Anda di halaman 1dari 634

KUMPULAN MAKALAH

PENGANTAR ILMU LINGKUNGAN

Editor:
Prof. Dr. Ir. Adnan Kasry

PROGRAM STUDI ILMU LINGKUNGAN


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
2016
KATA PENGANTAR

Kumpulan makalah ini merupakan himpunan makalah Mahasiswa Magister


Program Studi Ilmu Lingkungan Pascasarjana Universitas Riau. Setiap makalah
merupakan bagian dari mata kuliah Pengantar Ilmu Lingkungan.
Setiap makalah yang dihimpun dalam buku ini telah melalui “editing” beberapa
kali. Persetujuan akhir untuk dimuat dalam kumpulan makalah Pengantar Ilmu
Lingkungan diperoleh setelah diseminarkan. Tanggung jawab ini berada pada masing-
masing mahasiswa, sedangkan dosen (editor) mengarahkan dan mengoreksi sampai
selesai.
Semoga kumpulan makalah ini bermanfaat bagi yang memerlukan. Terima kasih.

Pekanbaru, Desember 2016


Editor

Prof. Dr. Ir. Adnan Kasry

ii
DAFTAR ISI

Halaman
TIM PENYUSUN MAKALAH……………………………………………….. i
KATA PENGANTAR…………………………………………………………. ii
DAFTAR ISI………………………………………………………………….... iii

I. PENGELOLAAN AIR
1. Pemanfaatan Mineral Lempung sebagai Koagulan untuk Pengolahan Air
Gambut Desa Rimbo Panjang Kabupaten Kampar (Ardiansyah
Hamid)………………………………………………………………………
2. Pemanfaatan Campuran Arang Sekam Padi dan Karbon Aktif untuk
Menurunkan Kesadahan dan Besi (Fe) Air dari Sungai Jurong-Duri
(Welman Afero Simbolon).............................................................................

II. PEMANFAATAN TANAH


1. Pemanfaatan Tanah Terkontaminasi Minyak Bumi (TTM) sebagai
Subtitusi Bahan Baku Batubata di Kecamatan Minas Kabupaten Siak
Provinsi Riau (Budi Harsana)……………....................................................
2. Pencegahan Kebakaran Lahan Gambut dengan Pengembangan Perkebunan
Sagu di Perkebunan Rakyat Pulau Bengkalis (Fery Dasmono
Harianja)………………………….................................................................
3. Perbaikan Kualitas Tanah pada Penggunaan Lahan terhadap Tingkat
Erosi DAS Siak pada Kecamatan Tualang Kabupaten Siak (Jerri
Fendri)……………………………..........................................................
4. Perbaikan Lingkungan Tempat Tumbuh Tanaman dalam Rangka
Menaikkan Produksi Kayu melalui Pemupukan Tanah Ultisol di HTI PT.
RAPP Kabupaten Kuantan Singingi (Wahyudi)…………............................

iii
III. PENCEMARAN
1. Perancangan Penerapan Proses Produksi Bersih pada Industri Tahu di
Kecamatan Rengat Kabupaten Indragiri Hulu (Amalia Prafitra
Harman)………………………………………..............................................
2. Penanggulangan Limbah Cair Pabrik Pulp dan Kertas PT. RAPP terhadap
Perbaikan Kualitas Sungai Kampar di Pangkalan Kerinci Kabupaten
Pelalawan Riau (Barkatul Aulia)……………………………………….......
3. Pengolahan Limbah Domestik Menggunakan Tanaman Hias Bintang Air
(Cyperus Alternifolius, L.) dalam Sistem Lahan Basah Buatan Aliran
Bawah Permukaan (SSF-Wetlands) di Komplek Perumahan PT. CPI–Duri
(Indra Kamil)………………………….........................................................
4. Pencegahan Pencemaran Air Sungai Bunut oleh Limbah Industri Karet PT.
Bakrie Sumatera Plantation Bunut Factory terhadap Persawahan di
Kecamatan Rawang Panca Arga, Kabupaten Asahan (Nazri
Zulfadjrin)………………………………………………………………......
5. Pemanfaatan Air Lindi Limbah Domestik pada Bioremidiasi Tanah
Terkontaminasi Minyak Bumi di PT. Chevron Pacific Indonesia Pematang
Duri (Saleh)…………………………………………………………………
6. Penurunan Pendengaran Pemotong Rumput Akibat Kebisingan Mesin
Pemotong Rumput di Kecamatan Mandau–Duri (Sonny
Pratama)………….........................................................................................
7. Peningkatan Kebutuhan Kapasitas Pengolahan Air Lindi di Tempat
Pemrosesan Akhir Sampah Rumah Tangga Muara Fajar Kecamatan
Rumbai Pesisir Pekanbaru (Wilyanda)…………………………………......

IV. EKOWISATA
1. Percepatan Restorasi Ekosistem dan Perlindungan Keanekaragaman
Hayati Dikawasan Restorasi Ekosistem Pulau Padang Kabupaten
Kepulauan Meranti (Dibyo Kuswiyono)……………………………………
2. Peningkatan Kegiatan Masyarakat Dalam Pelestarian Fungsi Ekosistem
Mangrove di Kota Dumai (Fika Yulia Rachmah)………………………......

iv
3. Pelestarian Keanekaragaman Hayati di Kawasan Hutan Taman Raya
Sultan Syarif Hasyim Kecamatan Minas Kabupaten Siak (Resarizki
Utami)………………………………………………………………………

V. PETERNAKAN
1. Pemanfaatan Itik sebagai Pengganti Pestisida dalam Membasmi Hama dan
Gulma Desa Pulau Ingu Kecamatan Benai Kabupaten Kuantan Singingi
(Wilia Elvionita)………………………………………………………….....

v
PERANCANGAN PENERAPAN PROSES PRODUKSI BERSIH PADA INDUSTRI
TAHU DI KECAMATAN RENGAT KABUPATEN INDRAGIRI HULU

Oleh :
AMALIA PRAFITRA HARMAN
NIM. 1510248383

PROGRAM STUDI ILMU LIGNKUNGAN

PROGRAM PASCA SARJANA

UNIVERSITAS RIAU

PEKANBARU

2016
I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Saat ini pembangunan di Indonesia mendasarkan pada konsep pembangunan yang


berkelanjutan, dimana mempertimbangkan daya dukung lingkungan yang ada. Prinsip
pembangunan berkelanjutan salah satunya adalah dengan menerapkan efisiensi dan
konservasi terhadap penggunaan sumberdaya alam, mengurangi limbah yang terbentuk dan
energi yang dipakai. Industri yang berkembang saat ini tak mampu lagi terkontrol dengan
baik, pada satu sisi ini merupakan kebangkitan perekonomian rakyat namun disisi lain
memprihatinkan karena kurang memperhatikan lingkungan. Namun seiring berjalannya waktu
paradigma tentang end of pipe pada suatu industri mulai berubah menjadi zero waste.

Menurut Herlambang (2002), Zero waste dapat diartikan sebagai konsep untuk
mengupayakan agar suatu kegiatan itu menghasilkan limbah dalam jumlah yang sekecil-
kecilnya, bahkan tidak menghasilkan limbah sama sekali. Upaya ini disebut sebagai
minimisasi limbah. Dalam minimisasi limbah terdapat tiga hal yang harus dilakukan, yaitu
perubahan bahan baku industri, perubahan proses produksi, dan daur ulang limbah. Bila
dalam proses produksi ini masih menghasilkan limbah, maka upaya minimisasi dilakukan
dengan daur ulang atau pemanfaatan kembali limbah yang dihasilkan. Limbah yang dibuang
ke lingkungan hanyalah limbah yang benar-benar tidak dapat dimanfaatkan kembali.

Seperti industri pengolahan lainnya, industri tahu juga menghasilkan limbah baik yang
padat ataupun cair. Limbah padat kebanyakan digunakan untuk pakan ternak sehingga tidak
begitu mempengaruhi lingkungan, namun limbah cair pada industri tahu ini memberikan
dampak terhadap lingkungan berupa bau dan bila dibuang kesungai maka akan menyebabkan
pencemaran. Dengan demikian industri tahu ini memerlukan pengolahan limbah untuk
mengurangi beban pencemar.

Di Kabupaten Indragiri Hulu terdapat 52 buah industri tahu skala kecil dan menengah.
Dari keseluruhan industri tahu tersebut belum ada industri yang memiliki Instalasi Pengolahan
Air Limbah ataupun industri yang menerapkan produksi bersih dalam proses produksi dan
upaya penanganan limbah industri nya. Para Pengrajin tahu tidak mengetahui manfaat dari
produksi bersih apabila mereka menerapkannya pada setiap proses produksinya. Para
223

Pengrajin tahu di Kabupaten Indragiri Hulu melakukan proses produksi berdasarkan


kebiasaan pendahulunya, atau bisa dikatakan selama proses pembuatan tahu tidak ada inovasi
dan kreativitas pengrajin untuk merubah atau mengambangkan proses produksi agar proses
produksi lebih optimal. Dengan jumlah industri tahu yang cukup banyak tentunya hal ini
menjadi dampak yang cukup besar pada lingkungan, dikarenakan proses yang tidak optimal
sehingga menghasilkan limbah yang akan mencemari lingkungan.

1.2. Permasalahan

Pendekatan akhir-pipa (end-of-pipe) yang digunakan sebagai salah satu strategi untuk
melindungi lingkungan bukanlah cara yang cukup efektif dalam hemat-biaya yang bagi
banyak kalangan usaha menjadi faktor penting dalam kelangsungan industrinya. Oleh karena
itu, upaya pengelolaan harus dirubah ke pemikiran front-of-process yang preventif dengan
penekanan bahwa pencemaran seharusnya tidak boleh terjadi ataupun dapat diminimalkan
melalui produksi bersih.

Pertumbuhan Industri tahu di Kabupaten Indragiri Hulu dari tahun ke tahun semakin
menigkat. Dari hasil peninjauan secara langsung semua industri tahu di Kabupaten Indragiri
Hulu masih menerapkan pendekatan end-of-pipe untuk limbah cair nya, bahkan ada beberapa
industri yang sama sekali belum mengolah limbah cairnya dan secara langsung membuang ke
lingkungan. Permasalahan lain yang muncul pada pendekatan end-of-pipe treatment adalah
pencemaran dan kerusakan lingkungan tetap terjadi dan cenderung terus berlanjut, karena
dalam prakteknya terdapat berbagai kendala, terutama masih rendahnya penaatan dan
penegakan hukum, masih lemahnya perangkat peraturan yang tersedia, serta masih rendahnya
tingkat kesadaran para Pengrajin tahu untuk mengelola industri mereka yang berbasis
lingkungan.

Kendala-kendala yang menjadi penyebab belum adanya indutri tahu di Kecamatan


Rengat yang menerapkan proses produksi bersih yang menimbulkan masalah sebagai berikut:

1. Kurangnya sosialisasi yang dilakukan Pemerintah daerah Kabupaten Indragiri Hulu


tentang produksi bersih kepada pengusaha industri tahu
224

2. Kurangnya kesadaran dan komitmen pihak pengusaha pemilik industri tahu di Kecamatan
Rengat yang belum mengenal dan menjalankan produksi bersih yang berwawasan
lingkungan.

3. Kurangnya kepedulian dan dukungan dari Pemeritah Daerah Kabupaten Indragiri Hulu
dalam pelaksanaan penerapan produksi bersih untuk industri tahu.
II. PENERAPAN PRODUKSI BERSIH PADA INDUTRI TAHU DI KABUPATEN
INDRAGIRI HULU.

2.1 Kedelai dan Tahu

Menurut para ahli botani, kedelai merupakan tanaman yang berasal dari Manchuria
dan sebagian Cina, di mana terdapat banyak jenis kedelai liar. Kemudian menyebar ke
daerah-daerah tropika dan subtropika. Setelah dilakukan pemuliaan, dihasilkan jenis-jenis
kedelai unggul yang dibudidayakan (Uransyah dan Madya, 2011). Kedelai merupakan
tanaman semusim dan termasuk tanaman basah.

Menurut Rukman dan Yuniarsih (1996), kedudukan kedelai dalam sistematik


tumbuhan (taksonomi) diklasifikasikan sebagai berikut :

Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta

Sub-divisi : Angiospermae

Kelas : Dicotyleddonae

Ordo : Polypetales

Famili : Leguminosae

Sub-Famili : Papilonoideae

Genus : Glycine

Spesies : Glycine max (L.) Merill

Kacang kedelai terkenal dengan nilai gizinya yang kaya. Kacang kedelai merupakan
protein lengkap, dan merupakan salah satu makanan yang mengandung 8 asam amino yang
penting dan diperlukan oleh tubuh manusia. Tidak seperti makanan lain yang
mengandung lemak jenuh dan tidak dapat dicerna yang terdapat pada sebagian besar makanan
hewan, kacang kedelai tidak mengandung kolesterol, mempunyai rasio kalori yang rendah
dibandingkan protein dan bertindak sebagai makanan yang tidak menggemukkan bagi
penderita obesitas.

1
226

Kacang kedelai juga mengandung kalsium, zat besi, protein, potasium dan
phosphorous. Kacang kedelai juga kaya akan vitamin B kompleks. Kacang kedelai juga
mengandung protein tinggi, makanan berkalsium tinggi. Kacang-kacangan dan biji-bijian
seperti kacang kedelai merupakan bahan pangan sumber protein dan lemak nabati yang
sangat penting peranannya dalam kehidupan. Asam amino yang terkandung dalam
proteinnya tidak selengkap protein hewani. Kedelai mengandung protein 35 % bahkan pada
varietas unggul kadar proteinnya dapat mencapai 40 - 43 %. Dibandingkan dengan beras,
jagung, tepung singkong, kacang hijau, daging, ikan segar, dan telur ayam, kedelai
mempunyai kandungan protein yang lebih tinggi, hampir menyamai kadar protein susu skim
kering.

Sebagai bahan makanan, banyak orang tidak mengetahui kualitas kacang kedelai.
Padahal diantara jenis kacang-kacangan yang lain, kedelai merupakan sumber protein,
lemak, vitamin, mineral, dan serat paling baik. Kedelai juga mampu membantu menjaga
kesehatan ginjal, jantung, diabetes, rematik, anemia, hipertensi, diare, dan hepatitis. Kedelai
mempunyai banyak kegunaan bagi manusia. Kegunaan kedelai sebagai sumber protein
nabati, yang dapat diperoleh dengan caramengolah kedelai menjadi berbagai jenis makanan,
seperti tahu, tempe, tauco,kecap,dan susu kedelai.

Alasan utama kedelai diminati masyarakat luas di dunia antara lain karena dalam biji
kedelai terkandung gizi yang tinggi. Kandungan gizi yang terkandung dalam 100 gram bahan
kedelai dapat dilihat pada Tabel 1. Disamping itu, kadar asam amino kedelai termasuk paling
lengkap.

Kedelai muncul sebagai salah satu sumber makanan alternatif yang kaya protein
untuk konsumsi manusia. Berikut ini adalah beberapa manfaat utama kedelai (Adisarwanto,
2005) :

1. Soy protein (protein kedelai) adalah protein tanaman. Kacang kedelai mengandung
protein lengkap dan salah satu protein yang terbaik di antara semua sumber protein yang
mudah dicernakan. Kacang kedelai juga mengandung sedikit atau tidak berlemak dan
hampir tidak ada kolesterol.Untuk orang-orang yang tidak tahan dengan laktosa akan
senang mengetahui bahwa kacang kedelai tidak mengandung galaktosa.
227

2. Menjadi tanaman protein, kacang kedelai bebas dari steroids dan tidak mengandung
antibiotik protein hewani. Bahan ini juga bebas dari parasit yang mencemari
beberapa produk. Kedelai juga bebas dari sumber penyakit seperti sapi gila maupun
penyakit mulut dan kuku.

3. Vegetarian (pemakan sayuran) sangat suka dengan kedelai karena mampu


menyediakan protein jika tidak lebih baik sebagai sumber protein dibanding
dengan sumber protein hewani. Memberikan kandungan protein yang lebih
baik dan lebih mudah dicerna setara dengan kebanyakan, suplemen, protein.

4. Kacang kedelai sangat serbaguna. Kacang kedelai sangat serbaguna. Berbagai masakan,
terutama Asia yang mengenali nilai dari kacang kedelai ini. Berbagai bahan makanan
yang alami,sedap dan lezat semua berbahan kedelai, misalnya : Tahu, puding kedelai,
Soya susu, pengganti daging.

5. Untuk mengatasi masalah kelaparan dunia, telah diusulkan budi daya kedelai secara
besar-besaran. Kedelai sangat mudah untuk tumbuh dan panen, mereka akan tumbuh
hampir di mana saja dan menghasilkan banyak dalam waktu singkat. Telah
dilaporkan bahwa banyak petani telah mengganti seluruh tanaman dengan kacang
kedelai.

6. Bahan makanan pengganti yang baik kedelai mengandung kadar lemak yang rendah dan
dapat digunakan sebagai pengganti sumber protein lain. Bila memasak, Anda dapat
menggunakan tepung kedelai sebagai pengganti tepung terigu untuk bahan alternatif
rendah lemak.

7. Sangat dianjurkan lebih mengkonsumsi protein alami daripada protein buatan jika
memungkinkan, Protein buatan sebagai makanan biasanya memiliki beberapa risiko
yang menyertainya. Penggunaan terbaik atas kedelai dikarenakan kedelai ini rendah
lemak dan cocok untuk diet protein tinggi.

8. Produk kedelai dapat dimasukkan ke dalam aneka jus dan minuman. Karena bebas
laktosa, orang-orang yang tidak tahan dengan laktosa masih akan bias
mengkonsumsi.
228

9. Produk kedelai juga dapat menjadi sumber bahan gizi lain seperti saponins, isoflavon,
dan phytosterol. Saponins membantu mendukung sistem kekebalan tubuh. Bila
bergabung dengan kolesterol untuk menghindari peningkatan penyerapan kolesterol
dalam tubuh. Phytosterols juga membantu mengurangi penyerapan kolesterol dalam
tubuh dengan cara yang sama dengan saponins lakukan.

10. Isoflavon merupakan antioksidan yang kuat dan mampu mencegah efek radikal
bebas dalam tubuh. Dapat mencegah banyak tanda-tanda penuaan dan telah dikenal
untuk membantu mencegah kanker. Hal ini membuat kedelai menjadi sumber protein
ajaib. Isoflavon,bersama dengan vitamin A, C dan E adalah pertahanan
terdepan dalam memerangi penyakit tersebut mereka juga menangkis efek dari
polusi dan stres.

11. Tidak seperti sumber protein lain, kedelai cukup aman untuk dikonsumsi dalam
jumlah besar. Sementara alergis terhadap produk kedelai memang ada, tetapi
merupakan kasus yang jarang sekali.

Tabel. 1. Kandungan gizi yang terkandung dalam 100 gram bahan kedelai

Kedelai Basah Kedelai Kering


Kandungan Gizi
(gram) (gram)
Kalori (Kal) 286,00 331,00
Protein (gram) 30,20 34,90
Lemak (gram) 15,60 18,10
Karbohidrat(gram) 30,10 34,80
Kalsium (mgram) 196,00 227,00
Fospor (mgram) 506,00 585,00
Zat Besi (mgram) 6,90 8,00
Vitamin A (S.I) 95,00 110,00
Vitamin B1 (mgram) 0,93 1,07
Vitamin C - -
Air (gram) 20,00 10,00
Bagian yang dapat dimakan
100,00 100,00
(%)
Sumber : Menteri Kesehatan Republik Indonesia (1997).
229

Tahu merupakan bahan makanan yang berbahan baku kedelai. Kata tahu berasal dari
bahasa Cina yaitu tao-hu atau teu-hu. Kata tao yang berarti kedelai, sementara hu berarti
lumat atau menjadi bubur. Di Jepang, tahu dikenal dengan nama tohu, sedangkan dalam
bahasa Inggris disebut soybean curda atau tofu.

Menurut Shurtleff dan Aoyagi (1984), tahu merupakan konsentrat protein kedelai.
Tahu merupakan produk makanan berbentuk padat lunak yang dibuat melalui proses
pengolahan kedelai (Glytine sp.) dengan cara pengendapan proteinnya, dengan atau tanpa
bahan lain yang diizinkan.

Di Indonesia tahu sudah sangat merakyat dan sudah menjadi makanan pokok ataupun
makanan tambahan bagi sebagian besar penduduk Indonesia. Mudjajanto (2005)
menyatakan bahwa jumlah Pengrajin tahu di Indonesia sudah tersebar dan menjadi industri
yang paling diminati oleh masyarakat Indonesia. Indonesia pun telah menjadi salah satu
produsen tahu terbesar di dunia. Di Indonesia tahu sangat mudah didapatkan baik di pasar
tradisional maupun di supermarket. Tahu adalah produk pangan yang dihasilkan dari
kedelai yang dihaluskan hingga menjadi sari dan diperas. Ekstrak kedelai yang didapatkan
kemudian dipadatkan atau dicetak sesuai ukuran. Tahu adalah makanan rendah kalori
namun tinggi protein.

Berikut beberapa manfaat tahu bagi kesehatan adalah (Hamid, 2012) :

1. Kandungan protein tahu yang tinggi

Manfaat tahu yang pertama adalah tahu memilili kandungan protein tinggi yang baik
untuk tubuh manusia yang membutuhkan protein agar dapat berfungsi dengan baik.
Protein tak hanya bisa didapat dari daging, banyak protein nabati yang bisa kita
dapat salah satunya pada tahu.

2. Sumber protein untuk penderita asam urat

Penelitian yang dilakukan untuk mempelajari pengaruh tahu menunjukkan bahwa,


manfaat tahu memiliki sumber protein yang baik, terutama untuk penderita rematik
atau memiliki kadar asam urat yang tinggi.
230

3. Rendah kolesterol

Manfaat tahu dapat menurunkan kadar kolesterol tinggi yang merupakan salah satu
penyebab terserang penyakit jantung. Banyak masyarakat mencoba menghindari
mengonsumsi makanan berlemak seperti gorengan, dan santan. Tahu dapat
mengurangi tingkat kolesterol dalam tubuh, karena tahu akan menyerap minyak
goreng dan cairan lain yang terakumulasi dalam tubuh yang dapat menyebabkan
penyakit.

4. Mencegah anemia

Manfaat tahu bagi kesehatan termasuk mengurangi resiko anemia. Sebuah studi
yang dilakukan di Cina yang menyelidiki hubungan antara anemia dan tahu
menunjukkan, bahwa tahu terbukti menurunkan risiko anemia pada golongan orang
dewasa.

5. Tahu memiliki sifat antikanker

Manfaat tahu mengandung isoflavon yang bermanfaat untuk mengurangi risiko


terkena kanker. Penelitian tentang asupan kedelai dan kanker endometrium
menunjukkan, bahwa konsumsi produk seperti tahu yang lebih tinggi dapat
mengurangi risiko kanker endometrium pada wanita pasca menopause.

6. Tahu bermanfaat baik bagi kardiovaskular

Asupan makanan yang tepat akan memberikan peran yang sangat penting untuk
menjaga kesehatan jantung. Konsumsi rutin produk kedelai seperti tahu dapat
menurunkan kadar kolesterol dan lemak jenuh dalam tubuh.

7. Sumber kalsium

Tahu merupakan sumber kalsium yang baik. Kalsium merupakan kunci dari
pembentukan tulang. Hal ini tidak mudah untuk mendapatkan nutrisi ini atau
mineral dalam jumlah yang tepat. Inilah sebabnya mengapa asupan tahu dianjurkan,
karena mengandung kalsium yang tinggi. Kurangnya kalsium dalam tubuh dapat
menyebabkan osteoporosis, efek penuaan lebih cepat karena tulang rapuh dan minim
pembentukan tulang baru. Setiap orang rentan terhadap efek penuaan pada beberapa
231

hal dalam hidup, tetapi efek dari penuaaan ini dapat diperlambat dengan melakukan
beberapa langkah, salah satunya adalah dengan mengonsumsi tahu, yaitu yang akan
membuat tulang menjadi kuat dan kokoh.

8. Mengandung zat besi

Zat Besi yang terkandung dalam tahu memiliki zat yang berperan penting dalam
memasok oksigen ke seluruh bagian tubuh. Ini secara tak langsung adalah kegunaan
dari hemoglobin, yang bertugas untuk mengangkut oksigen ke setiap bagian dari
tubuh. Tahu merupakan sumber zat besi yang baik, dan dengan demikian akan
membantu dalam melaksanakan sirkulasi oksigen dalam tubuh.

Pemanfaatan kedelai menjadi tahu ini memang tidak sia-sia karena kandungan gizi
yang terdapat di dalam tahu cukup tinggi dan mengandung Asam Amino yang
dibutuhkan tubuh manusia ( Santoso, 1993). Komposisi Asam Amino yang terkadung
dalam tahu seperti pada Tabel 2.

Tabel 2. Komposisi Asam Amino yang terkandung dalam tahu

Jumlah
No. Asam Amino
(mg/g nitrogen total)
1 Nitrogen 1,38
2 Isoleusin 360
3 Leusin 618
4 Lisin 460
5 Metionin 108
6 Sistin 108
7 Fenilalanin 443
8 Treonin 235
9 Triptopan 133
10 Valin 364
11 Arginin 342
12 Hisditin 191
13 Alanin 189
14 Asam Aspartat 612
15 Asam Glutamat 1113
16 Glisin 212
17 Prolin 297
18 Serin 266
Sumber : Menteri Kesehatan Republik Indonesia (1997)
232

Syarat mutu tahu berdasarkan SNI 01-3142-1992 dapat dilihat pada Tabel. 3.

Tabel 3. Syarat Mutu Tahu

No. Kriteria Uji Satuan Persyaratan


1 Bau - Normal
Rasa - Normal
Warna - Putih bersih atau kuning bersih
Penampakan Normal tidak berlendir dan tidak
-
berjamur
2 Abu % (b/b) Maks 1,0
3 Protein % (b/b) Min 9,0
4 Serat kasar % (b/b) Maks0,1
5 Bahan tambahan Sesuai SNI 01-0222-1995 dan
makanan - Peraturan Men.Kes No
722/Men.Kes/ Per/ IX/ 1988
6 Cemaran mikroba - -
Angka lempeng
Koloni/g
total Maks. 1,0 x 106
Escherichia coli APM/g
Salmonella /25 g - Negatif
Sumber : Badan Standarisasi Nasional,(1992)

2.2. Proses Pembuatan Tahu

Proses pembuatan tahu terdiri dari dua bagian, yaitu pembuatan susu kedelai dan
penggumpalan proteinnya. Koswara (1992) mengemukakan bahwa susu kedelai dibuat
dengan merendam kedelai dalam air bersih. Perendaman dimaksudkan untuk melunkan
struktur kedelai sehingga mudah digiling dan memberikan dispersi dan suspensi bahan padat
kedelai lebih baik pada waktu ekstraksi. Perendaman juga dapat mempermudah pengupasan
kulit kedelai akan tetapi perendaman yang terlalu lama dapat mengurangi total padatan.
Kedelai yang telah direndam kemudian dicuci, digiling dengan alat penggiling bersama-sama
air panas (80°C) dengan perbandingan 1:10. Bubur kedelai yang dihasilkan selanjutnya
disaring dan filtratnya di didihkan selama 30 menit pada suhu 100–110°C. Susu kedelai yang
dihasilkan kemudian digumpalkan. Zat penggumpal yang dapat digunakan adalah, asam
laktat, asam asetat dan batu tahu (CaSO4), dan CaCl2.
233

Menurut Santoso (1993), tahapan proses pembuatan tahu sebagai berikut:

1. Pembersihan. Biji kedelai dibersihkan dari kotoran, misalnya kerikil, butiran tanah,
kulit, ataupun batang kedelai.

2. Perendaman. Kedelai direndam selama 6-8 jam sampai mengembang.

3. Pencucian. Kedelai yang telah direndam, dibersihkan dari kotoran yang tersisa lalu
tiriskan.

4. Penggilingan. Penggilingan kedelai dilakukan setelah proses pengupasan kulit


kedelai. Selalu dilakukan penyiraman selama proses penggilingan dengan memakai
air sedikit demi sedikit (sebaiknya digunakan air mendidih untuk mempertinggi
rendeman dan sekaligus menghilangkan bau langu kedelai). Tampung bubur
kedelai dalam wadah anti karat, misalnya wadah berbahan plastik, aluminium, atau
stainless steel.

5. Perebusan Bubur Kedelai. Perebusan dilakukan pada api besar. Pada proses
perebusan akan terbentuk busa pada permukaan bubur kedelai maka segera disiram
air bersih dingin secukupnya secara merata di seluruh permukaan atau minyak
goreng sebanyak 0,5 liter.

6. Penyaringan. Dalam keadaan panas bubur kedelai disaring dengan penambahan air
panas sekitar 100 liter hingga diperoleh air penyaringan yang jernih. Hasil saringan
ditampung dalam bak penggumpalan. Adapun ampas bubur kedelai dimasukan
kedalam wadah tersendiri untuk dijadikan pakan ternak.

7. Penggumpalan Protein Sari Kedelai. Cairan sari kedelai yang masih panas (± 700C)
dicampur pelan-pelan dan sedikit demi sedikit dengan bahan penggumpal yang
sebelumnya telah disiapkan. Proses penggumpalan terjadi selama 5-15 menit.
Dimana cairan kedelai yang semula berwarna putih susu akan pecah dan di
dalamnya terbentuk butiran-butiran protein yang akhirnya akan bergabung
membentuk gumpalan dan mengendap ke dasar bak (bakal tahu). Setelah itu, cairan
akan menjadi bening. Bila demikian berarti seluruh protein sudah menggumpal dan
mengendap. Secepatnya cairan bening dipindahkan ke tempat penyimpanan cairan
bekas.
234

8. Pencampuran. Bahan tambahan dilakukan pencampuran bahan tambahan (garam,


pengawet, perasa sintetis) segera dituang sedikit demi sedikit ke dalam bubur
kedelai sambil diaduk agar tercampur rata. Kegiatan pencampuran ini harus
dilakukan secara cepat sebelum suhu bubur kedelai mengalami penurunan suhu.

9. Pencetakan. Tahu Dalam keadaan hangat, bubur kedelai dimasukan kedalam


cetakan yang beralaskan kain saring halus. Dibiarkan bubur tahu dalam cetakan
selama 10-15 menit atau sampai cukup keras (tidak hancur bila diangkat) dan air
yang menetes dari cetakan sedikit. Potong tahu sesuai dengan ukuran yang
dikehendaki. Potongan-potongan tahu dapat direndam dalam air dingin dalam bak
yang terbuat dari logam tahan karat.

10. Produk Tahu. Produk tahu siap untuk dilakukan tahapan finishing dengan
pewarnaan, pengemasan, pasteurisasi, dan penggorengan untuk mempertahankan
mutu tahu. Untuk memperpanjang daya simpan tahu dapat ditambahkan bahan
pengawet seperti:

1. Natrium benzoat dengan dosis 1 g/liter air rendeman tahu.

2. Vitamin C dengan dosis 1 g/liter air rendeman tahu.

3. Tahu dapat dibungkus dalam kantong plastik, ditutup rapat, dan kemudian
direbus/dikukus selama 3 menit. Tahu dapat disimpan selama 4-7 hari, dalam
almari es dapat bertahan selama 8 hari (selama kan/tong plastik tidak dibuka).

2.3. Limbah Industri Tahu

Limbah tahu berasal dari buangan atau sisa pengolahan kedelai menjadi tahu yang
terbuang karena tidak terbentuk dengan baik menjadi tahu sehingga tidak dapat
dikonsumsi. Nohong (2010) menyatakan bahwa limbah tahu terdiri atas dua jenis yaitu
limbah cair dan limbah padat. Limbah cair merupakan bagian terbesar dan berpotensi
mencemari lingkungan. Limbah ini terjadi karena adanya sisa air tahu yang
tidak menggumpal, potongan tahu yang hancur karena proses penggumpalan yang tidak
sempurna serta cairan keruh kekuningan yang dapat menimbulkan bau tidak sedap bila
dibiarkan.
235

Menurut Kaswinarni(2007), limbah industri tahu pada umumnya dibagi menjadi 2


(dua) bentuk limbah, yaitu limbah padat dan limbah cair. Limbah padat pabrik pengolahan
tahu berupa kotoran hasil pembersihan kedelai (batu, tanah, kulit kedelai, dan benda padat
lain yang menempel pada kedelai) dan sisa saringan bubur kedelai yang disebut dengan
ampas tahu. Limbah padat yang berupa kotoran berasal dari proses awal (pencucian) bahan
baku kedelai dan umumnya limbah padat yang terjadi tidak begitu banyak (0,3% dari
bahan baku kedelai). Sedangkan limbah padat yang berupa ampas tahu terjadi pada proses
penyaringan bubur kedelai. Ampas tahu yang terbentuk besarannya berkisar 25-35% dari
produk tahu yang dihasilkan.

Selanjutnya Kaswinarni (2007) menjelaskan limbah cair pada proses produksi tahu
berasal dari proses perendaman, pencucian kedelai, pencucian peralatan proses produksi
tahu, penyaringan dan pengepresan atau pencetakan tahu. Sebagian besar limbah cair
yang dihasilkan oleh industri pembuatan tahu adalah cairan kental yang terpisah dari
gumpalan tahu yang disebut dengan air dadih. Cairan ini mengandung kadar protein yang
tinggi dan dapat segera terurai. Limbah ini sering dibuang secara langsung tanpa
pengolahan terlebih dahulu sehingga menghasilkan bau busuk dan mencemari lingkungan.

Limbah cair industri tahu mengandung bahan-bahan organik yang tinggi terutama
protein dan asam-asam amino. Sugiharto (1994) menyatakan bahwa adanya senyawa-
senyawa organik tersebut menyebabkan limbah cair industri tahu mengandung BOD, COD,
dan TSS yang tinggi. Bahan-bahan organik yang terkandung di dalam limbah industri cair
tahu pada umumnya sangat tinggi. Senyawa-senyawa organik tersebut dapat berupa protein,
karbohidrat dan lemak. Senyawa protein memiliki jumlah yang paling besar yaitu mencapai
40%-60%, karbohidrat 25%-50%, dan lemak 10%. Bertambah lama bahan-bahan organik
dalam limbah cair tahu, maka volumenya semakin meningkat.

Gas-gas yang biasa ditemukan dalam limbah cair tahu adalah oksigen (O 2), hidrogen
sulfida (H2S), amonia (NH3), karbondioksida (CO2), dan metana (CH4). Gas-gas tersebut
berasal dari dekomposisi bahan-bahan organik yang terdapat dalam limbah cair tersebut
(Herlambang, 2005).

Limbah cair tahu mengandung bahan organik berupa protein yang dapat terdegradasi
menjadi bahan anorganik. Effendi (2003) menjelaskan bahwa degradasi bahan organik
melalui proses oksidasi secara aerob akan menghasilkan senyawa-senyawa yang lebih stabil.
236

Dekomposisi bahan organik pada dasarnya melalui dua tahap yaitu bahan organik diuraikan
menjadi bahan anorganik. Bahan anorganik yang tidak stabil mengalami oksidasi menjadi
bahan onorganik yang stabil, misalnya ammonia mengalami oksidasi menjadi nitrit dan
nitrat

Limbah yang dihasilkan dari sistem pengolahan limbah cair harus memenuhi baku
mutu limbah cair sesuai dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Republik Indonesia
Nomor 05 Tahun 2014 tentang Baku Mutu Air Limbah yaitu lampiran ke XVIII tentang Baku
Mutu Air Limbah Bagi Usaha dan/Kegiatan Pengolahan Kedelai.

Secara umum karakteristik air buangan dapat digolongkan atas sifat fisika, kimia, dan
biologi. Akan tetapi, air buangan industri biasanya hanya terdiri dari karakteristik fisika dan
kimia. Parameter yang digunakan untuk menunjukkan karakter air buangan industri tahu
adalah (Kaswinarni, 2007):

1. Parameter fisika, seperti kekeruhan, suhu, zat padat, bau dan lain-lain.

2. Parameter kimia, dibedakan atas kimia organik dan kimia anorganik.

Kandungan organik (BOD, COD, TOC) oksigen terlarut (DO), minyak atau lemak,
nitrogen total, dan lain-lain. Sedangkan kimia anorganik meliputi: pH, Pb, Ca, Fe, Cu, Na,
sulfur, dan lain-lain.

Beberapa karakteristik limbah cair industri tahu yang penting antara lain:

1. Padatan Tersuspensi

Yaitu bahan-bahan yang melayang dan tidak larut dalam air. Padatan
tersuspensi sangat berhubungan erat dengan tingkat kekeruhan air. Effendi (2003)
menyatakan kekeruhan menggambarkan sifat optik air yang ditentukan berdasarkan
banyaknya cahaya yang diserap dan dipancarkan oleh bahan-bahan yang terdapat di
dalam air. Kekeruhan disebabkan oleh adanya bahan organik dan anorganik yang
tersuspensi dan terlarut. Semakin tinggi kandungan bahan tersuspensi tersebut,
maka air semakin keruh.
237

2. Derajat Keasaman (pH)

Menurut Kaswinarni (2007) air limbah indutri tahu sifatnya cenderung asam, pada
keadaan asam ini akan terlepas zat-zat yang mudah untuk menguap. Hal ini
mengakibatkan limbah cair industri tahu mengeluarkan bau busuk. pH sangat
berpengaruh dalam proses pengolahan air limbah. Baku mutu yang ditetapkan
sebesar 6-9. Pengaruh yang terjadi apabila pH terlalu rendah adalah penurunan
oksigen terlarut. Oleh karena itu, sebelum limbah diolah diperlukan pemeriksaan
pH serta menambahkan larutan penyangga agar dicapai pH yang optimal.

Nilai pH merupakan faktor pengontrol yang menentukan kemampuan biologis


mikroalga dalam memanfaatkan unsur hara. Lavens dan Sorgeloos (1996)
menyatakan bahwa niilai pH yang terlalu tinggi misalnya, akan mengurangi
aktifitas fotosintesis mikroalga. Proses fotosintesis merupakan proses mengambil
CO2 yang terlarut di dalam air, dan berakibat pada penurunan CO2 terlarut dalam
air. Penurunan CO2 akan meningkatkan pH. Dalam keadaan basa ion bikarbonat
akan membentuk ion karbonat dan melepaskan ion hidrogen yang bersifat asam
sehingga keadaan menjadi netral. Sebaliknya dalam keadaan terlalu asam, ion
karbonat akan mengalami hidrolisa menjadi ion bikarbonat dan melepaskan ion
hidrogen oksida yang bersifat basa, sehinggga keadaan netral kembali, dapat dilihat
pada reaksi berikut :

HCO3 H+ + CO3¯

CO3¯ + H2O HCO3¯ + OH-

3. Nitrogen-Total (N-Total)

Menurut Herlambang (2005) nitrogen total yaitu campuran senyawa kompleks


antara lain asam-asam amino, gula amino, dan protein (polimer asam amino).
Ammonia (NH3) merupakan senyawa alkali yang berupa gas tidak berwarna dan
dapat larut dalam air. Pada kadar dibawah 1 ppm dapat terdeteksi bau yang sangat
menyengat. Kadar NH3 yang tinggi dalam air selalu menunjukkan adanya
pencemaran. Ammonia bebas (NH3) yang tidak terionisasi bersifat toksik terhadap
organisme akuatik. Toksisitas ammonia terhadap organisme akuatik akan
meningkat jika terjadi penurunan kadar oksigen terlarut, pH, dan suhu (Effendi,
238

2003). Pada lingkungan asam atau netral, NH3 ada dalam bentuk ion NH4+. Pada
lingkungan basa, NH3 akan dilepas ke atmosfer

Senyawa-senyawa organik yang terkandung dalam limbah cair tahu akan terurai
oleh mikroorganisme menjadi karbondioksida (CO2), air serta ammonium,
selanjutnya ammonium akan dirubah menjadi nitrat. Proses perubahan ammonia
menjadi nitrit dan ahirnya menjadi nitrat disebut proses nitrifikasi. Untuk
menghilangkan ammonia dalam limbah cair sangat penting, karena ammonia
bersifat racun bagi biota akuatik (Herlambang, 2005).

Reaksi penguraian organik:

Senyawa organik + O2 CO2 + H2O + NH3

Reaksi Nitrifikasi:

2NH3 + + 3O2 2NO2 + 4H + 2H2O

2NO2 + O2 2NO3 + energi

4. BOD (Biochemical Oxygen Demand)

Merupakan parameter untuk menilai jumlah zat organik yang terlarut serta
menunjukkan jumlah oksigen yang diperlukan oleh aktifitas mikroorganisme
dalam menguraikan zat organik secara biologis di dalam limbah cair. Limbah cair
industri tahu mengandung bahan-bahan organik terlarut yang tinggi
(Wardana,2004).

Menurut Effendi (2003), BOD adalah jumlah oksigen yang diperlukan oleh
organisme untuk memecah bahan buangan organik di dalam suatu perairan.
Konsentrasi BOD yang semakin tinggi menunjukkan semakin banyak oksigen yang
diperlukan untuk mengoksidasi bahan organik. Nilai BOD yang tinggi
menunjukkan terdapat banyak senyawa organik dalam limbah, sehingga banyak
oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme untuk menguraikan senyawa
organik. Nilai BOD yang rendah menunjukkan terjadinya penguraian limbah
organik oleh mikroorganisme (Zulkifli dan Ami, 2001).
239

Penguraian bahan organik secara biologis oleh mikroorganisme menyangkut reaksi


oksidasi dengan hasil akhir karbon dioksida (CO2) dan air (H2O). proses penguraian
bahan organik dapat digambarkan sebagai berikut (Hanum, 2002):

Zat Organik + O2 → CO2 + H2O (CHONSP)

5. COD (Chemical Oxygen Demand)

Disebut juga kebutuhan oksigen kimiawi, merupakan jumlah oksigen yang


dibutuhkan oleh oksidator (misal kalium dikhormat) untuk mengoksidasi seluruh
material baik organik maupun anorganik yang terdapat dalam air. Jika kandungan
senyawa organik maupun anorganik cukup besar, maka oksigen terlarut di dalam
air dapat mencapai nol, sehingga tumbuhan air, ikan-ikan, hewan air lainnya yang
membutuhkan oksigen tidak memungkinkan hidup (Wardana,2004).

Menurut Kaswinarni (2007), BOD (Biological Oxygen Demand) adalah oksigen


yang diperlukan oleh mikroorganisme untuk mengoksidasi senyawa-senyawa kimia.
Nilai BOD bermanfaat untuk mengetahui apakah air limbah tersebut mengalami
biodegradasi atau tidak, yakni dengan membuat perbandingan antara nilai BOD dan
COD. Dalam waktu 5 hari (BOD5), oksidasi organik karbon akan mencapai 60%-
70% dan dalam waktu 20 hari akan mencapai 95%. Pengukuran BOD paling tidak
memerlukan waktu 5 hari. Jika nilai antara BOD dan COD sudah diketahui, kondisi
air limbah dapat diketahui.

2.4 Dampak Limbah Cair Tahu

Dampak yang ditimbulkan oleh pencemaran bahan organik limbah industri tahu
adalah gangguan terhadap kehidupan biotik, turunnya kualitas air perairan akibat
meningkatnya kandungan bahan organik. Herlambang (2002) mengungkapkan bahwa
aktivitas organisme dapat memecah molekul organik yang kompleks menjadi molekul
organik yang sederhana. Selama proses metabolisme oksigen banyak dikonsumsi, sehingga
apabila bahan organik dalam air sedikit, oksigen yang hilang dari air akan segera diganti oleh
oksigen hasil proses fotosintesis dan oleh aerasi dari udara. Sebaliknya jika konsentrasi beban
organik terlalu tinggi, maka akan tercipta kondisi anaerobik yang menghasilkan produk
dekomposisi berupa amonia, karbondioksida, asam asetat, hirogen sulfida, dan metana.
Senyawa-senyawa tersebut sangat toksik bagi sebagian besar hewan air, dan akan
240

menimbulkan gangguan terhadap keindahan (gangguan estetika) yang berupa rasa tidak
nyaman dan menimbulkan bau.

Menurut Kaswinarni (2007), limbah cair yang dihasilkan mengandung padatan


tersuspensi maupun terlarut, akan mengalami perubahan fisika, kimia, dan hayati yang akan
menimbulkan gangguan terhadap kesehatan karena menghasilkan zat beracun atau
menciptakan media untuk tumbuhnya kuman penyakit atau kuman lainnya yang merugikan
baik pada produk tahu sendiri ataupun tubuh manusia. Bila dibiarkan, air limbah akan
berubah warnanya menjadi cokelat kehitaman dan berbau busuk. Bau busuk ini
mengakibatkan sakit pernapasan. Apabila air limbah ini merembes ke dalam tanah yang dekat
dengan sumur maka air sumur itu tidak dapat dimanfaatkan lagi. Apabila limbah ini dialirkan
ke sungai maka akan mencemari sungai dan bila masih digunakan akan menimbulkan
gangguan kesehatan yang berupa penyakit gatal, diare, kolera, radang usus dan penyakit
lainnya, khususnya yang berkaitan dengan air yang kotor dan sanitasi lingkungan yang tidak
baik.

2.5 Konsep Produksi Bersih

Perlindungan lingkungan yang selama ini dilakukan oleh industri-industri hanya


ditekankan pada usaha penanganan dan pembuangan limbah. Suprihatin (1999) menyatakan
salah satu caranya adalah membangun instalasi pengolahan. Perlindungan seperti ini
disebut konsep End of Pipe Treatment (EOP), dimana pada konsep ini limbah dilihat
sebagai sesuatu yang sudah terjadi dan berusaha ditangani agar tidak mencemari lingkungan
Pada dasarnya pendekatan End Of Pipe telah memberikan sumbangan yang nyata bagi
pencegahan pencemaran lingkungan,tetapi konsep ini mempunyai kekurangan antara lain
dibutuhkan biaya yang relatif besar untuk membangu instalasi pengolahan limbah, serta
teknik yang cukup canggih.

Selain tuntuan perlindungan lingkungan juga perlu untuk melihat tuntutan aspek
ekonomi. Pencegahan pencemaran lingkungan beberapa tahun terakhir ini menurut
Suprihatin (1999), dilakukan sejak pada sumber asalnya, yaitu sejak awal dari proses dalam
industrinya sendiri, sehingga bahan buangan yang dihasilkan sesedikit mungkin dan jika
mungkin ditiadakan sama sekali (zero emission).
241

Menurut Visvanathan dan Kumar (1999), produksi bersih adalah penerapan strategi
lingkungan yang berkesinambungan, terpadu dan bersifat preventif, dan merupakan strategi
bisnis untuk mendapatkan sumber daya, proses produksi, produk atau penyediaan jasa dengan
efisiensi yang tinggi meningkatkan keuntungan dan mengurangi resiko bagi manusia dan
lingkungan.

Pendekatan terbaru itu disebut produksi bersih (cleaner production). Teknik-teknik


produksi bersih dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Tahapan Teknik Produksi Bersih (USAID, 1997)

Selanjutnya menurut UNEP (2001), bahwa lingkup produksi bersih untuk proses
produksi, produk, dan jasa adalah sebagai berikut:
242

1. Proses produksi, produksi bersih termasuk penghematan bahan dan energi,


pengeliminasian bahan baku beracun, pengurangan kuantitas dan kadar racun
semua ernisi dan limbah sebelum emisi dan limbah tersebut meninggalkan proses.

2. Produk, strategi difokuskan pada pengurangan dampak negative sepanjang


keseluruhan masa dari produksi, yaitu dari ekstraksi bahan baku sampai
pembuangan akhir produk

3. Jasa, difokuskan pada menggabungkan hal-hal yang berhubungan dengan


lingkungan ke dalam desain dan pelayanan jasa

Dalam produksi bersih, limbah yang dihasilkan dalam keseluruhan proses produksi
adalah indikator ketidak efisienan proses produksi, sehingga bilamana dilakukan optimasi
proses, limbah yang dihasilkan juga akan berkurang.

Keberhasilan penerapan produksi bersih ,menurut Purwanto (2003) ada beberapa cara,
antara lain : menerapkan house keeping yang baik, modifikasi peralatan, substitusi bahan
baku, modifikasi produk, dan inovasi teknologi yang digunakan. Dari semua cara tersebut
yang paling penting dalam mencapai keberhasilan penerapan produksi bersih adalah
mengurangi penyebab timbulnya limbah dan dampak yang tidak diinginkan bagi lingkungan,
antaralain :

1. Recovery hasil samping dari limbah

2. Recycle dari limbah dengan atau tanpa pengolahan

3. Reuse dari limbah

Keuntungan yang didapat dari suatu industri apabila menerapkan konsep produksi
bersih adalah mengurangi biaya produksi, mengurangi limbah yang dihasilkan, meningkatkan
produktivitas, mengurangi konsumsi energi, meminimisasi masalah pembuangan limbah
(termasuk penanganan limbah), dan memperbaiki nilai produk samping.

Keuntungan-keuntungan dari segi ekonomi dan lingkungan tersebut dapat terwujud


dengan cara sebagai berikut (Park, 2014) :

1. Meningkatkan efisiensi dalam penggunaan bahan baku, sehingga akan


mengurangi biaya bahan baku
243

2. Meminimisasi limbah, sehingga akan mengurangi biaya penanganan dan


pembuangan limbah

3. Mengurangi atau mengeliminasi kebutuhan akan penanganan dengan konsep


EOP

4. Memperbaiki teknologi produksi memperbaiki kualitas manajemen

5. Meningkatkan penghargaan pekerja terhadap perlindungan lingkungan

6. Memperbaiki kinerja dan meningkatkan produktivitas

7. Meningkatkan citra perusahaan dan menambah keuntungan yang kompetitif di


pasar.

2.6. Analisis Finansial Industri Tahu

Analisis finansial mutlak diperlukan untuk mendirikan suatu usaha atau industri.
Dalam melakukan analisis tersebut terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan, antara lain
modal investasi, modal kerja,dan penyusutan.

1. Net Present Value (NPV)

Menurut Kadariah, Karlina, dan Gray (1999), NPV adalah metode yang
digunakan untuk menghitung selisih antara jumlah seluruh penerimaan (benefit)
dengan jumlah seluruh biaya (cost) dalam bentuk nilai yang berlaku kini (present
value).

n
Bt - Ct
NPV  
t 0 (1  i) t

Dimana : Bt = benefit social brutto pada tahun ke-t


C = biaya social brutto sehubungan dengan proyek pada tahun ke-t
i = tingkat suku bunga (%)
n = umur ekonomis proyek.
244

2. Internal Rate of Return (IRR)


IRR adalah nilai discount factor rate i yang membuat nilai NPV dari proyek sama
dengan nol (Ibrahim, 1998).

NPV1
IRR  i1  x i 2  i1
NPV1  NPV2

Dimana: i1= tingkat discount rate yang menghasilkan NPV1

i2 = tingkat discount rate yang menghasilkan NPV2

3. Net Benefit CostRatio (Net B/C)

Net B/C merupakan angka perbandingan antara jumlah present value yang positif
dengan jumlah present value yang negatif (Kadariah, 1988).

n
Bt - Ct
 (1  i) t
Net B/C  t 0
n
Ct - Bt
 (1  i)
t 0
t

4. Payback Period (PBP)

PBP adalah suatu jangka waktu untuk mengembalikan jumlah investasi dari
usaha yang direncanakan (Ibrahim,1998).

n n

 Ii -  Bp-1
PBP  Tp-1  i 0 i 0
Bp

Dimana: Tp-1 = tahun sebelum terdapat PBP

Ii = jumlah investasi yang telah di discount

Bp-1 = jumlah benefit yang telah di discount sebelum PBP

Bp = benefit pada PBP berada

5. Break Even Point

Menurut Widjaja (1998),suatu usaha dikatakan break even (BE) apabila setelah
dilakukan perhitungan rugi-labadari suatu periode kerja atau dari suatu kegiatan
usaha tertentu, tetapi juga tidak menderita kerugian.
245

TC TC
BEP (Rp)  BEP (unit) 
p - VC kontribusi

Dimana : TC = jumlah biaya tetap yang ditanggung oleh proyek tiap


masa operasi tertentu
p = harga jual yang direncanakan untuk setiap satuan produk

VC = Jumlah biaya tidak tetap per satuan produk

2.7. Perancangan Penerapan Produksi Bersih pada Industri Tahu di Kabupaten


Indragiri Hulu

Industri kecil pembuatan tahu di Kabupaten Indragiri Hulu terus berkembang.


Teknologi yang digunakan pada proses produksi pembuatan tahu nya masih sangat
sederhana, banyak mengandalkan tenaga manusia, dan proses kurang optimal. Mulai dari
proses pencucian, penggilingan, dan pengepresan dilakukan oleh tenaga manusia.

Penghematan biaya merupakan salah satu faktor penting dalam daya saing, akibatnya
banyak kalangan dunia usaha kurang bergairah untuk mengelola lingkungan. Karenanya
diperlukan perubahan strategi, dari pendekatan akhir pipa ke pencegahan pencemaran yang
membantu mengurangi terbentuknya limbah dan memfasilitasi semua pihak untuk mengelola
lingkungan secara hemat biaya serta mampu memberi keuntungan baik finansial maupun non
finansial. Strategi pengelolaan lingkungan yang mempunyai potensi tersebut adalah Produksi
Bersih.

Dalam rangka menciptakan green industry dan meningkatkan daya saing industri
tahu maka perlu dikaji alternatif- alternatif strategi produksi bersih yang dapat diterapkan di
industri kecil tahu. Tujuannya adalah mendapatkan alternatif strategi produksi bersih dan
aplikasinya untuk industri kecil tahu khususnya di Kecamatan Rengat Kabupaten Indragiri
Hulu. Perancangan penerapan produksi bersihnya meliputi identifikasi proses produksi, status
produksi bersih pada industri tahu dan peluang penerapan lebih lanjut, dan cara memperbaiki
efisiensi produksi melalui penerapan produksi bersih ( Anas et al, 2008).

Perancangan penerapan produksi bersih didasarkan pada dua aspek yaitu teknis dan
aspek finansial. Proses produksi tahu pada umumnya terdiri dari pemilihan kedelai,
penimbangan kedelai, perendaman, pencucian, penggilingan, ekstraksi, penyaringan,
246

pemasakan, penggumpalan, pemisahan whey, pembungkusan, pengepresan, pemasakan,


dan pengemasan. Pada proses pembuatan tahu di Kecamatan Rengat Kabupaten Indragiri
Hulu ini memiliki perbedaan dari pembuatan tahu di Industri tahu lain, yaitu terdapat
penambahan garam dan bawang putih untuk menambah sedap produk tahu. Bahan baku
berupa kedelai dan proses-proses tersebut menggunakan banyak air. Keluaran proses
produksi selain tahu, juga dihasilkan limbah cair dan limbah padat yang berupa ampas
tahu.

Berdasarkan pengamatan langsung pada industri tahu di Kecamatan Rengat


Kabupaten berikut adalah urutan proses produksi nya:

1. Pemilihan kedelai

Dalam pembuatan tahu, pemilihan kedelai akan sangat menentukan hasil akhir
dari produksi tahu yang akan dibuat. Di industri tahu ini, produsen menggunakan
kedelai import dengan kualitas I yang ditandai dengan: warna dan ukuran kedelai
seragam, mengkilat dan kulitnya tidak berkerut.

2. Penimbangan kedelai

Proses pembuatan tahu dilakukan secara batch dengan kapasitas 25 kg sekali


proses. Perendaman Kedelai hasil penimbangan kemudian direndam dengan air
sebanyak kurang lebih tiga kali berat kedelai selama empat jam.

3. Pencucian dan Perendaman

Pencucian kedelai bertujuan untuk melunakkan struktur sel kedelai sehingga


mudah untuk digiling sehingga menghasilkan dispersi dan suspensi bahan padat
kedelai lebih baik pada waktu ekstraksi. Perendaman juga bertujuan untuk
mempermudah proses penggilingan sehingga hasil bubur dari penggilingan
tersebut dapat kental. Selanjutnya kedelai yang telah direndam akan dilakukan
proses pencucian dalam air yang mengalir. Setelah dicuci kedelai kemudian
digiling dengan menggunakan mesin sehingga menjadi bentuk bubur
kedelai.Kedelai rendaman dibuang airnya lalu dicuci dengan air sebanyak empat
kali. Setiap pencucian menggunakan 60 Liter air.
247

4. Penggilingan

Penggilingan merupakan tahapan yang penting dalam pembuatan tahu. Kedelai


yang telah direndam, selanjutnya digiling menggunakan mesin penggiling kedelai/
blender. Pada saat penggilingan ditambah air sebanyak dua kali berat kedelai.

5. Ekstraksi

Kedelai yang telah digiling kemudian direbus untuk mendenaturasi protein dari
kedelai sehingga protein mudah terkoagulasi saat penambahan asam. Kedelai
giling kemudian ditambah air mendidih sebanyak enam kali berat kedelai, sambil
diaduk selama 5-10 menit.

6. Penyaringan

Selanjutnya kedelai yang telah diekstraksi, disaring terus menerus sehingga


didapatkan ampas yang disebut ampas kering. Ampas tadi disisihkan dan biasanya
dimanfaatkan untuk makanan ternak atau pembuatan dasar tempe gembus. Setelah
disaring, cairan yang berwarna putih susu tadi dilakukan pemasakan dengan
menggunakan uap bertekanan. Penyaringan menggunakan kain sivon,
menghasilkan filtrat dan ampas tahu.

7. Pemasakan

Pemasakan menggunakan uap air bertekanan langsung ke dalam filtrat. Pemasakan


dilakukan selama 15 – 30 menit. Volume masakan yang dihasilkan 700 L.

8. Penggumpalan

Setelah dilakukan pemasakan sampai suhu 70o C, ditambah dengan asam cuka/
jantu untuk mengendapkan dan menggumpalkan protein sehingga dapat
memisahkan whey dengan gumpalan.

9. Pemisahan whey dan gumpalan protein.

Masakan yang telah digumpalkan dengan cara memasukkan saringan dari bambu
lalu air yang ada didalam saringan diambil dengan gayung. Endapan yang ada
248

tadi merupakan bahan utama untuk mencetak tahu yang akan diakhir dengan proses
pencetakan dan pengepresan.

10. Pembungkusan

Gumpalan protein kemudian dibungkus dengan kain. Tiap bungkus berisi 120 g,
lalu dipadatkan sampai berbentuk kotak.

11. Pengepresan

Setelah benar-benar padat, bungkus kain dibuka kemudian ditiriskan untuk


selanjutnya dilakukan pemasakan dengan penambahan bawang dan garam

12. Penggaraman

Pemasakan tahu dilakukan selama 5 menit dalam air mendidih yang sudah diberi
bumbu bawang putih dan garam. Selanjutnya tahu ditiriskan dan kemudian di
lakukan pengemasan.

Penerapan Produksi Bersih perlu disosialisasikan pada industri tahu karena dapat
membantu pencegahan dan menurunkan dampak lingkungan melaui siklus hidup produk.
Siklus hidup produk dimulai dari penyediaan bahan baku hingga menjadi produk dan
sampai pada pembuangan akhir. Strategi produksi bersih yang dapat diterapkan pada inidustri
ini meliputi strategi dengan melihat proses dan melihat produk akhir. Strategi dengan melihat
proses berupa pencegahan kerusakan pada bahan baku, meminimumkan penggunaan energi,
menghilangkan penggunaan bahan baku yang berbahaya dan beracun serta mengurangi kadar
racun yang terkandung di emisi dan limbah sebelum meinggalkan proses. Strategi pada
produk akhir dilakukan dengan mengurangi dampak lingkungan sepanjang daur hidup
produk mulai dari pembuatan produk hingga pembuangan akhir.

Di Kecamatan Rengat Kabupaten Indragiri Hulu belum ada satu Industri pun yang
sudah mulai menerapkan Produksi Besih pada tahapan proses produksinya. Untuk
perancangan penerapan produksi bersih pada industri tahu di Kecamatan Rengat Kabupaten
Indragiri Hulu dapat mulai melakukan perancangan teknis. Perancangan teknis dalam
penerapan produksio bersih meliputi (Afmar, 1999):

1. Mengurangi penggunaan air.


249

Mengurangi penggunaan air akan berdampak baik bagi jumlah air limbah yang
dikeluarkan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, penggunaan air cucian ke
kedelai rendam dapat digunakan kembali sebagai air pencuci pertama pada
kedelai rendam di industri tahu. Hal ini tidak banyak berpengaruh pada kualitas
produk tahu jika dibandingkan dengan penggunaan air tanpa daur ulang.

2. Good house keeping

Good house Keeping atau pengaturan tata letak yang baik dilakukan untuk
menjaga lingkungan sekitar dari tindakan-tindakan yang dapat mengotori.
Ruang produksi yang bersih dapat mendukung pada produkstivitas. Ceceran air
untuk proses produksi dan buburan kedelai merupakan salah satu hal yang
dapat menyebabkan lingkungan kotor dan licin. Selain itu pemborosan
energi menjadi sesuatu yang sangat penting karena air dimasak dengan energi dan
buburan juga dihasilkan dengan melibatkan energi. Sebagian besar industri
kecil dan menengah memiliki lantai tanah. Aspek teknis untuk menjaga
kebersihan adalah hal penting untuk diperhatikan, dan ini memerlukan kesadaran
tenaga kerja dan pemilik usaha.

3. Memperbaiki alur tata cara proses

Upaya untuk memperbaiki alur tata cara proses operasi seharusnya dilakukan.
Perbaikan ini diharapkan memberikan dampak pada efektifitas waktu produksi.
Produksi dapat terus dilaksanakan setiap hari dengan pengaturan waktu masing-
masing proses operasi secara tepat. Perbaikan ini dapat juga dilakukan dengan
pembuatan SOP (Standar Operasional Prosedur) dalam pelaksanaan proses
operasi. SOP ini menjadi dasar bagi pekerja dalam melakukan pekerjaannya.
Secara teknis hal ini agak mudah dilaksanakan, namun untuk industri kecil sangat
sulit diimplementasikan.

4. Modifikasi peralatan

Modifikasi peralatan di industri kecil pembuatan tahu ini sangat penting


dilakukan. Efisiensi dan efektifitas dalam proses menjadi alasan untuk dilakukan
hal ini. Peralatan penyaringan dan pengeresan masih menggunakan tenaga
manusia sehingga kadar cairan/ fitrat tahu yang terbuang masih tinggi. Sebaiknya
250

proses ini perlu dilakukan modifikasi peralatan penyaringan dengan tenaga


mesin press sehingga dapat mengurangi tenaga kerja penyaringan dan
mengurangi hasil produksi yang terbuang. Sebaiknya mulai diupayakan membuat
digester dan instalasi pemanfaatan biogas, karena limbah yang dihasilkan industri
tahu dapat menghasilkan biogas yang jika tidak dimanfaatkan akan mencemari
lingkungan. Pemanfaatan biogas sebagai bahan bakar proses di industri tahu
dapat mengurangi penggunaan bahan bakar yang sehari – hari digunakan oleh
industri tahu ini yaitu minyak solar.

5. Penggunaan kembali air pemasakan

Air pemasakan yang sudah dibubuhi garam dan bawang bisa digunakan
kembali untuk memasak tahu lagi.

6. Perbaikan alur tata cara proses operasi

Perbaikan alur tata cara proses operasi juga dapat memberikan kontribusi
keuntungan karena ada efiisiensi waktu dan tenaga para pekerja dalam
pembuatan tahu.

7. Modifikasi tungku

Pada saat ini pabrik tahu ini masih menggunakan minyak solar untuk
menggerakkan mesin penghasil uap. Diharapkan penggunaan bahan bakar gas
methan bisa diterapkan di industri ini. Hal ini perlunya modifikasi tungku pada
mesin penghasil uap. Penggantian bahan bakar dari minyak solar menjadi gas
methan diharapkan dapat mengurangi biaya bahan bakar secara signifikan.

8. Pembuatan cerobong asap

Pembuatan cerobong asap ini dilakukan bertujuan agar asap yang keluar tidak
mengganggu lingkungan sekitar.

Dari rangkaian tahapan perancangan penerapan produksi bersih tersebut belum ada
tahapan kegiatan yang diterapkan pada industri tahu di Kecamatan Rengat. Tingkat kesadaran
pengusaha industri tahu di Kecamatan Rengat dan kemampuan finansial pengusaha tahu yang
menjadi kendala di dalam penanganan limbah industri tahu. Hal ini menunjukkan juga bahwa
251

pengusaha industri tahu di Kecamatan Rengat ini belum mengenal produksi bersih. Pada
kenyataannnya produksi bersih (cleaner production) menjadi strategi yang potensial
diterapkan pada industri, karena ada peran aktif pelaku industri, nilai tambah langsung,
dan pengurangan resiko lingkungan.

Masalah utama pada pengusaha tahu Kecamatan Rengat terletak pada bidang
“compliance” atau pentaatan regulasi serta tingkat kesadaran untuk menjaga keseimbangan
lingkungan yang masih sangat rendah. Hal tersebut disebabkan semakin banyak limbah yang
dihasilkan, semakin banyak dibutuhkan usaha pengolahan dan pembuangan. Untuk
pengolahan limbah cair diperlukan penambahan peralatan pengendalian limbah akan
meningkatkan biaya investasi dan hal tersebut kurang diminati oleh kalangan industri karena
akan meningkatkan biaya produksi dan harga jual.

Pemahaman pelaku industri tahu di Kecamatan Rengat terhadap produksi bersih


masih rendah, karena kurangnya sosialisasi tentang produksi bersih dan keterbatasan akses
teknologi dan informasi. Perilaku ekonomi penguasaha industri tahu dalam mengelola usaha
yang berwawasan lingkungan biasanya disesuaikan dengan kemampuan sumber daya yang
dimiliki, baik sumber daya berupa bahan baku maupun sumber daya manusia pelaku
usahanya.

Pemerintah Daerah Kabupaten Indragiri Hulu ternyata kurang perduli terhadap


pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh industri-industri tahu di Kecamatan Rengat.
Padahal dalam upaya mencapai tujuan pemabngunan berkelanjutan yang berwawasan
lingkungan ,penerapan produksi bersih untuk industry termasuk industri tahu telah lama
dicanangkan oleh Pemerintah sesuai dengan ketentuan dalam Protocol Kyoto. Protokol Kyoto
disusun berdasarkan prinsip "Tanggung Jawab Bersama yang Dibedakan" (Common but
Differentiated Responsibilities Principle), sebagaimana tercantum dalam prinsip ketujuh
Deklarasi Rio yang berarti bahwa semua negara mempunyai semangat yang sama untuk
menjaga dan melindungi kehidupan manusia dan integritas ekosistem bumi, tetapi dengan
kontribusi yang berbeda disesuaikan dengan kemampuannya.
III. DAMPAK PENERAPAN PRODUKSI BERSIH PADA INDUSTRI TAHU DI
KABUPATEN INDRAGIRI HULU

Penerapan produksi bersih pada Indutri tahu di Kecamatan Rengat jika dijalankan dan
tidak dijalankan akan memberikan dampak-dampak dalam aspek ekonomi, sosial budaya,
kesehatan dan Lingkungan.

3.1. Aspek Ekonomi

1. Bagi Pengusaha Tahu

Seperti industri pengolahan lainnya, industri tahu di Kecamatan Rengat juga


menghasilkan limbah baik yang padat ataupun yang cair. Limbah padat kebanyakan
digunakan untuk pakan ternak sehingga tidak begitu mempengaruhi lingkungan, namun
limbah cair pada industri tahu ini memberikan dampak terhadap lingkungan berupa bau dan
bila dibuang kesungai maka akan menyebabkan pencemaran. Dengan demikian industri tahu
ini memerlukan pengolahan limbah untuk mengurangi beban pencemar.

Limbah cair yang dikeluarkan oleh industri tahu di Kecamatan Rengat Kabupaten
Indragiri Hulu masih menjadi masalah bagi lingkungan sekitarnya, karena pada umumnya
industri-industri ini adalah industri skala kecil sampai menegah yang mengalirkan langsung
air limbahnya ke selokan atau sungai tanpa diolah terlebih dahulu. Keadaan ini akibat masih
banyaknya pengrajin tahu tingkat perekonomiannya yang masih rendah, sehingga pengolahan
limbah akan menjadi beban yang cukup berat bagi mereka. Pengolahan limbah cair industri
tahu bisa dilakukan dengan membangun Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) sehingga
membutuhkan biaya yang cukup besar untuk menjalankannya, sedangkan keuntungan dan
modal yang dimiliki pengusaha industri skala kecil sampai menengah tidak cukup besar.
Untuk mengatasi masalah pembangunan IPAL limbah cair industri tahu adalah para
pengusaha industri tahu di Kecamatan Rengat mulai menerapkan produksi bersih. Jadi dari
segi aspek ekonomi jika pengusaha industri tahu belum menerapkan produksi bersih akan
berdampak negatif yaitu pihak pengusaha harus mengeluarkan biaya yang cukup besar untuk
membangunan IPAL agar limbah yang dihasilkan tidak mencemari lingkungan.

Permasalahan lain pada industri tahu yang juga bisa mempengaruhi proses
kelangsungan produksi adalah mulai dari input yaitu pemilihan bahan baku, pemakaian
sumber daya air yang berlebihan, alat dan prasarana yang kurang ramah lingkungan.
253

Tentunya ini akan dapat menyebabkan pengaruh yang cukup besar terhadap peningkatan
biaya operasional dan dapat menurunkan kualitas produksi tahu itu sendiri.

Penerapan produksi bersih akan memberi keuntungan ekonomi pada industri tahu di
Kecamatan Rengat, sebab didalam produksi bersih terdapat strategi pencegahan pencemaran
pada sumbernya sehingga dapat mengurangi biaya investasi yang harus dikeluarkan untuk
pengolahan dan pembuangan limbah atau upaya perbaikan lingkungan. Dampak dari
pencegahan pencemaran melalui teknologi peroduksi bersih akan mengurangi biaya-biaya
yang berkenaan dengan pengelolaan lingkungan sekitar industri. Dengan penerapan produksi
bersih berarti meningkatkan efisiensi dalam baik pemakaian bahan baku maupun penggunaan
energi, dari sisi ekonomi berarti bisa menghemat dan meminimalkan berbagai biaya terkait
bahan baku dan bahan bakar untuk proses produksi. Misalnya dengan mengganti bahan bakar
dengan gas methan yang dihasilkan dari biogas limbah tahu. Penghematan penggunaan air
juga merdampak mengurangi kerja pompa sehingga dapat menurunkan biaya pemakaian
listrik.

Penerapan produksi bersih secara berkelanjutan secara tidak langsung juga berdampak
memelihara dan memperkuat pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang melalui
konservasi sumber daya, bahan baku dan energi nya.

2. Bagi Masyarakat di Kecamatan Rengat

Tahu merupakan makanan tradisional dengan kandungan gizi yang baik, berbahan
dasar kedelai dan sangat digemari oleh seluruh lapisan masyarakat.Selain mengandung gizi
yang baik, pembuatan tahu juga relatif murah dan sederhana. Rasanya enak serta harganya
terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat.

Seiring dengan pertambahan penduduk di Kabupaten Indragiri Hulu dan


meningkatnya ekonomi masyarakat secara langsung akan meningkatkan kebutuhan
masyarakat terhadap produk hasil olahan kedelai ini. Meningkatnya kebutuhan tahu
memberikan peluang berdirinya pabrik-pabrik tahu yang makin tumbuh dan berkembang di
semua daerah di Indonesia tidak terkecuali di Kabupaten Indragiri Hulu.

Industri Tahu di Kecamatan Rengat Kabupaten Indragiri Hulu telah memberikan


kontribusi yang nyata bagi masyarakat sekitar , dimana masyarakat yang tinggal di sekitar
pabrik tahu kebanyakan berprofesi yang berkaitan dengan industri tahu seperti pengusaha
254

tahu, pekerja pabrik tahu, pedagang tahu besar maupun eceran. Dalam konteks Ekonomi,
Industri tahu telah memberikan sumbangsih yang nyata dalam menggerakan ekonomi lokal
dan daerah khususnya di Kabupaten Indragiri Hulu.

Penerapan produksi bersih pada Industri tahu meniadakan limbah sebagai output.
Limbah padat dari industri tahu bisa dimanfaatkan sebagai pakan ternak ataupun tempe
gembus dan alternatif lain yakni pembuatan nata de soya. Jika penerapan produksi bersih ini
berjalan optimal bisa membuka lapangan pekerjaan baru bagi masyarakat sekitar industri tahu
di Kecamatan Rengat sehingga secara ekonomi dapat meningkatkan pendapatan masyarakat
sekitar. Dalam pemanfaatan kembali limbah padat industri tahu tersebut akan membutuhkan
tenaga kerja yang lebih banyak dan tenaga baru untuk mebantu dalam proses pengolahannya.
Bahkan bisa dapat menumbuhkan industri rumah tangga baru dari pemanfaatan limbah padat
industri tahu tersebut.

3.2. Aspek Sosial Budaya

1. Bagi pengusaha tahu

Pada proses perebusan kedele dilakukan dengan menggunakan tungku sederhana


tanpa dilengkapi dengen cerobong asap. Kondisi seperti ini, menyebabkan perajin tahu sering
mendapat teguran negatif dari warga sekitar karena asap yang dihasilkan tersebar sampai
daerah sekitar, apalagi proses pembuatan tahu dilakukan pada saat masyarakat masih
beraktifitas di pagi dan siang hari. Hal ini akan menimbulkan banyak konflik social diantara
pengusaha industri tahu dan masyarakat sekitar. Permasalahan lain yang bisa memicu konflik
sosial adalah para pengrajin tahu belum punya pengetahuan tentang cara-cara penanganan
limbah tahu seperti limbah ampas tahu dan limbah cair sering membuat bau tak sedap dan
lingkungan dan lingkungan menjadi tampak kumuh. Masyarakat sekitar industri tahu akan
sulit untuk menerapkan budaya hidup sehat.

Konflik sosial dan budaya akan bisa teratasi jika pengusaha tahu mau memulai
menerapkan produksi bersih pada proses produksinya. Dampak yang terjadi dirasakan jika
pengusaha tahu menerapkan produksi bersih adalah memberikan kesempatan pada pengrajin
tahu memahami tentang menerapkan budaya bersih dan sehat bagi pemilik usaha dan pekerja-
pekerjanya serta lingkungan di sekitar industri tersebut. Dalam penerapan produksi bersih
semua langkah kerja lebih mendahulukan kebersihan dan keselamatan pekerja.
255

2. Bagi masyarakat Kecamatan Rengat

Dibalik semua nilai ekonomi yang dihasilkan dari produk tahu ternyata keberadaan
pabrik tahu juga salah satu sumber pencemar dimana industri ini merusak lingkungan karena
masih menggunakan kayu bakar dan membuang limbah cairnya ke lingkungan. Selama ini,
industri tahu di Kecamatan Rengat masih membuang limbah cairnya begitu saja ke drainase
dan sungai. Padahal, limbah hasil pemrosesan kedelai yang menjadi bahan baku tahu itu
masih memiliki keasaman, Chemical Oxygen Demand (COD), dan Biological Oxygen
Demand (BOD) yang tinggi. Tingkat COD adalah kebutuhan oksigen kimiawi di air untuk
bereaksi dengan limbah. Adapun BOD adalah kebutuhan oksigen oleh mikro-organisme
untuk memecah bahan buangan di air, sehingga jika limbah tahu dibuang di lahan atau tanah
akan mengalami proses pembusukan dan akan terurai dan menghasilkan gas metan. Keadaan
ini menyebabkan ketidakseimbangan kandungan unsur hara tanah. Selain itu limbah tahu
yang dibuang sembarangan akan memicu konflik sosial di antara masyarakat di sekitar
pabrik. Limbah Tahu akan mengalami pembusukan dan tentunya akan menghasilkan bau
yang tidak sedap sehingga masyarakat di sekitar industri tahu merasa terganggu dan
mengadukan kasus ini kepada aparat desa maupun Badan Lingkungan Hidup Kabupaten
Indragiri Hulu.

