FAKULTAS KEHUTANAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
2 November 2011
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA
(MAPEKI) XIV
Tema :
Penguatan Pendidikan Berbasis Penelitian dalam
Pengolahan secara Tepat pada Kayu Inferior
KATA PENGANTAR
Menghadapi perubahan kualitas tegakan hutan yang semula didominasi oleh kayu-kayu
berkualitas tinggi menjadi kayu-kayu berkualitas inferior merupakan konsekuensi yang tidak
diharapkan namun harus diterima dan dihadapi. Masyarakat harus mengandalkan kayu inferior
itu di masa mendatang. Pemanfaatan kayu inferior tentunya merubah pola dan memunculkan
perspektif baru dalam pembaruan teknologi dan industri khususnya industri kecil dan menengah.
Kerangka berpikir inilah yang menjadi tema seminar ini dengan merangkum hasil-hasil penelitian
dari para peneliti, akademisi, dan praktisi. Seminar Nasional XIV Masyarakat Peneliti Kayu
Indonesia (MAPEKI) bertujuan mempercepat diseminasi hasil-hasil penelitian itu dan
memberikan kesempatan bagi para peserta untuk mendapatkan informasi dan pengetahuan
terkait dengan pemanfaatan kayu inferior serta mendorong pemahaman bersama melalui diskusi
dan tukar-menukar informasi ilmiah.
Panitia Seminar mengucapkan terima kasih atas kehadiran para peserta seminar di
Yogyakarta dan di Seminar Nasional XIV MAPEKI yang telah dilaksanakan pada tanggal 2
November 2011 di University Club (UC) Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Seminar Nasional
ini terselenggara atas kerjasama Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada (UGM), PT. Mutu
Agung Lestari (MAL) dan MAPEKI.
Dalam seminar tersebut jumlah makalah yang dipresentasikan adalah 183 buah
makalah yang terdiri dari 6 bidang penelitian yaitu sifat dasar kayu, biokomposit, kimia kayu, pulp
dan kertas, konstruksi dan rekayasa kayu, pengolahan hasil hutan non kayu dan ilmu kehutanan.
Adapun makalah yang diprosidingkan sejumlah 129 buah. Peserta yang ikut berpartisipasi dalam
kegiatan ini adalah 204 orang yang berasal dari 54 instansi di seluruh Indonesia.
Kami mewakili penyelenggara mengucapkan terima kasih kepada Civitas Akademika
Fakultas Kehutanan UGM, panitia pengarah dan pelaksana, PT. MAL dan pengurus MAPEKI.
Kami juga mengucapkan terima kasih kepada pembicara utama, pembicara undangan, peserta,
pemakalah dan moderator yang aktif selama seminar ini berlangsung. Semoga Seminar Nasional
XIV MAPEKI ini dapat memberikan sumbangan bagi penguatan pendidikan dan penelitian
teknologi hasil hutan di Indonesia.
iii
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
DAFTAR ISI
Halaman Judul.................................................................................................................. i
Kata Pengantar................................................................................................................. iii
Daftar Isi ........................................................................................................................... iv
Keynote Speaker
Prof. Mohammad Naiem (Fakultas Kehutanan UGM) ........................................... 1
Ir. Tony Arifiarachman, MM (PT. Mutu Agung Lestari) ............................................. 8
PAPER
SIFAT FISIS-MEKANIS DAN ELEKTRIK DARI KAYU DURIAN (Durio zibethinus Murr.)
DAN KAYU KECAPI (Sandoricum koetjape Merr.) TER-IMPREGNASI POLISTIRENA
Firda A. Syamani, Widya Fatriasari, Ismail Budiman, Yusuf Sudo Hadi ........................... 37
iv
DAFTAR ISI
BIDANG B : BIOKOMPOSIT
v
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
KETAHANAN JAMUR DAN RAYAP DARI KAYU LAPIS SENGON HASIL FORTIFIKASI
PEREKAT LKA-ST/ISOSIANAT
Widya Fatriasari, Anis Sri Lestari, Didi Tarmadi................................................................ 240
vi
DAFTAR ISI
vii
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
viii
DAFTAR ISI
BIOAKTIVITAS CUKA KAYU CAMPURAN KAYU LABAN (Vitex pubescens Vahl) DAN
AKASIA (Acacia mangium Willd) TERHADAP JAMUR PELAPUK KAYU
Schizophyllum commune Fries
Farah Diba, H.A. Oramahi ................................................................................................ 523
PENGARUH ASAP CAIR TERHADAP PROTOZOA DALAM USUS RAYAP Coptotermes sp.
Arief Heru Prianto, Didi Tarmadi, Sulaeman Yusuf, Anis Sri Lestari ................................ 529
ix
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
x
DAFTAR ISI
xi
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
POSTER
BIDANG B : BIOKOMPOSIT
KARAKTERISTIK VENIR DAN KAYU LAPIS ENAM JENIS KAYU JAWA BARAT
M.I. Iskandar .................................................................................................................... 838
SIFAT FISIS DAN MEKANIS KAYU DAN PAPAN PARTIKEL BATANG DAN
CABANG JABON (Anthocephalus cadamba Miq )
Surdiding Ruhendi ............................................................................................................ 852
xii
DAFTAR ISI
xiii
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
LAMPIRAN
Susunan Panitia ...................................................................................................... 1014
Dokumentasi Kegiatan ............................................................................................ 1015
Daftar Peserta ......................................................................................................... 1017
xiv
KEYNOTE SPEAKER
KEYNOTE SPEAKER
PENDAHULUAN
Dua tantangan besar yang dihadapi kehutanan Indonesia Abad 21 adalah pasar
bebas dan ekolabel. Pasar bebas yang di dalamnya berlaku prinsip-prinsip terbuka dan
sangat menekankan kualitas, menuntut persaingan pasar bagi negara-negara produsen
kayu. Pengelolaan sumber daya hutan harus diarahkan pada tingkat kuantitas dan kualitas
yang tinggi dan dengan tingkat efisiensi yang optimal. Sehingga menghasilkan barang
berkualitas tinggi dengan biaya produksi paling ekonomis. Ekolabel merupakan kesepakatan
yang mempersyaratkan kelestarian sumberdaya alam dalam pengelolaan hutan demi
terjaminnya kontinuitas produksi dan manfaat hutan lainnya. Semua produk yang berasal
dari hutan tidak akan terhindar dari persyaratan ekolabel, dimana semua produk hasil hutan
baru akan diterima pasar apabila berasal dari kegiatan pengelolaan hutan yang dilakukan
secara lestari (Soekotjo, 2000)
Kesenjangan dalam penyediaan bahan baku industri juga merupakan tantangan yang
perlu dicarikan solusinya secara tepat. Kenyataan menunjukkan bahwa kapasitas industri
kayu yang diperkirakan sebesar 28,0 juta m3/tahun di th 1990 turun secara drastis menjadi
11,0 juta m3/tahun dan 5,3 juta m3/tahun masing masing ditahun 2003 dan 2010 (Tabel 1)
Tabel 1: Unit usaha, luas, produksi dan produktivitas dari hutan produksi
No Tahun Unit Usaha Luas Produksi Produktivitas
(unit) (juta ha) (juta m 3) (m3/ha/th)
1. 1990 564 59,6 28,0 1,7 2,3
2. 2003 267 27,8 11,0 1,1 1,4
3 2010 210 24.5 5,3 <1,0
(Departemen Kehutanan, 2003, 2010)
Akibat dari kapasitas industri yang besar tersebut jelas telah mengakibatkan
kemunduran kondisi hutan alam. Keadaan di atas menggugah kesadaran kita bahwa upaya
untuk mempertahankan keberadaan hutan tropis tidak dapat ditunda lagi.
Kondisi ini secara tidak langsung akan berdampak tetap terjaganya keberadaan
hutan alam (fungsi ekosistem) sebagai sumber plasma nutfah (genetic resource
conservation aera) yang akan memberikan kontribusi besar bagi peningkatan produktivitas
dan kualitas produk hutan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Di samping itu
keberadaan hutan alam dengan fungsi ekosistem tersebut memberikan peluang yang sangat
terbuka bagi penelitian berbagai hasil hutan lain misalnya penghasil lemak, minyak, senyawa
kimia, bahan kosmetik, senyawa bioaktif, penyerap karbon, bahan pangan maupun energi.
1
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
2
KEYNOTE SPEAKER
Manipulasi
lingkungan
Jenis/pemuliaan
Pengendalian
hama terpadu
Silvikultur Intensif
Pembangunan meranti prospektif, sehat dan lestari melalui teknik SILIN, memiliki
beberapa keunggulan dibanding dengan sistem silvikultur hutan alam yang ada.
Keunggulan tersebut diantaranya adalah sbb (Soekotjo, et al, 2003):
a. Kontrol pengelolaan baik oleh perusahaan sendiri, maupun pihak luar dapat
dilaksanakan secara efisien, murah dan mudah.
b. Pada awal pembangunan telah mulai dapat digunakan bibit dari jenis terpilih, dan
pada rotasi berikutnya benih dari hasil pemuliaan telah dapat dimanfaatkan. Sehingga
produktivitas hutan dapat meningkat, diperkirakan mencapai 5 kali lipat, selain itu
kualitas produk juga akan semakin baik
c. Target produksi bisa flexibel tergantung pada tujuan investasinya pada tanaman (kayu,
produk metabolisme sekunder, benih unggul, bahan obat nabati dll.)
d Keanekaragaman hayati tetap terjaga, begitu pula kondisi lingkungan lebih tidak
terganggu. Hal tersebut karena arah rebah dan sistem penyaradan akan dapat diatur
secara aman sehingga tidak akan menimbulkan dampak negatif yang merusak
lingkungan.
e. Kemampuan perusahaan semakin meningkat. Produktivitas dan kualitas produk yang
tinggi yang dapat dipanen secara kontinyu akan membuka peluang meningkatnya
aktivitas perusahaan, yang diantaranya adalah meningkatnya jumlah tenaga kerja yang
3
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
terserap, lebih banyaknya modal perusahaan yang dapat diputar, banyak kegiatan
sosial yang dapat didanai, kinerja perusahaan terjaga dan kepercayaan dunia terhadap
pengelolaan hutan tropis di Indonesia meningkat.
Tabel 2. Rerata diameter tertinggi dari 5 jenis pada uji jenis di PT. SBK
Jenis Rerata BDH Riap Jenis Rerata BDH Riap
(cm) (cm/thn) (cm) (cm/thn)
Tahun Tanam 2006 (umur 3,5 tahun)
S.johorensis 7,52 2,15 S.parvifolia 8,87 2,53
S.macrophylla 8,50 2,43 S.platyclados 8,99 2,57
S.leprosula 8,87 2,53 S. Stenoptera 8.05 2.30
(Data hasil pengukuran UGM-SBK, 2010)
Tabel 3. Rerata diameter tertinggi dari 10 seedlot terbaik dar 3 jenis meranti terpilih pada
tanaman uji keturunan di PT. SBK umur 4 tahun
S.leprosula S.macrophylla S. parvifolia
1 21047 13.6 3.9 26016 12.1 3.0 22108 8.5 2.4
2 21041 12.9 3.7 26003 12.0 3.0 22137 8.4 2.4
3 21028 12.4 3.5 26087 11.8 2.9 22095 8.2 2.3
4 21029 12.2 3.5 26069 11.5 2.9 22117 8.0 2.3
5 21049 12.0 3.4 26012 11.4 2.9 22086 8.0 2,2
6 21032 11.9 3.4 26031 11.4 2.8 12067 7.8 2,2
7 21027 11.9 3.4 26018 11.4 2.8 22062 7.7 2,2
8 31024 11.8 3.4 26082 11.2 2.8 12009 7.6 2.2
9 21058 11.7 3.3 26050 11.2 2.8 22111 7.6 2.2
10 21006 11.6 3.3 26071 11.2 2.8 22036 7.5 2.1
(Data hasil pengukuran UGM-SBK, 2010)
4
KEYNOTE SPEAKER
5
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Ketersediaan nutrisi pada kawasan hutan bekas tebangan sangat ditentukan oleh
keberadaan bahan organik pada permukaan tanah. Horison A mempunyai kandungan hara
yang lebih banyak dibandingkan dengan horison di bawahnya yang disebabkan oleh proses
dekomposisi seresah yang menumpuk pada permukaan tanah. Sedangkan menurut
umurnya, status nutrisi pada PUP 5 relatif lebih baik dibandingkan dengan PUP 1, kecuali
kandungan hara pada seresah utuh yang relatif sama. Hal ini menunjukkan bahwa pada
kawasan yang dilakukan penerapan TPTII kandungan unsur haranya tidak banyak
mengalami perubahan akibat proses dekomposisi bahan organik yang cepat (rerata kurang
dari 1 tahun), namun yang perlu diperhatikan adalah daerah penelitian ini memiliki
kerentanan terhadap erosi yang tinggi, sehingga pencucian unsur hara tanah akibat erosi
dapat menjadi ancaman bagi kesimbangan hara dalam kawasan hutan.
Penerapan sistem TPTII secara keseluruhan akan menurunkan prosentase
penutupan tajuk sebesar 30,8 % dari penutupan pada hutan alam. Pengurangan penutupan
tajuk pohon mampu memberikan ruang tumbuh yang lebih baik bagi tanaman dibawah tajuk
pohon sehingga proses pemulihan (recovery) struktur vegetasi hutan dapat segera pulih
setelah tahun ke-12 sejak dilakukannya tebang pilih dan penanaman jalur.
KESIMPULAN
1. Teknik Silvikultur intensif (SILIN) baik yang dilakukan di Regime Tebang Pilih Tanam
Indonesia Intensif (TPTII) merupakan salah satu solusi dalam memperbaiki
keterpurukan sumberdaya hutan sekaligus akan dapat menjamin produktvitas hutan
secara lestari dari rotasi ke rotasi
2. Teknik SILIN dapat pula dianalogikan dengan Restorasi Plus. Hal tersebut
dikarenakan dengan rehabilitasi Teknik SILIN maka kegiatan restorasi untuk menjaga
fungsi lingkungan dalam hal biodiversitas tumbuhan bawah, tata air dan kesuburan
tanah ternyata dapat tetap terjaga, sementara hutan yang produktivitasnya tinggi
tetap dapat dihasilkan
3. Dengan meningkatnya produktivitas hutan maka pengusahaan hutan cukup perlu
areal yang jauh lebih kecil namun produktif . Sehingga hutan alam tropis dapat lebih
diperankan untuk fungsi ekosistem dan penyangga kelestarian alam seperti produksi
air, oksigen, metabolisme sekunder, benih dan bahan pangan, penyerap carbon, zat
bioaktif dll.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Kehutanan 2003. Kebijakan dan Strategi Pembangunan Kehutanan. Presentasi
Menteri Kehutanan Pada Kursus Reguler Angkatan ke XXXVI LEMHANAS, Jakarta
Departemen Kehutanan 2010. Road Map Pembangunan Kehutanan Berbasis Hutan
Tanaman dan Taman Nasional (Draft 2). Jakarta
Freezailah BCY. 1998. General Lecture at the Faculty of Forestry, University of Gadjah
Mada, Yogyakarta, Indonesia.
Naiem, M. and E. Faridah. 2006a. Enrichment Planting. Dalam A. Rimbawanto (Eds).
Silviculture Systems of Indonesias Dipterocarps Forest Management A Lesson
Learned. Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada dan ITTO. Tecnical Report:
ITTO Project PD 41/00 Rev. 3 (F,M). Pp. 11-12.
Silbaugh, J. M. And D.R. Betters. 1997. Biodiversity Values and Measures Applied to Forest
Management. Dalam O. T. Bouman dan D. G. Brand, Eds. Sustainable Forest :
Global Challenges and Local Solution. Food Product Press and An Imprint of The
Hawort Press, Inc. New York.
Soekotjo. 2000. Silvikultur intensif untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi, kompetitif dan
kelestarian hutan humida tropis Indonesia. Prosiding Nasional Seminar Status
Silvikultur 1999. Eko. B. Hardiyanto (Eds.) Wanagama I, 1-2 Desember 1999.
Fakultas Kehutanan UGM Yogyakarta.
6
KEYNOTE SPEAKER
Soekotjo, Naiem M., A. Subiakto, 2003. Membangun Hutan Tanaman Meranti Lewat
Tebang Pilih Tanam Jalur. Usulan pemikiran pada Departemen Kehutanan,
Yogyakarta.
Soekotjo. 2005. Evolusi Tebang Pilih Indonesia : Konsep, Aplikasi dan Hasil. Dalam E. B.
Hardiyanto (Eds). Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada dan International
Timber Trade Organization. Yogyakarta. pp. 3-13.
Soekotjo, 2009. Teknik Silvikultur Intensif (SILIN). Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta
7
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
8
KEYNOTE SPEAKER
9
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
10
KEYNOTE SPEAKER
11
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
12
KEYNOTE SPEAKER
13
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
14
KEYNOTE SPEAKER
15
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
16
KEYNOTE SPEAKER
1. SFM Standard:
Concessions
2. Legality Standard:
concessions
6. Legality Standard:
forests
4. Legality Standard:
state-owned
conversion forests
forests
Private lands
17
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
SFM 30
Kemenhut 30
18
KEYNOTE SPEAKER
Kemenhut 30
19
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Kemenhut 125
2. Commitment
3. Implementation in the field: Social issue etc.
20
KEYNOTE SPEAKER
21
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
MAFF
(Ministry of Agriculture,
Forestry and Fisheries)
,
Registered Overseas
Certifiing Body (ROCB)
( /
)
JAS Certified
Factories (Manufacturers)
-$6
22
KEYNOTE SPEAKER
Category :
1. Plywood
2. Veneer Lumber (LVL)
3. Glued Laminated Timber (GLT)
4. Flooring
2. Moisture content
3. Bending strength
5. Formaldehyde emission
23
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
24
KEYNOTE SPEAKER
25
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
26
KEYNOTE SPEAKER
BS EN 14342 : 2005
Wood Flooring
27
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Example
Performance characteristic for wood based panels for internal use as structural component in dry condition
No. Performance Solid wood panel Plywood OSB Particleboard Cement- Fiberboard
Characteristic bonded
Particle
board
2 Bending 5.2
Stiffness
(Modulus of
Elasticity)
5 Durability - 5.5
(Swelling in
thickness)
6 Release of 5.7
Formaldehyde
28
KEYNOTE SPEAKER
Example
Wood based panels for internal use as structural component in humid condition .
12 Mills - Plywood
29
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
30
KEYNOTE SPEAKER
Regulation of formaldehyde
31
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
49
50
32
KEYNOTE SPEAKER
The emissions limits for TSCA Title VI are identical to CARB Phase II
CARB Phase 1 (P1) and Phase 2 (P2) FSCWA Emission Limits by
Effective Emission Standards (ppm) January 1, 2013
Date Products Emission
HWPW-VC HWPW-CC PB MDF Thin MDF
Limit
51
33
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
INDONESIA 41 41
CHINA 34 522
MALAYSIA 44 20
EUROPE
E1 < 0,124 mg/m3 air ENV 717-1
3,5 mg/m2 h EN 717 - 2
E2 > 3,5 mg/m2 h 8 mg/m2 h EN 717 - 2
34
KEYNOTE SPEAKER
35
PAPER
BIDANG A
ANATOMI DAN SIFAT
DASAR KAYU
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Firda A. Syamani1, Widya Fatriasari1, Ismail Budiman1, dan Yusuf Sudo Hadi2
1
UPT Balitbang Biomaterial LIPI
2
Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
ABSTRACT
This study evaluated the properties of Durio zibethinus Murr. and S. Koetjapi Merr.
wood which were impregnated with styrene monomer using FeSO4 (ferrous sulphate) as
catalyst. The specimens were vacuumed for 30 minutes, and then pressured at 10
atmospheres for 1 hour and subsequently closing pressure for 15 minutes. The wood
specimens were wrapped with aluminum foil and heated at 600C for 24 hours after which the
solution was polymerized in situ. Polymerization performance was evaluated with its polymer
loading (PL) and dimensional stability (anti-swelling efficiency, volumetric swelling, water
absorption and thickness swelling). The mechanical of wood-plastic was determined
according to British standard (BS-373) and the electrical properties was determined also.
The styrene impregnation improved the physical and mechanical properties of wood
compared to untreated one. In addition the wood treated styrene impregnation had better
insulator properties compared to control.
Keywords: styrene impregnation, Durio zibethinus Murr and Sandoricum koetjape Merr,
polymerization performance, physical-mechanical properties, electrical
properties
PENDAHULUAN
Kebutuhan kayu bulat nasional untuk seluruh industri kehutanan (sawmill, plymill,
pulpmill dan lain-lain) mencapai 63,48 juta m3 per tahun, belum dapat dipenuhi oleh realisasi
produksi kayu bulat nasional yang rata-rata sebesar 22,8 juta m3 per tahun (Indonesian
Working Group on Forest Finance, 2010). Menurut statistik Kementrian Kehutanan (2009),
produksi kayu bulat dari berbagai sumber produksi pada tahun 2009 mencapai 34,32 juta m3.
Pemenuhan kebutuhan kayu berasal dari hutan alam, hutan tanaman atau hutan rakyat.
Untuk keperluan sendiri, masyarakat juga memanfaatkan kayu dari tanaman buah-buahan,
misalnya kayu durian atau kayu kecapi.
Kayu kecapi (Sandoricum koetjape) telah dimanfaatkan untuk konstruksi rumah,
furnitur, lemari, sambungan dan konstruksi interior, panel, plank dan deck perahu atau
kemasan. Kayu kecapi juga telah diolah menjadi veneer, plywood, blockboard atau pulp dan
kertas. Kayu kecapi tergolong kayu daun lebar (hardwood) dengan densitas 290-590 kg/m3
pada kadar air 15% (Sosef et al., 1998). Kayu durian (Durio zibethinus) dapat digunakan
untuk konstruksi terlindungi karena sifatnya yang moderately durable. Selain itu kayu durian
dimanfaatkan untuk furnitur, lemari, lantai, panel, partisi, plywood, kotak dan peti berkulitas
rendah. Kayu durian tergolong kayu daun lebar dengan densitas 400-750 kg/m3 pada kadar
air 15% (Lemmens et al., 1995). Untuk penggunaan jangka panjang, baik kayu kecapi
maupun kayu durian perlu di modifikasi untuk meningkatkan sifat fisis, mekanis maupun
ketahanannya biodegradasi.
Modifikasi kayu dapat berupa modifikasi aktif yang menyebabkan perubahan sifat
kimia kayu atau modifikasi pasif yang menyebabkan perubahan sifat kayu tanpa merubah
sifat kimia kayu. Modifikasi kimia, modifikasi menggunakan panas (thermal modification) dan
modifikasi menggunakan enzim (enzymatic modification) termasuk dalam modifikasi aktif,
sedangkan impregnasi termasuk modifikasi pasif (Hill, 2006). Istilah modifikasi kimia kayu
38
ANATOMI DAN SIFAT DASAR KAYU
pertama kali digunakan oleh Tarkow pada tahun 1946, yang mendefinisikan modifikasi kimia
kayu sebagai reaksi antara gugus aktif polimer dinding sel kayu dengan suatu bahan kimia
sehingga terbentuk ikatan kovalen (Rowell, 2006). Prinsip dari modifikasi kayu dengan teknik
impregnasi adalah mengisi (impregnate) dinding sel kayu atau lumen dengan suatu bahan
kimia atau kombinasi bahan kimia, kemudian mereaksikannya sehingga membentuk material
yang terkunci dalam dinding sel. Karena itu sebelum proses impregnasi, dinding sel kayu
perlu dibuka untuk memudahkan masuknya bahan impregnan. Ukuran molekul bahan
impregnan juga harus cukup kecil agar dapat masuk ke dalam lumen atau dinding sel (Hill,
2006).
Stirena merupakan salah satu monomer yang umum digunakan untuk mengisi lumen
sel, kapiler, atau rongga sel kayu, kemudian terjadi polimerisasi in situ, membentuk komposit
kayu plastik. Stirena dapat terpolimerisasi dalam menggunakan katalis (vazo/peroksida) dan
panas, atau radiasi (Ibach dan Ellis, 2005). Impregnasi menggunakan monomer stirena pada
berbagai jenis kayu dengan berbagai kombinasi teknik, katalis dan crosslinker telah
dilaporkan.
Lee & Sung (1973) mengamati difusi stirena pada kayu Pinus densiflora dan Pinus
rigida. Impregnasi stirena pada Pinus silvestris dengan katalis panas dan inisiator N-
metylolmetacrilamide dilaporkan oleh Hadi et al. (1998). Darma et al. (2002) mengamati
ketahanan kayu Pinus merkusii terimpregnasi campuran stirena dan vinil asetat terhadap
jamur pelapuk coklat. Kayu Pinus merkusii terimpregnasi campuran stirena dan vinil asetat
dengan katalis terbutil-hidroperoksida diamati ketahanannya terhadap serangan marine
borer and rayap tanah (Hadi et al. 2002) dan serangan jamur pelapuk coklat, Tyromyces
palustris maupun jamur pelapuk putih, Trametes versicolor (Hadi et al. 2003). Impregnasi
stirena pada kayu pinus dilakukan oleh Devi & Maji (2006) dengan kombinasi glycidyl
methacrylate (GMA) sebagai cross linking monomer.
Impregnasi stirena pada kayu Alnus glutinosa, Populus maximowiczii, Salix alba yang
berasal dari Polandia dilakukan oleh Hadi et al. (1998). Sedangkan impregnasi lima jenis
kayu dari Syiria dengan stirena telah dilakukan oleh Bakraji et al. (2001). Impregnasi stirena
pada kayu karet dengan crosslinker glycidyl methacrylate dilakukan menggunakan metode
vakum (Devi & Maji, 2002) atau dengan katalis panas (Devi et al., 2003), sedangkan
impregnasi stirena pada kayu karet dengan katalis terbutyl-hydroperoxide dilaporkan oleh
Hadi et al. (2002, 2003). Impregnasi Populus x. euramericana cv. I-214 dengan stirena
dilaporkan oleh Yildiz et al. (2005). Kemudian impregansi stirena juga telah dilakukan pada
kayu kelapa bagian dalam dengan katalis panas (Lawniczak 1995 dalam Hartono et al.
2010), kayu sengon (Hadi et al. 2002, 2003; Iswanto 2008), kayu afrika (Iswanto 2008), kayu
mindi (Melia azedarach) dan sugi (Cryptotmeria japonica) oleh Hadi et al. (2009), kayu
rambutan (Jemi et al. 2008; Sari et al. 2009), kayu kelapa sawit oleh Purnama 2009, kayu
angsana (Pterocarpus indicus) dan randu (Ceiba pentandra) oleh Hartono et al. (2010).
Impregnasi kayu poplar spesies P. ussuriensis Komarov dengan dua tahap impregnasi
menggunakan MAN (maleic anhidrida), GMA (glycidyl methacrylate) dan stirena dilaporkan
oleh Li (2010). Penelitian-penelitian tersebut umumnya menginvestigasi perubahan sifat fisis
mekanis, sifat termal, juga ketahanan terhadap mikroorganisme perusak (jamur coklat, jamur
putih, rayap tanah, kayu kering serta marine borer). Terjadi peningkatan sifat fisis,
mekanis,dan ketahanan terhadap mikroorganisme perusak serta sifat termal dari kayu yang
diimpregnasi dengan monomer stirena, meskipun dengan hasil studi yang berbeda
tergantung dari spesies, kondisi perlakuan, katalis, ataupun jenis dan konsentrasi
crosslinking untuk proses polimerisasi monomer stirena.
Berdasarkan laporan penelitian mengenai impregnasi stirena pada kayu yang
diuraikan di atas, belum ditemukan adanya penelitian mengenai impregnasi stirena pada
kayu kecapi (Sandoricum koetjape) maupun kayu durian (Durio zibethinus). Oleh karena itu,
tujuan penelitian ini adalah mengetahui sifat fisis, mekanis dan elektrik kayu kecapi dan kayu
durian terimpregnasi stirena dengan inisiator kalium peroksidisulfat.
39
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Dimana, WAP adalah berat kering oven setelah polimerisasi, WBP adalah berat kering oven
sebelum polimerisasi.
Dimana, S adalah koefisien pengembangan volume kayu dengan perlakuan stirena dan S0
adalah koefisien pengembangan volume kayu tanpa perlakuan stirena.
Koefisien pengembangan volume (S) dihitung dengan persamaan berikut
Dimana, Wwf adalah berat kayu basah setelah perendaman 24 jam dalam air dan Woi
adalah berat kering awal
Sifat Dielektrik
Penghitungan konstanta dielektrik dilakukan dengan menggunakan alat LCR meter
KRISBOW KW06-489. Contoh uji diapit oleh logam sebagai elektroda pada suhu ruang
250C. Nilai yang didapat dari alat adalah kapasitansi (C). Sedangkan nilai konstanta
dielektrik didapat dengan menggunakan rumus sebagai berikut (Markiewicz et al., 2009):
H = (Cd)/ H0S
di mana H adalah konstanta dielektrik atau permitivitas listrik, C adalah kapasitansi, d adalah
ketebalan sampel bahan, H0 adalah permitivitas listrik vakum (8.85 x 10-12 F/m) dan S adalah
luas area sampel.
40
ANATOMI DAN SIFAT DASAR KAYU
A B
Gambar 1. Kayu kecapi (A) dan kayu durian (B) setelah diimpregnasi dengan stirena,
pembesaran 25x
41
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
monomer stirena dalam void atau pori. Tertutupnya lumen atau pori dengan stirena
menyebabkan terhambatnya difusi air keluar dan masuk kayu plastik dan memperbaiki sifat
higroskopisitas kayu.
Walaupun sifat fisis kayu kecapi maupun kayu durian dapat diperbaiki dengan
impregnasi stirena, namun sifat mekanis kayu kecapi dan kayu durian terimprenasi stirena
tidak lebih baik dari kayu tanpa perlakuan impregnasi. Waktu impregnasi selama 1 jam
belum cukup untuk memasukkan monomer stirena ke dalam semua lumen, pori dan void
42
ANATOMI DAN SIFAT DASAR KAYU
yang ada dalam kayu (Gambar 2). Distribusi polimer tidak merata menutupi rongga pada sel
kayu. Polistirena yang terbentuk tidak cukup untuk memperbaiki sifat mekanis kayu.
A B
Gambar 2. Kayu kecapi (A) dan kayu durian (B) setelah diimpregnasi dengan stirena,
pembesaran 80x
KESIMPULAN
Impregnasi monomer stirena ke dalam kayu kecapi dan kayu durian dapat
memperbaiki sifat fisis dan dielektrik kayu, namun tidak dapat memperbaiki sifat mekanis
kayu yang secara alami tergolong dalam kelas kuat IV-III. Kondisi impregnasi yang optimal
diperlukan agar monomer stirena dapat masuk ke dalam rongga kayu dan reaksi
polimerisasi terjadi dengan lebih baik.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada ibu Jasni dan para teknisi di laboratorium
pengawetan kayu Puslitbang Hasil Hutan Bogor atas bantuannya selama proses impregnasi
kayu.
DAFTAR PUSTAKA
[Indonesian Working Group on Forest Finance]. Perkiraan Penggunaan Sumber Bahan Baku
Kayu Industri Pulp dan Paper di Indonesia. Tersedia online :
http://www.savesumatra.org/app/webroot/upload/report/IWGFF_Studi%20Advokasi%2
0PT%20RAPP%20&%20PT%20IKPP%20di%20Propinsi%20Riau.pdf [diakses pada 9
Oktober 2010].
[Kementrian Kehutanan]. 2011. Rekapitulasi Produksi Kayu Bulat Berdasarkan Sumber
Produksi. Tersedia online : http://www.dephut.go.id/files/stat09_bpk.pdf [diakses pada
9 Oktober 2010].
43
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
44
ANATOMI DAN SIFAT DASAR KAYU
45
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
ABSTRAK
PENDAHULUAN
46
ANATOMI DAN SIFAT DASAR KAYU
cm/th dari tanaman percobaan yang berumur di atas 30 tahun menurut hasil pengukuran
Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam (2003). Riap diameter kupressus di Aek Nauli lebih
tinggi dari Cikole barangkali karena tumbuh lebih bebas, kurang persaingan karena jarak
tanam yang berbeda antara perindang jalan (jarak 3 m) dan tanaman percobaan.
Kebanyakan pohon sudah mulai berbunga berbuah pada umur delapan tahun (Siswanto,
2009).
Jenis-jenis kayu komersial dari tahun ke tahun mengalami permasalahan dalam hal
kualitas dan kuantitasnya, sehingga diperlukan berbagai cara untuk mengatasinya. Salah
satu cara yang ditempuh adalah dengan memanfaatkan jenis-jenis kayu yang kurang dikenal
untuk pemenuhan kebutuhan akan sumber kayu. Banyak jenis kayu yang kurang dikenal
telah digunakan oleh masyarakat Sumatera Utara, tetapi belum dapat dimanfaatkan secara
baik karena data yang ada masih sangat terbatas. Untuk tujuan pemanfaatan kayu secara
optimal diperlukan informasi sifat dasar kayunya, sementara informasi sifat dasar jenis
Kupresus terutama struktur anatomi dan kualitas seratnya masih sangat minim.
Tulisan ini memaparkan tentang sifat anatomi dan kualitas serat kayu Kupressus dan
mengkaji potensi pemanfaatannya.
47
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Kualitas Serat
Hasil pengukuran dimensi serat, penghitungan nilai turunan dimensi serat dan
evaluasi nilai kualitas serat disajikan pada Tabel 1 dan 2.
Dari Tabel 1 dan 2 dapat dilihat bahwa jenis Kupresus layak digunakan sebagai
bahan baku pulp dan kertas, dimana nilai serat termasuk kualitas I. Dibandingkan dengan
ukuran serat dari kelompok konifer lainnya, serat Kupresus masih lebih pendek dari serat
Agathis dan Tusam (Martawijaya, 2005).
48
ANATOMI DAN SIFAT DASAR KAYU
a b c
Gambar 1. Penampang melintang/Transverse surface (a), radial/radial (b) dan/and
tangensial/ tangential (c). Perbesaran 40 x (40x enlargement)
Keterangan :
1) Bilangan Runkel = 2w/l L = Panjang serat
2) Daya tenun = L/d d = Dameter serat
3) Perbandingan Fleksibilitas = l/d = Diameter lumen
4) Koefisien kekakuan = w/d w = Tebal dinding
(d 2 l 2 )
5) Perbandingan Muhlsteph = x 100%
d2
(Sumber: Nur Rachman & Siagian 1976)
49
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Tabel 3. Sifat-sifat kayu untuk penggunaan sebagai furnitur ditinjau dari sifat anatomi,
fisis mekanis, kimia dan keawetan
Sifat-sifat kayu yang dikehendaki untuk pembuatan mebel ditinjau dari sifat anatomi,
fisis mekanis, kimia dan keawetan (Menon & Burgess 1979; PIKA 1979; dan Pandit et al.
2009) disajikan pada Tabel 3.
Secara anatomi makro, kayu Kupressus memiliki tekstur halus, arah serat lurus,
kilap alami baik, licin, serta memiliki corak bergaris yang menarik. Sifat-sifat ini menjadikan
jenis ini memenuhi syarat untuk dijadikan bahan baku mebel, termasuk dalam proses
finishing yang juga dapat dikerjakan secara mudah. Secara mikro, ada kelemahan yang
dimiliki yaitu terdapat kandungan kristal yang akan menyulitkan dalam pengerjaan karena
kemungkinan keberadaan kristal dapat menyebabkan gergaji menjadi lebih cepat rusak,
namun perlu dikaji lebih lanjut apakah dampak keberadaan kristal ini sama dengan dampak
yang diakibatkan oleh silika.
Kualitas seratnya termasuk kelas I sehingga layak untuk bahan baku pulp dan kertas.
Dalam (Lamprecht 1989) disebutkan bahwa kayu dari Suku Cupresaceae cocok digunakan
untuk bahan baku pulp secara kimia dan semi kimia, termasuk untuk serat rayon yang
didukung dengan kecepatan tumbuhnya yang cukup cepat.
KESIMPULAN
Ciri utama Kupresus adalah memiliki dinding trakeida tipis sampai sangat tipis
(kecuali dinding trakeida pada batas lingkar tumbuh). Antar trakeid memiliki ceruk
berhalaman (nampak di bidang radial dan kurang nampak/sangat sedikit ditemui di bidang
tangensial). Panjang sel trakeida rata-rata 2.400 m, diameter 42 m, diameter lumen 37 m
dan tebal dinding serat 2,69 m. Di sekitar lingkar tumbuh ditemui sel-sel parenkim dengan
untaian yang sangat panjang dan tersebar secara baur/diffuse hingga berkelompok diffuse
dan membentuk pita panjang dalam satu baris sel, namun pada sampel lain ternyata tidak
selalu di sekitar lingkar tumbuh, bisa juga ditemui di tempat lain. Parenkim ini berisi endapan
(makanan). Jari-jari mengandung silika (tampak juga dari penampang aksial). Jari-jari
homoseluler, seluruhnya sel baring dengan jumlah baris 2-27 baris. Jari-jari seluruhnya
uniseri, ada beberapa yang menjadi dua seri pada satu dua baris sel. Pada bidang aksial,
jari-jari tidak kontinyu dari empulur ke arah pith. Tidak memiliki saluran interseluler seperti
halnya Pinus. Ditemukan juga kristal dalam trakeid Tampak ada kristal pada jari-jari yang
membesar (idioblast).
Kualitas serat Kupresus termasuk kelas I, sehingga layak digunakan sebagai bahan
baku pulp dan kertas dengan tetap mempertimbangkan aspek-aspek lain seperti sifat kimia,
berat jenis dan kecepatan tumbuh. Dengan sifat-sifat anatomi makro maupun mikro yang
dimiliki, jenis ini cocok untuk bahan baku mebel.
50
ANATOMI DAN SIFAT DASAR KAYU
DAFTAR PUSTAKA
Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia Jilid II. Badan Penelitian dan
Pengembangan Kehutanan. Jakarta. Hlmn : 617-619.
Martawijaya, A., K Iding, K Kosasi dan AP Soewanda. 2005. Atlas Kayu Indonesia Jilid 1.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan.
Menon, PKB., HJ Burgess. 1979. Malaysan Timbers for Furniture. Revised by H.C. Sim.
Timber Research Officer. Forest Research Institute, Kepong.
Mandang, Y.I. dan IKN Pandit. 2002. Pedoman Identifikasi Jenis Kayu di Lapangan.
Yayasan Prosea dan Pusat Diklat Pegawai SDM Kehutanan. Bogor. 194 hal.
Nur Rahman, A. dan RM Siagian. 1976. Dimensi Serat Jenis Kayu Indonesia. Laporan
No.25. Lembaga Penelitian Hasil Hutan. Bogor.
Pandit, IKN., I Padlinurjaji, dan IS Rahayu. 2009. Kriteria Sifat Dasar Kayu untuk Bahan
Baku Industri Meubel. Proposal Penelitian Hibah penelitian PHK A-3. Departemen
Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.Tesoro, F.O. 1989.
Methodology on project 8 on Corypha and Livistona. FPRDI, College. Laguna 403.
Philippines.
PIKA (Pendidikan Industri Kayu Atas). 1979. Mengenal Sifat-sifat Kayu Indonesia dan
penggunaannya. Kanisius. Semarang.
Tesoro FO. 1989. Wood Structure and Quality: Bases for Improved Utilization of Timbers.
The Second Pacific Regional Wood Anatomy Conferences 1989. Forest Products
Research and Development Institute. Philippines.
USDA GRIN. 2010. GRIN taxonomy for plants. Diakses dari www.ars-grin.gov pada 29
September 2010.
Wheeler, EA., P Baas dan E Gasson. 1989. IAWA list of microscopic features for hardwood
identification. IAWA Bulletin. N.s. 10 (3) :219-332.
51
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
ABSTRAK
Perbaikan sifat kayu jabon dengan modifikasi menjadi komposit polimer kayu adalah
upaya yang sangat realistis. Modifikasi dilakukan melalui impregnasi dengan bahan polymer.
Penelitian dilakukan dengan mencampurkan bahan styrene dengan methylmethacrylate
(MMA) pada konsentrasi 60/38 ; 70/28 ; 80/18 (v/v %) masing-masing dengan 2 % mepoxe
sebagai inisiator, kemudian diimpregnasikan pada kayu jabon merah (Antocephalus
machropyllus) dan jabon putih (Antocephalus cadamba). Impregnasi dilakukan pada
tekanan 600 mm Hg selama 30 menit kemudian divakum lagi selama 15 menit. Polimer
loading pada jabon merah antara 47,41 60,88 % , sedangkan pada Jabon putih antara 75
143,66 %. Persentase perubahan kerapatan meningkat antara 36,2 80,6 % dibanding
kontrol. Daya serap air menurun antara 48,1 64,5 % dan pengembangan tebal menurun
antara 28,8 -62,9 %, masing-masing dari jenis kayu kontrol. Perubahan sifat fisik pada kayu
jabon putih lebih baik daripada jabon merah. Hal ini berkaitan erat dengan persentase
polimer loading bahan polimer pada jabon putih yang lebih tinggi daripada jabon merah.
Lebih lanjut diperoleh stabilitas dimensi berdasarkan nilai ASE antara 22,45 -36,55 %, dan
nilai rata-rata pada jabon merah lebih baik daripada jabon putih. Sifat mekanik kayu jabon
baik MOE dan MOR masing-masing meningkat antara 2,60 -13,21 % dan 4,50 29,88 %
dan jabon putih menunjukan peningkatan yang lebih tinggi dari jabon merah. Begitu pula
pada kekerasan kayu meningkat antara 12,28 25,86 %.
Kata kunci: komposit polimer kayu, Jabon merah, jabon putih, styrene, methylmethacrylate
PENDAHULUAN
Jabon adalah kayu dengan kerapatan rendah dengan berat jenis sekitar 0,3-0,5
telah banyak dikembangkan masyarakat sehingga saat ini tersedia dalam jumlah besar
terutama jabon putih, sedangkan jabon merah walaupun memiliki kekuatan dan keawetan
yang lebih baik masih belum banyak tersedia di pasaran. Kayu tersebut adalah sumberdaya
potensial yang diperkirakan akan menyuplai kebutuhan logs dari hutan rakyat dan hutan
tanaman Berdasarkan sifatnya kayu ini dapat diolah menjadi produk yang lebih baik dan
dapat diaplikasikan untuk flooring, panel-panel kayu dan furniture setelah diberi perlakuan
modifikasi secara kimia menjadi komposit polymer kayu.
Komposit polimer kayu dapat dibuat dari berbagai kombinasi kayu dan polimer, dari
polimer yang diisi dengan serat kayu sampai potongan kayu solid yang diisi dengan polimer.
Ketika kayu dan polimer dikombinasikan, sifat-sifat fisik, kekerasan permukaan, kemampuan
menolak air, stabilitas dimensi, ketahanan terhadap abrasi dan ketahanan terhadap api
dapat ditingkatkan melampaui kayu aslinya (Ibach and Ellis, 2005).
Menurut Yildiz et al. (2004), dari tahun ke tahun kayu telah diperlakukan dengan
berbagai bahan kimia untuk merubah sifat-sifat fisiknya. Dari tahun 1930-1960 sejumlah
perlakuan baru terhadap kayu diperkenalkan, antara lain acetylation dari kelompok hidroxyl,
penambahan ethylene oksida pada kelompok hydroxyl, polyethylene glycol sebagai bulking
dinding sel, perlakuan phenol formaldehyde dengan impreg dan compreg dan komposit
polimer kayu. Komposit polimer kayu telah diproduksi di Amerika Serikat, Jerman, Inggris,
Polandia, Italia, Jepang, Taiwan, Selandia Baru dan negara lainnya. Pertimbangan
52
ANATOMI DAN SIFAT DASAR KAYU
Persiapan kayu
Faktor yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis kayu yang terdiri dari 2 taraf
(jabon merah dan Jabon kuning), kombinasi perlakuan impregnasi dengan 2 jenis monomer
yang digunakan terdiri dari 4 taraf (kontrol/unmodified; perbandingan styrene/MMA = 60/38;
70/28; 80/18), dengan methyl ethyl ketone peroxide sebagai inisiator 2% pada masing-
masing kombinasi perlakuan styrene/MMA. Sebelum contoh uji diimpregnasi terlebih dahulu
contoh uji dikeringkan pada suhu 700C selama 24 jam, kemudian diukur dimensi dan
beratnya. Selanjutnya contoh uji dimasukkan ke dalam impregnator per konsentrasi,
kemudian divakum selama 15 menit pada tekanan 600 mm Hg, Monomer styrene/MMA
beserta inisiator kemudian dialirkan ke dalam tabung impregnasi, kemudian diberikan
tekanan sebesar 1 atm selama 30 menit. Setelah pemberian tekanan, kemudian divakum
kembali selama 15 menit. Setelah selesai proses impregnasi contoh uji dikeluarkan dari
impregnator, kemudian contoh uji dibungkus dengan alumunium foil dan dioven pada suhu
600C selama 24 jam agar terjadi proses polimerisasi. Setelah dioven alumunium foil yang
membungkus contoh uji dilepas/dibuang, kemudian contoh uji dikondisikan kurang lebih
selama 1 minggu.
53
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
1. Polymer loading
Polymer loading = {(BPBK)/BK} x 100 %
BK: weight of control wood; and BP: weight of treatment wood
2. Kerapatan = BKU/VKU (g/cm3)
BKU: weight to the air dry condition; and VKu: volume to the air dry
3. Stabilitas Dimensi ditentukan dengan menghitung Koefisien Pengembangan Volumetrik
(S) dan Efisiensi Anti Pengembangan (ASE)
S (%) = 100 ( V2 V1) / V1
dimana V2 adalah volume contoh uji pada saat jenuh air, dan V1 adalah volume contoh
uji pada saat kering oven
ASE (%) = 100 ( Su Sm ) / Su
dimana Su adalah koefisien pengembangan volumetrik sebelum impregnasi, dan Sm
adalah koefisien pengembangan setelah impregnasi
54
ANATOMI DAN SIFAT DASAR KAYU
Variasi kerapatan juga dapat dipengaruhi oleh nilai polimer loading. Polimer loading
terendah juga menyebabkan kerapatan WPC yang rendah pula. Perbedaan polimer loading
dapat disebabkan oleh kerapatan awal kayu, jabon merah kontrol mempunyai kerapatan
yang lebih tinggi daripada jabon putih. Kayu dengan kerapatan yang lebih tinggi agak sulit
menyerap bahan /senyawa lain dibanding kayu dengan kerapatan sedang sampai rendah,
karena selain faktor kekerasan kayu, dinding sel kayu kemungkinan sudah terisi dengan
bahan-bahan lain sehingga perlu upaya khusus agar polimer loading bisa ditingkatkan
(Haygreen dan Bowyer, 1982). Dibandingkan dengan Ang et al. (2007) yang memperoleh
peningkatan nilai polimer loading pada kayu mahang mencapai 200 %, kayu jabon tidak
menyerap bahan polimer sebesar itu. Hal ini diduga dari factor crosslinker agent yang
digunakan dalam impregnasi, sehingga diperoleh nilai polymer loading yang optimal.
Perlakuan impregnasi kayu jabon dengan styrene/MMA juga mengurangi penyerapan
air dan pengembangan tebal. Daya serap air mengalami penurunan dari 51.4-64.5 %
dibandingkan control. Sebagaimana dijelaskan oleh Xu et al. (2010), bahwa MMA yang
dicangkokkan pada serat kayu menyebabkan reaksi antara gugus hidroksil pada permukaan
serat kayu dengan MMA, sehingga polaritas permukaan serat kayu menjadi menurun.
Reaksi antara antara MMA dengan serat kayu ditunjukkan pada Gambar 2.
CH3
CH3
O
O
- OH +H2C CH3
CH2 + CH3OH
O
O
Gambar 2. Reaksi antara MMA dengan serat kayu
55
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Pengaruh modifikasi kayu terhadap stabilitas dimensi kayu jabon disajikan pada
Tabel 2. Nilai pengembangan volumetric pada kayu jabon menurun dengan adanya
perlakuan modifikasi, yaitu berkisar antara 9,67-6,71% pada jabon merah dan 6,74-6,07%
pada jabon putih. Demikian juga dengan nilai ASE meningkat dengan perlakuan modifikasi.
Nilai pengembangan volumetric dan ASE yang terbaik dihasilkan dari perlakuan campuran
styrene/MMA = 80/18. Sebagaimana dijelaskan oleh Ding (2009) bahwa monomer vinil
seperti styrene atau MMA paling banyak digunakan untuk meningkatkan stabilitas dimensi
dalam jangka panjang. Pinus radiat, Pinus caribaea dan blackbutt yang diimpregnasi
dengan MMA (Elvy et al. 1995; Stolf and Lahr 2004), sugar maple yang diimpregnasi
dengan MMA dan kombinasi dengan MMA/HEMA/EGDMA (Zhang et al. 2006), semuanya
menunjukkan peningkatan stabilitas dimensi.
Tabel 2. Nilai pengembangan volumetric dan ASE kayu jabon setelah perlakuan modifikasi
Sifat-sifat mekanis kayu jabon setelah perlakuan modifikasi disajikan pada Tabel 3.
Modulus elastisitas dan modulus patah pada kayu jabon baik jabon merah dan jabon putih
menunjukkan peningkatan. Modulus elastisitas pada jabon merah meningkat dari 81758,71
Kg/cm2 menjadi 86719,67 - 89526,04 Kg/cm2, sedangkan jabon putih dari 58253,54 Kg/cm2
menjadi 59771,24 - 65954,60 Kg/cm2. Demikian juga dengan nilai modulus patahnya. Nilai
tertinggi terdapat pada kayu dengan perlakuan campuran styrene/MMA = 80/18.
Sebagaimana diungkapkan oleh Elvy et al. (1995), Stolf and Lahr (2004); Yildiz et al. (2005)
bahwa sifat-sifat mekanik kayu meningkat dengan perlakuan modifikasi. Ibach and Ellis
(2005) juga menjelaskan bahwa sifat-sifat mekanik wpc meningkat dengan peningkatan
polymer loading. Demikian juga dengan nilai kekerasan (hardness), meskipun sedikit tetapi
menunjukkan peningkatan sebagaimana modulus elastisitas dan modulus patah. Elvy et al.
(1995) menyatakan bahwa secara umum baik softwood maupun hardwood yang
diimpregnasi dengan monomer MMA menunjukkan nilai hardness yang lebih besar
dibandingkan kayu control.
56
ANATOMI DAN SIFAT DASAR KAYU
KESIMPULAN
Hasil penelitian menunjukkan bahwa polimer loading pada jabon merah antara 47,41
60,88%, sedangkan pada Jabon putih antara 75 143,66 %. Persentase perubahan
kerapatan meningkat antara 36,2 80,6 % dibanding kontrol. Daya serap air menurun antara
48,1 64,5 % dan pengembangan tebal menurun antara 28,8 62,9 %, masing-masing dari
jenis kayu kontrol. Perubahan sifat fisik pada kayu jabon putih lebih baik daripada jabon
merah. Hal ini berkaitan erat dengan persentase polimer loading bahan polimer pada jabon
putih yang lebih tinggi daripada jabon merah. Lebih lanjut diperoleh stabilitas dimensi
berdasarkan nilai ASE antara 22,45 36,55 %, dan nilai rata-rata pada jabon merah lebih
baik daripada jabon putih. Sifat mekanik kayu jabon baik MOE dan MOR masing-masing
meningkat antara 2,60 13,21 % dan 4,50 29,88 % dan jabon putih menunjukan
peningkatan yang lebih tinggi dari jabon merah. Begitu pula pada kekerasan kayu
meningkat antara 12,28 25,86 %.
DAFTAR PUSTAKA
Ang, A, Ashaari, Z , Bakar, E.S and M. H. Sahri. 2009. Enhancing the Properties of
Mahang (Macaranga spp.) Wood through Acrylic Treatment in Combination with
Crosslinker. Faculty of Forestry, Universiti Putra Malaysia 43400, Serdang, Selangor,
Malaysia.
Devi, R.R., Ali, I., and Maji, T.K. 2003. Chemical modication of rubber wood with styrene in
combination with a crosslinker: eect on dimensional stability and strength property.
Bioresource Technology 88 (2003) 185188.
Ding, W.D. 2009. Study of Physical and Mechanical Properties of Hardened Hybrid Poplar
Wood. Universit Du Qubec En Abitibi-Tmiscamingue.
Elvy S.B., Dennis G.R., Ng L.T. 1995. Effects of coupling agent on the physical properties of
Wood-polymer composites, Journal of Materials Processing Technology 48(1-4): 365
372
Hill, C.A.S. 2006. Wood Modification: Chemical, Thermal and Other Processes. John Wiley
& Sons Ltd, The Atrium, Southern Gate, Chichester, West Sussex PO19 8SQ,
England.
Ibach R.E and Ellis W.D. 2005. Handbook of Wood Chemistry and Wood Chapter15:
Lumen Modification, USDA, Forest Service, Forest Products Laboratory, Madison, WI.
ISBN 0-8493-1588-3, pp 421446
57
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Stolf D.O., and Lahr F.A.R. 2004. Wood-Polymer Composite: Physical and mechanical
properties of some wood species impregnated with styrene and methyl
methacrylate, Materials Research 7(4): 611617.
Thomas, S and L.A. Pothan, (Ed.), Natural Fibre Reinforced Polymer Composites. Kottayam,
Kerala (India) 2009, ISBN: 978-1-933153-09-4. Chapter 18, pp: 473-522, Old City
Publishing Co, Philadelphia.
Xu. Q., Cui. Y., Wang. X., Xia. Z, Han. C and Wang. J. 2010. Moisture Absorption
Properties of Wood-Fiber-Reinforced Recycled Polypropylene Matrix Composites.
Journal of Vynil and Additive Technology-2010. Published online in Wiley
InterScience (www.interscience.wiley.com).
Yildiz, U.C., Yildiz. S and E.D. Gezer. 2005. Mechanical properties and decay resistance of
woodpolymer composites prepared from fast growing species in Turkey. Bioresource
Technology 96 (2005) 10031011.
Zhang Y.L., Zhang S.Y., Dian Q.Y. and Wan H. 2006. Dimensional Stability of Wood-
polymer Composites, Journal of Applied polymer Science 102(6): 50855094
58
ANATOMI DAN SIFAT DASAR KAYU
ABSTRAK
Kalimantan Timur termasuk provinsi yang mempunyai potensi jenis-jenis kayu yang
sangat beragam dan yang paling terkenal berasal dari family Dipterocarpaceae. Akan tetapi
famili ini semakin tahun terjadi penurunan jumlah produksi yang signifikan yang diakibatkan
oleh berbagai macam hal, mulai dari kebakaran hutan, illegal logging, sampai dengan alih
fungsi lahan terutama untuk pertambangan yang semakin merajalela di Kalimantan Timur
dewasa ini. Oleh karena itu tujuan dari penulisan ini adalah penyampaian informasi sifat
fisika dan mekanika dari beberapa kayu non Dipterocarpaceae yang tumbuh di Kalimantan
Timur sebagai suatu alternatif penggantinya.
Dari klasifikasi kayu berdasarkan kerapatan dan sifat mekanika kayu diperoleh hasil
sebagai berikut: perepat laut termasuk kelas kuat III - II; kayu repeh kelas kuat IV - III; terap
kelas kuat IV - III; malau kelas kuat III - II; marobamban kelas kuat II - I, uwar haduk kelas
kuat I; imat kelas kuat II - I; liran kelas kuat III - II.
PENDAHULUAN
Jenis-jenis kayu komersial yang paling terkenal dihasilkan dari pulau Kalimantan
adalah dari famili Dipterocarpaceae meskipun banyak 22 jenis-jenis dari famili yang lain.
Dengan kata lain jenis-jenis yang paling banyak diperjualbelikan sampai puluhan jenis hanya
berasal dari famili ini sedangkan famili lainnya hanya beberapa jenis saja. Padahal
seandainya famili lainnya dimanfaatkan secara optimal maka dapat dibayangkan betapa
besar potensi yang ada meskipun ini juga bukan berarti membuka kesempatan untuk
mengeksploitasi besar-besaran terhadap kayu-kayu yang dihasilkan oleh tanah Kalimantan
Timur. Dengan kata lain adalah dengan memanfaatkan jenis-jenis kayu dari famili lain yang
juga mempunyai sifat fisika dan mekanika yang sama akan dapat menekan kepunahan
suatu jenis kayu tertentu. Karena penyusutan jenis komersial ini bukan hanya karena
eksploitasi yang tidak memperhatikan kelestarian alam juga karena kebakaran hutan dan
alih fungsi hutan menjadi konsesi yang lain seperti pertambangan batu bara yang sangat
merusak lingkungan.
Di masa depan dan bahkan telah terlihat dari sekarang, masyarakat mulai dipaksa
untuk mulai mengonsumsi kayu-kayu yang dulu dianggap tidak berharga dan hanya
dijadikan bahan bakar. Hal ini dikarenakan harga kayu komersial semakin tahun terus
meningkat harganya bahkan sekarang biaya pembuatan rumah kayu di Kalimantan Timur
sudah setara dengan pembuatan rumah beton. Apalagi jika seluruhnya menggunakan kayu
berkualitas bagus dari sisi biaya justru akan memakan biaya lebih tinggi dibandingkan
dengan rumah beton biasa. Padahal dengan kondisi tanah yang sebagian besar adalah
tanah rawa kontruksi yang ramah lingkungan adalah model rumah panggung yang rata-rata
didominasi oleh bahan dari kayu. Jadi agar biaya pembuatan rumah atau pemanfaatan kayu
harganya dapat ditekan salah satu caranya adalah dengan memanfaatkan dan
membiasakan penggunaan kayu dengan beragam jenis terutama dari jenis-jenis yang
semula dianggap tidak komersial.
Salah satu upaya untuk memperkenalkan jenis-jenis ini adalah dengan menyebarkan
informasi mengenai sifat fisika dan mekanika kayu-kayu yang bersangkutan secara luas.
59
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Karena dengan pengenalan atas sifat-sifat fisika dan mekanika kayu akan sangat membantu
masyarakat dalam menentukan jenis-jenis kayu untuk tujuan pengunaan tertentu. Sehingga
diharapkan dengan memahami sifat-sifat kayu dan jenis-jenis kayu untuk penggunaan
tertentu akan semakin mengurangi ketergantungan konsumen akan suatu jenis kayu tertentu
saja sehingga pemanfaatan jenis-jenis kayu yang semula belum dimanfaatkan (jenis-jenis
yang belum dikenal umum) akan semakin meningkat.
Jenis-jenis yang akan dipaparkan secara singkat dalam tulisan ini adalah jenis yang
diambil dari provinsi Kalimantan Timur yaitu: marobamban, perepat laut, perepat darat,
terap, repeh, malau, uwar haduk, liran dan imat
METODE PENELITIAN
Pengambilan data
Pengambilan data diambil dari data sekunder yang tersimpan di Laboratorium
Rekayasa dan Pengujian Kayu Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman, Samarinda.
Pengambilan sampel
Sampel diambil berdasarkan letak ketinggian dalam batang (pangkal, tengah dan
ujung) dengan standar pengujian Jerman yaitu DIN (Deutches Institute fuer Normung).
60
ANATOMI DAN SIFAT DASAR KAYU
Keterangan :
I. Cara pengambilan contoh uji di lapangan.
II. Cara pengambilan contoh uji pada potongan melintang dari tiap bagian.
III. Cara pengambilan contoh uji pada satu stik :
a. Contoh uji kerapatan dan kadar air dengan ukuran 2 x 2 x 2 cm
b. Contoh uji keteguhan tekan sejajar serat dengan ukuran 2 x 2 x 6 cm
c. Contoh uji lengkung statis dengan ukuran 2 x 2 x 36 cm
d. Contoh uji keteguhan pukul dengan ukuran 2 x 2 x 30 cm
e. Contoh uji pengembangan dan penyusutan dengan ukuran 2 x 2 x 10 cm
f. Contoh uji keteguhan geser dengan ukuran 5 x 5 x 5 cm
g. Contoh uji kekerasan dengan ukuran 5 x 5 x 10 cm
61
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
l w lo
vol maks x 100%
lw
62
ANATOMI DAN SIFAT DASAR KAYU
Tabel 3. Nilai Rata-rata Kadar Air Kayu Segar, Kerapatan, Penyusutan Volume
dan Anisotropi kayu
Tabel 4. Nilai Rata-rata Keteguhan Tekan Sejajar Serat, Pukul, Lentur dan Patah
63
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Dilihat dari nilai kekuatan mekanikanya berdasarkan Anonim (1978) dan Anonim
(1976) maka perepat laut termasuk kelas kuat III - II; kayu repeh kelas kuat IV - III; terap
kelas kuat IV - III; malau kelas kuat III - II; uwar haduk kelas kuat I; imat kelas kuat II - I; liran
kelas kuat III - II.
Sesuai dengan Anonim (1976) pemanfaatan kayu berdasarkan kelas kuat adalah
sebagai berikut:
a. Kelas kuat I cocok dimanfaatkan antara lain untuk: konstruksi bangunan, lantai, papan
dinding, bantalan, jembatan dan tiang
b. Kelas kuat II cocok dimanfaatkan antara lain untuk: mebel, lantai, papan, perkapalan,
jembatan, alat olah raga
c. Kelas kuat III cocok dimanfaatkan antara lain untuk: kayu olahan, rangka pintu dan
jendela, moulding, pulp
d. Kelas kuat IV cocok dimanfaatkan antara lain untuk: kayu olahan, pembungkus, rangka
mebel, pulp, korek api
e. Kelas kuat V cocok dimanfaatkan antara lain untuk: pulp, korek api, papan partikel,
bahan pembungkus, kerajinan tangan.
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
64
ANATOMI DAN SIFAT DASAR KAYU
Laksita, MC. 2009. Sifat Fisika dan Mekanika Kayu Repeh (Mangifera gedebe Miq)
Berdasarkan Letak Ketinggian dalam Batang. Skripsi S1 Kehutanan Universitas
Mulawarman. Samarinda.
Manik, BSM. 2010. Sifat Fisika dan Mekanika Kayu Perepat Laut (Sonneratia alba)
Berdasarkan Letak Ketinggian dalam Batang. Skripsi S1 Kehutanan Universitas
Mulawarman. Samarinda.
Nasir. 2002. Sifat Fisika dan Mekanika Kayu Liran (Pholidocarpus majadun Becc)
Berdasarkan Letak Ketinggian dalam Batang. Skripsi S1 Kehutanan Universitas
Mulawarman. Samarinda.
Ndima, I. 2003. Sifat Fisika dan Mekanika Kayu Terap (Artocarpus elasticus Reinw)
Berdasarkan Letak Ketinggian dalam Batang. Skripsi S1 Kehutanan Universitas
Mulawarman. Samarinda.
Pandit, IKN. dan H Ramdani. 2002. Anatomi Kayu. Pengantar Sifat Kayu Sebagai Bahan
Bangunan. Yayasan Penerbit Fakultas Kehutanan. IPB. Bogor.
Susyana. 2003. Sifat Fisika dan Mekanika Kayu Uwar Haduk Diospyros evena Bakh)
Berdasarkan Letak Ketinggian dalam Batang. Skripsi S1 Kehutanan Universitas
Mulawarman. Samarinda.
Syaifullah, A. 2004. Sifat Fisika dan Mekanika Kayu Malau (Palaquium quercifolium)
Berdasarkan Letak Ketinggian dalam Batang. Skripsi S1 Kehutanan Universitas
Mulawarman. Samarinda.
Zamroni, A. 2006. Sifat Fisika dan Mekanika Kayu Imat (Castanopsis oviformis Soepadmo)
Berdasarkan Letak Ketinggian dalam Batang. Skripsi S1 Kehutanan Universitas
Mulawarman. Samarinda.
65
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Muhammad Asdar
Balai Penelitian Kehutanan Makassar
Jl. P. Kemerdekaan Km. 16 Makassar, E-mail: asdar@forda-mof.org
ABSTRAK
Kayu Macadamia hildebrandii van Slooten merupakan jenis endemik Sulawesi yang
dikenal dengan nama tomaku dan kates. Sifat-sifat kayunya belum diketahui sedangkan
potensinya semakin menurun. Penelitian ini bertujuan untuk mengamati struktur anatomi
dan kualitas seratnya. Pertelaahan ciri anatomi kayu berdasarkan IAWA List (Wheeler, 1989)
dan penilaian kualitas serat berdasarkan Anonim (1976). Hasil pengamatan menunjukkan
bahwa kayu ini memiliki ciri khas jari-jari yang lebar dengan dua ukuran. Ciri anatomi kayu:
2, 5, (11), 13, 22, 42, 46, 53, 66, 68, 73, 86, 92, 99, 102, 103, 105, 173, 189, 194, 196, 197.
Seratnya tergolong kelas II untuk bahan baku pulp dan kertas. Kayu kates diduga dapat
digunakan sebagai bahan baku pulp dan kertas, konstruksi ringan serta mebel.
Kata kunci : Macadamia, tomaku, kates, anatomi kayu.
PENDAHULUAN
66
ANATOMI DAN SIFAT DASAR KAYU
Sampel pohon diambil dari Desa Salu Balo, Kec. Sumarorong, Kab. Mamasa, Prop.
Sulawesi Barat. Pengamatan anatomi kayu dilakukan di Balai Penelitian Kehutanan (BPK)
Makassar. Herbarium diidentifikasi di Lab. Botani Puslitbang Konservasi, Badan Litbang
Kehutanan, Bogor.
Bahan dan alat yang digunakan antara lain kayu makadamia, aquades, alkohol,
safranin, karboxylol, hidrogen peroksida, asam asetat glasial, eukitt, peralatan penebangan,
gergaji, penangas air, mikrotom, mikroskop serta object dan deck glass. Pohon yang
ditebang berdiameter 81,5 cm, tinggi bebas cabang mencapai 22 m. Sampel kayu diambil di
atas banir pada ketinggian 2,5 m.
Contoh uji sebanyak 12 buah, diambil dari bagian dekat empulur, tengah dan teras
terluar pada empat arah berlawanan. Pengamatan dilakukan terhadap ciri umum
(makroskopis) dan ciri mikroskopis. Ciri umum kayu diamati pada contoh kayu utuh maupun
yang telah diketam. Pertelaannya dilakukan berdasarkan Mandang dan Pandit (1997),
meliputi warna kayu, tekstur, arah serat, kilap, kesan raba dan gambar. Ciri anatomi diamati
pada preparat sayatan dan maserasi pada bidang lintang, radial dan tangensial yang telah
dibuat diwarnai dengan safranin. Pembuatan preparat sayatan menggunakan rotary
microtome dan pembuatan maserasi menggunakan hidrogen peroksida dan asam asetat
glasial. Ciri yang diamati meliputi dimensi serat, dimensi, susunan dan sebaran pembuluh,
parenkim, jari-jari, saluran interselular, silika, dan lain-lain berdasarkan AIWA list (Wheeler et
al., 1989). Data hasil pengukuran disajikan dalam nilai rata-rata dan standar deviasi.
67
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Kayu kates memiliki sifat makroskopis antara lain: kayu teras segar berwarna merah
kecoklatan dan gubal berwarna krem, setelah kering udara warna teras menjadi coklat
kemerahan dan gubal krem, noda jari-jari terlihat jelas dan mengkilap, serat lurus, tekstur
agak kasar dan agak kesat. Ketebalan gubal rata-rata 6 cm. Kulit pohon mengeluarkan
getah berwarna merah.
Ciri anatomis: lingkaran tumbuh tidak jelas (2), pembuluh baur (5), pembuluh
berganda radial 2, pembuluh bergerombol kadang dijumpai (11) perforasi sederhana (13),
ceruk antar pembuluh selang seling (22), diameter pembuluh rata-rata 168,63 (41,53) m
(42), frekuensi rata-rata 2,49 (0,62) per mm2 (46), panjang pembuluh rata-rata 640 (m (53),
serat tak bersekat ada (66), berdinding tipis yaitu diameter lumen kurang dari tiga kali dua
tebal dinding (68), panjang serat rata-rata 2078,67 m (73), parenkim aksial dalam pita
sempit atau garis dengan tebal sampai 3 lapis sel (86), 3-4 sel per untai parenkim (92), jari-
jari besar biasanya lebih dari 10 seri (99), tinggi jari-jari rata-rata 3598 m (102), jari-jari dua
ukuran yaitu berseri satu dan berseri lebih dari 10 (103), seluruh sel jari-jari bujur sangkar
(105). Ciri lain adalah sebaran di Indonesia (173), habitus pohon (189), berat jenis sedang
(194), teras berwarna lebih gelap dari gubal (196) dan warna teras pada dasarnya coklat
(197). Tampilan bidang melintang, tangensial dan radial disajikan masing-masing pada
Gambar 2,3 dan 4.
Dimensi serat yang diukur meliputi panjang serat yaitu rata-rata 2.078,67 (259,66)
m, diameter serat 31,85 (5,59) m, diameter lumen 22,20 (5,21) m dan tebal dinding 4,82
(1,09) m. Berdasarkan nilai dimensi serat, ditetapkan nilai turunan serat untuk penilaian
kelayakan sebagai bahan baku pulp dan kertas seperti disajikan pada Tabel 1.
68
ANATOMI DAN SIFAT DASAR KAYU
Ciri-ciri kayu macadamia yang diteliti sesuai dengan ciri-ciri kayu dari family
proteaceae pada umumnya menurut Metchalfe and Chalk (1950), seperti pembuluh
umumnya kecil sampai besar, bergabung tangensial, berkelompok, perforasi sederhana,
ceruk antar pembuluh selang seling, panjang pembuluh sedang. Parenkim berbentuk pita
sempit sampai lebar, kadang-kadang aliform atau konfluen. Jari-jari dua ukuran, 10-30 sel,
umumnya homogen kecuali kadang-kadang pada sel seludang. Serat biasanya memiliki
ceruk kecil berhalaman. Saluran interselular traumatik dan trakeid vasisentrik kadang-
kadang ada.
69
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Kayu makadamia diduga cocok sebagai bahan baku pulp dan kertas, mebel, kayu
lapis dan konstruksi ringan. Ditinjau dari dimensi seratnya, berdasarkan klasifikasi
persyaratan kayu sebagai bahan baku pulp dan kertas (Departemen Pertanian, 1976), maka
kayu kates tergolong kelas II dengan skor total 425. Kayu dalam kategori ini memiliki serat
kayu sedang sampai panjang dan mempunyai dinding yang tipis dengan lumen yang agak
lebar. Serat akan mudah menggepeng waktu digiling dan ikatan seratnya baik. Serat jenis
ini diduga akan menghasilkan lembaran dengan kekuatan sobek, retak dan tarik yang cukup
tinggi.
70
ANATOMI DAN SIFAT DASAR KAYU
KESIMPULAN
Kayu kates memiliki ciri khas jari-jari yang sangat besar/lebar dan dapat dilihat
dengan jelas tanpa menggunakan lup. Ciri anatomi kayu: 2, 5, (11), 13, 22, 42, 46, 53, 66,
68, 73, 86, 92, 99, 102, 103, 105, 173, 189, 194, 196, 197. Kayu ini diduga sesuai sebagai
bahan baku pulp dan kertas, mebel, kayu lapis dan konstruksi ringan.
DAFTAR PUSTAKA
Antara News Jawa Timur. 2009. PTPN XII Kebun Blawan kembangkan makadamia.
http://www.antarajatim.com/index.php?ref=disp&id=7022. Akses tanggal 29 Januari
2009.
Departemen Pertanian. 1976. Vademecum kehutanan Indonesia. Direktorat Jenderal
Kehutanan, Departemen Pertanian. Jakarta.
Ginoga, B., D Seran, M Lempang dan MK Allo. 1987. Pertumbuhan dan sifat kayu tomaku
(Macadamia hildebrandii V.St.). Jurnal Penelitian Kehutanan Vol I, No. 1: 1-8. Balai
Penelitian Kehutanan Ujung Pandang.
Mandang, YI. dan IKN Pandit. 1997. Seri Manual: Pedoman identifikasi jenis kayu di
lapangan. Prosea-Pusdiklat Pegawai dan SDM Kehutanan. Bogor.
Metcalfe, CR. and L Chalk. 1950. Anatomy of Dicotyledons. Volume II. Clorendon Press,
Oxford.
Oey Djoen Seng. 1990. Berat jenis dari jenis-jenis kayu Indonesia dan pengertian bertanya
kayu untuk keperluan praktek. Pengumuman No. 13. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Hasil Hutan. Bogor.
Weston, PH. and NP Barker. 2006. A new suprageneric classification of the proteaceae,
with an annotated checklist of genera. Telopea 11 (3): 314-344.
http://www.rbgsyd.nsw.gov.au/__data/assets/pdf_file/0009/80856/
Tel11Wes314.pdf. Diakses tanggal 14 Januari 2010.
Wheeler, EA., P Baas and PE Gasson (ed.). 1989. IAWA list of microscopic features for
hardwood identification. IAWA Bul. N.s. 10 (3) : 219 332. Leiden, Netherlands.
Whitmore, TC., IGM Tantra dan U Sutisna. 1989. Tree flora of Indonesia check list for
Sulawesi. Forest Research and Development Centre. Bogor.
Whitten, T., M Mustafa and GS Henderson. The Ecology of Indonesia Series Volume IV.
The Ecology of Sulawesi. 2002. First Periplus Edition. Periplus edition (HK) Ltd.
Wikipedia. 2009. Macadamia. http://en.wikipedia.org/wiki/Macadamia. Diakses tanggal 28
Januari 2009.
71
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan,
Kementerian Kehutanan. Jl. Gunung Batu No. 5 Bogor
Email : Ratih-Damayanti@forda-mof.org, ratih_turmuzi@yahoo.com
ABSTRAK
Identifikasi kayu adalah salah satu aplikasi ilmu anatomi kayu. Secara ekonomi,
pengetahuan ini sangat penting untuk mengenal atau mengidentifikasi jenis-jenis kayu yang
digunakan dalam perdagangan, termasuk untuk menentukan nilai kayu tersebut. Ilmu
anatomi juga mendukung perkembangan ilmu pengetahuan lainnya, seperti ilmu-ilmu botani,
paleontologi, ethnologi, forensik, arkeologi dan juga sejarah. Permasalahannya, bagi
sebagian besar mahasiswa, mata kuliah pengenalan dan identifikasi kayu masih dianggap
sesuatu yang menakutkan dan membingungkan, sehingga cenderung dihindari, termasuk
oleh calon peneliti, calon dosen, hingga petugas pemeriksa kayu di lapangan yang secara
langsung bertugas untuk melakukan identifikasi kayu. Struktur anatomi kayu dianggap
sesuatu yang sangat rumit dan sulit dipahami. Hal ini disebabkan karena kurangnya alat
peraga yang mampu mengejawantahkan wujud dan struktur kayu secara jelas, rinci dan
menarik. Kegiatan ini bertujuan untuk melakukan kajian mengenai struktur anatomi makro,
mikro dan ultramikroskopik kayu kemudian menyajikannya dalam animasi 3 dimensi untuk
mempermudah pembelajaran struktur anatomi dan identifikasi kayu. Hasilnya berupa DVD
yang berjudul Anatomi dan Identifikasi Kayu, di dalamnya berisi tentang ilmu anatomi kayu,
manfaat ilmu anatomi kayu, identifikasi kayu, bidang orientasi, struktur anatomi kayu, praktek
identifikasi kayu, serta perkembangan teknologi dalam ilmu anatomi kayu. DVD ini
memungkinkan pengguna dapat melalukan identifikasi kayu secara mandiri.
PENDAHULUAN
72
ANATOMI DAN SIFAT DASAR KAYU
pemanfaatan kayu selanjutnya dan menunjang perkembangan ilmu lainnya seperti ilmu-ilmu
botani, paleontologi, ethnologi, forensik, arkeologi dan juga sejarah (Wheeler & Baas, 1998).
Dibutuhkan solusi untuk mengatasi keadaan tersebut, salah satunya dengan
menyediakan alat peraga yang mampu menggambarkan semua bentuk sel, jaringan,
hubungan antar sel beserta fungsinya dalam pohon. Hasil penelusuran paten (patent
searching) menunjukkan bahwa hingga saat ini belum ada alat peraga serupa, bahkan alat
peraga seperti anatomi tubuh manusia yang telah banyak dibuat, yang khusus untuk kayu.
Keberadaan alat peraga ini sangat dibutuhkan terutama untuk kembali meningkatkan minat
dan kesadaran pelajar dan mahasiswa agar memahami betapa pentingnya ilmu
pengetahuan anatomi tumbuhan, terlebih di saat kebijakan pemerintah menurunkan ilmu ini
menjadi mata ajaran pilihan.
Kegiatan ini bertujuan untuk melakukan kajian mengenai struktur anatomi makro,
mikro dan ultramikroskopik kayu kemudian menyajikannya dalam animasi 3 dimensi untuk
mempermudah pembelajaran struktur anatomi dan identifikasi kayu.
73
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Lokasi Penelitian
Kegiatan penelitian berupa studi pustaka, pembuatan gambar, penyusunan skenario
dan pembuatan animasi dilakukan di Laboratorium Anatomi Tumbuhan serta Laboratorium
Instrumen dan Proksimat Terpadu Pusat Litbang Hasil Hutan, Bogor.
DVD yang dibuat terdiri atas delapan bagian yaitu Ilmu anatomi kayu; Manfaat ilmu
anatomi kayu; Identifikasi kayu, Bidang orientasi; Struktur anatomi kayu; Praktek identifikasi
kayu; Perkembangan teknologi dalam ilmu anatomi kayu serta Penutup. DVD ini diberi judul
ANATOMI DAN IDENTIFIKASI KAYU.
Bagian 1 mengenai manfaat ilmu identifikasi kayu berisi tentang pembagian ilmu
tumbuh-tumbuhan serta pengenalan ilmu anatomi dan identifikasi kayu. Cuplikan video
Bagian 1 disajikan pada Gambar 1.
74
ANATOMI DAN SIFAT DASAR KAYU
Di industri, proses pengolahan hasil hutan, terutama pada pengeringan kayu, sangat
tergantung pada identifikasi jenis yang benar karena perbedaan jenis ataupun kelompok
jenis membutuhkan perlakuan yang berbeda. Saat timbul masalah dalam pengolahan kayu
(proses pengeringan, permesinan ataupun finishing), pertanyaan pertama yang terlontar
adalah apakah jenis kayunya telah teridentifikasi dengan baik atau tidak.
Dalam tugas kepabeanan (ekspor/impor), identifikasi kayu akan memberikan
informasi apakah dolok, kayu gergajian, ataupun produk kayu telah terlabel dengan benar
sehingga jumlah pajak dapat ditetapkan dan aturan dalam perdagangan pun dapat
diterapkan. International Timber Trade Organization (ITTO) telah membatasi perdagangan
kayu internasional yaitu hanya menggunakan kayu yang ditebang dari konsesi hutan lestari.
Termasuk dengan memastikan sumber dan identitas kayu dalam rangka menegakkan
larangan perdagangan jenis-jenis kayu langka, keahlian dalam mengidentifikasi kayu ini
sangatlah diperlukan (Baas 1994 dalam Wheeler dan Baas 1998).
Dihubungkan dengan antropologi seperti restorasi struktur bangunan bersejarah,
identifikasi kayu juga diperlukan. Para ahli lebih suka menggantikan kayu asli dengan jenis
kayu yang sama yang ada pada waktu ini. Hal tersebut membutuhkan proses identifikasi
jenis, walau sekecil apapun bagian kayu asli yang tersisa. Keaslian dan asal suatu karya
seni bersejarah juga ditunjukkan dari kerangka kayu dan panel yang digunakan.
Identifikasi kayu juga berguna untuk kegiatan forensik, seperti menentukan apakah
potongan/pecahan kayu di Tempat Kejadian Perkara (TKP) cocok dengan jenis yang diambil
dari baju atau kendaraan yang dimiliki tersangka. Keahlian ini juga sering diterapkan dalam
kasus-kasus penyelundupan, pencurian, hingga pemalsuan identitas kayu, bahkan yang
sudah dalam bentuk serpihan, cacahan ataupun serbuk.
Identifikasi kayu yang berasal dari jaman purba (fosil) dapat membantu
merekonstruksi kondisi ekosistem ataupun mendokumentasikan perubahan iklim. Para
ilmuwan paleontologi sangat tertarik untuk mengetahui pohon apa yang ada saat dinosaurus
hidup, dan tipe vegetasi apa yang ada saat primata pertama kali ada atau saat evolusi
manusia. Pengetahuan terhadap fosil kayu secara geologi dapat membantu memberikan
informasi untuk menjelaskan distribusi tumbuhan hingga saat ini, sejarah dari beberapa suku
dan marga, serta distribusi dan diversifikasi tumbuhan berkayu di masa lampau.
Pengetahuan tentang perkayuan ini secara arkeologi juga membantu menyediakan informasi
yang berguna untuk merekonstruksi rute perdagangan (Miller dan Baas 1981; Wheeler dan
Baas 1998).
Selanjutnya diilustrasikan juga mengenai kerugian-kerugian yang ditimbulkan bagi
manusia dan lingkungan akibat keterbatasan pengetahuan dalam identifikasi kayu. Cuplikan
video Bagian 2 disajikan pada Gambar 2.
75
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Bagian 5 menjelaskan tentang struktur anatomi kayu. Dalam bagian ini dibahas
secara detail susunan, bentuk dan fungsi sel-sel yang menyusun kayu daun jarum
(hardwood) dan kayu daun lebar (softwood) yaitu pembuluh, parenkim aksial, parenkim jari-
jari, serabut, kulit tersisip, saluran interseluler, dan saluran getah. Setelah menyaksikan
Bagian 5 ini, pengguna akan mendapatkan gambaran yang komprehensif tentang struktur
kayu. Cuplikan video Bagian 5 disajikan pada Gambar 5.
76
ANATOMI DAN SIFAT DASAR KAYU
Bagian 6 berisi tentang praktek identifikasi kayu. Pada bagian ini diperagakan cara
identifikasi kayu secara praktis untuk keperluan di lapangan, termasuk praktek
menggunakan kunci identifikasi kayu Xylarium Bogoriense 1915 Pusat Litbang Hasil Hutan
menggunakan komputer, serta beberapa uji praktis seperti uji bintik dan uji buih yang
bermanfaat dalam mengidentifikasi suatu jenis kayu. Literatur-literatur untuk menunjang
proses identifikasi jenis kayu-kayu Indonesia juga ditunjukkan. Cuplikan video Bagian 6
disajikan pada Gambar 6.
77
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
sebuah pohon menghasilkan sekitar 118 kg Oksigen setiap tahun yang sangat dibutuhkan
untuk kehidupan. Pada Gambar 7 disajikan sampul depan dan sampul belakang DVD
Anatomi dan Identifkasi Kayu.
Gambar 7. Gambar sampul depan dan sampul belakang DVD Anatomi dan Identifkasi Kayu
Hasil-hasil penelitian struktur makro, mikro dan ultramikroskopik kayu daun lebar dan
kayu daun jarum telah dituangkan dalam suatu DVD yang berjudul Anatomi dan Identifikasi
Kayu, yang akan sangat bermanfaat dalam membantu pembelajaran mengenai sifat-sifat
yang melekat pada kayu. DVD ini diharapkan dapat disebarkan setelah hak cipta
(copyrights-HKI) diperoleh. Publikasi dan diseminasi sebaiknya dilakukan pada seminar-
seminar organisasi/masyarakat peneliti kayu; para pelajar dan mahasiswa di seluruh
Indonesia, para petugas lapang yang berhadapan dengan kayu, serta para pengusaha kayu,
untuk memecahkan permasalahan terkait dengan rumitnya proses pemahaman terhadap
sifat dasar kayu. Diharapkan, secara jangka panjang, setiap keluarga akan memiliki DVD ini,
agar penanaman kecintaan terhadap kayu dan pohon dapat dilakukan sejak dari rumah,
sehingga mata kuliah anatomi tumbuhan dijadikan sebagai mata ajaran wajib di sekolah dan
perguruan tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
78
ANATOMI DAN SIFAT DASAR KAYU
Tesoro, F. O. 1989. Wood Structure and Quality : Bases for Improved Utilization of Timbers.
The Second Pacific Regional Wood Anatomy Conferences 1989. Forest Products
Research and Development Institute. Philippines.
Wheeler, E.A., P. Baas, and Gasson P.E. 1989. IAWA List of Microscopic Features for
Hardwood Identification. IAWA Bulletin n.s. 10 (3):219-332. Leiden, Netherland.
Wheeler, E. A. and Baas, P. 1998. Wood Identification - A Review. IAWA Journal, Vol. 19
(3): 241-264. Leiden Netherland.
79
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
ABSTRACT
Quality improvement of the inner part of oil palm trunk (OPT) by close system
compression (CSC) method has been carried out in this study. Effect of temperature and
compression time of CSC on physical, mechanical and anatomical properties of OPT was
also evaluated. The inner part of OPT of 15 (L) by 5 cm (W) by 2 cm (T) with average density
of 0.3 g/cm3 were used as the sample unit. Oven-dried samples were immersed in water, and
then were vacuumed until fully saturated. After that, all of them were compressed 50% by
CSC with temperature of 120, 140, 160 and 180 C for 10, 20, 30 and 40 minutes. Finally,
after conditioning for a week in room temperature, all samples were cut for physical and
mechanical properties. Density, recovery of set (RS), MOE and MOR, as well as the
compression parallel to the grain were measured. The result showed that the CSC could
improved the physical and mechanical properties of OPT namely density, dimensional
stability, MOR, MOE, and the compression parallel to the grain. Density of OPT increased
around 3.33-90% (from 0.3 to 0.31-0.59 g/cm3), RS decreased until 1.74%, while MOE, MOR
and compression parallel to the grain increased around 43.22-192.74%, 14.31-155.81%,
and 18.93-123,20%, respectively. The CSC with temperature of 160oC for 40 minutes was
the best treatment.
Keywords: oil palm trunk, close system compression, densified wood, recovery of set,
physical and mechanical properties
PENDAHULUAN
Batang kelapa sawit merupakan salah satu alternatif penghasil kayu yang sangat
menjanjikan. Potensi peremajaannya sangat tinggi mengingat luas areal perkebunan kelapa
sawit telah mencapai lebih dari 8 juta ha dan tersebar di 22 provinsi di Indonesia
(Departemen Pertanian 2010).
Bila digunakan sebagai produk pengganti kayu-kayu gergajian konvensional, batang
kelapa sawit perlu diberi perlakuan tertentu sebelum digunakan karena memiliki beberapa
kelemahan dan hanya 1/3 dari bagian batang terluar yang dapat dijadikan sebagai bahan
konstruksi ringan dan furniture (Bakar et al., 2000). Beberapa kelemahan batang kelapa
sawit diantaranya adalah kembang-susutnya sangat bervariasi (9,2-74%), dimensi kurang
stabil, kekuatan sangat rendah-sedang (kelas kuat IIIV), tidak awet (kelas awet V) dan sulit
dikerjakan (sifat permesinan kelas V) (Bakar et al., 1998, 1999a, 1999b, 2000).
Perlu upaya untuk mencari alternatif pemanfaatan 2/3 bagian dalam kelapa sawit.
Upaya yang dapat dilakukan adalah dengan cara memadatkannya (densifying by
compression). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pemadatan mampu meningkatan
sifat fisis dan sifat mekanis secara signifikan seperti pada kayu randu, jengkol, manii, mindi,
angsana dan mangga (Amin et al., 2004), serta kayu kelapa (Wardhani 2005). Namun
80
ANATOMI DAN SIFAT DASAR KAYU
permasalahan utama dalam pemadatan kayu adalah kayu terpadatkan akan kembali ke
bentuk semula (recovery) bila mendapat pengaruh kelembaban atau perendaman (Dwianto
et al. 1998).
Salah satu pemadatan yang mampu meningkatkan fiksasi kayu secara permanen
dalam waktu singkat adalah metode close system compression (CSC). Metode CSC
menghasilkan fiksasi yang baik pada kayu Randu (Amin dan Dwianto, 2006) dan Sengon
(Amin et al., 2007).
Berdasarkan hal tersebut, maka dilakukanlah penelitian dalam rangka pemanfaatan
dari bagian batang kelapa sawit bagian dalam. Target dari penelitian ini adalah
meningkatnya kualitas batang kelapa sawit bagian dalam sehingga bisa digunakan sebagai
bahan bangunan. Adapun tujuan umum penelitian ini adalah untuk menganalisis sifat fisis
dan mekanis, serta anatomis batang kelapa sawit terpadatkan dengan CSC.
METODE PENELITIAN
Metode Penelitian
Pemadatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah pemadatan yang
dikembangkan oleh Amin dan Dwianto (2006), yang dikenal dengan nama Close System
Compression (CSC), untuk mendapatkan stabilitas dimensi yang tinggi dalam waktu singkat.
Prinsip kerja dari metode ini adalah air yang menguap akibat hot press berfungsi sebagai
uap panas (steam) karena tidak dapat keluar dari cetakan.
Contoh uji yang digunakan berukuran 15 x 2 x 5 cm3 (arah T, R, L), lalu dikeringkan
pada suhu 60oC sampai beratnya konstan dan diukur tebal awalnya (To). Contoh uji
kemudian direndam dalam air dan divakum sampai jenuh, lalu dipadatkan dengan tingkat
pemadatan sebesar 50% pada suhu 120, 140, 160, 180, 200oC selama 10, 20, 30 dan 40
menit, dengan 4 kali ulangan.
Setelah dipadatkan, dilakukan pembuatan contoh uji pengukuran sifat fisis, mekanis
dan pengamatan anatomis sesuai standar yang dijadikan acuan. Sisa dari pengujian
tersebut digunakan untuk pengujian kristalinitas kayu.
Kadar air (KA) merupakan perbandingan antara air yang terdapat di dalam kayu
dengan berat kering tanur kayu dan dinyatakan dalam persen, sedangkan kerapatan
merupakan perbandingan antara berat kayu dan volumenya pada kondisi yang sama.
Pengujian fiksasi kayu dilakukan berdasarkan Dwianto et al. (1998), dimana fiksasi
yang terjadi didasarkan oleh nilai pemulihan tebal atau recovery of set (RS) nya. Nilai RS
dihitung dengan rumus [(Tr-Tc)/(To-Tc)]x100%, dimana To adalah tebal awal, Tc adalah
tebal setelah pemadatan, Tr (tebal recovery) adalah tebal setelah direndam dalam air
selama 24 jam dan direbus selama 30 menit. Semuanya diukur dalam kondisi kering tanur.
Pengujian modulus of rupture (MOR) dan modulus of elasticity (MOE) berdasarkan
BS 373 tahun 1957 dengan menggunakan contoh uji yang berukuran 15 x 2 x 1 cm3. MOR =
(3PL)/(2bh2) dan MOE = (PL3)/( y 4bh3), dimana L adalah jarak sanggah, b adalah lebar
contoh uji, P adalah beban maksimum, h tebal contoh uji, P adalah beban sebelum batas
proporsi (kg) dan y adalah defleksi yang terjadi (cm).
Nilai keteguhan tekan sejajar serat juga dihitung berdasarkan standar BS 373 tahun
1957. Keteguhan tekan sejajar serat merupakan perbandingan beban maksimum (kg)
dengan luas penampang (cm2).
81
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Pengamatan struktur anatomi batang kelapa sawit baik kontrol maupun yang
terpadatkan dianalisis melalui hasil pemotretan slide mikrotom berketebalan 30 m dengan
safranin sebagai pewarna.
Derajat kristalinitas adalah dihitung menggunakan X-ray Diffractometer (Shimadzu,
XRD-7000) dimana ukuran contoh uji berupa sayatan tipis dengan tebal sekitar 50 mikron.
Derajat kristalinitas diukur melalui perbandingan daerah pada grafik difraktofram yang
menggambarkan daerah kristalin dan amorf.
82
ANATOMI DAN SIFAT DASAR KAYU
Vascular bundle
Vessel
Parenkim dasar
Gambar 2. Penampang lintang batang kelapa sawit: (A) Kontrol (B) Pemadatan dengan
perbesaran 30x, (C) Kontrol, (D) pemadatan dengan perbesaran 50x
Perubahan struktur dapat juga dilihat pada arah Radial seperti terlihat pada Gambar 3.
Vascular bundles
vessel
A. Kontrol B. Pemadatan
Gambar 3. Penampang pada arah radial batang kelapa sawit: (A) Kontrol dan
(B) Pemadatan dengan perbesaran 50x
83
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Gambar 4. Hubungan antara RS dan kerapatan pada berbagai suhu dan waktu pemadatan
84
ANATOMI DAN SIFAT DASAR KAYU
50% pada kayu agathis mengakibatkan meningkatnya nilai kerapatan dari 0,43-0,46 g/cm3
menjadi 0,70-0,85 g/cm3 (arah radial) dan 0,69-0,84 g/cm3 (arah tangensial).
Tabel 1. Nilai MOE, MOR, keteguhan tekan sejajar serat dan kristalinitas
batang kelapa sawit terpadatkan
Waktu MOE MOR Tekan Sejajar
Suhu Kristalinitas
(menit) (kg/cm2) (kg/cm2) Serat (kg/cm2)
10 13500(1761) 90,88 (11,83) 65,15 (6,83) -
20 14361(1796) 94,86 (7,55) 64,80 (4,70) -
120 oC
30 16887 (2232) 97,85 (9,37) 77,90 (7,47) -
40 17452 (2318) 102,9 (14,22) 78,24 (6,88) -
85
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
(1)
(2)
(3)
Hubungan antara kristalinitas dan nilai MOE ditunjukkan oleh garis polynomial,
dimana persamaan y = -2E-07x2 + 0.011x - 124.5, R = 0.856 dan nilai MOR y = 0.004x2 -
1.450x + 149.8, R = 0.809, serta nilai keteguhan tekan sejajar serat y = 0.012x2 - 2.229x +
141.2, R = 0,695. Hal ini menunjukkan bahwa sifat mekanis memiliki hubungan yang erat
86
ANATOMI DAN SIFAT DASAR KAYU
dengan daerah kristalinitas, terlihat dari nilai R2 yang dihasilkan. Semakin tinggi derajat
kristalinitasnya, akan semakin tinggi pula sifat fisis-mekanis yang dihasilkan.
KESIMPULAN
Peningkatan suhu dan waktu pemadatan dengan CSC menyebabkan warna batang
kelapa sawit semakin gelap.
Nilai RS batang kelapa sawit terpadatkan menurun seiring dengan peningkatan suhu
dan waktu pemadatan. Semakin rendah nilai RS berarti semakin meningkat stabilitas
dimensi batang kelapa sawit. Semakin kecil nilai RS, semakin meningkat nilai kerapatan
batang kelapa sawit.
Pemadatan meningkatkan nilai sifat mekanis. Nilai MOE, MOR, keteguhan tekan
cenderung meningkat seiring dengan peningkatan suhu dan lama waktu pemadatan. Nilai
sifat mekanis terbaik dihasilkan pada perlakuan pemadatan pada suhu 160oC selama 40
menit.
Proses pemadatan dengan metode CSC mengakibatkan peningkatan kristalinitas
kayu. Hal ini akan berpengaruh terhadap sifat-sifat kayu. Ada hubungan yang erat antara
kristalinitas dengan nilai MOR, MOE dan keteguhan tekan sejajar serat.
Secara makroskopis dapat diketahui bahwa vascular bundles, pori dan jaringan
parenkim dasar pada batang kelapa sawit yang dipadatkan memipih, serta terdapat celah
antara vascular bundles dan jaringan parenkim dasarnya. Jarak antar vascular bundles
akibat pemadatan juga cenderung lebih rapat.
DAFTAR PUSTAKA
Amin Y, Dwianto W dan Prianto AH. 2004. Sifat Mekanik Kayu Kompresi. Prosiding
Seminar Nasional Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) VII. Makasar. Hal :
90 95
Amin Y dan Dwianto W. 2006. Pengaruh Suhu dan Tekanan Uap terhadap Fiksasi Kayu
Kompressi dengan menggunakan Close System Compression. Jurnal Ilmu dan
Teknologi Kayu Tropis Vol 4 (2) : 55-60
Amin Y, Darmawan T, Wahyuni I dan Dwianto W. 2007. Pengaruh Perendaman NaOH
Terhadap Fiksasi Kayu Kompresi dengan Menggunakan Close System Compression.
Prosiding Seminar MAPEKI X di Pontianak, 9-11 Agustus 2007, p : 240-247.
Bakar ES, Rachman O, Hermawan D, Karlinasari L dan Rosdiana N. 1998. Pemanfaatan
Batang Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq) Sebagai Bahan Bangunan dan
Furniture (I) : Sifat Fisis, Kimia dan Keawetan Alami Kayu Kelapa Sawit. Jurnal
Teknologi Hasil Hutan Vol. XI (1) : 1-11
Bakar ES, Rachman O, Darmawan W, Hidayat I. 1999a. Pemanfaatan Batang Kelapa
Sawit (Elaeis guineensis Jacq) Sebagai Bahan Bangunan dan Furniture (II) : Sifat
Mekanis Kayu Kelapa Sawit. Jurnal Teknologi Hasil Hutan Vol. XII (1) : 10-20
Bakar ES, Massijaya Y, Tobing TL dan Mamur A. 1999b. Pemanfaatan Batang Kelapa
Sawit (Elaeis guineensis Jacq) Sebagai Bahan Bangunan dan Meubel (III) : Sifat
Keterawetan Kayu Sawit dengan Basilit-CFK dan Impralit-BI. . Jurnal Teknologi
Hasil Hutan Vol. XII (2) : 1320
Bakar ES, Rachman O, Massijaya Y dan Bahruni. 2000. Pemanfaatan Batang Kelapa Sawit
(Elaeis guineensis Jacq) Sebagai Bahan Bangunan dan Furniture. Laporan Penelitian
Hibah Bersaing VI Perguruan Tinggi. Jurusan Teknologi Hasil Hutan, Institut
Pertanian Bogor. Tidak Dipublikasikan.
Departemen Pertanian. 2010. Statistik Pertanian 2010.
Dwianto W, Norimoto M, Morooka T, Tanaka F, Inoue I, Liu Y. 1998. Radial Compression
of Sugi. Wood (Cryptomeria japonica D. Don). Holz als roh-und Werkstoff 56: 403-
411. Springer-Verlag.
87
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Hayashi K, Sugimori G, Yamashita K. 2002. Color Change of Wood during High Temperatur
Drying. In Dwianto et al. Proceeding of 4th International Wood Science Symposium.
September 2-5, 2002. Serpong. Indonesia. Pp: 72-73
Inoue M and Norimoto M. 1991. Permanent Fixation of Compressive Deformation in Wood
by Heat Treatment. Wood Research and Technical Notes 27: 3140.
Mitsui, K., Inagaki T and Tsuchikawa S. 2008. Monitoring of Hydroxyl Group in Wood during
Heat Treatment Using NIR Spectroscopy. Biomacromolecules,9: 286-288
Murhofiq, S. 2000. Pengaruh Pemadatan Arah Radial Disertai Suhu Tinggi terhadap Sifat
Fisis dan Mekanis Kayu Agathis (Agathis loranthifolia Salisb) dan Sengon
(Paraserianthes falcataria (l.) Nielsen). Jurusan Teknologi Hasil Hutan, Fakultas
Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Skripsi. Tidak Dipublikasikan.
Sulistyono. 2001. Studi Rekayasa Teknis, Sifat Fisis, Sifat Mekanis dan Keandalan
Konstruksi Kayu Agathis (Agathis loranthifolia Salibs) Terpadatkan. Program Studi
Ilmu Pengetahuan Kehutanan. Program Pascasarjana IPB. Thesis. Tidak
dipublikasikan.
Wardhani IY. 2005. Kajian Sifat Dasar dan Pemadatan Bagian Dalam Kayu Kelapa (Cocos
nucifera L). [Disertasi]. Bogor: Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
88
ANATOMI DAN SIFAT DASAR KAYU
Harry Praptoyo
Bagian Teknologi Hasil Hutan
Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada
ABSTRAK
Kayu meranti merah(Shorea spp) merupakan salah satu jenis pohon yang paling
banyak tumbuh di hutan alam di Kalimantan. Tinggi pohon meranti merah dapat mencapai 50
dengan diameter bisa mencapai 100 cm. Informasi mengenai variasi sifat makroskopis dan
mikroskopis kayu meranti merah, persentase rasio kayu gubal dan kayu teras, periode kayu
juvenil dan kayu dewasa meranti merah yang terbentuk pada klas diameter yang berbeda
pada umur yang sama, masih sangat terbatas.
Penelitian ini bertujuan untuk memberikan informasi tentang sifat makroskopis dan
mikroskopis kayu meranti pada umur 10 tahun yang memiliki diameter yang berbeda yaitu 7,
15 dan 20 cm. Melalui penelitian ini diharapkan juga dapat memberikan informasi tentang
periode juvenil yang terbentuk pada kayu meranti dengan klas diameter yang berbeda dan
juga persentase gubal-teras. Bahan penelitian kayu meranti diambil dari areal HPH PT. Sari
Bumi Kusuma yang berlokasi di wilayah propinsi Kalimantan Tengah.
Hasil penelitian menunjukkan secara makroskopis kayu meranti merah memiliki
karkateristik yang sama pada tiga diameter yang berbeda seperti lingkaran tahun tidak
terlihat, pembuluh tunggal sebagian ganda radial, parenkim paratrakeal jarang, jari-jari tidak
bertingkat, dan memiliki serat lurus. Hanya satu karakteristik yang berbeda yaitu saluran
damar, pada diameter 7cm, belum dijumpai adanya saluran damar, sementara untuk
diameter 15 dan 20 cm sudah ada saluran damar. Secara mikroskopis kayu meranti merah
menunjukkan karakteristik karakteristik sebagai berikut, panjang serat untuk 3 klas diameter
yang berbeda dari 7, 15 dan 20 cm berturut-turut adalah 1.02, 1.06 dan 1.04 mm, diameter
serat berturut-turut adalah 22.28, 20.08 dan 22.68 m, diameter pembuluh berturut-turut
adalah 149.50, 175.89 dan 175.22 m, sedangkan untuk tebal dinding sel berturut turut
adalah 2.25, 2.22, dan 1,82 m. Proporsi sel serabut untuk diameter 7, 15 dan 20 cm
berturut-turut adalah 61.95, 53.86 dan 63.86%, proporsi sel pembuluh adalah 11.30, 10.47
dan 8.34%, proporsi sel jari-jari adalah 14.09, 21.14 dan 12.16% dan proporsi sel parenkim
adalah 12.65, 13.57 dan 14.70%. Hasil lainnya adalah rasio persentase gubal-teras untuk 3
klas diameter yang berbeda dari 7, 15 dan 20 cm berturut-turut adalah 70/30, 76/24 dan
75/25. Sedangkan periode juvenil, dari grafik panjang serat menunjukkan bahwa ketiga klas
diameter dari kayu meranti ini semuanya masih merupakan kayu juvenil. Tekstur kayu
sedang-kasar dan rata.
PENDAHULUAN
Kayu meranti merah(Shorea spp) merupakan salah satu jenis pohon yang paling
banyak tumbuh di hutan alam di kalimantan. Tinggi pohon meranti merah dapat mencapai 50
dengan diameter bisa mencapai 100 cm. Sampai saat ini hutan meranti di Kalimantan
pengelolaannya diserahkan kepada BUMN kehutanan dan HPH swasta. Kegiatan
pengelolaan hutan alam meranti tersebut salah satu tujuan utamanya adalah untuk
melakukan eksploitasi atau pemungutan kayunya sebagai salah satu produk utama mereka.
Kegiatan penebangan hutan alam di kalimantan sebagaimana diatur oleh pemerintah
ditetapkan berdasarkan kelas diameter tertentu.
Untuk spesies meranti ditetapkan bahwa pohon yang boleh ditebang minimal harus
memiliki diameter diatas 50 cm. Sebagaimana diketahui bahwa pertumbuhan kayu (riap)
89
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
pohon berlangsung sangat cepat di awal-awal masa pertumbuhan atau pada waktu umur
pohon masih muda kemudian setelah mencapai umur tertentu atau diameter tertentu
kegiatan penambahan riap kayu akan mulai melambat. Berdasarkan karakteristik dari
pertumbuhan kayu tersebut maka diperlukan penelitian untuk mengetahui bagaimana sifat-
sifat kayu meranti pada berbagai kelas diameter.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ciri struktur dan anatomi kayu meranti
merah baik ciri struktur makroskopis maupun struktur mikroskopisnya. Selain itu penelitian
ini juga bertujuan untuk mengetahui sifat anatomi kayu meranti merah pada berbagai kelas
diameter yang berbeda.
METODE PENELITIAN
Prosedur Penelitian
1. Pembuatan preparat untuk pengamatan makroskopis
Membuat contoh uji yaitu potongan kayu dengan ukuran 2 cm x 6 cm x 10 cm.
2. Pembuatan preparat untuk dimensi serat kayu
Membuat contoh uji berbentuk stik berukuran 1 mm x 1 mm x 20 mm, dan disiapkan
tabung reaksi yang berisi campuran asam asetat glasial dan perhidrol dengan
perbandingan 1 : 20. Selanjutnya dilakukan proses maserasi sehingga diperoleh preparat
dimensi serat.
3. Pembuatan preparat untuk proporsi sel kayu
Preparat dibuat dengan terlebih dahulu menyiapkan contoh uji berupa potongan kayu
dengan ukuran 1 cm x 1 cm x 1 cm. Potongan kayu tersebut kemudian diiris dengan
mikrotom pada penampang melintang dan tangensialnya dengan ketebalan 10 - 20
mikron.
Pelaksanaan penelitian
Sifat anatomi kayu, meliputi makroskopis dan mikroskopis kayu.
Untuk sifat makroskopis dilakukan dengan melakukan pengamatan terhadap ciri-ciri struktur
kayu dengan menggunakan bantuan kaca pembesar perbesaran 12-15x.
Untuk sifat mikroskopis meliputi proporsi sel dan dimensi sel kayu.
Proporsi sel
Cara penentuan proporsi sel yang digunakan adalah berdasarkan perbandingan luas
tipe sel dengan sistem dot grid yang telah baku yaitu titik-titik dalam jarak yang sama dalam
luasan tertentu. Proporsi sel jari-jari pada penampang (x) dianggap tidak lengkap maka
dikoreksi melalui proporsinya pada penampang tangensialnya (t). Cara pengukuran proporsi
jari-jari pada penampang T juga sama dengan penentuan proporsi pada penampang X
90
ANATOMI DAN SIFAT DASAR KAYU
1. Dimensi serat
a. Panjang Serat, Panjang serat diukur dari preparat dimensi serat. Pengukuran panjang
serat dilakukan dengan menggunakan software program Image Pro Plus V 4.5. Serat
yang diukur adalah serat yang utuh, tidak putus atau patah.
b. Diameter serat, diameter lumen dan tebal dinding. Pengukuran diameter serat dan
diameter lumen dapat dilakukan secara langsung dengan menggunakan program
Image Pro Plus V 4.5. Foto anatomi kayu yang digunakan dengan perbesaran 100X.
2. Rasio Gubal dan Teras
Perhitungan rasio kayu gubal dengan kayu teras dilakukan dengan
membandingkan luas permukaan masing-masing kayu gubal dan kayu teras
dibandingkan dengan luas permukaan melintang batang yang terdapat dalam satu disk.
Perhitungannya sebagai berikut :
LPM LT LT
(%) Gubal x100% (%) Teras x100%
LPM LPM
Dimana
LT : Luas Kayu Teras
LPM : Luas penampang melintang disk
3. Periode Juvenil
Penentuan periode juvenil dilakukan dengan menggunakan salah satu sifat kayu
juvenil yang berupa panjang serat. Kayu juvenil umumnya memiliki ciri peningkatan
panjang serat yang sangat cepat (rapid increase) dari bagian pusat kayu ke bagian luar
menuju kayu dewasa. Sementara kayu dewasa umunya memiliki panjang serat yang
relatif konstan dalam arah radial Kayu. Atas dasar tersebut maka penentuan periode
juvenil dilakukan dengan melihat penambahan panjang serat secara progresif mulai dari
pusat kayu ke bagian kayu dekat kulit.
Pada penelitian ini dibuat sampel uji setiap 1 cm dari pusat kayu ke kulit.
Selanjutnya dari setiap sampel tersebut dibuatkan preparat maserasi untuk diukur
panjang seratnya. Dari hasil analisa grafik panjang serat dapat digunakan untuk
menentukan periode juvenil dari kayu meranti merah.
4. Tekstur
Tekstur kayu merupakan salah satu sifat kayu yang didasarkan pada ukuran sel
penyusun kayu dan kenampakan lingkaran tahun pada penampang melintang kayu.
Berdasarkan ukuran sel penyusunnya tekstur kayu diklasifikasikan menjadi kasar, sedang
dan halus, sedangkan berdasarkan kenampakan lingkaran tahun tekstur kayu
diklasifikasikan menjadi tekstur rata dan tidak rata (Panshin and de Zeeuw, 1980). Tekstur
kasar sampai halus dilihat berdasarkan ukuran diameter sel. Sel kayu yang sering
digunakan untuk menentukan tekstur kayu adalah sel serabut dan sel pembuluh. Kriteria
tekstur Kayu adalah sebagai berikut :
Ukuran diameter sel pembuluh (pori) :
Kasar : > 200 Lingkaran tahun :
Sedang : 100-200
Rata : Lingkaran tahun tidak terlihat
Halus : < 100
Tidak rata : Lingkaran tahun terlihat
91
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Kayu meranti merah lingkaran tahunnya pada penampang melintang tidak terlihat
jelas, hal ini karena tidak adanya perbedaan warna antara kayu awal dengan kayu akhir..
Penyebaran pembuluhnya tunggal dan ada sebagian ganda radial dan tidak ada isinya,
dengan sedikit variasi ukuran diameter sel pembuluh (pori) pada klas diameter yang
berbeda. Pada meranti klas diameter 7 cm, memiliki ukuran diameter pori paling kecil yaitu
149.50 , sedangkan untuk meranti klas diameter 15 cm dan 20 cm memiliki ukuran
diameter pori yang hamper sama yaitu berrkisar 175 .
Parenkimnya merupakan parenkim pita konsentrik dan paratrakeal jarang. Jari-jari
kayu memiliki dua macam ukuran dan tidak bertingkat. Pada penampang tangensial tidak
terlihat dua ukuran jari-jari dan tidak bertingkat, seratnya lurus serta tidak memiliki saluran
damar.
Berdasarkan hasil pengamatan diperoleh data sifat mikroskopis kayu meranti merah
disajikan di bawah ini :
92
ANATOMI DAN SIFAT DASAR KAYU
Kayu meranti merah memiliki panjang serat rata-rata 1.16 mm, diameter serat 21.67
mikron, diameter lumen 17.48 mikron dan tebal dinding sel 2.09 mikron, dimana serat
terpanjang didapat pada meranti merah diameter 15 cm, sedangkan serat terpendek pada
meranti diameter 7cm. Hal ini dikarenakan tempat tumbuh yang berbeda dan perlakuan
silvikultur yang berbeda. Sedangkan untuk proporsi selnya (Tabel 3) yaitu pembuluh rata-
ratanya 10.04 %, parenkim 13.63%, serabut 48.97 % dan jari-jari 10.90 %. Proporsi serabut
paling besar didapat pada meranti diameter 20cm, sedangkan yang terkecil terdapat pada
meranti diameter 15cm. Perbedaan ini disebabkan karena perbedaan riap tumbuh yang
cukup besar meskipun umurnya sama. Sebagaimana disampaikan oleh Biermann (1996)
bahwa proporsi serabut kayu daun lebar sangat dipengaruhi oleh kecepatan tumbuh.
Sementara Haygreen dan Bowyer (1996) menyatakan bahwa lebar riap tumbuh dipengaruhi
oleh beberapa hal diantaranya adalah laju pertumbuhan. Semakin cepat tumbuh, maka riap
tumbuhnya akan semakin lebar. Proporsi serabut juga berpengaruh pada kekuatan kayu
karena memiliki dinding sel kayu yang paling tebal. Data tersebut sesuai dengan pernyataan
Panshin dan De Zeeuw (1980) dan Prawirohatmodjo (1999) bahwa pembuluh kayu berkisar
6,5-55%. Sedangkan untuk parenkimnya lebih besar dari apa yang disebutkan yaitu 0-15%.
Namun nilai proporsi parenkim ini sesuai dengan pernyataan Biermann (1996) bahwa kayu
daun lebar memiliki proporsi parenkimnya 10-35%. Proporsi jari-jari telah sesuai bila
dibandingkan dengan pernyataan Haygreen dan Bowyer (1996), dan Tsoumis (1991) bahwa
proporsi sel parenkim jari-jari pada kayu daun adalah sebesar 5-30%.
Tabel 4. Rasio Gubal dan Teras Kayu meranti merah pada 3 klas diameter
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa proses pembentukan kayu teras pada
spesies meranti merah berjalan cukup lambat, karena sampai diameter 20 cm ternyata
luasan kayu teras tidak mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Bahkan bila melihat
dari tabel 5 diatas, terlihat justru kayu meranti dengan diameter kecil memiliki luas kayu teras
yang lebih besar besar dibandingkan dengan luas kayu teras meranti yang berdiameter lebih
besar. Hal ini bisa terjadi karena proses pembentukan kayu teras pada pohon meranti merah
lebih lambat dibandingkan dengan pertambahan riap diameter kayu setiap tahunnya,
sehingga mengakibatkan secara akumulatif luas gubal yang terbentuk akan semakin banyak
dibandingkan dengan penambahan luasan kayu teras.
Proses pembantukan kayu gubal sangat cepat dipengaruhi oleh beberapa faktor
diantaranya ketersediaan air dan unsur hara dalam tanah yang cukup melimpah akan sangat
membantu untuk proses pembentukan xylem sekunder yang baru sehingga akan menambah
luas kayu gubal. Sementara pembentukan kayu teras umumnya terpacu karena kekurangan
persediaan air dalam tanah sebagaimana disampaikan oleh Haygreen dan Bowyer (1996).
Oleh karena itu, dengan adanya unsur-unsur tersebut akan sangat menentukan berapa
93
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
besarnya rasio kayu gubal dan kayu teras dalam sebatang pohon. Hal ini juga didukung oleh
penelitian yang dilakukan Pandit (2000) yang menyatakan bahwa tersedianya air dalam
tanah yang cukup banyak akan menunda pembentukan kayu teras, sebagai contoh adalah
kayu ebony yang ditanam di kampus IPB Darmaga, Bogor walaupun telah berumur 25 tahun,
kayu terasnya belum terbentuk.
Periode Juvenil
Kayu juvenil merupakan kayu muda yang terbentuk di awal masa pertumbuhan
pohon. Dimana dalam proses pembentukan sel-selnya masih dipengaruhi oleh meristem
apikal, sehingga mengakibatkan sel-sel yang dibentuk oleh kayu juvenil memiliki cirri dan
karakteristik yang berbeda dengan kayu dewasa
.
Tabel 5. Periode juvenil kayu meranti merah pada 3 klas diameter
Pada kayu meranti merah yang berdiameter 7cm, terlihat pada rata-rata grafik panjang
seratnya menunjukkan trend peningkatan yang cukup progresif. Pada setiap jarak 1 cm dari
pusat kayu, seratnya mengalami peningkatan panjang yang sangat cepat (rapid incease)
dimana ciri seperti ini menunjukkan bahwa bagian kayu ini masih merupakan periode juvenil.
94
ANATOMI DAN SIFAT DASAR KAYU
Tekstur Kayu
Tekstur kayu ditentukan oleh ukuran diameter sel pembuluh. Pada meranti merah ini,
menunjukkan adanya perbedaan ukuran pori disebabkan oleh perbedaan klas diameter (lihat
tabel 1). Pada klas diameter 7 cm, rata-rata pori memiliki diameter 149, sedangkan meranti
merah berdiameter 15 dan 20cm, memiliki diameter pori berkisar 175. Hal ini berarti
meranti merah baik yang berdiameter yang kecil (7cm) maupun yang berdiameter agak
besar (15cm dan 20cm) kesemuanya memiliki tekstur sedang cenderung ke kasar.
Sedangkan berdasarkan kenampakan lingkaran tahunnya, meranti merah tergolong
bertekstur rata.
95
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan sifat anatomi dan sifat fisika kayu
meranti merah yang telah dilakukan dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Kayu meranti merah memiliki lingkaran tahun yang tidak jelas, bentuk parenkim
paratrakeal jarang, jari-jari hanya memiliki satu macam ukuran dan tidak bertingkat,
pembuluh tunggal, serat lurus dan memiliki saluran damar.
2. Proporsi sel kayu meranti merah pada 3 diameter menunjukkan bahwa proporsi sel
didominasi oleh sel serabut yang memiliki prosentase paling banyak (diatas 56 %), diikuti
sel Parenkim (15%), Jari-jari (15%) dan Pembuluh (11 %).
3. Meranti merah diameter 15 cm memiliki serat terpanjang 1.06mm, sedangkan serat
terpendek 1.02 mm pada meranti diameter 7cm.
4. Rasio gubal dan teras untuk ketiga meranti merah tersebut semuanya menunjukkan
memiliki persentase gubal yang lebih tinggi (diatas 70%) dibandingkan persentase kayu
teras yang kurang dari 30%.
5. Kayu dewasa pada ketiga meranti merah belum terbentuk, hal ini berdasarkan analisis
panjang serat yang masih menunjukkan gradient peningkatan yang cukup tinggi dan
belum ada tanda yang menunjukkan bahwa kayu dewasa mulai terbentuk.
6. Tekstur meranti merah baik yang berdiameter yang kecil (7cm) maupun yang berdiameter
agak besar (15cm dan 20cm) kesemuanya memiliki tekstur sedang cenderung ke kasar.
Sedangkan berdasarkan kenampakan lingkaran tahunnya, meranti merah tergolong
bertekstur rata.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 1957. Methods of Testing Small Clear Specimens of Timber. B.S. 373. British
Standard. United Kingdom.
Biermann, C.J. 1996. Handbook of Pulping and Papermaking. Academic Press. San Diego.
California.
Brown , H.P., A.J. Panshin dan C.C. Forsaith. 1952. Textbook of Wood Technology. Vol II.
The Bonding and Finishing of Wood. 185-208. New York. McGraw Hill Book
Company Inc.
Haygreen, J.G. dan J.L. Bowyer, 1996. Hasil Hutan dan Ilmu Kayu, suatu pengantar.
Terjemahan Sutjipto, A.H. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta
Martawijaya, A., Kartasujana, Y.I. Mandang, S.A. Prawira dan K. Kadir, 1989. Atlas Kayu
Indonesia Jilid II. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Departemen
Kehutanan Indonesia. Bogor.
Panshin, A.J., dan Carl de Zeeuw, 1980. Textbook of Wood Technology. Fourt Edition, Mc
Graw Hill Book Company. New York, USA.
Prawirohatmodjo, S., 1999. Struktur dan Sifat-Sifat Kayu (Anatomi Kayu, Anatomi Kayu
Daun, Anatomi Kayu Jarum). Jilid III. Bagian Penerbitan Yayasan Fakultas
Kehutanan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Prawirohatmodjo, S., 2001. Variabilitas Sifat-sifat Kayu. Bagian Penerbitan Yayasan
Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Sutapa, J.P.G. 2004. Penelitian Beberapa Sifat Fisika Kayu Meranti merah (Shorea leprosula
L.) dari Areal Agro-forestry Tradisional. Prosiding Seminar Nasional VII Mapeki.
Makassar.
Tsoumis, G. 1991. Science and Technology of Wood. Structure, Properties, Utilization. Van
Nostrand Reinhold. New York.
96
ANATOMI DAN SIFAT DASAR KAYU
ABSTRACT
Timbers are used as raw materials for various products such as buildings, heat
insulations, furnitures, sport equipments, etc. Information related to the properties of wood is
required for effective and efficient utilizationof wood. One of the important information is the
heat transfer in timber. The heat transfer has a high correlation with thermal conductivity. The
objective of this study is to determine the thermal conductivity on different moisture content
(MC).
This study employed a completely randomized design arranged in a factorial of two
factors included the wood species (teak (Tectona grandis), mahoni (Swietenia
machrophylla), acacia (Acacia auriculiformis) and sengon laut (Paraserianthes falcataria))
and wood MC (0; 10 and 30%) by three replications. The thermal conductivities of wood were
measured by a heat conduction apparatus.. The analysis of variance was performed on the
average value of three conditions. The average value of thermal conductivity was analyzed
by analysis of variance and it is significantly different, further tested by HSD test.
There were differences in the values of thermal conductivity in different MC. The
values of thermal conductivity for MC 0, 10 and 30% respectively are 0.105 W/mK; 0.126
W/mK, and 0.171 W/mK. The increase of MC influenced on the increase of thermal
conductivity of timber. The therrmal conductivities of wood were affected by the wood
species. Thethermal conductivities of teak, acacia, mahoni and sengon laut were 0.142
W/mK; 0.139 W/mK; 0.133 W/mK, and 0.123 W/mK, respectively.
PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara yang terletak di belahan khatulistiwa dengan iklim tropis
dan tanah yang subur. Keadaan alam ini membuat Indonesia kaya akan sumber daya
hutan, sehingga menarik bagi penduduknya untuk memanfaatkan sumberdaya hutan
tersebut menjadi salah satu aset berharga bagi pertumbuhan ekonominya.
Usaha pembangunan ekonomi yang ditempuh pemerintah sekarang ini pada
dasarnya adalah pemanfaatan sumber daya hutan secara optimal dan berkesinambungan.
Jenis kayu yang berpotensi di Indonesia diperkirakan ada 4000 jenis dan 276 jenis
diantaranya merupakan kayu perdagangan dan tergolong dalam 120 macam nama
perdagangan, selain itu kurang lebih 290 jenis kayu telah diketahui sifat-sifat, kekuatan,
keawetan dan berat jenis (BJ) nya (Kartasudjana dan Martawidjaja, 1975). Potensi yang
besar tersebut harus dimanfaatkan sebaik mungkin guna meningkatkan nilai tambahnya.
Kayu dimanfaatkan sebagai bahan baku berbagai macam produk seperti bangunan
(konstruksi), finir, isolator panas, mebel, lantai (parket), bantalan kereta api, alat olahraga,
alat musik, alat gambar, kerajinan, perkapalan, dan lain sebagainya (Anonim, 2002).
Pemanfaatan kayu pada berbagai penggunaan ini bersaing dengan bahan-bahan lain seperti
logam, plastik, semen, dan lain sebagainya.
Sehingga diperlukan informasi-informasi terkait sifat-sifat kayu agar pemanfaatannya
dapat seefektif dan seefisien mungkin. Salah satu informasi yang penting adalah informasi
perpindahan panas di dalam kayu. Proses perpindahan panas di dalam kayu, akan sangat
berhubungan dengan nilai konduktivitas panas (k). Konduktivitas panas merupakan sifat
97
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
bahan dan menunjukkan jumlah panas yang mengalir melintasi satu satuan luas jika gradient
suhunya satu (Kreith, 1986). Konduktivitas panas dipengaruhi oleh berat jenis dan kadar air
kayu. Berat jenis bervariasi pada jenis kayu yang berbeda yang tentunya akan berpengaruh
terhadap nilai konduktivitas panas (Pery,1974). Contoh kayu cottonwood black dengan BJ
0,35 memiliki nilai k 0,09 W/mK sedangkan kayu hickory dengan BJ 0,78 W/mK memiliki nilai
k yang lebih besar, yaitu 0,17 W/mK. Konduktivitas panas dipengaruhi oleh perbedaan berat
jenis kayu, terkait fraksi volume dari dinding sel. Semakin besar volume dinding sel maka
akan semakin besar nilai k. Konduktivitas panas juga dipengaruhi oleh kadar air (KA) kayu
dengan semakin besar KA maka semakin besar pula nilai k. Contohnya ada pada kayu Fir
Balsam, nilai k pada kondisi KA 0% adalah 0,09 W/mK sedangkan pada kondisi KA 12% nilai
k nya adalah 0,11 W/mK.
Berat jenis dan KA kayu perlu diketahui untuk membantu memperkirakan nilai k
suatu kayu. Nilai k akan memudahkan kita dalam mengetahui penggunaan atau proses
selama pengolahannya sehingga kayu tersebut dapat dimanfaatkan secara efektif dan
efisien. Contoh proses pengolahan yang memanfaatkan pentingnya informasi k adalah
proses pengeringan kayu. Informasi nilai k akan membantu untuk menentukan perambatan
panas dalam kayu dan besar energi yang diperlukan serta waktu yang dipergunakan untuk
melakukan proses pengeringan.
Jenis kayu yang digunakan dalam penelitian ini adalah kayu jati, akasia, mahoni dan
sengon laut. Dasar penggunaan jenis kayu ini karena kayu tersebut merupakan kayu yang
komersial dan banyak digunakan oleh masyarakat. Penelitian ini dikondisikan pada KA 0, 10
dan 30% untuk melihat pengaruh dari masing-masing kondisi tersebut. Kadar air 0%
menggambarkan bagaimana pengaruhnya terhadap k ketika di dalam kayu tidak memiliki
kandungan air sama sekali. Kadar air 10% menggambarkan kondisi kayu saat kering udara
dan KA 30 % menggambarkan saat kayu dalam kondisi TJS (titik jenuh serat).
Bahan penelitian yang digunakan adalah kayu jati (Tectona grandis), mahoni
(Swietenia macrophylla), akasia (Acacia auriculiformis) dan Kayu Sengon Laut
(Paraserianthes falcataria) yang diperoleh dari Kecamatan Timang, Kabupaten Gunungkidul,
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Masing masing jenis kayu diambil sampel dalam
bentuk silinder dengan ukuran panjang 30 mm dan diameter 13 mm. Dimensi panjang
sampel dibuat searah dengan arah radial kayu. Ketigapuluh enam sampel tersebut dibawa
ke Laboratorium Sifat Dasar Kayu, Bagian Teknologi Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan UGM
untuk pengukuran Berat Jenis (BJ) kayu dan penentuan Kadar Air (KA) kering tanur 0%,
kering angin 10% dan basah 30% berdasarkan British Standard Methods tahun 1957dengan
modifikasi. Penentuan KA untuk sampel uji 10% dan 30% dilakukan setelah diperoleh KA
0%. Sampel uji KA 10% kemudian diangin-anginkan dan ditimbang secara periodik hingga
menghasilkan KA 10%. Sampel KA 30% setelah diperoleh KA 0% kemudian dicelupkan
dalam air dan kemudian ditimbang secara periodik untuk menghasilkan KA 30%. Sampel
yang telah dikondisikan kadar airnya kemudian dibungkus alumunium foil dan dimasukkan
ke dalam kotak yang berisi silika yang difungsikan sebagai portable desikator.
Pengukuran nilai k (konduktivitas panas) dilakukan dengan menggunakan heat
conduction apparatus di Laboratorium Perpindahan Panas dan Massa, Pusat Antar
Universitas, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta berdasarkan metode ASTM C 177
dengan modifikasi. Sampel diletakan dengan posisi horizontal pada apparatus dengan arah
perambatan panas sejajar arah radial kayu. Daya pemanas awal diatur pada nilai 4 watt.
Perubahan suhu pada posisi T1 T9 dicatat setiap 5 menit sampai dicapai suhu konstan. T1
adalah suhu heater (bagian pangkal), T2 adalah suhu heater (bagian tengah), T3 adalah
suhu heater (bagian ujung), T4 adalah suhu sisi panas kayu, T5 adalah suhu bagian tengah
kayu, T6 adalah suhu sisi dingin kayu, T7 adalah suhu cooler (bagian pangkal), T8 adalah
suhu cooler (bagian tengah), dan T9 adalah suhu cooler (bagian ujung).Nilai k dihitung
dengan persamaan berikut.
98
ANATOMI DAN SIFAT DASAR KAYU
Keterangan:
Q = kuantitas panas (4 watt)
A = luas penampang (diameter 13 mm)
dx = panjang sampel (30 mm)
dt = gradient suhu T4-T6.
99
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Hasil pengukuran k beberapa jenis kayu dapat dilihat di Tabel 3 yang menunjukkan
adanya perbedaan nilai k beberapa jenis kayu dalam KA yang berbeda. Nilai k untuk KA 0,
10 dan 30% secara berurutan adalah 0,105; 0,126 dan 0,171 W/mK. Nilai k terbesar dimiliki
kayu dalam kondisi KA 30% dan k terkecil adalah saat kayu dalam kondisi KA 0%. Nilai k
sangat dipengaruhi oleh KA kayu. Hal ini karena air mempunyai sifat konduktor, yang
mampu merambatkan panas dengan baik. Semakin banyak air di dinding sel akan
mempermudah perambatan panas di dalam kayu. Menurut Siau (1995), konduktivitas panas
kayu akan meningkat dengan KA meningkat, terutama bila dihitung berdasarkan fraksi
volume dari dinding sel. Penelitian Siau (1993) juga menunjukan bahwa nilai k dari air adalah
0,59 W/mK. Nilai k air jauh lebih tinggi dari nilai k kayu yang berasal dari bahan yang
strukturnya berongga sehingga semakin banyak kandungan air di dalam kayu akan semakin
besar nilai k kayu. Selain itu, dalam skema ultrastruktur kayu dapat kita lihat bagaimana
kemungkinan pengaruh banyak sedikitnya keberadaan air di dalam dinding sel. Kedua
daerah di dinding sel, yakni daerah kristalin dan daerah amorf memilki pengaruh yang
berbeda terhadap perambatan panas dan nilai k. Daerah kristalin diduga kelompok OH pada
molekul-molekul selulosa yang berdekatan saling mengikat atau terjadi ikatan silang.
Karenanya, tidak ada tempat untuk menahan air dalam kristalin. Akan tetapi, untuk daerah
amorf, kelompok hidroksil terbuka untuk adsorpsi air sehingga pada bagian inilah air akan
berada dan berpengaruh terhadap konduktivitas panas kayu. Hal tersebut karena semakin
banyak KA kayu maka akan semakin banyak pula air yang terkandung di dalam daerah
amorf tersebut. Air ini akan membantu menghantarkan panas dan mengurangi radiasi panas
ketika panas melewati daerah-daerah amorf yang susunannya tidak beraturan.
Nilai k juga dipengaruhi oleh jenis kayu. Hasil pengukuran yang disajikan pada tabel
3 menunjukkan nilai k untuk kayu jati, akasia, mahoni dan sengon laut secara berurutan
100
ANATOMI DAN SIFAT DASAR KAYU
adalah 0,142 W/mK; 0,139 W/mK; 0,133 W/mK; dan 0,123 W/mK. Pengaruh jenis kayu
terhadap k salah satunya berasal dari nilai BJ kayunya. Hasil penelitian ini menunjukan
semakin besar BJ kayu maka akan semakin besar pula nilai k. Terbukti dengan kayu jati
yang memiliki BJ terbesar diantara kayu lainnya menghasilkan nilai k yang tertinggi pula.
Begitu juga dengan kayu sengon laut dengan BJ terkecil juga menghasilkan nilai k yang
terkecil pula. Menurut Dinwoodie (2000), konduktivitas panas sangat dipengaruhi oleh
kerapatan kayu yaitu dengan substansi fraksi volume dari dinding sel, dan berbagai
hubungan empiris dan linear antara konduktivitas dan kerapatan kayu.
Informasi nilai k sangat bermanfaat dalam penggunaan dan proses pengolahan
kayu. Nilai k yang besar menunjukkan bahwa kayu tersebut memiliki sifat konduktor yang
baik, sebaliknya nilai k yang kecil menunjukan bahwa kayu tersebut memiliki sifat konduktor
yang buruk atau isolator yang baik. Kayu jati dengan nilai k tertinggi merupakan bahan
konduktor terbaik dari ketiga jenis kayu lainnya. Kayu sengon laut dengan nilai k terendah
merupakan bahan isolator terbaik dari ketiga jenis kayu lainnya.
KESIMPULAN
Penilitian ini menunjukan tidak ada interaksi antara kadar air kayu dengan berat jenis
kayu terhadap nilai konduktivitas panas. Perbedaan kadar air kayu berpengaruh terhadap
nilai konduktivitas panas kayu. Semakin besar kadar air kayu akan semakin besar nilai
konduktivitas panas kayu. Perbedaan berat jenis kayu berpengaruh terhadap nilai
konduktivitas panas kayu. Semakin besar berat jenis kayu akan semakin besar nilai
konduktivitas panas kayu. Nilai konduktivitas panas kayu dari yang terbesar hingga terkecil
secara berurutan adalah jati, akasia, mahoni, dan sengon laut, yakni: 0,142; 0,139; 0,133
dan 0,123 W/mK. Nilai k kayu dengan kadar air 0, 10 dan 30% secara berurutan adalah
0,105; 0,126 dan 0,171 W/mK.
DAFTAR PUSTAKA
Bowyer, J.L., J. G. Haygreen dan R. Shmulsky. 2003. Forest Product and Wood Science, 4th
ed. Iowa State Press.Iowa.
Dinwoodie, JM. 2000. Timber Its Nature and Behaviour. University of Wales. Newyork,
Eckert, E.R.G and Drake, Robert, M.JR. 1972. Analysis of Heat and Mass Transfer, McGraw
Hill Kogakusha, Ltd. Japan.
Haygreen, JG dan Bowyer, JL. 1993. Hasil Hutan dan Ilmu Kayu Suatu Pengantar Gadjah
Mada University Press. Yogyakarta.
Holman, J.P. 1989. Heat Transfer, McGraw Hill Book Company, Singapure.
Kreith, F., 1973. Priciple of Heat Transfer, Harperdan Row Publishers, New York.
Marsoem, S.N. 2007. Kuliah Fisika dan Mekanika Kayu. Bahan Kuliah Mahasiswa Jurusan
Teknologi Hasil Hutan Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Porter III, JR. 2008. Thermal Conductivity Measurements of Three Common Metals Using
LabVIEW for Data Acquisition.
Pratt, G.H. 1974. Timber Drying Manual, Princes Risborough Laboratory, London.
Simpson, WT. 1999. Drying and Control of Moisture Content and Dimensional Changes.
Forest Products Laboratory.
Smith, TJ. 2000. Thermal Conductivity of Electrical Conductive Elastomers.Laird
Technologies.
Siau, JF. 1995. Wood:Influence of Moisture on physical properties. Departement of Wood
Science and Forest Products Virginia Tech.
Stamn, A.J. 1959. Bound Water Diffusion into Wood in the Fiber Direction, Forest
Product J No. 9 hal 27.
101
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Nurwati Hadjib
Pusat Litbang Keteknikan Hutan dan Pengolahan Hasil Hutan, Bogor
Jl. Gunung Batu No 5, Bogor
E-mail : nurwati_hadjib@yahoo.com
ABSTRACT
Mahogany (Swietenia macrophylla King) is one of the fast-growing species which are
recommended for timber estate. Research on physical and mechanical properties of wood
mahogany from 19, 22, 29, 33 and 37 years originated from Southern Cianjur, West Java.
indicates that the physical and mechanical properties of the wood tends to increase from age
19 to 29 and 32 years, then there was no increase physical and mechanical properties since
the age of 32 years. Mahogany wood density values observed ranged from 0.507 to 0.583
g/cm3 with an average of 0.55 g/cm3, while the tangential shrinkage from green to airdry
ranged from 1.951 to 2.534% with an average of 2.187%. The average of modulus of
elasticity ranged from 68657.82 to 74732.59 kg/cm2, the lowest is from wood with 19 years
and the highest at the age of 37 years. According to density and mechanical properties
mahoganys wood tested were grouped in strength class III.
ABSTRAK
Mahoni (Swietenia macrophylla King) merupakan salah satu tanaman cepat tumbuh
yang dianjurkan untuk hutan tanaman industri. Penelitian sifat fisis dan mekanis kayu mahoni
dari tegakan berumur 19, 22, 29, 33 dan 37 tahun yang tumbuh di daerah Cianjur Selatan,
Jawa Barat. menunjukkan bahwa sifat fisis dan mekanis kayu tersebut cenderung meningkat
dari umur 19 sampai 29 dan 32 tahun, tetapi kemudian tidak terjadi peningkatan sifat fisis
dan mekanis sejak umur 32 tahun. Nilai kerapatan kayu mahoni yang diteliti berkisar antara
0,507-0,583 g/cm3 dengan rata-rata 0,55 g/cm3, sedangkan penyusutan tangensial dari
keadaan basah sampai kering udara berkisar antara 1,951-2,534% dengan rata-rata
2,187%. Rata-rata modulus elastisitas berkisar antara 68657,82 - 74732,59 kg/cm2 terendah
pada pada kayu umur 19 tahun dan tertinggi pada umur 37 tahun. Kayu mahoni yang diteliti
tergolong kelas kuat III.
PENDAHULUAN
Kayu merupakan produk biologi yang serba guna dan telah lama dikenal
dan dimanfaatkan orang, baik untuk alat rumah tangga, senjata maupun sebagai bahan
bangunan. Sampai saat ini orang masih banyak yang menggunakan kayu sebagai bahan
bangunan karena selain harganya yang relatif murah dibanding bahan bangunan yang lain,
maka kayupun mempunyai beberapa keunggulan antara lain yaitu mudah untuk dikerjakan
sehingga tidak memerlukan keahlian khusus dalam pengerjaannya, penampilannya yang
dekoratif, bila terjadi kebakaran maka kayu memberikan kesempatan lebih lama
dibandingkan bahan bangunan lainnya kepada penghuni bangunan tersebut untuk
102
ANATOMI DAN SIFAT DASAR KAYU
menyelamatkan diri dan yang lebih penting kayu merupakan bahan yang bisa diperbaharui
(renewable).
Permintaan bahan baku kayu untuk memasok kebutuhan industri kayu di Indonesia
terus mengalami peningkatan, sedangkan kemampuan hutan untuk menghasilkan bahan
baku kayu yang dibutuhkan terus menurun. Pemerintah Indonesia telah melakukan berbagai
upaya untuk mengatasi kekurangan pasokan tersebut, di antaranya adlah pembangunan
hutan tanaman dengan jenis kayu cepat tumbuh. Salah satu jenis pohon cepat tumbuh yang
sudah berkembang dan dimanfaatkan orang secara luas adalah mahoni. Ada beberapa jenis
mahoni seperti mahoni daun lebar (Swietenia macrophylla King.) dan mahoni daun kecil
(Swietenia mahogany). Namun yang lebih banyak ditanam dan dimanfaatkan adalah mahoni
daun lebar. Tanaman ini banyak dijumpai sebagai tanaman peneduh di pinggir jalan raya, di
taman dan di halaman rumah. Perum Perhutani bahkan telah mengembangkannya sebagai
kelas perusahaan tersendiri. Hutan rakyat di Jawa Barat dan Jawa Tengah telah pula
mengembangkan jenis ini dan hasilnya cukup membuat para petani bertambah minatnya
untuk lebih mengembangkannya.
Kayu dari Hutan Tanaman Industri (HTI) dikelompokkan menjadi tiga tujuan
penggunaan yaitu kayu pertukangan, kayu serat dan kayu energi. Namun demikian, kesan
dominan yang muncul saat ini tentang HTI adalah seolah-olah identik dengan pulp dan
kertas (kayu serat). Hal ini dapat dipahami mengingat pembangunan HTI yang telah berhasil
memberikan kontribusi terhadap industri adalah HTI kayu serat sebagai bahan baku pulp-
kertas. Sedangkan HTI kayu pertukangan belum sepopuler HTI kayu serat. Padahal menurut
Karnasudirdja dan Kadir (1989), dari 20 kelompok jenis kayu yang direkomendasikan untuk
HTI, hampir seluruhnya termasuk kelompok kayu pertukangan. Adapun kayu energi relatif
terbatas penggunaaannya.
Keberhasilan pembangunan HTI tidak terlepas dari tujuan pengelolaan serta
pemanfaatannya, yaitu HTI untuk kayu pertukangan, HTI kayu serat dan HTI kayu energi,
dimana masing-masing peruntukan tersebut menghendaki persyaratan berbeda. Untuk kayu
petukangan menghendaki kayu dengan dekoratif bagus, mudah dalam pengerjaan, kekuatan
dan stabilitas tinggi, serta tahan terhadap perusak kayu (Anonim, 1992). Kualitas kayu HTI
dipengaruhi oleh jenis kayu, umur pohon, lokasi tempat tumbuh serta perlakuan
silvikulturnya.
Hutan tanaman industri (HTI) yang telah dibangun di Indonesia sejak 20 tahun yang
lalu terutama diperuntukkan bagi pemenuhan kebutuhan bahan baku industri pulp, akan
tetapi dengan pemilihan jenis dan pengelolaan yang tepat, produksi kayunya di samping
untuk pemenuhan industri pulp juga dapat memenuhi keperluan bahan baku industri kayu
pertukangan (Anonim, 1992).
Pemanfaatan kayu HTI untuk tujuan industri kayu pertukangan harus memenuhi
persyaratan kualitas kayu sesuai peruntukannya. Meskipun konsep kualitas kayu mungkin
sukar untuk diterangkan secara tepat, namun beberapa faktor mempengaruhi kecocokan
kayu untuk berbagai tujuan. Beberapa variabel yang mempengaruhi kecocokan kayu untuk
tujuan tertentu adalah kerapatan dan variasi kerapatan, lingkaran tumbuh (lebar, variasi dan
jumlahnya), serat (panjang dan kelurusannya), mata kayu (ukuran, tipe dan sebarannya),
proporsi kayu teras, persen pembuluh, kayu juvenil serta kayu reaksi (Haygreen and Bowyer,
1982; Punches, 2004).
Sifat fisis dan mekanis kayu merupakan salah satu parameter untuk menentukan
kayu sebagau kayu pertukangan. Tulisan ini akan membahas sifat fisis dan mekanis kayu
mahoni dari umur 19, 22, 29, 33 dan 37 tahun, untuk mengetahui kualitas kayu untuk
keperluan pertukangan.
103
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
METODOLOGI
Lokasi Penelitian
Kayu mahoni untuk bahan penelitian diambil dari areal hutan Perum Perhutani Unit III
Jawa Barat, BKPH Tanggeung, Cianjur Selatan. Penelitian dan pengujian karakteristik sifat
fisis dan mekani kayu dilakukan di Laboratorium Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan
Pengolahan Hasil Hutan Bogor.
Prosedur Kerja
Sifat fisis
Nilai rata-rata kadar air, berat jenis berdasar berat dan volume basah, berat kering
tanur per volume basah, berat kering udara per volume kering udara (kerapatan), berat dan
volume kering tanur serta kayu mahoni dari 5 umur disajikan pada Tabel 1.
Berat jenis
Penyusutan,% Kadar air,%
Umur, th berdasar
R T Bo/Vb Bu/Vu Basah Kering udara
19 2,857 4,713 0,491 0,575 77,729 12,155
22 2,670 4,504 0,434 0,507 86,597 11,882
29 3,478 5,002 0,498 0,583 77,608 12,230
33 3,336 5,176 0,474 0,554 68,987 12,056
37 2,665 4,546 0,458 0,530 77,474 12,685
104
ANATOMI DAN SIFAT DASAR KAYU
Nilai kerapatan kayu mahoni yang diteliti berkisar antara 0,51-0,58 g/cm3 dengan
rata-rata 0,55 g/cm3, berat jenis nominal basah berkisar antara 0,434-0,498 dengan rata-
rata 0,47. Sedangkan penyusutan tangensial dari keadaan basah sampai kering udara
berkisar antara 1,95-2,53% dengan rata-rata 2,187%. Berdasarkan klasifikasi beratnya,
kayu yang diteliti tergolong medium dengan rasio penyusutan tangensial terhadap radial
antara 1.62 2.08. Hal ini menunjukkan bahwa kayu mahoni tergolong mempunyai
penyusutan yang ringan-sedang, relative stabil, sehingga dpat dikeringkan dengan suhu
tinggi tanpa cacat yang berarti (Basri, 2004)
Penyusutan kayu mahoni meningkat dari umur 19 sampai umur 33 tahun, dan
kemudian menurun lagi (Tabel 1 dan Gambar 1). Sifat penyusutan arah tangensial mahoni
dari kelompok umur 19 tahun hingga 29 tahun tidak berbeda nyata, tetapi hanya dari
kelompok umur 33 terhadap 37 tahun, hal ini disebabkan karena salah satu faktor yang
mempengaruhi penyusutan kayu adalah kandungan zat ekstraktif kayu yang bertindak
bersifat sebagai bulking agent (Brown et al, 1952). Menurut Bramhall and Wellwood
(1976), selain BJ struktur anatomi kayu mempengaruhi proses pengeluaran air dari dalam
kayu. Faktor anatomi yang berperan dalam proses pengeluaran air dari dalam kayu
diantaranya adalah sel/jaringan pembuluh, dinding serat, parenkim, dan jari-jari (Panshin
dan de Zeuw 1969). Kadar zat ekstraktif yang ditunjukkan dengan kelarutannya pada air
dingin, air panas dan dalam alcohol benzene pada kayu mahoni meningkat dengan
pertambahan umur pohon (Rachman et al., 2009). Demikian pula hasil penelitian Mandang
dan Sudardji (2001), menunjukkan ukuran diameter pembuluh kayu mahoni cukup besar
dengan frekuensi per mm2 cukup tinggi, tidak dijumpai tilosis, lebar jari-jari hanya satu
macam, dan memiliki parenkim bentuk pita marginal berjarak teratur. Disamping itu,
menurut Siagian (2004), komponen zat ekstraktif yang dimiliki kayu mahoni cukup tinggi
(>4%) dan bersifat bulking agent. Faktor-faktor tersebut memungkinkan kayu mahoni
mudah dikeringkan tanpa mengalami cacat, meskipun menggunakan suhu tinggi
Sifat Mekanis
Nilai rata-rata hasil pengujian sifat mekanis kayu mahoni pada 5 tingkat umur
disajikan pada Tabel 2. Pada Tabel 2 dan Gambar 2 terlihat bahwa pada umumnya sifat
mekanis dipengaruhi oleh umur pohon. Nilai rata-rata modulus elastisitas yang berkisar
antara 68657,82 74732,59 kg/cm2 terendah pada kayu umur 19 tahun dan tertinggi pada
umur 37 tahun.
105
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Tabel 2 . Nilai rata-rata sifat mekanis kayu mahoni yang diteliti (kering udara)
Ket. Geser
Umur, Ket.
Ket. Lentur Statis (kg/cm2) (kg/cm2) Kekerasan (kg/cm2)
th Tekan //
MPL MOE MOR (kg/cm2) R T Ujung Sisi R Sisi T
Dari Tabel 2 di atas dan dibandingkan dengan klasifikasi kekuatan kayu Indonesia
(Oey, 1964), maka baik kayu dari pohon umur 19, 22, 29, 33 maupun kayu umur 37 tahun,
semua tergolong kayu kelas kuat III. Kayu dari kelompok kelas kuat ini baik untuk digunakan
sebagai kayu konstruksi ringan, mebel maupun kerajinan (Haygreen et al., 1982).
Dari Gambar 2 terlihat bahwa sifat mekanis kayu mahoni meningkat dengan
bertambahnya umur pohonnya. Hasil analisis sidik ragam perbedaan umur terhadap sifat
mekanis kayu mahoni yang diteliti (Lampiran 1) menunjukkan bahwa sifat mekanis terutama
MOE tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Sedangkan MOR dan keteguhan tekan
sejajar seratnya berbeda nyta. Dari hasil perbandingan nilai tengahnya ternyata pada nilai
MOR yang berbeda nyata hanya kayu dari umur 22 dengan kayu berumur 29 tahun,
106
ANATOMI DAN SIFAT DASAR KAYU
keteguhan tekan sejajar dari kayu umur 29 terhadap kayu umur 37 tahun. Berdasarkan
kenyataan di atas dapat dikatakan bahwa kekuatan kayu dari umur 19, 22, 29, 33 dan 37
tahun tidak berbeda nyata.
Berdasarkan kenyataan di atas, walaupun secara statistik kekuatan kayu dari umur
19 sampai 37 tahun berbeda nyata, tetapi kelimanya masih tergolong kelas kuat III. Oleh
sebab itu sifat kekuatan kayu mahoni dari kelas umur V, VI, VII adalah sama.
KESIMPULAN
1. Nilai kerapatan kayu mahoni yang diteliti berkisar antara 0,507-0,583 g/cm3 dengan rata-
rata 0,55 g/cm3, sedangkan penyusutan tangensial dari keadaan basah sampai kering
udara berkisar antara 1,951-2,534% dengan rata-rata 2,187%..Kerapatan kayu mahoni
dari umur 19, 22, 29, 33 dan 39 relatif sama. Sedangkan penyusutan tertinggi terjadi
pada umur 29-33 tahun, kemudian menurun.
2. Keteguhan tekan sejajar serat dan keteguhan lentur maksimum (MOR) kayu mahoni dari
umur 29 dan 37 tahun berbeda nyata. Rata-rata modulus elastisitas berkisar antara
68657,82 - 74732,59 kg/cm2 terendah pada pada kayu umur 19 tahun dan tertinggi pada
umur 37 tahun. Walaupun ada perbedaan, tetapi kayu mahoni yang diteliti tergolong
kelas kuat III
DAFTAR PUSTAKA
107
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui struktur anatomi kayu kenanga (Cananga
odorata (Lamk.) Hook.) secara makroskopis dan mikroskopis, yaitu dimensi sel penyusun
kayu kenanga pada arah radial dan longitudinal batang. Pengamatan dan pengukuran
struktur makroskopis meliputi lingkaran tumbuh, warna kayu, tekstur, arah serat, kekerasan,
kesan raba, bau, sedangkan pengamatan mikroskopis meliputi tinggi pori, diameter pori,
jumlah pori, tinggi jari-jari, lebar jari-jari, jumlah sel jari-jari, dimensi serat, meliputi panjang
serat, diameter serat, diameter lumen, tebal dinding serat, dan persentase sel penyusun
kayu meliputi persentase pori, persentase sel jari-jari, persentase parenkim aksial,
persentase serabut.
Dari hasil penelitian diketahui bahwa lingkaran tumbuh kayu kenanga terlihat tidak
begitu jelas warna kayu secara keseluruhan coklat cerah dan tidak terlihat jelas batas antara
kayu gubal dan teras, tekstur kasar dan tidak rata, arah serat lurus, kekerasan sedang,
kesan raba agak kasar, bau tidak spesifik. Kayu kenanga memiliki bentuk pori bundar hingga
oval kebanyakan soliter dan gabungan radial 2-4, porositas tata baur, bidang perporasi
sederhana, tipe parenkim aksial bentuk tangga dan tipe noktah berseling. Tinggi sel pori
tergolong dalam klasifikasi sedang (544,45 m), diameter besar (184,84 m), jumlah pori
sangat jarang (2,26 buah/mm2). Tipe jari-jari multiseriet dan heterogen, tinggi tergolong
pendek (1,52 m), lebar tergolong lebar (113,24m), jumlah jari-jari sedikit (2,66 buah/mm).
Persentase sel kayu kenanga meliputi persentase pori 7,71%, sel jari-jari 19,83%, sel
parenkim aksial 3,52%, dan serat 69% dengan diameter serat sangat besar (42,62 m),
demikian pula diameter lumen sangat besar (32,60 m) dan tebal dinding tipis (5,46 m).
Dimensi, jumlah, dan persentase sel pada arah longitudinal nilai tertinggi didominasi
pada bagian pangkal dan terendah pada bagian ujung, sedangkan pada arah radial nilai
tertinggi sel didominasi pada bagian tengah antara empulur dan kulit.
Kata kunci : kayu kenanga, sifat makroskopis, sifat mikroskopis, dimensi serat
PENDAHULUAN
Kayu dimanfaatkan manusia sejak dulu untuk berbagai keperluan dalam menunjang
kehidupannya. Saat ini dengan perkembangan teknologi yang diiringi laju pertambahan
penduduk, menyebabkan kebutuhan akan kayu, baik sebagai bahah baku industri maupun
sebagai bahan bangunan semakin meningkat. Dilain pihak luas areal hutan penghasil kayu
komersil semakin menyusut sehingga efisiensi pemanfaatan kayu perlu dilakukan melalui
diversifikasi produk olahan atau pemanfaatan seluruh bagian pohon secara maksimal dan
peningkatan upaya pemakaian kayu dari jenis-jenis yang kurang dikenal yang jumlahnya di
Indonesia masih cukup banyak.
Jenis kayu di Indonesia sebagian besar terdiri dari jenis kayu daun lebar (hardwoods)
yang tumbuh tersebar di seluruh kepulauan Indonesia. Dari ribuan jenis kayu tersebut baru
beberapa jenis saja yang sudah dikenal dan bernilai komersial, sementara usaha
pemanfaatan kayu tersebut masih terbentur pada kurangnya data-data yang lengkap,
padahal ketersediaan data mengenai jenis-jenis kayu ini dapat membuka peluang yang lebih
baik bagi prospek pemanfaatan kayu tersebut.
108
ANATOMI DAN SIFAT DASAR KAYU
Pengetahuan mengenai struktur kayu merupakan hal yang penting dalam kaitannya
dengan penggunaan suatu jenis kayu secara lebih luas. Dari pengamatan struktur anatomi
kayu akan diperoleh gambaran makroskopis dan mikroskopis sel-sel penyusunan kayu
sehingga dapat digunakan untuk mengidentifikasi suatu jenis kayu dan secara tidak
langsung turut menentukan penggunaan kayu tersebut.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui struktur anatomi kayu Kenanga
(Cananga odorata (Lamk.) Hook.) melalui pengamatan makroskopis dan mikroskopis kayu,
dan juga untuk mengetahui dimensi, jumlah dan persentase sel kayu kenanga berdasarkan
arah radial dan longitudinal batang pohon.
Hasil penelitian ini diharapkan sebagai informasi dan referensi anatomi kayu untuk
penelitian selanjutnya tentang kayu Kenanga (Cananga odorata (Lamk.) Hook.).
METODE PENELITIAN
Prosedur Penelitian
Pengambilan sampel
Sampel yang digunakan adalah bagian berasal dari batang yakni pangkal, tengah,
ujung, lalu dipotong dalam bentuk lempengan setebal 3 cm, setiap lempengan diambil
sampel berbentuk kubus 2x2x2cm sebanyak 6 bagian dengan kode D1, D2, D3, untuk
digunakan sebagai sampel pengamatan struktur anatomi kayu.
H2
A D3 D2 D1 D D1 D2D3
Sampel untuk
H1
Empulur i
109
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
110
ANATOMI DAN SIFAT DASAR KAYU
terhadap arah lurus sel-sel aksial dari lapisan kayu disebelah luar dan sebelah dalam.
lapisan kayu diikatan berserat lurus jika pembuluh dan sel-sel aksial lainnya membentang
searah dengan sumbu batang. Kayu dikatakan berserat melintang jika arah bentangan
pembuluh membentuk sudut terhadap sumbu batang pohon (Mandang dan Pandit, 1997).
e. Kilap
Tanpa melakukan penyayatan, kilap permukaan kayu dari ketiga bidangnya diamati
apakah permukaannya bersifat memantulkan cahaya atau tidak. Jika bersifat
memantulkan cahaya maka dikatakan kayu tersebut mengkilap (Mandang dan Pandit,
1997).
f. Kesan raba
Untuk mengetahui nilai kesan raba dilakukan menggosok-gosokkan jari ke
permukaan kayu. Kesan raba dapat dinilai licin atau kesat dari ketiga permukaannya.
g. Bau
Dengan indera penciuman mengenal bau yang ditimbulkan oleh kayu yang diamati
pohon yang baru ditebang masih segar. Kemudian dibandingkan dengan bau yang sudah
diketahui contoh bau keasam-asaman (ulin) dan bau jati termasuk kayu yang mempunyai
bau seperti bau bahan penyamak, bau harum pada kayu gaharu, bau damar seperti pada
sebagian kayu meranti.
h. Kekerasan
Dengan cara menyayat sampel kayu pada arah tegak lurus serat, atau dengan
menekan kayu dengan kuku dan mengiris kayu dengan arah melintang dan menilai kesan
perlawanan oleh kayu itu pada saat pemotongan. Kekerasan dinilai sangat lunak, lunak,
agak lunak, agak keras, keras dan sangat keras.
Pengamatan mikroskopis
Pengamatan mikroskopis dilakukan pada preparat hasil dan hasil maserasi yang meliputi :
a. Pori : Tinggi pori , diameter pori, jumlah pori per mm2
b. Jari-jari : Tinggi jari- jari, lebar jari-jari, jumlah jari-jari per mm
c. Parenkim Aksial : Tipe, persentase parenkim
d. Serat : Panjang serat, diameter serat, diamter lumen, tebal
dinding serat
e. Persentase Sel Kayu : Persentase sel pori, Persentase sel jari, Persentase
sel parenkim aksial, Persentase sel serat.
Pori (pembuluh)
Pengukuran tinggi pori dilakukan pada mikroskop Olmypus BH-2 dengan
menggunakan mikrometer yang dipasang pada lensa mata mikroskop dengan pembesaran
100 kali sebelum melakukan pengukuran, mikrometer ditempatkan pada lensa okuler terlebih
dahulu dengan membandingkan mikrometer pada objek gelas berukuran 1mm (1000 mikron
yang terbagi dalam 100 garis). Nilai konservasi yang ditentukan sebesar 14,92 m. Tinggi
pori diukur pada sel pori hasil dari maserasi, pengukuran jumlah pori dilakukan pada bidang
transversal kayu dengan menggunakan kertas persegi empat sesuai dengan ukuran yang
telah dikonversikan di mikroskop layar (1x1mm). Dari kertas tersebut, jumlah pori dihitung
dimana jika terdapat pori yang tidak utuh terlihat pada skala tersebut, maka dihitung
setengah dan dihitung satu jika kelihatan utuh.
111
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
dikonversikan di mikroskop layar (1X1 mm.) kemudian jumlah jari-jari dihitung dengan
ketentuan hanya jari-jari yang terdapat pada garis tengah saja yang dihitung jumlahya.
d w
l
L
Gambar 2. Penampang Serat yang Diukur
Keterangan :
L : Panjang Serat w : Tebal Dinding Serat
d : Diameter Serat l : Diameter Lumen Serat
Pengolahan Data
Data hasil pengamatan ditabulasikan dan diklasifikasikan menurut beberapa standar
yang biasa digunakan. Ditampilkan juga grafik menunjukan data dimensi, jumlah dan
persentase sel kayu menurut arah radial dan longitudinal.
112
ANATOMI DAN SIFAT DASAR KAYU
Tabel 11. Makroskopis dan Ciri-ciri Kayu Lainnya Pada Kayu Kenanga
(Cananga odorata (Lamk.) Hook.).
b
a
d
e c
Lingkaran tumbuh
Hasil pengamatan dari permukaan lempengan kayu arah longitudinal batang (bidang
transversal) dengan menggunakan lup dan stereoscopic microsocope, lingkaran tumbuh
pada bagian pangkal, tengah, dan ujung dari empulur ke kambium mempunyai lingkaran
tumbuh yang berbeda di setiap tahunnya, baik itu lingkaran tumbuh terputus, lingkaran
tumbuh normal, dan lingkaran tumbuh semu. Pada kayu kenanga kemungkinan hanya
terdapat lingkaran tumbuh normal, hal ini terlihat pada lingkaran tumbuh yang terdapat pada
bagian pangkal, tengah, dan ujung yang menunjukkan ciri perubahan yang mendadak pada
ukuran dan dinding sel kayu akhir. Hal tersebut dipertegas oleh Haygreen dan Bowyer
(1989), lingkaran tumbuh normal mempunyai ciri perubahan yang mendadak pada ukuran
dan dinding sel kayu akhir yang dibentuk pada musim tumbuh sebelumnya dengan kayu
awal pada musim tumbuh berikutnya. Pada dekat bagian empulur ke kambium terlihat jelas
kayu awal dan kayu akhir begitu pula pada bagian penampang kayu dari tengah dan ujung,
hal ini seperti dinyatakan oleh Haygreen dan Bowyer (1989), kayu akhir mempunyai
kerapatan lebih tinggi, karena tersusun atas sel-sel yang memiliki diameter radial yang relatif
kecil, dinding yang tebal dan rongga sel yang kecil, jaringan inilah yang membentuk bagian
yang gelap pada lingkaran tumbuh.
Volume lignkaran tumbuh dari empulur ke kambium tiap tahunnya semakin jauh atau
tidak sama, pada bagian lingkaran tumbuh tahun pertama, kedua, dan ketiga lingkaran
113
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
tumbuh sangat rapat mencirikan pertumbuhan kayu sangat lambat hal ini diduga pada tahun-
tahun tersebut terjadi kemarau atau kurangnya makan di daerah tempat tumbuhnya. Pada
lingkaran tumbuh tahun ketiga dan keempat pertumbuhan mulai cepat dengan volume
lingkaran yang lebar. Tetapi pada lingkaran tumbuh tahun keempat, kelima, keenam dan
ketujuh lingkaran tumbuh kembali mengalami pertumbuhan yang lambat dan pada lingkaran
tumbuh ketujuh, kedelapan, dan kesembilan lingkaran tumbuh terlihat sangat rapat seperti
pada lingkaran tumbuh kesatu, kedua, dan ketiga, tapi masih dalam keadaan lingkaran
tumbuh normal. Selanjutnya pada lingkaran tumbuh kesembilan ke lingkaran kesepuluh kayu
mulai normal dengan pertumbuhan yang cepat dengan volume yang besar pada jarak
lingkaran tumbuhnya. Setelah memasuki lingkaran tumbuh kesepuluh menuju ke arah
kamium yaitu lingkaran tumbuh kesebelas dan kedua belas lingkaran tumbuh terlihat dengan
volume yang cukup lebar. Selanjutnya pada lingkaran tumbuh kedua belas dan seterusnya
sampai ke lingkaran tumbuh kedua puluh mendekati kambum, lingkaran tumuh berselang
seling antara volume rapat dan melebar, seperti pada lingkaran tumbuh kedua belas dan tiga
belas rapat, tiga belas dan empat belas melebar, empat belas ke lima belas kembali rapat,
lima belas keenam belas melebar, enam belas ketujuh belas rapat, delapan belas dan
sembilan belas kembali melebar, dan pada saat mendekati kambium yaitu lingkaran tumbuh
yang ke sebilan belas ke dua puluh kebali rapat. Tapi disetiap lingkaran tumbuh yang rapat
maupun yang melebar, tidak sama dalam setiap lingkaran tumbuh mulai dari lngkaran
tumbuh yang kesatu sampai lingkaran tumbuh yang kedua puluh mendekati kambium
lingkaran tumbuh semakin melebar. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 4.
Tekstur
Tekstur kayu kenanga tergolong kasar dan tidak rata, karena sel-selnya berukuran
relatif besar dan mempunyai pembuluh yang berkelompok atau berganda radial 2-4 yang
tersebar tidak merata. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 5.
Hal ini dipertegas dari penggolongan dari Mandang dan Pandit (1997), bahwa tekstur
dikatakan kasar jika sel-selnya berukuran relatif besar, tidak rata jika halus ditempat-tempat
tertentu dan kasar ditempat lain pada permukaan yang sama. Hal ini disebabkan oleh
pembuluh yang berkelompok atau berganda radial 4 sel atau lebih.
Arah Serat
Serat kayu kenanga terlihat berserat lurus dari pengamatan bidang tangensial dan
radial kayu. Pada bidang radial dan bidang tangensial tidak ditemukan serat yang
menyimpang. Dikatakan berserat lurus sesuai dengan apa yang dijelaskan oleh Mandang
dan Pandit (1997), bahwa kayu dikatakan berserat lurus jika pembuluh dan sel-sel aksial
lainya membentang searah dengan sumbu batang.
Kekerasan
Kayu kenanga termasuk kayu yang memiliki kekerasan lunak. Dari pengujian yang
dilakukan dengan cara menyayat sampel kayu pada arah tegak lurus serat dan dengan
menekan kayu dengan kuku dan mengiris kayu dengan arah melintang sesuai dengan
petunjuk yang dikemukakan oleh Mandang dan Pandit (1997). Kayu kenanga memiliki
114
ANATOMI DAN SIFAT DASAR KAYU
kerapatan 0,33 g/cm yang termasuk kelas sedang, hal ini sesuai dengan penggolongan
jenis kayu dari Dumanauw (1990).
Kesan Raba
Kesan raba kayu kenanga agak kasar, karena saat meraba memberikan kayu
berkesan agak kasar. Dari tekstur kayu kenanga tergolong kasar dan tidak rata menunjukan
adanya kesesuaiannya dengan kesan raba kayu tergolong kasar sebagai mana yang
dijelaskan Dumanauw (1990), kesan raba yang berbeda-beda itu untuk tiap-tiap jenis kayu
tergantung dari tekstur kayu, besar kecilnya air yang dikandung dan kadar zat ekstraktif
dalam kayu.
Kilap
Kayu kenanga tampak cerah dan terkesan agak mengkilap. Sifat mengkilap
permukaan kayu dijelaskan oleh Mandang dan Pandit (1997), bahwa suatu jenis kayu
dikatakan mengkilap jika permukaannya bersifat memantulkan cahaya, ada jenis kayu yang
kusam, ada yang mengkilap dan ada pula yang agak sangat mengkilap dan ada pula yang
sangat mengkilap tanpa dipolitur, jenis-jenis kayu yang tergolong sangat mengkilap. Kayu
sangat mengkilap contoh , gerunggang, palapi dan bintangur.
Mikroskopis Kayu
Ciri sel anatomi kayu
Berdasarkan dari hasil pengamatan pada bidang longitudinal dan radial secara umum
kayu kenanga mempunyai bentuk pori bulat pada bagian tertentu hingga oval, susunan pori
pada kayu umumnya memiliki susuna pori tata lingkar, tata baur, dan semi tata lingkar, tetapi
pada kayu kenanga memiliki susunan pori tata baur dan pengelompokan pori-nya
kebanyakan soliter di bagian tertentu dan gabungan antara 2-4 radial atau ganda radial,
sebagaimana pada Gambar 8. Bidang perforasi kayu kenanga sederhana dan noktah antar
pembuluh berseling (alternate) seperti pada Gambar 11. Berdasarkan klasifikasi menurut
standar IAWA (The council on International Association Of Wood Anatomist) (Anonim, 1989),
rataan diameter pori 184,84 m termasuk dalam kategori Besar, rataan tinggi pori seperti
terlihat pada Gambar 12 berukuran 544,45 m termasuk dalam kategori sedang. Rataan
jumlah pori 2,26 buah/mm2 dan termasuk dalam kategori sangat jarang.
Seperti umumnya kayu daun lebar mempunyai tipe jari-jari berseri banyak
(multiseriet) demikian pula pada tipe jari-jari kayu kenanga memiliki tipe jari-jari multiseriet
saja (Gambar 10), yang selnya terdapat sel baring dan sel tegak yang terlihat jelas pada
bidang radial, dengan susunan jari-jari heterogen sperti terlihat pada Gambar 9.
Berdasarkan klasifikasi Den Berger (1989), rataan tinggi jari-jari sebesar 1,52 mm termasuk
dalam kategori Pendek. Sedangkan klasifikasi menurut standar Anonim (1989), diperoleh
rataan lebar jari-jari 113,24 m dan termasuk dalam kelas Lebar. dan rataan jumlah jari-jari
2,66 buah/mm dan termasuk dalam kategorisedikit.
Parenkim aksial pada kayu kenanga mempunyai susunan parenkim aksial
apotrakeal, karena parenkim pada kayu kenanga tidak berhubungan langsung dengan
pembuluh (pori), dan bentuk parenkim aksial kayu kenanga adalah berbentuk tangga.
Sel serabut pada kayu kenanga seperti pada sel serabut pada umumnya kedua
ujungnya meruncing seperti disajikan pada Gambar 12. Berdasarkan klasifikasi menurut
standar IAWA (Anonim, 1989), rataan panjang serat sebesar 1267,80 m termasuk
sedang. Sedangkan klasifikasi menurut standar Wagenfuehr (1984) rataan diameter serat
sebesar 42,62 m dan termasuk dalam kategori sangat besar, rataan diameter lumen serat
115
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
sebesar 32,60 m dan termasuk dalam kategori sangat besar, dan rataan tebal dinding
serat sebesar 5,46 m dan termasuk dalam kategori tipis.
Gambar 8. Sel Pori dan Serat hasil Gambar 9. Noktah dan bidang perforasi pada
maserasi bidang tangensial Kayu Kenanga
Tabel 12. Hasil Pengukuran Rataan Tinggi Sel Pori, Diameter Sel Pori dan Jumlah Sel Pori
Berdasarkan Arah Longitudinal pada Batang.
116
ANATOMI DAN SIFAT DASAR KAYU
Hasil pengamatan mikroskopis kayu kenanga dari arah longitudinal batang kayu, bisa
dilihat ukuran dan jumlah yang bervariasi pada sel pori dari pangkal, tengah, dan ujung. yang
meliputi diameter, tinggi, dan jumlah.
Diameter pori memiliki ukuran diamter yang terbesar adalah pada bagian tengah
dengan ukuran 193,78 m dan terendah pada bagian ujung dengan ukuran 173,75 m.
Rataan diameter pori berdasarkan arah longitudinal batang adalah sebesar 184,84.
Tinggi pori, ukuran yang terbesar pada bagian tengah dengan ukuran 573,92 m dan
terendah pada bagian ujung dengan ukuran 522,69 m. Rataan tinggi pori berdasarkan arah
longitudinal batang adalah sebesar 544,45 m.
Jumlah sel pori dan jari-jari kayu kenanga pada arah longitudinal batang kayu,
jumlah sel pori memiliki jumlah yang terbesar pada bagian ujung dengan nilai 2,35 buah/mm
dan terendah pada bagian tengah 2,12 buah/mm. Rataan jumlah pori berdasarkan arah
longitudinal batang adalah sebesar 2,26 buah/mm2.
Secara lengkap diagram tinggi, diameter dan jumlah sel pori berdasarkan arah radial batang
dapat dilihat pada berikut:
Gambar 9. Diameter Sel Pori, Tinggi Sel Pori, dan Jumlah Sel Pori
Berdasarkan Gambar 9 diatas tinggi sel pori bagian tengah memiliki nilai yang tinggi
di bandingkan dengan bagian pangkal dan ujung, sedangkan pada diameter sel pori, bagian
tengah juga memiliki nilai yang tinggi di bandingkan pada bagian pangkal dan ujung, dan
sebaliknya jumlah sel pori yang memiliki nilai tertinggi terdapat pada bagian ujung
dibandingkan pada bagian pangkal dan tengah.
117
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Tabel 13. Hasil Pengukuran Rataan Tinggi Sel Jari-jari, Lebar Sel Jari-jari dan Jumlah Sel
Jari-jari Berdasarkan Arah Longitudinal Batang.
Lebar jari-jari yang terbesar adalah pada bagian pangkal 134,32 m dan terendah
pada bagian ujung 2,85 m, sedangkan pada bagian tengah rataan lebar jari-jari sebesar
113,24 m.
Jumlah jari-jari pada arah longitudinal batang kayu mempunyai jumlah terbesar pada
bagian ujung 2,85 buah/mm dan terendah pada bagian tengah dengan jumlah 2,41
buah/mm. Rataan jumlah jari-jari berdasarkan arah longitudinal batang adalah sebesar 2,66
buah/mm.
Secara lengkap gambar tinggi sel jari-jari, lebar jari-jari. dan jumlah jari-jari
berdasarkan arah longitudinal batang. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 10.
Gambar 10. Tinggi Sel Jari-jari, Lebar Sel Jari-jari, Jumlah Jari-jari.
Berdasarkan Gambar 10 di atas tinggi sel jari-jari pangkal memiliki nilai lebih tinggi
dibandingkan tengah dan ujung, demikian pula lebar sel jari-jari juga dari pangkal memiliki
nilai lebih tinggi dibandingkan tengah dan ujung, dan pada jumlah sel jari-jari ujung memiliki
nilai lebih tinggi dibandingkan pangkal dan tengah.
Persentase sel
Nilai rataan pengukuran persentase sel penyusun kayu pada bagian pangkal,
tengah dan ujung pada kayu kenanga yang tercantum pada Tabel 14.
118
ANATOMI DAN SIFAT DASAR KAYU
Tabel 14. Hasil Pengukuran Rataan Persentase Sel Penyusun Kayu Berdasarkan Arah
Longitudinal Pada Batang.
Parenkim
Arah Sel pori Sel jari Serabut
aksial
Longitudinal % % %
%
Pangkal 6,61 20,72 3,52 69,14
Tengah 8,02 18,83 3,62 69,41
Ujung 8,49 19,95 3,43 68,11
Total 23,12 59,50 10,57 206,66
Rataan 7,71 19,83 3,52 68,89
SD 0,98 0,95 0,10 0,69
KK (%) 12,70 4,79 2,70 1,00
Tabel di atas menyajikan nilai rataan Persentase sel penyusun kayu yaitu sel pori, sel
jari-jari, sel parenkim, dan sel serabut.
Persentase sel pori berdasarkan arah longitudinal batang nilai persentase terbesar
pada bagian ujung dengan nilai persentase 8,49 % dan terendah pada bagian pangkal
dengan nilai persentase 6,61 % . Rataan persentase sel pori berdasarkan arah longitudinal
batang sebesar 7,71%.
Persentase sel jari-jari berdasarkan arah longitudinal batang persentase terbesar
pada bagian pangkal dengan nilai persentase 20,72 % dan terendah pada bagian tengah
dengan nilai persentase 18,83 %. Rataan persentase sel jari-jari berdasarkan arah
longitudinal batang sebesar 19,83%.
Persentase sel parenkim aksial berdasarkan arah longitudinal batang terbesar pada
bagian tengah dengan nilai persentase 3,62 % dan terendah pada bagian ujung 3,43 %.
Sedangkan Rataan nilai persentase sel parenkim aksial berdasarkan arah longitudinal
batang sebesar 3,52%.
Persentase sel serabut serat berdasarkan arah longitudinal batang persentase
terbesar pada bagian tengah dengan nilai persentase 69,41 % dan terendah pada bagian
ujung dengan nilai persentase 68,11 %. Rataan nilai persentase sel serabut berdasarkan
arah longitudinal batang sebesar 68,89%.
Secara lengkap diagram persentase sel pori, sel jari-jari, sel parenkim, dan persentase sel
serabut berdasarkan arah longitudinal batang dapat dilihat pada Gambar 11.
119
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Gambar 11. Persentase Sel Pori, Persentase Sel Jari-Jari, Persentase Sel Parenkim,
Persentase Sel Serabut
Berdasarkan Gambar 11 persentase sel pori ujung memiliki nilai lebih tinggi
dibandingkan tengah dan pangkal, tetapi pada persentase sel jari-jari pangkal memiliki nilai
lebih tinggi dibandingkan ujung dan tengah, sedangkan pada persentase sel parenkim aksial
tengah memiliki nilai lebih tinggi dibandingkan pangkal dan ujung. dan demikian pula pada
persentase sel serabut tengah memiliki nilai lebih tinggi dibandingkan pangkal dan ujung.
Dimensi serat
Pengukuran dimensi serat pada bagian pangkal, tengah dan ujung tercantum pada Tabel
15.
Tabel 15. Hasil Pengukuran Rataan Panjang Serat, Diameter Serat, Diameter Lumen, Dan
Tebal Dinding Serat Berdasarkan Arah Longidutinal Batang
Pada Tabel 15 terlihat bahwa panjang serat tertinggi adalah bagian pangkal sebesar
1333,47 m dan terendah adalah bagian ujung 1220,99 m. Dengan nilai rataan panjang
120
ANATOMI DAN SIFAT DASAR KAYU
serat sebesar 1267,80 m. Diameter serat terbesar pada bagian bagian pangkal 44.77 m
dan terendah pada bagian ujung dengan ukuran 38,23 m. Dengan rataan diameter serat
sebesar 42,62 m. Diameter lumen terbesar terdapat pada bagian tengah yaitu sebesar
35,22 m dan terendah pada bagian ujung 27,47m dengan nilai rataan sebesar 32,60 m.
Tebal dinding serat kayu kenanga terbesar terdapat pada bagian pangkal 5,83 m dan
terendah pada bagian tengah 5,11 m dengan nilai rataan tebal dinding serat berdasarkan
arah longitudinal sebesar 5,46 m
Secara lengkap diagram panjang serat, diameter serat, diameter lumen, dan tebal
dinding serat berdasarkan arah longitudinal batang. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada
Gambar 12.
Gambar 12. Panjang Serat, Diameter Serat, Diameter Lumen dan Dinding Serat
121
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Tabel 16. Hasil Pengukuran Rataan Tinggi, Diameter dan Jumlah Sel Pori
Berdasarkan Arah Radial pada Batang.
Arah radial Diameter Pori (m) Tinggi Pori (m) Jumlah Pori (Buah/mm2)
D1 165,16 506,90 3,62
D2 179,77 527,04 1,70
D3 109,22 576,28 1,57
Total 454,15 1610,22 6,89
Rataan 151,38 536,74 2,30
SD 37,24 35,69 1,15
KK (%) 24,60 6,65 49,98
Pada Tabel 16 terlihat bahwa diameter sel pori berdasarkan arah radial tertinggi
pada diameter bagian D2 antara empulur kekambium dengan ukuran 179,77 Pm dan ukuran
terendah pada bagian D3 dekat kambium dengan ukuran 109,22 Pm. Rataan diameter pori
berdasarkan arah radial batang sebesar 151,38 Pm.
Tinggi pori berdasarkan arah radial yaitu ukuran pori yang tertinggi pada bagian D3
dekat kambium dengan ukuran 576,28 m dan ukuran terendah pada bagian D1 dekat
empulur dengan ukuran 506,90 m. Rataan tinggi pori berdasarkan arah radial batang
sebesar 536,74 m.
Jumlah sel pori berdasarkan arah radial yaitu nilai jumlah pori tertinggi terdapat pada
bagian D1 dekat empulur dengan nilai 3,62 buah/mm2 dan nilai terendah terdapat pada
bagian D3 dekat kambium dengan ukuran 1,57 buah/mm2. Rataan jumlah pori berdasarkan
arah radial batang sebesar 2,30 buah/mm2.
Secara lengkap gambar tinggi sel pori, diameter sel pori dan jumlah sel pori
berdasarkan arah radial batang. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 13.
Pada Gambar 13 di atas tinggi sel pori D3 yang (paling dekat kambium) memiliki nilai
lebih tinggi dibandingkan D2 (antara empulur dan kambium) dan D1 (mendekati empulur),
Sedangkan pada diameter sel pori D2 (antara empulur dan kambium) memiliki nilai lebih
122
ANATOMI DAN SIFAT DASAR KAYU
tinggi dibandingkan D1 yang (mendekati empulur) dan D3 (paling dekat kambium), dan pada
Jumlah sel pori D1 yang (mendekati empulur) memiliki nilai lebih tinggi dibandingkan D2
(antara empulur dan kambium) dan D3 (paling dekat kambium).
Tabel 17. Hasil Pengukuran Tinggi sel jari-jari, Lebar sel jari-jari dan Jumlah sel Jari-jari
Berdasarkan Arah Radial Pada Batang.
Jumlah jari-jari berdasarkan arah radial dengan nilai tertinggi terdapat pada bagian
D3 dekat kambium sebesar 2,80 buah/mm dan nilai terendah terdapat pada bagian D2
antara empulur kekambium dengan nilai 2,65 buah/mm. Rataan jumlah jari-jari berdasarkan
arah radial batang sebesar 2,72 buah/mm.
Secara lengkap gambar tinggi, lebar, dan jumlah sel jari-jari berdasarkan arah radial
batang Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 14.
Gambar 14. Tinggi Sel Jari-jari, Lebar Sel Jari-jari, Jumlah Sel Jari-jari
Berdasarkan Arah Radial Batang
123
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Berdasarkan Gambar 14 di atas tinggi sel jari-jari D2 (antara empulur dan kambium)
memiliki nilai lebih tinggi dibandingkan D1 yang (mendekati empulur) dan D3 (paling dekat
kambium), demikian pula pada lebar sel jari-jari D2 (antara empulur dan kambium) memiliki
nilai lebih tinggi dibandingkan D1 yang (mendekati empulur) dan D3 (paling dekat kambium),
dan pada jumlah sel jari-jari D3 (paling dekat kambium) memiliki nilai lebih tinggi
dibandingkan D1 yang (mendekati empulur) dan D2 (antara empulur dan kambium).
Persentase sel.
Persentase sel penyusun kayu berdasarkan arah radial dapat dilihat pada Tabel 18 di
bawah ini.
Arah radial Sel pori (%) Sel jari (%) Parenkim aksial Serabut
(%) (%)
D1 8,82 38,55 3,86 68,03
D2 6,11 20,55 2,95 70,38
D3 4,90 22,35 3,72 69,02
Total 19,83 81,45 1053 207,43
Rataan 6,61 27,15 3,51 69,14
SD 2,01 9,91 0,49 1,18
KK (%) 30,37 36,51 13,96 1,71
Pada Tabel 18 terlihat bahwa persentase sel pori berdasarkan arah radial tertinggi
terdapat pada bagian D1 dekat empulur dengan nilai persentase 8,82% dan dan terendah
terdapat pada bagian D3 dekat kambium ddengan nilai persentase 4,90%. Rataan
persentase sel pori berdasarkan arah radial batang sebesar 6,61%.
Persentase sel jari-jari berdasarkan arah radial tertinggi terdapat pada bagian D1
dekat empulur dengan nilai persentase 38,55% dan terendah pada bagian D2 antara
empulura kekambium dengan nilai persentase 20,55%. Rataan persentase sel jari
berdasarkan arah radial batang sebesar 27,15%.
Persentase sel parenkim aksial berdasarkan arah radial tertinggi terdapat pada
bagian D1 dekat empulur dengan nilai persentase 3,86% dan terendah terdapat pada bagian
D2 antara empulur kekambium dengan nilai persentase 2,95%. Rataan persentase sel
parenkim aksial berdasarkan arah radial batang sebesar 3,51%.
Persentase sel serabut berdasarkan arah radial, persentase sel yang tertinggi
terdapat pada bagian D2 antara empulur kekambium dengan nilai persentase 70,38% dan
yang terendah terdapat pada bagian D1 dekat empulur dengan nilai persentase 68,03%.
Rataan nilai persentase sel serabut berdasarkan arah radial batang sebesar 69,14%.
Secara lengkap gambar persentase sel pori, persentase sel jari-jari, persentase sel
parenkim, dan persentase sel serabut berdasarkan arah radial batang Untuk lebih jelasnya
dapat dilihat pada Gambar 15.
124
ANATOMI DAN SIFAT DASAR KAYU
Dimensi serat.
Dimensi serat berdasarkan arah radial batang dapat dilihat pada Tabel 19. Hasil
pengamatan mikroskopis kayu kenanga dari arah radial batang kayu yaitu dari empulur ke
arah kulit bisa dilihat dimensi serat yang bervariasi pada dimensi serat panjang, diameter,
Lumen, dan tebal dinding yang meliputi panjang serat, diameter serat, diameter serat, dan
tebal dinding.
Panjang serat berdasarkan arah radial yaitu ukuran panjang serat tertinggi terdapat
pada bagian D3 dekat kambium dengan ukuran 1485,28 m dan ukuran terendah terdapat
pada bagian D1 dekat empulur dengan ukuran 1183,90 m. Rataan panjang serat
berdasarkan arah radial batang sebesar 1333,47 m.
125
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Tabel 19. Hasil Pengukuran Rataan Panjang Serat, Diameter Serat, Diameter Lumen Dan
Tebal Dinding Serat berdasarkan Arah Radial Batang.
Diameter serat berdasarkan arah radial yaitu ukuran diameter serat tertinggi terdapat
pada bagian D3 dekat kambium dengan ukuran 49,62 m dan ukuran terendah terdapat
pada bagian D1 dekat empulur dengan ukuran 44,08 m. Rataan diameter serat
berdasarkan arah radial batang sebesar 46,77 m.
Diameter lumen berdasarkan arah radial yaitu ukuran tertinggi pada diameter lumen
terdapat pada bagian D3 dekat kambium dengan ukuran 36,03 m dan ukuran terendah
terdapat pada bagian D1 dekat empulur dengan ukuran 34,55 m. Rataan diameter lumen
serat berdasarkan arah radial batang sebesar 35,10 m.
Tebal dinding serat berdasarkan arah radial yaitu ukuran diameter lumen tertinggi
terdapat pada bagian D3 dekat kambium dengan ukuran 6,75 m dan ukuran terendah
terdapat pada bagian D1 dekat empulur dengan ukuran 4,76 m. Rataan tebal dinding serat
berdasarkan arah radial batang sebesar 5,83 m
Secara lengkap gambar panjang serat, diameter serat, diameter lumen, dan tebal
dinding serat berdasarkan arah radial batang. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada
Gambar 16. Berdasarkan Gambar 16 panjang serat D3 (dekat kambium) memiliki nilai lebih
tinggi dibandingkan D2 (antara empulur dan kambium) dan D1 yang (mendekati empulur),
demikian pula pada diameter serat D3 (paling dekat kambium) memiliki nilai lebih tinggi
dibandingkan D2 (antara empulur dan kambium) dan D1 yang (mendekati empulur). dan
pada diameter lumen D3 (paling dekat kambium) memiliki nilai lebih tinggi dibandingkan D2
(antara empulur dan kambium) dan D1 yang (mendekati empulur). demikian pula pada tebal
dinding serat D3 (paling dekat kambium) memiliki nilai lebih tinggi dibandingkan D2 (antara
empulur dan kambium) dan D1 yang (mendekati empulur).
126
ANATOMI DAN SIFAT DASAR KAYU
Gambar 16. Panjang Serat, Diameter Serat, Diameter Lumen dan Tebal Dinding Serat
Berdasarkan Arah Radial Batang
Tabel 20. Hasil Rekapitulasi Pengamatan Mikroskopis Kayu Kenanga (Cananga odorata
(Lamk.) Hook.) Berdasarkan Standar IAWA (Wheeler et al., 1989)
127
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Kesimpulan
Berdasarkan hasil pengamatan makroskopis dan mikroskopis kayu kenanga
(Cananga odorata (Lamk.) Hook.) dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. lingkaran tumbuh kayu kenanga terlihat tidak begitu jelas dan memiliki jarak yang
bervariasi dari setiap tahunnya, warna coklat cerah dan tidak terlihat jelas antara gubal
dan teras, tekstur kayu kenanga tergolong kasar dan tidak rata, karena sel-selnya
berukuran relatif besar dan mempunyai pembuluh yang berkelompok atau berganda
radial 2-4 yang tersebar tidak merata, serat kayu kenanga terlihat berserat lurus dari
pengamatan bidang tangensial dan radial kayu. Pada bidang radial dan bidang
tangensial tidak ditemukan serat yang menyimpang, kekerasan kayu kenanga termasuk
kayu yang tergolong memiliki kekerasan lunak, kesan raba kayu kenanga agak kasar,
bau pada kayu kenanga tidak spesifik, kilap pada kayu kenanga agak mengkilap,
demikian pula dengan kesan rabanya agak kasar, bau tidak spesifik.
2. Sel pori kayu kenanga berbentuk bulat hingga oval dengan pengelompokan pori
kebanyakan soliter dan ganda radial 2-4 dengan porositas tata baur. Tipe jari-jari
multiseriate dan mempunyai susunan jari-jari heterogen. Parenkim aksial mempunyai
susunan parenkim aksial apotrakeal dengan berbentuk tangga. Sel serabut pendek
dengan diameter sangat besar ke arah aksial dan kedua ujungnya meruncing dengan
diameter lumen sangat besar dan tebal dinding tipis.
3. Dari arah longitudinal batang tinggi dan diameter pori nilai tertinggi pada bagian tengah
kecuali jumlah sel pori pada bagian ujung. Sel jari-jari dari tinggi sel jari-jari dan lebar sel
jari-jari pangkal memiliki nilai lebih tinggi kecuali jumlah sel jari-jari pada bagian ujung.
persentase sel pori, dan sel jari ujung dan pangkal mamiliki nilai tertinggi, kecuali sel
parenkim dan sel serat pada bagian tengah. Panjang, diameter, dan tebal dinding serat
bagian pangkal memiliki nilai tertinggi kecuali diameter lumen tengah memiliki nilai
tertinggi. Dari arah radial batang diameter pori nilai tertinggi pada D2, tinggi pori nilai
tertinggi pada D3,dan jumlah sel pori nilai tertinggi pada D1. Tinggi dan lebar jari-jari nilai
tertinggi pada D2, kecuali jumlah jari-jari nilai tertinggi pada D3. Persentase sel pori, sel
jari, sel parenkim, nilai tertinggi pada D1, kecuali Persentase sel serabut nilai tertinggi
pada D2. Panjang, diameter, diameter lumen, dan tebal dinding serat nilai tertinggi pada
D3.
4. Sel jari-jari memiliki lebar multiseriate heterogen, tinggi sel jari-jari termasuk dalam
klasifikasi luar biasa tinggi (1,52 mm), lebar sel jari-jari termasuk dalam kelas lebar
(113,24 m), dan jumlah jari-jari termasuk dalam klasifikasi sedang (8,80buah/mm).
Tinggi sel pori termasuk klasifikasi sedang (544.45m), diameter sel pori termasuk
klasifikasi besar (184.84m), jumlah sel pori termasuk dalam klasifikasi sangat jarang
(2,26buah/mm2). Persentase sel kayu kenanga meliputi persentase pori 7,71%, sel jari-
jari 19,83%, sel parenkim aksial 3,52% dan sel serabut 68,89%. Panjang diameter serat
termasuk dalam klasifikasi pendek (1267,80m), diameter serat termasuk dalam
klasifikasi sangat besar (42,62 m), diameter lumen termasuk dalam klasifikasi sangat
besar (32,60m) dan tebal dinding termasuk dalam klasifikasi tipis (5,46m).
Saran
Dari hasil kesimpulan bahwa kayu kenanga memiliki kekerasan sedang dengan corak
dan lingkaran tumbuh yang bervariasi memungkinan kayu ini cocok untuk mebel dan
kerajinan tangan, sedangkan panjang serat yang pendek, diameter serat sangat besar,
diameter lumen sangat besar dan tebal dinding tipis, kemungkinan kayu kenanga ini bisa
dimanfaatkan untuk kontruksi ringan, meski dalam hal ini masih memerlukan penelitian
mengenai sifat fisika dan mekanika kayunya.
128
ANATOMI DAN SIFAT DASAR KAYU
ABSTRACT
Representative samples of two hundred fifty Indonesian wood species were collected
from forest areas in Indonesia for durability test against the attack by marine borers. The
durabilitys field test was conducted at Rambut Island seashore. The test samples measuring
30 cm (in length) by 5 cm (width) by 2.5 (height) were prepared and randomly arranged using
nylon rope immersed in the sea and then observed after six months. Afterwards, the 250
wood species as each represented by their tested stalks/samples could be categorized five
durability classes. Most of the samples were severely attacked by Pholadidae and
Teredinidae. Seven out of 250 wood species (i.e. 2,8 percent) were very resistant and
categorized as durability class I, twelve wood species (i.e. 4.8 percent) were resistant and
categorized class II. Meanwhile, the remaining were 32 wood species (i.e. 12,8 percent) the
belonged to durability class III, 66 wood species (i.e. 26,4 percent) as class IV, and 133
wood species (i.e. 53,2 percent) as class V.
ABSTRAK
Dua ratus lima puluh jenis kayu yang berasal dari beberapa daerah di Indonesia
diteliti sifat keawetannya terhadap serangan penggerek di laut. Masing-masing jenis kayu
dibuat contoh uji berukuran 30 cm x 5 cm x 2.5 cm, dirakit dengan tali plastik dan dipasang di
perairan Pulau Rambut serta diamati setelah 6 bulan. Dari hasil penelitian tersebut dibuat
lima klasifikasi keawetan berdasarkan intensitas serangan pada masing-masing contoh uji.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa hampir semua contoh uji mendapat serangan berat
oleh Pholadidae dan Teredinidae. Tujuh dari 250 jenis kayu yang diteliti atau 2,8 persen
tahan terhadap penggerek di laut, dimasukkan ke dalam katagori kelas awet I dan 12 jenis
atau 4,8 persen dimasukkan ke dalam kelas awet II. Sementara itu, sisanya yang 32 jenis
atau 12,8 persen termasuk kelas awet III, 66 jenis atau 26,4 persen termasuk kelas IV, dan
133 jenis atau 53,2 persen termasuk kelas V
Kata kunci: Kelas awet, jenis-jenis kayu Indonesia, penggerek kayu di laut
PENDAHULUAN
Indonesia adalah negara maritim yang lebih kurang dua per tiga wilayahnya terdiri
dari lautan, sehingga pelayaran antar pulau merupakan salah satu sarana ekonomi yang
amat penting. Untuk pelayaran antar pulau tersebut dibutuhkan perahu-perahu, yang
umumnya terbuat dari kayu. Perahu-perahu di laut selalu terancam oleh serangan
penggerek kayu di laut. Walaupun demikian, penelitian penggerek kayu di laut di Indonesia
masih langka.
Penggerek kayu di laut, terbagi dalam dua golongan yaitu Mollusca dan Crustaceae
(Turner, 1971; Kuhne, 1971). Golongan Mollusca terdiri atas dua famili yait Teredinidae dan
Pholadidae. Famili Teredinidae bertubuh panjang, seperti cacing, sedangkan Pholadidae
bertubuh pendek, tidak seperti cacing. Identifikasi Teredinidae berdasarkan pada bentuk
palet yang terletak di belakang (posterior), sedangkan identifikasi Pholadidae berdasarkan
129
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
pada bentuk morfologi cangkangnya. Golongan Crustacea terbagi dalam tiga famili, yaitu
Limnoridae, Sphaeromatidae dan Cheluridae. Genera yang sering menyerang kayu adalah
Limnoria, Sphaeroma dan Chelura.
Penelitian keawetan kayu terhadap penggerek di laut pertama kali dilakukan oleh
Gonggrijp (1932) dan Bianchi (1933) terhadap sembilan jenis kayu yaitu lara (Metrosideros
sp.), resak durian (Cotyleibium flavum Pierre.), tempinis (Sloetia elongate Kds.), kolaka
(Parinari corumbosa Miq.), malas (Parastemon urophyllum A.DC.), jati (Tectona grandis L.f.),
ulin (Eusideroxylon zwageri T.et B.), teruntum (Lumnitzera littorea Voight.) dan bungur
(Langerstroemia speciosa Pers.). Muslich dan Sumarni (2004) melakukan penelitian
keawetan 62 jenis kayu yang berasal dari beberapa daerah di Indonesia terhadap penggerek
di laut. Selanjutnya secara berkala dilakukan penelitian kelas keawetan 200 jenis kayu
Indonesia terhadap penggerek tersebut (Muslich dan Sumarni, 2005).
Kelas keawetan kayu adalah tingkat keawetan suatu jenis kayu terhadap organisme
perusak seperti jamur serangga dan penggerek di laut. Keawetan kayu dipengaruhi oleh
beberapa faktor yaitu kandungan zat ekstraktif, umur pohon, bagian kayu dalam batang
(gubal dan teras), kecepatan tumbuh, tempat di mana kayu dipakai, jenis organisme
penyerang, keadaan suhu, kelembaban udara dan lain-lainnya. Suatu jenis kayu yang awet
terhadap serangan jamur belum tentu akan tahan terhadap rayap atau penggerek kayu di
laut, demikian pula sebaliknya.
Di Indonesia mengenal lima kelas awet, yaitu kelas I yang paling awet sampai kelas
V yang paling tidak awet (Oey Djoen Seng, 1964). Klasifikasi ini hanya berlaku untuk daerah
tanpa mengindahkan daya tahan kayu terhadap penggerek di laut, tetapi memperhatikan
serangan jamur, rayap dan bubuk kering. Oey Djoen Seng juga menyatakan bahwa dari
4000 jenis kayu Indonesia, hanya sebagian kecil saja (15-20 persen) yang termasuk kelas
awet tinggi (I dan II) sedangkan sisanya termasuk kelas awet rendah (III, IV dan V).
Klasifikasi inilah yang sampai sekarang masih dipakai sebagai pegangan untuk
memperkirakan keawetan alami kayu terhadap organisme perusak. Padahal klasifikasi
tersebut bukan berdasarkan dari hasil penelitian, melainkan hanya berdasarkan dari
informasi yang tertera pada herbarium sebagai hasil pengamatan di lapangan atau hasil
wawancara dengan penduduk di sekitar tempat pohon tersebut tumbuh yang dicocokkan
dengan data di berbagai sumber. Klasifikasi tersebut sama sekali belum menyentuh
mengenai kelas keawetan alami jenis kayu terhadap penggerek di laut.
Untuk menyusun klasifikasi keawetan alami jenis-jenis kayu terhadap penggerek di
laut, diperlukan data keawetan jenis kayu yang relatif banyak dan diharapkan dapat mewakili
jenis kayu lainnya. Dalam tulisan ini disajikan kelas keawetan 250 jenis kayu Indonesia
terhadap penggerek di laut dari hasil penelitian yang dikumpulkan sejak tahun 1981 sampai
dengan tahun 2011. Selanjutnya dari data tersebut, disusun klasifikasi keawetan
berdasarkan intensitas serangan penggerek di laut terhadap masing-masing jenis kayu.
Diharapkan tulisan ini bermanfaat bagi para pengguna, terutama dalam memilih jenis kayu
yang akan dipakai di laut.
Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ketahanan kayu terhadap penggerek di laut, dilakukan di perairan
Pulau Rambut (Kepulauan Seribu). Perairan tersebut mempunyai salinitas sekitar 30 33
permil dan temperaturnya sekitar 28 29 C, pantainya berkarang, berpasir putih dan bebas
dari polusi atau limbah buangan. Perubahan salinitas, temperatur, arus dan gelombang
pada setiap tahunnya tidak menunjukkan perbedaan yang menyolok, sehingga populasi
penggerek kayu di perairan tersebut dapat berkembang dengan baik (Muslich dan Sumarni,
1987).
130
ANATOMI DAN SIFAT DASAR KAYU
x 30 cm dengan ulangan 10 kali. Semua contoh uji diikat satu sama lain (direnteng) dengan
tali plastik, sebagai sekat diantara contoh uji digunakan selang plastik. Contoh uji yang
sudah direnteng, dipasang di perairan Pulau Rambut secara horizontal seperti yang
dilakukan oleh Muslich dan Sumarni (1987). Setelah 6 bulan contoh uji diambil, pengamatan
dilakukan dengan membelah contoh uji menjadi dua bagian dan dinilai intensitas serangan
terhadap penggerek di laut berdasarkan SNI 01-7207-2006 (Anonim, 2006) sebagai berikut:
Intensitas serangan
Kelas Selang intensitas serangan
(persen)
I <7 Sangat tahan
II 7 27 Tahan
III 27 54 Sedang
IV 54 79 Buruk
V > 79 Sangat Buruk
Sebagai pembanding, dicantumkan juga kelas awet dari masing-masing jenis kayu tersebut
yang sekarang berlaku yaitu klasifikasi yang disusun oleh Oey Djoen Seng (1964).
Untuk identifikasi jenis penggerek yang menyerang contoh uji dilakukan pengamatan
struktur cangkuk dan bentuk palet dari penggerek serta bekas lubang gerek pada kayu.
Identifikasi jenis penggerek tersebut dilakukan sesuai dengan klasifikasi yang disusun oleh
Turner (1966 dan1971).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa contoh uji jenis kayu yang dipasang di perairan
Pulau Rambut selama 6 bulan, sebagian besar dari 250 jenis kayu mendapat serangan berat
dari penggerek di laut. Hasil klasifikasi kelas awet dari jenis kayu yang diujiiti dapat dilihat
pada Lampiran 1 dan sebagai pembanding dicantumkan pula kelas awet setiap jenis
menurut klasifikasi Oey Djoen Seng (1964). Lampiran 1 menunjukkan bahwa dari 250 jenis
kayu yang diuji, hanya 7 jenis atau 2,8% saja yang termasuk kelas awet I yaitu resak
(Cotylelobium flavum Pierre.), kandole (Diploknema oligomera H.J.L.), ulin (Eusidiroxylon
zwageri T.et B.), keruing a (Dipterocarpus glabrigemmatus P.S.Aston), keruing b
(Dipterocarpus stellatus Vesque), kayu besi (Metrosideros petiolata Kds.), kayu besi
(Metrosideros petiolata Kds.) dan pelawan merah (Tristania maingayi Duthie.). Selanjutnya
12 jenis atau 4,8% yang termasuk kelas awet II yaitu mimba (Azadirachta indica Juss.),
empas (Bouea burmanica Griff.), giam tembaga (Cotylelobium melanoxylon Pierre), eboni
(Diospiros celebica Bakh.), keruing c (Dipterocarpus pachyphyllus Meijer), bangkirai (Hopea
dryobalanoides Miq.), tanjung (Mimusops elingi L.), kusegoro (Neonauclea maluense
S.Moore..), gewaya hutan (Parastemon versteeghii Merr.et Perry.), kolaka (Parinari
corymbosa Miq.), jati (Tectona grandis L.f.), resak (Vatica nitens King.), bitti (Vitex cofassus
Reinw.), dan laban (Vitex pubescens Val.). Sebagian besar lainnya yaitu 32 jenis atau 12,8%
termasuk kelas III, 66 jenis atau 26,4% termasuk kelas IV dan 133 atau 53,2% termasuk
kelas V. Jenis kayu yang termasuk kelas awet I dan II, dalam penggunaannya cocok untuk
perahu, kapal kayu, dermaga, tiang pancang dan lain-lainnya, terutama yang bersentuhan
dengan air laut. Sedangkan yang termasuk kelas awet III, IV dan V bila digunakan di laut
harus diawetkan terlebih dahulu.
Perbedaan intensitas serangan terhadap 250 jenis kayu di atas disebabkan
komponen kimia pada tiap jenis kayu berbeda. Gongrijp (1932); Bianchi (1933); Southwell
dan Bultman (1971) menyatakan bahwa kadar silika, kekerasan atau kerapatan dan
kandungan zat ekstraktif yang bersifat racun dapat menekan serangan penggerek kayu di
laut. Komponen kimia kayu berupa selulosa lebih disukai oleh famili Teredinidae karena
sebagai sumber makanannya (Turner, 1966), sehingga kayu yang banyak mengandung
selulosa mendapat serangan lebih berat (Muslich dan Sumarni, 1988).
Kayu ulin (Eusideroxylon zwageri) sangat tahan terhadap serangan organisme
perusak di laut karena mempunyai kadar silika yang relatif tinggi yaitu 0,5% (Bianchi, 1933)
131
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
dan mempunyai zat ekstraktif eusiderin turunan dari phenolik yang beracun (Amin dkk.,
2002). Demikian juga pada kolaka (Parinari corymbosa) mempunyai kadar silika 0,9%,
sehingga dapat menahan serangan terhadap penggerek kayu di laut (Bianchi, 1932).
Beenson (1946) dalam Supriana (1999) juga menyatakan bahwa ada hubungan antara
kadar silika pada kayu dengan daya tahan terhadap penggerek kayu di laut, terutama pada
kadar di atas 0,5%. Jati (Tectona grandis) juga dikelompokkan ke dalam jenis kayu yang
tahan di laut, karena pada bagian teras kayunya terdapat zat ekstraktif quinones bersifat
racun yang disebut techtochinon (Supriana, 1999). Sedangkan kayu mimba (Azadirachta
indica) termasuk jenis kayu yang tahan terhadap serangan penggerek di laut, kemungkinan
karena mempunyai zat ekstraktif yang bersifat racun. Ruskin (1993) menyatakan bahwa
mimba mempunyai zat ektraktif berupa azadirachtin, salanin, mehantriol, nimbin dan
nimbidin. Sedangkan Senrayan (1997) menyatakan bahwa zat ekstraktif yang ada pada
mimba tidak bersifat membunuh secara cepat, hanya mengganggu pada proses
pertumbuhan organisme perusak. Azadirachtin berperan sebagai ecdyson blocker atau zat
yang dapat menghambat kerja hormon ecdyson dalam proses metamorphose yang
berakibat kematian (Chiu, 1988). Salanin berperan sebagai penurun nafsu makan (anti-
feedant) sehingga daya serang organisme menurun (Ruskin, 1993). Meliantriol berperan
sebagai penghalau (repellent) yang mengakibatkan organisme perusak enggan mendekati
zat tersebut (Sudarmaji, 1991). Nimbin dan nimbidin berperan sebagai anti mikro organisme
seperti anti-virus, bakterisida yang sering digunakan sebagai pestisida nabati (Ruskin, 1993).
Demikian juga pada jenis kayu lainnya yang termasuk kelas awet I dan II, kemungkinan
besar juga mempunyai komponen kimia tertentu yang dapat menahan serangan penggerek
di laut.
Sementara faktor berat jenis yang tercantum pada Lampiran 1, seolah-olah ada
hubungan korelasi terhadap ketahanan alami kayu terhadap organisme perusak. Misalnya
Eusideroxylon zwageri yang mempunyai berat jenis 1,04 juga mempunyai kelas awet tinggi.
Sebaliknya pada Pinus merkusii yang berat jenisnya 0,55, Podocarpus imbricatus 52,
Alstonia angustiloba 0,36 dan jenis kayu lainnya yang mempunyai berat jenis rendah,
menunjukkan kelas awet rendah. Pernyataan adanya hubungan korelasi antara berat jenis
dengan keawetan alami kayu, ternyata tidak tepat. Hal ini ditunjukkan dari hasil penelitian
bahwa seperti Ecalyptus urophylla, Quercus lineata, Shorea laevis, Koompassia
malaccensis, Tamarindus indica .yang mempunyai berat jenis relatif tinggi yaitu 1,05, 1,00,
0,99, 0,95 dan 0,92 ternyata mempunyai ketahanan yang lebih rendah terhadap penggerek
di laut bila dibandingkan dengan Tectona grandis yang mempunyai berat jenis jauh lebih
rendah yaitu 0,65. Hal tersebut disebabkan bahwa pada Tectona grandis selain
mengandung silika sekitar 0,4% (Bianchi, 1933), juga mengandung zat ekstraktif tectochinon
yang beracun.
Backer (1975) membuktikan bahwa ternyata yang lebih berpengaruh terhadap
keawetan alami kayu adalah zat ektraktif. Backer juga menyatakan bahwa apabila ada dua
pilihan jenis kayu yang diserang, maka organism perusak akan cenderung memilih kayu
yang lebih lunak. Oey Djoen Seng (1964) menyatakan bahwa hubungan antara berat jenis
terhadap ketahanan alami kayu kurang berlaku umum. Adanya korelasi tersebut terbatas
hanya pada species dalam satu genus. Dalam suatu genus, jenis kayu yang lebih berat
biasanya akan lebih awet dari pada yang lebih ringan. Lebih lanjut Oey menyatakan bahwa
pada Xanthophyllum stipitatum, Planconella obovata dan Tamarindus indicus yang berturut-
turut mempunyai berat jenis 1,04, 1,01 dan 0,84 ternyata hanya sedikit memiliki ketahanan
terhadap organisme perusak.
Di antara klasifikasi kelas awet kayu yang telah diuraikan di atas, bila dibandingkan
dengan kelas awet yang disusun oleh Oey Djoen Seng (1964) ternyata banyak yang
berbeda. Hanya ada beberapa jenis kayu tertentu seperti Eusideroxylon zwageri, Vitex
cofassus dan Tectona grandis yang mempunyai kelas awet sama (kelas I dan II). Kiranya
sudah jelas bahwa klasifikasi kelas awet dari hasil pengujian yang diperoleh berbeda dengan
klasifikasi yang disusun oleh Oey (1964). Klasifikasi Oey didasarkan pada data dari berbagai
variasi kondisi, etiket herbarium dan data tempat tumbuh yang dicocokkan dari berbagai
sumber. Klasifikasi kelas awet tersebut belum mewakili kelas awet kayu terhadap penggerek
132
ANATOMI DAN SIFAT DASAR KAYU
di laut. Oleh karena itu, klasifikasi ketahanan alami jenis-jenis kayu Indonesia yang dibuat
oleh Oey Djoen Seng harus digunakan dengan hati-hati. Maka perlu penelitian pemilahan
penggunaan jenis kayu, dimaksudkan agar kayu dapat digunakan secara tepat.
Identifikasi jenis organisme perusak kayu di laut yang menyerang, dilakukan dengan
cara melihat ciri atau tanda serangannya. Tipe serangan Pholadidae berupa lubang gerek
tegak lurus pada permukaan kayu dengan luas serangan sesuai ukuran cangkuknya. Tipe
serangan pholadidae berupa pengikisan bagian luar kayu dengan lubang-lubang yang
dangkal. Kedua tipe serangan yang dijumpai pada contoh uji, ternyata kerusakan akibat
serangan Pholadidae tidak separah serangan dari Teredinidae. Meskipun demikian, tidak
ada satu jenis kayu pun yang kebal terhadap serangan Pholadidae (Southwell dan Bultman,
1971; Muslich dan Sumarni, 1988). Hasil identifikasi jenis organisme yang menyerang yaitu
Martesia striata Linne. dari famili Pholadidae; Teredo bataviana Moll/Roch., Dicyathifer
manni Wright., Teredo bartschi Clapp., Bankia cieba Clench./Turner., Bankia carinata (Gray)
dari famili Teredinidae.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian uji keawetan 250 jenis kayu Indonesia terhadap
penggerek kayu dilaut disimpulkan sebagai berikut:
1. Dari 250 jenis kayu yang diuji, hanya 7 jenis atau 2,8 persen yang termasuk kelas awet I,
12 jenis atau 4,8 persen termasuk kelas awet II, 32 jenis atau 12,8 persen termasuk kelas
awet III, 66 jenis atau 26,4 persen termasuk kelas awet IV, dan 133 jenis atau 53,2 persen
termasuk kelas awet V.
2. Jenis-jenis penggerek yang menyerang contoh uji yaitu Martesia striata Linne. dari famili
Pholadidae; Teredo bataviana Moll/Roch., Dicyathifer manni Wright., Teredo bartschi
Clapp., Bankia cieba Clench./Turner., Bankia carinata (Gray) dari famili Teredinidae.
3. Klasifikasi kelas awet jenis kayu terhadap penggerek di laut, hasilnya berbeda dengan
klasifikasi kelas awet yang disusun oleh Oey Djoen Seng (1964).
DAFTAR PUSTAKA
Amin, A., Asri, S. dan Muladi,S. 2002. Tinjauan sosiologis dan ekonomis pada bidang
agribisnis, sektor kehutanan. http.//unmul.ac.id/dat/pub/lemit/ tinjauan sosiologis.pdf.
Lembaga Penelitian Universitas Mulawarman, Samarinda.
Anonim, 2006. Uji ketahanan kayu dan produk kayu terhadap organisme perusak kayu.
Standar Nasional Indonesia (SNI 01-7207-2006). Badan Standardisasi Nasional
(BSN). Jakarta
Becker, G. 1975. Termites and fungi. Organismen Und Holz International Simposium,
Dahlem Berlin.
Bianchi, A.T.J. 1933. The resistance of some Netherlands East Indian Timbers against the
attack of shipworms (Teredo). Fith Pacific Congress, Canada.
Chiu, S.F. 1988. Recent advances in research on botanical insecticides in China. South
China Agricultural University. Guangzhou. pp. 69-77.
Gonggrijp, J.W. 1932. Gegevens betreffende een onderzoek naar Nederlandsch-Indische
houtsoorten, welke tegen den pealworm bostand zijn. Mededeeligen van het
Boschbouwproeftation, Bogor.
Muslich, M dan G. Sumarni. 1987. Pengaruh salinitas terhadap serangan penggerek kayu di
laut pada beberapa jenis kayu. Jurnal Penelitian Hasil Hutan Bogor, Vol. 4, No. 2 :
46-49. Pusat Litbang Hasil Hutan, Bogor.
__________ . 1988. Laju serangan Pholadidae dan Teredinidae pada beberapa jenis kayu.
Jurnal Penelitian Hasil Hutan, Vol. 5, No. 7 pp.400-403. Pusat Litbang Hasil Hutan,
Bogor.
133
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
__________ . 2004. Ketahanan 62 jenis kayu ndonesia terhadap penggerek kayu di laut.
Jurnal Penelitian Hasil Hutan, Vol 22, No. 3 pp. 183-191. Pusat Libang Teknologi
Hasil Hutan, Bogor.
__________ . 2005. Keawetan 200 jenis kayu Indonesia terhadap penggerek di laut. Jurnal
Penelitian Hasil Hutan Bogor, 23(3):163-176. Pusat Litbang Hasil Hutan, Bogor.
Oey Djoen Seng. 1964. Berat jenis dari jenis-jenis kayu Indonesia dan Pengertian beratnya
kayu untuk keperluan praktek. Pengumuman No. 1. Lembaga Penelitian Hasil Hutan,
Bogor.
Ruskin, F.R. 1993. Neem: a tree for solving global problems. National Academy Press.
Washington, D.C.
Senrayan, R. 1997. Prospects and challenges in production and use of neem pesticides.
Proc. National conference on pesticides with emphasis on neem, 24-25 November
1997. Surabaya Indonesia.
Southwell, C.R. and J.D. Bultman. 1971. Marine borers resistance of untreated woods over
long periods of immersion in tropical waters. Biotropica 3, 1. pp. 81-107. Naval
Research Laboratory, Washington D.C.
Supriana, N. Rayap dan kayu. Orasi Pengukuhan Ahli Peneliti Utama. Badan Litbang
Kehutanan dan Perkebunan, Jakarta.
Turner, R.D. 1966. A survey and illustrated catalogue of the teredinidae. Harvard University,
Cambridge, Mass.
__________ 1971. Identification of marine wood-boring mollusks. Marine borers, fungi and
fouling organisms of wood. Organisation for Economics Co-operation and
Development, Paris.
134
Lampiran 1. Kelas keawetan 250 jenis kayu Indonesia terhadap penggerek di laut
No.
Nama daerah Asal kayu Berat jenis Intensitas Kelas Kelas
No. Koleksi Jenis kayu
serangan (%) awet awet Oey
1. 30104 Acasia mangium Willd. Mangium Jawa Barat 0,73 67 IV III
2. 34322 Acer niveum Bl. Ki endog Jawa Barat 0,49 85 V IV/V
3. 34018 Adenanthera microsperma T.et B. Sembreena Irian Jaya 0,80 40 III II-I
4. 34112 Agathis borneensis Warb Agatis Jawa Barat 0,55 86 V IV
5. 34065 Agathis beccerii Warl. Damar daging Jawa Barat 0,52 90 V IV
6. 34064 Agatthis beekingii M.Dr. Kidamar Jawa Barat 0,51 90 V IV
7. 34063 Agathis celebica Warl. Damar Jawa Barat 0,61 86 V IV
8. 34004 Aglaia eusideroxylon K.et V. Sao Irian Jaya 0,72 66 1V II-III
9. - Ailanthus integrifolia Lamp. - Sulawesi Tengah 0,38 95 V -
10. 3386 Ailanthus malabarica D.C. Kirontasi Sulawesi Tengah 0,38 80 V V
11. - Albizia falcataria L. Fosberg Sengon Jawa Barat 0,33 96 V IV/V
12 34342 Albizia lebbech Benth. Tarisi Jawa Barat 0,63 65 IV II
13 34347 Albizzia procera Benth. Ki hiyang Jawa Barat 0,71 65 IV II
14. 33929 Alstonia angustiloba Miq. Pulai Lampung 0,36 76 V V
15. 34076 Alstonia congengsis Engl. Pulai Jawa Barat - 90 V -
16. 34006 Alstonia cytheria Sm.n. Susuk Irian Jaya - 90 V -
17. - Alstonia pneumatophora Bakh. Pulai rawang Sulawesi Selatan 0,34 93 V V
18. N4874 Altingia excelsa Noronha. Rasamala Jawa Barat 0,81 66 IV II-III
19. 33899 Anisoptera costata Korth. Mersawa d.lebar Kalimantan Timur 0,61 80 V IV
20. 33869 Anisoptera marginata Korth Mersawa tenam Kalimantan Timur 0,64 80 V IV
21. 34033 Anthocephalus cadamba Miq. Saif Irian Jaya 0,42 90 V V
22. 34345 Anthocephalus chinensis Lamk. Hanja Jawa Barat 0,52 90 V -
23. 34035 Antiaris toxicaria Lesch. Basoah Irian Jaya 0,42 95 V V
24. 33930 Artocarpus lanceifolius Roxb. Mersiput Kalimantan Timur 0,42 93 V III
25. 34324 Azadirachta indica Juss. Mimba Jawa Timur 0,82 25 II III
26. 34121 Bischoffia javanica Bl. Gadog Jawa Barat 0,75 65 V III-II
27. 33910 Blumeodendron tundifolium Meer. Perupuk Kalimantan Barat 0,63 80 V IV
28. 33921 Bouea burmanica Griff. Empas Kalimantan Timur 1,02 27 II II
29 33965 B k ll d HJL N t h A b 0 66 69 V III/IV
135
ANATOMI DAN SIFAT DASAR KAYU
38. 34331 Castanopsis acuminatissima A.DC. Ki hiur Jawa Barat 0,74 65 IV
136
39. N4857 Castanopsis javanica A.Dc. Kali morot Jawa Barat 0,68 93 V III
40. 34321 Castanopsis tunggurut A.DC. Tunggeureuk Jawa Barat 0,44 80 V
41. 34053 Cedrella mexicana M..Roem. Handarusa Jawa Barat - 90 V III
42. 34000 Celtis latifolia Planch. Schiega Irian Jaya 0,52 83 V IV
43. 34077 Ceropia peltata L. Bos pepaya Jawa Barat - 71 V -
44. 34333 Cinnamomum iners Reinw. Ex Bl. Huru pedes Jawa Barat 0,57 80 V IV/V
45. 34309 Colona javanica B.L. Sampora Jawa Barat 0,47 55 IV V
46. - Colona scabra Burr. Bunu Sulawesi Selatan 0.40 78 V V
47. 33914 Cotylelobium flavum Pierre. Resak Kalimantan Barat 1,01 5 I I
48. 33901 Cotylelobium melanoxylon Pierre Giam tembaga Kalimantan Timur 0,99 14 II I
49. 33931 Cratoxylon arborescens Bl. Gerunggang Kalimantan Timur 0,47 78 V IV
50. 34134 Dacryodes rostrata H.J.L. Kemayan Jawa Barat 0,91 42 III III
51. 33903 Dactylocladus stenostachys Oliv. Mentibu Kalimantan Barat 0,53 67 V IV/V
52. - Dalbergia parviflora Roxb. Kayu taka Jawa Barat 0,83 35 III I
53. 33805 Dialium platysepalum Baker. Keranji Sumatera Selatan 0,98 36 III I
54. 34079 Diospyros celebica Bakh. Eboni Sulawesi Tengah 0,92 28 II I
55. 33989 Diospyros macrophylla Bl. Maurula Sulawesi Tengah 0,60 65 V V
56. - Diospyros pilosanthera Blanco. K.hit. perempuan Sulawesi Tengah 0,80 56 IV II-III
57. 34304 Diplodiscus sp. Balobo Jawa Barat 0,73 50 III -
58. - Diploknema oligomera H.J.L. Kandole Sulawesi Tenggara 1,12 5 I I-II
59. 33934 Dillenia reticulata King. Simpur Jawa Barat 0,75 54 IV III
60. 33857 Dipterocarpus apendiculatus Schy. Keruing Kalimantan Tengah 0,78 42 III III
61. 33853 Dipterocarpus caudiferus Merr. Keruing d.lbr. Kalimantan Timur 0,69 57 IV IV
62. 33939 Dipterocarpus cornutus Dyer. Keruing bulu Kalimantan Timur 0,82 45 III IV
63. 34354 Dipterocarpus glabrigemmatus P.S.Aston Keruing Kalimantan Timur 0,80 5 I -
64. 34352 Dipterocarpus pachyphyllus Meijer Keruing Kalimantan Timur 0,77 18 II -
65. 34353 Dipterocarpus stellatus Vesque Keruing Kalimantan Timur 0,77 6 I -
66. 34049 Dipterocarpus retusus Bl. Kruing Jawa Barat 0,75 45 III III
67. 33991 Dracontomelon dao Merr. Et Rolfe Kaili Sulawesi Tengah 0,63 59 IV II-IV
68. 33987 Dracontomelon mangiferum Bl. Rau Sulawesi Tengah 0,58 54 IV IV
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
69. 33979 Drypetes longifolia Pax. Et Hoff. Batu K. Ambon 0,78 45 III III
70. 33956 Duabanga moluccana Bl. Benuang laki Kalimantan Timur 0,39 75 V IV-V
71. 33994 Durio zibethinus Murr. Durian Sulawesi Tengah 0,57 59 IV IV-V
72. 33936 Durio oxleyanus Griff. Kei bengong Kalimantan Timur 0,61 60 IV IV-V
73. 33962 Drypetes longifolia Pax et Hoff. Buniyaga Sulawesi Selatan 0,78 48 IV III
74. 33831 Dyera costulata Hook. F. Jelutung Kalimantan Tengah 0,43 71 V V
75. 34306 Ehretia acuminata R.Br. Ki kendal Jawa Barat 0,61 50 III III
76. 34025 Elaeocarpus sphaericus K.Schum. Hongmako Irian Jaya 0,49 71 V V
77. - Elaeocarpus deglupta Bl. - Sulawesi Selatan 0,57 67 V -
78. Elaeocarpus floribundus Bl. Hauwan Jawa Barat 0,67 65 IV IV/V
79 - Elmerrilia ovalis Dandy. Uru Sulawesi Selatan 0,43 67 V II
80. 33893 Endospermum malaccense Muell. Sendok-sendok Riau 0,45 71 V V
81. 34338 Erythrina fusca Lour. Cangkring Jawa Barat 0,35 90 V V
82. 34105 Eucalyptus alba Reiw. Ampupu Jawa Barat 0,89 54 IV III-II
83. 34062 Eucalyptus deglupta Bl. Leda Jawa Barat 0,57 71 V IV
84. 34069 Eucalyptus citriodora Hook. - Jawa Barat 0,80 57 IV III
85. 34097 Eucalyptus platyphylla F.V.M. Yua mea NTT 1,02 35 III II-III
86. 34096 Eucalyptus urophylla S.T.Blake - NTT 1,05 43 III II
87. 33959 Eugenia polyantha Wight. Gosula Ambon 0,64 98 V III
88. 33764 Eusideroxylon zwageri T.et B Ulin KalimantanTimur 1,04 3 I I
89. 34122 Evodia aromatica Bl. Ki sampang Jawa Barat 0,43 67 V V
90. 33977 Ficus nervosa Heyne. Beringin Sulawesi Tengah 0,30 77 V V
91. 34335 Ficus nervosa Heyne. Ki kanteh Jawa Barat 0,35 85 V V
92. 34305 Ficus variegata BL Kundang Jawa Barat 0,29 85 V V
93. 34312 Ficus vasculosa Wall ex Miq. Ki kuya Jawa Barat 0,45 70 IV V
94. 33976 Ficus pubinervis Bl Beringin Sulawesi Tengah 0,42 61 IV V
95. 33898 Fragraea fragans Roxl. Tembesu Riau 0,81 36 III I
96. 33823 Ganua motleyana Pierre. Ketian Palembang 0,56 67 V IV
97. 34010 Ganophyllum falcatum Bl. Sehara Irian Jaya 0,79 51 IV III
98. 34344 Garcinia celebica L. Cerei Jawa Barat 0,65 60 IV II
99. 34315 Gironniera subasqualis Planch. Ki bulu Jawa Barat 0,51 75 IV IV/V
100. 33916 Gonystylus bancanus Kurz. Ramin Kalimantan Barat 0,63 63 V V
101. 33888 Gonystylus macrophyllus A.Shaw. Pulai miang Riau 0,62 67 V V
102. - Gonystylus velutinus A.Shaw. Seranai Riau 0,59 63 V V
103. 34123 Gossampinus malabarica Alst. Randu alas Jawa Barat 0,30 77 V V
104. - Haplolobus celebicus H.J.L Lengai Jawa Barat 0,64 66 V III-IV
105. 34009 Hernandia ovigera L. Fofo Irian Jaya 0,31 77 V V
106. N4862 Heritiera javanica Pongokan Jawa Barat - 60 IV -
107. 33958 Heritiera litoralis Deyand. Rarum Ambon 0,98 54 III II
108. - Hevea brasiliensis Muell. Arg. Balau perak Jawa Barat 0,61 63 V V
109. 33944 Hollutus blumcanus Muell Ary. Perupuk Kalimantan Timur - 54 IV -
110. 34034 Homalium foetidum Benth. Petion Irian Jaya 0,76 45 III II-IV
111. 33840 Hopea dryobalanoides Miq. Bangkirai Kalimantan Tengah 0,72 26 II II(III-I)
112. 33932 Hopea mengarawan Miq Nyerabat Kalimantan Timur 0,71 53 IV II-III
113. 34081 Hopea odorata Roxb. - Jawa Barat - 63 V -
114. 34102 Hopea sangal Korth. Cengal Jawa Barat 0,70 54 IV II-III
115. 33866 Hopea sangal Korth. Merawan Lampung 0,70 60 IV II-III
116. 34336 Horsfieldia glabra Warb. Kelapa ciung Jawa Barat 0,58 80 V V
117. 34020 Horspecdia sylvertris Warb. Bomsi Irian Jaya 0,39 71 V V
118. 34082 Hymenaea courbaril L. Marasi Jawa Barat 0,63 60 IV III
119. 34015 Intsia bijuga O.Ktze Sekka Irian Jaya 0,84 41 III I-II
137
ANATOMI DAN SIFAT DASAR KAYU
120. 33946 Intsia palembanica Miq. Ipil Kalimantan Timur 0,79 45 III II-I
138
121. - Kallapia celebica Kosterm. Kalapi Sulawesi Selatan 0,64 45 III II
122. 34084 Khaya anthotheca C.Dl. Mahoni uganda Jawa Barat - 63 V -
123. 34045 Khaya grandifolia C.DC. Mahoni afrika Jawa Barat - 62 IV -
124. 34083 Khaya senegelensis A.Jun Mahoni Jawa Barat - 67 V -
125. 33955 Koompassia excelsa Taub Bangeris Kalimantan Timur 0.83 57 IV III-IV
126. 33806 Koompassia malaccensis Maing. Kempas Palembang 0,95 60 IV III/IV
127. 33949 Koordersiodendron pinnatum Meer Kelembiring Kalimantan Timur 0,83 63 V II-III
128. 34319 Lindera polyantha Boerl. Huru mentek Jawa Barat 0,81 30 III III
129. N4856 Lithocarpus sundaicus Bl. Kost. Pasang kayang Jawa Barat 0,58 71 V -
130. 34334 Litsea angulata Bl. Huru koja Jawa Barat 0,45 85 V IV
131. 43135 Litsea firma Hook.f. Madog panel Kalimantan Barat 0,56 67 V III-IV
132. 34022 Litsea odorifera Val. Menako Irian Jaya 0,42 71 V IV-V
133. 34307 Litsea odorifera Val. Huru gading Jawa Barat 0,51 80 V IV
134. 34337 Litsea roxburghii Hassak. Tangkalak Jawa Barat 0,34 80 V V
135. 33891 Lumnitzera littorea Voigt. Susup Riau 0,83 42 III II
136. 34351 Magnolia candolii (Blume.) King Cempaka Jawa Barat 0,54 89 V -
137. - Mallotus blumeanus Muell.Arg. Bungbulang Jawa Barat 0,63 67 V V
138. 33982 Mangifera foetida Lour. Mangga hutan Sulawesi Tengah 0,73 57 IV II-III
139. 33988 Mangifera minor Bl. Merantaipa Sulawesi Tengah 0,63 54 IV III
140. 34350 Manglietia glauca Blume. Manglid Jawa Barat 0,44 90 V IV
141. 34339 Melaleuca cajuputi Powell. Kayu putih Jawa Barat 0,81 45 III III
142. 33923 Melanorrhoea sp. Regas burung Kalimantan Timur 0,87 39 III II
143. 34050 Melia excelsa Jack. Surian bawang Jawa Barat 0,60 67 V III-IV
144. 34308 Meliocope lunu-ankenda (G.) T.G.H Ki sampang Jawa Barat 0,43 80 V -
145. - Metrosideros petiolata Kds. Kayu besi Sulawesi Selatan 1,15 5 I I
146. 33905 Mezzttia parviflora Becc. Pisang-pisang Kalimantan Barat 0,61 63 V V
147. N4877 Mimusops elingi L. Tanjung Jawa Barat 1,00 30 II I/II
148. 34349 Michelia champaka L. Baros Jawa Barat 0,38 90 V II
149. 33822 Myristica subaculata Miq. Merantihan Palembang 0,37 71 V V
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
139
ANATOMI DAN SIFAT DASAR KAYU
202. - Shorea koordersii Brandis. Damar tenang Jawa Barat 0,50 66 V IV
140
203. - Shorea lamellata Foxw. Damar tunam Jawa Barat 0,73 51 IV IV
204. 33924 Shorea laevis Bl. Bangkirai Kalimantan Timur 0,99 43 III I
205. 33952 Shorea leptoclados Sym. Mengkabung Kalimantan Timur 0,50 63 V IV-V
206. 33933 Shorea leprosula Miq. Lempung tembaga Kalimantan Timur 0,40 67 V III-IV
207. 34099 Shorea meoistopteryx Ridl. Tengkawang Jawa Barat 0,51 63 V -
208. - Shorea mujongensis P. S. Aston. Meranti kuning Kalimantan Timur 0,43 85 V -
209. 33937 Shorea ovalis Bl. Lempung rusa Kalimantan Timur 0,51 67 V III-IV
210. 33926 Shorea parvifolia Dyer. Lempung nasi Kalimantan Timur 0,45 67 V III-IV
211. 34110 Shorea platyclados V.Sl. Meranti abang Sumatra Selatan 0,67 60 IV III-IV
212. - Shorea selanica Bl. Meranti bapa Jawa Barat 0,37 71 V -
213. 34100 Shorea seminis V.Sl. Terindak Jawa Barat 0,90 60 IV I-II
214. 33925 Shorea smithiana Sym. Merumbung Kalimantan Timur 0,50 63 V III-IV
215. 34075 Shorea sp. Merant merah Jawa Barat 0,51 57 IV
216. 34098 Shorea stenoptera Burck. Tengkawang Jawa Barat 0,41 63 V III-IV
217. - Shorea superba Symington. Balau Kalimantan Timur 0,76 24 II -
218. 34323 Sloanea sigun Szysz Beleketebe Jawa Barat 0,79 55 IV V
219. 34091 Spathodea campanulata P.B. Ki aerit Jawa Barat 0,39 71 V V
220. 34005 Spondias cytherea Soon. Sutiet Irian Jaya 0,33 77 V V
221. 33941 Sindora leiocarpa De.wit. Anggi Kalimantan Timur 0,60 51 IV IV-V
222. 34051 Sterculia cymosa Kelumpang Jawa Barat - 71 V V
223. 34311 Stercularia oblongata R.Br. Ki hantap Jawa Barat 0,36 85 V V
224. 34341 Sterculia cordata Blume. Hantap heulang Jawa Barat 0,40 85 V V
225. 33928 Sterculia symplicifolia Mast. Buah sayap Kalimantan Timur 0,75 36 III II-IV
226. N4878 Styrax benzoin Dryand. Kemenyan Jawa Barat 0,54 63 V IV-V
227. 33984 Spondias cytherea Sonn. Kedondong Sulawesi Tengah 0,33 66 V V
228. 34074 Swietenia caudallei Pittier. Mahoni Jawa Barat 0,48 67 V V
229. 34092 Swietenia macrophylla King. Mahoni d. lebar Jawa Barat 0,61 60 IV III
230. 34303 Tamarindus indica L. Asam jawa Jawa Barat 0,92 60 IV V
231. 33943 Tarrietia javanica Bl. Melapisan Kalimantan Timur 0,74 57 IV III-IV
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
141
ANATOMI DAN SIFAT DASAR KAYU
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
ABSTRAK
Kata kunci: Marine Borer, Kayu Pingsan, Teysmanniodendron sp, suku Bajo
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Suku Bajoi merupakan salah satu suku yang unik. Suku ini secara alamiah memiliki
habitat pemukiman yang berada di pesisir dan atau di atas permukaan laut yang dangkal.
Salah satu kearifan lokal suku Bajo ini adalah rumah tradisional mereka. Rumah tinggal suku
Bajo tercipta melalui proses panjang (trial error), sehingga terbentuk sebuah bangunan yang
mencirikan karakter kehidupan orang Bajo. Hasil penelitian BPTPT (2010) menunjukkan
bahwa karakter rumah dan permukiman suku Bajo ditinjau dari sejarahnya di mulai dengan
rumah perahu yaitu rumah yang dibentuk dari dasar perahu yang diberi atap, kemudian
karena faktor alam mereka membuat bangunan sementara di pantai menunggu kondisi alam
membaik, setelah itu mereka menetap di pantai dengan menjadikan bangunan sementara
menjadi bangunan tetap. Proses menetap suku Bajo dilakukan dengan mulai berkelompok
membangun rumah di pantai, kemudian berkembang di tepi pantai hingga berada di pesisir
pantai.
Rumah tradisional suku Bajo berbentuk rumah panggung yang berbahan baku lokal
di atas permukaan laut. Atap rumah suku Bajo umumnya terbuat dari daun sagu (Metroxylon
sp.), Dinding rumah suku Bajo umumnya terbuat dari daun silar (Corypha utan Lamk.) dan
lantai dari kayu palapi (Heritiera sp.), dan tiang umumnya menggunakan kayu lokal seperti
kayu pingsan, besi, kerikis, togoulu, kalakka dan manjarite dengan pemakaian berbentuk
142
ANATOMI DAN SIFAT DASAR KAYU
kayu bulat yang masih mempunyai kulit dengan ukuran berdiameter antara 15 sampai
dengan 25 cm.
Salah satu jenis kayu lokal yang dapat bertahan lama di jika digunakan sebagai tiang
rumah tradisional suku Bajo ini adalah kayu pingsan. Hasil identifikasi terhadapap morfologi
tanaman ini termasuk ke dalam genus Teysmannidendron dan famili Verbenaceae.
Tanaman ini diduga sebagai kayu endemic di kepulauan Tojo Una-Una. Mengingat
pentingnya kayu ini untuk dikembangkan sebagai bahan baku untuk penggunaan tiang di
laut maka perlu dilakukan penelitian tentang ketahanan alami kayu pingsan terhadap
organisme pengebor laut (marine borer).
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik serangan marine borer pada tiang
rumah tradisional suku Bajo dan mengetahui ketahanan kayu pingsan (Teysmanniodendron
sp.) terhadap marine borer.
METODE PENELITIAN
Lokasi Penelitian
Pengambilan dan pengujian sampel dilakukan di Desa Kabalutan Kecamatan Walea
Kepulauan, Kabupaten Tojo Una-una, Propinsi Sulawesi Tengah.
