. Salah satu tanaman yang
sudah diaplikasikan secara luas sebagai insektisida nabati ialah tanaman mimba
(Azadirachta indica A. juss). Tanaman ini diketahui bersifat toksik terhadap lebih dari 200

923
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

serangga. Beberapa jenis bahan aktif terkandung dalam tanaman ini, seperti azadirachtin,
meliantriol, salanin dan nimbi (Anonim, 1992). Hampir semua bagian tanaman mimba
mengandung bahan-bahan ini, namun kandungan terbesarnya terdapat dalam biji (Stoll,
1986).
Pada penelitian ini, pemanfaatan pestisida nabati dari ekstrak mimba sebagai
campuran bahan pengawet boron dikaji. Penambahan ekstrak mimba dimaksudkan untuk
lebih meningkatkan bahan pengawet boron menjadi semakin ramah lingkungan.

BAHAN DAN METODE

Bahan Kayu
Bahan kayu yang digunakan sebagai media pengujian ialah kayu tusam Pinus
merkusii Jungh berukuran 25 mm x 25 mm x 5 mm. Untuk tiap tingkat konsentrasi dan
kontrol masing-masing disediakan 5 buah contoh uji sebagai ulangan.

Bahan Pengawet
Bahan pengawet dibuat dengan mencampur ekstrak mimba pada berbagai
konsentrasi dengan bahan pengawet boron (boraks) 1%. Konsentrasi final ekstrak mimba
yang digunakan yaitu 2,5%, 5%, 10%, 25% dan 50%. Sebagai kontrol digunakan boraks 1%
(tanpa penambahan ekstrak mimba) dan akuades (bahan pelarut).

Pengawetan
Pengawetan dilakukan dengan merendam bahan kayu pada larutan bahan pengawet
selama semalam. Contoh uji yang sudah diawetkan selanjutnya diangin-anginkan dalam
ruangan sampai mencapai kadar air kering udara.

Metode Pengujian
Pengujian efikasi terhadap rayap tanah mengacu pada cara yang dilakukan oleh
Martawijaya (1994), dengan rayap penguji dipakai jenis Coptotermes curvignathus
Holmgren. Masing-masing contoh uji dimasukkan ke dalam jampot dengan cara
meletakkannya berdiri pada dasar jampot dan disandarkan sedemikian rupa sehingga salah
satu bidang yang terlebar menyentuh dinding jampot. Ke dalam jampot tersebut dimasukkan
pasir lembab sebanyak 200 gr yang mempunyai kadar air 7% di bawah kapasitas menahan
air (water holding capacity). Selanjutnya ke dalam setiap jampot dimasukkan 200 ekor rayap
tanah C. curvignathus yang sehat dan aktif dengan komposisi 90% rayap pekerja dan 10%
rayap prajurit. Kemudian jampot yang sudah diisi rayap tanah disimpan di tempat gelap
selama 4 minggu. Setiap minggu aktivitas rayap di dalam jampot diamati dari luar dan
dicatat. Selanjutnya masing-masing jampot ditimbang. Jika kadar air pasir turun 2% atau
lebih, ke dalam jampot tersebut ditambahkan air secukupnya sampai kadar airnya kembali
seperti semula, yaitu 7% di bawah kapasitas menahan air. Pada akhir pengujian ditetapkan
mortalitas rayap tanah pada masing-masing contoh uji.

di mana : Kij = % mortalitas rayap pada contoh uji ke-j dan konsentrasi ke-i, Mij = jumlah
rayap yang mati pada contoh uji ke-j dan konsentrasi ke-i.

924
PENGOLAHAN HASIL HUTAN

Sementara itu derajat proteksi ditentukan melalui pemberian nilai (scoring) dalam skala
berikut :

Nilai Keadaan serangan


100 Utuh (tidak diserang)
90 Sedikit (nyata di permukaan)
70 Sedang (masuk belum meluas)
40 Hebat (masuk sudah meluas)
0 Hebat sekali (hancur)

Bekas gigitan tipis pada permukaan kayu (surface nibbles) tidak dianggap sebagai
serangan nyata. Pengujian dianggap berhasil jika mortalitas rayap pada contoh uji kontrol
tidak melebihi 55% dengan nilai derajat proteksi 70 atau kurang.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Rata-rata mortalitas dan derajat proteksi pada masing-masing perlakuan konsentrasi


ekstrak mimba dapat dilihat pada Tabel 1. Pada konsentrasi 5%, nilai rata-rata derajat
serangan terlihat meningkat. Nilai derajat serangan pada kontrol negatif (tanpa perlakuan),
kontrol positif (boraks 1%) dan perlakuan dengan konsentrasi 5% yaitu berturut-turut 90, 95
dan 100. Sementara itu untuk nilai rata-rata mortalitas berturut-turut 55%, 100% dan 100%.

Tabel 1. Rata-rata mortalias dan derajat serangan rayap tanah serta rayap kayu kering

Konsentrasi (%) Mortalitas (%) Derajat Serangan


5 100 100
10 100 100
25 100 100
50 100 100
Boraks 1% 100 95
Kontrol air 55 90

Efektifitas merupakan daya bunuh pestisida terhadap organisme perusak, dalam hal
ini rayap. Pestisida yang bagus ditunjukkan oleh dosis yang rendah, cukup mengendalikan
organisme perusak (Novizan, 2002). Bahan pengawet boron dilaporkan dapat berinteraksi
dengan berbagai molekul penting, seperti riboflavin, vitamin B6, koenzim A, vitamin B-12,
dan nikotinamida adenin dinukleotida (NAD+) (Lloyd et al. 1990; Williams et al. 1990; Woods
1994) sehingga mengganggu proses fisiologis sel serangga sehinga rayap mati kelaparan.
Sementara itu ekstrak mimba mengandung bahan-bahan aktif, seperti azadirachtin,
meliantriol, salanin dan nimbi. Bahan-bahan ini tidak membunuh serangga secara langsung,
tetapi menyebabkan kematian secara perlahan melalui beberapa mekanisme, seperti daya
usir, menurunkan nafsu makan, menghambat pertumbuhan, mengganggu proses
perkawinan dan menghambat reproduksi (Saxena, 1989).

(a) (b)

Gambar 1. Contoh derajat serangan rayap tanah. Ket: (a) kontrol; (b) konsentrasi 5%.

925
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Hasil pengujian menunjukkan penambahan ekstrak mimba berpengaruh terhadap


efikasi bahan pengawet boron. Walaupun dari sisi mortalitas tidak menunjukkan perbedaan,
namun dari sisi derajat serangannya, penambahan ekstrak mimba mampu meningkatkan
perlindungan kayu dari gigitan rayap tanah. Dari hasil ini, aktivitas insektisidal ekstrak mimba
diduga bersifat sinergis dengan bahan pengawet boron, karena bersifat memperkuat
aktivitas insektisidal boron.

KESIMPULAN

Penambahan ekstrak mimba 5% pada bahan pengawet boron 1% dapat


meningkatkan ketahanan kayu terhadap serangan rayap tanah. Walaupun nilai rata-rata
mortalitasnya tidak menunjukkan perbedaan, namun nilai rata-rata derajat serangannya
meningkat dari 95 menjadi 100.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 1992. Neem: A Tree for Solving Global Problems. National Research Council.
National Academy Press, Washington DC.
Ayvaz, A, O. Sagdic, S. Karaborklu, and I. Ozturk. 2010. Insecticidal activity of the essential
oils from different plants against three stored-product insects. J. of Insect Sci. 10:21.
Dharmagadda, V.S.S, M. Tandonb, and P. vasudevan. 2005. Biocidal activity of the essential
oil s of Lantana camara, Ocimum sanctum, and Tagetes patula. J. of Sci. and
Industrial Research 64:53-56.
Lloyd, J. D., D. J. Dickinson & R. J. Murphy. 1990. The probable mechanisms of action of
boric acid and borates as wood preservatives. IRG/WP Document 90 1450.
International Research Group on Wood Protection. Stockholm, Sweden. 21 pp.
Mampe, C. D. 2010. Effectiveness and Uses of Barate. http://www.environment
sensitive.com/effectiveusesofborate.htm. Diakses tanggal 3 Januari 2010.
Martawijaya, A. 1994. Formulasi dan efikasi bahan pengawet CCA type 2. Prosiding Diskusi
Hasil-hasil Penelitian Hasil Hutan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan
dan Sosial Ekonomi Kehutanan. Cipayung. 24-25 Maret 1994. p. 89 -103.
Novizan. 2002. Petunjuk Pemakaian Pestisida. PT Agro Media Pustaka. Tanggerang.
Saxena, R. C. 1989. Insecticides from neem. Entomology Department, IRRI. Manila,
Philiippines. 25 pp.
Stoll, G. 1986. Natural Crop Protection Based on Local Farm Resources in The Tropics and
Subtropics. Josef Margraf, Aichtal, Germany.
Williams, L. H., S. I. Sallay & J. A. Breznak. 1990. Borate-treated food affects survival,
vitamin B-12 content, and digestive processes of subterranean termites. IRG/WP
Document 90-1448. International Research Group on Wood Protection. Stockholm,
Sweden. 16 pp.
Woods, W. G. 1994. An introduction to boron: history, sources, uses, and chemistry. Environ.
Health Perspect. 102(Supplement 7): 511
Yamauchi, S., Y. Sakai, Y. Watanabe, M.K. Kubo and H. Matsue. 2007. Distribution boron in
wood treated with aqueous and methanolic boric acid solutions. J. Wood Sci. 53: 324-
331.

926
PENGOLAHAN HASIL HUTAN

PEMANFAATAN MESIN SPINDLE LESS ROTARY LATHE UNTUK


MENINGKATKAN RENDEMEN VENIR KAYU

M.I. Iskandar dan Achmad Supriadi


Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Jalan Gunung Batu No. 5 PO. Box. 182 Bogor 16610. Telp./Fax. (0251) 8633378-8633413
Email: mi.iskandar@yahoo.co.id.

ABSTRAK

Dalam rangka restrukturisasi Industri Primer Hasil Hutan Kayu (IPHHK), salah satu
kriteria dan indikatornya adalah efisiensi pemakaian bahan baku kayu, dimana efisiensi
pemakaian bahan baku akan meningkat apabila mesin pengolahannya efisien. Pada industri
kayu lapis mesin utamanya adalah mesin kupas kayu (rotary lathe) yang mengolah dolok
menjadi venir kayu. Sebelum krisis bahan baku kayu, industri kayu lapis pada umumnya
menggunakan mesin rotary lathe dengan spindle berukuran besar, karena kayu yang
dikupas pada umumnya berdiameter besar. Setelah adanya krisis bahan baku kayu dan
berkurangnya mutu kayu antara lain diameternya semakin mengecil, maka diperlukan
restrukturisasi mesin kupas dengan spindle yang kecil atau mesin kupas tanpa spindle
(spindle less rotary lathe). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui besarnya
rendemen penggunaan mesin kupas tanpa spindle (spindle less rotary lathe) dan mesin
kupas menggunakan spindle.
Hasil penelitian menunjukkan rendemen venir dari mesin rotary spindle less pada ke
4 industri kayu lapis berkisar antara 89,30 94,54 % atau rata-rata 92,93 %. Sedangkan
rendemen venir mesin kupas menggunakan spindle berkisar antara 76,19 83,45 % atau
rata-rata 80,30 %. Berdasarkan data tersebut di atas, mesin rotary spindle less dapat
meningkatkan rendemen venir rata-rata 12,63 %.

Kata kunci: Spindle less rotary lathe, rendemen, venir kayu

PENDAHULUAN

Salah satu mesin pengolahan kayu lapis adalah mesin kupas kayu menjadi venir
kayu. Rendemen kayu lapis yang dihasilkan tergantung pada rendemen venir yang
dihasilkan oleh mesin kupas (Kollmann, 1975). Sedangkan menurut Riggs, at all (1979),
efisiensi mesin kupa ditentukan oleh besar kecilnya cakar (spindle) bervariasi antara 9
sampai 24 cm. mesin kupas tersebut di atas masih digunakan oleh pabrik kayu lapis
konvensional karena belum menggunakan mesin kupas tanpa spindle yaitu mesin spindle
less rotary lathe.
Mesin spindle less rotary lathe adalah mesin kupas yang tidak menggunakan cakar
(spindle), tetapi menggunakan dua rol yang berputar searah, dimana diantara dua rol
tersebut diletakkan dolok kayu, diputar searah sehingga menghasilkan venir kayu seperti
Gambar 1.

3
2
1

Gambar 1. Mesin kupas spindle less


Keterangan: 1. Rol pemutar dolok kayu, 2. Dolok kayu, 3. Pisau

927
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Sisa kupasan kayu (log core) mesin spindle less rotary lathe berdiameter 4 5 cm,
dengan demikian efisiensi mesin meningkat dan rendemen venir kayu yang dihasilkan juga
meningkat.
Efisiensi penggunaan bahan baku kayu akan meningkatkan apabila mesin
pengolahannya efisien dan selanjutnya rendemen venir kayu yang dihasilkan akan
meningkat. Rendemen venir kayu adalah perbandingan antara luaran (output) dan masukan
(input), biasanya dinyatakan dalam persen (%). Masukan adalah bahan baku kayu,
sedangkan luarannya adalah venir kayu.
Menurut Kollmann (1975), rendemen venir kayu berkisar antara 70 sampai 75 (kadar
air 60 %), sedangkan rendemen venir kayu yang dihasilkan PT. SRIWI (2010) berkisar
antara 71 75 %. Menurut Anonim (2003) rendemen venir kayu berkisar antara 80 84 %.
Rendemen venir kayu tersebut di atas berasal dari pabrik kayu lapis konvensional yaitu
pabrik kayu lapis yang tidak menggunakan mesin spindle less rotary lathe.
Mesin kupas tanpa spindle bisa mengupas dolok kayu berdiameter kecil dari 10 cm
sampai dengan 50 cm dan sisa kupasan (log core) yang dihasilkan berdiameter 4 cm,
sehingga efisiensi pemakaian bahan baku kayu meningkat.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui besarnya rendemen penggunaan
mesin kupas menggunakan spindle dan tanpa spindle (spindle less rotary lathe).

BAHAN DAN METODE

Bahan dan Alat Penelitian


Bahan yang digunakan ialah berupa dolok dari beberapa jenis kayu yang disediakan
oleh pabrik kayu lapis, cat, spidol serta daftar isian. Sedangkan peralatan yang digunakan
adalah ialah mesin kupas tanpa spindle dan mesin kupas menggunakan spindle, meteran dan
gergaji potongan (Chainsaw).
Lokasi penelitian dilakukan ditempat-tempat yaitu di Jambi (PT. Mugi Triman
Intercontinental dan PT. Tanjung Johor Wood Industry), Jawa Tengah (PT. Kayu Lapis
Indonesia), Jawa Timur (PT. Kutai Timber Indonesia) dan di Kalimantan Timur (PT. Tunggal Yudi
Plywood dan PT. Kayu Alam Perkasa Raya).

Metode
Tempat dan Waktu
Penelitian dilakukan di Jambi (PT. Mugi Triman Intercontinental dan PT. Tanjung
Johor Wood Industry), Jawa Tengah (PT. Kayu Lapis Indonesia), Jawa Timur (PT. Kutai
Timber Indonesia) dan di Kalimantan Timur (PT. Tunggal Yudi Plywood dan PT. Kayu Alam
Perkasa Raya).

Prosedur Kerja
a. Persiapan
Penentuan lokasi penelitian pada enam pabrik kayu lapis, dibagi menjadi dua
golongan yaitu yang menggunakan mesin kupas menggunakan spindle dan mesin
kupas tanpa spindle.
b. Pelaksanaan
(a) Pengumpulan data sekunder meliputi data umum perusahaan, kapasitas pabrik,
jenis kayu yang digunakan, rendemen venir, baik yang menggunakan mesin
kupas tanpa spindle maupun mesin kupas menggunakan spindle.
(b) Pengumpulan data primer meliputi penggunaan mesin kupas tanpa spindle
maupun mesin kupas menggunakan spindle.

Analisis Data
Data hasil penelitian dihitung rata-ratanya, data sekunder sebagai pebanding data primer.

928
PENGOLAHAN HASIL HUTAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

Rendemen venir mesin kupas tanpa spindle


Hasil penelitian rendemen venir mesin kupas tanpa spindle tercantum pada Tabel 1.
Berdasarkan Tabel 1 rendemen pemotongan dolok dari ke 4 pabrik kayu lapis berkisar
antara 94,02 98,38 % dengan rata-rata 96,14 %. Berdasarkan data sekunder (Anonim
2009) pada Tabel 2 rendemen pemotongan dolok berkisar antara 94,21 97,59 % dengan
rata-rata 95,99 %. Rendemen rata-rata pemotongan dolok hasil penelitian dibandingkan
terhadap rendemen rata-rata dari data sekunder terdapat perbedaan sebesar 0,15 %.
Rendemen venir berdasarkan penelitian tercantum dalam Tabel 1, rendemen berkisar
antara 89,30 94,54 % dengan rata-rata 92,93 %. Berdasarkan data sekunder (Tabel 2),
rendemen venir berkisar antara 83,28 86,49 % dengan rata-rata 85,09 %. Dibandingkan
rendemen venir hasil penelitian dengan rendemen venir data sekunder masih bersifat kasar
dan umum, sedangkan hasil penelitian dianalisa berdasarkan data setiap tahap proses.
Jenis kayu digunakan dalam penelitian ini adalah meranti merah, sengon, keruing,
melapi dan kapur dengan diameter rata-rata 80 cm dan kondisi dolok pada umumnya
tergolong baik. Tebal venir yang dihasilkan rata-rata 2,2 mm dengan kadar air rata-rata 50
%. Venir hasil pengupasan dengan menggunakan mesin spindle less rotary lathe pada
umumnya digunakan untuk venir inti kayu lapis.

Tabel 1. Hasil penelitian rendemen venir mesin kupas tanpa spindle

Rendemen Venir (%)


No Tahapan Proses Pabrik Kayu Lapis
A B C D Rata-rata
1. Pemotongan dolok 94,02 96,23 95,94 98,38 96,14
2. Pengupasan venir 89,30 94,46 94,54 93,43 92,93

Keterangan: A) Pabrik kayu lapis PT. Tanjung Johor Wood Industry, B) PT. Kayu Lapis
Indonesia, C) PT. Kutai Timber Indonesia, D) PT. Tunggal Yudi Plywood

Tabel 2. Rendemen venir mesin kupas tanpa spindle berdasarkan data sekunder

Rendemen Venir (%)


No Tahapan Proses Pabrik Kayu Lapis
A B C Rata-rata
1. Pemotongan dolok 94,21 96,16 97,59 95,99
2. Pengupasan venir 83,28 85,41 86,49 85,09

Keterangan: A) Pabrik kayu lapis PT. Tanjung Johor Wood Industry, B) PT. Kayu Lapis
Indonesia, C) PT. Tunggal Yudi Plywood

Rendemen venir mesin kupas menggunakan spindle


Hasil penelitian rendemen pemotongan dolok pabrik kayu lapis mesin kupas
menggunakan spindle tercantum dalam Tabel 3 berkisar antara 94,87 96,04 % dengan
rata-rata 95,32 %. Berdasarkan data sekunder (Anonim, 2003) pada Tabel 4, rendemen
pemotongan dolok berkisar antara 94,55 96,55 % dengan rata-rata 95,82 %. Rendemen
rata-rata pemotongan dolok hasil penelitian dan data sekunder terdapat perbedaan sebesar
0,5 %. Rendemen venir pabrik kayu lapis menggunakan mesin kupas dengan spindle
berdasarkan hasil penelitian (Tabel 3) berkisar antara 76,19 83,45 % dengan rata-rata
80,30 %. Berdasarkan data sekunder (Tabel 4), rendemen venir tersebut berkisar antara
77,25 79,98 % dengan rata-rata 78,24 %. Dibandingkan dengan rendemen rata-rata venir
hasil penelitian dengan data sekunder terdapat perbedaan sebesar 2,06 %.

929
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Tabel 3. Hasil penelitian rendemen venir pabrik kayu lapis menggunakan spindle

Rendemen Venir (%)


No Tahapan Proses Pabrik Kayu Lapis
A B C D Rata-rata
1. Pemotongan dolok 94,04 96,87 96,47 95,90 95,32
2. Pengupasan venir 76,19 83,45 78,47 83,20 80,30

Keterangan: A) Pabrik kayu lapis PT. Mugi Triman Intercontinental, B) PT. Kayu Alam
Perkasa Raya, C) PT. Kayu Lapis Indonesia, D) PT. Kutai Timber Indonesia

Tabel 4. Rendemen venir pabrik kayu lapis menggunakan spindle


berdasarkan data sekunder

Rendemen Venir (%)


No Tahapan Proses Pabrik Kayu Lapis
A B C Rata-rata
1. Pemotongan dolok 94,55 95,97 96,95 95,82
2. Pengupasan venir 77,25 77,50 79,98 78,24

Keterangan: A) Pabrik kayu lapis PT. Tanjung Johor Wood Industry, B) PT. Kayu Lapis
Indonesia, C) PT. Tunggal Yudi Plywood

Menurut Anonim (2009), rendemen venir pabrik kayu lapis mesin kupas
menggunakan spindle rata-rata 82,07 %. Dengan demikian terdapat perbedaan rendemen
venir sebesar 1,77 %. Perbedaan ini kemungkinan disebabkan oleh beberapa faktor antara
lain: jenis kayu, diameter dan mutu dolok yang digunakan tidak sama.
Jenis kayu yang digunakan dalam penelitian ini adalah meranti, sengon, keruing,
melapi dan kapur dengan diameter rata-rata 80 cm dan kondisi dolok pada umumnya
tergolong baik. Tebal venir yang dihasilkan bervariasi antara 0,8 3,2 mm dengan kadar air
rata-rata 50 %. Venir hasil pengupasan tanpa spindle less ini digunakan untuk venir muka,
belakang dan inti pada kayu lapis.
Berdasarkan hasil penelitian rendemen venir mesin spindle less rata-rata 92,93 %,
sedangkan berdasarkan rendemen venir pabrik kayu lapis mesin rotary dengan spindle rata-
rata 80,30 %. Dengan demikian penggunaan mesin spindle less dapat meningkatkan
rendemen venir sebesar 12,63 %.

KESIMPULAN

1. Rendemen venir hasil penelitian yang diperoleh dari mesin rotary spindle less berkisar
antara 89,30 94,54 % atau rata-rata 92,93 %.
2. Rendemen venir hasil dari mesin rotary dengan spindle berkisar antara 76,19 83,45 %
atau rata-rata 80,30 %.
3. Berdasarkan data tersebut di atas, mesin rotary spindle less dapat meningkatkan
rendemen venir rata-rata 12,63 %.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2003. Rendemen dan limbah kegiatan pembuatan kayu lapis PT. Erna Djuliawati
Plywood. Kalimantan Barat.
_______. 2009. Laporan Produksi Tahunan PT. Tanjung Johar Wood Industry. Jambi.
_______. 2009. Buku Laporan Produksi PT. Kayu Lapis Indonesia. Semarang.
_______. 2009. Laporan Tahunan PT. Tunggal Yudi Plywood. Samarinda.
_______. 2010. Rendemen venir dan kayu lapis PT. Sriwi. Anyer, Jawa Barat.

930
PENGOLAHAN HASIL HUTAN

Kollmann, F.C. 1975. Principle of wood science and technology II. Wood Based Materials.
Springer Verlag, Berlin, Hiderburg. N.Y.
Riggs. Bethel. A. Water, Smith and Stackmann. 1979. Industrial organization on
management sixth edition. International Student Edition. M.C. Graw Hill. Kogahusa.
Ltd. Tokyo.

931
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

PENYUSUNAN SKEDUL SUHU DAN KELEMBABAN SEBAGAI


UPAYA PENINGKATAN KUALITAS PENGERINGAN KAYU.
(Studi Kasus Pengeringan Kayu Nyatoh Bersortimen
5,3 cm x 20,2 cm x 500 cm)

Yustinus Suranto
Jurusan Teknologi Hasil Hutan
Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, Bulaksumur, Yogyakarta
Email: surantoyustinus@yahoo.com

ABSTRACT

National timber industry with a minimum capacity of 6000 m3 per year generally
made mistakes in the process of wood processing for export, mainly in the operation of wood
drying. Wood drying process is done by inserting various types of wood, various sizes of
wood dimension and various levels of initial moisture content into a conventional kiln drying
operated with one type of drying schedule. This kind of drying process will reduce the quality
of wood as opposed to the principle of drying wood. Principally, wood must be dried with
specific drying conditions, which correspond to the nature of wood and the specific character
of wood drying. This study was aimed to formulate an appropriate specific drying schedule
for certain types of wood with certain dimensions and certain initial moisture content. In this
context, nyatoh wood in dimension of 5.3 cm thick, width 20.2 cm and a length of 500 cm
was selected as the case of studies.
The objective of this research was to develop drying schedule for the sortiment of
nyatoh wood. Drying schedule was developed by the result of quick drying test. These
formulation of drying schedule was elaborated based on Terazawa method. Nyatoh
(Palaquiaum sp) wood was choosen as an object of these case study because this wood is
one of the commercial wood grown naturally in tropical rain forest located on Sulawesi island.
This wood is used by wood working industry to produce building component to be exported.
Lumber of this wood in dimension of 5.3 cm in thick and 20.2 cm in width and 500 cm in
length has no its own drying schedule yet.
Result of the research showed that initial moisture content of this wood was 103.77%,
specific gravity was 0.477. Optimum drying schedule was 65 oC as an initial temperature dan
90 oC as a final temperature. Web bulb depression for the initial step of drying was 5,5 oC
and for the end step was 30 oC. The range of relative humidity were 76% to 11%. These
drying schedule was coded by T7H7.

Keywords: Terazawa, drying schedule, nyatoh, sawn timber of 5.3 cm x 20,2 cm x 500 cm.

PENDAHULUAN

Industri primer kayu di Indonesia dibedakan menjadi tiga kelompok berdasarkan


kapasitas produksinya dan kewenangan pembinaannya, yaitu industri besar, industri
menengah dan industri kecil. Industri primer besar kayu adalah industri kayu yang
berkapasitas produksi minimal 6000 m3 per tahun dan pembinaannya dilakukan oleh
Pemerintah Pusat c.q Kementerian Kehutanan Republik Indonesia. Industri primer
menengah kayu adalah industri kayu yang berkapasitas produksi 300 s.d 6000 m3 per tahun
dan pembinaannya dilakukan oleh Kepala Daerah Tingkat I, sedangkan Industri primer kecil
kayu adalah industri kayu yang berkapasitas produksi maksimal 300 m3 per tahun dan
pembinaannya menjadi wewenang Kepala Daerah Tingkat II (Anonim, 2004).
Ukuran kapasitas produksi ini membawa konsekuensi tertentu bagi perusahaan
pemilik industri primer kayu, khususnya dalam hal pemilihan pola bisnis dan manajemen
industri, serta pemilihan tingkat teknologi pengolahan kayu yang diterapkannya, termasuk di

932
PENGOLAHAN HASIL HUTAN

dalamnya tingkat teknologi pengeringan kayu. Di dalam konteks penerapan teknologi


pengeringan kayu, terdapat suatu kenyataan bahwa semakin besar kapasitas produksi suatu
perusahaan pengolahan primer kayu, semakin besar pula kemampuan industri itu untuk
menerapkan teknologi pengeringan kayu yang mengandung tingkat teknologi yang semakin
tinggi. Industri primer kayu berkapasitas besar pada umumnya mampu untuk menerapkan
teknologi pengeringan kayu di dalam tanur pengering dengan menggunakan tanur pengering
konvensional. sebagai alat pengeringan kayu.
Di dalam pengeringan kayu di dalam tanur pengering konvensional, industri besar
primer kayu nasional pada umumnya melakukan kekeliruan, tidak terkecuali pada industri
besar pengolah kayu yang menghasilkan berbagai sortimen kayu sebagai komponen
bangunan gedung untuk tujuan pemasaran ke luar negeri. Kekeliruan itu terlihat dari cara
melakukan proses pengeringan kayu yang dilakukan dengan cara memasukkan berbagai
jenis kayu, berbagai sortimen kayu dan berbagai tingkat kadar air awal kayu ke dalam satu
ruang tanur pengeringan konvensional yang dioperasikan dengan mengikuti satu skedul
suhu dan kelembaban yang sama.
Proses pengeringan demikian akan berlangsung secara tidak efisien karena
berdurasi waktu pengeringan yang lebih panjang dan beaya pengeringan yang lebih tinggi,
bahkan menurunkan kualitas kayu kering (Gorisek dan Straze, 2007). Kayu kering akan
banyak mengalami cacat pengeringan, baik berupa tegangan pengeringan, perubahan
bentuk (yakni: melengkung, melekuk, memangkuk, memuntir, menggenjang), retak
permukaan, retak ujung, retak-dalam (honey-comb), bahkan pecah (Rasmussen, 1961).
Penurunan kualitas kayu yang disebabkan oleh cara pengeringan kayu yang dilakukan
dengan cara yang demikian ini akan sangat lazim terjadi, karena proses pengeringan
tersebut berlawanan dengan prinsip-prinsip pengeringan kayu.
Secara prinsip, ilmu pengeringan kayu mengajarkan bahwa proses pengeringan kayu
wajib dilakukan secara spesifik, yaitu mengusahakan kesesuaian antara sifat-sifat dan
karakter fisik kayu dan pengaturan kondisi udara selama proses pengeringan kayu,
khususnya kondisi suhu dan kelembaban udara. Sifat-sifat kayu berkait dengan tinggi-
rendahnya kadar air awal kayu yang akan dikeringkan, berat jenis kayu dan penyusutan
kayu. Sementara itu, karakter kayu ditentukan oleh dimensi kayu, baik dimensi tebal, lebar
dan panjang kayu. Oleh karena itu, pengaturan kondisi suhu dan kelembaban udara selama
berlangsungnya proses pengeringan dilakukan dengan mengikuti skedul suhu dan
kelembaban spesifik yang bersesuaian dengan sifat dan karakter kayu tersebut (Bollmann,
1977) Skedul yang spesifik ini perlu ditentukan melalui uji laboratoris.
Penentuan skedul suhu dan kelembaban yang spesifik dan bersesuaian dengan
karakter kayu yang dikeringkan dapat dilakukan dengan mengikuti beberapa metode.
Metode yang pertama dalam hal penetapan skedul suhu dan kelembaban dirumuskan oleh
Forest Product Laboratory (FPL) pada tahun 1961, yang kemudian disebut sebagai metode
FPL (Rasmussen, 1961). Metode FPL ini kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Shin
Terazawa pada tahun 1965, dan hasilnya kemudian disebut metode Terazawa. Dengan
demikian, metode FPL maupun metode Terazawa merupakan suatu metode yang dapat
digunakan untuk menetapkan skedul suhu dan kelembaban bagi pengeringan suatu kayu
yang belum diketahui karakter pengeringannya.
Di dalam rangka memperagakan menetapkan skedul suhu dan kelembaban menurut
metode Terazawa, dipilih kayu nyatoh bersortimen tebal 5,3 cm, lebar 20,2 cm dan panjang
500 cm sebagai studi kasus. Pemilihan ini didasarkan pada empat pertimbangan. Pertama,
kayu nyatoh merupakan salah satu jenis kayu yang sulit untuk dikeringkan, mudah
mengalami cacat deformasi dan pecah ujung (Martawijaya dkk, 1981). Kedua, kayu nyatoh
bersortimen tebal 5,3 cm, lebar 20,2 cm dan panjang 500 cm belum memiliki skedul suhu
dan kelembabannya yang spesifik, meski sortimen tersebut wajib dikeringkan di dalam tanur
pengering konvensional dengan kadar air akhir maksimum 12%. Ketiga, kayu nyatoh terpilih
sebagai satu jenis kayu alternatif pengganti kayu-kayu dipterocarpaceae yang menjadi
semakin langka sebagai bahan baku bagi industri besar primer kayu di P. Sulawesi, yakni
suatu industri kayu yang menghasilkan produk berupa komponen konstruksi bangunan
gedung/rumah untuk pasaran internasional. Keempat, kayu nyatoh tersedia dalam jumlah

933
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

besar karena sangat banyak anggota populasi pohon nyatoh yang tumbuh alami dalam
hutan P. Sulawesi (Anonimus, 2005).
Kayu nyatoh dihasilkan dari 18 jenis pohon, antara lain Palaquium javense dan P.
Leerii serta Genua motleyana. Berat jeniskayu nyatoh sangat bervariasi, dari yang terendah
sebesar 0,48 pada P. javense sampai dengan yang tertinggi sebesar 0,87pada P. Leerii.
(Martawijaya dkk, 1981). Sampai dengan kadar air 12%, penyusutan tangensial dan radial
pada P. Galactoxylum sebesar 4,2% dan 1,5%, pada P. hornei sebesar 7,8% dan 6,1% dan
pada P amboinense sebesar 3,9% dan 1,7% (Anonim, 2011).
Teknologi pengeringan kayu di dalam tanur pengering konvensional merupakan suatu
proses yang melibatkan banyak unsur pengetahuan yang pendukungnya, sehingga
pemahaman yang komprehensif mengenai pengeringan kayu memerlukan pemahaman
yang baik terhadap unsur pengetahuan pendukung tersebut. Ada sepuluh unsur
pengetahuan pendukung, yaitu meliputi kayu, air, panas, media pembawa panas, sirkulasi
udara, suhu udara, kelembaban udara, alat pengering, ilmu dan teknologi pengeringan serta
waktu. Di dalam teknologi pengeringan di dalam tanur konvensional, penyusunan skedul
suhu dan kelembaban (drying schedule) yang tepat dan penerapannya di dalam proses
pengeringan merupakan aktivitas yang sangat penting, Hal itu disebabkan karena
penyusunan dan penerapan skedul suhu dan kelembaban yang tepat sangat menentukan
tingkat kualitas kayu kering dan efisiensi proses pengeringan dengan tanur konvensional
(Suranto, 2006)
Prosedur untuk merumuskan skedul suhu dan kelembaban bagi kayu yang belum
diketahui karakter pengeringannya disajikan pertama kali oleh Forest Product Laboratory
(1961) di Amerika Serikat. Prosedur ini dikenal dengan nama metode Forest Product
Laboratory (FPL). Pada tahun 1965, Shin Terazawa merumuskan panduan untuk menyusun
skedul suhu dan kelembaban, yang kemudian dikenal sebagai metode Terazawa. Metode
Terazawa merupakan langkah menyempurnaan terhadap prosedur penyusunan skedul suhu
dan kelembaban metode. Forest Product Laboratory. Mengingat bahwa durasi waktu yang
diperlukan oleh metode Terazawa untuk menyusun skedul suhu dan kelembaban jauh lebih
pendek dibandingkan dengan durasi waktu yang diperlukan metode FPL, maka metode
Terazawa disebut juga pengujian pengeringan secara cepat.
Pengujian pengeringan secara cepat merupakan metoda empiris yang digunakan
untuk menentukan skedul suhu dan kelembaban secara teoritis. Skedul suhu dan
kelembaban hasil penentuan itu kemudian diterapkan untuk yang pertama kali pada proses
pengeringan terhadap kayu gergajian yang berasal dari spesies tertentu, dengan sifat dan
karakter tertentu.. Pengamatan dilakukan terhadap proses pengeringan pada penerapan
yang pertama tersebut, terutama pengamatan terhadap kadar air akhir dan cacat
pengeringan pada kayu yang dihasilkan dari proses pengeringan. Data hasil pengamatan ini
dijadikan obyek untuk mengadakan aktivitas evaluasi demi penentuan tingkat kesesuaian
skedul suhu dan kelembaban hasil perumusan pertama tersebut. Bila dinyatakan sesuai,
maka skedul suhu dan kelembaban hasil penyusunan tersebut dapat digunakan secara
terus-menerus pada proses pengeringan berikutnya. Sebaliknya, bila skedul suhu dan
kelembaban hasil perumusan pertama tersebut dinyatakan kurang sesuai, maka skedul suhu
dan kelembaban hasil penyusunan itu harus diadakan modifikasi. Hasilnya berupa skedul
suhu dan kelembaban hasil modifikasi pertama. Skedul suhu dan kelembaban hasil
modifikasi pertama ini diterapkan pada proses pengeringan terhadap kayu gergajian yang
berspesifikasi jenis dan sifat serta karakter yang sama. Pengamatan terhadap kadar air akhir
dan cacat pengeringan, evaluasi demi penentuan tingkat kesesuaian skedul suhu dan
kelembaban dilakukan lagi secara siklis untuk mendapatkan skedul suhu dan kelembaban
yang sesuai dengan karakter kayu yang dikeringkan. Oleh karena itu, metode Terazawa ini
digunakan sebagai titik awal bagi penyusunan skedul suhu dan kelembaban yang aktual
bagi kayu gergajian yang berasal dari spesies yang manapun (Terazawa, 1965).