Dampak dari penerapan produksi bersih di kecamatan Rengat dari segi sosial budaya
salah satunya adalah mampu meniadakan konflik sosial akibat pencemaran limbah tahu.
Beberapa kasus yang sering terjadi akibat dari belum diterpakannya produksi bersih adalah
limbah gas yang sangat menggagu bagi masyarakat sekitar industri dan limbah cair yang
tidak dikelola dengan baik dan dibuang langsung ke lingkungan. Dengan adanya penerapan
produksi bersih ini masalah limbah sudah teratasi dengan demikian konflik sosial yang
mungkin terjadi bisa dihindari.

3. Bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Indragiri Hulu

Limbah industri tahu baik padat, cair , ataupun gas yang belum dikelola sebelum
dibuang ke lingkungan akan meyebabkan banyak masyarakat sekitar industri tahu yang
melaporkan ke pihak Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Indragiri Hulu. Kasus-kasus
pengaduan akibat limbah industri tahu yang terus terjadi yang dilaporkan oleh masyarakat ini
setiap tahunnya selalu muncul. Jika masyarakat melaporkan kasus tersebut Pihak Badan
Lingkungan Hidup Kabupaten Indragiri Hulu biasanya langsung menindaklanjuti pengaduan
256

tersebut dengan turun ke lapangan atau dengan memberikan teguran secara lisan dan tertulis
kepada pengusaha pemilik industri tahu.

Penerapan produksi bersih bisa meniadakan semua limbah yang muncul akibat proses
produksi tahu jika diterapkan secara optimal. Dengan demikian semua kasus pencemaran
yang meresahkan masyarakat yang tinggal di sekitar area industri tidak akan muncul.

3.3. Aspek Lingkungan dan Kesehatan

Pengrajin tahu di Kecamatan rengat jumlah nya setiap tahun semakin meningkat. Hal
ini tentunya akan menimbulkan dampak yang cukup besar baik secara ekonomi, sosial dan
yang terpenting bagi lingkungan. Kapasitas produksi industri tahu ini akan menentukan
banyaknya limbah yang terbentuk baik yang berupa limbah padat (ampas tahu) dari
penyaringan, emisi gas buang pada saat melakukan pemasakan ataupun limbah cair yang
berasal dari proses perendaman, pencucian, penyaringan dan tahapan-tahapn proses produksi
yang lain. Limbah-limbah yang dihasilkan indutri tersebut sangat berpotensi mencemari
lingkungan apabila dibuang langsung tanpa adanya pengolahan. Sementara itu semua
Industri tahu di Kecamatan Regat belum ada yang menerapkankan upaya pengolahan air
limbah

Pengrajin tahu tidak mengetahui manfaat dari produksi bersih apabila mereka
menerapkannya pada setiap proses produksinya. Para pengrajin tahu di Kecamatan Rengat ini
masih melakukan proses produksi berdasarkan kebiasaan pendahulunya, atau bisa dikatakan
selama proses pembuatan tahu tidak ada inovasi dan kreatifitas pengrajin untuk merubah atau
mengambangkan proses produksi agar proses produksi lebih optimal dan ramah lingkungan.
Dengan jumlah pengrajin di Kecamatan Rengat yang terus meningkat tentunya menjadi
dampak yang sangat besar pada lingkungan, dikarenakan proses yang tidak optimal sehingga
menghasilkan limbah yang akan berdampak mencemari lingkungan

Produksi Bersih jika diterapkan secara optimal oleh pengusaha tahu di kecamatan
Rengat sangat memebrikan perubahan yang sigifikan terutama untuk kesehatan dan
lingkungan sekitar.
257

1. Bagi pengusaha tahu

Berbagai dampak yang ditimbulkan oleh limbah yang sebelumnya tidak dikelola oleh
pengusaha tahu di Kecamatan rengat bisa diminimalisir jika pengusaha tahu memiliki
komitmen yang kuat untuk menjalankan produksi bersih ini. Segala bentuk pencemaran yang
mungkin muncul sudah terkendali. Baik pencemaran udara yang disebabkan oleh limbah gas,
pencemaran tanah akibat limbah cair yang dibuang tanpa pengolahan terlebih dahulu.
Dampak nya terhadap lingkungan adalah lingkungan industri dan sekitar industri menjadi
bersih dan sehat.

2. Bagi masyarakat Kecamatan Rengat

Dampak positif juga akan dirasakan masyarakat sekitar indutri tahu di Kecamatan
Rengat. Lingkungan sekitar tempat tinggal menjadi lebih sehat dan bersih,masyarakat lebih
merasa nyaman tanpa terganggu oleh limbah-limbah yang sebelum produksi bersih
diterapkan oleh pengusaha tahu. Jadi masyarakat sekitar industri pun terhindar dari berbagai
macam penyakit yang bisa diakibatkan dari limbah.

3. Bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Indragiri Hulu.

Pelaksanaan program produksi bersih lebih mengarah pada pengaturan sendiri dan
peraturan yang sifatnya musyawarah mufakat daripada pengaturan secara command control.
Pelaksanaan program produksi bersih ini tidak hanya mengandalkan peraturan pemerintah
saja, tetapi lebih didasarkan pada kesadaran untuk mengubah sikap dan tingkah laku. Jadi
dampak yang diberikan kepada pihak Pemeritah daerah jika Industri tahu di kecamatan
Rengat mulai menerapkan produksi bersih adalah mendukung regulasi pengendalian limbah
industri dan mendukung berbagai program Pemerintah daerah dalam menjaga dan
melestarikan lingkungan khususnya di Kabupaten Indragiri Hulu. Penerapan produksi bersih
juga membantu Pemerintah daerah untuk mensuksekan solialisasi produksi bersih dan ramah
lingkungan yang setiap tahun di selenggarakan oleh Pemerintah Daerah melalui Badan
Lingkungan Hidup kabupaten Indragiri Hulu.
IV. PENINGKATAN PENERAPAN PRODUKSI BERSIH PADA INDUSTRI
TAHU DI KECAMATAN RENGAT KABUPATEN INDRAGIRI HULU

4.1. Meningkatkan Sosialisasi Produksi Bersih dalam Industri Tahu kepada Pengusaha
Industri tahu

Strategi yang bisa diterapkan dalam mensosialisasikan produksi bersih kepada


pengusaha tahu di Kecamatan Rengat Kabupaten Indragiri hulu adalah :

1. Menggalakkan kegiatan sosialisasi dan pelatihan produksi bersih agar dapat


meningkatkan kesadaran pengusaha terhadap isu-isu lingkungan dan meningkatkan
motivasi untuk terlibat dalam mempertahankan kualitas lingkungan. Pemeritah daerah
juga bisa memberikan pendampingan kelompok untuk konsultasi, penyelesaian masalah,
dan pengawasan terhadap kemajuan pelaksanaan program produksi bersih

2. Meningkatkan peran Pemerintah Daerah Kabupaten Indragiri Hulu dalam


mengkoordinasikan keterlibatan berbagaoi pihak baik swasta, lembaga pembiayaan,
lembaga penelitian atau perguruan tinggi, media massa, dan masyarakat untuk
mensukseskan program produksi bersih

3. Pemerintah Daerah Kabupaten Indragiri Hulu mendorong peningkatan kreativitas


pengusaha industri tahu melalui sarana rembug warga untuk pemberdayaan industri kecil
melalui beberapa Dinas terkait yang bersifat bottom-up.

Dalam kegiatan sosialisasi produksi bersih, Pemerintah daerah bisa melaksanakan


pembinaan teknis dengan cara memberikan bantuan tenaga ahli, melaksanakan proyek-
proyek percontohan serta menyebarluaskan informasi mengenai teknologi bersih melalui
seminar, penyuluhan, website, pendidikan dan latihan.

4.2 Menumbuhkan kesadaran dan komitmen pihak pengusaha pemilik industri tahu di
Kecamatan Rengat

Dalam upaya menumbuhkan kesadaran terhadap pembangunan yang berwawasan


lingkungan seyogyanya dilakukan secaraterus-menerus dan berkesinambungan. Karena
pengelolaan lingkungan hidup bukan semata-mata tanggung jawab pemerintah, tetapi juga
menjadi tanggung jawab semua pihak, terutama pihak pengusaha industri tahu. Disamping
itu seluruh lapisan masyarakat juga harus dapat berperan serta mencegah dan menanggulangi
proses dan akibat pencemaran lingkungan tersebut melalui produksi bersih ini. Kesadaran
259

akan pentingkan pengelolaan lingkungan harus sejak dini ditumbuhkan pada pengusaha
industri tahu di Kecamatan Rengat. Para pengusaha industri tahu harus dibekali dengan
pengetahuan dan wawasan tentang penerapan produksi bersih untuk tahapan produksinya.
Pihak Pemerintah Daerah kabupaten Indragiri Hulu juga harus proaktif dalam menyebarkan
informasi terkait penerapan produksi bersih ke kalangan pengusaha industri tahu. Kegiatan
yang wajib di lakukan pihak Pemerintah adalah mensosialisasikan dan mempromosikan
konsep Produksi Bersih kepada pengrajin tahu di Kecamatan Rengat secara kontinyu. Dengan
berbekal informasi dan dukungan tersebutlah diharapkan kesadaran dan komitmen yang
tinggi dari pihak pengusaha industri tahu di Kecamatan Rengat untuk mulai menerapkan
produksi bersih akan berjalan.

Pihak pengusaha industri tahu di Kecamatan Rengat harus terus didorong agar tetap
memiliki komitmen yang tinggi dalam memulai penerapan produksi bersih pada unit
usahanya, di sebabkan karena untuk tahap awal mebutuhkan biaya tambahan yang cukup
besar namun pada akhir nya tetap akan memperoleh keuntungan yang lebih besar
dibandingkan dengan cara-cara konvensional.

Langkah-langkah pendahuluan yang bisa diterapkan bagi pengusaha indutri tahu


dalam penerapan produksi bersih adalah (Dwi, 2006) :

1. Perencanaan

Pada langkah ini industri menyiapkan perencanaan, dan strategi produksi bersih.
Pihak industri juga melakukan identifikasi hambatan dan penyelesaiannya.
Program yang akan dijalankan dikomunikasikan ke semua pekerja.

2. Kajian dan Identifikasi Peluang.

Melakukan pemetaan proses atau membuat diagram alir proses sebagai alat untuk
memahami aliran bahan, energi dan sumber timbulan limbah. Identifikasi peluang
peluang Produksi Bersih didasarkan pada temuan hasil kajian dan tinjauan
lapangan berupa kemungkinan peningkatan efisiensi dan produktivitas,
pencegahan dan pengurangan timbulan limbah langsung dari sumbernya.
260

3. Implementasi

Membuat perencanaan waktu pelaksanaan secara konkrit dan rencana tindakan


yang dilakukan. Agar implemetasi dapat dipantau kemajuannnya maka perlu
dikembangkan indikator kinerja efisiensi, lingkungan, dan kesehatan dan
keselamatan kerja.

4. Pemantauan, Umpan Balik, Modifikasi

Mengumpulkan dan membandingkan data sebelum dan sesudah tindakan Produksi


Bersih digunakan untuk mengukur kinerja yang telah dicapai, apakah sesuai
dengan rancangan ataukah tidak. Pada saat pemantauan dilakukan
pendokumentasian program. Melakukan tinjauan ulang secara periodik
pelaksanaan Produksi Bersih, dan kaitkan dengan sasaran usaha.

5. Perbaikan Berkelanjutan

Hal yang tak kalah penting adalah merayakan keberhasilan, mempertahankan


target telah dicapai, dan selanjutnya mengimplementasikan untuk peluang lainnya.
Produksi Bersih pada dasarnya adalah bagian dari pekerjaan dan bukan suatu
program sehingga industri akan melakukan perbaikan berkelanjutan.

4.3. Dukungan Pemeritah Daerah Kabupaten Indragiri Hulu

Banyak upaya yang dapat dilakukan Pemerintah Daerah Kabupaten Indragiri Hulu
untuk mendukung terlaksananya penerapan produksi bersih pada Industri tahu di Kecamatan
Rengat, antara lain :

1. Dukungan dari pihak Pemerintah Kabupaten Indragiri Hulu berupa pinjaman


lunak untuk pembangunan IPAL biogas dan semua unit pendukung berjalannya
produksi bersih, dan pengadaan-pengadaan sarana dan prasarana pendukung
penerapan produksi bersih

2. Meningkatkan kemampuan sumberdaya manusia dan peran serta masyarakat


pelaku usaha industri tahu di tingkat sektoral dan daerah melalui pelatihan dan
workshop penerapan produksi bersih.
261

3. Memfasilitasi kemitraan ,kerjasama dengan partisipasi aktif dalam penerapan


produksi bersih diantara pengusaha industri tahu baik di forum nasional maupun
internasional;

4. Meningkatkan pertukaran informasi dan mengembangkan jejaring kerja dengan


seluruh pemilik usaha industri tahu se Kecamatan Rengat

5. Menyelenggarakan pelatihan, seminar, lokakarya yang berhubungan dengan


Produksi Bersih;

6. Mengkaji, mengembangkan dan menerapkan Produksi Bersih secara terus


menerus melalui koordinasi, komunikasi, benchmarking, edukasi dan diseminasi
informasi pada seluruh aktivitas di semua sektor serta sesuai dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi;

7. Menciptakan program bersama yang melibatkan seluruh pengusaha/pengrajin


tahu dalam rangka penerapan Produksi Bersih.

Dalam peningkatan penerapan produksi bersih ini seluruh pihak-pihak yang


berkepentingan haruslah dilibatkan dan diikutsertakan dalam pengembangan produksi bersih.
Pemerintah Daerah juga harus menyediakan fasilitas dalam keberlangsungan program
produksi bersih ini agar semua berjalan sesuai dengan keinginan. Keberhasilan dalam
penerapan produksi bersih bisa tercapai dengan menumbuhkan dan meningkatkan partisipasi
aktif semua pihak dalam implementasi produksi bersih dan semua perangkat manajemen
lingkungan yang diperlukan berdasarkan prinsip kemitraan, yakni Pemerintah Daerah
Kabupaten Indragiri Hulu, pengusaha industri tahu dan masyarakat..

Agar penerapan produksi bersih tetap dijalankan oleh pengusaha industri tahu pihak
Pemerintah Daerah Kabupaten Indragiri Hulu harus lebih proaktif dalam melakukan
pengawasan atau peninjauan langsung ke industri-industri tahu di Kecamatan Rengat. Pihak
Pemerintah harus secara intensif dan rutin memberikan informasi terkait teknologi penerapan
produksi bersih pada pengusaha industri tahu khususnya di Kecamatan Rengat Kabupaten
Indragiri Hulu. Jadi jika pengusaha industri tahu tersebut mengalami kendala langsung bisa
diberikan solusi dari pihak pemerintah Daerah sebagai fasilitator pencapaian penerapan
produksi bersih. Pihak Pemerintah daerah juga bisa memberikan insentif kepada pengusaha
industri tahu misalnya dalam bentuk penghargaan khusus atau bantuan berupa uang agar
262

pengusaha industri tahu lebih termotivasi dalam menerapkan produksi bersih pada industri
nya.
DAFTAR PUSTAKA
Afmar, M. 1999. Faktor Kunci dan Efektif Penerapan Cleaner Production di Industri.
Prosiding Seminar teknik Kimia Soehadi Reksowardojo. Jurusan Teknik Kimia dan
Himpunan Mahasiswa Teknik Kimia ITB. Bandung.
Anas M. Fauzi, A. Rahmawakhida, dan Y. Hidetoshi, 2008. Kajian Strategi Produksi Bersih
Di Industri Kecil : Kasus Kelurahan Ciluar, Kecamatan Bogor Utara. Jurnal Teknik
Pertanian 18(2): 60-65.
Djajadiningrat, S.T., 2001. Pemikiran, Tantangan dan Permasalahan Lingkungan untuk
Generasi Masa Depan. Studio Tekno Ekonomi ITB. Bandung.
Dwi. N dan I. Susanti, 2006. Studi Penerapan Produksi Bersih. Program Studi Teknik
Lingkungan. 1(1) : 18-19.
Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan
Perairan. Cetakan Kelima. Kanisius. Yogjakarta.
Hamid. M, 2012. Kandungan dan Manfaat Tahu. Penebar Swadaya, Jakarta.
Hanum, F, 2002. Proses Pengolahan Air Sungai untuk Keperluan Air Minum, Fakultas
Teknik Program Studi Teknik Kimia Universitas Sumatera Utara.Medan.
Herlambang, A, 2002, Teknologi Pengolahan Limbah Cair Industri Tahu, Pusat Pengkajian
dan Penerapan Teknologi Lingkungan (BPPT) dan Badan Pengendalian Dampak
Lingkungan. Samarinda.
Kadariah, L.Karina dan C. Gray, 1999. Pengantar Evaluasi Proyek Lembaga Penerbit
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta.
Kaswinarni, F. 2007. Kajian Teknis Pengolahan Limbah Padat dan Cair Industri Tahu, Tesis,
Program Studi Ilmu Lingkungan Universitas Diponegoro. Semarang. (Tidak
diterbitkan)
Lavens, P. P. Sorgeloos. 1996. Manual on The Production and use Live Food for
Aquaculture. Laboratory of aquaculture and artemia reference center. University of
Ghent. Ghent
a
Menteri Kesehatan Republik Indonesia. 1997 . Daftar Komposisi Bahan Makanan.
Departemen Kesehatan Kementerian Republik Indonesia. Jakarta
b
___________________________________. 1997 . Komposisi Asam Amino yang
Terkandung dalam Tahu. Direktorat Gizi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Jakarta.
Mudjajanto. E. S. 2005. Tahu Makanan Favorit Yang Keamanannya Perlu Diwaspadai.
Universitas Brawijaya, Malang
Nohong. 2010. Pemanfaatan Limbah Tahu sebagai Bahan Penyerap Logam Krom, Kadmiun
dan Besi Dalam Air Lindi TPA. Jurnal Pembelajaran Sains. Jurusan Kimia FMIPA
Universitas Haluoleo. Kendari.6(2):257-269.
264

Park, H.S, 2014, Methodological Aspects Of Applying Eco-Efficiency Indicators To


Industrial Symbiosis Networks. Journal of Cleaner Production. 64(1): 478–485
Purwanto, 2003, Implementation of Cleaner Production in the Small Medium Industries, Case
Study in the Metal and Electroplating. National Conference on Clener Production,
Bandung.
Rukmana, R. dan Yuniarsih, 1996. Kedelai Budidaya dan Pasca Panen. Kanisius. Yogyakarta
SNI 01-3142-1998. Syarat Mutu Tahu.
Suprapti, L. 2005. Pembuatan Tahu. Kanisius. Yogyakarta.
Suprihatin, 2009. Beban Pencemaran Limbah Cair Tahu dan Analisis Alternatif Strategi
Pengelolaannya. Jurnal Furifikasi. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Shurtleff, W dan A, Aoyagi. 1984. Tofu and Soymilk Production. In The Book of
Tofu.Acraft and Technical Manual. New Age Foods Study Center, Lafayette.
Sugiharto, 1994. Dasar-dasar Pengolahan Air Limbah. Universitas Indonesia. Jakarta.
United Nation Environtment Program (UNEP), 2001. Cleaner Production dalam Cleaner
Production home page http://unep.org diakses tanggal 27 Juli 2016.
Uransyah dan W, Madya. 2011. Manfaat Kedelai. Balai Besar Pelatihan Pertanian.
Binuang.Tapin.
United States Agency for International Development (USAID). 1997. Panduan
Pengintegrasian Produksi Bersih ke dalam Penyusunan Program Kegiatan
Pembangunan Depperindag. Jakarta.
Wardhana, W.A. 2004. Dampak Pencemaran Lingkungan. Cetakan keempat. Penerbit ANDI.
Yogyakarta.
Zulkifli. A. Ami, 2001. Pengolahan Limbah Cair Pabrik Tahu dengan Rotating Biological
Contactor (RBC) pada Skala Laboratorium. Limnotek. 8(1): 21-34.
265

Lampiran 1. Peta Provinsi Riau


266

Lampiran 2. Peta Kabupaten Indragiri Hulu


267

Lampiran 3. Peta Kecamatan Rengat


PEMANFAATAN MINERAL LEMPUNG SEBAGAI KOAGULAN
UNTUK PENGOLAHAN AIR GAMBUT DESA RIMBO PANJANG
KABUPATEN KAMPAR

Disusun Oleh:

ARDIANSYAH HAMID
1510248354

PROGRAM STUDI ILMU LINGKUNGAN


PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
2016
I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Mineral lempung merupakan salah satu kekayaan alam Indonesia yang


berlimpah dan belum dimanfaatkan secara optimal. Hal tersebut merupakan
potensi alam yang sangat menjanjikan bagi pendayagunaan di bidang sumberdaya
alam. Secara geologis mineral lempung adalah keluarga silikat yang berbentuk
kristal dengan struktur berlapis oktahedral dan tetrahedral. Mineral lempung
umumnya digunakan sebagai bahan dasar pembuatan batu bata, genteng, dan
keramik. Keanekaragaman pemanfaatan lempung juga terlihat sebagai adsorben,
katalis, penukar kation atau anion (Wijaya et al, 2002) dan koagulan (Jaya, 2009).
Oleh karena itu, penelitian dan pengembangan aspek kimia dari lempung perlu
digiatkan.
Provinsi Riau memiliki potensi mineral lempung yang cukup banyak.
Menurut Andriyani (2010), daerah - daerah dengan kandungan lempung yang
banyak di Riau seperti, Desa Lipat Kain Kabupaten Kampar, Desa Sukamaju
Kabupaten Indragiri Hulu, Desa Kulim Kecamatan Bukit Raya, Pekanbaru, dan
Desa Cengar Kabupaten Kuantan Singingi. Perbedaan lokasi ditemukannya
lempung menyebabkan perbedaan jenis mineral lempung yang dikandungnya
(Jaya, 2009). Kandungan oksida Al pada lempung berpotensi untuk dijadikan
sebagai koagulan (Ramdhani, Mahmud dan Suwondo, 2010). Koagulan berbasis
Al sudah banyak dikenal dan dipakai dalam proses pengolahan air karena mampu
mengikat partikel-partikel koloid, zat organik dan pengotor di dalam air.
Lempung yang dipakai untuk koagulan dapat diperoleh dari tepi sungai,
rawa-rawa, ataupun di sekitar daerah gambut (Jaya, 2009). Untuk memperoleh
koagulan dari lempung dapat dilakukan dengan cara pelindian dengan
menggunakan asam seperti H2SO4 dan HCl. Pelindian lempung dengan asam
sulfat (H2SO4) menyebabkan kation Al dari lempung akan terekstraksi
membentuk koagulan cair Al2(SO4)3. Koagulan yang mudah dibuat adalah
koagulan cair karena proses produksi yang mudah dan cepat (Diana dan
Notodarmojo, 2010) sehingga bisa digunakan dalam pengolahan air dan limbah
(Diyannisa dan Sukandar, 2010). Koagulan digunakan dalam proses koagulasi -
flokulasi. Koagulasi adalah peristiwa pengendapan partikel-partikel koloid
3

sehingga fase terdispersinya terpisah dari medium pendispresinya. Koagulasi


disebabkan hilangnya kestabilan untuk mempertahankan partikel agar tetap
tersebar di medium pendispersi. Koagulasi dapat dilakukan dengan penambahan
zat elektrolit (koagulan) dengan cara mekanik (pemanasan, pendinginan /
pengadukan).
Selain memiliki kekayaan mineral lempung, Indonesia merupakan negara
peringkat keempat di dunia yang memiliki lahan gambut yang terluas di dunia
setelah Kanada, Rusia dan Amerika Serikat dengan luas 26.000.000 Ha. Provinsi
Riau khususnya, terdapat lahan gambut seluas ± 4,3 juta Ha (Yusnimaret al.
2010). Sumber air yang tersedia pada lahan gambut tersebut adalah air gambut.
Air gambut adalah air permukaan yang banyak terdapat di daerah rawa dengan
ciri–ciri berwarna merah kecoklatan, mengandung asam humus serta tingginya
zat organik dan logam besi (Kusnaedi, 2006 ).
Tanah gambut mengandung tiga komponen senyawa humat yaitu asam humat,
asam fulvat dan humin. Keberadaan senyawa humat di daerah gambut
menyebabkan penurunan kualitas air. Hal ini disebabkan karena senyawa humat
dapat memberikan warna yang khas pada air gambut yaitu warna kuning sampai
coklat kemerah-merahan (Suherman dan Sumawijaya, 2013). Kandungan senyawa
humat dalam air gambut menjadi sumber makanan bagi mikroorganisme air
sehingga menyebabkan air gambut berbau apabila bahan organik tersebut terurai
secara biologis. Selain itu, ikatan antara asam humat dan dengan ion logam besi
dan mangan menyebabkan kandungan logam dalam air menjadi tinggi sehingga
dapat menyebabkan kematian jika dikonsumsi dalam waktu yang lama (Mu’min,
2002). Untuk mengurangi kandungan asam humat dalam air gambut, perlu
dilakukan suatu metoda pengolahan air seperti proses koagulasi-flokulasi.
Ketersediaan air bersih yang minim dan kondisi lingkungan yang tidak
kondusif, merupakan masalah pokok bagi penduduk di daerah gambut. Setiap hari
warga menggunakan air gambut untuk mencuci dan mandi secara langsung tanpa
diolah terlebih dahulu. Hal ini jika dilakukan terus-menerus akan mempengaruhi
kesehatan dan menyebabkan timbulnya penyakit kulit dan diare (Yusnimar et al.
2010). Hasil penelitian Rini et al (2009), menunjukkan bahwa air gambut Desa
4

Rimbo Panjang berwarna merah kecoklatan, berbau, rasa asam, pH 4,357 dan
kandungan asam humat sebesar 0,2923 gram.
Berdasarkan parameter tersebut, jelas bahwa air gambut Desa Rimbo
Panjang tidak sesuai menurut Kep Menkes RI No.416/Menkes/Per/XI/1990
tentang Persyaratan Air Bersih. Salah satu cara pengolahan air adalah dengan
proses koagulasi-flokulasi menggunakan koagulan cair. Keuntungan metode
koagulasi-flokulasi adalah koagulan yang ditambahkan dapat mengikat partikel-
partikel koloid dan partikel tersuspensi dalam air yang tidak dapat mengendap
dengan sendirinya menjadi mikroflok. Selanjutnya, mikroflok yang terbentuk
akan berkembang menjadi makroflok dengan bantuan pengadukan lambat
sehingga bisa diendapkan melalui proses sedimentasi.
Pemanfaatan lempung sebagai koagulan cair ini merupakan suatu topik
yang sangat bagus untuk dibahas karena daerah Riau khususnya, memiliki banyak
potensi mineral lempung yang belum termanfaatkan sampai hari ini. Lempung
tersebut berpotensi untuk pengolahan air gambut.

1.2. Perumusan Masalah

Sumber daya mineral lempung khususnya di daerah Provinsi Riau,


merupakan salah satu kekayaan alam yang masih belum di manfaatkan
sepenuhnya oleh masyarakat. Salah satu pemanfaatan mineral lempung dalam
bidang ilmu pengetahuan dan teknologi adalah sebagai koagulan. Ini disebabkan
karena mineral lempung memiliki kandungan logam Al yang cukup tinggi
sehingga dapat mengikat partikel-partikel koloid dan pengotor dalam air dan
limbah. Salah satu bentuk penggunaan koagulan adalah dalam proses pengolahan
air di Desa Rimbo Panjang Kabupaten Kampar.
Kawasan Rimbo Panjang merupakan kawasan gambut sehingga air yang
ditemukan adalah air gambut. Karakteristik air gambut seperti warna merah
kecoklatan, berbau dan berasa, kadar TDS, TSS dan zat organik yang tinggi
sehingga air gambut Desa Rimbo Panjang tidak layak untuk dikonsumsi dan
digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Penggunaan koagulan dari mineral
lempung dalam proses koagulasi air gambut ternyata belum memberikan hasil
yang memuaskan terhadap kualitas air gambut . Ini dibuktikan dengan kualitas air
5

gambut setelah koagulasi masih belum sesuai standar baku air minum dan air
bersih. Ini mungkin disebabkan oleh:
1. Kualitas koagulan yang dihasilkan kurang bagus, karena belum
diketahuinya karakteristik koagulan yang dihasilkan.

2. Teknikkoagulasi – flokulasi tidak cocok untuk pengolahan air gambut


Desa Rimbo Panjang.

3. Dosis optimal dalam pengolahan air gambut Desa Rimbo Panjang yang
belum diketahui dengan pasti.

4. Koagulan yang dihasilkan dari mineral lempung tidak murni koagulan


berbasis Al, karena masih mengandung logam – logam lain, sehingga
dapat mengganggu proses koagulasi – flokulasi air gambut.
II. PEMANFAATAN MINERAL LEMPUNG SEBAGAI KOAGULAN
UNTUK PENGOLAHAN AIR GAMBUT DESA RIMBO PANJANG
KABUPATEN KAMPAR

2.1. Lempung

Lempung adalah mineral alam yang berasal dari keluarga silikat dengan
struktur berlapis yang terdiri dari lapisan tetrahedral dan oktahedral serta
mempunyai ukuran partikel < 0,002 mm dengan warna kecoklat-coklatan.
Berdasarkan kandungan mineralnya, lempung dapat dibedakan menjadi beberapa
jenis seperti kaolinit, illit, monmorillonit, halosit dan lain-lain.
Struktur dasar lempung terdiri dari satu atau dua lapisan silikon dioksida
dengan satu lapisan aluminium oksida. Lapisan silika, unit dasarnya adalah silika
tetrahedron (Anonimus, 2016a) (Gambar 1.a). Pada struktur silika tetrahedron,
satu atom silikon berikatan dengan empat atom oksigen. Lapisan dari silika
tetrahedron ini akan membentuk struktur tetrahedral. Pada alumina, unit dasarnya
adalah oktahedron (Anonimus, 2016a) (Gambar 1.b). Struktur oktahedron
alumina terbentuk dari satu atom alumina berikatan dengan enam hidroksi.
Lapisan dari oktahedron alumina ini akan membentuk struktur oktahedral (Qodari,
2010). Lapisan tetrahedral silika dan oktahedral alumina dari lempung berikatan
melalui gaya Van Der Wall, gaya elektrostatis dan ikatan hidrogen. Lapisan yang
satu dengan lainnya mempunyai ruang (interlayer) yang diisi oleh kation, molekul
air dan molekul lainnya. Berikut ini gambar unit tetrahedron dan oktahedron.

(a (b

Gambar.1. Struktur: a). Tetrahedron silika b). Oktahedron alumina


(Sumber: Anonimus, 2016a)
7

2.2. Koagulasi–Flokulasi

Partikel-partikel kotoran dalam air baku dengan diameter berukuran


-2
10 mm masih bisa dipisahkan dengan pengendapan biasa tanpa proses kimia
(Kusnaedi, 2006). Tetapi partikel-partikel yang berukuran lebih kecil dari 10-2 mm
sulit untuk dipisahkan dengan pengendapan biasa tanpa bahan dan proses kimia.
Ini karena partikel-partikel tersebut masih tetap lolos ketika penyaringan. Salah
satu metoda yang sering digunakan dalam proses pengolahan air adalah koagulasi-
flokulasi karena dapat mengikat partikel koloid yang tidak dapat mengendap
dengan sendirinya sehingga bisa diendapkan dalam proses sedimentasi.
Koagulasi-flokulasi merupakan cara mendestabilkan partikel koloid dalam
dua tahap. Pertama, dengan mengurangi gaya elektrostatis sehingga menurunkan
nilai potensial zeta dari koloid. Adanya muatan listrik pada permukaan partikel
koloid dinamakan potensial zeta. Ketika dua partikel koloid yang bermuatan
negatif berdekatan, maka gaya elektrostatik partikel koloid akan lebih besar dari
gaya Van Der Wall sehingga terjadi tolak-menolak antar partikel. Akibatnya,
partikel koloid semakin stabil dan potensial zeta menjadi semakin tinggi.
Kestabilan partikel koloid dapat dihilangkan dengan menurunkan potensial zeta
sehingga gaya tolak-menolak menjadi semakin berkurang.
Menurut Risdianto (2007), salah satu cara untuk menurunkan potensial
zeta adalah dengan menambahkan koagulan. Penambahan koagulan menyebabkan
kation masuk ke dalam permukaan elektrokinetik sehingga mereduksi potensial
zeta. Pada akhirnya, gaya tolakan antar partikel menjadi berkurang. Adanya gaya
Van Der Wall menyebabkan partikel koloid akan menjadi flok-flok yang masih
kecil atau mikroflok dengan bantuan pengadukan cepat. Akibat pengadukan
cepat, koloid dan partikel yang stabil berubah menjadi tidak stabil karena terurai
menjadi partikel bermutan positif dan negatif. Pembentukan ion positif dan negatif
juga dihasilkan dari penguraian koagulan. Selanjutnya akan terbentuk ikatan
antara ion positif dari koagulan seperti Al+3dengan ion negatif dari partikel seperti
OH- dan ion positif dari partikel misal Ca+2 dengan ion negatif dari koagulan
seperti SO4-2 yang menyebabkan terbentuknya inti flok. Tahap kedua yaitu
flok-flok yang masih kecil akan bergabung dan saling bertumbukan dengan
pengadukan lambat yang disebut dengan proses flokulasi.
8

Pada proses ini mikroflok hasil koagulasi mulai menggumpalkan partikel


menjadi flok-flok yang lebih besar (makroflok) sehingga dapat diendapkan.
Proses penggumpalan ini tergantung dari waktu dan pengadukan.
Proses koagulasi dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain (Khasanah,
2008) :

1. Dosis koagulan
Kebutuhan dosis koagulan dalam pengolahan air tergantung pada jenis air
keruhnya. Air dengan tingkat kekeruhan tinggi membutuhkan dosis
koagulan yang sesuai sehingga proses pengendapan partikel koloid
berlangsung dengan baik. Untuk menentukan dosis koagulan yang tepat
pada proses koagulasi dapat digunakan metoda Jar Test.
2. Derajat keasaman
Suatu larutan dikatakan asam atau basa dapat dilihat dari derajat
keasamannya. Derajat keasaman turut berpengaruh dalam proses
koagulasi. Jenis koagulan yang dipakai berkaitan dengan derajat keasaman
dari air uji. Pemilihan koagulan yang tepat sesuai dengan derajat keasaman
air akan membantu proses koagulasi.
3. Kecepatan pengadukan
Pengadukan pada proses koagulasi bertujuan untuk mendispersikan
koagulan dengan air, menggabungkan koagulan dengan partikel-partikel
koloid dalam air dan mempercepat terbentuknya makroflok. Pengadukan
yang cepat di awal proses koagulasi akan membuat koagulan terdispersi
secara sempurna dengan air.
4. Jenis koagulan
Pemilihan jenis koagulan harus sesuai dengan jenis koloid yang
terkandung dalam air baku. Jenis koagulan biasanya mempunyai muatan
ion yang berlawanan dengan muatan ion air. Ini bertujuan supaya tidak
terjadi tolak menolak antara partikel koloid sehingga flok yang diinginkan
terbentuk.
Berikut ini penerapan beberapa dosis koagulan yang digunakan dalam
pengolahan air (Tabel 1):
9

Tabel 1. Penerapan dosis koagulan (Risdianto, 2007)


Nama Nama lain Rumus kimia Berat Wujud Rentang
kimia molekul
Dosis(mg/l)

Aluminium Alum Al2(SO4)3.18H2O 599,77 Padat 75-200


Sulfat
Alum cair Al2(SO4)3. 55H2O 1235,71 Cair
Ferri Besi (III) Fe2(SO4)3. 9H2O 562,02 Padat
sulfat
Sulfat
Ferri sulfat
Fe2(SO4)3.45H2O 1064,64 Cair
cair
Ferro Copperas FeSO4. 7H2O 278,02 Kristal 70-200
Sulfat

Salah satu sifat partikel koloid dalam medium polar adalah memiliki
muatan listrik pada permukaannya. Ion partikel-partikel koloid yang bermuatan
sejenis menyebabkan terjadinya tolak-menolak antarpartikel sehingga timbul
lapisan rangkap listrik atau electric double pada antarmuka partikel terdispersi
dengan medium pendispersinya. Hal ini ditunjukkan pada Gambar 3:

Gambar. 2. Lapisan rangkap listrik permukaan partikel koloid


(Sumber: Anonimus, 2016b)

Keterangan: a : Partikel koloid bermuatan negatif


b : Lapisan stern yang terdiri dari kation
c : Lapisan difusi terdiri dari kation dan anion
d : Lapisan anion dan kation dalam air
10

2.2.1. Koagulan

Koagulan adalah zat kimia yang dapat mengikat partikel-partikel koloid


dan pengotor pada proses koagulasi. Menurut Siregar (2009), koagulan bertindak
sebagai larutan elektrolit untuk mendestabilkan partikel koloid. Pada prinsipnya
penambahan koagulan untuk menetralkan kelebihan muatan negatif partikel
kotoran sehingga mempermudah penggabungan partikel menjadi agregat yang
lebih besar dan bisa diendapkan. Koagulan yang umum dipakai adalah alumunium
sulfat, feri sulfat, fero sulfat dan poli aluminium klorida. Berikut ini gambar
proses koagulasi-flokulasi dengan bantuan koagulan(Gambar 2):

Gambar 3. Proses pengikatan partikel koloid oleh koagulan (Risdianto, 2007)

Penelitian Jaya (2009) menggunakan lempung sebagai koagulan dalam


penjernihan air gambut dengan parameter warna, bau, rasa, pH, logam Fe dan
logam Mn. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa penggunaan lempung sebagai
koagulan dapat merubah karakteristik air gambut yang awalnya berwarna merah
kecoklatan, berbau amis dan terasa asam menjadi tidak berwarna, tidak berasa dan
tidak berbau. Koagulan lempung memberikan hasil yang baik bagi pH air yang
awalnya 4,49 berubah menjadi 7,13. Begitu juga untuk parameter logam Fe dan
Mn yang awalnya 0,15 mg/L dan 0,013 mg/L berubah menjadi 0,009 mg/L.
Perubahan karakteristik air gambut di atas menunjukkan bahwa lempung dapat
bermanfaat sebagai koagulan dalam penjernihan air gambut.
11

2.2.2. Koagulan aluminium sulfat

Aluminium sulfat (Al2(SO4)3.18H2O) atau lebih dikenal dengan nama


tawas merupakan salah satu koagulan yang umum digunakan karena harganya
murah dan mudah didapat. Menurut (Risdianto,2007) alkalinitas yang ada di
dalam air bereaksi dengan alumunium sulfat (alum) menghasilkan alumunium
hidroksida sesuai dengan reaksi:
Al2(SO4)3.18H2O + 3 Ca(HCO3)2 → 2 Al(OH)3 +3 CaSO4 + 6 CO2 + 18 H2O
Koagulan alum jika ditambahkan ke dalam air akan mudah larut dan
bereaksi dengan HCO3- menghasilkan aluminium hidroksida yang mempunyai
muatan positif. Sementara itu partikel-partikel koloid yang terdapat dalam air
baku bermuatan negatif dan sukar mengendap karena adanya gaya tolak-menolak
antar partikel koloid tersebut. Hidroksida aluminium yang terbentuk bermuatan
positif sehingga akan terjadi tarik-menarik antar partikel koloid yang bermuatan
negatif dengan partikel aluminium hidroksida yang bermuatan positif. Akibatnya
akan terbentuk gumpalan partikel yang semakin besar, berat dan cepat
mengendap.
Aluminium sulfat ada dalam bentuk padat dan cair yang bersifat ampoter.
Alum padat mempunyai berat jenis sekitar 1,62 g/L dalam bentuk butiran kasar
dengan warna putih terang. Akhir-akhir ini alum cair banyak diproduksi orang
karena pengerjaannya lebih mudah. Koagulan ini banyak dipakai karena flok yang
dihasilkan stabil dan efektif untuk air baku dengan kekeruhan yang tinggi. Air
dengan perbedaan karakteristik kimiawi dan biologi yang besar, berhasil diolah
dengan baik ketika menggunakan koagulan berbasis aluminium.
Menurut Winarni (2003), penggunaan alum sebagai koagulan dalam
penjernihan air baku yang mengandung asam humat telah memberikan hasil yang
memuaskan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa alum dapat menjernihkan air
pada rentang pH 6,5–7,0 yang disebabkan munculnya presipitat Al(OH)3 yang
mendorong bekerjanya mekanisme sweep coagulation atau penjebakan partikel
tersuspensi dan partikel koloid ke dalam presipitat Al(OH)3. Proses ini akan
menghasilkan flok berukuran besar sehingga menghasilkan penurunan kekeruhan
dengan efisiensi yang tinggi.
12

2.3. Air Gambut

Air gambut adalah air permukaan dari tanah gambut. Tanah gambut
terbentuk ketika bagian-bagian tumbuhan terhambat pembusukannya pada lahan
berawa karena kadar keasaman yang tinggi atau kondisi anaerob di daerah
tersebut. Struktur tanahnya yang lembut dan mempunyai pori-pori yang dapat
menahan air, sehingga air pada lahan gambut tersebut dinamakan air gambut.
Air gambut berwarna merah kecoklatan karena mengandung partikel
koloid dari senyawa asam humus serta logam Fe dan Mn. Asam humus dapat
dibagi atas tiga macam, yaitu (Alqadrie, Sudarmadji dan Yunianto, 2000) :
1. Asam fulvat
Asam fulvat memiliki berat molekul yang lebih rendah dari asam humat yaitu
1000 sampai 10.000 g/mol. Berbeda dengan asam humat, asam fulvat larut dalam
berbagai suasana pH baik asam maupun basa. Warna asam humat mulai dari
kuning sampai coklat kuningan (Gambar 6).

Gambar 4. Struktur asam fulvat (Anonimus, 2016c)

2. Asam humat
Asam humat terbentuk dari tanaman dan binatang yang telah mati dan
terurai. Asam humat tersebar sebagai senyawa organik yang terdapat di dalam
tanah, sedimen danau dan rawa. Asam humat dalam suasana basa akan larut
sedangkan dalam suasana asam akan mengendap. Asam humat memiliki bobot
molekul yang tinggi sebesar 10.000 sampai 100.000 g/mol dan mengandung
asam amino, peptida dan senyawa alifatik. Asam humat memiliki warna yang
bervariasi, mulai dari coklat pekat sampai abu-abu pekat (Gambar. 7).
13

Gambar 5. Struktur asam humat


(Anonimus, 2016d)
3. Humin
Humin merupakan jenis asam humus yang mempunyai berat molekul
paling besar yaitu 100.000 sampai 10.000.000 g/mol. Intensitas warna humin juga
paling tinggi, dari coklat gelap sampai hitam. Humin tidak larut dalam suasana
asam ataupun basa.

2.3.1. Karakteristik air gambut


Karakteristik air gambut sangat spesifik dan bergantung pada lokasi, jenis
tanah gambut, usia gambut, ketebalan gambut dan cuaca. Oleh karena itu,
karakteristik air gambut setiap daerah berbeda (Gambar 8).
Karakteristik kimia air gambut antara lain (Kusnaedi, 2006):
- pH 2-5
- Kandungan zat organik tinggi
- Kekeruhan rendah
- Tingkat kesadahan rendah
- Kandungan garam mineral relatif tinggi seperti, Fe+3 dan Cu+2
Karakteristik fisika air gambut antara lain:
- Warna merah kecoklatan
- Rasanya asam
- Berbau
- Ditemukan pada daerah gambut
14

Gambar 8. Air Gambut (Anonimus, 2016e)

2.3.2. Pengolahan Air Gambut tradisional


Salah satu metode pengolahan air gambut tradisional adalah menggunakan
tong (tangki) pengaduk, pompa, aerasi dan saringan dari pasir atau disingkat
model TP2AS. Metoda ini dirancang untuk keperluan rumah tangga sehinggacara
pembuatan dan pengoperasiannya mudah serta biayanya cukup murah. Tahapan
proses pengolahan adalah terdiri dari beberapa tahap yaitu: Netralisasi, Aerasi,
Koagulasi, Pengendapan dan Penyaringan (Said dan Widayat, 2013):
1. Netralisasi adalah mengatur keasaman air agar menjadi netral.
2. Aerasi adalah mengontakkan udara dengan air baku agar kandungan zat
besi dan mangan dalam air bereaksi dengan oksigen yang ada dalam udara
membentuk senyawa besi dan senyawa mangan yang bisa diendapkan.
3. Koagulasi adalah pembubuhan bahan kimia agara partikel koloid dan
pengotor dalam dalam air menggumapal.
4. Pengendapan yakni setelah proses koagulasi, pengotor akan menggumpal
menjadi agregat yang lebih besar.
5. Penyaringan, agar endapan tersaring yang keluar air bersih.

2.4. Parameter Kualitas Air

Air untuk konsumsi atau keperluan rumah tangga harus bersih. Beberapa
parameter kualitas air bisa dilihat dari warna, bau, rasa, pH, kekeruhan, TSS, TDS
dan lain-lain. Air yang berwarna berarti mengandung bahan-bahan yang
berbahaya bagi kesehatan (Kusnaedi, 2006).
15

Warna dalam air disebabkan adanya ion-ion logam besi dan mangan, asam
humus ataupun buangan industri (Ginting, 2008). Air yang baik untuk diminum
tidak berbau bila dicium dari jarak jauh ataupun dekat. Menurut Kusnaedi (2006),
air yang berbau disebabkan zat-zat organik yang sedang mengalami proses
dekomposisi oleh mik roorganisme air sehingga menghasilkan gas-gas seperti
sulfida atau amoniak. Secara fisik, air dapat dirasakan oleh lidah. Air yang terasa
asam, asin atau pahit menunjukkan kualitas air yang tidak baik. Rasa asin dapat
disebabkan adanya garam-garam tertentu yang larut dalam air, sedangkan rasa
asam disebabkan adanya asam organik seperti asam humat.
Derajat keasaman air minum harus netral, tidak bersifat asam ataupun
basa. Air murni mempunyai pH 7. Jika pH air gambut kecil dari 7, berarti air
bersifat asam, sedangkan bila pH air lebih besar dari 7 berarti bersifat basa atau
pahit (Kusnaedi, 2006). Tingkat keasaman air tergantung pada tinggi rendahnya
konsentrasi ion hydrogen dalam air. Air yang memenuhi syarat untuk konsumsi
mempunyai pH antara 6,5-7,5 (Whardana, 2001). Air yang keruh disebabkan
adanya partikel koloid yang terdispersi dalam air. Menurut Ginting (2008),
partikel koloid akan mengalami penghamburan jika terkena cahaya. Ini
disebabkan partikel koloid memiliki ukuran molekul yang cukup besar
dibandingkan larutan sejati. Peristiwa ini dinamakan efek tyndal. Kekeruhan pada
air akan menimbulkan dampak kurang memuaskan dalam penggunaan dan
mengganggu estetika. Selain itu juga dapat menghalangi masuknya sinar matahari
ke dalam air.
Menurut Alaerts dan Santika (1987), zat padat tersuspensi adalah zat padat
atau partikel-partikel yang tersuspensi dalam air, dapat berupa komponen hidup
ataupun komponen tak hidup dan juga partikel-partikel anorganik seperti tanah
liat, lumpur, bakteri, plankton, dan organisme lainnya. Keberadaan zat padat
tersuspensi dalam air menyebabkan kualitas air tidak bagus dan mengganggu
estetika. Sedangkan zat padat terlarut dapat berupa zat organik ataupun zat
anorganik. Zat organik terlarut bisa berasal dari proses pembusukan tumbuh-
tumbuhan seperti asam humat. Zat anorganik dapat berasal dari pertanian, ataupun
limbah industri misalnya kalsium, posfat, nitrat. Zat tersebut dapat berhubungan
dengan air melalui atmosfer, permukaan ataupun di dalam tanah.
16

2.5. Pemanfaatan Mineral Lempung sebagai Koagulan untuk Pengolahan


Air Gambut di Desa Rimbo Panjang Kabupaten Kampar

Mineral lempung memiliki kandungan alumina yang cukup tinggi


(Muhdarina, 2010). Hal tersebut memungkinkan bahwa lempung berpotensi
menjadi koagulan ataupun koagulan bantu karena aluminium berperan dalam
proses koagulasi. Koagulan dari mineral lempung bisa dimanfaatkan untuk
pengolahan air dan limbah. Luas lahan gambut di Provinsi Riau sekitar 4,3 juta
Ha (Yusnimaret al, 2010). Air yang tersedia di lahan gambut tersebut adalah air
gambut. Salah satu daerah yang mayoritas daerah gambut adalah Desa Rimbo
Panjang, Kabupaten Kampar. Masyarakat yang tinggal di daerah Rimbo Panjang
sulit untuk memperoleh air bersih untuk mandi, mencuci dan air minum karena
karakteristik air gambut yang berwarna merah kecoklatan, pH asam serta
memiliki kandungan zat organik yang cukup tinggi (Riniet al, 2009) sehingga air
gambut di Desa Rimbo Panjang tidak layak untuk digunakan sebagai sumber air
bersih ataupun air minum.
Berdasarkan karakteristik mineral lempung yang memiliki kadar
aluminium yang cukup tinggi, maka bisa dikembangkan menjadi koagulan cair
untuk pengolahan air gambut di Desa Rimbo Panjang. Koagulan cair ini dapat
mengikat partikel – partikel koloid, pengotor-pengotor dan zat organik yang
terkandung di dalam air gambut melalui proses koagulasi-flokulasi. Setelah proses
koagulasi air gambut dengan koagulan, diharapkan karakteristik air gambut
seperti parameter warna, pH, TDS, TSS dan zat organik sudah sesuai dengan
standar air minum sehingga layak untuk dikonsumsi oleh masyarakat di Desa
Rimbo Panjang.
Jika air gambut sudah dikoagulasi dengan koagulan cair dari mineral
lempung, ternyata hasil olahannya tidak memuaskan dan karakteristik air gambut
seperti pH, warna, TDS, TSS dan zat organik tidak sesuai dengan standar air
minum, maka air gambut hasil olahan bisa dimanfaatkan oleh warga untuk
kepentingan lainnya seperti untuk mencuci, mandi, pertanian ataupun perikanan.
Dengan demikian, air gambut hasil koagulasi tetap bisa dimanfaatkan oleh warga
Desa Rimbo Panjang walaupun tidak masuk dalam standar air minum.
17

Tidak optimalnya hasil olahan air gambut bisa disebabkan dosis koagulan
ketika proses koagulasi yang belum pas ataupun koagulan yang dihasilkan belum
layak (not pure) untuk dijadikan koagulan dalam pengolahan air gambut.
Koagulan dari mineral lempung memang berbasis Al, tetapi masih terdapat
logam-logam lainnya di dalam mineral lempung sehingga koagulan juga
mengandung banyak logam. Ini juga bisa menjadi faktor tidak memuaskannya
hasil koagulasi air gambut. Selain itu, teknik koagulasi-flokulasi mungkin tidak
cocok untuk pengolahan air gambut menjadi air bersih ataupun air minum.
Karakteristik koagulan dari mineral lempung yang dihasilkan belum
diketahui seutuhnya. Karena mineral lempung mempunyai banyak jenis dantipe
sehingga koagulan yang dihasilkan masih ambigu. Ini merupakan salah satu faktor
yang bisa menghambat buruknya kualitas air gambut hasil koagulasi dengan
koagulan cair.
III. DAMPAK PEMANFAATAN LEMPUNG SEBAGAI KOAGULAN
UNTUK PENGOLAHAN AIR GAMBUT DI DESA RIMBO
PANJANG KABUPATEN KAMPAR

3.1 Dampak Ekonomi


Dampak ekonomi bagi masyarakat Desa Rimbo Panjang bila lempung tidak
digunakan dalam pengolahan air gambut adalah warga masyarakat Rimbo Panjang
akan membeli air bersih terus menerus untuk memenuhi keperluan air minum dan
memasak. Kondisi ini akan mengakibatkan bertambahnya biaya rumah tangga
warga masyarakat Desa Rimbo Panjang dalam hal pemenuhan air bersih. Kondisi
ini dialami oleh semua masyarakat di Desa Rimbo Panjang. Tidak adanya sarana
air bersih di Desa Rimbo Panjang, menjadikan daerah tersebut kurang maju dan
kurangberkembang.
Dampakekonomi bagi masyarakat Desa Rimbo Panjang dan Pemerintah Daerah
Kabupaten Kampar bila penggunaan lempung sebagai koagulan cair untuk
pengolahan air gambut adalah:
1. Kualitas air gambut akan menjadi sedikit lebih baik dari sebelumnya.
Awalnya air gambut murni yang digunakan langsung digunakan untuk
keperluan sehari-hari, sekarang bisa menggunakan air olahan air gambut
hasil koagulasi walaupun belum sesuai standar air minum.
2. Air gambut hasil koagulasi dengan koagulan, bisa juga dimanfaatkan
untuk aktifitas perikanan. Ini akan membuka peluang usaha baru di lahan
gambut. Jika menggunakan air gambut murni untuk perikanan, maka ikan
tidak akan berkembang dengan baik.
3. Terciptanya suatu produk baru yang juga bernilai ekonomis dari
pemanfaatan mineral lempung yaitu koagulan. Mineral lempung yang pada
awalnya tidak berharga dan tidak diperdulikan sekarang bisa
dikembangkan untuk produk koagulan.
4. Bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Kampar, jika kualitas air bersih sudah
tercapai di Desa Rimbo Panjang, maka tidak ada lagi krisis air bersih di
Kabupaten Kampar sehingga iklim investasi akan semakin bagus. Ini
berarti, tingkat perekonomian warga Kabupaten Kampar akan semakin
baik.
19

3.2 Dampak Sosial Budaya


Bila mineral lempung tidak digunakan dalam pengolahan air gambut di Desa
Rimbo Panjang, berarti masih minimnya pemanfaatan dan pemberdayaan terhadap
mineral lempung sedangkan Provinsi Riau kaya akansumber daya mineral
lempung. Pengolahan lempung yang masih minim dikarenakan kurangnya
kreatifitas dan ilmu pengetahuan warga tentang pemanfaatan mineral lempung.
Bila mineral lempung digunakan sebagai koagulan, maka akan menambah
wawasan dan pola pikir masyarakat bahwa mineral lempung tidak sekedar bahan
untuk membuat batu bata, genteng ataupun bahan yang tidak berguna. Akan tetapi
bisa juga dikembangkan menjadi suatu produk koagulan. Dengan demikian, akan
memotivasi masyarakat Desa Rimbo Panjang untuk menemukan atau
mengembangkan sesuatu yang ada di sekitarnya menjadi produk yang lebih
bernilai untuk kehidupan sehari-hari.

3.3. Dampak Lingkungan dan Kesehatan


Bila tidak digunakan lempung dalam pengolahan air gambut, maka warga
masyarakat Desa Rimbo Panjang akan menggunakan air gambut murni untuk
keperluan sehari-harinya seperti mandi dan mencuci. Mereka terpaksa
menggunakan air gambut karena hanya itu air yang tersedia di daerah
tersebut.Keberadaan air gambut tidak sepenuhnya merusak sistem lingkungan,
akan tetapi, dengan tersedianya air gambut akan mengurangi daya fungsi lahan di
lingkungan tersebut. Contohnya, di daerah Rimbo Panjang hanya cocok dibuka
lahan pertanian nenas, sedangkan untuk pertanian padi, sayuran dan kacang-
kacangan tidak bisa. Sektor lainnya, seperti perikanan dan perumahan juga tidak
berkembang, karena daerahnya yang berawa – rawa.
Kebutuhan masyarakat Desa Rimbo Panjang akan air bersih, memaksa
mereka untuk mencari alternatif sendiri untuk pengolahan air gambut. Salah
satunya dengan teknik koagulasi-flokulasi menggunakan koagulan dari mineral
lempung. Bila digunakan mineral lempung untuk pengolahan air gambut,
dampaknya terhadap lingkungan adalah Provinsi Riau yang awalnya kaya akan
sumber daya mineral lempung, lama kelamaan jumlahnya akan semakin sedikit,
akibat eksploitasi sumber daya mineral. Disatu sisi kita memang memanfaatkan
20

sumber daya alam, akan tetapi kita juga menguras sumber daya alam tersebut.
Oleh karena itu, perlu adanya kebijakan dan pengawasan dalam eksploitasi
sumber daya alam supaya tidak terjadinya kerusakan ekosistem lingkungan.
Bila warga masyarakat Desa Rimbo Panjang menggunakan air gambut
untuk kehidupan sehari-hari, memang dampaknya bagi kesehatan tidak langsung
dapat dilihat, akan tetapi dampaknya baru terasa dalam jangka waktu yang lama
seperti penyakit kulit, gatal-gatal, diare dan lain-lain. Ini disebabkan karena air
gambut mengandung bakteri, logam Fe dan zat organik asam humat. Jika
terakumulasi dalam waktu yang lama dalam tubuh,akan berdampak buruk bagi
kesehatan.
Akan tetapi, dengan penggunaan lempung untuk pengolahan air
gambut,tingkat kesehatan masyarakat Desa Rimbo Panjang akan lebih baik,
karena kualitas air yang digunakan lebih baik dari air gambut sebelumnya. Air
gambut yang diolah menggunakan koagulan dari mineral lempung memang belum
seutuhnya menghasilkan kualitas air yang bersih. Akan tetapi, lebih baik dari pada
menggunakan air gambut secara langsung.
IV. UPAYA PENYEMPURNAAN PENGOLAHAN AIR GAMBUT
DENGAN MEMANFAATKAN LEMPUNG SEBAGAI KOAGULAN
CAIR di DESA RIMBO PANJANG KAB. KAMPAR

Berikut ini upaya penyempurnaan pengolahan air gambut dengan


memanfaatkan lempung sebagai koagulan di Desa Rimbo Panjang Kabupaten
Kampar, yaitu:
4.1 Kualitas koagulan yang dihasilkan kurang bagus, karena belum diketahuinya
karakteristik koagulan yang dihasilkan.
Kandungan logam Al dalam mineral lempung memang cukup tinggi, sehingga
berpotensi untuk dijadikan koagulan. Koagulan yang dihasilkan dari mineral
lempung juga berbeda – beda, tergantung kepada karakteristik lempungnya.
Sebagaimana diketahui, ada banyak jenis mineral lempung seperti bentonite,
montmorillonite, illite dan lain sebagainya. Berbeda jenis lempungnya, maka
koagulan yang dihasilkan juga akan berbeda. Oleh karena itu, sebelum mineral
lempung dijadikan sebagai koagulan untuk proses koagulasi air gambut,
setidaknya kita mengetahui karakteristik dari mineral lempung tersebut.
4.2 Teknik koagulasi – flokulasi tidak cocok untuk pengolahan air gambut
Desa Rimbo Panjang.
Salah satu teknik pengolahan air adalah koagulasi flokulasi. Metoda ini dengan
memanfaatkan koagulan sebagai pengikat partikel – partikel koloid dan pengotor
di dalam air. Akan tetapi, teknik koagulasi – flokulasi untuk pengolahan air
gambut Desa Rimbo Panjang, belum memberikan hasil yang memuaskan karena
hasil koagulasi yang masih di luar standar Persyaratan Air Bersih ataupun Air
Minum. Oleh karena itu, diperlukan suatu teknik pengolahan air yang lebih bagus
dan modern dibandingkan dengan teknik koagulasi-flokulasi. Salah satu teknik
pengolahan air yang lebih canggih adalah dengan menggunakan membran. Ini
disebabkan karena membran dapat mengikat dan menyaring partikel-partikel
koloid dan pengotor dengan ukuran mikrometer sampai nanometer sehingga
kualitas air gambut akan lebih bagus dibandingkan ketika menggunakan koagulan.
22

4.3 Dosis optimal dalam pengolahan air gambut Desa Rimbo Panjang yang
belum diketahui dengan pasti.

Dalam proses pengolahan air dengan metoda koagulasi-flokulasi, salah satu faktor
yang ikut berpengaruh adalah dosis koagulan. Takaran koagulan yang
ditambahkan ke dalam air gambut akan berpengaruh terhadap kualitas air gambut.
Jika dosis koagulan yang diberikan kurang, maka kualitas air gambut tidak akan
sesuai yang diharapkan, begitu juga ketika dosis yang diberikan berlebihan, maka
tidak akan terbentuk agregat sehingga air gambut tidak akan bersih. Oleh karena
itu, dosis kagulan harus sesuai dengan kondisi air gambut, sehingga proses
pengendapan partikel-partikel koloid dan pengotor berlangsung dengan baik.
Untuk itu, perlu dilakukan kajian yang lebih mendalam untuk penentuan dosis
koagulan optimal dalam pengolahan air gambut. Salah satu metoda penentuan
dosis koagulan yang tepat adalah dengan menggunakan metoda Jar Test
(Khasanah, 2008).

4.4 Koagulan yang dihasilkan dari mineral lempung tidak murni koagulan
berbasis Al.

Mineral lempung tersusun dari berbagai jenis logam seperti Al, Fe, Ca, Mg dan
lai-lain. Logam Al memiliki kandungan yang lebih banyak dari logam lainnya.
Pemanfaatan mineral lempung sebagai koagulan berbasis Al memang belum tepat,
karena masih mengandung logam-logam lain, sehingga koagulan ini belum murni.
Kondisi ini dapat mengganggu proses koagulasi – flokulasi air gambut sehingga
hasil yang didapat tidak memuaskan. Ini disebabkan, tidak semua logam
berpotensi untuk dijadikan sebagai koagulan. Oleh karena itu, jika ingin
menjadikan mineral lempung sebagai koagulan berbasis Al, maka logam Al harus
diekstraksi dari mineral lempung sehingga hanya logam Al saja yang terkandung
di dalam koagulan. Ekstraksi logam Al dari mineral lempung dapat dilakukan
menggunakan asam sulfat ataupun asam klorida, sehingga akan dihasilkan
koagulan aluminium sulfat atau aluminium klorida.
DAFTAR PUSTAKA

Alaerts, G dan S.S. Santika, 1987. Metode Penelitian Air. Usaha Nasional,
Surabaya
Alqadrie, R.W.N, Sudarmadji dan T. Yunianto, 2000. Pengolahan Air Gambut
untuk Persediaan Air Bersih.Teknosains. 13(2): 193-204.
Andriyani, F. 2010. Studi Kesetimbangan Adsorpsi Cu(II) pada Lempung-
KegginTerpilar. Skripsi. Jurusan kimia Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam Universitas Riau, Pekanbaru. (Tidak diterbitkan)
, 2016a. http://www.google.co.id.imgres/tetrahedronsilica. Diakses pada 30
Mei 2016
, 2016b. http://www.google.co.id.imgres/oktahedronalumina. Diakses pada
30 Mei 2016
, 2016c. http://www.google.co.id/imgres/struktur/asam/fulvat. Diakses pada
30 Mei 2016
, 2016d. http://www.google.co.id/imgres/struktur/asam/humat. Diakses
pada 30 Mei 2016
, 2016e. http://www.google.co.id/imgres/air/gambut. Diakses pada 30 Mei
2016
, 2016f. http://www.google.co.id/imgres/peta/provinsi/riau. Diakses pada
15Agustus 2016
, 2016g. http://www.google.co.id/imgres/peta/kabupaten/kampar. Diakses
pada 15Agustus 2016
, 2016h. googlemaps. Diakses pada 3September 2016
Diana, R.M dan Notodarmojo., 2010. Studi Awal Pemanfaatan Lempung
Paminggir sebagai Koagulan Cair.Laporan Penelitian. Program Studi
Teknik Lingkungan, Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan. ITB, Bandung
Diyannisa, T dan Sukandar., 2010. Potensi Pemanfaatan Limbah Abu Aluminium
sebagai Koagulan. Laporan Penelitian. Program Studi Teknik Lingkungan.
ITB, Bandung
Ginting, P., 2008. Sistem Pengelolaan Lingkungan dan Limbah Industri. Yrama
Widya, Bandung.
Jaya, A.R., 2009. Penggunaan Lempung Sebagai Bahan Tambah Koagulan pada
Instalasi Sederhana Penjernihan Air Gambut. JurnalPROTEKSI. 48: 1-7
Khasanah, U. 2008. Efektifitas Biji Kelor (Moringa Oleifera) sebagai Koagulan
Fosfat dalam Limbah Cair Rumah Sakit. Skripsi. Jurusan Kimia FST UIN
Malang, Malang. (Tidak diterbitkan)
24

Kusnaedi., 2006. Mengolah Air Gambut dan Air Kotor untuk Air Minum. Penebar
Swadaya, Jakarta.
Menkes RI, 1990. Keputusan Menkes RI No.416/Menkes/per/XI/1990 tentang
Persyaratan Air Bersih. Departemen Kesehatan. Jakarta
Muhadrina., 2011. Characterisation of Natural and Pillared Cengar Clays and
Their Adsorption Properties on Heavy Metals. Dissertation. Universitas
Kebangsaan Malaysia, Malaysia. (Tidak diterbitkan)

Mu’min, B, 2006.Pengaruh Pretreatmen Adsorbsi Powdered Actived Carbon


terhadap Kinerja Membran Ultrafiltrasi dalam Mengolah Air Gambut
Menjadi Air Minum. Universitas Lambung Mangkurat. Banjarmasin
Numluk, P and A. Chaisena, 2012. Sulfuruc Acid and Ammonium Sulfat
Leaching of Alumina from Lampang Clay. E-journal Chemistry. 9(3):
1364-1372.
Qodari, M,. 2010. Karakterisasi Lempung dari Daerah Pangedangan Kec Turen
Kab Malang dan Daerah Getaan Kec Pagelaran Kab Malang. Skripsi.
Jurusan Kimia Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri
Malang, Malang (Tidak diterbitkan)
Ramdhani, W.P, Mahmud, dan P. Soewondo, 2010. Kadar Aluminium (Al) dan
Besi (Fe) dalam Proses Pembuatan Koagulan Cair dari Lempung Lahan
Gambut.Laporan Penelitian. Program Studi Teknik Lingkungan Fakultas
Teknik Sipil dan Lingkungan, Institut Teknologi Bandung, Bandung
Rini, H. Nurdin, H. Suyani, dan T.B. Prasetyo, 2009, Pemberian Fly Ash pada
Lahan Gambut untuk Mereduksi Asam Humat dan Kaitannya terhadap
Kalsium (Ca) dan Magnesium (Mg). Jurnal TEROKA. 9(2).
Risdianto, D., 2007. Optimasi Proses Koagulasi-Flokulasi untuk Pengolahan Air
Limbah Industri Jamu. Tesis. Program Pascaesarjana.Universitas
Diponegoro, Semarang (Tidak diterbitkan)
Said, N.I dan W. Widayat, 2013. Teknologi Pengolahan Air Limbah Rumah Sakit
dengan Proses Biofilter Anaerob-Aerob. Pusat Teknologi Lingkungan
Deputi Bidang Teknologi Pengembangan Sumberdaya Alam Badan
Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Jakarta
Siregar, S.A., 2009. Instalasi Pengolahan Air Limbah. Kanisius, Yogyakarta
Suherman, D dan N. Sumawijaya. 2013. Menghilangkan Warna dan Zat Organik
Air Gambut dengan Metoda Koagulasi Flokulasi Suasana Basa.Riset
Geologi dan Pertambangan, 23(2):127-139.
Wardhana, A.W., 2001. Dampak Pencemaran Lingkungan. Andi, Yogyakarta.
Wijaya, K.,A.S. Pratiwi, S. Sudionodan E. Nurahmi, 2002. Studi Kestabilan
Termal dan Asam Lempung Bentonit. Indonesian Journal of Chemistry.
2(1): 20-25.
25

Yatno, H., 2009. Perencanaan Pengolahan Air Bersih Kecamatan Perbaungan.


Tugas Akhir. Fakultas Teknik – Universitas Sumatera Utara, Medan
(Tidak diterbitkan)
Yusnimar, A. Yelmida, E. Yenie, H.S. Edward, dan Drastinawati., 2010.
Pengolahan Air Gambut dengan Bentonit. Jurnal Sains dan Teknologi 9:
77-81.
26

Lampiran 1. Peta Provinsi Riau

Sumber: Anonimus, 2016f


: Desa Rimbo Panjang
27

Lampiran 2. Peta Kabupaten Kampar, Provinsi Riau

Sumber: Anonimus, 2016g


: Desa Rimbo Panjang
28

Lampiran 3. Peta Kecamatan Tambang, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau

Sumber: Anonimus, 2016h


: Desa Rimbo Panjang
PEMANFAATAN TANAH TERKONTAMINASI MINYAK
BUMI (TTM) SEBAGAI SUBTITUSI BAHAN BAKU
BATUBATA DI KECAMATAN MINAS KABUPATEN
SIAK PROVINSI RIAU

OLEH

BUDI HARSANA
NIM. 1510248368

PROGRAM STUDI ILMU LINGKUNGAN


PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
2016
58

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Menurut Laskmono (2014), lapangan Minas yang berlokasi di Cekungan

Sumatera Tengah adalah lapangan minyak terbesar yang pernah ditemukan di

Asia Tenggara.Lapangan ini ditemukan tahun 1941 dan mulai berproduksi tahun

1952. Lapangan Minas menghasilkan jenis minyak ringan yang dikenal di dunia

dengan nama Minyak Mentah Ringan Sumatera (Sumatran Light Crude, SLC).

Minyak mentah (crude oil) merupakan campuran beragam senyawaan

hidrokarbon. Di dalamnya termasuk bahan organik yang mengandung belerang,

oksigen, dan nitrogen. Selain itu juga terdapat bahan anorganik berupa logam

seperti nikel, besi dan tembaga. Dalam proses penambangan minyak bumi akan

dihasilkan limbah yang berpotensi mencemari lingkungan. Limbah lumpur

minyak bumi misalnya, merupakan hasil samping yang tidak mungkin dihindari

dalam proses penambangan minyak bumi yang menyebabkan pencemaran

terhadap lingkungan.

Menurut Darmawan (2005), minyak mentah sampai dengan saat ini masih

menjadi pasokan utama untuk memenuhi kebutuhan energi bagi seluruh negara.

Untuk Indonesia kebutuhan ini terus meningkat dengan laju 3,5% setiap tahunnya.

PT Caltex Pacific Indonesia salah satu perusahaan ekplorasi dan produksi energi

di Indonesia, yang telah beroperasi di Sumatra setidaknya selama 80 tahun sejak

1924 telah menyumbang tidak kurang dari 40% produksi energi nasional.

Selama kurun waktu beroperasinya PT Caltex Pacific Indonesiayang

kemudian dilanjutkan oleh PT. Chevron Pacific Indonesia menggunakan


59

teknologi terbaik yang berwawasan lingkungan telah diterapkan oleh perusahaan

tersebut dalam upaya eksplorasi dan produksi minyak mentah. Namun karena

secara alami tidak terdapat sebuah proses yang memiliki aras kesangkilan (level of

efficiency) sempurna 100% maka adalah lumrah bahwa terdapat hasil samping

dari kegiatan eksplorasi dan produksi minyak mentah. Hasil samping berupa

limbah selama ini telah dikelola dengan baik oleh PT Caltex Pacific Indonesia

dengan menempatkannya pada areal khusus sehingga dampak negatif terhadap

lingkungan dapat diminimalkan.

Sejaktahun 1952 mulaiberproduksisumurminyakMinasmerupakanhal yang

biasamenggunakanminyakmentahsebagaibahanpembuatanjalandandikenaldenganj

alanminyak.Padamasaitutidakdiketahuibahwaminyakmentahmerupakanbahan

yang berbahayadanmerupakanhal yang biasa di industry pertambangan untuk

membuang sisa minyak bumi untuk pembuatan jalan, kelebihan kapasitas

produksi dan sisa minyak operasi.Tidak ada aturan sebelumnya yang

menyebutkan bahwa apabila ada objek yang terkena minyak mentah merupakan

bahan berbahaya dan menjadi B3. Di Indonesia baru ada peraturan mengenai

tanah terkontaminasi minyak bumi pada tahun 1994 dengan PP No.19 Tahun 1994

jo PP No.12 Tahun 1995 tentang Limbah B3 dan semenjak itu dilarang membuat

jalan menggunakan minyak mentah. Apabila kita perhitungkan sejak tahun 1952

sampai tahun 1994 selama lebih dari 40 tahun melakukan kontaminasi minyak

mentah dengan tanah merupakan hal yang wajar.


60

Kegiatan operasi industri perminyakan yang meliputi eksplorasi, produksi,

pengolahan atau pemurnian dan penimbunan bahan bakar minyak (BBM)

berpotensi menghasilkan limbah minyak bumi yang berupa lumpur minyak (oil

sludge), BBM yang tercecer dan bahan kimia lainnya (Syafrul, Rosjayati, dan

Windi. 2002). Minyak bumi juga dianggap limbah dalam konteks ia didefinisikan

sebagai bahan tak bernilai ekonomis dan sulit memperlakukan larutan yang

mengandung minyak dan air terkontaminasi dengan pasir dan partikel halus lain.

Penanggulangan pencemaran akibat limbah minyak bumi dapat dilakukan

dengan beberapa cara, yaitu secara fisika, kimia, dan biologi. Upaya pengolahan

limbah minyak bumi dan tanah terkontaminasi oleh minyak bumi dapat dilakukan

salah satunya adalah dengan pemanfaatan sebagai alternatif bahan baku

pembuataan batu bata. Proses solidifikas/stabilisasi pada prinsipnya adalah

mengubah sifat fisika dan kimia limbah B3 dengan caramenambahkan bahan

mengikat (cement) membentuk senyawamonolit dengan struktur yang kompak

agar supaya pergerakan limbah B3 terhambat atau dibatasi, daya larut diperkecil

sehingga daya racunnya limbah B3 tersebut berkurang sebelum limbah B3

tersebut ditimbun atau dimanfaatkan kembali. Pemanfaatan Tanah Terkontaminas

Minyak Bumi (TTM) sebagai bahan substitusi pembuatan batu bata merupakan

proses stabilisasi dengan menggunakan tanah liat sebagai bahan pengikat.

Salah satu kebutuhan dalam membangun sebuah rumah adalah batu bata,

saat ini seiring dengan berkembangnya teknologi terutama dalam bidang rekayasa

teknik sipil dan bangunan, penelitian akan bahan bangunan alternatif terus

digalakkan, salah satunya dengan memanfaatkan tanah terkontaminasi minyak


61

bumi sebagai bahan substitusi pembuatan batu-bata. Namun dalam proses

pembuatan batu bata dari Tanah Terkontaminasi Minyak Bumi menimbulkan

beberapa masalah.