Prosedur Penelitian
Pengujian keawetan alami kayu pingsan terhadap marine borer yang mengacu pada
SNI 01-7207-2006 tentang uji ketahanan kayu dan produk kayu terhadap organisme perusak
kayu Contoh uji yang digunakan adalah kayu pingsan (Teysmodendron sp.) yang merupakan
kayu yang secara lokal dimanfaatkan suku Bajo sebagai tiang rumah. Contoh uji
dipersiapkan dalam bentuk 2,5 cm (r) x 5 cm (t) x 30 cm (l). Bagian tengah dilubangi dengan
diameter sebesar 1,5 cm kemudian disusun sedemikian rupa kemudian dipasang di perairan
pantai yang bebas pencemaran, salinitas sekitar 30 ppm 40 ppm, dan air pasang surut
maksimal 1,5 2 meter. Setelah 6 (enam) bulan contoh uji diangkat, dibersihkan
permukaannya dan dijemur sampai kering. Intensitas serangan dapat diperoleh melalui
rumus sebagai berikut:
143
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kayu memiliki ketahanan alami yang tinggi
terhadap organism penggerek kayu di laut (marine borer). Gambar 1, menunjukkan
ketahanan kayu pingsan terhadap marine borer. Intensitas serangan rata-rata marine borer
terhadap kayu pingsan ditunjukkan pada Gambar 2. Berdasarkan intensitas serangannya
kayu pingsan memiliki intensitas seranganya sekitar 0.57% sehingga digolongkan ke dalam
kayu kelas I (sangat tahan) terhadap marine borer. Ketahanan kayu pingsan sama dengan
kayu ulin dan kayu besi yang umum digunakan sebagai tiang rumah di pesisir laut. Pada
beberapa jenis kayu yang memiliki berat jenis yang hampir sama (kelas kuat sama) dengan
kayu pingsan justru menunjukkan kelas awet yang rendah seperti kayu yuamea (kelas III)
dan kayu songwa (kelas V). Hasil pengujian di lapangan terhadap kayu palapi yang
merupakan kayu yang banyak digunakan oleh suku Bajo sebagai bahan baku pembuatan
perahu menunjukkan intensitas seranganya sekitar 55,77% (kelas IV). Hal ini ini
menunjukkan kayu palapi memiliki keawetan alami terhadap marine borer yang buruk. Jika
dibandingkan kayu bangkiran yang memiliki berat jenis yang hamper sama justru
menunjukkan kelas awet yang lebih baik (kelas II). Hal menegaskan bahwa pada kondisi
kelas kuat yang sama intensitas serangan pada kayu dari marine borer dapat bervariasi.
Perbedaan intensitas serangan ini disebabkan oleh banyak hal, diantaranya adalah
kandungan dan komponen penyusun kayu. Eaton and Hale (1993) mengatakan bahwa
keawetan alami kayu terhadap marine borer sangat ditentukan oleh zat ekstraktif yang
bersifat racun terhadap marine borer. Southwell dan Bultman (1971) dalam Muslich dan
Sumarni (1988) menambahkan bahwa, kandungan silika, kerapatan atau kekerasan tinggi
dan kandungan zat ekstraktif yang bersifat racun dapat mendukung ketahanan serangan
Teredinidae, tetapi tidak menghalangi serangan Pholadidae.
Intensitas Kelas
No Jenis Kayu Bahasa Latin Berat
Serangan (%) Ketahanan
Jenis
1. Pingsan Teymannidendron sp. 0.98 0.57* I
2. Palapi Heritiera sp. 0.74 55.77* IV
3. Yuamea Eucalyptus platyphylla 1.02 33** III
4. Eboni Diospyros celebica 0.92 23** II
5. Kayu besi Metrosideros petiolata 1.15 0** I
6. Songwa Palaquium multiflorum 0.99 85** V
7. Ulin Eusideroxylon zwageri 1.04 0** I
8. Bangkirai Hopea dryobalanoides 0.72 20** II
144
ANATOMI DAN SIFAT DASAR KAYU
merusak kayu karena kayu menjadi sumber makanan dan tempat tinggal, terutama jenis
kayu yang banyak mengandung selulosa. Oleh karena itu, kayu yang tahan terhadap
serangan Teredinidae belum tentu tahan terhadap serangan Pholadidae. Teredinidae
merusak kayu lebih cepat, sedangkan Pholadidae berkembang lebih lambat.
Kesimpulan
Kayu pingsan memiliki tingkat serangan marine borer yang sangat rendah yaitu
sekitar 0.57% sehingga kayu tersebut dapat digolongkan kayu kelas I (sangat tahan
terhadap marine borer).
Saran
Kayu pingsan sangat cocok dijadikan sebagai tiang bangunan di atas laut. Meskipun
demikian, aspek manajemen dan silvikultur tanaman ini harus tetap diperhatikan sehingga
ketersedian dan keberlanjutannya tetap terjamin.
DAFTAR PUSTAKA
145
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
ABSTRAK
PENDAHULUAN
146
ANATOMI DAN SIFAT DASAR KAYU
METODOLOGI
Keterangan :
a =sampel kadar air
b =sampel berat jenis
c = sampel keteguhan tekan sejajar serat
d =sampel keteguhan lengkung statik
Metode
Pembuatan contoh uji dan pengujian mengacu pada British Standard No. 373 tahun
1957. Pengujian berat jenis digunakan volume pada keadaan kadar air maksimum, kondisi
kering udara dan kering tanur. Pengujian mekanika kayu dilakukan pada kondisi kering
udara.
i . Pengujian contoh uji sifat fisik kayu
a) Kadar air kayu : kadar air maksimum dan kadar air kering udara
b) Berat jenis : berdasarkan volume maksimum, volume kering udara dan volume
kering tanur
147
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Analisis Data
Data rata-rata hasil pengamatan disajikan dalam bentuk tabel. Analisis data
menggunakan analisis One Way Anova dengan perangkat lunak SPSS 12.
<10cm
0,56 0,51 0,64 0,57 0,62 0,57 0,72 0,64 0,67 0,60 0,77 0,68
10-18 cm 0,59 0,53 0,59 0,57 0,65 0,59 0,64 0,62 0,70 0,62 0,68 0,67
>18 cm 0,63 0,68 0,65 0,65 0,72 0,73 0,71 0,72 0,77 0,80 0,76 0,78
Nilai BJ berfluktuasi pada tiga kelas diameter yang diamati, yaitu tinggi pada kelas
diameter terkecil lalu menurun pada kelas diameter sedang dan meningkat lagi pada kelas
diameter terbesar (>18 cm). Pengujian secara statistik menunjukkan bahwa BJ dan KA
maksimum dipengaruhi secara sangat signifikan oleh kelas diameter pohon.
148
ANATOMI DAN SIFAT DASAR KAYU
Analisis statistik pengaruh kelas diameter terhadap sifat fisika kayu dan persentase
kayu teras-gubal dapat dilihat pada Tabel 3 berikut. Persentase kayu teras dan kayu gubal
dapat dilihat pada Gambar 3 berikut.
Berdasarkan hasil penelitian terhadap kayu gelam ini, persentase kayu teras
meningkat seiring dengan peningkatan kelas diameter yang diasumsikan sebagai kelas
umurnya. Hal ini sejalan dengan pendapat Kokutse et al (2004) pada kayu jati Togolese
bahwa persentase pembentukan kayu teras berhubungan secara signifikan dengan umur
pohon.
Analisa statistik yang dilakukan menunjukkan adanya perbedaan yang sangat
signifikan pada pengaruh kelas diameter pohon terhadap berat jenis dan kadar air
maksimumnya. Ada kenaikan berat jenis pada kenaikan kelas diameter pohon. Bila hal ini
dihubungkan dengan prosentase kayu teras dan kayu gubal yang diamati di mana kayu
teras meningkat seiring dengan kenaikan kelas diameter pohon maka persentase kayu teras
terlihat berbanding lurus dengan berat jenis. Hal inilah yang diduga menjadi sebab kenaikan
berat jenis. Hal ini sejalan dengan Kokutse et al (2004) yang menyatakan bahwa kerapatan
pada kadar air 12% berhubungan secara signifikan dengan umur pohon. Di dalam kayu
juvenile, kerapatan sangat variabel, tetapi cenderung meningkatnya dengan usia (umur
pohon).
Persentase kayu teras dan kayu gubal juga menunjukkan adanya perbedaan yang
sangat signifikan akibat pengaruh kelas diameternya. Uji lanjutan LSD menunjukkan
perbedaan yang signifikan diantara ketiga kelas diameter yang diamati.
149
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Tabel 3. Ringkasan uji sidik ragam pengaruh diameter pohon terhadap parameter uji sifat
fisika dan persentase kayu teras-gubal
Table 3. Summarized analysis of variance on class diameter tree on the examined
parameters of physical properties and percentage of heartwood and sapwood
Secara statistik dengan uji One way ANOVA, sifat mekanika yang diuji tidak
menunjukkan perbedaan pada kelas diameter yang diamati. Hal ini menunjukkan bahwa
meskipun secara nilai berfluktuatif tetapi semuanya masih berbeda secara tidak signifikan.
150
ANATOMI DAN SIFAT DASAR KAYU
Tabel 4. Ringkasan uji sidik ragam pengaruh diameter pohon terhadap parameter uji sifat
mekanika
Table 4. Summarized analysis of variance on class diameter tree on the examined
parameters of mechanical properties
Parameter Kelas Diameter pohon (Diameter Class of Tree)
Df Fhitung (Fcalculated) Probabilitas
(Probability)
MOE 2 1.196ns 0.034
MOR 2 1.373ns 0.215
Teg pada BP 2 0.085ns 0,015
Tekanan//serat 2 0.217ns 0.001
KESIMPULAN
1. Kelas diameter kayu berpengaruh signifikan terhadap berat jenis tetapi tidak pada sifat
mekanikanya..
2. Persentase kayu teras pada kayu gelam meningkat seiring dengan bertambahnya kelas
diameternya.
DAFTAR PUSTAKA
Akbar, A. 2004. Alternatif Pemulihan Fungsi Lahan Gambut eks PPLG Sejuta Hektar.
Prosiding Seminar Ilmiah Kesiapan Teknologi untuk Mendukung Rehabilitasi Hutan
dan Lahan Rawa Gambut di Kalimantan Tengah. Palangkaraya. h 3.
Anonim, 1976. Vademicum Kehutanan. Departemen Kehutanan. Jakarta.
Anonim, 1999. Plant Resources of South East Asia No. 19 Essential-oil plant. Bogor
Indonesia. hal 126-131
British Standard 373. 1957. Methods of Testing Small Clear Specimen of Timber. London.
Hayne, K. 1987. Tumbuhan berguna Indonesia. Badan Litbang Kehutanan. Jakarta (hal
1529-1535).
Kokutse, A.D., H.Baillres, A.Stokes, K. Kokou. 2004. Proportion and quality of heartwood
in Togolese teak (Tectona grandis L.f.) Forest Ecology and Management J. Volume
189, Issues 1-3.:37-48.
Panshin, A.J., and C. de Zeeuw, 1980. Textbook of Wood Technology Third Edition. Volume
1 : Structure, Identification, Uses and Properties of The Comercial Wooods of United
State and Canada. McGraw-Hill. New York.
Pometti, C.L., B. Pizzo, M.Brunetti, N. Macchioni, M. Ewens and B.O. Saidman, 2009.
Argentinean native wood species: Physical and mechanical characterization of some
Prosopis species and Acacia aroma (Leguminosae; Mimosoideae). Bioresource
Technology 100:1999-2004
Rachmanady, D., D..Lazuardi, PT. Agustinus. 2004. Teknik Persemaian dan Informasi
Benih Gelam, Pusat Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan
Tanaman Hutan, Yogyakarta.
Zhang, S.Y.,1996. The Wood specific gravity-mechanical property relationship at species
level. J. Wood Science Technology 31: 181-191.
Wangaard, F.F. 1950. The Mechanical Properties of Wood. John Wiley and Sons. New York.
151
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
ABSTRAK
PENDAHULUAN
Kayu akan tetap dibutuhkan karena sifat kayu yang unik terkait dengan penampilan
warna, corak dan tekstur kayu. Selain itu keawetan dan kekuatannya sering menjadi prioritas
pemilihan jenis kayu untuk digunakan dalam berbagai tujuan dan keperluan, baik sebagai
bahan kontruksi rumah atau bangunan, furniture/meubel maupun kegunaan lainnya. Dari
sifat itu pula penggunaan kayu dikhususkan untuk berbagai kondisi dan tempat tertentu,
seperti untuk keperluan di luar (ekterior) dan di dalam (interior) ruangan untuk keperluan
konstruksi rumah atau bangunan yang berhubungan dan tidak berhubungan langsung
dengan tanah. Dengan keunikan tersebut, kayu sebagai bahan dasar berbagai bentuk
pemanfaatannya seakan sulit untuk tergantikan, namun karena ketersediaan tumbuhan
penghasil kayu cenderung menipis seiring dengan pesatnya pertumbuhan penduduk maka
sangat diperlukan tindakan penghematan dan bahkan penggunaan berulang akan kayu.
Sebagaimana daerah lainnya, di beberapa tempat di Kota Samarinda juga dapat
ditemukan penggunaan atau penjualan kembali jenis-jenis tertentu dari kayu yang
sebelumnya telah digunakan atau disebut juga kayu bekas pakai. Kayu bekas pakai tersebut
umumnya berasal dari pembongkaran atau renovasi rumah atau bangunan lama dan
jembatan yang berkonstruksi kayu. Seringkali kayu-kayu bekas tersebut ternyata masih kuat
dan awet, sehingga dengan sedikit perlakuan masih sangat layak dipergunakan lagi. Bahkan
sebagai komoditi perdagangan lokal harga kayu bekas tersebut tergolong tinggi karena
diprediksi berasal dari pohon-pohon tua.
Namun seringkali ditemukan kesulitan untuk mengetahui nama jenis kayu atau
membedakan antar kayu bekas di penumpukan tempat penjualan kayu karena relatif
memiliki penampilan yang sama. Adanya perubahan fisik oleh faktor alam (cuaca) dan umur
152
ANATOMI DAN SIFAT DASAR KAYU
pakai, sehingga penggolongan berdasarkan jenis hampir sulit untuk dilaksanakan.di tempat-
tempat penjualan kayu. Sedangkan di pihak lain, pengguna atau pembeli sering
menginginkan kayu bekas yang kuat dan awet terpilih untuk dijual atau diolah kembali
sehingga memerlukan kepastian akan jenis kayu yang akan digunakan atau dibeli.
Oleh karena itu penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengenal dan
mengidentifikasi nama jenis kayu bekas yang terdapat di penumpukan tempat penjualan
kayu sehingga dapat diketahui jenis kayu apa saja yang dipakai sering dipakai oleh
masyarakat. Diharapakan informasi tersebut berguna bagi penjual, pemakai kayu bekas
sesuai keperluan mereka, juga bagi pemerintah setempat untuk menggalakkan
pembudidayaan kayu terutama jenis-jenis kayu lokal yang diperlukan oleh masyarakat
karena keawetan dan kekuatan, dan bahkan keunggulan sifatnya yang dapat dipergunakan
kembali.
Bahan penelitian
Kayu bekas diambil dari berbagai penumpukan tempat penjualan kayu bekas (yang
berasal dari pebongkaran rumah atau bangunan lama, jembatan, lantai rumah, alat-alat
rumah tangga di Kota Samarinda, Kalimantan Timur.
Peralatan penelitian
Beberapa peralatan yang digunakan antara lain loupe, pisau/cutter, microsliding tool,
kamera dan mikroskop, gelas ukur, pipet, timbangan digital, jarum panjang, referensi kunci
identifikasi kayu, informasi pengenalan jenis-jenis kayu bersumber dari buku-buku teks dan
website.
Dari hasil identifikasi terhadap 18 buah sampel kayu yang diambil dari tempat penjualan
kayu bekas diketahui ada 13 jenis yang diperjualbelikan lagi, sebagian besar berasal dari
famili Dipetrocarpaceae (Tabel 1).
Kayu-kayu bekas tersebut yang lama di lapangan, diantaranya terlihat adanya kemiripan
penampilan satu dengan yang lainnya, antara lain kayu merbau, ulin, ipil dan balau, serta
jenis keruing dan kapur yang mempunyai kerapatan tinggi. Dijumpai pula kayu yang relatif
kurang kuat seperti meranti tembaga, nyatoh, kedondong dan melapi yangmana dapat
diprediksi keberadaan asal tempat pemakaian kayu yang kurang kuat ini karena diperoleh
dari bagian interior rumah/bangunan.
Adanya nilai kerapatan kayu yang tinggi dimungkinkan kayu-kayu tersebut berasal dari
pohon yang sudah tua (diameter yang sangat besar) dari hutan primer.
153
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Tabel 1. Nama jenis, lokal/perdagangan dan nilai keraptan dari kayu bekas pakai.
154
ANATOMI DAN SIFAT DASAR KAYU
155
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
156
ANATOMI DAN SIFAT DASAR KAYU
157
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Warna Coklat
Serat/tekstur Lurus dan kasar
Kekerasan Sedang
Kerapatan 0,55 g/cm3
Sel pori Ganda radial 2 6 , besar;
diameter tangensial sel 123 m;
jumlah 4,62 sel per mm
Sel jari-jari Tipis terdiri 1 sel; Lebar sel 25 m;
tinggi sel 580 m; jumlah 11,35 sel
per mm
Saluran Interselluler Tidak ada
Aksial (SIA)
Isi sel Banyak tylosis di rongga sel pori
Parenkim aksial Pita tangensial pendek, panjang
tipis
Jenis/Famili Madhuca betis/Sapotaceae
Nama Bitis
lokal/perdagangan
8
Warna Kecoklatan agak muda sampai
kekuningan
Serat/tekstur Lurus sampai miring dan kasar
Kekerasan Sedang
Kerapatan 0,55 g/cm3
Sel pori Soliter; diameter tangensial sel 167
m; jumlah 9,72 sel per mm
Sel jari-jari Lebar terdiri 4-5 sel; lebar sel 51
m; tinggi sel 584 m; jumlah 5,35
9 sel per mm
Saluran Interselluler Tidak ada
Aksial (SIA)
Isi sel Terdapat tylosis di rongga sel pori
Parenkim aksial Paratracheal jarang
Jenis/Famili Shorea spp, (cf shorea
bracyeolata)/ Dipterocarpaceae
Nama Melapi
lokal/perdagangan
158
ANATOMI DAN SIFAT DASAR KAYU
159
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Warna Kecoklatan
Serat/tekstur Lumen hampir tertutup
Kekerasan Sangat keras
Kerapatan 1,0 g/cm3
Sel pori Soliter, ganda radial, tangensial
dan diagonal; diameter tangensial
175 m; jumlah 9,95 sel per mm
Sel jari-jari Lebar 4 5 sel; lebar sel 42 m;
tinggi sel 412 m; jumlah 5,4 sel
per mm
16 Saluran Interselluler Ada SIA yang tersusun tangensial
Aksial (SIA) panjang/ke samping
Isi sel -
Parenkim aksial Bentuk sayap, konsentrik, difuse in
agregat
Jenis/Famili/ Dryobalanops lanceolat /
Dipterocarpaceae
Nama Kapur
lokal/perdagangan
Kesimpulan
1. Terdapat dua kelompok kayu bekas pakai yang diminati pembeli, yakni kelompok utama
(kayu yang awet dan kuat) terdiri dari jenis ulin, bangkirai, urat mata, merbau dan ipil serta
beberapa dari jenis kapur dan meranti yang memiliki berat jenis tinggi, sedangkan
kelompok sampingan terdiri dari jenis kayu melapi, meranti tembaga, nyatoh, kedondong
dan melapi yang banyak digunakan untuk kebutuhan interior rumah/bangunan.
2. Pemilihan jenis kayu sebagai komoditi kayu bekas selain utamanya didasarkan dari
keawetan dan kekuatan kayu juga warna-warna tua atau gelap dengan kombinasi tekstur
yang menonjol dan atau kerapatan kayu yang tinggi setelah lama dalam pemakaian
sebelumnya.
3. Keuntungan dari pemakaian kayu bekas adalah selain harganya relatif lebih murah, juga
memiliki sifat yang tidak akan berubah atau melintir lagi.
160
ANATOMI DAN SIFAT DASAR KAYU
4. Pengukuran volume air pada pencelupan sampel kayu ke dalam gelas ukur cukup
bermanfaat dalam penaksiran nilai kepatan kayu yang berguna untuk data identifikasi
kayu.
Saran
1. Penggunaan kunci identifikasi kayu secara manual (dikotomis) saja belum cukup dan
masih terasa sulit dan lambat, oleh karenanya diperlukan komputerisasi
pengidentifikasian kayu oleh karena itu diperlukan adanya penggalangan dan upaya
pembuatan kunci identifikasi jenis-jenis kayu terkait dengan penyelamatan Sumber Daya
Endemik Indonesia.
2. Diperlukan pemberian tambahan pengetahuan tentang cara memilih kayu kepada
pengguna/konsumen dan penjual kayu bekas, sehingga tidak mengandalkan perbedaan
warna, tektur serat dan berat/bobot kayu saja.
DAFTAR PUSTAKA
161
BIDANG B
BIOKMPOSIT
BIOKOMPOSIT
ABSTRAK
Teknologi perekatan kayu seperti papan partikel merupakan salah satu alternatif
teknologi yang dapat dimanfaatkan untuk mengolah serutan bambu petung yang belum
dimanfaatkan secara maksimal dan ekonomis. Kualitas papan partikel di pengaruhi oleh
berbagai faktor. Penelitian ini dilakukan agar dapat memberikan informasi mengenai sifat-
sifat papan partikel dengan bahan baku limbah serutan bambu petung (Dendrocalamus
asper Backer) serta untuk mengetahui pengaruh interaksi komposisi ukuran partikel dengan
jumlah perekat urea formaldehida terhadap kualitas papan partikel.
Bahan penelitian berupa partikel bambu petung, perekat urea formaldehida (UA-147),
dan hardener (NH4Cl). Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap dengan
percobaan faktorial 2 faktor, yaitu komposisi partikel dengan 3 aras, yaitu A1 (face : 12,5 %,
core : 75 %, back : 12,5 %), A2 (face : 25 %, core : 50 %, back : 25 %), A3 : (face : 35 %,
core : 30 %, back : 35 %), dan jumlah perekat dengan 2 aras, yaitu B1 (5 %) dan B2 (10 %).
Parameter yang diuji dalam penelitian ini adalah kerapatan, kadar air, penyerapan air,
pengembangan tebal, modulus patah, modulus elastisitas, dan keteguhan internal bonding.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa interaksi antara komposisi partikel dan jumlah
perekat tidak berpengaruh nyata terhadap semua parameter yang diuji. Faktor jumlah
perekat berpengaruh sangat nyata terhadap modulus patah dan modulus elastisitas papan
yang dihasilkan. Terjadi peningkatan MoR dari B1 (109,9 kg/cm2) ke B2 (139,1 kg/cm2) dan
terjadi peningkatan MoE dari B1 (15269 kg/cm2) ke B2 (18694 kg/cm2). Faktor jumlah
perekat juga berpengaruh nyata terhadap kerapatan papan, penyerapan air, dan keteguhan
internal bonding. Makin banyak jumlah perekat yang digunakan, maka kerapatan papan dan
keteguhan internal bonding papan tersebut ikut meningkat yaitu dari B1 (0,626 %) ke B2
(0,657 %) untuk kerapatan dan dari B1 (2,173 kg/cm2) ke B2 (2,757 kg/cm2) untuk
keteguhan internal bonding, sedangkan penyerapan air cenderung menurun seiring dengan
penambahan jumlah perekat, yaitu dari B1 (65 %) ke B2 (56%). Faktor komposisi partikel
berpengaruh sangat nyata terhadap parameter keteguhan internal bonding. Terjadi
peningkatan keteguhan internal bonding dari komposisi A1 (1,549 kg/cm2) ke komposisi A2
(2,643 kg/cm2) kemudian ke komposisi A3 (3,203 kg/cm2).
Kata kunci : bambu petung, Dendrocalamus asper Backer, serutan, papan partikel, ukuran
partikel, jumlah perekat.
PENDAHULUAN
Indonesia adalah negara agraris, terletak di sekitar katulistiwa dengan tanah yang
subur dan semua tanaman dapat hidup dengan mudah sehingga diberkati Tuhan dengan
hutan yang luas dan hijau sebagai permadani yang indah. Kalimat uraian wilayah yang indah
tersebut sudah mulai memudar dengan berkurangnya luas hutan baik dikonversi ke tanah
pertanian atau perkebunan atau memang menjadi gundul karena penebangan liar dan
pembabatan hutan yang tak bertanggung jawab. Hasil akhirnya adalah produksi kayu dari
hutan menurun tajam sehingga harga kayu naik dengan cepat dan menjadi tak terjangkau
bagi kebanyakan rakyat. Kondisi ini harus menjadi perhatian serius pemerintah untuk
mengembalikan ke kondisi hutan yang lestari dengan kondisi lingkungan hutan, perkebunan
dan pertanian yang serasi, harmonis dan nyaman untuk hidup sejahtera (Anonim, 2009).
163
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Masa transisi dimana kayu mahal karena hutan sudah tidak mampu menghasilkan
kayu dengan baik dan berkualitas, maka perlu dicari tanaman lain yang cepat tumbuh dan
mampu segera menggantikan peran kayu. Survei menghasilkan tanaman bambu sebagai
tanaman yang cepat tumbuh dan mampu digunakan sebagai pengganti kayu dalam hal
tertentu (Anonim, 2003). Bambu adalah tanaman monokotil, termasuk keluarga rumput
(Graminae) dan mampu cepat tumbuh yaitu umur 3-4 tahun sudah dipanen. Pengujian tarik
kulit bambu menghasilkan kekuatan tarik yang besar yaitu lebih tinggi dari kekuatan tarik
baja. Oleh sebab itu bambu langsung digunakan sebagai bahan konstruksi baik secara
langsung dengan bambu utuh ataupun dengan bambu bilah dan galar (Batubara, 2002).
Seiring dengan perkembangan teknologi perekatan, maka terbuka pembuatan balok
laminasi bambu, papan laminasi bambu dan semua bahan bambu yang dapat direkat.
Teknologi perekatan seperti ini makin meningkatkan rendemen olahan bambu sehingga
waktu menunggu panen bambu yang 4 tahun tidak sia-sia dan kemudian mengolah semua
material yang berasal dari bambu tersebut. Pada pembuatan bilah bambu untuk balok dan
papan laminasi, maka bambu selalu diserut dan menghasilkan limbah serutan dalam jumlah
besar. Makin tipis bambu bilah yang dibuat maka makin banyak limbah serutan yang
dihasilkan (Prayitno 2005a).
METODE PENELITIAN
Penelitian papan serut bambu menggunakan 2 faktor yaitu komposisi pelapisan yang
disebut shelling ratio dan perekat labur. Komposisi pelapisan terdiri atas :
1. A1 komposisi partikel face: core:face sebesar 12,5:75:12,5
2. A2 komposisi partikel face:core:face sebesar 25:50:25
3. A3 komposisi partikel face:core:face sebesar 35:30:35
Faktor kedua adalah perekat labur sebanyak 2 dua aras yaitu B1 5% dan B2 10%..
Rancangan percobaan yang digunakan adalah RAL, Rancangan Acak Lengkap dengan
percobaan faktorial dengan 6 perlakuan dan 3 ulangan. Parameter penelitian yang diuji
adalah kadar air papan serutan, kerapatan papan, persen penyerapan air, persen
pengembangan tebal, MoR, MoE dan keteguhan rekat internal atau internal bonding papan
serutan (Anonim, 2002). Proses pembuatan papan partikel dapat digambarkan berikut:
Penyaringan serutan bambu
Pengempaan
Pengkondisian
164
BIOKOMPOSIT
Hasil penelitian pengaruh komposisi pelapisan (shelling ratio) dan perekat labur
terhadap sifat papan serutan bambu disajikan pada Tabel 1, Analisis varians seluruh
parameter kualitas papan partikel disajikan pada Tabel 2. Analisis varians pada Tabel 2
menunjukkan bahwa interaksi faktor komposisi pelapisan atau shelling ratio dengan perekat
labur tidak berpengaruh nyata pada sifat fisika papan serutan bambu. Faktor tunggal jumlah
perekat labur berpengaruh nyata pada sifat fisika papan serutan khususnya kerapatan dan
penyerapan air. Hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya sistem pembuatan papan serutan
khususnya sistem pengempaan dengan pengganjal (spacer) mampu membuat papan
serutan lebih homogen. Nilai kerapatan makin tinggi sejalan dengan jumlah perekat labur.
Perekat labur 10% menghasilkan kerapatan papan yang lebih tinggi (0,657) dibandingkan
perekat labur 5% (0,626). Hasil ini dapat dengan mudah diterima karena jumlah perekat
labur yang lebih banyak akan membuat ikatan antar serutan dapat lebih banyak sehingga
papan menjadi lebih rapat dan padat. Haygreen dan Bowyer (1996) menyebutkan bahwa
perekat labur yang digunakan pada pembuatan papan partikel komersial pada umumnya
10%. Jumlah perekat labur ini sudah cukup baik untuk menghasilkan papan pertikel dengan
sifat yang memenuhi standar. Komposisi pelapisan muka secara numerik memberikan
gambaran yang menarik dimana makin besar porsi pelapisan bambu sebagai lapisan inti
maka makin besar pula kerapatan papan serutan. Kerapatan papan serutan pada komposisi
pelapisan sebesar 33% sebesar 0, 0,624 sedangkan komposisi 50% menghasilkan
kerapatan sebesar 0,638 dan pelapisan sebesar 67% menghasilkan kerapatan sebesar
0,656 (Gambar 2). Hasil ini sejalan dengan keseimbangan sistem papan dimana komposisi
lapis inti dan lapis muka harus sedemikian rupa agar menghasilkan homogenitas serutan
yang berukuran berbeda. Prayitno(1995) menjelaskan bahwa komposisi partikel
berpengaruh sangat nyata terhadap kerapatan papan. Lapisan partikel yang lembut di
permukaan dan kasar di tengah akan menghasilkan efek yang berbeda bila yang kasar di
muka dan belakang dan yang lembut di tengah. Semakin seimbang (seragam) komposisi
partikel yang digunakan, maka keteguhan internal bondingnya semakin baik (Prayitno,
2005b). Walaupun secara statistik pengaruh komposisi pelapisan tidak berbeda nyata (93%)
tetapi secara numerik pengaruh tersebut cukup terlihat. Ketelitian dan rancangan percobaan
yang lebih tepat akan meningkatkan efek tersebut.
165
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Tabel 2 Analisis varians sifat fisika papan partikel serutan bambu petung
ns ns ns ns
A
0,0720 0,6830 0,0920 0,6780
* ns * ns
B
0,0320 0,4970 0,0190 0,5060
ns ns ns ns
A*B
0,1300 0,7350 0,2230 0,3210
Pola pengaruh yang sama dijumpai pada penyerapan air. Faktor jumlah perekat
berpengaruh secara nyata pada penyerapan air. Kadar perekat 10% menghasilkan
penyerapan air sebesar 56% sedangkan perekat labur 5% menghasilkan penyerapan air
papan serutan sebesar 65%. Ini berarti perekat yang lebih besar mampu menghasilkan
kerapatan papan yang lebih baik dan mengikat serutan penyusun papan lebih baik sehingga
penyerapan air papan menurun. Hasil ini sejalan dengan pengaruh perekat pada kerapatan
papan (Gambar 3). Kollmann dkk (1975) menyebutkan bahwa jumlah perekat lebih banyak
dan berhasil menyatukan dua atau lebih bahan direkat (dalam hal ini serutan bambu) akan
meningkatkan kerapatan dan sekaligus sifat papannya. Jenis perekat urea formaldehida
yang digunakan dalam penelitian ini cukup berhasil dalam menghasilkan ikatan antara
serutan bambu penyusun papan (De Bruyne dan Houwink, 1965). Bila diperhatikan variasi
sifat penyerapan air papan serutan bambu akibat dari komposisi pelapisan muka, maka
kecenderungan yang sama seperti variasi kerapatan papan akibat pengaruh komposisi
pelapisan muka. Kerapatan papan makin besar bila komposisi inti makin kecil atau
komposisi lapis muka makin besar. Dalam hal penyerapan air dapat dilihat bahwa makin
besar porsi pelapisan muka makin rendah persen penyerapan air. Hal ini dapat dipahami
karena makin besar porsi pelapisan muka makin tinggi kerapatan papan sehingga ikatan
antar serutan penyusun papan makin baik dan selanjutnya pada wakrtu diperlakukan dengan
perendaman dalam air maka papan dengan kerapatan tinggi berkurang penyerapan airnya
(Prayitno, 2004). Papan serutan atau papan partikel yang direkat perekat thermosetting
tertentu seperti urea formaldehida atau phenol formaldehida akan menghasilkan penyerapan
air yang rendah akibat sifat perekat tersebut. Perekat urea formaldehida masih lebih rendah
kekuatan untuk menahan pemasukan air ke dalam papan karena sifat kepekaan airnya yaitu
interior. Perekat phenol formaldehida lebih tahan sehingga dikelompokkan ke dalam perekat
eksterior (Brown dkk., 1952).
Rangkuman sifat mekanika yang diteliti dalam penelitian pengaruh shelling ratio dan
perekat labur terhadap sifat papan serutan bambu petung disajikan pada Tabel 3. Sifat
mekanika papan serutan bambu dipengaruhi secara nyata dan pasti oleh kadar perekat, dan
tidak dipengaruhi oleh interaksi dan komposisi pelapisan muka. Komposisi pelapisan muka
mempangaruhi secara sangat nyata pada hanya kekuatan rekat internal papan dan tidak
berpengaruh pada MoR dan MoE (Tabel 4). Rata-rata MoR papan serutan sebesar
124,1kg/cm2, Pengaruh kadar perekat terhadap sifat mekanika menunjukkan bahwa makin
besar perekat yang dilaburkan, makin tinggi sifat mekanika papan serutan bambu. Kadar
perekat 5% menghasilkan MoR sebesar 109,9kg/cm2, sedangkan kadar perekat sebesar
10% menghasilkan MoR sebesar 139.1kg/cm2. Jumlah perekat yang lebih banyak pasti
memperluas ikatan perekat dengan partikel sehingga luas permukaan ikatan partikel makin
besar. Hasil selanjutnya adalah kerapatan makin besar dan sejalan dengan hal ini maka
MoR makin besar. Demikian pula perilaku MoE, diaman jumlah perekat 5% menghasilkan
MoE sebesar 15269kg/cm2 sedangkan perekat 10% menghasilkan MoE sebesar
18694kg/cm2 (Gambar 4). Pengaruh jumlah perekat terhadap sifat mekanika seperti yang
diperoleh sejalan dengan penelitian papan partikel pada umumnya (Krisdianto. 2005;
166
BIOKOMPOSIT
Suryadi, 2008). Hal yang sama dijumpai pada perilaku kekuatan rekat partikel internal.
Jumlah perekat labur 5% menghasilkan kuat rekatan internal sebesar 2,173 kg/cm2,
sedangkan perekat labur 10% menghasilkan kuat rekatan internal sebesar 2,757kg/cm2.
Dengan demikian perekat labur yang lebih banyak akan menghasilkan rekatan antar partikel
yang lebih banyak sehingga kekuatan papan partikel juga semkain baik (Maloney, 1977)
Faktor komposisi pelapisan muka (shelling ratio) mempengaruhi kekuatan rekatan
internal saja, dan tidak mempengaruhi MoR dan MoE. Bila dilihat variasi nilai kekuatan
rekatan internal, maka dapat diketahui bahwa makin besar pelapisan muka atau makin kecil
porsi lapis tengah makin besar nilai rekatan internal papan serutan bambu petung. Pelapisan
muka 33%, 50% dan 67% menghasilkan kekuatan rekatan internal berturut sebesar 1,549;
2,643 dan 3,203 kg/cm2. Bila data variasi MoR dan MoE dicermati maka pengaruh pelapisan
dari 33%, 50% dan 67% menghasilkan nilai MoR secara berturutan 115,85; 123,55 dan
134,15kg/cm2 sedangkan variasi MoE secara berturutan adalah 16195; 16,828 dan
17925kg/cm2. Secara numerik ketiga sifat mekanika papan serutan bambu dipengaruhi oleh
faktor komposisi pelapisan yang digunakan dalam pembuatan papan partikel. Dengan
demikian sebenarnya faktor komposisi pelapisan mempunyai efek pada sifat mekanika
papan serutan bambu (Gambar 5).
2
Komposisi Jumlah MoR Internal bonding
partikel perekat 2 MoE (kg/cm ) 2
(kg/cm ) (kg/cm )
2 2
Sumber Internal bonding
variasi MoR (kg/cm ) MoE (kg/cm ) 2
(kg/cm )
ns ns **
A
0,1710 0,3620 0,0000
** ** *
B
0,0000 0,0040 0,0220
ns ns ns
A*B
0,3520 0,5230 0,5260
167
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
0.72
0.70
0.68
0.66
0.64
0.62
Kerapatan
0.60 (g/cm3)
0.58
0.56
0.54
B1 B2 B1 B2 B1 B2
A1 A2 A3
70.00
60.00
50.00
40.00
Kadar air (%)
30.00 Penyerapan air (%)
Pengembangan tebal (%)
20.00
10.00
0.00
B1 B2 B1 B2 B1 B2
A1 A2 A3
Gambar 3. Variasi kadar air, penyerapan air dan pengembangan tebal papan serutan
bambu menurut perlakuan komposisi pelapisan dan jumlah pertekat
168
BIOKOMPOSIT
200.00
180.00
160.00
140.00
120.00 MoR
(kg/cm2)
100.00
80.00
60.00 MoE
40.00 (x100
kg/cm2)
20.00
0.00
B1 B2 B1 B2 B1 B2
A1 A2 A3
Gambar 4. Variasi MoR dan MoE papan serutan bambu menurut perlakuan komposisi
pelapisan ndan jumlah perekat labur.
4.00
3.00
Internal bonding
(kg/cm2)
2.00
1.00
0.00
B1 B2 B1 B2 B1 B2
Gambar 5. Variasi keteguhan rekat internal papan serutan bambu menurut perlakuan
komposisi pelapisan dan jumlah perekat labor
Kesimpulan
Penelitian pengaruh pelapisan muka (shelling ratio) dan jumlah perekat
menghasilkan kesimpulan sebagai berikut.
1. Interaksi pelapisan muka atau shelling ratio dengan perekat labur
2. Makin tebal pelapisan muka atau makin tinggi shelling ratio yaitu dari 1:3 ke 2:1, makin
baik sifat papan serutan bambu.
3. Makin tinggi perekat labur sampai dengan 10% berat serutan makin baik sifat papan
serutan bamboo
169
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Saran
Berdasarkan hasil penelitian pengaruh pelapisan muka atau shelling ratio dan
perekat labur terhadap sifat papan serutan bambu, maka dapat disarankan hal-hal sebagi
berikut.
1. Papan serutan bambu dapat digunakan sebagai pengganti papan kayu pejal, sehingga
mengurangi permintaan akan kayu dari hutan negara dan masyarakat.
2. Papan serutan bambu mampu meningkatkan meningkatkan rendemen pengolahan
bambu untuk laminasi abaik balok dan papan sehingga memperbaiki lingkungan
sekaligus dapat dianeksasikan kedalam pabrik laminasi bambu
3. Perlu penelitian kelayakan industri papan serutan bambu baik skala home industri
maupun aneksasi industri laminasi bambu.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2002. Annual book of ASTM Standards. American Society for Testing Materials.
Philadelpia USA.
_______. 2003. Pengembangan teknologi rotan dan bambu sebagai bahan baku industri
mebel dalam rangka meningkatkan kualitas produk. Laporan akhir. Kerjasama antara
Fakultas Kehutanan UGM dengan Proyek Pemberdayaan Industri Kecil dan
Menengah Kimia, Agro dan Hasil Hutan. Yogyakarta.
_______. 2009. Luas hutan Indonesia 138 juta hektare. Dari www.mediaindonesia.com.
Dikunjungi pada 27 Juli 2010.
Batubara, R. 2002. Pemanfaatan bambu di Indonesia. Dari buletin Fakultas Pertanian
Program Ilmu Kehutanan Universitas Sumatera Utara.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/970/1/hutan-ridwanti4.pdf. Dikunjungi
pada 27 Juli 2010.
Brown, H.P., A.J. Panshin dan C.C, Forsaith. 1952. Text book of wood technology. Vol. II,
The physical, mechanical and chemical properties of commercial wood of the United
States. Mc Graw Hill and Company. New York.
De Bruyne, N.A And R. Houwink. 1965. Adhesion and adhesive. Elsevier Publishing
Company. New York.
Haygreen, J.G. dan J.L. Bowyer. 1996. Hasil hutan dan ilmu kayu. Suatu pengantar. Gadjah
Mada University Press. Yogyakarta.
Kollmann, F.F.P., E.W Kuenzi and A.J Stamm. 1975. Principles of wood science and
tecnology Vol.II. Wood based materials. Springer Verlag Berlin Heidelberg. New
York.
Krisdianto. 2005. Sari hasil penelitian bambu. dari
http//www.dephut.go.id/informasi/litbang/teliti/bambu.htm. akses 14 Mei 2010.
Maloney, T. M. 1977. Modern particle board and dry process fiberboard manufacturing. Miller
Freeman Publications., Inc USA.
Prayitno,TA. 1995. Teknologi papan partikel. Modul ajar . Fakultas Kehutanan UGM.
Yogyakarta.
_______. 2004. Perekatan Kayu. Fakultas Kehutanan UGM. Yogyakarta
_______. 2005a. Laminasi bambu. Kursus Teknologi Bambu. Pusat Penelitian Bambu PAU-
Teknik UGM.
_______. 2005b. Bamboo stabilization. Kursus Teknologi Bambu. Pusat Penelitian Bambu
PAU-Teknik UGM
Suryadi, F. 2008. Pengaruh Suhu dan Lama Pemanasan Terhadap Sifat Fisika Mekanika
Papan Partikel Bambu Petung. Fakultas Kehutanan UGM. Yogyakarta. Skripsi. Tidak
diterbitkan.
170
BIOKOMPOSIT
ABSTRAK
Salah satu parameter kualitas kayu lapis adalah karakteristik bagian permukaannya.
Penelitian ini bertujuan untuk memperbaiki kualitas kayu lapis dengan cara memodifikasi dan
melapisi bagian permukaan menggunakan lembaran vinir kompresi. Vinir yang digunakan
berupa vinir sengon (Paraserianthes falcataria L.Nielsen) ketebalan 2 mm yang
dikompresi/dipadatkan menjadi ketebalan 1 mm. Hasilnya menunjukkan bahwa kerapatan,
MOR dan keteguhan rekat kayu lapis meningkat serta memenuhi standar kayu lapis
struktural (JAS dan SNI 01-5008.7-1999). Kekerasan permukaan kayu lapis meningkat dari
232 kg/cm2 menjadi 328,67 kg/cm2.
PENDAHULUAN
Kayu lapis merupakan salah satu produk panel kayu yang sudah sangat familiar di
masyarakat. Kebutuhan bahan baku kayu untuk memproduksi kayu lapis terus mengalami
peningkatan dari tahun ke tahun. Data kementerian kehutanan Indonesia tahun 2007 (Hadjib
et al., 2010) menyatakan bahwa kebutuhan bahan baku kayu untuk produk berbasis vinir
(kayu lapis dan LVL) di Indonesia adalah 20.157.842 m3, sedangkan kapasitas produksi
yang diijinkan adalah 11.066.813 m3 / tahun. Sehingga terjadi gaps antara supply dan
demand bahan baku yang cukup besar (r 9 juta m3/tahun). Untuk mengatasi permasalah ini,
agar industri kayu lapis dapat terus bertahan maka banyak pihak industri yang mulai beralih
pada penggunaan kayu berdiameter kecil dan kurang dikenal sebagai bahan baku
produksinya.
Menurut Keegen et al, (2005) dalam Massijaya et al. (2010), kayu berdiameter kecil
Small Diameter Logs (SDL) adalah kayu/log yang memiliki diameter setinggi dada d 10 (r
25,4 cm). Sedangkan menurut PP No.74 tahun 1999 (Massijaya et.al., 2010), SDL
merupakan kayu yang memiliki diameter d 30 cm. Hadjib et al (2010) menambahkan bahwa
contoh kayu yang termasuk SDL antara lain: kayu sengon, afrika, tisuk, magium, karet,
gmelina, suren, jabon, petai hutan, pulai, dan lain sebagainya. Umumnya jenis-jenis kayu
tersebut memiliki kualitas kerapatan yang rendah sampai sedang. Dimana hal ini akan
berdampak pada kulaitas produk kayu lapis yang dihasilkan.
Kualitas produk kayu lapis atau LVL sangat dipengaruhi oleh kualitas bahan baku
kayu dan jenis perekat yang digunakan. Salah satu parameter yang menetukan kulitas/ mutu
kayu lapis adalah karakteristik bagian permukaannya. Berbagai macam penelitian telah
banyak dilakuan untuk meningkatkan kualitas permukaan kayu lapis, diantaranya adalah
dengan perlakuan dimethyloldihydroxyethyleneurea (DMDHEU) (Dieste et al.,2008),
pelapisan dengan vinir sayat dari kayu tertentu (misalnya: jati; sonokeling, eboni), atau
dengan pelapisan bahan kimia lainnya, misalnya: melamin dan cat tahan air. Perbaikan
kualitas permukaan kayu lapis pada umunya bertujun untuk meningkatkan sifat fisik-mekanik
kayu lapis tersebut. Modifikasi kayu dengan pemadatan dan perlakuan panas merupakan
171
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
contoh metode yang dapat diterapkan untuk tujuan peningkatan sifat fisik-mekanik dan
keawetan kayu (Hill, 2005).
Penelitian ini berujuan untuk mengetahui efektifitas peningkatan kualitas kayu lapis
berbahan baku kayu berdiameter kecil (SDL) melalui pelapisan bagian permukaan kayu lapis
dengan vinir kompresi
Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah lembaran vinir kayu SDL
(sengon dan afrika) dengan ketebalan 2mm. Sedangkan bahan perekat yang digunakan
adalah perekat isosianat komersial (Koyo Bond) dan perekat TRF (Tanin Resorcinol
Formaldehida) hasil formulasi Puslitbang Gunung Batu, Bogor. Tannin berasal dari kulit kayu
akasia, sedangkan ekstender yang digunakan pada perekat TRF adalah tepung terigu
(10%).
Kayu lapis yang dibuat berukuran 30cm x 30 cm, 5 lapis (S-A-A-A-S). S adalah
lembaran vinir kayu sengon, dan A adalah vinir kayu afrika. Masing-masing aplikasi jenis
perekat dibuat sebanyak 7 sampel papan (5 papan dengan pelapisan vinir kompresi; 2
papan sebagai kontrol tanpa pelapisan vinir kompresi). Pembuatan vinir kompresi dilakukan
dengan cara pemadatan dengan pengempaan terhadap vinir yang akan dijadikan lapisan
permukaan (sengon) dengan suhu 170 oC selama 5 menit. Target pemadatan adalah 50%
dari tebal awal (2mm menjadi 1mm). Vinir yang telah dipadatkan selanjutnya dikeringkan
dalam oven pada suhu 103r2qC selama 24 jam agar tercapai drying set.
Penyusunan vinir dan pembuatan kayu lapis dilakukan setelah conditioning vinir
kompresi (7 hari), dengan berat labur untuk masing-masing perekat 280 g/m2 dan dilaburkan
pada kedua permukaan vinir. Pembuatan kayu lapis dilakukan dengan kempa dingin selama
24 jam, dan conditioning selama 2 minggu dalam suhu ruang..
Pengujian dilakukan dengan mengacu pada standar JAS (Japanese Agricultural
Standard for Structusal Plywood): 2003, dan SNI 01-5008.7-1999 (kayu lapis struktural).
Parameter yang diuji meliputi: kadar air, kerapatan, delaminasi, kekerasan (hardness),
bending strength (MOE/MOR), dan keteguhan geser rekat (shear strength).
172
BIOKOMPOSIT
Kerapatan kayu lapis yang dihasilkan berkisar antara 0,43-0,50 g/cm3 (Gambar 2).
Pelapisan vinir kompresi pada bagian kedua permukaan berhasil meningkatkan kerapatan
kayu lapis, hingga dicapai kerapatan rata-rata 0,50 g/cm3. Jenis kayu sengon dan kayu SDL
lainya mulai dikembangkan sebagai sumber bahan baku industri kayu lapis/LVL. Menurut
Iskandar (2006), vinir kayu sengon yang telah dikeringkan cenderung mengkerut dan
bergelombang sehingga produk kayu lapis yang dihasilkan tidak rata yang berakibat pada
penurunan mutu. Selain itu, kayu sengon memiliki kerapatan yang rendah sehingga
kekerasan permukaannya juga rendah. Kerapatan kayu lapis dipengaruhi oleh kerapatan
vinir penyusunnya. Kerapatan kayu sengon dan afrika pada kondisi kering udara masing-
masing adalah 0,28 g/cm3 dan 0,41 g/cm3 (Hadjib et al. 2010). Sehingga penggunaan kayu
sengon sebagai bahan baku kayu lapis tanpa perlakuan pemadatan terlebih dulu (kompresi)
atau tidak dikombinasikan dengan jenis kayu lainnya yang kerapatnnya lebih tinggi maka
hanya kan menghasilkan produk kayu lapis dengan kerapatan yang rendah. SNI 01-5008.7-
1999 mensyaratkan jenis kayu yang dapat digunakan untuk pembuatan kayu lapis struktural
adalah jeni-jenis kayu yang memiliki berat jenis (BJ) lebih dari 0,40. Sehingga dengan
asumsi pamadatan 50% dari tebal awal (2 mm menjadi 1 mm) diharapkan dapat
meningkatkan BJ atau kerapatan vinir kayu sengon menjadi lebih dari 0,40 (r 0,42). Target
pemadatan yang diterapkan pada kayu berbanding lurus dengan peningkatan kerapatannya.
Pemadatan kayu afrika dengan target pengempaan 33,3% mampu meningkatkan kerapatan
kayu tersebut sampai 38,64% dari kerapatan awal sebelum dipadatkan Amin et al. (2004).
173
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Nilai MOR kayu lapis hasil pengujian berkisar antara 32,88 47,83 MPa (sejajar
serat) dan 19,24 31,06 MPa (tegak lurus serat) (Gambar 4). Nilai MOR kayu lapis dengan
pelapisan vinir kompresi (isosianat dan TRF) dan kontrol TRF memenuhi persyaratan
standar JAS untuk uji sejajar sera (t 34 MPa). Sedangkan untuk uji tegak lurus serat, nilai
MOR semua kayu lapis memenuhi standar JAS (t 12 MPa).
174
BIOKOMPOSIT
Dari hasil pengujian keteguhan geser tarik shear strength kayu lapis (uji kering)
diperoleh nilai rata-rata keteguhan rekat untu masing-masing perlakuan adalah seperti
ditunjukkan pada Gambar 5 berikut.
Berdasarkan pada Gambar 5, semua kayu lapis yang diuji telah memenuhi
persyaratan standar SNI 01-5008.7-1999 (t 7 kg/cm2 | 0,7 N/mm2). Pelapisan vinir
kompresi pada kayu lapis memberikan pengaruh positif terhadap peningkatan keteguhan
rekatnya, terutama pada penggunaan perekat isosianat. Sementara pada penggunaan
perekat TRF, pelapisan vinir kompresi pada kayu lapis tidak memberikan pengaruh terhadap
keteguhan rekatnya.
Selain dapat meningkatkan keteguhan rekat kayu lapis (perekat isosianat) dan
meningkatkan bending strength (terutama pada uji tegak lurus serat), pelapisan permukaan
kayu lapis dengan vinir kompresi juga dapat meningkatkan kekerasan permukaan kayu lapis.
Rata-rata kekerasan permukaan (hardness) meningkat dari 232 kg/cm2 menjadi 328,67
kg/cm2, sehingga diharapkan produk kayu lapis ini bias diterapkan untuk penggunaan lantai
(flooring). Performa permukaan kayu lapis jadi makin bagus: kesan raba lebih halus dan
licin; warna lebih gelap dan tampak mengkilap (Gambar 6).
A B
Gambar 6. Penampang permukaan kayu lapis: (A) kontrol; (B) vinir kompresi
175
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
KESIMPULAN
1. Kadar air kayu lapis belum memenuhi standar JAS dan SNI, kadar air vinir yang
digunakan sebaiknya lebih rendah dari 9 % agar produk yang dihasilkan bisa memenuhi
standar.
2. Pelapisan vinir kompresi pada bagian permukaan kayu lapis berhasil meningkatkan
kerapatan (rata-rata 0,50 g/cm3), sehingga memungkinkan untuk aplikasi penggunaan
struktural. Nilai keteguhan rekat dan MOR (tegak lurus serat) kayu lapis dengan
pelapisan vinir kompresi telah memenuhi standar JAS for structural plywood dan SNI 01-
5008.7-1999.
3. Pelapisan vinir kompresi pada permukaan kayu lapis dapat memperbaiki karakteristik
dan kualitas permukaan kayu lapis: kekerasan (hardness) meningkat, kesan raba lebih
halus dan licin; warna lebih gelap dan tampak mengkilap
DAFTAR PUSTAKA
Amin, Y., Dwianto W., Prianto A.H. 2004. Sifat mekanik kayu kompresi. Prosiding Seminar
Nasional VII MAPEKI, Makasar 5-6 Agustus 2004
Dieste A., Krause A., Bollmus S. 2008. HolgerMilitzPhysical andmechanical properties of
plywood produced with 1.3-dimethylol-4.5- dihydroxyethyleneurea (DMDHEU)-
modified veneers of Betula sp. andFagus sylvatica. Holz Roh Werkst (2008) 66: 281
287
Hadjib N., Massijaya M.Y., Hadi Y.S. 2010. Address technical gaps in producing bio-
composite product: Identify suitable wood species and evaluate mechanical
properties. Paper presented on Project Workshop CFC/ITTO: Utilization of small
diameter logs from sustainable source for bio-composite products. Bogor, Indonesia ;
December 9-10, 2010.
Hill C. 2005. Wood modification: Chemical, thermal and other process. John Wiley & Sons,
Ltd. USA.
Iskandar, M. I.. 2006. Pemanfaatan Kayu Hutan Rakyat Sengon (Paraserianthes falcataria
(L) Nielsen) untuk Kayu Rakitan. PROSIDING Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan
2006 : 183-195
JAS (Japanese Agricultural Standard for Structusal Plywood): 2003
Massijaya M.Y., Hadi Y.S., Tambunan B.,Hadjib N., Hermawan D. 2010. Utilization of small
diameter logs from sustainable source for bio-composite products. Paper presented
on Project Workshop CFC/ITTO: Utilization of small diameter logs from sustainable
source for bio-composite products. Bogor, Indonesia ;December 9-10, 2010.
SNI 01-5008.7-1999: kayu lapis struktural. Cetakan ke-2 tahun 2003
176
BIOKOMPOSIT
ABSTRAK
Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis pengaruh perendaman strand dalam
acetic anhydride terhadap sifat fisis dan mekanis OSB yang terbuat dari kayu akasia
mangium. Strand direndam dalam acetic anhydride selama 24 jam, selanjutnya dikeringkan
pada suhu 600C hingga beratnya konstan untuk menentukan WPG-nya. Papan yang dibuat
berukuran 25x25x0,5 cm3 dengan target kerapatan sebesar 0,7 g/cm3. Perekat yang
dipergunakan dalam penelitian ini phenol formaldehid (SC: 44%). Pengempaan panas
dilakukan pada suhu 1600C, waktu selama 12 menit dan tekanan kempa sebesar 25 kg/cm2.
Pengujian sifat fisis dan mekanis papan berdasarkan standar JIS A 5908 (2003). Hasil
penelitian menunjukkan bahwa daya serap air dan pengembangan tebal papan dengan
perlakuan asetilasi lebih baik dibadingkan dengan kontrol. MOR dan IB papan terlihat
mengalami penurunan untuk papan dengan perlakuan asetilasi.
PENDAHULUAN
OSB merupakan panel yang dapat dipakai sebagai komponen konstruksi. Lembaran
panel terbuat dari strand kayu jenis cepat tumbuh, direkat dengan perekat tipe eksterior dan
dikempa panas (Structural Board Association 2005). Menurut APA (2000), OSB merupakan
papan yang dibuat dengan arah orientasinya mirip dengan kayu lapis yaitu orientasi strand
antar lapisan disusun saling bersilangan tegak lurus, hal ini bertujuan untuk memperoleh
kekuatan dan kekakuan panel struktural yang dihasilkan. Kayu sebagai bahan
berlignoselulosa merupakan material higroskopis yang memiliki sifat dapat mengembang
karena adanya penyerapan air dan uap air serta dapat menyusut karena kehilangan air dan
uap air yang terjadi pada kondisi dibawah titik jenuh serat.
Bahan lignoselulosa secara potensial sangat reaktif karena adanya gugus hidroksil
pada unit polimernya. Kehadiran dan ketersediaan gugus hidroksil ini memberikan kekuatan
dan berbagai sifat pada material lignoselulosa, namun keberadaan gugus hidroksil ini juga
dapat menyebabkan permasalahan pada material lignoselulosa. Gugus hidroksil ini dapat
membentuk ikatan hidrogen didalamnya serta ikatan dengan jenis polimer lain yang berasal
dari luar material lignoselulosa (Papadopoulos and Traboulay, 2000). Ketika air masuk
dalam struktur dan berinteraksi dengan polimer maka akan terjadi ikatan hidrogen sehingga
akan menyebabkan perubahan sifat dari material lignoselulosa. Perubahan ini akan
menimbulkan permasalahan seperti stabilitas dimensi dan kerusakan oleh perusak
mikrobiologi. Sifat reaktivitas lignoselulosa dapat dimanfaatkan dalam rangka meningkatkan
sifat-sifatnya untuk menghasilkan material yang lebih superior dalam hal performa dan sifat-
177
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
sifatnya yang lebih baik. Salah satu cara modifikasi kimias adalah reaksi gugus hidroksi
dengan acetic anhydride yang dikenal ebagai asetilasi (Rowell, 1975).
Pada prinsipnya, asetilasi merupakan reaksi pembentukan ester dari pereaksi asetic
anhidrida dengan gugus fungsi hidroksil pada kayu. Meskipun asetilasi menghasilkan
produk sampingan yang berupa asam asetat dimana keberadaannya dapat mendegradasi
selulosa, namun teknik asetilasi ini masih banyak dipergunakan karena biayanya murah dan
prosesnya sederhana. Setelah perlakuan asetilasi, papan yang dihasilkan diharapkan akan
memiliki sifat-sifat yang lebih baik dari papan tanpa asetilasi seperti peningkatan stabilitas
dimensi dan ketahanan terhadap serangan rayap. Tujuan dari penelitian ini untuk melihat
pengaruh perlakuan asetilasi pada strand terhadap sifat fisis dan mekanis OSB yang
dihasilkan.
1. Strand
Strand dengan target ukuran panjang 7 Cm, lebar 2,5 Cm dan tebal 0,08 Cm
dibuat dengan menggunakan diskflaker. Hasil pengukuran dari 100 strand yang diambil
secara acak sebagaimana disajikan pada Tabel 1. Selanjutnya strand dikeringkan
dengan menggunakan oven pada suhu 1032 0C hingga mencapai kadar air sekitar 5%.
2. Asetilasi Strand
Strand yang telah dikeringkan hingga mencapai kadar air 5% selanjutnya
direndam dalam larutan acetic anhydride selama 24 jam. Kemudian strand ditiriskan dan
selanjutnya di keringkan pada suhu 60oC hingga beratnya konstan. Nilai WPG asetilasi
strand-nya diperoleh sebesar 4%.
3. Pembuatan OSB
Strand dicampur dengan perekat dengan menggunakan drum blender. Perekat
yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah Phenol Formaldehyde tipe PA-302
dengan nilai solid content 43%, pH 10 viscositasnya 1,5 poise. Strand disusun dengan
arah bersilangan antar lapisan pada alat pencetak lapik berukuran 25x25x0,5 cm dengan
target kerapatan papan 0,7 g/cm3. Komposisi strand didalam lapisan dibagi menjadi 3
bagian yaitu surface layer (25%), core layer (50%) dan back layer (25%). Lapik
diletakkan di antara dua plat kempa dan dilakukan pengempaan panas pada suhu 1600C
selama 12 menit dengan tekanan kempa sebesar 25 kg/cm2. Papan yang telah dikempa
selanjutnya dikondisikan selama 2 minggu sebelum dilakukan pengujian
4. Pengujian Papan
Pengujian papan yang dihasilkan meliputi pengujian sifat fisis (kerapatan, kadar
air, pengembangan tebal, daya serap air), sifat mekanis (MOE, MOR, dan keteguhan
rekat internal) dan stabilitas dimensi papan yang dinyatakan dengan nilai Anti Shrink
Efficiency (Cetin, 2001)
178
BIOKOMPOSIT
1. Kadar Air
Hasil pengujian kadar air OSB dengan perlakuan asetilasi dan tanpa perlakuan
disajikan pada Gambar 1 berikut.
Berdasarkan Gambar 1, terlihat bahwa nilai kadar air produk OSB dengan perlakuan
asetilasi lebih rendah dibandingkan dengan kontrol. Penggantian beberapa gugus hidroksil
dari polimer dinding sel dengan ikatan gugus asetil mengurangi sifat higroskopis dari kayu.
Kadar air diduga diserap dalam bentuk primery atau secondary water. Primery water
merupakan serapan air pada rantai primer dengan energi ikat yang tinggi seperti gugus
hidroksil. Secondary water merupakan penyerapan air denga energi ikat yang rendah
seperti molekul air yang diserap pada bagian atas lapisan primer. Karena beberapa gugus
hidroksil teresterifikasi dengan gugus asetil maka menyebabkan berkurangnya gugus primer
yang menyerap air akibatnya serat akan lebih bersifat hidrofobik karena adanya proses
asetilasi, kemungkinan ini juga terjadi pada secondary water (Rowell, 2007).
Selanjutnya masih menurut Rowell (2007) terdapat sekitar 20-25% gugus hidroksil
dari holoselulosa yang tersubstitusi oleh gugus asetil dari acetat anhydride. Kemudian
berdasarkan asumsi bahwa dari 20-25% gugus hidroksil holoselulosa tersebut didominasi
oleh gugus hidroksil dari hemiselulosa. Dijelaskan bahwa pada selulosa hanya terdapat
beberapa gugus hidroksil yang mampu tersubstitusi terutama hanya pada daerah amorf.
Berdasarkan standar JIS A 5908 (2003) yang mensyaratkan bahwa standar kadar air papan
5-13%, maka nilai kadar air papan hasil penelitian ini telah memenuhi standar.
179
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Menurut Rowell (2007), Stabilitas dimensi karena asetilasi disebabkan oleh adanya
bulky dari ikatan gugus asetil dengan polimer gugus hdroksil dalam dinding sel. Karena
volume dinding sel telah dipenuhi hingga mendekati volume basahnya maka hanya terjadi
sedikit pengembangan ketika air masuk dalam kayu. Kayu terasetilasi masih dapat
menyerap air melalui aksi kapiler dalam dinding sel. Hal ini terjadi karena molekul air lebih
kecil dari gugus asetil, beberapa pengembangan terjadi pada kayu terasetilasi namun
pengembangan tersebut tidak melebihi batas elastis dinding sel. Nilai ASE hasil penelitian
ini sekitar relatif rendah 19.6% karena berhubungan dengan rendahnya nilai WPG yang
diperoleh pada penelitian ini. Perlakuan perendaman strand selama 24 jam tidak optimum
untuk menggantikan gugus OH polimer dinding sel kayu sehingga hanya sedikit gugus OH
yang tersubstitusi oleh gugus asetil. Berdasarkan standar JIS A 5908 (2003) yang
mensyaratkan bahwa pengembangan tebal papan maksimum 25%, maka nilai
pengembangan papan hasil penelitian ini telah memenuhi standar.
180
BIOKOMPOSIT
Berdasarkan Gambar 3 dan 4, terlihat bahwa nilai MOE dan MOR produk OSB
dengan perlakuan asetilasi lebih rendah dibandingkan dengan kontrol. Perlakuan
perendaman strand dengan acetat anhydride menyebabkan penurunan nilai MOE dan MOR
masing-masing sebesar 9,3% dan 14,7% dibandingkan kontrol. Menurut Rowell (2007),
sedikit penurunan beberapa sifat kekuatan terjadi sebagai akibat perlakuan asetilasi. Hal ini
dimungkinkan karena adanya perubahan sifat kayu menjadi hidrofobik dimana kandungan air
yang terdapat pada perekat penol atau isosianat sulit untuk berpenetrasi kedalam flake.
Sifat kekuatan sangat tergantung pada kadar air dinding sel. Sifat mekanis tegangan serat
pada batas proporsi dipengaruhi oleh perubahan kadar air sekitar 1% dibawah titik jenuh
serat. Faktanya bahwa kadar air kesetimbangan dan titik jenuh serat dari serat terasetilasi
terhitung sedikit lebih rendah dibandingkan dengan yang tidak terasetilasi dalam sifat
kekuatan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa perlakuan asetilasi dapat menurunkan
nilai MOE dan MOR (Larsson and Simonson,1994., Militz,1991., Bongers and Beckers,
2003., Jorissen et al. 2005). Berdasarkan standar JIS A 5908 (2003) yang mensyaratkan
bahwa MOE papan minimal 40800 kg/cm2 dan MOR papan minimal 244,8 kg/cm2 maka nilai
MOE dan MOR papan hasil penelitian ini telah memenuhi standar.
Gambar 5. Keteguhan rekat internal OSB dengan perlakuan asetilasi dan kontrol
Berdasarkan Gambar 3 dan 4, terlihat bahwa nilai MOE dan MOR produk OSB
dengan perlakuan asetilasi lebih rendah dibandingkan dengan kontrol. Menurut Houts et al
(2003) panel dengan furnis terasetilasi untuk bagian core-nya memiliki IB 50% lebih rendah
dari panel lain yang tidak terasetilasi. Penurunan IB dari kayu terasetilasi disebabkan oleh
penurunan wetabilitasnya, yang mana hal tersebut menghambat penetrasi dari perekat
phenol sehingga terjadi penurunan nilai IB (Chowdhury and Humphrey 1999, Rowell et al.
1987, Rowell and Banks 1987 dalam Houts et al, 2003). Rendahnya nilai IB dengan
perlakuan asetilasi juga diduga karena perlakuan perendaman strand dalam acetic
anhydride akan menurunkan pH dari strand sehingga keasaman strand akan semakin
meningkat. Sementara perekat phenol formaldehid yang dipakai merupakan perekat yang
kompatibel dengan kayu yang memiliki pH lebih tinggi (base curing resin) dan sensitif
terhadap kayu yang memiliki keasaman sangat rendah. Hal tersebut didukung oleh
penelitian yang dilakukan oleh Van Niekerk & Pizzi (1994) yang melaporkan bahwa
keasaman yang kuat pada Eucalyptus grandis menjadikan penghambat kematangan perekat
Phenol Formaldehid (PF) dan tanin selama pengempaan panas dalam pembuatan papan
partikel untuk keperluan eksterior. Suatu kajian menarik yang dilakukan oleh Papadopoulos
(2006) dalam Papadopoulos (2010) bahwa sifat ikatan (keteguhan rekat internal) partikel
kayu termodifikasi kimia dengan perekat berbasis formaldehid dan isosianat, hasilnya
menunjukkan bahwa modifikasi strand secara signifikan tidak berpengaruh pada efisiensi
ikatan dengan perekat isosianat, namun hal ini sangat bepengaruh pada efisiensi ikatan
dengan perekat formaldehid. Temuan terpenting dalam rangka mengatasi penurunan IB
akibat proses asetilasi strand yaitu bahwa strand terasetilasi ditempatkan sebagai lapisan
181
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
permukaan (face layer) dalam pembuatan panel (Houts et al, 2003). Berdasarkan standar
JIS A 5908 (2003) yang mensyaratkan bahwa IB papan minimal 3,06 kg/cm2 maka nilai IB
papan hasil penelitian ini belum memenuhi standar.
KESIMPULAN
REFERENSI
APA. 2000. Oriented Strand Board. The Engineer Wood Association, USA.
Bongers, H.P.M. and Beckers, E.P.J. 2003. Mechanical properties of acetylated solid wood
treated on pilot plant scale. In: Proceeding of the First European Conference on
Wood Modification, Gent, Belgium. Van Acker, J. and Hill, C.A.S. (Eds.), pp. 341-350.
Cetin, N.S., N. Ozmen. 2001. Dimensional Changes in Corsican and Scot Pine Sapwood
Due to Reaction With Crotonic Anhydride. Wood Science and Technology 35: 257-
267
Houts J.H.v., P.M. Winistorfer., S. Wang. 2003. Improving dimensional stability by
acetylation of discrete layers within flakeboard. Forest Products JournaL . 53(1): 82-
88
Papadopoulos, A.N. 2010. Modified Wood Composites. BioResources 5(1): 1-8
Papadopoulos, A.N., E. Traboulay. 2000. Dimensional stability of OSB made from
acetylated Fir strands. Holz als Roh- und Werkstoff
Structural Board Association. 2005. OSB in Wood Frame Construction. USA.
Japanese Standard Association. 2003. Japanesse Industrial Standard Particle Board JIS A
5908. Japanese Standard Association. Jepang.
Jorissen, A., Bongers, F., KattenbroeK, B and Homan, W. 2005. The influence of acetylation
of radiata pine in structural sizes on its strength properties. Wood Modification:
Processes, Properties and Commercialisation. Proceedings of the Second European
Conference on Wood Modification, Militz, H. and Hill, C. (Eds.), pp. 108-115.
Larsson, P., and Simonson, R. 1994. A study of the strength, hardness and deformation of
acetylated Scandinavian softwoods. Holz als Roh- und Werkstoff, 52(2), 83-86.
Militz, H. 1991. The improvement of dimensional stability and durability of wood through
treatment with non-catalysed acetic acid anhydride. Holz als Roh- und Werkstoff,
49(4), 147-152.
Rowell , R.M. 2007. Chemical Modification of Wood. Handbook of Engineering
Biopolymers Homopolymers, Blends and Composites Carl Hanser Verlag, Munich
Rowell R M (1975) Chemical modification of wood: advantages and disadvantages. Proc Am
Wood Preservers Assoc, pp. 1-10,
Van Niekerk J & Pizzi A. 1994. Characteristic industrial technology for exterior Eucalyptus
particleboard. Holz RohWerkstoff 52: 109112.
182
BIOKOMPOSIT
ABSTRAK
Salah satu upaya dalam rangka efisiensi pemanfaatan kayu adalah dengan
memanfaatkan limbah kayu menjadi produk papan komposit yaitu com-ply yang memiliki
kualitas tidak jauh berbeda dengan kayu solid dan merupakan salah satu alternatif
pemecahan masalah kekurangan bahan baku berkualitas tinggi. Com-ply dibuat
menggunakan core dari limbah akasia (partikel ukuran 5 mesh) dan face/back
menggunakan vinir dari kayu berdiameter kecil, yaitu Afrika dan pulai (tebal 0,1 mm) dengan
menggunakan perekat isosianat. Com-ply dibuat dengan variasi ketebalan yaitu 0,5 cm, 1
cm, 1,5 cm. Diperoleh hasil sifat fisis com-ply yang memenuhi standar JIS A 5908-2003
adalah kerapatan dengan nilai 0,63-0,75 gr/cm3, daya serap air 8-16% (2 jam), 23-62% (24
jam) dan pengembangan tebal 2,4-6,7 %(2 jam), 6,6-14,8% (24 jam) . Kemudian untuk sifat
mekanis yang memenuhi standar JIS A 5908-2003 adalah MOR tegak lurus serat 131-246
kgf/cm2, MOR sejajar serat 287-615 kgf/cm2.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Bahan baku papan komposit di masa mendatang sangat bervariasi. Penggunaan
berbagai macam bahan baku dalam satu bentuk produk komposit sangat dimungkinkan di
masa mendatang sejalan dengan adanya isu lingkungan, kelangkaan sumberdaya, tuntutan
konsumen akan produk berkualitas tinggi, pengetahuan dan penguasaan ilmu yang
semakin tinggi dan faktor-faktor lain yang merangsang terciptanya produk komposit
berkualitas tinggi dari bahan dengan mutu rendah. Ada kecenderungan di dunia untuk
menghasilkan barang dari bahan daur ulang, yang bisa memberikan dampak minimal
terhadap lingkungan.
Salah satu upaya dalam rangka efisiensi pemanfaatan kayu adalah dengan
memanfaatkan limbah kayu menjadi produk papan komposit yang memiliki kualitas tidak
jauh berbeda dengan kayu solid dan merupakan salah satu alternatif pemecahan masalah
kekurangan bahan baku berkualitas tinggi, terutama dari kayu berdiamater kecil. Namun,
papan komposit khususnya papan partikel memiliki kelemahan yaitu sifat mekanisnya yang
lebih rendah dibandingkan dengan kayu solid. Untuk meningkatkan kekuatan papan, telah
dikembangkan produk papan partikel yang permukaannya dilapisi vinir, produk dengan
konstruksi demikian disebut com-ply. Sehingga diharapkan dapat meningkatkan kekuatan
papan komposit secara signifikan.
Produk-produk dari kayu yang diuraikan dan disusun kembali (reconstituted product)
yang kemudian digabungkan menggunakan papan partikel/papan serat dengan
menggunakan vinir disebut dengan com-ply atau ply strain (Widarmana, 1984). Com-ply
merupakan komposit baru untuk bahan struktural yang terdiri dari core berupa papan
partikel/flake dengan prinsipnya arahnya tegak lurus dengan bidang longitudinal dari
permukaan vinir. Papan partikel akan menjadi produk penting dan berkualitas dengan
adanya vinir yang melapisi permukaannya (Maloney, 1997). Vinir pada permukaan panel ini
berfungsi untuk membatasi perubahan dimensi akibat fluktuasi dalam kandungan air dan
akan meningkatkan stabilitas dimensi papan dalam arah melintang.
183
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
184
BIOKOMPOSIT
Kerapatan
Gambar 1 menunjukkan nilai rataan kerapatan papan com-ply berkisar antara 0,63-
0,75 g/cm3. Keseluruhan nilai rata-rata kerapatan papan com-ply masih memenuhi rentang
kerapatan yang dipersyaratkan dalam JIS A 5908: 2003 berkisar 0,40-0,90 g/cm3. Besarnya
nilai kerapatan com-ply sangat berpengaruh terhadap sifat fisis dan mekanis. Oleh karena
itu besarnya nilai kerapatan hasil pengujian dikoreksi dengan kerapatan standar sebesar
0,75 g/cm3. Hal ini dilakukan agar perbedaan nilai sifat fisis dan mekanis com-ply dari
perbedaan faktor kerapatan com-ply yang dihasilkan dapat diminimalisir.
Contoh uji kontrol menunjukkan nilai kerapatan tertinggi dibanding dengan contoh uji
lainnya. Com-ply dengan pelapisan vinir pulai memiliki nilai kerapatan yang tidak jauh
berbeda dengan vinir Afrika. Penambahan ketebalan vinir akan menurunkan nilai kerapatan
papan com-ply yang dihasilkan . Berdasarkan ketebalannya, 0,5 cm menghasilkan nilai
kerapatan yang lebih besar dibanding ketebalan 1 cm dan 1,5 cm. Adanya perbedaan nilai
kerapatan antara com-ply diduga karena pembuatan com-ply dibuta secara manual satu
persatu. Disamping itu, adanya distribusi bahan yang kurang merata pada satu papan pada
saat mat forming dapat menjadi factor yang amat menentukan terjadinya perbedaan
kerapatan dalam satu com-ply.
JIS A 5908
Kadar Air
Gambar 2. menunjukkan nilai rata-rata kadar air com-ply berkisar 12,2-15,8%. Nilai
rata-rata kadar air papan com-ply sudah memenuhi standar JIS A 5908 : 2003 yang
mensyaratkan kadar air papan com-ply berkisar 5-13%, kecuali perlakuan (A0,5 dan P0,5).
Kontrol menunjukkan nilai kadar air yang lebih rendah dibanding dengan com-ply. Com-ply
dengan pelapisan vinir Afrika memiliki kadar air yang tertinggi dibandingkan perlakuan
lainnya sedangkan berdasarkan ketebalan untuk masing-masing papan com-ply yang
dihasilkan, ketebalan 0,5 untuk vinir Afrika dan pulai, memiliki kadar air yang tertinggi,
dibanding dengan papan com-ply dengan ketebalan 1 dan 1,5. Pengaruh ketebalan vinir
tidak nampak begitu nyata terhadap pengaruh penurunan nilai kadar air.
185
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
JIS A 5908
Gambar 2. Grafik Nilai Kadar Air Com-ply
186
BIOKOMPOSIT
Kontrol memiki nilai daya serap air yang lebih kecil dibanding dengan com-ply,
sehingga stabilitasnya lebih baik jika dibandingkan dengan com-ply. Namun, jika
dibandingkan dengan pelapisannya, com-ply dengan pelapisan vinir pulai menunjukkan nilai
daya serap air yang cukup tinggi dibandingankan dengan vinir Afrika. Hal ini disebabkan
daya serap air berhubungan dengan berat jenis. Berat jenis rendah memiliki karakteristik
berupa dinding sel yang tipis serta lumen yang relatif besar, karakteristik demikian
menyebabkan papan memiliki kemampuan yang tinggi menyimpan air dalam rongga selnya.
Pulai memiliki berat jenis rendah dibandingkan dengan Afrika, sehingga pulai memiliki
kemampuan menyerap air yang lebih besar dibandingkan dengan kayu Afrika. Berdasarkan
nilai daya serap airnya, com-ply Afrika lebih stabil jika dibandingkankan dengan com-ply
dari vinir pulai.
Berdasarkan ketebalan com-plynya, daya serap air tertinggi diperoleh pada com-ply
vinir Afrika dan pulai dengan ketebalan 0,5. Daya serap terendah pada com-ply ketebalan
1,5 untuk masing-masing vinir. Dengan demikian ketebalan com-ply memberikan pengaruh
yang nyata terhadap penurunan daya serap air.
Pengembangan Tebal
Pengembangan tebal merupakan perubahan dimensi papan dengan bertambahnya
ketebalan dari papan tersebut. Gambar 4. menunjukkan nilai rata-rata pengembangan tebal
papan com-ply setelah perendaman 2 jam dan 24 jam. Pengembangan tebal setelah 2 jam
berkisar 2,4-6,7%. Pengembangan tebal 2 jam telah memenuhi standar yang disyaratkan
JIS A 5908 : 2003 tidak melebihi 25%. Pengembangan tebal selama 24 jam berkisar 6,6
14,8%. .
Kontrol memiliki nilai pengembangan tebal yang tertinggi yang menyebabkan
stabilitas dimensinya lebih rendah dibanding dengan com-plynya. Berdasarkan
penyusunnya, com-ply dari pulai memiliki nilai pengembangan tebal yang lebih tinggi
dibanding com-ply dari Afrika. Hal ini diduga karena tingginya pengembangan tebal pada
com-ply selain karena pengaruh penyerapan air, dipengaruhi juga kerapatan kayu asalnya.
Proses pengempaan yang berasal dari kayu asal berkerapatan rendah akan menyebabkan
pengembangan tebal yang tinggi apabila papan tersebut idirendam dalam akibat dari
internal stress yang ditimbulkan (Nurwayan, 2007). Berdasarkan ketebalan com-ply yang
dihasilkan, ketebalan 1 memiliki pengembangan tebal yang tertinggi dibanding dengan
ketebalan 0,5 dan 1,5 untuk masing-masing vinir pulai dan Afrika.
187
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Gambar 5. Grafik Nilai MOE (sejajar dan tegak lurus serat) Com-ply
188
BIOKOMPOSIT
1,5). Berdasarkan standar JIS A 5908 : 2003 yang mensyaratkan standar MOR serat
minimal 102 kgf/cm2, nilai MOR // serat com-ply yang dihasilkan semuanya memenuhi
standar.
Berdasarkan penyusunnya, com-ply dari vinir afrika memiliki nilai MOR serat dan
MOR // serat yang lebih tinggi dibanding dengan com-ply dari vinir pulai. Dibandingkan
dengan papan partikelnya, com-ply memiliki nilai MOR dan MOR // serat yang lebih
besar. Berdasarkan ketebalannya, nilai MOR serat dan MOR // serat menurun dengan
meningkatkan ketebalan untuk com-ply dari vinir Afrika. Sedangkan untuk com-ply dari vinir
pulai,nilai MOR dan MOR // serat tertinggi pada ketebalan 0,5 dan terndah pada ketebalan
1.
189
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
JIS A 5908
JIS A 5908-
2003
Gambar 8. menunjukkan, nilai rata-rata kuat pegang sekrup com-ply yang dihasilkan
berkisar 38,71-121,71 kgf/cm2. Nilai tertinggi dihasilkan pada com-ply pulai ketebalan 1,5
dan terendah pada com-ply Afrika ketebalan 0,5. Standar JIS A 5908 : 2003 yang
mensyaratkan kuat pegang sekrup berkisar antara 51 kgf. Dengan demikian nilai kuat
pegang sekrup untuk com-ply yang dihasilkan, yang memenuhi standar hanya A1, A1,5,
P1 dan P1,5. Untuk kontrol, K 0,5 yang tidak masuk dalam standar yang disyaratkan.
190
BIOKOMPOSIT
KESIMPULAN
1. Berdasarkan penyusunnya, com-ply dari vinir afrika memiliki sifat fisis dan mekanis lebih
tinggi dibanding com-ply dari vinir pulai dalam hal kadar air,pengembangan tebal dan
MOE sejajar serat.
2. Penambahan ketebalan com-ply yang dihasilkan akan menurunkan nilai kadar air, daya
serap, MOE sejajar dan tegak lurus serat, dan MOR sejajar (untuk com-ply dari vinir
afrika).
3. Sifat fisis dan mekanis papan comp-ly yang telah memenuhi standar JIS 5908-2003
adalah kerapatan, pengembangan tebal dan MOR sejajar dan tegak lurus serat.
4. Kuat pegang sekrup yang tidak memenuhi standar JIS A 5908-2003 (control, Afrika dan
pulai dengan ketebalan 0,5, )sedangkan untuk kadar air (untuk vinir pulai dan Afrika
tebal 0,5), internal bond (untuk kontrol ketebalan 0,5, vinir Afrika dan pulai pada
ketebalan 0,5 dan 1, MOE tegak lurus dan sejajar serat (vinir afrika dan pulai ketebalan
1 cm dan 1,5 cm) juga tidak memenuhi standar.
5. Sifat fisis dan mekanis com-ply yang dihasilkan jauh lebih baik disbanding dengan
control yang berupa papan partikel.
DAFTAR PUSTAKA
Bowyer JL, Shmulsky, Haygreen JG. 2003. Forest Products and Wood Science -An
Introduction, Fourth edition. Iowa State University Press.
Haygreen JG, Bowyer JL. 1989. Hasil Hutan dan Ilmu Kayu : Suatu Pengantar. Hadikusumo
SA, penerjemah; Prawiro H, editor. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Terjemahan dari: Forest Product and Wood Science : An Introduction.
Japanese Standard Association [JSA]. 2003. JIS A 5908 : Particleboards. Jepang: Japanese
Standard Association
Maloney TM. 1997. Modern Particleboard and Dry-Process Fiberboard Manufacturing.
California: Miller Freeman Inc.
Ruhendi, S., DS.Koroh, FA Syamani., H.Yanti.,Nurhaida., S.Saad., T.Sucipto. 2007.
Analisis Perekatan Kayu. Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor., Bogor.
Widarmana, S. 1984. Studi Kemungkinan Pemanfaatan Limbah Kayu untuk Panel Komposit
sebagai Bahan Bangunan. Proyek Pengembangan Efisiensi Penggunaan Sumber-
sumber Kehutanan.
191
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
ABSTRAK
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kualitas/performa LVL yang terbuat
dari 7 lapis veneer surian (T. sinensis) dibandingkan dengan jenis kayu yang umum
digunakan di industri plywood dan LVL yakni sengon (P. falcataria) dan karet (H.
braziliensis). Empat buah panel LVL dibuat masing-masing dengan ukuran 40 x 40 cm
untuk setiap jenis kayu dan direkat menggunakan perekat komersial PF dan UF. Total panel
yang dibuat sebanyak 24 buah panel. Uji kadar air (KA), kerapatan, MOR, MOE, kekuatan
geser horizontal, persen delaminasi dan emisi formaldehyde dilakukan 4 kali ulangan untuk
setiap panel dengan mengacu pada standar Japan Agricultural Standard. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa untuk LVL surian dengan perekat PF nilai rata-rata KA dan
kerapatannya adalah 12,89 % dan 0,56 g/cm3. Nilai MOR pada sampel flat dan edge
sebesar 63,70 dan 64,96 N/mm2, sedangkan nilai MOE pada sampel flat dan edge adalah
6033,37 dan 6527,78 N/mm2. Pengujian kuat geser horizontal sampel flat menghasilkan nilai
11,82 N/mm2, sedangkan pada sampel edge menghasilkan nilai 11,89 N/mm2. Uji delaminasi
menghasilkan nilai nol persen dan nilai emisi formaldehydenya sebesar 0,07 mg/l termasuk
klasifikasi F4S. Untuk LVL surian dengan perekat UF diperoleh hasil bahwa nilai KA dan
kerapatannya adalah sebesar 13,47 % dan 0,56 g/cm3. Nilai MOR pada sampel flat dan
edge sebesar 72,18 dan 71,01 N/mm2, sedangkan nilai MOE pada sampel flat dan edge
adalah 8569,86 dan 7663,54 N/mm2. Pengujian kuat geser horizontal sampel flat
menghasilkan nilai 11,83 N/mm2, sedangkan pada sampel edge menghasilkan nilai 10,17
N/mm2. Uji delaminasi menghasilkan nilai nol persen dan nilai emisi formaldehydenya
sebesar 0,08 mg/l termasuk klasifikasi F4S. Pemanfaatan kayu surian untuk bahan
pembuatan LVL semakin terbuka lebar karena hasil pengujian LVL tersebut di atas telah
memenuhi standar JAS.
PENDAHULUAN
192
BIOKOMPOSIT
menunjukkan bahwa sifat atau kualitas rekat yang sama baiknya ditunjukkan oleh sengon
dan surian (Alamsyah et al., 2007). Oleh karena itu surian memiliki peluang yang lebih baik
untuk dijadikan sebagai bahan baku industri perkayuan mengingat produk industri perkayuan
tersebut mensyaratkan kualitas perekatan yang baik (Vick, 1999). Namun demikian
informasi yang mendukung tentang kesesuaian pemanfaatan surian sebagai bahan baku
bagi industri perkayuan belum tersedia dan masih perlu dieksplorasi mengingat beragamnya
produk industri perkayuan seperti kayu lapis, LVL, kayu laminasi, papan partikel, OSB dan
lain-lain yang mensyaratkan karakteristik tertentu sesuai dengan sifat bahan baku kayunya.
Bahkan hingga saat ini penelitian tentang surian lebih banyak dari aspek budidaya dan
pemanfaatan ekstraknya untuk keperluan obat-obatan sebagaimana terungkap dalam
penelitian Hidayat (2005). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kualitas/performa
dari LVL yang terbuat dari 7 lapis veneer surian dibandingkan dengan jenis kayu yang umum
digunakan yakni sengon (P.falcataria) dan karet (H. braziliensis) menggunakan perekat
komersial PF dan UF.
Penelitian ini dilakukan di kampus ITB Jatinangor Sumedang Provinsi Jawa Barat
dan di PT. Sumber Graha Sejahtera, Tangerang Provinsi Banten dengan tahapan sebagai
berikut:
Persiapan Vinir
Log kayu surian dengan rata-rata umur 12 tahun dengan diameter sekitar 25 cm dan
panjang 140 cm diperoleh dari hutan rakyat Desa Cibugel Kabupaten Sumedang. Setelah
dikupas kulitnya, log surian tersebut dimasukkan ke dalam mesin spindless untuk
memperoleh bentuk log yang relatif bundar. Kemudian dikupas di mesin rotari dengan tebal
vinir 1,7 mm dan digulung. Selanjutnya vinir dipotong dengan ukuran panjang 240 cm
dilanjutkan dengan pengeringan hingga diperoleh kadar air vinir sekitar 8 %. Terakhir vinir
disusun dan disimpan di ruang penyimpanan vinir bersama-sama dengan vinir karet dan
sengon.
Pembuatan LVL
Empat buah panel LVL ukuran 40 x 40 cm untuk setiap jenis kayu surian (kerapatan
0,40 g/cm3), sengon (kerapatan 0,32 g/cm3) dan karet (kerapatan 0,59 g/cm3) direkat
menggunakan PF dan UF. Total panel yang dibuat sebanyak 24 buah. Tahapan pembuatan
panel LVL diawali dengan pemeriksaan vinir dari cacat atau mata kayu, pengecekan kadar
air dan penentuan bagian core,face dan back vinir. Setelah itu pelaburan perekat pada
bagian core vinir diikuti dengan perakitan bagian face dan back vinir. Selanjutnya dikempa
dingin pada tekanan 6 kgf/cm2 untuk surian dan sengon dan 8 kgf/cm2 untuk karet masing-
masing selama 900 detik diikuti oleh kempa panas pada tekanan 5kgf/cm2untuk surian dan
sengon serta 6 kgf/cm2untuk karet masing-masing selama 800 detik. Kemudian panel
tersebut dikondisioningkan pada suhu ruangan selama 1 hari sebelum dilakukan pengujian.
Penggunaan perekat dan proses pengempaan disajikan pada Tabel 1 di bawah ini.
193
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Pengujian LVL
Kadar air (ka) dan kerapatan
Ukuran contoh uji 50 x 50mm. Pengambilan contoh uji sebanyak 4 buah dari setiap
panel. Pengujian kadar air dilakukan dengan metode gravimetry dan dihitung dengan rumus
sebagai berikut: , dimana KA : Kadar Air (%), BA : Berat Awal Contoh
Uji (g) dan BKT : Berat Kering Oven (g). Ukuran contoh uji kerapatan juga sama yakni 50 x
50mm sebanyak 4 buah dari setiap panel. Contoh uji diambil dari LVL dalam keadaan kering
udara, kemudian ditimbang untuk mengetahui berat kering udara (BKU), dan dimensinya
diukur untuk mengetahui volume kering udara (VKU). Besar nilai kerapatan dapat diperoleh
dengan menggunakan rumus atau persamaan sebagai berikut : , dimana KU:
3 3
Kerapatan (g/cm ), VKU: Volume Kering Udara (cm ) dan BKU: Berat Kering Udara (g)
194
BIOKOMPOSIT
Kemudian keringkan di oven dengan temperature 603C selama 24 jam, sampai MC tidak
lebih dari 8%. Rumus menghitung rasio of delaminasi adalah sebagai berikut:
Emisi formaldehyde
Satu buah diambil minimal 5cm dari setiap ujung sampel, sehingga jumlah luas
permukaan 450cm2, tidak termasuk keempat sisinya. Jumlah sampel tiap panel sebanyak 4
buah sampel. Keempat sisinya ditutup dengan parafin. Bungkus specimen uji dengan
kantung plastik dan simpan pada ruangan temperatur 201C selama minimal lebih dari 1
hari. 20 ml aquades dimasukkan kedalam wadah plastik dan dimasukkan ke dalam
desikator akrilik volume 40 l. Susun sedemikian rupa contoh uji hingga terpisah satu dengan
lainnya dan letakkan di atas rak desikator. Diamkan selama 24 jam di ruangan temperatur
201C. Pipet masing-masing standar dan larutan sampel sebanyak 10ml dan masukkan ke
dalam gelas erlenmeyer 100ml. Tambahkan 10ml larutan asetil aseton ammonium asetat.
Panaskan dalam waterbath pada 602C selama 10 menit dan dinginkan hingga suhu kamar
pada ruangan gelap. Ukur absorbansi masing-masing standar secara berurutan pada
panjang gelombang 412nm, kemudian ukur absorbansi sampel. Hitung konsentrasinya
berdasarkan kurva standar.Klasifikasi emisi formaldehyde disajikan pada Tabel 2 di bawah
ini.
Penampilan Vinir
Diantara ketiga vinir tersebut di atas, surian memiliki ciri khas yang lebih indah
dibandingkan sengon dan karet seperti warnanya coklat kemerahan, warna kayu gubal dan
terasnya jelas, memiliki lingkaran tahun yang tegas, ada mata kayu hidup dengan diameter
kecil-kecil dan menyebar merata khususnya pada vinir yang dikupas dari bagian ujung
batang. Untuk vinir yang dikupas dari bagian pangkal batang penampilan vinir lebih indah
karena tidak terdapat banyak mata kayunya. Untuk memperolehvinir surian yang lebih indah
disarankan untuk menggunakan slicer atau mesin sayat vinir.
195
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Berat jenis LVL kayu surian, sengon dan karet untuk kedua jenis perekat PF dan UF
relatif sama yaitu masing-masing sebesar 0,56; 0,45 dan 0,60 g/cm3 (Gambar 3).
Dibandingkan dengan kerapatan bahan bakunya (vinir), kenaikan nilai kerapatan secara
signifikan terjadi pada LVL surian dan sengon. Hal ini diduga karena surian dan sengon
memiliki keterbasahan yang lebih baik dari karet sehingga retensi (banyaknya perekat yang
masuk) dan penetrasi perekat ke dalam pori-porinya lebih baik daripada LVL karet.
Nilai MOR LVL surian yang direkat dengan perekat PF dan UF masing-masing
adalah 63,70 dan 72,18 N/mm2untuk sampel flat serta 64,96dan 71,01 N/mm2untuk sampel
edge. Sedangkan nilai MOE sampel flat nya adalah 6033,37 N/mm2 untuk PF dan
196
BIOKOMPOSIT
8569,86N/mm2 untuk UF, sementara sampel edge nya adalah 6527,78 N/mm2 untuk PF dan
7663,54N/mm2 untuk UF. Berdasarkan standar JAS, nilai MOR untuk LVL surian baik tipe
flat maupun edge termasuk klasifikasi 160E untuk perekat PF dan 180E untuk perekat UF,
sedangkan nilai MOE nya termasuk klasifikasi 60 E untuk PF pada sampel flat dan edge, 80
E untuk UF pada sampel flat dan 70 E untuk perekat UF pada sampel edga. Pada LVL
sengon, nilai MOR untuk perekat PF dan UF adalah 54,40 dan 64,08 N/mm2 untuk sampel
flat serta 51,71 dan 61,96 N/mm2 untuk sampel edge. Nilai MOE LVL sengon untuk kedua
perekat PF dan UF masing-masing adalah 7533,03 N/mm2 dan 9775,35 N/mm2 untuk
sampel flat serta 7317,84 dan 7259, 88 N/mm2 untuk sampel edge. Hasil tersebut
menunjukkan bahwa MOR LVL sengon untuk perekat PF termasuk klasifikasi 140 E untuk
sampel flat dan 120 E untuk sampel edge, sedangkan untuk perekat UF termasuk klasifikasi
160 E baik sampel flat maupun edge. Sedangkan nilai MOE nya termasuk klasifikasi 70 E,
kecuali LVL dengan perekat UF sampel flat termasuk klasifikasi 90 E. Kemudian nilai MOR
untuk LVL karet pada perekat PF dan UF adalah 89,94 dan 104,63 N/mm2 untuk sampel flat
serta 97,61 dan 98,74 N/mm2 untuk sampel edge. MOE LVL karet untuk kedua perekat PF
dan UF adalah sebesar 9196,89 dan 8873,19 N/mm2 untuk sampel flat serta 10048,70 dan
10324,30 N/mm2 untuk sampel edge. Berdasarkan standar JAS nilai MOR LVL untuk kedua
jenis perekat PF dan UF baik sampel flat maupun sampel edge memenuhi klasifikasi 180 E,
sedangkan nilai MOE sampel edge untuk kedua perekat tersebut memenuhi kalsifikasi 100
E, sementara MOE sampel flat dengan perekat PF termasuk klasifikasi 90 E dan perekat UF
termasuk klasifikasi 80 E.Nilai MOR dan MOE LVL surian lebih kecil dari LVL rubber tetapi
lebih besar jika dibandingkan dengan LVL sengon. Nilai MOR dan MOE LVL ketiga jenis
kayu tersebut di atas telah memenuhi grade special berdasarkan standar JAS.
Delamination
No Species Direction Horizontal Shear Strength (N/mm2) (%)
PF UF PF UF
197
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Emisi Formaldehyde
Judgement
No Species
PF UF
Emisi formaldehyde dari LVL surian untuk kedua perekat PF dan UF adalah 0,07 dan
0,08mg/l. Sedangkan untuk LVL sengon adalah sebesar 0,07mg/l untuk perekat PF dan
0,11mg/l untuk perekat UF. Sementara untuk LVL karet emisi formaldehyde nya adalah
0,09mg/l untuk perekat PF dan 0,30mg/l untuk perekat UF. Berdasarkan standar JAS, dilihat
dari besaran nilai emisi formaldehydenya maka LVL dari ketiga jenis kayu tersebut
memenuhi klasifikasi F4S baik untuk perekat PF maupun perekat UF. Yang menarik adalah
nilai emisi formaldehyde LVL surian selalu lebih kecil daripada LVL sengon maupun
karet,kecuali pada LVL sengon dengan perekat PF. Ketertarikan ini mendorong adanya
penelitian lanjutan tentang kandungan kimia atau ekstraktif kayu surian yang diduga mampu
mereduksi kandungan formaldehyde baik pada perekat PF ataupun perekat UF.
KESIMPULAN
Pemanfaatan kayu surian untuk bahan pembuatan LVL semakin terbuka lebar
karena hasil pengujian LVL menggunakan perekat PF dan UF telah memenuhi standar JAS.
Namun demikian, penelitian lanjutan pada berbagai variasi ketebalan panel LVL dan
ketebalan vinir akan lebih memperkaya informasi pemanfaatan surian sebagai bahan baku
LVL ini. Peluang pemanfaatan kayu surian sebagai alternatif bahan pembuatan fancy vinir,
face/back vinir maupun pelengkap ornamen indah bahan bangunan semakin terbuka lebar
karena vinir surian memiliki karakteristik yang indah dan unik.
UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis mengucapkan terimakasih kepada Bapak Yoyo Suhaya,MSi dari Sekolah lmu
dan Teknologi Hayati ITB dan Bapak Sutarno dari Sarana Prasarana ITB Kampus Jatinangor
198
BIOKOMPOSIT
yang telah membantu menyiapkan bahan baku log surian. Terimakasih dan penghargaan
yang setinggi-tinggginya penulis sampaikan pula kepada Bapak Eko Sudoyo (Head R and
D), Bapak Ardi dan Bapak Abdul Rojak atas ijin dan bantuannya selama pelaksanaan
penelitian ini di PT.SGS. Lebih khusus ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada
Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) ITB atas bantuan finasialnya
selama penelitian ini berlangsung.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim (2003). Japanese Agricultural Standard for Formaldehyde Emission. The Ministry of
Agriculture, Forestry and Fisheries of Japan.
Anonim (2008). Japanese Agricultural Standard for Laminated Veneer Lumber. Notification
No.701.
The Ministry of Agriculture, Forestry and Fisheries of Japan.
Anonim (2008). Statistik Kehutanan. Dinas Kehutanan Propinsi Jawa Barat. Bandung
Alamsyah EM, Liu CN, Yamada M, Taki K, Yoshida H (2007). Bondability of tropical fast-
growing tree species I: Indonesian wood species. Journal of Wood Science, Vol.53
No.1, pp.40-46
Charle J, Vuarinen P, Lung AD (2002). Status and Trend in Global Forest Plantation
Development. Forest Products Journal 52(78): 13-23
Hidayat, Y. (2005). Kefektifan Ekstrak Daun Surian (Toona sinensis) dalam Pengendalian
Larva Boktor (Xystrocera festiva. Pascoe). Jurnal Agrikultura 16 (2) : 133-136.
Volume 16, Nomor 2. Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran. Bandung.
Hidayat, Y. (2005). Tree Improvement Strategy of Surian (Toona sinensis. Roem) :
Preliminary result. Journal Wanamukti Forestry. 3 (2) : 103-109
Kliwon S, Iskandar MI (1998) Processing of small diameter logs for laminated veneer, veneer
and plywood
Production. Proceeding of the Second International Wood Science Seminar,
Serpong, Indonesia, pp C30-C35
Subiyanto B, Firmanti A. 2004. Perspective of the sustainable production and effective
utilization of tropical forest resource in Indonesia, and the role of LIPI-JSPS core
university program. Proceeding of the Fifth International Wood Science Seminar,
Kyoto, Japan, pp 18-24
Vick CB (1999). Adhesive Bonding of Wood Materials. In: Wood Hand Book, Wood as an
Engineering Material. Forest Products Society, Madison, USA.
199
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
ABSTRAK
Pada makalah ini akan dibahas mengenai hasil penelitian yang telah dilakukan untuk
mengetahui karakteristik variasi kandungan dan panjang serat pada sumber retak papan
komposit serat alam-poliester. Kajian karakteristik ini menggunakan papan komposit dengan
penguat serat buah kelapa dan matriks unsaturated polyester. Asumsi yang digunakan
dalam penelitian ini adalah kondisi tunak proses bahan, luas dan bentuk sumber retak yang
seragam untuk berbagai variasi panjang serat, dan bahan yang seragam. Untuk penguat
komposit digunakan serat dengan variasi panjang serat 0,5D, D, 2D mm. Komposit dibuat
dengan cara mencampurkan polyester dan serat kelapa dengan konsentrasi serat 5 %, 10%
dan 15% dari berat komposit. Setelah itu dikondisikan dalam temperatur ruang selama 1
minggu dan dioven 60 0C selama 24 jam dan diuji tarik sesuai dengan standar ASTM D638-
2000. Untuk mengetahui pengaruh dari retakan terhadap kekuatan papan komposit maka
spesimen uji diberi lubang berdiameter 5 mm yang diasumsikan sebagai sumber retak bahan
komposit. Penambahan serat dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan papan
komposit menyerap energi yang diterima sehingga papan komposit yang memiliki sumber
cacat bersifat lebih tangguh dan tidak getas. Hasil yang diperoleh pada papan kontrol
adalah 11,95 MPa untuk kekuatan tarik, 0,949 GPa untuk modulus elastisitas dan energi
serapan 21,49 x 10-6 Joule. Penambahan konsentrasi serat 15 % dengan panjang serat 0,5
D mm dapat meningkatkan nilai energi serapan sampai 33,8% kali dari nilai papan kontrol,
nilai kekuatan tarik sebesar 18,37 MPa dan modulus elastisitas 1,88 GPa. Untuk panjang
serat D mm diperoleh hasil optimal pada konsentrasi serat 15 % yaitu dapat meningkatkan
energi serapan sebesar 112,65 % dari nilai papan control. Untuk panjang serat 2D mm
diperoleh hasil optimal pada konsentrasi serat 15 % yaitu dapat meningkatkan energi
serapan sebesar 76,77% dari nilai papan control, kekuatan tarik sebesar 17,55 MPa dan
modulus elastisitas 1,38 GPa.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Dalam teknologi desain konstruksi dan peralatan, karakteristik bahan mempunyai
peranan yang sangat penting. Kelemahan yang dimiliki bahan sejak awal diperhatikan dan
ditekan seminimal mungkin sehingga tidak menyebabkan terjadinya kegagalan rancang
bangun. Salah satu kelemahan yang sangat diperhatikan adalah sumber cacat berupa retak
yang dimiliki oleh bahan pada saat proses produksi dan pengerjaan. Hal ini terjadi pada
semua proses produksi dan pengerjaan bahan, baik bahan yang berasal dari logam, kayu
maupun polimer. Dengan melihat kekuatan mekanik berbagai serat alam yang rata-rata di
atas 50 MPa, diharapkan dapat menyerap energi yang diterima akibat adanya cacat saat
proses manufaktur papan komposit, sehingga dapat menaikkan sifat fisik mekanik dari
papan komposit. Berbagai penelitian untuk mengetahui karakteristik komposit dengan serat
alam telah banyak dilakukan.
Bledzki dan Gassan (1999) melakukan penelitian mengenai komposit dengan
penguat berbagai jenis serat alam. Dalam penelitian tersebut dibahas mengenai karakteristik
serat sebagai penguat dan berbagai metode untuk meningkatkan sifat fisik mekanik
komposit.
200
BIOKOMPOSIT
Nystrom et al. (2007) melakukan penelitian mengenai struktur mikro dan kekuatan
komposit serat alam hasil injeksi. Penelitian tersebut mengkaji pengaruh dari orientasi serat,
distribusi panjang serat, dan ikatan serat dengan matriks terhadap kekuatan komposit serat
alam. Penelitian ini menyatakan bahwa rasio panjang serat terhadap diameternya (l/d)
memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kekuatan koposit serat alam. Sedangkan
kekuatan serat hanya memberikan pengaruh yang kecil terhadap kekuatan komposit serat
alam bila ikatan antar serat dan matriksnya lemah.
Kumar et al. (2007) melakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui sifat fisik
mekanik komposit serat gelas dengan polypropylene yang dibuat menggunakan mesin
injeksi. Penelitian tersebut menggunakan serat gelas yang memiliki rasio panjang terhadap
diameternya (l/d) diatas 100. Penambahan panjang serat dapat meningkatkan kekuatan
mekaniknya sebesar 3-8 %.
Dalam makalah ini akan dipaparkan hasil penelitian mengenai karakteristik sumber
retak bahan komposit dengan berbagai variasi konsentrasi dan ukuran serat.
Landasan Teori
Pada saat pembebanan, material uji mendapatkan energi yang ditahan oleh
komponen-komponen penyusunnya. Dalam bahan komposit yang berfungsi sebagai
penahan energi adalah komponen seratnya yang diasumsikan bahwa serat memiliki sifat
mekanik yang lebih tinggi daripada matriksnya. Bahan akan mengalami kerusakan akibat
dari energi yang diterima pada saat pembebanan. Terdapat dua jenis kerusakan pada
komposit akibat dari pembebanan, yaitu fiber failure mode dan matrics failure mode
(Gibson;1994) ditunjukkan oleh Gambar 1.
(a) (b)
Fig.1. Composite material failure mode ; a) fiber failure mode, b) matrix failure mode.
Bahan komposit akan mengalami kerusakan jenis fiber failure mode bila kekuatan
serat lebih kecil dari kekuatan matriksnya. Apabila serat tidak memiliki kekuatan yang cukup
untuk menyerap semua energi yang diterima, maka energi tersebut akan diteruskan. Titik
mula kegagalan penyerapan energi ini akan berakibat pada kerusakan seluruh bagian
komposit. Untuk menghitung besarnya energi yang diserap oleh material yang mendapatkan
pembebanan, Gibson (1994) mengajukan persamaan sebagai berikut:
201
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Nilai dari energi permukaan (Js ) dapat dicari dengan menggunakan persamaan berikut ini :
SV 2 a
Js ...................................................... (2)
2E
dengan V adalah tegangan yang diterima dan E adalah modulus elastisitas bahan.
Serat yang digunakan adalah serat kelapa yang dipotong-potong sesuai dengan
variasi serat terhadap diameter lubang sumber retak, yaitu 0,5D, D, dan 2 D mm. Diameter
lubang ipada komposit yang dianggap sebagai sumber cacat retak adalah 5 mm.
Selanjutnya serat di masukkan ke dalam oven selama 24 jam pada suhu 60 0C. Kadar air
serat yang digunakan adalah 2,7% dan memiliki massa jenis 0,87 gram/cm3, kekuatan tarik
137 MPa dan modulus elastisitas 4,2 GPa (Munawar; 2008). Sebagai matriks digunakan
resin unsaturated polyester 157 dengan massa jenis 1,2 gram/cm3 dan hardener Methyl
Ethyl Keton Peroxyde (MEKPO) dengan kadar 3% berat resin dari PT. Justus Kimia Raya.
Sampel uji komposit dibuat dengan mengacu pada prinsip metode SRIM (Structur
Reaction Injection Molding). Prinsip dasar dari metode ini adalah mencampurkan bahan-
bahan komposit untuk selanjutnya dimasukkan ke dalam cetakan. Cetakan yang digunakan
adalah cetakan terbuka dengan bentuk sampel uji tarik dalam standar ASTM D 638-2000.
Untuk mengetahui pengaruh sumber retak awal, maka sampel uji dilubangi dengan diameter
5 mm dengan asumsi bahwa lubang tersebut merupakan sumber retak bahan. Sebagai
kontrol 1 digunakan sampel papan poliester 100. Setiap variasi berbeda diambil 5 buah
sampel untuk uji tarik. Perhitungan nilai energi serapan dan energi permukaan bahan
digunakan persamaan 1 dan 2.
Setelah dilakukan pengujian terhadap sampel komposit maka diperoleh data hasil uji
tarik komposit seperti yang ditunjukkan oleh Tabel. 1. Terlihat bahwa sampel komposit
kontrol memiliki nilai kekuatan tarik dan modulus elastisitas yang lebih kecil daripada nilai
yang ditunjukkan oleh sampel komposit.
202
BIOKOMPOSIT
Terlihat dari Tabel 1. bahwa nilai kekuatan tarik dari variasi serat 0.5D, D dan 2D mm
cenderung mengalami kenaikan untuk setiap penambahan konsentrasi seratnya. Nilai dari
masing-masing variasi konsentrasi dan panjang serat telah melebihi nilai komposit control.
Modulus elastisitas dari bahan komposit terlihat makin tinggi seiring dengan
penambahan konsentrasi serat, seperti yang ditunjukkan dalam Tabel 1. Modulus elastisitas
dari semua variasi konsentrasi dan panjang serat memiliki nilai yang lebih tinggi dari
komposit kontrol.
Dengan penambahan serat 5% pada komposit dengan serat panjang 0,5D, D, dan
2D modulus elastisitas komposit naik sebesar 23 %, 87% dan 52% dari nilai modulus
elastisitas papan kontrol. Untuk konsentrasi serat 10%, nilai modulus elastisitas komposit
dengan panjang serat 0.5D, D dan 2D naik sebesar 76%, 67% dan 82% terhadap nilai
modulus elastisitas komposit kontrol. Untuk konsentrasi serat 15%, komposit dengan serat
panjang 0.5 D, D dan 2D memiliki nilai modulus elastisitas masing-masing sebesar 90%, 42
% dan 46 % dari nilai modulus elastisitas kontrol. Nilai regangan untuk setiap variasi
konsentrasi dan panjang serat dalam Tabel 1. tidak berbeda secara mencolok yaitu berkisar
1,65 ~ 2,88 %. Hal ini menunjukkan bahwa dengan adanya penambahan serat belum
menaikkan sifat lentur komposit.
Untuk mengetahui besarnya redaman energi akibat penambahan serat, perlu dihitung
besarnya energi serapan dari setiap variasi komposit. Untuk menghitung besarnya energi
serapan, energi permukaan dan tegangan kritis digunakan persamaan 1, dan persamaan 2.
Besarnya energi serapan, energi permukaan dan tegangan kritis dari setiap variasi komposit
ditunjukkan pada Tabel 2.
Nilai dari energi serapan papan komposit dengan berbagai variasi panjang dan
konsentrasi serat terlihat lebih besar dari komposit control. Hal ini berdampak pada nilai
kekuatan tarik pada komposit polyester-serat kelapa. Nilai energi serapan yang paling besar
terjadi pada komposit dengan panjang serat D, dalam konsentrasi 15% yaitu sebesar 45, 7 x
10-6 J.
Dari Tabel 1 dan 2 terlihat hubungan antara nilai modulus elastisitas (E) dengan nilai
energi serapan (Es). Terlihat bahwa nilai energi serapan akan kecil apabila modulus
elastisitasnya bernilai besar. Hubungan ini terlihat jelas pada setiap komposit dengan
konsentrasi serat 10%. Nilai energi serapan untuk komposit dengan konsentrasi serat 10%
cenderung rendah, dan nilai modulus elastisitasnya cenderung lebih tinggi dari variasi serat
5% dan 15%. Pada Tabel 2 juga terlihat bahwa nilai energi serapan semakin meningkat
seiring dengan banyaknya konsentrasi serat yang ditambahkan pada papan komposit.
Dengan meningkatnya energi serapan, maka komposit dapat menerima energi pembebanan
yang lebih besar dan bisa didistribusikan ke seluruh komponen bahan sehingga mencapai
batas nilai maksimum (ultimate strength).
Table 2. Absorbed Energy, Surface Energy and Critical Strenght of Composite Boards
203
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
KESIMPULAN
Terima kasih disampaikan kepada Dr. Subyakto, M.Sc selaku kepala laboratorium
Biokomposit UPT BPP Biomaterial, Sudarmanto, FazHar dan rekan teknisi serta semua
pihak yang telah memberikan bantuan dalam pelaksanaan penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
ASTM Standard D 638-2000. Standard Test Method for Tensile Properties of Plastics.
[ASTM]. Pennsylvania, United States of America.
Bledzki.A.K, Gassan. J. 1999. Composites Reinforced with Cellulose Based Fibres. Progress
in Polymer Science.vol.24 : 221-274.
Gibson. R. F. 1994. Principles of Composite Material Mechanics. McGraw Hill.Inc.
Singapore.
Kumar. K. Senthil., Bhatnagar. N, Ghosh. Anup. K. 2007. Mechanical Properties of Injection
Molded Long Fiber Polypropylene Composites, Part 1; Tensile and Flexural
Properties. Society of Plastic Engineers. New Delhi. India
Mazumdar. Sanjay. K. 2001. Composites Manufacturing Materials, Product and Process
Engineering. CRC Press. Boca Raton.
Mohanty. Amar K., M. Misra, L.T. Drzal. 2005. Natural Fibers, Biopolymers, and
Biocomposites. CRC Press. Boca Raton.
Munawar. S. S. 2008. Properties of Non Wood Plant Fiber Bundles and The Development of
Their Composites. A Dissertation on Department of Forestry and Biomaterials
Science, Graduate School of Agriculture Kyoto University. Kyoto. Japan.
Nystrom. B., R. Joffe., R. Langstrom. 2007. Microstructure and Strength of Injection Molded
Natural Fibe Composites. Journal of Reinforced Plastics and Composites.vol 26, no.
6/2007.
Sperling. L. H. 2006. Introduction to Physical Polymer Science. John Willey & Sons, Inc. New
Jersey.
204
BIOKOMPOSIT
ABSTRAK
Perhatian akan limbah perkebunan sebagai alternatif bahan baku pembuatan papan
komposit terus meningkat, salah satunya limbah perkebunan sagu. Penelitian ini bertujuan
untuk optimalisasi pemanfaatan pelepah sagu sebagai bahan baku papan komposit dengan
menentukan jenis perekat dan kadar perekat optimum dalam pembuatan papan komposit.
Papan komposit berkerapatan sedang telah dibuat dari zephyr pelepah sagu untuk dianalisis
pengaruh jenis perekat dan kadar perekat terhadap karakteristik papan komposit. Papan
dibuat dengan menggunakan perekat poliuretan (PU) dan penol formaldehida (PF) dengan
kadar perekat sebagai berikut: 10%, 12%, dan 14%.Sifat fisis dan mekanis papan diuji
menggunakan standar JIS A 5908 2003. Berdasarkan hasil penelitian, papan komposit
dengan perekat PU pada kadar perekat 14% memiliki sifat fisis dan mekanis yang lebih baik
dibandingkan dengan papan komposit lainnya.Oleh karena itu, papan komposit terbaik yang
dihasilkan dapat digunakan sebagai bahan bangunan dan mebel.
PENDAHULUAN
Pada akhir-akhir ini banyak ilmuwan melakukan penelitian tentang sumber daya
tanaman kurang dimanfaatkan sebagai alternatif sumber bahan pangan dunia seiring
dengan isu yang beredar di masyarakat tentang kemungkinan kekurangan pangan global
dalam tahun-tahun mendatang. Dalam hal ini, sagu (Metroxylon sagu) menjadi penting
keberadaannya sebagai tanaman pangan yang unggul dan tanaman penghasil pati di abad
ke 21, karena merupakan tanaman yang berkelanjutan serta dapat tumbuh pada kondisi
tanah yang ekstrim (Singhal et al. 2008, Limbongan 2007). Indonesia merupakan negara
yang memiliki luasan sekitar 50% dari sagu dunia dan 85% diantaranya terdapat di Papua.
Di Indonesia, sagu telah lama dikenal sebagai makanan pokok di beberapa daerah seperti
Maluku, Irian Jaya, Sulawesi, Riau, Kepulauan Mentawai dan sebagainya. Selain daripada
itu, hutan sagu berpotensi sebagai penyimpan karbon yang berperan dalam mengurangi
emisi dari deforestasi dan degradasi, serta berperan penting dalam konservasi terhadap
plasma nutfah berbagai jenis sagu maupun konservasi terhadap pohon-pohon hutan lainnya
(Rahayu dan Harja 2011). Berdasarkan hasil perhitungan yang dilakukan oleh Rahayu dan
Harja (2011), hutan sagu dapat menyimpan karbon rata-rata 53 ton/ha tergantung pada
komposisi strata pertumbuhan sagu dan jenis pohon lain yang ada di dalamnya.
Populasi sagu yang tinggi, menyebabkan nekromasa yang tinggi juga, dan hampir
semua nekromasa pada hutan sagu berasal dari pelepah sagu yang kering. Pemanfaatan
sagu sebagian besar hanya pada bagian batang yang diambil patinya untuk pangan ataupun
non pangan, seperti substrat fermentasi aseton-butanol-etanol,biodegradable plastik,
sorbitol, MSG, asam-asam organik, dan lain-lain (Singhal et al. 2008). Sebaliknya, pelepah
sagu sebagai limbah dari pemanenan sagu dengan jumlah yang melimpah kurang optimal
205
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
dalam pemanfaatanya. Pemafaatan pelepah sagu terbatas hanya sebagai dinding dan atap
pada rumah-rumah dan bangunan tradisionaldi beberapa daerah di Indonesia (Kanro et.al
2003). Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk diversifikasi produk
dinding dan atap dari pelepah sagu dengan memodifikasi pelepah sagu sebagai bahan baku
papan komposit untuk digunakan sebagai dinding maupun atap bangunan seperti produk
papan komposit lainnya yang telah banyak digunakan oleh masyarakat, tidak terbatas pada
penggunaan dalam bangunan-bangunan tradisional. Baru-baru ini telah banyak dilakukan
penelitian tentag pengembangan pembuatan papan komposit dari bahan baku yang dapat
diperbaharui selain kayu (Chew et al. 1994, Chow et al. 1993, Chen and Hua 1991, Hiziroglu
et al. 2007, Gopar dan Sudiyani 2004). Penelitian ini bertujuan untuk optimalisasi
pemanfaatan pelepah sagu sebagai bahan baku papan komposit dengan menentukan jenis
perekat dan kadar perekat optimum dalam pembuatan papan komposit.
Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah limbah perkebunan sagu berupa
pelepah sagu yang diambil dari Makasar. Perekat yang digunakan dalam pembuatan papan
komposit ini adalah water based polyurethane (PU) dan Penol Formaldehida (PF).
Papan komposit yang dibuat berukuran 30 x 30 x 1 (cm3) yang diawali dengan
persiapan bahan, yaitu pembuatan zephyr pelepah sagu dengan menggunakan crusser (alat
pemipih) sampai pelepah menjadi pipih. Pelepah sagu yang telah dipipihkan kemudian
dikeringkan pada suhu 60 0C sampai kadar air 10%. Pelepah sagu yang telah dikeringkan
kemudian dipotong menjadi 30 cm pada arah panjang. Pelepah sagu yang telah kering dan
dipotong kemudian dicelup ke dalam perekat polyurethan (PU) dan penol formaldehida (PF)
dengan kadar perekat masing-masing adalah 10%, 12%, dan 14%. Pelepah yang telah
dicelup kemudian disusun ke samping sampai 30 cm, dan disusun ke atas sampai lima lapis
dengan target kerapatan papan 0,5 g/cm3. Pelepah yang telah tersusun kemudian dikempa
dingin untuk papan yang menggunakan perekat PU dan kempa panas untuk perekat yang
menggunakan PF dengan tekanan spesifik sebesar 25 kg/cm2 selama 24 jam untuk kempa
dingin dan 10 menit untuk kempa panas. Papan yang dibuat kemudian dikondisikan selama
2 minggu dan dilakukan pengujian karakteristik papan meliputi sifat fisis yang terdiri dari
kerapatan, kadar air (KA), pengembangan tebal (TS), daya serap air (DSA) dan sifat
mekanis yang terdiri dari keteguhan patah/Modulus of Rupture (MOR), keteguhan lentur
/Modulus of Elastisity (MOE), keteguhan rekat internal/Internal Bonding (IB), dan kekuatan
pegang skrup/screw holding (SW) mengacu pada standar JIS A 5908 2003.
Kerapatan
Berdasarkan hasil pengujian, kerapatan papan berkisar antara 0,49 0,61 g/cm3
berada pada kisaran kerapatan target papan yaitu 0,5 g/cm3 dan jika kita lihat berdasarkan
kerapatan papan pada standar JIS A 5908 2003, papan tersebut termasuk pada klasifikasi
base particleboard. Nilai rata-rata Kerapatan papan dapat dilihat pada Gambar 1.
206
BIOKOMPOSIT
Papan komposit yang dihasilkan dalam penelitian ini termasuk kedalam kategori
papan partikel berkerapatan sedang (0,55 0,70 g/cm3) (ANSI 208.1 2009).
Kadar Air
Papan komposit pelepah sagu pada semua perlakuan memiliki nilai kadar air yang
sesuai dengan standar JIS A 5908 2003, yaitu kurang dari 14 % berkisar antara 9,9%
13,76%, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.
Pada histogram kadar air terlihat bahwa papan komposit pelepah sagu dengan
perekat PF pada berbagai kadar perekat memiliki nilai kadar air yang relatif sama,
sedangkan papan komposit pelepah sagu dengan perekat PU memiliki kadar air yang relatif
berbeda pada kadar perekat yang berbeda, terutama terlihat antara kadar perekat 10%
dengan 14%. Kadar air pada papan komposit dengan perekat PU 14% memiliki nilai kadar
air yang lebih tinggi dibandingkan dengan papan komposit dengan perekat PU pada kadar
perekat yang lain, hal ini disebabkan penambahan air yang lebih banyak pada pengenceran
perekat PU yang memiliki kadar padatan (solid content) 80%. Selain daripada itu, papan
komposit dengan perekat PU memiliki kadar air yang lebih tinggi dibandingkan papan
207
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
komposit yang menggunakan perekat PF, hal ini disebabkan karakteristik perekat PU yang
berbahan dasar air lebih mengikat air pada saat ditambahkan air untuk pengenceran,
sehingga banyak ikatan hidrogen yang terjadi antara perekat dengan serat pada pelepah
sagu.
Pengembangan Tebal
Nilai pengembangan tebal papan komposit pelepah sagu yang dibuat pada semua
perlakuan memenuhi standar minimal yang disyaratkan JIS A 5908 2003, yaitu kurang dari
25% berkisar dari 13,89% - 23,93%. Nilai rata-rata pengembangan tebal masing-masing
papan dapat dilihat pada Gambar 3.
Dari histogram pengembangan tebal terlihat bahwa semakin tinggi kadar perekat
yang ditambahkan pada papan komposit nilai pengembangan tebal papan semakin rendah,
yang menandakan semakin bagus kualitas perekatannya. Secara umum, papan dengan
perekat PU pada semua tingkat kadar perekat memiliki nilai pengembangan tebal yang lebih
rendah dibandingkan dengan papan yang menggunakan perekat PF. Hal ini terjadi karena
distribusi perekat PU lebih merata pada semua bagian pelepah sagu yang dilaburi perekat,
mulai dari bagian permukaan pelepah sampai kebagain dalam pelepah sagu sehingga
semua bagian terlaburi perekat dengan sempurna baik pada bagian serat maupun pada
bagian gabus, sedangkan pada papan dengan perekat PF terjadi sebaliknya, karena perekat
PF lebih cepat mngering dibandingkan perekat PU setelah dilakukan pengenceran dengan
air sehingga sebagian besar perekat PF terdistribusi pada bagian permukaan pelepah sagu.
208
BIOKOMPOSIT
Gambar 4 Histogram Daya Serap Air Papan Komposit Pelepah Sagu, PU = Poliuretan,
PF = Penol Formaldehida
Keteguhan Patah/MOR
Papan komposit pada semua perlakuan memiliki nilai rata-rata MOR yang memenuhi
standar JIS A 5908 2003, yaitu lebih besar dari 10 MPa berkisar antara 12,91 MPa 16,17
MPa. Begitu juga pada pengujian dalam kondisi basah, papan komposit memiliki nilai MOR
yang lebih besar dari MOR minimal (> 5 MPa) yang disyaratkan dalam standar JIS A 5908
2003, yaitu berkisar dari 8,4 MPa 12,97 MPa seperti yang disajikan pada Gambar 5.
Papan komposit yang menggunakan perekat PU memiliki nilai MOR yang relatif lebih
tinggi dibandingkan dengan papan komposit lainnya. Hal ini disebabkan distribusi perekat
PU yang lebih merata pada semua bagian pelepah sagu dibandingkan perekat PF sehingga
pada bagian gabus dari pelepah sagu menjadi lebih padat dibandingkan bagian gabus yang
tidak terlaburi perekat yang mengakibatkan peningkatan dalam menahan beban yang
diberikan, terutama pada pengujian bending kondisi basah, sedangkan pada pengujian
bending kondisi kering perbedaan nilai MOR tidak berbeda secara nyata. Kondisi ini terjadi
karena pada pengujian kondisi basah bagian gabus yang tidak terkena perekat menjadi
mengembang sehingga kepadatan bagian gabus berkurang. Papan komposit dari pelepah
sagu memiliki nilai rata-rata MOR realtif lebih tinggi jika dibandingkan dengan papan partikel
dari pelepah sawit tanpa perekat (+ 12 Mpa) dan papan partikel yang ada dipasaran (Hashim
et.al. 2011, Kusumah dan Massijaya 2005)
209
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Keteguhan Lentur/MOE
Keteguhan lentur papan komposit berkisar dari 625 MPa 1547 MPa pada pengujian
kondisi kering dan 197 MPa 748 MPa pada pengujian kondisi basah. Berbeda dengan
MOR papan komposit, MOE papan komposit tidak seluruhnya memenuhi standar JIS A 5908
2003, hanya papan dengan kadar perekat 14% pada perekat PU yang memiliki nilai MOE
yang sesuai dengan standar, yaitu lebih dari 1300 MPa seperti yang disajikan pada Gambar
6.
Seperti pada nilai rata-rata MOR papan komposit, nilai rata-rata MOE papan
komposit yang menggunakan perekat PU lebih besar dibandingkan dengan papan komposit
yang menggunakan perekat PF dan nilai MOE papan komposit semakin meningkat seiring
dengan penambahan kadar perekat yang semakin tinggi. Hal ini terjadi selain dari sifat
komponen gabus penyusun pelepah sagu juga disebabkan oleh banyaknya perekat yang
terpenetrasi sampai kebagian gabus dari pelepah sagu.
210
BIOKOMPOSIT
KESIMPULAN
Papan komposit dari zephyr pelepah sagu termasuk kedalam papan partikel
berkerapatan sedang. Papan komposit yang menggunakan perekat poliuretan (PU) dengan
kadar perekat 14% memiliki sifat fisis dan mekanis papan yang lebih baik dibandingkan
dengan papan komposit lainnya, serta memenuhi standar JIS A 5908 2003, kecuali pada
sifat kuat pegang skrup. Oleh karena itu, dibutuhkan penelitian lanjutan untuk memperbaiki
kuat pegang skrup dengan menambahkan lapisan vinir pada bagian permukaan papan atau
memodifikasi komposisi papan antara bagian serat dan bagian gabus dari pelepah sagu.
Berdasarkan sifat fisis dan mekanis papan komposit, papan komposit dari pelepah sagu
dapat digunakan untuk bahan bangunan dan mebel seperti partisi pada dinding rumah, daun
pintu, meja, lemari, atap, dan lain-lain.
211
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
DAFTAR PUSTAKA
[ANSI] American Natonal Standard for Industry. 2009. Industry Standard for Particleboard-
ANSI 208.1-2009. Corporate Panel Association. USA.
Chen, G.Q., Hua, Y.K., 1991. A study of new bamboo-based composite panel. J. Bamboo
Res. 10 (4), 7278.
Chew, L.T., Narulhuda, M.N., Jamaludin, K., 1994. Urea particleboard from Bambusa
vulgaris. Bamboo in Asia and the Pacic. In: Proceedings of the 4th International
Bamboo Workshop, Chaing Mai, Thailand.
Chow, P., Bagy, M.O., Youngquist, J.A., 1993. Furniture panels made from kenaf stalks,
wood waste, and selected crop ber residue. In: Proceedings of the 5th International
Kenaf Conference, California State University at Fresno, Fresno, CA.
Gopar M dan Y Sudiyani. 2004. Perubahan sifat fisik dan mekanis panel zephyr bambu
setelah uji pelapukan cuaca. J. Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis 4(1): 28-32.
Hashim R, et.al. Characterization of raw materials and manufactures binderless particleboard
from oil palm biomass. Material and Design Journal 32: 246-254.
Hiziroglu, S., Bauchongkol, P., Fueangvivat, V., Soontonbura, W., Jarusombuti, S., 2007.
Selected properties of medium density berboard (MDF) panels made from bamboo
and rice straw. Forest Prod. J. 57 (6), 4650.
Kanro Z M, et al. 2003. Tanaman sagu dan pemanfaatannya di Propinsi Papua. J. Litbang
Pertanian 22(3): 116-124.
Kusumah S S dan M Y Massijaya. 2005. Analisis kelayakan teknis papan partikel dari limbah
kayu dan karton gelombang. Jurnal Teknologi Hasil Hutan. Institut Pertanian Bogor
18: 36-39.
Limbongan J. 2007. Morfologi beberapa jenis sagu potensial di Papua. J. Litbang Pertanian
26(1): 16-24.
Rahayu S dan D Harja. 2011. Hutan sagu: potensinya dalam REDD+.
http://kiprahagroforestri.blogspot.com/2011/01/hutan-sagu-potensinya-dalam-
redd.html. [23Januari 2011].
Singhal R. S et al. 2008. Industrial production, processing, and utilization of sago palm-
derived products. J. Carbohydrate Polymers 72: 1-20.
212
BIOKOMPOSIT
ABSTRAK
Kata kunci : papan partikel, konsentrasi bahan pengawet, asap cair, kayu mahoni, kayu
sengon
PENDAHULUAN
Papan partikel merupakan salah satu produk papan tiruan yang banyak digunakan
oleh masyarakat sebagai pengganti kayu yang ketersediaannya semakin terbatas. Kelebihan
produk ini antara lain papan partikel bebas cacat seperti mata kayu, ukuran dan
kerapatannya dapat disesuaikan dengan kebutuhan, mempunyai sifat isotropis, serta sifat
dan kualitasnya dapat diatur. Sementara itu, kelemahan produk papan partikel ini antara lain
stabilitas dimensinya yang rendah sehingga sangat besar pengaruhnya pada pemakaian
terutama bila digunakan sebagai bahan bangunan (Haygreen dan Bowyer, 1996). Pada saat
ini terdapat 19 buah industri pembuatan papan partikel di Indonesia. Industri ini
memanfaatkan limbah kayu dari industri pengolahan kayu sebagai bahan bakunya (Sutigno
dalam Yuliansyah, 2001). Mahoni dan sengon merupakan jenis kayu yang banyak digunakan
dalam industri pengolahan kayu di Indonesia sehingga dapat diasumsikan bahwa limbah
yang dihasilkan dari kedua jenis kayu ini sangat tinggi sehingga dapat digunakan sebagai
bahan pembuatan papan partikel yang sangat potensial.
Dalam pembuatan papan partikel, faktor-faktor yang harus diperhatikan karena
berpengaruh terhadap sifat dan kekuatan papan partikel tersebut adalah jenis bahan, tipe
dan ukuran partikel, penyebaran partikel, jenis dan jumlah perekat, kerapatan papan partikel,
kadar air partikel dan perekatan partikel serta proses pembuatannya (Kollman et al. 1975).
Jenis perekat yang umum digunakan dalam pembuatannya adalah perekat sintetis berbasis
formaldehida, salah satunya adalah urea formaldehida. Selain sifat dan kekuatan papan
partikel, sifat ketahanan dan keawetannya juga perlu diperhatikan agar memberikan umur
pakai yang lebih lama dari produk ini. Usaha peningkatan keawetan papan partikel telah
213
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
banyak dilakukan melalui pengawetan bahan baku kayunya, penambahan bahan pengawet
pada perekat, maupun pengawetan papan partikel yang sudah jadi. Alternatif bahan
pengawet yang dapat digunakan yaitu bahan pengawet yang beracun terhadap organisme
perusak kayu namun bersifat ramah terhadap lingkungan seperti asap cair. Penggunaan
asap cair sebagai bahan pengawet pada kayu solid sebelumnya telah banyak digunakan.
Sementara itu, penelitian mengenai pengawetan papan partikel menggunakan bahan
pengawet ini masih jarang dilakukan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh perlakuan pengawetan dengan
asap cair pada pembuatan papan partikel dari limbah kayu mahoni (Swietenia sp) dan
sengon (Paraserianthes sp) sehingga diperoleh kombinasi yang tepat dalam meningkatkan
sifat papan partikel serta ketahanannya terhadap serangan rayap kayu kering Cryptotermes
cynocephalus Light.
Bahan Penelitian
Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah partikel kayu mahoni
(Swietenia sp.) dan sengon (Paraserianthes sp). Partikel kayu tersebut disaring sehingga
lolos saringan 0,5 cm x 0,5 cm dan tertahan saringan ukuran 40 mesh serta dikeringkan
sampai mencapai kadar air kering udara. Bahan pengawet yang digunakan adalah asap cair
dengan kandungan asam asetat sebanyak 53,37% dan fenol sebanyak 38,67%. Perekat
yang digunakan dalam pembuatan papan partikel ini adalah urea formaldehida.
Perlakuan Pendahuluan
Perlakuan pendahuluan terhadap partikel kayu dilakukan dengan perendaman
partikel kayu kedalam larutan bahan pengawet dengan berbagai perlakuan pengawetan
yaitu tanpa perlakuan pengawetan, perlakuan pengawetan dengan konsentrasi asap cair 0
%; 2,5 %; dan 5 % selama 24 jam, setelah itu partikel dikeringkan sampai mencapai kadar
air kering udara dan siap dicampur dengan perekat urea formaldehida dengan jumlah
perekat 7,5%. Sebelum dan sesudah perlakuan pengawetan, berat partikel ditimbang
sehingga diperoleh persen pertambahan beratnya (WPG, weight percent gain).
214
BIOKOMPOSIT
215
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Tabel 2. Nilai pengujian sifat fisika dan mekanika papan partikel mahoni dan sengon
IB MoR MoE
No Sampel Perlakuan WA (%) TS (%)
(kg/cm2) (kgf/cm2) (kgf/cm2)
1 Mahoni Tanpa Perlakuan 73,14 11,80 5,658 72,72 9.995
2 Mahoni, Pengawet 0% 78,27 17,68 5,222 68,56 10.093
3 Mahoni, Pengawet 2,5% 86,65 18,70 3,919 56,24 9.502
4 Mahoni, Pengawet 5% 81,26 17,26 5,027 69,39 11.169
114,3
5 Sengon Tanpa Perlakuan 4 39,10 1,580 85,28 15.716
107,8
6 Sengon, Pengawet 0% 4 37,67 2,546 99,79 15.330
117,5
7 Sengon, Pengawet 2,5% 5 40,46 2,172 72,59 11.641
126,4
8 Sengon, Pengawet 5% 7 42,08 1,718 56,35 9.152
Tabel 3. Analisis varian sifat fisika dan mekanika papan partikel mahoni dan sengon
Nilai analisis varians keteguhan rekat internal papan partikel mahoni dan sengon
(Tabel 3) tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap perlakuan pengawetan dengan
asap cair. Widarmana dalam Dirhamsyah (1995) mengungkapkan bahwa keteguhan rekat
internal tidak dipengaruhi secara nyata oleh kerapatan kayu asalnya, akan tetapi lebih
banyak ditentukan oleh faktor lainnya seperti geometri partikel, kerapatan lembaran dan
jumlah perekat. Pada papan partikel mahoni secara umum, perlakuan pengawetan
cenderung menurunkan nilai keteguhan rekat internal jika dibandingkan dengan contoh uji
tanpa perlakuan. Sedangkan pada papan partikel sengon justru meningkatkan nilai
keteguhan rekat internal ini. Walaupun demikian, semua nilai keteguhan rekat internal pada
papan partikel mahoni dan sengon telah memenuhi standar JIS A 5908-2003.
Nilai modulus patah papan partikel mahoni dan sengon setelah dianalisis varians
memberikan pengaruh yang nyata pada papan partikel mahoni dan tidak berpengaruh nyata
pada papan partikel sengon. Pada penelitian ini, perlakuan pengawetan cenderung
menurunkan nilai modulus patah papan partikel jika dibandingkan dengan contoh uji tanpa
perlakuan sehingga tidak ada yang memenuhi standar JIS A 5908-2003. Sementara itu, nilai
modulus elastisitas papan partikel mahoni dan sengon setelah dianalisis varians
memberikan pengaruh yang sangat nyata pada papan partikel sengon dan tidak
berpengaruh nyata pada papan partikel mahoni. Hal ini disebabkan penambahan perekat
akan meningkatkan ikatan antar partikel sehingga nilai ini semakin meningkat namun hanya
sebagian saja yang memenuhi standar JIS A 5908-1994.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Aini et al., (2009) mengenai pengaruh
pengawetan dengan boron terhadap kekuatan dan keawetan produk laminasi bambu
memberikan hasil bahwa nilai modulus patah dan modulus elastisitas produk laminasi
bambu menurun dengan pemberian bahan pengawet boron jika dibandingkan dengan
contoh uji tanpa perlakuan pengawetan (kontrol).
216
BIOKOMPOSIT
Perubahan nilai mortalitas rayap kayu kering yang makin meningkat dengan
peningkatan konsentrasi bahan pengawet seperti ditunjukkan pada Gambar 1. diduga
karena adanya kandungan fenol dan asam organik. Tranggono et al. (1997) menyatakan
bahwa fenol dan asam organik merupakan senyawa utama di dalam asap cair yang bersifat
bakteriostatik/baktersidal. Nilai mortalitas rayap papan tanpa perlakuan lebih rendah
daripada nilai mortalitas rayap papan perendaman asap cair, hal ini membuktikan bahwa
asap cair mampu menaikkan nilai mortalitas rayap. Penelitian lain yang dilakukan oleh
Indrayani et al., 2010 memberikan hasil bahwa mortalitas rayap meningkat dengan naiknya
konsentrasi asap cair dari 1%-4% serta tingginya suhu pirolisis 450oC dengan nilai mortalitas
rayap mencapai 100%. Sementara itu, Walther et al. (2007) yang menggunakan impregnasi
phenol formaldehida pada papan partikel kenaf menyebabkan nilai mortalitas rayap
mencapai hampir 100%. Penelitian lain oleh Sulastiningsih dan Jasni (2004) mengenai
ketahanan papan partikel dari kayu karet terhadap rayap kayu kering yang menggunakan
bahan pengawet alfametrin pada konsentrasi 0,75% memberikan nilai mortalitas rayap
100%.
217
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Nilai kehilangan berat terkecil atau terbaik pada papan partikel mahoni dan sengon
juga diperoleh pada perlakuan pengawetan 5% yaitu sebesar 0,565% dan 0,856%. Hasil
analisis varians pada Tabel 5 menunjukkan bahwa faktor perlakuan pengawetan tidak
memberikan pengaruh yang nyata terhadap nilai kehilangan berat baik pada papan partikel
mahoni maupun papan partikel sengon. Pada Gambar 2 dapat dilihat bahwa nilai kehilangan
berat papan partikel mahoni maupun sengon menunjukkan kecendrungan yang menurun
dengan peningkatan konsentrasi bahan pengawet asap cair yang diberikan. Hal ini sesuai
dengan pernyataan Hunt dan Garrat (1986) yang menyatakan bahwa semakin tinggi
konsentrasi bahan pengawet yang diberikan maka semakin kecil nilai kehilangan berat yang
diperoleh dan berbanding terbalik dengan nilai mortalitas yang dihasilkan. Penelitian yang
dilakukan oleh Indrayani et al. (2010) memberikan hasil bahwa kehilangan berat menurun
bahkan tanpa mengalami kehilangan berat sedikitpun pada contoh uji dengan naiknya
konsentrasi asap cair dari 1%-4% serta tingginya suhu pirolisis 450oC.
KESIMPULAN
1. Sifat fisika dan mekanika papan partikel mahoni dan sengon yang telah memenuhi
Standar JIS A 5908-2003 hanya parameter keteguhan rekat internal.
2. Nilai mortalitas rayap dan nilai kehilangan berat terbaik pada papan partikel mahoni dan
sengon diperoleh pada perlakuan pengawetan dengan konsentrasi bahan pengawet 5%
yaitu sebesar 87% dan 0,565% pada papan partikel mahoni dan sebesar 58% dan
0,856% pada papan partikel sengon.
DAFTAR PUSTAKA
Aini, N., Morisco dan Anita. 2009. Pengaruh Pengawetan Terhadap Kekuatan dan Keawetan
Produk Laminasi Bambu. Balai Bahan Bangunan Puslitbang Permukiman. Bandung.
Anonim. 2003. Japanese Industrial Standard Particleboards A 5908. Japanese Industrial
Standard Association. Japan.
Dirhamsyah, M. 1995. Pengaruh Ekstraksi dan Cara Pengawetan Terhadap Sifat Papan
Partikel Kelapa Sawit. Tesis Program Pasca Sarjana Fakultas Kehutanan.
Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta (Tidak diterbitkan).
Haygreen, J.G. dan J.L. Bowyer. 1996. Hasil Hutan dan Ilmu Kayu, Suatu Pengantar.
Diterjemahkan oleh Dr. Ir. Sutjipto A. Hadikusumo. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta.
Hunt, G.M. dan G.A. Garrat. 1986. Pengawetan Kayu, Diterjemahkan Oleh Ir. Mohamad
Jusuf (Alm.). CV Akademika Presindo. Jakarta.
218
BIOKOMPOSIT
Indrayani, Y. H.A. Oramahi, dan Nurhaida. 2010. Evaluation of Liquid Smoke as Bio-
Pesticide to Control Subterranean Termites Coptotermes sp. Jurnal Ketawang
Fakultas Kehutanan Universitas Tanjungpura Pontianak. Hal 87-96.
Kollman, F.F.P., E.W Kwenzi, dan A.J. Stamm. 1975. Principles of Wood Science and
Technology Vol II, Wood Based Materials. Springer Verlay Berlin Heidelberg. New
York.
Sulastiningsih, I.M., dan Jasni. 2004. Ketahanan Papan Partikel Terhadap Serangan Rayap
Kayu Kering Cryptotermes cynocephalus Light. Jurnal Penelitian Hasil Hutan Vol. 22
No. 2 Hal 69-74.
Suryono, A. 2009. Asap Cair Tempurung Kelapa Sebagai Bahan Pengawet Kayu Karet dari
Serangan rayap Tanah (Coptotermes curvignathus Holmgren). Tesis. Sekolah
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor (Tidak Dierbitkan).
Tranggono, S., B. Setiadji, Darmadji, Supranto, Sudarmanto, & R. Arumanto. 1997.
Identifikasi Asap Cair dari Berbagai Jenis Kayu dan Tempurung Kelapa. Laporan
Akhir Riset Unggulan Terpadu III (1995-1997). Yogyakarta.
Walther, T., S.N. Kartal, W.J. Hwang, K. Umemura and S. Kawai. 2007. Strength, Decay and
Termite Resistance of Oriented Kenaf Fiberboards. The Japan Wood Research
Society. 53:481-486.
Yuliansyah, R., Maharani dan D.I. Fauzi. 2001. Sifat Partikel dari Jenis Kayu Hutan
Sekunder dan Hutan Tanaman dengan Perekat Melamin Formaldehida. Prosiding
Seminar Nasional IV. MAPEKI
219
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
ABSTRAK
Serat alam mempunyai potensi untuk digunakan sebagai substitusi penguat bahan
komposit pada industri komposit plastik. Tandan kosong kelapa sawit sebagai limbah industri
Crude Palm Oil (CPO) merupakan sumber serat alam yang cukup melimpah serta belum
optimal pemanfaatannya. Serat yang dibuat berukuran mikro kemudian dikombinasikan
dengan polimer dapat menghasilkan produk bio-komposit yang mempunyai kekuatan tinggi
dan ringan. Dalam makalah ini akan dipaparkan hasil penelitian mengenai aplikasi komposit
polypropylene microfibril cellulose (MFC) tandan kosong kelapa sawit sebagai bahan baku
(pelet) industri komponen otomotif. Karakterisasi komposit diperoleh dari hasil pengujian
terhadap sifat fisik dan mekanik prototipe komposit dari pelet yang terbuat dari polimer
polypropylene (PP) dengan MFC serat tandan kosong kelapa sawit. Temperatur optimum
yang digunakan untuk menghasilkan prototipe komponen otomotif pada injection machine
yaitu 1850C selama 10 detik. Kombinasi rasio 50 MFC : 50 PP: dan 2,5% MAPP
menghasilkan produk komposit terbaik.
Kata kunci : tandan kosong kelapa sawit, mikrofibril selulosa, pelet, prototipe, komposit,
komponen otomotif
PENDAHULUAN
Penetapan tahun 2009 sebagai International Year of Natural Fibers (IYNF) oleh
Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) melalui Food and Agricultural Organisation (FAO)
semakin mendorong Indonesia untuk memanfaatkan pemberdayaan serat alam melihat
potensi dan keragamannya yang besar. Melihat potensi serat alam Indonesia yang cukup
besar dan beragam, tentulah negara ini bisa berperan dan mengambil keuntungan dari
agenda FAO itu, salah satunya dengan peningkatan pemanfaatan serat alam menjadi
produk yang bernilai lebih, melalui sentuhan rekayasa teknologi yaitu untuk industri
komponen otomotif.
Pada industri otomotif, penggunaan bahan-bahan yang menyebabkan pencemaran
lingkungan seperti plastik, serat sintetis, fiber glass, carbon dan aramid yang banyak
digunakan harus dikurangi. Karena itu komposit yang diperkuat dengan serat alam akan
memegang peranan sangat penting (Marsh 2003). Serat alam dipilih karena mempunyai
potensi untuk digunakan sebagai penguat bahan komposit pada industri otomotif yang
selama ini banyak memakai serat atau polimer sintetis.
Penggunaan serat alam dapat mengurangi berat mobil sampai dengan 40% (Marsh
2003) sehingga lebih irit bahan bakar. Energi yang dibutuhkan untuk memproduksi serat
alam (4 GJ/ton) lebih kecil dibandingkan dengan serat gelas (30 GJ/ton). Selain itu serat
alam memiliki keunggulan dibandingkan serat sintetis antara lain bersifat renewable, bisa
didaur ulang (recyclable), tidak berbahaya bagi lingkungan dan kesehatan, memiliki sifat
mekanis lebih baik, tidak menyebabkan abrasi pada alat, dan harganya lebih murah
(Zimmermann et al. 2004, Oksman et al. 2003, Wambua et al. 2003, Mohanty et al. 2002,
Leao et al. 1998) serta densitas yang lebih rendah .
Diantara kelemahan serat alam adalah bersifat hydrophilic yang sulit dikombinasikan
dengan polimer yang bersifat hydrophobic. Untuk mengatasi masalah ini digunakan coupling
220
BIOKOMPOSIT
agent pada matrik dan memperbaiki metode proses yang diterapkan. Selain itu, serat alam
juga mensyaratkan suhu proses yang lebih rendah dari 2000C untuk menghindari kerusakan
pada seratnya (Nakagaito dkk. 2005).
Pemanfaatan tandan kosong kelapa sawit sebagai serat untuk penguat material bio-
komposit telah dilakukan. Tandan kosong kelapa sawit merupakan limbah industri CPO yang
melimpah di Indonesia. Sampai saat ini pemanfaatan limbah tandan kosong kelapa sawit
masih belum menghasilkan produk dengan nilai ekonomi tinggi. Tandan kosong kelapa sawit
di Indonesia memiliki potensi sebesar 13,6 juta ton (asumsi 17% dari 80 juta ton tandan buah
segar) yang bisa digunakan untuk pulp dan kertas (Deptan, 2008).
Struktur tumbuhan terdiri dari polimer karbohidrat dan tersusun dari serat selulosa.
Serat selulosa ini tersusun dari mikrofibril dalam ukuran mikro yang memiliki kekuatan
struktur yang sangat tinggi. Selulosa adalah polimer polisakarida yang menjadi rangka
struktur pada tumbuhan yang ketersediaannya di alam sangat melimpah. Salah satu sumber
utama selulosa diambil dari serat kayu yang tersusun dari selulosa, hemiselulosa dan lignin.
Semakin kecil ukuran komponen selulosa, semakin tinggi kekuatannya. Serat pulp kayu
mempunyai modulus elastisitas (modulus of elasticity) 10 GPa dan keteguhan tarik (tensile
strength) 0,1 GPa (Zimmermann et al. 2004).
Selulosa dengan morfologi yang baru mulai dikembangkan oleh Turbak et al. (1983)
yang sekarang dikenal lebih lanjut sebagai microfibril celullose (MFC). Pembuatan MFC dari
pulp melalui proses mekanik yaitu proses refining sehingga dihasilkan selulosa yang memiliki
luas permukaan yang besar (Nakagaito dan Yano 2004). Pemanfaatannya selama ini
digunakan untuk bahan aditif dalam makanan, cat, kosmetik, dan produk medis. MFC
tersebut dapat digunakan juga untuk memperkuat polimer thermosetting dan polimer
thermoplastic. Sedangkan penelitian pembuatan MFC ukuran mikro dari serat tandan kosong
kelapa sawit baru dilakukan sampai mendapatkan kombinasi terbaik dari hasil pengujian sifat
fisik-mekanik prototipe kompositnya. Mikro-komposit didefinisikan sebagai komposit yang
terbuat dari kombinasi beberapa bahan hayati; salah satu komponennya memiliki ukuran
mikro untuk menghasilkan kinerja yang sinergi dari komposit tersebut. Mikro-komposit
merupakan bidang yang masih cukup baru di Indonesia sehingga masih sangat berpotensi
untuk dilakukan penelitian.
Industri komposit plastik untuk otomotif memiliki potensi untuk berkembang pesat di
masa depan. Adanya material komposit alami yang ringan, kuat, dan ramah lingkungan serta
mudah untuk diaplikasikan akan menjadi daya tarik tersendiri bagi dunia industri, sehingga
prospek pasar sangat terbuka lebar.
Produk pelet komposit serat alam-plastik yang dihasilkan akan mudah diaplikasikan
dalam industri komposit plastik yang akan digunakan dalam industri komponen otomotif
tanpa merubah spesifikasi mesin yang digunakan, sehingga nilai investasi yang dipakai
sama serta mampu menghasilkan prototipe komponen industri otomotif dengan sifat dan
keunggulan yang melebihi prototipe yang terbuat dari polimer plastik.
Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah serat tandan kosong kelapa sawit
yang diperoleh dari PT.Matsumin Megah Raya Sukabumi. Polypropylene yang digunakan
didapatkan dari Tripolyta Inc.
Metode
Serat tandan kosong kelapa sawit dipotong-potong sepanjang sekitar 2 - 3 cm
menggunakan mesin ring flaker, kemudian serat direndam dengan larutan NaOH 4% pada
ratio (1:5) selama 24 jam. Kemudian serat dicuci dan digiling dengan mesin Beater
Hollander selama 1,5 jam sehingga menjadi pulp. Selanjutnya dibuat MFC dengan cara
menggiling pulp TKKS ke dalam disc refiner sebanyak 4 kali. MFC hasil dari disc refiner
dikeringkan dengan oven sehingga diperoleh lembaran kertas. Proses pembuatan pelet
serat alam dengan matriks PP dilakukan dengan metode kering. MFC pulp dibuat lembaran
221
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
tipis dan dikeringkan. MFC dicampur dengan PP yang ditambahkan MAPP sebagai coupling
agent. Konsentrasi MAPP yang optimal adalah 2,5% dari berat komposit. Perbandingan
MFC : PP yang paling baik adalah 50:50.
Komposisi tersebut diproses dengan mixer (Laboplasto Mill) pada suhu 180o C, 60
rpm selama 20 menit. Setelah itu dibuat pelet. Pembuatan prototipe komponen otomotif
dengan mencetak pelet dalam cetakan (molding) menggunakan injection molding.
Proses injeksi pelet dalam mesin injection molding dilakukan pada suhu nozzle
berkisar antara 170-2100C selama 10 detik waktu pencetakan prototipe, ditunjukkan oleh
Tabel 1. Dari beberapa kali uji coba injeksi tersebut dihasilkan prototipe mulai dari yang tidak
utuh/sempurna bentuknya (pada suhu 1700C), utuh bentuknya dan tidak berbau gosong
(pada suhu 1850C) sampai suhu 2100C yang menghasilkan prototipe yang utuh bentuknya
sesuai cetakan namun berbau gosong.
Kondisi optimal mesin injeksi yang digunakan pada pembuatan komposit MFC TKKS-
PP ditampilkan oleh Tabel 2.
Pada suhu di bawah 185 0C, komposit yang terbentuk tidak utuh hal ini dimungkinkan
sehubungan dengan pelelehan PP yang belum sempurna. Sebagian besar bagian PP belum
meleleh sehingga menyebabkan pelet TKKS-PP tidak dapat mengisi seluruh volume
specimen injeksi, yang berakibat pada tidak utuhnya specimen injeksi. Serat alam juga
mensyaratkan suhu proses yang lebih rendah dari 2000C untuk menghindari kerusakan pada
seratnya (Nakagaito dkk. 2005), sehingga penggunaan mesin injeksi di atas suhu optimal
akan berakibat pada penampakan spesimen komposit yang terlihat hangus dan gelap.
Dari beberapa kali uji coba injeksi pelet dalam suhu nozle pada mesin injection
molding diperoleh suhu yang relatif tepat untuk menghasilkan prototipe komponen otomotif
yang sesuai dengan cetakannya/mold yaitu pada suhu 1850C selama 10 detik. Karakter
mekanik komposit MFC TKKS-PP ditampilkan dalam Tabel 3.
222
BIOKOMPOSIT
Dari Tabel 3 dapat dilihat bahwa kekuatan komposit MFC TKKS-PP secara mekanik
lebih tinggi dari kekuatan mekanik PP murni. Penambahan MFC TKKS berdampak positif
bagi peningkatan karakter mekanik komposit. Proses injeksi MFC TKKS-PP ditunjukkan oleh
Gambar 1.
a b
Gambar 2 menampilkan performa hasil injeksi dari komposit MFC TKKS-PP dan PP
murni. Terlihat bahwa komponen yang berasal dari MFC TKKS-PP lebih mantap dan
terkesan kokoh, serta bercorak unik. Dari Gambar 2 juga menunjukkan bahwa MFC TKKS-
PP dapat digunakan untuk membuat komponen dengan bentuk yang rumit dan tipis dengan
performa yang lebih baik dari PP murni.
KESIMPULAN
Telah berhasil dibuat produk biokomposit dari mikrofibril selulosa tandan kosong
kelapa sawit dengan polypropylene berupa prototipe komponen dengan proses injection
molding. Temperatur optimum yang digunakan untuk menghasilkan prototipe komponen
otomotif pada injection machine yaitu 1850C selama 10 detik. Kombinasi rasio 50 MFC : 50
PP: dan 2,5% MAPP menghasilkan produk komposit terbaik.
223
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
DAFTAR PUSTAKA
224
BIOKOMPOSIT
ABSTRAK
PENDAHULUAN
Mahoni (Swietenia sp.) adalah salah satu jenis kayu yang relatif mudah dalam
pengerjaannya dan limbah serbuk gergajiannya banyak dijumpai di industri penggergajian
rakyat. Martawijaya dkk.(1989) menyatakan bahwa kayu mahoni merupakan salah satu kayu
dengan kadar ekstraktif yang cukup tinggi, yaitu kadar ekstraktif larut alkohol-benzena 2,4%,
air dingin 0,4%, air panas 4,5%, dan NaOH 1% sebesar 18,9%. Kadar selulosa pada kayu
mahoni sebesar 46,8% dan lignin 26,9%. Keberadaan ekstraktif biasanya menjadi kendala
dalam proses perekatan pada pembuatan papan komposit. Hal ini disebabkan karena antara
perekat dan ekstraktif sering mempunyai sifat yang tidak bisa menyatu (compatible)
sehingga mengakibatkan proses perekatan berjalan dengan tidak baik. Pada pembuatan
papan partikel tanpa menggunakan perekat, kekuatan rekatnya dihasilkan dari aktivasi
komponen-komponen kimia yang terkandung di dalamnya selama proses perlakuan panas,
terutama komponen hemiselulosa dan lignin (Widyorini et al., 2005a). Pada penelitian
menggunakan ampas tebu, penghilangan ekstraktif ternyata mengakibatkan kenaikan
secara signifikan pada sifat mekanika papan partikel. Di sisi lain, kecenderungan penurunan
nilai sifat mekanika papan partikel dari kenaf inti terlihat setelah mengalami proses
penghilangan ekstraktif (Widyorini et al., 2006). Pengaruh ekstraktif pada proses pembuatan
papan partikel tanpa perekat masih belum jelas dan menarik untuk diteliti lebih lanjut.
225
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Faktor lama pengempaan merupakan salah satu hal penting yang berpengaruh pada
sifat papan partikel. Okuda et al. (2006) dalam penelitiannya menyatakan bahwa
pengempaan panas dengan waktu 10 menit pada papan partikel tanpa perekat dari kenaf inti
menghasilkan sifat kekuatan mekanik papan yang baik. Xu et al. (2003) yang menggunakan
variasi waktu kempa dari 7 hingga 25 menit menyatakan waktu optimal untuk pengempaan
papan partikel tanpa perekat dari kenaf inti menggunakan kempa panas injeksi uap adalah
dengan waktu kempa 10 hingga 15 menit. Pengempaan panas dengan injeksi uap pada
papan partikel tanpa perekat dari kenaf inti menghasilkan nilai stabilitas dimensi yang baik
pada waktu kempa 10 menit, dan cenderung menurun pada waktu kempa 15 menit (Xu et
al., 2003).
Penelitian ini ditujukan untuk membuat papan partikel tanpa perekat dari limbah
serbuk gergajian kayu mahoni dengan mengkombinasikan faktor cara ekstraksi bahan baku
dan waktu pengempaan dengan menggunakan sistem pengempaan panas. Untuk memberi
gambaran peranan adanya ekstraktif terhadap sifat papan partikel tanpa perekat,
penghilangan ekstraktif bahan baku dilakukan dengan cara perebusan dan pengukusan.
Bahan Penelitian
Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah limbah serbuk gergajian kayu
mahoni (Swietenia sp) yang diambil dari industri penggergajian di daerah Bantul,
Yogyakarta. Serbuk yang kemudian digunakan adalah yang lolos saringan 10 mesh. Partikel
ini kemudian dikeringanginkan selama kurang lebih 2 minggu.
Metode Penelitian
Penelitian ini didisain menggunakan pola acak lengkap dengan percobaan factorial
menggunakan dua faktor yaitu faktor perlakuan ekstraksi dan faktor waktu pengempaan.
Perlakuan ekstraksi dilakukan dengan 2 metode yaitu perlakuan perebusan dan
pengukusan pada suhu 100C 2C selama 3 jam. Setelah proses perlakuan tersebut,
partikel kemudian dikeringnginkan selama kurang lebih 2 minggu. Ketiga jenis partikel yaitu
partikel tanpa perlakuan, partikel setelah pengukusan dan partikel setelah perebusan
kemudian dibuat mat dengan ukuran 25 x 25 x 0,8 cm. Pengempaan dilakukan dengan
metode kempa panas dengan variasi waktu pengempaan 10 dan 15 menit pada suhu 180C.
Target kerapatan yang dituju adalah 0,8 g/cm3 dengan target ketebalan 0,7 cm dan ulangan
masing-masing sebanyak 3 kali. Sebagai kontrol, partikel tanpa perlakuan ditambah dengan
perekat urea formaldehida (UF) 10% berat kering partikel, yaitu menggunakan suhu
pengempaan 130C selama 10 menit. Semua papan yang dihasilkan kemudian dikondisikan
selama 7 hari.
Setelah papan partikel dikondisikan, selanjutnya dilakukan pemotongan pinggir dan
pembuatan contoh uji didasarkan pada ketentuan JIS A 5908 (Anonim, 2003) meliputi sifat
fisik dan mekanika. Sifat fisika dan mekanika yang diuji yaitu kadar air, kerapatan,
penyerapan air, pengembangan tebal, kekuatan rekat internal, modulus patah (MoR), dan
modulus elastisitas (MoE).
226
BIOKOMPOSIT
1. Selain itu, waktu perebusan yang relatif lama (3 jam) dan kontak langsung antara partikel
dan air mendidih membuat serbuk menjadi lebih halus (hancur).
A B C
Gambar 1. (A) Partikel tanpa perlakuan; (B) Partikel setelah proses perebusan;
(C) Partikel setelah proses pengukusan
Hasil analisis varians penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 2. Pengaruh interaksi
kedua faktor terlihat sangat nyata hanya pada nilai modulus elastisitas saja. Pengaruh
perlakuan ekstraksi mempengaruhi secara signifikan pada nilai modulus patah dan modulus
elastisitas, sedangkan pengaruh waktu kempa hanya berpengaruh nyata pada nilai
kerapatan papan partikel yang dihasilkan. Selanjutnya, pembahasan akan dilakukan untuk
masing-masing parameter uji.
Signifikansi
Parameter Interak Perlakuan ekstraksi Waktu
si kempa
Kerapatan 0,407ns 0,879ns 0,026*
Kadar air 0,334ns 0,234ns 0,387ns
Pengembangan tebal 0,689ns 0,976ns 0,241ns
Penyerapan air 0,062ns 0,679ns 0,387ns
Kekuatan rekat internal 0,175ns 0,212ns 0,990ns
Modulus patah 0,151ns 0,042* 0,378ns
Modulus elastisitas 0,002** 0,022* 0,896ns
Sifat Fisika
Nilai kerapatan papan partikel tanpa perekat dan papan partikel dengan perekat urea
formaldehid (UF) berkisar antara 0,69 - 0,76 g/cm3, dari target kerapatan 0,8 g/cm3. Analisis
statistik menunjukkan bahwa hanya faktor waktu pengempaan yang berpengaruh signifikan
terhadap kerapatan papan partikel tanpa perekat, dimana nilainya meningkat seiring dengan
bertambahnya waktu kempa. Hasil penelitian yang sama ditunjukkan oleh Xu et al. (2004),
dimana kerapatan papan partikel tanpa perekat dari kenaf core meningkat seiring dengan
bertambahnya waktu pengempaan panas dengan injeksi uap selama 7 hingga 20 menit.
Waktu kempa yang semakin lama memberikan peluang antar partikel untuk saling kontak
227
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
20 15 m enit
)
%
(
l15
a
b
et
n
a10
g
n
a
b
m
e5
g
n
e
P
0
N o n Pe rlaku an Pe n gu kusan Pe reb usan Pap an (U F)
Gambar 2. Nilai penyerapan dan pengembangan tebal papan partikel dari serbuk mahoni
Nilai pengembangan tebal papan partikel pada penelitian ini berkisar antara 13,6
19,2%, dimana masih belum memenuhi Standar JIS A 5908 (Anonim, 2003) yang
mensyaratkan pengembangan tebal papan partikel maksimum 12%. Walaupun demikian,
nilai pengembangan tebal ini lebih baik dibandingkan nilai pengembangan tebal pada papan
serat tanpa perekat dari kayu jarum (Abies alba dan pinus) yang berkisar antara 12 - 37 %
(Angels et al. 1999), dan papan partikel tanpa perekat dari non kayu (kenaf inti) sebesar 169
% Widyorini et al. (2005b). Pada penelitian ini, faktor perlakuan ekstraksi dan waktu
pengempaan, serta interaksi keduanya tidak menunjukkan pengaruh signifikan terhadap nilai
pengembangan tebal. Hal yang menarik disini adalah penambahan perekat UF ternyata tidak
memberikan perbedaan yang nyata dibandingkan dengan papan partikel tanpa
menggunakan perekat.
228
BIOKOMPOSIT
Sifat Mekanika
Nilai kekuatan rekat internal papan partikel tanpa perekat dari serbuk mahoni sudah
cukup baik, yaitu berkisar antara 1,11 kg/cm - 1,83 kg/cm (Gambar 3) dimana Standar JIS
A 5908 tipe 8 (Anonim, 2003) sebesar 1,5 kg/cm. Nilai kekuatan rekat internal papan
partikel dengan perekat UF jauh lebih tinggi dibandingkan dengan papan partikel tanpa
perekat. Nilai kekuatan rekat internal cenderung menurun seiring dengan penambahan
waktu kempa, baik pada perlakuan perebusan maupun pengukusan, namun tidak untuk
papan dari partikel tanpa perlakuan. Walaupun demikian, analisis secara statitik
menunjukkan tidak adanya pengaruh yang signifikan baik dari faktor perlakuan ekstraksi,
waktu pengempaan, maupun interaksi kedua faktor terhadap nilai kekuatan rekat internal.
Widyorini et al. (2005b) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa pada proses perlakuan
dengan injeksi uap (160 180 0C pada kenaf inti terjadi degradasi hemiselulosa, lignin, dan
selulosa secara signifikan. Velasquez et al. (2003) dalam penelitiannya diperoleh penurunan
nilai kekuatan rekat internal papan partikel tanpa perekat dari rumput gajah seiring dengan
peningkatan waktu pengempaan 4 menit hingga 14 menit. Suzuki et al. (1998) juga
menyatakan bahwa kekuatan mekanik papan partikel tanpa perekat menurun dengan
adanya perlakuan panas yang berlebihan.
4,0
10 menit
la 15 menit
n 3,0
re
t
n
i
t ) 2,0
a m
k
er c/
g 1,0
n k
(
a
ta
u
k
e 0,0
K Non perlakuan Pengukusan Perebusan Papan (UF)
Gambar 3. Nilai kekuatan rekat internal papan partikel tanpa perekat dari serbuk mahoni
Berdasarkan hasil pengujian yang telah dilakukan, nilai modulus patah papan partikel
pada penelitian ini berkisar antara 26,5 kg/cm - 61,9 kg/ cm (Gambar 4). Perlakuan
ekstraksi menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap nilai modulus patah (Tabel 2).
Perlakuan ekstraksi dengan pengukusan pada partikel memberikan nilai modulus patah yang
lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan ekstraksi dengan perebusan maupun tanpa
ekstraksi. Pengempaan waktu yang terlalu lama bisa menurunkan nilai modulus patah. Pada
perlakuan perebusan, diduga terjadi proses degradasi komponen kimia yang cukup
signifikan, terutama pada waktu pengempaan yang cukup lama, sehingga menimbulkan
penurunan pada nilai modulus patah. Hal ini juga didukung dengan bentuk partikel yang
berwarna lebih gelap dan lebih halus setelah proses perebusan. Ada banyak kemungkinan
reaksi kimia yang berlangsung saat proses pengempaan panas. Reaksi-reaksi kimia ini
dapat diringkas sebagai berikut: degradasi dari hemiselulosa dan sebagian selulosa yang
membentuk gula sederhana dan dekomposisi lainnya; degradasi termal matriks dinding sel;
pembentukan ikatan antara polimer karbohidrat dan lignin, dan peningkatan kristalisasi
selulosa (Rowell et al. 2002).
229
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
70
10 menit
)
60
m 15 menit
c/
g 50
k
(
h40
at
a
P30
s
u
l 20
u
d
o 10
M
0
Gambar 4. Nilai modulus patah papan partikel tanpa perekat dari serbuk mahoni
Hasil pengujian pada Gambar 5 menunjukkan bahwa nilai modulus elastisitas papan
partikel tanpa perekat dari serbuk mahoni berkisar antara 5,59 x 10 13,75 x 10 kg/cm.
Pada pembentukan papan partikel dengan menggunakan perekat urea formaldehida,
diperoleh nilai modulus elastisitas sebesar 9,28 x 10 kg/ cm. Tabel 2 memperlihatkan
bahwa faktor perlakuan ekstraksi dan interaksi antara faktor perlakuan dan waktu
pengempaan berpengaruh signifikan terhadap nilai modulus elastisitas. Pada proses
pengukusan ini, nilai modulus elastisitas meningkat seiring dengan peningkatan waktu
kempa. Velasquez et al. (2003) dalam penelitiannya diperoleh beberapa peningkatan nilai
modulus elastisitas papan partikel tanpa perekat dari rumput gajah seiring dengan
peningkatan waktu pengempaan 4 menit hingga 14 menit. Hal ini diduga bahwa semakin
lama pengempaan panas maka akan semakin besar termoplastis komponen di dalam kayu
sehingga akan meningkatkan nilai modulus elastisitas. Plastisitas dimungkinkan berasal dari
zat ekstraktif yang termoplastis dimana akan melunak selama perlakuan panas. Disisi lain,
proses ekstraksi perebusan yang diikuti dengan waktu kempa selama 15 menit menunjukkan
nilai modulus elastisitas terendah (5,73 x 10 kgf/cm). Hal ini diduga bahwa pada
perebusan, terjadi proses degradasi komponen kimia di dalam serbuk yang relatif signifikan
dan menyebabkan kerusakan serbuk (hancur) sehingga berpengaruh pada rendahnya nilai
modulus elastisitas.
2,E+04
) 10 menit
1,E+04
m
c/ 1,E+04 15 menit
gk
( 1,E+04
sa
ti 8,E+03
si
ts 6,E+03
al
E 4,E+03
s
u
l 2,E+03
u
d
o 0,E+00
M Non Perlakuan Pengukusan Perebusan Papan (UF)
Gambar 5. Nilai modulus elastisitas papan partikel tanpa perekat dari serbuk mahoni
230
BIOKOMPOSIT
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan dari penelitian ini, dapat diambil
beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1. Interaksi antara perlakuan ekstraksi dan waktu kempa berpengaruh nyata terhadap sifat
modulus elastisitas papan partikel. Sifat optimum diperoleh pada papan partikel setelah
pengukusan dengan waktu kempa 15 menit, yang menghasilkan nilai penyerapan air
71,1 %, pengembangan tebal 14,3 %, kekuatan rekat 1,24 kg/cm, modulus patah 61,89
kg/cm, dan modulus elastisitas 13,75 x 10 kg/cm.
2. Perlakuan ekstraksi berpengaruh nyata terhadap sifat modulus patah (MOR) dan
modulus elastisitas (MOE) papan partikel tanpa perekat. Perlakuan pengukusan dapat
meningkatkan nilai modulus patah dan modulus elastisitas, namun hal itu tidak terjadi
pada perlakuan perebusan.
3. Waktu kempa berpengaruh nyata terhadap kerapatan papan partikel tanpa perekat.
Semakin lama waktu kempa, kerapatan papan yang dihasilkan semakin tinggi. Nilai rata-
rata kerapatan pada waktu 10 menit adalah 0,71 g/cm meningkat menjadi 0,76 g/cm
setelah waktu kempa 15 menit.
UCAPAN TERIMAKASIH
Penelitian ini merupakan bagian dari Program Hibah Penelitian Internasional World
Class Research University Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada tahun 2009 yang
berjudul Pemanfaatan Limbah Industri Pengolahan Kayu dari Hutan Rakyat sebagai Bahan
Komposit Binderless.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2003. Japanese Industrial Standard for Particleboards JIS A 5908-1994. Japanese
Standard Association. Japan.
Angels, M.N., J. Reguant, D. Montane, F. Ferrando, X. Farriol, and J. Salvado. 1999.
Binderless Composites from Pretreated Residual Softwood. Journal of Apllied
Polymer Sciences, Vol.73, 2485-2491 (1999).
Martawijaya, I. Kartasujana, Y.I. Mandang, S.A. Prawira, dan K. Kadir. 1989. Atlas Kayu
Indonesia Jilid I. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Departemen
Kehutanan. Bogor.
Okuda, N. and M. Sato. 2004. Manufacture and Mechanical Properties of Binderless Boards
from Kenaf Core. J Wood Sci 50: 53-61.
Okuda, N., K. Hori, and M. Sato. 2006. Chemical Changes of Kenaf Core Binderless Boards
During Hot Pressing (I); Influence of The Pressing Temperature Condition. J Wood
Sci 52:244248
Rowell R, S. Lange, J. McSweeny, and M. Davis. 2002. Modification of wood fiber using
steam. In: Proceedings of the 6th pacific rim bio-based composites symposium,
Oregon, vol 2, pp 606615
Suzuki, S., H. Shintani, S. Y. Park, K. Saito, N. Laemsak, M. Okuma, and K. Iiyama. 1998.
Preparation of Binderless Boards from Steam Exploded Pulps of Oil Palm (Elaeis
guneensis Jaxq) Fronds and Structural Characteristics of Lignin and Wall
Polysaccharides in Steam Exploded Pulps to be Discussed for Self-Bonding.
Holzforschung 52 : 417-426.
Velasquez, J.A., F. Ferrando, X. Farriol and J. Salvado. 2003. Binderless Fiberboard From
Steam Exploded Miscanthus sinensis : Optimization of Pressing and Pretreatment
Conditions.. Wood Sci Technol 37 : 279-286.
Widyorini, R., T. Higashihara, J. Xu, and T. Watanabe. 2005a. Self-Bonding Characteristics
of Binderless Kenaf Core Composites. J Wood Sci 39: 651662.
231
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Widyorini, R., J. Xu, T. Watanabe, dan S. Kawai. 2005b. Chemical changes in steam-
pressed kenaf core binderless particleboard. J Wood Sci 51:2632.
Widyorini, R., K. Kaiho, K. Umemura, and S. Kawai. 2006. Manufacturing and Properties of
Binderless Particleboard: Effect of Extraction Treatment on Mechanical Properties. In:
the 56th Annual Meeting of Japan Wood Research Society (extended abstract), Akita,
Jepang.
Xu, J., S. Sugawara, R. Widyorini, G. Han, and S. Kawai. 2004. Manufacture and Properties
of Low-Density Binderless Particleboard From Kenaf Core. J Wood Sci 50:6267.
232
BIOKOMPOSIT
ABSTRAK
Pengujian terhadap komposisi venir kayu mahoni dan kayu baros bertujuan untuk
mengetahui sifat fisik mekanis serta emisi uji delaminasi dan emisi formaldehida Laminated
Veneer Lumber (LVL) yang dibuat dari dua jenis kayu dengan komposisi dan susunan
lapisan yang berbeda. Bahan yang digunakan adalah venir dari jenis kayu mahoni dan
baros dengan komposisi 100% mahoni (P1), 75%:25% mahoni:baros (P2), susunan selang-
seling kedua jenis (P3), 50%:50% mahoni:baros (P4), 25%:75% mahoni:baros (P5), dan
100% baros (P6). Venir dibuat dengan sistem rotary dengan ketebalan 2 mm. LVL dibuat
menggunakan perekat Urea Formaldehida dengan berat labur 180 gr/m2 dan kempa panas
pada suhu 120C. Hasil pengujian adalah komposisi LVL berpengaruh tidak nyata terhadap
kadar air, keteguhan geser horisontal dan MOR pada posisi datar. Komposisi LVL
memberikan pengaruh terhadap kerapatan, keteguhan geser horisontal pada posisi tegak
dan MOE posisi datar. Produk tahan uji delaminasi venir lamina non struktural dan memiliki
rata-rata emisi formaldehida sebesar 2,96 mg/l.
Kata kunci: laminated veneer lumber, komposisi venir mahoni:baros, keteguhan geser dan
lentur, uji delaminasi, emisi formaldehida
PENDAHULUAN
Salah satu usaha untuk melakukan efisiensi penggunaan kayu adalah dengan
mengembangkan teknologi pemanfaatannya. Perkembangan penelitian terhadap produk
kayu komposit dan aplikasinya pada dunia industri sampai saat ini masih terus ditelaah.
Produk kayu olahan terus berkembang dan memegang peranan penting dalam bidang
konstruksi kayu, seperti kayu lamina (glulam) dan venir lamina (Laminated Veneer Lamina),
saat ini secara luas diterima sebagai bagian dari kayu konstruksi dan telah diproduksi secara
komersial (Kawai, 2000).
Laminated Veneer Lumber (LVL) adalah salah satu produk struktural yang dibuat
dengan merekatkan lapisan-lapisan venir dengan perekat dengan arah sejajar serat.
Berdasarkan definisi ini maka venir dengan ketebalan maupun jenis kayu yang sama
ataupun campuran dengan berbagai jenis perekat dapat dijadikan sebagai LVL.
Penggunaan kayu kualitas rendah pada lapisan dalam LVL dapat pula menurunkan biaya
produksi. Dengan teknik ini, produk lamina seperti LVL dapat dibuat sehingga memiliki
karakteristik yang berbeda, bahkan dapat lebih unggul dibandingkan dengan kayu solidnya
baik dari jenis kayu yang sama ataupun berbeda, namun dengan ketebalan yang seragam
(Burdurlu et al 2006).
Lapisan kayu yang diatur sedemikian rupa dengan memperhatikan kualitas bahan
dapatdisesuaikan dengan fungsi yang ditujumaupun dari segi kemampuan struktural dalam
menerima beban. Dengan susunan lapisan yang mempunyai mutu berbeda pada lapisan
tertentu, maka sifat mekanis kayu akan meningkat, antara lain kekuatan dan kekakuannya.
Dengan menyusun lapisan kayu dan memberikan lapisan yang mempunyai mutu lebih tinggi
pada daerah dengan tegangan besar dan mutu yang lebih rendah pada daerah lainnya,
penampang laminasi akan bekerja efektif didalam menerima beban lentur sehingga akan
233
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
mempengaruhi kekuatan lentur maupun kekakuan dari satu kesatuan laminasi tersebut
(Sulistyawati et.al, 2008).
Komposisi produk komposit yang memadukan jenis kayu yang memiliki kerapatan
tinggi dengan jenis kayu yang memiliki kerapatan rendah diteliti untuk membandingkan sifat
mekanisnya dibandingkan dengan kayu solid utuh. Kayu mahoni (Swietenia mahagoni(L).
Jacq) yang tergolong dalam famili Meliaceae merupakan jenis yang tumbuh di zona lembab
seperti Indonesia, Fiji dan Filipina. Mahoni memiliki kerapatan kayu 560-850 kg/m3 pada
kadar air 15% (Joker, 2001). Pembuatan LVL kali ini dengan memadukan venir mahoni
dengan venir baros atau manglid (Manglietia glauca BI). Di Jawa dan Bali kayu baros sangat
disukai karena kayunya mengkilat, strukturnya padat, halus, ringan dan kuat. Kayu baros
memiliki berat jenis 0,41. Pada kadar air 15 %, kerapatannya dapat mencapai 320-580 kg/m3
(Djaman, 2006). Perpaduan venir dari kayu mahoni dan kayu baros yang memiliki
perbedaan kerapatan merupakan aplikasi prinsip desain laminasi.
Pengujian terhadap komposisi venir kayu mahoni dan kayu baros bertujuan untuk
mengetahui sifat fisis mekanis serta delaminasi dan emisi formaldehida Laminated Veneer
Lumber (LVL) yang dibuat dari dua jenis kayu dengan komposisi dan susunan lapisan yang
berbeda.
Metode
Pembuatan LVL
LVL berupa multipleks (15 lapis) dibuat dari venir berukuran 80 cm x 15 cm, semua
venir disusun sejajar arah serat. Jenis kayu untuk lapisan luar adalah sama yaitu venir kayu
mahoni, sedangkan bagian dalam disusun berdasarkan susunan yang diperlihatkan pada
Gambar 1.
LVL dibuat dengan menggunakan perekat urea formaldehida (UF). Berat labur
perekat adalah 180 g/m2. Pelaburan perekat dilakukan menggunakan kuas pada satu sisi
bidang rekat (single spread). Pengempaan panas dilakukan selama 10 menit pada suhu
120C.
234
BIOKOMPOSIT
Analisa data
Data yang diperoleh dianalisis menggunakan Rancangan AcakLengkap untuk
mengetahui pengaruh komposisi terhadap karakteristik produk. Selain itu hasil pengujian
juga dibandingkan dengan standar Indonesia mengenai venir lamina. Untuk mengetahui
pengaruh kerapatan produk terhadap emisi formaldehida dilakukan analisis regresi
sederhana.
Tabel 1. Nilai F hitung pengaruh komposisi venir terhadap sifat fisis mekanis LVL
235
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Kadar air masing-masing komposisi kayu laminasi berkisar antara 11,07 % - 12,53%.
sedangkan kerapatan LVL pada kondisi kering udara berkisar antara 0,48 0,56 g/cm3.
Kadar air dan kerapatan tertinggi pada P1, sedangkan kadar air dan kerapatan terendah ada
pada P6.
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa komposisi dan susunan LVL berpengaruh
tidak nyata terhadap kadar air (Tabel 1). Namun terlihat ada kecenderungan bahwa semakin
tinggi bagian kayu mahoni maka kadar air akan semakin tinggi, dan sebaliknya pada LVL
dengan komposisi kayu baros lebih banyak maka kadar airnya akan semakin kecil. Kadar air
kering udara memenuhi persyaratan SNI 01-6240-2000 yaitu tidak lebih dari 14%.
Hasil analisis ragam terhadap kerapatan LVL menunjukkan bahwakomposisi LVL
berpengaruh nyata terhadap kerapatan (Tabel 1). Kerapatan lebih tinggi pada komposisi LVL
dengan jumlah venir mahoni yang lebih banyak seperti pada P1dan P2. Hal ini disebabkan
oleh karena kerapatan kayu mahoni lebih tinggi dibandingkan kayu baros. Berdasarkan hasil
ini tampak bahwa jenis venir menjadi penentu perbedaan kadar air dan kerapatan dari
komposisi LVL, selain faktor penambahan perekat dan proses pengempaan (Sulastiningsih,
Nurwati dan Santoso 2005).
Kayu mahoni termasuk dalam kelas kuat II-III sedangkan kayu baros memiliki kelas
kuat III-IV.Jika dibandingkan dengan klasifikasi kelas kuat kayu solid berdasarkan berat
jenisnya (Seng 1990) maka produk LVL dengan komposisi venir kayu mahoni dan kayu
baros setara dengan kelas kuat III (berat jenis berkisar 0,40 0,60).
236
BIOKOMPOSIT
6240-2000 maka seluruh komposisi LVL yang dibuat termasuk dalam kategori paling tinggi
yaitu 65V 55H.
Keterangan :
1
Rata-rata tiap komposisi
Keterangan :
1
Rata-rata tiap komposisi LVL
Berdasarkan hasil pengujian pada Tabel 5 di atas, tampak bahwa LVL dengan
komposisi P4 memiliki nilai MOR yang tertinggi. Hal ini menunjukkan bahwa perpaduan venir
dari jenis kayu yang memiliki berat jenis lebih tinggi dengan venir dari jenis kayu berberat
jenis lebih rendah dapat menghasilkan produk komposit LVL yang memiliki nilai MOR lebih
baik dibandingkan dengan produk komposit LVL yang tersusun dari jenis kayu yang sejenis.
Hal ini tentu sejalan dengan tujuan prinsip desain laminasi.
Jika dihubungkan dengan penggolongan kelas kuat kayu (Seng, 1990) maka nilai
MOR yang dimiliki oleh semua komposisi LVL dapat digolongkan ke dalam kelas kuat II (650
425 kg/cm2), dengan demikian pembuatan LVL ini dapat meningkatkan sifat kekuatan
produk yang dihasilkan jika dibandingkan dengan kayu solidnya. Sejalan dengan hal
tersebut, mengacu pada SNI 01-6240-2000, maka seluruh komposisi LVL yang dibuat dapat
digolongkan dalam kelas Mutu Khusus Mutu I untuk nilai MOR.
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa pengaruh komposisi LVL signifikan
terhadap MOE, dimana nilai MOE tertinggi yaitu pada P6. Terlihat bahwa LVL yang terbuat
dari 100% venir kayu baros jauh lebih tinggi elastisitasnya dibandingkan komposisi lain.
237
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Namun kondisi seperti ini kurang menguntungkan ketika produk dijadikan produk yang
digunakan untuk menahan beban karena akan lebih mudah melengkung.Berdasarkan
persyaratan keteguhan lentur SNI 01-6240-2000 maka seluruh komposisi LVL nilai MOEnya
tidak memenuhi standar.
Pengujian delaminasi
Produk LVL yang dibuat digolongkan dalam produk non struktural karena bahan
perekat yang digunakan dan tebal produk termasuk dalam kelas interior (SNI 01-6240-2000).
Hasil pengamatan terhadap contoh uji menunjukkan bahwa seluruh komposisi LVL memiliki
nilai nisbah delaminasi sebesar 0%. Ini berarti bahwa pembentukan garis rekat antara
lapisan venir yang satu dengan yang lain membentuk ikatan yang kuat dan mantap.
Perekat yang digunakan pada pembuatan LVL adalah urea formaldehida (UF). UF
merupakan perekat yang bersifat thermosetting. Perekat ini terdiri dari polimer ikatan silang
yang terjadi jika diterapkan pada panas dan tekanan. Keuntungan dari perekat ini antara lain
larut air, keras, tidak mudah terbakar, tidak berwarna dan harganya murah.
Hasil uji delaminasi yang tidak menunjukkan adanya delaminasi pada air panas dan
air dingin dapat terjadi karena adanya perekatan spesifik (specific adhesion) yang kuat,
yaituterjadi gaya tarik menarik antara perekat dengan bahan yang direkat.
Keterangan:
1
Rata-rata tiap komposisi (2 ulangan)
Tabel 5 terlihat menunjukkan bahwa LVL yang terbuat dari 100% venir kayu mahoni,
dengan kerapatan produk yang paling tinggi memiliki emisi formaldehida yang terendah,
sedangkan yang tertinggi adalah P5, yaitu LVL dengan komposisi kayu baros yang lebih
tinggi dan kerapatan produk yang rendah. Berdasarkan hasil analisis regresi didapatkan
nilai R2 sebesar 0,64 dan nilai t statistik sebesar 1,67 pada taraf kepercayaan 95 %. Jika
dibandingkan dengan nilai t tabel dengan db = 5 pada taraf kepercayaan yang sama
diperoleh nilai 2,015. Karena nilai t statistik <t tabel maka dapat dikatakan bahwa kerapatan
tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kadar emisi formaldehida masing-masing
komposisi LVL.
Urea formaldehida mempunyai kelemahan yakni adanya emisi formaldehida yang
dapat menimbulkan pencemaran terutama di ruangan tertutup. Negara Jepang menetapkan
kadar emisi formaldehida pada kayu lapis rata-rata antar 0,5 5 mg/l (Anonim 1994 dalam
Santoso dan Sutigno 2004).Berdasarkan syarat mutu SNI 01-6050-1999 untuk produk kayu
lapis, maka LVL yang dibuat termasuk dalam klasifikasi F-2 dengan nilai emisi rata-rata
maksimal 5 mg/l.
238
BIOKOMPOSIT
KESIMPULAN
1. Perbedaan komposisi jenis venir mahoni dan baros berpengaruh nyata terhadap
kerapatan produk, keteguhan geser horisontal pada posisi tegak dan MOE pada posisi
datar, namun tidak nyata pengaruhnya pada kadar air, keteguhan geser horisontal dan
MOR pada posisi datar
2. Produk LVL dengan komposisi venir mahoni dan baros tahan terhadap uji delaminasi
non struktural.
3. Rata-rata emisi formaldehida produk sebesar 2,96 mg/l dimana kerapatan produk tidak
berpengaruh nyata terhadap kadar emisi.
DAFTAR PUSTAKA
Burdurlu, E., M. Killic, A.C. Ilce, O. Uzunkavak. 2007. The effects of ply organization and
loading direction on bending strength and modulus of elasticity in laminated veneer
lumber (LVL) obtained from beech (Fagus orientalis L.) and lombardy poplar (Populus
nigra L.). Construction and Building Materials 21 pp. 1720-1725.
Gunduz, G, D. Aydemir, Onat Sm, Akgun K.2011. The Effects of tannin and thermal
treatment onPhysical and mechanical properties of laminated Chestnut wood
composites. BioResources 6 (2) pp.1543-1555.
Joker, D.. 2001. Informasi Singkat Benih. Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan. Edisi Maret
No.4 pp. 1-2
Kawai, S. 2000. Recent Developments of Wood Composites in Japan. Prosiding Semnas
Mapeki. Fahutan Unwim-Jatinangor. Bandung.
Malik J, A. Santoso, H. Roliadi. 2005.Characteristic of laminated wood of logging waste of
three natural forest wood species. Journal of Forestry Research. Vol.2. No.1 pp.37-46
Rosalita, Y. 2009. Kajian optimasi sambungan pasak Bambu laminasi pada struktur
Laminated veneer lumber (lvl). Sekolah pascasarjana Institut pertanian bogor Bogor.
Santoso, A., P. Sutigno. 2004. Pengaruh Fumigasi Amonium Hidroksida Terhadap Emisi
Formaldehida Kayu Lapis Dan Papan Partikel. Jurnal Penelitian Hasil Hutan Vol. 22
No. 1, Juni 2004: 916
Seng, O.D. 1990. Berat Jenis Kayu Indonesia dan Pengertian Berat Jenisnya untuk
Keperluan Praktek. Pengumuman No.13, Lembaga Penelitian Hasil Hutan, Bogor.
SNI 01-6050-1999. Produk Kayu Lapis. Badan Standardisasi Nasional Indonesia.
SNI 01-6240-2000. Venir Lamina. Badan Standardisasi Nasional Indonesia
Sulastiningsih, I.M., Nurwati, A. Santoso. 2005. Pengaruh lapisan kayu terhadap sifat
bambu lamina. Jurnal Penelitian Hasil Hutan. Vol. 23 No 1 pp. 15-22.
Sulistyawati I, N. Nugroho, S. Surjokusumo, Y.S. Hadi. 2008.Kekuatan Lentur Glued
Laminated (Glulam) Kayu Vertikal dan Horizontal dengan Metode Transformed
Cross Section.Journal Tropical Wood Science and Technology Vol. 6 No. 2.pp. 49-
55
239
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
ABSTRACT
This study evaluated the ability of brown rot fungi and subterranean termite to
decompose plywood panel-bonded by fortification of natural rubber latex-styrene (NRL-St)
and isocyanate by measuring weight loss. Plywood was manufactured using sengon
(Paraserianthes falcataria) veneers. Blending compositions of NRL-St/Isocyanate were
100/0, 90/10, 80/20, 70/30 and 0/100. Plywood specimens were then subjected to fungal
decay resistance tests performed according to Japanese Industrial Standard (JIS) K 1571
(2004) method using a white-rot fungus, Trametes versicolor. The specimens were also
assayed against the subterranean termite, Coptotermes gestroi to determine termite
resistance. Laboratory termite and decay test of plywood panels bonded with fortification of
NRL-St and isocyanate resulted their weight loss more than 3% and dont met JIS standard.
Besides that plywood specimens also have in less resistance to decay attack. Fortification of
NRL-St/Isocyanate (70/30) showed the highest resistant to decay attack, in other hand this
combination was vice in versa to subterranean termites test.
Keywords: Plywood; fortification; NRL-St, isocyanate, decay and termite resistance, White
rot
PENDAHULUAN
Perekat alami yang bersifat water based seperti lateks karet alam dan isosianat dapat
menjadi substitusi perekat sintesis. Dalam aplikasinya pada panel kayu, kedua jenis perekat
ini memiliki berbagai keunggulan antara lain: tidak menghasilkan emisi formaldehida/ramah
lingkungan (Hongjiu et al., 2006; Kawai et al.1998), dapat digunakan baik untuk kempa
panas dan dingin dan pemanasan pada frekuensi tinggi. Isosianat yang merupakan
crosslinking agent dalam perekat API (Aqueous Polymer Isocyanate) (Taki et al., 1994;
1998). Perekat LKA-St merupakan campuran karet alam, polistrena bebas dan karet alam
yang tercangkok dengan polistirena (Yanto et al, 2008;Hermiati et al.,2008). Peningkatan
kualitas LKA dapat dilakukan melalui kopolimerisasi dengan metyl metakrilat (MMA) atau
dengan monomer stirena (Hermiati et al., 2005). LKA memiliki ketahanan yang baik terhadap
organisme dan dapat membentuk ikatan dengan cepat pada tekanan yang relatif rendah.
Meskipun demikian karakteristik adhesi dan kohesinya rendah, kurang tahan terhadap stress
dan panas serta cukup tahan terhadap kelembapan (Marra, 1992). Perekat ini juga cukup
murah, tersedia secara berlimpah di Indonesia, dan aksesibilitasnya mudah (Hermiati et al.,
2006; Fatriasari et al., 2005).
Serangkaian penelitian LKA-St dan LKA sebagai bahan baku perekat produk panel
(kayu lapis dan lamina) pada skala laboratorium telah dilakukan sebelumnya. Kombinasi
optimasi reaksi kopolimerisasi LKA dengan stirena (Hermiati et al.,2000a, Hermiati et al.,
2005,2006), penambahan filler serbuk kulit akasia serta percobaan (Falah et al.,2005),
fortifikasi LKA-St dengan perekat komersial PF (Hermiati et al.,2000b; Prasetya et al.,
2004;Hartoyo dan Utama, 1995; Santoso dan Utama, 1997), MF (Hermiati et al., 2004a),
perekat berbasis resorsinol (Hermiati et al., 2004b dan Yanto et al.,2006) dan isosianat untuk
kayu lamina (Yanto dan Hermiati, 2008) serta kayu lapis (Fatriasari dan Ruhendi 2010).
Panel kayu lebih rentan terhadap kerusakan secara fisik, kimia dan biologis
dibandingkan dengan kayu utuh (Archer et al. 1993 dalam Ayrilmis et al. 2005; Curling dan
240
BIOKOMPOSIT
Murphy 1999; Chung et al.1999 dalam Kartal dan Green 2003). Tetapi pada studi lain Shi
dan Wang (1997) melaporkan bahwa panel kayu memiliki kehilangan berat yang lebih baik
dibandingkan kayu solid menggunakan soil block test (AWPA E10-91). Hal ini karena
kerapatan panel kayu dan keterkaitannya dengan perekat sintetis. Kemampuan material dari
kayu didegradasi secara biologis merupakan kriteria lain untuk melihat lamanya produk
tersebut dapat dimanfaatkan (Baysal et al.2005) terutama untuk penggunaan eksterior.
Adapun faktor lingkungan yang mempengaruhi daya tahan produk kayu dan komposit pada
pemaparan eksterior meliputi degradasi sinar ultraviolet, suhu, serangan jamur, dan kadar air
(Technical Service Division 2000). Panel kayu tergantung terhadap ikatan dari perekatnya
dalam hal integritas dan suseptibilitas terhadap degradasi biologis untuk deteksi pertama
kerusakan ikatan dalam perekat (Vick et al.1996; Wagner et al.1996; Carl dan Highley 1999;
Kartal dan Clausen 2001).
Berdasarkan informasi penelitian terdahulu, sampai saat ini belum diketahui informasi
berkaitan dengan sifat biologis produk panel kayu baik itu kayu lapis maupun lamina yang
menggunakan perekat berbasis LKA-St dan isosianat. Penelitian ini merupakan kelanjutan
dari penelitian yang telah dilakukakan sebelumnya oleh Fatriasari dan Ruhendi (2010)
khususnya untuk untuk mengevaluasi sifat biologis kayu lapis dengan perekat LKA-
St/isosianat dalam berbagai kombinasi fortifikasi terhadap serangan jamur white-rot dan
rayap tanah dengan uji laboratorium.
Inokulum Jamur
Inokulum jamur pelapuk kayu yang digunakan adalah white rot dari jenis Trametes
versicolor. Jamur ditumbuhkan di media PDA agar miring selama 7 hari. Inokulum jamur
yang berumur 7 hari tersebut selanjutnya diinokulasikan ke media pengujian. Kemudian
jamur dibiarkan tumbuh selama 7 hari sehingga menutupi seluruh lapisan permukaan
media pengujian.
Media
Media yang digunakan adalah media untuk menumbuhkan jamur dari kelas
Basidiomycetes. Komposisi media/L adalah sebagai berikut: KH2PO4 3 g, MgSO4.7 H2O 2 g,
Glukosa 25 g, Peptone 5 g, Ekstrak Malt 10 g dan dilarutkan dalam air suling 1000 ml.
Sebanyak 45 ml media cair dituang ke dalam botol uji yang berisi 150 g pasir kuarsa setelah
itu media disterilisasi menggunakan otoklaf pada suhu 1210C dan tekanan 1 atm selama 20
menit. Media ini merupakan media yang digunakan untuk pengujian jamur.
Metode Pengujian
Pengujian sampel kayu terhadap jamur pelapuk kayu menggunakan standar
pengujian JIS K 1571 yang telah dimodifikasi (Anonim, 2004). Sampel kayu yang telah
disterilisasi dimasukkan ke dalam media pengujian yang telah diinokulasi jamur secara
aseptis. Selanjutnya media dan sampel kayu tersebut diinkubasi selama 1.5 bulan. Di akhir
masa inkubasi, sampel kayu dibersihkan dari sisa-sisa miselium jamur, kemudian
241
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
dikeringkan dan ditimbang untuk mengetahui berat kering oven setelah pengujian (ODW2).
Hasil pengujian diketahui dari nilai kehilangan berat pada kayu sampel (weight loss).
Nilai weight loss (WL) diperoleh dengan rumus:
Dimana:
ODW1 = berat kering oven sebelum pengujian
ODW2 = berat kering oven setelah pengujian
242
BIOKOMPOSIT
243
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Mekanisme kehilangan berat pada kayu lapis ini akibat terjadinya penyerangan
polimer komponen kimia dinding sel kayu terutama lignin melalui depolimerisasi dan
metabolisme lignin. Komponen dinding sel dimanfaatkan dengan urutan dan laju yang
beragam oleh jamur white rot yang berbeda, yang dipengaruhi kemampuan enzimatiknya
(Muin et al.2008). Menurut Liese (1970) dalam Muin et al.(2008), jamur white rot yang
digunakan untuk uji jamur ini yaitu T.versicolor termasuk dalam simultaneous white-rotter
(komponen dinding sel diserang secara seragam pada seluruh tahap pelapukan).
Hemiselulosa dimanfaatkan pada tahap awal pelapukan, dimana kehilangan berat mencapai
95-97% dari berat awal kayu. White rot mengkonsentrasikan serangannya pada permukaan
dinding sel yang terpapar, enzim kemudian perlahan-lahan mengikis jalannya dinding sel
dari permukaan rongga sel. Jamur white-rot memproduksi enzim yang tidak spesifik yaitu
ligninase untuk mendegradasi lignin (Barr dan Aust 1994 dalam Gusse et al.2006). Sistem
perekat LKA-St/isosianat dalam kayu lapis juga mungkin terdegradasi seperti pada
degradasi yang terjadi pada resin phenolik oleh jamur pelapuk putih terutama
Phanerochaete crysososporium (Gusse et al.2006).
Perbandingan model perusakan yang dilakukan pada dinding sel kayu oleh tiga jenis
jamur perusak kayu di perlihatkan oleh Gambar 4 diatas, dimana masing-masing jenis jamur
memiliki model perusakan yang berbeda. Jamur white rot melakukan penyerangan dari
permukaan lumen sel.
Gambar 4. Diagram perbandingan model perusakan dinding sel oleh jamut white-rot,
brown rot dan soft-rot (Zabel and Morrell 1992 dalam Muin et al 2008)
244
BIOKOMPOSIT
245
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
memanfaatkan hasil akhir dari metabolisme selulosa yang berupa asam asetat dan
menggunakkanya sebagai salah satu energi.
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2004. Test methods for Determining The Effectiveness of Wood Preservatives and
Their Performance Requirements. Japanese Industrial Standar K 1571.
Ayrilmis, S. N. N. Kartal,T. L. Laufenberg,J. E. Winandy, R. H. White.2005.Physical and
mechanical properties and fire, decay, and termite resistance of treated oriented
strandboard. Forest Prod. J. 55(5):74-81
Baysal, E., M.K. Yalinkilic, M.Altinok, A. Sonmez, H. Peker and M. Colak. 2006. Some
physical, biological,mechanical, and fire properties of wood polymer composite
(WPC) pretreated with boric acid and borax mixture. Journal Construction and
Building Materials (article in Press)
Behr, E.A.1972. Decay and termite resistance of medium-density fiberboards made from
wood residue. Forest Products Journal 22 (12):48-51
Carl, C.H., Higley, T.L.1999. Decay of wood and wood-based products above ground in
buildings. Jounal of Testing and Evaluation 27(2):150-158
Charrier, F., A. Moubarik., A. Allal , A. Pizzi and B. Charrier. Fungal decay resistance and
mechanical properties of plywood panels made from maritime pine (Pinus pinaster)
and bonded with cornstarch-quebracho tannin-phenol formaldehyde adhesive. IRG
41
th Annual Meeting, Biarritz, France, 9- 13 May 2010
Evans, P.D., Creffield, J.W., Conroy, J.S.G., Barry, S.C., 1997. Natural durability and
physicaproperties of particleboard composed of white cypress pine and radiata pine.
Forest Products Journal 47 (6): 87-94
Evans, P.D., Dimitriades, S., Cunningham, R.B., Donnely, C.F. 2000. Medium density
fiberboard manufactured from blends of white cypress pine and non-durable wood
species shows increased resistance to attack by the subterranean termite,
Coptotermes lacteus. Holzforschung 54(6): 585-590
Falah, F., E.Hermiati, W.Fatriasari.2005. Pengaruh penambahan serbuk kulit kayu akasia
pada lateks karet alam stirena terhadap keteguhan rekat kayu lapis. Prosiding
Seminar Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) VIII. Tenggarong, 3-5
September 2005, hal B 85-B 91
Fatriasari, W. dan S. Ruhendi.2010.Karakteristik perekat hasil fortifikasi lateks karet alam-
stirena (Lka-St) dengan isosianat dan aplikasinya sebagai perekat kayu lapis sengon
(Paraserianthes falcataria) . Prosiding MAPEKI XIII, Bali, 11 November 2010
Fatriasari, W., E. Hermiati,F. Falah.2005. Perubahan kualitas perekat kayu lapis dari bahan
dasar pati selama masa penyimpanan. Prosiding Seminar Masyarakat Peneliti Kayu
Indonesia (MAPEKI) VIII. Tenggarong, 3-5 September 2005,hal B-92-B95
Gusse, Adam C., Pauld Miller and Thomas J . Volk.2006. White-rot fungi demonstrate first.
biodegradation of phenolic resin. Environ. Sci. Technol. 40: 4196-4199
246
BIOKOMPOSIT
Hartoyo dan Utama, M. 1995. Studi Pemakaian Lateks Alam Metal Metakrilat dan Stirena
Kopolimer Untuk Bahan Perekat Kayu Lapis. Prosiding Simposium Nasional Polimer.
Hal. 252 253
Hermiati E., W. Fatriasari, A. H. Prianto. 2004a. Sifat dan daya rekat campuran lateks karet
alamstirena dan melamin formaldehida sebagai perekat kayu lapis tipe eksterior
Prosiding Mapeki VII, Makassar 5-6 Agustus 2004.Hal B64-B69
Hermiati, E., F. Falah, A. H. Prianto, A. Santoso dan M.I. Iskandar.2004b.Substitusi perekat
fenol resorsinol formaldehida dengan lateks karet alamstirena pada pembuatan
kayu lamina. Proceeding Mapeki VII, Makassar 5-6 Agustus 2004.B142-B147
Hermiati, E., Sudijono dan Nurhayati. 2000b. Substitusi perekat fenol formaldehida dengan
lateks karet alam pada pembuatan kayu lapis. Prosiding Seminar Nasional III
Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia, hal.: 301 306
Hermiati, E., Utama, M., Prasetya, B. dan Sudijono. 2000a. Kopolimerisasi lateks karet alam
dengan monomer stirena dan aplikasinya sebagai perekat kayu lapis. Prosiding
Seminar Nasional Teknologi Proses Kimia II, hal. E.3-1 E.3-6
Hermiati, E., W.Fatriasari., and F.Falah. 2006. Effects of several synthesis conditions on
bond strength of plywood adhered with natural rubber latex styrene adhesive.
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis 4(1): 33 38
Hermiati,E, D. H. Y.Yanto dan F. Falah. 2008.Synthesis of aqueous polymer isocyanate for
plywood adhesive. Report of IFS Project AF/3268-1 (Blending Of Natural Rubber
LatexStyrene with Elected Commercial Wood Adhesives For Production Of Some
Wood Panels). R & D Unit for Biomaterials LIPI-Cibinong
Hermiati,E, W. Fatriasari dan F. Falah.2005.Bond strength of natural rubber latex styrene
as plywood adhesive.Report of IFS Project (Part II). R & D Unit for Biomaterials LIPI-
Cibinong
Hongjiu, H., Hong, L., Junjin, Z., Jie, L. 2006. Investigation of adhesive performance of
aqueous polymer latex modified by polymeric methylene diisocyanate. Journal of
Adhesian 82(1): 93 114.
Hunt, G.M. and G.A Garrat. 1986. Pengawetan Kayu. Jakarta: Akademika Pressindo
Nandika D, Rismayadi Y, Diba F. 2003. Rayap, Biologi dan Pengendaliaannya. Surakarta:
Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Kard, B.M.,Mallete, E.J.,1997. Resistance of six wood products used in paneling to
Reticulitermes flavipes (Isoptera:Rhinotermitidae). Journal of Economic Entomology
90(1):178-182
Kartal, S. Nami and F. Green III. 2003. Decay and termite resistance of medium density
fiberboard (MDF) made from different wood species. International Biodeterioration &
Biodegradation 5 (1) :29-35
Kartal, S. Nami, N. Ayrilmis and Y. Imamura.2007.Decay and termite resistance of plywood
treated with various fire retardants. Building and Environment
42(3):1207-1211
Kartal, S.N., Clausen, C.A.2001. Leachability and decaya resistance of particleboard made
from acid exctacted and bioremidiated CCA-treated wood. International
Biodeterioration and Biodegradation 47(3): 183-191
Kawai S, Umemura K., Ssaki H., Matsuo K.1998. The effect of the formulation of isocyanate
resins on the properties of particleboard. Di dalam Hadi Y.S. compiler. Proceeding of
the Fourth Pasific Rim Bio-Based Composites Symposium. Bogor 2-5 September
1998
Marra, A.A. 1992. Technology of Wood Bonding. Van Nostrand Reinhold, New York.
247
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Muin, M., A.Arif, Syahidah. 2008.Deteriorasi dan perbaikan sifat kayu. Buku Ajar Mata Kuliah
Deteriorasi dan Perbaikan Sifat Kayu. Fakultas kehutanan, Universitas Hasanudin.
www.unhas.ac.id/.../1-buku-ajar.html?...13%3Adeteriorasi-dan-perbaikan-..[19 Juli
2011]
Prasetya, B., Hermiati, E. and Sudijono. 2004. The effects of catalyst percentage in
peparation of wood liquid on its bond strength as phenol formaldehyde substitute for
plywood adhesive. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis 2(2) : 95 98. (in
Indonesian)
Santoso, A. dan Utama, M. 1997. Pengaruh Kadar Monomer Stirena dan Ekstender Dalam
Kopolimer Lateks Karet AlamStirena Terhadap Keteguhan Rekat Kayu Lapis Tusam
(Pinus mercusii). Prosiding Penelitian dan Pengembangan Aplikasi Isotop dan
Radiasi. Hal. 97 100.
Shi, Qiang and John Z. Wang. 1997. Utilization of Polymer Automobile Fluff in Wood
Fiberboard. Journal of solid. Waste Technology and Management 24 (4)
Taki, K. 1998. Recent development of water-based polymer-isocyanate adhesives. Adhesive
Technology and Bonded Tropical Wood Products (Taiwan Forestry Research Institute
/ TFRI Extension Series No. 96), pp. 95 103.
Taki, K., Yoshida, H., Yamagishi, Y. and Inoue, T. 1994. Mechanical properties and bond
strength of water-based polymer-isocyanate adhesives. Proceedings of The
Adhesives and Bonded Wood Symposium (Proceedings No. 4735 / FPS), pp. 307
316.
Technical Service Division.2000.Service life of oriented strand board (OSB). Technical
topics, APA the engineered wood association, Form No TT-052.November 2000.
www.sps-dz.com/downloads/PDFs/osb_tectopics_lifetime_en.pdf. [20 Juli 2011]
Vick, C.B., Geimerm R.L., Wood, J.E.1996. Flakeboards from recycled CCA-treated southern
pine lumber. Forest Products Journal 46(11/12):89-91
Wagner, P.A., Little, B.J., Hart, K.R., Ray, R.I.1996. Biodegradation of composite materials.
International Biodeterioration & Biodegradation 36(4):125-132
Weaver FW, Owen NL.1992. The isocyanate wood adhesive bond. Di dalam: Palckerr DV,
Dunningham EA, compiler. Proceedings of The Pasific Rim Bio-Based Composites
Symposium. Rotorua New Zealand, 9-13 November 1992
Yanto, D.H.Y. dan E.Hermiati. 2008. Campuran lateks karet alam-stirena dan poliisosianat
sebagai perekat kayu lamina. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis 6 (2):63-68
Yanto, D.H.Y., F.Falah, E.Hermiati. 2008. Blends of natural rubber latex styrene and
aqueous polymer isocyanate adhesive for gluing laminated wood of acacia mangium
and plywood of shorea sp. Report of IFS Project AF/3268-1 (Blending Of Natural
Rubber Latex Styrene With Elected Commercial Wood Adhesives For Production
Of Some Wood Panels). R & D Unit for Biomaterials LIPI-Cibinong
Yanto, D.H.Y., Fatriasari, W., Hermiati, E. 2006. Fortification of Deernol 33E and PI-120 on
natural rubber latex styrene. Widyariset 9: 49 54. (in Indonesian).
Zabel,R.A and J.J.Morrell.1992. Wood Microbiology:Decay and its Prevention.Edisi Pertama.
Academic Press, Inc.San Diego.California
248
BIOKOMPOSIT
ABSTRAK
Pembuatan papan tiruan pada prinsipnya bertujuan untuk memanfaatkan bahan kayu
bernilai rendah atau bahan lignosesulosa lainnya yang dapat diperoleh dari limbah industri
pengolahan kayu bahkan limbah pertanian dan perkebunan. Papan partikel tanpa perekat
sebagai salah satu produk papan tiruan yang dapat dibuat dari limbah pengolahan kayu,
merupakan alternatif pemecahan terhadap tekanan ekonomi maupun lingkungan. Tidak
adanya tambahan bahan perekat yang pada umumnya bersifat tak terbarukan dan tak dapat
didaur ulang menjadikan produk ini ramah lingkungan dan proses pembuatannya menjadi
lebih murah.
Pada penelitian ini, partikel yang diperoleh dari sisa pengolahan kayu jati yang
berupa pasahan (planer shavings) dibuat menjadi papan partikel tanpa menggunakan
perekat (binderless particleboard). Ukuran papan yang dibuat adalah 25 x 25 cm2 dengan
ketebalan 0,7 cm. Pengaruh suhu kempa (180C, 200C dan 220C) diinteraksikan dengan
variasi waktu kempa yang berbeda (5;10, 7,5;7,5 dan 10;5) untuk memperoleh kualitas
papan partikel yang optimal. Percobaan disusun secara faktorial 3 x 3 dengan 3 ulangan
untuk masing-masing perlakuan. Hasil penelitian dianalisis keragaman dan apabila
menunjukkan perbedaan nyata diuji lanjut dengan uji Tukey. Parameter yang diuji adalah
kadar air, kerapatan, pengembangan tebal, penyerapan air, internal bonding dan keteguhan
lengkung statik.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa papan partikel tanpa perekat dari kayu Jati
mempunyai nilai kadar air, kerapatan dan pengembangan tebal yang masih memenuhi
standar JIS A5908. Interaksi kedua faktor berpengaruh pada kadar air, kerapatan dan MOR.
Suhu kempa yang berbeda berpengaruh terhadap sifat fisika dan mekanika papan, dimana
suhu 200C menghasilkan nilai yang lebih baik daripada yang lain pada sifat mekanika
papan, sedangkan suhu 220C menghasilkan nilai lebih baik daripada yang lain pada sifat
fisika papan. Variasi waktu kempa berpengaruh hanya pada nilai MOR dan IB, dimana
variasi waktu kempa 5;10 menit memberikan nilai terbaik. Kombinasi perlakuan dengan suhu
200C dan waktu kempa 5;10 memberikan nilai yang relatif lebih baik terhadap parameter
pengujian. Papan partikel tanpa perekat dari kayu Jati mempunyai keteguhan rekat,
keteguhan patah dan lentur yang masih rendah, sehingga perlu usaha perbaikan dengan
perlakuan pendahuluan. Meskipun demikian produk ini berpotensi sebagai bahan lapisan
core produk komposit.
Kata kunci : papan partikel non perekat, partikel kayu jati, kualitas papan partikel
PENDAHULUAN
249
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Hal ini karena: pertama, karena limbah bahan lignoselulosa bersifat dapat didaur ulang dan
terbarukan; kedua, karena tidak adanya resin sintetik yang digunakan dalam proses
pembuatannya (Angles et.al., 1999). Teknologi perekatan tanpa perekat juga sudah
dieksplorasi sejak pertengahan tahun 1980-an. Komposit tanpa perekat ini diprediksikan
menjadi produk yang berpotensi, terutama di negara-negara yang mempunyai bahan kayu
terbatas dan kekurangan industri kimia tetapi banyak menghasilkan limbah pertanian
(Widyorini, 2008). Binderlessboard merupakan produk tanpa perekat yang kekuatan
rekatnya dihasilkan dari aktivasi komponen-komponen kimia yang terkandung di dalamnya
selama proses perlakuan panas/steam.
Di Yogyakarta dan sekitarnya banyak sekali industry pengolahan kayu jati.Produk-
produk yang dihasilkan antara lain kusen, daun pintu dan jendela maupun mebeler.
Banyaknya industry kecil menengah yang memproduksi barang-barang tersebut
memungkinkan banyaknya limbah yang dihasilkan. Limbah tersebut dapat berupa
sebetan,partikel maupun serbuk gergaji. Potensi ini perlu digunakan untuk memberikan
manfaat atau nilai tambah bagi produk utamanya, yaitu dengan memanfaatkan limbah-
limbah tersebut untuk pembuatan papan tiruan seperti papan partikel. Partikel kayu Jati
dipilih oleh karena ketersediaannya yang cukup melimpah dan dalam penelitian ini akan
dicoba pembuatan papan partikel dari partikel kayu jati tersebut dengan tidak menggunakan
bahan perekat. Apabila dikaitkan dengan bentuknya sebagai partikel, sifat yang masih
melekat adalah komposisi kimianya. Komposisi kimia kayu jati adalah selulosa 47,5%, lignin
29,9 %, pentosan 14,4%, kadar abu 1,4%, silika 0,4%, kelarutan dalam air dingin 1,2%,
kelarutan dalam air panas 11,1%, kelarutan dalam alkohol benzen 4,6% dan kelarutan dalam
NaOH 1% sebesar 19,8% (Martawijaya, et.al., 1986).
Keberadaan ekstraktif yang relatif banyak pada kayu jati tersebut dimungkinkan akan
menjadi hambatan dalam pembuatan papan partikelnya. Ekstraktif dilaporkan menyebabkan
permasalahan pada pengerasan/pematangan perekat apabila papan partikel dibuat dengan
bahan perekat dan sering menyebabkan blow, yaitu kerusakan/patahnya papan akibat
tekanan udara pada saat pengempaan dibuka (Haygreen dan Bowyer, 1996). Pada
pembuatan papan partikel tanpa perekat dari partikel kayu jati, terjadinya blow sangat
dimungkinkan sehingga perlu kehati-hatian dalam pengempaan panas.
Beberapa faktor yang berpengaruh pada pembuatan papan partikel tanpa perekat
perlu dicari dalam kaitannya dengan kualitas produk yang dihasilkan. Pada penelitian ini
pengaruh suhu kempa akan diinteraksikan dengan waktu kempa yang berbeda. Hal ini yang
menjadi permasalahan yang akan dikaji.Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh
variasi suhu dan lamanya pengempaan terhadap kualitas papan partikel kayu jati yang
dibuat tanpa menggunakan bahan perekat. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah
informasi dan referensi tentang pembuatan papan komposit tanpa perekat dari limbah
pengolahan kayu beserta faktor-faktor yang mempengaruhi kualitasnya.
Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah partikel yang diperoleh dari industri
pengolahan kayu Jati (Tectona grandis) di Yogyakarta. Peralatan yang digunakan antara lain
gergaji bundar, saringan partikel, timbangan analitik, oven pengering, desikator, mat/cetakan
papan, mesin kempa panas, alat uji mekanika UTM.
Persiapan Partikel
Partikel kayu jati diperoleh dari industri pengolahan kayu jati yang merupakan limbah
berupa pasahan (planer shaving). Partikel tersebut disaring dengan ayakan 0,2 cm2
kemudian dikeringkan dengan cara dijemur sampai kadar airnya konstan (12% 16%).
Setelah kering, partikel yang diperoleh kemudian ditimbang untuk masing-masing perlakuan.
Kebutuhan partikel untuk masing-masing ulangan disesuaikan dengan ukuran papan yang
akan dibuat dan kerapatan papan yang akan dituju. Ukuran yang akan dibuat adalah 25 x 25
cm2 dengan kerapatan yang dituju 0,75 g/cm3. Mat atau kasuran dibuat terlebih dahulu untuk
250
BIOKOMPOSIT
membuat cetakan papan partikel dan menempatkan partikel sebelum dikempa panas untuk
dilakukan prepressing.
Pengempaan Panas
Setelah partikel siap kemudian dimasukkan dalam mat/kasuran yang diberi alas
berupa plat baja, diratakan permukaannya kemudian ditekan selama 3 5 menit. Mat
kemudian diangkat/dilepas dan partikel dimasukkan dalam mesin kempa panas. Pada
pinggir plat kempa diletakkan thickness bar untuk mengatur ketebalan papan yang akan
dibuat, yaitu 0,7 cm. Pengempaan dilakukan pada suhu 180C, 200 C dan 220 C dengan
total waktu kempa 15 menit. Papan partikel yang telah dibuat kemudian dikondisikan pada
suhu kamar selama 7 hari.
Data hasil penelitian kualitas papan partikel tanpa perekat yang dihasilkan menurut
sifat-sifat fisika dan mekanika disajikan dalam Tabel 1.
Tabel 1. Rerata nilai sifat fisika dan mekanika papan partikel kayu jati tanpa perekat
Kode Parameter
(g/cm3) 2
Samp MC (%) WA TS MOR MOE (kg/cm IB(kg/cm2)
el (%) (%) (kg/cm2)
S1W1 0,72 5,64 84,82 9,30 38,85 15.071 0,48
S1W2 0,69 6,00 86,03 9,32 33,28 12.157 0,18
S1W3 0,70 6,35 87,20 10,47 37,63 14.809 0,30
S2W1 0,68 4,98 57,14 9,34 44,13 20.206 0,72
S2W2 0,71 4,99 51,45 7,64 56,39 18.488 0,59
S2W3 0,74 4,71 48,47 6,38 58,00 18.665 0,62
S3W1 0,69 4,15 30,21 2,94 62,67 16.763 0,74
S3W2 0,63 3,83 14,01 2,13 25,11 9.693 0,24
S3W3 0,64 3,72 16,51 2,87 38,05 9.924 0,40
UF 0,78 9,62 84,11 41,11 61,04 12.072,30 1,88
Mahoni* 0,75 11,42 80,97 15,69 26,46 5.729,67 1,11
JIS A 5908 0,4-0,9 5 - 13 - Maks. 12 Min. 82 Min. 20.400 Min.1,5
Keterangan: S1: suhu 180C, S2: suhu 200C, S3: suhu 220C, W1: waktu 5:10 menit, W2:
waktu 7,5:7,5 menit, W3: waktu 10:5 menit, : kerapatan, MC: kadar air, WA:
penyerapan air, TS: pengembangan tebal, MOR: modulus patah, MOE:
modulus elastisitas, IB: keteguhan rekat internal, *: rebus 3 jam suhu180C
waktu15 menit, **: steam explotion suhu 200C waktu 5:10 menit.
251
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Nilai pengembangan tebal rata-rata papan pada penelitian ini berkisar antara
2,13% - 10,47% (Tabel 1). Nilai pengembangan tebal ini sangat baik, mengingat sistem
pengempaan yang digunakan adalah sistem kempa panas. Berdasarkan analisis
keragaman dapat diketahui bahwa hanya faktor perbedaan suhu yang berpengaruh
terhadap nilai pengembangan tebal papan. Semakin tinggi suhu kempa maka
pengembangan tebal semakin menurun, dengan hasil terbaik pada suhu kempa 220 C.
Pada penelitian ini, nilai pengembangan tebal papan dibawah 12% yang merupakan
standar maksimum yang ditetapkan oleh JIS A-5908 (JIS, 1994). Hal ini sangat
menarik, karena pada pembuatan papan tanpa perekat dari kenaf inti dengan
menggunakan kempa panas menunjukkan nilai pengembangan tebal yang lebih tinggi
252
BIOKOMPOSIT
(20%) untuk partikel berbentuk tepung (Okuda dan Sato, 2004) dan 150% untuk partikel
berbentuk serbuk (Xu et al., 2003). Hasil penelitian ini bahkan lebih baik dari papan
tanpa perekat dengan menggunakan campuran kayu spruce dan Pinus insignisyang
berkisar 17% pada suhu 200oC selama 15 menit dan 27% selama 10 menit (Angles et
al., 1999).
253
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
254
BIOKOMPOSIT
Pada papan yang dihasilkan tanpa adanya resin perekat, maka kekuatan rekat
diperoleh dari ikatan komponen-komponen kimia yang terkandung di dalam kayu tersebut.
Pada proses pengempaan panas, uap air yang berasal dari dalam kayu tersebut berperan
penting dalam pembentukan asam asetat dan pemutusan secara hidolisis ikatan glikosidik
pada ikatan polisakarida. Ikatan antara lignin dan turunan dari hemiselulosa dan selulosa ini
yang membentuk ikatan rekat pada papan tanpa perekat. Pada penelitian dengan
menggunakan kenaf inti, terlihat bahwa penggunaan uap bertekanan selama proses
pengempaan dapat menghasilkan papan dengan sifat mekanika dan fisika yang lebih baik
dibandingkan dengan menggunakan sistem kempa panas biasa (Widyorini et al., 2005).
Tingkat degradasi komponen kimia yang lebih rendah diperoleh pada proses penggunaan
kempa panas biasa dibandingkan dengan pengempaan yang disertai uap bertekanan tinggi.
Hal ini memperlihatkan adanya uap yang bertekanan menyebabkan proses transfer yang
semakin baik ke bagian dalam papan, sehingga proses degradasi komponen kimia dapat
berjalan dengan lebih cepat. Hal ini juga sangat dipengaruhi oleh komponen kimia dari
bahan baku yang digunakan (Widyorini et al., 2005).
KESIMPULAN
255
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
DAFTAR PUSTAKA
Angles, M.N, et.al., 1999. Binderless Composites from Pretreated Residual Softwood,
Journal of Applied Polymer Science 73:2485-2491.
Haygreen, J.G. dan J.L. Bowyer. 1996. Hasil Hutan dan Ilmu Kayu. SuatuPengantar
(terjemahan). Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Japanese Industrial Standard, 1994. Particleboards, JIS A 5908, Japanese Standards
Association, Tokyo.
Martawijaya, et.al., 1986. Indonesian Wood Atlas, Volume I, Forest Products Research and
Development Centre, Bogor.
Okamoto, H., et.al., 1994, Production of Dimensionally Stable Medium Density Fiberboard
by Use of High-pressure Steam Pressing, Mokuzai Gakkaishi (J Jpn Wood Res Soc)
40: 380-389
Widyorini, R., Xu, J.Y., Watanabe, T. and Kawai, S., 2005. Chemical changes in steam-
pressed kenaf core binderless particleboard, J Wood Sci 51(1): 26-32
Widyorini, Ragil. 2008. Pembuatan dan Sifat-sifat Binderless board dari Bahan Baku Non
Kayu (Pengaruh Ekstraktif terhadap Sifat Fisis Mekanis Binderlessboard), Seminar
Mapeki XI, Palangkaraya.
Xu, J., G. Han, E.D. Wong and S. Kawai, 2003. Development of Binderless Particleboard
from Kenaf core Using Steam-Injection Pressing, J. Wood Sci 49:327-332.
256
BIDANG C
KIMIA KAYU, PULP
DAN KERTAS
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik pellet kayu sengon yang
meliputi kadar air, kerapatan, kadar abu, nilai kalor, dan penyalaan pellet kayu sengon. Kayu
sengon dibuat serbuk berukuran 22 mesh dengan menggunakan hummer mill. Cetakan
pellet yang dibuat memiliki 9 lubang berbentuk selinder dengan ukuran diameter lubang 0,8
cm dan tinggi 6 cm. Setiap lubang diisi sebuk kayu sebanyak 1,5 gram, untuk selanjutnya
dipanaskan sampai mencapai suhu perlakuan yaitu 90C, 110C, dan 130C. Sesudah
mencapai setiap suhu perlakuan tersebut, serbuk dalam cetakan ditekan dengan tekanan 93
kg/cm. Sampel yang telah mengalami penekanan, didiamkan selama 20 menit, selanjutnya
dikeluarkan dari cetakan. Pembuatan pellet diulang sebanyak 3 kali untuk setiap perlakuan
suhu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada perlakuan suhu 90C, 110C, dan 130C,
kadar air pellet masing-masing sebesar 3,87%, 3,55%, dan 3,48%. Kerapatan pellet masing-
masing sebesar 790 kg/m, 880 kg/m, dan 960 kg/m. Kadar abu pellet masing-masing
sebesar 0,68%, 0,71%, dan 0,73%. Nilai kalor pellet masing-masing sebesar 18,12 MJ/kg,
18,42 MJ/kg, dan 19,08 MJ/kg. Lama penyalaan pellet masing-masing 4,19 detik, 3,51 detik,
dan 2,98 detik. Lama pembakaran pellet masing-masing 8,36 menit, 7,15 menit dan 6,03
menit. Kadar air pellet memenuhi standar pellet Austria, Selandia Baru, dan Swedia.
Kerapatan pellet memenuhi standar Selandia Baru dan Swedia. Kadar abu pellet memenuhi
standar Selandia Baru. Nilai kalor pellet memenuhi standar Austria dan Selandia Baru.
Kata kunci : pellet, kadar air, kerapatan, kadar abu, nilai kalor
PENDAHULUAN
Pellet kayu adalah serpihan kayu atau sisa-sisa hasil produksi kayu yang berdiameter
6-8 mm dan berukuran panjang 10-30 mm, dan sudah kering. Serpihan kayu ini kemudian
mengalami proses lanjut tanpa campuran kimia, ditekan dengan tekanan kuat menggunakan
mesin khusus. Pellet menghasilkan panas kurang lebih 4,9 kWh/kg karena memiliki kadar air
yang rendah (8-10%), kadar abu (0,5-1%) dengan kerapatan 650 kg/m. Satu kilogram pellet
kayu menghasilkan panas yang sama dengan yang dihasilkan oleh setengah liter minyak
(Leaver, 2008). Pellet kayu yang berbentuk silinder dapat digunakan sebagai bahan bakar
kebutuhan rumah tangga, pertanian, dan industri besar. Pellet kayu merupakan salah satu
sumber energi alternatif dan ketersediaan bahan bakunya sangat mudah ditemukan. Bahan
baku pellet kayu berupa limbah eksploitasi seperti sisa penebangan, cabang dan ranting,
limbah industri perkayuan seperti sisa potongan, serbuk gergaji dan kulit kayu, limbah
pertanian seperti jerami dan sekam (Woodpellets, 2000).
Pemanfaatan pellet kayu sebagai bahan pemanas ruangan dan pembangkit listrik
telah dimulai sejak dekade 90-an di sebagian besar negara Uni Eropa dan Amerika ketika
terjadi lonjakan harga minyak dunia yang mengakibatkan terjadinya krisis minyak dunia.
Pellet kayu merupakan produk yang dibuat dari bahan biomassa tanaman yang kemudian
mengalami proses pengempaan. Pellet kayu merupakan solusi alternatif pengganti minyak
karena memiliki harga yang cukup terjangkau oleh masayarakat Uni Eropa dan Amerika.
Tingginya produktifitas dan permintaan pellet kayu terkait adanya kebijakan dari negara-
negara di dunia untuk mengurangi efek pemanasan global dan pemanfaatan energi alternatif
(Leaver, 2008).
258
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS
Saat ini Indonesia baru mampu menghasilkan pellet kayu sebanyak 40.000 ton/tahun,
sedangkan produksi dunia telah menembus angka 10 juta ton. Jumlah ini belum cukup
memenuhi kebutuhan dunia pada tahun 2008 yang diperkirakan mencapai 12,7 juta ton.
Peluang mengembangkan bahan bakar ini sangat terbuka luas karena limbah hasil hutan
kita sangat besar, baik dari limbah industri perkayuan maupun dari limbah eksploitasi
(Yayasan Energi Nasional, 2009).
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka penelitian ini dilakukan untuk
memanfaatkan limbah perkayuan yang cukup tinggi di Indonesia. Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui karakteristik pellet kayu sengon, sebagai salah satu sumber energi
alternatif yang ramah lingkungan.
Persiapan Bahan
Kayu sengon dipotong-potong kecil seperti batang korek api, kemudian digiling dengan
menggunakan hammer mill untuk dijadikan serbuk dengan ukuran lolos saringan 22 mesh
dan tertahan pada saringan 40 mesh.
Variabel Pengamatan
Kadar air sampel dihitung dengan rumus :
KA =
K(g/cm) =
Kadar abu =
259
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Rancangan Percobaan
Model rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap dengan
3 kali ulangan. Model matematisnya adalah sebagai berikut:
Yij = + i + ij
Keterangan :
Yij : Hasil pengamatan pada satuan percobaan ke- i, pada pengamatan ke- j
: Nilai tengah populasi.
i : Pengaruh perlakuan ke- i.
ij : Pengaruh galat dari suatu percobaan pada ulangan ke- j yang
memperoleh perlakuan ke- i
Karakteristik Pellet
Hasil perhitungan karakteristik pellet kayu sengon yang meliputi kadar air, karapatan,
kadar abu, nilai kalor, penyalaan, dan pembakaran disajikan pada Tabel 1.
Kadar Abu (%) 0,68 0,71 0,73 Maks 0,5 Maks 1 Maks 0,7
Nilai Kalor (MJ/kg) 18,12 18,42 19,08 Min 18 Min19,1 Min 16,9
Kadar air pellet kayu sengon yang dihasilkan dari perlakuan suhu 90C, 110C, dan
130C memenuhi standar yang ditetapkan oleh Austria, Selandia Baru, dan Swedia.
Kerapatan pellet kayu sengon memenuhi standar Selandia Baru dan Swedia. Kadar abu
pellet kayu sengon memenuhi standar Selandia Baru. Nilai kalor pellet kayu sengon
memenuhi standar Austria dan Swedia. Lama penyalaan pada perlakuan suhu 90C, 110C,
dan 130C masing-masing 4,19 detik, 3,51 detik dan 2,98 detik. Lama pembakaran pada
perlakuan suhu 90C, 110C, dan 130C masing-masing 8,36 menit, 7,15 menit, dan 6,03
menit.
Kadar Air
Kadar air pellet kayu sengon sesaat setelah dikeluarkan dari alat cetak pellet pada
perlakuan suhu 90C sebesar 3,87%, perlakuan 110C sebesar 3,55%, dan perlakuan suhu
130C sebesar 3,48% seperti dapat dilihat pada Gambar 1.
260
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS
Gambar 1. Kadar air pellet kayu sengon pada perlakuan suhu 90C, 110C, dan 130C
Kadar air pellet kayu sengon yang mengalami perlakuan suhu 90C sebesar 3,87%
perlakuan suhu 110C sebesar 3,55%, dan perlakuan suhu 130C sebesar 3,48%. Semakin
tinggi suhu perlakuan, kadar air pellet semakin rendah. Hal ini disebabkan oleh karena
pemanasan pada suhu tinggi akan lebih banyak air yang diuapkan dari sampel. Hasil analisis
ragam pengaruh perlakuan suhu terhadap kadar air pellet kayu sengon tidak menunjukkan
pengaruh yang berbeda nyata.
Kerapatan
Kerapatan pellet kayu sengon pada perlakuan suhu 90C sebesar 790 kg/m,
perlakuan suhu 110C sebesar 880 kg/m, dan perlakuan suhu 130C sebesar 960 kr/m
seperti dapat dilihat pada Gambar 2.
Analisis ragam pengaruh perlakuan suhu terhadap kerapatan pellet kayu sengon
menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata. Untuk mengetahui besarnya pengaruh
perlakuan suhu terhadap kerapatan pellet kayu sengon, maka dilakukan uji beda nyata jujur
yang hasilnya dapat dilihat pada Tabel 2.
261
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Tabel 2. Hasil Uji BNJ Pengaruh Perlakuan Suhu terhadap Kerapatan Pellet Kayu Sengon
Keterangan : Huruf yang sama menunjukkan nilai yang berbeda tidak nyata pada taraf 5%
Semakin tinggi perlakuan suhu pada pembuatan pellet, kerapatan pellet yang dihasilkan juga
semakin tinggi. Penggunaan suhu yang tinggi menyebabkan air terikat dalam dinding sel
keluar, sehingga ikatan antara gugus OH selulosa dan air terlepas, dan digantikan dengan
ikatan antar gugus-gugus OH selulosa yang berdekatan. Terputusnya ikatan gugus OH dan
air menyebabkan dinding sel menyusut dan pada akhirnya volume sampel menjadi lebih
kecil. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan suhu yang tinggi akan menghasilkan
kerapatan yang tinggi. Hill (2006) mengemukakan bahwa karbon pada struktur lignin menjadi
terurai, di mana semakin banyak karbon yang terurai akan mengakibatkan derajat
kristalinitas tinggi, sehingga ikatan antar struktur lignin yang lain semakin erat. Nakano et al.
(1983) dalam Coto (2005) menemukan bahwa kristalinitas selulosa meningkat dengan
pemanasan pada suhu 120C - 200C pada pemanasan dengan udara atau nitrogen.
Kadar Abu
Kadar abu pellet kayu sengon pada perlakuan suhu 90C sekitar 0,68%, perlakuan
suhu 110C sebesar 0,71%, dan perlakuan suhu 130 C sebesar 0,73% seperti dapat dilihat
pada Gambar 3.
Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan suhu terhadap kadar air pellet kayu sengon
menunjukkan pengaruh yang berbeda tidak nyata. Kadar abu kayu sengon lebih tinggi
daripada kadar abu kayu yang digunakan sebagai bahan pembuatan pellet di Austria dan
Swedia. Menurut Fengel dan Wegener (1984), kadar abu tumbuhan berkayu dari daerah
temperate berkisar 0,2% 0,5%, tetapi pada tumbuhan berkayu dari daerah tropis pada
umumnya lebih dari 1%. Kadar abu pellet kayu sengon sebesar 0,68% - 0,73% termasuk
rendah jika dibandingkan dengan kadar abu kayu tropis yang pada umumnya lebih besar
dari 1%. Hal ini disebabkan karena pada saat kayu dibuat menjadi serbuk sebagian mineral
terutama silika terbuang. Smook (1974), mengemukakan bahwa proses perubahan dimensi
dari log menjadi chip dan serbuk menyebabkan penurunan kadar mineral kayu.
262
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS
Nilai Kalor
Nilai kalor pellet kayu sengon pada perlakuan suhu 90C sebesar 18,12 MJ/kg,
perlakuan suhu 110C sebesar 18,42 MJ/Kg, dan perlakuan suhu 130 C sebesar 19,08
MJ/kg seperti dapat dilihat pada Gambar 4.
Analisis ragam pengaruh perlakuan suhu terhadap nilai kalor pellet kayu sengon
menunjukkan pangaruh yang berbeda nyata. Untuk mengetahui besarnya pengaruh
perlakuan suhu terhadap nilai kalor pellet kayu sengon, maka dilakukan uji beda nyata jujur
yang hasilnya dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Hasil Uji BNJ Pengaruh Perlakuan Suhu terhadap Nilai Kalor Pellet Kayu Sengon
Keterangan : Huruf yang sama menunjukkan nilai yang berbeda tidak nyata pada taraf 5%
Tabel 3 menunjukkan bahwa semakin tinggi perlakuan suhu, nilai kalor pellet
semakin tinggi. Nilai kalor pellet dipengaruhi oleh kerapatan pellet, pada kerapatan pellet
yang tinggi menghasilkan nilai kalor yang tinggi pula. Nilai kalor pellet juga dipengaruhi oleh
kadar air, semakin tinggi kadar air nilai kalor semakin rendah. Sudrajat (1983),
mengemukakan bahwa semakin tinggi kadar air yang dikandung oleh suatu bahan kayu,
maka nilai kalor yang diperoleh akan semakin rendah. Hal ini disebabkan karena panas yang
tersimpan dalam pellet kayu terlebih dahulu digunakan untuk mengeluarkan air yang ada
sebelum kemudian menghasilkan panas yang dapat dipergunakan sebagai panas
pembakaran.
263
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Lama Penyalaan
Lama penyalaan pellet kayu sengon pada perlakuan suhu 90C sebesar 4,19 detik,
perlakuan suhu 110 C sebesar 3,51 detik, dan perlakuan suhu 130C sebesar 2,98 detik,
seperti dapat dilihat pada Gambar 5.
Analisis ragam pengaruh perlakuan suhu terhadap lama penyalaan pellet kayu
sengon menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata. Untuk mengetahui besarnya pengaruh
perlakuan suhu terhadap lama penyalaan pellet kayu sengon, maka dilakukan uji beda nyata
jujur yang hasilnya dapat dilihat pada Tabel 4.
Keterangan : Huruf yang sama menunjukkan nilai yang berbeda tidak nyata pada taraf 5%
Pada Tabel 4 dapat dilihat bahwa semakin tinggi perlakuan suhu pemanasan,
semakin cepat pellet kayu sengon menyala. Pada suhu pemanasan 90C, lama penyalaan
4,19 detik, sedangkan pada suhu pemanasan 130C lama penyalaan 2,98 detik. Semakin
tinggi suhu pemanasan, semakin banyak lignin yang terurai dan meleleh membungkus
permukaan pellet. Komponen lignin lebih mudah terbakar dan memiliki nilai kalor yang lebih
tinggi daripada komponen selulosa. Hal ini menyebabkan pellet kayu sengon yang dihasilkan
dari perlakuan suhu 130C lebih cepat terbakar.
Lama Pembakaran
Lama pembakaran pellet kayu sengon pada perlakuan suhu 90C, sebesar 8,36
menit, pada perlakuan suhu 110 C sebesar 7,51 menit dan pada perlakuan suhu 130 C
sebesar 6,03 menit seperti dapat dillihat pada Gambar 6.
264
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS
Analisis ragam pengaruh perlakuan suhu terhadap lama pembakaran pellet kayu
sengon menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata. Untuk mengetahui besarnya pengaruh
perlakuan suhu terhadap lama pembakaran pellet kayu sengon, maka dilakukan uji beda
nyata jujur yang hasilnya dapat dilihat pada Tabel 5.
Keterangan : Huruf yang sama menunjukkan nilai yang berbeda tidak nyata pada taraf 5%
Semakin tinggi perlakuan suhu pemanasan, semakin cepat pellet kayu sengon
terbakar habis. Pada suhu pemanasan 90C, waktu yang dibutuhkan pellet kayu sengon
terbakar habis 8,16 menit, sedangkan pada suhu pemanasan 130 C, hanya membutuhkan
waktu 6,03 menit untuk membakar habis pellet kayu sengon. Hal ini ada hubungannya
dengan kadar air pellet. Pada kadar air yang tinggi, pellet yang terbakar mula-mula panas
pembakaran digunakan untuk mengeluarkan air, dan setelah semua air dalam pellet habis
menguap barulah massa kayu pellet terbakar.
KESIMPULAN
1. Mutu pellet kayu sengon sangat dipengaruhi oleh suhu pemanasan, semakin tinggi suhu
pemanasan semakin baik mutu pellet yang dihasilkan.
2. Pellet kayu sengon yang dihasilkan dari perlakuan suhu pemanasan 130C memiliki
mutu yang lebih baik daripada perlakuan suhu pemanasan 90 C dan 110 C.
3. Karakteristik pellet kayu sengon yang dihasilkan dari perlakuan suhu pemanasan 130
C, seperti kadar air, kerapatan dan nilai kalor memenuhi standar Austria, Selandia
Baru, dan Swedia, kecuali kadar abu yang hanya memenuhi standar Selandia Baru.
265
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
DAFTAR PUSTAKA
Coto, Z. 2005. Penurunan Kadar Air Keseimbangan dan Peningkatan Stabilitas Dimensi
Kayu dengan Pemanasan dan Pengekanan. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis 3
(1): 27 31.
Fengel, D. and G. Wegener, 1984. Wood Chemistry, Ultrasructure and Reaction. Walter de
Gruyer, New York.
Leaver, R. H., 2008. Fuel Pellet Kayu dan Pasar Residential, www.green.com (22 Februari
2010).
Smook, B,. A., 1994. Hand Book for Pulp and Paper Technologists, Canadian Pulp and
Paper Assosiation.
Sudrajat, R., 1983. Pengaruh Bahan Baku, Jenis Perekat dan Tekanan Kempa terhadap
Kualitas Briket Arang. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor.
Woodpellets, 2000. Sejarah Pellet Kayu. The Prepatory Meeting for Pellet Club Japan.
Jepang (22 Februari 2010).
Yayasan Energi Nasional, 2009. Wood Pellet Heating. http://www.nrbp.org/papers/032.pdf.
(2 Maret 2010).
266
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS
Djeni Hendra
Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan
Pengolahan Hasil Hutan,
Jl. Gunung Batu No. 5, Bogor 16610
Telp. (0251) 8633378, Fax. (0251) 86333413
Email : djeni_hendra@yahoo.co.id
ABSTRACT
ABSTRAK
Ketersediaan bahan bakar minyak semakin menipis, oleh karena itu dibutuhkan
bahan bakar alternatif. Biji kepuh merupakan salah satu bahan memiliki potensi yang cukup
besar untuk dijadikan biodiesel, karena inti bijinya memiliki kandungan minyak yang cukup
tinggi yaitu sebesar 30 - 40%. Pada penelitian ini optimasi esterifikasi-transesterifikasi
dilakukan pada minyak kepuh dengan bilangan asam minyak dan biodiesel kepuh dianalisis
untuk mengetahui kualitasnya. Dalam pembuatan biodiesel dari minyak kepuh, biodiesel
dengan mutu yang sesuai dengan SNI yang dihasilkan menggunakan metanol 20% dan
KOH 0,5% menghasilkan biodiesel dengan nilai kadar air sebesar 0,05%, bilangan asam
0,66 mg KOH/g, kadar asam lemak bebas 0,33%, densitas 874 kg/m3, viskositas kinematik
pada suhu 40oC 4,24 mm2/s (cSt), bilangan iodium 91,20 g I2/100 g, angka setana 64,0 dan
rendemen minyak biodiesel sebesar 71,53%.
PENDAHULUAN
Kebutuhan solar Indonesia dari tahun ke tahun terus naik, pada tahun 1995: 15,84
juta kiloliter, tahun 2000 : 21,39 juta kiloliter, tahun 2005 : 27,05 juta kiloliter dan pada tahun
2010 diperkirakan 34,71 juta kiloliter. Pada tahun 2001, impor solar 34% dari kebutuhan
nasional dan pada tahun 2020 mendatang, diperkirakan Indonesia akan menjadi negara
importir bahan bakar minyak (BBM) secara besar-besaran, (Reksowardoyo, 2005). Dari
kilang minyak lama, Indonesia pada waktu ini masih mampu memproduksi BBM sebesar 8,7
triliun kubik per hari (Soerawidjaya, 2002) dan akan terus menurun produksinya. Pada tahun
2000, produksi BBM khususnya solar adalah 15,99 juta kiloliter dan kebutuhan domestik
adalah 21,455 juta kilo liter, sehingga terdapat kekurangan suplai solar sebesar 6,25 juta kilo
liter yang pengadaannya diperoleh dari impor. Kebijakan pengadaan solar dalam negeri
267
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
dengan mengandalkan impor adalah keliru karena akan mengurangi devisa negara, terlebih
lagi penjualan solar kepada masyarakat ataupun industri masih ditunjang oleh subsidi
(Samiarso, 2001).
Keadaan ini mendorong berbagai pihak untuk mencari sumber energi baru. Salah
satu solusi yang telah berkembang adalah beralih atau mengganti bahan bakar mineral ke
dalam bahan bakar nabati yang di antaranya adalah pengupayaan biofuel sebagai bahan
bakar. Pada dasarnya biofuel terdiri dari dua jenis bahan bakar yaitu biodiesel dan gasohol.
Gasohol digunakan untuk menggantikan posisi bensin sedangkan biodiesel digunakan untuk
menggantikan posisi bahan bakar diesel.
Biodiesel adalah BBM sejenis solar sebagai bahan bakar mesin diesel, mobil atau
otomotif lainnya yang dibuat dari bahan nabati berupa minyak yang dalam penelitian ini
bahan bakunya adalah minyak dari biji tanaman kepuh (Sterculia foetida L.). Kepuh
termasuk pohon yang tumbuh cepat, tinggi pohon bisa mencapi 30-35 m dan besar ukuran
batang 100-120 cm, namanya diambil adri bau bunganya yang sangat busuk. Pohon ini
tersebar di seluruh nusantara, di pulau jawa berada di ketinggian 500 m di atas permukaan
laut dan umumnya tersebar di sebelah timur pulau Jawa. Kayunya berwarna putih keruh,
kasar lagi ringan dan mudah terserang serangga dan dimanfaatkan untuk pembuatan peti
kemas, peti jenazah dan pulp kertas. Daunnya digunakan sebagai obat untuk abortivum,
luka dalam pada patah tulang, terkilir dan sakit demam. Kulit buahnya yang tebal yang
dibakar menjadi abu selain digunakan pada pengecatan yang membari warna kasumba, kulit
buah kepuh juga merupakan bagian ramuan obat terhadap penyakit kelamin. Di Jawa bijinya
dipres untuk minyak lampu dan inti bijinya mengandung 40% minyak berwarna kuning muda
yang tak mengering (Heyne, 1987).
Prosedur Kerja
Pengolahan dan ekstraksi biji kepuh
Persiapan pengolahan biji kepuh menjadi minyak mentah (crude oil), biji kepuh di
masukan ke dalam drum plastik ukuran 200 liter kemudian di isi air sampai terendam
semuanya, dibiarkan selama 2 jam kemudian digosok-gosok sampai kulitnya terkelupas
semuanya.
Biji kepuh yang telah dipisahkan dari kulit luarnya dimasukkan ke dalam alat kukus
(kapasitas 50 kg) kemudian dipanaskan pada suhu r 100qC dari tungku yang
menggunakan limbah bungkil/briket bungkil kepuh, setelah terlihat uap air keluar, bagian
tutup alat kukus dipasang dan dibiarkan minimal 2 jam.
Biji kepuh yang telah dikukus kemudian ditiriskan (sebelum dimasukan ke alat
pengering, biji kepuh terlebih dahulu dikeringkan di bawah sinar matahari minimal 2 jam)
setelah itu baru dikeringkan dengan menggunakan mesin pengering sistem berputar pada
suhu 100qC dari tungku berbahan bakar dari bungkil kepuh/briket bungkil kepuh, kapasitas
alat pengering maksimum 50 kg biji/bath. Biji kepuh yang sudah kering kemudian diekstraksi
dengan mesin ekstraksi minyak sistim kontinyu kapasitas produksi 50 kg/jam.
268
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS
Minyak (crude oil) yang sudah disaring dengan mesin filter bertekanan, kemudian di
degumming menggunakan mesin degumming multi fungsi hasil rekayasa (mak. 100 L/batch)
dengan penambahan H3PO4 50% sebanyak 1% (v/v) sambil diaduk selama 60 menit pada
suhu 50oC. Diendapkan selama 1 jam, dipisahkan minyaknya dan dianalisis bilangan
asamnya, jika bilangan asamnya sudah mencapai kurang dari 2 mg KOH/g dapat dilanjutkan
dengan proses transesterifikasi tanpa proses diesterifikasi terlebih dahulu akan tetapi jika
bilangan asam minyak diatas 3 mg KOH/g harus melalui proses esterifikasi-transesterifikasi.
Pembuatan biodiesel
Proses esterifikasi dilakukan jika bilangan asam dalam minyak di atas 5 mg KOH/g.
Minyak yang sudah bebas gum sebanyak minimal 40 liter dimasukkan ke dalam reaktor
degumming multi fungsi hasil rekayasa, dipanaskan sambil diaduk pada suhu 50 - 60 C,
kemudian sejumlah campuran methanol 20% dengan HCl 1% (v/v) ditambahkan ke dalam
minyak, proses pemanasan dijaga pada suhu 50 - 60C sambil diaduk selama 1 jam,
dikeluarkan dari reaktor kemudian didiamkan dalam tangki pemisah selama 1 - 2 jam,
kemudian dipisahkan antara minyak dan katalis methanol sisa reaksi.
Proses transesterifikasi dapat langsung dilakukan jika bilangan asam dalam minyak
di bawah 2 mg KOH/g. Minyak yang sudah bebas gum sebanyak minimal 40 liter
dimasukkan ke dalam reaktor degumming multi fungsi hasil rekayasa kemudian dipanaskan
sambil diaduk hingga suhunya mencapai 50 - 60 C setelah itu sejumlah campuran methanol
20% dengan KOH 0,5% (v/v) ditambahkan ke dalam minyak, proses pemanasan dijaga
pada suhu 50 - 60 C sambil diaduk selama 1 jam, dikeluarkan dari reaktor kemudian
didiamkan dalam tangki pemisah selama 1 - 2 jam, kemudian dipisahkan antara minyak dan
katalis methanol sisa reaksi.
Proses pencucian minyak biodiesel yaitu dengan cara minyak dimasukan kembali ke
dalam reaktor degumming multi pungsi, dipanaskan pada suhu 35 C kemudian di-
masukan campuran air dan asam sitrat sebanyak 30% (v/v).
Proses pemurnian minyak biodiesel yaitu dengan cara minyak dimasukan kembali ke
dalam reaktor degumming multi pungsi kemudian dipanaskan pada suhu 105 C, sampai
warna minyak kuning muda dan jernih.
Gambar 2. Foto mesin degumming multi fungsi Hasil rekayasa Pustekolah Bogor
Pengujian biodiesel
Analisis sifat kimia fisika biodiesel dari bahan baku minyak biji kepuh dilakukan untuk
mengetahui sifat-sifat minyak biodiesel yang digunakan dalam penelitian ini meliputi
rendemen, kadar air, bilangan asam, kadar asam lemak bebas, densitas, viskositas
kinematik, bilangan penyabunan, kadar ester alkil, bilangan iod dan bilangan setana.
269
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Analisis fisiko kimia minyak mentah (crude) dilakukan untuk mengetahui sifat minyak
yang akan digunakan dalam memproduksi biodiesel. Hasil analisis sifat fisiko kimia minyak
dari biji kepuh dapat di lihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Sifat fisiko kimia minyak mentah (crude oil) dari biji kepuh
Table 1. Chemical-physic characteristic of crude oil from sterculia seed
Biji kepuh yang kurang baik apabila diekstrak dengan mesin pres sistim kontinyu
(sistim skrew) menghasilkan rendemen kurang dari 30%, sedangkan biji yang baik akan
menghasilkan minyak dengan rendemen sebesar 40%, hal ini sesuai dengan pendapat
Heyne (1987) yang menyatakan kadar minyak yang terdapat pada biji kepuh sebesar 40%.
Bilangan asam adalah jumlah milligram KOH yang dibutuhkan untuk menetralkan
asam-asam lemak bebas dari 1 gram minyak atau lemak, sedangkan asam lemak bebas
(FFA) merupakan persentasi asam lemak bebas yang terdapat pada minyak. Bilangan asam
pada minyak mentah (crude) biji kepuh berkisar antara 2,27 3,65 dengan Kadar asam
lemak bebas antara 1,14 1,83%. Gerpen (2005) melaporkan bahwa minyak nabati dengan
kadar asam lemak bebas di bawah 5% dapat langsung ditransesterifikasi tanpa harus
melewati esterifikasi terlebih dahulu. Kandungan air dalam minyak ini cukup rendah. Hal ini
menunjukkan bahwa minyak biji kepuh sangat baik untuk dikonversi menjadi biodiesel.
Nilai kadar air minyak nabati yang disyaratkan oleh Ramadhas et al. (2005) adalah
kurang dari 2%. Kandungan air yang tinggi dalam minyak nabati akan menyebabkan
terjadinya hidrolisis yang akan menaikkan kadar asam lemak bebas dalam minyak nabati.
Fukuda et al. (2001) melaporkan bahwa keberadaan air yang berlebihan dapat
menyebabkan sebagian reaksi berubah menjadi reaksi saponifikasi antara asam lemak
bebas hasil hidrolisis minyak dengan katalis basa yang akan menghasilkan sabun. Sabun
akan mengurangi efisiensi katalis sehingga meningkatkan viskositas, terbentuk gel, dan
menyulitkan pemisahan gliserol dengan metil ester.
Densitas merupakan salah satu faktor penting bagi biodiesel. Densitas merupakan
massa per unit volume dari suatu cairan pada suhu tertentu. Densitas minyak dan biodiesel
diperlukan untuk menentukan bilangan setana. Semakin rendah densitas maka bilangan
setana akan semakin tinggi (Srivastava dan Prasad 2000).
Minyak nabati yang boleh digunakan untuk mesin diesel harus memiliki viskositas
kinematik di bawah 77,66 cSt (Gubitz et al. 1999). Dengan demikian, minyak ini sudah
sesuai dengan persyaratan yang harus dipenuhi. Viskositas merupakan parameter yang
penting untuk diketahui. Soerawidjaja et al. (2005) melaporkan bahwa viskositas berpe-
ngaruh secara langsung pada pola semburan di bilik pembakaran sehingga berpengaruh
juga pada atomisasi bahan bakar, efisiensi pembakaran, dan faktor ekonomi lainnya.
Analisis sifat fisiko kimia biodiesel dari bahan baku minyak biji kepuh yaitu meliputi
kadar air, bilangan asam, kadar asam lemak bebas, densitas, dan viskositas, bilangan
penyabunan, bilangan ester, bilangan iod dan bilangan setana Tabel 2. menunjukkan hasil
analisis sifat fisiko kimia biodiesel dari minyak biji kepuh.
270
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS
Bilangan asam pada minyak mentah penting dianalisis karena walaupun bilangan
asam pada minyak dan biodiesel kepuh sudah rendah, tetapi masih ada kemungkinan
terbentuknya asam-asam rantai pendek akibat dari proses oksidasi hasil dekomposisi
senyawa peroksida dan hidroperoksida. Hal ini tentu saja mempengaruhi penyimpanan
sehingga pada akhirnya menurunkan mutu biodiesel.
Variabel dalam transesterifikasi minyak biji kepuh adalah konsentrasi katalis basa
KOH dan metanol. Suhu reaksi dan waktu yang digunakan adalah 50 - 60 0C selama 60
menit. Penggunaan waktu 60 menit ini didasarkan pada laporan Janulis et al. (2005), bahwa
laju reaksi transesterifikasi tercepat terjadi pada 15 menit pertama dan rendemen hampir
tidak berubah setelah 30 menit. Parameter uji yang digunakan adalah bilangan asam,
viskositas kinematik, densitas, rendemen dan kadar air. Semakin rendah bilangan asam
biodiesel, semakin baik mutu biodiesel karena keasaman biodiesel dapat menyebabkan
korosi dan kerusakan pada mesin diesel. Menurut SNI bahan bakar biodiesel, bilangan asam
yang dibolehkan adalah kurang dari 0,8 mg KOH/g.
Viskositas biodiesel tinggi karena adanya ikatan hidrogen intermolekular dalam asam
luar gugus karboksil. Nilai viskositas sebanding dengan densitas, semakin tinggi viskositas
maka densitas akan semakin tinggi (Demirbas 2008). Viskositas merupakan sifat biodiesel
yang paling penting karena viskositas memperngaruhi kerja sistem pembakaran bertekanan,
semakin rendah viskositas biodiesel tersebut semakin mudah dipompa dan menghasilkan
pola semprotan yang lebih baik. Menurut SNI, nilai viskositas kinematik biodiesel yang
diperbolehkan adalah 1,9 - 6,0 cSt pada suhu 40 0C. Viskositas biodiesel dipengaruhi oleh
kandungan trigeliserida yang tidak bereaksi dengan metanol, komposisi asam lemak
penyusun metil ester, serta senyawa antara monogliserida dan digliserida yang mempunyai
polaritas dan bobot molekul yang cukup tinggi. Selain itu, kontaminasi gliserol juga
mempengaruhi nilai viskositas biodiesel (Bajpai dan Tyagi 2006).
Secara fisiokimia, biodiesel minyak kepuh memiliki banyak kesamaan dengan
biodiesel minyak sawit, viskositas kinematik biodiesel minyak sawit ada pada kisaran 4,3
4,5 mm2/s (Fukuda et al. 2001) sedangkan viskositas rata rata minyak kepuh sebesar 4,24
mm2/s, selain viskositas, densitas biodiesel minyak sawit juga memiliki kesamaan dengan
biodiesel minyak kepuh.
Perbandingan mutu biodiesel kepuh terhadap minyak nabati lainnya serta solar
komersil disajikan pada Tabel 3. Untuk bilangan setana biodiesel minyak biji kepuh lebih
tinggi daripada solar, hal ini menunjukkan bahwa biodiesel minyak biji kepuh memiliki waktu
tunggu (delay time) pembakaran yang lebih baik daripada solar.
271
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
272
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS
Kesimpulan
1. Pembuatan minyak dari bahan baku biji kepuh menghasilkan rendemen 30 40% dan
apabila bungkilnya dipres kembali kembali dengan mesin pres hidraulik manual
menghasilkan minyak sebesar 10%.
2. Minyak biji kepuh mempunyai bilangan asam berkisar antara 2,27 3,65 mg KOH/g,
kadar asam lemak bebas (FFA) 1,14 1,83%, kadar air 0,74 1,06%, densitas 932,60
kg/m, dan viskositas kinematik sebesar 33,41 mm2/s (cSt).
3. Biodiesel berbahan baku minyak biji kepuh memiliki mutu yang sesuai dengan
persyaratan yang harus dipenuhi dari SNI 04-7182-2006. Kadar air sebesar 0,05%,
bilangan asam 0,66 mg KOH/g, kadar asam lemak bebas 0,33%, densitas 874 kg/m3,
viskositas kinematik pada suhu 40oC 4,24 mm2/s (cSt), bilangan iodium 91,20 g I2/100 g,
bilangan setana 64 dan rendemen minyak biodiesel yang dihasilkan sebesar 71,53%.
4. Uji coba penggunaan minyak biodiesel kepuh untuk bahan bakar mesin diesel 7 PK
tanpa beban dengan tekanan gas sedang, menghabiskan minyak biodiesel sebanyak 1
liter selama 3 jam. Minyak biodiesel kepuh lebih irit 1 jam dibandingkan dengan minyak
solar dengan mesin diesel dan perlakuan yang sama.
5. Uji coba penggunaan minyak biodiesel pada mobil pick-up merk chevrolet diperoleh
konsumsi bahan bakar biodiesel dengan perbandingan 1 : 10, artinya untuk 1 liter
minyak biodiesel kepuh dapat menempuh jarak sejauh 10 Km dengan kecepatan antara
40 60 km/jam, dengan kelebihan polusi yang dikeluarkan lebih bersih dan putih warna
asapnya dibandingkan dengan asap warna hitam yang dikeluarkan bahan bakar minyak
solar.
Saran
1. Pembuatan minyak dari biji kepuh disarankan menggunakan biji yang sudah matang
dan kering. Untuk memudahkan proses produksi selanjutnya biji kepuh harus melalui
proses pengukusan dan pengeringan terlebih dahulu sebelum melalui proses
diekstraksi.
2. Hasil ekstraksi minyak yang dihasilkan (crude oil) sebagai bahan baku pada produksi
biodiesel disarankan dilakukan penelitian pendahuluan pembuatan biodiesel skala
laboratorium karena hal ini akan dijadikan ukuran standar pada pembuatan skala besar
dan memudahkan proses selanjutnya menjadi biodiesel.
DAFTAR PUSTAKA
273
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Hendra, Dj, D. Setiawan dan Wibowo,. S. 2010. Analisis sifat fisiko-kimia minyak biji
nyamplung (Calophyllum inophyllum L.) hasil proses degumming. Buletin Hasil
Hutan. Vol. 16 (1) : 63 70. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan.
Bogor.
Krause, R. 2001. Bio and alternative fuels for mobility. In enhancing biodiesel development
and use. Proceedings of the International Biodiesel Workshop, Tiara Convention
Center, Medan. 24 Oktober 2001. Ditjen Perkebunan, Departemen Pertanian.
Jakarta.
Ramadhas, AS, Mulareedharan, C., and Jayaraj, S. 2005. Performance and Emission
Evaluation of diesel Engine Fueled With Methyl Esters of Rubber Seed Oil. Journal
of Renewable Energy 30 : 1789 1800.
Reksowardoyo, R. P. 2005. Melaju kendaraan berkat biji-bijian. Trubus, XXXVI / November
2005. Jakarta.
Srivastava, and Prasad, P. 2000. Triglycerides base diesel fuels. Journal of Renewable
Sustainability Energy 4 : 111 133.
Samiarso, L. 2001. Indonesian policy on renewable energy development dalam enhancing
biodiesel development and use. Proceedings of the International Biodiesel Workshop,
Tiara Convention Center, Medan. 24 Oktober 2001. Ditjen Perkebunan, Departemen
Pertanian. Jakarta.
Soerawidjaja, T.H. 2002. Menjadikan biodisel sebagai bagian dari liquor fuel mix di
Indonesia. Materi presentasi pada Rapat Teknis Penelitian Energi ke-311. Pusat
Penelitian Material dan Energi. ITB. Bandung. 21 Juli 2002.
Soerawidjaja, T.H., Brodjonegoro T.P., dan Reksowardoyo, I.K. 2005. Memobilisasi Upaya
Penegakkan Industri biodiesel di Indonesia. Pusat Penelitian Pendayagunaan
Sumber Daya Alam dan Pelestarian Lingkungan ITB. Bandung : Institut Teknologi
Bandung.
274
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS
ABSTRAK
Upaya pemanfaatan limbah menjadi barang yang berguna harus terus digalakkan,
demikian pula dengan limbah kayu baik yang dihasilkan dari kegiatan pemanenan maupun
dari limbah pengolahan kayu. Salah satu bentuk pemanfaatan limbah kayu adalah mengolah
limbah menjadi pellet kayu sebagai salah satu jenis energi alternatif. Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui karakteristik pellet yang dibuat dari serbuk limbah kayu gmelina. Kayu
gmelina dibuat serbuk menggunakan hammer mill lalu disaring menggunakan saringan 22
dan 40 mesh. Serbuk ini dibiarkan hingga mencapai kadar air kering udara dan selanjutnya
dimasukkan ke dalam cetakan lalu dipanaskan dan dikempa menggunakan hot press selama
20 menit dengan tekanan 100 kg/cm2. Suhu yang digunakan saat pengempaan adalah 90oC,
110oC, dan 130oC dan masing-masing suhu diulangi sebanyak tiga kali. Selanjutnya
dilakukan pengujian pellet kayu dengan variabel pengamatan meliputi kadar air, kerapatan,
kadar abu, nilai kalor, waktu penyalaan, dan laju pembakaran. Karakteristik pellet tersebut
kemudian dibandingkan dengan standar pellet dari Austria, Selandia Baru, dan Swedia. Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa pellet kayu gmelina tidak memenuhi standar Austria,
Selandia Baru, dan Swedia. Semakin tinggi suhu yang diberikan menghasilkan kadar air
pellet yang lebih rendah, kerapatan yang lebih tinggi, kadar abu yang relatif sama, nilai kalor
yang lebih tinggi, waktu penyalaan yang lebih cepat, dan laju pembakaran yang relatif sama.
Kata kunci: Pellet, kerapatan, kadar air, nilai kalor, kadar abu
PENDAHULUAN
Minyak bumi sebagai salah satu sumberdaya alam yang tak terbarukan merupakan
sumber energi yang telah lama digunakan di seluruh dunia. Sumber energi ini menjadi salah
satu penyebab pemanasan global, dimana sisa pembakarannya berupa gas karbondioksida
(CO2) merupakan penyebab terjadinya efek rumah kaca yang berdampak pada berbagai
masalah lingkungan. Selain itu, masalah kelangkaan dan semakin naiknya harga minyak
bumi di pasaran dunia merupakan masalah lain yang juga perlu mendapatkan perhatian
serius. Kondisi ini memaksa untuk mencari sumber-sumber energi alternatif yang murah dan
terbarukan. Saat ini, perkembangan sumber energi terbarukan semakin pesat untuk
mewujudkan sumber energi yang murah, mudah diperoleh, dan ramah lingkungan. Berbagai
sumber energi tersebut seperti pemanfaatan energi matahari, air, dan udara, serta
pengolahan bahan baku dari berbagai jenis tumbuhan untuk biodiesel dan bioetanol. Selain
itu, ada juga yang kembali mengelola sumberdaya alam penghasil energi yang paling kuno
yaitu kayu.
Kayu merupakan salah satu sumber energi yang diharapkan dapat menggantikan
sumber bahan bakar minyak dan gas bumi. Jika kayu langsung dijadikan sebagai bahan
bakar mempunyai sifat-sifat yang kurang menguntungkan, antara lain mempunyai kadar air
tinggi, volumeneous, mengeluarkan asap, banyak abu, dan nilai kalornya rendah. Salah satu
bentuk pemanfaatan kayu sebagai sumber energi antara lain briket arang dan pellet kayu.
Namun pembuatan briket arang mempunyai kelemahan yaitu kotor dalam hal pengemasan
dan saat pemakaian.
275
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Pellet kayu merupakan salah satu solusi dari kebutuhan sumber energi dari kayu.
Dengan mengolah limbah kayu menjadi pellet dapat menghasilkan pellet kayu yang memiliki
kadar air dan kadar abu yang rendah sehingga menghasilkan panas yang tinggi dan lebih
bersih dibandingkan dengan kayu bakar biasa. Proses pembuatannyapun tidak
menimbulkan pencemaran udara. Pengemasan dan pemakaian pellet kayu juga sangat
mudah dan praktis serta tidak kotor. Di negara-negara Eropa dan Amerika pellet kayu telah
berkembang sangat pesat, bahkan telah menjadi bahan bakar penghangat ruangan dan
dijadikan sebagai sumber energi di beberapa pabrik. Kebutuhan pellet kayu sangat tinggi di
Eropa dan Amerika, dari aspek ekonomi sangat potensial sebagai salah satu komoditi
ekspor.
Gmelina (Gmelina arborea Roxb.) termasuk tanaman penghasil kayu yang produktif.
Banyak ditanam sebagai tanaman pelindung dan sebagian besar dimanfaatkan sebagai
tanaman komersil. Semua bagian pohon dapat dimanfaatkan, mulai dari batang, cabang
bahkan ranting. Berdasarkan uraian tersebut maka dianggap perlu melakukan penelitian
tentang karakteristik pellet yang dibuat dari kayu gmelina sebagai salah satu sumber energi
alternatif yang ramah lingkungan.
Kayu gmelina sebagai bahan baku digiling menggunakan hammer mill lalu disaring
menggunakan ayakan 22 mesh dan 40 mesh. Serbuk yang lolos dari ayakan 22 mesh dan
tertahan di ayakan 40 mesh adalah serbuk yang digunakan. Serbuk ini dibiarkan hingga
mencapai kadar air kering udara. Selanjutnya serbuk yang telah kering udara kemudian
ditimbang sebanyak 1,5 gram kemudian dimasukkan ke setiap lubang alat cetak yang terdiri
atas 9 lubang dengan diameter lubang masing-masing 0,8 cm dan tinggi lubang 6 cm. Alat
cetak yang telah berisi serbuk dipanaskan hingga mencapai suhu yang dikehendaki yaitu
90C, 110C, dan 130C, kemudian dipress dengan tekanan 100 kg/cm. Sesudah
mengalami pengepresan, didiamkan selama 20 menit dan sampel dikeluarkan dari alat
cetak. Pembuatan pellet pada setiap suhu perlakuan diulang sebanyak 3 kali. Karakteristik
pellet yang diamati adalah kadar air, kerapatan, kadar abu, nilai kalor, waktu penyalaan dan
laju pembakaran.
Kadar Air
Hasil penelitian mengenai kadar air pellet kayu gmelina dari berbagai perlakuan suhu
dan kontrol dapat dilihat pada Gambar 1. Gambar 1 menunjukkan bahwa nilai rata-rata
persentase kadar air pellet lebih rendah dibandingkan dengan kayu solidnya sebagai kontrol.
Sedangkan pada pellet terjadi kecenderungan semakin tinggi suhu yang diberikan maka
kadar airnya semakin rendah. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan suhu
berpengaruh sangat nyata terhadap kadar air pellet, sehingga dilakukan Uji Tukey untuk
melihat perbedaan kadar air di antara perlakuan.
Hasil Uji Tukey menunjukkan bahwa kadar air kontrol berbeda sangat nyata dengan
pellet. Kadar air pellet dengan perlakuan suhu 130C berbeda nyata dengan perlakuan suhu
110C, begitu pula perlakuan suhu 110C berbeda nyata dengan perlakuan suhu 90C. Hal
tersebut terjadi diduga oleh karena pemberian suhu tinggi pada proses pembuatan pellet
menyebabkan kadar air menjadi rendah karena adanya pelepasan air pada saat
pemanasan. Air akan terlepas dan menguap ke udara selama proses pemanasan. Selain
kehilangan air, ketika kayu dipanaskan (suhu di bawah 140oC), kayu juga akan kehilangan
zat ekstraktif yang bersifat volatil dan menyebabkan penurunan laju absorbsi dan desorbsi
kayu, berkurangnya gugus hidroksil, dan berkurangnya komponen hemiselulosa (Hill, 2006).
Hal tersebut menunjukkan adanya penurunan kadar air ketika suhu yang diberikan
meningkat. Banyaknya air yang terlepas sangat dipengaruhi oleh waktu dan suhu yang
diberikan. Sementara itu perbedaan kadar air yang terjadi saat suhu dinaikkan dan sebagian
276
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS
besar air yang terlepas terjadi saat awal pemanasan. Jika dibandingkan dengan standar
kadar air pellet kayu dari Austria (maks. 12 %), Selandia Baru (maks. 8 %), dan Swedia
(maks. 10 %), maka kadar air pellet kayu gmelina dari semua perlakuan suhu telah
memenuhi standar yang telah ditetapkan oleh ketiga negara tersebut.
Kerapatan
Kerapatan pellet kayu gmelina dari berbagai perlakuan suhu dan kontrol dapat dilihat
pada Gambar 2.
277
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
proses pembuatan pellet menyebabkan kerapatan pellet menjadi tinggi, saat pemberian
tekanan yang tinggi juga diikuti dengan pemberian panas sehingga lignin yang ada pada
kayu melemah disertai dengan adanya hemiselulosa yang terdegradasi mengakibatkan
terjadinya ikatan silang antara lignin yang satu dengan yang lain saat suhu kembali normal
(Hill, 2006). Jika dibandingkan dengan standar kadar air pellet dari Selandia Baru (min. 641
kg/m3 = 0,641 g/cm3), dan Swedia (min. 600 kg/m3 = 0,6 g/cm3), maka kerapatan pellet kayu
gmelina dari semua perlakuan suhu telah memenuhi standar yang telah ditetapkan oleh
kedua negara tersebut. Sedangkan untuk Austria tidak ada standar yang disebutkan untuk
kerapatan.
Kadar Abu
Kadar abu pellet kayu gmelina dari berbagai perlakuan suhu dan kontrol dapat dilihat
pada Gambar 3 berikut :
Gambar 3 menunjukkan bahwa nilai rata-rata kadar abu kayu solid sebagai kontrol
dan pellet dengan berbagai perlakuan suhu relatif sama. Hasil analisis ragam menunjukkan
bahwa pellet pada berbagai perlakuan suhu dan kontrol berpengaruh tidak nyata terhadap
kadar abu. Abu ialah mineral pembentuk abu yang tertinggal setelah lignin dan selulosa
habis terbakar (Dumanauw, 1990). Abu yang tersisa dari proses pembakaran terdiri atas
bahan-bahan anorganik pada kayu sedangkan bahan organiknya habis terbakar. Sjostrom
(1995) mengemukakan bahwa abu asalnya terutama dari berbagai garam yang diendapkan
dalam dinding-dinding sel dan lumen. Endapan yang khas adalah berbagai garam-garam
logam, seperti karbonat, silikat, oksalat, dan fosfat. Komponen logam yang paling banyak
jumlahnya adalah kalsium diikuti kalium dan magnesium. Dalam proses pengabuan, bahan-
bahan organik yang terkandung dalam kayu akan terbakar sedangkan bahan-bahan
anorganik akan tertinggal. Pada proses pembuatan pellet kayu tidak dapat mengubah bahan
anorganik yang memang sudah ada dalam kayu. Jika dibandingkan dengan standar kadar
abu pellet kayu dari Negara Austria (maks. 0,5 %), Selandia Baru (maks. 1 %), dan Swedia
(maks. 0,1 %), maka kadar abu pellet kayu gmelina dari semua perlakuan suhu hanya
memenuhi standar dari Selandia Baru, sedangkan standar Austria dan Swedia tidak
terpenuhi.
278
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS
Nilai Kalor
Nilai kalor pellet kayu gmelina dari berbagai perlakuan suhu dan kontrol dapat dilihat pada
Gambar 4.
15.00
Nilai Kalor
10.00 8.56
(MJ/kg)
5.00
0.00
Kontrol Suhu 90C Suhu 110C Suhu 130C
Perlakuan
Gambar 4 menunjukkan bahwa nilai kalor rata-rata pellet lebih tinggi dibandingkan
kontrol. Sedangkan pada pellet terjadi kecenderungan semakin tinggi suhu maka nilai
kalornya semakin tinggi. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan suhu
berpengaruh terhadap nilai kalor pellet, sehingga dilakukan Uji Tukey untuk melihat
perbedaan kadar air di antara perlakuan.
Hasil Uji Tukey menunjukkan bahwa nilai kalor kontrol berbeda sangat nyata dengan
pellet kayu. Nilai kalor pellet kayu dengan perlakuan suhu 130C berbeda nyata dengan
perlakuan suhu 110C dan perlakuan suhu 110C berbeda nyata dengan perlakuan suhu
90C. Hal ini terjadi diduga oleh karena adanya perbedaan kadar air yang ada pada kontrol
dan pellet. Begitu pula yang terjadi pada pellet pada berbagai perlakuan. Selain itu
perbedaan suhu pada tiap perlakuan mengakibatkan perbedaan jumlah zat ekstraktif yang
hilang dan perbedaan struktur kimia yang terjadi seperti hemiselulosa yang terdegradasi.
Sebagaimana yang dikemukakan oleh Cahyono dkk. (2008) bahwa nilai kalor dipengaruhi
oleh kadar air, susunan kimia kayu, dan jenis kayu. Jika dibandingkan dengan standar nilai
kalor pellet kayu dari Austria (min. 18 MJ/kg), Selandia Baru (min. 19,1 MJ/kg), dan Swedia
(min. 16,9 MJ/kg), maka nilai kalor pellet kayu gmelina dari semua perlakuan suhu telah
memenuhi standar yang telah ditetapkan oleh ketiga negara tersebut.
Waktu Penyalaan
Waktu penyalaan pellet kayu gmelina dari berbagai perlakuan suhu dan kontrol dapat
dilihat pada Gambar 5. Gambar 5 menunjukkan bahwa waktu penyalaan rata-rata pellet lebih
cepat dibandingkan dengan kontrol. Sedangkan pada pellet terjadi kecenderungan semakin
tinggi suhu yang diberikan semakin cepat waktu penyalaannya. Hasil analisis ragam
menunjukkan bahwa perlakuan suhu berpengaruh terhadap lama penyalaan, sehingga
dilakukan uji Tukey untuk melihat perbedaan lama penyalaan di antara perlakuan.
Hasil Uji Tukey menunjukkan bahwa waktu penyalaan kontrol berbeda sangat nyata
dengan pellet kayu. Hal ini terjadi diduga karena akibat pengaruh luas permukaan partikel
yang berbeda antara kayu solid dengan pellet yang dibuat dari serbuk kayu menyebabkan
adanya perbedaan waktu penyalaan. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Pratoto, dkk.
(2010) bahwa tingginya densitas permukaan dari partikel kecil pada gilirannya meningkatkan
luas kontak antara partikel biomassa dengan agen gasifikasi. Sedangkan waktu penyalaan
pellet pada perlakuan suhu 130C berbeda nyata dengan perlakuan suhu 110C dan
perlakuan suhu 110C berbeda nyata dengan perlakuan suhu 90C. Hal ini terjadi diduga
279
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
akibat kerapatan pellet, semakin tinggi kerapatan bahan bakar padat maka waktu
penyalaannya semakin lambat (Widiarti dkk. 2010).
Laju Pembakaran
Laju pembakaran pellet kayu gmelina dari berbagai perlakuan suhu dan kontrol dapat
dilihat pada Gambar 6 di bawah ini:
280
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS
kayu yang menunjukkan perbedaan jenis bahan bakar. Selain faktor tersebut ada faktor lain
yang mempengaruhi laju pembakaran. Saptoadi dan Himawanto (2011) mengemukakan
bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi laju pembakaran bahan bakar padat antara lain
ukuran partikel, kecepatan aliran udara, suhu, jenis bahan bakar, tekanan, konsentrasi
oksigen dan sifat dari reaksi elementer yang terjadi.
KESIMPULAN
1. Pellet kayu gmelina yang dihasilkan dalam penelitian ini tidak memenuhi standar Austria,
Selandia Baru dan Swedia
2. Semakin tinggi suhu yang diberikan, maka kualitas pellet yang dihaslkan semakin baik.
DAFTAR PUSTAKA
Cahyono, T. D., Z. Coto, dan F. Febrianto. 2008. Analisis Nilai Kalor dan Kelayakan
Ekonomis Kayu Sebagai Bahan Bakar Subtitusi Batu Bara di Pabrik Semen.
http://jurnal.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/31208105116.pdf. [24 Maret 2011].
Dumanaw, J.F. 1990. Mengenal Kayu. Kanisius. Semarang.
Hill, C. 2006. Wood Modification, Chemical, Thermal, and Other Processes. John Willey &
Sons Ltd. Chicester.
Pratoto, A., A. Sutanto, E. H. Praja, dan D. Armenda. 2010. Rancang Bangun Tungku
Gasifier Untuk Penamnfaatan Tandan Kelapa Sawit Sebagai Sumber Energi.
http://www.akademik.unsri.ac.id/download/journal/files/ft/snttm2010/359_PROSIDING
%20DIGITAL%20SNTTM%20IX.pdf. [16 April 2011]
Saptoadi, H. dan A. Himawanto. 2011. Pemodelan Matematis Distribusi Temperatur pada
Proses Pembakaran di Rangka Bakar (Bagian 1 : Distribusi Temperatur pada
Permukaan atas Bahan Bakar). http://eprints.ums.ac.id/970/1/5_Harwin_
Saptoadi_Dwi_Aries_himawanto_Pemodelan_Matematis_di.doc. [24 Maret 2011].
Sjostrom, E. 1995. Kimia Kayu, Edisi Kedua. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Widiarti, E. S., Sarwono, dan R. Hantoro. 2010. Studi Eksperimental Karakteristik Briket
Organik Dengan Bahan Baku Dari PPLH Seloliman. http://digilib.its.ac.id/public/ITS-
Undergraduate-12999-Paper.pdf. [16 April 2011]
281
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
ABSTRAK
Penelitian tentang pengukuran konduktivitas listrik serat karbon sabut kelapa pada
berbagai suhu dan waktu karbonisasi telah dilakukan. Pengukuran konduktivitas listrik
berfungsi untuk mengetahui seberapa besar kemampuan dari sampel untuk dapat
mengalirkan arus listrik yang mengalir padanya. Sampel yang diukur nilai konduktivitasnya
adalah serat karbon sabut kelapa yang dihasilkan melalui proses karbonisasi dengan tiga
variasi suhu yaitu 700, 800 dan 900 qC, serta tiga variasi waktu yaitu 45, 60 dan 90 menit.
Selain itu sebagai pembanding, dilakukan juga pengukuran konduktivitas listrik dari serat
sabut kelapa kontrol dan arang sabut kelapa yang dihasilkan dari karbonisasi pada suhu 400
qC selama 300 menit. Serat karbon sabut kelapa diukur dengan menggunakan LCR meter
dan terlebih dahulu diserbukkan dengan ukuran lolos 40 mesh. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa suhu dan waktu karbonisasi serta interaksi antara keduanya
memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap nilai konduktivitas listriknya. Semakin
tinggi suhu karbonisasi menyebabkan nilai konduktivitas listriknya semakin tinggi pula. Nilai
konduktivitas listrik tertinggi diperoleh serat karbon hasil karbonisasi suhu 900 qC selama 90
menit yaitu sebesar 138.03 S/m.
PENDAHULUAN
Serat karbon (carbon fiber) komersial dibuat dari dua macam material awal
(precursor) yaitu textile precursor dan pitch precursor (Mallick 2008). Untuk textile precursor
yang umum digunakan adalah polyacrylonitrile (PAN). Sedangkan pitch adalah hasil
samping dari petroleum refining atau coal coking, sehingga harganya lebih murah dari PAN.
Pembuatan serat karbon melalui beberapa proses seperti pemanasan, spinning, karbonisasi
dan grafitisasi, sehingga membuat harga serat karbon cukup mahal. Bentuk serat karbon di
pasaran ada tiga macam yaitu serat panjang, serat pendek (6-50 mm), dan serbuk (30-3000
m).
Serat karbon komersial memiliki kekuatan yang sangat tinggi, misalnya modulus tarik
antara 207 GPa 1035 GPa. Serat karbon dari PAN mempunyai konduktivitas panas dan
konduktivitas listrik yang lebih rendah dibandingkan dengan serat karbon dari pitch.
Konduktivitas panas dari serat karbon PAN sebesar 10-100 W m-1 qK sedangkan dari pitch
sebesar 20-1000 W m-1 K. Konduktivitas listrik serat karbon PAN 104-105 S m-1 lebih rendah
dibandingkan dengan konduktivitas listrik karbon pitch 105-106 S m-1. Modulus tarik dari serat
karbon picth sangat tinggi, tetapi kekuatan tarik lebih rendah dari PAN (Mallick 2008).
282
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS
Penelitian pembuatan karbon (arang) dari serat alam seperti kayu, bambu, serat
sabut kelapa atau kelapa sawit juga telah banyak dilakukan (Pari & Abdurahim 2003, Pari et
al. 2004, Pari et al. 2005, Pari et al. 2006a, Pari et al. 2006b, Subyakto et al 2004). Penelitian
karbon dari serat alam selama ini banyak ditujukan untuk aplikasi seperti bidang kesehatan
(penyerap gas-gas beracun, penyerap bau, pelindung gelombang elektromagnit), sebagai
sumber energi, penjernih air, arang aktif, dan lain-lain. Konduktivitas listrik dari arang kayu
sugi diteliti oleh Nishimiya et al. (1995). Dari penelitian ini didapatkan bahwa resistivitas listrik
turun drastis pada suhu pengarangan 600 C sampai 800 C, dan arang kayu menjadi
konduktor jika diarangkan pada suhu 800 C atau lebih. Bambu yang diarangkan pada suhu
800 C mempunyai nilai konduktansi listrik di bawah 10 -1. Pada suhu karbonisasi 2200
C didapatkan konduktansi listrik untuk bagian-bagian kelapa sawit seperti tandan kosong,
pelepah, batang, dan tempurung sebesar 272, 287, 377, dan 476 -1 (Subyakto et al. 2004).
Salah satu serat alam yang ketersediannya sangat berlimpah ialah serat sabut kelapa
yang didapatkan dari pohon kelapa (Cocos nucifera). Berdasarkan data dari Direktorat
Jenderal Perkebunan Tahun 2009, baik luas areal perkebunan kelapa maupun produksi
kelapanya cenderung meningkat dari tahun 1970 sampai dengan tahun 2009. Luas lahan
perkebunan kelapa dan produksi buah kelapa pada tahun 1970 berturut-turut adalah
1.805.711 ha dan 1.202.902 ton. Nilai ini meningkat cukup tinggi pada tahun 2009 dengan
luas lahan perkebunan kelapa dan produksi buah kelapa berturut-turut sebesar 3.800.846 ha
dan 3.257.773 ton. Dengan asumsi bahwa berat serat sabut kelapa sekitar 35% dari berat
buah kelapa, maka ketersedian serat kabut kelapa ini sangat memadai apabila akan
digunakan untuk berbagai macam keperluan, termasuk dalam penggunaannya sebagai
bahan dasar dalam pembuatan karbon dari serat alam.
Serat sabut kelapa merupakan salah satu serat alam terkuat di dunia. Hal ini
dikarenakan bahwa serat kelapa kandungan lignin yang tinggi yaitu sekitar 32.8%.
Kandungan lignin serat kelapa ini lebih tinggi dibandingkan dengan serat alam lainnya
seperti serat nenas (10.5%), serat batang pisang (18.6%) dan serat pelepah kelapa sawit
(20.5%) (Khalil et al. 2006).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian suhu dan waktu
karbonisasi yang berbeda terhadap nilai konduktivitas listrik dalam hubungannya dengan
penampakkan mikroskopis dari arang serat sabut kelapa tersebut.
Metodologi Penelitian
Pembuatan Arang Serat Sabut Kelapa
Arang serat sabut kelapa dibuat menggunakan retort pirolisis dengan pemanas listrik
pada suhu 400 qC selama 300 menit dan didinginkan 12-24 jam. Selanjutnya, arang tersebut
kembali dipanaskan dengan menggunakan variasi suhu 700 qC, 800 qC dan 900 qC, dan
variasi waktu pemanasan 45, 60 dan 90 menit. Arang yang dihasilkan diukur konduktivitas
listriknya dengan menggunakan LCR meter serta penampakkan mikroskopis dari permukaan
serat dengan menggunakan SEM.
283
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
dimana :
V : Konduktivitas listrik (S m-1)
D : Tebal tempat penyimpanan sampel uji (m)
A : Luas permukaan tempat penyimpanan sampel uji (m2)
Yijk = Nilai pengamatan pada faktor suhu karbonisasi taraf ke-i, faktor waktu karbonisasi
taraf ke-j dan ulangan ke-k
P = Komponen aditif dari rataan
Ai = Pengaruh utama faktor suhu karbonisasi ke-i
Bj = Pengaruh utama faktor waktu karbonisasi ke-j
ABij = Interaksi dari faktor suhu ke-i dan waktu karbonisasi ke-j
Hijk = Pengaruh acak yang menyebar normal (0, V2) dari faktor suhu ke-i, waktu
karbonisasi ke-j, dan ulangan ke-k
284
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS
nyata dan derajat bebas tertentu. Nilai BNJ didapat dengan menggunakan rumus sebagai
berikut (Mattjik & Sumertajaya 2000) :
dimana p adalah jumlah perlakuan, dbg adalah derajat bebas galat, r adalah ulangan, KTG
adalah kuadrat tengah galat dan adalah nilai kritis yang diperoleh dari tabel wilayah
nyata student.
Jika
Penampakkan mikroskopis dari permukaan serat kontrol dan arang serat sabut
kelapa dilakukan dengan menggunakan SEM. Hal ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh
penggunaan variasi suhu dan waktu karbonisasi terhadap penampakkan makroskopis dari
permukaan arangnya dalam hubungannya dengan nilai konduktivitas listrik arangnya.
Hasil pengukuran konduktivitas listrik dari serat sabut kelapa dan arangnya dengan
menggunakan LCR meter dapat dilihat pada Tabel 1.
Semakin tingginya konduktivitas listrik seiring dengan semakin tingginya suhu
karbonisasi dikarenakan pada suhu karbonisasi yang semakin tinggi, zat-zat yang ada di
sekitar dinding selnya semakin berkurang. Sehingga dinding selnya memungkinkan untuk
menghantarkan listrik dengan semakin baik. Nilai konduktivitas terbesar yaitu pada serat
karbon dengan suhu karbonisasi 900 qC dengan waktu 90 menit sebesar 138.030 S m-1.
Nilai konduktivitas arang serat sabut kelapa semuanya termasuk dalam semikonduktor, yaitu
berada pada kisaran 10-6 105 S m-1.
285
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Nilai konduktivitas listrik dari arang hasil karbonisasi suhu 400 qC selama 300 menit
(0.0000032 S m-1), tidak terlalu jauh berbeda dengan nilai konduktivitas listrik serat sabut
kelapanya (0.0000006 S m-1). Hal ini dimungkinkan dengan masih banyaknya senyawa
yang terdapat di sekitar permukaan pori-porinya, seperti ditunjukkan dengan Gambar 2.
a b
Pembuatan serat karbon dengan suhu lebih tinggi yaitu 700 qC, 800 qC dan 900 qC
dengan variasi waktu 45, 60 dan 90 menit menyebabkan meningkatnya nilai konduktivitas
listrik. Hal ini disebabkan senyawa yang berada disekitar permukaan pori-porinya semakin
berkurang seiring dengan meningkatnya suhu karbonisasi. Penampakkan mikroskopis dari
arang serat sabut kelapa dapat dilihat pada Gambar 3.
a b c
d e f
g h i
286
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS
Berdasarkan Tabel 1 dan Gambar 3 dapat ditarik hubungan yaitu dengan semakin
besarnya suhu karbonisasi yang digunakan maka nilai konduktivitas listriknya semakin naik
yang disebabkan oleh semakin berkurangnya senyawa-senyawa yang terdapat pada
permukaan arang serat sabut kelapanya. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh
Vigouroux (2001) yang menyatakan bahwa pemanasan dapat menyebabkan
terdegradasinya senyawa lamella tengah dan komponen pembentuk dinding sel sekunder
yang menghasilkan produk gas, produk cair dan zat padat berupa arang. Hal ini juga sejalan
dengan pendapat dari Byrne dan Nagle (1997) yang menyatakan bahwa karbonisasi pada
suhu lebih dari 400 qC terjadi pembentukan lapisan aromatik dan lignin masih terurai sampai
suhu 500 qC dan selanjutnya pada suhu di atas 600 qC mulai terjadi proses pembesaran luas
permukaan.
Berdasarkan hasil analisis sidik ragam pada Tabel 2, dapat dilihat bahwa pembedaan
suhu dan waktu karbonisasi dan interaksi antar keduanya memberikan pengaruh yang
berbeda nyata terhadap nilai konduktivitas listrik dari serat karbon sabut kelapa.
Berdasarkan uji BNJ pada Tabel 3, ditinjau dari waktu karbonisasi 45, 60 dan 90 menit
terlihat bahwa pembedaan suhu karbonisasi menjadi 700, 800 dan 900 qC, memberikan
pengaruh yang berbeda nyata terhadap nilai konduktivitas listriknya. Ditinjau dari suhu
karbonisasi 700 qC, pembedaan waktu karbonisasi tidak memberikan pengaruh yang
berbeda terhadap nilai konduktivitas listriknya. Sedangkan ditinjau dari suhu karbonisasi 800
qC, pembedaan waktu karbonisasi memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap nilai
konduktivitas listriknya pada waktu karbonisasi 60 menit. Untuk suhu karbonisasi 900 qC,
pembedaan waktu karbonisasi memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap
konduktivitas listriknya pada waktu 45 menit.
Berdasarkan Tabel 2 dan Tabel 3 dapat dikatakan bahwa pemberian pembedaan
suhu memberikan perbedaan nyata terhadap nilai konduktivitas listriknya ditinjau dari semua
variasi waktu yang ada. Sedangkan pemberian pembedaan waktu hanya memberikan
perbedaan yang nyata terhadap nilai konduktivitasnya pada suhu tertentu saja.
287
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Keterangan : huruf yang sama dalam satu kolom menunjukkan nilai yang tidak berbeda
nyata pada selang kepercayaan 95%
KESIMPULAN
Nilai konduktivitas listrik dari arang serat sabut kelapa semakin meningkat dengan
semakin tingginya suhu karbonisasi yang digunakan. Pengaruh pembedaan suhu
karbonisasi dan waktu yang berbeda serta interaksi keduanya memberikan berpengaruh
yang berbeda nyata terhadap nilai konduktivitas listriknya. Nilai konduktivitas listrik terbesar
yaitu sebesar 138.030 S m-1 diperoleh arang serat sabut kelapa dengan suhu karbonisasi
900 qC selama 90 menit. Semakin tinggi suhu karbonisasi yang digunakan menyebabkan
semakin berkurangnya senyawa yang terdapat di sekitar permukaan dari arang serat sabut
kelapa dan menyebabkan semakin jelasnya penampakkan dari pori-porinya.
DAFTAR PUSTAKA
Byrne CE, Nagle DC. 1997. Carbonized wood for advancedmaterials applications. Carbon
35 (2) : 259-266.
Direktorat Jenderal Perkebunan, Departemen Pertanian. 2009. Luas areal dan produksi
perkebunan seluruh Indonesia menurut pengusahaan. http://ditjenbun.deptan. go.id /
cigraph/index.php/viewstat/komoditiutama /5-Kelapa. Diunduh pada tanggal 4 Juli
2010.
Ishihara S. 1996. Recent trend of advanced carbon material from wood charcoals (in
Japanese). Mokuzai Gakkaishi 42:717-724
Ishimaru K, Hata T, Bronsveld P, Imamura Y. 2007. Microstructural study of carbonized
wood after cell wall sectioning. Journal of Material Science 42:26622668
Khalil HPSA, Alwani MS, Omar AKM. 2006. Chemical composition, anatomy, lignin
distribution and cell wall structure of Malaysian plant waste fiber. BioResource
1(2):220-232.
Mallick PK. 2008. Fiber-reinforced composites : materials, manufacturing and design. Third
edition. CRC Press.
Mattjik AA, Sumertajaya IM. 2000. Perancangan percobaan dengan aplikasi SAS dan
Minitab Jilid I. Bogor. IPB Press.
Nishimiya K, Hata T, Ishihara S. 1995. Mechanism and clarification of electrical conduction
through wood charcoal. Wood Research No. 82:34-36.
288
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS
Pari G, Abdurahim. 2003. Pembuatan arang aktif dari tempurung kelapa, serbuk kayu, dan
tandan kosong kelapa sawit. Buletin Penelitian Hasil Hutan. 21 (1) : 55-65. Pusat
Litbang Teknologi Hasil Hutan, Bogor.
Pari G, Buchari, Sofyan K, Syafii W. 2004. Suhu karbonisasi dan perubahan struktur arang
dari serbuk gergaji. Jurnal Teknologi Hasil Hutan 16 (2): 70-80. Fakultas Kehutanan
Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Pari G. 2004. Kajian struktur arang aktif dari serbuk gergaji kayu sebagai adsorben emisi
formaldehida kayu lapis. [Disertasi]. Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan.
Bogor. Sekolah Pasca Sarjana IPB.
Pari G, Buchari, Sofyan K, Syafii W. 2005. Pengaruh lama aktivasi terhadap struktur kimia
dan mutu arang aktif serbuk gergaji sengon. Jurnal Penelitian Hasil Hutan. 23(3):
207-218, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan, Bogor.
Pari G, Hendra D, Pasaribu RA. 2006a. Pengaruh lama waktu aktivasi dan konsentrasi asam
fosfat terhadap mutu arang aktif dari kulit kayu Acacia mangium. Jurnal Penelitian
Hasil Hutan. 24(1): 33-46. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan, Bogor.
Pari G, Santoso A, Hendra D. 2006b. Pembuatan dan pemanfaatan arang aktif sebagai
reduktor emisi formaldehida kayu lapis. Jurnal Penelitian Hasil Hutan. 24(5): 425-436.
Subyakto, Castro V, Ishimaru K, Pari G, Hata T, Imamura Y, Kawai S. 2004. Biomass
carbons from oil palm residues. Proceedings of 5th Int. Wood Science Symposium
on Sustainable Production and Effective Utilization of Tropical Forest Resources.
Research Institute for Sustainable Humanosphere, Kyoto Univ., Japan. Pp. 301-306.
Vigouroux RZ. 2001. Pyrolysis of biomass. [Dissertation]. Stockholm. Royal Institute of
Technology.
289
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
ABSTRAK
PENDAHULUAN
290
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS
Bahan baku yang digunakan pada penelitian ini adalah tumbuhan hutan di Kebun
Raya Balikpapan Kalimantan Timur pada bagian daun. Bahan lain yang digunakan adalah N-
Hexane, etil asetat, metanol, aquades, aseton, natrium hidroksida, asam asetat anhidrid,
asam sulfat, asam klorida, timbal asetat, pereaksi Molisch, pereaksi Dragendorff, 1-naphtol.
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain : blender, shaker, oven,
rotary vacuum evaporator, beaker glass, erlenmeyer, spatula, tabung reaksi, alumunium foil,
timbangan dan desikator serta alat tulis-menulis.
4 sampel tumbuhan yang terdiri dari berbagai macam bagian tumbuhan di keringkan
dalam ruangan konstan. Sampel kemudian diserbuk setelah itu dimaserasi dengan N-
Hexane, etil asetat dan metanol selama 48 jam dengan menggunakan shaker. Setelah itu
disaring dan dipekatkan dengan menggunakan rotary vacuum evaporator sehingga
didapatkan ekstrak kasar.
Skrining fitokimia (alkaloid, flavonoid, saponin, tanin, triterpenoid, steroid dan
karbohidrat) menggunakan metode Harborne (1987) dan Kokate (2001). Pengujian alkaloid
dilakukan dengan menambahkan 2 ml HCl kedalam 5 ml ekstrak, kemudian dimasukkan 1
ml larutan Dragendorff apabila warna larutan menjadi jingga atau merah maka menunjukkan
adanya alkaloid. Pengujian flavonoid dilakukan dengan menambahkan beberapa tetes
NaOH 1% kedalam 1 ml ekstrak, apabila muncul warna kuning pada larutan dan berubah
menjadi tidak berwarna setelah ditambahkan HCl 1% maka mengindikasikan adanya
flavonoid. Pengujian saponin dilakukan dengan memasukkan 10 ml air panas kedalam
tabung reaksi berisi 1 ml ekstrak, kemudian dikocok selama 10 detik apabila terbentuk buih
mantap selama 10 menit dengan ketinggian 1-10 cm dan tidak hilang bila ditambahkan 1
tetes HCl 2N mengindikasikan adanya saponin. Pengujian tanin dilakukan dengan
memasukkan 10 ml ekstrak kedalam tabung reaksi dan ditambahkan larutan (CH3COOH)2
Pb 1% apabila terbentuk endapan kuning mengindikasikan adanya tanin. Pengujian
triterpenoid dan steroid dengan menggunakan pereaksi Liebermann-Burchard yaitu asam
asetat anhidrid 10 tetes dan asam sulfat pekat 2 tetes ditambahkan kedalam 1 ml ekstrak,
apabila warna sampel berubah menjadi warna merah dan ungu menunjukkan adanya
triterpenoid dan apabila warna sampel berubah menjadi warna hijau dan biru menunjukkan
adanya steroid. Pengujian karbohidrat dilakukan dengan menambahkan 1 tetes pereaksi
Molisch kedalam 1 ml ekstrak kemudian melalui dinding tabung reaksi ditambahkan 1 ml
asam sulfat pekat, apabila terbentuk cincin ungu diantara 2 lapisan mengindikasikan adanya
karbohidrat.
291
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
No Pelarut Sampel Bagian Alk Fla Sap Tan Tri Ste Kar
tumbuhan
1 N-Hexane Etlingera Daun + + - + - + +
balikpapanensis
Dillenia sp Daun + + - + - + +
Scorodocarpus Daun + + - + - + +
borneensis
Amomum sp Daun + + - + - + +
2 Etil Asetat Etlingera Daun + + - + - + +
balikpapanensis
Dillenia sp Daun + + - + - + +
Scorodocarpus Daun + + - - - + +
borneensis
Amomum sp Daun + + - + - + +
3 Metanol Etlingera Daun + + + + - - +
balikpapanensis
Dillenia sp Daun + + + + - - +
Scorodocarpus Daun + + + + - + +
borneensis
Amomum sp Daun + - + + - - +
Hasil pengujian fitokimia ekstrak N-Hexane, etil asetat dan metanol pada bagian
daun 4 jenis tumbuhan yang diuji dapat dilihat pada Tabel 1. Tumbuhan Etlingera
balikpapanensis dengan pelarut N-hexane dan etil asetat memiliki kandungan alkaloid,
flavonoid, tanin, steroid dan karbohidrat. Sedangkan dengan pelarut metanol memiliki
kandungan alkaloid, flavonoid, saponin, tanin dan karbohidrat. Tumbuhan Dillenia sp dengan
pelarut N-hexane dan etil asetat memiliki kandungan alkaloid, flavonoid, tanin, steroid dan
karbohidrat. Sedangkan dengan pelarut metanol memiliki kandungan alkaloid, flavonoid,
saponin, tanin dan karbohidrat. Tumbuhan Scorodocarpus borneensis dengan pelarut N-
hexane memiliki kandungan alkaloid, flavonoid, tanin, steroid dan karbohidrat. Dengan
pelarut etil asetat memiliki kandungan alkaloid, flavonoid, steroid dan karbohidrat sedangkan
dengan pelarut metanol memiliki kandungan alkaloid, flavonoid, saponin, tanin, steroid dan
karbohidrat. Tumbuhan Amomum sp dengan pelarut N-hexane dan etil asetat memiliki
kandungan alkaloid, flavonoid, tanin, steroid dan karbohidrat. Sedangkan dengan pelarut
metanol memiliki kandungan alkaloid, saponin, tanin, dan karbohidrat.
Harborne (1987) menyatakan bahwa alkaloid sebagai suatu kelompok senyawa yang
terdapat pada sebagian besar tumbuhan berbunga dan merupakan salah satu kelompok
fitokimia penting yang menjadi salah satu indikasi terdapatnya aktivitas biologis dari suatu
jenis tumbuhan sehingga bermanfaat dalam proses pengobatan. Alkaloid merupakan
senyawa yang memiliki aktivitas antimikroba, yaitu menghambat esterase dan juga DNA dan
RNA polimerase, juga menghambat respirasi sel dan berperan dalam interkalasi DNA
(Aniszewki, 2007).
Giorgio (2000) mengatakan bahwa fungsi flavonoid pada tumbuhan secara umum
sebagai pengatur tumbuh, pengatur fotosintesis, kerja anti mikroba dan anti virus. Senyawa
flavonoid merupakan senyawa yang sangat berperan dalam bidang obat-obatan yang telah
banyak diteliti dan telah terbukti. Selain itu, menurut Prawiroharsono (2002) senyawa
flavonoid telah banyak diteliti dan bahkan beberapa senyawa telah diproduksi sebagai anti
kanker, anti virus, anti alergi dan anti kolesterol.
Saponin merupakan senyawa metabolit sekunder yang bersifat basa, karena sifat
inilah sehingga saponin berbentuk buih menyerupai sabun yang dapat larut pada pelarut
polar (Sujarno, et al., 2007). Kumalaningsih (2006) bahwa saponin yang berasal dari
tumbuhan memiliki beberapa kegunaan, salah satunya sebagai antioksidan, yang dapat
292
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS
mencegah terjadinya penyakit stroke dan serangan jantung sebagai akibat dari radikal
bebas.
Menurut Ficker ,et al (2003) steroid tersebar luas dalam dunia tumbuhan dan hewan,
yang dibuat melalui lintasan biosintesis yang mirip atau hampir mirip dalam tumbuhan dan
hewan. Girindra (1990) menyatakan bahwa karbohidrat yang menghasilkan glikosida adalah
bagian yang paling penting di dalam proses kimia kehidupan. Karbohidrat di alam terdapat
dalam jumlah yang amat besar, berkisar antara 60-90% dari bahan padatnya. Kegunaannya
sangat luas dan meliputi berbagai bidang, antara lain sebagai bahan pangan, sandang
bahan untuk keperluan kesehatan dan sebagai obat-obatan.
DAFTAR PUSTAKA
293
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
ABSTRAK
Salah satu pemanfaatan senyawa kimia dalam tumbuhan yaitu sebagai antibakteri
alami. Keragaman tumbuhan di Kalimantan Timur menjanjikan sumber daya alam yang
sangat penting untuk dilakukan pengujian bioaktivitas dan fitokimianya. Penelitian ini meliputi
maserasi dengan etanol yang kemudian dilanjutkan dengan pengujian aktivitas antibakteri
dengan metode difusi agar sumuran terhadap Bacillus cereus dan disertai dengan analisis
fitokimia secara kualitatif. Hasil analisis fitokimia terhadap daun karamunting menunjukkan
hasil positif terhadap uji karbohidrat, flavonoid, steroid dan alkaloid. Aktivitas antibakteri dari
daun karamunting terhadap Bacillus cereus dengan metode difusi agar pada konsentrasi 40,
60 dan 80 g dengan pembandingan terhadap chloramphenicol sebagai kontrol positif
menunjukkan potensi sebagai antibakteri alami. Berdasarkan hasil penelitian ini daun
karamunting memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai antibakteri alami.
PENDAHULUAN
294
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS
Bahan baku yang digunakan pada penelitian ini adalah daun tumbuhan karamunting
(Melastoma malabathricum). Bahan lain yang digunakan adalah etanol, aquades, aseton,
Chloramphenicol, Nutrient Agar (NA), natrium hidroksida, asam asetat anhidrid, asam sulfat,
asam klorida, timbal asetat, pereaksi Molisch, pereaksi Dragendorff, 1-naphtol.
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain : blender, shaker, oven,
rotary vacuum evaporator, beaker glass, erlenmeyer, mikropipet, petri disk, spatula, tabung
reaksi, alumunium foil, kapas, laminar flow, kaca perata, timbangan dan desikator serta alat
tulis-menulis. Mikroorganisme uji yang digunakan adalah bakteri Bacillus cereus.
Sampel tumbuhan yang akan digunakan terlebih dahulu di keringkan dalam ruangan
konstan. Sampel kemudian diserbuk setelah itu dimaserasi dengan etanol selama 48 jam
dengan menggunakan shaker. Setelah itu disaring dan dipekatkan dengan menggunakan
rotary vacuum evaporator sehingga didapatkan ekstrak kasar.
Skrining fitokimia (alkaloid, flavonoid, saponin, tanin, triterpenoid, steroid dan
karbohidrat) menggunakan metode Harborne (1987) dan Kokate (2001). Pengujian alkaloid
dilakukan dengan menambahkan 2 ml HCl ke dalam 5 ml ekstrak, kemudian dimasukkan 1
ml larutan Dragendorff apabila warna larutan menjadi jingga atau merah maka menunjukkan
adanya alkaloid. Pengujian flavonoid dilakukan dengan menambahkan beberapa tetes
NaOH 1% kedalam 1 ml ekstrak, apabila muncul warna kuning pada larutan dan berubah
menjadi tidak berwarna setelah ditambahkan HCl 1% maka mengindikasikan adanya
flavonoid. Pengujian saponin dilakukan dengan memasukkan 10 ml air panas kedalam
tabung reaksi berisi 1 ml ekstrak, kemudian dikocok selama 10 detik apabila terbentuk buih
mantap selama 10 menit dengan ketinggian 1-10 cm dan tidak hilang bila ditambahkan 1
tetes HCl 2N mengindikasikan adanya saponin. Pengujian tanin dilakukan dengan
memasukkan 10 ml ekstrak kedalam tabung reaksi dan ditambahkan larutan (CH3COOH)2
Pb 1% apabila terbentuk endapan kuning mengindikasikan adanya tanin. Pengujian
triterpenoid dan steroid dengan menggunakan pereaksi Liebermann-Burchard yaitu asam
asetat anhidrid 10 tetes dan asam sulfat pekat 2 tetes ditambahkan kedalam 1 ml ekstrak,
apabila warna sampel berubah menjadi warna merah dan ungu menunjukkan adanya
triterpenoid dan apabila warna sampel berubah menjadi warna hijau dan biru menunjukkan
adanya steroid. Pengujian karbohidrat dilakukan dengan menambahkan 1 tetes pereaksi
Molisch kedalam 1 ml ekstrak kemudian melalui dinding tabung reaksi ditambahkan 1 ml
asam sulfat pekat, apabila terbentuk cincin ungu diantara 2 lapisan mengindikasikan adanya
karbohidrat.
Pengujian antibakteri dilakukan dengan metode difusi agar. Dalam pengujian ini
sebanyak 20 ml media NA dituangkan kedalam petridisk yang sudah disterilkan selama 30
menit dengan temperatur 121C dalam autoclave. Setelah itu pada keadaan antiseptik
(dalam laminar flow) biarkan media mengeras, kemudian ditetesi bakteri sebanyak 100 l
diratakan dengan menggunakan kaca perata dan biarkan mengering selama 30 menit.
Karena menggunakan metode sumuran, beri lubang pada media yang masing masing
berisi 20 l sampel dengan Aseton sebagai kontrol negatif dan Chloramphenicol sebagai
kontrol positif. Pengujian menggunakan beberapa konsentrasi uji yaitu 40 g, 60 g, dan 80
g.
295
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
296
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS
vitro. Flavonoid menunjukkan toksisitas rendah pada mamalia, sehingga beberapa flavonoid
digunakan sebagai obat bagi manusia (Roller, 2003).
Ajizah (2004), menyatakan bahwa tanin mempunyai antibakteri dengan cara
mempresipitasi protein. Efek antibakteri tanin antara lain melalui : reaksi dengan membran
sel, inaktivasi enzim, dan inaktivasi fungsi materi genetik.
DAFTAR PUSTAKA
297
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
ABSTRAK
PENDAHULUAN
Indonesia adalah salah satu negara mega biodiversity dengan kekayaan alam yang
melimpah dan beraneka ragam, namun hanya sebagian kecil yang telah diekplorasi, diteliti
serta dimanfaatkan. Penyakit degeneratif seperti kanker, tekanan darah tinggi, penyakit gula,
dan lain sebagainya semakin banyak dan mudah ditemui di kalangan masyarakat kita, pada
dasarnya penyakit degeneratif tersebut diakibatkan karena proses metabolisme tubuh yang
menghasilkan radikal bebas berlebihan sehingga mengakibatkan kerusakan pada fungsi sel-
sel tubuh (Helliwel dan Gutteridge, 1989).
Aktivitas antioksidan yang dimiliki oleh senyawa metabolit sekunder tumbuhan sangat
penting karena dapat berfungsi sebagai penangkap radikal bebas yang dapat meliundungi
dari penyakit kardiovaskuler, oksidasi lipoprotein densitas rendah (LDL), dan beberapa
penyakit kanker lainnya Akagawa dan Suyama 2001). Selain itu juga diketahui memiliki
peran dalam mekanisme pertahanan terhadap mikroorganisme, serangga, dan herbivore.
Aktivitas ini dimiliki karena kemampuannya membentuk kompleks dengan protein yang larut,
dan protein ekstraseluler, dan dapat membentuk kompleks dengan dinding sel bakteri
(Cowan 1999), sehingga dapat berfungsi sebagai antibakteri.
Salah satu tumbuhan potensial berdasarkan informasi pemanfaatan tradisional oleh
masyarakat adalah tumbuhan perepat (Sonneratia alba). Potensi mangrove sebagai
tumbuhan obat telah diteliti oleh Purnobasuki, (2004) dan menyatakan bahwa sebagian
besar tumbuhan mangrove berpotensi sebagai tumbuhan obat termasuk Sonneratia alba,
yang secara tradisional daun maupun buah dari tumbuhan ini digunakan untuk pengobatan
sakit perut, pengobatan keseleo, bengkak, menghentikan pendarahan, dan anti septik.
298
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS
Bahan-bahan
Bahan baku yang digunakan dalam penelitian adalah tumbuhan perepat. Bahan lain
yang digunakan adalah aquades, etanol, metanol, aseton, dimetilsulfoksida (DMSO), larutan
DPPH (1,1-diphenyl-2-picrylhydrazyl), vitamin C, Bismut (III) Nitrat, KI, asam asetat, asam
sulfat, Mg, HCl, 1-Naphtol. Kultur bakteri Salmonella thypi, Bacillus cereus, Staphylococcus
aureus dan Propionibacterium acns.
Penyediaan Sampel
Sampel tumbuhan berupa daun di keringkan dalam ruangan konstan. Kemudian
daun kering dibuat serbuk dan dimaserasi dengan etanol 96 % selama 48 jam dengan
menggunakan shaker. Setelah itu disaring dan dipekatkan dengan menggunakan rotary
vacuum evaporator sehingga didapatkan ekstrak kasar.
299
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Tabel 1 menyajikan hasil pengujian fitokimia ekstrak EtOH daun tumbuhan perepat
yang mana menunjukkan bahwa semua bagian sampel yang diuji positif mengandung
senyawa metabolit sekunder yaitu alkaloid, flavonoid, karbohidrat, saponin, steroid, dan
tanin. Harborne (1987), menyatakan bahwa alkaloid sebagai suatu kelompok senyawa yang
terdapat pada sebagian besar tumbuhan berbunga dan merupakan salah satu kelompok
fitokimia penting yang menjadi salah satu indikasi terdapatnya aktivitas biologis dari suatu
jenis tumbuhan sehingga bermanfaat dalam proses pengobatan. Flavonoid terdapat pada
tumbuhan tingkat tinggi yang termasuk dalam golongan angiospermae, biasa terjadi sebagai
hasil dari metabolisme sekunder pada buah, batang dan bagian tubuh lain terutama yang
banyak mengandung warna. Hal ini sejalan dengan pernyataan Suradikusumah (2002),
bahwa flavonoid terdapat pada semua bagian tumbuhan seperti daun, akar, kulit, tepung
sari, nektar, bunga, buah, dan biji. Karbohidrat merupakan bagian yang paling penting dalam
proses kimia kehidupan. Pada tumbuhan, karbohidrat terbentuk melalui proses fotosintesis
pada daun dengan menggunakan karbon dioksida dan air untuk menghasilkan gula dan
oksigen yang diedarkan ke seluruh bagian tumbuhan sebagai bahan makanan.
Pada pengujian antibakteri yang dilakukan terhadap ekstrak memberikan hasil positif
terhadap bakteri Salmonella thipy, Bacillus cereus, dan E.coli. Hasil ini disajikan pada Tabel
2 yaitu adanya zona bening sekitar lubang sumuran pada ekstrak dengan konsentrasi 100
Pg sebesar 9,16 mm untuk E.coli, 11,22 mm untuk Bacillus cereus, dan10,67 mm untuk
S.aureus. Hasil ini terkait dengan kandungan fitokimia pada daun yang positif mengandung
flavonoid, tanin, saponin, yang berperan sebagai antimikroba. Diduga tanin sangat berperan
pada kerja antimikroba pada ekstrak. Tanin bersifat sebagai pengelat berefek spasmolitik,
yang menciutkan dinding usus sehigga gerak peristaltik usus berkurang. Akan tetapi efek
spasmolitik ini juga mungkin dapat mengkerutkan dinding sel atau membran sel sehingga
mengganggu permeabilitas sel itu sendiri. Ajizah (2004), menyatakan bahwa tanin juga
mempunyai antibakteri dengan cara mempresipitasi protein. Efek antibakteri tanin antara
lain melalui reaksi dengan membran sel, inaktivasi enzim, dan inaktifasi fungsi materi
genetik. Pada bakteri P.acnes tidak terlihat adanya aktivitas antibakteri pada konsentrasi 25;
50; dan 100 Pg. Setelah dilakukan perngujian pada konsentrasi yang lebih tinggi dihasilkan
zona penghambatan sebesar 8; 8,67 ; 11 mm masing-masing pada konsentrasi 125; 250;
dan 500 Pg.
300
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS
Hasil analisis fitokimia daun perepat positif mengandung alkaloid, flavonoid, saponin,
steroid, karbohidrat dan tanin. Hasil pengujian antioksidan dari ekstrak EtOH daun perepat
mampu meredam sebesar 86,64% radikal DPPH pada konsentrasi 50 ppm dan memiliki IC50
pada konsentrasi 7,44 ppm. Ekstrak daun perepat aktif terhadap bakteri Bacillus cereus,
E.coli, S.aureus, dan P.acnes. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tumbuhan perepat
301
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
memiliki potensi untuk dikembangkan pemanfaatannya lebih lanjut karena potensial sebagai
bahan antioksidan dan antibakteri.
Perlu adanya penelitian lebih lanjut dalam pengembangan fungsi tumbuhan perepat
sehingga bisa mendapatkan hasil yang optimal.
DAFTAR PUSTAKA
302
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS
ABSTRAK
Ekstrak kulit kayu mahoni telah diuji aktivitas antioksidannya, dan pengujian
keamanannya untuk mahluk hidup telah dilakukan melalui uji toksisitas akut menggunakan
hewan model mencit. Dua bagian serbuk kulit kayu mahoni masing-masing dimaserasi
dengan menggunakan metanol dan air panas sehingga diperoleh ekstrak metanol dan
ekstrak air panas. Ekstrak metanol dan air panas kemudian diuji aktivitas antioksidan
dengan menggunakan metode 1,1-diphenil-2-picrylhydrazyl (DPPH) dan metode tiobarbituric
acid (TBA). Sedangkan uji toksisitas akut dilakukan dengan menghitung nilai LD50 dan
pengamatan hasil uji histopatologi organ hati dan ginjal. Pengujian aktivitas antioksidan
dengan metode DPPH pada 50 ppm menunjukkan bahwa ekstrak metanol dan air memiliki
aktivitas yang lebih tinggi dibandingkan vitamin E sebagai standar. Pada metode TBA
dengan konsentrasi 200 ppm, ekstrak metanol dan air menunjukkan aktivitas yang lebih baik
dari standar. Hasil uji toksisitas akut menunjukkan ekstrak metanol dan air memiliki nilai LD50
masing-masing sebesar 16330.52 mg/kg bobot badan dan 21428.91 mg/kg bobot badan.
Kedua ekstrak ini tergolong praktis non toksik menurut klasifikasi Gleason. Pemejanan
ekstrak air dan metanol kulit kayu mahoni pada dosis > 12500 mg/kg dapat menyebabkan
kerusakan organ hati dan ginjal.
Kata kunci: Kulit mahoni, antioksidan, toksisitas akut, metode DPPH, metode TBA
PENDAHULUAN
Swietenia macrophylla atau yang dikenal dengan mahoni ditanam secara luas di
daerah tropis. Di Indonesia penanaman pohon mahoni dilakukan di areal hutan milik
negara dan hutan rakyat, selain sebagai pohon peneduh di pinggir jalan. Penggunaan
kayu mahoni untuk berbagai keperluan seperti furnitur, konstruksi bangunan, dan kerajinan;
membuat kayu tersebut semakin disukai dan bernilai ekonomis. Selain itu, tanaman
mahoni juga telah lama dimanfaatkan dan dikenal dalam pengobatan secara tradisional.
Bagian dari tanaman mahoni yang paling sering digunakan sebagai tanaman obat
adalah buah mahoni. Kandungan flavonoid pada buah mahoni berguna untuk
melancarkan peredaran darah, mencegah tersumbatnya saluran darah, mengurangi
tingkat kolesterol, mengurangi penimbunan lemak pada dinding saluran darah,
membantu mengurangi rasa sakit, mengurangi pendarahan dan lebam, bertindak
sebagai antioksidan dan berfungsi menyingkirkan radikal bebas. Sedangkan saponin
yang berasal dari buah mahoni berguna mencegah penyakit sampar, mengurangi
lemak badan, meningkatkan sistem kekebalan, mencegah pembekuan darah dan
tingkat gula dalam darah, serta menguatkan fungsi hati (Brookes 1990).
Pengolahan kayu mahoni akan meninggalkan kulit kayu mahoni sebagai limbah.
Pemanfaatan limbah kulit kayu mahoni belum banyak dilakukan. Pada penelitian
sebelumnya, dari ekstrak aseton kulit kayu mahoni telah diisolasi dan diidentifikasi senyawa
katekin, epikatekin, dan swietemakrofilanin (Falah et al. 2008). Ketiga senyawa tersebut
memiliki aktivitas antioksidan yang tinggi.
Pada penelitian ini, serbuk kulit kayu mahoni diekstrak dengan metanol dan air
panas untuk diuji aktivitas antioksidan dan toksisitas akut. Aktivitas antioksidan dilakukan
dengan menggunakan metode 1,1-diphenil-2-picrylhydrazyl (DPPH) dan tiobarbituric acid
303
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
METODE
Persiapan Ekstrak
Kulit kayu mahoni diperoleh dari pohon mahoni yang ditanam di daerah Sumedang.
Kulit mahoni dibuat serbuk berukuran 40-60 mesh dengan menggunakan Willey Mill. Serbuk
kulit mahoni sebanyak 3 kg diekstraksi dengan aseton kemudian dengan metanol masing-
masing selama 48 jam pada suhu ruang sehingga diperoleh larutan ekstrak aseton dan
ekstrak metanol. Larutan ekstrak metanol selanjutnya dipekatkan dengan rotary vaccum
evaporator dan digunakan untuk uji aktivitas antioksidan dan uji toksisitas akut. Sebanyak
500 mg serbuk kulit mahoni yang lain direndam dalam air, kemudian dipanaskan pada suhu
100oC selama 4 jam. Larutan ekstrak yang diperoleh disaring dan dievaporasi untuk
memperoleh ekstrak air panas.
304
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS
L diberikan ekstrak metanol dengan masing-masing dosis 500 mg/kg BB, 2500 mg/kg BB,
5000 mg/kg BB, 12500 mg/kg BB, dan 17500 mg/kg BB. Pemberian ekstrak kulit kayu
mahoni dilakukan secara per oral atau cekok.
Setelah melewati masa adaptasi selama dua minggu, mencit diberikan perlakuan.
Semua perlakuan diberikan secara oral pada hari ke 0. Mencit yang mati selama perlakuan
akan dibedah untuk diamati organ tubuhnya. Sehari setelah perlakuan berakhir semua
mencit yang masih hidup dibunuh dengan cara eutanasia dan dilakukan pembedahan.
Organ tubuh yang diperiksa adalah hati dan ginjal sedangkan gejala klinis yang didapat
dilaporkan secara deskriptif. Pembuatan preparat histopatologis dari hati dan ginjal
dilakukan menurut metode Humason (1972) dan Kiernan (1990). Penghitungan nilai LD50
dilakukan dengan menggunakan metode Reed-Muench.
305
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Toksisitas Akut
Mencit merupakan hewan uji yang digunakan dalam penelitian ini. Sebelum diberi
perlakuan, mencit diadaptasikan selama dua minggu untuk menghindari risiko timbulnya
gangguan stress. Pengamatan gejala-gejala toksik yang mungkin timbul diamati secara
intensif pada empat jam pertama, dan pengamatan selanjutnya dilakukan hingga hari ke-14.
Gejala toksik yang diamati meliputi perubahan perilaku, nafas, kulit, kematian, kepasifan,
dan kematian. Gejala klinis yang tampak pada mencit perlakuan dosis tinggi diantaranya
peningkatan aktifitas, peningkatan bernafas, kemudian mencit tampak meregangkan badan
dan beristirahat di sudut kandang. Terdapat kematian pada kelompok perlakuan dengan
dosis tinggi. Mencit mengalami kematian setelah 4-5 jam.
Tabel 1 menunjukkan jumlah kematian kumulatif pada hewan coba setelah
pemejanan ekstrak air. Kematian mulai terjadi pada kelompok hewan coba yang dipejankan
ekstrak air dosis 12500 mg/kg BB. LD50 ekstrak air menurut metode Reed-Muench adalah
sebesar 21428.91 mg/kg BB. Menurut klasifikasi Gleason, ekstrak air kulit kayu mahoni
tergolong praktis non toksik.
Tabel 2 menunjukkan jumlah kematian kumulatif pada hewan coba setelah
pemejanan ekstrak metanol. Kematian mulai terjadi pada kelompok hewan coba yang
dipejankan ekstrak metanol dosis 5000 mg/kg BB. LD50 ekstrak metanol menurut metode
Reed-Muench adalah sebesar 16330.52 mg/kg BB. Menurut klasifikasi Gleason, ekstrak
metanol juga tergolong praktis non toksik. Namun, bila dibandingkan dengan ekstrak air
yang memiliki LD50 lebih besar, ekstrak metanol memiliki nilai LD50 yang lebih kecil. Hal ini
menunjukkan bahwa potensi ketoksikan akut ekstrak metanol relatif lebih besar
dibandingkan potensi ketoksikan akut dari ekstrak air.
306
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS
Dosis % Kematian
Kelompok
(mg/kg BB) Kumulatif
A(Kontrol) 0 0
B 500 0
C 2500 0
D 5000 0
E 12500 9.09
F 17500 33.33
G 25000 62.50
A B
Nekrosa dan hemoragi terlihat pada gambaran mikroskopik hati mencit yang
dipejankan ekstrak air dosis 17500 mg/kg BB. Nekrosa merupakan kematian sel yang umum
setelah terpapar stimulus eksogen, seperti rangsangan kimia yang menyebabkan
pembengkakan sel, selanjutnya pecah, terjadi denaturasi dan koagulasi sitoplasma serta
307
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
hancurnya sel. Hepatik nekrosa ditemukan pada sel hati mencit yang dipejankan ekstrak air
atau metanol mahoni dengan dosis 5000 mg/kg BB.
Gambar 4 menunjukkan organ ginjal pada kelompok kontrol. Gambaran mikroskopik
ginjal kelompok kontrol tidak menunjukkan adanya kelainan spesifik. Perubahan yang terjadi
pada pada kontrol yaitu degenerasi sel epitel tubulus proksimalis, dilatasi tubulus, kongesti.
Sama halnya dengan sel hati, hepatosit, dilatasi tubulus dan kongesti tidak digunakan
sebagai kategori kerusakan ginjal akibat perlakuan karena kerusakan jenis ini merupakan
respon umum akibat penggunaan anestesi eter. Nekrosa yang diikuti hemoragi terjadi pada
kelompok perlakuan. Kerusakan ini ditemukan pada kelompok mencit yang dipejankan
ekstrak air dosis 12500 mg/kg BB. Bila dibandingkan dengan kerusakan ginjal pada
kelompok mencit yang dipejankan ekstrak air, ginjal pada kelompok mencit yang dipejankan
ekstrak metanol mengalami kerusakan yang lebih ringan. Hal ini dapat terjadi diduga akibat
kandungan tanin dan saponin yang lebih banyak terdapat dalam ekstrak air kulit
dibandingkan dengan tanin dan saponin dalam ekstrak metanol.
c
a
A B
Gambar 4. Mikroskopik ginjal mencit pada kelompok kontrol (A), dan yang mengalami
nekrosa tubulus proksimal yang diikuti dengan hemoragi (B). a=glomerulus,
b=tubulus proksimalis. C=nekrosis pada tubulus proksimalis
Kesimpulan
Ekstrak metanol dan air kulit kayu mahoni memiliki aktivitas antioksidan yang tinggi
baik dengan metode DPPH maupun metodeTBA. Uji toksisitas akut memperlihatkan bahwa
ekstrak metanol dan air kulit mahoni tidak bersifat toksik sehingga aman dikonsumsi pada
dosis di bawah 5000 mg/kg berat badan. Berdasarkan hasil analisis histopatologi pada
organ hati, ekstrak air dan metanol menimbulkan nekrosa hepatik pada dosis 5000 mg/kg.
Pada organ ginjal, ekstrak air menimbulkan nekrosa tubulus proksimalis pada dosis 12500
mg/kg berat badan.
Saran
Perlu pengembangan ekstrak kulit mahoni, terutama ekstrak air, sebagai sediaan
herbal antioksidan karena memiliki aktivitas antioksidan tinggi dan aman dikonsumsi.
Ekstrak air panas kulit mahoni lebih prioritas dikembangkan karena lebih mudah, aman, dan
murah. Selanjutnya perlu dilakukan uji khasiat bioaktivitas lainnya dari kulit kayu mahoni
seperti antidiabetes, dan antikolesterol.
308
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS
DAFTAR PUSTAKA
Brooke L. 1990. Other metabolites from Swietenia macrophylla King. Agr. Fiji 29:19-20.
Falah S, Katayama T, Suzuki T. 2008. Chemical constituents from Swietenia macrophylla
bark and their antioxidant activity. Pakistan J Biol Sci 11:2007-2012.
Humason GL. 1972. Animal Tissue Techniques. Ed ke-3. San Frasnsisco: WH Freeman.
Kiernan JA. 1990. Histological and Histochemical Methods: Theory and Practice. 2nd Ed.
Department of Anatomy The University of Western Ontario: Pengamon.
Falah S, Safithri M, Kaatayama T, Suzuki T. 2010. Hypoglycemic effect of Mahogany
(Swietenia macrophylla King) bark extracts in alloxan-induced diabetic rats. Wood
Research Journal 1:91-96
Kikuzaki H, Nobuji N. 1993. Antioxidant effect of some ginger constituents. Food Sci.
58:1407-1410.
309
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
ABSTRAK
Minyak atsiri merupakan komoditi ekspor Indonesia. Salah satu tumbuhan penghasil
minyak atsiri adalah tumbuhan kilemo (Litsea cubeba) yang termasuk dalam famili
Lauraceae. Bagian dari tumbuhan kilemo yang dapat menghasilkan minyak atsiri
diantaranya daun dan kulit batang.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui rendemen dan sifat fisiko kimia minyak
kilemo yang berasal dari kawasan Gunung Pangrango dengan metode penyulingan sistem
kukus yang dipengaruhi oleh kondisi awal bahan baku dan lama penyulingan. Dari
pengamatan diperoleh hasil bahwa rendemen tertinggi pada daun yaitu pada kondisi daun
kering dengan lama penyulingan 8 jam sedangkan untuk kulit batang diperoleh rendemen
tertinggi pada kondisi kulit batang kering dengan lama penyulingan 6 jam. Dari hasil analisa
Gas Chromatograhy diperoleh bahwa minyak kilemo dari daun dan kulit batang mengandung
senyawa kimia Beta-pinen, Phelandren, Limonen, Sineol, Sitral b, Sitral a, Geraniol dan
Safrol.
Kata kunci : minyak kilemo, rendemen, daun, kulit batang,penyulingan, senyawa kimia
PENDAHULUAN
Indonesia merupakan salah satu negara tropis yang memiliki biodiversitas yang tinggi
yang keragaman spesies tumbuhannya tersebar di hutan-hutan di seluruh wilayah Indonesia.
Hutan merupakan kekayaan alam yang telah banyak memberi manfaat bagi kehidupan
manusia baik dari segi ekonomi berupa kayu maupun dalam bentuk jasa lingkungan.
Berdasarkan kondisi hutan saat ini mengalami penurunan kemampuan produksi dan
diperkirakan penurunan itu semakin lama semakin besar jumlahnya maka sudah saatnya
hasil hutan bukan hanya dari kayu tetapi juga hasil hutan bukan kayu (HHBK) yang beraneka
ragam komoditinya (Nasution, 1999). Minyak atsiri merupakan salah satu komoditi hasil
hutan bukan kayu yang memiliki potensi sangat besar di Indonesia.
Minyak atsiri adalah minyak yang dihasilkan dari bagian tanaman seperti akar,
batang, kulit, daun, bunga, buah atau biji yang mudah menguap dan memiliki bau yang khas
sesuai tanaman penghasilnya (Lutony, 1994). Hutan di Indonesia kaya akan jenis tumbuhan
penghasil minyak atsiri dan tercatat baru sebagian kecil yang diusahakan secara komersial
antara lain minyak kenanga, minyak nilam, minyak akar wangi, minyak cendana, dan minyak
kayu putih, Dari sebagian kecil tersebut Indonesia tercatat sebagai produsen minyak atsiri
terbesar diantara Negara berkembang dan sebagai pengekspor minyak atsiri sepuluh besar
dunia (Manurung, 2002). Selain minyak atsiri yang sudah komersial tersebut, ada pula
minyak yang berpotensi sangat baik tapi belum banyak dimanfaatkan salah satunya adalah
minyak kilemo.
Minyak kilemo merupakan minyak yang diperoleh dari hasil penyulingan daun atau
kulit batang tumbuhan kilemo (Litsea cubeba). Dalam dunia perdagangan minyak kilemo
dikenal dengan nama Litsea cubeba oil. Minyak kilemo yang berasal dari buah lebih dahulu
populer dengan nama May chang oil. Minyak kilemo mempunyai komponen utama senyawa
sineol (Djatmiko, 1985). Minyak kilemo banyak dimanfaatkan oleh industri farmasi, bahan
pewangi, bahan makanan dan minuman. Adapun penelitian ini bertujuan untuk menganalisa
rendemen dan sifat fisiko kimia dari minyak kilemo yang berasal dari kawasan Gunung
310
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS
METODE PENELITIAN
Lokasi Penelitian
Pengumpulan dan pengambilan contoh uji berupa daun dan kulit batang kilemo
dilakukan di kawasan Gunung Pangrango. Untuk penyulingan dan pengujian minyak
dilakukan di Laboratorium Hasil Hutan Bukan kayu dan Laboratorium Terpadu Pusat
Penelitian dan Pengembangan Teknologi Hasil Hutan Bogor.
Metode Penelitian
Penyulingan
- Persiapan bahan baku untuk daun kilemo dipisahkan dahulu dari ranting, sedangkan
kulit kilemo dilakukan penjarangan terlebih dahulu untuk memperkecil ukuran sampel.
- Ukur berat contoh uji (gr).
- Penyulingan daun dan kulit kilemo menggunakan metode kukus.
- Waktu penyulingan adalah 4, 6, 8, dan 10 jam.
- Rendemen minyak (%) = minyak hasil penyulingan (ml) X 100%
Berat contoh uji (gr)
Pengujian
Berat Jenis
Berat jenis (BJ) ditetapkan dengan membandingkan berat minyak dengan berat air dalam
volume yang sama pada suhu 15 oC. pengukuran menggunakan alat piknometer dan
thermostat.
Indeks Bias
Indeks bias ditetapkan dengan menggunakan alat refraktometer pada suhu 29 oC. dari
nilai yang diperoleh dapat diketahui kemurnian zat.
Putaran Optik
Putaran optic ditetapkan dengan menggunaka alat polarimeter.
311
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Rendemen
Rata-rata rendemen minyak dari penyulingan daun dan kulit batang hasil penelitian
disajikan pada Tabel 1.
Waktu Penyulingan
No. Contoh Uji KA (%)
4 jam 6 jam 8 jam 10 jam
1 Daun basah 66 2,30 % 2,37 % 2,37 % 2,37 %
Dari tabel dapat diketahui bahwa rendemen minyak kilemo tertinggi terdapat pada
daun kering dengan lama penyulingan 6 jam sebesar 7,10% sedangkan rendemen terendah
terdapat pada kulit batang basah dengan lama penyulingan 4 jam yaitu sebesar 1,90%.
Dari data rendemen diperoleh bahwa kadar air berbanding terbalik dengan rendemen
minyak yang dihasilkan. Secara keseluruhan baik pada daun maupun kulit batang terlihat
bahwa semakin tinggi kadar air maka semakin rendah rendemen minyak yang dihasilkan.
Hal ini diduga karena pada saat kadar air tinggi rongga-rongga sel pada daun maupun kulit
batang tertutup oleh air sehingga menyulitkan minyak keluar pada saat proses penyulingan.
Hasil ini diperkuat dari hasil penelitian Wibowo (2007) tentang rendemen minyak kilemo asal
Aek Nauli yang disuling dengan metode kukus dengan lama waktu penyulingan 4 jam
diperoleh rendemen untuk daun segar 0,9 % dan untuk daun kering 2,8 %.
Dari tabel diperoleh hasil bahwa berat jenis minyak dari daun lebih tinggi bila
dibandingkan minyak dari kulit batang. Berat jenis minyak dari daun sebesar 0,9184
sedangkan berat jenis minyak dari kulit batang sebesar 0,8787. Dari hasil berat jenis ini,
minyak kilemo asal Kawasan Gunung pangrango tergolong minyak atsiri bermutu baik
312
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS
dimana kategori minyak atsiri bermutu baik menurut Ketaren (1997) memiliki berat jenis
0,696-1,088.
Indeks bias dari tabel diperoleh hasil bahwa indeks bias minyak dari daun lebih tinggi
dibandingkan dengan indeks bias minyak dari kulit batang. Indeks bias minyak dari daun
sebesar 1,4635 sedangkan indeks bias minyak dari kulit batang sebesar 1,4581. Nilai indeks
bias ini bisa digunakan untuk menentukan tingkat kemurnian suatu minyak atsiri.
Putaran optik ini merupakan kemampuan suatu zat untuk memutar bidang polarisasi.
Putaran optik minyak kilemo pada penelitian ini dilihat dari tabel bahwa minyak dari daun
sebesar -19041 sedangkan minyak dari kulit batang sebesar -160141.
Dalam hal kelarutan minyak dalam alkohol dari tabel diperoleh hasil bahwa minyak
dari daun lebih mudah dilarutkan dibandingkan dengan minyak dari kulit batang. Minyak dari
daun mempunyai kelarutan dalam alkohol 1:4 sedangkan minyak dari kulit batang 1:5. Sifat
kelarutan dalam alkohol juga dapat digunakan untuk menetukan kemurnian suatu minyak
atsiri.
Daun Kulit
Senyawa Kimia Daun Daun Kulit Kulit
No. agak agak
( % GC) basah kering basah kering
kering kering
1 Beta-pinen 2,36 - 2,23 3,16 2,08 1,93
2 Phelandren - - 5,80 1,97 2,95 1,39
3 Limonen 4,73 4,18 3,06 18,76 18,87 19,19
4 Sineol - 0,65 20,75 5,27 14,40 15,04
5 Sitral b 9,08 36,07 17,82 9,08 23,90 23,17
6 Sitral a 23,59 20,02 16,95 6,95 3,71 3,83
7 Geraniol 6,13 6,90 6,92 7,98 5,71 5,60
8 Safrol 4,80 5,96 2,66 8,63 3,74 4,96
Dari tabel diperoleh hasil bahwa pada daun senyawa kimia dengan kandungan
tertinggi adalah pada daun basah adalah sitral a sebesar 23,59%, pada daun agak kering
sitral b sebesar 36,07% dan pada daun kering sineol sebesar 20,75%. Sedangkan senyawa
kimia tertinggi pada minyak dari kulit batang dari tabel diperoleh hasil bahwa pada kulit
basah limonen sebesar 18,76% pada kulit agak kering sitral b sebesar 23,90% dan pada
kulit kering sitral b sebesar 23,17%.
Secara keseluruhan dari hasil analisis senyawa kimia pada minyak kilemo hasil
penyulingan daun dan kulit batang pada penelitian ini didominasi oleh sitral. Sedangkan
dalam laporannya Zulnely et al (2007) minyak kilemo hasil penyulingan daun dan kulit
batang asal Kuningan mengandung komponen kimia berupa sineol, sitronellol, alpha-pinen,
beta-pinen, limonen dan sitronellal dengan kandungan sineol paling tinggi dibanding
komponen kimia lainnya. Perbedaan komponen kimia ini diduga karena pengaruh tempat
tumbuh yang berbeda.
313
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
314
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS
ABSTRAK
PENDAHULUAN
Jenis-jenis tanaman yang saat ini telah dikembangkan oleh sebagian besar HTI Pulp
atau Serat di Indonesia yaitu jenis tanaman cepat tumbuh dengan daur pendek seperti
Acacia mangium, Acacia crassicarpa, Eucalyptus pellita. Beberapa permasalahan yang
timbul sehubungan dengan kegiatan penanaman jenis-jenis tersebut secara monokultur
antara lain : rentan terhadap serangan hama dan penyakit, terjadinya penurunan
produktifitas dan kualitas tapak pada daur berikutnya jika bibit yang digunakan mempunyai
tingkat keunggulan yang sama secara genetik. Selain itu pula, jenis-jenis tersebut sebagian
telah berlaih fungsi menjadi bahan baku kayu pertukangan yang lebih ekonomis (Mindawati
et al, 2007 a). Untuk mengantisipasi keberlenjutan pasokan bahan baku bagi industri pulp,
maka perlu dicari jenis-jenis alternatif (jenis-jenis kayu kurang dikenal) yang berpotensi untuk
dikembangkan sebagai bahan baku pulp. Dalam hal pemilihan jenis yang akan
dikembangkan sebaiknya menggunakan jenis-jenis lokal atau andalan setempat yang dapat
memenuhi beberapa persyaratan antara lain : memiliki riap yang tinggi, memiliki sebaran
alami yang luas sehingga memiliki variasi genetik yang luas, cocok dan tumbuh baik di lokasi
pengembangan, mudah dibiakan baik secara generatif maupun vegetatif, teknik
315
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
silvikulturnya telah dikuasai serta tahan terhadap serangan hama dan penyakit (Mindawati et
al, 2007 b)
Berdasarkan kajian hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Pusat Litbang
Hasil Hutan sejak tahun 1976 diperoleh sekitar 143 jenis tanaman hutan yang dapat
diguinakan sebagai bahan baku pulp dengan kualitas pulp I sampai IV, dan sebanyak 35
jenis tanaman hutan yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai bahan baku pulp di masa
depan karena mempunyai kualitas pulp kategori kelas I dan II (Mindawati, 2007 b). Di antara
jenis-jenis tersebut gerunggang (Cratoxylon arborescens Bl.) dan terentang rawa
(Campnosperma coriaceum Jack.) memiliki potenasi untuk dikembangkan khususnya di
daerah lahan basah/gambut.
Geronggang dijumpai tersebar di daerah Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera
Selatan, Riau, Jambi, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur
(Martawijaya et al, 2005). Geronggang banyak digunakan untuk konstruksi ringan,
jembatan, kapal, furnitur, flooring, panel, papan partikel dan juga sebagai bahan baku pulp
(Soerianegara dan Lemmens, 2001). Jenis terentang di Indonesia dijumpai tersebar di
daerah Sumatera, Bangka dan Kalimantan. Jenis ini dapat dimanfaatkan untuk berbagai
keperluan antara lain : papan tulis, kotak peralatan, lemari, furnitur. Selain itu dapat
dimanfaatkan sebagai bahan pembuatan plywood, pulp dan papan partikel (Soerianegara
dan Lemmens, 2001). Untuk pengembangan jenis-jenis tersebut secara luas kegiatan
eksplorasi mengenai sebaran alami untuk digunakan sebagai sumber benih/bibit merupakan
kegiatan yang penting untuk dilakukan.
Dalam tulisan ini akan disajikan kajian hasil kegiatan ekplorasi dan analisis sifat kimia
kayu jenis gerunggang dan terentang yang telah dilakukan oleh Tim peneliti Balai Penelitian
Hutan Penghasil serat Kuok dan Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Bogor yang berada
di bawah koordinasi RPI Pengelolaan Hutan Tanaman Penghasil Kayu Pulp di Pusat Litbang
Peningkatan Produktifitas Hutan, Bogor.
316
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS
317
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Deskripsi jenis terentang rawa. Pohon berukuran sedang hingga besar dengan
tinggi dapat mencapai 40 m, diameter batang bagian bawah sekitar 90 cm, namun sering
dijumpai berukuran lebih kecil, jika tumbuh di rawa sering dijumpai akar tiang, akar napas
atau pneumatofor. Sedangkan untuk terentang darat adalah sebagai berikut : pohon
berukuran sedang hingga agak besar, dapat mencapai tinggi sekitar 38 m, diameter batang
bagian bawah sekitar 80-135 cm,
Perbenihan. Sumber benih untuk jenis terentang rawa di daerah Sumatera dan
sekitarnya dapat dijumpai di daerah Sungai Dareh, Kecamatan Pulau Punjung, Kabupaten
Dharmasraya, Sumatera Barat. Lokasi tersebut terletak pada 10103050 BT dan
0005834LU dengan ketinggian tempat 359 kaki dpl. Jenis tanah di Kabupaten
Dharmasraya sebagian besar adalah Podzolik merah kuning (PMK) (Danu et al, 2010).
Sedangkan untuk terentang darat sumber benihnya dijumpai di daerah Kampar, Riau yang
menyebar secara sporadis di hutan sekunder sekitar sungai Limago anak sungai Batang
Kampar dan di daerah Tanjung Alai dan Muara Takus (Danu et al, 2010).
Fenologi. Informasi mengenai fenologi yang telah diperoleh untuk jenis terentang
rawa yaitu yang berasal dari daerah Dharmasraya. Musim pembungaan terjadi pada bulan
Agustus September, buah muda pada bulan Oktober, buah tua pada bulan November
Desember. Buah yang masak dicirikan dengan warna buah yaitu merah sampai ungu
kehitaman (Gambar 3a, 3b dan 3c)
318
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS
Gambar 3c Bunga dan buah terentang (C. coriaceum (Jack) Hall.f.ex Steen)
yang telah masak fisiologis (Koleksi
(Koleksi: :Danu
Danuetet.al, 2010
al, 2010)
Proses pembentukan bunga hingga menjadi buah yang masak tertera pada Gambar 4.
Agustus
Agustus September
September
Oktober
Oktober
Nopember Akhir
November Akhir Awal Nopember
Awal November
Pengamatan fenologi untuk jenis terentang darat di daerah Kampar belum dapat
dilakukan karena tanaman yang ada belum memulai masa pembungaan dan pembuahannya
pada saat itu. Hasil pengamatan tegakan yang ada di Kuok, Bangkinang terdapat satu pohon
terentang darat yang sedang berbunga dan satu pohon berbuah muda (Gambar 5).
Terentang yang diduga berbunga jantan, berbunga sepanjang tahun, sedangkan pohon yang
319
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
berbunga betina terjadi pada bulan Oktober-Nopember, selanjutnya berbuah masak pada
bulan Desember (Gambar 6).
Bungajantan
Bunga
Bunga Jantan
Jantan Bunga
Bunga betina
Betina Buah
Buahmuda
Muda
Gambar 5 .(Koleksi
Gambar 5Bunga
. Bunga danbuah
dan buahterentang
terentang lahan
lahanmineral
mineral(C.auriculatum)
(C. auriculatum)
Untuk jenis terentang darat ciri buah muda berwarna hijau dengan bintik-bintik putih
dan setelah masak fisiologis kulit buah berwarna hitam (Gambar 6) (Danu et al, 2010).
Informasi mengenai penanganan benih yang meliputi ekstraksi, perlakuan pendahuluan,
pengujian dan penyimpanan belum tersedia. Pada tahun 2011 Balai Teknologi Perbenihan
Bogor mulai menangani kegiatan penelitian jenis tersebut.
Agustus
Agustus
Nopember
November Desember
Desember
Gambar 6. Proses dan masa pembentukan bunga menjadi buah jenis terentang darat
(Koleksi : Danu et al, 2010)
320
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS
Kegiatan eksplorasi dan survei untuk mencari jenis-jenis alternatif yang memiliki
potensi sebagai bahan baku pulp telah dilakukan oleh Balai Penelitian Hutan Penghasil
Serat Kuok yang berkoordinasi dengan Pusat Litbang Peningkatan Produktivitas Hutan
Bogor. Kegiatan ini telah dimulai sejak tahun 2008 hingga tahun 2011. Lokasi kegiatan
dititikberatkan pada daerah Riau dan sekitarnya, Sumatera bagian barat, Sumatera bagian
selatan dan Sumatera bagian utara. Kegiatan eksplorasi dan survei dititikberatkan pada
tujuh jenis kayu alternatif yaitu : mahang putih (Macaranga hypoleuca (Reichb,f,et.Zoll.),
Skubung (M.gigantea (Rchb.f.& Zoll.) Mull.Arg., jabon (Anthocephalus cadamba Miq.),
binuang bini (Octomeles sumatrana Miq.), gerunggang (Cratoxylon arborescens (Vahl)
Blume), terentang (Campnosperma auriculata Hook.f dan C. coriaceum Jack.) dan
sesendok (Endospermum malaccense Benth.)
Hasil eksplorasi dan survei untuk jenis gerunggang dijumpai di daerah Siak,
Bengkalis, Kuansing dan Rokan Hilir (Provinsi Riau). Untuk jenis terentang daerah
sebarannya dijumpai di Siak, Dumai, Rokan Hulu, Indragiri Hulu, Kuansing (Provinsi Riau)
dan Dharmasraya (Provinsi Sumatera bagian Barat). Untuk mengetahui sifat dan kualitas
kayu-kayu hasil eksplorasi tersebut juga dilakukan analisis sifat kayunya.
Tabel 1. Sifat kimia kayu dan kualitas pulp jenis Gerunggang dan Terentang
Jenis Berat Kuali- Kadar Kuali- Kadar Kuali- Kadar Kuali- Zat Kuali- Warna
Kayu Jenis tas abu tas lignin tas sellulo- tas ekstrak- tas kayu
g/cm3 pulp (%) pulp (%) pulp sa (%) pulp tif (%) pulp
Gerung- 0,36- Merah
gang *) 0,71 I - II - - 22,20 I 53,10 I 4,10 III muda
Mengacu pada kriteria kelas kualitas kayu untuk pulp berdasarkan dari sifat kayunya
(Anonim (1980) dalam Syafii dan Siregar (2006)),untuk jenis gerunggang hasil analisis sifat
kimia terhadap berat jenis termasuk dalam kelas kualitas pulp I karena kurang dari 0,50.
Demikian pula untuk kadar lignin dan sellulosa termasuk dalam kelas kualitas pulp I karena
kadar masing-masing yaitu sebesar < 25% dan > 45%. Hal serupa juga dijumpai pada kadar
zat ekstraktifnya yang masuk dalam kelas kualitas pulp I karena kadarnya berada pada
selang > 4%. Namun untuk kadar abu jenis gerunggang belum tersedia informasinya. Pada
dasarnya kayu gerunggang akan menghasilkan rendemen pulp yang tinggi karena berat
jenisnya rendah, kadar lignin, sellulosa dan zat ekstraktif tinggi . Kandungan zat ekstraktif
321
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
merupakan salah satu komponen kayu yang menentukan konsumsi bahan kimia pada saat
proses pembuatan pulp (Junaedi dan Aprianis, 2010).
Baik jenis terentang darat maupun terentang rawa memiliki berat jenis < 0,50
sehingga termasuk dalam kelas kualitas I. Demikian pula dengan kadar sellulosanya
termasuk kelas kualitas I karena kadarnya > 45%. Untuk kadar abu termasuk dalam kelas
kualitas II karena nilainya berada pada selang 0,2% - 6%, demikian pula untuk kadar lignin
dan zat ekstraktif termasuk dalam kelas kualitas II karena memiliki nilai masing-masing >
45% dan berada pada selang 2% - 4%.
Dimensi serat merupakan salah satu sifat kayu yang penting untuk digunakan
sebagai dasar dalam pemilihan suatu jenis kayu sebagai bahan baku pulp dan kertas.
Dimensi serat yang dimaksud meliputi panjang serat, diameter serat, tebal dinding sel dan
lebar lumen. Parameter lain yang juga berpengaruh terhadap persyaratan serat sebagai
bahan baku pulp yaitu nilai turunan dimensi serat yang meliputi bilangan Runkel,
perbandingan Muhlstep, perbandingan fleksibilitas, daya tenun dan koefisien kekakuan
(Tabel 2).
Berdasarkan hasil analisis terhadap dimensi serat yang meliputi panjang serat,
diameter lumen, tebal dinding, panjang pembuluh dan diameter pembuluh, dapat digunakan
untuk menduga kualitas kertas yang dihasilkan, namun perlu dilengkapi dengan perhitungan
nilai turunan dimensi seratnya agar efisisen dan kualitas yang diperoleh sesuai dengan yang
322
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS
diharapkan (Junedi dan Aprianis, 2010). Bila ditinjau dari panjang serat, menurut klasifikasi
Anonim (1989) dalam Junaedi dan Aprianis (2010), kayu gerunggang dan terentang darat
dan rawa termasuk dalam kelas sedang karena memiliki nlai berkisar antara 900 1600 Um.
Panjang serat mempengaruhi kualitas pulp dan kertas yang dihasilkan seperti pada sifat
ketahanan sobek, kekuatan tarik dan daya lipat. Semakin panjang serat maka pulp yang
dihasilkan memiliki kekuatan yang semakin tinggi (Pasaribu dan Tampubolon, 2007). Jika
dilihat dari turunan dimensi seratnya sebagai bahan baku, kayu gerunggang dan terentang
(darat dan rawa) termasuk dalam kelas II. Hal ini menggambarkan bahwa kedua jenis kayu
tersebut berdinding serat tipis hingga sedang dengan ukuran lumen agak lebar. Pada
proses pembuatan lembaran pulp serat akan mudah menggepeng. Ikatan antar serat dan
tenunnannya baik. Dapat diduga bila dilakukan pembuatan lembaran pulp untuk kertas
maka kemungkinan akan mempunyai keteguhan sobek, retak dan tarik yang sedang
(Junaedi dan Aprianis, 2010).
323
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Tabel 3. Kondisi kesuburan tanah di bawah tegakan alami jenis gerunggang dan terentang
Sifat fisik
Tekstur
- Pasir (%) 11,30 Lempung 5,20 Liat
- Debu (%) 45,00 Berdebu 52,20 Berdebu
- Liat (%) 43,70 42,60
Warna tanah 5 YR 4/4 Coklat 5 YR 2,5/1 Kuning
Kemerahan kemerahan
Sifat Biologi
Total mikroorganisme 2,80 5,80 1,80
(SPK/gr.106)
Total fungi
(SPK/gr.104) 18,70 31,90 24,60
Respirasi (Kg
Tanah/hari) 34,46 26,61 30,17
C-mic (ppm)
179,20 136,72 133,60
324
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS
Jenis gerunggang dan terentang (darat dan rawa) mempunyai prospek yang baik
untuk dikembangkan di masa dating sebagai jenis alternative untuk bahan baku industry
pulp, ditinjau dari sifat kayu, dimensi serat dan turunannya serta kualitas pulp yang
dihasilkan. Namun demikian belum semua aspek teknik silvikultur dikuasai. Sehubungan
dengan hal tersebut, maka disarankan agar dilakukan penelitian yang lebih mendalam
terutama untuk aspek silvikulturnya yang meliputi perbenihan, budidaya, pemeliharaan,
pengaturan hasil dan pemanenan serta pemuliaannya. Untuk mempercepat hasil dan juga
peningkatan produktifitas jenis-jenis alternative sebagai bahan baku pulp maka perlu
dibangun demplot=demplot jenis tersebut secara luas dan dilakukan penelitian secara
integrative pada seluruh aspek pengelolaan hutan tanaman penghasil pulp.
DAFTAR PUSTAKA
325
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Syafii, W dan Z. Siregar. 2006. Sifat kimia dan dimensi serat kayu mangium dari tioga
provenans. Journal of Tropical Wood and Technology 4(1): 28-32. Pusat Penelitian
Biomaterial. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Bogor.
[USDA] United States Departement of Agriculture. 2001. Guidelines for soil quality
asessment in conservation planning. The United States Departement of Agriculture.
Washington D C.
326
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS
Saefudin
Puslit Biologi-LIPI, Jl. Raya Bogor, km 46, Cibinong, Bogor
ABSTRAK
Iles-iles (Amorphophallus muelleri Bl.) adalah tanaman umbi yang telah diketahui
sebagai sumber karbohidrat. Subtansi penting yang terkandung dalam karbohidrat umbi
tanaman ini adalah glukomannan yang penting dalam industri obat sebagai bahan makanan
diet, pembuatan kapsul, dan bahan kosmetik. Percobaan bertujuan untuk mengetahui
kandungan glukomanan umbi dengan mengisolasi dari bahan pati umbi iles. Umbi tanaman
iles-iles liar merupakan hasil eksplorasi dari beberapa daerah yaitu dari hutan jati di Bagian
Kesatuan Pemangku Hutan (BKPH) Jember (Jatim), Banyumas (Jateng) dan tumbuh meliar
di hutan Camplong (NTT). Hasil isolasi menunjukkan, bahwa umbi yang memiliki
glukomanan tertinggi (42,25%) berasal dari umbi iles-iles asal BKPH Jember. Cara
membudidayakan tanaman dilakukan dengan membenihkan bulbil dari iles-iles asal Jember
yang memiliki kandungan glukomannan tertinggi. Bibit umur 3 bulan ditanam dengan cara
yang berbeda, yaitu sistem pertanian organik, pemberian pupuk kimia, dan ditebarkan
dengan perawatan minimal) di bawah tegakan jati dengan intensitas cahaya antara (50-60)%
di lahan LMDH Salamsari, BKPH Majenang, Banyumas Barat. Umbi dipanen setelah umur 3
tahun, dan hasil isolasi glukomanan tertinggi adalah umbi iles yang dibudidaya secara
organik (43,2%).
PENDAHULUAN
327
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
benih atau bulbil, cukup ditanam sekali, maka selamanya petani kita bisa memanen terus-
menerus setiap tahun.
Pada bagian ujung batang semu tanaman iles-iles dapat ditemukan bulbil, yaitu alat
perbanyakan vegetatif yang pada musim hujan dapat tumbuh menjadi tambuhan baru.
Keyakinan banyak petani, selama pohon tegakan sebagai peneduh masih ada, tanaman
iles-iles akan terus hidup. Tanaman ini dapat memberikan nilai ekonomis, tanpa perlu
merawat, memupuk, atau menyiangi. Bila tanaman iles-iles dirawat lebih serius dan
maksimal, pemilihan bibit yang baik, maka akan dihasilkan umbi yang besar dan berkualitas
dengan kadar glukomanan lebih prima.
Informasi budidaya tanaman iles-iles masih terbatas, dan rekayasa genetika belum
dimulai, dan publikasi masih terbatas, sehingga produktivitas tanaman belum memuaskan
(Saefudin, 2007). Beberapa aspek agronomi seperti lingkungan tumbuh yang ideal, cara
tanam yang menghasilkan glukomanan tinggi masih perlu diteliti. Melalui percobaan ini
dapat diperoleh informasi teknologi budidaya dan proses pemisahan glukomanan dari umbi
iles-iles dari asal tumbuh dan cara budidaya yang berbeda.
METODA KERJA
Umbi tanaman iles dipeproleh melalui eksplorasi di tiga tempat berbeda, yaitu : desa
Camplong (NTT), desa Garahan, Jember (Jatim), dan Majenang, Kabupaten Cilacap
(Jateng). Ketiga tempat ini memiliki iklim, curah hujan, ketinggian dari permuakaan laut, dan
mikroklimat tumbuh iles-iles yang berbeda. Umbi segar hasil eksplorasi dicuci dan
dibersihkan, diiris tipis dan dijemur sampai kering oven (suhu 80oC, selama 24 jam),
menghasilkan kripik iles. Tahap selanjutnya ditumbuk dan diayak, sehingga diperoleh tepung
iles-iles yang halus.
Sebanyak 10 gr tepung halus dilarutkan dalam 250 ml air suling diaduk
menggunakan alat stirer selama 2-3 jam, selanjutnya didiamkan selama 30 menit, didekantir,
endapan dan filtrat diambil. Filtrat dimasukkan sentrifugal selama 20 menit, kecepatan
putaran 15X19 rpm, suhu 4oC. Filtrat diendapkan menggunakan alkohol (1:2), dan disaring.
Endapan dikeringkan pada suhu 80oC selama 3 jam, dihaluskan, sehingga diperoleh
glukomanan, dan selanjutnya diuji KLT.
Sebanyak 50 mg dilarutkan dalam 20 ml ditambahkan 5 ml HCl 2 N, direfluk pada
suhu 105oC selama 3 jam. Hasil hidrilisa sebagai fase diam, dan fase bergerak n-
butanol:pyridin:air (6:4:3). Sebagai blangko digunakan larutan glukosa, mannosa,
galaktomannan, glukomanan dan pati, masing-masing kadar 1%. Rf yang didapat glukosa
(0,56), mannosa (0,80) dan galaktoa (0,45).
Isolasi glokomanan pada umbi segar dilakukan sebagai pembanding. Umbi segar
diparut, ditambahkan air suling 500 ml diremas-remas 3 menit sampai kental, dan disaring.
Filtrat ditampung sampai larutan menjadi jernih. Gabungan filtrat yang diperoleh
ditambahkan 2 gram NaCl ke dalam filtrat, sehingga konsentrasi NaCl 0,05%, didiiamkan
selama 24 jam pada suhu 4oC, selanjutnya didekantir. Filtrat diambil dan dikeringkan
sebagai pati iles-iles, dan diuji lanjutan seperti pada proses pertama, sampai dengan
pengujian secara KLT.
Glukomanan hasil pengujian umbi yang paling tinggi digunakan sebagai dasar
ujicoba pengembangan budidaya iles-iles selanjutnya. Perbanyakan bibit diambil dari bulbil
(alat perbanyakan vegetatif) iles-iles asal Jember (Ja-tim) yang memiliki kadar glukomanan
tinggi. Bulbil dipanen dari bagian tangkai daun iles yang muncul pada setiap ketiak daun.
Bulbil disemaikan dalam polibag kecil yang diisi media campuran tanah dan kompos
perbandingan 1:1. Setelah umur tiga bulan, bibit siap ditanam di lahan LMDH Salam Sari,
BKPH Majenang (Ja-teng).
328
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS
Umbi iles
Disentrifuge
Supernatan
Lahan budidaya dipilih agak miring, lebih kurang 20 derajat untuk menghindari
genangan air. Tanah dibersihkan dari gulma, dibuat lubang sedalam kurang lebih 15 cm
dengan jarak tanam 50 x 100 cm atau sebanyak 20 ribu tanaman per ha. , di bawah pohon
pelindung jati (intensitas cahaya 50%). Petak-petak percobaan (30 petak) diberi perlakuan
awal (20 ton/ha pupuk kompos atau 1 kg per lubang tanam, 500 kg campuran NPK, dan
kontrol tanpa pemupukan), dirancang secara acak lengkap. Penanaman bibit tanaman iles-
iles dilakukan pada awal musim hujan. Lahan percobaan, sebelumnya dipupuk bioranik
dengan memanfaatkan mikroba pelarut fosfat Enterobacter sp, Pseudomonas sp, dan
Candida sp. Sebagian lahan lainya adalah bekas budidaya tumpang gilir dengan kacang-
kacangan yang diinokulasi dengan Rhizobium penambat nitrogen.
Budidaya tanaman iles-iles mengikuti standar budidaya organik meliputi penyiapan
benih, persiapan lahan, penyulaman, pemupukan, pemisahan anakan, pengendalian gulma,
hama dan penyakit serta pasca panen. Pupuk kompos dibuat dari limbah pertanian dan
sampah organik dari lingkungan sekitar hutan. Metoda pemeliharaan tanaman menggunakan
bahan alami dan alat konvensional dengan cara yang biasa dilaksanakan oleh petani hutan
setempat atau diadopsi dari pengalaman petani lain tentang konsep pengendalian hama dan
penyakit.
Tanaman iles-iles tidak memerlukan pemeliharaan secara khusus, tetapi tanah di
sekitar batang semu perlu digemburkan, dan gulmanya dibersihkan. Pada musim hujan, iles-
iles harus dihindarkan dari penggenangan air, karena dapat terkena hama penyakit.
Penyemprotan pestisida tidak dilakukan melainkan hanya dengan menjaga sanitasi.
Penen umbi, pengamatan dan isolasi glukomanan dilakukan pada umur 3 tahun,
atau setelah tiga periode tumbuh, ketika daun tanaman mulai menguning, layu atau mati
pada musim kemarau ke-3 yang merupakan tanda bahwa umbi telah tua dan kadar
glukomanan telah terakumulasi secara maksimal.
329
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Eksplorasi glukomanan
Hasil penelitian pendahuluan, glukomanan dapat dipisahkan dari pati umbi segar
berdasarkan prinsip gaya sentrifugal kecepatan 17X 1000 rpm, jangka waktu 10 menit. Pati
dari umbi iles-iles berbentuk suspensi dengan glukomanan. Penambahan garam elektrolit
seperti NaCl (Anzel, 1989) menyebabkan stabilitas suspensi terganggu, dan mengendap
secara perlahan. Pati tidak larut dalam air, sehingga memudahkan pengendapan,
sedangkan glukomanan terlarut dalam air dan membentuk larutan kental, melalui
penambahan kecepatan putaran, glukomanan terlarut mudah mengendap. Penambahan
kecepatan putaran (sentrifugal) menyebabkan berat molekul besar lebih cepat mengendap.
Pengendapan glukomanan juga dipengaruhi kelarutan zat tersebut. Pati tidak larut dalam air
sehingga mudah mengendap, sedangkan glukomanan akan larut dan membentuk larutan
kental. Penambahan gaya kecepatan putaran sentrifugal menyebabkan zat yang tidak larut
akan mudah mengendap (Rabek, 1983).
Isolasi glukomanan dari hasil ekplorasi umbi dar ke-tiga tempat tumbuh berbeda
(Camplong-NTT, Jember-Jatim dan Cilacap-Jateng) menunjukkan kadar glukomanan umbi
berbeda. Kada glukomanan tertinggi adalah umbi iles segar dari desa Garahan, Jember
yaitu 42,30% dan, bila diisolasi dari keripik atau tepung sedikit berbeda yaitu 42,17%. Kadar
glukomanan umbi hasil eksplorasi dari daerah lain sedikit lebih rendah yaitu: Nusa Tenggara
Timur (NTT) adalah 42,05%, dan umbi asal Cilacap (Jateng yaitu 42,10% (Tabel 1).
Menurut Outsuki (1968), tinggi rendahnya kadar glukomanan dari umbi iles dipengaruhi oleh
berbagai faktor antara lain, jenis tanaman, umur tanaman, dan lama waktu setelah panen.
Pada usia panen umbi umur 2 tahun, iles-iles yang dibudidaya di bawah naungan pohon
mahoni mengandung glukomanan 30,1% (Saefudin, 2008).
Dari hasil pengamatan lapang, ketiga tempat tumbuh tanaman iles-iles berbeda
secara mencolok dalam hal iklim, curah hujan dan tipe tanah, serta vegetasi di sekitarnya.
Saefudin (2008) melaporkan, bahwa tanaman iles-iles yang dibudidaya pada lingkungan
tumbuh yang berbeda mempengaruhi pertumbuhan, produksi dan kualitas umbi iles-iles.
Selanjutnya, kadar glukomanan umbi juga sangat dipengaruhi jenis atau kultivar yang
berlainan.
Pengaruh lingkungan agronomi dan variasi kadar glukomanan merupakan informasi
yang penting bagi para pemulia tanaman iles-iles. Sayangnya, informasi tentang penelitian
kultivvar dan kualitas umbi iles-iles masih terbatas. Pasar internasional produk iles-iles
sangat mempengaruhi kualitas produk iles dan kadar glukomanan.
Keterangan: nilai yang diikuti huruf yang berbeda, sangat nyata dalam uji Duncan pada
taraf 5%
330
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS
331
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
KESIMPULAN
UCAPAN TERIMAKASIH
DAFTAR PUSTAKA
Ansel H C. 1989 Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Edisi IV. Universitas Indonesia. UI
Press, Jakarta 399-466.
Arifin, M.A. 2001. Pengeringan Keripik Umbi Iles-iles secara Mekanik untuk
Meningkatkan Mutu Keripik Iles. [Tesis]. Bogor: Teknologi Pasca Panen. PPS IPB.
Jansen, P.M.C.: C. Van Der Wilk And W.L.K. Hetterscheid. Amorphophallus Blume ex.
Decaisne. In M. Flash and F. Rumawas. (Eds). 1996. PROSEA: Plant Resource of
South-East Asia No. 9. Pant Yield non-seed Carbohydrates. Backhuis Publishers,
Leiden. Pp. 45-50.
Irawati, T. 1985. Standar dan Metoda Analisis Iles-iles. [Karya Ilmiah]. Pusbinlat
Idustri Sekolah Analisis Kimia Menegah Atas, Departemen Perindustrian, Bogor. Tidak
dipublikasi.
Outsuki, T. 1968. Studies on reserve carbohydrates of flour Amorphophallus species with
special reference to mannan.
Purwadaria, H. K. 2001. Pengembangan Proses Fraksinasi Untuk Meningkatkan Kualitas
Tepung Iles-iles (Konjac Flour) Untuk Ekspor. Laporan Akhir Tahun 2001. FAPETA,
IPB, Bogor.
Rabek, J.F. 1983. Experimental Methods in Polymer Chemistry of Plant Gums and
Mucilages. Champman an Hall LTD, London. 100-141.
Saefudin. 2008. Percobaan Budidaya Amorphophallus muelleri Bl. di Bawah Tegakan Pohon
Yang Berbeda. Prosiding Seminar Nasional MAPEKI XI, Palangka Raya, Kalteng 8-
10 Agt. 2008. Halaman 997-1001.
Soemarwoto. 2009. Beberapa Aspek Agronomi Iles-iles (Amorphophallus muelleri Bl) Tesis
Sekolah Pasca Sarjana IPB, Bogor.
Syaefullah, M., 1990. Studi Karakteristik Glukomanan dan Sumber Indegenous Iles- iles
(Amorphophallus oncophyllus) dengan Variasi Proses Pengeringan dan Dosis
Perendaman. [Tesis]. Fakultas Pasca Sarjana IPB. Bogor.
Sufiani, S. 1993. Iles-iles (Amorphophallus sp.), Jenis, Syarat Tumbuh, Budeidaya. Dan
Standard Mutu Ekspornya. Media Komunikasi Penelitian dan Pengembangan
Tanaman Industr. 12: 11-16.
332
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS
ABSTRAK
Getah jelutung termasuk salah satu produk hasil hutan bukan kayu (HHBK) asli
Indonesia yang cukup potensial. Pemanfaatan getah tersebut sudah diusahakan sejak tahun
1800an berasal dari hutan alam di Sumatera dan Kalimantan. Keberadaan jelutung di hutan
alam sudah sangat terbatas sehingga ada usaha pembangunan hutan tanaman industri
(HTI) jelutung dimana getahnya dapat dimanfaatkan sebelum HTI tersebut menghasilkan
produk berupa kayu. Oleh karena itu dilakukan pengujian sifat-sifat getah jelutung HTI.
Pengujian sifat sifat getah jelutung terdiri dari kadar karet kering (%), kadar jumlah padatan
(%), Kadar bahan bukan karet (%), kadar air (%), kadar nitrogen (%), kadar abu (%), kadar
kotoran (%) berdasarkan Standar Nasional Indonesia Rubber (SNI) 1903-2000, sedangkan
kadar ekstrak aseton (%) berdasar ASTM D 297-93 (Standard Test Methods for Rubber
Products-Chemical Analysis).
Hasil pengujian menunjukkan bahwa etah jelutung HTI memiliki sifat-sifat: kadar karet
kering 14,4%, kadar jumlah padatan 17,3%, kadar bahan bukan karet 2,9%, kadar air
46,20%, kadar abu 0,04%, kadar kotoran 0,24%, kadar nitrogen 0,07% dan kadar ekstrak
aseton 52,71%.
PENDAHULUAN
Jelutung (Dyera sp) merupakan tanaman hutan asal Indonesia yang tersebar di
Sumatera dan Kalimantan. Jelutung merupakan salah satu pohon serbaguna, kayunya
dapat digunakan untuk kayu lapis, patung, ukiran, pembungkus, alat gambar, potlot,
moulding (Martawijaya. et. al., 1981), sedangkan getahnya sebagai sumber bahan baku
penawar permen karet, ban mobil dan lain-lain (Partadiredja dan Koamesakh, 1973).
Getah jelutung adalah salah satu produk hasil hutan bukan kayu (HHBK) yang
termasuk dalam kelompok tanin, bahan pewarna dan getah (PerMenhut No : P.35/Menhut-
II/2007) menjadi sumber pendapatan yang cukup potensial bagi masyarakat sekitar hutan
yang merupakan salah satu mata pencaharian. Pemanfaatan/Kegiatan penyadapan getah
jelutung ini sudah dimulai sebelum getah karet (Hevea brasiliensis) masuk ke Asia Tenggara
sekitar tahun 1930an ( Muhammad, 1994). Akan tetapi getah karet justru menjadi lebih
berkembang dibanding getah jelutung dengan makin luasnya perkebunan karet, sedangkan
getah jelutung masih mengandalkan pohon yang tumbuh alami di hutan dan keberadaannya
saat ini semakin terbatas.
Indonesia pernah menjadi negara pengekspor getah jelutung terbesar di dunia.
Ekspor getah jelutung Indonesia pada tahun 1990 mencapai 6500 ton, namun pada tahun-
tahun berikutnya terus berkurang hingga pada tahun 1993 hanya sebesar 1182 ton (Coppen,
1995). Hal ini terkait dengan keberadaan pohon jelutung di hutan alam sebagai penghasil
getah yang semakin berkurang jumlahnya akibat penebangan dan konversi lahan gambut
menjadi areal perkebunan dan pertanian serta kebakaran hutan. Pohon yang masih ada pun
sebagian kondisinya sudah rusak
Pemerintah dalam hal ini Departemen Kehutanan melalui program pembangunan
hutan tanaman industri (HTI) telah berhasil membangun HTI seluas 3,4 juta ha hingga tahun
333
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
2005. Salah satu jenis yang ditanam adalah jelutung (Direktorat Jenderal Bina Produksi
Kehutanan 2008). Hal ini merupakan suatu peluang pemanfaatan getah yang dihasilkan
sehingga dapat menjadi nilai tambah dari pembangunan HTI yang semula hanya bertujuan
untuk pemanfaatan kayunya. Oleh karena itu dalam rangka memanfaatkan getah jelutung
dari HTI perlu dilakukan penelitian/pengujian sifat-sifat getah jelutung HTI yang dihasilkan
karena diduga ada perbedaan dengan sifat-sifat getah jelutung yang berasal dari hutan
alam.
Bahan penelitian utama adalah getah jelutung (Dyera polyphylla Miq. Steenis) yang
berasal dari tegakan pohon jelutung HTI PT. Dyera Hutan Lestari yang berlokasi di
kabupaten Muaro Jambi, propinsi Jambi. Bahan kimia yag digunakan terpentin, aseton,
asam sulfat, air suling, asam boraks, dan lain-lain.
Jumlah polimer karet yang terdispersi dalam contoh getah jelutung ditunjukkan oleh
kadar karet kering getah tersebut yakni sekitar 14,4%, sementara kadar jumlah padatan total
adalah sekitar 17,3%. Selisih antara kadar jumlah padatan dan kadar karet kering
menunjukkan kadar bahan bukan karet yang terdapat dalam getah jelutung. Kadar bahan
bukan karet ini diperkirakan sebagian besar adalah bahan yang bersifat resin dan bukan
protein yang lazim terdapat dalam getah karet Hevea brasiliensis. Penggunaan asam format
untuk penggumpalan getah jelutung tidak dapat dilakukan dengan baik dan tidak
menghasilkan koagulum yang kokoh, oleh karena itu koagulum digumpalkan dengan
penambahan aseton teknis. Fakta ini menunjukkan bahwa bahan bukan karet yang dapat
menstabilkan getah jelutung bukan protein, sehingga mekanisme penggumpalannya
berbeda dengan lateks Hevea brasiliensis.
334
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS
Hasil analisis
No. Parameter analisis
Contoh 1 Contoh 2 Rata-rata
1. Kadar karet kering, % 15,33 13,4 14,36
2. Kadar jumlah padatan, % 18,40 16,13 17,26
3. Kadar bahan bukan karet, % 3,07 2,73 2,90
Rata-rata nilai kadar air getah jelutung dari HTI adalah 46,20% (Tabel 2). Nilai
tersebut lebih rendah dibanding nilai kadar air getah jelutung dari hutan alam yaitu 70%
(Williams 1963). Tingginya kadar air getah jelutung dari hutan alam terkait dengan waktu
koagulasi getah jelutung alam yang lebih lama dibandingkan dengan getah jelutung HTI.
Untuk mempercepat proses koagulasi itulah, biasanya penyadap menambahkan air sebelum
getah direbus.
Hasil analisis
No. Parameter analisis Sampel Sampel Sampel Rata-
1 2 3 rata
1 Kadar air, % 43,64 48,50 46,45 46,20
2 Kadar abu, % 0,07 0,02 0,04 0,04
3 Kadar kotoran, % 0,19 0,29 0,25 0,24
4 Kadar nitrogen, % 0,07 0,07 0,08 0,07
5 Kadar ekstrak aseton, % 55,72 50,20 52,22 52,71
Kadar abu menunjukkan banyaknya mineral yang terkandung dalam getah. Kadar
abu getah jelutung HTI berkisar 0,02-0,07% dengan rata-rata 0,04% (Tabel 2). Kadar abu
getah jelutung ini ternyata lebih rendah dibandingkan nilai kadar abu getah karet yang
mencapai 0,5-1,0% (Jayanthy dan Sankaranarayanan, 2005). Dengan demikian getah
jelutung sedikit sekali mengandung bahan-bahan mineral.
Kotoran getah jelutung dapat berupa serbuk atau potongan kecil kulit pohon, daun,
dan lain-lain. Kadar kotoran getah jelutung hasil sadapan dari HTI berkisar 0,19-0,29%
dengan rata-rata 0,25% (Tabel 2). Nilai ini lebih rendah dibandingkan dengan kadar kotoran
getah jelutung hutan alam asal Jambi yang mencapai 3,53% (Waluyo, 2003). Besar kecilnya
kadar kotoran getah dapat dipengaruhi oleh keterampilan, kehati-hatian dan kepedulian
penyadap terhadap getah hasil sadapan. Tingginya kadar kotoran dapat dihindari apabila
tidak membiarkan adanya kotoran dalam wadah penampung getah pada waktu penyadapan.
Hasil pengukuran kadar nitrogen dan kadar protein getah jelutung HTI dicantumkan
pada Tabel 6. Dari tabel tersebut dapat diketahui bahwa rata-rata kadar nitrogen dan protein
getah jelutung HTI berturut-turut sebesar 0,07% dan 0,46%. Nilai ini lebih rendah
dibandingkan dengan nilai sejenis pada getah karet, tetapi sedikit lebih tinggi dibandingkan
dengan kadar nitrogen dan protein getah jelutung hutan alam asal Kalimantan (0,03% dan
0,16%) maupun asal Kedah, Malaysia (0,03% dan 0,16%). Kadar nitrogen dan kadar protein
getah karet tergolong tinggi yaitu 0,6% (nitrogen) dan 2-3% (protein). Tingginya kadar
protein getah karet mengakibatkan getah tersebut tidak dapat digunakan sebagai bahan
makanan ataupun sebagai campuran makanan karena bersifat alergen terhadap manusia
(Yoharmus 2007). Hal ini berbeda dengan getah jelutung. Timbulnya bau yang kurang enak
di industri-industri pengolahan getah karet disebabkan adanya proses pembusukan protein
yang terkandung dalam getah.
335
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Tabel 3. Perbandingan kadar nitrogen dan kadar protein antara getah jelutung HTI,
getah jelutung hutan alam, dan getah karet
Getah Jelutung
Getah Jelutung HTI Hutan Alam* Getah Karet
(Dyera polyphylla) (D. costulata dan D. (Hevea brasilliensis)
polyphylla)
No.
Kadar Kadar Kadar Kadar Kadar Kadar
nitrogen protein nitrogen protein nitrogen protein
(%) (%) (%) (%) (%) (%)
1 0,07 0,44 -- -- -- --
2 0,07 0,44 0,0251 0,1561 0,6** 2-3***
3 0,08 0,50 0,0262 0,1622 -- --
Keterangan: * Georgi (1929), ** Nwaroh and Enyiegbulam (1998), *** Jayanthy dan
Sankaranayaranan (2005), 1 berasal dari Kalimantan, dan 2 berasal dari
Kedah
336
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS
KESIMPULAN
Sifat-sifat getah jelutung HTI yang diteliti relatif sama dengan sifat getah jelutung dari
hutan alam tetapi sangat berbeda dibandingkan dengan sifat getah karet alam (Hevea
brasiliensis). Getah jelutung HTI memiliki sifat-sifat: kadar karet kering 14,4%, kadar jumlah
padatan 17,3%, kadar bahan bukan karet 2,9%, kadar air 46,20%, kadar abu 0,04%, kadar
kotoran 0,24%, kadar nitrogen 0,07% dan kadar ekstrak aseton 52,71%.
DAFTAR PUSTAKA
ASTM. 1997. Standard Test Methods for Rubber Product-Chemical Analysis. D 297-93.
Easton, MD. USA.
Badan Standardisasi Nasional. 2000. Standard Indonesian Rubber (SIR) SNI 06.1903-
2000. Jakarta.
Coppen, J.J.W. 1995. Gum, resins, and latexes of plant origin. Non Wood Forest Products.
No.6. FAO, Roma.
Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan. 2007. Pembangunan Hutan Tanaman
Industri. http://www.dephut.go.id/HTI . Diakses tanggal 15 Maret 2008.
Eaton, B.J.; C.D.V. Georgi and G.L. Teik. 1926. Jelutong. The Malayan Agricultural Journal
XIV(9) : 275- 285
Georgi, C.D.V. 1929. Jelutong. The Malayan Agricultural Journal XVII(5) : 101-117
Jayanthy, T.and P.E. Sankaranarayanan. 2005. Measurement of Dry Rubber Content in
Latex Using Microwave Technique. Measurement Science Review, 5(3) : 50 - 54
337
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Martawijaya, A. 1990. Sifat Dasar Beberapa Jenis Kayu yang Berasal dari Hutan Tanaman
dan Hutan Alam. Proceedings Diskusi Hutan Tanaman Industri. Badan Litbang
Kehutanan. Jakarta : 268-298.
Martawijaya, A.; I. Kartasujana; K. Kadir dan S.A. Prawira. 2005. Atlas Kayu Indonesia.
Badan Penelitian Dan Pengembangan Kehutanan, Departemen Kehutanan. Bogor.
Muhammad, N. 1994. Selected Tree Species for Forest Plantation in Peninsular Malaysia :
A Preliminary Consideration, Forest Research Institute Malaysia. Research Pamphlet
N0. 116.
Nwaroh, K.O. and M.E. Enyiegbulam. 1998. Enhancement of Resistance to Oxidation
Degradation of Natural Rubber Through Latex Degradation. Chinese Journal of
Polymer Science, 16(2) : 170 175.
Partadiredja, S. dan A. Koamesakh. 1973. Beberapa Catatan tentang Getah Jelutung di
Indonesia. Proyek Penyusunan Kertas Kerja Hasil Hutan Non Kayu, Direktorat
Jenderal Kehutanan. Seri No. IX.
Waluyo, T.K. 2003. Perbandingan Sifat Fisiko-kimia Beberapa getah Jelutung (Dyera sp.)
Olahan. Makalah Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Penelitian dan Pengembangan
Kehutanan Sumatera dalam Mendukung Pengelolaan Hutan Lestari. Tanggal 17
Desember 2003 di Medan.
Williams, L. 1963. Economic Botany : Laticiferous plants of economic importance IV,
Jelutong (Dyera spp.). The New York Botanical Garden. Baltimore, Maryland : 110-
126
Yoharmus, S. 2007. Karet jelutung. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Teknnologi
Karet, Bogor.
338
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS
ABSTRAK
Bahan baku industri pengolahan kayu dewasa ini menurun jumlah dan diameternya,
sedangkan jenis-jenis kayu tidak komersial banyak belum diketahui sifat-sifatnya. Jenis kayu
yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah jenis kayu Kalimantan yang meliputi jenis
terentang, pisang-pisang, kumpang dan lilin-lilin yang dipotong pada bagian pangkal, tengah
dan ujung. Pengujian sifat kayu berpedoman pada standar ASTM dan menggunakan
rancangan acak lengkap dengan percobaan faktorial.
Hasil penelitian menujukkan bahwa kandungan ekstraktif larut air panas dan larut
alcohol benzene tertinggi pada jenis kayu pisang-pisang (pangkal 6,63% dan pangkal
6,15%), kandungan holoselulosa dan -selulosa tertinggi pada jenis kayu terentang (tengah
85,98% dan pangkal 47,06%) serta sifat keterbasahan tertinggi pada kayu kumpang
(pangkal 1719,2 mm). Interaksi antara faktor jenis kayu dan arah aksial batang
mempengaruhi kandungan ekstraktif larut air panas, dan ekstraktif larut alkohol benzene.
Faktor jenis kayu dan arah aksial pada batang mempengaruhi kandungan holoselulosa dan
sifat keterbasahan, sedangkan kandungan -selulosa hanya dipengaruhi oleh faktor jenis
kayu.
Kata kunci: jenis kayu, arah aksial, sifat kimia, sifat keterbasahan
PENDAHULUAN
Hutan tropis merupakan sumber bahan baku industri pengolahan kayu yang
produksinya masih banyak diminati oleh pasar dunia. Hutan tropis yang ada di Indonesia
memiliki sekitar 4000 jenis dan dari jumlah tersebut hanya sebagian kecil saja yang telah
diketahui struktur dan sifat-sifat serta kegunaan kayunya seperti untuk pembuatan meubel,
papan serat, papan partikel, kayu lapis dan penggunaan lainnya.
Selama ini bahan baku industri terutama berasal dari jenis-jenis kayu komersial yang
menurun jumlah dan diameternya., sedangkan jenis-jenis kayu tidak dikenal banyak yang
dapat dipergunakan sebagai bahan baku industri pengolahan kayu. Efisiensi bahan baku,
peluang penggunaan jenis dan ragam ukuran log serta diversifikasi produk sudah saatnya
dilakukan dengan sungguh-sungguh agar kelangsungan produksi pabrik dapat
dipertahankan.
Sifat-sifat kayu adalah sifat-sifat spesifik kayu yang dihasilkan selama proses
pertumbuhan. Dengan demikian, maka sifat-sifat kayu sangat beraneka ragam karena
selama proses pertumbuhannya dipengaruhi oleh banyak faktor. Pengetahuan sifat-sifat
kayu dari jenis kayu kurang dikenal merupakan masalah dalam penggunaan kayu. Sifat-sifat
ini sangat bervariasi dan masing-masing saling berhubungan, sehingga perlu diketahui untuk
memperoleh hasil produksi yang memuaskan.
Dari permasalahan tersebut, untuk itu maka penguasaan sifat-sifat kayu sebagai
bahan baku industri dari jenis-jenis kayu kurang dikenal perlu diketahui. Dalam penelitian ini
hanya dibatasi pada sifat-sifat kimia dan keterbasahan dari beberapa jenis kayu Kalimantan,
yaitu kayu Terentang (Camnosperma coriaceum), Pisang-pisang (Mezzetia leptopoda),
Kumpang (Coelostegia borneensis) dan Lilin-lilin (Alseodaphne obovota).
339
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui variasi sifat kimia dan
keterbasahan kayu terentang, pisang-pisang, kumpang dan lilin-lilin pada arah aksial dan
mengkaji kesesuaian sifat-sifat dengan penggunaannya.
Dimana :
KE = Kandungan Ekstraktif
BKT = Berat kering tanur serbuk setelah ekstraksi
BB = Berat serbuk awal
KA = Kadar air serbuk sebelum ekstraksi
Penentuan kandungan zat esktraktif larut alkohol benzen dilakukan dengan cara
memasukkan serbuk kayu sebanyak 2 gram ke dalam cawan saring yang telah diketahui
beratnya. Selanjutnya dilakukan ekstraksi dengan 200 ml larutan alkohol benzene (1:2) di
dalam soxlet selama 4-6 jam. Penempatan cawan saring di dalam soxlet diusahakan agar
permukaan cawan saring lebih tinggi dari siphon tetapi permukaan serbuk lebih rendah.
Setelah selesai ekstraksi, cawan saring dikeluarkan dari alat ekstraktor dan selanjutnya
serbuk diisap dengan vacuum dan dicuci dengan menggunakan alkohol sebanyak 50 ml.
Selanjutnya serbuk dikeringkan di dalam oven dengan suhu 10320C hingga tercapai berat
konstan. Kandungan zat ekstraktif yang larut alkohol benzen dihitung dengan menggunakan
rumus sebagai berikut:
Dimana :
KE = Kandungan Ekstraktif
BKT = Berat kering tanur serbuk setelah ekstraksi
BB = Berat serbuk awal
KA = Kadar air serbuk sebelum ekstraksi
340
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS
Dimana :
KH = Kandungan Holoselulosa
BKT = Berat kering tanur serbuk setelah ekstraksi
BB = Berat serbuk awal bebas ekstraktif
KA = Kadar air serbuk sebelum ekstraksi
Dimana :
KS = Kandungan -selulosa
BKT = Berat kering tanur serbuk setelah ekstraksi
BB = Berat serbuk awal bebas ekstraktif
KA = Kadar air serbuk sebelum ekstraksi
341
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Selanjutnya bagian ujung pipa yang ditutup dengan kertas saring tersebut dicelupkan ke
dalam bak yang berisi air setinggi 1,5 cm. Pengamatan pada hari pertama dilakukan setiap
selang 30 menit selama 9 jam dan hari berikutnya, pengamatan dilakukan pada akhir waktu
pengamatan hari pertama. Jumlah waktu pengamatan yang dilakukan adalah 80 jam.
Hasil pengamatan dan pengukuran merupakan data untuk memperoleh besarnya
sifat keterbasahan yang dihitung sebagai berikut :
Dimana :
CWAH = Tinggi Absorbsi Air Terkoreksi (mm)
h1 = Tinggi absorbsi (mm)
h2 = Tinggi serbuk kayu di dalam pipa (mm)
W = Berat serbuk kayu kering oven (g)
S = Volume jenis air (cm3/g)
d = Diameter dalam pipa (cm)
= 3,14
Hasil penelitian sifat kimia kayu meliputi kandungan ekstraktif larut air panas dan larut
alkohol benzene, kandungan holoselulosa dan -selulosa. Hasil pengujian terhadap
kandungan ekstraktif larut air panas menujukkan bahwa kandungan ekstraktif larut air panas
empat jenis kayu Kalimantan tersebut berkisar 2,41%-6,63%. Kandungan ekstraktif larut air
panas terbesar berasal dari pangkal jenis kayu pisang-pisang, sedangkan kandungan
ekstraktif larut air panas yang terendah berasal dari bagian ujung batang jenis kayu
terentang.
Berdasarkan analisis keragaman diketahui bahwa interaksi antara faktor jenis kayu
dan arah aksial pada batang menunjukkan pengaruh yang sangat nyata terhadap
kandungan ekstraktif larut air panas. Kandungan ekstraktif larut air panas yang terdapat
pada sepanjang bagian dari kayu pisang-pisang berbeda nyata dengan semua bagian kayu
dari ketiga jenis kayu lainnya, sedangkan untuk kandungan ekstraktif larut air panas dari
sepanjang bagian kayu lilin-lilin juga berbeda nyata dengan bagian tengah batang jenis kayu
terentang.
Pola variasi ekstraktif kayu larut air panas yang diteliti memperlihatkan penurunan
dari bagian pangkal, tengah dan ujung. Rerata kandungan ekstraktif larut air panas dari
keempat jenis kayu tersebut disajikan pada Gambar 1.
342
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS
Gambar 1. Rerata Kandungan Ekstraktif Larut Air Panas Empat Jenis Kayu Kalimantan
Menurut Browning (1967) dalam Fengel dan Wegerner (1989), ekstraktif yang larut
dalam air adalah karbohidrat, protein dan alkaloid), dan bahan anorganik, sedangkan
ekstraktif larut air panas adalah tannin getah, gula, bahan-bahan berwarna dan pati (Annual
Book of ASTM, 1970).
Hasil pengujian terhadap kandungan ekstraktif larut alkohol benzene menunjukkan
bahwa kandungan ekstraktif larut alkohol benzene terbesar berasal dari bagian pangkal
batang dari jenis kayu pisang-pisang, sedangkan kandungan ekstraktif terkecil berasal dari
bagian ujung batang kayu kumpang. Kandungan ekstraktif larut alkohol benzene keempat
jenis kayu tersebut berkisar 1,24%-6,15%. Rerata kandungan ekstraktif larut alkohol
benzene keempat jenis kayu tersebut selengkapnya disajikan pada Gambar 2.
Gambar 2. Rerata Kandungan Ekstraktif Larut Alkohol Benzen Empat Jenis Kayu Kalimantan
Berdasarkan analisis keragaman diketahui bahwa interaksi antara faktor jenis kayu
dan arah aksial pada batang menunjukkan pengaruh yang sangat nyata terhadap
kandungan ekstraktif larut alkohol benzen. Kandungan ekstraktif larut alkohol benzene pada
sepanjang bagian dari kayu pisang-pisang menunjukkan perbedaan yang nyata dengan
semua arah aksial dari ketiga jenis kayu lainnya.
343
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Pola variasi kandungan ekstraktif larut alkohol benzene pada semua jenis kayu
memperlihatkan penurunan dari bagian pangkal, tengah dan ujung. Ekstraktif yang larut
dalam pelarut alkohol adalah zat warna seperti flobafen, tannin dan stilbena (Browning, 1967
dalam Fengel dan Wegener, 1989), sedangkan ekstraktif larut akohol benzene adalah lilin,
lemak, resin, minyak, tannin dan komponen-komponen lain yang tidak larut dalam pelarut
eter (Annual Book of ASTM, 1970).
Pengujian terhadap kandungan holoselulosa menunjukkan bahwa kandungan
holoselulosa dari keempat jenis kayu Kalimantan tersebut berkisar 73,5%-85,98%. Rerata
kandungan holoselulosa keempat jenis kayu selengkapnya disajikan pada Gambar 3.
Kandungan holoselulosa terbesar berasal dari jenis kayu terentang dan terkecil
berasal dari jenis kayu kumpang. Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa faktor jenis
kayu dan arah aksial batang memiliki pengaruh yang nyata terhadap kandungan
holoselulosa.
Berdasarkan Gambar 3, terlihat bahwa pola variasi kandungan holoselulosa dari
keempat jenis kayu menunjukkan bahwa kayu terentang dan kumpang cenderung meningkat
di bagian tengah dan menurun di bagian pangkal dan ujung, keadaan sebaliknya terdapat
pada kayu lilin-lilin. Sedangkan kecenderungan meningkat dari bagian pangkal hingga ke
ujung batang terdapat pada kayu pisang-pisang.
344
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS
Kandungan selulosa kayu pisang-pisang, kumpang dan lilin tidak berbeda nyata akan
tetapi semua jenis kayu tersebut berbeda nyata dengan kayu terentang. Menurut Haygreen
dan Bowyer (1989), selulosa dibentuk langsung dari unit-unit glukosa hasil proses
fotosintesis. Faktor bagian batang tidak menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap
kandungan -selulosa, hal ini diduga disebabkan karena pembentukan selulosa yang
cenderung berjalan seragam di sepanjang batang. Kandungan selulosa keempat jenis kayu
yang diteliti berkisar antara 41,07%-47,45%, sesuai dengan kisaran yang dikemukakan oleh
Kollmann dan Cote (1984). Menurut Prayitno (1984) selulosa merupakan penyusun utama
dinding sel dan berperan di dalam pengolahan kayu.
Sifat keterbasahan kayu yang diteliti dihitung dengan menggunakan nilai CWAH. Sifat
keterbasahan terendah berasal dari jenis kayu pisang-pisang pada bagian ujung dengan nilai
CWAH 1009,2 mm, sedangkan sifat keterbasahan tertinggi berasal dari jenis kayu kumpang
pada bagian pangkal dengan nilai CWAH 1719,2 mm. Berdasarkan analisis keragaman
diketahui bahwa faktor jenis kayu dan arah aksial batang mempengaruhi nilai CWAH.
Pola variasi sepanjang batang menunjukkan kecenderungan menurun dari bagian
pangkal, tengah dan ujung. Nilai CWAH jenis-jenis kayu berdasarkan bagian aksialnya dan
jenis kayu disajikan pada Gambar 5 .
345
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Pada dasarnya sifat keterbasahan ini sangat berhubungan dengan adanya ekstraktif
yang terdapat didalam kayu seperti hasil penelitian Imamura dkk (1976) dalam Jorden dan
Welloris (1977) yang melaporkan bahwa Vinir dari jenis Dipterocarpus dan Drybalanops
sangat sulit untuk dibasahi sehingga sulit direkat karena adanya kandungan ekstraktif.
Apabila nilai rerata keterbasahan ini dihubungkan dengan kandungan ekstraktif larut air
panas dan larut alcohol benzene pada arah tinggi batang menunjukkan nilai tertinggi pada
kayu kumpang dibandingkan ketiga jenis kayu lainnya.
Ekstraktif yang bersifat menolak air seperti asam lemak dan asam resin larut dalam
pelarut alkohol benzene bersifat merugikan di dalam perekatan kayu (Prayitno, 1984). Hal ini
disebabkan karena ekstraktif membentuk suatu batas pemisah di antara permukaan kayu
dan perekat (Troughton dan Chow, 1971) dalam Balfas (1993). Prayitno (2000) menyatakan
bahwa kayu yang mudah dibasahi dengan ciri CWAH yang nilainya besar akan
menghasilkan keteguhan rekat yang tinggi juga. Hal ini sejalan dengan penelitian Bodig
(1962), Gray (1962), Herczeg (1965), Hse (1972), Wellons (1980) dan Warsa (1983). Warsa
(1983) menyatakan bahwa ada hubungan antara tinggi air absorpsi terkoreksi (CWAH)
dengan keteguhan rekat. Berikut ini disajikan rerata kandungan kimia keempat jenis kayu
Kalimantan yang dibandingkan dengan Vademecum Kehutanan (1976).
346
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian terhadap keempat jenis kayu yang diteliti yaitu
terentang, pisang-pisang, kumpang dan lilin-lilin, dapat dikemukakan suatu kesimpulan
bahwa interaksi antara faktor jenis kayu dan arah aksial batang mempengaruhi kandungan
ekstraktif larut air panas, dan ekstraktif larut alkohol benzene. Faktor jenis kayu dan arah
aksial pada batang mempengaruhi kandungan holoselulosa dan nilai CWAH, sedangkan
kandungan -selulosa hanya dipengaruhi oleh faktor jenis kayu.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 1970. Annual Book of ASTM, Part 16. Structural Sandwich Construction Wood,
Adhesive. Race St. Philadelphia.
Balfas, J. 1993. Pengaruh Ekstraksi dan Pengeringan Terhadap Derajat Pembasahan
Permukaan dan Keteguhan Perekatan Kayu. Jurnal Penelitian Hasil Hutan.
Bodig, J. 1962. Wettability Related to Gluability of the Philippines Mahagonies. Forest
Products Journal 12 (6) : 265 270.
Departemen Pertanian Indonesia. 1976. Vademecum Kehutanan Indonesia. Direktorat
Jenderal Kehutanan. Jakarta.
Fengel, D dan Wegener, G. 1989. Wood, Chemistry Ultractructure, Reaction. De Gruyter.
Gray, V.R. 1962. The Wettability of Wood. Forest Products Journal 12 (9) : 451 461.
Haygreen, J. G dan Bowyer, J.L. 1989. Hasil Hutan dan Ilmu Kayu. Diterjemahkan oleh
Soetjipto A.H. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Hse, C.Y. 1972. Wettability of Southern Pine Veneer by Phenol Formaldehyde Wood.
Adhesives. Forest Products Journal. 22 (1) : 51 56.
Herczeg, A. 1965. Wettability of Wood. Forest Products Journal : 499 505.
Martawidjaya, A. Kartasujana, A., Kadir, K., Prawiro, SA. 1981. Atlas Kayu Indonesia.
Puslitbang Kehutanan.
Prayitno, T.A. 2000. Hubungan Struktur Anatomi dan Wetabilitas dengan kekuatan rekat
kayu. Buletin Kehutanan No. 42 : 24 32.
Prayitno, TA. 1984. Perekatan Kayu. Yayasan Pembina Fakultas Kehutanan UGM.
Yogyakarta.
Warsa, S.R. 1983. Gluability of Rotary-Cut Veneers of Some Indonesian Woods using
Adhesives Extenden with Nami and Cassava Flours. Dissertation Faculty of The
Graduate School. Los Banos: University of The Philippines at Los Banos.
Wellons, J. D. 1980 Wettability and gluability of Douglas-fir Veneer. Forest Products Journal.
30 (7) : 53 55.
347
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Yelin Adalina
Puslitbang Konservasi Dan Rehabilitasi
Jl.Gunung Batu No.5 , Bogor
Telp. (0251) 863324; 7520067
Fax (0251) 8638111
Email: yelinadalina@yahoo.com
ABSTRAK
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Madu adalah cairan kental manis yang merupakan produk utama yang dihasilkan
oleh lebah madu dari nektar yang diproses secara enzimatis, terdiri dari berbagai senyawa
yang sangat berguna bagi tubuh manusia. Gula reduksi terutama fruktosa merupakan
senyawa paling banyak di dalam madu (Hadiwiyono, 1978). Proses perubahan nektar
menjadi madu terdiri dari empat tahap, yaitu pengumpulan nektar dari tanaman, proses
pengubahan nektar menjadi gula invert, pengurangan jumlah kandungan air, dan
pematangan madu di sarang lebah (Winarno, 1982).
Komposisi kimia madu terdiri atas karbohidrat, air, protein, vitamin, mineral, dan zat-
zat atau senyawa lain yang sangat kompleks. Madu mengandung gula-gula sederhana yang
dapat segera dimanfaatkan tubuh, dan mengandung garam-garam mineral yang dibutuhkan
tubuh. Komponen terbesar madu terdiri dari karbohidrat (gula sederhana) dan air. Komposisi
kimia madu dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain komposisi nektar asal madu,
keadaan iklim, topografi, jenis lebah, cara pengolahan dan penyimpanan madu (Sihombing,
1997).
Madu mengandung berbagai enzim, antara lain enzim diastase, invertase dan
glukosaoksidase. Enzim diastase berperan dalam memecah karbohidrat kompleks
348
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS
(polisakarida) di dalam nektar menjadi karbohidrat yang lebih sederhana (Achmadi, 1991)
dan diastase disebut juga -amilase (Morse dan Hooper, 1985). Amilase secara khusus
menghidrolisis ikatan glukosidik -1,4 karbohidrat (Winarno, 1982). Enzim diastase terdapat
secara alami di dalam madu, dan sifatnya mampu mengubah zat pati menjadi gula. Dalam
madu asli dan segar enzim ini aktif sekali. Apabila madu dipalsukan dengan larutan gula
maka kandungan enzim akan menurun sehingga keaktifannya juga menurun. Aktivitas enzim
diastase sangat dipengaruhi oleh panas/suhu tinggi. Semakin tinggi suhu maka semakin
rendah aktivitas enzim diastase (White, 1979).
Madu dapat dikatakan merupakan makanan yang stabil karena tidak akan rusak oleh
bakteri maupun jamur yang biasa merusak makanan, namun demikian fermentasi serta
perubahan komposisi baik kimia maupun fisik sangat mudah terjadi pada madu apabila
kondisi penyimpanan madu tidak optimum. Suhu penyimpanan dapat mempengaruhi
terjadinya perubahan pada komposisi madu yang meliputi karakteristik organoleptik seperti
warna, rasa, dan aroma serta hilangnya kandungan zat yang aktif (Krell 1996 ; NHB 2001).
Walaupun kerusakan madu tidak berbahaya pada kesehatan manusia, tetapi madu tetap
kehilangan kandungan nutrisi dan nilai organoleptik.
Departemen Perindustrian Republik Indonesia telah mengeluarkan standar mengenai
mutu dan cara uji madu, yakni SNI 01-3545-2004. Hal ini untuk melindungi konsumen dari
pemalsuan dan pemanasan madu yang berlebihan sehingga menurunkan kualitas madu.
Salah satu parameter dalam standar tersebut yang digunakan untuk melihat mutu atau
kualitas madu adalah enzim diastase.
Salah satu kendala madu yang dipanen di Indonesia mempunyai kadar air yang
tinggi, hal tersebut disebabkan Indonesia mempunya kelembaban yang tinggi yaitu 60-90%.
Selain kadar air yang sulit dikendalikan, penyimpanan madu sangat berpotensi dalam
mengubah komposisi madu. Suhu optimum dalam penyimpanan madu seperti yang
disarankan oleh National Honey Board (NHB) yaitu di bawah 10C dalam wadah yang kedap
udara sangat sulit dicapai. Namun seberap besar perubahan komposisi madu khususnya
dalam penelitian ini enzim diastase yang diakibatkan selama penyimpanan.
Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah tersedianya informasi tentang perubahan aktivitas enzim
diastase berbagai jensi madu yang diperoleh dari berbagai lokasi dari dua jenis lebah (Apis
mellifera dan Apis dorsata) yang di simpan pada dua kondisi suhu dan kelembaban yang
berbeda.
METODOLOGI
Tabel 1. Lokasi pengambilan contoh madu, jenis tanaman sumber nektar, dan jenis lebah
349
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Gambar 1. Jenis lebah Apis dorsata Gambar 2. Jenis lebah Apis mellifera
Jenis lebah yang dipelihara atau dapat dibudidayakan adalah lebah Apis mellifera.
Jenis lebah ini bukan jenis asli Indonesia, tetapi lebah yang di impor dari Australia dan
mempunyai produktivitas madu yang tinggi. Lebah Apis dorsata atau lebah hutan merupakan
jenis lebah Indonesia, namun sampai saat ini belum dapat dibudidayakan.
Prosedur Kerja
Madu yang diperoleh dari berbagai lokasi/daerah dari jenis lebah Apis mellifera dan
Apis dorsata disimpan dalam kondisi ruangan yang berbeda yaitu di dalam lemari es (suhu
10C; kelembaban 24%) dan di dalam ruangan/kamar biasa (suhu 25-29C; kelembaban
70-90%). Pengamatan dilakukan setiap enam bulan selama satu tahun. Analisa madu
dilakukan di Laboratorium Sucofindo (Jakarta) pada saat awal penyimpanan, 6 bulan dan 12
bulan penyimpanan. Hasil analisa dibandingkan dengan standar mutu madu Indonesia.
Untuk mengetahui perubahan komposisisi kimia madu, jenis analisa yang dilakukan adalah :
a. Kandungan air
b. Aktivitas enzym diastase
350
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS
Analisis Data
Data disajikan secara deskriptif. Data yang diperoleh dibandingkan dengan standar
kualitas madu Indonesia yaitu SNI 01-3545- 2004.
Kandungan Air
Mutu madu banyak ditentukan oleh kadar airnya. Kadar air yang terkandung dalam
madu dipengaruhi oleh kelembaban udara sekitarnya (Gojmerac, 1983). Tingginya kadar air
sangat tergantung pada sumber nektar dan keadaan cuaca serta cara panen. White (1992)
mengemukakan bahwa tingginya kadar air di dalam madu dipengaruhi oleh kondisi cuaca,
kandungan air di dalam nektar, besar kecilnya koloni, dan kemasakan dari madu itu sendiri.
Panen yang terlalu dini, yaitu sebelum sel madu tertutup oleh lilin, menyebabkan kadar air
madu yang tinggi (Achmadi, 1991). Kadar air pada madu yang telah matang (terdapat dalam
sel yang telah disegel dengan malam) merupakan hasil akhir dari proses pengisapan madu
oleh lebah dalam sarangnya (Crane,1979).
Hasil analisa menunjukkan bahwa dari lima jenis madu yang diteliti dari berbagai
sumber pakan yang berasal dari berbagai lokasi hanya satu jenis yang memenuhi
persyaratan Standar National Indonesia (SNI 2004), yaitu 22% maupun Codex Alimentarius
Commision (CAC 1996) yaitu 21%. Kandungan air dari jenis lebah Apis dorsata cenderung
lebih tinggi dari Apis mellifera, hal ini kemungkinan disebabkan karena pada saat panen
belum semua madu tertutup lilin dan pada umumnya pemanenan madu pada A.dorsata yang
biasa dilakukan oleh pemungut madu dengan mengambil semua sisiran tanpa memisahkan
sisiran madu yang sudah tertutup dan belum tertutup lilin. Pemanenan madu pada jenis
lebah A.mellifera dilakukan dengan menggunakan alat ekstraktor. Hal ini disebabkan jenis
lebah A.mellifera dalam pemeliharaannya sudah dapat dibudidayakan sehingga cara
pemanenannya lebih dapat terkontrol, sedangkan jenis A.dorsata sampai saat ini belum
dapat dibudidayakan. Kadar air yang tinggi dapat menyebabkan madu semakin mudah
terfermentasi yang disebabkan oleh sejenis khamir atau yeast dari genus
zygosaccharomyces yang tahan terhadap konsentrasi gula tinggi, sehingga dapat hidup dan
berkembang dalam madu. Semakin tinggi kadar air madu, semakin rentan madu tersebut
terhadap fermentasi, karena kandungan air yang tinggi pada madu dapat merangsang
aktivitas sel khamir (Achmadi,1991).
351
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Gambar 3. Berbagai jenis madu dari jenis lebah Apis mellifera dan Apis dorsata
Pada Tabel 3. menunjukkan bahwa pada awal penyimpanan semua contoh madu
mengandung enzim diastase yang cukup tinggi dan semuanya memenuhi standar SNI 2004
(minimum 3 DN) maupun CAC (minimum 8 DN), artinya madu yang diteliti belum mengalami
352
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS
penyimpanan yang terlalu lama dan pemanasan dalam suhu tinggi. Kandungan enzim
diastase dari jenis lebah A.mellifera cenderung lebih tinggi daripada lebah A.dorsata.
Tabel 4. Kandungan enzim diastase (DN) jenis lebah A.mellifera dan A.dorsata selama
penyimpanan 6 bulan pada suhu kamar dan lemari es
Pada Tabel 4, dapat dilihat bahwa pada penyimpanan madu selama enam bulan
yang disimpan dalam lemari es maupun di dalam kamar biasa/suhu ruang, menunjukkan
bahwa semua contoh madu kandungan enzim diastasenya mengalami penurunan, tetapi
masih memenuhi standar SNI 2004 maupun CAC.
Selama penyimpanan 12 bulan (Tabel 5) menunjukkan bahwa kandungan enzim
diastase dari jenis lebah A.dorsata mengalami penurunan yang sangat tajam dan tidak
memenuhi standar SNI 2004 maupun CAC, baik yang disimpan di dalam kamar maupun
yang di simpan di dalam lemari es. Kandungan enzim diastase dari jenis lebah A.mellifera
mengalami penurunan selama penyimpanan 12 bulan namun masih memenuhi standar SNI
2004 maupun CAC, baik yang disimpan di dalam kamar maupun yang di simpan di dalam
lemari es.
Tabel 5. Kandungan enzim diastase (DN) jenis lebah A.mellifera dan A.dorsata selama
penyimpanan 12 bulan pada suhu kamar dan lemari es
353
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
diastase yang rendah dapat disebabkan karena viskositas larutan yang tinggi, sehingga
difusi enzim dan substrat menjadi terhambat dan menurunkan aktivitas enzim tersebut.
Selama penyimpanan enam bulan maupun 12 bulan menunjukkan bahwa madu yang
disimpan dalam lemari es mengandung enzim diastase yang lebih tinggi dari madu yang
disimpan dalam suhu ruang/kamar. Hal ini disebabkan karena madu yang disimpan dalam
suhu kamar mengalami pemanasan, sehingga kandungan enzim diastase lebih cepat
menurun dibandingkan dalam penyimpanan dalam lemari es. White (1992) mengemukakan
bahwa penyimpanan madu dalam ruangan dengan suhu 30C selama 200 hari akan
menurunkan setengah aktivitas enzim diastase dan hanya diperlukan waktu satu hari untuk
menurunkan hal yang sama apabila madu disimpan pada suhu 60C. Enzim diastase sangat
sensitif oleh suhu yang tinggi, semakin tinggi suhu maka semakin rendah aktivitas enzim
diastase (White, 1979).
KESIMPULAN
1. Kandungan air madu dari berbagai sumber pakan yang diperoleh dari berbagai lokasi
dari dua jenis lebah (A.mellifera, A.dorsata) pada awal penyimpanan empat jenis madu
yang diteliti tidak memenuhi standar SNI 2004 maupun CAC.
2. Perbedaan suhu, kelembaban dan lama penyimpanan berpengaruh terhadap perubahan
kandungan enzim diastase.
3. Madu yang disimpan selama enam bulan di dalam lemari es maupun di dalam kamar
biasa/suhu ruang mengandung enzim diastase yang masih memenuhi standar SNI 2004
maupun CAC. Penyimpanan madu selama 12 bulan dari jenis lebah A.dorsata sudah
tidak memenuhi standar SNI 2004 maupun CAC, sedangkan penyimpanan madu dari
jenis lebah A.mellifera masih memenuhi standar.
4. Selama penyimpanan kandungan enzim diastase madu yang disimpan di dalam lemari
es lebih rendah daripada yang disimpan di dalam suhu kamar.
DAFTAR PUSTAKA
Achmadi, S. 1991. Analisa Kimia Produk Lebah Madu dan Pelatihan Laboratorium Pusat
Perlebahan Nasional Parungpanjang. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam IPB, Bogor.
Badan Standarisasi Nasional. 2004. Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-3545-2004 Mutu
Madu. Badan Standarisasi Nasional. Jakarta.
Bonvehi, J.S. and F.V.Coll. 1995. Characterization of citrus honey (Citrus Spp.) produced in
Spain. J. Agric Food Chem. 43 (8): 2053-2057.
Crane, E. 1979. Honey A Comprehensive Survey. Heinemann. London
Codex Alimantarius Commision.1996. Quality Evaluation of Honey Standard in Europe.
Rome
Gojmerac, W. L. 1983. Bees, Beekeeping, Honey, and Pollination. The AVI Publishing Co.
Inc. Westport, Connecticut.
Hadiwiyono, S. 1978. Pedoman Pemeliharaan Tawon Madu Pradnya Paramita. Jakarta.
Krell, R. 1996. Value-added Products from Beekeeping. FAO Agricultural Services Bull, bNo
124, FAO, Roma.
Lopez, B. 1996. Chemometric classification of honeys according to their type based on
quality control data. Food Chemistry 55 (3): 281-287
Morse, R. and T. Hooper.1985. The Illustrated Encyclopedia of Beekeeping. Blandrof Press,
Poole, Dorset.
Moermanto.1986. Tinjauan tentang quality control pada industri madu. Prosiding Lokakarya
pembudidayaan Lebah Madu Untuk Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat,
Sukabumi, 20-22 Mei 1986. Perum Perhutani, Jakarta. Hal 135-142
354
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS
National Honey Board (NHB), 2001. A. Reference Guide From The National Honey Board.
Http;// www.nhb.org.
Rodgers, P.E.W. 1975. Honey Quality Control. di dalam Crane, E (Ed.), Honey, A.
Comprehensive Suevey. Chapter 12. Heinemann, London.
Sihombing, D. T. H. 1997. lmu Ternak Lebah Madu. Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.
Winarno, F. G. 1982. Madu: Teknologi,Khasiat dan Analisa. Pusat Pengembang Teknologi
Pangan, Bogor.
White, J. W. 1979. Physical characteristic of honey. In; Crane, E (ed). Honey: A
Comprehensive Survey. Heinemann. London.
White, J. W. 1992. Honey. In: Graham. M. J. (ed). The Hive and the Honey Bee. Dadant and
Sons, Hamilton, Illinois.
355
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
ABSTRACT
Faloak (Sterculia comosa Wallich) is a specific species of dry land that has potential
as antifungal. This study aims to determine the toxicity of barks, leaves, and seeds extracts
as an antifungal, and to identify its bioactive compound. The extracts were prepared by multi
stage maceration method. Antifungal activity was tested by agar well diffusion method, and
minimum inhibition concentration (MIC) and minimum fungicide concentration (MFC) by two-
fold serial dilution method . Bioactive compound of active fraction were identified by Liquid
Chromatography Mass Spectroscopy (LCMS), Fourier Transform Infrared (FTIR), and
Nuclear Magnetic Resonance (NMR). Results showed that the diethyl ether (DE) fraction of
seeds is more effective in inhibiting of Candida albicans growth, than the other fractions.
Subfraction of DE7 has a higher potency in inhibiting the growth of of Candida albicans.
Based on the analysis by LCMS, FTIR and proton NMR, the DE7 sub fractions contain 3-
hydroxyoctadecanoic acid (C18H36O3), which is suggested as a mainly compound responsible
for antifungal activity. These findings indicate that faloak have the potential to be antifungal.
PENDAHULUAN
Faloak (Sterculia comosa Wallich) merupakan salah satu dari spesies yang belum
mendapatkan perhatian, sehingga pohon ini dianggap tidak bermanfaat. Memang saat ini
kayu faloak belum banyak dimanfaatkan, baik sebagai bahan baku ukiran, pertukangan
maupun pemanfaatan lainnya. Oleh karena itu, pencarian sifat dan kandungan obat dari
spesies ini menjadi penting karena dengan mengenal fungsi dan manfaatnya, faloak
(Sterculia comosa Wallich) dapat menambah khasanah tumbuhan obat dunia saat ini.
Pemanfaatan faloak oleh masyarakat di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT)
sampai saat ini masih bersifat pemanfaatan secara tradisional yang didasarkan pengetahuan
dan pengalaman secara turun-temurun. Pemanfaatan faloak selama ini digunakan untuk
menyembuhkan berbagai penyakit dalam, antara lain kulit pohon faloak dapat
menyembuhkan penyakit tifus, maag, dan lever. Faloak juga digunakan sebagai peluruh
haid, peluruh sisa-sisa kotoran setelah melahirkan, dan pemulihan setelah melahirkan.
Berdasarkan pengalaman masyarakat, mengkonsumsi faloak secara rutin dapat
meningkatkan stamina (mengurangi rasa letih atau lelah bagi pekerja berat). Namun, semua
pengetahuan tersebut belum didukung oleh kajian ilmiah pemanfaatan faloak sebagai bahan
obat-obatan.
Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization, WHO) melaporkan bahwa
peningkatan pemanfaatan obat-obatan dari bahan alam (obat tradisional) di berbagai negara
saat ini telah mencapai 65% dari penduduk negara-negara maju (Menkes RI 2007).
Keadaan ini memberikan peluang untuk mengkaji jenis tumbuhan obat di berbagai daerah
yang secara turun-temurun telah dimanfaatkan masyarakat sebagai obat dan belum dikaji
secara ilmiah. Di samping itu kecenderungan peningkatan pemanfaatan obat dari bahan
356
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS
alam memberikan dampak positif bagi pertumbuhan industri, baik industri obat tradisional
maupun sebagai bahan baku industri farmasi. Pertumbuhan industri obat tradisional
Indonesia saat ini yang telah mencapai 1.036 perusahaan (Menkes RI 2007). Di sisi lain,
industri farmasi dunia yang memanfaatkan senyawa alam dan obat-obatan sebagai bahan
baku industri farmasi saat ini baru mencapai 6% (Frederique 2009).
Pengkajian komponen zat ekstraktif yang terkandung dalam pohon faloak seperti
kayu, biji, daun, kulit, dan pemanfaatannya sebagai tumbuhan obat sampai dengan saat ini
belum dilaporkan secara ilmiah, baik di tingkat regional, nasional maupun internasional.
Berdasarkan hal tersebut, maka perlu suatu kajian ilmiah untuk mengidentifikasi zat
ekstraktif yang terdapat dalam faloak, serta khasiatnya terhadap kesehatan manusia.
Pengkajian komponen zat ekstraktif dari pohon faloak ini diarahkan untuk mengetahui
komponen kimia dan pengujian anticendawan zat ekstraktif dari daun, biji, dan kulit pohon
faloak tersebut, terutama senyawa-senyawa yang dapat digunakan sebagai obat
anticendawan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi sifat anticendawan zat ekstraktif yang
terkandung dalam daun, biji dan kulit pohon faloak.
Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah serbuk daun, biji, kulit Faloak
(Sterculia comosa Wallich) yang diperoleh dari pohon Faloak yang tumbuh di Kota Kupang
Provinsi Nusa Tenggara Timur. Kulit, biji, dan daun pohon faloak diambil dari pohon yang
telah menghasilkan minimal tiga kali berbuah atau berdiameter minimal 30 cm. Serbuk kulit,
daun, dan serbuk biji dibuat dalam ukuran 40 60 mesh kemudian dikeringkan dengan oven
pada suhu 500C hingga mencapai kadar air kurang dari 10%.
Metode
Metode ekstraksi yang digunakan adalah metode maserasi yang dilakukan secara
bertingkat menggunakan aseton, n-hexan, dietil eter, etil asetat. Pengujian aktivitas
antimikroba dilakukan dengan menggunakan metode difusi sumur agar (Ramesh dan Patar
2010). Nilai Kadar Hambat Minimum (Minimum Inhibition Concentration, MIC) dan Kadar
Membunuh Cendawan Minimum (Minimum Fungicide Concentration-MFC) ditentukan
dengan menggunakan metode two-fold serial dilution (Olaleye dan Tolulope 2007) dengan
rangkaian konsentrasi 16, 8, 4, 2, 1, 0,5, dan 0,25 mg/mL (Policegoudra et al. 2010).
Identifikasi senyawa untuk fraksi terpilih hasil kromatografi dilakukan dengan menggunakan
spektrum inframerah (fourier transform infrared, FT-IR), kromatografi cair spektroskopi masa
(Liquid Chromatography Mass Spectroscopy, LC-MS) dan resonansi magnetik inti (Nuclear
Magnetic Resonance, NMR) untuk mengetahui gugus fungsi, bobot molekul, struktur
senyawa.
Aktivitas Anticendawan
Hasil uji tapis untuk mengetahui kemampuan anticendawan menunjukkan bahwa zat
ekstraktif kulit, daun, dan biji faloak, serta fraksi-fraksinya menghasilkan berbagai tingkatan
zona hambat (mm), bahkan beberapa fraksi tidak membentuk zona hambat. C. albicans
hanya mampu dihambat oleh fraksi dietil eter biji dengan diameter zona hambat yang lebih
tinggi dari fraksi aseton kulit. Sedangkan seluruh fraksi dari zat ekstraktif daun faloak tidak
mampu menghambat pertumbuhan C albicans. Zona hambat (mm) yang dibentuk oleh zat
ekstraktif kulit , daun, dan biji faloak disajikan pada Tabel 2.
357
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Tabel 2.Pembentukan zona hambat hasil uji tapis aktivitas anticendawan zat ekstraktif dari
kulit, daun, dan biji pohon faloak (ukuran dalam millimeter).
Diameter zona hambat yang dibentuk pada umumnya sangat dipengaruhi oleh
kemampuan zat ekstraktif berdifusi, jenis senyawa yang terdapat dalam zat ekstraktif,
banyaknya zat ekstraktif yang digunakan, serta tingkat ketahanan C. albicans terhadap zat
ekstraktif yang diterima. Berdasarkan hasil uji aktivitas anticendawan dari ketiga jenis zat
ekstraktif beserta fraksi-fraksinya, memperlihatkan bahwa fraksi dietil eter biji memberikan
hasil yang lebih baik. Oleh karena itu, fraksi tersebut dipakai untuk diisolasi dengan
kromatografi kolom. Subfraksi hasil kromatografi kolom ini selanjutnya digunakan dalam uji
penentuan MIC dan MFC.
Tabel 3. MIC dan MFC sub fraksi dietil eter biji faloak terhadap cendawan C. albicans
Keterangan: DE = Sub fraksi dietil eter biji (sub fraksi 1 8), KK = Ketoconazole untuk
cendawan
C. albicans lebih sensitif terhadap sub fraksi DE6 dan DE7. Meskipun sub fraksi DE6
memiliki nilai MIC dan MFC yang sama dengan subfraksi DE7, namun hanya sub fraksi DE7
yang diidentifikasi dengan FT-IR, LC-MS, dan NMR. Subfraksi DE7 diuji lebih lanjut karena
jumlah dari subfraksi ini lebih tinggi daripada sub fraksi DE6. Teridentifikasinya senyawa
yang terdapat dalam zat ekstraktif biji faloak, diharapkan dapat mendukung penggunaan
faloak oleh masyarakat selama ini sebagai obat penyakit-penyakit yang disebabkan oleh
358
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS
cendawan C. albicans seperti keputihan, dan penggunaan lain seperti peluruh haid, peluruh
sisa-sisa kotoran setelah melahirkan, pemulih stamina setelah melahirkan, dan penyakit
lainnya.
Identifikasi Senyawa
Berdasarkan hasil pengukuran H-NMR dan C-NMR, diduga bahwa senyawa tersebut
merupakan turunan asam lemak yang terhidroksilasi (hidroksi OH). Hal ini didukung pula
oleh hasil pengukuran LC-MS, bahwa senyawa tersebut mempunyai berat molekul 300
(m/z). Di samping itu adanya gugus hidroksi dan gugus karboksilat berdasarkan hasil
pengukuran spektrum FT-IR semakin memperkuat pendugaan bahwa senyawa tersebut
merupakan turunan asam lemak yang terhidroksilasi (hidroksi OH). Dengan demikian
diduga senyawa tersebut adalah 3-hydroxyoctadecanoic acid. Hasil prediksi tersebut
didukung dengan nilai pergeseran kimia hasil prediksi menggunakan ChemDraw, maka
struktur senyawa yang memiliki berat molekul 300 (m/z), diidentifikasi sebagai senyawa 3-
hydroxyoctadecanoic acid.
O OH
3-hydroxyoctadecanoic acid OH
G
ambar 1. Struktur molekul senyawa 3-hydroxyoctadecanoic acid
Kesimpulan
Pohon faloak (Sterculia comosa Wallich) memiliki kandungan zat ekstraktif yang
penyebarannya dalam setiap bagian pohon sangat beragam. Persentase kandungan zat
ekstraktif dalam kulit dan daun lebih kecil daripada dalam biji. Dalam zat ekstraktif biji faloak,
walaupun hanya sebagian kecil saja yang berperan sebagai anticendawan, tetapi memiliki
sifat anticendawan sangat tinggi terhadap C. albicans.
Teridentifikasinya senyawa 3-hydroxyoctadecanoic acid yang terdapat dalam zat
ekstraktif biji faloak mengindikasikan bahwa senyawa tersebut adalah senyawa yang
berperan dalam menghambat pertumbuhan cendawan. Hal ini menunjukkan bahwa biji
faloak berpotensi digunakan sebagai sumber obat untuk mencegah dan mengobati
penyakit yang disebabkan oleh C. albicans, seperti; kandidiasis (penyakit yang terjadi pada
selaput lendir, mulut, vagina dan saluran pencernaan), infeksi yang menyerang jantung
(endokarditis), pneumonia, septisemia (darah).
359
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Saran
Mengingat faloak memiliki keunggulan sebagai obat serta didukung oleh
kemampuannya untuk bertumbuh dengan baik pada lahan kritis dengan kondisi wilayah
beriklim kering, tanah berbatu, serta tergolong jenis evergreen, maka perlu: 1) menjadikan
pohon ini sebagai tumbuhan konservasi lahan kritis, 2) kajian serta pendekatan silvikultur
untuk pengembangan budidaya pohon faloak, 3) menjadikan faloak sebagai salah satu
sumber pendapatan masyarakat, 4) menguji dan mengidentifikasi kandungan alkaloid,
triterpenoid dan steroid, dan saponin yang terdapat dalam kulit, biji, dan daun faloak sebagai
penghambat pertumbuhan kanker, antibiotik, menurunkan kolesterol, meningkatkan sistem
kekebalan tubuh, dan meningkatkan stamina.
DAFTAR PUSTAKA
360
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS
ABSTRAK
Seiring dengan meningkatnya penggunaan kayu jati umur muda, maka penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui komposisi ekstraktif dari jati dalam fase juvenil. Sampel yang
dipakai adalah kayu jati bibit unggul (Mega) asal Gunungkidul (8 pohon) yang berumur 5
tahun dan jati dari Sei Seruyan, Kalimantan Tengah (3 pohon) yang berumur 7 tahun.
Sebagai pembanding, digunakan pohon jati berumur 18 tahun (hutan rakyat Gunungkidul)
dan 65 tahun (Perhutani, Madiun). Ekstraksi berturutan dilakukan dengan soxhlet melalui 5
pelarut yaitu eter minyak, diklorometana, aseton:air (9:1), etanol:air (8:2) dan air panas.
Kadar ekstraktif total pada kayu juvenil Kalimantan (3,8- 8,8%) lebih tinggi dibandingkan jati
Mega (2,2-5,7%) dimana kadar ekstraktif aseton:air (9:1) merupakan komponen dominan
pada gubal maupun teras. Dibandingkan kayu dewasa, jati juvenil mempunyai nilai rerata
proporsi kadar ekstraktif aseton:air (9:1) di gubal lebih rendah tetapi kadar terlarut etanol:air
(8:2) lebih tinggi. Komposisi fraksi polar-nonpolar relatif tidak berubah pada gubal seiring
umur tetapi cukup bervariasi pada bagian teras.
PENDAHULUAN
Jati merupakan salah satu jenis kayu penting karena reputasinya sebagai kayu yang
berkualitas tinggi. Masyarakat banyak memanfaatkan kayu jati karena memiliki corak kayu
yang indah, berkesan mewah, mudah pengerjaannya, memiliki keawetan alami yang tahan
terhadap organisme perusak kayu dan warnanya yang coklat keemasan. Keunggulan kayu
jati ini juga menyebabkan kayu jati disukai pasar nasional maupun internasional untuk
berbagai macam pemanfaatan.
Ketersediaan akan kayu jati kelas umur tua dari tahun-ketahun terus mengalami
penurunan, sehingga terdapat kecenderungan untuk menggunakan kayu jati yang umurnya
muda (di bawah daur jati) dengan diameter yang semakin kecil pada dua dekade terakhir ini.
Pertimbangan ekonomis tentunya menjadi hal utama untuk segera memanen kayu dibawah
daur. Pemanfaatan kayu muda saat ini lebih banyak dilakukan di hutan rakyat yang tidak
terlalu menuntut daur dan hasil dari penjarangan jati di Perhutani.
Kayu muda mayoritas dihasilkan oleh hutan rakyat dan hasil penjarangan. Kayu
muda ini didominasi oleh kayu gubal dan kayu pada fase juvenil. Menurut Haygreen dan
Bowyer (1989) kayu juvenil adalah kayu yang dibentuk di awal-awal tahun pertumbuhan dan
kayu juvenil terbanyak terbentuk dalam 5-20 lingkaran tahun dengan lama tergantung jenis
spesiesnya. Pustaka mengenai kayu jati juvenil masih sangat sedikit, sedangkan
penggunaan kayu juvenil sekarang ini semakin banyak misalnya, untuk papan partikel dan
papan laminasi menggunakan kayu-kayu sisa penggergajian dan kayu dari pohon yang
diameternya masih kecil untuk diolah menjadi papan yang lebar. Perkembangan ini tentunya
membutuhkan informasi mengenai kayu jati juvenil agar masalah dalam penggunaannya
dapat diminimalisir.
Dalam pemanfaatan kayu, keberadaan kayu juvenil kurang disukai karena sifatnya
yang kurang baik. Salah satu sifat kayu juvenil yang kurang baik adalah keawetan alami.
Keawetan alami merupakan salah satu sifat yang penting karena, pemahaman terhadap
agen-agen serta kondisi-kondisi yang dapat membawa kepada kerusakan kayu merupakan
suatu kunci kepuasan penggunaan produk-produk hutan sebagai bahan bangunan
(Haygreen dan Bowyer, 1989). Hal ini dibuktikan oleh Bhat dan Florence (2003) dimana kayu
juvenil jati kurang tahan terhadap serangan jamur.
361
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Keawetan alami kayu tidak diragukan lagi dipengaruhi oleh sifat kimia kayu seperti
ekstraktif. Kayu jati memiliki ekstraktif-ekstraktif yang dapat mengurangi kerusakan kayu dari
serangan cendawan dan serangga (Sandermann dan Simatupang 1966; Haupt et al. 2003).
Ekstraktif pada kayu memiliki komposisi yang berbeda-beda mulai dari fraksi polar hingga
non polar seperti tanin, gula, kinon, lilin, lemak, dan sebagainya. Kayu jati juvenil ini perlu
diteliti komponen yang ada didalamnya sehingga dapat diketahui perbedaan komponen
dengan kayu jati dewasa. Dari pernyataan diatas, maka perlu diteliti sifat kimia yakni
komposisi ekstraktif kayu jati juvenil pada arah radial dan tempat tumbuh. Beberapa peneliti
telah melakukan penelitian mengenai komposisi ekstraktif pada kayu jati muda seperti
Narayanamurti et al. (1962), Da Costa et al. (1968), dan Lukmandaru dan Takahashi (2008)
akan tetapi pada penelitian ini, komposisi ekstraktif akan diteliti lebih mendalam dengan
ekstraksi secara berurutan sehingga jenis ekstraktif yang ada pada tiap bagian kayu bisa
diketahui senyawa mana yang paling dominan serta membandingkannya dengan pohon
yang lebih dewasa.
Bahan penelitian yang digunakan adalah kayu jati Mega asal Hutan Pendidikan
Wanagama (tanah = mediteran) di Gunung Kidul sebanyak 8 pohon dengan umur 5 tahun
(dbh = 9-14 cm) dan kayu Jati asal Kalimantan (podsolik) umur 7 tahun sebanyak 3 pohon
(dbh= 9-13 cm). Jati Mega merupakan jati bibit unggul yang cepat tumbuh dengan
kelurusannya, percabangannya menunjukkan pertumbuhan yang baik. Pada jati Kalimantan
diameter tidak sebesar jati Mega, akan tetapi persen teras lebih besar (54-86 %)
dibandingkan dengan Jati Mega (7-28%). Jati Kalimantan adalah kayu yang berasal dari
pohon yang ditanam oleh PT. Sari Bumi Kusuma, Sei Seruyan, Kalimantan Tengah. Kontrol
yang digunakan adalah pohon jati juvenile pada umur 18 tahun (dbh = 33 cm) dari hutan
rakyat Gunung Kidul (grumusol) dan jati dewasa 65 tahun (dbh = 43 cm) dari hutan
Perhutani (Madiun, mediteran).
Dari masing-masing pohon pada bagian pangkal (20 cm dari permukaan tanah)
digergaji bentuk disk dengan ketebalan 5 cm. Setiap disk (1 cm dari kulit) dibagi menjadi dua
bagian pada kedudukan radial, yaitu gubal dan teras. Karena diameter dan proporsi teras
relatif besar, pada pohon kontrol arah radialnya dibagi menjadi gubal, teras luar, dan teras
dalam. Pada masing-masing bagian diambil serbuknya. Serbuk halus yang didapatkan
kemudian disaring untuk didapatkan serbuk berukuran 40-60 mesh untuk analisis kimia.
Ekstraksi dengan soxhlet dilakukan secara berturutan melalui 5 pelarut yaitu eter
minyak, diklorometana, aseton:air (8:2, v/v), etanol:air (9:1, v/v) dan air panas masing-
masing selama 6 jam mengacu pada Bauch et al. (1991) yang dimodifikasi. Setelah ekstraksi
selesai, pelarut dihilangkan dan ekstrak dikeringkan dalam oven selama 1 jam (100 0C) dan
dihitung kadar ekstraktifnya berdasarkan berat kering serbuk awal. Kadar ekstraktif non-polar
merupakan penjumlahan kadar ekstraktif terlarut eter minyak dan diklorometana sedangkan
ekstraktif polar adalah aseton:air (8:2), etanol:air (9:1) dan air panas. Kadar ekstraktif total
merupakan penjumlahan dari semua komponen ekstraktif tersebut.
Dari hasil pengamatan komposisi ekstraktif (Tabel 1 dan 2), diketahui bahwa jati
Mega memiliki rata-rata total ekstraktif yang lebih rendah dibandingkan dengan jati
Kalimantan. Perbedaan ini diduga karena perbedaan tempat tumbuh yang besar atau
genetis. Dari pengamatan juga terlihat teras jati Kalimantan berwarna lebih gelap sehingga
wajar bila mempunyai ekstraktif lebih banyak. Total ekstraktif pada jati Mega sekitar 2,84 % -
5,15 % dan jati Kalimantan sekitar 4,67 % - 7,90 %. Nilai tersebut dalam kisaran pada
penelitian jati muda sebelumnya (Lukmandaru dan Takahashi 2008, Da Costa et al. 1958).
Variasi antar pohon cukup besar apabila dinilai dari koefisien variasinya tiap komponen
penyusunnya meski nilainya relatif kecil pada kadar ekstraktif totalnya
362
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS
Pada kayu gubal (Tabel 1), rerata kadar ekstraktif total kayu juvenil asal Kalimantan
lebih tinggi (4,67 %) dari jati Mega (2,84 %). Fraksi polar menunjukkan nilai rerata relatif
tinggi, khususnya kadar ekstraktif aseton:air (9:1) di jati Kalimantan (1,43 %) sedangkan
kadar ekstraktif diklorometana menunjukkan nilai terendah. Secara kuantitatif, perbedaan
mencolok antara jati Mega dan Kalimantan didapatkan pada fraksi polarnya tetapi rata-rata
komposisi kadar ekstraktifnya tidaklah jauh berbeda (Gambar 1). Apabila dibandingkan
dengan kontrol, maka terlihat perbedaan mencolok pada kadar ekstraktif total di bagian
gubal dari kayu asal Perhutani (11,28 %). Dilihat dari komponen penyusunnya maka
perbedaan besar secara kuantitatif antara kontrol jati 18 tahun dan jati juvenil terlihat pada
kadar ekstraktif terlarut aseton:air (9:1) dan terlarut air panas sedangkan antara kontrol jati
65 tahun dan jati juvenile perbedaannya mencolok pada semua kadar ekstraktif terutama
fraksi aseton:air (9:1). Dari grafik komposisi (Gambar 1), maka terlihat kontrol mempunyai
nilai rerata proporsi kadar ekstraktif aseton:air (9:1) di gubal lebih tinggi (44-52 %)
dibandingkan kayu juvenil (23-29 %) tetapi kadar etanol:air (8:2) lebih rendah (14-18%)
dibandingkan juvenil (25-29%). Pelarut aseton:air (9:1). mampu melarutkan senyawa
monomer gula, silitol, dan tanin sedangkan etanol:air (8:2) melarutkan komponen silitol,
polisakarida bermolekul rendah, tanin dan lignin (Bauch et al. 1991). Monomer gula,
polisakarida bermolekul rendah, dan silitol merupakan ekstraktif primer dimana dibutuhkan
sel-sel kayu yang masih hidup dan berfungsi untuk melakukan proses metabolisme.
Kenaikan kadar ekstraktif aseton:air (9:1) dan penurunan kadar ekstraktif terlarut etanol:air
(8:2) dari juvenil ke dewasa mengindikasikan semakin berkurangnya polisakarida bermolekul
rendah diiringi kenaikan monomer gula.
Pada kayu teras (Tabel 2) kecenderungan yang sama dengan kayu gubal juga
terlihat dimana nilai kadar ekstraktif total kayu juvenil asal Kalimantan lebih tinggi (7,90 %)
dari jati Mega (5,15 %). Dari komponen penyusunnya, perbedaan terlihat dimana pada jati
Kalimantan nilai rerata tertinggi didapatkan pada kadar ekstraktif terlarut aseton:air (9:1)
sebesar 2,31 % sedangkan pada jati Mega pada kadar ekstraktif terlarut air panas (1,51 %).
Apabila dari komposisi ekstraktifnya (Gambar 1), terlihat bahwa teras jati Mega mempunyai
proporsi kadar ekstraktif fraksi eter minyak, diklorometana dan air panas lebih tinggi daripada
jati Kalimantan. Perbandingan dengan kontrol maka didapatkan kadar ekstraktif total kayu
juvenil mendekati nilai teras dalam pada jati 18 tahun (7,99 %) dan jauh lebih rendah dari
kadar ekstraktif di bagian teras kontrol lainnya (9-15 %). Dari komponen penyusunnya, rerata
nilai kadar ekstraktif terlarut aseton:air (9:1), yang diduga dari komponen fenolat, pada
kontrol secara konsisten menunjukkan nilai lebih tinggi (2,5-4,2 %) dibandingkan kayu juvenil
(1,1-2,3 %) meski terdapat 1 sampel dari jati Kalimantan yang mempunyai nilai 3,80 %
(sampel no. 3). Pada kadar ekstraktif lainnya cukup variatif antara kayu juvenil dan kontrol.
Pelarut eter minyak mampu melarutkan asam lemak bebas, sterol, lilin, dan paraffin
sedangkan pelarut diklorometana melarutkan ester lemak, asam lemak hidroksi, sterol, ester
triterpena, dan lilin (Bauch et al. 1991). Dari komposisinya (Gambar 1), kenaikan kadar
ekstraktif terlarut eter minyak (28-43 %) maupun diklorometana (13-30%) pada teras jati 65
tahun terlihat jelas dibandingkan kayu juvenil (eter minyak 12-20 %, diklorometana 7-11 %)
yang disertai penurunan proporsi fraksi polarnya di jati 65 tahun terutama kadar terlarut
etanol:air (8:2) dan air panas. Kecenderungan berbeda didapatkan bila membandingkan
dengan kontrol jati 18 tahun dengan kayu juvenil dimana terdapat penurunan pada fraksi
etanol:air (8:2) dan air panas dan kenaikan fraksi aseton:air (9:1) di jati 18 tahun sedangkan
pada fraksi non-polar kecenderungannya bervariasi. Disamping kenaikan nilai kadar
ekstraktif terlarut aseton:air (9:1), fenomena tersebut menjelaskan semakin tua kayu teras
maka akan diikuti oleh semakin banyak terbentuknya fraksi non-polar.
Perubahan dari kayu gubal ke teras diikuti naiknya kadar ekstraktif non-polar serta
berkurangnya komponen ekstraktif aseton:air (9:1) yang terlihat pada jati Mega dan kontrol
tapi tidaklah jelas terlihat pada jati Kalimantan (Gambar 1). Penurunan kadar ekstraktif
etanol:air (8:2) juga terjadi kecuali pada jati Kalimantan dan teras luar jati 65 tahun. Hal
tersebut menunjukkan bahwa ada persamaan antara kecenderungan pembentukan gubal ke
teras dengan peningkatan umur kayu teras yaitu peningkatan fraksi non-polar. Penurunan
ekstraktif aseton:air (9:1) maupun etanol:air (8:2) diduga disebabkan karena berkurangnya
363
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
komponen senyawa monomer gula, silitol, hemiselulosa bemolekul rendah. Kadar ekstraktif
terlarut air panas yang mampu melarutkan hemiselulosa (Bauch et al. 1991) nilainya
bervariasi dari gubal ke teras menunjukkan tidak adanya hubungan langsung komponen
tersebut pada proses pembentukan teras.
Tabel 1. Nilai kadar ekstraktif (%) berdasarkan perbedaan pelarut di bagian gubal kayu Jati
Gambar 1. Rerata komposisi ekstraktif pada kayu jati dengan ekstraksi 5 pelarut berbeda
364
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS
Tabel 2. Nilai kadar ekstraktif (%) berdasarkan perbedaan pelarut di bagian teras kayu Jati
Secara umum, berdasarkan polaritasnya, pada kayu juvenil terlihat adanya kenaikan
fraksi non-polar dari gubal ke teras (Gambar 2). Kecenderungan tersebut juga diamati pada
kayu kontrol. Komposisi fraksi polar (78-81 %) dan non-polar (18-21 %) pada gubal relatif
tidak berbeda pada semua umur sedangkan pada kayu teras cukup bervariasi. Perbedaan
mencolok komposisi polar dan non-polar antara kayu juvenil dan kontrol terlihat pada teras
dalam jati 18 tahun dan teras luar dan dalam jati 65 tahun dimana semakin tua maka kadar
ekstraktif non-polar semakin meningkat. Fraksi non-polar bahkan menjadi dominan pada
bagian teras dalam (57 %) dan teras luar (59 %) di kayu 65 tahun. Perbedaan antara fraksi
non-polar dan polar pada penelitian ini sejalan dengan hasil sebelumnya (Narayanamurti et
al. 1962; Da Costa et al. 1958, Lukmandaru dan Takahashi 2008) meskipun terdapat
perbedaan metode dimana mereka tidak menggunakan pelarut air. Perlu dicatat bahwa
kayu kontrol umur 18 tahun masih mempunyai kadar fraksi polar yang lebih tinggi dari non-
polar. Menarik untuk diketahui apakah komposisi ekstraktif juga akan mengikuti batas juvenil
bila didasarkan sudut fibril yaitu sekitar 20-25 tahun (Bhat et al. 2001). Penelitian lanjutan
perlu dilakukan untuk menentukan pada lingkaran tahun ke berapa komposisi ekstraktif kayu
teras komposisi polar dan non-polar akan berimbang serta korelasi komposisi ekstraktif
dengan keawetan alaminya. Sampel dalam jumlah besar juga perlu untuk memperoleh nilai
koefisen variasi antar pohon yang relatif rendah.
365
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Gambar 2. Rerata komposisi ekstraktif polar dan non-polar pada kayu jati
KESIMPULAN
Kadar ekstraktif total pada kayu juvenil berkisar antara 2,2-5,7 % pada gubal dan 4,2-
8,8 % di teras dimana jati Kalimatan mempunyai kadar ekstraktif lebih tinggi jati dari Mega,
khususnya pada fraksi polar di bagian gubal. Pada kayu teras, jati Mega mempunyai
proporsi kadar ekstraktif fraksi eter minyak, diklorometana dan air panas lebih tinggi daripada
jati Kalimantan. Dibandingkan kayu dewasa, jati juvenil mempunyai nilai rerata proporsi
kadar ekstraktif aseton:air (9:1) di gubal lebih rendah tetapi kadar terlarut etanol:air (8:2)
lebih tinggi. Secara umum, terjadi kenaikan kadar ekstraktif fraksi non-polar dalam
pembentukan gubal ke teras maupun seiring kenaikan umur.
DAFTAR PUSTAKA
Bauch, J., Hundt, H.V., Weimann, G., Lange, W., Kubel, H. 1991. On the Causes of Yellow
Discolorations of Oak Heartwood (Quercus Sect. Robur) during Drying.
Holzforschung 45: 79-85.
Bhat, K.M., Florence E.J.M. 2003. Natural Decay Resistance of Juvenile Teak Wood Grown
in High Input Plantations. Holzforschung 57 :453-455
Bhat, K.M., Priya, P.B., Rugmini, P. 2001. Characterisation of Juvenile Wood in Teak. Wood
Science and Technology 34: 517-532.
Da Costa, E.W.B., Rudman, P., Gay, F.J. 1958. Investigations on the Durability of Tectona
grandis. Empirical Forestry Review 37: 291298.
Haygreen, J.G., Bowyer, J.L. 1989. Hasil Hutan dan Ilmu Kayu. Gadjah Mada University
Press (terjemahan). Yogyakarta.
Haupt, M., Leithoff, H., Meier, D., Puls, J., Richter, H.G., Faix, O. 2003. Heartwood
Extractives and Natural Durability of Plantation-Grown Teakwood (Tectona grandis
L.) a Case Study. Holz als Roh- und Werkstoff 61:473 474.
Lukmandaru, G., Takahashi, K. 2008. Variation in the Natural Termite Resistance of Teak
(Tectona grandis Linn. fil.) Wood as a Function of Tree Age. Ann. For. Sci. 65: 708
p18.
Narayanamurti, D., George, J., Pant, H. C., Singh, J. 1962. Extractive in Teak. Silvae
Genetica, 11:57-63
Sandermann, W., Simatupang, M.H. 1966. On the Chemistry and Biochemistry of Teakwood
(Tectona grandis L. f.). Holz als Rohund Werkstoff 24:190204.
366
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS
ABSTRAK
Kulit dari pohon sikkam (Bischotia javanica) di daerah Sumatera Utara telah
digunakan sebagai bahan penyedap rasa makanan. Penduduk sekitar sama sekali tidak
menggunakan campuran dari bahan-bahan penyedap makanan berbahan kimia untuk
memasak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sifat kimia dari kulit sikkam serta
membandingkannya rasanya dengan penyedap rasa komersial. Dari hasil pengujian
diperoleh kadar protein sebesar 2,45 2,48%, kadar lemak 0,41- 0,47% (metode fk:6.25).
Pada pengukuran zat anorganik melalui pengabuan dengan suhu 6000c diperoleh kadar abu
ekstrak sebesar 0,23% dengan kadar kalsium, besi, fosfor berturut-turut sebesar 35, 41, dan
196 ppm. Melalui uji fitokimia telah terdeteksi senyawa saponin dan tanin. Dari hasil uji
sensori terhadap 14 responden diperoleh hasil 2 gram penyedap rasa komersial sebanding
dengan 6 gram ekstrak sikkam. Berdasarkan hasil uji tersebut dapat disimpulkan bahwa kulit
sikkam berpotensi untuk bahan penyedap rasa alami.
Kata kunci: Bischotia javanica, kulit, ekstrak, penyedap rasa, sifat kimia.
PENDAHULUAN
Beberapa bahan baku makanan dicampuri oleh bahan-bahan kimia yang dapat
merusak kerja sistem organ dalam jangka waktu lama, demikian pula zat penyedap rasa
komersial yang umumnya mengandung zat kimia sintetis. Untuk meminimalisir masalah
tersebut, kami berkaca tentang pemanfaatan kulit dari pohon sikkam (Bischotia javanica) di
daerah Sumatera Utara. Penduduk sekitar sama sekali tidak menggunakan campuran dari
bahan-bahan penyedap makanan berbahan kimia untuk memasak namun menggunakan
ekstrak kulit sikkam sebagai penyedap makanan. Hal ini merupakan suatu terobosan untuk
jangka waktu ke depannya dalam menjaga kesehatan manusia.
Sikkam berupa pohon besar yang tingginya dapat mencapai 40 m, diameter batang
95 - 150 cm. Batangnya lurus, tanpa mata kayu ataupun bomi akar, tidak beralur. Bentuk
daun bundar telur yang berbagi/berlekuk tiga serta meruncing ke ujung daun. Duduk daun
atau letaknya spiral/melingkar, mempunyai tangkai daun panjang. Tumbuh di dataran rendah
sampai ketinggian 1500 m dpl. (Khan et al. 2001). Kulit sikkam mempunyai beberapa
manfaat, yang salah satunya adalah pemanfaatan kulit sikkam sebagai bahan alternatif
penyedap makanan. Keunggulan produk ini adalah berupa bahan alami yang diasumsikan
mengandung senyawa-senyawa yang bermanfaat bagi tubuh dan tidak menyebabkan efek
samping pada tubuh. Segi positif lainnya adalah karena produksinya masih menggunakan
cara tradisional dan tidak ada limbah. Selain itu juga dapat mengurangi penyakit-penyakit
yang disebabkan oleh bumbu-bumbu dari bahan kimia sintetis.
Penelitian tentang kulit sikkam sebagai bahan penyedap rasa makanan belum
pernah dilakukan. Dalam penelitian ini, bahan berupa kulit sikkam dianalisa secara kimia
yaitu kandungan protein, lemak, zat anorganik, serta fitokimianya. Selain itu tujuan lainnya
adalah mengukur potensi dari rendemen ekstraknya serta menbandingkan penyedap rasa
dari sikkam dengan penyedap rasa komersial.
367
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Kulit sikkam diperoleh dari pohon yang tumbuh di Medan. Sebanyak 371,5 gram kulit
sikkam (setara berat kering) diperoleh dari pengelupasan satu batang pohon. Kulit dipotong-
potong dan ditumbuk atau diperas untuk mendapatkan ekstraknya. Untuk menghilangkan
minyaknya, ekstrak sikkam dilarutkan dalam pelarut diklorometana melalui labu pemisah.
Fraksi berair kemudian diambil dan dikeringkan dengan cabinet dryer selama 3-4 jam.
Setelah didapatkan ekstrak keringnya, dilakukan perhitungan rendemen dan pengujian
antara lain :
1. Pengukuran kadar protein dan lemak
Ekstrak kering sebanyak 4 gram dilarutkan dalam 30 ml HCl 5M dan dipanaskan
dengan refluks selama 4 jam. Larutan yang sudah terhidrolisis kemudian disaring
dengan kertas Whatmann no.40 dan dinetralkan dengan NaOH sampai pH 5-6.
Selanjutnya ekstrak tersebut dianalisa dengan metode fk: 6.25 untuk kadar protein dan
lemaknya (Sudarmadji et al. 1984)
2. Pengukuran kadar zat anorganik
Sebanyak 1 g ekstrak kering diabukan sampai suhu 6000C selama kurang lebih
3-4 jam. Abu yang tersisa ditimbang untuk mengetahui kadar abunya dan kemudian
dilarutkan dengan HCl 6M untuk mengetahui kadar abu tak larut asam mengacu standar
TAPPI T 244 om88 (1992). Dari hasil penyaringan, destilatnya diuji kadar kalsium, besi,
dengan alat Atomic Absorption Flame Emission Spectrophotometer 6200 Shimadzu dan
uji kadar fosfor dengan alat Spectrophotometer 1700 Shimadzu.
3. Uji Fitokimia
a. Alkaloid
Sejumlah 0,5 g ekstrak ditambahkan 5 mL kloroform-amoniak, lalu disaring ke
dalam tabung reaksi. Filtrat ditambahkan dengan beberapa tetes H2SO4 2 M dan
dikocok sehingga terpisah dua lapisan, lalu diambil lapisan yang atas (bening) dan
ditaruh diwadah gelas. Lapisan atas tersebut ditetesi reagen Meyer, lalu bila terlihat
endapan putih maka ekstrak tersebut positif mengandung alkaloid.
b. Flavonoid
Sejumlah 0,5 g ekstrak ditambah 1-2 ml metanol 50 % sampai serbuk
terendam seluruhnya dan diaduk. Setelah itu dipanaskan sampai mendidih lalu
disaring dengan kertas saring. Hasil saringan ditetesi 1-5 tetes NaOH 1%. Setelah itu
dikocok, dan bila terlihat warna kuning berarti ekstrak tersebut positif mengandung
flavonoid.
c. `Saponin
Sebanyak 0,5 g ekstrak dimasukkan ke dalam tabung reaksi lalu ditambahkan
air sebanyak 5 ml lalu diaduk. Kemudian dipanaskan selama 5 menit lalu disaring
dengan kertas saring dan dikocok-kocok. Setelah dikocok terlihat buih yang tidak
hilang sampai 10 menit, maka ekstrak tersebut mengandung saponin.
d. Tanin
Sebanyak 0,5 g ekstrak dimasukkan kedalam tabung reaksi lalu ditambahkan
air sebanyak 5 ml kemudian diaduk-aduk. Setelah itu dipanaskan selama beberapa
menit lalu disaring dengan kertas saring. Hasil penyaringan ditetesi 5-10 tetes FeCl3
1%. Bila warnanya menjadi biru gelap atau hijau gelap maka ekstrak tersebut positif
mengandung tanin.
4. Uji Sensori
Uji sensori dilakukan dengan membuat sampel yaitu berupa ayam opor dalam
500 ml air dan 200 ml santan. Setiap sampel tersebut diberi perlakuan 2, 4, dan 6 g
ekstrak kering sikkam. Sebagai pembanding sampel opor ayam tersebut diberi 2 g
penyedap rasa komersial. Keempat sampel makanan diberikan kepada 14 responden
yang tidak mengetahui perlakuan pada ayam opor tersebut. Kemudian semua
responden memberi penilaian terhadap keempat sampel dengan nilai yaitu :
368
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS
5 = sangat enak
4 = enak
3 = tidak enak
HASIL PENELITIAN
Hasil dari penelitian dapat diperoleh bahwa bahan baku berupa kulit sikkam dalam
keadaan kering setara 371,5 gram dapat menghasilkan ekstrak kering berupa padatan
sebanyak 14,3 gram sehingga didapatkan hasil rendemen dari sikkam tersebut sebanyak 3,8
%. Dengan mengasumsikan dalam satu pohon tinggi 12 m dimana 1 meter akan
menghasilkan 0,5 kg kulit (keadaan kering) maka akan dihasilkan sekitar 0,2 kg ekstrak
kering.
Hasil pengujian kadar protein, lemak, zat anorganik serta uji fitokimia pada kulit
sikkam dan perbandingannya dengan penyedap rasa lainnya dapat dilihat pada Tabel 1. Dari
hasil penelitian diatas dapat disimpulkan bahwa kandungan dari kulit sikkam tersebut
mempunyai kandungan gizi yang cukup tinggi dari berbagai contoh bahan baku yang
lainnya. Pada tabel di atas dapat dilihat bahwa kandungan protein dari sikkam tersebut lebih
tinggi dari kandungan protein jahe dan kunyit, tetapi lebih rendah dari kecap dan santan.
Pada kandungan lemak, ekstrak sikkam memeliki nilai lebih rendah dari bahan baku lainnya.
Pada kandungan zat anorganik seperti kalsium, besi, dan fosfor, ekstrak sikkam mempunyai
nilai yang cukup tinggi dari beberapa bahan baku lainnya. Hal tersebut menunjukkan kulit
sikkam tersebut dapat dimanfaatkan sebagai bahan alternatif penyedap rasa makanan
karena memiliki nilai gizi tinggi. Dari data diatas juga dapat dilihat bahwa kulit sikkam
terdeteksi adanya saponin dan tanin yang bisa berpengaruh positif terhadap tubuh manusia
seperti anti-oksidan.
Tabel1. Sifat kimia dari kulit sikkam dan perbandingan dengan bahan baku lainnya
Untuk mengetahui bisa diterima atau tidaknya rasa penyedap dari kulit sikkam maka
dilakukan uji sensoris. Hasil pengujian sensori dapat dilihat pada diagram dibawah ini :
369
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Gambar 1. Hasil uji sensori pada ekstrak kulit sikkam sebagai penyedap rasa
( n = 14 responden)
Dari diagram diatas terlihat bahwa skor tertinggi didapatkan pada perlakuan 6 g
ekstrak sikkam yaitu 58. Apabila dibandingkan dengan penyedap rasa komersial maka
nilainya sebanding. Hal ini menunjukkan bahwa dengan kadar relatif tinggi, kulit sikkam
mampu mendekati penyedap rasa komersial. Dibawah 6 g ekstrak sikkam skornya masih
dibawah penyedap komersial.
KESIMPULAN
Karakterisasi beberapa sifat kimia kulit sikkam serta uji sensorinya untuk pertama kali
dilaporkan. Dari hasil penelitian didapatkan rendemen ekstrak kulit sikkam sebesar 3,8%
dengan rerata kadar proten dan lemak sebesar 2,46 dan 0,45% secara berturutan. Pada zat
anorganik, didapatkan kadar abu, abu tak larut asam, kalsium, besi dan fosfor sebesar
2,93%, 1,15%, 35 ppm, 41 ppm, 196 ppm secara berturutan. Pada ekstrak sikkam terdeteksi
tanin dan saponin. Berdasarkan hasil uji sensori perlakuan dengan 6 g ekstrak sikkam
mempunyai skor yang sama dengan 2 g penyedap rasa komersial. Dari hasil perbandingan
dengan bahan baku lainnya kulit sikkam berpotensi dijadikan bahan penyedap rasa alami
alternatif.
DAFTAR PUSTAKA
Khan, M. R., M. Kihara dan A. D. Omoloso, 2001. Anti-microbial Activity of Bidens pilosa,
Bischofia javanica, Elmerillia papuana and Sigesbekia orientalis. Department of
Applied Sciences, Papua New Guinea University of Technology, P.M.B. Lae, Papua
New Guinea.
Sediaoetama, A.D. Ilmu Gizi, Masalah Gizi dan Perbaikannya, Jilid 1, PT Dian Rakyat,
Jakarta, 1976.
Sudarmadji, S., Haryono, B., Suhardi, 1984, Prosedur Analisa Bahan Makanan dan
Pertanian, Liberty, Yogyakarta.
TAPPI. 1992. TAPPI Test Method. Tappi Press. Atlanta, Georgia.
370
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh suhu kempa dalam pembuatan
pellet yang terbuat tandan kosong sawit (TKS), cangkang sawit (CS), dan pelepah sawit
(PS). Serat TKS, CS dan PS dihancurkan menjadi partikel kecil (lolos 40 mesh), kemudian
dikeringkan. Setelah dikeringkan, partikel dicetak dan dikempa menjadi pellet menggunakan
mesin pellet konvensional (sistem kempa) pada suhu 150qC, 200qC dan 250qC selama 10
menit. Morfologi, kerapatan, kadar air, kadar abu, nilai kalor pembakaran dan kekuatan
mekanis dihitung untuk mengetahui kualitasnya. Kerapatan pellet berkisar antara 0,45-0,95
g/cm3, dimana yang tertinggi pada pellet CS sebesar 0,95 g/cm3 dan terendah pada pellet
PS sebesar 0,45 g/cm3. Kadar air pellet berkisar antara 0,99-2,27%, dimana yang terkecil
dan terbesar terdapat pada pellet dari PS. Kadar abu pellet berkisar antara 4,47-20,06 (%),
dimana yang terkecil pada pellet PS sebesar 4,47% dan terbesar pada pellet CS sebesar
20,06%. Nilai kalor pellet berkisar antara 3.073-4.103 Kal/g, dimana yang terbesar pada
pellet PS sebesar 4.103 Kal/g dan terkecil pada pellet CS sebesar 3.073 Kal/g. Semakin
tinggi suhu kempa menyebabkan kerapatan masing-masing pellet meningkat, kadar air dan
abunya menurun dan nilai kalornya meningkat. Pellet dengan bahan baku pelepah sawit
yang diproses pada suhu 200-250C menunjukkan hasil terbaik.
Kata kunci: tandan kosong sawit, cangkang sawit, pelepah sawit, pellet, kualitas.
PENDAHULUAN
Biomassa meliputi semua bahan yang bersifat organik (El Bassam dan Maegaard,
2004). Bahan yang termasuk biomassa antara lain sisa hasil hutan dan perkebunan, limbah
pertanian, kayu dan limbah kayu, tanaman air, dan limbah industri serta limbah permukiman
(Bergman dan Zerbe, 2004).
Biomassa dapat dipergunakan sebagai sumber bahan bakar untuk panas, listrik dan
transportasi (Siemers, 2006). Namun, biomassa tidak dapat langsung dibakar karena sifat
fisiknya yang buruk seperti kerapatan energi yang rendah (Saptoadi, 2006). Untuk
meningkatkan kandungan energi tiap satuan volume dan mengurangi biaya transportasi,
maka metode densifikasi menjadi alternatifnya (Leach dan Gowen, 1987). Produk sebagai
sumber energi yang dihasilkan dari biomassa dengan metode densifikasi diantaranya adalah
briket dan pellet.
Pellet diproduksi pertama kali di Swedia pada tahun 80-an. Pada tahun 2008, total
konsumsi pellet di swedia sebesar 1.850.000 ton (FORCE Technology, 2009). Pellet
biomasa (bio-pellet) adalah bahan bakar yang diproses melalui proses densifikasi dari bahan
lignoselulosa. Bahan lignoselulosa yang biasa digunakan adalah kayu, limbah pengolahan
kayu, dan sumber-sumber biomassa non-kayu. Bio-pellet rata-rata memiliki panjang 1.5 cm,
diameter 1 cm dan berat 25 gram. Kalori yang dihasil bio-pellet berkisar antara 4.000-5.000
kilo kalori/kilogram setara dengan kalori batubara muda. Sedangkan kadar abunya cukup
rendah antara 2-5%, sehingga akhir dari penggunaan bio-pellet tidak terlalu menimbulkan
masalah baru (Fasina and Sokhansanj, 1993). Dengan demikian, diharapkan penggunaan
batubara yang tidak ramah lingkungan dapat disubtitusi bahkan diganti dengan bio-pellet di
masa mendatang.
371
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
METODOLOGI
Pembuatan pellet
Proses pencetakan bio-pellet dimulai dengan memasukkan partikel kering TKS, PS
dan CS ke dalam lubang pencetak pada alat pellet konvensional. Alat pellet ini
menggunakan tenaga penggerak panas dari listrik dan dioperasikan secara manual. Proses
pencetakan menggunakan suhu 150, 200, 2500C selama 10 menit. Bio-pellet yang
dihasilkan disimpan dalam karung plastik dan ditutup rapat untuk menjaga kadar air tidak
naik. Selanjutnya, bio-pellet diamati morfologinya, diuji kerapatan (ASTM D4784), kadar air
(ASTM D3173), kadar abu (ASTM D3174), nilai kalor (ASTM D1989) dan kekuatan
mekanisnya. Hasil pengujian kemudian dibandingkan dengan standar bio-pellet yang
dipergunakan dibeberapa negara (Tabel 1) untuk mengetahui capaian kualitasnya dan
dibandingkan dengan standar.
372
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS
Morfologi bio-pellet
Produk bio-pellet dihasilkan melalui proses pencetakan dengan alat konvensional
sistem kempa yang dapat diatur penggunaan suhunya. Pada penelitian ini parameter suhu
yang dipergunakan adalah 150qC, 200qC dan 250qC dengan lama kempa 10 menit.
Morfologi bio-pellet menggunakan suhu 200qC tersaji dalam Gambar 1.
Gambar 1. Produk bio-pellet dengan perlakuan pemanasan pada suhu 200qC (kiri-kanan);
TKS, PS, CS, dan yang dihasilkan industri (limbah gergajian kayu sengon).
Secara umum, bio-pellet dapat dihasilkan dengan menggunakan suhu mulai 150qC
dengan lama kempa 10 menit. Pellet yang dihasilkan pada penelitian ini teksturnya tidak
mengkilap, diraba akan terasa kasar, materialnya mudah terurai bila terkena guncangan,
beratnya lebih ringan (per satuan volume). Bila dibandingkan dengan bio-pellet yang
dihasilkan menggunakan mesin ekstruder (lazim dipergunakan di industri), maka secara fisik
nampak perbedaan yang sangat jelas. Pellet ekstruder memiliki penampakan mengkilap,
licin, keras (Gambar 1) dan lebih berat (per satuan volume) dibanding pellet konvensional
yang dihasilkan pada penelitian ini. Kondisi tersebut terjadi karena materialnya ditekan dan
dicetak dengan tekanan tinggi pada saat proses pembuatan pellet.
Kondisi fisik/morfologi bio-pellet dari tiga jenis material dengan perbedaan suhu
kempa menunjukkan perbedaan. Bio-pellet pelepah sawit terbentuk dan tidak mudah terurai
mulai suhu 200qC, sedangkan bio-pellet tandan sawit dan cangkang sawit terbentuk dan
tidak mudah terurai mulai suhu 250qC. Bio-pellet cangkang sawit sulit dibentuk karena
terlalu kering sedangkan bio-pellet tandan kosong mudah terurai karena sulit untuk dibuat
menjadi partikel yang halus. Bio-pellet pelepah sawit berwarna coklat setelah dicetak
dengan suhu kempa 150-200qC dan berubah menjadi coklat kehitaman setelah dicetak
dengan suhu kempa 250qC. Hal yang sama juga terdapat pada bio-pellet tandan kosong
sawit, setelah dicetak dengan suhu kempa 150-200qC dan berubah menjadi coklat
kehitaman setelah dicetak dengan suhu kempa 250qC. Sedangkan bio-pellet cangkang
sawit tetap berwarna hitam seperti bahan bakunya.
373
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Kerapatan bio-pellet
Kualitas bio-pellet salah satunya tergantung dari berat jenis material pembentuknya.
Pada Tabel 2, tersaji berat jenis tiga material yang dipergunakan dalam penelitian ini.
Pelepah sawit memiliki berat jenis paling rendah (0,45 g/cm3) dan cangkang sawit memiliki
berat jenis paling besar (0,94 g/cm3). Perbedaan berat jenis ini akan berpengaruh terhadap
kekompakan material dalam produk bio-pellet. Bio-pellet dari material dengan berat jenis
rendah akan lebih kompak sehingga secara fisis tidak mudah terurai karena guncangan
mekanis.
Tabel 2. Berat jenis PS, TKS dan CS sebagai bahan baku produk bio-pellet.
Bio-pellet yang dihasilkan dari pelepah sawit memiliki kualitas fisik paling baik
dibanding material lainnya. Pada kerapatan bio-pellet yang sama antar material, maka bio-
pellet pelepah sawit dengan kerapatan material paling rendah membutuhkan partikel dengan
volume terbesar. Sehingga, dengan volume yang besar saat pencetakan, partikel-partikel
yang membentuk bio-pellet akan menyatu secara kompak (rasio kekompakkan tinggi).
1 PS TS CS
Kerapatan Bio-pellet (g/cm3)
0.8
0.6
0.4
0.2
0
150 200 250
Suhu Kempa (C)
374
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS
2.5 PS TS CS
2
Kadar Air (%)
1.5
0.5
0
150 200 250
Suhu Kempa (C)
Gambar 3. Kadar air bio-pellet yang dihasilkan dari PS, TKS dan CS pada
suhu kempa 150, 200, 250C selama 10 menit.
Kadar air bio-pellet dari pelepah, tandan dan cangkang sawit yang dihasilkan dengan
pencetakan pellet pada suhu 150-250qC selama 10 menit tersaji pada Gambar 3. Kadar air
bio-pellet untuk seluruh material berkisar antara 0,99-5,83%. Standar kadar air bio-pellet di
beberapa negara harus di bawah 10-15%, sehingga kadar air bio-pellet yang dihasilkan
sudah memenuhi standar yang dipersyaratkan beberapa negara seperti tersaji pada Tabel 3.
Kadar air terendah terdapat pada bio-pellet pelepah sawit sebesar 0.99% dan tertinggi juga
pada bio-pellet pelepah sawit sebesar 2.27%. Maka berdasarkan data di atas, kadar air bio-
pellet menurun dengan semakin tingginya suhu kempa.
375
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
25 PS TS CS
20
10
0
150 200 250
Suhu Kempa (C)
Gambar 4. Kadar abu bio-pellet yang dihasilkan dari PS, TKS dan CS pada
suhu kempa 150, 200, 2500C selama 10 menit.