934
PENGOLAHAN HASIL HUTAN

BAHAN DAN METODE

Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah kayu nyatoh. Kayu ini merupakan
hasil penebangan terhadap pohon-pohon nyatoh berukuran diameter lebih dari 60 cm yang
tumbuh di dalam kawasan hutan alam di P. Sulawesi, tepatnya yang berada di antara Sungai
Mora dan Sungai Budong bagian hulu. Tingkah kelimpahan pohon nyatoh setiap ha
kawasan hutan adalah 2,27 pohon yang bervolume 11,14 m3 (anonim, 2005). Dalam
penebangan ini, dipilih secara acak sebatang pohon nyatoh dan ditandai. Bersama dengan
batang-batang yang lain, batang pohon nyatoh terpilih dilakukan pembagian batang bebas
cabang dan diangkut ke industri penggergajian yang berlokasi di Makasar. Sebagaimana
batang lainnya, batang terpilih ini digergaji secara tangensial untuk mendapatkan sortimen
kayu masing-masing berukuran panjang 500 cm, lebar 20,3 cm dan tebal 5,3 cm. Sebuah
sortimen kayu gergajian dipilih secara random dari banyak sortimen berukuran sama yang
dihasilkan dari penggergajian seluruh bagian batang pohon terpilih. Sortimen terpilih secara
random itu kemudian digergaji secara longitudinal pada setiap panjang 50 cm, sehingga
diperoleh 10 sortimen masing-masing berukuran panjang 50 cm, lebar 20,2 mm dan tebal
5,3 cm. Ke-10 sortimen terakhir ini dibungkus plastik secara rapat dan diangkut menuju ke
Laboratorium Pengeringan dan Pengawetan Kayu, Jurusan Teknologi Hasil Hutan, Fakultas
Kehutanan Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta.
Di dalam laboratorium ini, sortimen tersebut ditentukan sifat fisika dan sifat
pengeringannya. Sifat fisika meliputi kadar air, berat jenis dan penyusutan. Sifat pengeringan
dilakukan berdasarkan pengujian pengeringan secara cepat. Pengujian pengeringan secara
cepat ini dilakukan dengan mengikuti suatu metode yang dikembangkan oleh Terazawa
(1965).
Di dalam Laboratorium, sebuah sortimen sepanjang 50 cm dipilih secara random dari
sepuluh sortimen tersebut. Potongan yang terpilih dipotong-potong lagi menjadi tujuh potong
yang masing-masing secara berurutan sepanjang (1) 11 cm, (2) 2 cm, (3) 2 cm, (4) 20 cm,
(5) 2 cm, (6) 2 cm dan (7) 11 cm. Dua potongan masing-masing sepanjang 11 cm dan
berasal dari kedua bagian ujung, yakni potongan (1) dan (7), dibuang untuk menghindarkan
pengaruh perbedaan kadar air yang disebabkan oleh penguapan air melalui bagian ujung.
Dua buah potongan masing-msing sepanjang 2 cm, yakni potongan (2) dan (6), merupakan
bagian yang digunakan untuk membuat contoh uji bagi pengukuran kadar air awal. Dua buah
potongan masing-masing sepanjang 2 cm, yakni potongan (3) dan (5), merupakan bagian
yang digunakan untuk membuat contoh uji bagi pengukuran berat jenis dan penyusutan.
Sebuah potongan berukuran 20 cm, yakni potongan ke-4, difungsikan sebagai bahan untuk
membuat contoh uji pada pengujian pengeringan secara cepat. Potongan ke-4 ini diserut
pada kedua permukaannya, kemudian digergaji secara longitudinal, sehingga mendapatkan
contoh uji berukuran tebal 5,3 cm, lebar 20,2 cm dan panjang 20 cm. Setelah dipotong dan
menjadi contoh uji, setiap contoh uji itu ditimbang segera.
Peralatan yang digunakan di dalam penelitian ini meliputi gergaji lingkar dan mesin
pengetam. Di samping itu, juga digunakan kaliper, oven bermerk Memmert, desikator,
Timbangan digital analitis bermerk OHauss.

Pengujian Sifat Fisika Kayu


Penentuan sifat fisika berupa kadar air, berat jenis dan penyusutan pada sampel-
sampel itu dilakukan dari kondisinya yang basah menuju ke kondisi kering tanur.
Penentuan sifat-sifat fisika kayu ini dilakukan berdasarkan metoda British Standard, BS 373
(Anonim, 1957)

Pengujian Pengeringan secara Cepat


Pengujian pengeringan secara cepat merupakan metoda empiris yang digunakan
untuk menentukan skedul suhu dan kelembaban yang tepat. Metode ini digunakan sebagai
titik awal bagi penyusunan skedul suhu dan kelembaban yang aktual bagi kayu gergajian
yang berasal dari spesies yang manapun (Terazawa, 1965). Prosedur bagi penerapan

935
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

metoda Terazawa untuk menetapkan skedul suhu dan kelembaban terdiri atas beberapa
langkah sebagai berikut:
1. Sampel berukuran tebal 5,3 cm, lebar 20,2 cm dan panjang 20 cm yang berasal dari
potongan nomor 4, dimasukkan ke dalam oven bertenaga listrik yang diatur pada kondisi
suhu 103 + 2oC.
2. Sampel ditimbang dan pemunculan serta perkembangan retak permukaan dan retak
ujung diamati secara periodis setiap 2 jam selama proses pengeringannya sampai
sampel itu mencapai kadar air yang konstan pada tingkat 1 persen.
3. Pada akhir proses pengeringan, sampel itu dihitung dan diukur jumlah retak permukaan
dan retak ujung (yang dinyatakan sebagai Cacat 1), juga cacat deformasi (yang
dinyatakan sebagai Cacat 2). Sample ini kemudian dipotong tepat pada bagian tengah
dalam arah longitudinalnya untuk mengetahui dan mengukur retak-dalam yang sering
disebut honey-comb (yang dinyatakan sebagai Cacat 3). Penetapan tingkat kerusakan
bagi masing-masing jenis cacat ini didasarkan pada jumlah dan ukuran cacat yang
terjadi pada permukaan kayu dalam kondisi kering mutlak.
4. Tingkat cacat ditentukan dan diperingkat berdasarkan sekala nilai. Sekala nilai yang
berkisar antara 1 s.d 8 bagi cacat retak permukaan dan ujung (cacat 1) juga bagi cacat
deformasi (cacat 2). Sekala nilai antara 1 s.d 6 bagi cacat retak-dalam (cacat 3).
Penentuan itu didasarkan pada tabel yang ditetapkan Terguson tahun 1951 (Terazawa,
1965). Nilai pemeringkatan diartikan bahwa semakin rendah nilai peringkatnya, maka
semakin rendah (sedikit) pula cacat yang terjadi, atau sebaliknya, semakin tinggi nilai
pada peringkat ini, maka semakin tinggi (banyak) pula cacat yang terjadi.
5. Berdasarkan pada dua hal, yaitu hasil pemeringkatan di atas dan tabel termometer
suhu bola kering (TSBK) dan tabel depresi suhu bola basah (DSBB) sebagaimana
disajikan pada manual Forest Product Laboratory (Rasmussen, 1961), ditentukanlah
suhu minimum dan maksimum termometer suhu bola kering serta depresi suhu bola
basah bagi kayu-gergajian dari spesies tertent. Kedua hal itu, yaitu suhu minimum dan
suhu maksimum serta depresi suhu bola basah, pada gilirannya dapat dijadikan dasar
untuk menyusun skedul suhu dan kelembaban yang sesuai bagi kayu nyatoh.

Prosedur bagi penerapan metoda Terazawa untuk menetapkan skedul suhu dan
kelembaban terdiri atas beberapa langkah sebagai berikut:
1. Dibuat empat macam sampel, yaitu sampel untuk menentukan kadar air awal, sampel
untuk menentukan berat jenis dan sampel untuk menentukan penyusutan dalam arah
panjang, lebar dan tebal, serta sample untuk pengujian pengeringan. Sampel untuk
pengujian pengeringan secara cepat adalah sampel yang berukuran tebal dan lebar
sebagaimana ukuran tebal dan lebar sortimen kayu yang akan dikeringkan di dalam
tanur pengering konvensional. Panjang sampel pengujian pengeringan ini adalah 200
mm. Kondisi kadar air sampel pengujian pengeringan diusahakan mewakili kondisi
kadar air sortimen kayu yang akan dikeringkan Sampel pengujian pengeringan diserut
pada kedua permukaan lebarnya.
2. Sampel kadar air awal ditimbang, kemudian sesegera mungkin untuk dimasukkan ke
dalam tanur elektrik untuk dikeringkan dan ditimbang secara periodis dalam rangka
penentuan kadar air awal. Hasil yang diperoleh dari penentuan kadar air awal dijadikan
dasar untuk mementukan kadar air awal dan langkah perubahannya selama proses
pengeringan.
3. Penentuan kadar air pada setiap langkah proses pengeringan.
Sebagaimana disebutkan, bahwa nilai kadar air awal rata-rata sampel digunakan
sebagai dasar untuk memilih menu kadar air awal dan langkah perubahan kadar air
selama proses pengeringan. Terdapat sembilan menu, yaitu kelas A sampai dengan
kelas F, yang tersedia di dalam klasifikasi kadar air yang dibuat oleh Terazawa (1965).
Kelas kadar air terpilih akan menjadi salah satu komponen penyusun skedul suhu dan
kelembaban. Klasifikasi kadar air tersebut ditampilkan pada Tabel 1 berikut.

936
PENGOLAHAN HASIL HUTAN

Tabel 1. Klasifikasi kadar air dan langkah perubahannya

Lang- Klasifikasi Kadar Air Berdasarkan Kadar Air Awal (%)


kah A B C D E F G H I
1 40-30 50-35 60-40 80-50 100- 120- 140- 170- 220-
60 68 75 90 110
2 30-28 35-32 40-35 50-43 60-47 68-55 75-60 90-70 110-
80
3 28-26 32-29 35-31 43-36 47-40 55-45 60-45 70-55 80-65
4 26-24 29-26 31-27 36-30 40-34 45-38 45-38 55-45 65-50
5 24-22 26-23 27-24 30-25 34-29 38-32 38-32 45-35 50-40
6 22-20 23-20 24-21 25-21 29-24 32-27 32-27 35-27 40-32
7 20-18 20-18 21-18 21-18 24-20 27-22 27-22 27-22 32-25
8 18-16 18-16 18-16 18-16 20-16 22-18 22-18 22-18 25-20
9 16-14 16-14 16-16 16-14 16-14 18-14 18-14 18-14 20-15
10 14-12 14-12 14-12 14-12 14-12 14-12 14-12 14-12 15-12
11 < 12 < 12 < 12 < 12 < 12 < 12 < 12 < 12 < 12

4. Penentuan berat jenis dan penyusutan kayu, masing-masing secara berurutan


menggunakan sampel berat jenis dan sampel penyusutan. Hasilnya digunakan sebagai
informasi tambahan yang akan digunakan sebagai pelengkap ketika mengadakan
evaluasi terhadap skedul suhu dan kelembaban perumusan.
5. Sebagaimana sampel kadar air, sampel pengujian pengeringan ini juga sesegera
mungkin dimasukkan ke dalam oven bertenaga listrik yang diatur pada kondisi suhu 103
+ 2oC, dan dilakukan pengeringan selama 72 jam atau sampai dengan mencapai kadar
air satu persen.
6. Selama proses pengeringan, sampel ditimbang dan pemunculan serta perkembangan
retak permukaan dan retak ujung diamati secara periodis setiap 2 jam
7. Pada akhir proses pengeringan, sampel itu dihitung dan diukur jumlah retak permukaan
dan retak ujung (yang dinyatakan sebagai Cacat 1), juga cacat deformasi (yang
dinyatakan sebagai Cacat 2). Sample ini kemudian dipotong tepat pada bagian tengah
dalam arah longitudinalnya untuk mengetahui dan mengukur retak-dalam yang sering
disebut honey-comb (yang dinyatakan sebagai Cacat 3). Penetapan tingkat kerusakan
bagi masing-masing jenis cacat ini didasarkan pada jumlah dan ukuran cacat yang terjadi
pada permukaan kayu dalam kondisi kering mutlak.
8. Tingkat cacat bagi masing-masing dari ketiga jenis cacat itu ditentukan dan diperingkat
berdasarkan sekala nilai tertentu. Sekala nilai yang berkisar antara 1 sampai dengan 8
diterapkan bagi cacat retak permukaan dan ujung (cacat 1) dan juga bagi cacat
deformasi (cacat 2). Skala nilai yang berkisar antara 1 sampai dengan 6 diterapkan bagi
cacat retak-dalam (cacat 3). Penentuan itu didasarkan pada tabel yang ditetapkan oleh
Terguson pada tahun 1951 (Terazawa, 1965).
9. Berdasarkan pada dua hal, yaitu hasil pemeringkatan tentang cacat di atas dan tabel
termometer suhu bola kering (TSBK) dan tabel depresi suhu bola basah (DSBB)
sebagaimana disajikan pada manual Forest Product Laboratory (Rasmussen, 1961),
disajikanlah suhu minimum dan maksimum termometer suhu bola kering serta depresi
suhu bola basah bagi kayu-gergajian dari spesies tertentu yang akan dikeringkan.
Penetapan suhu awal, depresi suhu bola basah dan suhu akhir dilakukan mengikuti
acuan yang dibuat oleh Terazawa (1965) sebagaimana disajikan pada Tabel 2 berikut.

937
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Tabel 2. Hubungan antara jenis cacat dan suhu awal, depresi dan suhu akhir.

Variasi Kondisi Pengeringan (oC) Tingkat cacat


Cacat 1 2 3 4 5 6 7 8
Retak Awal Suhu Awal 70 65 60 55 53 50 47 45
Depresi Suhu Bola Basah 6,5 5,5 4,3 3,6 3,0 2,3 2,0 1,
8
Suhu Akhir 95 90 85 83 82 81 80 79
Deformasi Suhu Awal 70 66 58 54 50 49 48 47
Depresi Suhu Bola Basah 6,5 6,0 4,7 4,0 3,6 3,3 2,8 2,
5
Suhu Akhir 93 88 83 80 77 75 73 70
Retak- Suhu Awal 70 55 50 49 48 45 - -
Dalam Depresi Suhu Bola Basah 6,5 4,5 3,8 3,3 3,0 2,5 - -
Suhu Akhir 95 83 77 73 71 70 - -

10. Berdasarkan pada Tabel 2 tersebut, ditentukanlah suhu minimum dan maksimum
termometer suhu bola kering serta depresi suhu bola basah bagi kayu-gergajian dari
spesies tertentu yang akan dikeringkan. Penetapan suhu awal, depresi suhu bola basah
dan suhu akhir dilakukan dengan membandingkan kondisi suhu awal, depresi suhu bola
basah dan suhu akhir yang dibawa oleh masing-masing jenis cacat pada peringkat yang
dimilikinya, kemudian memilihkan nilai suhu awal, depresi suhu bola basah dan suhu
akhir yang paling rendah di antara ketiga cacat tersebut. Pemilihan ini didasarkan pada
suatu pemahaman, bahwa semakin rendah nilai peringkat cacat, maka akan berarti
semakin rendah kondisi suhu awal, depresi suhu bola basah dan suhu akhir, dan
konsekuensi selanjutnya akan semakin rendah (sedikit) pula cacat yang terjadi pada
kayu yang dikeringkan dalam kondisi pengeringan tersebut. Sebaliknya, semakin tinggi
nilai pada peringkat cacat, berarti semakin tinggi kondisi suhu awal, depresi suhu bola
basah dan suhu akhir, dan berkonsekuensi selanjutnya akan semakin tinggi (banyak)
pula cacat yang terjadi. pada kayu yang dikeringkan dalam kondisi pengeringan ini.
11. Pada gilirannya, hasil penetapan suhu awal, depresi suhu bola basah dan suhu akhir ini
digunakan sebagai dasar untuk memilih dua hal. Pertama, memilih depresi suhu bola
basah dan langkah perubahannya. Kedua, memilih suhu dan langkah perubahannya
selama pengeringan. Dalam memilih depresi suhu bola basah, tersedia berbagai menu
pilihan di dalam klasifikasi depresi suhu. Klasifikasi depresi suhu bola basah dan langkah
perubahannya disajikan pada Tabel 3 berikut (Terazawa, 1965).

Tabel 3. Klasifikasi depresi suhu bola basah dan langkah perubahannya

Lang- Klasifikasi Depresi Suhu Bola Basah (oC)


kah 1 2 3 4 5 6 7 8
1 1,5 2 2,5 3 3,5 4 5 7
2 2 3 3,8 4,5 5 6 8 11
3 3 4,5 6 7 8 9 12 17
4 4,5 7 9 11 12 14 18 21
5 7 11 14 17 18 18 25 25
6 11 21 19 21 25 25 30 30
7 17 25 25 25 30 30 30 30
8 20 30 30 30 30 30 30 30
9 20 30 30 30 30 30 30 30
10 30 30 30 30 30 30 30 30
11 30 30 30 30 30 30 30 30
12.

938
PENGOLAHAN HASIL HUTAN

13. Dalam memilih suhu dan langkah perubahannya selama proses pengeringan, tersedia
berbagai menu pilihan di dalam klasifikasi suhu dan langkah perubahannya. Terazawa
(1965) menyediakan suatu Klasifikasi Suhu Awal pada termometer bola kering dan
langkah perubahannya selama proses pengeringan, dan klasifikasi ini dibuatnya
berdasarkan pada klasifikasi mengenai hal yang sama yang dihasilkan oleh FPL (1961).
Klasifikasi suhu pada termometer bola kering dan langkah perubahannya hasil susunan
Terazawa disajikan pada Tabel 4 berikut.

Tabel 4. Klasifikasi Suhu Awal dan Langkah Perubahannya.

Perubahan Klasifikasi Suhu Awal (oC) dan Perubahannya selama Pengeringan


Kadar Air (%) T1 T2 T3 T4 T5 T6 T7 T8 T9 T10
Segar-40 35 40 45 50 55 60 65 70 80 85
40-35 35 40 45 50 55 60 65 70 85 90
35-30 35 40 45 50 58 65 70 75 90 100
30-25 35 43 48 55 63 70 75 80 95 110
25-20 38 48 53 60 68 75 80 85 100 120
20-15 40 53 58 65 70 80 85 95 110 120
15-12 45 60 65 70-80 70-80 80-90 85-90 105 120 120
< 12 55 60 65 70-80 70-80 80-90 85-90 105 120 120

14. Perumusan skedul suhu dan kelembaban. Berdasarkan aspek-aspek: kadar air awal,
depresi suhu bola basah, suhu awal dan suhu akhir beserta langkah perubahan pada
masing-msing aspek tersebut, disusunlah skedul suhu dan kelembaban spesifik bagi
kayu jenis tertentu sesuai dengan karakternya.
15. Pendugaan durasi pengeringan. Pendugaan durasi waktu yang diperlukan selama
pengeringan dilakukan dengan menghitung nilai rata-rata dari dua nilai. Nilai pertama
adalah durasi waktu yang dihitung berdasarkan jangka waktu yang diperlukan oleh
sampel pengujian pengeringan untuk mencapai kadar air 1%. Nilai kedua berasal dari
durasi waktu yang dihitung berdasar pada depresi suhu bola basah.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Sifat Fisika Kayu


Sifaf fisika sampel kayu nyatoh disajikan di dalam Tabel 5 sebagai berikut.

Tabel 5. Sifat Fisika Kayu Nyatoh


Sampel Kadar air Berat Penyusutan pada kondisi kering Nisbah
(%) Jenis mutlak (%) pada arah penyusutan
Panjang Tebal Lebar T/L
1 122,28 0,491 3,00 6,95 8,15 0,85
2 86,60 0,462 2,56 6,36 6,61 0,96
3 90,89 0,478 2,81 5,98 8,63 0,69
4 122,61
5 96,47
Rata-rata 103,77 0,477 2,79 6,64 7,79 0,83

Tabel 5 memperlihatkan hasil sebagai berikut. Nilai rata-rata kadar air rata-rata
adalah 103,77. Nilai berat jenis rata-rata adalah 0,477. Nilai penyusutan pada arah panjang
rata-rata adalah 2,79. Nilai penyusutan pada arah tebal rata-rata adalah 6,64. Nilai
penyusutan pada arah lebar rata-rata adalah 7,79. Nilai nisbah penyusutan pada arah tebal
rata-rata adalah 0,83.

939
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Dilihat dari kadar air awal sebesar 103,77% dapat dinyatakan bahwa sortimen kayu
ini dapat dikatagorikan sebagai berkandisi sangat basah. Dilihat dari berat jenisnya yang
sebesar 0,477, kayu ini merupakan kayu nyatoh yang tergolong ke dalam kelompok kayu
nyatoh kelas ringan. Sementara itu, nilai penyusutannya kayu ini tergolong memiliki tingkat
penyusutan yang relatif tinggi, baik penyusutan tebal maupun penyusutan lebar.

Pengujian Pengeringan secara Cepat


Hasil penelitian mengenai pengeringan secara cepat disajikan sebagai berikut:
1. Status dan klasifikasi cacat
Pada sampel pengujian pengeringan terdapat cacat sebagai berikut. Retak ujung
permukaan sebanyak 27 buah yang kemudian retak ini merapat lagi sebanyak 16
setelah pemanasan selama 46 jam, sehingga ada retak ujung sebanyak 13. Retak
permukaan dan tidak ada, deformasi sebesar 0,27 mm dan tidak terdapat retak-dalam..
Berdasarkan data di atas, keberadaan tiga jenis cacat (yaitu retak permukaan dan
ujung, deformasi dan retak-dalam) pada sample itu dapat diperingkat atau diklasifikasi.
Hasil klasifikasi sebagai berikut: peringkat 2 dalam hal retak awal, peringkat 1 dalam hal
deformasi dan peringkat 1 dalam hal retak-dalam.

2. Penetapan suhu awal, depresi suhu bola basah dan suhu akhir
Berdasarkan hasil pengklasifikasian di atas, dapat ditentukan suhu minimum, suhu
maksimum dan depresi suhu bola basah pada awal maupun akhir proses pengeringan.
Berdasarkan retak awal yang tergolong ke dalam kelas 2, maka suhu awal dan depresi
suhu bola basah serta suhu akhir secara berurutan adalah 65oC dan 5,5oC serta 90oC.
Berdasarkan deformasi yang tergolong ke dalam kelas 1, maka suhu awal dan depresi
suhu bola basah serta suhu akhir secara berurutan adalah 70oC dan 6,5oC serta 95oC.
Berdasarkan retak-dalam yang tergolong ke dalam kelas 1, maka suhu awal dan depresi
suhu bola basah serta suhu akhir secara berurutan adalah 70oC dan 6,5oC serta 95oC.
Dengan memperbandingkan kelompok angka yang disajikan oleh masing-masing
peringkat itu, jelaslah bahwa aspek cacat retak awal menghasilkan deretan angka suhu
yang paling rendah yang merefleksikan kondisi pengeringan yang paling ringan. Dengan
alasan itu, aspek cacat awal dipilih sebagai penentu untuk menyusun skedul suhu dan
kelembaban. Oleh karena itu, maka suhu awal 65oC dan depresi suhu bola basah 5,5oC
serta suhu akhir 90oC dipilih sebagai kondisi proses pengeringan.

3. Penentuan kadar air pada setiap langkah proses pengeringan.


Nilai kadar air awal rata-rata sampel adalah 103,77%. Tingkat kadar air awal
sebesar ini berkonsekuensi pada terpilihnya kelas H pada pengelompokkan kadar air di
dalam Tabel 6 sebagai penyusun skedul suhu dan kelembaban. Kelas H mencerminkan
langkah-langkah penurunan kadar air berikut: 170-90; 70-55; 55-45; 45-35; 35-27; 27-
22; 22-18; 18-14; 14-12; dan kurang dari 12% sebagai langkah akhir proses
pengeringan.

4. Penentuan depresi suhu bola basah


Depresi suhu bola basah pada tahap awal adalah 5,5oC untuk sampel sortimen
berketebalan 5,3 cm. Berdasarkan ketebalan kayu, maka dipilih Bagan B pada kolom 7.
Penampilan langkah perubahan depresi suhu bola basah pada kolom H adalah sebagai
berikut: 5,5; 7,5; 11; 15; 20; 25; 30; 30; 30; 30; 30 oC.

5. Penentuan perubahan suhu selama proses pengeringan.


Berdasarkan sampel pengeringan, diperoleh suhu awal pada termometer bola
kering adalah 65 oC dan suhu akhir adalah 90 oC. Berdasarkan wilayah suhu antara suhu
awal 65 oC dan akhir 90oC ini, kolom suhu T7 dipilih untuk mengekspresikan perubahan
suhu selama proses pengeringan. Langkah-langkah perubahan suhu ini sebagai berikut:
65, 65,65, 70, 75, 80, 85, 85-90, 85-90 oC.

940
PENGOLAHAN HASIL HUTAN

5. Pendugaan durasi pengeringan


Untuk mencapai kadar air 1%, pengeringan sampel memerlukan waktu selama 72
jam. Berdasarkan grafik hubungan antara durasi pengeringan di dalam oven berlistrik
dan durasi pengeringan di dalam tanur pengering konvensional yang dibuat oleh
Terazawa (1965), waktu selama 72 jam ini akan menunjuk pada estimasi durasi
pengeringan di dalam tanur pengering konvensional selama 19 hari. Sementara itu,
berdasarkan pada depresi suhu bola basah yang sebesar 5,5 oC ini bagi sampel
pengeringan, maka durasi pengeringan di dalam tanur pengering konvensional menurut
Terazawa (1965) adalah 3 hari. Berdasarkan kedua angka durasi tersebut, maka durasi
pengeringan rata-rata diperkirakan selama (19 + 3)/2 = 11 hari.

7. Perumusan skedul suhu dan kelembaban.


Berdasarkan beberapa kriteria sebagaimana diperikan di atas, skedul suhu dan
kelembaban bagi kayu nyatoh yang berdimensi tebal 5,3 cm dan lebar 20,2 cm dapat
dirumuskan dengan kode T7H7. Penampilan skedul suhu dan kelembaban T7H7 ini
disajikan pada Tabel 6 berikut.

Tabel 6. Skedul Suhu dan Kelembaban berkode T7H7

Langkah Kadar Air Suhu Depresi Suhu Suhu Kelemban


(%) Termometer Termometer Termometer Relatif (%)
Bola Kering Bola Basah Bola Basah
(oC) (oC) (oC)
1 170 90 65 5,5 59,5 76
2 90 70 65 7,5 57,5 68
3 70 55 65 11 54 56,5
4 55 45 65 15 50 38,5
5 45 35 65 20 45 33
6 35 27 70 25 45 18
7 27 22 75 30 45 13
8 22 18 75 30 45 13
9 18 14 80 30 50 12
10 14 12 85-90 30 55-60 11
11 < 12 85-90 30 55-60 11

KESIMPULAN

Penelitian terhadap kayu nyatoh gergajian bersortimen tebal 5,3 cm dan lebar 20,2
cm menyimpulkan bahwa kayu ini memiliki nilai kadar air awal 103,77%, berat jenis 0,477,
penyusutan lebar 7,79% dan penyusutan tebal 6,64%. Pengeringan kayu tersebut di dalam
tanur pengering konvensional dilakukan dengan penetapan skedul suhu dan kelembaban
sebagai langkah pertama. Skedul suhu dan kelembaban hasil penetapan itu dicirikan oleh
kondisi sebagai berikut: (1) suhu awal 65oC dan suhu akhir 90oC. (2) Depresi suhu
termometer bola basah pada awal pengeringan adalah 5,5 oC dan akhir adalah 30 oC. Skedul
suhu dan kelembaban demikian diberi kode T7H7. Kelembaban relatif pada awal
pengeringan 76% dan akhir pengeringan 11%. Durasi pengeringan diperkirakan 11 hari.
Kayu nyatoh bersortimen tebal 5,3 cm, lebar 20,2 cm dan panjang 500 cm bila
dikeringkan di dalam tanur pengering dengan pengaturan kondisi pengeringan mengikuti
skedul di atas, maka proses pengeringan berkemungkinan sangat besar menghasilkan kayu
kering tanpa disertai dengan cacat yang berarti. Kondisi ini akan menjadi basis yang kuat
bagi proses pengolahan kayu yang menghasilkan produk berkualitas tinggi.

941
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

DAFTAR PUSTAKA

Anonimus. 1957. British Standard (BS) nomor 373 Methods of Testing Small Clear
Specimen of Timber, London.
Anonimus. 2004. Penilaian Kinerja Perusahaan Industri Pengolahan Hasil Hutan Kayu.
Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan. Departemen Kehutanan Republik
Indonesia. Jakarta.
Anonimus, 2005. Hasil Inventarisasi oleh Tim Inventarisasi P.T Rante Mario. Makasar. Tidak
diterbitkan.
Anonimus, 2011. Palaquium. Primary Industries and Fisheries. Quenland Goverment.
Sumber. http://www.dpi.qld.gov.au/26_5491.htm. Diunduh pada 29 September 2011.
Bollmann, 1977. Manual for Technical Drying of Timber. Ludwig Bolmann Kg.
Maschinenfabrik. Rielasingen. West Germany.
Gorisek, Z. dan Straze A., 2007. Influence of wood Drying Technique and Process Condition
on Drying Quality of Beech Wood (Fagus silvatica L). Conference on Quality Control
For Competitivenes of Wood Industries. Warsaw, 15 17 Oktober 2010. sumber
http://www.coste53.net/downloads/Warsaw/Warsaw-presentation/COSTE53-
ConferenceWarsaw-Presentation-Gorisek.pdf. Diunduh pada 13 September 2010
Martawijaya, S., Kartasujana, I., Kadir, K., Suwanda A.P., 1981. Atlas Kayu Indonesia. Jilid I.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Direktur Jenderal Kehutanan.
Bogor.
Rasmussen EF. 1961. Dry Kiln, Operators Manual. U.S. Department of Agriculture
Handbook, 188.
Suranto, Y. 2006. Buku Ajar Pengeringan Kayu. Jurusan Teknologi Hasil Hutan, Fakultas
Kehutanan, Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Terazawa S. 1965. An Easy Method for the Determination of Wood Drying Schedule. Wood
Industry Japan.

942
BIDANG F
ILMU KEHUTANAN
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

KERUSAKAN BIBIT TREMBESI (Samanea saman (Jacquin) Merrill)


DI PERSEMAIAN
Illa Anggraeni1, Rina Bogidarmanti1, dan Avry Pribadi2
1
Pusat Penelitian dan Pengembangan Peningkatan Produktivitas Hutan Bogor
2
Balai Penelitian Hutan Penghasil Serat Kuok-Riau

ABSTRAK

Trembesi (Samanea saman) mudah dikenali karena mempunyai kanopi yang


berbentuk payung dengan diameter kanopi lebih besar dari tingginya. Saat ini trembesi
digunakan sebagai pohon peneduh dan hiasan. Balai Penelitian Hutan Penghasil Serat
(BPHPS) Kuok-Riau telah melakukan pembibitan trembesi, akan tetapi bibit trembesi
tersebut banyak yang mati. Untuk menentukan teknik pengendalian penyakit yang
menyerang bibit di persemaian diperlukan suatu identifikasi terhadap jenis penyakit dan tipe
serangan. Oleh karena itu tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui jenis penyakit
yang menyerang bibit trembesi serta ekobiologi di persemaian BPHPS Kuok-Riau. Hasil
identifikasi menunjukkan bahwa penyebab penyakit pada bibit trembesi adalah
Colletotrichum sp. dengan persentase serangan terendah 22,22% hingga mencapai 70,37%.

Kata kunci : Bibit trembesi (Samanea saman), Colletotrichum sp., persentase serangan

PENDAHULUAN

Trembesi (Samanea saman) termasuk ke dalam famili Fabaceae, dengan berbagai


nama daerah diantaranya ki hujan (Jawa Barat), kayu colok dan munggur (Jawa Tengah).
Pohon trembesi merupakan tanaman cepat tumbuh asal Amerika Tengah dan Amerika
Selatan sebelah Utara, mudah dikenali karena mempunyai kanopi yang berbentuk payung
dengan diameter kanopi lebih besar dari tingginya (Nuroniah dan Kosasih 2010). Saat ini
trembesi digunakan sebagai pohon peneduh dan hiasan, tetapi Dr. Ir. Endes N. Dahlan
mengatakan bahwa trembesi memiliki daya serap tinggi terhadap karbon yaitu sebesar 28
ton/pohon/tahun (Silitingo, 2010 dalam Nuroniah dan Kosasih, 2010). Dalam rangka upaya
pengurangan emisi karbon Indonesia sebesar 26% pada tahun 2020, pemerintah melalui
program one man one tree menggalakan trembesi (Nuroniah dan Kosasih 2010).
Perkembangbiakan trembesi dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu secara
generatif melalui biji dan secara vegetatif dengan pemotongan bahan, ranting, batang atau
dengan cara cangkok Balai Penelitian Hutan Penghasil Serat kuok-Riau (BPHPS) telah
melakukan pembibitan trembesi melalui biji, akan tetapi pada saat bibit trembesi umur 3
bulan terjadi serangan penyakit pada daunnya. Memang status penyakit yang menyerang
daun saat yang lalu tidaklah potensial, namun dengan melihat kenyataan bibit trembesi di
BPHPS mati akibat serangan penyakit tersebut, tentunya hal ini jangan diabaikan lagi.
Karena kita tahu bahwa pembibitan merupakan titik awal kegiatan keberhasilan penanaman
di lapangan, karena itu sangat penting dan merupakan kunci utama di dalam upaya
keberhasilan pembangunan hutan tanaman. Sementara itu bibit sangat rentan terhadap
serangan penyakit karena kondisi fisiologinya yang sangat lemah dan rapuh, yaitu sebelum
mencapai pertumbuhan yang mantap. Kondisi fisiologi tanaman mengalami dua tingkatan
pertumbuhan yaitu (1) tingkat sukulen yang hanya berlangsung beberapa minggu saja
(mulai dari munculnya benih di atas permukaan tanah sampai hipokotilnya mengeras). (2)
tingkat juvenil mulai saat mengerasnya hipokotil sampai periode yang tidak bisa ditentukan.
Jenis penyakit yang muncul dapat berasal dari tanah maupun dari atas tanah, air dan asal
bahan tanaman (biji) karena sumber inokulum penyakit dapat terbawa internal atau
kontaminan. Oleh karena itu perlakuan terhadap benih dan bibit di persemaian juga sangat
mempengaruhi keganasan serangan penyakit.