1.2 Rumusan Masalah

Banyaknya tanah yang terkontaminasi karena operasi masa lalu, dimana kita

belum mempunyai aturan sehingga perlu dilakukan pembersihan tanah

terkontaminasi minyak bumi.Volume Tanah Terkontaminasi Minyak Bumi

(TTM) di Minas diperkirakan sekitar 1,6 juta m3dan belum memadainya kapasitas

pengolahan tanah terkontaminasi minyak bumi secara biologis melalui fasilitas

Soil Biormediation Facility (SBF),Pembuatan batu bata menggunakan bahan baku

alternatif TTM menjadi solusi dalam pengelolaan limbah B3, oleh karena itu

berdasarkan latar belakang tersebut, rumusan masalah dalam pembahasan ini

adalah sebagai berikut:

1) Belum diketahuinya komposisi optimum campuran TTM, tanah liat dan

surfactantpada pembuatan batu bata denganmenggunakan bahan subsitusi

TTM.

2) Belum adanya pilot plant pembuatan batu bata dengan menggunakan bahan

baku subsitusi TTM.

3) Belum adanya sosialisasi dalam upaya pemanfaatan TTM sebagai bahan baku

substitusi pembuatan batu bata.


62

II. PEMANFAATAN TANAH TERKONTAMINASI MINYAK BUMI


SEBAGAI SUBTITUSI BAHAN BAKU BATU BATA DI
KECAMATAN MINAS

2.1 Definisi Batu Bata

Menurut Siregar (2010), batu bata adalah bahan bangunan yang telah lama

dikenal dan dipakai oleh masyarakat baik di pedesaan maupun di perkotaan yang

berfungsi untuk bahan bangunan konstruksi. Batu bata terbuat dari tanah liat yang

telah dibersihkan dari kerikil dan batu-batu lainnya kemudian dibakar sampai

warna kemerah-merahan. Tanah liat termasuk hidrosilikat alumina dan dalam batu

bata keadaan murni mempunyai rumus senyawa Al2O3.2SiO2.2H2O banyak

digunakan untuk aplikasi teknik sipil seperti dinding pada bangunan perumahan,

bangunan gedung, pagar, saluran dan pondasi. Batu bata umumnya dalam

konstruksi bangunan memiliki fungsi sebagai bahan non-struktural, di samping

berfungsi sebagai struktural. Fungsi struktural, batu bata dipakai sebagai

penyangga atau pemikul beban yang ada diatasnya seperti pada konstruksi rumah

sederhana dan pondasi. Sedangkan pada bangunan konstruksi tingkat

tinggi/gedung, batu bata berfungsi sebagai non-stuktural yang dimanfaatkan untuk

dinding pembatas dan estetika tanpa memikul beban yang ada diatasnya.

Sedangkan menurut Munir (2008), batu bata terbutat dari tanah liat yang memiliki

komposisi kimia sebagai berikut:

1. Silika (SiO2), silika dalam bentuk sebagai kuarsa jika memiliki kadar

yangtinggi akan menyebabkan tanah liat menjadi pasiran dan mudah slaking,

kurang plastis dan tidak begitu sensitif terhadap pengeringan dan pembasahan.
63

2. Alumina (Al2O), terdapat dalam mineral lempung, feldspar dan mika.

3. Fe2O3, komponen besi ini dapat menguntungkan atau merugikan

tergantungjumlahnya dan sebar butirannya. Makin tinggi kadar besi tanah liat,

makin rendah temperatur peleburan tanah liat. Mineral besi yang berbentuk

kristaldengan ukuran yang besar dapat menyebabkan cacat pada

permukaanproduknya seperti pada batu bata atau keramik.

4. CaO (kapur), terdapat dalam tanah liat dalam bentuk batu kapur dan bertindak

sebagai pelebur bila temperatur pembakarannya mencapai lebih dari 1100C.

5. MgO, terdapat dalam bentuk dolomite, magnesit atau silikat

bergunameningkatkan kepadatan produk hasil pembakaran.

6. K2O dan Na2O, alkali ini menghasilkan garam-garam larut setelahpembakaran.

Dapat menyebabkan penggumpalan kolorid dan dalampembakaran dapat

bertindak sebagai pelebur yang baik.

7. Organik, bahan-bahan yang bertindak sebagai protektor koloid dan menaikkan

keplastisan, misalnya : humus, bitumen dan karbon.

Secara lengkap komposisi tanah liat sebagai bahan baku pembuatan batu bata

dapat di lihat pada Tabel 1


64

Tabel 1 Komposisi Kimia Tanah Liat

No Unsur Kimia Jumlah (%)


1 SiO2 59,14
2 Al2O3 15,34
3 Fe2O3 + FeO 6,88
4 CaO 5,08
5 Na2O 5,08
6 MgO 3,84
7 K2O 1,13
8 H2O 1,15
9 TiO2 1,05
10 Lain-lain 2,9
Sumber : Simanjuntak, 2011

2.1.1 Sifat fisis batu bata

Sifat fisis batu bata adalah sifat yang ada pada batu bata tanpa adanya

pemberian beban atau perlakuan apapun. Sifat fisis batu bata (Civil Engeneering

Materials, 2001), antara lain adalah:

1. Densitas atau Kerapatan Batu Bata

Densitas adalah massa atau berat sampel yang terdapat dalam satu satuan

volume. Densitas yang disyaratkan untuk digunakan adalah 1,60 gr/cm3 - 2,00

gr/cm3. Persamaan yang digunakan dalam menghitung densitas atau

kerapatanbatu bata adalah :


65

2. Warna Batu Bata

Warna batu bata tergantung pada warna bahan dasar tanah, jenis campuran

bahan tambahan kalau ada dan proses berlangsungnya pembakaran.

Standarwarna batu bata adalah orange kecoklatan.

3. Dimensi atau Ukuran Batu Bata

Dimensi batu bata yang disyaratkan untuk memenuhi hal diatas adalah batu

bata harus memiliki ukuran panjang maksimal 16 in (40 cm), lebar

berkisarantara 3 in – 12 in (7,50 cm – 30,0 cm) dan tebal berkisar antara 2 in –

8 in (5cm – 20 cm).

4. Tekstur dan Bentuk Batu Bata

Bentuk batu bata berupa balok dengan ukuran panjang, lebar, tebal yang telah

ditetapkan. Permukaan batu bata relatif datar dan kesat tapi tak jarang

berukuran tidak beraturan.

2.1.2 Sifat Mekanis Batu Bata

Menurut CivilEngeneering Materials(2001), sifat mekanis batu bata adalah

sifat yang ada pada batu bata jika dibebani atau dipengaruhi dengan perlakuan

tertentu. Sifat teknis batu bata, antara lain adalah :

1. Kuat Tekan Batu Bata

Kuat tekan batu bata adalah kekuatan tekan maksimum batu bata per

satuan luas permukaan yang dibebani. Standar kuat tekan batu bata yang

disyaratkanoleh ASTM C 67-03 adalah sebesar 10,40 MPa. Persamaan yang

digunakandalam menghitung kuat tekan batu bata :


66

2. Modulus of Rupture Batu Bata

Modulus of rupture adalah modulus kegagalan dari batu bata akibat diberi

beban maksimum. Standar modulus of rupture batu bata yang disyaratkan

olehASTM C 67-03 adalah sebesar 3,50 MPa. Persamaan yang digunakan

dalammenghitung modulus of rupture batu bata adalah:

3. Penyerapan (absorbtion) Batu Bata

Penyerapan (absorbtion) adalah kemampuan maksimum batu bata

untukmenyimpan atau menyerap air atau lebih dikenal dengan batu bata yang

jenuhair. Standar penyerapan (absorbtion) batu bata yang disyaratkan oleh

ASTM C67-03 adalah masing-masing maksimum 13 % dan 17 %. Persamaan

yangdigunakan dalam menghitung penyerapan (absorbtion) batu bata adalah :

1). Cold Water Absorption

2). Boiling Water Absorption


67

3). Koefisien Kejenuhan

Koefisien kejenuhan adalah perbandingan antara cold water absorption

dengan boiling water absorption. Persamaannya adalah :

4. Initial Rate of Suction (IRS) dari Batu Bata

Initial Rate of Suction (IRS) adalah kemampuan dari batu bata dalam

menyerap air pertama kali dalam satu menit pertama. Hal ini sangat berguna

pada saatpenentuan kadar air untuk mortar. Standar initial rate of suction

(IRS) batubata yang disyaratkan oleh ASTM C 67-03 adalah minimum 30

gr/mnt/30 in2.Persamaan yang digunakan dalam menghitung initial rateof

suction (IRS) batubata adalah :

2.1.3 Jenis-jenis batu bata

Menurut Siregar (2010), jika disesuaikan dengan bahan pembuatannya, secara

umum batu batadigolongkan dalam dua jenis:

1. Batu Bata Tanah Liat

Bata biasa memiliki warna permukaan yang tidak menentu. Bata ini

digunakan untuk dinding dan ditutup dengan semen. Bata biasa

seringkalidisebut dengan bata merah. Batu bata dari tanah liat terdiri dari dua

macam, yaitu :
68

1). Bata merah

Bata merah adalah suatu unsur bangunan yang terbuat dari tanah liat

dengan atau tanpa bahan tambahan seperti serbuk gergaji, sekam padi atau

pasir. Tanah liat ini dicetak berbentuk balok–balok, lalu dibakar dengan

temperatur 1050° C untuk mengeraskannya, sehingga tidakdapat hancur lagi

bila direndam dalam air. Penimbunan dilapangan harus diberi lantai dengan

jarak 30 cm daripermukaan tanah. Bata disusun berdiri arah lebarnya dan

disusunberselang–seling empat buah–empat buah. Ketinggian penyusunan

max2 m ini untuk memudahkan dalam pengambilan. Di atasnya

ditutupdengan kain terpal atau plastik agar air hujan tidak terserap oleh

batamerah.

2). Super bata

Super bata adalah bahan bangunan yang bentuk dan kegunaannya sama

dengan bata merah. Super bata juga terbuat dari tanah liat dan dicampur

dengan pasir halus. Pembuatannya melalui proses mekanis, oleh karenanya

super bata mempunyai permukaan halus dengan ukuran yangsama. Biasanya

bata ini dibuat tidak penuh, tapi berlobang sehingga dapat menghemat bahan

baku dan menghasilkan ikatan yang kuatdengan mortar. Karena Super bata

mempunyai permukaan yang halus,maka pada pemakaiannya kita tidak

memerlukan plesteran lagi. Karena bentuknya yang bervariasi, maka dapat

pemasangannya dapat dibuat lebih artistik. Super bata sering disebut batu

muka dan memiliki permukaan yang baik, licin dan mempunyai warna atau

corakyang sama. Bata muka biasa disebut sebagai bata imitasi.


69

3). Batu Bata Pasir-Kapur

Sesuai dengan namanya, batu bata ini dibuat dari campuran kapur dan

pasir dengan perbandingan 1 : 8 atau campuran lain serta air yangditekankan

ke dalam campuran sehingga membentuk bata yang sangatpadat. Biasa

digunakan untuk bagian dinding yang terendam air dan memerlukan kekuatan

tinggi. Batu bata jenis ini terdiri dari dua macam yaitu :

(1). Batu cetak

Batu cetak adalah suatu bahan bangunan yang diproduksi oleh

masyarakat kita, terbuat dari trash dan kapur dengan perbandingan 5 : 1.

Banyak keuntungan yang dapat kita ambil dari pemakaian batu cetakini,

umpamanya untuk pemasangan 1 m2 dinding lebih sedikit jumlah batu yang

diperlukan, dan juga mengurangi keperluan mortar sampai 30– 50 %. Berat

pasangan jauh lebih ringan dari konstruksi bata merah yaitu bisa 50 % lebih

ringan, karena bentuk batu cetakan yang beraneka macam dan menarik,

sehingga dinding tidak usah diplester. Komposisi mortar untuk pemasangan

batu cetak ini harus sama dengan komposisi bahan batu cetak itu sendiri,

sehingga dapat menghasilkan ikatan yang baik antara mortar dan batu cetak.

(2).Batako press.

Batako press ini terbuat dari adukan kapur, pasir, tras dan semen,

pencetakannya dengan mesin press, dibuat berlobang untuk menghemat

bahan dan juga untuk isolasi suara dan panas. Dan biasanya tembok sebelah

luar tidak diplester lagi, kecuali bagian dalam dinding.


70

2.2 Minyak Bumi

Menurut Laksmono (2014), minyak bumi merupakan bahan bakar yang

dihasilkan oleh alam dari fosil-fosil yang terpendam berjuta-juta tahun. Fosil

adalah sisa tulang-belulang binatang atau sisa tumbuhan zaman purba yang telah

membatu dan tertanam di bawah lapisan tanah. Minyak bumi (petroleum) adalah

campuran yang kompleks, terutama terdiri dari hidrokarbon bersama-sama dengan

sejumlah kecil komponen yang mengandung sulfur, oksigen, dan nitrogen dan

sangat sedikit komponen yang mengandung logam.

Proses pembentukan minyak bumi dan gas ini memakan waktu jutaan tahun.

Minyak dan gas yang terbentuk meresap dalam batuan yang berpori bagaikan air

dalam batu karang. Minyak dan gas dapat pula bermigrasi dari suatu daerah ke

daerah lain, kemudia terkonsentrasi jika terhalang oleh lapisan yang kedap.

Walaupun minyak bumi dan gas alam yang terbentuk di dasar lautan, banyak

sumber minyak dan gas yaang terdapat di daratan. hal ini terjadi karena

pergerakan kulit bumi, sehingga sebagian lautan menjadi daratan.

Menurut Darmawan (2005), struktur hidrokarbon yang ditemukan dalam

minyak mentah adalah alkana (parafin), sikloalkana (napten), dan aromatik.

Proporsi dari ketiga tipe hidrokarbon sangat tergantung pada sumber minyak

bumi.Pada umumnya alkana merupakan hidrokarbon yang terbanyak tetapi

kadang-kadang mengandung sikloalkana sebagai komponen yang terbesar,

sedangkan aromatik selalu merupakan komponen yang paling sedikit. Untuk

memisahkan fraksi-fraksi dalam minyak bumi dapat dilakukan dengan cara

distilasi bertingkat. Setelah melalui distilasi bertingkat minyak bumi akan terpisah
71

menjadi gas, bensin, kerosin, solar dan lain-lain. Hasil distilasi tersebut digunakan

untuk menggerakan berbagai mesin, seperti: mobil, pesawat, mesin diesel dan

lain-lain, untuk keperluan industri, aspal dan sebagainya.

2.3 Pencemaran Minyak Bumi.

Menurut Darmawan (2005), pencemaran minyak bumi (crude oil) dapat

terjadi di udara, tanah dan air. Pencemaran minyak bumi pada tanah dianggap

sebagai kontaminan yang dapat mengurangi produktivitas tanah. Kecemasan

bahwa pencemaran ini akan menjadi masalah di masa yang akan datang adalah hal

yang sangat beralasan mengingat bentuk,sifat dan jumlahnya semakin besar/luas

serta terus mengalami peningkatan.Hidrokarbon adalah pencemar udara yang

dapat berupa gas, cairan maupun padatan. Dinamakan hidrokarbon karena

penyusun utamanya adalah atom karbon dan atom hidrogen yang dapat terikat

(tersusun) secara ikatan lurus (ikatan rantai) yang dikelompokkan kedalam

senyawa Alkana antara lain etana, propana, pentana, oktana atau terikat secara

ikatan cincin (ikatan tertutup) misalnya Benzena dan Siklo heksana.

Jumlah atom karbon (atom C) dalam senyawa karbon akan menentukan

bentuknya, apakah akan berbentuk gas, cairan ataukah padatan. Pada suhu kamar

umumnya hidrokarbon suku rendah (jumlah atom C sedikit 1 sampai 4 misalnya

metana, etana, propane, butana) akan berbentuk gas, hidrokarbon, suku menengah

(jumlah atom C sedang 5 sampai 15 misalnya pentana, heksana, heptana, oktana,

nonona, dekana, propa dekana, penta dekana) akan berbentuk cairan dan

hidrokarbon suku tinggi (jumlah atom C banyak lebih dari 15 misalnya heksa

dekana, okta dekana, eta kontana, propa kontana) akan berbentuk padatan.
72

Hidrokarbon masih dapat dibagi lagi berdasarkan jumlah ikatan rangkap yang

ada pada hidrokarbon. Hidrokarbon yang mempunyai ikatan rangkap sering

disebut hidrokarbon tak jenuh karena jumlah atom hidrogennya kurang bila

dibandingkan dengan kelompok senyawa alkana tersebut di atas. Hidrokarbon

yang memiliki ikatan rangkap 2 disebut kelompok senyawa alkena dengan rumus

molekul CnH2n (Metena, Etena, Pentena, Oktema), sedang bila ikatan rangkap 3

disebut alkuna dengan rumus molekul CnH2n-2 (Etuna, Butuna, Heptuna,

Dekuna).

Menurut Wardhana(2001), sebenarnya Hidrokarbon (HC) dalam jumlah

sedikit tidak begitu membahayakan kesehatan manusia, walaupun HC bersifat

toksik. Namun kalau HC berada di udara dalam jumlah banyak dan tercampur

dengan bahan pencemar lain maka sifat toksiknya akan meningkat. Sifat toksik

HC akan lebih tinggi kalau berupa bahan tercemar gas, cairan dan padatan. Ini

dikarenakan HC padatan dan HC cairan akan terbentuk ikatan-ikatan baru dengan

bahan pencemar lainnva. Ikatan baru ini sering disebut dengan Polycyclic

Aromatik Hydrocarbon yang disingkat PAH.Sumber utama timbulnya PAH

adalah gas buangan hasil pembakaran bahan bakar fosil. Toksisitas HC tergantung

pada senyawa penyusun HC. Pada umumnya senyawa HC aromatik lebih beracun

daripada HC alifatik maupun alisiklik (Munawar, 2005).

Hidrokarbon aromatik polisiklis (PAH) merupakan homolog dari benzene

yang memiliki 3 atau lebih cincin aromatis terfusi. PAH merupakan senyawa

organik beracun dari kelas yang paling mudah menyebar dan serentak. PAH

bersifat hidrofobik dan sering terjerab pada benda-benda partikel dalam air dan
73

sedimen. Banyak PAH bersifat racun dan beberapa diantaranya terbukti

karsinogenik (Rittmann dan Carty 2001).Selain itu, air yang telah tercemari

karena minyak juga tidak dapat dikonsumsi oleh manusia karena seringkali dalam

cairan yang berminyak terdapat juga zat-zat yang beracun, seperti senyawa

benzene, senyawa toluene dan lain sebagainya (Wardhana, 2001).

2.4 Pencemaran Tanah oleh Minyak Bumi.

Menurut Laksmono (2014), pencemaran tanah adalah keadaan di mana bahan

kimia buatan manusia masuk dan merubah lingkungan tanah alami. Oleh karena

itu pencemaran tanah oleh minyak bumi berarti keadaan dimana minyak bumi

hasil industri hulu dan hilir yang mencemari dan merubah lingkungan tanah alami.

Pencemaran ini biasanya terjadi karena: kebocoran limbah cair atau bahan–bahan

industri minyak bumi, dan zat kimia aditif industri hulu dan hilir minyak,

kemudian dapat berlanjut menembus air permukaan tanah tercemar kedalam

lapisan sub-permukaan. Jika suatu zat berbahaya telah mencemari permukaan

tanah, maka ia dapat menguap, tersapu air hujan dan atau masuk k edalam tanah.

Pencemaran yang masuk ke dalam tanah kemudian terendap sebagai zat kimia

beracun di tanah. Zat beracun di tanah tersebut dapat berdampak langsung kepada

manusia ketika bersentuhan atau dapat mencemari air tanah dan udara di atasnya.

Kontaminan dalam tanah adalah bahan kimia yang dapat diakibatkan oleh

kegiatan manusia. Kontaminan dapat masuk ketanah secara sengaja dan tidak

disengaja. Kesengajaan seperti aplikasi pestisida, kegiatan pengeboran minyak

bumi baik secara modern maupun tradisional, serta contoh tidak sengajaan seperti

tumpahan minyak karena kecelakaan dan kebocoran pipa distribusi. Kontaminan


74

tanah juga disebut sebagai limbah berbahaya atau pencemar (pollutant) tanah,

terdiri atas berbagai macam bahan kimia (Laskmono, 2014) termasuk :

1. Larutan mengandung klor, seperti triklorotilena (TCE) dan

tetracloroetilena(PCE)

2. Bahan peledak, seperti 2,4,6-trinitrotoluena (TNT)

3. Logam seperti kromium dan timbal

4. Radionukleida seperti plutonium

5. Pestisida, seperti atrazin, benlat dan mathion.

6. BTEX (benzene, toluene, ethyl benzene, xylema)

7. PAH (polycyclic aromatic hydrocarbon) seperti kreosol.

8. PCB (polychlorinated biphenyl), seperti campuran aroclor

Menurut Kristanto (2002), limbah B3 harus diolah terlebih dahulu sebelum

dibuang jika mengandung bahan pencemar yang mengakibatkan rusaknya

lingkungan, atau paling tidak berpotensi menciptakan pencemaran. Dalam suatu

proses pengolahan limbah, harus dibuat perkiraan terlebih dahulu dengan

mengidentifikasi sumber pencemaran, fungsi dan jenis bahan, sistem pengolahan

kualitas dan jenis buangan, serta fungsi B3. Dengan mengacu pada prakiraan

tersebut, maka dibuat program pengendalian dan penanggulangan pencemaran

mengingat limbah, baik dalam jumlah besar maupun kecil, dalam jangka panjang

ataupun pendek akan mengakibatkan terjadinya perubahan pada lingkungan

Menurut Laksmono(2014),limbah berbahaya adalah limbah yang mempunyai

sifat-sifat sebagai berikut: korosif, mudah terbakar, reaktif, “leachate” beracun,

dan mudah menular (limbah rumah sakit). Limbah atau tumpahan minyak bumi
75

menjadi masalah pencemaran sebab limbah ini digolongkan menjadi limbah

berbahaya dan beracun.Dalam proses penambangan minyak bumi tentunya akan

ada limbah-limbah yang di hasilkan,secara terus - menerus.Limbah lumpur

minyak bumi merupakan produk yang tidak mungkin dihindari oleh setiap

perusahaan pertambangan minyak bumi dan menyebabkan pencemaran terhadap

lingkungan

Menurut Darmawan (2005), salah satu faktor yang menjadi dasar pencemaran

terhadap lingkungankarena minyak bumi mempunyai komponen hidrokarbon atau

Total petroleum Hydrocarbon (TPH) yaitu senyawa organik yang terdiri atas

hidrogen dan karbon contohnya benzene, toluene, ethylbenzena dan isomer

xylema.Total petroleum Hydrocarbon (TPH) ialah merupakan pengukuran

konsentrasi pencemar hidrokarbon minyak bumi dalam tanah atau serta seluruh

pencemar hidrokarbon minyak dalam suatu sampel tanah yang sering dinyatakan

dalam satuan mg hidrokarbon/kg tanah

Lumpur minyak bumi termasuk limbah bahan berbahaya dan beracun (B3),

jika mengacu pada PP No. 85 tahun 1999 Tentang Limbah B3, dalam peraturan

tersebut ditegaskan bahwa setiap produsen yang menghasilkan limbah B3 hanya

diizinkan menyimpan limbah tersebut paling lama 90 hari sebelum diolah dan

perlu pengolahan secara baik sehingga tidak mencemari lingkungan di sekitarnya.

Menurut UU Nomor 23 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan

Lingkungan Hidup dapat dilakukan dengan pengurangan, penyimpanan,

pengumpulan, pengangkutan, pemanfaatan, pengolahan, dan/atau penimbunan.


76

Menurut Atalas dan Bartha (1997), pencemaran minyak bumi di tanah

merupakan ancaman yang serius bagi kesehatan manusia. Minyak bumi yang

mencemari tanah dapat mencapai lokasi air tanah, danau atau sumber air yang

menyediakan air bagi kebutuhan domestik maupun industri sehingga menjadi

masalah serius bagi daerah yang mengandalkan air tanah sebagai sumber utama

kebutuhan air bersih atau air minum. Pencemaran minyak bumi, meskipun dengan

konsentrasi hidrokarbon yang sangat rendah sangat mempengaruhi bau dan rasa

air tanah.Pada setiap kegiatan penambangan di sumur bor (cutting) tersebut,

terdapat tumpahan minyak pada lahan sekitar akibat proses pengangkutan minyak,

baik melalui pipa, alat angkut, maupun ceceran akibat proses pemindahan.

Menurut Prihatiningsih(2003), pada tanah yang tercemar minyak bumi,

contoh saja di daerah pertambangan Bojonegoro jika di analisis kandungan nutien,

mengandung unsur makro untuk karbon (C) 8,53% (sedang), Nitrogen (N) 0,20%

(rendah), Fosfor (P) 0,01% (sangat rendah), Kalium (K) 0,22 % (sedang) dan

kadar TPH yaitu 41.200 mg/kg. Dari hasil analisis ini, tanah tidak baik untuk

pertumbuhan tanaman dan pertanian karena hara N tergolong rendah dan senyawa

hidrokarbon tergolong tinggi.Salah satu upaya secara biologis untuk mengatasi

tanah tercemar hidrokarbon adalah dengan melakukan bioremediasi. Bioremediasi

merupakan alternatif yang dilakukan dimana tanah yang tercemar dibersihkan

dengan memanfaatkan kemampuan mikroorganisme untuk mendegradasi

kontaminan yang bersifat ramah terhadap lingkungan karena tanah yang sudah

tercemar umumnya tidak dapat ditanami.


77

2.5 Pemanfaatan Tanah Terkontaminasi Minyak Bumi untuk Bahan Baku


Batu Bata di Kecamatan Minas

Sejak tahun 1952 mulai berproduksi Sumur Minyak Minas merupakan hal

yang biasa menggunakan minyak mentah sebagai bahan pembuatan jalan dan

dikenal dengan jalan minyak. Pada masa itu tidak diketahui bahwa minyak

mentah merupakan bahan yang berbahaya dan merupakan hal yang biasa di

industri pertambangan untuk membuang sisa minyak bumi untuk pembuatan

jalan, kelebihan kapasitas produksi dan sisa minyak operasi (Gambar 1). Tidak

adanya aturan yang menyebutkan bahwa apabila ada objek yang terkena minyak

mentah merupakan bahan berbahaya dan menjadi B3. Di Indonesia baru ada

peraturan mengenai tanah terkontaminasi minyak bumi pada tahun 1994 dengan

PP No.19 Tahun 1994 jo PP No.12 Tahun 1995 tentang Limbah B3 dan semenjak

itu dilarang membuat jalan menggunakan minyak mentah.

Gambar 1. Jalan Duri Dumai tahun 1958


Sumber : Perpustakaan CPI
78

Apabila kita perhitungkan sejak tahun 1952 sampai tahun 1994 selama lebih

dari 40 tahun melakukan kontaminasi minyak mentah dengan tanah merupakan

hal yang wajar dan diperkirakan ada sekitar 1.6 juta m3 tanah yang

terkena/terpapar minyak bumi yang menurut Peraturan Pemerintah No. 85 Tahun

1999 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 1999 tentang

Pengolahan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3), lumpur minyak bumi

termasuk ke dalam kategori limbah B3 (kode D 206 dari sumber yang spesifik).

Oleh karena itu lumpur minyak bumi tidak bisa langsung dibuang ke lingkungan

atau dibakar `karena dapat mencemari lingkungan, sehingga pengelolaan harus

dilakukan yang bertujuan untuk menghilangkan atau mengurangi sifat bahaya dan

beracun lumpur minyak agar tidak membahayakan kesehatan manusia dan untuk

mencegah terjadinya pencemaran dan kerusakan lingkungan (Syafrul et al. 2002).

Menurut Chaney (2009), bentuk kontaminasi berupa berbagai unsur dan

substansi kimia berbahaya yang mengganggu keseimbangan fisik, kimia, dan

biologi tanah, seperti kontaminasi oleh logam berat seperti kadmium (Cd), seng

(Zn), plumbum (Pb), kuprum (Cu), kobalt (Co), selenium (Se), dan nikel (Ni)

menjadi perhatian serius karena dapat menjadi potensi polusi pada permukaan

tanah maupun air tanah dan dapat menyebar ke daerah sekitarnya melalui air,

angin, penyerapan oleh tumbuhan bioakumulasi pada rantai makanan. Hal itu

dapat menimbulkan gangguan pada manusia, hewan, dan tumbuhan, misalnya

penyakit pada manusia akibat pencemaran kadmium dan keracunan pada hewan

ternak akibat kontaminasi selenium dan molibdenumharus dipulihkan


79

Menurut Laksmono (2014), prinsip pemanfaatan limbah B3 bertujuan untuk

menghasilkan produk yang dapat digunakan sebagai berikut :

1) Substitusi bahan baku,

2) Sumber energi/bahan bakar

3) Bahan baku.

4) Penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi yang aman bagi kesehatan

manusia dan lingkungan hidup.

Pemanfaatan limbah B3 menurut Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan

wajib mempertimbangkan hal - hal sebagai berikut :

1) Pemenuhan kelengkapan administrasi dan teknis perizinan

2) Prinsip aman bagi kesehatan manusia dan lingkungan

3) Jenis, jumlah & karakteristik limbah B3 yang dimanfaatkan.

4) Hasil analisis laboratorium terhadap limbah yang akan dimanfaatkan (misal

hasil analisis : total konsentrasi logam berat, unsur halogen, LOI atau fixed

carbon, nilai kalori).

5) Perlakuan limbah B3 sebelum dimanfaatkan.

6) Komposisi limbah B3 yang akan dimanfaatkan.

7) Proses kegiatan pemanfaatan LB3.

8) Hasil pemanfaatan limbah B3 memenuhi mutu produk sesuai SNI

9) Tidak digunakan sebagai bahan urugan, pembenah tanah, road base jalan

yang tanpa adanya perlakuan/treatment.

10) Melakukan pengelolaan limbah B3 (sisa/residu) yang dihasilkan dari

kegiatanpemanfaatan.
80

11) Memiliki alat pengendali pencemaran (udara dan air).

12) Melakukan pemantauan/monitoring kinerja alat pengendali pencemaran dan

pemenuhan baku mutu air limbah serta TBT (trial burn test) untuk

pemenuhan baku mutu emisi udara dan ambient.

13) Melakukan uji emisi tambahan parameter dioxin dan furan dengan frekuensi

1 x dalam 3 (tiga) tahun apabila limbah yang dimanfaatkan mengandung

unsur halogen dan wajib memenuhi baku mutu sebagaimana Kepdal

03/bapedal/09/1995Tentang Persyaratan Teknis PengelolaanLimbah B3.

14) Melakukan pemantauan air tanah dan memenuhi baku mutu/standar untuk air

bersih sesuai Permenkes No. 416/1990 tentang Syarat-syarat Pengawasan

Kualitas Air.

Menurut Suwargana (2015), skala prioritas pemanfaatan limbah B3 dimulai

dari pemanfaatan secara reuse, kemudian dengan cara recycle dan terakhir dengan

cara recovery. Kegiatan pemanfaatan limbah B3 tersebut dilakukan dengan

mengutamakan perlindungan terhadap kesehatan dan keselamatan manusia serta

perlindungan lingkungan hidup dengan menerapkan prinsip kehati-hatian.

Pemanfaatan Tanah Terkontaminasi Minyak (TTM) dalam pembuatan batu bata

diharapkan dapatmemberikan solusi masalah terhadap limbah industri minyak dan

gas bumi di Kecamatan Minas. Namun dalam upaya Pemanfaatan Tanah

Terkontaminasi Minyak (TTM) sebagai bahan baku pembuatan batu bata

menemui kendala-kendala yaitu :


81

1. Belum diketahuinya komposisi optimum campuran TTM, tanah liat dan

surfactant pada pembuatan batu bata dengan menggunakan bahan subsitusi

TTM.

Tanah Terkontaminasi Minyak (TTM) mengandung senyawa silika-alumina

aktif yangdapat bereaksi dengan kalsium hidroksida pada suhu kamar dan adanya

air pada kadartertentu dapat membentuk senyawa stabil yang mempunyai sifat

mengikat. Selain airdipakai dalam proses reaksi pengikatan material yang

digunakan untuk pembuatan batubata juga dapat mempermudah pencetakan batu

bata. (Puskim, 2014). Dengan adanya persamaan kandungan silika dan senyawa

penyusun batu bata, maka terdapat potensi untuk menggunakan Tanah

Terkontaminasi Minyak Bumi (TTM) sebagai bahan pengganti tanah liat pada

batu bata. Apabila Tanah Terkontaminasi Minyak (TTM) akan digunakan sebagai

bahan baku pembuatan batu bata maka, semestinya memiliki komposisi yang

identik dengan tanah liat sebagai baku utamanya.

Menurut Kamali (2014), Tanah Terkontaminasi Minyak Bumi (TTM)

memiliki kandungan silika dan kadar oksida yang merupakan mineral dasar yang

dapat digunakan dalam pembuatan batu bata. Dari segi ekonomi, material ini

dapat memperkecil biaya produksi karena harga material tanah liat dapat ditekan

dengan menggunakan Tanah Terkontaminasi Minyak Bumi (TTM). Batu bata

terbuat dari tanah liat dengan atau campuran bahan lain. Batu Bata yang baik

sebagian besar terdiri dari silika dan alumina, sedangkan Tanah Terkontaminasi

Minyak Bumi (TTM) memang mengandung silika dan alumina, namun


82

ketidakseragaman komposisinya dan adanya komponen organik berupa crude oil

akan mempengaruhi sifat mekanis (kuat tekan) batu bata.

Komponen utama tanah liat yaitu Silika, Alumina, dan Kalsium Oksida

(CaO) menjadi faktor utama dalam pembentukan batu bata. Persentase

penggantian tanah liat denganTanah Terkontaminasi Minyak Bumi (TTM)

merupakan permasalahan utama dalam penerapan sebagai bahan substitusi tanah

liat untuk pembuatan batu bata.

Menurut Pusat Penelitian dan Pengembangan Pemukiman (PUSKIM)

Bandung (2012), salah satu metoda pemanfaatan tanah terkontaminasi minyak

bumi ialah sebagai subtitusi bahan baku pembuatan produk batu bata. Tahapan

proses pemanfaatan tanah terpapar minyak bumi dilakukan dengan syarat-syarat

sebagai berikut :

1) Limbah B3 (TTM) sebelum dimanfatkan harus memenuhi kriteria :

(1) Nilai kandungan total oksida SIO2,Al2O3,Fe2O3 dan CaO paling sedikit 50

% (lima puluh persen).

(2) Nilai Loss of Ignation (LoI) paling banyak 10% (sepuluh persen)

(3) Sifat Plastis rendah

(4) Susut kering kurang dari 10 % (sepuluh persen)

2) Limbah B3 (TTM) dihancurkan dengan mesin hammer mill untuk memperoleh

ukuran yang homogen.

3) Limbah B3 (TTM) dan material lainnya dicampur dalam blending pit dengan

bahan baku tanah liat.


83

4) Hasil campuran yang telah homogen dibawa dengan menggunakan belt

conveyor menuju mesin pencetakan.

5) Cetakan bata merah kemudian dibakar pada fasilitas tunnel kiln dengan suhu

8000 C (delapan ratus derajat celcius)

6) Kadar garam kurang dari 50% (lima puluh persen)

Batu bata yang telah diproduksi akan dilakukan beberapa pengujian yang

meliputi parameter – parameter sebagai berikut :

1) Moisture content,

2) Keasaman, pH (Potential of Hydrogen),

3) Nutritions - Nitrate-Nitrogen (N03-N), Phophorous (PO4-P),

4) Toxicity Characteristic Leachete Procedure (TCLP)

5) Total Petroleum Hydrocarbon (TPH)

Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan oleh Puskim Bandung, sifat

mekanis khususnya kuat tekan batu bata berbahan baku TTM memiliki kelemahan

yaitu kuat tekan berada pada nilai 50 - 60 kg/cm2mendekati nilai batu bata tingkat

III, Kekuatan tekan adalah kemampuan produk batu bata untuk menerima gaya

tekan persatuan luas, sehingga kuat tekan tersebut mengidentifikasikan mutu

produk batu bata. Semakin tinggi nilai kuat tekan produk batu bata akan semakin

tinggi pula mutu produk tersebut.

Menurut Standar batu bata di Indonesia menurut Yayasan Dana Normalisasi

Indonesia (YDNI) Nomor NI-101 dalam Suseno, et al (2012), berdasarkan mutu

batu bata dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelas sebagai berikut :


84

1). Batu bata mutu tingkat I dengan kuat tekan rata-rata lebih besar dari 100

kg/cm2 dan ukurannya tidak ada yang menyimpang.

2). Batu bata mutu tingkat II dengan kuat tekan rata-rata antara 100 kg/cm2

sampai 80 kg/cm2 dan ukurannya yang menyimpang satu buah darisepuluh

benda percobaan.

3). Batu bata mutu tingkat III dengan kuat tekan rata-rata antara 80 kg/cm2sampai

60 kg/cm2 dan ukurannya menyimpang dua buah dari sepuluh benda

percobaan.

Menurut Siregar (2010), untuk mendapatkan kekuatan dan kekerasan yang

tinggi diperlukan kapur (CaO) dan oksida besi (Fe2O3) dengan konsentrasi 5-8%,

karena rendahnya konsentrasi dua senyawa tersebut bisa menghalangi ikatan

antara komponen-komponen TTM. Disamping itu rendahnya pasir silika dapat

menambah penyusutan dan akan menyebabkan keretakan pada batu batatersebut.

Kebersihan bahan baku adalah bahan tersebut tidak mengandung zat organik,

garam sulfat, lemak, lumpur dan sebagainya. Bahan organik dan lemak akan

menghambat pengikatan tanah dengan pasir sehingga proses ikatan tersebut tidak

sempurna dan akan menurunkan kekuatan bata bata tersebut. Adanya garam sulfat

dalam keadaan basahdapat masuk ke pori-pori adukan dan akan membentuk

kristalgips yang mengembang volumenya dan dapat menyebabkan keretakan batu

bata.

Selanjutnya menurut Suseno et al, (2010), Tanah Terkontaminasi Minyak

Bumi (TTM) memiliki kandungan Silika Oksida (SiO2), Alumunium Oksida


85

(Al2O3), Besi Oksida (Fe2O3), Kapur (CaO), Magnesium Oksida (MgO), dan

senyawa organik baik yang berasal dari pembusukan vegetasi ataupun dari crude

oil. Oksida-oksida tersebut merupakan mineral dasar dalam pembentukan

kekuatan batu bata selama proses pengeringan dan pembakaran. Tingginya

senyawa organik baik yang berasal dari pembusukan vegetasi ataupun dari crude

oil dapat mempengaruhi kuat tekan batu bata.

Menurut Siregar (2012), bahan dasar dari batu bata terdiri dari TTM yang

berkisar antara 50-65 %, pasir yang berkisar antara 35-50 %, dan air secukupnya,

sampai diperoleh campuran yang bersifat plastis sehingga mudah dicetak.

Keberadaan tanah liat masih diperlukan dalam pembuatan batu bata dari TTM

karena untuk mensubstitusi kekurangan senyawa silika dan alumina. Di samping

penambahan surfaktan sebagai agent untuk memperbaiki sifat plastis dan

mencegah retak pada saat pengeringan dan pembakaran. Secara lengkap tahapan

pembuatan batu bata menggunakan bahan substitusi Tanah Terkontaminasi

Minyak Bumi sebagai berikut (Gambar 2).


86

Gambar 2. Diagram Alir Pembuatan Batu Bata dari TTM


Sumber : PUSKIM Bandung, 2012

Menurut Suseno et al, (2012), pada saat air ditambahkan dalam tanah liat

atau bahan substitusi Tanah Terkontaminasi Minyak Bumi (TTM), setiap

senyawa-senyawa tersebut diatas mengalami reaksi hidrasi dan mempunyai andil

masing-masing dalam pembentukan ikatan. Hanya kalsium silikat yang

mempunyai sumbangsih terhadap kekuatan ikatan, dimana tricalcium silicate

berperan sebagai pembentukan kekuatan awal (7 hari pertama), sedangkan

dikalsium silikat reaksinya lambat dan mempunyai kontribusi dalam pembentukan

kekuatan pada tahap berikutnya.


87

Menurut Suseno et al, (2010), pada pembuatan batu bata dengan bahan baku

TTM kekurangan pasir (silika) akan mengakibatkan menurunnya kuat tekan pada

batu bata. Pasir digunakan untuk menghindari penyusutan, retak-retak, dan

pelengkungan dimensinya pada saat pengeringan dan pembakaran. Kapur dan

oksida besi berperan sebagai fluks yang membantu butiran pasir meleleh dan

mengikat partikel tanah liat secara bersamaan pada saat pembakaran, oksida besi

juga memberikan warna merah pada bata yang bersamaan dengan oksida

magnesium akan memberikan warna kuning.

2. Belum adanya pilot plant pembuatan batu bata dengan menggunakan bahan

baku subsitusi TTM.

Menurut Simanungkalit, (2013), memasuki tahun 2012, penduduk Indonesia

telah berjumlah sekitar 250 juta jiwa. Dimana dari angka tersebut tercatat 57 juta

sebagai kepala keluarga. Apabila satu keluarga memiliki rumah sendiri, maka

diperlukan 57 juta unit rumah, namun kenyataannya hanya tercatat 51 juta unit

rumah, sehingga masih terdapat kekurangan (backlog) 6 juta unit rumah. maka

diperlukan sebanyak 950.000 unit rumah baru, artinya pada tahun 2012 diperlukan

950.000 unit rumah baru. Kalau angka tersebut ditambah dengan backlog di atas,

berarti pada tahun 2012 terdapat kekurangan 6,95 juta unit rumah. Saat ini rata-

rata pembangunan rumah hanya sekitar 350.000 unit per tahun. Karena itulah

maka setiap tahunnya mengalami kekurangan 600.000 unit rumah.

Menurut Susenoet al. (2012), batu bata merupakan salah satu bahan material

sebagai bahan pembuat dinding rumah atau bangunan. Batu bata terbuat dari tanah

liat yang telah dibersihkan dari kerikil dan batu-batu lainnya kemudian dibakar
88

sampai warna kemerah-merahan. Tanah liat termasuk hidrosilikat alumina dan

dalam keadaan murni mempunyai rumus senyawa Al2O3.2SiO2.2H2O.

Menurut Laksmono, (2014), volume Tanah Terkontaminasi Minyak Bumi

(TTM) 1,6 juta m3 belum terkelola optimal, sehingga saat ini pengolahannya

dilakukan secara biologis melalui soil bioremediation facility (SBF) dan

diserahkan kepada pihak ketiga yang telah memiliki ijin dari Menteri Lingkungan

Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia. Selama ini PT. Chevron Pacific

Indonesia menanggulangi Tanah Terkontaminasi Minyak Bumi (TTM) dengan

melakukan pengolahan secara biologis melalui soil bioremediation facility (SBF).

Remediasi yang diartikan sebagai perbaikan lingkungan secara umum diharapkan

dapat menghindari resiko-resiko yang ditimbulkan oleh kontaminasi logam yang

berasal dari alam (geochemical) dan akibat ulah manusia (anthropogenic).

PT. Chevron Pacific Indonesia dalam melakukan pengelolaan dampak

pencemaran tersebut telah membangun dua unit pilot plant Central Mud

Treatment Facility (CMTF) di Minas Field yang merupakan sebuah fasilitas

dalam mengolah lumpur hasil pengeboran sumur minyak dan apabila telah

diproses, maka produknya aman bagi lingkungan hidup. Lumpur minyak bumi

termasuk limbah bahan berbahaya dan beracun (B3), jika mengacu pada PP No.

85 tahun 1999 tentang Limbah B3, dalam peraturan tersebut ditegaskan bahwa

setiap produsen yang menghasilkan limbah B3 hanya diizinkan menyimpan

limbah tersebut paling lama 90 hari sebelum diolah dan perlu pengolahan secara

baik sehingga tidak mencemari lingkungan di sekitarnya.


89

Keterbatasan volume dan waktu siklus yang lama (4-6 bulan) soil

bioremediation facility (SBF) dalam memproses Tanah Terkontaminasi Minyak

Bumi (TTM), disamping itu untuk membangung satu soil bioremediation facility

(SBF) membutuhkan lahan yang cukup luas, biaya pengolahan dan harus

memenuhi perundang-undangan yang berlaku, maka pengolahan secara biologis

dianggap membutuhkan biaya yang cukup besar dalam pembangunan dan

pengoperasiannya.

Upaya untuk memanfaatkan Tanah Terkontaminasi Minyak Bumi (TTM)

sebagai bahan baku batu bata masih mengalami kendala terutama belum adanya

pilot plant yang dapat dijadikan model dalam mendorong terbentuknya Usaha

Kegiatan Masyarakat (UKM) produksi batu bata berbahan baku TTM belum ada

di Kecamatan Minas. Menurut Suseno et al. (2012) dalam suatu pemberdayaan

masyarakat perlu adanya model atau contoh sehingga masyarakat melihat secara

langsung upaya pemanfaatn limbah B3.

Bagi PT. Chevron Pacific Indonesia masalah pencemaran tanah yang

diakibatkan tumpahan minyak mendapat perhatian yang serius. Belum adanya

pilot plant pembuatan batu batu berbahan baku Tanah Terkontaminasi Minyak

Bumi (TTM) dapat menghambat upaya pengelolaan limbah B3 melalui upaya

pemanfaatan Pengelolaan terbaik terhadap tanah terkontaminasi minyak bumi

dilakukan dengan cara pemanfaatan, maka dari itu definisi pemanfaatan limbah

B3 menurut Suwargana (2015) adalah sebagai berikut :


90

1) Penggunaan kembali (Reuse), adalah penggunaan kembali limbah B3 dengan

tujuan yang sama tanpa melalui proses tambahan secara kimia, fisika, biologi

dan/atau secara thermal

2) Daur ulang (Recycle) adalah mendaur ulang komponen-komponen yang

bermanfaat melalui proses tambahan secara kimia, fisika, biologi,dan/atau

secara thermal yang menghasilkan produk yang sama ataupun produk yang

berbeda.

3) Perolehan kembali (Recovery) adalah perolehan kembali komponen-komponen

yang bermanfaat dengan proses kimia, fisika, biologi, dan/atau secara thermal

yang bertujuan untuk mengubah Limbah B3

3. Belum adanya sosialisasi dalam upaya pemanfaatan TTM sebagai bahan baku

substitusi pembuatan batu bata.

Limbah Tanah Terkontaminasi Minyak Bumi (TTM) yang berada di

Kecamatan Minas diperkirakan memiliki volume 1,6 juta m3 dan apabila tidak

dikelola dengan baik dapat menimbulkan pencemaran lingkungan sekitar.

masyarakat Kecamatan Minas masih beranggapan bahwa limbah tersebut hanya

memilki dampak negatif terhadap lingkungan. Persepsi masyarakat memahami

terhadap dampak tersebut dipandang belum ada upaya dalam menangani masalah

tersebut dengan cara melakukan penanganan melalui pengolahan yang baik

misalnya menjadi produk yang bermanfaat dengan kata lain limbah yang

menimbulkan masalah tersebut masih memiliki nilai ekonomi yang sangat

membantu bagi pihak PT. Chevron Pacific Indonesia maupun masyarakat sekitar,
91

seperti menambah pendapatan dan mengurangi pengangguran karena terbukanya

lapangan pekerjaan.

Kurangnya sosialisasi tentang pengelolaan limbah B3 di Kecamatan Minas

membentuk persepsi negatif masyarakat bahwa selama ini limbah Tanah

Terkontaminasi Minyak Bumi hanya mencemari dan berdampak negatif terhadap

lingkungan khususnya perkebunan dan pertanian. Masalah pencemaran TTM di

Kecamatan Minas bisa merembet ke arah dimensi sosial yaitu maraknya unjuk

rasa yang menuntut lahan yang terkontaminasi supaya dibersihkan.

Menurut Kotler (2001), persepsi merupakan proses individu dalam memilih

masukan-masukaninformasi untuk menciptakan gambaran dunia yang memiliki

arti. Persepsi meliputisemua proses yang dilakukan seseorang dalam memahami

informasi mengenai lingkungannya.Proses pemahaman ini melalui penglihatan,

pendengaran, penyentuhan perasaan dan penciuman. Jika informasi berasal dari

suatu situasi yang telah diketahui seseorang, maka informasi tersebutakan

mempengaruhi cara seseorang mengorganisasikan persepsinya. Hasil

pengorganisasianpersepsinya mengenai suatu informasi dapat berupa pengertian

tentang suatu obyek tersebut.


92

III. DAMPAK PEMANFAATAN TANAH TERKONTAMINASI MINYAK


MENTAH (TTM) SEBAGAI SUBTITUSI BAHAN BAKU
BATUBATA.

3.1 Aspek Ekonomi

3.1.1 Bila tidak dilakukan pemanfaatan TTM sebagai substitusi bahan


baku batu bata

Pada area perkebunan dan pertanian yang tercemar minyak bumi di

Kecamatan Minas memiliki pengaruh penurunan terhadap timgkat produktivitas

panen yang dihasilkan, khususnya kelapa sawit. Dalam jangka panjang multiflier

effectterhadap mata pencaharian yaitu terganggunya aktifitas usaha perkebunan

dan pertanian masyarakat Minas di area lahan terkontaminasi minyak buni (TTM)

yang selanjutnya mendorong masyarakat untuk melakukan perubahan dalam mata

pencahariannya. Berkurangnya pendapatan hasil panen perkebunan dan pertanian

membawa perubahan mata pencaharian terjadi dalam beberapa bentuk meliputi

masyarakat yang bertahan pada mata pencaharian perkebunan kelapa sawit akan

mencoba menekuni bidang lain seperti jasa perdagangan bahan bangunan dan

perbengkelan.

Bagi Pemerintah Daerak Kabupaten Siak, sektor perekonomian di suatu

daerah sangat dipengarui dimensi sosial yang terjadi di masyarakat

tersebut.Dimensi sosialterakit terjadinya konflik sosial seperti unjuk rasa yang

marak terjadi antara warga sekitar Minas FieldterhadapPT. Chevron Pacific

Indonesia sehinggadapat mempengaruhi volume produksiMinas field . Jika

dibiarkan akan mengurangi penerimaan pajak minyak dan gas bumi bagi
93

Pemerintah Daerak Kabupaten Siak karena sebagian besar Penerimaan Asli

Daerah dari sektor minyak dan gas bumi.

Bagi PT. Chevron Pacific Indonesia bila tidak dilakukan pemanfaatan

TTM sebagai bahan baku substitusi pembuatan batu bata dapat mempengaruhi

ketuntasan upaya pembersihan lahan terkontaminasi minyak bumi yang tentunya

akan memperbesar biaya pengolahan TTM, karena selama ini hanya

mengandalkan soil bioremediation facility(SBF). Biaya pengolahan TTM

menggunakan soil bioremediation facility(SBF)menjadi lebih mahal karena dalam

satu siklus memerlukan waktu pemrosesan 4 – 6 bulan.

3.1.2 Bila dilakukan pemanfaatan TTM sebagai substitusi bahan baku


batu bata

Dengan adanya pemanfaatan TTM sebagai substitusi bahan baku batu

bata, dampak ekonomi pencemaran yang dirasakan masyarakat meliputi dampak

terhadap mata pencaharian dan penyerapan tenaga kerja. Dalam

perkembangannya juga terdapat penambahan usaha yang digeluti masyarakat

Minas, salah satunya usaha pembuatan batu bata dengan menggunakan bahan

substitusi TTM tersebut. Terbukanya lapangan pekerjaan bagi masyarakat

Kecamatan Minas terkait usaha pembuatan batu bata memberikan dampak positif

bagi kesejahteraan masyarakat. Dengan dibuatnya pemanfaatan tanah

terkontaminasi minyak menjadi batu bata membuka peluang usaha bagi

masyarakat sekitar Minas karena dekat dengan sumber bahan baku.

Bagi Pemerintah Daerak Kabupaten Siak adanya usaha pembuatan batu


94

bata dengan menggunakan bahan substitusi TTM memiliki dampak

menggeliatnya sektor ekonomi daerah, yang secara tidak langsung meningkatkan

kesejateraan masyarakat melaluiterbukanya lapangan pekerjaan bagi khususnya

masyarakat Kecamatan Minas. Pemerintah Daerak Kabupaten Siakmemiliki

tambahan potensi ekonomi dari sisi penambahan penerimaan pendapatan asli

daerah yang berasal dari pengurusan perijinan pendirian usaha-usaha baru.

Bagi PT. Chevron Pacific Indonesia melalui pemanfaatan TTM sebagai

bahan baku substitusi pembuatan batu bata dapat meningkatkan efektifitas dan

efisiensi pengolahan TTM terkait dengan faktor biaya pengolahan menjadi lebih

menjadi rendah serta dapat menghasilkan barang atau produk yang bermanfaat

bagi masyarakat Kecamatan Minas.

3.2 AspekSosial

3.2.1 Bila tidak dilakukan pemanfaatan TTM sebagai substitusi bahan


baku batu bata

Tanah yang tercemar minyak bumi dapat mengalami kerusakan struktur

tanah dan perubahan sifat tanah baik fisika maupun kimia. Dampak yang lebih

lanjut dapat terjadi penurunan produktivitas tanaman akibat terhambatnya

pertumbuhan tanaman yang pada akhirnya akan menyebabkan penurunan hasil

pertanian dan perkebunan. Hal-hal tersebut akan memicu terjadinya konflik sosial

seperti unjuk rasa yang marak terjadi antara warga sekitar Minas Field. konflik

sosial yang terjadi di masyarakat Kecamatan Minas mempengaruhi hubungan dan

interaksi sosial antar warganya yang pada akhirnya akan membuat kehidupan

masyarakat menjadi tidak harmonis. Kemungkinan lain adalah meningkaynya


95

pengangguran di kalangan masyarakat.

Bagi Pemerintah Kecamatan Minas, masalah banyaknya pengangguran,

tingginya angka kejahatan, seringnya unjuk rasa, dan tidak harmonisnya

kehidupan masyarakat akan memberikan dampak negatif bagi nilai investasi yang

akan ditanamkan oleh calon investor khususnya pada sektor perkebunan kelapa

sawit dan migas. Agar perusahaan dapat berjalan dengan, umumnya pengusaha

yang akan menanamkan investasinya akan selalu melihat faktor-faktor sosial

seperti angka kejahatan dan tingkat keharmonisan kehidupan warga setempat.

Bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Siak berlarut-larutnya persoalan

pencemaran tumpahan minyak di Kecamatan Minas, mungkin akan berkembang

menjadi konflik multidimensi, khususnya dimensi sosial. Maraknya aksi unjuk

rasa di Kecamatan Minas akan menciptakan konflik sosial antara masyarakat yang

pro dan kontra terkait lahan yang telah terkontaminasi minyak bumi. Konflik

sosial yang berkepanjangan akan memberikan citra negatif bagiPemerintah

Daerah Kabupaten Siak karena dianggap kurang peduli dan tanggap terhadap

pengelolaan lingkungan hidup yang berkelanjutan.

Bagi PT. Chevron Pacific Indonesia bila tidak dilakukan pemanfaatan

TTM sebagai bahan baku substitusi pembuatan batu bata dapat menurunkan

produktivitas kerja perusahaan karena sering terjadinya konflik sosial seperti

unjuk rasa yang marak terjadi antara warga sekitar Minas Field. Penghentian

operasi PT. Chevron Pacific IndonesiaMinas Field sering terjadi karena unjuk

rasa dari warga yang lahannya terkontaminasi minyak bumi


96

3.2.2 Bila dilakukan pemanfaatan TTM sebagai substitusi bahan baku batu
bata

Dampak yang terjadi pada bidang ekonomi akan memberikan dampak

langsung bagi kehidupan sosial masyarakat di Kecamatan Minas. Usaha

pembuatan batu bata dengan menggunakan bahan substitusi TTM tersebut akan

membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat Kecamatan Minas terkait usaha

pembuatan batu bata memberikan dampak positif bagi kesejahteraan masyarakat

dan menurunnya angka pengangguran. Seiring dengan menurunnya angka

pengangguran akan berbanding lurus dengan penurunan angka

kejahatan.Penanggulangan tumpahan minyak bumi yang cepat,tepat, dan benar

dapat mereduksi kemungkinan konflik sosial antara warga dan perusahaan

kontraktor di area Minas.

Bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Siak, kepedulian dan kesungguhan

PT. Chevron Pacific Indonesia dalam melakukan pengelolaan lahan

terkontaminasi minyak bumi dapat meredam aksi unjuk rasa di Kecamatan Minas

yang dapat menciptakan konflik sosial di masyarakat. Kehidupan masyarakat

yang tenang dan tentram secara tidak langsung dapat meningkatkan nilai

investasi, karena umumnya calon investor yang akan menanamkan modalnya

melihat dari aspek sosial kehidupan masyarakatnya. Terbukanya lapangan

pekerjaan di Kecamatan Minas akan menurunkan angka kejahatan di salah satu

wilayah Pemerintah Daerah Kabupaten Siak yaitu Kecamatan Minas.

Pemanfaatan TTM sebagai bahan baku substitusi pembuatan batu bata

sebagai alternatif teknologi pengolahan bagi PT. Chevron Pacific Indonesia akan
97

memberikan ketenangan bagi para karyawannya karenaberkurangnya aksiunjuk

rasa yang marak terjadi antara warga sekitar Minas Field. Kegiatan operasi PT.

Chevron Pacific IndonesiaMinas Fielddalam memproduksi minyak bumi bagi

Indonesia akan berjalan dengan efektif dan efisien tanpa tergangu oleh kegiatan

unjuk rasa yang marak terjadi antara warga sekitar Minas Field.

3.3 Aspek Lingkungan dan Kesehatan

3.3.1 Bila tidak dilakukan pemanfaatan TTM sebagai substitusi bahan

baku batu bata

Permasalahan pencemaran dan kerusakan lingkungan di Indonesia

merupakan isu yang penting untuk ditangani mengingatmasih rendahnya

kesadaran dalam pelestarian lingkungan.Begitu juga yang terjadi di Kecamatan

Minas dengan banyaknya lahan yang terkontaminasi oleh minyak bumi,resiko

pencemaran minyak bumi yang cukup tinggi merupakan ancaman tersendiri bagi

lingkungan tanah. Hal ini berkenaan dengan kegiatan produksi minyak dan dan

gas bumi di Kecamatan Minas. Kerusakan lahan perkebunan dan pertanian di

Kecamatan Minas akan mempengaruhi lingkungan dan kesehatan masyarakat

setempat.

Bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Siak terkait pencemaran akibat Tanah

Terkontaminasi Minyak Bumi akan memiliki dampak panjang bagi lingkungan

hidup. Masyarakat umum akan menganggap Pemerintah Daerah Kabupaten Siak

kurang peduli terhadap pengelolaan lingkungan hidup dalam upaya meminimalisir

dampak akibat tumpahan minyak di wilayahnya. Derajat kesehatan dan

lingkungan hidup di Kabupaten Siak menjadi negatif dipandang oleh masyarakat


98

umum khususnya pemerintah pusat. Menurut Syafrul et al. (2002) pengaruh

minyak dan turunannya terhadap tumbuhan dapat dibagi menjadi beberapa

macam, yaitu :

1) Mengakibatkan kematian terhadap hewan atau tumbuhan

2) Menghambat pertumbuhan dengan cara mengurangi ukuran sel dan

menghambat pembelahan sel

3) Merangsang pertumbuhan sel yang terus menerus karena bersifat

karsinogenik

4) Menghambat proses pengikatan karbondioksida dan oksigen.

Bagi PT. Chevron Pacific Indonesia apabila tidak dilakukan pengelolaan

dampak pencemaran tumpahan minyak (oil spill) melalui pemanfaatan Tanah

Terkontaminasi Minyak Bumi (TTM) sebagai bahan baku pembuatan batu bata,

maka akan merusak citra perusahaan peduli lingkungan baik di Indonesia maupun

di dunia internasional. Memburuknya kualitas lingkungan hidup akibat

pencemaran tersebut tentunya akan merugikan bagi kesehatan masyarakat

setempat.

3.3.2 Bila dilakukan pemanfaatan TTM sebagai substitusi bahan baku batu
bata

Permasalahan pencemaran lingkungan yang terjadi di Kecamatan Minas

memerlukan penanganan yang tepat dan inovatif agar memberikan hasil

meningkatnya kualitas lingkungan hidup. Pemanfaatan TTM sebagai bahan baku

substitusi pembuatan batu bata dalam rangka upaya program recycle yang
99

digalakkan PT. Chevron Pacific Indonesia, meskipun secara alami tanah

mempunyai kemampuan untuk menguraikan materi limbah minyak bumi melalui

“prosesfisika, kimia dan mikrobiologi yang kompleks namun membutuhkan

waktu yang cukup lama.

Sesuai dengan petunjuk dari Kementerian Lingkungan Hidup dan

Kehutanan, seyogyanya pengolahan TTM menggunakan asas recycle atau daur

ulang. Recyclebertujuan untuk mengubah limbah B3menjadi produk yang dapat

digunakan dan harus juga aman bagilingkungan Disamping itu dengan

pemanfaatan limbah B3 sekaligus dapat mengurangi jumlah limbah B3,

penghematan sumber daya alam dan meminimisasi potensidampak negatif

terhadap lingkungan dan kesehatan manusia. Recycle adalah mendaur

ulangkomponen-komponen yang bermanfaat melalui proses tambahansecara

fisika, kimia, biologi, dan/atau secara termal yangmenghasilkan produk yang

sama atau produk yang berbeda.

Bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Siak seperti yang diamanatkan dalam

UUPPLH No. 32 Tahun 2009 Pasal 63 ayat 2 “melakukan pembinaan dan

pengawasan ketaatan penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan terhadap

ketentuan perizinan lingkungan dan peraturan perundang-undangan” terkait

pencemaran akibat Tanah Terkontaminasi Minyak Bumi menjadi dasar dalam

upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di Kecamatan Minas.

Pemulihanfungsi tanah terkontaminasi terkontaminasi minyak bumi memiliki

dampak positif bagi derajat lingkungan hidup dan kesehatan masyarakat.


100

Pembersihan tumpahan minyak yang dilakukan oleh PT. Chevron Pacific

Indonesia sebagai upaya menjaga kelestarian lingkungan hidup di area Minas

Field dan kawasan sekitar. Dengan dibersihkannya lahan perkebunan dan

pertanian dari TTM akan berdampak positif bagi berkurangnya lahan yang

tercemar dan pulihnya kondisi tanah.Peningkatan hasil perkebunan dan pertanian

merupakan dampak jangka panjang pemulihan lahan terkontaminasi minyak bumi

dan kualitas lingkungan hidup.

Upaya pembersihan tumpahan minyak memiliki dampak positif bagi

kesehatan dan lingkungan masyarakat, karena sebaran Total Petroleum

Hydrocarbon (TPH) sebagai komponen utama Tanah Terkontaminasi Minyak

Bumi (TTM dapat menyebar ke sungai-sungai yang masih dimanfaatkan oleh

masyarakat untuk keperluan domestik. Sebaran Total Petroleum Hydrocarbon

(TPH) yang mungkin meresap ke dalam air bawah tanah (aquifer) dapat

diminamlisir melalui upaya pembersihan lahan Terkontaminasi Minyak Bumi

(TTM) yang terpadu dan bermanfaat bagi kehidupan masyarakat.


101

IV. UPAYA OPTIMALISASI PEMANFAATAN TANAH TERCEMAR


MINYAK BUMI (TTM) SEBAGAI BAHAN BAKU SUBSTITUSI
BATU BATA

4.1 Menjalin Kerja Sama Penelitian Dengan Lembaga Penelitian Pemerintah


diIndonesia Terkait Komposisi Optimum pada Pembuatan Batu Bata
dengan Menggunakan Bahan Subsitusi TTM.

VolumeTanah Terkontaminasi Minyak Bumi (TTM)yang diperkirakan sekitar

1,6 juta m3, maka perlu adanya upaya untuk memanfaatkan limbah padat tersebut.

Hingga saat ini TTM tersebut belum banyak dimanfaatkan untuk keperluan

industri bahan bangunan dan berbagai pemanfaatan lainnya. TTM yang berasal

dari limbah industri eksplorasi minyak bumi, sampai saat ini masih belum

ditemukan penggunaan yang tepat, sedangkan produksi limbah TTM ini semakin

meningkat dari tahun ke tahun. Oleh karena itu penelitian tentang penggunaan

TTM yang tepat terus berkembang, hal ini disebabkan TTM memiliki potensi

untuk dibuat bahan bangunan dengan mutu yang baik namun biaya produksinya

relatif murah.

Sejak Tahun 2012, PT. Chevron Pacific Indonesiatelah menjalin kerjasama di

bidang penelitian dengan Puslitbang Permukiman (Puskim) Bandung atau pusat

penelitian dan pengembangan permukiman yang merupakan institusi penelitian

dan pengembangan di bawah Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian

Pekerjaan Umum. Puskim telah melakukan berbagai penelitian di bidang

permukiman, pengembangan teknologi bangunan dan lingkungan permukiman,

standarisasi, pengujian, dan lain lain. Berbagai produk keluaran Puskim telah

banyak dimanfaatkan dalam pembangunan baik yang dilakukan oleh pemerintah,


102

swasta, maupun masyarakat luas. Kedua belah pihak sepakat dan setuju untuk

melakukan kerjasama kegiatan penelitian dan pengembangan tentang pemanfaatan

Tanah Terkontaminasi Minyak Bumi (TTM) sebagai sebagai bahan baku batu

bata. Kerjasama ini sebagai wujud komitmen, dan kepedulian PT. Chevron Pacific

Indonesia terhadap pelestarian lingkungan hidup melalui penerapan ilmu

pengetahuan dan teknologi yang tepat guna dan bermanfaat bagi masyarakat luas.

Program ini telah dirintis sejak tahun 2012 - 2014memberikan hasil bahwa TTM

dapat dijadikan sebagai alternatif bahan substitusi pembuatan batu bata.

Pada prinsipnya pembuatan batu bata dari TTM merupakan proses

solidifikas/stabilisasi adalah mengubah sifat fisika dan kimia limbah B3 dengan

caramenambahkan bahan mengikat (cement) membentuk senyawamonolit dengan

struktur yang kompak agar supaya pergerakan limbah B3 terhambat atau dibatasi,

daya larut diperkecil sehingga daya racunnya limbah B3 tersebut berkurang

sebelum limbah B3tersebut ditimbun atau dimanfaatkan kembali. Pemanfaatan

TTM sebagai bahan substitusi pembuatan batu bata merupakan proses stabilisasi

dengan menggunakan tanah liat sebagai bahan pengikat.

Menurut Susenoet al (2012), kualitas batu bata sangat dipengaruhi oleh

kekuatan tekan batu bata yang akan bertambah dengan naiknya umur batu bata.

Kekuatan batu bata akan naik secara cepat (linier) dan akanmencapai maksimun

pada umur 28 hari dan setelah itu kenaikanakan kecil, walaupun pada kasus-

kasus tertentu, kekuatan tekan batu bata akan terus bertambah sampai beberapa

bulan kedepan. Untukitu kekuatan tekan batu bata dihitung setelah umur

mencapai 28 hari. Dengan pertimbangan diatas maka pada kesimpulan hubungan


103

kuat tekan dengan komposisi bahan produk batu bata inihanya ditekankan pada

umur produk batu bata setelah 28 hari. Dari hasil percobaan kuat tekan pada

beberapa komposisi pemanfaatan TTM untuk pembuatan produk batu batamaka

diperoleh kuat tekan optimum dengan komposisi bahan95 % TTM, 3 % tanah liat,

dan 2 % surfaktan dalam pembuatan produk batu bata pada umur 28 hari.

4.2Pembuatan Pilot Plant Pemanfaatan TTM sebagai Alternatif Bahan Baku


Substititusi Pembuatan Batu Bata.

Dalam rangka ikut menunjang program pemerintah tentang pemanfaatan

limbah B3 (recycle), makaPT. Chevron Pacific Indonesia

berinisiatifmengembangkan TTMsebagai bahan baku substitusi pembuatan batu

bata di Kecamatan Minas.Berkaitan dengan hal PT. Chevron Pacific

Indonesiabekerja sama dengan PT. Pria Putra Restu Ibu AbadiMojokerto

memproduksi batu bata di fasilitaspilotplantproduksi bata bata dengan tujuan

untuk dapat digunakan sebagai modelpembuatan batu bata menggunakan bahan

baku TTM.Kapasitas produksi PT. Pria Putra Restu Ibu Abadi Mojokertodapat

menghasilkan 5.000 batu bata/hari. Pada tahap berikutnya proses pembuatan batu

bata akan dibuat di UKM yang berada di wilayah Kecamatan Minas.Di

Kecamatan Minas perlu dibangun fasilitas produksi batu bata di Kecamatan Minas

agarpengolahan TTM dapat berlangsung lebih efektif dan efisien karena dekat

dengan sumber baku.


104

4.3 Sosialisasi dalam Upaya Pemanfaatan TTM sebagai Bahan Baku


Substitusi Pembuatan Batu Bata.

Dalam mennyikapi permasalahan Limbah Tanah Terkontaminasi Minyak

Bumi (TTM) yang berada di Kecamatan Minas membutuhkan pemahaman

masyarakat bahwa limbah tersebut tidak selamanya terbuang, merugikan

lingkungan/kesehatan, namun apabila dikelola dengan baik dapat memberikan

manfaat ekonomi bagi kehidupan masyarakat setempat. Pemerintah Daerah

Kabupaten Siak dan PT. Chevron Pacific Indonesia bersama-sama melakukan

sosialisasi yang terus-menerus dan konsisten diharapkan dapat membuka pikiran

masyarakat tentang manfaat dari pengolahan TTM menjadi batu bata.

Sosialisasi melalui pemberdayaan masyarakat dalam pembuatan batu bata

dari TTM, sosialisasi dilakukan agar masyarakat tahu, mau, dan mampu untuk

berpartisipasi aktif dalam pengelolaan lingkungan hidup melalui pemanfaatan

TTM menjadi batu bata. Perubahan persepsi masyarakat dalam memahami

terhadap dampak tersebut dipandang belum ada upaya dalam menangani masalah

tersebut dengan cara melakukan penanganan melalui pengolahan yang baik

misalnya menjadi produk yang bermanfaat dengan kata lain limbah yang

menimbulkan masalah tersebut masih memiliki nilai ekonomi yang sangat

membantu bagi pihak PT. Chevron Pacific Indonesia maupun masyarakat sekitar,

seperti menambah pendapatan dan mengurangi pengangguran karena terbukanya

lapangan
DAFTAR PUSTAKA

Anonymous, 2001. Civil Engeneering Materials. Ohio

Anonymous, 2006. American Standard Testing and Material C. Toronto.


Atlas, R dan M.R. Barta, 1997. Microbiology Ecology Fundamental and
Aplication. Addition Weslwy Publishing. Toronto
BPS, 2013. Pekanbaru dalam Angka. Pekanbaru

Chaney, (2009). Profil Kelarutan Limbah Minyak Bumi Dalam Air Akibat
Pengaruh Surfaktan Nonionik dan Laju Pengadukan, Jurnal Chemistry
Programme. Vol. 11 No. 5, April 2009: hal 2-4.
Darmawan, 2005. Efektifitas Bioremediasi Pada Tanah yang Tercemar Minyak
Bumi di Minas PT.Chevron Pasific Indonesia. Minas.
Kamali, L. 2014. Pemanfaatan Ampas Tebu Sebagai Bahan Aditif Pembuatan
Batu Bata. Tesis. Program Pascasarjana Universitas Guna Darma. Jakarta.
(Tidak diterbitkan).
Kementerian LH dan K RI, 2014. Workshop Pengelolaan Limbah B3. Jakarta

Kotler, P. A. 2001. Prinsip-Prinsip Pemasaran. Diterjemahkan oleh Herman.


Erlangga. Jakarta.
Kristianto. P, 2002. Ekologi Industri. Andi. Yogyakarta.
Laksmono, R, 2014. Bahan Pelatihan Teknologi Bioremediasi, Bandung. (Tidak
diterbitkan)
Luthans, F. 2006. Perilaku Organisasi. Diterjemahkan oleh Vivin Andhika
Yuwono; ShekarPurwanti; Th. Arie Prabawati; dan Winong Rosari. Andi.
Yogyakarta
Mulyani, H. 2014. Optimasi Perancangan Model Pengomposan, TIM Jakarta
Munawar, 2005. Bioremediasi Tumpahan Minyak Mentah dengan Metode
Biostimulasi di Lingkungan Pantai Surabaya Timur. Tesis. Program
Pascasarjana. Institut Teknologi Sepuluh November. Surabaya. (Tidak
diterbitkan).
Munir, 2008. Pemanfaatan Abu Batubara (Fly Ash) untuk Hollow Block yang
Bermutu dan Aman Bagi Lingkungan. Tesis. Program Pascasarjana
Universitas Diponegoro. Semarang. (Tidak diterbitkan).
Prihatiningsih, 2003. Pengaruh penambahan Sulfat terhadap penyisihan Logam
Timbal (Pb) pada Reaktor Biologi Anaerob. Jurnal Ilmu Lingkungan.
Universitas Merdeka. Malang. Vol. 11 No. 5, Juli 2003: hal 1-4.
106

PT.CPI, 2015. Dokumen KA ANDAL. Pekanbaru

Puskim, 2014. Workshop Pemanfaatan Tanah Terkontaminasi Minyak Bumi


sebagai Bahan Baku Bata. Jakarta

Rakhmat, J. 1989. Psikologi Komunikasi.Remaja Rosdakarya. Bandung.