4500 PS TS CS
4000
Nilai kalor (Kal/gr)
3500
3000
2500
2000
1500
1000
500
0
150 200 250
Suhu Kempa (C)
Gambar 5. Nilai kalor pembakaran bio-pellet yang dihasilkan dari PS, TKS dan CS
pada suhu kempa 150, 200, 250C selama 10 menit.
376
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS
KESIMPULAN
1. Partikel pelepah, tandan dan cangkang sawit telah dapat dibuat bio-pelet menggunakan
alat pencetak pellet konvensional pada suhu 150-250qC selama 10 menit.
2. Suhu optimum untuk menghasilkan bio-pellet yang tidak mudah terurai adalah 200-
250qC.
3. Kerapatan bio-pellet seluruh material berkisar antara 0,45-0,97 g/cm3, dan belum
memenuhi standar (0,6-1,4 g/cm3). Kerapatan tertinggi pada pellet cangkang sawit
sebesar 0,95 g/cm3 dan terendah pada pellet pelepah sawit sebesar 0,45 g/cm3.
4. Kadar air bio-pellet seluruh material berkisar antara 0,99-5,83%, dan sudah memenuhi
standar, yaitu harus di bawah 10-15%. Kadar air terkecil dan terbesar terdapat pada
pellet pelepah sawit.
5. Kadar abu bio-pellet seluruh material sangat tinggi berkisar antara 4,15-20,06%,
sedangkan standar kadar mensyaratkan harus di bawah 0,5-6%. Kadar abu terkecil
pada pellet pelepah sawit (4,47%) dan terbesar pada pellet cangkang sawit (20,06%).
6. Nilai kalor bio-pellet untuk seluruh material telah memenuhi standar yaitu berkisar antara
3,073-4,195 Kal/gr. Nilai kalor terbesar terdapat pada pellet pelepah sawit (4.103 Kal/g)
dan terkecil pada pellet cangkang sawit (3.073 Kal/g).
7. Semakin tinggi suhu kempa menyebabkan kerapatan masing-masing pellet meningkat,
kadar air dan abunya menurun dan nilai kalornya meningkat. Pellet dengan bahan baku
pelepah sawit yang diproses pada suhu 200-250qC menunjukkan hasil terbaik.
UCAPAN TERIMAKASIH
Kami mengucapkan terima kasih kepada Jayadi, Sudarmanto, Syaiful dan Fazhar
yang telah membantu terselesaikannya penelitian ini, juga kepada Pusat Inovasi LIPI yang
telah membiayai penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
377
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
378
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS
ABSTRAK
Industri hasil hutan adalah industri terpadu dan ramah lingkungan serta dapat dibagi
menjadi industri kayu dan non kayu.Salah satu industri non kayu yang dapat menjadi industri
terpadu dan ramah lingkungan adalah industri penyulingan minyak kayu putih.Dalam
prosesnya, penyulingan minyak kayu putih menghasilkan limbah penyulingan berupa limbah
padat dan limbah cair. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh bahan baku, suhu
aktivasi, dan interaksi di antara keduanya terhadap rendemen dan kualitas arang aktif dari
limbah daun dan ranting penyulingan minyak kayu putih. Arang aktif dengan kualitas terbaik
diterapkan untuk penjernihan air limbah penyulingan minyak kayu putih sehingga industri
penyulingan minyak kayu putih dapat menjadi industri terpadu dan ramah lingkungan.
Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap yang disusun secara faktorial
dengan dua aras yaitu bahan baku (daun dan ranting) serta suhu aktivasi (750oC dan 850oC)
dengan masing-masing perlakuan lima ulangan. Penelitian dilakukan dengan mengarangkan
limbah daun dan ranting penyulingan minyak kayu putihdalam retort listrik pada suhu 450oC
selama 3 jam. Proses aktivasi dilakukan secara fisika / thermal. Nilai rata-rata dianalisis
dengan analisis varians. Pengujian kualitas arang aktif berdasarkan Standar Mutu Arang
Aktif Teknis Serbuk SNI 06-3730-1995.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa arang aktif yang dihasilkan memiliki rendemen
berkisar antara 72,659 - 82,420%; kadar air 6,500 - 9,720%; kadar volatile 45,780 -
50,780%; kadar abu 8,010 - 14,360%; kadar karbon terikat 36,520 - 46,210%; daya serap
benzena 8,436 - 12,800%; daya serap iodium 355,320 - 805,815 mg/g; dan daya serap
metilen biru 129,195 - 132,785 ml/g. Kualitas arang aktif terbaik dihasilkan dari perlakuan
dengan bahan baku ranting pada suhu aktivasi 750oC. Arang aktif ini diterapkan sebagai
penjernih air limbah penyulingan minyak kayu putih. Hasil analisis terhadap air limbah
setelah diperlakukan dengan arang aktif kualitasnya menjadi lebih baik dan memenuhi
kriteria baku mutu limbah cair golongan I menurut SK Menteri Negara Lingkungan Hidup
No.03/MENKLH/II/1991 untuk T S S, pH, phenol, dan NO2. Peningkatan kualitas ditunjukkan
dengan adanya penurunan warna 73,077%; penurunan T S S 23,750%; penurunan phenol
40,000%; penurunan COD 3,603%; penurunan BOD5 42,163%; penurunan NO2 86,364%;
dan kadar pH air nilainya dari 4 berubah menjadi 7.
Kata kunci: arang aktif, Melaleuca cajuputi Powell, limbah penyulingan minyak kayu putih,
penjernih, air limbah penyulingan minyak kayu putih
PENDAHULUAN
Menurut Dinas Kehutanan dan Perkebunan DIY (2007), luas areal pemungutan daun
kayu putih sebesar 3.576,64 ha dengan jumlah daun yang diolah sebesar 4.199,81 ton.Luas
areal pemungutan daun kayu putih di pabrik penyulingan minyak kayu putih di daerah
Sendangmole Playen Gunung Kidul sebesar 1.847 ha dengan jumlah daun dan ranting yang
disuling mencapai 1802 ton (Data Sekunder, 2009).Pabrik penyulingan minyak kayu putih di
daerah Sendangmole Playen Gunung Kidul menggunakan limbah padat berupa daun dan
ranting kayu putih yang telah disuling menjadi briket.Berat per briket sebesar 5 kg.
Kebutuhan setiap kali masak sebesar 90 kg selama 4 jam dalam dua buah bak pemasakan.
379
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Proses pemasakan membutuhkan briket sebesar 3600 kg selama sehari dengan empat kali
pemasakan setiap harinya (Ningsih, 2008). Kebutuhan bahan bakar dipenuhidengan 30%
limbah yang dihasilkan, maka masih terdapat limbah penyulingan minyak kayu putih sebesar
1261,4 ton (Data Sekunder, 2009). Arang aktif yang dihasilkan kemudian diterapkan sebagai
penjernih air limbah penyulingan minyak kayu putih.
Bahan baku yang digunakan adalah limbah daun dan ranting penyulingan minyak
kayu putih (Melaleuca cajuputi Powell), larutan benzoat teknis, larutan iodium, larutan
natrium thiosulfat, larutan kanji, larutan metilen biru, dan aquades
Peralatan utama yang digunakan antara lain : oven, retort listrik, cawan porselin,
ayakan, furnace, desikator, timbangan analitik, cruisable, cawan arloji, gelas ukur,
Erlenmeyer, stirrer, multi shaker, spektrofotometer, dan gelas beker.
Penelitian dilakukan dengan tahapan sebagai berikut :
1. Tahap Pirolisis : pengarangan pada suhu 450 oC selama 3 jam
2. Tahap Aktivasi : aktivasi fisis pada suhu 750 oC dan 850 oC selama 60 menit
3. Tahap Pengujian : rendemen, kadar air, kadar abu, kadar volatile, kadar karbon terikat,
daya serap terhadap benzene, daya serap terhadap iodium, daya serap terhadap
metilen biru (SNI 06-3730-1995).
Data yang diperoleh dianalisis dengan analisis sidik ragam.Arang aktif kualitas terbaik
yang dihasilkan digunakan sebagai penjernih air limbah penyulingan minyak kayu putih.
Tabel 1. Kualitas arang aktif limbah daun dan ranting penyulingan minyak kayu putih
Parameter
Daya
Kadar Daya Daya
Perlakuan Rendemen Kadar Kadar Kadar
Karbon Serap Serap
Serap
Air Volatile Abu Metilen
(%) Terikat Benzena Iodium
(%) (%) (%) Biru
(%) (%) (mg/g)
(ml/g)
A1B1 75,049 9,620 50,780 10,050 39,170 11,718 805,815 131,570
A1B2 72,659 9,720 45,780 8,010 46,210 12,800 647,195 132,785
A2B1 82,420 6,500 50,600 12,880 36,520 8,436 355,320 129,195
A2B2 75,030 7,320 47,460 14,360 38,180 10,698 494,910 131,915
SNI 1995 - 15 25 10 65 25 750 120
380
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS
Signifikansi
Parameter
Bahan Baku Suhu Aktivasi Bahan Baku * Suhu Aktivasi
Rendemen 36,680** 37,022** 9,657**
Kadar Air 36,658** 1,018ns 0,624ns
Kadar Volatile 0,124ns 3,666 ns
0,191ns
ns
Kadar Abu 138,697** 0,516 20,392**
Kadar Karbon Terikat 6,791* 4,506* 1,723ns
Daya Serap Benzena 113,811** 43,909** 5,459 *
Daya Serap Iodium 392,378** 0,391ns 96,035**
Daya Serap Metilen Biru 21,270** 31,277** 4,575 *
381
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
arang aktif berbahan baku ranting lebih rendah dari arang aktif berbahan baku daun.
Semakin tinggi suhu aktivasi maka kadar abu yang diperoleh semakin turun pada arang aktif
berbahan baku ranting. Pada arang aktif berbahan baku daun, semakin tinggi suhu aktivasi
maka kadar abu yang diperoleh semakin besar. Menurut Pari dkk (1996), peningkatan kadar
abu disebabkan oleh proses oksidasi arang aktif dari partikel halus yang dapat mengurangi
kemampuan menyerap gas dan larutan. Kandungan mineral yang terdapat dalam abu
seperti kalium, natrium, magnesium, dan kalsium akan menyebar dalam kisi-kisi arang aktif
sehingga menutupi pori arang aktif (Hendra dan Pari, 1999).
382
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS
Hasil pengujian kualitas air limbah setelah diperlakukan dengan arang aktif
menunjukkan bahwa :
Warna mengalami penurunan sebesar 73,077% dari 65 Pt-Co sebelum perlakuan
dengan arang aktif menjadi rata-rata sebesar 17,5 Pt-Co setelah perlakuan dengan arang
aktif.
TSS mengalami penurunan sebesar 23,750% dari 80 mg/l sebelum perlakuan
dengan arang aktif menjadi rata-rata sebesar 61 mg/l setelah perlakuan dengan arang aktif.
TSS yang telah diberi perlakuan dengan arang aktif sesuai dengan baku mutu limbah cair
golongan I menurut SK Menteri Negara Lingkungan Hidup No.03/MENKLH/II/1991.
pH mengalami perubahan dari pH 4 sebelum perlakuan dengan arang aktif menjadi
rata-rata sebesar pH 7 setelah perlakuan dengan arang aktif. pH yang telah diberi perlakuan
dengan arang aktif sesuai dengan baku mutu limbah cair golongan I menurut SK Menteri
Negara Lingkungan Hidup No.03/MENKLH/II/1991.
Phenol mengalami penurunan sebesar 40,000% dari 0,0005 mg/l sebelum perlakuan
dengan arang aktif menjadi rata-rata sebesar 0,0003 mg/l setelah perlakuan dengan arang
aktif. Phenol yang telah diberi perlakuan dengan arang aktif sesuai dengan baku mutu
limbah cair golongan I menurut SK Menteri Negara Lingkungan Hidup
No.03/MENKLH/II/1991.
383
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
COD mengalami penurunan sebesar 3,603% dari 2465,91 mg/l sebelum perlakuan
dengan arang aktif menjadi rata-rata sebesar 2377,06 mg/l setelah perlakuan dengan arang
aktif. COD yang telah diberi perlakuan dengan arang aktif tidak sesuai dengan baku mutu
limbah cair menurut SK Menteri Negara Lingkungan Hidup No.03/MENKLH/II/1991.
BOD5 mengalami penurunan sebesar 43,163% dari 1919,66 mg/l sebelum perlakuan
dengan arang aktif menjadi rata-rata sebesar 1091,075 mg/l setelah perlakuan dengan arang
aktif. BOD5 yang telah diberi perlakuan dengan arang aktif tidak sesuai dengan baku mutu
limbah cair menurut SK Menteri Negara Lingkungan Hidup No.03/MENKLH/II/1991.
NO2 mengalami penurunan sebesar 86,364% dari 0,0132 mg/l sebelum perlakuan
dengan arang aktif menjadi rata-rata sebesar 0,0018 mg/l setelah perlakuan dengan arang
aktif. NO2 yang telah diberi perlakuan dengan arang aktif sesuai dengan baku mutu limbah
cair golongan I menurut SK Menteri Negara Lingkungan Hidup No.03/MENKLH/II/1991.
1. Limbah penyulingan minyak kayu putih berupa ranting dan daun dapat digunakan
sebagai bahan baku pembuatan arang aktif namun hasilnya kurang memenuhi Standar
Mutu Arang Aktif Teknis Serbuk SNI 06-3730-1995. Nilai rata-rata rendemen yang
dihasilkan berkisar antara 72,659 hingga 82,420%. Kualitas arang aktif yang sesuai
dengan Standar Mutu Arang Aktif Teknis SNI 06-3730-1995 antara lain kadar air (6,500-
9,720%) dan daya serap metilen biru (129,195-132,785 ml/g). Kadar abu (8,010-
14,360%) dan daya serap iodium (355,320-805,815 mg/g) sebagian sesuai dengan
Standar Mutu Arang Aktif Teknis SNI 06-3730-1995. Kadar volatile (45,780-50,780%),
kadar karbon terikat (36,520-46,210%), dan daya serap benzena (8,436-12,800%) tidak
sesuai dengan Standar Mutu Arang Aktif Teknis Serbuk SNI 06-3730-1995.
2. Interaksi jenis bahan bakuarang aktif dan suhu aktivasi berpengaruh sangat nyata
terhadap rendemen, kadar abu, dan daya serap iodium, berpengaruh nyata pada daya
serap benzena dan daya serap metilen biru, dan tidak berpengaruh nyata pada kadar
air, kadar volatile, dan kadar karbon terikat.
3. Arang aktif dari ranting lebih bagus daripada dari daun pada sifat kadar abu, kadar
karbon terikat, daya serap benzena, daya serap iodium, dan daya serap metilen biru
4. Peningkatan suhu aktivasi dapat meningkatkan kadar karbon terikat, daya serap
benzena, dan daya serap metilen biru.
5. Arang aktif terbaik yang diperoleh dari bahan baku ranting dengan suhu aktivasi 750 oC
(A1B1)
6. Penggunaan arang aktif dari ranting kayu putih untuk penjernihan air limbah penyulingan
minyak kayu putih menghasilkan tingkat penurunan warna sebesar 73,077%, T S S
sebesar 23,750%, pH sebesar 75%, phenol sebesar 40%, COD sebesar 3,603%, BOD5
sebesar 43,163%, dan NO2 sebesar 86,364%. Kualitas air limbah penyulingan minyak
kayu putih setelah perlakuan dengan arang aktif memenuhi baku mutu limbah cair
golongan I berdasarkan SK Menteri Negara Lingkungan Hidup No.03/MENKLH/II/1991
untuk TSS, pH, Phenol, dan NO2 dan tidak memenuhi baku mutu limbah cair
berdasarkan SK Menteri Negara Lingkungan Hidup No.03/MENKLH/II/1991 untuk COD
dan BOD5.
384
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS
DAFTAR PUSTAKA
385
BIDANG D
REKAYASA KAYU
REKAYASA KAYU
ABSTRAK
Kata kunci : kekuatan menahan beban, pasak penahan geser, sambungan tampang dua,
sesaran.
387
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
PENDAHULUAN
388
REKAYASA KAYU
60x80
40
Pasak: = 20 mm, l:80 mm
40x80 40x80 Pengencang: = = 12,7 mm,
40 80
l = 6 = 152,4 mm
Lubang pengencang: = D+1,6=14,3 mm
80 Jarak tepi: lm/D6 80/206
min. 1,5D diambil 2D = 40mm
80
Jarak ujung, komp. tekan: 4D = 4x20 = 80 mm
Jarak antar baris: 1,5D<127mm
80 diambil 3D = 60 mm
40
389
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Bahan komponen sambungan dan pasak kayu memiliki sifat dasar sebagai berikut:
P P Batas
Jenis Sambungan S Maksimum S Batas Proporsi
Maksimum Proporsi
A1XM 1,329.65 721.29 3.25 1.05
CFL 2,022.19 722.67 11.60 2.85
A1XL 2,193.15 1,296.03 4.10 1.55
CFK 3,182.53 1,484.52 3.80 1.75
A3X 3,956.75 2,246.31 3.03 1.10
B3X 4,881.60 2,599.35 2.68 1.15
A1X 5,294.84 2,850.27 3.95 1.50
B1X 5,662.49 2,810.66 5.05 1.85
A2X 5,931.22 3,170.76 5.15 2.00
B2X 6,361.94 2,403.01 5.60 1.85
NF 6,594.97 749.347 1.00 0.25
A4X 6,793.06 3,533.13 5.00 1.60
B4X 8,353.66 4,138.14 5.55 1.85
Nilai kekuatan sistem sambungan dan sesaran yang terjadi sebagaimana Tabel 1
diatas dapat dibuatkan grafiknya seperti pada Gambar 2 berikut.
390
REKAYASA KAYU
900
00
12
800
00
10
0.5
700
00 9
600
00 7
7.5
500
00 6
4
4.5
400
00
3
300
00
1
1.5
200
00 0
100
00
A1XM
NF
A1XL
CFL
B3X
A3X
CFK
A1X
A4X
B1X
A2X
B4X
B2X
0
A1XM
NF
CFL
A1XL
CFK
A3X
B3X
A1X
B1X
A2X
B2X
A4X
B4X
P Maksimum
M P Pr Limit Slip Ma
aksimum Slip
p Pr Limit
(a) (b)
N
Nilai kekuatan terenda ah dicapai oleh
o sambu ungan A1XM M (sambun ngan denga an pasak
penahan geser bu ulat yang dibuat
d dari mangium tanpa perrlakuan dan n pengenca ang plat
klam), sementara tertinggi dicapai oleh sambungan B4X (sambung gan dengan n pasak
penahan geser be esi segiemp
pat). Plat klam tiidak mampu
m bekerja makssimal karena a terjadi
pemben ngkangan di salah satu uju ung sistem m sambungan sehin ngga men nurunkan
kemampuannya. Sambungan
S n dengan pasak
p bambbu memilikki sesaran yyang sanga at tinggi
(11.6 mm)
m namun n kemampuan menah han beban rendah, dan d sambu ungan peng gencang
bambu ini bisa dinaikkan nilai kema ampuan be eban pada a batas prroporsinya dengan
menambahkan pa asak geser (A1XL). Sementara
S itu, sambu ungan pere ekat menghasilkan
keruntuhan yang tiba-tiba pad da sesaran hanya
h 1 mm
m.
G
Gambar 2 menunjukka
m an kemamp puan sambu ungan deng gan ukuran yang sama a namun
dilakukaan perbeda aan pada pe enggunaan alat sambu ungnya, dia antaranya aadalah peng ggunaan
pasak penahan
p geser, pasak melintang, klam dan perekat yang g hasilnya ssangat beraagam.
S
Sambungan n dengan menggunaka
m an perekat (NF) menun njukkan kekkuatan yang g sangat
tinggi dengan bata as proporsi yang sanggat rendah, dan terjadii dalam ren ntang sesarran yang
sangat rendah pula a (0,25 mm pada batass proporsi). Hal itulah yang
y kiranyya perlu diw
waspadai
pada konstruksi sambungan
s berpereka
at, karena keruntuhan n bisa terjaadi secara tiba-tiba
meski kosntruksi
k ta
ampak kokooh.
P
Perlu dicatat bahwa disamping
d sambungan n berperekkat, terdapa at 3 perlakuan lain
yang ttid
dak mencapai sesaran n batas pro
oporsi pada 1,5 mm, ya akni A1XM (pasak ges ser bulat
mangium sejenis berpengenccang plat klam) k dan penggunaa an pasak g gesr ulin baaik bulat
maupun n segiempa at. Pencapaaian sesaraan 1,5 mm berarti me emenuhi syyarat sesara an yang
berlaku di Indonesia ((Wiryom martono, 19777; Yap, 1984).
391
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Source DF SS MS F P
Jenis sambungan 12 217,633,012 18,136,084 23.78 0.000
Error 39 29,747,318 762,752
Total 51 247,380,330
S = 873.4 R-Sq = 87.98% R-Sq(adj) = 84.28%
Tabel 4b. ANOVA P pada Batas Proporsi (PL) (kg) Vs Jenis Sambungan
Source DF SS MS F P
Jenis sambungan 12 61,103,517 5,091,960 16.40 0.000
Error 39 12,108,471 310,474
Total 51 73,211,987
S = 557.2 R-Sq = 83.46% R-Sq(adj) = 78.37%
Karena kedua ANOVA menunjukkan nilai F yang lebih besar dari P yang berarti
perlakuan dalam bentuk jenis sambungan yang berbeda-beda dinyatakan berbeda
signifikan sehingga perlu diuji lebih lanjut guna mengetahui perlakuan yang mana saja yang
signifikan tersebut. Uji lanjut menggunakan program Minitab versi 14 dengan interpretasi
perbandingan berpasangan menurut Fishers Test (yang sering disebut juga dengan Least
Significant Difference).
Tabel 5. Kelompok Perlakuan yang Bernilai Sama pada P Maksimum dan Batas Proporsi.
392
REKAYASA KAYU
Tabel 6a. ANOVA Sesaran Maksimum pada Sambungan (mm) Vs jenis Sambungan
Source DF SS MS F P
Jenis sambungan 12 295.39 24.62 15.98 0.000
Error 39 60.07 1.54
Total 51 355.46
S = 1.241 R-Sq = 83.10% R-Sq(adj) = 77.90%
Tabel 6b. ANOVA Sesaran pada Batas Proporsi (PL) (mm) Vs Jenis Sambungan
Source DF SS MS F P
Jenis sambungan 12 19.03 1.50 8.68 0.000
Error 39 6.75 0.17
Total 51 24.78
S = 0.4160 R-Sq = 72.76% R-Sq(adj) = 64.38%
Apabila kedua ANOVA menunjukkan nilai F yang lebih besar dari P yang berarti
perlakuan dalam bentuk jenis sambungan yang berbeda-beda memberikan nilai sesaran
maksimum dan sesaran pada batas proporsi yang berbeda signifikan, sehingga
393
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
memerlukan uji lanjutan guna mengetahui perlakuan yang mana saja yang signifikan
tersebut.
KESIMPULAN
394
REKAYASA KAYU
tinggi namun nilai sesaran sangat rendah, sementara pasak ulin tidak baik digunakan
sebagai pasak penahan geser karena mudah terbelah dan diduga mengalami rolling shear
pada beban besar. Plat klam tidak baik digunakan sebagai pengencang sistem sambungan
berpasak penahan geser karena rentan pembengkangan, sementara sifat ulet bambu
menjadikannya pengencang yang menghasilkan sesaran yang tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 1961. Peraturan Konstruksi Kayu Indonesia. NI-5 PKKI 1961. Direktorat
Penyelidikan Masalah Bangunan Dirjen Ciptakarya Departemen Pekerjaan Umum.
Bandung
Dumanauw, J.F., 2001. Mengenal Kayu. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
Faherty K.F., T.G. Williamson. 1999. Wood Engineering and Construction Handbook.
McGraw-Hill.Inc. New York
Fellmoser P., H.J. Bla. 2004. Influence Of Rolling Shear Modulus On Strength And Stiffness
Of Structural Bonded Timber Elements. International Council For Research And
Innovation In Building And Construction Working Commission W18 - Timber
Structures. Meeting Thirty-Seven. Edinburgh. UK
Madsen B., 1992. Structural Behaviour of Timber. Timber Engineering, Ltd. Canada.
Perkins R.H., S.K.Suddarth. 1958. Shear-Pin Joints With 2x4, 2x6 and 2x8 Lumber for Axial
Loading.Research Bulletin No. 659, Feb 1958. Wood Research Laboratory. Purdue
University.
Wiryomartono S. 1977. Konstruksi Kayu. Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada.
Yogyakarta: 57-83
Williamson, Thomas G. 2002. APA Engineered Wood Handbook. New York: Mc-Graw Hill.
Yap K.H.F. 1984. Konstruksi Kayu. Bina Cipta. Bandung: 12-17, 65-68
395
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
ABSTRAK
Dinding geser merupakan elemen yang sangat efisien dalam menahan beban lateral
angin maupun gempa. Pada penelitian ini 3 buah dinding geser yang terbuat dari rangka
kayu dengan lapisan penutup plywood dengan bresing diagonal tulangan baja diuji terhadap
beban siklik horisontal. Rangka kayu terbuat dari kayu sengon dan plywood dengan
kombinasi kayu meranti dan albasia. Bresing berperan memperkaku dan memperbesar
daktilitas shearwall. Berdasarkan hasil pengujian gaya horizontal maksimum yang dapat
diterima adalah sebesar 10,05-19,51 kN dan perpindahan maksimum mencapai 20,08-88,20
mm. Kekakuan elastis yang didapat dari pengujian adalah 0,673-1,618 kN/mm dan daktilitas
pada saat beban batas mencapai 2,208-5,573. Kontribusi gaya pada bresing baja terhadap
tahanan lateral sebesar 12,7%. Parameter-parameter untuk aturan histeresis Stewart yang
dihasilkan dapat digunakan untuk analisis dinamik non-linier riwayat waktu.
PENDAHULUAN
Indonesia termasuk dalam daerah gempa aktif atau biasa disebut Pacific Ring of Fire.
Kerusakan gedung, fasilitas umum beserta isinya dan juga korban jiwa seharusnya dapat
dihindari. Jenis bangunan yang runtuh mulai dari rumah rakyat biasa tanpa perhitungan
teknik (non-engineered building) sampai bangunan bertingkat yang seharusnya didisain
tahan gempa (engineered building) (Wijanto et.al., 2010), sedangkan khusus pada bangunan
kayu keruntuhan pada umumnya akibat sambungan atau hubungan yang tidak memenuhi
standar dan sistem strukturnya tidak tahan gempa. Peraturan Kayu di Indonesia sangat
ketinggalan jaman, sejak tahun 1961 Peraturan Kayu Indonesia (PKKI 1961) belum
mengalami perubahan, khususnya tidak terdapat bagian mengenai disain shearwall.
Bangunan dari kayu yang memenuhi syarat kekuatan (strength), kekakuan(stiffness) dan
stabilitas (stability) terutama menghadapi beban akibat gempa sangat diperlukan.
Penggunaan kayu sebagai bahan bangunan untuk rumah tinggal ataupun bangunan
bertingkat dengan elemen dinding geser kayu khususnya di luar negeri dapat mencapai lebih
dari 80%. Bangunan bertingkat dari kayu pada umumnya mempunyai elemen struktur seperti
dinding geser untuk menahan beban lateral. Penelitian dinding geser yang ada umumnya
menggunakan rangka kayu dengan lapisan penutup. Dinding penutup yang digunakan dapat
bervariasi mulai dari plywood, gipsum board, papan kayu laminasi-lem silang, log/balok dan
sebagainya (Tjondro, 2011a).
Beberapa penelitian yang telah dilakukan oleh Stewart (1987) di University of
Canterbury New Zealand, menghasilkan perilaku beban-deformasi dari dinding geser
dengan lapisan penutup gypsum (Gibraltarboard). Dean and Tjondro (1988) menyebutkan
bahwa menggunakan karekteristik dari gypsum-wall dari Stewart (1987) seperti terlihat pada
Gambar 1 untuk mensimulasikan beban dinamik gempa.
396
REKAYASA KAYU
W
Walaupun a mungkin sama tetapi parame
perilakunya eter-parame
eter pada Stewart
Hystere
esis Model-n nya akan berbeda untuk masing--masing jen geser. Dari hasil uji
nis dinding g
mental diobsservasi apakah perilaku dari dindiing geser menyerupai
eksprim m Stewart Hy
ysteresis
Model atau
a kurva yang lain seperti
s Kurvva Histeresis Tri-linearr Fukuda paada Gamba ar 2 atau
ar Muto pad
Degradiing Tri-linea da Gambar 3.
397
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Benda Uji
Elemen-elemen benda uji terdiri dari rangka kayu sengon ukuran 60 x 120 mm2,
lapisan penutup plywood tebal 9 mm dan bresing X dari tulangan baja berdiameter 6 mm,
seperti terlihat pada Gambar 4. Ada dua macam penghubung yang digunakan dalam
pembuatan benda uji yaitu paku dan lem. Paku dengan diameter 2,8 mm dan panjang 50
mm yang digunakan untuk menghubungkan lapis penutup plywood dengan rangka balok
kayu dengan jarak antar paku adalah 50 mm. Dan paku dengan diameter 5 mm dan panjang
100 mm yang digunakan untuk menghubungkan antar balok kayu.
Gambar 4. Prototip dinding geser plywood Gambar 5. Tes set up dinding geser,
dengan bresing tulangan baja beban dan transducer
Rangka memiliki dua macam hubungan, yaitu hubungan ekor burung dan hubungan
pen. Hubungan ekor burung untuk balok atas dengan balok vertikal, sedangkan hubungan
pen digunakan pada balok bagian bawah dengan balok vertikal. Lem dan paku juga
dipergunakan untuk memperkuat hubungan pen dan ekor burung.
Profil baja siku dengan tebal 6 mm dipergunakan pada ke empat sudut rangka seperti
yang terlihat pada Gambar 4. Profil baja siku berfungsi sebagai penghubung antara balok
kayu dengan bresing tulangan baja dan juga memperkaku struktur dinding geser kayu.
Benda uji terdiri dari 3 buah dengan perbedaan pada benda uji PBR-SW1 dan PBR-SW2
tanpa hold down angle. Benda uji PBR-SW3 menggunakan hold down angle antara
pertemuan batang vertikal dan batang horisontal bagian sudut bawah pada sisi luar rangka.
Metode Pengujian
Standar pengujian adalah ASTM E 2126 05, Standard Test Methods for Cyclic
(Reversed) Load Test for Shear Resistance of Walls for Buildings yang dimodifikasi. Uji
beban siklik dilakukan agar parameter-parameter seperti slackness, degrading strength/
stiffnes dan softening factor dapat diketahui. Pemasangan benda uji pada rangka tes untuk
pelaksanaan pengujian dan monitoring adalah seperti pada gambar 6. Pengujian dilakukan
di Laboratorium Struktur Puslitbang Permukiman Bandung.
398
REKAYASA KAYU
Ga
ambar 6. Skkema penguujian denga
an beban latteral siklik d
dan
m
monitoring d
deformasi dinding
d gese
er
(a)
(
b
)
Ga
ambar 8. (a)) Hydraulic Pump Hand
d (b) Hydraulic Pump U
Unit
K
Kontak anta
ara jack pemmberi beban vertikal dan benda uji
u diberi rod
da agar menngurangi
gaya friksi yang te
erjadi antara
a jack deng
gan pergeraakan bendaa uji. Pada b
beberapa tiitik pada
benda uji
u dipasang g displacem ducer yang terhubung langsung d
ment transd dengan datta logger
399
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
(Gambar 9), sehingga setiap perilaku yang dihasilkan oleh benda uji akan dapat dianalisis
melalui data yang terekam.
Gambar 9. Data logger untuk merekam data bacaan transducer dan load cell
15
F (kN)
-15
Gambar 10. Pola pembebanan siklik lateral statik modifikasi dari ASTM E-2126-05.
400
REKAYASA KAYU
F (kN)
15
10
0 [mm]
-100 -80 -60 -40 -20 0 20 40 60 80 100
-5
-10
-15
Gambar 11. Kurva histeresis benda uji PBR-SW1
F (kN)
15
10
5
[mm]
0
-100 -80 -60 -40 -20 0 20 40 60 80 100
-5
-10
-15
Gambar 12. Kurva histeresis benda uji PBR-SW2
F (kN)
20
15
10
0 [mm]
-120 -100 -80 -60 -40 -20 0 20 40 60 80 100 120
-5
-10
-15
-20
Gambar 13. Kurva histeresis benda uji PBR-SW3
401
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Ragam Kegagalan
Pada benda uji PBR-SW1 tanpa adanya hold-down angle akan terjadi keruntuhan
akibat lepasnya paku antara rangka dan lapisan penutup plywood bagian bawah atau
lepasnya pen hubungan rangka vertikal dan bawah akan terjadi lebih awal, Gambar 14 dan
15. Pada benda uji PBR-SW3 dengan hold-down angle memberikan beban yang lebih tinggi
dibanding kedua benda uji sebelumnya.
Besarnya strain pada bresing tulangan baja dimonitor dengan pemasangan strain
gauge. Gaya bresing yang terjadi, komponen gaya lateralnya hanya sekitar 12,7% dari
beban lateral.
Kekuatan dan kekakuan dari dinding geser dengan dinding penutup plywood dan
pengaku tulangan baja dapat dianalisis dari data hasil uji pada Tabel 1 dalam bentuk gaya
dan peralihan. Dari kurva histeresis hasil uji di dapat parameter-parameter seperti
beban/gaya saat leleh, gaya proporsional dan gaya batas, dan demikian pula dan analisis
kekakuannya. Dari kurva histeresis yang diperoleh jika dibandingkan dengan penelitian-
penelitian terdahulu antara Stewart, Fukuda Degrading Tri-linier atau Muto Degrading Tri-
linier, kurvanya lebih cenderung pada Stewart Model.
Tabel 1. Data beban dan peralihan pada kurva benda uji PBR-SW*)
Fy y Fu u Fmax max Fi
Benda Uji arah
(kN) (mm) (kN) (mm) (kN) (mm) (kN)
+ 5,05 7,50 9,45 41,80 10,05 88,20 1,50
PBR-SW1
- 6,60 6,00 13,75 24,10 13,75 24,10 2,20
+ 8,00 7,75 11,40 30,00 11,40 30,00 1,25
PBR-SW2
- 8,35 7,05 11,45 20,08 11,45 20,08 3,00
+ 8,25 5,10 12,48 12,30 19,51 33,90 2,10
PBR-SW3
- 10,05 10,01 14,25 22,10 17,48 37,30 3,50
*)menggunakan notasi yg sama dengan Stewart Model
402
REKAYASA KAYU
k0 r.k0 TRI.k0
Benda Uji arah u max r TRI
(kN/mm) (kN/mm) (kN/mm)
+ 0,673 0,128 0,013 5,573 11,760 0,191 0,019
PBR-SW1
- 1,100 0,395 0,571 4,017 4,017 0,359 0,519
+ 1,032 0,153 0,380 3,871 3,871 0,148 0,368
PBR-SW2
- 1,184 0,238 0,570 2,848 2,848 0,201 0,481
+ 1,618 0,588 0,325 2,412 6,647 0,363 0,201
PBR-SW3
- 1,004 0,347 0,213 2,208 3,726 0,346 0,212
Rata-rata 1,102 0,308 0,345 3,488 3,689 0,268 0,300
*)menggunakan notasi yg sama dengan Stewart Model
Daktilitas pada beban batas Fu mempunyai harga cukup baik yaitu antara 2,208 -
5,573 dengan rata-rata 3,488. Penambahan bresing dengan menggunakan profil siku pada
ke empat sisi dalam dari rangka tidak banyak menambah besarnya daktilitas, tetapi lebih
meningkatkan kekakuan dari dinding geser.
Sebagai perbandingan selain nilai pada Tabel 1 dan 2 dari ke 3 benda uji PBR-SW
ketiga envelope dari kurva histeresis juga di plot seperti terlihat pada Gambar 16.
Peningkatan kekuatan dan kekakuan terjadi akibat hold-down angle pada benda uji PBR-
SW3.
25
20
15
10
5
0
-100 -75 -50 -25 -5 0 25 50 75 100
-10
-15
-20
-25
KESIMPULAN
Dari kurva histeresis benda uji PBR-SW yang diperoleh jika dibandingkan dengan
penelitian-penelitian terdahulu seperti Stewart, Fukuda Degrading Tri-linier atau Muto
Degrading Tri-linier, kurvanya lebih cenderung pada Stewart Hysteresis Model. Parameter-
parameter kurva histeresis yang ada dapat digunakan sebagai referensi untuk analisis
dinamik non-linier riwayat waktu.
403
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Daktilitas pada beban batas dinding geser pada PBR-SW mencapai harga rata-rata
cukup baik. Penambahan bresing dengan menggunakan profil siku pada ke empat sisi dalam
dari rangka relatif tidak menambah besarnya daktilitas, tetapi meningkatkan kekakuan dari
dinding geser. Kekakuan dan daktilitas dari dinding geser memberikan kontrol drift yang
cukup untuk elemen dinding geser dalam persyaratan disain terhadap beban gempa.
DAFTAR PUSTAKA
ASTM E 2126 05, Standard Test Methods for Cyclic (Reversed) Load Test for Shear
Resistance of Walls for Buildings
Carr, A.J.1998. RUAUMOKO, Computer Program Library, University of Canterbury, New
Zealand.
Dean, J.A. and Tjondro, J.A. 1988. The Seismic Design of Timber Frame Shearwalls
Sheathed with Gibraltarboard; Refinements to the CE 87/7 Procedures, Research
Report, University of Canterbury, New Zealand.
Stewart, W.G., 1987. The Seismic Design of Plywood Sheated Shearwalls, Dissertation,
University of Canterbury 1987.
Tjondro, J.A. and Onky, A. 2011a. The Behaviour of Cross Nail-Laminated Timber (CNLT)
Shearwall Under Cyclic Loading. The 2nd International Conference on Earthquake
Engineering and Disaster Mitigation, Surabaya 19 -20 Juli 2011.
Tjondro, et al. 2011b. Dinding Geser Papan Kayu Tahan Gempa. Laporan Penelitian, LPPM
Universitas Katolik Parahyangan, 2011. Tidak dipublikasikan.
Wijanto S., Andriono T., and Tjondro, J.A., 2010. A Strategic Way For Promoting Improved
Seismic Resistant Techniques To Indonesian Builders. The 9th U.S. National and 10th
Canadian Conference on Earthquake Engineering to in Toronto, Canada, Juli, 25-29,
2010.
404
REKAYASA KAYU
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan mengetahui perilaku mekanik pelat lantai (sandwich slab)
komposit Sengon dan Glugu terhadap pembebanan lentur dengan variasi alat sambung
geser.
Penelitian ini menggunakan kayu sengon dan kayu glugu bagian lingkaran luar.
Benda uji tersusun dari 5 lapisan lamina dengan ketebalan tiap lamina 20 mm. Kayu glugu
digunakan sebagai lamina paling atas dan bawah, sedang kayu sengon digunakan sebagai 3
lapis lamina bagian dalam. Dimensi benda uji pelat lantai dengan panjang bentang 1200
mm, lebar 150 mm, dan tinggi 100 mm. Variasi alat sambung geser yang digunakan adalah
sekrup diameter 3 mm, paku diameter 4 mm, dan perekat urea formaldehide. Untuk masing-
masing alat sambung geser dibuat benda uji sebanyak 3 buah dan pengujian lentur
dilakukan dengan pembebanan 2 titik.
Hasil pengujian untuk alat sambung geser berupa sekrup didapatkan beban lentur
pada batas layan sebesar 0,440 KNm, sedangkan pada alat sambung geser paku
didapatkan beban lentur pada batas layan sebesar 0,454 KNm. Pada alat sambung geser
dengan perekat didapatkan beban lentur pada batas layan sebesar 1,039 KNm. Pola
kerusakan pada jenis alat sambung geser paku dan sekrup adalah terjadi retak pada lamina
sengon sepanjang garis paku atau sekrup, sedangkan pada jenis alat sambung geser
dengan perekat, terjadi delaminasi pada bidang rekat sengon-glugu.
PENDAHULUAN
Kebutuhan kayu sebagai bahan baku berbagai keperluan terus meningkat. Demikian
pula untuk kebutuhan bahan bangunan. Tahun 2000, permintaan industri produk kayu
mencapai 55-60 juta m3 dengan produksi kayu domestik legal hanya 17 juta m3, sedangkan
35-40 juta m3 sisanya dipenuhi dari pembalakan ilegal (anonim, 2008). Dengan luas hutan
sekitar 109 juta hektar pada 2003, kini hampir setengahnya telah terdegradasi (WWF, 2007).
Dengan semakin berkurangnya luas hutan alam, perlu dicari alternatif lain dalam pemenuhan
kebutuhan kayu, utamanya kebutuhan sebagai bahan bangunan. Salah satu alternatif adalah
dengan memanfaatkan kayu hutan rakyat. Dengan potensi produksi mencapai 19 juta m3,
produk dari kayu hutan rakyat menjadi sangat potensial untuk dikembangkan (Abdurrachman
dkk., 2006).
Salah satu hasil hutan rakyat adalah kayu sengon. Jenis kayu ini biasanya
dimanfaatkan sebagai kayu bakar dan peti pelindung barang paket. Namun kayu sengon
kurang populer digunakan sebagai struktur bangunan dikarenakan kekuatannya yang relatif
lebih rendah dibandingkan kayu hutan alam umumnya. Oleh karena itu diperlukan proses
pengolahan lebih lanjut untuk meningkatkan kekuatan kayu sengon. Salah satunya dengan
mengkompositkan dengan kayu jenis lain dengan kekuatan lebih tinggi seperti kayu glugu.
Dalam penelitian ini kayu sengon mempunyai berat jenis 0,26, sedangkan berat jenis kayu
glugu sebesar 0,79 (Awaludin, 2011).
405
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Penelitian ini bertujuan mengetahui perilaku mekanik pelat lantai komposit (sandwich
slab) sengon dan glugu terhadap pembebanan lentur dengan variasi alat sambung geser.
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kayu sengon (Paraserianthes
falcataria) dan kayu glugu (Cocos nucifera) yang diambil dari daerah Cangkringan, Sleman.
Alat sambung geser yang digunakan paku ( 4 mm), sekrup ( 3 mm), dan perekat urea
formaldeyde.
Pertama dilakukan penggergajian kayu bundar menjadi papan dengan ketebalan 25
mm. Papan kayu tersebut kemudian dikeringkan secara alami dengan cara disusun dengan
jarak antara tiap susun dan diletakkan ditempat yang terlindung dari sinar matahari
langsung. Pengeringan memerlukan waktu selama 1 bulan sampai kadar air mencapai 12-16
%. Proses selanjutnya adalah pemotongan papan sesuai ukuran yang direncanakan. Khusus
kayu glugu, bagian yang dipergunakan adalah bagian lingkaran luar. Kayu glugu bagian luar
memiliki sifat mekanik yang lebih baik dari bagian inti (Awaludin, 2011).
Benda uji tersusun dari 5 lapisan lamina dengan ketebalan tiap lamina 20 mm. Kayu
glugu digunakan sebagai lamina paling atas dan bawah, sedang kayu sengon digunakan
sebagai 3 lapis lamina bagian dalam. Dimensi benda uji pelat lantai dengan panjang bentang
1200 mm, lebar 150 mm dan tinggi 100 mm. Benda uji dibuat sebanyak 3 buah tiap variasi
alat sambung geser. Pada benda uji dengan sekrup dan paku, pemasangan alat sambung
diawali dengan pembuatan lubang penuntun sesuai aturan pada SNI-5 Tatacara
Perencanaan Konstruksi Kayu. Benda uji dengan alat sambung geser berupa perekat
menggunakan perekat sebanyak 40MDGL. Dari hasil penelitian Widyawati (2007)
penggunaan perekat Urea formaldehyde sebanyak 40MDGL pada balok laminasi sengon
mampu menaikkan kekuatan sebesar 27,23% dibandingkan kayu sengon utuh. Agar
diperoleh garis perekat yang tipis, dilakukan proses pengempaan dingin. Tekanan kempa
yang umumnya diberikan adalah antara 0,4 - 1,2 MPa (Blass dkk., 1995). Dalam proses
pembuatan model pelat lantai ini diberikan tekanan 1 MPa selama 24 jam. Setelah 24 jam
baru dilakukan proses selanjutnya yaitu merapikan dimensi model pelat. Pengujian lentur
dilakukan dengan pembebanan 2 titik. Lendutan dibaca dengan LVDT pada titik
pembebanan dan tengah bentang. Dari pengujian, data yang didapatkan berupa kurva
lendutan dan beban.
Hasil dari pengujian model plat lantai disajikan dalam gambar 2 berupa hubungan
beban (kN) dan lendutan di tengah bentang (mm). Selanjutnya, dari pengujian juga bisa
diketahui nilai beban ultimit yaitu beban pada saat model pelat lantai mengalami kegagalan.
Dari ketiga jenis model, kegagalan struktur yang terlihat jelas adalah jenis dengan perekat.
Sedang model dengan penghubung geser paku dan sekrup, kegagalan ditandai dengan
406
REKAYASA KAYU
munculnya suara retak pertama kali. Pola kegagalan model pelat lantai disajikan dalam
gambar 3.
Secara lebih detail, kegagalan yang terjadi pada model dengan penghubung geser
paku dan sekrup hampir sama.Terjadi kegagalan pada lamina sengon berupa retak yang
segaris dengan jalur alat sambung geser, sementara lamina glugu masih utuh. Lain halnya
dengan model plat dengan penghubung perekat UF, terjadi kegagalan delaminasi. Bahan
perekat gagal dalam mempertahankan ikatan dengan lamina sengon. Idealnya dengan
digunakannya perekat UF dihasilkan sebuah struktur yang monolit. Namun, keadaan
tersebut sulit dipenuhi karena ketidaksempurnaan ikatan perekat dalam mengikat dua jenis
lamina yang berbeda.
Dari data pengujian dapat dibuat kurva hubungan antara sudut rotasi (rad) dan beban
lentur (kNm) sehingga diketahui gradien kurva yaitu kekakuan lentur (EI)
eksperimen.Sementara itu, nilai EI teoritis didapat dari perhitungan sederhana yang
diturunkan dari rumus sudut rotasi balok sederhana (Gere dkk, 1984).
Dari hasil uji, diketahui bahwa EI yang tertinggi adalah dengan penghubung perekat
dengan EI sebesar 46,657 kNm/rad. Selanjutnya yaitu penghubung paku dengan nilai EI
sebesar 13,813 kNm/rad dan yang paling rendah adalah sekrup dengan nilai sebesar 8,193
kNm/rad. Model pelat lantai dengan penghubung perekat memiliki EI yang dua kali lipat lebih
tinggi dari kedua jenis penghubung yang lain. Kemudian, jika dibandingkan dengan
perhitungan teoritis, secara umum EI eksperimen lebih tinggi daripada EI perhitungan
teoritis.
Dalam perancangan struktur digunakan dua kriteria, yaitu keadaan batas layan dan
keadaan batas kekuatan. Dalam SNI-5 Tata Cara Perencanaan Struktur Kayu kondisi batas
layan dinyatakan dalam bentuk lendutan maksimal yang masih diperbolehkan terjadi. Untuk
struktur terlindung dinyatakan bahwa lendutan maksimal sebesar L/300 atau dalam model
pelat lantai sebesar 4 mm. Sementara itu, keadaan batas kekuatan dinyatakan dalam beban
maksimal saat runtuh. Dalam kasus model pelat lantai karena ada keterbatasan dalam
setting pengujian, keruntuhan diasumsikan terjadi saat terjadi retak awal. Besaran nilai
beban disajikan dalam gambar 5.
Dari pengujian model pelat dalam kondisi batas layan diperoleh hasil bahwa pelat
lantai dengan penghubung geser perekat mempunyai beban lentur tertinggi, sebesar 1,039
kNm. Kemudian Paku dengan beban lentur sebesar 0,454 kNm dan model dengan beban
lentur terrendah adalah sekrup dengan beban lentur 0,440 kNm.Sementara itu, dalam
kondisi batas kekuatan beban maksimal yang tertinggi adalah model dengan penghubung
perekat dengan kekuatan sebesar 1,834 kNm, kemudian paku dengan beban lentur sebesar
1,498kNm, dan yang terendah adalah sekrup dengan beban maksimal sebesar 1,156 kNm.
407
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Sekrup
8
5
Beban (kN)
0
0 10 20 30 40
Lendutan (mm)
Perekat UF
8
5
Beban (kN)
0
0 10 20 30 40
Lendutan (mm)
Paku
8
5
Beban (kN)
0
0 10 20 30 40
lendutan (mm)
408
REKAYASA KAYU
50
45
40
35
30
EI 25
(kNm / )
20
15
10
5
0
Paku Perekat Sekrup
EI eksperimen 13.813 46.657 8.193
EI teoritis 10.222 23.383 9.904
2
1.8
1.6
1.4
1.2
beban 1
lentur 0.8
( kNm ) 0.6
0.4
0.2
0
Paku Perekat Sekrup
Beban ultimate 1.498 1.834 1.156
Beban layan 0.454 1.039 0.440
Secara umum, kinerja dari ketiga jenis penghubung geser yang bekerja cukup baik
adalah perekat UF. Penggunan perekat UF terbukti mampu menghasilkan nilai kekakuan
lentur dan beban lentur yang paling tinggi dibanding penghubung jenis lain. Kinerja dari
penghubung geser paku lebih baik daripada sekrup. Hal ini dikarenakan perbedaan diameter
409
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
paku dan sekrup. Diameter paku sebesar 4 mm sedangkan sekrup hanya 3 mm. Dari ketiga
jenis model pelat lantai, semuanya memiliki pola kegagalan geser pada bagian lamina
sengon. Di sisi lain, setiap model pelat lantai memiliki kemampuan menahan beban setelah
tercapainya beban maksimal.
KESIMPULAN
1. Model pelat lantai yang memiliki kekakuan lentur tertinggi adalah dengan penghubung
geser berupa perekat UF (46,657 kNm/rad), kemudian paku (13,813 kNm/rad) dan
sekrup (8,193 kNm/rad).
2. Dalam kondisi beban layan, model yang mampu menerima beban tertinggi adalah
dengan penghubung geser perekat UF (1,039 kNm), kemudian paku (0,454 kNm) dan
sekrup (0,440 kNm).
3. Pola kegagalan yang terjadi secara umum adalah kegagalan geser pada lamina sengon.
Kegagalan lentur tidak terjadi.
DAFTAR PUSTAKA
410
REKAYASA KAYU
ABSTRAK
Kata kunci : nilai desain lateral Z, sambungan geser ganda, percobaan I, percobaan II
dan percobaan III.
ABSTRACT
411
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
(EC5, 2007). In general, the number of nails does not provide a noticeable effect or relatively
similar to the average lateral design value-Z double shear connection.
PENDAHULUAN
Bahan penelitian untuk sambungan dengan paku yang dikaji adalah tujuh jenis kayu
yang memiliki sebaran kerapatan () atau berat jenis (BJ) sedang sampai tinggi, yaitu borneo
super, meranti merah (Shorea spp), punak (Tetramerista glabra), kapur (Dryobalanops spp),
mabang (Swintonia sp), kempas (Koompassia malaccensis) dan bangkirai (Shorea laevis).
Tujuh jenis kayu tropis tersebut di peroleh dari toko bangunan di Bogor dalam bentuk balok
kayu berukuran 6x12x400 cm. Ketujuh jenis kayu tersebut dikeringkan secara alami selama
75 hari.
Bahan lain adalah paku terdiri dari tiga ukuran diameter, yaitu 4,1 mm (panjangnya 10
cm), 5,2 mm (12 cm) dan 5,5 mm (15 cm). Jumlah paku yang digunakan untuk setiap
diameter adalah 588 batang. Pelat sambung yang digunakan adalah pelat baja berukuran
1,5x12 cm dengan panjang 30 cm sebanyak 12 pasang (24 lempeng). Pada setiap lempeng
412
REKAYASA KAYU
P P
(a)
(b)
(c)
Gam
mbar 2. Geo
ometrik con
ntoh uji sam
mbungan ges
ser ganda untuk
u jumlah paku 10 buah
413
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
414
REKAYASA KAYU
dan RH saat itu. Perbedaan kadar air ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya jenis
kayu, tempat tumbuh dan umur dari pohon (Haygreen dan Bowyer, 1993). Tingginya KA
rata-rata ketiga jenis kayu tersebut (> 18%) menandakan bahwa waktu pengeringan alami
selama 75 hari belum mampu menurunkan KA kayu tersebut mencapai KAK dengan RH dan
suhu lingkungan sekitarnya.
400.0
350.0
Beban Ijin (kN)
300.0
250.0
200.0
150.0
100.0
50.0
0.0
M.Mera B.Super Punak Mabang Kempas Kapur Bangkir
h (0.61) (0.65) (0.66) (0.76) (0.77) (0.80) ai (0.89)
Tekan//serat 124.5 144.1 129.7 150.2 188.4 166.5 195.8
Tarik//serat 229.9 219.1 263.9 259.9 318.4 311.5 342.3
Gambar 3. Beban ijin tekan//serat (Ftk//) dan beban ijin tarik//serat (Ftr//) tujuh jenis kayu
415
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
5.0
Nilai Disain Lateral Z (kN)
4.0
3.0
2.0
1.0
0.0
Percoba Percoba Percoba Percoba Percoba Percoba
an-I an-IIA an-IIB an-IIIA an-IIIB an-IIIC
Rataan Umum 2.4 3.4 4.4 3.8 2.3 4.6
416
REKAYASA KAYU
7.0
Nilai Disain Lateral Z (kN)
6.0
5.0
4.0 Percobaan-I
3.0 Percobaan-IIA
2.0 Percobaan-IIB
1.0 Percobaan-IIIA
0.0 Percobaan-IIIB
Percobaan-IIIB
Jenis Kayu
Gambar 5. Pola sebaran rerata nilai disain lateral Z sambungan geser ganda
menurut jenis kayu pada berbagai percobaan
Berdasarkan ukuran diameter paku, pola sebaran atau garis kesejajaran rerata Z
relatif sama antara ketiga diameter khususnya antar paku 4,1 mm dengan 5,2 mm menurut
berbagai pendekatan. Dari sudut kajian menurut berbagai pendekatan fenomena sebaran
rerata Z ini sama dengan sebaran rataan umum Z (Gambar 6).
Paku 5,2 mm memberikan nilai rerata Z paling tinggi diikuti oleh paku 5,5 mm untuk
hampir semua pendekatan, kecuali percobaan-I dan IIB (EC5, 2007) dimana nilai disain
lateral Z paku 5,5 mm lebih tinggi dibandingkan paku 5,2 mm. Rerata Z terendah dihasilkan
417
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
dari paku 4,1 mm untuk semua percobaan. Disamping diduga mutu paku yang rendah
perbedaan rerata Z tersebut juga disebabkan oleh luasan permukaan paku 5,5 mm lebih
besar dari paku 5,2 mm sehingga lebih mudah menggeser atau membelah serat searah
sumbu batang dan mendesak/mendorong kearah tegak lurus serat kayu sebagai awal
keretakan atau pembelahan kayu. Faktor BJ paku yang tinggi pada paku diameter 5,2 mm
yang berarti mengandung unsur besi/baja yang tinggi dapat pula meningkatkan kekuatan
lentur paku
6.0
Nilain Disain Lateral Z (kN)
5.0
4.0
3.0
2.0
1.0
0.0
Percobaan Percobaan Percobaan Percobaan Percobaan Percobaan
-I -IIA -IIB -IIIA -IIIB -IIIC
Paku 4,1 mm 2.0 2.6 3.6 3.3 1.9 4.1
Paku 5,2 mm 2.5 4.0 4.6 4.6 2.7 5.5
Paku 5,5 mm 2.7 3.7 5.1 3.5 2.5 4.3
Gambar 7. Pola sebaran rerata nilai disain lateral Z sambungan geser ganda
menurut diameter paku pada berbagai percobaan
418
REKAYASA KAYU
6.0
5.0
Nilai Disain Lateral Z (kN)
4.0
3.0 Percobaan-I
2.0 Percobaan-IIIA
Percobaan-IIIB
1.0
Percobaan-IIIC
0.0
4 6 8 10
Jumlah Paku (Batang)
Gambar 8. Pola sebaran rerata nilai disain lateral Z sambungan geser ganda
menurut jumlah paku pada berbagai percobaan
KESIMPULAN
Terdapat kecenderungan umum bahwa nilai disain lateral Z sambungan geser ganda
batang kayu dengan paku berpelat sisi baja meningkat dengan meningkatnya berat jenis
atau kerapatan kayu pada semua sesaran (0,38; 0,80; 1,50 dan 5,00 mm). Dengan demikian
kayu bangkirai, kempas dan kapur memiliki rerata nilai disain lateral Z lebih tinggi dan
berbeda nyata dibandingkan kayu borneo super, meranti merah, punak dan mabang.
Namun untuk kayu kapur walaupun memiliki BJ lebih tinggi tetapi nilai disain leteral Z-nya
lebih rendah dari kayu kempas.
Rerata nilai disain lateral Z sambungan geser ganda menurut Percobaan I relatif
sama dan tidak berbeda nyata dengan Percobaan IIIB (batas maksimum). Namun nilai Z dari
kedua percobaan tersebut jauh lebih rendah dibandingkan rataan Z yang diperoleh dari
Percobaan IIB (EC5, 2007) dan Percobaan IIIC (batas sesaran 1,5 mm; BPID, 1979).
Dengan demikian nilai disain lateral Z yang paling realistis untuk kayu tropis Indonesia
adalah pendekatan batas proporsional (Percobaan IIIA) hasil uji empiris. Nilai rerata Z yang
disebutkan terakhir berada diantara nilai ekstrim dari kedua kelompok pendekatan di atas.
Paku berdiameter 5,2 mm memberikan rerata nilai disain lateral Z paling tinggi diikuti
oleh paku 5,5 mm untuk hampir semua percobaan, kecuali percobaan I (Teoritis) dan IIB
(EC5, 2007) dimana nilai disain lateral Z paku 5,5 mm lebih tinggi dibandingkan paku 5,2
mm. Secara umum jumlah paku tidak memberikan pengaruh yang nyata(relatif seragam)
terhadap rerata nilai disain lateral Z sambungan geser ganda.
419
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
DAFTAR PUSTAKA
American Society for Testing and Materials (1995) Standard Test Methods for Bolted
Connections in Wood and Wood-Based Products. ASTM D5652-95 (Reapproved
2000). West Conshohocken, PA 19428-2959, United States.
American Society for Testing and Materials (1994) Standard Practice for Evaluating
Allowable Properties for Grade of Structural Lumber. ASTM D2915-94. Easton, USA.
American Society for Testing and Materials (2002a) Standard Test Methods for Small Clear
Specimens of Timber. ASTM Standard D143-94. Annual Book of ASTM Standards
v4.10. ASTM, Philadelphia, PA.
American Society for Testing and Materials (2002b) Standard Test Methods for Mechanical
Fastener in Wood. ASTM Standard D5652-95. Annual Book of ASTM Standard v4.10.
ASTM, Philadelphia, PA.
American Wood Council (2005) National Design Specification: For Wood Construction,
ASD/LRFD. American Forest & Paper Association, 2005 Edition. Washington, DC
20036.
Beery WH, Ifju G, McLain TE (1983) Qualitative Wood Anatomy-Relating Anatomy to
Transverse Tensile Strength. Wood Fiber Sci 15:395-407.
Bleron L, Duchanois G (2006) Anggle to the Grain Embedding Strength Concerning Dowel
Type Fasteners. Forest Product Journal; 56,3; ABI/INFORM Global pg.44.
Breyer DE, Fridley KJ, Cobean KE, Pollock DG (2007) Design of Wood Structures,
ASD/LRFD. RR Donnelley. McGraw-Hill Professional, Two Penn Plaza. New York.
British Standard Institution (1957) Methods of Testing Small Clear Specimens of Timber. BS
373:1957. Decorporated by Royal Charter. British Standard House. London.
Building Problem Investigation Directorate (1979) Indonesian Wood Construction Rule, NI-5.
Building Problem Investigation Normallyzation Founding. Bandung
Courney TH (2000) Mechanical Behaviour of Materials. Chapt. 14:686-714. McGraw-Hill,
New York.
Faherty KF, Williamson TG (1989) Wood Engineering and Construction Handbook. McGraw-
Hill Publishing Company. New York.
Forest Products Laboratory. 1999. Wood Handbook: Wood as an Engineering Material.
USDA Forest Service, Madison. Wisconsin.
Hoyle RJ Jr (1973) Wood Technology in The Design of Structure. Mountain Press Publishing
Company. Missoula, Montana. USA.
Pun CY (1987) Structural Timber Joints. Malayan Forest Record No. 32. Forest Research
Institut Malaysia. Kuala Lumpur.
Sadiyo S (1989) Effect on Wood Species and Adhesive Type Combination To Physical and
Mechanical Properties of Hull Diagonal Composite [Thesis]. Faculty of Forestry.
Bogor Agricultural University. Bogor.
Suryokusumo S, Sadiyo S, Marzufli, Bismo AA, Setyo AC (1980) Wood Engineering System.
Study of Nail and Nail Plate Connections. Forestry Faculty, Bogor Agricultural
University. Bogor.
Tjondro JA (2007) Behaviour of Single-Bolted timber Connections with Steel Side Plates
Under Uni-Axial Tension Loading. Dissertation, Parahyangan Katholic University.
Bandung
Wirjomartono S (1977) Wood Constructions. Edition. VI, Lecture Materials. Engineering
Faculty Press. Gajah Mada University. Yogyakarta.
420
REKAYASA KAYU
ABSTRAK
Laminated Veneer Lumber (LVL) merupakan produk komposit kayu yang tersusun
dari lapisan venir dengan arah serat venir kayu yang sejajar pada setiap lapisan venir dan
diikat dengan perekat. Produk LVL yang berbahan dasar vinir dan zephir bambu ini akan
diuji karakteristik fisik dan mekaniknya meliputi nisbah delaminasi, geser horisontal dan
keteguhan lentur. Vinir yang dipakai adalah dari kayu petai (Parkia speciosa) dengan
ketebalan rata-rata sekitar 2,2 mm. Zephir dengan tebal rata-rata sekitar 4 mm diperoleh dari
bambu mayan atau temen atau serit (Gigantochloa robusta Kurz) dengan 4 kombinasi
susunan dalam 10-11 lapis yaitu vinir, vinir-zephir, vinir-vinir-zephir dan zephir-vinir-vinir.
Berat labur perekat adalah 280 g/m2 dengan katalis sebesar 15% dari berat perekat yang
diaplikasikan dengan cara labur double glue line kemudian dikempa dingin selama selama
20 menit pada tekanan 2,5 MPa yang selanjutnya dikondisikan selama 24 jam. Nisbah
delaminasi struktural LVL rata-rata lebih rendah dibanding non struktural dan hanya LVL
tanpa zephir saja yang masuk standar. Secara umum hasil uji mekanik dari LVL arah tegak
lebih tinggi nilainya dibandingkan arah datar. Nilai geser horisontal LVL pada arah uji tegak
dan datar pada LVL dengan kombinasi zephir bambu belum memenuhi standar SNI 01-
6240-2000. Untuk nilai modulus of elasticity (MOE) pada uji keteguhan lentur arah tegak dan
datar pada semua kombinasi susunan rata-rata memenuhi standar, sedangkan nilai modulus
of rupture (MOR) pada arah uji tegak dan datar secara umum masuk dalam nilai minimum
standar yaitu 16 MPa mulai kategori Grade 2, Grade 1 dan Grade Khusus dari semua produk
LVL. Untuk semua karakteristik fisik dan mekanik yang diuji ternyata LVL dengan susunan
vinir semua tanpa zephir rata-rata lebih tinggi nilainya dibandingkan yang dikombinasikan
dengan zephir.
Kata kunci : LVL, vinir, zephir bambu, kombinasi susunan, karakteristik fisik dan mekanik
PENDAHULUAN
421
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
mulai dicoba dikombinasikan dengan bahan lain misalnya zephir bambu. Bahan bambu
dikenal oleh masyarakat memiliki sifat-sifat yang baik untuk dimanfaatkan, antara lain
batangnya kuat, ulet, lurus, rata, keras, mudah dibelah, mudah dibentuk dan mudah
dikerjakan serta ringan sehingga mudah diangkut. Selain itu bambu juga relatif murah
dibandingkan dengan bahan bangunan lain karena banyak ditemukan di sekitar pemukiman.
Bambu menjadi tanaman serbaguna bagi masyarakat. Bambu tergolong hasil hutan non
kayu yang dapat digunakan untuk berbagai keperluan. Oleh karena itu tidak berlebihan bila
dikatakan bambu sebagai tanaman serba guna. Karena perannya sebagai tumbuhan serba
guna, bambu dapat digunakan sebagai alternatif pengganti kayu.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui karakteristik fisik dan mekanik LVL dari
hasil kombinasi vinir dan zephir bambu dengan menggunakan perekat water based polymer-
isocyanate.
Produk LVL yang terdiri dari kombinasi vinir kayu dan zephir bambu menggunakan
perekat water based polymer dengan merk dagang Koyo Bond tipe KR-560 produksi PT.
KOYOLEM INDONESIA, Gunung Putri, Bogor yang ditambahkan isocyanate sebagai
crosslinker dengan tipe AP.
Vinir yang dipakai adalah dari kayu petai (Parkia speciosa) yang berasal dari hutan
rakyat di Jawa Barat dengan ketebalan rata-rata sekitar 2,2 mm dan kadar air sekitar 8-10%.
Zephir dengan tebal rata-rata sekitar 4 mm dan kadar air sekitar 10-15% diperoleh dari
bambu mayan atau temen atau serit (Gigantochloa robusta Kurz) umur sekitar 2 tahun dari
hutan koleksi bambu UPT BPP Biomaterial LIPI, Cibinong dengan 4 kombinasi susunan
dalam 10 ~ 11 lapis yaitu vinir-zephir (A), vinir-vinir-zephir (B), zephir-vinir-vinir (C) dan vinir
(D) seperti yang tercantum dalam Tabel 1.
A B C D
V V Z V
Z V V V
V Z V V
Z V Z V
V V V V
Z Z V V
V V Z V
Z V V V
V Z V V
Z V Z V
V V V
Keterangan:
V = Vinir; Z = Zephir
Berat labur perekatnya sebesar 280 g/m2 dengan katalis sebesar 15% dari berat
perekat yang merujuk pada petunjuk pemakaian dari produsen/pabrik. Aplikasi perekat
dengan cara labur double glue line kemudian dikempa dingin selama selama 20 menit pada
tekanan 2,5 MPa yang selanjutnya dikondisikan selama 24 jam pada suhu ruang. Setelah
itu, LVL diangkat dari mesin kempa dingin untuk selanjutnya dilakukan pengkondisian
selama 14 hari pada suhu ruang. Kemudian LVL diuji karakteristik fisik dan mekanik
berdasarkan pada standar SNI 01-6240-2000.
422
REKAYASA KAYU
Nisbah Delaminasi
Nisbah delaminasi rata-rata LVL berdasarkan SNI 01-6240-2000 tidak lebih dari 10%
dan panjang kerusakan dalam 1 garis rekat tidak lebih dari 1/3 atau 33% dari panjang garis
rekat pada setiap sisi. Dari hasil pengukuran nisbah delaminasi seperti yang terlihat dalam
Gambar 1. menunjukkan bahwa produk LVL dengan susunan vinir tanpa zephir memiliki
nisbah delaminasi yang lebih kecil yaitu 0% dibandingkan produk LVL hasil kombinasi vinir
dengan zephir bambu yang nilainya rata-rata masih diatas 10% baik pengujian struktural
maupun non struktural sehingga bisa dikatakan keteguhan rekatnya rendah. Kerusakan garis
rekat terbesar ada pada LVL A dengan nisbah delaminasi struktural 39,9% dan non
struktural 36,3%. Besarnya nisbah delaminasi yang dicirikan dengan rusaknya garis rekat
dari LVL dimungkinkan terjadi karena tidak meratanya penetrasi perekat. Tidak
sempurnanya penetrasi perekat diduga dipengaruhi oleh kondisi permukaan dari zephir
bambu yang tidak rata dan masih licin akibat adanya kulit bambu meskipun sudah diproses
dengan mesin crusher. Secara umum nilai nisbah delaminasi dari LVL hasil kombinasi vinir
dan zephir bambu masih dibawah standar yang menjadi rujukan yaitu kurang dari 10% baik
struktural maupun non struktural dibandingkan dengan LVL dengan susunan semua vinir
yang penetrasi perekatnya bisa dikatakan sempurna dan merata.
50
Nisbah delaminasi (%)
40
Vinir-Zephir
30
Vinir-Vinir-Zephir
Zephir-Vinir-Vinir
20
Vinir
10
SNI 01-6240-2000
0
Non Struktural Struktural
Tipe Delaminasi
Geser Horisontal
Pengujian geser horisontal dilakukan untuk mengetahui pengaruh beban terhadap
kekuatan lapisan dan garis rekat dari LVL. Pada pengujian geser horisontal arah tegak,
semua LVL dengan variasi kombinasi susunan memiliki nilai rata-rata 1,93 ~ 6,16 MPa yang
lebih tinggi dibandingkan LVL untuk pengujian arah datarnya 1,87 ~ 4,13 MPa seperti yang
terlihat dalam Gambar 2. Nilai geser horisontal untuk LVL D arah uji tegak (6,16 MPa)
masuk Tipe 60 V ~ 51 H sehingga masih memenuhi syarat dalam SNI 01-6240-2000 yaitu
minimal 3,5 MPa sedangkan pada arah uji datar minimal 3 MPa (4,13 MPa) dan masuk
dalam Tipe Tipe 40 V ~ 34 H . Namun untuk LVL A, LVL B dan LVL C dengan kombinasi
bahan vinir dan zephir bambu yang sama ternyata belum memenuhi standar. Pada setiap
pengujian arah tegak nilainya lebih besar dibanding arah datar. Hal tersebut menunjukkan
bahwa LVL lebih mampu menahan gaya geser horisontal sejajar arah garis rekat
dibandingkan tegak lurus garis rekatnya. Adanya penetrasi yang kurang sempurna dari
perekat pada proses perekatan antar vinir dengan zephir bambu diduga juga berpengaruh
terhadap kekuatan geser horisontalnya yang rata-rata belum masuk dalam standar terhadap
produk LVL yang dikombinasikan dengan zephir bambu.
423
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
0
Datar Tegak
Arah Pengujian
Keteguhan Lentur
Modulus of elasticity (MOE)
Untuk nilai modulus of elasticity (MOE) dari hasil pengujian keteguhan lentur LVL
ditunjukkan dalam Gambar 3. Pada pengujian keteguhan lentur arah tegak, semua produk
LVL dengan beragam kombinasi susunannya memiliki nilai rata-rata MOE (10,28 ~ 13,04
GPa) yang lebih tinggi dibandingkan LVL untuk pengujian arah datarnya (6,72 ~ 12,01 GPa).
Hal ini menunjukkan bahwa pengujian sejajar vinir dapat memberikan tahanan elastis yang
lebih tinggi dari pada gaya yang dihasilkan pada arah tegak lurus vinir dari produk LVL. Nilai
tersebut sudah memenuhi persyaratan SNI 01-6240-2000 baik pada uji arah tegak maupun
datar dan juga standar JAS SE-4-2008 (Structural LVL) yaitu minimal sebesar 5 GPa.
Secara umum nilai MOE terbesar ada pada LVL D (Tipe 110E) baik pada uji arah tegak
maupun datar diikuti LVL A (Tipe 100E), LVL C (Tipe 100E) dan LVL B (Tipe 80E) pada
posisi yang sama. Hal ini menunjukkan bahwa pemakaian zephir bambu untuk pembuatan
LVL mampu memberikan pengaruh yang cukup baik terhadap peningkatan elastisitas dari
LVL karena bambu dikenal memiliki elastisitas yang cukup baik walaupun nilainya masih
dibawah produk LVL yang tanpa menggunakan zephir bambu.
15
Modulus of elasticity (GPa)
SNI 01-6240-2000
12
Vinir-Zephir
9
Vinir-Vinir-Zephir
Zephir-Vinir-Vinir
6
Vinir
3
0
Datar Tegak
Arah Pengujian
424
REKAYASA KAYU
75
Modulus of rupture (MPa)
60
SNI 01-6240-2000
Vinir-Zephir
45
Vinir-Vinir-Zephir
Zephir-Vinir-Vinir
30
Vinir
15
0
Datar Tegak
Arah Pengujian
KESIMPULAN
Secara umum produk LVL tanpa kombinasi dengan zephir bambu memiliki
karakteristik fisik dan mekanik yang lebih tinggi dibandingkan produk LVL yang
dikombinasikan dengan zephyr bambu.
Hasil pengujian mekanik pada LVL arah tegak lebih tinggi nilainya dibandingkan arah
datar sehingga masuk dalam standar.
Produk LVL D yang disusun tanpa zephir bambu memiliki karakteristik fisik dan
mekanik lebih baik dibandingkan LVL dengan kombinasi zephir bambu.
Adanya zephir bambu pengganti vinir dalam produk LVL sedikit banyak memberikan
pengaruh terhadap masih tingginya nisbah delaminasi dan rendahnya gaya geser horisontal
425
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
namun untuk keteguhan lenturnya (MOE dan MOR) rata-rata masuk dalam standar yang
menjadi rujukan.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Standar Nasional, 2000. SNI 01-6240-2000 Venir Lamina. BSN. Jakarta
Bakar, E.S. 1996. Kayu Laminasi Venir Sejajar. Buletin Teknologi Hasil Hutan, Vol I. Hal :24
- 30. Institut Pertanian Bogor.
JAS SE-4. 2008. Inspection Methods for Laminated Veneer Lumber and Structural
Laminated Veneer Lumber.
Komatsu, K., Idris, Y., Wong, E.D., Yuwasdiki, S., Firmanti, A., Subiyanto, B. 2005. Use of
Mixed Species (Falcataria-Rubberwood) Laminated Veneer Board (LVB) for
Structural Applications in Wooden Houses. Sustainable Development and Utiliation
on Tropical Forest Resources. Report of JSPS-LIPI Core University Program in the
Field of Wood Science. 1996 2005. pp. 51-59).
Morisco. 2006. Rangkuman Hasil Penelitian. Pemberdayaan Bambu Untuk Kesejahteraan
Rakyat dan Kelestarian Lingkungan. Fakultas Teknik Universitas Gajah Mada.
Yogyakarta.
Panshin and De Zeeuw. 1977. Textbook of Wood Technology. Fourth Edition, McGrow-Hill
Book Company.
PT. KOYOLEM INDONESIA. 2011. KOYOBOND: Water Based Polymer-Isocyanate
Adhesive for Wood. Bogor.
Rosalita, Y., Massijaya, M.Y., dan Subiyanto, B. 2008. Determinasi Sifat-sifat Dasar
Laminated Veneer Lumber (LVL). Prosiding Seminar Nasional MAPEKI XI.
Palangkaraya, Kalimantan Tengah.
Rosalita, Y. 2009. Kajian Optimasi Sambungan Pasak Bambu Laminasi Pada Struktur
Laminated Veneer Lumber (LVL). Tesis. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian
Bogor. Bogor. (tidak terbit)
Youngquist, J.A dan B.S. Bryant. 1979. Production and Marketing Feasibility of Parallel
Laminated Veneer Product. Forest Product Journal 29 (8) : 45
426
REKAYASA KAYU
ABSTRAK
Kata kunci : kayu galam, potensi lokal, kayu konstruksi, perumahan transmigrasi
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Target pembangunan perumahan transmigrasi di Indonesia sampai tahun 2011
diproyeksikan mencapai 54.000 unit, dimana 8.000 unit diantaranya adalah rehabilitasi
terhadap rumah-rumah yang mengalami kerusakan.
Hingga saat ini, rehabilitasi maupun pembangunan baru perumahan transmigrasi
yang terdiri dari tipe Rumah Panggung (RP), dan Rumah Non Panggung (RNP) masih
427
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
didominasi penggunaan bahan kayu, baik untuk sub structure (pondasi), maupun upper
structure (rangka, dinding, lantai, rangka atap), dengan demikian konsumsi kayu menjadi
sangat besar. Sebagai contoh, dari spesifikasi teknik tipe RP-36 untuk 1 unit diperlukan kayu
sekitar 7,80 M3 dengan berbagai ukuran, ini berarti untuk merehabilitasi 8.000 unit diperlukan
kayu tidak kurang dari 60.000 M3 berbagai ukuran. Untuk saat ini, kebutuhan kayu sebanyak
itu amat sulit untuk dapat dipenuhi, karena kenyataan di lapangan untuk mendapatkan kayu
gergajian sudah sangat sulit, terutama setelah adanya pengketatan penebangan kayu HTA
dan dengan diberlakukannya ketentuan SKAU (Surat Keterangan Asal Usul) kayu, maka
mendapatkan dan mobilisasi kayu gergajian semakin sulit. Oleh sebab itu, perlu dicarikan
bahan alternatif pengganti kayu konstruksi dari HTA tersebut.
Penggantian bahan kayu konstruksi dengan bahan alternatif bukan berarti
replacement atau meniadakan kayu, tetapi meminimalkan penggunaan kayu gergajian
dari HTA, dengan cara memanfaatkan kayu lokal yang belum lazim digunakan sebagai kayu
konstruksi dengan melakukan treatment terlebih dahulu, dan difersifikasi jenis kayu,
sehingga kayu-kayu lokal klas rendah dapat digunakan dengan ditingkatkan terlebih dahulu
kualitasnya. Di lain pihak, di kawasan transmigrasi, di Kabupaten Kapuas Kalimantan
Tengah misalnya, terdapat potensi lokal berupa hutan kayu galam (Melaleuca kajuputi) yang
jumlahnya cukup besar, sebarannya mencapai sekitar 63.800 Ha. Kayu jenis ini yang
biasanya hanya untuk pekerjaan cerucuk dapat ditingkatkan menjadi kayu kosntruksi untuk
pembangunan perumahan.
Tulisan ini akan membahas karakteristik kayu galam yang diambil dari Kapuas
Kalimantan Tengah dan diuji di laboratorium Pusat Litbang Permukiman untuk dilakukan
analisis apakah dapat ditingkatkan fungsinya sebagai kayu konstruksi.
Permasalahan
Kayu gergajian dari HTA di Kalsel dan Kalteng semakin sulit diperoleh, sehingga bila
pembangunan perumahan transmigrasi di lahan gambut masih menggunakan spesifikasi
lama yang didominasi penggunaan bahan kayu gergajian dari HTA, maka besar
kemungkinan target rehabilitasi dan pembangunan perumahan transmigrasi akan mengalami
hambatan, disamping akan memicu harga kayu yang semakin tinggi. Sementara itu,dilokasi
tersebut terdapat potensi kayu galam yang sangat melimpah dan belum dimanfaatkan
secara optimal sebagai kayu konstruksi. Oleh karena itu, berdasarkan sifat-sifat teknis yang
dimiliki serta potensi kayu lokal yang ada, diharapkan dapat dikembangkan pemanfaatannya
sebagai bahan bangunan alternatif kayu konstruksi untuk menunjang pembangunan
perumahan transmigrasi.
Sasaran Fisik
Diperolehnya kayu konstruksi dari kayu galam yang dapat digunakan untuk
pembangunan perumahan transmigrasi baik untuk struktur bawah (sub structure) maupun
struktur atas (up structure).
Sasaran Outcome
x Dapat dikembangkannya bahan bangunan alternatif, sekaligus dapat meminimalkan
penggunaan kayu olahan dari HTA dalam pembangunan rumah transmigrasi di lahan
gambut di kawasan PLG;
x Dapat meningkatkan mutu pembangunan dan umur layan rumah transmigrasi di lahan
gambut di kawasan PLG.
428
REKAYASA KAYU
Metode penelitian yang digunakan adalah eksperimental dengan membuat benda uji
dari kayu galam untuk pengujian kuat tekan, kuat lentur dan kuat tarik yang selanjutnya akan
dilakukan analisis dan dibandingkan dengan standar atau spesifikasi teknis dari bangunan
transmigrasi sehinga akan diperoleh suatu bahan yang memenuhi persyaratan. Dari data
sifat kayu yang diperoleh kemudian dilakukan pendalaman dengan metode deskriptif,
analitik, dan uji laboratorium yang dapat diuraikan sbb :
Deskriptif : Pendataan potensi sumber kayu galam yang dapat digunakan sebagai
bahan bangunan alternatif berdasarkan karakteristik yang dimiliki.
Uji laboratorium : menguji mutu kayu galam dari berbagai variasi jenis uji dan ukuran
kayu maupun pembuatan komponen yang akan dikembangkan.
Analisis terhadap hasil uji laboratorium, maupun analisis secara teoritis terhadap
sistem komponen alternatif.
Rancangan Percobaan
Pembuatan benda uji untuk mengetahui sifat-sifat dasar kayu, yang meliputi uji kuat
tekan, kuat lentur dan kuat tarik, dari berbagai diameter nominal kayu galam yang akan
digunakan sebagai komponen / rangka struktural dan non struktural,.untuk menghasilkan
komponen yang sesuai dengan kebutuhan dan fungsi dari komponen tersebut. Secara
umum uraian penelitian dapat dijelaskan sebagai barikut:
429
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
430
REKAYASA KAYU
selain potensial di hutan (yang masih tumbuh), juga telah tersedia di pasaran ( siap
digunakan).
Menyelaraskan antara potensi yang cukup besar dengan regulasi yang berlaku
tersebut, idealnya usaha penggergajian kayu galam untuk balok atau bentuk lain terletak
dalam satu kawasan, sehingga dalam pengusahaan dan pemanfaatannya diharapkan tidak
terkendala oleh faktor mobilisasi/pengangkutan.
Uji Laboratorium .
Pengujian laboratorium meliputi pengawetan, uji sifat fisis dan mekanik dan uji coba
pembuatan komponen pondasi (sub struktur), rangka bangunan dan rangka atap dengan
hasil sebagai berikut;
431
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
432
REKAYASA KAYU
ar 5: Pengu
Gamba ujian Rangkka Kuda-Kud
da kayu gallam di laborratorium
H
Hasil peng
gujian labooratorium skala pen nuh terhad
dap kuda-kkuda galam utuh
menunjukkan keku
uatan sepertti table 5 be
erikut:
433
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
434
REKAYASA KAYU
CH-
3
CH- CH-
4 5
CH- CH-
6 7
Dari data hasil uji hingga ke pengujian ke 22 sudah terjadi lendutan sebesar 19,69
mm, sementara lendutan maksimum yang diijinkan (f) adalah 1/300 x L kuda-kuda = 1/300
x 6000 = 20 mm.
Untuk itu perlu dikontrol terhadap kekuatan pada posisi lendutan maksimum yang
terjadi (19,69 mm), yaitu pada simpul CH-0. Beban maksimum yang dapat ditahan pada
CH-0 (pengujian ke 22 ) adalah 705 Kg.
Beban yang sebenarnya terjadi pada kuda-kuda di titik CH-0, beban hidup + beban
mati adalah
a. Beban mati (berat rangka atap + penutup atap asbes gel) : 2,4 X 3 X 25 Kg = 180 Kg.
b. Beban hidup (beban angin + manusia) : 2,4 x 3 x 100 Kg = 720 Kg
Beban merata = q = 1,6BM + 1,4BH = 1,6 x 720 + 1,4 x 180 = 1152 + 252 = 1404 Kg
R1 = R2 = beban real yang bekerja pada CH-0 = x 1404 = 702 Kg -- < 705 Kg
Berarti pada titik simpul (sambungan) CH-0 kuat memikul beban, serta lendutan tidak
melampaui batas maksimum ( < 20 mm ).
KESIMPULAN
435
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Dalam kesempatan ini penulis ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
semua pihak yang telah menyumbangkan tenaga dan pemikirannya sehingga tersusunnya
tulisan ini, terutama kami tujukan kepada yang terhormat Ibu Kepala Pusat Litbang
Permukiman yang memberi kesempatan dan kepercayaannya dalam melakukan penelitian
ini.
Ucapan terima kasih juga kami tujukan kepada rekan-rekan peneliti dan teknisi di
Laboratorioum Bahan Bangunan Pusat Litbang Permukiman atas segala bantuan dan
pemikirannya.
DAFTAR PUSTAKA
436
REKAYASA KAYU
Ali Awaludin
Laboratorium Teknik Struktur
Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan, Universitas Gadjah Mada
ali.awaludin@ugm.ac.id
ABSTRACT
Panel kayu struktural efektif meningkatkan kekuatan lateral konstruksi kayu yang
diperlukan khususnya pada daerah gempa aktif seperti Indonesia. Energi gempa diserap
melalui deformasi inelastik yang terjadi pada sambungan mekanik (paku atau sekrup) yang
menghubungkan penutup panel dengan rangka kayu. Prediksi hubungan antara gaya dan
deformasi lateral panel dapat diperoleh berdasarkan konsep keseimbangan energi.
Kata kunci: Gaya lateral, keseimbangan energi, panel kayu, sambungan mekanik
PENDAHULUAN
Sebagai salah satu bahan konstruksi yang ramah lingkungan (green materials), kayu
atau konstruksi kayu juga telah lama dikenal memiliki perilaku yang baik saat terjadi gempa
bumi. Hal ini disebabkan oleh bentuk konstruksi yang regular dan tingginya nilai rasio
kekuatan-terhadap-berat (strength-to-weight ratio) bila dibandingkan dengan bahan
konstruksi lain seperti baja atau beton (Soltis, 1984). Berdasarkan data pada Tabel 1, kayu
struktur dapat memiliki nilai rasio kekuatan-terhadap-berat 20% lebih tinggi dari pada baja
struktur, dan dapat memiliki nilai rasio kekuatan-terhadap-berat empat sampai lima kali
kekuatan beton normal. Dengan informasi ini maka gaya inertial atau lateral yang terjadi saat
gempa menjadi lebih kecil.
Berbeda dengan kayu, pasangan batu-bata atau beton bersifat kaku sehingga harus
dirancang dan didetilkan (detailing) dengan hati-hati untuk menjamin perilaku yang baik saat
gempa. Ketika terjadi gempa, konstruksi kayu dapat menyerap energi gempa lebih baik
karena kemampuan deformasinya (flexing ability). Pada konstruksi kayu, energi gempa
diserap melalui beberapa macam mekanisme: friksi (internal) antar serat kayu; friksi antar
elemen struktur dan non-struktur; serta deformasi inelastik pada elemen struktur dan
sambungan. Namun demikian, penyerapan terbesar terjadi sebagai akibat deformasi
inelastik sambungan mekaniknya (sambungan menggunakan alat pengencang metal). Nilai
damping rasio konstruksi kayu pada kondisi elastik dapat mencapai 5% dikarenakan friksi
antar elemen (Toratti, 2001). Nilai damping rasio ini meningkat apabila konstruksi mengalami
deformasi inelastik.
Pada konstruksi rumah kayu tahan gempa terdapat dua jenis sistem pengaku lateral
yang sering dijumpai yaitu batang diagonal (bracing) dan dinding penahan geser (structural
walls or panels). Contoh rumah kayu yang menggunakan batang kayu diagonal sebagai
sistem perkuatan gempanya adalah rumah tradisional di Kepulauan Nias. Kekakuan lateral
rumah tradisional tersebut bertambah dengan adanya aksi diafragma sistim lantainya, yang
menghubungkan elemen kolom secara 3D (Awaludin dkk., 2010). Untuk konstruksi rumah
437
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
kayu yang ringan (light frame timber construction), maka sistem penahan geser panel kayu
struktural merupakan bagian dari konstruksi yang sangat efektif menahan gaya lateral
seperti gempa. Penutup panel tersebut umumnya terbuat dari bahan plywood atau OSB
(oriented strand board) yang disambungkan ke batang kayu menggunakan alat sambung
mekanik seperti paku atau sekrup.
Gambar 1 menunjukkan contoh sebuah panel kayu yang terdiri dari bahan penutup
panel (misalnya plywood) dihubungkan ke rangka kayu dengan alat sambung mekanik (paku
atau sekrup). Panel kayu tersebut menerima gaya lateral R sehingga terdeformasi sebesar
'. Metode analisis kekuatan panel secara lengkap disampaikan McCutcheon (1985).
Deformasi lateral panel merupakan penjumlahan dari deformasi penutup panel ('s)
dan deformasi rangka kayu ('n) akibat slip yang terjadi pada alat sambung paku
dimana t dan G berturut-turut adalah tebal panel dan modulus geser bahan penutup panel.
R
R d
'n
y
D
H x
Apabila slip paku di bagian pojok adalah d, maka slip paku lainnya disekiling panel
dapat ditulis sebagai berikut:
paku sisi horisontal (atas atau bawah)
paku sisi vertikal (kiri atau kanan)
438
REKAYASA KAYU
dimana Gx dan Gy adalah slip paku pada arah sumbu x dan sumbu y, n adalah jumlah spasi
paku pada sisi atas atau bawah, m adalah jumlah spasi paku pada samping kiri atau kanan,
D dapat diperoleh dari persamaan (4).
Deformasi lateral panel akibat slip alat sambung paku ('n) dapat diperoleh dengan
persamaan berikut
Persamaan 3-6 menghasilkan Persamaan 7 yang menjelaskan bahwa slip masing-masing
alat sambung sebagai fungsi dari deformasi lateral 'n dan geometrik panel.
paku sisi horizontal (atas atau bawah)
Karena hubungan antara gaya R dan deformasi lateral panel 'n adalah non-linear, maka
energi luar (E) didefiniskan sebagai berikut:
Hubungan antara p dan G dari hasil pengujian plywood - stud dengan alat sambung paku
atau sekrup juga non-linear sehingga energi dalam (I) dinyatakan sebagai berikut:
Gaya lateral R dapat dihitung dengan anggapan bahwa energi luar (E) sama dengan energi
dalam (I) sebagaimana dirumuskan pada persamaan berikut:
439
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Berikut ini akan diuraikan beberapa contoh penyelesaian Persamaan 10 untuk empat
macam fungsi p-G.
A. Fungsi power
Hubungan beban dan slip dinyatakan sebagai berikut:
dan gaya lateral panel:
dimana
untuk baris paku bawah atau atas
440
REKAYASA KAYU
untuk baris paku vertikal
C. Fungsi Logaritma 2
Hubungan beban dan slip dinyatakan sebagai berikut:
D. Fungsi Asimtotis
Hubungan beban dan slip dinyatakan sebagai berikut:
maka energi dalam adalah:
441
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
2000
1600
1200
Beban (N)
800
p = 480G0,39
400
0
0 10 20 30 40 50
Slip (mm)
Gambar 2. Kurva beban-slip sambungan panel LVL menggunakan sekrup
) C[CNCVGTCN4
0
& GHQTO CUKNCVGTCN
O O
442
REKAYASA KAYU
) C[CNCVGTCN4
0
& GHQTO CUKNCVGTCN
O O
) C[CNCVGTCN4
0
& GHQTO CUKNCVGTCN
O O
443
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
) C[CNCVGTCN4
0
& GHQTO CUKNCVGTCN
O O
PENUTUP
Prediksi hubungan antara gaya dan deformasi lateral panel dapat diperoleh
berdasarkan konsep keseimbangan energy antara energi yang diakibatkan oleh gaya lateral
panel dengan energi yang ditimbulkan oleh deformasi sambungan mekanik disekeliling
panel. Pada tulisan ini, prediksi kurva gaya-deformasi lateral panel dibuat menggunakan
program MATLab serta hubungan antara beban dengan slip sambungan mekanik
diasumsikan berbentuk persamaan power, logaritma dan asimtotis. Program MATLab
tersebut dapat digunakan untuk menganalisis pengaruh jumlah alat sambung mekanik dan
geometrik panel terhadap kurva gaya-deformasi panel.
DAFTAR PUSTAKA
444
REKAYASA KAYU
ABSTRAK
Kata kunci: Pelaburan perekat, lama waktu perekatan, afinitas, keteguhan rekat
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pada dasarnya bahan baku untuk bahan bangunan tersedia hampir di seluruh
wilayah Indonesia, baik berupa bahan organik maupun an-organik. Karena penggunaan
secara terus menerus, maka terjadi kelangkaan. Kelangkaan ini kemudian diantisipasi
dengan melakukan inovasi-inovasi teknologi bidang bahan bangunan. Bahan bangunan dari
bahan organik yang terbanyak digunakan adalah kayu dan bambu, karena merupakan
bahan bangunan untuk rumah-rumah tradisional. Sedangkan bahan bangunan an-organik
antara lain adalah bahan bangunan bersemen, bahan bangunan yang dibakar (keramik).
445
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Permasalahan
Dari latar belakang tersebut, maka permasalahan yang dapat diungkapkan adalah
belum diperoleh metode pelaburan dan berat perekat yang dapat memberikan kekuatan
optimum maka bagaimanakah pengaruh pelaburan dan lama waktu perekatan terhadap kuat
rekat bamboo laminasi?
Tujuan
Penelitian yang dilakukan mempunyai tujuan untuk mengetahui pengaruh pelaburan
dan lama waktu perekatan sehingga mampu memberikan keteguhan rekat yang optimum
dan ekonomis pada perlakuan kondisi exterior bambu laminasi serta untuk mengetahui
seberapa besar penurunan daya rekat bambu laminasi setelah 25 tahun kemudian.
Ruang Lingkup
Ruang lingkup pembahasan masalah akan dibatasi sebagai berikut :
1. Bambu yang digunakan adalah bambu Petung (Dendracalamus Sp.),
2. Bahan perekat bambu adalah Polymer-Isocyanate, Dimensi tampang bilah bambu yang
digunakan 2,0 x 0,5 cm,
3. Daya kempa yang digunakan 2,0 Mpa 1,
4. Variasi pelaburan adalah : MDGL,MSGL dengan variasi waktu setting di bilah : (0, 10, 25,
35, 60, 120) menit dan (0, 35, 60,120,180,240,300, 420, 480) menit
5. Kondisi lingkungan pemanfaat pada bambu laminasi ini adalah kondisieksterior.
Bahan Penelitian
1. Bambu Petung
Bambu Petung dari desa Penebel, kabupaten Tabanan dalam bentuk lonjoran dengan
panjang 4000 mm dan diameter rata-rata 120 mm dalam kondisi yang masih segar.
446
REKAYASA KAYU
2. Bahan Perekat
Bahan perekat yang digunakan adalah jenis perekat Polymer dengan kode (KR -7800).
Perekat jenis ini berbentuk cairan putih, agak kental menyerupai kekentalan cat dinding
tembok. Perekat jenis Polymer mudah mengeras pada variasi suhu yang luas, lebih
ramah lingkungan karena tidak mengandung Formaldehyda, ekonomis dan mempunyai
daya rekat yang kuat.
Alur Penelitian
Kegiatan penyiapan, pengolahan dan pembuatan benda uji dilakukan di Balai
Pengembangan Teknologi Perumahan Tradisional Denpasar (BPTPT), Badan Penelitian
Dan Pengembangan, Departemen Pekerjaan Umum.Pengujian keteguhan geser bambu
laminasi dilaksanakan di Laboratorium Balai Bahan Bangunan Pusat Litbang Permukiman.
Adapunpelaksanaanpenelitiannyasebagaiberikut :
1. Pengolahan Bambu
a. Bahan baku berupa Bambu Petung dipotong-potong menjadi bilah-bilah bambu
dengan lebar 25-30mm.
b. Bilah bambu yang telah dipotong-potong, dibersihkan bagian dalam dan tonjolan-
tonjolan bukunya.
c. Bilah-bilah bambu yang telah bersih, dimasukkan kedalam tabung yang telah berisi
larutan pengawet. Pengawet yang digunakan adalah larutan boron dan direndam
selama 5 hari.
d. Setelah proses pengawetan, dilanjutkan dengan proses pengeringan, yaitu dengan
cara dijemur sampai mencapai kadar air 12 %.
e. Bilah-bilah bambu yang telah kering, diserut pada bagian sisi tebalnya sampai
mencapai tebal 10 mm kemudian bilah-bilah bambu tersebut diletakkan di dalam
ruangan.
2. Pembuatan Bambu Laminasi
a. Dipilih bilah-bilah bambu yang lurus (tidak melengkung).
b. Agar dalam 1 susunan lapis, lebar tiap bilah didapat seragam, terlebih dahulu bilah
diserut. Kemudian bilah siap dilem. Sebelumnya bilah disusun melebar sejumlah 4
bilah dengan lebar tiap lapis 25 mm.
c. Bilah dilem dengan cara dikuas pada kedua sisi lebarnya dengan campuran perekat
dan hardener sesuai komposisi yang dianjurkan. Kemudian dimasukkan kedalam
cetakan/klem dan mur-baut dikencangkan.
447
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
d. Setelah terkumpul 2 lapis susunan bilah dalam satu cetakan/klem, lapis bilah tersebut
dikempa dengan tekanan kempa 2,0 MPa, sambil di baut untuk mempertahankan
tekanan tersebut.
e. Dilanjutkan dengan proses pengeringan/ penjemuran selama 2 jam. Setelah itu, mur-
baut cetakan/klem dilepas, lapis bilah dikeluarkan dari cetakan.
f. Setelah kering, lapis bilah diserut untuk mendapatkan ukuran sisi tebal lapis sesuai
yang telah direncanakan. Kemudian 1 lapis bilah dipotong-potong menjadi 6 bagian. 3
bagian untuk benda uji interior dan 3 bagian untuk benda uji eksterior. Dilanjutkan
pembentukan dimensi benda uji sesuai standar pengujian.
Alat Penelitian
1. Alat-alat yang dipergunakan untuk pengolahan bahan baku adalah :Parang, Gergaji
tangan (hand saw), Timbangan digital, Meteran, dan alat bantu lainnya yang menunjang
pengolahan bahan baku.
2. Alat-alat yang dipergunakan untuk membuat bambu laminasi adalah : Alat kempa
hidrolikkapasitas 20 ton, Mesin serut/planner, Ember dan gelas plastik, serta alat-alat
448
REKAYASA KAYU
bantu melaminasi diantaranya klem penjepit baja kanal U beserta mur dan baut, kunci
inggris, kuas dan pengaduk perekat.
3. Alat-alat yang digunakan untuk pengujian keteguhan geser adalah : Kaliper, Timbangan
digital, Mesin pengujian mekanik TTM (Tokyo Testing Machine).
Desain Pengujian:
- Uji mekanika (blending dan internal boding)
- Analis ANOVA
- Data ditampilan dalam bentuk grafik korelasi hubungan waktu dengan kuat tarik
perekat
Pelaburan Perekat Metode MDGL Dan MSGl Dengan Waktu Setting Di Bilah Dan Di
Wadah
Bambu laminasi adalah suatu produk yang dibuat dari beberapa bilah bambu yang
direkatkan dengan arah serat sejajar. Perekat dilakukan ke arah lebar (horizontal) dan ke
arah tebal (vertikal). Hasil terlabur agar tercapainya garis perekat yang pejal dan kuat.
Satuan luas permukaan rekat ditentukan dengan satuan Inggris yakni seribu kaki persegi
(1000 square feet) dengan sebutan MSGL (Thousand Square Feet Single Glue Line) yang
dinyatakan dalam satuan pound (Lbs). Bila kedua bidang permukaan dilabur maka disebut
MDGL (Thousand Square Feet Double Glue Line) atau pelaburan dua sisi. Pelaburan pereka
denga metode pelaburan satu sisi (MSGL) dengan pelaburan dua sisi (MDGL) merupakan
satu opsi untuk melakukan efisiensi terhadap penggunaan perekat pada proses pelaburan
pada laminasi bambu. Diuji metode pelaburan satu sisi dan dua sisi dan bentuk dengan
variasi waktu setting dibilah dan hasil uji seperti ditunjukkan pada gambar 1 dan 2 berikut.
449
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Gambar 1.Grafik Ku
uat Rekat MSGL
M Setting Time Di B
Bilah (0-120
0) menit
Gamb
bar 2.Grafik
k Kuat Reka
at MDGL Se
etting Time Di Bilah (0-120) menit
Grafik Se
etting Tim
me Perekatt Di Wadah
h
1.00
0.90
0.80 0.78
0.70 0.55
Kuat Geser (MPa)
0.60 0.58
56 0.57
0.5 0.57
0.50 0.50
0.53
0.40 y = -1E-05x 2 + 0.0017x + 0.558
89
0.30
0.20
0.10
0.00
0.00 5.00
25 50.00 75.00 100.00 125. 00 150.00 175.00 20
00.00
Wa ktu (menit)
G
Gambar 3.G
Grafik Kuat Rekat MDG
GL Dengan Setting Tim
me Di Wada
ah (0-180) menit
m
450
REKAYASA KAYU
8
7 6.94 7.04
6.74
6.23
6 5.96
5.62 5.47
2
5 y = -0.4969x + 4.7437x - 3.8832
2
R = 0.8321
4
3.64
3
2
1
0
2.00 3.00 4.00 5.00 6.00 7.00 8.00
Waktu (jam)
Gambar 4.Grafik Kuat Rekat MDGL Dengan Setting Time Di Wadah (3-8) jam
SUMMARY
Groups Count Sum Average Variance
Tegangan geser 30 167 5,5666667 0,963469885
Setting time (menit) 30 375 12,5 75,43103448
ANOVA
Source of Variation SS df MS F hitung P-value F Tabel
5,68239E-
Between Groups 721,0666667 1 721,06667 18,87744865 05 4,006864174
Within Groups 2215,440627 58 38,197252
Total 2936,507293 59
SUMMARY
Groups Count Sum Average Variance
Tegangan geser 45 281,6 6,2577778 2,55661904
Setting time (jam) 45 232,5 5,1666667 2,272727273
451
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
ANOVA
Source of Variation SS df MS F hitung P-value F Tabel
Between Groups 26,78677778 1 26,786778 11,09333481 0,001267527 3,949324423
Within Groups 212,4912378 88 2,4146732
Total 239,2780156 89
Dari gambar 1 dan 2 dapat dilihat bahwa terjadi trend linear negatif, dimana semakin
bertambahnya waktu setting bamboo laminasi maka terjad penurunan kekuatan perekat
(kuat rekat MPa) baik pada pelaburan satu sisi (MSGL) dan pelaburan dua sisi (MDGL).
Keteguhan rekat bamboo laminasi dengan pelaburan satusisi (MSGL) dengan variasi lama
waktu perekatan diperoleh rata-rata: (0 menit, 16 kg/m2); (10 menit, 15.12 kg/m2);(25 menit,
14.64 kg/m2); (35 menit, 11.55 kg/m2); (60 menit, 7.99 kg/m2);(120 menit, 0 kg/m2). Dan
pelaburan dua sisi (MDGL) dengan variasi lama waktu perekatan diperoleh rata-rata: (0
menit, 19.68 kg/m2); (10 menit, 19.34 kg/m2); (25 menit, 16.38 kg/m2) ); (35 menit, 21.17
kg/m2); (60 menit, 12.79 kg/m2); (120 menit, 11.74kg/m2). Bobot labor diperoleh optimum
pada 40 MSGL dan 45 MDGL, berdasarkan analisis variansi yang dilakukan untuk
mengetahui pengaruh pelaburan dan lama waktu perekatan terhadap afinitas dan keteguhan
rekat bamboo laminasi dapat disimpukan memang benar pelaburan MDGL dan MSGL dan
lama waktu perekatan mempengaruhi secara signifikan nilai afinitas dan keteguhan rekat
bamboo laminasi pada tingkat kesalahan 5%.
Dari gambar 3 menujukkan bahwa grafik mengalami trend yang linear, ha ini
mengindikasikan bahwa dari interval waktu 5 menit sampai 180 menit perekat masih memiliki
efektifitas atau kuat geser yang baik, dibuktikan pada interval waktu 180 menit kuat geser
yang dihasilkan sebesar 5 MPa yang masih berada diatas kuat geser bamboo yaitu 4.5 MPa.
Dan dari gambar 4 menujukkan bahwa grafik mengalam perubahan dari trend yang linear
menjadi non linear, hal ini mengindikasikan bahwa kuat rekat atau efektivitas perekat
mengalami penurunan pada interval waktu 6.5 jam dan titik terendah pada interval 7.5 jam
yaitu 3.64 MPa, jadi dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa pada range waktu 3.5 jam sampai
5.5 jam menghasilkan kuat geser yang baik dan optimum pada interval 4.5 jam.
Mengacu pada kuat geser rata-rata bahan bambu yang digunakan yakni sebesar 4.5
Mpa, maka melalui pengujian kuat geser dengan metode pelaburan MDGL dan MSGL dan
berbagai variasi setting waktu dibilah maupun diwadah, dapat diambil nilai kuat geser yang
dicapai mulai diatas 4.5 MPa merupakan kondisi dimana sudah dianggap bahwa bahan
perekat tersebut sudah mampu bertugas atau berfungsi sebagai perekat bambu laminasi.
Pada kondisi interior semua variasi kadar hardener nilai keteguhan gesernya melampui nilai
kuat geser rata-rata bahan bambu petung yang digunakan, tinggal kita memilih kadar
hardener mana yang kita butuhkan yang sesuai dengan waktu layan kecepatan kering yang
dibutuhkan saat proses produksi bambu laminasi
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pengujian keteguhan geser bambu petung laminasi baik pada
kondisi interior maupun pada kondisi eksterior, maka dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Jumlah perekat terlabur optimum adalah sebesar 40 MDGL. Lebih ekonomis
dibandingkan dengan bahan perekat Non polymer dengan jumlah perekat terlabur
sebesar 50 MDGL.
2. Bahan perekat polymer isocyanate memiliki keunggulan dalam proses pengeras yang
relatif cepat, namun dalam penggunaan sebagai perekat waktu pengerasan akan
berpengaruh terhadap waktu proses pengerjaan.
452
REKAYASA KAYU
3. Setting time bambu laminasi jenis perekat Polymer-Isocyanate komposisi perekat 225
gr/m2, kuat geser pada interval waktu 5 sampai 180 menit masih menunjukan trend linier,
yang artinya kekuatan rekat masih baik.
4. Setting time bambu laminasi jenis perekat Polymer-Isocyanate komposisi lem 225 gr/m2,
kuat geser pada interval waktu 3 jam sampai 8 jam menunjukkan perubahan grafik dari
linear menjadi nonlinear. Tetapi perubahan yang terjadi tidak signifikan, yang berarti
bahan perekat polymer ini waktu perekatannya cukup baik dalam arti tidak cepat
mengeras dengan kekuatan awal yang cukup baik.
SARAN
1. Untuk menjaga kadar air bambu, sebaiknya bambu ditempatkan di dalam ruangan yang
terlindung dari pengaruh cuaca luar secara langsung. Karena kadar air bilah bamboo
berpengaruh terhadap kualitas perekatan.
2. Perlu ketelitian dalam proses penyerutan, agar tebal bilah bambu yang diinginkan
permukaannya seragam, sehingga memudahkan dalam proses perekatan bambu
laminasi yang mendekati sempurna.
453
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
ABSTRAK
Bambu merupakan salah satu material pengganti kayu yang umum digunakan pada
konstruksi bangunan perumahan. Bentuk penampang bulat tidak pejal dan ketidak
seragaman ukuran diameter batang bambu merupakan sebagian kelemahan khususnya
dalam aplikasi penggunaan material bambu sebagai bahan konstruksi bangunan. Dalam
Penelitian ini akan dipaparkan pengembangan balok berbahan utama dari batang bambu
yang dibuat kotak dan dikombinasikan dengan papan kayu sengon (Paraserienthes
falcataria) sehingga menghasilkan balok kombinasi dengan ukuran yang umum digunakan.
Balok bambu dibuat dari bambu tali (Gigantochloa apus) sebagai lapisan inti balok yang
dikelompokkan menjadi dua bagian (pangkal dan ujung) dan papan kayu sengon sebagai
lapisan luar dengan dua ketebalan pelapis papan (1,5 cm dan 1cm), serta direkatkan dengan
proses kempa dingin.
Balok laminasi dengan kombinasi batang bambu yang dibentuk persegi
penampangnya dan dilapisi dengan papan kayu menghasilkan balok laminasi yang ringan,
yaitu 1,83 2,38 kg/m dengan masa jenis () 0,25-0,32 kg/m3. Nilai optimum MOR dan MOE
diperoleh pada sampel uji balok dengan bambu dengan pelapisan papan yang lebih tebal
memiliki nilai yang lebih baik dibanding dengan pelapisan papan yang lebih tipis pada ukuran
penampang balok yang sama (6/12). Keteguhan tekan tertinggi sebesar 133 N/cm2 pada
sampel uji balok dari bambu bagian pangkal dengan penampang 4 cm. Adanya perekatan
antar sambungan dan buku bambu memberikan kekuatan pada keteguhan tekannya.
Kata kunci : balok bambu, bambu apus, papan sengon, kempa dingin, sifat fisik,
sifat mekanik
PENDAHULUAN
454
REKAYASA KAYU
papan ataupun balok yang pejal. Hanya saja pembuatan bilah bambu memiliki rendemen
cukup redah. Kelemahan lain dari bambu diantaranya keseragaman diameter dan ketebalan
bambu antara pangkal dan ujung tidak sama. Untuk pemakaian yang agak panjang, sulit
memilih bambu yang lurus dan seragam.
Pembuatan papan atau balok laminasi dengan mengkombinasikan jenis ataupun
struktur lapisannya akan mampu meningkatkan karakteristik mekanik yang dimilikinya.
Keuntungan lain dari produk kayu laminasi ini adalah sifat fisik yang lebih homogen dan
ukuran yang mampu diperoleh sesuai dengan keperluan. Berdasarkan hal tersebut
penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan balok berbahan utama dari batang bambu
yang dibuat berpenampang persegi dan dikombinasikan dengan papan kayu sengon
(Paraserienthes falcataria) sehingga menghasilkan balok laminasi dengan ukuran yang
umum digunakan.
Bahan utama dalam penelitian ini menggunakan bambu tali (Gigantochloa apus) dan
papan dari kayu sengon (Paraserianthes falcataria) sebagai pelapisnya.
Bambu tali diperoleh dari daerah bogor dan dipilih menjadi dua kelompok
berdasarkan diameternya, (1) diameter rata-rata 48,5 mm (46~53 mm) dan (2) diameter rata-
rata 58 mm (57~61 mm). Setiap batang bambu diambil 4 meter dari pangkal, 2 meter awal
ditetapkan sebagai pangkal (A) dan 2 meter selanjutnya ditetapkan sebagai ujung (B).
Panjang pemotongan sampel bambu (ujung dan pangkal) divariasikan 50 cm (50) dan 100
cm (1M), metode pemotongan dan ukuranya ditunjukkan pada gambar 1. Batang bambu
dipotong sisinya sedemikian hingga berpenampang persegi (Gambar 2).
Papan sengon yang dipakai merupakan material bangunan yang umum
diperjualbelikan dilingkungan toko bangunan daerah Cibinong, Bogor. Papan memiliki
kerapatan 0,3 gr/cm3 dibuat sampel uji pada kondisi kering udara (KA 9%),. Selanjutnya
papan sengon dipotong sesuai dengan ukuran yang dibutuhkan (Gambar 2).
455
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Gambar 2. Susuna
an Balok
Untuk men
U ngetahui karakteristik balok yang dibuat diuji fisik dan mekaniknya.
Pengujian mekanikk dilakukan n pada sam mpel uji skaala pemakaian dan pengujian ini sebatas
pada pengujian
p leentur statiss dan teka
an Pengujia an yang dilakukan
d m
merujuk paada JAS
(Japane dard) for Sttructural Gllued Laminated Tumb
ese Agriculltural Stand ber.. Dan peengujian
minasi serta masa jenisnya. Delaminasi dinyyatakan dalam %, me
fisik berupa delam erupakan
rasio yaang didapa at dari perrbandingan total garis s rekat russak dengan
n total gariis rekat.
Pengukkuran beratt balok uji dalam kon ndisi balokk utuh dan penghitunngan volumme balok
dilakukaan untuk mengetahui
m kerapatan
n bahan.Mo omen lentuur yan terja
adi pada balok
b uji
dihitung
g dengan
S
Singer dan Pytel (19995) menyataakan bahwa a tegangan n lentur maksimal yang terjadi
pada se
etiap batan
ng berbeban adalah l =Mc/I, apaabila I/c dissebut modulus penamp pang (S)
sehingg
ga tegangan
n lentur makksimal (MOR) dapat dinyatakan :
l = M/S
S (2)
dengan l : tegangan
t le m2
entur , N/mm
S : Modulus
M pe
enampang balok
b
F : Beban
B (N)
Gambarr 3. Mekanissme Uji Tek
kan
456
REKAYASA KAYU
Kode Berat
(kg/m) gr/cm3
A4-50 2,17 0,29
A4-1M 2,15 0,29
B4-50 1,92 0,26
B4-1M 1,89 0,28
A5-50 2,38 0,32
A5-1M 2,09 0,29
B5-50 1,90 0,25
B5-1M 1,83 0,26
Sifat Mekanik
Pada ukuran balok yang sama (6/12), penampang bambu yang lebih besar (5cm)
dengan pelapisan papan lebih tipis ternyata memiliki nilai MOR yang lebih rendah dibanding
balok dari penampang bambu yang lebih kecil (4 cm) dengan pelapis papan yang lebih tebal.
Nilai MOR tertinggi diperoleh sampel uji A4-50 sebesar 24 MPa. Dengan demikian kekuatan
balok dipengaruhi oleh tebal papan yang dipakai.Pada bagian pangkal (A) dengan rongga
yang lebih kecil atau dinding yang lebih tebal terlihat memiliki kekuatan lebih tinggi bila
dibanding dengan sampel yang menggunakan bambu bagian ujung (B) pada sampel uji
dengan penampang bambu 4 cm, namun kondisi tersebut tidak terlihat pada sampel uji
dengan penampang bambu 5 cm.Panjang potongan bambu 50 cm memiliki jumlah
sambungan lebih banyak dan potongan 100 cm lebih sedikit, namun ternyata secara umum
potongan bambu yang lebih panjang sedikit memberikan pengaruh terhadap nilai MORnya.
Nilai MOR pada balok bambu laminasi ini secara umum masuk dalam Strength grade E60-
F210
Sambungan pada bambu ternyata memberikan perlemahan pada sampel balok uji
bending (Gambar. 5). Dari keseluruhan sampel uji sebagian besar rusak pada sambungan
bambunya, hal tersebut mengindikasikan bahwa jenis sambungan sederhana dengan
perekatan tidak mampu secara optimal menahan beban bending yang terima. Pengunaan
457
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
papan disusun
d ara
ah longitudiinal kayu searah
s panjang balok yang dominan menga andalkan
ketahan nan belah papan
p (radia
al atau tanggensial kayyu) sedangkkan pada umumnya ka ayu kuat
pada be eban tekan dan tarik, sehingga
s MOOR yang dihasilkan ren ndah.
N
Nilai MOE balok uji terlihat nila ai tetinggi pada balokk yang me enggunakan n bagian
pangkal bambu de engan poton ngan 50 cm dan berpenampang 4 cm (A4-50 0) sebesar 3.8
3 GPa.
Seperti halnya pada nilai MO OR, pada ukuran yan ng sama (6 6/12) pembedaan pen nampang
bambu 4 cm dengan pelapis papan lebih tebal mem miliki nilai MOE
M lebih ttinggi diban
ndingkan
pada pe enampang bambu
b 5 cm
m dengan pelapis
p papaan yang lebih tipis. Seccara umum panjang
potonga an bambu 505 cm men nghasilkan balok
b lebih kaku sehin ngga memiliki nilai MO OE yang
lebih tin
nggi dari po
otongan ba ambu yang lebih panja ang, baik pada
p potong gan bambu u bagian
pangkal ataupun ujjungnya.
D
Dari kekura
angan-keku urangan ya ang dimiliki dari balokk laminasi bambu khususnya
keteguh han patahnyya yang relatif rendah h, namun balok ini me emiliki keleb
bihan dari sifat
s fisik
delaminnasi yang baik
b dan be erat persatuuan panjang g yang sangat ringan. Sehingga memiliki
kekuataan spesifik yang
y lebih tinggi (tabel 2).
(a))
(b
b) (c)
T
Tabel 2. Ke
eteguhan pa
atah spesifik
k balok bam mbu laminassi
Kode MOR specific
(MPa) (MPa)
A4-50 22,8 78,64
A4-1M 24,0 81,52
B4-50 18,4 71,80
B4-1M 21,2 75,81
A5-50 17,1 53,89
A5-1M 17,0 58,45
B5-50 18,3 74,33
B5-1M 15,1 57,30
S
Secara kesseluruhan dengan pela
apisan papa emiliki sifat mekanik
an yang lebih tebal me
dan MOR) yang lebih
(MOE d h baik diba
anding peng
ggunaan pe enampang bambu yang lebih
458
REKAYASA KAYU
besar dengan pelapis papan lebih tipis. Tingkat kelurusan batang bambu mempengaruhi
hasil pembentukan penampang bambu persegi. Dengan memotong batang bambu lebih
pendek tingkat kelurusan potongan bambu akan lebih terjaga. Pada batang bambu yang
bengkok (tidak lurus), ketebalan bambu akan banyak terkikis pada waktu pembentukan
penampang persegi sehingga pada salah satu sisinya menjadi tipis atau bahkan berlubang
karena dinding bambu habis. Pada bagian tersebut akan menjadi lemah, hal tersebut
menghasilkan nilai MOE dan MOR yang kurang optimal.
Keteguhan Tekan
Kemampuan balok untuk menerima beban searah dengan tebalnya disajikan pada
tabel 2. Nilai yang dihasilkan bervariasi berkisar 44-133 N/cm2. Secara umum sepertihalnya
keteguhan patah kemampuan balok menerima beban tekan memiliki tren yang hapir sama,
pada balok yang menggunakan batang bambu berpenampang kotak 4cm dengan lapisan
papan sengon yang lebih tebal (1cm) ada kecenderungan lebih tinggi nilainya. Perbedaan
tebal dinding bambu antara pangkal dan ujung juga terlihat memberikan pengaruh, dimana
bagian pangkal memiliki nilai keteguhan tekan yang lebih baik. Bambu memiliki ketahanaan
belah yang kurang baik tapi memiliki kekuatan tekan dan tarik yang tinggi (Budi A.S., 2009).
Berdasarkan hal tersebut menjadikan keteguhan tekan pada sampel balok ini cenderung
dipengaruhi ketebalan papan yang melapisinya.
Pengamatan kerusakan sampel uji pada tiga konstruksi penggabungan batang
bambu (Gambar 6) terlihat bahwa terjadi perlemahan dinding bambu yang tipis akibat proses
pembentukan penampang persegi. Pada bagian sambungan atar bambu ternyata terlihat
tidak terjadi kerusakan. Perekat yang diberikan pada sambungan antar bambu menambah
kekuatan bambu terhadap pembebanan tekan, kerusakan terjadi pada bagian yang lain
(gambar. 6b). Kondisi tersebut tidak terlihat pada konstruksi balok tanpa sambungan
(Gambar. 6a), pada daerah ini kerusakan terlihat pada dinding yang lebih tipis terdesak, slip
atau pecah sehingga perekatanyapun lepas. Adanya buku pada batang bambu memberikan
kekuatan tekan terlihat pada gambar 6c. pada daerah tersebut pasangan bambu akan
terlebih dahulu rusak.
459
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Keteguhan Tekan
Kode N/cm2
a 84,8
b 107,0
c 133,0
A4-50 rerata 108,3
a 123,9
b 100,9
c 120,1 (a)
A4-1M rerata 115,0
a 59,0
b 62,8
c 62,0
B4-50 rerata 61,3
a 105,5
b 84,0
c 95,9
B4-1M rerata 95,1
a 71,8 (b)
b 70,0
c 88,3
A5-50 rerata 76,7
a 57,8
b 64,6
c 73,4
A5-1M rerata 65,3
a 50,0
b 35,0
c 47,5
B5-50 rerata 44,2
(c)
a 44,6
b 44,6
c 50,0 Gambar 6, Karakteristik kerusakan balok
B5-1M rerata 46,4 uji tekan pada posisi (a) bebas
sambungan, (b) pada sambungan,
dan (c) pada buku
KESIMPULAN
Dari penelitian ini dapat diambil kesimpulan yaitu balok laminasi dengan kombinasi
batang bambu yang dibentuk persegi penampangnya dan dilapisi dengan papan kayu
menghasilkan balok laminasi yang ringan, yaitu 1,83 2,38 kg/m dengan kerapatan () 0,25-
0,32 gr/cm3. Dengan memotong batang bambu lebih pendek tingkat kelurusan potongan
bambu akan lebih terjaga. Pada batang bambu yang bengkok (tidak lurus), ketebalan bambu
akan banyak terkikis pada waktu pembentukan penampang persegi sehingga pada salah
satu sisinya menjadi tipis atau bahkan berlubang karena dinding bambu habis serta
terjadinya perlemahan pada sambungan atar bambu menghasilkan nilai MOE dan MOR
yang kurang optimal. Nilai optimum MOR dan MOE diperoleh pada sampel uji balok dengan
bambu dengan pelapisan papan yang lebih tebal memiliki nilai yang lebih baik dibanding
dengan pelapisan papan yang lebih tipis pada ukuran penampang balok yang sama
(6/12).Keteguhan tekan tertinggi sebesar 133 N/cm2 pada sampel uji balok dari bambu
460
REKAYASA KAYU
bagian pangkal dengan penampang 4 cm (A4-50). Adanya perekatan atar sambungan dan
buku bambu memberikan kekuatan pada keteguhan tekannya.
DAFTAR PUSTAKA
461
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
James Rilatupa
Staf Pengajar Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik, Universitas Kristen Indonesia
ABSTRACT
PENDAHULUAN
462
REKAYASA KAYU
tingkat serangan paling ganas dan mampu menyerang hingga ke lantai 33 pada bangunan
tinggi. Serangan rayap ini mampu merusak elemen konstruksi dari satu lantai ke lantai
berikutnya; seperti plafon berbahan gipsum sampai dengan kitchen setberbahan kayu pada
ruang dalam suatu bangunan.
Berdasarkan hal tersebut, penelitian mengenai pengaruh serangan rayap pada
pemeliharaan dan perawan gedung sangat perlu dilakukan. Penelitian pendugaan indeks
kondisi ini hanya dibatasi pada serangan rayap Coptotermes curvignathus. Sementara itu,
dari penelitian ini juga dapat diduga kerugian ekonomi dan pendugaan masa pakai
komponen bahan berkayu pada bangunan yang diakibatkan oleh serangan rayap
Coptotermes curvignathus.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk :
1. Menduga nilai kondisi konstruksi komponen bahan berkayu akibat serangan rayap tanah
Coptotermes curvignathus,
2. Mengetahui penyebab dan dampak kerugian kerusakan komponen bahan berkayu
ditinjau dari aspek perawatan dan pemeliharaan gedung.
Prosedur Penelitian
1. Indeks Kondisi Gedung
Indeks kondisi yang diamati di gedung FT-UKI adalah komponen bahan berkayu
yang ada dalam gedung. Penilaian indeks kondisi tersebut dimaksudkan untuk melihat
akibat serangan rayap terhadap kondisi pada komponen berkayu yang dinilai dari
subkomponen gedung hingga utuh secara keseluruhan dalam suatu gedung.
a. Pengamatan di Gedung
Pengamatan untuk mengetahui indek kondisi dari subkomponen gedung
hingga keseluruhan gedung yang meliputi:
- Melakukan pengamatan terhadap kondisi konstruksi gedung lantai per lantai
sesuai dengan kemungkinan kehidupan koloni rayap pada bagian konstruksi
bangunan di area interior.
- Investigasi lokasi/area kerusakan bagian konstruksi gedungdan penyebab
serangan rayap serta mengidentifikasikan jenis-jenis kerusakan, baik karena
faktor perancangan gedung, faktor konstruksi gedung, kecerobohan pemakai,
sistem pemeliharaan gedung, maupun karena pemanfaatan bahan/material.
Langkah selanjutnya mengkategorikan kondisi konstruksi komponen bahan
berkayu dalam gedung.
463
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
dimana:
CISu = indeks kondisi untuk subkomponen ke-u, Su
C = konstanta (=100)
a( ) = nilai pengurangan bobot yang tergantung pada jenis kerusakan Ti,
tingkat kerusakan Sj dan kuantitas kerusakan Dij
i = penilaian untuk jenis kerusakan
j = penilaian untuk tingkat kerusakan
p = total jumlah jenis kerusakan untuk subkomponen
mi = jumlah tingkat kerusakan pada ke-i dari jenis kerusakan
F(t,d) = faktor koreksi pada jenis kerusakan dengan jumlah total nilai
pengurang,t dan jumlah pengurangan individu dari tingkat kerusakan, d
Dalam penelitian ini jenis kerusakan pada komponen berkayu yang berhubungan
dengan serangan rayap adalah permukaan bahan berkerut, retak rambut, celah dan lubang,
serta goyah/kendor/lepas. Selanjutnya jenis kerusakan tersebut akan terbagi lagi menurut 3
tingkat kerusakan yaitu rendah (rusak ringan), sedang (rusak sedang) dan tinggi (rusak
berat). Tingkat kerusakan tersebut terdiri dari 5 kuantitas kerusakan (density) yang
dinyatakan dalam persentase <1%, 1-10%, 11-25%, 26-50% dan 50%. Setiap jenis, tingkat
dan kuantitas kerusakan harus diamati untuk mendapatkan nilai pengurang (a dalam
persamaan 1).
Analisa tingkat kerusakan ini berdasarkan hasil pengamatan yang telah dilakukan
pada masing-masing tower. Tabel 1 menjelaskan tingkat kerusakan dari masing-masing
jenis kerusakan beserta hubungannya dengan kuantitas kerusakan yang menghasilkan nilai
pengurang. Nilai pengurang ini digunakan dalam indeks kondisi subkomponen (persamaan
1) sebagai a(Ti,Sj,Dij).
Setiap subkomponen terdiri dari beberapa unsur, sehingga faktor koreksi F(t,d)
dihitung berdasarkan unsur tersebut. Misalnya subkomponen kayu terdiri dari unsur biaya,
fungsi dan perawatan/perbaikan. Nilai pengurang t dan nilai pengurang individu d dihitung
berdasarkan pembobotan pada subkomponen dan unsurnya. Setelah subkomponen
diperiksa dan indeks kondisinya ditentukan, kemudian indeks kondisi unit contoh ditentukan.
Indeks kondisi unit contoh (SUCI) dihitung dari:
w1(CIS1)+w2(CIS2)+w3(CIS3)+ ..+wu(CISu)
SUCIv = (2)
w1+w2+w3+.+wu
464
REKAYASA KAYU
dimana:
SUCIv = indeks kondisi ke unit contoh ke-v yang diperiksa
wu = faktor bobot tiap subkomponen (0-1,0) u
Cis = indeks kondisi setiap subkomponen
u = jumlah subkomponen yang ada
Selanjutnya, unit contoh untuk tiap komponen digabungkan kedalam indeks kondisi
bagian komponen (CSCI) berdasarkan ukurannya. Persamaannya adalah:
SUCI1(A1)+SUCI2(A2)+SUCI3(A3)+...+SUCIv(Av)
CSCIx = (3)
A1+A2+A3+.+Av
dimana:
CSCIx = indeks kondisi bagian komponen ke-x bagian komponen
SUCIv = indeks kondisi ke-v unit contoh yang diperiksa
Av = panjang area tiap unit contoh yang diperiksa
v = jumlah unit-unit contoh yang diperiksa
Tahap selanjutnya melibatkan gabungan bobot oleh ukuran bagian/section CSCI tiap
komponen bangunan untuk menentukan indeks kondisi komponen bangunan (BCCI). BCCI
dihitung dari :
BCCIy = (4)
CSCI1(A1)+CSCI2(A2)+CSCI3(A3)++CSCIx(Ax)
A1+A2+A3++Ax
dimana:
BCCIy = indeks komponen bangunan penyesuaian/adjusted untuk komponen ke-y
CSCIx = indeks kondisi setiap bagian/section x
Ax = area atau panjang tiap bagian/section x
x = jumlah bagian/section
BCCI dikumpulkan untuk menentukan indeks kondisi sistem (SCI). SCI berfungsi
untuk memperoleh biaya setiap komponen dalam sistem dan dapat dihitung dari:
SCI1($s1)+SCI2($s2)+ ..+SCz($az)
BCI = (6)
$s1+$s2++$sz
dimana :
BCI = indeks kondisi bangunan
SCIz = indeks kondisi sistem dari tiap sistem z
465
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Data yang diperoleh untuk model estimasi bagian komponen (CSCI) akan dianalisa
secara statistik untuk melihat adanya serangan rayap pada konstruksi lantai dan ruang
masing-masing tower. Model umum untuk analisa data yang digunakan untuk melihat
adanya serangan rayap pada indeks kondisi bagian komponen tersebut adalah Rancangan
Acak Kelompok (Sudjana, 1982).
Yij = P + Wi + j + Hij
466
REKAYASA KAYU
Setiap komponen dalam penelitian ini terdiri dari 2 (dua) bagian komponen yang
terdiri dari dinding, plafon, dan lantai. Khusus untuk bagian komponen dinding terbagi lagi
menjadi 4 bidang yaitu dinding 1, dinding 2, dinding 3, dan dinding 4.Selanjutnya, untuk
bagian komponen dinding terdiri dari 4(empat) unit contoh, yaitu cat, kayu, plester, dan bata;
bagian komponen plafon terdiri dari 2 (dua) unit contoh (cat dan kayu)
Tabel 1. Indeks Kondisi Unit Contoh Dinding dan Plafon pada Tower 1, Tower 3, dan Tower
4 pada Apartemen dan Hotel Contoh*).
Tabel 2. Indeks Kondisi (IK) dan Kategori Kondisi (KK) Bagian Komponen pada Lantai 1,
Lantai 2 dan Lantai 3 di Gedung FT-UKI*.
467
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
lantai dari gedung FT-UKI. Indeks kondisi gedung merupakan indeks kondisi dari gedung
FT-UKI yang diamati dalam penelitian ini. Hasil penelitian menunjukkan indeks kondisi
komponen paling rendah terdapat di Lantai 2; untuk ruang rapat Arsitektur dan ruang data
dengan nilai 37,91 yang termasuk dalam kategori kondisi kurang; dan yang tertinggi juga
terdapat di Lantai 1, yaitu ruang dekan dengan nilai 89,69 (terbaik). Sedangkan indeks
kondisi sistem tertinggi terdapat pada Lantai 1 dengan nilai 83,18 (lebih baik) dan yang
terendah pada Lantai 2 dengan nilai 68,82 (baik). Sementara itu, indeks kondisi bangunan
untuk gedung FT-UKI adalah 77,36 dan termasuk dalam kategori kondisi lebih baik (lihat
Tabel 3). Selama penelitian berlangsung, terlihat bahwa Lantai 2 lebih banyak digunakan,
karena ruangan juga lebih banyak pada Lantai 2 ini; sehingga tingkat penggunaannya juga
lebih tinggi. Semakin tinggi tingkat penggunaan, maka operasional gedung yang
menggunakan air bersih melalui plumbing air bersih serta akibat pemipaan AC juga semakin
tinggi. Sementara itu plumbing air bersih, air kotor, air hujan dan pipa-pipa AC merupakan
sumber kelembaban untuk iklim dan media habitat rayap; sehingga penggunaan yang lebih
sering dari kedua utilitas bangunan tersebut juga menjadi jalur masuk rayap ke dalam
gedung dan merusak komponen bahan berkayunya.
Tabel 3. Indeks Kondisi (IK) dan Kategori Kondisi (KK) Komponen (Ruang),
Sistem (Lantai) dan Bangunan pada Gedung FT-UKI*).
468
REKAYASA KAYU
Tabel 4. Analisa Sidik Ragam Terhadap Indeks Kondisi Komponen (Ruang) akibat
Serangan Rayap Coptotermes curvignathus di Gedung FT-UKI*).
Hasil sidik ragam (Tabel 4) terhadap indeks kondisi komponen menunjukkan tidak
terjadi perbedaan yang nyata pada setiap lantai untuk Gedung FT-UKI. Hal ini menjelaskan
bahwa untuk Gedung FT-UKIperbedaan tingginya lantai dari permukaan tanah tidak
menunjukkan perbedaan kondisi ruanganbila dibandingkan dengan lantai yang dekat dengan
permukaan tanah; yang berarti juga bahwa serangan rayap dapat mencapai hingga ke
ruangan di Lantai 3 gedung ini. Jenis kerusakan umum yang terjadi adalah permukaan
bahan berkerut dan goyah (kendor/lepas) untuk Lantai 1; permukaan berkerut, retak rambut,
dan goyah (kendor/lepas) untuk Lantai 2; dan goyah (kendor/lepas) untuk Lantai 3 yang
ditemukan pada komponen bahan berkayu. Kerugian langsung tersebut hanya disebabkan
oleh hama koloni rayap jenis Coptotermes curvignatus, dan tidak termasuk kerugian tak
langsung untuk merenovasi di sekitar kerusakan yang terjadi. Menurut Harris (2001) pada
banyak struktur modern, rayap tidak hanya merusak bahan konstruksi suatu gedung tetapi
juga menyerang bahan tata ruang dalam (interior) seperti lantai kayu, panel dinding pemisah
ruang, wallpaper, wallboard, perabot dan serat bagian belakang karpet sintetis. Kejadian ini
juga terjadi pada setiap apartemen yang di amati di lokasi penelitian, sehingga kerusakan
tidak langsungnya ini akan menambah nilai bobot persentase kerusakan sebelumnya
menjadi lebih besar.
Ditinjau dari karakter penggunaan gedung, serta lingkungan gedung yang relatif
tenang (noise rendah) mendukung koloni rayap untuk hidup dan membuat sarang.
Diperlukan sistem pengendalian dan pencegahan serangan rayap pada gedung tinggi yang
terpadu dengan bidang maintenance building agar koloni rayap tetap hidup disekitar tapak
gedung tanpa memasuki area dalam gedung untuk mencari makanan berbahan kayu
(selulosa).
Patologi Bangunan
Pengamatan patologi bahan berkayu untuk Gedung FT-UKI yang disebabkan oleh 3
(tiga) faktor kerusakan; yaitu: acceleration, mitigation, dan substitution dapat terjadi kembali
dengan jangka waktu 8 10 tahun.Faktor acceleration dan mitigation merupakan faktor yang
sulit diatasi, karena rancangan/disain awal gedung serta existing lingkungan alami gedung,
sehingga persentase kerusakan bahan berkayu dapat dilakukan oleh faktor substitution.
Faktor mitigation dapat mengurangi laju kerusakan bahan berkayu apabila dilakukan
penataan kembali lansekap sekitar gedung, untuk mempersulit jalur aktifitas rayap kedalam
gedung.Pemecahan masalah faktor substitution dengan penggunaan bahan bukan berkayu
tidak mengurangi daya jelajah rayap; karena rayap mengalihkan serangannya ke sasaran
ruang yang memiliki rak buku serta buku-buku di dalamnya. Pendekatan penyelesaian
secara terpadu antara 3 (tiga) faktor patologitersebut perlu dilakukan supaya biaya
pemeliharaan gedung secara berkala dapat berkurang, begitupula habitat rayap disekitar
gedung dapat terjaga dengan baik sehingga makanan rayap tercukupi di luar
gedung.Penggantian (substitution) bahan berkayu di gedung ini biasanya dilakukan secara
periodik; yaitu setiap 4 (empat) tahun, dan penggantian terakhir dilakukan pada bulan
Oktober 2010. Hal ini dapat diartikan bahwa dapat terjadi nilai penurunan komponen bahan
berkayu pada Gedung FT-UKI akibat serangan rayap (lihat Gambar 1).
469
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
1.4
1.2
Persentase Penurunan
1
0.8
0.6
0.4
0.2
0
Lantai 1 Lantai 2 Lantai 3
Untuk menghitung nilai penurunan komponen bahan berkayu pada Gedung FT-UKI,
maka perhitungan tersebut berdasarkan indeks kondisi lantai serta kandungan bahan
berkayu sebesar 4 (empat) persen dari keseluruhan komponen konstruksi gedung ini
(berdasarkan besaran biaya konstruksi). Hasil perhitungan menunjukkan persentase
penurunan komponen bahan berkayu selama setahun untuk masing-masing lantai dapat
dilihat pada Gambar 1. Sementara itu, laju penurunan komponen bahan berkayu yang
dihitung berdasarkan indeks kondisi masing-masing lantai (dengan asumsi indeks kondisi
tetap hingga tahun ke-20) dan berdasarkan persentase penurunan gedung setiap lima tahun
(Wordsworth, 2001); maka laju penurunan komponen bahan berkayu di Lantai 2 pada
Gedung FT-UKI ini lebih cepat dibandingkan dengan Lantai 1 dan Lantai 3 (Gambar 2).
17,95
11,5
15,35
470
REKAYASA KAYU
KESIMPULAN
Aktifitas jelajah (foraging) rayap Coptotermes curvignathus ini dalam mencari sumber
makanan di tanah sekitar gedung terjadi secara acak. Hal ini terjadi karena disamping
mengkonsumsi kayu yang diumpankan, rayap juga akan mengkomsumsi sumber makanan
lain (tanaman di sekitar gedung) dan buku-buku didalam ruangan. Sementara itu, pada area
gedung ini ditemukan adanya 1 (satu) koloni rayap Coptotermes curvignathus, baik koloni
yang hidup di dalam gedung maupun hubungannya dengan kehidupan koloni rayap di luar
gedung. Sementara itu, kelembaban yang cukup memadai dan adanya tanaman hidup
(lansekap) yang terpelihara baik sangat dibutuhkan oleh koloni rayap Coptotermes
curvignathus, dan koloninyadapat semakin besar melalui proses perpindahan (migrasi)
kedalam gedung melalui area sekitar KM/WC.Penggunaan indeks kondisi konstruksi dengan
modifikasi model Uzarski etal. (1997) dalam penelitian ini, menghasilkan nilai indeks kondisi
Gedung FT-UKI adalah 77,36 yang termasuk dalam kategori kondisi lebih baik. Secara
umum hasil penelitian menunjukkan bahwa di Gedung FT-UKI perbedaan tinggi lantai dari
permukaan tanah tidak merupakan besar indeks kondisi.Jenis kerusakan umum yang terjadi
adalah permukaan bahan berkerut dan goyah (kendor/lepas) untuk Lantai 1; permukaan
berkerut, retak rambut, dan goyah (kendor/lepas) untuk Lantai 2; dan goyah (kendor/lepas)
untuk Lantai 3 yang ditemukan pada komponen bahan berkayu
Faktor patologi bangunan yaitu perlu penyesuaian tata ulang,seperti disain lansekap
dan pemilihan bahan bukan berkayu sehingga mempersulit jalur jelajah rayap kedalam
gedung serta dapat mengurangi biaya pemeliharaan gedung secara berkala.
DAFTAR PUSTAKA
471
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Uzarski, D.R., Laurence A., and Burley Jr. (1997). Assessing Building Condition by The Use
Condition Indexes in Saito, M. (ed.). 1997. Infrastructure Condition Assesment : Art,
Science, and Practice. American Society of Civil Engineering. New York.
Watt, D.S. 1999. Building Pathology : Principles and Practice. Blackwell Sciences, Ltd.
Oxford.
Wordsworth, P. 2001. Lees Building Maintenance Management. Blackwell Science.
Oxford, USA.
472
REKAYASA KAYU
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik rumah, faktor pendukung dan
penyebab deteriorasi serta lokasi dan bentuk kerusakan bangunan rumah tradisional suku
Bajo.Penelitian dilakukan di pemukiman tradional suku bajo di Desa Kabalutan Kecamatan
Walea Kepulauan, Kabupaten Tojo Una-una, Propinsi Sulawesi Tengah.Pengambilan data
dilakukan dengan metode purpossivesampling.Data yang dikumpulkan meliputi karakteristik
rumah, faktor pendukung deteriorasi, lokasi kerusakan dan faktor penyebab serta bentuk
kerusakan bangunan rumah tradisional suku Bajo.Hasil penelitian menunjukkan bahwa
perumahan tradisional suku Bajo berupa rumah panggung yang dibangun di atas laut,
bentuk bangunan rumah berupa bujur sangkar atau persegi panjang dengan atap bentuk
limasan atau pelana, umumnya masih menggunakan atap rumbia dan sekitar 10% sisanya
mengunakan atap seng. Dinding dan lantai menggunakan papan, beberapa rumah juga
mengunakan dinding dari daun silar dan pelepah sagu.Tiang rumah menggunakan kayu
lokal seperti kayu pingsan, besi, kerikis, togoulu, kalakkadan manjarite berbentuk kayu bulat
yang masih mempunyai kulit dengan ukuran diameter 15-25 cm. Bentuk deteriorasi yang
ditemukan umumnya berupa perubahan warna oleh faktor pencuacaan (weathering), retak
karena faktor mekanis, erosi karena faktor kimia serta pelapukan dan pengikisan akibat
faktor biologis seperti jamur, marine borer, rayap dan kumbang. Kerusakan bangunan terjadi
pada hampir semua komponen bangunan.Bagian-bagian bangunan yang paling rentan
mengalami kerusakan adalah atap, tiang, lantai serta dinding.Kerusakan pada atap
umumnya disebabkan oleh faktor pencuacaan, sedangkan kerusakan pada dinding
disebabkan oleh jamur pelapuk, jamur pewarna, rayap tanah, dan kumbang serta faktor
pencuacaan sedangkan pada tiang disebabkan oleh marine borer. Kontak langsung bahan
bangunan dengan air laut, kebocoran pada atap dan dan pemasangan dinding yang kontak
langsung dengan tanah, intensitas penyinaran serta kelembaban yang sangat tinggi dan
cuaca yang berubah-ubah merupakan faktor nyata yang mendukung terjadinya deteriorasi
kayu pada bangunan rumah tradisional suku Bajo yang telah dibangun selama kurang lebih
15 tahun.
Kata kunci: Deteriorasi kayu, Rumah Tradisional, Suku Bajo, Faktor Perusak Kayu
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pemukiman adalah tempat hidup atau habitat manusia. Habitat, dalam istilah ekologi
adalah tempat berlangsungnya suatu kehidupan makhluk hidup yang melakukan seluruh
aktivitasnya dengan normal seperti tempat tinggal, mencari makan, berkembang biak,
berinteraksi dengan makhluk lain yang berkaitan erat dengan kelangsungan hidupmakhluk
tersebut dalam ekosistemnya.Dalam penataan pemukiman, keterkaitan ekosistem ini
menjadi unsur penting sehingga pemukiman diharapkan menyatu dalam suatu ekosistem
yang utuh tercipta ekosistem yang harmonis.
Masyarakat tradisional sering dianggap sebagai masyarakat yang hanya hidup dalam
suasana kepercayaan leluhur semata yang di pengaruhi oleh ethos budaya lokal yang
ekslusif serta mempunyai sifat-sifat khusus. Kekhususan itu ditandai dari cara mereka
473
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
mempertahankan suasana hidup selaras, harmonis dan seimbang dengan kehidupan habitat
sekitarnya. Keselarasan hubungan antara manusia dengan lingkungan sekitarnya, menjadi
pola pengendali hubungan antar manusia dengan manusia dan manusia dengan alam. Pola-
pola ini sangat jelas pada pola pemukimannya sedangkan relevansi antara lingkungan dan
kehidupan budaya manusia tersebut terwujud pada penggambaran bentuk rumah tradisional
yang diciptakannya.
Suku Bajo merupakan salah satu komunitas tradisional suku air yang ada di
Indonesia, menyebar ke berbagai pulau-pulau, menempati lahan di sepanjang pesisir pantai
bahkan hingga ke arah lautan bebas dan menyebut rumahnya palemana atau rumah di atas
perahu. Salah satu keunggulan dari kearifan lokal suku Bajo adalah kemampuan
adaptasinya yang luar biasa terhadap lingkungan laut. Hal ini terlihat dari pola dan bentuk
bangun rumah tardisionalnya yang sangat unik. Rumah suku Bajo pada umumnya berbentuk
panggung yang berada di atas laut dan terbuat dari bahan lokal berupa kayu dan hasil hutan
seperti pelapah sagu dan daun nipah untuk komponen pendukung. Meskipun demikian,
kajian tentang kearifan lokal bangunan tradisional suku bajo ini masih sangat kurang. Oleh
karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mempelajari karakteristik dan deteriorasi pada
rumah tradisional suku Bajo.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik perumahan, bentuk dan
tingkat kerusakan kayu bangunan rumah tradisional suku Bajo serta faktor penyebabnya.
METODE PENELITIAN
Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di pemukiman tradional suku bajo di Desa Kabalutan Kecamatan
Walea Kepulauan, Kabupaten Tojo Una-una, Propinsi Sulawesi Tengah. Desa Kabalutan ini
terletak pada koordinat 0o2533-0o2552 LS dan 122o0333-122o0349 BT, sejak awal desa
ini dihuni oleh mayoritas masyarakat Bajo dengan dua karakter wilayah yakni wilayah
daratan yang berada di atas pulau-pulau karang yang dijadikan daratan dan wilayah perairan
yang berada di atas laut.
474
REKAYASA KAYU
dijadikan daratan dan wilayah perairan yang berada di atas laut. Daratan terbentuk dari
beberapa pulau karang yang dihubungkan menjadi sebuah pemukiman. Secara administrasi,
desa Kabalutan mempunyai 90% hunian berada di atas laut (BPTPT, 2010).
Secara umum, desa Kabalutan dipengaruhi oleh dua musim yang tetap yaitu muson
Barat dan muson Timur dengan iklim tropis basah.Curah hujan berkisar antara 1.200-4.100
mm/tahun. Dalam lingkup Kabupaten Tojo Una-Una, jumlah hari hujan tertinggi dalam satu
tahun terdapat di Kecamatan Una-Una yaitu 98 hari hujan, sedangkan curah hujan tertinggi
juga terdapat di kecamatan Una-Una dengan curah hujan 3.515 mm per tahun. Desa
Kabalutan pada umumnya beriklim laut tropis dengan sifat iklim musiman.Berdasarkan
catatan BAKOSURTANAL, musim kemarau terjadi antara bulan Agustus sampai dengan
November dan musim hujan antara Desember sampai Juli.Suhu maksimum berkisar 34oC
dan suhu minimum 26oC.Ombak dan arus di perairan sekitar kepulauan tersebut relatif
tenang sepanjang tahun.Kelembaban di desa Kabalutan sangat tinggi yaitu rata-rata 91%
(BPTPT, 2010).
475
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
0 20 40 60 80 100
Persentase Rumah yang Mengalami Deteriorasi (%)
476
REKAYASA KAYU
Umumnya serangan pada tiang kayu rumah tradisional ditemukan pada tiang rumah
yang menggunakan kayu lokal seperti kayu besi,kerikis, togoulu, kalakka dan manjarite yang
rentan terhadap marine borer sedangkan serangan marine borer pada kayu pingsan
(Teysmanidendron sp.) sangat jarang ditemukan.Tiang rumah yang menggunakan kayu
pingsan, marine borer hanya menempel pada tiang kayu tersebut tanpa menyebabkan
kerusakan yang signifikan pada tiang kayu tersebut.Seranganmarine borerterhadap tiang
kayu secara signifikan umumnya baru terjadi pada rumah yang berumur sekitar 10 tahun.Hal
ini mengindikasikan bahwa kayu pingsan merupakan jenis kayu yang tergolong awet
terhadap serangan marine borer.Keberadaan ekstraktif pada kayu dan kulit kayu pingsan
menyebabkan kayu tersebut mampu meningkatkan keawetan alami kayu pingsan dari
serangan marine borer. Menurut Eaton and Hale (1993), beberapa zat yang bersifat racun ini
umumnya berasal dari golongan tannin, lignan, kumarin, alkaloid, terpenoid, steroid, stilbena,
dan flavonoid mampu meningkatkan keawetan alami kayu dari serangan organisme perusak
kayu.
Penggunaan kayu palapi (Heritiera sp.) dan daun silar (Corypha utan Lamk.) pada
rumah tradisional suku Bajo sebagai dinding menyebabkan bahan tersebut mudah
mengalami deteriorasi akibat pencuacaan dan deteriorasi faktor biologi seperti rayap, jamur
pewarna, jamur pelapuk, dan kumbang.Adanya kelembaban yang rendah dan rembesan air
pada dinding serta percikan air pada dinding bagian luar pada saat hujan mruapakan faktor
pendukung utama deteriorasi dinding tersebut.Selain itu, fondasi rumah tradisional suku Bajo
berasal dari kayu serta pemasangan dinding rumah berhubungan langsung dengan tanah
menyebabkan dinding menjadi lembab sehingga menjadikannya mudah terserang rayap
tanah.Disamping itu, faktor lingkungan di desa Kabalutan sangat mendukung untuk
perkembangan rayap. Menurut Susanta (2007), kisaran suhu yang disukai rayap adalah
21,1- 26,67oC dan kelembaban optimal 95- 98% sehingga negara Indonesia merupakan
tempat tinggal yang baik bagi perkembangan rayap karena suhu udaranya berkisar antara
25,7- 28,9oC dan kelembaban berkisar antara 84 - 98%.
Deteriorasi pada atap disebabkan oleh faktor pencuacaan.Atap dari daun rumbia
pada rumah tradisional suku Bajo menyebabkan sangat mudah mengalami deteriorasi
terutama perubahan warna (diskolorisasi) dan pelapukan akibat sinar ultraviolet dan air
hujan.Deteriorasi pada atap lebih banyak ditemukan pada atap dengan pemasangan atap
rumbia yang kurang rapat, penyusunan helai daun yang sangat jarang, pengikatan yang
kurang kuat sehingga menyebabkan atap tersebut mudah mengalami kebocoran.Kebocoran
ini menyebabkan lantai rumah menjadi lembab dan rentan terhadap organism perusak kayu.
477
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Atap
Listplang
Kuda-kuda
Mebel
Cross beams
Dinding
Kasau
Kusen jendela
Kusen pintu
Papan lantai
Rangka Flafon
Reng
Tangga
Tiang kayu
Kayu fondasi
0 20 40 60 80 100
Pencuacaan
Mekanis
Kimia
Marine Borer
Jamur Pelapuk
Kumbang
jamur Pewarna
Rayap Subterannean
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
Persentase Jumlah Rumah yang Mengalami Deteriorasi (%)
Bentuk Kerusakan
Bentuk kerusakan pada rumah tradisional pada bangunan rumah tradional suku Bajo
berupa perubahan warna,penurunan kekuatan dan pelapukan. Penurunan warna ditemukan
pada semua atap rumah tradisioal yang menggunakan atap rumbia dan dinding rumah yang
terbuat dari silar. Perubahan warna juga ditemukan pada tiang, dinding dan lantai yang
menggunakan kayu. Perubahan warna yang terjadi diduga disebabkan perubahan struktur
lignin akibat faktor lingkungan terutama serapan cahaya ultraviolet dari matahari sehingga
menyebabkan degradasi warna pada kayu dan daun. Selain itu pada tiang, dinding dan
lantai yang menggunakan kayu perubahan warna disebabkan oleh jamur pewarna. Jamur
pewarna memanfaatkan pigmen kayu yang menyebabkan pewarnaan kayu. Selain itu, ada
478
REKAYASA KAYU
juga pewarnaan kayu yang disebabkan oleh adanya pigmen yang dihasilkan oleh jamur itu
sendiri yang menyebabkan kayu mengalami perubahan warna.
Retak
Lapuk
Pecah
Perubahan Warna
Penurunan kekuatan
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
Penurunan kekuatan dan pelapukan kayu umumnya ditemukan pada tiang,lantai dan
dinding rumah. Penurunan kekuatan pada bagian kayu tersebut disebabkan oleh serangan
marine borer, rayap, jamur dan kumbang bubuk sedangkan pelapukan umumnya
disebabkan oleh jamur pelapuk. Bentuk kerusakan lain yang ditemukan adalah retak karena
faktor mekanis dan erosi karena faktor kimia.
Kesimpulan
Perumahan tradisional suku Bajo dibangun di atas laut, bentuk bangunan rumah
berupa bujur sangkar atau persegi panjang dengan atap bentuk limasan atau pelana,
umumnya masih menggunakan atap rumbia dan sekitar 10% sisanya mengunakan atap
seng. Dinding dan lantai menggunakan papan, beberapa rumah juga mengunakan dinding
dari daun silar dan pelepah sagu. Deteriorasi yang ditemukan umumnya perubahan warna
oleh faktor pencuacaan (weathering), retak karena faktor mekanis, erosi karena faktor kimia
serta pelapukan dan pengikisan akibat faktor biologis seperti jamur dan marine borer.
Kerusakan bangunan terjadi pada hampir semua komponen bangunan.Bagian-bagian
bangunan yang paling rentan mengalami kerusakan adalah atap, tiang, lantai serta
dinding.Kerusakan pada atap dan dinding umumnya disebabkan oleh faktor pencuacaan,
rayap tanah, jamur pewarna, jamur pelapuk dan kumbangsedangkan pada tiang disebabkan
oleh marine borer. Kontak langsung bahan bangunan dengan air laut, kebocoran pada atap
dan dan pemasangan dinding yang kontak langsung dengan tanah,intensitas penyinaran
serta kelembaban yang sangat tinggi dan cuaca yang berubah-ubah merupakan faktor nyata
yang mendukung terjadinya deteriorasi kayu pada bangunan rumah tradisional suku Bajo
yang telah berumur sekitar 15 tahun.
Saran
Kearifan lokal bangunan tradisional suku bajo perlu dipertahankan dan
dikembangkan. Meskipun demikian, diperlukan teknologi baru terutama dalam penataan dan
pengembangan rumah tradisional tersebut ke depan.Pembangunan rumah tradisonal ini
perlu mempertimbangkan faktor-faktor pendukung dan penyebab deteriorasi sehingga rumah
tradisional ini dapat bertahan lama dengan tetap mengadopsi konsep-konsep kearifan lokal
mereka.
479
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
DAFTAR PUSTAKA
480
REKAYASA KAYU
ABSTRAK
Kata kunci: modulus elastisitas, kuat lentur, universal testing machime (UTM), metriguard
stress wave timer (MSWT).
PENDAHULUAN
Papan partikel adalah salah satu bentuk papan buatan dari partikel kayu atau bahan
berlignoselulosa, perekat, dan dengan atau tanpa bahan tambah lain yang dikempa.
Penggunaan papan partikel sangat popular untuk dinding penyekat, mebeler seperti meja,
lemari, rak buku, dan sebagainya. Papan partikel ini beratnya ringan, mudah untuk dirakit
dan harganya relatif murah. Kekuatan papan partikel dapat diketahui melalui pengujian
contoh kecil maupun pengujian skala penuh. Pengujian contoh kecil di laboratorium dapat
dilakukan dengan menggunakan mesin universal testing machine (UTM) dengan kapasitas
tertentu. Pengujian yang dilakukan biasanya mengacu standar yang berlaku seperti SNI,
ASTM, BS, JIS, JAS, DIN, dan sebagainya.
Pengujian kuat lentur papan partikeldengan mesin UTM akan diperoleh data
besaran beban dan defleksi yang terjadi. Dari pengujian dengan alat ini dapat diperoleh
sekaligus besaran modulus elastisitas dan kuat lentur papan partikel. Untuk
memperoleh modulus elastisitas dan kuat lentur dihitung lebih lanjut dengan
menggunakan rumus tertentu yang menerjemahkan besaran beban dan defleksi yang
terjadi dengan mempertimbangkan letak tumpuan beban saat pengujian.
Selain mesin UTM, pengujian modulus elastisitas papan partikel dapat dilakukan
dengan alatmetriguard stress wave timer (MSWT). Pada pengujian dengan alat ini hanya
diperoleh data besaran waktu perambatan yang terjadi pada jarak pengukuran tertentu.
Penghitunganbesaran modulus elastisitas dilakukan dengan menggunakan rumus tertentu.
Dalam rangka uji coba penggunaan alat metriguard stress wave timer, dilakukan penelitian
481
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
pengkajian modulus elastisitas papan partikel hasil pengujian mesin MSWT dan UTM.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbandingan hasil uji metriguard
stress wave timer (MSWT) dan mesin UTM.
482
REKAYASA KAYU
METODE
BS 3
MOE (kg/cm2)
4 D LT 3
Keterangan:
B = beban proporsi (kg)
S = jarak sangga (cm)
D = defleksi (cm)
L = lebar contoh uji (cm)
T = tebal contoh uji (cm)
3 BS
MOR (kg/cm2)
2 LT 2
Keterangan:
B = beban maksimum (kg)
S = jarak sangga (cm)
L = lebar benda uji (cm)
T = tebal benda uji (cm)
483
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
akhir pada jarak 180 mm. Pemberian beban atau pukulan dilakukan pada accelerometer
awal. Beban tersebut akan merambat hingga ke accelerometer akhir dan pada monitor
pembaca terlihat besaran angka yang menunjukkan waktu perambatan dalam satuan
microsecond. Modulus elastisitaspapan partikel dihitung dengan rumus:
V2 d
E (psi)
g
Keterangan:
E = modulus elastisitas (psi)
V = kecepatan (in/sec)
d = kerapatan (lb/in)
g = gravitasi (386 in/sec2)
Analisis Data
Pengolahan data terlebih dahulu dilakukan dengan mengkonversi hasil pengujian alat
metriguard stress wave timer kedalam satuan kg/cm2. Untuk mengetahui pengaruh ke dua
alat MSWT dan UTMterhadap modulus elastisitas papan partikel dilakukan dengan membuat
analisis ragam. Hubungan antara MOE UTM dengan MOE MSWT, MOE UTM dengan MOR
UTM dan MOE MSWT dengan MOR UTM dilakukan analisis regresi.
Hasil pengujian kerapatan dan kadar air papan partikel sebagai berikut:
Kerapatan papan partikel rata-rata sebesar 0,70 g/cm3, kerapatan ini telah memenuhi
persyaratan SNI yang menentukan sebesar 0,40 g/cm3 0,90 g/cm3. Kadar air papan
partikelrata-rata sebesar 4 %, hal ini memperlihatkan bahwa papan partikel yang akan diuji
memenuhi persyaratan standar yang menentukan tidak lebih dari 14 % dan sudah dalam
kondisi kering, sehinggapapan partikel ini dapat digunakan dalam pengujian selanjutnya.
Modulus elastisitas papan partikel hasil pengujian UTM dan metriguard stress wave
timer serta kuat lentur (MOR) papan partikel hasil pengujian UTM disajikan pada Tabel 2.
Modulus elastisitas hasil pengujian alat UTM lebih besar dari pada modulus
elastisitas hasil pengujian alat MSWT. Perbedaan ini terjadi karena kedua alat tersebut
mempunyai perbedaan prinsip bekerjanya beban. Pada alat UTM, beban yang bekerja
adalah beban statis. Sementara alat MSWT, beban yang bekerja adalah beban dinamis.
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa jenis alat yang digunakan dalam pengujian
modulus elastisitas yaitu UTM dan MSWT berpengaruh nyata terhadap modulus elastisitas
papan partikel. Hal inimenggambarkan adanya perbedaan hasil pengujian modulus
elastisitas bila menggunakan alat yang berbeda. Untuk mengetahui hubungan antara
modulus elastisitas (MOE) UTM dengan modulus elastisitas MSWT dilakukan analisis
regresi dengan hasil yang menunjukkan bahwa kedua MOE hasil pengujian tersebut
berhubungan erat. Hal ini terlihat dari nilai korelasi r sebesar 0,83 dengan persamaan regresi
MOE MSWT = 0,5811 MOE UTM + 5915 yang dapat dilihat pada Gambar 4.
484
REKAYASA KAYU
25.000
y = 0,5811x + 5915
R2 = 0,6928
20.000
MOE MSWT
15.000
10.000
5.000
0
0 5.000 10.000 15.000 20.000 25.000 30.000
MOE UTM
485
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Hasil analisis regresi antara MOE MSWT dengan MOR UTM memperlihatkan
terdapat hubungan yang erat dengan nilai korelasi r sebesar 0,871. Persamaan garisnya
adalah MOR UTM = 0,0121 MOE MSWT 49,273 dapat dilihat pada Gambar 5.
300
250 y = 0,0121x - 49,273
MOR UTM
200 R2 = 0,7602
150
100
50
0
0 5.000 10.000 15.000 20.000 25.000
MOE MSWT
Modulus elastisitas UTM mempunyai hubungan yang erat dengan MOR UTM, hal ini
dapat dilihat dari hasil analisis regresi dengan nilai korelasi sebesar 0,8522. Persamaan
regresinya MOR UTM = 0,0083 MOE UTM 1,9971 yang dapat dilihat pada gambar berikut:
300
250 y = 0,0083x - 1,9971
MOR UTM
200 R2 = 0,7263
150
100
50
0
0 10.000 20.000 30.000
MOE UTM
Dari hasil analisis regresi antara modulus elastisitas UTM dengan MOR UTM dan
antara modulus elastisitas MSWT dengan kuat lentur UTM, terlihat bahwa kedua alat yaitu
UTM dan MSWT dapat digunakan untuk pengujian modulus elastisitas papan partikel.
Kesimpulan
1. Modulus elastisitas hasil pengujian UTM lebih besar daripada modulus elastisitas hasil
pengujian MSWT.
2. Modulus elastisitas hasil pengujian UTM berhubungan erat dengan modulus elastisitas
hasil pengujian MSWT.
3. Modulus elastisitas hasil pengujian UTM berhubungan erat dengan kuat lentur hasil
pengujian UTM.
4. Modulus elastisitas hasil pengujian MSWT berhubungan erat dengan kuat lentur hasil
pengujian UTM.
486
REKAYASA KAYU
Saran
Perlu dilakukan penelitian dengan menggunakan papan buatan lainnya untuk
mengetahui apakah sama hasilnya dengan pengujian papan partikel.
DAFTAR PUSTAKA
Aini, N. 2003 . Pengkajian Modulus Elastisitas Kayu Hasil Pengujian Mesin Metriguard
Stress Wave Timer dan Universal Testing Machine. Wawasan Tridharma No. 1 tahun
XVI. Kopertis Wilayah IV. Bandung.
Han G.; Qinglin Wu; and Xiping Wang. 2006. Stress-wave Velocity of Wood-based Panels:
Effect of Moisture, Product Type, and Material Direction.
www.mr.Isu.edu/wu/PDFFiles/Stress-wave.pdf.
SNI 03-2105-2006: Papan Partikel. Badan Standar Nasional. Indonesia.
Soares C.L et all. 2008. Evaluation of Stress Wave and Colorimetric Variable to Predict
Flexural Properties of Brazilian Tropical Woods.
www.ewpa.com/Archive/2008/june/Paper_093.pdf?PHPSESSID.
Sulistyawati,I; N.Nugroho; S.Surjokusumo; Y.S.Hadi. 2008. Kekuatan Lentur Glued
Laminated (Glulam) Kayu Vertikal dan Horizontal dengan Metode Transformed
Croos Section. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis 6(2):49-55.
487
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
ABSTRAK
Perkembangan perangkat keras komputer yang sangat pesat dalam kurun lima tahun
terakhir ini, sangat menunjang berkembangnya penelitian dan pembuatan perangkat lunak
untuk kepentingan analisis dan desain suatu sistem struktur maupun elemen struktur.
Dengan didasari pemahaman mengenai bahasa pemrograman komputer, sangatlah mudah
mengembangkan perangkat lunak. Tujuan penelitian dalam penulisan ini adalah
mengembangkan perangkat lunak untuk keperluan analisis dan desain sistem balok
laminasi. Fitur yang dibahas adalah perilaku balok terhadap kekuatan dan kekakuan. Ruang
lingkup penelitian adalah balok laminasi tersusun oleh lamina-lamina kayu, baik secara
mekanik (balok laminasi-baut) maupun dengan perekat (glue-laminated atau glulam). Hasil
yang diperoleh adalah berupa perangkat lunak yang dapat dimanfaatkan untuk memprediksi
kuat lentur balok laminasi dan simulasi pembebanan dalam bentuk kurva hubungan beban-
lendutan balok.
PENDAHULUAN
Keterbatasan produksi kayu utuh berdiameter besar dari hutan alam dapat diatasi
dengan adanya sistem laminasi. Pembuatan sistem laminasi memberikan manfaat yaitu
(antara lain) membentuk ukuran penampang dan panjang bentang sesuai kebutuhan.
Definisi sistem laminasi balok dalam penelitian ini, adalah suatu sistem struktur balok yang
disusun oleh lebih dari satu lamina kayu secara horisontal, disambung dengan alat sambung
mekanik baut (berfungsi sebagai transfer geser antar lamina) atau menggunakan perekat
(berfungsi menyatukan lamina-lamina kayu menjadi suatu penampang yang diasumsikan
utuh).
Tujuan penelitian dalam penulisan ini adalah mengembangkan perangkat lunak untuk
keperluan analisis dan desain sistem balok laminasi. Fitur yang dibahas adalah perilaku
balok terhadap kekuatan dan kekakuan. Ruang lingkup penelitian adalah balok laminasi
tersusun oleh lamina-lamina kayu, baik secara mekanik (balok laminasi-baut) maupun
dengan perekat (glue-laminated atau glulam).
Perangkat lunak dirancang sebagai alat bantu untuk perhitungan kekuatan dan
kekakuan balok laminasi. Fitur umum yang dapat digunakan yaitu meliputi:
1. Basis data (database) sifat fisik dan mekanis kayu Indonesia, sebagai data masukan
properti material kayu.
2. Basis data sifat mekanis baut beredar di pasaran Indonesia (digunakan untuk sistem
balok laminasi-baut).
3. Basis data ukuran penampang kayu Indonesia.
4. Perhitungan dan plot kurva hubungan beban-lendutan balok laminasi.
Balok glulam adalah balok yang tersusun oleh lamina-lamina kayu yang digabung
menggunakan bahan perekat lem (glue). Pada sistem balok laminasi lem dalam penulisan
penelitian ini, terdapat penyederhanaan (asumsi) bahwa berlaku kompatibilitas regangan
488
REKAYASA KAYU
antar lamina-lamina kayu, sehingga perhitungan distribusi tegangan pada penampang dapat
menggunakan asumsi sebagai balok utuh (solid) kondisi ideal [Bodig dan Jayne 1993].
Sebagai ilustrasi dapat dilihat pada Gambar 1.a.
Sedangkan balok laminasi-baut (bolt-laminated) adalah balok yang tersusun oleh
lamina-lamina kayu secara horisontal, digabung secara mekanik menggunakan baut dengan
spasi, jumlah lamina, ukuran lamina, jumlah baut, dan jumlah baris baut tertentu. Baut
berfungsi sebagai penghubung geser untuk mencegah gelincir horisontal antar lamina atau
menahan geser horisontal di antarmuka. Pada sistem balok laminasi-baut, telah dilakukan
penelitian secara eksperimental dan numerikal [Pranata et.al. 2010, Pranata et.al. 2011],
dimana penampang balok diasumsikan tidak menyatu (sebagai ilustrasi dapat dilihat pada
Gambar 1.b.), sehingga terdapat beberapa parameter yang telah dipelajari sebelumnya,
yaitu rasio kuat lentur dan rasio rigiditas lentur. Yang dimaksud rasio dalam hal ini adalah
rasio antara balok laminasi terhadap model terhadap model balok yang diasumsikan
berbentuk penampang utuh.
489
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
alur proses suatu pekerjaan, apabila detail langkah-langkah atau tahap demi tahap secara
baik telah dikuasai sebelumnya, sehingga pemahaman terhadap dasar teori tetap
memegang peranan utama, agar hasil yang diperoleh dapat dikaterogikan benar dan tepat
sesuai yang diharapkan. Dengan membuat bagan alir, secara tidak langsung pemrogram
memahami suatu proses dan prinsip kerja dari program tersebut.
Diagram bagan alir (garis besar) tahapan pembuatan perangkat lunak analisis dan
desain balok kayu laminasi-baut selengkapnya ditampilkan pada Gambar 2.
Tampilan fitur basis data dan perhitungan selengkapnya ditampilkan pada Gambar
3, Gambar 4, Gambar 5, Gambar 6, Gambar 7, Gambar 8, Gambar 9, dan Gambar 10.
1. Fitur utama yaitu file, define, analysis, design, view, dan help (Gambar 3).
2. Fitur define material berupa database sifat mekanis kayu. Tersedia fasilitas simpan,
tambah (add), modifikasi (modify), dan hapus (remove) data (Gambar 4).
3. Fitur define section berupa input database ukuran penampang kayu dan properti material
yang digunakan (Gambar 5).
4. Fitur laminated system berisi model sistem lamina yang digunakan. Dalam penelitian
Disertasi ini, ruang lingkup dibatas sistem laminasi secara horisontal. Perangkat lunak ini
mampu mengakomodasi properti mekanis masing-masing lamina yang berbeda-beda
(Gambar 6). Fitur laminated system berisi pula data masukan jenis dan ukuran baut yang
digunakan.
5. Fitur selanjutnya yaitu define load type berisi model beban yang bekerja pada balok
(Gambar 7).
6. Fitur beam modeler and anlysis berisi model tumpuan yang digunakan, input beban
rencana, panjang bentang balok, hasil perhitungan gaya-gaya dalam, hasil analisis
490
REKAYASA KAYU
tegaangan norm mal penam mpang, dan n hasil an nalisis kurvva hubunga an beban-llendutan
(Gambar 8).
7. Fitur 2D norma al stress berisi hasil analisis
a teg
gangan norrmal penam mpang (Gam mbar 9).
Hassil berupa plot
p diagra
am teganga an normal disertai tabel nilai te egangan paada tiap
tinja
auan ketingg
gian y.
8. Fitur perhitungan kurva a beban-le endutan ba alok laminasi-baut m menampilka
an hasil
perhhitungan kurva hubung d lendutan balok (Ga
gan beban dan ambar 10).
Ga
ambar 3. Ta
ampilan perrangkat luna
ak.
I
Input prope
erti material (sifat meka
anis kayu) dapat
d dilaku
ukan melalu ui dua piliha
an, yaitu
pilihan pertama be erupa inputt data prope erti secara langsung, pilihan ked dua adalah prediksi
nilai sifa
at mekanis kayu berda asarkan koreelasi terhaddap SG. Kemmudian input data pen nampang
yaitu da ata dimensi dan ukuran n penampan nis kayu yang digunakan.
ng, serta jen
T
Tipe laminaasi yang diipelajari dalam penelittian Diserta ah laminasi secara
asi ini adala
horisonttal. Terdap pat fasilitas menentuka an pilihan dimensi da an ukuran p penampang g lamina
serta jenis kayu ya ang digunakkan untuk tiaap lamina kayu
k penyussun balok la
aminasi.
491
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
G
Gambar 4. Fitur
F basis data
d materia
al
Gambar 5.
5 Fitur basiis data pena
ampang lam
mina kayu.
492
REKAYASA KAYU
G
Gambar 6. Fitur lamina
ated system
m.
T
Tipe beban
n yang terssedia untukk analisis adalah cen nter point lloading, thiird point
loading,, beban merata, maupuun kombinaasi dari lebih
h dari satu tipe
t beban.
P
Pemodelan n tumpuan yang
y ajari dalam penelitian Disertasi in
dipela ni adalah iddealisasi
model tumpuan
t se
endi-rol (ba
alok sederha
ana). Fasiliitas yang te
ersedia padda perangk kat lunak
adalah input bebann dan panja
ang bentangg balok. Selanjutnya kaalkulasi rea
aksi-reaksi tumpuan
t
dan gayya dalam diilakukan se
ecara otomaatis. Untuk memudahk
m an user ma aka ditampillkan plot
gambarr dan besaraan gaya dalam.
493
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
F
Fasilitas deesign merup pakan fasiliitas perencanaan balo
ok laminasi--baut. Hasil berupa
data preediksi nilai rasio kuat lentur, rasio
o modulus penampang g elastik, ra
asio rigidita
as lentur,
dan kurrva beban-le endutan ballok laminasi.
494
REKAYASA KAYU
KESIMPULAN
Hasil yang diperoleh adalah berupa perangkat lunak mandiri (stand-alone) yang
dapat dimanfaatkan untuk memprediksi kuat lentur balok laminasi dan simulasi pembebanan
dalam bentuk kurva hubungan beban-lendutan balok. Selain itu, fasilitas basis data
(database) sifat fisik dan mekanis kayu bermanfaat sebagai sumber literatur properti kayu
Indonesia.
495
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
DAFTAR PUSTAKA
Bodig, J., Jayne, B.A,1993, Mechanics of Wood and Wood Composites, page 335-393,
Krieger Publishing Company, Malabar, Florida, USA.
Borland Software Corporation. 2002. Borland DELPHI version 7 User Guide, Borland
Software Corporation.
Kamiya, F. 1985. Analytical Studies on The Nonlinear Bending Behavior of Nailed Layered
Components: Part I. Nailed Layered Beams, Journal of Wood and Fiber Science,
Volume 17 No 1 page 117-131, 1985.
Pranata, Y.A., Suryoatmono, B., Tjondro, J.A. 2010. Flexural Behavior of Bolt-Laminated
Beams: Experimental and Numerical Analyses, The 2nd. International Symposium of
IwoRS, Bali, Indonesia, November 12-13, 2010.
Pranata, Y.A., Suryoatmono, B., Tjondro, J.A. 2011a. The Flexural Rigidity Ratio of
Indonesian Timber Bolt-Laminated Beam, The 3rd. International Conference EACEF,
Yogyakarta, Indonesia, September 20-22, 2011.
Pranata, Y.A., Suryoatmono, B., Tjondro, J.A. 2011b. Perilaku Lentur Balok Laminasi-Baut
Kayu Indonesia, Disertasi (tidak dipublikasikan), Program Doktor Ilmu Teknik Sipil,
Program Pascasarjana, Universitas Katolik Parahyangan, Bandung.
496
REKAYASA KAYU
ABSTRAK
Bambu termasuk kedalam jenis tanaman hasil hutan bukan kayu (HHBK) yang dapat
dimanfaatkan oleh masyarakat berbagai keperluan dan kegunaannya[4]. Salah satunya jenis
bambu petung (Dendrocalamus Asper) merupakan bahan baku utama dalam pembuatan
bambu laminasi dengan persentase sekitar 54,11 % dalam pembuatan balok dan 51,90 %
pembuatan parquet. Ini menunjukan bahwa harga bambu berpengaruh besar terhadap harga
pokok produksi dan harga jual bambu laminasi. Permasalahannya adalah dalam pembuatan
bambu laminasi terdapat kelemahan yaitu pemanfaatan bambu masih relatif rendah.
Sehingga menyebabkan masih belum optimalnya pemanfaatan bambu sebagai bahan baku
dalam pembuatan bambu laminasi.
Metode yang digunakan yaitu dengan melakukan eksperimen pada proses
pengolahan bambu sebagai bahan baku pembuatan bambu laminasi. Adapun langkah-
langkah dalam peningkatan rendemen bambu, yaitu: (1) Menentukan segmen bambu; (2)
Teknik pembilahan bambu; (3) Mengukur rendemen bambu.
Hasil Penelitian yaitu (1) Dengan pembagian segmen 100 cm pada bagian pangkal,
400 cm pada bagian tengah 1, tengah 2 dan ujung terdapat selisih tebal yaitu pada segmen
pangkal = 0,7 cm; tengah 1 = 0,50 cm; tengah 2 = 0,22 cm; ujung = 0,09 cm. (2) Pembilahan
dilakukan dengan cara pembagian ukuran lebar bilah berdasarkan diameter bambu dari 6
s.d 20 cm, agar diperoleh ketebalan yang optimum. (3) Selisih berat setelah proses
penyerutan pada segmen pangkal = 132,11 gr; tengah 1 = 256,21 gr; tengah 2 = 301,90 gr;
ujung = 302,03 gr. Dengan nilai rendemen pada setiap segmen pangkal = 52,18%; tengah 1
= 63,10%; tengah 2 = 52,23%; ujung = 51,49%. Berdasarkan nilai rendemen tersebut bahwa
pemanfaatan masih rendah sebagai bahan baku pembuatan bambu laminasi dengan tipe
bilah persegi.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Bambu termasuk kedalam jenis tanaman hasil hutan bukan kayu (HHBK) yang dapat
dimanfaatkan oleh masyarakat berbagai keperluan dan kegunaannya. Bambu merupakan
jenis tanaman yang memiliki karakteristik seperti kayu yaitu batang keras, kuat dan lentur.
Dengan penggunaan teknologi, bambu ini dapat dijadikan sebagai alternatif pengganti kayu
sehingga diharapkan dapat mengurangi penebangan hutan[4].
Salah satu jenis bambu yang digunakan sebagai alternatif pengganti kayu adalah
petung (Dendrocalamus Asper) merupakan bahan baku utama dalam pembuatan bambu
laminasidengan persentase sekitar 54,11 % dalam pembuatan balok dan 51,90 %
pembuatan parquet. Ini menunjukan bahwa harga bambu berpengaruh besar terhadap harga
pokok produksi dan harga jual bambu laminasi.Dalam pembuatan bambu laminasi terdapat
kelemahan yaitu pemanfaatan bambu masih relatif rendah. Sehingga menyebabkan masih
belum optimalnya pemanfaatan bambu sebagai bahan baku dalam pembuatan bambu
laminasi.
Oleh karena itu diperlukan teknik atau sistem produksi dalam mengolah bahan baku,
sehingga dapat meningkatkan rendemen bambu.
497
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Permasalahan
Belum optimalnya yaitupemanfaatan bambu maka, permasalahan yang diangkat antara lain:
1. Bagaimanakah teknik pembagian segmen untuk mengoptimalkan tebal bilah bambu?
2. Bagaimanakah teknik pembilahan untuk mengoptimalkanlebar bilah bambu?
3. Bagaimanakah pengukuran rendemen bambu sebagai bahan bakupembuatan bambu
laminasi?
Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Mengetahui tebal optimum bambu.
2. Mengetahui lebar optimum bilah bambu.
3. Mengetahui nilai rendemen bambu dalam pembuatan bambu laminasi.
Ruang Lingkup
Ruang lingkup dari penelitian ini adalah:
1. Menentukan segmen bambu sebagai bahan baku.
2. Teknik pembilahan yang ditentukan berdasarkan diameter bambu.
3. Mengukur rendemen bambu berdasarkan segmen bambu.
Bahan
Bambu yang digunakan adalah bambu petung (Dendrocalamus Asper) dengan 3
(tiga) variasi ukuran besar (diameter 16,33 cm), sedang (diameter 13,38 cm) dan kecil
(diameter 10,93 cm).
Metode
Metode yang digunakan yaitu dengan melakukan eksperimen pada proses
pengolahan bambu sebagai bahan baku pembuatan bambu laminasi. Adapun langkah-
langkah dalam peningkatan rendemen bambu, yaitu:
1. Menentukan segmen
Penentuan segmen dilakukan untuk mengetahui tebal bambu agar dapat diketahui nilai
selisih tebal antara bagian pangkal dengan ujung pada setiap segmen. Dari nilai selisih
tebal bambu tersebut dapat dijadikan dasar untuk penentuan segmen dalam
meningkatkan rendemen. Dilakukan pembagian segmen agar dapat meningkatkan
rendemen bambu, karena bambu memiliki karakteristik bahwa semakin ujung semakin
tipis. Teknik pemotongan dibagi atas 4 (empat) Bagian yaitu pangkal panjang 100 cm,
tengah 1 panjang 400 cm, tengah 2 panjang 400 cm, ujung panjang 400 cm seperti yang
dijelaskan pada gambar 1
Kemudian dilakukan pengukuran untuk mengetahui nilai selisih tebal bambu di 4 (empat)
titik menggunakan jangka sorong seperti yang dijelaskan pada gambar 2.
498
REKAYASA KAYU
Gam
mbar 2. Titikk pengukura
an tebal bam
mboo
2. Teknnik pembilah
han bambu
Pembilahan dila dasarkan ukuran diam
akukan berd meter bambuu dengan m menggunakan hand
saw, kemudian dilakukan pengelomp pokan berdasarkan ukkuran bilah yang sesu
uai/sama
untukk mempermmudah prosees laminasi.
Ga
ambar 4. Pe
enimbangan
n bilah Ga
ambar 5. Pe
enyerutan B
Bilah
Setelah dilakukan
d p
pengukuran
n kemudian
n dilakukan
n pengolah
han data sehingga
s
dikettahui persen
ntase rende
emen denga
an persama
aaan:
499
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Dilakukan proses perataan dan pengamplasan agar diperoleh permukaan yang rata.
Adapun langkah-langkah untuk meningkatkan rendemen bambu sebagai bahan baku
pembuatan bambu laminasi, antara lain:
500
REKAYASA KAYU
3.00
2.50
2.00
Pangkal
Tebal (cm)
1.50 Ujung
1.00
0.50
0.00
Pangkal Segmen
Tengah 1 bambu
Tengah 2 Ujung
Pada gambar 3 menunjukan bahwa dari ke 3 (tiga) variasi ukuran bambu (besar,
sedang, kecil) berdasarkan pembagian segmen dari pangkal sampai ujung memiliki
selisih.Dibagian segmen pangkal selisih tebal sebesar 0,70 cm dengan tebal rata-rata
pangkalnya (bagian bawah ujung) sebesar 2,26 cm dengan nilai simpangan baku sebesar
0,21 dan bagian ujungnya (bagian atas ujung) sebesar 1,55 cm dengan nilai simpangan
baku sebesar 0,44. Dibagian segmen tengah 1 selisih tebal sebesar 0,50 cm dengan tebal
rata-rata pangkalnya 1,51 cm dengan nilai simpangan baku sebesar 0,32 dan bagian
ujungnya sebesar 1,01 cm dengan nilai simpangan baku sebesar 0,15. Dibagian segmen
tengah 2 selisih tebal sebesar 0,22 cm dengan tebal rata-rata pangkalnya 1,03 cm dengan
nilai simpangan baku sebesar 0,11 dan bagian ujungnya sebesar 0,81 cm dengan nilai
simpangan baku sebesar 0,30. Dibagian segmen ujung selisih tebal sebesar 0,09 cm
dengan tebal rata-rata pangkalnya 0,92 cm dengan nilai simpangan baku sebesar 0,13 dan
bagian ujungnya sebesar 0,83 cm dengan nilai simpangan baku sebesar 0,09.
Teknik Pembilahan
Pembilahan dilakukan berdasarkan diameter bambu dengan tujuan untuk
mengoptimalkan pemanfaatan bambu seperti yang dijelaskan pada gambar 4.
Seperti yang dijelaskan pada tabel di atas bahwa ukuran diameter bambu dari pangkal
sampai ujung memiliki ukuran yang berbeda. Untuk itu dilakukan pengkelasan (interval)
dengan ukuran diameter bambu 6 s.d 20 cm dengan selisih tiap diameter sebesar 5 mm,
kemudian dilakukan pengelompokan berdasarkan ukuran lebar bilah yang sama, sehingga
diperoleh ketebalan bilah optimum.
501
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
900.00
800.00
700.00
600.00
Berat (gr)
500.00
400.00
Sebelum diserut
300.00
200.00 Sesudah diserut
100.00
0.00
Pangkal Tengah 1 Tengah 2 Ujung
Segmen bambu
Menunjukan bahwa adanya perbedaan berat rata-rata setelah proses penyerutan dari
berat awal sebesar 276,30 gr menjadi 144,19 gr dengan selisih 132,11 gr pada segmen
pangkal. Pada segmen tengah 1 diperoleh selisih berat sebesar 256,21 gr dari berat awal
sebesar 694,37 gr menjadi 438,15 gr. Pada segmen tengah 2 diperoleh berat selisih sebesar
301,90 gr dari berat awal sebesar 645,50 gr menjadi 343,60 gr. Sedangkan pada segmen
ujung diperoleh selisih sebesar 302,03 gr dari berat awal sebesar 622,56 gr menjadi 320,53
gr. Maka, dari selisih tersebut diperoleh nilai rendemen bambu berdasarkan segmen seperti
yang dijelaskan pada gambar 8.
502
REKAYASA KAYU
70.00
60.00 63.10
50.00 53.23
52.18 51.49
Rendemen (%)
40.00
30.00
20.00
10.00
0.00
Pangkal Tengah 1 Tengah 2 Ujung
Segmen bambu
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
BPTPT DPS, 2008, Laporan akhir peningkatan kualitas dan pemanfaatan bahan bangunan
lokal guna menunjang pelestarian arsitektur tradisional, Denpasar.
BPTPT DPS, 2009, Laporan akhir peningkatan kualitas dan pemanfaatan bahan bangunan
lokal guna menunjang pelestarian arsitektur tradisional, Denpasar.
BPTPT DPS, 2010, Laporan akhir peningkatan kualitas dan pemanfaatan bahan bangunan
lokal guna menunjang pelestarian bangunan tradisional, Denpasar.
BP DAS Unda Anyar, 2007, Penyebarluasan informasi pengembangan tanaman dan usaha
bambu, Denpasar
503
BIDANG E
PENGOLAHAN
HASIL HUTAN
PENGOLAHAN HASIL HUTAN
ABSTRAK
Kata kunci: Bubuk kayu kering, kayu karet, sipermetrin 100 g/l, bifentrin 25 g/l
PENDAHULUAN
505
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
(Aleurites molucana). Untuk itu dilakukan pengujian ketahanan kayu karet terhadap bubuk
Heterobostrychus aequalis dengan menggunakan bahan pengawet sipemetrin dan bifentrin.
Lepengan alumenium
Kayu sampel
Pada waktu pengamatan dihitung persentase mortalitas larva dan derajat serangan
contoh uji. Untuk menentukan derajat proteksi dilakukan penilaian dengan skala sebagai
berikut.
506
PENGOLAHAN HASIL HUTAN
Hasil pengamatan yang berupa nilai rata-rata persentase mortalitas serangga dan
derajat proteksi kayu uji yang diawetkan dengan berbagai konsentrasi dapat dilihat pada
Tabel 1.
507
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Kayu karet (Hevea brasiliensis) yang diawetkan dengan sipemetrin dan bifentrin
pada konsentrasi 6,25 ml/lt dengan retensi 0,13 kg/m3 ke atas dapat menahan serangan
bubuk kayu kering.
Disarankan pengujian dilanjutkan dengan jarak waktu setelah diawetkan dengan
dimulainya pengujian, karena dengan waktu yang 15 hari setelah diawetkan terlalu dekat
dan bahan pengawetnya masih berbau, sehingga kematian bubuk lebih cepat.
DAFTAR PUSTAKA
508
PENGOLAHAN HASIL HUTAN
ABSTRAK
Kata kunci: Biotermitisida, rayap tanah, biji bintaro, biji pinang, daun saga.
PENDAHULUAN
509
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
METODE PENELITIAN
Prosedur Ekstraksi
Bagian daging biji bintaro, daun saga dan biji pinang terlebih dahulu dikeringkan dan
dihaluskan menjadi serbuk dengan ukuran 40 mesh. Masing-masing serbuk kering seberat
150 g diekstrak dengan pelarut metanol dengan metode maserasi. Ekstrasi diulang
sebanyak empat kali untuk mendapatan larutan ekstrak maksimal. Larutan ekstrak
dievaporasi pada suhu 40 oC dalam waterbath untuk mendapatkan ekstrak kering.
Preparasi Sampel Uji
Ekstrak kering biji bintaro, daun saga dan biji pinang kemudian di buat pengenceran
dengan konsentrasi 5 %, 10% dan 15% (w/v). Masing-masing bahan ekstrak dengan tiga
variasi konsentrasi tersebut kemudian dioleskan ke seluruh permukaan kayu karet (Hevea
brasiliensis) dengan ukuran 20 mm x 20 mm x 10 mm kemudian diangin-anginkan selama 7
hari untuk menghilangkan pelarut. Sebelum dilakukan pengujian sampel uji tersebut terlebih
dahulu dioven pada suhu 60 oC selama tiga hari untuk mengetahui berat awal sebelum
pengujian.
Prosedur Pengujian
Pengujian mengacu pada standar JIS K 1571 tahun 2004, dengan menggunakan
metode forced-feeding test (metode umpan paksa). Sampel yang akan diuji kemudian
bersama 150 ekor rayap pekerja dan 15 ekor rayap prajurit dari jenis Coptotermes gestroi
dimasukkan ke dalam acrylic silinder yang bagian bawahnya telah dilapisi plaster paris
setebal 5 mm. Tissue diletakkan dibawahnya untuk menjaga kelembaban. Unit-unit
pengujian tersebut kemudian disimpan di tempat yang gelap bersuhu 28 r 2qC dengan
kelembaban di atas 85 % selama 21 hari. Data yang diamati yaitu persentase kehilangan
berat (weight loss) dan mortalitas rayap. Pengamatan dilakukan tiap minggu selama tiga
minggu.
510
PENGOLAHAN HASIL HUTAN
511
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Standar
JIS K 1571
Gambar 2. Rata-rata persentase kehilangan berat dari jenis bahan ekstrak dengan
variasi konsentrasi
Hasil penelitian terhadap kayu karet yang diberi ekstrak biji bintaro dengan
konsentrasi 15% yang memberikan efek terhadap kematian rayap yaitu ditandai dengan
penurunan berat di bawah 3%, sedangkan kayu karet yang diberi ekstrak biji bintaro dengan
konsentrasi 5% dan 10% tidak memberikan efek yang berarti terhadap kematian rayap yang
ditandai dengan penurunan berat yang jauh lebih besar dibandingkan dengan konsentrasi
15%. Hal tersebut sejalan dengan kayu karet yang diberi ekstrak daun saga dan biji pinang
pada semua konsentrasi yang diuji, semuanya kurang efektif terhadap serangan rayap.
Tabel 3. Klasifikasi ketahanan kayu karet setelah diberi perlakuan bahan ekstrak
berdasarkan penurunan berat menurut Standard SNI dan
Standar yang digunakan peneliti lain (Sornuwat, 1996) .
512
PENGOLAHAN HASIL HUTAN
Pemberian ekstrak biji bintaro dengan metode yang sangat sederhana yaitu metode
oles dapat memberikan peningkatan ketahanannya terhadap serangan rayap tanah
Coptotermes gestroi. Pada konsentrasi 10% dan 15% mampu meningkatkan ketahanan
kayu karet dari level sangat buruk menjadi level tahan dan sangat tahan (SNI 01-7207-
2006) atau meningkat dari level rentan menjadi level sedang dan tahan (klasifikasi
ketahanan menurut Sornnuwat, 1996). Hal ini berbeda dengan pemberian ekstrak biji pinang
dan daun saga. Pemberian ekstrak biji pinang pada konsentrasi 15% hanya mampu
meningkatkan ketahanan kayu karet sampai level sedang (SNI 01-7207-2006; klasifikasi
Sornnuwat, 1996). Pemberian ekstrak daun saga pada konsentrasi 10% dan 15% hanya
mampu meningkatkan ketahanan kayu karet sampai dengan level sedang (SNI 01-7207-
2006) atau level tidak tahan dan sedang (klasifikasi ketahanan menurut Sornnuwat, 1996).
Hal ini diduga karena kandungan ekstraktif dari biji bintaro lebih toksik dari pada kandungan
ekstraktif dalam biji pinang dan daun saga.
Efektifitas suatu bahan ekstrak terhadap rayap tanah Coptotermes gestroi juga
ditandai dengan mortalitas rayap yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan kontrol.
Angka/tingkat mortalitas rayap merupakan indikator dari efikasi suatu bahan ekstrak
disamping persentase penurunan berat. Suatu bahan ekstrak dikatakan memiliki efikasi
tinggi apabila zat ekstraktif yang terkandung dalam suatu bahan ekstrak memberikan
persentase mortalitas rayap yang tinggi (Tarmadi et al. 2009).
Pemberian ekstrak biji bintaro pada konsentrasi 10% dan 15% menyebabkan tingkat
mortalitas rayap mencapai 100% pada akhir pengamatan. Sedangkan pada ekstrak daun
saga hanya menyebabkan tingkat mortalitas sebesar 83% pada konsentrasi 15%. Pada
ekstrak biji pinang konsentrasi 15% menyebabkan mortalitas rayap sebesar 70%. Hal ini
kembali sangat tergantung dari kandungan metabolit sekunder yang bersifat toksik dalam
bahan ekstrak yang diuji.
KESIMPULAN
Pemberian ekstrak biji bintaro dengan konsentrasi 15% dengan metoda oles pada
kayu karet dapat menahan serangan rayap tanah C. gestroi, sedangkan ekstrak biji bintaro
pada konsentrasi 5% dan 10% serta ekstrak biji pinang dan daun saga pada konsentrasi 5%,
10%, 15% kurang dapat menahan serangan rayap tanah. Kayu karet yang diberi perlakuan
ekstrak biji bintaro konsentrasi 10% dan 15% meningkat ketahanannya dari level sangat
buruk menjadi tahan dan sangat tahan. Pemberian ekstrak biji pinang dengan konsentrasi
15% serta ekstrak daun saga pada konsentrasi 10% dan 15% meningkatkan ketahanan kayu
karet menjadi sedang.
513
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
DAFTAR PUSTAKA
Boerhendhy I., C. Nancy., A. Gunawan. 2003. Prospek dan Potensi Pemanfaatan Kayu
Karet sebagai Substitusi Kayu Alam. J. Ilmu & Teknologi Kayu Tropis Vol. 1 No. 1.
Japan Industrial Standard, JIS K 1571 2004
Standar Nasional Indonesia, SNI 01-7207-2006. Uji Ketahanan kayu dan produk kayu
terhadap organisme perusak kayu. Badan Standardisasi Nasional.
Sornnuwat. 1996. Studies on Damage of Constructions caused by Subterranean Termites
and Its Control in Thailand.
Setiawan,K.H., M.Ismayati., D.Tarmadi., S.Yusuf. 2009. Termiticidal Activities of Abrus
Precatorius L. Leaves Extract against against Subterranean Termite Coptotermes
gestroi. The First International Symposium of Indonesian Wood Research Society.
Bogor, 2-3 November.
Tarmadi, D., K.H. Setiawan., M. Ismayati., S. Yusuf. 2009. The Efficacy of Areca catechu L
Kernel Extract against Subterranean Termite, Coptotermes gestroi. The First
International Symposium of Indonesian Wood Research Society. Bogor, 2-3
November.
Tarmadi, D., M. Ismayati., K.H. Setiawan., S. Yusuf. Antitermite activities of Carbera
manghas L seeds Extract. 2010. Proceeding of The 7th Pacific Rim Termite Research
Group. Singapore, March, 1st- 2nd.
Yusuf, S and S. Doi. Feeding behavior of subterranean termite on steamed wood. Proc. of
the 5th International Wood Science Symposium JSPS-LIPI Core University Program in
the Field of Wood Science. Kyoto. Japan. September 17-19, 2004.
514
PENGOLAHAN HASIL HUTAN
INTISARI
Asap cair merupakan suatu campuran larutan dari dispersi koloid asap kayu dalam
air yang dibuat dengan mengkondensasikan asap cair dari hasil karbonisasi.Contoh uji
retensi yang digunakan berukuran 3 x 2 x10 cm, sedangkan untuk uji penetrasi berukuran 3
x 2 x 5 cm dan untuk kerusakan kayu dengan ukuran 4 x 2 x 10 cm.Faktor pengawet asap
cair terdiri dari 3 taraf yaitu a2 (konsentrasi 20%), a3 (konsentrasi 30%) dan a4 (konsentrasi
40%) ditambah dengan kontrol (konsentrasi 0%).Berdasarkan hasil penelitian diketahui
bahwa semakin rendah konsentrasi bahan pengawet maka semakin rendah pula nilai
retensinya pada kayu karet. Nilai retensi pada perendaman 1 minggu dengan konsentrasi
20%, 30% dan 40% berturut-turut sebesar 0,04g/cm3,0,05g/cm3, 0,07 g/cm3. Nilai retensi
pada perendaman 2 minggu dengan konsentrasi 20%,30% dan 40% berturut-turut sebesar
0,05g/cm3,0,07g/cm3, 0,08 g/cm3. Sedangkan semakin rendah konsentrasi bahan pengawet
maka semakin besar nilai penetrasi pada kayu karet. Nilai penetrasi pada perendaman 1
minggu dengan konsentrasi 20%, 30% dan 40% berturut-turut sebesar 14,798 mm,12,584
mm dan10,406 mm.Nilai penerasi pada perendaman 2 minggu dengan konsentrasi
20%,30% dan 40% berturut-turut sebesar 18,392 mm,16,086 mm dan 10,356 mm.Faktor
waktu perendaman terdiri dari 2 taraf yaitu b1 (perendaman 1minggu), b2 (perendaman
2minggu).Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada konsentrasi bahan pengawet 30% dan
40% tidak terjadi serangan rayap.
PENDAHULUAN
Kebutuhan akan kayu terus meningkat namun ketersediaan kayu semakin merosot
yang diakibatkan oleh cara pengelolaan dan kegiatan eksploitasi hasil hutan yang tidak
menerapkan asas kelestarian. Oleh karena itu perlu dimanfaatkan jenis-jenis kayu yang
selama ini belum digunakan secara maksimal dengan sebaik-baiknya. Kenyataan yang ada
menunjukkan, bahwa tidak semua jenis kayu mempunyai tingkat keawetan yang sama.
Indonesia sebagai salah satu negara penghasil kayu memiliki kira-kira 4.000 jenis kayu. Dari
jumlah tersebut,15-20% di antaranya memiliki sifat keawetan alami yang tinggi, sedangkan
yang lainnya (80-85%) terdiri dari jenis-jenis dengan keawetan alami yang rendah dan
kurang menguntungkan bagi pemakainya (Duljapar, 1996).
Pada saat ini jumlah kayu dengan keawetan tinggi semakin berkurang, sehingga
perlu dilakukan usaha untuk meningkatkan keawetan jenis-jenis kayu yang bermutu rendah
yang penggunaannya masih sangat terbatas. Salah satu dari jenis kayu yang tingkat
keawetannya rendah adalah kayu karet (Hevea brasiliensis Muell. Arg.). Penggunaan kayu
karet sebelumnya hanya sebagai kayu bakar, padahal jenis ini mempunyai kerapatan
sedang dan warnanya yang cerah dan cocok digunakan untuk bahan meubel atau furniture.
Akan tetapi kayu karet ini mempunyai kelemahan yaitu mudah terserang jamur biru,
sehingga dalam pemanfaatan meubel atau furniture akan mengurangi nilai keindahan dari
produk yang dihasilkan.
Hama rayap atau anai-anai merusak tanaman karet terutama bila pada tanaman
tersebut terdapat bagian kayu yang terbuka yang dapat dimakannya (Setyamidjaja, 1993).
Selanjutnya dijelaskan, bahwa rayap tanah dapat juga merusak perakaran dan tunggul atau
515
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
batang dengan cara membuat lorong-lorong di luar atau di dalam kulit batang. Sedangkan
Prasetiyo dan Yusup (2005) mengemukakan bahwa, serangan rayap kayu kering tidak
mudah dideteksi karena hidupnya terisolir di dalam kayu.
Selama ini pengawetan kayu oleh masyarakat menggunakan bahan pengawet
sintetis. Yoesoef (1979) mengelompokkan jenis bahan pengawet berdasarkan sifat-sifat
kimia dan fisikanya ke dalam tiga kelompok, yaitu (1). Kelompok bahan pengawet berupa
minyak seperti kreosot, ter, batubara dan lain-lain, (2). Kelompok bahan pengawet yang
larut dalam minyak, seperti pentaklorophenol, kuprinaftenat dan lain-lain, (3). Kelompok
bahan pengawet yang larut dalam air seperti senyawa arsen, boraks, asam borat, garam
khrom, chlorida seng, sulfat tembaga, sodium pentakloroforat. Penggunaan bahan pengawet
sintetis ini di samping biayanya tinggi juga dapat menimbulkan efek samping terhadap
lingkungan.Tempurung kelapa merupakan salah satu alternatif bahan baku yang dapat
digunakan sebagai bahan dasar pembuatan asap cair untuk pengawetan. Pari (2008)
menjelaskan bahwa, asap cair dari tempurung kelapa mengandung senyawa asam fenolat
dan karbonil. Ketersediaan tempurung kelapa di lapangan, khususnya di Samarinda dan
sekitarnya sangat berlimpah dan belum dimanfaatkan, bahkan untuk membuangnya saja
membutuhkan biaya. Data kuantitatif ketersediaan tempurung kelapa ini belum terpublikasi
secara ilmiah melalui penelitian, tetapi di lapangan nampak sekali kelimpahannya, seperti
yang terdapat di Desa Handil Baru, Kecamatan Samboja, Kabupaten Kutai Kartanegara.
Oleh karenanya, dalam penelitian ini dilakukan analisis pemanfatan asap cair dari tempurung
kelapa untuk pengawetan kayu karet (Hevea brasiliensis Muell. Arg.). Berdasarkan tujuan
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui tingkat konsentrasi dan lama
perendaman asap cair yang efektif dalam pengawetan kayu karet (Hevea brasiliensis Muell.
Arg.) terhadap serangan rayap tanah.
METODE PENELITIAN
Waktu Penelitian
Analisis kandungan kimia asap cair dilakukan dengan alat GC-MS (Gas
Chromatography-Mass Spectrometry), di Lembaga Penelitian Hasil Hutan (LPHH) Bogor.
Waktu efektif yang diperlukan dalam penelitian ini kurang lebih 6 (enam) bulan, meliputi
kegiatan penyiapan contoh uji, pembuatan asap cair, pengamatan serangan rayap,
pengolahan data, analisis hasil, dan penulisan.
Bahan dan Peralatan Penelitian
1. Tempurung kelapa, digunakan sebagai bahan dasar asap cair
2. Kayu karet, digunakan sebagai contoh uji
3. Air bersih, untuk bahan campuran asap cair
4. Minyak tanah, untuk pembakaran awal
5. Asap cair, untuk bahan pengawet
6. Cat, untuk pengecatan di daerah potongan sampel (radial) agar asap cair tidak
meresap terlalu banyak lewat pori-pori tersebut .
7. Tungku Pembakaran, untuk membuat asap cair.
8. Chainsaw, untuk memotong batang kayu karet
9. Circular Saw, untuk memotong dan membelah contoh uji
10. Timbangan elektrik, untuk menimbang contoh uji
11. Pirolisis GC-MS (Gas Chromatography-Mass Spectrometry), untuk alat uji kandungan
asap cair.
12. Plastik milimeter block, untuk mengukur luas serangan jamur
13. Desikator, untuk mendinginkan contoh uji dan menghindari penyerapan uap air dari
udara
14. Bak plastik berdiameter 40 cm, untuk perendaman contoh uji
15. Cangkul, untuk membuat lubang uji rayap
16. Gelas ukur, untuk mengukur banyaknya asap cair
17. Gergaji tangan, untuk memotong contoh uji sesuai ukuran
18. Ketam listrik, untuk menghilangkan bulu contoh uji
516
PENGOLAHAN HASIL HUTAN
Prosedur Penelitian
Pengambilan contoh uji dan pembuatan contoh uji
Ujung
Tengah 2b
20 cm 20 cm
4 cm
4 cm
2a 2c
2 2cm
cm
PANGKAL
20 cm
2d
Keterangan :
2a = Pengambilan contoh uji pada pohon dengan memotong bagian pangkal, tengah dan
ujung menggunakan chain saw masing- masing sepanjang 1,5 meter.Diberikan
penandaan agar tidak salah dalam membedakan antara pangkal, tengah dan ujung
dan disemprot dengan larutan asap cair pada kedua ujungnya agar terhindar dari
serangan jamur.
2b = Kemudian batang dibawa ke saw mill untuk dibelah seperti pada Gambar 2b menjadi
sortimen, sedangkan empulur dan kayu gubal tidak digunakan untuk contoh uji.
2c = Selanjutnya sortimen dibuat stik-stik contoh uji dengan panjang 1 meter dipotong
menggunakan circular saw menjadi ukuran 4cm x 4cm x 20 cm dan dimasukkan ke
dalam bak plastik yang sudah disemprot dengan larutan asap cair kemudian ditutup
rapat.
2d = Contoh uji untuk kadar air diambil dari pangkal, tengah dan ujung sehingga dapat
mewakili masing-masing contoh uji, selanjutnya contoh uji dipotong dengan ukuran
2cm x 2cmx 2 cm sebanyak 10 potong.
517
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Proses pengawetan
Proses pengawetan contoh uji dilakukan dengan metode perendaman dengan tahapan
sebagai berikut :
a. Sebelum diawetkan, contoh uji dikondisikan di dalam ruang konstan selama 2 minggu
untuk mendapatkan air yang relatif seragam pada semua contoh uji.
b. Kemudian dilakukan pengecatan pada kedua ujung contoh uji serta pengukuran
dimensinya dan selanjutnya contoh uji ditimbang
c. Selanjutnya contoh uji dimasukkan ke dalam bak pengawet dan diberi pemberat di
atasnya. Larutan pengawet dimasukkan ke dalam bak sesuai dengan konsentrasi dan
waktu perendaman yang berbeda.
d. Setelah semua proses pengawetan selesai contoh uji diangkat dan dikeringkan atau
dilap dengan kain kemudian contoh uji ditimbang untuk mengetahui retensi bahan
pengawet.
Retensi adalah banyaknya bahan pengawet yang masuk ke dalam kayu dan
dinyatakan dalam satuan kg/m3.
Untuk menghitung besarnya retensi. digunakan rumus sebagai berikut (Peek, 1989).
B - Bo C g
R = ---------- x ---- ( -------)
V 100 cm3
dimana:
R = Retensi bahan pengawet (g/cm3)
B = Berat contoh uji setelah diawetkan (g)
Bo = Berat contoh uji sebelum diawetkan (g)
V = Volume contoh uji (cm3)
C = Konsentrasi bahan pengawet (%)
518
PENGOLAHAN HASIL HUTAN
Pengukuran penetrasi
Pengukuran penetrasi dilakukan dengan cara sebagai berikut:
a. Contoh uji yang telah direndam selama satu minggu dengan konsentrasi 20%,30% dan
40% di lap sampai kering kemudian di potong tengahnya dan diukur di ke empat sisinya
(tepi rembesan) dengan penggaris contoh uji kemudian dibuat rataannya.
b. Contoh uji yang telah direndam selama dua minggu dengan konsentrasi 20%,30% dan
40% dilap sampai kering kemudian di potong dan diukur di ke empat sisinya (tepi
rembesan) dengan penggaris, kemudian dibuat rataannya.
Ma - Mb
% Kehilangan berat = -------------------- x 100 %
Ma
dimana:
Ma = Massa sebelum pengujian rayap (gr)
Mb = Massa setelah pengujian rayap (gr)
Berdasarkan hasil penelitian kayu karet diperoleh nilai rataan kadar air kayu, kerapatan
normal dan kerapatan kering tanur seperti terlihat pada Tabel 1 berikut ini.
Tabel 1. Nilai Rataan Kadar Air, Kerapatan dan Koefisiensi Variasi Kayu Karet
Tabel 1 memperlihatkan bahwa kayu karet mempunyai nilai kadar air sebelum
diawetkan sebesar 13,81% dengan nilai KV sebesar 2,86%. Untuk nilai kerapatan normal
dan kerapatan kering tanur berturut-turut sebesar 0,67 dan 0,57 g/cm3, dengan nilai KV
masing-masing sebesar 2,49% dan 3,11%.
Nilai kadar air rataan sebesar 13,81% menunjukkan bahwa kadar air tersebut berada
pada kisaran kadar air kayu antara 40 200% dari berat kayu kering mutlak (Soenardi,
1974). Selanjutnya dijelaskan oleh Yoesoef (1974) bahwa nilai persentase kadar air kayu
tersebut bervariasi yang dipengaruhi oleh jenis kayu, posisi ketinggian dalam batang, tempat
tumbuh dan keadaan iklim. Nilai kadar air kayu karet sebesar 13,81% memberikan nilai
519
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
yang cukup rendah (< 10%) yang menunjukkan bahwa kayu yang akan diawetkan tersebut
pada kondisi kadar air yang cukup seragam. Hal ini berarti bahwa keseragaman kadar air
kayu yang diawetkan tidak akan menyebabkan perbedaan pengaruh yang besar pada hasil
proses pengawetan ( retensi dan penetrasi bahan pengawet) kayu.
Tabel tersebut menunjukkan, bahwa kerapatan normal rataan kayu karet dalam
pengkondisian di ruang konstan sebelum dilakukan proses pengawetan sebesar 0,663 g/cm3
dan kerapatan kering tanur rataan sebesar 0,570 g/cm3. Nilai kerapatan normal dan kering
tanur ini tidak berbeda dengan Martawijaya dkk. (1981), bahwa kerapatan kayu karet
berkisar antara 0,56 0,70 g/cm3, kerapatan normal 0,68 g/cm3 dan kerapatan kering tanur
0,62 g/cm3, sedangkan menurut Anonim (1981) kayu karet termasuk dalam kelompok kayu
kerapatan sedang dengan nilai kisaran 0,60 0,75 g/cm3.
Nilai KV pada kerapatan normal dan kerapatan kering tanur masing-masing sebesar
2,489% dan 3,107% menunjukkan nilai yang cukup rendah (< 10%). Hal ini menunjukkan,
bahwa kayu yang akan diawetkan tersebut berada pada kondisi yang cukup seragam.
Pengawet dan Lama perendaman
Setelah proses pengawetan dengan metode rendaman dingin selama 1 (satu) dan 2
(dua) minggu, maka dilakukan pengukuran nilai retensi bahan pengawet yang masuk atau
tinggal di dalam kayu. Hasil pengukuran rentensi dapat dilihat pada gambar 2 grafik berikut:
0,09
Retensi (g/cm3)
0,08
0,07
0,06
0,05
0,04
0,03
0,02
0,01
0
a1b1 a2b1 a3b1 a1b2 a2b2 a3b2
37,024
Persentase Kerusakan Kayu
33,941
7,841 7,021
Gambar 3 Grafik Nilai Rataan Persentase Kerusakan Kayu Akibat Pemberian Bahan
Pengawet Asap Cair pada Berbagai Konsentrasi dan Lama Perendaman.
520
PENGOLAHAN HASIL HUTAN
- - - 0,5065ns
a2 0,7760
- - - -
a3 0,2695
Ket. LSD 5% = 1,7921; 1% = 2,3835
521
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
(konsentrasi 20%), a2 (konsentrasi 30%) dan a3 (konsentrasi 40%), serta antara perlakuan
a1 dengan perlakuan lainnya yaitu perlakuan a2 dan a3, sedangkan antara perlakuan a2 dan
a3 tidak berbeda signifikan. Hal ini menunjukkan, bahwa tingkat kerusakan kayu paling
banyak terjadi apabila tidak diberikan bahan pengawet dengan tingkat kerusakan rata-rata
sebesar 35%, kemudian masing-masing disusul oleh pemberian bahan pengawet 20%
dengan tingkat kerusakan rata-rata sebesar 7%, pemberian bahan pengawet 30% dengan
tingkat kerusakan rata-rata sebesar 0,78% dan paling sedikit kerusakan apabila diberikan
bahan pengawet 40% dengan tingkat kerusakan rata-rata hanya 0,27%. Hasil pengujian
menunjukkan, bahwa semakin tinggi konsentrasi asap cair maka semakin rendah tingkat
kerusakan kayu. Hal ini diduga karena pengaruh kandungan asap cair yang didominasi
Acetic Acid sebesar 45% dan Phenol sebesar 24% yang sangat tidak disukai oleh rayap
kayu.
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
522
PENGOLAHAN HASIL HUTAN
ABSTRAK
Key words: cuka kayu, anti jamur, Schizophyllum commune, Laban, Akasia
PENDAHULUAN
Schizophyllum commune dikenal sebagai jamur pelapuk yang ganas karena dapat
menyerang buah, biji-bijian, rotan, bambu dan kayu. Jamur ini dapat menyerang semua jenis
kayu kecuali kayu ulin (Eusideroxylon zwageri). Secara alami S. commune dapat ditemukan
di seluruh lokasi di Indonesia sehingga dapat dikatakan bahwa jamur tersebut bersifat
cosmopolitan (Suprapti dan Djarwanto, 2000). Oleh karena itu, perlu dilakukan pengendalian
terhadap S.commune agar tidak merugikan. Penggunaan fungisida sintetik yang
mengandung zat-zat kimia yang sulit terdegradasi berpotensi dapat menyebabkan
pencemaran lingkungan. Penggunaan fungisida alami yang ramah lingkungan, namun tetap
dapat diguna kan untuk mengatasi kerusakan yang disebabkan oleh jamur sangat perlu
untuk dikembangkan.
Salah satu fungisida alami yang dimaksud adalah bahan-bahan alami yang berasal
dari tumbuh-tumbuhan berupa serbuk gergaji untuk pembuatan cuka kayu. Cuka kayu
merupakan suatu campuran larutan dari dispersi koloid asap kayu dalam air, yang dibuat
dengan mengkondensasikan asap dari hasil pembakaran kayu tersebut. Kayu sebagai
komponen bahan bakar umumnya tersusun atas selulosa, hemiselulosa dan lignin
sedangkan komponen lainnya terdiri dari tanin, resin dan terpentin (Maga, 1987).
Bahan baku untuk pembuatan cuka kayu sangat berlimpah. Salah satunya limbah
serbuk gergaji yang mempunyai potensi yang besar untuk bahan baku pembuatan cuka
kayu. Velmurugan et al. (2009a) melaporkan bahwa serbuk gergaji dari kayu Pinus
densiflora dan Quercus serrata mengandung komponen yang berfungsi sebagai antijamur.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa cuka kayu tersebut mampu menghambat pertumbuhan
jamur Ophiostoma polonicum,O. flexuosum, O. narcissi dan O. tetropii (Velmurugan et al.
2009a ; Velmurugan et al. 2009b). Menurut Inoue et al. (2000), cuka kayu mampu
menghambat pertumbuhan jamur Fomitopsis palustris dan Trametes versicolor.
Sementara itu, kayu Laban (Vitex pubescens Vahl) dan kayu Akasia (Acacia
mangium Willd) merupakan kayu yang relatif tersedia pada saat ini. Pemanfaatan kayu
Laban dan Akasia sebagai bahan baku cuka kayu untuk menjadi bahan pengawet
523
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
merupakan peluang yang harus diteliti karena ketersediaan bahan baku melimpah dan harus
dicoba efektifitasnya. Oleh karena itu, tujuan penelitian adalah penggunaan cuka kayu
campuran dari kayu Laban dan Akasia sebagai bahan pengawet kayu terhadap serangan
jamur pelapuk kayu S. commune. Untuk lebih memudahkan dalam penerapan
penggunaannya, maka perlu diketahui berapa konsentrasi cuka kayu yang optimum yang
mampu menghambat serangan jamur S. commune.
Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah: isolat Schizophyllum commune,
medium PDA, serbuk kayu laban dan akasia, dan cuka kayu
Prosedur Penelitian
Persiapan bahan baku serbuk gergaji
Bahan baku terdiri dari serbuk kayu akasia dan kayu laban. Serbuk diayak dengan
ukuran 40-60 mesh, kemudian dikeringkan sampai kadar air 12%.
Analisis fenol
Satu ml cuka kayu ditimbang dan diencerkan sampai volume 1.000 ml. Kemudian
dari larutan ini diambil 1 ml dan ditambahkan dengan 5 ml larutan NaCO3 alkalis dan
dibiarkan pada suhu kamar selama 10 menit. Kemudian ditambahkan 0,5 ml reagen Folin-
Ciocalteau (reagen komersial : aquades 1:1 v/v) dan digoyang dengan vortex-shaker.
Setelah dibiarkan selama 30 menit absorbansinya dibaca terhadap larutan blanko pada
panjang gelombang 750 mm.Konsentrasi fenolat larutan sampel dihitung berdasarkan kurva
standar yang diperoleh dari larutan fenol murni (Senter et al. 1989).
Analisis asam
Cuka kayu serbuk gergaji ditimbang lebih kurang 1 ml, lalu diencerkan sampai
volume 100 ml. Selanjutnya dititrasi dengan larutan standar NaOH 0,1 N sampai pHnya 8.
Kadar asam dinyatakan dalam persen berat asam asetat (AOAC, 1990).
524
PENGOLAHAN HASIL HUTAN
sebagai berikut: 0; 0.50%; 0.75%; 1.00%; 1.25%; and 1.50% (v/v). Biakan murni jamur S.
commune diinokulasi di bagian tengah petri dish dan diinkubasi pada suhu kamar.
Pengamatan dilakukan terhadap pertumbuhan koloni jamur dengan mengukur diameter
koloni pada hari ke-10 setelah inokulasi.
Kemudian diukur aktivitas anti cendawannya dengan menggunakan rumus Mori et al
(1997) sebagai berikut :
Aktivitas Antijamur
Rerata aktivitas antijamur S. commune cuka kayu campuran kayu Laban dan Akasia
sebesar 46,34% - 100%. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa konsentrasi cuka
kayu berpengaruh nyata. Semakin tinggi konsentrasi cuka kayu makin tinggi aktivitas
antijamur (AFA) yang disajikan pada Gambar 1.
525
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
120
100
100 86,17
80,07
AFA (%) 80
56,49
60 46,34
40
20
0
0
0 0,50% 0,75% 1,00% 1,25% 1,50%
Perlakuan
Gambar 1. Aktivitas Antijamur (AFA) Cuka Kayu Laban dan Akasia Terhadap
Jamur Schizophyllum commune
526
PENGOLAHAN HASIL HUTAN
KESIMPULAN
Cuka kayu dari kayu Laban dan Akasia berperan sebagai antijamur. Konsentrasi
1,5% dapat menghambat pertumbuhan jamur Schizophyllum commune sebesar 100%.
Rendemen cuka kayu yang diperoleh sebesar 20%. Kadar asam dalam cuka kayu sebesar
7,46% sedangkan kadar fenol sebesar 6,30%. Komponen kimia cuka kayu terdiri dari asam
etanoat (C2H4O2), butana (C4H10), asetil karbinol (C3H6O2), fenol (C6H6O), furanon (C4H6O2),
dimetil keton (C3H6O) dan butanoic acid,2-propenyl ester (C7H12O2).
DAFTAR PUSTAKA
AOAC, 1990. Association of Analytical Chemist, Official Method of Analysis, 18th edition,
Benyamin Franklin , Washington DC.
Darmadji, P., Oramahi, H.A., Haryadi dan Armunanto, R., 2000. Optimasi Produksi dan Sifat
Fungsional Cuka kayu Kayu Karet. Agritech 20 (3): 147-155
527
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Girard, J.P.,1992, Technology of Meat and Meat Product Smoking, Ellis Harwood, New York,
London, Toronto, Sydney, Tokyo, Singapore, 162-201.
Higashino T, Shibata A, Yatagai M, 2005, Basic Study for Establishing Specifications for
Wood Vinegar by Distillation, J. Wood Science Vol 51 No 3 p 180-188.
Inoue, S., T. Hata, Y. Imamura & D. Meier, 2000. Component and Antifungal Efficiency of
Wood-Vinegar-Liquor Prepared Under Different Carbonization Condition, Wood
Research, 87: 34-36
Karseno, Darmadji, P., dan R. Kapti. 2001. Daya Hambat Cuka kayu Kayu Karet Terhadap
Bakteri Pengkontaminan Lateks dan Ribbed Smoke Sheet. Agritect, 21 (1): 10-15
Lin, H. C., Y. Murase, T.C, Shiah, . G. S. Hwang, P. K. Chen & W. L. Wu, 2008. Application
of Moso Bamboo Vinegar with Different Collection Temperatures to Evaluate Fungi
Resistance of Moso Bamboo Materials, J. Fac. Agr., 53 (1), 107113
Maga, J.A., 1987, Smoke in Food Processing , Bacarotan, CRC Press, Florida, 1-9.
Pitt. J.I & A.D. Hocking., 1997. Fungi and Food Spoilage. Academic Press, London
Senter, S.d., Robertson, J.A., and Meredith, F.I., 1989, Phenolic Compound of The
Mesocarp of Creathaven Peaches During Storage and Ripening, J. Food Sci,
54:1259-1268.
Tranggono, Suhardi, Setiadji, B., Darmadji, P., Supranto., dan Sudarmanto., 1996,
Identifikasi Cuka kayu dari Berbagai Jenis Kayu dan Tempurung Kelapa, J. Ilmu dan
Teknologi Pangan, vol. 1, No.2: 15-24.
Velmurugan, N. Han, S. S. & Y.S. Lee, 2009a. Antifungal Activity of Neutralized Wood
Vinegar with Water Extracts of Pinus densiflora and Quercus serrata Saw Dusts, Int.
J. Environ. Res., 3(2):167-176
Velmurugan, N., S. S Chun, N. Han, S. S. & Y.S. Lee, 2009b. Characterization of Chikusaku-
Eki and Mokusaku-Eki and Its Inhibitory Effect on Sapstaining Fungal Growth in
Laboratory Scale, Int. J. Environ. Sci. Tech., 6 (1), 13-22
Yoshimoto, T. and W. Syafii, 1993. Extractives from Some Tropical Hardwoods and Their
Influnces on the Growth of Wood Decaying Fungi. Journal Tropical Agriculture, 4 (2):
31-35
528
PENGOLAHAN HASIL HUTAN
ABSTRACT
The purpose of this study was to evaluate the effect of liquid smoke against protozoa
in the termite gut. Liquid smoke was made from Palm kernel shell at temperature of 400 oC.
Dosages of liqiud smokes were 0.025 ml, 0.05 ml, 0.1 ml, 0.15 ml dan 0.2 ml. The result
indicated that there were effect of liquid smoke dosages against survival rate of termite and
total number of protozoa. Liquid smoke showed high termiticidal activity at the dosages of
0.1 ml, 0.15 ml and 0.2 ml. At dosages of 0.025 ml and 0.05 ml, liquid smoke showed
survival rate of 0 % in 4 days. Protozoa observation exhibited that at dosages of 0.025 ml
and 0.05 ml, the total number of protozoa decreased every day.
PENDAHULUAN
Produksi asap cair saat ini banyak digunakan pada pertanian, pengawetan makanan
dan juga industri karet. Menurut Nurhayati (1995), Cuka kayu atau wood vinegar dapat
membuat tanaman menjadi sehat, mereduksi jumlah insektisida dan parasit
tanaman,sebagai growth promotor dan pupuk alam. Asap cair merupakan produk sampingan
pembuatan arang, dimana produsen pembuat arang banyak yang belum memanfaatkan
asap dari proses pengarangan (pirolisis) ini sehingga terbuang percuma.
Asap cair bersifat menolak serangga (repellent), sehingga efektif untuk beberapa
serangga pertanian. Sedangkan menurut Yatagai (2006) penelitian pemanfaatan asap cair
untuk bidang pengawetan kayu belum banyak diteliti, padahal asap cair merupakan produk
yang sampingan yang ramah lingkungan. Proses produksinya yang mudah dan murah
membuka peluang pemanfaatannya untuk berbagai kebutuhan. Demikian juga peluang
pemanfaatannya sebagai bahan alternatif anti rayap, dimana semakin banyak masyarakat
yang mulai sadar untuk tidak menggunakan bahan kimia yang berbahaya terhadap
lingkungan.
Yatagai (2006) menyatakan bahwa kandungan asap cair dipengaruhi oleh bahan
bakunya.Kandungan asam dalam asap cair mencapai lebih dari 50%. Keasaman dan
kandungan fenol mempunyai peranan dalam menghambat pertumbuhan bakteri (Darmadji,
1996).
Protozoa berperan dalam mengkonversi hemiselulosa secara anaerobik menjadi
asetat, karbondioksida, hidrogen dan methan. Fermentasi selulosa ini terjadi karena adanya
enzim selulase yang diproduksi oleh protozoa (Kartika, 2005). Penelitian ini bertujuan untuk
melihat efektivitas asap cair terhadap rayap tanah Coptotermes sp dan pengaruhnya
terhadap protozoa dalam usus rayap Coptotermes sp.
METODE PENELITIAN
529
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Pengamatan Protozoa
Usus rayap ditarik dari bagian belakang tubuh rayap. Usus rayap kemudian
dimasukkan dalam 50 l larutan NaCl 0.6 %. Usus rayap disobek untuk mengeluarkan
protozoanya. Untuk menghitung jumlah protozoa, diambil 2 l suspensi dan ditempatkan
glass slide. Jumlah protozoa dihitung dengan microscope dengan perbesaran 10 kali.
Survival rate rayap dan weight lost merupakan indikator yang digunakan untuk
mengetahui aktivitas anti rayap dari suatu bahan. Pada gambar 1 terlihat adanya perbedaan
Survival rate tiap perlakuan. Pada dosis 0.025ml dan 0.05 ml masih ditemukan rayap yang
hidup sampai hari ketiga, sedangkan dosis lainnya yaitu 0.1, 0.15 dan 0.2 ml semua rayap
mati pada 24 jam setelah pengumpanan. Hal ini menunjukkan efektifitas yang sangat baik
dari asap cair terhadap kematian rayap. Menurut Yatagai (2007) kandungan asap cair antara
lain asam asetat, propionic, butanoic, n-valeric, dan phenol. Asam terdapat dalam jumlah
paling banyak dalam asap cair berkontribusi besar dalam aktivitas anti rayap terutama asam
asetat karena terdapat dalam jumlah terbesar pada asap cair dibanding jenis asam lainnya.
Asam dan fenol merupakan kombinasi yang kuat dalam menghambat pertumbuhan bakteri
(Darmadji,1996). Sehingga dapat diduga asap cair ini mempengaruhi pertumbuhan bakteri
dan protozoa dalam usus rayap, karena menurut Yoshimura (1995) secara fisiologi nutrisi
dalam tubuh lower termite dipengaruhi oleh protozoa dan juga bakteri, meskipun bakteri
bukan kontributor utama dalam dekomposisi selulosa.
530
PENGOLAHAN HASIL HUTAN
Pada gambar 2 dibawah ini ditunjukkan weight loss (kehilangan berat) dari kertas
saring pada akhir pengujian. Pada grafik terlihat adanya pengaruh penurunan kehilangan
berat akibat pemberian perlakuan s asap cair. Prosentase kehilangan berat pada kertas
saring tanpa perlakuan (kontrol) sebesar 4.7 %. Perlakuan dosis asap cair yang semakin
besar menyebabkan penurunan weight loss kertas saringnya, dimana dosis 0.1 ml, 0.15 ml
dan 0.2 ml memberikan weight loss yang kecil yaitu mendekati 1 %. Hal ini menunjukkan
adanya hubungan antara penurunan prosentase kehilangan berat dan kematian rayap.
Gambar 2. Weight loss kertas saring setelah pengumpanan terhadap rayap Coptotermes sp
Jumlah protozoa dalam usus rayap pada tiap perlakuan dapat dilihat pada tabel 1.
Penghitungan jumlah protozoa hanya dapat dilakukan pada perlakuan 0 (kontrol), 0.025 ml
dan 0.05 ml asap cair,karen pada dosis diatasnya seluruh rayap mati 100%. Identifikasi
terhadap protozoa dalam Coptotermes sp menunjukkan ada tiga jenis protozoa, yaitu
Pseudotrichonympha grasii Koidzumi, Holomastigotoides hartmanni Koidzumi dan
Spirotrichonympha leidy Koidzumi. Ketiga jenis protozoa ini memiliki bentuk yang khas
sehingga sangat mudah dibedakan satu dengan lainnya.
531
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Pseudotrichonympha grasii
Pengamatan (hari)
Perlakuan Protozoa
1 2 3
P 1780 800 220
H 1220 720 260
Kontrol
S 4260 2220 980
Total 7260 3740 1460
P 2200 540 420
Asap cair H 1180 660 140
0.025 ml S 3060 1800 160
Total 6440 3000 720
P 580 260 240
Asap cair H 860 180 160
0.05 ml S 700 560 420
Total 2140 1000 820
KESIMPULAN
Asap cair memberikan efektifitas yang tinggi terhadap kematian rayap tanah
Coptotermes sp dimana pada dosis 0.1 ml dapat menyebabkan kematian rayap 100% dalam
waktu 24 jam. Pengamatan terhadap protozoa selama tiga hari menunjukkan adanya
penurunan jumlah protozoa akibat peningkatan dosis asap cair yaitu dari 0 (kontrol), 0.025
ml dan 0.05 ml
532
PENGOLAHAN HASIL HUTAN
DAFTAR PUSTAKA
Darmadji, P., 1996. Aktivitas antibakteri asap cair yang diproduksi dari bermacam-macam
lLimbah pertanian. Agritech, 16(4) : 19 22
Kartika, T dan S. Yusuf.2008. Study about Intestinal Protozoa of Subterranean Termite,
Coptotermes sp. Proceedings-TRG 5. Bali Indonesia
Nurhayati T, Desviana, Kurnia Sofyan.2005. Tempurung Kelapa Sawit (TKS) sebagai Bahan
Baku Alternatif untuk Produksi Arang Terpadu dengan Pyrolegneous/ Asap Cair.
Jurnal Mapeki.itsuyo
Yatagai M, Madoka Nishimoto, Keko Hori, Tatsuro Ohira and Akira Shibata. (2002).
Termiticidal activity of wood vinegar, its components and their homologues. Jurnal of
Wood Science. Japan Wood Research Society.
Yoshimura T. 1995. Contribution of protozoan fauna to nutritional physiology of thelower
termite, Coptotermesformosanus Shiraki. Doctors thesis.Kyoto University, Japan.
Yudianti, R, L Indrarti, J Azuma, M. Sakamoto, K Tsunoda and T Yoshimura. 2002.
Digestibility of cellulosic Hydrocolloid by Termite Coptotrmes formosanus Shiraki.
Proceedings-TRG 5. Bali Indonesia.
Yuwanti. S, 1999. Potensi pencoklatan fraksi-fraksi asap cair tempurung kelapa. Tesis
Program pascsarjana.UGM.Yogyakarta.
533
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
ABSTRAK
Kata kunci : Modifikasi Jabon merah dan jabon putih, Rayap Tanah, Kelas Awet.
PENDAHULUAN
Kayu sangat akrab dengan kehidupan manusia, Berasal dari kebun atau hutan untuk
dimanfaatkan bagi keperluan hidup . Kayu terbentuk melalui proses alami, dengan bantuan
air dari tanah, karbondioksida dari atmosfir serta energi cahaya matahari, daun-daun
membentuk bahan-bahan organik yang menghasilkan antara lain kayu. Butuh waktu yang
cukup lama membentuk sebatang kayu, sehingga sebagai pengguna kita harus bijak dalam
memanfaatkan kayu.
Keunggulan kayu sebagai bahan organik akan lebih lengkap jika kayu yang kita
manfaatkan mempunyai ketahanan terhadap kerusakan, baik oleh faktor biologi maupun
faktor lain. Karena serangan faktor biologi ini tidak saja akan menurunkan umur pakai kayu
tetapi juga menurunkan nilai jualnya, karena saat ini industri kayu sudah mengolah kayu-
kayu hasil hutan tanaman industri yang relatif berumur muda dengan daya tahan terhadap
serangan faktor biologis sangat rendah (kelas awet IV-V)
Perkembangan teknologi untuk memperpanjang masa pakai kayu telah berkembang
sangat pesat, jika pada awalnya kita hanya memanfaatkan kayu langsung , saat ini teknologi
pengolahan kayu telah cukup membantu dengan meningkatkan masa pakai dan nilai jual
produk olahan kayu sehingga lebih efisien dan efektif. Kayu plastik adalah produk olahan
atau modifikasi pengolahan kayu dengan memberikan sentuhan teknologi berbasis plastik
untuk meningkatkan kualitas produk-produk kayu. Akan tetapi tentu saja masih perlu
dikembangkan secara lebih detail agar kita benar-benar mendapatkan produk modifikasi
kayu yang lebih baik dan terutama juga ramah terhadap lingkungan.
534
PENGOLAHAN HASIL HUTAN
Tujuan Penelitian
Menguji dan membandingkan durability dari jabon merah dan jabon putih hasil
impregnasi campuran 3 komposisi larutan styrene dan MMA dengan inisiator mepoxe
terhadap serangan rayap tanah dalam uji laboratorium.
Bahan
Jabon merah (A1)dan jabon putih (A2) ukuran ; 20 x 20 x 10 mm; rayap kayu tanah
. Styrene , Methyl Metha Acrilyte (C5H8O2) , katalis mepoxe .dengan komposisi larutan B1
(60 :38 :2) ; B2(70 :28:2) ; (80 :18 :2) (v/v%). Rayap kayu tanah (Coptotermes curvignathus
Holmgren) masing-masing sebanyak 200 ekor per sampel uji.
535
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Polymerisasi
Sampel kayu dari kayu Jabon Merah dan Jabon Putih sebelum diimpregnasi dan
direndam, terlebih dahulu dikeringkan pada suhu 700C selama 24 jam atau sampai kering
tanur, kemudian diukur dimensi dan beratnya. Selanjutnya contoh uji dimasukkan ke dalam
impregnator berisi campuran larutan styrene dan MMA dengan katalis mepoxi kemudian
divakum selama 30 menit pada tekanan 600 mm Hg, Kemudian , sampel dibungkus dalam
aluminium foil dan dikeringkan pada temperatur 60 C selama 24 jam agar terbentuk
polimerisasi dan dikondisoning pada suhu ruangan selama 2 minggu atau sampai bau
menyengat khas polimer menghilang.
Pengumpulan Data
Uji Ketahanan Serangan Rayap Tanah Coptotermes curvignathus Holmgren) . Data
yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri atas volume awal contoh uji (V0), berat awal
contoh uji (M0), berat setelah impregnasi (M1), berat setelah polimerisasi (= berat sebelum
pengumpanan (M2)), berat basah setelah pengumpanan (M3) dan berat kering setelah
pengumpanan (M4). Data ini digunakan untuk mengetahui nilai-nilai:
Prosedur
a) Contoh uji dimasukkan ke dalam jampot, diletakkan dengan cara berdiri pada dasar
jampot dan disandarkan sedemikian rupa sehingga salah satu bidang terlebar contoh uji
menyentuh dinding jampot;
b) Ke dalam jampot dimasukkan 200 gram pasir lembab yang mempunyai kadar air 7 % di
bawah kapasitas menahan air (water holding capacity);
c) Selanjutnya ke dalam setiap jampot dimasukkan rayap tanah (Coptotermes curvignathus
Holmgren) yang sehat dan aktif sebanyak 200 ekor, kemudian contoh uji tersebut
disimpan di tempat gelap selama 6 minggu;
d) Setiap minggu aktivitas rayap dalam jampot diamati dan masing-masing jampot
ditimbang. Jika kadar air pasir turun 2 % atau lebih, maka ke dalam jampot tersebut
ditambahkan air secukupnya sehingga kadar airnya kembali seperti semula.
Pernyataan Hasil
a) Hasil dinyatakan berdasarkan penurunan berat dan dihitung dengan menggunakan
persamaan:
W1 W2
P = ------------- X 100
W2
536
PENGOLAHAN HASIL HUTAN
dengan pengertian:
P adalah penurunan berat, dinyatakan dengan (%);
W1 adalah berat kayu kering tanur sebelum diumpankan, dinyatakan dengan (g);
W2 adalah berat kayu kering tanur setelah diumpankan, dinyatakan dengan (g).
Tabel 1. Klasifikasi ketahanan kayu terhadap rayap tanah berdasarkan penurunan berat
Polimer Loading
Modifikasi kayu jabon dengan polimer membuat kayu sangat berbau menyengat ,
karena emisi dari polimer . Kekuatan bau tercium dari jarak yang cukup jauh. Dikhawatirkan
sebelum masuk dalam jadwal pengujian rayap, rayap menjadi stress dan mati. Untuk
mengatasi hal tersebut sampel uji dikering angin selang beberapa waktu sampai bau
berkurang sebelum dilakukan pengujian.