944
ILMU KEHUTANAN

Untuk menentukan teknik pengendalian penyakit yang menyerang bibit di


persemaian diperlukan suatu identifikasi terhadap jenis penyakit dan tipe serangan. Oleh
karena itu tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui jenis penyakit yang menyerang
daun bibit trembesi serta ekobiologi di persemaian BPHPS Kuok-Riau.

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian di lakukan di persemaian milik BPHPS Kuok-Riau pada bulan Februari
sampai dengan . bulan April 2011. Bibit trembesi berumur 3 bulan berasal dari cabutan
alam. Areal persemaian BPHPS masuk dalam wilayah Desa Kuok, Kecamatan Bangkinang
Barat, Kabupaten Kampar, Riau. Secara geografis terletak pada 01906 Lintang Utara dan
1005753 Bujur Timur dengan elevasi 87 meter dari permukaan laut.

Metode
Pengamatan dan pengukuran tingkat penyakit tanaman serta keberadaan patogen
merupakan hal yang sangat mendasar dalam mempelajari kehilangan hasil, peramalan dan
sistem pengendaliannya (Sinaga, 2009; Meliala, 2009). Perkembangan penyakit biasanya
diukur dengan kejadian penyakit (diseases incidance) dan intensitas penyakit (diseases
severity). Sehubungan dengan terjadinya serangan penyakit pada bibit trembesi maka
dilakukan pengukuran persentase kejadian penyakit. yaitu proporsi bibit yang terserang
penyakit dalam suatu populasi tanpa memperhitungkan berat atau ringannya tingkat
serangan. Rumus yang digunakan sebagai berikut :
n
P u100%
N
Keterangan: P: kejadian penyakit (%); n: jumlah bibit yang diserang penyakit; N: total bibit
yang diamati.

Identifikasi dilakukan dengan pengamatan secara makroskopis dan mikroskopis


(gejala penyakit dan tanda penyakit di lapangan) yang dideskripsikan dengan acuan pustaka
antara lain Alexopoulos dan Mims (1979); Barnett and Hunter (2006); Dwidjoseputro (1978);
Streets (1980) dan Agrios (2005).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gejala Penyakit
Gejala penyakit bercak daun pada bibit trermbesi diawali dengan munculnya bercak-
bercak berwarna coklat muda pada tepi daun dengan bentuk tidak beraturan. Ada pula
bercak berwarna keperakan seperti tersiram air panas (lodoh/busuk kebasahan). Kedua
bentuk bercak tersebut sangat cepat melebar menyebabkan daun mengkerut, bagian ujung
mati dan pada bagian pucuk bibit menunjukkan gejala mati pucuk (die back). Dalam waktu
yang relatif cepat bibit mati total mengering.

Persentase Serangan
Persentase serangan penyakit atau disebut pula kejadian penyakit adalah proporsi
tanaman yang terserang penyakit dalam suatu populasi tanaman, tanpa menghitung berat
atau ringannya tingkat serangan. Hasil pengamatan dan penghitungan terhadap persentase
serangan penyakit daun pada bibit trermbesi di persemaian BPHPS Kuok dapat dilihat di
bawah ini.

945
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Tabel 1. Persentase serangan penyakit daun bibit trermbesi di persemaian BPHPS Kuok.

No. Jalur Jumlah Bibit Jumlah bibit yang Persentase


terserang (mati) serangan (%)
1. 27 13 48,14
2. 27 9 33,33
3. 27 10 37,03
4. 27 6 22,22
5. 27 13 48,14
6. 27 10 37,03
7. 27 13 48,14
8. 27 8 29,62
9. 27 10 37,03
10. 27 13 48,14
11. 27 13 48,14
12. 27 12 44,44
13. 27 8 29,62
14. 27 6 22,22
15. 27 10 37,03
16. 27 19 70,37
17. 27 11 40,74

Deskripsi dan ekobiologi patogen


Deskripsi penyebab penyakit atau diagnosis merupakan tahapan awal yang sangat
perlu dilakukan dalam pengendalian penyakit. Kekeliruan dalam diagnosis penyebab
penyakit sering terjadi karena gejala penyakit yang sama dapat disebabkan oleh patogen
yang berbeda. Berdasarkan hasil pengamatan secara makroskopis dan mikroskopis melalui
pengamatan langsung dengan cara pembuatan preparat, isolasi biakan murni, uji Postulat
Koch, patogen dideskripsikan dengan acuan pustaka antara lain Alexopoulos dan Mims
(1979); Barnett & Hunter (2006); Dwidjoseputro (1978); Streets (1980) dan Agrios (2005),
bahwa penyebab penyakit pada bibit trembesi adalah fungi patogen Colletotrichum sp.
Hasil isolasi dari daun trembesi pada medium PDA menunjukkan bahwa jenis
patogen yang menyebabkan penyakit bercak daun adalah jenis fungi. Awal pertumbuhan
fungi membentuk koloni miselium berwarna putih, secara perlahan miselium berubah
berwarna abu-abu sampai hitam. Pada hari kesepuluh pada permukaan medium tumbuh
massa seperti lendir berwarna coklat terang yang ternyata adalah aservulus dengan konidia
yang banyak sekali. Pada permukaan koloni juga tumbuh sklerotia berwarna hitam dengan
bentuk agak bulat. Dari koloni fungi dibuat preparat mikroskopik untuk mengetahui bentuk
hifa dan konidia fungi. Hasil pengamatan secara mikroskopis menunjukkan bahwa fungi
tersebut mempunyai hifa yang bersekat, menghasilkan konidia yang sangat banyak
berbentuk silindris, konidia bersel tunggal, tidak bersekat berwarna hialin berbercak-bercak
hijau. Konidia dibentuk diujung konidiofor yang tidak bersekat dan tidak bercabang. Massa
yang berbentuk lendir berwarna coklat terang ternyata kumpulan dari konidia yang
jumlahnya banyak sekali. Hasil reisolasi diperoleh isolat yang identik dengan hasil isolasi
awal. Hal ini memperlihatkan bahwa fungi yang diperoleh pada tahap isolasi dan reisolasi
merupakan patogen penyebab penyakit primer pada daun bibit nyawai (hasil ini sesuai
dengan tahapan postulat Koch).
Berdasarkan penampilan secara makroskopis yang mencakup gejala-gejala yang
timbul pada bibit trembesi dan pertumbuhan koloni pada media PDA, pengamatan
mikroskopis dengan cara pembuatan preparat basah (langsung dari daun yang sakit) dan
dari preparat biakan murni dengan berbagai perbesaran, serta hasil inokulasi (postulat Koch)
ternyata fungi ini termasuk dalam kelas Deuteromycetes. Dwidjoseputro (1978)
menyebutkan bahwa fungi yang hifanya bersekat-sekat dan menghasilkan konidia, akan
tetapi fungi itu tidak atau belum diketahui cara pembiakan generatifnya dikelompokkan

946
ILMU KEHUTANAN

dalam kelas khusus yaitu Deuteromycetes atau fungi imperfect (jamur tak sempurna). Hasil
identifikasi dan deskripsi dengan pustaka dari Alexopoulos and Mims (1979), Barnett and
Hunter (2006), Dwidjoseputro (1978) dan Streets (1980), fungi penyebab penyakit bercak
daun pada bibit trembesi adalah dari genus Colletotrichum. Secara lengkap klasifikasi fungi
patogen bercak daun pada bibit trembesi menurut Alexopoulos dan Mims (1979) adalah
sebagai berikut :
Divisio : Amastigomycota
Subdivisio : Deuteromycotina
Kelas : Deuteromycetes
Subkkelas : Coelomycetidae
Ordo : Melanconiales
Famili : Melanconiaceae
Genus : Colletotrichum

Konidia biasanya membentuk satu atau dua tabung kecambah atau lebih. Bila
tabung kecambah mengenai permukaan benda padat maka terbentuklah apresorium
berwarna gelap/hitam dan lengket. Colletotricum sp. umumnya masuk ke dalam tanaman
inang melalui lubang alami (stomata), melalui luka dan penetrasi langsung pada kutikula.
Penyakit antraknosa yang disebabkan oleh Colletotrichum sp menyerang berbagai bagian
dari tanaman seperti buah, batang dan daun, menyerang tanaman pada berbagai umur
mulai dari pembibitan yang terbawa benih sampai tanaman di lapangan. Colletotrichum sp.
merupakan patogen akar yang dapat bertahan hidup tanpa adanya tanaman inang, dengan
cara hidup sebagai saprofit pada jaringan mati dengan membentuk struktur istirahat dan
pada fase parasitik menginfeksi gulam atau tanaman inang. Selama hidup secara saprofitik,
mengkolonisasi substrat organik, atau hidup secara parasitik pada akar tanaman dengan
tidak memperlihatkan gejala sakit (Garrett, 1970).
Penyakit antraknosa dilaporkan menyerang berbagai tanaman pertanian seperti
cabe, alpukat, jeruk, kacang kedelai, strawberi, pepaya, mangga dll. (Agrios, 2005);
menyerang tanaman perkebunan seperti kopi dan karet (Agrios, 2005; Semangun, 2000);
Tanaman kehutanan seperti Acacia spp. (Old et al, 2000), jabon, pulai, tembesu, jati,
cendana, tanjung (Anggraeni, 2008). Pada tanaman kehutanan penyakit bercak
Colletotrichum ini belum dirasakan kerugiannya, tapi pada tanaman karet penyakit ini sangat
mengganggu. Penyakit ini menyebabkan gugur daun karet dan akan menurunkan produksi
getah karet. Penyakit gugur daun Colletotrichum dapat merupakan masalah berat, baik pada
tanaman di pembibitan dan tanaman muda di lapangan maupun tanaman.

KESIMPULAN

Trembesi merupakan tanaman multi guna antara lain sebagai tanaman peneduh,
tanaman hias, dan mampu menyerap karbon, sehingga usaha pengembangannya perlu
dilakukan.
Penyakit bercak daun yang disebabkan oleh Colletotrichum sp dapat menyerang
tanaman di tingkat bibit di persemaian maupun tanaman dewasa di lapang sehingga perlu
diwaspadai apabila telah timbul gejala serangannya.
Hasil identifikasi menunjukkan bahwa penyakit bercak daun pada bibit trembesi
disebabkan oleh fungi patogen Colletotrichum sp. dengan persentase serangan mulai dari
22,22 % sampai dengan 70,37 %.

947
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

DAFTAR PUSTAKA

Agrios, G.N. 2005. Plant Pathology. 5th eds. Elsevier Academic Press. USA.
Alexopoulos, C.J. dan C.W. Mims. 1979. Introductory Mycology. John Wiley & Sons.
Anggraeni, I. 2008. Identifikasi mikroskopis penyakit bercak daun jabon, pulai, tembesu, jati,
cendana dan tanjung. Tidak dipublikasikan.
Barnett, H.L. and B.B. Hunter (2006). Illustrated Genera of Imperfect Fungi. Fourth edition.
The American Phytopathology Society St. Paul, Minnesota. USA.
Dwidjoseputro. D. 1978. Pengantar Mikologi. Penerbit Alumni. Bandung.
Garrett, S.D. 1970. Pathogenic Root-infecting Fungi, Cambridge at University Press.
Cambridge.
Meliala, C. 2009. Pengantar ilmu penyakit tumbuhan. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta.
Nuroniah dan Kosasih. 2010. Mengenal jenis trembesi (Samanea saman (Jacquin) Merrill)
sebagai pohon pelindung. Mitra Hutan tanaman Vo. 5 No. 1, April 2010. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman. Bogor.
Old, KM., Lee SS., JK. Sharma dan ZQ. Yuan. 2000. A Manual of diseases of tropical
acacias in Australia, South-East Asia and India. CIFOR. Jakarta.
Semangun H. 2000. Penyakit-penyakit tanaman perkebunan di Indonesia. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta.
Sinaga, M. 2009. Dasar-dasar penyakit tumbuhan. Penerbit Swadaya. Jakarta.
Streets, R.B. 1980. Diagnosis Penyakit Tanaman (Terjemahan : Imam Santoso) The
University of Arizona Press. Tuscon Arizona. USA

948
ILMU KEHUTANAN

SERANGAN PENYAKIT BERCAK DAUN PADA EBONI


(Diospyros celebica Bakh.)
DI KHDTK CIKAMPEK - KARAWANG, JAWA BARAT

Illa Anggraeni dan Riskan Effendi


Pusat Penelitian dan Pengembangan Peningkatan Produktivitas Hutan Bogor

ABSTRAK

Dengan adanya pemanfaatan sumber daya hutan yang tidak memperhatikan asas
kelestarian, telah mengakibatkan terjadinya kerusakan hutan yang cukup parah. Hal ini juga
berimbas pada menurunnya populasi eboni (Diospyros celebica Bakh.) di alam. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Produktivitas Hutan Bogor telah melakukan uji coba
penanaman eboni di Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Cikampek-
Karawang, Jawa Barat sejak tahun 2005. Dalam pertumbuhan dan perkembangannya
ternyata tanaman eboni di KHDTK Cikampek tersebut terserang penyakit bercak daun.
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui jenis penyebab penyakit bercak daun pada eboni
dan ekobiologi penyebab penyakitnya. Penelitian lapangan dilaksanakan pada bulan Maret
sampai dengan April 2011. di KHDTK Cikampek-Karawang, Jawa Barat. Setelah penelitian
di lapangan kemudian penelitian di lanjutkan di laboratorium penyakit, Kelompok Peneliti
Perlindungan Hutan, Pusat Penelitian dan Pengembangan Peningkatan Produktivitas Hutan
Bogor. Hasil pengamatan serta penghitungan persentase serangan penyakit bercak daun
pada eboni mencapai 78,89 % dengan intensitas serangan ringan mencapai 40%, sedang
mencapai 17,78%, berat mencapai 16,11%, dan sangat berat (mati) mencapai 5%. Hasil
identifikasi di laboratorium menunjukkan bahwa penyakit bercak daun pada eboni
disebabkan oleh fungi Lasiodiplodia sp. dan Pestalotia sp.

Kata kunci : Eboni (Diospyros celebica Bakh.), KHDTK Cikampek, penyakit bercak daun,
Lasiodiplodia sp. dan Pestalotia sp.

PENDAHULUAN

Eboni (Diospyros celebica) termasuk ke dalam famili Ebenaceae, dengan berbagai


nama daerah diantaranya kayu item, maeta, amara dan sora. Pusat dan daerah sebaran
eboni di Sulawesi yaitu Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Selatan. Di luar
negeri kayu ini dikenal dengan nama Macassar Ebony, dan kayunya mempunyai nilai
ekonomi tinggi. Kayu teras berwarna hitam dengan garis-garis berwarna coklat kemerah-
merahan. Kayu gubal berwarna coklat kemerah-merahan dan mempunyai batas yang jelas
dengan kayu teras. Kayu eboni termasuk kelas awet 1 dan kelas kuat 1. Kayu eboni
umumnya digunakan untuk mebel mewah, vinir mewah, alat musik tiup, patung, ukiran, kipas
alat dekoratif dll. (Martawijaya, 2005).
Dengan adanya pemanfaatan sumber daya hutan yang tidak memperhatikan asas
kelestarian, telah mengakibatkan terjadinya kerusakan hutan yang cukup parah. Hal ini juga
berimbas pada menurunnya populasi eboni di alam. Kayu eboni telah diekpoitasi besar-
besaran sejak abad XVIII, sejak itu ekspor eboni naik dari tahun ke tahun. Pada tahun 1920
saja mencapai 2.300 m3/tahun menjadi 8.200 m3/tahun pada tahun 1928. Pada tahun 1973
mencapai 26.000 m3 dan pada tahun 1978 mencapai 23.000 m3 ( Soerianegara et al., 1955
dalam Walujo, 2002). Naiknya permintaan kayu eboni tersebut juga tergambar pada nilai
ekspor berbagai jenis produk kayu eboni yang meningkat dari US$ 200/ton pada tahun 1967
menjadi US$ 2.000/ton dan pada tahun 1989 menjadi US$ 5.000/m3 (Kuhon et al., 1987
dalam Walujo, 2002. Selanjutnya Walujo (2002) menyebutkan bahwa dalam buku IUCN Red
List of Threated Species, Eboni (D. celebica) dikategorikan sebagai jenis yang masuk dalam
batas beresiko tinggi untuk punah di alam, dikarenakan statusnya telah mengalami
pengurangan yang drastis dari tahun ke tahun dengan tidak diimbangi dengan budidayanya.

949
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Dengan latar belakang tersebut di atas maka Pusat Penelitian dan Pengembangan
Produktivitas Hutan Bogor telah melakukan uji coba penanaman eboni di Kawasan Hutan
Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Cikampek sejak tahun 2005. Dalam pertumbuhan dan
perkembangannya ternyata tanaman eboni di KHDTK Cikampek tersebut terserang penyakit
daun. Status penyakit daun pada tanaman hutan khususnya eboni pada saat yang lalu
masih relatif tidak membahayakan dan belum mendapat perhatian karena kerugian yang
ditimbulkannyapun masih relatif rendah. Akan tetapi hal ini akan menjadi bumerang apabila
serangan penyakit bercak daun terus dibiarkan karena tanaman eboni yang terserang
bercak daun akan menjadi sumber inokulum pada tanaman yang lain. Oleh karena itu perlu
mendapat penanganan dengan cara melakukan pengendalian. FAO pada tahun 1977 dalam
Djafaruddin (2000) mengemukakan urutan langkah yang sebaiknya ditempuh dalam
mengaplikasikan suatu konsep pengendalian penyakit tanaman, yaitu : (1) identifikasi
penyakit, termasuk didalamnya tentang ekobiologinya, (2) beri batasan tentang unit
agroekosistem, (3) susun strategi pengelolaannya, (4) tetapkan ambang kerusakan
ekonominya, (5) kembangkan teknik monitoring, (6) kembangkan model-model yang bersifat
deskriptif dan meramalkan, dimana biayanya dapat dipertanggung jawabkan. Dengan
mengadob 5 poin tersebut di atas maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis
penyebab penyakit bercak daun pada eboni dan ekobiologi penyebab penyakitnya.

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian lapangan dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan April 2011. di
KHDTK Cikampek-Karawang, Jawa Barat. Berdasarkan data curah hujan selama 10 tahun
terakhir, Hutan Penelitian Cikampek memiliki tipe hujan C dengan curah hujan rata-rata
1.796 mm per tahun (Schmidt dan Ferguson, 1956). Menurut Tim LPT (1981) tanah di Hutan
Penelitian Cikampek sebagian besar termasuk Latosol Merah Berkonkresi, jenis tanah
lainnya adalah Laterit Air Tanah dan Latosol Merah Kekuningan Berkonkresi. Bentuk wilayah
secara makro adalah berombak dengan lereng rata-rata kurang dari 9%. Daerah bagian
Selatan ke Utara landai, di sebelah Barat dan Timur dibatasi oleh lembah-lembah sempit.
Setelah penelitian di lapangan kemudian penelitian di lanjutkan di laboratorium penyakit,
Kelompok Peneliti Perlindungan Hutan, Pusat Penelitian dan Pengembangan Peningkatan
Produktivitas Hutan Bogor.

Bahan dan Alat


Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tanaman eboni (Diospyros
celebica Bakh.) umur 5 tahun sebanyak 180 pohon, media agar kentang (PDA), alkohol
90%, akuades, kertas saring, kapas, tissue, tali plastik, kertas label, aluminium foil dan
kantong plastik. Alat-alat yang digunakan antara lain gunting stek, loupe tangan, cawan petri,
tabung reaksi, jarum ose, lampu spirtus, gelas objek- kaca penutup, oven, otoklaf, ruang
isolasi (Laf = Laminary air flow), mikroskop, dan kamera.

Metode Penelitian

- Menghitung persentase serangan penyakit dengan rumus sbb:


n
P u 100 %
N

Keterangan: P: kejadian penyakit (%)


n: jumlah bibit yang diserang penyakit
N: total bibit yang diamati.

950
ILMU KEHUTANAN

- Menghitung intensitas serangan penyakit tiap pohon dengan rumus sbb:

Keterangan:
I : Indeks Penyakit
i : Nilai skor untuk pengamatan per individu pohon dengan kriteria gejala serangan yang
bersangkutan
ni : Jumlah pohon untuk pengamatan per individu pohon dengan kriteria gejala serangan
yang bersangkutan
N : Jumlah pohon
K : Nilai skor tertinggi

Tabel 1. Klasifikasi tingkat kerusakan yang disebabkan oleh


penyakit bercak daun pada tiap pohon

Skor Kerusakan Akibat Bercak Daun Keterangan


(%)

0 0 sehat
1 1 20 ringan
2 21 - 40 sedang
3 41 60 berat
4 61 - 80 sangat berat
5 > 81 mati

- Pengamatan gejala serangan penyakit pada daun eboni


- Pengambilan material penyakit untuk pengamatan/penelitian di laboratoriuim.
- Pengambilan data sekunder (suhu, kelembaban, curah hujan dll).
- Isolasi patogen pada media PDA sampai diperoleh biakan murni.
- Pembuatan preparat sementara dari jaringan daun yang terserang dan dari koloni
patogen hasil isolasi (biakan murni).
- Identifikasi dan determinasi patogen penyebab penyakit bercak daun.

951
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil pengamatan serta penghitungan persentase serangan dan intensitas serangan


penyakit bercak daun pada eboni dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Persentase dan intensitas serangan penyakit bercak daun pada eboni

No. Sehat Ringan Sedang Berat Sangat berat/mati

1. - 3 1 6 -
2. - 3 7 - -
3. - 5 2 3 -
4. - 3 2 5 -
5. - 8 - 1 1
6. - 8 1 - 1
7. 5 4 1 - -
8. 7 2 1 - -
9. 8 1 - 1 1
10. 4 5 - 1 -
11. 4 2 1 3 -
12. 3 5 1 - 1
13. 5 4 1 - -
14. 2 3 2 1 2
15. - 3 2 4 1
16. - 5 1 2 2
17. 5 4 1 -
18. - 3 5 1 1

pohon 38 72 32 29 9

Persentase serangan 21,11 40 17,78 16,11 5


( %)

Diagnostik yang dilakukan di lapangan umumnya masih bersifat kasar, pada tahapan
ini gejala dan tanda penyakit digunakan sebagai pedoman. Gejala yang dapat digunakan
sebagai pedoman antara lain kenampakan warna daun, bentuk bercak, ada tidaknya
jaringan yang rusak. Sedangkan tanda penyakit antara lain miselium (hifa), spora, tubuh
buah, jelaga, lendir dan lain-lain yang dapat dilihat di bawah mikroskop (Meliala, 2009;
Sinaga, 2009). Diagnosis yang cepat dan tepat dari penyakit yang menyerang tanaman
sangat penting sebelum dilakukan suatu tindakan pengendalian. Dalam beberapa hal jenis
penyakit tanaman dapat mudah diidentifikasi dengan cara pengamatan gejala dan tanda
pada tanaman tersebut atau dibantu dengan pengamatan mikroskopis dengan membuat
preparat dari bagian tanaman yang sakit secara langsung. Tetapi adapula jenis penyebab
penyakit yang tidak langsung teridentifikasi, untuk hal ini diperlukan beberapa perlakuan
seperti isolasi patogen pada media buatan hingga diperoleh biakan murni. Postulat Koch
merupakan tahapan yang sangat penting dalam proses identifikasi patogen untuk
mengetahui bahwa patogen tersebut benar-benar merupakan penyebab utama timbulnya
penyakit.
Dari hasil pengamatan di lapangan terlihat bahwa gejala serangan bercak daun ada
dua tipe bentuk bercak akan tetapi serangan bercak daun semuanya dimulai dari daun tua
(dari bawah). Bercak daun tipe kesatu membentuk pola bercak dari ujung daun menuju ke
tengah daun dengan pola bercak melebar, seluruh bercak menutupi daun yang diserang,
bercak berwarna coklat dengan batas yang jelas (Gambar 1). Bercak daun tipe kedua
membentuk pola bercak dimulai dari tepi daun, dimana bagian tengah bercak berwarna lebih

952
ILMU KEHUTANAN

muda yaitu coklat yang disekelilingnya berwarna lebih tua yaitu coklat tua. Bercak seolah-
olah mempunyai zona lingkaran tetapi bentuk bercak tidak beraturan sampai bulat (Gambar
2). Apabila serangan penyakit bercak daun berlanjut akan mengakibatkan daun eboni gugur
sebelum waktunya, terkadang keseluruhan daun gugur, yang akhirnya batang meranggas
kering.
Hasil isolasi menunjukkan bahwa penyakit bercak daun disebabkan oleh fungi
patogen. Kedua fungi diidentifikasi dengan pengamatan sifat-sifat mikroskopis (hifa, tubuh
buah dan konidia) dan makroskopis (gejala penyakit dan tanda penyakit di lapangan). Hasil
pengamatan secara mikroskopis dibandingkannya dengan kunci identifikasi atau yang
dideskripsikan dengan pustaka (Alexopoulos dan Mims, 1979; Barnett dan Hunter 2006;
Dwidjoseputro, 1978 dan Streets, 1980) menunjukkan bahwa penyebab penyakit bercak
daun pada eboni dengan tipe bercak kesatu adalah fungi Lasiodiplodia sp., sedangkan
penyakit bercak daun dengan tipe bercak kedua adalah fungi Pestalotia sp. masing-masing
fungi dapat dikenali dengan kekhasan bentuk konidianya.
Lasiodiplodia sp. masuk dalam kelas Deuteromycetes (Imperfect fungi) (Alexopoulos
dan Mims, 1979). Bila dibiakan pada media PDA menunjukkan pertumbuhan hifa berwarna
putih seperti kapas. Setelah biakan berumur 4 hari warna koloni menjadi abu-abu muda,
selanjutnya koloni berwarna abu-abu tua agak kehitam-hitaman. Pengamatan di bawah
mikroskop hifa berwarna kecoklatan berseptat dengan percabangan sederhana. Bila
keadaan tidak menguntungkan bagi perkembangan hidupnya, fungi membentuk
klamidospora. Sporanya dihasilkan dalam piknidia dengan jumlah banyak yang disebut
piknidiospora. Piknidiospora berbentuk elip, berdinding tebal, warna hialin yang kemudian
berubah menjadi coklat tua dengan satu sekat (Gambar 3).
Pestalotia sp. masuk dalam kelas Deuteromycetes (Dwidjoseputro, 1978;
Alexopoulos dan Mims, 1979). Koloni Pestalotia sp. berwarna putih seperti kapas bila
dibiakkan dalam media PDA, umur 7 hari seluruh cawan petri sudah dipenuhi koloni yang
semakin menebal dan membentuk zonasi. Pada permukaan koloni tumbuh struktur bulat
kecil berwarna hitam mengkilat yang merupakan kumpulan konidia dalam tubuh buah.
Pengamatan di bawah mikroskop hifa berseptat, hialin, mempunyai tubuh buah yang disebut
aservuli, dalam aservuli inilah terdapat konidia yang bentuknya sangat khas. Konidia terdiri
dari lima sel, dengan karakteristik tiga sel bagian tengah konidia berwarna gelap dan dua sel
ujung hialin, konidia berbentuk lonjong agak meruncing pada kedua ujungnya. Salah satu
ujung konidia terdapat tiga atau lebih tonjolan pucuk (appendage) atau seperti bulu cambuk
(Gambar 4).
Serangan fungi Lasiodiplodia sp. dan Pestalotia sp. menyebabkan bercak daun akan
mengganggu proses fotosintesa, karena daerah yang mati (nekrosis) yang berupa bercak
yang makin lama makin melebar, serta klorosis di sekitar bercak. Secara fisiologi daun
merupakan organ tumbuhan yang mempunyai peranan penting dalam memproduksi bahan
makanan (fotosintesa), fotosintesa adalah proses pembuatan gula dari karbondioksida
(CO2) dan air (H2O) dengan bantuan klorofil dan cahaya matahari sebagai sumber
energinya. Di dalam daun terdapat jaringan parenkhim di sebelah bawah epidermis yang
terdiri dari jaringan palisade (jaringan pagar) yang banyak mengandung klorofil dan jaringan
spons (jaringan bunga karang) juga mengandung klorofil tetapi lebih sedikit dibandingkan
jaringan palisade. Pada bagian inilah proses fotosintesa berlangsung. Menurunnya fisiologi
tanaman dan berkurangnya luasan total pada daun yang mengandung kloroplas akibat
serangan penyakit bercak daun dapat menghambat dan mengurangi hasil fotosintesa dan
selanjutnya akan menghambat pertumbuhan (Agrios, 2005).

953
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Gambar 1. Gejala penyakit bercak daun tipe 1 pada eboni

Gambar 2. Gejala penyakit bercak daun tipe 2 pada eboni

B
A

Gambar 2. A. Piknidium. B. Konidium muda dan . C. Konidium tua fungi Lasiodiplodia

954
ILMU KEHUTANAN

KESIMPULAN

1. Fungi penyebab penyakit bercak daun pada eboni di KHDTK Cikampek adalah
Lasiodiplodia sp., dan Pestalotia sp. fungi tersebut masuk dalam kelas Deuteromycetes
(fungi imperfect/fungi tidak sempurna).
2. Persentase serangan kedua fungi tersebut mulai dari ringan (40% ) sampai dengan
sangat berat/mati (5%).
3. Fungi menginfeksi tubuh inang dapat melalui lubang alami (stomata) dan melalui luka.
Fungi menginvasi jaringan pagar dan jaringan bunga karang yang mengandung klorofil,
tempat terjadinya proses fotosintesa yang menghasilkan glukosa yang selanjutnya
glukosa ini digunakan oleh patogen sebagai nutrisi untuk aktivitas metabolismenya.

DAFTAR PUSTAKA

Alexopoulos, C.J. and C.W. Mims. 1979. Introductory Mycology. John Wiley & Sons.
Agrios, G.N. 2005. Plant Pathology. 5th eds. Elsevier Academic Press. USA.
Barnett, H.L. and .B. Hunter. 2006. Illustrated Genera of Imperfect Fungi. Fourth edistion.
APS Press. The American Phytopathological Society. St. Paul, Minnesota.
Dwidjoseputro, D. 1978. Pengantar Mikologi. Penerbit Alumni. Bandung.
Meliala, C, 2009. Pengantar Ilmu Penyakit Tumbuhan. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta.
Sinaga, M.S. 2009. Dasar-dasar Ilmu Penyakit Tumbuhan. Penebar Swadaya. Jakarta.
Streets, R.B. 1980. Diagnosis penyakit tanaman (Terjemahan : Imam Santoso) The
University of Arizona Press. Tuscon Arizona. USA.

955
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

DOMINANSI JENIS VEGETASI DI SEKITAR POHON INDUK KAYU


BAWANG (Scorodocarpus borneensis Beccarii)
DI KEBUN RAYA UNMUL SAMARINDA

Rita Diana, Hastaniah dan Deddy Hadriyanto


Laboratorium Ekologi Hutan, Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman
Jl. Ki Hajar Dewantara Kampus Unmul Gunung Kelua Samarinda 75123 Email:
ritdh@yahoo.com

ABSTRACT

Kayu Bawang (Scorodocarpus borneensis Beccarii) is one of medicinal trees grows in


Unmul Botanical Garden - Samarinda (KRUS). Despite of it, its ecological characteristic
particulalrly species associated with this tree species is still scarcely available. The purpose
of this research, therefore, was to investigate its ecological characteristic of its dominant
kayu bawang mother trees and its surrounding vegetation associated with this trees.
Stratified purposive sampling of 25 sample plots and sub-plots were used to identify the
presence of trees stage (10X10 m), saplings stage (5X5 m) and seedlings stage (1X1 m).
Result indicated that 32 tree species (88 individu), 54 sapling species (274 individu) and 37
seedling species (156 individu) respectively associated with kayu bawang. Among those,
Macaranga gigantea 55.59%, Eusiderxylon zwageri 33,62%, Ficus sp. 20% were having the
highest IV (Impotance Value) for tree stage, while Ficus sp. 88,670%, Ochanostachys
amantacea 79,298%, Litsea sp. 55.760% were among sapling stage and Macaranga
gigantea 31,84%, Ficus sp. 16.94%, Eusiderxylon zwageri 15,97% were among seedling
stage. However, sapling stage was highest (1.459) in diversity index (H) folloowed by
seedling stage (1.325) and tree stage (1.152).

Keywords: Scorodocarpus borneensis Beccarii, dominance, diversity index

PENDAHULUAN

Kayu Bawang (Scorodocarpus borneensis Beccarii) terdapat di hutan alam tropis


basah. Kayu Bawang merupakan jenis tumbuhan yang hidup dan tumbuh di hutan belantara,
ada yang hidupnya mengelompok maupun sendiri. Dalam hutan Dipterocarpaceae tanah
primer atau yang sering terganggu dan tersebar dapat ditemukan Kayu Bawang. Ketinggian
pohon Kayu Bawang dapat mencapai 15-60 m dengan garis tengah 20-80 cm. Kayunya
keras hingga sedang, agak tahan lama dan dapat dimanfaatkan untuk konstruksi dalam
ruangan.
Di Indonesia Kayu Bawang terdapat di Pulau Kalimantan dan Pulau Sumatra. Salah
satunya di Kalimantan Timur terdapat di Kota Samarinda, yaitu di Hutan Pendidikan Kebun
Raya Unmul Samarinda (KRUS). Ketinggian pohon Kayu Bawang dapat mencapai 15 60
m dengan diameter 20 80 cm. Kekuatan dan keawetan yang dimiliki Kayu Bawang
sebanding dengan Ebony (Diospyros spp.) dan Jati (Tectona grandis) yang merupakan kayu
dengan kelas kuat I - II dan kelas awet I. Kayu bawang diantaranya dimanfaatkan sebagai
bahan bangunan, bahan baku pulp dan kertas (Rahmanto dan Fauzi, 2000), dan dapat
dijadikan sebagai obat-obatan tradisional seperti akarnya sebagai obat demam dan bijinya
sebagai penawar racun (Missoniman, 2006). Kayu Bawang di KRUS ada 45 pohon (Anonim,
2010), namun demikian informasi ekologis yang berkaitan dengan jenis ini masih sangat
kurang padahal jumlah individu yang ada sangat sedikit. Tujuan penelitian adalah mengkaji
pohon induk secara ekologis khususnya dominasi dan keragaman jenis-jenis yang hadir
disekitar pohon induk Kayu bawang tersebut.

956
ILMU KEHUTANAN

METODE

Penelitian dilakukan di hutan pendidikan KRUS yang secara geografis terletak di antara 00
25 10 - 00 25 24 LS dan 1170 14 00 - 1170 14 14 BT. Luas keseluruhan kawasan hutan
300 ha dan berdasarkan konsep pengembangan kawasan dibagi ke dalam 3 zona, yaitu
Zona Pengayaan Hayati (Koleksi/Arboretum) seluas 100 ha, Zona Konservasi seluas 135
ha, dan Zona Rekreasi seluas 65 ha (Anonim, 2010).