Rittmann, B.Edan P.L.McCarty, 2001. Environmental Biotechnology: Principles


and Applications. McGraw-Hill. Toronto.
Simanjuntak, R, 2011 Pemanfaatan Fly Ah Sebagai Bahan Aditif Pembuatan Batu
Bata. Tesis. Program Pascasarjana. Universitas Sumatera Utara.
Medan.(Tidak diterbitkan).
Siregar, N. 2010. Perbaikan Sifat Mekanis Batu Bata Tradisional Menggunakan
Aditif. Tesis. Program Pascasarjana. Universitas Sumatera Utara. Medan.
(Tidak diterbitkan).
Suseno, H, Prastumi, Susanti, L dan Setyowulan, 2012. Pengaruh Penggunaan
Bottom Ash Sebagai Pengganti Tanah Liat pada Campuran Bata Terhadap
Kuat Tekan. Jurnal Rekayasa Sipil. Universitas Brawijaya. Malang. Vol. 6
No. 3, Juli 2012: hal 1-4
Suwargana.I, 2015. Pemanfaatan dan Pengolahan Limbah B3 dalam seminar
Sosialisasi Peraturan Pemerintah No.101 tahun 2014 tentang Pengelolaan
Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun. Jakarta
Syafrul, H, Rosjayati dan F.M.Windi, 2002.Penerapan Bioremediasi sebagai
Alternatif PengolahanLimbah Oil Sludge. Laporan Kementerian
LingkunganHidup. Serpong.
Wardhana, W.A, 2001. Dampak PencemaranLingkungan. Andi. Yogyakarta.
107

Lampiran 1. Peta Propinsi Riau

Kecamatan Minas

Sumber : Pekanbaru dalam Angka 2012


108

Lampiran 2. Peta Kabupaten Siak

Kecamatan Minas

Sumber : Draft Dokumen Amdal PT.CPI, 2015


109

Lampiran 3. Peta Lokasi Pengolahan TTM

LOKASI PENGOLAHAN TTM

Sumber : Draft Dokumen Amdal PT.CPI, 2015


PERCEPATAN RESTORASI EKOSISTEM
DAN PERLINDUNGAN KEANEKARAGAMAN HAYATI
DI KAWASAN RESTORASI EKOSISTEM PULAU PADANG
KABUPATEN KEPULAUAN MERANTI

DIBYO KUSWIYONO
1510248191

PROGRAM STUDI ILMU LINGKUNGAN


PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
2016
DAFTAR ISI
Halaman

DAFTAR ISI ...................................................................................................................ii


DAFTAR GAMBAR ......................................................................................................iv
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................................v

I. PENDAHULUAN ..............................................................................................1
1.1 Latar Belakang .............................................................................................1
1.2 Perumusan Masalah .....................................................................................3

II. PERCEPATAN RESTORASI EKOSISTEM DAN PERLINDUNGAN


KEANEKARAGAMAN HAYATI DI KAWASAN RESTORASI
EKOSISTEM PULAU PADANG .....................................................................4
2.1 Keanekaragaman Hayati .............................................................................4
2.2 Restorasi Ekosistem ....................................................................................7
2.3 Keanekaragaman Hayati di Kawasan Restorasi Ekosistem
Pulau Padang ................................................................................................10
2.4 Kegiatan Restorasi Ekosistem dan Perlindungan
Keanekaragaman Hayati di Pulau Padang ...................................................15

III. DAMPAK PERCEPATAN RESTORASI EKOSISTEM DAN


PERLINDUNGAN KEANEKARAGAMAN HAYATI DI KAWASAN
RESTORASI EKOSISTEM PULAU PADANG ...............................................21
3.1 Aspek Ekonomi ............................................................................................21
3.2 Aspek Sosial dan Budaya ...........................................................................23
3.3 Aspek Lingkungan dan Kesehatan ...............................................................23

ii
IV. PERCEPATAN RESTORASI EKOSISTEM DAN PERLINDUNGAN
KEANEKARAGAMAN HAYATI DI KAWASAN RESTORASI
EKOSISTEM PULAU PADANG ......................................................................25
4.1 Klaim Lahan atau Perambahan Lahan .........................................................25
4.2 Terganggunya Akses Masyarakat terhadap Sumber Daya Hutan ...............26
4.3 Penebangan Liar, Perburuan Satwa Liar dan Kebakaran Hutan .................28

DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................................30

LAMPIRAN ....................................................................................................................32

iii
DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Jenis-jenis vegetasi pada kawasan restorasi ekosistem di Pulau Padang...................13


2. Patroli perlindungan hutan pada kawasan restorasi ekosistem di Pulau Padang ......16
3. Penataan areal kerja pada kawasan restorasi ekosistem di Pulau Padang ................17

iv
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Peta Propinsi Riau .....................................................................................................34


2. Peta Kabupaten Kepulauan Meranti .........................................................................35
3. Peta Pulau Padang .....................................................................................................36
4. Peta Kawasan Restorasi Ekosistem Pulau Padang ....................................................37

v
1

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dogma lama bahwa hutan adalah penyedia kayu telah menjadikan hutan di
Indonesia rusak parah.Tidak saja kerugian ekonomi yang terjadi namun kerugian sosial,
potensi hilangnya jasa lingkungan dan keragaman hayati.Pengelolaan pada hutan
produksi harusnya bukan untuk kayu semata tetapi harus meliputi prinsip keberlanjutan,
produktivitas, konektivitas, keaslian dan keragaman hayati.Koreksi terhadap
pengelolaan hutan produksi dari komuditas kayu, saat ini dilakukan melalui perbaikan
yang dikenal dengan upaya restorasi ekosistem di wilayah hutan produksi yang diatur
lewat Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Restorasi Ekosistem yang selanjutnya
disingkat IUPHHK-RE.IUPHHK-RE adalah izin usaha yang diberikan untuk
membangun kawasan dalam hutan alam pada hutan produksi yang memiliki ekosistem
penting sehingga dapat dipertahankan fungsi dan keterwakilannya melalui kegiatan
pemeliharaan, perlindungan dan pemulihan ekosistem hutan termasuk penanaman,
pengayaan, penjarangan, penangkaran satwa, pelepasliaran flora dan fauna untuk
mengembalikan unsur hayati (flora dan fauna) serta unsur non hayati (tanah, iklim dan
topografi) pada suatu kawasan kepada jenis yang asli sehingga tercapai keseimbangan
hayati dan ekosistemnya (Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.50/Menhut-II/2010).
Kebijakan pengelolaan hutan di Indonesia saat ini ditujukan untuk
menyeimbangkan dan menyelaraskan pembangunan ekonomi, sosial, budaya dan
lingkungan serta upaya penurunan emisi gas rumah kaca yang dilakukan melalui
penurunan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan.Restorasi ekosistem merupakan
salah satu bentuk upaya dalam pengurangan emisi karbon dari kegiatan deforestasi dan
degradasi hutan, peningkatan konservasi stok karbon melalui konservasi, penerapan
pengelolaan hutan lestari dan pengayaan simpanan karbon (REDD+). Dalam
pengelolaannya akan fokus pada pemanfaatan jasa-jasa lingkungan khususnya jasa
lingkungan penyerapan dan penyimpanan karbon serta pemanfaatan hasil hutan bukan
kayu (HHBK) melalui mekanisme kolaborasi dengan masyarakat sekitar.
2

Salah satu bentuk usaha pemerintah pusat (Kementerian Kehutanan RI) untuk
menjaga kelestarian hayati kawasan hutan di Pulau Padang adalah dengan Penetapan
Kelompok Hutan Tasik Tanjung Padang seluas 4.925 Ha sebagai kawasan hutan dengan
fungsi sebagai kawasan suaka margasatwa melalui Keputusan Menteri Kehutanan dan
Perkebunan Nomor 349/Kpts-II/1999.
Selain pemerintah, perhatian yang sama juga dilakukan oleh pihak swasta untuk
mengembalikan unsur biotik (flora dan fauna) serta unsur abiotik (tanah, iklim dan
topografi) pada kawasan hutan produksi yang telah terdegradasi melalui kegiatan
restorasi ekosistem sehingga tercapai keseimbangan hayati. PT Gemilang Cipta
Nusantara merupakan pemegang IUPHHK-RE seluas 20.450 Ha pada kawasan hutan di
Pulau Padang berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 825/Menhut-II/2013
tanggal 19 November 2013.
Bekas operasional HPH yang pernah ada di wilayah Pulau Padang menyisakan
kerusakan hutan yang cukup signifikan, selain itu kawasan hutan Pulau Padang
mempunyai tingkat kerentanan dan ancaman yang tinggi akibat perubahan lahan dari
hutan ke penggunaan lain, pertanian dan perkebunan. Ditambah lagi dengan adanya
penebangan liaroleh masyarakat, hal ini terlihat dari kondisi ekosistem hutan dan
keanekaragaman hayati saat ini kurang baik.Meningkatnya ancaman terhadap
kelestarian kawasan hutan Pulau Padang juga merupakan ancaman terhadap kelestarian
keanekaragaman hayati di dalamnya.
Kegiatan restorasi ekosistem Pulau Padang oleh PT Gemilang Cipta Nusantara
memiliki potensi untuk menciptakan sebuah model konservasi dan proteksi atas
ekosistem hutan rawa gambut di Pulau Padang yang inovatif dan kreatif, yaitu menjalin
dukungan komersial untuk meningkatkan kemampuan menjaga ekosistem hutan rawa
gambut tersebut, baik secara fisik maupun sosial. Model komersial baru tersebut adalah
melalui jasa lingkungan hutan sebagai penyerap dan penyimpan karbon untuk
mengelola areal melalui restorasi ekosistem. Dengan model ini akan menciptakan
sebuah sistem yang mandiri dimana hasil penjualan karbon akan digunakan untuk
mendanai kegiatan restorasi ekositem dan program pemberdayaan masyarakat di sekitar
areal IUPHHK-RE.
3

1.2 Perumusan Masalah


PT Gemilang Cipta Nusantara merupakan pemegang IUPHHK-RE seluas
20.450 Ha pada kawasan hutan di Pulau Padang berdasarkan Keputusan Menteri
Kehutanan Nomor 825/Menhut-II/2013 tanggal 19 November 2013. Pengelolaan
IUPHHK-RE oleh PT Gemilang Cipta Nusantara di Pulau Padang Kabupaten
Kepulauan Meranti Provinsi Riau bertujuan untuk mewujudkan pengelolaan ekosistem
hutan rawa gambut berkelanjutan guna tercapainya keseimbangan hayati dan ekosistem
serta memberikan manfaat secara ekonomi, sosial dan lingkungan.
Meskipun secara formal areal SM Tasik Tanjung Padang dan IUPHHK-RE PT
Gemilang Cipta Nusantara merupakan kawasan hutan negara, namun terdapat berbagai
permasalahan dan tantangan dalam pengelolaan kawasan hutan tersebut yang berpotensi
menjadi konflik sosial antara lain:
1. Perambahan lahan (klaim lahan).
Pemanfaatan lahan pada kawasan hutan oleh masyarakat lokal untuk budidaya
pertanian dan perkebunan sudah sejak lama terjadi, hal ini ditandai dengan
dijumpai hamparan sagu di areal restorasi ekosistem Pulau Padang.
2. Terganggunya akses masyarakat terhadap sumber daya hutan.
Kegiatan mayarakat dalam memanfaatkan sumber daya hutan yang tidak ramah
lingkungan dapat menimbulkan kerusakan hutan,seperti perambahan lahan,
penebangan liar dan perburuan satwa liar.
3. Penebangan liar.
Kebijakan setempat memberikan hak kepada setiap KK untuk mengambil kayu
untuk keperluan bangunan sendiri dengan jumlah tertentu dapat menimbulkan
kerusakan hutan.
4. Perburuan satwaliar.
Perburuan satwa liar oleh masyarakat terhadap satwa dilindungi seperti rusa dan
kancil biasa dilakukan untuk pesta pernikahan.
5. Kebakaran hutan.
Kebakaran hutan biasa pada musim kemarau akibat dari pembukaan lahan untuk
perkebunan.
4

II. PERCEPATAN RESTORASI EKOSISTEM DAN PERLINDUNGAN


KEANEKARAGAMAN HAYATI DI KAWASAN RESTORASI
EKOSISTEMPULAU PADANG

2.1 Keanekaragaman Hayati


Menurut Setiadi (2015), keanekaragaman hayati merupakan suatu konsep yang
mengacu kepada adanya keanekaragaman variasi atau perbedaan antar dan di dalam
dunia makhluk hidup, konsep ini biasa digunakan untuk mengambarkan jumlah,
keanekaragaman dan variabilitas makhluk hidup. Keanekaragaman hayati meliputi
keanekaragaman genetik, spesies dan ekosistem.Keanekaragaman hayati atau
biodiversityadalah jumlah dari gen-gen, spesies atau jenis dan ekosistem yang ada di
suatu daerah.
Indonesia dengan luas hutankurang lebih 120 juta ha dan luas teritorial termasuk
lautan merupakan komunitas yang paling kaya keanekaragaman spesies flora dan fauna
serta sumber dari keanekaragaman plasma nutfah endemik yang dapat dimanfaatkan
untuk masa kini dan masa mendatang.Semakin banyak keanekaragaman spesies dan
semakin besar populasinya maka bertambah pula variasi genetik dan semakin besar
pilihan pemanfaatan plasma nutfahnya. Dari segi luas, hutan tropis Indonesia
menempati urutan ketiga setelah Brazil dan Zaire dan mempunyai kekayaan 10%
tumbuhan berbungadi dunia, 12% dari seluruh mamalia di dunia, 16% dari jumlah reptil
dan amfibi di dunia, 17% dari populasi burung di dunia serta lebih dari 25% dari
seluruh ikan laut dan ikan air tawar yang ada di dunia.
Vegetasi hutan tropis dan biota laut di daerah tropis merupakan pabrik biomassa
yang tinggi secara alami.Cahaya matahari yang ada hampir sepanjang tahun disertai
curah hujan yang banyak dan distribusinya hampir sepanjang tahun memungkinkan
areal hidup yang luasuntuk semua jenis organisme flora, fauna dan
mikroorganisme.Hutan alami yang utuh disamping mempunyai fungsi hidrologi juga
merupakan sumber plasma nutfah flora, fauna dan mikroorganisme.Di samping
peranannya untuk berbagai bioindustri, keanekaragaman hayati tropis juga dapat
menjadi objek wisata dan wisata ilmiah.
5

Menurut Satari (1994), berdasarkan variasi geografi, sejarah geologi, topografi


dan tipe iklim, Indonesia memiliki 14 ekosistem hutan tropis yang akan sangat
berpengaruh terhadap keanekaragaman hayati.Ekosistem hutan tropis di Indonesia
adalah sebagai berikut:
1. Hutan pantai (beach forest), menyebar sepanjang pantai yang tidak tergenang
oleh pasang dan surutnya air laut, tanah biasa berpasir, berbatu dan jenis tanah
umumnya regosol. Jenis tumbuhan yang hidup antara lain, Baringtonia asiatica,
Hibiscus tiliaceusdanCasuarina equisetifolia.
2. Hutan mangrove (mangrove forest), menyebar sepanjang pantai yang berlumpur
dan dipengaruhi oleh pasang dan surutnya air laut, jenis tumbuhan yang hidup
antara lain, Aviceneamarine, Rhizophora apiculata, Bruguiera gymnorhyza dan
Nipa fruticans.
3. Hutan rawa (swamp forest), menyebar di sepanjang muara sungai yang selalu
atau secara berkala dipengaruhi oleh limpahan air sungai dan hujan, jenis tanah
alluvial, gleyhumus dan hydromorfik. Jenis tumbuhan yang hidup antara lain,
Alstonia shcolaris, Elaeocarpus grandiflora dan Oncosprema tigillaria.
4. Hutan rawa gambut (peat swamp forest), berada di atas lahan gambut yang
tebalnya bisa lebih dari 1 meter, jenis tanah organosol dengan pH rendah, jenis
tumbuhan yang hidup antara lain, Gonystylus bancanus, Artocarpus rigidus dan
Strobia javanica.
5. Hutan hujan dataran rendah (lowland rainforest), merupakan ekosistem hutan
terluas di Indonesia dengan luas 65,4 juta hektar, mempunyai keragaman hayati
paling kaya, jenis tanah podsolik, latosol, alluvial, jenis tumbuhan yang hidup
antara lain, Shoreastenoptera, Shorea javanica, Dryobalanops aromatica,
Hopea sangal dan Kompassia malacensis.
6. Hutan hujan pegunungan rendah (submontane forest), penyebaran pada
ketinggian 1.000-2.000 meter di atas permukaan laut, luas sekitar 10 juta hektar,
jenis tumbuhan yang hidup antara lain, Litsea sp, Cinamomum burmanii dan
Cryptocarya tomensosa.
6

7. Hutan pegunungan tinggi (montane forest), penyebaran pada ketinggian di atas


2.000 meter, luas 3 juta hektar, jenis tumbuhan yang biasa hidup antara lain,
Podocarpus latifolius, Podocarpus amara, Litsea robusta dan Litsea angulata.
8. Hutan musim (mansoon forest), penyebaran pada dataran rendah sampai dengan
ketinggian 1.000 meter di atas permukaan laut, luas 17.000 hektar, jenis tanah
grumosol, jenis tumbuhan yang biasa hidup antara lain, Tectona grandis,
Dalbergialatifolia, Casia fiscula, Casuarina junghuniana dan Casuarina
montana.
9. Hutan kerangas (heat forest), jenis tanah podsol, pasir kuarsa yang sarang, pH
rendah, banyak dijumpai di Singkep, Bangka, Belitung, Kalimantan Tengah,
jenis tumbuhan yanghidup antara lain, Baeckea frutecens, Dacyidium elatum
dan Eurycoma longifolia.
10. Hutan tanah kapur (forest on limestone), terdapat di atas tanah kapur dengan
luas 7,9 juta hektar, terdapat di daerah Papua, Maluku, Sulawesi, jenis tumbuhan
antara lain, Pangium edule, Antidesma bunius dan Kalanechoe pinnata.
11. Hutan batuan ultrabasa (forest on ultrabasic rocks), terdapat pada daerah batu-
batuan yang banyak mengandung mineral magnesium, besi, aluminium, tersebar
di Sulawesi, NTT, Maluku, Papua, jenis tumbuhan yang biasa hidup antara lain,
Horsfiedia sylvestris, dan Knema palembanica.
12. Hutan tepi sungai (riparian forest), tersebar di sepanjang sungai dan jenis
tumbuhannya merupakan vegetasi rawa musiman, jenis tumbuhan yang biasa
dijumpai antara lain, Metroxylon sagu, Eucalyptus deglupta dan Nipa frutescens.
13. Hutan savanna (savanah forest), terdapat pada tanah regosol, mediteran yang
kurang hujan, menyebar di NTT, jenis tumbuhan yang biasa hidup adalah,
Borassus flabilier, Corypha utan, Corypha gebanga, Eucalyptus alba dan
rumput-rumputan anggota Graminae.
14. Hutan bambu dan sagu (bamboo and sago forest), tersebar di daerah Papua,
Jawa, Sumatera, jenis tumbuhan yang sering dijumpai antara lain, Metroxylon
sagu dan Bambusa sp.
7

Ekosistem hutan yang beraneka ragam selain menghasilkan flora yang berbeda
keanekaragamannya juga memiliki fauna yang berbeda keragamannya juga. Demikian
pula dengan ekosistem perairan yang ada di laut dan air tawar mempunyai
keanekaragaman hayati yang berbeda-beda.Jumlah spesies hayati yang hidup di laut
diperkirakan lebih sedikit dibandingkan dengan ekosistem daratan.Hutan hujan dataran
rendah Sumatera merupakan habitat paling kaya akan keanekaragaman hayati, sekaligus
merupakan habitat yang sangat terancam di muka bumi ini. Dari sekitar 16 juta hektar
hutan Sumatera pada tahun 1900, saat ini hanya tersisa 500 ribu hektar saja. Padahal,
menurut CEPF (2002) hutan daratan rendah Sumatera paling sedikit menjadi tempat
bagi 582 jenis burung (14 endemik), 210 jenis mamalia (16 jenis endemik), 300 jenis
ampibi dan reptil (69 jenis endemik), 270 jenis fauna air tawar (42 jenis endemik), 17
marga tumbuhan endemik. Proses deforestasi telah menghilangkan sebagian besar
habitat sebagai tempat tinggal berbagai jenis fauna seperti Harimau Sumatera, Gajah,
dll. Pembalakan liar tidak terkendali diyakini telah menghilangkan potensi
keanekaragaman hayati yang belum sempat diketahui manfaatnya.Selain
keanekaragaman hayati yang tidak tergantikan, saat ini semakin dipahami bahwa hutan
tropis Sumatera merupakan salah satu paru-paru dunia dalam menyerap dan menyimpan
karbon dioksida yang berbahaya serta melepaskan oksigen yang diperlukan kehidupan
di bumi.

2.2 Restorasi Ekosistem


Selama ini hutan produksi dikenal sebagai kawasan hutan yang diijinkan untuk
dieksploitasi demi usaha pemanfaatan kayu komersial.Sebaliknya, kawasan konservasi
diperuntukan untuk perlindungan berbagai kekayaan plasma nutfah. Eksploitasi hutan
alam telah dilakukan secara masif sejak tahun 1967 hingga mencapai puncak pada
dekade 1990-an. Paradigma ini mulai bergeser sejak munculnya Peraturan Menteri
Kehutanan Nomor 159 Tahun 2004 tentang Restorasi Ekosistem di Hutan Alam
Produksi. Menyadari bahwa eksploitasi hutan alam telah menyebabkan degradasi
lingkungan dan kawasan maka upaya restorasi ekosistem (RE) ditujukan untuk
8

mengembalikan unsur biotik (flora dan fauna) serta unsur abiotik (tanah, iklim dan
topografi) pada kawasan hutan produksi sehingga tercapai keseimbangan hayati.
Meskipun upaya serupa juga dilakukan di negara-negara lain, di Indonesia RE
berbeda. Pertama karena upaya pemulihan dilakukan di hutan produksi bukan di hutan
konservasi atau hutan lindung seperti yang dilakukan di negara lain dan kedua karena
upaya RE dilakukan oleh investor dalam bentuk area konsesi usaha. Dari izin RE,
investor masih dapat memanfaatkan kayu, hasil hutan non kayu, jasa lingkungan seperti
air dan pariwisata.Izin RE yang disebut dengan IUPHHK-RE ternyata banyak menarik
minat dan perhatian investor. Berbeda dengan IUPHHK-HA (hutan alam) yang
memiliki maksimum izin 55 tahun, maka IUPHHK-RE memiliki izin konsesi hingga 60
tahun dan dapat diperpanjang hingga 35 tahun.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Bina Usaha Kehutanan Kementerian
Kehutanan, IUPHHK-RE mendapat alokasi seluas 2.695.026 Ha dan sampai dengan
bulan September 2014 telah terdapat 13 unit areal RE yang diterbitkan izinnya dengan
total luas meliputi 519.505Ha. Izin IUPHHK-RE pertama di Indonesia dikenal dengan
nama Hutan Harapan diberikan kepada PT REKI (Restorasi Ekosistem Indonesia) pada
tahun2007 di Sumatera Selatan yang disponsori oleh konsorsium Burung Indonesia.Izin
IUPHHK-RE yang terbit setelah itu adalah PT REKI (Restorasi Ekosistem Indonesia) di
Jambi tahun 2010, PT Restorasi Habitat Orangutan Indonesia di Kalimantan Timur
tahun 2010, PT Ekosistem Katulistiwa Lestari di Kalimantan Barat tahun 2011, PT
Gemilang Cipta Nusantara di Riau tahun 2012, PT Rimba Raya Conservation di
Kalimantan Tengah tahun 2013, PT Sipef Biodiversity Indonesia di Bengkulu tahun
2013, PT Rimba Makmur Utama di Kalimantan Tengah tahun 2013,PT Gemilang Cipta
Nusantara di Riau tahun 2013, PT Karawang Ekawana Nugraha di Sumatera Selatan
tahun 2013, PT Sinar Mutiara Nusantara di Riau tahun 2014, PT Global Alam
Nusantara di Riau tahun 2014 dan PT The Best One Unitimber di Riau tahun 2014.
Menurut Kartodihardjo (2014), semua unit area IUPHHK-RE yang berada di
Provinsi Riau merupakan bagian dari Restorasi Ekosistem Riau (RER). RER
merupakan lembaga nirlaba yang didirikan oleh Grup APRIL pada tahun 2012 untuk
melindungi dan mengembalikan lahan gambut yang penting secara ekologis di
9

landscape Semenanjung Kampar dan Pulau Padang dalam menjalankan tanggung jawab
sosial, ekonomis dan lingkungan secara berkelanjutan. RER memiliki komitmen untuk
turut aktif dalam pembangunan dan pengelolaan hutan yang berkelanjutan (sustainable
forest management) melalui restorasi ekositem dan mendukung upaya pemerintah
dalam rangka pengurangan emisi gas rumah kaca penyebab pemanasan global dan
mengoptimalkan hasil hutan bukan kayuserta jasa-jasa lingkungan yang berkontribusi
positif terhadap pembangunan ekonomi, sosial dan lingkungan hidup.
Restorasi ekosistem mungkin masih terdengar asing di kalangan penggiat
konservasi karena ini merupakan inovasi di bidang pelestarian sumber daya alam yang
relatif baru diperkenalkan meskipun sebenarnya kajian-kajian tentang RE telah lama
dilakukan.Salah satu kajian restorasi yang cukup intensif di Asiadilakukan oleh Forest
Restoration Research Unit of Chiang Mai University Thailand yang didirikan pada
tahun 1994.Lembaga ini telah memulai upaya dalam melakukan kajian dan aplikasi
teknik-teknik restorasi hutan rusak di daerah Thailand Utara (Forru.org).Restorasi
ekosistem merupakan salah satu upaya untuk menyelamatkan dan memperbaiki kondisi
ekosistem hutan sebagai habitat bagi berbagai keanekaragaman hayati yang terkandung
di dalamnya (Elliot, Clewell dan Rieger, 1995). Restorasi dapat didefinisikan sebagai
proses yang intensif dalam membantu pemulihan dan pengelolaan integritas ekologi
suatu ekosistem yang rusak termasuk berbagai variabel keragaman hayati penting,
srtuktur dan proses-proses ekologi konteks sejarah dan kewilayahan serta kelestarian
praktek-praktek budaya (Clewell et al, 2006; Perrow dan Davy, 2002).
Untuk kepentingan pemulihan kondisi ekosistem sehingga terpulihkan pula
perlindungan proses-proses jasa lingkungan dan konservasi keanekaragaman hayati,
restorasi ekosistem merupakan pilihan terbaik.Restorasi ekosistem secara ringkas dapat
didefinisikan sebagai kegiatan mengembalikan kembali ekosistem hutan asli yang ada
sebelum terjadi deforestasi.Namun perlu dipahami bahwa restorasi ekosistem tidak
dapat mengembalikan semua jenis flora dan fauna yang pernah hidup di hutan asli
sebelum deforestasi dalam satu tahapan.Tujuan utama restorasi ekosistem adalah
mengembalikan struktur dan fungsi ekosistem awal dengan cara menanam jenis-jenis
pohon kunci yang memainkan peranan penting di dalam ekologi hutan alam.
10

Kesuksesan kegiatan restorasi dapat diukur dengan kembalinya struktur kanopi yang
bertingkat, pertambahan jumlah jenis yang kembali (terutama jenis-jenis langka atau
jenis-jenis kunci), peningkatan kondisi tanah dan pulihnya populasi flora dan fauna
tertentu (Elliot, Clewell dan Rieger, 2006).

2.3 Keanekaragaman Hayati di Kawasan Restorasi Ekosistem Pulau Padang


Pulau Padang merupakan salah satu gugusan pulau-pulau kecil di pantai timur
Pulau Sumatera dan berada di wilayah Provinsi Riau (Lampiran 1).Pulau Padang secara
administrasi berada di dalam wilayah Kabupaten Kepulauan Meranti (Lampiran
2).Kecamatan yangberada di Pulau Padang adalah Kecamatan Merbau dan Tasik Putri
Puyu (Lampiran 3). PT Gemilang Cipta Nusantara merupakan pemegang IUPHHK-RE
seluas 20.450 Ha pada kawasan hutan di Pulau Padang berdasarkan Keputusan Menteri
Kehutanan Nomor 825/Menhut-II/2013 tanggal 19 November 2013. Letak geografis
berada pada 102°16' - 102°25' BT dan 1°04'25" - 1°16'30" LU. Kawasan Restorasi
Ekosistem Pulau Padang berada pada kelompok hutan Pulau Padang, DAS Dedap,
Melibur, Mengkopot dan Tebis Panjang, batas areal IUPHHK-RE PT Gemilang Cipta
Nusantara adalah sebagai berikut:
- Sebelah Utara : SM Tasik Tanjung Padang
- Sebelah Timur : IUPHHK HTI PT Riau Andalan Pulp and Paper
- Sebelah Selatan :IUPHHK HTI PT Riau Andalan Pulp and Paper
- Sebelah Barat : IUPHHK HTI PT Riau Andalan Pulp and Paper
IUPHHK-REPT Gemilang Cipta Nusantara memiliki komitmen untuk turut aktif
dalam pembangunan dan pengelolaan hutan yang berkelanjutan (sustainable forest
management) melalui restorasi ekositem dan mendukung upaya pemerintah dalam
rangka pengurangan emisi gas rumah kaca penyebab pemanasan global dan
mengoptimalkan hasil hutan bukan kayu serta jasa-jasa lingkungan yang berkontribusi
positif terhadap pembangunan ekonomi, sosial dan lingkungan hidup.
11

2.3.1 Kondisi Ekonomi


Menurut Koniah (2015), mata pencaharian utama penduduk di sekitar areal
restorasi ekosistem adalah petani sedangkan mata pencaharian lain meliputi PNS,
TNI/POLRI, nelayan, pensiunan dan wiraswasta.Pemenuhan kebutuhan pangan bagi
penduduk merupakan prioritas bagi suatu daerah untuk mengurangi ketergantungan dari
daerah lain. Berdasarkan data dari Dinas Pertanian, Peternakan dan Ketahanan Pangan
Kabupaten Kepulauan Meranti tahun 2013, tanaman bahan makanan di Kecamatan
Merbau yang mempunyai produksi paling besar adalah ketela pohon dengan produksi
228 ton dengan luas panen 19 hektar, produksi jagung 85 ton dengan luas panen 8
hektar dan produksi ketela rambat22 ton dengan luas panen 4 hektar. Pada sektor
perkebunan rakyat, tanaman perkebunan yang memiliki produktivitas terbesar adalah
sagu.Sagu (Metroxylon sagu) merupakan salah satu sumber penghasilan utama bagi
penduduk lokal sehingga banyak dijumpai hamparan sagu di areal hutan Pulau Padang
terutama pada areal yang mudah dijangkau melalui jalan darat maupun sungai.Produksi
sagu di kecamatan ini mencapai 13.185 ton dengan luas 5.203 hektar, karet sebanyak
1.418 ton dengan luas 2.180 hektar, kelapa sebanyak 178 ton dengan luas 536 hektar
dan pinang sebanyak 6,5 ton dengan luas 10,5 hektar.
Berdasarkan data dari Dinas Pertanian, Peternakan dan Ketahanan Pangan
Kabupaten Kepulauan Meranti tahun 2013, tanaman bahan makanan di Kecamatan
Tasik Putri Puyu yang mempunyai produksi paling besar adalah ketela pohon dengan
produksi 156 ton dengan luas panen 13 hektar dan produksi jagung 108 ton dengan luas
panen 14 hektar. Pada sektor perkebunan rakyat, tanaman perkebunan yang memiliki
produktivitas terbesar adalah sagu. Produksi sagu di kecamatan ini mencapai 23.805 ton
dengan luas 3.106 hektar, karet sebanyak 2.114 ton dengan luas 3.571 hektar, kelapa
sebanyak 437 ton dengan luas 715 hektar dan pinang sebanyak 7,48 ton dengan luas 13
hektar.

2.3.2 Kondisi Sosial dan Budaya


Berdasarkan data monografi Kecamatan Merbau tahun 2013, terdapat 10 desa/
kelurahan yang berada di dalam wilayahnya yaitu Desa Lukit, Desa Meranti Bunting,
12

Desa Tanjung Kulim, Desa Pelantai, Desa Mekarsari, Kelurahan Teluk Belitung, Desa
Bagan Melibur, Desa Mayangsari, Desa Anak Kamal dan Desa Sungai Tengah. Jumlah
penduduk di Kecamatan Merbau pada tahun 2013 tercatat sebanyak 14.277 jiwa, luas
wilayah 436 km²sehingga kepadatan penduduk adalah 33 jiwa per km².
Berdasarkan data monografi Kecamatan Tasik Putri Puyu tahun 2013, terdapat
10 desa/ kelurahan yang berada di dalam wilayahnya yaitu Desa Mengkirau, Desa
Mengkopot, Desa Tanjung Pisang, Desa Selat Akar, Desa Bandul, Desa Kudap, Desa
Dedap, Desa Mekar Delima, Desa Putri Puyu dan Desa Tanjung Padang. Jumlah
penduduk di Kecamatan Tasik Putri Puyu pada tahun 2013 tercatat sebanyak 16.447
jiwa, luas wilayah 551 km² sehingga kepadatan penduduk adalah 30 jiwa per km².
Menurut Koniah (2015), penduduk asli di wilayah sekitar restorasi ekosistem
adalah Suku Melayu, Jawa, Banjar, Tionghoa dan Akit (suku asli atau tertua yang
mendiami Pulau Padang). Dari suku-suku yang ada di Pulau Padang beragam pulau seni
budaya dan tradisi yang dimiliki sesuai dengan adat-istiadat masing-masing, suku
melayu memiliki tradisi berbalas pantun dan pencak silat yang sering dijumpai pada
acara pernikahan.Selain itu ada juga kesenian Tari Zapin dengan 6 orang penari yang
diiringi oleh alat musik gambus, kompang dan biola.Biasanya kesenian ini dapat
dijumpai dalam acara pernikahan dan suguhan tamu kehormatan.Selain tari-tarian, Suku
Melayu juga masih melestarikan olah raga tradisi Gasing.Gasing adalah salah satu alat
permainan rakyat yang terbuat dari teras kayu, dibuat menyerupai telur dan sering
dijumpai pada acara permainan rakyat di perayaan HUT RI.
Suku Akit (suku asli) mempunyai kesenian berupa Tari Gendong yang berasal
dari Desa Selat Akar, tarian ini tergolong unik karena sebelum tarian dimulai sang batin
atau orang yang dituakan di suku mereka terlebih dahulu membakar kemenyan serta
mnyiapkan bertih atau beras kuning. Tari Gendong biasa diperagakan pada malam hari
dalam acara sakral di Suku Akit, seperti pernikahan, pengobatan tradisional,
menjauhkan wabah penyakit dari kampung, dan penyambutan tamu kehormatan.Suku
Tionghoa memiliki kesenian bermain barongsai yang diiringi alat musik berupa
gendang, kompang dan gong.Selain itu terdapat pula tradisi buang ancak, tradisi ini
sudah terbilang lama dan tidak memandang suku.Ancak adalah salah satu tradisi untuk
13

pengobatan secara ritual dan tradisional, untuk bela kampong atau netau.Di Desa Putri
Puyu terkenal dengan legenda Cinta Raja Terubuk dan Putri Puyu yang Tidak
Kesampaian serta dari Desa Dedap terdapat cerita Dedap Durhaka dan Pulau Dedap.

2.3.3 Kondisi Lingkungan


Menurut Anonim (2013), tipe ekosistem yang ditemukan di kawasan Restorasi
Ekosistem Pulau Padang adalah hutan rawa dan hutan gambut. Ciri-ciri hutan rawa
adalah tidak terpengaruh iklim, kondisi tanah yang selalu tergenang air tawar, terdapat
dibelakang hutan payau, tanah rendah, tajuk terdiri dari beberapa strata dan terutama
terdapat di Sumatera dan Kalimantan mengikuti sungai-sungai besar. Pohon-pohon
yang terdapat di hutan rawa mencapai tinggi 20-40 meter, antara lain Adina sp, Alstonia
sp, Dillenia sp, Dyera sp, Pterocarpus sp, Eugenia sp, Ficus retusa, Gluta renghas,
Metroxylon sp, Pandanus sp, Parkia sp, Sapotaceae spdan Shorea sp (Gambar 1).

Gambar 1.Jenis-jenis vegetasipada kawasan restorasi ekosistem di Pulau Padang


Ciri-ciri hutan gambut adalah iklim selalu basah, tanah tergenang air gambut,
lapisan gambut 1-20 meter, tanah rendah, terdapat di Sumatera Selatan, Jambi dan Riau.
Jenis-jenis pohon yang terdapat di hutan gambut, antara lain Alstonia sp, Ammora sp,
14

Anisoptera sp, Calophyllum sp, Campnosperma sp, Cratoxylon sp, Dryobalanops sp,
Durio carinatus, Eugenia sp, Gonystylus sp, Koompassia malaccensis sp, Litsea sp,
Melanorrohea sp, Pandanus sp, Parastemon sp, Payena sp, Palaquinum sp,
Pholidocarpus sp, Sapotaceae divers, Shorea sp, Tetramerista glabra, Tristania sp,
dll.Jenis tumbuhan bawah yang mendominasi kawasan ini adalah paku cebuk
(Nephrolepis radicans).
Keanekaragaman jenis satwa liar pada berbagai tipe habitat bervariasi
berdasarkan kelas satwa liarnya.Secara umum jenis burung memiliki keanekaragaman
jenis yang tinggi dibandingkan dengan jenis lainnya.Sebaran lokal satwa liar di berbagai
tipe habitat secara umum adalah acak dan acak mengelompok.Jenis satwa liar yang
memiliki sebaran lokal acak adalah jenis-jenis satwa liar yang pola hidupnya soliter
sedangkan satwa liar dengan pola hidup berkelompok umumnya mempunyai sebaran
lokal dengan pola acak berkelompok.Jenis satwa liar dengan pola sebaran berkelompok
adalah babi hutan (Sus barbatus), berang-berang (Lutra sp), monyet ekor panjang
(Macaca fascicularis), lutung (Presbytis cristata), kelelawar (Pteropus sp) dan hampir
sebagian besar burung mempunyai pola sebaran berkelompok.Jenis satwa liar soliter
(berpasangan dan atau disertai anak) antara lain burung elang ikan, beruang madu,
binturong, musang, kijang, kancil, napu dan trenggiling.
Menurut klasifikasi iklim Schmidt dan Ferguson, kawasan ini termasuk ke
dalam tipe A dengan nilai Q antara 0-14,3%. Musim kemarau berkisar pada bulan
Januari sampai dengan bulan Agustus sedangkan musim penghujan terjadi pada bulan
September sampai dengan bulan Desember.Berdasarkan data dari stasiun cuaca PT
RAPP Pulau Padang pada tahun 2012, curah hujan rata-rata bulanan di kawasan ini
berkisar antara 32-364 mm/ bulan dengan curah hujan tahunan sebesar 2.482 mm/
tahun.Hari hujan bulanan di kawasan ini berkisar antara 4-20 hari dengan jumlah hari
hujan tahunan sebesar 141 hari.Suhu udara rata-rata bulanan di kawasan ini antara 29-
35 derajat Celcius, suhu rata-rata tahunan sebesar 32 derajat Celcius.Suhu udara
bulanantertinggi terjadi pada Juni sebesar 35 derajat Cecius sedangkan terendah terjadi
pada bulan November dan Desember sebesar 29 derajat Celcius.Kelembaban udara rata-
rata bulanan di kawasan ini antara 59-74%, kelembaban rata-rata tahunan sebesar
15

67%.Kelembaban udara bulanan tertinggi terjadi pada bulan November dan Desember
sebesar 74% sedangkan terendah terjadi pada bulan September sebesar 59%.
Seluruh Kecamatan Merbau dan Tasik Putri Puyu terdiri dari daratan dan rawa-
rawa dengan struktur tanah organosol yang terdapat di sepanjang pantai yang ditumbuhi
hutan bakau dengan kondisi landai dan merupakan endapan lumpur.

2.4 Kegiatan Restorasi Ekosistem dan Perlindungan Keanekaragaman


HayatidiPulau Padang
Kegiatan restorasi ekosistem dan perlindungan keanekaragaman hayati di Pulau
Padang dapat diuraikan sebagai berikut (Anonim, 2013):

1. Perlindungan Hutan
Perlindungan hutan merupakan usaha menjaga kelestarian sumber daya alam
dan kesinambungan pengusahaan hutan dengan melaksanakan kegiatan pencegahan
terhadap gangguan hutan, seperti penebangan liar, perambahan hutan, perburuan satwa
liar, kebakaran hutan, pengendalian hama dan penyakit, perlindungan terhadap jenis-
jenis satwa dan tumbuhan alam yang dilindungi beserta habitatnya dan pencegahan
terhadap penurunan kandungan air dari hutan rawa gambut. Penanggulangan yang
efektif terhadap gangguan hutan akan terasa jika bentuk penanggulangan berupa upaya
pencegahan. Upaya penanggulangan berupa pemberantasan akan lebih sulit karena
perubahan yang terjadi pada hutan sebagai akibat tekanan faktor pengganggu akan sulit
dipulihkan. Beberapa langkah yang dianggap memiliki prospek yang baik sebagai
upaya untuk mencegah timbulnya gangguan-gangguan hutan, yaitu pencegahan
perambahan hutan, pencegahan penebangan liar, pencegahan perburuan liar dan
pencegahan kebakaran hutan (Gambar 2).
16

Gambar 2. Patroli perlindungan hutan pada kawasan restorasi ekosistem di Pulau Padang

2. Zonasi
Pembagian areal ke dalam zonasi bertujuan untuk mengatur kegiatan
perencanaan, pelaksanaan dan pemantauan kegiatan restorasi ekosistem sesuai dengan
karakteristik kondisi biofisik zonasinya sehingga pelaksanaan kegiatan tersebut dapat
berjalan sesuai dengan azas kelestarian dan lingkungan.Sebagai areal yang diperuntukan
sebagai kawasan restorasi ekosistem maka areal kerja dibagi ke dalam tiga zona
pengelolaan, yaitu kawasan lindung, kawasan produksi dan kawasan tidak untuk
produksi.

3. Penataan Areal Kerja


Kegiatan penataan areal kerja adalah memberi tanda batas yang nyata di
lapangan pada blok kerja tahunan dan petak kerja sehingga pelaksanaan kegiatan
pengelolaan kawasan restorasi ekosistem dapat dilaksanakan dengan baik pada blok
kerja dan petak kerja yang dimaksud. Tujuan penataan areal kerja adalah untuk
mengatur kegiatan perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengawasan agar
17

pelaksanaan kegiatan restorasi ekosistem dapat dapat berjalan sesuai dengan azas
kelestarian (Gambar 3).

Gambar 3.Penataan areal kerja pada kawasan restorasi ekosistem di Pulau Padang

4. Inventarisasi Hutan
Kegiatan inventarisasi potensi hutan ditujukan untuk mengetahui kondisi dan
potensi hutan dari kawasan restorasi ekosistem.Dari kegiatan inventarisasi hutan ini
diharapkan dapat diperoleh data potensi tegakan sebagai dasar perhitungan potensi
karbon hutan serta gambaran awal areal-areal yang terdegradasi sebagai dasar kegiatan
pengayaan hutan (restorasi).

5. Pembukaan Wilayah Hutan Terbatas


Pembukaan wilayah hutan adalah kegiatan yang merencanakan penyediaan
sarana prasarana yang dibutuhkan untuk menunjang kegiatan restorasi ekosistem yang
akan dilakukan di blok RKT, seperti pembuatan perumahan, pos jaga, persemaian,
gudang, tempat ibadah, sarana penanggulangan kebakaran hutan dan lain-lain.
18

6. Rehabilitasi Kanal
Rehabilitasi kanal adalah kegiatan penutupan kanal liar (canal blocking) dengan
tujuan untuk menutup akses masuk ke wilayah yang dimohon dan menghilangkan
kemungkinan penggunaan kanal-kanal tersebut sebagai sarana transportasi kegiatan
illegal.Selain itu penutupan kanal liar juga diharapkan dapat mencegah emisi karbon
yang keluar dari lahan gambut yang terbuka akibat keberadaan kanal.

7. Penerimaan Tenaga Kerja


Keberadaan IUPHHK-RE ini direncanakan dapat membuka kesempatan kerja
bagi masyarakat setempat untuk dapat bekerja pada perusahaan ini dan dapat membuka
peluang berusaha bagi anggota masyarakat setempat lainnya yang tidak dapat turut
bekerja pada unit manajemen ini.

8. Pembuatan Persemaian
Pembuatan persemaian bertujuan untuk menyediakan bibit siap tanam dari biji/
bibit yang diambil dari lapangan maupun tempat lain.

9. Pengayaan (Restorasi)
Pengayaan adalah kegiatan penanaman pada areal yang kurang cukup
mengandung permudaan jenis denhan tujuan untuk memperbaiki komposisi jenis,
penyebaran pohon dan nilai tegakan.Meningkatkan potensi sumber daya hutan melalui
kegiatan restorasi dengan tumbuhan asli setempat yang didukung oleh teknologi dan
pengalaman yang mumpuni, kerja sama dengan masyarakat dan para pemangku
kepentingan dalam upaya restorasi dengan memperhatikan kearifan lokal dan nilai-nilai
yang dianut oleh masyarakat.

10. Pemeliharaan
Pemeliharaan dilakukan dengan tujuan agar tanaman muda mampu tumbuh
menjadi tegakan akhir dengan kerapatan dan tingkat pertumbuhan yang optimal,
19

kegiatan perawatan meliputi pembersihan gulma (penyiangan) dan penyulaman


tanaman yang mati.

11. Kelola Sosial


Kegiatan kelola sosial pada prinsipnya bertujuan untuk membantu peningkatan
kapasitas dan akses masyarakat dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui
kegiatan produktif dan berkelanjutan sekaligus membangun hubungan yang harmonis
dan saling menguntungkan antara perusahaan dengan masyarakat.Kelola sosial bukan
saja merupakan bentuk tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social
responsibility) melainkan menjadi alternatif pembagian manfaat dari kegiatan restorasi
ekosistem kepada masyarakat sekitar yang sangat penting untuk mendukung kelestarian
pengelolaan hutan dari aspek sosekbud.Kegiatan restorasi ekosistem diharapkan mampu
memberikan manfaat kawasan untuk penelitian dan pengembangan, ekowisata dan jasa
lingkungan.
Berdasarkan hasil kegiatan restorasi ekosisistem dan perlindungan
keanekaragaman hayati di Pulau Padang, ternyata ditemukan berbagai kendala yang
akhirnya menjadi masalah. Masalah yang muncul dari kegiatan tersebut mencakup:
1. Perambahan lahan (klaim lahan).
Meskipun secara formal areal IUPHHK-RE PT Gemilang Cipta Nusantara di
Pulau Padang merupakan kawasan hutan negara namun seringkali terdapat klaim oleh
masyarakat setempat terhadap kawasan hutan negara tersebut.Pemanfaatan lahan pada
kawasan hutan oleh masyarakat lokal untuk budidaya pertanian dan perkebunan sudah
sejak lama terjadi, hal ini ditandai dengan dijumpai hamparan sagu di areal restorasi
ekosistem Pulau Padang.
2. Terganggunya akses masyarakat terhadap sumber daya hutan.
Kegiatan mayarakat dalam memanfaatkan sumber daya hutan yang tidak ramah
lingkungan dapat menimbulkan kerusakan hutan, seperti perambahan lahan,
penebangan liar dan perburuan satwa liar.
20

3. Penebangan liar.
Penebangan liar masih terlihat di beberapa lokasi dalam kawasan restorasi
ekosistem, hal ini diperparah dengan adanya kebijakan setempat yang memberikan hak
kepada setiap KK untuk mengambil kayu untuk keperluan bangunan sendiri dengan
jumlah tertentu.Dampak dari penebangan liar ini tidak saja menimbulkan kerugian
secara ekonomi tetapi juga kerugian ekologi terkait dengan rusaknya hutan sehingga
rentan terhadap kebakaran, kekeringan, banjir dan hilangnya sumber keanekaragaman
hayati.
4. Perburuan satwa liar.
Perburuan satwa liar oleh masyarakat terhadap satwa dilindungi seperti rusa dan
kancil biasa dilakukan untuk pesta pernikahan.
5. Kebakaran hutan.
Kebakaran hutan atau lahan gambut merupakan cerminan dari sistem
pengelolaan hutan yang mengabaikan sifat-sifat dan lingkungan gambut yaitu kering
dan mudah terbakar.Kebakaran hutan ini kebanyakan dilakukan secara sengaja terkait
dengan pembukaan lahan untuk pertanian dan perkebunan. Kebakaran hutan sangat
merugikan baik secara ekonomi maupun ekologis, yaitu gangguan kesehatan
masyarakat akibat asap dan hilangnya keanekaragaman hayati.
21

III. DAMPAK PERCEPATAN RESTORASI EKOSISTEM DAN


PERLINDUNGAN KEANEKARAGAMAN HAYATI DI KAWASAN
RESTORASI EKOSISTEM
PULAU PADANG

3.1 Aspek Ekonomi


Potensi ekonomi kawasan hutan dapat diidentifikasi dengan melihat manfaat
yang diperoleh masyarakat dari kawasan tersebut, manfaat itu sendiri dapat bersifat
positif maupun negatif terhadap kelestarian sumber daya hutan.Apabila tidak ada
kegiatan restorasi ekosistem maka akan muncul potensi kawasan yang bersifat negatif,
yaitu munculnya berbagai permasalahan dan gangguan terhadap kawasan hutan seperti
perambahan lahan, penebangan liar dan kebakaran hutan. Kebakaran hutan sangat
merugikan baik secara ekonomi maupun ekologis, yaitu gangguan kesehatan
masyarakat akibat asap dan hilangnya keanekaragaman hayati. Kerugian kesehatan
karena pencemaran udara yang sangat buruk paling dirasakan oleh masyarakat
selanjutnya pemerintah daerah dan perusahaan. Masyarakat mengeluarkan biaya
tambahan untuk pengobatan anggota keluarganya, pemerintah daerah mengeluarkan
dana APBD di luar program kerja untuk pelayanan kesehatan masyarakat dan
perusahaan menambahkan dana khusus untuk kegiatan pengobatan missal akibat bahaya
asap kebakaran hutan dan lahan.
Sulitnya lapangan pekerjaan yang ada serta tidak adanya modal untuk mengolah
lahan mengakibatkan masalah ekonomi (keuangan) menjadi masalah cukup serius di
wilayah Pulau Padang. Permasalahan tersebut menyebabkan konflik sosial akan rentan
terjadi, termasuk konflik lahan.Kemiskinan merupakan cerminan dari kondisi awal
masyarakat di sekitar kawasan restorasi ekosistem Pulau Padang karena rendahnya
produktivitas sumber daya hutan dan sumber daya manusia yang tersedia.Kondisi
tersebut semakin diperparah oleh keterbatasan sarana dan prasarana penunjang
perekonomian seperti infrastruktur jalan, akses pasar, pelayanan sarana produksi,
pelayanan publik, alat transportasi dan komunikasi.Tingkat kemiskinan masyarakat di
sekitar kawasan restorasi ekosistem Pulau Padang cukup tinggi dengan pendapatan
22

penduduk tergolong rendah karena hanya mengandalkan potensi ekonomi kawasan


hutan dari manfaat yangdiperolehnya.Permasalahan kemiskinan menjadi penting
mengingat kerusakan sumber daya hutan terkait dengan keberadaan penduduk di sekitar
kawasan restorasi ekosistem Pulau Padang.
Apabila terdapat kegiatan restorasi ekosistem maka program pemberdayaan dan
peningkatan kapasitas masyarakat di sekitar kawasan restorasi ekosistem Pulau Padang
akan dilaksanakan dalam kerangka meningkatkan kesejahteraan masyarakatdan
pelestarian serta perlindungan keanekaragaman hayati. Pemberian insentif sebagai
kompensasi atas upaya pelestarian dan perlindungan keanekaragaman hayati kawasan
restorasi ekosistem perlu dilembagakan sehingga rasa keadilan dapat dipenuhi.
IUPHHK-RE PT Gemilang Cipta Nusantara memiliki komitmen untuk turut
aktif dalam pembangunan dan pengelolaan hutan yang berkelanjutan (sustainable forest
management) melalui restorasi ekositem dan mendukung upaya pemerintah dalam
rangka pengurangan emisi gas rumah kaca penyebab pemanasan global dan
mengoptimalkan hasil hutan bukan kayu serta jasa-jasa lingkungan yang berkontribusi
positif terhadap pembangunan ekonomi, sosial dan lingkungan hidup.
Kegiatan restorasi ekosistem Pulau Padang akan meningkatkan pemanfaatan
potensi kawasan hutan yang bersifat positif bagi masyarakat, yaitupemanfaatan kawasan
hutan untuk ekowisata, sumber plasma nutfah, jasa lingkungan, hasil hutan bukan kayu
(madu, rotan, jamur, buah-buahan dan sayur-sayuran), laboratorium alam untuk
kepentingan pemuliaan pohon melalui ilmu pengetahuan dan teknologi.
Kegiatan restorasi ekosistem juga akan menimbulkan dampak positif berupa
peningkatan kesempatan kerja, peluang berusaha, pembangunan sarana dan prasarana
penunjang perekonomian, seperti infrastruktur jalan, akses pasar, pelayanan sarana
produksi, listrik, pelayanan publik, alat transportasi dan komunikasi serta peningkatan
pendapatan masyarakat melalui program pemberdayaan masyarakat.
Kegiatan restorasi ekosistem juga dapat menimbulkan dampak negatif terhadap
perekonomian masyarakat berupa berkurangnya akses ekonomi masyarakat terhadap
sumber daya hutan yang tidak ramah lingkungan, seperti perambahan lahan,
penebangan liar dan perburuan satwa liar.
23

3.2 Aspek Sosial dan Budaya


Apabila tidak ada kegiatan restorasi ekosistem maka kondisi sosial dan budaya
masyarakat Pulau Padang tetap terjaga dengan baik tetapi dalam usaha pengembangan
masih terkendala dengan keterbatasan sarana dan prasarana transportasi, komunikasi,
pendidikan, kedudayaan dan keagamaan.
Apabila terdapat kegiatan restorasi ekosistem dapat menimbulkan dampak
negatif pada komponen sosialdan budaya berupa keresahan masyarakat dan konflik
sosial akibat kegiatan prakontruksi yang belum tersosialisasi secara jelas, kecemburuan
sosial terhadap tenaga pendatang, masuknya budaya baru dari tenaga pendatang dan
konflik kepentingan terhadap sumber daya hutan dan lahan yang tidak tertangani
dengan baik.
Kegiatan restorasi ekosistem juga akan menimbulkan dampak positif pada
komponen sosial dan budaya berupa terjaganya budaya masyarakat lokal melalui
program gotong-royong (employee volunteering), pembangunan sarana dan prasarana
pendidikan, keagamaan, bea siswa, lomba menulis budaya Pulau Padang, pembinaan
sanggar kesenian, perpustakaan, bantuan perayaan hari besar keagamaan dan perayaan
HUT RI yang dikelola oleh perusahaan bersama pemerintah daerah.

3.3 Aspek Lingkungan dan Kesehatan


Apabila tidak terdapat kegiatan restorasi ekosistem maka kerusakan kawasan
hutan di Pulau Padang akanberlangsung sangat masif seiring dengan maraknya alih
fungsi hutan untuk peruntukan lain, perambahan hutan dan penebangan liar. Dampak
dari kegiatan tersebut tidak saja menimbulkan kerugian secara ekonomi tetapi juga
kerugian ekologi terkait dengan rusaknya hutan sehingga rentan terhadap kebakaran,
kekeringan, banjir dan hilangnya sumber keanekaragaman hayati.Kebakaran hutan
sangat merugikan baik secara ekonomi maupun ekologis, yaitu gangguan kesehatan
masyarakat akibat asap dan hilangnya keanekaragaman hayati. Usaha pencegahan dan
larangan yang dilakukan oleh pemerintah belum menunjukkan hasil yang memuaskan.
Untuk kepentingan pemulihan kondisi ekosistem sehingga terpulihkan pula
perlindungan proses-proses jasa lingkungan dan konservasi keanekaragaman hayati,
24

restorasi ekosistem merupakan pilihan terbaik.Restorasi ekosistem secara ringkas dapat


didefinisikan sebagai kegiatan mengembalikan kembali ekosistem hutan asli yang ada
sebelum terjadi deforestasi.Namun perlu dipahami bahwa restorasi ekosistem tidak
dapat mengembalikan semua jenis flora dan fauna yang pernah hidup di hutan asli
sebelum deforestasi dalam satu tahapan. Tujuan utama restorasi ekosistem adalah
mengembalikan struktur dan fungsi ekosistem awal dengan cara menanam jenis-jenis
pohon kunci yang memainkan peranan penting di dalam ekologi hutan alam.
Apabila terdapat kegiatan restorasi ekosistem diperkirakan akan menimbulkan
dampak negatif pada komponen fisika, kimia dan biologi berupa peningkatan erosi,
sedimentasi, penurunan kualitas air, hilangnya vegetasi dan fragmentasi habitat satwa
liar akibat pembukaan wilayah hutan serta pembangunan sarana prasarana. Namun
lambat laun kegiatan restorasi ekosistem akan menimbulkan dampak positif pada
komponen biologi yakni pulihnya ekosistem hutan yang rusak, yaitu dengan adanya
kegiatan penanaman dan pemeliharaan tanaman serta pengaman sehingga dampak
negatif terhadap erosi dan sedimentasi akan terpulihkan.
Kondisi kesehatan masyarakat di sekitar kawasan restorasi ekosistem Pulau
Padang sangat ditentukan oleh adanya sarana dan prasarana kesehatan yang tersedia
pada masing-masing daerah.Berdasarkan data monografi Kecamatan Merbau dan Tasik
Putri Puyu tahun 2013terlihat bahwa sarana dan prasarana kesehatan pada kedua
kecapatan tersebut masih sangat terbatas dan kurang memadai. Dengan adanya kegiatan
restorasi ekosistem diharapkan akan menimbulkan dampak positifpada kesehatan
masyarakat lokal melalui program penyuluhan kesehatan, bahaya asap kebakaran hutan
terhadap kesehatan masyarakat dan pencegahan kebakaran hutan, pelatihan tenaga
medis, pengobatan massal, bantuan paket gizi untuk balita, bantuan sembako bagi
masyarakat kurang mampu, bantuan ambulance laut untuk transportasi kesehatan
masyarakat serta pembangunan sarana dan prasarana kesehatan di setiap desa sekitar
kawasan restorasi.
25

IV. OPTIMALISASI PERCEPATAN RESTORASI EKOSISTEM DAN


PERLINDUNGAN KEANEKARAGAMAN HAYATI DI KAWASAN
RESTORASI EKOSISTEM PULAU PADANG

4.1 Klaim Lahan atau Perambahan Lahan


Meskipun secara formal areal IUPHHK-RE PT Gemilang Cipta Nusantara di
Pulau Padang merupakan kawasan hutan negara namun seringkali terdapat klaim oleh
masyarakat setempat terhadap kawasan hutan negara tersebut.Keberadaan klaim atau
perambahan lahan apabila pada kenyataannya memang ada dan dapat dibuktikan maka
harus dilakukan upaya khusus untuk menyelesaikan melalui mekanisme yang baik,
transparan dan saling menguntungkan agar diperoleh jaminan kepastian areal kerja
secara sosial dalam jangka panjang. Kegiatan restorasi ekosistem PT Gemilang Cipta
Nusantara diharapkan tidak semata-mata berpegang pada izin yang diterbitkan oleh
pemerintah tetapi juga akan melakukan proses sosial untuk menyelesaikan
permasalahan lahan terkait dengan penggunaan lahan dan atau klaim wilayah oleh
masyarakat setempat.
Menurut pendapat penulis, berbagai langkah yang harus dilaksanakan dalam
penyelesaian masalah lahan adalah sebagai berikut:
1. Mengidentifikasi sumber dan akar masalah dari konflik lahan tersebut.
2. Menunjuk personil dari unit manajemen yang dapat melakukan pendekatan
kepada masyarakat.
3. Menunjuk mediator yang disetujui oleh masyarakat.
4. Melakukan pendekatan kepada masyarakat yang mengajukan klaim serta
meminta kepada masyarakat menunjuk perwakilan dalam penyelesaian masalah
lahan tersebut.
5. Menghubungi pihak pemerintah setempat, lembaga adat atau tetua masyarakat
setempat sebagai saksi terhadap kesepakatan yang dihasilkan.
6. Membuat jadwal perundingan yang telah disetujui oleh masyarakat/ wakil
masyarakat dan melaksanakan perundingan untuk memperoleh penyelesaian
konflik lahan tersebut.
26

7. Membuat kesepakatan penyelesaian lahan yang ditanda tangani oleh wakil unit
manajemen, wakil masyarakat dan saksi.
8. Hasil perundingan yang dicapai merupakan kesepakatan yang menguntungkan
kedua belah pihak.
Menurut Hariadi (2014), permasalahan yang dihadapi dalam kegiatan restorasi
ekosistem saat ini bukan lagi melulu masalah teknis kehutanan seperti penanaman dan
pemeliharaan tetapi yang lebih penting adalah menempatkan persoalan sosial.
Pengelolaan hutan harus berubah dari definisi fisik ke interaksi sosial dan pola ruang
sehingga solusi yang diambil harus mencari model usaha yang kontekstual sesuai
kondisi lapangan. Hal utama dari restorasi ekosistem berada di tingkat manajemen unit
jika penetapan lokasi izin tumpang tindih maka akan menimbulkan konflik sosial.

4.2 Terganggunya Akses Masyarakat terhadap Sumber Daya Hutan


Kegiatan restorasi akan mengurangi akses ekonomi masyarakat Pulau Padang
terhadap sumber daya hutan yang tidak rama lingkungan, seperti perambahan lahan,
penebangan liar dan perburuan satwa liar. Menurut pendapat penulis, kegiatan kelola
sosial merupakan salah satu kegiatan untuk meminimalkan dampak sosial, ekonomi dan
budaya yang ditimbulkan oleh kegiatan restorasi ekosistem serta menentukan
keberhasilan kegiatan pengelolaan secara keseluruhan dalam jangka panjang.Kelola
sosial bukan saja merupakan bentuk tanggung jawab sosial perusahaan (corporate
social responsibility) melainkan menjadi alternatif pembagian manfaat dari kegiatan
restorasi ekosistem kepada masyarakat sekitar yang sangat penting untuk mendukung
kelestarian pengelolaan hutan dari aspek sosekbud.
Kegiatan kelola sosial pada prinsipnya bertujuan untuk membantu peningkatan
kapasitas dan akses masyarakat dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui
kegiatan produktif dan berkelanjutan sekaligus membangun hubungan yang harmonis
dan saling menguntungkan antara perusahaan dengan masyarakat.Hal ini dimaksudkan
agar kegiatan kelola sosial menjadi kegiatan yang benar-benar memberikan manfaat
nyata dan berkelanjutan baik bagi peningkatan kapasitas, pemberdayaan dan
kesejahteraan masyarakat setempat maupun kelestarian sumber daya hutan.
27

Untuk itu pemilihan alternatif kegiatan kelola sosial dilakukan melalui proses
PRA (partisipatory rural appraisal) guna mengetahui potensi, masalah dan kebutuhan
yang ada di masyarakat serta disinkronkan dengan rencana pembangunan desa yang
telah disusun oleh pemerintah desa bersama pemerintah daerah.
Secara garis besar tahapan penyusunan rencana kegiatan kelola sosial meliputi
studi awal sosial ekonomi dan budaya, PRA, sinkronisasi dengan rencana pembangunan
desa dan pemerintah daerah, penyusunan program kelola sosial, pelaksanaan kegiatan
kelola sosial, kaji ulang/ evaluasi, perbaikan terus-menerus dan pelaporan. Tahapan
perencanaan kelola sosial sudah dimulai pada tahap kontruksi bersamaan dengan
penyusunan rencana pengelolaan hutan secara keseluruhan.
Beberapa alternatif kegiatan kelola sosial yang dapat dikembangkan antara lain
pemberdayaan tenaga kerja lokal baik sebagai karyawan tetap maupun tidak tetap, kerja
sama pelaksanaan kegiatan restorasi ekosistem (pembangunan sarana prasarana, rental
alat transportasi, pembibitan, penyiapan lahan, penanaman dan pemeliharaan tanaman)
dengan lembaga usaha masyarakat desa sekitar, kerja sama pengamanan dengan
kelembagaan masyarakat desa sekitar, pembangunan/perbaikan sarana dan prasarana
penting desa seperti sekolah, sarana kesehatan, jalan, instalasi air bersih, sanitasi
lingkungan, pelatihan dan pengembangan usaha-usaha produktif seperti perikanan,
peternakan, pertanian di lahan pekarangan, pemanfaatan hasil hutan bukan kayu,
industri rumah tangga, pemanfaatan kawasan untuk ekowisata dan jasa lingkungan
sesuai potensi sumber daya hutan serta kapasitas masyarakat, bea siswa, pendidikan dan
pelatihan konservasi sumber daya hutan termasuk pengamanan hutan dan konservasi
flora dan fauna dilindungi dan lain-lain.
Berbagai bentuk alternatif kegiatan kelola sosial tersebut harus didiskusikan
dahulu dengan masyarakat serta dianalisis sejauh mana alternatif tersebut benar-benar
dibutuhkan oleh masing-masing desa serta disinkronkan dengan rencana pembangunan
desa yang telah disusun pada masing-masing desa.
28

4.2 Penebangan Liar, Perburuan Satwa Liar dan Kebakaran Hutan


Menurut pendapat penulis, kegiatan perlindungan dan pengamanan hutan harus
dapat mengakomodasi kepentingan masyarakat sebagai bagian dari sistem perlindungan
yang integratif.Konsep ini menempatkan masyarakat bukan sebagai ancaman melainkan
diberi peranan dalam menjaga kelestarian kawasan tersebut dengan kearifan lokal dalam
menjaga hutan dan ekosistemnya.Upaya penanggulangan berupa pemberantasan akan
lebih sulit karena perubahan yang terjadi pada hutan sebagai akibat tekanan faktor
pengganggu akan sulit dipulihkan.Berbagai langkah yang harus dilaksanakan dalam
kegiatan perlindungan dan pengamanan hutan di kawasan restorasi ekosistem Pulau
Padang adalah sebagai berikut:
1. Sosialisasi tentang pelaksanaan kegiatan restorasi ekosistem, tata batas konsesi,
perlindungan dan pengamanan hutan serta pencegahan dan penanggulangan
kebakaran hutan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Meranti, Kecamatan
Tasik Putri Puyu, Kecamatan Merbau, penegak hukum, para pemangku
kepentingan dan masyarakat di sekitar kawasan restorasi ekosistem Pulau
Padang.
2. Sosialisasi tentang hukum dan nilai ekologi spesies langka dan dilindungi
kepada masyarakatdi sekitar kawasan restorasi ekosistem Pulau Padang .
3. Pemasangan papan nama, himbauan, peringatan dan larangan untuk melindungi
kawasan restorasi ekosistem Pulau Padang.
4. Pelatihan kepada karyawan dan masyarakat di sekitar kawasan restorasi
ekosistem Pulau Padang tentang pengelolaan hutan alam lestari.
5. Mencari alternatif kegiatan agar tidak terjadi pemanfaatan terhadap spesies
langka dan dilindungi oleh masyarakat di sekitar kawasan restorasi ekosistem
Pulau Padang.
6. Meningkatkan penyerapan tenaga kerja lokal dan kerja samadalam kegiatan
perlindungan dan pengamanan hutan bekerja sama dengan Pemerintah Daerah
Kabupaten Meranti.
29

7. Memberikan penyuluhan kepada masyarakat di sekitar kawasan restorasi


ekosistem Pulau Padang tentang manfaat keberadaan hutan sebagai penyangga
kehidupan masyarakat.
8. Memberikan penyuluhan hukum kepada masyarakat di sekitar kawasan restorasi
ekosistem Pulau Padang agar tidak melakukan kegiatan yang dapat mengancam
kelestarian hayati di kawasan restorasi ekosistem, seperti penebangan liar,
perburuan satwa liar dan membakar lahan.
9. Menjalin kerja sama dengan pemuka masyarakat di sekitar kawasan restorasi
ekosistem Pulau Padang dalam menjaga sumber daya hutan.
10. Apabila terjadi penebangan liar, perburuan satwa liar dan kebakaran lahan maka
pihak perusahaan segera melaporkan kepada instansi terkait.
11. Menyiapkan sarana dan prasarana perlindungan hutan, seperti menara pemantau,
pos jaga, sarana transportasi untuk patroli dan peralatan damkar bekerja sama
denganmasyarakat di sekitar kawasan restorasi ekosistem Pulau Padang.
12. Patroli rutin baik darat, air dan udara.
13. Pembentukan dan pelatihan kelompok masyarakat peduli api (MPA) di sekitar
kawasan restorasi ekosistem Pulau Padang.
14. Insentif kepada desa-desa sekitar kawasan restorasi ekosistem yang berhasil
mencegah kebakaran hutan di wilayahnya melalui program Desa Bebas Api.
Menurut Effendy (2013), masalah utama yang dihadapi dalam kegiatan restorasi
ekosistem adalah perambahan lahan, penebangan liar (illegal logging), perburuan liar
dan kebakaran hutan. Kegiatan perlindungan dan pengamanan hutan merupakan usaha
menjaga kelestarian sumber daya alam dan kesinambungan pengusahaan hutan dengan
melaksanakan kegiatan pencegahan terhadap gangguan hutan, seperti pencurian/
penebangan liar, perambahan hutan, perburuan satwa liar, kebakaran hutan,
pengendalian hama dan penyakit, perlindungan terhadap jenis-jenis satwa dan
tumbuhan alam yang dilindungi beserta habitatnya dan pencegahan terhadap penurunan
kandungan air dari hutan rawa gambut. Penanggulangan yang efektif terhadap
gangguan hutan akan terasa jika bentuk penanggulangan berupa upaya pencegahan.
30

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2013. Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan


Lingkungan Hidup IUPHHK-RE PT Gemilang Cipta Nusantara pada Kelompok
Hutan Pulau Padang, Selat Panjang
CEPF.2002. Sundaland Hotspot Briefing Book.Critical Ecosystem Partnership Fund.
Institut Pertanian Bogor, Bogor
Clewell, A., J. Rieger and J. Munro. 2005. Guidelines for Developing and Managing
Ecological Restoration Projects. 2nd Edition. Society for Ecological Restoration
International. Chiang Mai University, Bangkok
Dinas Pertanian, Peternakan dan Ketahanan Pangan Kabupaten Kepulauan Meranti,
2013. Data Produktivitas Lahan di Kecamatan Merbau dan Tasik Putri Puyu.
Pemerintah Daerah Kabupaten Kepulauan Meranti, Selat Panjang
Direktorat Jenderal Bina Usaha Kehutanan Kementerian Kehutanan RI, 2014. Data Izin
IUPHHK-RE di Indonesia. Kementerian Kehutanan, Jakarta
Elliot, A. Clewell and J. Rieger. 1995. Research Needs for Restoring the Forests of
Thailand. Chiang Mai University, Bangkok. 43:179-184
__________________________. 2006. Menanami Hutan. Prinsip-Prinsip dan Praktek
untuk Merestorasi Hutan Tropis, FORRU Thailand. Diterjemahkan oleh William
Martthy. FORRU dan Harapan Rainforest. Chiang Mai University, Bangkok
Hendroyono, B. 2013. Tantangan Kegiatan Restorasi Ekosistem. Makalah pada Seminar
Internasional Ecosystem Restoration in the Tropics, tanggal 28 November 2013.
Institut Pertanian Bogor, Bogor
Kartodihardjo, H. 2014. Restorasi Ekosistem Upaya Memulihkan Kondisi Hutan.
Harian Riau Pos, Pekanbaru
Koniah, 2015.Budaya dan Tradisi Masyarakat Pulau Padang. Gemilang Cipta
Nusantara, Pangkalan Kerinci
31

Menteri Kehutanan dan Perkebunan RI. 1999. Keputusan Menteri Kehutanan dan
Perkebunan Nomor 349/Kpts-II/1999 tentang Penetapan Kelompok Hutan Tasik
Tanjung Padang seluas 4.925 Ha sebagai Kawasan Hutan dengan Fungsi sebagai
Kawasan Suaka Margasatwa. Kementerian Kehutanan dan Perkebunan, Jakarta
Menteri Kehutanan RI. 2010. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.50/Menhut-
II/2010 tentang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Restorasi Ekosistem.
Kementerian Kehutanan, Jakarta
Pemerintah Kecamatan Merbau, 2013. Data Monografi Kecamatan Merbau, Belitung
Pemerintah Kecamatan Tasik Putri Puyu, 2013. Data Monografi Kecamatan Tasik Putri
Puyu, Bandul
Perrow, M.R. and A.J. Davy. 2002. Handbook of Ecological Restoration. Volume 1.
Principle of Restoration. Cambridge University Press, London
Satari,G. 1994. Indonesia Aset Nasional bagi Kesejahteraan Rakyat.Makalah pada
Lokakarya Keanekaragaman Hayati Tropika Indonesia. Institut Pertanian Bogor,
Bogor
Setiadi, D. 2015. Pengantar Ilmu Lingkungan. Institut Pertanian Bogor Press, Bogor
Sumardja, E.2013. Tantangan Kegiatan Restorasi Ekosistem Harapan Rainforest PT
Restorasi Ekosistem Indonesia (REKI).Makalah pada Seminar Internasional
Ecosystem Restoration in the Tropics, tanggal28 November 2013. Institut
Pertanian Bogor, Bogor
32

LAMPIRAN
PENCEGAHAN KEBAKARAN LAHAN GAMBUT DENGAN
PENGEMBANGAN PERKEBUNAN SAGU DI PERKEBUNAN RAKYAT
PULAU BENGKALIS

OLEH:

Fery Dasmono Harianja

NIM: 1510248451

PROGRAM STUDI ILMU LINGKUNGAN

PROGRAM PASCA SARJANA

UNIVERSITAS RIAU

PEKANBARU

2016
111

I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Menurut Hardjowigeno (1986), gambut terbentuk dari timbunan sisa-
sisa tanaman yang telah mati, baik yang sudah lapuk maupun belum.
Timbunan terus bertambah karena proses dekomposisi terhambat oleh
kondisi anaerob dan/atau kondisi lingkungan lainnya yang menyebabkan
rendahnya tingkat perkembangan biota pengurai. Pembentukan tanah
gambut merupakan proses geogenik yaitu pembentukan tanah yang
disebabkan oleh proses deposisi dan tranportasi, berbeda dengan proses
pembentukan tanah mineral yang pada umumnya merupakan proses
pedogenik.
Kadar air tanah gambut berkisar 100 sampai dengan 1.300% dari berat
keringnya (Mutalib, 1991). Artinya bahwa gambut mampu menyerap air
sampai 13 kali bobo tnya. Pada musim kering yang berkepanjangan gambut
mudah sekali kering dan membuatnya mudah terbakar. Penanggulangan
kebakaran pada lahan gambut sangat sulit diatasi terutama pada lahan
gambut yang memiliki ketebalan tinggi.
Penggunaan lahan gambut sebagai lahan perkebunan rakyat tanpa
peduli dengan ketinggian air dalam tanah gambut menyebabkan tanah
gambut menjadi mudah kering dan akhirnya mudah terbakar. Ketinggian air
tanah gambut cepat turun dikarenakan teknologi pengolahan pertanian yang
menggunakan drainase yang membuat air tanah gambut keluar menuju laut.
Dilain pihak ada tuntutan ekonomi masyarakat yang membutuhkan
pemanfaatan lahan gambut sebagai lahan pertanian akibat keterbatasan
lahan yang non gambut yang sudah dimanfaatkan.
Pulau Bengkalis sebagian besar dibentuk dari tanah gambut. Selama
lahan gambut tidak dirubah fungsinya menjadi lahan pertanian dan
perkebunan maka kebakaran di lahan gambut tersebut relatif tidak terjadi.
Hal ini disebabkan drainase yang digunakan dalam perkebunan tersebut telah
112

membuat lahan gambut menjadi mudah kering dan akhirnya mudah sekali
terbakar. Sehingga diperlukan komoditas perkebunan yang tidak
memerlukan drainase tetapi juga tinggi nilai ekonomisnya.
Komoditas perkebunan yang cocok untuk masyarakat di Pulau Bengkalis
yang tinggal di lahan gambut dengan memperhatikan aspek peningkatan
ekonomi masyarakat sekitar dan aspek ketahanannya terhadap resiko
kebakaran lahan adalah sagu. Sagu mampu hidup dan berkembang secara
baik tanpa drainase dan memiliki nilai ekonomi.
Kebakaran lahan gambut terjadi di dalam lapisan lahan gambut yang
kering sehingga susah dipadamkan mengingat ketebalan lahan gambut di
Pulau Bengkalis ada yang mencapai 12 meter. Apabila kebakaran lahan
gambut terjadi maka kepulan asap akan sangat berdampak negatif seluruh
aspek kehidupan masyarakat.