Banyaknya monomer-monomer yang dapat mengisi rongga pada dinding sel kayu
ditunjukkan melalui nilai polymer loading (Gambar 2). Polymer loading untuk kayu jabon
putih lebih tinggi daripada pada kayu jabon merah. Hal ini disebabkan kayu jabon putih
memiliki kerapatan yang lebih rendah (0,22-0,34) dibandingkan kayu jabon merah (0,45-
0,47). Menurut Yildiz et al. (2005), kayu dengan kerapatan lebih rendah memiliki jumlah
rongga sel yang besar (dinding sel lebih tipis), yang menyebabkan kayu bersifat lebih porus
dibandingkan kayu dengan kerapatan lebih tinggi.
Pada jabon putih besarnya polimer loading untuk perlakuan B1= 75 %, B2 = 100,89
% dan B3 = 143,66%. Jabon merah B1 = 47,41 %, B2 = 51,28 %dan B3 = 60,88 %.
Besarnya polimer loading pada jabon putih tersebut nantinya sangat mempengaruhi sifat
keawetan kayu modifikasi ini. Persentase perubahan kerapatan juga meningkat antara
36,280,6% dengan persentase penurunan berat dari jabon putih 3,28 7,26 % dan jabon
merah 3,1- 6,84 % maka dapat diduga bahwa jabon putih menunjukan peningkatan kualitas
keawetan yang sangat baik. Hal ini karena kayu modifikasi selain menjadi sangat padat
/rapat juga menjadi lebih stabil .
Komposisi MMA juga berperan pada peningkatan polimer loading, makin tinggi
konsentrasi MMA dalam larutan campuran makin tinggi polimer loading pada setiap sampel
uji.
537
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Gambar 2. Grafik polimer loading modifikasi kayu jabon merah dan jabon putih
Karet 39.89 - - -
A1(Jabon merah) 16.61 3.1 6.84 5.82
A2 (jabon Putih) 32.4 7.26 5.82 3.28
Pengujian ini juga membuktikan bahwa dengan modifikasi kimia, kayu berkeawetan
rendah dapat diperbaiki sifat-sifatnya terutama sifat ketahanannya terhadap serangan rayap.
(Hadi et al,2002) . Dimulai dengan persentase penurunan berat , modifikasi berkisar antara
3.1- 7.6 % , artinya kurang dari 10 % dibandingkan kayu kontrol persentase penurunan berat
lebih dari 10 %, setelah pengamatan 3 bulan. Ketahanan terhadap serangan rayap ini tidak
berarti bahwa kayu modifikasi menjadi bahan yang tidak dapat di degradasi, tetapi hanya
untuk memperpanjang masa pakai kayu, sehingga penggunaan kayu menjadi lebih lama
dan mengurangi biaya perawatan selama masa pakainya.
Karet 3.6 - - -
A1(Jabon Merah) 9.8 100 100 100
A2(Jabon Putih ) 32.4 100 100 100
538
PENGOLAHAN HASIL HUTAN
Kemudian mortalitas rayap tanah total untuk kayu modifikasi adalah 100 % , bahkan
rayap telah mati pada pengamatan 1 bulan. Pada kayu kontrol karet sampai akhir
pengamatan tingkat kematian rayap hanya 3.6 %, pada Jabon merah 19.8 % ,dan jabon
putih 32.4 %. Kayu modifikasi pada awal perlakuan menghasilkan bau yang menyengat
akibat emisi bahan kimia, diatasi dengan mengkondisioningkan sampel sebelum
diumpankan pada rayap, akan tetapi kemungkinan bahan tersebut masih menyebabkan bau
yang tidak disukai rayap adalah sangat mungkin, sehingga rayap akan mati karena tidak ada
bahan/subtrat yang dapat dimakan, selain itu juga kayu modifikasi karena mempunyai
polimer loading yang cukup tinggi akan menyebabkan kau menjadi cukup keras dan rayap
tidak dapat leluasa untuk memakannya dan akhirnya mati .
Karet 100 - - -
A1 (Jabon Merah) 47 0.66 3.6 8.56
A2 84 7.5 6.1 0.56
Persentase derajat serangan pada Jabon merah modifikasi sekitar 0.66- 8.56 %
dibandingkan kayu kontrol jabon merah sebesar 47 %, berarti modifikasi pada Jabon merah
menurunkan derajat serangan yang cukup signifikan, Komposisi perlakuan yakni dosis MMA
juga menunjukan pengaruh yang nyata yakni pada dosis MMA yang tinggi derajat serangan
lebih rendah. Akan tetapi pada Jabon putih dosis MMA justru terjadi hal yang sebaliknya,
sehingga dosis MMA bisa dianggap bukan sebagai faktor penentu. Ada kemungkinan arah
pemotongan kayu mempengaruhi sifat kekerasan kayu yang pada pengamatan ini tidak
dibedakan.
Hasil kompilasi penurunan berat dan derajat serangan menentukan score yang
menjadi dasar penentuan kelas awet kayu atau ketahanan kayu terhadap serangan rayap,
nilai total yang diperoleh mengklasifikasikan kayu modifikasi jabon merah dan putih ke dalam
kelas ketahanan I- II yakin kayu yang tahan sampai sangat tahan terhadap serangan rayap
tanah karena nilai persetase penurunan berat berkisar antara 0.66- 7.26 %. Peningkatan
yang cukup signifikan pada kayu jabon putih dari kelas awet V menjadi kelas awet I-II, juga
kayu jabon merah dari kelas awet IV menjadi I-II.
Perbedaan konsentrasi dari campuran styrene dengan MMA dengan inisiator Mepoxe
untuk pengujian keawetan kayu tidak berpengaruh nyata, sehingga konsentrasi MMA bisa
saja kita gunakan pada dosis yang rendah , karena harganya relatif cukup mahal.
Karet - - - -
A1 - 47.41 51.28 60.88
A2 - 75 100.89 143.66
539
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Jika kita hubungkan antara besarnya polimer loading dengan derajat serangan
sepertinya tidak terjadi hubungan yang signifikan ,akan tetapi konsentrasi MMA dalam
larutan polimer mempunyai peran terhadap besarnya presentase derajat serangan dengan
kata lain konsentrasi MMA dalam larutan polimer mampu membuat WPC lebih tahan
terhadap serangan rayap , tetapi masih dalam kategori kelas ketahanan I-II. Sedangkan
berdasarkan penurunan berat dengan besarnya polimer loading menunjukan hubungan
yang cukup erat,yakni presentase peningkatan polimer loading menyebabkan meningkatnya
presentase penurunan berat pada masing-masing perlakuan.
DAFTAR PUSTAKA
Aikfei Ang, Zaidon Ashaari , Edi Suhaimi Bakar & Mohd Hamami Sahri, 2009. Enhancing the
Properties of Mahang (Macaranga spp.) Wood through Acrylic Treatment in
Combination with Crosslinker .Faculty of Forestry, Universiti Putra Malaysia 43400,
Serdang, Selangor, Malaysia
Baki, H., Yalcin, O., Hakki, A., 1993. Improvement of wood properties by impregnation with
macromonomeric initiators. J. Appl. Polym. Sci. 47, 1097.
Devi, R.R., Ali, I., and Maji, T.K. 2003. Chemical modication of rubber wood with styrene in
combination with a crosslinker: eect on dimensional stability and strength property.
Bioresource Technology 88 (2003) 185188.
Yildiz, U.C., S. Yildiz, and E.D. Gezer. 2005. Mechanical properties and decay resistance of
woodpolymer composites prepared from fast growing species in Turkey.
Bioresource Technology 96 (2005) 10031011.
Hill, C.A.S. 2006. Wood Modification: Chemical, Thermal and Other Processes. John Wiley
& Sons Ltd, The Atrium, Southern Gate, Chichester, West Sussex PO19 8SQ,
England.
Hadi.Y.S., Mats Westin, E.Rasyid, 2005., Resistance of furfurylated wood to termite attack.
Forest Product Journal Vol.55 No.11 p : 85-88 .
Hadi . Y. S . Nurwati Hadjib., Jasni , 2002., Resistance of Polystyrene wood to marine borer
and subteranean termite. Proceedings of the Sixth Pasific Rim Bio-Based
Coposites Symposium and Pre-symposium Workshop on Chemical Modification of
cellulosics. Portland, Oregon State University, USA, 10-13 Nov. 2002, p:528-534.
Hadi, Y.S., D.S.Nawawi , E.N. Herliyana, M. Lawniczak, 1998. Polystyrene poland woods
resistance to biodegradation. Forest Product Journal Vol.48 (9): 60-62
Kartal.S.N., T. Yoshimura, Y.Imamura., 2003, Decay and Termite resistance of boron-treated
and chemically modified wood by in situ co-polymerizatio of allyl glycidyl ether (AGE)
with Methyl methacrylate (MMA). Internatioal Biodeterioration & Biodegradation 53
(2004) 111-117
540
PENGOLAHAN HASIL HUTAN
Rashmi R. Devi, Ilias Ali, T.K. Maji ,2002. Chemical modification of rubber wood with styrene
incombination with a crosslinker: effect on dimensional stability and strength property.
Department of Chemical Sciences, Tezpur University, PO: Napaam, Assam 784028,
India
541
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
ABSTRAK
Tren mode dunia saat ini cenderung mengarah kepada back to nature atau kembali
ke alam, sehingga perkembangan pewarna alami semakin meningkat. Salah satu yang saat
ini diminati adalah pada pewarnaan batik dengan menggunakan pewarna alami. Penelitian
ini mengemukakan tentang pemanfaatan ekstrak daun indigofera sebagai pewarna alami
batik. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui dan memanfaatkan daun indigofera
sebagai penghasil warna batik. Selain itu, juga untuk mengetahui pengaruh variabel-variabel
penelitian terhadap nilai ketahanan luntur serta mengaplikasikan pewarna alami yang
dihasilkan sebagai penyoga batik yang menghasilkan warna biru.
Ekstraksi daun Indigifera tinctoria LINN dilakukan dengan ekstraksi panas
(perebusan) selama 2 jam. Ekstrak yang dihasilkan digunakan sebagai pewarna kain batik.
Variabel yang diteliti berupa konsentrasi bahan pewarna (1 liter air : 5 kg bahan, 1 liter air :
10 kg bahan dan 1 liter air : 15 kg bahan) dan bahan fiksasi pewarna mineral (tawas, kapur)
maupun alami (jelawe). Parameter pengujian yang diteliti adalah kadar ekstraktif daun,
ketahanan luntur warna terhadap keringat asam, ketahanan luntur warna terhadap sinar
matahari, dan ketahanan terhadap pencucian air panas 400C. Dari penelitian ini diharapkan
pewarna alami yang dihasilkan memiliki ketahanan luntur warna yang tinggi dan dapat
digunakan sebagai pewarna batik yang ramah lingkungan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai pengujian ketahanan luntur warna dan
penodaan terhadap keringat asam dan pencucian 40oC serta ketahanan luntur warna
terhadap sinar matahari menunjukkan hasil yang sangat baik (tinggi) yaitu skala 4-5.
Perbedaan konsentrasi dan bahan fiksasi tidak berpengaruh terhadap tiga parameter di atas.
Analisis mengenai kadar total phenol, kadar tanin, kadar flavonoid daun indigofera berturut-
turut adalah 21,35%, 0,67% dan 0,39% sehingga tergolong tinggi. Berdasarkan hasil diatas
dapat disimpulkan bahwa daun indigofera sangat berpeluang untuk dimanfaatkan sebagai
zat pewarna alami.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perkembangan penggunaan pewarna alami sebagai pewarna tekstil belakangan ini
semakin meningkat. Hal tersebut terkait dengan standar lingkungan dan larangan
penggunaan pewarna sintetis yang mengandung gugus azo, seperti di Jerman dan Belanda
yang mensyaratkan penggunaan bahan pewarna tekstil yang ramah lingkungan dan tidak
menghendaki pemakaian pewarna sintetis. Dengan pelarangan penggunaan pewarna
sintetis yang mengandung gugus azo tersebut merupakan moment yang tepat untuk
mengenalkan kembali pewarna alam yang telah lama ditinggalkan.
Penggunaan pewarna tekstil sintetis yang mengandung logam berat akan
menimbulkan dampak lingkungan, antara lain pencemaran tanah, air, udara dan dampak
langsung bagi manusia seperti kanker kulit, kerusakan otak dan lain-lain. Terdapat pewarna
alami pada awal pewarnaan dan proses pewarnaan tidak menggunakan logam berat, besi,
bahan kimia toksin dan garam. Disamping itu bahan pewarna dapat diekstrak dari bagian
542
PENGOLAHAN HASIL HUTAN
tumbuhan hanya memerlukan air sebagai pelarutnya, dan sisa limbah padat yang dihasilkan
dapat didegradasi alam atau dapat digunakan sebagai kompos.
Pewarna alam dapat dihasilkan dari tumbuhan, seperti dari bagian batang, akar,
daun, bunga, kulit batang dan sebagainya. Menurut Heyne (1987) terdapat sekitar 150 jenis
tanaman yang intensif menghasilkan pewarna alam. Warna yang dihasilkan meliputi warna
dasar (merah, biru, kuning) dan warna-warna kombinasi seperti coklat, jingga, dan nila. Dari
keseluruhan jenis tumbuhan yang digunakan sebagai pengahasil zat warna alam, belum
semuanya sudah diuji ketahanan lunturnya.
Pada penelitian ini digunakan daun Indigofera, yang dapat menghasilkan warna biru
indigo (Nila Jawa). Kelemahan dari pewarna alami yaitu ketahanan lunturnya yang lebih
rendah dari pewarna sintetis. Untuk memperoleh ketahanan luntur yang tinggi perlu
dilakukan proses fiksasi (pembangkitan warna) yang bertujuan untuk mempertajam warna
dan supaya tidak mudah luntur.
Dari uraian tersebut, maka dilakukan penelitian berupa usaha pengikatan pewarna
dengan menggunakan bahan fiksasi berupa tawas, kapur dan jalawe. Pemilihan bahan
fiksasi tersebut didasarkan pada sifat zat yang relatif tidak membahayakan lingkungan dan
sering digunakan pada penelitian-penelitian di BBKB. Sebagai bahan pewarna alami
digunakan daun Indigofera dengan cara direndam selama 24 jam dengan mengggunakan
pelarut air. Pada penelitian ini pewarna yang dihasilkan juga akan dicobakan sebagai
pewarna batik dan diuji kualitasnya melalui nilai ketahanan luntur warna yang dihasilkan.
Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah :
1. Memanfaatkan daun Indigofera tinctoria LINN sebagai bahan pewarna alami batik yang
ramah lingkungan.
2. Mengetahui konsentrasi bahan pewarna yang menghasilkan ketahanan luntur warna
yang optimal.
3. Mengetahui bahan fiksasi (tawas, kapur, jelawe) yang menghasilkan ketahanan luntur
warna yang optimal.
4. Mengaplikasikan pewarna yang dihasilkan sebagai penyoga / pewarna batik.
Manfaat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang pewarna alami
dari daun Indigofera sebagai pewarna tekstil/batik sehingga dapat dijadikan pedoman
ataupun pertimbangan bagi pengusaha tekstil/batik atau pengrajin dalam penggunaan
pewarna alam. Disamping itu diharapkan dapat mengurangi penggunaan zat pewarna
sintetis yang mencemari lingkungan.
Prosedur
1. Pembuatan ekstrak pewarna : yaitu dengan daun yang memiliki konsentrasi yang
berbeda , yakni (1:5, 1:10 dan 1:15), dimana 1 kg bahan bahan dengan 5, 10 dan 15 liter
543
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
air. Daun direndam di dalam air sampai larutan berubah menjadi warna biru (kurang lebih
24-48 jam), kemudian disaring larutan pewarna diaduk selama 0,5 jam dengan
menambahkan 30 gram kapur. Setelah menjadi pasta, ditambahkan kapur dan gula aren
dengan perbandingan 1:1, campuran larutan ini dibiarkan 10 jam dan larutan siap
digunakan untuk pencelupan.
2. Pewarnaan kain meliputi : pemordanan, penganjian kain, pengecapan kain (pembatikan),
pencelupan dalam pewarna, proses fiksasi (menggunakan tawas, kapur dan jelawe)
dengan konsentrasi masing-masing sebesar 25 g/l, pelorodan dan penjemuran kain.
3. Pengujian : Yaitu pengujian kualitas pewarnaan batik berupa uji Tahan Luntur Warna
Terhadap Keringat Asam, uji Tahan Luntur Warna Terhadap Sinar Matahari, uji Tahan
Luntur Warna Terhadap Pencucian 40C
Analisis Data
Pengujian kualitas pewarnaan batik menggunakan Rancangan Lengkap (CRD).
Faktor yang digunakan yaitu perbedaan konsentrasi dan bahan fiksasi.
Hasil
Pada nilai perubahan ini meliputi pengujian tahan luntur warna terhadap keringat,
sinar matahari dan pencucian (sabun). Secara rinci dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 1. Nilai Perubahan Warna Pengujian Tahan Luntur terhadap Keringat Asam
Keterangan :
F1: Kapur K1: Konsentrasi 1 : 5 Kategori nilai rendah = 1, 1-2, 2
F2: Tawas K2 : Konsentrasi 1 : 10 Kategori nilai sedang = 2-3, 3, 3-4
F3: Jelawe K3 : Konsentrasi 1 : 15 Kategori nilai tinggi = 4, 4-5,5
Tabel 2. Nilai Perubahan Warna Pengujian Sifat Tahan Luntur terhadap Sinar Matahari
544
PENGOLAHAN HASIL HUTAN
Tabel 3. Nilai Perubahan Warna Pengujian Sifat Tahan Luntur terhadap Pencucian 40o
Pada nilai penodaan warna ini meliputi pengujian tahan luntur warna terhadap
keringat asam dan pencucian sabun. Secara rinci dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 4. Nilai Penodaan Warna Pengujian Tahan Luntur terhadap Keringat Asal
Tabel 5. Nilai Penodaan Warna Pengujian Tahan Luntur terhadap Pencucian 40o
545
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
PEMBAHASAN
546
PENGOLAHAN HASIL HUTAN
pewarna alam akan sukar keluar dari pori-pori serat dan akan memperkuat ketahanan
luntur. Lestari (2002) juga menyebutkan bahwa zat warna bejana (misalnya indigo)
merupakan zat warna alam yang memiliki ketahanan luntur warna yang paling unggul jika
dibandingkan dengan zat warna mordan, direk maupun zat warna basa/asam.
KESIMPULAN
1. Daun Indigofera mempunyai peluang yang sangat baik untuk digunakan sebagai zat
pewarna alami khususnya untuk batik.
2. Hasil pengujian kualitas pewarnaan meliputi nilai penodaan dan perubahan warna uji
tahan luntur warna terhadap keringat asam, cahaya matahari dan pencucian
menunjukkan hasil yang sangat baik (tinggi).
3. Perbedaan konsentrasi dan bahan fiksasi tidak mempengaruhi kualitas pewarnaan.
4. Perbedaan bahan fiksasi hanya akan mempengaruhi hasil warna akhir dari batik
DAFTAR PUSTAKA
547
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
______, 2010. Standar Industri Indonesia. Cara Uji Tekstil. SNI ISO 105-A02-2010. dan SNI
ISO 105-A03-2010. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Industri Tekstil.
Bandung.
Hasanudin dan Widjiati. 2002. Penilaian Proses Pencelupan Zat Warna Soga Alam Pada
Batik Kapas. Departemen Perindutsrian dan Perdagangan Republik Indonesia. Balai
Besar Penelitian dan Pengembangan Industri Kerajinan Batik. Yogyakarta.
Her dan Eka, 2002. Teknologi Pewarna Alam. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan
Industri Kerajinan dan Batik. Yogyakarta.
Heyne, 1987. Tumbuhan Berguna di Indonesia Jilid I. Badan Litbang Kehutanan.
Departemen Kehutanan. Jakarta.
Lestari, K., 1999. Proses Ekstraksi dan Pudarisasi Bahan Pewarna Alam. Makalah Seminar
Revival of Natural Colors. Departemen Perindustrian dan Perdagangan. Yogyakarta.
_________, 2002. Promosi Dagang, Industri dan Investasi Melalui Workshop Pewarnaan
Batik Kria Tekstil (Tekstil Kerajinan Tenun) Dengan Zat Warna Alam. Departemen
Perindutsrian dan Perdagangan Republik Indonesia. Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Industri Kerajinan Batik. Yogyakarta.
Martono, Z.M., dan Retnowati T.H., 2007. Pengembangan Desain Kerajinan Serat Alami
Dengan Pewarna Alami. Laporan Hasil Penelitian. Fakultas Bahasa dan Seni.
Universitas Negeri Yogyakarta.
Sulaiman, Riyanto, Mudjini dan Widjiwati., 2000. Peningkatan Ketahanan Luntur Zat Warna
Alam dengan Cara Penerjaan Iring. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan
Industri Kerajinan dan Batik. Yogyakarta
548
PENGOLAHAN HASIL HUTAN
ABSTRAK
Hutan tanaman Industri (HTI) dikembangkan untuk meningkatkan pasokan kayu yang
semakin menurun seiring dengan makin menurunnya kemampuan produksi dari hutan alam.
Dalam pengelolaannya, pada waktu-waktu tertentu dilakukan penjarangan pada tanaman
HTI untuk diperoleh pertumbuhan optimal. Kayu hasil penjarangan HTI memiliki diameter
kecil, menghasilkan papan gergajian dengan ukuran sempit, sehingga menjadi terbatas
dalam penggunaannya. Untuk meningkatkan pemanfaatannya, kayu gergajian tersebut
dapat dibuat menjadi papan sambung. Makalah ini menyajikan hasil penelitian tentang
pembuatan papan sambung dari kayu damar (Agathis loranthifolia) dan leda (Eucalyptus
deglupta Bl.) hasil penjarangan HTI.
Hasil penelitian menunjukkan dimensi dolok kayu dammar adalah rata-rata panjang
432 cm, diameter 22,8 cm, kebundaran 88 cm dan taper 2,2 cm/m. Dimensi dolok kayu leda
adalah rata-rata panjang 306 cm, diameter 20,2cm, kebundaran 74 cm dan taper 2,5 cm/m.
Rendemen penggergajian kayu damar dan leda masing-masing 53,9% dan 50,59%.
Rendemen bilah untuk bahan papan sambung kayu damar dan leda masing-masing 52,43%
dan 49,90%. Papan sambung yang dibuat dari kayu damar, leda dan campuran keduanya,
hanya yang dari kayu damar saja yang memenuhi syarat Standar Indonesia untuk kayu
bangunan non struktural.
Kata kunci : Hutan Tanaman Industri, rendemen, mutu, papan sambung, Standar Industri
Industri
PENDAHULUAN
549
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Bahan
Dalam penelitian ini digunakan dua jenis kayu dari hasil penjarangan Hutan Tanaman
Industri (HTI) yaitu kayu damar (Agathis loranthifolia) dan kayu leda (Eucalyptus deglupta).
Diameter untuk kayu damar berkisar antara 20 cm sampai dengan 25 cm atau rata-rata 23
cm dengan panjang berkisar antara 350 cm sampai dengan 480 cm atau rata-rata 432 cm.
Diameter untuk kayu leda berkisar antara 19 cm sampai dengan 22 cm atau rata-rata 20 cm
dengan panjang berkisar antara 285 cm sampai dengan 325 cm atau rata-rata 306 cm.
Jumlah contoh dolok adalah 10 batang. Keadaan dolok secara umum bermutu cukup baik,
hanya pada beberapa dolok kayu leda ditemukan adanya tegangan tumbuh. Ukuran dan
keadaan dolok contoh disajikan pada Tabel 1.
Metode
Semua dolok digergaji dengan menggunakan pola penggergajian satu sisi terus
menerus (live sawing) dengan menggunakan gergaji utama (band saw) dan gergaji
pembantu (band resaw). Tebal basah papan gergajian adalah 3 cm. Papan gergajian
selanjutnya dikeringkan secara alami sampai mencapai kadar air 12%, kemudian diketam.
Papan sempit hasil pengetaman kemudian digergaji ulang (ripping) untuk dijadikan
bilah yang bebas cacat dengan ukuran tebal 2,5 cm, lebar 5 cm dan panjang 30 cm. Sebagai
bahan pembuatan papan sambung, bilah diserut untuk mendapatkan lebar dan tebal yang
seragam. Selanjutnya bilah siap untuk dibuat papan sambung dengan cara direkat sisi ke
sisi dan ujung ke ujung. Sambungan sisi menggunakan tipe sambungan tegak, sedangkan
sambungan ujung menggunakan tipe sambungan jari. Perekat yang digunakan adalah
polivinil asetat (PVAc) dengan berat labor 200 g/m2. Setelah perekat dilaburkan, dilakukan
pengempaan dingin selama 24 jam dengan tekanan kempa sebesar 10 kg/cm2. Papan
sambung yang dibuat berukuran panjang 30 cm, lebar 5 cm dan tebal 2,5 cm, kemudian
diratakan lebarnya sehingga menjadi 4,8 cm dan panjang tetap 30 cm.
550
PENGOLAHAN HASIL HUTAN
Respon yang diamati dalam proses penggergajian dan proses pembuatan bilah
adalah rendemen penggergajian dan rendemen bilah. Sedangkan pada papan sambung
respon yang diamati adalah perubahan dimensi berupa melengkung (crooks) dan mencawan
(cupping). Cara pengukurannya adalah dengan menarik seutas benang dari sisi pinggir yang
merupakan ujung dari arah penyimpangan bentuk. Besar perubahan dimensi melengkung
dan mencawan diukur dengan jarak antara permukaan papan pada titik tengah benang
dengan benang. Nilai mencawan adalah jarak antara permukaan papan pada titik tengah
benang dibagi dengan lebar papan dikali 100%. Nilai melengkung adalah jarak antara
permukaan pinggir papan pada titik tengah benang dibagi dengan panjang dikali 100%.
Pengolahan Data
Rendemen penggergajian dihitung dengan membagi volume papan gergajian dengan
volume dolok, rendemen bilah dihitung dengan membagi volume bilah dengan volume dolok.
Dari data rendemen tersebut kemudian dihtung rata-ratanya untuk setiap jenis kayu.
Sedangkan hasil pengamatan terjadinya perubahan dimensi pada semua contoh uji papan
sambung dikumpulkan, kemudian dihitung rata-rata persentasenya untuk setiap jenis kayu.
Nilai persentase tersebut kemudian dibandingkan dengan Standar Indonesia mengenai Mutu
Bangunan (Anonim,2000) untuk mengetahui apakah nilai perubahan dimensi yang terjadi
pada papan sambung masing-masing jenis kayu tersebut memenuhi syarat atau tidak
sebagai bahan bangunan non structural.
Untuk mengetahui pengaruh jenis kayu dan campurannya terhadap sifat papan
sambung dilakukan uji sidik ragam. Pengolahan data dilakukan dengan bantuan program
Minitab (Hendradi, 2006).
551
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Tabel 3. Nilai mencawan dan melengkung papan sambung kayu damar, leda
dan campuran damar dan leda
Pada table 3 tampak bahwa terjadinya mencawan pada kayu damar berkisar antara
0,00% sampai dengan 0,60% atau rata-rata 0,36%, pada kayu leda berkisar antara 2,30%
sampai dengan 4,00% atau rata-rata 3,46% dan pada campuran damar dan leda berkisar
antara 1,60% sampai dengan 3,30% atau rata-rata 2,66%. Hasil sidik ragam menunjukkan
ada pengaruh nyata jenis kayu terhadap perubahan dimensi mencawan. Terdapat
552
PENGOLAHAN HASIL HUTAN
perbedaan sangat nyata nilai mencawan antara papan sambung kayu damar dengan kayu
leda dan campuran kayu damar dan leda (Tabel 4 dan 5).
Pembuatan papan sambung dari campuran kayu damar dan leda dapat menurunkan
terjadinya perubahan dimensi mencawan dibandingkan bila papan sambung dibuat hanya
dari kayu leda. Mendacu kepada persyaratan Mutu Kayu Bangunan Standar Nasional
Indonesia (Anonim,1981) untuk kayu bangunan non structural, di mana cacat bentuk yang
diperkenankan untuk perubahan dimensi mencawan papan sambung adalah di bawah 1
persen, maka papan sambung yang dibuat dalam penelitian ini hanya dari kayu dammar saja
yang memenuhi syarat.
Melengkung
Hasil pengujian perubahan dimensi melengkung pada papan sambung kayu damar,
leda dan campuran damar dan leda disajikan pada Tabel 3. Pada table 3 tampak bahwa
terjadinya melengkung pada kayu damar berkisar antara 0,00% sampai dengan 1,60% atau
rata-rata 0,85%, pada kayu leda berkisar antara 1,30% sampai dengan 1,60% atau rata-rata
1,47% dan pada campuran damar dan leda berkisar antara 0,30% sampai dengan 1,60%
atau rata-rata 1,10%. Hasil sidik ragam menunjukkan tidak ada pengaruh nyata jenis kayu
terhadap perubahan dimensi melengkung. (Tabel 4).
Pembuatan papan sambung dari campuran kayu damar dan leda ternyata juga dapat
menurunkan terjadinya perubahan dimensi melengkung dibandingkan bila papan sambung
dibuat hanya dari kayu leda saja. Mengacu kepada persyaratan Mutu Kayu Bangunan
Standar Nasional Indonesia (Anonim,1981)untuk kayu bangunan non structural, di mana
cacat bentuk yang diperkenankan untuk perubahan dimensi melengkung papan sambung
adalah di bawah 1 persen. Dengan demikian papan sambung yang dibuat dalam penelitian
ini hanya dari kayu dammar saja yang memenuhi syarat.
Perubahan dimensi baik mencawan maupun melengkung pada papan sambung dari
kayu dammar lebih rendah disbanding kayu leda dan campuran kayu dammar dan leda. Hal
ini diduga karena kayu dammar mengalami kembang susut yang lebih kecil disbanding leda.
Hasil penelitian Karnasudirdja dan Sarwono (1987) menyatakan bahwa kembang susut
sampai kering udara pada kayu dammar adalah radial berkisar 1,833 2,287 dan tangensial
berkisar 3,369 5,606; sedangkan pada kayu leda adalah radial berkisar 3,97 4,48 dan
tangensial 6,31 6,72.
Tabel 4. Sidik ragam nilai mencawan dan melengkung pada papan sambung kayu
damar, leda dan campuran damar dan leda
2. Melengkung
Jenis kayu 2 0,486 0,169
Galat 12 0,275
Jumlah 14
553
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Tabel 5. Hasil uji beda nyata jujur pengaruh jenis kayu terhadap perubahan dimensi
mencawan pada papan sambung kayu damar, leda dan campuran damar dan leda
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 1981. Mutu Kayu Bangunan. Standar Industri Indonesia (SII) 0458-81. Departemen
Perindustrian, Jakarta.
_____2008a. Statistik Indonesia. Biro Pusat Statistik. Jakarta.
_____. 2008b. Statistik Kehutanan Indonesia. Departemen Kehutanan. Jakarta
_____. 2009. Eksekutif Data Strategis Kehutanan. Departemen Kehutanan. Jakarta
Haygreen, J.G. and J.L Bowyer. 1982. Forest Products and Wood Science. First Edition. The
Iowa State University Press. Ames
Hendradi, T.C. 2006. Statistik Six Sigma dengan Minitab. Panduan Cerdas Inisiatif Kualitas.
ANDI OFFSET. Yogyakarta.
Karnasudirdja, S. dan E. Sarwono. 1987. Sifat dan Kegunaan Kayu Leda. Diskusi Hutan
Tanaman Industri. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor
Steele, P.H. 1984. Factors Determining Lumber Recovery Sawmilling. Gen. Tech. Rep. FPL-
39. U.S. Department of Agriculture, Madison.
554
PENGOLAHAN HASIL HUTAN
Edi Sarwono
Pustekolah Hasil Hutan, Bogor
(e mail : daisarwon126 @ yahoo.com)
ABSTRAK
Hutan rakyat (HR) yang telah diusahakan sejak lama, ternyata terbukti tidak hanya
bermanfaat bagi pemiliknya saja akan tetapi juga terhadap masyarakat dan lingkungan
sekitarnya, dengan menganut azas pengelolaan hutan sistem tebang butuh, yang secara
kompartemen pengusahaan dapat dikatakan lestari. Prospek tanaman penghijauan cukup
cerah, namun sifat-sifat kayu yang dimilikinya dari hasil tebangan tanaman mudanya
ternyata sebagian kurang menguntungkan seperti mudahnya terserang blue stain, dolok
bengkok, kadar air tinggi. Sementara konsumen kayu gergajian menghendaki agar kayu
yang dihasilkan dari kilang-kilang penggergajian mempunyai kualitas kayu gergajian yang
menguntungkan di pasaran.
Tulisan ini menyajikan upaya penulis untuk meningkatkan kualitas tersebut di atas
yaitu dengan cara menggergaji doloknya dalam keadaan kering (SDR). Beberapa contoh
dapat ditemui selama proses penggergajian seperti cacat bentuk melengkung, membusur
dan menggelinjang, tetapi hasil yang diperoleh dari penelitian ini menunjukkan bahwa
penggergajian kering sangat layak diterapkan di kilang penggergajian dengan sasaran
memperoleh papan-papan kayu gergajian yang berkualitas tinggi.
Kata kunci : Dolok diameter kecil, penggergajian kering SDR, kualitas kayu.
PENDAHULUAN
Karnasudirdja et.al.1986 menyebutkan bahwa kadar air segar kayu jati Cepu yang
sudah diteres selama dua tahun menurut dapat mencapai 41,7 % dibandingkan dengan
yang tidak diteres 95,8 %. Sedangkan jenis kayu lainnya seperti pinus, maka kadar air dolok
kayu segar pinus tanpa teresan posisi paling bawah 90 cm dari tanah adalah 100% dan yang
ketinggian batang pohon 1020 cm dari tanah bisa lebih dari 150%. Pengaruh ketinggian
dolok dalam pohon pinus ternyata mempunyai pengaruh sangat nyata pada penyusutan
volumetric dari basah-kering tanur dan dari kering udara ke kering tanur, sedangkan
perbedaan umur pada selisih waktu 5 tahun (24; 29; 34 tahun) pada kayu pinus nyata/
sangat nyata terhadap berat jenis basah / kering udara.
Penaksiran besarnya potensi tegakan murni sengon umur 4 tahun sebesar 97,76
m3/ha berdiameter 10-15 cm peninggi 13 17 m, sedangkan tegakan murni mahoni umur 4
tahun sebesar 41,40 m3/ha berdiameter 7 13 cm peninggi 12 - 17 m. Tegakan murni jati
umur 6 tahun sebesar 88,32 m3/ha berdiameter 14 20 cm peninggi 15 17 m. Kontribusi
kayu rakyatnya kepada masyarakat akan memberikan keuntungan terhadap pelaku usaha,
masing-masing : Petani hutan rakyat Rp 317.307/m3, buruh penebang sebesar Rp
15.086/m3, buruh pemikulan Rp 35.000/m3, angkutan Rp 25.000/m3, pengepul/ tengkulak Rp
70.000/m3, dan industri penggergajian Rp 75.000/m3. Dan dengan sebagian besar petani
hutan rakyat menganut azas pengelolaan hutan sistem tebang butuh, yang secara
kompartemen pengusahaannya maka hutan rakyat dapat dikatakan lestari karena setiap
tegakan yang dipanen diikuti dengan penanaman. (Sukanda et al., 2009). Namun upaya
penyempurnaan memproduksi kayu gergajian dari dolok kayu berdiameter kecil dimasa lalu
terkendala karena banyaknya kayu hasil gergajian yang tidak terpakai karena bentuknya
yang mengalami cacat melengkung, membengkok dan menggelinjang/ memuntir.
555
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
556
PENGOLAHAN HASIL HUTAN
DAFTAR PUSTAKA
Maeglin R.R, Boone and R.Sidney, 1988. Saw Dry Rip improves quality of random length
yellow poplar 2 by 4s . Res Pap. FPL-RP 480. Madison , Wis.US Dept of Agriculture,
Forest Service. Forest Products Laboratory. 15 p.
Northern Hardwood and Pine. 1978. Standard grading rules. Chicago, Il. Northern Hardwood
and Pine Manufactuers Assoc. 125 p.
Sukanda, Sona S dan Yuniawati, 2009. Praktek pemanenan lestari di hutan rakyat sebagai
upaya peningkatan perekonomian masyarakat pedesaan. Laporan penelitan /
perekayasaan. Pusat Litbang Hasil Hutan, Bogor. (tidak dipublikasikan)
Suparman K dan E.Sarwono, 1989. Pengaruh umur dan posisi dalam pohon terhadap
beberapa sifat fisis kayu tusam. Jurnal Penelitian Hasil Hutan Vol.6 No.1 Pusat
Litbang Hasil Hutan. Bogor pp 40-47.
557
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
ABSTRACT
Neem, Azadirachta indica A. Juss has been widely used as bio-pesticide. Neems are
a native tree from south East Asia which contains a natural chemical called Azadirachtin. As
biopesticide, neem extracts do not kill pest in immediately, they works as feeding deterrent
and also change the life cycle of insect and then led to died of insects. Preliminary research
on efficacy of neem against subterranean termite (Coptotermes gestroi) was conducted and
the results showed that 10% (w/v) neem extracts gave 100% termite mortality on day 6 while
the others (5% and 7,5% (w/v) gave on day 8 (Setiawan et al., 2011). In this study, targeted
formulations are emulsifier concentrate bio-pesticide. The formulations consist of
azadirachtin as active ingredient, Geronol BC/5 dan Rhodacal 70 B/C as surfactant, p.
Xylene as thinner and ethanol used as solvent. Physical properties of biopesticide
formulations such as color, smell, density, thickness, pH, corrosion level and expired date
are tested. After we get a biopesticide formulations, termite bioassay of this formulation
conducted in laboratory according to Japan Industrial Standard (JIS) K 1571 2004. In termite
bioassay, samples which are treated with 7,5% and 10% (w/v) neem-based formulation gave
100% termite mortality just after 6 days test periode. This results indicated that the efficacy of
neem-based formulation has termicide activity towards Subterranean termite (C. gestroi) is
higher than neem extract.
PENDAHULUAN
Tanaman Nimba (Azadirachta indica) telah sangat populer di seluruh dunia sejak
Azadirachtin A pertama kali diisolasi oleh Morgan (Butterworth and Morgan, 1968; 1972).
Senyawa Azadirachtin merupakan senyawa tetranortriterpenoid, yang mudah teroksidasi dan
memiliki gugus decalin serta furan yang dihubungkan oleh ikatan tunggal antara C-8 dan C-
14 (Mahadik, 2005). Banyak produk bio-pestisida yang berasal dari biji dan atau bagian lain
dari tanaman A. indica. Hal ini dikarenakan produk nimba memiliki low toxic terhadap
burung, ikan ataupun hewan mamalia lain dan tidak bersifat resistent dikarenakan cara
kerjanya terhadap serangga. Biji A. indica mengandung hampir 99 senyawa aktif, dengan
azadirachtin, nimbin, nimbidin dan nimbolides sebagai senyawa utama. Produk derivat
senyawa tersebut memiliki sifat anti-feedant, dan penghambat pertumbuhan beberapa
serangga hama pada tingkat konsentrasi ppm (Schmutterer, 1995). Oleh karena itu,
Azadirachtin sebagai bahan aktif alami telah dipromosikan sebagai bahan bio-pestisida baru
yang lebih ramah lingkungan daripada senyawa sintetik.
Di Indonesia, penelitian mengenai isolasi senyawa aktif dari A. indica telah banyak
dilakukan. Akan tetapi, hanya sedikit yang mengulas lebih dalam mengenai formulasi bio-
pestisida. Dari serangkaian penelitian sebelumnya, telah ditemukan berbagai jenis ekstrak
alam yang efektif terhadap rayap tanah, seperti Bintaro (Carbera odollam Gaertn dan
Carbera manghas L), Kecubung (Brugmansia candida Pers), Antiaris toxicaria, Nimba
(Azadirachta indica), Sirih (Piper betel L), Srikaya (Annona squamosa L), Sirsak (Annona
muricata l), Tembakau (Nicotiana tabacum), Pinang (Areca catechu L), Keluek (Pangium
558
PENGOLAHAN HASIL HUTAN
edule R), Saga (Abrus Precatorius L), Cengkeh (Eugenia caryophyllata Tumberg), Cengkeh
(Syzygium aromaticum L), Picrasma javanica, Kemukus (Piper cubeba L), dan Serai
(Cymbopogon winterianus Jowitt) (Tarmadi, et al., 2010). Berdasarkan ketersediaan bahan
dan proses isolasinya, A. indica merupakan ekstrak bahan alam yang berpotensi untuk
dikembangkan lebih lanjut. Sehingga pada penelitian ini, akan dibahas mengenai formulasi
bio-pestisida berbahan dasar azadirahtin yang diisolasi dari biji A. indica dan menguji
aktifitasnya terhadap rayap tanah, C. gestroi. Hasil yang diperoleh pada penelitian ini
diharapkan dapat menjawab kebutuhan bio-pestisida yang efektif dan ramah lingkungan
serta memiliki nilai ekonomis.
METODE PENELITIAN
559
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
HASIL PEMBAHASAN
560
PENGOLAHAN HASIL HUTAN
Gambar 1. Persentase kematian rayap tanah (C. gestroi) Vs perlakuan formulasi bio-
pestisida berbahan minyak biji nimba.
Kematian rayap tanah 100% pada perlakuan formulasi biopestisida berbasis nimba
terjadi pada konsentrasi 7,5% dan 10% setelah hari ke-8. Sedangkan konsentrasi kurang
dari 7,5% baru mencapai kematian rayap tanah 100% di akhir penelitian. Hal ini
menunjukkan zat aktif Azadirachtin bersifat low toxic. Dibandingkan dengan uji efikasi
ekstrak biji nimba, aktifitas termisidada formulasi berbasis nimba lebih besar dua kali.
Persentase kematian rayap tanah pada konsentrasi 10% di akhir pengujian adalah sebesar
52,67%, sedangkan pada formulasi biopestisida kematian rayap tanah mencapai 100%
(Tabel 2.). Peningkatan aktifitas tersebut dikarenakan adanya sinergis antara bahan aktif
azadirachtin dengan zat-zat pendukung lainnya dalam formulasi biopestisida. Sebagai
bentuk EC (Emulsifiable Concentrate), formulasi biopestisida minyak biji nimba ini telah
dengan baik mereduksi ukuran partikel sehingga tercampur sempurna dalam pelarut air dan
merata dipermukaan air. Penyebaran partikel tersebut dimungkinkan telah meningkatkan
efektifitas formulasi biopestisida terhadap serangan rayap tanah (Dua et al., 2009).
561
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Selain variabel kematian rayap tanah akibat perlakuan formulasi biopestisida, pada
uji force feeding test ini juga diketahui persentase kehilangan berat sampel. Hal ini bertujuan
untuk mengetahui pengaruh perlakuan formulasi biopestisida terhadap tingkat konsumsi
rayap tanah.
562
PENGOLAHAN HASIL HUTAN
dibandingkan dengan perlakuan formulasi ataupun ekstrak. Hal ini, menunjukkan aktifitasnya
lebih tinggi dibandingkan keduanya. Akan tetapi, pemakaian senyawa kimia sintetik secara
terus menerus dapat mengakibatkan sifat resistent terhadap serangga hama target,
terbunuhnya serangga atau hewan bukan target serta mengakibatkan pencemaran terhadap
lingkungan akibat tidak terurainya senyawa kimia sintetik tersebut. tidak ramah lingkungan.
Nilai LD50 oral toxic dan LD95 dermal toxic untuk Thiacloprid adalah sebesar 836
mg/kg Berat badan (BB) dan >2000 mg/kg BB dan senyawa aktif Azadirachtin adalah
sebesar >5000 mg/kg BB dan tak terhingga. Hal ini menunjukkan sifat azadirachtin sebagai
low toxic yang efektif terhadap serangga target C. gestroi dan ramah lingkungan. Oleh
karena itu formulasi minyak biji nimba ini sangat berpotensi sebagai alternatif bio-pestisida
yang ramah lingkungan, walaupun bersifat low toxic jika dibandingkan dengan pestisida
sintetik.
KESIMPULAN
ACKNOWLEDGEMENT
DAFTAR PUSTAKA
Butterworth, J.H., Morgan, E.D. 1968. J Chem Soc Chem Commun. 23-24
Butterworth, J.H., Morgan, E.D. 1972. J Insect Physiol 17:969-977.
Dimetry, N.Z., S. El-Gengaihi, dan A.S. Reda.1992. Biological Effect of some isolated from
Abrus precatorius L. alkaloids towards Tetranychus urticae K. National Research
Centre, Dokki, Cairo, Egypt; Dept. of Plant Protection1; Pharm. Sci. Dept. 2
Dua, V.K., Pandey, A.C., Raghavendra, K., Gupta A., Sharma, T., Dash, A.P. 2009.
Larvicidal activity of neem oil (Azadirachta indica) formulation against mosquitoes.
Malaria Journal. 2009, 8:124
Mahadik, K.R., Agrawal, H., Kaul, N., Paradkar, A.R. 2005. Standardization of Crude Extract
of Neem Seed Kernels (Azadirachta indica A. Juss) and Commercial Neem Based
Formulations using HPTLC and Extended Lenght Packed-Coloums SFC Method.
Chromatographia 2005, 62, 183-195.
Schmutterer, H. 1995. Insecta, Insects in the Neem Tree (H. Schmutterer, ed.) VCH,
Weinheim, 167-365.
Setiawan, K.H., Tarmadi, D., Ismayati, M., Yusuf, S. 2011. Efficacy Test of Azadirachtin
isolated from Azadirachta indica A. Juss. against subterranean termite, Coptotermes
gestroi. Prosiding Seminar Nasional Kimia V. UII-Jogjakarta, 6 Juli 2011. Hal. 42-45
Tarmadi, D., Setiawan, K.H., Ismayati, M., Yusuf, S. 2010. Evaluasi Ekstrak Bahan Alam
Pada Perlakuan Tanah (Soil treatment). Laporan Teknik 2010. Penelitian dan
Penguasaan teknologi. UPT. Balitbang Biomaterial-LIPI. Un-published
563
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
ABSTRAK
Saat ini pemerintah Kalimantan Selatan dan perusahaan HTI di Kalimantan sudah
mulai menggalakkan penanaman kayu Ulin (Eusideroxylon zwageri T. et B.) pada hutan
tanaman guna mengantisipasi kepunahan dan keberlangsungan tetap tersedianya Ulin di
pasaran. Penelitian ini menggunakan kayu Ulin yang berasal dari hutan tanaman di
Kalimantan Selatan dengan umur 39 tahun (diameter 30 cm) dan umur 26 tahun (diameter
16 cm). Sebagai kontrol digunakan Pinus merkusii. Jenis rayap tanah yang digunakan
adalah Coptotermes curvignathus Holmgren. Metode pengujian mengacu pada prosedur dari
Standar Nasional Indonesia (SNI) 01.7207-2006 untuk uji laboratorium dan standar
American Society for Testing and Material (ASTM) D 1758-06 untuk uji lapang. Parameter
yang dilihat adalah nilai kehilangan berat, mortalitas rayap tanah dan tingkat kerusakan
contoh uji. Hasil penelitian menunjukkan bahwa umur kayu Ulin berpengaruh nyata terhadap
kehilangan berat contoh uji. Berdasarkan SNI 01.7207-2006, hasil pengujian laboratorium
menunjukkan bahwa nilai rata-rata kehilangan berat kedua umur contoh uji masih dibawah
3,52% dan diklasifikasikan kedalam kelas awet I. Berdasarkan penilaian secara visual pada
contoh uji kayu Ulin di lapang, tidak terjadi kerusakan yang berarti karena tidak ditemukan
bekas gigitan rayap tanah. Berdasarkan ASTM D 1758-06, kedua umur contoh uji termasuk
dalam nilai 10. Hal ini menunjukkan bahwa kayu Ulin memiliki ketahanan yang baik terhadap
serangan rayap tanah meskipun berasal dari hutan tanaman yang berumur lebih muda, yaitu
26 dan 39 tahun. Berbeda dengan contoh uji kontrol, dimana contoh uji diserang rayap
dengan nilai klasifikasi ASTM D 1758-06 adalah 4. Hasil identifikasi bahwa jenis rayap yang
menyerang adalah Macrotermes gilvus dan Schedorhinotermes javanicus.
PENDAHULUAN
Kayu Ulin (Eusideroxylon zwageri T. et B.) telah lama dikenal memiliki mutu yang
tinggi, tahan terhadap serangan rayap dan berbagai kondisi alam, namun daya regenerasi
dan pertumbuhannya sangat lambat. Semakin gencarnya permintaan akan kebutuhan kayu
Ulin maka keberadaan jenis ini di hutan alam mulai terancam. Saat ini pemerintah
Kalimantan Selatan telah menggalakkan penanaman kayu Ulin pada hutan tanaman. Sejak
tahun 2007 lalu pihak Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan dan perusahaan HTI
di Kalimantan sudah mulai membudidayakan Ulin guna mengantisipasi kepunahan dan
keberlangsungan tetap tersedianya Ulin di pasaran. Pada hutan alam, pohon Ulin yang
ditebang biasanya pohon yang berdiameter 60-80 cm, sedangkan pada lahan budidaya
biasanya penebangan kayu Ulin dilakukan pada pohon yang berdiameter 20-30 cm bahkan
yang baru berdiameter 10 cm pun ikut ditebang. Menurut Heyne (1987), tiap jenis kayu Ulin
memiliki variasi struktur anatomi dan warna kayu yang cukup tinggi. Tetapi sampai saat ini
belum pernah dilakukan penelitian mengenai keawetan alami kayu Ulin yang dihubungkan
dengan umur dan sebagai bahan pertimbangan dalam penurunan umur tebang, maka perlu
dilakukan penelitian mengenai keawetan alami kayu Ulin pada umur yang lebih muda.
Martawijaya (1989) menyatakan bahwa keawetan alami kayu Ulin adalah kelas awet I. Hal
ini berarti kayu Ulin dapat digunakan lebih dari delapan tahun pada penggunaan tanpa
564
PENGOLAHAN HASIL HUTAN
naungan (eksterior) yang dipengaruhi oleh cuaca (panas dan hujan). Semakin
berkembangnya hutan tanaman Ulin, perlu dilakukan penelitian mengenai keawetan alami
kayu Ulin yang berasal dari hutan tanaman pada umur pohon yang lebih muda.
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Kayu Ulin (E. zwageri ), kayu
Pinus (Pinus merkusii), rayap tanah Coptotermes curvignathus Holmgren, air destilata,
alkohol, aluminium foil, dan pasir. Kayu Ulin yang digunakan berasal dari hutan tanaman di
Kalimantan Selatan dengan umur 39 tahun (diameter 30 cm) dan umur 26 tahun (diameter
16 cm). Contoh uji adalah bagian kayu teras dengan ukuran (2,5 x 2,5 x 0,5) cm3 untuk
pengujian laboratorium, sedangkan contoh uji lapang berukuran (20 x 2 x 1) cm3. Alat yang
digunakan adalah kaliper, oven, desikator, timbangan elektrik, botol uji kaca dengan
diameter 7 cm dan tinggi 12 cm, nampan plastik, dan laminar flow.
Uji Laboratorium
Uji laboratorium mengacu pada prosedur dari Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-
7207-2006. Contoh uji berukuran (2,5 x 2,5 x 0,5) cm3 dengan sepuluh kali ulangan. Contoh
uji terlebih dahulu dikeringkan dalam oven pada suhu (60 2) oC sampai beratnya konstan
(B1). Contoh uji kayu, pasir, dan botol uji disterilkan dengan cara dioven pada suhu (60 2)
o
C selama 48 jam, kemudian dilakukan penyinaran di dalam laminar flow dengan sinar UV
selama 48 jam. Selanjutnya contoh uji dengan kadar air kering tanur dan steril tersebut
dimasukkan ke dalam botol uji dengan posisi berdiri dan disandarkan sehingga salah satu
bidang terlebar menyentuh dinding botol uji (Gambar 1). Ke dalam botol uji dimasukkan 200
g pasir dan ditambahkan air sebanyak 50 ml (kadar air pasir 25%) dari sisi berlawanan
dengan contoh uji. Sebanyak 200 ekor rayap tanah C. curvignathus dari kasta pekerja yang
sehat dan aktif dimasukkan ke dalam botol uji, kemudian ditutup dengan aluminium foil yang
telah dilubangi dan diletakkan di ruang gelap (termite room) selama 4 minggu. Setelah 4
minggu botol uji dibongkar dan dilakukan penghitungan rayap yang masih hidup, sedangkan
contoh uji dicuci dan dikeringkan dalam oven pada suhu (60 2) oC sampai beratnya
konstan (B2).
Gambar 1 Pengujian keawetan kayu terhadap serangan rayap tanah berdasarkan standar
SNI 01. 7207-2006.
565
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Kehilangan berat contoh uji dan mortalitas rayap setelah 4 minggu pengumpanan dihitung
menggunakan rumus sebagai berikut:
566
PENGOLAHAN HASIL HUTAN
Gambar 2 Nilai rata-rata kehilangan berat contoh uji kayu Ulin pada uji laboratorium.
Kandungan zat ekstraktif yang terdapat di dalam kayu Ulin yang memiliki daya racun
diduga adalah eusiderin yang jumlahnya berbeda untuk tiap umur kayu. Syafii (2000)
menyatakan bahwa berdasarkan analisis laboratorium, komponen bioaktif yang berperan
dalam keawetan kayu Ulin adalah eusiderin yang termasuk dalam kelas neolignan.
Berdasarkan SNI 01.7202-2006 seperti pada Tabel 1, maka kayu Ulin pada kedua umur
tersebut termasuk dalam kelas awet I (sangat tahan) dengan kehilangan berat kurang dari
3,52%. Sesuai dengan penelitian Wardani & Hadi (2011) yang menyatakan bahwa keawetan
alami kayu Ulin umur 70 tahun (diameter 36 cm) dari hutan alam memiliki kelas awet I
terhadap serangan rayap tanah C. curvignathus. Secara umum dapat dikatakan bahwa
semakin tinggi umur kayu contoh uji, maka kandungan ekstraktifnya semakin banyak
sehingga kehilangan berat contoh uji tersebut semakin kecil. Semakin kecil persentase
kehilangan berat contoh uji menunjukkan bahwa semakin sedikit bagian contoh uji yang
dimakan oleh rayap tanah C. curvignathus. Hal ini mungkin dapat diakibatkan oleh adanya
pengaruh kandungan zat ekstraktif dengan jumlah yang sesuai dengan kondisi yang tidak
disukai oleh rayap sehingga contoh uji yang dimakan oleh rayap sangat sedikit.
567
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Nandika et al. (1996) menyatakan bahwa keawetan alami kayu ditentukan oleh jenis
dan banyaknya zat ekstraktif yang bersifat racun terhadap organisme perusak kayu yang
jumlahnya bervariasi menurut jenis kayu, umur pohon, dan posisi dalam batang. Hal inilah
yang menyebabkan keawetan alami setiap jenis kayu berbeda-beda bahkan pada jenis kayu
yang sama dan pada batang kayu yang sama. Lebih lanjut Wistara et al. (2002) menyatakan
bahwa umumnya semakin tinggi kandungan ekstraktif dalam kayu, maka keawetan alami
kayu cenderung meningkat dan umur kayu memiliki hubungan yang positif dengan keawetan
kayu. Bentuk contoh uji kayu Ulin sebelum dan setelah pengujian laboratorium seperti
terlihat pada Gambar 3.
a a a
b b b
Gambar 3 Contoh uji kayu sebelum (a) dan setelah (b) pengujian laboratorium
Pengujian Lapangan
Berdasarkan penilaian secara visual, contoh uji kayu Ulin tidak mengalami
kerusakan, karena tidak ditemukan bekas serangan rayap tanah, sehingga sesuai dengan
klasifikasi ASTM D 1758-06 pada Tabel 2 kayu Ulin yang berbeda umur ini termasuk dalam
nilai 10 (tidak ada serangan: 1-2 lubang gerek kecil). Hal ini memberikan hasil yang sama
dengan penelitian Wardani et al. (2009) yang menyatakan bahwa kayu Ulin dari hutan alam
yang diuji di lapangan adalah sangat tahan dan tidak ada serangan atau memiliki tingkat
serangan 0%. Berbeda sekali dengan kontrol, dimana contoh uji rusak dan terlihat dengan
jelas serangan rayapnya, dan berdasarkan klasifikasi pada Tabel 2 maka kayu kontrol
masuk dalam nilai 4 (penetrasi mencapai 50-75% dari cross section). Bentuk contoh uji kayu
setelah pengujian lapangan seperti terlihat pada Gambar 4.
568
PENGOLAHAN HASIL HUTAN
Hasil identifikasi jenis rayap yang menyerang contoh uji kayu adalah rayap
Macrotermes gilvus Hagen (Famili Termitidae) dan Schedorhinotermes javanicus Kemner
(Famili Rhinotermitidai) seperti terlihat pada Gambar 5. Ciri rayap tanah M. gilvus adalah
kepala berwarna coklat tua, mandibel berkembang dan berfungsi, madibel kanan dan kiri
simetris dan tidak memiliki gigi marginal. Mandibel melengkung pada ujungnya dan
digunakan untuk menjepit. Ujung dari labrum tidak jelas, pendek dan melingkar. Labrum ini
mempunyai hyalin pada ujungnya. Antena terdiri dari 16-17 ruas. Rayap M. gilvus memiliki
dua jenis kasta prajurit. Sedangkan rayap S. javanicus juga memiliki dua jenis kasta prajurit,
yaitu kasta prajurit yang berukuran besar (major) dan kasta prajurit berukuran kecil (minor).
Karakteristik morfologi kasta prajurit major adalah: kepala berwarna kuning muda, panjang
kepala dengan mandibel 1,47-1,57 mm; lebar maksimum kepala 1,37-1,47 mm; dan jumlah
segmen antena sebanyak 16 segmen. Panjang labrum 0,40-0,45 mm dan lebarnya 0,16-
1,17 mm. Postmentum berukuran panjang 0,47-0,56 mm. Kasta prajurit minor mempunyai
kepala yang berwarna kuning muda dengan panjang kepala beserta mandibel 1,09-1,21 mm,
lebar kepala 1,61-1,66 mm, dan jumlah segmen antena 15 (Tho 1992, Nandika et al. 2003).
569
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Kesimpulan
Pada pengujian terhadap rayap tanah Coptotermes curvignathus Holmgren,
perbedaan umur kayu Ulin (E. zwageri) 26 tahun dan 39 tahun secara statistik berpengaruh
nyata terhadap kehilangan berat contoh uji, namun tidak memberikan perberbedaan
terhadap kelas awet pada kedua umur kayu tersebut. Hal ini berarti kayu Ulin umur 26 tahun
dan 39 tahun yang diperoleh dari hutan tanaman di Kalimantan Selatan mempunyai kelas
awet I (sangat tahan) dan memberikan hasil yang sama dengan kelas awet kayu Ulin dari
hutan alam.
Saran
Saran dari penelitian ini adalah perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk variasi
umur kayu Ulin yang lebih banyak dengan perbedaan umur lima tahun dari berbagai daerah
penghasil kayu Ulin di Kalimantan dan Sumatera. Selain itu juga perlu dilakukan pengujian
sifat anatomi, fisis, mekanis, dan kimia kayu Ulin yang digunakan, serta serta pengujian
ketahanan kayu Ulin terhadap cuaca.
DAFTAR PUSTAKA
[ASTM] American Society for Testing and Materials. 2008. Standard Test Method of
Evaluating Wood Preservatives by Field Test with Stakes. American Society for
Testing and Materials. United States: ASTM D 1758-08.
Heyne K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia Jilid I-IV. Jakarta: Penerjemah Balitbang
Kehutanan.
Martawijaya A, Kartasujana I, Mandang YI, Prawira SA, Kadir K. 1989. Atlas Kayu Indonesia
Jilid II. Jakarta: Departemen Kehutanan.
Nandika D, Soenaryo, Saragih A. 1996. Kayu dan Pengawetan Kayu. Jakarta: Dinas
Kehutanan DKI Jakarta.
Nandika D, Rismayadi Y, Diba F. 2003. Rayap: Biologi dan Pengendaliannya. Surakarta:
Muhamadiyah University Press.
[SNI] Standar Nasional Indonesia. 2006. Uji Ketahanan Kayu dan Produk Kayu terhadap
Organisme Perusak Kayu. Badan Standardisasi Nasional. Jakarta: SNI 01.7207-
2006.
Syafii W. 2000. Sifat Anti Rayap Zat Ekstraktif Beberapa Jenis Kayu Daun Lebar Tropis.
Buletin Kehutanan No. 42/2000. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.
Tho YP. 1992. Termites of Peninsular Malaysia. Forest Research Institute Malaysia, Kepong,
Kualalumpur.
Wardani L, Subari D, Jasni, Hadi YS. 2009. Termite Resistance of Some Woods from
Natural and Plantation Forests in South Kalimantan Indonesia. Proceedings of the 6th
Conference of the Pacific Rim Termite Research Group. 2nd and 3rd March, 2009,
Kyoto, Japan. p. 105-108.
Wardani L, Hadi YS. 2011. Durability of Natural and Cultured Ironwood (Eusideroxylon
zwageri T. et B.) on Subterranean Termite (Coptotermes curvignathus Holmgren).
Proceedings of the 8th Conference of the Pacific Rim Termite Research Group.
Februari 28 & March 1, 2011, Bangkok, Thailand. p. 122-125.
Wistara INJ, Rachmansyah R, Denes F, Young RA. 2002. Ketahanan 10 Jenis Kayu Tropis.
Jurnal Teknologi Hasil Hutan Volume XV. Badan Litbang Kehutanan. Bogor.
570
PENGOLAHAN HASIL HUTAN
ABSTRAK
Meranti merah (Shorea spp) merupakan salah satu jenis kayu tropis basah yang
digunakan sebagai bahan baku industri konstruksi bangunan untuk pasar internasional.
Proses pengolahannya, khususnya pengeringan, telah dilakukan secara moderen, tetapi
belum mengakomodasi sifat spesifik dan dimensi kayu. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui pengaruh penerapan formulasi skedul suhu dan kelembaban menurut metode
Terazawa terhadap karakter pengeringan kayu meranti merah.
Kayu gelondong meranti merah sebanyak 150 m3 dari Pulau Buru digergaji secara
tangensial antara lain menjadi sortimen Casing berukuran tebal 17 mm, lebar 76 mm dan
panjang 4000 mm. Sortimen Casing dipilah secara random menjadi dua kelompok.
Kelompok pertama dikeringkan di dalam tanur pengering konvensional dengan penerapan
skedul suhu dan kelembaban yang dimiliki oleh Industri Perkayuan di Makassar. Kelompok
kedua juga dikeringkan di dalam tanur pengering tersebut, tetapi pengeringannya dilakukan
dengan penerapan skedul suhu dan kelembaban yang dirumuskan menurut metode
Terazawa. Penelitian kadar air dan berat jenis dilakukan menurut standar British, dan
penyusunan skedul suhu dan kelembaban menurut metode Terazawa dilakukan di Lab.
Pengeringan dan Pengawetan Kayu, Fak. Kehutanan UGM. Pengamatan selama proses
pengeringan kayu kelompok pertama dan kelompok kedua dilakukan masing-masing
terhadap 21 contoh uji sortimen dari masing-masing kelompok itu. Parameter pengamatan
meliputi: kecepatan pengeringan, kadar air akhir, penyusutan dan intensitas cacat. Hasilnya
dianalisis dengan Analisis varians.
Hasil penelitian memperlihatkan, bahwa kadar air awal 57,97% dan berat jenis 0,66.
Skedul pengeringan yang dimiliki industri bersuhu 50 s.d 75oC dan kelembaban relatif 84 s.d
22%, sedangkan skedul terazawa bersuhu 50 s.d 77 oC dan kelembaban relatif 81 s.d 21%.
Parameter-parameter penentu karakter pengeringan menurut metode terazawa dan metode
industri secara berurutan adalah laju pengeringan 32,92 dan 18,09%/jam, penyusutan tebal
4,5 dan 5,26%, penyusutan lebar 6,66 dan 7,63%, jumlah retak ujung 0,24 dan 0,86
Dibandingkan dengan pengeringan skedul industri, pengeringan skedul Terazawa
menghasilkan laju pengeringan yang lebih tinggi, durasi pengeringan yang lebih pendek,
penyusutan tangensial dan penyusutan radial serta jumlah retak ujung yang lebih kecil. Hasil
pengeringan dengan skedul terazawa lebih baik daripada skedul industri.
PENDAHULUAN
Kayu meranti merah merupakan salah satu kayu dalam kelompok kelas
Dipterocarpaceae dari 260 jenis kayu unggulan untuk digunakan sebagai bahan baku
industri perkayuan penghasil bahan bangunan untuk perdagangan internasional (Anonimus,
2011). Kayu jenis ini dihasilkan dari hutan tropika Indonesia (Whitmore, 1975), khususnya
dari P. Sumatera, Kalimantan dan Maluku (Soerianegara dan Indrawan, 2005). Kayu
meranti merah dihasilkan dari 22 spesies pohon, antara lain Shorea acuminata dan S.
571
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
uliginosa. Berdasarkan berat jenisnya, kayu meranti merah dikelompokkan menjadi dua,
yaitu meranti merah ringan yang berat jenisnya kuarang dari 0,60 dan meranti merah berat
yang berat jenisnya minimum 0,60. Sampai dengan kadar air 12%, penyusutan radial
berkisar 2,0 3,5% dan tangensial 6,0-7,0% (Martawijaya dkk, 1981).
Hutan hujan tropika di Indonesia, khususnya di .P Sumatra, P. Kalimantan dan P.
Sulawesi pada saat ini mengalami degradasi yang serius sebagai akibat dari manajemen
hutan tropika yang tidak tepat (Anonim, 2011a). Degradasi kondisi hutan di tiga pulau
tersebut berakibat pada pengurangan kemampuannya untuk menyediakan kayu meranti
merah untuk sebagai bahan baku bagi berbagai industri perkayuan nasional. Sebuah unit
industri perkayuan yang relatif besar yang berlokasi di Makasar juga mengalami kesulitan
dalam memenuhi bahan baku. Pada suatu saat, suatu industri kayu yang berlokasi di
Makasar tersebut berhasil membuat persetujuan mengenai transaksi perdagangan kayu
dengan pembeli dari mancanegara, yakni kayu dari jenis meranti merah dengan spesifikasi
sortimen casing dalam kondisi kering oven yang berkadar air maksimal 12%. Sortimen
casing adalah suatu sortimen kayu gergajian yang memiliki dimensi tebal 1,7 cm, lebar 7,6
cm dan panjang 400 cm. Dalam usahanya untuk memenuhi transaksi perdagangan ini,
industri kayu tersebut membeli kayu meranti merah berupa balak yang berasal dari hutan di
P. Buru.
Di dalam rangka menyediakan kayu meranti merah dengan spesifikasi yang
dimaksud, industri kayu tersebut menggergaji balak kayu secara blambangan untuk
mengubahnya menjadi sortimen casing. Kayu gergajian casing ini kemudian dikeringkan di
dalam tanur pengeringan konvensional yang dimilikinya sehingga mencapai kadar air
maksimal 12%. Di dalam proses pengeringannya, industri perkayuan ini menerapkan skedul
suhu dan kelembaban yang dimilikinya. Pengamatan terhadap proses pengeringan yang
diselenggarakan menurut cara yang biasa dilakukan oleh industri kayu tersebut
menghasilkan dua realitas menarik mengenai karakter pengeringan kayu. Pertama,
pengeringan tersebut berlangsung dalam durasi waktu yang sangat lama dan kadar air akhir
kayu kering tidak seragam. Kedua, pengeringan tersebut menghasilkan kayu kering yang
relatif banyak mengalami cacat pengeringan.
Karakter pengeringan kayu sebagaimana disajikan merupakan karakter pengeringan
yang kurang berkualitas. Pengeringan kayu dinyatakan berkualitas bila memenuhi beberapa
kriteria berikut. Pertama, pengeringan berlangsung di dalam durasi waktu yang pendek.
Kedua, kadar air akhir kayu adalah relatif seragam diantara kayu-kayu yang dikeringkan.
Ketiga, penyusutan kayu relatif rendah. Keempat, kayu kering terbebas dari berbagai cacat
pengeringan kayu, baik berupa cacat perubahan bentuk, catat retak, pecah dan terbelah
(Gorisek and Straze, 2007)
Mengingat bahwa pengeringan kayu dilaksanakan di dalam tanur pengering
konvensional yang masih dalam kondisi baru dan standar, maka pengeringan kayu dengan
karakter pengeringan yang demikian ini patut diduga bahwa hal itu disebabkan oleh
penerapan skedul suhu dan kelembaban yang tidak tepat. Skedul suhu dan kelembaban
dinyatakan tidak tepat bila skedul suhu dan kelembaban itu tidak bersesuaian dengan
karakter kayu yang dikeringkan. Dugaan ini didasarkan pada teori yang menyatakan bahwa
skedul suhu dan kelembaban merupakan salah satu faktor utama penentu kualitas proses
pengeringan kayu (Rasmussen, 1961)
Penelitian ini dilakukan untuk mencapai beberapa tujuan. Pertama, untuk menyusun
skedul suhu dan kelembaban berdasarkan metode Terazawa yang diperuntukan bagi
pengeringan kayu meranti merah bersortimen casing yang berasal dari P. Buru. Kedua,
untuk memperbandingkan kualitas proses pengeringan kayu antara pengeringan yang
dilakukan berdasarkan skedul suhu dan kelembaban yang dimiliki oleh industri dan
pengeringan yang dilakukan berdasarkan skedul suhu dan kelembaban yang disusun
menurut metode Terazawa.
572
PENGOLAHAN HASIL HUTAN
Bahan penelitian berupa kayu gelondong (balak) meranti merah yang didatangkan
dari P. Buru dengan jumlah total sebanyak 150 m3. Balak yang berada di suatu industri kayu
di Makassar tersebut digergaji secara belambangan dengan menggunakan gergaji pita,
sehingga diperoleh dua macam kayu gergajian, satu diantaranya adalah sortimen casing
yang memiliki dimensi tebal 1,7 cm, lebar 7,6 cm dan panjang 400 cm.
Tiga buah sortimen casing yang sepenuhnya terdiri atas kayu teras dipilih secara
random dari banyak sortimen casing yang dihasilkan dari penggergajian. Tiga sortimen ini
difungsikan sebagai sample untuk merumuskan skedul suhu dan kelembaban berdasarkan
metode terazawa.. Sortimen-sortimen casing yang lain dipilah menjadi dua kelompok yang
bervolume sama. Kelompok pertama dikeringkan di dalam tanur pengering konvensional
yang dioperasikan berdasarkan skedul suhu dan kelembaban yang dimiliki oleh industri.
Kelompok kedua dikeringkan di dalam tanur pengering yang sama yang dioperasikan
berdasarkan skedul suhu dan kelembaban yang dirumuskan berdasarkan metode terazawa
tersebut.
Masing-masing sortimen casing terpilih secara random itu kemudian digergaji secara
longitudinal pada setiap panjang 50 cm, sehingga diperoleh 8 potongan masing-masing
berukuran panjang 50 cm, lebar 7,6 cm dan tebal 1,7 cm. Dua potongan yang berasal dari
kedua ujung balak, yakni potongan pada bagian pangkal dan bagian ujung, dibuang untuk
menghindarkan pengaruh perbedaan kadar air yang disebabkan oleh penguapan air melalui
bagian ujung. Dengan demikian, diperoleh enam potongan sortimen dari masing-masing
sample. Ke-6 potongan sortimen yang terakhir ini dibungkus plastik secara rapat. Aktivitas
yang sama juga diterapkan kepada sampel kedua dan ketiga. Dengan demikian, terdapat
tiga bungkusan kayu dan diangkut dari Makkasar menuju ke Laboratorium Pengeringan dan
Pengawetan Kayu, Jurusan Teknologi Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah
Mada di Yogyakarta.
Di dalam Laboratorium ini, bungkusan sampel pertama itu dibuka. Satu potong kayu
dipilih secara random di antara 6 potongan yang ada, dan satu potongan terpilih inilah yang
akan dijadikan obyek penelitian. Aktivitas yang dilakukan terhadap bungkusan sampel
pertama juga diberlakukan terhadap bungkusan sampel kedua dan ketiga. Penelitian
dilakukan terhadap sifat fisis dan sifat pengeringannya.
Peralatan yang digunakan dalam penelitian imeliputi gergaji lingkar dan mesin
pengetam. Selain itu, digunakan kaliper, oven bermerk Memmert, desikator, Timbangan
digital analitis bermerk OHauss serta tanur pengering konvensional berkapasitas 75 m3
buatan Aluna Engineering.
Untuk mendapatkan contoh uji bagi masing-masing aspek pada pengujian sifat fisika
dan penentuan skedul suhu dan kelembaban, maka sebuah potongan terpilih sepanjang 50
cm kemudian dipotong-potong lagi menjadi tujuh potongan. Masing-masing potongan secara
berurutan memiliki panjang (1) 11 cm, (2) 2 cm, (3) 2 cm, (4) 20 cm, (5) 2 cm, (6) 2 cm dan
(7) 11 cm. Dua potongan masing-masing sepanjang 11 cm pada kedua bagian ujung ini,
yakni potongan (1) dan (7), dibuang untuk menghindarkan pengaruh perbedaan kadar air
yang disebabkan oleh penguapan air melalui bagian ujung. Dua buah potongan masing-
masing sepanjang 2 cm, yakni potongan (2) dan (6), merupakan bagian yang digunakan
untuk membuat contoh uji bagi pengukuran kadar air awal. Dua buah potongan berikutnya
yang masing-masing sepanjang 2 cm, yakni potongan (3) dan (5), merupakan bagian yang
digunakan untuk membuat contoh uji bagi pengukuran berat jenis. Sebuah potongan
berukuran panjang 20 cm, yakni potongan ke-4, difungsikan sebagai bahan untuk membuat
contoh uji pada pengujian pengeringan secara cepat. Potongan ke-4 ini diserut pada kedua
permukaannya, digergaji secara longitudinal, sehingga mendapatkan contoh uji berukuran
tebal 1,7 cm, lebar 7,6 cm dan panjang 20 cm. Setelah dipotong dan menjadi contoh uji,
setiap contoh uji itu segera ditimbang.
573
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Pengujian Pengeringan secara Cepat dan Penyusunan Skedul Suhu dan Kelambaban
Pengujian pengeringan secara cepat merupakan metoda empiris yang digunakan
untuk menentukan skedul suhu dan kelembaban. Metode ini digunakan sebagai titik awal
bagi penyusunan skedul suhu dan kelembaban dasar yang aktual dan tepat bagi kayu
gergajian yang berasal dari spesies yang manapun (Terazawa, 1965). Prosedur bagi
penerapan metoda Terazawa untuk menetapkan skedul suhu dan kelembaban terdiri atas
beberapa langkah sebagai berikut:
1. Sampel berukuran tebal 1,7 cm, lebar 7,6 cm dan panjang 20 cm yang berasal dari
potongan nomor 4, diletakkan di dalam oven bertenaga listrik yang diatur pada kondisi
suhu 103 + 2oC.
2. Sampel ditimbang dan pemunculan serta perkembangan retak permukaan dan retak
ujung diamati secara periodis setiap 2 jam selama proses pengeringannya sampai
sampel itu mencapai kadar air yang konstan pada tingkat 1 persen.
3. Pada akhir proses pengeringan, sampel itu dihitung dan diukur jumlah retak permukaan
dan retak ujung (sebagai Cacat 1), juga cacat deformasi (sebagai Cacat 2). Sample ini
kemudian dipotong tepat pada bagian tengah dalam arah longitudinalnya untuk
mengetahui dan mengukur retak-dalam atau honey-comb (sebagai Cacat 3). Penetapan
tingkat kerusakan bagi masing-masing jenis cacat ini didasarkan pada jumlah dan
ukuran cacat yang terjadi pada permukaan kayu dalam kondisi kering mutlak.
4. Tingkat cacat kemudian ditentukan dan diperingkat berdasarkan sekala nilai yang
berkisar antara 1 sampai dengan 8 bagi cacat retak permukaan dan ujung (cacat 1) dan
juga bagi cacat deformasi (cacat 2), dan antara 1 sampai dengan 6 bagi cacat retak-
dalam (cacat 3). Penentuan itu didasarkan pada tabel yang ditetapkan oleh Terguson
pada tahun 1951 (Terazawa, 1965). Nilai pada pemeringkatan ini diartikan bahwa
semakin rendah nilainya, maka semakin rendah (sedikit) pula cacat yang terjadi, atau
sebaliknya, semakin tinggi nilai pada peringkat ini, maka semakin tinggi (banyak) pula
cacat yang terjadi.
5. Berdasarkan pada dua hal, yaitu hasil pemeringkatan di atas dan tabel termometer
suhu bola kering (TSBK) dan tabel depresi suhu bola basah (DSBB) sebagaimana
disajikan pada manual Forest Product Laboratory (Rasmussen, 1961), ditentukanlah
suhu minimum dan maksimum termometer suhu bola kering serta depresi suhu bola
basah bagi kayu-gergajian dari spesies tertentu. Kedua hal itu, yaitu suhu minimum dan
suhu maksimum serta depresi suhu bola basah, pada gilirannnya dijadikan dasar yang
berguna untuk menyusun skedul suhu dan kelembaban yang sesuai bagi kayu meranti
merah.
574
PENGOLAHAN HASIL HUTAN
Tabel 1 memperlihatkan hasil sebagai berikut. Nilai rata-rata kadar air rata-rata
adalah 57,97 %. Nilai berat jenis rata-rata adalah 0,66. Berdasarkan nilai kadar airnya, kayu
ini dapat dinyatakan masih dalam kondisi basah. Berdasarkan berat jenisnya, kayu ini
tergolong dalam kayu meranti merah berat.
Penetapan suhu awal, depresi suhu bola basah dan suhu akhir
Berdasarkan hasil pengklasifikasian di atas, dapat ditentukan suhu minimum, suhu
maksimum dan depresi suhu bola basah pada awal dan akhir proses pengeringan.
Penentuan dilakukan mengikuti acuan dibuat Terazawa (1965) sebagaimana tersaji pada
Tabel 2.
Berdasarkan Tabel 2, dengan retak awal yang tergolong ke dalam kelas 5, maka
suhu awal dan depresi suhu bola basah serta suhu akhir secara berurutan adalah 53oC dan
3,0oC serta 82oC. Berdasarkan deformasi yang tergolong ke dalam kelas 5, maka suhu awal
dan depresi suhu bola basah serta suhu akhir secara berurutan adalah 50 oC dan 3,6oC serta
77oC. Berdasarkan retak-dalam yang tergolong ke dalam kelas 2, maka suhu awal dan
575
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
depresi suhu bola basah serta suhu akhir secara berurutan adalah 55oC dan 4,5oC serta
83oC.
Tabel 2. Hubungan antara jenis cacat dan suhu awal, depresi dan suhu akhir.
Kelas B untuk kadar air ini terdiri atas langkah-langkah penurunan berikut: 50-35; 35-
32; 32-29; 29-26; 26-23; 23-20; 20-18; 18-16; 16-14; 14-12; dan kurang dari 12% sebagai
langkah akhir pada proses pengeringan.
576
PENGOLAHAN HASIL HUTAN
Berdasarkan klasifikasi suhu pada Tabel 5 di atas, maka wilayah suhu antara suhu
awal 50oC dan akhir 77oC ini berkonsekuensi pada pemilihan kolom suhu T4 untuk
mengekspresikan perubahan suhu selama proses pengeringan. Langkah-langkah
perubahan suhu ini sebagai berikut: 50,50, 50, 55, 60, 65, 77, 77, 77, 77.
577
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
disajikan oleh Bollmann (1977), penampilan skedul suhu dan kelembaban T4B5 ini disajikan
pada Tabel 6 berikut.
Depresi
Suhu Suhu
Suhu
Kadar Air Termometer Termometer Kelemban
Langkah Termometer
(%) Bola Kering Bola Basah Relatif (%)
Bola Basah
(oC) (oC)
(oC)
1 > 50 50 2 48 80
2 50 40 55 3 52 70
3 40 35 58 3,5 54,5 60
4 35 30 62 5,5 56,5 55
5 30 25 64 8 56 47,5
6 25 20 67,5 12 55,5 32
7 20 15 72 20 25 47 52 25
8 < 15 80 20 - 25 47 - 52 20 -25
578
PENGOLAHAN HASIL HUTAN
579
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
580
PENGOLAHAN HASIL HUTAN
Tabel 9. (lanjutan)
581
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Tabel 9. (lanjutan)
582
PENGOLAHAN HASIL HUTAN
Dari Tabel 8. dan 9 terlihat empat fakta berkait dengan karekteristik peneringan
sebagai berikut. Pertama, laju pengeringan pada skedul terazawa (32,92 %/jam) lebih tinggi
secara signifikan daripada pada skedul industri (18,09 %/jam), sehingga pengeringan
dengan skedul Terazawa berlangsung lebih cepat dibandingkan dengan skedul industri.
Dengan demikian, pengeringan berbasis terazawa sudah tentu akan lebih berhemat dalam
hal durasi waktu pengeringan, energi dan beaya yang diperlukan dalam pengeringan.
Kedua, kadar air akhir pengeringan pada skedul terazawa (9,18%) lebih tinggi daripada pada
skedul industri (8,17%), tetapi tidak berbeda secara signifikan dan keduanya masih
memenuhi kriteria karena nilainya kurang dari ketentuan yang standar yaitu sebesar 12%.
Ketiga, semua parameter berkait dengan penyusutan kayu akibat pengeringan skedul
terazawa lebih rendah secara signifikan, khususnya penyusutan tebal dan lebar, daripada
pada skedul industri. Dengan demikian, volume kayu kering pada pengeringan skedul
terazawa lebih tinggi daripada skedul industri. Keempat, semua parameter yang menunjuk
pada tingkat kerusakan kayu akibat proses pengeringan dengan skedul Terazawa lebih
rendah daripada skedul industri, baik kerusakan dalam bentuk deformasi, retak, pecah
maupun terbelah. Dengan demikian, kualitas kayu kering hasil pengeringan skedul terazawa
lebih tinggi daripada skedul industri.
Berdasarkan keempat fakta di atas maka dapat disimpulkan bahwa pengeringan
dengan skedul Terazawa menghasilkan pengeringan dengan: durasi waktu yang lebih
pendek, lebih hemat energi dan beaya pengeringan, penyusutan yang lebih rendah, dan
intensitas cacat kayu kering yang lebih rendah pula dibandingkan dengan pengeringan
dengan skedul industri. Dengan demikian, karakterisitik pengeringan kayu meranti merah
yang dilakukan dengan penerapan skedul Terazawa lebih baik dibandingkan dengan
penerapan skedul industri.
KESIMPULAN
Beberapa butir kesimpulan dapat disjaikan sebagai berikut. Pertama, kayu meranti
merah memiliki nilai kadar air awal 57,97 %, berat jenis 0,66. Kedua, skedul suhu dan
kelembaban berbasis Terazawa dapat dirumuskan dengan kode T4B5, dengan wilayah suhu
50- 77oC, dan kelembaban 80 11%. Ketiga, laju pengeringan pada skedul terazawa (32,92
%/jam) lebih tinggi secara signifikan daripada pada skedul industri (18,09 %/jam). Keempat,
penyusutan tebal (4,357%) dan lebar (6,666%) pada pengeringan skedul terazawa lebih
rendah daripada pada skedul industri, yakni penyusutan tebal 5,263% dan lebar 7,634.
Kelima, kualitas kayu kering pengeringan Terazawa lebih tinggi daripada pengeringan
dengan skedul industri. Keenam, karakteristik pengeringan dengan skedul terazawa lebih
baik daripada pengeringan dengan skedul industri.
DAFTAR PUSTAKA
Anonimus. 1957. British Standard (BS) nomor 373 Methods of Testing Small Clear
Specimen of Timber, London.
Anonimus, 2011. http://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_kayu_di_Indonesia. Diunduh pada 15
September 2011.
Anonimus, 2011a. Degradasi Hutan Tropis di Indonesia.
http://pdf.wri.org/indoforest_chap3_id.pdf. Diunduh pada 15 September 2011.
Bollmann, 1977. Manual for Technical Drying of Timber. Ludwig Bolmann Kg.
Maschinenfabrik. Rielasingen. West Germany.
Rasmussen EF. 1961. Dry Kiln, Operators Manual. U.S. Department of Agriculture
Handbook, 188.
Terazawa S. 1965. An Easy Method for the Determination of Wood Drying Schedule. Wood
Industry Japan.
Martawijaya, S., Kartasujana, I., Kadir, K., Suwanda A.P., 1981. Atlas Kayu Indonesia. Jilid I.
583
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
584
PENGOLAHAN HASIL HUTAN
ABSTRAK
Penelitian sifat penyerapan dan sifat mekanis kayu karet, afrika, mindi, mangium, jati,
sengon dan puspa yang direndam dalam bleng, linseed oil (LO) dan karboksimetil selulosa
(CMC) berpengaruh sangat nyata terhadap keteguhan tekan sejajar serat. Interaksinya
terhadap semua sifat mekanik yang diteliti tidak berbeda nyata. Banyaknya bahan yang
diserap cenderung tidak berpengaruh terhadap kekuatan mekanis kayu. Nilai tegangan
lentur maksium (MOR) tertinggi, yaitu 440 kg/cm2 diperoleh pada penggunaan CMC yang
juga berpengaruh tehadap kekuatan tekan sejajar serat kayu karet, yaitu 227 kg/cm2.
Bleng dapat meningkatkan tegangan pada batas proporsi (MPL) dan MOR kayu karet, dan
keteguhan geser sejajar serat pada kayu afrika, karet dan puspa. Nilai kekakuan lentur
(MOE) tertinggi, yaitu 39.493 kg/cm2 diperoleh dengan penggunaan LO, meskipun tidak
berbeda nyata dengan kontrol, bleng dan CMC.
PENDAHULUAN
Menurut Tantra (2001) di Indonesia terdapat lebih dari 25.000 jenis flora yang
berkembang biak dengan biji (Spermatophyta), 4000 jenis diantaranya berupa pohon yang
bisa mencapai diameter 35 cm. Dari jumlah tersebut, sebagaian besar merupakan jenis kayu
yang belum dimanfaatkan atau kurang dikenal (lesser-known). Hal itu mungkin disebabkan
oleh volumenya sedikit atau memiliki sifat kurang baik, seperti mudah pecah, menggeliat
atau memangkuk (Sosef et al., 1998). Kayu yang memiliki sifat semacam itu sekarang
banyak ditemukan pada jenis kayu tanaman yang dipanen pada umur muda. Sehingga kayu
yang dihasilkan memiliki karakteristik berbeda dengan kayu dari hutan alam. Keadaan
tersebut dapat berpengaruh pada kualitas, kuantitas dan teknologi pemanfaatannya
(Brazier,1986 dalam Martawijaya, 1989). Salah satu cara untuk memperbaiki sifat buruk
kayu dapat dilakukan dengan pemberian bahan kimia pengawet kayu. Bahan kimia
pengawet kayu adalah bahan kimia senyawa tunggal atau campuran yang dapat mencegah
salah satu atau kombinasi antara bakteri, jamur, serangga, rayap, binatang laut penggerek
kayu, pecah-retak dan api (Anonim,1976). Bahan tersebut apabila diterapkan dengan cara
yang tepat dapat meningkatkan keawetan dan umur layanan kayu. Bahan pengawet kayu
yang beredar di Indonesia merupakan produk impor, ketersediaannya mulai berkurang
sehingga sukar diperoleh dan harganya relatif mahal. Penelitian ini dilakukan dengan
menggunakan bahan kimia kualitas teknis bertujuan untuk memperoleh fomulasi yang efektif
untuk meningkatkan keawetan dan stabilitas dimensi kayu serta sifat inferior lainnya. Hasil
penelitian diharapkan dapat digunakan sebagai substitusi bahan pengawet kayu produk
impor.
METODOLOGI
Kayu yang digunakan sebagai media pengujian yaitu afrika (Maesopsis eminii),
mangium (Acacia mangium), puspa (Schima wallichii), karet (Hevea brasiliensis) dan sengon
(Paraserthes falcataria). Pengujian sifat mekanis menggunakan contoh kecil bebas cacat
585
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
berdasarkan Anonim (1991) dan dibatasi pada uji: (a) lentur statik dengan pembebanan di
tengah bentang berukuran contoh uji 2 cm x 2 cm x 34 cm dengan jarak antara tumpuan 28
cm, pembebanan statis dengan kecepatan 25 kg/menit. (b) tekan sejajar serat, ukuran
contoh uji 2 cm x 2 cm x 8 cm. (c) keteguhan geser sejajar serat, ukuran 2 cm x 2 cm x 4 cm.
Bahan kimia yang digunakan yaitu bleng, linseed oil (LO) dan karboksimetilselulosa (CMC).
Contoh uji secara terpisah direndam dalam larutan 50% (b/b) bleng, linseed oil teknis, dan
larutan campuran CMC : NaCl (60 : 40), BJ 1,020 (27,8o C). Untuk setiap perlakuan
disediakan 5 buah contoh uji sebagai ulangan. Contoh uji yang sudah diperlakukan
selanjutnya diangin-anginkan dalam ruangan sampai mencapai kadar air kering udara.
Selisih berat sebelum dan sesudah pengawetan dinyatakan dalam persen penambahan
berat kayu (weight percent gain/WPG)
Banyaknya bahan yang diserap kayu, dinyatakan dalam persen penambahan berat.
Hasil perhitungan rata-rata persentase penambahan berat dapat dilihat dalam Tabel 1.
Tabel 1. Nilai rata-rata persentase penambahan berat (%) berdasarkan ukuran contoh uji
Hasil analisis sidik ragam pengaruh bahan kimia, ukuran contoh uji dan jenis kayu
terhadap penambahan berat, dapat dilihat dalam Tabel 2.
Tabel 2. Hasil analisis sidik ragam pengaruh bahan kimia, ukuran contoh uji dan
jenis kayu terhadap penambahan berat
Dari Tabel 2, dapat diketahui bahan kimia yang digunakan tidak menunjukkan
perbedaan nyata terhadap penambahan berat kayu. Jenis kayu dan ukuran contoh uji
masing-masing berpengaruh sangat nyata terhadap penambahan berat kayu. Interaksi
antara bahan kimia dengan ukuran contoh uji tidak berpengaruh nyata terhadap
penambahan berat. Sementara interaksi antara bahan kimia yang digunakan dengan jenis
kayu menunjukkan perbedaan sangat nyata. Dari Tabel 1, diketahui bahwa persentase
penambahan berat terendah terjadi pada jenis kayu mangium beukuran 2 cm x 2 cm x 35 cm
menggunakan bahan kimia bleng, yaitu sebesar 18,90%. Sementara, persentase
penambahan berat tertinggi terjadi pada kayu sengon berukuran 2 cm x 2 cm x 4 cm
menggunakan bahan kimia bleng, yaitu sebesar 123,22%. Hal itu menunjukkan bahwa
586
PENGOLAHAN HASIL HUTAN
banyaknya bahan kimia yang masuk ke dalam kayu bergantung pada jenis kayu, ukuran
contoh uji dan bahan kimia yang digunakan. Menurut Martawijaya dan Barly (1982), sifat
keterawetan kayu paling sedikit ditentukan oleh empat faktor, yaitu jenis kayu, keadaan kayu
(struktur anatomi, permeabilitas, kerapatan, kadar air), teknik pengawetan dan bahan
pengawet yang digunakan. Kayu yang memiliki kerapatan rendah relatif lebih mudah
ditembus oleh bahan pengawet jika dibandingkan dengan kayu yang memiliki kerapatan
tinggi. Sifat kimia bahan yang digunakan (sifat fisis dan kelarutan) juga dapat berpengaruh
terhadap persentase penambahan berat kayu.
Hasil pengujian sifat mekanis berdasarkan jenis kayu dan bahan yang digunakan
dapat dilihat pada Tabel 3. Dari Tabel 3, dapat diketahui bahwa MOE atau kekakuan lentur
pada kayu afrika dan sengon dengan nilai MOE masing-masing 32.611 kg/cm2 dan 20.143
kg/cm2 dengan bahan kimia CMC dapat meningkatkan kekakuan lentur sebesar 13% dan
10% dibandingkan dengan kayu kontrol. Kayu karet 45.146 kg/cm2 meningkat 8% dengan
bahan kimia LO, sedangkan kayu mangium dan puspa MOE tertinggi 53.787 kg/cm2 dengan
bahan kimia bleng (menurun 8%) dan 55.866 kg/cm2 (hampir sama dengan kontrol) dengan
bahan kimia CMC. MOR menunjukkan kekuatan lentur suatu bahan dan merupakan penentu
kelas kekuatan kayu. Kayu mangium dan puspa dengan bahan kimia CMC masing-masing
680 kg/cm2 dan 617 kg/cm2 sedikit lebih tinggi dari kontrolnya. Keteguhan tekan sejajar serat
pada semua jenis kayu yang diteliti meningkat rata-rata 6% dengan bahan kimia CMC.
Berdasarkan klasifikasi kekuatan kayu Indonesia menurut Den Berger (1923) jenis-jenis
kayu yang diteliti dengan perlakuan bahan kimia masih tetap berada pada kelas kuatnya
masing-masing yaitu kayu sengon, afrika dan karet tergolong kelas kuat IV ~ V, sedangkan
mangium dan puspa tergolong kelas kuat III. Analisa sidik ragam pengaruh bahan kimia
terhadap beberapa sifat mekanik yang diteliti dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 3. Nilai rataan sifat mekanis berdasarkan jenis kayu dan bahan yang digunakan
Keterangan: MPL = tegangan lentur pada batas proporsi , MOE = modulus elastisitas
(kekakuan lentur), MOR = tegangan lentur patah (maksimum)
587
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Sumber Fhitung
Keragaman db Tekan // Geser //
MOE MPL MOR
Serat Serat
Jenis kayu 4 96,40** 101,24** 104,06** 333,92** 63,72**
Bahan kimia 2 0,84tn 2,24tn 1,29tn 333,92** 3,42tn
Interaksi 8 0,98tn 1,06tn 0,78tn 1,71tn 0,93tn
Dari Tabel 4, dapat dilihat bahwa jenis kayu berpengaruh sangat nyata terhadap
MOE, MPL, MOR, tekan sejajar serat dan geser sejajar serat, sedangkan bahan kimia
pelarut berbeda sangat nyata terhadap keteguhan tekan sejajar serat sedangkan
interaksinya tidak berbeda nyata terhadap semua sifat mekanik yang diteliti. Hal ini berarti
bahwa bahan kimia yang terserap oleh kayu cenderung tidak merubah integritas kekuatan
mekanis. Berdasarkan uji beda jarak nyata Duncan, diketahui bahwa MOE kayu puspa dan
akasia mangium tidak berbeda nyata dan berbeda sangat nyata dengan jenis kayu yang
lainnya. Nilai MOE tertinggi dicapai pada kayu puspa (54.296 kg/cm2) dan terendah kayu
sengon (18.565 kg/cm2). Pada pemberian linseed oil (LO), MOE tertinggi dicapai 39.493
kg/cm2, namun nilai ini tidak berbeda nyata dengan kontrol, bleng dan CMC. MOR kayu
karet, afrika dan sengon tidak berbeda nyata satu sama lain, tetapi berbeda nyata dengan
mangium dan puspa. Berdasarkan niai rata-rata semua jenis kayu yang diteliti, MOR paling
tinggi, yaitu 439.79 kg/cm2 dihasilkan oleh perlakuan dengan bahan kimia CMC. Keteguhan
tekan sejajar serat paling tinggi, yaitu 305 kg/cm2 diperoleh pada kayu puspa meskipun
hasilnya tidak berbeda nyata dengan kayu akasia yaitu 296 kg/cm2 tetapi berbeda nyata
dengan jenis kayu lainnya. Bahan kimia CMC berkontribusi terhadap kekuatan tekan sejajar
serat, paling tinggi dicapai 226 kg/cm2 pada kayu karet. Berdasarkan jenis kayu, keteguhan
geser sejajar serat paling tinggi dicapai oleh kayu puspa sebesar 46 kg/cm2 dan
berdasarkan bahan kima pelarut tertinggi adalah 36 kg/cm2 dengan bahan kimia CMC.
Pemberian bahan kimia CMC dapat meningkatkan nilai keteguhan tekan sejajar serat pada
semua jenis kayu yang diteliti, MOE kayu afrika dan sengon serta keteguhan geser sejajar
serat kayu mangium, sengon, dan puspa. Bahan kimia LO dapat meningkatkan MOE, MPL,
MOR dan tekan sejajar serat kayu karet, keteguhan geser sejajar serat kayu sengon dan
puspa, tekan sejajar serat kayu afrika dan sengon. Bahan kimia bleng meningkatkan MPL
dan MOR kayu karet, keteguhan geser sejajar serat kayu afrika, karet dan puspa. Dapat
disimpulkan bahwa pemberian masing-masing bahan kimia memberikan pengaruh yang
berbeda terhadap jenis kayu dan sifat mekanisnya. Hasil uji beda jarak nyata Duncan pada
tingkat nyata D = 0.05 dapat dilihat dalam Tabel 5.
588
PENGOLAHAN HASIL HUTAN
Hasil pengujian sifat mekanis kayu yang diberi perlakuan bleng, LO dan carboxy
methyl cellulose menunjukkan bahwa :
1. MOE atau kekakuan lentur pada kayu afrika dan sengon dengan bahan kimia CMC dapat
meningkatkan kekakuan lentur sebesar 13% dan 10% dibandingkan dengan kayu
kontrol, kayu karet dengan bahan kimia LO meningkat 8%, sedangkan kayu mangium
dengan bahan kimia bleng (menurun 8%) dan pada kayu puspa dengan bahan kimia
CMC tidak menunjukkan perubahan sifat kekakuan lentur (hampir sama dengan kontrol).
2. MOR kayu mangium dan puspa dengan bahan kimia CMC masing-masing 680 kg/cm2
dan 617 kg/cm2 sedikit lebih tinggi dari kontrolnya.
3. Keteguhan tekan sejajar serat pada semua jenis kayu yang diteliti meningkat rata-rata
6% dengan bahan kimia CMC.
4. Pemberian bahan kimia bleng, LO dan CMC tidak merubah kelas kuat kayu yang diteliti
atau masih tetap berada pada kelas kuat masing-masing yaitu kayu sengon, afrika dan
karet tergolong kelas kuat IV ~ V, sedangkan mangium dan puspa tergolong kelas kuat
III.
589
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
DAFTAR PUSTAKA
590
PENGOLAHAN HASIL HUTAN
ABSTRAK
Kata kunci : minyak kenanga, berat jenis, indeks bias, putaran optik, bilangan penyabunan.
PENDAHULUAN
Indonesia adalah negara tropis yang kaya beraneka ragam tumbuhan. Berbagai jenis
tumbuhan tersebut ada yang mengandung minyak atsiri. Minyak atsiri disebut juga minyak
eteris atau essential oil, dipergunakan sebagai bahan baku dalam pelbagai industri, misalnya
pada industri parfum, kosmetik, essence, industri farmasi dan flavoring agent. Dalam
pembuatan parfum dan wangi-wangian, minyak atsiri tersebut berfungsi sebagai zat
pewangi, terutama minyak atsiri yang berasal dari bunga (Kasmudjo, 2010).
Salah satu tumbuhan yang mengandung minyak atsiri adalah suku Annonaceae.
Kenanga (Canangium odoratum, Baill) merupakan salah satu jenis tumbuhan yang
mengandung minyak atsiri. Kenanga juga termasuk tanaman sumber minyak atsiri yang
berprospek baik untuk dikembangkan. Minyak kenanga diperoleh dari penyulingan yaitu
bagian bunga yang sudah benar-benar masak. Minyak kenanga dari Indonesia yang telah
dikenal di mancanegara, banyak digunakan sebagai bahan baku pada industri parfum dan
kosmetik (Lutony dan Rahmawaty, 1994).
Sebagai salah satu komoditas andalan ekspor, produk minyak kenanga Indonesia
sebenarnya belum mantap. Hal tersebut disebabkan rendahnya produksi bunga kenanga
dan rendahnya teknologi penyulingan minyak kenanga. Oleh sebab itu pembudidayaan
tanaman kenanga dalam upaya menghasilkan bahan baku berupa bunga dan memproduksi
minyaknya harus dilakukan dengan efektif agar diperoleh rendemen dan kualitas setinggi-
tingginya.
Rendemen dan kualitas minyak kenanga yang dihasilkan dari suatu proses
penyulingan sangat bervariasi. Faktor yang mempengaruhi diantaranya waktu pengambilan
bunga kenanga yang akan disuling karena diduga sangat berpengaruh terhadap rendemen
dan kualitas minyak kenanga. Hal ini disebabkan oleh ester yang ada pada bunga akan
sangat mudah menguap jika terkena sinar matahari. Padahal kandungan ester dalam minyak
kenanga merupakan tolak ukur yang utama dalam penentuan kualitas minyak kenanga
(Marsoem dan Trimulyo, 2000).
591
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Untuk itu perlu diketahui dan diteliti sampai sejauh mana faktor tersebut berpengaruh
agar dapat memilih alternatif terbaik untuk menghasilkan minyak kenanga dengan rendemen
dan kualitas yang tertinggi atau yang sesuai dengan standar.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui waktu pengambilan bunga
kenanga yang terbaik sehingga menghasilkan rendemen dan kualitas yang dapat memenuhi
standar.
592
PENGOLAHAN HASIL HUTAN
Timbang 1,5 gram sampel minyak dalam erlenmeyer 250 ml. Tambahkan 5 ml
etanol 95% dan 3 tetes indikator PP. Kemudian netralkan asam bebas yang
terdapat dalam larutan tersebut dengan menggunakan larutan NaOH 0,1 N
dengan penitaran hingga berbentuk warna merah. Tambahkan beberapa tetes
lagi indikator PP (untuk memperjelas warna pada titik akhir) dan titrasi kelebihan
NaOH 0,1 N dengan menggunakan HCl 0,5 N hingga kembali ke warna semula.
Lakukan pula titrasi blanko (tanpa sampel).
Keterangan :
BM KOH = 56,1
N HCl = 0,5 N
593
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
(1994) bahwa melalui cara penyulingan yang benar serta penggunaan bahan baku dan
peralatan yang memenuhi standar akan diperoleh rendemen minyak kenanga berkisar
antara 1,5 2,0%. Dari hasil penelitian mempunyai nilai yang lebih kecil. Hal ini dapat
disebabkan oleh faktor iklim dan tempat tumbuh. Sesuai dengan pernyataan
Kasmudjo(1982) bahwa rendemen penyulingan dipengaruhi banyak faktor antara lain iklim,
tempat tumbuh, musim, umur tanaman, jenis tanaman dan cara penyulingan.
Pada perlakuan pengambilan bunga pada waktu pagi hari penyulingan menghasilkan
minyak dengan rendemen paling besar jika dibandingkan dengan perlakuan pengambilan
bunga pada waktu sore hari. Dari hasil penelitian tersebut membuktikan bahwa waktu
pengambilan bunga sangat berpengaruh terhadap rendemen minyak. Hal ini karena
pemetikan yang dilakukan pagi hari sebelum matahari terbit atau pada saat suhu rendah
menyebabkan minyak yang ada pada bunga belum menguap. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Marsoem dan Trimulyo (2000) bahwa kandungan ester yang ada pada bunga
kenanga (Cananga odoratum Baill) akan sangat mudah menguap jika terkena sinar matahari
karena titik didik ester sangat rendah.
Hasil pengujian kualitas minyak kenanga dapat dilihat pada Gambar 1 dan 2. Sifat
yang diuji adalah berat jenis, indeks bias, putaran optik dan bilangan penyabunan.
15
14
13
12
11
10
9
8
7 Pagi
6
5 Sore
4
3
2
1
0
Berat Jenis Bil.
Penyabunan
0
-1
-2
-3
-4
-5
-6
-7
-8 Pagi
-9
-10 , Sore
-11
-12
-13
-14
-15
Putaran
Optik
Berat Jenis
Berat jenis merupakan salah satu kriteria penting dalam menentukan mutu dan
kemurnian minyak atsiri (kualitas minyak). Menurut Guenther (1987) mengemukakan bahwa
594
PENGOLAHAN HASIL HUTAN
pada umumnya nilai berat jenis minyak atsiri lebih kecil dari 1,0000. Jadi batas nilai tersebut
lebih sempit dan tentunya hal ini telah diteliti bertahun-tahun.
Berdasarkan nilai rerata berat jenis minyak kenanga bahwa berat jenis tertinggi
dihasilkan dari perlakuan pengambilan waktu sore hari yaitu sebesar 0,9167, sedangkan
untuk pengambilan pada pagi hari sebesar 0,90797.
Nilai rerata berat jenis secara keseluruhan menunjukkan bahwa semua perlakuan
menghasilkan berat jenis yang memenuhi standar EOA (Essential Oil Association of USA),
sehingga berdasarkan analisa berat jenis maka mutu dan kemurnian minyak sudah baik.
Pengambilan bunga waktu pagi hari yang memiliki berat jenis yang paling rendah,
ternyata menghasilkan rendemen yang paling tinggi, sedangkan perlakuan pengambilan
bunga pada waktu sore hari yang memiliki berat jenis paling tinggi, justru menghasilkan
rendemen paling rendah. Hal ini sesuai dengan pednapat Sumadiwangsa, Roliadi dan
Djumria (1978) menyatakan bahwa zat yang memiliki berat jenis tinggi lebih sukar tersuling,
sehingga rendemen hasil penyulingan rendah dan umumnya nilai indeks bias juga tinggi.
Selanjutnya Guenther (1987) menyatakn bahwa minyak yang berasal dari bahan
segar mempunyai berat jenis lebih rendah dibandingkan dengan minyak dari bahan yang
kurang segar/disimpan. Hal ini disebabkan selama penyulingan bahan yang tidak segar akan
menghasilkan sejenis resin yang keluar bersama minyak atsiri, terutama pada akhir
penyulingan. Dimana resin ini sebagian besar larut dalam minyak atsiri. Selanjutnya
dikatakan bahwa berat jenis minyak cenderung naik sebanding dengan lama penyimpanan,
karena selama proses penyimpanan, cairan sel dengan bebas keluar masuk dari sel ke sel
lainnya sehingga membentuk campuran yang baru.
Indeks Bias
Penentuan indeks bias menggunakan refraktometer yang berprinsip kepada
penyinaran yang menembus dua macam media dengan kerapatan yang berbeda. Karena
perbedaan kerapatan media, maka akan terjadi pembiasan (perubahan arah sinar).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengambilan bunga waktu sore hari
menunjukkan nilai sebesar 1,5022 dan pengambilan pada waktu pagi hari sebesar 1,4955.
Kenyataan ini menunjukkan bahwa kedua perlakuan menghasilkan indeks bias yang
memenuhi standar minyak kenanga yang telah ditentukan yaitu EOA. Dan karena indeks
bias ini ditetapkan untuk menentukan kemurnian minyak maka ditinjau dari nilainya, maka
minyak kenanga yang dihasilkan sudah baik.
Dari hasil penelitian ternyata membuktikan berat jenis tinggi cenderung akan
menghasilkan indeks bias yang tinggi pula. Sesuai dengan pernyataan Sumadiwangsa,
Roliadi dan Djumria (1978) bahwa biasanya fraksi minyak yang berat jenis lebih tinggi akan
sukar tersuling dan biasanya indeks bias juga tinggi. Hal ini dapat dilihat pada perlakuan
pengambilan waktu sore hari yang memiliki berat jenis paling tinggi, jika dilihat indeks bias
juga tinggi, sama halnya juga dengan perlakuan pengambilan bunga pada waktu pagi hari
yang berat jenis dan indeks biasnya rendah. Kondisi ini dikarenakan minyak kenanga
dengan berat jenis yang tinggi akan membiaskan cahaya yang melaluinya lebih besar.
Putaran Optik
Sebagian minyak atsiri jika ditempatkan dalam sinar atau cahaya yang
dipolarisasikan mempupnyai sifat memutar bidang polarisasi ke arah kanan (dextrorotatory)
atau ke kiri (laevorotatory). Sedangkan nilainya dinyatakan dalam derajat rotasi (o). Menurut
Guenther (1987) derajat rotasi dan arahnya sangat penting untuk menentukan kriteria
kemurnian minyak atsiri.
Hasil dari analisis sidik ragam putaran optik menunjukkan bahwa waktu pengambilan
bunga kenanga tidak berpengaruh nyata. Dari kenyataan tersebut menunjukkan bahwa
waktu pengambilan bunga hanya menyebabkan variasi rerata putaran optik, namun variasi
tersebut tidak berbeda nyata.
Berdasarkan hasil pengukuran nilai rerata putaran optik ternyata perlakuan waktu
pengambilan bunga pada pagi hari menghasilkan putaran optik yang paling tinggi yaitu
sebesar -15,000, sedangkan perlakuan pengambilan bunga pada waktu sore hari sebesar -
595
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
14,4176. Nilai rerata putaran optik menunjukkan bahwa perlakuan pengambilan bunga pada
waktu pagi hari memenuhi standar minyak kenanga yang telah ditetapkan, sedangkan
perlakuan pengambilan waktu sore hari belum memenuhi standar yang digunakan.
Kenyataan ini menunjukkan bahwa pengambilan bunga pada waktu pagi hari lebih baik
dibandingkan dengan pengambilan bunga pada waktu sore hari, walaupun tidak
menunjukkan pengaruh nyata.
Bilangan Penyabunan
Bilangan penyabunan dapat dipergunakaan untuk menentukan berat molekul minyak
secara kasar. Bilangan penyabunan dinyatakan sebagai banyaknya (mg) KOH yang
dibutuhkan untuk menyabunkan 1 gr minyak (Susilo DUM dkk, 2003). Bilangan penyabunan
ditentukan dengan menjumlahkan bilangan asam dan bilangan ester.
Menurut Guenther (1987) sebagian besar minyak atsiri mengandung sejumlah kecil
asam bebas. Jumlah asam bebas biasanya dinyatakan sebagai bilangan asam. Bilangan
asam dari suatu minyak didefinisikan sebagai jumlah (mg) KOH yang dibutuhkan untuk
menetralkan asam bebas dalam 1 gram minyak.
Minyak kenanga mengandung zat-zat diantaranya ester dan fenol, sehingga dalam
penentuan bilangan asam digunakan alkali encer, karena jika alkali kuat maka sejumlah
ester dalam minyak atsiri ikut tersabunkan walaupun dalam keadaan dingin. Sedangkan
senyawa fenol akan bereaksi dengan alkali hidroksida sehingga perlu digunakan indikator
khusus seperti phenoftalein (Guenther, 1987).
Berdasarkan hasil pengukuran nilai rerata bilangan asam ternyata perlakuan
pengambilan bunga pada waktu sore hari menghasilkan bilngan asam yang paling tinggi
yaitu sebesar 5,8344, sedangkan perlakuan pengambilan bunga pada waktu pagi hari
sebesar 5,5352. Susilo DUM dkk (2003) menyatakan bahwa semakin tinggi bilangan asam,
maka kualitas minyak akan semakin rendah. Karena bilangan asam yang besar
menunjukkan asam lemak bebas yang berasal dari hidrolisa minyak ataupun karena proses
pengolahan yang kurang baik. Sedangkan menurut Guenther (1987) bilangan asam akan
bertambah jika umur simpan minyak bertambah, penyimpanan kuran baik, proses oksidasi
aldehid dan hidrolisa ester. Oleh sebab itu minyak yang dihasilkan harus disimpan dengan
baik yang terlindung dari udara dan sinar, karena minyak yang terlindung dari udara dan
sinar mempunyai asam bebas yang relatif lebih kecil. Melihat dari pernyataan di atas,
menunjukkan bahwa perlakuan pengambilan bunga pada waktu pagi hari mempunyai
kualitas yang lebih baik daripada perlakuan pengambilan bunga pada waktu sore hari.
Penentuan jumlah ester sangat penting dalam menentukan minyak kenanga, karena
kandungan ester merupakan tolok ukur yang paling utama dalam penentuan kualitas minyak
kenanga. Bilangan ester adalah jumlah (mg) KOH yang dibuutuhkan untuk menyabunkan
ester yang terdapat dalam 1 gr minyak. Bilangan ester khusus digunakan jika jenis ester
dalam minyak tidak diketahui (Guenther, 1987).
Berdasarkan hasil pengukuran nilai rerata bilangan ester ternyata perlakuan
pengambilan bunga pada waktu pagi hari menghasilkan bilangan ester yang paling tinggi
yaitu sebesar 9,3500, sedangkan perlakuan pengambilan bunga pada waktu sore hari
sebesar 4,3633. Hal ini sesuai dengan pendapat Marsoem dan Trimulyo (2000) bahwa
waktu pengambilan bunga kenanga (Cananga odoratum Baill) sangat berpengaruh terhadap
kualitas minyak kenanga. Hal ini disebabkan oleh ester yang ada pada bunga akan sangat
mudah menguap jika terkena sinar matahari. Disusul oleh pendapat Guenther (1987) bahwa
suhu yang tinggi mengakibatkan pengaruh yang kurang baik bagi beberapa komponen
minyak kenanga. Kenyataan ini menunjukkan bahwa perlakuan pengambilan bunga pada
waktu pagi hari lebih baik kualitasnya dibandingkan dengan perlakuan pengambilan bunga
pada waktu sore hari.
Berdasarkan hasil pengukuran bilangan asam dan bilangan ester dapat diketahui
bilangan penyabunannya. Hal ini sesuai dengan pendapat Guenther (1987) yang
menyatakan bahwa bilangan penyabunan merupakan penjumlahan bilangan asam dan
ester. Dari hasil penelitian didapat nilai rerata bilangan penyabunan minyak kenanga
menunjukkan bahwa perlakuan pengambilan bunga pada waktu pagi hari menghasilkan nilai
596
PENGOLAHAN HASIL HUTAN
tertinggi yaitu sebesar 14,8852, kemudian untuk perlakuan pengambilan bunga pada waktu
sore hari sebesar 10,1977.
Nilai rerata bilangan penyabunan menunjukkan bahwa perlakuan pengambilan bunga
pada waktu pagi dan sore hari menghasilkan bilangan penyabunan yang memenuhhi
standar EOA (Essential Oil Association of USA) sehingga berdasarkan analisa bilangan
penyabunan maka mutu minyak sudah baik.
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
597
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Agung Dwi Anggoro1, J.P. Gentur Sutapa2 dan Sri Nugroho Marsoem2
1
Mahasiswa Jurusan Teknologi Hasil Hutan Fakultas Kehutanan UGM
2
Dosen Jurusan Teknologi Hasil Hutan Fakultas Kehutanan UGM
ABSTRACT
Kapok wood is potential fast-growing timber species in the community forest. Kapok
wood usually only used for firewood, so it will be necessary effort to improve the quality of
kapok wood to be used as industrial raw materials. Wood usually cut by two kind of sawing
pattern, flat sawn and quarter sawn. These mills is never apply pattern drying schedule of
kapok wood. The purpose of this research is arrange of drying schedule on sortiment of
kapok wood with two sawmills pattern and three thicknesses.
The arranging of drying schedule used the Terazawa method (1965), to drying for 72
hours within temperature of 1000 C. The observed parameters are moisture content, checks,
collaps, honeycombing and specific gravity. The arranging of drying schedule based on the
biggest defect level at drying process and initial moisture content, is analyzed by chi square
test in order to know the relation of the sawing pattern and sortiment thickness. This drying
schedule which arranged by two sawmills pattern and three thicknesses is shown in table 7
of research methodology.
The research show that kapok wood which cut in a sawing pattern of flat sawn with
three thickness got the schedule with an initial temperature was 470 C, wet bulb depression
was 2.5, and the final temperature was 700 C, while the quarter sawn with a thickness of 2
cm get the schedule with an initial temperature was 550 C, wet bulb depression was 3.5, and
the final temperature was 700 C, a thickness of 3 cm get the schedule with an initial
temperature was 530 C, wet bulb depression was 3 and the final temperature was 700 C,
while the thickness of 4 cm get the schedule with an initial temperature was 500 C, wet bulb
depression was 2 and the final temperature was 700 C.
Keywords :community forest, kapok wood, flat sawn, quarter sawn, sortiment thickness (2
cm, 3 cm, and 4 cm), Terazawa method, drying schedule
PENDAHULUAN
598
PENGOLAHAN HASIL HUTAN
METODOLOGI PENELITIAN
Dipilih pohon randu yang sehat dan umurnya telah mencapai masa tidak produktif
sebagai penghasil kapuk dan biji yang tumbuh di hutan rakyat wilayah jalan parangtritis
Kabupaten Bantul dan wilayah Bagelen Kabupaten Purworejo. Pohon tersebut ditebang dan
batangnya digergaji menggunakan pola penggergajian flat sawn dan quarter sawn dengan
masing masing sampel ketebalannya 2 cm, 3cm, dan 4 cm dengan lebar 10 cm dan
panjang 30 cm. Dilakukan pengulangan sampel sebanyak 11 kali, sehingga total sampel
berjumlah 66 sampel, agar diperoleh hasil yang lebih seragam. Contoh uji ini termasuk
dalam kategori Papan Sempit(SNI 01-5008.1-1999) dengan ukuran tebal 5 cm, lebar 10 -
<15 cm. Setiap sampel tersebut dibuat contoh uji kadar air agar diketahui kadar air per
sampel/papan.Setelah sampel pengeringan, kadar air dan berat jenis sudah dibuat
selanjutnya dibungkus dengan plastik (killing pack) agar air dalam kayu tidak menguap dan
dapat diketahui kadar air segar (green moisture content). Selanjutnya sampel dibawa ke
Laboratorium Pengeringan dan Pengawetan kayu Bagian Teknologi Hasil Hutan Fakultas
Kehutanan Universitas Gadjah Mada untuk diuji dan dikeringkan didalam oven selama 72
jam yang diamati setiap 2 jam sekali (berat, dimensi, cacat pengeringan).
Pengujian Pengeringan
Pengujian pengeringan dengan cepat dan mudah merupakan suatu metode skematis
yang digunakan untuk menyusun bagan pengeringan dengan tepat dan cepat
tanpamengalamicacat yang terjadi dalam proses pengeringan pada jenis sortimen dan
ketebalannya (Terazawa, 1965). Metode tersebut digunakan sebagai titik awal bagi
penyusunan bagan pengeringan untuk kayu gergajian. Penerapan metode Terazawa
memilki beberapa tahapan sebagai berikut :
1. Sampel dengan dua pola penggergajian dan tiga ketebalan di keringkan dengan
menggunakan oven dengan suhu 100oC selama 72 jam
2. Dilakukan pengamatan dan pengukuran berat, dimensi (lebar, tebal, dan panjang), dan
cacat-cacat pengeringan (retak permukaan, retak ujung, pecah ujung dan collapse)
setiap 2 jam sekali.Setelah 72 jam, contoh uji dipotong menjadi dua dan diamati
terhadap cacat honeycombing.
599
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
3. Penilaian tingkat cacat ditentukan berdasarkan skala nilai yang diperoleh dari
pengukuran jumlah dan ukuran cacat yang terjadi pada kayu selama proses
pengeringan dan sampai akhir pengeringan, skala/tingkat cacat berkisar antara 1
sampai 8 bagi cacat retak permukaan, retak ujung, pecah ujung, collapse dan
honeycombing.Penentuan didasarkan pada tabel yang ditetapkan oleh Terazawa pada
tahun 1965. Nilai pada tingkatan cacat menunjukkan bahwa semakin rendah tingkat
cacat berarti semakin rendah/sedikit pula cacat yang terjadi dan sebaliknya semakin
tinggi nilai/tingkat cacatnya maka semakin tinggi (banyak) cacat yang terjadi pada
sampel yang dikeringkan.
4. Berdasarkan tingkat cacat yang diperoleh pada waktu proses pengeringan, maka dapat
ditentukan suhu awal (minimun) dan suhu akhir (maksimum) pengeringan serta
depresiasi bola basah. Pemeringkatan cacat yang terjadi dan tabel termometer suhu
bola kering (SBK) dan tabel depresiasi bola basah (DBB) sudah disajikan dan ditetapkan
secara manual oleh Forest Product Laboratory (Rasmussen, 1961), sehingga dapat
disusun bagan pengeringan yang sesuai dengan kayu randu dengan dua pola
penggergajian dan tiga ketebalan untuk kayu randu.
Penyusutan Papan
Selama proses pengeringan, sampel kayu randu mengalami penyusutan yang
besarnya bervariasi pada setiap sampel yang berbeda pada ketiga arah/penampang dan
ketebalannya. Dapat dilihat pada Tabel 1 bahwa T/R rasio pola flat sawn lebih besar
dibanding pola quarter sawn.Penyusutan dipengaruhioleh interaksi dari banyaknya zat kayu
yang ada serta rata-rata sudut mikrofibril pada dinding sel terhadap sumbu panjang selnya.
Tabel 1.Rata-rata penyusutan pada pola penggergajian flat sawn dan quarter sawn.
600
PENGOLAHAN HASIL HUTAN
Tabel 2. Rekapitulasi tingkat cacat retak terbesar pada pola penggergajian flat sawn dan
quarter sawn denganketebalan 2cm, 3 cm, dan 4 cm.
Tabel 3. Rekapitulasi tingkat cacat collapse terbesar pada pola penggergajian flat sawn dan
quarter sawn denganketebalan 2cm, 3 cm, dan 4 cm.
Rata-rata
Pola Ketebalan Tingkat cacat yang terjadi pada sampel ulangan ke- Berat Tingkat
Penggergajian (cm) Kadar Air Jenis Cacat
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 rata-rata (%) (collapse)
2 8 7 7 8 8 8 8 8 8 8 8 173,319 0,19 8
Flat sawn 3 8 8 5 7 8 8 8 8 8 6 8 172,385 0,23 8
4 5 6 6 7 8 8 8 8 7 7 8 165,612 0,21 8
2 1 1 2 1 1 1 1 1 1 1 1 166,453 0,23 1
Quarter sawn 3 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 161,341 0,22 1
4 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 163,280 0,25 1
Tabel 4.Rekapitulasi tingkat cacat honeycombing terbesar pada pola penggergajian flat sawn
dan quarter sawn denganketebalan 2cm, 3 cm, dan 4 cm.
Tingkat cacat yang terjadi pada sampel ulangan ke- Kadar Rata-rata Tingkat
Pola Ketebalan Berat
Air rata- Cacat (honey
Penggergajian (cm) Jenis
rata (%) combing)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 173,319 0,19 1
Flat sawn 3 1 1 1 1 2 1 2 3 2 1 1 172,385 0,23 1
4 1 2 3 4 2 3 5 4 3 3 4 165,612 0,21 3
2 1 1 1 1 2 1 1 1 1 1 1 166,453 0,23 1
Quarter sawn 3 1 1 1 1 2 1 1 1 1 1 1 161,341 0,22 1
4 2 1 1 1 3 2 2 1 2 1 2 163,280 0,25 2
601
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Tabel 5. Bagan pengeringan dengan kadar air awal 200% - 110%, suhu awal 47C, epresiasi
bola basah 2,5, dan suhu akhir pengeringan 70C (untuk pola penggergajian flat sawn
dengan ketebalan 2 cm, 3 cm, dan 4 cm).
Bagan pengeringan untuk pola penggergajian flat sawn dengan tiga ketebalan
memiliki bagan pengeringan yang sama. Hal ini disebabkan pola penggergajian flat sawn
dengan tiga ketebalan memiliki tingkat terbesar cacat hampir seragam, yaitu collapse tingkat
8.Collapse kemungkinan disebabkan oleh tegangan kompresi (tekan) dilapisan tengah kayu
yang melebihi kekuatan tekan kayu atau bisa juga disebabkan oleh tegangan cairan di dalam
rongga sel yang penuh dengan air.
Tabel 6. Bagan pengeringan dengan kadar air awal 200% - 110%, suhu awal 55C,
depresiasi bola basah 3,5 , dan suhu akhir pengeringan 70C (untuk pola penggergajian
quarter sawn dengan ketebalan 2 cm).
602
PENGOLAHAN HASIL HUTAN
Tabel 7. Bagan pengeringan dengan kadar air awal 200% - 110%, suhu awal 53C,
depresiasi bola basah 3 dan suhu akhir pengeringan 70C (untuk pola penggergajianquarter
sawn dengan ketebalan 3 cm).
Tabel 8. Bagan pengeringan dengan kadar air awal 200 % - 110 %, suhu awal 50C,
depresiasi bola basah 2, dan suhu akhir pengeringan 70C (untuk pola penggergajian
quarter sawn dengan ketebalan 4 cm).
Keterangan :
KA : Kadar Air Kayu
SBK : Suhu Bola Kering
DBB : Depresiasi Bola Basah
SBB : Suhu Bola Basah
KR : Kelembaban Relatif(Relative Humidity)
KAS : Kadar Air Setimbang (Equilibrium Moisture Content)
Bagan pengeringan yang diperoleh dari pola penggergajian quarter sawn pada tiga
ketebalan memiliki bagan pengeringan yang bervariasi. Hal ini disebabkan karena pola
penggergajian quarter sawn pada tiap ketebalannya memiliki perbedaan tingkat cacat, papan
yang yang lebih tebal cenderung memiliki tingkat cacat retak lebih besar dibanding papan
yang lebih tipis. Kayu dengan ketebalan yang lebih besar akan lebih sulit mengering dan
lebih banyak mengalami cacat ketika kayu dikeringkan pada kondisi yang sama, hal ini
disebabkan semakin tebal kayu maka semakin panjang perjalanan air dari pusat menuju
permukaan kayu. Kayu dengan ketebalan yang tinggi akan memiliki gradient kadar air
(perbedaan kadar air antara permukaan dengan kadar air inti) yang lebih besar.
Berdasarkan bagan pengeringan yang diperoleh pada masing-masing pola
penggergajian dan ketebalannya di atas, pengaturan suhu dan kelembaban yang didapat
dalam bagan pengeringan, disesuaikan dengan Tabel 9 dibawah ini.
603
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
604
PENGOLAHAN HASIL HUTAN
ABSTRAK
Kelapa sawit merupakan salah satu komoditas andalan dalam menghasilkan devisa
negara yang juga memberikan kontribusi dalam perluasan lapangan kerja. Dalam
pertumbuhannya, kelapa sawit tidak terlepas dari serangan hama. Rayap merupakan hama
penting pada tanaman kelapa sawit yang ditanam di atas lahan gambut. Sampai saat ini,
cara penanggulangan serangan rayap yang banyak digunakan adalah dengan penggunaan
bahan kimia yang dapat berbahaya baik bagi manusia maupun bagi lingkungan. Hasil yang
ditargetkan dalam penelitian ini adalah mengembangkan bio-termitisida asap cair untuk
pengendalian rayap pada tanaman kelapa sawit di lahan gambut. Pemanfaatan asap cair
sebagai termitisida alami untuk mengendalikan rayap merupakan suatu pilihan teknologi
yang tepat dan menarik untuk dikembangkan. Dengan digunakannya asap cair sebagai
bahan untuk mengendalikan aktifitas rayap maka diharapkan tidak terjadi lagi pencemaran
yang diakibatkan oleh penggunaan bahan kimia.
Penelitian ini bertujuan untuk: (1) Menghasilkan produk asap cair dari limbah TKKS
melalui proses kondensasi dengan suhu pembakaran 450C, (2) Mengevaluasi bioaktivitas
asap cair TKKS terhadap rayap pada tanaman kelapa sawit di lahan gambut di lapangan, (3)
Mengevaluasi metode aplikasi asap cair dilapangan, yaitu metode umpan (baiting method)
dan metode semprot (spraying method). Hasil aplikasi asap cair di lapangan membuktikan
bahwa metode semprot lebih efektif dibandingkan metode umpan. Metoda semprot
menghasilkan derajat proteksi 40-70 dengan artian bahwa terjadi serangan rayap kembali
pada bulan ke 2-3. Sedangkan metoda umpan memiliki derajat proteksi 0 karena pada bulan
pertama rayap sudah menyerang kembali.
Kata kunci: Asap Cair, TKKS, Bio-termitisida, Kelapa sawit, Lahan gambut.
PENDAHULUAN
605
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Cara penanggulangan serangan rayap yang banyak digunakan sampai saat ini
adalah dengan penggunaan bahan kimia yang dapat berbahaya bagi operator maupun bagi
lingkungan. Kebanyakan pestisida untuk rayap banyak dirancang untuk melindungi
bangunan terutama bagian yang terbuat dari kayu. Oleh karena itu, termitisida yang banyak
beredar saat ini memiliki residu yang dapat bertahan lama dalam tanah dan sulit terurai
sehingga dapat mencemari lingkungan. Termitisida tersebut tidak sesuai bila digunakan
untuk tanaman.
Pengendalian rayap secara biologis menggunakan agen hayati dari golongan
cendawan, nematoda, virus dan bakteri entomopatogen untuk pengendalian rayap tanah
sudah pernah diteliti (Khan et.al. 1991, Suzuki 1991, Milner 1996, John et.al. 1996, dan
Pearce 1997). Penggunaan ekstraktif dari berbagai macam jenis kayu dan tumbuhan untuk
mengendalikan serangan rayap juga sudah ada yang melakukan (Ohmura et.al.1997, Syafii,
1996). Penerapan teknologi pengumpanan (baiting) untuk mengeliminasi koloni rayap sudah
pernah diteliti pula (Indrayani et.al, 2007).
Aternatif lain yang dapat dilakukan untuk mengendalikan hama rayap adalah dengan
menggunakan bahan kimia ramah lingkungan yaitu dengan menggunakan asap cair (liquid
smoke). Asap cair merupakan suatu campuran larutan dari dispersi koloid asap kayu dalam
air, yang dibuat dengan mengkondensasikan asap dari hasil pembakaran kayu tersebut
(Maga 1987). Hasil-hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa asap cair dari berbagai
jenis kayu mempunyai potensi sebagai pengawet alami, yaitu sebagai antibakteri dan anti
jamur. Di Indonesia, pemanfaatan asap cair dari TKKS untuk mengendalikan rayap pada
tanaman kelapa sawit masih belum ada yang melakukan.
Tujuan dari penelitian ini adalah mengembangkan bio-termitisida asap cair dari
limbah TKKS untuk pengendalian hama rayap pada tanaman kelapa sawit di lahan gambut.
Pemanfaatan asap cair sebagai termitisida alami untuk mengendalikan rayap merupakan
suatu pilihan teknologi yang tepat dan menarik untuk dikembangkan. Dengan digunakannya
asap cair sebagai bahan untuk mengendalikan aktifitas rayap maka diharapkan tidak terjadi
lagi pencemaran yang diakibatkan oleh penggunaan bahan kimia beracun.
606
PENGOLAHAN HASIL HUTAN
langsung keseluruh bagian batang pohon sampel terserang rayap (Gambar 2). Sedangkan
pada teknik aplikasi dengan sistim umpan, pertama-tama pada pohon sampel diberi umpan
berupa stik kayu karet berukuran 8 cm x 8 cm x 20 cm (Gambar 3). Pemasangan umpan
dilakukan sebanyak 4 buah pada setiap pohon sampel. Setelah umpan kayu karet terserang
rayap (sekitar 1 minggu) kemudian pada umpan tersebut disemprotkan asap cair dengan
konsentrasi dan perlakuan yang sama dengan metoda penyemprotan langsung. Setiap
Perlakuan dilakukan pengulangan sebanyak 4 pohon. Pengamatan dilakukan satu kali dalam
sebulan selama 4 (empat) bulan untuk mengevaluasi aktifitas asap cair terhadap rayap pada
tanaman kelapa sawit di lahan gambut.
Gambar 2. Aplikasi asap cair dengan Gambar 3. Aplikasi asap cair dengan
metode penyemprotan langsung metode umpan
607
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Efikasi asap cair ditentukan berdasarkan pada rentan waktu lamanya rayap
menyerang kembali tanaman kelapa sawit. Pengujian dianggap berhasil apabila rayap tidak
menyerang lagi dalam waktu minimal 2 bulan (nilai scoring diatas 70).
Hasil aplikasi asap cair pada pohon kelapa sawit terserang rayap
Rekapitulasi hasil pengamatan aplikasi asap cair pada pohon kelapa sawit terserang
rayap dapat dilihat pada Tabel 2. Dari Tabel 2 dapat dilihat bahwa sebagian besar rayap
menyerang kembali pada bulan ke 0-1 setelah aplikasi asap cair pada tanaman kelapa
sawit. Hal ini dikarenakan oleh aplikasi asap cair dilakukan pada musim hujan, akibatnya
asap cair yang sudah diberikan pada pohon tercuci oleh air hujan. Cepatnya serangan
kembali oleh rayap pada beberapa pohon dikarenakan pohon tumbuhnya condong
dikarenakan kondisi tanah gambut sehingga asap cair yang diaplikasikan tercuci oleh air
hujan. Selain itu ada beberapa pohon sampel dengan kondisi terdapat tandan buah dimana
hal ini menyebabkan asap cair sulit masuk meresap kedalam batang pohon yang terserang
rayap. Akibatnya pada pohon ini cepat terjadi serangan rayap kembali.
Faktor iklim, terutama curah hujan, sangat berpengaruh terhadap penelitian di
lapangan. Seperti halnya penelitian aplikasi asap cair pada pohon kelapa sawit ini, curah
hujan menyebabkan tercucinya asap cair yang diaplikasikan ke pohon. Hal ini menyebabkan
efektifitas asap cair terhadap rayap pada pohon kelapa sawit tidak maksimal. Sehingga
dapat disarankan aplikasi asap cair harus dilakukan pada musim kering agar efektivitas asap
cair dapat maksimal.
Dalam perjalanan penelitian ini, terdapat satu pohon yang tumbang akibat serangan
rayap yang hebat. Pada bagian luar pohon yang tumbang ini tidak terdapat rayap, tetapi
pada bagian dalam pohon masih terdapat rayap dalam jumlah yang cukup banyak. Pohon
sampel ini pada awalnya sudah terserang rayap yang cukup serius sehingga asap cair
sejumlah 2 liter yang diaplikasikan tidak berpengaruh pada pohon ini.
608
PENGOLAHAN HASIL HUTAN
Metoda semprot
8 112/19 (asap cair 2 liter) X X X O O
9 113/19 (asap cair 2 liter) X X O O O
10 114/20 (asap cair 2 liter) O O O O O
11 112/13 (asap cair 2 liter) X X O O O
12 112/22 (asap cair 1 liter) X O O O O
13 114/11 (asap cair 1 liter) X O O O O
14 114/6 (asap cair 1 liter) O O O O O
15 114/9 (asap cair 1 liter) O O O O O
Keterangan:
X: Tidak diserang
O: Diserang
Pada Tabel 2 terlihat bahwa aplikasi asap cair dengan metoda semprot dengan
jumlah asap cair sebanyak 2 liter dapat menahan serangan rayap tanah sampai dengan 2
bulan, sedangkan metoda umpan hanya dapat menahan serangan rayap tanah dibawah 2
bulan. Akan tetapi hasil ini belum maksimal mengingat pengaruh faktor iklim seperti curah
hujan yang tidak dapat dihindari pada saat pelaksanaannya.
Apabila hasil pengamatan periode serangan disesuaikan dengan derajat proteksi,
maka metode pengujian semprot sebanyak 2 liter mempunyai derajat proteksi 40 sampai 70
yang artinya bahwa terjadi serangan rayap kembali pada bulan ke 2-3. Sedangkan metoda
umpan memiliki derajat proteksi 0 karena pada bulan pertama rayap sudah menyerang
kembali.
KESIMPULAN
Kesimpulan
1. Aplikasi asap cair pada kelapa sawit dengan metoda semprot sebanyak 2 liter dapat
menahan serangan rayap sampai dengan 2 bulan dalam penelitian ini.
2. Faktor iklim seperti curah hujan juga mempengaruhi keberhasilan aplikasi asap cair di
lapangan. Direkomendasikan sebaiknya aplikasi asap cair pada kelapa sawit dilakukan
tidak pada musim hujan.
Saran
Perlu dilakukan penelitian lapangan selanjutnya dengan jumlah asap cair yang lebih
banyak dari 2 liter, mengingat serangan rayap yang serius tidak cukup hanya diberi asap cair
sebanyak 2 liter.
609
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
DAFTAR PUSTAKA
610
BIDANG F
ILMU KEHUTANAN
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
ABSTRAK
Hutan rakyat campuran dengan berbagai jenis tanaman dan daur tebang diharapkan
akan mempertahankan keanekaragaman jenis, menghindari kekurangan satu jenis unsur
hara tertentu, konservasi tanah serta meminimalkan kerugian sebagai akibat adanya
gangguan hama/penyakit pada satu jenis tanaman tertentu. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui pertumbuhan jenis mahoni afrika, sengon dan sungkai pada pola tanam
campuran. Ketiga jenis tersebut merupakan jenis-jenis yang dominan menyusun hutan
rakyat. Penelitian ini menggunakan rancangan Rancangan Acak Lengkap Berblok (RCBD).
Perlakuan yang di uji cobakan adalah tiga jenis pohon yaitu : sengon (Falcataria mollucana),
sungkai (Peronema canescens), mahoni afrika (Khaya anthotecha). Jumlah tanaman tiap
jenis sebanyak 60 tanaman dan diulang sebanyak tiga ulangan, sehingga jumlah total
tanaman sebanyak 540 pohon.Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertumbuahan tinggi
rata-rata terbaik pada umur dua tahun yaitu jenis sengon (739 cm) diikuti sungkai (324 cm)
dan mahoni afrika (273 cm) demikian pula dengan pertambahan diameter tanaman terbaik
yaitu jenis sengon (7,07 cm), sungkai (4,40 cm) dan mahoni afrika (4,04 cm), dan
pertumbuhan lebar tajuk terbaik yaitu sengon (2,65 cm), mahoni afrika (2,65 cm) dan
sungkai (1,42 cm). Tanah disekitar jenis sengon dan mahoni afrika mempunyai kandungan
unsur hara jenis nitrogen dan karbon organik yang lebih tinggi dibandingkan dengan tanah
sebelum penanaman dan dibandingkan pada tanah disekitar jenis sungkai dengan nilai
masing masing sengon (Nitrogen 0,23; karbon organik 2,314) serta mahoni afrika (Nitrogen
0,238; karbon organik 2,445). Peningkatan pH tertinggi diperoleh pada tanah disekitar
tanaman sungkai sebesar 5,13 dari pH sebelumnya 4,5.
PENDAHULUAN
Hutan tropis mempunyai ciri memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi dengan
penutupan lapisan strata tajuk ayng lengkap. Kondisi ini juga hampir disamai dengan kondisi
hutan rakyat yang terdiri dari berbagai macam jenis tanaman. Tujuan masyarakat menanam
berbagai jenis tanaman di hutan rakyat sebenarnya dalam rangka untuk memenuhi berbagai
macam kebutuhan yang harus dipenuhi dari sebidang tanah yang mereka miliki. Sehingga
hutan rakyat seringkali terdiri dari jenis penghasil kayu pertukangan, kayu bakar, buah-
buahan, tanaman obat, bambu, hijauan makanan ternak dan memenuhi kebutuhan dapur
masyarakat. sementara itu pertimbangan dari aspek produktivitas tanaman penyusun belum
menjadi perhatian utama. Padahal kombinasi antar jenis penyusun akan menyebabkan
persaingan dalam mendapatkan cahaya, unsur hara, air dan ruang tumbuh. Oleh karena itu
pemilihan jenis diharapkan mempertimbangkan jenis yang dapat tumbuh bersama. Hutan
rakyat campuran yang dikembangkan dapat berupa campuran dari jenis yang mempunyai
daur tebang pendek (<10 tahun), menengah (10-20 tahun) dan panjang (>30 thun). Kosasih
et al.(2006)mengemukakan model-model hutan tanaman campuran yaitu: (1) hutan
campuran berdaur sama yaitu terdiri dari pohon dengan daur tebang yang sama, (2) hutan
campuran beda daur yaitu terdiri dari berbagai jenis yang berbeda daur tebangnya dan (3)
612
ILMU KEHUTANAN
hutan campuran beda strata yaitu apabila memiliki sifat pertumbuhan vertikal berbeda atau
berbeda umur sehingga membentuk strata tajuk yang berbeda. Pengusahaan hutan rakyat
yang hanya bertumpu pada salah satu jenis pohon seperti sengon menyebabkan pohon
rentan terhadap hama dan penyakit yang mengganggu pertumbuhan dan menurunkan
tingkat kualitas tegakan. Selain itu penanaman tanaman sejenis pada luasan tertentu, akan
menyebabkan satu jenis nutrisi akan terambil secara terus menerus, sehingga tanah akan
kehilangan unsur tertentu dan berakibat penanaman selanjutnya dikhawatirkan akan
mengalami malnutrisi sehingga terjadi penurunan kualitas tegakan.
Hutan tanaman campuran diharapkan seperti halnya dengan tumbuhan di alam yang
dapat saling bergabung membentuk hutan dengan berbagai pelapisan tajuk yang satu
dengan yang lainnnya saling menutup sehingga pemanfaatan ruang tumbuh dapat lebih
optimal. Menurut Soekotjo (2004) hutan yang sehat memiliki ciri-ciri dari sudut pandang
lingkungan adalah 1) hutan dalam kondisi puncak suksesi (klimaks), 2) tajuknya berstrata
banyak, memiliki gap yang relatif luas, dan berkelas umur tidak sama, dan 3) jenis langka
dan specialist merupakan indikator bagi hutan yang sehat. Indriyanto (2006), stratifikasi atau
pelapisan tajuk merupakan susunan tetumbuhan secara vertikal di dalam suatu komunitas
tumbuhan atau ekosistem hutan yang terjadi karena dua hal penting yaitu : 1) akibat
persaingan antar tumbuhan, 2) akibat sifat toleransi spesies pohon terhadap intensitas
radiasi matahari.
Salah satu cara untuk mempertahankan kelestarian hutan tanaman yaitu dengan
pembangunan hutan tanaman campuran. Hutan rakyat campuran dengan berbagai jenis
tanaman dan daur tebang diharapkan akan mempertahankan keanekaragaman jenis,
menghindari kekurangan satu jenis unsur hara tertentu, konservasi tanah serta
meminimalkan kerugian sebagai akibat adanya gangguan hama/penyakit pada satu jenis
tanaman tertentu. Sensus pertanian tahun 2003 menunjukkan bahwa potensi kayu di hutan
rakyat di Pulau Jawa didominasi oleh jenis : akasia, bambu, jati, maboni, pinus, sengon dan
sonokeling, sedangka di luar Jawa hutan rakyat di dominasi oleh jenis cendana, rotan dan
sungkai. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pertumbuhan jenis mahoni afrika, sengon
dan sungkai pada pola tanam campuran. Ketiga jenis tersebut merupakan jenis-jenis yang
dominan menyusun hutan rakyat.
Metode
Penelitian ini menggunakan rancangan Rancangan Acak Lengkap Berblok (RCBD).
Perlakuan yang di uji cobakan adalah tiga jenis pohon yaitu : sengon (Paraserianthes
falcataria), sungkai (Peronema canescens), mahoni afrika (Khaya anhtotecha). Jumlah
tanaman tiap jenis sebanyak 60 tanaman dan diulang sebanyak tiga ulangan, sehingga
jumlah total tanaman sebanyak 540 pohon. Tiap jenis tanaman ditanam secara jalur yaitu 4
(empat) baris jenis sengon, 4 (empat) baris jenis mahoni Afrika dan 4 (empat) baris jenis
sungkai. Pengukuran pertumbuhan tanaman setiap 6 bulan sekali pada tahun pertama dan
1 tahun sekali pada tahun kedua. Parameter yang diukur yaitu: tinggi, diameter, dan lebar
tajuk. Kondisi tanah pada masing-masing jenis dianalisa dengan cara diambil sampel
tanahnya untuk mengetahui tingkat kesuburannya.
613
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Analisa Data
Hasil pengukuran tinggi, diameter dan lebar tajuk dianalisis dengan analisis varian
dan apabila terjadi beda nyata maka dilanjutkan dengan uji lanjut Duncan. Analisis data
dilakukan dengan alat bantu program SPSS. Kualitas tanah pada masing-masing jenis
tanaman dianalisa di laboratorium tanah Fakultas Pertanian, Universitas Jenderal
Soedirman.
Pertumbuhan Tanaman
Pertumbuhan tiga jenis tanaman memberikan hasil yang berbeda secara nyata
seperti disajikan pada Tabel 1. Sedangkan untuk mengetahui jenis yang mempunyai
pertumbuhan terbaik maka dilakukan uji jarak Duncan yang hasilnya disajikan pada Tabel 2.
Tinggi (cm)
Umur
614
ILMU KEHUTANAN
Diameter (cm)
Umur
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertumbuhan tinggi rata-rata terbaik pada umur
dua tahun yaitu jenis sengon (739 cm) diikuti sungkai (324 cm) dan mahoni afrika (273 cm)
demikian pula dengan pertambahan diameter tanaman terbaik yaitu jenis sengon (7,07 cm),
sungkai (4,40 cm) dan mahoni afrika (4,04 cm), dan pertumbuhan lebar tajuk terbaik yaitu
sengon (2,65 cm), mahoni afrika (2,65 cm) dan sungkai (1,42 cm).
Pemanfaatan lahan dengan Penggunaan jenis campuran legum (sengon) dan non
legum (sungkai dan mahoni afrika) diharapkan memberikan keuntungan yaitu (Huxley, 1999
dalam Hairiah et al., 2000):
1. Adanya penambahan jumlah kandungan N tanah melalui penambatan N dari udara oleh
tanaman sengon
2. Membentuk kurang lebih sistem ekologi yang tertutup yaitu menahan semua, atau
hampir semua atau sebagian besar unsur hara di dalam sistem)
3. Mengurangi kemasaman tanah (melalui pelepasan kation dari hasil mineralisasi
seresah)
4. Memperbaiki kesuburan tanah lewat masukan biomass dari sistem perakaran pohon dan
kontribusi dari bagian atas pohon
5. Memperbaiki asosiasi mikoriza lewat interaksi antar pohon
6. Memperbaiki efesiensi penyerapan hujan, cahaya dan nutrisi mineral yang terpakai
7. Terhindar dari penyebaran dan kerusakan yang disebabkan oleh serangan hama dan
penyakit.
Penanaman dengan satu jenis tanaman dan satu daur memiliki beberapa kelemahan
karena kemungkinan kekurangan unsur hara tertentu dapat terjadi. Karena tiap jenis
tanaman membutuhkan unsur hara yang berbeda-beda sehingga apabila hutan terdiri dari
berbagai jenis tanaman maka penggunaan unsur hara falam tanah akan lebih optimal serta
tidak terjadi adanya kekurangan unsur hara tertentu. Hairiah et. al.(2000) menyebutkan
bahwa jika penanaman dengan jenis yang lambat pertumbuhannya, maka pada saat bahan
organik lapuk dan unsur hara dilepaskan dalam jumlah maksimal, ternyata tanaman belum
membutuhkan N dalam jumlah banyak, sehingga unsur hara tersebut tidak dimanfaatkan
dalam jumlah banyak dan pada akhirnya sisa unsur hara tersebut akan hilang melalui
pencucian dan penguapan. Sebaliknya bila tanaman yang ditanam hanya jenis daur cepat
maka pada saat tanaman membutuhkan unsur hara dalam jumlah banyak, bahan organik
belum termineralisasi, sehingga N tersedia dalam tanah tidak cukup. Oleh karena itu
kombinasi tanaman cepat tumbuh (jenis sengon) dan tanaman lambat tumbuh (mahoni afrika
dan sungkai) dapat mengurangi permasalah ketersediaan hara.
Milda (2004), memberikan hasil penelitian mengenai total panjang akar (Lrv, cm cm-
3) dan total berat kering akar (Drv, mg cm-3). Pada kedalaman 0-80 cm nilai Lrv dan Drv
jenis mahoni (0.066 cm cm-3 dan 0.109 mg cm-3) , dan sengon (0.042 cm mg cm-3 dan
615
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
0.107 mg cm-3). Sedangkan pada lapisan tanah bawah >80 cm, mahoni menurun sebesar
79% dan 85 %; namun Lrv sengon justru meningkat Sebesar 38% dan Drv menurun 31%.
Bila ditinjau dari efisiensi jaring penyelamat hara (nisbah N yang diserap: N yang hilang)
mahoni dan sengon yaitu sekitar 75 %. Sehingga kedua jenis tersebut cocok untuk ditanam
pada pola tanam campuran.
Kesuburan Tanah
Kegiatan penanaman jenis tanaman kayu-kayuan diharapkan akan memperbaiki
kondisi kesuburan tanah. Hal ini terjadi karena adanya proses pelapukan bahan-bahan
organi berupa seresah, limbah hasil pembersihan serta pemupukan. Selain itu jenis sengon
sebagai jenis legum yang mempunyai bintil akar mempunyai kemampuan untuk menyerap
unsur N dalam udara dan akan memberi masukan kedalam tanah. Hasil analisa kesuburan
tanah sebelum penanaman disajikan pada Tabel 3 dan hasil analisa kesuburan tanah
setelah 2 (dua) tahun penanaman disajikan pada Tabel 4.
Tanah disekitar jenis sengon dan mahoni afrika mempunyai kandungan unsur hara
jenis nitrogen dan karbon organik yang lebih tinggi dibandingkan dengan tanah sebelum
penanaman dan dibandingkan pada tanah disekitar jenis sungkai dengan nilai masing
masing sengon (Nitrogen 0,23; karbon organik 2,314) serta mahoni afrika (Nitrogen 0,238;
karbon organik 2,445). Peningkatan pH tertinggi diperoleh pada tanah disekitar tanaman
sungkai sebesar 5,13 dari pH sebelumnya 4,5. Hal ini disebabkan karena adanya pengaruh
pertumbuhan tanaman tersebut serta adanya kegiatan pemupukan yang dilakukan terhadap
tanaman. Pemberian pupuk sebanyak 5 kg pada awal penanaman dan 6 bulan setelah
penanaman telah meningkatkan kandungan unsur hara serta meningkatkan nilai pH tanah.
Kandungan unsur hara yang meningkat adalah unsur Nitrogen dan karbon organik.
Peningkatan unsur tersebut berasal dari adanya pemberian pupuk kandang sebanyak 2 kali
masing-masing 5 kg sehingga adanya penambahan bahan organik. Hal ini juga
mengakibatkan nilai pH tanah meningkat. Kenaikan pH tersebut karena adanya
penambahan OH- ataupun kation-kation basa hasil penguraian bahan organik (Kastono,
2005).
616
ILMU KEHUTANAN
Hairiah et.al. (2000) jenis sengon, sungkai dan mahoni adalah contoh jenis-jenis
tanaman kayu-kayuan yang toleran terhadap tingkat kemasaman tinggi selain jenis pulai
(alstonia spp), gmelina (gmelina arborea), akasia (Acacia mangium). Jenis sengon dan
mahoni afrika memberikan peningkatan kandungan unsur hara N dan karbon organik lebih
tinggi dibandingkan dengan sungkai. Hal ini mungkin disebabkan karena walaupun sengon
memilki pertumbhan yang paling cepat yang tentu saja membutuhkan nutrisi lebih banyak,
namun sengon mempunyai kemamampuan mengikat nitrogen bebas diudara dengan
adanya bintil akar. Sementara itu mahoni memiliki peningkatan yang lebih besar
dibandingkan sungkai walaupun mahoni bukan jenis legum. Hal ini terjadi karena
kemungkinan mahoni memiliki pertumbuhannya paling lambat sehingga nutrisi yang
digunakan lebih sedikit dibandingkan jenis sungkai.
Unsur phospor (P) merupakan unsur hara makro yang sangat dibutuhkan oleh
tanaman untuk pertumbuhan (perkembangan batang dan akar), pembentukan protein dan
proses metabolisme. Unsur phospor tersedia dalam bentuk P2O5. Hasil analisa tanah
menunjukkan bahwa kandungan unsur phospor dari setiap jenis tanaman dalam kondisi
dangat rendah. Hal ini disebabkan karena ketersediaan phospor sangat dipengaruhi oleh pH
tanah. Novizan (2002) Pada tanah ber pH rendah (asam), phospor akan bereaksi dengan ion
besi dan aluminium. Reaksi ini membentuk besi fosfat atau aluminium fosfat yang sukar larut
didalam air sehingga tidak dapat digunakan oleh tanaman selain itu pada tanah alkali dapat
ditmukan unsur yang dapat meracuni tanaman yaitu natrium (Na) dan molibdenum (Mo).
Oleh karena itu perlu upaya peningkatan kandungan unsur phospor. Beberapa cara yang
dapat digunakan untuk meningkatkan kandungan unsur phospor yaitu dengan cara : 1)
meningkatkan pH tanah, 2) meningkatkan kandungan bahan organik tanah, 3) memperbaiki
aerasi tanah.sementara itu kalium (K) dalam jumlah yang rendah hal ini disebabkan karena
kondisi pH tanah yang masam sehingga mudah tercuci.
Unsur hara makro esensial yaitu N, P, K harus dalam jumlah yang mencukupi di
dalam tanah untuk mendukung pertumbuhan tanaman. Oleh karena itu perlu untuk
meningkatkan kandungan unsur-unsur hara tersebut dapat dilakukan dengan cara
pemupukan. Noviardi et.al. (2009) menyebutkan bahwa kandungan N pada tanah dapat
ditingkatkan dengan pemberian pupuk sumber nitrogen seperti NPK, amonium nitrat,
amonium sulfat (NH4SO4), Kalsium nitrat dan urea (CO (NH2)). Tanah yang memiliki
kandungan P rendah dapat ditingkatkan dengan pemberian pupuk NPK, SP36 dan amonium
phospat. Konsentrasi hara K (kalium) dapat ditingkatkan dengan pemberian pupuk NPK,
kalium khlorida (KCl), kalium sulfat (K2SO4), kalium nitrat (KNO3).
KESIMPULAN
1. Pertumbuahan tinggi rata-rata terbaik pada umur dua tahun yaitu jenis sengon (739 cm)
diikuti sungkai (324 cm) dan mahoni afrika (273 cm) demikian pula dengan pertambahan
diameter tanaman terbaik yaitu jenis sengon (7,07 cm), sungkai (4,40 cm) dan mahoni
afrika (4,04 cm), dan pertumbuhan lebar tajuk terbaik yaitu sengon (2,65 cm), mahoni
afrika (2,65 cm) dan sungkai (1,42 cm).
2. Tanah disekitar jenis sengon dan mahoni afrika mempunyai kandungan unsur hara jenis
nitrogen dan karbon organik yang lebih tinggi dibandingkan dengan tanah sebelum
penanaman dan dibandingkan pada tanah disekitar jenis sungkai dengan nilai masing
masing sengon (Nitrogen 0,23; karbon organik 2,314) serta mahoni afrika (Nitrogen 0,238;
karbon organik 2,445).
3. Peningkatan pH tertinggi diperoleh pada tanah disekitar tanaman sungkai sebesar 5,13
dari pH sebelumnya 4,5.
617
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
DAFTAR PUSTAKA
618
ILMU KEHUTANAN
ABSTRAK
Dari segi pertumbuhan jenis Shorea leprosula adalah jenis yang cepat tumbuh (fast
growing species) tetapi memiliki kecenderungan berat jenis yang lebih rendah dan rentan
terhadap serangan organism perusak kayu. Walaupun target spesies untuk kegiatan SILIN
adalah Shorea leprosula namun ada salah satu spesies yang memiliki sifat dan kualitas kayu
yang lebih baik yaitu Dryobalanops lanceolata, meskipun dari segi pertumbuhannya belum
diketahui lebih jauh. Oleh karena itu dilakukan penelitian untuk mengetahui pertumbuhan
diameter dan tinggi dari jenis Dryobalanops lanceolata. Penelitian dilakukan di PT. BFI,
Kalimantan Timur dari tahun 2006 sampai dengan tahun 2010. Metode yang digunakan
adalah pengukuran diameter dan tinggi tanaman setiap tahun selama 5 (lima) tahun. Data
dianalisis dengan SPSS 16 untuk mengetahui kurva pertumbuhannya. Hasil penelitian
menunjukan bahwa pertumbuhan diameter mengikuti kurva linear y = 0,947x 0,611,
dengan r = 0,687, taraf kepercayaan sangat signifikan. Sedang pertumbuhan tinggi
mengikuti kurva linear y = 106,881x 77,166, dengan r = 0,617 taraf kepercayaan sangat
signifikan. Sehingga diperoleh hubungan antara diameter dan tinggi mengikuti kurva linear y
= 107,404x + 10,345, dengan r = 0,814 taraf kepercayaan sangat signifikan.
PENDAHULUAN
Silvikultur Intensif (SILIN) bukan merupakan regim atau sistem silvikultur tetapi
merupakan teknik silvikultur, SILIN muncul di dorong oleh dua kondisi yang sangat
bertentangan yaitu : (1) kecenderungan kerusakan hutan alam yang terus berlangsung, dan
(2) kebutuhan produk hasil hutan untuk mendukung kehidupan umat manusia terus
bertambah. Silvikultur intensif adalah teknik silvikultur yang memadukan tiga elemen utama
silvikultur yaitu (1) spesies target yang telah dimuliakan; pada awalnya spesies target saja
karena pemuliaan memerlukan waktu (2) manipulasi lingkungan; pada awalnya masih
terbatas perlakuan dasar tetapi perlu terus diupayakan optimalisasi tindakan silvikultur
sehingga hasilnya bisa optimal dan (3) pengendalian hama terpadu (Soekotjo, 2009).
Salah satu sistem silvikultur yang dapat mewadahi SILIN adalah tebang pilih dengan
tanaman pengkayaan berupa jalur tanam atau dikenal dengan TPTJ. Berdasarkan Peraturan
Menteri Kehutanan No. P.11/Menhut-II/2009, dinyatakan bahwa pemanenan tebang pilih
adalah tebangan berdasarkan limit diameter tertentu pada jenis-jenis niagawi dengan tetap
memperhatikan keanekaragaman hayati setempat. Penanaman dalam jalur adalah kegiatan
menanam dalam rangka pemanfaatan ruang tumbuh dengan jenis-jenis tanaman unggulan
setempat. Jalur antara adalah jalur tegakan tinggal yang dibina dan dimanfaatkan untuk
meningkatkan produktivitas dan mempertahankan keanekaragaman hayati. Tujuan TPTJ
adalah meningkatkan produktivitas hutan alam tegakan tidak seumur melalui tebang pilih
dan memanfaatkan ruang tumbuh dalam jalur untuk meningkatkan riap dalam rangka
memperoleh panenan yang lestari. Sasaran TPTJ adalah pada hutan alam produksi bekas
tebangan di areal IUPHHK atau KPHP.Enam prinsip yang harus dipenuhi dalam sistem
silvikultur TPTJ adalah a). Sistem silvikultur untuk tegakan tidak seumur. b). Teknik
pemanenan dengan tebang pilih, c). Meningkatkan riap, d). mempertahankan
619
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
keanekaragaman hayati, e). menciptakan ruang tumbuh optimal bagi tanaman dan f).
Penanaman jenis unggulan lokal dalam jalur. Terdapat sebelas tahapan dalam TPTJ,
meliputi a). Penataan Areal Kerja (PAK), b). Inventarisasi Hutan, c). Pembukaan Wilayah
Hutan (PWH), d). Pengadaan Bibit, e). Tebang Naungan, f). Penyiapan dan Pembuatan
Jalur Tanam, g). Penanaman dan Pemeliharaan Tanaman Jalur, h). Pembebasan dan
Penjarangan, i). Pemanenan dan j). Perlindungan dan Pengamanan Hutan.
Dengan demikian TPTJ adalah sistem silvikultur hutan alam yang mengharuskan
adanya tanam pengkayaan pada areal pasca penebangan secara jalur. Jalur dibuat dalam
rangka manipulasi lingkungan untuk menyediakan ruang untuk dilakukan pengkayaan.
Jarak antar jalur adalah 20 meter dan jarak tanam dalam jalur adalah 5 meter, jadi per
hektarnya ditanam sebanyak 100 tanaman. Tanaman tersebut adalah jenis unggulan
setempat yang berasal dari biji, atau cabutan, atau stek, atau kultur jaringan. Jalur dibuat
terbuka selebar 3 meter yang bertujuan untuk memberi ruang bagi tanaman dalam
mendapatkan cahaya untuk pertumbuhannya. Sementara itu, pada ruang di antara jalur (17
meter) disediakan dalam rangka mempersiapkan pohon binaan yang diproduksi pada
berikutnya. Tujuan lain ada jalur antara adalah untuk mempertahankan keanekaragaman
hayati.
Menurut Soekotjo (2009), menyatakan bahwa tujuan khusus program SILIN adalah
lebih menekankan pada kemampuan IUPHHK membangun hutan tanaman operasional
berskala komersial beserta tanaman pendukungnya yang mampu meningkatkan
produktivitas dan kualitas produk dari rotasi ke rotasi berikutnya secara dinamis. Tujuan
khusus ini mengandung pemahaman bahwa bibit yang ditanam harus berasal dari spesies
target, spesies prioritas yang riapnya tinggi, harga sangat baik dan dibutuhkan dalam jumlah
yang besar oleh pasar. Untuk Kalimantan, produk kayunya untuk memenuhi kebutuhan
bahan baku industri plywood, sehingga spesies target pada awalnya disarankan : Shorea
parvifolia, S. leprosula, S. johorensis, S. Smithiana dan Dryobalanops lanceolata. Di
beberapa lokasi misalnya di tempat yang sering tergenang air adalah : Shorea macrophylla,
Pada areal yang memiliki ketinggian di atas 800 m dpl, disarankan spesies target Shorea
platyclados.
Jenis Shorea leprosula yang prioritas digunakan untuk penanaman di plot TPTJ
dengan teknik silvikultur intensif (SILIN) menghasilkan kayu yang rentan terhadap serangan
hama perusak kayu karena tingkat keawetannya rendah yaitu termasuk dalam kelas kuat III-
IV dan memiliki berat jenis 0,52 (0,30 0,86), sehingga jenis ini tergolong dalam kelas awet
terhadap rayap kayu kering Cryptotermes cynocephalus Light kelas III (Martawijaya, 1981).
Sedang jenis dipterokarpa alternatif adalah Dryobalanops lanceolata yang kayunya
memiliki zat ekstraktif sehingga lebih tahan terhadap serangan organisme perusak kayu,
termasuk dalam kelas kuat II-I dan memiliki berat jenis 0,74 (0,61 1,01), sehingga jenis ini
tergolong kelas awet terhadap rayap kayu kering Cryptotermes cynocephalus Light termasuk
kelas II (Martawijaya, 1981).Philips, dkk (2002) menyatakan bahwa Dryobalanops
lanceolata merupakan jenis pohon besar yang toleran terhadap naungan dan memiliki sifat
cepat tumbuh.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas maka dilakukan penelitian terhadap
tanaman di plot TPTJ PT. BFI dengan salah satu jenis yang ditanam adalah Dryobalanops
lanceolata, karena PT. BFI adalah IUPHHK yang konsentrasi menghasilkan jenis kayu
pertukangan yang berkualitas.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui produktifitas pertumbuhan Dryobalanops
lanceolata dan siklus tebangnya jika menggunakan sistem TPTJ dengan teknik SILIN.
620
ILMU KEHUTANAN
Lokasi
Areal IUPHHK PT. BFI secara geografis terletak antara 11601 - 11645 Bujur
Timur (BT) dan antara 0042 - 0118 Lintang Selatan (LS). Berdasarkan klasifikasi iklim
Schmidt dan Fergusson (1952) dari stasiun pengamat Sepinggan (30 m dpl), areal kerja PT.
Balikpapan Forest Industries (BFI) termasuk ke dalam tipe iklim A, sangat basah tanpa bulan
kering. Rerata curah hujan tahunannya adalah 2.709 mm, dengan curah hujan tertinggi
terjadi pada bulan Juni.
Berdasarkan hasil pengamatan Stasiun Metereologi Sepinggan, areal IUPHHK
PT.BFI berada pada ketinggian 30 m dpl, suhu udara rata-rata bulanan berkisar antara 26,4
- 27,0C. Secara umum topografi areal IUPHHK didominasi oleh lereng datar seluas 76.766
ha, landai seluas 33.652 ha, agak curam seluas 36.973 ha, curam seluas 19.838 ha, dan
areal lereng sangat curam seluas 7.371. Pada umumnya jenis tanah yang terdapat di areal
IUPHHK tergolong ke dalam ordo ultisols, sub-ordo Udalts great group Tropudalts sebagian
kecil termasuk ordo Entisol.
Pengumpulan Data
Data yang diambil dari penelitian ini adalah tanaman yang telah ditanam pada tahun
2006 dengan jarak tanam 2,5 x 2,5 m, dari tanaman yang ada tersebut dilakukan
pengukuran diameter dan tingginya secara sensus.
Cara Pengukuran
Pengukuran tinggi total pada semua pohon yang masuk dengan menggunakan
tongkat ukur. Nilai tinggi diperoleh dengan rumus :
H= x tinggi galah
621
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Rata-rata tinggi semai D. lanceolata pada tahun 2006 sebesar 30,31 mm, nilai ini
lebih rendah bila dibandingkan dengan hasil penelitian Nussbaun, dkk (1995) yang
menyebutkan bahwa tinggi semai D. lanceolata umur 6 bulan yang ditanam di persemaian
pada media tanah hutan memiliki tinggi 42,5 cm. Namun, nilai rata-rata tinggi semai pada
tahun 2006 lebih tinggi daripada hasil penelitian Suhardi, dkk (1994) yang menyatakan
bahwa rata-rata pertumbuhan tinggi semai d. lanceolata yg umur 10 bulan yg tidak
diinokulasi mikoriza dan ditanam di rumah kaca sebesar 27,20 cm.
Data yang diperoleh dianalisis menggunakan SPSS 16 for windows untuk
memperoleh kurva estimasi pertumbuhan tinggi. Hasil analisis menunnjukkan bahwa
pertumbuhan tinggi mengikuti kurva linear y = 106,881x 77,166, dengan r2 = 0,617, taraf
kepercayaan sangat signifikan. Berdasarkan gradient kurva linear, diperoleh riap tinggi
setiap tahun sebesar 106,881 cm. Riap tinggi ini lebih besar bila dibandingkan dengan hasil
penelitian Vincent dan Davies (2003) yang menyatakan bahwa D. lanceolata yang ditanam
dengan lubang tanam 20cm x 30cm, di Sampadi riap tinggi 50,5cm/tahun, sedang yang
ditanam di Balai Ringin memiliki riap tinggi 57,9cm/tahun. Bila keadaan pertumbuhan tetap,
maka dalam waktu 25 tahun tinggi pohon mencapai 25,95 m, atau saat pohon mencapai
diameter 40 cm maka tinggi pohon 45,19 m.
Data diameter dan tinggi tanaman dianalisis hubungannya untuk memperoleh kurva
estimasi diameter dan tinggi. Hasil analisis menunjukkan bahwa hubungan antara diameter
dan tinggi mengikuti kurva linear y = 107,404x + 10,345, dengan r2 = 0,814, taraf
kepercayaan sangat signifikan.
622
ILMU KEHUTANAN
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
623
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
ABSTRAK
PENDAHULUAN
Kebutuhan kayu nasional dari tahun ke tahun terus mengalami defisit. Hal ini
disebabkan tidak seimbang antara supply dan demand. Supply kayu yang mengandalkan
hutan alam terus mangalami penurunan, sedangkan demand kayu terus bertambah seiring
dengan bertambahnya jumlah penduduk yang memerlukan kayu baik untuk konstruksi
maupun bahan baku industri kehutanan. Rendahnya supply kayu dari hutan alam
disebabkan luas hutan yang terus berkurang dan rendahnya standing stock kayu yang ada.
Degradasi hutan sulit dihindari karena perubahan peruntukan lahan untuk berbagai
kepentingan, seperti: lahan perkebunan, pemukiman dan infrastruktur lain. Sedangkan
deforestasi hutan terus terjadi akibat penebangan yang dilakukan tertuju pada kayu
berkualitas tanpa memperhatikan azas kelestarian. Menyikapi hal tersebut perlu adanya
usaha pengembangan hutan tanaman untuk memenuhi kebutuhan kayu dan menjaga hutan
alam yang masih tersisa. Pengembangan hutan tanaman bertujuan untuk meningkatkan
produktifitas hutan dan nilai ekonomi lahan (Badan Litbanghut, 2010).
Upaya yang perlu dilakukan dalam pembangunan hutan tanaman adalah melalui
penerapan praktik silvikultur yang tepat pada setiap jenis tanaman hutan sesuai dengan
kondisi lahannya. Pembangunan hutan tanaman diusahakan mempunyai produktivitas yang
lebih baik dibandingkan hutan alam baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Produktivitas
ini dipengaruhi oleh dua faktor utama yaitu faktor genetik dengan memanfaatkan bibit unggul
dan lingkungan tempat tumbuh. Lingkungan tempat tumbuh meliputi: kesesuaian lahan,
ruang tumbuh, cahaya dan ketersediaan hara. Setiap jenis tanaman memiliki spesifikasi
terhadap kebutuhan dasar untuk pertumbuhannya. Oleh sebab itu diperlukan informasi yang
624
ILMU KEHUTANAN
tepat terhadap kebutuhan tersebut pada setiap jenis tanaman. Salah satu upaya dalam
memenuhi kebutuhan hara tanaman adalah dengan pemupukan, karena rata-rata lahan
yang ada memiliki unsur hara rendah.
Pemupukan merupakan salah satu kegiatan mendukung pertumbuhan tanaman
dengan memberikan input nutrisi yang optimal. Keberhasilan pemupukan ditentukan oleh
banyak faktor antara lain: kondisi tempat tumbuh, dosis, waktu aplikasi dan juga diperlukan
pertimbangan ekonomi. Pemupukan dapat dilakukan pada saat penanaman maupun secara
periodik berdasarkan kebutuhan tanaman. Pemilihan jenis pupuk dan waktu pemberian
disesuaikan dengan kebutuhan tanaman dan jenis pupuk. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui peran pupuk dasar pada tahap awal pertumbuhan tanaman sungkai (Peronema
canescen Jack.) pada jenis tanah Ultisol di KHDTK Kemampo, Kabupaten Banyuasin
Provinsi Sumatera Selatan.
Metode Penelitian
Tempat dan Waktu penelitian
Penelitian dilaksanakan di Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK)
Kemampo-Banyuasin yang dikelola oleh Balai Penelitian Kehutanan Palembang, Sumatera
Selatan. KHDTK Kemampo termasuk dalam wilayah kerja Resort Pemangkuan Hutan
Kemampo yang berlokasi di Desa Kayuara Kuning, Kecamatan Banyu Asin III, Kabupaten
Banyuasin, Propinsi Sumatera Selatan. Secara geografis hutan Kemampo terletak antara
104o 18 07104o 22 09 Bujur Timur dan 2o 54 28-2o 56 30 Lintang Selatan. Topografi
tergolong datar sampai bergelombang ringan dengan kemiringan 0%-10%, jenis tanah
tergolong dalam Ultisol (Podsolik Merah Kuning), termasuk tipe iklim B berdasarkan
klasifikasi Schmidt dan Ferguson, dengan rata-rata curah hujan 1.800-2.000 mm per tahun
(Balittaman dan Unsri, 2002). Penelitian dilaksanakan pada Agustus 2010 sampai dengan
bulan Juli 2011.
Prosedur kerja
Penelitian dilakukan sesuai dengan tahapan pada penanaman jenis tanaman
kehutanan, sebagai berikut:
a. Persiapan lahan dilakukan secara manual melalui sistem Persiapan Lahan Tanpa Bakar
(PLTB). Selanjutnya dibuat lorong dengan membersihkan jalur tanam dari sisa tebangan
berupa batang, ranting dan serasah.
b. Pada lorong selanjutnya dilakukan penyemprotan herbisida sehingga saat penanaman
lahan bersih dari rumput.
c. Dilakukan pemasangan ajir sesuai jarak tanaman yaitu blok I: 3x3m, blok II: 3x2m dan
blok III: 4x2 m.
d. Pembuatan lubang tanam dengan ukuran 30x30x30 cm.
e. Pengangkutan bibit dari persemaian dan pengeceran bibit pada setiap lubang tanam.
f. Pemberian pupuk dasar sesuai jenis dan dosis pada setiap lubang tanam dan bibit
langsung ditanam.
g. Penanaman dilakukan dengan melepas polybag untuk mempercepat perkembangan
akar.
625
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK)
dengan tiga kali ulangan dan 25 tanaman setiap perlakuan. Perlakuan yang diaplikasikan
terdapat 12 macam perlakuan yang dikelompokkan menjadi dua jenis pupuk yaitu pupuk
tunggal P 36% dengan dosis 0 (kontrol), 25, 50, 75, 100 dan 125 gram/tanaman; serta pupuk
majemuk lengkap lambat urai dengan dosis 0 (kontrol), 100, 200, 300, 400 dan 500
gram/tanaman, jadi jumlah tanaman yang diujikan 12x25x3 = 900 tanaman. Notasi dari
masing-masing perlakuan pupuk dasar adalah sebagai berikut :
Parameter yang diamati adalah persentase hidup, pertumbuhan tinggi dan diameter
serta angka pembentuk volume. Analisa data yang dilakukan adalah analisis varian. Jika
hasil analisa varian terhadap parameter yang diamati menunjukkan perbedaan yang nyata
akan dilakukan uji lanjut jarak berganda duncan (DMRT).
Pertumbuhan Tanaman
Data hasil pengamatan menunjukkan variasi data yang sangat lebar dengan pola
distribusi yang tidak normal, sehingga data yang ada perlu untuk dilakukan transformasi data
dalam bentuk Log. Hasil analisis varians data hasil pengamatan pertumbuhan tanaman
sungkai umur 7 bulan di KHDTK Kemampo dengan berbagai aplikasi pupuk dasar terdapat
pada Tabel 2, sedangkan hasil analisis uji lanjut dan rerata perlakuan terdapat pada Tabel 3.
Tabel 2. Analisis varians pengaruh pupuk dasar terhadap pertumbuhan tanaman sungkai
umur 7 bulan di KHDTK Kemampo-Sumatera Selatan.
626
ILMU KEHUTANAN
Tabel 3. Rerata perlakuan aplikasi pupuk dasar pada tanaman sungkai di KHDTK
Kemampo-Sumatera Selatan
Keterangan : - Angka yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan berbeda tidak
nyata pada taraf kepercayaan 5%
- Kodefikasi perlakuan pupuk dasar terdapat pada Tabel 1.
627
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
628
ILMU KEHUTANAN
Kesuburan Tanah
Hasil analisis sifat fisik tanah disajikan pada Tabel 4. Hasil analisis tekstur tanah di
areal penelitian menunjukkan tanah termasuk lempung liat berpasir. Persentase tekstur pasir
43,11- 49,46% berarti di areal ini kandungan butir pasir lebih tinggi dibandingkan butir-butir
tanah lain. Butir-butir yang paling kecil adalah butir liat kemudian diikuti oleh yang lebih kasar
yaitu butir debu dan pasir. Tekstur tanah yang baik adalah komposisi antara ketiganya
seimbang, dengan demikian tekstru tanah di areal penanaman termasuk kasar. Semakin
kasar tekstur tanah semakin lemah menyerap (menahan) air dan unsur hara. Tanah yang
demikian perlu dilakukan penambahan unsur hara secara periodik sehingga kebutuhan
tanaman selalu terpenuhi.
629
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Hasil analisis sifat kimia tanah disajikan pada Tabel 4. Penilaian sifat kimia tanah
berdasarkan kriteria penelitian Pusat Penelitian Tanah, 1983 dalam Hardjowigeno, 2005.
Nilai pH termasuk sangat masam (pH 4,07-4,16), pada kondisi ini tanah lambat
menghancurkan bahan organik. Demikian pula ketersediaan unsur hara makro termasuk
rendah, sedangkan unsur hara mikro termasuk rendah-sangat rendah. Unsur hara tersebut
sangat dibutuhkan oleh tanaman untuk pertumbuhan oleh karena itu diperlukan
penambahan unsur hara melalui pemupukan.
Kondisi tanah ultisol (podsolik merah kuning) yang mempunyai karakteristik (Tabel 4),
pH tanah yang rendah, KTK rendah, status unsur hara makro (N, P, Ca, Mg) dan hara mikro
(Zn, Mo, Cu dan B) serta bahan organik yang sangat rendah, mempunyai kandungan Al, Fe
dan atau Mn dalam jumlah tinggi sehingga dapat meracuni tanaman. Toksisitas tanah
bersumber dari Al-dd yang berpengaruh buruk terhadap ketersediaan unsur P. Tingginya
tingkat kejenuhan Al tanah menyebabkan tingginya daya jerap (fiksasi) tanah terhadap unsur
P tanah dan P yang berasal dari Pupuk (Hasanudin dan Ganggo, 2004 dalam Madjid, 2004).
630
ILMU KEHUTANAN
Kesimpulan
Beberapa kesimpulan yang didapatkan dari hasil penelitian ini adalah
1. Aplikasi pupuk dasar memberikan pengaruh sangat nyata pada pertumbuhan diameter,
tinggi, angka pembentuk volume; namun berpengaruh tidak nyata pada persentase hidup
tanaman.
2. Aplikasi pupuk dasar terbaik untuk pertumbuhan diameter dan angka pembentuk volume
adalah pupuk SP 36% dosis 125 gr, sedangkan untuk pertumbuhan tinggi adalah pupuk
majemuk lengkap lambat urai dosis 100 gr dengan nilai persentase berturut-turut sebesar
20,19%; 10,65% dan 14,79% lebih baik bila dibandingkan kontrol.
3. Tanah di lokasi penelitian termasuk jenis tanah Ultisol dengan tekstur lempung liat
berpasir, pH asam dan mempunyai kandungan unsur hara rendah. Oleh karena itu untuk
meningkatkan pertumbuhan tanaman diperlukan pemupuk.
Saran
Secara umum aplikasi pupuk SP 36% dosis 125 gr/ tanaman dan pupuk majemuk
lengkap lambat urai dosis 100 gr/ tanaman mempunyai keunggulan pertumbuhan tanaman
terbaik pada parameter pengamatan tertentu, namun berbeda tidak nyata satu dengan yang
lainnya. Sehingga, dalam aplikasi pupuk dasar di lapangan untuk pertanaman tanaman
sungkai sangat disarankan untuk menggunakan pupuk dasar dengan pupuk majemuk
lengkap lambat urai, dengan pertimbangan mempunyai komposisi unsur hara yang lengkap
dan terurai secara lambat sehingga unsur hara tidak banyak yang terlindi/ tercuci.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2009a. Fotosintesis. Website: wikipedia. Diakses pada tanggal 20 Maret 2009.
Anonim. 2009b. Khasiat Unsur Hara Bagi Tanaman. Website: http://pusri.wordpress.com.
Diakses tanggal 20 Maret 2009.
Badan Penelitian Dan Pengembangan Kehutanan. 2010. Rencana Penelitian Integratif 2010-
2014. Badan Penelitian Dan pengembangan Kehutanan. Kementerian Kehutanan.
Maret 2010. Jakarta
Balai Litbang Hutan Tanaman dan Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya. 2002. Design
Engineering Wanariset Kemampo. Palembang. Tidak dipublikasikan.
De La Cruz, R. E. 1982. Tree Nutrition and Fertilization. Lectura Presented during Training
Course in Biological Aspect of Silvicultura. Biotrop. Bogor.
Hardiyanto, E.B., Djoko S., Agus, W., Slamet, U. Dan Makruf N. 2010. Panduan Budidaya
Pohon Acacia mangium. Kerjasama Universitas Gadjah Mada, Musi Hutan Persada,
CSIRO, Badan Litbang Kehutanan dan Universitas Sriwijaya. Maret 2010.
Hardjowigeno, S. 2005. Ilmu Tanah. Edisi Revisi. Penerbit Akademika Pressindo.
Jakarta.
Madjid, A. R. 2009. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Bahan Ajar Online untuk mata kuliah: (1)
Dasar-Dasar Ilmu Tanah, (2) Kesuburan Tanah, dan (3) Pengelolaan Kesuburan
Tanah Lanjut. Fakultas Pertanian Unsri & Program Pascasarjana Unsri.
Petrokimia Gresik. 2002. Pupuk SP 36 (SNI 02-3769-2005). http://www.petrokimia-
gresik.com. Diakses tanggal 20 September 2011.
631
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
632
ILMU KEHUTANAN
ABSTRAK
Pemenuhan kebutuhan kayu bulat nasional dari hutan alam semakin mengalami
penurunan. Hutan tanaman merupakan salah satu sumber lain yang menjadi alternatif
pemenuhan kebutuhan kayu bulat tersebut.Shorea balangeran Burch merupakan salah satu
jenis alternatif yang dapat dipilih untuk pembangunan hutan tanaman Dipterokarpa.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat keberhasilan dan pertumbuhan awal
penanaman. Penanaman dilaksanakan di Semoi, Kab. Penajam Paser Utara, Kalimantan
Timur terdiri atas 321 tanaman dengan menggunakan jarak tanam 10 x 2,5 m. Hasil
pengamatan awal selama setahun menunjukan bahwa persentasi hidup tanaman mencapai
89,10%. Adapun pertumbuhan rata rata diameter sebesar 0,48 cm/thn, sedangkan
pertumbuhan tinggi rata rata mencapai 67,39 cm/th. Pola sebaran diameter berbentuk
kurva normal seperti pada umumnya hutan tanaman.
PENDAHULUAN
Industri perkayuan di Indonesia saat ini mengalami kekurangan bahan baku cukup
tinggi terutama kayu bulat. Kebutuhan bahan baku berupa kayu diperkirakan sekitar 63,5 juta
m3 pertahun, tetapi rata rata poduksi kayu bulat hutan alam hanya sebesar 10 juta m3
pertahun. Ini berarti hutan alam Indonesia hanya mampu memasok sekitar 16 % dari
keseluruhan bahan baku kayu yang diperlukan (Supriadi, 2006). Untuk mengurangi
kesenjangan ini, maka produksi kayu perlu ditingkatkan yang antara lain dengan
peningkatan produktivitas kayu dari Hutan Tanaman Industri (HTI).
Meranti, keruing, dan tengkawang adalah jenis kayu komersil yang merupakan
komoditas unggulan Dipterokarpa di hutan hujan tropis Kalimantan Timur. Pembangunan
hutan tanaman dengan menggunakan jenis jenis ini terus digalakkan. Shorea balangeran
merupakan salah satu jenis alternatif yang dapat dipilih untuk mendukung pembangunan
hutan tanaman tersebut. Jenis ini dipilih karena termasuk kayu yang mempunyai kontribusi
penting pada kebutuhan domestik (Soerianegara dan Lemmens, 2004).Secara alami, jenis
ini hidup pda daerah rawa gambut, juga mampu tumbuh baik pada lahan daratan kering
(Suyana dan Abdurahman, 2009). Kayunya memiliki kelas awet II dan kelas kuat II,
biasanya digunakan sebagai bahan bangunan dan jembatan. Jenis ini termasuk dalam
kategori critically endangered species (Ashton, 1998) sehingga penanamannya berfungsi
pula sebagai salah satu bentuk menjaga kelestariannya.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui informasi awal mengenai pertumbuhan dan
keberhasilan dari penanaman S. Balangeran Burch. Hasilnya diharapkan dapat menjadi
bahan pertimbangan untuk pembangunaan hutan tanaman jenis Dipterocarpaceae.
633
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
METODE PENELITIAN
Sebaran Diameter
Pendugaan sebaran diameter dilakukan dengan menyusun tabel distribusi diameter
dari hasil pengukuran lapang (Tabel 1). Data diameter diklasifikasikan ke dalam kelas kelas
diameter dengan interval 0,25 cm sehingga menjadi 8 kelas diameter. Sebaran/ distribusi
diameter merupakan pendugaan dari struktur tegakan dalam kondisi yang lebih besar
(Loetsch et.al, 1973).
634
ILMU KEHUTANAN
Dari Tabel 1 tersebut terlihat bahwa jumlah pohon terbanyak berada pada kelas
diameter pertengahan atau di antara diameter yang terbesar dan terkecil. Walaupun ditinjau
dari segi umur bahwa tanaman ini masih muda sehingga belum menunjukkan kondisi pada
hutan tanaman yang sebenarnya, akan tetapi model sebaran ini sudah menyerupai sebaran
normal, yang merupakan suatu kondisi yang biasa terjadi berada pada hutan tanaman.
Bentuk sebaran dari tanaman tersebut dapat dilihat pada Gambar 1.Pada Gambar 1
tersebut terlihat bahwa kurva sebaran diameter hampir menyerupai bentuk lonceng yang
berarti menyebar secara normal. Bentuk kurva ini merupakan ciri dari hutan tanaman, seperti
terjadi pada tegakan hutan tanaman meranti di Semoi (Suyana dan Abdurachman, 2008), di
KHDTK Sebulu (Suyana dan Abdurachman, 2006), dan tanaman Acacia mangium di PT
ITCI Kenangan (Rizal, 1987). Perlakuan penjarangan di hutan tanaman adalah suatu usaha
untuk memperoleh hasil atau volume yang besar sehingga dalam proses yang lebih jauh
diperlukan suatu upaya untuk menggeser bentuk kurva ini pada area disekitar titik puncak
ke arah sebelah kanan pada sumbu X sehingga hasil produksi yang diperoleh menjadi
besar.
635
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Pertumbuhan Tanaman
Pengukuran setahun setelah penanaman menunjukan bahwa tanaman S.
balangeranBurch mencapai diameter 1,87 cm dengan diameter rata rata 0,90 cm.
Sedangkan tinggi tanaman mencapai 2,73 m dengan tinggi rata rata 1,27 m. Selengkapnya
data tersaji pada Tabel 2.
Tabel 2. Statistik diameter dan tinggi pada tanaman S. balangeran umur 1 tahun di Semoi,
Kab. Penajam Pasir Utara, Kaltim.
Gambar 2. Model regresi hubungan diameter dan tinggi pada Shorea balangeran Burch
pada umur setahun di Semoi, Kalimantan Timur
Tabel 3. Riap diameter dan tinggi tanaman S. balangeran Burch pada umur setahun di
Semoi, Kab. Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur.
Tabel 3 menunjukan bahwa riap diameter mencapai 0,48 cm/th. Nilai ini lebih rendah
dibandingkan dengan pertumbuhan S. Balangerandi Samboja Lestari yang mancapai 2,75
cm/th dan 3,15 cm/th (Yassir et al, 2003). Pada umur setahun tanaman masih melakukan
proses adaptasi terhadap media tumbuhnya, sehingga konsentrasi terhadap pertumbuhan
636
ILMU KEHUTANAN
masih belum terlihat. Hal ini didukung pula dengan tahap awal penanaman yang tanpa
menggunakan media tambahan lainnya, sehingga tidak ada katalis untuk proses percepatan
pertumbuhan.
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Ashton, P. 1998. Shorea balangeran in IUCN 2011. IUCN Redlist of Threatened in species
version 2011. www.iucnredlist.org diakses pada tanggal 10 Juli 2011
Evans, J. 1982. Plantatioan Forestry In the Tropics. Clarendon Press- Oxford, New York.
Loetch, F. Zohrer, F. and Haller, K.E., 1973. Forest InventoryVol II. Forest Inventory
Section. Federal Research Organization Far Forest and Forest Products, Reinbeck.
BLV.VerlagsgeselllSchaftMunchen Bern Wien.
P.20/Menhut-II/2009. Panduan Penanaman Satu Orang Satu Pohon (One Man One Tree).
Lampiran.
Rizal. A. 1987. Studi tentang pengaruh penjarangan terhadap pertumbuhan tegakan Aacia
mangium Willd. Pada periode 1983-1987. Skripsi Fakultas Kehutanan Unmul.
Samarinda.
Soerianegara, I. and Lemmens, R.H.M.J. (Eds.). (1994) Timber trees: Major ommercial
timbers. Plant resources of South-East Asia No. 5 (1). Prosea, Bogor, Indonesia.
Supriadi, A. 2006. Potensi, kegunaan dan nilai tambah kayu dari hutan rakyat di Kabupaten
Bogor. Prosiding Sminar Litbang Hasil Hutan.
Suyana, A dan Abdurachman, 2006. Kondisi tegakan Shorea leprosula Miq. umur 13 tahun
pada berbagai jarak tanam di KHDTK Sebulu, Kabupaten Kutai Kartanegara,
Kalimantan Timur. Prosiding Seminar Bersama Hasil-hasil Penelitian. Balai Litbang
Kehutanan Kalimantan, Balitbang Hutan Tanaman, Loka Litbang Satwa Primata.
Samarinda.
Yassir, Suwaji & RM Omon. 2003. Prospek pengembangan meranti rawa (Shorea
balangeran Korth) pada lahan alang alang (Imperata cylindrica) dengan sistem
agroforestry di areal rehabilitasi Samboja Lestari. hhtp://digilib.litbang.deptan.go.id
diakses pada tanggal 26 September 2011
637
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
ABSTRAK
IKM anyaman bambu adalah salah satu sub sektor IKM kerajinan yang mampu
menggerakkan ekonomi dan menjadi ikon Kabupaten Sleman. Teknologi yang digunakan
masih sangat sederhana, namun produk yang dihasilkan sangat unik dan diminati tidak
hanya di pasaran lokal saja,namun sudah merambah ke pasar manca Negara seperti Eropa,
Australia, Malaysia, Jepang.
Sub Sektor industri kecil dan menengah adalah pilihan yang paling mungkin
dilakukan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan menampung ledakan permintaan jumlah
tenaga kerja yang semakin meningkat. IKM anyaman bambu yang semula mampu
mendapatkan bahan baku dari sekitar rumah dan desa setempat, saat ini harus dipenuhi dari
wilayah kabupaten bahkan propinsi lain. Kualitas bahan juga semakin turun karena
penebangan bambu tidak lagi memperhatikan tatanan musim.Untuk menebangnya ia hanya
berpedoman pada perkiraan umur bambu. Akibatnya bambu sering dimangsa hama bubuk.
Permasalahan tanaman bambu saat ini adalah keterbatasan lahan tumbuh,
penolakan sebagian masyarakat atas keberadaan bambu, tiadanya usaha penanaman
kembali maupun pemeliharaan, dan belum adanya kebijakan antar daerah pendukung
industri.Sebagai upaya untuk menjaga kelangsungan usaha IKM anyaman bambu ini adalah
dengan melakukan budidaya tanaman bambu secara agroforestry; pemeliharaan dan
mengembalikan status bambu sebagai the tree of life, serta diwujudkannya kebijakan antar
daerah pendukung indutri. Kajian ini menggambarkan strategi kelola kawasan pada IKM
anyaman bambu di Moyudan,kabupaten Sleman.
Kata kunci : bambu, IKM anyaman, pasokan bahan baku, penanaman kembali
PENDAHULUAN
Industri anyaman adalah salah satu cabang dari industri kerajinan dalam Industri
Kecil Menengah (IKM) yang telah dikenal dalam kehidupan nenek moyang bangsa Indonesia
sejak zaman prasejarah. Ini dapat dibuktikan dari beberapa peninggalannya. Perkembangan
desain anyaman sampai saat ini menunjukkan motif dan bentuk anyaman yang semakin
rumit , indah, dan beragam sehingga mampu meningkatkan jumlah peminatnya. Demikian
juga dengan perkembangan kegunaan produknya, terutama dengan semakin meningkatnya
kebutuhan dan pola hidup masyarakat (Handoyo,et al,. 1989; Dirjen IKM, 2006).
Dua ratus tiga puluh juta lebih penduduk yang tersebar di tempat dengan tatanan
geografis unik seperti Negara Indonesia dengan kelimpahan berbagai sumber daya alam
yang berpotensi untuk diolah menjadi bahan usaha dan industri, menjadikan Industri Kecil
Menengah (IKM) adalah pilihan yang tepat sebagai upaya mensejahterakan rakyatnya.
Terlebih infrastruktur antar pulau yang terbatas, yang membuat perekonomian tak mungkin
hanya dilakukan oleh perusahaan-perusahaan besar, sehingga perusahaan-perusahaan
kecil kemudian ikut memegang kendali perekonomian (Aca,2007; Dirjen IKM, 2006).
638
ILMU KEHUTANAN
Meskipun secara ekonomi makro, pertumbuhan ekonomi Indonesia dari tahun 2007
2008 tumbuh sebesar 6,1 % dan pendapatan per kapita Indonesia naik sebesar 11,06 %
yaitu dari Rp. 17,6 juta pada tahun 2007 menjadi Rp. 21,7 juta pada tahun 2008, tapi
disinyalir kenaikan tersebut hanya dinikmati sektor moneter dan keuangan. Masih banyak
persoalan keuangan di daerah yang menuntut perhatian pemerintah pusat, terutama
terhadap ketahanan ekonomi masyarakat menghadapi pasar bebas (Reza, 2010).
Saat ini sektor pertanian dalam arti luas tidak hanya terjadi penurunan daya tampung
terhadap serapan tenaga kerja karena konversi lahan pertanian ke penggunaan lain, namun
juga kemampuannya yang semakin menurun terhadap kesejahteraan petaninya, sehingga
sektor pertanian harus dihela oleh sektor lain agar kesejahteraan para petani akan lebih baik
lagi (Suparlan, 1995). Pada kenyataannya, banyak potensi desa yang dapat meningkatkan
kesejahteraan masyarakat namun belum dapat dimanfaatkan secara optimal disebabkan
oleh terbatasnya informasi jenis SDA yang dapat diperdagangkan, minimnya sarana
pemasaran; rendahnya penguasaan teknologi pengolahan, terbatasnya sarana transportasi,
dan lemahnya kelembagaan (Prayitno, 1985; Rintuh dan Miar, 2005; Awang, 2006).
Industri kerajinan merupakan sub sektor industri kecil menengah (IKM) yang
menjadi tulang punggung penggerak perekonomian Indonesia .Kedudukan IKM sangat
strategis dalam perekonomian nasional karena jumlah unit usahanya yang cukup besar (+
3,4 juta), dan menyerap tenaga kerja + 8,5 juta (Dirjen IKM, 2006). Daerah penyebaran IKM
kerajinan anyaman Indonesia merata hampir di seluruh propinsi dengan sentra-sentra utama
di Jawa Barat, Jawa Tengah, D.I.Y. Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan
Selatan, Kalimantan Tengah (Widiastuti,2009).
Bambu adalah salah satu jenis bahan untuk anyaman dari sejenis rumput-rumputan
yang tumbuh tegak, berkayu, berakar rimpang, dan akarnyapun berkayu, batangnya
berbuku-buku, berongga, pertulangan daun sejajar, bentuk bunga malai. Perbanyakan
bambu dengan cara stek batang, stek cabang, biji, maupun akar rimpangnya. Bambu
termasuk tanaman yang tergolong cepat pertumbuhannya. Menurut Widiastuti, 1988 bambu
mampu tumbuh 50 cm dalam sehari semalam. Tinggi batang bisa mencapai 15 m dan saat
pertumbuhannya paling cepat antara bulan 2 dan 3. Percabangan bawah terjadi pada bulan
ke 4 dan cabang atas terjadi pada tahun 2 dan 3, kemudian pada tahun ke 3 terjadi ligno-
silikasi (penebalan dinding sel). Oleh karena itu setelah umur 2 tahun bambu umumnya
sudah bisa dimanfaatkan untuk anyaman karena relatif tidak membutuhkan kekuatan serat,
sedangkan untuk keperluan konstruksi dan mebel sebaiknya menggunakan bambu yang
telah berumur lebih dari 4 tahun, dimana bambu sudah cukup keras dan lebih tahan
terhadap serangan hama bubuk (Kaseno,1965).
Menurut Widiastuti,2001; Lessard,G and A. Chouinard,1980; Hildebrand,F.H.
1954;dan Morisco, et al,. 2005 berbagai gambaran mengenai bambu di Indonesia yang
sangat beragam menjadikan tanaman ini dijuluki sebagai the tree of life karena sejak
manusia lahir sampai mati tidak bisa dilepaskan dari bambu antara lain:
Keunggulan bambu untuk pemberdayaan ekonomi rakyat
Relatif mudah diperoleh
Banyak jenisnya
Tersedia sepanjang tahun
Murah harganya
Mudah dikerjakan (mudah dibelah, dibengkokkan, dipotong, dianyam, diirat)
Industri yang tahan krisis : berbasis pada sumber daya alam setempat;
ketrampilan & seni turun temurun
Benda seni yang dibeli karena keindahannya
Keunggulan bambu dari segi ekologis :
Membentuk iklim mikro
Membentuk agregat tanah penahan longsor dan erosi
Menguraikan tanah menjadi gembur
Kebutuhan bambu untuk IKM anyaman , meskipun diakui cukup tinggi nilai
ekonominya namun seringkali berbenturan dengan persoalan penataan kawasan. Hal
tersebut timbul oleh sebab tanaman bambu tidak dipelihara sehingga sering menimbulkan
639
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
kerusakan terutama pada genteng rumah yang berdekatan. Rendahnya perhatian pada
pengelolaan kawasan dalam menyediakan pasokan bahan baku turut mengancam
kelangsungan usaha ,sehingga permasalahan bambu saat ini sebagai sumber daya alam :
Jenis yg pertama dipinggirkan
Belum / tidak ada usaha budidaya
Hanya sebagai hasil hutan ikutan
Peneliti masih terbatas
Penolakan sebagian besar masyarakat untuk berdampingan hidup dengan
tanaman bambu
Perhatian dari pihak-pihak yang seharusnya berkepentingan terutama pemerintah
daerah dan pelaku usaha terhadap kelola kawasan penyedia bahan baku nyaris tidak ada.
Oleh sebab itu diharapkan hasil penelitian nantinya akan dapat mengungkap kenapa hal
tersebut terjadi dan apa yang seharusnya dilakukan agar pasokan bahan baku IKM
anyaman SANT dapat berkelanjutan. Menurut Bennett,2003 persoalan penataan kawasan
tidak bisa dilepaskan dengan masalah pengaturan tata ruang, dimana menurut Undang-
undang no 267 tahun 2007 tersebut penataan ruang adalah berdasarkan 9 asas yaitu
a)keterpaduan ; b) keserasian,keselarasan dan keseimbangan; c) berkelanjutan;
d)keberdayagunaan dan keberhasilgunaan;e)keterbukaan;f) kebersamaan dan kemitraan; g)
perlindungan kepentingan umum; h) kepastian hukum dan keadilan; i) akuntabilitas.
Menurut Giddens (Awang, 2006) mengatakan bahwa peran manusia dalam
melakukan eksploitasi terhadap sumber daya alam ternyata tidak dapat dilihat hanya dari
satu sisi. Sisi lain seperti politik dan globalisasi lingkungan ternyata sangat mempengaruhi
terjadinya perubahan sumber daya.Barry (Awang, 2006) menyatakan bahwa mengingat
manusia hidup dalam ruang, tempat dan waktu yang berbeda-beda, serta adanya perbedaan
kultur antar komunitas manusia, menyebabkan interpretasi atas makna lingkungan juga
memiliki makna yang berbeda.
Terkait dengan persoalan terbatasnya lahan untuk memasok bahan baku IKM
anyaman, barangkali teori agroforestry akan menjadi pijakan pengembangan kawasan yang
tidak terbatas pada lahan hutan saja. Para pelaku usaha yang berkecimpung menyediakan
bahan baku anyaman dapat memanfaatkan lahan di halaman, di bawah tegakan hutan, tepi
jalan desa, tepi pantai, dan lain-lain yang memungkinkan sumber bahan baku tersebut
ditanam dan dipelihara (Awang, 2006; Andayani, 2008; Kurtzet al. 2008; Sabarnurdin,2008)
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan model penelitian kualitatif. Ciri penelitian kualitatif adalah
tidak menekankan pada kuantum atau jumlah, tetapi lebih menekankan pada kualitas secara
alamiah karena menyangkut pengertian, konsep, nilai, serta ciri-ciri yang melekat pada
obyek penelitian lainnya (Kaelan,2005). Metode penelitian yang digunakan bersifat deskriptif
eksploratif, yaitu penelitian yang dimaksudkan untuk memberikan gambaran sistematis dan
akurat mengenai fakta, sifat serta kondisi obyek yang diteliti. Oleh karena itu metode
kualitatif senantiasa memiliki sifat holistik, yaitu penafsiran terhadap data dalam
hubungannya dengan berbagi aspek yang mungkin ada(Muhajir,2000; Yin, 2002 ;Kaelan,
2005).
Cara pengambilan data primer dengan cara melakukan wawancara mendalam
terhadap tokoh-tokoh kunci(Key informan person) yang dipilih berdasarkan keterlibatannya
pada IKM anyaman. Dipilihnya cara wawancara adalah untuk mengetahui secara mendalam
hal-hal yang terkait dengan tujuan penelitian yaitu hal yang menyangkut dengan konsep,
nilai, ciri-ciri yang melekat pada obyek penelitian secara dua arah dan tidak mungkin
diperoleh dengan cara pengambilan data selain wawancara. Data sekunder diperoleh dari
Monografi Desa; Kecamatan dalam Angka; Kabupaten Dalam Angka; Data IKM dari
Disperindag; Data Jenis tanaman dari Dinas Pertanian,Perkebunan dan Kehutanan, dan
data-data lain yang relevan dengan penelitian.
Lokasi yang dijadikan kajian adalah kecamatan Moyudan- Kabupaten Sleman.
Dipilihnya lokasi tersebut adalah sejarah munculnya IKM anyaman bambu bermula dari
640
ILMU KEHUTANAN
desa di wilayah Moyudan dan berkembang ke berbagai desa dan wilayah lain. Penelitian ini
akan mengkaji karakter sumber bahan baku, kondisi sikap masyarakat, dan kebijakan
pemerintah daerah yang berpengaruh terhadap kontinyuitas suplay bahan baku
anyaman.Waktu penelitian secara intensif dilakukan pada Oktober 2008 Januari 2010.
Keseluruhan data yang diperoleh diklasifikasi; direduksi; dievaluasi; dianalisa; kemudian
dikomunikasikan secara kualitatif sesuai dengan tujuan penelitian.
641
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Kondisi Sumber Bahan Baku Bambu di Moyudan, Tempel, Minggir Kab. Sleman
Untuk melihat permasalahan bahan baku bambu di sentra IKM anyaman bambu di
desa Malangan, kelurahan sumber rahayu, kecamatan Moyudan ini dilakukan dengan
mengikuti perjalanan bambu sejak bahan baku ditebang sampai menjadi produk yang siap
dipasarkan .Hasil penelitian mengenai kondisi tanaman, tempat tumbuh bambu, dan sikap
masyarakat digambarkan dalam skema berikut :
642
ILMU KEHUTANAN
Bambu
Pengepul Juragan
Kecil iratan
Juragan Para Buruh
Besar anyam,warna,finishing
Anyaman
Pada penelitian ini bambu dipasok dari desa Sendang Arum, Minggir , Sleman yang
berjarak + 1 km dari pemasok yang berasal dari desa Tangisan Wetan, kecamatan Tempel,
Kabupaten Sleman. Bambu yang dibeli di kebun dan ditebang sediri dihargai Rp. 3000 Rp.
4.000 tergantung jarak dan tingkat kesulitan menebangnya. Jarak yang lebih dekat dan
mudah ditebang biasanya dihargai Rp. 4.000/batang, namun jika tempat tumbuh bambu di
perengan kali atau sulit lokasinya dihargai Rp. 3000.
Pada penelitian ini, bambu yang dibeli tumbuh di pekarangan yang relatif dekat jarak
dari rumah penebang dan mudah teknik penebanganya sehingga per batang dihargai Rp.
4000. Dalam satu rumpun yang boleh ditebang hanya diperoleh 20 batang, sehingga
penebas/pengumpul harus mencari di tempat lain agar jumlahnya 30- 35 batang. Jumlah ini
menyesuaikan dengan tenaga angkut 2 orang yang menggunakan gerobak dorong. Lebih
dari itu pengumpul akan keberatan mendorongnya. Kalau kurang dari jumlah itu mereka
akan rugi waktu dan tenaga. Pagi setelah subuh pada pasaran Legi (1 2 hari setelah
bambu dikumpulkan), mereka mendorong keseran ke pangkalan di dusun Malangan yang
berjarak + 8 km dari desa Tangisan Wetan. Biasanya bambu yang mereka bawa akan habis
terjual seharga Rp. 9000 Rp. 10.000 pada hari itu.
Di Perajin, bambu yang telah dibeli dari pengumpul, akan dipotong ruasnya untuk
dibelah dan diirat oleh perajin untuk dijual dalam bentuk iratan. Namun berdasarkan
penelitian di lapangan kebanyakan perajin melakukan pemotongan, pembelahan,
pengiratan, pewarnaan, pengeringan dan penganyaman sekaligus menjadi produk setengah
jadi/produk jadi . Produk setengah jadi/produk jadi disetorkan kepada juragan besar untuk
difinishing, diawetkan, dikeringkan. Selanjutnya produk dikirim ke pemesan dalam/luar
negeri.
643
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
PEMBAHASAN
644
ILMU KEHUTANAN
3. Kondisi dimana IKM harus mengamankan lingkungan. System IKM berdampak pada
dan diluar IKM bukanlah tanpa batasan, mereka terbatas dalam hal sosial, waktu,
keuangan dan pisik.
Seiring dengan kontinyuitas penyediaan bahan baku bambu untuk keberlanjutan usaha
IKM anyaman bambu di Moyudan, meminjam teori Kurtz et al,. (2008) mengemukakan 4
(empat) hal penelitian ekonomi yang perlu dicermati dalam pengelolaan sistem agroforestry
yaitu : keuntungan; dinamika (waktu); eksternalitas; dan pasar.
Keuntungan
Mengingat rumpun bambu bersifat menaungi, maka perlu dipikirkan jenis tanaman
yang cocok di bawah naungan. Selama ini yang terlihat adalah tanaman bambu menguasai
hampir keseluruhan ruang tumbuh. Hal tersebut juga terjadi pada hampir seluruh tanaman
sumber bahan baku anyaman di Moyudan. Hampir-hampir tiada tanaman yang mampu
tumbuh secara optimal di bawah rumpun bambu. Kondisi lain adalah tiadanya perlakuan dan
pemeliharaan khusus terhadap tanaman bambu. Selama ini bambu dibiarkan tumbuh secara
alami. Akibatnya sering batang bambu tumbuh kecil di atas tonggak yang minim suplay
makanan, bambu tidak diikat sehingga bambu menjadi bengkok karena tiupan angin,
rumpun bambu tidak tumbuh tegak sehingga memakan ruang tumbuh yang luas.
Dinamika
Dinamika tumbuhnya IKM anyaman bambu di Moyudan sementara keterbatasan
lahan sudah terjadi adalah bentuk kegiatan ekonomi dan sosial yang perlu diperhatikan agar
agroforestry dapat berjalan seperti yang diharapkan
Eksternalitas
Diakui oleh para pemangku kepentingan pada IKM anyaman bambu bahwa
kebutuhan bahan baku bambu sudah semakin sulit diperoleh dan harga yang harus dibayar
semakin mahal. Hampir semua bahan baku bambu di IKM anyaman bambu di Moyudan
diperoleh dari wilayah kecamatan lain, bahkan dari kabupaten lain seperti Kulon Progo dan
Propinsi lain seperti Magelang, Temanggung, Purworejo. Sementara dengan diterapkannya
otonomi daerah, maka tiap-tiap daerah berusaha untuk meningkatkan semua potensi yang
ada di wilayahnya. Dikawatirkan suatu saat masing-masing daerah memberlakukan larangan
penjualan bambu gelondongan ke kabupaten/ kota lain. Oleh karena itu mau tidak mau
bambu harus mulai dibudidayakan (wawancara nara sumber,2009).
Pasar
Berkembangnya IKM anyaman bambu di Moyudan tentu tidak bisa dilepaskan dari
terbukanya pasar domestik, maupun manca negara. Produk alat-alat rumah tangga seperti
besek, ireg, tambir, tampah, cething, meski harus bersaing dengan produk alat rumah
tangga dari plastik, logam, kardus keberadaannya tetap diminati tidak hanya pasar desa,
tetapi juga sampai ke Jakarta, Surabaya, Bali. Produk kerajinan anyaman untuk interior
seperti kap lampu, laundry box, placemath, house hold tidak bisa dipandang sebelah mata
karena mampu bersaing dengan produk-produk sejenis dari Vietnam, China, Thailand
(Widiastuti,2001).
645
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
pereng sungai yang jauh dari pemukiman dan tidak lagi mampu untuk mensuplay bahan
anyaman.
Hal tersebut perlu dipertimbangkan dalam memperoleh keuntungan, dinamika,
eksternalitas, pasar, dan hambatan sosial agar pemberdayaan petani bambu akan lebih
progresif. Di Malangan, kecamatan Moyudan perajin bambu sudah menjadi profesi yang
layak diperhatikan mengingat terbatasnya jenis usaha di desa tersebut dan potensi pasar
industri kerajinan anyaman yang masih sangat terbuka namun kesadaran terhadap
kelangsungan bahan baku nampaknya perlu diperhatikan.
KESIMPULAN
Mengingat keunggulan bambu sebagai bahan baku kerajinan anyaman, maka perlu
dilakukan beberapa langkah agar keberlanjutan pasokan bahan baku dapat terjaga, antara
lain adalah sebagai berikut:
1. Usaha budidaya mutlak untuk dilakukan dengan memperhatikan keuntungan,
eksternalitas, dinamika, pasar, dan batasan sosial.
2. Usaha pemeliharaan( pemberian tali, pemupukan) bambu harus dilakukan agar
keberadaannya tidak lagi dianggap sebagai tanaman yang merusak rumah .
3. Mengubah mind set dan promosi agar tanaman bambu dikembalikan sebagai
tanaman serbaguna dan bukan sebagai tanaman pengganggu.
4. Mengingat bambu untuk industri di Moyudan Sleman tidak hanya dipasok dari
kabupaten Sleman saja, namun sudah melampaui batas kabupaten dan propinsi,
maka agar keberlanjutan usaha dari segi baku dapat terjaga, diperlukan suatu
kebijakan antar daerah yang mengatur tata niaga bambu.
DAFTAR PUSTAKA
Aca. 2007. Usaha Kecil dan Menengah. Inspiratorial .Kompas hal G-J. Selasa 17 Juli 2007.
Ahimsa, P.H., Sumintarsih,Sarmini,dan Raharjana,D.T. 2003.Ekonomi Moral, Rasional, dan
Politik dalam Industri Kecil di Jawa. Kepel Press. Yogyakarta.
Andayani,W.2008. Modul Mata Kuliah Pengelolaan Agroforestry. Jurusan Manajemen Hutan.
Fakultas Kehutanan.Universitas Gadjahmada.Yogyakarta.
Anonimus.1984. The Philippines Recommends for Bamboo. Philippine Council For
Agriculture and Resources Research and Development. Los Banos, Laguna
(PCARRD). Technical Bulletine Series No. 53.
Awang,S.A. 2006. Sosiologi Pengetahuan Deforestasi. Konstruksi Sosial dan
Perlawanan.Debut Press.Yogyakarta.
_________. 2000. Kelembagaan Kehutanan Masyarakat. Belajar dari Pengalaman. Pustaka
Kehutanan Masyarakat. Aditya Media. Yogyakarta
Badan Pusat Statistik. 2005. Profil Usaha Keci dan Menengah Tidak Berbadan Hukuml.
Survey Usaha Terintegrasi 2004. Jakarta
Badan Pusat Statistik Kabupaten Sleman.2009. Kecamatan Moyudan Dalam Angka
Bennett, C.P.A. 2003. Tanggung Jawab, Tanggung Gugat (Akuntabilitas), dan Persatuan
Nasional Dalam Tata Pemerintahan Desa. Yayasan Obor. Jakarta
Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi, DIY. 2005.Pendataan Potensi Industri
Dagang Kecil dan Menengah tahun 2004 di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Direktorat Jendral Industri kecil dan Menengah. 2006. Pembinaan dan Pengembangan IKM
Kerajinan. Jakarta.
Handoyo, Rahayu,S.,dan Riyanto. 1989. Sejarah & Perkembangan Desain Anyaman.
Proyek Peningkatan Teknologi Industri . Balai Besar Kerajinan dan Batik. Yogyakarta
Hildebrand,F.H. 1954. Catatan Tentang Bambu di Jawa. Laporan Balai Penyelidikan
Kehutanan No.66. Bogor.
Kaelan, 2005. Metode Penelitian Kualitatif Bidang Filsafat. Paradigma. Yogyakarta
646
ILMU KEHUTANAN
647
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
ABSTRAK
Bambu tali (Gigantochloa apus Kurz) dan bambu mayan (Gigantochloa robusta Kurz.)
tergolong jenis bambu berukuran sedang yang berpotensi sebagai bahan baku industri
berbasis bahan baku bambu seperti sumpit, kertas dan bambu lamina. Sampai saat ini kedua
jenis bambu masih berasal dari bambu masyarakat sehingga jika dimanfaatkan harus
dilakukan budidaya. Untuk membudidayakan kedua jenis bambu dibutuhkan informasi
karakteristik pertumbuhnnya. Penelitian karakteristik pertumbuhan tanaman bambu tali
(Gigantochloa apus kurz.) dan bambu mayan (Gigantochloa robusta kurz.) umur 2 tahun telah
dikerjakan. Tujuan penelitian mendapatkan informasi karakteristik pertumbuhan awal bambu
tali dan bambu mayan umur 2 tahun. Penelitian dilakukan di di stasiun penelitian hutan (SPH)
Arcamanik, Bandung yang terletak pada ketinggian 1350 m dpl. Bibit yang ditanam berasal
dari stek batang. Data yang dikumpulkan adalah jumlah batang/rumpun, tinggi batang dan
diameter batang yang dikerjakan umur 1 dan 2 tahun setelah tanam. Seluruh data yang
diperoleh diolah dengan sidik ragam. Hasil penelitian menunjukan bahwa karakteristik
pertumbuhan kedua jenis bambu sampai umur 2 tahun tidak berbeda nyata. Selanjutnya
pembahasan karakteristik pertumbuhan kedua jenis bambu disajikan dalam paper ini.
Kata kunci : bambu tali (Gigantochloa apus Kurz.), bambu mayan (Gigantochloa robusta
Kurz.), karakteristik pertumbuhan, umur dua tahun.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Bambu tali (Gigantochloa apus Kurz.) dikenal sebagai jenis bambu yang kuat, ulet,
lentur dan awet, sehingga banyak dimanfaatkan oleh masyarakat. Widjaja (987)
menyebutkan bahwa bambu tali secara alami tumbuh di Jawa dan Bali dapat memiliki tinggi
batang 8-22 meter dengan diameter 4-13 cm. Sementara itu, Sutiyono (2008) menyatakan
bahwa jenis bambu tali yang terdapat di lahan masyarakat di daerah Tasikmalaya dan
Ciamis rumpunnya relatif bersih dan rapi berstrukstur 3 (tiga) generasi umur batang yaitu
kelompok batang umur 1, 2 dan 3 tahun. Hal ini menunjukan bahwa batang-batang bambu
tali sering ditebang dan digunakan untuk berbagai keperluan. Rasa rebungnya yang sangat
pahit sehingga permudaannya cukup besar (43,9%) karena masyarakat enggan
memngambilnya. Di daerah seperti Tasikmalaya dan Ciamis yang dikenal sentar industri
kerajinan bambu, populasi bambu tali mendominasi (49,3%) jenis-jenis bambu diantara 6
jenis bambu yang dimiliki oleh masyarakat.
Sementara itu, bambu mayan (Gigantochloa robusta Kurz.) adalah jenis bambu
berbatang lurus, berdidnding tebal sehingga berpotensi digunakan sebagai bahan bambu
lamina atau bambu lapis. Seperti bambu tali, di lahan masyarakat, bambu mayan diketahui
tumbuh rapi dan bersih karena sering dimanfaatkan terutama untuk kerajinan mebeler.
Menurut Sulastiningsih (2010) dalam Sutiyono (2010) bambu mayan termasuk jenis yang
648
ILMU KEHUTANAN
baik untuk bahan baku industri bambu lamina. Sementara itu, Widjaja (1987),
meninformasikan tinggi batang bambu mayan dapat mencapai 20 m dengan diameter
batang 7-9 cm dan tebal dinding dapat mencapai 18 mm. Persebaran alami bambu mayan
ada di Jawa Barat bagian barat (Banten) dengan nama bambu mayan, di Bali dengan nama
tiying jelepung, di Sumatera Barat dengan naman buluh riaw dan di Tapanuli dengan nama
buloh paring. Selain itu, Sutiyono (1988) mendapatkan bambu mayan di hutan Soko di
daerah Banyuwangi dan Jember dengan naman pring serit.
Mengingat potensi pemanfaatan kedua jenis bambu tersebut di atas, maka kedua
jenis bambu sudah harus dibudidayakan untuk bahan baku substitusi industri produk kayu
seperti kayu lapis. Pemanfaatan bambu sebagai bahan substitusi produk kayu berpotensi
meningkatkan kualitas hutan dan kelestarian hutan melalui penundaan penebangan pohon
sehingga berumur lebih lama. Selain itu, bambu tergolong ramah lingkungan karena sekali
tanam akan dipanen terus menerus tanpa harus menghilangkan tegakannya. Untuk maksud
tersebut, salah satu informasi yang penting diketahui adalah karakteristik pertumbuhan
kedua jenis bambu di tempat-tempat tinggi. Informasi ini sangat penting untuk memprediksi
kesesuaian jenis bambu terhadap tinggi tempat di atas muka laut.
Tujuan
Penelitian bertujuan mendapatkan informasi karakteristik pertumbuhan bambu tali (G.
apus Kurz.) dan bambu mayan (G. robusta Kurz.) di lokasi yang breketinggian > 1350 m dpl.
Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di SPH (Stasiun Penelitian Hutan) Arcamanik yang terletak di
Desa Mekarmanik, Kecamatan Ujung Beurung, Kabupaten Bandung, Propinsi Jawa Barat.
Menurut administrasi kehutanan, SPH Arcarmanik termasuk dalam wilayah kerja RPH
Arcamanik, BKPH Mangalayang Barat, KPH Bandung Utara, Perum Perhutani Unit III Jawa
Barat. Menurut catatan BKPH Mangalayang Barat, luas SPH Arcamanik r 17 Ha. Terletak
pada ketinggian r 1350 m dpl yang dapat dicapai dengan kendaraan roda empat dari 2 (dua)
arah yaitu dari Sukamiskin dan Ujung Berung dengan kondisi jalan sebagian beraspal dan
sebagian masih berupa jalan batu.
Berdasarkan Peta Tanah Tinjau Propinsi Jawa Barat berskala 1:250.000 (LPT, 1966)
maka tanah di SPH Arcamanik tergolong berjenis asosiasi andosol coklat dengan regosol
coklat yang berasal dari bahan induk abu/pasir dan tuf volkan intermedier dan bertopografi
volkan Pengamatan di lapangan menunjukan tanah di SPH Arcamanik bertekstur gembur
dan remah, bertopografi lereng hingga 45% sehingga mudah tererosi dan longsor. Di
beberapa tempat tersembul batu-batu mulai dari yang berukuran kecil sampai besar. .
Menurut Soepraptohardjo (1979) jenis tanah andosol tergolong tanah subur dan inforamsi
analisa tanah disajikan pada Lampiran 1.
Data iklim yang diperoleh menunjukan rata-rata bulan basah (BB) = 7,6 dan rata-rata
bulan kering (BK) = 2,6 sehingga termasuk bertipe hujan C dengan nilai Q sebesar 34,0 %
(Schmidt dan Ferguson, 1951). Dari data iklim juga diketahui curah hujan tahunan rata-rata
2597 mm dan hari hujan sebanyak 131,3 hari. Hampir setiap bulan terjadi hujan dimana
curah hujan tertinggi pada bulan Maret (438,7 mm) dan terendah bulan Agustus (47 mm).
649
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Tabel 1. Curah hujan dan hari hujan rata-rata di SPH Arcamanik, Bandung, Jawa Barat*
Metode
Bibit bambu tali (G. apus) dan bambu mayan (G. robusta) yang berasal dari stek
batang ditanam di areal SPH Arcamanik. Setiap jenis bambu ditanam sebanyak 7 (tujuh)
bibit yang ditanam i tanpa jarak tanam, terpencar-pencar mengisi ruang-ruang kosong. Bibit
ditanam pada lubang tanam berukuran 40x40x40 cm yang sudah diisi pupuk kandang 1 kg
dan pupuk NPK 1 gram. Pemeliharaan yang dilakukan adalah penyiangan sekitar bibit
melingkar 0,5 meter yang dikerjakan 3 bulan sekali. Pengumpulan data dilakukan setelah
umur 1 tahun dan 2 tahun terhadap jumlah batang/rumpun, tinggi dan diameter batang.
Seluruh data diolah dengan sidik ragam dan pada perlakuan yang nyata diuji dengan uji-
Tukeys.
650
ILMU KEHUTANAN
Tabel 1. Rata-rata jumlah batang/rumpun bambu tali (G. apus) dan bambu mayan
(G. robusta) umur 1 dan 2 tahun
Namun demikian sidik ragam pertumbuhan jumlah batang/rumpun bambu tali (G.
apus) dan bambu mayan (G. robusta) yang disajikan pada Lampiran 3 menunjukan bahwa
perbedaan jumlah batang/rumpun antara bambu tali dan bambu mayan tidak berbeda nyata.
baik umur 1 dan 2 tahun. Dengan demikian pada awal pertumbuhan kedua jenis bambu yaitu
bambu tali dan bambu mayan memiliki karakteristik pertumbuhan jumlah batang/rumpun yang
sama. Hasil penelitian di atas berbeda dengan hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan
oleh Sutiyono (2007) di SPH Tanjungan, Lampung Selatan. Dari hasil penelitian di SPH
Tanjungan diketahui bahwa rata-rata pertumbuhan jumlah batang/rumpun bambu tali dan
bambu mayan lebih besar dibanding dengan rata-rata pertumbuhan jumlah batang/rumpun di
SPH Arcamanik baik pada umur 1 dan 2 tahun yang masing-masing adalah 2 batang/rumpun
dan 3,45 batang/rumpun.
Tabel 2. Rata-rata tinggi batang bambu tali (G. apus) dan bambu mayan
(G. robusta) umur 1 dan 2 tahun
Pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Sutiyono (2007) di SPH Tanjungan,
Lampung Selatan, diketahui pertumbuhan bambu tali dan bambu mayan adalah umur 1 dan 2
tahun masing-masing memiliki karakteristik jumlah batang/rumpun tidak berbeda nyata
dengan rata-rata pada umur 1 dan 2 tahun 1,5 batang/rumpun dan 3,5 batang/rumpun.
Demikian juga untuk karakteristik pertumbuhan tinggi dan diameter batang, kedua jenis
bambu tidak berbeda nyata baik umur 1 dan 2 tahun. Hasil penelitian menunjukkan rata-rata
tinggi batang kedua jenis pada umur 1 dan 2 tahun ,masing-masing 0,88 meter dan 1,56
651
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
meter. Sementara rata-rata diameter batang kedua jenis pada umur 1 dan 2 tahun adalah 0.7
cm dan 1,46 cm.
Dibanding dengan hasil penelitian di SPH Tanjungan di atas menunjukan
pertumbuhan tinggi dan diameter bamboo tali dan bamboo mayan lebih besar di SPH
Arcamanik. Diduga, perbedaan tersebut disebabkan oleh perbedaan kondisi lingkungan
seperti ketinggian tempat di atas muka laut, jenis tanah dan curah hujan. Lokasi SPH
Tanjungan, Lampung Selatan berketinggian tempat 50 m dpl, dengan jenis tanah podsolik
merah kuning. Seperti telah dikemukakan sebelumnya, tanah di SPH Arcamanik tergolong
jenis tanah asosiasi andosol coklat dengan regosol coklat. Sedangkan di lokasi SPH
Tanjungan tergolong jenis tanah podsolik merah kuning. Menurut Soepraptohardjo (1979)
jenis tanah andosol tergolong jenis tanah dengan tingkat kesuburan tinggi sedangkan tanah
podsolik merah kuning memiliki kesuburan sangat rendah.
Kesimpulan
1. Karakteristik pertumbuhan jumlah batang/rumpun, tinggi dan diameter batang bambu tali
(Gigantochloa apus Kurz.) dan bambu mayan (G. robusta Kurz.) tidak berbeda nyata baik
umur 1 dan 2 tahun.
2. Pada umur 1 tahun dan 2 tahun, rata-rata jumlah batang/rumpun bambu tali dan bambu
mayan masing-masing 1,5 dan 2,29 batang/rumpun.
3. Pada umur 1 dan 2 tahun, rata-rata tinggi batang bambu tali dan bambu mayan masing-
masing 2,93 meter dan 3,95 meter,
4. Pada umur 1 dan 2 tahun, rata-rata diameter batang bambu tali dan bambu mayan masing-
masing 2,60 cm dan 4,43 cm
Saran
1. Bambu tali (Gigantochloa apus Kurz.) dan bamboo mayan (G. robusta Kurz.) dapat
dikembangkan bersama-sama di tempat-tempat berketinggian sampai 1350 m dpl.
DAFTAR PUSTAKA
LPT. 1966. Peta Tanah Tinjau Propinsi Jawa Barat skala 1:250.000. LP Tanah, Bogor.
Schmidt, F, H and J.H.A. Ferguson. 1951. Rainfall types based on wet and dry period ratios
for Indonesia with western New Guinea. Jawatan Meteorology dan Geofisika, Jakarta.
Soepraptohardjo, M. 1979. Klasifikasi tanah. Penataran Asisten Soil Surveyor I. IPLPP-LP
Tanah. Bogor. 06/78/79: 13-14.
Sutiyono. 1988. Silvikultur hutan bambu di hutan Soko, Banyuwangi. Bul.Pen. Hutan.Pusat
Litbang. Hutan Bogor. (497) : 29-40.
------------. 2007. Pertumbuhan empat jenis bambu asal stek batang umur 2 tahun. Info Hutan
Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam, Bogor. IV(6):575-583.
------------. 2008. Tanaman bambu rakyat untuk kerajinan di daerah Tasikmalaya-Ciamis,
Jawa barat. Dukument.
Widjaja, E, A. 1987. A. revesion of malesian Gigantochloa (Poacea Bambusoidae).
Reinwardtia. 10 (3) : 311-315 ; 349-352..
652
ILMU KEHUTANAN
Lampiran 1. Data pertumbuhan bambu tali (G. apus) dan bambu mayan (G. robusta) umur 1
tahun di SPH Arcamanik, Bandung.
Lampiran 2. Data pertumbuhan bambu tali (G. apus) dan bambu mayan (G. robusta) umur 2
tahun di SPH Arcamanik, Bandung.
Lampiran 3. Sidik ragam jumlah batang/rumpun bambu tali (G. apus) dan bambu mayan (G.
robusta) umur 1 dan 2 tahun setelah tanam
F-Tabel
Sumber variasi db JK KT F-hitung
0.05 0.1
Umur 1 tahun
Rumpun 6 6.00 1.00 4.20 4.28 8.47
Jenis bambu 1 0.07 0.07 0.30tn 5.99 13.74
Galat 6 1.43 0.24
Umur 2 tahun
Rumpun 6 3.86 0.64 0.60 4.28 8.47
Jenis bambu 1 2.57 2.57 2.40tn 5.99 13.74
Galat 6 6.43 1.07
Keterangan : tn = tidak nyata
653
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Lampiran 4.Sidik ragam tinggi batang bambu tali (G. apus) dan bambu mayan (G. robusta)
umur 1 dan 2 tahun setelah tanam
F-Tabel
Sumber variasi db JK KT F-hitung
0.05 0.1
Umur 1 tahun
Rumpun 6 6.68 1.11 1.82 4.28 8.47
Jenis bambu 1 0.07 0.07 0.12tn 5.99 13.74
Galat 6 3.68 0.61
Umur 2 tahun
Rumpun 6 6.24 1.04 0.80 4.28 8.47
Jenis bambu 1 1.32 1.32 1.02tn 5.99 13.74
Galat 6 7.75 1.29
Keterangan : tn = tidak nyata
Lampiran 5. Sidik ragam diameter batang bambu tali (G. apus) dan bambu mayan (G.
robusta) umur 1 dan 2 tahun setelah tanam
F-Tabel
Sumber variasi db JK KT F-hitung
0.05 0.1
Umur 1 tahun
Rumpun 6 2.68 0.45 3.52tn 4.28 8.47
Jenis bambu 1 0.50 0.50 3.95tn 5.99 13.74
Galat 6 0.76 0.13
Umur 2 tahun
Rumpun 6 3.35 0.56 1.62 tn 4.28 8.47
Jenis bambu 1 0.08 0.08 0.22 tn 5.99 13.74
Galat 6 2.07 0.35
Keterangan : tn = tidak nyata
654
ILMU KEHUTANAN
ABSTRAK
Fungsi hutan saat ini masih dititikberatkan pada aspek produksi yaitu produksi kayu,
sedangkan aspek lingkungan masih kurang diperhatikan. Salah satu aspek lingkungan yang
populer saat ini adalah penyerapan karbondioksida dan produksi oksigen. Penelitian
bertujuan mengkaji kemampuan tegakan Gelam yang tumbuh alami dalam menyerap
karbondioksida (CO2) dan memproduksi oksigen (O2) berdasarkan tingkat pertumbuhan
(semai, pancang, tiang dan pohon) dan lokasi tempat tumbuh, yaitu lokasi A (rawa pasang
surut terluapi pasang besar dengan ketebalan gambut dangkal) dan B (rawa pasang surut
tidak terluapi pasang air tanah dangkal < 50 cm dengan ketebalan gambut sedang) pada
Eks. PLG Blok D di Kalimantan Tengah.
Penelitian berdasarkan tingkat pertumbuhan pohon yaitu semai, pancang, tiang dan
pohon pada 2 lokasi tempat tumbuh. Metode pengukuran karbon dilakukan dengan 2 cara
yaitu berdasarkan berat biomassa (Karbon= 0,5 x biomassa) dan pengarangan (pirolisis)
berdasarkan berat arang (karbon = 0,8 x arang).
Hasil Penelitian menunjukkan bahwa tegakan Gelam berdasarkan tingkat
pertumbuhan yang tumbuh pada lokasi pada lokasi A potensi biomassa terbesar pada
tingkat tiang memiliki diikuti tingkat pancang, pohon dan semai sedangkan pada lokasi B
potensi biomassa terbesar pada tingkat tiang disusul tingkat pohon, pancang dan semai.
Tegakan Gelam yang tumbuh pada lokasi B memiliki potensi biomassa, karbon,
kemampuan menyerap CO2dan memproduksi O2 lebih besar daripada lokasi A.
PENDAHULUAN
Tegakan Gelam tumbuh secara alami di kawasan rawa pasang surut di Kalimantan
Tengah yang termasuk dalam kawasan eks. PLG. Pohon Gelam (Melaleuca sp) famili
Myrtaceae adalah jenis pohon yang dominan tumbuh dan toleran pada kondisi tanah yang
ekstrim, seperti keasaman dan salinitas tinggi serta genangan air. Tanah yang mengandung
pirit dan sulfat masam, pohon Gelam dapat tumbuh rapat karena tumbuhan lain tidak dapat
tumbuh di habitat tersebut. Mengingat potensi pohon Gelam pada daerah rawa pasang surut
eks. PLG cukup besar, maka penelitian kemampuan menyerap CO2 dan memproduksi O2
pohon Gelam perlu dilakukan guna pengembangan pemanfaatan pohon Gelam lebih lanjut
ditinjau dari aspek lingkungan.
Fungsi hutan saat ini masih dititikberatkan pada aspek produksi yaitu produksi kayu,
sedangkan aspek lingkungan masih kurang diperhatikan. Salah satu aspek lingkungan yang
penting untuk dipelajari dan diteliti adalah kemampuan pohon dalam penyerapan
karbondioksida dan produksi oksigen. Penelitian bertujuan mengkaji kemampuan tegakan
Gelam yang tumbuh alamidalam menyerap karbondioksida (CO2) dan memproduksi oksigen
(O2) berdasarkan tingkat pertumbuhan (semai, pancang, tiang dan pohon) dan lokasi tempat
tumbuh, yaitu lokasi A (rawa pasang surut terluapi pasang besar dengan ketebalan gambut
dangkal) dan B(rawa pasang surut tidak terluapi pasang air tanah dangkal < 50 cm dengan
ketebalan gambut sedang) pada Eks. PLG Blok D di Kalimantan Tengah.
655
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
METODE PENELITIAN
Prosedur Penelitian
Pelaksanaan Penelitian dilakukan dalam beberapa tahapan seperti terlihat pada
bagan penelitian pada Gambar 1.
656
ILMU KEHUTANAN
Inventarisasi potensi tegakan Gelam (jumlah pohon dan diameter pohon) menggunakan cara petak
tunggal pada areal eks. PLG seluas 10 ha pada blok D masing-masing 5 ha 1*)
Pemilihan sampel pohon Gelam dari blok D Eks. PLG di Lokasi A dan B pohon berdasarkan tingkat
pertumbuhan, semai (sedling) T < 1,5 m (30 pohon), pancang (sapling) T >1,5 m <10cm (5 pohon),
tiang (pole) 10-20cm (5 pohon) dan pohon (tree) >20cm (5 pohon) 1*
Dicabut1*)
Pengukuran biomassa berdasarkan organ pohon (akar, batang, buah, bunga cabang/ranting dan daun)
dan tingkat pertumbuhan pohon Gelam (semai/sedling, pancang/sapling, tiang/pole dan pohon/tree)
dengan menimbang berat total masing-masing dalam kondisi berat segar 1*)
Pengambilan sampel berupa potongan kecil atau helai secukupnya berdasarkan organ pohon dan
tingkat pertumbuhan pohon Gelam dengan menimbang berat masing-masing dalam kondisi berat segar
serta sampel dibiarkan sampai kering udara kemudian di timbang 1*)
Pengovenan sampel yang sudah kering udara berupa potongan kecil atau helai secukupnya
berdasarkan organ pohon dan tingkat pertumbuhan pohon Gelam dengan suhu 1032 0C kemudian
menimbang berat masing-masing dalam kondisi kering udaraberat konstan/tanur 1*)
Membuat model persamaan allometrikdihubungkan dengan diameter pohon setinggi dada atau tinggi
pohon W = a X b aplikasikan pada data dari kegiatan inventarisasi tegakan Gelam1*)
Biomassa ton/ha1*)
Pengambilan sampel berdasarkan organ pohon (akar, batang, cabang/ranting dan daun) dan tingkat
pertumbuhan pohon (semai/sedling, pancang/sapling, tiang/pole dan pohon/tree) 2*)
657
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Analisis Data
Berat Kering
Berat kering contoh uji digunakan rumus dari JICA (2002) sebagai berikut :
BKC
BKT = X BBT
BBC
dimana : BKT=Berat kering total (kg) ; BKC=Berat kering contoh (g) ; BBC=Berat basah
contoh (g) ; BBT=Berat basah total (kg)
Persamaan Allometrik
Pendugaan biomassa dan kandungan karbon pohon Gelam menggunakan
persamaan allometrik sebagai berikut :
Y=aXb
Dimana :
Y = Biomassa dan karbon pohon Gelam
X = Diameter pohon setinggi dada (Dbh) untuk tingkat pancang, tiang dan pohon
Diameter pohon setinggi 30 cm dari permukaan tanah untuk tingkat semai.
a, b = Koefisien
CO2= 44/12 x C
Dimana
CO2 = Banyaknya CO2 yang diserap (ton/ha)
C = Berat total karbon pohon (ton /ha)
44/12 = Angka konversi unsur karbon (C) ke CO2 (massa atom C=12 dan O=16) sehingga
C = 12 (1x12) dan CO2 = 44 (1x12) + (2x16)
O2 = 32/44 x CO2
658
ILMU KEHUTANAN
Dimana :
O2 = Banyaknya O2 yang diproduksi (ton/ha)
CO2 = Berat CO2 yang diserap (ton/ha)
32/44 = Angka konversi CO2 ke O2 (massa atom C=12 dan O=16)
sehingga CO2 = 44 (1x12) + (2x16) dan O2 = 32 (2x16)
Data hasil survey inventarisasi dengan menghitung jumlah pohon dan besar diameter
pohon pada lokasi penelitian lokasi A dan B dengan seluas masing-masing 5 ha tersaji pada
Tabel 1 berikut (Alpian, dkk., 2010).