Gambar 1. Peta Sebaran Plot Penelitian yang didalmmnya terdapat yang


Pohon Induk Kayu Bawang

Penelitian ini dilaksanakan pada pertengahan bulan Januari September 2009. Plot
penelitian dibuat dengan metode Purposive Sampling, di mana plot penelitian dipilih dan
ditentukan pada daerah-daerah yang terdapat vegetasi Kayu Bawang. Terhadap 25 pohon
Kayu Bawang dengan pohon sebagai titik penting, masing-masing dibuat kwadran. Dalam
setiap kwadran dibuat plot berukuran (10 x 10) m untuk pengukuran vegetasi tingkat pohon,
kemudian plot berukuran (5 x 5) m untuk pengukuran vegetasi tingkat pancang dan (1 x 1) m
untuk pengukuran vegetasi tingkat semai dengan jumlah keseluruhan masing-masing plot
(10 x 10) m, (5 x 5) m dan (1 x 1) m adalah 100 plot.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Komposisi Jenis
Dalam setiap tingkatan pertumbuhan ada beberapa jenis yang sama. Misalkan jenis
Actinodaphne sp. dan Aporusa nitida Merr. Selanjutnya tersaji pada Tabel 1 berikut ini.

957
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Tabel 1. Jumlah Kehadiran Individu Pada Tiap Tingkatan

Jumlah Individu
No Nama Jenis
Pohon Pancang Semai
1 Moultonianthus leembruggianus (Boerl. & Koord.) Steen. 2 1
2 Actinodaphne sp. 1 3 2
3 Alstonia scholaris (L) R. Br. 3 3
4 Anaxagorea scortechhinii King. 1
5 Neolamarckia cadamba (Roxb.) Bosser 1 4 2
6 Aporusa nitida Merr. 2 2 1
7 Aquilaria malaccensis Lam. 2 17 2
8 Archidendron sp. 1 2
9 Artocarpus sp. 1 1
10 Blumeodendron sp. 1 1
11 Blumeodendron tokbrai (Bl.) Kurz 2 6 7
12 Cananga odorata (Lamk.) Hook. f. & Thomas. 3
13 Cassia sp. 1 1 1
14 Citrus sp. 3 2
15 Cratoxylum sp 1
16 Cratoxylum sumatranum (Jack) Blume. 5 1
17 Dillenia reticulata King 1
18 Dillenia sp. 1 3
19 Diospyros laevigata Bakh. 3 2 3
20 Dipterocarpus elongatus Korth. 1 1
21 Durio zibethinus Murr 1 2
22 Dyospiros borneensis Heirn. 1
23 Eugenia sp. 5 11
24 Melicope glabra (Blume) T.G. Hartley 2 12 7
25 Eusideroxylon zwageri. Teijsm & Binnud 13 20 5
26 Ficus lanalata Bl. 1 4
27 Ficus sp. 8 27 23
28 Gmelina sp. 1
29 Hibiscus tiliaceus L 2
30 Homalanthus populnes (Geiseler) Pax. 2
31 Knema sp. 2 3
32 Koordersiodendron pinnatum (Blco.) Merr 1
33 Leea indica (Burn. F.) Merr. 2
34 Litsea sp. 2 7 14
35 Macaranga gigantea Muell. Arg. 29 43 8

958
ILMU KEHUTANAN

Lanjutan Tabel 1.

Jumlah Individu
No Nama Jenis
Pohon Pancang Semai
36 Macaranga triloba (BL.) Muell. Arg. 1
37 Magnolia sp. 1
38 Mallotus echinatus Elmer 1
39 Mallotus paniculatus Muell. Arg. 1 12 1
40 Mallotus penangensis Muell. Arg. 2 7 1
41 Mallotus sp. 3
42 Mangifera sp. 1
43 Melicope sp. 1 1
44 Millettia sericea (Vent.) Benth. 17 2
45 Myristica sp. 4 3
46 Nauclea officinalis Merr & Chun 1
47 Nephelium sp. 1 2 1
48 Ochanostachys amentacea Mast. 1 2 24
49 Palaquium sp. 1
50 Parkia sp. 1
51 Peronema canescens Jack. 5
52 Ptenandra sp. 1 5 4
53 Pterocarpus sp. 1
54 Rhodamnia cinerea Jack. 1
55 Santiria apiculata Benn. 6 2
56 Sarcotheca diversifolia (Miq.) Hall. f. 4
57 Schima wallichii Korth. 1 2 2
58 Shorea smithiana Sym. 1 2 1
59 Shorea sp. 1 3 1
60 Tabernaemontana sp. 1
61 Vernonia aborea Ham. 3 6 7
62 Vitex festiva Wall. 1 1
63 Zyzygium sp. 1
Jumlah 88 274 156

Berdasarkan pengamatan di lapangan, tidak terlalu banyak jenis yang ditemukan dan
jumlah individu pun tidak terlalu banyak. Baik pada tingkat pohon, pancang, maupun semai.
Pada tingkat pohon ditemukan 32 jenis dengan jumlah individu sebanyak 88 pohon. Pada
tingkat pancang ditemukan 54 jenis dengan 274 jumlah individu. Sedangkan pada tingkat
semai ditemukan 37 jenis dengan jumlah individu sebanyak 156 individu.

Indeks Keanekaragaman Jenis (H) dan Indeks Kemerataan Jenis (e)


Berdasarkan hasil analisis nilai Indeks Keanekaragaman Jenis (H) dan nilai Indeks
Kemerataan Jenis (e) individu yang diamati pada tingkat pohon adalah sebesar 1,152 dan
0,765, pada tingkat pancang sebesar 1,459 dan 0,842, dan tingkat semai sebesar 1,325 dan
0,845. Selengkapnya ada pada Tabel 4 berikut ini.

959
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Tabel 2. Hasil Analisis Nilai Indeks Keanekaragaman Jenis (H)


dan Nilai Indeks Kemerataan Jenis (e)

No Tingkat Pertumbuhan S N (H) (e)


1 Pohon 32 88 1,152 0,765
2 Pancang 54 274 1,459 0,842
3 Semai 37 156 1,325 0,845
Keterangan: N : Jumlah Individu S : Jumlah Jenis

Dari tabel diatas terlihat bahwa Indeks Keanekaragaman Jenis (H) pada tingkat
pancang mempunyai nilai yang paling tinggi dibandingkan dengan tingkat pohon dan semai.
Keanekaragaman jenis dapat ditentukan oleh adanya kekayaan jenis yaitu jumlah jenis yang
ada dan jumlah individu seluruhnya, selain itu ditentukan pula oleh kemerataan jenis yang
merupakan pendistribusian individu individu yang merata.

Nilai Penting Jenis (NPJ)


Pengamatan dilakukan pada pohon Kayu Bawang dan vegetasi lainnya pada tingkat
pohon dan pancang didapatkan nilai 10 NPJ terbesar seperti yang terlihat pada Tabel 3 dan
4.
Tabel 3. Nilai Sepuluh NPJ Terbesar Pada Tingkat Pohon

No Jenis Famili NPJ (%)


1 Macaranga gigantea Muell. Arg. Euphorbiaceae 55,59
2 Eusideroxylon zwageri. Teijsm & Binnud Lauraceae 33,62
3 Ficus sp. Moraceae 20,00
4 Vernonia aborea Ham. Asteraceae 10,98
5 Ficus lanalata Bl. Moraceae 9,12
6 Blumeodendron tokbrai (Bl.) Kurz Euphorbiaceae 9,09
7 Mallotus penangensis Muell. Arg. Euphorbiaceae 8,36
8 Archidendron sp. Fabaceae 7,99
9 Litsea sp. Lauraceae 7,82
10 Aporusa nitida Merr. Euphorbiaceae 7,72

Dari Tabel 3 terlihat bahwa yang memiliki nilai NPJ terbesar adalah jenis Macaranga
gigantea dengan nilai sebesar 55,59 % dan jumlah kehadirannya adalah sebanyak 29
individu. Pada tingkat pancang didapatkan nilai NPJ yang telah tersaji pada Tabel 4.

Tabel 4. Nilai Sepuluh NPJ Terbesar Pada Tingkat Pancang

No Jenis Famili NPJ (%)


1 Macaranga gigantea Muell. Arg. Euphorbiaceae 31,84
2 Ficus sp. Moraceae 16,94
3 Eusideroxylon zwageri. Teijsm & Binnud Moraceae 15,97
4 Millettia sericea (Vent.) Benth. Fabaceae 13,92
5 Melicope glabra (Blume) T.G. Hartley Rutaceae 11,70
6 Aquilaria malaccensis Lam. Thymelaceae 11,70
7 Litsea sp. Lauraceae 9,55
8 Santiria apiculata Benn. Burseraceae 8,90
9 Mallotus penangensis Muell. Arg. Euphorbiaceae 8,44
10 Cratoxylum sumatranum (Jack) Blume. Clusiaceae 8,36

Dari Tabel 4 terlihat bahwa yang memiliki nilai NPJ terbesar adalah jenis Macaranga
gigantea dengan nilai sebesar 31,84 % dengan jumlah kehadirannya adalah sebanyak 43
individu.

960
ILMU KEHUTANAN

Summed Dominance Ratio (SDR)


Untuk semai digunakan perhitungan SDR3 dan didapatkan nilai 10 SDR terbesar
yang dapat dilihat pada Tabel 5 berikut ini.

Tabel 5. Nilai Sepuluh SDR Terbesar Pada Tingkat Semai

No Jenis Famili SDR3


1 Ficus sp. Moraceae 88,67
2 Ochanostachys amentacea Mast. Oleaceae 79,30
3 Litsea sp. Lauraceae 55,76
4 Macaranga gigantea Muell. Arg. Euphorbiaceae 52,51
5 Eugenia sp. Myrtaceae 52,00
6 Melicope glabra (Blume) T.G. Hartley Rutaceae 45,51
7 Eusideroxylon zwageri. Teijsm & Binnud Lauraceae 43,08
8 Ptenandra sp. Myrtaceae 40,03
9 Archidendron sp. Fabaceae 38,57
10 Cassia sp. Fabaceae 38,06

Pada tingkat semai seperti tertera pada tabel diatas bahwa jenis yang memiliki nilai
SDR paling besar adalah jenis Ficus sp. dengan nilai 88,670 dengan jumlah kehadiran 23
individu.

KESIMPULAN

Berdasarkan dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa:


1. Dominasi yang terdapat pada tingkat pohon dan pancang adalah jenis Macaranga
gigantea, pada tingkat semai adalah jenis Ficus sp.
2. Pada plot pengamatan nilai Indeks Keanekaragaman Jenis (H) dan Indeks Kemerataan
Jenis (e) pada tingkat pancang mempunyai nilai yang paling tinggi dibandingkan dengan
tingkat pohon dan semai.
3. Terdapat hubungan assosiasi yang tidak nyata antara Kayu Bawang dengan jenis yang
ditemukan di sekitarnya

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2010. Laporan Perkembangan Pembangunan dan Kondisi Aktual KRUS.


Samarinda.
Helena, E., 2009. Kondisi Pohon Induk dan Penyebaran Permudaan Alam Kayu Bawang
(Scorodocarpus borneensis Beccarii) Di Kebun Raya Universitas Mulawarman
Samarinda. Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman. Samarinda.
Missoniman, 2006. Studi Keberadaan Kayu Bawang (Scorodocarpus borneensis Beccarii)
Alami di Kebun Raya Universitas Mulawarman Samarinda. Fakultas Kehutanan
Universitas Mulawarman. Samarinda.
Rahmanto, R. G. Hadi dan Dodi Iskandar Fauzi, 2000. Prospek Pemanfaatan Kayu Bawang
(Scorodocarpus borneensis Beccarii). Volume 14. No. 2. Badan Litbang Kehutanan
dan Perkebunan. Balai Penelitian Kehutanan (BLK) Samarinda. Kalimantan Timur,
Indonesia. Hal 35-54.

961
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

KEANEKARAGAMAN JENIS POHON DAN POTENSINYA DI


KAWASAN HUTAN CAGAR ALAM KOORDERS, CIAMIS
Marfuah Wardani
Peneliti Botani dan Ekologi Hutan
Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi
Jalan Gunung Batu No. 5, Po Box 165; Telp. 0251-633234, 7520067;
Fax 0251-638111 Bogor, E mail: marfuah58@yahoo.co.id

ABSTRAK

Penelitian untuk mendapatkan data dan informasi ilmiah tentang jenis-jenis pohon
dan potensinya di kawasan hutan Cagar Alam Koorders, Panjalu, Ciamis, Jawa Barat,
merupakan salah satu aspek penting untuk menunjang upaya konservasi. Lokasi penelitian
CA Koorders terletak pada koordinat 70 07663 - 70 07 834 LS dan 1080 16160 - 1080
16217 BT, dengan ketinggian 734 - 774 meter dpl. Pengumpulan data dilakukan pada
bulan Agustus 2009, dengan metode pembuatan empat jalur coba (transect) berukuran 20
m x 400 m memotong garis kontur yang diletakkan secara sistematis dengan jarak antara
jalur 100 m. Pada jalur coba dibuat petak-petak coba besar berukuran 20 x 20 m2 (untuk
pengamatan tingkat pohon), di dalam petak coba besar dibuat sub petak berukuran 20 x 5
m2 (untuk pengamatan tingkat belta) dan di dalam sub petak dibuat petak kecil berukuran 2 x
2 m2 untuk tingkat anakan. Data yang diperoleh dianalisis untuk menentukan Indeks Nilai
Penting (INP) dan identifikasi untuk mendapatkan ketepatan nama ilmiah. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa kawasan hutan Cagar Alam Koorders terdapat 44 jenis, 38 marga, 28
suku, dengan jenis pohon yang mendominasi ialah Picrasma javanica Blume (INP 40.19%),
Fissistigma latifolium Merr. (INP 40.02%), Syzygium grande (Wight) Wight ex Walp. (INP
34.63%). Jenis yang memiliki potensi rendah dan terancam punah berjumlah 23 jenis, antara
lain Syzygium grande (Wight) Wight ex Walp., Myristica iners Blume, Linociera ramiflora
(Roxb.) Wall. ex G. Don. Dalam hal menyelamatkan keragaman jenis pohon di Cagar Alam
Koorders khususnya jenis terancam punah, perlu adanya peningkatan upaya perlindungan
terhadap populasinya.

Kata kunci : Jawa Barat, jenis pohon, potensi, terancam punah.

PENDAHULUAN

Keanekaragaman jenis tumbuhan dalam kawasan hutan Indonesia, pada saat ini
diprediksi sedang menuju pada kerusakan habitat dengan tingkat kerusakan 2,8 juta ha
hutan per tahun, dan besarnya kepunahan berkisar antara 2,9 sampai 12 jenis tumbuhan
endemik setiap 100 km2 (Sudarmono,2006). International of Union for the Conservation of
Nature (2006) dalam summary IUCN red list telah mengevaluasi 8,390 jenis tumbuhan
terancam punah dalam 9 kategori. Heriyanto dan Subandiono (2003), menyebutkan bahwa
sebagian jenis tumbuhan dalam red list summary report memiliki daerah persebaran di
Indonesia dan beberapa jenis diantaranya berhabitus pohon.
Pulau Jawa termasuk salah satu daerah persebaran jenis-jenis pohon dengan
kerusakan habitat relatif cepat. Perkembangan pembukaan lahan untuk berbagai
kepentingan cenderung lebih cepat daripada pertumbuhan pohon itu sendiri. Hal ini dapat
mengakibatkan jenis-jenis pohon di Jawa menjadi langka atau terancam punah. Pemerintah
melalui Kementerian Kehutanan telah berupaya melindungi keanekaragaman jenis
tumbuhan beserta seluruh komponen ekosistemnya dengan menetapkan kawasan cagar
alam. Salah satu kawasan cagar alam tertua di Indonesia dengan tingkat kerusakan akibat
pembukaan lahan relatif sangat rendah adalah Cagar Alam Koorders di Ciamis Jawa Barat.
Kondisi demikian tidak menutup kemungkinan bahwa keberadaan keanekaragaman jenis

962
ILMU KEHUTANAN

pohon dalam kawasan tetap terjaga kelestariannya. Suatu jenis pohon dapat terancam
punah antara lain karena faktor alami.
Oleh karena itu dipandang perlu melakukan penelitian untuk mendapatkan data dan
informasi ilmiah tentang keanekaragaman dan potensi jenis pohon di kawasan Cagar Alam
Koorders. Ketersediaan data dan informasi merupakan salah satu aspek penting dan
diperlukan dalam menunjang upaya konservasi keanekaragaman jenis pohon khususnya
jenis terancam punah.

BAHAN DAN METODOLOGI

Lokasi Penelitian
Penelitian dilaksanakan di kawasan hutan Cagar Alam Koorders pada bulan Agustus
2009. Berdasarkan administrasi pemerintahan, Cagar Alam Koorders termasuk dalam
wilayah Desa Panjalu, Kecamatan Panjalu, Kabupaten Ciamis, Propinsi Jawa Barat. Menurut
pembagian wilayah administrasi Kehutanan, CA Koorders termasuk dalam wilayah Resort
Konservasi Wilayah Panjalu, Seksi Konservasi Wilayah V Garut, Bidang Konservasi Sumber
Daya Alam Wilayah III, Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Barat. Lokasi
penelitian terletak pada koordinat 70 07663 - 70 07 834 LS dan 1080 16160 - 1080 16217
BT, dengan keadaan lapangan secara umum datar, ketinggian 734 - 774 meter dpl.,
topografi bukit dan bergelombang ringan, jenis tanah Latosol coklat (Lembaga Penelitian
Tanah, 1966). Berdasarkan klasifikasi iklim Schimdt & Ferguson (1951) termasuk dalam tipe
curah hujan B, dengan curah hujan 3.195 mm per tahun. Suhu rata-rata 190-320 Celsius.

Bahan dan Alat


Bahan penelitian adalah jenis-jenis pohon dan permudaaannya, bahan untuk
pemrosesan material herbarium antara lain alkohol 90%, plastik transparan ukuran 40 x 60
cm, kertas koran, kertas label, tali rafia, selotip, sasak bambu, karung plastik. Peralatan yang
digunakan terdiri dari peta kawasan/topografi skala 1: 250.000, kompas, altimeter, meteran,
Geografis Posision System (GPS), parang, gunting ranting, kamera dan alat tulis.

Prosedur Kerja
Pengumpulan data dalam pelaksanaan penelitian dibedakan menjadi dua, yaitu
pengumpulan data sekunder dan data primer. Pengumpulan data sekunder melalui studi
pustaka untuk mendapatkan informasi tentang lokasi persebaran alami jenis-jenis pohon
yang terancam punah. Mencari informasi, pustaka dan konsultasi tentang keadaan lokasi
penelitian dengan Balai Konservasi Sumber Daya Alam Provinsi/ Kabupaten, instansi terkait
dan konsultasi informal dengan masyarakat sekitar kawasan hutan.
Data primer dikumpulkan di lokasi peneltian, dengan pembuatan jalur coba (transect)
memotong garis kontur, ukuran dan jumlah jalur coba disesuaikan kondisi vegetasi yang
ada. Jalur coba berukuran 20 m x 1000 m berjumlah lima jalur, jarak antar jalur 100 m, luas
CA Koorders 16 ha dengan intensitas sampling adalah 63 persen. Pada jalur coba dibuat
petak-petak coba besar berukuran 20 x 20 m2 (untuk pengamatan tingkat pohon), di dalam
petak coba besar dibuat sub petak berukuran 20 x 5 m2 (untuk pengamatan tingkat belta)
dan di dalam sub petak dibuat petak kecil berukuran 2 x 2 m untuk tingkat anakan (semai).
Pengukuran tinggi dan diameter untuk pohon, sedangkan untuk belta dan anakan dihitung
jenis dan jumlahnya. Batasan kriteria ukuran pohon adalah memiliki diameter batang lebih
besar dari 10 cm, belta dengan diameter > 2 cm < 10 cm, anakan atau semai dengan
diameter batang < 2 cm (Kartawinata et al. 1976). Pada petak-petak coba tempat tumbuh
jenis pohon terancam punah dicatat koordinatnya. Jenis pohon dan permudaannya dalam
petak-petak pengamatan diambil sampel herbariumnya, sebagai bahan identifikasi
mendapatkan ketepatan nama ilmiah dan keanekaragaman jenis.
Untuk mengetahui potensi jenis-jenis pohon terancam punah, dianalisis dengan
pendekatan menentukan Indeks Nilai Penting (INP) melalui analisis kerapatan, frekuensi dan
dominasi menggunakan persamaan Kartawinata et al. (1976) sebagai berikut :

963
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Indeks Nilai Penting (%) = Kerapatan Relatif (%) + Dominansi Relatif (%) + Frekuensi Relatif
(%).

Kerapatan = Jumlah individu


Luas contoh

Kerapatan Relatif (%) = KR = Kerapatan suatu jenis X 100


Kerapatan seluruh jenis

Dominansi = Luas bidang dasar suatu jenis


Luas contoh

Dominansi Relatif (%) = DR = Domonansi dari suatu jenis X 100


Dominansi dari seluruh jenis

Frekuensi = Jumlah plot ditemukan suatu jenis


Jumlah seluruh plot yang dibuat

Frekuensi Relatif (%) = FR = Frekuensi dari suatu jenis X 100


Frekuensi dari seluruh jenis

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keanekaragaman jenis pohon di Cagar Alam Koorders relatif cukup bervariasi. Hasil
identifikasi jenis pohon di lokasi penelitian tercatat sejumlah 44 jenis terdiri dari 38 marga
dan 28 suku. Hasil analisis vegetasi menunjukkan bahwa tiga jenis pohon mendominasi
lokasi penelitian berdasarkan indeks nilai penting (INP) tertinggi yaitu Picrasma javanica
Blume (INP 40.19%), Fissistigma latifolium Merr. (INP 40.02%), Syzygium grande (Wight)
Wight ex Walp. (INP 34.63%). Enam jenis lainnya memiliki INP cukup tinggi secara berurutan
ialah Myristica iners Reinw. (27.92%), Euginia paucipunctata Koord. et Valet. (17.26%),
Dysoxylum ramiflorum Miq. (13.43%), Dysoxylum nutans Miq. (13.14%), Sterculia cordata
Blume (12,41%), Linociera ramiflora (Roxb.) Wall. ex G. Don.(11,35%). Potensi ke 44 jenis
pohon di lokasi penelitian yang dianalisis dengan Indeks nilai penting disajikan dalam Tabel
1.

964
ILMU KEHUTANAN

Tabel 1. Potensi jenis pohon di Cagar Alam Koorders berdasarkan Indek Nilai Penting

No. Nama Jenis Nama Lokal Famili INP (%)


1 2 3 4 5
1 Picrasma javanica Blume Huru batu Simaroubaceae 40.19
2 Fissistigma latifolium Merrill. Huru Kacang Annonaceae 40.02
3 Syzygium grande (Wight) Wight ex Jambu Myrtaceae 34.63
Walp. monyet
4 Myristica iners Blume Darah-darah Myristicaceae 27.92
5 Euginia paucipunctata Koord. et Valet. Ki Bima Myrtaceae 17.26
6 Dysoxylum ramiflorum Miq. Ki Haji Meliaceae 13.43
7 Dysoxylum nutans Miq. Pisitan Meliaceae 13.14
monyet
8 Sterculia cordata Blume Cayur Sterculiaceae 12.41
9 Linociera ramiflora (Roxb.) Wall. ex Huru Putih Oleacaceae 11.35
G. Don
10 Abarema clypearia (Jack.) Kosterm. Huru Putih Fabaceae 8.11
11 Dysoxylum alliaceum Blume Kalapa Ciung Meliaceae 7.31
12 Zizyphus celtidifolia DC. Angrid Rhamnaceae 6.43
13 Talauma candollei Blume Ki Munding Magnoliaceae 4.27
14 Artocarpus elasticus Reinw.ex Blume Teureup Moraceae 3.91
15 Erythrina subumbrans Merrill Caruy cucuk Leguminosae 3.83
16 Actinodapne macrophylla Nees. Tangkalak Lauraceae 3.79
17 Litsea angulata Blume Hamberung Lauraceae 3.56
18 Canarium denticulatum Blume Cayur Burseraceae 3.40
19 Ficus pubinervis Blume Kopeng Moraceae 3.07
20 Symplocos cochinchinensis S. Moore. Pongporang Symplocaceae 2.77
21 Dysoxylum caulostachyum Miq. Ki haji Meliaceae 2.72
28 Hypobattrum frutescens Blume Bayur Rubiaceae 2.20
29 Elaeocarpus floribundus Blume Ki Jeruk Elaeocarpaceae 1.88
30 Pentace polyantha Hassk. Jaha Tiliaceae 1.45
31 Elmerillia celebica Dandy Manglid Magnoliaceae 1.36
32 Nephelium lappaceum L. Rambutan Sapindaceae 1.34
33 Tarenna confusa Valeton Ki tanduk Rubiaceae 1.26
34 Radermachera gigantea (Blume) Miq. Ki pedali Bignoniaceae 1.24
35 Randia sp. Huru Kacang Rubiaceae 1.21
36 Mischocarpus sundaicus Blume Ki pacar Sapindaceae 1.18
37 Villebrunea rubescens Blume Nangsi Urticaceae 1.16
38 Nauclea orientalis Forst f. Gempol Rubiaceae 1.14
39 Xanthophyllum excelsum Blume ex Ki Tangkil Polygalaceae 1.14
Miq.
40 Helicia robusta Vilar. Kokopian Protaceae 1.12
41 Leea angulata Korth. ex Miq. Ki buaya Ampelidaceae 1.11
42 Litsea monopetala Pers. Huru Kuning Lauraceae 1.11
43 Aglaia argentea Blume Ki Bodas Meliaceae 1.09
44 Prema tomentosa Kurz. Bungbulang Verbenaceae 1.09

965
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Jenis pohon tingkat belta tercatat berjumlah 17 jenis, 14 marga, 11 suku, sembilan
jenis diantaranya memiliki INP berkisar antara 10,81% - 24,25%, dengan urutan tertinggi:
Syzygium grande (Wight) Wight ex Walp. (24,25%), Dysoxylum ramiflorum Miq. (23,29%),
Abarema clypearia (Jack.) Kosterm. (19,69%), Fissistigma latifolium Merr. (19,21%),
Dysoxylum nutans Miq. (13,21%), Actinodapne macrophylla Nees. (12,49), Picrasma
javanica Blume (12%), Litsea monopetala Pars. (11,28%), Helicia robusta R.Br. (10,81%).
Potensi jenis pohon tingkat belta disajikan dalam Tabel 2.

Tabel 2. Potensi jenis pohon tingkat belta di Cagar Alam Koorders


berdasarkan Indek Nilai Penting

No. Nama jenis Nama lokal Suku INP (%)


1 2 3 4 5
1 Syzygium grande (Wight) Wight ex Jambu Myrtaceae 24.25
Walp. monyet
2 Dysoxylum ramiflorum Miq. Ki Haji Meliaceae 23.29
3 Abarema clypearia (Jack.) Kosterm. Huru Putih Fabaceae 19.69
4 Fissistigma latifolium Merr. Huru Kacang Annonaceae 19.21
5 Dysoxylum nutans Miq. Pisitan Meliaceae 13.21
Monyet
6 Actinodapne macrophylla Nees. Tangkalak Lauraceae 12.49
7 Picrasma javanica Blume Huru batu Simaroubaceae 12.00
8 Litsea monopetala Pars. Huru Kuning Lauraceae 11.28
9 Helicia robusta R.Br. Kokopian Proteaceae 10.81
10 Canarium denticulatum Blume Cayur Burseraceae 9.36
11 Symplocos cochinchinensis S. Moore. Pongporang Symplocaceae 9.36
12 Euginia paucipunctata K. et V. Jambu Myrtaceae 6.48
13 Erythrina subumbrans Merr. Caruy Fabaceae 6.24
14 Talauma candollei Blume Ki Munding Magnoliaceae 5.76
15 Litsea angulata Blume Hamberung Lauraceae 5.28
16 Glochidion molle Blume Ki huut Euphorbiaceae 4.08
17 Dysoxylum alliaceum Blume Sampang Meliaceae 3.60

Jenis pohon tingkat semai tercatat berjumlah 18 jenis, 15 marga, 14 suku. Terdapat
tiga jenis dengan INP tertinggi ialah: Picrasma javanica Blume (21,50%), Fissistigma
latifolium Merr. ( 21,22%), Dysoxylum ramiflorum Miq. (19,43). Enam jenis lainnya memiliki
INP diatas 10 % adalah: Sterculia cordata Blume (17,43), Zizyphus celtidifolia Dc. (13,19%),
Litsea monopetala Pars. (12,84%), Litsea angulata Blume (11,87), Myristica iners Reinw.
(11,40), Glochidion molle Blume (10,77). Potensi jenis pohon tingkat semai disajikan dalam
Tabel 3.

966
ILMU KEHUTANAN

Tabel 3. Potensi jenis pohon tingkat semai di Cagar Alam Koorders


berdasarkan Indek Nilai Penting

No. Nama Jenis Nama Lokal Suku INP (%)


1 2 3 4 5
1 Picrasma javanica Blume Huru Batu Simaroubaceae 21.50
2 Fissistigma latifolium Merr. Huru Kacang Annonaceae 21.22
3 Dysoxylum ramiflorum Miq. Ki Haji Meliaceaea 19.43
4 Sterculia cordata Blume Cayur Sterculiaceaed 17.43
5 Zizyphus celtidifolia Dc. Angrit Rhamnaceae 13.19
6 Litsea monopetala Pars. Huru Kuning Lauraceae 12.84
7 Litsea angulata Blume Hamberung Lauraceae 11.87
8 Myristica iners Reinw. Darah-darah Myristicaceae 11.40
9 Glochidion molle Blume Ki huut Euphorbiaceae 10.77
10 Talauma candollei Blume Ki Munding Magnoliaceae 10.55
11 Dysoxylum nutans Miq. Pisitan Meliaceaea 10.14
monyet
12 Nephelium lappaceum L. Rambutan Sapindaceae 9.17
Hutan
13 Actinodapne macrophylla Nees. Tangkalak Lauraceae 8.54
14 Dysoxylum alliaceum Blume Kelapa Ciung Meliaceaea 6.25
15 Abarema clypearia (Jack.) Kosterm. Huru Putih Fabaceae 5.56
16 Syzygium grande (Wight) Wight ex Jambu Myrtaceae 3.96
Walp. monyet
17 Radermachera gigantea Miq. Ki Pedali Bignoniaceae 3.90
18 Artocarpus elasticus Reinw. Teureup Moraceae 2.29

Potensi jenis pohon dalam kawasan CA Koorders berdasarkan indeks nilai penting
dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok, yaitu kelompok jenis pohon tanpa permudaan
alam (Tabel 4.) dan jenis pohon dengan permudaan alam (Tabel 5.). Dalam Tabel 4.
menunjukkan bahwa pada lokasi penelitian terdapat 23 jenis terdiri atas 23 marga, 16 suku
yang tidak diketemukan adanya permudaan alam. Tiga jenis diantaranya yaitu Syzygium
grande (Wight) Wight ex Walp. (Jambu monyet), Myristica iners Blume (Darah-darah) dan
Linociera ramiflora (Roxb.) Wall. ex G. Don (Huru putih) walaupun memiliki INP tingkat
pohon cukup tinggi, akan tetapi dalam plot pengamatan tidak diketemukan permudaannya.
Kondisi demikian antara lain disebabkan oleh penurunan kualitas habitat dengan adanya
populasi kelelawar dalam kawasan cagar alam yang semakin meningkat. Dengan tidak
diketemukan permudaannya, ke dua puluh tiga jenis pohon tersebut dikhawatirkan akan
mengalami resiko kepunahan di habitatnya apabila tidak ada upaya peningkatan
perlindungan terhadap populasinya. Atas dasar data yang diperoleh, ke dua puluh tiga jenis
pohon tersebut belum dapat dimasukkan kedalam kategori tumbuhan langka. Mogea et al.
(2001) menyebutkan bahwa cukup sulit untuk menentukan suatu takson termasuk kategori
langka, diperlukan kelengkapan data persebaran dan populasinya secara periodik sehingga
status kelangkaannya memadai.

967
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Tabel 4. Jenis pohon tanpa permudaan alam di Cagar Alam Koorders


berdasarkan Indek Nilai Penting

INP (%)
No. Nama Jenis Nama lokal Suku
Pohon Belta Semai
1 2 3 4 5 6 7
1 Syzygium grande (Wight) Jambu Myrtaceae 34.63 0 0
Wight ex Walp. monyet
2 Myristica iners Blume Darah-darah Myristicaceae 27.92 0 0
3 Linociera ramiflora Huru Putih Oleacaceae 11.35 0 0
(Roxb.) Wall. ex G. Don
4 Ficus pubinervis Blume Kopeng Moraceae 3.07 0 0
5 Dysoxylum Ki haji Meliaceae 2.72 0 0
caulostachyum Miq.
6 Gossampinus Ciciat Bombacaceae 2.63 0 0
malabarica Merrill leuweng
7 Microcos tomentosa Sm. Hareho Tiliaceae 2.58 0 0
8 Hibiscus macrophyllus Tisuk Malvaceae 2.38 0 0
Roxb. ex Hornem.
9 Euginia lineata Duthie Rukem Myrtaceae 2.24 0 0
10 Micromelum minutum Ki maja Rutaceae 2.21 0 0
Wight et Arn.
11 Hypobattrum frutescens Bayur Rubiaceae 2.20 0 0
Blume
12 Elaeocarpus floribundus Ki Jeruk Elaeocarpaceae 1.88 0 0
Blume
13 Pentace polyantha Jaha Tiliaceae 1.45 0 0
Hassk.
14 Elmerillia celebica DandyManglid Magnoliaceae 1.36 0 0
15 Tarenna confusa Valeton Ki tanduk Rubiaceae 1.26 0 0
16 Randia sp. Huru Rubiaceae 1.21 0 0
Kacang
17 Mischocarpus sundaicus Ki pacar Sapindaceae 1.18 0 0
Blume
18 Villebrunea rubescens Nangsi Urticaceae 1.16 0 0
Blume
19 Nauclea orientalis Forst Gempol Rubiaceae 1.14 0 0
f.
20 Xanthophyllum excelsum Ki Tangkil Polygalaceae 1.14 0 0
Blume ex Miq.
21 Leea angulata Korth. ex Ki buaya Ampelidaceae 1.11 0 0
Miq.
22 Aglaia argentea Blume Ki Bodas Meliaceae 1.09 0 0
23 Prema tomentosa Kurz. Bungbulang Verbenaceae 1.09 0 0

Kelompok jenis pohon dengan permudaan alam, berjumlah 21 jenis terdiri atas 18
marga dan 18 suku. Enam jenis diantaranya memiliki INP tingkat pohon dan permudaan
cukup tinggi yaitu Picrasma javanica Blume (Huru batu ), Fissistigma latifolium Merrill. (Huru
kacang), Euginia paucipunctata Koord. et Valet. (Ki bima), Dysoxylum ramiflorum Miq. (Ki
haji), Dysoxylum nutans Miq. (Pisitan monyet), Sterculia cordata Blume (Cayur). Potensi
jenis pohon dan permudaannya berdasarkan Indek Nilai Penting disajikan dalam Tabel 5.