1.2. Masalah
1. Kerusakan lahan gambut di Pulau Bengkalis akibat perubahan fungsi
lahan gambut menjadi perkebunan yang memiliki drainase sangat
rawan kebakaran dan belum juga mendapat perlakuan konservasi.
2. Kurang termotivasinya masyarakat pekebun di Pulau Bengkalis untuk
membudiyakan sagu sebagai tanaman yang tanpa memakai drainase.
3. Kurangnya perhatian Pemerintah Kabupaten Bengkalis dalam mencegah
kekeringan di lahan gambut akibat perubahan fungsi lahan gambut
menjadi perkebunan yang memiliki drainase sehingga rentan terbakar
pada saat musim kemarau.
113

II. PENCEGAHAN KEBAKARAN LAHAN GAMBUT DENGAN


PERKEBUNAN SAGU DI PULAU BENGKALIS
2.1. Gambut
2.1.1. Pengertian Gambut
Menurut Agus dan Subiksa (2008) bahwa lahan gambut adalah lahan
yang memiliki lapisan tanah kaya bahan organik C-organik > 18%) dengan
ketebalan 50 cm atau lebih. Bahan organik penyusun tanah gambut terbentuk
dari sisa-sisa tanaman yang belum melapuk sempurna karena kondisi
lingkungan jenuh air dan miskin hara. Oleh karenanya lahan gambut banyak
dijumpai di daerah rawa belakang (back swamp) atau daerah cekungan yang
drainasenya buruk.
Sedangkan menurut Hardjowigeno (1986) bahwa gambut terbentuk
dari timbunan sisa-sisa tanaman yang telah mati, baik yang sudah lapuk
maupun belum. Timbunan terus bertambah karena proses dekomposisi
terhambat oleh kondisi anaerob dan/atau kondisi lingkungan lainnya yang
menyebabkan rendahnya tingkat perkembangan biota pengurai.
Pembentukan tanah gambut merupakan proses geogenik yaitu pembentukan
tanah yang disebabkan oleh proses deposisi dan tranportasi, berbeda dengan
proses pembentukan tanah mineral yang pada umumnya merupakan proses
pedogenik.

2.1.2. Pembentukan dan klasifikasi gambut


Tanah gambut dikenal sebagai Organosol atau Histosols yaitu tanah
yang memiliki lapisan bahan organik dengan berat jenis (BD) dalam keadaan
lembab<0,1 g cm-3 dengan tebal>60 cm atau lapisan organik dengan BD>0,1
g cm-3 dengan tebal>40 cm (Soil Survey Staff, 2003). Gambut
diklasifikasikan lagi berdasarkan berbagai sudut pandang yang berbeda; dari
tingkat kematangan, kedalaman, kesuburan dan posisi pembentukannya.
114

Berdasarkan tingkat kematangannya, gambut dibedakan menjadi (van de


Meene, 1982 dalam Noor, 2001):
1. Gambut saprik (matang) adalah gambut yang sudah melapuk lanjut dan
bahan asalnya tidak dikenali, berwarna coklat tua sampai hitam, dan bila
diremas kandungan seratnya < 15%.
2. Gambut hemik (setengah matang) adalah gambut setengah lapuk,
sebagian bahan asalnya masih bisa dikenali, berwarma coklat, dan bila
diremas bahan seratnya 15 – 75%.
3. Gambut fibrik (mentah) adalah gambut yang belum melapuk, bahan
asalnya masih bisa dikenali, berwarna coklat, dan bila diremas >75%
seratnya masih tersisa.
Proses pembentukan gambut di daerah cekungan lahan basah:
1. Pengisian danau dangkal oleh vegetasi lahan basah,
2. Pembentukan gambut topogen, dan
3. pembentukan gambut ombrogen di atas gambut topogen
Sedangkan berdasarkan tingkat kesuburannya, gambut dibedakan
menjadi:
1. Gambut eutrofik adalah gambut yang subur yang kaya akan bahan
mineral dan basa-basa serta unsur hara lainnya. Gambut yang relatif
subur biasanya adalah gambut yang tipis dan dipengaruhi oleh sedimen
sungai atau laut.
2. Gambut mesotrofik adalah gambut yang agak subur karena memiliki
kandungan mineral dan basa-basa sedang .
3. Gambut oligotrofik adalah gambut yang tidak subur karena miskin
mineral dan basa-basa. Bagian kubah gambut dan gambut tebal yang jauh
dari pengaruh lumpur sungai biasanya tergolong gambut oligotrofik.

Gambut di Indonesia sebagian besar tergolong gambut mesotrofik dan


oligotrofik (Radjagukguk, 1997). Gambut eutrofik di Indonesia hanya sedikit
115

dan umumnya tersebar di daerah pantai dan di sepanjang jalur aliran sungai.
Tingkat kesuburan gambut ditentukan oleh kandungan bahan mineral dan
basa-basa, bahan substratum/dasar gambut dan ketebalan lapisan gambut.
Gambut di Sumatra relatif lebih subur dibandingkan dengan gambut di
Kalimantan.

Menurut Agus dan Subiksa (2008) berdasarkan lingkungan


pembentukannya, gambut dibedakan atas:

1. Gambut ombrogen yaitu gambut yang terbentuk pada lingkungan yang


hanya dipengaruhi oleh air hujan.
2. Gambut topogen yaitu gambut yang terbentuk di lingkungan yang
mendapat pengayaan air pasang.

Sedangkan berdasarkan kedalamannya gambut dibedakan menjadi:

1. Gambut dangkal (50 – 100 cm),


2. Gambut sedang (100 – 200 cm),
3. Gambut dalam (200 – 300 cm), dan
4. Gambut sangat dalam (> 300 cm)

Selanjutnya juga menurut Agus dan Subiksa (2008) berdasarkan proses


dan lokasi pembentukannya, gambut dibagi menjadi:

1. Gambut pantai adalah gambut yang terbentuk dekat pantai laut dan
mendapat pengayaan mineral dari air laut
2. Gambut pedalaman adalah gambut yang terbentuk di daerah yang tidak
dipengaruhi oleh pasang surut air laut tetapi hanya oleh air hujan
3. Gambut transisi adalah gambut yang terbentuk di antara kedua wilayah
tersebut, yang secara tidak langsung dipengaruhi oleh air pasang laut.
116

2.1.3. Karakteristik lahan gambut


Karakteristik fisik gambut yang penting dalam pemanfaatannya untuk
pertanian meliputi kadar air, berat isi (bulk density, BD), daya menahan
beban (bearing capacity), subsiden (penurunan permukaan), dan mengering
tidak balik (irriversible drying). Kadar air tanah gambut berkisar antara 100
– 1.300% dari berat keringnya (Mutalib et al., 1991). Artinya bahwa gambut
mampu menyerap air sampai 13 kali bobotnya.
Dengan demikian, sampai batas tertentu, kubah gambut mampu
mengalirkan air ke areal sekelilingnya. Kadar air yang tinggi menyebabkan
BD menjadi rendah, gambut menjadi lembek dan daya menahan bebannya
rendah (Nugroho, Gianinazzi and Widjaja-Adhi, 1997). BD tanah gambut
lapisan atas bervariasi antara 0,1 sampai 0,2 g cm-3 tergantung pada tingkat
dekomposisinya.
Gambut fibrik yang umumnya berada di lapisan bawah memiliki BD
lebih rendah dari 0,1 g/cm3, tapi gambut pantai dan gambut di jalur aliran
sungai bisa memiliki BD > 0,2 g cm-3 (Tie and Lim, 1991) karena adanya
pengaruh tanah mineral. Volume gambut akan menyusut bila lahan gambut
didrainase, sehingga terjadi penurunan permukaan tanah (subsiden).
Menurut Agus dan Subiksa (2008) selain karena penyusutan volume,
subsiden juga terjadi karena adanya proses dekomposisi dan erosi. Dalam 2
tahun pertama setelah lahan gambut didrainase, laju subsiden bisa mencapai
50 cm. Pada tahun berikutnya laju subsiden sekitar 2 – 6 cm tahun-1
tergantung kematangan gambut dan kedalaman saluran drainase. Adanya
subsiden bisa dilihat dari akar tanaman yang menggantung).
Selanjutnya menurut Agus dan Subiksa (2008) rendahnya BD gambut
menyebabkan daya menahan atau menyangga beban (bearing capacity)
menjadi sangat rendah. Hal ini menyulitkan beroperasinya peralatan
mekanisasi karena tanahnya yang empuk. Gambut juga tidak bisa menahan
117

pokok tanaman tahunan untuk berdiri tegak. Tanaman perkebunan seperti


karet, kelapa sawit atau kelapa seringkali doyong atau bahkan roboh.
Agus dan Subiksa (2008) juga menjelaskan pertumbuhan seperti ini
dianggap menguntungkan karena memudahkan bagi petani untuk memanen
sawit. Sifat fisik tanah gambut lainnya adalah sifat mengering tidak balik.
Gambut yang telah mengering, dengan kadar air < 100 cm). Dasar
pertimbangannya adalah gambut dangkal memiliki tingkat kesuburan relatif
lebih tinggi dan memiliki risiko lingkungan lebih rendah dibandingkan
gambut dalam. Lahan gambut dengan kedalaman 1,4 - 2 m tergolong sesuai
marjinal (kelas kesesuaian S3) untuk berbagai jenis tanaman pangan. Faktor
pembatas utama adalah kondisi media perakaran dan unsur hara yang tidak
mendukung pertumbuhan tanaman. Tanaman pangan yang mampu
beradaptasi antara lain padi, jagung, kedelai, ubikayu, kacang panjang dan
berbagai jenis sayuran lainnya

2.1.4. Perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut


Ekosistem gambut merupakan penyangga hidrologi dan cadangan
karbon yang sangat penting bagi lingkungan hidup. Oleh karenanya,
ekosistem ini harus dilindungi agar fungsinya dapat dipertahankan sampai
generasi mendatang.
Aspek legal mengenai konservasi lahan gambut diatur dalam Peraturan
Pemerintah No.71 tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Ekosistem Gambut. Perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut yang
dimaksud dalam Peraturan Pemerintah no 71 tahun 2014 adalah upaya
sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi Ekosistem
Gambut dan mencegah terjadinya kerusakan Ekosistem Gambut yang
meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan,
pengawasan, dan penegakan hukum.
118

Menurut Pasal 9 dalam Peraturan Pemerintah No 71 Tahun 2014 bahwa


fungsi ekosistem gambut dapat dibagi 2 fungsi yaitu :
1. Fungsi lindung ekosistem gambut
2. Fungsi budidaya ekosistem gambut
Fungsi ekosistem gambut ditetapkan paling sedikit 30 % (tiga puluh per
seratus) dari seluruh luas Kesatuan Hidrologis Gambut serta terletak pada
puncak kubah gambut dan sekitarnya. Dan yang menetapkan fungsi
eksosistem gambut ini adalah menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Sedangkan menurut Widjaja-Adhi (1997) bahwa agar wilayah
ekosistem lahan gambut dibagi menjadi dua kawasan yaitu: kawasan non-
budidaya dan kawasan budidaya. Kawasan non-budidaya terdiri dari (1) jalur
hijau sepanjang pantai dan tanggul sungai dan (2) areal tampung hujan yang
luasnya minimal 1/3 dari seluruh kawasan. Kawasan yang dijadikan sebagai
areal tampung hujan adalah bagian kubah gambut (peat dome) sehingga
harus menjadi kawasan konservasi. Kubah gambut berfungsi sebagai
penyimpan air (resevoir) yang bisa mensuplai air bagi wilayah di sekitarnya,
terutama pada musim kemarau, baik untuk air minum maupun usaha tani.
Pada musim hujan kawasan ini berfungsi sebagai penampung air yang
berlebihan sehingga mengurangi risiko banjir bagi wilayah di sekitarnya. Hal
ini dimungkinkan karena gambut memiliki daya memegang air sangat besar
yaitu sampai 13 kali bobot keringnya. Perlindungan terhadap kawasan
tampung hujan akan menjamin kawasan sekitarnya menjadi lebih produktif.
Menurut pasal 23 ayat 1 dalam Peraturan Pemerintah No 71 tahun
2014 bahwa kerusakan ekosistem gambut dengan fungsi lindung apabila
melalui kriteria baku yaitu:
1. Terdapat drainase buatan di ekosistem gambut dengan fungsi lindung
yang ditetapkan
2. Tereksposnya sedimen berpirit dan/atau kwarsa dibawah lapisan gambut
119

3. Terjadi pengurangan luas dan/atau volume tutupan lahan di ekosistem


gambut dengan fungsi lindung yang telah ditetapkan
Dan pada Pasal 23 ayat 2 dalam Peraturan Pemerintah No 71 tahun
2014 kerusakan ekosistem dengan fungsi budidaya dinyatakan rusak apabila
memenuhi krteria baku kerusakan sebagai berikut:
1. Muka air tanah dilahan gambut lebih dari 0,4 (nol koma empat) meter
dibawah permukaan gambut;dan/atau
2. Tereksposnya sedimen berpirit dan/atau kwarsa dibawah lapisan gambut.
Kondisi yang dimaksud kerusakan pada ekosistem dengan fungsi
budidaya menurut Pasal 24 ayat 1 dalam Peraturan Pemerintah No 71 tahun
2014 bahwa dikecualikan terhadap ekosistem gambut dengan ketebalan
kurang dari 1 m (satu meter).

2.1.5. Bahaya dan resiko kebakaran di lahan gambut


Pembakaran dalam pengertian ini didefiniskan sebagai tindakan
kesengajaan membakar yang dilakukan masyarakat dalam mengelola lahan
untuk kegiatan pertanian / perladangan mereka. Sedangkan kebakaran
didefinisikan sebagai suatu proses pembakaran yang menyebar secara bebas,
tidak tertekan yang mengkonsumsi bahan bakar seperti : serasah, rumput,
humus, ranting-ranting kayu mati, tiang, gulma, semak, dedaunan serta
pohon-pohon segar (Dharmawan, 2003).
Kebakaran lahan menurut Perda Provinsi Kalimantan Barat Nomor 6
Tahun 1998, didefinisikan sebagai “suatu keadaan dimana lahan dilanda api
sehingga mengakibatkan kerugian obyek pengembangan ilmu pengetahuan,
ekonomi dan atau ekologis/ lingkungan hidup”.
Pembukaan lahan dengan cara bakar sampai saat ini masih terus
dilakukan. Kegiatan pembukaan lahan yang kurang bijaksana, yang dilakukan
masyarakat lebih dikarenakan kondisi sosial ekonomi dan adanya anggapan
bahwa abu sisa pembakaran bisa menjadi pupuk. Disamping itu belum
120

adanya teknologi pembukaan lahan yang murah, mudah dan secepat api juga
masyarakat melakukan pembakaran ketika mempersiapkan lahannya untuk
usaha pertanian atau perkebunan.
Selain itu, adanya perusahaan Hutan Tanaman Industri dan
Perkebunan yang memanfaatkan masyarakat secara sembunyi-sembunyi
melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar, agar biaya pembukaan
lahan dapat ditekan, juga telah memicu terjadinya kebakaran lahan dan
kebun. Atas hal tersebut diatas pada dasarnya masyarakat petani/peladang,
pengusaha hutan tanaman industri dan perkebunan besar meningkatkan
resiko kebakaran hutan dan lahan dan dampak buruk yang diakibatkannya
termasuk terjadinya bencana asap.
Kebakaran yang tidak terkendali menyebabkan api menjalar kemana-
mana, terlebih lagi terjadi pada lahan gambut. Kebakaran lahan gambut lebih
berbahaya dibandingkan dengan kebakaran pada lahan kering (tanah
mineral). Selain kebakaran vegetasi dipermukaan, lapisan gambut juga
terbakar dan bertahan lama, sehingga menghasilkan asap tebal akibat
pembakaran yang tidak sempurna.
Limin (2006) menyatakan bahwa kedalaman lapisan gambut terbakar
rata-rata 22,03 cm (variasi antara 0 dan 42,3 cm) namun pada titik tertentu
kebakaran lapisan mencapai 100 cm. Oleh karena itu pemadaman kebakaran
pada lahan gambut sangat sulit dan memerlukan banyak air. Untuk
memadamkan total seluas satu meter persegi lahan gambut diperlukan air
sebanyak 200 – 400 liter. Terdapat sembilan ciri kebakaran pada lahan
gambut :
1) Kebakaran vegetasi di atas lapisan gambut
2) Lapisan gambut terbakar tergantung kedalaman air tanah
3) Kebakaran pada lapisan gambut sulit dipadamkan dan bertahan lama
4) Kebakaran menghasilkan asap tebal karena terjadi pembakaran tak
sempurna
121

5) Api dapat merambat melalui lapisan bawah, walaupun vegetasi di atasnya


belum terbakar atau masih segar
6) Banyak pohon tumbang dan pohon mati tetapi masih berdiri tegak
7) Terdapat vegetasi yang mudah terbakar
8) Bekas kebakaran gambut ditutupi arang
9) Penyemprotan air pada gambut yang sedang terbakar tidak hingga padam
total, akan menyebabkan produk asap semakin tebal.

2.1.6. Perkebunan sagu pada lahan gambut

Pohon sagu merupakan nama umum untuk tumbuhan genus


Metroxylon. Sagu (Metroxylon spp) termasuk tumbuhan monokotil dari
famili Palmae, marga Metroxylon dan ordo Spadiciflorae (Ruddie et al.,
1976 dalam Haryanto dan Pangloli, 1992). Metroxylon berasal dari bahasa
Yunani yang terdiri dari dua suku kata, yaitu Metra berarti isi batang atau
empelur dan xylon yang berarti xylem (Flach, 1977). Sagu berkembangbiak
melalui tunas, akar atau biji sehingga tumbuh membentuk rumpun dan
berkelompok (Louhenapessy dan Notohadiprawiro. 1993).

Tanaman sagu merupakan tanaman yang dapat tumbuh baik di daerah


khatulistiwa, di daerah tepi pantai dan sepanjang aliran sungai pada garis
lintang antara 10˚ LU dan 10˚ LS dan pada ketinggian 300 sampai 700 meter
di atas permukaan laut (dpl), mempunyai curah hujan lebih dari 2000 mm
per tahun ( Harsanto, 1986).
Selanjutnya menurut Harsanto (1986) bahwa jumlah curah hujan yang
menguntungkan bagi pertumbuhan sagu diduga antara 2000 sampai 4000
mm per tahun, tersebar merata sepanjang tahun dengan temperatur rata-rata
24˚C sampai 30˚C. Suhu optimal untuk pertumbuhan sagu berkisar antara
24,50 sampai 29,0oC dan suhu minimal 15oC, dengan kelembaban nisbi 90% .
122

Sagu dapat ditanam di daerah dengan kelembaban nisbi udara 40%.


Kelembaban yang optimal untuk pertumbuhannya adalah 60%.
Sagu paling baik bila ditanam pada tanah yang mempunyai pengaruh
pasang surut, terutama bila air pasang tersebut merupakan air
segar. Lingkungan yang baik untuk pertumbuhan sagu adalah daerah yang
berlumpur, dimana akar napas tidak terendam, kaya mineral dan bahan
organik, air tanah berwarna cokelat dan bereaksi agak asam (Flach, 1977).
Selanjutnya dikatakan habitat yang demikian cocok untuk pertumbuhan
mikroorganisme yang sangat berguna bagi pertumbuhan tanaman sagu. Pada
tanah-tanah yang tidak cukup mengandung mikroorganisme pertumbuhan
sagu kurang baik. Selain itu pertumbuhan sagu juga dipengaruhi oleh adanya
unsur hara yang disuplai dari air tawar terutama unsur P, K, Ca, dan
Mg. Apabila akar napas sagu terendam terus menerus, maka pertumbuhan
sagu terhambat dan pembentukan aci atau karbohidrat dalam batang juga
terhambat.
Selain kondisi tersebut, sagu juga dapat tumbuh pada tanah-tanah
organik akan tetapi sagu yang tumbuh pada kondisi tanah demikian
menunjukkan berbagai gejala kekahatan beberapa unsur hara tertentu yang
ditandai dengan kurangnya jumlah daun dan umur sagu akan lebih panjang
yaitu sekitar 15 sampai 17 tahun (Flach, 1977). Sagu banyak juga yang
tumbuh dengan baik secara alamiah pada tanah liat yang berwarna dan kaya
akan bahan-bahan organik seperti di pinggir hutan mangrove atau
nipah. Selain itu, sagu juga dapat tumbuh dengan tanah vulkanik, latosol,
andosol, podsolik merah kuning, alluvial, hidromorfik kelabu dan tipe-tipe
tanah lainnya (Manan et al., 1984 dalam Haryanto dan Pangloli, 1992).
Selanjutnya menurut Haryanto dan Pangloli (1993) bahwa tanaman sagu
membutuhkan air yang cukup, namun penggenangan permanen dapat
mengganggu pertumbuhan sagu. Sagu tumbuh di daerah rawa yang berair
tawar atau daerah rawa yang bergambut di daerah sepanjang aliran sungai,
123

sekitar sumber air, atau di hutan rawa yang kadar garamnya tidak terlalu
tinggi dan tanah mineral di rawa-rawa air tawar dengan kandungan tanah liat
> 70% dan bahan organik 30%. Pertumbuhan sagu yang paling baik adalah
pada tanah liat kuning coklat atau hitam dengan kadar bahan organik tinggi.
Sagu dapat tumbuh pada tanah vulkanik, latosol, andosol, podsolik merah
kuning, alluvial, hidromorfik kelabu dan tipe-tipe tanah lainnya. Sagu mampu
tumbuh pada lahan yang memiliki keasaman tinggi. Pertumbuhan yang
paling baik terjadi pada tanah yang kadar bahan organiknya tinggi dan
bereaksi sedikit asam pH 5,5 – 6,5.
Lingkungan tumbuh tanaman sagu secara umum:
1. Berlumpur
2. Kaya mineral
3. Kaya bahan organik
4. Air tanah berwarna coklat, dan
5. Bereaksi agak masam pada pH 5,5-6,5
Menurut Turukay (1986), 43% luasan sagu terdapat dilahan kering yang
lembab, 30% dirawa dan sisanya ditepi sungai. Menurut Louhennapessy dan
Notohadiprawiro (1993) habitat asli sagu ialah tepi parit atau sungai yang
becek serta berlumpur tetapi secara berkala mengering. Dan menurut Flach
(1977) pada lahan kering yang lembab, tanaman sagu kalah bersaing dengan
tumbuhan hutan lainnya, akibatnya jumlah anakan berkurang namun
demikian kadar patinya tinggi
Tanaman sagu merupakan tanaman yang berkembangbiak dengan
menghasilkan anakan. Dalam satu indukan tanaman sagu mampu
menghasilkan anakan yang cukup banyak. Pada umur 4-5 tahun, anakan sagu
mulai membentuk batang, kemudian pada sekitar batang bagian bawah
tumbuh tunas-tunas yang berkembang menjadi anakan (sucker) (Bintoro,
124

2008). Kemudian Flach (1986) mengatakan, pada kondisi tanaman yang baik
setiap 3-4 tahun dua anakan akan berkembang menjadi pohon.

Selanjutnya Flach (1986) mengemukakan lima fase pertumbuhan


sagu 1) fase awal yaitu dari perkecambahan sampai dua tahun pertama; 2)
fase roset yang dimulai dari dua daun pertama sampai daun dewasa pertama
yakni 3,5 – 4 tahun; 3) fase pertumbuhan batang; 4) fase pembentukan buah;
5) fase pembentukan buah.
Louhennapessy dan Notohadiprawiro (1993) membagi enam fase
pertumbuhan yaitu fase semai/anakan; fase sapihan; fase tihang; fase pohon
dan fase masak tebang dan fase lewat masa tebang, sedangkan fase masak
tebang terdiri atas fase putus duri, fase daun pendek, fase jantng dan fase
sirih buah.
Komponen yang paling domonan dalam aci sagu adalah pati
(karbohidrat). Pati adalah karbohidrat yang dihasilkan oleh tumbuh-
tumbuhan untuk persediaan bahan makanan. Komposisi kimia dalam setiap
100 gram aci terdiri dari 355 kal kalori, 0,7 gr protein, 0,2 gr lemak, 84,7 gr
karbohidrat, 14 gr air, 13 mg fosfor, 11 mg kalsium, 1,5 gr besi (Haryanto dan
Pangloli , 1992).
Komponen yang paling domonan dalam aci sagu adalah pati
(karbohidrat). Pati adalah karbohidrat yang dihasilkan oleh tumbuh-
tumbuhan untuk persediaan bahan makanan. Komposisi kimia dalam setiap
100 gram aci terdiri dari 355 kal kalori, 0,7 gr protein, 0,2 gr lemak, 84,7 gr
karbohidrat, 14 gr air, 13 mg fosfor, 11 mg kalsium, 1,5 gr besi (Haryanto dan
Pangloli , 1992).
Pati sagu memiliki granula yang berbentuk elips agak terpotong dengan
ukuran granula sebesar 20-60 mm dan suhu gelatinisasinya berkisar 60-72oC.
Sedangkan menurut (Haryanto dan Pangloli, 1992) suhu gelatinisasi pati
sekitar 72-90oC.
125

Pati sagu mengandung sekitar 27 persen amilosa dan sekitar 73


persen amilopektin. Rasio amilosa akan mempengaruhi sipat pati itu sendiri.
Apabila kadar amilosa tinggi maka pati akan bersifat kering, kurang lekat dan
cenderung meresap lebih banyak air (higroskopis).Amilosa mempunyai
struktur lurus dengan ikatan (1-4)α – glukosa,
sedangkan amilopektin mempunyai ikatan (1-6)α – glukosa seperti yang
disajikan bercabang (Harsanto, 1986).
Selanjutnya menurut Harsanto (1986) sagu merupakan tanaman
penghasil karbohidrat yang paling produktif. Tabungan karbohidrat di hutan
sagu Indonesia mencapai 5 juta ton pati kering per tahun, setara dengan 3
juta kiloliter bioetanol. Mengingat habitat sagu di lahan payau dan tergenang
air maka pengembangan sagu sebagai sumber energi bioetanol tidak akan
membahayakan ketahanan pangan. Sekitar Danau Sentani, Kabupaten
Jayapura, Papua. Di tempat tersebut dijumpai keragaman plasma nutfah sagu
yang paling tinggi. Areal sagu terluas terdapat di Papua (1,2 juta ha) dan
Papua Nugini (1,0 juta ha) yang merupakan 90% dari total areal sagu dunia.
Tanaman sagu tersebar di wilayah tropika basah Asia Tenggara dan Oseania,
terutama tumbuh di lahan rawa, payau atau yang sering tergenang air. Batang
sagu ditebang menjelang tanaman berbunga, saat kandungan patinya
tertinggi. Setelah sumber tepung sagu yang utama adalah Metroxylon sagu,
yang ditemukan Asia Bagian tenggara dan Guinea Baru; lain jenis, termasuk
M. salomonense dan M. amicarum ditemukan di Melanesia dan Micronesia
di mana itu lebih sedikit penting secara ekonomis sebagai sumber sagu untuk
dikonsumsi.
Tepung Sagu atau Metroxylon memiliki karbohidrat yang hampir murni
dan mempunyai sangat kecil protein, vitamin, atau mineral. Seratus gram
dari sagu kering menghasilkan 355 kalori, mencakup suatu rata-rata 94 gram
karbohidrat, 0.2 gram protein, 0.5 gram dari serabut berkenaan dg aturan
makan, 10mg zat kapur, 1.2mg besi/ setrika, dan sedikit karotein, thiamine,
126

dan cuka asorbik. Sagu dapat disimpan untuk minggu atau bulan, walaupun
umumnya disepakati dimakan segera setelah itu diproses.
Menurut Alfons (2006), luas areal sagu potensial di Maluku
diperkirakan sebesar 31.360 ha. Jumlah pohon masak tebang untuk kondisi
hutan sagu di Indonesia adalah 8–36 pohon/ha dimana untuk kondisi hutan
sagu di Maluku rata-rata pohon sagu masak tebang berbagai jenis sagu adalah
20 pohon/ha dan rataan produksi tiap pohon adalah 220 kg, sehingga dalam
luasan satu ha dapat diproduksi 4400 kg tepung sagu (Louhenapessy dan
Notohadiprawiro 1993). Dari jumlah produksi tepung sagu diperoleh limbah
padat berupa ampas sagu dalam jumlah yang besar dengan perbandingan
tepung sagu dan ampas sagu 1 : 6. Hal ini berarti potensi ampas sagu tersedia
cukup besar yaitu 1.320 kg per pohon yang terdiri dari campuran ampas dan
sisa pati yang tidak terekstraksi.

Louhenapessy dan Notohadiprawiro (1993) juga menyatakan bahwa pe


ngolahan bagian dalam batang pohon sagu menjadi bagian-bagian kecil
dengan menggunakan parut yang terbuat dari bahan kayu dan paku sebagai
mata parut. Pada masyarakat Akit di Pulau Rupat alat tersebut dikenal
dengan sebutan pahut sagu. Masyarakat Mentawai di Pulau Siberut mencacah
bagian dalam batang pohon sagu dengan alat yang disebut kukuilu. Alat ini
berbentuk segitiga yang terbuat dari kayu yang diikat satu sama lain dengan
menggunakan tali dari kulit kayu. Pemrosesan sari/pati sagu dan
pengeringan. Pati sagu dikeluarkan dari parutan sagu dengan cara diinjak-
injak dengan kaki. Kegiatan tersebut di Pulau Lingga disebut diirik, sehingga
alatnya disebut juga alat pengirik yang terdiri dari langgar atau pelantar
terbuat dari kayu lait, dan diberi dasar tikar sebagai wadah tempat sagu.
Biasanya di dekat alat pengirik dipasang timba air yang berfungsi untuk
menyiram parutan sagu yang diinjak-injak, yang terdiri dari bambu, tali,
timba, dan batu pemberat. Selanjutnya pati sagu ditampung dengan ube atau
127

uba (penampung). Alat tersebut berbahan kayu dan berbentuk menyerupai


perahu pencalang. Pada ujungnya dibuat lobang tempat keluar air. Apabila
uba dipenuhi air, sementara pengirikan masih berlangsung, maka air akan
keluar melalui lubang tersebut, sedangkan pati sagu mengendap pada dasar
uba. Hasil sagu irikan diambil dari dalam uba. Karena sagu yang dihasilkan
masih kotor maka dimasukkan ke tempayan yang 2/3 diisi air laut kemudian
diaduk sehingga ampas kotoran lainnya naik ke permukaan dan pati sagu
mengendap di dasar tempayan.
Menurut Harsanto (1986) bahwa Pembuatan suspensi pati dilakukan
dengan langkah memasukkan aci sagu ke dalam tangki suspensi dan
ditambah dengan air sampai suspensi pati mencapai konsentrasi 35 % bahan
kering. Kemudian pH diatur menjadi 6,0-6,5 dengan penambahan
CH3COOH. Selanjutnya suspensi pati ditambah termamyl 60 L dengan dosis
satu liter (1L) untuk setiap ton bahan baku atau 0,001 ml/gram aci, sambil di
aduk agar setiap bagian yang terkandung merata (Harsanto, 1986). Untuk
mendapatkan aci sagu, maka dari empelur batang sagu diperlukan ekstraksi
aci dengan bantuan air sebagai perantara. Sebelumnya empelur batang
dihancurkan terlebih dahulu dengan ditokok atau diparut. Ditinjau dari cara
alat yang digunakan, cara ekstraksi sagu yang dilakukan di daerah-daerah
penghasil sagu di Indonesia saat ini dikelompokkan secara tradisonal,
ekstraksi semi mekanis dan ekstraksi secara mekanis.
Selanjutnya menurut Harsanto (1986) bahwa suatu kawasan yang
tertutup rapat vegetasi termasuk vegetasi sagu akan mengakibatkan intensitas
curah hujan yang tinggi namun dengan aliran permukaan yang kecil. Dengan
demikian air yang tersedia bagi makhluk hidup dikawasan tersebut menjadi
lebih banyak. Apabila tegakan sagu mendominiasi pinggiran sungai akan
berakibat aliran permukaan tidak masuk kedalam sungai tetapi akan
dihambat sehingga aliran permukaan tersebut akan merembes kedalam tanah
128

kemudian menjadi air tanah. Tegakan sagu yang rapat memiliki kemampuan
untuk membersihkan limbah industri dan limbah domestik.
Sagu yang memiliki kemampuan tumbuh di daerah yang berlumpur dan
daerah air yang pasang surut Flach (1977), sehingga tidak memerlukan
drainase lahan gambut yang membuat lahan gambut menjadi kering. Oleh
karenanya tanah yang tetap dalam kondisi basah ini dapat mencegah
terbakarnya lahan gambut.

2.1.7. Tinggi muka air akibat konversi hutan gambut menjadi lahan
perkebunan
Tinggi muka air gambut setelah konversi hutan gambut menjadi lahan
perkebunan akan menurun dikarenakan drainase yang digunakan pada lahan
perkebunan. Sistem drainase untuk masing-masing jenis perkebunan berbeda
beda karena syarat tumbuh dari tanaman akan ketinggian muka air tanah
berbeda.

Menurut Agus dan Subiksa (2008) bahwa pengembangan kawasan


lahan gambut dalam skala luas memerlukan jaringan saluran drainase yang
dilengkapi dengan pintu air untuk mengendalikan muka air tanah di seluruh
kawasan. Dimensi saluran primer, sekunder, dan tersier disesuaikan dengan
luas kawasan dan jenis komoditas yang dikembangkan. Tanaman pangan dan
sayuran pada umumnya memerlukan drainase yang dangkal (sekitar 20 – 30
cm). Tanaman tahunan memerlukan saluran drainase dengan kedalaman
berbeda-beda. Tanaman sagu dan nipah tidak memerlukan drainase, tetapi
tetap memerlukan sirkulasi air. Tanaman karet memerlukan saluran drainase
mikro sekitar 20 cm, tanaman kelapa sedalam 30-50 cm, sedangkan tanaman
kelapa sawit memerlukan saluran drainase sedalam 50-80 cm.
129

Tanaman sagu yang tidak memerlukan drainase untuk tumbuh dan


berkembang di lahan gambut sangat cocok untuk di budidayakan di lahan
gambut sehingga lahan gambut tetap terjaga dalam keadaan basah.

2.2. Pencegahan Kebakaran Lahan Gambut dengan


Pengembangan Perkebunan Sagu di Pulau Bengkalis

2.2.1. Lahan gambut di Pulau Bengkalis


Kabupaten Bengkalis memiliki luas 7.773,93 km2 yang terdiri dari 8
kecamatan. 8 kecamatan itu adalah Mandau, Pinggir, Bukit Batu, Siak Kecil,
Rupat, Rupat Utara, Bengkalis, Bantan (Lampiran 1, 2, dan 3).
Pulau Bengkalis terletak pusat pemerintahan Kabupaten Bengkalis. Di
pulau ini terdapat dua kecamatan yaitu Kecamatan Bengkalis dan Kecamatan
Bantan. Luas Wilayah Pulau Bengkalis yaitu 938 km2 dengan rincian
kecamatan Bengkalis seluas 514 km2 dan Kecamatan Bantan seluas 424km2.
Sehingga total luas wilayah pulau bengkalis 938km2 (BPS, 2016). Data luas
wilayah Pulau Bengkalis dapat dillihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Luas wilayah Pulau Bengkalis


No Kecamatan Luas (km2) Persentase (%)
1 Bengkalis 514.00 54,80
2 Bantan 424,40 45,20
Total 938,40 100,00
Sumber : BPS Kabupaten Bengkalis (2016)

Pulau Bengkalis termasuk ke dalam Kerusakan Hutan Gambut (KHG)


prioritas yang ditetapkan Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kependudukan yaitu seluas 90.686 Ha. Lima lokasi KHG yang ada di
Indonesia adalah seperti terlihat pada Tabel 2.
130

Tabel 2. Inventarisasi Karakteristik Ekosistem Gambut pada 5 KHG Prioritas


di Propinsi Riau dan Kalimantan Barat
No Nama KHG Propinsi Kabupaten Luas
(Ha)
1 KHG Kammpar – Sungai Gaung Pelalawan, Indragiri
(Okt-Des 2015) Hulu, Indragiri Hilir 407.513
2 KHG Sungai Gaung- Sungai Indragiri Hulu, 319.964
Batang Tuaka Indragiri Hilir
(Okt-Des 2015) Riau
3 KHG Pulau Tebing Tinggi Kepulauan Meranti 137.932
(Okt-Des 2015)
4 KHG Pulau Bengkalis Pulau Bengkalis 90.686
(Agustus 2015)
5 KHG Sungai Kapuas – Sungai Kalimantan Kuburaya 23.501
Terentang Barat
(September 2015)
Sumber : Menteri Lingkungan Hidup dan Kependudukan (2015)

Ditetapkannya Pulau Bengkalis sebagai lima prioritas ini membuat


Pulau Bengkalis menjadi salah satu pusat perhatian pemerintah dalam
melakukan konservasi lahan gambut yang rusak.
Inventarisasi dan pemetaan lahan gambut dilakukan guna untuk
mengetahui luas lahan gambut dan kedalaman gambutnya dan di inventarisir
juga luas dan peta lahan gambut yang lindung dan budidaya baik yang dalam
kondisi alami maupun rusak. Pemetaan lahan gambut di Pulau Bengkalis
dapat dilihat pada Gambar 1 di Lampiran 4 dan Gambar 2 pada Lampiran 5.

Pada Gambar 1 pada Lampiran 4 terlihat bahwa kedalaman gambut yang


rendah banyak terdapat di pinggir pulau sedangkan kedalaman yang tinggi
cenderung berada ditengah. Jumlah kedalaman yang memiliki persentase
paling tinggi adalah kedalamaan 0 sampai 100cm yaitu sebesar 16,26 persen
131

dan yang paling rendah persentasenya adalah gambut pada kedalaman 600
sampai 700cm yaitu sebesar 4,42 persen. Sedangkan kedalaman gambut yang
terdalam adalah dengan kedalaman diatas 1200 cm yaitu berjumlah 14,54
persen. Gambut dengan kedalaman tertinggi tentunya memiliki resiko
kebakaran yang tinggi karena media gambut yang tebal akan membuat api
kebakaran menjadi besar dan susah untuk dipadamkan.

Sedangkan pada gambar pada Gambar 2 Lampiran 5 dapat terlihat


bahwa kecenderungan semakin ke tengah pulau kedalaman gambut semakin
tinggi menyebabkan bentuknya seperti kubah. Ada 3 zona kubah gambut yang
terdapat di pulau bengkalis. Kubah – kubah gambut itu dapat dilihat pada
gambar yang terdapat pada Gambar 2 pada Lampiran 5.

Luas indikatif fungsi lindung dan fungsi budidaya ekosistem gambut di


KHG Pulau Bengkalis dapat dilihat pada Tabel 3. Dapat diketahui bahwa
konsesi lahan gambut budidaya yang rusak adalah seluas 21.830 Ha atau
24,10% dan konsesi lahan gambut lindung adalah seluas 50.521 Ha atau
55,78%. Sedangkan secara keseluruhan lahan gambut yang rusak adalah
72.351 Ha atau 79,89%.

Luasan lahan gambut yang terbagi menjadi lahan gambut konsesi


budidaya dan lindung. Secara visualisasi gambar dapat kita lihat letak
indikatif fungsi lindung dan fungsi budidaya lahan gambut didalam Gambar 3
pada Lampiran 6.

Kerusakan lahan yang gambut yang terjadi di Pulau Bengkalis sudah


berada pada level yang parah karena lebih besar dari jumlah lahan yang tidak
rusak. Kerusakan lahan gambut ini akan terus bertambah jika tidak ada
dilakukan usaha – usaha konservasi lahan gambut yang rusak tersebut.
Kerusakan lahan gambut ini harus segera mendapat penanganan serius dari
pemerintah untuk dicari jalan keluarnya.
132

Tabel 3. Luas Indikatif Fungsi Lindung dan Fungsi Budidaya Ekosistem


Gambut di KHG Pulau Bengkalis, Propinsi Riau.
Kecamatan Karakteristik Ekosistem Areal Konsesi Luas Prosent
Gambut Non PT. PT. Total ase (%)
konsesi MAS RRL (Ha)
Budidaya Gambut Baik / 4.935 0 71 5006 5,53
Alamiah
Bantan Budidaya Gambut Rusak/ 10.630 0 2.613 13.243 14,62
Terganggu
Lindung Gambut Baik/ 1.224 779 612 2.615 2,89
Alamiah
Lindung Gambut Rusak/ 12.618 1.517 7.360 21.495 23,73
Terganggu
Total Bantan 29.047 2.296 10.65 42.359 46,77
6
Budidaya Gambut Baik / 2.661 58 266 2985 3,30
Alamiah
Bengkalis Budidaya Gambut Rusak/ 8.441 99 77 8.587 9,48
Terganggu
Lindung Gambut Baik/ 3.427 3.680 499 7.606 8,40
Alamiah
Lindung Gambut Rusak/ 18.443 8.464 1.937 29.026 32,05
Terganggu
Total Bengkalis 32.941 12.483 2.779 48.203 53,23
Total KHG Pulau Bengkalis 62.348 14.779 13.435 90.563 100,00
Sumber: 5 Kerusakan Hutan Gambut Prioritas di Propinsi Riau dan
Kalimantan Barat (KLHK, 2015)

Menurut pasal 23 ayat 1 dalam Peraturan Pemerintah No 71 tahun


2014 bahwa kerusakan ekosistem gambut dengan fungsi lindung apabila
melalui kriteria baku yaitu:
1. Terdapat drainase buatan di ekosistem gambut dengan fungsi lindung
yang ditetapkan
2. Tereksposnya sedimen berpirit dan/atau kwarsa dibawah lapisan gambut
3. Terjadi pengurangan luas dan/atau volume tutupan lahan di ekosistem
gambut dengan fungsi lindung yang telah ditetapkan
Dan menurut Pasal 23 ayat 2 dalam Peraturan Pemerintah No 71 tahun
2014 kerusakan ekosistem dengan fungsi budidaya dinyatakan rusak apabila
memenuhi krteria baku kerusakan sebagai berikut:
133

1. Muka air tanah dilahan gambut lebih dari 0,4 (nol koma empat) meter
dibawah permukaan gambut;dan/atau
2. Tereksposnya sedimen berpirit dan/atau kwarsa dibawah lapisan gambut
Maka untuk itu Pemerintah Kabupaten Bengkalis harus mengupayakan
penutupan yang drainase perkebunan liar yang berada di kawasan fungsi
lindung dan mengkonservasinya dengan tanaman asli pada gambut.
Dan untuk fungsi budidaya yang rusak yaitu muka air tanah gambut
harus dipertahankan jangan melebihi 0,4 (nol koma empat) meter dibawah
permukaan gambut. Mempertahankan muka air tanah gambut ini dengan
membudidayakan tanaman yang mampu tumbuh pada lahan gambut yang
memiliki daya tumbuh pada keadaan tersebut.

2.2.2.Perkebunan sagu di Pulau Bengkalis

Pulau Bengkalis memiliki luas lahan sebesar 938km2 . Dan berada pada
5m dpl yang terdapat beberapa sungai yaitu sungi meskom, alam, seliau,
bengkalis, jangkang, liong dan kembung (BPS Kabupaten Bengkalis, 2016).
Luas lahan perkebunan di Bengkalis berjumlah 28.466,9 ha.
Sedangkan perkebunan sagu yang ada di pulau bengkalis adalah 2.793 ha
atau 9,8 % dari seluruh lahan pertanian yang ada. Dan jika di bandingkan
dengan luas pulau bengkalis perkebunan sagu hanya berkisar 0,3% dari luas
Pulau Bengkalis. Pada Tabel 4 dapat kita ketahui distribusi luas
perkebunan di Pulau Bengkalis.
Tabel 4. Luas Perkebunan di Pulau Bengkalis
Kecamatan Karet Kelapa Kelapa Sagu Kopi Pinang Total
Sawit
Bengkalis 4.803,0 396,0 7.283,0 2.452 6,0 149,0 15.089
Bantan 7.447,0 4.371,0 7.283,0 341,0 107,0 355 19.904
Total 12.250 4.767 14.566 2.793 113 504 34.993
Sumber : BPS, 2016
134

Sedangkan jumlah produksi sagu di Pulau Bengkalis yaitu 14.864


ton. Jadi produktivitas hasil sagu di Pulau Bengkalis adalah 5,32 ton/ha
(Tabel 5).
Tabel 5. Jumlah Produksi Hasil Perkebunan di Pulau Bengkalis
Kecamatan Karet Kelapa Kelapa Sagu Kopi Pinang Total
Sawit
Bengkalis 4.297,0 3082,7 2.138,0 9254,5 - 119,9 44.498.8
Bantan 9.965,0 63.066,7 35.856,0 5610,0 24,0 1.528,0 80.193.7
Total 14.262,2 93.893,9 0 14.864,5 24 1.647,9
Sumber : BPS, 2016

2.2.3.Pencegahan kebakaran dengan pengembangan sagu di Pulau


Bengkalis
Selamet (2008) menyatakan bahwa cara terbaik untuk mecegah
kebakaran di lahan-lahan gambut adalah dengan cara mengkonversi mereka
kedalam keadaan alaminya dan memberikan perhatian khusus dalam
pengelolaan air yang baik, pemanfaatan lahan yang sesuai dan pengelolaan
hutan yang lestari. Artinya drainase dan konversi hutan rawa gambut harus
dicegah. Apabila gambut menjadi kering secara berlebihan, mereka akan
kehilangan secara permanen sifat-sifat alaminya yang menyerupai spon dan
tidak dapat direhabilitasi kembali. Lahan-lahan gambut yang terdegradasi ini
harus dikelola untuk mencegah mereka menjadi padang rumput atau semak
belukar yang mudah terbakar secara teratur dan karenanya mejadi sumber
kebakaran untuk daerah sekitarnya. Penggunaan api di kawasan gambut oleh
masyarakat lokal hanya dapat dicegah apabila sumber penghidupan alternatif
disediakan. Saat ini belum jelas sumber penghidupan alternatif tersebut.
135

Tentunya sumber penghidupan alternatif itu adalah tanaman budidaya


perkebunan yang mampu hidup di tanah gambut yang basah dan bernilai
ekonomi lebih tinggi yaitu sagu.
Saat ini sagu bukan merupakan pilihan primadona pekebun di Pulau
Bengkalis. Terlihat dari luas perkebunan yang ada di Pulau bengkalis bahwa
hanya 7,98% saja dari total luas lahan perkebunan di Pulau Bengkalis dan
pekebun justru lebih luas menanam kelapa sawit yaitu sebesar 41,62% (BPS
Kabupaten Bengkalis,2016).
Selama ini belum ada dukungan pemerintah untuk mengembangkan
perkebunan yang berjenis tanaman yang tidak menggunakan drainase.
Pemerintah harus mencari jenis tanaman perkebunan yang tidak
menggunakan drainase dan merupakan tanaman asli untuk daerah lahan
gambut. Jika tanaman asli gambut ditanam di lahan gambut maka proses
adaptasi tanaman terhadap lingkungan sangat cepat dan proses perlakuan
perawatan tidak sulit.
Menurut Flach (1977), sagu paling baik bila ditanam pada tanah yang
mempunyai pengaruh pasang surut, terutama bila air pasang tersebut
merupakan air segar. Lingkungan yang baik untuk pertumbuhan sagu adalah
daerah yang berlumpur, dimana akar napas tidak terendam, kaya mineral dan
bahan organik, air tanah berwarna cokelat dan bereaksi agak asam.

Sedangkan menurut Haryanto dan Pangloli (1992) bahwa tanaman sagu


membutuhkan air yang cukup, namun penggenangan permanen dapat
mengganggu pertumbuhan sagu. Sagu tumbuh di daerah rawa yang berair
tawar atau daerah rawa yang bergambut di daerah sepanjang aliran sungai,
sekitar sumber air, atau di hutan rawa yang kadar garamnya tidak terlalu
tinggi dan tanah mineral di rawa-rawa air tawar dengan kandungan tanah liat
> 70% dan bahan organik 30%.. Sagu mampu tumbuh pada lahan yang
136

memiliki keasaman tinggi. Pertumbuhan yang paling baik terjadi pada tanah
yang kadar bahan organiknya tinggi dan bereaksi sedikit asam pH 5,5 – 6,5.
Dan menurut Louhennapessy dan Notohadiprawiro (1993) habitat asli
sagu ialah tepi parit atau sungai yang becek serta berlumpur tetapi secara
berkala mengering.
Berdasarkan uraian dalam bab ini dapat ditarik kesimpulan yang
merupakan masalah yang belum ada jalan keluarnya, yaitu:
1. Kerusakan lahan gambut di Pulau Bengkalis akibat perubahan fungsi
lahan gambut menjadi perkebunan yang memiliki drainase sangat rawan
kebakaran dan belum juga mendapat perlakuan konservasi. Secara
keseluruhan lahan gambut yang rusak di Pulau Bengkalis adalah 72.351 Ha
atau 79,89% dari total lahan yang ada di Pulau Bengkalis.
2. Kurang termotivasinya masyarakat pekebun untuk membudidayakan sagu
sebagai tanaman yang tidak memakai drainase dikarenakan umur panen
sagu yang relatif lama yaitu berkisar 12 tahun baru mulai panen perdana
dan panen berikutnya setiap tahun. Waktu panen yang terlalu lama ini
membuat para petani kurang sabar menunggu karena tuntutan ekonomi
harian mereka menjelang sagu bisa di panen. Oleh karenanya pekebun
lebih memilih tanaman perkebunan yang relatif lebih cepat panen seperti
kebun sawit yang hanya membutuhkan waktu yang relatif lebih cepat.
3. Kurangnya perhatian Pemerintah Kabupaten Bengkalis dalam mencegah
kekeringan di lahan gambut akibat perubahan fungsi lahan gambut
menjadi perkebunan yang memiliki drainase sehingga rentan terbakar
pada musim kemarau. Hal ini terlihat bahwa kebijakan untuk bantuan-
bantuan budidaya tanaman perkebunan yang selama ini diberikan
Pemerintah Kabupaten Bengkalis hanya jenis tanaman perkebunan seperti
kelapa sawit, karet dan kelapa. Seperti diketahui bahwa jenis tanaman ini
memerlukan drainase sehingga membuat lahan gambut kering pada
musim kemarau. Untuk itu Pemerintah Kabupaten Bengkalis harus
137

mengarahkan tanaman perkebunan yang tidak menggunakan drainase


seperti sagu. Karena bahwa menurut pendapat para ahli bahwa sagu sangat
cocok dan merupakan tanaman asli daerah gambut yang basah, berlumpur
dan mampu tumbuh di daerah gambut yang memiliki keasaman yang
tinggi. Untuk itu, Pemerintahan Kabupaten Bengkalis dalam usahanya
untuk mencegah kebakaran di lahan gambut dengan pengembangan
perkebunan sagu di Pulau Bengkalis adalah merupakan cara yang sangat
baik. Karena sagu bisa mempertahankan gambut tetap basah namun bisa
juga dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai peningkatan perekonomian.
138

III. DAMPAK PENCEGAHAN KEBAKARAN LAHAN GAMBUT


DENGAN PENGEMBANGAN PERKEBUNAN SAGU DI PULAU
BENGKALIS
3.1. Aspek Ekonomi
Pengembangan perkebunan sagu di Pulau Bengkalis ini jika dilakukan
akan berpengaruh secara ekonomi bagi masyarakat dan Pemerintahan
Kabupaten Bengkalis yaitu:
1. Menambah penghasilan masyarakat yang berkebun sagu
2. Menambah penghasilan masyarakat yang berkecimpung dalam olahan
dan perdagangan hasil sagu seperti tepung sagu, mie sagu, roti, bahan
baku industri makanan, bahan bakar biofuel, bahan baku penyedap
makanan, bahan baku gula cair, bahan baku plastik ramah lingkungan
yang dapat terurai didalam tanah, pakan ternak dan sebagai bahan baku
berbagai industri lainnya
3. Menambah Penghasilan Asli Daerah Kabupaten Bengkalis.
4. Menambah jumlah ketersediaan bahan makanan pokok yang tersedia
bagi masayarakat Pulau Bengkalis dan sekitarnya
5. Meningkatnya produksi sagu sehingga Pemerintah Kabupaten Bengkalis
tidak harus memikirkan ketersediaan beras sebagai bahan makanan
pokok.
Sedangkan jika pencegahan kebakaran di lahan gambut ini tidak
dilakukan maka dampak yang akan ditimbulkan pada lahan gambut dalam
aspek ekonomi yaitu:
1. Menurunnya nilai ekonomis lahan gambut akibat kerusakan akibat
kekeringan dan kebakaran.
2. Kebakaran berikutnya akan mudah terjadi dan tentunya akibat asap
kebakaran mengganggu sistem perekonomian masyarakat.
139

3.2. Aspek Sosial Budaya


Dampak yang timbul dari pencegahan kebakaran lahan gambut
pengembangan budidaya sagu di Pulau Bengkalis terhadap aspek sosial
budaya adalah:
1. Muncul budaya masyarakat dalam menjaga lingkungan ekosistem
gambut sebagai ekosistem yang diperlukan untuk kelestarian kehiduan di
masa dating.
2. Muncul budaya pemanfaatan sagu sebagai sumber kebutuhan bahan
pokok yang murah dan bersahabat dengan lingkungan.
Dampak sosial budaya yang akan timbul dikalangan masyarakat apabila
pencegahan kekeringan lahan gambut yang dapat memicu kebakaran ini tidak
dilakukan adalah:
1. Timbulnya perasaan kecemasan di kalangan masyarakat akan terjadinya
kebakaran pada musim kering karena lahan gambut kering mudah
terbakar
2. Hilangnya lahan gambut yang asri sebagai tempat untuk menambah ilmu
pengetahuan bagi generasi penerus.
3. Hilangnya tempat rekreasi masyarakat misalnya tempat untuk
memancing ikan dan menikmati suasana alam yang asri dan sejuk.

3.3. Aspek Lingkungan dan Kesehatan


Dampak yang akan dirasakan pada aspek lingkungan dari pencegahan
kebakaran lahan gambut dengan pengembangan perkebunan sagu di Pulau
Bengkalis adalah:
1. Terhindarnya lahan gambut dari kekeringan lahan yang mengakibatkan
kebakaran lahan gambut yang tentunya dapat merusak struktur dan
fungsi lahan gambut.
2. Terhindarnya kebakaran lahan gambut yang dapat menimbulkan asap
yang mencemari udara yang dapat mengganggu habitat flora dan fauna
140

yang ada di lahan gambut yang tentunya dapat menggangu rusaknya


kesetimbangan alam.
3. Terhindarnya kebakaran lahan gambut yang menyebabkan terbuangnya
emisi karbon ke udara yang dapat menimbulkan perubahan iklim.
Dampak yang akan dirasakan dalam aspek lingkungan apabila
pencegahan kebakaran ini tidak dilakukan adalah:
1. Ekosistem gambut akan semakin rusak.
2. Tidak berfungsinya lahan gambut sebagai penyimpan karbon dan air.
3. Keanekaragaman hewan dan tumbuh–tumbuhan di lahan gambut
terancam hilang.
Dan dari aspek kesehatan pencegahan kebakaran dengan pengembangan
sagu di lahan gambut dapat memberikan dampak yaitu:
1. Memberikan alternatif sumber pangan karbohidrat non beras sehingga
dapat mencukupi kebutuhan pangan nasional.
2. Tercegahnya perubahan iklim akibat emisi karbon yang dapat
menimbulkan pemanasan global yang berpengaruh terganggunya
kesehatan tubuh akibat suhu yang semakin ekstrim.
Sedangkan apabila pencegahan kekeringan lahan gambut yang dapat
memicu kebakaran tidak dilakukan maka dampak yang akan timbul dalam
aspek kesehatan adalah:
1. Kebakaran lahan gambut akan mudah terjadi dan akan menimbulkan
asap kebakaran yang tebal yang dapat mengganggu kesehatan
masyarakat.
2. Hilangnya sumber air di lahan gambut kering yang dimanfaatkan masyrakat
untuk kebutuhan sehari hari yang dapat menurunkan kualitas kesehatan
karena kekurangan kebutuhan air rumah tangga.
141

IV. MAKSIMALSASI PENCEGAHAN KEBAKARAN LAHAN


GAMBUT DENGAN PERKEBUNAN SAGU DI PULAU
BENGKALIS

4.1. Konservasi Lahan Gambut yang Rusak dengan Pengembangan


Perkebunan Sagu

Menurut data dari KLHK (2016) bahwa lahan gambut yang rusak dan
terganggu di Pulau Bengkalis untuk fungsi budidaya yaitu 21.830 Ha dan
untuk fungsi gambut lindung adalah 50.521 Ha. Maka total lahan gambut
yang rusak dan terganggu di Pulau Bengkalis adalah berjumlah 72.531 Ha
atau 79,89%.

Kondisi lahan gambut fungsi lindung yang rusak ini, seperti yang
dijelaskan pada pasal 23 ayat 1 dalam Peraturan Pemerintah No 71 tahun
2014 bahwa kerusakan ekosistem gambut dengan fungsi lindung apabila
adalah terdapat dainase, sedimen berpirit dan berkurangnya tutupan lahan.

Maka untuk itu harus dilakukan penutupan drainase pada lahan gambut
tersebut dan mengkonservasinya dengan tanaman yang mampu tumbuh
tanpa drainase. Keadaan yang demikian akan mencegah terjadinya
kekeringan lahan yang mengakibatkan mudahnya lahan gambut terbakar.

Sedangkan kondisi lahan gambut fungsi budidaya yang rusak ini, seperti
yang dijelaskan pada pasal 23 ayat 2 dalam Peraturan Pemerintah No 71
Tahun 2014 kerusakan ekosistem dengan fungsi budidaya dinyatakan rusak
apabila muka air tanah dilahan gambut lebih dari 0,4 (nol koma empat)
meter dibawah permukaan gambut (keadaan ini tidak berlaku untuk gambut
yang ketebalan dibawah 1 meter) ;dan/atau tereksposnya sedimen berpirit
dan/atau kwarsa dibawah lapisan gambut.
142

Maka dari keadaan itu lahan gambut yang terdapat pada fungsi budidaya
sebaiknya membudidayakan tanaman yang mampu tumbuh dengan baik
pada keadaan lahan gambut yang tetap basah untuk menjaga lahan gambut
tidak menjadi kering, rusak dan mudah terbakar. Menurut para ahli bahwa
sagu mampu tumbuh pada lahan gambut dengan keadaan seperti itu dan sagu
juga merupakan tanaman asli daerah gambut yang basah dan sagu juga
merupakan tanaman asli dari lahan gambut.

Sagu juga memilik potensi ekonomi yang tinggi karena produk sagu yang
dihasilkan dapat digunakan menjadi bahan-bahan kebutuhan hidup manusia.
Hasil dari perkebunan sagu yang dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan hidup
masyarakat sangatlah banyak. Tentunya hal ini membuat sagu memiliki
potensi ekonomi yang tinggi. Manfaat sagu untuk kebutuhan masyarakat itu
adalah:

1. Daunnya yang dijadikan atap rumah tradisional alami yang ramah


lingkungan,
2. Tulang daunnya (pelepah) dapat dijadikan dinding,
3. Lidinya dapat dibuat sapu,
4. Kulit batangnya dapat dijadikan lantai.
5. Apabila setelah diparut, kemudian parutan tersebut diolah lebih jauh,
maka limbahnya yang berupa serat dapat dijadikan makanan ternak,
media tumbuh untuk jamur atau media berbagai tanaman pertanian.
6. Pati sagu dapat dimanfaatkan untuk dibuat berbagai macam makanan
seperti beras analog, kue, mie, roti, biskuit, bahan baku industri
makanan, bahan baku penyedap makanan, bahan baku gula cair.
7. Pati sagu uga dapat digunakan lebih lanjut sebagai bahan bakar biofuel.
143

4.2. Peranan Masyarakat dalam Pengembangan Perkebunan Sagu

Selain manfaat konservasi sagu juga dapat bermanfaat bagi peningkatan


perekonomian masyarakat pekebun sagu dan masyarakat sekitarnya.
Memang sagu membutuhkan waktu yang panjang untuk sampai bisa di panen
tetapi setelah kebun sagu dapat dipanen maka untuk selanjutnya hanya
tinggal melakukan perawatan ringan dan memanen hasilnya setiap tahun.

Jika dibandingkan dengan jenis perkebunan yang lain, hasil sagu juga
tidak kalah menguntungkan. Namun yang menjadi berat karena selama
waktu menunggu sagu dapat dipanen yaitu berkisar 10 tahun, pekebun
kesusahan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.

Tentunya hal ini bisa disiasati agar masyarakat pekebun sagu dapat
membudidayakan kebun sagunya dan kebutuhan hidupnya selama 10 tahun
menunggu kebun dapat di panen yaitu :

1. Pekebun dapat menanami dengan tanaman tumpang sari, contohnya


seperti nenas yang relatif cepat untuk panen.
2. Memanfaatkan kesempatan apabila ada dukungan dari pemerintah
untuk pekebun sagu dalam memberikan kompensasi atau kredit lunak
bagi pekebun sagu selama 10 tahun mejelang sagu dapat dipanen.

4.3. Peranan Pemerintah dalam Pengembangan Perkebunan Sagu

Selama ini Pemerintah Kabupaten Bengkalis memberikan bantuan


untuk masyarakat pekebun kecil dalam pengembangan perkebunan yaitu
pembagian bibit tanaman perkebunan seperti kelapa, kelapa sawit dan karet.
Jenis tanaman ini di lahan gambut memerlukan drainase yang besar dan
modal pengelolaan yang tinggi karena memerlukan pemupukan yang lebih
banyak.
144

Sering sekali pengelolaan gagal karena pekebun kecil yang kekurangan


modal sehingga lahan menjadi terlantar dan tidak terurus yang membuat
lahan gambut rawan kebakaran.
Untuk itu diharapkan pemerintah mengarahkan pengembangan
perkebunan kearah perkebunan yang bersifat konservasi dan memiliki nilai
ekonomi yang tnggi. Pemerintah dapat mengupayakan pengembangan
perkebunan sagu untuk menanggulangi permasalahan ini.
Usaha pengembangan perkebunan sagu ini memerlukan dukungan
peran serta dari berbagai pihak sehingga pengembangan mengalami
kemajuan pesat dan sesuai yang diharapkan. Peranan pemerintah dalam
merangsang pengembangan perkebunan sagu di Pulau Bengkalis adalah :
1.. Memberikan penyuluhan kepada masyarakat tentang rehabilitasi lahan
gambut dengan tanaman sagu dan sekaligus bermanfaat ekonomi kepada
masyarakat
2. Memberikan bantuan bibit sagu gratis bagi para pekebun sagu.
3. Memberikan modal atau kredit tanpa bunga kepada masyarakat khusus
untuk menanam sagu dan pengolahan hasil sagu.
4. Merangsang tumbuhnya industri hilir sagu dengan cara memberikan
bantuan peralatan dan bimbingan teknis penggunaan peralatan
pengolahan.
5. Merangsang para peneliti untuk melakukan penelitian terhadap tanaman
sagu yang berbasis berbasis lingkungan dan peningkatan produktivitas
tanaman sagu. Penelitian yang bertemakan perkebunan sagu dan
pengembangan industri hilir sagu sehingga sagu dapat dimanfaatkan
dengan sangat baik dibidang pangan dan bio energi.
6. Merangsang atau menghimbau para pengusaha untuk menjalankan bisnis
dalam bidang konservasi lahan gambut seperti
- Membuat perkebunan sagu yang berbasis kelestarian lingkungan dan
ekowisata.
145

- Membuat kilang sagu untuk menerima hasil sagu dari petani sagu.
- Memasarkan hasil olahan sagu kepada konsumen sehingga harga sagu
lebih bersaing.
146

DAFTAR PUTAKA

Agus, F dan I.G.M Subiksa. 2008. Lahan Gambut Potensi untuk Pertanian
dan Aspek Lingkungan. Balai Penelitian Tanah dan World Agroforestry
Centre (ICRAF). Bogor.
Alfons,J. B. dan S.Bustaman. 2006. Prospek dan Arah Pengembangan Sagu di
Maluku.BPTP Maluku, Ambon.
Badan Pusat Statistik Kabupaten Bengkalis, Kabupaten Bengkalis dalam
Angka 2016, Bengkalis.
Bintoro. 2008. Bercocok Tanam Sagu. IPB Press. Bogor
Dharmarwan H., H, Subagjo dan A. Hidayat. 2003. Petunjuk Teknis Evaluasi
Kesesuaian Lahan untuk Komoditas Pertanian. Balai Penelitian Tanah,
Bogor.

Flach, M. 1977. Sago Palm, Metroxylon sago Rottb. IPGRI. Rome.


______1986. Yield Potential of The Sago Palm, Metroxylon sago Its
Realisation. First International Sago Symposium., 5-7 Juli 1986.In Pp
157-177 . ? . Kuching.
Hardjowigeno, S. 1986. Sumber Daya Fisik Wilayah dan Tata Guna Lahan:
Histosol. Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Harsanto, P.B. 1986. Budidaya dan Pengolahan Sagu. Kanisius. Yogyakarta.


Haryanto, B. dan P, Pangloli. 1992. Potensi dan Pemanfaatan Sagu. Kanisius,
Bogor.
Louhennapessy J.E dan T. Notohadiprawiro. 1993. Potensi Sagu dalam
Penganekaragaman Bahan Pokok Ditinjau dari Persyaratan Lahan. Pp 99-
106. Dalam Tim Fakultas Pertanian UNPATTI (Eds). Prosiding
Symposium Sagu Nasional. Ambon. 12-13 Oktober, 1992. Fakultas
Pertanian UNPATTI, Ambon.
147

Limin, S. H. 2006. Pemanfaatan Lahan Gambut dan Permasalahannya.


Makalah pada Workshop Gambut dengan Tema : Pemanfaatan Lahan
Gambut untuk Pertanian, Tepatkah? , 22 November 2006,?, Jakarta.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kependudukan. 2016. 5 KHG Prioritas di
Propinsi Riau dan Kalimantan Barat, Jakarta
Mutalib, A., J.S. Lim, M.H. Wong and L. Koonvai. 1991. Characterization,
Distribution and Utilization of Peat in Malaysia. Proc. International
Symposium on Tropical Peatland. 6-10 May 1991. ?. Kuching.

Noor, M. 2001. Pertanian Lahan Gambut: Potensi dan Kendala. Kanisius.


Jakarta.

Nugroho, K., G. Gianinazzi and I P. G. Widjaja-Adhi. 1997. Soil Hidraulic


Properties of Indonesian Peat. pp. 147-156. In J.O. Rieley and S.E. Page
(Eds.). Biodiversity and Sustainability of Tropical Peat and Peatland.
Samara Publishing Ltd. Cardigan.

Pemerintahan Kabupaten Bengkalis. 2016. Kecamatan Kabupaten Bengkalis,


Bengkalis. Alamat Web http://bengkaliskab.go.id/statis-12-kecamatan-
bengkalis.html . Diakses tanggal 19 Agustus 2016.

Presiden Republik Indonesia. 2014. Peraturan Pemerintah No 71. 2014


Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut. Sekretariat
Negara, Jakarta.

Radjagukguk, B. 1997. Peat Soil of Indonesia: Location, Classification, and


Problems for Sustainability. pp. 45-54 J.O. In Rieley and S.E. Page (Eds.).
Biodiversity and Sustainability of Tropical Peat and Peatland. Samara
Publishing Ltd. Cardigan.
148

Saripedia.com. 2010. Peta 34 Propinsi Indonesia Terbaru,?. Alamat Web


https://saripedia.wordpress.com/2010/11/18/peta-34-provinsi-
indonesia-terbaru-12/. Diakses tanggal 19 Agustus 2016.

Selamat, B. 2008. Manajemen Hidrologi di Lahan Gambut, Medan. Alamat


Web:https://www.researchgate.net/publication/42320274_Manajemen_
Hidrologi_di_Lahan_Gambut. Diakses tanggal 19 Agustus 2016.

Soil Survey Staff. 2003. Key to Soil Taxonomy. 9th Edition. United States
Department of Agriculture. Natural Resources Conservation Service.
Washington DC.

Tie, Y.L. and J.S. Lim. 1991. Characteristics and Classification of Organic Soils
in Malaysia. Proc. International Symposium on Tropical Peatland. 6-10
May 1991. ? . Kuching.

Turukay, B.1986. The Role of Sago Palm in the Development of Integrated


Farm System in Maluku Province of Indonesia. Pp 7-15 In N Yamada and
K. Kainuma(Eds) Proc. The 3rd Int. Sago Symposium. May 1985, ?. Tokyo.

Widjaja-Adhi, I P.G. 1997. Developing Tropical Peatlands For Agriculture. pp.


45-54. In J.O. Rieley and S.E. Page (Eds.). Biodiversity and Sustainability
of Tropical Peat and Peatland. Proceedings of the International
Symposium on Biodiversity, Environmental Importance and Sustainability
of Tropical Peat and Peatlands, Palangka Raya, Central Kalimantan 4-8
September 1999. Samara Publishing Ltd, Cardigan.
149

Lampiran 1. Peta Propinsi Riau

Sumber: Saripedia.com, 2010


150

Lampiran 2. Peta Kabupaten Bengkalis

Sumber: BPS Kabupaten Bengkalis, 2016


151

Lampiran 3. Pulau Bengkalis

Sumber: Pemerintahan Kabupaten Bengkalis, 2016


Lampiran 4

Gambar 1. Peta Kedalaman Gambut di Pulau Bengkalis


152

Sumber : Menteri Lingkungan Hidup dan Kependudukan, 2015


Lampiran 5

Gambar 3. Peta Kubah Gambut Di Pulau Bengkalis


153

Sumber : Menteri Lingkungan Hidup dan


Kependudukan, 2015
Lampiran 6

Gambar 3. Peta Indikatif Fungsi Lindung dan Budidaya di Pulau Bengkalis


154

Sumber : Menteri Lingkungan Hidup dan Kependudukan, 2015


PENINGKATAN KEGIATAN MASYARAKAT DALAM PELESTARIAN

FUNGSI EKOSISTEM MANGROVE DI KOTA DUMAI

OLEH

FIKA YULIA RACHMAH

1510248190

PROGRAM STUDI ILMU LINGKUNGAN

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS RIAU

PEKANBARU

2016
DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI................................................................................................... ii

DAFTAR TABEL .......................................................................................... iii

DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. iv

I PENDAHULUAN ........................................................................................ 1
1.1 Latar belakang..................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................... 3

II PENINGKATAN KEGIATAN MASYARAKAT DALAM


PELESTARIAN EKOSISTEM MANGROVE DI KOTA DUMAI .... 4
2.1 Ekosistem Mangrove .......................................................................... 4
2.2 Pemanfaatan dengan Pelestarian Ekosistem Mangrove...................... 7
2.3 Kegiatan Masyarakat dalam Pelestarian Ekosistem Mangrove di
Kota Dumai........................................................................................ 8

III DAMPAK PENINGKATAN KEGIATAN MASYARAKAT DALAM


PELESTARIAN EKOSISTEM DI KOTA DUMAI ............................ 13
3.1 Dampak Ekonomi .............................................................................. 15
3.2 Dampak Sosial dan Budaya ................................................................ 16
3.3 Dampak Lingkungan dan Kesehatan ................................................. 16

IV OPTIMALISASI PENINGKATAN KEGIATAN MASYARAKAT


DALAM PELESTARIAN EKOSISTEM DI KOTA DUMAI............ 18
4.1 Ketidakjelasan Instansi yang Bertanggung Jawab dalam Kawasan
Pesisir Kota Dumai ............................................................................ 18
4.2 Terus Berlangsungnya Penebangan Liar Hutan Mangrove di Kota
Dumai................................................................................................ 20
4.3 Ketidakmampuan Pemko Dumai dalam Mengatasi Pemanfaatan
Kawasan Pesisir Kota Dumai............................................................. 21
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 22
LAMPIRAN.................................................................................................... 25
DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Jenis-Jenis Mangrove Sejati di Sekitar Muara Sungai Dumai ................... 11

2. Jenis-Jenis Mangrove Asosiasi di sekitar muara Sungai Dumai ................. 12


DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman
1. Peta Propinsi Riau .................................................................................. 26
2. Peta Kota Dumai .................................................................................... 27
3. Peta Ekosistem Mangrove Dumai .......................................................... 28
1

I. PENDAHULUAN

I.I Latar Belakang

Adanya berbagai perubahan kondisi dan kualitas lingkungan tentunya akan

bisa berpengaruh buruk terhadap manusia. Beragam bentuk kerusakan

lingkungan, seperti pencemaran udara, pencemaran air, dan menurunnya kualitas

lingkungan akibat bencana alam, banjir, longsor, kebakaran hutan, krisis air

bersih. Hal ini lama kelamaan akan dapat berdampak global pada lingkungan,

khususnya bagi kesehatan masyarakat sendiri.

Upaya menata dan memelihara kelestarian lingkungan, tidak hanya

mengandalkan pemerintah saja, namun lebih jauh masyarakat pun mempunyai

peranan penting dalam upaya mewujudkan hal itu. Diantaranya yaitu dengan pola

pendidikan melalui berbagai penyuluhan-penyuluhan tentang pentingnya menata

dan memelihara kelestarian lingkungan hidup.

Wilayah Kota Dumai terletak pada posisi koordinat 101o23’37” –

101o28’13” BT dan 01o23’00” – 01o24’23” LU (Hanif,2011). Wilayahnya terdiri

dari tanah rawa bergambut dengan kedalaman 0–0,5 m dan beberapa kilometer ke

arah Selatan terdapat daratan rendah dengan kemiringan 0–5 %. Memiliki luas

1.772,38 km2 terdiri dari 5 kecamatan dan 32 kelurahan. Kelima kecamatan

tersebut yaitu Kecamatan Dumai Barat dengan luas 120 km2, Kecamatan Dumai

Timur dengan luas 59 km2 dan Kecamatan Bukit Kapur dengan luas 250 km2,

Kecamatan Medang Kampai 373 dan Kecamatan Sungai Sembilan 970,38 km2.

Perairan pesisir Kota Dumai merupakan bagian dari selat Rupat, selat ini

terletak antara daratan pulau Sumatera dengan pulau Rupat. Bagian utara dan

timur selat Rupat berhubungan langsung dengan selat Malaka maka pada musim-
2

musim kondisi di selat Malaka akan merambat masuk ke perairan pesisir Kota

Dumai melalui ujung utara dan timur selat Rupat, sehingga pada beberapa bagian

pesisir terutama bagian timur dan utara terjadi abrasi pantai akibat aksi gelombang

besar yang merambat dari selat Malaka (Hanif, 2011).

Melihat definisi, pengertian, ciri-ciri, fungsi dan manfaat hutan bakau

tersebut kita seharusnya bisa berbangga diri menjadi negara dengan luas kawasan

hutan mangrove terluas di dunia. Berdasarkan data FAO yang dirilis tahun 2007,

walau hanya memiliki hutan bakau seluas 3,062,300 ha, luas hutan bakau di

Indonesia mencapai 19% dari total hutan bakau di seluruh dunia. Ini telah

menjadikan Indonesia sebagai negara dengan luas hutan bakau paling luas di

dunia melebihi Australia (10%) dan Brazil (7%).Bahkan menurut Arobaya dan

Wanma (2006), Indonesia memiliki 27% dari total hutan mangrove dunia atau

setara dengan 4,25 juta ha. Data hampir sama dikeluarkan Kementerian

Kehutanan (2006) yakni seluas 4,3 juta ha.