Lokasi A Lokasi B
Rata-Rata Rata-Rata Rata-Rata Rata-Rata
Tingkat Jumlah Jumlah
Keliling Diameter Keliling Diameter
Pertumbuhan Pohon Pohon
Pohon Pohon Pohon Pohon
/ha /ha
(cm) (cm) (cm) (cm)
Semai 14400 1.510 0.481 23900 1.125 0.358
Pancang 7082 12.821 4.079 1837 17.007 5.411
Tiang 1029 39.228 12.482 945 41.947 13.347
Pohon 65 75.036 23.875 70 74.566 23.726
Jumlah/Rataa
22575 32.149 10.229 26746 33.661 10.710
n
Diameter Pohon (cm) = Keliling Pohon / (3.142857)
Jumlah pohon Gelam per hektar pada lokasi B sebesar 26.746 lebih besar daripada
lokasi A disebabkan karena pengaruh jumlah pohon tingkat pertumbuhan semai yang besar
pada lokasi B. Pasca kebakaran yang mematikan tanaman gulma menyebabkan lantai hutan
pada lokasi B terbuka sehingga membentuk ruang tumbuh bagi anakan Gelam. Tingkat
pertumbuhan pancang menunjukkan bahwa jumlah pohon pada lokasi B lebih sedikit
dibandingkan pada lokasi A disebabkan pohon Gelam pada tingkat pertumbuhan pancang
pasca kebakaran banyak yang mati. Jumlah pohon Gelam tingkat pertumbuhan tiang dan
pohon pada lokasi A dan B tidak berbeda jauh disebabkan bahwa pasca kebakaran hutan
pohon Gelam pada tingkat tiang dan pohon tidak mati akibat kebakaran. Kebakaran
membersihkan serasah atau sisa tumbuhan lain yang akan menghambat perkecambahan biji
Gelam (Kinnon, et.al., 1996).Penelitian tentang potensi Gelam di Rawa Lebak Teluk Gelam
Sumatera Selatan yang dikelompokan menjadi semai, anakan, pancang, tiang dan pohon,
menunjukkan hasil bahwa kebakaran lahan memicu terjadinya perkecambahan dan
pertumbuhan semai dan anakan (Santri, 2004).
Manfaat metode allometrik dapat digunakan untuk menaksir besarnya biomassa atau
kandungan karbon suatu tegakan hutan. Pohon sampel yang digunakan untuk pengukuran
biomassa diukur dan dihitung pada bagian organ pohon (akar, batang, buah, bunga, cabang
dan daun). Persamaan allometrik pada Tabel 2 merupakan persamaan untuk menaksir
biomassa segar, biomassa kering kering tanur dan karbon tegakan Gelam pada lokasi A dan
B berdasarkan nilai diameter pohon yang diperoleh. Berdasarkan analisis varian dan nilai R2
menunjukan nilai yang signifikan bahwa diameter pohon berpengaruh signifikan terhadap
biomassa segar, biomassa kering udara, kering tanur dan karbon.
659
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Berdasarkan data hasil survey pada Tabel 1 dipadukan dengan model persamaan
allometrik yang diperoleh pada Tabel 2digunakan untuk perhitungan biomassa segar,
biomassa kering udara, biomassa kering tanur dan karbon dalam satuan ton/ha tersaji pada
Tabel 3 dan 4 berikut.
Tabel 3. Data Rangkuman Biomassa (Basah, Kering Udara dan Kering Tanur)
Lokasi A Lokasi B
Biomassa Biomass Biomassa Biomassa
Tingkat Biomassa Biomassa
Kering a Kering Kering Kering
Pertumbuhan segar segar
Udara Tanur Udara Tanur
ton/ha ton/ha
Ton/ha ton/ha Ton/ha ton/ha
Semai 1.243 0.523 0.460 0.977 0.419 0.371
Pancang 109.758 54.304 47.287 58.517 32.452 28.155
Tiang 136.555 70.656 61.376 172.322 101.463 87.595
Pohon 39.254 21.236 18.402 52.859 32.942 28.307
Jumlah 286.811 146.718 127.524 284.676 167.276 144.428
Sumber : Alpian, dkk ., 2010
Data pada Tabel 3 menunjukan bahwa tegakan Gelam pada lokasi A tingkat tiang
memiliki potensi biomassa terbesar diikuti tingkat pancang, pohon dan semai. Tegakan
Gelam pada lokasi B mengandung potensi biomassa terbesar pada tingkat tiang disusul
tingkat pohon, pancang dan semai.
Data karbon pada Tabel 4 diperoleh berdasarkan data pada Tabel 1, 2, 3 dan proses
pengarangan menunjukan bahwa kedua metode perhitungan karbon di peroleh hasil yang
berbeda.
660
ILMU KEHUTANAN
Lokasi A Lokasi B
Tingkat
Karbon 0,5 x B Karbon 0,8 x A Karbon 0,5 x B Karbon 0,8 x A
Pertumbuhan
(ton/ha) (ton/ha) (ton/ha) (ton/ha)
Semai 0,230 0,127 0,185 0,105
Pancang 23,658 12,857 14,064 7,506
Tiang 30,687 16,621 43,798 23,052
Pohon 9,195 4,963 14,167 7,359
Jumlah total 63,770 34,568 72,214 38,021
Data pada Tabel 5 terlihat potensi karbon, penyerapan CO2 dan produksi O2 tegakan
Gelam berdasarkan tempat tumbuh menunjukkan bahwa lokasi B lebih besar dari pada
lokasi A sedangkan berdasarkan metode pengukuran menunjukkan bahwa pengukuran
dengan metode berat biomassa lebih besar dari metode berat arang. Manusia membutuhkan
Oksigen (O2) untuk pernapasan demi keberlangsungan hidupnya. Setiap orang
membutuhkan oksigen 2,9 kg/hari atau 0,12 kg/jam (Ismaun, 2008). Data Tabel 5
berdasarkan perhitungan berat biomassa pada lokasi A produksi O2 sebesar 170,053 ton/ha
atau 170053 kg/ha dapat memenuhi kebutuhan oksigen sebanyak 58.639 orang/hari dan
lokasi B sebesar 192,571 ton/ha atau 192571 kg/ha dapat memenuhi kebutuhan oksigen
sebanyak 66.404 orang/hari. Data Tabel 5 berdasarkan perhitungan berat arang pada lokasi
A produksi O2 sebesar 92,181 ton/ha atau 92181 kg/ha dapat memenuhi kebutuhan oksigen
sebanyak 31.787 orang/hari dan lokasi B sebesar 101,389 ton/ha atau 101389 kg/ha dapat
memenuhi kebutuhan oksigen sebanyak 34.962 orang/hari.
Alpian, dkk 2010 menyatakanpersentase Biomassa kering tanur berdasarkan organ
pohon pada lokasi A sebesar : batang (57,66 %), akar (22,24 %), cabang/ranting (17,92 %),
daun (1,35 %), buah (0,65 %) dan bunga (0,18 %), sedangkan pada lokasi B sebesar :
batang (61,95 %), akar (21,64 %), cabang/ranting (14,29 %), daun (1,91 %), buah (0,18 %)
dan bunga (0,04 %). Data Tabel 5 berdasarkan perhitungan berat biomassa lokasi A
menghasilkan oksigen sebesar 170,053 ton/ha dan persentase biomassa organ daun
sebesar 1,35 % maka organ daun menghasilkan oksigen sebesar 2,294 ton/ha dapat
memenuhi kebutuhan oksigen 791 orang/hari, sedangkan lokasi B menghasilkan oksigen
192,571 ton/ha dan persentase biomassa organ daun sebesar 1,91 % maka organ daun
661
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Lokasi A Lokasi B
Metode
BS BKU BS BKU
Pengukuran BKT ton/ha BKT ton/ha
ton/ha ton/ha ton/ha ton/ha
286,811 146,718 127,524 284,676 167,276 144,428
C (ton/ha) C (ton/ha) C (ton/ha) C (ton/ha) C (ton/ha) C (ton/ha)
(0,5 x B) 63,770 63,770 63,770 72,214 72,214 72,214
C=0,22x C=0.43 x C=0.50 x C=0.25 x C=0.43 x C=0.50 x
Rumusan
BS BKU BKT BS BKU BKT
(0,8 x A) 34,568 34,568 34,568 38,021 38,021 38,021
C=0.12 x C=0.24 x C=0.27 x C=0.13 x C=0.23 x C=0.26 x
Rumusan
BS BKU BKT BS BKU BKT
CO2 CO2 CO2
CO2 (ton/ha) CO2 (ton/ha) CO2 (ton/ha)
ton/ha) (ton/ha) ton/ha)
(0,5 x B) 233,823 233,823 233,823 264,785 264,785 264,785
CO2=0.82 x CO2=1,59 x CO2=1,83 x CO2=0,93 x CO2=1,58 x CO2=1.83 x
Rumusan
BS BKU BKT BS BKU BKT
(0,8 x A) 126,749 126,749 126,749 139,410 139,410 139,410
CO2=0,44 x CO2=0,86 x CO2=0,99 x CO2=0,49 x CO2=0,83 x CO2=0,97 x
Rumusan
BS BKU BKT BS BKU BKT
O2 (ton/ha) O2 (ton/ha) O2 (ton/ha) O2 (ton/ha) O2 (ton/ha) O2 (ton/ha)
(0,5 x B) 170,053 170,053 170,053 192,571 192,571 192,571
O2=0,59 x O2=1,16 x O2=1,33 x O2=0,68 x O2=1,15 x O2=1.33 x
Rumusan
BS BKU BKT BS BKU BKT
(0,8 x A) 92,181 92,181 92,181 101,389 101,389 101,389
O2=0,32 x O2=0,63 x O2=0,72 x O2=0,36 x O2=0,61 x O2=0,70 x
Rumusan
BS BKU BKT BS BKU BKT
Keterangan : BS = Berat Segar ; BKU = Berat Kering Udara ; BKT = Berat Kering Tanur ;
B = Berat Biomassa Kering Tanur ; A = Berat Arang
Data pada Tabel 3, 4 dan 5 menunjukan nilai biomassa segar, biomassa kering
udara, biomassa kering tanur, kandungan karbon, kemampuan menyerap CO2 dan
memproduksi O2 tegakan Gelam yang tumbuh pada lokasi B lebih besar daripada lokasi A.
Perbedaan disebabkan pasca kebakaran pada lokasi B membuka ruang tumbuh membunuh
gulma pengganggu sekaligus terjadi proses penjarangan sehingga tegakan Gelam yang ada
di areal tersebut tumbuh lebih baik terutama semai Gelam tumbuh lebih banyak dan masih
muda terlihat pada besaran diameter yang lebih kecil dari semai pada lokasi A. Pohon
Gelam pada lokasi A tidak terjadi kebakaran karena walaupun musim kemarau ada pasang
besar yang mengenangi areal tersebut sehingga tidak terjadi kebakaran. Pertumbuhan
tegakan Gelam di lokasi A lebih lambat disebabkan tumbuhan bawah yang lebat berupa
semak belukar yang mengganggu pertumbuhan yang merabat sampai menutupi semua
pohon Gelam yang tumbuh di areal tersebut seperti Kalakai (Stenochlaena palustris). Ruang
662
ILMU KEHUTANAN
tumbuh yang kurang baik akibat adanya gulma menyebabkan pertumbuhan pohon
terganggu. Pengamatan di lapangan menunjukan bahwa pada lokasi B jika musim kemarau
areal hutan pada lokasi B tersebut terbakar tetapi tidak mematikan pohon Gelam khususnya
pohon Gelam tingkat tiang dan pohon sehingga pasca kebakaran terlihat pohon Gelam
semakin tumbuh subur (bertambah besar tinggi dan diameter pohon) disebabkan adanya
abu yang terbentuk sewaktu kebakaran hutan. Tingkat pertumbuhan semai dan sapling pada
lokasi B sebagian mati terlihat dari jumlah batang hasil inventarisasi jumlah semai yang
banyak pada lokasi B tetapi nilai rata-rata diameter pohon lebih kecil dibandingkan pada
lokasi A karena masih muda, sedangkan tingkat pancang dan tiang jumlah pohon lebih
sedikit dibanding pada lokasi A seperti terlihat pada Tabel 1. Abu banyak mengandung silikat
yang berpengaruh positif terhadap pertumbuhan tegakan Gelam pada lokasi Bseperti terlihat
pada Gambar 2 dan 3 berikut.
Gambar 2. Pohon Gelam pada Lokasi B Gambar 3. Pohon Gelam pada Lokasi B
Najiyati, et.al. 2005 menjelaskan abu merupakan sisa hasil pembakaran bahan
organik seperti kayu, sampah, gulma dan sisa hasil pertanian seperti sekam dan serasah.
Kelebihan abu mengandung semua unsur hara secara lengkap baik mikro maupun makro
(kecuali N, pembakaran abu yang sempurna menghilangkan unsur N), pH tinggi (8,5-10),
tidak mudah tercuci, mengandung kation basa seperti K, Ca, Mg dan Na yang relatif tinggi.
Kesimpulan
Tegakan Gelam berdasarkan tingkat pertumbuhan yang tumbuh pada lokasi pada
lokasi A potensi biomassa terbesar pada tingkat tiang memiliki diikuti tingkat pancang, pohon
dan semai sedangkan pada lokasi B potensi biomassa terbesar pada tingkat tiang disusul
tingkat pohon, pancang dan semai.
Tegakan Gelam yang tumbuh pada lokasi B memiliki potensi biomassa, karbon,
kemampuan menyerap CO2dan memproduksi O2 lebih besar daripada lokasi A disebabkan
karena lokasi B pasca kebakaran membentuk ruang tumbuh yang baik untuk pertumbuhan
pohon (matinya tumbuhan gulma dan berkurangnya jumlah pohon terutama tingkat pancang)
serta terbentuknya abu.
Metode perhitungan karbon berdasarkan berat biomassa menghasilkan nilai
kemampuan menyerap CO2dan memproduksi O2 lebih besar dari metode perhitungan
karbon berdasarkan berat arang
Saran
Pembudidayaan pohon Gelam pada lokasi A memerlukan perlakuan pemeliharaan
berupa pembersihan gulma dan penjarangan untuk menciptakan ruang tumbuh yang yang
baik sedangkan pada lokasi B memerlukan perhatian khusus terhadap bahaya kebakaran
663
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
terutama pada musim kemarau agar tanaman budidaya Gelam terhindar dari bahaya api
akibat kebakaran misalnya perlu pembuatan sekat bakar.
DAFTAR PUSTAKA
Alpian, Prayitno, T. A., Sutapa, J. P. G., Budiadi dan Supriyati, W., 2010. Potensi Biomassa
dan Karbon Pohon Gelam di Hutan Rawa Kalimantan Tengah. Prosiding Seminar
Nasional MAPEKI XIII tanggal 10-11 Nopember 2010, Sanur, Bali. Masyarakat
Peneliti Kayu Indonesia. Bogor. Indonesia. p. 889-900.
Anonim. 1990. Pedoman Sistem Silvikultur Tebang Pilih dan Tanam Indonesia. Ditjen
PH.Jakarta. p. 5.
Bansal, R.C., J.P. Donnet and F. Stoeckli. 1988. Active Carbon. Marcel Dekker Inc. New
York and Basel.
Basuki, T.M., Adi, R. N. dan Sukresno. 2004. Informasi Teknis Stok Karbon Organik dalam
Tegakan Pinus merkusii, Agathis loranthifolia dan Tanah. Prosiding Ekspose
BP2TPDAS-IBB. Surakarta. p. 87.
Brown, S., Logo, A.E. and Chapman, J. 1986. Biomass of Tropical Tree Plantation and Its
Implications for The Global Carbon Budget. Can.J.For. Res., Vol 16 : p.390-394.
Ismaun, I., 2008. Ruang Terbuka Hijau Kawasan Reklamasi Jakarta International Resort.
Jurnal Arsitektur Lansekap. Jurusan Arsitektur Lansekap. Fakultas Arsitektur
Lansekap dan Teknologi Lingkungan. Universitas Trisakti. Jakarta. Indonesia. Vol.2
No.1. p. 1-10.
JICA. 2002. Demontration Study on Carbon Fixing Forest Management Project. Progress
Report of The Project 2001.
Kinnon, M., K., Hatta, G., Halim, H and Mangalik, A. 1996. The Ecology of Kalimantan
(Indonesia Borneo). Periplus Editions (HK) Ltd.
Morikawa, Y., H. Inoue, M. Yamada, D. Hadriyanto, R. Diana, Marjenah and M. Fatawi. 2001.
Carbon Accumulation of Man-Made Forest. In Monsoon Asia in Relation to CDM. Proc.
Inter. Workshop BIO-REFOR Tokyo. p. 42-51.
Murdiyarso, D., Widodo, M, dan Suyanto, D. 2002. Fire Risks in Forest Carbon Projects in
Indonesia. Science in China (Series C). Vol 45. p. 65-74.
Najiyati, S., Lili Muslihat dan I Nyoman N. Suryadiputra, 2005. Panduan Pengelolaan Lahan
Gambut untuk Pertanian Berkelanjutan. Wetlands International - Indonesia Programme.
Indonesia. p. 14-16 ; 40.
Najiyati, S., Lili Muslihat dan I Nyoman N. Suryadiputra, 2005. Panduan Pengelolaan Lahan
Gambut untuk Pertanian Berkelanjutan. Wetlands International - Indonesia Programme.
Indonesia. p. 14-16 ; 40.
Soerianegara, I. dan Indrawan, A. 2005. Ekologi Hutan Indonesia. Fakultas Kehutanan.
Institut Pertanian Bogor. Bogor. p. 32-33.
664
ILMU KEHUTANAN
ABSTRAK
Nilai ekonomi suatu pohon tidak hanya dinilai dari produk kayu dan non kayunya
saja. Salah satu potensi ekonomi penting adalah nilai jasa lingkungan berupa oksigen hasil
dari proses fotosintesis. Berdasarkan studi pustaka tentang laju fotosintesis pada Shorea
leprosula Miq., S. pauciflora King., dan S. smithiana Sym, dapat dibuat simulasi perhitungan
jasa oksigen hasil fotosintesisnya. Bila diasumsikan pohon meranti berdiameter 20 cm
memiliki 25 cabang dan padan cabang terendah memiliki 100 daun, maka oksigen yang
dihasilkan dari proses fotosintesis paling rendah pada S. leprosula Miq. pada kondisi
ternaung, sebesar 28,002 liter/hari. Oksigen sebesar 28,002 liter dapat dimanfaatkan untuk
bernafas 77 orang/hari, bila dirupiahkan sebesar Rp.255.500,00/tahun. Gas oksigen hasil
fotosintesis yang tertinggi pada S. smithiana Sym. pada kondisi terkena sinar matahari
penuh sebesar 127,772 liter/hari. Volume oksigen ini menyupai kebutuhan pernafasan 354
orang/hari dan bila dikonversi ke dalam mata uang sebesar Rp.1.165.900,00/tahun.
PENDAHULUAN
Di Indonesia marga Meranti (Shorea spp.) mempunyai jumlah jenis yang sangat
banyak di Indonesia, yaitu sekitar 114 jenis. Berdasarkan keadaan dan sifat kayunya,
meranti dapat dikelompokkan menjadi 4 kelompok, yaitu meranti merah, meranti kuning,
meranti putih dan meranti balau (Anonim 1991).
Secara umum kelompok meranti sangat dikenal di dunia perdagangan. BPS
menyatakan bahwa tahun 2008, produksi kayu meranti sebesar 4.362.297 m3, dari total
produksi kayu Indonesia sebesar 8.058.734 m3. Selama 2009 total kayu meranti yang
diekspor sebanyak 5.990.484 kg atau 9.448.276 us$ ke berbagai negara, diantaranya
Inggris, Korea, Jepang, Australia, Belanda, Amerika, Singapura, dan beberapa negara
lainnya (Anonim 2010).
Selain nilai ekonomi kayu, kelompok meranti juga memiliki nilai ekonomi non kayu,
misalnya jenis-jenis tengkawang. Jenis-jenis tengkawang yang dikenal diantaranya Shorea
stenoptera Burck., Shorea macrophylla P. Ashton, dan Shorea pinanga R. Scheffer. Minyak
biji tengkawang digunakan sebagai bahan baku kosmetik dan makanan. Sumarhani (2007)
menjelaskan produksi tengkawang produktif sebesar 100-250 kg biji kering/pohon. Bila
kerapatan pohon per ha sebanyak 150 pohon dengan asumsi harga tengkawang sebesar
Rp.2.000,00/kg, maka pendapatan kotor setiap tahun sebesar Rp.30.000.000,00 s/d
Rp.75.000.000,00.
Seiring dengan perkembangan jaman, nilai jasa pohon berkembang. Nilai jasa
terbaru adalah diluncurkannya konsep carbon trade, yang menghitung jasa pohon dalam
mengurangi dampak emisi karbon dioksida. Fulton dan Kahn (2010) menjelaskan bahwa
IEA memprediksikan dari tahun 2005 hingga 2050, kebutuhan bahan bakar meningkat
sebesar 70% dan emisi karbon dioksida meningkat sebesar 130%. Untuk mengurangi efek
rumah kaca sebesar 50% diperlukan investasi sebesar 45 triliun dolar amerika. Lebih jauh
Weiss dan Bugnion (2010) menyebutkan bahwa Bank Dunia memiliki Prototype Carbon
Fund dan mengelola 1,4 milyar dolar amerika yang terbagi dalam delapan investasi dana
karbon.
665
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Laju penyerapan fotosintesis (mol m-2 s-1) yang diukur oleh Shimizu, dkk (2006)
pada semai empat jenis dipterokarpa, yaitu Shorea leprosula Miq., S. pauciflora King., S.
gratissima (Wallich ex Kurz) Dyer. dan S. smithiana Sym. di persemaian Hutan Penelitian
Sebulu, Kaltim, dapat dilihat pada tabel berikut ini :
Tabel 1. Laju Penyerapan Oksigen yang Terjadi pada Proses Fotosintesis Shorea spp.
Karena proses fotosintesis terjadi pada daun, maka diperlukan perhitungan luas
permukaan daun. Hong (1992) dalam buku PROSEA menyebutkan ukuran daun Shorea
spp. seperti pada tabel 2.
666
ILMU KEHUTANAN
Bila diasumsikan fotosintesis berjalan optimal pada pukul 09.00 hingga 15.00 atau
selama 6 (enam) jam atau 21.600 detik, maka berdasarkan formulasi rumus berikut :
Jumlah Oksigen yang Dihasilkan = Fotosintesis tiap detik x waktu fotosintesis
maka dapat dihitung jumlah oksigen yang dihasilkan oleh sebuah daun meranti sebagai
mana di sajikan dalam Tabel 4. berikut ini (Catatan : massa molekul oksigen 32 gram/mol)
Tabel 4. Jumlah Oksigen yang Dihasilkan oleh Daun Meranti pada Shorea spp.
Tabel 5. Jumlah Oksigen yang Dihasilkan oleh Setiap Pohon Meranti pada Shorea spp.
667
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
membutuhkan oksigen sebanyak 360 cc. jumlah orang yang dapat memanfaatkan oksigen
hasil fotosintesis satu pohon meranti dissajikan pada tabel 6 berikut ini.
Bila harga refill gas oksigen sebesar Rp. 25.000,00 untuk 1 m3 tabung gas oksigen,
maka nilai jasa lingkungan oksigen hasil fotosintesis meranti pada jenis meranti disajikan
pada tabel 7 berikut ini.
KESIMPULAN
1. Oksigen yang terbentuk pada tempat cahaya penuh lebih banyak daripada tempat
ternaung.
2. Hasil simulasi perhitungan dengan batasan asumsi tertentu, menunjukkan bahwa
oksigen yang dihasilkan dari proses fotosintesis paling rendah pada S. leprosula Miq.
pada kondisi ternaung, sebesar 28,002 liter/hari. Oksigen sebesar 28,002 liter dapat
dimanfaatkan untuk bernafas 77 orang/hari, bila dirupiahkan sebesar
Rp.255.500,00/tahun.
3. Hasil simulasi perhitungan dengan batasan asumsi tertentu, menunjukkan bahwa gas
oksigen hasil fotosintesis yang tertinggi pada S. smithiana Sym. pada kondisi terkena
sinar matahari penuh sebesar 127,772 liter/hari. Volume oksigen ini menyupai
kebutuhan pernafasan 354 orang/hari dan bila dikonversi ke dalam mata uang sebesar
Rp.1.165.900,00/tahun.
668
ILMU KEHUTANAN
DAFTAR PUSTAKA
669
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
ABSTRAK
Kandidat Pinus bocor getah merupakan sebutan untuk genotipa pinus yaang mampu
menghasilkan getah di atas 50 gr/3 hari/pohon atau 16 gr/hari/pohon lebih tinggi
dibandingkan rata-rata produksi saat ini yang hanya mencapai 7 gr/hr/pohon. Produksi resin
pada pinus merupakan karakter kompleks yang dipengaruhi oleh faktor internal maupun
eksternal. Pada beberapa pohon bergetah seperti karet produksi getah terkait dengan
peranan sejumlah karakter komponen hasil seperti jumlah pembuluh, lilit batang, tinggi dan
tebal kulit. Penelitian ini bertujuan untuk (1). Mempelajari data karakteristik produksi dan
karakter-karakter yang diduga berkaitan dengan produksi resin, (2). Mengetahui karakter-
karakter yang memiliki korelasi nyata dan berpengaruh langsung terhadap produksi resin.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan nyata antara produksi resin
dengan beberapa karakter fenotipik yang diukur, hal tersebut mengindikasikan bahwa
produksi resin yang tinggi sangat kuat dipengaruhi oleh faktor genetik sehingga
memungkinkan dilakukan kegiatan breeding untuk karakter tersebut pada Pinus merkusii.
PENDAHULUAN
Pinus merkusii merupakan satu-satunya jenis pinus yang tersebar secara alami
melewati garis katulistiwa dan memiliki keistimewaan pada proses reproduksi yaitu berbunga
dan menghasilkan buah sepanjang tahun (Mirov 1967). Di Indonesia, P.merkusii dikenal
sebagai jenis pohon yang penting untuk kayu pertukangan, produksi resin dan untuk
rehabilitasi lahan (Suhardi et al. 1994). Salah satu produk hasil pemasakan resin yang
bernilai tinggi dan sangat diminati pasar di dalam dan luar negeri adalah gondorukem (gum
rosin). Gondorukem termasuk produk potensial yang dikelompokkan sebagai pine chemical
product dan memegang peranan penting sebagai andalan hasil hutan non kayu di Indonesia
karena menghasilkan devisa negara sekitar US$ 50 juta setiap tahunnya (Fahrodji 2010) dan
menyerap tenaga kerja yang cukup besar (Perhutani 2009).
Permasalahan yang dihadapi dalam ekspor gondoruukem adalah adanya fluktuasi
harga dan fluktuasi kuota ekspor sehingga Indonesia masih kalah bersaing dengan RRC dan
Brazil. RRC memiliki hutan pinus terluas yaitu r 1.3 juta hektar mampu menyumbangkan r
75% gondorukem di pasar internasional. Brazil memiliki hutan pinus seluas r 100.000 hektar
dengan kerapatan pohon sebanyak 800 pohon/Ha dan produksi getah 6 kg/phn/tahun atau 8
ton/Ha/tahun serta mampu menyumbangkan r 20% gondorukem di pasaran dunia setiap
tahunnya (Mello 2008). Indonesia memiliki luasan hutan pinus r 476.000 hektar, mampu
menyumbangkan 0.85 ton/Ha/tahun atau r 8% gondorukem dunia. Dari uraian tersebut,
dapat disimpulkan bahwa produktifitas pinus di Indonesia relatif lebih rendah di bandingkan
RRC dan Brazil. Berangkat dari permasalahan produktifitas, keterbatasan luasan hutan
pinus di Jawa dan dalam rangka peningkatan pendapatan masyarakat sekitar hutan
670
ILMU KEHUTANAN
beberapa alternatif solusi yang dapat ditawarkan antara lain: kegiatan pemuliaan pohon,
perbaikan teknik silvikultur, perbaikan teknik penyadapan dan perbaikan manajemen
pengelolaan (Fahrodji et al. 2009). Kegiatan pemuliaan tanaman untuk menghasilkan
genotipa dengan kemampuan menghasilkan getah banyak (bocor getah) merupakan cara
yang cukup prospektif untuk dikembangkan, mengingat telah ditemukannya beberapa
genotipa dengan produktifitas yang lebih tinggi dibandingkan rata-rata. Kandidat pinus bocor
getah merupakan sebutan untuk genotipa pinus yang mampu menghasilkan getah diatas 50
gr/3 hari/pohon atau 16 gr/hari/pohon lebih tinggi dibandingkan rata-rata produksi saat ini
yang hanya mencapai 7 gr/hr/pohon (www.puslitbangsdh.perumperhutani.com).
Tingkat produksi resin pada pinus merupakan resultante dari peranan sejumlah
karakter komponen hasil. Beberapa karakter fenotipik dilaporkan memiliki kaitan dengan
produksi getah pada beberapa jenis pohon bergetah. Informasi mengenai keterkaitan
karakter fenotipik dengan produksi getah di Indonesia banyak dilaporkan pada tanaman
karet. Beberapa studi yang telah dilakukan menunjukkan variabel seperti lilit batang dan
indeks penyumbatan memiliki pengaruh langsung terhadap produksi lateks (Novalina et al.
2008). Pada tanaman karet produksi lateks dipengaruhi oleh jumlah pembuluh lateks,
diameter pembuluh lateks, kadar sukrosa, kadar fosfat, kadar thiol dan juga lilit batang dan
tebal kulit (Goncalves et al. 2005), namun pada pohon pinus untuk tujuan produksi getah
informasi tersebut belum diperoleh. Penelitian ini bertujuan untuk (1). Mempelajari data
karakteristik produksi dan karakter-karakter yang diduga berkaitan dengan produksi resin,
(2). Mengetahui karakter-karakter yang memiliki korelasi nyata dan berpengaruh langsung
terhadap produksi resin.
Bahan penelitian ini adalah 106 pohon plus kandidat bocor getah asal Kebun Benih
Semai (KBS) Cijambu, Sumedang Jawa Barat. Metode yang digunakan dalam pengamatan
variasi fenotipik pohon plus kandidat bocor getah adalah metode observasi deskriptif non
eksperimen dengan cara pengumpulan data lapang melalui pengamatan penampilan
fenotipik terhadap 9 karakter (karakter batang dan tajuk).
Pengamatan fenotipik terhadap 9 karakter dapat disajikan pada Tabel 1. Analisis
statistik dilakukan dengan menggunakan program MS Excel dan SPSS versi 15 untuk
mendapatkan nilai rata-rata pada masing-masing tanaman dan peubah pengamatan dan
nilai tengah dari masing-masing peubah pengamatan. Uji korelasi pearson antar masing-
masing peubah dilakukan dengan SPSS versi 15. Analisis regresi bertatar dan analisis lintas
dilakukan dengan program SPSS versi 15. Pada analisis regresi produksi resin dijadikan
sebagai peubah tak bebas.
671
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
30
25
20
Frequency
15
10
Mean = 101.5604
Std. Dev. = 30.2905
N = 106
0
50.00 100.00 150.00 200.00 250.00 300.00
Cijambu
Gambar 1. Produksi resin (gr/3hr/ph) pinus asal KBS Cijambu dari 106 tanaman
(Sumber data: Puslitbang SDH, Perum Perhutani 2006)
672
ILMU KEHUTANAN
673
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Penanda morfologi banyak digunakan karena lebih mudah, cepat, sederhana dan
murah namun memiliki kelemahan karena dipengaruhi oleh tahap perkembangan tanaman
dan lingkungan sehingga sering tidak dapat membedakan antara genotipa yang diamati
karena secara morfologi terlihat sama tetapi sebenarnya berbeda akibat sifat resesif yang
tertutup oleh sifat dominan. Hal tersebut juga terkait dengan pernyataan Fikeldey (2005)
yang mengatakan bahwa kandungan produksi metabolit sekunder tertentu yang merupakan
hasil dari aliran metabolit kompleks hanya dikendalikan oleh satu atau sejumlah kecil gen.
Studi secara morfologi lain terhadap kandidat pinus bocor getah yang dilakukan oleh
Burczyk et al. 1998; Kassuth et al.1984 dan Mergen et al. 1955 pada pinus jenis lain,
menyimpulkan bahwa intensitas produksi resin sangat dipengaruhi oleh faktor genetik, dan
menduga adanya sejumlah gen yang berpengaruh terhadap karakter kuantitatif tersebut
sehingga disarankan untuk melakukan studi molekuler lebih lanjut.
KESIMPULAN
674
ILMU KEHUTANAN
DAFTAR PUSTAKA
Burczykj, Lewandowskai & Chojnackib. 1998. Resin Production Of Scots Pine Trees May Be
Associated With Multilocus Allozyme Variation. Arboretum Kdrnickie 43:79-83.
Fahrodji A. 2010. Model Daya Saing Produk Gondorukem Di Pasar Internasional Dan
Implikasinya Terhadap Pengembangan Industri Gondorukem Di Indonesia. Disertasi.
Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor.
Fachrodji A, Sumarwan U, Suhendang E dan Harianto. 2009. Perbandingan Daya Saing
Gondorukem Di Pasar International. Jurnal Manajemen dan Agribisnis:6:2:140-151
Falconer, D.S dan Mackay T.F.C. 1996. Introduction To Quantitative Genetic. 4th edition.
Addison Wesley Longman, Essex, UK..
Gaspar, M.J., Louzada, J.L., Aguilar, A & Almeida, M.A. 2008. Genetic Correlations
Between Wood Quality Traits Of Pinus Pinaster Ait. Ann. For. Sci. 65: 703
Goncalves, P.S.,R.Narayanan, K.T Chen. 1972. Some structural factor affecting the
productivity of Hevea braziliensis:Quantitative determinaation of laticiferous tissue.
Rubb Res Inst Malaya 23 (3):193-203
Janson, A &Baumanis,I. 2009. Branch Trait as Selection Criteria In Scot Pine Breeding in
Latvia. LLU Raksti: 23:318
Kanaga, M.K,, Ryel, R.J., Mock, K.J, &.Frender, P. 2008. Quantitative-Genetic Variation in
Morphological and Physiologycal Trait Within Quaking Aspen (Populus tremuloides)
population
Kossuths V. 1984. Multipurpose Slash Pine - Genetics And Physiology Of Gum Naval
Stores Production. Usda. Fol: Sew. General Tech. Report, Northeastern Sta. Ne-90:
77-83.
Mirov,N.T. 1967. The genus of Pinus. Roland Press Company. New York. 602 pp.
Mello,B. 2008. Brazilian Rosin,Turpentine and Hydrocarbon Resin Market Factor During
2008. Praque:Pine Chemicals Association International Conference.
Mergen, Hoekstrap & Echols.RM. 1955. Genetic Control Of Oleoresin Yield And Viscosity
In Slash Pine. Forest Science 1(1):19-30
Novalina, Jusuf, M.,Wattimena, G.A., Suharsono, Sumarmadji&Dalin, A. 2008. Keragaan dan
hubungan berbagai komponen hasil tanaman karet pada dua populasi hasil
persilangan PB 260 dengan Pn. Bul. Agron 32:152-159
Pswarayi, I.Z., Barnes, R.D., Birks, J.S., dan Kanowski, P.J. 1996. Genetic Parameter
Estimates for Production and Quality Traits of Pinus elliottii ENGELM. var. elliottii in
Zimbabwe. Silvae Genetica :45,
Puslitbang Perhutani. 2010. Pinus bocor getah. .www.puslitbangsdh.perumperhutani.com
[Tanggal akses 1 Februari 2011]
Roberds, J.H., Strom, B.L., Brain, F.P., Gwaze, D.P., Mc Keand, D.P& Lot. L,H. Estimates of
genetic parameters for oleoresin and growth traits in juvenile loblolly pine. Can. J.
For. Res. 33: 24692476
Suhardi, Sosef, M,S,M., Laming, P,B., & Ilic J. 1994. Pinus L. In Plant Resources of South-
East Asia 5(1) Timber trees: Major commercial. Jansen, P.C.M., Westphal, E.,
Kartasubrata, J. (eds.) 349-357 pp. PROSEA Bogor Indonesia 610 pp.
Tadesse,W., Nano, N., Aunon, F,J., Alia, R.&Luis, G. Evaluation Of High Resin Yielders Of
Pinus Pinaster Ait. Forest Genetic: 271-278.
Wardiana, E &Pranowo, D. 2010. Pendugaan Parameter Genetik, Korelasi, Dan
Klasterisasi Dua Puluh Genotip Jarak Pagar (Jatropha Curcas L.) Di Kebun
Percobaan Pakuwon. Zuriat: 21:1,
Yunanto,T dan Siregar,I.Z. 2008. Pemuliaan Pohon agathis loranthifolia Salisb. Mitra
Hutan Tanaman:3:3: 149-155
675
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Beta Putranto
Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin
Jalan Perintis Kemerdekaan KM 10 Tamalanrea Makassar
Alamat email : betaputranto@yahoo.co.id
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan penduga model hubungan tinggi dan
diameter pohon yang paling sesuai untuk jenis jambu-jambu pada hutan alam di Mamuju,
Sulawesi Barat. Penduga model yang diperoleh diharapkan dapat digunakan untuk menduga
volume pohon, menentukan posisi sosial pohon dalam tegakan, menentukan indeks
produktivitas tegakan, dan menggambarkan dinamika pertumbuhan tegakan. Penelitian
dilakukan pada dua lokasi di Mamuju. Petak ukur berbentuk bujur sangkar 20 m x 20 m
sebanyak 50 petak ukur yang dipilih secara sistematis dengan jarak sama pada masing-
masing lokasi. Setiap pohon dalam petak ukur diukur diameter setinggi dada dan tinggi total.
Analisis dilakukan terhadap 38 pohon jambu-jambu yang ditemukan pada 100 petak ukur.
Sebanyak 27 pohon digunakan dalam penyusunan model. Enam model yang terdiri atas tiga
model yang secara intrinsik linier dan tiga model non-linier digunakan dalam analisis.
Validasi model dilakukan dengan menghitung skor berdasarkan besarnya bias rata-rata,
penduga kuadrat tengah galat (MSEP) dan indeks galat (EI) terhadap seluruh pohon.
Analisis yang sama juga dilakukan terhadap tinggi maksimum untuk setiap pengamatan
diameter. Hasil analisis menunjukkan bahwa berdasarkan kriteria R2, model yang secara
intrinsik linier memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan model non-linier.
Model yang menggunakan peubah tak bebas tinggi maksimum mempunyai nilai R2 yang
lebih besar dibandingkan dengan model yang menggunakan peubah tak bebas tinggi
seluruh pohon sehingga penduga model yang digunakan adalah model yang menggunakan
peubah tak bebas tinggi total maksimum. Hasil validasi model menunjukkan bahwa tiga
peringkat teratas adalah model non-linier sehingga model yang secara intrinsik linier tidak
dipertimbangkan sebagai penduga model meskipun mempunyai nilai R2 yang lebih besar.
Hasil Uji-t menunjukkan bahwa ke tiga penduga model non-linier tersebut merupakan
penduga yang tidak berbias. Penduga model yang paling baik bagi jenis jambu-jambu adalah
model non-linier yang mempunyai bentuk sigmoid bertipe logistik.
PENDAHULUAN
Pertambahan penduduk dan laju pembangunan yang sangat pesat berimplikasi pada
meningkatnya permintaan kayu secara tajam, sementara persediaan kayu semakin terbatas
karena berkurangnya luas hutan sebagai akibat dari praktik-praktik pembalakan liar serta
konversi hutan untuk kepentingan-kepentingan lain di luar kehutanan. Dalam rangka untuk
memenuhi kebutuhan kayu yang semakin terbatas jumlahnya, berbagai upaya telah
dilakukan, baik yang berhubungan dengan perbaikan sistem pengelolaan hutan, perbaikan
sifat-sifat kayu melalui teknik-teknik silvikultur dan pemuliaan pohon maupun teknik-teknik
yang berhubungan dengan pemanfaatan kayu mulai dari pemanenan sampai ke industri.
Pengelolaan hutan yang baik harus didasarkan pada perencanaan yang didukung oleh
informasi yang akurat dan dapat dipercaya yang berhubungan dengan keadaan hutan itu
sendiri, mulai dari kondisi permudaan, potensi hutan serta pertumbuhannya.
676
ILMU KEHUTANAN
677
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Model MT1, MT2 dan MT3 merupakan persamaan dari model yang secara intrinsik
linier sehingga untuk keperluan analisis, model tersebut ditransformasikan lebih dahulu
menjadi bentuk linier dalam parameter. Setelah ditransformasi, ke tiga model tersebut
dianalisis dengan menggunakan analisis regresi linier sederhana. Bentuk transformasi dari
model tersebut adalah :
MT1 :
MT2 :
MT3 :
Evaluasi kesesuaian model dan penentuan calon penduga model terbaik dilakukan
dengan menggunakan kriteria Koefisien Determinasi (R2) untuk model linier atau pseudo-
coefficient of multiple determination untuk model non linier. Pseudo-coefficient of multiple
678
ILMU KEHUTANAN
determination adalah nilai R2 pada model non linier yang dihitung dengan menggunakan
rumus :
Untuk menentukan model mana yang paling baik sebagai penduga hubungan antara
diameter dan tinggi pohon, dilakukan validasi terhadap ke-enam model tersebut . Salah satu
pendekatan yang dilakukan sebagai pertimbangan untuk melakukan validasi menurut Draper
dan Smith (1992) adalah membuang m amatan dan menggunakan n-m amatan lainnya
untuk memperoleh persamaan regresi. Selanjutnya memvalidasi persamaan tersebut
dengan m amatan yang dibuang. Kriteria yang digunakan dalam melakukan validasi adalah
besarnya bias rata-rata absolut, mean squared error prediction (MSEP) dan Indeks galat
(EI). Semakin rendah nilai ketiganya semakin baik penduga model yang digunakan.
Penduga model dengan nilai bias, MSEP dan EI terendah diberi skor 6, sedang penduga
model dengan nilai tertinggi diberi skor 1. Penduga model dengan jumlah total skor tertinggi
dipertimbangkan sebagai model terbaik. Rumus bias rata-rata dan MSEP (Rawlings, 1988)
serta EI (Reynolds et al., 1988) adalah sebagai berikut :
Di mana :
adalah nilai pengamatan ke i
adalah nilai dugaan ke i
n adalah banyaknya pengamatan
Selanjutnya, kelayakan dari suatu model dapat dilihat dari apakah penduga model
yang diperoleh berbias atau tidak, dengan mengujinya menggunakan uji-t. Di samping itu,
grafik dari model yang diperoleh harus juga diperiksa untuk mengetahui kesesuaian dari
kecenderungan perilaku peubah respon (peubah tak bebas) dengan model.
Kedua lokasi pengambilan sampel mempunyai keadaan topografi yang relatif sama,
yaitu bervariasi dari datar hingga sangat curam. Lokasi I terletak pada ketinggian sekitar 520
m dari permukaan laut dan Lokasi II terletak pada ketinggian sekitar 612 m dari permukaan
laut.
Jenis tanah pada lokasi I terdiri atas alluvial, latosol dan kambisol. Jenis tanah alluvial
pada umumya berada pada daerah datar, latosol berada pada daerah landai dan daerah
curam hingga sangat curam, sedangkan jenis tanah kambisol pada umumnya berada pada
daerah yang agak curam. Jenis tanah pada lokasi II terdiri atas podsolik merah kuning dan
alluvial. Jenis tanah podsolik merah kuning terdapat pada topografi berbukit dan bergunung
sedang tanah aluvial terdapat pada topografi datar.
Berdasarkan klasifikasi iklim Schmidt dan Ferguson, tipe iklim pada kedua lokasi
adalah sama yaitu termasuk dalam tipe iklim B. Kondisi iklim selalu basah atau hujan dengan
curah hujan rata-rata tahunan di atas 2500 mm dan rata-rata bulan kering sekitar 1-2 bulan
per tahun yang pada umumnya terjadi antara bulan Juni sampai dengan Oktober.
679
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Komposisi jenis pohon yang menyusun hutan pada ke dua lokasi berdasarkan dari
jumlah jenis yang ditemukan pada petak ukur yang diamati adalah relatif sama meskipun
ada beberapa jenis yang ditemukan di lokasi I tetapi tidak ditemukan pada lokasi II dan
sebaliknya. Pada lokasi I untuk tingkat semai ditemukan 26 jenis, tingkat pancang sebanyak
28 jenis, tingkat tiang sebanyak 32 jenis dan pohon sebanyak 32 jenis. Pada lokasi II untuk
tingkat semai ditemukan 25 jenis, tingkat pancang sebanyak 28 jenis, tingkat tiang sebanyak
32 jenis dan pohon sebanyak 39 jenis. Jumlah pohon yang mempunyai diameter di atas 10
cm pada lokasi I sebanyak 455 pohon/ha. Dari jumlah tersebut, sekitar 4% adalah jenis
jambu-jambu. Pada lokasi II terdapat sebanyak 582 pohon/ha, di mana 8% diantaranya
adalah jenis jambu-jambu.
Berdasarkan hasil pengukuran pohon pada 100 petak ukur ditemukan sebanyak 38
batang pohon jenis jambu-jambu. Dari jumlah tersebut, sebanyak 27 batang yang dipilih
secara acak digunakan dalam perhitungan pendugaan persamaan model yang dianalisis.
Diameter pohon hasil pengukuran berkisar antara 21-65 cm dengan rata-rata 34,6 cm dan
simpangan baku 11,6 cm. Tinggi pohon berkisar antara 14-28 m dengan rata-rata 19,0 m
dan simpangan baku sebesar 3,2 m. Diagram pencar dari 38 pasang hasil pengukuran dapat
dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. menunjukkan bahwa secara umum pohon yang mempunyai diameter
antara 20-30 cm mempunyai tinggi total rata-rata masih di bawah 20 m, kemudian ada
kecenderungan tinggi pohon mengalami kenaikan yang relatif kecil pada kisaran diameter
antara 30-70 cm. Fakta ini merupakan suatu indikasi bahwa pertumbuhan tinggi pohon pada
kisaran diameter tersebut sudah mencapai pertumbuhan maksimum. Hasil analisis regresi
menunjukkan bahwa ada hubungan yang nyata antara tinggi dengan diameter pohon, baik
yang menggunakan peubah tak bebas tinggi setiap individu pohon maupun tinggi
maksimum. Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan oleh Husch et al. (1972) bahwa jika ada
dua variabel mempunyai korelasi dengan variabel lain maka kedua variabel tersebut akan
berkorelasi satu dengan lainnya. Karena pertumbuhan tinggi dan diameter merupakan fungsi
dari waktu yang berarti bahwa tinggi dan diameter mempunyai korelasi dengan waktu maka
tinggi dan diameter mempunyai korelasi yang cukup kuat. Kuatnya hubungan antara tinggi
dan diameter dinyatakan dengan besarnya nilai R2 dari keenam model yang dianalisis seperti
yang disajikan pada Tabel 1.
680
ILMU KEHUTANAN
Tabel 1. Nilai R2 penduga model hubungan diameter dan tinggi pohon jenis jambu-jambu
Keterangan : * diperoleh dari transformasi model aslinya menjadi model linier sederhana
Keterangan : * diperoleh dari transformasi model aslinya menjadi model linier sederhana
681
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Untuk mengetahui model terbaik dari keenam persamaan regresi yang telah
dihasilkan, dilakukan validasi terhadap keenam persamaan tersebut. Validasi model
dilakukan dengan menggunakan seluruh data yang merupakan gabungan dari data yang
digunakan dalam perhitungan penentuan persamaan regresi dari model yang dianalisis dan
data sisanya karena jumlah data relatif kecil. Hasil validasi terhadap keenam persamaan
regresi yang dihasilkan dinyatakan berdasarkan besarnya nilai Bias, MSEP dan EI yang
disajikan pada Tabel 3.
Berdasarkan peringkat yang diperoleh sesuai dengan total skor hasil validasi,
ternyata bahwa model-model non linier lebih baik dibandingkan dengan model yang secara
intrinsik linier meskipun mempunyai nilai R2 lebih kecil. Posisi tiga model dengan peringkat
terbaik berturut-turut adalah MT4, MT6 dan MT5. Hal ini sesuai dengan urutan nilai R2 dari
ke tiga model tersebut. Model yang secara intrinsik linier tidak dipertimbangkan sebagai
penduga model hubungan diameter dan tinggi untuk jenis jambu-jambu meskipun
mempunyai nilai R2 yang jauh lebih besar karena ternyata hasil validasi terhadap model
tersebut mempunyai nilai Bias, MSEP dan EI dengan jumlah skor rendah. Hasil Uji-t bagi
hipotesis bahwa bias = 0 bagi model MT4, MT5 dan MT6 (Tabel 4.) menunjukkan bahwa ke
tiganya merupakan model yang tidak berbias.
682
ILMU KEHUTANAN
Grafik pada Gambar 2. menunjukkan bahwa MT1, MT3, MT4, MT5 dan MT6
merupakan penduga model yang mempunyai batas atas, sedang MT2 merupakan penduga
model monoton naik. Jika diperhatikan besarnya MSEP dan EI, sebetulnya lima model selain
MT2 mempunyai nilai yang relatif sama, sehingga ke lima model tersebut layak digunakan
untuk menggambarkan hubungan diameter dan tinggi pohon yang sudah mencapai kondisi
pertumbuhan maksimum. Hal ini sesuai dengan perilaku pertumbuhan tinggi pohon, di mana
pada suatu tahap tertentu pertumbuhan tinggi pohon relatif tidak mengalami perubahan,
meskipun diameter pohon masih bertambah (Whitmore, 1984). Ke lima model tersebut
mempunyai batas atas pertumbuhan tinggi sekitar 20 m. Dari ke tiga model yang mempunyai
total skor tertinggi pada validasi model, MT4 menggambarkan pertumbuhan tinggi yang
lambat pada diameter di bawah 10 cm, sedang MT5 menggambarkan pertumbuhan tinggi
yang terlalu cepat. MT6 menggambarkan pertumbuhan yang moderat pada fase
pertumbuhan awal, yaitu pada diameter di bawah 20 cm. Menurut Prodan (1968) dan
Whitmore (1984), pertumbuhan tinggi dan diameter dari individual pohon pada kondisi yang
sangat baik mempunyai kecenderungan mengikuti bentuk kurva sigmoid, yaitu dimulai pada
titik nol, lambat pada saat masih semai yang diikuti oleh pertumbuhan yang lebih cepat
berbentuk linier. Sesudah melewati titik belok mengalami laju pertumbuhan yang semakin
menurun dan akhirnya berhenti pada saat mencapai batas atas. Kurva berbentuk sigmoid ini
merupakan ragam dari fungsi yang bertipe logistik. Gambar 1 menunjukkan bahwa penduga
model MT4, MT5 dan MT6 merupakan persamaan dari fungsi yang bertipe logistik. Fungsi
yang bertipe logistik mengandung ciri-ciri yang diinginkan dan bentuk kurva yang bervariasi
berdasarkan nilai parameternya serta menghasilkan kurva yang memuaskan pada berbagai
kondisi. Semua kurva bertipe logistik mempunyai bentuk yang masuk akal secara biologis
yaitu mencegah terjadinya pendugaan tinggi yang tidak realistis jika dilakukan ekstrapolasi di
luar kisaran data aslinya (Huang et al.,2000). Persamaan tersebut sangat cocok untuk
menggambarkan hubungan tinggi dan diameter. Dari ketiga model tersebut, MT6 merupakan
penduga model yang paling sesuai untuk jenis jambu-jambu karena mempunyai
pertumbuhan awal yang tidak terlalu cepat dan tidak terlalu lambat. Hasil yang sama juga
direkomendasikan oleh Huang et al. (2000), yang mengevaluasi 27 model untuk
mengggambarkan hubungan tinggi dan diameter dari jenis white spruce (Picea glauca
(Moench) Voss) pada hutan boreal.
KESIMPULAN
1. Model non linier merupakan penduga model yang lebih baik bagi hubungan tinggi dan
diameter jenis jambu-jambu dibandingkan dengan model yang secara intrinsik linier.
2. Model yang paling sesuai untuk menduga hubungan tinggi dan diameter jenis jambu-
jambu adalah model non-linier berbentuk sigmoid (MT6) dengan persamaan
683
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
DAFTAR PUSTAKA
Adame, P., del Ro, M., and Caellas, I. 2008. A mixed nonlinear height-diameter model for
pyrenean oak (Quercus pyrenaica Willd.). Forest Ecology and Management256, 88-
98.
Draper, N.R. dan Smith, H. 1992. Analisis Regresi Terapan (Alihbahasa oleh Bambang
Sumantri). Edisi Kedua. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Huang, S., Price, D., and Titus, S.J. 2000. Development of ecoregion-based height-diameter
models for white spruce in boreal forests. Forest Ecology and Management129, 125-
141.
Husch, B., Miller, C.I. and Beers, T.W. 1972. Forest Mensuration. Second Edition. The
Ronald Press Company. New York.
Newton, P. F., and Amponsah, I. G. 2007. Comparative evaluation of five height-diameter
models developed for black spruce and jack pine stand-types in terms of goodness-
of-fit, lack-of-fit and predictive ability. Forest Ecology and Management247, 149-166.
Prodan, M. 1968. Forest Biometrics. (Translated by Sabine H. Gardiner). Pergamon Press
Ltd. Oxford. London.
Rawlings, J.O. 1988. Applied Regression Analysis : A Research Tool. Wadsworth &
Brooks/Cole Advanced Books & Software. Pacific Grove, California.
Reynolds, M.R., Burk, T.E., and Huang, W.C. 1988. Goodness of fit tests and model
selection procedures for diameter distribution model. Forest Science 34: 373-399.
Vanclay, J.K. 1994. Modelling Forest Growth and Yield, Applications to Mixed Tropical
Forests. CAB INTERNATIONAL, Wallingford. UK.
Whitmore, T.C. and C.P. Burnham. 1984. Tropical Rain Forests of the Far East. second
Edition. Oxford University Press. New York.
684
ILMU KEHUTANAN
ABSTRAK
Kelompok jenis dipterokarpa terutama dari jenis meranti (Shorea spp) pada era 70-an
sampai 80-an pernah menjadi pendukung utama produksi kayu dari hutan alam yang
menghasil devisa yang cukup besar bagi negara dari sektor kehutanan. Sekarang ini kondisi
itu mulai berubah seiring dengan semakin berkurangnya luasan hutan alam produksi di
Indonesia semakin membuat berkurangnya juga jumlah jenis tanaman serta kuantitas dari
kelompok jenis dipterokarpa terutama yang bernilai ekonomi tinggi seperti meranti Shorea
sp. Hal yang lebih salah lagi adalah lahan hutan yang dulunya merupakan ekosistem yang
didominasi oleh jenis pohon dipterokarpa, sekarang banyak di alihkan menjadi hutan
tanaman yang jenisnya bukan berasal dari jenis dipterokarpa tetapi tanaman dari jenis cepat
tumbuh seperti Akasia, Gmelina, Sengon dan Pinus. Oleh sebab itu perlu dilakukan berbagai
langkah-langkah untuk mendukung pengembangan hutan tanaman dipterokarpa ini.
Beberapa alasan kuat yang diperlukannya pengembangan hutan tanaman dipterokarpa
adalah sebagai berikut : 1. Kondisi hutan alam produksi kita yang semakin berkurang; 2.
Produksi kayu yang terus menurun terutama dari kelompok jenis dipterokarpa; 3. Hutan alam
bekas tebangan yang tidak dikelola dengan baik. Hal lain yang menjadi pendukung dalam
pengembangan hutan tanaman dipterokarpa adalah : 1. Kayu dari kelompok jenis
dipterokarpa bernilai ekonomi tinggi; 2. Adanya uji coba Silin dengan jenis dipterokarpa pada
hutan alam bekas tebangan; 3. Tersedianya bibit unggul dan 4. Adanya niat baik dari
pengusaha kehutanan dalam mendukung pengembangan hutan tanaman dipterokarpa.
Selain faktor-faktor alasan dan pendukung dalam pengembangan hutan tanaman
dipterokarpa ada juga faktor-faktor penghambat yang menjadi tantangan dalam
pengembangan hutan tanaman dipterokarpa ini antara lain : 1. Modal yang besar dan daur
tebangan yang lama; 2. kebijakan pusat dan daerah yang kurang mendukung.
PENDAHULUAN
Pada era 70-an sampai 80-an, Indonesia masih sangat mengandalkan devisa negara
dari sektor kehutanan. Pada waktu itu merupakan era emas produksi hasil hutan (kayu log),
dimana dari ekspor kayu log diperoleh devisa negara sebesar US$ 1,8 Milyar setiap
tahunnya. Setelah tahun 80 sampai 90-an, produksi kayu log di ubah menjadi era industri
kehutanan. Dari industri kehutanan ini, Indonesia memperoleh devisa negara sebesar US$ 4
Milyar. Pada puncak momentum industri kehutanan dan ekspor kayu log, sektor kehutanan
mampu memberikan kontribusi devisa negara sebesar US$ 7-8 Milyar (Ngadiono, 2004).
Salah satu dampak sosial ekonomi bagi bangsa Indonesia akibat pembangunan
kehutanan pada waktu itu ialah bisa meningkatkan pendapatan Negara, memacu
pembangunan daerah, meningkatkan penerimaan devisa ekspor, menjadi penyedia bahan
baku industri pengolahan kayu, memperluas lapangan kerja dan membuka kesempatan
kerja sehingga meningkatkan kesejahteraan rakyat. Kondisi hutan alam yang masih bagus
dengan produksi kayu yang tinggi sangat mendukung devisa negara. Besarnya devisa
negara tersebut karena produksi kayu yang besar dan mempunyai nilai ekonomi yang tinggi.
Kelompok jenis dipterokarpa terutama dari jenis meranti (Shorea spp) merupakan
pendukung utama produksi kayu dan termasuk bagian penting yang mendukung devisa
negara saat itu (Fajri, 2008).
Sekarang ini kondisi itu mulai berubah seiring dengan semakin berkurangnya luasan
hutan alam produksi di Indonesia semakin membuat berkurangnya juga jumlah jenis
685
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
tanaman serta kuantitas dari kelompok jenis dipterokarpa terutama yang bernilai ekonomi
tinggi seperti meranti Shorea sp. Hal yang lebih salah lagi adalah lahan hutan yang dulunya
merupakan ekosistem yang didominasi oleh jenis pohon dipterokarpa, sekarang banyak di
alihkan menjadi hutan tanaman yang jenisnya bukan berasal dari jenis dipterokarpa tetapi
tanaman dari jenis cepat tumbuh seperti Akasia, Gmelina, Sengon dan Pinus.
Tulisan ini bertujuan bagaimana kita bersama-sama mendukung pengembangan dan
pembangunan hutan tanaman dipterokarpa kedepan ini.
686
ILMU KEHUTANAN
687
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Selain itu berbagai jenis meranti juga telah dikembangkan di beberapa hutan
penelitian (HP) yang dikelola oleh P3HKA sejak tahun 1940, mulai di dataran rendah di HP
Carita, Banten, di dataran sedang di HP Haurbentes, HP Dramaga, HP Yanlappa, Jawa
Barat sampai di dataran tinggi di HP Pasir Hantap dan HP Cikole, Jawa Barat bahkan juga
dikembangkan di daerah lebih kering seperti di HP Cikampek, Jawa Barat. Kondisi hutan
tanaman jenis ini sudah menyerupai kondisi di hutan alam dengan strata tajuk yang lengkap
mulai dari tingkat seedling, sapling, pole sampai tingkat pohon. Selain berfungsi sebagai
konservasi jenis, dan sumber benih/bibit, juga sebagai pengatur tata air dan hunian bagi
berbagai satwa liar. Keberhasilan ini kemudian diimplementasikan oleh Perum Perhutani III,
Jawa Barat dengan membuat kelas perusahaan meranti secara operasional, dengan
memanfaatkan hutan penelitian sebagai sumber benih (Heriansyah, 2006).
Menurut Heriansyah (2006), Setidaknya ada dua jenis meranti yaitu Shorea leprosula
dan Shorea selanica yang cepat pertumbuhannya dan berpotensi untuk dikembangkan
sebagai tanaman HTI. Berdasarkan hasil riset di HP Haurbentes, diketahui bahwa
produktifitas kayunya jauh lebih tinggi dibanding dengan HTI Acacia mangium, baik yang
dijarangi seperti di areal KPH Bogor, Perum Perhutani Jawa Barat, maupun dengan yang
tidak dijarangi seperti di PT Musi Hutan Persada, Sumatra Selatan. Pada umur masak
tebang, HTI Acacia mangium di Jawa Barat dan Sumatra Selatan menghasilkan volume
kayu perdagangan rata-rata 17.9 m/ha/tahun dan 15.6 m/ha/tahun sedangkan tanaman
Shorea leprosula dan Shorea selanica di HP Haurbentes menghasilkan volume kayu
perdagangan masing-masing 38.4 m/ha/tahun dan 45.0 m/ha/tahun. Belum lagi jika ditinjau
dari segi kualitas, ukuran log dan nilai jualnya, kayu dari jenis meranti ini dapat digunakan
untuk berbagai keperluan mulai dari meubeler sampai dengan konstruksi sedang, dengan
harga yang lebih tinggi.
688
ILMU KEHUTANAN
Kegiatan pengembangan tanaman dari kelompok jenis dipterokarpa yang mirip kearah
pengembangan hutan tanaman dipterokarpa adalah kegiatan silvikultur intensif. Kegiatan
inipun masih sebatas uji coba di beberapa HPH dan belum memperlihatkan keberhasilan,
hanya masih sebatas keberhasilan sebuah teori dan harapan. Regulasi ini belum dijadikan
sebuah kebijakan yang jelas dari pemerintah, silin masih menjadi sebuah tehnik silvikultur
dan belum dijadikan sebuah sistem silvikultur seperti sistem silvikultur TPTI.
Pemerintah, dalam hal ini sebagai pembuat kebijakan seharusnya benar-benar
memperhatikan masalah ini, karena kita tidak boleh melupakan bagaimana tanaman dari
jenis dipterokarpa pernah menjadi penyumbang devisa yang sangat besar bagi negara
karena nilai ekonominya yang tinggi. Bila pemerintah kurang memperhatikan hal tersebut,
maka hal ini akan menjadi preseden buruk bagi pemerintah karena telah mengeluarkan
suatu kebijakan yang kurang bijak dan kurang memikirkan nasib hutan alam kita termasuk
tanaman hutan alam dari kelompok jenis dipterokarpa.
Kebijakan di daerah juga belum sepenuhnya memperhatikan kondisi hutan alam
maupun hutan bekas tebangan untuk dikelola secara baik. Besarnya kewenangan untuk
memberikan izin pengelolaan hutan oleh bupati atau kepala daerah menyebabkan mereka
sering dimanfaatkan oleh pihak tertentu untuk melakukan kegiatan yang berdampak negatif
terhadap kelestarian kawasan hutan (Noor, 2006). Maraknya pemberian ijin kawasan hutan
alam menjadi kawasan budidaya non kayu atau perkebunan semakin memperparah kondisi
hutan tropis Indonesia.
PENUTUP
689
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
DAFTAR PUSTAKA
690
ILMU KEHUTANAN
Lampiran 1.
Tabel 1 : Jumlah HPH, Luas Areal HPH, Produksi kayu Indonesia dan Produktivitasnya.
Catatan : - Asumsi luas areal efektif : 70% (dari 7 HPH sample dataran tinggi : 54% s/d 85%)
Sumber : Suparna, N, 2008.
691
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
ABSTRAK
PENDAHULUAN
Hutan alam Indonesia dikenal sebagai penghasil kayu tropis, memegang peranan
penting dalam perdagangan kayu internasional. Pemanfaatan kayu tanpa diimbangi dengan
pengelolaan yang berkelanjutan dan lestari, dapat mengakibatkan terjadi penyusutan luasan
hutan atau kerusakan habitat. Cahyana dan Parlan ( 2004) menginformasikan luasan hutan
di seluruh Indonesia pada tahun 2003 menyusut sampai 101,73 juta hektar, dan pada
periode 1997 2000 mengalami penyusutan 3,8 juta hektar per tahun. Sudarmono (2006)
menyebutkan bahwa kerusakan habitat dapat mengancam keanekaragaman jenis, tingkat
kerusakan habitat 2,8 juta hektar per tahun dapat menyebabkan kepunahan antara 2,9
sampai 12 spesies tumbuhan endemik setiap 100 km2. Kondisi demikian menyebabkan stok
bahan kayu menjadi terbatas dan langka.
Permintaan bahan baku kayu untuk kepentingan masyarakat lokal maupun industri
perkayuan pada saat ini dirasakan semakin meningkat. Industri pengolahan kayu di
Indonesia diperkirakan memerlukan 80 juta meter kubik kayu setiap tahunnya untuk
memasok industri kayu lapis, pulp dan kertas, dan industri penggergajian (Wishnu, 2011).
Hal ini menuntut ketersedian pasokan kayu yang memadai dan berkesinambungan. Untuk
memenuhi kebutuhan kayu, tidak dapat secara terus menerus mengandalkan pada jenis-
692
ILMU KEHUTANAN
jenis kayu berkualitas dan kayu perdagangan. Jenis-jenis kayu inferior dengan upaya teknik
pengolahan kayunya, berprospek dikembangkan sebagai jenis kayu berkualitas untuk
industri.
Hutan pantai merupakan salah satu kawasan hutan yang memiliki keanekaragaman
jenis pohon dengan potensi pemanfaatan kayu inferior belum terungkap secara luas. Banyak
jenis pohon pantai potensial belum termasuk jenis prioritas dalam upaya pengembangannya.
Oleh karena itu ketersedian data dan informasi tentang jenis-jenis pohon pantai bermanfaat
kayu sangat diperlukan. Ketersediaan data dan informasi diharapkan dapat
memperkenalkan lebih banyak jumlah jenis pohon pantai potensial bermanfaat kayu,
sehingga dapat sebagai bahan pertimbangan dalam pemilihan maupun pentuan jenis yang
akan dikembangkan.
METODOLOGI
Lokasi Penelitian
Peneltian dilaksanakan di kawasan hutan pantai Pasir Putih, Pangandaran, pada
bulan Mei 2010. Lokasi penelitian, berdasarkan administrasi pemerintahan termasuk dalam
wilayah Desa Pangandaran, Kecamatan Pangandaran, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat.
Secara geografis pantai Pasir Putih terletak pada koordinat 070 42 302 - 070 42 455 LS
dan 1080 39 173 - 1080 39 451 BT, dengan keadaan lapangan berupa daratan
dataranrendah, ketinggian 0 39 meter dari permukaan laut (dpl.), topografi landai hingga
bergelombamg dan berbukit, dengan kemiringan 5% - 40%, jenis tanah Latosol, tanah
berpasir dan tanah endapan aluvial berasal dari laut. Berdasarkan data curah hujan di
stasiun Klimatologi Pangandaran, lokasi penelitian memiliki tipe curah hujan B, dengan
curah hujan 3.196 mm per tahun (Schimdt & Ferguson, 1951). Suhu udara 250 hingga 300 C,
kelembaban udara 80% hingga 90%.
693
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
694
ILMU KEHUTANAN
Tabel 1. Kelompok kelas awet kayu jenis-jenis pohon di Pantai Pasir Putih Pangandaran
Jenis pohon bermanfaat kayu dan sangat jarang dimanfaatkan kayunya oleh
masyarakat setempat karena keberadaan dan pertumbuhannya di alam terbatas, berjumlah
11 jenis (lihat Tabel 1). Tujuh jenis dengan kelas awet kayu III terdiri atas Eugenia
densiflora (Blume)Duthie (jambu laut), Flacourtia rukam Zoll. & Mor. (rukam), Syzygium
acuminatissimum (Blume) A.DC. (ipis kulit), Syzygium polyanthum (Wight) Walp.(salam),
Syzygium racemosum (Blume) A.DC. (ki pancar), Arytera littoralis Blume (kilalayu), Carallia
brachyata (Lour.) Mer. (kikukuran). Dua jenis dengan kelas awet kayu II III ialah Dysoxylum
parasticum (Osb.) Kosterm. (kokosan monyet) dan Thespesia populnea (L.) Sol. ex Correa
(waru laut). Satu jenis dengan kelas awet I II ialah Heritiera littoralis Aiton (dungun) dan
satu jenis belum diketahui kelas awet yaitu Aegiceras corniculatum (L.) Blanco (lampeni).
Satu jenis dari sebelas jenis tersebut yaitu Flacourtia rukam (rukam), buah dan daunnya
sering dimanfaatkan oleh masayarakat. Buah masak dimakan mentah atau untuk rujak, daun
695
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
muda dimakan sebagai lalap. Sunarjono (1992) menyebutkan pohon rukam bermanfaat kayu
dan bukan kayu. Kayunya keras dan kuat digunakan untuk membuat peralatan rumah
tangga dan mebel; buah rukam masak dapat dimakan mentah, untuk bahan rujak, selai,
manisan dan acar; buah muda untuk obat deare dan desentri.
696
ILMU KEHUTANAN
muda. Buah berbentuk bundar mengotak, buah masak berdiameter 3-4 cm, berwarna hujau
muda. Berbiji satu, bentuk bulat atau bulat telur, diameter 1.5-2 cm, biji berwarna coklat.
Daerah persebaran borogondolo cukup luas, terdapat di seluruh Indonesia atau tersebar
mulai dari India hingga Kepulauan Pasifik, dan memiliki tempat tumbuh di daerah pantai
(Whitmore et al.1997).
Pemanfaatan kayu oleh masyarakat, digunakan untuk bahan bangunan dan asesori
perahu, tumbukan daun atau biji dioleskan ke badan atau kepala dapat menghilangkan sakit
pening dan masuk angin. Kuncup daun dan batang muda sering dimakan kera atau satwa.
Bunga yang berkembang secara rutin potensial untuk lebah madu. Kayu H. nymphaeifolia
menurut Oey Djoen Seng (1990), memiliki kelas awet V, kelas kuat IV-V, berat jenis 0,36.
Pemanfaatan di kepulauan Pasifik Selatan, kayu digunakan untuk batang pemancing,
sandal, kipas tangan, papan gambar, asesoris kano, perabot dan kayu bakar, sedangkan
bijinya setelah dipernis dibuat perhiasan kalung, remasan daun dicampur dengan air mandi
dapat menyembuhkan sakit kepala pada anak-anak (Fujita dalam batplants, 1991). Heyne
(1987) mengemukakan pemanfatan pohon borogondolo antara lain: akar dikunyah dengan
pinang sebagai penawar racun setelah makan kepiting; remasan inti batang dekat pangkal
akar berwarna hitam dicampur dengan gambir dan air mawar untuk mengobati muntah
darah; biji mengandung 51% minyak lemak kental berwarna kuning dipakai untuk lampu dan
lilin. Simanjuntak (2005) memasukkan H. nymphaeifolia dalam daftar tumbuhan Indonesia
penghasil minyak lemak, dan berpotensi sebagai energi alternatif (biofuel). Petit et al. (2004)
dari hasil penelitiannya menginformasikan adanya enam agen yang berasal dari lignin dari
H. nymphaeifolia diidentifikasi penghambatan aktivitas sel kanker. Prospek pemanfaatan
pohon borogondolo cukup potensial, baik pemanfaatan kayu maupun bukan kayu.
Pemanfaatan kayu diantaranya dapat dikembangkan di kawasan pantai sebagai hutan
tanaman untuk industri kayu, kayu lapis dan sebagainya.
697
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
698
ILMU KEHUTANAN
ramah lingkungan, dapat dicampur dengan solar atau murni tanpa campuran solar, dan
penggunaannya bisa dilakukan tanpa perlu modifikasi mesin (Raharjo, 2010).
Prospek pemanfaatan jenis ini multi guna, yaitu dapat dikembangkan sebagai hutan
tanaman untuk industri kayu, kayu bakar dan pemanfaatan bukan kayu seperti industri
minyak nabati biodiesel.
699
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
bahan kayu lapis karena memiliki berat jenis sesuai persyaratan yaitu 0,48. Mandang dan
Suhaendra (2003), menyarankan kayu P. amboinense termasuk salah satu kayu nyatoh
yang berprospek dikembangkan untuk bahan baku pensil, karena sifat kayu agak ringan
dengan kerapatan berkisar antara 0,40 0,60 gr/cm3 , dan mempunyai parenkim bentuk pita
berjarak rapat.
700
ILMU KEHUTANAN
1. Kawasan pantai Pasir Putih Pangandaran terdapat 19 jenis pohon potensial bermanfaat
kayu, terdiri dari 15 marga dan 12 famili. Ke 19 jenis pohon berprospek dikembangkan
pada kawasan pantai untuk memenuhi kebutuhan kayu lokal dan kayu industri.
2. Delapan jenis pohon di pantai Pasir Putih Pangandaran sebagai jenis prioritas untuk
dikembangkan terdiri atas Dysoxylum gaudichaudianum (kadoya), Hernandia
nymphaeifolia (borogondolo), Mallotus blumeanus (waru laut), Pongamia pinnata
(babangkongan),Mallotus philippensis (ki meong), Palaquium amboinense (walikukun),
Pterospermum diversifolium (ki bangbara), Pterospermum javanicum (bayur).
3. Dalam hal pengembangan ke 19 jenis potensial bermanfaat kayu di pantai Pasir Putih
Pangandaran, disarankan adanya promosi atau sosialisasi pengenalan jenis dan
penelitian dari berbagai aspek termasuk teknik silvikultur dan teknik pengolahan
kayunya. Dalam hal ini diperlukan kerjasama penelitian dan pengembangan antara
instansi terkait, baik pemerintah maupun swasta.
DAFTAR PUSTAKA
Aparicio, M., S.M. Bollendorff, M.J.H. Gebraad, K.K.M. Kulju, S.E.C. Sierra, J.W.F. Slik &
P.C. van Welen. 2011. Mallotus. Flora Malesiana. www.nationalherbarium.nl , diakses
tanggal 18 September 2011.
Bagian Botani Hutan, 1997. Hernandiaceae dan Papilionacea. Daftar Nama Pohon-Pohonan
Jawa-Madura. Lembaga Penelitian Hutan, Bogor.pp:61,62,73,98,96,111.
Biotik. 2011. Pterospermum diversifolium Sterculiaceae. www.biotik.org/india/ , diakses
tanggal 4 September 2011
Boer, E. & R.H.M.J. Lemmens. 1998. Pterospermum. Timber trees:Lesser-know timper. No5
(3):479-482.
Cahyana, L. Dan T.M. Parlan. 2004. Potret buram hutan Indonesia. Institut Studi Arus
Informasi (ISAI). http://fwi.or.id/publikaasi/potret.htm , diakses tanggal 20 Agustus
2011.
Fujita dalam batplants, 1991. Hernandia nymphaeifolia. www.batplants.co.uk Diakses tanggal
7/3/2010.
Garsetiasih, R. dan M. Takandjandji, 2007. Model Penangkaran Rusa. Proseding Ekspos
Hasil-Hasil Penelitian di Padang. Pusal Litbang Hutan dan Konservasi Alam.
Bogor.pp:35-46.
Govaerts,R. 2003. Palaquium amboinense Burck. www.zipcodezoo.com diakses tanggal 19
September 2011
Hanum, F.I. & van der Maesen, L.J.G.,1997. Pongamia pinnata (L.) Pierre in Auxiliary plants.
PROSEA Vol 11:209-211.
701
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Heyne, K., 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia. Badan Litbang Kehutanan. Jakarta.
Vol.II:1005-1007,1123, 1159, 1161; III:1349-1350, 1576-1577.
Kristiani, 2007. Tanaman Alternatif Sumber Biodisel: Pongamia (Pongamia pinnata (L.)
Pierre). www.old.gardenweb.infoDiakses tanggal 21/9/2010.
Mandang, Y.I. dan H. Suhaendra. 2003. Sifat-sifat kayu Nyatoh (Palaquium obtusifolium
Burck) sehubungan dengan kemungkinan penggunaannya sebagai bahan bilah pensil.
Buletin Penelitian Hasil Hutan. Vol. 21:1-14.
Mardjono, Rusim, 2008. Mengenal Ki Pahang (Pongamia pinnata) Sebagai Bahan Bakar
Alternatifharapan Masa Depan. Warta Penelitian dan Pengembangan Tanaman
Industri, Pusat Penelitian Dan Pengembangan Perkebunan. Bogor. Volume 14 Nomor
1.pp:1-2.
Martawijaya, A., I. Kartasujana, Y.I. Mandang, S.A. Prawira, dan K. Kadir. 1989. Atlas Kayu
Indonesia. Badan Litbang Kehutanan, Bogor. Jilid 2:11-15.
Nguyen Nghia Thin & Tran Van On, 1998. Mallotus. Timber trees:Lesser-know timper. No5
(3):347-351.
Oudhia, P. 2004. Kamala or kamopillaka (Mallotus philippinensis Muell.).
www.pankajoudhia.com diakses tanggal 12 September 2011.
Pratiwi, 2000. Jenis-jenis Pohon Andalan Setempat di Pulau Jawa dan Sumatera Selatan,
Sebaran dan beberapa Data Dasarnya. Info Hutan 12(3): 1-27.
Pettit, G. R; M. Yanhui; G. R. Patrick; D,L. Herald; R.K. Pettit; D. L. Doubek; J.C. Chapuis;
Tackett L. P. 2004. Antineoplastic agents Hernandia peltata (Malaysia) and Hernandia
nymphaeifolia(Republic of Maldives). Journal of natural products 67(2):214-20.
Plantamor, 2011. Informasi spesies, Dysoxylum gaudichaudianum. www.plantamor.com .
Diakses tanggal 22 Juli 2011.
Plantamor, 2008. Informasi Spesies Hernandia peltata sinonim Hernandia nymphaeifolia. On
Line www.Plantamor.com Diakses tanggal 22/6/2010.
Plantamor, 2008. Informasi Spesies Pongamia pinnata. On Line www.Plantamor.com
Diakses tanggal 22/6/2010.
Plantsforuse, 2008. Hernandia nymphaeifolia. On Line www.plantsforuse.com Diakses
tanggal 6/3/2010.
Raharjo, A. A., 2010. Penghasil Solar Anyar. Majalah Trubus On Line.www.trubus-
online.co.id. Diakses tanggal 29/1/2010.
Schimdt, F.H. and J.H.A. Ferguson, 1951. Rain fall type based on wet and dry period ratios
for Indonesia with Western New Guinea. Verh. No.42. Direktorat Metereologi dan
Geofisika jakarta.
Simanjuntak, M.E.,2005. Beberapa Energi Alternatif yang Terbarukan dan Proses
Pembuatannya. Jurnal Teknik Simetrika, Universitas Sumatera Utara. Vol.4. No.1:295.
Sudarmono, 2006. Perlunya keterpaduan pemerintah dan masyarakat mengatasi kepunahan
tumbuhan endemik di Indonesia. Inovasi On Line, PPI JEPANG, Edisi Vol.7/XVIII-Juni.
http://io.ppi.jepang.org/article.php, diakses tanggal 28/5/2008.
Sulastiningsih, I.M., M. Wardani dan P. Sutigno, 1999. Pengembangan Jenis Andalan
Setempat Untuk Menunjang Industri Kayu Lapis. Prosiding Lokakarya Kayu Lapis.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan, Bogor.pp:184-208.
Sunarjono, H.H. 1992. Flacourtia rukam Zoll. & Moritzi. Edible fruits and nuts. Plant
Resources of South_East Asia (PROSEA) 2:168-169Wardani, M. 2010.
Pengembangan Dua Jenis Pohon Multiguna Untuk Rehabilitasi Kawasan Hutan Pantai
Di Jawa. Naskah Seminar Hutan Tanaman, Bogor (belum diterbitkan).
Whitmore, T.C.; IGM Tantar dan U. Sutisna, 1997. Tree Flora Of Indonesia Check List For
Irian Jaya. Forest Research and Development Centre, Bogor.p:125,154,178, 275.
Wikipedia, 2010. Milletia pinnata is a species of tree in the pea family, Fabaceae, that is
native to southern Asia. It is often known by the synonym Pongamia pinnata.
www.wikipedia.org Diakses tanggal 2/3/2010.
Wishnu. 2011. Hutan hutan Indonesia : apa yang dipertaruhkan.indoforest_chap1_id.pdf.
http://indoforest.org , diakses tanggal 15 September 2011.
702
ILMU KEHUTANAN
1 2 3 4 5 6
1 Aegiceras Lampeni Myrsinaceae Pohon kecil, Kayu berserat
corniculatum (L.) perdu indah, kayu utk
Blanco. arang, daun utk
obat
2 Arytera littoralis Kilalayu Sapindaceae Pohon Kayu berat, awet,
Blume sedang utk bangunan
rumah
3 Carallia brachyata Ki kukuran Rhizophoraceae Pohon Kayu utk
(Lour.) Mer. sedang perkakas
4 Dysoxylum Kadoya Meliaceae Pohon Kayu utk korek
gaudichaudianum besar api, kulit kayu utk
(A.Juss.) Miq. obat luar
5 Dysoxylum Kokosan Meliaceae Pohon Kayu utk korek
parasticum (Osb.) besar api
Kosterm.
6 Eugenia densiflora Jambu laut Myrtaceae Pohon Kayu utk
(Blume)Duthie sedang perkakas
7 Flacourtia rukam Rukam Flacourtiaceae Pohon kecil Kayu utk alu,
Zoll. & Mor. - sedang, galah pedati,
btng kereta,
berbongkol daun utk kompres
& berduri mata, daun muda
dimakan, buah
dimakan rasa
manis
8 Heritiera littoralis Dungum Sterculiaceae Pohon Kayu utk tiang,
Aiton besar, btng perahu, kuat di air
berbongkol laut, ranting utk
gosok gigi, gelam
& biji utk obat
9 Hernandia Borogondolo Hernandiaceae Pohon Kayu utk selop,
nymphaeifolia besar papan, dll,
(Presl.) Kubitzki biji utk biofuel,
obat
10 Mallotus blumeanus Waru laut Euphorbiaceae Pohon kecil, Kayu utk
Muell. Arg. kadang perkakas, kulit
besar btng utk tali &
obat
11 Mallotus philippensis Ki meong Euphorbiaceae Pohon kecil Kayu utk
(Lamnk.) Muell. Arg. - sedang perkakas, utk
obat, daun pakan
satwa, buah
bahan pewarna
12 Palaquium Walikukun Sapotaceae Pohon Kayu utk gamelan
amboinense Burck besar & perkakas rmh
tngg yg halus, biji
penghsl minyak &
mentega
703
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Lanjutan Lampiran 1
1 2 3 4 5 6
13 Pongamia pinnata Babangkongan Fabaceae Pohon kecil Kayu, arang,
(L.) Pierre - besar obat, biji utk
minyak
14 Pterospermum Ki bangbara Sterculiaceae Pohon Ky utk rangka
diversifolium Willd. besar perahu, papan,
bngn rmh, gelam
ky utk pewrn
kuning
15 Pterospermum Bayur Sterculiaceae Pohon Kayu, kulit kayu
javanicum Jungh. besar
16 Syzygium Ipis kulit Myrtaceae Pohon Kayu konstruksi
acuminatissimum sedang rmh, peti kemas,
(Blume) A.DC. kayu bakar
Kayu padat,
Syzygium struktur hls, bngn
Pohon
17 polyanthum (Wight) Salam Myrtaceae rmh, perabt rmh
besar
Walp. tangga, kulit utk
penyamak & obat
Kayu bangunan
Syzygium
Pohon rmh, kulit kayu
18 racemosum (Blume) Ki pancar Myrtaceae
sedang utk pewarna
A.DC
hitam
Ky pertukangan,
indah wrnanya,
Thespesia populnea Pohon kecil ky utk obat,
19 Waru laut Malvaceae
(L.) Sol. ex Correa -sedang gelam utk tali,
daun/buah/biji utk
obat
Keterangan :
- pohon besar : diameter batang mencapai > 40 cm, - pohon sedang: diameter batang < 40
cm,
- pohon kecil: diameter batang < 20 cm
704
ILMU KEHUTANAN
ABSTRAK
Kawasan hutan produksi di Sub DAS Minraleng Hulu seluas 6.623 ha, sejak tahun
2008 telah ditetapkan oleh Departemen Kehutanan menjadi wilayah pengembangan Hutan
tanaman rakyat (HTR) yang hak kelola kawasan hutan diserahkan kepada masyarakat
sekitar hutan melalui lembaga desa, melalui tiga pola pembangunan HTR, yaitu pola
mandiri, pola kemitraan dan pola developer. Pola yang bagaimana dalam pembangunan
HTR sesuai modal sosial tenur setempat yang dapat mengatasi konflik lahan dan
peningkatan produktifitas ekologis dan ekonomis lahan, merupakan tujuan penelitian.
Penelitian dilakukan dengan pendekatan partisipatif untuk proses fasilitasi memperoleh hak
kelola masyarakat miskin sekitar hutan, sedang pendekatan intervensionis dilakukan dengan
teknik RRA untuk memperoleh data menyangkut modal sosial tenur. Analisis data dilakukan
secara deskriftif. Hasil penelitian menggambarkan, modal sosial tenur menyangkut jaringan
sosial dan kepercayaan sosial (trus), pola HTR yang sesuai diterapkan pada Dusun
Lempong Desa Benteng dan Dusun Holiang Desa Cenrana Kecamatan Camba adalah
murni pola mandiri, mulai peyiapan lahan, penanaman, pemeliharaan tanaman, pemanenan
hasil dan selanjutnya pemasaran hasil, pengelolaannya kepada masing-masing petani
pemegang IUPHHK-HTR, sedang pada Dusun Tanatengnga Desa Cenrana adalah pola
HTR mandiri yang di dalamnya ada unsur kemitraan antar sesama petani dalam lingkup
dusun atau antar dusun. Pola HTR mandiri disertai kemitraan, terjadi saat pemilik IUPHHK-
HTR tidak mampu menangani budidaya penanaman tanaman dan pemeliharaan tanaman
pokok dan tanaman semusim. Pada kondisi demikian tenur mallolo amliri dan tenur teseng
sangat diperlukan dalam membangun HTR melalui pola mandiri yang didalamnya terdapat
unsur kemitraan antar petani pada lapisan sosial bawah. Sedang pemanenan hasil dan
pemasaran hasil dapat dilakukan sendiri secara mandiri oleh petani pemegang IUPHHK-
HTR. Pengolahan hasil hutan kayu HTR perlu menerapkan pola developer yang difasilitasi
pemerintah dengan mengundang industri pengolahan kayu plywood dari luar dan
menempatkan industri veneer skala kecil pada lokasi HTR yang dapat mendorong iklim
investasi kehutanan dan pengembangan HTR di wilayah bersangkutan.
PENDAHULUAN
Sub DAS Minraleng Hulu di Kabupaten Maros yang menjadi lahan penelitian,
luasnya 56.623 ha, dimana 18.446 ha diantaranya merupakan lahan kritis dan merupakan
wilayah yang termasuk prioritas penanganan DAS (Millang dkk ,2003).Permasalahan pada
sub DAS ini, yaitu terjadi peningkatan luas lahan kritis, sebagai akibat dari hak kelola
kawasan hutan yang tidak jelas, sehingga masyarakat tidak memiliki hak dan kewajiban
moral secara jelas untuk pemanfaatan lahan dengan sebaik mungkin dan kewajiban moral
untuk tetap menjaga kelestarian produktifitas lahan (Dassir, 2008). Kawasan hutan produksi
di Sub DAS Minraleng Hulu ini sejak tahun 2008 telah ditetapkan oleh Pemerintah melalui
Departemen Kehutanan menjadi wilayah pengembangan Hutan tanaman rakyat (HTR) yang
hak kelolanya kawasan hutan diserahkan kepada masyarakat sekitar hutan melalui lembaga
desa. Hanya selama dua tahun, proses fasilitasi untuk perolehan hak kelola tersebut belum
705
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
TUJUAN PENELITIAN
1. Mengetahui modal sosial tenur yang terdapat dalam kegiatan usaha tani yang dilakukan
petani di Sub DAS Minraleng Hulu Kecamatan Camba Kabupaten Maros
2. Menentukan pola HTR yang sesuai modal sosial tenur pada lokasi penelitian
METODE PENELITIAN
706
ILMU KEHUTANAN
seluas 80 ha dan kelompok tani Bukit Hijau seluas 80 ha, keduanya berada di dusun
Holiang Desa cenrana. Sedangkan dua kelompok tani HTR lainnya direkomendasikan untuk
memperbaiki sketsa petanya (Tabel 2)
Tabel 2.Hasil Verifikasi Departemen Kehutanan terhadap Usulan Kelompok Tani HTR di Sub
DAS Minraleng Hulu Kecamatan Camba Kabupaten Maros
1. Modal Sosial Tenur yang terdapat pada Masyarakat Petani di Sub DAS Minraleng
Hulu Kecamatan Camba kabupaten Maros
707
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
b) Teseng/ruma
Kelembagaan sistem teseng hanya terdapat pada lahan persawahan.
Kelembagaan pengelolaan lahan dengan sistem teseng/ruma adalah pemberian lahan
usahatani kepada orang lain untuk dikelola dengan cara bagi hasil. Masyarakat yang
mengelola lahan usaha tani rakyat disebut Patteseng/paruma. Pelaksanaan
kelembagaan teseng/ruma dijumpai hanya dalam pengelolaan lahan persawahan,
tidak dijumpai pada pengelolaan lahan kering dan areal ladang.
Kegiatan teseng/ruma ini biasanya dilakukan dengan cara pemilik lahan
memberihan kepada keluarga dekat atau orang lain yang dipercaya dengan sistem
bagi hasil, besarnya bagi hasil yang berlaku umum adalah 2: 1 dimana pemilik lahan
mendapatkan bagian sebesar 2 bagian dan patteseng/paruma sebesar I bagian
setelah dikeluarkan ongkos biaya bibit tanaman padi dan biaya sarana produksi (pupuk
dan pestisida/herbisida). Kelembagaan teseng/ruma ini biasanya terjadi pada pemilik
lahan yang tinggalnya diluar dari daerah dimana lahannya berada, sehingga tidak
mampu mengurusi lahannya sendiri, maka untuk mengelola lahan tersebut diserahkan
kepada orang lain.
Patteseng/paruma berkewajiban mengelola lahan mulai dari kegiatan persiapan
lahan, penanaman, pemeliharaan lahan sampai pemanenan lahan. Biaya bibit
tanaman padi dan sarana produksi seperti pupuk dan pestisida disediakan oleh
patteseng. Pembayaran pajak atas lahan yang diusahakan olen patteseng merupakan
tanggung jawab pemilik lahan.
c) Sanra/Katenni
Kelembagaan sanra/katenni adalah kelembagaan yang berlaku di masyarakat
dalam pengelolaan lahan dimana pemilik lahan menyerahkan lahannya untuk
diusahakan oleh orang lain dengan ketentuan orang lain menyerahkan jaminan berupa
uang kepada pemilik lahan. Sedang lahan tersebut dikembalikan kepada pemiliknya
selama beberapa waktu kemudian yang telah disepakati bersama. Pada kelembagaan
sanra/katenni ini ada yang diistilahkan dengan Passanra/Pakkateni yaitu orang yang
berhak, mengelola lahan berdasarkan kesepakatan dengan pemilik lahan.
Passanra/Pakkateni berhak mengelola lahan tersebut dan seluruh hasilnya
menjadi miliknya. Hasil baru dapat diperoleh pamilik lahan setelah hak sanra telah
berakhir atau Jaminan telah diikernbalikan dari pemilik kepada passanra/pakkatenni.
Nilai jaminan yang akan dikembalikan ke pakkatenni/passanra setelah hak sanra
berakhir berpatokan pada harga beras atau harga emas pada saat pengembalian
uang, sehingga uang yang dikembalikan oleh pemilik lahan tidak mutlak harus sama
banyaknya dengan jumlah uang yang diambil dari pakkatenni/passanra.
Sanra/katenni ini biasanya terjadi pada saat masyarakat membutuhkan uang
secara mendadak sehingga lahan yang dimiliki dapat dimanfaatkan untuk
mendapatkan uang secara cepat disarnping tidak menjual lahannya. Nilai sosial dan
ekonomi yang terdapat pada kelembagaan penguasaan lahan sanra (Tabel 9) adalah
memberikan peluang kepada masyarakat yang tidak memiliki lahan atau punya lahan
sernpit tetapi mempunyal modal dan kemampuan untuk mengelola lahan, dipihak lain
terdapat masyarakat yang memerlukan modal untuk memenuhi kabutuhan dalam
malaksanakan aktifitas ekonomi lain. Dengan demikian maka masyarakat dalam
melakukan aktivitasnya dapat saling menunjang dalam rangka pernenuhan kebutuban
sementara aktivitas lainnya masih dapat berjalan. Pelaksanaan tenurial sanra pada
kedua lokasi desa studi hanya dilakukan pada lahan persawahan, sedang pada lahan
kebun dan ladang tidak diterapkan karena nilai lahan dan komoditas yang diusahakan
tidak mempunyai nilai ekonomis.
708
ILMU KEHUTANAN
e) Kelembagaan Panen
Tenurial kelembagaan panen yang terdapat pada desa lokasi studi, yaitu sistem
Massaro padi dilakukan penduduk yang tidak mempuyai sawah atau mempunyai
waktu bero dari lahan ladangnya. Sebagian besar penduduk yang menjadi tenaga
buruh pemanenan padi merupakan petani yang terbatas ataupun tidak mempunyai
lahan, sehingga kecukupan (subsistensi) pangannya tidak mencukupi dari lahan
usahataninya, menyebabkan harus menjadi tenaga buruh pemanenan pada pada
desa-desa penghasil padi, seperti Desa-desa di Kecamatan Cenrana, Camba dan
Mallawa. Besarnya sistem bagi hasil dalam pemanenan padi adalah I : 6, yaitu 1
bagian diambil oleh buruh tani pemanen padi, sedang pemilik sawah memperoleh
bagian hasil panen sebesar lima bagian.
709
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
b. Jaringan Sosial
Adanya perdagangan kayu antara petani pemilik lahan kemiri dan hutan jati
rakyat dengan pedagang lokal, pedagang atar kabupaten dan tenaga pemikul
(penyarad) merupakan suatu jaringan sosial dalam pemanenan hutan rakyat yang
dijumpai di Dusun Lempong Kecamatan Benteng dan Dusun Tanatengnga Desa
Cenrana. Pedagang lokal dengan industri pengolahan kayu mal merupakan yang
menghubungkan komunitas dengan wilayah luar.
Jaringan sosial lainnya (Tabel 5) yang terjadi adalah dalam tenur massaro ase
antara pemilik lahan sawah pada desa atau dusun tetangga dengan buruh tani dalam
Dusun Holiang dan Lempong yang merupakan petani susisten. Sedang tenur
pemanenan cengkeh merupakan tenur pemanenan yang jaringan sosilnya
menghubungkan antara petani didusun Holiang dengan petani antar kabupaten lain.
Pedagang kemiri dan pedagang kayu jati dan kayu kemiri mempunyai peranan dalam
menghubungkan pemasaran hasil hutan kayu dan non kayu seperti kemiri ke kota seperti
makassar. Sedangkan komoditas seperti gula merah dan madu hanya dipasarkan secara
lokal dalam desa atau dipasarkan pada ibukota kecamatan. Broker kayu kemiri dan kayu jati
yang terdapat di Panagi ibukota Desa Cenrana mempunyai peranan dalam menghubungkan
petani kemiri dengan pedagang kayu di luar yang mempunyai peralatan seperti chainsaw
dan mobil.
Tabel 5. Jaringan Sosial yang terdapat dalam Pengelolaan Lahan pada Masyarakat
di Sub DAS Minraleng Hulu Kecamatan Camba
No Nama tenur Jaringan sosial yang terjadi Lingkup wilayah jaringan Jenis kelamin yang
sosial terlibat
1 Lakara Tuan tanah petani gurem Antar Dusun Laki laki
2 x Pemilik sawah dengan - Antar Dusun dan Laki dan
Massaro buruh tani antar Kecamatan perempuan
x Pemilik cengkeh dengan - Antar Kabupaten Laki
buruh tani
3 Madeppa Pemilik kemiri dengan buruh -antar dusun Perempuan
4 Mallolo Pemilik lahan pedagang - Antar Desa Laki laki dan
kemiri (petani gurem) - Antar Dusun perempuan
710
ILMU KEHUTANAN
c. Trust
Petani hutan pada berbagai lapisan sosial yang menjaga sistem pelaksanaan pranata
tenur, seperti teseng, sanra, mallolo kemiri maka keberlangsungan hubungan sosial dalam
pengelolaan lahan dapat berlangsung. Kepercayaan untuk memenuhi pranata sosial tenur
pada lapisan sosial bawah (buruh tani atau petani penyakap) terhadap petani. Lapisan sosial
atas (tuan tanah atau petani pemodal) sangat dijaga. Dikarenakan jika lapisan sosial bawah
tidak memenuhi pranata sosial tenur tersebut memperoleh sangsi untuk tidak
memperpanjang sistem penyakapan lahan berbentuk tenur teseng, sanra, maupun
peremajaan kemiri. Sangsi lainnya yang terjadi adalah petani penyakap tidak dapat
memperluas jaringan sosial terhadap tuan tanah lainnya dalam lingkup kampung, dusun
ataupun antar kampung, dusun serta antar desa.
Fungsi trust dalam peningkatan kualitas sumber daya lahan hutan, yaitu tree tenur
yang dilakukan dalam sanra lahan kemiri cenderung stagnan. Dikarenakan petani penyakap
hanya memungut hasil tanpa ada tindakan pengelolaan tegakan kemiri. Sedang tenur
peremajaan kemiri (mallolo ampiri) faktor trust sangat memegang peranan dalam
pembentukan kualitas tegakan kemiri dan tegakan jati serta keberlanjutan tegakan kemiri
dan tegakan jati pada lahan-lahan milik tuan tanah.
2. Pola Pembangunan HTR pada Kawasan Hutan Produksi di Sub DAS Minraleng
Hulu
a. Pola Pembangunan HTR oleh Departemen Kehutanan
HTR merupakan hutan tanaman pada hutan produksi yang dibangun oleh
perorangan atau kelompok masyarakat dan koperasi untuk meningkatkan potensi
dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan silvikultur dalam rangka menjamin
kelestarian sumber daya hutan. Pola HTR yang di tetapkan Departemen Kehutanan
untuk dipilih oleh setiap kelompok tani atau koperasi pengusul areal HTR , terdiri
atas :
1) HTR Pola Mandiri adalah HTR yang dibangun oleh Kepala Keluarga pemegang
IUPHHK-HTR.
2) HTR Pola Kemitraan adalah HTR yang dibangun oleh Kepala Keluarga
pemegang IUPHHK-HTR bersama dengan mitranya berdasarkan kesepakatan
bersama dengan difasilitasi oleh pemerintah agar terselenggara kemitraan yang
menguntungkan kedua pihak.
3) HTR Pola Developer adalah HTR yang dibangun oleh BUMN atau BUMS dan
selanjutnya diserahkan oleh Pemerintah kepada Kepala Keluarga pemohon
IUPHHK-HTR dan biaya pembangunannya menjadi tanggung jawab pemegang
ijin dan dikembalikan secara mengangsur sejak Surat Keputusan IUPHHK-
HTR diterbitkan.
711
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
diterapkan dalam membangun HTR secara mandiri dalam lingkup antar warga
dalam dusun terebut. Sedangkan untuk pemasaran hasil pemanenan kayu dan
non kayu nantinya dari lahan HTR dapat menggunakan jaringan sosial
(networking) dalam dusun, antar dusun, antar desa, dan jarigan sosial antar
kabupaten, serta kepercayaan sosial (trust) yang terdapat pada tenur pemilikan
lahan dan pengelolaan lahan.
Berdasarkan struktur sosial dan modal sosial tenur yang terdapat pada
Dusun Holiang dan Dusun Lempong, maka pola HTR yang memungkinkan dapat
diterapkan pada Dusun Lempong Desa Benteng dan Dusun Holiang Desa
Cenrana Kecamatan Camba adalah murni Pola mandiri. HTR pola mandiri pada
kedua dusun terebut, yaitu sejak peyiapan lahan, penanaman, pemeliharaan
tanaman, pemanenan hasil dan selanjutnya pemasaran hasil dapat
dipercayakan pengelolaannya kepada masing-masing masyarakat dusun
bersangkutan.
712
ILMU KEHUTANAN
Kesimpulan
a. Program pembangunan HTR pada petani gurem yang terdapat pada desa-desa yang
didominasi oleh kawasan hutan jadi sarana mobilitas sosial vertikal dalam mengatasi
kemiskinan struktural di pedesaan
b. Berdasarkan struktur sosial menyangkut peran sosial dan kedudukan sosial, dan modal
sosial tenur menyangkut pranata sosial tenur, jaringan sosial dan kepercayaan sosial
(trus), pola HTR yang sesuai diterapkan pada Dusun Lempong Desa Benteng dan
Dusun Holiang Desa Cenrana Kecamatan Camba adalah murni Pola mandiri., yaitu
sejak peyiapan lahan, penanaman, pemeliharaan tanaman, pemanenan hasil dan
selanjutnya pemasaran hasil dapat dipercayakan pengelolaannya kepada masing-
masing rumah tangga petai pemegang IUPHHK-HTR.
c. Berdasarkan struktur sosial menyangkut peran sosial dan kedudukan sosial, dan modal
sosial tenur menyangkut pranata sosial tenur, jaringan sosial dan kepercayaan sosial
(trus), pola HTR yang sesuai diterapkan pada Dusun Tanatengnga Desa Cenrana
adalah pola HTR mandiri yang didalamnya ada unsur kemitraan antar sesama petani
dalam lingkup dusun atau antar dusun. Pola HTR mandiri disertai kemitraan ini,
terutama terjadi kemitraan pada saat pemilik IUPHHK-HTR tidak mampu menangani
budidaya penanaman tanaman dan pemeliharaan tanaman pokok dan tanaman
semusim. Pada kondisi demikian tenur mallolo ampiri dan tenur teseng sangat
diperlukan dalam membangun HTR melalui pola mandiri yang didalamnya terdapat
unsur kemitraan antar petani pada lapisan sosial bawah. Sedang pemanenan hasil dan
pemasaran hasil dapat dilakukan sendiri secara mandiri oleh rumah tangga petani
pemegang IUPHHK-HTR.
Saran
Perlu pelatihan pada petani peserta HTR dalam pembuatan sketsa peta, dan
penyusunan rancangan perencanaan HTR oleh Departemen kehutanan melalui UPT BPKH
dan BP2HP bersama dengan Dinas kehutanan Kabupaten Maros, agar petani memahami
mekanisme perencanaan dan pengelolaan HTR sesuai peraturan yang pada akhirnya kelak
dapat mengusulkan, merencanakan dan mengelola HTR secara mandiri.
DAFTAR PUSTAKA
Dassir 2008. Dinamika Wanatani dan Sistem Tenur Petani Pada Sub DAS Minraleng Hulu
Kabupaten Maros. Disertasi Pascasarjana UNHAS. Tidak dipblikasikan.
____ 2008. Pendapatan Petani dan Keanekaragaman Tanaman pada Berbagai pola Usaha
Wanatani di Sub DAS Minraleng Hulu Kabupaten Maros. 2007. Jurnal Perennial
Volume 3.
____.2006. Sistem Penguasaan Lahan dan Pendapatan Petani pada Wanatani Kemiri di
Kecamatan Camba Kabupaten Maros, Provinsi Sulawesi Selatan. Lembaga
Penelitian UNHAS. 2006. Tidak dipublikasikan.
Departemen Kehutanan, 2007. Peraturan Menteri Kehutanan No. P.23/menhut-II/2007
tentang Hutan tanaman Rakyat (HTR). Departemen Kehutanan Republik Indonesia,
Jakarta.
Millang, S. 2003. Master Plan Study on Integrated Development and management of The
Walanae-Cenranae River Basin. Departemen Pemukiman dan Infrastruktur Wilayah
Republik Indonesia, Direktorat Umum Sumberdaya Air. Tidak Dipublikasikan
713
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
ABSTRAK
Pengusahaan ulat sutera merupakan usahatani yang sifatnya padat karya yang
sangat bergantung pada kemampuan petani dalam mengelola usaha tani suteranya. Luas
lahan merupakan salah satu faktor produksi yang penting dalam pengusahaan kokon ulat
sutera. Kepemilikan lahan bagi petani merupakan hal yang krusial karena petani hanya
memilki lahan yang relative sempit. Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh luas
lahan murbei terhadap produktivitas kokon yang diusahakan oleh satu rumah tangga petani
ulat sutera. Penelitian dilaksanakan pada Januari 2008 dan Oktober 2008 berlokasi di
Kabupaten Soppeng, Enrekang Propinsi Sulawesi Selatan dan Luoding City, Guangdong
Province, China. Penelitian ini termasuk penelitian survey dan hasil yang didapatkan adalah
suatu preskripsi untuk memecahkan masalah yang dihadapi oleh sesorang atau sekelompok
pengambil keputusan. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui observasi atau
pengamatan lapangan, wawancara terstruktur dan tidak terstruktur, pengisian kuesioner dan
studi literature. Pengambilan data dilakukan dengan purposive sampling dengan jumlah
responden 34 orang di Kabupaten Enrekang, 30 orang di Kabupaten Soppeng, 20 orang di
Luoding City. Data yang berhasil dikumpulkan dianalisis dengan analisis deskriptif dengan
menggunakan tabel dan scatter plot dan analisis regresi. Hasil menunjukkan bahwa semakin
luas lahan murbei yang dimiliki dan dikelola petani tidak berkorelasi positif dengan
produktivitas kokon. Kemampuan petani dalam mengelola lahan murbei mempunyai
keterbatasan sehingga semkain luas areal yang dimiliki, produktivitas kokon yang dihasilkan
justru semakin rendah. Hal ini disebabkan oleh karena sifat pengusahaan ulat sutera yang
padat karya yang sangat bergantung kepada fisik dari petani itu sendiri, kecuali pada petani
yang menyewa tenaga kerja dari luar. Ketiga lokasi menunjukkan karakteristik pengelolaan
yang berbeda. Produktivitas kokon tertinggi dicapai di Luoding City, China disusul oleh
Kabupaten Enrekang dan Kabpaten Soppeng, tetapi rata-rata luas lahan di Luoding City
China terendah dibanding di Kabupaten Enrekang dan Kabupaten Soppeng. Ini berarti
bahwa pengelolaan sutera alam di Luoding City sangat intensif dibanding di Sulawesi
Selatan.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pengembangan komoditas sutera alam dianggap mampu membuka lapangan kerja,
memperbaiki lahan kritis, meningkatkan pendapatan masyarakat, karena sifatnya yang padat
karya, sifat tanaman murbei yang mampu tumbuh pada lahan kritis, dan masa pemeliharaan
ulat sutera sampai menghasilkan kokon yang bisa dijual yang relatif pendek. Dalam bidang
kehutanan, pengembangan komoditas sutera alam merupakan salah satu kegiatan
perhutanan sosial (social forestry) yang bertujuan memberikan alternatif lapangan kerja,
pendapatan kepada masyarakat pedesaan di sekitar hutan agar mereka tidak masuk ke
dalam hutan yang bisa menyebabkan terjadinya kerusakan hutan.
Sutera Alam di Sulawesi Selatan telah lama menjadi bagian dari kehidupan budaya
masyarakat. Sarung sutera merupakan salah satu perangkat yang dipergunakan pada tiap
upacara kebudayaaan seperti perkawinan, pesta adat. Budidaya sutera alam telah dikenal
sejak tahun 1950 an dan sampai sekarang masih digeluti oleh sebagian masyarakat
714
ILMU KEHUTANAN
715
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
dari Cina secara ilegal2 dan sekarang dalam proses untuk mendapatkan legalitas dari
Departemen Kehutanan.
Banyaknya petani yang beralih ke komoditas lain seperti kakao karena usahatani
sutera alam di Kabupaten Soppeng yang tidak menguntungkan dan tidak efisien (Tambunan
et al. 1998), sementara Asis (2005) menjelaskan bahwa keuntungan dari usahatani kakao
lebih besar Rp 254 125/ha/tahun dibanding keuntungan dari usahatani ulat sutera. Cina
sampai saat ini merupakan produsen kokon dan benang.terbesar din dunia.
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membandingkan luas tanaman murbei dan
produktivitas kokon pada tiga daerah pengembangan, yaitu Enrekang, Soppeng dan Luoding
City.
METODE PENELITIAN
Rancangan Penelitian
Penelitian ini termasuk penelitian survey dan hasil pengetahuan yang didapatkan
adalah suatu preskripsi untuk memecahkan masalah yang dihadapi oleh seorang atau
sekelompok pengambil keputusan dan bisa digolongkan ke dalam studi kasus (Singarimbun
et al. 1989; Irawan, 2006). Teknik yang digunakan merupakan campuran metode kuantitatif
dan kualitatif (Bungin, 2006; Creswell, 2003).
Pengambilan Data
Pengambilan data dilakukan dengan purposive sampling. Penentuan kecamatan
dalam kabupaten, desa dalam kecamatan dan responden petani dilakukan secara purposive.
Jumlah responden petani murbei dan ulat sutera sebanyak 34 orang di Kabupaten
Enrekang, 30 orang di Kabupaten Soppeng, 20 orang di Luoding City, Propinsi Guangdong.
Selain itu wawancara juga dilakukan terhadap responden dari staf Balai Persuteraan Alam,
pemerhati dan pelaku sejarah sutera Sulawesi Selatan, pakar persuteraan alam Sulsel,
Direktur Perusahaan Daerah Enrekang, staf Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten
Enrekang, staf Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Soppeng, Pimpinan Perum
Perhutani Soppeng, pakar persuteraan alam Cina, produsen telur Cina, pengelola pabrik
pemintalan Cina, staf pusat penelitian persuteraan Cina. Data pembanding institusi diambil di
Luoding City untuk petani murbei dan ulat sutera di Propinsi Guangdong, China
Data sekunder diambil dari instansi yang terkait seperti Departemen Kehutanan,
Pemda Kabupaten Enrekang, Soppeng, Pusat Penelitian Sutera di Guangdong, hasil-hasil
penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan pengelolaan sutera alam.
716
ILMU KEHUTANAN
Analisis Data
Analisis data yang digunakan adalah anlisis regresi sederhana. Setelah itu
dilakukan uji t untuk melihat signifikansi (bermakna tidaknya) variabel independen terhadap
variabel dependen. Adapun hiptesis pada uji t ini adalah sebagai berikut :
- Ho : 1 = 0 (tidak terpengaruh)
- Ho : 1 0 (berpengaruh)
Jika nilai t hitung lebih besar dibandingkan dengan nilai t maka Ho ditolak artinya terdapat
pengaruh variable independen terhadap variable dependennya, begitu juga sebaliknya.
Tabel 1. Luas Tanaman Murbei, Produksi dan Produktivitas Kokon di Sulawesi Selatan 2010
Dari Tabel 1 atas terlihat bahwa produksi kokon terbesar dicapai di Kabupaten Enrekang,
yaitu 86,867 kg, disusul oleh Kabupaten Soppeng, Kabupaten Wajo, Kabupaten Tana
Toraja, Kabupaten Sinjai, Kabupaten Barru, Kabupaten Sidrap. Produktivitas kokon terbesar
dicapai oleh Kabupaten Wajo dengan produktivitas 1015.95 kg/ha disusul oleh Kabupaten
Enrekang, Kabupaten Soppeng, Kabupaten Tana Toraja, Kabupaten Sidrap, Kabupaten
Sinjai.
Hasil pengumpulan data lapangan ditunjukkan pada Tabel 2 berikut :
Tabel 2 . Luas Murbei Rata-rata, Produksi kokon rata-rata dan produktivitas kokon rata-rata
717
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Asis. 2005. Kajian Komponen-Komponen Biaya dan Keuntungan Usahatani Ulat Sutera dan
Usahatani Kakao di Desa Kessing Kecamatan Donri-Donri Kabupaten Soppeng
[Skripsi]. Makassar : Fakultas Pertanian dan Kehutanan, Universitas Hasanuddin
Atmosoedarjo S, Kartasubrata J, Kaomini M, Saleh W, Moerdoko W. 2000. Sutera Alam
Indonesia. Jakarta: Yayasan Sarana Wana Jaya.
[Balai Persuteraan Alam]. 2008b. Statistik Pembangunan Balai Persuteraan Alam. Gowa :
BPA Direktorat Jendral RLPS Departemen Kehutanan.
[BPS Kabupaten Wajo]. 2006. Statistik Kabupaten Wajo. Sengkang : BPS Kabupaten Wajo
Bupati Enrekang. 2007. Kebijakan Pemerintah Kabupaten Enrekang dalam Pengembangan
Usaha Sutera. Makalah pada Workshop Mencari Format Baru Pengembangan
Persuteraan Alam dalam Upaya Menjadikan Sulawesi Selatan Sebagai Pusat Industri
Sutera Nasional pada 28 Februari 2007 di Makassar.
Bupati Wajo. 2007. Kebijakan Pengembangan Industri Persuteraan Alam di Kabupaten
Wajo. Makalah pada Workshop Mencari Format Baru Pengembangan Persuteraan
Alam dalam Upaya Menjadikan Sulawesi Selatan Sebagai Pusat Industri Sutera
Nasional pada 28 Februari 2007 di Makassar.
Creswell JW. 2003. Research Design Qualitative-Quantitative and Mixed Methods
Approaches. London : Sage Publication
Ditjen RLPS. 2007. Sambutan Ditjen RLPS pada Pembukaan Workshop Persuteraan Alam
20 Agustus 2008 di Makassar.
Guangdong Government. 2008. Guangdong Statistical Yearbook 2008. Guangzhou.
http://www.gdstats.gov.cn/tjnj/table/10/c10_13.htm [18 Ags 2009]
Harizanis PC. 2007. Manual of Sericulture Silkworm Rearing Mulberry Cultivation. Athens :
Agricultural University of Athens.
Herlina L. 2010. Sutra Sulsel Benang China. www. Bataviase.co.id [26 Juni 2010]
[International Sericultural Commission]. 2010. Fresh Cocoon Production.
http://www.inserco.org/uk/Freshcocoonsproductionfrom2007.php.htm. [13 Apr 2010]
Irawan P. 2006. Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif untuk Ilmu-ilmu Sosial. Jakarta :
Departemen Ilmu Administrasi FISIP UI
[Japan International Cooperation Agency]. 1985. Proyek Pengembangan Persuteraan Alam
di Indonesia : Buku Pelengkap Audio-Visual. Jakarta : JICA
Jianmo H. 2002. China Endeavors To Become A Silk Power. [23 Jun 2004]
Kanto S. 2006. Sampling, Validitas, dan Reliabilitas dalam Penelitian Kualitatif. Di dalam
Bungin, B. Edt. Analisis Data Penelitian Kualitatif, Pemahaman Filosofis dan
Metodologis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi. Jakarta : PT Rajagrafindo Persada.
Kiyokawa Y. 1993. Possibilities for Producing High Quality Raw Silk and Fostering a Skilled
Work Force in the Indian Silk-reeling Industry. Hitotsubashi Journal of Economics,
34(2) : 87 - 109
Krishnaswami S, Narasimhanna S, Suryanarayan S, Kumararaj S. 1973. Sericulture
Manual : Silkworm Rearing. Rome: FAO Of The United Nations.
Kumaresan P, Sinha RK, Raje Urs S. 2007. An Analysis of Genetic Variation and
Divergence in Indian Tropical Polyvoltine (Bombyx mori L) Genotypes. Caspian J.
Env. Sci., 5(1) : 11 - 17
718
ILMU KEHUTANAN
Omura, Seinosuke. 1980. Silkworm Rearing in The Tropics. Tokyo : Japan International
Cooperation Agency
Rangaswami G, Narasimhanna S, Kasiviswanathan S, Sastry S. 1976. Sericulture Manual.
1 Mulberry Cultivation. Rome : FAO.
Rao CGP, Seshagiri SV, Ramesh C, Ibrahim BK, Nagaraju H, Chandrashekariah. 2006.
Evaluation of Genetic Potential of The Polyvoltine Silkworm (Bombyx mori L.)
Germplasm and Identification of Parents for Breeding Programme. J. Zhejiang Univ.
Sci. B., 7(3) : 215 220
Ryu Choong-Hee. 1994. Panduan untuk Sericulture Seri ke VI. Sukabumi : PT Indo Jado
Wanasutera.
Singarimbun M, Effendi S. 1989. Metode Penelitian Survai. Ed. Rev. Jakarta : LP3ES
719
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Titi Kalima
Kelti Botani dan Ekologi Hutan Puslitbang Konservasi dan Rehabilitasi
Jl.Gunung Batu No.5. Kotak Pos 165 Bogor 16610
e-mail: titi_kalima@yahoo.co.id
ABSTRAK
Vatica javanica subsp.javanica V. Slooten atau dikenal dengan nama keruing laki,
terdapat endemik di Jawa. Penelitian taksonomi dan populasi spesies Vatica javanica
subsp.javanica V. Slooten telah dilaksanakan di kawasan hutan lindung Capa, Brebes, jawa
Tengah. Pengumpulan data dilakukan dengan survei eksploratif dengan metode
wawancara dan pengamatan langsung di lapangan. Berdasarkan hasil pengamatan di
lapangan, menunjukan bahwa populasi spesies Vatica javanica subsp.javanica V. Slooten
ditemukan di blok Cikadu sebanyak delapan (8) individu tingkat pohon dan anakan pohon
yang tumbuh dari tunas pohon induk, dengan pola persebaran mengelompok di blok Cikadu.
Populasi Vatica javanica subsp.javanica V. Slooten di Jawa masih relatif kecil, oleh karena
itu salah satusolusi alternatif untuk mengatasi kepunahan adalah perlu ditingkatkan upaya
konservasi baik eks-situ maupun in-situ terhadap populasinya secara terpadu untuk masa
depan.
Kata kunci: Populasi, Vativa javanica subsp. javanica V. Slooten, Hutan Lindung Capar
PENDAHULUAN
Pulau Jawa sebagai salah satu pulau yang menyimpan keunikan berupa kekayaan
keanekaragaman tumbuhan yang tinggi. Dalam Whitten (1994), menyebutkan bahwa jumlah
total tumbuhan yang teridentifikasi di pulau Jawa adalah 4.101 spesies, dari jumlah tersebut
285 spesies merupakan endemik pulau Jawa. Sedangkan Prof. Dr. Elizabeth A Widjaja
(ANTARA News, 2010) seorang peneliti senior dari LIPI mengatakan di pulau Jawa terdapat
6.258 spesies tumbuhan berbunga yang teridentifikasi dan 288 spesies endemik pulau Jawa,
salah satunya spesies Vatica javanica subsp.javanica dari suku Dipterokarpa. Banyaknya
catatan spesies-spesies tumbuhan ini tidaklah mengherankan, karena pulau Jawa
merupakan lokasi yang paling diketahui mengenai botaninya di Asia Tenggara.
Vatica javanica subsp.javanica merupakan salah satu spesies pohon endemik Jawa
dari suku Dipterokarpa, yang mempunyai persebaran terbatas hanya di daerah Jawa Barat
dan Jawa Tengah. Spesies ini dikenal dengan nama lokal keruing laki, keruwing, damar, dan
pahlalar laki. Kayunya digunakan untuk bahan bangunan, plywood, lantai, papan, jembatan,
bak kayu, rangka pintu & jendela, kayu perkapalan (Serianegara dkk, 1995). Di pulau Jawa
terdapat tiga spesies dari marga Vatica meliputi Vatica bantamensis (Hassk.) B & H ex Miq.,
V. javanica subsp. javanica V.Sloot., V. venulosa. subsp. venulosa Blume, dimana habitat
tumbuhnya di daerah dataran rendah, lereng dan punggung bukit pada hutan hujan tropis
(lowland rain forest ) dengan ketinggian tidak lebih dari 1000 m dpl. (Ashton, 1982). Namun
demikian, melihat dari persebarannya yang endemik dan tingkat kerusakan hutan yang
semakin tinggi membuat populasi keruing laki terancam. Penurunan populasi suatu spesies
di ekosistemnya dapat menjadi indikasi bahwa keseimbangan ekosistem di daerah tersebut
mulai terganggu, untuk itu diperlukan pengkajian, penelitian dan pengembangan terhadap
tumbuhan endemik terutama yang terancam punah. Untuk itu, konservasi secara in-situ
maupun ex-situ sangat diperlukan untuk spesies-spesies endemik dan terancam kepunahan.
720
ILMU KEHUTANAN
Penelitian ini dilakukan di Hutan Lindung Capar pada bulan Juli 2006 dan November
2009, secara administrasi pemerintahan terletak di dua provinsi yaitu Jawa Barat dalam
wilayah kabupaten Kuningan, Ciamis dan Jawa Tengah, tepatnya berada dan kabupaten
Brebes, Cilacap. Secara geografis lokasi penelitian terletak antara 70 00 - 7015 LS dan
108030 - 109000 BT. Hutan Lindung ini memanjang dari barat ke timur dengan ketinggian
150 1350 m dpl., berarti termasuk hutan dataran rendah dan hutan pegunungan bawah
(Whitten et al.,1999). Lokasi Penelitian berada di bagian timur yaitu Desa Capar, Kecamatan
Salem, Kabupaten Brebes, Provinsi Jawa Tengah. Kawasan hutan lindung Capar
mempunyai luas sekitar 528,05 hektar, termasuk dalam wilayah Pengelolaan Perhutani,
Kesatuan pemangkuan Hutan (KPH) Pekalongan Barat dan Bagian Kesatuan Pemangkuan
Hutan (BKPH) Salem(http://rudesign.blogspot.com/search/label/Hutan%20Salem).Menurut
Schmidt dan Ferguson (1951) lokasi penelitian termasuk tipe iklim A dengan curah hujan
rata-rata tahunan 2.273 mm, suhu udara di lokasi penelitian antara 16C sampai dengan
22C. Jenis tanah dataran alluvial dan lembah alluvial, jenis tanah latosol dan grumusol,
topografi datar sampai berbuki-bukit dengan kemiringan agak curam sampai curam (30
70%) (http://id.wikipedia.org/ wiki/Kabupaten_Brebes).
Bahan yang diperlukan antara lain label herbarium, plastik herbarium, kertas koran,
karung plastik, tali rafia, alkohol 70 % dan lain-lainnya. Alat yang digunakan meliputi:
altimeter, kompas, diameter tape, global positioning system (GPS), gunting ranting, parang,
alat untuk mengukur suhu dan kelembaban udara, pH dan kelembaban tanah, kamera, dan
alat tulis.
Pengamatan dan peninjauan langsung di hutan lindung Capar untuk mengetahui
keanekaragaman sifat morfologi spesies Vatica javanica subsp.javanica secara lengkap.
Pengumpulan data dilakukan dengan survei eksploratif yaitu dengan metode wawancara dan
pengamatan langsung di lapangan. Wawancara ditujukan terhadap penduduk setempat
antara lain kepala desa dan kepala keluarga yang mengenal spesies keruing laki atau
dengan nama latin Vatica javanica subsp.javanica. Variabel yang diukur yaitu jumlah individu
tumbuhan, diameter batang pohon, khususnya spesies Vatica javanica subsp. javanica.
Dalam Ashton (1982) menyebutkan spesies Vatica javanica subsp.javanica termasuk
kategori endemik. Spesies tersebut diambil contohnya, dibuat herbarium dan diidentifikasi
di Herbarium Botani dan Ekologi Hutan, Pslitbang Konservasi dan Rehabilitasi, Bogor.
TAKSONOMI
Vatica merupakan salah satu marga dari suku Dipterokarpa yang ke 4 yang terdapat
di kawasan Indonesia di antaranya Anisoptera, Dipterocarpus, Hopea, dan Shorea. Sampai
sekarang terdapat kurang lebih 10 marga, yang meliputi 386 spesies yang tersebar di
seluruh kawasan Malesia. Akan tetapi, jika dilakukan pengamatan spesimen herbarium di
Herbarium Botani dan Ekologi menunjukkan bahwa telah dikumpulkan sebanyak tiga spesies
Vatica dari kawasan hutan Jawa yaitu Vatica javanica,V.bantamensis dan V.venulosa.
Vatica javanica V.Slooten mempunyai hubungan yang erat sekali dengan spesies
Vatica scaphifolia Kosterm. merupakan salah satu spesies yang mempunyai banyak
persamaan ciri spesies tumbuhan di Indonesia. Tidak mengherankan bahwa dalam deskripsi
Ashton (1982) menyebutkan bahwa Vatica javanica di Jawa terdapat dua hal yang dapat
dibedakan yaitu subsp. scaphifolia (Kosterm) P.Ashton (sinonim: Vatica scaphifolia Kosterm
dan Sunaptera scaphifolia (Kosterm) Kosterm., pada umumnya tersebar berlimpah di hutan
dipterokarpa dataran rendah pada lahan bergelombang berdrainase baik di Kalimantan Timur
721
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
(Balikpapan) dan subsp. javanica tumbuh di Jawa Barat. Selain ditemukan di Jawa Barat,
juga ditemukan lokasi baru tempat tumbuhnya Vatica subsp.javanica yaitu di hutan lindung
Capar, Brebes, Jawa Tengah (Kalima, 2010), dapat dilihat pada Tabel 1 di bawah. Adapun
perbedaan yang jelas antara sub sp. javanica dan subsp.scaphifolia, sebagai berikut:
x subsp. javanica : helaian daun berbentuk seperti perahu dengan permukaan bagian
bawah cekung
x subsp. scaphifolia : helaian daun berbentuk tidak seperti perahu
Divisio: Plantae
Filum: Tracheophyta
Kelas: Magnoliopsida
Ordo: Malvales
Famili: Dipterocarpaceae
Genus: Vatica
Species: Vatica javanica
Sub spesies : javanica
Binomial name Vatica javanica subsp. javanica V. Slooten
Vatica javanica subsp. javanica merupakan salah satu spesies pohon berkayu dari
suku Dipterokarpa yang ada di pulau Jawa. Di Jawa Tengah spesies ini ditemukan tumbuh
di lereng atau punggung bukit pada ketinggian 250 m dpl. di hutan lindung Capar, Brebes,
Jawa Tengah dengan nama daerah keruing laki (Kalima, 2010). Adapun keanekaragaman
sifat morfologinya adalah sebagai berikut:
Pohon berukuran sedang, tinggi sampai 27 m. Batang bebas cabang 10 20 m.
Diameter batang sampai 60 cm. Tidak berbanir. Kulit batang bagian luar warnanya abu-abu
atau keputihan, kadang-kadang ada yang warna sawo muda, tidak beralur, tidak mengelupas,
berdamar warna putih. Daun tunggal, bentuk elips memanjang sampai bulat telur
sungsang, berukuran 13 - 24 cm x 6 10 cm, urat daun sekunder berjumlah 22 - 25
pasang. Tidak ditemukan bunga dan buah (Steril) (Gambar 1).
722
ILMU KEHUTANAN
Tabel 1. Koleksi spesimen herbarium Vatica javanica di Herbarium Botani dan Ekologi
Tempat
Tumbuh Tahun Pengamatan
Kolektor Nama
No. Spesies Kabupaten Desa (dpl.) Koleksi di lapangan
No. kolektor daerah
Vatica Pleihari
F.H.Hildebrand
1 scaphifolia Kalimantan Pleihari Damar 45 m 9-11-1925
bb. 9490 -
Kosterm Selatan
Vatica
2 F.H.Hildebrand Garut, 2006 - skrg
javanica Gn.Halimun Ki tenjo 950 m 28-1-1939
Ja. 4673 Jawa Barat X
v. Sloot.
Vatica
javanica 17 -10-
3 Balikpapan, - 30 m
Achmad subsp. Keruwing 1950
Kalimantan
bb. 34419 scaphifolia
Timur -
(Kosterm)
Ashton
Vatica
javanica Balikpapan,
4 Kostermans
subsp. Kalimantan Sei Riho Keruwing - 1950
bb. 34475 -
scaphifolia Timur
(Kosterm)
Ashton
Vatica
5 F.H.Hildebrand javanica 28-1-1939
Garut, Gn.Halimun Ki tenjo 950 m 2006 - skrg
Ja. 4673 subsp.
Jawa Barat
javanica
x
v.Slooten
1985
6 CA 2006
Sidiyasa Vatica
Garut, Leuweung
javanica v
Jawa Barat Sancang x
v. Sloot.
(Cibalong )
Vatica
javanica Garut, Cibalong & -
7 Kalima 2006-2007
subsp. Jawa Barat Sagara
x
javanica
v.Slooten
8 Vatica
Kalima Capar Keruing 250 m 2006-2009
javanica HL. Capar 23 -7-2006
laki
subsp. Brebes,
V
javanica Jawa
v.Slooten Tengah
Kelimpahan di alam
Pengamatan Vatica javanica subsp. Javanica di kawasan hutan lindung Capar,
dilakukan penjelajahan di blok Cikadu dan blok Gunung Bongkok (Kalima, 2006), ditemukan
sebanyak delapan (8) individu tingkat pohon dan anakan pohon yang tumbuh dari tunas
pohon induk, dengan pola persebaran mengelompok di blok Cikadu . Ukuran populasi yang
demikian dianggap ukuran yang kecil, akibat dari fragmentasi dan kerusakan habitat oleh
manusia, akan menyebabkan laju yang lebih cepat menuju ke arah kepunahan. Sedangkan
di lokasi blok Gunung Bongkok tidak menunjukkan hasil. Pohon-pohon tersebut merupakan
pohon besar, dengan tinggi sekitar 25 30 meter, tumbuh di tempat terbuka yang terkena
sinar matahari secara langsung. Hutan tersebut rnerupakan hutan yang telah mengalami alih
fungsi lahan dan bencana longsor.
723
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
b
a
c
Gambar 1. a. Habitus; b. Batang dan tunas; c. tunas spesies Vatica javanica
subsp.javanicadi hutan lindung Capar, Brebes, Jawa Tengah (Foto Titi Kalima)
724
ILMU KEHUTANAN
a b
Gambar 3. Koleksi Spesimen herbarium a. V.javanica sbsp.javanica dan
b. V.javanica subsp.scaphifolia (Foto Titi Kalima)
Penjelajahan yang dilakukan oleh F.H.Hildebrand pada tahun 1939 dalam Ashton
(1982) menyebutkan bahwa salah satu daerah persebaran Vatica javanica subsp. javanica
adalah hanya Jawa Barat yaitu di kabupaten Garut, desa Gunung Halimun, dapat dilihat
pada Tabel 1. Selain itu, penjelajahan Sidiyasa, dkk (1985) di tempat yang menjadi habitat
populasi keruing laki (Vatica javanica subsp. javanica) adalah Cagar Alam Leuweung
Sancang, Garut, Jawa Barat. Pada tahun 2006 2009, spesies tersebut sudah tidak
ditemukan lagi bahkan hilang atau punah.
Menurut IUCN redlist 2009 (www.iucnredlist.org), Status kelangkaan spesies
Dipterokarpa di Indonesia terdapat 143 spesies yang terancam kepunahan antara lain yang
termasuk kategori Punah (EX) : 1 spesies; Kritis (CR) : 98 spesies; Genting (EN) : 40 spesies
dan Rentan (VU) : 4 spesies. Salah satunya Vatica javanica subsp. javanica merupakan
spesies endemik Jawa yang memiliki status keterancaman critically endangered (CR A1cd,
D ), yang berarti species ini menghadapi resiko kepunahan di alam yang sangat tinggi
sehingga perlu mendapatkan prioritas perlindungan (Ashton, 1998).
Ancaman
Setiap harinya luas hutan di Jawa Tengah berkurang karena pembukaan lahan untuk
pemukiman dan pertanian. Konversi lahan ini menyebabkan kerusakan dan penyempitan
pada habitat asli spesies Vatica javanica subsp.javanica. Spesies Vatica javanica
subsp.javanica di lokasi penelitian ini terancam akibat perubahan kondisi fisik lingkungan
dan berkurangnya lahan tempat tumbuhnya. Penebangan liar juga mengancam
keberlangsungan hidup populasi Vatica javanica subsp. javanica yang tersisa. Spesies
tersebut ditebang untuk diambil kayunya digunakan sebagai bahan bangunan atau
kebutuhan hidup masyarakat sekitar hutan.
Upaya konservasi
Dengan berbagai ancaman yang ada, telah menyebabkan spesies Vatica javanica
subsp.javanica berkurang populasinya. Kalau sampai ini terjadi baik habitat maupun
populasinya akan musnah. Oleh karena itu, untuk menjaga kelestarian spesies tersebut tidak
hanya keanekaragaman spesies saja, tetapi keanekaragaman plasma nutfahnya perlu di
jaga untuk memungkinkan diadakannya pengembangan di masa akan datang. Upaya
konservasi spesies tersebut, dilakukan langkah-langkah penyelamatan melalui penetapan
habitat dimaksud sebagai kawasan tumbuhan konservasi in-situ disamping mengadakan
budidaya di luar habitat aslinya (konservasi ex- situ).
725
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
KESIMPULAN SARAN
Vatica javanica subsp.javanica V. Slooten dalam kawasan Hutan Lindung Capar, Brebes
tercatat berjumlah 8 individu pohon dan anakan pohon dengan pola sebaran mengelompok
pada lereng dan punggung bukit bagian blok Cikadu.
Populasi Vatica javanica subsp.javanica V. Slooten saat ini sedang mengalami
degradasi yang sangat cepat. Hal ini disebabkan proses penebangan liar yang terjadi terus
menerus, sehingga dapat berakibat terhadap keberadaan spesies tersebut di alam sudah
mulai menurun.
Vatica javanica subsp.javanica V. Slooten di kawasan Hutan Lindung Capar, Brebes
perlu ditingkatkan upaya konservasinya baik secara in-situ maupun eks-situ untuk masa
yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA
ANTARA News, 2010. Pulau Jawa Kehilangan Keanekaragaman Flora. Warta Konservasi,
Rabu 12 Mei 2010. Bogor
Ashton, P.S., 1982. Dipterocarpaceae. In: Van Steenis, C.G.G.J (ed.) Flora Malesiana (9):
237-552.
Ashton, P. 1998. Vatica javanica ssp. javanica. In : IUCN 2009. IUCN Red List of Threatened
Species. Version 2009.2. <www.iucnredlist.org>. Di unduh 10 Februari 2010.
Kalima, T. 2006. Keberadaan Spesies Dipterocarpaceae di Jawa dan Ancaman
Kepunahannya. Wana Tropika Vol. 1 No. 4. Warta Pusat Litbang Hutan dan
Konservasi Alam, Bogor.
Kalima, T. 2007. Laporan perjalanan sebaran spesies pohon Dipterocarpaceae di Hutan
Lindung Capar, Brebes, Jawa Tengah. Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam,
Bogor. Belum dipublikasi.
Kalima, T.2010. Status Populasi Dipterocarpaceae di Hutan Lindung Capar, Brebes, Jawa
Tengah
Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan
dan Konservasi Alam, Bogor.
Schmidt, F.H. and J.F.Ferguson. 1951. Rainfall types based on wet and dry period ratios
forIndonesia with Western New Guinea. Verhand. No.42. Kementerian Perhubungan
Djawatan metereologi dan Geofisika. Jakarta.
Sidiyasa, K; S.Sutomo; dan R.S.A.Prawira. 1985. Struktur dan komposisi hutan
Dipterocarpaceae tanah rendah di Cagar Alam Leuweung Sancang, Jawa Barat.
Buletin Penelitian Hutan No.471. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan, Bogor.
Whitten T.,Soeriaatmadja R.E.,Afiff S.A., Kartikasari S.N.,Utami T.B., Widyantoro A., (1999)
Ekologi Jawa dan Bali, Prenhallindo, Jakarta
726
ILMU KEHUTANAN
ABSTRAK
PENDAHULUAN
Salah satu misi dari enam misi kementrian kehutanan di dalam Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Kehutanan Tahun 2006 2025 adalah membangun dan
menimngkatkan produktivitas dan nilai Sumber Daya Alam Hutan. Tujuannya adalah
menjamin kesinambungan/kelestarian manfaat dan fungsi hutan dalam mendukung
pembangunan nasional. Kelestarian manfaat dan fungsi tersebut sangat tergantung pada
keberadaan kawasan hutan yang lestari dan terus berkembang baik untuk fungsi ekonomi
(produser kayu dan non kayu) maupun fingsi ekologi (pengendali daya dukung lingkungan
dan kehidupan). Sebagai produser kayu, maka kawasan hutan secara buatan (hutan
tanaman) harus terus berkembang baik jenis maupun luasannya guna mengimbangi
kemajuan industri perkayuan dan pasar.
Meranti gunung (Shorea platyclados) mendominasi tipe hutan dipterocarpa dataran
tinggi pada 800 1500 m di atas permukaan laut (Bratawinata, 1998), kayunya termasuk
dalam kelompok meranti merah, dipergunakan untuk bahan kontruksi, meubel, veneer, kayu
lapis, papan, balok ( Kartasudjana dan Martawijaya, 1979 ). Karena nilai ekonominya tinggi,
sejak tahun 1970 meranti gunung sudah diekploitasi dan tanpa usaha penanaman kembali
sehingga dihawatirkan keberadaannya semakin berkurang.
Dengan tujuan untuk melestarikan keberadaan jenis meranti gunung , maka
dilakukan upaya penanaman secara buatan di luar habitat asalnya (introduksi) yaitu di Hutan
Penelitian dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Cikole yang memiliki kemiripan biofisik dengan
tempat asalnya.
727
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
LOKASI PERCOBAAN
Lokasi percobaan yang digunakan untuk uji introduksi jenis Shorea platyclados
adalah KHDTK Cikole di Lembang dengan kondisi umum sebagai berikut :Kondisi topografi
bergelombang sampai berbukit dengan ketinggian antara 1.350 s/d 1500 m dari permukaan
laut(dpl). Bentuk wilayah bergunung dengan tingkat kelerengan > 25 % arah lereng
menghadap ke selaltan. Secara geografi terletak di 60 45 30 sampai 604730 Lintang
Selatan dan 10703959 sampai 10704159 Bujur Timur.
Berdasarkan klasifikasi Schmidt dan Ferguson 1959, tipe curah hujan di wilayah
Cikole Lembang termasuk tipe A dengan Curah Hujan rata-rata sebesar 2.996 mm/tahun.
728
ILMU KEHUTANAN
Jenis tanah termasuk komplek andosol muda, beraqsal dari bahan gunung berapi dari tupa
batu apung yang ringan, bersolum dalam tektur halus, struktur remah, gumpal dan massif
berwarna coklat, coklat tua sampai kehitam-hitaman dikarenakan kadar bahan organiknya
tinggi ( Lembaga Penelitian Tanah, 1981 )
METODE PENELITIAN
Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam uji introduksi jenis Shorea platyclados adalah
melakukan pengukuran dimensi pohon berupa dimensi tinggi total pohon dan dimensi
diameter batang setinggi dada. Pengukuran dilakukan terhadap 30 pohon contoh di setiap
bagian lereng (atas, tengah dan bawah). Selanjutnya digunakan kriteria untuk menetapkan
cepat atau lambatnya pertumbuhan pohon berdasarkan penambahan raata-rata diameter
pertahun / Mean Annual Increment (MAI) dari Meijer (1974) yaitu :
1. Sangat cepat: jika MAI > 1,4 cm/tahun (daur 40 tahun)
2. Cepat : MAI 1,19 sampai 1,39 cm/tahun (daur 40 tahun)
3. Normal : MAI 0,79 sampai 1,18 cm/tahun (daur 40 tahun)
4. Agak lambat : MAI 0,35 sampai 0,78 cm/tahun (daur 80 tahun)
5. Lambat : MAI < 0,35/tahun (daur 80 tahun)
Tabel 1. Dimensi tinggi total, diameter batang dan kriteria kecepatan tumbuh Shorea
platyclados umur 13 tahun di KHDTK Cikole, Lembang.
Penanaman suatu jenis pohon di luar habitat aslinya, tentunya memerlukan syarat
syarat tertentu, menurur Ginting (1990) kesesuaian lahan bagi tanaman berupa perubahan
suhu, temperatur rata-rata, ketersediaan air, kondisi perakaran, hara terikat, keadaan
lapangan. Hasil pertumbuhan Shorea platyclados dalam penelitian introduksi di KHDTK
Cikole, ternyata dari pengukuran dimensi tinggi total dan diameter sangat cocok, bahkan nilai
MAI berdasarkan kriteria Meijer (1974) termasuk pada kriteria sangat cepat, terbukti bahwa
disemua bagian lereng (atas, tengah dan bawah) nilainya di atas 1,4 cm/tahun. Hasil
penelitian Alrasyid (2000) riap tinggi rata-rata per tahun untuk genus Sorea di Jawa Barat
729
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
berkisar 0,61 1,34 m dan riap rata rata diameter antara 0,75 2,42 cm per tahun,
selengkapnya disajikan pada Tabel 2.
Untuk mengetahui intensitas cahaya di hutan alam produksi telah dilakukan oleh
Noor dan Leppe (1995) serta Effendi dan Leppe (2000) dimana proses percepatannya
menurut Sutisna (1999) dipengaruhi oleh besar kecilnya intensitas pembebasan
tajuk,dimana makin besar tajuk semakin cepat pertumbuhannya. Percobaan binapilih II
melaporkan bahwa genus shorea riapnya antara 1,7 - 2,9 cm/tahun pada tiga tahun pertama
( Abdurachman, 1999. Sutisna dan Ruhiyat,2000 dalam Siran ,2007).
Dari Tabel 2 di atas ternyata bahwa ke empatbelas senis shorea yang ditanam di
Jawa Barat, termasuk katagori lambat satu jenis yaitu S seminis, katagori tumbuh cepat tiga
jenis yaitu S compressa, S pinanga dan S stenoptera Burck,forma sedangkan sepuluh jenis
lainnya sangat cepat. dimana jenis Shorea stenoptera dan S leprosula disamping telah
mencapai tahapan domestikasi, tetapi juga memiliki nilai MAI untuk tinggi dan diameter yang
tercepat. Kesesuai tumbuh untuk genus shorea di Jawa Bara, sebagai mana uraian di atas
didukung oleh pernyataan Ashton (1982) bahwa dipterocarpaceae endemik di Jawa Barat
seperti Shorea javanica, Dipterocarpus gracilis, D returnus, Anisoptera costata dan Hopea
sangal.
Meskipun pertumbuhannya termasuk katagori sangat cepat, belum bisa dikatakan
berhasil, karena berdasarkan ketentuan uji introduksi jenis belum diketahui kemampuannya
untuk berkembang biak secara alam. Sampai tanaman berumur 13 tahun, masa berbunga
dan berbuahnya belum terjadi Dalam kaitan dengan kemampuan berkembang biak secara
alami (generatif) maka uji coba introduksi ini baru mencapai tahap naturalisasi. Berbeda
dengan jenis yang ditanam di KHDTK Haur Bentes di Jasinga ,Bogor. Pengamatan penulis
pada jenis Shorea mecistopteryx dan S selanica pada umur 13 tahun sudah mulai berbunga
dan berbuah serta menghasilkan anakan alam di bawah tegakannya (naturalisasi).
730
ILMU KEHUTANAN
KESIMPULAN
1. Jenis pohon Shorea platyclados ( Meranti gunung ) yang di introduksi pada daerah
pegunungan di ketinggian 1500 m dpl, jenis tanah andosol muda , topografi
bergelombang dan berlereng > 25 %, tipe iklim A seperti di KHDTK Cikole, terbukti dapat
tumbuh dengan kriteria sangat cepat (MAI> 1,4 cm per tahun ). Namun sampai tanaman
berumur 13 tahun belum mampu mencapai tahap Domestikasi. Artinya belum bisa
dikategorikan dapat berkembang biak secara alami.
2. Beberapa tempat di Jawa Barat, cukup potensial untuk penanaman genus shorea
sebagaimana dapat diketahui dari nilai MAI, sebagian besar masuk pada kriteria cepat
dan sangat cepat.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurachman, 1999. Pertumbuhan Diameter Jenis jenis Shorea di Hutan Bekas Tebangan
PT Sari Bumi Kusuma, Kalimantan Tengah, Buletin Penelitian Kehutanan vol 14 No
2. Balai Penelitian Kehutanan Samarinda.
Alrasyid, H. 2000 . Sejarah dan Pengalaman Pembuatan Tegakan Dipterocarpaceae di
Jawa. Prosiding Seminar Nasional Status Silvikultur 1999. Peluang dan Tantangan
Menuju Produktivitas dan Kelestarian Sumber Daya Hutan Jangka Panjang. Fakultas
Kehutanan Universitas Gajah Mada, Jogyakarta.
Ardikusuma, R,I. 1956. Percobaan Penanaman dalam Kebun Kayu Asing. Pengumuman No
8 Balai Penyelidikan Kehutanan.Bogor.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, 2009. Road Map Penelitian dan
Pengembangan Kehutanan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan,
Departemen Kehutanan.
Bratawinata, A.A., 1998. Ekologi Hujan Tropis dan Metoda Analisis Hutan. Laboratorium
Ekologi dan Dendrologi Universitas Mulawarman. Samarinda
Departemen Kehutanan , 2006. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Kehutanan tahun
2006 2025. Departemen Kehutanan, Jakarta.
Effendi R dan Leppe. 2000. Pertumbuhan Shorea leprosula pada Areal Terbuka di Hutan
Penelitian Wanariset Sangai, Kalimantan Tengah, Dipterocarpa vol 5 No 1. Balai
Penelitian Kehutanan Samarinda
Evans, J. 1987. Plantation Forestry in the Tripics. Clarendon Press. Oxford.
Kartasudjana,I dan A Martawijaya, 1979. Kayu Perdagangan Indonesia ; Sifat dan
Kegunaannya. Gabungan Laporan LPHH No 3 1973 dan LPHH No 56 1979
Balitbang Kehutanan. departemen Pertanian
Manan, S. 1997. Hutan Rimbawan dan Masyarakat. IPB Press, Bogor
Meijer, W. 1974. Field Guiden of Trees of West Malesi
Noor,M.dan.Leppe,1995 Pengaruh Pembukaan Celah Terhadap Pertumbuhan
dipterocarpaceae paeda Areal Bekas Terbakar, Wanatrop Vol 8 No 1. Balai
Penelitian Kehutanan Samarinda.
731
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
ABSTRACT
PENDAHULUAN
732
ILMU KEHUTANAN
Dalam studi ini, kita meneliti herbivori yang disebabkan oleh serangga pada Mallotus
miquelianus dan apakah herbivori dipengaruhi oleh kerapatan semai.Mallotus miquelianus
(Euphorbiaceae) adalah tumbuhan semak yang tumbuh tinggi sampai dengan 7 m dengan
diameter 17 cm dbh dan bisa mencapai kematangan pada ketinggian 0,5 m dan 1 cm dbh.
Mallotusmiquelianus adalah spesies yang toleran terhadap naungan dan biasanya
cenderung tumbuh pada tempat yang sedikit terganggu atau pada tempat terbuka di hutan
primer dan sekunder (National Herbarium, Netherland).
Hipotesis dari penelitian ini memperkirakan bahwa dengan kepadatan semai
meningkat, maka herbivori akan lebih tinggi karena semai semakin dekat satu sama lain,
sehingga semakin mudah akan bagi serangga herbivora untuk menemukan tanaman inang
mereka. Kami juga menduga bahwa semakin banyak pohon induk yang dekat, semakin
tinggi densitas semai. Pertanyaan penelitian yang diajukan adalah: (1) Apakah ada
hubungan antara kepadatan bibit dan herbivori?; (2) Apakah ada perbedaan antara herbivori
pada daun muda dan daun dewasa?; (3) Apakah herbivori meningkat dengan semakin
tingginya bibit ?; (4) Apakah herbivori pada semai dipengaruhi oleh semai terdekat yang
sejenis?; (5) Bagaimana jumlah pohon induk yang terdekat mempengaruhi kerapatan
semai?; dan (6) Apakah ada hubungan antara kepadatan semai dan intensitas cahaya?.
METODOLOGI
Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ini berada di Danum Valley Conservation Area (DVCA) di Negara
Sabah, Malaysia yang memiliki luas 43.800 ha dengan lebih dari 200 spesies pohon dalam
satu hektar. Komposisi tumbuhan di daerah ini sebagian besar didominasi oleh suku
Dipterocarpaceae yang meliputi 88% dari total volume pohon besar di daerah tersebut
(Marsh, 1995). Pekerjaan lapangan dilakukan di dalam hutan primer baik di West Trail
maupun East Trail.
Sampling
Kami membuat 22 petak ukur, dengan masing-masing petak berukuran 3 mx3 m
pada tiap interval 50 m atau lebih, tergantung pada apakah kita dapat menemukan spesies
tanaman pada interval l50 m. Dalam setiap petak ukur, kami mencatat jumlah semai dan
juga jumlah pohon induk yang terdekat. Pengukuran juga dilakukan untuk tutupan tajuk
dengan menggunakan densiometer, tinggi semai dan jarak semai sejenis terdekat.
Kerusakan herbivore diukur dengan memperkirakan dalam persentase dari dua daun atas
(muda) dan dua daun bawah (dewasa) untuk setiap semai.
Analisis Data
Kami menggunakan perangkat lunak Minitab 14 untuk analisis data, khususnya Linear
Model. Kami menggunakan uji-t berpasangan (Paired t-test) untuk menguji perbedaan antara
herbivore daun muda dan dewasa, dan regresi sederhana untuk menjawab seluruh
pertanyaan.
Hasil
Secara total, kami mengukur 349 bibit dengan rata-rata kepadatan benih 16,50 cm
(kisaran interkuartil: IQ = 12). Tinggi bibit sekitar 51,45 cm (IQ = 20,60). Tidak ada hubungan
antara kepadatan bibit dan kerusakan herbivori (DF = 21, F = 0,03, P = 0,861). Herbivori
secara signifikan lebih tinggi pada daun tua lebih muda dari (DF = 1, Paduan t-test: T = 3.20,
P = 0,004, Gambar 1).
733
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
60
50
40
Data
30
20
10
Av. HD T Av. HD B
Gambar 1. Boxplot daun belum dewasa (T =top) dan daun dewasa (B =bottom)
Herbivori tidak berbeda secara signifikan dengan meningkatnya ketinggian bibit (DF
=21, F=0,24, P=0,628). Bibit yang saling berdekatan atau yang lebih jauh dari satu sama lain
memiliki prosentase kerusakan herbivori yang sama (DF =21, F=0,07, P=0,795). Semakin
banyak pohon induk yang dekat, semakin rendah kepadatan semainya (DF =21, F=7,05,
P=0,015, Gbr.2). Kerapatan semai tidak dipengaruhi oleh jumlah cahaya yang mencapai
lapisan bawah (DF =21, F=0,99, P=0,332). Lebih banyak pohon induk terdekat, jumlah semai
semakin berkurang (DF =21, F=7,05, P=0,015, Gambar 2).
30
Total number of seedlings/Quadrat
25
20
15
10
0 2 4 6 8 10 12 14
Number of parent trees nearby
Pembahasan
Berdasarkan analisa data dan hasil penelitian dapat diketahui bahwa kerapatan
semai Mallotus miquelianus tidak berpengaruh pada herbivori (kerapatan diukur pada petak
3x3m). Hal ini dapat dimungkinkan karena serangga ada yang generalis ada pula yang
spesialis. Serangga generalis cenderung ada di mana-mana karena ada distribusi tanaman
inang mereka. Sementara serangga spesialis hanya ditemukan di sekitar atau dekat dengan
tanaman inang mereka. Studi kami menunjukkan bahwa serangga pada semai M.
miquelianus merupakan serangga yang generalis. Penelitan Basset (1999) melaporkan
bahwa ada proporsi yang tinggi dari serangga herbivora yang generalis dibandingkan
dengan yang spesialis. Fakta lain yang kami temukan adalah bahwa herbivori pada daun
muda lebih besar prosentasenya daripada daun yang lebih tua. Hal ini bisa jadi karena daun
muda lebih tinggi kandungan nitrogennya dibandingkan daun tua (Coley, 1983; Coley dan
734
ILMU KEHUTANAN
Aide, 1991). Alasan lain mungkin karena daun muda kurang kuat dan lebih mudah untuk
dikunyah dan dicerna. Semakin tua suatu daun, pembelahan dan ekspansi sel ditekan oleh
pembentukan dinding sel sekunder berlignin yang membuat sulit dikunyah. Setelah daun
muda mencapai kematangan dan mulai mengeras, tingkat herbivori dapat turun drastis
(Coley, 1983). Dalam hampir semua spesies tumbuhan, daun muda juga lebih mudah
dimakan baik dengan dikunyah maupun dihisap (Feeny, 1976; Lowman, 1985; Slansky &
Rodriguez, 1987).
Prosentase kerusakan herbivori dalam kaitannya dengan tinggi tanaman mungkin
berbeda antar kelompok serangga. Serangga terbang yang sangat lincah, mungkin
mengkonsumsi sebagian dari setiap tumbuhan dalam populasi terlepas dari seberapa tinggi
tumbuhan tersebut. Sedangkan serangga yang tidak mobile hanya dapat makan hanya dari
beberapa tumbuhan, yang mungkin pendek dan dapat dengan mudah dicapai. M.
miquelianus kemungkinan adalah tumbuhan inang untuk setidaknya beberapa kelompok
baik serangga merayap dan terbang. Ashley et al., (2008) melaporkan bahwa jika tidak ada
korelasi antara daun atau tinggi tanaman dan persentase kerusakan daun, bisa jadi bahwa
serangga merayap dan terbang makan pada tumbuhan tersebut. Hal ini tampaknya menjadi
kasus dalam penelitian kami, meskipun kami tidak meneliti lebih jauh serangga apa yang
menyebabkan kerusakan terhadap semai M. miquelianus.
Ada kemungkinan bahwa hasil kami bisa dipengaruhi oleh cara kita mengukur
herbivori. Pada umumnya cara mengukur adalah dengan melihat seluruh tanaman dan
melakukan estimasi pada daerah yang sedang dimakan, dan ada juga dengan secara acak
memilih hanya beberapa daun dan membuat estimasi pada jumlah kerusakan yang
dilakukan. Cara lain adalah dengan secara ketat mengikuti prosedur memilih daun dan
mengukur herbivori pada tumbuhan. Ashley et al., (2008) mengukur herbivori kerusakan
dengan memilih daun terendah pada tanaman dan kemudian setiap daun ketujuh naik ke
arah batang dari posisi semula. Dalam studi ini, kami memilih dua daun atas dan dua daun
bawah yang kemungkinan akan menjadi ukuran yang memadai.
Kami menduga sebelumnya bahwa tingginya jumlah pohon induk terdekat akan
menghasilkan kepadatan semai yang tinggi. Namun, kami menemukan sebaliknya. Satu
alasan yang mungkin untuk ini kemungkinan karena persaingan antar semai untuk cahaya
dan nutrisi. Di sisi lain, hipotesis Janzen-Connell tentang jarak responsif predasi menyatakan
bahwa semakin jauh jarak dari pohon induk, tingkat ketahanan hidup semai meningkat
(Burkey, 1994; Gilbert, 2002). Kematian benih dan semai langsung di bawah dan dekat
pohon induk dipengaruhi oleh fakta bahwa pohon-pohon dewasa cenderung untuk lebih
tahan terhadap hama dan patogen, sehingga hama dan pathogen tersebut lebih memilih
semai di dekat pohon. Kerusakan pada pohon dewasa oleh hama dan patogen mungkin
memiliki konsekuensi negatif, namun dengan tingkat kerusakan yang sama sering berakibat
kematian pada semai. Selanjutnya pada hutan alam sebagian besar benih tersebar dengan
kepadatan tinggi langsung di bawah atau dekat pohon induk, menciptakan sebuah
'bayangan benih'. Jadi sementara pohon induk dapat menarik sendiri jarak-responsif
predator, bayang-bayang benih bertindak sebagai atraktan baik jarak maupun kepadatan-
responsif predator, yang kemudian serangan mereka berkonsentrasi di area tersebut,
sehingga menghasilkan angka kematian yang lebih tinggi pada benih dan semai di sekitar
induk pohon (Clark dan Clark, 1984).
Cahaya adalah faktor penting untuk pertumbuhan dan reproduksi. Karena Mallotus
miquelianus adalah spesies yang tahan naungan, semai lebih memilih untuk tumbuh dalam
kondisi cahaya rendah karena hal ini bisa menjadi kondisi optimum untuk pertumbuhan
mereka.
735
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Auckerman, A., Brandon A., Kelsey B. and Emily F. 2008. Report: Insect Herbivory On The
Leaves of Plygonm sp. In Relation to Foliage Height. St. Ambrose University,
Davenport, Iowa.
Burkey, T. V. 1994. Tropical Tree Species Diversity: a test of Janzen-Connel Model.
Oecologia, 97: 533-540.
Clark, D. B. and D. A Clark. 1989. The Role Of Physical Damage In The Seedling Mortality
Regime Of Neotropical Rainforest. Oikos, 55: 225-230.
Clark, D. B. and D. A Clark. 1984. Spacing Dynamic Of Tropical Rainforest Tree: Evaluation
Of Janzen-Connel Model. The American Naturalist, 124 (6): 769-788.
Coley, P. D. 1983. Herbivory and defensive characteristics of tree species in a lowland
tropical forest. Ecol. Monogr. 53: 209-233.
Coley, P. D. and T. M. Aide. 1991. A comparison of herbivory and plant defenses in
temperate and tropical broadleaved foreses. In P. W. Price, T. M. Lewinsohn, G. W.
Fernandes and W. W. Benson (Eds.). Plant-animal interaction: evolutionary ecology
in tropical and temperate regions. pp. 25-49. John Wiley and Sons, New York.
Feeny, P. 1976. Plant Apparency And Chemical Defence. Recent Adv. Phytocem. 10: 1-40.
Gilbert, G.S. 2002. Evolutionary Ecology of Plant Diseases in Natural Ecosystem. Annual
Review Phytopathology, 40: 13-43.
Howe, H. F. 1990. Survival Growth Of Juvenile Vivola surinamansis In Panama: Effect Of
Herbivory And Canopy Closure. Jounal of Tropical Ecology, 6: 259-280.
Lowman, MD. 1985. Temporal And Spatial Variability In Insect Grazing Of Canopies Of Five
Australian Rainforest Tree Species. Australian Journal of Ecology, 10: 7-24.
Marsh, C. W. 1995. Danum Valley Conservation Area, Sabah, Malaysia: Management Plan.
Danum Valley Management Committee, Kota Kinabalu, Sabah, Malaysia.
Novotny, V., Y. Basset, S.E. Miller, R. L. Kitching, M. Laidlaw, P. Drozd and L. Cizek. 2004.
Local Species Richness Of Leaf-Chewing Insect Feeding On Woody Plant From One
Hectare Of A Lowland Rainforest. Conservation Biology, 18: 227-230.
736
ILMU KEHUTANAN
Osunkoya, O.O., J.E. Ash, A.W. Graham and M.S. Hopkins. 1993. Growth of tree seedlings
in tropical rainforest of North Queensland, Australia. Journal of Tropical Ecology, 9: 1-
18.
Slansky, F. Jr. and J. G. Rodriguez. 1987. Nutritional Ecology Of Insect, Mices, Spiders And
Related Invertebrates. John Wiley an Sons, New York.
Speight, R. M., et al. (1999) Ecology of Insects: Concepts and Application. Blackwell Science
Ltd.
737
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
ABSTRAK
Jamur merupakan salah satu keragaman mikroflora di hutan alam tropis. Beberapa
jenis jamur merupakan jenis-jenis yang dapat dikonsumsi dan menjadi sumber protein nabati
dan beberapa jenis yang lain berpotensi memiliki khasiat obat. Gunung Kendeng memiliki
keragaman jamur yang cukup tinggi. Di daerah sekitar hutan Gunung Kendeng, rata-rata
dijumpai 34 jenis jamur di dalam 100 m2 area, sebagian besar merupakan jenis yang
berperan sebagai decomposer (76.5%) dan beberapa jenis yang dikenal dapat dikonsumsi
dan berkhasiat obat (17.6%), dan jamur mikoriza (5.9%). Preferensi masyarakat sekitar
hutan Gunung Kendeng terhadap jamur hutan yang dapat dikonsumsi sangat rendah.
Masyarakat lebih menyukai jamur yang dibeli di pasar untuk dikonsumsi dengan alasan
keamanan dari keracunan jamur hutan. Sebagian besar masyarakat sekitar hutan (80% dari
responden) pada umumnya hanya mengenal dua jenis jamur hutan yang aman untuk
dikonsumsi, seperti supa lember (Auricularia auricula) dan supa bulan (Termitomyces sp.).
Beberapa jenis jamur hutan yang aman dikonsumsi seperti supa banteng, supa nyiruan,
supa beas (Schizophyllum commune) hanya dikenal oleh beberapa orang saja (10%).
Masyarakat pada umumnya tidak menggunakan jamur sebagai obat tradisional, padahal di
hutan terdapat jenis-jenis jamur yang berpotensi obat, seperti jenis jamur Ganoderma
lucidum. Rendahnya pengetahuan tradisional masyarakat di sekitar Gunung Kendeng
terhadap jenis-jenis jamur yang bermanfaat mempengaruhi ketergantungan masyarakat
terhadap sumber daya hayati yang tersedia di dalam hutan. Pengenalan jenis dan manfaat
jamur akan menimbulkan minat masyarakat untuk mengembangkan teknik budidaya dan
pengelolaan jamur. Masyarakat yang telah melakukan budidaya jamur dalam skala industry
rumah tangga, akan mampu mengelola dan mengolah jamur menjadi produk akhir yang
memiliki nilai ekonomi lebih tinggi.
PENDAHULUAN
Jamur (istilah umum untuk macro fungi) merupakan salah satu sumber kekayaan
hayati di hutan tropis Indonesia. Jamur memiliki peran penting dalam siklus biogeokimia
tanah, siklus hara, pendekomposer, fungi simbiont pada tanaman yang bersifat saling
menguntungkan, atau bersifat merugikan sebagai parasit bagi hewan dan tumbuhan. Selain
peran penting tersebut, jamur memiliki nilai ekonomi sebagai agen biokontrol dan produser
bagi farmasi dan industri lain, misalnya industi pangan dan fermentasi. Jamur pangan adalah
jamur yang enak dan aman dikonsumsi, tidak mengandung racun, aman bagi kesehatan.
Sedangkan jamur obat adalah jamur yang digunakan sebagai sumber obat-obatan, baik
vitamin, mineral maupun suplemen. Sejak puluhan tahun yang lalu, masyarakat tradisional di
Cina telah menggunakan jamur sebagai bahan baku obat. Hal ini disebabkan karena
kandungan senyawa aktif dalam jamur yang bersifat anti kanker, anti kolesterol, anti mikroba
(bakteri) dan virus (Chang dan Miles 1989).
Jumlah keragaman fungi (macro dan micro fungi) di dunia diperkirakan mencapai 1.5
juta species (Hawksworth 2001), namun laporan terbaru menyatakan jumlah yang lebih
738
ILMU KEHUTANAN
rendah yaitu 712,000 species (Schimt dan Mueller 2007). Laporan menunjukkan bahwa
kekayaan jenis jamur di daerah tropis (dalam hal ini Malaysia) tercatat 400 species dari grup
argariks dan boletes (Mueller et al. 2007). Sementara informasi dari Indonesia tidak
terdokumentasi dengan baik. Walapun kekayaan jenis vegetasi di negara asia tropis (sekitar
46,000 species) lebih besar dari pada di hutan temperate di Eropa (12,500 species), tetapi
perbandingan jumlah jenis tanaman tingkat tinggi dan makro fungi di Asia tropis hanya 0.01.
Rasio ini sangat rendah jika dibandingkan dengan rasio tanaman dan makro fungi Eropa,
yaitu 0.55 (Schimt dan Mueller 2007).
Pada umumnya masyarakat mengenal jamur yang dikonsumsi dari jamur yang telah
dibudidayakan. Produksi jamur untuk kebutuhan pangan banyak berasal dari Jawa Barat dan
Jawa Tengah. Untuk kebutuhan jamur pangan di dalam negeri (khususnya di Pulau Jawa)
saja, baru tercukupi 50%. Jadi pengembangan jamur pangan masih berpotensi luas. Selain
itu, jamur yang memiliki juga senyawa aktif sebagai sumber obat dan nutracetical (suplemen,
mineral dan vitamin), akan memiliki nilai ekonomi lebih. Akan tetapi belum ada informasi
mengenai pemahaman masyarakat local terhadap jenis-jenis jamur hutan yang dapat
dikonsumsi dan digunakan sebagai obat.
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi mengenai preferensi
masyarakat di Gunung Kendeng, Jawa Barat terhadap jamur hutan yang dapat dikonsumsi
dan beroptensi sebagai obat.
METODE PENELITIAN
739
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Gunung Kendeng merupakan salah satu bagian dari TNG Halimun Salak.
Masyarakat local telah lama bermukim di wilayah ini. Model desa konservasi dibentuk
dengan tujuan agar masyarakat dapat hidup berdampingan di dalam kawasan taman
nasional dalam taraf hidup yang layak, baik secara ekonomi, sosial dan ekologi (Hartono et
al. 2007). Jumlah penduduk di desa konservasi hanya 30 kepala keluarga (KK), yang
sebagian besar bermata pencaharian sebagai buruh harian pemetik teh, selain bertani
sawah di kawasan penyangga. Kebutuhan pangan sehari-hari diperoleh dari hasil kebun.
Pola hidup masyarakat sangat bersahaja, karena sumber pendapatan yang sangat terbatas.
Walaupun hutan di Gunung Kendeng memiliki biodiversitas yang tinggi, namun
kebutuhan protein, sangat jarang diperoleh dari hasil hutan. Masyarakat di sekitar hutan
Gunung Kendeng bahkan tidak memanfaatkan jamur yang tumbuh di hutan sebagai sumber
pangan. Dari hasil studi dijumpai 34 jenis jamur yang tumbuh di lantai hutan, yaitu terdiri dari
jamur decomposer, jamur pangan, jamur obat dan mikoriza, secara berturut-turut terdiri dari
76.5%, 8.8%, 8.8% dan 5.9% (Gambar 2).
Sembilan puluh persen responden mengenal satu jenis jamur yang dapat dikonsumsi,
dan hanya 10% responden yang mengenal lebih dari lebih dari satu jenis jamur hutan yang
dapat dikonsumsi. Kedua jenis jamur tersebut adalah supa lember (Auricularia auricula).
Walaupun supa tiram juga dapat dijumpai secara alami di batang-batang kayu lapuk di
hutan, akan tetapi masyarakat pada umumnya mengenal supa tiram (Pleurotus ostreatus)
sebagai jamur yang telah dibudidayakan dan dijual di pasar. Selain supa lember, jamur
hutan yang dapat dikonsumsi adalah supa nyiruan, supa jantung, supa banteng, supa beas
(Schizophyllum commune), dan supa bulan (Termitomyces sp.). Keempat jenis pertama
dijumpai tumbuh di batang kayu yang telah mati, sedangkan supa bulan dapat dijumpai di
atas permukaan tanah. Musim yang tepat untuk mengumpulkan jamur hutan adalah pada
awal musim penghujan, sekitar bulan akhir September Oktober, pada saat curah hujan
tidak terlalu tinggi.
Selain jamur pangan, di hutan Gunung Kendeng juga dijumpai jamur yang berpotensi
obat. Hanya 10% responden yang mengenal jamur sebagai obat. Penduduk lokal dewasa ini
lebih menyukai obat kimiawi, yang dapat langsung di beli di warung atau apotek. Jenis jamur
yang dipercaya berpotensi sebagai obat pun hanya 8.8% dari total jenis yang dijumpai di plot
pengamatan, yaitu jamur dari family Gomphaceae, yaitu Geoglossum sp. dan Trichoglossum
sp. Kedua jenis jamur tersebut digunakan sebagai obat sakit mata, dengan meneteskan
cairan yang terkandung didalam tubuh buahnya. Selain itu, budaya lokal menunjukkan
bahwa jamur juga dapat berperan dalam kehidupan masyarakat. Walaupun dalam petak
pengamatan dijumpai dua jenis jamur Ganoderma yang diduga berpotensi obat, namun
penduduk lokal tidak mengenal jamur tersebut.
Budaya masyarakat local juga mengenal penggunaan jamur dalam tradisi
masyarakat setempat. Satu jenis jamur dipercaya dapat digunakan untuk merangsang anak
balita supaya cepat berjalan. Akan tetapi tradisi kepercayaan ini telah banyak ditinggalkan
740
ILMU KEHUTANAN
oleh keluarga muda. Apabila ini tidak dipelihara, maka lambat laun pengetahuan lokal
tersebut dikhawatirkan akan punah. Dari pengamatan morfologi, jamur tersebut diidentifikasi
dengan nama Ganoderma lucidum (Gambar 3).
Perhitungan nilai ekonomi jamur berpotensi obat dan pangan dari habitat aslinya sulit
diimplemetasikan, karena terkendala oleh faktor pemanfaatan langsung oleh masyarakat. Di
lokasi penelitian, masyarakat tidak mengambil manfaat jamur hutan, baik untuk konsumsi
rumah tangga maupun untuk dijual. Pada umumnya masyarakat takut mengkonsumsi jamur
secara sembarangan, karena takut keracunan. Mereka hanya mengkonsumsi jamur yang
sudah umum dikenal untuk dikonsumsi seperti supa lember, supa jantung dan supa banteng,
tetapi ketersediaannya di alam sangat rendah dan tidak menentu. Masyarakat sekitar lebih
menyukai jamur yang sudah dibudidayakan karena lebih terjamin dan pasti tidak beracun.
KESIMPULAN
Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa preferensi masyarakat Gunung Kendeng
terhadap jamur hutan sebagai sumber pangan dan obat sangat rendah. Hanya satu jenis
jamur hutan yang dikenal secara luas, yaitu jamur A. auricula (supa lember). Penduduk lokal
lebih menyukai jamur yang telah dibudidayakan dan di jual di pasar karena lebih terjamin
aman dikonsumsi dan tidak beracun.
Saran yang dapat disampaikan adalah perlu pengenalan jenis dan manfaat jamur
hutan sehingga masyarakat berminat untuk mengembangkan teknik budidaya dan
pengelolaan jamur. Budidaya jamur dalam skala industry rumah tangga, akan memberikan
sumber penghidupan bagi masyarakat sekitar hutan Gunung Kendeng.
DAFTAR PUSTAKA
Chang, S. T., Miles, P.G.1989. Edible Mushrooms and Their Cultivation. CRC Press Inc.
Boca Raton, Florida.
Hartono, T., Kobayashi, H., Widjaja, H., Suparmo, M. 2007. Taman Nasional Gunung
Halimun Salak. Edsi Revisi. JICA BTNGHS Puslitbang Biologi LIPI PHKA.
Bogor.
Hawksworth, D.L. 2001. The magnitude of Fungal Divers: the 1.5 million species estimate
revisited. Mycol. Res. 105:1422-1432.
Mueller, G.M., Schimt, J.P., Leacock, P.R., Buyk, B., Cifuentes, J., Desjardin, D.E., Halling,
R.E., Hjortstam, K., Iturruaga, T., Larsson, K-H. Lodge, D.J., May, T.W., Minter, D.,
Rajchenberg, M., Redhead, S.A., Ryvarden, L., Trapper, J.M., Watling, R, Wu, Q.
2007. Global diversity and distribution of macrofungi. Bidivers Conserv 16:37-48. DOI
10.1007/s10531-006-9108-8
Schmit, J. P., Mueller, G. M.. 2007. An estimate of the lower limit of global fungal diversity.
Biodiversity and Conservation 16: 99-111.
741
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
ABSTRAK
Kata Kunci : Penyaradan manual, produktivitas, biaya, penggeseran lapisan tanah atas
PENDAHULUAN
742
ILMU KEHUTANAN
terjadi akibat penyaradan adalah : penggeseran lapisan tanah atas (top soil), apabila tidak
diantisipasi sejak dini dapat menurunkan kualitas tanah sehingga dapat berakibat pada
menurunya produktivitas hutan. Arsyad (2000) mengemukakan bahwa penyaradan kayu
dapat mengakibatkan hilangnya lapisan top soil sehingga beberapa unsur hara yang
dibutuhkan untuk kesuburan tanah menjadi hilang, bahkan terkadang karena penyaradan
tersebut sering menimbulkan erosi tanah.
Berdasarkan latar belakang di atas maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
pengaruh penerapan teknik penyaradan terkontrol (TT) dan teknik setempat (TS) terhadap
produktivitas, biaya sarad dan penggeseran lapisan tanah atas.
Prosedur Penelitian
Penelitian dilaksanakan melalui tahap kegiatan sebagai berikut :
1. Menentukan secara purposif petak tebang yang segera akan dilakukan penebangan dan
penyaradan.
2. Melaksanakan penyaradan TS dan TT dengan masing-masing ulangan 5 rit.
3. Mencatat waktu kerja dan volume kayu yang disarad.
4. Pengukuran penggeseran lapisan tanah atas dilakukan di atas bekas jalan sarad dengan
cara mengukur kedalaman lapisan tanah atas yang tergeser. Sepanjang jalan sarad (rata-
rata panjang jalan sarad 180 meter) dibuat 1 titik kedalaman bergerak ke arah panjang
jalan setiap 20 meter untuk masing-masing TS dan TT. Dengan demikian jumlah titik ukur
sebanyak 20 buah. Untuk mengetahui volume tanah yg tergeser diambil rata-rata ukuran
panjang telapak kaki 25 cm dan lebar 8 cm.
Yang dimaksud TS, penyaradan diserahkan sepenuhnya kepada operator setempat
sesuai kebiasaannya. Yang dimaksud teknik TT, penyaradan dilaksanakan sesuai arahan
peneliti, yaitu dengan pengaturan letak kayu yang akan dipikul sedemikian rupa agar
telapak kaki tidak terlalu dalam membekas, pemikul tidak cepat lelah serta produktivitas
tinggi.
5. Pengukuran parameter meliputi produktivitas dan biaya sarad serda penggeseran lapisan
tanah atas.
a. Produktivitas sarad dihitung dengan rumus berikut:
V ... (1)
743
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Bs = U : Ps ................................................................ (2)
di mana: Bs = biaya sarad (Rp/ m3); U = biaya upah (Rp/jam), upah = Rp 400.000/hari,
8 jam/hari = Rp 50.000/jam; Ps = produktivitas sarad (m3/jam).
Analisis Data
Data lapangan berupa produktivitas dan biaya sarad serta penggeseran lapisan
tanah atas dari masing-masing teknik penyaradan, diolah ke dalam bentuk tabulasi dengan
menghitung nilai rata-ratanya. Untuk membandingkan kedua teknik penyaradan dari ketiga
aspek tersebut, dilakukan uji-t (Steel & Torrie, 1976).
744
ILMU KEHUTANAN
No Volume kayu Waktu sarad (jam) Produktivitas Biaya sarad Jarak sarad
. (m3) (m3/jam) (Rp/ m3) (Hm)
1. Teknik Terkontrol (TT)
1. 0,103 0,034 3,029 16.507,1 2,0
2. 0,125 0,041 3,049 16.398,8 1,5
3. 0,115 0,035 3,286 15.216,1 1,7
4. 0,120 0,041 2,927 17.082,3 1,8
5. 0,131 0,038 3,447 14.505,4 1,9
R 0,119 0,038 3,148 15.941,9 1,78
SD 0,011 0,003 0,213 1.051,1 0,19
2. Teknik Setempat (TS)
1. 0,105 0,036 2,917 17.140,9 1,7
2. 0,120 0,040 3,000 16.666,7 1,8
3. 0,125 0,044 2,841 17.599,4 1,9
4. 0,115 0,038 3,026 16.523,5 2,0
5. 0,129 0,042 3,071 16.281,3 1,6
R 0,119 0,040 2,971 16.842,4 1,8
SD 0,009 0,003 0,092 526,7 0,16
Keterangan: rata-rata panjang dan lebar telapak kaki adalah 25 cm dan 8 cm; R = rata-rata;
SD = simpangan baku.
745
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Arsyad, S. 2000. Konservasi Tanah dan Air. IPB Press. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Hamzah, Z. 1988. Ilmu Tanah Hutan. Proyek Peningkatan Pengembangan Perguruan
Tinggi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Hillel, D. 1971. Soil and water Physical Principles and Processess. Academic Press. New
York.
Steel, R.G.D. and J.H. Torrie. 1976. Principles and procedure of statistic. Mc. Graw-Hill Book
Co., New York.
Maryudi, A. 2000. Prestasi Kerja di Bidang Pemanenan Hasil Hutan Kayu di Hutan Jati.
http://www.google.co.id/#hl=id&biw=1280&bih=568&q=penyaradan+kayu+jati+dipikull
&aq=&aqi=&aql=&oq=penyaradan+kayu+jati+dipikull&gs_rfai=&fp=6c0745768df1cbe
5 . Diakses tanggal 13 Januari 2011.
746
ILMU KEHUTANAN
Sri Suharti
Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi
Jl. Gunung Batu 5, Bogor, 16610
Email: suharti23@yahoo.co.id
ABSTRAK
Kata kunci: Pemanfaatan lahan, Aneka Usaha Kehutanan (AUK), Pendapatan Masyarakat,
Kelestarian
747
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
PENDAHULUAN
748
ILMU KEHUTANAN
Rakyat, 2002). Pengembangan komoditi AUK dapat dilakukan pada berbagai kawasan hutan
baik hutan produksi, hutan lindung maupun kawasan konservasi. Pengembangan komoditi
AUK dilaksanakan tidak dengan cara merombak hutan melainkan mengupayakan
optimalisasi ruang tumbuh melalui perbaikan struktur dan komposisi hutan. Penelitian ini
bertujuan untuk mempelajari alternatif bentuk-bentuk pola pemanfaatan lahan dengan AUK
yang berpotensi untuk dikembangkan pada kawasan rawan illegal logging/tidakproduktif.
Data dan informasi yang disampaikan dalam tulisan ini merupakan rangkuman hasil
penelitian penulis di berbagai daerah dan dilengkapi dengan hasil kajian pustaka.
Penelitian dilakukan selama 5 (lima) tahun yaitu dari tahun 2004 2008 di areal
KHDTK Carita, Banten. Tahapan penelitian yang dilaksanakan meliputi kegiatan survai
awal/baseline survey untuk memperoleh deskripsi tentang tipologi masyarakat, persepsi
serta prospek partisipasi masyarakat dalam kegiatan penelitian, identifikasi alternatif
komoditi AUK yang prospektif dikembangkan pada kondisi yang ada serta pola-pola
pemanfaatan lahan dengan AUK yang layak dikembangkan. Tahapan selanjutnya adalah
perumusan model-model hipotetis yang optimum dan dilanjutkan dengan pembangunan uji
coba pola pemanfaatan lahan dengan komoditi AUK.
Pengembangan Wanafarma
Pola tanam yang menyisipkan tanaman pertanian di antara tanaman hutan (kayu)
sudah cukup dikenal di Indonesia dengan istilah agroforestry (wanatani/tumpangsari).
Selama ini wanatani terfokus terutama pada tumpangsari tanaman pangan seperti serealia
dan palawija. Wanafarma adalah bentuk lain dari wanatani yang mengedepankan tanaman
obat herbal sebagai tanaman utama tumpang sari dengan tanaman hutan. Potensi
wanafarma di Indonesia cukup besar sehingga bermanfaat untuk meningkatkan pendapatan
masyarakat tani di sekitar hutan dan sekaligus mempertahankan fungsi ekonomi dan ekologi
kawasan hutan baik pada hutan rakyat/milik maupun pada hutan negara. Rizal (2011)
menyatakan bahwa prospek pengembangan wanafarma cukup bagus karena dua hal;
pertama, potensi lahan yang tersedia untuk pengembangan wanafarma di Indonesia cukup
besar; kedua, trend peningkatan permintaan pasar untuk jenis-jenis tanaman obat dalam
dekade terakhir cukup kuat.
Dibanding tanaman pangan yang biasa ditumpangsarikan pada tanaman kayu seperti
padi, jagung dan kacang-kacangan, beberapa jenis tanaman obat diketahui lebih tahan
terhadap naungan (shade tolerant). Di antaranya yang masih bisa berproduksi optimal di
bawah lindungan hutan dengan intensitas pencahayaan 45% (umur tanaman hutan sudah
sekitar 5 tahun) adalah tanaman obat rimpang seperti jahe, kunyit, temulawak dan kencur.
749
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Jenis lain yang cukup tahan naungan ialah Umbeliferae seperti kumis kucing dan Piperaceae
seperti cabai jawa, sirih dan kemukus. Jenis tanaman obat ini bisa ditanam dengan cara
sisipan diantara tegakan pohon hutan yang sudah ada atau juga berdampingan dengan
tanaman pangan yang ditanam saat tajuk tegakan pohon belum terlalu lebar sehingga
tanaman pangan masih dapat tumbuh dengan baik dibawahnya. Dengan pola sisipan,
berbagai jenis tanaman ini (pangan dan obat), bisa memberi penghasilan bagi petani secara
periodik. Tanaman pangan serealia dan kacang-kacangan lebih pendek umurnya dibanding
tanaman obat sehingga dapat dipanen lebih cepat (sebelum tanaman obat menghasilkan).
Direktorat Bina Usaha Perhutanan Rakyat (2002) menetapkan bahwa pengembangan
wanafarma merupakan usaha penanaman tanaman obat di dalam kawasan hutan sebagai
upaya optimalisasi pemanfaatan ruang tumbuh. Prinsip utama pengembangan wanafarma
adalah pengayaan hutan dan jenis yang dikembangkan mempunyai habitat alami di daerah
tersebut (local specific) serta mempunyai nilai ekonomi. Tanaman obat yang ditanam berupa
pohon, perdu, atau kombinasi keduanya. Jika tanaman obat diintegrasikan pada
lahan/kawasan yang sudah ada tegakan pohonnya, jenisnya dipilih yang relatif tahan
terhadap naungan atau lebih baik lagi jika dapat menggunakan tanaman/pohon yang sudah
ada sebagai inang bagi pertumbuhannya seperti lada dan vanili.
Tipologi Masyarakat Sekitar KHDTK Carita & Preferensinya terhadap Komodoti AUK
Dari hasil wawancara dengan responden terpilih di Desa Sukarame (desa dimana
petani peserta plot uji coba berasal) didapatkan bahwa rata-rata luas pemilikan lahan relatif
sempit, bahkan mayoritas responden tidak memiliki lahan sama sekali. Dengan demikian
750
ILMU KEHUTANAN
Nampak jelas bahwa ketergantungan masyarakat terhadap lahan garapan di KHDTK Carita
II sangat besar karena mayoritas responden menggantungkan kegiatan usahataninya dari
lahan garapan di areal KHDTK. Sebelum ditetapkan menjadi areal KHDTK melalui SK
Menhut No.290 tahun 2003, areal tersebut merupakan daerah pengembangan kegiatan
pengelolaan hutan bersama masyarakat (PHBM) yang dikelola oleh Perhutani. Dengan
PHBM, rata-rata luas lahan yang digarap masing-masing petani di areal KHDTK sangat
bervariasi (dari 0,2 ha - > 2 ha). Jenis tanaman yang dibudidayakan sangat beragam dan
umumnya merupakan kombinasi antara tanaman buah-buahan dan tanaman serbaguna
(JPSG) seperti pisang, mangga, alpukat, durian, manggis, jengkol, petai, mlinjo, nangka,
cengkeh, kopi dan berbagai empon-emponan seperti kapolaga, kunyit dan lengkuas.
Sebagaimana diuraikan sebelumnya, terdapat delapan (8) desa yang berdampingan
langsung dengan areal KHDTK Carita. Sebagian besar masyarakat di desa-desa tersebut
memiliki mata pencaharian sebagai petani ataupun buruh tani. Hanya sebagian kecil yang
bekerja sebagai pedagang, wiraswata maupun karyawan instansi pemerintahan. Selain itu,
umumnya tingkat pendidikan masyarakat di desa-desa tersebut juga cukup rendah (hanya
sebagian kecil yang lulus sekolah tingkat menengah atas maupun sarjana), yang mana hal
ini dapat menjadi kendala dalam alih ilmu pengetahuan maupun tekologi. Walaupun
demikian, umumnya masyarakat setempat masih memiliki jiwa kebersamaan dan semangat
gotong royong yang cukup kuat, di samping memiliki jiwa religiusitas yang cukup tinggi.
Selama ini walaupun telah beralih status dari areal PHBM menjadi areal KHDTK,
kegiatan masyarakat menggarap lahan di dalam kawasan tetap berlangsung. Namun,
karena pohon dalam areal KHDTK semakin besar maka tajuk tanaman juga semakin lebar
sehingga menyebabkan ruang untuk kegiatan usahatani mereka menjadi sempit. Sebagai
akibatnya, dalam rangka memperluas ruang bagi kegiatan usahataninya, mereka membuka
lahan lagi ke daerah yang belum digarap sebelumnya. Hal ini menyebabkan kegiatan
perambahan berlangsung makin masuk ke dalam kawasan hutan yang sebelumnya belum
terganggu.
Minat masyarakat untuk mengembangkan komoditi AUK di areal KHDTK Carita cukup
tinggi. Sebagian masyarakat bahkan sudah pernah mencoba mengembangkan beberapa
jenis komoditi AUK di lahan garapan mereka dalam skala kecil/coba-coba sekedar untuk
memenuhi kebutuhan keluarga (subsisten). Namun dari hasil wawancara dengan responden
ketika ditawarkan untuk mengembangkan komoditi AUK di lahan garapan mereka
didapatkan bahwa minat mereka untuk mengembangkan komoditi AUK telah bergeser tidak
hanya untuk sekedar memenuhi kebutuhan keluarga tetapi sudah mempertimbangkan aspek
pasar dan harga (komersil). Namun jenis diminati umumnya tidak berbeda jauh dengan
jenis-jenis yang pernah mereka coba sebelumnya. Dengan adanya pasar yang dapat
menampung hasil produksi mereka , diharapkan budidaya komoditi AUK yang akan
dikembangkan dapat memberikan tambahan pendapatan yang cukup signifikan. Gambaran
lengkap tentang komoditi AUK yang telah/ingin dikembangkan oleh warga desa Sukarame
dapat dilihat pada Tabel 1.
751
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
%
Jenis komoditi Telah/Belum Alasan Pemilihan
Upaya Responden
AUK yang pernah Jenis Komoditi
Pengembangan yang
diminati dikembangkan AUK
memilih
Perawatan mudah,
Tanaman pangan
untuk konsumsi
di bawah tegakan Th 2002 Swadaya 83
dendiri &
(pisang, ubi kayu)
dipasarkan
Perawatan dan
Kapolaga Th 1984 Swadaya pemasaran 87
mudah
Perawatan dan
Kemiri Th 2000 Swadaya pemasaran 13
mudah
Perawatan
Tanaman obat- mudah, tidak
obatan(serai, memerlukan
Th 2000 Swadaya 47
kunyit, kapolaga, lahan yanq luas
jahe) (bisa di bawah
tegakan)
Kerjasama Perawatan
Tengkawang Th 2002 dengan mudah, bibit 20
Perhutani tersedia
Pemasaran
mudah, tidak
Lada panjat 2002 Swadaya memerlukan 87
ruang tumbuh
khusus
Berminat namun
harga bibit mahal Harga & pasar
Vanili Baru mencoba 10
dan perawatan bagus
sulit
Sumber : Analisa data primer
752
ILMU KEHUTANAN
Barat, tepatnya masuk dalam wilayah RPH Carita, RPH Pasauran, BKPH Pandeglang, KPH
Banten, Perum Perhutani Unit III Jawa Barat.
Secara mikro keadaaan topografi KHDTK Carita landai sampai curam (10 - 35%) dan
terletak pada ketinggian sampai 100 meter di atas permukaan laut (Carita I dan II) serta
sebagian lagi di atas 100 meter dari permukaan laut. Berdasarkan klasifikasi Schmidt-
Ferguson, tipe curah hujan di wilayah KHDTK Carita adalah tipe A. Suhu berkisar antara
23C sampai 32C. Curah hujan rata-rata tahunan sebesar 3,950 mm. Kelembaban nisbi
rata-rata berkisar antara 77% sampai 85%. Tipe hutan di kawasan KHDTK Carita adalah
hutan hujan tropika basah dataran rendah.
Jenis tanah di kawasan KHDTK Carita adalah aluvial kelabu dengan bahan induk
endapan liat. Secara umum sifat fisik tanah aluvial adalah tekstur liat, stuktur pejal,
konsistensi teguh (lembab), plastis (basah), keras (kering) tanpa batas horizon, warna
kelabu hingga coklat, tanpa solum sampai bersolum sedang. Sedangkan sifat kimianya
adalah bahan organik rendah, kejenuhan basa sedang hingga tinggi, adaptasi tinggi,
kemasaman bervariasi dan permeabilitasnya rendah (Badan Penelitian dan Pengembangan
Kehutanan, 2005).
Perambahan areal KHDTK Carita oleh masyarakat sudah dimulai sejak tahun 70 an
dan mencapai puncaknya saat reformasi digulirkan (sekitar tahun 1998) (Hakim, et.al, 2004).
Dari seluruh areal seluas 3000 ha, 75% diantaranya telah dirambah oleh masyarakat desa
sekitar untuk budidaya tanaman semusim (pangan) dan berbagai jenis tanaman buah-
buahan seperti petai, jengkol, melinjo, pisang, dll. Hasil penelitian Murniati (2010)
menyebutkan bahwa dari waktu ke waktu okupasi areal KHDTK oleh masyarakat sekitar
terus berlangsung dan masing-masing penggarap rata-rata memiliki lahan garapan seluas
0,5 ha dengan variasi antara 0,1 - 4 ha/KK. Kontribusi pendapatan rata-rata yang diperoleh
masyarakat dari kegiatan budidaya di dalam areal KHDTK Carita terhadap total pendapatan
keluarga adalah sebesar 26,3%.
Potensi biologi dalam kawasan ini terbagi ke dalam potensi flora dan fauna. Sebelum
ditetapkan menjadi KHDTK Carita dengan luasan 3.000 Ha, kawasan hutan Carita pada
awalnya sebagian merupakan kawasan hutan lindung, kawasan hutan produksi terbatas dan
kawasan hutan produksi tetap serta kawasan hutan yang dikelola sebagai kebun percobaan
oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam, seluas 50 Ha.
Hutan lindung dalam KHDTK Carita termasuk kedalam formasi hutan hujan dataran
rendah dengan jenis vegetasi antara lain: Bayur (Pterospermum javanicum), Kihujan
(Engelhardia rigida), Merbau (Intsia bijuga), Bungur (Lagerstroemia speciosa), Beringin
(Ficus sp.), Palahlar (Dipterocarpus haseltii), Kipela (Aphanamixis sp.), Pulai (Alstonia
scholaris), Salam (Eugenia poleanta) dan Teureup (Artocarpus indicus). Vegetasi yang
terdapat di kawasan yang tadinya merupakan hutan produksi adalah jenis hutan tanaman
yang antara lain terdiri dari vegetasi: Mahoni (Swietenia macrophylla), Jati (Tectona grandis),
Ketapang (Terminalia catappa), Melinjo (Gnetum gnemon), Mindi (Melia azedarach) dan
Meranti (Shorea sp.). Untuk vegetasi di hutan penelitian antara lain ditemukan jenis-jenis:
Araucaria cunninghamii (asal dari Australia), Lagerstroemia duperiana (asal dari Vietnam),
Hopea odorata (asal dari India) dan Maesopsis eminii (asal dari Amerika). Pada hutan
penelitian seluas 50 Ha ditemukan spesies pohon sebanyak 96 spesies dengan jumlah
pohon sebanyak 4.599 pohon. Selain vegetasi kelas pohon, ditemukan pula vegetasi
tumbuhan bawah yang antara lain terdiri dari: Rotan (Calamus sp.), Tepus (Achasma sp.),
Kikandil (Criteronia paniculata), Alang-alang (Imperata cylindrica), Gelagah (Sacharum
spontanicum) dan Rumput memerahan (Themida orgulus) (Samsoedin et al. 2007).
Potensi fauna yang dapat ditemukan dalam kawasan ini antara lain Lutung
(Trachypitechus auratus), Kera Ekor Panjang (Macaca fascicularis), Babi Hutan (Sus
vittasus), Luwak (Paradoxiurus hermaproditus), Srigunting (Dicrurus macrocercus), Alap-alap
(Falco moluccensis), Elang (Spilornis chella), Kadal (Mabouya multifasciata) dan Ular sanca
(Phyton sp.).
Nilai aset yang khas dari KHDTK Carita adalah tersisanya hutan alam dataran rendah
primer Jawa Barat, dengan keragaman jenis tinggi di mana dalam plot 1 ha terdapat 96
spesies tumbuhan diantaranya terdapat 2 jenis Dipterocarpaceae yang cukup langka
753
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
(Samsoedin et al. 2007). Sementara itu menurut pengamatan Murniati (2010), dalam plot-
plot pengamatan seluas 1 ha, rata-rata hanya terdapat 397 pohon yang terdiri dari 19 pohon
hutan dan 378 jenis pohon serba guna (JPSG). Hutan primer dan hutan primer sedikit
terganggu di KHDTK Carita ini sangat penting artinya bagi penelitian hutan alam di Jawa
Barat karena mudah dijangkau dan cukup aman terpelihara. Selain itu dapat menjadi sumber
plasma nutfah bagi pohon-pohon langka yang hendak dikembangkan sebagai campuran
hutan tanaman, arboretum atau areal wisata vegetasi Jawa Barat. Jumlah jenis pohon di
hutan alam primer KHDTK Carita adalah sebanyak 96 jenis/0,25 sedangkan di hutan primer
terganggu sebanyak 98 jenis/0,25 ha dan di hutan sekunder tersisa sebanyak 67 jenis/0,25
ha (Samsoedin et al., 2007).
Gambar 1. Persen tumbuh tanaman lada dan kapolaga di dalam plot uji coba
754
ILMU KEHUTANAN
755
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Kesimpulan
a. Pola pemanfaatan lahan dengan komoditi AUK sangat berpotensi untuk dikembangkan
di areal KHDTK Carita yang mayoritas penduduk di sekitarnya sangat tergantung pada
hutan.
b. Hasil penelitian di KHDTK Carita sampai dengan tahun 2008 menunjukkan bahwa
pertumbuhan tanaman uji coba lada cukup bagus dengan rata-rata pertumbuhan
tanaman lada > 80%. Namun untuk tanaman kapolaga pertumbuhannya kurang begitu
optimal (62%) masih lebih rendah dari pada persen hidup tanaman lada meskipun.
c. Tingkat partisipasi dan inisiatif petani dalam pemeliharaan tanaman uji coba cukup baik,
hal ini dapat dilihat dari inisiatif petani untuk menyiapkan bibit tanaman untuk kegiatan
penyulaman secara swadaya dengan cara gotong royong.
d. Model pengembangan komoditi AUK berbasis masyarakat yang telah diujicobakan di
areal KHDTK Carita dengan rata-rata luas garapan 0,1 - 1 ha memberikan kontribusi
sebesar 23 % terhadap pendapatan total masyarakat sehingga sangat berpotensi
dikembangkan di lokasi lain.
Saran
a. Untuk mengatasi masalah perambahan hutan khususnya dalam kawasan hutan negara,
model pengelolaan yang sebaiknya dikembangkan secara luas adalah berbagai aplikasi
pola-pola usahatani alternatif yang merupakan kombinasi antara tanaman AUK dengan
tanaman kehutanan berumur panjang.
b. Jenis kombinasi tanaman yang dikembangkan sebaiknya adalah yang tidak saling
merugikan. Untuk tanaman AUK dipilih yang tidak memerlukan ruang tumbuh terlalu
luas, tajuk tanaman tidak lebar, cepat tumbuh serta mudah dalam pemeliharaannya.
Sementara itu untuk tanaman kayu/pohon dipilih yang tajuk tanaman tidak terlalu lebar,
lebih baik lagi jika bisa dimanfaatkan sebagai inang/panjatan bagi tanaman AUK seperti
lada atau vanili yang untuk pertumbuhannya mutlak memerlukan inang/panjat.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, 2005. Hutan Penelitian (HP) Carita.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Jakarta.
Departemen Kehutanan, 2003. Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 290/Kpts-II/2003
tentang Penunjukan Kawasan Hutan dengan Tujuan Khusus Seluas + 3000 ha yang
Terletak di Kecamatan Labuan, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten sebagai
Hutan Penelitian Carita per tanggal 26 Agustus 2003
Departemen Kehutanan, 2003. Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 291/Kpts-II/2003
tentang Penggunaan Kawasan Hutan dengan Tujuan Khusus di Kawasan Hutan
Produksi Terbatas dan Hutan Produksi Tetap seluas 3000 hektar di Kecamatan
Labuan, Kabupaten Pandeglang, Banten sebagai Hutan Penelitian Carita- per tanggal
26 Agustus 2003.
Departemen Kehutanan, 2004. Surat Keputusan Direktur Jenderal Rehabilitasi lahan dan
Perhutanan Sosial No. 50 tahun 2004 tanggal 14 April 2004 tentang Pedoman
Pembangunan Model aneka Usaha Kehutanan, Jakarta.
Direktorat Bina Usaha Perhutanan Rkyat, 2002. Pengembangan Aneka Usaha Kehutanan
Untuk Pemberdayaan Ekonomi Rakyat. Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan
Perhutanan Sosial, Jakarta.
Hakim, I., Sakuntaladewi, N, dan Ariawan, K. 2004. Kajian Pengembangan Social Forestry
(Kajian Potensi Sumberdaya Hutan dan jasa Lingkungan serta Tingkat
Ketergantungan Masyarakat). Laporan Hasil Penelitian Tahun Anggaran 2004. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Sosial Budaya dan Ekonomi Kehutanan, Bogor.
756
ILMU KEHUTANAN
Murniati, 2010. Vegetasi dan Pola Penggunaan lahan Hutan Penelitian Carita. Info Hutan
Volume Vii Nomor 3 Tahun 2010. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan
Konservasi Alam, Bogor.
Rizal, M. F. 2011. Peluang Mengembangkan Wanafarma.
http://www.sinartani.com/index.php?option=com_content&view=article&id=3751&cati
d=310:iptek &Itemid=577 diakses 6 Agustus 2011.
Samsoedin, I., Bismark, M., Irianto, R. S. B., Wibowo, A., Dharmawan, I.W.S., Yuniarti, K.,
Muttaqin, M.Z., Nurfatriani, F., 2007. Kajian Rencana Strategis Pengelolaan KHDTK,
Nopember 2007. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Jakarta.
757
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
ABSTRAK
Banjir merupakan peristiwa yang terjadi karena limpasan air permukaan yang tidak
mampu dialirkan oleh alur sungai atau debit air lebih besar dari kapasitas pengaliran sungai,
berkaitan dengan masalah banjir maka, koefisien limpasan permukaan atau yang sering
disingkat C menjadi penting untuk diketahui. Nilai C ini merupakan salah satu indikator untuk
menilai suatu DAS sedang mengalami gangguan secara fisik atau tidak. Penelitian ini
dilaksanakan pada 31 DAS di Kalimantan Timur. Tujuan Penelitian ini adalah untuk
memprediksi nilai Koefisien Limpasan Permukaan (C) dengan menggunakan metode Cook.
Metode analisis dalam penelitian ini antara lain menggunakan analisis data tabular dan
analisis data spasial. Analisis data spasial dilakukan dengan teknik overlay, sementara untuk
data tabular dengan metode skoring, penjumlahan, perkalian, pembagian, dan pengurangan.
Pada unit analisis hasil tumpangsusun data spasial, dihitung nilai totalnya yang selanjutnya
diklasifikasikan. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa sebaran nilai C dengan metode Cook
pada kelas rendah (0-25%) sebesar 0%, kelas normal (>25 - 50%) sebesar 30,33%, kelas
tinggi (>50 - 75%) sebesar 66,98%, kelas sangat tinggi (>75 - 100%) sebesar 2,7%. Nilai C
yang dominan pada 31 DAS di Kalimantan Timur dengan menggunakan metode Cook
terdapat pada kelas tinggi (>50 - 75%) seluas 13.071.869,11Ha atau 66,98%.
PENDAHULUAN
Permasalahan yang terjadi pada beberapa Daerah Aliran Sungai (DAS) yang
terdapat di wilayah Kalimantan Timur adalah berupa banjir, erosi tanah, pendangkalan
(sedimentasi) dan pencemaran air. Permasalahan banjir tersebut diakibatkan oleh faktor
karakteristik curah hujan yang turun relatif deras selain kondisi biofisiknya seperti
fisiografi/topografi, jenis tanah dan pola jaringan sungai, di samping kondisi tutupan vegetasi
hutan yang semakin menurun akibat pembukaan lahan yang semakin luas sehingga
terganggunya keseimbangan tata air pada beberapa DAS di Kalimantan Timur
(Hardwinarto,2009).
Banjir merupakan peristiwa yang terjadi karena limpasan air permukaan yang tidak
mampu dialirkan oleh alur sungai atau debit air lebih besar dari kapasitas pengaliran sungai
yang ada, akibatnya air meluap dari badan sungai dan menimbulkan kerugian yang sangat
besar, baik berupa korban jiwa maupun materiil. Permasalahan atau penyebab banjir
diakibatkan oleh hancurnya atau menurunnya daya dukung DAS yang merupakan faktor
dominan yang menyebabkan terjadinya banjir, DAS berdaya dukung rendah ditandai dengan
perubahan tata guna lahan dari daerah tangkapan hujan berubah menjadi tanah terbuka dan
kritis, semakin mengecil areal hutan, tidak terurusnya lahan pertanian, semakin luasnya
lahan untuk hunian dan prasarana, eksploitasi hutan yang berlebihan, kegiatan
pertambangan serta adanya pola penggunaan lahan yang salah atau tumpang tindih
peruntukan kawasan. Terjadinya banjir dipengaruhi oleh adanya kontribusi limpasan air
758
ILMU KEHUTANAN
permukaan (surface run off) atau adanya faktor nilai koefisien limpasan permukaan (C)
relatif lebih besar dari 1 atau sebagian besar air hujan menjadi aliran permukaan (Maryono,
2005).
Berkaitan dengan masalah banjir, maka koefisien limpasan permukaan atau yang
sering disingkat C menjadi penting untuk diketahui. Nilai C ini merupakan salah satu
indikator untuk menilai suatu DAS sedang mengalami gangguan secara fisik atau tidak.
Dalam pengertian lain nilai C merupakan respons DAS terhadap curah hujan, dimana
semakin mendekati angka 1 berarti semakin banyak air hujan yang menjadi air larian atau
menunjukkan kondisi DAS semakin terganggu (Asdak, 2007) dan (Arsyad, 2006).
Dari uraian-uraian tersebut di atas perlu diketahui serta dilakukan suatu penelitian
yang memfokuskan pada nilai Koefisien Limpasan Permukaan (C) dengan pendekatan SIG.
Penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan nilai Koefisien Limpasan Permukaan (C) pada
berbagai DAS di Kalimatan Timur, yang dapat digunakan untuk memprediksi terjadinya
banjir.Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memprediksi nilai Koefisien Limpasan
Permukaan (C) dengan menggunakan metode Cook pada 31 DAS di Kalimatan
Timur.Hasil yang diharapkan dari penelitian ini adalah:
1. Dihasilkan peta nilai Koefisien Limpasan Permukaan (C) pada 31 DAS di Kalimantan
Timur.
2. Dapat dijadikan bahan acuan khususnya Pemerintah Kalimatan Timur dan pihak-pihak
yang terkait untuk perencanaan pengembangan wilayah berdasarkan nilai Koefisien
Limpasan Permukaan (C) pada seluruh DAS di Kalimatan Timur.
METODE PENELITIAN
Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada 31 DAS di Kalimantan Timurmulai dari
pengambilan data, pengolahan data, penulisan hasil penelitian.
Prosedur Penelitian
Kegiatan penelitian ini dilaksanakan dengan tahapantahapan yang meliputi kegiatan
studi pustaka, pengumpulan data, analisis data, pemodelan, pembahasan dan penulisan.
Dalam proses perhitungan besarnya nilai Koefisien Limpasan Permukaan (C) digunakan
metodeCook.
759
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Tabel 1. Kelas Koefisien Limpasan Permukaan Metode Cook per DAS di Kaltim
Luas (Ha)
Sangat
No DAS
Rendah Normal Tinggi Tinggi Total
0-25% >25-50% >50-75% >75-100%
1 Adang Kuaro 0,00 94.248,72 10.237,74 0,00 104.486,46
2 Batakan 0,00 1.737,67 5.568,24 0,00 7.305,90
3 Bengalon 0,00 121.474,30 265.468,20 526,15 387.468,64
4 Berau 0,00 521.363,04 1.116.415,00 39.879,19 1.677.657,23
5 Bontang 0,00 4.063,99 5.491,73 0,00 9.555,72
6 Derawan 0,00 3.389,51 0,01 0,00 3.389,51
7 Dumaring 0,00 105.888,64 76.300,67 0,00 182.189,31
760
ILMU KEHUTANAN
Lanjutan Tabel 1.
Kesimpulan
1. Sebaran nilai C dengan metode Cook pada kelas rendah (0 - 25%) sebesar 0%, kelas
normal (>25 - 50%) sebesar 30,33%, kelas tinggi (>50 - 75%) sebesar 66,98%, kelas
sangat tinggi (>75 - 100%) sebesar 2,7%.
2. Nilai C dominan DAS di Kalimantan Timur dengan metode metode Cook terdapat pada
kelas tinggi (>50 - 75%) seluas 13.071.869,11 Ha atau 66,98%.
Saran
1. Pemprov. Kalimatan Timur dalam rangka pengelolaan DAS Kaltim termasuk di dalamnya
DAS Mahakam, agar lebih diperhatikan.
2. Hasil nilai C pada 31 DAS bisa digunakan sebagai salah satu bahan pertimbangan dalam
perhitungan prediksi banjir pada beberapa DAS di Kalimantan Timur.
761
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
DAFTAR PUSTAKA
762
ILMU KEHUTANAN
Sumarhani
Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi, Bogor
Jln Gunung Batu No. 5 P.O Box 165; Telp 0251-315222
Sumarhani26@yahoo.co.id
ABSTRAK
Kata kunci: pemberdayaan masyarakat, empang parit, budidaya kepiting Soka, hutan
mangrove
PENDAHULUAN
Segara Anakan merupakan sebuah laguna yang unik dengan ekosistem yang langka
terletak di pantai selatan Pulau Jawa. Sungai yang mengalir masuk ke laguna Segara
Anakan terdiri dari sungai Citanduy sebagai sungai terbesar dan menyumbang sekitar 80 %
debit air yang masuk ke laguna selain sungai Cibeureum, sungai Cikonde, sungai Kayu Mati
dan sungai Donan. Kearah Samudra Hindia terdapat Pulau Nusa Kambangan yang menjadi
penghalang atau pelindung kawasan perainan Laguna Segara Anakan. Letak geografis
Laguna Segara Anakan yang demikian menyebabkan kaya akan potensi, seperti : a) potensi
konservasi mangrove yang memiliki fungsi menjaga garis pantai, melindungi abrasi pantai
dan intrusi air laut, b) potensi perikanan sebagai tempat budidaya ikan, udang dan kepiting,
c) potensi transportasi laut dan sungai antar kecamatan dan pusat-pusat keramaian ditepi
Barat, Selatan dan Timur perairan Segara Anakan, d) potensi pelayaran terdapatnya
pelabuhan milik P.T. Semen Holcim dan Pertamina, e) potensi industri pertambangan pasir
besi dan batu kapur oleh P.T. Semen Holcim serta minyak dan gas oleh Pertamina, f)
potensi sebagai obyek penelitian dan g) potensi wisata bahari mengelilingi P.
763
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Nusakambangan dengan perahu atau kapal pesiar sebagai aset penting pemerintah daerah
Kabupaten Cilacap. Selain itu, Laguna Segara Anakan juga memiiliki potensi yang
menimbulkan dampak lingkungan, karena sebagai saluran pembuangan limbah dari instalasi
pengelolaan akhir imbah (IPAL) industri.
Keberadaan Laguna Segara Anakan yang masih dipengaruhi oleh pasang surut air
laut dari Samudra Hindia dan air tawar dari beberapa sungai besar, mengakibatkan daerah
ini tumbuh berbagai jenis mangrove yang membentuk kawasan hutan. Menurut Kantor
Pengelola Sumberdaya Kawasan Segara Anakan (2009), ekosistem hutan mangrove di
Segara Anakan merupakan kawasan hutan mangrove yang terluas di P. Jawa dengan
keanekaragaman jenis yang tinggi sekitar 26 jenis mangrove atau 29 % dari seluruh jenis
mangrove yang ada di Indonesia sebanyak 89 jenis.
Namun, keberadaan hutan magrove di perairan Segara Anakan mengalami tekanan
yang cukup berat akibat penebangan kayu, konversi menjadi lahan pertanian, pertambakan
dan pemukiman. Selain itu, adanya sedimentasi dari beberapa sungai besar dan kecil yang
bermuara di laguna sebagai dampak dari pemanfaatan hutan di wilayah hulu yang kurang
memperhatikan kaidah-kaidah konservasi menyebabkan terjadinya delta atau tanah
timbul. Kehadiran tanah timbul dari tahun ke tahun membentuk daratan dengan rumah-
rumah penduduk yang tadinya merupakan rumah panggung di atas air, secara alami berada
di daratan baru tanah timbul. Kondisi seperti ini, perubahan bentang lahan di sekitar Segara
Anakan berpengaruh terhadap keberadaan mangrove sebagai fungsi konservasi.
Kompleksitas permasalah yang terjadi di Laguna Segara Anakan telah menarik
perhatian pihak-pihak yang peduli terhadap masalah kelestarian lingkungan. Berbagai
institusi pemerintah dan swasta baik dari dalam maupun luar negeri telah melakukan banyak
studi dan kegiatan dalam menangani keberadaan perairan Laguna Segara Anakan yang
semakin berkurang luasnya belum juga memberikan hasil yang optimal. Selanjutnya, untuk
menjaga kesimbangan daya dukung perairan laguna yang berkelanjutan, segala bentuk
kegiatan pembangunan yang melintasi Daerah Aliran Sungai mulai dari hulu sampai hilir
tidak perlu merusak ekosistem pantai dan hutan mangrovenya, asalkan mengikuti penataan
yang rasional, yaitu dengan memperhatikan fungsi ekosistem pesisir dan laut.
Paradigma konsep pengelolaan hutan lestari yang pernah dilakukan yaitu hanya
memperhitungkan aspek biofisik dan ekonomi semata, kurang memperhitungkan nilai-nilai
kearifan lokal masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan, ternyata banyak
mengalami kendala dalam pelaksanaan. Bahknan degradasi hutan dan lahan terus
meningkat dari tahun ketahun, mengakibatkan kerusakan lingkungan juga semakin berat dan
kemiskinan bertambah. Mengingat pentingnya peran masyarakat dalam pengelolaan hutan,
maka melalui Program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM), masyarakat desa
sekitar Laguna Segara Anakan dilibatkan dalam pengembangan pola empang parit
(Silvofishery).
Menurut Inoue, et al. (1999), silvofishery merupakan bentuk terpadu antara kegiatan
budidaya tanaman mangrove dengan budidaya tambak dengan input rendah. Selanjutnya,
penerapan program empang parit diharapkan mampu mencegah meluasnya kerusakan
hutan, memperbaiki hutan yang telah rusak dan melestarikan hutan mangrove serta mampu
memberikan keuntungan ekonomi bagi petani tambak.
Tulisan ini memaparkan upaya pelestarian mangrove melalui sistem empang parit
dengan teknik budidaya kepiting soka atau kepiting cangkang lunak yang mempunyai nilai
ekonomi tinggi.
764
ILMU KEHUTANAN
METODE PENELITIAN
765
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
penyedia bahan makanan dan energi bagi kehidupan di pantai tropis, serupa dengan
phytoplankton dan berbagai jenis algae di laut.
Diperkirakan terdapat sekitar 89 spesies mangrove tumbuh di dunia, dan sebanyak
38 spesies diantaranya tumbuh di Indonesia. Jenis pohon mangrove yang umum dijumpai
tumbuh di wilayah pesisir Indonesia adalah api-api (Avicenia Sp), pedada (Sonneratia Sp),
bakau (Rhizophora Sp), tanjang (Bruguiera Sp), nyirih (Xylocarpus Sp.), tengar (Ceriops
Sp.), buta-buta (Exoecaria Sp), nipah (Nypa Sp.) (Supriharyono, 2000).
Spesies mangrove penyususn kawasan hutan mangrove di Segara Anakan terdiri dar
26 spesies dengan tingkat keanekaragaman yang tinggi (KPSKSA, 2009). Selanjutnya,
dominasi masing-masing spesies sangat tergantung pada kondisi perairan dan substrat yang
berbeda dimasing-masing lokasi. Sebagai contoh jenis mangrove di perairan Segara
Anakan, yaitu di desa Ujung gagak jenis bakaunya adalah kacangan (Rhizophora apiculata),
bandul (R. mucronata) dan api-api (Avicenia spp). Adapun jenis mangrove yang ada di lokasi
penelitian yaitu di desa Kutawaru adalah api-api, bakau dan tancang (Bruguiera
gymnorrhiza) dengan populasi 750 pohon/ha .
766
ILMU KEHUTANAN
/tahun. Adapun arang kayu yang berasal dari hutan mangrove di eksport ke Jepang
dan Taiwan, pada tahun 1993 sebanyak 83.000.000 kg dengan harga 13.000.000,-.
2. Penghasil bahan baku kayu bangunan.
Kayu mangrove dari jenis Rhizophora apiculata, Rhizophora mucronata dan
Bruguiragymnorrhiza memiliki batang yang lurus dan tahan lama sehingga banyak
disenangi untuk tiang/kaso (Inoue et al., 1999). Menurut laporan Ditjen Pembangunan
Daerah, Depdagri bekerjasama dengan Fahutan IPB tahun 2000, menyebutkan bahwa
nilai ekonomi netto kayu bangunan asal Segara Anakan sebesar Rp 13.939.730 ,-
/tahun.
3. Penghasil Chip
Chip mangrove mempunyai daya saing yang lebih tinggi karena harganya lebih murah
dibanding dengan chip yang berasal dari kayu jenis lain seperti Accacia mangium
(Inoue et al., 1999).
4. Penghasil Tanin
Tanin merupakan ekstrak dari kulit kayu jenis tertentu yang digunakan untuk
menyamak kulit, seperti sepatu, tas dan sebagainya. Jenis vegetasi mangrove yang
baik menghasilkan tanin adalah Rhizophora apiculata, Rhizophora mucronata, Ceriops
tagal dan Xylocarpus granatum (Inoue et al., 1999).
5. Penghasil Nipah
Nypah (Nypa fruticans), daunnya dapat dimanfaatkan sebagai atap dan niranya dapat
dimanfaatkan sebagai gula serta bahan minuman. Ditjen Pembangunan Daerah,
Depdagri bekerjasama dengan Fahutan IPB tahun 2000, menyebutkan bahwa
kawasan Segara Anakan, Cilacap, memiliki nilai ekonomi netto dari nipah sebesar
Rp5.140.800,-/tahun dan nilai ekonomi dari gula nira sebesar Rp 88.400/tahun.
6. Sumber pakan ternak
Daun Rhizophora apiculata, Rhizophora mucronata sangat disenangi oleh
kambing.Pemanfaatan daun mangrove untuk pakan ternak dikawasan segara anakan
memiliki nila ekonomi netto sebesar Rp 936.128,-/tahun.
7. Sebagai pembuatan tambak
Kawasan hutan mangrove di wilayah Perum Perhutani dikelola bersama masyarakat
dengan menggunakan pola empang parit (Silvofishery), yaitu kombinasi hutan (80 %)
dengan parit (20 %). Berbeda dengan hutan mangrove milik petani, hampir
kebanyakan petani menanam mangrove ditepi-tepi tambak dengan jarak tanam 5 - 7
meter.Jenis ikan yang dibudidayakan adalah ikan bandeng, mujaer nila dan udang.
Ditjen Pembangunan Daerah, Depdagri bekerjasama dengan Fahutan IPB tahun 2000,
menyebutkan bahwa kawasan Segara Anakan, Cilacap, memiliki nilai ekonomi netto
dari nipah sebesar Rp 259.216.104,-/tahun.
767
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
768
ILMU KEHUTANAN
pematang tambak sehingga kepiting bakau hanya dianggap sebagai hama bagi petambak.
Tetapi setelah kepiting mempunyai nilai ekonomis yang cukup tinggi dan mempunyai pasar
yang cerah baik di dalam maupun di luar negeri maka keberadaannya banyak diburu dan
ditangkap petambak sebagai penghasilan tambahan.
Berbagai jenis krustasea dengan berbagai spesies yang hidup di hutan mangrove
dan mempunyai nilai ekonomi tinggi, diantaranya kepiting bakau dari famili Portunidae yaitu
Scylla serrata, S. oceanica, dan S. Transquebarica. Kepiting bakau (Scylla serrata) atau
red/orange mud carb yang disebut juga kepiting lemburi memiliki rasa daging yang lezat dan
kandungan gizi yang tinggi. Kepiting soka (Soft shell crab) merupakan kepiting bakau yang
karena rekayasa budidaya menghasilkan kepiting yang cangkangnya lunak. Kepiting soka
sangat digemari oleh pecinta kuliner sea food, karena selain tidak repot memakannya karena
kulitnya tidak perlu disisihkan, nilai nutrisinya juga lebih tinggi, terutama kandungan chitosan
dan karotenoid yang biasanya banyak terdapat pada kulit kepiting berfungsi menyerap lemak
dan kolesterol, selain racun-racun lain , semuanya dapat dimakan.
Dalam mengembangkan budidaya kepiting bakau, beberapa hal yang perlu
diperhatikan yaitu :
1. Persiapan tambak dan keramba
Penentuan lokasi atau tempat sangat membantu dalam keberhasilan budidaya kepiting
soka. Tambak yang sudah terbentuk dilakukan pengeringan dengan tujuan untuk
mendapatkan proses oksidasi gas-gas beracun dari dalam tanah. Sekitar satu minggu
tekstur tanah akan retak-retak mencirikan bahwa proses oksidasi berjalan sempurna.
Selanjutnya dilakukan pemberian kapur pertanian (CaCO3) dengan dosis 100 kg/ha
dengan maksud untuk meningkatkan pH tanah dan membunuh organisme pengganggu
yang dapat menghambat perkembangan kepiting. Selang 2-4 hari kemudian pengisian
air sekitar 1 meter. Teknik budidaya kepiting soka menggunakan sistem keramba apung
atau keranjang apung yang dibuat kotak-kotak kecil untuk menaruh bibit kepiting dan
setiap kotak berisi satu bibit kepiting soka. Keramba di buat dari kotak plastik yang
belubang dan dilengkapi dengan tutup (panjang 30 cm x lebar 20 cm x tinggi 20 cm).
Masing-masing keramba diapungkan pada rakit bambu (1x1 m) memanjang sesuai
dengan ukuran tambak. Terdapat 2 4 rakit bambu yang letaknya sejajar. Balitbang
Provinsi Jateng (2004), melaporkan penggunaan rakit dua baris untuk keramba apung
kepiting soka memberikan pertumbuhan kepiting soka yang lebih baik dibanding dengan
yang tiga dan empat baris. Hal ini dikarena banyaknya kotoran yang menumpuk di sela-
sela kotak keramba yang lambat laun mengakibatkan turunnya kualitas air terutama
oksigen terlarut dalam air. Gunarto dan Rusdi (1993), faktor lingkungan seperti perairan,
salinitas, oksigen, suhu dan pH, NO2, NO3, NH4 dan kecerahan sangat berpengaruh
terhadap pertumbuhan kepiting bakau. Selain itu, kondisi lingkungan yang kurang baik
menyebabkan terganggunya proses aktivitas moulting, dengan kata lain pebedaan
jumlah rakit mengakibatkan perbedaan jumlah moulting kepiting bakau.
2. Persiapan bibit
Setelah tambak dan karamba dipersiapkan sebagai tempat pemeliharaan kepiting
sudah siap maka selanjutnya adalah mempersiapkan bibit kepiting yang akan
dibudidayakan. Ukuran bibit kepiting yang kita pilih tergantung dari kebutuhan dan
keinginan kita dengan memperhatikan. Bibit kepiting bakau yang digunakan mempunyai
kriteria, bibit tidak lembek dengan ukuran berat 30-50 gram/ekor. Ciri benih yang baik,
mempunyai anggota tubuhnya lengkap dan menunjukkan tingkah laku yang menghidar
atau melawan bila akan dipegang serta warna cerah hijau kecoklaan atau . Bibit
kepiting yang akan di dilepas keramba terlebih dahulu dilakukan adaptasi dengan
kondisi air dimana kepiting akan dipelihara. Selanjutnya dilakukan pengguntingan
terhadap dua capit utama dan seluruh kaki kecil bagian kiri dan kanan serta satu kaki
pendayung bagian belakang kiri atau kanan, sehingga tinggal satu kaki pendayung
bagian kiri atau kanan. Pengguntingan bagian anggota kepiting tersebut harus
dilakukan secara hati-hati, dan apabila salah mengguntingnya akan menimbulkan
pendarahan pada kepiting, selanjutnya berpengaruh terhadap kematian bibit.
769
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
PENUTUP
770
ILMU KEHUTANAN
DAFTAR PUSTAKA
Balitbang Provinsi Jateng. 2004. Pembuatan Demplot Budidaya Kepiting Soft Shell Sebagai
Upaya Pemberdayaan Masyarakat Pesisir. Badan Litbang Provinsi Jateng.
Damhuri, R.J., Rais, S. P. Ginting dan M.J. Sitepu. 1996. Pengelolaan Sumberdaya
Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. P.T. Pradnya Paramita. Jakarta.
Dahuri, R. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut Aset Pembangunan Berkelanjutan
Indonesia. Gramedia. Jakarta.
Inoue, Y., O. Hadiyanti, H. M. A. Affendi, K. R. Sudarma dan I. N. Budiana. 1999. Model
Pengelolaan Hutan Mangrove Lestari: Hasil Studi Kelayakan di Republik Indonesia.
Departemen Kehutanan dan Perkebunan bekerjasama dengan Japan International
Cooperation Agency. Bali
Gunarto dan Rusdi,I. 1993. Budidaya Kepiting Bakau, Scylla serrata di Tambak Pada Padat
Penebaran Berbeda. Journal Penelitian. Budidaya Pantai 9 (3): 7-12. Balai Riset
Perikanan Budidaya Air Payau. Maros, Sulawesi Selatan.
Herlinah, Sulaeman dan Andi T. 2010. Pembesaran Kepiting Bakau (Scylla serrata) Di
Tambak Dengan Pemberian Pakan Berbeda. Prosiding Forum Inovasi Teknologi
Akuakultur. Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar. Maros, Sulawesi Selatan
Kantor Pengelola Sumberdaya Kawasan Segara Anakan. 2009. Data dan Informasi Segara
Anakan, Laguna Unik di Pantai Selatan Jawa. Cilacap. Jawa Tengah.
Mustari Tepu. 2005. Fungsi dan Manfaat Hutan Mangrove. Buletin Konservasi Alam.
Direktur Jenderal Pengusahaan Hutan dan Konservasi Alam. Jakarta
Nybakken, J. W. 1992. Biologi Laut: Suatu Pendekatan Ekologis. P.T. Gramedia,Jakarta.
Soerianegara I. dan A. Indrawan 1980. Ekologi Hutan. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.
Supriharyono. 2002. Pelestarian dan Pengelolaan Sumberdaya Alam di Wilayah Pesisir
Tropis. Gramedia.Jakarta
771
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Tuti Herawati
Pusat Litbang Produktivitas Hutan Badan Litbang Kehutanan
Jalan Gunung Batu No.5 Bogor, PO BOX 331 Fax/Phone +62 251 7520007
e_mail : tuti_hera_wati@yahoo.com
ABSTRAK
Paper ini menguraikan hasil kajian tentang proses perumusan kebijakan perhutanan
sosial melalui metode desk-analisis atas diskursus kebijakan. Perhutanan sosial merupakan
strategi pembangunan kehutanan untuk mewujudkan visi hutan lestari-masyarakat sejahtera.
Undang-undang Kehutanan 41 Tahun 1999 sebagai rujukan utama dalam melakukan
program pembangunan kehutanan telah memuat aturan terkait kebijakan perhutanan sosial.
Praktek perhutanan sosial pada dasarnya telah ditetapkan jauh sebelum Undang-undang 41
ditetapkan, namun demikian pengelolaan hutan di Indonesia masih menghadapi
permasalahan terkait marginalisasi masyarakat sekitar hutan. Untuk itu diperlukan kajian
untuk menggali latar belakang dirumuskannya sebuah kebijakan. Analisis diskursus
merupakan metode yang digunakan untuk menguraikan para aktor yang terlibat, jejaring
antar aktor yang terbentuk, serta ide atau gagasan yang diakomodir atau bahkan diabaikan
selama proses perjalanan perumusan kebijakan. Hasil kajian menunjukkan bahwa Undang-
undang Kehutanan 41 lahir dari hasil perdebatan diantara para pihak yang berbeda
kepentingan. Kelompok penggiat lingkungan yang tergabung dalam forum NGO telah
memberikan sejumlah gagasan untuk memberikan ruang gerak yang lebih lebar bagi
masyarakat sekitar hutan. Namun gagasan tersebut tidak mendapat tempat yang memadai
dalam UU yang akhirnya disahkan. Dengan demikian kebijakan perhutanan sosial yang
digariskan dalam Undang-undang Kehutanan masih mengandung kelemahan dalam hal
belum menjamin hak dan keadilan atas keuntungan, serta bentuk pembagian kekuasaan
antara pemerintah pusat dengan masyarakat lokal dalam mengelola hutan. Oleh karenanya
terbuka ruang kebijakan untuk melakukan manufer atas kepastian hak masyarakat serta
mekanisme yang sesuai untuk mencapai tujuan perhutanan sosial.
PENDAHULUAN
Perhutanan Sosial atau Social Forestry (SF) merupakan sebuah sistem pengelolaan
hutan dimana masyarakat merupakan pelaku utama dan atau mitra. Social Forestry telah
digunakan sebagai bahasa yang umum dipakai, dan memiliki makna yang sama dengan
perhutanan sosial. Istilah ini merujuk pada berbagai bentuk kegiatan perhutanan sosial yang
selama ini telah banyak dilakukan seperti HKm, PHBM, dan lain sebagainya. Tujuan dari SF
adalah terwujudnya pengelolaan hutan lestari dan meningkatnya kesejahteraan masyarakat.
Social Forestry di Indonesia dicanangkan sebagai program nasional pada tanggal 2
Juli 2003. Kebijakan ini berawal dari arahan Presiden Megawati yang menyatakan bahwa
hutan di Indonesia harus diberi waktu untuk bernapas. Departemen Kehutanan kemudian
menerjemahkan arahan tersebut dengan merumuskan lima kebijakan prioritas, sebagai
upaya menata kembali pembangunan kehutanan dan menghentikan laju kerusakan hutan.
Social Forestry dicanangkan sebagai jiwa atau pilar penyangga lima kebijakan prioritas
tersebut (Rusli,Y, 2003).
Selama tiga dasawarsa sebelumnya, hutan Indonesia mendapat beban berat sebagai
roda penggerak perekonomian bangsa karena diandalkan sebagai sumber penghasil devisa.
772
ILMU KEHUTANAN
Di Pulau Jawa terdapat dua juta hektar hutan yang dikelola Perum Perhutani; di luar Pulau
Jawa pengelolaan hutan diserahkan kepada pihak swasta dengan ijin konsesi. Negara
merupakan penentu bentuk pengelolaan hutan, karena status kawasan hutan di Indonesia
sebagian besar hutan negara.
Pemberian ijin konsesi HPH dinilai sebagai tindakan yang pro pengusaha tanpa
memperdulikan keberadaan masyarakat yang selama ini hidup di dalam maupun sekitar
kawasan hutan. Keuntungan dari sumberdaya hutan sebagian besar dirasakan oleh para
pengusaha HPH. Sementara itu, masyarakat yang hidupnya bergantung pada hutan
menjadi terpinggirkan. Hutan merupakan sumber penghidupan, penyedia bahan pangan,
bahan bangunan, kayu bakar, sumber penghasilan, dan kehidupan spiritual. World
Research Institute (1995) menyatakan bahwa jumlah masyarakat yang kehidupannya
tergantung pada sumber daya hutan sekitar 60 juta orang atau sekitar 30% dari total
penduduk Indonesia.
Selain telah memarginalkan hak-hak masyarakat lokal, pengelolaan hutan juga
dilakukan dengan kinerja yang kurang baik. Hal ini diindikasikan dari degradasi hutan di
Indonesia yang termasuk sangat menonjol diantara negara-negara Asia Pasific. Tahun 1950-
an luas hutan di Indonesia mencapai 84% dari total luas daratan, tahun 1989 luas hutan
telah menurun menjadi 60%. Laju deforestrasi diyakini mencapai angka 1,3 juta hektar atau
1% per tahun (Lynch & Talbot, 1995). Data Kementerian Kehutanan menunjukkan bahwa
luas hutan di Indonesia saat ini 120 juta ha dan laju kerusakan hutan mencapai angka 1,6
juta ha/tahun.
Paper ini bertujuan untuk menguraikan hasil kajian tentang proses perumusan
kebijakan perhutanan sosial di Indonesia meliputi sejarah perkembangannya sejak pertama
kali digagas hingga perkembangan terkini.
773
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Diskursus
Kepenting Aktor
an
Pengetahuan dan diskursus, menjelaskan apa yang menjadi policy naratif (perjalanan
perubahan kebijakan secara keseluruhan dari awal hingga akhir. Aktor dan jejaring kerja,
menjelaskan siapa yang terlibat dan bagaimana mereka terhubung. Sedangkan Politik dan
interest, menjelaskan apa yang menjadi dinamika kekuatan dalam pengambilan keputusan.
Sutton (1999) mendefinisikan narasi sebagai cerita yang menjelaskan sebuah
kejadian tertentu sehingga memiliki kaitan dengan pengetahuan dan kearifan yang telah
dianut dalam pembangunan. Sebuah narasi yang terkenal adalah tragedy of the common
(Hardin 1968) yang menceritakan serangkaian kejadian over-eksploitasi pada sebuah
padang rumput milik bersama. Narasi kebijakan ditujukan untuk mengurutkan suatu
interaksi dan proses kompleks yang dicirikan dalam situasi pembangunan. Narasi berfungsi
untuk menyederhanakan situasi, memperjelas masalah dan menghindarkan kemenduaan
(Roe 1991; 1994).
Dalam kaitannya dengan narasi yang digunakan, Sutton juga menyatakan terminologi
diskursus (discourse) sebagai alat analisis terhadap kajian latar belakang dirumuskannya
sebuah kebijakan. Sutton (1999) mendefinisikan diskursus (discource) sebagai ide dasar,
konsep atau kategorisasi yang dihasilkan atau dihasilkan kembali, dan ditransformasikan
kedalam segenap praktek-praktek dengan cara melalui pemaknaan yang diwujudkan dalam
hubungan sosial. Melalui pemaknaan baru dan tindakan, diskurus memegang peran
penting dalam perubahan kebijakan.
Policy Naratif
Keberpihakan kepada masyarakat dalam pembangunan kehutanan mulai muncul
pada Kongres Kehutanan Dunia kedelapan di Jakarta tahun 1978. Pada kongres tersebut
diperkenalkan konsep social forestry dan retorika forest for people. Istilah Social Forestry
sendiri, menurut Kartasubrata (2003) untuk pertama kali digunakan pada tahun 1968 oleh
Westoby dalam Ninth Commonwealth Forestry Congress 1968 di New Delhi India. Definisi
Westobi (1968) tentang SF adalah a forestry which aims at producing flows of protection
and recreation benefits for the community.
Definisi di atas kemudian berkembang sesuai dengan perubahan kondisi lingkungan.
Tiwari (1983) mendefinisikan SF dengan The science and art of growing tress and/or other
vegetation on all land available for the purpose, in and outside traditional forest areas, and a
managing the existing forest with intimate involvement of the people and moe or less
integrated with other operations, resulting in balanced and complementary land use with a
view of provide a wide range of goods and services to the individuals as well as to the
society. Selanjutnya Tiwari menyatakan bahwa SF pada dasarnya bertujuan untuk
memenuhi kebutuhan dasar manusia di pedesaan dari hutan, yaitu fuel, fodder, food, timber,
income, environment.
774
ILMU KEHUTANAN
Ketika dicanangkan sebagai program nasional tahun 2003, SF sebenarnya bukan hal
baru di Indonesia. Praktek SF bahkan sudah ada sejak pemerintah Belanda melaksanakan
pengelolaan hutan jati dengan sistem tumpangsari, meskipun pada saat itu orientasinya
lebih kepada penyediaan tenaga kerja.
775
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Sejak mid. Perhutanan x Penanaman palawija dengan x Pada wilayah tertentu dari
80-an Sosial jarak tanam lebih lebar dari kawasan hutan dan kelompok
tumpang sari biasa; sasaran terbatas;
x Disamping palawija juga bisa x Desain ditetapkan
ditanam buah-buahan perusahaan;
x Kayu tetap menjadi bagian
Perhutani
Periode 90- PMDH (T) x Pengelolaan hutan dikaitkan x Pada sebagian kawasan
an dengan program hutan atau di luar kawasan;
pembangunan pedesaan dan x Bantuan perusahaan sesuai
pembinaan masyarakat /kemampuan perusahaan;
secara lebih luas; x Sasaran kelompok
x Kegiatan dapat meliputi aspek masyarakat desa.
agraris dan non-agraris
Akhir tahun 60-an sampai pertengahan tahun 80-an (era pra social forestry)
Sebelum masa pemerintahan orde baru, hutan di luar jawa dikelola oleh masyarakat
adat. Terdapat sekitar 250 kelompok etnis yang hidup di dalam/sekitar hutan dan
menyandarkan hidupnya kepada sumberdaya hutan (Moniaga, 2000). Setiap kelompok adat
memiliki aturan sendiri dalam memanfaatkan dan memelihara hutan. Mereka hidup
bergantung pada sumberdaya hutan dan mereka juga menjaga kelestarian hutan. Namun,
pengelolaan hutan oleh masyarakat adat ini dianggap tidak sejalan dengan rencana
Pembangunan Orde Baru yang mengedepankan pertumbuhan ekonomi dan modernisasi
atau industrialisasi. Masyarakat lokal dipandang sebagai terbelakang dan sistem
perladangan berpindah yang mereka lakukan secara ekonomi dinilai tidak produktif dan
secara ekologi merusak lingkungan.