968
ILMU KEHUTANAN

Tabel 5. Potensi jenis pohon dan permudaannya di Cagar Alam Koorders


berdasarkan Indek Nilai Penting

INP (%)
No. Nama Jenis Nama lokal Suku
Pohon Belta Semai
1 2 3 4 5 6 7
1 Picrasma javanica Huru batu Simaroubaceae 40.19 12.00 21.50
Blume
2 Fissistigma latifolium Huru kacang Annonaceae 40.02 19.21 21.22
Merrill.
3 Euginia paucipunctata Ki bima Myrtaceae 17.26 6.48 0.00
Koord. et Valet.
4 Dysoxylum ramiflorum Ki haji Meliaceae 13.43 23.29 19.43
Miq.
5 Dysoxylum nutans Miq. Pisitan Meliaceae 13.14 13.21 10.14
monyet
6 Sterculia cordata Blume Cayur Sterculiaceae 12.41 0.00 17.43
7 Abarema clypearia Huru putih Fabaceae 8.11 19.69 5.56
(Jack.) Kosterm.
8 Dysoxylum alliaceum Kalapa ciung Meliaceae 7.31 3.60 6.25
Blume
9 Zizyphus celtidifolia Angrid Rhamnaceae 6.43 0.00 13.19
DC.
10 Talauma candollei Ki munding Magnoliaceae 4.27 5.76 10.55
Blume
11 Actinodapne Tangkalak Lauraceae 3.79 12.49 8.54
macrophylla Nees.
12 Canarium denticulatum Cayur Burseraceae 3.40 9.36 0.00
Blume
13 Artocarpus elasticus Teureup Moraceae 3.91 0.00 2.29
Reinw.ex Blume
14 Erythrina subumbrans Caruy cucuk Leguminosae 3.83 6.24 0.00
Merrill
15 Litsea angulata Blume Hamberung Lauraceae 3.56 5.28 11.87
16 Symplocos Pongporang Symplocaceae 2.77 9.36 0.00
cochinchinensis S.
Moore.
17 Glochidion molle Blume Ki huut Euphorbiaceae 2.38 4.08 10.77
18 Nephelium lappaceum Rambutan Sapindaceae 1.34 0 9.17
L.
19 Radermachera Ki pedali Bignoniaceae 1.24 0 3.90
gigantea (Blume) Miq.
20 Helicia robusta Vilar. Kokopian Protaceae 1.12 10.81 0
21 Litsea monopetala Huru kuning Lauraceae 1.11 11.28 12.84
Pers.

Dari Tabel 5 terlihat bahwa dari enam jenis pohon dengan INP permudaan relatif
tinggi, tiga jenis diantaranya yaitu P. javanica (Huru batu ), F. latifolium Merrill. (Huru
kacang), E. paucipunctata (Ki bima), diketahui memiliki INP permudaan yang lebih rendah
dari INP pohon induk. Kondisi demikian termasuk memiliki regenerasi yang tidak normal.
Beberapa jenis pohon memiliki INP permudaan lebih tinggi dari INP tingkat pohon
seperti pada jenis Abarema clypearia (Jack.) Kosterm. (Huru putih), Zizyphus celtidifolia DC.
(Angrid), Talauma candollei Blume (Ki munding), Actinodapne macrophylla Nees.

969
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

(Tangkalak), Canarium denticulatum Blume (Cayur), Erythrina subumbrans Merrill (Caruy


cucuk), Litsea angulata Blume (Hamberung, Symplocos cochinchinensis S. Moore.
(Pongporang), Glochidion molle Blume (Ki huut), Nephelium lappaceum L. (Rambutan),
Helicia robusta Vilar. (Kokopian), dan Litsea monopetala Pers. (Huru kuning). Untuk jenis
pohon dengan INP tingkat semai dan tingkat belta lebih tinggi dari tingkat pohon, dapat
dikatakan termasuk jenis pohon dengan regenerasi normal. Kondisi regenerasi dikatakan
normal apabila jumlah semai dan belta lebih banyak dari jumlah pohon (Heriyanto &
Garsetiasih, 2005).

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
1. Keanekaragam jenis pohon di Cagar Alam Koorders bervariasi, terdapat 44 jenis, 38
marga, 28 suku.
2. Potensi jenis pohon tertinggi dan dominan adalah huru batu (Picrasma javanica Blume)
dengan INP 40.19%, huru kacang (Fissistigma latifolium Merr.) dengan INP 40.02%,
jambu monyet (Syzygium grande (Wight) Wight ex Walp.) dengan INP 34.63%.
3. Jenis pohon tanpa permudaan dan diprediksi dapat terancam punah berjumlah 23 jenis,
yaitu: Syzygium grande (Wight) Wight ex Walp., Myristica iners Blume, Linociera
ramiflora (Roxb.) Wall. ex G. Don, Ficus pubinervis Blume, Dysoxylum caulostachyum
Miq., Dysoxylum caulostachyum Miq., Gossampinus malabarica Merrill, Microcos
tomentosa Sm., Hibiscus macrophyllus Roxb. ex Hornem., Euginia lineata Duthie,
Micromelum minutum Wight et Arn., Hypobattrum frutescens Blume, Hypobattrum
frutescens Blume, Elaeocarpus floribundus Blume, Pentace polyantha Hassk., Elmerillia
celebica Dandy, Tarenna confusa Valeton, Randia sp., Mischocarpus sundaicus Blume,
Villebrunea rubescens Blume, Nauclea orientalis Forst f., Xanthophyllum excelsum
Blume ex Miq., Leea angulata Korth. ex Miq., Aglaia argentea Blume, Prema tomentosa
Kurz.

Saran
Dalam hal menyelamatkan keanekaragaman jenis pohon terancam punah di Cagar
Alam Koorders, perlu adanya peningkatan upaya perlindungan terhadap populasinya seperti
jenis pohon jambu (Syzygium grande (Wight) Wight ex Walp), darah-darah (Myristica iners
Blume) dan sebagainya.

DAFTAR PUSTAKA

Heriyanto, N.M. dan Endro Subandiono, 2003. Status kelangkaan jenis pohon di kelompok
hutan Sungai Langkawi-Sungai Jengonoi, Sintang, Kalimantan Barat. Buletin Plasma
Nutfah, Vol.9, No.2:28-37.
Heriyanto, N.M. dan R. Garsetiasih, 2005. Kajian ekologi pohon burahol (Stelechocarpus
burahol) di Taman Nasional Meru Betiri, Jawa Timur. Buletin Plasma Nutfah Vol. 11
No.2:65-73.
International Union for Conservation of Nature, 2006. Summary of 2006 IUCN Red List
categories, The International Union for the Conservation of Nature and Natural
Resources. From Wikipedia, the free encyclopedia.
http://en.wikipedia.org/w/index.php, diakses tanggal 26/2/2008.
Kartawinata, K., S. Soenarko, IGM Tantra dan T. Samingan, 1976. Pedoman inventarisasi
flora dan ekosistem. Direktorat Perlindungan dan Pengawetan Alam. Blogor.
Lembaga Penelitian Tanah, 1966. Peta tanah tinjau Jawa Barat skala 1: 250.000. Bogor.
Mogea, J.P., Djunaedi Gandawidjaja, Harry Wiriadinata, Rusdy E. Nasution, Irawati, 2001.
Tumbuhan Langka Indonesia. Puslitbang Biologi-LIPI.

970
ILMU KEHUTANAN

Schimdt, F.H. and J.H.A. Ferguson, 1951. Rain fall type based on wet and dry period ratios
for Indonesia with Western New Guinea. Verh. No.42. Direktorat Metereologi dan
Geofisika jakarta.
Sudarmono, 2006. Perlunya keterpaduan pemerintah dan masyarakat mengatasi kepunahan
tumbuhan endemik di Indonesia. Inovasi On Line, PPI JEPANG, Edisi Vol.7/XVIII-
Juni. http://io.ppi.jepang.org/article.php, diakses tanggal 28/5/2008.

971
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Taxus sumatrana (Miquel) de Laub.: JENIS POHON MULTIGUNA


DAN UPAYA KONSERVASI
Titi Kalima dan Titiek Setyawati
Kelti Botani dan Ekologi Hutan
Puslitbang Konservasi dan Rehabilitasi
Jl.Gunung Batu No.5 Bogor
Email: titi_kalima@yahoo.co.id

ABSTRAK

Taxus sumatrana (Miquel) de Laub. adalah salah satu jenis pohon yang selalu hijau
dari suku Taxaceae yang tumbuh secara alamiah di Indonesia, terutama tumbuh di Taman
Nasional Kerinci Seblat, mempunyai peranan penting dalam kehidupan sehari-hari bagi
masyarakat Indonesia. Kajian ini dikumpulkan meliputi aspek botani, aspek pemanfaatan
dan aspek konservasinya. Pemanfaatan Taxus sumatrana (Miquel) de Laub. ini antara lain
sebagai obat kanker dan diabetes serta sebagai penghasil oksigen selama 24 jam. Aspek
konservasinya akan dibahas dalam makalah ini.

Kata kunci : Taxus sumatrana (Miq.) de Laub., multiguna, konservasi,

PENDAHULUAN
Taxus sumatrana (Miquel) de Laub. (Syn. Cephalotaxus sumatrana Miquel )
merupakan salah satu jenis pohon berdaun jarum yang selalu hijau dari suku Taxaceae
yang tumbuh secara alamiah di Indonesia yaitu di hutan sub tropis atau hutan hujan
pegunungan di Pulau Sumatera dan Sulawesi pada ketinggian 650--3000m meter dari
permukaan laut (Spjut 2003). Di Indonesia, Taxus sumatrana (Miquel) de Laub. ini dikenal
dengan nama cemara sumatra, tampinur batu, dan kayu taji, namun jenis ini tumbuhnya
lambat, dapat hidup lama serta kayunya sangat kuat. Jenis ini selain penghasil kayu, hampir
semua bagian tumbuhan berpotensi untuk dimanfaatkan sebagai sumber bahan kontruksi
bangunan, kayu bakar, dan sumber bahan baku herbal obat-obatan. Secara ekonomis,
tumbuhan Taxus sumatrana ini sebagai sumber alternatif pendapatan penting untuk
masyarakat setempat. Selain itu, secara ekologis mampu memberikan oksigen yang kita
hirup, dan berfungsi sebagai suaka untuk sebagian besar jenis fauna.
Sejalan dengan adanya kerusakan habitat hutan yang cenderung lebih cepat dari
pertumbuhan pohon terutama di Sumatera, juga tekanan manusia pada sumber daya jenis
Taxus sumatrana (Miquel) de Laub. telah menyebabkan penipisan sumber daya ini karena
mempunyai fungsi dan bersifat multiguna, maka populasi Taxus sumatrana
(Miquel) de Laub. ini menjadi sangat jarang, sehingga upaya pembudidayaannya dalam
konservasi pohon ini sangat diperlukan.

Persebaran
Persebaran jenis Taxus spp. mencakup wilayah negara-negara di kawasan tropis
dan subtropis dekat garis khatulistiwa (Afganistan, Tibet, Nepal, Bhutan, Burma, Vietnam,
Taiwan dan Cina). Pada umumnya jenis Taxus spp. tumbuh di bawah tegakan di tempat
beriklim sedang dengan kondisi habitat tumbuh yang lembab dan dingin (Price, 1990).
Diduga daerah persebaran alami jenis Taxus sumatrana (Miquel) de Laub. yang paling luas
hanya di kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat., Jambi; Tana Karo di Sumatera Utara;
dan Hutan Lindung Dolok Sibuaton (Farjon, 2001).

972
ILMU KEHUTANAN

Pengenalan Jenis
Klasifikasi
Kingdom: Plantae (Tumbuhan)
Divisi: Pinophyta (konifer / daun jarum)
Kelas: Pinopsida
Ordo: Pinales
Famili: Taxaceae
Genus: Taxus
Spesies: Taxus sumatrana (Miquel) de Laub.

Taxus sumatrana (Miquel) de Laub. merupakan salah satu jenis pohon berdaun
jarum, pohon tinggi dapat mencapai 30 m, tajuknya lebar dan selalu hijau, tajuk bagian atas
berwarna hijau kekuningan dan tajuk bagian bawah hijau pucat. Batangnya berwarna coklat
kemerah merahan sampai abu-abu kemerahan, mengelupas tipis tidak teratur. Batang dan
cabang tumbuh sangat lurus. Daunnya majemuk berukuran kecil sekitar 12 27 mm x 2 -
2,5 mm, bentuk lanset seperti sabit, tersusun spiral. Buah masak berwarna kemerahan
(http://www.conifers.org/ta/ Taxus_sumatrana.php) (Gambar 1).

Gambar 1. Habitus pohon Taxus sumatrana (Miquel) de Laub. (Foto internet)

Pemanfaatan
Taxus sumatrana (Miquel) de Laub. merupakan jenis pohon multi guna, karena
hampir semua bagian dari pohon ini bermanfaat bagi manusia. Manfaat jenis pohon ini,
secara tradisional kayu merupakan produk utama, tidak jarang selain kayunya yang diambil.
Demikian pula kulit kayu, akar, daun, tunas muda, ranting dan cabang dikumpulkan untuk
bahan obat tradisional, dapat dilihat sebagai berikut :
a. Kayu : Kayu jenis pohonTaxus sumatrana (Miquel) de Laub. dihargai karena
kekuatan, daya tahan, dan dekoratif karakter digunakan untuk kontruksi bangunan,
furnitur manufaktur, perkakas rumah tangga, cambuk, ukiran dan dan juga kerangka
panah (http://www.conifers.org/ta/ Taxus_sumatrana.php). Kulit kayunya untuk bahan
pewarna merah, selain itu ekstrak kulit kayu sebagai obat utuk berbagai jenis kanker.
b. Daun, cabang, ranting, kulit kayu, tunas muda dan akar : merupakan sumber taxane, di
mana paclitaxel atau lebih dikenal dengan merek dagang Taxol diekstraksi, sebagai obat
yang sangat sukses digunakan dalam pengobatan kemoterapi untuk berbagai jenis
kanker.
c. Taxus sumatrana (Miquel) de Laub. memiliki keistimewaan, yakni tumbuhan ini terus
menerus mengeluarkan gas oksigen sepanjang waktu. Gas O2 itu selain dari hasil
fotosintesis, juga dikarenakan proses reaksi kimia metana yang terus menerus

973
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

berlangsung di dalam organ tubuh cemara sumatra ini yang memproduksi O2 sehingga
tumbuhan ini akan terus mengeluarkan O2 ke udara sekitarnya. Inilah yang bikin udara
di dekat tumbuhan ini tetap selalu sejuk dan segar, termasuk saat malam hari dimana
tumbuhan lain tidak ada yang memproduksi O2 (Andre Sihotang, 2010).
d. Taxus sumatrana (Miquel) de Laub. ini sebagai tanaman hias di halaman rumah
(http://caintaplantnursery.com/our-products/philippine-indigenous-plants/taxus/ taxus-
sumatrana-34/

Seiring dengan tingginya tingkat eksploitasi yang dilakukan untuk memperoleh bahan
aktif taxane di dunia farmasi, populasi taxus di dunia telah menurun secara drastis.
Permintaan fenomenal terhadap bahan aktif paclitaxel dan berbagai senyawa golongan
taxane lainnya berlangsung mulai tahun 1990-an dan sampai saat ini paclitaxel merupakan
obat antikanker paling dicari di dunia. Pengumpulan bahan obat dari jenis pohon Taxus
sumatrana (Miquel) de Laub. alami, akhir-akhir ini meningkat sehubungan dengan kegiatan
yang disponsori pihal luar negeri dengan harapan untuk menemukan bagian bagian
tumbuhan yang berpotensi sebagai bahan baku obat untuk penyembuhan kanker dan
diabetes.

Upaya Konservasi
Seiring dengan tingginya tingkat eksploitasi yang dilakukan untuk mengumpulkan
bagian-bagian tumbuahan Taxus sumatrana (Miquel) de Laub. sebagai bahan herbal obat-
obatan untuk dunia farmasi, populasi jenis ini telah menurun secara drastis. Penurunan
drastis populasi Taxus sumatrana (Miquel) de Laub. telah menyebabkan jenis ini
dimasukkan ke dalam Appendiks II CITES sejak tahun 2005 (CITES,2005), dan menurut
Redlist IUCN 2009, Taxus sumatrana s(Miquel) de Laub. udah dikatagorikan sebagai jenis
yang hampir punah ( endanger species, maka upaya-upaya konservasi jenis ini sangat
diperlukan.
Upaya konservasi ini terlebih dahulu harus memperhatikan cara-cara perbanyakan.
Sementara ini telah banyak dilaporkan beberapa upaya dan keberhasilan perbanyakan
pohon Taxus sumatrana (Miquel) de Laub. melalui stek dari cabang ortotrof pohon induk
dewasa yang tumbuh alami di Gunung Kerinci, Jambi (Hendalastuti dkk, 2010). Perbanyakan
dengan cara lain misal melalui biji, sampai saat ini masih belum pernah dilakukan. Upaya
konservasi dari bibit hasil penyemaian dapat dilakukan dengan sistem agroforestri bersama-
sama tanaman lain. Pohon jenis Taxus sumatrana (Miquel) de Laub. mempunyai tajuk lebar
dan rindang, oleh karena itu pohon ini dapat dilestarikan melalui penanaman pohon ini
sebagai tanaman reboisasi di lahan-lahan kritis di wilayah perbukitan atau pegunungan.
Pelestarian Taxus sumatrana (Miquel) de Laub. dapat juga dilakukan dengan
menanam pada tempat yang cukup luas dalam sistem hutan tanaman industri (HTI),
sehingga dapat menjadi sumber bahan baku herbal obat-obatan. Usaha ini perlu didukung
penelitian mengenai faktor lingkungan Taxus sumatrana (Miquel) de Laub., penyediaan bibit
(propagasi) dan teknik-teknik silvikultur tanaman.

PENUTUP

Taxus sumatrana (Miquel) de Laub. merupakan jenis pohon multiguna, sebagai jenis
pohon yang berpotensi sebagai sumber bahan baku herbal obat-obatan dan kayunya untuk
kontruksi bangunan, furnitur manufaktur, perkakas rumah tangga, cambuk, ukiran dan dan
juga kerangka panah.
Dewasa ini populasi Taxus sumatrana (Miquel) de Laub. sudah sangat jarang dan
terancam kepunahan, sehingga perlu diupayakan usaha pelestariannya. Usaha
pelestaiannya tersebut dapat dilakukan dengan menanam Taxus sumatrana
(Miquel) de Laub. dalam sistem agroforestri, reboisasi , jalur hijau, tanaman pemukiman
serta yang lebih luas lagi dalam pembangunan Hutan Tanaman Industri.

974
ILMU KEHUTANAN

DAFTAR PUSTAKA

Andre Sihotang. 2010. Pohon Cemara Sumatrana (Taxus sumatrana) pohon penghasil
oksigen selama 24 jam tanpa henti. http://highwaystar.blogdetik.com/2010/08/13/13-
agustus-2010/
CITES. 2005. Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and
Flora : Thirtheen Meeting of the Conference of the Parties. Ww.cites.org. Diakses
tanggal 14 Jani 2010.
Farjon, A. 2001. World Checklist and Bibliography of Conifers 2nd edition. Bath Press, Bath
England.
Hendalastuti,H; A.Subiakto; I.Z.Siregar; Supriyanto. 2010. Uji Pertumbuhan Stek Cemara
Sumatra (Taxus sumatrna (Miquel) de Laub. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi
Alam, Vol.VII No.3. Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam, Bogor.
Price. 1990. The Genera of Taxaceae in the Southeastern United States. Journal of Arnold
ArboretumSpjut, R.W. 2003. Taxonomy and Nomenclature of Taxus (Taxaceae).
Journal of the Botanical Research Institute of Texas 1

975
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

POTENSI FLORA ENDEMIK DI KAWASAN


TAMAN NASIONAL GUNUNG RINJANI NUSA TENGGARA BARAT
Abdul Basit Nasriyanto dan Febriana Tri Wulandari
PEH.tkt. Ahli Jenjang Muda TNGR & Fakultas Pertanian UNRAM
abbas_tngr@yahoo.co.id dan aritri71@yahoo.com

ABSTRAK

Potensi flora yang mempunyai sebaran yang terbatas (baik endemik kawasan, pulau
dan regional), untuk itu perlu dilakukan kegiatan penggalian potensi dengan melakukan
inventarisasi jenis tanaman endemik yang ada di Taman Nasional Gunung Rinjani. Metode
pelaksanaan yang digunakan pada inventarisasi flora endemik kawasan Taman Nasional
Gunung Rinjani dengan menggunakan analisa vegetasi (ANVEG) dengan sistem sensus
pada lokasi yang telah ditentukan (dijumpai potensi flora endemik).
Hasil penelitian potensi flora dikawasan TNGR adalah sebagai berikut;
1. Indek Nilai Penting (INP); Nilai INP untuk tingkat Anakan yang tertinggi adalah jenis :
Nyamplung (Calophyllum saulatrtri Burm. F) dengan nilai 85,581. Tingkat Pancang nilai
INP tertinggi adalah jenis Pala (Dipterocarpus retusus Blume ) dengan nilai 40,308.
Tingkat Tiang adalah jenis Pala (Dipterocarpus retusus Blume) dengan nilai
62,062.Serta tingkat pohon nilai tertinggi adalah Pala (Dipterocarpus retusus Blume)
dengan nilai 127,475.
2. Indeks Keragaman Jenis (H);Keragaman jenis dilokasi kegiatan menunjukkan bahwa
keragaman yang tinggi, karena mempunyai nilai keragaman (2,567) untuk tingkat tiang
dan untuk tingkat pohon (2,240) (sementara nilai keragaman yang sangat tinggi apabila
mempunyai nilai H diatas 3,40).
3. Penguasaan Jenis Tumbuhan; Penguasaan (dominansi) jenis tumbuhan (summed
dominance ratio= SDR), tingkat anakan adalah jenis Nyamplung (Calophyllum saulatri
Burm. F.) dengan tingkat pengusaan Tinggi dengan nilai 42,790 %. Tingkat Pancang
dengan nilai tinggi dengan nilai 20,154 % untuk jenis Pala (Dipterocarpus retusus
Blume). Tingkat Tiang dengan nilai 31,031 atau senilai 20,067% pada jenis Pala
(Dipterocarpus retusus Blume). Serta Tingkat Pohon dengan nilai 63,738 atau senilai
42,492% pada jenis Pala (Dipterocarpus retusus Blume).
4. Tingkat Keendemisitasan; Jenis yang mempunyai sebaran yang terbatas (endemik)
lingkup pulau (kawasan misalnya kawasan Rinjani), diantaranya : Litsea javanica Blume,
Leea aquleata Bl., Aglaia eliptia Blume, Astronia spectabilis Bl. Duobanga moluccana
Bl., Bischofia javanica, Aglaia sp., Langerstromia sp., dll.

Kata kunci: Endemik, Flora, Potensi

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Indonesia sebagai negara ketiga terluas dari hutan tropika di dunia yang kaya akan
berbagai species kehidupan liar dan beragam tipe ekosistem mulai dari hutan hujan dataran
rendah, hutan hujan dataran tinggi, hutan gambut, hutan mangrove serta beberapa hutan
campuran, yang menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara yang memiliki
keanekaragaman hayati terbesar (Mega-diversity) dan memiliki tingkat keendemikan yang
sangat tinggi. Indonesia memiliki sekitar 10 % tumbuhan berbunga, 17 % species burung,
12 % species satwa mamalia, 16 % species satwa reptilia dan 16 % species amphibia.
Pentingnya nilai keanekaragaman hayati (kekhasan flora dan fauna) di Indonesia,
maka pada tahun 1993 pemerintah Indonesia memasukkan hal tersebut dalam GBHN : The
Conservation of National Forest, termasuk didalamnya keharusan melindungi flora-fauna

976
ILMU KEHUTANAN

dari segi keragaman genetik, jenis dan ekosistemnya. Dipenghujung tahun 1999
pemerintah telah menetapkan 10 % dari kawasan konservasi dalam upaya penyelamatan
jenis dalam bentuk : Cagar Alam (Nature Reserve), Taman Buru (Game Reserve), Taman
Nasional (National Park) dan kawasan hutan yang dilindungi (Protected Forest).
Nusa Tenggara secara umum merupakan salah satu wilayah yang cukup penting bagi upaya
pelestarian keanekaraganaman hayati dunia, walaupun secara luasan relatif lebih kecil
dibandingkan wilayah lain di Indonesia. Salah satu kawasan konservasi yang cukup penting
dalam upaya perlindungan flora-fauna baik dari faktor : genetik, spesies dan eksosistemnya
yaitu kawasan konservasi Taman Nasional Gunung Rinjani. Penetapan status kawasan
tersebut didasari atas berbagai pertimbangan antara lain : fungsi ekosistem, fungsi
hidrologis, fungsi sosial-budaya dan pengembangan kepariwisataan.
Kawasan Taman Nasional Gunung Rinjai merupakan pemasok utama sumber air
untuk Pulau Lombok. Kawasan Taman Nasional Gunung Rinjani merupakan keperwakilan
tipe hutan yang cukup lengkap : Savana, hutan semi-luruh daun (Semi Deciduous Forest),
Hutan pegunungan bawah-selalu hijau (Lower montane evergreen forest) dan hutan
pegunungan tropis-selalu hijau (Tropical montane evergreen forest).
Pada masing-masing tipe hutan tersebut tersimpan berbagai potensi hayati yang
cukup tinggi, dan diantaranya tersimpan potensi flora yang mempunyai sebaran yang
terbatas (baik endemik kawasan, pulau dan regional), untuk itu perlu dilakukan kegiatan
penggalian potensi dengan melakukan inventarisasi jenis tanaman endemik yang ada di
Taman Nasional Gunung Rinjani.

Tujuan Penelitian
Untuk mendapatkan data flora endemik di Kawasan Taman Nasional Gunung Rinjani
yang akan diolah menjadi informasi yang dipergunakan sebagai bahan perencanaan dan
perumusan kebijaksanaan strategik jangka panjang, jangka menengah dan operasional
jangka pendek.dan sistem informasi kehutanan serta sebagai dasar dalam rencana
pengelolaan konservasi keragaman hayati secara insitu.

METODE PENELITIAN

Lokasi Penelitian
Lokasi kegiatan Inventarisasi Flora Endemik kawasan Taman Nasional Gunung
Rinjani berada di Wilayah SPTN I Resort Santong seluas 4 ha (Areal Kebon Jati sekitar Pal
TN 929).Luasan yang diambil berdasarkan potensi flora khususnya flora endemik kawasan
Taman Nasional Gunung Rinjani (diantaranya Pala /Depterocarpus retusus).

Bahan Penelitian
Bahan yang dibutuhkan pada kegiatan Inventarisasi Flora Endemik di Taman
Nasional Gunung Rinjani adalah :
x Tally sheet dan kuesioner;
x Alat tulis ( ATK );
x Perlengkapan Camping Unit;
x Kamera untuk dokumentasi ;
x Alat ukur jarak (pita ukur 25 - 50 meter dan tali ukur);
x Kompas;
x Haga Hypsometer;
x Phiband diameter;
x Peralatan pembuatan herbarium;

Metode Penelitian
Metode pelaksanaan yang digunakan pada inventarisasi flora endemik kawasan
Taman Nasional Gunung Rinjani dengan menggunakan analisa vegetasi (ANVEG) dengan
sistem sensus pada lokasi yang telah ditentukan (dijumpai potensi flora endemik). Tahapan

977
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

pengumpulan data lapangan kegiatan Inventarisasi Flora Endemik di Kawasan Taman


Nasional Gunung Rinjani, meliputi :
Data primer meliputi : Titik ikatan, jenis, tinggi dan diameter pohon yang terdapat di
sepanjang jalur survei serta kondisi lapangan berupa kelerengan maupun jenis flora fauna
dilindungi.
a) Pengukuran titik ikatan.
Titik ikatan adalah titik pasti yang terdapat di peta dan mudah ditemukan di lapangan
yang posisinya terdekat ke starting point (titik awal pekerjaan).
b) Pembuatan rintis dan unit contoh
x Rintisan dibuat dengan membersihkan semak-semak ataupun tumbuhan bawah
sekitar sumbu jalur selebar 1 meter selurus mungkin dengan menggunakan kompas
untuk mengukur jarak (sebaiknya gunakan tali tambang).
x Lebar jalur ditentukan 20 meter, 10 meter berada di sebelah kiri as jalur dan 10
meter disebelah kanan as jalur.
x Membuat petak-petak contoh dengan ukuran 2 x 2 m untuk tingkat anakan
(seedling), 5 x 5 m untuk tingkat pancang (Sapling), 10 x 10 m untuk tingkat tiang
(poles), dan 20 x 20 m untuk tingkat pohon (tree)
c) Pengukuran tinggi.
Pengukuran tinggi pohon dilakukan dengan menggunakan alat yang tersedia seperti
Cristian meter, hagameter atau spiegel relascope. Tinggi pohon diukur dari pangkal
sampai cabang pertama (bebas cabang)
d) Pengukuran Diameter.
Diameter pohon diukur pada ketinggian setinggi dada ( 1,30 meter) dari permukaan
tanah atau 20 cm diatas banir dengan menggunakan alat ukur diameter misalnya phi
band (pita diameter) atau meet band (pita keliling) atau spiegel relascope.

Data sekunder meliputi : sosial ekonomi, iklim, geologi, tanah dan lainnya dapat
diperoleh dengan cara wawancara ataupun dengan mempelajari dari pustaka yang ada.

Keterangan :
A = 2 x 2 m Petak Ukur untuk Tingkat
Anakan (seedling)
B = 5 x 5 m Petak Ukur untuk Tingkat
Pancang (Sapling)
C = 10 x 10 m Petak Ukur untuk Tingkat
Tiang (poles)
D = 20 x 20 m Petak Ukur untuk Tingkat
Pohon (tree)
Gambar 1. Layout Pembuatan Petak Ukur Pada
Masing-Masing Tingkatan

978
ILMU KEHUTANAN

Analisis Data
Dari hasil-hasil pengukuran (berupa data jenis, jumlah jenis dimasing-masing Petak ukur,
Tinggi dan diameter) selanjutnya dianalisis untuk mencari :

a) Indeks Nilai Penting (INP)

Keragaman Jenis
Keanekaragaman jenis dan kemantapan komunitas setiap areal dapat
digambarkan dengan Indeks Shannon (Ludwig & Reynold, 1988) :

H = -6 pi ln pi

Keterangan :
H' = Indeks Keranekaragaman Jenis
Pi = ni/N
ni = Nilai Penting Jenis ke i
N = Jumlah Nilai Penting Semua Jenis

Makin besar H' suatu komunitas maka semakin mantap pula


komunitastersebut. Nilai H' = 0 dapat terjadi bila hanya satu spesies dalam satu
contoh(sampel) dan H' maksimal bila semua jenis mempunyai jumlah individu yang
sama dan ini menunjukkan kelimpahan terdistribusi secara sempurna.

Penguasaan Jenis Tumbuhan


Penguasaan (dominansi) jenis tumbuhan ditentukan dengan parameter perbandingan
nilai penting (summed dominance ratio= SDR). Perbandingan nilai penting dihitung dengan
rumus sebagai berikut (Muller et al., 1974).

SDR = INP/2

979
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Tinggi atau rendahnya tingkat penguasaan jenis ditentukan dengan rumus sebagai
berikut (Muller et al., 1974).

Interval kelas penguasaan jenis (I) = SDR SDR /3


tertinggi terendah

Kriteria tingkat penguasaan jenis adalah :


(1) Tingkat penguasaan rendah : SDR < (SDR + I)
terendah

(2) Tingkat penguasaan sedang : SDR= (SDR + I) (SDR + 2I)


terendah terendah

(3) Tingkat penguasaan tinggi : SDR > (SDR + 2I)


terendah

Tingkat Keendemisitasan
Tingkat keendemidsitan, di dasarkan pada studi literatur yang ada, serta dari
berbagai sumber lainnya.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kegiatan Inventarisasi Hutan ditujukan untuk mengetahui komposisi jenis dan struktur
hutan (Mueller-Dombois dan Ellenberg, 1974), dimana data yang didapat digunakan untuk
mengetahui keseimbangan komunitas hutan (Meyer, 1952), menjelaskan interaksi di dalam
dan antar jenis (Odum, 1971; Ludwig dan Reynold, 1998), dan memprediksi kecenderungan
komposisi tegakan dimasa datang (Whittaker, 1974).

Indek Nilai Penting (INP)


Nilai penting merupakan suatu harga yang didapatkan dari penjumlahan nilai relative
dari sejumlah variabel yang telah diukur (kerapatan relative, kerimbunan relative, dan
frekuensi relatif).Serta dapat digunakan sebagai gambaran lengkap mengenai karakter
sosiologi suatu spesies dalam komunitas.
Dari gambar 2 dapat dilihat bahwa nilai INP untuk tingkat Anakan yang tertinggi
adalah jenis : Nyamplung (Calophyllum saulatrtri Burm. F) dengan nilai 85,581, Pala
(Dipterocarpus retusus Blume) dengan nilai 21,932 dan Renga (Grewia acuminata Juss.)
dengan nilai 18,756. Tingkat Pancang nilai INP tertinggi adalah jenis : (1) Pala
(Dipterocarpus retusus Blume ) dengan nilai 40,308, (2) Nyamplung (Calophyllum saulatrtri
Burm. F )dengan nilai 20,933, dan (3) Juwet (Syzigium cuminii (L) Skeels.) dengan nilai
19,439. Tingkat Tiang nilai tertinggi adalah jenis : (1) Pala (Dipterocarpus retusus Blume)
dengan nilai 62,062, (2) Nyambuan (Syzigium formasa Wall.) dengan nilai 53,770 dan (3)
Banitan (Cryptocarya sp.) dengan nilai 30,288. Sedang untuk tingkat Pohon nilai tertinggi
INP-nya adalah : (1) Pala (Dipterocarpus retusus Blume) dengan nilai 127,475, (2)
Nyamplung (Calophyllum saulatrtri Burm. F )dengan nilai 35,977 dan (3) Nyambuan
(Syzigium formasa Wall.) dengan nilai 33,846.
Di masing-masing tingkatan untuk jenis Pala (Dipterocarpus retusus Blume)
merupakan jenis yang mempunyai nilai INP tertinggi dimasing-masing tingkatan vegetasi.