1.2 Rumusan Masalah

Kegiatan konservasi Ekosistem Mangrove di Kota Dumai pada awalnya

tidak mendapat respon yang hangat dari masyarakat setempat, akan tetapi berkat

usaha yang sungguh-sungguh akhirnya pada saat ini banyak masyarakat yang

mulai peduli terhadap kegiatan konservasi ekosistem mangrove yang berasal dari

kelompok masyarakat golongan tua, pemuda bahkan anak-anak. Salah satu

diantaranya adalah kelompok Pecinta Alam Bahari (PAB). Berdasarkan kondisi

Ekosistem Mangrove Dumai dan kegiatan pelestarian fungsi Ekosistem

Mangrovenya, dapat dikemukakan ada tiga masalah yang ditemukan yaitu :


3

1. Ketidakjelasan instansi mana di Kota Dumai yang bertanggung jawab terhadap

kawasan pesisir dan ekosistem mangrove yang menyulitkan keikutsertaan

masyarakat dalam pelestarian ekosistem mangrove.

2. Terus berlangsungnya penebangan liar hutan mangrove

3. Pemerintah Kota Dumai belum mampu mengatasi pemanfaatan kawasan

pesisir Kota Dumai untuk berbagai peruntukan.


4

II. PENINGKATAN KEGIATAN MASYARAKAT DALAM

PELESTARIAN EKOSISTEM MANGROVE DI KOTA DUMAI

2.1 Ekosistem Mangrove

Ekosistem adalah suatu sistem ekologi yang terbentuk oleh hubungan

timbal balik tak terpisahkan antara makhluk hidup dengan lingkungannya.

Ekosistem bisa dikatakan juga suatu tatanan kesatuan secara utuh dan

menyeluruh antara segenap unsur lingkungan hidup yang saling mempengaruhi.

Ekosistem menurut Wikipedia (2016) merupakan suatu sistem ekologi

yang terbentuk oleh hubungan timbal. Matahari sebagai sumber dari semua

energi yang ada. Dalam ekosistem, organisme dalam komunitas berkembang

bersama-sama dengan lingkungan fisik sebagai suatu sistem. Organisme akan

beradaptasi dengan lingkungan fisik, sebaliknya organisme juga memengaruhi

lingkungan fisik untuk keperluan hidup. Pengertian ini didasarkan pada

Hipotesis Gaia, yaitu: "organisme, khususnya mikroorganisme, bersama-sama

dengan lingkungan fisik menghasilkan suatu sistem kontrol yang menjaga

keadaan di bumi cocok untuk kehidupan". Hal ini mengarah pada kenyataan

bahwa kandungan kimia atmosfer dan bumi sangat terkendali dan sangat

berbeda dengan planet lain dalam tata surya (Wikipedia, 2016a)

Indonesia menjadi negara dengan hutan mangrove paling luas di dunia.

Menurut Kementerian Negara Lingkungan Hidup (2006), luas hutan bakau

Indonesia mencapai 4,3 juta ha. Sedang menurut FAO (2007) pada tahun 2005

Indonesia memiliki hutan mangrove seluas 3 juta ha.

Definisi lingkungan hidup, dikutip dari Undang-Undang No.32 Tahun

2004 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Lingkungan


5

hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk

hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri,

kelangsungan kehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain.

Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis dan

terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan

mencegah terjadinya pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup yang meliputi

perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan

penegakan hukum (PPLH UNHAS, 2012)

Definisi hutan bakau (mangrove) menurut Steenis (1978) adalah vegetasi

hutan yang tumbuh diantara garis pasang dan surut. Sedangkan Nybakken

(1988) memberi definisi hutan mangrove sebagai sebutan umum yang digunakan

untuk menggambarkan suatu komunitas pantai tropis yang didominasi oleh

beberapa spesies pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai

kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin (UNESCO, 2016) (Gambar 1).

Gambar 1. Ekosistem Mangrove (Sumber: Wikimedia,2016a)

Menurut Soerianegara (1990) hutan mangrove mempunyai pengertian

sebagai hutan yang tumbuh di daerah pantai, biasanya terdapat di daearah teluk
6

dan di muara sungai yang dicirikan oleh: 1) tidak terpengaruh iklim; 2)

dipengaruhi pasang surut; 3) tanah tergenang air laut; 4) tanah rendah pantai; 5)

hutan tidak mempunyai struktur tajuk; 6) jenis-jenis pohonnya biasanya terdiri

dari api-api (Avicenia sp.), pedada (Sonneratia sp.), bakau (Rhizophora sp.),

lacang (Bruguiera sp.), nyirih (Xylocarpus sp.), nipah (Nypa sp.) (Anonimus,

2009).

Secara umum hutan bakau atau mangrove mempunyai definisi sebagai

hutan yang tumbuh di atas rawa-rawa berair payau yang terletak di garis pantai

dan dipengaruhi oleh pasang-surut air, laut tepatnya di daerah pantai dan sekitar

muara sungai. Hutan mangrove memiliki fungsi dan manfaat yang sangat

penting bagi ekosistem hutan, air dan alam sekitarnya. Fungsi atau manfaat

hutan bakau dapat ditinjau dari sisi fisik, biologi maupun ekonomi.

(Wikipedia,2016a)

Manfaat dan fungsi hutan mangrove secara fisik antara lain:

 Penahan abrasi pantai.

 Penahan intrusi (peresapan) air laut ke daratan.

 Penahan badai dan angin yang bermuatan garam.

 Penambat bahan-bahan pencemar (racun) diperairan pantai.

Manfaat dan fungsi hutan bakau secara biologi antara lain:

 Tempat hidup biota laut, baik untuk berlindung, mencari makan, pemijahan

maupun pengasuhan.

 Menurunkan kandungan karbondioksida (CO2) di udara (pencemaran udara).

 Sumber makanan bagi spesies-spesies yang ada di sekitarnya.

 Tempat hidup berbagai satwa lain semisal kera, buaya, dan burung.
7

Manfaat dan fungsi hutan bakau secara ekonomi antara lain:

 Tempat rekreasi dan pariwisata.

 Sumber bahan kayu untuk bangunan dan kayu bakar.

 Penghasil bahan pangan seperti ikan, udang, kepiting, dan lainnya.

 Bahan penghasil obat-obatan seperti daun Bruguiera sexangula yang dapat

digunakan sebagai obat penghambat tumor.

 Sumber mata pencarian masyarakat sekitar seperti dengan menjadi nelayan

penangkap ikan dan petani tambak (wikipedia, 2016b).

2.2 Pemanfaatan dan Pelestarian Ekosistem Mangrove

Konservasi hutan mangrove dan sempadan pantai telah diatur melalui,

Keppres No. 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung. Sempadan

pantai adalah kawasan tertentu sepanjang pantai yang mempunyai manfaat

penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi pantai, sedangkan kawasan

hutan mangrove adalah kawasan pesisir laut yang merupakan habitat hutan

mangrove yang berfungsi memberikan perlindungan kepada kehidupan pantai dan

lautan. Sempadan pantai berupa jalur hijau adalah selebar 100 m dari pasang

tertinggi kearah daratan.

Upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk memanfaatkan dan melestarikan

hutan mangrove antara lain:

1. Penanaman kembali mangrove sebaiknya melibatkan masyarakat. Modelnya

dapat masyarakat terlibat dalam pembibitan, penanaman dan pemeliharaan

serta pemanfaatan hutan mangrove berbasis konservasi. Model ini

memberikan keuntungan kepada masyarakat antara lain terbukanya peluang

kerja sehingga terjadi peningkatan pendapatan masyarakat.


8

2. Pengaturan kembali tata ruang wilayah pesisir : pemukiman, vegetasi, dll.

Wilayah pantai dapat diatur menjadi kota ekologi sekaligus dapat dimanfaatkan

sebagai wisata pantai (ekoturisme) berupa wisata alam atau bentuk lainnya.

3. Peningkatan motivasi dan kesadaran masyarakat untuk menjaga dan

memanfaatkan mangrove secara bertanggungjawab.

4. Ijin usaha dan lainnya hendaknya memperhatikan aspek konservasi.

5. Peningkatan pengetahuan dan penerapan kearifan local tentang konservasi

6. Peningkatan pendapatan masyarakat pesisir

7. Program komunikasi konservasi hutan mangrove

8. Penegakan hukum

9. Perbaikkan ekosistem wilayah pesisir secara terpadu dan berbasis masyarakat.

Artinya dalam memperbaiki ekosistem wilayah pesisir masyarakat sangat

penting dilibatkan yang kemudian dapat meningkatkan kesejahteraan

masyarakat pesisir. Selain itu juga mengandung pengertian bahwa konsep-

konsep lokal (kearifan lokal) tentang ekosistem dan pelestariannya perlu

ditumbuh-kembangkan kembali sejauh dapat mendukung program ini.

2.3 Kegiatan Masyarakat dalam Pelestarian Ekosistem Mangrove di Kota

Dumai

Dalam pelestarian ekosistem memang kegiatan ini pada awalnya tidak

mendapat respon yang hangat dari masyarakat setempat, akan tetapi berkat usaha

yang sungguh-sungguh akhirnya saat ini banyak masyarakat yang mulai peduli

terhadap kegiatan konservasi ekosistem mangrove yang berasal dari kelompok

masyarakat golongan tua, pemuda bahkan anak-anak.


9

Ketua PAB (Pecinta Alam Bahari) juga mengatakan bahwa adanya peran

dari badan Internasional yang juga ikut dalam usaha konservasi. Yakni badan

Internasional dari Negara Jepang memberikan bantuan beasiswa kepada Ketua

PAB bersekolah di Bali untuk belajar Ilmu Konservasi. PAB juga memiliki

beberapa program jangka menengah dan jangka panjang. Kegiatan jangka panjang

yakni kegiatan konservasi yang berkelanjutan dan program jangka menengah

yakni pembuatan arboretum, edukasi mangrove dan ekowisata.

Target spesies dari kegiatan konservasi ini adalah dari golongan fauna,

yakni : Udang, Rama-rama, Lokan, Lutung, dan spesies endemik lainnya. Selain

itu target flora dalam konservasi adalah hampil seluruh jenis bakau, baik bakau

sejati maupun bakau asosiasi. Berdasarkan data dari Lembaga Swadaya

Masyarakat Pecinta Alam Bahari dan Sekolah Alam Bandar Bakau Dumai.

Keberadaan hutan mangrove di Muara Sungai Dumai, terdapat pada area seluas

lebih kurang 11,5 hektar (Lampiran 1, 2 dan 3)

Berdasarkan hasil pendataannya setidaknya terdapat 16 jenis yang

dikategorikan sebagai mangrove sejati dari 8 family/ keluarga. Serta sejumlah 22

jenis mangrove ikutan/ asosiasi. Sedangkan berdasarkan total keberadaan hutan

mangrove yang berada di pesisir Kota Dumai, terdapat 23 jenis mangrove sejati

dan 22 jenis mangrove ikutan/ asosiasi. Jumlah ini merupakan setengah dari jenis

mangrove sejati di Indonesia (47 jenis) (Tabel 1 dan 2).

Dengan beranekaragamnya flora dan fauna di kawasan konservasi

tersebut, membuat kawasan tersebut memiliki nilai ekowisata yang cukup

menjanjikan. PAB sendiri juga sudah mulai mengelola kawasan tersebut tidak
10

hanya sekedar dijadikan kawasan konservasi tetapi juga menjadi kawasan

ekowisata, baik wisata alam maupun seni.

Dalam hal usaha konservasi ini, PAB pasti juga menemukan kendala-

kendala yang menemukan masalah. Adapun kendala-kendala tersebut berupa dari

Pemerintah Kota Dumai yaitu adanya ketidak jelasan terhadap dinas mana yang

bertanggung jawab terhadap kawasan pesisir dan ekosistem hutan mangrove di

Kota Dumai yakni antara Dinas Kehutanan, Dinas Perikanan dan Dinas

Lingkungan Hidup. Selain itu masih adanya beberapa kasus pencurian dan

penebangan liar terhadap pohon-pohon mangrove mulai dari alasan ekonomi

hingga sosial budaya yang belum dapat diatasi. Hal ini tentu sangat berpengaruh

terhadap kelangsungan keberadaan ekosistem mangrove, termasuk upaya

pelestarian fungsinya.

Pemerintah Kota Dumai yang diwakili oleh Dinas Perikanan,

Perternakan dan Kelautan Kota Dumai menjelaskan terdapat beberapa kendala

dalam usaha konservasi di Dumai yakni, adanya penebangan liar pohon-pohon

mangrove secara ilegal oleh masyarakat Dumai sendiri. Adanya kepentingan-

kepentingan yang harus dihadapi dalam pemanfaatan wilayah pesisir sebagai

sektor industri, ekonomi dan pembangunan-pembangunan yang seharusnya

diatasi melalui tata ruang wilayah Kota Dumai. Dalam hal ini Pemko Dumai

masih belum mampu mengatasinya yang tentu sangat berpengaruh terhadap

keberadaan dan pelestarian ekosistem mangrove di sepanjang kawasan pesisir

Kota Dumai.
11

Tabel 1. Jenis-Jenis Mangrove Sejati di Sekitar Muara Sungai Dumai

No. Jenis Famili Nama Lokal

1. Avicenia alba Avicenniaceae Api-api putih

2. Avicenia marina Avicenniaceae Api-api jambu

3. Bruguiera gymnorrhiza Rhizophoraceae Tumu

4. Bruguiera parviflora Rhizophoraceae Lenggadai

5. Ceriop tagal Rhizophoraceae Tengar

6. Gymnanthera paludosa Kacang-kacang,


Asclepiadaceae
kacang laut

7. Heritiera littoralis Sterculiaceae Dungun

8. Lumnitzera littorea Combretaceae Teruntum, sesop merah

9. Lumnitzera racemosa Combretaceae Susup, teruntum bunga putih

10. Rhizophora apiculata Rhizophoraceae Bakau kecil, minyak,


bakau putih
11. Rhizophora stylosa Rhizophoraceae Bakau, bakau merah

12. Rhizophora mucronata Rhizophoraceae Bakau, belukap, bakau kurap

13. Scyphiphora Rubiaceae Cingam


hydrophyllacea
14. Sonneratia alba Sonneratiaceae Perepat

15. Sonneratia ovata Sonneratiaceae Kedabu

16. Xylocarpus granatum Meliaceae Nyireh bunga

Sumber: Anonimus (2011b)


12

Tabel 2. Jenis-Jenis Mangrove Asosiasi di sekitar muara Sungai Dumai

No. Jenis Famili Nama Lokal

1. Akasia mangium Mimosaceae Akasia

2. Calophylum inophyllum Guttiferae Gurah

3. Cerbera manghas Apocynaceae Bintan, buta-buta

4. Clerodendrum inerme Verbenaceae Kayu tulang, keranji

5. Derris trifoliata Leguminosae Tuba laut

6. Ficus microcarpa Moraceae Beringin, kayu ara

7. Flacourtia rukam Flacourtiaceae Rukam

8. Flagellaria indica Flagellariaceae Rotandini, rotan tikus

9. Hibiscus tiliaceus Malvaceae Waru, baru-baru

10. Ipomoea pes-caprae Convolvulaceae Katang-katang,


daun barah
11. Melastoma cadidum Melastomataceae Senduduk

12. Morinda citrifolia Rubiaceae Mengkudu

13. Pandanus tectorius Pandanaceae Pandan laut

14. Pandanus odoratissima Pandanaceae Pandan tikar

15. Passiflora foetida Passifloraceae Seletup bulu, rambut-


rambut
16. Sesuvium portulacastrum Aizoaceae Rumput gelang

17. Spinifex littoreus Gramineae Gulung-gulung

18. Stachytarpheta jamaicensis Verbenaceae Ekor kuda

19. Terminalia cattapa Combretaceae Ketapang

20. Thespesia populnea Malvaceae Waru laut

21. Vitex pubescens Verbenaceae Leban kampung

22. Wedelia biflora Asteraceae Serunai laut

Sumber: Anonimus (2011a)


13 Ke
tid

III.DAMPAK PENINGKATAN KEGIATAN MASYARAKAT DALAM


PELESTARIAN EKOSISTEM MANGROVE DI KOTA DUMAI

3.1 Dampak Ekonomi

Bila dilakukan peningkatan kegiatan masyarakat dalam pelestarian


ekosistem mangrove di Kota Dumai maka memiliki dampak ekonomi bagi
masyarakat dan Pemerintah Kota Dumai seperti dibawah ini :

1. Membuka lapangan kerja baru dalam bentuk pengelolaan tambak, mencari

tiram, kepiting serta ikan lainnya di sekitar hutan Mangrove.

2. Usaha penangkaran bibit tanaman Mangrove yang dikelola secara

kelompok, baik laki-laki maupun wanita kemudian dijual dan hasilnya

dikelola bersama.

3. Sebagai penyedia bibit mangrove.

4. Memberikan Kontribusi kepada desa dalam hal perbaikan sarana dan

prasarana jalan aspal, musholla, tratak dan lain-lain.

Jika tidak dilakukannya peningkatan kegiatan masyarakat dalam pelsetarian

ekosistem mangrove di Kota Dumai juga memiliki dampak sebagai berikut :

1. Bagi masyarakat : menimbulkan biaya meninggikan pondasi rumah, jalan,

infrastruktur yang lain.. Hilangnya mata pencaharian masyarakat sebagai

petani tambak akibat rob.

2. Bagi Pemko Dumai : pengubahan fungsi hutan mangrove menjadi fungsi

lain secara tidak wajar akan mengakibatkan timbulnya keadaan yang tidak

sesuai dengan kaifah pembangunan yang berkelanjutan. Seperti rusaknya

infrastruktur yang telah dibangun, biaya pengelolaan kota akan bertambah,

akibat rob berdampak lanjutan pada pengelolaan kota menjadi lebih mahal.
14

3.2 Dampak Sosial dan Budaya

Bila dilakukan penigkatan kegiatan masyarakat dalam pelestarian

ekosistem mangrove di Kota Dumai maka memiliki dampak sosial dan budaya

bagi masyarakat dan Pemerintah Kota Dumai seperti dibawah ini :

1. Tersedianya lahan sebagai Ruang Terbuka Hijau berupa kawasan hutan

Mangrove.

2. Lingkungan yang hijau, suasana akan menjadi nyaman dan sejuk bagi warga

yang ada di kawasan tersebut.

3. Aktivitas warga yang mengelola lahan tambaknya dapat kembali berjalan

normal.

4. Menjadi contoh bagi desa-desa pesisir lainnya yang mempunyai geografis yang

sama

5. Warga mulai mempunyai kesadaran untuk menjaga pelestariannya.

6. Hasil pembibitan selain dipakai sendiri juga dijual untuk kesejahteraan

anggota.

7. Terciptanya suasana lingkungan yang sejuk sekaligus memberi contoh bagi

masyarakat tentang pentingnya melestarikan lingkungan hidup.

Jika tidak dilakukannya peningkatan kegiatan masyarakat dalam pelestarian

ekosistem mangrove di Kota Dumai juga memiliki dampak sosial dan budaya

seperti tumpang tindihnya masyarakat dan Pemko Dumai dalam lingkungan sosial

dan budaya yang dibuat manusia yang merupakan sistem nilai, gagasan, dan

keyakinan dalam perilaku sebagai makhluk sosial. Kehidupan masyarakat dapat


15

mencapai keteraturan berkat adanya sistem nilai dan norma yang diakui dan

ditaati oleh segenap anggota masyarakat.

Dengan pendekatan sosial merupakan upaya meningkatkan dan

menumbuh kembangkan partisipasi masyarakat dalam upaya mencegah

kerusakan ekosistem wilayah pantai.

3.3 Dampak Lingkungan dan Kesehatan

Bila dilakukan peningkatan kegiatan masyarakat dalam pelestarian ekosistem

mangrove di Kota Dumai maka memiliki dampak lingkungan dan kesehatan bagi

masyarakat dan Pemerintah Kota Dumai seperti dibawah ini :

1. Petani dapat memanfaatkan kembali lahannya yang rusak akibat erosi.

2. Mangrove akan menjadi benteng pantai yang dapat menahan erosi akibat

pukulan ombak atau arus pasang surut dan sebagai stabilisator garis pantai.

3. Terwujudnya Ruang Terbuka Hijau atau Hutan Mangrove.

4. Terciptanya udara sejuk dan sehat.

5. Karena tanaman Mangrove tumbuh bagus, maka lingkungan akan stabil, dan

pepohonan tumbuh rindang dan indah.

Jika tidak dilakukannya peningkatan kegiatan masyarakat dalam pelestarian

ekosistem mangrove di Kota Dumai juga memiliki dampak lingkungan bagi

masyarakat bagi dan Pemko Dumai seperti pantai rusak dan habitat akuatik rusak.

Sedangkan dampak bagi kesehatan seperti menurunnya kandungn karbondioksida

(CO2) dam pencemaran udara (O2).


16Ke
tid

IV. OPTIMALISASI PENINGKATAN KEGIATAN MASYARAKAT


DALAM PELESTARIAN EKOSISTEM MANGROVE DI KOTA DUMAI

4.1 Ketidakjelasan Instansi yang Bertanggung Jawab dalam Kawasan


Pesisir Kota Dumai
Untuk meminimalisasi rusaknya ekosistem mangrove diperlukan

berbagai upaya dengan model pelestarian yang tepat untuk mencapai

keberhasilan. Hal ini penting dilakukan, karena upaya yang dilakukan instansi

terkait sering kali mengalami kegagalan. Upaya pelestarian yang bersifat

topdown yang mengesampingkan unsur masyarakat ternyata mengakibatkan

ketidak berhasilan. Padahal keberadaan masyarakt sekitar hutan mangrove

sangat berpengaruh terhadap kelestarian ekosistem mangrove.

Aktivitas yang dilakukan dalam pelestarian ekosistem mangrove

dilakukan secara kolaboratif yang mengakomodasi berbagai kepentingan,

dimana terjadi interaksi baik antara masyarakat, pemerintah dan pihak lain

sesuai dengan pepran dan wewenang masing-masing dan selanjutnya masyarakat

dapat menjadi subjek yang mempunyai kesempatan untuk berpartisipasi secara

aktif dalam berbagai tahap seperti perencanaan, pelaksanaan serta pemanfaatan

ekosistem mangrove dalam upaya pelestarian ekosistem mangrove.

Beberapa hasil identifikasi di kawasan ekosistem hutan mangrove,

terdapat beberapa komponen utama yang berperan terhadap kelangsungan

ekosistem mangrove, yaitu:

1. Masyarakat : dipengaruhi karakterisktik sosial ekonomi dan persepsi

masyararakat terhadap keberadaan ekosistem mangrove, masyarakat

memanfaatkan hutan mangrove untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Tindakan pemanfaatan yang dilakukan dapat berpenagaruh positif (


17

pemanfaatan terkendali) maupun negatif terhadap kelestarian ekosistem

mangrove.

2. Pemerintah : berperan sebagai unit pelaksana teknis yang bertanggung

jawab secara langsung terhadap kelestarian ekosistem mangrove di

kawasan bandar bakau, sehingga dalam perannya sangat dipengaruhi oleh

kemampuan sumberdaya manusia yang dimiliki serta kebijakan-kebijakan

yang telah ditetapkan oleh pemerintah.

3. Lembaga swadaya masyarakat : memegang peranan penting dalam

keberhasilan pelestarian ekosistem mangrove di bandar bakau. LSM

berperan dalam memfasilitasi motivator dalam upaya menyatukan dan

mensinergikan kepentingan-kepentingan masyarakat.

Pelaksanaan program evaluasi yang dilakukan oleh masyarakat sendiri

dengan difasilitasi dan mendapat pendampingan dari pihak tertentu. Output hasil

dari pelaksanaan program-program kegiatan diatas diharapkan dapat terciptanya

kelestarian ekosistem hutan mangrove meningkatkan kondisi sosial ekonomi

masyarakat dan masyarakat menjadi beffuer terhadap kegiatan yang merusak

ekosistem mangrove. Usulan saya agar adanya kepastian instansi yang

bertanggung jawab dalam mengelola kawasan pesisir Kota Dumai. Seperti

badan-badan dibawah naungan Pemerintahan Pusat yakni Dinas Kehutanan,

Dinas Kelautan dan Perikanan (Pemerintah Kota) Pemerintah Pusat atau Pihak

lainnya.
18

4.2 Terus Berlangsungnya Penebangan Liar Hutan Mangrove di Kota

Dumai

Banyak terjadi penebangan hutan mangrove secara liar disebabkan

karena aturan hukum yang kurang tegas dan banyak alasan lain yang

mempengaruhi kurang terjaganya kelestarian hutan mangrove seperti tingkat

kesadaran masyarakat yang rendah sehingga upaya untuk menjaga

kelestarian hutan mangrove tidak ada.

Permasalahan-permasalahan yang ada seperti penebangan pohon

mangrove untuk kayu arang seperti itu tidak lagi populer di Kota Dumai karena

sudah adanya konversi bahan bakar gas untuk keperluan rumah tangga yang telah

menjangkau masyarakat pedesaan sekalipun. Masalah yang timbul dari

penebangan pohon mangrove kini beralasan kebudayaan yakni festival gasing.

Gasing yang terbaik menggunakan pokok kayu bakau karena dinilai sangat keras

dan tidak mudah pecah ketika diadu pada lomba festival gasing.

Oleh sebab itu marak sekali pencurian dan penebangan pohon bakau.

Namun dengan diplomasi kepada pihak pemerintah yang menyelenggarakan

kegiatan tersebut, maka syarat yang ditetapkan untuk mengikuti lomba tersebut

adalah bahan dasar kayu yang digunakan untuk pembuatan gasing tidak boleh dari

kayu bakau, sehingga tidak ada lagi penebangan pohon bakau dengan alasan

kebudayaan.

Pelihara lingkungan mulai dari hal terkecil, misalnya dengan tidak

menggunakan sumber alam semena-mena dan belajarlah untuk tidak hanya

menerima dan menggunakannya saja, melainkan kita juga harus memberi.


19

Memberi disini dalam artian bahwa kita juga harus melakukan penanaman

kembali.

4.3 Ketidakmampuan Pemko Dumai dalam Mengatasi Pemanfaatan

Kawasan Pesisir Kota Dumai

Ketidakmampuan Pemko Dumai dalam menata dan memelihara kelestarian

lingkungan sangat disayangkan. Melalui pola pendidikan berbagai penyuluhan

tentang pentingnya menata memelihara kelestarian lingkungan hidup seharusnya

pemerintah mampu untuk upaya mewujudkan masyarakat yang peduli dalam

melestarikan ekosistem mangrove. Mengingat beberapa dekade terakhir ini Kota

Dumai merupakan salah satu kawasan yang berkembang.

Kegiatan rehabilitasi pada hutan mangrove yang telah rusak menurut

masyarakat perlu dilakukan. Hal ini menunjukkan adanya kesadaran yang baik

dari masyarakat tentang fungsi hutan mangrove. Untuk membangun komitmen

masyarakat dalam pelaksanaan program dan menjadikan masyarakat sebagai

subyek yang berpartisipasi aktif dalam program pelestarian ekosistem mangrove.

Pengelolaan perairan pesisir adalah bagian integral dari wilayah pesisir

yang merupakan daerah peralihan antara ekosistem daratan dan lautan, dimana

secara biofisik batas dari wilayah pesisir ke arah darat masih dipengaruhi oleh

berbagai aktivitas lautan, seperti intrusi air laut, pasang surut dan angin laut.

Sementara ke arah laut masih dipengaruhi oleh aktivitas daratan seperti; aliran

sungai, sedimentasi akibat penggundulan hutan, pencemaran limbah dari aktivitas

pertanian, industri dan lainnya. Sehingga perairan pesisir sangat berhubungan erat

dengan sistem sungai (daerah aliran sungai) yang merupakan penghubung

ekosistem darat (up land) dengan ekosistem lautan.


20

Batas perairan pesisir sebenarnya hanya berupa garis khayal, karena

tergantung karakter biofisik suatu daerah, sehingga pada tiap-tiap daerah akan

sangat berbeda, karena batas wilayah perairan pesisir bisa masuk sampai ke hulu

sungai dimana aktivitas lautan masih mempengaruhinya, begitu pula batas

perairan pesisir akan semakain jauh menuju laut lepas dimana masih dipengaruhi

berbagai aktivitas daratan baik secara alami maupun oleh aktivitas antropogenik

yang dibawa oleh aliran sungai.

Untuk itu, dalam melakukan pengelolaan perairan pesisir harus

mengutamakan 3 prinsip keterpaduan; Prinsip-1, yaitu keterpaduan antar

ekosistem darat dan laut, dimana harus mempertimbangkan berbagai dampak

biofisik dan sosial-ekonomi yang terkait antara ekosistem darat dan lautan, karena

merupakan satu kesatuan ekologi yang tidak bisa dilepas pisahkan. Artinya

ancaman dan kerusakan terhadap ekosistem daratan akan berimplikasi negatif

terhadap ekosistem lautan, begitu pula sebaliknya.

Prinsip ke-2, yaitu keterpaduan antar sektor dan atau stakeholder, karena

berbagi sektor yang terkait dengan pengelolaan perairan pesisir tidak bisa berjalan

sendiri-sendiri dalam melakukan aktivitasnya, apalagi perairan pesisir merupakan

pusat pemanfaatan dan kegiatan dari berbagai sektor yang berhubungan dengan

daratan maupun lautan, seperti jasa transportasi laut, industri galangan kapal,

perikanan, pertambangan, pariwisata, kehutanan, pertanian, dan industri

manufaktur di daratan. Sehingga dibutuhkan kerjasama dan koordinasi untuk

menghindari arogansi masing-masing sektor dalam mengimplementasikan

program pembangunannya. Selain itu stakeholder terkait seperti pihak pemerintah,

swasta, akademisi, LSM dan masyarakat perlu diakomodir bersama-sama dalam


21

penentuan kebijakan yang berhubungan dengan pengelolaan perairan pesisir, laut

dan pulau-pulau kecil untuk penyamaan persepsi.

Prinsip ke-3, yaitu Keterpaduan antar level pemerintahan, baik pusat

maupun daerah, dimana harus ada komunikasi 2 arah dan kerjasama yang

harmonis antar level pemerintahan, agar tidak terjadi kesalahan dan ketidak

akuratan dalam melakukan perencanaan dan pengimplementasian berbagai

program pembangunan. Tanpa adanya penataan dan pengelolaan kawasan

perairan pesisir dan lautan secara terpadu, maka akan memberikan ekses negatif

bagi keberlanjutan kawasan perairan pesisir dan laut beserta sumberdaya alamnya

di masa-masa yang akan datang.


22

DAFTAR PUSTAKA

Abrahamsz, A.dan M.A, Tuapattinaja, 2005. Evaluasi Kawasan Konservasi Hutan


Mangrove di Desa Passo. Jurnal Penelitian Ilmu-ilmu perikanan dan
kelautan. Universitas Pattimura. Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan(Ichthyos) 4:(93-98).
Anonimous, 2009. (http//:mbojo.wordpress.com/2009/01/01/hutan-mangrove-
dan—luasannya-di-Indonesia)
--------------, 2010. Konsep Pemberdayaan. Bahan Bacaan bagi Fasilitator
PNPM-LMP (Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Lingkungan
Mandiri Perdesaan). Wildlife Conservation Society. Bogor.

--------------, 2011a (http//:mangrovedumai.blogspot.com/2011/06/hutan-


mangrove-muara-sungai-dumai.html)

-------------, 2011b (http//:mangrovedumai.blogspot.com/2011/06/hutan-


mangrove-muara-sungai-dumai.html)

Arsyad, M. dan Thaha. 2003. Konservasi Energy Gelombang melalui Rumpun


Bakau: Rhizophora. Jurnal Penelitian Enjiniring . Fakultas Teknik
Universitas Hasanuddin. 9:251-264.
Badan Lingkungan Hidup Bengkulu Utara. 2011. Laut Pesisir dan
Pantai. http://blhbu.net/index.php?option=com_content&view=article&id=
45%3Alaut-pesisir-pantai&catid=10&Itemid=18. Diakses pada tanggal 15
Februari 2011.

Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Bengkulu Utara Ibukota


Arga Makmur. 2009. Laporan Akhir Workshop Arga Makmur Bengkulu
Utara, 23-27 Februari 2009.

Dahuri, R., J Rais, S.P. Ginting dan M.J.Sitepu. 2008. Pengelolaan Sumberdaya
Wilayah Pesisir dan Lautan secara Terpadu. Pradnya Paramita. Jakarta.

Damayanti, E. 2004. Kesalahan Pengelolaan Wilayah Pesisir, Laut dan Pulau-


Pulau Kecil: Kebingungan Tenurial. Makalah Dipresentasikan dalam
Konferensi Internasional tentang Penguasaan Tanah dan Kekayaan Alam
di Indonesia yang Sedang Berubah:”Mempertanyakan Kembali Berbagai
Jawaban”, 11-13 Oktober 2004, Jakarta.

Darwanto, H. 2009. Pemberdayaan Masyarakat Pedesaan Berbasiskan


Masyarakat Terpencil. Bappenas, Jakarta.
23

FAO,2007. http://www.unesco.org/csi/intro/mangrove.htm Diakses pada


September 2016
Gunarto. 2004. Konservasi Mangrove sebagai Pendukung Sumber Hayati
Perikanan Pantai. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 23:15-21.
Hanif, A. 2011. Kota Dumai dan Kawasan Konservasi Mangrove. Loka Kawasan
KonservasiPerairanNasional.http://www.kp3k.kkp.go.id/lkkpn/index.php?o
ption=com_content&view=article&id=123:kota-dumai-dan-kawasan-
konservasi-mangrove&catid=31:beranda&Itemid=28. Diakses tanggal 6
Desember 2016
Heriyanto,2012 http://teguhheriyanto.blogspot.co.id/2012/11/upaya-konservasi-
ekosistem-mangrove-di.html diakses bulan november 2012

Mile, M Y. 2007. Pengembangan Species Tanaman Pantai untuk Rehabilitasi


dan Perlindungan Kawasan Pantai Pasca Tsunami. Jurnal Info Teknis.
Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan.
Ciamis.1(2) hal : 55

Nybakken, J.W. 1988. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. Pt Gramedia,


Jakarta

Nurahmah, Y. 2007. Teknis Perbanyakan Tanaman Cemara Laut (Casuarina


equisetiafolia) pada Media Pasir. Jurnal Info Teknis. Balai Besar
Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Ciamis.5(1)v-v

Nurmalasari, Y. 2002. Analisis Pengelolaan Wilayah Pesisir Berbasis


Masyarakat. http://docs.google.com/viewer?a=v&q=cache:pkWPWJtSr_M
J:www.stmikim.ac.id/userfiles/jurnal%2520yessy.pdf+&hl=id&gl=id&pid
=bl&srcid=ADGEESi2lrQ6xOhp2GEMbs2BFqSjFxWoHqt9wSTR5_BN0
FR4IjXOikTH094aOl7F_ablcft611d6dyywT8m0Lkd9ji6JcypKtgdrPsxlqB
XJ5XW6nhBlnrHK_Ksm2vPqUAsjGG42jaE&sig=AHIEtbSqLXfm86_ah
Ro7oCuH3Hh3b7mUGw. Diakses tanggal 15 Februari 2011.

Presiden RI 1990-1997 Jakarta, 2000. Nomor : 32 Tahun 1990 Keputusan Presiden No.
32 Tahun 1990 tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung, Sekretariat Negara,
Jakarta

------------------,1999. Undang- Undang Nomor 32 tahun 1999 tentang Perlindundan dan


Pengelolaan Lingkungan Hidup, Sekretariat Negara,Jakarta
24

Purnamasari, L. 2009. Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Terpadu dan


Berkelanjutan. https://uwityangyoyo.wordpress.com. Diakses pada tanggal
15 Februairi 2001.

PPLH UNHAS, 2012.


http://unhas.ac.id/pplh/wpconten/upload/2012/12/uu_2009_32PPH_1Pdf.
Diakses Desember 2012

Republika newsroom, 2009. Kesadaran Masyarakat Jaga Kelestarian


Lingkungan Hidup Rendah, Jakarta

Rusyadi, D. R, Monintja, T. H, Purwaka. M. F. A,Sondita.J, Haluan. 2008.


Evaluasi Keserasian Peraturan Daerah dan Kebijakan Nasional Tentang
Retribusi dan Konservasi di Bidang Perikanan Tangkap. Mangrove Pesisir.
Pusat Studi Pesisir dan Kelautan Universitas Bung Hatta. 8 (1-12).
Soerianegara, I.1990 .http://mbojo.wordpress.com/2009/01/01/hutan-mangrove-
dan-luasannya-di-indonesia diakses tanggal 18 Februari 2011
Steenis, C.G.G. J. Van, G., 1978. Flora Untuk Sekolah Indonesia. Terjemahan.
Surjowinoto,Moeso & Soenarto Hardjosuwarno. PT. Pradnaya Paramita :
Jakarta.
Taridala, S.A.A. 2010. Kesadaran Masyarakat dan Kelestarian Lingkungan
Hidup. Kendari Pos, Halaman 4, Kendari
UNESCO, 2016. http//:www.unesco.org/csi/intro/mangrove.htm diakses pada 18
Februari 2011

Widagdo, B. 2011. Membangun Kesadaran Melestarikan Lingkungan.


Ranselmerah. 25-01-2011.

Wikipedia,2016a. http://id.wikipedia.org/wiki/konservasi diakses pada bulan juni


2011

------------,2016b. http://id.wikipedia.org/wiki/konservasi

.
25

LAMPIRAN
26

Lampiran 1. Peta Propinsi Riau


27

Lampiran 2. Peta Kota Dumai


28

Lampiran 3. Peta Ekosistem Mangrove Dumai


PENGOLAHAN LIMBAH DOMESTIK MENGGUNAKAN TANAMAN HIAS
BINTANG AIR (Cyperus alternifolius, L.) DALAM SISTEM LAHAN BASAH
BUATAN ALIRAN BAWAH PERMUKAAN (SSF-Wetlands) di KOMPLEK
PERUMAHAN PT. CPI - DURI

Disusun Oleh
INDRA KAMIL
NIM : 1510248475

PROGRAM STUDI ILMU LINGKUNGAN


PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
2016
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI......................................................................................................... ii
DAFTAR TABEL................................................................................................. iv
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ iv
DAFTAR LAMPIRAN......................................................................................... v

I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ........................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ...................................................................................... 3

II PENGOLAHAN LIMBAH DOMESTIK MENGGUNAKAN TANAMAN


HIAS Cyperus alternifolius, L. DALAM SISTEM LAHAN BASAH
BUATAN ALIRAN BAWAH PERMUKAAN (SSF-Wetlands) di
KOMPLEK PERUMAHAN PT. CPI- DURI

2.1 Air Limbah Domestik................................................................................. 4


2.1.1 Pengertian air limbah domestik .......................................................... 4
2.1.2 Kualitas air limbah domestik .............................................................. 5
2.2 Lahan Basah Buatan ................................................................................... 7
2.2.1 Gambaran umum ................................................................................ 7
2.2.2 Sistem Lahan Basah Buatan ............................................................... 8
2.3 Sistem Aliran Bawah Permukaan (SSF- Wetland)..................................... 10
2.3.1 Prinsip Dasar pada Lahan Basah Buatan Aliran Bawah
Permukaan.......................................................................................... 11
2.3.2 Faktor yang Mempengaruhi Sistem Lahan Basah Aliran Bawah
Permukaan (SSF- Wetlands) .............................................................. 15
2.4 Tanaman Hias ”Bintang Air” (Cyperus alternifolius) .............................. 17
2.5 Pengolahan Air Limbah Domestik Menggunakan Tanaman Hias
Cyperus alternifolius dalam Sistem Lahan Basah Buatan Aliran
Bawah Permukaan di Perumahan PT. CPI- Duri ...................................... 18
2.5.1 Lokasi Komplek Perumahan PT. CPI- Duri ....................................... 18
2.5.2 Pengolahn Air Limbah Domestik di Perumahan PT. CPI- Duri ........ 19

ii
III.DAMPAK PENGOLAHAN LIMBAH DOMESTIK MENGGUNAKAN
TANAMAN HIAS Cyperus alternifolius, L. DALAM SISTEM LAHAN
BASAH BUATAN ALIRAN BAWAH PERMUKAAN (SSF-Wetlands) di
KOMPLEK PERUMAHAN PT. CPI- DURI

3.1 Dampak Ekonomi....................................................................................... 21


3.2 Dampak Sosial Budaya ................................................................................ 22
3.3 Dampak Lingkungan dan Kesehatan............................................................ 22

IV. UPAYA PENYEMPURNAAN PENGOLAHAN LIMBAH DOMESTIK


MENGGUNAKAN TANAMAN HIAS Cyperus alternifolius, L. DALAM
SISTEM LAHAN BASAH BUATAN ALIRAN BAWAH PERMUKAAN
(SSF-Wetlands) di KOMPLEK PERUMAHAN PT. CPI- DURI

4.1 Sistem dan Teknis Pengolahn Air Limbah Menggunakan Sistem


Lahan Basah ....................................................................................... ........ 24
4.2 Pembuatan Sistem Pengolahan Air lImbah Menggunakan Lahan
Basah Buatan Aliran Bawah Permukaan ........................................... ........ 24
4.3 Aplikasi Sistem di Perumahan PT. CPI........................................................ 24

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................


LAMPIRAN...........................................................................................................

iii
DAFTAR TABEL

Tabel Halaman
2.1 Klasifikasi tingkat pencermaran Air Limbah Domestik ......................... ........ 6
2.2 Peranan media, tanaman dan mikroorganisme terhadap zat polutan dalam SSF
Wetland .......................................................................................................... 14
2.3 Kharakteristik media dalam SSF Wetlands..................................................... 15
2.4 Kinerja lahan basah buatan aliran bawah permukaan berdasarkan jenis media
yang digunakan .............................................................................................. 16
2.5 Data pengolahan air limbah menggunakan sistem aliran bawah permukaan
menggunakan tanaman hias Cyperus alternifolius......................................... 20

iv
DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman
2.1 Fluktuasi Debit Air Limbah Rumah Tangga................................................... 5
2.2 Tranformasi karbon dalam lahan basah buatan............................................... 8
2.3 Tipe Aliran Lahan Basah Buatan .................................................................... 9
2.4 Tipe Wetlands berdasarkan jenis tanaman yang digunakan ........................... 10
2.5 Tanaman “Bintang Air” (Cyperus alternifolius) ........................................... 17
2.6 Peta Lokasi Komplek Perumahan PT. CPI- Duri ........................................... 18

v
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman
1 Peta Propinsi Riau ................................................................................................... 26
2 Peta Kabupaten Bengkalis....................................................................................... 27
3 Peta Komplek Perumahan PT. CPI ......................................................................... 28

vi
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Air merupakan kebutuhan dasar manusia dan sumberdaya yang perlu dijaga
kelestariannya untuk kepentingan manusia dan lingkungan. Ketidakseimbangan
antara ketersediaan air dan kebutuhan serta penggunaannya oleh manusia
menyebabkan ketersediaan air merupakan satu masalah yang diperhitungkan,
sehingga diperlukan perhatian dan penanganan yang serius. Selain faktor
ketidakseimbangan, faktor pencemaran limbah juga merupakan hal yang perlu
diperhatikan. Seringkali limbah dibuang begitu saja ke sungai atau dengan
penanganan yang kurang memadai. Hal ini tentu akan berdampak negatif bagi
masyarakat dan lingkungan. Salah satu agen utama pencemar lingkungan perairan
adalah limbah domestik (limbah rumah tangga), yang memerlukan perlakuan
pengolah limbah sebelum dipergunakan.
Limbah cair domestik adalah air yang telah dipergunakan dan berasal dari
rumah tangga atau pemukiman termasuk di dalamnya adalah yang berasal dari
kamar mandi, tempat cuci, WC, serta tempat memasak (Sugiharto, 1987).
Berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No 112 Tahun 2003 tentang
Baku Mutu Air Limbah Domestik, maka parameter kunci untuk air limbah domestik
adalah BOD, TSS, pH, serta Lemak dan Minyak. Berbagai upaya telah dilakukan
untuk mengurangi dampak pencemaran limbah domestik namun mengalami beberapa
kendala, diantaranya adalah mahalnya alat atau instalasi pengolahan limbah sehingga
sulit dijangkau oleh masyarakat. Salah satu c ar a yang dapat dilakukan dengan biaya
murah dan ramah lingkungan yaitu dengan memanfaatkan tumbuhan air untuk
menanggulangi jumlah pencemar dengan cara menyerap, mengumpulkan dan
mendegradasi bahan-bahan pencemar tertentu yang terdapat dalam limbah tersebut
yang kita kenal dengan phytoremediasi.
Teknik phytoremediasi didefinisikan sebagai teknologi pembersihan,
penghilangan atau pengurangan zat pencemar dalam tanah atau air dengan
menggunakan bantuan tanaman (Chussetijowati, 2010). Mekanisme kerja
phytoremediasi terdiri dari beberapa konsep dasar yaitu: fitoekstraksi, fitovolatilisasi,
2

fitodegradasi, fitostabilisasi, rhizofiltrasi dan interaksi dengan mikroorganisme


pendegradasi polutan (Kelly, 1997).
Sistem Lahan Basah Aliran Bawah Permukaan (Sub Surface Flow –
Wetlands) merupakan salah satu sistem pengolahan air limbah jenis Lahan Basah
Buatan (Constructed Wetlands), dimana prinsip kerja sistem pengolahan limbah
tersebut dengan memanfaatkan simbiosis antara tumbuhan air dengan
mikroorganisme dalam media di sekitar sistem perakaran (Rhizosphere) tanaman
tersebut. Bahan organik yang terdapat dalam air limbah akan dirombak oleh
mikroorganisme menjadi senyawa lebih sederhana dan akan dimanfaatkan oleh
tumbuhan sebagai nutrient, sedangkan sistem perakaran tumbuhan air akan
menghasilkan oksigen yang dapat digunakan sebagai sumber energi/katalis untuk
rangkaian proses metabolisme bagi kehidupan mikroorganisme. Setiap jenis tanaman
akan memiliki kemampuan yang berbeda-beda untuk menghasilkan oksigen,
sehingga kondisi aerob pada daerah rhizosphere untuk tiap-tiap jenis tanaman akan
menjadi faktor pembatas terhadap kehidupan mikroorgaisme. Bagi jenis bakteri
aerob, konsentrasi oksigen merupakan faktor pembatas, sehingga suasana aerob pada
daerah rhizosphere tersebut yang menyebabkan mikroorganisme yang dapat
bersimbiosis dengan masing – masing jenis tanaman akan spesifik.
Berdasarkan rata-rata kondisi iklim Indonesia yang potensial untuk
mendukung pertumbuhan dan transpirasi tanaman sepanjang tahun, maka
pengolahan air limbah menggunakan sistem tersebut diprakirakan dapat berjalan
dengan optimal. Disamping itu, murahnya biaya konstruksi maupun biaya
operasional merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan upaya pengolahan air
limbah secara berkelanjutan.
Dengan mempertimbangkan beberapa aspek tersebut diatas, maka sistem
Lahan Basah Buatan Aliran Bawah Permukaan (SSF-Wetlands) merupakan
alternatif yang cukup baik dalam rangka mengolah air limbah domestik, terutama
pada areal pemukiman, seperti komplek perumahan atau real-estate. Namun
demikian, kebutuhan lahan yang cukup luas untuk sistem Lahan Basah Buatan
Aliran Bawah Permukaan (SSF-Wetlands) akan menjadi hambatan dalam penerapan
sistem tersebut untuk pengolahan air limbah kawasan perumahan di wilayah
perkotaan. Untuk itu diperlukan upaya optimalisasi penggunaan lahan, sehingga
3

pemanfaatan lahan untuk IPAL tersebut dapat dilaksanakan secara efisien.


Alternatif penggunaan tanaman hias dalam sistem Lahan Basah Buatan Aliran
Bawah Permukaan (SSF-Wetlands) merupakan salah satu upaya dalam rangka
mengoptimalkan kebutuhan lahan, dimana lahan pengolah air limbah dapat
dimanfaatkan juga sebagai taman, sehingga sistem pengolah air limbah tersebut
tidak perlu ditempatkan pada lahan tersendiri, namun dapat memanfaatkan lahan
yang diperuntukan sebagai taman di kawasan perumahan tersebut.
Komplek perumahan PT. CPI-Duri merupakan perumahan untuk karyawan
PT. CPI yang bekerja di area Duri- Riau. Perumahan PT. CPI memiliki 11 komplek
yang berada dalam lingkungan PT. CPI- Duri serta mempunyai fasilitas penunjang
seperti tempat olah raga, arena bermain, supermarket dll. Pengolahan air limbah
perumahan PT. CPI dilakukan secara sederhana yaitu dimasukan ke dalam septic
tank dan kemudian dialirkan ke lagoon. Selain pengelolaannya yang sulit, air
limbah perumahan akan bercampur dengan air hujan sehingga terjadi pengenceran.
Hal ini kurang efektif dalam pengolahan air limbah komplek perumahan. Alternatif
lain pengolahan air limbah komplek perumahan sebelum dibuang ke lagoon diolah
menggunakan tanaman hias Bintang Air Cyperus Alternifolius menggunakan sistem
Lahan Basah Buatan Aliran Permukaan. Penggunaan sistem ini, mampu
menurunkan sumber pencemar air limbah berdasarkan peraturan Mentri
Lingkungan Hidup No 112 Tahun 2003 Tentang Baku Mutu Air Limbah Domestik.
Selain itu, sistem Lahan Basah Buatan Aliran Permukaan merupakan metode
pengolahan air limbah sederhana yang ramah lingkungan dengan biaya yang relatef
lebih murah.

1.2 Rumusan Masalah


Masalah yang terjadi jika limbah domestik perumahan PT. CPI diolah
menggunakan sistem Lahan Basah Buatan Aliran Bawah Permukaan (SSF-
Wetlands) menggunakan tanaman hias jenis Cyperus alternifolius.
1. Sistem dan teknis pengolahan air limbah menggunakan sistem lahan basah
2. Pembuatan sistem Lahan Basah Buatan Aliran Bawah Permukaan dan
penggunaan tanaman hias jenis Cyperus alternifolius
3. Aplikasi sistem ini di PT. CPI- Duri
II. PENGOLAHAN LIMBAH DOMESTIK MENGGUNAKAN TANAMAN
HIAS Cyperus alternifolius, L. DALAM SISTEM LAHAN BASAH BUATAN
ALIRAN BAWAH PERMUKAAN (SSF-Wetlands) di KOMPLEK
PERUMAHAN PT. CPI- DURI

2.1 Air Limbah Domestik


2.1.1 Pengertian air limbah domestik
Air limbah adalah cairan buangan dari rumah tangga, industri maupun tempat
– tempat umum lain yang mengandung bahan – bahan yang dapat membahayakan
kehidupan manusia maupun makhluk hidup lain serta mengganggu kelestarian
lingkungan (Metcalf dan Eddy, 1993).
Air limbah domestik, menurut Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor
112 Tahun 2003 tentang Baku Mutu Air Limbah Domestik disebutkan pada Pasal 1
ayat 1, bahwa air limbah domestik adalah air limbah yang berasal dari usaha dan atau
kegiatan permukiman (real estate), rumah makan (restaurant), perkantoran,
perniagaan, apartemen dan asrama.
Menurut Hammer (1986), berdasarkan sumbernya air limbah domestik dapat
berasal dari area pemukiman, motel dan hotel, sekolah, restaurant, rumah
sakit, terminal, perkantoran maupun bioskop. Secara prinsip air limbah domestik
terbagi menjadi 2 kelompok, yaitu air limbah yang terdiri dari air buangan tubuh
manusia yaitu tinja dan urine (black water) dan air limbah yang berasal dari
buangan dapur dan kamar mandi (gray water), yang sebagian besar merupakan
bahan organik ( Veenstra, 1995).
Debit air limbah yang dihasilkan akan sangat tergantung dengan jenis
kegiatan dari masing – masing sumber air limbah, sehingga flutuasi harian
akan sangat bervariasi untuk masing – masing kegiatan. Sedangkan fluktuasi harian
pada suatu kawasan perumahan faktor yang mempengaruhi cukup komplek,
mengingat aktivitas harian pada suatu kawasan perumahan akan sangat tergantung
pada sosial- budaya maupun tingkat ekonomi dari penghuninya.
Menurut Hindarko (2003), bahwa fluktuasi harian untuk air limbah yang
berasal dari perumahan juga dipengaruhi oleh jumlah penduduk dan panjang
jaringan pipa/saluran yang ada. Namun demikian, secara umum akan membentuk
pola bahwa debit puncak terjadi dua kali, yaitu pada saat pagi dan sore hari, seperti
pada Gambar 2.1
5

Gambar 2.1 Fluktuasi Debit Air Limbah Rumah Tangga


(Sumber : Hindarko, 2003)
2.1.2 Kualitas air limbah domestik
Kualitas suatu air limbah akan dapat terindikasi dari kualitas parameter
kunci, dimana konsentrasi parameter kunci tidak melebihi dari standard baku mutu
yang ada sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Mengingat air
limbah domestik kandungan terbesar adalah bahan organik, maka parameter
kunci yang umum digunakan adalah BOD, COD dan lemak/minyak. Berdasarkan
Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 112 Tahun 2003 tentang Baku Mutu
Air Limbah Domestik, maka parameter kunci untuk air limbah domestik adalah
BOD, TSS, pH serta Lemak dan Minyak.
Menurut Hammer (1986), kualitas air limbah dari masing – masing kegiatan
dapat bervariasi, namun rata- rata kualitas air limbah domestik adalah sebagai
berikut :
- MLSS = 240 mg/L - Total N = 35 mg/L
- MLVSS = 180 mg/L - Total P = 10 mg/L
- BOD = 200 mg/L
Sedangkan air limbah domestik jenis gray water yang dibuang tanpa diolah,
menurut Veenstra (1995), mempunyai kharakteristik sebagai berikut :

- BOD520 = 110 – 400 mg/L


- COD = 150 – 600 mg/L
6

- TSS = 350 – 750 mg/L


- Tidak mengandung bahan berbahaya seperti logam berat dan bahan
kimia toksik.
Konsentrasi rata – rata untuk parameter tersebut menurut Sundstrom dan
Klei dalam Sugiharto (1987) adalah sebagai berikut :

- BOD520 = 250 mg/L


- COD = 500 mg/L
- TSS = 500 mg/L
Dari hasil penelitian di perumahan ITS – Sukolilo-Surabaya oleh Tangahu
dan Warmadewanthi (2001), bahwa rata – rata kharakteristik limbah rumah tangga
adalah sebagai berikut :
- pH = 6,92
- BOD5 = 195 mg/L
- COD = 290 mg/L
- TSS = 480 mg/L

- Suhu = 29 oC
Menurut Rump dan Krist (dalam Effendi, 2003), bahwa air limbah domestik
dapat diklasifikasikan tingkat pencemarannya berdasarkan kualitas parameter
air limbah, yaitu :
Tabel 2.1 Klasifikasi tingkat pencemaran Air Limbah Domestik

No Parameter Tingkat Pencemaran


Berat Sedang Ringan
1 Padatan Total (mg/l) 1.000 500 200
2 Padatan Terendapkan (ml/l) 12 8 4
3 BOD (mg/l) 300 200 100
4 COD (mg/l) 800 600 400
5 N Total (mg/l) 85 50 25
6 Amonia-N (mg/l) 30 30 15
7 Klorida (mg/l) 175 100 15
8 Alkalinitas (mg/l CaCO3) 200 100 50
9 Minyak dan Lemak 40 20 0
Sumber : Rump dan Krist dalam Effendi, 2003
7

Adapun persyaratan yang telah ditetapkan Pemerintah Indonesia sesuai


dengan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 112 Tahun 2003 tentang Baku
Mutu Air Limbah Domestik, adalah sebagai berikut :
- pH = 6–9
- BOD = 100 mg/L
- TSS = 100 mg/L
- Lemak & Minyak = 10 mg/L

2.2 Lahan Basah Buatan


2.2.1 Gambaran umum
Sistem lahan basah buatan (Constructed wetland) merupakan proses
pengolahan limbah yang meniru/ aplikasi dari proses penjernihan air yang terjadi
dilahan basah/rawa (wetland), dimana tumbuhan air (hydrophita) yang tumbuh di
daerah tersebut memegang peranan penting dalam proses pemulihan kualitas air
limbag secara alami (self Purification). Menurut Hammer (1986) pengolahan limbah
system wetland didefenisikan sebagai sstem pengolahn yang memasukan faktor
utama, yaitu:
 Area yang tergenangi air dan mendukung kehidupan tumbuhan air sejenis
hydrophyta.
 Media tempat tumbuh berupa tanah yang selalu digenangi air (basah)
 Media bisa juga bukan tanah, tetapi media yang jenuh dengan air.
Sejalan dengan perkembangan ilmu dan penelitian, maka definisi tersebut
disempurnakan oleh Metcalf dan Eddy (1993), menjadi “Sistem yang termasuk
pengolahan alami, dimana terjadi aktivitas pengolahn sedimentasi, filtrasi, transfer
gas, adsorpsi, pengolah kimiawi dan biolgis, karena aktifitas mikroorganisme dalam
tanah dan aktivitas tanaman”.
Prinsip pengolahan limbah dalam lahan basah buatan untuk menguraikan
limbah dalam bentuk Particulate Organic Carbon (POC), Dissolved Organic
Carbon (DOC), Dissolved Inorganic Carbon (DIC), Volatile Organic Carbon
(VOC), dan Particulate Inorganic Carbon (PIC) berlangsung secara aerobic.
Oksigen berasal dari udara yang masuk ke dalam air, fitoplankton dan tanaman air
8

yang berada dalam lahan basah buatan. Mikroorganisme pada lahan basah buatan
berperan dalam melakukan transformasi karbon. Hasil dari penguraian bahan organic
tersebut akan dimanfaatkan oleh fitoplankton dan tanaman air. Dengan demikian
terjadilah pengurangan pencemar (US EPA, 1999). Gambar 2.2 memperlihatkan
secara teoritis trasformasi karbon dalam suatu lahan basah buatan.
Menurut Mengzhi (2009), lahan basah buatan memiliki karakteristik
performa yang baik, biaya pengoperasian dan investasi yang minimum, sangat
ekonomi dan bermanfaat bagi masyarakat dalam menanganani air limbah, secara
mekanisme, penyisihan polutan merupakan dasar yang penting pada desain teknik
lahan basah buatan, dan dapat memberikan keandalan dalam desain rekasaya dan
operasi. Aplikasi lahan basah buatan saat ini telah banyak digunakan di berbagai
negara baik untuk mengolah limbah cair domestik maupun non domestik. Di
beberapa negara seperti Turki, Ceko, Amerika, Kanada dan Negara lain, lahan basah
buatan digunakan untuk mengolah lindi.

Gambar 2.2 Transformasi karbon dalam lahan basah buatan


Sumber : Environmental Protection Agency, (1999)

2.2.2 Sistem Lahan Basah Buatan


Dalam Lahan Basah Buatan terdapat dua sistem yang dikembangkan saat ini
yaitu Free Water Surface System (FWS) dan Sub-Surface Flow System (SSF) seperti
terlihat pada Gambar 2.3 (Crites dan Techobanoglous, 1998). Free Water Surface
System (FWS) disebut juga rawa buatan dengan aliran di atas permukaan tanah. Sub-
9

Surface Flow System (SSF) disebut juga rawa buatan dengan aliran di bawah
permukaan tanah. Air limbah mengalir melalui tanaman yang ditanam pada media
berpori. Secara konsep SSF baik untuk diterapkan pada skala yang kecil seperti
perumahan individual, komunal, taman, sekolah dan fasilitas publik serta area
komersial. Karena pengaliran air di bawah permuaan batuan, larva dan nyamuk tidak
dapat berkembang biak. Namun secara ekonomis konsep FWS baik untk diterapkan
pada permukiman skala besar dan system industry (Metcalf dan Eddy, 1991, Crites
dan Tchobanoglous, 1998).

Gambar 2.3 Tipe Aliran Lahan Basah Buatan

Proses pengolahan yang terjadi pada system ini adalah filtrasi, adsorbs oleh
mikroorganisme, dan adsorbs oleh akar-akar tanaman terhadap bahan organic dalam
tanah (Novotny dan Olem, 1994).
Sedangkan klasifikasi Lahan Basah Buatan (Constructed
Wetlands) berdasarkan jenis tanaman yang digunakan, terbagi menjadi tiga
kelompok, yaitu (Suriawiria, 1993):
1. Sistem yang menggunakan tanaman makrofita mengambang atau sering disebut
dengan Lahan Basah sistem Tanaman Air Mengambang (Floating Aquatic Plant
System).
2. Sistem yang menggunakan tanaman makrofita dalam air (Submerged) dan
umumnya digunakan pada sistem Lahan Basah Buatan tipe Aliran Permukaan
(Surface Flow Wetlands).
3. Sistem yang menggunakan tanaman makrophyta yang akarnya tenggelam atau
10

sering disebut juga amphibiuos plants dan biasanya digunakan untuk Lahan
Basah Buatan tipe Aliran Bawah Permukaan (Subsurface Flow Wetlands) SSF-
Wetlands.
Pada Gambar 2.4 dapat dilihat secara rinci perbedaan penggunaan
tanaman dari ketiga jenis sistem Lahan Basah tersebut.

Gambar 2.4 Tipe Wetlands berdasarkan jenis tanaman yang digunakan

2.3 Sistem Aliran Bawah Permukaan (SSF – Wetland)


Sistem Aliran Bawah Permukaan (Sub Surface Flow - Wetlands) merupakan
sistem pengolahan limbah yang relatif masih baru, namun telah banyak diteliti dan
dikembangkan oleh banyak negara dengan berbagai alasan. Menurut Tangahu dan
Warmadewanthi (2001), bahwa pengolahan air limbah dengan sistem tersebut lebih
dianjurkan karena beberapa alasan sebagai berikut :
- Dapat mengolah limbah domestik, pertanian dan sebagian limbah industri
termasuk logam berat.
- Efisiensi pengolahan tinggi (80 %).
- Biaya perencanaan, pengoperasian dan pemeliharaan murah dan tidak
membutuhkan ketrampilan yang tinggi.
11

Alasan lain yang lebih teknis dikemukakan oleh Haberl dan Langergraber
(2002), bahwa berdasarkan pendekatan teknis maupun efektivitas biaya, sistem
tersebut lebih banyak dipilih dengan alasan sebagai berikut :
- Sistem wetlands seringkali pembangunannya lebih murah dibandingkan dengan
alternatif sistem pengolahan limbah yang lainnya.
- Biaya operasional dan pemeliharaan yang rendah dan waktu
operasionalnya secara periodik, tidak perlu secara kontinyu.
- Sistem Wetlands ini mempunyai toleransi yang tinggi terhadap fluktuasi debit
air limbah.
- Mampu mengolah air limbah dengan berbagai perbedaan jenis polutan
maupun konsentrasinya.
- Memungkinkan untuk pelaksanaan pemanfaatan kembali & daur ulang (reuse
and recycling) airnya.

2.3.1 Prinsip Dasar pada Lahan Basah Buatan Aliran Bawah Permukaan
Mengacu dari definisi Wetlands dari Met Calf dan Eddy (1993), maka proses
pengolahan limbah pada Lahan Basah Buatan Aliran Bawah Permukaan
(SSF-Wetlands) dapat terjadi secara fisik, kimia maupun biologi. Proses secara
fisik yang terjadi adalah proses sedimantasi, filtrasi, adsorpsi oleh media tanah
yang ada. Menurut Wood (dalam Tangahu & Warmadewanthi, 2001), dengan
adanya proses secara fisik ini hanya dapat mengurangi konsentrasi COD & BOD
solid maupun TSS, sedangkan COD & BOD terlarut dapat dihilangkan dengan
proses gabungan kimia dan biologi melalui aktivitas mikroorganisme maupun
tanaman.
Hal tersebut dinyatakan juga oleh Haberl dan Langergraber (2002), bahwa
proses eliminasi polutan dalam air limbah terjadi melalui proses secara fisik, kimia
dan biologi yang cukup komplek yang terdapat dalam asosiasi antara media,
tumbuhan makrophyta dan mikroorganisme, antara lain:
• Pengendapan untuk zat padatan tersuspensi
• Filtrasi dan pretipitasi kimia pada media
• Transformasi kimia
12

• Adsorpsi dan pertukaran ion dalam permukaan tanaman maupun media


• Transformasi dan penurunan polutan maupun nutrient oleh mikroorganisme
maupun tanaman
• Mengurangi mikroorganisme pathogen
Mekanisme penyerapan polutan pada Lahan Basah Buatan, menurut USDA
and ITRC (dalam Halverson, 2004) menyebutkan bahwa secara umum melalui
proses abiotik (Fisik dan kimia) atau biotik (mikrobia dan tanaman) dan gabungan
dari kedua proses tersebut. Proses pengolahan awal (primer) secara abiotik, antara
lain melalui :
 Settling dan sedimentasi, efektif untuk menghilangkan partikulat dan padatan
tersuspensi.
• Adsorpsi dan absorpsi, merupakan proses kimiawi yang terjadi pada tanaman,
substrat, sediment maupun air limbah, yang berkaitan erat dengan waktu retensi
air limbah.
• Oksidasi dan reduksi, efektif untuk mengikat logam-logam B3 dalam Lahan
Basah Buatan.
• Photodegradasi/oxidasi, degradasi (penurunan) berbagai unsur polutan yang
berkaitan dengan adanya sinar matahari.
• Volatilisasi, penurunan polutan akibat menguap dalam bentuk gas.
Proses secara biotik, seperti biodegradasi dan penyerapan oleh tanaman juga
merupakan bentuk pengurangan polutan seperti halnya pada proses abiotik.
Beberapa proses pengurangan polutan yang dilakukan oleh mikrobia dan tanaman
dalam Lahan Basah, antara lain sebagai berikut :
• Biodegradasi secara Aerobik/anaerobik, merupakan proses
metabolisme mikroorganisme yang efektif menghilangkan bahan organik
dalam Lahan Basah
• Phyto-akumulasi, proses s pengambilan dan akumulasi bahan
anorganik oleh tanaman.
• Phyto-stabilisasi, merupakan bentuk kemampuan sebagian tanaman untuk
memisahkan bahan anorganik pada akar tanaman.
• Phyto-degradasi, tanaman dapat menghasilkan enzim yang dapat memecah
13

bahan organik maupun anorganik dari polutan sebelum diserap, selama proses
transpirasi.
• Rhizo-degradasi, akar tanaman dapat melakukan penyerapan bahan polutan
dari hasil degradasi bahan organik yang dilakukan oleh mikrobia.
• Phyto-volatilisasi / evapotranspirasi, penyerapan dan transpirasi pada daun
tanaman terhadap bahan-bahan yang bersifat volatil.
Proses penurunan polutan dalam bentuk bahan organik tinggi, merupakan
nutrient bagi tanaman. Melalui proses dekomposisi bahan organik oleh jaringan akar
tanaman akan memberikan sumbangan yang besar terhadap penyediaan C, N, dan
energi bagi kehidupan mikrobia (Handayanto, dan Hairiah, 2007).
Brix ( dalam Khiatuddin, 2003), menyatakan bahwa dibawah permukaan
tanah, akar tumbuhan akuatik mengeluarkan oksigen, sehingga terbentuk zona
rizosfer yang kaya akan oksigen diseluruh permukaan rambut akar. Oksigen tersebut
mengalir keakar melalui batang setelah berdufusi dari atmosfir melalui pori-pori
daun. Pendapat tersebut diperkuat dengan penyataan Tangahu dan
Warmadewanthi (2001), bahwa pelepasan oksigen di sekitar akar (rizosfer) tersebut
sangat dimungkinkan karena jenis tanaman hydrophyta mempunyai ruang antar
sel atau lubang saluran udara (aerenchyma) sebagai alat transportasi oksigen
dari atmosfer ke bagian perakaran.
Menurut Reed, et al.(dalam Khiatuddin, 2003), diperkirakan, oksigen yang

dilepas oleh akar tanaman air dalam 1 hari berkisar antara 5 hingga 45 mg/M2 luas
akar tanaman. Percobaan yang dilakukan oleh Brix, et al. di Australia menemukan
bahwa tanaman-tanaman air mampu memasok oksigen ke dalam tanah dibawah

permukaan air dalam kisaran 0,2 – 10 cm3 O2 /menit tiap batangnya


(Khiatuddin, 2003).
Menurut Amstrong (dalam Tangahu dan Warmadewanthi, 2001), bahwa

jumlah oksigen yang dilepaskan oleh tanaman Hydrophyta sebesar 12 g O2/m2/hari,


dengan sistem perakaran tiap batangnya mempunyai 10 akar adventif, dimana tiap
akar adventif berisi 600 akar lateral. Sedangkan menurut Hindarko (2003),
menyebutkan bahwa berdasarkan pengalaman, kadar oksigen yang dipasok melalui
14

daun, batang maupun akar tanaman yang terdapat dalam SSF-Wetlands rata-rata

sebesar 20 g O2/m2/hari.
Pelepasan oksigen oleh akar tanaman air menyebabkan air/tanah disekitar
rambut akar memiliki oksigen terlarut yang lebih tinggi dibandingkan
dengan air/tanah yang tidak ditumbuhi tanaman air, sehingga memungkinkan
organisme mikro pengurai seperti bakteri aerob dapat hidup dalam lingkungan lahan
basah yang berkondisi anaerob (Khiatuddin, 2003). Menurut Suriawiniata (1993),
kelompok mikroorganisme yang berada di daerah rhizosphere atau sering disebut
mikroba rhizosfera, tidak hanya jenis bakteri, namun juga beberapa jenis dari
kelompok jamur. Mikroba rhizosfera ini hidup secara simbiosa disekitar akar
tanaman dan kehadirannya secara khas tergantung pada akar tanaman tersebut.
Peranan media, tanaman maupun mikroorganisme yang terdapat dalam sistem
pengolahan limbah SSF-Wetlands tersebut, berdasarkan tiga komponen utama zat
polutan dapat digambarkan dalam Tabel 2.2 :

Tabel 2.2 Peranan Media, Tanaman dan Mikroorganisme terhadap pengurangan zat
polutan dalam SSF Wetlands.
Polutan Lokasi Proses
BOD5 Akar Peruraian oleh mikrobia
Media Peruraian oleh mikrobia
Media Pengendapan

Nitrogen Daun Volatilisasi (sbg N2 dan N2O)


Algae di saluran air Nitrifikasi
Akar tanaman Denitrifikasi
Tanah, Media Pengendapan

Phospor Akar Peruraian oleh mikrobia


Akar Penyerapan
Media Sedimentasi
Media Adsorpsi

Sumber : Anonim, 1998


15

2.3.2 Faktor yang mempengaruhi Sistem Lahan Basah Aliran


Bawah Permukaan (SSF-Wetlands)
Dalam proses pengolahan air limbah dengan Sistem ini, terdapat empat
faktor / komponen yang mempengaruhi kinerja sistem tersebut, yaitu (Wood dalam
Tangahu dan Warmadewanthi, 2001) :
1. Media
Media yang digunakan dalam reaktor Lahan Basah Aliran Bawah Permukaan
(SSF-Wetlands) secara umum dapat berupa tanah, pasir, batuan atau bahan – bahan
lainnya, namun khusus pada penelitian ini menggunakan batuan pasir. Tingkat
permeabilitas dan konduktivitas hidrolis media tersebut sangat berpengaruh terhadap
waktu detensi air limbah, dimana waktu detensi yang cukup akan memberikan
kesempatan kontak antara mikroorganisme dengan air limbah, serta oksigen yang
dikeluarkan oleh akar tanaman
Pada Tabel 2.3, disajikan kharakteristik media yang umum digunakan pada
sistem Lahan Basah Buatan Aliran bawah Permukaan yang terbagi menjadi lima tipe,
yaitu :

Tabel 2.3 Kharakteristik media dalam SSF Wetlands

Konduktivitas
Tipe Diameter butiran Porositas
No Hidrolik
Media (mm) (η) (ft/d)

1 Medium sand 1 0,30 1640

2 Coarse sand 2 0,32 3280

3 Gravelly sand 8 0,35 16.400

4 Medium gravel 32 0,40 32.800

5 Coarse gravel 128 0,45 328.000


Sumber : Crites dan Tchobanoglous (1998).
16

Peranan utama dari media pada Lahan Basah Buatan Aliran


Bawah Permukaan (SSF-Wetlands) tersebut adalah :
- Tempat tumbuh bagi tanaman
- Media berkembang-biaknya mikroorganisme
- Membantu terjadinya proses sedimentasi.
- Membantu penyerapan (adsorbsi) bau dari gas hasil biodegradasi
Sedangkan peranan lainnya adalah tempat terjadinya proses transformasi
kimiawi, tempat penyimpanan bahan – bahan nutrien yang dibutuhkan oleh
tanaman. Menurut Watson et. a l. (dalam Khiatuddin, 2003) menyebutkan bahwa
kinerja SSF wetlands berdasarkan media yang digunakan dapat dilihat pada Tabel
2.4:
Tabel 2.4 Kinerja Lahan Basah Buatan Aliran Bawah Permukaan
berdasarkan jenis media yang digunakan
Prosentase Pengurangan Polutan
No. Jenis Media
BOD SS Coliform

1. Kerikil 55 – 96 51 – 98 99

2. Tanah 62 – 85 49 – 85 -

3. Pasir 96 94 100

4. Tanah Liat 92 91 -

Sumber : Khiatuddin. (2003).

2. Tanaman
Jenis tamanan yang sering digunakan untuk Lahan Basah Buatan Aliran
Bawah Permukaan adalah jenis tanaman air atau tanaman yang tahan hidup diair
tergenang (Submerged plants atau amphibiuos plants).
Pada umumnya tanaman air tersebut dapat dibedakan menjadi 3 tiga tipe/
kelompok, berdasarkan area pertumbuhannya didalam air. Adapun ketiga tipe
tanaman air tersebut adalah sebagai berikut :
1) Tanaman yang mencuat ke permukaan air, merupakan tanaman air yang
memiliki sistem perakaran pada tanah di dasar perairan dan daun berada jauh
diatas permukaan air.
17

2) Tanaman yang mengambang dalam air, merupakan tanaman air yang


seluruh tanaman (akar, batang, daun) berada didalam air.
3) Tanaman yang mengapung di permukaan air, merupakan tanaman air yang
akar dan batangnya berada dalam air, sedangkan daun diatas permukaan air.
Dari beberapa jenis tanaman amphibiuos plants tersebut yang merupakan
tanaman hias dan memiliki nilai estetika. Salah satunya adalah "Bintang Air"
(Cyperus alternifolius), sehingga penerapan terhadap jenis tersebut untuk
pengolahan limbah sekaligus dapat dimanfaatkan sebagai taman atau sering
disebut sebagai Taman Pengolah Limbah (Waste water Garden).

2.4 Tanamana Hias "Bintang Air" (Cyperus alternifolius)


Adapun klasifikasi tanaman "Bintang Air" (Cyperus alternifolius)
adalah sebagai berikut (Gambar 2.5) :

o Divisi : Tracheophyta

o Klas : Angiospremae

o Sub-Klas : Monocotyledoneae

o Familia : Cyperaceae

o Genus : Cyperus

o Spesies : Cyperus alternifolius, L.