Pada periode ini terjadi adopsi intrumen kebijakan yang menggambarkan penolakan
pemerintah secara mutlak atas akses masyarakat terhadap hutan. Program yang
dilluncurkan adalah pemukiman peladang berpindah dan sistem pertanian menetap.
776
ILMU KEHUTANAN
777
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
perusahaan ini, termasuk mencari bantuan dari pihak luar. ICRAF dan beberapa LSM lokal
bergerak untuk memfasilitasi masyarakat menyampaikan suaranya. Setelah melalui
perdebatan panjang, akhirnya Menhut setuju untuk memberikan status khusus bagi Krui.
Namun demikian status khusus ini hanya sebatas hak masyarakat untuk menggunakan dan
tidak merubah status sebagai hutan negara(Lindayati, 2002).
Terbitnya aturan ini merupakan sinyal bahwa pemerintah mulai memberikan
pengakuan bagi masyarakat lokal untuk mengelola hutan. Namun, kasus Krui sebagai KDTI
ternyata bukanlah perubahan aksi birokrasi secara kolektif, melainkan lebih berupa inovasi
kebijakan secara individual yang disebabkan karena kuatnya desakan sosial. Kawasan
Bentian di Kalimantan Timur juga mengajukan pengakuan hak serupa dengan Krui, akan
tetapi kasus Bentian tidak berhasil. Salah satu faktornya adalah karena kawasan Bentian
memiliki hubungan langsung dengan beberapa HPH yang dimiliki kalangan elit politik
(Lindayati, 2002).
Reformasi kebijakan SF kemudian menjadi lebih intensif pasca pemerintahan
Presiden Suharto. Menteri Kehutanan dan Perkebunan saat itu membentuk suatu panitia
yang keanggotaannya berasal dari pemerintah dan non pemerintah. Tugas utama panitia ini
adalah mengkaji dan menyusun peraturan perundangan kehutanan yang baru untuk
menggantikan UUPK No.5/1967.
Banyak aktor politik non pemerintah yang menyambut gembira era keterbukaan ini,
namun kemudian segera kecewa ketika mengetahui bahwa Dephutbun secara internal telah
membentuk komisi tersendiri dengan mandat yang sama. Didorong oleh ketidakpuasan
maka FKKM (Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat) mengkoordinir terbentuknya koalisi
para pendukung kehutanan masyarakat dan membuat sendiri proposal UU Kehutanan.
Dengan demikian, maka terdapat 3 draft UU Kehutanan dari 3 kelompok yang berbeda yaitu
FKKM, Komisi Internal Dephutbun, dan Panitia yang dibentuk oleh Menhutbun. Proposal
FKKM mengusulkan perubahan signifikan mengenai kekuasaan negara atas hutan dan
memberikan hak penuh bagi masyarakat lokal untuk mengelola, mengontrol, dan memiliki
hutan, terutama bagi masyarakat adat.
Draft yang akhirnya disahkan sebagai UU Kehutanan No.41/1999 adalah yang
diusulkan oleh komite internal Dephutbun (Lindayati,2002). Dibandingkan dengan UUPK
No.5/1967 terdapat beberapa perubahan sehubungan dengan hak akses masyarakat lokal.
Masyarakat akhirnya memiliki hak setara seperti halnya HPH dan BUMN untuk mengelola
hutan, dengan syarat telah memiliki lembaga koperasi. Masyarakat adat juga diberi status
khusus dan pengelolaan atas sumberdaya alam. Skema yang ditawarkan dalam UU 41
adalah hutan hak, hutan adat dan hutan desa. Tidak seperti proposal yang diajukan FKKM,
UU Kehutanan 41/1999 masih menetapkan Dephutbun sebagai institusi tertinggi dalam
mengendalikan dan mengatur kawasan hutan, fungsi, penggunaan, dan pengaturan tenurial.
Produk hukum berikutnya tentang perhutaan sosial diterbitkan tahun 2004 yaitu
Peraturan Menteri Kehutanan No. P.01/2004 tentang Pemberdayaan Masyarakat di dalam
dan di sekitar Kawasan Hutan dalam rangka Social Forestry. Permenhut ini menegaskan
bahwa pelaksanaan SF harus mematuhi rambu-rambu yang telah ditetapkan, antara lain
tidak merubah status dan fungsi kawasan, tidak memberikan hak kepemilikan atas kawasan
hutan, kecuali hak pemanfaatan sumberdaya hutan (pasal 8 ayat 1 dan 2).
Bentuk-bentuk program Social Forestry selanjutnya mengalami perkembangan.
Pada tahun 2007 mulai diterapkan kebijakan HTR (Hutan Tanaman Rakyat). Kebijakan ini
pada prinsipnya serupa dengan HKM yaitu pemberian hak akses masyarakat untuk
mengelola hutan negara. Akan tetapi terdapat beberapa perbedaan prinsip pada
pelaksanaannya. Setelah berjalan selama beberapa tahun, implementasi program HTR juga
belum begitu menunjukkan hasil yang memuaskan. Pencapaian implementasi program di
lapangan berada jauh di bawah target yang ditetapkan.
778
ILMU KEHUTANAN
menjadi sumber rujukan juga memiliki paradigma yang sama. Arus pemikiran ini dikuatkan
dengan tindakan nyata dari pemerintah daerah tingkat propinsi yang selalu mendesak
pemerintah pusat untuk segera mengeluarkan SK pelarangan perladangan berpindah. Pada
masa ini peran dari LSM dan pihak non rimbawah masih sangat jarang.
Sejak tahun 1990an mulai terjadi perubahan, terutama selama masa peluncuran
program SF. Pemerintah mulai melibatkan pihak non birokrat dan non rimbawan, karena
adanya kesadaran akan ketidakmampuan (kurangnya pengetahuan dan pengalaman)
Departemen Kehutanan dalam menangani program pengembangan masyarakat.
Pengaruh LSM mulai menguat. LSM berdiri diantara masyarakat lokal dan
pemerintah. Mereka membangun kerjasama yang kuat dengan jaringan internasional untuk
menyebarluaskan gerakan hak-hak masyarakat adat. Meskipun peran LSM dalam
pengambilan kebijakan masih belum signifikan, tetapi pemerintah tidak dapat menutup
telinga terhadap suara-suara kritis yang dilontarkan. WALHI dan SKPHI (Sekretariat
Kerjasama Pelestarian Hutan Indonesia) merupakan dua LSM pionir yang gigih mendukung
sistem SF. Tahun 1990-an dibentuk jaringan nasional Sistem Hutan Kerakyatan yang fokus
pada penelitian serta advokasi untuk mempromosikan pengelolaan hutan berbasis
masyarakat.
Suara-suara dari aktor non pemerintah akhirnya juga dijadikan masukan untuk
menentukan pengambilan kebijakan di Departemen Kehutanan. Mereka diundang untuk
menyampaikan ide dan gagasan pembangunan SF. Sepertinya telah terjadi keterbukaan
antara Dephut dengan berbagai pihak. Namun dalam prakteknya, otorita Dephut masih
sangat kuat, Jika ada suara-suara keras yang menentang paradigma penguasaan hutan
oleh negara, maka ide tersebut akan langsung disensor dan bahkan aktor yang
bersangkutan tidak lagi diundang (Lindayati,2002).
Perdebatan yang berlangsung dari tahun 1985 hingga 1998 hanya sebatas masalah
teknis (metode dan implementasi program). Aktor non pemerintah yang mengadvokasi adat
dan hak masyarakat lokal seringkali frustasi menghadapi situasi tersebut. Sebagian pihak
berpendapat bahwa undangan ini hanya kepura-puraan, karena tidak ada satupun
rekomendasi mereka yang dipertimbangkan. Namun demikian, forum ini paling tidak telah
memberikan ruang bagi pertukaran ide, pikiran dan membangun hubungan.
Peta aktor dalam pembuatan kebijakan SF akhirnya tidak lagi dimonopoli dengan
philosophi penguasaan hutan oleh negara yang sentralistik. Jaringan kebijakan terdiri dari
dua jalur idelogi, yang pertama adalah aliran penguasaan hutan oleh negara dan yang kedua
adalah bahwa kekuasaan ini perlu untuk diserahkan kepada masyarakat lokal. Para birokrat
tetap sebagai pusat pengambil kebijakan, tetapi kekuatannya tidak terlalu powerfull seperti
sebelumnya. DPR mulai memainkan perannya, grup-grup sosial juga mulai berpartisipasi.
Politik/Kepentingan
Perum Perhutani yang telah melakukan program SF sejak tahun 80-an, saat ini masih
menuai konflik dengan masyarakat sekitar hutan, tingkat kesejahteraan masyarakat-pun
masih rendah. Pelaksanaan program SF oleh Perhutani lebih mengedepankan asas
rasionalitas pengusaha dengan penerapan prinsip ekonomi perolehan keuntungan sebesar-
besarnya dan pengorbanan sekecil-kecilnya.
Paradigma SF di Perhutani dan juga perusahaan-perusahaan lain seperti HPH,
HPHTI ditujukan untuk menekan konflik antara pengusaha dan masyarakat sekitar hutan.
Dengan terwujudnya hubungan baik antara pengusaha dengan masyarakat, maka
pengusaha dapat dengan leluasa menjalankan roda perusahaannya, yang ujung-ujungnya
adalah pencapaian profit setinggi-tingginya.
Social forestry di kawasan konservasi juga tidak jauh berbeda. Pegawai pemerintah
pengelola kawasan konservasi merangkul masyarakat sekitar dengan memberikan akses
berupa pemungutan hasil hutan bukan kayu, adalah demi terjaminnya keamanan kawasan
dari gangguan masyarakat. Sementara keberpihakan kepada kepentingan masyarakat
masih dilakukan setengah hati.
Skema HKM masih juga dipertahankan meskipun hasilnya belum memuaskan,
karena birokrat kehutanan memandang HKm sebagai salah satu kegiatan penting dalam
779
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
melibatkan masyarakat. Di satu sisi, berbagai pihak telah memberikan kritik terhadap
pelaksanaan HKM, misalnya CIFOR (2003) menyatakan bahwa HKm telah dimodifikasi oleh
beberapa orang di lapangan seingga lebih mirip sebagai IPK (Ijin Pemanfaatan Kayu).
Model ini tidak menjamin partisipasi masyarakat secara utuh dalam pengelolaan hutan.
Ruang Kebijakan
Kebijakan SF yang saat ini berlaku dinilai masih belum menyediakan ruang yang
cukup bagi pengakuan hak milik masyarakat terhadap kawasan hutan, kebijakan masih
menganut aliran hutan milik negara. Pada era tahun 1999 ditegaskan bahwa kebijakan SF
bukan merupakan langkah untuk membuka peluang atas kepemilikan dan penguasaan lahan
negara.
Gerakan transformasi kebijakan SF yang dimotori oleh LSM masih terus bergulir,
sekalipun masalah hak tenurial sangat sulit untuk dipromosikan. Permasalahan yang terjadi
adalah adanya anggapan bahwa ketika bicara tentang hak tenurial, maka kawasan hutan
yang saat ini dikuasai negara akan dibagi habis menjadi hutan milik masyarakat.
Elsworth (2004) menyatakan bahwa dalam perjuangan hak tenurial terdapat 4 aliran
yaitu; property right, ketimpangan struktur agraria, advokasi hak properti masyarakat adat,
dan aliran institusionalist. Aliran property right memperjuangkan pemilikan secara individu
yang dapat diperdagangkan secara bebas, proses yang diperjuangkan adalah sertifikasi.
Aliran ketimpangan struktur agraria mempertanyakan distribusi yang adil lahan pertanian
kepada petani, sertifikasi tidak menjamin petani tetapi harus ada kebijakan melindungi
kelompok kecil dari ancaman pasar bebas. Aliran hak property masyarakat adat
memperjuangkan pengakuan terhadap tanah-tanah komunal untuk dikuasai secara
kelompok sebagia katup penyelamat masyarakat miskin.Aliran institusionalis
mempertimbangkan aspek pengaruh makro politik ekonomi terhadap rejim property yang
ada dan yang akan menentukan kepastian hukum bagi para pengklaim hak.
Hal yang perlu didiskusikan lebih lanjut adalah aliran manakah yang paling tepat dan
sesuai dengan jiwa SF yang dianut di Indonesia. Aliran advokasi hak properti masyarakat
adat menyatakan bahwa konteks tenurial tidak semata-mata dicapai lewat sertifikasi formal,
namun dapat juga ditemukan dalam bentuk rejim pengelolaan tanah (SDA) berbasis
masyarakat. Dengan melihat kondisi sosial politik di Indonesia, aliran inilah yang sepertinya
memiliki peluang untuk diakomodir dalam perubahan kebijakan SF. Namun demikian,
diperlukan kajian lebih lanjut.
KESIMPULAN
780
ILMU KEHUTANAN
DAFTAR PUSTAKA
CIFOR. 2003. Perhutanan Sosial. Warta Kebijakan No.9 tahun 2003. Centre for
International Forestry Research. Bogor.
Ellsworth, L. 2004. A Place in The World; Tenure Security and Community Livelihood.
Forest Trebn and Ford Foundation.
IDS. 2006. Understanding Policy Process : A Review of IDS Research on the Environment.
Institut of Development Studies Bringhton, UK.
Kartasubrata, J. 2003. Social Forestry dan Agroforestry di Asia Buku I. Lab Politik Ekonomi
dan Sosial Kehutanan. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.
Lynch, O.J, and Talbott. 1995. Balancing Acts; Community Based Forest Management and
National Law in Asia and the Pasific. World Resources Institute.
Lyndayati, R. 2002. Ideas and Insitutions in Social Forestry Policy. Dalam Which Way
Forward? People, Forest, and Policymaking in Indonesia. Coffer and Ida Ayu edt.
CIFOR.
Moniaga, S. 2000. Advocating for Community-Based Forest Management in
indonesiasOuter Islam; Political and Legal Constraints and Opportunities. IGES
International Workshop.
Peluso, N.L. 1992. Rich forest, Poor People: Resource Control and Resistance in Java,
Bereley University of California Press .
Suryamidhardja, S. 2006. Kebijakan dan Kelembagaan CBFM di Tingkat Nasional dan
Pengalaman mengelola Kerja-Kerja Multipihak. Makalah disampaikan pada Pekan
Raya Hutan dan Masyarakat 2006; Fahutan UGM-JAVLEC, Yogyakarta, 19-22
September 2006.
Rusli, Y. 2003. The Policy of The Ministry of Forestry on Social Forestry. Paper Presented
on International Conference on Rural Livelihoods, Forest and Biodiversity, May 19-23,
2003. Bonn.
Sardjono, M.A. 2006. PHBM dan Masa Depan Kehutanan Masyarakat di Indonesia.
Makalah disampaikan pada Pekan Raya Hutan dan Masyarakat 19-22 September
2006.
781
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
ABSTRAK
Hutan rakyat memiliki fungsi ganda (multi fungsi) yakni mencakup aspek
produksi/pangan untuk peningkatan kesejahteraan petani dan menjaga kelestarian
lingkungan hidup. Hutan rakyat yang diuasahakan pada lahan dengan status hak milik,
sangat perlu mempertimbangkan nilai fungsi lahan terutama di Jawa yang ketersediaanya
semakin terbatas dan nilainya semakin tinggi . Keberhasilan pola tanam dalam sistim usaha
hutan rakyat, akan dapat memberikan kontribusi positif khususnya bagi ekonomi petani dan
kualitas lingkungan, dan bila gagal akan berdampak sebaliknya. Oleh karena itu formulasi
perencanaan pola tanam, merupakan faktor kunci agar pengembangan hutan rakyat
memberikan dampak yang menguntungkan. Dalam tulisan ini akan diuraikan formulasi
dalam memilih atau menentukan pola tanam hutan rakyat bekaitan dengan factor tata guna
lahan, pemilihan jenis dan komposisi tanaman dengan pertimbangan aspek lingkungan,
ekonomi dan sosial budaya agar terjalin interaksi yang serasi antara petani - pohon - tanah
sehingga diharapkan hasilnya. akan optimal. Salanjutnya akan ditampilkan beberapa pola
tanam di lapangan.
Kata kunci : hutan rakyat, lahan, pola tanam, nilai, dampak, formulasi
PENDAHULUAN
782
ILMU KEHUTANAN
kegunaan seperti untuk kayu pertukangan, bahan baku industri, kayu bakar/energi dengan
hasil tambahan seperti pangan, buah-buahan, bambu dan tumbuhan obat. Selain itu dengan
makin meningkatnya kebutuhan akan peran jasa lingkungan hutan, hutan rakyat pola kebun
campuran juga memiliki peran dalam penyerapan karbondioksida, peran ini merupakan nilai
jasa lingkungan yang dapat memberikan insentif tambahan untuk pendapatan petani.
Pengembangan hutan rakyat di Pulau Jawa mempunyai peranan yang strategis
karena selain diperlukan untuk meningkatkan daya dukung ekologis khususnya dalam
perbaikan tata air dan perlindungan lingkungan juga tidak diragukan lagi perannya dalam
kehidupan sosial ekonomi masyarakat walaupun saat ini pengelolaannya masih dilakukan
secara tradisional.
Namun dengan keterbatasan sumberdaya lahan di Jawa, pemanfaatan sumberdaya
lahan untuk usaha tani hutan rakyat akan semakin bersaing dengan usaha tani komoditas
pertanian lainnya. Bila kontribusi ekonomi persatuan luasan lahan dari usaha tani hutan
rakyat ini lebih kecil dibandingkan usaha tani komoditas lain, maka pemerintah daerah akan
lebih mendukung pengembangan komoditas lain. Hal ini disebabkan kesadaran akan nilai
manfaat jasa lingkungan dari hutan masih sulit dihitung nilai ekonominya. Beberapa contoh
kasus pengalihan pemanfaatan kawasan hutan seluas 38.000 ha dalam kebijakan
pengembangan tanaman tebu untuk target swasembada gula nasional di Kabupaten Pati
dan Malang (http://agroindonesia.co.id). Pengembangan tanaman sawit di Jawa (Provinsi
Banten, Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Blitar) merupakan bukti kurangnya daya saing
nilai ekonomi pemanfaatan lahan untuk sektor kehutanan.
Untuk meningkatkan kontribusi nilai ekonomi usaha hutan rakyat maka perlu
formulasi perencanaan pola tanam yang matang dan perlu didukung dengan kebijakan
daerah tentang penggunaan dan pengelolaan lahan nasional. Selain itu pada era
perdagangan karbon, pemerintah daerah sudah seharusnya berperan aktif dalam kebijakan
penggunaan lahan untuk usaha tani hutan rakyat karena memiliki keunggulan tersendiri
dibandingkan usahatani lainnya. Sehingga diharapkan pengusahaan hutan rakyat memiliki
daya saing yang tinggi dibandingkan dengan pengusahaan komoditi lain didalam alternatif
penggunaan sumberdaya lahan. Pengusahaan hutan rakyat selain membantu memenuhi
kebutuhan kayu nasional juga mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan jasa
lingkungan dihasilkannya merupakan penyangga bagi keberhasilan pembangunan sektor
lainnya.
Untuk daerah pedesaan, perencanaan penggunaan lahan (rural land use planning),
berdasarkan pada ketentuan yang biasa disingkat dengan LOSS : Lestari, tanah harus
dimanfaatkan/digunakan dalam jangka waktu lama dan berdampak pada penghematan
penggunaan tanah karena generasi sekarang memiliki kewajiban untuk mewariskan sumber
daya lahan kepada generasi yang akan datang dalam keadaan baik. (Jadi tanah bukan milik
783
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
masyarakat sekarang saja, tetapi tanah milik dari masyarakat dulu masyarakat sekarang dan
masyarakat yang akan datang). Optimal, pemanfaatan tanah harus mendatangkan hasil atau
keuntungan ekonomis yang setinggi-tingginya. Serasi dan Seimbang, dimaksudkan agar
suatu ruang atas lahan harus dapat menampung berbagai macam kepentingan pihak-pihak
lain, sehingga dapat dihindari adanya pertentangan atau konflik dalam penggunaan lahan
(http://tatagunatanah.blogspot.com).
Dari ketiga asas tersebut di atas memberikan petunjuk bahwa dalam penggunaan
suatu lahan harus bijaksana atau mengandung unsur-unsur kearifan, karena lahan adalah
bukan milik pribadi. Lahan merupakan sarana untuk melaksanakan pembangunan pada
suatu pemerintahan yang seharusnya berdampak untuk kesejateraan penduduknya dan
bukan untuk orang perorang masa kini tetapi juga kesejateraan generasi yang akan datang.
Oleh karena itu persoalan lahan juga sering menimbulkan konflik yang berdampak luas di
bidang social, politik dan ekonomi. Untuk menghindari hal tersebut maka perlu
menumbuhkan pengertian mengenai pentingnya penggunaan tanah secara berencana dan
sesuai dengan kemapuan tanah..
Tanpa adanya perencanaan (planning), penggunaan sumberdaya lahan hanya akan
berpedoman pada kepentingan individu dan pengembangan dari jenis-jenis tanaman tertentu
atau pada keuntungan insidentil yang bersifat jangka pendek sedangkan kepentingan jangka
panjang atau jasa lingkungan sering diabaikan. Dengan planning maka dapat dicapai
keseimbangan yang baik antara luas lahan dengan jenis-jenis tanaman yang penting bagi
program sandang, pangan, papan namun juga untuk kepentingan jasa lingkungan.
Hutan rakyat umumnya dimiliki oleh kaum petani dengan luasan terbatas dan tingkat
pendidikan yang rendah. Dengan kondisi ini mestinya pemerintah secara aktif dan
bertangtung jawab membantu dalam perencanaan pemanfaatan lahan nya tersebut. Saat ini
sudah sering terjadi di lapangan dimana masyarakat mengeluh dan kecewa dengan
program-program pemerintah berkaitan dengan pengembangan suatu komoditas yang tidak
cermat, karena yang menanggung kerugian dan terkena dampaknya adalah petani. Kondisi
ini terjadi akibat perencanaan penggunaan sumberdaya lahan yang kurang matang baik di
tingkat pemerintahan daerah maupun nasional.
Berdasarkan Pasal 13 PP No. 16 Tahun 2004 ditentukan mengenai penggunaan dan
pemanfaatan tanah, dimana harus sesuai dengan fungsi kawasan dalam RTRW.
Penggunaan dan pemanfaatan tanah di kawasan lindung misalnya tidak boleh mengganggu
fungsi alam, tidak mengubah bentang alam dan ekosistem alami. Sedangkan penggunaan
tanah di kawasan budidaya tidak boleh ditelantarkan, tetapi harus dipelihara dan dicegah
kerusakannya. Dalam pemanfaatannya tidak saling bertentangan, tidak saling mengganggu
tetapi justru memberikan peningkatan nilai tambah terhadap pengguna tanahnya.
Ketentuan mengenai penggunaan dan pemanfaatan tanah ditetapkan melalui
pedoman teknis penatagunaan tanah, yang menjadi syarat menggunakan dan
memanfaatkan lahan. Oleh karena itu pemerintah daerah seharusnya terlebih dahulu
menyusun rencana penggunaan lahan berdasarkan hasil survey kondisi
kharakteristikkemampuan lahan yang ada di wilayahnya untuk menentukan arah kebijakan
pembangunan pengelolaan sumberdaya lahan agar bisa dimanfaatkan secara optimal dan
lestari.
784
ILMU KEHUTANAN
ekonomi tinggi. Kondisi fisik lahan yang baik mempunyai keunggulan komparatif bagi
pengembangan berbagai jenis penggunaan lahan pertanian dengan banyak pilihan alternatif
komoditi. Potensi seperti ini akan banyak mengundang investor untuk memanfaatkan lahan
secara lebih intensif. Namun semakin besar intensitas penggunaan sumberdaya dan
melampaui batas ambang toleransi daya dukungnya maka akan terjadi laju degradasi
sumberdaya lahan.
Sehubungan dengan kualitas fisik lahan, keberhasilan suatu sistem pengelolaan la-
han juga dibatasi oleh persyaratan- persyaratan faktor kesesuaian jenis yaitu agroklimat
(Alrasyid,2003).Kesesuaian agroklimat merupakan hal pentingdalam pengembangan
komoditas pertanian. Penyimpangan dari persyaratan ini bukan hanya akan menimbulkan
kerugian ekonomis, tetapi juga akan mengakibatkan biaya-sosial, berupa penurunan kualitas
sumberdaya lahan.
Hutan rakyat umumnya merupakan pilihan usahatani pada pemanfaatan
sumberdaya lahan dengan keadaan kualitas lahan kritis atau mempunyai potensi sangat
besar untuk menjadi kritis. Disisi lain dihadapkan pada persoalan memenuhi kebutuhan
hidup dengan luasan lahan yang dimiliki sempit. Sehingga dalam kondisi seperti ini
diperlukan pola tanam yang memungkinkan dilakukannya integrasi antara kepentingan
rehabilitasi lahan dengan pemenuhan kebutuhan petani (Widiarti, 2000).
Untuk memperbaiki lahan-lahan kritis menjadi produktif kembali, menurut Arsyad
(1989 ) harus dilakukan dengan dua cara : (1) vegetative, yaitu pemanfaatan lahan cukup
dengan mengadakan pengaturan penanaman yang baik dan tepat, dengan jenis-jenis
tanaman yang sesuai untuk diusahakan. (2) vegetatif-mekanis, disamping mengadakan
penanaman dengan baik dan tepat, juga disertai dengan tindakan konservasi tanah seperti
pembuatan teras-teras atau sengkedan-sengkedan dan lain-lain. Namun selain faktor di
atas, juga perlu diperhatikan dari segi klas kemampuan tanah, yang dibagi menjadi dua
golongan yaitu : (1) tanah-tanah yang sesuai digarap/diusahakan untuk usaha-usaha
pertanian tanaman pangan (arable land) yaitu lahan-lahan dengan kemiringan tanah 0-18%.
Sedangkan bagi tanah dengan kemiringan tanah dari 18-45% dan/atau sampai lebih besar
dari 45%. diperlukan tindakan-tindakan konservasi tanah yang intensif dan tepat. Tanah-
tanah kritis yang terdapat dalam golongan ini umumnya kritis phisis-chemis. (2) Tanah-tanah
yang tidak sesuai digarap untuk usaha-usaha pertanian tanaman pangan ( semusim), akan
tetapi bagi tanaman tahunan kayu-kayuan dan buah-buahan masih dapat dilakukan dengan
baik, tanah dengan kemiringan dari 18-45% dan/atau sampai lebih besar dari 45% umumnya
selain kritis phisis-chemis juga kritis hydro-orologis.
Oleh karena itu kegiatan rehabilitasi lahan dalam bentuk Gerakan Nasional
Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNRHL) diperlukan disemua wilayah lahan terdegradasi baik
pada kawasan hutan maupun lahan milik dan telah menjadi salah satu prioritas
pembangunan yang tidak dapat dipisahkan dari program pembangunan sektor lainnya, untuk
penyelamatan lingkungan dan memacu peningkatan kesejahteraan masyarakat (Dirjen
RLPS,2002) .
Namun dari pengalaman di lapangan, upaya penutupan fisik lahan terdegradasi
dengan tumbuhan untuk penyelamatan lingkungan umumnya kurang berhasil dengan baik
bahkan pada beberapa wilayah pencapaian kegiatan rehabilitasi seringkali kurang
memenuhi harapan baik dari kuantita (target luasan) maupun kualita (tingkat pertumbuhan
tanaman). Kondisi ini menyebabkan dari tahun-ketahun luasan (kumulatif) lahan
terdegradasi tidak berkurang bahkan semakin luas dengan tingkat kerusakan semakin tinggi.
Untuk mencapai keberhasilan penanaman kembali secara nyata dan
berkesinambungan, maka bukan saja terukur secara kuantitas luas lahan yang ditanami
namun juga berkesesuaian dengan harapan masyarakat setempat yang berperan langsung.
Oleh karena itu rehabilitasi lahan agar mendapat respon baik dari masyarakat sekitarnya
maka dalam pemilihan jenis-jenis yang akan ditanam perlu juga memperhatikan faktor
ekologis, sosial-ekonomi dan budaya masyarakat setempat serta kebijakan pemerintah
dalam bidang pengelolaan lahan. Dengan adanya Rancangan Pola Tanam pemanfatan
sumberdaya lahan khususnya lahan kering dapat meningkatkan keberhasilan tanaman,
785
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
786
ILMU KEHUTANAN
- Faktor sosial-ekonomi dan budaya : Berkaitan dengan (1) luas pemilikan lahan, pada
lahan sempit sebaiknya dipilih jenis pohon yang berproduksi tinggi dan pertumbuhannya
cepat atau dikombinasikan antara yang berdaur pendek dan panjang. Lahan
dimanfaatkan seoptimal mungkin dengan pengembangan jenis-jenis pohon yang tahan
naungan. (2) Harga dan pemasaran hasiljenis produknya (kayu dan nonkayu) baik pasar
lokal, regional atau global (ekspor yang bernilai ekonomi tinggi dan permintaan pasar
terhadap produk tersebut juga tinggi. (3) Kebutuhan/kesukaan masyarakat, produk
memiliki kegunaan cukup luas terutama untuk bahan pangan, papan dan obat-obatan.
(4) Adat istiadat/kebiasaan masyarakatsangat spesifik dan berbeda dari suatu tempat ke
tempat lain. Oleh sebab itu, sebaiknya menggunakan jenis-jenis yang sudah
memasyarakat.
787
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Pengaturan tata ruang pola wanatani harus bersifat dinamis sejalan perubahan pada
pertumbuhan tanaman pokok agar pemanfaatan lahan efisien sepanjang daur. Oleh karena
itu perlu dicari jenis tanaman bernilai ekonomi tinggi yang dapat tumbuh dibawah
tegakan/tahan naungan baik jenis tanaman pangan maupun tanaman rempah/obat.
Pola tanam dalam sistem wanatani diatur sedemikian rupa sehingga pada tahap
awal, dimana faktor naungan belum menjadi masalah, beberapa komponen dapat tumbuh
bersamaan dalam satu lapisan tajuk. Pada tahap lanjut sistem wanatani akan menyerupai
ekosistem hutan yang terdiri dari banyak lapisan tajuk (multi strata). Lapisan tajuk atas
ditempati oleh jenis-jenis dominan, dan dibawahnya ditempati oleh jenis-jenis yang kurang
dominan yang tahan setengah naungan, kemudian lapisan bawah ditempati oleh jenis-jenis
tahan naungan.
Pola wanatani yang dikembangkan di daerah hulu (dataran tinggi) dengan topografi
yang umumnya bergelombang sampai berbukit dan ketersediaan air yang tebatas, berbeda
dengan di daerah hilir (dataran rendah) dengan topografi yang lebih datar. Untuk daerah
hulu pemilihan jenis diarahkan pada jenis-jenis yang berakar dalam, sistem pengolahan
tanah minimum, penanaman mengikuti garis kontur, membuat teras bangku/tangga, dan
menanami ujung dan muka teras (galengan dan tampingan) dengan tanaman penguat
teras/penyangga erosi yang dapat dipangkas, sehingga selain dapat digunakan sebagai
pupuk hijau juga untuk makanan ternak. Sedangkan untuk daerah hilir dan landai dengan
tiupan angin yang kencang, lebih ditekankan untuk menggunakan pola tanam dengan
menggunakan tanaman pagar (shelterbelt).
Beberapa contoh pola hutan rakyat wanatani yang telah berhasil diusahakan di
beberapa tempat ( Mindawati dan Widiarti 2006) dimana komposisi tanaman yang
diusahakan campuran dari :
a. Tanaman Kehutanan + Tanaman Perkebunan + Tanaman Semusim
Komposisi jenis terdiri dari :
sengon + kopi + tembakau (Ds. Sidoarjo, Kec. Kemalang, Kab. Klaten )
sengon + mahoni + suren + kopi + kelapa + pisang + cabe (Ds. Pacekalan, Kab.
Wonosobo)
mahoni + sengon + kelapa + ubi kayu+ ubi jalar (Desa Boja, Kec Majenang)
sengon + kopi + cokelat + kelapa + ubi kayu + gamal (Desa Sumberurip Kec. Doko
Kab. Blitar)
788
ILMU KEHUTANAN
PENUTUP
789
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
DAFTAR PUSTAKA
Alrasjid, H. 2003. Metode Penentuan Kesesuaian Lahan. Orasi Ilmiah APU. Jakarta (tidak
diterbitkan).
Arsyad Sitanala, 1989. Konservasi Tanah dan Air. Penerbit IPB. Bogor.
Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial. 2002. Buku Panduan
Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial. Departemen Kehutanan. CV. Bina Niaga
Sejati, Jakarta.
Djajapertjunda, S. 2003. Pengembangan Hutan Milik di Jawa. ALQAPRINT Jatinangor.
Bandung.
Ginoga, K. Wulan YC, Djaenudin D. 2002. Potential of Indonesian Smallholder Agroforestri in
The CDM: A Case Study in The Upper Citanduy Watershed Area. Working Paper
CC12.
2004 ACIAR Project ASEM 2002/2006.
http://agroindonesia.co.id/2010/02/11/. Perhutani-terapkan-syarat-ketat. Diakses 6 Febuari
2011.
http://tatagunatanah.blogspot.com , Labels: Kebijakan Penatagunaan Tanah. Kamis, 14
Agustus 2008. Diaksi 25 Juni 2011.
http://soemarno.blogspot.com. Sumberdaya Lahan. Diakses 23 Mei 2011.
Mindawati,N dan Asmanah Widiarti, 2007 Review Hutan Rayat. Pus Litbang Hutan
Tanaman. Bogor.
Nair, P.K.R. 1993. An Introduction to Agroforestri. Kluwer Academic Publishers and ICRAF.
Dordrecht, The Netherlands.
Simon, H. 1995. Srategi Pengembangan Pengelolaan Hutan Rakyat. Makalah Utama pada
Lokakarya Pengembangan Hutan Rakyat di Bandung. Direktorat Jenderal Reboisasi
dan Rehabilitasi lahan. Departemen Kehutanan. Jakarta.
Suharjito, D. 2000. Hutan Rakyat : Kreasi Budaya Bangsa. Hutan Rakyat di Jawa. Perannya
dalam Perekonomian Desa. P3KM. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.
Widiarti, A. 2000. Kajian Teknik Silvikultur Hutan Rakyat, Makalah pada Seminar Hasil
Hasil Penelitian Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam
di Bogor.
790
ILMU KEHUTANAN
ABSTRAK
Praktek pemanenan bambu yang dilakukan selama ini masih banyak yang
berorientasi pada pemenuhan kebutuhan saat ini, belum mempedulikan kelanjutan di masa
yang akan datang sehingga banyak yang tidak mengindahkan aspek kelestariannya, baik
hasil maupun sumber penghasilnya. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan
informasi ilmiah pengaruh teknik pemanenan bambu terhadap kerusakan permudaan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata volume bambu, produktivitas
penebangan, efisiensi pemanfaatan dan jumlah kerusakan permudaan bambu di Purwokerto
berturut-turut sebesar 0,056 m3; 0,667 m3/jam; 69% dan 7 batang/rumpun. Sementara itu,
rata-rata volume bambu, produktivitas penebangan, efisiensi pemanfaatan, dan jumlah
kerusakan permudaan bambu di Gunungkidul berturut-turut sebesar 0,026 m3; 0,232 m3/jam;
48,67% dan 3 batang/rumpun. Efisiensi pemanfaatan bambu di Gunungkidul lebih rendah
daripada di Purwokerto, hal ini ditunjukkan dengan tingginya tunggak bambu yang
ditinggalkan. Teknik pemanenan yang tepat perlu diterapkan untuk meningkatkan efisiensi
pemanfaatan bambu sekaligus dapat menjamin kelestarian produk dan sumber penghasil
bambu.
PENDAHULUAN
Bambu sebagai bahan baku yang sudah lama dikenal dan digunakan terutama oleh
masyarakat pedesaan, memegang peran yang cukup penting sebagai salah satu produk
hasil hutan non kayu. Bagi mereka, bambu merupakan bahan baku yang murah harganya,
mudah didapat, mudah dikerjakan, ringan dan mempunyai kekuatan yang cukup kuat.
Banyak masyarakat yang menananam bambu di pekarangan mereka sekedar untuk
mencukupi kebutuhan sendiri dan sisanya dijual. Bahkan akhir-akhir ini, ekpor bambu dari
Jawa Timur dalam bentuk furnitur akan segera dipasarkan ke Tunisia. Anonim (2009a)
menyebutkan besarnya ekspor furnitur bambu ke sana mencapai 5 hingga 10 kontainer. Di
mana 1 kontainer seharga USD 20.000.
Bambu digunakan masyarakat dalam berbagai bentuk produk dan tidak terbatas
bagian batang bambu saja tetapi juga pada bagian rebung bahkan akarnya. Batangnya
biasa digunakan untuk bahan bangunan, bambu lamina, kayu lapis, bahan baku kertas dan
tisue, mebel (meja dan kursi), anyaman bambu untuk dinding, tikar hingga alat musik seperti
angklung dan suling. Rebungnya biasanya dimakan setelah diolah dahulu menjadi sayur
atau juga digunakan untuk isi makanan kudapan lunpia, yang menjadi makanan khas dari
Semarang. Namun demikian rebung yang bisa dimakan berasal dari jenis rebung bambu
tertentu (Anonim, 2009b), seperti bambu ori (Bambusa bambos); bambu petung
(Dendrocalamus asper) dan bambu wulung/bambu hitam (Gigantochloa atroviolaceae),
sedang jenis rebung tertentu justru mengandung racun sehingga bila dimakan dapat
membahayakan jiwa. Sementara itu bambu yang biasa digunakan untuk alat musik seperti
angklung berasal dari bambu wulung. Ada juga bambu yang berguna untuk kesehatan,
791
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
seperti rebusan rebung bambu ampel/haur (Bambusa vulgaris) dapat digunakan untuk obat
hepatitis, rebusan daun bambu ori dapat digunakan untuk penyejuk mata, obat bronkitis,
demam dan gonorhoe.
Bambu merupakan tanaman simpodial, yaitu tanaman berbentuk rumpun dengan
batang-batang yang mengumpul karena perakaran di dalam tanah cenderung mengumpul.
Dalam proses pemanenannya kurang menguntungkan, karena batang yang lebih tua berada
di tengah rumpun. Oleh karena itu pemanenan dilakukan dengan cara tebang habis, artinya
semua batang bambu ditebang baik yang muda maupun yang tua. Cara ini akan
mengganggu perebungan bambu, karena perebungan bambu dipengaruhi oleh batang
bambu yang ditinggalkan. Selain itu, cara pemanenan tebang habis juga menghasilkan
produk bambu yang mempunyai kualitas yang beragam, mulai dari bambu tua hingga bambu
muda. Selain tebang habis, cara pemanenan bambu dilakukan dengan tebang pilih. Pada
cara ini bambu yang ditebang adalah bambu yang sudah masak tebang. Sudiono dan
Soemarno (1964) dalam Krisdianto, dkk (2000) mengelompokkan bambu dalam empat
generasi, yaitu :
x Generasi I : bambu berumur 3 4 tahun
x Generasi II : bambu berumur 2 3 tahun
x Generasi III : bambu berumur 1 2 tahun
x Generasi IV : bambu berumur 0 1 tahun
Pada cara pemanenan tebang pilih, bambu yang ditebang adalah bambu yang
masuk dalam kelompok generasi I. Kemudian bambu pada generasi ke II dan seterusnya.
Pada dasarnya, batang yang banyak ditinggal untuk memacu proses perebungan adalah
bambu pada generasi ke IV. Namun demikian, metode tebang pilih ini dalam prakteknya
cukup sulit dikerjakan.
Praktek pemanenan bambu yang digunakan hingga saat ini berdasarkan pada cara
tradisional dan berlaku secara turun temurun, dari generasi ke generasi tanpa ada panduan
tertulisnya/dituangkan dalam buku panduan, misalnya. Mungkin karena bambu belum
dikelola sebagaimana tanaman penghasil kayu padahal dalam pemanfaatannya bambu
dapat menjadi salah satu bahan alternatif pangganti kayu. Selama ini tanaman bambu
dibiarkan tumbuh begitu saja di tanah-tanah kosong, di tepi sungai atau di pekarangan milik
rakyat tanpa ada perawatan khusus. Berdasarkan cara tradisional, para penebang bambu
akan mengikuti persyaratan yang harus dilakukan. Beberapa persyaratan tersebut adalah
tidak menebang bambu pada saat terang bulan, pada pagi hari, saat muncul rebung, dan
saat rumpun bambu mulai berbunga (Anonim, 2009b). Bambu tidak boleh ditebang pada
saat terang bulan karena kadar airnya sedang tinggi, dimanakadar air yang tinggi akan
menimbulkan kadar gula yang tinggi juga. Kadar gula yang tinggi menjadi tempat yang
menyenangkan bagi organisme perusak kayu karena menjadi sumber makanannya. Bambu
yang ditebang pada pagi hari juga tidak tepat karena pada pagi hari bambu biasanya sedang
menghisap makanan yang mengandung banyak gula untuk bahan makanan bagi daun
untuk berfotosintesa. Akibatnya, ketika ditebang pada pagi hari, bambu memiliki kadar gula
tinggi yang memudahkannya dimakan organisme perusak. Bambu seperti itu tidak bisa
tahan lama dalam pemakaiannya.Sementara itu, saat bambu sedang memiliki rebung juga
tidak boleh ditebang. Hal ini disebabkan oleh bambu yang lebih tua sedang mengalihkan zat
kalk pada anak bambu atau rebung untuk pertumbuhannya. Selain itu bambu yang sedang
berbunga juga tidak boleh ditebang karena menandakan bambu sudah akan mati.
Praktek pemanenan bambu yang dilakukan biasanya dengan menebang bambu pada
umur tertentu tergantung jenis bambunya. Menurut Sonjaya (2009), bambu ori (Bambusa
bambos) dapat dipanen pada umur 34 tahun, sedang bambu ampel (Bambusa vulgaris)
dipanen setelah umur 3 tahun dan mengalami puncaknya pada umur 68 tahun. Bambu
petung (Dendrocalamus asper) dan bambu wulung/bambu hitam (Gigantochloa
atroviolaceae) masing-masing dipanen pada umur 3 tahun (mencapai puncaknya pada umur
56 tahun) dan 45 tahun. Pada umumnya praktek pemanenan tradisional yang dilakukan
selama ini tidak menebang habis semua batang bambu tetapi dengan menyisakan beberapa
batang untuk proses regenerasi.
792
ILMU KEHUTANAN
793
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
METODOLOGI
Lokasi penelitian
Penelitian dilakukan di areal hutan rakyat atau lahan milik rakyat di daerah Purwokerto,
Jawa Tengah dan Gunungkidul, DIY.
ProsedurPenelitian
1). Pengumpulan data primer :
a. Menentukan lokasi penelitian secara purposif didasarkan pada kemudahan
pelaksanaan penelitian untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
b. Mencatat kondisi awal rumpun bambu yang akan dipanen, yaitu jumlah bambu (tua
dan muda) dan jumlah rebung per rumpun.
c. Memilih dan menandai batang bambu yang akan ditebang.
d. Mengamati kegiatan pemanenan bambu dengan berbagai alat panen tradisional
maupun dengan perlakukan pada lokasi yang telah ditentukan.
e. Setiap pengamatan kegiatan pemanenan dicatat jarak (m) dari tempat bambu
ditebang hingga ke pengumpulan sementara, waktu kerja (detik), diameter (cm) dan
panjang (m) bambu yang dipanen. Diameter dan panjang bambu diukur dengan
meteran dan waktu kerja diukur dengan stopwatch.
f. Setiap waktu pengamatan dicatat waktu yang terbuang (waktu tidak tetap) akibat
gangguan alat yang digunakan ataupun faktor lain.
g. Mencatat dan menghitung jumlah rebung dan bambu muda yang rusak akibat
kegiatan penebangan bambu.
2). Pengumpulan data sekunder
a. Studi pustaka : mengumpulkan referensi yang berkaitan dengan teknik pemanenan
bambu.
b. Mencatat produksi bambu dan rebung per rumpun per tahunan.
c. Mencatat kondisi umum areal hutan tempat penelitian.
d. Mencatat tarif upah penebang, pengumpul dan pengangkut bambu
e. Mencatat harga jual bambu dan rebung.
Analisis Data
Hasil pengamatan di lapangan dianalisis dan dikaji untuk mengetahui pengaruhteknik
pemanenan bambu terhadap kerusakan permudaan. Rumus-rumus yang digunakan dalam
pengolahan data adalah sebagai berikut:
1). Produktivitas alat pemanenan dihitung dengan rumus:
Vm
Pm =
Wm
2). Volume bambuyang dipanen dihitung dengan rumus seperti di bawah ini dengan asumsi
bambu yang berbentuk bulat pejal seperti kayu (tanpa ada growong di tengahnya) :
V = 1/4 S D2 x L
di mana : V = Volume bambu; D = Diameter rata-rata (pangkal dan ujung) dalam meter;
L= Panjang sortimen (m)
794
ILMU KEHUTANAN
rusak
K= x 100%
awal
Rebung dalam hal ini dibatasi sebagai tanaman bambu yang masih dapat
dimakan/dikonsumsi manusia untuk dimakan (Winarto B, 2006).
795
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Jumlah
Produktivitas Efisiensi
Volume Kerusakan
No plot penebangan pemanfaatan
bambu (m3) permudaan
(m3/jam) (%)
(batang)
1. 0,059 0,744 70 8
2. 0,057 0,616 69 7
3. 0,051 0,643 68 7
Rerata 0,056 0,667 69 7
796
ILMU KEHUTANAN
berarti tingkat pemanfaatan batang bambu juga semakin tinggi. Dengan kata lain, limbah
batang bambu yang tidak dimanfaatkan semakin rendah. Jumlah kerusakan permudaan
berkisar antara 78 batang/rumpun dengan rata-rata 7 batang/rumpun.
Jumlah
Produktivitas Efisiensi
Volume Kerusakan
No plot penebangan pemanfaatan
bambu (m3) permudaan
(m3/jam) (%)
(batang)
1. 0,038 0,342 50 3
2. 0,013 0,117 48 3
3. 0,026 0,238 48 2
Rerata 0,026 0,232 48,67 3
Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa dalam satu rumpun, bambu wulung yang
ditebang berkisar antar 1015 batang, namun demikian diameter batang bambu kecil (rata-
rata 12 cm) jika dibamdingkan dengan bambu wulung yang berasal dari Purwokerto
797
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
(penelitian sebelumnya). Jumlah batang bambu yang tua/masak tebang dalam satu rumpun
pun juga lebih sedikit, yaitu berkisar antara 35 batang/rumpun. Hal ini kemungkinan
disebabkan oleh pengelolaan bambu yang masih kurang. Masyarakat masih mengganggap
bambu mempunyai nilai yang lebih rendah dibandingkan barang lainnya (kayu), sehingga
tanaman bambu dibiarkan tumbuh dengan sendirinya tanpa perlakuan tertentu bahkan
dalam teknik penebangannya pun tidak memperhatian aspek kelestarian. Misalnya
menebang bambu yang masih muda/belum masak tebang: tinggi sisa batang bambu yang
ditebang/tinggi tunggak masih cukup tinggi, yaitu sekitar 100 m; dan tidak dilakukan
kegiatan penebangan secara rutin (bambu yang sudah masak tebang) untuk merangsang
pertumbuhan tunas-tunas bambu yang baru.
Berdasarkan penebangan bambu yang dilakukan sesuai kebiasaan masyarakat
setempat, jumlah kerusakan permudaan yang terjadi adalah :
x 23 batang bambu muda rusak karena sengaja ditebang untuk membuka
jalan/memberi ruang gerak untuk mencapai bambu tua di bagian tengah rumpun.
Diameter bambu yang rusak rata-rata 5 cm.
x 23 batang bambu rusak pada saat penebangan, yaitu patah karena tertimpa pohon
yang ditebang atau patah karena kegiatan penarikan batang bambu yang ditebang
(tersangkut di bagian ujung batang).
Yang perlu dicatat di sini adalah tingginya sisa batang bambu bekas tebangan/tinggi
tunggak bambu yang ditinggalkan, yaitu mencapai 100 m. Berdasarkan wawancara dengan
penebang menyatakan bahwa mereka merasa cukup memanfaatkan batang bambu yang
ada tanpa mempedulikan sisa batng bambu yang ditinggalkan masih tinggi. Dengan kata
lain, pemanfaatan batang bambu tidak maksimal karena tunggak yang ditinggalkan masih
tinggi. Kerusakan permudaan bambu saat kegiatan penebangan tidak ditemukan pada
tingkat rebung, karena memang pada saat kegiatan penebangan tersebut tidak ditemukan
rebung.
Alat yang digunakan untuk menebang bambu berupa gergaji tangan. Tenaga kerja
yang digunakan sekitar 3 orang, satu orang bertugas sebagai penebang, dan dua orang
membantu menebang, menarik batang bambu yang sudah roboh dan membagi batang
bambu.
Berdasarkan Tabel 2 di atas, volume bambu yang ditebang berkisar antara 0,013
0,038 m3 dengan rata-rata 0,026 m3. Produktivitas penebangan berkisar antara 0,1170,342
m3/jam. Produktivitas penebangan bambu dipengaruhi oleh volume bambu yang ditebang
dan berbanding terbalik terhadap waktu yang dibutuhkan untuk menebangnya. Semakin
besar volume bambu yang ditebang cenderung meningkatkan produktivitas penebangan.
Efisiensi pemanfaatan bambu berkisar antara 4850% dengan rata-rata 48,67%. Efisiensi
pemanfaatan ini menunjukkan perbandingan antara panjang bambu yang dapat
dimanfaatkan dengan panjang bambu total yang ditebang. Semakin tinggi nilai efisiensinya
berarti tingkat pemanfaatan batang bambu juga semakin tinggi. Dengan kata lain, limbah
batang bambu yang tidak dimanfaatkan semakin rendah. Efisiensi pemanfaatan bambu di
Gunungkidul ternyata lebih rendah dibandingkan dengan di Purwokerto. Hal ini berarti limbah
batang bambu yang tidak dimanfaatkan masih tinggi. Kenyataan di lapangan menunjukkan
bahwa tinggi tunggak bambu yang ditinggalkan cukup tinggi, yaitu sekitar 100 cm. Jumlah
kerusakan permudaan berkisar antara 23 batang/rumpun dengan rata-rata 3
batang/rumpun.
Tanaman bambu ternyata sudah dikembangbiakkan secara kultur jaringan, yaitu di
daerah Sleman (sebelum terjadi letusan gunung Merapi 2010).Kultur jaringan bambu
tersebut dikembangkan oleh PT Bambu Nusa Verde. Gambaran tentang PT Bambu Nusa
Verde adalah sebagai berikut, PT. Bambu Nusa Verde (BNV) adalah perusahaan yang
mengembangkan bioteknologi, bergerak di bidang perbanyakan tanaman bambu. BNV
menerapkan teknologi kultur jaringan yang telah dikembangkan oleh perusahaan Belgia
yaitu OPRINS PLANT Company dan melakukan transfer teknologi di BNV.
Pengembangbiakan bamboo dengan cara kultur jaringan telah dilakukan oleh banyak
ilmuwan laboratorium, namun tingkat keberhasilannya masih sangat terbatas. Pada
798
ILMU KEHUTANAN
Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Volume bambu, produktivitas penebangan, efisiensi pemanfaatan, dan jumlah kerusakan
permudaan bambu di Purwokerto berturut-turut sebesar 0,0510,059 m3 dengan rata-
rata 0,056 m3; 0,6160,744 m3/jam dengan rata-rata 0,667 m3/jam; 6870% dengan
rata-rata 69% dan 78 batang/rumpun dengan rata-rata 7 batang/rumpun.
2. Volume bambu, produktivitas penebangan, efisiensi pemanfaatan, dan jumlah kerusakan
permudaan bambu di Gunungkidul berturut-turut sebesar 0,0130,038 m3 dengan rata-
rata 0,026 m3; 0,1170,342 m3/jam dengan rata-rata 0,232 m3/jam; 4850% dengan
rata-rata 48,67% dan 23 batang/rumpun dengan rata-rata 3 batang/rumpun.
3. Efisiensi pemanfaatan bambu di Gunungkidul lebih rendah daripada di Purwokerto, hal
ini ditunjukkan dengan tingginya tunggak bambu yang ditinggalkan.
Saran
1. Perlu penerapan teknik pemanenan bambu berupa model horse shoe/tapak kuda
untuk membuka jalan dalam menebang bambu tua yang posisinya berada di bagian
tengah rumpun. Atau dengan menggunakan alat pemotong ranting bambu pada bagian
ujung sehingga tidak merusak bambu yang tidak ditebang, pada saat bambu yang
ditebang ditarik.
2. Perlu peningkatkan efisiensi pemanfaatan bambu untuk menghemat bahan baku bambu
dan penebangan bambu perlu dilakukan secara rutin untuk merangsang tumbuhnya
permudaan bambu dan pertumbuhan bambu dapat optimal (diameter dan panjangnya).
3. Perlu diteliti aspek kelembagaan bambu sebagai bahan baku industri masyarakat
setempat.
DAFTAR PUSTAKA
799
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
800
ILMU KEHUTANAN
LAMPIRAN
KEGIATAN PENEBANGAN BAMBU
801
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Gambar 7. Batang bambu yang sudah Gambar 8. Tumpukan bambu wulung hasil
terpotong tetapi batang ujungnya masih penebangan
tersangkut di bagian atas dengan bambu lain
Gambar 9. Tinggi tunggak bambu yang Gambar 10. Tinggi tunggak bambu yang
ditinggalkan oleh masyarakat Gunungkidul ditinggalkan oleh masyarakat Purwokerto
802
ILMU KEHUTANAN
ABSTRACT
At the Dungus Iwul natural forestry, West Java ecological station, Macrotermes gilvus
Hagen (Macrotermitidae) was observed to build mounds enriched with fine particles. Using
laboratory experiments we studied the selection of building materials by worker termites
offered (0-20 cm), (20-40 cm) and deeper layer (40-60 cm). the physical and chemical
properties of the unused soil and subsequent termite constructions (foraging galleries and
fungus comb chambers) were compared in each case.
When presented with a single soil type, the termites modified soil texture for different
parts of their structure. Termite building activity increased when presented with both soil
types and a notable selection was observed in the use of a given soil type for a specific part
of the structure built.
We conclude that termites utilize soil particle selectivity, favoring finer and making
construction which match ecological, physiological, and behavioral needs. Compared with
material from deeper horizon, less energy was expended when surface soil was used as a
resource for gallery building and less C and N supplementation was needed. In contrast,
termites preferred deeper soil for constructing fungus-comb chamber walls because this
material has greater water holding capacity.
ABSTRAK
Lokasi pengambilan sampel di Hutan Alam Dungus Iwul, Jawa Barat, dengan
specimen Macrotermes gilvus Hagen diamati sarang dengan partikel tanahnya sebagai
bahan pengamatan. Penelitian di laksanakan dengan metode lapang dan metode
laboratorium di dengan material bangunan sarang yang dibawa oleh kasta pekerja pada
kedalaman (0-20 cm), (20-40 cm) dan (40-60) dari permukaan tanah. Sifat fisik dan kimia
tanah diamati adalah tanah diluar dan didalam sarang.
Kehadiran rayap dapat merubah satu tipe tanah, hal ini disebabkan karena rayap
dapat memodifikasi tekstur tanah disekitarnya. Aktivitas rayap dapat meningkatkan tipe
tanah dan menseleksi dalam penggunaan tanah disekitarnya untuk membangun sarang
Dapat disimpulkan bahwa rayap dapat menseleksi tipe tanah dalam membangun
sarang untuk kebutuhan ekologi, fisologi dan tingkah laku yang diperlukan dalam
kehidupannya. Pada lapisan horizontal, energi sangat diperlukan rayap untuk membangun
sarang, sehingga dibutuhkan persediaan unsur C dan N di dalam sarang. Sementara itu,
rayap menyukai lapisan tanah paling bawah untuk konstruksi kebun jamur dan tempat kawin
ratu raja. Dengan demikian, porositas yang tinggi terdapat didalam sarang.
803
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
PENDAHULUAN
Rayap merupakan komponen biotik suatu ekosistem yang ada di alam. Rayap dalam
ekosistem tersebut secara keseluruhan merupakan pengguna energi, konsumen tingkat
pertama dan dekomposer bahan organik. Rayap mampu menghancurkan dan
mengkonsumsi bagian-bagian tumbuhan mati atau hidup dan sekaligus menguraikannya
menjadi bahan anorganik dengan memanfaatkan simbiosis dengan organisme lain di dalam
sistem pencernaannya. Akibat perilakunya tersebut, rayap dapat mengubah sifat fisik dan
sifat kimia tanah daerah yang ditempatinya (Bignell dan Eggleton, 2000). .
Sarang M. gilvus Hagen memiliki tata ruang yang telah berkembang baik terdiri dari
dinding sarang, pusat sarang, bilik ratu, kebun jamur, liang kembara dan sistem pergantian
udara. Beberapa peneliti melihat bahwa sarang rayap memiliki peranan dalam membentuk
kondisi lingkungan sarang yang ideal seperti temperatur, kelembaban dan konsentrasi gas
yang diperlukan untuk respirasi (Bronick dan Lal, 2005).
Faktor lingkungan yang mempengaruhi perkembangan populasi rayap meliputi curah
hujan, suhu, dan kelembaban. Faktor-faktor tersebut saling berinteraksi dan saling
mempengaruhi satu sama lain (Jouquet et al. 2002). Kelembaban dan suhu merupakan
faktor yang secara bersama-sama mempengaruhi aktivitas rayap. Perubahan kondisi
lingkungan menyebabkan perubahan perkembangan, aktivitas, dan perilaku rayap.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sebagian dari karakteristik tanah yang merupakan
habitat rayap Macrotermes gilvus Hagen, sehingga diperoleh gambaran mengenai kondisi
habitat rayap tersebut.
METODE PENELITIAN
Pada tahap pertama dilakukan pada komunitas hutan alam Cagar Alam Dungus Iwul,
Jawa Barat. Sementara itu, tahap kedua dilakukan di Laboratorium Terpadu Institut
Pertanian Bogor serta laboratorium Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Institut Pertanian
Bogor. Sarang yang ada di lokasi penelitian dengan komposisi 3 sarang ukuran besar, 3
sarang ukuran sedang, dan 3 sarang ukuran kecil. Parameter Sifat Fisik Tanah yang diukur
adalah tanah didalam sarang dan tanah diluar sarang suhu, pH, Profil Tanah, dan Tekstur
Tanah.
Tabel 1. Kandungan Fraksi Pasir, Debu dan Liat pada Sarang Rayap Macrotermes gilvus
Hagen Tanah dalam Sarang dan Tanah Sekitar Sarang pada Komunitas Hutan Alam
TEKSTUR
LOKASI
Pasir (%) Debu (%) Liat (%)
Sarang Macrotermes (L) 10.4511.49 34.0138.48 51.0754.8
Sekitar Sarang 8.710.22 36.3146.33 44.9754.91
Macrotermes (L)
Sarang Macrotermes (M) 12.3113.81 17.9438.91 47.2869.75
Sekitar Sarang 11.9413.99 36.4238.55 47.4651.64
Macrotermes (M)
Sarang Macrotermes (S) 12.5716.37 28.5937.23 50.255.04
Sekitar Sarang 10.3814.92 20.4933.67 52.9669.13
Macrotermes (S)
Perubahansifat fisik dan kimia tanah seperti yang telah dikemukakan diatas, secara
tidak langsung dapat mempengaruhi kondisi tanah sehingga dapat mengganggu
804
ILMU KEHUTANAN
pertumbuhan tanaman. Pengaruh perubahan sifat tanah dapat dijelaskan bahwa perubahan
dalam tekstur, bobot isi dan porositas menyebabkan perubahan dalam kepadatan tanah,
struktur tanah, drainase dan aerasi tanah. Pada sarang M. gilvus tanah terlihat lebih padat,
struktur lebih pejal dan kompak, aerasi lebih baik,
Faktor tanah (edafik) merupakan faktor yang mempengaruhi kelimpahan sarang.
Tanah dengan tekstur liat yang mendominasi sangat disukai rayap M. gilvus dalam
membangun sarang. Pada lahan dengan kemiringan lereng 3-8% tanah kohesif seperti
lempung atau liat tetap kuat meskipun dalam keadaan tidak dapat mengikat (unconfined)
seperti tanah berbutir (pasir, kerikil). Tekstur liat dengan perekat air ludah (saliva) yang
berfungsi sebagai semen membuat sarang rayap M. gilvus manjadi kuat. Sementara itu,
tanah dengan tekstur liat juga berguna untuk kehidupan mikroorganisme dalam tanah
(Sarcinelli et al. 2009). Tanah dengan tipe seperti ini banyak mengandung bahan organik
yang membantu rayap M. gilvus dalam mendegradasi bahan-bahan organik menjadi bahan
anorganik.
Porositas tanah dalam sarang M. gilvusmerupakan jumlah ruang pori dalam tanah.
Banyaknya ruang pori dalam tanah dipengaruhi oleh kandungan bahan organik, struktur, dan
tekstur tanah (Nash & Whitford 1995). Porositas tanah dalam sarang semakin banyak
apabila kandungan bahan organiknya tinggi. Tanah bertekstur pasir memiliki porositas lebih
rendah dibanding tanah yang bertekstur liat.Hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan
nyata porositas dari tanah dalam sarang dibandingkan dengan tanah diluar sarang.
Banyaknya liang kembara, ruangan-ruangan dalam sarang, serta kandungan liat yang tinggi
dalam sarang menyebabkan tingginya porositas tanah di dalam sarang rayap M. gilvus.
Rayap tanah M. gilvus Hagen membentuk sistem konstruksi bangunan sarang tidak
menjulang tinggi keatas, tetapi melebar kesamping. Hal ini berbeda dengan M. michaelseni
di Kenya, yang memiliki kekuatan untuk membentuk konstruksi sarang menjulang keatas.
Seperti halnya dengan bangunan yang dibuat oleh manusia, dalam pembuatan bangunan
dan konstruksi sarang, rayap Macrotermes selalu merubah konstruksi bangunan sarang, hal
ini disesuaikan dengan kondisi iklim dihabitatnya (Turner 2000).
KESIMPULAN
Karakteristik tanah pada sarang M. gilvus, tanah dalam sarang dan tanah sekitar
sarang dalam hal kandungan fraksi pasir, debu dan liat; kadar air tanah. Berdasarkan
komposisi kandungan tekstur tanahnya, maka keempat lokasi diatas memiliki kelas tekstur
tanah liat.
DAFTAR PUSTAKA
805
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
ABSTRACT
Plantation forest is a major source to meet timber industry and community needs.
One of native tree species in Indonesia which has been widely known is mangium (Acacia
mangium Willd.). This species is categorized as a fast-growing tree species and has many
advantageous in addition to several weaknesses. The results of breeding species have
obtained superior seeds having high productivity. This paper aims to present information on
A. mangium species that can be used for pulp and paper as well as for construction wood. A.
mangium has been widely planted as a producer of fiber wood with a 6-7 year cutting
rotation producing 175-300 m3/ha depending on soil fertility. Meanwhile, many people have
accepted A. mangium wood as a construction wood, among others, for light construction,
furniture and parquet. Considering this it is necessary to review A. mangium plantations for
pulp and construction wood. The results showed that 8-10 years cutting rotation, trees can
reach diameter of 30 cm with a production of 150-200 m3/ha, consisted of construction
wood 50-60 m3/ha and pulp as much as 100-140 m3/ha. If the tree diameter is 40 cm dbh
then the cutting rotation is about 12 years and the produced construction wood ranges 80-
160 m3/ha and for pulp 150-230 m3/ha. To enrich paper the examples of successful A.
mangium forest plantation development in provinces of South Sumatra and Riau are also
presented.
Key words: Acacia mangium, construction wood, pulp
ABSTRAK
806
ILMU KEHUTANAN
PENDAHULUAN
Salah satu jenis pohon asli (native tree species) Indonesia yang dikategorikan
sebagai jenis tumbuh cepat (fast growing species) adalah mangium dengan nama botani
Acacia mangium Willd, termasuk suku Leguminoceae. Jenis pohon ini tumbuh secara alami
di Maluku yaitu di Pulau Sula, Seram dan Papua (Pulau Aru). Diluar Indonesia menurut
Awang dan Taylor (1993) A. mangium terdapat di Papua New Guinea dan Australia
(Quensland).
A. mangium termasuk jenis pionir dan memerlukan cahaya penuh (full light) untuk
pertumbuhan yang baik. Dibawah naungan jenis ini tumbuh kerdil dan kurus. A. mangium
dikenal karena kekuatan/keteguhannya (robustness) dan kemampuannya untuk
menyesuaikan (adaptability) sehingga banyak ditanam antara lain di padang alang-alang
sebagai pemecah angin (Lemmens et al., 1995). Kegiatan penghijauan dan rehabilitasi lahan
kritis juga banyak menggunakan A. mangium sebagai salah satu jenis yang ditanam. Akan
tetapi, bila pertumbuhannya tidak dikendalikan dengan baik A.mangium berpotensi sebagai
jenis invasif.
Jenis ini telah ditanam dalam skala besar pada pembangunan Hutan Tanaman
Industri (HTI) terutama di Provinsi Riau antara lain pada areal PT Riau Andalan Pulp and
Paper (RAPP) APRIL Group; Provinsi Sumatera Selatan diantaranya PT Musi Hutan
Persada; Provinsi Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur. Rimbawanto (2002) dan Barry
et al. (2004) melaporkan bahwa sekitar 80% hutan tanaman di Indonesia ditanami dengan A.
mangium..Karena mempunyai prospek yang menjanjikan maka sejak tahun 1992 berbagai
kegiatan program pemuliaan pohon (tree breeding) telah dilakukan pada jenis A. mangium,
antara lain oleh Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Pohon Hutan
Yogyakarta. Sampai saat ini telah dihasilkan A. mangium yang unggul (F1 dan F2) dimana
pada umur 4 tahun dapat dihasilkan volume tegakan sekitar 86 m3/ha - 118 m3/ha
(Puslitbang Hutan Tanaman, 2006). Program pemuliaan pohon untuk mendapatkan bibit
unggul dengan produktivitas yang tinggi juga telah dilaksanakan oleh PT RAPP APRIL
Group Riau (Golani et al., 2009).
Pembangunan HTI jenis A. mangium terutama ditujukan untuk memproduksi pulp
dan kertas dalam waktu yang relatif singkat. Hardiyanto et al., (2010) mengemukakan bahwa
pemanenan kayu A. mangium untuk pulp dilakukan pada umur 6-7 tahun. Pada umur
tersebut akan diperoleh volume sebesar 175 300 m3/ ha tergantung pada kesuburan
tanah dan intensifikasi pemeliharan. Pada lahan yang subur dan baik mangium dapat
mencapai riap 46 m3/ha dengan volume 415 m3/ha pada umur 9 tahun (Sindusuwarno et al.,
1981; Ginoga et al., 1999 dalam Santoso et al., 2005).
Penggunaan kayu mangium untuk kayu pertukangan dan belakangan ini untuk bahan
baku mebel telah dilakukan oleh masyarakat. Menurut Krisdianto dan Hendarto (2006),
pemakaian kayu mangium untuk pembuatan mebel pada industri perkayuan telah dilakukan
di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Keuntungan menggunakan kayu mangium karena jenis ini
memiliki kemiripan dengan kayu jati yaitu bagian terasnya. Dikemukakan lebih lanjut bahwa
kayu mangium banyak digunakan untuk membuat siku, sambungan, dan penyangga dalam
pembuatan lemari kayu.
BUDIDAYA MANGIUM
807
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Hutan tanaman A. mangium yang dilakukan dalam skala besar untuk produksi kayu
untuk bahan baku pulp umumnya telah melaksanakan SILIN. Bibit unggul melalui
persilangan untuk mendapatkan keturunan yang baik dengan produktivitas tinggi telah
diterapkan. Program pemuliaan pohon telah dilaksanakan oleh beberapa perusahaan.
Misalnya, PT RAPP pada tahun 2009 sudah memiliki 237 ha kebun benih yang terdiri dari
CSO/CBO/SSO seluas 106 ha dan SPA seluas 136 ha (Golani et al., 2009). Berbagai
kegiatan pemuliaan pohon untuk meningkatkan kualitas benih diantaranya melalui uji
provenan telah mampu meningkatkan volume tegakan mencapai 46 % dibandingkan dengan
provenan lokal (Purwita et al., 2010).
Penanaman A. mangium dilakukan pada musim penghujan namun ada pula yang
menanam sepanjang tahun seperti yang dilakukan oleh PT MHP Sumatera Selatan. Jarak
tanam tergantung dari tujuan penanaman. Untuk penghasil kayu serat jarak tanam mulai dari
2 m x 2 m sampai 4 m x 4 m. Untuk kayu pertukangan jarak tanam umumnya 3 m x 3 m dan
dilakukan penjarangan agar diperoleh batang kayu yang cukup besar. Penanaman dapat
dilakukan dengan biji dan juga stek batang (Lemmens et al., 1995).
Manipulasi lingkungan termasuk pemberian pupuk dan pemeliharaan tanaman
secara intensif telah meningkatkan produksi A. mangium. Hardiyanto dan Wicaksono (2008)
dalam Golani et al. (2009) melaporkan penggunaan pupuk P pada tanaman A. mangium
umur lima tahun di PT Musi Hutan Persada Sumatera Selatan, dengan dosis 28,0 gram per
pohon atau 30,9 kg per ha telah meningkatkan volume batang sebesar 311 m3 per ha
dibandingkan dengan tanpa pemupukan sebesar 291 m3 per ha. Pemberian pupuk pada
hutan tanaman telah dilakukan mulai dari tingkat semai sampai tanaman muda. Purwita et al.
(2010) melaporkan bahwa pada jenis pohon A. mangium yang ditanam pada tanah podsolik
merah kuning dan diberi pupuk P memberikan respon pertumbuhan yang sangat signifikan.
Dikemukakan lebih lanjut bahwa selain dosis juga perlu diperhatikan waktu pemupukan yang
tepat.
Pemeliharaan tanaman dari gulma dilakukan dengan cara penyemprotan herbisida
terhadap tanaman bawah sampai tajuk menutupi lahan sehingga tanaman A. mangium
bebas dari gulma. Manajemen tapak yang tepat antara lain seperti yang dilakukan di PT
Musi Hutan Persada Sumatera Selatan dapat meningkatkan volume tanaman A. mangium
umur 6 tahun sebesar 271,8 m3/ha/tahun yaitu pada perlakuan semua gulma, serasah dan
residu tebang ditinggalkan di sekitar lahan ditambah dengan residu tebang dari luar (Purwita
et al., 2010).
PEMANFAATAN MANGIUM
Kayu Serat
Pembangunan HTI khususnya jenis A. mangium sebagian besar ditujukan sebagai
penghasil kayu serat untuk bahan baku pulp dan kertas.
Beberapa sifat kayu A. mangium yang terkait dengan pemanfaatannya sebagai bahan baku
pulp dan kertas adalah:
x Tumbuh cepat dimana untuk pulp daur tebang sekitar 5-6 tahun,
x Dapat tumbuh pada sebagian besar jenis tanah, bahkan pada tanah-tanah kritis.
x Pembuatan pulp dan kertas dengan proses sulfat pada alkali aktif 16 %, sulfiditas 25 %,
lama perendaman 2 jam, suhu maksimum 170C selama 1,5 jam diperoleh rendemen pulp
tersaring sebesar 51,46 % (Santoso et al., 2005)
x Sebagai bahan baku pulp dan kertas jenis ini dimasukkan dalam Kualitas II (cukup baik),
dimana pulp mudah diputihkan. Kekuatan kertas termasuk sedang dengan Nilai II
(Santoso et al., 2005)
Marsoem (2004) mengemukakan sifat-sifat kayu mangium yang meliputi sifat fisik dan
kimiawi seperti disajikan pada Tabel 1.
808
ILMU KEHUTANAN
Sejak tahun 1999 PT Musi Hutan Persada Sumatera Selatan telah menanam A.
mangium dalam skala besar dan kayunya digunakan untuk pembuatan pulp mencapai
450.000 ton per tahun (Marsoem, 2004). Menurut Hardiyanto et al. (2010) produktivitas HTI
mangium di PT Musi Hutan Persada untuk bahan baku pulp adalah sebesar 175-300 m3/ha
pada pemanenan umur 6-7 tahun. Dikemukakan lebih lanjut bahwa volume tersebut
ditentukan oleh berbagai faktor yaitu kesuburan tanah, iklim, dan teknik budidaya yang
digunakan.
Penjarangan tidak diperlukan untuk hutan tanaman mangium yang ditujukan untuk
menghasilkan pulp, karena untuk produksi pulp tidak ada pembatasan ukuran produk. Rotasi
tebang optimal hutan tanaman mangium untuk produksi kayu pulp pada umumnya menurun
(lebih cepat) dengan makin meningkatnya kualitas tempat tumbuh dan kerapatan tegakan
(jarak tanam). Semakin tinggi indeks tempat tumbuh, semakin banyak kayu pulp yang dapat
dihasilkan dari tegakan. Begitu pula, semakin tinggi kerapatan tegakan awal, semakin
banyak kayu pulp yang dihasilkan, meskipun peningkatan produksinya tidak sebesar seperti
pada peningkatan kualitas tempat tumbuh. Tegakan mangium dengan jarak tanam 2m x 2.5
m (2000 pohon/ha) bisa menghasilkan kayu pulp sekitar 200-350 m3/ha pada umur 8 tahun
(tergantung kualitas tapak).
Kayu Pertukangan
Selain untuk pulp kayu mangium saat ini banyak digunakan oleh masyarakat untuk
kayu pertukangan. Sebagai kayu pertukangan A. mangium memiliki sifat-sifat yang
menguntungkan diantaranya:
x Ukuran kayu cukup besar, dan dapat mencapai diameter sekitar 30 cm pada umur
sekitar 10 tahun, sehingga tidak memerlukan waktu yang relatif lama untuk
memproduksinya.
x Memiliki kerapatan kayu (wood density) 450 (530-690) kg/m3 pada kandungan
kelembapan 15 %. Bobot jenis 0,50-0,60 termasuk ringan dan sedang. Kelas Keawetan
tergolong dalam Kelas Awet II-III dan Kelas Kuat II-III; sedangkan Kelas Ketahanan
digolongkan dalam III-IV.(Lemmens et al., 1950; Martawijaya dan Barly, 1990; Ginoga,
1997; Muslich dan Sumarni, 1993; Ismanto, 1995).
x Rendemen dolok mangium sebesar 39,6 % untuk diameter rata-rata 22,4 cm dan
panjang 257,5 cm (Rachman dan Balfas, 1990 dalam Santoso et al., 2005) dan dengan
teknik Pembelahan Pertama Terbaik (PPT) dan simulasi komputer rendemen dapat
mencapai 51,24 % (Santoso et al., 2005). Rendemen kayu maksimum menurut Kliwon et
al. (2000) untuk penggergajian kayu mangium berkisar 35 sampai 53 % dimana lebar
maksimum 6,5 cm. Bahkan rendemen dapat mencapai 33 54 % untuk dolok berukuran
15-40 cm dimana lebar papan maksimum sebesar 10 cm (Supriadi dan Amelia, 2004).
x Karakteristik pengerjaan kayu secara umum baik, dimana sifat permesinan kayunya
termasuk kelas II I (Baik-Sangat Baik). Sifat mekanis mangium yang terdiri dari MOR:
809
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Marsoem (2004) melaporkan bahwa kayu mangium dapat dibuat kayu lapis
(plywood), kayu OSB (oriented strand band), dan kayu gergajian (sawn wood). Hal yang
serupa juga dikemukakan sebelumnya oleh Lemmens et al. (1995) dimana kayu mangium
berpotensi untuk digunakan sebagai kayu gergajian, moulding, furniture dan vinir. Hasil
percobaan pembuatan papan serat berkerapatan sedang (Mediun Density Fiberboard,
MDF) jenis mangium diperoleh hasil yang memuaskan dan memenuhi persyaratan FAO
maupun Jepang (JIS) (Santoso et al., 2005).
Pemanfaatan mangium untuk kayu pertukangan diperoleh dari hutan tanaman yang
umurnya lebih dari delapan tahun. Krisnawati et al. (2011) mengemukakan bahwa daur
optimum jenis mangium untuk kayu pertukangan adalah 11-17 tahun tergantung pada jarak
tanam dan kualitas tapak. Pada kisaran umur ini tegakan mangium bisa menghasilkan kayu
pertukangan sebesar 130-260 m3/ha dengan kisaran diameter rata-rata 33-45 cm.
Hardiyanto et al. (2010) melaporkan bahwa di areal HTI A. mangium PT Musi Hutan
Persada, Sumatera Selatan, dengan daur 8-10 tahun diameter pohon mangium mencapai 30
cm dengan produksi kayu total sekitar 150-200 m3/ ha dimana kayu pertukangan diperoleh
sebanyak 50-60 m3/ha dan sisanya dimanfaatkan untuk pulp dan keperluan lainnya. Bila
diameter pohon yang diinginkan sekitar 40 cm maka daur tebang yang diperlukan kurang
lebih 12 tahun tergantung tingkat pemeliharaan dan hasil kayu pertukangan yang akan
diperoleh berkisar antara 80 160 m3/ha serta kayu serat 150 230 m3/ha.
Untuk menghasilkan kayu pertukangan yang berkualitas penjarangan perlu
dilakukan. Penjarangan pertama sebaiknya dilakukan pada umur 24 tahun. Pada kisaran
umur ini, tegakan umumnya memiliki rata-rata tinggi sekitar 9 m. Jumlah penjarangan yang
optimal dalam satu periode rotasi meningkat dengan meningkatnya kerapatan tegakan.
Penjarangan mungkin cukup dilakukan satu kali selama rotasi dengan intensitas 30-60% dari
jumlah pohon. Apabila penjarangan dilakukan lebih dari dua kali dalam satu rotasi,
penjarangan kedua dilakukan paling cepat 2 tahun setelah penjarangan pertama dengan
intensitas penjarangan yang optimal adalah 50% dari jumlah batang Krisnawati et al. (2011).
810
ILMU KEHUTANAN
PENUTUP
1. Hutan tanaman Acacia mangium merupakan sumber utama bahan baku industri pulp dan
kertas di Indonesia terutama di provinsi Riau dan Sumatera Selatan. Daur tebang untuk
pulp umur 6-7 tahun dengan volume sebesar 175-300 m3.
2. Daur tebang untuk kayu pertukangan berkisar antara 11-17 tahun. Pada umur 12 tahun
diameter pohon sekitar 40 cm dan hasil kayu pertukangan antara 80 160 m3/ha serta
sisanya untuk kayu serat. Pemanfaatan kayu mangium untuk kayu pertukangan meliputi
kayu gergajian, kayu lapis indah, mebel.
DAFTAR PUSTAKA
Awang, K and Taylor, D. 1993. Acacia mangium Growing and Utilization. Winrock
International and the Food and Agricultural Organization of the United Nations.
Bangkok, Thailand.
Barry, K.M., Irianto, R.S.B., Santoso, E., Turjaman, M., Widyati, E., Sitepu, I. and
Mohammed, C.L., 2004. Incidence of heartrot in harvest-age Acacia mangium in
Indonesia, using a rapid survey method. Forest Ecology and Management 190: 273-
280.
Ginoga, B. 1997. Beberapa Sifat Kayu Mangium (Acacia mangium Willd) pada beberapa
Tingkat Umur. BuletinPenelitian Hasil Hutan 13 (5):132-149.
Golani, G.D., Siregar, S.T.H., Gafur, A. 2009. Tree Improvement and Silvicultural Research
Progress at PT Riau Andalan Pulp and Paper APRIL Group: Challenges and
Opportunities. Proceedings International Seminar Research on Plantation Forest
811
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
812
POSTER
BIDANG A
ANATOMI DAN SIFAT
DASAR KAYU
ANATOMI DAN SIFAT DASAR KAYU
ABSTRAK
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui karakteristik anatomi yang meliputi sifat
makroskopik dan sifat mikroskopik dari tiga jenis meranti yang berbeda. Kayu yang
digunakan adalah kayu cabang dari jenis Meranti Sangkan, Meranti Bakau, dan Meranti
Bunga Kulit Hitam yang berasal dari Hutan Alam Gambut Bukit Batu, Kab. Bengkalis, Riau.
Hasil penelitian menunjukkan karakteristik sifat mikroskopik dan makroskopik yang berbeda
dari ketiga jenis meranti tersebut. Proporsi sel serabut dalam Meranti Bakau lebih banyak
daripada Meranti Sangkan dan Meranti Bunga Kulit Hitam. Proporsi pembuluh tertinggi
adalah jenis Meranti Sangkan, sedangkan proporsi sel jari-jari dan parenkim kayu Meranti
Bunga Kulit Hitam lebih tinggi daripada dua jenis Meranti yang lainnya.
Kata kunci: mikroskopik, makroskopik, meranti sangkan, meranti bakau, meranti bunga
kulit hitam
PENDAHULUAN
Penelitian sifat dasar kayu sangat penting dilakukan. Hal ini diperlukan untuk
mengetahui peluang penggunaan kayu tersebut. Selain itu, sifat dasar kayu juga dapat
digunakan untuk mengetahui karakteristik maupun ciri-ciri suatu jenis kayu. Pada umumnya,
sifat dasar kayu yang sering dilakukan adalah sifat fisika, mekanika, anatomi, dan kimia kayu.
Sifat fisika dan mekanika kayu dapat digunakan untuk mengetahui peluang dalam
penggunaan kayu untuk tujuan konstruksi dan struktural, sedangkan sifat kimia kayu
digunakan untuk mengetahui peluang penggunaan kayu bukan dalam bentuk kayu aslinya,
misalnya digunakan untuk pulp dan kertas.
Sifat anatomi kayu merupakan salah satu cara untuk mengidentifikasi kayu sehingga
akan diketahui karakter, sifat, maupun ciri-ciri suatu jenis kayu. Hal ini bisa digunakan untuk
membedakan antar jenis kayu. Pada umumnya, anatomi kayu terdiri atas pengenalan sifat
makroskopis dan sifat mikroskopisnya. Dari perbedaan sifat inilah suatu kayu akan dapat
dikenali. Penelitian ini menggunakan tiga jenis Meranti yang berasal dari Hutan Alam
Gambut Bukit Batu, Kab. Bengkalis, Riau, yaitu Meranti Sangkan, Meranti Bakau, dan
Meranti Bunga Kulit Hitam. Masing-masing jenis kayu ini diduga mempunyai sifat yang khas
yang membedakannya dengan yang lainnya. Sebagaimana diketahui bahwa hutan alam
gambut mempunyai ciri yang berbeda dengan kebanyakan jenis hutan yang lainnya. Hal ini
karena hutan gambut mempunyai kandungan keasaman yang sangat tinggi. Maka dari itu,
masing-masing jenis diduga akan mempunyai karakter yang khas akibat proses adaptasinya.
Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui karakteristik makroskopik dan
mikroskopik dari tiga jenis meranti tersebut.
815
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kayu cabang pertama dari Meranti
Sangkan, Meranti Bakau, dan Meranti Bunga Kulit Hitam yang diambil dari Hutan Alam
Gambut Bukit Batu, Kabupaten Bengkalis, Riau. Hutan ini merupakan hutan alam gambut
dan merupakan hutan cagar biosfer. Struktur anatomi yang diamati meliputi struktur
makroskopik (ciri umum) dan mikroskopik. Struktur makro diamati pada contoh kayu yang
telah dihaluskan permukaannya meliputi: warna, corak, tekstur, arah serat, kilap, kesan raba,
kekerasan dan bau (Mandang dan Pandit, 2002). Struktur mikro diamati pada preparat
lintang, radial dan tangensial yang dibuat menggunakan mikrotom setebal 15-25 . Dehidrasi
dilakukan menggunakan alkohol 30%, 50%, 70%, 96% dan alkohol absolut. Pembeningan
dilakukan dengan merendamnya beberapa saat dalam karboxylol dan toluena, lalu direkat
dengan entelan di atas gelas obyek. Ciri anatomi kayu yang diamati dan dicantumkan
meliputi ciri-ciri yang dianjurkan oleh Komite Internasional Association of Wood Anatomist
(Wheeler et al., 1989). Selain itu juga akan dihitung proporsi dari sel penyusun kayu, meliputi
sel pembuluh, serabut, jari-jari, dan sel parenkim. Proporsi ini dihitung berdasarkan
perbandingan luas tipe sel dengan sistem dot grid yang telah baku, yaitu titik-titik dalam jarak
yang sama dalam luasan tertentu. Penghitungan poporsi dilakukan dengan software Image
Pro Plus V 4.5.
Meranti Sangkan
Ciri Makroskopis
Sifat makroskopis dari Meranti sangkan adalah sebagai berikut:
Warna: abu-abu-coklat keputihan. Corak: polos. Tekstur: agak kasar-halus. Arah serat: lurus.
Kilap: agak mengkilap. Kesan raba: tidak licin. Kekerasan: agak lunak-keras, ringan. Bau:
tidak ada bau khas.
Ciri Mikroskopis
Lingkaran tumbuh: terdapat lingkaran tumbuh. Pembuluh: baur karena ukuran pembuluh
kurang lebih sama, pengelompokan pembuluh hampir semuanya tunggal. Bidang perforasi
sederhana. Ceruk selang-seling poligonal. Tilosis tidak ada. Parenkim: parenkim baur
sampai baur berkelompok. Jari-jari: berseri satu sampai tiga, dengan komposisi sel jari-jari
baring. Serabut: panjang serabut termasuk kategori agak panjang (kelas III 900-1600 ;
Marsoem, 2005). Serat bersekat. Terdapat saluran interselular dalam deret tangensial
panjang.
Meranti Bakau
Ciri Makroskopis
Sifat makroskopis dari Meranti Bakau adalah sebagai berikut:
Warna: coklat keputihan-coklat muda. Corak: polos. Tekstur: halus. Arah serat: lurus. Kilap:
mengkilap. Kesan raba: licin. Kekerasan: agak keras-keras, sedang. Bau: tidak ada bau khas.
Ciri Mikroskopis
Lingkaran tumbuh: lingkaran tumbuh tidak jelas. Pembuluh: baur karena ukuran pembuluh
kurang lebih sama, pengelompokan pembuluh hampir semuanya tunggal, namun ada
beberapa pembuluh yang berupa ganda radial. Bidang perforasi sederhana. Ceruk selang-
seling dan bersegi banyak. Tilosis tidak ada. Parenkim: parenkim kebanyakan baur
berkelompok. Jari-jari: berseri satu sampai tiga, dengan komposisi sel jari-jari baring.
Serabut: panjang serabut termasuk kategori agak panjang (kelas III 900-1600 ; Marsoem,
2005). Serat ada yang bersekat dan tidak bersekat. Terdapat saluran interselular dalam
816
ANATOMI DAN SIFAT DASAR KAYU
deret tangensial panjang (terlihat jelas pada penampang makro, namun dalam penampang
mikro tidak kelihatan karena diduga adanya perbedaan posisi pengambilan gambar).
Ciri Mikroskopis
Sifat mikroskopis dari Meranti Bunga Kulit Hitam adalah sebagai berikut:
Lingkaran tumbuh: lingkaran tumbuh jelas dikarenakan adanya perbedaan pembuluh kayu
awal dan akhir dan parenkim marjinal. Pembuluh: pori tata lingkar, karena ukuran pembuluh
besar dan kecil, pengelompokan pembuluh hampir semuanya tunggal. Bidang perforasi
sederhana. Ceruk selang-seling dan bersegi banyak. Tilosis tidak ada. Parenkim: parenkim
kebanyakan baur berkelompok. Jari-jari: berseri satu sampai tiga, dengan komposisi sel jari-
jari baring. Serabut: panjang serabut termasuk kategori agak panjang (kelas III 900-1600 ;
Marsoem, 2005). Serat tidak bersekat.
Dilihat dari proporsi sel penyusun kayunya, Meranti Bakau mempunyai proporsi serat
yang lebih tinggi dibandingkan Meranti Sangkan dan Meranti Bunga Kulit Hitam. Ketiga jenis
meranti ini sesuai dengan pernyataan Biermann (1996) bahwa proporsi serabut kayu daun
lebar adalah dalam kisaran 36-70%. Begitu juga dengan pendapat Bowyer et.al. (2003)
bahwa kisaran serabut adalah 15-60%. Namun dalam penelitian ini, jenis Meranti Bakau
mempunyai proporsi serabut yang lebih tinggi dari pendapat Bowyer et.al. (2003). Dilihat dari
sel pembuluh, proporsi sel pembuluh kayu Meranti Sangkan lebih tinggi dari Meranti Bakau
dan Meranti Bunga Kulit Hitam. Data yang diperoleh sesuai dengan pernyataan Panshin dan
De Zeeuw (1980) dan Prawirohatmodjo (1999) dimana kisaran pembuluh adalah 6,5-55%.
Proporsi sel jari-jari yang tertinggi adalah Meranti Bunga Kulit Hitam, diikuti oleh Meranti
Sangkan dan Meranti Bakau, dengan kisaran 5-30% (Tsoumis, 1991; Bowyer et.al. 2003).
Sedangkan untuk sel parenkim, ketiga jenis kayu Meranti tersebut tidak mempunyai
perbedaan yang sangat besar. Proporsi sel parenkim dari ketiga jenis tersebut sesuai
dengan pendapat Panshin dan De Zeeuw (1980) dan Prawirohatmodjo (1999) dimana
kisarannya adalah 0-15%. Namun, proporsi parenkim yang didapat masih lebih rendah dari
pendapat Biermann (1996) yang berada dikisaran 10-35%.
Struktur anatomi kayu-keras (hardwood) terdiri atas sel parenkim, pembuluh, serabut,
dan jari-jari, sedangkan kayu-lunak (softwood) hanya terdiri atas sel trakeid dan jari-jari
(Panshin dan de Zeeuw, 1980). Pada penggunaan struktural, proporsi serat yang lebih
banyak akan menentukan kekuatan dari kayunya. Serabut (serat dalam kayu-keras)
mempunyai fungsi kekuatan dalam sel penyusun kayu, sehingga semakin banyak proporsi
serat, maka akan semakin kuat kayu tersebut. Berdasarkan data dari penelitian ini, maka
Meranti Bakau diduga mempunyai kekuatan fisik dan mekanik yang lebih tinggi dari kayu
Meranti Sangkan dan Meranti Bunga Kulit Hitam. Namun hal ini masih diperlukan penelitian
lanjutan terhadap sifat fisik dan mekanik kayu tersebut.
Sedangkan dalam penggunaan kayu berbasis seratnya, terutama dalam proses
pembuatan kertas, peran dari serabut ini sangat penting. Pada proses pembuatan pulp dan
kertas dari kayu-keras, proporsi dari pembuluh, serat, dan jari-jari sangat penting karena sel-
sel jari-jari dan pembuluh (terutama pembuluh yang besar) mempunyai kecenderungan
untuk hilang dalam proses pulping. Kayu yang mengandung proporsi pembuluh yang banyak
akan menurunkan rendemen pulp yang dihasilkan daripada kayu dengan kandungan serat
tinggi (Bowyer et.al., 2003). Sebaliknya, kayu dengan serat yang tinggi maka akan
mempunyai rendemen dan kekuatan (jebol, tarik) yang tinggi pula. Kayu dengan proporsi sel
pembuluh, jari-jari, dan terutama parenkim yang tinggi akan menurunkan kekuatan tarik dan
jebol dari kertas. Sel-sel ini akan mengganggu ikatan serat ke serat sehingga ikatan
hidrogen antar serat tidak terbentuk sempura. Pada bagas tebu, yang mempunyai parenkim
817
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
dengan panjang 0,4 mm sehingga tidak ikut berperan serta dalam kekuatan kertas,
mengkonsumsi bahan kimia, dan mengganggu pelepasan air pulp ketika dalam cetakan
(Casey, 1980). Meranti Bakau mempunyai proporsi serat yang sangat tinggi, diikuti oleh
Meranti Sangkan dan Meranti Bunga Kulit Hitam. Oleh karena itu, Meranti Bakau mempunyai
prospek yang bagus untuk dikembangkan. Serat dalam kayu sangat identik dengan selulosa
kayu, dimana hubungannya diduga dengan semakin banyak proporsi serat kayu, maka
diduga semakin tinggi pula kandungan selulosa dalam kayu. Penggunaan selulosa dari kayu
penting terutama dalam pemanfaatan kayu untuk pulp maupun untuk energi seperti
bioethanol.
KESIMPULAN
Tiga jenis Meranti dari Hutan Alam Gambut Bukit Batu, Kab. Bengkalis, Riau
mempunyai karakteristik anatomi yang berbeda, baik sifat makroskopis maupun
mikroskopisnya. Meranti Bakau dan Meranti Sangkan mempunyai saluran interselular dalam
baris tangensial panjang. Dilihat dari proporsi selnya, Meranti Bakau mempunyai proporsi
serat yang lebih banyak dari Meranti Sangkan dan Meranti Bunga Kulit Hitam. Dengan
proporsi serat yang banyak, peluang pemanfaatan kayu Meranti Bakau akan lebih terbuka.
DAFTAR PUSTAKA
Biermann, C.J. 1996. Hand Book of Pulping and Papermaking. Second Edition. Academic
Press. California. USA.
Bowyer J.L., J. G. Haygreen, dan R. Schmulsky. 2003. Forest Products and Wood Science :
An Introduction. 4th Ed. Iowa State Press. USA.
Casey, J.P., 1980. Pulp and Paper Chemistry and Chemical Technology. Vol I: Pulping and
Bleaching.Thitd Edition. Wild Interscience Publication. New York.
Mandang dan Pandit, 2002. Pedoman identifikasi jenis kayu di lapangan. Yayasan Prosea,
Bogor dan Pusat Diklat Pegawai SDM Kehutanan, Bogor. 194 hal.
Marsoem, S. N. 2005. Pulp dan Kertas. Bahan Kuliah Mahasiswa Jurusan Teknologi Hasil
Hutan Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada (Tidak dipublikasikan).
Yogyakarta.
Panshin, A.J. dan Carl de Zeeuw. 1980. Text Book of Wood Technology. Fourth Edition. Mc
Graw Hill Book Company. New York, USA.
Prawirohatmodjo, S., Prof.,Dr., 1999. Struktur dan Sifat-Sifat Kayu (Anatomi Kayu, Anatomi
Kayu Daun, Anatomi Kayu Jarum). Jilid III. Diktat Kuliah Kimia Kayu Mahasiswa
Jurusan Teknologi Hasil Hutan Fakultas Kehutanan. Universitas Gadjah Mada (Untuk
Kalangan Sendiri). Yogyakarta.
Tsoumis, G. ,1991. Science and Technology of Wood. Structure, Properties, Utilization. Van
Nostrand Reinhold. New York.
Wheeler, E.A., P. Baas and E. Gasson. 1989. IAWA list of microscopic features for hardwood
identification. IAWA Bulletin. N.s. 10 (3) : 219-332.
818
ANATOMI DAN SIFAT DASAR KAYU
ABSTRAK
Krisis bahan baku merupakan masalah utama yang dihadapi industri kayu di dalam
negeri. Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat (HTR) merupakan salah satu program
pemerintah yang sedang dikembangkan untuk mengatasi masalah tersebut. Jenis pohon
yang ditanamn dalam program HTR jumlahnya cukup banyak dan kualitas kayunya sangat
beragam, umumnya merupakan small diameter logs, ratio juvenile and maturewood masih
sangat tinggi sedangkan ratio heartwood and sapwood masih sangat rendah. Kayu hasil
HTR tidak direkomendasikan untuk bahan bangunan dan kayu konstruksi.
Analisis struktur makro dan mikroskopik kayu HTR untuk melihat karakteristiknya
sebagai bahan baku indusri kreatif dan industri mebel perlu dilakukan. Jenis Kayu
Primadona untuk bahan baku industri kreatif adalah : jabon (Anthocephalus chinensis),
sengon (Paraserianthes falcataria) dan kayu pulai (Alstonia scholaris). Sedangkan Jenis
Kayu Primadona untuk bahan baku industri mebel adalah : jati (Tectona grandis.), mindi
(Melia ezedarach), mahoni (Swietenia macrophylla), sungkai (Peronema canescens), suren
(Toona sureni) dan kayu sonokeling (Dalbergia latifolia).
Kata kunci: small diameter logs, juvenile and maturewood, heart and sapwood.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kerusakan hutan alam periode tahun 1997-2000 mencapai rata-rata 2,84 juta ha
setiap tahunnya. Total kerusakan hutan sampai tahun 2005 mencapai sekitar 59,1 juta ha.
(Badan Planologi Kehutanan 2005). Laporan terakhir diperoleh dari Asosiasi Pengusaha
Hutan Indonesia (APHI 2007) : Jatah Produksi Tebangan (JPT) dari hutan alam tahun 2007
yang ditetapkan Departemen Kehutanan, hanya sebesar 9,1 juta m3. Sedangkan konsumsi
kayu untuk industri (terutama industri pulp dan paper, industri sawn-timber dan plywood)
saja telah mencapai sekitar 50 juta m3. Kondisi ini menunjukkan bahwa produksi hutan alam
tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan industri kayu di dalam negeri.
Untuk mengatasi masyalah tersebut pemerintah membangun HTI dan HTR. Jenis
yang dikembangkan dalam HTI tidak banyak umumnya berasal dari fast growing species,
seperti Acacia mangium dan Eucalyptus spp. Pembangunan HTI lebih diprioritaskan
memenuhi kebutuhan bahan baku industri pulp dan kertas. Berbeda dengan HTI, program
HTR diharapkan dapat menambah pasokan kayu untuk industri kayu lainnya. Jenis kayu
yang dikembangkan dalam program HTR sangat beragam. Informasi tentang karakteristik
sifat dasar kayu hasil HTR belum diperoleh informasi yang memadai.
Analisis Sifat Dasar Kayu Hasil Hutan Tanaman Rakyat ini perlu dilakukan,
pengetahuan sifat dasar kayu sebagai bahan penting, mengingat setiap jenis kayu
mempunyai karakteristik yang berbeda. Pemanfaatan kayu yang sesuai dengan karakter
yang dimiliki, mampu memberi efisiensi dan nilai tambah yang lebih baik. Orang bijak
mengatakan bahwa : We may use wood with intelligence, only if we understand wood
(Panshin 1980).
Kualitas kayu hasil HTR sangat berpengaruh terhadap mutu produk yang dihasilkan.
Oleh karena itu untuk meningkatkan efisiensi dan nilai tambah industri perkayuan di tanah
819
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
air, perlu didukung persediaan bahan baku berkualitas, yang mempunyai karakteristik sifat
dasar yang sesuai dengan pola pemanfaatannya, dalam jumlah cukup secara berkelanjutan.
Dasar Pemikiran
Program pembangunan HTI dan HTR, perlu terus dikembangkan untuk menambah
pasokan bahan baku kayu untuk mendukung industri di dalam negeri. Kayu merupakan bio-
material, sifat dasar kayu inherent di dalam struktur anatomi sel-sel penyusunnya (Panshin
1980; Tsoumis 1991; Bowyer 2003). Oleh karena itu perlu dilakukan analisis struktur makro
dan mikroskopik kayu hasil HTR untuk menentukan karakteristik sifat dasar kayunya sebagai
bahan.
METODA PENELITIAN
820
ANATOMI DAN SIFAT DASAR KAYU
METODE PENELITIAN
Penelitian struktur anatomi kayu hasil HTR dilakukan baik secara makro maupun
mikroskopik di Laboratorium. Semua jenis kayu dbuat contoh berukuran 20x7x1,5 cm untuk
penelitian sifat makroskopis (Gambar 1). Penelitian sifat mikroskopis dibuat preparat
(Gambar 2). Observasi sifat makroskopik dilakukan dengan bantuan lensa tangan terhadap
grain orientasion, texture dan figure of wood. Observasi sifat mikroskopik dilakukan dengan
bantuan alat Stereoscopic Microscope with Digital Camera Model DCZ-456H.
821
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
prequensinya 2-3 per mm arah tangensial. Kayu jabon berat jenisnya 0,40 (0,29-0,56),
tergolong kelas awet IV-V dan kelas kuat III-IV.
Kayu mahoni (Swietenia macrophylla Jack.) dalam perdagangan tergolong
medium-weight hardwood. Bila masih segar terasnya berwarna merah kekuningan, lama
kelamaan berubah menjadi merah kecoklatan, mudah dibedakan dengan gubalnya yang
berwarna putih kekuningan. Teksturnya halus sampai agak kasar, coraknya polos tetapi
kadang-kadang bergaris agak gelap, papan quarter-sawn coraknya kadang-kadang unik
karena arah seratnya interlocked grain, permukaan kayunya licin dan mengkilap.
Pola penyebaran sel pembuluh semi tatalingkar terdiri dari pori soliter dan bergabung
radial terdiri dari 2 pori, diameter tangensialnya 130-230 mikron, prequensinya 5-12 pori per
mm2. Parenkim aksialnya terdiri dari paratracheal vasicentric dan sering juga membentuk
paratracheal terminal. Parenkim jari-jari umumnya agak lebar terdiri 3-4 seri. Kayu mahoni
mempunyai berat jenis 0,60 (0,53-0,67), tergolong kelas awet III dan kelas kuat II-III.
Kayu suren (Toona sureni Merr.) dalam dunia perdagangan tergolong light-weight
hardwood. Kayu terasnya berwarna merah pucat sampai merah dan lama kelamaan
berubah menjadi merah kecoklatan, mudah dibedakan dengan gubalnya berwarna putih
keabu-abuan. Arah seratnya lurus sampai berpadu dan teksturnya agak kasar. Pola
penyebaran sel pembuluh tatalingkar, sehingga mampu menampilkan corak dekoratif unik.
Pori sebagian soliter dan bergabung radial sampai miring terdiri 2-3 pori, berisi endapan
berwarna merah. Parenkim aksial tersusun atas parenkim selubung sampai bentuk pita
marginal. Parenkim jari-jari agak sempit sampai lebar, prequensinya agak jarang dan
tergolong berukuran pendek. Kayu suren berat jenisnya : 0,37 (0,27-0,65), tergolong kelas
kuat IV dan kelas awet IV-V.
Kayu mangium (Acacia mangium Miller) terasnya berwarna coklat pucat sampai
coklat dan mudah dibedakan dengan gubalnya berwarna putih jerami, teksturnya halus
sampai agak kasar tapi rata, seratnya lurus sampai berpadu. Kayunya umumnya tidak
mempunyai corak unik tetapi kadang-kadang ada pola bergaris-garis, kayunya tergolong
agak keras dan agak mengkilap. Porinya tersusun tatabaur terdiri dari pori soliter dan
bergabung radial terdiri 2-3 pori, kadang-kadang sampai 4 pori, diameter tangensial sekitar
100-165 mikron Parenkim aksial terdiri dari paratrakeal selubung dan pada sel pembuluh
yang berdiameter kecil sering parenkimnya aliform bentuk sayap. Jari-jari tergolong agak
sempit dan pendek. Berat jenis kayu Acacia mangium rata-rata 0,59 (0,43-0,66), tergolong
kelas awet III dan kelas kuat II-III.
Kayu mindi (Melia azedarach L. ) dalam dunia perdagangan kayu tergolong light to
medium weight hardwood, di Bali dan Nusa Tenggara Barat disebut kayu jempinis. Warna
kayu teras mudah dibedakan dengan gubalnya, teras berwarma merah muda keunguan,
gubalnya berwarna putih seperti jerami. Tekstur agak kasar, arah seratnya lurus sampai
agak terpadu, permukaan kayu agak licin dan agak mengkilap. Corak kayu terutama pada
arah tangensial kelihatan cukup dekoratif akibat adanya gambar seperti pita tipis warnanya
kecoklatan. Sel pembuluh sebagian besar soliter dan sebagian lagi bergabung radial 2-3
pori, miring sampai tangensial, diameter tangensialnya 50- 300 mikron bersisi amorf
berwarna coklat. Parenkim aksial berupa parenkim paratrakeal selubung lengkap sampai
confluent. Parenkim apotrakeal berupa pita tipis pendek arah tangensial. Parenkim jari-jari
homocellular, multiseriate, prequensinya 3-4 per mm arah tangensial. Kayu mindi berat
jenisnya rata-rata : 0,52 (0,42-0,65), tergolong kelas awet II-III dan kelas kuat II-III.
Kayu pulai (Alstonia scholaris R.Br.) tergolong light-weight hardwood, terasnya
berwarna putih sampai kuning pucat, jarang ditemukan kayu terasnya (sap-wood trees).
Arah serat lurus sampai berpadu, teksturnya agak halus, rata dan sedikit mengkilap.
Kayunya tidak menampilkan corak dekoratif dan kayunya agak lunak Pola penyebaran sel
pembuluhnya tatabaur dan sebagian besar terdiri dari pori bergabung radial terdiri 2-6 pori,
diameter tangensial berkisar 70-220 mikron. Parenkim aksialnya apotrakeal garis tangensial
panjang teratur memotong jari-jari sehingga membentuk struktur seperti jala. Parenkim jari-
jari terdiri 1-2 seri, kadang-kadang terdiri dari 3 seri, prequensinya 6-7 per mm arah
tangensial. Kayu pulai dikenal mempunyai saluran radial ukuran besar, mudah dilihat
822
ANATOMI DAN SIFAT DASAR KAYU
dengan mata telanjang pada bidang tangensial. Kayu pulai berat jenis rata-rata : 0,34 (.0,21-
0,48), tergolong kelas kuat III-V dan kelas awet V.
Kayu sengon (Paraserianthes falcataria Nielsen.) dalam dunia perdagangan
tergolong light-weight hardwood, sering juga dikenal dengan nama daerah jeungjing atau
albasia tergolong light-weight hardwood.. Terasnya berwarna putih seperti jerami, sukar
dibedakan dengan gubalnya. Teksturnya kasar tapi rata dan agak licin, arah seratnya lurus
sampai bergelombang, dalam kondisi basah kayunya berbau seperti petai, setelah kering
hilang. Pori soliter dan bergabung radial 2-4 pori, diameter tangensial 140-220 mikron,
prequensinya 1-3 pori per mm2. Parenkim paratrakeal tipe selubung lengkap tipis. Parenkim
jari-jarinya uniseriate, prekuensinya 5-6 per mm arah tangensial. Berat jenisnya rata-rata :
0,32 (0,24-0,49), tergolong kelas awet IV-V dankelas kuat IV-V.
Kayu sonokeling (Dalbergia latifolia Roxb. ) tergolong medium to heavy-weight
hardwood dan fancy-wood terutama disebabkan karena kayu terasnya berwarna coklat tua
bergaris kehitaman, sehingga terkesan mempuyai corak dekoratif indah, teksturnya halus,
arah seratnya lurus, licin, rata dan agak mengkilap. Sonokeling mempunyai corak indah
karena pola pembentukan kayu terasnya khas yang disebut trees with irregular heartwood.
Kekerasan tergolong sedang sampai agak keras. Pola penyebaran sel pembuluh tatabaur
terdiri dari pori soliter dan bergabung radial 2-3 pori, prequensinya 5-8 pori per mm2,
diameter arah tangensial 80-175 mikron. Parenkim aksial type paratrakeal selubung sampai
aliform bentuk sayap kadang jelas confluent. Jari-jarinya 1- 4 seri, pendek terdiri 7-8 sel,
prequensinya 8-12 per mm arah tangensial dan sering ada gejala ripple-mark. Berat jenis
sonokeling diameter kecil sekitar 0,79 (0,77-0,86), tergolong kelas awet I dan kelas kuat II.
PEMBAHASAN HASIL
Mebel atau perabot rumah tangga dan perkantoran adalah merupakan barang yang
multifungsi, karena di samping merupakan barang fungsional mebel juga sebagai barang
pajangan yang menampilkan estetika indah. Mebel juga merupakan barang yang agak mobil,
maksudnya sering digeser atau dipindahkan tempatnya. Mebel juga diketahui merupakan
barang yang mempunyai presisi tinggi dan secara umum memperoleh pemeliharan yang
relatif lebih intensif. Oleh karena itu bahan baku untuk industri mebel berbeda
karakteristiknya dengan kayu untuk bahan bangunan dan kayu konstruksi.
Karakteristik sifat dasar kayu untuk bahan baku industri mebel mempunyai criteria
antara lain : Tidak memerlukan kayu dengan berat jenis, kekuatan dan keawetan yang terlalu
tinggi. Kayu untuk bahan baku mebel lebih menghendaki kayu dengan berat jenis, keawetan
dan kekuatan moderat. Warna kayu umumnya tidak menjadi masalah penting. Bahan baku
industri mebel juga menginginkan kayu yang mempunyai tekstur halus atau paling tidak
moderat, sangat disenangi kayu yang mempunyai corak dekoratif yang unik dan juga sangat
diinginkan kayu yang mempunyai stabilitas dimensi yang baik.
Industri kayu kreatif yaitu suatu proses yang menggunakan kayu sebagai bahan
untuk peningkatan nilai tambah melalui karya kreatif seseorang dengan mengembangkan
daya imajinasi, kreatifitas, inovasi, daya seni dan kearifan intelektualnya untuk menghasilkan
suatu produk. Kayu untuk bahan baku industri kreatif juga memerlukan karakteristik sifat
dasar yang berbeda dengan bahan baku industri mebel. Kriteria sifat dasar kayu yang cocok
untuk bahan baku industri kreatif antara lain: berat jenis dan kerapatan relatif rendah, tekstur
kayu halus atau paling tidak moderat, warna kayu lebih disenangi yang berarna terang. Kayu
untuk bahan baku industri kreatif tidak memerlukan kayu yang berat, keras dan
keawetannya tinggi. Oleh karena itu kayu hasil HTR berupa small diameter logs umumnya
cocok untuk bahan baku industri kreatif.
823
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Tabel : 1. Berat jenis, kelas kuat dan kelas awet jenis kayu HTR
Hasil analisis struktur makro dan mikroskopik kayu hasil HTR yang mempunyai
karakteristik sifat dasar cocok untuk bahan baku indusri kreatif adalah : jabon
(Anthocephalus chinensis), sengon (Paraserianthes falcataria) dan kayu pulai (Alstonia
scholaris). Sedangkan jenis kayu yang cocok untuk bahan baku industri mebel adalah : jati
(Tectona grandis.), mindi (Melia ezedarach), mahoni (Swietenia macrophylla), sungkai
(Peronema canescens), suren (Toona sureni) dan kayu sonokeling (Dalbergia latifolia).
Kesimpulan
Hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan dapat diambil kesimpulan
sebagai berikut :
(1) Karakteristik sifat dasar kayu : jabon (Anthocephalus chinensis), sengon
(Paraserianthes falcataria) dan pulai (Alstonia scholaris) secara umum sbb: kayunya
berwarna putih, teksturnya halus sampai moderat, arah serat lurus sampai interlocked,
coraknya polos, kerapatan dan berat jenis rendah, cocok untuk bahan baku industri
kayu kreatif.
(2) Karakteristik sifat dasar: jati (Tectona grandis), mindi (Melia azedarach), mahoni
(Swietenia macrophylla), suren (Toona sureni),sungkai (Peronema canescens) dan
sonokeling (Dalbergia latifolia) sbb: warna kayu bervariasi, teksturnya halus sampai
moderat, arah serat lurus sampai interlocked, kayunya mempunyai corak indah dan
berat jenis moderat sampai agak keras, cocok untuk bahan baku industri mebel.
Rekomendasi
(1) Usaha peningkatkan produksi kayu hasil HTR hendaknya tidak hanya melalui rekayasa
dengan mempercepat pertumbuhan, tetapi harus juga diikuti dengan teknologi
peningkatan mutu kayunya sebagai bahan.
(2) Dalam program HTR mengembangan fast-growing species hendaknya selalu diikuti
dengan menanam slow-growing spesies, untuk menjaga keseimbangan alami yang
harmoni.
(3) Program pengembangan HTR harus terus dibina dan dipacu untuk terus ditingkatkan
karena telah terbukti mampu menambah pasokan bahan baku untuk industri dan
sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat terutama di pedesaan.
824
ANATOMI DAN SIFAT DASAR KAYU
DAFTAR PUSTAKA
APHI 2006. Pemerintah Naikkan JPT 2007 Menjadi 9,1 juta m3. Buletin Asosiasi Pengusaha
Hutan Indonesia. Nomor 18 Tahun 2, Juli 2006.
Badan Planologi Kehutanan 2005. Data Strategis Departemen Kehutanan RI
Bowyer JL, Shmulsky R, Haygreen JG. 2003. Forest Products and Wood Science An
Introduction. Fourth Edition. Iowa State Press. A Blackwell Publ.
Martawijaya A. dan Iding K. 1989 Atlas Kayu Indonesia. Departemen Kehutanan Badan
Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Bogor.
Panshin AJ, Carl de Zeeuw 1980. Textbook of Wood Technology. Third Edition.
McGrow-Hill Book Company. New York. Toronto. London.
Pandit IKN. 2008. Karakteristik Sifat Dasar Kayu Small Diameter Log. Jurnal WoodBiz
Indonesia Edition 34 Desember 2008.
Pandit IKN, 2010. Evaluasi Jenis dan Kualitas Kayu Hasil Hutan Tanaman Rakyat. Proyek
Strategis Nasional Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kemdiknas.
Prosea 1994. Timber Trees : Major Commercial Timbers. Plant Resources of South-East
Asia. No. 5(1) Bogor Indonesia.
Tsoumis G. 1991. Science and Technology of Wood Structure, Properties and Utilization.
Van Nostrand Reinhold. New York.
825
BIDANG B
BIOKOMPOSIT
BIOKOMPOSIT
ABSTRAK
Serbuk gergaji adalah suatu bahan yang potensial untuk digunakan sebagai bahan
baku papan partikel. Serbuk gergaji yang berasal dari penggergajian kayu sengon perlu
diteliti kesesuaiannya sebagai bahan baku untuk pembuatan papan partikel. Tujuan
penelitian untuk mengetahui pengaruh tingkat kadar perekat terhadap sifat fisis mekanis
papan partikel yang terbuat dari serbuk gergaji kayu sengon (Paraserianthes falcataria).
Papan partikel yang dibuat adalah tipe papan partikel berlapis tunggal (homogen) dengan
ukuran 2,5 cm x 2,5 cm x 1 cm. Bahan baku yang digunakan adalah partikel-partikel yang
lolos dari lubang saringan 4 mm dan sebagai partikel halus. Partikel-partikel yang digunakan
memiliki kadar air 5 % dan bahan pengikat partikel-partikel adalah Urea formaldehida cair
dengan kadar resin padat 65 %, viskositas 2,0 % poise dan kadar keasaman (pH) 6,8.
Kerapatan papan partikel yang dibuat berkerapatan sedang (0,70 g/cm3). Tingkat perekat
sebagai perlakuan terdiri dari 6 %, 7 %, 8 %, 9 %, dan 10 %. Emulsi parafin digunakan
sebanyak 2 % dari berat kering partikel. Suhu kempa panas 120 OC, tekanan 35 kg/cm2,
dengan lama waktu kempa 5 menit. Sifat-sifat papan partikel yang diuji adalah kadar air,
kerapatan, pengembangan tebal, modulus patah, modulus elastisitas, keteguhan rekat
internal, kuat pegang sekrup tegak lurus permukaan dan sejajar permukaan. Pengolahan
data menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL). Hasil penelitian menunjukkan bahwa
papan partikel berkadar perekat 10 % memiliki sifat-sifat terbaik dalam hal nilai kadar air
dengan nilai terendah 8,3 %, kerapatan dengan nilai 0,71 gr/cm3, pengembangan tebal
setelah perendaman selama 24 jam dengan nilai terendah 14, 80 %, modulus patas (MOR)
dengan nilai tertinggi 152,79 kg/cm2, modulus elastis (MOE) dengan nilai tertinggi 14.424,44
kg/cm2 dan sejajar permukaan dengan nilai tertinggi 41,6 kg/cm2. Sifat-sifat papan partikel
yang memenuhi persyaratan Standar Nasional Indonesia adalah nilai kadar air, kerapatan,
pengembangan tebal, modulus patah, kuat pegang sekrup tegak lurus permukaan,
sedangkan hasil pengujian nilai dari rekat internal tidak memenuhi syarat.
PENDAHULUAN
827
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
papan partikel yang baik berbeda untuk setiap jenis perekat, misalnya Urea formaldehida,
banyaknya perekat resin yang dicampurkan ke dalam perekat (Haygreen dan Bowyer, 1989).
Metode Penelitian
1. Pembuatan Papan Partikel
Papan partikel yang akan dibuat adalah papan partikel homogen dengan kerapatan
sedang (0,70 g/cm3) (Anonim, 1991).
2. Pembuatan Contoh Uji
Prosedur pembuatan contoh uji dan metode pengujian sifat-sifat papan partikel
dilakukan dengan ukuran dan jumlah uji berdasarkan SNI (Anonim, 1991).
3. Pengujian Sifat Fisis Mekanis Papan Partikel
Sifat-sifat yang akan di uji dari papan partikel tersebut yaitu: kadar air, kerapatan,
pengembangan, modulus patah dan modulus elastisitas, keteguhan tarik tegak lurus
permukaan (Internal bond), dan kuat sekrup.
4. Rancangan Percobaan
Dalam penelitian ini digunakan analisis rancangan acak lengkap 5 x 3. Faktor kadar
berat katalis konstan yaitu 2 % dari berat kering tanur partikel, sedang kadar berat
perekat resin terdiri atas 5 taraf, yaitu 6 %, 7 %, 8 %, 9 %, 10 % dari berat kering tanur
partikel. Setiap perlakuan dilakukan 3 kali ulangan, sehingga diperlukan contoh uji papan
partikel sebanyak 5 x 3 = 15 buah papan partikel (Sudjana, 1975).
Sifat Fisis
Kadar air
Kadar air papan partikel adalah jumlah air yang masih tinggal di dalam rongga sel,
rongga inter seluler dan antar partikel selama proses pengerasan perekat dengan kempa
panas. Kadar air ini ditentukan oleh kadar air partikel sebelum kempa panas, jumlah air yang
terkandung dalam perekat serta jumlah uap air yang keluar dari sistem perekat sewaktu
memperoleh energi panas pada proses pengerasan yang berupa tekanan dan suhu pelat
kempa panas. Selain itu kadar air papan partikel juga tergantung pada kelembaban udara
sekelilingnya karena adanya lignoselulosa yang bersifat higroskopis yang akan menyerap air
dari lingkungannya (Trisyulianti, 1996). Nilai rata-rata pengujian kadar air disajikan pada
Tabel 1 dibawah ini.
Berdasarkan data Tabel 1, maka diketahui nilai kadar air terendah dihasilkan dari
papan partikel berkadar 9 % yaitu 8,25 %, sedangkan kadar air tertinggi diperoleh dari papan
partikel berkadar perekat 6 % yaitu dengan nilai 10,31 %. Untuk mengetahui pengaruh
828
BIOKOMPOSIT
tingkat kadar perekat terhadap nilai kadar air papan partikel, maka dilakukan pengujian sidik
ragam dan hasilnya dijelaskan pada Tabel 2 dibawah ini.
Hasil sidik ragam pada Tabel 2 menunjukkan adanya pengaruh yang sangat nyata
dari tingkat kadar perekat terhadap kadar air papan partikel. Untuk mengetahui respon kadar
perekat papan partikel terhadap kadar air, maka dilakukan sidik ragam dengan uji jarak
Duncan, hasil dari pengujian disajikan pada Tabel 3.
Keterangan: Huruf yang sama menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata
Dari hasil sidik ragam uji jarak Duncan seperti pada Tabel 3 menunjukkan bahwa
pada tingkat kadar perekat 6 % dan 7 % dengan nilai masing-masing 10,31 % dan 9,45 %
berbeda sangat nyata dengan tingkat kadar perekat 8 %, 9 %, dan 10 % dengan nilai
masing-masing 9,22 %, 8,25 %, dan 8,43 %.
Kerapatan
Kerapatan papan partikel yang dihasilkan untuk setiap tingkat kadar perekat disajikan
pada Tabel 4.
Berdasarkan pada Tabel 4, terlihat bahwa nilai realisasi kerapatan terendah yaitu
0,66 g/cm3 pada target kerapatan 7 %, sedangkan realisasi kerapatan tertinggi adalah 0,71
g/cm3 dari target kerapatan 10 %. Selanjutnya dilakukan pengujian sidik ragam untuk
mengetahui pengaruh tingkat kadar perekat terhadap realisasi nilai rata-rata kerapatan
papan partikel menghasilkan data seperti pada Tabel 5.
829
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Pengembangan tebal
a. Pengembangan tebal 2 jam
Papan partikel kayu sengon merupakan material yang komponen utamanya
adalah bahan berlignoselulosa, maka sifat-sifatnya dipengaruhi oleh adanya air dan
kelembaban yang terdapat hampir di setiap kondisi pemakaian (Trisyulianti, 1996). Nilai
rata-rata pengembangan tebal dijelaskan pada Tabel 6.
Tabel 7 membuktikan adanya pengaruh yang sangat nyata dari tingkat terhadap sifat
pengembangan tebal papan partikel, untuk mengetahui respon kadar perekat terhadap
sifat pengembangan tebal maka dilakukan pengujian jarak Duncan dapat dilihat pada
Tabel 8.
Keterangan: Huruf yang sama menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata
830
BIOKOMPOSIT
Tabel 10 menunjukkan adanya pengaruh yang sangat nyata dari tingkat kadar
perekat terhadap sifat pengembangan tebal papan partikel. Untuk mengetahui respon
kadar perekat terhadap sifat pengembangan tebal maka dilakukan pengujian jarak
Duncan. Hasil pengujian jarak Duncan dapat dilihat pada Tabel 11 dibawah ini.
Keterangan: Huruf yang sama menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata
831
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Sifat Mekanis
Modulus patah (MOR)
Nilai rata-rata modulus patah disajikan pada Tabel 12 berikut ini. Berdasarkan data
Tabel 12, maka diketahui nilai modulus patah terendah diperoleh pada tingkat kadar perekat
6 % yaitu dengan nilai 52,36, sedangkan nilai tertinggi modulus patah diperoleh dari tingkat
kadar perekat 10 % yaitu dengan nilai 142,69 kg/cm2.
Agar diketahui pengaruh tingkat kadar perekat papan partikel terhadap modulus
patah maka dilakukan perhitungan sidik ragam seperti pada Tabel 13 berikut ini.
Pada Tabel 13 dijelaskan bahwa kadar perekat papan partikel berpengaruh sangat
nyata terhadap modulus patah. Untuk mengetahui respon kadar perekat terhadap nilai
modulus patah selanjutnya dilakukan pengujian jarak Duncan seperti pada Tabel 14.
Dari hasil pengujian jarak Duncan menunjukkan adanya perbedaan yang sangat
nyata antara papan partikel berkadar perekat 6 % dengan nilai 52,36 kg/cm2 dibandingkan
dengan papan partikel berkadar perekat 10 % dengan nilai 142,69 kg/cm2. Dari hasil analisis
menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat kadar perekat papan partikel maka nilai modulus
patahnya semakin meningkat.
832
BIOKOMPOSIT
Untuk mengetahui pengaruh tingkat kadar perekat papan partikel terhadap modulus
elastisitas maka dilakukan perhitungan sidik ragam seperti pada Tabel 16 berikut ini.
Pada Tabel 16 dijelaskan bahwa kadar perekat papan partikel berpengaruh sangat
nyata terhadap modulus elastisitas, untuk mengetahui respon kadar perekat terhadap nilai
modulus elastisitas selanjutnya dilakukan pengujian jarak Duncan seperti pada Tabel 17.
Tabel tersebut menunjukkan bahwa tingkat kadar perekat 6 % (5942,21 kg/cm2) dan 7 %
(9321,33 kg/cm2) berbeda nyata dengan kadar perekat 8 % (11088,42 kg/cm2) 9 %
(11544,42 kg/cm2) dam 10 % (14035,33 kg/cm2).
Kesimpulan yang dapat diperoleh dari pengujian modulus elastisitas adalah semakin
meningkatnya kadar perekat papan partikel maka nilai modulus elastisitasnya semakin
meningkat. Hal ini sesuai dengan pendapat Sutigno (1994) mengatakan bahwa bila kadar
perekat berbeda maka keteguhan elastisitas papan partikelnya akan meningkat pada kadar
perekat yang lebih besar.
833
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Tabel 18. Nilai rata-rata keteguhan tarik tegak lurus permukaan papan partikel
Selanjutnya dilakukan pengujian sidik ragam agar pengaruh tingkat kadar perekat
terhadap keteguhan tarik tegak lurus permukaan dapat diketahui seperti pada Tabel 19.
Tabel 19. Sidik ragam keteguhan tarik tegak lurus permukaan papan partikel
Hasil sidik ragam pada Tabel 19 menunjukkan adanya pengaruh yang sangat nyata
dari tingkat kadar perekat terhadap keteguhan tarik tegak lurus permukaan papan partikel.
Untuk mengetahui respon kadar perekat papan partikel terhadap keteguhan tarik tegak lurus
permukaan, maka dilakukan sidik ragam dengan uji jarak Duncan, hasil pengujian disajikan
pada Tabel 20 berikut ini.
Tabel 20. Uji jarak Duncan keteguhan tarik tegak lurus permukaan papan partikel
Data hasil sidik ragam uji jarak Duncan seperti pada Tabel 20 menunjukkan bahwa
tingkat kadar perekat 7 % dan 8 % dengan nilai masing-masing 3,66 kg/cm2 dan 3,74 kg/cm2
berbeda nyata dengan tingkat kadar 6 %, 9 % dan 10 % dengan masing-masing 2,64
kg/cm2, 4,24 kg/cm2, dan 5,77 kg/cm2, hal ini diduga karena perbedaan tingkat kadar
perekat.
834
BIOKOMPOSIT
Tabel 21. Nilai rata-rata kuat pegang sekrup tegak lurus permukaan papan partikel
Dari Tabel 21, maka diketahui nilai kekuatan pegang sekrup tegak lurus permukaan
terendah diperoleh pada tingkat kadar perekat 6 % yaitu dengan nilai 25,07 kg, sedangkan
nilai kuat pegang sekrup tegak lurus permukaan tertinggi diperoleh dari tingkat kadar perekat
10 % yaitu dengan nilai 41,87 kg. Guna mengetahui pengaruh kadar perekat terhadap
kekuatan pegang sekrup tegak lurus permukaan, selanjutnya dilakukan sidik ragam dimana
hasilnya dijelaskan pada Tabel 22.
Tabel 22. Sidik ragam kuat pegang sekrup tegak lurus permukaan papan partikel
Setelah dilakukan sidik ragam pada Tabel 22 maka diketahui bahwa ada pengeruh
perlakuan yang berbeda nyata, kemudian selanjutnya dilakukan pengujian dengan uji jarak
Duncan guna mengetahui respon tingkat kadar perekat terhadap kekuatan pegang sekrup
tegak lurus permukaan papan partikel. Hasil pengujian jarak Duncan dapat dilihat pada
Tabel 23. Dari data hasil sidik ragam uji jarak Duncan seperti pada Tabel 23 menunjukkan
bahwa tingkat kadar perekat 6 % dan 10 % merupakan perlakuan yang berbeda nyata.
Tabel 23. Uji jarak Duncan kekuatan pegang sekrup tegak lurus permukaan papan partikel
Keterangan: Huruf yang sama menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata
835
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Tabel 24. Nilai rata-rata kuat pegang sekrup sejajar permukaan papan partikel
Berdasarkan Tabel 24, terlihat bahwa nilai kuat pegang sekrup sejajar permukaan
terendah diperoleh pada tingkat kadar perekat 6 % yaitu dengan nilai 22,27 kg, sedangkan
nilai kuat pegang sekrup sejajar permukaan tertinggi diperoleh dari tingkat kadar perekat 10
%. Guna mengetahui pengaruh tingkat kadar perekat terhadap kekuatan pegang sekrup
sejajar permukaan, selanjutnya dilakukan sidik ragam dimana hasilnya dijelaskan pada
Tabel 25.
Tabel 25. Sidik ragam kuat pegang sekrup sejajar permukaan papan partikel
Data hasil sidik ragam pada Tabel 25 menunjukkan adanya pengaruh yang sangat
nyata dari tingkat kadar perekat terhadap nilai kekuatan pegang sekrup sejajar permukaan.
Untuk mengetahui respon tingkat kadar perekat terhadap kekuatan pegang sekrup sejajar
permukaan papan partikel, maka dilakukan uji jarak Duncan seperti pada Tabel 26 berikut
ini.
Tabel 26. Uji jarak Duncan kuat pegang sekrup sejajar permukaan papan partikel
Keterangan: Huruf yang sama menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata
Hasil pengujian jarak Duncan pada Tabel 26 membuktikan adanya pengaruh yang
berbeda-beda. Dari hasil analisi, hal ini diduga karena adanya perbedaan tingkat kadar
perekat dari tiap perlakuan. Hal ini sesuai dengan pendapat Sutigno (1994), yang
menyatakan bahwa dengan bertambahnya kadar perekat, ikatan antar partikelnya menjadi
lebih kuat sehingga akan memperbaiki kesetabilan tebal papan partikelnya.
836
BIOKOMPOSIT
KESIMPULAN
1. Penambahan kadar perekat papan partikel berpengaruh terhadap hasil pengujian kadar
ari, sifat pengembangan tebal, modulus patah (MOR), modulus elastisitas (MOE), dan
kuat pegang sekrup tegak lurus permukaan serta sejajar permukaan.
Tingkat kadar perekat 9 %, 8 %, 7 %, 6 % untuk nilai kadar air, kerapatan,
pengembangan tebal, modulus patah, modulus elastisitas, keteguhan tarik tegak lurus
permukaan, kuat pegang sekrup tegak lurus permukaan dan sejajar permukaan makin
menurun dengan semakin rendahnya tingkat kadar perekat.
2. Tingkat kadar perekat 10 % memberikan hasil terbaik terhadap nilai pangujian kadar air
(nilai 8,43 %), kerapatan (nilai 0,719 g/cm3), modulus patah (nilai 142,69), modulus
elastisitas (nilai 14035,33 g/cm3), pengembangan tebal 2 jam (nilai 9,98 %),
pengembangan tebal 24 jam (nilai 15,56 %), kuat pegang sekrup tegak lurus permukaan
(nilai 41,87 kg), dan kuat pegang sekrup sejajar permukaan (nilai 40,07 kg).
3. Menurut standar pengujian yang digunakan Standar Nasional Indonesia (SNI-2105-1991-
A), nilai hasil pengujian papan partikel dari penelitian ini yang memenuhi standar adalah
untuk jenis pengujian kadar air, kerapatan, pengembangan tebal, modulus patah,
modulus elastisitas, kuat pegang sekrup tegak lurus permukaan dan sejajar permukaan.
Sedangkan hasil pengujian tarik tegak lurus permukaan tidak dapat memenuhi syarat
standar pengujian.
DAFTAR PUSTAKA
837
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Jalan Gunung Batu No. 5 PO. Box. 182 Bogor 16610. Telp./Fax. (0251) 8633378-8633413
Email: mi.iskandar@yahoo.co.id.
ABSTRAK
Dari 4000 jenis kayu yang ada di Indonesia hanya sebagian kecil saja yang sudah
diketahui sifat serta kegunaannya. Salah satu kegunaan kayu adalah untuk pembuatan venir
dan kayu lapis. Tujuan Penelitian ini untuk mengetahui sifat venir dan kayu lapis dari Ki Hiur
(Castanopsis acuminatissima A.DC), Tunggeureuk (Castanopsis sp.), Huru Pedes
(Cinnamomum iners Reinw Ex. Blume), Huru Koja/Huru Puspa (Listsea angulata BI), Ki
Kanteh/Ki Julang (Ficus nervosa Heyne), Kelapa Ciung/Ki Bonin (Horsfieldia glaebra Warb).
Kayu yang diteliti berasal dari Jawa Barat yaitu Ki Hiur (Castanopsis acuminatissima A.DC),
Tunggereuk (Castanopsis sp.), Huru Pedes (Cinnamomum iners Reinw Ex. Blume), Huru
Koja/Huru Puspa (Listsea angulata BI), Ki Kanteh/Ki Julang (Ficus nervosa Heyne), Kelapa
Ciung/Ki Bonin (Horsfieldia glaebra Warb). Hasil penelitian menunjukkan semua jenis kayu
dapat dikupas dalam keadaan dingin dengan sudut kupas berkisar antara 900 920.
Keragaman tebal venir cukup baik. Penyusutan venir dari basah ke kering mutlak rata-rata
6,2 persen. Pengembangan venir dari kering mutlak ke kering udara rata-rata 2,0 persen.
Penambahan berat jenis tripleks rata-rata 0,036 dibandingkan dengan berat jenis kayunya.
Keteguhan rekat kayu lapis semuanya memenuhi syarat Standar Nasional Indonesia,
Jepang dan Jerman.
Kata Kunci: Sudut kupas, keragaman, penyusutan, pengembangan dan keteguhan rekat.
PENDAHULUAN
Menurut perkiraan di Indonesia terdapat 4000 jenis kayu termasuk jenis kayu
perdagangan dan kayu kurang dikenal (Martawijaya dan Kartasudjana, 1977). Dari 4000
jenis kayu diperkirakan 400 jenis dianggap penting karena merupakan jenis yang sekarang
sudah dimanfaatkan atau secara alami terdapat dalam jumlah besar sehingga mempunyai
potensi untuk memegang peranan penting pada masa yang akan datang. Dari sejumlah itu
banyak yang belum dikenal serta belum diketahui sifat dan kegunaannya. Salah satu
kegunaan kayu adalah dibuat produk venir dan kayu lapis. Untuk mengetahui dan
menetapkan suatu jenis kayu secara baik, terlebih dahulu harus diketahui sifat-sifat dasar
kayu yang bersangkutan sekaligus dengan sifat pengolahannya. Sifat pengolahan kayu
antara lain sifat pengolahan venir dan kayu lapis. Hasil penelitian ini akan bermanfaat
perkembangan ilmu dan teknologi hasil hutan serta perkembangan industri pengolahan kayu
seperti pengolahan venir dan kayu lapis.
METODOLOGI
Lokasi
Penelitian di lapangan meliputi pengambilan contoh Ki Hiur (Castanopsis
acuminatissima A.DC), Tunggereuk (Castanopsis sp.), Huru Pedes (Cinnamomum iners
Reinw Ex. Blume), Huru Koja/Huru Puspa (Litsea angulata BI), Ki Kanteh/Ki Julang (Ficus
nervosa Heyne), Kelapa Ciung/Ki Bonin (Horsfieldia glabra Warb) dari Jawa Barat.
Pengujian sifat venir dan kayu lapis dilakukan di Laboratorium Produk Majemuk Pusat
Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan, Bogor.
838
BIOKOMPOSIT
Peralatan
Peralatan yang digunakan dalam penelitian sifat venir dan kayu lapis adalah mesin
gergaji, mesin kupas, kaliper, timbangan, oven, kempa dingin, kempa panas, alat tulis dan
mesin uji universal.
Prosedur Kerja
Pengamatan
(1) Ukuran dan keadaan dolok dicatat.
(2) Penetapan berat jenis kayu dari lempengan tebal 5 cm, dilakukan berdasarkan metode
ASTM D 805-52 dengan 4 buah ulangan.
(3) Pembuatan venir dengan mesin kupas tebal 1,5 mm dilakukan dalam keadaan dingin.
Mesin kupas diatur, jarak vertikal 0,5 mm, jarak horizontal 90% dari tebal pengupasan
dengan sudut kupas yang dapat menghasilkan venir yang tebalnya sesuai dengan
yang dikehendaki. Pada saat pengupasan dicatat: diameter bulat, diameter sisa
kupasan, keadaan dolok, keadaan venir dan hasil venir. Mutu venir ditetapkan
berdasarkan cacat alami (Standar Nasional Indonesia).
(4) Penetapan kadar air dan kembang susut venir dilakukan terhadap venir bagian luar
dan dalam dari dolok, masing-masing sebanyak 5 ulangan dengan ukuran 20 x 20 cm.
Selain itu diukur pula tinggi tumpukan dari 10 lembar venir tersebut dan kerapatannya.
Kadar air venir ditetapkan berdasarkan metode oven.
(5) Pengukuran tebal venir dilakukan terhadap 5 lembar venir berukuran 100 cm x 100 cm
yang diambil secara sistematik dengan awal acak. Pengukuran pada setiap lembar
dilakukan dengan selang 1 cm.
(6) Pengeringan venir dilakukan secara penjemuran, dan dengan oven pada suhu 60 80
0
C.
(7) Pembuatan kayu lapis dilakukan dengan venir 40 cm x 40 cm berbentuk tripleks dan
multipleks (5 lapis) dari venir tebal 1,5 mm, masing-masing dengan 5 buah ulangan
dengan 1 buah sebagai cadangan, sehingga untuk setiap jenis kayu dibuat 6 buah
kayu lapis. Venir dikeringkan dalam oven 60 80 0C sehingga mencapai kadar air 10
12%.
(8) Perekat yang dipakai adalah Urea formaldehida cair yang terlebih dahulu diperiksa
sifatnya untuk mengetahui baik atau tidaknya. Komposisi yang dipakai adalah sebagai
berikut :
839
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Sifat yang diuji adalah kadar air berat jenis venir dan kayu lapis serta uji
keteguhan rekat. Kadar air kayu lapis ditetapkan berdasarkan metode oven dan alat.
Pembuatan contoh uji keteguhan rekat dan pengujiannya dilakukan menurut metode:
(a) Indonesia jenis II (Anonim, 2002)
(b) Jepang (JAS) tipe II (Anonim, 2003)
(c) Jerman (DIN) tipe II IW 67 (Anonim, 2000)
Dari hasil pengujian diamati pula kerusakan kayu akibat pengujian tarik
(keteguhan rekat) tripleks. Contoh uji yang dibuat pada setiap lembar adalah 4 buah
sehingga untuk setiap jenis kayu dan setiap metode ada 20 contoh uji. Pada
pembuatan contoh uji keteguhan rekat diperhatikan orientasi retak kupas sehingga dari
4 buah contoh uji/lembar dua buah orientasinya terbuka dan dua buah tetutup.
Perhitungan venir
(1) Dolok yang dikupas dihitung pengurangan diameter, perbedaan diameter dan
rendemennya.
(2) Kadar air venir dihitung dalam keadaan basah, kering udara dan kering mutlak dengan
metode oven dan alat sehingga diketahui perbedaanya.
(3) Penyusutan venir dihitung dari basah ke kering mutlak sedangkan pengembangannya
dari kering mutlak ke kering udara.
(4) Dihitung kerapatan venir pada keadaan kering udara.
(5) Sifat bergelombang venir dinilai berdasarkan perbandingan tinggi tumpukan dengan
jumlah tebal 10 lembar venir.
(6) Koefisien keragaman dan penyimpanan dari tebal pengupasan dihitung.
(7) Mutu venir ditetapkan berdasarkan cacat alami dihitung berapa persen tiap mutu.
Analisa Data
Sifat keteguhan rekat kayu lapis dihitung rata-ratanya kemudian dibandingkan
dengan Standar Nasional Indonesia, Jepang dan Jerman.
Berdasarkan Tabel 1 dapat dikemukakan bahwa berat jenis kayu yang diteliti berkisar
antara 0,35 sampai dengan 0,78 dengan rata rata 0,58. Data pengupasan dolok
sebagaimana tercantum dalam Tabel 2 menunjukkan bahwa dolok yang dipakai dalam
penelitian ini ukurannya relatif kecil, yaitu dengan diameter rata-rata 44,8 cm (39,0 51,0
cm) sehingga rendemennya pun relatif rendah pula, yaitu rata-rata 79,3 persen (72 83
persen). Diameter kayu sisa kupasan ternyata semuanya berada diantara 12 cm 15 cm,
karena cakar yang dipakai dalam pengupasan ini 10 cm. Limbah berupa venir hasil kupasan
ini rata-rata 9,4 persen (8,5 10,2 persen). Karena diameter kayu sisa kupasan ini tidak
bervariasi banyak, maka persentase limbah berupa sisa kupasan ini meningkat dengan
menurunnya diameter kayu. Diameter kayu sisa kupasan kayu Kelapa Ciung mencapai 15
cm karena adanya cacat dibagian dalam dolok, yaitu lubang, lapuk dan pecah.
Limbah berupa venir dibedakan antara yang terjadi pada awal pengupasan, yaitu
sampai bentuk dolok menjadi silindris dan yang terjadi karena sobek, yaitu pada saat
pemotongan venir serta yang dihasilkan dari bagian tepi dolok. Limbah awal pengupasan
840
BIOKOMPOSIT
besarnya rata-rata 7,3 persen (6,1 9,9 persen) tergantung pada pengurangan diameter,
perbandingan diameter dan bentuk doloknya, maka limbah awal pengupasan pada kayu
Kelapa Ciung mencapai 9,9 persen. Perbandingan diameter menunjukkan silindris atau
tidaknya penampang-penampang dolok. Makin rendah angka ini makin silindris dolok yang
dipakai pada penelitian ini. Berdasarkan data dalam Tabel 2 pengaruh perbandingan
diameter ternyata tidak begitu jelas, karena sebagian besar mempunyai perbandingan
diameter di atas 0,90. Limbah venir lainnya tampak bervariasi antara 1,0 8,3 persen
dengan rata-rata 3,8 persen.
Tabel 3 menyajikan penilaian pengupasan berdasarkan tebal venir sudut kupas yang
dipakai berkisar antara 90o 92o. Koefisien keragaman sudah sesuai untuk semua jenis
kayu karena tidak lebih dari 5 persen. Penyusutan venir dari basah ke kering mutlak dan
pengembangannya dari kering mutlak ke kering udara dapat dilihat pada Tabel 4.
Penyusutan yang terbesar pada Ki Kanteh (6,8 %) yang terkecil pada Tunggeureuk (5,3 %).
Pengembangan yang terbesar pada Ki Kanteh (2,15 %) dan yang terkecil pada Tunggeureuk
(1,85 %). Venir yang bergelombang setelah kering terjadi pada kayu Huru Koja.
Pada pembuatan kayu lapis akan terjadi pengurangan tebal, ini terjadi pada proses
pengempaan (Tabel 5). Pengurangan tebal kayu lapis berkisar antara 0,25 0,37 mm
dengan rata-rata 0,29 mm. Hal ini mengakibatkan naiknya berat jenis kayu lapis menjadi
lebih tinggi dari pada berat jenis kayunya atau venirnya.
Tabel 1. Jenis kayu yang diteliti
Kelas
No Nama Daerah Nama Botanis Berat Jenis
Awet Kuat
1. Ki Hiur Castanopsis acuminatissima A.DC 0,74 (0,59 0,88) III II
2. Tunggeureuk Castanopsis sp. 0,78 (0,69 0,92) III II III
3. Huru Pedes Cinnamomum iners Reinw. Ex. Blume 0,57 (0,38 0,63) IV / V III II
4. Huru Koja/Huru Puspa Litsea angulata BI 0,56 (0,39 0,64) V III
5 Ki Kanteh Ficus nervosa Heyne Horsfieldia 0,35 (0,30 0,39) V IV
6 Kelapa Ciung/Ki Bonin Horsfieldia glabra Warb. 0,35 (0,54 0,65) V III / II
Sumber : Oey Djoen Seng (1964)
841
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Berat jenis
Pengurangan Selisih
No Jenis Kayu Veni
Tebal (mm) Tripleks a Kayu b a-b
r
1. Ki Hiur 0,26 0,72 0,77 0,73 0,04
2. Tunggeureuk 0,25 0,75 0,80 0,77 0,03
3. Huru Pedes 0,30 0,55 0,60 0,56 0,04
4. Huru Koja/Huru 0,31 0,44 0,49 0,46 0,03
5. Puspa 0,37 0,34 0,39 0,35 0,04
6. Ki Kanteh 0,29 0,56 0,61 0,57 0,04
Kelapa Ciung/Ki
Bonin
Pengujian keteguhan rekat kayu lapis dilakukan menurut Standar Nasional Indonesia
(SNI), Jepang (JAS) dan Jerman (DIN). Hasil pengujian menunjukkan (Tabel 6), dari lima
jenis kayu yang diteliti yang diuji keteguhan rekatnya semuanya memenuhi syarat Standar
Nasional Indonesia karena keteguhan rekatnya tidak kurang dari 7 kg/cm2, Standar Jepang
karena keteguhan rekatnya tidak kurang dari 7 kg/cm2 dan Standar Jerman karena
keteguhan rekatnya tidak kurang dari 10 kg/cm2.
842
BIOKOMPOSIT
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 1959. ASTM Standard on Wood. Wood Preservatives and Related Materials.
American Society for Testing Materials, Philadelphia.
______. 2000. DIN Taschenbuch 60 Beuth Verlag Gm BH, Koln. Frankfurt (Main).
______. 2002. Kayu lapis penggunaan umum Standar Nasional Indonesia (SNI 01-5008-2-
2000). Badan Standardisasi Nasional (BSN), Jakarta.
______. 2003. JAS Japanese Agricultural Standard for Common Plywood its Commentary
the Japan Plywood Manufactures Association.
Martawijaya, A. & I. Kartasujana. 1977. Ciri Umum Sifat dan Kegunaan. Jenis-Jenis Kayu
Indonesia. Publikasi Khusus LPHH No. 41, Bogor.
Oey Djoen Seng. 1964. Berat Jenis Kayu Untuk Keperluan Praktik. Laporan Lembaga
Penelitian Hasil Hutan, Bogor
843
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
ABSTRAK
Limbah serutan pada pengolahan bambu dapat dibentuk menjadi papan serutan
yang dapat mengganti papan partikel atau panil kayu. Sejalan dengan pemanfaatan limbah,
dijumpai limbah kotoran (feses) sapi yang melimpah pada peternakan sapi yang berpotensi
sebagai pelapis permukaan papan serutan bambu yang kasar. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui sifat papan serutan bambu dengan pelapis kotoran sapi.
Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan percobaan
faktorial. Bahan penelitian berupa serutan bambu yang merupakan limbah pengolahan
bambu dengan ukuran - 0,5 cm x 0,5 cm/ + 0,2 cm x 0,2 cm dan feses sapi. Perekat yang
digunakan perekat urea formaldehida (UA - 125) dengan pengeras HU - 12. Faktor pertama
adalah lapisan feses sapi (shelling ratio) yaitu 50:50 ; 40:60 ; 30:70 dimana feses sapi
sebagai lapisan permukaan. Faktor kedua adalah waktu kempa 11 menit dan 17 menit,
ulangan percobaan 3 kali. Parameter sifat papan serutan diuji mengikuti standar ASTM D-
1037-99.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa interaksi antara faktor lapisan feses dengan
waktu kempa tidak berpengaruh nyata pada semua parameter sifat papan serutan bambu.
Faktor waktu kempa juga tidak berpengaruh nyata pada semua parameter sifat papan
serutan bambu. Faktor lapisan feses berpengaruh sangat nyata pada MoE saja. Makin tinggi
shelling ratio, maka makin rendah MoE dengan nilai 384,29 kg/cm2 (shelling ratio 50 : 50),
sedangkan nilai MoE teritinggi yaitu 856,77 kg/cm2 (shelling ratio 30 : 70).
Kata kunci : Feses sapi, papan serutan bambu, urea formaldehida, waktu kempa
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Bambu sampai saat ini sudah dimanfaatkan secara sangat luas oleh masyarakat
mulai dari penggunaan teknologi yang paling sederhana untuk bahan bangunan di rumah
pedesaaan sampai pemanfaatan teknologi tinggi pada skala industri, misalnya pada
pembuatan laminasi bambu, venir bambu, bambu lapis (plybamboo) dan lain - lain. Seiring
dengan meningkatnya teknologi pemanfaatan bambu , maka limbah berupa serutan bambu
yang dihasilkan meningkat jumlahnya Hal ini diakibatkan karena batang bambu yang semula
berbentuk silindris dan bilah bambu berbentuk melengkung atau membusur kemudian
dibersihkan kulit luar dan kulit dalam untuk pemanfaatan langsung. Pemanfaatan bilah
bambu untuk laminasi menghendaki penampang persegi atau prismatik sehingga
menghilangkan lebih banyak material bambu khususnya yang sementara ini sulit direkat.
Proses pembuatan bilah bambu akan lebih banyak memproduksi limbah serutan bambu
(Prayitno, 2005a).
Di bidang peternakan, berbagai usaha digalakkan untuk meningkatkan jumlah hewan
sapi, kerbau, kambing maupun domba. Usaha penggemukan sapi untuk produksi daging
digalakkan dalam rangka meningkatkan konsumsi daging. Usaha memperbanyak populasi
daging mengakibatkan meningkatkan limbah kotoran sapi. Meskipun kotoran hewan seperti
sapi, kambing dan domba dapat digunakan sebagai pupuk organik bagi pertanian, tetapi
masih perlu dicari manfaat kotoran sapi bagi penggunaan lain seperti papan partikel. Warna
partikel sapi dalam keadaan kering sangat bagus dan menarik sehingga pemanfaatan pada
lapis muka partikel bambu merupakan teknologi tepat guna.
844
BIOKOMPOSIT
Pada era kesadaran tinggi tentang lingkungan sekarang ini, penanganan limbah
merupakan salah satu aspek penting yang banyak mendapat perhatian masyarakat
Indonesia khususnya dan masyarakat dunia pada umumnya. Limbah adalah suatu bahan
sisa dari suatu proses produksi atau aktivitas manusia yang sudah belum dimanfaatkan
karena berbagai pertimbangan. Limbah yang tak termanfaatkan dapat menjadi sumber
penyakit dan polusi lingkungan bagi kehidupan bersih dan nyaman (Tanggara, 2010).
Teknologi papan partikel berlapis dapat memberikan peluang pemanfaatan jenis,
ukuran partikel yang beragam sehingga pemanfaatan limbah dapat dilakukan secara
optimal, seperti misalnya menggunakan ukuran partikel yang besar sebagai lapisan tengah
dan ukuran partikel ukuran yang kecil sebagai lapisan atas dan bawah. Kedua bahan
tersebut yaitu serutan bamboo dan feses sapi kering yang berwarna menarik dijadikan
bahan baku alternatif papan partikel yang lebih murah dan lebih efisien sebagai bahan baku
pembuatan papan partikel dengan 3 lapis. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui
interaksi antara waktu kempa dan komposisi lapisan serutan bambu dan feses sapi terhadap
sifat-sifat papan partikel tiga lapis berbahan baku bambu petung (Dendrocalamus sp)
dengan feses sapi.
METODE PENELITIAN
Hipotesis
Perbandingan komposisi 15% : 70% : 15% (feses : bambu : feses) pada pembuatan
papan partikel berlapis diduga mempunyai kualitas yang paling baik. Karena partikel bambu
petung mempunyai sifat yang lebih kuat daripada partikel feses sapi.
Rancangan Peercobaan
Model rancangan peercobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pola acak
lengkap RAL atau Completely Randomized Design, CRD dengan percobaan faktorial. Faktor
yang digunakan terdiri dari 2 faktor yaitu :
1. Komposisi bahan pada lapisan papan partikel , yaitu feses : bambu : feses, terdiri
dari 3 aras (A) yaitu:
a. 25% : 50 % : 25% (A1)
b. 20% : 60% : 20 % (A2)
c. 15% : 70% : 15% (A3)
2. Waktu kempa yang terdiri dari 2 aras (B) yaitu :
a. 11 menit (B1)
b. 17 menit (B2)
Cara Penelitian
Untuk membuat papan partikel 3 lapis tersebut, maka diperlukan cara penelitian yang baik
dan benar sehingga menghasilkan suatu papan partikel yang mempunyai kualitas baik.
Penelitian ini digambarkan dalam bagan alir pada Gambar 1.
Hasil Penelitian
Hasil penelitian dan analisis varians disajikan pada Tabel 1 dan 2 berikut ini. Analisis
varians menunjukkan hanya komposisi lapisan saja yang berpengaruh sangat nyata
terhadap nilai MoE (Modulus of Elasticity), sedangkan interaksi dan faktor tunggal lain tidak
berpengaruh pada sifat papan partikel yang diteliti atau seluruh parameter kualitas papan
partikel yang diteliti
845
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Feses Sapi
Basah Partikel Bambu
Press pendahuluan
Pengempaan Panas
11 menit 17 menit
Papan partikel
Pengkondisian
846
BIOKOMPOSIT
Tabel 2. Analisis varians sifat papan partikel serutan bambu berlapis feses sapi
Komposisi lapisan*
Parameter Komposisi lapisan Waktu kempa
Waktu kempa
Keterangan:
** = berbeda nyata pada taraf uji 99%
ns = tidak signifikan
A1 = Komposisi lapisan feses : bambu : feses yaitu 25% : 50 % : 25%
A2 = Komposisi lapisan feses : bambu : feses yaitu 20% : 60% : 20 %
A3 = Komposisi lapisan feses : bambu : feses yaitu 15% : 70% : 15%
B1 = Waktu kempa 11 menit
B2 = Waktu kempa 17 menit
* = nilai tertinggi
# = nilai terendah
PEMBAHASAN
847
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
yaitu sebesar 8,30%. Gambaran ini menunjukkan bahwa waktu kempa yang lebih lama
menguapkan air dalam papan partikel yang lebih banyak sehingga kadar air lebih rendah
dari waktu kempa yang lebih pendek.
Rata-rata kerapatan papan partikel dikempai 11 menit adalah 0,70, sedangkan
kerapatan papan partikel dikempa 17 menit adalah 0,67. Berdasarkan komposisi pelapisan,
maka pelapisan A1 rata-rata kerapatan papan partikel sebesar 0,695, pelapisan A2 0,68
dan pelapisan A3 sebesar 0,69. Ini berarti papan partikel relatif sama kerapatannya. Hal ini
dapat diterima karena dalam pembuatan papan partikel diberikan spacer atau ganjal untuk
mempertahankan ketebalan sehingga kerapatan papan sama. Kerapatan yang diperoleh
pada penelitian ini berbeda dengan kerapatan papan partikel yang dituju, yaitu 0,8. Hasil
kerapatan aktual lebih rendah dari yang dituju karena pemulihan lapisan bambu yang cukup
besar (Prayitno, 2005b). Profil kerapatan merupakan variasi kerapatan di seluruh tebal
papan. Perbedaan geometri dan jenis partikel antara muka dan inti serta adanya pelapisan
pada papan partikel dalam penelitian ini mempengaruhi profil kerapatan. Pada bagian muka
dan belakang (face dan back) menggunakan ukuran lolos saringan 0,2 cm x 0,2 cm yang
lebih kecil ukurannya daripada inti. Partikel ukuran kecil ketika diberi tekanan mengakibatkan
kontak antar partikel menjadi lebih baik sehingga papan yang terbentuk akan lebih mampat
dan lebih mendekati pada kerapatan yang dituju (Suryadi, 2008), sedangkan partikel bambu
yang berukuran besar mempunyai pemulihan yang besar dan kurang mampat. Haygreen
dan Bowyer (1989) menegaskan banyaknya papan yang dibuat dalam 3 atau 5 lapisan
dengan partikel partikel kecil pada lapisan permukaan dan partikel yang lebih besar pada
lapisan inti dapat menghasilkan kekuatan yang memadai dan kehalusan permukaan yang
baik. Konsep ini yang dituju oleh pelapisan feses sapi dengan serutan bambu dalam
penelitian ini.
Rata-rata nilai penyerapan air papan partikel adalah 62,85%, sedangkan
pengembangan tebal rata-rata sebesar 13,70%. Pengaruh faktor pelapisan dan waktu
kempa tidak nyata dan variasinya sangat random. Sari (2006), menyebutkan bahwa waktu
kempa yang lebih lama menghasilkan penyerapan air papan partikel bambu petung yang
lebih rendah pada papan partikel. Persen pengembangan tebal papan partikel bambu petung
searah dengan penyerapan air dimana makin kecil penyerapan air maka makin kecil pula
pengembangan tebal papan partikel.
848
BIOKOMPOSIT
nilai MoR papan serutan dengan komposisi 50,60 dan 70%. Ini berarti makin banyak serutan
bambu dalam papan serutan maka makin besar nilai MoR nya.
MoE merupakan ukuran kekakuan kayu bukan kekuatan, rasio antara stress dan
strain, berlaku hanya dalam batas proporsi (Haygreen dan Bowyer, 1986). Hasil analisis
varians menunjukkan bahwa faktor komposisi lapisan berpengaruh sangat nyata terhadap
nilai MoE, pada taraf uji 0,01%, sedangkan faktor waktu kempa serta interaksi antara
komposisi lapisan dan waktu kempa tidak berpengaruh nyata terhadap MoE. Hasil uji HSD
terhadap komposisi lapisan menunjukkkan bahwa ketiga aras komposisi lapisan
berpengaruh sangat nyata satu sama lain.
Keterangan:
A1 = Komposisi lapisan feses : bambu : feses yaitu 25% : 50 % : 25%
A2 = Komposisi lapisan feses : bambu : feses yaitu 20% : 60% : 20 %
A3 = Komposisi lapisan feses : bambu : feses yaitu 15% : 70% : 15%
B1 = Waktu kempa 11 menit
B2 = Waktu kempa 17 menit
849
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Papan partikel dengan porsi feses sapi yang paling besar hanya menghasilkan
kekuatan papan yang paling kecil. Papan dengan poris feses sapi semakin sedikit dan porsi
lapisan bambu yang besar menghasilkan papan dengan kekuatan mekanika yang paling
besar (secara numerik) walaupun secara uji statistik tidak berbeda nyata.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian pengaruh komposisi lapisan dan waktu kempa terhadap
sifat fisika dan mekanika papan partikel berbahankan bambu petung dan feses sapi, maka
dapat diambil beberapa kesimpulan sbagai berikut:
1. Interaksi antara faktor komposisi lapisan dan waktu kempa tidak berpengaruh pada
semua parameter pengujian papan partikel.
2. Faktor waktu kempa tidak berpengaruh pada semua parameter pengujian papan
partikel.
3. Faktor komposisi lapisan hanya berpengaruh sangat nyata terhadap nilai MoE.Semakin
banyak komposisi lapisan bambunya, maka semakin besar nilai MoE yang dihasilkan.
Komposisi lapisan A3 (perbandingan feses : bambu : feses yaitu 15% : 70% : 15%)
mempunyai MoE tertinggi, dan komposisi lapisan A1 (perbandingan feses : bambu :
feses yaitu 25% : 50 % : 25% ) mempunyai nilai MoE terendah. Nilai kadar air,
kerapatan, pengembangan tebal, penyerapan air, MoR dan internal bonding tidak
dipengaruhi secara nyata oleh faktor komposisi lapisan.
4. Kadar air, kerapatan,penyerapan air,pengembangan tebal, internal bonding sebagian
besar sudah memenuhi standar FAO,DIN,SII dan USDA, akan tetapi nilai MoR dan MoE
belum memenuhi standar FAO, DIN, SII dan USDA.
850
BIOKOMPOSIT
Saran
Berdasarkan hasil penelitian pengaruh komposisi lapisan dan waktu kempa terhadap
sifat fisika dan mekanika papan partikel berbahankan bambu petung dan feses sapi, maka
dapat disarankan sebagai berikut :
1. Perlu dilakukan penelitian kelayakan pembuatan papan partikel dengan feses sapi
sebagai industri kecil atau sedang di lingkungan peternakan.
2. Penelitian pencampuran berbagai bahan lignoselulosa di lingkungan peternakan dalam
pembuatan papan partikel
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2011a. Teliti Kotoran sapi. http: www.ugm.ac.id. diakses tanggal 18 Mei 2011 pukul
13.06 WIB.
______. 2011b. Pembuatan Biogas dari Kotoran Sapi Sebagai Alternatif untuk Mencapai
Swadaya energi. http: www.kliksaya.com. diakses tanggal 18 Mei 2011 pukul 13.30
WIB.
Haygreen, J. G dan J. L., Bowyer 1989. Hasil Hutan dan Ilmu kayu. Suatu pengantar
(terjemahan). Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Prasetyo, H., 2008. Pengaruh Komposisi Lapisan Partikel Dan Jumlah Perekat Urea
Formaldehida Terhadap Sifat Papan Partikel Limbah Gergajian Kayu Kelapa
(Skripsi). Fakultas Kehutanan UGM. Yogyakarta.
Prayitno,TA. 1995. Teknologi papan partikel. Modul ajar . Fakultas Kehutanan UGM.
Yogyakarta.
-------------. 2005a. Laminasi bamboo. Kursus Teknologi Bambu. Pusat Penelitian Bambu
PAU-Teknik UGM.
----------------. 2005b. Bamboo Stabilization. Kursus Teknologi Bambu. Pusat Penelitian
Bambu PAU-Teknik UGM
--------------. 2007. Pengaruh pemanasan pada sifat perekatan kayu kelapa. Laporan
penelitian Fakultas Kehutanan UGM
Ridwan., 2006. Kotoran Ternak Sebagai Pupuk dan Sumber Energi. Harian Independen
Singgalang.
Sari E., 2006. Pengaruh Suhu Dan Waktu Kempa Terhadap Sifat - Sifat Papan Partikel
Limbah Serutan Bambu Petung (Skripsi). Fakultas Kehutanan UGM. Yogyakarta.
Suryadi, F., 2008. Pengaruh Cara Pelaburan dan Jumlah Perekat Labur Terhadap Sifat
Sifat Papan Partikel Limbah serutan Bambu Petung (Skripsi). Fakultas Kehutanan
UGM. Yogyakarta.
Tanggara, R., 2010. Pengaruh Suhu Dan Tekanan Terhadap Kualitas Fisik Dan Mekanik
Papan Partikel Berbahan Baku Kotoran Sapi (Skripsi). Fakultas Peternakan UGM.
Yogyakarta.
Wirnasari., 2011. Pengaruh Komposisi Partikel Dan Jumlah Perekat Urea Formaldehida
Terhadap Sifat Papan Serutan Bambu Petung (Dendrocalamus asper Backer)
(Skripsi). Fakultas Kehutanan UGM. Yogyakarta.
Wuryantoro. D., 2009. Praktikum Manajemen Limbah. Fakultas Peternakan UGM.
Yogyakarta.
851
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
ABSTRACT
Physical and mechanical properties of jabon wood and their particle boards were
studied.The wood from lower, upper part of trunk and branches of jabon tree were used.
The physical properties of wood in terms of wettability and desity were observed and
compared to the gluability in internal bond of particle board which were made of lower, upper
part of trunk and branches of jabon tree. Thr quality of particle board were tested accordance
with JIS 5908:2003.
The results show that there were a variability in wettability and density of jabon wood
between part of tree.Furthermore, the variabilities were also happened in internal bond of the
particle board.The higher the wettability the higher the internal bond, means that wettability
as a good indicator for gluability of jabon woods.The quality of particle board made of woods
from branches were better than others.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Jabon (Anthocephalus cadamba Miq) adalah jenis kayu cepat tumbuh, berbatang
silinders, lurus, kayunya berwarna putih kekuningan, potensial untuk bahan baku industri
bahan bangunan non-konstruksi, produk biokomposit (kayu lapis, papan partikel, papan
semen), papan, peti pembungkus, cetakan beton, mainan anak-anak, alas sepatu, korek api,
konstruksi darurat yang ringan, cocok untuk pulp (Pratiwi 2003).
Pemanfaatan pohon, termasuk pohon jabon hanya bagian batangnya khususnya
batang bebas cabang,sedangkan cabang bahkan batang atas cabang ditinggalkan sebagai
limbah.Kualitas kayu sebagai bahan baku industri,khususnya untuk papan partikel, diduga
beragam menurut asal kayu dari bagian pohon:batang atau cabang.Untuk pohon muda kayu
dari batang bawah atau batang bebas cabang diduga memiliki sifat yang berbeda karena
tingkat kedewasaan kayu yang berbeda.
Kayu dari batang atas pohon jabon dan cabang yang potensinya cukup besar
dibandingkan kayu dari batang bebas cabang akan dimanfaatkan sebagai bahan baku
papan partikel.
Tujuan Penelitian
a. Mengetahui pengaruh posisi kayu dalam pohon (batang bawah, batang atas dan cabang)
dan kadar perekat terhadap kualitas papan partikel.
b. Mengetahui nilai keterbasahan kayu yang berasal dari batang bawah, batang atas,
cabang dan hubungannya terhadap internal bond papan partikel.
852
BIOKOMPOSIT
Hipotesis
a. Posisi kayu dalam pohon diduga akan mempengaruhi sifat fisis dan mekanis papan
partikel.
b. Kadar perekat diduga akan memepengaruhi kualitas papan partikel.
Manfaat Penelitian
a. Memberikan informasi bagaimana pengaruh posisi kayu dalam pohon dan kadar perekat
terhadap kualitas papan partikel yang dihasilkan.
b. Memberikan informasi nilai keterbasahan partikel batang bawah, batang atas, cabang
dan hubungannya dengan internal bond papan partikel.
METODOLOGI PENELITIAN
Keterangan:
Yijk = Nilai respon pada taraf ke-i faktor posisi kayu dalam pohon, taraf ke-j faktor kadar
perekat pada
taraf ke-i
= Nilai rata-rata pengamatan
Ai = Pengaruh faktor posisi kayu dalam pohon pada
taraf ke-i
Bj = Pengaruh faktor kadar perekat pada taraf ke-j
853
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
ijk = Kesalahan percobaan pada faktor posisi kayu dalam pohon pada taraf ke-i, faktor
kadar perekat pada taraf ke-j
i = Posisi kayu dalam pohon yaitu batang bawah (a1), batang atas (a2), dan cabang
(a3)
j = Kadar perekat 8%, 10% dan 12%
k = Ulangan 1,2 dan 3
Prosedur Penelitian
Persiapan Partikel
Batang bawah dan batang atas dipotong menjadi ukuran 5 cm x 5 cm x 3 cm,
kemudian dimasukkan kedalam mesin disk flaker hingga berbentuk flakes dengan ukuran
panjang 2-3 cm dan lebar 2 cm, sedangkan cabang dicacah menggunakan golok dengan
ukuran panjang 1-3 cm dan lebar 1-2 cm, selanjutnya digiling dengan menggunakan mesin
willey mill sehingga menjadi partikel yang berukuran lolos 20 mesh. Kemudian partikel
dikeringkan di dalam oven dengan suhu 60-80C hingga mencapai kadar air 5% selama 2
hari.
CWAH = h1b = h1 d h2
4ws
Keterangan:
CWAH = Corrected Water Absorption Height (mm)
h1 = Tinggi penyerapan air (mm)
b = Faktor koreksi (bulk factor)
h2 = Tinggi partikel (cm)
w = Berat kering oven partikel (g)
d = Diameter dalam pipa gelas (cm)
= 3,1415
s = Volume jenis air (cm/g)
854
BIOKOMPOSIT
Pencampuran Bahan
Partikel dan perekat ditimbang sesuai dengan kebutuhan yang digunakan kemudian
partikel dimasukan ke dalam rotary blender sedangkan perekat urea formaldehida
dimasukan ke dalam spray gun. Saat rotary blender berputar perekat urea formaldehida
disemprotkan dengan menggunakan spray gun dengan kadar perekat 8%, 10%, 12%
sampai perekat dan partikel tercampur merata.
Pembuatan Lembaran
Setelah perekat dan partikel tercampur merata, masukkan adonan ke dalam
pencetak lembaran yang berukuran (30 x 30 x 10) cm kemudian dipadatkan disemua sisinya.
Pada bagian bawah dan bagian atas cetakan dilapisi dengan plat alumunium dan kertas
teflon.
Pengempaan
Sebelum pengempaan dilakukan pada bagian dua sisi kiri dan kanan diletakkan
batang besi dengan ketebalan 1 cm. Kemudian di kempa dengan menggunakan mesin
kempa panas (hot pressing) dengan waktu pengempaan kurang lebih 10 menit, suhu kempa
110oC dan tekanan kempa 25 kgf/cm2. Setelah pengempaan selesai biarkan selama 30
menit agar lembaran panil mengeras.
Pengkondisian
Setelah pengempaan, papan dikeluarkan dan ditumpuk dengan menggunakan
sticker pada suhu kamar selama 14 hari.
Gambar 1 menunjukkan bahwa nilai kerapatan papan partikel yang dihasilkan lebih
rendah dari target yang diinginkan yaitu 0,7 g/cm. Hal ini diduga karena tidak merata
penyebaran partikel pada saat proses penaburan partikel kayu dalam cetakan dan pada saat
855
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
pengempaan dan terjadi pergerakan partikel ke arah samping sebagai akibat plat penahan
partikel yang digunakan hanya terdapat pada dua sisi saja sedangkan dua sisi lainya tidak
diberi plat besi untuk menahan penyebaran partikel kayu sehingga papan partikel yang
dihasilkan memiliki luasan yang lebih besar dan kerapatanya menjadi lebih rendah. Menurut
Sutigno (1994) menyatakan bahwa jumlah dan keadan bahan pada hamparan bersama-
sama dengan teknik pengempaan mempengaruhi kerapatan papan partikel.
Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa posisi kayu dan interaksi keduanya
berpengaruh nyata terhadap kerapatan papan partikel yang dihasilkan, sedangkan untuk
kadar perekat tidak berpengaruh nyata terhadap kerapatan papan partikel. Hasil uji lanjut
Duncan menunjukkan bahwa nilai kerapatan terbaik terdapat pada papan partikel cabang
dengan kadar perekat 8%.
Kadar Air
Nilai rata-rata kadar air papan partikel yang dihasilkan berkisar antara 9,55% sampai
10,09%. Secara keseluruhan nilai kadar air papan partikel yang dihasilkan telah memenuhi
standar JIS A 5908-2003 yaitu berkisar antara 5% sampai 13%. Nilai rata-rata kadar air
papan partikel dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2 menunjukkan bahwa nilai kadar air papan partikel yang dihasilkan cukup
tinggi, hal ini diduga disebabkan kayu yang bersifat higroskopis yang berarti kayu dapat
menyerap dan melepaskan air, sehingga kadar air dapat berubah sewaktu-waktu sesuai
dengan kondisi lingkungannya. Widarmana (1977) menyatakan bahwa kadar air papan
komposit sangat tergantung pada kondisi udara disekitarnya, karena bahan baku papan
komposit adalah bahan-bahan yang mengandung lignoselulosa yang bersifat higroskopis.
Hasil analisis sidik ragam yang telah dilakukan diketahui bahwa posisi kayu dan
interaksi keduanya tidak berpengaruh nyata terhadap kadar air papan partikel namun kadar
perekat berpengaruh nyata terhadap papan partikel yang dihasilkan. Hasil uji lanjut Duncan
menunjukkan bahwa kadar perekat 8% merupakan kadar perekat yang optimal untuk
merespon kadar air papan partikel.
856
BIOKOMPOSIT
Gambar 3. Histogram daya serap air papan partikel dengan perendaman 2 jam
Nilai rata-rata daya serap air setelah perendaman 24 jam berkisar antara 110,14%
sampai 210,05%. Nilai rata-rata daya serap air 24 jam dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Histogram daya serap air papan partikel dengan perendaman 24 jam
Nilai daya serap air papan partikel yang dihasilkan baik perendaman 2 jam maupun
24 jam cukup tinggi terutama pada daya serap air pada papan partikel batang atas
dibandingkan papan partikel batang bawah dan papan partikel cabang. Hal ini diduga karena
kayu jabon mempunyai berat jenis yang rendah, dimana rongga selnya besar sehingga
mudah menyerap air dalam kapasitas besar. Penggunaan perekat urea formaldehida
mempengaruhi tingginya daya serap air papan partikel dimana ikatan yang dihasilkan
tersebut tidak tahan air sehingga air mudah sekali merusak ikatan-ikatan antar perekat dan
partikel (Djalal 1984).
Hasil analisis sidik ragam yang telah dilakukan diketahui bahwa posisi kayu, kadar
perekat dan interaksi keduanya berpengaruh nyata terhadap daya serap air pada
perendaman 2 jam dan 24 jam. Pada daya serap air 2 jam hasil uji lanjut Duncan
menunjukkan bahwa posisi kayu, kadar perekat dan interaksi keduanya memberikan
pengaruh terbaik terhadap papan partikel dengan daya serap 2 jam yaitu cabang dengan
kadar perekat 8% dengan nilai daya serap air sebesar 86,07% sedangkan pada daya serap
air 24 jam hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa posisi kayu, kadar perekat dan
interaksi keduanya memberikan pengaruh terbaik terhadap papan partikel dengan daya
serap air 24 jam yaitu cabang dengan kadar perekat 8% dengan nilai daya serap air sebesar
117,30%. Standar JIS A5908-2003 tidak mensyaratkan nilai untuk daya serap air.
857
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Pengembangan Tebal
Nilai rata-rata pengembangan tebal papan partikel setelah perendaman 2 jam
berkisar antara 30,87% sampai 69,71. Nilai rata-rata pengembangan tebal 2 jam dapat
dilihat pada Gambar 5.
858
BIOKOMPOSIT
tinggi. Menurut Haygreen dan Bowyer (2003) ada beberapa bahan aditif yang dapat
ditambahkan pada papan komposit dan paling banyak digunakan adalah wax sehingga akan
meningkatkan resistensi ketahanan terhadap air.
Berdasarkan hasil analisis sidik ragam yang telah dilakukan diketahui bahwa posisi
kayu, kadar perekat dan interaksi keduanya berpengaruh nyata terhadap pengembangan
tebal selama 2 jam dan 24 jam. Pada pengembangan tebal 2 jam hasil uji lanjut Duncan
menunjukkan bahwa posisi kayu, kadar perekat dan interaksinya memberikan pengaruh
terbaik terhadap terhadap pengembangan tebal 2 jam yaitu cabang dengan kadar perekat
8% sebesar 34,00%. Sedangkan pada pengembangan tebal 24 jam, hasil uji lanjut Duncan
menunjukkan bawa posisi kayu, kadar perekat dan interaksi keduanya memberikan
pengaruh terbaik pada pengembangan tebal 24 jam. Nilai rata-rata pengembangan tebal 24
jam yang terbaik terhadap papan partikel yang dihasilkan yaitu cabang dengan kadar
perekat 12%. Kombinasi cabang dengan kadar perekat 12% merupakan kombinasi yang
optimal terhadap pengembangan tebal papan partikel.
859
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Gambar 8 menunjukkan bahwa nilai rata-rata keteguhan patah papan partikel yang
dihasilkan sebagian besar telah memenuhi standar JIS A 5908-2003 yang mensyaratkan
nilai keteguhan patah papan partikel minimal 82 kg/cm. Hanya terdapat 4 buah papan yang
tidak memenuhi standar yaitu batang bawah 8%, batang atas 8% dan batang atas 10% serta
cabang 12% dengan nilai keteguhan patah masing-masing sebesar 64,09 kg/cm, 66,73
kg/cm dan 63,04 kg/cm serta 77,64 kg/cm. Hal ini diduga disebabkan kerapatan yang
dihasilkan lebih rendah bila dibandingkan dengan papan partikel lainnya. Semakin tinggi
kerapatan papan partikel yang dihasilkan maka sifat keteguhan patah papan partikel juga
akan semakin tinggi (Haygreen dan Bowyer 1996). Faktor yang mempengaruhi keteguhan
patah papan partikel adalah berat jenis kayu, geometri partikel, kadar perekat, kadar air
lapik, prosedur kempa (Koch 1972 dalam Nurywan 2007).
Berdasarkan hasil analisis sidik ragam yang telah dilakukan diketahui bahwa posisi
kayu, kadar perekat dan interaksi keduanya tidak berpengaruh nyata terhadap MOR papan
partikel yang dihasilkan.
860
BIOKOMPOSIT
Gambar 9 menunjukkan bahwa nilai keteguhan rekat internal papan partikel batang
atas lebih rendah bila dibandingkan dengan nilai keteguhan rekat internal papan partikel
batang bawah dan cabang. Hal ini diduga disebabkan pada pengempaan waktu yang
diberikan terlalu singkat sehingga pemadatan dan pematangan perekat tidak maksimal.
Semakin lama waktu kempa yang digunakan pada saat pengempaan maka semakin besar
nilai keteguhan rekat internal papan partikel. Kualitas keteguhan rekat internal papan partikel
dipengarui oleh pencampuran, pembentukan dan pengempaan yang baik (Bowyer et al.
2003).
Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa posisi kayu berpengaruh nyata
terhadap keteguhan rekat internal papan partikel, sedangkan kadar perekat dan interaksi
keduanya tidak berpengaruh nyata terhadap keteguhan rekat internal papan partikel. Hasil
uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa cabang merupakan posisi kayu yang paling optimal
dalam merespon keteguhan rekat internal papan partikel hal ini karena cabang
menghasilkan nilai internal bond tertinggi dibandingkan batang atas dan batang bawah.
Gambar 10 menunjukkan bahwa papan partikel cabang memiliki nilai kuat pegang
sekrup yang lebih tinggi dibandingkan dengan papan partikel batang bawah dan papan
partikel batang atas. Hal ini diduga papan partikel cabang yang dihasilkan memiliki
kerapatan yang lebih tinggi sehingga mampu menggenggam sekrup yang lebih kuat.
Haygreen dan Bowyer (1996) menyatakan bahwa kerapatan papan partikel mempengaruhi
nilai kekuatan papan partikel dalam menahan paku dan sekrup. Semakin besar kerapatan
papan partikel, maka semakin besar pula nilai kekuatan pegang sekrup yang dihasilkan.
Hasil analisis sidik ragam yang telah dilakukan diketahui bahwa posisi kayu, kadar perekat
dan interaksi keduanya tidak berpengaruh nyata terhadap kuat pengang sekrup papan
partikel.
861
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Gambar 11. Histogram hubungan antara keterbasahan dengan internal bond papan partikel
Kesimpulan
a. Sifat fisis dan mekanis papan partikel beragam menurut asal kayu dalam pohon.
b. Kayu yang berasal dari cabang, menghasilkan papan partikel yang lebih baik.
c. Nilai keterbasahan kayu dalam tingkat penyerapan air terkoreksi beragam menurut asal
kayu dalam pohon dan terdapat kecenderungan ada korelasi dengan keterekatan kayu
dalam internal bond,dimana makin tinggi keterbasahan makin tinggi pula kerekatannya.
Keterbasahan bisa dijadikan indikator keterekatan kayu jabon.
Saran
a. Perlu adanya penambahan parafin untuk mengurangi daya serap air dan pengembangan
terhadap papan partikel jabon.
b. Perlu dilakukannya penelitian mengenai sifat kimia dan anatomi kayu bagian batang
bawah, batang atas dan cabang.
862
BIOKOMPOSIT
DAFTAR PUSTAKA
Bowyer JL, Shmulsky, Haygreen JG. 2003. Forest Products and Wood Science - An
Introduction, Fourth edition. Iowa State University Press
Brown, H. P.; A. J Panshin and C. C. For Saith. 1952. Textbook of wood Tecnoloy. Vol II. MC
Graw Hill Book. Co. Inc. New York.
Frihart, C.R. 2005. Adhesive bonding and performance testing of bonded wood products.
Journal of ASTM International 2(7):.
Haygreen, J.G dan J.L. Bowyer. 1996. Hasil Hutan dan Ilmu Kayu : Suatu Pengantar.
Sujipto, A.H, penerjemah; Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Terjemahan
dari : Forest Product and Wood Science: An Introduction.
[JSA] Japanese Standard Association. 2003. JIS A 2003:5908 Particleboards. Jepang:
Japanese Standard Association.
Jordan, D.L. and J.D. Wellons. 1977. Wettability of Dipterocarps veneers. Wood Science 10
(1) : 22-27.
Maloney, T.M. 1993. Modern Particleboard and Dry-Process Fiberboard Manufacturing.
Miller Freeman Inc. California.
Marra, A.A. 1992. Technology of Wood Bonding : Principles in Practise. Van Nostrand
Reinhold. New York.
Martawijaya, A, I. Kartasujana, Y.I. Mandang, S.A. Prawira, K. Kadir. 1989. Atlas Kayu
Indonesia Jilid II. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Departemen
Kehutanan. Bogor.
Pratiwi. 2003. Prospek pohon jabon untuk pengembangan hutan tanaman. Buletin Penelitian
dan Pengembangan Kehutanan 4(1):61-66.
Rowell, R.M. 2005. Handbook of Wood Chemistry and Wood Composites: Wood Adhesion
and Adhesives. CRC Press.
Surdiding, R., D.N. Koroh, F.A. Syamani, H. Yanti, Nurhaida, S. Saad, T. Sucipto. 2007.
Analisis Perekatan Kayu. Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Wellons, J.D. 1980. Wettability and Gluability of Douglas-fir Veneer. Forest Products Journal.
30 (7) : 53-55.
863
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
ABSTRAK
Tujuan penelitian ini adalah untuk memanfaatkan batang kelapa sawit yang tidak
produktif (usia 20 25 tahun) dan limbah serutan rotan Sega sebagai bahan baku papan
partikel, dan untuk mengetahui pengaruh variasi temperatur kempa panas terhadap sifat
fisika dan mekanika papan partikel yang dihasilkan dari campuran batang kelapa sawit dan
limbah rotan Sega tersebut.
Hasil pengujian terhadap sifat fisika dan mekanika papan partikel yang dihasilkan dari
campuran batang kelapa sawit dan limbah rotan untuk semua perlakuan temperatur kempa
panas memenuhi standar nilai yang ditetapkan FAO, kecuali keteguhan geser pada
temperatur kempa 100C tidak memeneuhi standar.
Kata kunci : batang kelapa sawit,limbah rotan sega, temperatur kempa panas, papan
partikel
PENDAHULUAN
Industri pengolahan kayu sampai saat ini sebagian besar masih menggunakan kayu
sebagai bahan bakunya, sementara sumber daya hutan sebagai penghasil kayu cenderung
semakin terdegradasi. Jika kondisi ini terus berlangsung, maka industri perkayuan dan
industri yang bergerak dibidang pengolahan kayu akan mengalami masalah dalam
penyediaan bahan baku. Untuk mengatasi masalah tersebut perlu adanya upaya alternatif
untuk menggunakan bahan baku selain dari kayu yang berasal dari pohon hutan, misalnya
memanfaatkan tanaman perkebunan contohnya tanaman kelapa sawit yang sudah tidak
produktif sebagai substitusi kayu sebagai bahan baku industri. Kelapa sawit banyak ditanam
di Indonesia dan areal perkebunannya cukup luas. Dalam Anonim (1992) disebutkan bahwa
usia produktif kelapa sawit 3 25 tahun dengan produksi optimal pada usia 10 19 tahun.
Setelah melewati usia produktif pohon-pohon kelapa sawit yang ditebang tidak dimanfaatkan
secara optimal sehingga hanya menjadi limbah saja.
Di samping kelapa sawit, limbah dari industri pengolahan rotan yang berupa serutan
juga potensial untuk dimanfaatkan. Limbah rotan yang selama ini tidak terpakai karena
dirasa tidak memiliki manfaat yang berarti oleh pemilik industri hanya dibuang saja atau
dibakar.
Salah satu industri pengolahan kayu yang dapat memanfaatkan limbah kelapa sawit
dan limbah serutan rotan tersebut sebagai bahan baku adalah industri papan partikel, karena
bahan baku dalam pembuatan papan partikel tidak memerlukan persyaratan yang tinggi
bahkan lebih mengutamakan limbah.
Papan partikel adalah suatu produk panel yang dihasilkan dengan memanfatkan
partikel-partikel kayu dan sekaligus mengikatnya dengan suatu perekat dimana sifat papan
yang dihasilkan masih mendekati sifat asli dari kayu asalnya (Haygreen dan Bowyer, 1989).
Dibandingkan sifat asli kayu asalnya, papan partikel mempunyai beberapa sifat keunggulan
secara teknis, diantaranya : mempunyai sifat lebih isotropi dari kayu solidnya yaitu untuk
setiap arah mempunyai sifat kembang susut yang relative sama ; ukuran dan kekuatan
papan partikel dapat disesuaikan menurut kebutuhan atau peruntukkannya ; serta kualitas
864
BIOKOMPOSIT
dan tampak muka papan partikel dapat diatur menurut permintaan pasar atau disesuaikan
dengan selera konsumen (Sastradimadja, 1990).
Kualitas akhir papan partikel yang dihasilkan dipengaruhi oleh beberapa faktor dalam
proses pembuatannya, satu diantara faktor yang berpengaruh menurut Kelly (1977) adalah
besarnya temperatur kempa yang dipergunakan dalam pres panas. Pres panas dalam
pembuatan papan partikel berfungsi menekan mat agar tercapai ketebalan dan kerapatan
papan yang diinginkan.
Berdasarkan uraian di atas maka penelitian ini bertujuan untuk memanfaatkan
campuran batang kelapa sawit yang tidak produktif (usia 20 25 tahun) dan limbah rotan
sebagai bahan baku papan partikel, dan untuk mengetahui pengaruh temperatur kempa
panas terhadap sifat fisika dan mekanika papan partikel yang dihasilkan.
Bahan
Bahan baku yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah :
Batang kelapa sawit (Elaeis gueneensis Jacq) yang berumur 20 25 tahun yang berasal
dari perkebunan kelapa sawit yang terdapat di Kecamatan Waru Kabupaten Penajam Paser
Utara, limbah serutan rotan Sega yang berasal dari industri pengolahan rotan di daerah Loa
Bakung Samarinda dan perekat Urea Formaldehyde yang diperoleh dari PT. Segara Timber
Samarinda.
Prosedur Penelitian
Pembuatan dan pengeringan partikel
Batang kelapa sawit dipotong-potong menjadi lempengan dengan tebal kurang lebih
5 cm, kemudian dicacah menjadi potongan-potongan kecil (chip) dan dikering udarakan.
Demikian juga dengan limbah serutan rotan Sega dipotong-potong dengan ukuran panjang 5
cm Selanjutnya chip dari batang sawit dan potongan-potongan dari limbah rotan
dimasukkan kedalam mesin pembuat partikel. Partikel yang dihasilkan adalah tipe splinter,
kemudian diayak / disaring menggunakan ayakan ukuran 36 mesh. Proses pengayakan
bertujuan untuk memperoleh partikel dengan ukuran yang relatif seragam dan untuk
memisahkan partikel yang diinginkan dari serbuk-serbuk kayu / debu kayu. Kemudian
partikel dikeringan secara pengeringan alami selama 4 (empat) minggu untuk mengurangi
kandungan air dari partikel.
865
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Analisis Data
Data hasil pengujian dianalisis menggunakan Rancangan Acak Lengkap dengan 3
perlakuan temperatur kempa panas (100C, 120C 140C), dan masing-masing dlakukan
sebanyak 10 kali ulangan.
Gambar 1. Nilai Rata-rata Sifat Fisika Papan Partikel dari Campuran Batang Kelapa Sawit
dan Limbah Rotan Sega Berdasarkan Temperatur Kempa Panas
866
BIOKOMPOSIT
partikel mengalami kembang balik (spring back) yang lebih besar sehingga tebal akhir papan
yang diinginkan kurang terpenuhi sehingga menyebabkan kerapatan papan partikel
cenderung lebih rendah. Sebaliknya pada temperatur tekan yang tinggi (140C) perekat
akan matang secara sempurna sehingga proses perekatan berjalan dengan baik sehingga
pada saat tekanan dibuka papan partikel yang dihasilkan mengalami kembang balik yang
relatif kecil sehingga kerapatan papan partikel yang dihasilkan juga semakin tinggi. Hal ini
sejalan dengan yang dikemukakan Chow dan Steiner (1979) bahwa naiknya temperatur
tekan akan diikuti dengan naiknya kerapatan sampai batas tertentu. Mengenai
pengembangan tebal atau kembang balik (spring back) yang terjadi pada setiap papan yang
dihasilkan menurut Kelly (1977) merupakan karakteristik papan partikel yang diproses
dengan press datar.
Nilai rata-rata kadar air papan partikel dihasilkan berkisar antara 8,62 9,69%.
Berdasarkan Gambar 1 di atas dapat dilihat bahwa semakin tinggi temperatur kempa yang
diberikan cenderung menurunkan kadar air papan partikel yang dihasilkan. Hal ini karena
semakin tinggi temperatur yang diberikan mengakibatkan proses penguapan air dari mat
juga semakin banyak sehingga menyebabkan air yang ada didalam papan partikel juga
semakin rendah. Sesuai dengan Kollmann, et.al. (1975) bahwa semakin meningkatnya
temperatur yang digunakan pada pres panas sampai batas tertentu akan mempercepat
pematangan perekat dan penguapan air dari mat.
Nilai rata-rata penyerapan air papan partikel setelah perendaman selama 24 jam
berkisar antara 60,61 69,57%, sedangkan nilai rata-rata pengembangan tebalnya berkisar
antara 11,67 13,62%. Semakin tinggi temperatur kempa yang diberikan pada pres panas
cenderung semakin menurunkan nilai penyerapan air dan pengembangan tebal papan
partikel yang dihasilkan. Hal ini disebabkan karena pada papan partikel yang diberikan
temperatur tinggi mempunyai ikatan antar pantikel yang lebih rapat dan kompak karena
pematangan perekat terjadi lebih sempurna sehingga celah atau rongga-rongga antar
partikel-partikel penyusunnya lebih sedikit, apabila dilakukan perendaman peluang air untuk
masuk akan semakin kecil sehingga kemampuan menyerap airnya lebih rendah dibanding
papan partikel dengan temperatur tekan yang lebih rendah. Hal ini sesuai dengan pendapat
Chow dan Steiner (1979) bahwa temperatur yang rendah akan menghasilkan papan yang
kurang rapat dan mempunyai banyak rongga, temperatur tekan yang tinggi akan
menurunkan sifat penyerapan air papan partikel yang dihasilkan. Sejalan dengan pernyataan
Lehmann (1960) dalam Kelly (1977) bahwa ketebalan papan partikel yang dihasilkan setelah
pres panas adalah lebih rendah dengan semakin meningkatnya temperatur tekan, hal ini
terjadi karena papan partikel yang dihasilkan lebih kering sehingga stabilitas dimensi menjadi
lebih tinggi sehingga pengembangan tebal menjadi lebih rendah.
Satu diantara kelemahan perekat urea formaldehid adalah kurang tahan terhadap air
dan kelembaban, sehingga apabila papan partikel direndam selama periode tertentu akan
menyebabkan perekat urea formaldehid terhidrolisa oleh air yang pada akhirnya ikatan antar
partikel akan semakin lemah sehingga dimensi papan akan lebih mudah pula terdegradasi.
Hal ini sesuai dengan pernyataan Kelly (1977) bahwa hidrolisa urea formaldehid pada saat
naiknya kadar air akan menghasilkan degradasi stabilitas dimensi papan partikel
Berdasarkan hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan temperatur
kempa berpengaruh sangat signifikan terhadap sifat fisika papan partikel yang dihasilkan,
kecuali kerapatan berpengaruh signifikan.
Jika dibandingkan dengan standar FAO, maka sifat fisika papan partikel yang
dihasilkan dari campuran batang kelapa sawit dan limbah rotan Sega memenuhi standar nilai
yang ditetapkan.
867
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Gambar 2. Nilai Rata-rata Sifat Mekanika Papan Partikel dari Campuran Batang Kelapa
Sawit dan Limbah Rotan Sega Berdasarkan Temperatur Kempa Panas
Gambar 2 di atas menunjukkan bahwa semakin tinggi temperatur kempa panas yang
diberikan, cenderung akan semakin tinggi sifat mekanika papan partikel yang dihasilkan.
Nilai rata-rata MoE dari papan partikel yang dihasilkan berkisar antara 3.611,26 3.910,90
N/mm2 , nilai rata-rata MoR berkisar antara 20,32 29,80 N/mm2 , nilai rata-rata keteguhan
geser berkisar antara 7,00 9,20 N/mm2 dan nilai rata-rata IBS berkisar antara 0,58 0,63
N/mm2.
Berdasarkan Gambar 2 diatas dapat dilihat bahwa nilai MoE dan MoR akan semakin
meningkat seiring dengan meningkatnya temperatur kempa yang diberikan. Hal ini
disebabkan dengan temperatur yang tinggi pemanasan bagian tengah mat akan berjalan
dengan lebih sempurna sehingga daya rekat atau ikatan antara partikel dengan perekat
pada bagian tengah akan semakin kuat dan kompak sehingga meningkatkan kekuatan
papan. Sebaliknya pada temperatur yang rendah pemanasan tidak sepenuhnya mencapai
bagian tengah mat, akibatnya ikatan pada bagian tengah merupakan bagian yang paling
lemah sehingga apabila dilakukan pengujian lengkung statis (MoE dan MoR) bagian yang
cepat rusak adalah pada bagian tengahnya. Chow dan Steiner (1979) mengemukakan
bahwa dengan naiknya temperatur tekan yang dipergunakan pada pres panas akan
meningkatkan keteguhan patah papan partikel yang dihasilkan. Selanjutnya Turner (1954)
menambahkan bahwa terdapat suatu keterikatan yang erat dalam suatu hubungan positif
antara elastisitas (MoE) dan keteguhan patah, hal inilah yang menyebabkan tingginya nilai
elastisitas akan diikuti oleh nilai keteguhan patah yang tinggi pula.
Nilai keteguhan geser akan semakin meningkat seiring dengan meningkatnya
temperatur kempa yang diberikan. Hal ini disebabkan pada temperatur yang rendah transfer
panas dari permukaan ke bagian tengah mat berjalan agak lambat sehingga pada bagian
tengah pematangan perekat kurang maksimal. Hal ini menyebabkan terjadinya perbedaan
kerapatan (density profile) yang besar antara lapisan permukaan dengan bagian tengahnya
dimana pada lapisan permukaan akan mempunyai kerapatan yang lebih tinggi dibandingkan
kerapatan pada bagian tengah, sehingga ikatan antar partikel dengan perekat pada bagian
tengah lebih lemah, hal ini mengakibatkan keteguhan geser yang dihasilkan akan lebih
rendah daripada papan yang dihasilkan dengan temperatur kempa yang tinggi. Pada papan
868
BIOKOMPOSIT
yang dihasilkan dengan temperatur kempa yang lebih tinggi perbedaan kerapatan antara
lapisan permukaan dengan lapisan inti menjadi relatif kecil, sehingga ikatan antara partikel
dengan perekat menjadi lebih kuat, kompak dan padat sehingga diperlukan gaya yang lebih
besar untuk menggeser lapisan papan. Sesuai dengan pernyataan Maloney (1976) serta
Haygreen dan Bowyer (1989) bahwa perbedaan nilai keteguhan geser disebabkan oleh
keadaan kerapatan yang berbeda, yaitu perbedaan antara kerapatan pada lapisan
permukaan dengan kerapatan pada lapisan inti (density profile), hal ini terjadi dominant pada
papan partikel yang dibuat dengan tipe satu lapis (single layer board). Keteguhan geser
yang tinggi dapat diperoleh dengan mengusahakan keseragaman kerapatan antara
permukaan dengan inti. Plath (1967) dalam Kelly (1977) mengemukakan bahwa
pematangan perekat pada bagian tengah akan lebih baik dengan temperatur kempa yang
tinggi daripada temperatur kempa yang rendah. Selanjutnya Hunt dan Suddarth (1974)
mengemukakan bahwa pada saat pres panas dilakukan, lapisan permukaan mencapai suhu
yang lebih tinggi dibandingkan lapisan inti, keadaan ini menyebabkan partikel menjadi lebih
rapat.
Nilai IBS cenderung semakin tinggi sejalan dengan semakin meningkatnya
temperatur kempa yang diberikan. Hal ini karena semakin banyak kadar air yang
dipindahkan sehingga proses perekatan meningkat yang selanjutnya akan menguatkan daya
rekat antara partikel dengan perekat. Selain itu juga dipengaruhi oleh variasi kerapatan
antara lapisan permukaan dengan bagian tengah papan partikel akan relatif kecil dengan
temperatur tekan yang tinggi. Raffael, et.al. (1972) dalam Kelly (1977) nenyatakan bahwa
dengan menaikkan temperatur kempa maka keteguhan tarik tegak lurus permukaan akan
meningkat pula.
Berdasarkan hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan temperatur
kempa panas memberikan pengaruh yang sangat signifikan terhadap nilai MoR dan
keteguhan geser papan partikel yang dihasilkan. sedangkan terhadap MoE dan IBS tidak
berpengaruh signifikan.
Apabila dibandingkan dengan standar FAO, maka papan partikel yang dihasilkan dari
campuran batang kelapa sawit dan limbah rotan memenuhi standar yang ditetapkan, kecuali
maka nilai tersebut memenuhi nilai yang ditetapkan kecuali keteguhan geser sejajar
permukaan papan pada temperatur kempa 100C tidak memenuhi standar yang ditetapkan.
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 1966. Plywood and Other Wood-Based Panels. Food and Agriculture Organization
of United Nations. Rome
Chow, S.Z. dan P.R. Steiner. 1979. Comparison of Curing and Bonding Properties of
Particleboard and Waferboard Type Phenolic Resin. Forest Product Jurnal Vol.29 No.
11.
869
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Haygreen, J.G. dan Jim L. Bowyer. 1989. Hasil Hutan dan Ilmu Kayu. Suatu Pengantar.
Diterjemahkan oleh Sutjipto A. Hadikusumo. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta.
Hunt, O.M. dan K.S. Suddarth. 1974. Prediction of Elastic Constant of Particleboard. Forest
Product Journal Vol. 24 No.5.
Kelly, M.W. 1977. Critical Literature Review of Relationship Between Processing
Parameters and Physical Properties of Particleboard. V.S. Department of Agriculture
Forest Service Forest Product Laboratory. Madison, Wis.
Kollmann, F.F.P., E.W. Kuenzi dan A.J. Stamm. 1975. Principles of Wood Science and
Technology Vol.II. Wood Based Materials. Springer Verlag Berlin Heidelberg. New
York.
Maloney, T.M. 1976. Modern Particleboard and Dry Process Fibreboard Manufacturing.
Miller Freeman Publication. California.
Turner, D.H. 1954. Effect of Particle Size and Shape on Strength and Dimensional Stability
of Resin Bonded Wood Particle Bonded. Forest Product Laboratory. Forest Service
V.S. Department of Agriculture Madison. Wis.
870
BIOKOMPOSIT
Edi Sarwono
Pustekolah Hasil Hutan, Bogor
ABSTRAK
Di masa mendatang sulit bagi Indonesia untuk memdapatkan dolok kayu berdiameter
besar. Sebagai akibatnya, perlu dicari bahan baku kayu alternatif guna memasok kebutuhan
industri kayu dan usaha perkayuan lain. Di lain pihak, sumber kayu alternatif seperti dari
hutan tanaman umumnya berdiameter kecil dan bercacat. Ukuran kayunya berdiameter kecil
dan sifat inferior dolok kayu dapat mempersulit pengerjaan pengolahan kayu. Salah satu
usaha memecahkan masalah tersebut adalah memanfaatkan kayu hutan tanaman yang
umumnya berdiameter kecil dan mengandung kayu bersifat inferior tersebut melalui proses
modifikasi menjadi produk rekonstitusi kayu berbentuk papan broti lamina yang bermanfaat
untuk berbagai produk pertukangan.
Penelitian ini bertujuan untuk memanfaatkan dan memperbaiki mutu kayu hutan
tanaman menjadi broti lamina tipe papan dengan sasaran adalah menyediakan data dan
informasi teknis pembuatan papan lamina dari bilah broti untuk berbagai produk kayu
pertukangan, kayu bangunan. Pengujian papan broti lamina dan bahan pembanding kayu
hutan tanaman mengacu pada standar ASTM D 143. Hasil pembuatan papan broti lamina
menggunakan kayu sengon, pada saat pengujian mekanis sejajar arah perekatan (glue line)
terhadap keteguhan lentur statik meliputi MPL, MOE dan MOR menunjukkan bahwa pada
jarak sangga yang berbeda, analisis keragaman terhadap keteguhan lentur statik MPLnya
menunjukkan ada beda sangat nyata, sedangkan yang lainnya (MOE dan MOR) berbeda
nyata saja. Nilai hasil pengujian dan keragaman dalam aplikasi penggunaannya dipengaruhi
oleh tahapan proses laminasi yang dikerjakan.
PENDAHULUAN
Ketersediaan kayu komersial berdiameter besar dari hutan alam tropis Indonesia
untuk pasokan industri pengolahan kayu semakin terbatas dan langka. Sehingga di masa
mendatang Indonesia kemungkinan besar kesulitan untuk memdapatkan dolok kayu
berdiameter besar. Sedangkan sumber kayu alternatif seperti dari hutan tanaman umumnya
berdiameter kecil dan bercacat, yang hingga kini dianggap sebagai kayu bernilai rendah,
potensinya cukup besar akan tetapi menimbulkan banyak kesulitan dalam pemanfaatannya
oleh industri kayu. Ini disebabkan ukuran kayu berdiameter kecil dan sifat inferior kayu dapat
mempersulit pengerjaan pengolahan kayu, dan mempengaruhi macam dan mutu produk
pengolahan tersebut. Salah satu usaha memecahkan masalah tersebut adalah
memanfaatkan kayu hutan tanaman yang umumnya berdiameter kecil dan mengandung
kayu reaksi dan sekaligus memperbaiki sifat inferioritasnya melalui proses modifikasi
menjadi produk rekonstitusi kayu broti lamina di mana bermanfaat untuk berbagai produk
kayu pertukangan.
Terkait dengan segala uraian di atas, telah dilakukan penelitian Teknologi
Pembuatan Broti Lamina Tipe Papan untuk Produk Kayu Pertukangan. Yang bertujuan
memanfaatkan kayu hutan tanaman dan sekaligus memperbaiki sifat inferior/ kelemahannya
melalui teknologi modifikasi menjadi broti lamina tipe papan.
871
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Berat jenis (kerapatan) kayu sengon (0.29 g/cm3) termasuk kategori rendah (di
bawah 0.35 g/cm2). Berat jenis perlu karena berpengaruh positif terhadap sifat
kekuatan/mekanis kayu dan produk hasil rekayasa/perakitan broti lamina.
Rendemen bilah hasil penggergajian kayu sengon (39-44%) relatif lebih rendah dari
pada rendemen yang umum dari penggergajian kayu yaitu 50-55% (Rachman, 1999).
Rendahnya rendemen tersebut diduga akibat diameter dolok kayu sengon yang relatif kecil
di bawah 25 cm
Sifat mekanis/kekuatan broti lamina, yang dirakit dengan bilah kayu sengon,
menunjukkan variasi yaitu keteguhan lengkung pada batas proporsi (FSPL) 110.334-126.82
kg/cm2, keteguhan lengkung pada batas patah (MOR) 155.12-199.87 kg/cm2, keteguhan
lentur/elastis (MOE) 25573-41203.96 kg/cm2, dan keteguhan geser horisontal maksimum
5.512-4.123 kg/cm2.
Sifat mekanis/ kekuatan broti lamina, menggunakan bilah kayu sengon yang saling
direkat dengan perekat polivinil asetat (PVAc), dipengaruhi secara negatif oleh panjang
balok tersebut, sedangkan perubahan lebarnya dari 15 cm ke 24 cm masih bisa ditolerir.
Sifat broti lamina dari kayu sengon yang paling menjanjikan dalam penerapaannya untuk
tujuan pertukangan dan konstruksi adalah yang memiliki panjang sekitar 50 cm dan selang
lebar 15-24 cm.
Broti lamina dengan sifat menjanjikan tersebut ternyata cukup sebanding dengan
selang sifat kayu di Amerika Serikat yang umum digunakan untuk tujuan konstruksi
(pertukangan) setelah dikoreksi dengan faktor realitas.
872
BIOKOMPOSIT
KESIMPULAN
Hasil pembuatan broti lamina dari bilah kayu sengon diharapkan menarik pengguna
tertentu terkait dengan struktur konstruksi bangunan. Sebagai salah satu bentuk produk
komposit kayu, broti lamina karena sifatnya bisa menyamai kayu solid terutama dari hutan
alam yang semakin langka sumbernya, diharapkan berfaedah untuk tujuan pertukangan/
konstruksi seperti keperluan perumahan, bagian kerangka kapal laut dan sebagainya.
Hasil yang menjanjikan/ berprospek positif dari pembuatan broti lamina
menggunakan kayu hutan tanaman sengon, mengindikasikan bahwa produk tersebut dapat
berperan nyata memberi nilai tambah dan meningkatkan daya guna kayu hutan tanaman.
sedangkan dari hasil pengujian perakitan broti lamina menggunakan perekat polivinil asetat
(PVA), terutama aspek mekanisnya paling prospektif untuk tujuan tersebut adalah yang
memiliki panjang sekitar 50 cm, lebar 15-24 cm, dan tinggi 5 cm dibandingkan dengan
yang panjangnya 90 cm pada ukuran lebar dan tinggi yang sama.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2003. The development of small-diameter logs and non-wood forest products
processing industry. Forestry Research and Development Agency. Brief Report.
Jakarta, Indonesia.
_______. 2005. Statistik Kehutanan Indonesia tahun 2004-2005. Departemen Kehutanan.
Jakarta.
_______. 2007. Standard methods of testing clear specimens of timber. American Standard
for Testing Material (ASTM) D 143. Philadelphia, Pensylvania.
Sarwono, E., M.I. Iskandar, dan K. Yuniarti. 2009. Pengembangan teknologi pemanfaatan
dolok kayu hutan tanaman untuk broti lamina berbentuk papan dan tubular.
Proposal Penelitian Tim Peneliti 2010-2014 (Konsep Awal). Tidak dipublikasikan.
Pusat Litbang Hasil Hutan. Bogor
873
BIDANG C
KIMIA KAYU, PULP
DAN KERTAS
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS
Ganis Lukmandaru
Bagian Teknologi Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada
Email : ganisarema@lycos.com
ABSTRAK
Salah satu sifat perlu diperhatikan untuk produk akhir berupa papan panel adalah
sifat perekatannya. Sifat tersebut bisa dievaluasi dengan mempelajari sifat kimianya yaitu
kelarutan dalam air dingin, keasaman serta kapasitas penyangganya. Sampel penelitian
berasal dari 8 pohon jati berumur muda (8 dan 22 tahun) dari hutan rakyat di Jogja serta 5
pohon jati berumur 51 tahun dari Perhutani di Randublatung. Bagian yang dipakai adalah
pangkal pohon yang dibagi menjadi teras (luar, tengah, dalam), gubal (dalam dan luar), dan
kulit. Kadar kelarutan air dingin mengacu pada standar ASTM. Kapasitas penyangga asam
(KPA) ditentukan dengan titrasi NaOH 0,05 N dari pH awal sampai mencapai pH 10
sedangkan kapasitas penyangga basa (KPB) dengan titrasi H2SO4 dari pH awal sampai ke
pH 3. Kapasitas penyangga total (KPT) dan relatif (KPR) dihitung dari penjumlahan dan rasio
antara KPA dan KPB. Kadar kelarutan air dingin (1,5 7,6 %) dipengaruhi secara nyata oleh
faktor arah radial sedangkan nilai pH (4,8 6,8) dipengaruhi secara nyata oleh faktor umur
dan arah radial. Kisaran rerata nilai KPA 0,0046-0,0095 ml/ml ; KPB 0,0056-0,0104 ml/ml ;
KPT 0,0102-0,0199 ml/ml ; dan KPR 0,48-1,82. Faktor umur berpengaruh nyata terhadap
KPA, KPB, dan KPT dimana nilai tertinggi diamati pada umur 51 tahun. Dengan analisa
korelasi, didapatkan bahwa nilai pH di bagian kulit kayu berkorelasi dengan derajat moderat
dengan parameter kadar kelarutan pada air dingin (r = -0,63) serta nilai KPR (r = -0,54).
PENDAHULUAN
Objek dari penelitian ini adalah kayu jati (Tectona grandis) yang juga merupakan
komoditas utama kelompok kayu keras di Indonesia. Setelah bertahun-tahun pasokan kayu
jati umumnya dari hutan tanaman Perhutani, lambat laun sejak dua dekade terakhir ini
banyak digunakan kayu jati dari hutan rakyat yang dipanen lebih awal atau masih muda.
Kayu muda yang diasumsikan banyak mengandung gubal atau kayu juvenil diduga akan
berpengaruh pada kualitas kayunya. Beberapa penelitian pada sifat kimia kayu jati berumur
muda dari hutan rakyat sudah dilakukan dengan bahasan ekstraktif dan ketahanan rayapnya
(Lukmandaru dan Takahashi 2008; 2009) atau sifat ketahanan jamurnya (Bhat dan Florence
2003).
Kayu jati telah digunakan dalam berbagai produk, diantaranya produk yang
memerlukan perekatan untuk kayu pejal maupun limbahnya. Jati sendiri termasuk spesies
yang susah untuk direkat karena zat ekstraktif dan kandungan mineralnya (Kanazawa et al.
1978). Apabila memakai perekat urea formaldehida (UF), nilai pH dan kapasitas penyangga
asam berkorelasi kuat pada lamanya pengerasan perekat yang dicampur dengan tepung
kayu (Johns dan Niazi 1980). Lama pengerasan perekat UF dipengaruhi oleh kapasitas
penyangga asam mutlak dan rasio kapasitas penyangga asam terhadap basa (Xing et al.
2004). Nilai pH beserta kadar ekstraktif terlarut air panas, kapasitas penyangga basa, dan
rasio kapasitas penyangga asam terhadap basa merupakan empat parameter yang
berpengaruh pada kompatibilitas kayu-semen (Hachmi dan Moslemi 1990).
Pada penelitian kali ini, telah dievaluasi beberapa sifat yang berpengaruh pada
perekatan pada dua kelompok umur pohon jati dari hutan rakyat serta pembanding kayu dari
875
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
hutan tanaman Perhutani. Faktor yang diuji adalah umur pohon beserta arah radialnya dari
kulit menuju empulur, Hubungan antar parameter juga dibahas berdasar arah radial pohon.
Penyiapan Bahan
Sampel pohon diambil dari hutan rakyat Gunung Kidul, Jogja yaitu pohon berumur 8
tahun (5 pohon) dan 22 tahun (4 pohon). Sebagai pembanding, 5 pohon kelas umur VI (51
tahun) diambil dari hutan tanaman Perhutani, Randublatung. Pada setiap pohon tersebut
diambil piringan kayu (disk) setebal 5 cm pada ketinggian sekitar 1 m dari permukaan tanah.
Selanjutnya, pada setiap disk tersebut, diambil serbuk kayunya untuk analisa kimia sesuai
arah radial (kulit, gubal luar, gubal dalam, teras luar, teras tengah, dan teras dalam). Karena
keterbatasan ukuran, teras tengah dan dalam tidak didapatkan pada kayu umur 8 tahun,
sedangkan pada umur 51 tahun tidak diambil bagian gubal dalam karena persentase gubal
yang rendah. Serbuk kayu untuk analisis kimia dihaluskan sampai ukuran 40-60 mesh.
Penentuan Nilai pH
Serbuk kayu sebanyak 1 g setara berat kering tanur direndam dengan aquades (20
ml) selama 24 jam. Selanjutnya dilakukan penyaringan sehingga didapatkan filtrat yang
kemudian diukur nilai pH-nya dengan alat pHTestr 10. Pengukuran dilakukan dengan 2 kali
ulangan.
Analisis Statistik
Pengaruh faktor umur dan arah radial pada nilai pH maupun kapasitas penyangga
dihitung dengan analisis variansi (ANOVA) dwi-arah univariat. Pengaruh dianggap nyata
pada tingkat 95 %. Uji lanjut untuk menunjukkan kelompok yang berbeda menggunakan uji
perbandingan berganda Duncan. Korelasi Pearson digunakan untuk menilai keeratan
hubungan antara parameter yang diteliti. Seluruh perhitungan statistik menggunakan
program SPSS versi 10.0.
876
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS
Tabel 1. Analisis variansi nilai kelarutan dalam air dingin dan pH pada kayu jati
Sumber variasi Derajat bebas Kelarutan dalam air pH
dingin
Umur 2 0.10 ns 0.001>**
Arah radial 5 0.001>** 0.03*
Umur x Rad 7 0,41 ns 0.37 ns
Eror 50 ----
Total 65
Gambar 1. Kadar kelarutan dalam air dingin kayu jati berdasarkan posisi radial
(a) dan umur (b) dengan error bar sebagai standar deviasi. Huruf yang sama menandakan
tidak ada beda nyata pada taraf uji 5 %.
877
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Gambar 2a-b. Nilai pH berdasar faktor umur (a) dan arah radial (b) pada kayu jati dengan
error bar sebagai standar deviasi. Huruf yang sama dalam satu grafik
menandakan tidak ada beda nyata pada taraf uji 5 %
Tabel 2. Koefisien korelasi Pearson (r) antara kelarutan dalam air dingin dan nilai pH
Parameter Nilai pH
Kadar kelarutan dalam air dingin (semua bagian) -0.19
Kadar kelarutan dalam air dingin di kulit -0.63*
Kadar kelarutan dalam air dingin di gubal -0.56*
Kadar kelarutan dalam air dingin di teras -0.07
878
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS
Kapasitas Penyangga
Dari hasil pengamatan, diperoleh kisaran KPA 0,0046-0,0095 ml/ml ; KPB 0,0056-
0,0104 ml/ml ; KPT 0,0102-0,0199 ml/ml ; dan KPR 0,48-1,82. Di beberapa bagian kayu nilai
KPB lebih besar dibanding KPA meski secara umum nilai KPA di jati masih sedikit lebih
tinggi dibandingkan nilai KPB. Kecuali nilai rerata pada kayu umur 51 tahun yang lebih tinggi,
nilai yang berkesesuaian masih dalam kisaran dari kayu mangium (Lukmandaru et al. 2010),
maupun pada Robinia pseudoacacia (Adamopoulous et al. 2005).
Dari hasil analisa sidik ragam (Tabel 3), pada semua parameter kapasitas penyangga
tidak diamati interaksi antara umur dan arah radial. Faktor umur berpengaruh sangat nyata
pada semua parameter kecuali kapasitas penyangga relatif. Dari uji lanjut, nilai KPA, KPB
dan KPT memberikan pola yang sama dimana nilai tertinggi diperoleh pada umur 51 tahun
sedangkan rerata nilai umur 8 dan 22 tidak berbeda nyata (Gambar 3). Nilai rerata tertinggi
pada umur 51 tahun untuk parameter KPA, KPB, dan KPT secara berturutan adalah 0,0073 ;
0,0104 ; dan 0,0173 ml/ml. Tidak seperti yang diharapkan, faktor arah radial ternyata tidak
berpengaruh nyata, yang hal ini disebabkan tingginya variasi dalam satu bagian batang.
Pada kulit misalnya, KPA berkisar antara 0,0046-0,0104 ml/ml, sedangkan di teras antara
0,0054-0,0176 ml/ml.
KPA merupakan jumlah basa kuat yang harus ditambahkan untuk mengubah nilai pH
satu unit pengukuran dalam 1 lt larutan sedangkan KPB adalah jumlah asam kuat yang
harus ditambahkan mengubah nilai pH satu unit pengukuran dalam 1 lt larutan. Dalam
prakteknya, perlu nilai pH yang rendah untuk membantu proses pengerasan perekat UF,
sehingga diperlukan suatu katalisator untuk mencapai pH tertentu. Nilai KPA relatif tinggi
pada umur 51 tahun bukan merupakan suatu keuntungan karena akan dibutuhkan katalis
asam yang lebih banyak untuk mengurangi nilainya ke tingkat optimum. Korelasi positif
antara lama pengerasan perekat UF dengan KPA pada beberapa spesies telah diamati oleh
Johns dan Niazi (1980), dalam artian semakin tinggi KPA maka akan mempersulit proses
perekatan. Nilai KPA pada kayu muda dari hutan rakyat relatif rendah merupakan
keuntungan apabila dipakai dalam produk panel.
Dari hasil analisis korelasi (Tabel 4), apabila nilai kapasitas penyangga dihubungkan
dengan nilai pH-nya, derajat hubungan tertinggi diamati pada kulit (r = -0,54) dengan
parameter KPR meski KPR sendiri tidak secara nyata dipengaruhi oleh faktor arah radial dan
umur pohon. Nilai korelasi negatif berarti menunjukkan bahwa semakin tinggi nilai pH seiring
dengan penurunan nilai KPR. KPR merupakan indikator efisiensi KPA terhadap KPB dalam
suatu larutan. Xing et al. (2004) mengamati bahwa lama pengerasan UF akan diperpendek
dengan kenaikan KPR. Dalam penelitian ini, nilai KPR tidak dipengaruhi secara nyata oleh
umur maupun arah radial. Sampel yang diteliti menunjukkan nilai rerata KPR kayu jati di
bawah 2,5. Dalam studinya, Hachmi dan Moslemi (1990) mendapatkan fakta spesies dengan
kadar ekstraktif di atas 7 % dan KPA kurang dari 2,5 dianggap tidak cocok untuk papan
semen.
879
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Keterangan :
PA = kapasitas penyangga asam
KPB = kapasitas penyangga basa
KPT = kapasitas penyangga total
KPR = kapasitas penyangga rela
** = nyata dalam taraf uji 1 %
* = nyata dalam taraf uji 1 %
ns = non significant
Gambar 3a-b. Nilai kapasitas penyangga asam (a) dan basa (b) berdasar faktor umur (pada
kayu jati dengan error bar sebagai standar deviasi. Huruf yang sama dalam
satu grafik menandakan tidak ada beda nyata pada taraf uji 5 %.
880
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS
Tabel 4. Koefisien korelasi Pearson (r) untuk nilai pH dan kapasitas penyangga
Kadar kelarutan dalam air dingin (semua -0.00 -0.05 0.00 -0.13
bagian)
Kadar kelarutan dalam air dingin di kulit 0.01 -0.10 -0.03 0.33
Kadar kelarutan dalam air dingin di gubal
Kadar kelarutan dalam air dingin di teras 0.47* 0.36 0.44* -0.03
Bila kapasitas penyangga dihubungkan dengan kadar kelarutan dalam air dingin
maka tidak ada hubungan yang kuat meski cukup nyata (Tabel 4). Dengan demikian, nilai pH
atau kadar kelarutan dalam air dingin yang tinggi tidak secara otomatis akan menyebabkan
KPA atau KPB rendah, demikian pula sebaliknya. Pola yang sama juga diamati pada
hubungan antara nilai pH dan KAD. Hasil ini diinterpetasikan bahwa nilai kapasitas
penyangga di kayu jati dipengaruhi oleh bermacam-macam faktor yang saling berkaitan, hal
ini diperkuat oleh korelasi antara data secara keseluruhan (kulit, gubal, teras) bila digabung
nilainya rendah. Sebagai penelitian lebih lanjut, penambahan parameter seperti zat
anorganik, komponen hemiselulosa serta analisis multivariat perlu dilakukan untuk
menjelaskan fenomena tersebut.
KESIMPULAN
1. Kisaran rerata kadar kelarutan dalam air dingin sebesar 1,5 7,6 %, yang dipengaruhi
secara nyata oleh faktor arah radial. Nilai rerata tertinggi didapatkan pada bagian kulit.
2. Kisaran rerata nilai pH sebesar 4,8 6,8 yang dipengaruhi secara nyata oleh faktor umur
dan arah radial. Nilai rerata terendah diamati pada bagian teras tengah dan umur 51
tahun.
3. Kisaran rerata nilai kapasitas penytangga asam (KPA) 0,0046-0,0095 ml/ml ; kapasitas
penyangga basa (KPB) 0,0056-0,0104 ml/ml ; kapasitas penyangga total (KPT) 0,0102-
0,0199 ml/ml ; dan kapasitas penyangga relatif (KPR) 0,48-1,82. Faktor umur
berpengaruh nyata terhadap KPA, KPB, dan KPT dimana nilai tertinggi diamati pada umur
51 tahun.
4. Kadar kelarutan dalam air dingin berkorelasi moderat dengan nilai pH di bagian kulit dan
gubal.
5. Nilai pH berkorelasi moderat dengan kapasitas penyangga relatif di bagian kulit.
DAFTAR PUSTAKA
ASTM International. 2002. D1110 Test Methods for Water Solubility of Wood. Annual Book of
ASTM Standards 2002, Section 4 : Construction. West Conshohocken, PA. hal. 187.
Adamopoulos, S., Voulgaridis, E., Passialis, C. 2005. Variation of Certain Chemical
Properties within the Stemwood of Black Locust (Robinia pseudoacacia L.). Holz als
Roh- und Werkstoff 63: 327333.
Bhat, K.M., Florence, E.J.M. 2003. Natural decay resistance of juvenile teak wood grown in
high input plantations. Holzforschung 57:453455.
881
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Fengel, D., Wegener, G. 1989. Kayu: Kimia, Ultrastuktur, Reaksi-reaksi. Gadjah Mada
University Press (diterjemahkan oleh Sastrohamidjojo, H.), Jogja.
Gnanaharan, R., Dhamodaran, T.K. 1985. Suitability of Some Tropical Hardwoods for
Cement-bonded Wood Wool Board Manufacture. Holzforschung 39: 337-340.
Hachmi, A., Moslemi, A.A. 1990. Effect of Wood pH and Buffering Capacity on Wood-cement
Compatibility. Holzforschung 44:425-430.
Johns, W.E., Niazi, K.A. 1980. Effect of pH and Buffering Capacity of Wood on the Gelation
Time of Urea-formaldehyde Resin 12 (4): 255-263
Lukmandaru, G., Gustomo, L.S., Sayudha, I.G.N.D., Prasetyo, V.E. 2010. Studi Keasaman
dan Kapasitas Penyangga pada Kayu Mangium. Prosiding Seminar Nasional
MAPEKI XIII, Bali, hal. 388-396.
Kanazawa, H., Nakagami, T., Nobashi, K., Yokota, T. 1978. Studies on the Gluing of the
Wood. Articles. XI. The Effects of Teak wood Extractives on the Curing Reaction and
the Hydrolysis Rate of the Urea Resin. Mokuzai gakkaishi, 24: 55-59.
Lukmandaru, G., Takahashi, K. 2008. Variation in the Natural Termite Resistance of Teak
(Tectona grandis L.f.) as a Function of tree age. Annals of Forest Science 65: 708 p1
- p8
Lukmandaru, G., Takahashi, K. 2009. Radial Distribution of Quinones in Plantation Teak
(Tectona grandis L.f.). Annals of Forest Science 66: 605 p1 p9
Maloney, T.M. 1993. Modern Particleboard and Dry-process Fberboard Manufacturing
(updated edition). Miller Freeman, San Francisco.
Martawijaya, A., Kartasujana, I., Kadir, K., Prawira, S.A. 2005. Atlas Kayu Jilid I (Edisi 3).
Departemen Kehutanan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Bogor.
Hal. 43.
Slay, J.R., Short, P.H., Wright, D.C. 1980. Catalytic Effects of Extractives from Pressure-
refined Hardwood Fiber on the Gel Time of Urea Formaldehyde Resin. Forest
Product Journal. 30:22-23.
Windeisen, E., Klassen, A., Wegener, G. 2003. On the Chemical Characterization of
Plantation Teakwood (Tectona grandis L.) from Panama. Holz Roh- Werkst. 61: 416
418
Xing, C., Zhang, S.Y., Deng, J. 2004. Effect of Wood Acidity and Catalyst on UF Resin Gel
Time. Holzforschung 58: 408412.
882
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS
Hafiq Prasetiadi, IGN Danu Sayudha, Afifi Fauzy, Gita Abu Rizal,
dan Ganis Lukmandaru
Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada
Email: ha_fiii@yahoo.com
ABSTRAK
Kecoa, nyamuk, dan lalat serta ulat bulu sering meresahkan masyarakat dalam
kehidupan sehari-hari. Beberapa serangga ini menjadi penyebab menyebarnya sumber
penyakit. Perkembangan serangga ini sangat cepat apalagi didukung dengan kondisi
lingkungan yang cocok untuk berkembang biak. Keberadaan keempat serangga ini apabila
dibasmi maka akan menyebabkan rusaknya rantai makanan, oleh karena itu perlu adanya
cara menghalau mereka secara alami yakni dengan menggunakan daun suren. Daun suren
diduga memiliki zat bioaktif yang dapat bersifat racun dan penolak pada serangga. Daun
suren diekstrak secara berurutan menggunakan pelarut n-heksana, etil asetat, dan metanol.
Hasil pengujian menunjukan bahwa pengaruh senyawa bioaktif daun suren terhadap lalat
adalah beracun, pada nyamuk dan ulat bulu bersifat menolak sedangkan pada kecoa,
ekstrak tersebut tidak berpengaruh. Pelarut Ekstrak metanol menunjukkan rendemen yang
relatif tinggi. Dari uji fitokimia, pada ekstrak daun suren terdeteksi senyawa saponin, tanin,
dan flavonoid.
LATAR BELAKANG
Hampir tiap rumah di Indonesia memiliki masalah dengan kecoa, nyamuk, dan lalat
serta ulat bulu. Beberapa serangga ini, sering muncul di tiap sudut rumah, apalagi jika
keadaan rumah sangat kotor. Semua merasa terganggu dan menganggap beberapa
serangga ini sangat menggangu dan menyebabkan menyebarnya sumber penyakit.
Perkembangan beberapa serangga ini sangat cepat apalagi didukung dengan kondisi
lingkungan yang cocok untuk berkembang biak. Selain faktor lingkungan, kebiasaaan hidup
manusia pun turut membantu pertumbuhan ketiga serangga ini.
Kecoa memang tidak menularkan penyakit kepada manusia seperti lalat, akan tetapi
kecoa memiliki bau sangat khas yang begitu menyengat. Hal ini, karena keberadaan kecoa
yang senang di tempat lembab. Nyamuk merupakan musuh tahunan manusia dapat
membawa penyakit demam berdarah yang tiap tahun mewabah dan memakan korban.
Mewabahnya demam berdarah sering terjadi pada musim hujan, selain itu pola hidup
manusia yang tidak mengindahkan kebersihan menjadi tempat favorit nyamuk untuk dapat
berkembang biak. Sama halnya dengan kecoa, lalat juga serangga yang dianggap menjijikan
karena hidup ditempat-tempat kotor. Beberapa penyakit yang disebabkan atau ditularkan
oleh lalat, yaitu diare, muntaber, dan lain-lain. Ulat bulu menjadi hama yang sangat
meresahkan di awal tahun 2011 karena populasinya sangat meningkat secara signifikan.
Ulat ini menyebar dibeberapa daerah di indonesia diantaranya Jawa tengah, Jawa timur,
Jawa barat, Yogyakarta dll. Ulat ini perlu di kendalikan agar persebarannya tidak meluas dan
tidak menggangu ekosistem lingkungan.
Keberadaan beberapa serangga diatas tidak boleh disepelekan, namun jika kita
membasminya, maka dapat menggangu kestabilan rantai makanan hewan yang berimplikasi
pada keseimbangan kehidupan. Maka yang diperlukan adalah cara menghalau mereka dari
kehidupan kita dan tidak membuat tempat yang cocok untuk berkembangnya ketiga
serangga ini. Daun suren dipilih sebagai objek penelitian disebabkan daun tersebut mudah
883
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
diperoleh dan memiliki banyak fungsi. Hal tersebut diperkuat dengan adanya berbagai
penelitian sebelumnya tentang daun suren sebagai pestisida nabati dan merupakan bahan
alam yang potensial dikembangkan menjadi antikanker ovarium, minyak atsiri, serta ektrak
kulit, batang dan daun suren sebagai insektida botani untuk pengendalian hama kubis
(Darmansyah, 2009).
Beberapa penelitian menyebutkan bahwa daun suren mengandung senyawa
tetranortriterpenoid, yaitu surenon, surenin, karotenoid yang terdiri dari -karotena,
zeasantin, laktukasantin dan triterpenoid yang mempunyai aktivitas antiplasmodial. Adanya
kandungan senyawa monoterpenoid dan seskuiterpenoid dalam minyak atsiri suren
dilaporkan oleh (Chozin,1995). Daun suren juga mengandung senyawa kimia yang bernama
metil galat yang memiliki bioaktivitas seperti antibakteri, antioksidan. Selain metil galat daun
suren juga mengandung senyawa karotenoid, yaitu lutein yang berperan dalam pencegahan
kerusakan macular mata dari sinar biru matahari. Fakta ini memperlihatkan kemungkinan
daun suren sebagai sumber senyawa antioksidan dan antibakteri alam yang aman bagi
kesehatan manusia (Anonim, 2010). Oleh karena itu, dalam penelitian bertujuan untuk
mengetahui efektifitas ekstrak daun suren agar beberapa serangga ini tidak hidup di sekitar
kita.
Persiapan bahan dilakukan dengan menyiapkan daun suren yang baru diambil dari
pohon sebanyak r0,5 kg. Daun tersebut kemudian dirajang lalu dikeringudarakan selama
kurang lebih 2 hari. Pengekstrakan bahan dilakukan dengan mengambil daun yang sudah
siap kemudian ditimbang sebanyak 500 gram. Ekstraksi lalu dilakukan dengan 200 ml
larutan n-heksana dan peralatan soxhlet selama 6 jam. Pelarut diuapkan dengan hasil
ekstrak kemudian ditimbang setelah pelarut diuapkan. Daun yang sudah diekstrak dengan
larutan n-heksana kemudian secara terpisah diekstrak lagi dengan etil asetat dan metanol
secara berurutan dengan metode yang sama. Secara terpisah, sebagai kontrol pengujian
ulat bulu dilakukan pengekstrakan daun jambu dengan air panas dilakukan pada suhu 100
0
C selama 6 jam. Ekstrak yang diperoleh kemudian diuji fitokimianya yakni untuk
senyawa alkaloid, flavonoid, tanin, dan saponin.
Alkaloid
Sebanyak 1 gram ekstrak ditambahkan 5 ml kloroform-amoniak, lalu disaring ke
dalam tabung reaksi. Filtrat ditambahkan dengan beberapa tetes H2SO4 2 M dan dikocok
sehingga terpisah dua lapisan, lalu diambil lapisan yang atas (bening) dan ditaruh diwadah
gelas.Lapisan atas tersebut ditetesi reagen Meyer, lalu bila terlihat endapan putih maka
ekstrak tersebut positif mengandung alkaloid.
Flavonoid
Sejumlah 1 gram ekstrak ditambah 1-2 ml metanol 50 % sampai serbuk terendam
seluruhnya dan diaduk. Setelah itu dipanaskan sampai mendidih lalu disaring dengan kertas
saring. Hasil saringan ditetesi 1-5 tetes NaOH 1%. Setelah itu dikocok, dan bila terlihat
warna kuning berarti ekstrak tersebut positif mengandung flavonoid.
Saponin
Sebanyak 1 gram ekstrak dimasukkan ke dalam tabung reaksi lalu ditambahkan air
sebanyak 5 ml lalu diaduk. Kemudian dipanaskan selama 5 menit lalu disaring dengan
kertas saring dan dikocok-kocok. Setelah dikocok terlihat buih yang tidak hilang sampai 10
menit, maka ekstrak tersebut mengandung saponin.
Tanin
Sebanyak 1 gram ekstrak dimasukkan ke dalam tabung reaksi lalu ditambahkan air
sebanyak 5 ml kemudian diaduk-aduk. Setelah itu dipanaskan selama beberapa menit lalu
884
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS
disaring dengan kertas saring. Hasil penyaringan ditetesi 5-10 tetes FeCl3 1%. Bila warnanya
menjadi biru gelap atau hijau gelap maka ekstrak tersebut positif mengandung tanin.
Ekstrak daun suren kemudian diuji hayati yakni uji anti nyamuk dan kecoa, uji anti
lalat, uji anti ulat bulu.
Pengekstrakan daun suren suren ini bertujuan untuk mengeluarkan senyawa bioaktif
daun suren, selain itu untuk mengetahui jumlah ekstaktif yang dihasilkan dengan
menggunakan pelarut n-heksana, etil asetat, dan metanol. Proses mengekstrak daun suren
ini dilakukan 3 kali agar diperoleh ekstrak yang cukup untuk pengujian. Hasil menunjukan
bahwa senyawa bioaktif terbanyak diperoleh dengan mengekstraksi menggunakan pelarut
metanol dengan rerata 7,72%, urutan selanjutnya n-heksana dengan rerata 4,10% dan
pelarut etil asetat dengan rerata 2,89%. Rendemen tersebut secara total termasuk tinggi bila
dihubungkan dengan potensi senyawa bioaktifnya karena di dalam satu pohon terdapat daun
seberat kurang lebih 1 ton. Hasil uji fitokimia disajikan pada Tabel 1 berikut:
Tabel 1.Uji kandungan zat yang terdapat dalam ektraktif daun suren
885
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Keterangan :
(+) = senyawa teridentifikasi
(-) = senyawa tidak teridentifikasi
Tabel 2. Nilai mortalitas (%) uji hayati pada ketiga jenis serangga (rerata 3 Ulangan)
Perlakuan Menit ke -
30 60 90 120 150 180 210 240 270 300
n-heksana 18 19 18 19 19 19 20 19 19 20
Etil asetat 19 19 18 18 18 20 19 19 20 20
Metanol 18 19 19 19 19 20 19 20 18 19
Gambar 1. Uji anti lalat, uji anti kecoa dan Uji anti nyamuk
Uji anti lalat menunjukan mortalitas terbanyak diamati pada perlakuan ekstrak etil
asetat yang menunjukan adanya sifat racun lebih pada ekstrak tersebut dibanding dengan
kontrol. Lain halnya pada perlakuan senyawa bioaktif ekstrak daun suren terhadap kecoa
yang didapatkan hasil mortalitas antar perlakuan tidaklah berbeda jauh. Hasil ini
menunjukkan bahwa senyawa bioaktif ekstrak daun suren terhadap kecoa tidaklah
berpengaruh. Pengujian anti nyamuk didapatkan hasil bahwa pada kontrol sebagian
nyamuk tidak menghindar dari kain sedangkan pada kain yang telah diberi umpan atau
ekstrak daun suren hampir semua nyamuk menghindar yakni sekitar 18-20 ekor nyamuk dari
total 20 ekor nyamuk meski semua perlakuan nyamuk tidak mengalami kematian.
Menghindarnya nyamuk terhadap ekstrak daun suren menunjukan senyawa bioaktif ektrak
daun suren bersifat menolak terhadap nyamuk.
Hasilnya pengujian ekstrak daun suren dan daun jambu terhadap ulat bulu disajikan
pada Gambar 2 dan Gambar 3 berikut. Dari Gambar 2 menunjukan semua ekstrak
berpengaruh mengurangi derajat kerusakan pada umpan. Hal tersebut wajar karena pada
886
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS
daun suren sendiri persen kerusakannya relatif kecil sedangkan derajat kerusakan terbesar
diamati pada kontrol daun jambu. Perlakuan dengan ekstrak n-heksana menunjukan laju
kerusakan akibat ulat bulu yang terkecil.