980
ILMU KEHUTANAN

Grafik 1. Nilai INP pada masing-masing tingkat vegetasi

Indeks Keragaman Jenis (H)


Diversitas atau keanekaragaman merupakan suatu keragaman diantara anggota
suatu komunitas (Supriatno, 2001). Sementara Deshmukh (1992) mengartikan
keanekaragaman sebagai gabungan antara jumlah jenis dan jumlah individu masing-masing
jenis dalam suatu komunitas atau sering disebut kekayaan jenis.Keragaman spesies dapat
diambil untuk menandai jumlah spesies dalam suatu daerah tertentu atau sebagai jumlah
spesies diantara jumlah total individu dari seluruh spesies yang ada. Hubungan ini dapaat
dinyatakan secara numeric sebagai indeks keragaman atau indeks nilai penting. Jumlah
spesies dalam suatu komunitas adalah penting dari segi ekologi karena keragaman spesies
tampaknya bertambah bila komunitas menjadi makin stabil (Michael, 1994).
Keragaman jenis merupakan ciri tingkatan komunitas berdasarkan organisasi
biologinya, selain itu juga dapat digunakan untuk menyatakan struktur komunitas, untuk
mengukur stabilitas komunitas (kemampuan suatu komunitas untuk menjaga dirinya tetap
stabil, meskipun ada gangguan terhadap komponen-komponennya).Keragaman jenis yang
tinggi menunjukkan suatu komunitas memiliki kompleksitas tinggi karena interaksi yang
terjadi dalam komunitas itu sangat tinggi.
Menurut Odum (1993) ada dua komponen keanekaragaman jenis yaitu kekayaan
jenis dan kesamarataan.Kekayaan jenis adalah jumlah jenis dalam suatu
komunitas.Keanekaragaman jenis cenderung besar dalam suatu komunitas yang lebih
tua.Keanekaragaman jenis cenderung kecil untuk komunitas yang baru
dibentuk.Kesamarataan adalah pembagian individu yang merata diantara jenis. Pada
kenyataannya setiap spesies itu mempunyai jumlah individu yang tidak sama. Analisis
keanekaragaman jenis dapat dihitung dengan menggunakan indeks keanekaragaman
menurut Shannon.
Keragaman jenis yang dijumpai dilokasi kegiatan menunjukkan bahwa keragaman
yang tinggi, karena mempunyai nilai keragaman (2,567) untuk tingkat tiang dan untuk tingkat
pohon (2,240) (semnetara nilai keragaman yang sangat tinggi apabila mempunyai nilai H
diatas 3,40). Areal yang hanya seluas 4 ha, dimana nilai keragaman jenis (H) yang senilai

981
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

2,567 untuk tiang dan 2,240 untuk tingkat pohon, sehingga tersedia ruang untuk tumbuhnya
jenis dalam jumlah yang cukup (Richness) dan penyebaran jenis (evenness) yang besar,
hal itu senada dengan apa yang dikemukan oleh Price (1975) dalam Wirakusumah S.,
(2003) mengatakan faktor yang mempengaruhi keanekaragaman hutan adalah ruang, waktu
dan faktor biologik.
Faktor-faktor yang mempengaruhi terhadap keberadaan flora diantaranya :
a. Iklim,--faktor iklim termasuk di dalamnya keadaan suhu, kelembaban udara dan angin
sangat besar pengaruhnya terhadap kehidupan flora. Faktor suhu udara berpengaruh
terhadap berlangsungnya proses pertumbuhan fisik tumbuhan. Sinar matahari sangat
diperlukan bagi tumbuhan hijau untuk proses fotosintesa. Kelembaban udara
berpengaruh pula terhadap pertumbuhan fisik tumbuhan. Sedangkan angin berguna
untuk proses penyerbukan. Faktor iklim yang berbeda-beda pada suatu wilayah
menyebabkan jenis tumbuhan maupun hewannya juga berbeda. Tanaman di daerah
tropis, banyak jenisnya, subur dan selalu hijau sepanjang tahun karena bermodalkan
curah hujan yang tinggi dan cukup sinar matahari.

b. Tanah,--tanah banyak mengandung unsur-unsur kimia yang diperlukan bagi


pertumbuhan flora di dunia. Kadar kimiawi berpengaruh terhadap tingkat kesuburan
tanah. Keadaan struktur tanah berpengaruh terhadap sirkulasi udara di dalam tanah
sehingga memungkinkan akar tanaman dapat bernafas dengan baik. Keadaan tekstur
tanah berpengaruh pada daya serap tanah terhadap air. Suhu tanah berpengaruh
terhadap pertumbuhan akar serta kondisi air di dalam tanah. Komposisi tanah umumnya
terdiri dari bahan mineral anorganik (70%-90%), bahan organik (1%-15%), udara dan air
(0-9%). Hal-hal di atas menunjukkan betapa pentingnya faktor tanah bagi pertumbuhan
tanaman. Perbedaan jenis tanah menyebabkan perbedaan jenis dan keanekaragaman
tumbuhan yang dapat hidup di suatu wilayah. Contohnya di Nusa Tenggara jenis
hutannya adalah Sabana karena tanahnya yang kurang subur.

c. Air,--Air mempunyai peranan yang penting bagi pertumbuhan tumbuhan karena dapat
melarutkan dan membawa makanan yang diperlukan bagi tumbuhan dari dalam tanah.
Adanya air tergantung dari curah hujan dan curah hujan sangat tergantung dari iklim di
daerah yang bersangkutan. Jenis flora di suatu wilayah sangat berpengaruh pada
banyaknya curah hujan di wilayah tersebut. Flora di daerah yang kurang curah hujannya
keanekaragaman tumbuhannya kurang dibandingkan dengan flora di daerah yang
banyak curah hujannya.

d. Tinggi rendahnya permukaan bumi,--faktor ketinggian permukaan bumi umumnya


dilihat dari ketinggiannya dari permukaan laut (elevasi). Misalnya ketinggian tempat
1500 m berarti tempat tersebut berada pada 1500 m di atas permukaan laut. Semakin
tinggi suatu daerah semakin dingin suhu di daerah tersebut. Demikian juga sebaliknya
bila lebih rendah berarti suhu udara di daerah tersebut lebih panas. Setiap naik 100
meter suhu udara rata-rata turun sekitar 0,5 derajat Celcius. Jadi semakin rendah suatu
daerah semakin panas daerah tersebut, dan sebaliknya semakin tinggi suatu daerah
semakin dingin daerah tersebut. Oleh sebab itu ketinggian permukaan bumi besar
pengaruhnya terhadap jenis dan persebaran tumbuhan. Daerah yang suhu udaranya
lembab, basah di daerah tropis, tanamannya lebih subur dari pada daerah yang
suhunya panas dan kering.

e. Manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan,--manusia mampu mengubah lingkungan


untuk memenuhi kebutuhan tertentu. Misalnya daerah hutan diubah menjadi daerah
pertanian, perkebunan atau perumahan dengan melakukan penebangan, reboisasi,.atau
pemupukan. Manusia dapat menyebarkan tumbuhan dari suatu tempat ke tempat
lainnya. Selain itu manusia juga mampu mempengaruhi kehidupan fauna di suatu
tempat dengan melakukan perlindungan atau perburuan binatang. Hal ini menunjukan

982
ILMU KEHUTANAN

bahwa faktor manusia berpengaruh terhadap kehidupan flora dan fauna di dunia ini.
Selain itu faktor hewan juga memiliki peranan terhadap penyebaran tumbuhan flora.

Penguasaan Jenis Tumbuhan (Summed Dominance Ratio= SDR)


Tingkat pengusaan jenis (SDR) untuk tingkat vegetasi anakan, yaitu jenis Nyamplung
(Calophyllumsaulatri Burm. F.) sebesar 42,790 %.Tingkat pengusaan jenis (SDR) untuk
tingkat vegetasi Pancang, yaitu Pala (Dipterocarpus retusus Blume) dengan nilai 20,154 %.
Tingkat pengusaan jenis (SDR) untuk tingkat vegetasi Tiang, yaitu Pala (Dipterocarpus
retusus Blume) dengan nilai 20,067%.Tingkat pengusaan jenis (SDR) untuk tingkat vegetasi
pohon,yaituPala (Dipterocarpus retusus Blume) dengan nilai 42,492%.
Berdasarkan nilai SDR maka nyamplung pada tingkat anakan memiliki nilai paling
tinggi.(SDR tinggi bila nilainya >42,667).Secara keseluruhan pada masing-masing tingkatan
untuk jenis Pala merupakan jenis yang mempunyai nilai Pengusaan Jenis Tumbuhan (SDR)
mempunyai nilai cukup tinggi dibandingkan dengan nilai jenis-jenis yang lainnya.

Tingkat Keendemisitasan
Gunung Rinjani sebagai salah satu penyusun tipe ekosistim hutan muson yang ada
di Nusa Tenggara Barat yang mempunyai keragaman hayati khususnya flora yang berbeda
dengan kawasan lainnya. Musim kemarau yang panjang (6-8 bulan kering tiap tahunnya)
juga telah menciptakan vegetasi yang relatif berbeda dengan kawasan lain.
a. Pala/Keruing (Dipterocarpus retusus Blume.)

Sebaran
Keruing/Pala atau Dipterocarpus adalah marga pepohonan penghasil kayu
pertukangan yang berasal dari keluarga Dipterocarpaceae. Marga ini memiliki sekitar 70
spesies yang menyebar terutama di Asia Tenggara; mulai dari India dan Srilanka di barat,
melalui Burma, Indocina dan Cina bagian selatan, Thailand, hingga ke kawasan Malesia
bagian barat. Di wilayah Malesia, keruing tersebar di hutan-hutan Semenanjung Malaya,
Sumatra, Kalimantan, Filipina, Jawa, Bali, Lombok dan Sumbawa. Jadi umumnya tidak
melewati garis Wallace, kecuali yang ditemukan di Lombok dan Sumbawa.Pusat penyebaran
keruing terutama adalah wilayah barat Malesia, mulai dari Semenanjung Malaya, Sumatra
dan Kalimantan.Di wilayah Indonesia, sejauh ini tercatat 38 spesies keruing, terutama
menyebar di kedua pulau yang telah disebutkan.Di Jawa dan Nusa Tenggara bagian barat
hanya didapati 4 spesies, dan sudah hampir punah.

Gambar 2. Potensi Pala (Dipterocarpus retusus Blume)

Morfologi
Keruing umumnya berupa pohon sedang sampai besar, dengan ketinggian tajuk
mencapai 65m dan batang lurus, bulat gilig, gemangnya sering lebih dari 150cm hingga

983
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

260cm. Batang dan ranting mengeluarkan resin apabila dilukai, terkadang amat berlimpah.
Ranting-ranting berambut, kasar atau halus, dengan bekas melekatnya daun penumpu yang
tampak jelas.Daun-daun berseling, tunggal, seperti jangat, sangat bervariasi dalam ukuran,
dengan urat daun sekunder menyirip lurus jelas terlihat di sisi bawah daun.Helaian daun
menggelombang dan melipat di antara urat daun sekunder.Daun penumpu besar, lebar,
sedikit menebal, lekas gugur.
Perbungaan tunggal atau dalam tandan pendek yang bercabang.Bunga besar,
aktinomorf, berkelamin 2; daun kelopak 5 helai, tidak gugur, menyatu menjadi tabung yang
membungkus bakal buah, dua taju di antaranya panjang atau semuanya pendek.Buah geluk
berukuran besar, terbungkus kelopak, sering dengan pelebaran tabung kelopak serupa
sayap sempit atau gigir membujur di sisi luar, lima buah. Taju atau cuping kelopak di ujung
buah membentuk dua sayap yang besar dan tiga taju kecil serupa telinga, atau lima taju
kecil-kecil.
Keruing mengalami musim perbungaan raya.Pada musim-musim itu, yang
berlangsung beberapa tahun sekali, pohon-pohon keruing berbunga dan berbuah banyak
sekali. Masa berbunga berlangsung beberapa hari saja, dan tiga sampai lima bulan
kemudian buahnya telah masak. Buahnya tidak memiliki masa dormansi dan berkecambah
di tanah tak lama setelah jatuh dari pohon.Bahkan pada waktu cuaca basah sekali,
adakalanya buah berkecambah tatkala masih menempel di rantingnya.

Ekologi
Keruing tumbuh dalam hutan perawan (primer) pada pelbagai habitat dari permukaan
laut hingga ketinggian 1.500 m dpl. Sebagian besar jenisnya tumbuh tersebar, akan tetapi
beberapa spesiesnya kerap ditemukan berkelompok atau hidup pada habitat yang khas.
Misalnya D. oblongifolius di tepi sungai yang berarus deras, D. elongatus di tanah endapan
tepi sungai, D. borneensis di tanah gambut di atas pasir putih, D. gracilis di wilayah beriklim
musim, dan beberapa jenis lain yang berspesialisasi tumbuh di punggung-punggung bukit.

Manfaat
Marga ini juga penting untuk produksi kayunya, walaupun tidak sepenting
Shorea.Keruing menghasilkan kayu bangunan umum, baik untuk konstruksi menengah
maupun berat.Hampir semua jenis kayu keruing mempunyai struktur, warna, kekuatan dan
keawetan yang serupa. Oleh sebab itu, semuanya digolongkan ke dalam kelompok kayu
perdagangan yang sama, yakni keruing. Meskipun demikian, karena variasi yang tinggi
dalam kerapatan kayunya, terkadang keruing dibedakan lagi atas subkelompok keruing
ringan, menengah-berat, dan berat.
Kayu ini kurang tahan untuk pemakaian yang berhubungan dengan tanah, sehingga
umumnya digunakan untuk keperluan interior seperti kusen pintu dan jendela, tiang, tangga,
dan panel kayu lainnya. Kandungan resin dan silika yang tinggi dalam kayu keruing agak
menyulitkan penggergajian. Keruing juga secara luas dimanfaatkan untuk membuat venir
dan kayu lapis. Kayu ini juga cukup baik untuk membuat papan partikel, harbor, serta
sebagai bahan bubur kayu untuk pembuatan kertas. Secara lokal, kayu keruing juga
digunakan untuk membuat arang.

Konservasi
Beberapa spesies termasuk : Dipterocarpus applanatus, Dipterocarpus baudii,
Dipterocarpus concavus, Dipterocarpus coriaceus, Dipterocarpus cornutus, Dipterocarpus
costulatus, Dipterocarpus crinitus, Dipterocarpus elongatus, Dipterocarpus eurynchus,
Dipterocarpus fagineus, Dipterocarpus fusiformis, Dipterocarpus glabrigemmatus,
Dipterocarpus globosus, Dipterocarpus gracilis, Dipterocarpus grandiflorus, Dipterocarpus
hasseltii, Dipterocarpus kerrii, Dipterocarpus kunstleri, Dipterocarpus littoralis, Dipterocarpus
lowii, Dipterocarpus rigidus, Dipterocarpus semivestitus, Dipterocarpus sublamellatus,
Dipterocarpus tempehes, dan Dipterocarpus validus termasuk dalam daftar International
Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN) sebagai tanaman terancam
punah.

984
ILMU KEHUTANAN

b. Leea aquleata Bl.,


Taksonomi
Jenis ini termasuk kedalam famili Leeaceae, ber Genus Leea. Nama daerahnya jenis
ini sangat banyak dinataranya : di Jawa diesbut Ginggiyang (Sunda) Girang (Jawa Tengah)
Jirang (Madura), Ki buhaya, Ki buaya. Kayu ajer perempuan (Melayu). Di Sulawesi Mali-mail
(Makasar) Uka (Buru). Di Maluku Uka. Di Kalimantan untuk Leea aquleata L. bermacam-
macam yaitu Bundong, Denigirut, Kenyupiang, Kruang, Mali-mali, Mali-mali beduri, Mali-mali
bini, Njebo, Amamali (Sul.), anmamali (S.L. Bis.), bulindunau (P. Bis.), garadat (Bik.),
gemamali (Buk.), humamali (Mbo.), hara (Tag.), kemamali (Buk.), lumali (Sub.), mali-mali
(Pamp., Tag), mamalig (Mag.), pamangkilon (Bis.), sipit-kahig (Tag.), sipit-kayin (Tag.).

Morfologi
Merupakan tumbuhan perdu yang mempunyai ciri utama sebagai berikut : tinggi
antara 3-5 meter, berbatang lurus dan berduri berwarna hijau rumput, daun bersisip
berbentuk bulat lonjong. Batangnya hampir sebesar pohon pisang. Mempunyai kayu yang
sangat keras. Mali-mali akan tumbuh lebih baik bila berada di dalam hutan, batangnya pun
jauh lebih baik. Pohonnya akan berbatang tinggi besar dengan satu atau beberapa batang
yang lurus. Kayunya dapat dibuat busur dan tongkat untuk tombak (Akhriyan, 2009).
Berdaun majemuk, daunnya berbentuk memanjang, \ tulang daun menyirip, tepi daunnya
bergerigi, berjenis daun majemuk, dengan batang tumbuhan berbentuk bulat, monopodial,
jenis batang berkayu, dan sistem perakaran merupakan akar tunggang.

Manfaat
Biji Leea aquleata mengandung saponin, polifenol dan flavonoida. Daun Leea
aquleata berkhasiat sebagai obat luka baru dan pegal linu. Untuk obat luka baru dipakai 5
gram daun segar Leea aequata, dicuci, ditumbuk sampai lumat, ditempelkan pada luka dan
dibalut dengan kain bersih.

Sebaran
Jenis ini dapat dijumpai di Jawa, Sulawesi, Maluku, dan Kalimantan.

c. Aglaia eliptia Blume,


Taksonomi
Selain tanaman di atas, Aglaia sp. (Meliaceae) merupakan salah satu tanaman yang
akhir-akhir ini banyak diteliti aktivitasnya.

Manfaat
Janpraset et al. (1993) berhasil mengidentifikasi senyawa aktif yang bersifat
insektisida dari ranting A. odorata (Meliaceae) (culan, pacar cina) sebagai rokaglamida.
Senyawa aktif utama yang bersifat insektisida ini termasuk dalam golongan benzofuran.
Pada daun A. odorata selain rokaglamida juga ditemukan dan tiga senyawa turunannya,
yaitu desmetilrokaglamida, metil rokaglat dan rokaglaol (Ishibashi et al., 1993). Rokaglamida
juga telah diisolasi dari empat spesies Aglaia lain, yaitu dari akar dan batang A. elliptifolia
(Wu et al., 1997), ranting A. duppereana (Nugroho et al., 1997), dan buah A. elliptica serta
daun A. harmsiana. Aktivitas ekstrak bagian tanaman Aglaia selain dapat bersifat sebagai
insektisida dapat juga bersifat sebagai antifidan dan/atau penghambat perkembangan.

Sebaran
Daerah penyebaran tanaman ini meliputi India, Cina bagian selatan, Asia Tenggara,
Australia bagian utara dan kepulauan di Samudra Pasifik.Di Indonesia tumbuhan ini dapat
ditemui tumbuh di Pulau Sumatera, Kalimantan, Jawa, Sulawesi, Bali dan Flores.

985
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

d. Duobanga moluccana Bl.


Taksonimi
Raju Mas (Duobanga moluccana Bl.) termasuk Famili Sonneratia. Dan banyak
memiliki nama lokal: Takir (Jawa), Taker (Madura), Kajumas (Bali), Rajumas (Sumbawa),
Ranga (Tobelo), Raba (Halmahera Utara), Ranga (Toba), Ole (Temate), Kora '(Tidore),
Binuang Laki (Kalimantan).

Penyebaran dan habitat


Berdasarkan floristic malanesia, marga Duabanga terdiri dari D. grandiflora, D.
moluccana, dan D. sonneratioides.D. grandiflora dan D. sonneratioides penyebarannya
secara geografis terdapat di Malaysia Barat (Semenanjung Malaya), Sumatera, Kalimantan,
Jawa dan Nusa Tenggara.Sedangkan D. moluccana di Malaysia Timur, Sulawesi, kep.
Maluku, Papua, Bali dan Nusa Tenggara Barat.
Khusus di Nusa Tenggara Barat di Gunung Tambora Pulau Sumbawa jenis ini (D.
moluccana) tumbuhnya homogen. Tumbuh di hutan terbuka pada ketinggian 300-1200 m
dpi, secara alami pertumbuhan yang baik adalah 400- 900 m dpi, pada kondisi hutan musim,
dengan curah hujan rata-rata 2000-3500mm/tahun, tipe ikiim B-C menurut Schmidt dan
Ferguson rata rata suhu 27C-32C pada siang hari dan 15C-24C pada malam hari,
kelembaban relative pada musim kemarau 60% - 70%. Jenis ini termasuk intoleran
(membutuhkan cahaya) untuk pertumbuhannya.

Gambar 3.Duobanga moluccana Bl.

Pemanfaatan
Kayu memiliki berat jenis 0,39 (0,27-0,52), kelas awet IV -V dan kelas kuat III- IV.
Banyak digunakan untuk kayu pertukangan, veneer kayu lapis, pembuatan papan semen
dan pulp.Kayu teras D. molluccana berwama kuning muda atau coklat kekuningan
sedangkan kayu gubal berwarna lebih muda tetapi tidak ada batas yang jelas dengan kayu
terasnya.Tekstur urat kayunya kasar dengan arah serat lurus atau terpadu padat seratnya.

986
ILMU KEHUTANAN

Deskripsi botani
Tinggi tanaman hingg 25- 45 m, diameter batang 70-100 cm, batang lurus dan
bulat.Permukaan kulit tidak teratur, tetapi agak pecah dan bersisik, ciri pohon tua adalah kulit
luar berwarna kelabu coklat muda dan memiliki lentisil dengan wama coklat tua, kulit bagian
dalam berserat halus getah berwarna kecoklatan pada bagian cambium sedikit berwama
kemerahan.Banir batang rendah yaitu 50 cm dari permukaan tanah. Daun berbentuk bulat
telur (ovale), panjang 9-14 cm, lebar 4-8 cm ujung daun runcing memanjang, dasar daun
membulat. Tulang daun primer pada bagan bawah daun menonjol.Tulang daun sekunder
terdiri dari 15-16 pasang dan membentuk sudut 60 terhadap tulang daun primemya dengan
tulang daun tertier berbentuk jala.

e. Prabu (Bischofia javanica Bl)


Taksonomi
Prabu (Bischofia javanica Bl) dalam Family Euphorbiaceae, Nama Daerah di
berbabai daerah berbeda, diantaranya di Jawa menyebutnya gintungan, gelintungan,
Bintungan ,gentung (jawa), gadog, ki mahung (Sunda), di Irian Jaya menyebutnya bembuk,
di Maluku menyebutnya inggedi, kalmote, mangatu, di Nusa Tenggara menyebutnya
perabu (NTB), noar, watung (NTT), di Sumatera menyebutnya gerinjing, gerunjing, tingkem
(Gayo), sikam, cingkam (Batak-Sumatera), kintungan (Minangkabau), di Sulawesi
menyebutnya keyawu, marintek, polo, tepalu, umba.
Sinonim / nama lain dari Prabu (Bischofia javanica Bl) adalah Andrachne apetala,
Andrachne trifoliata, Bischofia cummingiana, Bischofia javanica genuina, Bischofia
javanica lanceolata, Bischofia javanica oblongifolia, Bischofia javanica toui, Bischofia
leptopoda, Bischofia oblongifolia, Bischofia roeperiana, Bischofia toui, Bischofia trifoliata,
Microelus roeperianus, Phyllanthus gymnanthus, Stylodiscus trifoliatus.

Gambar 4. Pohon Prabu (Bischofia javanica Bl.)

Deskripsi Pohon
Pohon dioecious , besar yang tingginya dapat mencapai 40 m, diameter batang 95 -
150 cm dan selalu hijau. Batangnya lurus, tanpa mata kayu ataupun bomi akar, tidak
beralur, percabangan rendah, kulit berwarna abu-abu sampai coklat, bergetah merah.
Bentuk daun bundar telur yang berbagi/berlekuk tiga serta meruncing ke ujung
daun. Duduk daun atau letaknya spiral/melingkar, mempunyai tangkai daun
panjang.Perbungaan bentuk malai, kecil, terdapat di ujung batang dengan tangkai bunga
yang panjang.Biji berbentuk Oblong, seperti bulan sabit agak kerucut, halus/licin, berwarna
merah tua sampai coklat.

987
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Sebaran
Prabu (Bischofia javanica Bl) dijumpai di Indonesia (Jawa, Sumatera, Kalimantan,
Maluku, Sulawesi), Fujian, Guangdong, Guangxi, Guizhou, Hainan, Taiwan,Yunnan,
and possibly Jiangxi, Malaysia, Australia, India (Assam, Kerala), Bangladesh, China
(Guangdong, Guizhou, Hainan, Hong Kong), Japan (Ryukyu Islands), Malay Peninsula,
Philippines, Lesser Sunda Islands, New Guinea, Kepulauan Solomon, New Caledonia,
Vanuatu, Fiji, Tonga, Cook Islands.

Manfaat
Prabu mengandung zat penyamak dan dipakai untuk memberi warna bahan
anyaman rotan dan bambu menjadi berwarna merah sampai hitam.Daunnya juga dipakai
untuk pewarna merah mendong dan pandan.Akar digunakan sebagai obat untuk
rheumatalgia dan malaria.

f. Langerstromia sp.
Taksonomi
Bongor (Lagerstroemia speciosa Auct.) termasuk dalam famili Lythraceae dan masuk
dalam genus Lagerstroemia. Jenis ini mempunyai nama yang banyak sekali, dinataranya di
Jawa disebut Bungur (Sunda), Ketangi, Laban, Wungu (Jawa Tengah), Bhungor, Wungur
(Madura), di Sumatra disebut Bungur (Melayu), Bungur Kuwal, Bungur Bener (Lampung),
Bungur Tekuyung (Palembang).
Sinonim :Lagerstroemia reginae Roxb,; L. loudoni T. & B.; Adamhea glabra Lamk.
Lagerstroemia flos-reginae retusus.

Gambar 5. Pohon Bongor (Langerstromia sp.)

Diskripsi
Jenis ini mempunyai perakaran akar tunjang, berdaun berwarna hijau kekuningan
berbentuk jorong dengan panjang sekitar 24 cm dan lebarnya sekitar 12 cm. sementara
itu bunganya panjang berwarna ungu. Pohon yang tingginya mencapai 10-20 m. Batang
Batang berkayu, bulat, bercabang, berwarna coklat kehitaman. Batangnya umumnya
bengkok, demikian juga dengan percabangan-nya

Sebaran
Dunia Tanaman asli Asia bagian Selatan. Kemudian tersebar ke USA, tropical
Africa, Australia and Jamaica.

988
ILMU KEHUTANAN

Manfaat
Daun dan buah bungur mengandung plantisul, yaitu zat yang aktivitasnya seperti
insulin. Menurut hasil penelitian, daun bungur yang sudah tua sebanyak 20 g. Jika direbus
dalam 100 ml air selama 45 menit dan diminum, memiliki kekuatan 6-6,7 unit insulin. Biji
Bungur berkhasiat sebagai obat eksim dan obat penurun tekanan darah tinggi. Kulit kayu
bungur digunakan untuk pengobatan diare, disentri, dan Kencing darah serta digunakan
untuk pengobatan kencing batu, kencing manis dan tekanan darah tinggi.

KESIMPULAN DAN SARAN

KESIMPULAN
1) Kerapatan (Density)
Tingkat Anakan Kerapatan jenis yang teringgi adalah Nyamplung (Calophyllum
saulatri Burm F.) dengan nilai 14.677,420.Serta Secara kualitatif kerapatan terbesar
adalah jarang dijumpai dengan nilai 87%.Tingkat Pancang Kerapatan jenis yang
tertinggi adalah Pala (Depterocarpus retusus Blume) dengan nilai 477,419.Serta Secara
kualitatif kerapatan terbesar jarang dijumpai 78 %. Tingkat Tiang kerapatan jenis yang
terbesar adalah Pala (Dipterocarpus retesus Blume) dengan nilai 477,419.Serta secara
kualitatif kerapatan terbesar spesies yang jarang dijumpai 87 %.Serta tingkat pohon
kerapatan jenis yang terbesar adalah Pala (Dipterocarpus retesus Blume) dengan nilai
477,419.Serta Secara kualitatif kerapatan terbesar spesies yang jarang dijumpai 87 %.

2) Frekuensi
Tingkat Anakan Frekuensi jenis terbesar adalah Nyamplung (Calophyllum saulatri
Burm. F ) dengan nilai 0,9355). Serta secara kualitatif sebagian besar termasuk dalam
kelas A terdapat 18 spesies. Tingkat Pancang Frekuensi jenis terbesar adalah Pala
(Dipterocarpus retusus Blume) dengan nilai0,419). Serta secara kualitatif sebagian
besar termasuk dalam kelas A terdapat 18 spesies. Tingkat Tiang Frekuensi jenis
terbesar adalah Nyambuan (Syzigium formasa Wall) dengan nilai 0,452). Serta secara
kualitatif sebagian besar termasuk dalam kelas A terdapat 20 spesies. Tingkat Pohon
Frekuensi jenis terbesar adalah Pala (1,000). Serta secara kualitatif sebagian besar
termasuk dalam kelas A terdapat 16 spesies. Secara keseluruhan dari tingkat anakan
sampai pada pohon, penyebaran jenis dalam komintas mempunyai distribusi secara
normal.

3) Dominasi (Dominance)
Tingkat Tiang Dominasi jenis terbesar adalah Pala (Dipterocarpus retusus Blume)
dengan nilai 1,5927. Tingkat Pohon Dominasi jenis terbesar adalah Pala (Dipterocarpus
retusus Blume) dengan nilai 217,4974.

4) Indek Nilai Penting (INP)


Nilai INP untuk tingkat Anakan yang tertinggi adalah jenis : Nyamplung
(Calophyllum saulatrtri Burm. F) dengan nilai 85,581. Tingkat Pancang nilai INP
tertinggi adalah jenis Pala (Dipterocarpus retusus Blume ) dengan nilai 40,308. Tingkat
Tiang adalah jenis Pala (Dipterocarpus retusus Blume) dengan nilai 62,062.Serta tingkat
pohon nilai tertinggi adalah Pala (Dipterocarpus retusus Blume) dengan nilai 127,475.

5) Indeks Keragaman Jenis (H)


Keragaman jenis dilokasi kegiatan menunjukkan bahwa keragaman yang tinggi,
karena mempunyai nilai keragaman (2,567) untuk tingkat tiang dan untuk tingkat pohon
(2,240) (semnetara nilai keragaman yang sangat tinggi apabila mempunyai nilai H
diatas 3,40).

989
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

6) Penguasaan Jenis Tumbuhan


Penguasaan (dominansi) jenis tumbuhan (summed dominance ratio= SDR),
tingkat anakan adalah jenis Nyamplung (Calophyllumsaulatri Burm. F.) dengan tingkat
pengusaan Tinggi dengan nilai 42,790 %. Tingkat Pancang dengan nilai tinggi dengan
nilai 20,154 % untuk jenis Pala (Dipterocarpus retusus Blume). Tingkat Tiang dengan
nilai 31,031 atau senilai 20,067% pada jenis Pala (Dipterocarpus retusus Blume). Serta
Tingkat Pohon dengan nilai 63,738 atau senilai 42,492% pada jenis Pala (Dipterocarpus
retusus Blume).

7) Tingkat Keendemisitasan
Jenis yang mempunyai sebaran yang terbatas (endemik) lingkup pulau (kawasan
misalnya kawasan Rinjani), diantaranya : Litsea javanica Blume, Leea aquleata Bl.,
Aglaia eliptia Blume, Astronia spectabilis Bl. Duobanga moluccana Bl., Bischofia
javanica, Aglaia sp., Langerstromia sp., dll.

SARAN
Hasil yang telah diketahui baik nilai kualitatif maupun nilai kuantitatifnya, maka pada
lokasi tersebut dan untuk kepentingan pengelolaan dimasa mendatang, maka disarankan
untuk :
1. Perlu dilakukan pembuatan Plot Permanen yang nantinya dapat dilakukan
pengamantan flora, fauna serta ekosistemnya yang ada pada lokasi tersebut.
2. Hendaknya perlu dilakukan inventarisasi flora endemik di lokasi-lokasi lainnya, yang
menurut informasi dan literatur sebagai habitat flora endemik.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 1992.Manual Kehutanan.Departemen Kehutanan Republik Indonesia. Jakarta.


---------------, 1990.UU Nomor 5 Tahun 1990 dan Penjelasannya tentang Konservasi
Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistimnya. Jakarta.
---------------, 2007.Buku Informasi Taman Nasional Gunung Rinjani. Balai Taman Nasional
Gunung Rinjani. Mataram.
---------------, 2000.Laporan Ekplorasi Botani di Kawasan Gunung Rinjani. WWF Indonesia
Nusa Tenggara Program. WWF. Mataram.
Soerianegara I. dan Indrawan A., 1988.Ekologi Hutan Indonesia.Lab. Ekologi
Hutan.Fak.Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Siregar. M, Undaharta E., dan Putri D., Keragaman dan Penyebaran Jenis-Jenis Pohon
Penghasil Kayu di Nusa Tenggara Barat. Kebun Raya Eka Karya Bali-
LIPI.Denpasar.
Warsito, 1986. Analisa Vegetasi. Dirjen Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam. Dep.
Kehutanan. Jakarta.
Wirakusumah S., 2003. Dasar-Dasar Ekologi Menopang Pengetahuan Ilmu-Ilmu
Lingkungan.UI-Press. Jakarta.
Zain AS., 1995. Hukum Lingkungan : Kaidah-kaidah Pengelolaan Hutan, Raja Grafindo
Persada. Jakarta.

990
ILMU KEHUTANAN

STRATEGI PENGEMBANGAN DUA PENGRAJIN BAMBU


DI BOGOR JAWA BARAT
Achmad Supriadi
Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Jalan Gunung Batu No. 5 PO.Box. 182 Bogor 16610. Telp./Fax. (0251) 8633378-8633413
Email : 19Supriadi20.gmail.com

ABSTRAK

Bambu termasuk tanaman serbaguna, karena dapat digunakan untuk berbagai


keperluan. Industri pengolahan bambu telah dapat meningkatkan pemanfaatan bambu
menjadi berbagai macam produk seperti meja kursi, tirai, dinding bambu, kap lampu,
keranjang, lampu gantung, bingkai foto dan banyak lagi produk lainnya. Berbagai produk
tersebut telah dapat menggantikan dan melengkapi produk serupa yang terbuat dari kayu
dan rotan, sehingga usaha pengolahan bambu dapat mengurangi kebutuhan terhadap
bahan baku kayu.
Makalah ini menyajikan tentang dua pengrajin bambu di Bogor Jawa Barat.
Pengumpulan data primer dilakukan melalui wawancara langsung dengan kedua pengrajin.
Perumusan strategi menggunakan Matrik Internal Eksternal. Hasil penelitian menunjukkan
kedua pengrajin secara rutin menghasilkan berbagai produk dari bambu seperti kursi, meja,
kerai dan tangga. Pada tahap masukan, nilai total matriks Internal Factor Evaluation (IFE)
yang dimiliki pengrajin A dan pengrajin B masing-masing adalah sebesar 2,85 dan 2,50
sedangkan nilai total matriks Eksternal Factor Evaluation (EFE) adalah sebesar 3,05 dan
3,10 sehingga pada tahap pencocokan kedua pengrajin masuk dalam sel II yang berarti
tumbuh dan membangun. Strategi pengembangan yang dapat diterapkan kedua pengrajin
tersebut adalah meliputi penetrasi pasar, pengembangan/perluasan pasar dan
pengembangan produk.

Kata kunci : Bambu, pengrajin, strategi, matrik internal eksternal

PENDAHULUAN

Bambu merupakan salah satu hasil hutan bukan kayu yang dapat digunakan untuk
berbagai keperluan, oleh karena itu Bambu termasuk tanaman serbaguna. Di Indonesia
Bambu dapat dijumpai baik di daerah pedesaan maupun di dalam kawasan hutan. Semua
jenis tanah dapat ditanami Bambu kecuali tanah di daerah pantai. Tanaman Bambu dapat
dijumpai mulai dari dataran rendah sampai dataran tinggi, dari pegunungan berbukit dengan
lereng curam sampai landai (Sastrapraja, et al., 1977). Menurut Widjaya (2001) Bambu di
Indonesia terdiri atas 143 jenis. Di Jawa diperkirakan hanya ada 60 jenis Bambu. Pada tahun
2000 diperkirakan luas tanaman Bambu di Indonesia adalah sebesar 2.104.000 ha, yang
terdiri dari 690.000 ha luas tanaman Bambu di kawasan hutan dan 1.414.000 ha luas
tanaman Bambu di luar kawasan hutan (Anonim, 2005).
Tanaman Bambu telah lama digunakan oleh masyarakat untuk bahan bangunan,
mebel, alat-alat rumah tangga dan barang kerajinan. Industri pengolahan bambu telah dapat
meningkatkan pemanfaatan bambu menjadi berbagai macam produk seperti meja kursi, tirai,
dinding bambu, kap lampu, keranjang, lampu gantung, bingkai foto dan banyak lagi produk
lainnya. Berbagai produk tersebut telah dapat menggantikan dan melengkapi produk serupa
yang terbuat dari kayu dan rotan, sehingga usaha pengolahan bambu dapat mengurangi
kebutuhan terhadap bahan baku kayu.
Salah satu industri skala kecil (pengrajin) pengolahan Bambu terletak di Bogor Jawa
Barat Pengrajin Bambu telah biasa menghasilkan berbagai produk dari Bambu antara lain
berupa kursi dan meja tamu, kursi malas, dipan besar, kap lampu, kerai, tangga dan lain-lain
dalam berbagai bentuk dan ukuran. Keberadaan usaha barang kerajinan dan furnitur dari

991
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

bambu, telah meningkatkan nilai tambah dari bambu, meningkatkan keuntungan, menyerap
tenaga kerja dan membantu pemerintah dalam menekan tingkat pengangguran.
Makalah ini menyajikan hasil penelitian pada dua pengrajin bambu di Bogor Jawa
Barat. Tujuannya adalah menyajikan data dan informasi tentang kondisi kedua pengrajin
bambu tersebut dan merumuskan strategi pengembangan usahanya.