Gambar 2.5 Tanaman "Bintang Air" (Cyperus alternifolius)

(Lukito, 2004) Tanaman ini mempunyai tangkai berbentuk segitiga, dengan


panjang batang dewasa 0,5 - 1,5 meter. Tangkai menyangga daun yang berbentuk
sempit dan datar, mengelilingi ujung tangkai secara simetris membentuk pola
melingkar mirip cakram. Panjang daun 12 – 15 Cm dan pada bagian tengah – tengah
daun tumbuh bunga-bunga kecil bertangkai, berwarna kehijauan.
Lemke, (1999) menyebutkan bahwa tanaman tersebut merupakan tanaman
hias yang berasal dari Madagaskar dan merupakan jenis lain dari tanaman Papyrus
yang berasal dari sungai Nil. Dapat tumbuh cepat dilingkungan basah (berair),
18

dengan variasi ketinggian tanaman 0,5 – 1,5 meter. Berkembang biak setiap bulan
secara vegetatif melalui sistem perakaran maupun secara generatif melalui biji yang
terletak diujung batang pada pangkal daun.
Tanaman “bintang Air” merupakan jenis tanaman phytoremediasi yang mampu
menyerap bahan pencemar air limbah. Selain mampu menyerap bahan pencemar,
tanaman “Bintang Air” mudah didapat dilingkungan sekitar. Metode yang dilakukan
sederhana dan murah serta ramah lingkungan.

2.5 Pengolahan Air Limbah Domestik Menggunakan Tanaman Hias Cyperus


alternifolius dalam Sistem Lahan Basah Buatan Aliran Bawah Permukaan
di Perumahan PT. CPI- Duri
2.5.1 Lokasi Komplek Perumahan PT. CPI- Duri
Komplek perumahan PT. CPI Duri terletak di duri kecematan Mandau
kabupaten Bengkalis. Gambar 2.6 merupakan peta komplek perumahan PT. CPI
Duri:

Komplek Perumahan
PT. CPI Duri

Gambar 2.6 Peta Lokasi Komplek Perumahan PT. CPI Duri


19

2.5.2 Pengolahan Air Limbah Domestik di Perumahan PT. CPI-Duri


Di dalam dokumen Agenda-21 Indonesia disebutkan, bahwa wilayah
pemukiman kota merupakan salah satu penyumbang utama terhadap pencemaran
sungai, dimana sekitar 60% sampai dengan 70% pencemaran sungai disebabkan
oleh limbah domestik (Anonim, 1997). Salah satu contoh kasus yang pernah dimuat
pada Harian Pikiran Rakyat edisi 15 Oktober 1997, bahwa tingkat pencemaran air
Sungai Citarum saat ini sudah mencapai 80-100% di atas ambang batas. Penyebab
utama pencemaran ini adalah limbah domestik (40%), limbah industri (30%) dan
sisanya limbah pertanian, peternakan atau limbah lainnya.
Dari hasil pengolahan air limbah menggunakan sistem lahan basah di bawah
permukaan menggunakan tanaman hias Cyperus alternifolius terdapat pada tabel 2.5
(Supradata, 2005).
Tebel 2.5. Data pengolahan air limbah menggunakan Sistem aliran bawah
permukaan menggunakan tanaman hias Cyperus alternifolius

Waktu BOD COD TSS


No. tinggal (mg/l) (mg/l) (mg/l)
(hari)
Pagi* Sore** Pagi* Sore** Pagi* Sore**

1. 0 279,51 161,76 405,00 318,06 280,00 215,00

2. 1 91,91 74,67 142,44 151,36 120,00 98,00

3. 2 52,63 42,22 85,72 68,74 84,00 53,00

4. 3 26,25 24,19 41,12 38,74 56,00 32,00

5. 4 14,34 16,14 31,68 20,20 36,00 16,00

6. 5 14,18 10,08 24,62 12,12 24,00 7,00

Sumber : Supradata, 2005

Berdasarkan data diatas, sistem pengolahan air limbah menggunakan sistem


aliran dibawah permukaan menggunakan tanaman hias mampu menurunkan
parameter sumber pencemar air limbah. Untuk itu, perencanaan pengolahan air
limbah menggunakan sistem ini akan di aplikasi di PT. CPI duri, tapi terdapat
20

beberapa masalah diantaranya:


1. Perizinan kepada PT. CPI –duri
2. Sistem dan teknis pengolahan air limbah menggunakan sistem ini.
3. Pembuatan sistem Lahan Basah Buatan Aliran Bawah Permukaan dan
penggunaan tanaman hias jenis Cyperus alternifolius
4. Aplikasi sistem ini di PT. CPI- Duri
III. DAMPAK PENGOLAHAN LIMBAH DOMESTIK MENGGUNAKAN
TANAMAN HIAS Cyperus alternifolius, L. DALAM SISTEM LAHAN
BASAH BUATAN ALIRAN BAWAH PERMUKAAN (SSF-Wetlands) di
KOMPLEK PERUMAHAN PT. CPI- DURI

3.1 Dampak Ekonomi


Air limbah domestik yang dihasilkan dari perumahan PT. CPI jika ditinjau
secara langsung, jika tidak diolah akan menyebabkan:
1. Berpengaruh terhadap penyedot septic tank dikarenakan septic tank perumahan
cepat meluber akan banyak permintaan jasa untuk sedot septic tank. Jadi dampak
ekonomi yang terasa jika air limbah tidak diolah yaitu jasa penyedot septic tank
Jika air limbah domestik diolah menggunakan Lahan Basah Buatan Aliran
bawah Permukaan dengan menggunakan tanaman hias merupakan salah satu cara
untuk mengurangi kadar parameter pencemar khususnya air limbah domestik.
Potensi dampak ekonomi bagi warga sekitar menggunakan sistem ini diantaranya
adalah sebagai berikut:
1. Meningkatnya permintaan pembuatan sistem lahan basah dibawah permukaan.
Semakin tinggi permintaan, maka semakin besar peluang pekerjaan untuk
masyarakat sekitar komplek PT. CPI Duri.
2. Terbuka lapangan usaha seperti budi daya tanaman hias Cyperus alternifolius dan
pemanfaatan tanaman hias Cyperus alternifolius secara optimal.
3. Air hasil dari penerapan sistem lahan basah aliran bawah permukaan bisa
dimanfaatkan sebagai air penyiram tanaman, sehingga tidak menggunakan air
PDAM atau Sumur Bor (listrik)

3.2 Dampak Sosial Budaya


Jika sistem ini tidak digunakan, akan menimbulkan beberapa masalah pada
masyarakat yaitu sebagai berikut :
1. Kebiasaan dari masyarakat akan kurangnya kepedulian terhadap pencemaran
lingkungan tidak akan berubah.
2. Masyarakat tidak memahami pengolahan limbah air menggunakan tanaman hias
Jika menerapkan sistem ini di Komplek Perumahan PT. CPI-Duri akan
mengubah kondisi sosial budaya warga komplek seperti:
1. Masyarakat sadar akan menjaga pencemaran lingkungan, mengurangi
22

pemakaian air secara berlebihan, serta tidak terjadi konflik akibat dari
pembuangan air limbah yang tidak bertanggung jawab.
2. Menambah ilmu masyarakat dalam menggunakan tanaman hias sebagai salah
satu metode pengolahan limbah

3.3 Dampak Lingkungan dan Kesehatan


Dampak lingkungan dan kesehatan jika air limbah tidak diolah yaitu:
1. Air limbah menjadi cepat meluber dan terjadi bau tidak sedap
2. Menjadi tempat berkembangbiaknya pembawa penyakit seperti tikus, kecoa dll.
Menurut Mengzhi (2009), Lahan Basah Buatan memiliki karakteristik
performa yang baik, biaya pengoperasian dan investasi yang minimum, sangat
ekonomi dan bermanfaat bagi masyarakat dalam menanganani air limbah, secara
mekanisme, penyisihan polutan merupakan dasar yang penting pada desain teknik
lahan basah buatan, dan dapat memberikan keandalan dalam desain rekasaya dan
operasi. Aplikasi Lahan Basah Buatan saat ini telah banyak digunakan di berbagai
Negara baik untuk mengolah limbah cair domestic maupun non domestic. Dengan
demikian, lahan basah buatan ini merupakan sistem pengolahan air limbah yang
ramah lingkungan. Dampak lingkungan lain yang terjadi diantaranya berkurang
jentik nyamuk pada air limbah, tumbuh dan berkembang biota-biota perairan jika air
limbah dialirkan ke badan air setelah dilakukan pengolahan, serta air limbah
domestik memenuhi baku mutu yang telah ditetapkan. Selain itu, tanaman hias
sebagai Phytoremediasi juga memperindah tempat pengolahan air limbah Lahan
Basah Buatan.
Ditinjau dari segi kesehatan, adapun manfaat metode ini adalah :
1. Membantu untuk meningkatkan sanitasi perumahan karena pembuangan air
limbah domestik sesuai dengan sanitasi yang diharapkan, tidak menyebarnya
bau air limbah ke lingkungan sekitar
2. Mengurangi berbagai macam penyakit yang ditimbulkan akibat dari vektor-
vektor yang berkembang dari air limbah seperti tikus.
Ditinjau dari dampak negatifnya, pengolahan air limbah menggunakan tanaman
hias diantaranya adalah tidak bisa mengontrol keberadaan kandungan bahan
pencemar setelah dilakukan pengolahan. Maksudnya disini yaitu, penggunaan bahan
23

teknik phytoremdiasi tidak bisa menganalisa seberapa besar polutan yang akan kita
buang kelingkungan. Selanjutnya akan menghasilkan lumpur dalam jumlah yang
banyak dari akar-akar tanaman hias tersebut. Kemudian dampak negative lainnya
yaitu berkembang biak tanaman ini sehingga akan menjadi limbah yang dapat
mencemari lingkungan.
IV. UPAYA PENYEMPURNAAN PENGOLAHAN LIMBAH DOMESTIK
MENGGUNAKAN TANAMAN HIAS Cyperus alternifolius, L. DALAM
SISTEM LAHAN BASAH BUATAN ALIRAN BAWAH PERMUKAAN
(SSF-Wetlands) di KOMPLEK PERUMAHAN PT. CPI- DURI

4.1 Sistem dan Teknis Pengolahan Air Limbah Menggunakan Sistem Lahan
Basah
Upaya yang dilakukan agar sistem dan teknis pengolahan air limbah
menggunakan sistem lahan basah diketahui dan digunakan dengan baik, pihak-
pihak terkait melakukan sosialisasi ke warga perumahan supaya mengerti dan
paham tentang sistem pengolahan air limbah menggunakan sistem ini. Kemudian
warga diberikan pemahaman mengenai pentingnya menjaga lingukungan.

4.2 Pembuatan Sistem Pengolahan Air Limbah Menggunakan Lahan Basah


Buatan Aliran Bawah Permukaan
Pembuatan sistem pengolahan air limbah menggunakan lahan basah buatan
aliran bawah permukaan memerlukan bahan dan material. Ini merupakan kendala
yang harus dipecahkan agar sistem ini bisa berfungsi dengan baik. Maksudnya yaitu
material dan bahan yang diperlukan harus disiapkan dengan cukup, serta orang yang
membuatnya harus mengerti dengan fungsi dan kinerja alat. Untuk itu perlu ada
pelatihan khusus mengenai cara pembuatan sistem ini.

4.3 Aplikasi Sistem di Perumahan PT. CPI


Untuk aplikasi sistem ini dilingkungan perumahan PT. CPI, ada beberpa
upaya yang harus dilakukan, diantaranya sebagai berikut
1. Sosialisasi warga perumahan PT. CPI
Agar Sistem ini digunakan baik, pihak-pihak terkait melakukan sosialisasi ke
penghuni perumahab supaya mengerti dan paham tentang sistem pengolahan air
limbah menggunakan tanaman hias ini. Kemudian warga diberikan pemahaman
mengenai pentingnya menjaga lingkungan
2. Peran Pemerintah
Berdasarkan kharakteristiknya terdapat 2 (dua) jenis air limbah domestik,
yaitu jenis black water yang berasal dari WC dan umumnya ditampung dalam
septic- tank, sedangkan yang satunya adalah jenis grey water yang berasal dari
25

kegiatan mencuci, mandi dan memasak, yang umumnya langsung dibuang ke


saluran drainase maupun perairan umum. Walaupun air limbah jenis grey water
sebagian besar merupakan bahan organik yang mudah terdegradasi, namun secara
kuantitas cenderung semakin meningkat sejalan dengan pertumbuhan jumlah
penduduk. Dari berbagai literatur menyebutkan bahwa antara 60 % - 70 % air yang
digunakan oleh masyarakat kota, akan terbuang sebagai air limbah, sedangkan air
limbah tersebut akan masuk ke badan sungai tanpa ada upaya pengolahan terlebih
dahulu.
Untuk mengantisipasi potensi dampak tersebut, maka perlu upaya minimasi
limbah. Kebijakan pemerintah dalam rangka menekan jumlah air limbah domestik
yang dihasilkan sangat diperlukan agar air limbah yang dibuang tidak mencemari
lingkungan. Serta pemerintah setempat memiliki tugas pokok dan fungsi sebagai
pemantau dan pengawas harus meningkatkan kegiatan-kegiatan pemantauan dan
pengawasan tersebut, sehingga dapat memastikan air limbah yang dibuang tidak
mencemari lingkungan.
DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2001. Pedoman Penulisan Usulan Penelitian Untuk Tesis, Program


Pascasarjana Universitas Diponegoro, Semarang
E d d y d a n Metcalf, 1993. Wastewater Engineering Treatment Disposal Reuse,
McGraw- Hill Comp.
Effendi, H., 2003. Telaah Kualitas Air : Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan
Lingkungan Perairan, Penerbit Kanisius, Yogyakarta
Haberl, R., and H. Langergraber., 2002, Constructed Wetlands: A Chance to
Solve Wastewater Problems in Developing Countries. Wat. Sci. Technol.
40:11–17.
Halverson, V., 2004. Review of Constructed Subsurface Flow vs. Surface Flow
Wetlands, U.S. Department of Energy, Springfield.
Khiatuddin, M., 2003, Melestarikan Sumber Daya Air Dengan Teknologi Rawa
Buatan, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Kurniadhie, D., 1999. Pengolahan Air Limbah dengan Menggunakan Tumbuhan
Air, Download internet : www.bio.unigiessen.de. Diakses pada tanggal 3
September 2016.
Lemke, C., 1999. Plant of the Week ; Cyperus alternifolius Umbrella Plant,
Download internet : www.ou.edu.com.
Lukito A., 2004, Merawat dan Menata Tanaman Air, Agro Media Pustaka,
Jakarta.
Schultz, M., 2000. Rootzone Soil Filters, Australian Wetlands, Australia.
Sugiharto, 1987. Dasar-dasar Pengelolaan Air Limbah, UI-PRESS, Jakarta.
Supradata. 2005, Pengolahan Limbah Domestik Menggunakan Tanaman Hias
Cyperus alternifolius, L. dalam Sistem Lahan Basah Buatan Aliran Bawah
Permukaan (SSF- Wetlands), Tesis Pasca sarjana Undip.
Suriawiria, U., 1993, Mikrobiologi Air, Alumni, Bandung.
Lampiran 1 Peta Propinsi Riau
Lampiran 2 Peta Kabupaten Bengkalis

Keterangan : = Kabupaten Bengkalis


Lampiran 3 Komplek Perumahan PT. CPI- Duri

Komplek Perumahan PT. CPI Duri


PERBAIKAN KUALITAS TANAH PADA PENGGUNAAN
LAHAN TERHADAP TINGKAT EROSI DAS SIAK PADA
KECAMATAN TUALANG KABUPATEN SIAK

Disusun Oleh :
Jerri Fendri
NIM. 1510248278

PROGRAM STUDI ILMU LINGKUNGAN


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
2016
I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Tanah merupakan bagian dari kerak bumi yang tersusun dari mineral dan bahan
organik. Tanah sangat penting pernannya bagi kehidupan di bumi karena tanah
mendukung kehidupan tumbuhan dengan menyediakan hara dan air sekaligus
sebagai penopang akar.

Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007) menyatakan bahwa tanah merupakan


tubuh alam tiga dimensi yang merupakan tempat aktivitas semua makhluk termasuk
tempat tumbuhnya tanaman. Tanah mempunyai karakteristik yang mempengaruhi
pertumbuhan tanaman yang kan diusahakan. Klasifikasi tanah dan evaluasi lahan
meruapakan salah satu cara untuk mengetahui kecocokan suatu lahan untuk
mengembangkan tanaman pertanian.

Tanah memiliki sifat yang bervariasi yaitu terdiri dari sifat fisik,kimia dan
biologi. Dengan bervariasinya sifat-sifat tersebut, maka tingkat kesuburan pada
berbagai jenis tanah berbeda-beda pula, karena kesuburran suatu tanah tergantung
pada sifat-sifat tersebut. Oleh sebab itu diperlukan pemahaman mengenai
karakteristik tanah sehingga dapat dimanfaatkan sesuai dengan potensinya. Secara
umum kualitas tanah (soil quality) didefinisikan sebagai kapasitas tanah untuk
berfungsi dalam suatu ekosistem dalam hubungannya dengan daya dukungnya
terhadap tanaman dan hewan, pencegahan erosi dan pengurangan akan terjadinya
pengaruh negatif terhadap sumberdaya air dan udara

Sungai Siak merupakan sungai terdalam di Indonesia, dengan kedalaman sekitar


20-30 meter, sungai ini sangat padat dilayari kapal-kapal besar, kargo, tanker
maupun speedboat. Sungai yang memiliki panjang ± 300 kilometer merupakan urat
nadi pelayaran, aktivitas dan kehidupan masyarakat. Aliran sungai ini sumber
kehidupan yang cukup bagi masyarakat yang bermukim di aliran itu

Reski (2014) menyatakan cakupan DAS Siak meliputi Kabupaten Rokan Hulu,
Kampar, Pekanbaru, Siak dan Bengkalis. Dari keseluruhan wilayah DAS Siak terbagi
menjadi dua bagian wilayah yaitu bagian hulu dan hilir. Bagian hulu dari DAS Siak
157

adalah Sungai Tapung Kanan yang termasuk dalam wilayah Kabupaten Rokan Hulu
dan Kecamatan Tapung Hulu Kabupaten Kampar, dan Sungai Tapung Kiri yang
termasuk dalam wilayah Tandun Kabupaten Rokan Hulu dan Kecamatan Tapung
Kiri Kabupaten Kampar. Kedua sungai menyatu di daerah Palas (Kabupaten
Kampar) dan dekat Kota Pekanbaru pada Sungai Siak Besar. Bagian hilir dari DAS
Siak adalah pada Sungai Siak Besar yang terletak di desa Palas (Kabupaten Kampar)
Kota Pekanbaru, Perawang (Kabupaten Siak), Kota Siak Sri Indrapura dan bermuara
di Tanjung Belit (Sungai Apit, Kabupaten Siak) dan Kecamatan Bukit Batu
(Kabupaten Bengkalis).

DAS Siak membentuk suatu wilayah sub DAS. Kawasan hulu DAS terdiri dari
dua sub DAS utama yaitu Sub DAS Tapung Kiri luas 329.861,51 hektar dan Sub
DAS Tapung Kanan luas 148.033,30 hektar dengan anak sungai utama yaitu Sungai
Tapung Kiri dan Sungai Tapung Kanan, kawasan tengah DAS adalah Sub DAS
Mandau (92.355,42 ha) dan kawasan hilir DAS meliputi Sub DAS Siak Hilir luas
65.653,84 hektar.

DAS Siak termasuk DAS kritis, kawasan rawan bencana banjir dan longsor,
terjadi berbagai pencemaran, erosi dan pendangkalan. Kejadian banjir di Provinsi
Riau akibat meluapnya Sungai Siak dan anak-anak sungainya merupakan indikator
adanya perubahan ekosistem pada DAS tersebut. Perubahan ekosistem tersebut
disebabkan oleh wilayah dalam DAS Siak merupakan daerah yang potensial
berkembang bagi kegiatan sosial ekonomi masyarakat. Kondisinya kini terancam
bukan hanya hilangnya habitat alami sungai berupa bermacam ikan khas Riau akibat
menurunnya kualitas air, tetapi juga runtuhnya tebing sungai karena abrasi.

Berbagai macam aktivitas manusia yang dilakukan di sempadan sungai


diperkirakan mempunyai pengaruh dalam tingkat erosi pada DAS Siak terutama pada
Kecamatan Tualang Kabupaten Siak. Pada daerah ini terdapat beberapa penggunaan
lahan yang berbeda. Jika terjadi erosi di Das Siak- Tualang maka hal ini menarik
untuk dibahas
158

1.2. Rumusan Masalah

Penggunaan lahan yang berbeda akan mempengaruhi kualitas dari tanah pada
areal tersebut. Masing-masing penggunaan lahan mempunyai dampak yang berbeda
terhadap lingkungan. Pada sempadan sungai DAS Siak terutama pada kecamatan
Tualang ditemukan berbagai penggunaan lahan. Untuk memperbaiki kualitas tanah
pada masing-masing penggunaan lahan diperlukan cara yang berbeda.

Data lahan yang ada di Kabupaten Siak pada tahun 2004 menunjukkan bahwa
penggunaan lahan yang terbesar di Kabupaten Siak adalah penggunaan lain-lain
seluas 231.152,45 hektar atau sekitar 33,7% dan seluruh lahan yang ada. Selanjutnya
seluas 158.339,08 hektar atau sekitar 23,1% berupa hutan negara, 143.375,85 hektar
atau sekitar 20,9% untuk perkebunan, dan seluas 133.022,95 hektar atau
sekitar19,4% sementara tidak diusahakan.

Potensi gambut di Kabupaten Siak ini mempunyai wilayah yang cukup luas
daerah penyebarannya. Penyebaran lahan gambut ini menempati satuan morfologi
dataran rendah. Daerah kawasan gambut terletak di sekitar daerah Libo ke arah utara
dan barat, daerah sekitar Lubuk Dalam ke arah timur hingga daerah Zamrud, daerah
Kec, Sei Apit dan daerah Perawang.

Dengan melihat tata guna lahan ini perhatian perlu diberikan terhadap adanya
rawa seluas 5.133 hektar (0,7%), tambak seluas 13,787 hektar (2%) dan
kolam/empang seluas 499,83 hektar (0,1%). Mengingat luasnya lahan gambut
maupun pengaruh air asin yang ada, tidak semua wilayah yang ada dapat
dimanfaatkan bagi kegiatan pembangunan.

Penggunaan lahan di Kecamatan Tualang belum bisa dikatakan sesuai dengan


regulasi yang sudah dibuat pemerintah. Perkembangan pesat daerah ini menjadi salah
satu faktor semakin meningkatnya konversi lahan di Kecamatan Tualang terutama
pada Daerah Aliran Sungai Siak. Masyarakat Kecamatan Tualang juga memainkan
peranan penting dalam penggunaan lahan di Daerah Aliran Sungai Siak. Dalam
makalah ini ada dua pokok permasalahan yang mendasar yaitu dari sisi masyarakat
dan dari sisi pemerintahan di Kecamatan Tualang Kabupaten Siak. Pertama,
pengetahuan masyarakat dinilai sangat minim dalam pengelolaan lahan yang
159

memperhatikan aspek lingkungan sehingga dampak yang bisa diakibatkan oleh


kegiatan ini meningkat signifikan. Kedua, pengawasan dan pengontrolan penggunaan
lahan dari Pemerintah Kecamatan Tualang masih sangat rendah. Penggunaan lahan
yang tidak terkendali ini akan memberikan kontribusi yang besar dalam peningkatan
erosi pada DAS Siak.
II PERBAIAKAN KUALITAS TANAH PADA BEBERAPA
PENGGUNAAN LAHAN TERHADAP TINGKAT EROSI DAS SIAK DI
KECAMATAN TUALANG KABUPATEN SIAK

2.1. DAS Siak

Daerah Aliran sungai DAS Siak merupakan DAS keempat terbesar di Riau
setelah DAS Kampar, Rokan dan Indragiri. Sungai Siak memiliki panjang 345 km
(yang bisa dilayari 240 km), luas DAS 11.026 Km2 , memiliki fluktuasi debit yang
tinggi, Q maks 1700 m3/detik, Q min 45 m3/detik dan Q normal 200-300 m3/detik
(Kimpraswil Riau, 2004). Sungai ini memiliki kedalaman rata-rata antara 8 hingga
12 meter (Bappenas, 2006). Perbandingan Qmaks/Qmin : 37,8, yang berarti
bahwa pada musim hujan, air sangat berlebihan yang menyebabkan terjadinya banjir
sementara pada musim kemarau air sangat kurang dan dibawah batas lestari sungai
(Departemen PU, 2005).
Topografi wilayah DAS Siak relatif datar, ketinggian permukaan rata-rata 0-2
m dpl, kemiringan berkisar 0-5 %. Variasi 2 – 40 % di bagian hulu. Secara garis
besar ketinggian bagian hulu DAS Siak dikategorikan menjadi empat golongan yaitu:
antar 1–10 m dpl, 1-25 m dpl, 25-100 m dpl, 100-500 m dpl. Jenis tanah di DAS Siak
bagian hulu terbagi menjadi dua yaitu organosol gley humus dan podsolik merah
kuning, bertekstur halus (liat), sedang (lempung) dan kasar (pasir), dengan
kedalaman topsoil antara 30-60 cm dan >90 cm dari atas permukaan tanah
(Departemen PU, 2005).
Sungai ini menjadi sangat penting sebagai jalur pelayaran dan
perdagangan di Riau karena menghubungkan langsung dengan Kota Pekanbaru, Ibu
Kota Provinsi Riau. Jumlah penduduk yang tinggal di sepanjang DAS Siak yang
pada tahun 2004 mencapai lebih dari 1 juta orang, yang tersebar di Kota Pekanbaru
693.912 orang, kabupaten Siak 286.245 orang, sisanya berada di wilayah kabupaten
Rokan Hulu, Kampar dan Bengkalis (Bappenas, 2006). DAS Siak memegang
beberapa peranan penting, antara lain:
161

1. Menjadi sumber air minum bagi masyarakat Pekanbaru, Siak, Kampar, Rokan
Hulu dan Bengkalis.
2. Dimanfaatkan untuk keperluan lain seperti areal pertanian, perikanan, rekreasi,
industri, dan transportasi.
Saat ini lalu lintas pelayaran di Sungai Siak sangat padat, terutama dilalui
oleh kapal-kapal besar seperti tanker, kargo, dan speedboat. Hasil penelitian Fakultas
Teknik Universitas Gadjah Mada menunjukkan bahwa abrasi yang terjadi setiap
tahunnya mencapai 7,3 m. Di beberapa tempat, rumah warga yang 30 tahun lalu
berada kira-kira 50 meter dari pinggiran sungai, kini berada tepat di bibir tebing dan
terancam ambruk seperti yang telah terjadi pada bangunan- bangunan lain
sebelumnya. Meskipun sungai Siak merupakan sungai terdalam di Indonesia, namun
saat ini terjadi penumpukan sedimen di dasar sungai yang telah mencapai ketinggian
8 meter. Hal ini mengindikasikan adanya erosi yang sangat besar di bagian hulu
sungai. Menurut Departemen PU (2005) adanya sedimen dapat mengganggu
pelayaran terutama saat muka air surut di musim kemarau. Di lain pihak, dalam
musim hujan dapat terjadi bahaya banjir karena berkurangnya kapasitas sungai dalam
menampung aliran air.
Selanjutnya menurut Departemen PU (2005), sistem daerah aliran sungai
Siak terdiri dari 4 Sub DAS utama. Cakupan DAS Siak meliputi Kabupaten Rokan
Hulu, Kabupaten Kampar, Kota Pekanbaru, Kabupaten Bengkalis dan Kabupaten
Siak, dari keseluruhan wilayah DAS Siak terbagi menjadi dua bagian wilayah
yaitu bagian hulu dan hilir dari masing- masing sungai. Adapun wilayah-wilayah
yang tercakup dalam masing-masing bagian DAS Siak adalah :
1. Bagian Hulu
Bagian hulu dari DAS Siak adalah dari dua sungai yaitu Sungai Tapung Kanan
(Sub DAS Tapung Kanan) yang termasuk dalam wilayah Kabupaten Rokan Hulu
dan Kecamatan Tapung Hulu Kabupaten Kampar, dan Sungai Tapung Kiri (Sub
DAS Tapung Kiri) yang termasuk dalam wilayah Tandun Kabupaten Rokan Hulu
dan Kecamatan Tapung Kiri Kabupaten Kampar. Kedua sungai menyatu di daerah
Palas (Kabupaten Kampar) dan dekat Kota Pekanbaru pada Sungai Siak Besar.
2. Bagian Hilir
Bagian hilir dari DAS Siak adalah pada Sungai Siak Besar (Sub DAS Siak Besar)
162

yang terletak di desa Palas (Kabupaten Kampar) - Kota Pekanbaru – Kota


Perawang (Kabupaten Siak) – Kota Siak Sri Indrapura dan bermuara di Tanjung
Belit (Sungai Apit, Kabupaten Siak).

2.2. Tanah dan Kualitas Tanah

Tanah adalah salah satu sistem bumi, yang bersamaan dengan sistem bumi
yang lain yaitu air dan atmosfer, menjadi inti, fungsi, perubahan dan kemantapan
ekosistem. Tanah berkedudukan khas dalam masalah lingkungan hidup, merupakan
kimia lingkungan dan membentuk landasan hakiki bagi manusia (Notohadiprawiro,
1998). Tanah merupakan sumber daya alam yang sangat berfungsi penting dalam
kelangsungan hidup mahluk hidup. Bukan hanya fungsinya sebagai tempat
berjangkarnya tanaman, penyedia sumber daya penting dan tempat berpijak tetapi
juga fungsinya sebagai suatu bagian dari ekosistem. Selain itu, tanah juga merupakan
suatu ekosistem tersendiri. Penurunan fungsi tanah tersebut dapat menyebabkan
terganggunya ekosistem di sekitarnya termasuk juga di dalamnya juga manusia.

Perkembangan peradaban manusia telah menyebabkan tanah mengalami


penurunan fungsinya sebagai pendukung kehidupan manusia akibat adanya bahan-
bahan yang dapat merusak sebagai hasil aktivitas manusia. Diterangkan oleh
Sutanto (2005), terdapat tiga fungsi tanah terhadap bahan pencemar, yaitu sebagai
penyaring (filter), penyangga dan proses alih rupa (transformation). Walaupun
dengan kemampuan memperbaiki dirinya sendiri, tetapi proses perbaikan
tetaplah membutuhkan waktu. Selama proses tersebut berlangsung, mahluk hidup
dan lingkungan sekitar juga harus melakukan proses pemulihan. Dibutuhkan daya
dan usaha yang lebih untuk tanah dan lingkungannya untukmenjadi stabil kembali.

Mutu lingkungan selalu dilihat dari sisi mutu air air dan udara. Orang dapat
menghargai air dan udara yang bersih dan segar. Dibandingkan dengan penghargaan
terhadap air dan udara, penghargaan kebanyakan orang terhadap tanah tetap
rudimeter / elementer (James, 1995 dalam Notohadiprawiro, 1998). Sudah ada
peraturan perundang-undangan mengenai baku mutu air dan udara, akan tetapi
sampai sekarang belum ada yang mengatur baku mutu tanah.
163

Dari segi pandangan lingkungan, tanah merupakan sistem pendukung utama


kegiatan manusia. Pernyataan ini dapat dibenarkan dengan bukti-bukti sebagai
berikut (Notohadiprawiro, 1998) :

1. Tanah merupakan penentu utama kemajuan ekosistem terestrik karena berlaku


sebagai sumber, pengalihragam dan penyedia hara tumbuhan, serta sebagai
penyedia air bagi tumbuhan yang dialihragamkan dari atmosfer. Maka tanah
menjadi penentu kapasitas lahan dalam produkasi biomassa berguna
(pertanian, kehutanan).
2. Tanah merupakan suatu mozaik reactor atau pabrik mini pendaur ulang sisasisa
tumbuhan dan hewan. Jumlah reactor atau pabrik mini dimaksud nyaris tanpa
batas sehingga kemampuan tanah mendaur ulang sisa-sisa organik juga nyaris
tanpa batas. Maka tanah menjadi pelaksana alami konsep swasembada bahan
dan energi berkenaan dengan pemantapan sistem lingkungan hidup.

3. Tanah berkemampuan membersihkan limbah dari bahan atau zat pencemar


yang dikandungnya dengan jalan menyaring, menyerap atau mengurai. Dengan
demikian tanah berkesanggupan bertindak sebagai pelaku sanitasi lingkungan
hidup.
4. Tanah merupakan mata rantai kunci dan sistem penyangga dalam daur
hidrologi bumi. Maka tanah berperan besar dalam penyediaan air.

Menurut Wander et al. (2002), kualitas tanah adalah kapasitas dari suatu tanah
dalam suatu lahan untuk menyediakan fungsi-fungsi yang dibutuhkan manuasia
atau ekosistem alami dalam waktu yang lama. Fungsi tersebut adalah
kemampuannya untuk mempertahankan pertumbuhan dan produktivitas tumbuhan
serta hewan atau produktivitas biologis, mempertahankan kualitas udara
dan air atau mempertahankan kualitas lingkungan, serta mendukung kesehatan
tanaman,hewan dan manusia. Tanah berkualitas membantu hutan untuk tetap sehat
danmenumbuhkan tumbuhan yang baik atau lansekap menarik. Sedangkan degradasi
tanah adalah penurunan kualitas tanah.
Seybold et.al (1996) menyatakan bahwa kualitas tanah mengintegrasikan
komponen fisik, kimia dan biologi tanah serta interaksinya. Kualitas tanah menjadi
kapasitas spesifik suatu tanah untuk berfungsi secara alami atau dalam batasan-
batasan ekosistem yang terkelola untuk menopang produktivitas hewan dan
164

tumbuhan, memelihara atau meningkatkan kualitas udara dan air, serta mendukung
tempat tinggal dan kesehatan manusia. Dari berbagai takrif mutu tanah tersebut dapat
disimpulkan bahwa secara sederhana mutu tanah adalah kapasitas suatu tanah untuk
berfungsi.
Larson and Piece (1994) menyatakan bahwa kualitas tanah sebagian besar
ditentukan oleh kemampuan tanah untuk menampilkan berbagai fungsi
intrinsik dan ekstrinsik. Kualitas tanah menggambarkan kesesuaian sifat-sifat
fisik, kimia dan biologi tanah yang secara bersama-sama berfungsi sebagai : (1)
media untuk pertumbuhan tanaman dan aktivitas biologi, (2) pengatur dan pembagi
aliran air dan penyimpanannya dalam lingkungan, dan (3) penyangga lingkungan
dari perusakan oleh senyawa berbahaya.
Peta pemanfaatan ruang yang tertuang dalam Rencana Tata Ruang Wialayah
Provinsi Riau 2001-2015 menunjukkan bahwa pemanfaatan ruang di wilayah DAS
Siak bagian hulu sebagian besar merupakan kawasan budidaya dalam bentuk
peruntukan perkebunan besar, kawasan hutan produksi, kawsan perkebunan
rakyat, kawasan permukiman, kawasan pertanian lahan kering, kawasan pertanian
lahan basah dan sebagian kecil kawasan htan lindung. Di bagian hilir sungai
sebagian besar berupa kawasan hutan produksi, perkebunan besar dan sebagian
lagi berupa kawasan perkotaan (Pekanbaru, Perawasng dan Siak Sri Indrapura).
Pemanfaatan lainnya berupa kawasan pertanian lahan basah, kawasan pertanian
lahan kering, dan kawasan hutan resapan air.
Diperkirakan sekitar 43% dari permukaan bumi yang bervegetasi telah
mengalami penurunan kapasitasnya dalam menyediakan kebutuhan yang
menguntungkan bagi manusia karena keputusan penggunaan lahan yang tidak
sesuai (Seybold et al. 1996).
Degradasi tanah akan mengawali keseluruhan proses degradasi lingkungan.
Degradasi lingkungan adalah semua perubahan atau gangguan terhadap lingkungan
yang bersifat merusak atau tidak dikehendaki. Sedangkan degradasi lahan (tanah, air,
dan vegetasi) adalah bagian dari degradasi lingkungan.
Purwanto (2002) berpendapat bahwa indikator kualitas tanah harus mencakup
kisaran situasi ekologi dan sosioekonomi yaitu :
165

1. Mempunyai korelasi yang erat dengan proses-proses alami dalam ekosistem


(dan bermanfaat dalam modeling berorientasi proses).
2. Mengintegrasikan sifat dan proses fisik, kimia dan biologi dan bermanfaat
sebagai input untuk memperkirakan sifat atau fungsi tanah yang sukar untuk
diukur secara langsung.
3. Relatif murah dan mudah digunakan untuk memperkirakan kualitas tanah
pada kondisi lapangan, baik oleh spesiais/ilmuwan maupun petani.
4. Harus cukup peka untuk menggabarkan pengaruh iklim dan peng elolaan
terhadap kualitas tanah dalam jangka panjang, namun tidak begitu peka
terhadap pola cuaca jangka pendek.
5. Bersifat universal, namun menggambarkan pola spasial dan temporal.

6. Apabila mungkin, juga merupakan komponen dari database tanah saat ini.

2.3. Penggunaan Lahan


Penggunaan lahan pertanian menurut Haikal (2004 dalam Suripin, 2004)
biasanya dibedakan berdasar komoditas yang diusahakan seperti sawah, tegalan,
kebun dan sebagainya. Penggunaan lahan di luar pertanian dapat dibedakan dalam
penggunaan perkotaan, pedesaan, pemukiman, industri, rekreasi dan lain sebagainya.
Penggunaan lahan ini sifatnya sangat dinamis sewaktu-waktu bisa berubah.
Perubahannya dapat disebabkan oleh bencana alam dan lebih sering disebabkan oleh
campur tangan manusia dalam rangka pemenuhan kebutuhannya. Peningkatan
jumlah penduduk dapat berarti pula peningkatan kebutuhan akan lahan baik untuk
pertanian maupun pemukiman. Peningkatan kebutuhan lahan ini akan diimbangi
dengan mengintensifkan penggunaan lahan maupun perluasan. Kedua usaha ini
merubah lahan baik berupa luasan maupun jenisnya.
Berbagai tipe penggunaan lahan dijumpai di permukaan bumi, masing--
masing tipe memiliki kekhususan tersendiri. Tipe penggunaan lahan secara umum
meliputi pemukiman, kawasan budidaya pertanian, padang penggembalaan,
kawasan rekreasi dan lainnya.

Selanjutnya menurut Haikal (2004 dalam Suripin, 2004) mengelompokkan


jenis penggunaan lahan sebagai berikut : (1) pemukiman, berupa kombinasi antara
166

jalan, bangunan, tegalan / pekarangan dan bangunan itu sendiri (kampung dan
emplasemen) ; (2) kebun, meliputi kebun campuran dan kebun sayuran merupakan
daerah yang ditumbuhi vegetasi tahunan satu jenis maupun campuran, baik dengan
pola acak maupun teratur sebagai pembatas tegalan ; (3) tegalan, merupakan daerah
yang ditanami umumnya tanaman semusim, namun pada sebagian lahan tak ditanami
umumnya tanaan semusim adalah padi gogo, singkong, jagung, kendang, kedelai dan
kacang tanah ; (4) sawah merupakan daerah pertanian yang ditanami padi sebagai
tanaman utama dengan rotasi tertentu yang biasanya diairi sejak penanaman hingga
beberapa hari sebelum panen ; (5) hutan merupakan wilayah yang ditutupi oleh
vegetasi pepohonan, baik alami maupun dikelola manusia dengan tajuk yang rimbun,
besar serta lebat ; (6) lahan terbuka, merupakan daerah yang tidak terdapat vegetasi
maupun penggunaan lain akibat aktivitas manusia ; (7) semak belukar adalah daerah
yang ditutupi oleh pohon baik pohon alami maupun yang dikelola dengan dengan
tajuk yang relatif kurang rimbun.
Suatu tanah harus menyediakan suatu lingkungan yang bebas dari faktor-
faktor penghambat seperti kemasaman atau kebasaan ekstrim, organismeorganisme
penyebab penyakit, substansi beracun, garam-garam belebih atau lapisan-lapisan
yang tidak dapat ditembus (Foth, 1994). Selanjutnya Foth (1994) menerangkan lebih
rinci bahwa pertumbuhan tanaman tergantung tanah sebagai penyedia air da hara.
Sehingga tanah harus menyediakan suatu lingkungan mendukung sehingga akar-
akarnya dapat berfungsi. Hal ini membutuhkan ruang pori untuk perpanjangan akar,
oksigen untuk respirasi akar dan CO2 yang dihasilkan dapat terdifusi keluar dan tidak
terlonggok di dalam tanah. Ketidakhadiran faktor pengkambat (misalnya alumunium)
atau perubahan suhu yang tajam serta patogen-patogen adalah hal penting. Salah satu
fungsi tanah yang penting adalah untuk mendukung pertumbuhan.
Pembatas utama penggunaan sumber tanah untuk produksi pertanian
adalah kekurangan air (28%), cekaman mineral (23%), kedalaman efektif yang
dangkal (22%), kelebihan air (10%) dan suhu tanah yang dingin (6%). Tanah yang
tidak mempunyai pembatas berat hanya sekitar 11%. Lahan yang sekarang
dibudidayakan merupakan lahan yang terbaik di dunia, dibandingkan yang tidak
digunakan, sedangkan lahan subur berpotensial dapat mempunyai pembatas yang
lebih besar dari pada yang ada (Foth, 1984).
167

Sifat fisik tanah yang perlu diperhatikan adalah terjadinya masalah degradasi
struktur tanah akibat fungsi pengelolaan (Sanchez, 1992). Selain itu Foth (1984)
menerangkan bahwa walaupun pada lahan budidaya yang tidak tererosi, bahan
organik hilang secara cepat. Hal tersebut ditemukan di Missouri Agricultural
Experiment Station, bahwa sebagai hasil budidaya lebih dari 60 tahun, tanah pada
keadaan yang tidak tererosi, bahan orgnik hilang sepertiganya, kehilangan tersebut
lebih besar pada awal budidaya dibandingkan budidaya selanjutnya. Kehilangan
bahan organik sekitar 25% pada 20 tahun awal, sekitar 10% pada 20 tahun kedua dan
hanya sekitar 7% pada 20 tahun ketiga. Dalam kata lain, taraf keseimbangan baru
hampir tercapai setelah sekitar 60 tahun.
Beberapa praktik pengelolaan misalnya penggunaan tanaman penutup dan
penambahan bahan organik dapat menghasilkan pengaruh positif pada kualitas tanah.
Praktik pengelolaan tanah lainnya, seperti pengolahan tanah ketika basah
berpengaruh kurang baik pada kualitas tanah karena meningkatkan pemadatan.
Hutan mengusik tanah paling sedikit, tetapi pengelolaan tanah masih
menjadi perhatian. Ketika pohon-pohon dipanen setelah penanaman selama
beberapa waktu, peralatan penebangan memotong penutupan pohon dan
memampatkan tanah. Hasilnya adalah peningkatan erosi dan tanah menjadi kurang
sesuai untuk pertumbuhan tanaman baru yang dibibitkan. Perhatian lainnya
termasuk pemilihan pohon terbaik untuk tiap jenis tanah dan menjamin keadaan
yang baik untuk bibit yang baru

2.4. Erosi
Menurut Harjadi dan Agtriariny (1997), erosi tanah adalah hilangnya tanah
atau bagian-bagian tanah dari suatutempat yang diangkut oleh air atau angin ke
tempat yang lain. Dapat juga diartikan pemecahan agregat tanah oleh air hujan
dan pengangkutan partikel tanah oleh limpasan permukaan dari suatu tempat ke
tempat yang lain yang lebihrendah. Dalam hal ini terjadinya erosi tanah berlangsung
dua proses penting yang perlu dicermati, yaitu adanya pemisahan dan pengangkutan
partikel-partikel atau bahan-bahan lainnya. Proses erosi tersebut terjadi dari lereng
atas selanjutnya diendapkan pada lereng bawah dalam bentuk sedimentasi. Erosi
tersebut pada mulanya merupakan kejadian alamiah oleh suatu proses geologi yang
168

belum begitu membahayakan bagi pelestarian pemanfaatan lahan. Selanjutnya


dengan semakin banyaknya campur tangan manusia sebagai pemanfaatan lahan,
maka erosi yang terjadi semakin mengganggu keseimbangan dan tidak
mempedulikan asas kelestarian. Sehingga laju erosi yang terjadi jauh melebihi
kecepatan proses pembentukan tanah. Kerusakan fisik yang diakibatkan erosi sulit
untuk diperbaiki (Nugroho, 2002).
Tingkat bahaya erosi adalah perkiraan jumlah tanah hilang maksimum yang
akan terjadi pada suatu lahan bila pengelolaan tanaman dan konservasi tidak
mengalami perubahan (Mangunsukardjo, 1999).
Suripin (2002) menyatakan, secara keseluruhan terdapat lima faktor yang
mempengaruhi besarnya laju erosi, yaitu: iklim, tanah, topografi, vegetasi dan
kegiatan manusia. Perubahan tataguna lahan dan praktek pengelolaan DAS
juga mempengaruhi terjadinya erosi, sedimentasi dan pada gilirannya akan
mempengaruhi kualitas air. Besarnya erosi memperhitungkankedua faktor tersebut,
sedangkan faktor yang lain dianggap satu disebut dengan erosi potensial. Daerah
yang memiliki perubahan iklim yang besar seperti daerah kering, hujan tidak lagi
menjadi faktor dominan terjadinya erosi. Daerah kering memiliki intensitas hujan
yang kecil namun ketika hujan turun kuantitasnya akan sangat besar. Daerah kering
pertumbuhan vegetasi penutupan lahannya terhambat sehingga dengan demikian
potensi terhadap erosi sangat besar.
Arsyad (1989) menyatakan bahwa secara umum erosi merupakan fungsi dari
iklim, topografi, vegetasi, tanah dan aktivitas manusia. Perubahan yang terjadi
pada salah satu faktor tersebutakan mempengaruhi besarnya erosi dan sedimentasi:
1. Iklim ( Hujan )
Faktor iklim yang paling menentukan dalam hal ini adalah hujan yang
dinyatakan dalam ”nilai indeks erosivitas hujan”.
Salah satu unsur iklim yang sangat penting mempengaruhi proses erosi
adalah hujan. Hujan dengan intensitas tinggi akan memberikan daya pukul air
hujan terhadap butiran tanah semakin tinggi. Hujan akan menyebabkan erosi
apabilaintensitasnya cukup tinggi dan jumlahnya banyak dalam jangka waktu
yang relatif lama. Selain itu ukuran butir hujan sangat berperan dalam
menentukanerosi. Energi kinetik air hujan yang merupakan penyebab utama
169

dalampenghancuran agregat-agregat tanah besarnya tergantung pada diameter


air hujan, sudut datang dan kecepatan jatuhnya. Kecepatan jatuh butir-butir hujan
ditentukan oleh ukuran butir dan angin. Energi kinetik mencapai maksimal
pada intensitas 50 – 100 mm/jam dan > 250 mm/jam., sehinggga kekuatan
untuk merusak tanah juga semakin besar.
2. Topografi
Topografi berperan dalam menentukan kecepatan dan volume limpasan
permukaan. Unsur topografi yang berpengaruh terhadap erosi adalah panjang
dan kemiringan lereng. Semakin panjang lereng, maka volume kelebihan air
yang terakumulasi dan melintas di atasnya menjadi lebih besar. Pengaruh
panjang lereng bervarisi, tergantung bentuknya, yaitu cekung, cembung atau
datar.
Sedangkan pengaruh kemiringan lebih besar dibandingkan pengaruh panjang
lereng karena pergerakan air serta kemampuannya memecahkan dan membawa
partikel tanah akan bertambah dengan bertambahnya sudut kemiringan.
Peningkatan kemiringan lereng menyebabkan kemampuan tanah untuk
meresapkan air hujan semakin rendah, sehingga lebih banyak air yang mengalir
di permukaan. Hal ini menyebabkan tanah dan bagian bawah lereng mengalami
erosi lebih besar daripada bagian atas lereng.
3. Vegetasi
Keberadaan vegetasi akan mempengaruhi besarnya erosi yang terjadi, melalui
fungsinya melindungi tanah terhadap pukulan langsung oleh tenaga butir -butir
air hujan.
Peranan vegetasi dalam mengurangi erosi melalui :

1). Intersepsi dan absorpsi hujan oleh tajuk tanaman akan mengurangi energi
air hujan yang jatuh, sehingga memperkecil erosi. Namun sebaliknya
tinggi tanaman / tajuk mempunyai pengaruh yang berlawanan, makin
tinggi tajuk dari permukaan tanah, energi kinetik yang ditimbulkan dari
(akumulasi) butir hujan (setelah intersepsi mencapai titik jenuh, sehingga
ukurannya menjadi besar) akan semakin besar sehingga erosivitasnya
semakin besar.
2). Penyebaran akar dalam mempengaruhi struktur tanah.

71
170

Perakaran tanaman akan memanta pkan agregat tanah serta memperbesar


porositas tanah disekitarnya. Perakaran dapat menembus lapisan tanah serta
menghasilkan eksudat yang menjadi perekat antar tanah sehingga
membentuk ikatan antar butir tanah yang akan membentuk struktur tanah.
3). Penghasil bahan organik dari seresah yang merupakan : pelindung tanah
dari pukulan butiran air hujan dan limpasan permukaan, perbaikan struktur
tanah, dan menjadi salah satu sumber energi fauna tanah untuk
aktivitasnya.

4. Tanah

Kepekaan tanah terhadap laju erosi tergantung sifat-sifat tanah itu sendiri
yang dinyatakan sebagai faktor ”erodibilitas tanah”. Erodibilitas tanah
dipengaruhi oleh texture, struktur, permeabilitas dan kandungan bahan
organik. Nilainya berkisar antara 0,0 hingga 0,99. makin tinggi nilainya,
berarti tanah makin mudah tererosi,
Laju erosi tergantung pada ketahanan tanah terhadap daya rusak dari luar
karena pukulan air hujan dan limpasan permukaan, serta kemampuan tanah
untuk menyerap air hujan, sehingga akan menentukan volume air permukaan
yang mengikis dan mengangkut hancuran tanah.
Menurut Arsyad (1989), sifat-sifat tanah yang berpengaruh terhadap erosi adalah :

1.) Tekstur tanah

Tekstur tanah, biasanya berkaitan dengan ukuran dan porsi partikel-partikel


tanah dan tanah dan akan membentuk tipe tanah tertentu. Tiga unsur utama
tanah adalah pasir (sand), debu (silt) dan liat (clay). Di lapangan tanah
terbentuk oleh kombinasi ketiga unsur tersebut di atas. Misalnya, tanah dengan
unsur dominan liat, ikatan antar partikel-partikel tanah tergolong kuat sehingga
tidak mudah tererosi.Hal yang sama juga berlaku untuk tanah dengan unsur
dominan pasir (tanah dengan tekstur kasar), kemungkinan untuk terjadinya erosi
pada jenis tanah ini besar dan, dengan demikian menurunkan laju air larian.
Sebaliknya pada tanah dengan unsur utama debu dan pasir lembut serta sedikit
unsur organik, memberikan kemungkinan yang lebih besar untuk terjadinya erosi.
171

2.) Unsur organik

Bahan organik berfungsi sebagai perekat antara butir tanah sehingga


memantapkan agregat tanah. Unsur organik terdiri atas limbah tanaman dan
hewan sebagai hasil proses dekomposisi. Unsur organik cenderung memperbaiki
struktur tanah dan bersifat meningkatkan permeabilitas tanah, kapasitas
tampung air tanah, dan kesuburan tanah. Kumpulan unsure organik di atas
permukaan tanah dapat menghambat kecepatan air larian, ddengan demikian
menurunkan potensi terjadinya erosi.
3.) Struktur tanah

Struktur tanah adalah susunan partikel-partikel tanah yang membentuk agregat.


Struktur tanah mempengaruhi kemampuan tanah dalam menyerap air tanah.
Misalnya, struktur tanah granuler dan lepas mempunyai kemampuan besar
dalam meloloskan air larian, dan dengan demikian menurunkan laju air larian
dan memacu pertumbuhan tanaman.
4.) Permeabilitas tanah

Permeabilitas tanah meninjukkan kemampuan tanah dalam meloloskan


air. Struktur dan tekstur tanah serta unsur organik lainnya ikut ambil bagian
dalam menentukan permeabilitas tanah. Tanah dengan permeabilitas
tinggi menaikkan infiltrasi, dengan demikian menurunkan laju air larian.

5. Manusia

Manusia menentukan apakah tanah yang diusahakan akan rusak atau menjadi
lebih baik. Manusia yang memperlakukan tanah tanpa mengindahkan kaidah
konservasi tanah dan air menyebabkan intensitas erosi semakin meningkat.
Faktor kegiatan manusia memegang peranan yang sangat penting terutama
dalam usaha-usaha pencegahan erosi, sebab manusia dapat memperlakukan
faktor-faktor penyebab erosi lainnya, kecuali faktor iklim.
Nungroho et al (2002) menyatakan bahwa erosi merupakan proses yang
diawali dengan pukulan butir-butir air hujan terhadap tanah, diikuti dengan
pengangkutan partikel-partikel tanah tersebut dan pengendapannya. Dewasa ini
proses erosi berjalan cepat karena adanya eksploitasi sumberdaya lahan yang
172

lebih intensif sebagai akibat adanya tuntutan kebutuhan yang semakin tinggi. Selain
disebabkan oleh jumlah penduduk yang meningkat, kebutuhan hidup manusia juga
semakin meningkat, didorong adanya modernisasi. Sumberdaya alam (lahan)
menjadi salah satu tumpuan untuk mencukupi kebutuhan hidup tersebut. Oleh karena
itu, degradasi lahan merupakan proses sebab dan akibat yang terjadi.
Selanjutnya menurut Nugroho et al (2002), erosi menimbulkan dampak
terhadap lingkungan, tidak terbatas pada wilayah on site tetapi dapat juga meluas
hingga wilayah off site. Seringkali erosi berdampak meluas di dalam suatu kawasan
daerah aliran sungai (DAS). Dampak langsung, misalnya menurunnya tingkat
kesuburan tanah, menyempitnya lahan pertanian dan kehutanan produktif serta
meluasnya lahan kritis. Dampak tidak langsung dapat berupa polusi kimia dari
pupuk dan pestisida, serta sedimentasi yang dapat menurunkan kualitas perariran
sebagai sumber air permukaan maupun sebagai suatu ekosistem. Dampak selanjutnya
adalah penanganan erosi yang semakin berat akan diperlukan waktu yang lebih lama
serta biaya semakin mahal. Dampak yang ditimbulkan oleh erosi tidak
menguntungkan bagi kegiatan pemanfaatan lahan baik pada lahan pertanian
maupun pada kawasan hutan. Erosi yang terjadi akan menghilangkan lapisan top soil
dan mengurangi ketebalan tanah sehingga tingkat produktivitas lahan dan kemampuan
penggunaan lahan menurun. Beberapa alasan di atas menjadi dasar pertimbangan untuk
segera dilakukan evaluasi besarnya erosi untuk mengetahi tingkat erosinya dan
meminimalisir kerusakan Sumber Daya Alam.
Dalam Ilmu Lingkungan, antara organisme dan lingkungan terjalin
hubungan yang erat dan bersifat timbal balik. Tanpa lingkungan organisme tidak
mungkin ada, sebaliknya lingkungan tanpa organisme, tidak berarti apa-apa. Di
samping itu ada persyaratan dalam mengatur kehidupan organisme yaitu
(Setyono, 2008) :
1. Lingkungan itu harus dapat mencukupi kebutuhan minimum dari kehidupan.

2. Lingkungan itu tidak dapat mempengaruhi hal yang bertentangan dengan


kehidupan organisme.
Tanah merupakan komponen lingkungan hidup yang secara mutlak harus
dilindungi atau dihindarkan dari dampak yang merugikan, harus dipertahankan
dan ditingkatkan fungsinya. Oleh karena itu konservasi tanah menjadi suatu
173

Penilaian kualitas tanah dapat melalui penggunaan sifat tanah kunci atau
indikator yang menggambarkan proses penting tanah. Selain itu juga,
penilaiannnya dengan mengukur suatu perubahan fungsi tanah sebagai tanggapan
atas pengelolaan, dalam konteks peruntukan tanah, sifat-sifat bawaan dan
pengaruh lingkungan seperti hujan dan suhu (Ditzler and Tugel, 2002 dalam
Andrewet al. 2004).

2.5. Perbaikan Kualitas Tanah pada Beberapa Penggunaan Lahan terhadap


Tingkat Erosi DAS Siak pada Kecamatan Tualang Kabupaten Siak

Kualitas tanah sangat penting untuk diperbaiki apabila tanah sudah


terdegradasi. Kualitas tanah berperan penting dalam pertumbuhan tanaman. Kualitas
tanah yang baik dapat memenuhi nutrisi yang diperlukan tanaman. Selain itu
diperlukan tambahan seperti pupuk, obat-obatan dan pengairan. Karakter tanah yang
baik sebagai media tanaman untuk tumbuh yaitu tanah yang gembur atau tanah yang
memiliki lumpur. Tanah seperti ini memiliki semua komponen yang baik (air, udara,
serta mikroorganisme yang hidup di dalamnya.
Perbaikan kualitas tanah sangat diperlukan dalam menyeimbangkan kembali
kondisi dan kualitas tanah. Kualitas tanah yang terus mengalami penurunan selama
beberapa tahun belakangan cukup memberikan kontribusi besar dalam hilangnya
keseimbangan lingkungan di daerah Tualang.
Untuk memperbaharui kembali kondisi kualitas tanah dan lahan dalam
mengimbangi perubahan iklim global yang disebabkan oleh rusaknya lingkungan
hidup maka perlu mengevaluasi kemampuan tanah untuk kembali kepada tingkat
penampilan semula, jika tanah tersebut mengalami degradasi atau terjadi penurunan
sifat-sifatnya dalam konteks dimensi waktu dan nilai.
Ada bermacam cara yang dilakukan untuk memperbaiki kualitas tanah
(Suprayogo et al,2001) , antara lain :
1. Rehabilitasi terhadap degradasi sifat fisik tanah
Degradasi sifat fisik tanah umumnya disebabkan memburuknya struktur
tanah, sehingga upaya perbaikan sifat tersebut mengarah terhadap perbaikan struktur.
Penggunaan gambut terhumifikasi rendah memiliki pengaruh lebih besar daripada
gambut terhumifikasi tinggi dalam menurunkan kompaktibilitas tanah. Upaya
174

perbaikan sifat fisik tanah utamanya dalam pemantapan agregat tanah yang memiliki
tekstur lepas menggunakan polimer organik.
2. Rehabilitasi degradasi sifat kimia dan biologi tanah
Rehabilitasi pada tanah terdegradasi yang dicirikan dengan penurunan sifat
kimia dan biologi tanah umumnya tidak terlepas dari penurunan kandungan bahan
organik tanah, sehingga amelioran yang umum digunakan berupa bahan organik
sebagai agen resiliensi. Pemberian bahan organik jerami atau mucuna sebanyak 10
Mg ha-1 dapat memperbaiki sifat-sifat tanah Typic Haplohumult (Gajruk) yaitu:
meningkatkan aktivitas mikroba, meningkatkan pH H2O, meningkatkan selisih pH,
meningkatkan pH NaF (mendorong pembentukan bahan anorganik tanah yang
bersifat amorf), meningkatkan KTK pH 8,2 atau KTK variabel yang tergantung pH,

menurunkan Aldd dan meningkatkan C-organik tanah.

Penurunan Aldd selain disebabkan oleh kenaikan pH dan pengikatan oleh

bahan-bahan tanah bermuatan negatif, juga disebabkan pengkhelatan senyawa


humik. Peranan asam fulvik jauh lebih tinggi dibandingkan asam humik sekitar tiga
kalinya (Winarso, 1996).
Bahan organik sebagai bahan rehabilitasi juga didapat dari limbah, misalnya
kelapa sawit mampu meningkatkan pH tanah, kandungan P, K, Mg, dan KTK tanah.
Amelioran lain yang umum digunakan pada tanah-tanah tropika adalah kapur.

Menurut Ahn (1993) pengapuran umumnya ditujukan untuk menetralkan Aldd

terutama pada tanaman yang peka terhadap keracunan Al. Biasanya meningkatkan
pH tanah hingga 5,5, sedangkan bila karena keracunan Mn, maka pH perlu dinaikkan
hingga 6,0.

Hampir sama dengan provinsi-provinsi lainnya di Sumatera, di Riau


terjadi konversi lahan yang tinggi yang secara intensif telah merusak hutan
terutama di DAS Siak. Demikian pula usaha-usaha perkebunan, telah mengkonversi
lahan cukup luas dari hutan menjadi lahan-lahan perkebunan. Selain itu
dengan adanya pemekaran wilayah, secara tidak langsung mempengaruhi
perubahan tata guna lahan di DAS Siak (Departemen PU, 2005).
175

Tabel 1. menunjukkan komposisi tata guna lahan di DAS Siak yang berada di
wilayah kabupaten Siak (lokasi pengambilan sampel hingga muara sungai).
Tabel 1. Komposisi tata guna lahan DAS Siak di wilayah Kabupaten Siak tahun 2006

No Deskripsi Persentase (%)


1 Pemukiman 3,54
2 Industri 0,42
3 Persawahan 0,82
4 Tanah Kering 59,86
5 Perkebunan 10,26
6 Hutan 15,73
7 Lahan Kosong, Rusak 4,52
8 Perairan dan lainnya 4,99
Sumber: Regionalinvestment, (2007)

Dari data diatas dapat terlihat komposisi penggunan lahan DAS Siak yang
didominasi oleh lahan kering, hutan dan perkebunan.
Pengunaan lahan yang banyak didominasi lahan kering dan perkebunan akan
memicu peningkatan erosi pada daerah sekitar sehingga akan berdampak langsung
pada DAS Siak yang menjadi hilir aliran air permukaan. Pemerintah Kecamatan
Tualang sebagai pengawas dalam pengembangan penggunaan lahan di daerah
tersebut belum maksimal dalam melakukan pengontrolan kepada masyarakat. Hal ini
terlihat dengan berkembang pesatnya penggunaan lahan sebagai perkebunan
beberapa tahun belakang ini.
Di Indonesia kebijakan penataan ruang diatur dalam Undang-undang Nomor
26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Tata ruang dilakukan secara terpadu,
menyeluruh, berdayaguna dan berhasilguna, serasi, selaras, seimbang dan
berkelanjutan.
Untuk mengendalikan penurunan kualitas tanah ada beberapa cara yang bisa
dilakukan (Sinukaban et al,1994)
Pengendalian secara vegetatif :
1. Sistem Pertanaman Lorong
Sistem pertanaman lorong adalah suatu sistem dimana tanaman pangan ditanam
pada lorong diantara barisan tanaman pagar. Sistem ini sangat bermanfaat dalam
mengurangi laju limpasan permukaan dan erosi dan merupakan sumber bahan
176

organik dan hara terutama unsur N untuk tanaman lorong. Teknologi budidaya
lorong telah lama dikembangkan dan diperkenalkan sebagai salah satu teknik
konservasi lahan kritis untuk pengembangan sistem pertanian berkelanjutan pada
lahan kritis/kering di daerah tropika basah namun belum diterapkan secara luas
oleh petani.
Pada budidaya lorong konvensional tanaman pertanian ditanam pada lorong-
lorong diantara barisan tanaman pagar yang ditanam menurut kontur. Barisan
tanaman pagar yang rapat diharapkan dapat menahan aliran permukaan serta erosi
yang terjadi pada areal tanaman budidaya, sedangkan akarnya yang dalam dapat
menyerap unsur hara dari lapisan tanah yang lebih dalam untuk kemudian
dikembalikan ke permukaan melalui pengembalian sisa tanaman hasil pangkasan
tanaman pagar.

2. Sistem Pertanaman Strip Rumput

Konservasi lahan kritis dengan sistem pertanaman strip rumput hampir sama
dengan pertanaman lorong tetapi tanaman pagarnya adalah rumput. Strip rumput
dibuat mengikuti kontur dengan lebar strip 0,5 meter atau lebih. Semakin lebar
strip semakin efektif mengendalikan erosi. Sistem ini dapat diintegrasikan dengan
ternak. Penanaman rumput pakan ternak di dalam jalur strip. Penanaman
dilakukan menurut garis kontur dengan letak penanaman dibuat selang seling agar
rumput dapat tumbuh baik dan usahakan penanaman dilakukan pada awal musim
hujan. Selain itu tempat jalur rumput sebaiknya di tengah antara barisan tanaman
pokok.

3. Tanaman Penutup Tanah


Tanaman ini merupakan tanaman yang ditanam tersendiri atau bersamaan dengan
tanaman pokok. Manfaat tanaman penutup antara lain untuk menahan atau
mengurangi daya perusak bulir-bulir hujan yang jatuh dan aliran air diatas
permukaan tanah, menambah bahan organik tanah (melalui batang, ranting dan
daun mati yang jatuh), serta berperan melakukan transpirasi yang mengurangi
kandungan air tanah.
177

Peranan tanaman penutup tanah adalah mengurangi kekuatan disperasi air hujan,
mengurangi jumlah serta kecepatan aliran permukaan dan
memperbesar infiltrasi air ke dalam tanah sehingga mengurangi erosi. Penyiangan
intensif dapat menyebabkan tergerusnya lapisan atas tanah. Untuk menghindari
persaingan antara tanaman penutup tanah dengan tanaman pokok pada konservasi
lahan kritis dengan teknik ini dapat dilakukan dengan penyiangan melingkar (ring
weeding). Tanaman penutup tanah yang digunakan dan sesuai untuk sistem
pergiliran tanaman harus memenuhi syarat diantaranya harus mudah diperbanyak
(sebaiknya dengan biji), memiliki sistem perakaran yang tidak menimbulkan
kompetisi berat bagi tanaman pokok tetapi memiliki sifat mengikat tanah yang
baik dan tidak mensyaratkan tingkat kesuburan tanah yang tinggi, tumbuh cepat
dan banyak menghasilkan daun, toleransi terhadap pemangkasan, resisten
terhadap gulma, penyakit dan kekeringan, mudah diberantas jika tanah akan
digunakan untuk penanaman tanaman semusim atau tanaman pokok lainnya,
sesuai dengan kegunaan untuk reklamasi tanah dan tidak memiliki sifat-sifat yang
tidak menyenangkan seperti berduri atau sulur yang membelit.

4. Mulsa

Mulsa adalah bahan-bahan (sisa panen, plastik dan lain-lain) yang disebar atau
digunakan untuk menutup permukaan tanah. Bermanfaat untuk mengurangi
penguapan serta melindungi tanah dari pukulan langsung butir-butir air hujan
yang akan mengurangi kepadatan tanah. Mulsa dapat berupa sisa tanaman,
lembaran plastik dan batu. Mulsa sisa tanaman terdiri dari bahan organik sisa
tanaman (jerami padi, batang jagung), pangkasan dari tanaman pagar, daun-daun
dan ranting tanaman. Bahan tersebut disebarkan secara merata di atas permukaan
tanah setebal 2 s/d 5 cm sehingga permukaan tanah tertutup sempurna.

5. Pengelompokan Tanaman dalam Suatu Bentang Alam (landscape)


Pengelompokan Tanaman dalam Suatu Bentang alam (landscape) mengikuti
kebutuhan air yang sama sehingga irigasi dapat dikelompokkan sesuai kebutuhan
tanaman. Teknik konservasi lahan kritis seperti ini dilakukan dengan cara
mengelompokkan tanaman yang memiliki kebutuhan air yang sama dalam
satulandscape. Pengelompokkan tanaman tersebut akan memberikan kemudahan
178

dalam melakukan pengaturan air. Air irigasi yang dialirkan hanya diberikan sesuai
kebutuhan tanaman sehingga air dapat dihemat.

6. Penyesuaian Jenis Tanaman dengan Karakteristik Wilayah

Teknik konservasi ini dilakukan dengan cara mengembangkan kemampuan dalam


menentukan berbagai tanaman alternatif yang sesuai dengan tingkat kekeringan
yang dapat terjadi dimasing-masing daerah. Sebagai contoh tanaman jagung yang
hanya membutuhkan air 0,8 kali padi sawah akan tepat jika ditanam sebagai
pengganti padi sawah untuk antisipasi kekeringan. Pada daerah hulu DAS yang
merupakan daerah yang berkemiringan tinggi penanaman tanaman kehutanan
menjadi komoditas utama.

7. Penentuan Pola Tanam yang Tepat


Baik untuk areal yang datar maupun berlereng penentuan pola tanam disesuaikan
dengan kondisi curah hujan setempat untuk mengurangi devisit air pada musim
kemarau. Hasil penelitian Gomez (1983) menunjukkan bahwa pada lahan dengan
kemiringan 5% dengan pola tanam campuran ketela pohon dan jagung akan dapat
menurunkan run off dari 43% menjadi 33% dari curah hujan dibandingkan dengan
jagung monokultur. Hal ini terjadi karena adanya perbedaan besar kebutuhan air
tiap jenis vegetasi. Besarnya kebutuhan air beberapa jenis tanaman dapat menjadi
acuan dalam membuat pola tanam yang optimal.

Pengendalian erosi secara mekanis :


Yang termasuk dalam pegendalian ini adalah pembuatan guludan searah dengan
garis kontur, serta pembuatan terasering. Pembuatan terasering akan membantu lahan
agar tidak terkikis secara cepat.
Pengendalian secara vegetatif lebih ekonomis daripada pengolahan dan pembuatan
terasering dan pembuatan guludan searah garis kontur, karena biaya dan tenaga kerja
lebih mudah dan murah pada pengendalian vegetatif.
III DAMPAK PERBAIKAN KUALITAS TANAH PADA BEBERAPA
PENGGUNAAN LAHAN TERHADAP TINGKAT EROSI DI DAS SIAK
KECAMATAN TUALANG

3.1. Aspek Ekonomi

1.) Jika tidak dilakukan perbaikan kualitas tanah masyarakat Kecamatan Tualang
Kabupaten Siak tidak akan bisa mengoptimalkan penggunaan lahan pada daerah ini.
Kegiatan pertanian yang dilakukan tidak memberikan hasil yang memuaskan dan
bahkan cendererung menurun.
Bagi pihak swasta, apabila kualitas tanah di daerah ini tidak dilakukan perbaikan maka
pihak swasta akan kesulitan mengembangkan usahanya di daerah ini karena
perkembangan daerah yang tergolong rendah.
Bagi pihak Pemerintahan akan sangat berpengaruh apabila kualitas tanah diperbaiki. Jika
tidak dilakukan perbaikan maka daerah ini tidak akan memiliki potensi perkembangan
yang baik. Hal ini dapat menjadi penurunan income daerah itu dan menjadi masyarakat
sulit untuk berkembang karena mayoritas masyarakat masih menggunaakan lahan dalam
sektor pertanian.
2.) Bagi masyarakat Kecamatan Tualang Kabupaten Siak perbaikan kualitas tanah ini akan
banyak memberikan manfaat.. Jika ditinjau dari aspek ekonomi, dampak perbaikan
kualitas tanah pada beberapa pengunaan lahan di DAS Siak Kecamatan Tualang akan
memberikan keuntungan kepada masyarakat selaku pengguna lahan pada daerah
tersebut karena setiap usaha/ kegiatan yang akan mereka kembangkan pada daerah
tersebut akan maksimal dan memperoleh produktivitas yang tinggi. Perbaikan kualitas
tanah ini akan meningkatkan pendapatan masyarakat terutama masyarakat yang mata
pencaharian utamanya berasal dari pertanian atau perkebunan.
Bagi pihak swasta, perbaikan kualitas tanah ini diprediksi akan membantu
mengoptimalkan produksi terutama pihak-pihak yang bergerak di bidang perkebunan.
Biaya yang dikeluarkan untuk perbaikan kualitas tanahpun dapat dikurangi.
Bagi pemerintah perbaikan kualitas lahan ini tentu akan membantu pemerintah dalam
mengembangkan potensi daerah tersebut menjadi areal perkebunan sehingga akan
menjadi aset penting pada daerah tersebut.
180

3.2. Aspek Sosial dan Budaya

1.) Apabila perbaikan kualitas tanah tidak dilaksanakan maka daerah ini diperkirakan
tidak dapat berkembang lagi. Selama ini industri masih merupakan salah satu aspek
yang tidak terpisahkan dari Kecamatan Tualang ini. Jika sektor pertanian tidak
dikembangkan dan dikelola dengan baik maka harapan untuk dapat mengembangkan
sektor pertanian dan perkebunan di daerah ini menjadi hilang.
Dan pemerintah tidak dapat mengembangkan potensi daerah tersebut sebagai daerah
perkebunan atau pertanian yang maju.

2.) Jika perbaikan kualitas lahan dilakukan didaerah ini dapat diprediksi bahwa daerah ini
akan berkemkembang dengan pesat. Apalagi sektor pertanian masih menjadi salah
satu mata pencaharian masyarakat secara umum. Perkembangan daerah ini akan
meningkatkan interaksi sosial dan pergeseran budaya pada daerah tersebut.
Bagi pemerintahan perbaikan kualitas tanah pada daerah ini akan sangat bermanfaat
dalam perencanaan. Selain itu pemerintah dapat menyusun kegiatan-kegiatan
pengembangan wilayah tersebut. Perbaiakan kualitas tanah pada beberapa pengunaan
lahan juga dapat membantu masyarakat terhindar dari konflik vertikal yang
disebabkan oleh permasalahan pemanfaatan lahan. Pemerintah juga dapat
menjalankan kebijakannya dengan mengarahkan masyarakat Kec Tualang dalam
pemanfaatan lahan sekitar DAS Siak.

3.3. Aspek Lingkungan dan Kesehatan


1.) Apabila perbaikan kualitas tanah ini tidak dilaksanakan maka berbagai dampak
negatif akan muncul. Pada daerah itu sendiri potensi erosi yang kan muncul akan
semkin meningkat seiring dengan semikin turunnya kualitas lahan tersebut. Ditambah
dengan semakin banyaknya aktivitas yang dilakukan pada lahan tersebut.
Masyarakat yang berdomisili di daerah dengan kualitas tanah yang buruk juga dapat
merasakan efek dari degradasi lingkungan ini. Seperti genangan-genangan yang
muncul pada lahan tertentu, maka akan membawa berbagai macam penyakit dan
dapat menurunkan tingkat kesehatan masyarakat.
Kekeringan merupakan salah satu dampak yang juga muncul karena degradasi
kualitas tanah. Kekeringan adalah ketersediaan air tanah sudah tidak dapat lagi
181

mendukung pertumbuhan tanaman dan makhluk hidup lainnya.


Jika terjadi penurunan nilai kualitas tanah, berarti pemerintahan kecamatan dan
kabupaten belum dapat menjalankan tugasnya dalam pengelolaan lingkungan hidup
terutama pengembangan pengguanaan lahan yang memperhatikan aspek aspek
lingkungan.