Apabila ditinjau dari hasil uji fitokimia, bahwa daun jambu memiliki kandungan
saponin dan flavonoid tetapi tidak terdeteksi alkaloid dan tannin sedangkan daun suren
terdeteksi adanya saponin, tanin dan flavonoid tetapi tidak terdeteksi adanya alkaloid.
Diduga salah satunya adalah adanya perbedaan kadar tanin pada suren yang
menyebabkan sifat bioaktif terhadap ulat bulu. Perlu diteliti juga penyebab secara pasti sifat
racun pada lalat serta sifat penolak pada nyamuk. Hasil pengujian ekstrak daun suren
terhadap serangga sesuai dengan hasi dari percobaan (Darmansyah 2009) yang
menyatakan daun suren sebagai insektida botani.
KESIMPULAN
Dari hasil pengujian hayati ekstrak daun suren, diamati adanya sifat racun terhadap
lalat, dan bersifat penolak pada ulat bulu dan nyamuk. Rendemen tertinggi dihasilkan
dengan ekstraksi metanol (7,72 %) sedangkan uji fitokimia ekstrak daun suren menunjukkan
adanyanya senyawa saponin, tanin, dan flavonoid.
887
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
DAFTAR PUSTAKA
888
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS
ABSTRAK
Kata kunci: Serbuk gergaji, arang, jamur tiram, arang kompos, kualitas.
PENDAHULUAN
889
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Metode
Sebelum dibuat arang kompos, sisa media tumbuh jamur tiram yang berumur 4 bulan
dianalisis kandungannya, dengan tujuan untuk mengetahui kualitas dan kandungan unsur
hara. Pada proses pembuatan arang kompos, dilakukan penambahan aktivator yang terdiri
dari bakteri Cytophaga sp dan Trichoderma pseudokoningii dan ditambahkan arang serbuk
gergaji.
Bahan ditimbang sesuai kebutuhan, ditambahkan aktivator sebesar 5% (b/v), arang
serbuk gergaji sebesar 5% (b/v) dan di tambah air secukupnya, kemudian diaduk sampai
homogen. Selanjutnya dimasukkan ke dalam karung plastik jumbo, ditumpuk sedemikian
rupa agar tidak terlalu padat. Proses pengomposan berlangsung selama lima minggu
dengan kondisi sebagai berikut: suhu 56oC (termofilik), pH 6,00 - 7,30 dan kelembaban 60%
- 85%. Setiap satu minggu (tergantung kondisi) dilakukan pembongkaran, pengadukan,
penumpukan kembali agar proses pengomposan berjalan dengan sempurna. Pada minggu
ke 2, 4 dan 5 dilakukan pengambilan sampel untuk dianalisis. Penambahan arang dilakukan
pada minggu ke 2 pengomposan.
Untuk mengetahui kualitas arang kompos dilakukan analisis kadar air, pH, unsur hara
makro, nisbah C/N dan kapasitas tukar kation (KTK). Hasil analisis dibandingkan dengan
standar kompos/pupuk organik yang dikeluarkan oleh BIOTROP (Anonim, 2000), Standard
Nasional Indonesia (Anonim, 2004) dan persyaratan teknis minimal pupuk organik (Anonim,
2009).
Pada Tabel 1, ditunjukkan hasil analisis kandungan unsur hara sisa media tumbuh
jamur tiram. Sedangkan pada Tabel 2, dapat diketahui hasil analisa kandungan unsur hara
arang kompos dari sisa media tumbuh jamur tiram.
Hasil analisa menunjukkan bahwa kandungan pH sebesar 5,92 dan kadar air sisa
media tumbuh jamur tiram 33,71%. Pada pH dan kadar air tersebut jamur masih tumbuh
sehingga proses degradasi masih terjadi. Nisbah C/N 39,80 sangat cocok untuk proses
pengomposan karena C/N bahan yang optimal antara 25 - 40 (Gaur, 1982). Bila C/N terlalu
rendah maupun terlalu tinggi, akan berpengaruh terhadap proses pengomposan. Nilai C/N
tersebut adalah rendah jika dibandingkan dengan nilai C/N pada laporan sebelumnya yaitu
berkisar antara 36-76 (Suprapti, 1998). Perbedaan ini mungkin disebabkan karena komposisi
media tumbuhnya berlainan yaitu terdiri dari serbuk gergaji, ditambah dedak 10%, kapur 1%,
gips 0,4% dan air bersih secukupnya (Djarwanto dan Suprapti, 2010).
890
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS
Tabel 2. Kandungan hara arang kompos dari sisa media tumbuh jamur tiram
Sedangkan kadar air sisa media tumbuh jamur tiram tersebut lebih rendah jika
dibandingkan dengan kadar air optimum bahan untuk pengomposan yaitu 50-60% (Dalzell et
al., l987). Berarti kadar air tersebut dapat mempengaruhi lamanya proses pengomposan dan
kualitas arang kompos yang dihasilkan.
Hasil analisa kandungan hara arang kompos dapat diketahui pada Tabel 2. Nisbah
C/N arang kompos pada minggu kedua 30,40; minggu ke empat 25,60 dan minggu ke lima
turun menjadi 21,05, bila dibandingkan dengan standar MENTAN (Anonim, 2009) sudah
memenuhi standar yang ditetapkan. Akan tetapi bila dibandingkan dengan standar
BIOTROP dan SNI (Anonim, 2000 dan 2004) termasuk tinggi. Tingginya nisbah C/N pada
arang kompos sisa media tumbuh jamur tiram ini diakibatkan oleh penambahan arang
serbuk gergaji pada saat proses pengomposan. Khususnya pada saat arang kompos
diaplikasikan pada tanaman tidak akan menghambat pertumbuhan, bahkan sebaliknya akan
merangsang pertumbuhan tanaman, karena arang dapat meningkatkan porositas tanah,
meningkatkan keasaman tanah, sehingga akan merangsang pertumbuhan tanaman, antara
lain akar. Juga arang dapat menyerap air dan unsur hara dari tanah sehingga akan
meningkatkan pertumbuhan tanaman, yang akhirnya akan meningkatkan produksinya
(Komarayati et al, 2003). Nisbah C/N yang lebih besar dari 20 cocok untuk tanaman
kehutanan, perkebunan, pertanian maupun tanaman keras lainnya. Hasil analisa kualitas
arang kompos pada minggu kedua kelima dapat diketahui pada Tabel 2. Hasilnya sebagai
berikut: pH 6,95 7,32; kadar air 32,70% - 36,00%; C organik 19,18% 25, 87%; N total
0,71% - 1,66%; nisbah C/N terjadi penurunan sesuai lama proses pengomposan yaitu dari
30,40 menjadi 21,05. Untuk kadar P2O5 total 0,49% - 0,56%; CaO total 1,40% 2,42%; MgO
total 0,25% - 0,46%; K2O total 1,40% - 2,00% dan KTK (kapasitas tukar kation) 9,14 27,70
meq/100g. Kandungan P2O5 termasuk kategori sedang dan K2O termasuk tinggi. Phosphat
bagi tanaman berfungsi dalam proses metabolisme dan reproduksi seperti pembentukkan
bunga, buah dan biji, serta dapat memperkuat batang agar tidah mudah roboh. Kalium
berfungsi untuk sintesa protein, mengaktifkan enzim dan memperlancar proses metabolisme
sel. Apabila dibandingkan dengan stndar yang ditetapkan oleh BIOTROP, SNI dan
MENTAN (Anonim, 2000, 2004 dan 2009), lihat Tabel 3,4 dan 5, maka arang kompos dari
limbah media tumbuh jamur tiram ternyata telah memenuhi kriteria yang ditetapkan. Selain
unsur hara dan KTK, pH sangat menentukan mudah tidaknya unsur-unsur hara diserap oleh
tanaman. Pada umumnya unsur hara mudah diserap akar tanaman pada pH netral, karena
pada pH netral, unsur hara mudah larut dalam air.
891
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Standar
No. Parameter
Minimum Maksimum
1. pH (1:1) 6,80 7,49
2. Kadar air, % - 50
3. C organik, % 9,80 3
4. N total, % 0,40 -
5. Nisbah C/N 10 20
6. P2O5 total, % 0,10 -
7. K2O total, % 0,20 -
8. CaO total, % - -
9. MgO total, % - -
10. KTK, meq/100g - -
Dari hasil penelitian pembuatan arang kompos dapat disimpulkan bahwa sisa media
tumbuh jamur tiram dapat dibuat arang kompos dan dimanfaatkan sebagai pupuk organik
untuk tanaman, baik tanaman pertanian maupun tanaman keras/kehutanan. Waktu
pengomposan relatif singkat, karena adanya campuran bahan- bahan lain seperti dedak,
gips dan kapur. Selain itu, serbuk gergaji yang terdapat dalam sisa media tumbuh jamur
tiram telah mengalami perombakan selama digunakan sebagai media produksi jamur yaitu
sekitar 4 bulan, sehingga pada saat diproses menjadi arang kompos hanya memerlukan
waktu singkat.
892
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS
Hal ini berbeda dengan pembuatan arang kompos dari serbuk gergaji segar/ tanpa
diberi campuran bahan lainnya, sehingga memerlukan waktu pengomposan sangat lama
kurang lebih 4 bulan (Komarayati, 1996). Selain waktu proses yang singkat, juga kualitas
arang kompos dari sisa media tumbuh jamur tiram ini lebih baik dan hieginis dibandingkan
dengan kompos lainnya, karena prosesnya terkendali, aktivator yang digunakan mempunyai
keunggulan dari aktivator lain, juga karena ada penambahan arang
Produksi arang kompos merupakan salah satu alternatif penanganan dan
pengelolaan sisa media tumbuh jamur tiram. Selama ini, sisa media tumbuh jamur tiram
hanya ditumpuk di sekitar kumbung tempat budidaya jamur, dibuang, dibakar, sebagian
digunakan sebagai kompos tanpa melalui proses pengomposan. Volume sisa media tumbuh
jamur tiram umur pemeliharaan 4 bulan adalah sekitar 20%.
1. Kualitas arang kompos yang dihasilkan dari sisa media tumbuh jamur tiram setelah 5
minggu proses pengomposan : pH 7,32; kadar air 35,40%; C organik 25,87%; N total
1,66%; nisbah C/N 21,05; P2O5 0,56%; CaO 2,43%; MgO 0,46%; K2O 2,00% dan KTK
27,70 meq/100g, telah memenuhi persyaratan/standar BIOTROP, SNI dan MENTAN.
2. Sisa media tumbuh jamur tiram dapat dimanfaatkan untuk arang kompos sebagai
pupuk organik pada tanaman.
3. Salah satu alternatif pemanfatan sisa media tumbuh jamur tiram yaitu diproses kembali
menjadi arang kompos sehingga dapat dimanfaatkan untuk digunakan sebagai pupuk
organik pada berbagai jenis tanaman.
DAFTAR PUSTAKA
893
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Pasaribu, R. 1987. Pemanfaatan serbuk gergaji jeungjing sebagai kompos untuk pupuk
tanaman. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 4 (4) : 15 21. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Hasil Hutan. Bogor.
Suprapti, S. 1988. Budidaya jamur perusak kayu I. Pengaruh penambahan dedak terhadap
produksi jamur tiram. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 5 (6) : 337 339. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor.
Suprapti 1998. Biokonversi limbah penggergajian untuk produksi jamur dan kompos. Diskusi
Evaluasi Penelitian Bioteknologi Tanaman Kehutanan dan Perkebunan, tanggal 4
September 1998 di Yogyakarta. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan
dan Perkebunan.
894
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS
ABSTRAK
Penelitian pembuatan arang dan cuka kayu secara terpadu telah dilakukan dengan
menggunakan dua model tungku hasil modifikasi yaitu tungku pertama adalah tungku
sungkup/tungku drum yang dilengkapi sungkup dari besi dan cerobong bambu yang
berfungsi mengalirkan asap yang keluar dari proses pengarangan dan tungku kedua adalah
tungku spiral/tungku drum ganda yang dilengkapi cerobong asap dan pipa berbentuk spiral
yang terbuat dari stainles, yang berfungsi untuk mengalirkan asap yang keluar dari proses
pengarangan. Selanjutnya asap dalam pipa spiral didinginkan dalam drum yang berisi air.
Bahan yang digunakan untuk membuat arang dan cuka kayu merupakan sisa tebangan kayu
mindi. Tujuan penelitian yaitu untuk mengetahui produksi, kualitas arang dan cuka kayu,
komponen kimia organik dalam cuka kayu.
Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa dari tungku sungkup dihasilkan arang
10,00 kg dengan rendemen arang 19,83%. Kadar air arang 2,03%, kadar abu 5,07%, kadar
zat terbang 15,08%, kadar karbon terikat 79,84% dan nilai kalor 6709 kal/g. Produksi cuka
kayu 10,50 liter, rendemen cuka kayu 20,83%, pH 3,76 dan berat jenis 0,97. Hasil analisis
GC-MS pirolisis menunjukkan bahwa komponen kimia organik cuka kayu mengandung 25
komponen kimia. Sedangkan dari tungku drum ganda yang dilengkapi pipa pendingin
berbentuk spiral dihasilkan arang 6,50 kg dengan rendemen arang 16,88%. Kadar air arang
8,54%, kadar abu 4,50%, kadar zat terbang 17,63%, kadar karbon terikat 77,86% dan nilai
kalor 6.501 kal/g. Produksi cuka kayu 5,00 liter, rendemen cuka kayu 12,98%, pH 3,98 dan
berat jenis 0,97. Hasil analisis GC-MS pirolisis menunjukkan bahwa komponen kimia organik
cuka kayu mengandung 30 komponen kimia.
PENDAHULUAN
Produksi terpadu arang dan cuka kayu dapat dilakukan pada berbagai jenis tungku,
dengan hasil arang dan cuka kayu yang berbeda. Hasil penelitian Komarayati et al., 2010,
menyebutkan bahwa cuka kayu yang dihasilkan dari tungku drum ganda hasil modifikasi
yang dilengkapi pipa berbentuk spiral, kualitasnya lebih baik, ditandai dari warna lebih
bening, tidak berbau menyengat, walaupun produksi dan rendemen rendah. Kualitas cuka
kayu/asap cair ditentukan oleh kondisi proses pembakaran, yaitu tekanan, suhu pembakaran
dan lamanya waktu pembakaran, juga ditentukan dari banyaknya kandungan asam, ter dan
fenol didalamnya (Sutin, 2008).
Kualitas dari asap cair juga ditentukan oleh kemurnian dari senyawa senyawa yang
terkandung didalamnya. Asap cair mengandung kelompok senyawa asam dan turunannya,
alkohol, aldehid, hidrokarbon, keton, fenol dan piridin (Zaitsev, 1969). Senyawa-senyawa ini
tidak sepenuhnya sesuai dengan penggunaan asap cair sebagai zat antimikroba,
antioksidan, bioinsektisida dan penggunaan lainnya. Oleh karena itu, proses pemurnian
perlu dilakukan untuk memisahkan senyawa-senyawa tersebut sehingga didapatkan
komponen asap cair yang diinginkan. Pada umumnya proses pemurnian yang dilakukan
pada asap cair hanya sebatas menghilangkan kandungan tar dengan cara
mengendapkannya selama 24 jam.
895
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Arang sudah lama dikenal masyarakat sebagai bahan bakar alternatif, akhir-akhir ini
tidak hanya arang yang dikenal, akan tetapi asap yang keluar dari proses pengarangan
merupakan bahan yang dapat dimanfaatkan untuk berbagi kebutuhan, baik di bidang
pertanian, kehutanan, maupun kesehatan (Nurhayati, 2007). Asap yang keluar dari proses
pengarangan, setelah melalui pendinginan akan keluar dalam bentuk cairan yang biasa
disebut asap cair atau cuka kayu.
Tujuan penelitian yaitu untuk mengetahui produksi, kualitas arang dan cuka kayu,
komponen kimia organik dalam cuka kayu. Manfaat penelitian adalah untuk mengetahui
kegunaan arang dan cuka kayu/asap cair yang dihasilkan dilihat dari kandungan, sifat arang
dan komponen kimia organik cuka kayu tersebut.
Lokasi
Penelitian dilakukan di Laboratorium Kimia dan Energi Hasil Hutan, Pusat Litbang
Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan, Bogor. Analisis dilakukan di
Laboratorium Terpadu, Bogor.
Alat
Peralatan yang digunakan untuk membuat arang dan cuka kayu adalah dua model
tungku yang berbeda yaitu tungku pertama merupakan tungku drum yang dilengkapi
sungkup terbuat dari besi dan cerobong asap yang terbuat dari bambu, biasa disebut tungku
sungkup. Tungku kedua yaitu tungku yang sudah dimodifikasi yang terdiri dari 2 buah drum
(drum ganda). Drum pertama digunakan untuk pembuatan arang, dimana drum tersebut
dilengkapi dengan cerobong asap yang terbuat dari stainles untuk mengalirkan asap keluar
(udara terbuka)/gas tidak terkondensasi yang terbentuk selama pengarangan. Drum pertama
juga dilengkapi dengan pipa untuk mengalirkan gas/uap yang dapat terkondensasi,
kemudian disambungkan ke pipa berbentuk spiral yang sudah terpasang dalam drum kedua.
Pipa berbentuk spiral tersebut berfungsi mendinginkan asap/uap terkondensasi di dalamnya.
Pendinginan asap/uap terjadi karena peranan air yang dialirkan dan ditampung dalam drum
kedua. Hasil kondensasi asap/uap tersebut ditampung dan diberi nama cuka kayu. Untuk
lebih jelasnya, rincian dan sistim kerja tungku drum ganda tersebut disajikan pada Gambar 1
dan 2. Alatalat lainnya yaitu timbangan, golok, gergaji, ember plastik, karung, jerigen
plastik, termokopel dan lain-lain.
Prosedur Penelitian
Limbah kayu mindi berupa potongan kayu, dibuat arang dengan menggunakan dua
model tungku yang berbeda seperti tersebut di atas. Setelah potongan kayu masuk tungku,
kemudian dilakukan pembakaran dengan umpan kayu bakar dan sedikit minyak tanah pada
bagian bawah tungku. Asap yang telah dingin, dialirkan dan ditampung dalam ember plastik,
sehingga akan diperoleh asap cair/cuka kayu. Proses pengarangan berlangsung antara 28
jam 30 jam, tergantung kadar air dan jumlah kayu/berat kayu yang digunakan. Suhu
pengarangan sekitar 400 450o C. Setelah tungku dingin kurang lebih 24 jam, arang
dikeluarkan, kemudian dilakukan penimbangan arang.
896
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS
Gambar 2. Tungku drum ganda yang dilengkapi pipa pendingin berbentuk spiral
(Tungku Spiral)
Analisis kualitas
Analisis kualitas arang seperti : rendemen, kadar air, kadar abu, kadar zat mudah
menguap, kadar karbon terikat dan nilai kalor dilakukan di Laboratorium Kimia dan Energi,
Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan, Bogor. Selanjutnya kualitas
arang dibandingkan dengan SNI, sedangkan komponen kimia organik dari cuka kayu dianalisis
dengan alat GC-MS (Gas Chromatography - Mass Spectrometer) pirolisis dilakukan di
Laboratorium Terpadu. Cuka kayu hasil penelitian dibandingkan dengan Standar Jepang
(Yatagai, 2002).
897
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Analisis Data
Data yang terkumpul, ditabulasi, dianalisis secara deskriptif dan hasilnya
dibandingkan dengan standar.
Pada Tabel 1 5 dapat diketahui produksi, rendemen, sifat arang, cuka kayu dan
komponen kimia organik dalam cuka kayu.
Hasil penelitian dapat diketahui pada Tabel 1, produksi arang dan cuka kayu dari
tungku sungkup 10,00 kg dan 10,50 kg, sedangkan produksi arang dan cuka kayu dari
tungku spiral 6,50 liter dan 5,00 liter. Perbedaan produksi ini disebabkan berat kayu yang
dibuat arang jumlahnya berbeda, juga pada tungku spiral, asap dialirkan melalui pipa
berbentuk spiral sehingga aliran asap cair agak terhambat, dan hasilnya menjadi
sedikit/rendemen rendah. Akan tetapi cuka kayu yang dihasilkan kualitasnya lebih baik,
warna lebih jernih karena kotoran dari asap akan tersaring oleh pipa spiral, dibandingkan
dengan cuka kayu yang dihasilkan oleh tungku sungkup. Pada tungku sungkup, asap yang
diperoleh tanpa melalui penyaringan terlebih dahulu, sehingga cuka kayu yang dihasilkan
warnanya lebih gelap dan kotor. Selain itu, produksi cuka kayu dipengaruhi pula oleh kadar
air bahan, kalau bahannya masih baru/basah, berarti kadar air masih tinggi, maka produksi
cuka kayu akan tinggi.
Pada Tabel 2, dapat dilihat rendemen dan sifat arang yang dihasilkan dari masing-
masing model tungku. Rendemen arang berkisar 19,83% (sungkup) dan 16,88% (spiral). Bila
dibandingkan dengan rendemen arang kayu sengon (12,62%) yang dihasilkan tungku spiral
(Komarayati, et al 2010), ternyata rendemen arang kayu mindi jauh lebih besar (16,88%).
Hal ini disebabkan karena perbedaan berat jenis kayu, dimana kayu dengan berat jenis
tinggi, strukturnya lebih padat, sehingga lebih tahan terdegradasi oleh panas pada saat
pengarangan. Juga karena kayu yang digunakan masih baru, sehingga kadar air masih
tinggi, akibatnya produksi cuka kayu lebih banyak.
898
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS
Sifat dan nilai kalor arang yang dihasilkan dari tungku sungkup antara lain kadar air
2,03%; kadar abu 5,07%; kadar zat terbang 15,08%; kadar karbon terikat 79,84% dan nilai
kalor 6709 kkal/g. Sedangkan hasil dari tungku spiral adalah kadar air 8,54%; kadar abu
4,50%; kadar zat terbang 17,63%; kadar karbon terikat 77,86% dan nilai kalor 6501 kkal/g.
Bila dibandingkan dengan Standar Nasional Indonesia ternyata kadar air (rendah), kadar abu
(tinggi) dan zat mudah terbang (rendah) dari arang yang dihasilkan dari dua model tungku,
masih belum memenuhi standar. Untuk kadar air, zat mudah terbang dan nilai kalor ternyata
arang hasil penelitian ini sudah memenuhi persyaratan untuk arang aktif (Smisek dan Cerny,
1970).
Pada Tabel 3, dapat diketahui bahwa rendemen cuka kayu tertinggi (20,83%)
diperoleh dari cuka kayu yang dihasilkan tungku sungkup, diikuti rendemen cuka kayu dari
tungku spiral yaitu 12,98%. Nilai pH cuka kayu berkisar 3,76 3,98, ternyata cuka kayu yang
dihasilkan dari kedua model tungku ini tidak jauh berbeda nilainya, dua-duanya bersifat
asam. Akan tetapi bila dibandingkan dengan standar Jepang (Yatagai, 2002), ternyata cuka
kayu dari tungku sungkup (3,76) sudah memenuhi standar Jepang. Berat jenis cuka kayu
yang dihasilkan tidak memberikan perbedaan yang nyata dari kedua hasil berat jenis ini yaitu
0,98 0,98 dan dua-duanya tidak memenuhi standar Jepang. Bau dan warna cuka kayu dari
dua model tungku memberikan hasil yang berbeda, dimana cuka kayu dari tungku drum
yang dilengkapi sungkup warnanya coklat kehitaman, keruh dan terdapat suspensi, baunya
menyengat/kuat. Sedangkan cuka kayu dari tungku drum ganda yang dilengkapi pipa
berbentuk spiral, warnanya kuning kecoklatan, tidah keruh dan tidak ada suspensi, baunya
tidak menyengat/ lemah, sesuai dengan standar cuka kayu Jepang (Yatagai, 2002).
Perbedaan warna cuka kayu yang dihasilkan dari dua model tungku disebabkan kalau pada
tungku drum sungkup dan cerobong bambu, asap yang keluar dari proses pengarangan
melalui cerobong bambu langsung turun melalui sungkup dan langsung ditampung.
Sedangkan pada tungku drum ganda, asap yang keluar dari proses pengarangan disaring
terlebih dahulu melalui pipa spiral yang terdapat pada drum yang berisi air sebagai
pendingin, sehingga cuka kayu yang keluar sudah bersih dan lebih jernih.
899
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Pada Tabel 4, dapat diketahui bahwa cuka kayu/asap cair mengandung air 11
92%; fenol berkisar antara 0,20 2,90%; asam, dalam hal ini bermacam-macam asam
seperti asam asetat, asam propionat dan lain-lain sekitar 2,80 4,50%; karbonil 2,60
4,60% dan ter 1 17%. Komposisi ini akan berbeda tergantung masing-masing jenis bahan
yang digunakan untuk dibuat cuka kayu, seperti kayu daun jarum, kayu daun lebar,
tempurung kelapa, bambu, kayu dengan berat jenis rendah dan tinggi. Juga dipengaruhi
tungku yang digunakan dan proses pengarangan.
Gambar 3. Komponen kimia dalam cuka kayu dari kayu mindi yang dihasilkan dari
tungku drum yang dilengkapi sungkup dari bambu
900
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS
Gambar 4. Komponen kimia dalam cuka kayu dari kayu mindi yang dihasilkan dari
tungku drum ganda yang dilengkapi pipa pendingin berbentuk spiral
Selanjutnya untuk mengetahui komponen kimia organik dari cuka kayu, maka
dilakukan analisa dengan GC-MS pirolisis, hasilnya dapat dilihat pada Gambar 3 dan 4. Dari
hasil analisa diketahui adanya kandungan komponen kimia cuka kayu seperti turunan fenol,
asam asetat dan lain-lain. Pada Gambar 3 dapat dilihat bahwa konsentrasi tertinggi
komponen cuka kayu yaitu fenol 23,41% dan asam asetat 17,14% beserta turunan fenol dan
asam; sedangkan pada Gambar 4, konsentrasi tertinggi yaitu asam asetat 27,28% diikuti
oleh fenol 22,80%. Selain turunan asam asetat dan fenol, juga terdapat benzen, furan,
pyran, furanone, tar putih/naptalen, asam propionat dan lain-lain. Walaupun bahan yang
digunakan sama, yaitu kayu mindi, akan tetapi karena model tungku yang digunakan
berbeda ternyata hasil asap cair yang diperoleh setelah dianalisa berbeda kandungan dan
konsentrasinya.
901
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
1. Produksi arang terpadu dengan cuka kayu dari limbah kayu mindi dengan menggunakan
tungku drum yang dilengkapi sungkup dan cerobong bambu yaitu 10,00 kg dengan
rendemen arang 19,83%. Produksi cuka kayu 10,50 liter, rendemen cuka kayu 20,83%,
pH 3,76 dan berat jenis 0,98.
2. Produksi arang terpadu dengan hasil cuka kayu dari limbah kayu mindi dengan
menggunakan tungku drum ganda yang dilengkapi alat pengkondensasi asap berbentuk
spiral yaitu 6,50 kg dengan rendemen arang 16,88%. Produksi cuka kayu 5,00 liter,
rendemen 12,98%, pH 3,98 dan berat jenis 0,97.
3. Hasil analisis GC-MS pirolisis menunjukkan bahwa pada cuka kayu dari masing-masing
model tungku terdapat 25 - 30 macam komponen kimia organik dengan konsentrasi
setiap komponen saling berbeda.
4. Adanya berbagai macam komponen kimia organik tersebut, cuka kayu terindikasi
berperan sebagai penyubur tanaman, pengawet makanan, penyembuh penyakit
tanaman, disinfektan, penghambat pertumbuhan mikroorganisme, sebagai bahan
tambahan dalam proses penyamakan kulit, pencegah jamur dan bakteri.
5. Perlu dilakukan uji coba cuka kayu tersebut di atas pada berbagai jenis tanaman untuk
meningkatkan pertumbuhan, pembasmi hama dan penyakit.
DAFTAR PUSTAKA
Darmadji, P. 1995 Produksi Asap Cair dan Sifat-Sifat Fungsionalnya. Fakultas Teknologi
Pangan, Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Moeljanto. 1982a. Pengasapan dan Fermentasi Ikan. PT. Penebar Swadaya IKAPI. Jakarta.
Metia, R. 2010. Kegunaan unsur kimia fenol dalam kehidupan sehari-hari.
Nurhayati, T. 2007. Produksi arang terpadu dengan cuka kayu dan pemanfaatan cika kayu
pada tanaman pertanian. Makalah pada Pelatihan pembuatan arang terpadu dan
produk turunannya di Dinas Kehutanan Kabupaten Bulungan-Kalimantan Timur.
Tanggal 17 -26 Juli , 2007.
Nurhayati, T., P. Jayanto dan P. Sumantoro. 2009. Respon cuka kayu terhadap
pertumbuhan dan pengendalian penyakit bercak daun bibit tusam. Buletin Hasil
Hutan 15 (2) : 101 116. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor.
Pearson, A.M. dan F.W. Tauber. 1973. Processed Meats, second edition. AVI. Publishing
Company Inc., Wesport Connecticut.
902
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS
Smisek, M. and S. Cerny. 1970. Active Carbon Manufacturing, Properties and Application.
Elsiever Publishing Company. New York.
Sutin. 2008. Pembuatan asap cair dari tempurung dan sabut kelapa secara pirolisis serta
fraksionasinya dengan ekstraksi. Skripsi Sarjana (S1). Fakultas Teknologi
Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Tidak diterbitkan.
Yatagai. 2002. Utilization of charcoal and wood vinegar in Japan. Graduate School of
Agricultural and Life Sciences, The University of Tokyo.
Zaitsev, I., I. Kizeveter, L. Lacunov, T. Makarova, L. Mineer, dan V. Podsevalor. 1969. Fish
Curing and Processing. Mir Publishers. Moskow.
903
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
ABSTRAK
Kata kunci: Proses pulping acetosolv, sengon, waktu pemasakan dan katalisator
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Percepatan pembangunan hutan tanaman oleh industri maupun masyarakat
merupakan salah satu prioritas sektor kehutanan. Hal tersebut diharapkan dapat menjadi
salah satu tulang punggung tumbuhnya perekonomian Indonesia (Anonim, 2006). Sejak
dicanangkannya pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) pada tahun 1984 di
Indonesia, kayu sengon (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen) telah dipilih sebagai salah
satu jenis tanaman favorit yang ditanam di Areal HTI. Hal ini karena sengon merupakan
tanaman yang tumbuh cepat di iklim tropis, selain itu sengon dapat tumbuh pada tanah yang
kurang subur, tanah kering atau tanah becek dan agak asin.
Proses pembuburan kayu (pulping) berbeda-beda sesuai dengan bahan kimia yang
digunakan. Produk pulp yang dihasilkan sekarang ini umumnya menggunakan metoda
pulping sulfat dan sulfit. Keunggulan dari proses pulping sulfit adalah warna pulp yang lebih
cerah dan mudah diputihkan, namun sifat kekuatan kertasnya lebih rendah jika dibandingkan
dengan proses sulfat. Proses pulping sulfat memiliki keunggulan antara lain reaksi kimia
pada pemutusan rantai lignin lebih besar, sehingga bilangan Kappa pada pulp relatif kecil
dan kekuatan kertasnya lebih baik daripada proses sulfit. Kelemahan dari metoda ini adalah
pencemaran udara akibat timbulnya gas merkaptan dalam jumlah yang lebih besar. Oleh
karena itu perlu dikembangkan cara lain dalam pengolahan pulp yang berbasis ramah
lingkungan, yaitu dengan menggunakan bahan kimia organik sebagai bahan kimia pemasak.
Salah satu bahan kimia yang dapat digunakan adalah asam asetat (CH3COOH). Proses
pengolahan pulp dengan menggunakan asam asetat sebagai bahan kimia pemasak
dinamakan proses pulping acetosolv. Dalam proses pulping ini biasanya digunakan katalis
berupa HCl atau AlCl3 dan HBr. Kelebihan dari metoda ini adalah semua jenis kayu dan
tanaman musiman bisa digunakan sebagai bahan baku, selain itu proses ini juga
904
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS
memungkinkan untuk pemanfaatan lignin dan hemiselulosa sebagai bahan baku produk
kimia tertentu, seperti benzen, fenol, furfural dan sebagainya (Muladi, 2005).
Penelitian sebelumnya mengenai proses pulping kayu sengon dengan metoda Kraft
telah dilakukan oleh Yuliansyah (1998), hasil yang diperoleh untuk nilai rendemen total pulp
sebesar 54,64% dan bilangan Kappa sebesar 17,69. Metoda ini memang menguntungkan
dari segi ekonomi, namun tidak ramah lingkungan. Dengan pertimbangan tersedianya kayu
sengon sebagai bahan baku pembuatan pulp dan tingginya dampak pencemaran lingkungan
yang ditimbulkan dari industri pulp dan kertas saat ini, maka dikembangkan suatu metoda
pulping yang ramah lingkungan yaitu proses pulping kayu sengon (Paraserianthes falcataria
(L.) Nielsen) dengan metoda acetosolv. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh
Muladi (1994) mengenai proses pulping acetosolv, untuk mendapatkan nilai bilangan Kappa
yang rendah ( 25) maka pulp yang dihasilkan dicuci dengan asam asetat 93% panas.
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui variasi konsentrasi asam klorida dan waktu
pemasakan yang optimum pada proses pulping acetosolv pada kayu sengon yang dapat
menghasilkan kualitas pulp yang rendah bilangan Kappanya dan tinggi rendemennya.
Metode
Penyiapan sampel
Batang kayu sengon yang berukuran 20 cm dipotong-potong menjadi chip
berukuran menyerupai batang korek api, kemudian dijemur di bawah sinar matahari secara
langsung selama 4-5 hari. Setelah itu chip kayu tadi disimpan di ruang konstan selama 1
minggu dan dihitung nilai faktor kelembabannya (Moisture Factor/ MF).
Proses pulping
Chip kayu sebanyak 30 gram (OD) dimasukkan kedalam labu alas leher tiga dan
ditambahkan asam asetat pekat sebanyak 195,69 ml dan asam klorida dengan variasi
konsentrasi masing-masing 0,15 %; 0,17 % dan 0,19 %, kemudian ditambahkan aquades.
Proses pulping dilakukan dengan menggunakan variasi waktu pemasakan masing-masing 1,
2 dan 3 jam dengan suhu 110C. Setelah itu pulp dicuci sambil disaring dengan
menggunakan ayakan 200 mesh, dikeringkan dengan centrifugal dryer dan disimpan di
ruang konstan untuk kemudian dihitung kembali nilai faktor kelembabannya.
Pengujian
Pengujian sampel meliputi nilai rendemen tersaring, sisa kayu yang tidak termasak,
rendemen total dan bilangan Kappa. Data hasil penelitian ditampilkan dengan menggunakan
tabel dan grafik. Sebagai dasar dalam penentuan optimalisasi, penilaiannya mengacu pada
pendapat Patt (1992) yang menyatakan bahwa hasil proses pulping dianggap baik apabila
nilai rendemen pulpnya minimal 40% dan bilangan Kappa maksimal 25.
905
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Proses pulping kayu sengon (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen) telah dilakukan
dengan menggunakan asam asetat sebagai larutan pemasak, pada temperatur 120oC
130oC dan rasio 1:7 (perbandingan antara jumlah sampel dan bahan pemasak yang
digunakan). Pada pembuatan pulp ini divariasikan konsentrasi asam klorida (0,15; 0,17 dan
0,19%) dan waktu pemasakan (1, 2 dan 3 jam) yang digunakan, sehingga dapat diketahui
hasil optimal dari proses pulping.
Rendemen pulp tersaring merupakan pulp yang telah menjadi serat-serat yang
terpisah antara satu dengan lainnya pada kisaran 200 mesh. Berdasarkan hasil penelitian
dapat dilihat bahwa rendemen tersaring pada pemasakan dengan konsentrasi asam klorida
0,15% dari waktu pemasakan 1 jam hingga 3 jam mengalami peningkatan, nilainya yaitu
sebesar 20,70%; 32,94% dan 42,38%. Pada pemasakan dengan konsentrasi asam klorida
0,17% nilai rendemen tersaring pada waktu 1 jam, 2 jam dan 3 jam yaitu 41,74%; 40,02%
dan 45,74%. Terlihat nilai rendemen tersaring mengalami penurunan pada saat 2 jam
pemasakan, selanjutnya akan meningkat kembali pada waktu pemasakan 3 jam. Pada
pemasakan dengan konsentrasi asam klorida 0,19% dari waktu 1 jam hingga 3 jam adalah
sebesar 46,33%; 50,21% dan 51,6%. Pada konsentrasi asam klorida 0,19% nilai rendemen
tersaring mengalami peningkatan dari waktu pemasakan 1 jam hingga 3 jam.
906
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS
Pada konsentrasi asam klorida 0,15% sisa kayu yang tidak termasak cukup tinggi yang
berarti dapat dikatakan bahwa proses pemasakan tidak berlangsung dengan baik. Hal ini
dikarenakan rendahnya konsentrasi asam klorida yang dipakai sebagai katalisator dalam
pemasakan, sehingga menyebabkan reaksi penetrasi asam asetat ke dalam serat-serat kayu
berlangsung lambat, jadi serat-serat kayu belum terpisah secara sempurna. Semakin kecil
persentase sisa kayu yang tidak termasak, maka proses pemasakan semakin bagus. Pada
pemasakan dengan konsentrasi asam klorida 0,17% untuk pemasakan 1 jam, 2 jam dan 3
jam sebesar 22,80%; 25,83% dan 14,80%. Pada pemasakan dengan konsentrasi asam
klorida 0,19% nilai sisa kayu yang diperoleh untuk waktu pemasakan 1 jam hingga 3 jam
yaitu sebesar 9,96%; 24,9% dan 7,13%. Secara umum nilai sisa kayu yang tidak termasak
akan berkurang setelah konsentrasi asam klorida ditambah, yaitu pada konsentrasi 0,17%
dan 0,19%. Nilai sisa kayu yang tidak termasak meningkat pada 2 jam pemasakan. Untuk
lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar di bawah ini:
50
45
40
Sisa Kayu (%)
35
30
25
20
15
10
5
0
0 1 2 3 4
Waktu pemasakan (jam)
Konsentrasi asam klorida 0,15%
Konsentrasi asam klorida 0,17%
Konsentrasi asam klorida 0,19%
Nilai rendemen total merupakan hasil akumulasi dari sisa kayu yang tidak termasak
dengan rendemen tersaring. Besarnya rendemen total tidak dapat dijadikan indikator baik
tidaknya proses pemasakan, karena tingginya rendemen total bisa saja disebabkan oleh
tingginya nilai persentase dari kayu yang tidak termasak. Jadi, menurunnya sisa kayu yang
tidak termasak juga akan menurunkan rendemen total yang diperoleh (Anonim,1963 dalam
Muladi, 1992). Di dalam proses pulping diharapkan pulp yang diperoleh memiliki nilai
rendemen tersaring tinggi dan sisa kayu yang tidak termasak sedikit. Hubungan antara
pengaruh asam klorida dan lama pemasakan terhadap rendemen total pulp dapat dilihat
pada gambar di bawah ini :
907
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Pada grafik di atas terlihat saat konsentrasi asam klorida 0,19% dengan waktu 2 jam
menghasilkan rendemen total yang tinggi yaitu 75,11%. Tingginya nilai rendemen total
tersebut dikarenakan jumlah sisa kayu dan rendemen tersaring yang cukup besar pada
kondisi tersebut.
Bilangan Kappa didefinisikan sebagai volume (dalam mililiter) dari larutan kalium
permanganat 0,1 N yang dipakai oleh satu gram pulp kering tanur. Bilangan Kappa
digunakan untuk mengetahui kadar lignin yang masih tersisa di dalam pulp, dapat digunakan
sebagai indikator untuk menentukan banyaknya bahan pemutih yang akan dipakai pada
proses pemutihan serta untuk mengetahui mudah tidaknya pulp diputihkan (Anonim,1963
dalam Muladi, 1992). Pengujian Bilangan Kappa dilakukan pada pulp yang berbeda yaitu
setelah dilakukan pencucian pulp dengan menggunakan air dan asam asetat.
Hubungan antara pengaruh konsentrasi asam klorida dan lama waktu pemasakan
terhadap nilai bilangan Kappa, pada pencucian pulp dengan menggunakan air dapat dilihat
pada gambar di bawah ini:
Nilai bilangan kappa pada perlakuan pencucian pulp dengan menggunakan air masih
jauh dari nilai yang diharapkan. Menurut Martawijaya (1981), pulp dan kertas yang baik
harus mengandung lignin yang rendah yaitu 4-6 % sehingga mempunyai kekuatan sobek,
tarik, jebol dan lipat yang tinggi. Sebagai dasar dalam penentuan optimalisasi proses
pulping, penilaian mengacu pada pendapat Patt (1992) di dalam Muladi (1992) yang
menyatakan bahwa hasil pulping dianggap baik apabila nilai rendemen pulpnya minimal 40%
dan bilangan Kappa maksimal 25.
Nilai bilangan Kappa yang tertinggi pada perlakuan ini adalah pada konsentrasi asam
klorida 0,15% dengan waktu pemasakan 1 jam, yaitu 81,41. Bilangan Kappa 81,41
menunjukkan sisa lignin yang tertinggal di dalam pulp adalah sebesar 12,21%. Pulp dengan
sisa lignin sebesar 12,21% hanya bisa dimanfaatkan untuk pembuatan kertas buram dengan
kualitas rendah, misalnya kertas koran. Apabila pulp ingin dibuat kertas cetak maka harus
dilakukan proses bleaching terhadap pulp. Namun, hal ini tidak menguntungkan dari segi
biaya, karena memerlukan bahan kimia pemutih yang cukup banyak. Berdasarkan hasil Uji
ANOVA yang dilakukan terhadap bilangan Kappa dari pulp acetosolv, terdapat pengaruh
yang sangat signifikan antara variasi konsentrasi asam klorida (HCl) dan lama pemasakan
terhadap nilai bilangan Kappa dari pulp kayu sengon (Paraserianthes falcataria (L.)
Nielsen).
Pencucian pulp dengan asam asetat dilakukan karena nilai bilangan Kappa pada
pencucian pulp dengan menggunakan air masih terlalu tinggi. Pencucian dilakukan dengan
menggunakan asam asetat 93% dalam keadaan panas hingga filtrat berwarna bening,
kemudian pulp dicuci dengan air hingga bau asam asetat tidak tercium. Tujuan dari
908
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS
pencucian kembali pulp menggunakan asam asetat ini adalah untuk mendapatkan nilai
bilangan Kappa yang rendah dan untuk mengikat sebagian zat ekstraktif tanpa
mempengaruhi kualitas pulp, tetapi pada perlakuan ini ternyata masih belum diperoleh nilai
bilangan Kappa di bawah 25. Sebagai contoh perlakuan pemasakan kayu pada konsentrasi
0,15% selama 1 jam bilangan Kappa menurun dari 81,41 menjadi 51,76.
Hubungan antara pengaruh konsentrasi asam klorida dan lama pemasakan terhadap
bilangan Kappa, pada pencucian pulp dengan menggunakan asam asetat dapat dilihat pada
gambar di bawah ini :
Gambar 5. Grafik Hubungan Antara Konsentrasi Asam Klorida dan Waktu Pemasakan
Terhadap Bilangan Kappa pada Pencucian Pulp dengan Menggunakan Asam Asetat 93%
Berdasarkan grafik pada gambar di atas, terlihat nilai bilangan Kappa pada
konsentrasi asam klorida 0,15%; 0,17% dan 0,19% setelah pulp di cuci dengan asam asetat
lebih baik dari pada pencucian yang hanya menggunakan air. Hal ini berarti, asam asetat
lebih efektif melarutkan lignin dibandingkan dengan air. Nilai bilangan Kappa pada perlakuan
ini adalah 35,00 - 52,51. Bila dihitung sisa lignin yang tertinggal di dalam pulp berdasarkan
rumus lignin Klason nilainya adalah sebesar 5,97% hingga 7,87%.
Uji-t pada perlakuan pencucian pulp dengan air dan asam asetat menunjukkan
bahwa perlakuan pencucian pulp dengan pelarut yang berbeda yaitu air dan asam asetat
memberikan pengaruh yang sangat signifikan terhadap nilai bilangan Kappa. Pencucian pulp
dengan asam asetat mampu menurunkan nilai bilangan Kappa dari pulp yang dihasilkan.
Berdasarkan hasil penelitian di atas, selanjutnya dapat ditentukan waktu pemasakan
dan konsentrasi asam klorida yang optimal pada proses pulping kayu sengon
(Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen) secara acetosol yaitu sebagai berikut:
Tabel 1. Nilai Optimal pada Pengujian Rendemen dan Bilangan Kappa dari
Proses Pulping Kayu Sengon (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen)
909
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
KESIMPULAN
1. Semakin tinggi konsentrasi asam klorida dan waktu pemasakan yang digunakan, nilai
rendemen tersaring yang dihasilkan semakin besar pula.
2. Berdasarkan hasil uji ANOVA variasi konsentrasi asam klorida dan lama waktu
pemasakan berpengaruh sangat signifikan terhadap nilai bilangan Kappa.
3. Hasil uji-t menunjukkan pencucian pulp dengan asam asetat berpengaruh sangat
signifikan terhadap penurunan nilai bilangan Kappa dari pulp yang dihasilkan. Pencucian
pulp dengan asam asetat menghasilkan nilai bilangan Kappa yang lebih rendah
dibandingkan dengan hasil bilangan Kappa pada pencucian pulp dengan menggunakan
air.
DAFTAR PUSTAKA
910
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS
ABSTRACT
PENDAHULUAN
Kayu dari hutan tanaman baik hutan tanaman industri (HTI) maupun hutan rakyat dan
lain sebagainya diperkirakan akan terus mendominasi pasar kayu pada masa mendatang
seiring berkurangnya produksi dan kualitas tegakan hutan alam yang ada. Hal ini terlihat dari
meningkatnya jumlah permintaan akan jenis-jenis kayu yang selama ini kurang dikenal sejak
lima tahun terakhir. Kayu-kayu yang demikian membutuhkan perlakuan tertentu sebelum
digunakan karena karakteristiknya diketahui lebih inferior dibandingkan dengan karakteristik
kayu-kayu hutan alam.
Salah satu perlakuan yang telah diterapkan dalam rangka meningkatkan kualitas dan
sifat-sifat kayu tersebut adalah pemadatan dengan pengempaan (densifying by
compression). Penelitian mengenai pemadatan kayu telah banyak dilakukan , hasil yang
diperoleh menunjukkan adanya peningkatan beberapa sifat fisis dan mekanis kayu secara
signifikan. Densifikasi juga mengakibatkan terjadinya perubahan warna dan meningkatkan
kualitas permukaan kayu. Akibat dipadatkan, kayu menjadi lebih gelap dan lebih atraktif,
sementara permukaannya menjadi lebih halus dan mengkilat (Mc.Millan et al. 1977;
Kubojimo et al. 1998).
Perlakuan pemadatan yang diterapkan oleh para peneliti terdahulu pada umumnya
bersifat menyeluruh, bukan parsial. Akibatnya springback dan over density acap kali
merupakan suatu masalah. Dengan pemadatan parsial peningkatan sifat-sifat kayu yang
diinginkan dapat diusahakan semaksimal mungkin, sementara springback atau pun
kerusakan pada komponen sel-sel penyusun kayu dapat diminimalisir. Meskipun proses
pemadatan yang selama ini dilakukan pada umumnya telah berhasil membuktikan adanya
peningkatan beberapa sifat fisis, mekanis dan keragaan kayu, namun penelitian-penelitian
tersebut belum menjelaskan fenomena yang terjadi. Oleh karena itu, penelitian ini akan
lebih memfokuskan pada fenomena yang terjadi pada kayu saat kayu dipadatkan secara
parsial khususnya yang terkait dengan perubahan komponen kimiawi kayu terpadatkan.
Dengan mengetahui fenomena yang terjadi, kondisi pemadatan dapat ditetapkan dengan
911
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
lebih baik sehingga memberikan manfaat yang lebih besar dimana kualitas kayu meningkat
secara permanen tanpa menimbulkan kerusakan yang berarti.
Target penelitian ini adalah memperoleh kayu terpadatkan yang sifat dan kualitasnya
minimal sama dengan kayu-kayu yang selama ini diminati sesuai dengan peruntukannya
tanpa merusak struktur sel penyusun kayu dan tanpa adanya penambahan berat kayu yang
berarti. Adapun tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk menganalisis perubahan
kimiawi dinding sel dalam rangka menjelaskan fenomena peningkatan sifat fisis dan
kekuatan kayu terpadatkan.
METODOLOGI
Metode
Kayu digergaji untuk mendapatkan contoh uji papan tangensial dan papan radial
dengan tebal 2,5 cm. Kemudian dipotong menjadi berukuran 20 cm (P) x 10 cm (L) x 2,5 cm
(T) tanpa cacat. Contoh uji setiap jenis kayu dibuat dalam 3 ulangan. Jumlah contoh uji
adalah 72 papan, yang terdiri dari 36 papan setiap jenis dimana masing-masing terdiri dari
18 papan tangensial dan 18 papan radial. Contoh uji dimasukkan ke dalam oven suhu 50C
sampai mencapai kadar air dibawah 15% dan dikeringtanurkan pada suhu (103 2)C.
Kemudian contoh uji secara bertahap diberi perlakuan pemanasan sebelum
dipadatkan dengan menggunakan 3 (tiga) macam suhu yaitu 170-, 180- dan 190C dengan
waktu pemanasan 30 dan 60 menit. Setelah mengalami perlakuan pemanasan, contoh uji
segera dipadatkan dengan mesin kempa panas dengan suhu yang sesuai dengan suhu
pada saat perlakuan pemanasan. Persentase kempa 20% atau ketebalan sararan sampai
mencapai ukuran tebal papan 2 cm dan waktu kempa 15 menit.
Pada saat contoh uji dipanaskan dan kemudian dikempa, masing-masing papan
dengan 3 (tiga) ulangan ditahan menggunakan alat yang terbuat dari besi serta dibaut agar
bagian pinggir papan tidak menggelembung karena adanya tekanan pada papan.
Selanjutnya contoh uji yang sudah dipadatkan dikering udarakan dan masing-masing contoh
uji diukur dimensi dan beratnya.
912
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS
(a) (b)
913
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Gambar 3. Perubahan fisik kayu mangium terpadatkan (1). kontrol, (2). suhu 1700C
(3). suhu 1800C dan (4). suhu 1900C
914
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS
temperatur 311,3C pada kontrol dan temperatur 315,4C untuk kayu terpadatkan. Perlakuan
pemanasan akan mendegradasi kelompok-kelompok hidroksil selulosa dari amorphous
menjadi kristalin yang akan mengakibatkan penurunan daya serap air sehingga kayu akan
lebih stabil. Hal ini akan meningkatkan kestabilan dimensi kayu. Perubahan ini juga ada
hubungannya dengan penurunan berat pada kayu yang dipanaskan. Lamanya pemanasan
yang diberikan akan mempengaruhi besarnya pengurangan berat sampel.
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Darwis, A. 2008. Fiksasi Kayu Agathis dan Gmelina Terpadatkan Pada Arah Radial serta
Observasi Struktur Anatominya. Ilmu Pengetahuan Kehutanan. Sekolah Pascasarjana.
Institut Pertanian Bogor. Tidak Diterbitkan.
Dwianto, W. 1999. Mechanism of Permanent Fixation of Radial Compressive Deformation of
Wood by Heat or Steam Treatment. Thesis Tidak Diterbitkan.
Dwianto, W., T. Morooka, and M. Norimoto. 1998. The Compressive Stress Relaxation of
Wood during Heat Treatment. Mokuzai Gakkaishi 44 (6), 403-409.
Haygreen, J. G, dan J. L. Bowyer. 1987. Forest Product and Wood Science. ,An Introduction.
Iowa State University Press. Iowa.
Hill, C. 2006. Wood Modification, Chemical, Thermal and Other Processes. School of
Agricultural and Forest Science. University of Wales. Bangor.
Inoue et al. 1992. Permanent Fixation of Compressive Deformation of Wood. (II). Mechanism
of Permanen Fixation. FRI Buletin No. 176 : 181 189.
Kollmann, F. F. P dan Cote WA. 1968. Principle of Wood Science and Technology. Vol. I Solid
Wood. Spinger Verlag. Berlin.
Kubojimo, Y., S. Shida and T. Okano. 1998. Mechanical and Chromatic Properties of High
Temperatures Dried Sugi Wood. Mokuzai Gakkaishi. 53 (3) : 115 119.
McMillan, John M. G. M. Wengert. 1977. Drying Eastern Hardwood Lumber. U.S. Dep. Agric.
Handbook. 528.
Stamm, A. J. 1964. Wood and Cellulose Science. The Ronald Press Company. New York.
Tomme, F. Ph., F. Girardet, B. Gfeller dan P. Navi. 1998. Densified Wood : An Innovative
Products with Highly Enchanced Character. Proceeding 5th World Conference on
Timber Engineering Vol. 2. Montreux, Swizerland : 640 647.
Tsoumis, G. 1991. Science and Technology of Wood; Structure, Properties, Utilization. Van
Nostrand Reinhold. New York.
915
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik komponen kimia kayu serta
sebagai studi dasar pengaruh penggunakan iradiasi gelombang mikro sebagai pretreatment
untuk produksi bioetanol dari dua jenis kayu cepat tumbuh, yaitu balik angin daun kecil dan
sedang. Kayu dihaluskan hingga 40-60 mesh, kemudian diuji komponen kimianya. Kayu
ditambahkan gliserol (perbandingan padatan dan larutan 1:10) dan asam sulfat 0,5% hingga
diperoleh perbandingan padatan dan larutan 1:20, kemudian dipaparkan gelombang mikro
selama 2,5-10 menit dengan power 50 dan 70%. Pulp kemudian dihidrolisis menggunakan
selulase selama 48 jam, selanjutnya diuji rendemen gula pereduksinya. Analisa komponen
kimia menunjukkan bahwa balik angin daun kecil memiliki kadar holoselulosa dan alfa
selulosa lebih tinggi daripada daun sedang, sedangkan kadar lignin dalam balik angin daun
kecil lebih rendah daripada daun sedang. Hasil pretreatment gelombang mikro diperoleh
bahwa untuk balik angin daun kecil rendemen gula pereduksi per kayu tertinggi (22,06%)
diperoleh pada pemaparan selama 7,5 menit dengan power 70%, sedangkan untuk balik
angin daun sedang (23,41%) diperoleh pada pemaparan selama 5 menit dengan power
70%.
Kata kunci: balik angin, bioetanol, gelombang mikro, hidrolisis enzimatik, kimia kayu
PENDAHULUAN
916
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS
mikro (Hu & Wen, 2008; Zhu et al., 2005; Zhu et al., 2006a; Zhu et al., 2006b; Liu et al.,
2010). Pretreatment ini mampu meningkatkan kinerja enzim pada proses hidrolisis selulosa.
METODOLOGI
Pretreatment
Contoh serbuk kayu dimasukkan ke dalam tabung (vessel) yang terbuat dari teflon
(Gambar 1), kemudian ditambahkan gliserol (perbandingan padatan dan larutan 1:10 w/w)
dan katalis asam sulfat 0,5% sehingga diperoleh perbandingan padatan dan larutan 1:20
(w/w). Bahan dalam vessel dipaparkan pada iradiasi gelombang mikro (Sharp R-360J) pada
tingkat daya 50 dan 70% selama 2,5 sampai 10 menit. Setelah waktu tercapai, bahan
dikeluarkan dari dalam oven dan segera didinginkan dengan cara merendamnya dalam air
es. Kemudian hidrolisat dipisahkan dari pulp dengan melakukan penyaringan. Pulp basah
dicuci dengan 100 ml aseton, lalu dengan 3 x 100 ml air suling. Pulp basah selanjutnya
dihitung rendemennya (Liu et al., 2010).
(a) (b)
Gambar 1. Contoh serbuk kayu dimasukkan ke dalam tabung (vessel) yang terbuat dari
teflon (a), kemudian dipaparkan dalam gelombang mikro (b).
Hidrolisis enzimatik
Pulp basah kemudian dihidrolisis dengan menggunakan enzim selulase komersial,
Meisellase dari Trichoderma viride (Meiji Seika Co., Ltd., 224 FPU/g, aktifitas -glucosidase
264 IU/g). Enzim selulase digunakan sebanyak 8 FPU/g substrat. Hidrolisis enzimatik
dilakukan dengan menggunakan buffer asam sitrat 0,05 M (pH 4,5) pada 45 C di dalam
waterbath shaker (Memmert WNB 14, Germany) selama 48 jam. Kadar gula pereduksi
diukur dengan menggunakan metode Somogyi-Nelson (Wrolstad, 2001). Rasio sakarifikasi
per pulp dihitung berdasarkan NREL LAP (Selig et al., 2008).
917
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Balik Angin
Parameter Daun SeSengona
Daun Kecil
Sedang
Holoselulosa 72,61 71,63 75,2
(%)
Alfa selulosa 40,32 38,42
(%)
Lignin (%) 27,97 30,23 22,3
Ekstraktif (%) 2,00 2,03 5,25
Kadar Air (%) 8,15 8,61
a
Kandungan komponen kimia kayu sengon yang tumbuh di daerah Cibinong, Bogor
berdasarkan Fitria et al., 2006.
Tabel 2 menunjukkan bahwa semakin lama waktu pemaparan gelombang mikro akan
memperbesar kandungan gula pereduksi pada produk hidrolisis enzimatik, baik dengan
power 50% maupun 70%. Rendemen gula pereduksi per kayu tertinggi untuk balik angin
daun kecil (22,06%) diperoleh pada pemaparan selama 7,5 menit dengan power 70%
(rendemen gula pereduksi teoritis pada kondisi optimum ini mencapai 54,16%) sedangkan
untuk balik angin daun sedang (23,41%) diperoleh pada pemaparan selama 5 menit dengan
power 70% (rendemen gula pereduksi teoritis pada kondisi optimum ini mencapai 60,62%).
Penggunaan gelombang mikro dengan power yang lebih tinggi dan waktu yang relatif singkat
mampu menghasilkan rendemen gula yang lebih baik dibandingkan dengan mengunakan
power yang lebih rendah dengan waktu yang lebih lama. Hal ini memberikan keunggulan
penggunaan gelombang mikro dalam pretreatment bahan lignoselulosa, dimana waktu
digunakan relatif singkat.
918
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS
Tabel 2. Efek waktu dan power pada penggunaan gelombang mikro terhadap
proses hidrolisis enzimatik dua jenis kayu balik angin.
50% 70%
Balik Waktu Rendemen
Kehilangan Rendemen Kehilangan Rendemen gula Rendemen
angin (min) a gula per a b
berat gula per pulp berat per pulp gula per kayu
kayub
(%) (%) (%) (%) (%)
(%)
daun
2,5 2,39 6,07 5,93 5,84 7,17 6,75
kecil
5 8,93 6,94 6,32 31,63 32,09 21,94
7,5 27,97 23,87 17,20 49,79 43,94 22,06
10 35,77 30,29 19,45
daun
2,5 1,82 4,51 4,43 4,79 4,41 4,20
sedang
5 4,29 8,53 8,16 27,99 32,51 23,41
7,5 23,61 22,97 17,55 49,60 34,16 17,22
10 43,51 39,01 22,04
a
Nilai yang dinyatakan sebagai rendemen gula pereduksi setelah hidrolisis enzimatik
berdasarkan berat pulp
b
Nilai yang dinyatakan sebagai rendemen gula pereduksi setelah hidrolisis enzimatik
berdasarkan berat kayu awal
Gambar 2. Perbandingan rendemen gula pereduksi per kayu antara dua jenis balai angin
tanpa pretreatment dengan pretreatment gelombang mikro (balai angin daun
kecil dipaparkan gelombang mikro selama 7,5 menit dengan power 70%,
sedangkan daun sedang dipaparkan selama 5 menit dengan power 70%).
Semakin lama waktu pemaparan dan semakin tinggi power yang digunakan maka
rendemen pulpnya akan semakin rendah. Hal ini disebabkan karena terdegradasinya
hemisellulosa dan lignin menjadi unit-unit penyusunnya. Pemaparan gelombang mikro
menyebabkan meningkatnya porositas serat, sehingga kinerja enzim pada proses hidrolisis
919
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
berjalan lebih optimal walaupun dengan konsentrasi enzim yang digunakan rendah. Hal ini
bisa dilihat pada rendemen gula pereduksi per kayu yang rendah untuk balai angin tanpa
pretreatment (Gambar 2). Faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan enzim
menghidrolisis bahan lignoselulosa diantaranya kandungan lignin dan hemiselulosa dan
tingkat kekristalan selulosa. Oleh karena itu pretreatment diperlukan untuk menghilangkan
lignin dan hemiselulosa, menurunkan tingkat kekristalan selulosa sehingga meningkatkan
fraksi amorf selulosa, dan meningkatkan porositas material (Octavia et al., 2011).
KESIMPULAN
Hasil analisa komponen kimia pada dua jenis kayu balik angin menunjukkan bahwa
balik angin daun kecil memiliki kadar holoselulosa dan alfa selulosa lebih tinggi daripada
daun sedang, sedangkan kadar lignin untuk balik angin daun kecil lebih rendah daripada
daun sedang. Hasil analisa untuk mendapatkan kondisi optimum penggunaan gelombang
mikro sebagai pretreatment untuk produksi bioetanol dari dua jenis kayu balik angin
diperoleh bahwa untuk balik angin daun kecil rendemen gula pereduksi per kayu tertinggi
(22,06%) diperoleh pada pemaparan selama 5 menit dengan power 70%, sedangkan untuk
balik angin daun sedang (23,41%) diperoleh pada pemaparan selama 10 menit dengan
power 50%.
UCAPAN TERIMAKASIH
DAFTAR PUSTAKA
920
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS
Syafii, W. & I. Z. Siregar. 2006. Sifat Kimia dan Dimensi Serat Kayu Mangium (Acacia
mangium Willd.) dari Tiga Provenans. J. Tropical Wood Science & Technology. 4 (1):
28-32
Zhu, S., Y. Wu, Z. Yu, J. Liao, & Y. Zhang. 2005. Pretreatment by Microwave/alkali of Rice
Straw and Its Enzymic Hydrolysis. Process Biochemistry. 40: 3082-3086
Zhu, S., Y. Wu, Z. Yu, X. Zhang, H. Li, & M. Gao. 2006a. The Effect of Microwave Irradiation
on Enzymatic Hydrolysis of Rice Straw. Bioresource Technology. 97: 1964-1968
Zhu, S., Y. Wu, Z. Yu, X. Zhang, C. Wang, F. Yu, & S. Jin. 2006b. Production of Etanol from
Microwave-assisted Alkali Pretreated Wheat Straw. Process Biochemistry. 41: 869-
873
Wrolstad, R. E. 2001. Current Protocols in Food Analytical Chemistry. John Wiley & Sons
Inc. USA. E1.1.1-E1.1.8
921
BIDANG E
PENGOLAHAN
HASIL HUTAN
PENGOLAHAN HASIL HUTAN
ABSTRAK
Kata kunci: Coptotermes curvignathus Holmgren, bahan pengawet, boron, ekstrak mimba
PENDAHULUAN
Pengawetan kayu merupakan salah satu cara yang sangat potensial untuk
mencegah serangan organisme perusak kayu, sehingga dapat meningkatkan umur pakai
kayu. Setelah dilarangnya penggunaan arsenik sebagai bahan pengawet kayu, boron
menjadi pilihan utama untuk menggantikannya. Bahan pengawet boron digunakan baik
dalam bentuk formula campuran maupun tunggal. Bahan pengawet boron beracun terhadap
jamur dan serangga perusak kayu (Anonim, 1962), namun demikian bahan ini mempunyai
toksisitas yang lebih rendah (Yamauchi et al., 2007; Mampe, 2010), sehingga dapat
mengurangi potensi pencemaran lingkungan.
Pengembangan bahan pengawet kayu cenderung mengarah pada pemanfaatan
bahan-bahan yang ramah lingkungan. Pemanfaatan berbagai bahan alami yang diekstrak
dari tanaman sebagai agen pengendali hama merupakan salah satu alternatif yang sangat
potenisal. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa berbagai jenis ekstrak tanaman
dilaporkan terbukti mempunyai aktivitas anti serangga (Dharmagadda et al., 2005; Ayvaz et
al., 2010) sehingga dapat dimanfaatkan sebagai pestisida nabati. Salah satu tanaman yang
sudah diaplikasikan secara luas sebagai insektisida nabati ialah tanaman mimba
(Azadirachta indica A. juss). Tanaman ini diketahui bersifat toksik terhadap lebih dari 200
923
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
serangga. Beberapa jenis bahan aktif terkandung dalam tanaman ini, seperti azadirachtin,
meliantriol, salanin dan nimbi (Anonim, 1992). Hampir semua bagian tanaman mimba
mengandung bahan-bahan ini, namun kandungan terbesarnya terdapat dalam biji (Stoll,
1986).
Pada penelitian ini, pemanfaatan pestisida nabati dari ekstrak mimba sebagai
campuran bahan pengawet boron dikaji. Penambahan ekstrak mimba dimaksudkan untuk
lebih meningkatkan bahan pengawet boron menjadi semakin ramah lingkungan.
Bahan Kayu
Bahan kayu yang digunakan sebagai media pengujian ialah kayu tusam Pinus
merkusii Jungh berukuran 25 mm x 25 mm x 5 mm. Untuk tiap tingkat konsentrasi dan
kontrol masing-masing disediakan 5 buah contoh uji sebagai ulangan.
Bahan Pengawet
Bahan pengawet dibuat dengan mencampur ekstrak mimba pada berbagai
konsentrasi dengan bahan pengawet boron (boraks) 1%. Konsentrasi final ekstrak mimba
yang digunakan yaitu 2,5%, 5%, 10%, 25% dan 50%. Sebagai kontrol digunakan boraks 1%
(tanpa penambahan ekstrak mimba) dan akuades (bahan pelarut).
Pengawetan
Pengawetan dilakukan dengan merendam bahan kayu pada larutan bahan pengawet
selama semalam. Contoh uji yang sudah diawetkan selanjutnya diangin-anginkan dalam
ruangan sampai mencapai kadar air kering udara.
Metode Pengujian
Pengujian efikasi terhadap rayap tanah mengacu pada cara yang dilakukan oleh
Martawijaya (1994), dengan rayap penguji dipakai jenis Coptotermes curvignathus
Holmgren. Masing-masing contoh uji dimasukkan ke dalam jampot dengan cara
meletakkannya berdiri pada dasar jampot dan disandarkan sedemikian rupa sehingga salah
satu bidang yang terlebar menyentuh dinding jampot. Ke dalam jampot tersebut dimasukkan
pasir lembab sebanyak 200 gr yang mempunyai kadar air 7% di bawah kapasitas menahan
air (water holding capacity). Selanjutnya ke dalam setiap jampot dimasukkan 200 ekor rayap
tanah C. curvignathus yang sehat dan aktif dengan komposisi 90% rayap pekerja dan 10%
rayap prajurit. Kemudian jampot yang sudah diisi rayap tanah disimpan di tempat gelap
selama 4 minggu. Setiap minggu aktivitas rayap di dalam jampot diamati dari luar dan
dicatat. Selanjutnya masing-masing jampot ditimbang. Jika kadar air pasir turun 2% atau
lebih, ke dalam jampot tersebut ditambahkan air secukupnya sampai kadar airnya kembali
seperti semula, yaitu 7% di bawah kapasitas menahan air. Pada akhir pengujian ditetapkan
mortalitas rayap tanah pada masing-masing contoh uji.
di mana : Kij = % mortalitas rayap pada contoh uji ke-j dan konsentrasi ke-i, Mij = jumlah
rayap yang mati pada contoh uji ke-j dan konsentrasi ke-i.
924
PENGOLAHAN HASIL HUTAN
Sementara itu derajat proteksi ditentukan melalui pemberian nilai (scoring) dalam skala
berikut :
Bekas gigitan tipis pada permukaan kayu (surface nibbles) tidak dianggap sebagai
serangan nyata. Pengujian dianggap berhasil jika mortalitas rayap pada contoh uji kontrol
tidak melebihi 55% dengan nilai derajat proteksi 70 atau kurang.
Tabel 1. Rata-rata mortalias dan derajat serangan rayap tanah serta rayap kayu kering
Efektifitas merupakan daya bunuh pestisida terhadap organisme perusak, dalam hal
ini rayap. Pestisida yang bagus ditunjukkan oleh dosis yang rendah, cukup mengendalikan
organisme perusak (Novizan, 2002). Bahan pengawet boron dilaporkan dapat berinteraksi
dengan berbagai molekul penting, seperti riboflavin, vitamin B6, koenzim A, vitamin B-12,
dan nikotinamida adenin dinukleotida (NAD+) (Lloyd et al. 1990; Williams et al. 1990; Woods
1994) sehingga mengganggu proses fisiologis sel serangga sehinga rayap mati kelaparan.
Sementara itu ekstrak mimba mengandung bahan-bahan aktif, seperti azadirachtin,
meliantriol, salanin dan nimbi. Bahan-bahan ini tidak membunuh serangga secara langsung,
tetapi menyebabkan kematian secara perlahan melalui beberapa mekanisme, seperti daya
usir, menurunkan nafsu makan, menghambat pertumbuhan, mengganggu proses
perkawinan dan menghambat reproduksi (Saxena, 1989).
(a) (b)
Gambar 1. Contoh derajat serangan rayap tanah. Ket: (a) kontrol; (b) konsentrasi 5%.
925
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 1992. Neem: A Tree for Solving Global Problems. National Research Council.
National Academy Press, Washington DC.
Ayvaz, A, O. Sagdic, S. Karaborklu, and I. Ozturk. 2010. Insecticidal activity of the essential
oils from different plants against three stored-product insects. J. of Insect Sci. 10:21.
Dharmagadda, V.S.S, M. Tandonb, and P. vasudevan. 2005. Biocidal activity of the essential
oil s of Lantana camara, Ocimum sanctum, and Tagetes patula. J. of Sci. and
Industrial Research 64:53-56.
Lloyd, J. D., D. J. Dickinson & R. J. Murphy. 1990. The probable mechanisms of action of
boric acid and borates as wood preservatives. IRG/WP Document 90 1450.
International Research Group on Wood Protection. Stockholm, Sweden. 21 pp.
Mampe, C. D. 2010. Effectiveness and Uses of Barate. http://www.environment
sensitive.com/effectiveusesofborate.htm. Diakses tanggal 3 Januari 2010.
Martawijaya, A. 1994. Formulasi dan efikasi bahan pengawet CCA type 2. Prosiding Diskusi
Hasil-hasil Penelitian Hasil Hutan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan
dan Sosial Ekonomi Kehutanan. Cipayung. 24-25 Maret 1994. p. 89 -103.
Novizan. 2002. Petunjuk Pemakaian Pestisida. PT Agro Media Pustaka. Tanggerang.
Saxena, R. C. 1989. Insecticides from neem. Entomology Department, IRRI. Manila,
Philiippines. 25 pp.
Stoll, G. 1986. Natural Crop Protection Based on Local Farm Resources in The Tropics and
Subtropics. Josef Margraf, Aichtal, Germany.
Williams, L. H., S. I. Sallay & J. A. Breznak. 1990. Borate-treated food affects survival,
vitamin B-12 content, and digestive processes of subterranean termites. IRG/WP
Document 90-1448. International Research Group on Wood Protection. Stockholm,
Sweden. 16 pp.
Woods, W. G. 1994. An introduction to boron: history, sources, uses, and chemistry. Environ.
Health Perspect. 102(Supplement 7): 511
Yamauchi, S., Y. Sakai, Y. Watanabe, M.K. Kubo and H. Matsue. 2007. Distribution boron in
wood treated with aqueous and methanolic boric acid solutions. J. Wood Sci. 53: 324-
331.
926
PENGOLAHAN HASIL HUTAN
ABSTRAK
Dalam rangka restrukturisasi Industri Primer Hasil Hutan Kayu (IPHHK), salah satu
kriteria dan indikatornya adalah efisiensi pemakaian bahan baku kayu, dimana efisiensi
pemakaian bahan baku akan meningkat apabila mesin pengolahannya efisien. Pada industri
kayu lapis mesin utamanya adalah mesin kupas kayu (rotary lathe) yang mengolah dolok
menjadi venir kayu. Sebelum krisis bahan baku kayu, industri kayu lapis pada umumnya
menggunakan mesin rotary lathe dengan spindle berukuran besar, karena kayu yang
dikupas pada umumnya berdiameter besar. Setelah adanya krisis bahan baku kayu dan
berkurangnya mutu kayu antara lain diameternya semakin mengecil, maka diperlukan
restrukturisasi mesin kupas dengan spindle yang kecil atau mesin kupas tanpa spindle
(spindle less rotary lathe). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui besarnya
rendemen penggunaan mesin kupas tanpa spindle (spindle less rotary lathe) dan mesin
kupas menggunakan spindle.
Hasil penelitian menunjukkan rendemen venir dari mesin rotary spindle less pada ke
4 industri kayu lapis berkisar antara 89,30 94,54 % atau rata-rata 92,93 %. Sedangkan
rendemen venir mesin kupas menggunakan spindle berkisar antara 76,19 83,45 % atau
rata-rata 80,30 %. Berdasarkan data tersebut di atas, mesin rotary spindle less dapat
meningkatkan rendemen venir rata-rata 12,63 %.
PENDAHULUAN
Salah satu mesin pengolahan kayu lapis adalah mesin kupas kayu menjadi venir
kayu. Rendemen kayu lapis yang dihasilkan tergantung pada rendemen venir yang
dihasilkan oleh mesin kupas (Kollmann, 1975). Sedangkan menurut Riggs, at all (1979),
efisiensi mesin kupa ditentukan oleh besar kecilnya cakar (spindle) bervariasi antara 9
sampai 24 cm. mesin kupas tersebut di atas masih digunakan oleh pabrik kayu lapis
konvensional karena belum menggunakan mesin kupas tanpa spindle yaitu mesin spindle
less rotary lathe.
Mesin spindle less rotary lathe adalah mesin kupas yang tidak menggunakan cakar
(spindle), tetapi menggunakan dua rol yang berputar searah, dimana diantara dua rol
tersebut diletakkan dolok kayu, diputar searah sehingga menghasilkan venir kayu seperti
Gambar 1.
3
2
1
927
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Sisa kupasan kayu (log core) mesin spindle less rotary lathe berdiameter 4 5 cm,
dengan demikian efisiensi mesin meningkat dan rendemen venir kayu yang dihasilkan juga
meningkat.
Efisiensi penggunaan bahan baku kayu akan meningkatkan apabila mesin
pengolahannya efisien dan selanjutnya rendemen venir kayu yang dihasilkan akan
meningkat. Rendemen venir kayu adalah perbandingan antara luaran (output) dan masukan
(input), biasanya dinyatakan dalam persen (%). Masukan adalah bahan baku kayu,
sedangkan luarannya adalah venir kayu.
Menurut Kollmann (1975), rendemen venir kayu berkisar antara 70 sampai 75 (kadar
air 60 %), sedangkan rendemen venir kayu yang dihasilkan PT. SRIWI (2010) berkisar
antara 71 75 %. Menurut Anonim (2003) rendemen venir kayu berkisar antara 80 84 %.
Rendemen venir kayu tersebut di atas berasal dari pabrik kayu lapis konvensional yaitu
pabrik kayu lapis yang tidak menggunakan mesin spindle less rotary lathe.
Mesin kupas tanpa spindle bisa mengupas dolok kayu berdiameter kecil dari 10 cm
sampai dengan 50 cm dan sisa kupasan (log core) yang dihasilkan berdiameter 4 cm,
sehingga efisiensi pemakaian bahan baku kayu meningkat.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui besarnya rendemen penggunaan
mesin kupas menggunakan spindle dan tanpa spindle (spindle less rotary lathe).
Metode
Tempat dan Waktu
Penelitian dilakukan di Jambi (PT. Mugi Triman Intercontinental dan PT. Tanjung
Johor Wood Industry), Jawa Tengah (PT. Kayu Lapis Indonesia), Jawa Timur (PT. Kutai
Timber Indonesia) dan di Kalimantan Timur (PT. Tunggal Yudi Plywood dan PT. Kayu Alam
Perkasa Raya).
Prosedur Kerja
a. Persiapan
Penentuan lokasi penelitian pada enam pabrik kayu lapis, dibagi menjadi dua
golongan yaitu yang menggunakan mesin kupas menggunakan spindle dan mesin
kupas tanpa spindle.
b. Pelaksanaan
(a) Pengumpulan data sekunder meliputi data umum perusahaan, kapasitas pabrik,
jenis kayu yang digunakan, rendemen venir, baik yang menggunakan mesin
kupas tanpa spindle maupun mesin kupas menggunakan spindle.
(b) Pengumpulan data primer meliputi penggunaan mesin kupas tanpa spindle
maupun mesin kupas menggunakan spindle.
Analisis Data
Data hasil penelitian dihitung rata-ratanya, data sekunder sebagai pebanding data primer.
928
PENGOLAHAN HASIL HUTAN
Keterangan: A) Pabrik kayu lapis PT. Tanjung Johor Wood Industry, B) PT. Kayu Lapis
Indonesia, C) PT. Kutai Timber Indonesia, D) PT. Tunggal Yudi Plywood
Tabel 2. Rendemen venir mesin kupas tanpa spindle berdasarkan data sekunder
Keterangan: A) Pabrik kayu lapis PT. Tanjung Johor Wood Industry, B) PT. Kayu Lapis
Indonesia, C) PT. Tunggal Yudi Plywood
929
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Tabel 3. Hasil penelitian rendemen venir pabrik kayu lapis menggunakan spindle
Keterangan: A) Pabrik kayu lapis PT. Mugi Triman Intercontinental, B) PT. Kayu Alam
Perkasa Raya, C) PT. Kayu Lapis Indonesia, D) PT. Kutai Timber Indonesia
Keterangan: A) Pabrik kayu lapis PT. Tanjung Johor Wood Industry, B) PT. Kayu Lapis
Indonesia, C) PT. Tunggal Yudi Plywood
Menurut Anonim (2009), rendemen venir pabrik kayu lapis mesin kupas
menggunakan spindle rata-rata 82,07 %. Dengan demikian terdapat perbedaan rendemen
venir sebesar 1,77 %. Perbedaan ini kemungkinan disebabkan oleh beberapa faktor antara
lain: jenis kayu, diameter dan mutu dolok yang digunakan tidak sama.
Jenis kayu yang digunakan dalam penelitian ini adalah meranti, sengon, keruing,
melapi dan kapur dengan diameter rata-rata 80 cm dan kondisi dolok pada umumnya
tergolong baik. Tebal venir yang dihasilkan bervariasi antara 0,8 3,2 mm dengan kadar air
rata-rata 50 %. Venir hasil pengupasan tanpa spindle less ini digunakan untuk venir muka,
belakang dan inti pada kayu lapis.
Berdasarkan hasil penelitian rendemen venir mesin spindle less rata-rata 92,93 %,
sedangkan berdasarkan rendemen venir pabrik kayu lapis mesin rotary dengan spindle rata-
rata 80,30 %. Dengan demikian penggunaan mesin spindle less dapat meningkatkan
rendemen venir sebesar 12,63 %.
KESIMPULAN
1. Rendemen venir hasil penelitian yang diperoleh dari mesin rotary spindle less berkisar
antara 89,30 94,54 % atau rata-rata 92,93 %.
2. Rendemen venir hasil dari mesin rotary dengan spindle berkisar antara 76,19 83,45 %
atau rata-rata 80,30 %.
3. Berdasarkan data tersebut di atas, mesin rotary spindle less dapat meningkatkan
rendemen venir rata-rata 12,63 %.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2003. Rendemen dan limbah kegiatan pembuatan kayu lapis PT. Erna Djuliawati
Plywood. Kalimantan Barat.
_______. 2009. Laporan Produksi Tahunan PT. Tanjung Johar Wood Industry. Jambi.
_______. 2009. Buku Laporan Produksi PT. Kayu Lapis Indonesia. Semarang.
_______. 2009. Laporan Tahunan PT. Tunggal Yudi Plywood. Samarinda.
_______. 2010. Rendemen venir dan kayu lapis PT. Sriwi. Anyer, Jawa Barat.
930
PENGOLAHAN HASIL HUTAN
Kollmann, F.C. 1975. Principle of wood science and technology II. Wood Based Materials.
Springer Verlag, Berlin, Hiderburg. N.Y.
Riggs. Bethel. A. Water, Smith and Stackmann. 1979. Industrial organization on
management sixth edition. International Student Edition. M.C. Graw Hill. Kogahusa.
Ltd. Tokyo.
931
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Yustinus Suranto
Jurusan Teknologi Hasil Hutan
Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, Bulaksumur, Yogyakarta
Email: surantoyustinus@yahoo.com
ABSTRACT
National timber industry with a minimum capacity of 6000 m3 per year generally
made mistakes in the process of wood processing for export, mainly in the operation of wood
drying. Wood drying process is done by inserting various types of wood, various sizes of
wood dimension and various levels of initial moisture content into a conventional kiln drying
operated with one type of drying schedule. This kind of drying process will reduce the quality
of wood as opposed to the principle of drying wood. Principally, wood must be dried with
specific drying conditions, which correspond to the nature of wood and the specific character
of wood drying. This study was aimed to formulate an appropriate specific drying schedule
for certain types of wood with certain dimensions and certain initial moisture content. In this
context, nyatoh wood in dimension of 5.3 cm thick, width 20.2 cm and a length of 500 cm
was selected as the case of studies.
The objective of this research was to develop drying schedule for the sortiment of
nyatoh wood. Drying schedule was developed by the result of quick drying test. These
formulation of drying schedule was elaborated based on Terazawa method. Nyatoh
(Palaquiaum sp) wood was choosen as an object of these case study because this wood is
one of the commercial wood grown naturally in tropical rain forest located on Sulawesi island.
This wood is used by wood working industry to produce building component to be exported.
Lumber of this wood in dimension of 5.3 cm in thick and 20.2 cm in width and 500 cm in
length has no its own drying schedule yet.
Result of the research showed that initial moisture content of this wood was 103.77%,
specific gravity was 0.477. Optimum drying schedule was 65 oC as an initial temperature dan
90 oC as a final temperature. Web bulb depression for the initial step of drying was 5,5 oC
and for the end step was 30 oC. The range of relative humidity were 76% to 11%. These
drying schedule was coded by T7H7.
Keywords: Terazawa, drying schedule, nyatoh, sawn timber of 5.3 cm x 20,2 cm x 500 cm.
PENDAHULUAN
932
PENGOLAHAN HASIL HUTAN
933
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
besar karena sangat banyak anggota populasi pohon nyatoh yang tumbuh alami dalam
hutan P. Sulawesi (Anonimus, 2005).
Kayu nyatoh dihasilkan dari 18 jenis pohon, antara lain Palaquium javense dan P.
Leerii serta Genua motleyana. Berat jeniskayu nyatoh sangat bervariasi, dari yang terendah
sebesar 0,48 pada P. javense sampai dengan yang tertinggi sebesar 0,87pada P. Leerii.
(Martawijaya dkk, 1981). Sampai dengan kadar air 12%, penyusutan tangensial dan radial
pada P. Galactoxylum sebesar 4,2% dan 1,5%, pada P. hornei sebesar 7,8% dan 6,1% dan
pada P amboinense sebesar 3,9% dan 1,7% (Anonim, 2011).
Teknologi pengeringan kayu di dalam tanur pengering konvensional merupakan suatu
proses yang melibatkan banyak unsur pengetahuan yang pendukungnya, sehingga
pemahaman yang komprehensif mengenai pengeringan kayu memerlukan pemahaman
yang baik terhadap unsur pengetahuan pendukung tersebut. Ada sepuluh unsur
pengetahuan pendukung, yaitu meliputi kayu, air, panas, media pembawa panas, sirkulasi
udara, suhu udara, kelembaban udara, alat pengering, ilmu dan teknologi pengeringan serta
waktu. Di dalam teknologi pengeringan di dalam tanur konvensional, penyusunan skedul
suhu dan kelembaban (drying schedule) yang tepat dan penerapannya di dalam proses
pengeringan merupakan aktivitas yang sangat penting, Hal itu disebabkan karena
penyusunan dan penerapan skedul suhu dan kelembaban yang tepat sangat menentukan
tingkat kualitas kayu kering dan efisiensi proses pengeringan dengan tanur konvensional
(Suranto, 2006)
Prosedur untuk merumuskan skedul suhu dan kelembaban bagi kayu yang belum
diketahui karakter pengeringannya disajikan pertama kali oleh Forest Product Laboratory
(1961) di Amerika Serikat. Prosedur ini dikenal dengan nama metode Forest Product
Laboratory (FPL). Pada tahun 1965, Shin Terazawa merumuskan panduan untuk menyusun
skedul suhu dan kelembaban, yang kemudian dikenal sebagai metode Terazawa. Metode
Terazawa merupakan langkah menyempurnaan terhadap prosedur penyusunan skedul suhu
dan kelembaban metode. Forest Product Laboratory. Mengingat bahwa durasi waktu yang
diperlukan oleh metode Terazawa untuk menyusun skedul suhu dan kelembaban jauh lebih
pendek dibandingkan dengan durasi waktu yang diperlukan metode FPL, maka metode
Terazawa disebut juga pengujian pengeringan secara cepat.
Pengujian pengeringan secara cepat merupakan metoda empiris yang digunakan
untuk menentukan skedul suhu dan kelembaban secara teoritis. Skedul suhu dan
kelembaban hasil penentuan itu kemudian diterapkan untuk yang pertama kali pada proses
pengeringan terhadap kayu gergajian yang berasal dari spesies tertentu, dengan sifat dan
karakter tertentu.. Pengamatan dilakukan terhadap proses pengeringan pada penerapan
yang pertama tersebut, terutama pengamatan terhadap kadar air akhir dan cacat
pengeringan pada kayu yang dihasilkan dari proses pengeringan. Data hasil pengamatan ini
dijadikan obyek untuk mengadakan aktivitas evaluasi demi penentuan tingkat kesesuaian
skedul suhu dan kelembaban hasil perumusan pertama tersebut. Bila dinyatakan sesuai,
maka skedul suhu dan kelembaban hasil penyusunan tersebut dapat digunakan secara
terus-menerus pada proses pengeringan berikutnya. Sebaliknya, bila skedul suhu dan
kelembaban hasil perumusan pertama tersebut dinyatakan kurang sesuai, maka skedul suhu
dan kelembaban hasil penyusunan itu harus diadakan modifikasi. Hasilnya berupa skedul
suhu dan kelembaban hasil modifikasi pertama. Skedul suhu dan kelembaban hasil
modifikasi pertama ini diterapkan pada proses pengeringan terhadap kayu gergajian yang
berspesifikasi jenis dan sifat serta karakter yang sama. Pengamatan terhadap kadar air akhir
dan cacat pengeringan, evaluasi demi penentuan tingkat kesesuaian skedul suhu dan
kelembaban dilakukan lagi secara siklis untuk mendapatkan skedul suhu dan kelembaban
yang sesuai dengan karakter kayu yang dikeringkan. Oleh karena itu, metode Terazawa ini
digunakan sebagai titik awal bagi penyusunan skedul suhu dan kelembaban yang aktual
bagi kayu gergajian yang berasal dari spesies yang manapun (Terazawa, 1965).
934
PENGOLAHAN HASIL HUTAN
Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah kayu nyatoh. Kayu ini merupakan
hasil penebangan terhadap pohon-pohon nyatoh berukuran diameter lebih dari 60 cm yang
tumbuh di dalam kawasan hutan alam di P. Sulawesi, tepatnya yang berada di antara Sungai
Mora dan Sungai Budong bagian hulu. Tingkah kelimpahan pohon nyatoh setiap ha
kawasan hutan adalah 2,27 pohon yang bervolume 11,14 m3 (anonim, 2005). Dalam
penebangan ini, dipilih secara acak sebatang pohon nyatoh dan ditandai. Bersama dengan
batang-batang yang lain, batang pohon nyatoh terpilih dilakukan pembagian batang bebas
cabang dan diangkut ke industri penggergajian yang berlokasi di Makasar. Sebagaimana
batang lainnya, batang terpilih ini digergaji secara tangensial untuk mendapatkan sortimen
kayu masing-masing berukuran panjang 500 cm, lebar 20,3 cm dan tebal 5,3 cm. Sebuah
sortimen kayu gergajian dipilih secara random dari banyak sortimen berukuran sama yang
dihasilkan dari penggergajian seluruh bagian batang pohon terpilih. Sortimen terpilih secara
random itu kemudian digergaji secara longitudinal pada setiap panjang 50 cm, sehingga
diperoleh 10 sortimen masing-masing berukuran panjang 50 cm, lebar 20,2 mm dan tebal
5,3 cm. Ke-10 sortimen terakhir ini dibungkus plastik secara rapat dan diangkut menuju ke
Laboratorium Pengeringan dan Pengawetan Kayu, Jurusan Teknologi Hasil Hutan, Fakultas
Kehutanan Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta.
Di dalam laboratorium ini, sortimen tersebut ditentukan sifat fisika dan sifat
pengeringannya. Sifat fisika meliputi kadar air, berat jenis dan penyusutan. Sifat pengeringan
dilakukan berdasarkan pengujian pengeringan secara cepat. Pengujian pengeringan secara
cepat ini dilakukan dengan mengikuti suatu metode yang dikembangkan oleh Terazawa
(1965).
Di dalam Laboratorium, sebuah sortimen sepanjang 50 cm dipilih secara random dari
sepuluh sortimen tersebut. Potongan yang terpilih dipotong-potong lagi menjadi tujuh potong
yang masing-masing secara berurutan sepanjang (1) 11 cm, (2) 2 cm, (3) 2 cm, (4) 20 cm,
(5) 2 cm, (6) 2 cm dan (7) 11 cm. Dua potongan masing-masing sepanjang 11 cm dan
berasal dari kedua bagian ujung, yakni potongan (1) dan (7), dibuang untuk menghindarkan
pengaruh perbedaan kadar air yang disebabkan oleh penguapan air melalui bagian ujung.
Dua buah potongan masing-msing sepanjang 2 cm, yakni potongan (2) dan (6), merupakan
bagian yang digunakan untuk membuat contoh uji bagi pengukuran kadar air awal. Dua buah
potongan masing-masing sepanjang 2 cm, yakni potongan (3) dan (5), merupakan bagian
yang digunakan untuk membuat contoh uji bagi pengukuran berat jenis dan penyusutan.
Sebuah potongan berukuran 20 cm, yakni potongan ke-4, difungsikan sebagai bahan untuk
membuat contoh uji pada pengujian pengeringan secara cepat. Potongan ke-4 ini diserut
pada kedua permukaannya, kemudian digergaji secara longitudinal, sehingga mendapatkan
contoh uji berukuran tebal 5,3 cm, lebar 20,2 cm dan panjang 20 cm. Setelah dipotong dan
menjadi contoh uji, setiap contoh uji itu ditimbang segera.
Peralatan yang digunakan di dalam penelitian ini meliputi gergaji lingkar dan mesin
pengetam. Di samping itu, juga digunakan kaliper, oven bermerk Memmert, desikator,
Timbangan digital analitis bermerk OHauss.
935
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
metoda Terazawa untuk menetapkan skedul suhu dan kelembaban terdiri atas beberapa
langkah sebagai berikut:
1. Sampel berukuran tebal 5,3 cm, lebar 20,2 cm dan panjang 20 cm yang berasal dari
potongan nomor 4, dimasukkan ke dalam oven bertenaga listrik yang diatur pada kondisi
suhu 103 + 2oC.
2. Sampel ditimbang dan pemunculan serta perkembangan retak permukaan dan retak
ujung diamati secara periodis setiap 2 jam selama proses pengeringannya sampai
sampel itu mencapai kadar air yang konstan pada tingkat 1 persen.
3. Pada akhir proses pengeringan, sampel itu dihitung dan diukur jumlah retak permukaan
dan retak ujung (yang dinyatakan sebagai Cacat 1), juga cacat deformasi (yang
dinyatakan sebagai Cacat 2). Sample ini kemudian dipotong tepat pada bagian tengah
dalam arah longitudinalnya untuk mengetahui dan mengukur retak-dalam yang sering
disebut honey-comb (yang dinyatakan sebagai Cacat 3). Penetapan tingkat kerusakan
bagi masing-masing jenis cacat ini didasarkan pada jumlah dan ukuran cacat yang
terjadi pada permukaan kayu dalam kondisi kering mutlak.
4. Tingkat cacat ditentukan dan diperingkat berdasarkan sekala nilai. Sekala nilai yang
berkisar antara 1 s.d 8 bagi cacat retak permukaan dan ujung (cacat 1) juga bagi cacat
deformasi (cacat 2). Sekala nilai antara 1 s.d 6 bagi cacat retak-dalam (cacat 3).
Penentuan itu didasarkan pada tabel yang ditetapkan Terguson tahun 1951 (Terazawa,
1965). Nilai pemeringkatan diartikan bahwa semakin rendah nilai peringkatnya, maka
semakin rendah (sedikit) pula cacat yang terjadi, atau sebaliknya, semakin tinggi nilai
pada peringkat ini, maka semakin tinggi (banyak) pula cacat yang terjadi.
5. Berdasarkan pada dua hal, yaitu hasil pemeringkatan di atas dan tabel termometer
suhu bola kering (TSBK) dan tabel depresi suhu bola basah (DSBB) sebagaimana
disajikan pada manual Forest Product Laboratory (Rasmussen, 1961), ditentukanlah
suhu minimum dan maksimum termometer suhu bola kering serta depresi suhu bola
basah bagi kayu-gergajian dari spesies tertent. Kedua hal itu, yaitu suhu minimum dan
suhu maksimum serta depresi suhu bola basah, pada gilirannya dapat dijadikan dasar
untuk menyusun skedul suhu dan kelembaban yang sesuai bagi kayu nyatoh.
Prosedur bagi penerapan metoda Terazawa untuk menetapkan skedul suhu dan
kelembaban terdiri atas beberapa langkah sebagai berikut:
1. Dibuat empat macam sampel, yaitu sampel untuk menentukan kadar air awal, sampel
untuk menentukan berat jenis dan sampel untuk menentukan penyusutan dalam arah
panjang, lebar dan tebal, serta sample untuk pengujian pengeringan. Sampel untuk
pengujian pengeringan secara cepat adalah sampel yang berukuran tebal dan lebar
sebagaimana ukuran tebal dan lebar sortimen kayu yang akan dikeringkan di dalam
tanur pengering konvensional. Panjang sampel pengujian pengeringan ini adalah 200
mm. Kondisi kadar air sampel pengujian pengeringan diusahakan mewakili kondisi
kadar air sortimen kayu yang akan dikeringkan Sampel pengujian pengeringan diserut
pada kedua permukaan lebarnya.
2. Sampel kadar air awal ditimbang, kemudian sesegera mungkin untuk dimasukkan ke
dalam tanur elektrik untuk dikeringkan dan ditimbang secara periodis dalam rangka
penentuan kadar air awal. Hasil yang diperoleh dari penentuan kadar air awal dijadikan
dasar untuk mementukan kadar air awal dan langkah perubahannya selama proses
pengeringan.
3. Penentuan kadar air pada setiap langkah proses pengeringan.
Sebagaimana disebutkan, bahwa nilai kadar air awal rata-rata sampel digunakan
sebagai dasar untuk memilih menu kadar air awal dan langkah perubahan kadar air
selama proses pengeringan. Terdapat sembilan menu, yaitu kelas A sampai dengan
kelas F, yang tersedia di dalam klasifikasi kadar air yang dibuat oleh Terazawa (1965).
Kelas kadar air terpilih akan menjadi salah satu komponen penyusun skedul suhu dan
kelembaban. Klasifikasi kadar air tersebut ditampilkan pada Tabel 1 berikut.
936
PENGOLAHAN HASIL HUTAN
937
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Tabel 2. Hubungan antara jenis cacat dan suhu awal, depresi dan suhu akhir.
10. Berdasarkan pada Tabel 2 tersebut, ditentukanlah suhu minimum dan maksimum
termometer suhu bola kering serta depresi suhu bola basah bagi kayu-gergajian dari
spesies tertentu yang akan dikeringkan. Penetapan suhu awal, depresi suhu bola basah
dan suhu akhir dilakukan dengan membandingkan kondisi suhu awal, depresi suhu bola
basah dan suhu akhir yang dibawa oleh masing-masing jenis cacat pada peringkat yang
dimilikinya, kemudian memilihkan nilai suhu awal, depresi suhu bola basah dan suhu
akhir yang paling rendah di antara ketiga cacat tersebut. Pemilihan ini didasarkan pada
suatu pemahaman, bahwa semakin rendah nilai peringkat cacat, maka akan berarti
semakin rendah kondisi suhu awal, depresi suhu bola basah dan suhu akhir, dan
konsekuensi selanjutnya akan semakin rendah (sedikit) pula cacat yang terjadi pada
kayu yang dikeringkan dalam kondisi pengeringan tersebut. Sebaliknya, semakin tinggi
nilai pada peringkat cacat, berarti semakin tinggi kondisi suhu awal, depresi suhu bola
basah dan suhu akhir, dan berkonsekuensi selanjutnya akan semakin tinggi (banyak)
pula cacat yang terjadi. pada kayu yang dikeringkan dalam kondisi pengeringan ini.
11. Pada gilirannya, hasil penetapan suhu awal, depresi suhu bola basah dan suhu akhir ini
digunakan sebagai dasar untuk memilih dua hal. Pertama, memilih depresi suhu bola
basah dan langkah perubahannya. Kedua, memilih suhu dan langkah perubahannya
selama pengeringan. Dalam memilih depresi suhu bola basah, tersedia berbagai menu
pilihan di dalam klasifikasi depresi suhu. Klasifikasi depresi suhu bola basah dan langkah
perubahannya disajikan pada Tabel 3 berikut (Terazawa, 1965).
938
PENGOLAHAN HASIL HUTAN
13. Dalam memilih suhu dan langkah perubahannya selama proses pengeringan, tersedia
berbagai menu pilihan di dalam klasifikasi suhu dan langkah perubahannya. Terazawa
(1965) menyediakan suatu Klasifikasi Suhu Awal pada termometer bola kering dan
langkah perubahannya selama proses pengeringan, dan klasifikasi ini dibuatnya
berdasarkan pada klasifikasi mengenai hal yang sama yang dihasilkan oleh FPL (1961).
Klasifikasi suhu pada termometer bola kering dan langkah perubahannya hasil susunan
Terazawa disajikan pada Tabel 4 berikut.
14. Perumusan skedul suhu dan kelembaban. Berdasarkan aspek-aspek: kadar air awal,
depresi suhu bola basah, suhu awal dan suhu akhir beserta langkah perubahan pada
masing-msing aspek tersebut, disusunlah skedul suhu dan kelembaban spesifik bagi
kayu jenis tertentu sesuai dengan karakternya.
15. Pendugaan durasi pengeringan. Pendugaan durasi waktu yang diperlukan selama
pengeringan dilakukan dengan menghitung nilai rata-rata dari dua nilai. Nilai pertama
adalah durasi waktu yang dihitung berdasarkan jangka waktu yang diperlukan oleh
sampel pengujian pengeringan untuk mencapai kadar air 1%. Nilai kedua berasal dari
durasi waktu yang dihitung berdasar pada depresi suhu bola basah.
Tabel 5 memperlihatkan hasil sebagai berikut. Nilai rata-rata kadar air rata-rata
adalah 103,77. Nilai berat jenis rata-rata adalah 0,477. Nilai penyusutan pada arah panjang
rata-rata adalah 2,79. Nilai penyusutan pada arah tebal rata-rata adalah 6,64. Nilai
penyusutan pada arah lebar rata-rata adalah 7,79. Nilai nisbah penyusutan pada arah tebal
rata-rata adalah 0,83.
939
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Dilihat dari kadar air awal sebesar 103,77% dapat dinyatakan bahwa sortimen kayu
ini dapat dikatagorikan sebagai berkandisi sangat basah. Dilihat dari berat jenisnya yang
sebesar 0,477, kayu ini merupakan kayu nyatoh yang tergolong ke dalam kelompok kayu
nyatoh kelas ringan. Sementara itu, nilai penyusutannya kayu ini tergolong memiliki tingkat
penyusutan yang relatif tinggi, baik penyusutan tebal maupun penyusutan lebar.
2. Penetapan suhu awal, depresi suhu bola basah dan suhu akhir
Berdasarkan hasil pengklasifikasian di atas, dapat ditentukan suhu minimum, suhu
maksimum dan depresi suhu bola basah pada awal maupun akhir proses pengeringan.
Berdasarkan retak awal yang tergolong ke dalam kelas 2, maka suhu awal dan depresi
suhu bola basah serta suhu akhir secara berurutan adalah 65oC dan 5,5oC serta 90oC.
Berdasarkan deformasi yang tergolong ke dalam kelas 1, maka suhu awal dan depresi
suhu bola basah serta suhu akhir secara berurutan adalah 70oC dan 6,5oC serta 95oC.
Berdasarkan retak-dalam yang tergolong ke dalam kelas 1, maka suhu awal dan depresi
suhu bola basah serta suhu akhir secara berurutan adalah 70oC dan 6,5oC serta 95oC.
Dengan memperbandingkan kelompok angka yang disajikan oleh masing-masing
peringkat itu, jelaslah bahwa aspek cacat retak awal menghasilkan deretan angka suhu
yang paling rendah yang merefleksikan kondisi pengeringan yang paling ringan. Dengan
alasan itu, aspek cacat awal dipilih sebagai penentu untuk menyusun skedul suhu dan
kelembaban. Oleh karena itu, maka suhu awal 65oC dan depresi suhu bola basah 5,5oC
serta suhu akhir 90oC dipilih sebagai kondisi proses pengeringan.
940
PENGOLAHAN HASIL HUTAN
KESIMPULAN
Penelitian terhadap kayu nyatoh gergajian bersortimen tebal 5,3 cm dan lebar 20,2
cm menyimpulkan bahwa kayu ini memiliki nilai kadar air awal 103,77%, berat jenis 0,477,
penyusutan lebar 7,79% dan penyusutan tebal 6,64%. Pengeringan kayu tersebut di dalam
tanur pengering konvensional dilakukan dengan penetapan skedul suhu dan kelembaban
sebagai langkah pertama. Skedul suhu dan kelembaban hasil penetapan itu dicirikan oleh
kondisi sebagai berikut: (1) suhu awal 65oC dan suhu akhir 90oC. (2) Depresi suhu
termometer bola basah pada awal pengeringan adalah 5,5 oC dan akhir adalah 30 oC. Skedul
suhu dan kelembaban demikian diberi kode T7H7. Kelembaban relatif pada awal
pengeringan 76% dan akhir pengeringan 11%. Durasi pengeringan diperkirakan 11 hari.
Kayu nyatoh bersortimen tebal 5,3 cm, lebar 20,2 cm dan panjang 500 cm bila
dikeringkan di dalam tanur pengering dengan pengaturan kondisi pengeringan mengikuti
skedul di atas, maka proses pengeringan berkemungkinan sangat besar menghasilkan kayu
kering tanpa disertai dengan cacat yang berarti. Kondisi ini akan menjadi basis yang kuat
bagi proses pengolahan kayu yang menghasilkan produk berkualitas tinggi.
941
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
DAFTAR PUSTAKA
Anonimus. 1957. British Standard (BS) nomor 373 Methods of Testing Small Clear
Specimen of Timber, London.
Anonimus. 2004. Penilaian Kinerja Perusahaan Industri Pengolahan Hasil Hutan Kayu.
Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan. Departemen Kehutanan Republik
Indonesia. Jakarta.
Anonimus, 2005. Hasil Inventarisasi oleh Tim Inventarisasi P.T Rante Mario. Makasar. Tidak
diterbitkan.
Anonimus, 2011. Palaquium. Primary Industries and Fisheries. Quenland Goverment.
Sumber. http://www.dpi.qld.gov.au/26_5491.htm. Diunduh pada 29 September 2011.
Bollmann, 1977. Manual for Technical Drying of Timber. Ludwig Bolmann Kg.
Maschinenfabrik. Rielasingen. West Germany.
Gorisek, Z. dan Straze A., 2007. Influence of wood Drying Technique and Process Condition
on Drying Quality of Beech Wood (Fagus silvatica L). Conference on Quality Control
For Competitivenes of Wood Industries. Warsaw, 15 17 Oktober 2010. sumber
http://www.coste53.net/downloads/Warsaw/Warsaw-presentation/COSTE53-
ConferenceWarsaw-Presentation-Gorisek.pdf. Diunduh pada 13 September 2010
Martawijaya, S., Kartasujana, I., Kadir, K., Suwanda A.P., 1981. Atlas Kayu Indonesia. Jilid I.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Direktur Jenderal Kehutanan.
Bogor.
Rasmussen EF. 1961. Dry Kiln, Operators Manual. U.S. Department of Agriculture
Handbook, 188.
Suranto, Y. 2006. Buku Ajar Pengeringan Kayu. Jurusan Teknologi Hasil Hutan, Fakultas
Kehutanan, Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Terazawa S. 1965. An Easy Method for the Determination of Wood Drying Schedule. Wood
Industry Japan.
942
BIDANG F
ILMU KEHUTANAN
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
ABSTRAK
Kata kunci : Bibit trembesi (Samanea saman), Colletotrichum sp., persentase serangan
PENDAHULUAN
944
ILMU KEHUTANAN
Metode
Pengamatan dan pengukuran tingkat penyakit tanaman serta keberadaan patogen
merupakan hal yang sangat mendasar dalam mempelajari kehilangan hasil, peramalan dan
sistem pengendaliannya (Sinaga, 2009; Meliala, 2009). Perkembangan penyakit biasanya
diukur dengan kejadian penyakit (diseases incidance) dan intensitas penyakit (diseases
severity). Sehubungan dengan terjadinya serangan penyakit pada bibit trembesi maka
dilakukan pengukuran persentase kejadian penyakit. yaitu proporsi bibit yang terserang
penyakit dalam suatu populasi tanpa memperhitungkan berat atau ringannya tingkat
serangan. Rumus yang digunakan sebagai berikut :
n
P u100%
N
Keterangan: P: kejadian penyakit (%); n: jumlah bibit yang diserang penyakit; N: total bibit
yang diamati.
Gejala Penyakit
Gejala penyakit bercak daun pada bibit trermbesi diawali dengan munculnya bercak-
bercak berwarna coklat muda pada tepi daun dengan bentuk tidak beraturan. Ada pula
bercak berwarna keperakan seperti tersiram air panas (lodoh/busuk kebasahan). Kedua
bentuk bercak tersebut sangat cepat melebar menyebabkan daun mengkerut, bagian ujung
mati dan pada bagian pucuk bibit menunjukkan gejala mati pucuk (die back). Dalam waktu
yang relatif cepat bibit mati total mengering.
Persentase Serangan
Persentase serangan penyakit atau disebut pula kejadian penyakit adalah proporsi
tanaman yang terserang penyakit dalam suatu populasi tanaman, tanpa menghitung berat
atau ringannya tingkat serangan. Hasil pengamatan dan penghitungan terhadap persentase
serangan penyakit daun pada bibit trermbesi di persemaian BPHPS Kuok dapat dilihat di
bawah ini.
945
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Tabel 1. Persentase serangan penyakit daun bibit trermbesi di persemaian BPHPS Kuok.
946
ILMU KEHUTANAN
dalam kelas khusus yaitu Deuteromycetes atau fungi imperfect (jamur tak sempurna). Hasil
identifikasi dan deskripsi dengan pustaka dari Alexopoulos and Mims (1979), Barnett and
Hunter (2006), Dwidjoseputro (1978) dan Streets (1980), fungi penyebab penyakit bercak
daun pada bibit trembesi adalah dari genus Colletotrichum. Secara lengkap klasifikasi fungi
patogen bercak daun pada bibit trembesi menurut Alexopoulos dan Mims (1979) adalah
sebagai berikut :
Divisio : Amastigomycota
Subdivisio : Deuteromycotina
Kelas : Deuteromycetes
Subkkelas : Coelomycetidae
Ordo : Melanconiales
Famili : Melanconiaceae
Genus : Colletotrichum
Konidia biasanya membentuk satu atau dua tabung kecambah atau lebih. Bila
tabung kecambah mengenai permukaan benda padat maka terbentuklah apresorium
berwarna gelap/hitam dan lengket. Colletotricum sp. umumnya masuk ke dalam tanaman
inang melalui lubang alami (stomata), melalui luka dan penetrasi langsung pada kutikula.
Penyakit antraknosa yang disebabkan oleh Colletotrichum sp menyerang berbagai bagian
dari tanaman seperti buah, batang dan daun, menyerang tanaman pada berbagai umur
mulai dari pembibitan yang terbawa benih sampai tanaman di lapangan. Colletotrichum sp.
merupakan patogen akar yang dapat bertahan hidup tanpa adanya tanaman inang, dengan
cara hidup sebagai saprofit pada jaringan mati dengan membentuk struktur istirahat dan
pada fase parasitik menginfeksi gulam atau tanaman inang. Selama hidup secara saprofitik,
mengkolonisasi substrat organik, atau hidup secara parasitik pada akar tanaman dengan
tidak memperlihatkan gejala sakit (Garrett, 1970).
Penyakit antraknosa dilaporkan menyerang berbagai tanaman pertanian seperti
cabe, alpukat, jeruk, kacang kedelai, strawberi, pepaya, mangga dll. (Agrios, 2005);
menyerang tanaman perkebunan seperti kopi dan karet (Agrios, 2005; Semangun, 2000);
Tanaman kehutanan seperti Acacia spp. (Old et al, 2000), jabon, pulai, tembesu, jati,
cendana, tanjung (Anggraeni, 2008). Pada tanaman kehutanan penyakit bercak
Colletotrichum ini belum dirasakan kerugiannya, tapi pada tanaman karet penyakit ini sangat
mengganggu. Penyakit ini menyebabkan gugur daun karet dan akan menurunkan produksi
getah karet. Penyakit gugur daun Colletotrichum dapat merupakan masalah berat, baik pada
tanaman di pembibitan dan tanaman muda di lapangan maupun tanaman.
KESIMPULAN
Trembesi merupakan tanaman multi guna antara lain sebagai tanaman peneduh,
tanaman hias, dan mampu menyerap karbon, sehingga usaha pengembangannya perlu
dilakukan.
Penyakit bercak daun yang disebabkan oleh Colletotrichum sp dapat menyerang
tanaman di tingkat bibit di persemaian maupun tanaman dewasa di lapang sehingga perlu
diwaspadai apabila telah timbul gejala serangannya.
Hasil identifikasi menunjukkan bahwa penyakit bercak daun pada bibit trembesi
disebabkan oleh fungi patogen Colletotrichum sp. dengan persentase serangan mulai dari
22,22 % sampai dengan 70,37 %.
947
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
DAFTAR PUSTAKA
Agrios, G.N. 2005. Plant Pathology. 5th eds. Elsevier Academic Press. USA.
Alexopoulos, C.J. dan C.W. Mims. 1979. Introductory Mycology. John Wiley & Sons.
Anggraeni, I. 2008. Identifikasi mikroskopis penyakit bercak daun jabon, pulai, tembesu, jati,
cendana dan tanjung. Tidak dipublikasikan.
Barnett, H.L. and B.B. Hunter (2006). Illustrated Genera of Imperfect Fungi. Fourth edition.
The American Phytopathology Society St. Paul, Minnesota. USA.
Dwidjoseputro. D. 1978. Pengantar Mikologi. Penerbit Alumni. Bandung.
Garrett, S.D. 1970. Pathogenic Root-infecting Fungi, Cambridge at University Press.
Cambridge.
Meliala, C. 2009. Pengantar ilmu penyakit tumbuhan. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta.
Nuroniah dan Kosasih. 2010. Mengenal jenis trembesi (Samanea saman (Jacquin) Merrill)
sebagai pohon pelindung. Mitra Hutan tanaman Vo. 5 No. 1, April 2010. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman. Bogor.
Old, KM., Lee SS., JK. Sharma dan ZQ. Yuan. 2000. A Manual of diseases of tropical
acacias in Australia, South-East Asia and India. CIFOR. Jakarta.
Semangun H. 2000. Penyakit-penyakit tanaman perkebunan di Indonesia. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta.
Sinaga, M. 2009. Dasar-dasar penyakit tumbuhan. Penerbit Swadaya. Jakarta.
Streets, R.B. 1980. Diagnosis Penyakit Tanaman (Terjemahan : Imam Santoso) The
University of Arizona Press. Tuscon Arizona. USA
948
ILMU KEHUTANAN
ABSTRAK
Dengan adanya pemanfaatan sumber daya hutan yang tidak memperhatikan asas
kelestarian, telah mengakibatkan terjadinya kerusakan hutan yang cukup parah. Hal ini juga
berimbas pada menurunnya populasi eboni (Diospyros celebica Bakh.) di alam. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Produktivitas Hutan Bogor telah melakukan uji coba
penanaman eboni di Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Cikampek-
Karawang, Jawa Barat sejak tahun 2005. Dalam pertumbuhan dan perkembangannya
ternyata tanaman eboni di KHDTK Cikampek tersebut terserang penyakit bercak daun.
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui jenis penyebab penyakit bercak daun pada eboni
dan ekobiologi penyebab penyakitnya. Penelitian lapangan dilaksanakan pada bulan Maret
sampai dengan April 2011. di KHDTK Cikampek-Karawang, Jawa Barat. Setelah penelitian
di lapangan kemudian penelitian di lanjutkan di laboratorium penyakit, Kelompok Peneliti
Perlindungan Hutan, Pusat Penelitian dan Pengembangan Peningkatan Produktivitas Hutan
Bogor. Hasil pengamatan serta penghitungan persentase serangan penyakit bercak daun
pada eboni mencapai 78,89 % dengan intensitas serangan ringan mencapai 40%, sedang
mencapai 17,78%, berat mencapai 16,11%, dan sangat berat (mati) mencapai 5%. Hasil
identifikasi di laboratorium menunjukkan bahwa penyakit bercak daun pada eboni
disebabkan oleh fungi Lasiodiplodia sp. dan Pestalotia sp.
Kata kunci : Eboni (Diospyros celebica Bakh.), KHDTK Cikampek, penyakit bercak daun,
Lasiodiplodia sp. dan Pestalotia sp.
PENDAHULUAN
949
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Dengan latar belakang tersebut di atas maka Pusat Penelitian dan Pengembangan
Produktivitas Hutan Bogor telah melakukan uji coba penanaman eboni di Kawasan Hutan
Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Cikampek sejak tahun 2005. Dalam pertumbuhan dan
perkembangannya ternyata tanaman eboni di KHDTK Cikampek tersebut terserang penyakit
daun. Status penyakit daun pada tanaman hutan khususnya eboni pada saat yang lalu
masih relatif tidak membahayakan dan belum mendapat perhatian karena kerugian yang
ditimbulkannyapun masih relatif rendah. Akan tetapi hal ini akan menjadi bumerang apabila
serangan penyakit bercak daun terus dibiarkan karena tanaman eboni yang terserang
bercak daun akan menjadi sumber inokulum pada tanaman yang lain. Oleh karena itu perlu
mendapat penanganan dengan cara melakukan pengendalian. FAO pada tahun 1977 dalam
Djafaruddin (2000) mengemukakan urutan langkah yang sebaiknya ditempuh dalam
mengaplikasikan suatu konsep pengendalian penyakit tanaman, yaitu : (1) identifikasi
penyakit, termasuk didalamnya tentang ekobiologinya, (2) beri batasan tentang unit
agroekosistem, (3) susun strategi pengelolaannya, (4) tetapkan ambang kerusakan
ekonominya, (5) kembangkan teknik monitoring, (6) kembangkan model-model yang bersifat
deskriptif dan meramalkan, dimana biayanya dapat dipertanggung jawabkan. Dengan
mengadob 5 poin tersebut di atas maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis
penyebab penyakit bercak daun pada eboni dan ekobiologi penyebab penyakitnya.
Metode Penelitian
950
ILMU KEHUTANAN
Keterangan:
I : Indeks Penyakit
i : Nilai skor untuk pengamatan per individu pohon dengan kriteria gejala serangan yang
bersangkutan
ni : Jumlah pohon untuk pengamatan per individu pohon dengan kriteria gejala serangan
yang bersangkutan
N : Jumlah pohon
K : Nilai skor tertinggi
0 0 sehat
1 1 20 ringan
2 21 - 40 sedang
3 41 60 berat
4 61 - 80 sangat berat
5 > 81 mati
951
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Tabel 2. Persentase dan intensitas serangan penyakit bercak daun pada eboni
1. - 3 1 6 -
2. - 3 7 - -
3. - 5 2 3 -
4. - 3 2 5 -
5. - 8 - 1 1
6. - 8 1 - 1
7. 5 4 1 - -
8. 7 2 1 - -
9. 8 1 - 1 1
10. 4 5 - 1 -
11. 4 2 1 3 -
12. 3 5 1 - 1
13. 5 4 1 - -
14. 2 3 2 1 2
15. - 3 2 4 1
16. - 5 1 2 2
17. 5 4 1 -
18. - 3 5 1 1
pohon 38 72 32 29 9
Diagnostik yang dilakukan di lapangan umumnya masih bersifat kasar, pada tahapan
ini gejala dan tanda penyakit digunakan sebagai pedoman. Gejala yang dapat digunakan
sebagai pedoman antara lain kenampakan warna daun, bentuk bercak, ada tidaknya
jaringan yang rusak. Sedangkan tanda penyakit antara lain miselium (hifa), spora, tubuh
buah, jelaga, lendir dan lain-lain yang dapat dilihat di bawah mikroskop (Meliala, 2009;
Sinaga, 2009). Diagnosis yang cepat dan tepat dari penyakit yang menyerang tanaman
sangat penting sebelum dilakukan suatu tindakan pengendalian. Dalam beberapa hal jenis
penyakit tanaman dapat mudah diidentifikasi dengan cara pengamatan gejala dan tanda
pada tanaman tersebut atau dibantu dengan pengamatan mikroskopis dengan membuat
preparat dari bagian tanaman yang sakit secara langsung. Tetapi adapula jenis penyebab
penyakit yang tidak langsung teridentifikasi, untuk hal ini diperlukan beberapa perlakuan
seperti isolasi patogen pada media buatan hingga diperoleh biakan murni. Postulat Koch
merupakan tahapan yang sangat penting dalam proses identifikasi patogen untuk
mengetahui bahwa patogen tersebut benar-benar merupakan penyebab utama timbulnya
penyakit.
Dari hasil pengamatan di lapangan terlihat bahwa gejala serangan bercak daun ada
dua tipe bentuk bercak akan tetapi serangan bercak daun semuanya dimulai dari daun tua
(dari bawah). Bercak daun tipe kesatu membentuk pola bercak dari ujung daun menuju ke
tengah daun dengan pola bercak melebar, seluruh bercak menutupi daun yang diserang,
bercak berwarna coklat dengan batas yang jelas (Gambar 1). Bercak daun tipe kedua
membentuk pola bercak dimulai dari tepi daun, dimana bagian tengah bercak berwarna lebih
952
ILMU KEHUTANAN
muda yaitu coklat yang disekelilingnya berwarna lebih tua yaitu coklat tua. Bercak seolah-
olah mempunyai zona lingkaran tetapi bentuk bercak tidak beraturan sampai bulat (Gambar
2). Apabila serangan penyakit bercak daun berlanjut akan mengakibatkan daun eboni gugur
sebelum waktunya, terkadang keseluruhan daun gugur, yang akhirnya batang meranggas
kering.
Hasil isolasi menunjukkan bahwa penyakit bercak daun disebabkan oleh fungi
patogen. Kedua fungi diidentifikasi dengan pengamatan sifat-sifat mikroskopis (hifa, tubuh
buah dan konidia) dan makroskopis (gejala penyakit dan tanda penyakit di lapangan). Hasil
pengamatan secara mikroskopis dibandingkannya dengan kunci identifikasi atau yang
dideskripsikan dengan pustaka (Alexopoulos dan Mims, 1979; Barnett dan Hunter 2006;
Dwidjoseputro, 1978 dan Streets, 1980) menunjukkan bahwa penyebab penyakit bercak
daun pada eboni dengan tipe bercak kesatu adalah fungi Lasiodiplodia sp., sedangkan
penyakit bercak daun dengan tipe bercak kedua adalah fungi Pestalotia sp. masing-masing
fungi dapat dikenali dengan kekhasan bentuk konidianya.
Lasiodiplodia sp. masuk dalam kelas Deuteromycetes (Imperfect fungi) (Alexopoulos
dan Mims, 1979). Bila dibiakan pada media PDA menunjukkan pertumbuhan hifa berwarna
putih seperti kapas. Setelah biakan berumur 4 hari warna koloni menjadi abu-abu muda,
selanjutnya koloni berwarna abu-abu tua agak kehitam-hitaman. Pengamatan di bawah
mikroskop hifa berwarna kecoklatan berseptat dengan percabangan sederhana. Bila
keadaan tidak menguntungkan bagi perkembangan hidupnya, fungi membentuk
klamidospora. Sporanya dihasilkan dalam piknidia dengan jumlah banyak yang disebut
piknidiospora. Piknidiospora berbentuk elip, berdinding tebal, warna hialin yang kemudian
berubah menjadi coklat tua dengan satu sekat (Gambar 3).
Pestalotia sp. masuk dalam kelas Deuteromycetes (Dwidjoseputro, 1978;
Alexopoulos dan Mims, 1979). Koloni Pestalotia sp. berwarna putih seperti kapas bila
dibiakkan dalam media PDA, umur 7 hari seluruh cawan petri sudah dipenuhi koloni yang
semakin menebal dan membentuk zonasi. Pada permukaan koloni tumbuh struktur bulat
kecil berwarna hitam mengkilat yang merupakan kumpulan konidia dalam tubuh buah.
Pengamatan di bawah mikroskop hifa berseptat, hialin, mempunyai tubuh buah yang disebut
aservuli, dalam aservuli inilah terdapat konidia yang bentuknya sangat khas. Konidia terdiri
dari lima sel, dengan karakteristik tiga sel bagian tengah konidia berwarna gelap dan dua sel
ujung hialin, konidia berbentuk lonjong agak meruncing pada kedua ujungnya. Salah satu
ujung konidia terdapat tiga atau lebih tonjolan pucuk (appendage) atau seperti bulu cambuk
(Gambar 4).
Serangan fungi Lasiodiplodia sp. dan Pestalotia sp. menyebabkan bercak daun akan
mengganggu proses fotosintesa, karena daerah yang mati (nekrosis) yang berupa bercak
yang makin lama makin melebar, serta klorosis di sekitar bercak. Secara fisiologi daun
merupakan organ tumbuhan yang mempunyai peranan penting dalam memproduksi bahan
makanan (fotosintesa), fotosintesa adalah proses pembuatan gula dari karbondioksida
(CO2) dan air (H2O) dengan bantuan klorofil dan cahaya matahari sebagai sumber
energinya. Di dalam daun terdapat jaringan parenkhim di sebelah bawah epidermis yang
terdiri dari jaringan palisade (jaringan pagar) yang banyak mengandung klorofil dan jaringan
spons (jaringan bunga karang) juga mengandung klorofil tetapi lebih sedikit dibandingkan
jaringan palisade. Pada bagian inilah proses fotosintesa berlangsung. Menurunnya fisiologi
tanaman dan berkurangnya luasan total pada daun yang mengandung kloroplas akibat
serangan penyakit bercak daun dapat menghambat dan mengurangi hasil fotosintesa dan
selanjutnya akan menghambat pertumbuhan (Agrios, 2005).
953
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
B
A
954
ILMU KEHUTANAN
KESIMPULAN
1. Fungi penyebab penyakit bercak daun pada eboni di KHDTK Cikampek adalah
Lasiodiplodia sp., dan Pestalotia sp. fungi tersebut masuk dalam kelas Deuteromycetes
(fungi imperfect/fungi tidak sempurna).
2. Persentase serangan kedua fungi tersebut mulai dari ringan (40% ) sampai dengan
sangat berat/mati (5%).
3. Fungi menginfeksi tubuh inang dapat melalui lubang alami (stomata) dan melalui luka.
Fungi menginvasi jaringan pagar dan jaringan bunga karang yang mengandung klorofil,
tempat terjadinya proses fotosintesa yang menghasilkan glukosa yang selanjutnya
glukosa ini digunakan oleh patogen sebagai nutrisi untuk aktivitas metabolismenya.
DAFTAR PUSTAKA
Alexopoulos, C.J. and C.W. Mims. 1979. Introductory Mycology. John Wiley & Sons.
Agrios, G.N. 2005. Plant Pathology. 5th eds. Elsevier Academic Press. USA.
Barnett, H.L. and .B. Hunter. 2006. Illustrated Genera of Imperfect Fungi. Fourth edistion.
APS Press. The American Phytopathological Society. St. Paul, Minnesota.
Dwidjoseputro, D. 1978. Pengantar Mikologi. Penerbit Alumni. Bandung.
Meliala, C, 2009. Pengantar Ilmu Penyakit Tumbuhan. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta.
Sinaga, M.S. 2009. Dasar-dasar Ilmu Penyakit Tumbuhan. Penebar Swadaya. Jakarta.
Streets, R.B. 1980. Diagnosis penyakit tanaman (Terjemahan : Imam Santoso) The
University of Arizona Press. Tuscon Arizona. USA.
955
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
ABSTRACT
PENDAHULUAN
956
ILMU KEHUTANAN
METODE
Penelitian dilakukan di hutan pendidikan KRUS yang secara geografis terletak di antara 00
25 10 - 00 25 24 LS dan 1170 14 00 - 1170 14 14 BT. Luas keseluruhan kawasan hutan
300 ha dan berdasarkan konsep pengembangan kawasan dibagi ke dalam 3 zona, yaitu
Zona Pengayaan Hayati (Koleksi/Arboretum) seluas 100 ha, Zona Konservasi seluas 135
ha, dan Zona Rekreasi seluas 65 ha (Anonim, 2010).
Penelitian ini dilaksanakan pada pertengahan bulan Januari September 2009. Plot
penelitian dibuat dengan metode Purposive Sampling, di mana plot penelitian dipilih dan
ditentukan pada daerah-daerah yang terdapat vegetasi Kayu Bawang. Terhadap 25 pohon
Kayu Bawang dengan pohon sebagai titik penting, masing-masing dibuat kwadran. Dalam
setiap kwadran dibuat plot berukuran (10 x 10) m untuk pengukuran vegetasi tingkat pohon,
kemudian plot berukuran (5 x 5) m untuk pengukuran vegetasi tingkat pancang dan (1 x 1) m
untuk pengukuran vegetasi tingkat semai dengan jumlah keseluruhan masing-masing plot
(10 x 10) m, (5 x 5) m dan (1 x 1) m adalah 100 plot.
Komposisi Jenis
Dalam setiap tingkatan pertumbuhan ada beberapa jenis yang sama. Misalkan jenis
Actinodaphne sp. dan Aporusa nitida Merr. Selanjutnya tersaji pada Tabel 1 berikut ini.
957
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Jumlah Individu
No Nama Jenis
Pohon Pancang Semai
1 Moultonianthus leembruggianus (Boerl. & Koord.) Steen. 2 1
2 Actinodaphne sp. 1 3 2
3 Alstonia scholaris (L) R. Br. 3 3
4 Anaxagorea scortechhinii King. 1
5 Neolamarckia cadamba (Roxb.) Bosser 1 4 2
6 Aporusa nitida Merr. 2 2 1
7 Aquilaria malaccensis Lam. 2 17 2
8 Archidendron sp. 1 2
9 Artocarpus sp. 1 1
10 Blumeodendron sp. 1 1
11 Blumeodendron tokbrai (Bl.) Kurz 2 6 7
12 Cananga odorata (Lamk.) Hook. f. & Thomas. 3
13 Cassia sp. 1 1 1
14 Citrus sp. 3 2
15 Cratoxylum sp 1
16 Cratoxylum sumatranum (Jack) Blume. 5 1
17 Dillenia reticulata King 1
18 Dillenia sp. 1 3
19 Diospyros laevigata Bakh. 3 2 3
20 Dipterocarpus elongatus Korth. 1 1
21 Durio zibethinus Murr 1 2
22 Dyospiros borneensis Heirn. 1
23 Eugenia sp. 5 11
24 Melicope glabra (Blume) T.G. Hartley 2 12 7
25 Eusideroxylon zwageri. Teijsm & Binnud 13 20 5
26 Ficus lanalata Bl. 1 4
27 Ficus sp. 8 27 23
28 Gmelina sp. 1
29 Hibiscus tiliaceus L 2
30 Homalanthus populnes (Geiseler) Pax. 2
31 Knema sp. 2 3
32 Koordersiodendron pinnatum (Blco.) Merr 1
33 Leea indica (Burn. F.) Merr. 2
34 Litsea sp. 2 7 14
35 Macaranga gigantea Muell. Arg. 29 43 8
958
ILMU KEHUTANAN
Lanjutan Tabel 1.
Jumlah Individu
No Nama Jenis
Pohon Pancang Semai
36 Macaranga triloba (BL.) Muell. Arg. 1
37 Magnolia sp. 1
38 Mallotus echinatus Elmer 1
39 Mallotus paniculatus Muell. Arg. 1 12 1
40 Mallotus penangensis Muell. Arg. 2 7 1
41 Mallotus sp. 3
42 Mangifera sp. 1
43 Melicope sp. 1 1
44 Millettia sericea (Vent.) Benth. 17 2
45 Myristica sp. 4 3
46 Nauclea officinalis Merr & Chun 1
47 Nephelium sp. 1 2 1
48 Ochanostachys amentacea Mast. 1 2 24
49 Palaquium sp. 1
50 Parkia sp. 1
51 Peronema canescens Jack. 5
52 Ptenandra sp. 1 5 4
53 Pterocarpus sp. 1
54 Rhodamnia cinerea Jack. 1
55 Santiria apiculata Benn. 6 2
56 Sarcotheca diversifolia (Miq.) Hall. f. 4
57 Schima wallichii Korth. 1 2 2
58 Shorea smithiana Sym. 1 2 1
59 Shorea sp. 1 3 1
60 Tabernaemontana sp. 1
61 Vernonia aborea Ham. 3 6 7
62 Vitex festiva Wall. 1 1
63 Zyzygium sp. 1
Jumlah 88 274 156
Berdasarkan pengamatan di lapangan, tidak terlalu banyak jenis yang ditemukan dan
jumlah individu pun tidak terlalu banyak. Baik pada tingkat pohon, pancang, maupun semai.
Pada tingkat pohon ditemukan 32 jenis dengan jumlah individu sebanyak 88 pohon. Pada
tingkat pancang ditemukan 54 jenis dengan 274 jumlah individu. Sedangkan pada tingkat
semai ditemukan 37 jenis dengan jumlah individu sebanyak 156 individu.
959
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Dari tabel diatas terlihat bahwa Indeks Keanekaragaman Jenis (H) pada tingkat
pancang mempunyai nilai yang paling tinggi dibandingkan dengan tingkat pohon dan semai.
Keanekaragaman jenis dapat ditentukan oleh adanya kekayaan jenis yaitu jumlah jenis yang
ada dan jumlah individu seluruhnya, selain itu ditentukan pula oleh kemerataan jenis yang
merupakan pendistribusian individu individu yang merata.
Dari Tabel 3 terlihat bahwa yang memiliki nilai NPJ terbesar adalah jenis Macaranga
gigantea dengan nilai sebesar 55,59 % dan jumlah kehadirannya adalah sebanyak 29
individu. Pada tingkat pancang didapatkan nilai NPJ yang telah tersaji pada Tabel 4.
Dari Tabel 4 terlihat bahwa yang memiliki nilai NPJ terbesar adalah jenis Macaranga
gigantea dengan nilai sebesar 31,84 % dengan jumlah kehadirannya adalah sebanyak 43
individu.
960
ILMU KEHUTANAN
Pada tingkat semai seperti tertera pada tabel diatas bahwa jenis yang memiliki nilai
SDR paling besar adalah jenis Ficus sp. dengan nilai 88,670 dengan jumlah kehadiran 23
individu.
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
961
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
ABSTRAK
Penelitian untuk mendapatkan data dan informasi ilmiah tentang jenis-jenis pohon
dan potensinya di kawasan hutan Cagar Alam Koorders, Panjalu, Ciamis, Jawa Barat,
merupakan salah satu aspek penting untuk menunjang upaya konservasi. Lokasi penelitian
CA Koorders terletak pada koordinat 70 07663 - 70 07 834 LS dan 1080 16160 - 1080
16217 BT, dengan ketinggian 734 - 774 meter dpl. Pengumpulan data dilakukan pada
bulan Agustus 2009, dengan metode pembuatan empat jalur coba (transect) berukuran 20
m x 400 m memotong garis kontur yang diletakkan secara sistematis dengan jarak antara
jalur 100 m. Pada jalur coba dibuat petak-petak coba besar berukuran 20 x 20 m2 (untuk
pengamatan tingkat pohon), di dalam petak coba besar dibuat sub petak berukuran 20 x 5
m2 (untuk pengamatan tingkat belta) dan di dalam sub petak dibuat petak kecil berukuran 2 x
2 m2 untuk tingkat anakan. Data yang diperoleh dianalisis untuk menentukan Indeks Nilai
Penting (INP) dan identifikasi untuk mendapatkan ketepatan nama ilmiah. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa kawasan hutan Cagar Alam Koorders terdapat 44 jenis, 38 marga, 28
suku, dengan jenis pohon yang mendominasi ialah Picrasma javanica Blume (INP 40.19%),
Fissistigma latifolium Merr. (INP 40.02%), Syzygium grande (Wight) Wight ex Walp. (INP
34.63%). Jenis yang memiliki potensi rendah dan terancam punah berjumlah 23 jenis, antara
lain Syzygium grande (Wight) Wight ex Walp., Myristica iners Blume, Linociera ramiflora
(Roxb.) Wall. ex G. Don. Dalam hal menyelamatkan keragaman jenis pohon di Cagar Alam
Koorders khususnya jenis terancam punah, perlu adanya peningkatan upaya perlindungan
terhadap populasinya.
PENDAHULUAN
Keanekaragaman jenis tumbuhan dalam kawasan hutan Indonesia, pada saat ini
diprediksi sedang menuju pada kerusakan habitat dengan tingkat kerusakan 2,8 juta ha
hutan per tahun, dan besarnya kepunahan berkisar antara 2,9 sampai 12 jenis tumbuhan
endemik setiap 100 km2 (Sudarmono,2006). International of Union for the Conservation of
Nature (2006) dalam summary IUCN red list telah mengevaluasi 8,390 jenis tumbuhan
terancam punah dalam 9 kategori. Heriyanto dan Subandiono (2003), menyebutkan bahwa
sebagian jenis tumbuhan dalam red list summary report memiliki daerah persebaran di
Indonesia dan beberapa jenis diantaranya berhabitus pohon.
Pulau Jawa termasuk salah satu daerah persebaran jenis-jenis pohon dengan
kerusakan habitat relatif cepat. Perkembangan pembukaan lahan untuk berbagai
kepentingan cenderung lebih cepat daripada pertumbuhan pohon itu sendiri. Hal ini dapat
mengakibatkan jenis-jenis pohon di Jawa menjadi langka atau terancam punah. Pemerintah
melalui Kementerian Kehutanan telah berupaya melindungi keanekaragaman jenis
tumbuhan beserta seluruh komponen ekosistemnya dengan menetapkan kawasan cagar
alam. Salah satu kawasan cagar alam tertua di Indonesia dengan tingkat kerusakan akibat
pembukaan lahan relatif sangat rendah adalah Cagar Alam Koorders di Ciamis Jawa Barat.
Kondisi demikian tidak menutup kemungkinan bahwa keberadaan keanekaragaman jenis
962
ILMU KEHUTANAN
pohon dalam kawasan tetap terjaga kelestariannya. Suatu jenis pohon dapat terancam
punah antara lain karena faktor alami.
Oleh karena itu dipandang perlu melakukan penelitian untuk mendapatkan data dan
informasi ilmiah tentang keanekaragaman dan potensi jenis pohon di kawasan Cagar Alam
Koorders. Ketersediaan data dan informasi merupakan salah satu aspek penting dan
diperlukan dalam menunjang upaya konservasi keanekaragaman jenis pohon khususnya
jenis terancam punah.
Lokasi Penelitian
Penelitian dilaksanakan di kawasan hutan Cagar Alam Koorders pada bulan Agustus
2009. Berdasarkan administrasi pemerintahan, Cagar Alam Koorders termasuk dalam
wilayah Desa Panjalu, Kecamatan Panjalu, Kabupaten Ciamis, Propinsi Jawa Barat. Menurut
pembagian wilayah administrasi Kehutanan, CA Koorders termasuk dalam wilayah Resort
Konservasi Wilayah Panjalu, Seksi Konservasi Wilayah V Garut, Bidang Konservasi Sumber
Daya Alam Wilayah III, Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Barat. Lokasi
penelitian terletak pada koordinat 70 07663 - 70 07 834 LS dan 1080 16160 - 1080 16217
BT, dengan keadaan lapangan secara umum datar, ketinggian 734 - 774 meter dpl.,
topografi bukit dan bergelombang ringan, jenis tanah Latosol coklat (Lembaga Penelitian
Tanah, 1966). Berdasarkan klasifikasi iklim Schimdt & Ferguson (1951) termasuk dalam tipe
curah hujan B, dengan curah hujan 3.195 mm per tahun. Suhu rata-rata 190-320 Celsius.
Prosedur Kerja
Pengumpulan data dalam pelaksanaan penelitian dibedakan menjadi dua, yaitu
pengumpulan data sekunder dan data primer. Pengumpulan data sekunder melalui studi
pustaka untuk mendapatkan informasi tentang lokasi persebaran alami jenis-jenis pohon
yang terancam punah. Mencari informasi, pustaka dan konsultasi tentang keadaan lokasi
penelitian dengan Balai Konservasi Sumber Daya Alam Provinsi/ Kabupaten, instansi terkait
dan konsultasi informal dengan masyarakat sekitar kawasan hutan.
Data primer dikumpulkan di lokasi peneltian, dengan pembuatan jalur coba (transect)
memotong garis kontur, ukuran dan jumlah jalur coba disesuaikan kondisi vegetasi yang
ada. Jalur coba berukuran 20 m x 1000 m berjumlah lima jalur, jarak antar jalur 100 m, luas
CA Koorders 16 ha dengan intensitas sampling adalah 63 persen. Pada jalur coba dibuat
petak-petak coba besar berukuran 20 x 20 m2 (untuk pengamatan tingkat pohon), di dalam
petak coba besar dibuat sub petak berukuran 20 x 5 m2 (untuk pengamatan tingkat belta)
dan di dalam sub petak dibuat petak kecil berukuran 2 x 2 m untuk tingkat anakan (semai).
Pengukuran tinggi dan diameter untuk pohon, sedangkan untuk belta dan anakan dihitung
jenis dan jumlahnya. Batasan kriteria ukuran pohon adalah memiliki diameter batang lebih
besar dari 10 cm, belta dengan diameter > 2 cm < 10 cm, anakan atau semai dengan
diameter batang < 2 cm (Kartawinata et al. 1976). Pada petak-petak coba tempat tumbuh
jenis pohon terancam punah dicatat koordinatnya. Jenis pohon dan permudaannya dalam
petak-petak pengamatan diambil sampel herbariumnya, sebagai bahan identifikasi
mendapatkan ketepatan nama ilmiah dan keanekaragaman jenis.
Untuk mengetahui potensi jenis-jenis pohon terancam punah, dianalisis dengan
pendekatan menentukan Indeks Nilai Penting (INP) melalui analisis kerapatan, frekuensi dan
dominasi menggunakan persamaan Kartawinata et al. (1976) sebagai berikut :
963
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Indeks Nilai Penting (%) = Kerapatan Relatif (%) + Dominansi Relatif (%) + Frekuensi Relatif
(%).
Keanekaragaman jenis pohon di Cagar Alam Koorders relatif cukup bervariasi. Hasil
identifikasi jenis pohon di lokasi penelitian tercatat sejumlah 44 jenis terdiri dari 38 marga
dan 28 suku. Hasil analisis vegetasi menunjukkan bahwa tiga jenis pohon mendominasi
lokasi penelitian berdasarkan indeks nilai penting (INP) tertinggi yaitu Picrasma javanica
Blume (INP 40.19%), Fissistigma latifolium Merr. (INP 40.02%), Syzygium grande (Wight)
Wight ex Walp. (INP 34.63%). Enam jenis lainnya memiliki INP cukup tinggi secara berurutan
ialah Myristica iners Reinw. (27.92%), Euginia paucipunctata Koord. et Valet. (17.26%),
Dysoxylum ramiflorum Miq. (13.43%), Dysoxylum nutans Miq. (13.14%), Sterculia cordata
Blume (12,41%), Linociera ramiflora (Roxb.) Wall. ex G. Don.(11,35%). Potensi ke 44 jenis
pohon di lokasi penelitian yang dianalisis dengan Indeks nilai penting disajikan dalam Tabel
1.
964
ILMU KEHUTANAN
Tabel 1. Potensi jenis pohon di Cagar Alam Koorders berdasarkan Indek Nilai Penting
965
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Jenis pohon tingkat belta tercatat berjumlah 17 jenis, 14 marga, 11 suku, sembilan
jenis diantaranya memiliki INP berkisar antara 10,81% - 24,25%, dengan urutan tertinggi:
Syzygium grande (Wight) Wight ex Walp. (24,25%), Dysoxylum ramiflorum Miq. (23,29%),
Abarema clypearia (Jack.) Kosterm. (19,69%), Fissistigma latifolium Merr. (19,21%),
Dysoxylum nutans Miq. (13,21%), Actinodapne macrophylla Nees. (12,49), Picrasma
javanica Blume (12%), Litsea monopetala Pars. (11,28%), Helicia robusta R.Br. (10,81%).
Potensi jenis pohon tingkat belta disajikan dalam Tabel 2.
Jenis pohon tingkat semai tercatat berjumlah 18 jenis, 15 marga, 14 suku. Terdapat
tiga jenis dengan INP tertinggi ialah: Picrasma javanica Blume (21,50%), Fissistigma
latifolium Merr. ( 21,22%), Dysoxylum ramiflorum Miq. (19,43). Enam jenis lainnya memiliki
INP diatas 10 % adalah: Sterculia cordata Blume (17,43), Zizyphus celtidifolia Dc. (13,19%),
Litsea monopetala Pars. (12,84%), Litsea angulata Blume (11,87), Myristica iners Reinw.
(11,40), Glochidion molle Blume (10,77). Potensi jenis pohon tingkat semai disajikan dalam
Tabel 3.
966
ILMU KEHUTANAN
Potensi jenis pohon dalam kawasan CA Koorders berdasarkan indeks nilai penting
dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok, yaitu kelompok jenis pohon tanpa permudaan
alam (Tabel 4.) dan jenis pohon dengan permudaan alam (Tabel 5.). Dalam Tabel 4.
menunjukkan bahwa pada lokasi penelitian terdapat 23 jenis terdiri atas 23 marga, 16 suku
yang tidak diketemukan adanya permudaan alam. Tiga jenis diantaranya yaitu Syzygium
grande (Wight) Wight ex Walp. (Jambu monyet), Myristica iners Blume (Darah-darah) dan
Linociera ramiflora (Roxb.) Wall. ex G. Don (Huru putih) walaupun memiliki INP tingkat
pohon cukup tinggi, akan tetapi dalam plot pengamatan tidak diketemukan permudaannya.
Kondisi demikian antara lain disebabkan oleh penurunan kualitas habitat dengan adanya
populasi kelelawar dalam kawasan cagar alam yang semakin meningkat. Dengan tidak
diketemukan permudaannya, ke dua puluh tiga jenis pohon tersebut dikhawatirkan akan
mengalami resiko kepunahan di habitatnya apabila tidak ada upaya peningkatan
perlindungan terhadap populasinya. Atas dasar data yang diperoleh, ke dua puluh tiga jenis
pohon tersebut belum dapat dimasukkan kedalam kategori tumbuhan langka. Mogea et al.
(2001) menyebutkan bahwa cukup sulit untuk menentukan suatu takson termasuk kategori
langka, diperlukan kelengkapan data persebaran dan populasinya secara periodik sehingga
status kelangkaannya memadai.
967
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
INP (%)
No. Nama Jenis Nama lokal Suku
Pohon Belta Semai
1 2 3 4 5 6 7
1 Syzygium grande (Wight) Jambu Myrtaceae 34.63 0 0
Wight ex Walp. monyet
2 Myristica iners Blume Darah-darah Myristicaceae 27.92 0 0
3 Linociera ramiflora Huru Putih Oleacaceae 11.35 0 0
(Roxb.) Wall. ex G. Don
4 Ficus pubinervis Blume Kopeng Moraceae 3.07 0 0
5 Dysoxylum Ki haji Meliaceae 2.72 0 0
caulostachyum Miq.
6 Gossampinus Ciciat Bombacaceae 2.63 0 0
malabarica Merrill leuweng
7 Microcos tomentosa Sm. Hareho Tiliaceae 2.58 0 0
8 Hibiscus macrophyllus Tisuk Malvaceae 2.38 0 0
Roxb. ex Hornem.
9 Euginia lineata Duthie Rukem Myrtaceae 2.24 0 0
10 Micromelum minutum Ki maja Rutaceae 2.21 0 0
Wight et Arn.
11 Hypobattrum frutescens Bayur Rubiaceae 2.20 0 0
Blume
12 Elaeocarpus floribundus Ki Jeruk Elaeocarpaceae 1.88 0 0
Blume
13 Pentace polyantha Jaha Tiliaceae 1.45 0 0
Hassk.
14 Elmerillia celebica DandyManglid Magnoliaceae 1.36 0 0
15 Tarenna confusa Valeton Ki tanduk Rubiaceae 1.26 0 0
16 Randia sp. Huru Rubiaceae 1.21 0 0
Kacang
17 Mischocarpus sundaicus Ki pacar Sapindaceae 1.18 0 0
Blume
18 Villebrunea rubescens Nangsi Urticaceae 1.16 0 0
Blume
19 Nauclea orientalis Forst Gempol Rubiaceae 1.14 0 0
f.
20 Xanthophyllum excelsum Ki Tangkil Polygalaceae 1.14 0 0
Blume ex Miq.
21 Leea angulata Korth. ex Ki buaya Ampelidaceae 1.11 0 0
Miq.
22 Aglaia argentea Blume Ki Bodas Meliaceae 1.09 0 0
23 Prema tomentosa Kurz. Bungbulang Verbenaceae 1.09 0 0
Kelompok jenis pohon dengan permudaan alam, berjumlah 21 jenis terdiri atas 18
marga dan 18 suku. Enam jenis diantaranya memiliki INP tingkat pohon dan permudaan
cukup tinggi yaitu Picrasma javanica Blume (Huru batu ), Fissistigma latifolium Merrill. (Huru
kacang), Euginia paucipunctata Koord. et Valet. (Ki bima), Dysoxylum ramiflorum Miq. (Ki
haji), Dysoxylum nutans Miq. (Pisitan monyet), Sterculia cordata Blume (Cayur). Potensi
jenis pohon dan permudaannya berdasarkan Indek Nilai Penting disajikan dalam Tabel 5.
968
ILMU KEHUTANAN
INP (%)
No. Nama Jenis Nama lokal Suku
Pohon Belta Semai
1 2 3 4 5 6 7
1 Picrasma javanica Huru batu Simaroubaceae 40.19 12.00 21.50
Blume
2 Fissistigma latifolium Huru kacang Annonaceae 40.02 19.21 21.22
Merrill.
3 Euginia paucipunctata Ki bima Myrtaceae 17.26 6.48 0.00
Koord. et Valet.
4 Dysoxylum ramiflorum Ki haji Meliaceae 13.43 23.29 19.43
Miq.
5 Dysoxylum nutans Miq. Pisitan Meliaceae 13.14 13.21 10.14
monyet
6 Sterculia cordata Blume Cayur Sterculiaceae 12.41 0.00 17.43
7 Abarema clypearia Huru putih Fabaceae 8.11 19.69 5.56
(Jack.) Kosterm.
8 Dysoxylum alliaceum Kalapa ciung Meliaceae 7.31 3.60 6.25
Blume
9 Zizyphus celtidifolia Angrid Rhamnaceae 6.43 0.00 13.19
DC.
10 Talauma candollei Ki munding Magnoliaceae 4.27 5.76 10.55
Blume
11 Actinodapne Tangkalak Lauraceae 3.79 12.49 8.54
macrophylla Nees.
12 Canarium denticulatum Cayur Burseraceae 3.40 9.36 0.00
Blume
13 Artocarpus elasticus Teureup Moraceae 3.91 0.00 2.29
Reinw.ex Blume
14 Erythrina subumbrans Caruy cucuk Leguminosae 3.83 6.24 0.00
Merrill
15 Litsea angulata Blume Hamberung Lauraceae 3.56 5.28 11.87
16 Symplocos Pongporang Symplocaceae 2.77 9.36 0.00
cochinchinensis S.
Moore.
17 Glochidion molle Blume Ki huut Euphorbiaceae 2.38 4.08 10.77
18 Nephelium lappaceum Rambutan Sapindaceae 1.34 0 9.17
L.
19 Radermachera Ki pedali Bignoniaceae 1.24 0 3.90
gigantea (Blume) Miq.
20 Helicia robusta Vilar. Kokopian Protaceae 1.12 10.81 0
21 Litsea monopetala Huru kuning Lauraceae 1.11 11.28 12.84
Pers.
Dari Tabel 5 terlihat bahwa dari enam jenis pohon dengan INP permudaan relatif
tinggi, tiga jenis diantaranya yaitu P. javanica (Huru batu ), F. latifolium Merrill. (Huru
kacang), E. paucipunctata (Ki bima), diketahui memiliki INP permudaan yang lebih rendah
dari INP pohon induk. Kondisi demikian termasuk memiliki regenerasi yang tidak normal.
Beberapa jenis pohon memiliki INP permudaan lebih tinggi dari INP tingkat pohon
seperti pada jenis Abarema clypearia (Jack.) Kosterm. (Huru putih), Zizyphus celtidifolia DC.
(Angrid), Talauma candollei Blume (Ki munding), Actinodapne macrophylla Nees.
969
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Kesimpulan
1. Keanekaragam jenis pohon di Cagar Alam Koorders bervariasi, terdapat 44 jenis, 38
marga, 28 suku.
2. Potensi jenis pohon tertinggi dan dominan adalah huru batu (Picrasma javanica Blume)
dengan INP 40.19%, huru kacang (Fissistigma latifolium Merr.) dengan INP 40.02%,
jambu monyet (Syzygium grande (Wight) Wight ex Walp.) dengan INP 34.63%.
3. Jenis pohon tanpa permudaan dan diprediksi dapat terancam punah berjumlah 23 jenis,
yaitu: Syzygium grande (Wight) Wight ex Walp., Myristica iners Blume, Linociera
ramiflora (Roxb.) Wall. ex G. Don, Ficus pubinervis Blume, Dysoxylum caulostachyum
Miq., Dysoxylum caulostachyum Miq., Gossampinus malabarica Merrill, Microcos
tomentosa Sm., Hibiscus macrophyllus Roxb. ex Hornem., Euginia lineata Duthie,
Micromelum minutum Wight et Arn., Hypobattrum frutescens Blume, Hypobattrum
frutescens Blume, Elaeocarpus floribundus Blume, Pentace polyantha Hassk., Elmerillia
celebica Dandy, Tarenna confusa Valeton, Randia sp., Mischocarpus sundaicus Blume,
Villebrunea rubescens Blume, Nauclea orientalis Forst f., Xanthophyllum excelsum
Blume ex Miq., Leea angulata Korth. ex Miq., Aglaia argentea Blume, Prema tomentosa
Kurz.
Saran
Dalam hal menyelamatkan keanekaragaman jenis pohon terancam punah di Cagar
Alam Koorders, perlu adanya peningkatan upaya perlindungan terhadap populasinya seperti
jenis pohon jambu (Syzygium grande (Wight) Wight ex Walp), darah-darah (Myristica iners
Blume) dan sebagainya.
DAFTAR PUSTAKA
Heriyanto, N.M. dan Endro Subandiono, 2003. Status kelangkaan jenis pohon di kelompok
hutan Sungai Langkawi-Sungai Jengonoi, Sintang, Kalimantan Barat. Buletin Plasma
Nutfah, Vol.9, No.2:28-37.
Heriyanto, N.M. dan R. Garsetiasih, 2005. Kajian ekologi pohon burahol (Stelechocarpus
burahol) di Taman Nasional Meru Betiri, Jawa Timur. Buletin Plasma Nutfah Vol. 11
No.2:65-73.
International Union for Conservation of Nature, 2006. Summary of 2006 IUCN Red List
categories, The International Union for the Conservation of Nature and Natural
Resources. From Wikipedia, the free encyclopedia.
http://en.wikipedia.org/w/index.php, diakses tanggal 26/2/2008.
Kartawinata, K., S. Soenarko, IGM Tantra dan T. Samingan, 1976. Pedoman inventarisasi
flora dan ekosistem. Direktorat Perlindungan dan Pengawetan Alam. Blogor.
Lembaga Penelitian Tanah, 1966. Peta tanah tinjau Jawa Barat skala 1: 250.000. Bogor.
Mogea, J.P., Djunaedi Gandawidjaja, Harry Wiriadinata, Rusdy E. Nasution, Irawati, 2001.
Tumbuhan Langka Indonesia. Puslitbang Biologi-LIPI.
970
ILMU KEHUTANAN
Schimdt, F.H. and J.H.A. Ferguson, 1951. Rain fall type based on wet and dry period ratios
for Indonesia with Western New Guinea. Verh. No.42. Direktorat Metereologi dan
Geofisika jakarta.
Sudarmono, 2006. Perlunya keterpaduan pemerintah dan masyarakat mengatasi kepunahan
tumbuhan endemik di Indonesia. Inovasi On Line, PPI JEPANG, Edisi Vol.7/XVIII-
Juni. http://io.ppi.jepang.org/article.php, diakses tanggal 28/5/2008.
971
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
ABSTRAK
Taxus sumatrana (Miquel) de Laub. adalah salah satu jenis pohon yang selalu hijau
dari suku Taxaceae yang tumbuh secara alamiah di Indonesia, terutama tumbuh di Taman
Nasional Kerinci Seblat, mempunyai peranan penting dalam kehidupan sehari-hari bagi
masyarakat Indonesia. Kajian ini dikumpulkan meliputi aspek botani, aspek pemanfaatan
dan aspek konservasinya. Pemanfaatan Taxus sumatrana (Miquel) de Laub. ini antara lain
sebagai obat kanker dan diabetes serta sebagai penghasil oksigen selama 24 jam. Aspek
konservasinya akan dibahas dalam makalah ini.
PENDAHULUAN
Taxus sumatrana (Miquel) de Laub. (Syn. Cephalotaxus sumatrana Miquel )
merupakan salah satu jenis pohon berdaun jarum yang selalu hijau dari suku Taxaceae
yang tumbuh secara alamiah di Indonesia yaitu di hutan sub tropis atau hutan hujan
pegunungan di Pulau Sumatera dan Sulawesi pada ketinggian 650--3000m meter dari
permukaan laut (Spjut 2003). Di Indonesia, Taxus sumatrana (Miquel) de Laub. ini dikenal
dengan nama cemara sumatra, tampinur batu, dan kayu taji, namun jenis ini tumbuhnya
lambat, dapat hidup lama serta kayunya sangat kuat. Jenis ini selain penghasil kayu, hampir
semua bagian tumbuhan berpotensi untuk dimanfaatkan sebagai sumber bahan kontruksi
bangunan, kayu bakar, dan sumber bahan baku herbal obat-obatan. Secara ekonomis,
tumbuhan Taxus sumatrana ini sebagai sumber alternatif pendapatan penting untuk
masyarakat setempat. Selain itu, secara ekologis mampu memberikan oksigen yang kita
hirup, dan berfungsi sebagai suaka untuk sebagian besar jenis fauna.
Sejalan dengan adanya kerusakan habitat hutan yang cenderung lebih cepat dari
pertumbuhan pohon terutama di Sumatera, juga tekanan manusia pada sumber daya jenis
Taxus sumatrana (Miquel) de Laub. telah menyebabkan penipisan sumber daya ini karena
mempunyai fungsi dan bersifat multiguna, maka populasi Taxus sumatrana
(Miquel) de Laub. ini menjadi sangat jarang, sehingga upaya pembudidayaannya dalam
konservasi pohon ini sangat diperlukan.
Persebaran
Persebaran jenis Taxus spp. mencakup wilayah negara-negara di kawasan tropis
dan subtropis dekat garis khatulistiwa (Afganistan, Tibet, Nepal, Bhutan, Burma, Vietnam,
Taiwan dan Cina). Pada umumnya jenis Taxus spp. tumbuh di bawah tegakan di tempat
beriklim sedang dengan kondisi habitat tumbuh yang lembab dan dingin (Price, 1990).
Diduga daerah persebaran alami jenis Taxus sumatrana (Miquel) de Laub. yang paling luas
hanya di kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat., Jambi; Tana Karo di Sumatera Utara;
dan Hutan Lindung Dolok Sibuaton (Farjon, 2001).
972
ILMU KEHUTANAN
Pengenalan Jenis
Klasifikasi
Kingdom: Plantae (Tumbuhan)
Divisi: Pinophyta (konifer / daun jarum)
Kelas: Pinopsida
Ordo: Pinales
Famili: Taxaceae
Genus: Taxus
Spesies: Taxus sumatrana (Miquel) de Laub.
Taxus sumatrana (Miquel) de Laub. merupakan salah satu jenis pohon berdaun
jarum, pohon tinggi dapat mencapai 30 m, tajuknya lebar dan selalu hijau, tajuk bagian atas
berwarna hijau kekuningan dan tajuk bagian bawah hijau pucat. Batangnya berwarna coklat
kemerah merahan sampai abu-abu kemerahan, mengelupas tipis tidak teratur. Batang dan
cabang tumbuh sangat lurus. Daunnya majemuk berukuran kecil sekitar 12 27 mm x 2 -
2,5 mm, bentuk lanset seperti sabit, tersusun spiral. Buah masak berwarna kemerahan
(http://www.conifers.org/ta/ Taxus_sumatrana.php) (Gambar 1).
Pemanfaatan
Taxus sumatrana (Miquel) de Laub. merupakan jenis pohon multi guna, karena
hampir semua bagian dari pohon ini bermanfaat bagi manusia. Manfaat jenis pohon ini,
secara tradisional kayu merupakan produk utama, tidak jarang selain kayunya yang diambil.
Demikian pula kulit kayu, akar, daun, tunas muda, ranting dan cabang dikumpulkan untuk
bahan obat tradisional, dapat dilihat sebagai berikut :
a. Kayu : Kayu jenis pohonTaxus sumatrana (Miquel) de Laub. dihargai karena
kekuatan, daya tahan, dan dekoratif karakter digunakan untuk kontruksi bangunan,
furnitur manufaktur, perkakas rumah tangga, cambuk, ukiran dan dan juga kerangka
panah (http://www.conifers.org/ta/ Taxus_sumatrana.php). Kulit kayunya untuk bahan
pewarna merah, selain itu ekstrak kulit kayu sebagai obat utuk berbagai jenis kanker.
b. Daun, cabang, ranting, kulit kayu, tunas muda dan akar : merupakan sumber taxane, di
mana paclitaxel atau lebih dikenal dengan merek dagang Taxol diekstraksi, sebagai obat
yang sangat sukses digunakan dalam pengobatan kemoterapi untuk berbagai jenis
kanker.
c. Taxus sumatrana (Miquel) de Laub. memiliki keistimewaan, yakni tumbuhan ini terus
menerus mengeluarkan gas oksigen sepanjang waktu. Gas O2 itu selain dari hasil
fotosintesis, juga dikarenakan proses reaksi kimia metana yang terus menerus
973
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
berlangsung di dalam organ tubuh cemara sumatra ini yang memproduksi O2 sehingga
tumbuhan ini akan terus mengeluarkan O2 ke udara sekitarnya. Inilah yang bikin udara
di dekat tumbuhan ini tetap selalu sejuk dan segar, termasuk saat malam hari dimana
tumbuhan lain tidak ada yang memproduksi O2 (Andre Sihotang, 2010).
d. Taxus sumatrana (Miquel) de Laub. ini sebagai tanaman hias di halaman rumah
(http://caintaplantnursery.com/our-products/philippine-indigenous-plants/taxus/ taxus-
sumatrana-34/
Seiring dengan tingginya tingkat eksploitasi yang dilakukan untuk memperoleh bahan
aktif taxane di dunia farmasi, populasi taxus di dunia telah menurun secara drastis.
Permintaan fenomenal terhadap bahan aktif paclitaxel dan berbagai senyawa golongan
taxane lainnya berlangsung mulai tahun 1990-an dan sampai saat ini paclitaxel merupakan
obat antikanker paling dicari di dunia. Pengumpulan bahan obat dari jenis pohon Taxus
sumatrana (Miquel) de Laub. alami, akhir-akhir ini meningkat sehubungan dengan kegiatan
yang disponsori pihal luar negeri dengan harapan untuk menemukan bagian bagian
tumbuhan yang berpotensi sebagai bahan baku obat untuk penyembuhan kanker dan
diabetes.
Upaya Konservasi
Seiring dengan tingginya tingkat eksploitasi yang dilakukan untuk mengumpulkan
bagian-bagian tumbuahan Taxus sumatrana (Miquel) de Laub. sebagai bahan herbal obat-
obatan untuk dunia farmasi, populasi jenis ini telah menurun secara drastis. Penurunan
drastis populasi Taxus sumatrana (Miquel) de Laub. telah menyebabkan jenis ini
dimasukkan ke dalam Appendiks II CITES sejak tahun 2005 (CITES,2005), dan menurut
Redlist IUCN 2009, Taxus sumatrana s(Miquel) de Laub. udah dikatagorikan sebagai jenis
yang hampir punah ( endanger species, maka upaya-upaya konservasi jenis ini sangat
diperlukan.
Upaya konservasi ini terlebih dahulu harus memperhatikan cara-cara perbanyakan.
Sementara ini telah banyak dilaporkan beberapa upaya dan keberhasilan perbanyakan
pohon Taxus sumatrana (Miquel) de Laub. melalui stek dari cabang ortotrof pohon induk
dewasa yang tumbuh alami di Gunung Kerinci, Jambi (Hendalastuti dkk, 2010). Perbanyakan
dengan cara lain misal melalui biji, sampai saat ini masih belum pernah dilakukan. Upaya
konservasi dari bibit hasil penyemaian dapat dilakukan dengan sistem agroforestri bersama-
sama tanaman lain. Pohon jenis Taxus sumatrana (Miquel) de Laub. mempunyai tajuk lebar
dan rindang, oleh karena itu pohon ini dapat dilestarikan melalui penanaman pohon ini
sebagai tanaman reboisasi di lahan-lahan kritis di wilayah perbukitan atau pegunungan.
Pelestarian Taxus sumatrana (Miquel) de Laub. dapat juga dilakukan dengan
menanam pada tempat yang cukup luas dalam sistem hutan tanaman industri (HTI),
sehingga dapat menjadi sumber bahan baku herbal obat-obatan. Usaha ini perlu didukung
penelitian mengenai faktor lingkungan Taxus sumatrana (Miquel) de Laub., penyediaan bibit
(propagasi) dan teknik-teknik silvikultur tanaman.
PENUTUP
Taxus sumatrana (Miquel) de Laub. merupakan jenis pohon multiguna, sebagai jenis
pohon yang berpotensi sebagai sumber bahan baku herbal obat-obatan dan kayunya untuk
kontruksi bangunan, furnitur manufaktur, perkakas rumah tangga, cambuk, ukiran dan dan
juga kerangka panah.
Dewasa ini populasi Taxus sumatrana (Miquel) de Laub. sudah sangat jarang dan
terancam kepunahan, sehingga perlu diupayakan usaha pelestariannya. Usaha
pelestaiannya tersebut dapat dilakukan dengan menanam Taxus sumatrana
(Miquel) de Laub. dalam sistem agroforestri, reboisasi , jalur hijau, tanaman pemukiman
serta yang lebih luas lagi dalam pembangunan Hutan Tanaman Industri.
974
ILMU KEHUTANAN
DAFTAR PUSTAKA
Andre Sihotang. 2010. Pohon Cemara Sumatrana (Taxus sumatrana) pohon penghasil
oksigen selama 24 jam tanpa henti. http://highwaystar.blogdetik.com/2010/08/13/13-
agustus-2010/
CITES. 2005. Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and
Flora : Thirtheen Meeting of the Conference of the Parties. Ww.cites.org. Diakses
tanggal 14 Jani 2010.
Farjon, A. 2001. World Checklist and Bibliography of Conifers 2nd edition. Bath Press, Bath
England.
Hendalastuti,H; A.Subiakto; I.Z.Siregar; Supriyanto. 2010. Uji Pertumbuhan Stek Cemara
Sumatra (Taxus sumatrna (Miquel) de Laub. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi
Alam, Vol.VII No.3. Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam, Bogor.
Price. 1990. The Genera of Taxaceae in the Southeastern United States. Journal of Arnold
ArboretumSpjut, R.W. 2003. Taxonomy and Nomenclature of Taxus (Taxaceae).
Journal of the Botanical Research Institute of Texas 1
975
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
ABSTRAK
Potensi flora yang mempunyai sebaran yang terbatas (baik endemik kawasan, pulau
dan regional), untuk itu perlu dilakukan kegiatan penggalian potensi dengan melakukan
inventarisasi jenis tanaman endemik yang ada di Taman Nasional Gunung Rinjani. Metode
pelaksanaan yang digunakan pada inventarisasi flora endemik kawasan Taman Nasional
Gunung Rinjani dengan menggunakan analisa vegetasi (ANVEG) dengan sistem sensus
pada lokasi yang telah ditentukan (dijumpai potensi flora endemik).
Hasil penelitian potensi flora dikawasan TNGR adalah sebagai berikut;
1. Indek Nilai Penting (INP); Nilai INP untuk tingkat Anakan yang tertinggi adalah jenis :
Nyamplung (Calophyllum saulatrtri Burm. F) dengan nilai 85,581. Tingkat Pancang nilai
INP tertinggi adalah jenis Pala (Dipterocarpus retusus Blume ) dengan nilai 40,308.
Tingkat Tiang adalah jenis Pala (Dipterocarpus retusus Blume) dengan nilai
62,062.Serta tingkat pohon nilai tertinggi adalah Pala (Dipterocarpus retusus Blume)
dengan nilai 127,475.
2. Indeks Keragaman Jenis (H);Keragaman jenis dilokasi kegiatan menunjukkan bahwa
keragaman yang tinggi, karena mempunyai nilai keragaman (2,567) untuk tingkat tiang
dan untuk tingkat pohon (2,240) (sementara nilai keragaman yang sangat tinggi apabila
mempunyai nilai H diatas 3,40).
3. Penguasaan Jenis Tumbuhan; Penguasaan (dominansi) jenis tumbuhan (summed
dominance ratio= SDR), tingkat anakan adalah jenis Nyamplung (Calophyllum saulatri
Burm. F.) dengan tingkat pengusaan Tinggi dengan nilai 42,790 %. Tingkat Pancang
dengan nilai tinggi dengan nilai 20,154 % untuk jenis Pala (Dipterocarpus retusus
Blume). Tingkat Tiang dengan nilai 31,031 atau senilai 20,067% pada jenis Pala
(Dipterocarpus retusus Blume). Serta Tingkat Pohon dengan nilai 63,738 atau senilai
42,492% pada jenis Pala (Dipterocarpus retusus Blume).
4. Tingkat Keendemisitasan; Jenis yang mempunyai sebaran yang terbatas (endemik)
lingkup pulau (kawasan misalnya kawasan Rinjani), diantaranya : Litsea javanica Blume,
Leea aquleata Bl., Aglaia eliptia Blume, Astronia spectabilis Bl. Duobanga moluccana
Bl., Bischofia javanica, Aglaia sp., Langerstromia sp., dll.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia sebagai negara ketiga terluas dari hutan tropika di dunia yang kaya akan
berbagai species kehidupan liar dan beragam tipe ekosistem mulai dari hutan hujan dataran
rendah, hutan hujan dataran tinggi, hutan gambut, hutan mangrove serta beberapa hutan
campuran, yang menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara yang memiliki
keanekaragaman hayati terbesar (Mega-diversity) dan memiliki tingkat keendemikan yang
sangat tinggi. Indonesia memiliki sekitar 10 % tumbuhan berbunga, 17 % species burung,
12 % species satwa mamalia, 16 % species satwa reptilia dan 16 % species amphibia.
Pentingnya nilai keanekaragaman hayati (kekhasan flora dan fauna) di Indonesia,
maka pada tahun 1993 pemerintah Indonesia memasukkan hal tersebut dalam GBHN : The
Conservation of National Forest, termasuk didalamnya keharusan melindungi flora-fauna
976
ILMU KEHUTANAN
dari segi keragaman genetik, jenis dan ekosistemnya. Dipenghujung tahun 1999
pemerintah telah menetapkan 10 % dari kawasan konservasi dalam upaya penyelamatan
jenis dalam bentuk : Cagar Alam (Nature Reserve), Taman Buru (Game Reserve), Taman
Nasional (National Park) dan kawasan hutan yang dilindungi (Protected Forest).
Nusa Tenggara secara umum merupakan salah satu wilayah yang cukup penting bagi upaya
pelestarian keanekaraganaman hayati dunia, walaupun secara luasan relatif lebih kecil
dibandingkan wilayah lain di Indonesia. Salah satu kawasan konservasi yang cukup penting
dalam upaya perlindungan flora-fauna baik dari faktor : genetik, spesies dan eksosistemnya
yaitu kawasan konservasi Taman Nasional Gunung Rinjani. Penetapan status kawasan
tersebut didasari atas berbagai pertimbangan antara lain : fungsi ekosistem, fungsi
hidrologis, fungsi sosial-budaya dan pengembangan kepariwisataan.
Kawasan Taman Nasional Gunung Rinjai merupakan pemasok utama sumber air
untuk Pulau Lombok. Kawasan Taman Nasional Gunung Rinjani merupakan keperwakilan
tipe hutan yang cukup lengkap : Savana, hutan semi-luruh daun (Semi Deciduous Forest),
Hutan pegunungan bawah-selalu hijau (Lower montane evergreen forest) dan hutan
pegunungan tropis-selalu hijau (Tropical montane evergreen forest).
Pada masing-masing tipe hutan tersebut tersimpan berbagai potensi hayati yang
cukup tinggi, dan diantaranya tersimpan potensi flora yang mempunyai sebaran yang
terbatas (baik endemik kawasan, pulau dan regional), untuk itu perlu dilakukan kegiatan
penggalian potensi dengan melakukan inventarisasi jenis tanaman endemik yang ada di
Taman Nasional Gunung Rinjani.
Tujuan Penelitian
Untuk mendapatkan data flora endemik di Kawasan Taman Nasional Gunung Rinjani
yang akan diolah menjadi informasi yang dipergunakan sebagai bahan perencanaan dan
perumusan kebijaksanaan strategik jangka panjang, jangka menengah dan operasional
jangka pendek.dan sistem informasi kehutanan serta sebagai dasar dalam rencana
pengelolaan konservasi keragaman hayati secara insitu.
METODE PENELITIAN
Lokasi Penelitian
Lokasi kegiatan Inventarisasi Flora Endemik kawasan Taman Nasional Gunung
Rinjani berada di Wilayah SPTN I Resort Santong seluas 4 ha (Areal Kebon Jati sekitar Pal
TN 929).Luasan yang diambil berdasarkan potensi flora khususnya flora endemik kawasan
Taman Nasional Gunung Rinjani (diantaranya Pala /Depterocarpus retusus).
Bahan Penelitian
Bahan yang dibutuhkan pada kegiatan Inventarisasi Flora Endemik di Taman
Nasional Gunung Rinjani adalah :
x Tally sheet dan kuesioner;
x Alat tulis ( ATK );
x Perlengkapan Camping Unit;
x Kamera untuk dokumentasi ;
x Alat ukur jarak (pita ukur 25 - 50 meter dan tali ukur);
x Kompas;
x Haga Hypsometer;
x Phiband diameter;
x Peralatan pembuatan herbarium;
Metode Penelitian
Metode pelaksanaan yang digunakan pada inventarisasi flora endemik kawasan
Taman Nasional Gunung Rinjani dengan menggunakan analisa vegetasi (ANVEG) dengan
sistem sensus pada lokasi yang telah ditentukan (dijumpai potensi flora endemik). Tahapan
977
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Data sekunder meliputi : sosial ekonomi, iklim, geologi, tanah dan lainnya dapat
diperoleh dengan cara wawancara ataupun dengan mempelajari dari pustaka yang ada.
Keterangan :
A = 2 x 2 m Petak Ukur untuk Tingkat
Anakan (seedling)
B = 5 x 5 m Petak Ukur untuk Tingkat
Pancang (Sapling)
C = 10 x 10 m Petak Ukur untuk Tingkat
Tiang (poles)
D = 20 x 20 m Petak Ukur untuk Tingkat
Pohon (tree)
Gambar 1. Layout Pembuatan Petak Ukur Pada
Masing-Masing Tingkatan
978
ILMU KEHUTANAN
Analisis Data
Dari hasil-hasil pengukuran (berupa data jenis, jumlah jenis dimasing-masing Petak ukur,
Tinggi dan diameter) selanjutnya dianalisis untuk mencari :
Keragaman Jenis
Keanekaragaman jenis dan kemantapan komunitas setiap areal dapat
digambarkan dengan Indeks Shannon (Ludwig & Reynold, 1988) :
H = -6 pi ln pi
Keterangan :
H' = Indeks Keranekaragaman Jenis
Pi = ni/N
ni = Nilai Penting Jenis ke i
N = Jumlah Nilai Penting Semua Jenis
SDR = INP/2
979
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Tinggi atau rendahnya tingkat penguasaan jenis ditentukan dengan rumus sebagai
berikut (Muller et al., 1974).
Tingkat Keendemisitasan
Tingkat keendemidsitan, di dasarkan pada studi literatur yang ada, serta dari
berbagai sumber lainnya.
Kegiatan Inventarisasi Hutan ditujukan untuk mengetahui komposisi jenis dan struktur
hutan (Mueller-Dombois dan Ellenberg, 1974), dimana data yang didapat digunakan untuk
mengetahui keseimbangan komunitas hutan (Meyer, 1952), menjelaskan interaksi di dalam
dan antar jenis (Odum, 1971; Ludwig dan Reynold, 1998), dan memprediksi kecenderungan
komposisi tegakan dimasa datang (Whittaker, 1974).
980
ILMU KEHUTANAN
981
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
2,567 untuk tiang dan 2,240 untuk tingkat pohon, sehingga tersedia ruang untuk tumbuhnya
jenis dalam jumlah yang cukup (Richness) dan penyebaran jenis (evenness) yang besar,
hal itu senada dengan apa yang dikemukan oleh Price (1975) dalam Wirakusumah S.,
(2003) mengatakan faktor yang mempengaruhi keanekaragaman hutan adalah ruang, waktu
dan faktor biologik.
Faktor-faktor yang mempengaruhi terhadap keberadaan flora diantaranya :
a. Iklim,--faktor iklim termasuk di dalamnya keadaan suhu, kelembaban udara dan angin
sangat besar pengaruhnya terhadap kehidupan flora. Faktor suhu udara berpengaruh
terhadap berlangsungnya proses pertumbuhan fisik tumbuhan. Sinar matahari sangat
diperlukan bagi tumbuhan hijau untuk proses fotosintesa. Kelembaban udara
berpengaruh pula terhadap pertumbuhan fisik tumbuhan. Sedangkan angin berguna
untuk proses penyerbukan. Faktor iklim yang berbeda-beda pada suatu wilayah
menyebabkan jenis tumbuhan maupun hewannya juga berbeda. Tanaman di daerah
tropis, banyak jenisnya, subur dan selalu hijau sepanjang tahun karena bermodalkan
curah hujan yang tinggi dan cukup sinar matahari.
c. Air,--Air mempunyai peranan yang penting bagi pertumbuhan tumbuhan karena dapat
melarutkan dan membawa makanan yang diperlukan bagi tumbuhan dari dalam tanah.
Adanya air tergantung dari curah hujan dan curah hujan sangat tergantung dari iklim di
daerah yang bersangkutan. Jenis flora di suatu wilayah sangat berpengaruh pada
banyaknya curah hujan di wilayah tersebut. Flora di daerah yang kurang curah hujannya
keanekaragaman tumbuhannya kurang dibandingkan dengan flora di daerah yang
banyak curah hujannya.
982
ILMU KEHUTANAN
bahwa faktor manusia berpengaruh terhadap kehidupan flora dan fauna di dunia ini.
Selain itu faktor hewan juga memiliki peranan terhadap penyebaran tumbuhan flora.
Tingkat Keendemisitasan
Gunung Rinjani sebagai salah satu penyusun tipe ekosistim hutan muson yang ada
di Nusa Tenggara Barat yang mempunyai keragaman hayati khususnya flora yang berbeda
dengan kawasan lainnya. Musim kemarau yang panjang (6-8 bulan kering tiap tahunnya)
juga telah menciptakan vegetasi yang relatif berbeda dengan kawasan lain.
a. Pala/Keruing (Dipterocarpus retusus Blume.)
Sebaran
Keruing/Pala atau Dipterocarpus adalah marga pepohonan penghasil kayu
pertukangan yang berasal dari keluarga Dipterocarpaceae. Marga ini memiliki sekitar 70
spesies yang menyebar terutama di Asia Tenggara; mulai dari India dan Srilanka di barat,
melalui Burma, Indocina dan Cina bagian selatan, Thailand, hingga ke kawasan Malesia
bagian barat. Di wilayah Malesia, keruing tersebar di hutan-hutan Semenanjung Malaya,
Sumatra, Kalimantan, Filipina, Jawa, Bali, Lombok dan Sumbawa. Jadi umumnya tidak
melewati garis Wallace, kecuali yang ditemukan di Lombok dan Sumbawa.Pusat penyebaran
keruing terutama adalah wilayah barat Malesia, mulai dari Semenanjung Malaya, Sumatra
dan Kalimantan.Di wilayah Indonesia, sejauh ini tercatat 38 spesies keruing, terutama
menyebar di kedua pulau yang telah disebutkan.Di Jawa dan Nusa Tenggara bagian barat
hanya didapati 4 spesies, dan sudah hampir punah.
Morfologi
Keruing umumnya berupa pohon sedang sampai besar, dengan ketinggian tajuk
mencapai 65m dan batang lurus, bulat gilig, gemangnya sering lebih dari 150cm hingga
983
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
260cm. Batang dan ranting mengeluarkan resin apabila dilukai, terkadang amat berlimpah.
Ranting-ranting berambut, kasar atau halus, dengan bekas melekatnya daun penumpu yang
tampak jelas.Daun-daun berseling, tunggal, seperti jangat, sangat bervariasi dalam ukuran,
dengan urat daun sekunder menyirip lurus jelas terlihat di sisi bawah daun.Helaian daun
menggelombang dan melipat di antara urat daun sekunder.Daun penumpu besar, lebar,
sedikit menebal, lekas gugur.
Perbungaan tunggal atau dalam tandan pendek yang bercabang.Bunga besar,
aktinomorf, berkelamin 2; daun kelopak 5 helai, tidak gugur, menyatu menjadi tabung yang
membungkus bakal buah, dua taju di antaranya panjang atau semuanya pendek.Buah geluk
berukuran besar, terbungkus kelopak, sering dengan pelebaran tabung kelopak serupa
sayap sempit atau gigir membujur di sisi luar, lima buah. Taju atau cuping kelopak di ujung
buah membentuk dua sayap yang besar dan tiga taju kecil serupa telinga, atau lima taju
kecil-kecil.
Keruing mengalami musim perbungaan raya.Pada musim-musim itu, yang
berlangsung beberapa tahun sekali, pohon-pohon keruing berbunga dan berbuah banyak
sekali. Masa berbunga berlangsung beberapa hari saja, dan tiga sampai lima bulan
kemudian buahnya telah masak. Buahnya tidak memiliki masa dormansi dan berkecambah
di tanah tak lama setelah jatuh dari pohon.Bahkan pada waktu cuaca basah sekali,
adakalanya buah berkecambah tatkala masih menempel di rantingnya.
Ekologi
Keruing tumbuh dalam hutan perawan (primer) pada pelbagai habitat dari permukaan
laut hingga ketinggian 1.500 m dpl. Sebagian besar jenisnya tumbuh tersebar, akan tetapi
beberapa spesiesnya kerap ditemukan berkelompok atau hidup pada habitat yang khas.
Misalnya D. oblongifolius di tepi sungai yang berarus deras, D. elongatus di tanah endapan
tepi sungai, D. borneensis di tanah gambut di atas pasir putih, D. gracilis di wilayah beriklim
musim, dan beberapa jenis lain yang berspesialisasi tumbuh di punggung-punggung bukit.
Manfaat
Marga ini juga penting untuk produksi kayunya, walaupun tidak sepenting
Shorea.Keruing menghasilkan kayu bangunan umum, baik untuk konstruksi menengah
maupun berat.Hampir semua jenis kayu keruing mempunyai struktur, warna, kekuatan dan
keawetan yang serupa. Oleh sebab itu, semuanya digolongkan ke dalam kelompok kayu
perdagangan yang sama, yakni keruing. Meskipun demikian, karena variasi yang tinggi
dalam kerapatan kayunya, terkadang keruing dibedakan lagi atas subkelompok keruing
ringan, menengah-berat, dan berat.
Kayu ini kurang tahan untuk pemakaian yang berhubungan dengan tanah, sehingga
umumnya digunakan untuk keperluan interior seperti kusen pintu dan jendela, tiang, tangga,
dan panel kayu lainnya. Kandungan resin dan silika yang tinggi dalam kayu keruing agak
menyulitkan penggergajian. Keruing juga secara luas dimanfaatkan untuk membuat venir
dan kayu lapis. Kayu ini juga cukup baik untuk membuat papan partikel, harbor, serta
sebagai bahan bubur kayu untuk pembuatan kertas. Secara lokal, kayu keruing juga
digunakan untuk membuat arang.
Konservasi
Beberapa spesies termasuk : Dipterocarpus applanatus, Dipterocarpus baudii,
Dipterocarpus concavus, Dipterocarpus coriaceus, Dipterocarpus cornutus, Dipterocarpus
costulatus, Dipterocarpus crinitus, Dipterocarpus elongatus, Dipterocarpus eurynchus,
Dipterocarpus fagineus, Dipterocarpus fusiformis, Dipterocarpus glabrigemmatus,
Dipterocarpus globosus, Dipterocarpus gracilis, Dipterocarpus grandiflorus, Dipterocarpus
hasseltii, Dipterocarpus kerrii, Dipterocarpus kunstleri, Dipterocarpus littoralis, Dipterocarpus
lowii, Dipterocarpus rigidus, Dipterocarpus semivestitus, Dipterocarpus sublamellatus,
Dipterocarpus tempehes, dan Dipterocarpus validus termasuk dalam daftar International
Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN) sebagai tanaman terancam
punah.
984
ILMU KEHUTANAN
Morfologi
Merupakan tumbuhan perdu yang mempunyai ciri utama sebagai berikut : tinggi
antara 3-5 meter, berbatang lurus dan berduri berwarna hijau rumput, daun bersisip
berbentuk bulat lonjong. Batangnya hampir sebesar pohon pisang. Mempunyai kayu yang
sangat keras. Mali-mali akan tumbuh lebih baik bila berada di dalam hutan, batangnya pun
jauh lebih baik. Pohonnya akan berbatang tinggi besar dengan satu atau beberapa batang
yang lurus. Kayunya dapat dibuat busur dan tongkat untuk tombak (Akhriyan, 2009).
Berdaun majemuk, daunnya berbentuk memanjang, \ tulang daun menyirip, tepi daunnya
bergerigi, berjenis daun majemuk, dengan batang tumbuhan berbentuk bulat, monopodial,
jenis batang berkayu, dan sistem perakaran merupakan akar tunggang.
Manfaat
Biji Leea aquleata mengandung saponin, polifenol dan flavonoida. Daun Leea
aquleata berkhasiat sebagai obat luka baru dan pegal linu. Untuk obat luka baru dipakai 5
gram daun segar Leea aequata, dicuci, ditumbuk sampai lumat, ditempelkan pada luka dan
dibalut dengan kain bersih.
Sebaran
Jenis ini dapat dijumpai di Jawa, Sulawesi, Maluku, dan Kalimantan.
Manfaat
Janpraset et al. (1993) berhasil mengidentifikasi senyawa aktif yang bersifat
insektisida dari ranting A. odorata (Meliaceae) (culan, pacar cina) sebagai rokaglamida.
Senyawa aktif utama yang bersifat insektisida ini termasuk dalam golongan benzofuran.
Pada daun A. odorata selain rokaglamida juga ditemukan dan tiga senyawa turunannya,
yaitu desmetilrokaglamida, metil rokaglat dan rokaglaol (Ishibashi et al., 1993). Rokaglamida
juga telah diisolasi dari empat spesies Aglaia lain, yaitu dari akar dan batang A. elliptifolia
(Wu et al., 1997), ranting A. duppereana (Nugroho et al., 1997), dan buah A. elliptica serta
daun A. harmsiana. Aktivitas ekstrak bagian tanaman Aglaia selain dapat bersifat sebagai
insektisida dapat juga bersifat sebagai antifidan dan/atau penghambat perkembangan.
Sebaran
Daerah penyebaran tanaman ini meliputi India, Cina bagian selatan, Asia Tenggara,
Australia bagian utara dan kepulauan di Samudra Pasifik.Di Indonesia tumbuhan ini dapat
ditemui tumbuh di Pulau Sumatera, Kalimantan, Jawa, Sulawesi, Bali dan Flores.
985
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Pemanfaatan
Kayu memiliki berat jenis 0,39 (0,27-0,52), kelas awet IV -V dan kelas kuat III- IV.
Banyak digunakan untuk kayu pertukangan, veneer kayu lapis, pembuatan papan semen
dan pulp.Kayu teras D. molluccana berwama kuning muda atau coklat kekuningan
sedangkan kayu gubal berwarna lebih muda tetapi tidak ada batas yang jelas dengan kayu
terasnya.Tekstur urat kayunya kasar dengan arah serat lurus atau terpadu padat seratnya.
986
ILMU KEHUTANAN
Deskripsi botani
Tinggi tanaman hingg 25- 45 m, diameter batang 70-100 cm, batang lurus dan
bulat.Permukaan kulit tidak teratur, tetapi agak pecah dan bersisik, ciri pohon tua adalah kulit
luar berwarna kelabu coklat muda dan memiliki lentisil dengan wama coklat tua, kulit bagian
dalam berserat halus getah berwarna kecoklatan pada bagian cambium sedikit berwama
kemerahan.Banir batang rendah yaitu 50 cm dari permukaan tanah. Daun berbentuk bulat
telur (ovale), panjang 9-14 cm, lebar 4-8 cm ujung daun runcing memanjang, dasar daun
membulat. Tulang daun primer pada bagan bawah daun menonjol.Tulang daun sekunder
terdiri dari 15-16 pasang dan membentuk sudut 60 terhadap tulang daun primemya dengan
tulang daun tertier berbentuk jala.
Deskripsi Pohon
Pohon dioecious , besar yang tingginya dapat mencapai 40 m, diameter batang 95 -
150 cm dan selalu hijau. Batangnya lurus, tanpa mata kayu ataupun bomi akar, tidak
beralur, percabangan rendah, kulit berwarna abu-abu sampai coklat, bergetah merah.
Bentuk daun bundar telur yang berbagi/berlekuk tiga serta meruncing ke ujung
daun. Duduk daun atau letaknya spiral/melingkar, mempunyai tangkai daun
panjang.Perbungaan bentuk malai, kecil, terdapat di ujung batang dengan tangkai bunga
yang panjang.Biji berbentuk Oblong, seperti bulan sabit agak kerucut, halus/licin, berwarna
merah tua sampai coklat.
987
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Sebaran
Prabu (Bischofia javanica Bl) dijumpai di Indonesia (Jawa, Sumatera, Kalimantan,
Maluku, Sulawesi), Fujian, Guangdong, Guangxi, Guizhou, Hainan, Taiwan,Yunnan,
and possibly Jiangxi, Malaysia, Australia, India (Assam, Kerala), Bangladesh, China
(Guangdong, Guizhou, Hainan, Hong Kong), Japan (Ryukyu Islands), Malay Peninsula,
Philippines, Lesser Sunda Islands, New Guinea, Kepulauan Solomon, New Caledonia,
Vanuatu, Fiji, Tonga, Cook Islands.
Manfaat
Prabu mengandung zat penyamak dan dipakai untuk memberi warna bahan
anyaman rotan dan bambu menjadi berwarna merah sampai hitam.Daunnya juga dipakai
untuk pewarna merah mendong dan pandan.Akar digunakan sebagai obat untuk
rheumatalgia dan malaria.
f. Langerstromia sp.
Taksonomi
Bongor (Lagerstroemia speciosa Auct.) termasuk dalam famili Lythraceae dan masuk
dalam genus Lagerstroemia. Jenis ini mempunyai nama yang banyak sekali, dinataranya di
Jawa disebut Bungur (Sunda), Ketangi, Laban, Wungu (Jawa Tengah), Bhungor, Wungur
(Madura), di Sumatra disebut Bungur (Melayu), Bungur Kuwal, Bungur Bener (Lampung),
Bungur Tekuyung (Palembang).
Sinonim :Lagerstroemia reginae Roxb,; L. loudoni T. & B.; Adamhea glabra Lamk.
Lagerstroemia flos-reginae retusus.
Diskripsi
Jenis ini mempunyai perakaran akar tunjang, berdaun berwarna hijau kekuningan
berbentuk jorong dengan panjang sekitar 24 cm dan lebarnya sekitar 12 cm. sementara
itu bunganya panjang berwarna ungu. Pohon yang tingginya mencapai 10-20 m. Batang
Batang berkayu, bulat, bercabang, berwarna coklat kehitaman. Batangnya umumnya
bengkok, demikian juga dengan percabangan-nya
Sebaran
Dunia Tanaman asli Asia bagian Selatan. Kemudian tersebar ke USA, tropical
Africa, Australia and Jamaica.
988
ILMU KEHUTANAN
Manfaat
Daun dan buah bungur mengandung plantisul, yaitu zat yang aktivitasnya seperti
insulin. Menurut hasil penelitian, daun bungur yang sudah tua sebanyak 20 g. Jika direbus
dalam 100 ml air selama 45 menit dan diminum, memiliki kekuatan 6-6,7 unit insulin. Biji
Bungur berkhasiat sebagai obat eksim dan obat penurun tekanan darah tinggi. Kulit kayu
bungur digunakan untuk pengobatan diare, disentri, dan Kencing darah serta digunakan
untuk pengobatan kencing batu, kencing manis dan tekanan darah tinggi.
KESIMPULAN
1) Kerapatan (Density)
Tingkat Anakan Kerapatan jenis yang teringgi adalah Nyamplung (Calophyllum
saulatri Burm F.) dengan nilai 14.677,420.Serta Secara kualitatif kerapatan terbesar
adalah jarang dijumpai dengan nilai 87%.Tingkat Pancang Kerapatan jenis yang
tertinggi adalah Pala (Depterocarpus retusus Blume) dengan nilai 477,419.Serta Secara
kualitatif kerapatan terbesar jarang dijumpai 78 %. Tingkat Tiang kerapatan jenis yang
terbesar adalah Pala (Dipterocarpus retesus Blume) dengan nilai 477,419.Serta secara
kualitatif kerapatan terbesar spesies yang jarang dijumpai 87 %.Serta tingkat pohon
kerapatan jenis yang terbesar adalah Pala (Dipterocarpus retesus Blume) dengan nilai
477,419.Serta Secara kualitatif kerapatan terbesar spesies yang jarang dijumpai 87 %.
2) Frekuensi
Tingkat Anakan Frekuensi jenis terbesar adalah Nyamplung (Calophyllum saulatri
Burm. F ) dengan nilai 0,9355). Serta secara kualitatif sebagian besar termasuk dalam
kelas A terdapat 18 spesies. Tingkat Pancang Frekuensi jenis terbesar adalah Pala
(Dipterocarpus retusus Blume) dengan nilai0,419). Serta secara kualitatif sebagian
besar termasuk dalam kelas A terdapat 18 spesies. Tingkat Tiang Frekuensi jenis
terbesar adalah Nyambuan (Syzigium formasa Wall) dengan nilai 0,452). Serta secara
kualitatif sebagian besar termasuk dalam kelas A terdapat 20 spesies. Tingkat Pohon
Frekuensi jenis terbesar adalah Pala (1,000). Serta secara kualitatif sebagian besar
termasuk dalam kelas A terdapat 16 spesies. Secara keseluruhan dari tingkat anakan
sampai pada pohon, penyebaran jenis dalam komintas mempunyai distribusi secara
normal.
3) Dominasi (Dominance)
Tingkat Tiang Dominasi jenis terbesar adalah Pala (Dipterocarpus retusus Blume)
dengan nilai 1,5927. Tingkat Pohon Dominasi jenis terbesar adalah Pala (Dipterocarpus
retusus Blume) dengan nilai 217,4974.
989
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
7) Tingkat Keendemisitasan
Jenis yang mempunyai sebaran yang terbatas (endemik) lingkup pulau (kawasan
misalnya kawasan Rinjani), diantaranya : Litsea javanica Blume, Leea aquleata Bl.,
Aglaia eliptia Blume, Astronia spectabilis Bl. Duobanga moluccana Bl., Bischofia
javanica, Aglaia sp., Langerstromia sp., dll.
SARAN
Hasil yang telah diketahui baik nilai kualitatif maupun nilai kuantitatifnya, maka pada
lokasi tersebut dan untuk kepentingan pengelolaan dimasa mendatang, maka disarankan
untuk :
1. Perlu dilakukan pembuatan Plot Permanen yang nantinya dapat dilakukan
pengamantan flora, fauna serta ekosistemnya yang ada pada lokasi tersebut.
2. Hendaknya perlu dilakukan inventarisasi flora endemik di lokasi-lokasi lainnya, yang
menurut informasi dan literatur sebagai habitat flora endemik.
DAFTAR PUSTAKA
990
ILMU KEHUTANAN
ABSTRAK
PENDAHULUAN
Bambu merupakan salah satu hasil hutan bukan kayu yang dapat digunakan untuk
berbagai keperluan, oleh karena itu Bambu termasuk tanaman serbaguna. Di Indonesia
Bambu dapat dijumpai baik di daerah pedesaan maupun di dalam kawasan hutan. Semua
jenis tanah dapat ditanami Bambu kecuali tanah di daerah pantai. Tanaman Bambu dapat
dijumpai mulai dari dataran rendah sampai dataran tinggi, dari pegunungan berbukit dengan
lereng curam sampai landai (Sastrapraja, et al., 1977). Menurut Widjaya (2001) Bambu di
Indonesia terdiri atas 143 jenis. Di Jawa diperkirakan hanya ada 60 jenis Bambu. Pada tahun
2000 diperkirakan luas tanaman Bambu di Indonesia adalah sebesar 2.104.000 ha, yang
terdiri dari 690.000 ha luas tanaman Bambu di kawasan hutan dan 1.414.000 ha luas
tanaman Bambu di luar kawasan hutan (Anonim, 2005).
Tanaman Bambu telah lama digunakan oleh masyarakat untuk bahan bangunan,
mebel, alat-alat rumah tangga dan barang kerajinan. Industri pengolahan bambu telah dapat
meningkatkan pemanfaatan bambu menjadi berbagai macam produk seperti meja kursi, tirai,
dinding bambu, kap lampu, keranjang, lampu gantung, bingkai foto dan banyak lagi produk
lainnya. Berbagai produk tersebut telah dapat menggantikan dan melengkapi produk serupa
yang terbuat dari kayu dan rotan, sehingga usaha pengolahan bambu dapat mengurangi
kebutuhan terhadap bahan baku kayu.
Salah satu industri skala kecil (pengrajin) pengolahan Bambu terletak di Bogor Jawa
Barat Pengrajin Bambu telah biasa menghasilkan berbagai produk dari Bambu antara lain
berupa kursi dan meja tamu, kursi malas, dipan besar, kap lampu, kerai, tangga dan lain-lain
dalam berbagai bentuk dan ukuran. Keberadaan usaha barang kerajinan dan furnitur dari
991
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
bambu, telah meningkatkan nilai tambah dari bambu, meningkatkan keuntungan, menyerap
tenaga kerja dan membantu pemerintah dalam menekan tingkat pengangguran.
Makalah ini menyajikan hasil penelitian pada dua pengrajin bambu di Bogor Jawa
Barat. Tujuannya adalah menyajikan data dan informasi tentang kondisi kedua pengrajin
bambu tersebut dan merumuskan strategi pengembangan usahanya.
METODE PENELITIAN
Pengumpulan data
Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder. Data primer meliputi
data dan informasi tentang kekuatan dan kelemahan (Internal Factor Evaluation/IFE) serta
peluang dan ancaman yang mungkin terjadi (External Factor Evaluation) pada kedua
pengrajin. Data primer dikumpulkan melalui wawancara dan pengamatan langsung pada dua
pengrajin bambu di Cibinong Bogor. Data sekunder berupa data lainnya yang berkaitan
dengan aspek penelitian, diperoleh melalui telusuran pustaka dan internet.
Analisis Data
Analisis data untuk IFE dan EFE (David , R.F.) dilakukan dengan urutan proses
analisis sebagai berikut:
1. Analisis IFE, dilakukan dengan cara sebagai berikut:
a. Identifikasi dan tuliskan 5-10 kekuatan dan kelemahan.
b. Tentukan bobot dari masing-masing faktor, mulai dari 1.0 (paling penting) sampai
0.0 (tidak penting). Total semua bobot harus berjumlah 1.0. Semakin besar
bobotnya, semakin besar prioritas faktor tersebut bagi pengrajin.
c. Tentukan tingkat peringkat untuk setiap faktor dengan angka 4 (baik), 3 (rata-rata),
2 (di bawah rata-rata), 1 (buruk). Setiap peringkat mencerminkan seberapa baik
pengrajin merespon dan mengatasi setiap faktor internal.
d. Kalikan masing-masing bobot dengan peringkatnya untuk memperoleh skor
terbobot.
e. Tambahkan seluruh skor terbobot sehingga diperoleh total skor terbobot, total skor
terbobot memiliki interval dari angka 4.0 (baik sekali) sampai 1.0 (buruk).
2. Analisis EFE, dilakukan dengan cara sebagai berikut:
a. Identifikasi dan tuliskan antara 5-10 peluang dan ancaman.
b. Tentukan bobot dari masing-masing faktor, mulai dari 1.0 (paling penting) sampai
0.0 (tidak penting). Total semua bobot harus berjumlah 1.0. semakin besar
bobotnya, semakin besar prioritas faktor tersebut bagi pengrajin
c. Tentukan tingkat peringkat untuk setiap faktor dengan angka 4 (baik), 3 (rata-rata),
2 (di bawah rata-rata), 1 (buruk). Setiap peringkat mencerminkan seberapa baik
pengrajin merespon dan mengatasi setiap faktor eksternal.
d. Kalikan masing-masing bobot dengan peringkatnya untuk memperoleh skor
terbobot.
e. Tambahkan seluruh skor terbobot sehingga diperoleh total skor terbobot, total skor
terbobot memiliki interval dari angka 4.0 (baik sekali) sampai 1.0 (buruk).
3. Perumusan strategi
Teknik perumusan strategi dengan menggunakan matriks yang terbagi dalam tiga
tahapan (Nugraha:2007), yaitu sebagai berikut:
1. Tahap I: Tahap Masukan
2. Tahap II: Tahap Pencocokan
3. Tahap III: Tahap Keputusan
992
ILMU KEHUTANAN
Kelemahan (Weaknesses)
1. Pangsa pasar yang masih terbatas
2. Sifat dari bambu yang mudah dimakan rayap
3. Permodalan yang terbatas
4. Belum memiliki merek dagang
Peluang (Opportunities)
1. Banyak pengusaha properti (rumah) di Indonesia yang menyukai furniture dari bambu
2. Desain produk yang unik dan klasik dapat menciptakan peluang pasar yang belum
teroptimalkan
3. Liputan/publikasi surat kabar lokal dapat menaikkan permintaan produk, karena dengan
publikasi maka keberadaan usaha kerajinan ini menjadi lebih luas dan lebih dikenal lagi.
4. Respon pasar dari luar daerah yang positif terhadap produk kerajinan bambu tipe betawi
Ancaman (Threats)
1. Adanya kompetitor lain di bidang furniture yang menggunakan bahan baku lebih awet
(tahan rayap)
2. Kontinuitas bahan baku bambu yang tidak dapat dipastikan
993
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Pemberian Cat/Pernis
Perumusan Strategi
1. Tahap Masukan
Tahap yang pertama ini merupakan tahap pengumpulan informasi dasar dengan alat
analisis berupa Internal Factors Evaluation Matrix (IFE Matrix) dan External Factors
Evaluation Matrix (EFE Matrix). Hasilnya disajikan pada Tabel 1 dan Tabel 2 .
994
ILMU KEHUTANAN
Pada Tabel 1 tampak bahwa total matriks IFE yang dimiliki pengrajin A dan pengrajin
B masing-masing adalah adalah sebesar 2,85 dan 2,50. Hal ini menunjukkan bahwa posisi
internal pengrajin A dan pengrajin B adalah menengah untuk keseluruhan posisi strategisnya
dalam upaya memanfaatkan kekuatan dan mengantisipasi kelemahannya.
995
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Pada Tabel 2 tampak bahwa total matriks EFE yang dimiliki pengrajin adalah
sebesar 3,05 dan 3,10. Hal ini menunjukkan bahwa posisi eksternal pengrajin A dan
pengrajin B adalah tinggi untuk keseluruhan posisi strategisnya dalam upaya memanfaatkan
peluang dan mengantisipasi ancamannya.
Tahap Pencocokan
Dari matriks IFE dan EFE kedua pengrajin, kemudian dilakukan tahap pencocokan
dengan memadukan faktor-faktor internal dan eksternal dalam upaya menghasilkan strategi
alternatif yang dapat dijalankan oleh pengrajin. Hasil pencocokan dapat dilihat pada Gambar
2.
996
ILMU KEHUTANAN
Total Nilai Internal Faktor Yang Diberi Bobot
Kuat Rata-rata Lemah
3,0 - 4,0 2,0 - 2,99 1,0 - 1,99
4,0 3,0 2,0 1,0
I II III
Total Nilai Tinggi
Eksternal
Faktor Yang
3,0
Diberi Bobot
IV V VI
Sedang
2,0
Rendah VII VIII IX
1,0
Tahap Keputusan
Berdasarkan analisis pada tahap masukan dan pencocokan, maka strategi yang
tepat bagi pengembangan usaha kedua pengrajin tersebut adalah sebagai berikut:
a. Penetrasi Pasar
Strategi dilakukan dengan mengoptimalkan penjualan pada wilayah pemasaran produk
yang telah ada. Pengrajin dapat mengintensifkan penawaran produk secara jemput bola
kepada calon konsumen. Agar penetrasi dapat tercapai dengan optimal, pengrajin dapat
meninjau kembali penetapan harga jual produknya dan saluran distribusi yang sekarang
digunakan.
b. Pengembangan/Perluasan Pasar
Pengrajin juga perlu memperluas wilayah pemasarannya antara lain dengan cara
menjalin kerja sama dengan para pemilik kios penjual produk furniture di luar daerah;
dan menjalin kerja sama dengan Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor dalam kegiatan
pameran produk yang diikuti oleh usaha mikro, kecil dan menengah.
c. Pengembangan Produk
Pengrajin perlu mengembangkan (inovasi) produknya sesuai dengan perkembangan
selera pasar. Dalam desain produk, pengrajin dapat melakukan terobosan yang lebih
kreatif lagi dengan membuat furnitur bambu kombinasi dengan rotan sebagai ikatan
siku, menambahkan busa atau bantal pada dudukan maupun sandaran kursi dan lain
sebagainya.
997
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Kesimpulan
1. Pengrajinbambu A dan B di Bogor biasa menghasilkan berbagai produk dari bambu
seperti kursi dan meja tamu, kursi malas, dipan besar, kap lampu, kerai, tangga dan lain-
lain.
2. Pada tahap masukan, nilai total matriks Internal Factor Evaluation (IFE) yang dimiliki
pengrajin A dan pengrajin B masing-masing adalah sebesar 2,85 dan 2,50 sedangkan
nilai total matriks Eksternal Factor Evaluation (EFE) adalah sebesar 3,05 dan 3,10
3. Strategi pengembangan yang dapat diterapkan pada kedua pengrajin bambu tersebut
adalah meliputi penetrasi pasar, pengembangan/perluasan pasar dan pengembangan
produk.
Saran
Untuk menjamin kelangsungan usaha pengrajin bambu, perlu dukungan modal dan
kontinyuitas ketersediaan bahan baku bambu, melalui kebijakan pemerintah secara tepat.
DAFTAR PUSTAKA
998
ILMU KEHUTANAN
ABSTRAK
Bambu peting (Gigantochloa levis Blanco) tergolong jenis bambu berukuran besar
tetapi pemanfaatannya masih terbatas tetapi berpotensi sebagai bahan baku industri
berbahan baku bambu. Penelitian pengaruh ukuran lubang tanam terhadap pertumbuhan
awal bambu peting telah dikerjakan di Stasiun Penelitian Hutan Pasir Awi di daerah Bogor.
Penelitian disusun menurut rancangan acak kelompok yang terdiri dari 2 ukuran lubang
tanam yaitu 1) 20x20x20 cm dan 2) 40x40x40 cm yang masing-masing ditanam bibit berasal
dari stek cabang umur 6 bulan. Setiap lubang tanam diisi pupuk dasar yang terdiri 1kg pupuk
kandang dan 0,5 gram pupuk urea. Data yang dikumpulkan adalah persen tumbuh, jumlah
batang/ rumpun, tinggi batang dan diameter batang yang dilakukan setelah tanaman
berumur 1 tahun. Seluruh data diolah dengan sidik ragam dan pada perlakuan yang nyata
dilanjutkan dengan uji-Tukeys. Hasil penelitian menunjukan bahwa ukuran lubang tanam
berpengaruh nyata terhadap jumlah batang/rumpun, tinggi batang dan diameter batang
tetapi tidak berpengaruh nyata terhadap persen tumbuh. Selanjutnya pembahasan disertai
tabel dan diagram akan disajikan pada paper ini.
Kata kunci : bambu petung, Gigantochloa levis Blanco, lubang tanam, pertumbuhan awal
PENDAHULUAN
Latar belakang
Bambu peting (Gigantochloa levis Blanco.) termasuk jenis bambu berukuran besar
setelah bambu bitung (D. asper) dan bambu gombong (G. pseudoarundinacae) dengan
diameter pangkal batang dapat mencapai 12 cm, tinggi batang 21 meter, tebal dinding
batang 2,52 cm dan berat segar batang 61 kg. Batang bambu lurus, tegak, warna kulit
batang hijau terang sampai agak gelap, percabangan dimulai di batang bagian tengah,
sehingga berpotensi sebagai bahan baku industri produk bambu seperti sumpit (chopstick),
bambu lamina, playbamboo, pulp dan kertas (Sutiyono, 2010). Persebaran alami bambu
peting ada di daerah Banyuwangi sampai daerah Jember di Jawa Timur sebagai tanaman
masyarakat atau dijumpai di lereng-lereng bukit di hutan Soko. Sementara itu di daerah
Loksado Kalimantan Selatan, bambu peting masih tumbuh liar di kawasan hutan. Meskipun
tumbuh liar, pemanfaatan oleh masyarakat masih tergolong baik yaitu menebang tepat di
bagian bawah pangkal batang dan hanya memilih batang-batang bamboo tua (>5 tahun)
(Widjaja, 1987; Sutiyono, 1988; 2010).
Tampkanya bambu peting tergolong jenis bambu yang mudah tumbuh di berbagai
ketinggian seperti ditanam oleh masyarakat di Banyumeneng, Demak yang terletak pada
ketinggian 50 m dpl, sebagai penghasil rebung (Sutiyono et al, 2010). Kemudian
diujicobakan ditanam sebagai tanaman koleksi di 3 (tiga) SPH (Stasiun Penelitian Hutan)
Dramaga, Bogor yang terletak pada ketinggian 250 m dpl, SPH Arcamanik, Bandung pada
ketinggian 1350 m dpl dan di SPH Tanjungan, Lampung Selatan yang hanya berketinggian
50 m dpl (Sutiyono, 1996; 2010). Oleh karena itu, bambu peting berpotensi dikembangkan
baik sebagai tanaman budidaya untuk menunjang industri berbasis bahan baku bambu.
Untuk mengembangkan, dibutuhkan informasi teknik budidaya dan salah satu komponen
999
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
dalam kegiatan budidaya adalah pembuatan lubang tanam. Dalam pembuatan lubang
tanam, perlu mendapatkan informasi ukurannya karena akan berpengaruh terhadap biaya
produksi.
Dalam budidaya bambu bitung (Dendrocalamus asper) di PT GGPC, Terbanggi
Besar, Lampung Tengah, ukuran lubang tanam yang digunakan adalah 100x100x100 cm.
Lubang tanam yang berukuran besar karena jenis tanahnya podsolik merah kuning yang
harus diberi serasah hasil babad semak untuk dikomposkan (Mashudi, 1994). Sementara itu
ukuran lubang tanam 20x20x20 cm sudah cukup untuk menanam bambu tutul (D. maculata).
Ukuran lubang tanam 20x20x20 cm menghasilkan daya tumbuh, pertumbuhan jumlah
batang/rumpun, tinggi batang dan diameter batang bamboo tutul tidak berbeda nyata dengan
ukuran lubang tanam 40x40x40 cm (Sutiyono, 2010). Dari hasil penelitian di atas sudah
mengisyaratkan bahwa karekateristik pertumbuhan setiap jenis bamboo tidak selalu sama.
Oleh karena itu, pengembangan bamboo peting untuk dibudidayakan membutuhkan
informasi salah satu komponen kegiatan budidaya yaitu ukuran lubang tanam.
Tujuan
Penelitian bertujuan mendapatkan informasi pengaruh ukuran lubang tanam terhadap
pertumbuhan awal bambu peting (G. levis).
Tempat penelitian
Penelitian dilakukan di Stasiun Penelitian Hutan Pasir Awi yang terletak di desa
Gobang, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor. Lokasi penelitian terletak mudah dicapai
dengan kendaraan roda 4 dari Bogor ke Leuwiliang menuju Rumpin. Terletak pada
ketinggian tempat 150 m dpl dengan tipe iklim A menurut Schmidt dan Ferguson (1951).
Tanah tergolong jenis latosol merah kecoklatan dengan bahan induk tufvolkan intermedier
dalam sekali, agak subur dan seikit miring. Menurut Soepraptohardjo (1979), tanah latosol
coklat memiliki kemampuan dan potensi baik seperti air tersedia cukup, kadar N, P dan K
cukup dan KTK tinggi.
Metode
Penelitian dirancang menurut rancangan acak kelompok yang terdiri dari 2 (dua)
perlakuan ukuran lubang tanam yaitu :
A. 20.20.20 cm dan
B. 40.40.40 cm.
Setiap perlakuan ukuran lubang tanam, ditanam sebanyak 20 bibit bambu dan diulang
sebanyak 2 (dua) kali. Seluruh lubang tanam diisi pupuk dasar yaitu pupuk kandang
ditambah pupuk urea sebanyak 5 gram. Lubang tanam yang sudah diisi pupuk kandang
ditutup dan dibiarkan selama 1 minggu. Untuk itu, telah disiapkan bibit yang berasal dari stek
cabang yang berumur 6 bulan. Bibit ditanam dengan cara disobek polybegnya, kemudian
bibit diletakan di lubang tanam yang sudah disiapkan, diurug dan dipadatkan dengan injakan
di sekitar leher bibit dan disiram.
Pemeliharaan yang dilakukan setelah itu adalah menyiangi sekitar bibit melingkar 0,5
meter. Pengumpulan data dilakukan setelah umur 1 tahun terhadap persen daya hidup,
jumlah batang/rumpun, tinggi dan diameter batang. Seluruh data diolah dengan sidik ragam
dan pada perlakuan yang nyata diuji dengan uji-Tukeys.
1000
ILMU KEHUTANAN
Persen tumbuh
Pertumbuhan awal tanam bambu dimulai dari tumbuh dan berkembangnya mata-
mata tunas pada permukaan dasar rhizome bibit yang ditanam di dalam tanah menjadi
tunas-tunas baru yang muncul di atas permukaan tanah. Tunas-tunas tersebut kemudian
tumbuh dan berkembang menjadi batang-batang kecil beruas-ruas dengan buku-buku yang
bertunas sampai pada kondisi tertentu dan kemudian berhenti. Selanjutnya batang-batang
kecil tersebut mengeluarkan cabang-cabang dan ranting yang berdaun sehingga terbentuk
rumpun baru. Namun demikian, tidak semua bibit yang ditanam dapat menjadi rumpun baru
yang disebabkan banyak factor seperti jenis bambu atau kondisi lingkungan seperti media
tanam di lubang tanam. Rata-rata persen tumbuh tanaman bambu tutul (B. maculata) umur 1
tahun disajikan pada Tabel 1. Dari Tabel 1 dapat dikelihat bahwa daya tumbuh bibit bambu
peting yang ditanam dalam lubang tanam ukuran 40x40x40 cm menghasilkan daya tumbuh
100% atau seluruhnya dapat berhasil tumbuh menghasilkan rumpun baru dibanding yang
ditanam dalam lubang tanam berukuran 20x20x20 cm yang hanya menghasilkan daya
tumbuh 83,3%).
Tabel 1. Rata-rata daya tumbuh tanaman bambu peting (G. levis) umur 1 tahun
Akan tetapi, hasil sidik ragam menunjukan bahwa ukuran lubang tanam tidak
berpengaruh nyata terhadap daya tumbuh bibit bambu peting seperti ditunjukan Lampiran 1.
Oleh karena itu kedua ukuran lubang tanam yang dicobakan dapat dianggap sama dan
menghasilkan rata-rata daya tumbuh 91,7%. Informasi ini sangat penting dalam perencaan
budidaya bambu peting agar diperoleh daya tumbuh bibit sampai 100% maka perlu
disediakan bibit lebih banyak 8,3%. Hasil penelitian tersebut relatif masih lebih tinggi jika
dibandingklan dengan daya tumbuh bibit bambu tutul (Bambusa maculata) yang ditanam
ditempat yang sama oleh Sutiyono dan Marfuah (2011). Dari penelitiannya menunjukan
bahwa rata-rata daya tumbuh bibit bambu tutul adalah 83,3% dengan ukuran lubang tanam
20x20x20 cm atau 40x40x40cm.
1001
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Tabel 2. Rata-rata pertumbuhan jumlah batang/rumpun, tinggi batang dan diameter batang
bambu peting (G. levis) pada 2 ukuran lubang tanam
Ukuran lubang tanam adalah salah satu bagian terpenting dalam menyiapkan tempat
tumbuh bibit tanaman yang akan ditanam. Makin besar ukuran lubang tanam makin baik
tempat tumbuh yang disiapkan untuk menanam tanaman. Harapannya makin besar ukuran
lubang tanam makin besar ruang yang terisi media tanam yang telah tergemburkan sehingga
makin mudah sistem perakaran baru tumbuh dan berkembang. Sebaliknya makin sempit
ukuran lubang tanam makin sedikit media tanam yang mengisi tergemburkan, sehingga
sistem perakaran tanaman mengalami hambatan untuk berkembang.
KESIMPULAN
Kesimpulan
1. Ukuran lubang tanam berpengaruh sangat nyata terhadap jumlah batang/rumpun, tinggi
batang dan diameter batang tetapi tidak berpengaruh nyata terhadap daya tumbuh bibit
bambu peting (Gigantochloa levis Blanco) pada pertumbuhan awal umur 1 tahun.
2. Ukuran lubang tanam 40x40x40 cm menghasilkan pertumbuhan jumlah batang/rumpun,
tinggi batang dan diameter batang lebih besar dibanding dengan ukuran lubang tanam
20x20x20 cm,
3. Rata-rata daya tumbuh bibit bambu peting (G. levis) adalah 91,7 persen. Sedangkan
pertumbuhan jumlah batang/rumpun pada pertumbuhan awal umur 1 tahun adalah 2,04
batang/rumpun dengan rata-rata tinggi batang 82,29 cm dan rata-rata diameter batang
5,45 cm.
Saran
Dalam budidaya bambu peting sebaiknya digunakan ukuran lubang tanam 40x40x40
cm.
DAFTAR PUSTAKA
1002
ILMU KEHUTANAN
-----------. 2010. Karakteristik batang enam jenis bambu industri. Makalah Seminar Nasional
Pusat Litbang Hutan Tanaman Bogor. belum terbit.
----------. 2010. Pertumbuhan awal tanaman bambu tutul (Bambusa maculata widjaja).
Prosiding Seminar Nasional, Fakultas Kehutanan UGM. Belum Terbit
Sutiyono, Asmanah Widiarti dan Mawazin. 2010. Budidaya tardisionil rebung bambu di
Banyumeneng, Demak, Jawa tengah. Laporan Perjalanan Dinas ke Banyumeneng,
Demak, Jawa Tengah. Tidak Diterbitkan. Sumber Dana KNRT 2010.
Widjaja, E, A. 1987. A revision of Malesian Gigantochloa (Paceae- Bambusoideae). Reinw.
10 (3).pp.305 311.
1003
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Lampiran 1. Sidik ragam pengaruh lubang tanam terhadap daya hidup, bambu peting (G.
levis) umur 1 tahun.
F-Tabel
Sumber variasi db JK KT F-hitung
0,05 0,10
Kelompok 1.0 531.53 531.533 16.38 161.00 4052.00
Ukuran lubang tanam 1.0 64.88 64.883 2.00 161.00 4052.00
Galat 1.0 64.88 32.442
Total 3.0 661.30
Lampiran 2. Sidik ragam pengaruh lubang tanam terhadap jumlah batang/ rumpun, tinggi
batang dan diameter batang bambu peting (G. levis) umur 1 tahun.
F-Tabel
Sumber variasi db JK KT F-hitung
0,05 0,10
Jumlah batang/rumpun
Rumpun 24 2.88 0.120 0.40tn 1.58 2.66
Ukuran lubang tanam 1 10.00 10.000 33.71sn 4.26 7.02
Galat 24 7.12 0.297
Tinggi batang
10839.8
Rumpun 24 451.66 0.48tn 1.58 2.66
1
19580.2
Ukuran lubang tanam 1 19580.27 20.73sn 4.26 7.02
7
22666.5
Galat 24 944.44
5
Diameter batang
Rumpun 24 30.73 1.281 0.65tn 1.58 2.66
Ukuran lubang tanam 1 60.12 60.115 30.65sn 4.26 7.02
Galat 24 47.07 1.961
1004
ILMU KEHUTANAN
ABSTRAK
Kata kunci: hutan tanaman, lubang tanam, angkut bibit, produktivitas, biaya
PENDAHULUAN
Antara pasokan dan permintaan kayu sebagai bahan baku industri terjadi
kesenjangan yang cukup besar. Untuk menjembatani kesenjangan antara kebutuhan dan
pasokan bahan baku industri pengolahan kayu dapat dilakukan dengan pembangunan hutan
tanaman. Hutan tanaman merupakan hutan yang dibangun melalui kegiatan reboisasi dan
penghijauan dengan satu jenis atau beberapa jenis tanaman baru atau dengan jenis asli,
baik dengan penanaman langsung maupun melalui pembibitan. Hutan tanaman ini ditandai
dengan kelas umur dan jarak tanam yang teratur. Hutan tanaman mempunyai beberapa
keuntungan; antara lain dapat meningkatkan produksi bahan baku bagi industri, lahan
terdegradasi dapat dimanfaatkan, dengan biaya yang memadai memungkinkan untuk
diterapkan manajemen yang intensif, upaya manipulasi pertumbuhan dan kualitas melalui
pemuliaan genetik dimungkinkan, tegakan murni dan campuran dapat diperoleh, input/output
berpotensi tinggi, berskala ekonomi tinggi, membentuk pemandangan yang beragam,
peluang kerja dapat diciptakan, produk untuk kebutuhan lokal dapat disediakan dan
penggunaan lahan dapat ditingkatkan (Anonim,2001b).
1005
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
METODOLOGI
Lokasi Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK)
Cikampek.
Prosedur Penelitian
Prosedur kerja perekayasaan alat pembuat lubang tanam yang dilengkapi alat
pengangkutan bibit adalah sebagai berikut :
1) Merekayasa roda berban besi dan rantai besi pada roda
2) Pelaksanaan ujicoba alat pembuat lubang tanam yang dilengkapi alat pengangkutan
bibit dengan mengamati waktu kerja (jam), jarak angkut (m), hasil kerja (lubang tanam
dan bibit), Di samping itu, diamati juga waktu pembuatan lubang tanam dan
pengangkutan bibit secara manual. Kelayakan teknis dikaji berdasarkan fungsi alat
sebagai berikut: alat pembuat lubang tanam berfungsi dengan baik, sistem mesin
bekerja dengan baik, sistem roda berjalan lancar. Alat dapat berjalan dengan baik di
tanah hutan yang mempunyai kelerengan di bawah 25% sehingga dapat masuk di petak
tanaman dengan lancar. Kelayakan social dikaji berdasarkan seberapa jauh tenaga
mekanis ini dapat menggantikan tenaga kerja (manual) sehingga dapat mengurangi
penyerapan tenaga kerja dalam penanaman
1006
ILMU KEHUTANAN
1 2 3 45 6 7 8 9 10 11
Keterangan gambar: 1 = Roda alat angkut bibit; 2 = Kerangka alat angkut bibit; 3 =
Gandengan alat angkut bibit; 4 = Tangkai bor tanah untuk membuat
lubang tanam ; 5 = Gigi reduksi; 6 = Kerangka alat pembuat lubang
tanam; 7 = Gear box; 8 = As roda; 9 = Roda; 10 = Mesin; 11 = Pelindung
mesin
Gambar1. Alat pembuat lubang tanam yang dilengkapi alat pengangkutan bibit
Analisis Data
Analisis data dilakukan secara tabulasi. Alatanalisis yang digunakanadalah rata-rata (mean).
Rumus yang digunakan dalam analisis data adalah sebagai berikut:
1) Untuk menghitung produktivitas alat dihitung dengan rumus:
2)
P = J
W
Untuk menghitung biaya dibedakan biaya tetap dan biaya tidak tetap.Yang dimaksud
biaya tetap adalah biaya penghapusan, biaya asuransi, bunga dan pajak.Biaya tidak tetap
meliputi biaya bahan bakar, pelumas, perawatan dan perbaikan, suku cadang dan tenaga
kerja. Perhitungan biaya adalah sebagai berikut (Wackerman, 1949):
2) Biaya penghapusan
3)
M-R
D=
Nt
1007
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Biaya bunga modal, pajak dan asuransi rumusnya yaitu FAO (Anonim,1992) :
Biaya bahan bakar = Penggunaan bahan bakar (liter/jam x harga bahan bakar per liter
(Rp/liter)
9) Kelayakan ekonomi dikaji berdasarkan nilai bersih sekarang (NPV), jangka waktu
pengembalian (pay back period), nilai penerimaan internal (IRR) dan perbandingan rasio
keuntungan dan biaya (B/C ratio).
1008
ILMU KEHUTANAN
Tabel 1. Data dasar perhitungan biaya pembuatan lubang tanam secara mekanis
1009
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Penggunaan alat pembuat lubang tanam secara mekanis yang dilengkapi alat bantu
layak untuk diusahakan karena pay back period< 5 tahun, NPV positif Rp 41. 832.706,
IRR> 18% (64,34%) dan B/C rasio > 1 (1,36).
1010
ILMU KEHUTANAN
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 1974. Logging and transport in tropical high forest. FAO Development Paper No.
18. Rome.
_______. 1992. Cost control in forest harvesting and road construction. FAO Forestry
Paaper No. 99. Rome.
_______. 2001a. Restrukturisasi industri kehutanan.Departemen Kehutanan dan ITTO.
Jakarta.
_______. 2001b. Hutan tanaman untuk penciptaan sumber daya.Departemen Kehutanan
dan ITTO. Jakarta.
Dulsalam, D. Tinambunan dan Sukadaryati. 2007. Rekayasa alat pembuat lubang tanam
secara mekanis yang dilengkapi alat pengangkutan bibit. Laporan Hasil Penelitian.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor. Tidakditerbitkan.
Laban, B. Y. 2004. Kebijakan restrukturisasi industri kehutanan berbasis pengelolaan hutan
lestari. Prosiding Ekspose Hasil-Hasil Litbang Hasil Hutan dalam Mendukung
Program Restrukturisasi Industri Kehutanan, tanggal 16 Desember 2004 di Bogor.
Hlm. 7-14. Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Hasil Hutan. Bogor.
Wackerman, A. E. 1949. Harvesting Timber Crops. McGraw-Hill Book Company. New York.
1011
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
LAMPIRAN
Gambar 1. Alat pembuat lubang tanam Gambar 2. Bor tanah melubangi tanah
yang dilengkapi alat angkut bibit bermuatan
bibiit mulai menuju lokasi pembuatan
lubang tanam (pandangan belakang)
1012
LAMPIRAN
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Panitia Pengarah:
Dekan Fakultas Kehutanan UGM
Dr. Sri Nugroho Marsoem - UGM
Prof. Dr. T.A. Prayitno UGM
Ir. Kasmudjo, MS - UGM
Prof. Dr. Yusuf Sudo Hadi IPB
Prof. Dr. M. Yusram Massijaya IPB
Dr. Subyakto LIPI
Dr. Anita Firmanti Puslitkim PU
Panitia Pelaksana:
Ketua: Dr. Joko Sulistyo UGM
1014
ILMU KEHUTANAN
DOKUMENTASI KEGIATAN
1015
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
1016
Daftar Peserta Seminar Nasional
Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
University Club Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta, 2 November 2011
NO. NAMA INSTANSI
1 A. Syaffari Kosasih Pusat Penelitian dan Pengembangan Peningkatan Produktivitas Hutan, Bogor
2 Abdurachman Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan, Bogor
3 Achmad Basuki
4 Achmad Supriyadi Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan, Bogor
5 Adi Santoso Litbang Kehutanan Bogor
6 Aditya Hani Balai Penelitian Kehutanan Ciamis
7 Adrin
8 Agung Dwi Anggoro Bagian Teknologi Hasil Hutan Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
9 Agus Ismanto Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan, Bogor
10 Agus Ngadianto Bagian Teknologi Hasil Hutan Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
11 Agus Sulistyo Budi Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman, Samarinda
12 Agus Wahyudi Balai Besar Penelitian Dipterokarpa, Samarinda
13 Ahmad Gadang P Balai Penelitian Teknologi Serat Tanaman Hutan
14 Ali Awaludin Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
15 Alimudin Yusuf Universitas Winayamukti, Bandung
16 Alpian Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Palangka Raya
17 Ana Agustina Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan IPB, Bogor
18 Andi Detti Yunianti Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin, Makasar
19 Andi Sadapotto Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin, Makasar
20 Andrian Fernandes Balai Besar Penelitian Dipterokarpa, Samarinda
21 Anis Sri Lestari UPT BPP Biomaterial LIPI
22 Anisa Alfiana Gazidy Bagian Teknologi Hasil Hutan Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
23 Anne Hadiyane Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati (STIH), ITB Bandung
24 Anton Prasojo Bagian Teknologi Hasil Hutan Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
1017
ILMU KEHUTANAN
1018
26 Arida Susilowati Mahasiswa Pascasarjana Silvikutrur Tropika, Fakultas Kehutanan IPB, Bogor
27 Arief Heru Prianto UPT BPP Biomaterial LIPI
28 Arinana Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan IPB, Bogor
29 Arvita Erizal Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan IPB, Bogor
30 Asmanah Widiarti Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi, Bogor
31 Atak Sumedi Jurusan Teknologi Hasil Hutan Politeknik Pertanian Negeri Samarinda
32 Atmawi Darwis Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati (STIH), ITB Bandung
33 Bambang Subiyanto Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
34 Bandi Supraptono Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman, Samarinda
35 Barly Litbang Kehutanan Bogor
36 Beta Putranto Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin, Makasar
37 Danang Sudarwoko Adi UPT BPP Biomaterial LIPI
38 Deddy Triyono Nugroho Adi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
39 Dede Hermawan Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan IPB, Bogor
40 Dedi Kusmawan Balai Penelitian Terpadu Perumahan Tradisional Denpasar
41 Deni Zulfiana Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
42 Didi Tarmadi UPT BPP Biomaterial LIPI
43 Djamal Sanusi Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin, Makasar
44 Djeni Hendra Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan, Bogor
45 Dony A. Djitmau Fakultas Kehutanan Universitas Negri Papua, Sorong
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
1019
ILMU KEHUTANAN
NO. NAMA INSTANSI
1020
76 I.G.N. Adhijtjahjo Akademi Teknik PIKA, Semarang
77 I.G.N. Danu Sayudha Bagian Teknologi Hasil Hutan Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
78 Ihak Sumardi Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati (STIH), ITB Bandung
79 Ika Wahyuni UPT BPP Biomaterial LIPI
80 Illa Anggraeni Pusat Penelitian dan Pengembangan Peningkatan Produktivitas Hutan, Bogor
81 Imam Wahyudi Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan IPB, Bogor
82 Imron Ara'ad S Bagian Teknologi Hasil Hutan Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
83 Indrawati Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman, Samarinda
84 Inggit Tutirin Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan IPB, Bogor
85 Irawan Wijaya Kusuma Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman, Samarinda
86 Irmasari Fakultas Kehutanan Universitas Tadulako, Palu
87 Ismadi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
88 Ismail Budiman Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
89 Isna Yuniar Wardani Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman, Samarinda
90 Iwan Risnasari Mahasiswa Pascasarjana Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan IPB, Bogor
91 J.P. Gentur Sutapa Bagian Teknologi Hasil Hutan Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
92 James Rilatupa Universitas Kristen Indonesia
93 Jasni Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan, Bogor
94 Jepri G.M.Purba Bagian Teknologi Hasil Hutan Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
1021
ILMU KEHUTANAN
NO. NAMA INSTANSI
1022
126 Musrizal Muin Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin, Makasar
127 Muthmainnah Mahasiswa Pascasarjana Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan IPB, Bogor
128 Myrtha Karina UPT BPP Biomaterial LIPI
129 Nanang Masruchin Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
130 Nani Husien Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman, Samarinda
131 Naresworo Nugroho Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan IPB, Bogor
132 Nia Widyastuti Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan IPB, Bogor
133 Nifa Hanifah Fakultas Kehutanan IPB, Bogor
134 Niken Subekti Universitas Negeri Semarang
135 Nina Mindawati Pusat Litbang Peningkatan Produktifitas Hutan
136 Noor Farikhah Haneda Fakultas Kehutanan IPB, Bogor
137 Nur Maulida Sari Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman, Samarinda
138 Nurhaida Fakultas Kehutanan Universitas Tanjung Pura, Pontianak
139 Nurwati Hadjib Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan, Bogor
140 Nyoman Wistara Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan IPB, Bogor
141 Paranita Asnur
142 R Esa Pangersa G. Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan, Bogor
143 Ragil Widyorini Bagian Teknologi Hasil Hutan Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
144 Ratih Damayanti Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan, Bogor
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
145 Renhart Jemi Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Palangka Raya
146 Renny Purnawati Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan IPB, Bogor
147 Retno Widiastuti Balai Besar Kerajinan dan Batik Yogyakarta
148 Rina Bogidarmanti Pusat Penelitian dan Pengembangan Peningkatan Produktivitas Hutan, Bogor
149 Ringgar Patria Putra Bagian Teknologi Hasil Hutan Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
150 Riskan Effendi Puslitbang Peningkatan Produksi Hasil Hutan, Bogor
NO. NAMA INSTANSI
151 Rita Diana Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman, Samarinda
152 Rita Kartika Sari Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan IPB, Bogor
153 Rudi Hartono Fakultas Pertanian Universitas Sumatra Utara
154 Rukmi Fakultas Kehutanan Universitas Tadulako, Palu
155 Ruslan Balai Pengembangan Tek. Perumahan Tradisional Makassar
156 Rusli Balai Penelitian Terpadu Perumahan Tradisional Denpasar
157 Saefudin Puslit Biologi LIPI
158 Sahwalita Balai Penelitian Kehutanan Palembang
159 Saptadi Litbang Kahutanan Bogor
160 Sasa Sofyan Munawar UPT BPP Biomaterial LIPI
161 Senawi Bagian Managemen Hutan Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
162 Sipon Muladi Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman, Samarinda
163 Sita Heris Anita UPT BPP Biomaterial LIPI
164 Soenardi Bagian Teknologi Hasil Hutan Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
165 Sona Suhartana Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan, Bogor
166 Sri Asih Handayani Fakultas Kehutanan, Universitas Mulawarman
167 Sri Komarayati Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan, Bogor
168 Sri Nugroho Marsoem Bagian Teknologi Hasil Hutan Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
169 Sri Purwaningsih Balai Besar Penelitian Dipterokarpa, Samarinda
170 Sri Rulliaty Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan, Bogor
171 Sri Suharti Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi Bogor
172 Subyakto UPT BPP Biomaterial LIPI
173 Sucahyo Sadiyo Departemen Hasil Hutan Fakultas Kehutanan IPB, Bogor
174 Suhasman Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin, Makasar
175 Sukadaryati Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan, Bogor
1023
ILMU KEHUTANAN
NO. NAMA INSTANSI
1024
176 Sukaesih Prajadinata Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi Bogor
177 Sukariyan Politeknik Pertanian Samarinda
178 Sukma Surya Kusumah UPT BPP Biomaterial LIPI
179 Sulaeman Yusuf UPT BPP Biomaterial LIPI
180 Sulistyo A. Siran Pusat Penelitian Perubahan Iklim dan Kebijakan, Balitbang Kehutanan
181 Sumarhani Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi, Bogor
182 Suprapedi UPT BPP Biomaterial LIPI
183 Surdiding Ruhendi Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan IPB, Bogor
184 Sushardi Institut Pertanian INSTIPER, Yogyakarta
185 Sutiyono Pusat Penelitian dan Pengembangan Peningkatan Produktivitas Hutan, Bogor
186 Sutjipto A. Hadikusumo Bagian Teknologi Hasil Hutan Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
187 Syahidah Sunandar Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin, Makasar
188 Syamsul Falah Fakultas MIPA Institut Pertanian Bogor
189 T.A. Prayitno Bagian Teknologi Hasil Hutan Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
190 Taulana Sukandi Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan, Bogor
191 Teguh Darmawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
192 Titi Kalima Kelti Botani dan Ekologi Hutan Puslitbang Konservasi dan Rehabilitasi
193 Titi Karliati Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati (STIH), ITB Bandung
194 Tony Arifiarachman PT. Mutu Agung Lestari, Bogor
195 Totok K Waluyo Pusat Litbang Keteknikan kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan, Bogor
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
1025
ILMU KEHUTANAN