METODE PENELITIAN

Pengumpulan data
Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder. Data primer meliputi
data dan informasi tentang kekuatan dan kelemahan (Internal Factor Evaluation/IFE) serta
peluang dan ancaman yang mungkin terjadi (External Factor Evaluation) pada kedua
pengrajin. Data primer dikumpulkan melalui wawancara dan pengamatan langsung pada dua
pengrajin bambu di Cibinong Bogor. Data sekunder berupa data lainnya yang berkaitan
dengan aspek penelitian, diperoleh melalui telusuran pustaka dan internet.

Analisis Data
Analisis data untuk IFE dan EFE (David , R.F.) dilakukan dengan urutan proses
analisis sebagai berikut:
1. Analisis IFE, dilakukan dengan cara sebagai berikut:
a. Identifikasi dan tuliskan 5-10 kekuatan dan kelemahan.
b. Tentukan bobot dari masing-masing faktor, mulai dari 1.0 (paling penting) sampai
0.0 (tidak penting). Total semua bobot harus berjumlah 1.0. Semakin besar
bobotnya, semakin besar prioritas faktor tersebut bagi pengrajin.
c. Tentukan tingkat peringkat untuk setiap faktor dengan angka 4 (baik), 3 (rata-rata),
2 (di bawah rata-rata), 1 (buruk). Setiap peringkat mencerminkan seberapa baik
pengrajin merespon dan mengatasi setiap faktor internal.
d. Kalikan masing-masing bobot dengan peringkatnya untuk memperoleh skor
terbobot.
e. Tambahkan seluruh skor terbobot sehingga diperoleh total skor terbobot, total skor
terbobot memiliki interval dari angka 4.0 (baik sekali) sampai 1.0 (buruk).
2. Analisis EFE, dilakukan dengan cara sebagai berikut:
a. Identifikasi dan tuliskan antara 5-10 peluang dan ancaman.
b. Tentukan bobot dari masing-masing faktor, mulai dari 1.0 (paling penting) sampai
0.0 (tidak penting). Total semua bobot harus berjumlah 1.0. semakin besar
bobotnya, semakin besar prioritas faktor tersebut bagi pengrajin
c. Tentukan tingkat peringkat untuk setiap faktor dengan angka 4 (baik), 3 (rata-rata),
2 (di bawah rata-rata), 1 (buruk). Setiap peringkat mencerminkan seberapa baik
pengrajin merespon dan mengatasi setiap faktor eksternal.
d. Kalikan masing-masing bobot dengan peringkatnya untuk memperoleh skor
terbobot.
e. Tambahkan seluruh skor terbobot sehingga diperoleh total skor terbobot, total skor
terbobot memiliki interval dari angka 4.0 (baik sekali) sampai 1.0 (buruk).
3. Perumusan strategi
Teknik perumusan strategi dengan menggunakan matriks yang terbagi dalam tiga
tahapan (Nugraha:2007), yaitu sebagai berikut:
1. Tahap I: Tahap Masukan
2. Tahap II: Tahap Pencocokan
3. Tahap III: Tahap Keputusan

992
ILMU KEHUTANAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

Produksi Kerajinan Bambu


Kedua pengrajin telah biasa menghasilkan produk dari bambu dalam berbagai bentuk
dan ukuran, seperti kursi dan meja tamu, kursi malas, dipan besar, kap lampu, kerai, tangga
dan lain-lain. Jenis kerajinan bambu yang dihasilkan terdiri dari produk original dan jenis
modifikasi. Jenis original memiliki ciri produk kerajinan yang dihasilkan sepenuhnya
menggunakan bahan baku bambu, bentuk atau desain yang kaku (standard), proses
pengerjaan yang lebih cepat dan lebih sederhana. Sedangkan ciri dari jenis modifikasi
adalah produk telah mengalami pengembangan yaitu telah dikombinasikan dengan bahan
baku lain seperti rotan, bentuk atau desain yang unik, lebih menarik, namun proses
pengerjaannya membutuhkan waktu yang lebih lama dan lebih rumit.
Bahan baku yang digunakan adalah bambu dengan jenis bambu hitam, tali (benang
sepatu), rotan, paku dan cat/pernis. Sedangkan peralatan yang digunakan cukup sederhana
seperti gergaji, palu, golok dan pisau. Bahan baku utama yakni bambu jenis bambu hitam
diperoleh dengan cara membeli pada penjual bambu (pengepul) yang mendatangkan bambu
secara khusus dari berbagai wilayah seperti Sukabumi, Jampang Surade, Parung dan lain
sebagainya. Proses pembuatan produk jenis original dan modifikasi dapat dilihat pada
Gambar 1.

Analisis SWOT (Strengths, Weaknesses, Opportunity, Threats)


Kekuatan (Strengths)
1. Jiwa kewirausahaan yang tinggi dari pengrajin bambu
2. Keterampilan pengrajin dalam menciptakan dan mengembangkan desain produk
3. Hubungan antar pegawai dan pemilik pada umumnya ada ikatan saudara, sehingga
biaya tenaga kerja dapat lebih efisien.
4. Pengrajin bambu memiliki lahan dan tempat kerja sendiri yang memadai

Kelemahan (Weaknesses)
1. Pangsa pasar yang masih terbatas
2. Sifat dari bambu yang mudah dimakan rayap
3. Permodalan yang terbatas
4. Belum memiliki merek dagang

Peluang (Opportunities)
1. Banyak pengusaha properti (rumah) di Indonesia yang menyukai furniture dari bambu
2. Desain produk yang unik dan klasik dapat menciptakan peluang pasar yang belum
teroptimalkan
3. Liputan/publikasi surat kabar lokal dapat menaikkan permintaan produk, karena dengan
publikasi maka keberadaan usaha kerajinan ini menjadi lebih luas dan lebih dikenal lagi.
4. Respon pasar dari luar daerah yang positif terhadap produk kerajinan bambu tipe betawi

Ancaman (Threats)
1. Adanya kompetitor lain di bidang furniture yang menggunakan bahan baku lebih awet
(tahan rayap)
2. Kontinuitas bahan baku bambu yang tidak dapat dipastikan

993
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Pembelian Bahan Baku Utama (Bambu)

Pembelian Bahan Baku Pendukung


(Rotan, tali, cat pernis, hampelas)

Pemotongan Bambu sesuai panjang


yang diinginkan, kemudian dihampelas

Pembelahan Bambu sesuai panjang


dan lebar yang diinginkan (sebagai
dipan duduk dan sandar)

Pembuatan Kerangka (Produk


setengah jadi)
Pemasangan dipan duduk dan sandar

Produk Kerajinan Tipe Modifikasi(Tipe


Produk Kerajinan Tipe Biasa (Original)
Betawi)

Pemasangan/Pengikatan Rotan pada


tiap siku-siku produk

Pemberian Cat/Pernis

Gambar 1. Proses produksi kerajinan bambu pada dua pengrajin di Bogor

Perumusan Strategi
1. Tahap Masukan
Tahap yang pertama ini merupakan tahap pengumpulan informasi dasar dengan alat
analisis berupa Internal Factors Evaluation Matrix (IFE Matrix) dan External Factors
Evaluation Matrix (EFE Matrix). Hasilnya disajikan pada Tabel 1 dan Tabel 2 .

994
ILMU KEHUTANAN

Tabel 1 . Matriks IFE Pengrajin bambu di Cibinong Bogor

Peringkat Skor terbobot


Faktor internal Bobot Pengrajin Pengrajin Pengrajin Pengrajin
A B A B
Kekuatan:
1. Jiwa kewirausahaan yang 0,3 4 3 1,2 0,9
tinggi dari pengrajin bambu
2. Keterampilan pengrajin dalam 0,3 3 3 0,9 0,9
menciptakan dan
mengembangkan desain
produk
3. Hubungan antar pegawai dan 0,05 3 2 0,15 0,1
pemilik pada umumnya ada
ikatan saudara
4. Pengrajin bambu memiliki 0,05 1 1 0,05 0,05
lahan dan tempat kerja sendiri
yang memadai
Kelemahan:
1. Pangsa pasar yang masih 0,1 2 2 0,2 0,2
terbatas
2. Sifat dari bambu yang mudah 0,1 2 2 0,2 0,2
dimakan rayap
3. Permodalan yang terbatas 0,05 1 1 0,05 0,05
4. Belum memiliki merek dagang 0,05 2 2 0,1 0,1
Total 1.00 2,85 2,50

Nilai: bobot X peringkat


1.0 s.d 2.0 : posisi internal pengrajin rendah.
2.0 s.d 3.0 : posisi internal pengarajin menengah
3.0 s.d 4.0 : posisi internalpengrajin tinggi .

Pada Tabel 1 tampak bahwa total matriks IFE yang dimiliki pengrajin A dan pengrajin
B masing-masing adalah adalah sebesar 2,85 dan 2,50. Hal ini menunjukkan bahwa posisi
internal pengrajin A dan pengrajin B adalah menengah untuk keseluruhan posisi strategisnya
dalam upaya memanfaatkan kekuatan dan mengantisipasi kelemahannya.

995
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Tabel 2 Matriks EFE Pengrajin Bambu

Peringkat Skor terbobot


Faktor eksternal Bobot Pengrajin Pengrajin Pengrajin Pengrajin
A B A B
Peluang:
1. Terdapat pengusaha 0,15 3 0,45 3 0,45
properti di Indonesia yang
menyukai furniture dari
bambu
2. Desain yang unik dan klasik 0,30 4 1,20 4 1,20
menciptakan peluang pasar
yang belum teroptimalkan
3. Liputan/publikasi surat 0,10 3 0,30 3 0,30
kabar lokal dapat
menaikkan permintaan
produk
4. Respon pasar dari luar 0,10 4 0,40 3 0,30
daerah yang positif terhadap
produk kerajinan bambu tipe
betawi
Ancaman:
1. Adanya kompetitor di bidang 0,20 2 0,40 2 0,40
furniture dengan bahan
baku lebih awet (tahan
rayap)
2. Kontinuitas bahan baku 0,15 2 0,30 3 0,45
bambu yang tidak dapat
dipastikan
Total 1,00 3,05 3,10

Nilai: bobot X peringkat


1.0 s.d 2.0 : posisi eksternal pengrajin rendah.
2.0 s.d 3.0 : posisi eksternal pengrajin menengah
3.0 s.d 4.0 : posisi eksternal pengrajin tinggi.

Pada Tabel 2 tampak bahwa total matriks EFE yang dimiliki pengrajin adalah
sebesar 3,05 dan 3,10. Hal ini menunjukkan bahwa posisi eksternal pengrajin A dan
pengrajin B adalah tinggi untuk keseluruhan posisi strategisnya dalam upaya memanfaatkan
peluang dan mengantisipasi ancamannya.

Tahap Pencocokan
Dari matriks IFE dan EFE kedua pengrajin, kemudian dilakukan tahap pencocokan
dengan memadukan faktor-faktor internal dan eksternal dalam upaya menghasilkan strategi
alternatif yang dapat dijalankan oleh pengrajin. Hasil pencocokan dapat dilihat pada Gambar
2.

996
ILMU KEHUTANAN
Total Nilai Internal Faktor Yang Diberi Bobot
Kuat Rata-rata Lemah
3,0 - 4,0 2,0 - 2,99 1,0 - 1,99
4,0 3,0 2,0 1,0

I II III
Total Nilai Tinggi
Eksternal
Faktor Yang
3,0
Diberi Bobot
IV V VI
Sedang

2,0
Rendah VII VIII IX

1,0

Gambar 2. Matriks Internal Eksternal kedua pengrajin bambu

Pada Gambar 2 tampak bahwa hasil matriks pencocokan menunjukkan posisi


pengrajin A maupun pengrajin B masuk dalam kuadran II yang berarti tumbuh dan
membangun (Nugraha:2007).

Tahap Keputusan
Berdasarkan analisis pada tahap masukan dan pencocokan, maka strategi yang
tepat bagi pengembangan usaha kedua pengrajin tersebut adalah sebagai berikut:
a. Penetrasi Pasar
Strategi dilakukan dengan mengoptimalkan penjualan pada wilayah pemasaran produk
yang telah ada. Pengrajin dapat mengintensifkan penawaran produk secara jemput bola
kepada calon konsumen. Agar penetrasi dapat tercapai dengan optimal, pengrajin dapat
meninjau kembali penetapan harga jual produknya dan saluran distribusi yang sekarang
digunakan.
b. Pengembangan/Perluasan Pasar
Pengrajin juga perlu memperluas wilayah pemasarannya antara lain dengan cara
menjalin kerja sama dengan para pemilik kios penjual produk furniture di luar daerah;
dan menjalin kerja sama dengan Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor dalam kegiatan
pameran produk yang diikuti oleh usaha mikro, kecil dan menengah.
c. Pengembangan Produk
Pengrajin perlu mengembangkan (inovasi) produknya sesuai dengan perkembangan
selera pasar. Dalam desain produk, pengrajin dapat melakukan terobosan yang lebih
kreatif lagi dengan membuat furnitur bambu kombinasi dengan rotan sebagai ikatan
siku, menambahkan busa atau bantal pada dudukan maupun sandaran kursi dan lain
sebagainya.

997
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
1. Pengrajinbambu A dan B di Bogor biasa menghasilkan berbagai produk dari bambu
seperti kursi dan meja tamu, kursi malas, dipan besar, kap lampu, kerai, tangga dan lain-
lain.
2. Pada tahap masukan, nilai total matriks Internal Factor Evaluation (IFE) yang dimiliki
pengrajin A dan pengrajin B masing-masing adalah sebesar 2,85 dan 2,50 sedangkan
nilai total matriks Eksternal Factor Evaluation (EFE) adalah sebesar 3,05 dan 3,10
3. Strategi pengembangan yang dapat diterapkan pada kedua pengrajin bambu tersebut
adalah meliputi penetrasi pasar, pengembangan/perluasan pasar dan pengembangan
produk.

Saran
Untuk menjamin kelangsungan usaha pengrajin bambu, perlu dukungan modal dan
kontinyuitas ketersediaan bahan baku bambu, melalui kebijakan pemerintah secara tepat.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 1995. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil.


______. 2005. Global Forest Resources Assesment Update 2005. Indonesia. Country Report
on Bamboo Resources. Forest Resources Assesment Working Paper (Bamboo).
Food and Agriculture Organization of the United nations, Forestry Department and
International Network for Bamboo and Rattan (INBAR), Jakarta.
Fred R. David. 2006. Strategic Management. Edisi 10. Salemba Empat. Jakarta.
Nugraha, M.Q. 2007. Manajemen Strategik Organisasi Publik. Universitas Terbuka. Jakarta.
Sastrapraja, S., E.A. Widjaya, S. Prawiroatmodjo dan S. Soenarko. Beberapa Jenis Bambu.
Lembaga Biologi Nasional. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Bogor
Widjaya, E.A. 2001. Identikit Jenis-jenis Bambu di Jawa. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Biologi, LIPI. Balai Penelitian Botani, Herbarium Bogoriense, Bogor.
Indonesia.

998
ILMU KEHUTANAN

PENGARUH UKURAN LUBANG TANAM TERHADAP


PERTUMBUHAN BAMBU PETUNG (Gigantochloa levis Blanco)
Sutiyono1 dan Marfuah Wardani2
1
Peneliti Pusat Penelitian dan Pengembangan Peningkatan Produktivitas Hutan
Jln Gunung Batu No. 5 Bogor; e-mail : irsutiyono@yahoo.com
2
Peneliti Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi
Jln Gunung Batu No. 5; e-mail : marfuah58@yahoo.co.id

ABSTRAK

Bambu peting (Gigantochloa levis Blanco) tergolong jenis bambu berukuran besar
tetapi pemanfaatannya masih terbatas tetapi berpotensi sebagai bahan baku industri
berbahan baku bambu. Penelitian pengaruh ukuran lubang tanam terhadap pertumbuhan
awal bambu peting telah dikerjakan di Stasiun Penelitian Hutan Pasir Awi di daerah Bogor.
Penelitian disusun menurut rancangan acak kelompok yang terdiri dari 2 ukuran lubang
tanam yaitu 1) 20x20x20 cm dan 2) 40x40x40 cm yang masing-masing ditanam bibit berasal
dari stek cabang umur 6 bulan. Setiap lubang tanam diisi pupuk dasar yang terdiri 1kg pupuk
kandang dan 0,5 gram pupuk urea. Data yang dikumpulkan adalah persen tumbuh, jumlah
batang/ rumpun, tinggi batang dan diameter batang yang dilakukan setelah tanaman
berumur 1 tahun. Seluruh data diolah dengan sidik ragam dan pada perlakuan yang nyata
dilanjutkan dengan uji-Tukeys. Hasil penelitian menunjukan bahwa ukuran lubang tanam
berpengaruh nyata terhadap jumlah batang/rumpun, tinggi batang dan diameter batang
tetapi tidak berpengaruh nyata terhadap persen tumbuh. Selanjutnya pembahasan disertai
tabel dan diagram akan disajikan pada paper ini.

Kata kunci : bambu petung, Gigantochloa levis Blanco, lubang tanam, pertumbuhan awal

PENDAHULUAN

Latar belakang
Bambu peting (Gigantochloa levis Blanco.) termasuk jenis bambu berukuran besar
setelah bambu bitung (D. asper) dan bambu gombong (G. pseudoarundinacae) dengan
diameter pangkal batang dapat mencapai 12 cm, tinggi batang 21 meter, tebal dinding
batang 2,52 cm dan berat segar batang 61 kg. Batang bambu lurus, tegak, warna kulit
batang hijau terang sampai agak gelap, percabangan dimulai di batang bagian tengah,
sehingga berpotensi sebagai bahan baku industri produk bambu seperti sumpit (chopstick),
bambu lamina, playbamboo, pulp dan kertas (Sutiyono, 2010). Persebaran alami bambu
peting ada di daerah Banyuwangi sampai daerah Jember di Jawa Timur sebagai tanaman
masyarakat atau dijumpai di lereng-lereng bukit di hutan Soko. Sementara itu di daerah
Loksado Kalimantan Selatan, bambu peting masih tumbuh liar di kawasan hutan. Meskipun
tumbuh liar, pemanfaatan oleh masyarakat masih tergolong baik yaitu menebang tepat di
bagian bawah pangkal batang dan hanya memilih batang-batang bamboo tua (>5 tahun)
(Widjaja, 1987; Sutiyono, 1988; 2010).
Tampkanya bambu peting tergolong jenis bambu yang mudah tumbuh di berbagai
ketinggian seperti ditanam oleh masyarakat di Banyumeneng, Demak yang terletak pada
ketinggian 50 m dpl, sebagai penghasil rebung (Sutiyono et al, 2010). Kemudian
diujicobakan ditanam sebagai tanaman koleksi di 3 (tiga) SPH (Stasiun Penelitian Hutan)
Dramaga, Bogor yang terletak pada ketinggian 250 m dpl, SPH Arcamanik, Bandung pada
ketinggian 1350 m dpl dan di SPH Tanjungan, Lampung Selatan yang hanya berketinggian
50 m dpl (Sutiyono, 1996; 2010). Oleh karena itu, bambu peting berpotensi dikembangkan
baik sebagai tanaman budidaya untuk menunjang industri berbasis bahan baku bambu.
Untuk mengembangkan, dibutuhkan informasi teknik budidaya dan salah satu komponen

999
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

dalam kegiatan budidaya adalah pembuatan lubang tanam. Dalam pembuatan lubang
tanam, perlu mendapatkan informasi ukurannya karena akan berpengaruh terhadap biaya
produksi.
Dalam budidaya bambu bitung (Dendrocalamus asper) di PT GGPC, Terbanggi
Besar, Lampung Tengah, ukuran lubang tanam yang digunakan adalah 100x100x100 cm.
Lubang tanam yang berukuran besar karena jenis tanahnya podsolik merah kuning yang
harus diberi serasah hasil babad semak untuk dikomposkan (Mashudi, 1994). Sementara itu
ukuran lubang tanam 20x20x20 cm sudah cukup untuk menanam bambu tutul (D. maculata).
Ukuran lubang tanam 20x20x20 cm menghasilkan daya tumbuh, pertumbuhan jumlah
batang/rumpun, tinggi batang dan diameter batang bamboo tutul tidak berbeda nyata dengan
ukuran lubang tanam 40x40x40 cm (Sutiyono, 2010). Dari hasil penelitian di atas sudah
mengisyaratkan bahwa karekateristik pertumbuhan setiap jenis bamboo tidak selalu sama.
Oleh karena itu, pengembangan bamboo peting untuk dibudidayakan membutuhkan
informasi salah satu komponen kegiatan budidaya yaitu ukuran lubang tanam.

Tujuan
Penelitian bertujuan mendapatkan informasi pengaruh ukuran lubang tanam terhadap
pertumbuhan awal bambu peting (G. levis).

BAHAN DAN METODE

Tempat penelitian
Penelitian dilakukan di Stasiun Penelitian Hutan Pasir Awi yang terletak di desa
Gobang, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor. Lokasi penelitian terletak mudah dicapai
dengan kendaraan roda 4 dari Bogor ke Leuwiliang menuju Rumpin. Terletak pada
ketinggian tempat 150 m dpl dengan tipe iklim A menurut Schmidt dan Ferguson (1951).
Tanah tergolong jenis latosol merah kecoklatan dengan bahan induk tufvolkan intermedier
dalam sekali, agak subur dan seikit miring. Menurut Soepraptohardjo (1979), tanah latosol
coklat memiliki kemampuan dan potensi baik seperti air tersedia cukup, kadar N, P dan K
cukup dan KTK tinggi.

Bahan dan Alat


1. Areal
2. Bibit bambu peting asal stek batang
3. Pupuk kandang
4. Pupuk NPK

Metode
Penelitian dirancang menurut rancangan acak kelompok yang terdiri dari 2 (dua)
perlakuan ukuran lubang tanam yaitu :
A. 20.20.20 cm dan
B. 40.40.40 cm.

Setiap perlakuan ukuran lubang tanam, ditanam sebanyak 20 bibit bambu dan diulang
sebanyak 2 (dua) kali. Seluruh lubang tanam diisi pupuk dasar yaitu pupuk kandang
ditambah pupuk urea sebanyak 5 gram. Lubang tanam yang sudah diisi pupuk kandang
ditutup dan dibiarkan selama 1 minggu. Untuk itu, telah disiapkan bibit yang berasal dari stek
cabang yang berumur 6 bulan. Bibit ditanam dengan cara disobek polybegnya, kemudian
bibit diletakan di lubang tanam yang sudah disiapkan, diurug dan dipadatkan dengan injakan
di sekitar leher bibit dan disiram.
Pemeliharaan yang dilakukan setelah itu adalah menyiangi sekitar bibit melingkar 0,5
meter. Pengumpulan data dilakukan setelah umur 1 tahun terhadap persen daya hidup,
jumlah batang/rumpun, tinggi dan diameter batang. Seluruh data diolah dengan sidik ragam
dan pada perlakuan yang nyata diuji dengan uji-Tukeys.

1000
ILMU KEHUTANAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

Persen tumbuh
Pertumbuhan awal tanam bambu dimulai dari tumbuh dan berkembangnya mata-
mata tunas pada permukaan dasar rhizome bibit yang ditanam di dalam tanah menjadi
tunas-tunas baru yang muncul di atas permukaan tanah. Tunas-tunas tersebut kemudian
tumbuh dan berkembang menjadi batang-batang kecil beruas-ruas dengan buku-buku yang
bertunas sampai pada kondisi tertentu dan kemudian berhenti. Selanjutnya batang-batang
kecil tersebut mengeluarkan cabang-cabang dan ranting yang berdaun sehingga terbentuk
rumpun baru. Namun demikian, tidak semua bibit yang ditanam dapat menjadi rumpun baru
yang disebabkan banyak factor seperti jenis bambu atau kondisi lingkungan seperti media
tanam di lubang tanam. Rata-rata persen tumbuh tanaman bambu tutul (B. maculata) umur 1
tahun disajikan pada Tabel 1. Dari Tabel 1 dapat dikelihat bahwa daya tumbuh bibit bambu
peting yang ditanam dalam lubang tanam ukuran 40x40x40 cm menghasilkan daya tumbuh
100% atau seluruhnya dapat berhasil tumbuh menghasilkan rumpun baru dibanding yang
ditanam dalam lubang tanam berukuran 20x20x20 cm yang hanya menghasilkan daya
tumbuh 83,3%).

Tabel 1. Rata-rata daya tumbuh tanaman bambu peting (G. levis) umur 1 tahun

Ukuran lubang tanam Daya tumbuh (%)


40.40.40 cm 100.0 a
20.20.20 cm 83.3 a
Rata-rata 91.7

Akan tetapi, hasil sidik ragam menunjukan bahwa ukuran lubang tanam tidak
berpengaruh nyata terhadap daya tumbuh bibit bambu peting seperti ditunjukan Lampiran 1.
Oleh karena itu kedua ukuran lubang tanam yang dicobakan dapat dianggap sama dan
menghasilkan rata-rata daya tumbuh 91,7%. Informasi ini sangat penting dalam perencaan
budidaya bambu peting agar diperoleh daya tumbuh bibit sampai 100% maka perlu
disediakan bibit lebih banyak 8,3%. Hasil penelitian tersebut relatif masih lebih tinggi jika
dibandingklan dengan daya tumbuh bibit bambu tutul (Bambusa maculata) yang ditanam
ditempat yang sama oleh Sutiyono dan Marfuah (2011). Dari penelitiannya menunjukan
bahwa rata-rata daya tumbuh bibit bambu tutul adalah 83,3% dengan ukuran lubang tanam
20x20x20 cm atau 40x40x40cm.

Pertumbuhan jumlah batang/rumpun, tinggi batang dan diameter batang


Sidik ragam pengaruh ukuran lubang tanam terhadap pertumbuhan jumlah
batang/rumpun, tinggi batang dan diameter batang disajikan pada Lampiran 2. Dari
Lampiran 2 dapat diketahui bahwa ukuran lubang tanam berpengaruh nyata terhadap
perumbuhan jumlah batang/rumpun, tinggi batang dan diameter batang. Selanjutnya rata-
rata pertumbuhan jumlah batang/rumpun pada Tbel 2 dapat diketahui bahwa ukuran lubang
tanam 40x40x40 cm menghasilkan jumlah batang/rumpun lebih besar dibanding dengan
pertumbuhan jumlah batang/rumpun yang ditanam pada lubang tanam berukuran
20x20x20cm. Demikian juga, rata-rata tinggi batang dan diameter pada lubang tanam
40x40x40 cm menghasilkan pertumbuhan tinggi batang dan diameter batang lebih besar
dibandingkan dengan pertumbuhan tinggi batang dan diameter batang yang diatanam pada
ukuran lubang tanam 20x20x20 cm.

1001
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Tabel 2. Rata-rata pertumbuhan jumlah batang/rumpun, tinggi batang dan diameter batang
bambu peting (G. levis) pada 2 ukuran lubang tanam

Ukuran lubang Jumlah Tinggi batang Diameter batang


tanam batang/rumpun (cm) (cm)
40.40.40 cm 2.04 b 82.29 b 5,45 b
20.20.20 cm 1.56 a 52,84 a 3,88 a

Ukuran lubang tanam adalah salah satu bagian terpenting dalam menyiapkan tempat
tumbuh bibit tanaman yang akan ditanam. Makin besar ukuran lubang tanam makin baik
tempat tumbuh yang disiapkan untuk menanam tanaman. Harapannya makin besar ukuran
lubang tanam makin besar ruang yang terisi media tanam yang telah tergemburkan sehingga
makin mudah sistem perakaran baru tumbuh dan berkembang. Sebaliknya makin sempit
ukuran lubang tanam makin sedikit media tanam yang mengisi tergemburkan, sehingga
sistem perakaran tanaman mengalami hambatan untuk berkembang.

KESIMPULAN

Kesimpulan
1. Ukuran lubang tanam berpengaruh sangat nyata terhadap jumlah batang/rumpun, tinggi
batang dan diameter batang tetapi tidak berpengaruh nyata terhadap daya tumbuh bibit
bambu peting (Gigantochloa levis Blanco) pada pertumbuhan awal umur 1 tahun.
2. Ukuran lubang tanam 40x40x40 cm menghasilkan pertumbuhan jumlah batang/rumpun,
tinggi batang dan diameter batang lebih besar dibanding dengan ukuran lubang tanam
20x20x20 cm,
3. Rata-rata daya tumbuh bibit bambu peting (G. levis) adalah 91,7 persen. Sedangkan
pertumbuhan jumlah batang/rumpun pada pertumbuhan awal umur 1 tahun adalah 2,04
batang/rumpun dengan rata-rata tinggi batang 82,29 cm dan rata-rata diameter batang
5,45 cm.

Saran
Dalam budidaya bambu peting sebaiknya digunakan ukuran lubang tanam 40x40x40
cm.

DAFTAR PUSTAKA

Mashudi, A. 1994. Pengembangan tanaman bambu dan pemanfaatan lahan sepanjang


aliran sungai perkebunan PT GGPC, Terbanggi Besar, Lampung Tengah. Makalah
dalam sarasehan Strategi Penelitian Bambu Indonesia, Yayasan Bambu Lingkungan
Lestari. 47 53.
Schmidt, F, H and J.H.A. Ferguson. 1951. Rainfall types based on wet and dry period ratios
for Indonesia with western New Guinea. Jawatan Meteorology dan Geofisika, Jakarta.
Soepraptohardjo, M. 1979. Klasifikasi tanah. Penataran Asisten Soil Surveyor I. IPLPP-LP
Tanah. Bogor. 06/78/79: 13-14.
Sutiyono. 1996. Pertumbuhan bambu peting (Gigantochloa levis) dan bambu manggong (G.
manggong) umur 2 tahun. Bul. Pen. Hutan. Pusat Litbang Hutan dan Konservasi
Alam, Bogor. (599) : 51-62.
-----------. 1988. Silvikultur hutan bambu di hutan Soko, Banyuwangi. Bul. Pen. Hutan Pusat
Litbang Hutan dan Konservasi Alam, Bogor. (497) : 29 34.
-----------. 2009. Aspek-aspek sosial ekonomi bambu peting (Gigantochloa levis Blanco) di
Loksado, Kalimantan Selatan. Laporan Perjalanan Dinas Ke Kalimantan Selatan.
Tidak diterbitkan. APBN 2009.

1002
ILMU KEHUTANAN

-----------. 2010. Karakteristik batang enam jenis bambu industri. Makalah Seminar Nasional
Pusat Litbang Hutan Tanaman Bogor. belum terbit.
----------. 2010. Pertumbuhan awal tanaman bambu tutul (Bambusa maculata widjaja).
Prosiding Seminar Nasional, Fakultas Kehutanan UGM. Belum Terbit
Sutiyono, Asmanah Widiarti dan Mawazin. 2010. Budidaya tardisionil rebung bambu di
Banyumeneng, Demak, Jawa tengah. Laporan Perjalanan Dinas ke Banyumeneng,
Demak, Jawa Tengah. Tidak Diterbitkan. Sumber Dana KNRT 2010.
Widjaja, E, A. 1987. A revision of Malesian Gigantochloa (Paceae- Bambusoideae). Reinw.
10 (3).pp.305 311.

1003
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Lampiran 1. Sidik ragam pengaruh lubang tanam terhadap daya hidup, bambu peting (G.
levis) umur 1 tahun.

F-Tabel
Sumber variasi db JK KT F-hitung
0,05 0,10
Kelompok 1.0 531.53 531.533 16.38 161.00 4052.00
Ukuran lubang tanam 1.0 64.88 64.883 2.00 161.00 4052.00
Galat 1.0 64.88 32.442
Total 3.0 661.30

Lampiran 2. Sidik ragam pengaruh lubang tanam terhadap jumlah batang/ rumpun, tinggi
batang dan diameter batang bambu peting (G. levis) umur 1 tahun.

F-Tabel
Sumber variasi db JK KT F-hitung
0,05 0,10
Jumlah batang/rumpun
Rumpun 24 2.88 0.120 0.40tn 1.58 2.66
Ukuran lubang tanam 1 10.00 10.000 33.71sn 4.26 7.02
Galat 24 7.12 0.297
Tinggi batang
10839.8
Rumpun 24 451.66 0.48tn 1.58 2.66
1
19580.2
Ukuran lubang tanam 1 19580.27 20.73sn 4.26 7.02
7
22666.5
Galat 24 944.44
5
Diameter batang
Rumpun 24 30.73 1.281 0.65tn 1.58 2.66
Ukuran lubang tanam 1 60.12 60.115 30.65sn 4.26 7.02
Galat 24 47.07 1.961

Keterangan : sn = sangat nyata: tn = tidak nyata

1004
ILMU KEHUTANAN

PENGGUNAAN ALAT PEMBUAT LUBANG TANAM


SECARA SEMI MEKANIK YANG DILENGKAPI
ALAT PENGANGKUT BIBIT

Dulsalam dan Sukadaryati


Peneliti Pustekolah
email : dul.salam@gmail.com dan daryatielin@yahoo.co.id

ABSTRAK

Pembangunan hutan merupakan kegiatan yang penting dalam mengantisipasi


meningkatnya kebutuhan kayu. Dalam penanaman diperlukan pembuatan lubang tanam
dan pengangkutan bibit. Pembuatan lubang tanam dan pengangkutan bibit di petak tanaman
dilakukan secara manual. Pembuatan lubang tanam dan pengangkutan bibit di petak
tanaman secara mekanis dapat meningkatkan produktivitas penanaman dan dapat
meringankan beban kerja pekerja tanaman. Untuk itu rekayasa alat pembuat lubang tanam
yang dilengkapi alat pengangkutan bibit dibuat. Tujuan dari penelitian adalah menyediakan
alat pembuat lubang tanam yang dilengkapi alat angkut bibit yang dapat digunakan secara
efisien dan efektif. Hasil rekayasa ini diharapkan dapat diaplikasikan oleh masyarakat dalam
kegiatan membangun hutan.
Hasil rekayasa menunjukkan bahwa 1. Ukuran diameter bor lubang tanam sebesar
30 cm sesuai dengan lebar lubang tanam di lapangan; 2. Produktivitas penanaman
menggunakan alat pembuat lubang tanam yang dilengkapi alat pengangkut bibit berkisar
antara 59,02133,33 bibit/jam dengan rata-rata 93,08 bibit/jam sedangkan produktivitas
penanaman bibit secara manual rata-rata12,32 bibit/jam; 3. Rata-rata produktivitas
penanaman bibit secara mekanis (93,08 bibit/jam) jauh lebih tinggi dibanding rata-rata
produktivitas penanaman bibit secara manual (12,32 bibit/jam); 4. Biaya rata-rata
penanaman bibit secara mekanis sebesar Rp 1688,02/bibit sedang biaya penanaman bibit
secara manual adalah Rp 405,84 bibit/jam. Dengan demikian biaya rata-rata penanaman
bibit secara mekanis lebih rendah bila dibanding dengan biaya penanaman bibit secara
manual; 5. Secara finansial penggunaan alat pembuat lubang tanam yang dilengkapi
pengangkutan bibit layak untuk diusahakan (Jangka waktu pengembalian 1,42 tahun; NVP
Rp 41.832.706, IRR 64,34%, B/C ratio1,36).

Kata kunci: hutan tanaman, lubang tanam, angkut bibit, produktivitas, biaya

PENDAHULUAN

Antara pasokan dan permintaan kayu sebagai bahan baku industri terjadi
kesenjangan yang cukup besar. Untuk menjembatani kesenjangan antara kebutuhan dan
pasokan bahan baku industri pengolahan kayu dapat dilakukan dengan pembangunan hutan
tanaman. Hutan tanaman merupakan hutan yang dibangun melalui kegiatan reboisasi dan
penghijauan dengan satu jenis atau beberapa jenis tanaman baru atau dengan jenis asli,
baik dengan penanaman langsung maupun melalui pembibitan. Hutan tanaman ini ditandai
dengan kelas umur dan jarak tanam yang teratur. Hutan tanaman mempunyai beberapa
keuntungan; antara lain dapat meningkatkan produksi bahan baku bagi industri, lahan
terdegradasi dapat dimanfaatkan, dengan biaya yang memadai memungkinkan untuk
diterapkan manajemen yang intensif, upaya manipulasi pertumbuhan dan kualitas melalui
pemuliaan genetik dimungkinkan, tegakan murni dan campuran dapat diperoleh, input/output
berpotensi tinggi, berskala ekonomi tinggi, membentuk pemandangan yang beragam,
peluang kerja dapat diciptakan, produk untuk kebutuhan lokal dapat disediakan dan
penggunaan lahan dapat ditingkatkan (Anonim,2001b).

1005
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Dalam pembangunan hutan tanaman diperlukan penanaman, yang terdiri dari


persiapan lahan, pengangkutan bibit (pengangkutan di luar dan di dalam petak tanaman),
membuat lubang tanam, menanam dan memeliharanya. Kegiatan membuat lubang tanam
dan mengangkut bibit di petak tebangan biasanya dilakukan secara manual dengan tenaga
manusia. Cara ini mempunyai produktivitas yang rendah. Untuk itu perlu direkayasa alat
pembuat lubang tanam secara mekanis yang dilengkapi dengan alat angkut bibit di petak
tanaman. Alat ini dirancang untuk membuat lubang tanam yang juga dapat digunakan untuk
mengangkut bibit. Begitu lubang tanam telah selesai dibuat dengan alat ini maka bibit yang
ada pada gandengan alat pembuat lubang tersebut dapat langsung ditanam. Setiap
pembuatan lubang bibit diikuti dengan penanaman. Kegiatan rekayasa alat pembuat lubang
tanam secara mekanis yang dilengkapi dengan alat angkut bibit dilakukan selama tiga tahun.
Tahun 2007, telah dilakukan perancangan dan perekayasaan alat pembuat lubang tanam
secara mekanis yang belum dilengkapi dengan alat angkut bibit yang diikuti dengan ujicoba
laboratorium. Tahun 2008, akan dilakukan penyempurnaan alat pembuat lubang tanam
secara mekanis yang dilengkapi dengan alat angkut bibit yang diikuti dengan ujicoba skala
laboratorium. Tahun 2009, akan dilakukan ujicoba alat pembuat lubang tanam secara
mekanis yang dilengkapi dengan alat angkut bibit di lapangan. Dengan adanya alat pembuat
lubang tanam secara mekanis yang dilengkapi dengan alat angkut bibit diharapkan dapat
membantu para pelaksana penanaman hutan di lapangan.
Tujuan tulisan ini untuk menyediakan informasi alat pembuat lubang tanam secara
mekanis yang dilengkapi alat angkut bibit yang efisien dan efektif. Adapun sasarannya
adalah tersedianya alat pembuat lubang tanam secara mekanis yang dilengkapi alat
pengangkutan bibit yang layak secara teknis dan ekonomis.

METODOLOGI

Lokasi Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK)
Cikampek.

Bahan dan Alat Penelitian


Bahan yang digunakan dalam uji coba ini adalah sebagai berikut: tali puli, ban
ukuran 16, rantai gigi RSW 60, besi plat tebal 8 mm, besi siku 6 cm x 6 cm, besi siku 6 x 6
cm minyak pelumas, dan kawat las. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah : alat
pembuat lubang tanam secara mekanis yang dilengkapi alat angkut bibit (gambar 1),
meteran, dan pengukur waktu.

Prosedur Penelitian
Prosedur kerja perekayasaan alat pembuat lubang tanam yang dilengkapi alat
pengangkutan bibit adalah sebagai berikut :
1) Merekayasa roda berban besi dan rantai besi pada roda
2) Pelaksanaan ujicoba alat pembuat lubang tanam yang dilengkapi alat pengangkutan
bibit dengan mengamati waktu kerja (jam), jarak angkut (m), hasil kerja (lubang tanam
dan bibit), Di samping itu, diamati juga waktu pembuatan lubang tanam dan
pengangkutan bibit secara manual. Kelayakan teknis dikaji berdasarkan fungsi alat
sebagai berikut: alat pembuat lubang tanam berfungsi dengan baik, sistem mesin
bekerja dengan baik, sistem roda berjalan lancar. Alat dapat berjalan dengan baik di
tanah hutan yang mempunyai kelerengan di bawah 25% sehingga dapat masuk di petak
tanaman dengan lancar. Kelayakan social dikaji berdasarkan seberapa jauh tenaga
mekanis ini dapat menggantikan tenaga kerja (manual) sehingga dapat mengurangi
penyerapan tenaga kerja dalam penanaman

1006
ILMU KEHUTANAN

1 2 3 45 6 7 8 9 10 11

Keterangan gambar: 1 = Roda alat angkut bibit; 2 = Kerangka alat angkut bibit; 3 =
Gandengan alat angkut bibit; 4 = Tangkai bor tanah untuk membuat
lubang tanam ; 5 = Gigi reduksi; 6 = Kerangka alat pembuat lubang
tanam; 7 = Gear box; 8 = As roda; 9 = Roda; 10 = Mesin; 11 = Pelindung
mesin

Gambar1. Alat pembuat lubang tanam yang dilengkapi alat pengangkutan bibit

Analisis Data
Analisis data dilakukan secara tabulasi. Alatanalisis yang digunakanadalah rata-rata (mean).
Rumus yang digunakan dalam analisis data adalah sebagai berikut:
1) Untuk menghitung produktivitas alat dihitung dengan rumus:
2)
P = J
W

di mana: P = Produktivitas penanaman; J = jumlah lubang tanam yang telah ditanami; W =


Waktu pembuatan lubang tanam, pengangkutan dan penanaman bibit (jam);.

Untuk menghitung biaya dibedakan biaya tetap dan biaya tidak tetap.Yang dimaksud
biaya tetap adalah biaya penghapusan, biaya asuransi, bunga dan pajak.Biaya tidak tetap
meliputi biaya bahan bakar, pelumas, perawatan dan perbaikan, suku cadang dan tenaga
kerja. Perhitungan biaya adalah sebagai berikut (Wackerman, 1949):
2) Biaya penghapusan
3)
M-R
D=
Nt

di mana : D = Penyusutan alat/biaya penghapusan (Rp/jam); M = Investasi alat (Rp); R =


Nilai bekas alat (Rp); N = Waktu ekonomis alat (tahun); t = Waktu operasi
alat (jam/tahun).

1007
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

Biaya bunga modal, pajak dan asuransi rumusnya yaitu FAO (Anonim,1992) :

Harga alat (Rp) x 0,6


------------------------- (0,18 + 0,2 + 0,3)
1000jam

4) Biaya perawatan dihitung dengan rumus berikut (Anonim, 1974) :

Harga alat (Rp) x 0,1


Biaya perawatan = -------------------------
1000jam

6) Biaya bahan bakar dihitung sebagai berikut:

Biaya bahan bakar = Penggunaan bahan bakar (liter/jam x harga bahan bakar per liter
(Rp/liter)

7) Biaya oli dan pelumas dihitung dengan rumus sebagai berikut :


Biaya oli dan pelumas = 0,1 biaya bahan bakar

8) Upah dihitung dengan rumus :


U = T: J
di mana: U = Upah (Rp/jam); T = tarif upah per hari (Rp/hari); dan J = jam kerja per hari
(jam/hari)

9) Kelayakan ekonomi dikaji berdasarkan nilai bersih sekarang (NPV), jangka waktu
pengembalian (pay back period), nilai penerimaan internal (IRR) dan perbandingan rasio
keuntungan dan biaya (B/C ratio).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pembuatan Lubang Tanam Secara Mekanis dan Penanamannya


Penanaman bibit secara mekanis dilakukan di tempat yang landai (kelerengan
berkisar antara 0-15%).Jenis tanah pada areal tersebut adalah lempung berpasir. Jarak
tanam adalah 2,5 m x 3 m. Lubang tanam berbentuk lingkaran dengan diameter 30 cm dan
kedalaman 30 cm. Pembuatan lubang tanam, pengangkutan bibit dan penanaman bibit
dilakukan sekaligus oleh regu penanam yang terdiri dari dua orang, yaitu seorang operator
alat pembuat lubang tanam termasuk pengangkutan bibit dan seorang penanam bibit.
Waktu pembuatan lubang tanam berikut penanaman bibit berkisar antara 27 61
detik/lubang tanam dengan rata-rata 40,50 detik (0,01 jam)/lubang tanam. Produktivitas
pembuatan lubang tanam secara mekanis berikut penanaman bibit berkisar antara 59,02 -
133,33 bibit/jam dengan rata-rata 93,08 bibit/jam. Untuk membuat alat pembuat lubang
tanam secara mekanis tersebut diperlukan biaya sebanyak Rp 35.000.000. Data dasar
perhitungan biaya pembuatan lubang tanam disajikan pada Tabel 1. Dari Tabel 1 dapat
dihitung biaya usaha alat memakai rumus pada analisis data di atas dan disajikan pada
Tabel 2.
Dari Tabel 2 dapat dilihat bahwa biaya usaha alat pembuat lubang tanam secara
mekanis sebesar Rp 34.255/jam. Dengan produktivitas sebesar 93,08 bibit/jam, maka
diperoleh biaya biaya penanaman secara mekanis sebesar Rp 34.255/jam : 93,08 bibit/jam =
Rp 368,02/bibit.

1008
ILMU KEHUTANAN

Tabel 1. Data dasar perhitungan biaya pembuatan lubang tanam secara mekanis

No. Perihal Satuan Nilai


1. Harga alat pembuatan luabang Rupiah 35.000.000
tanam secara mekanis
2. Umur pakai alat pembuatan Jam 10.000
lubang tanam
3. Jam kerja per tahun Jam 2.000
4. Jam kerja per hari Jam/Hari 8
5. Nilai bekas Persen 10
6. Bunga modal, biaya pajak dan Rp/Jam 100.000.000 x 0,06
asuransi x (0,18 + 0,3+ 0,2)/
1000
7. Biaya perbaikan Rupiah per Jam Sama dengan biaya
penyusutan
8. Konsumsi solar Liter per jam 1,25
9. Harga solar Rupiah/Liter 5.000
10. Biaya oli dan pelumas Rupiah per jam 0,1 x biaya bahan
bakar
11. Upah operator Rupiah 80.000
12. Upah pembantu operator Rupiah 50.000

Tabel 2. Biaya usaha alat

No. Perihal Satuan Nilai (Rp)


1. Biaya penyusutan alat dan alat Rupiah per jam 3.150
bantu
2. Bunga modal, pajak dan asuransi Rupiah per jam 4.830
3. Biaya perbaikan alat Rupiah per jam 3.150
4. Biaya bahan bakar Rupiah per jam 6.250
5. Biaya oli dan pelumas Rupiah per jam 625
6. Biaya upah Rupiah per jam 16.250
Jumlah biaya usaha Rupiah per jam 34.255

Pembuatan LubangTanamSecara Manual


Penelitian penanaman bibit secara konvensional dilakukan di sekitar penanaman bibit
secara mekanis. Alat yang digunakan penanaman secara manual adalah cangkul dengan
lubang berukuran 30 cm x 30 cm x 30 cm. Jenis tanah di areal tersebut adalah tanah
lempung berpasir. Kelerengan lapangan mencapai 0 - 15%.Jenis bibit yang ditanam adalah
Shorea selanica. Jarak tanam dalam penanaman bibit tersebut adalah 2,5 x 3 m.
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa untuk menanam (meliputi pembuatan lubang
tanam, mengangkut bibit dan menanam bibit) 60 bibit diperlukan waktu 17.524 detik ( 4,87
jam). Sehingga produktivitas penanaman adalah 60 bibit/4,87 jam = 12, 32 bibit/jam. Upah
pembuatan lubang tanam secara konvensional per hari adalah Rp 40.000. Dengan waktu
kerja per hari 8 jam maka biaya penanaman per jam adalah Rp 5.000/jam. Dengan dasar
perhitungan biaya upah tersebut, maka biaya penanaman secara manual adalah Rp
5.000/jam : 12,32 bibit/jam = Rp 405,84/bibit.
Produktivitas penanaman bibit secara mekanis di areal landai lebih tinggi bila
dibanding dengan produktivitas penanaman secara manual, yaitu secara berurutan 93,08
bibit/jam dibanding 12,32 biibit/jam. Hal ini mudah dipahami karena pembuatan lubang
tanam secara mekanis dilakukan dengan alat mekanis yang dilayani dua orang, yaitu satu
orang sebagai operator pembuatan lubang tanam dan sekaligus pengangkutan bibit dan
seorang penanam bibit sehingga waktu pembuatan lubang tanam, pengangkutan bibit dan
penanaman bibit dapat dilakukan secara serentak. Dulsalam dkk. (2007) melaporkan bahwa

1009
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

produktivitas rata-rata pembuatan lubang tanam di daerah Nagrak, Kabupaten Sukabumi


adalah 20 bibit/jam. Dibandingkan dengan produktivitas penanaman secara manual di
Nagrak, Kabupaten Sukabumi, produktivitas penanaman secara mekanis di desa Sukaharja,
Kecamatan Warung Kiara, Kabupaten Sukabumi jauh lebih tinggi, yaitu secara berurutan 20
bibit/jam dibanding 93,08 bibit/jam. Namun produktivitas penanaman secara manual di
daerah Nagrak lebih tinggi dibanding produktivitas penanaman secara manual di daerah
Sukaharja, Warung Kiara, Kabupaten Sukabumi. Hal ini antara lain disebabkan keterampilan
tenaga kerja, kondisi lapangan dan jenis tanah.
Biaya penanaman secara mekanis di areal landai lebih rendah dibanding dengan
biaya penanaman secara manual di tempat landai, yaitu secara berurutan Rp 368,02
dibanding Rp 405,84. Hal ini dapat difahami karena walaupun biaya penanaman secara
mekanis memerlukan investasi yang besar akan tetapi produktivitas penanaman bibit secara
mekanis besar pula. Pada areal yang sulit untuk memperoleh tenaga kerja, alat rekayasa
pembuat lubang tanam yang dilengkapi alat pengangkutan bibit ini dapat digunakan untuk
mengatasi masalah tersebut.
Tarif biaya penanaman bibit setempat adalah sekitar Rp 500/bibit. Apabila biaya
penanaman sebesar Rp 500/bibit dijadikan sebagai dasar harga jual jasa penanaman bibit,
maka analisis finansial penggunaan alat pembuat lubang tanam yang dilengkapi alat
pengangkutan bibit dapat dilakukan. Analisis kelayakan finansial penggunaan alat
pembuatan lubang tanam yang dilengkapi alat pengangkutan bibit menunjukkan bahwa:
1. Jangka waktu pengembalian (pay back period): Rp 35.000.000 : Rp 24.569.397/tahun
= 1,42 tahun.
2. Nilai bersih sekarang (NPV): Rp 76.832.706 Rp 35.000.000 = Rp 41.832.706.
3. Nilai pengembalian internal (IRR): 64,34%
4. Rasio keuntungan /biaya (B/C ratio): Rp 93.080.000 : Rp 71.861.483 = 1,36 .

Penggunaan alat pembuat lubang tanam secara mekanis yang dilengkapi alat bantu
layak untuk diusahakan karena pay back period< 5 tahun, NPV positif Rp 41. 832.706,
IRR> 18% (64,34%) dan B/C rasio > 1 (1,36).

KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan :


1. Ukuran diameter bor lubang tanam adalah 30 cm sesuai dengan lebar lubang tanam di
lapangan.
2. Produktivitas penanaman menggunakan alat pembuat lubang tanam yang dilengkapi alat
pengangkut bibit berkisar antara 59,02133,33 bibit/jam dengan rata-rata 93,08 bibit/jam
sedangkan produktivitas penanaman bibit secara manual rata-rata 12,32 bibit/jam,
3. Rata-rata produktivitas penanaman bibit secara mekanis (93,08 bibit/jam) jauh lebih
tinggi dibanding rata-rata produktivitas penanaman bibit secara manual (12,32 bibit/jam).
4. Biaya rata-rata penanaman bibit secara mekanis sebesar Rp 1688,02/bibit sedang biaya
penanaman bibit secara manual adalah Rp 405,84 bibit/jam. Dengan demikian biaya
rata-rata penanaman bibit secara mekanis lebih rendah bila dibanding dengan biaya
penanaman bibit secara manual; 5. Secara finansial penggunaan alat pembuat lubang
tanam yang dilengkapi pengangkutan bibit layak untuk diusahakan (Jangka waktu
pengembalian 1,42 tahun; NVP Rp 41.832.706, IRR 64,34%, B/C ratio 1,36).
5. Uji coba penanaman secara mekanis dengan menggunakan alat pembuat lubang tanam
secara mekanis yang dilengkapi alat bantu menunjukkan bahwa alat pembuat lubang
tanam tersebut mempunyai produktivitas penanaman berkisar antara 59,02 133,33
bibit/jam dengan rata-rata 93,08 bibit/jam.
6. Alat lubang tanam yang dilengkapi alat pengangkutan bibit perlu dilengkapi dengan tidak
hanya satu macam ukuran bor tanah melainkan beberapa ukuran bor tanah disesuaikan
dengan ukuran bibit yang akan ditanam dan dapat diuji cobakan dalam skala yang lebih
luas.

1010
ILMU KEHUTANAN

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 1974. Logging and transport in tropical high forest. FAO Development Paper No.
18. Rome.
_______. 1992. Cost control in forest harvesting and road construction. FAO Forestry
Paaper No. 99. Rome.
_______. 2001a. Restrukturisasi industri kehutanan.Departemen Kehutanan dan ITTO.
Jakarta.
_______. 2001b. Hutan tanaman untuk penciptaan sumber daya.Departemen Kehutanan
dan ITTO. Jakarta.
Dulsalam, D. Tinambunan dan Sukadaryati. 2007. Rekayasa alat pembuat lubang tanam
secara mekanis yang dilengkapi alat pengangkutan bibit. Laporan Hasil Penelitian.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor. Tidakditerbitkan.
Laban, B. Y. 2004. Kebijakan restrukturisasi industri kehutanan berbasis pengelolaan hutan
lestari. Prosiding Ekspose Hasil-Hasil Litbang Hasil Hutan dalam Mendukung
Program Restrukturisasi Industri Kehutanan, tanggal 16 Desember 2004 di Bogor.
Hlm. 7-14. Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Hasil Hutan. Bogor.
Wackerman, A. E. 1949. Harvesting Timber Crops. McGraw-Hill Book Company. New York.

1011
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

LAMPIRAN

Gambar 1. Alat pembuat lubang tanam Gambar 2. Bor tanah melubangi tanah
yang dilengkapi alat angkut bibit bermuatan
bibiit mulai menuju lokasi pembuatan
lubang tanam (pandangan belakang)

Gambar 3. Lubang tanah diameter 30 cm Gambar 4. Penanaman pada lubang tanam


dan dalam 30cm (pandangan atas)

1012
LAMPIRAN
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

SUSUNAN PANITIA SEMINAR NASIONAL XIV MAPEKI

Panitia Pengarah:
Dekan Fakultas Kehutanan UGM
Dr. Sri Nugroho Marsoem - UGM
Prof. Dr. T.A. Prayitno UGM
Ir. Kasmudjo, MS - UGM
Prof. Dr. Yusuf Sudo Hadi IPB
Prof. Dr. M. Yusram Massijaya IPB
Dr. Subyakto LIPI
Dr. Anita Firmanti Puslitkim PU

Panitia Pelaksana:
Ketua: Dr. Joko Sulistyo UGM

Sekretaris: Dr. Ganis Lukmandaru - UGM


Fanny Hidayati, M.Sc - UGM
Titis Widowati, S.Hut - UGM
Yus Andhini BP, S.Hut - UGM
Dwi Sukma Rini, S.Hut UGM

Bendahara: Dr. Ragil Widyorini, S.T, M.T UGM

Seminar dan Persidangan:


Dr. J.P Gentur Sutapa - UGM
Ali Awaludin, Ph.D- UGM

Publikasi: Oka Karyanto, M.Sc UGM


Dr. Sasa Sofyan M. LIPI
Syam Irianto A.Md LIPI

Dokumentasi: Harry Praptoyo, MP UGM

Perlengkapan: Vendy Eko Prasetyo, M.Sc UGM


Muhammad Navis Rofii, M. Sc UGM

1014
ILMU KEHUTANAN

DOKUMENTASI KEGIATAN

1015
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

1016
Daftar Peserta Seminar Nasional
Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
University Club Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta, 2 November 2011
NO. NAMA INSTANSI
1 A. Syaffari Kosasih Pusat Penelitian dan Pengembangan Peningkatan Produktivitas Hutan, Bogor
2 Abdurachman Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan, Bogor
3 Achmad Basuki
4 Achmad Supriyadi Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan, Bogor
5 Adi Santoso Litbang Kehutanan Bogor
6 Aditya Hani Balai Penelitian Kehutanan Ciamis
7 Adrin
8 Agung Dwi Anggoro Bagian Teknologi Hasil Hutan Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
9 Agus Ismanto Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan, Bogor
10 Agus Ngadianto Bagian Teknologi Hasil Hutan Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
11 Agus Sulistyo Budi Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman, Samarinda
12 Agus Wahyudi Balai Besar Penelitian Dipterokarpa, Samarinda
13 Ahmad Gadang P Balai Penelitian Teknologi Serat Tanaman Hutan
14 Ali Awaludin Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
15 Alimudin Yusuf Universitas Winayamukti, Bandung
16 Alpian Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Palangka Raya
17 Ana Agustina Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan IPB, Bogor
18 Andi Detti Yunianti Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin, Makasar
19 Andi Sadapotto Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin, Makasar
20 Andrian Fernandes Balai Besar Penelitian Dipterokarpa, Samarinda
21 Anis Sri Lestari UPT BPP Biomaterial LIPI
22 Anisa Alfiana Gazidy Bagian Teknologi Hasil Hutan Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
23 Anne Hadiyane Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati (STIH), ITB Bandung
24 Anton Prasojo Bagian Teknologi Hasil Hutan Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

1017
ILMU KEHUTANAN

25 Apri Heri Iswanto Fakultas Kehutanan Universitas Sumatera Utara


NO. NAMA INSTANSI

1018
26 Arida Susilowati Mahasiswa Pascasarjana Silvikutrur Tropika, Fakultas Kehutanan IPB, Bogor
27 Arief Heru Prianto UPT BPP Biomaterial LIPI
28 Arinana Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan IPB, Bogor
29 Arvita Erizal Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan IPB, Bogor
30 Asmanah Widiarti Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi, Bogor
31 Atak Sumedi Jurusan Teknologi Hasil Hutan Politeknik Pertanian Negeri Samarinda
32 Atmawi Darwis Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati (STIH), ITB Bandung
33 Bambang Subiyanto Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
34 Bandi Supraptono Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman, Samarinda
35 Barly Litbang Kehutanan Bogor
36 Beta Putranto Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin, Makasar
37 Danang Sudarwoko Adi UPT BPP Biomaterial LIPI
38 Deddy Triyono Nugroho Adi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
39 Dede Hermawan Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan IPB, Bogor
40 Dedi Kusmawan Balai Penelitian Terpadu Perumahan Tradisional Denpasar
41 Deni Zulfiana Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
42 Didi Tarmadi UPT BPP Biomaterial LIPI
43 Djamal Sanusi Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin, Makasar
44 Djeni Hendra Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan, Bogor
45 Dony A. Djitmau Fakultas Kehutanan Universitas Negri Papua, Sorong
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

46 Dwi Joko Priyono Politeknik Pertanian Samarinda


47 Edi Sukaton Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman, Samarinda
48 Edi Sarwono Pustekolah Hasil Hutan, Bogor
49 Effendi Tri Bahtiar Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan IPB, Bogor
50 Efrida Basri Pustekolah
NO. NAMA INSTANSI
51 Elis Nina Herliyana Departemen Hasil Hutan Fakultas Kehutanan IPB, Bogor
52 Enih Rosamah Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman, Samarinda
53 Enos Tangke Arung Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman, Samarinda
54 Eny Faridah Bagian Silvikultur Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
55 Erly Rosita Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman
56 Erniwati
57 Erwinsyah Pusat Penelitian Sawit Medan
58 Evy Wardenaar Fakultas Kehutanan Universitas Tanjung Pura, Potianak
59 Fabianus Ranta Manajemen Pertanian Lahan Kering Politeknik Pertanian Negeri Kupang
60 Farah Diba Fakultas Kehutanan Universitas Tanjung Pura, Pontianak
61 Farida Aryani Jurusan Teknologi Hasil Hutan, Politeknik Pertanian Samarinda
62 Fathul Yusro Fakultas Kehutanan Universitas Tanjung Pura, Potianak
63 Fengky Yoresta Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan IPB, Bogor
64 Firda Aulya Syamani UPT BPP Biomaterial LIPI
65 G. Aryanto W Akademi Teknik PIKA, Semarang
66 Ganis Lukmandaru Bagian Teknologi Hasil Hutan Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
67 Gunawan Pasaribu Balai Penelitian Kehutanan Aek Nauli Sumatera Utara
68 Gustan Pari Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan, Bogor
69 Hafiq Prasetiadi Bagian Teknologi Hasil Hutan Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
70 Harlinda Kuspradini Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman, Samarinda
71 Harry Praptoyo Bagian Teknologi Hasil Hutan Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
72 Hesti Lestari Tata Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi, Bogor
73 Hikma Yanti Fakultas Kehutanan Universitas Tanjung Pura, Potianak
74 I Ketut N Pandit Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan IPB, Bogor
75 I.B. Gede Putra Budiana Balai Penelitian Terpadu Perumahan Tradisional Denpasar

1019
ILMU KEHUTANAN
NO. NAMA INSTANSI

1020
76 I.G.N. Adhijtjahjo Akademi Teknik PIKA, Semarang
77 I.G.N. Danu Sayudha Bagian Teknologi Hasil Hutan Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
78 Ihak Sumardi Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati (STIH), ITB Bandung
79 Ika Wahyuni UPT BPP Biomaterial LIPI
80 Illa Anggraeni Pusat Penelitian dan Pengembangan Peningkatan Produktivitas Hutan, Bogor
81 Imam Wahyudi Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan IPB, Bogor
82 Imron Ara'ad S Bagian Teknologi Hasil Hutan Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
83 Indrawati Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman, Samarinda
84 Inggit Tutirin Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan IPB, Bogor
85 Irawan Wijaya Kusuma Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman, Samarinda
86 Irmasari Fakultas Kehutanan Universitas Tadulako, Palu
87 Ismadi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
88 Ismail Budiman Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
89 Isna Yuniar Wardani Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman, Samarinda
90 Iwan Risnasari Mahasiswa Pascasarjana Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan IPB, Bogor
91 J.P. Gentur Sutapa Bagian Teknologi Hasil Hutan Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
92 James Rilatupa Universitas Kristen Indonesia
93 Jasni Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan, Bogor
94 Jepri G.M.Purba Bagian Teknologi Hasil Hutan Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

95 Johannes Adhijoso Tjondro Universitas Katolik Parahyangan


96 Joko Sulistyo Bagian Teknologi Hasil Hutan Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
97 Jufriah Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman, Samarinda
98 Kasmudjo Bagian Teknologi Hasil Hutan Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
99 Kurnia Wiji Prasetiyo Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
100 Kusno Yuli Widiati Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman, Samarinda
NO. NAMA INSTANSI
101 Lasino Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman, KEMEN PU
102 Lina Karlinasari Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan IPB, Bogor
103 Listya Mustika Dewi Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan, Bogor
104 Lucia Indarti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
105 Lucky Risanto UPT BPP Biomaterial LIPI
106 Lusita Wardani Mahasiswa Pascasarjana Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan IPB, Bogor
107 M Navis Rofii Bagian Teknologi Hasil Hutan Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
108 M. Fajri Balai Besar Penelitian Dipterokarpa, Samarinda
109 M. Zaenudin Asosiasi Pengrajin Kecil Jepara (APKJ), Jepara
110 M. Afif Shulhan Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
111 M.I. Iskandar Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan, Bogor
112 Marfuah Wardani Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi, Bogor
113 Margono Asosiasi Pengrajin Kecil Jepara (APKJ), Jepara
114 Maya Ismayati UPT BPP Biomaterial LIPI
115 Mery Loiwatu Fakultas Pertanian Universitas Pattimura, Ambon
116 Moeh. Hadi Akbar Zam Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin, Makasar
117 Mohamad Gopar Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
118 Mohammad Muslich Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan, Bogor
119 Mohammad Naiem Bagian Silvikultur Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
120 Muhammad Asdar Balitbanghut Sulawesi
121 Muhammad Dassir Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin, Makasar
122 Muhammad Daud Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin, Makasar
Muhammad Yusram
123 Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan IPB, Bogor
Massijaya
124 Muhammad Azwar Massijaya Mahasiswa Pascasarjana Fakultas Kehutanan IPB, Bogor
125 Mujiman Politeknik Negeri Bandung

1021
ILMU KEHUTANAN
NO. NAMA INSTANSI

1022
126 Musrizal Muin Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin, Makasar
127 Muthmainnah Mahasiswa Pascasarjana Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan IPB, Bogor
128 Myrtha Karina UPT BPP Biomaterial LIPI
129 Nanang Masruchin Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
130 Nani Husien Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman, Samarinda
131 Naresworo Nugroho Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan IPB, Bogor
132 Nia Widyastuti Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan IPB, Bogor
133 Nifa Hanifah Fakultas Kehutanan IPB, Bogor
134 Niken Subekti Universitas Negeri Semarang
135 Nina Mindawati Pusat Litbang Peningkatan Produktifitas Hutan
136 Noor Farikhah Haneda Fakultas Kehutanan IPB, Bogor
137 Nur Maulida Sari Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman, Samarinda
138 Nurhaida Fakultas Kehutanan Universitas Tanjung Pura, Pontianak
139 Nurwati Hadjib Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan, Bogor
140 Nyoman Wistara Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan IPB, Bogor
141 Paranita Asnur
142 R Esa Pangersa G. Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan, Bogor
143 Ragil Widyorini Bagian Teknologi Hasil Hutan Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
144 Ratih Damayanti Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan, Bogor
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

145 Renhart Jemi Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Palangka Raya
146 Renny Purnawati Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan IPB, Bogor
147 Retno Widiastuti Balai Besar Kerajinan dan Batik Yogyakarta
148 Rina Bogidarmanti Pusat Penelitian dan Pengembangan Peningkatan Produktivitas Hutan, Bogor
149 Ringgar Patria Putra Bagian Teknologi Hasil Hutan Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
150 Riskan Effendi Puslitbang Peningkatan Produksi Hasil Hutan, Bogor
NO. NAMA INSTANSI
151 Rita Diana Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman, Samarinda
152 Rita Kartika Sari Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan IPB, Bogor
153 Rudi Hartono Fakultas Pertanian Universitas Sumatra Utara
154 Rukmi Fakultas Kehutanan Universitas Tadulako, Palu
155 Ruslan Balai Pengembangan Tek. Perumahan Tradisional Makassar
156 Rusli Balai Penelitian Terpadu Perumahan Tradisional Denpasar
157 Saefudin Puslit Biologi LIPI
158 Sahwalita Balai Penelitian Kehutanan Palembang
159 Saptadi Litbang Kahutanan Bogor
160 Sasa Sofyan Munawar UPT BPP Biomaterial LIPI
161 Senawi Bagian Managemen Hutan Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
162 Sipon Muladi Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman, Samarinda
163 Sita Heris Anita UPT BPP Biomaterial LIPI
164 Soenardi Bagian Teknologi Hasil Hutan Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
165 Sona Suhartana Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan, Bogor
166 Sri Asih Handayani Fakultas Kehutanan, Universitas Mulawarman
167 Sri Komarayati Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan, Bogor
168 Sri Nugroho Marsoem Bagian Teknologi Hasil Hutan Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
169 Sri Purwaningsih Balai Besar Penelitian Dipterokarpa, Samarinda
170 Sri Rulliaty Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan, Bogor
171 Sri Suharti Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi Bogor
172 Subyakto UPT BPP Biomaterial LIPI
173 Sucahyo Sadiyo Departemen Hasil Hutan Fakultas Kehutanan IPB, Bogor
174 Suhasman Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin, Makasar
175 Sukadaryati Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan, Bogor

1023
ILMU KEHUTANAN
NO. NAMA INSTANSI

1024
176 Sukaesih Prajadinata Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi Bogor
177 Sukariyan Politeknik Pertanian Samarinda
178 Sukma Surya Kusumah UPT BPP Biomaterial LIPI
179 Sulaeman Yusuf UPT BPP Biomaterial LIPI
180 Sulistyo A. Siran Pusat Penelitian Perubahan Iklim dan Kebijakan, Balitbang Kehutanan
181 Sumarhani Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi, Bogor
182 Suprapedi UPT BPP Biomaterial LIPI
183 Surdiding Ruhendi Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan IPB, Bogor
184 Sushardi Institut Pertanian INSTIPER, Yogyakarta
185 Sutiyono Pusat Penelitian dan Pengembangan Peningkatan Produktivitas Hutan, Bogor
186 Sutjipto A. Hadikusumo Bagian Teknologi Hasil Hutan Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
187 Syahidah Sunandar Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin, Makasar
188 Syamsul Falah Fakultas MIPA Institut Pertanian Bogor
189 T.A. Prayitno Bagian Teknologi Hasil Hutan Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
190 Taulana Sukandi Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan, Bogor
191 Teguh Darmawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
192 Titi Kalima Kelti Botani dan Ekologi Hutan Puslitbang Konservasi dan Rehabilitasi
193 Titi Karliati Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati (STIH), ITB Bandung
194 Tony Arifiarachman PT. Mutu Agung Lestari, Bogor
195 Totok K Waluyo Pusat Litbang Keteknikan kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan, Bogor
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

196 Triyani Fajriutami Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia


197 Trisna Priadi Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan IPB, Bogor
198 Tuti Herawati Pusat Penelitian dan Pengembangan Peningkatan Produktivitas Hutan, Bogor
199 Vivi Fatmawati Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati (STIH), ITB Bandung
200 Wahyu Supriyati Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Palangka Raya
201 Wida Banar Kusumaningrum UPT BPP Biomaterial LIPI
202 Widya Fatriasari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
NO. NAMA INSTANSI
203 Wina Hansi Fakultas Kehutanan IPB, Bogor
204 Wira Pratama
205 Wiwin Suwinarti Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman, Samarinda
206 Yanciluk Fakultas Pertanian UNPAR
207 Yelin Adalina Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi, Bogor
208 Yeni Mariani Fakultas Kehutanan Universitas Tanjung Pura, Pontianak
209 Yudho E.B. Istoto Bagian Teknologi Hasil Hutan Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
210 Yuliansyah Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman, Samarinda
211 Yuliati Indrayani Fakultas Kehutanan Universitas Tanjung Pura, Pontianak
212 Yusran Fakultas Kehutanan Universitas Tadulako
213 Yustinus Suranto Bagian Teknologi Hasil Hutan Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
214 Yusuf Sudohadi Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan IPB, Bogor
216 Yusup Amin UPT BPP Biomaterial LIPI
217 Zetti Asosiasi Pengrajin Kecil Jepara (APKJ), Jepara

1025
ILMU KEHUTANAN

Anda mungkin juga menyukai