2.) Jika perbaikan kualitas lahan dilakukan di daerah ini maka otomatis kualitas
lingkungan pada daerah itu menjadi meningkat. Hal ini dapat membuat masyarakat
yang tinggal di lingkungan terhindar dari potensi datangnya berbagai penyakit.
Instansi pemerintahan sebagai pengelola lingkungan dapat menjaga kestabilan
pemanfaatan lahan dengan terus memperhatikan nilai-nilai lingkungan. Pemerintahan
daerah juga harus meningkatkan sosialisasi kepada masyarakat jika perbaikan kualitas
tanah ini terlaksana. Pemanfaatan lahan sesuai dengan arahan dan bimbingan dari
sektor inilah yang diperlukan masyarakat dalam memaksimalkan potensi tanah
tersebut.
IV OPTIMALISASI/PENINGKATAN PERBAIAKAN KUALITAS
TANAH TERHADAP TINGKAT EROSI DI KECAMATAN TUALANG
KABUPATEN SIAK

Untuk menghindari dan mencegah kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh


pengelolaan lahan tertentu. serta mencegah peningkatan tingkat erosi yang
memungkinkan terjadi dari pengelolaan lahan itu, diperlukan pengelolaan lahan secara
terpadu. Peranan masyarakat dan pemerintah dinilai masih menjadi masalah sehingga
memberikan kontribusi yang besar dalam terjadinya penurunan kualitas tanah pada
Kecamatan Tualang.

4.1. Peran Masyarakat dalam Menjaga Kualitas Tanah di Kecamatan Tualang

Masyarakat di Kecamatan Tualang pada umumnya tidak mengetahui


dengan jelas cara pengolahan lahan dengan memperhatikan aspek lingkungan.
Kebanyakan dari masyarakat ini melakukan pengolahan lahan berdasarkan
pengalaman yang pernah mereka dapatkan. Hal ini menjadi permasalahan
tersendiri dalam pengoptimalan potensi lahan yang ada. Penulis berpendapat
bahwa informasi ini seharusnya bisa didapatkan oleh masyarakat dari pihak
Pemerintah, baik itu tingkat Kecamatan maupun tingkat Kabupaten.
Menurut penulis dengan memahami cara pengelolaan lahan dan pengunaan
lahan sesuai dengan arahan dari pihak pemerintah, masyarakat dapat menerapkan
pola penggunaan lahan yang sesuai dengan kriteria lahan pada daerah yang mereka
tempati. Hal ini sangat membantu dalam mengurangi penurunan kualitas lahan
yang berkorelasi dengan tingkat erosi pada DAS Siak.

4.2. Peran Pemerintahan dalam Melakukan Pengawasan dan Pengelolaan


Penggunaan Lahan yang Berdampak Langsung kepada DAS di Kecamatan
Tualang
Peran Pemerintah Daerah Provinsi Riau dalam pengelolaan DAS Siak tidak
terlepas dari Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2012 tentang
Pengelolaan DAS. Menurut penulis implementasi Peraturan Pemerintah No 37
tahun 2012 sampai tahun 2013 di Provinsi Riau belum ada.
Melihat kenyataan DAS di Provinsi Riau semakin kritis, maka pengelolaan
183

DAS harus mendapatkan perhatian yang khusus dengan membentuk wadah


kordinasi tersendiri. Berdasarkan. Peran Pemerintah Daerah Provinsi Riau dalam
pengelolaan DAS Siak tidak terlepas dari Peraturan Pemerintah Nomor 37
Tahun 2012 tentang Pengelolaan DAS. Lemahnya implementasi Peraturan
Pemerintah ini diperkirakan disebabkan kurangnya sosialisasi Pemerintah Daerah
terkait peraturan pengelolaan DAS.
Peran Pemerintah Provinsi Riau dalam pengelolaan DAS Siak di tahun 2011
sudah mulai meningkat dengan membuatnya suatu Rencana Pengelolaan DAS
Terpadu Siak. Rencana pengelolaan DAS Terpadu ini merupakan rencana jangka
panjang 15 tahun, rencana pengelolaan DAS Terpadu diharapkan dapat
membantu mewujudkan pengelolaan DAS Terpadu melalui pendekatan “Satu DAS,
Satu Rencana, dan Satu Sistem Pengelolaan Terpadu (One watershed one plan one
integrated management).”secara umum tujuan pengelolaan DAS terpadu adalah
sebagai berikut:

1. Mewujudkan kondisi tata air DAS yang optimal meliputi kuantitas,


kualitas, dan distribusi menurut ruang dan waktu;
2. Mewujudkan kondisi lahan yang produktif sesuai dengan daya dukung
dan daya tampaung lingkungan DAS secara berkelanjutan;
3. Mewujudkan kesadaran, kemampuan dan partisipasi aktif para pihak dalam
mewujudkan DAS yang lebih baik.
4. Mewujudkan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Pengelolaan DAS Terpadu Siak tidak hanya melibatkan peran pemerintah
tetapi peran masyarakat dan peran swasta juga terlibat. Monitoring berbagai
kegiatan dalam upaya pelestarian ekosistem DAS Siak tidak hanya dilakukan oleh
pemerintah tetapi melibatkan seluruh elemen masyarakat yang ada di DAS Siak.
Kontrol sosial yang dilakukan oleh masyarakat dalam pengelolaan DAS Siak
harus ditunjang dengan pemahaman masyarakat itu sendiri terhadap program-
program pengelolaan DAS Siak.
Peran Badan Lingkungan Hidup berdasarkan Keputusan Gubernur Riau
Nomor 12 Tahun 2003 tentang Peruntukan dan Baku Mutu Air Sungai Siak Provinsi
Riau ini termasuk dalam peran ideal (ideal role), peran ideal dari Badan Lingkungan
Hidup tersebut melakukan pengawasan dan pemantauan air sungai Siak secara
184

berkoordinasi dan pelaksanaannya mengacu kepada Peraturan Pemerintah


Nomor 82 tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian
Pencemaran Air. Dalam melaksanakan pengawasan Badan Lingkungan Hidup
berkoordinasi dengan instansi terkait dan melaporkan hasil pengawasan kepada
Gubernur. Peran Badan Lingkungan Hidup dalam melakukan tugas pengawasan
termasuk ke dalam peran Badan Lingkungan Hidup yang seharusnya (expected
role).
Apabila setiap bagian, baik itu masyarakat, pihak swasta maupun
pemerintahan dapat menjalankan peran dan fungsi masing-masing dengan baik
maka penurunan kulitas tanah pada tutupan lahan sekitar DAS Siak dapat dicegah
sehingga tingkat erosi di DAS Siak Kecamatan Tualang tidak terjadi.
DAFTAR PUSTAKA

Ahn, P.M. 1993. Tropical Soils and Fertilizer Use.Longman Science & Technical. 263p.
Andrew, S. S., D.L .Karlenand C. A Cambardella. 2004, The Soil Management
AssesmentFramework : A Quantitative Soil Quality Evaluation Method. Soil.
Sci. Soc. Am. J. 68 (6): 1945-1962
Arsyad, S. 1989. Konservasi Tanah dan Air.InstitutPertanian Bogor. Bogor.
Asdak, C. 1995. HidrologidanPengelolaan Daerah Aliran Sungai. UGM Press.
Yogyakarta
Bappenas.2006.KajianPengembangandanPengelolaanIrogasiRawa di Sumatera.
http://air.bappenas.go.id, diaksestanggal 28 Juli 2016.
DepartemenPekerjaanUmum, 2005. PenataanRuang Daerah Aliran Sungai (DAS)
SiakProvinsi Riau.PaparanMenteriPekerjaanUmum. Seminar Penyelamatan
dan Pelestarian DAS Siak.PemdaPropinsi Riau danFordasSiak.Pekanbaru.
Ditzler, C.A and Tugel, A J. 2002. Soil Quality Field Tools: Experience of USDA-
NRCS Soil Quality Institute. Agron. J. 94(1): 33-38.
Foth, 1994.Dasar - DasarIlmu Tanah. Erlangga, Jakarta.
Harjadi, B. dan S. Agtriariny.1997. Erodibilitas Lahan dan Toleransi Erosi pada
Berbagai Variasi Tekstur Tanah.BuletinPengelolaan DAS (3).
Hardjowigeno, S. danWidiatmaka.2007. Evaluasi Kesesuaian Lahan dan
Perencanaan Tata guna Lahan. GadjahMada University Press.Yogyakarta.
Haekal. 2004. Model Estimasi Debit Aliran Sungai Berdasarkan Perubahan
Penggunaan Lahan di Sub DAS Ciliwung Hulu. Skripsi. Program Studi Ilmu
Tanah. Fakultas Pertanian IPB. Bogor.
Karlen, DL., MJ. Mausbach, JW. Doran,RG. Cline, RF. Harris, & GE. Schuman.
1996.
Larson, W.E., and F.J. Pierce. 1994. The Dynamics of Soil Quality as AMeasure of
Sustainable Management. In J.W. Doran, D.C. Coleman, D.F. Bezdicek, and
B.A. Stewart (Eds.) Defining Soil Quality for A Sustainable Environment.
SSSA Spec. Pub. No. 35.ASA, CSSA, and SSSA, Madison, WI.
Mangunsukardjo,K. 1999. Kajian Geomorfologis untuk Perencanaan Penggunaan
Lahan di DAS Oyo, Gunung Kidul, DIY. Majalah Geografi Indonesia
13(23):1-11
186

Nugroho, S.P., S. Adidan H. Soewandito. 2002. Pengaruh Perubahan Penggunaan


Lahan Terhadap Aliran Permukaan, Sedimen dan Unsur Hara. Jurnal Sains
dan Teknologi BPPT. 4(5):227-231.
Notohadiprawiro. T. 1998. Tanah dan Lingkungan. Direktorat Jendral Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta.
Purwanto, 2002.Biota Tanah SebagaiIndikatorKualitas Tanah.TugasDalam Mata
KuliahDegradasiSumberDayaLahandanLingkunganUniversitasBrawijaya.
Malang. (tidakditerbitkan)
Reski, L, 2014. PeranPemerintah Daerah Provinsi Riau DalamPengelolaan DAS
Siak, JurnalPenelitian. JurusanIlmuPemerintahan, UniversitasRiau.1(1):68-79.
Sanchez, P.A. 1992. SifatdanPengelolaan Tanah Tropika.Terjemahan.ITB.Bandung.
Setyono, P. 2008. CakrawalaMemahamiLingkungan. Percetakan UNS. Surakarta.
Seybold, C. A., M. J. Mausbach, D.L.Karlen, and H.H.Rogers. 1996. Quantification
Of Soil Quality. In: The Soil Quality Institude (Ed.). The Soil Quality.Concept.
USA: USDA Natural Resources Conservation ServiceSoil Quality: Concept,
Rationale and Research Needs. Soil.Sci.Am.J.16(2): 387-404.
Suprayogo, D., Widianto,. P. Purnomosidi, R. H. Widodo, F. Rusiana, Z. Z. Aini, N.
Khasanah, dan Z. Kusumah.2001. Degradasi Sifat Fisik Tanah sebagai Akibat
Alih Fungsi Lahan Hutan Menjadi Sistem Kopi Momokultur: Kajian
Perubahan Makro Porositas Tanah. Jurnal Penelitian Pertanian Universitas
Brawijaya: 60-68.
Suripin, 2004.SistemDrainase yang Berkelanjutan.Andi Offset, Yogyakarta.
Sutanto, 2005.Dasar-dasarIlmu Tanah KonsepdanKenyataan.Kanisius, Yogyakarta.
Wander, M.W., G. L. Walter, T. M. Nissen, G. A. Bollero, S. S. Andrews, and D. A. C.
Grant. 2002. Soil Quality: Science and Process. Agron. J. 94 (1): 23‐32.
Winarso, S. 1996. Pengaruh Penambahan Bahan Organik terhadap Pengkhelatan Aluminium
oleh Senyawa-Senyawa Humik pada Typic Haplohumult. Tesis IPB. Bogor.
Winarso, S. 2009. Pengaruh Kombinasi Senyawa Humik dan CaCO3 terhadap Alumunium
dan Fosfat Typic Paleudult Kentrong Banten. J. Tanah Trop. 14 (2): 89 – 95.
187

LAMPIRAN 1. PETA PROVINSI RIAU

Sumber : Bakosurtanal / Badan Informasi Geospasial


188

LAMPIRAN 2. PETA KABUPATEN SIAK

Sumber : Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Siak


189

LAMPIRAN 3. PETA DAS SIAK

Sumber : Google
PENCEGAHAN PENCEMARAN AIR SUNGAI BUNUT OLEH LIMBAH
INDUSTRI KARET PT. BAKRIE SUMATERA PLANTATION BUNUT
FACTORY TERHADAP PERSAWAHAN DI KECAMATAN RAWANG
PANCA ARGA , KABUPATEN ASAHAN

NAZRI ZULFADJRIN
1510248542

PROGRAM STUDI ILMU LINGKUNGAN


PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
2016
ii

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI............................................................................................................................ ii
DAFTAR TABEL.................................................................................................................... iii
DAFTAR LAMPIRAN............................................................................................................ iv
I . PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ............................................................................................................. 1
1.2 Perumusan Masalah ...................................................................................................... 1

II. PENCEMARAN AIR SUNGAI BUNUT OLEH PABRIK KARET PT. BAKRIE
SUMATERA PLANTATION TERHADAP PERSAWAHAN KECAMATAN
RAWANG PANCA ARGA, KABUPATEN ASAHAN SUMATERA UTARA
2.1 Sungai dan Pencemaran Air Sungai.............................................................................. 3
2.2 Limbah Pabrik Karet .................................................................................................... 5
2.3 Pabrik Karet PT. Bakrie Sumatera Plantation .............................................................. 6
2.4 Irigasi di Kecamatan Rawang ...................................................................................... 9
2.5 Pencemaran Air Sungai Bunut oleh Limbah Pabrik Karet PT. Bakrie
Sumatera Plantation terhadap Irigasi di Kecamatan Rawang, Kabupaten Asahan
Sumatera Utara .......................................................................................................... 10

III.DAMPAK PENCEGAHAN PENCEMARAN AIR SUNGAI BUNUT OLEH LIMBAH


PABRIK KARET PT. BAKRIE SUMATERA PLANTATION TERHADAP
PERSAWAHAN DI KECAMATAN RAWANG PANCA ARGA, KABUPATEN
ASAHAN
3.1 Aspek Ekonomi ......................................................................................................... 12
3.2 Aspek Sosial .............................................................................................................. 12
3.3 Aspek Lingkungan dan Kesehatan ............................................................................ 13

IV. UPAYA PENCEGAHAN AIR SUNGAI BUNUT OLEH LIMBAH PABRIK KARET
PT BAKRIE SUMATERA PLANTATION TERHADAP PERSAWAHAN DI
KECAMATAN RAWANG PANCA ARGA, KABUPATEN ASAHAN SUMATERA
UTARA
4.1 Kapasitas Kolam Pengolahan Limbah Cair PT. Bakrie Sumatera Plantation
Memperhitungkan Kondisi Pada Hari Hujan ........................................................... 15

4.2 Air Limbah Bercampur dengan Air Sungai yang Masuk ke Persawahan
Mempengaruhi Produksi Padi..................................................................................15

4.3 PT. Bakrie Sumatera Plantation sebagai Pemilik Pabrik Karet tidak Mengantisipasi
terjadinya Pencemaran Akibat Luapan Lumpur yang Merugikan Masyarakat di
Kecamatan Rawang Panca Arga ............................................................................16

4.4 Pemkab Asahan Belum Mengetahui Terjadinya Limpahan Air Limbah


Kolam Pabrik Karet PT. Bakrie Sumatera Plantation yang Mempengaruhi
Produksi Padi............................................................................................... 20
DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................................21
LAMPIRAN.........................................................................................................................22
iii

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1 Baku mutu air limbah bagi usaha datau kegiatan industri karet .......................................... 7
2 Hasil pengujian air limbah PT. Bakrie Sumatera Plantation ............................................ 17
iv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Peta Provinsi Sumatera Utara ........................................................................................22


2. Peta Kabupaten Asahan .................................................................................................23
3. Peta Kecamatan Rawang Panca Arga ............................................................................24
1

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Perkembangan industri yang sangat pesat pada zaman ini banyak
menimbulkan permasalahan lingkungan. Masalah yang paling utama yang
dihadapi oleh industri sekarang adalah pencemaran lingkungan yang bersumber
dari pembuangan limbah hasil kegiatan industri yang dibuang kesungai.Dalam
rangka menghindari terjadinya kerusakan lingkungan yang lebih luas oleh limbah
industri yang tidak diolah terlebih dahulu, maka pemerintah mengeluarkan suatu
kebijakan yang tertuang dalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup.
PT Bakrie Sumatera Plantation bergerak di bidang usaha perkebunan dan
industri karet. Dalam proses pengolahan hasil kebun, PT. Bakrie memiliki pabrik
yang salah satunya berlokasi di Kelurahan Bunut, Kecamatan Kisaran Barat,
Kabupaten Asahan. PT Bakrie memiliki empat pabrik karet yang berada di dalam
lingkungan yang sama yaitu pabrik karet crumb rubber 1, crumb rubber 2, BSR,
dan cenex (lateks pekat) yang mengolah karet/latex. Sedangkan satu pabrik
khusus untuk mengolah limbah dari keempat pabrik tersebut. Dalam proses
pengolahan karet, digunakan zat-zat kimia seperti asam formiat, NH3, TZ, dan
lain-lain yang jika terbuang dengan limbah cair maka akan mencemari sungai.
Berdasarkan penelitian oleh Sundari (2016), limbah hasil pengolahan industri
karet PT.Bakrie Sumatera Plantation yang dibuang ke sungai Bunut sudah diolah
terlebih dahulu di Instalasi Pengolahan Limbah. Pengolahan limbah PT. Bakrie
Sumatera Plantation menggunakan metode lumpur aktif sebelum masuk ke sungai
Bunut, sehingga dihasilkan air limbah yang tidak melebihi baku mutu ketika
dibuang ke sungai Bunut. Ketika hujan, masyarakat sekitar sungai Bunut
menyatakan air sungai menjadi keruh dan sedikit kehitaman. Keruhnya air sungai
membuat khawatir para petani padi yang menggunakan sumber air irigasi dari
sungai Bunut terhadap pertumbuhan tanaman padi yang ditanam.

1.2. Perumusan Masalah

Dewasa ini permintaan pasar terhadap karet terus meningkat setiap tahun.
Keadaan ini mendorong pabrik karet untuk terus meningkatkan produktivitas serta
kualitas karet yang dihasilkan. Selain permintaan yang menguntungkan, industri
karet menyumbangkan banyak permasalahan terhadap lingkungan yang harus
diperhatikan. Adapun masalah yang dapat dirumuskan adalah:
1. Kapasitas kolam pengolahan limbah cair PT. Bakrie Sumatera Plantation tidak
memperhitungkan kondisi pada hari hujan.
2. Air limbah bercampur dengan air sungai yang masuk ke persawahan
mempengaruhi produksi padi.
2

3. PT. Bakrie Sumatera Plantation sebagai pemilik pabrik karet tidak


mengantisipasi terjadinya pencemaran akibat luapan lumpur yang merugikan
masyarakat di Kecamatan Rawang Panca Arga.
4. Pemda Kabupaten Asahan belum mengetahui terjadinya limpahan air limbah
kolam pabrik karet PT. Bakrie Sumatera Plantation yang mempengaruhi
produksi padi.
3

II. PENCEMARAN AIR SUNGAI BUNUT OLEH PABRIK KARET PT.


BAKRIE SUMATERA PLANTATION TERHADAP PERSAWAHAN
KECAMATAN RAWANG PANCA ARGA, KABUPATEN ASAHAN

2.1 Sungai dan Pencemaran Air Sungai

2.1.1 Pengertian Sungai

Dalam Peraturan Pemerintah RI No. 35 Tahun 1991 tentang Sungai


disebutkan bahwa sungai adalah tempat-tempat dan wadah-wadah serta jaringan
pengaliran air mulai dari mata air sampai muara dengan dibatasi kanan dan
kirinya serta sepanjang pengalirannya oleh garis sempadan. Sungai juga bisa
diartikan sebagai bagian permukaan bumi yang letaknya lebih rendah dari tanah di
sekitarnya dan menjadi tempat mengalirnya air tawar menuju ke laut, danau, rawa
atau ke sungai yang lain. Menurut Syarifuddin (2000), sungai adalah bagian dari
permukaan bumi yang karena sifatnya, menjadi tempat air mengalir. Dapat
disimpulkan bahwa sungai adalah bagian dari daratan yang menjadi tempat aliran
air yang berasal dari mata air atau curah hujan.

Adapun menurut Ramimohtarto (2004), sungai adalah aliran air tawar yang
bergerak melalui saluran alami yang kedua pinggirnya dibatasi oleh tanggul
sungai dan bermuara ke laut, danau, atau sungai lain (sungai induk). Sungai
adalah bagian permukaan bumi yang letaknya lebih rendah dari tanah disekitarnya
dan menjadi tempat mengalirnya air tawar menuju ke laut, danau, rawa atau ke
sungai yang lain. Secara umum setiap aliran sungai dibagi menjadi tiga bagian,
yakni bagian hulu, bagian tengah dan hilir.

2.1.2 Pencemaran Air Sungai

Menurut Azwir (2006), sungai merupakan salah satu sumber daya alam
yang bersifat mengalir, sehingga perlakuan air di hulu akan memberi dampak di
hilir. Pencemaran di hulu akan menyebabkan pencemaran di hilir dan pelestarian
di hulu akan bermanfaat di hilir. Sungai sangat bermanfaat bagi manusia dan juga
bermanfaat bagi biota air

Pencemaran sungai dapat terjadi karena pengaruh kuaitas air limbah yang
melebihi baku mutu air limbah, di samping itu juga ditentukan oleh debit air
limbah yang dihasilkan. Indikator pencemaran sungai selain secara fisik dan kimia
juga dapat secara biologis, seperti kehidupan plankton. Organisme plankton yang
hidup di perairan terdiri atas fitoplankton dan zooplankton mempunyai
karakteristik seperti hewan termasuk diantaranya adalah organisme yang
tergolong protozoa, cladocerans, dan copepoda. Fitoplankton menghasilkan energi
melalui proses fotosintesis menggunakan bahan organik dengan bantuan sinar
matahari. Zooplankton adalah konsumen pertama yang memperoleh energi dan
4

makanan dari fitoplankton. Menurut Tanjung (1993), Plankton merupakan salah


satu indikator terhadap kualitas air akibat pencemaran.

Berdasarkan definisinya, pencemaran air diindikasikan dengan turunnya


kualitas air sampai ketingkat tertentu yang menyebabkan air tidak dapat berfungsi
sesuai dengan peruntukannya. Yang dimaksud dengan tingkat tertentu tersebut
adalah baku mutu air yang ditetapkan dan berfungsi sebagai tolok ukur untuk
menentukan telah terjadinya pencemaran air.

Penetapan baku mutu air selain didasarkan pada peruntukan (Designated


benefical water uses), juga didasarkan pada kondisi nyata kualitas air yang
mungkin berada antara satu daerah dengan daerah lainnya. Oleh karena itu
penetapan baku mutu air dengan pendekatan golongan peruntukan perlu
disesuaikan dengan menerapkan pendekatan klasifikasi kualitas air (kelas
air).Dengan ditetapkannya baku mutu air pada sumber air dan memperhatikan
kondisi airnya, maka beban pencemar yang dapat ditenggang oleh air penerima
sehungga sesuai dengan baku mutu air dan tetap berfungsi sesuai dengan
peruntukannya

Kualitas air pada dasarnya dapat dilakukan dengan pengujian untuk


membuktikan apakah air itu layak untuk dikonsumsi. Penetapan standar sebagai
batas mutu minimal yang harus dipenuhi telah ditentukan oleh standar
internasional, standar nasional, maupun standar perusahaan. Di dalam Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2011 tentang Kualitas dan
Pengendalian Pencemaran Air disebutkan bahwa mutu air telah diklasifikasikan
menjadi empat kelas, yang terdiri dari :

1. Kelas satu, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk baku air minum, dan
untuk peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan
kegiatan tersebut.
2. Kelas dua air yag diperuntukannya dapat digunakan untuk prasarana/sarana
rekreasi air, pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk irigasi sawah,
dan peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan
tersebut.
3. Kelas tiga, yang peruntukannya dapat digunakan untuk pembudidayaan ikan air
tawar, peternakan, air untuk mengairi pertamanan, dan peruntukan lain yang
persyaratan mutu air sama dengan kegunaan tersebut.
4. Kelas empat, air yang diperuntukannya lain yang mempersyaratkan mutu air yang
sama dengan kegunaan tersebut.

Pencemaran sungai di banyak wilayah di Indonesia telah mengakibatkan


terjadinya krisis air bersih. Kurangnya kesadaran warga sekitar serta lemahnya
pengawasan pemerintah dan keengganan mereka untuk melakukan penegakan
5

hukum yang benar menjadikan masalah pencemaran sungai menjadi hal yang
kronis yang semakin lama semakin parah.

2.2 Limbah Pabrik Karet

Menurut Prastiwi (2010), industri karet remah berbahan baku lateks kebun
menghasilkan limbah cair yang bersumber dari proses koagulasi, penggilingan,
peremahan, dan pencucian. Limbah cair industri karet remah berwarna putih
keruh, mengandung padatan tersuspensi, terlarut maupun terendap. Limbah cair
industri karet remah bersifat asam dengan nilai pH berkisar 4,2-6,3. Hal ini
disebabkan oleh penggunaan asam formiat pada proses koagulasi lateks.

Limbah cair industri karet remah memiliki nilai COD tinggi yang
mengindikasikan bahwa padatan yang terdapat pada limbah cair industri karet
remah merupakan senyawa organik. COD merupakan jumlah oksigen yang
diperlukan untuk mendegradasi bahan organik secara kimia di dalam air limbah
sedangkan BOD merupakan parameter yang menentukan jumlah oksigen yang
diperlukan untuk mendegradasi bahan organik secara biologis di dalam air limbah.

Menurut Utomo (2012), air limbah pabrik karet remah berbahan baku
lateks kebun memiliki nilai COD berkisar 3.000-5.000 mg/L dan BOD 2.300-
2.700 mg/L dengan rasio COD:BOD sekitar 1,5 sehingga tergolong limbah yang
mudah terurai secara biologis. Selain itu, air limbah pabrik karet berbahan baku
lateks kebun mengandung senyawa nitrogen sebesar 100-300 mg/L N-NH3 dan
fosfor sebesar 20 mg/L P-PO4,Senyawa-senyawa tersebut berperan pada
terjadinya pengkayaan badan air (eutrofikasi).

Dengan ditetapkannya baku mutu air pada sumber air dan memperhatikan
kondisi airnya akan dapat dihitung berapa beban pencemar yang dapat ditenggang
oleh air penerima sehingga sesuai dengan baku mutu air dan tetap berfungsi sesuai
dengan peruntukanya. Kualitas air pada dasarnya dapat dilakukan dengan
pengujian untuk membuktikan apakah air itu layak dikonsumsi.

Penetapan standar sebagai batas mutu minimal yang harus dipenuhi telah
ditentukan oleh standar Internasional, Standar Nasional, maupun standar
perusahaan. Di dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Republik Indonesia
Nomor 5 Tahun 2014 tentang Baku Mutu Air Limbah telah ditetapkan standar
baku mutu limbah industri karet (Tabel 1).
6

Tabel 1. Baku mutu air limbah usaha atau kegiatan industri karet

Karet bentuk
Lateks Pekat kering

Parameter Beban Beban


kadar
kadar paling pencemaran pencemaran
palingtinggi
tinggi (mg/l) paling tinggi paling tinggi
(mg/l)
(kg/ton) (kg/ton)

BOD 100 4 60 2,4

COD 250 10 200 8

TSS 100 4 100 4

Amonia Total 15 0,6 5 0,2

Nitrogen Total
(sebagai N) 25 1 10 0,4

pH 6,0-9,0 6,0-9,0

Debit limbah 40 m3 Per ton


Paling Tinggi 40 m3 Per ton produk karet produk karet

Sumber: MenLH (2014)

2.3 Pabrik Karet PT. Bakrie Sumatera Plantation

Pabrik PT. Bakrie Sumatera Plantation, Tbk (PT.BSP,Tbk) pabrik Bunut,


berlokasi di Kelurahan Bunut, Kecamatan Kota Kisaran Barat, Kabupaten
Asahan, Sumatera Utara (Lampiran 1, 2 dan 3). Menurut PT. BSP (2015),
perusahaannya memiliki empat pabrik yang mengolah lateks/karet kebun menjadi
masing-masing satu produk utama dan satu areal khusus mengolah limbah. PT.
Bakrie Sumatera Plantations, Tbk (PT. BSP, Tbk) memiliki areal perkebunan
yang tersebar di beberapa daerah yaitu Tanah Raja Estate, Sei Baleh Estate,
Gurach Batu Estate, Kuala Piasa Estate, Aek Silabat Estate, dan Serbangan Estate.
Pabrik dan Perkebunan PT. BSP, Tbk yang semula adalah NV Holland
Americanshe Plantage Maattschappij (NV HAPM) didirikan pada tanggal 17 Mei
1911 yang merupakan hak pemerintah Amerika. Pada tahun 1917 NV. HAPM
membentuk sebuah departemen khusus untuk meneliti tanaman dan penyakit serta
mencari obatnya. Departemen tersebut diberi nama Plantation Research
7

Department (PRD) dan berlokasi di Bunut Kisaran. Kemudian pada tanggal 21


April 1986, saham-saham PT. Uniroyal Sumatera Plantations dibeli oleh Bakrie
dan Brothers dan status PT. Uniroyal berubah dari PMA menjadi PMDN.
Berdasarkan Surat Keputusan Departemen Dalam Negeri
No.N66/HGU/DA/85/A/G tertanggal 30 Januari 1998 keputusan menentukan hak
guna usaha atas nama PT. USP sejak Bakrie Nusantara Corperations yang
merupakan anak perusahaan pertama dalam lingkup Bakrie Group yang go public.

PT. Bakrie Sumatera Plantation memiliki pabrik pengolahan karet di


Kelurahan Bunut, Kecamatan Kisaran Barat, Kabupaten Asahan, Sumatera Utara.
PT. Bakrie Sumatera Plantation memiliki empat pabrik pengolahan karet dan satu
pabrik pengolahan limbah.

Karet remah atau crumb rubber adalah produk karet alam yang relatif baru.
Berbagai olahan karet dapat diolah menjadi karet remah. Dalam pengolahan karet
remah digolongkan menjadi dua macam bahan baku, yaitu lateks kebun dan lump
serta gumpalan mutu rendah. Pengolahan karet remah dengan bahan baku lateks
yaitu sebagai berikut (Steyamidjaja, 2011):
1. Pembekuan lateks
Proses pembekuan (koagulasi) dilaksanakan dalam bak- bak pembekuan.
Lateks kebun dlam bak dibubuhi dengan asam semut 1% + melase 0,36%.
Untuk memperoleh karet remah yang berwarna putih selain koagullan dan
melase, dibubuhkan juga larutan Natrium-bisulfit ke dalam bak pembekuan
dengan konsentrasi 0,05% dalam waktu 18-24 jam aka terbentuk bekuan/
koagulan yang siap digiling atau diremahkan.
2. Peremahan
Koagulum dari bak pembekuan yang berukuran 45cm x 23cm x 23cm
dimasukkan kedalam mesin pisau berputar (rotarry cutter) yang dilengkapi
dengan saringan yang berlubang dengan ukuran 1,6 – 1,9 cm. Remah-remah
yang terbentuk, setelah melalui saringan akan diterima dalam kotak-kotak
pengering. Pada peremahan ini air pencuci dibutuhkan sebanyak 5 liter
permenit. Air pencuci memudahkan proses peremahan dan untuk
membersihkan rema-remah tersebut.
3. Pengeringan
Remah-remah dari mesin perema diterima dalam kotak-kotak pengeringan,
kotak-kotak ini kemudian dimasukkan kedalam mesin pengering Unidryer atau
alat pengering lorong. Suhu dalam lorong Unidryer adalah 70-100 oC, lama
pengeringan membutuhkan waktu empat jam dengan kapasitas 400 kg/jam .
Kotak didalam lorong pengeringan berjalan perlahan-lahan dari pangkal
menuju ke ujung.
8

4. Pengempaan
Remah-remah yang keluar dari mesin-mesin pengering unidryer berada dalam
kotak-kotak. Remah-remah kemudian diangkat dan deletakkan diatas meja
yang tersedia, kemudian dimasukkan kedalam mesin pengempa.
5. Pembungkusan
Setelah bongkahan keluar dari mesin pengempa, bongkahan tersebut harus
didiamkan dahulu selama 8-12 untuk menurunkan suhu bongkahan.
Bongkahan yang sudah dingin kemudian dibungkus dengan plastik politein
untuk SIR (Standard Indonesia Rubber) yang tebalnya antara 0,02-0,04 mm.
Selanjutanya bongkahan tersebut dipak dalam bentuk pallet dan dibungkus
dengan plastik hitam yang tebalnya 0,1 mm. Bagan Proses pembuatan karet remah
dapat dilihat pada Gambar 1

Gambar 1. Bagan Proses Pembuatan Karet Remah

Sumber: Sundari (2016)


9

2.4 Irigasi di Kecamatan Rawang Panca Arga dan Limbah Cair Pabrik
Karet

Besar kecilnya produktivitas padi dipengaruhi kualitas air pada irigasi.


Irigasi di Kecamatan Rawang Panca Arga bersumber dari air sungai Bunut yang
bercampur dengan limbah cair industri pabrik karet PT. Bakrie Sumatera
Plantation. Air Sungai bunut yang terkontaminasi oleh limbah cair PT. Bakrie
Sumatera Plantation mengalir ke saluran irigasi dan masuk ke areal persawahan.

Hotmix (2014) menyatakan bahwa Kabupaten Asahan memiliki luas lahan


sawah tahun 2010 mencapai 12.010 ha, dimana 5.714 ha beririgasi dan 6.296 ha
tadah hujan. Areal sawah beririgasi terluas berada di Kecamatan Rawang Panca
Arga (3.257 ha). Pada tahun 2011 produktivitas padi mengalami penurunan
sebesar 1,22 kw/ha dari tahun 2010 dengan produktivitas sebesar 47,61 kw/ha,
pada tahun 2012 produktivitas padi meningkat kembali sebesar 51,81 kw/ha, dan
pada tahun 2013 produktivitas padi mengalami peningkatan lagi sebesar 55,5
kw/ha, sehingga bila dirata-ratakan produksi padi mencapai 6,5-7 ton/ha. Untuk
menjaga kondisi lahan persawahan agar tetap berproduksi dengan baik, serta
meningkatkan produksi padinya, yaitu dengan berbagai keterbatasan daya dukung
lahan dan penerapan teknologi khususnya (manajemen irigasi) untuk kawasan
lahan irigasi maka perlu diketahui sampai sejauh mana potensi produksi padi yang
ada pada lahan sawah irigasi di Kecamatan Rawang Panca Arga dalam aras
pencapaian padi yang maksimal.

Kecamatan Rawang Panca Arga sebagai daerah penghasil produksi padi


terbesar di Kabupaten Asahan, perlu dikaji jaringan irigasi yang menjadi sumber
air untuk meningkatkan produksi padi. Dalam kurun waktu 2009-2013 diperoleh
hasil bahwa keandalan jaringan irigasi belum cukup baik. Rata-rata nilai nisbah
lahan irigasi teknis dengan semi teknis dan sederhana 0,35, rata-rata nilai nisbah
luas panen dengan luas lahan beririgasi 1,9 dan rata-rata nilai aras pencapaian
produksi padi 56,75%.

Limbah cair pabrik karet merupakan senyawa bahan organik. Menurut


Widyaningrum (1989) “Limbah pabrik karet mengandung unsur hara dan
berperan dalam memacu pertumbuhan padi”. Bahan Organik yang terkandung
dalam limbah karet seperti Nitrat (NH3), Nitrogen (N) juga diperlukan oleh
tanaman. Kelebihan unsur hara mengakibatkan tidak stabilnya pertumbuhan
tanaman padi yang pada akhirnya mempengaruhi produksi tanaman padi para
petani di Kec. Rawang Panca Arga.
10

2.5 Pencemaran Air Sungai Bunut oleh Limbah Pabrik Karet PT. Bakrie
Sumatera Plantation terhadap Irigasi di Kecamatan Rawang

Sundari (2016) menyatakan, hasil pengujian air limbah PT. Bakrie


Sumatera Plantation di Laboratorium Lingkungan Hidup Kab. Asahan dapat
dilihat dalam Tabel 2

Tabel 2. Hasil pengujian air limbah PT Bakrie Sumatera Plantation

1
Hasil Analisa
No. Parameter
Satuan In Let Out let Baku mutu
1 pH 7,04 7,89 6,0-9,0
2 BOD mg/L 1215 15 60
3 COD mg/L 1520 23 200
4 TSS mg/L 230 12 100
5 Ammonia(NH3-N) mg/L 14,6 2,1 5
6 Nitrogen Total (sbg N) mg/L 19,8 5,2 10

Sumber: UPT Laboratorium Lingkungan Kab. Asahan (2016)

Hasil pengujian yang diukur di saluran outlet menunjukkan bahwa


parameter fisik (TSS) dan parameter kimia (pH, BOD, COD, Ammonia (NH3 –N),
Nitrogen Total sesuai dengan standar baku mutu Permen LH No. 5 Tahun 2014
tentang Baku Mutu Air Limbah.

. Sebagai pelaku kegiatan industri karet yang menghasilkan limbah hasil


produksi, PT. Bakrie Sumatera Plantation sudah melakukan pengendalian limbah
cair melalui pengolahan air limbah. Salah satu pengolahan limbah cair karet PT.
Bakrie Sumatera Plantation yaitu menggunakan kolam lumpur aktif. Kolam
lumpur aktif mengandung banyak zat pengurai untuk mengurai bahan organik
yang masih baru.

Tata letak kolam pengolahan air limbah yang berada dekat dengan sungai
memungkinkan air kolam meluap ketika hujan dan masuk ke sungai. Pada hasil
pengujian air limbah, limbah yang memenuhi standar baku mutu air limbah
berada di outlet setelah melewati proses pengolahan pada kolam lumpur.
Sedangkan pada kolam pengolahan, air limbah masih berada di atas baku mutu air
limbah. Air kolam lumpur yang bercampur dengan air sungai membuat air sungai
menjadi keruh dan kehitaman. Air kolam yang mengandung bahan organik
seperti nitrat bercampur dengan air sungai dan masuk ke saluran irigasi yang akan
mengairi sawah. Menurut Rauf,et al. (2000). Kelebihan unsur hara juga
berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman, misalnya kelebihan unsur N dapat
menyebabkan menurunnya kualitas bulir, pertumbuhan vegetatif memanjang
11

(lambat panen), dan padi mudah rebah. Tergangunya pertumbuhan vegetatif


tanaman membuat produksi tanaman padi masyarakat di Kecamatan Rawang
Panca Arga menurun. Menurunnya produksi padi di Kecamatan Rawang Panca
Arga akan berdampak pada pendapatan ekonomi masyarakat yang sebagian besar
sebagai petani.

Terjadinya limpahan air limbah dalam kolam pengolahan pada musim hujan
dapat dikatakan kurang memperhitungkan kapasitas kolam. Limpahan air limbah
industri karet PT. Bakrie Sumatera Plantation ini selanjutnya masuk ke sungai
Bunut yang menjadi sumber air irigasi persawahan sehinga menyebabkan
produksi padi masyarakat di Kecamatan Rawang Panca Arga menurun. Kondisi
demikian tidak diantisipasi oleh PT. BSP dikarenakan perusahaan kurang
memperdulikan dampak yang terjadi akibat kapasitas kolam yang kurang efektif.
Selain itu, Pemda Kabupaten Asahan besar kemungkinan tidak mengetahui hal
tersebut, sehingga Pemda Kabupaten Asahan belum dapat mengambil tindakan.
Seharusnya Pemda Kabupaten Asahan sudah mengetahui akibat dari terjadinya
limpahan air limbah yang mengandung unsur N masuk ke persawahan sehingga
mempengaruhi pertumbuhan padi akibat kelebihan unsur hara.
12

III. DAMPAK PENCEGAHAN PENCEMARAN AIR SUNGAI BUNUT


OLEH LIMBAH PABRIK KARET PT. BAKRIE SUMATERA
PLANTATION TERHADAP PERSAWAHAN DI KECAMATAN
RAWANG PANCA ARGA KABUPATEN ASAHAN

3.1 Aspek Ekonomi

Sungai selain sebagai sumber air juga dimanfaatkan oleh masyarakat


sebagai mata pencarian dengan memanfaatkan sungai untuk kegiatan pertanian.
Masuknya limbah pabrik karet ke sungai Bunut tentu mempengaruhi kondisi
lingkungan sungai Bunut. Sungai Bunut dijadikan sumber air irigasi oleh
masyarakat di Kecamatan Rawang untuk mengairi sawah dan usaha perikanan.
Apabila tidak dilakukan pencegahan pencemaran oleh limbah PT. Bakrie
Sumatera Utara terhadap sungai Bunut tentu akan berdampak kepada turunnya
kualitas air sungai sebagai sumber air irigasi persawahan. Turunnya kualitas air
tentu akan berdampak terhadap hasil produksi padi dan hasil produksi ikan di
sungai Kecamatan Rawang Panca Arga. Sedikitnya hasil panen tentu akan sedikit
juga hasil pendapatan yang diperoleh para petani. Dampak pada Pemkab Asahan
apabila produksi padi menurun akan berdampak pada tidak cukupnya kebutuhan
beras di Kabupaten Asahan sehingga Pemkab harus mensubsidi beras untuk
memenuhi kebutuhan di Kabupaten Asahan.

Pencegahan pencemaran sungai Bunut oleh limbah pabrik karet PT. Bakrie
Sumatera Plantation apabila dilakukan akan berpengaruh terhadap kegiatan usaha
masyarakat di Kecamatan Rawangp Panca Arga. Dengan adanya pencegahan
pencemaran sungai, keadaan air sungai akan lebih baik sehingga dapat menunjang
usaha masyarakat di Kecamatan Rawang Panca Arga. Keuntungan yang didapat
apabila kualitas air sungai yang masuk ke persawahan dalam keadaan baik tentu
membuat produksi padi dan ikan menjadi maksimal sehingga dapat menambah
pendapatan petani serta terpenuhinya kebutuhan beras untuk Kabupaten Asahan.
Dengan melakukan pencegahan pencemaran air limbah ke sungai Bunut pihak
perusahaan tidak perlu mengeluarkan dana untuk perbaikan kolam dan
kemungkinan mengeluarkan biaya kompensasi untuk mebantu kehidupan
masyarakat petani.

3.2 Aspek Sosial

Terjadinya pencemaran sungai berdampak kepada kondisi sosial


masyarakat Kecamatan Rawang. Selain berdampak langsung terhadap lingkungan
juga dapat berdampak kepada keadaan sosial masyarakat sekitar sungai. Dampak
sosial yang terjadi jika PT Bakrie Sumatera Plantation tidak menjaga air limbah
yang masuk ke sungai Bunut oleh limbah pabrik karetnya tentu akan
menimbulkan konflik antara masyarakat dengan PT. Bakrie Sumatera Plantation.
13

Timbulnya konflik ini tentu dapat merugikan kedua pihak. Kerugian yang
diperoleh oleh PT. Bakrie Sumatera Plantation memungkinkan terjadinya protes
dari masyarakat agar pabrik ditutup. Ditutupnya pabrik karet menyebabkan
hilangnya pekerjaan masyarakat yang bekerja di pabrik tersebut. Jika sungai
masih tercemar tentu akan terjadi konversi lahan padi dari padi irigasi menjadi
padi tadah hujan. Konversi ini menyebabkan masyarakat hanya dapat menanam
padi pada hari hujan sehingga produktivitas padi di Kecamatan Rawang Panca
Arga menurunn. Turunnya produksi akibat pencemaran juga berpengaruh kepada
Pemerintah Daerah sebagai pendukung usaha tani. Pemerintah Daerah akan
berupaya menjaga kesejahteraan petani guna menaikkan pendapatan daerah.
Upaya Pemerintah daerah tidak tercapai karena masalah pencemararn yang
menggangu pendapatan petani. Hal ini membuat Pemerintah Daerah
mengeluarkan biaya dan tenaga untuk mendukung petani agar kegiatan usaha tani
dapat berjalan dengan lancar, seingga pendapatan petani dan daerah meningkat.

Kondisi sosial yang terjadi bila dilakukakan upaya pencegahaan


pencemaran sungai Bunut oleh limbah pabrik karet PT. Bakrie Sumatera
Plantation maka lingkungan sungai menjadi bersih sehingga timbulnya rasa
nyaman bagi masyarakat yang tinggal di sekitar sungai Bunut. Rasa nyaman
menggunakan sungai dan irigasi tentu akan mennimbulkan interaksi sosial antara
setiap warga pada saat beraktivitas sehari-hari seperti mandi dan cuci. Selain itu
kondisi lingkungan sungai yang bersih dapat memberikan peluang lapangan
pekerjaan seperti usaha pertanian dan perikanan. Produksi padi meningkat dengan
adanya usaha masyarakat memanfaatkan sungai sebagai usaha akan menyebabkan
naiknya pendapatan masyarakat di Kecamatan Rawang Panca Arga..

3.3 Aspek Lingkungan dan Kesehatan

Dampak terhadap lingkungan yang timbul akibat pencemaran sungai bunut


terhadap irigasi persawahan adalah meningkatknya pertumbuhan biota air akibat
banyaknya bahan organik yang terkandung.Limbah cair industri karet
mengandung senyawa nitrogen dan fosfor. Menurut Garno (2012), apabila tidak
dilakukan pencegahan pencemaraan sungai kandungan senyawa nitrogen dan
fosfor menjadi tinggi sehingga menimbulkan peningkatan nutrien pada air sungai.
Peningkatan nutrien yang berkelanjutan dalam konsentrasi tinggi pada akhirnya
akan menyebabkan badan air menjadi sangat subur dan menimbulkan gangguan
bagi badan air. Peningkatan kesuburan air yang berlebihan disebabkan oleh
masuknya nutrien dalam badan air terutama dapat menimbulkan eutrofikasi pada
badan sungai dan kondisi tanah persawahan tidak seimbang dengan kebutuhan
tanaman padi yang dapat menyebabkan produksi padi menurun. Eutrofikasi
menyebabkan tidak terkontrolnya pertumbuhan tumbuhan air sehingga terjadi
penurunan kadar oksigen terlarut dalam badan air. Rendahnya kandungan oksigen
14

terlarut dalam air berpengaruh buruk terhadap kehidupan ikan dan akuatik lainnya
dan kalau tidak ada sama sekali oksigen terlarut mengakibatkan munculnya
kondisi anaerobik dengan bau busuk dan permasalahan estetika.
Dampak bagi kesehatan apabila tidak dilakukan pencegahan pencemaran
limbah cair pabrik karet terhadap masyarakat yang memanfaatkan air sungai
adalah timbulnya penyakit. Dampak kesehatan dari sungai yang tercemar yaitu
timbulnya penyakit gatal pada kulit, diare, dan penyakit lainnya. Bahan organik
yang terkandung dalam limbah karet apabila kelamaan bebas di lingkungan
mengakibatkan bau busuk apabila denyawa tersebut, dan. Sundari (2016),
sebagian masyarakat yang bermukim di daerah sungai Bunut mengalami ganguan
kulit seperti gatat dan memerah pada saat menggunakan air untuk mandi dan
mencuci.
Bila dilakukan upaya pencegahan pencemaran sungai Bunut oleh pabrik
karet PT. Bakrie Sumatera Plantatiom dapat meminimalisir dampak kerusakan
akibat pencemaran limbah cair industri. Kualitas limbah yang memenuhi baku
mutu air limbah akan menjaga kualitas air sungai tetap terjaga. Terjaganya
kualitas air dapat menjaga kehidupan biota air di sungai Bunut sehingga
terjaganya ekosistem di persawahan yang airnya bersumber dari sungai Bunut.
Lingkungan sungai yang terjaga dari pencemaran akan menyebabkan air sungai
dan lingkungan sungai menjadi bersih sehingga mencegah timbulnya penyakit
pada masyarakat di sekitar sungai Bunut.
15

IV. UPAYA PENCEGAHAN PENCEMARAN AIR SUNGAI BUNUT OLEH


LIMBAH PABRIK KARET PT. BAKRIE SUMATERA PLANTATION
TERHADAP PERSAWAHAN DI KECAMATAN RAWANG PANCA
ARGA, KABUPATEN ASAHAN

4.1 Kapasitas Kolam Pengolahan Limbah Cair Pabrik Karet PT. BSP Tidak
memperhitungkan pada saat hujan

Limbah cair sebelum dibuang kesungai harus diolah agar sesuai dengan
standar baku mutu yang telah ditetapkan. Salah satu upaya agar limbah sesuai
dengan standart yang ada dengan cara pengolahan limbah menggunakan lumpur
aktif. Lumpur aktif berguna sebagai pengurai bahan organik yang terdapat pada
limbah karet. Setelah limbah terurai dan sesuai dengan baku mutu, air limbah
kemudian dapat dibuang ke sungai.

Keruhnya air sungai Bunut disebabkan oleh naiknya endapan lumpur


pada kolam pengolahan limbah pada saat hujan yang bercampur dengan air
sungai. Meluapnya air kolam dapat disebabkan oleh hujan dan luapan air
sungai pada saat banjr yang masuk ke kolam. Aliran air sungai dimanfaatkan
sebagai sumber air untuk irigasi persawahan. Air sungai mengalir ke persawahan
melalui saluran irigasi. Kandungan bahan organik pada lumpur dapat
mempengaruhi pertumbuhan dan produksi padi.

Menurut saya upaya untuk mencegah naiknya endapan lumpur dan


luapan kolam salah satunya yaitu memperbesar kapasitas kolam untuk
menampung air kolam pada saat hujan dan penambahan jumlah kolam
pengolahan dan memberi tanggul di pinggir kolam agar pada saat sungai Bunut
banjir air tidak masuk ke kolam lumpur yang mengakibatkan kolam lumpur
meluap.

4.2 Air Limbah Bercampur Dengan Air Sungai Yang Masuk Ke


Persawahan Mempengaruhi Produksi Padi

Air sungai yang bercampur dengan endapan lumpur tentu mengandung


bahan organik yang berlebih. Bahan organik yang berlebih akan mempengaruhi
pertumbuhan tanaman yang berdampak pada hasil produksi tanaman padi.

Limbah pabrik karet dapat dimanfaatkan sebagai pemacu pertumbuhan


berbagai jenis tanaman, karena dalam limbah cair pabrik karet mengandung unsur
hara yang sangat dibutuhkan oleh tanaman. Selain itu limbah pabrik karet dapat
berperan dalam memacu pertumbuhan tanaman padi (Widyaningrum, 1989). Air
limbah yang dimanfaatkan tentu sesuai dengan kebutuhan unsur hara pada
tanaman padi itu sendiri. Salah satu cara untuk menurunkan bahan yang
16

terkandung dalam limbah karet yaitu menggunakan tanaman A. Microphylla pada


kolam pengolahan limbah. Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan oleh
Yulianti dan Mudyantini (2005) dengan membiakkan tanaman A. microphylla
muda berumur 2 hari selama 7 hari dan diisi air limbah dengan konsentrasi yang
telah ditetapkan. Azolla microphylla berpengaruh dalam memperbaiki kualitas
limbah cair pabrik karet terutama untuk menurunkan suhu, BOD, dan TSS. Hasil
percobaan pemberian limbah cair pabrik karet hasil fitoremediasi dengan A.
microphylla berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman padi (Oryza sativa
Linn.).

Menurut saya limbah cair pabrik karet yang mengandung bahan organik dapat
dimanfaatkan oleh perusahaan menjadi pupuk organik. Pemanfaatan limbah
menjadi pupuk organik dapat menambah keuntungan bagi pihak perusahaan tanpa
harus dibuang kesungai. Pembuatan pupuk organik disesuaikan dengan
kandungan unsur hara untuk tanaman perkebunan karet di PT. BSP atau pada
tanaman lain.

4.3 PT. Bakrie Sumatera Plantation tidak Mengantisipasi Terjadinya


Pencemaran Akibat Luapan Lumpur yang Merugikan Masyarakat di
Kecamatan Rawang Panca Arga

Menurut saya perusahaan dari awal harus merancang tata letak yang sesuai
untuk kolam pengolahan limbah cair industri karet. Posisi kolam sebaiknya jauh
dari sungai agar saat air sungai meluap air tidak langsung masuk ke kolam
pengolahan limbah. Penentuan posisi yang baik dalam pengolahan limbah
merupakan hal yang sangat penting karena karena diperlukan biaya yang besar
untuk memperbaiki kesalahan akibat tata letak kolam lumpur pengolahan limbah.

Untuk mengantisipasi terjadinya pencemaran akibat lumpur yang meluap


perusahaan sebaiknya mengecek secara rutin permukaan air kolam. Karena
apabila permukaan air kolam dangkal pada saat hujan, lumpur yang ada di kolam
akan bercampur dengan air hujan sehingga lumpur akan ikut terbawa pada saluran
pembuangan limbah dan masuk ke sungai. Pengecekan kapasitas kolam dan
kandungan bahan pencemar yang keluar dari outlet sangat penting agar
perusahaan dapat dapat melestarikan lingkungan sehingga perusahaan dapat terus
meemanfaatkan sumber daya yang ada di Kabupaten Asahan.

4.4 Pemkab Asahan Belum Mengetahui Terjadinya Limpahan Air Limbah


Kolam Pabrik Karet PT. Bakrie Sumatera Plantation yang
Mempengaruhi Produksi Padi.

Menurut saya Pemkab Asahan harus mengirim tim untuk memantau


kondisi sungai Bunut akibat limpahan lumpur dari kolam pengolahan pada saat
17

hujan. Pemantauan dari Pemkab Asahan kepada perusahaan dapat memberikan


solusi dan jalan keluar dari masalah luapan kolam lumpur. Hasil survey dan
pengecekan dapat dijadikan acuan untuk melakukan tindakan yang akan diberikan
kepada perusahaan apabila terjadinya dampak pencemaran dari limbah lumpur
terhadap sungai dan persawahan.

Pemkab Asahan dapat memberikan sanksi sesuai Peraturan dan Undang-


Undang yang berlaku apabila perushaan tidak menjaga kandungan limbah cair
yang berpotensi mencemari lingkungan sungai dan persawahan. Pemkab Asahan
harus memberikan sosialisai kepada petani padi tentang kualitas air dan tanda
tanda air tercemar yang dapat mempengaruhi pertumbuhan dan produksi padi
sehingga ketersediaan beras di Kabupaten Asahan dapat terjaga.
DAFTAR PUSTAKA

Azwir. 2006. Analisa Pencemaran Air Sunngai Tapung Kiri oleh Limbah Industri Kelapa Sawit PT.
Peputra Masterindo di Kabupaten Kampar. Universitas Diponegoro, Semarang

Hotmix. 2014. Kajian Potensi Produksi Pada Daerah Irigasi Sungai Bunut di Kecamatan Rawang Panca
Arga Kabupaten Asahan. Universitas Sumatera Utara, Medan.

Iriyanto. 2013. Limbah cair Karet. https://iriyanto120492.wordpress.com ( diakses tanggal 22 Agustus


2016)

Kristanto, P. 2002. Ekologi Indusri. ANDI, Yogyakarta.

Menteri Lingkungan Hidup RI. 2014. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 5 Tahun 2014 tentang
Baku Mutu Air Limbah. Kementerian Negara Lingkungan Hidup, Jakarta

PT. Bakrie Sumatera Plantation. 2015. Laporan Tahunan, Medan

Prastiwi, N. 2010. Pengelolaan Limbah Industri Karet. Universitas Lambung Mangkurat, Banjarbaru

Presiden RI. 1999. Peraturan Pemerintah RI Nomor 25 Tahun 1999 tentang Sungai. Sekretariat Negara,
Jakarta.

_________. 2009. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup. Sekretariat Negara, Jakarta.

_________. 2011. Peraturan Pemerintah RI Nomor 82 Tahun 2011 tentang Kualitas dan Pengendalian
Penccemaran Air. Sekretariat Negara. Jakarta

Ramimohtarto, K. 2004. Meroplankton Laut. Djambatan, Jakarta.

Rauf A.W, SyamsudinT dan Sihombing S.R. 2000. Peranan pupuk N, P, dan K pada Tanaman Padi.
Departemen Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Koya Barat, Irian Jaya

Steyamidjaja, D. 2011. Budidaya Tanaman Karet. Kanisius, Yogyakarta.

Sundari, K. 2016. Analisa Sistem Pengolahan Limbah Cair Pabrik Karet PT. Bakrie Sumatera Plantation
TBK dan Kualitas Air Sungai Bunut serta Gangguan Kulit pada Masyarakat di Kelurahan Bunut
Kota Kisaran. Universitas Sumatera Utara, Medan

Syarifuddin dan Muhadi. 2000. Sains Geografi. Bumi Aksara, Jakarta.

Tanjung, N. 1993. Pencemaran Air. Karya Anda, Surabaya.

Utomo, S. 2012. Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. Rineka Cipta, Bandung

Widyaningrum, D.Y. 1989. Usaha Pemanfaatan Limbah Pabrik Karet Getas, Salatiga untuk Pemupukan
Tanaman Padi (Oryza sativa) dan Pengaruhnya terhadap Aktivitas Enzim Nitrat Reduktase.
Skripsi., Fakultas Biologi UGM, Yogyakarta (Tidak diterbitkan)
Widyaningsih. 2012. Metode Penelitian Air. Usaha Nasional, Surabaya.

Wisnu. 1995. Dampak Pencemaran Lingkungan. Andi Offset, Yogyakarta.

Yulianingtyas, B. dan S.F.N. Qomariyah. 1994. Pemanfaatan Azolla microphylla sebagai Biofilter
Limbah Industri. Agronomi, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Yogyakarta

Yulianti,Winarno dan Mudyantini. 2005. Pemanfaatan Limbah Cair Pabrik Karet PTPN IX Kebun Batu
Jamus Karanganyar Hasil Fitoremediasi dengan Azolla microphylla Kaulf untuk Pertumbuhan
Tanaman Padi (Oryza sativa Linn.). Biosmart 7: 125-130
22

LAMPIRAN

Lampiran 1. Peta Provinsi Sumatera Utara


23

ampiran 2. Peta Kabupaten Asahan


24

Lampiran 3. Peta Kecamatan Rawang Panca Arga


DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR ISI.............................................................................................................. ii
DAFTAR GAMBAR......................................................................................... ...... iii
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... ...... iv
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ................................................................................. ....... 1
1.2 Permasalahan .................................................................................. ....... 2
II. MANFAATAN AIR LINDI LIMBAH DOMESTIK PADA BIOREMIDIASI TANAH
TERKONTAMINASI MINYAK BUMI DI PT CHEVRON PACIFIC
INDONESIA DURI

2.1 Air Lindi Limbah Domestik.......................................................................... 4


2.2 Bioremidiasi pada Tanah Terkontaminasi Minyak Bumi............................. 4
2.3 Sumber Energi dan Nutrisi Tanah
2.3.1 Sumber energi ......................................................................... ...... 9
2.3.2 Nutrisi tanah.................................................................................... 10
2.3.3 Nutrisi mineral/anorganik................................................................. 10
2.4 Mikroba Tanah.......................................................................................... 13
2.5 Pemanfaatan Air Lindi pada Bioremidiasi Tanah Terkontaminasi
Minyak Bumi di PT Chevron Pacific Indonesia Duri ......................... .... 15

III. DAMPAK PEMANFAATAN AIR LINDI LIMBAH DOMESTIK PADA


BIOREMIDIASI TANAH TERKONTAMINASI MINYAK BUMI DI PT CPI DURI

3.1 Aspek Ekonomi....................................................................................... 17


3.2 Aspek Sosial-Budaya.............................................................................. 18
3.3 Lingkungan dan Kesehat......................................................................... 19

IV. UPAYA PENYEMPURNAAN KEGIATAN PEMANFAATAN AIR LINDI LIMBAH


DOMESTIK PADA BIOREMIDIASI TANAH TERKONTAMINASI MINYAK
BUMI DI PT CPI DURI

4.1 Mengurangi Timbunan Tanah Terkontaminasi yang belum diolah ....... 21


4.2 Konflik dengan Masyarakat.................................................................... 22
4.3 Kesulitan Perizinan Tempat Pengolah.................................................... 22
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................ .... 23
LAMPIRAN ............................................................................................................. 25

ii
DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman
1. Lokasi Pengolahan Tanah Terkontaminasi .…………........................................ 7
2. Proses Pengolahan Tanah Terkontaminasi …………........................................ 8

iii
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman
1. Peta Propinsi Riau……………………………………….…….…............………….. 25
2. Peta Kabupaten Bengkalis.………………............................................................ 26
3. Peta Areal PT Chevron Pacific Indonesia............................................................ 27

iv
1

I. PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang
Minyak bumi (bahasa Inggris: petroleum, dari bahasa Latin petrus – karang
dan oleum – minyak), dijuluki juga sebagai emas hitam, adalah cairan kental,
berwarna coklat gelap, atau kehijauan yang mudah terbakar, yang berada di lapisan
atas dari beberapa area di kerak bumi. Penyumbang terbesar APBN +/- 60% dari
total pendapatan negara dan 50% nya didapat dari Bumi Lancang Kuning Riau.
Dalam proses pengangkatan minyak bumi dari dalam perut bumi seringkali disertai
dengan tumpahan minyak berupa lumpur minyak bumi yang tidak mungkin dihindari
pada setiap aktivitas penambangan minyak bumi oleh PT Chevron Pacific Indonesia
(CPI) dapat menyebabkan pencemaran terhadap lingkungan. Sebab lumpur minyak
bumi mempunyai kandungan bahan berbahaya dan beracun, contohnya benzene,
toluene, ethylbenzena dan isomer xylema
Tanah dan air yang terkontaminasi minyak tersebut dapat merusak lingkungan
serta menurunkan estetika. Lebih dari itu tanah dan air yang terkontaminasi limbah
minyak dikategorikan sebagai limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) sesuai
dengan Kep. MenLH 128 Tahun 2003 tentang “Tata Cara dan Persyaratan Teknis
Pengolahan Limbah Minyak Bumi dan Tanah Terkontaminasi oleh Minyak Bumi
Secara Biologis”. Oleh karena itu perlu dilakukan pengelolaan dan pengolahan
terhadap tanah yang terkontaminasi minyak. Hal ini dilakukan untuk mencegah
penyebaran dan penyerapan minyak kedalam tanah.
Upaya pengolahan limbah B3 di tanah telah banyak dilakukan dengan
menggunakan teknik ataupun metode konvensional dalam mengatasi pencemaran
seperti dengan cara membakar (incineration), menimbun (landfill), menginjeksikan
kembali sludge keformas minyak (slurry fracture injection) dan memadatkan limbah
(solidification). Teknologi-teknologi ini dianggap kurang efektif dari segi biaya (cost
effective technology), waktu (time consuming) dan juga keamanan (risk).
Bioremediasi yang didefinisikan sebagai proses penguraian limbah
organik/anorganik polutan secara biologi dalam kondisi terkendali dengan tujuan
mengontrol, dan mereduksi bahan pencemar dari lingkungan. Apabila ditinjau dari
aspek komersil teknologi ini relatif lebih ramah lingkungan, biaya penanganan yang
lebih murah dan bersifat fleksibel. Teknik pengolahan limbah jenis B3 dengan
bioremediasi umumnya menggunakan mikroorganisme (khamir, fungi, dan bakteri)
sebagai agen bioremediator. Proses biodegradasi dapat dilakukan dengan cara:
2

 Seeding, dengan mengoptimalkan populasi dan aktivitas mikroba indigenous


(bioremediasi instrinsik) dan/atau penambahan mikroorganisme exogenous
bioaugmentasi
 Feeding, memodifikasi lingkungan dengan penambahan nutrisi (biostimulasi) dan
aerasi (bioventing).
 Landfarming adalalah aplikasi pencampuran tanah terkontaminasi dengan
permukaan tanah yang tidak terkontaminasi. Secara khusus dilakukan pada
petak kedap air yang telah disediakan.
PT CPI dalam proses bioremediasi menggunakan metode land farming.
Tanah yang terpapar minyak bumi dikumpulkan dari tempat-tempat produksi dibawa
ketempat pengolahan yang telah disediakan. Sebelum diolah dilakukan terlebih
dahulu pengujian kandungan minyak mentahnya melalui test TPH (Total Petroleum
Hydrocarbon) tentang persyaratan konsentrasi kandungan hidrokarbon yang dapat
diolah secara biologis. Sesuai dengan Kepmen KLH no. 128/2003, tanah yang
mengandung TPH maksimal 15% dinilai efektif untuk diolah dengan proses
bioremediasi. Dari hasil tes inisiasi di lapangan didapatkan kandungan TPH
sebelum dilakukan pengolahan adalah 4% sampai dengan 5%.
Kemampuan atau kapasitas pengolahan yang dimiliki oleh PT CPI di wilayah
Utara sebesar 17,000 m3/tahun dengan siklus pengolahan dua kali setahun yang
terbagi di tiga tempat yaitu Duri, Bangko dan Libo sesuai dengan izin yang diberikan
oleh Kementerian Lingkungan Hidup.
Untuk pengolahan tanah yang terpapar minyak dengan kandungan TPH >
15% dilakukan oleh pihak ketiga, Holcym, PPLI dan Semen Padang.Jumlah tanah
yang terpapar minyak saat ini di PT CPI berkisar 1,000,000 m3

1.2. Permasalahan
Proyek Bioremediasi PT CPI di Sumatera merupakan bagian dari komitmen
perusahaan dalam melindungi lingkungan di semua wilayah operasi di Indonesia.
Sebelum proyek bioremediasi ini dilaksanakan, PT CPI telah melakukan studi
laboratorium sejak tahun 1994 dan menjalankan pengujian skala lapangan sejak
tahun 1997. Keduanya membuktikan bahwa teknologi bioremediasi ex-situ
Landfarming merupakan cara yang paling efektif dan efisien untuk diterapkan dalam
pengelolaan limbah. Dan telah dievaluasi serta disetujui oleh badan-badan
pemerintah yang berwenang, yaitu Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) dan
badan pemerintah pengatur pengelolaan minyak dan gas, BPMIGAS.
3

Proyek bioremediasi ini telah dilaksanakan oleh PT CPI sejak


2003. Meskipun demikian permasalahan yang timbul di lapangan menunjukan
bahwasanya dengan waktu satu siklus pengolahan yang membutuhkan waktu 3
sampai dengan 4 bulan masih kurang efektif sehingga:
1. Masih tingginya timbunan tanah terkontaminasi yang belum diolah apabila
terkena limpasan air hujan akan dapat mencemari lingkungan terutama tanah
dan air yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan manusia.
2. Meskipun secara hukum proses ini tidak bermasalah namun dapat memicu
konflik dengan masyarakat dan hal ini dapat mengganggu kelancaran
operasional dari perusahaan.
3. Sulit mendapatkan izin perluasan tempat pengolahan kontaminan
Berdasarkan kenyataan yang ada di lapangan tersebut diperlukan strategi
untuk percepatan waktu proses bioremidiasi di PT CPI dalam pemulihan tanah
terkontaminasi minyak mentah dengan memanfaatkan air lindi limbah domestik atau
dengan perluasan areal pengolahan tanah oleh PT CPI.
4

II. MANFAAT AIR LINDI LIMBAH DOMESTIK PADA BIOREMIDIASI TANAH


TERKONTAMINASI MINYAK BUMI DI PT CHEVRON PACIFIC INDONESIA
DURI

2.1. Air Lindi Limbah Domestik


Menurut Rilawati (dalam Damanhuri, 2004), air lindi adalah cairan yang
merembes melalui tumpukan sampah dengan membawa materi terlarut atau
tersuspensi dari hasil proses dekomposisi materi sampah atau dapat pula
didefinisikan sebagai limbah cair yang timbul akibat masuknya air eksternal ke
dalam timbunan sampah melarutkan dan membilas materi terlarut, termasuk materi
organik hasil proses dekomposisi biologis.
Leachate (air lindi) yang dihasilkan dari sampah domestik umumnya
mempunyai karakteristik kandungan bahan organik yang tinggi, selama ini
penanganan air lindi dari sampah domestik adalah dengan cara ditampung dan
diolah di sistem pengolahan. Hal ini biasanya dilakukan di tempat pembuangan
akhir sampah yang yang ada fasilitas pengumpul air air lindi serta instalasi
pengolahan air lindi, ketika dibuang ke lingkungan agar tidak mencemari
lingkungan. Karakteristik air lindi limbah domestik PT CPI seperti pada Tabel 1.

Tabel 1. Karakteristik air lindi


Parameter Satauan Hasil Tes Parameter Satuan Hasil Tes
Arsen mg/L < 0.01 Cyanide mg/L 0.009
Besi mg/L 0.76 Sulfide mg/L 0.023
Barium mg/L 0.35 Phospate mg/L ND
Cadmium mg/L 0.003 Chloride mg/L 10.14
Chromium mg/L 0.016 NO2 – N mg/L 0.09
Cobal mg/L < 0.01 pH mg/L 9.98
Copper mg/L 0.02 Suhu - NA
Selenium mg/L < 0.01 TDS °C 119
Timbal mg/L 0.04 TSS mg/L 50
Mangan mg/L 0.05 COD mg/L 76
SO4 mg/L 21.00 Phenol mg/L 98
Fluoride mg/L < 0.50 Oil ug/L < 4.6
NH3 - N mg/L 0.35 BOD mg/L 8.20
Sumber : Laboratorium PT CPI (TS Laboratory), Des, 2015

2.2. Bioremidiasi pada Tanah Terkontaminasi Minyak bumi


Menurut Suhardi, (2016). Bioremediasi berasal dari kata bio dan remediasi
atau “remediate” yang artinya menyelesaikan masalah. Secara umum bioremediasi
dimaksudkan sebagai penggunaan mikroba untuk menyelesaikan masalah-masalah
lingkungan atau untuk menghilangkan senyawa yang tidak diinginkan dari tanah,
5

lumpur, air tanah atau air permukaan sehingga lingkungan tersebut kembali bersih
dan alamiah. Mikroba yang hidup di tanah dan di air tanah dapat “memakan” bahan
kimia berbahaya tertentu, terutama organik, misalnya berbagai jenis minyak bumi.
Mikroba mengubah bahan kimia ini menjadi air dan gas yang tidak berbahaya
misalnya CO2. Bakteri yang secara spesifik menggunakan karbon dari hidrokarbon
minyak bumi sebagai sumber makanannya disebut sebagai bakteri petrofilik. Bakteri
inilah yang memegang peranan penting dalam bioremediasi lingkungan yang
tercemar limbah minyak bumi.
Faktor utama bagaimana bioremidiasi dilakukan agar mikroba dapat
membersihkan bahan kimia berbahaya dari lingkungan, yaitu adanya mikroba yang
sesuai dan tersedia kondisi lingkungan yang ideal tempat tumbuh mikroba seperti
suhu, pH, nutrient dan jumlah oksigen.
Aplikasi bioremediasi di Indonesia mengacu pada Keputusan Menteri
Negara Lingkungan Hidup Nomor 128 Tahun 2003 tentang Tatacara dan
Persyaratan Teknis Pengolahan Limbah dan Tanah Terkontaminasi oleh Minyak
Bumi secara Biologis. Disini dicantumkan bahwa bioremediasi dilakukan dengan
menggunakan mikroba lokal.
Pada umumnya, di daerah yang tercemar jumlah mikroba yang ada tidak mencukupi
untuk terjadinya bioproses secara alamiah. Dalam teknologi bioremediasi dikenal
dua cara menstimulasi pertumbuhan mikroba, yaitu dengan biostimulai dan
bioaugmentasi. Biostimulasi ádalah memperbanyak dan mempercepat pertumbuhan
mikroba yang sudah ada di dalam tanah tercemar dengan cara memberikan
lingkungan pertumbuhan yang diperlukan, yaitu penambahan nutrient (misalnya
sumber Nitrogen dan Phospor) dan oksigen. Jika jumlah mikroba yang ada sangat
sedikit, maka harus ditambahkan mikroba untuk mencapai jumlah mikroba rata-rata
10^3 cfu/gram tanah sehingga bioproses dapat dimulai (Suhardi, 2016). Mikroba
yang ditambahkan adalah mikroba yang sebelumnya diisolasi dari lahan tercemar
kemudian setelah melalui proses penyesuaian di laboratorium diperbanyak dan
kembalikan ke tempat asalnya untuk memulai bioproses. Penambahan mikroba
dengan cara ini disebut sebagai bioaugmentasi.
Kondisi lingkungan yang memadai akan membantu mikroba tumbuh,
berkembang dan “memakan” polutan tersebut (atau memanfaatkan karbon dari
polutan sebagai sumber energi untuk pertumbuhan). Sebaliknya jika kondisi yang
dibutuhkan tidak terpenuhi, mikroba akan tumbuh dengan lambat atau mati. Secara
umum kondisi yang diperlukan ini tidak dapat ditemukan di area yang tercemar.
6

Dengan demikian, perencanaan teknis (engineering design) yang benar memegang


peranan penting untuk mendapatkan proses bioremediasi yang efektif.
Dalam aplikasi teknik bioremediasi dikenal dua teknik yang sangat umum
diterapkan yaitu biopile dan landfarming. Pada teknik biopile, tanah tercemar
ditimbun diatas lapisan kedap air dan suplai udara yang diperlukan oleh mikroba
dilakukan dengan memasang perpipaan untuk aerasi (pemberian udara) dibawah
tumpukan tanah tercemar. Pompa udara dipasang diujung perpipaan sehingga
semua bagian tanah yang mengandung mikroba dan polutan berkontak dengan
udara. Dengan teknik ini, ketinggian tanah timbunan adalah 1 sampai 1,5 meter.
Teknik landfarming dilakukan dengan menghamparkan tanah tercemar
diatas lapisan kedap air. Ketebalan hamparan tanah 30 – 50 cm memungkinkan
kontak mikroba dengan udara. Untuk menjamin bahwa semua bagian dari tanah
yang diolah terkontak dengan udara maka secara berkala hamparan tanah tersebut
di balikkan. Nama landfarming digunakan karena proses pembalikan tanah yang
dilakukan sama dengan pembalikan tanah pada saat persiapan lahan untuk
pertanian. Menurut Thapa, Kumar dan Ghimire (2012), Bioremediasi sangat aman
untuk digunakan karena menggunakan mikroba yang secara alamiah sudah ada
dilingkungan (tanah). Mikroba ini adalah mikroba yang tidak berbahaya bagi
lingkungan atau masyarakat. Bioremediasi juga dikatakan aman karena tidak
menggunakan/ menambahkan bahan kimia dalam prosesnya. Nutrien yang
digunakan untuk membantu pertumbuhan mikroba adalah pupuk yang digunakan
dalam kegiatan pertanian dan perkebunan. Karena bioremediasi mengubah bahan
kimia berbahaya menjadi air (H2O) dan gas tidak berbahaya (CO2), maka senyawa
berbahaya dihilangkan seluruhnya. Teknologi bioremediasi banyak digunakan pada
pencemaran di tanah karena beberapa keuntungan menggunakan proses alamiah /
bioproses. Tanah atau air tanah yang tercemar dapat dipulihkan ditempat tanpa
harus mengganggu aktivitas setempat karena tidak dilakukan proses pengangkatan
polutan. Teknik ini disebut sebagai pengolahan in-situ.
Teknik bioremediasi yang diterapkan di PT CPI teknik ex-situ/landfarming
yaitu proses pengolahan dilakukan ditempat yang direncanakan dan tanah tercemar
/ polutan diangkat ke tempat pengolahan yang telah disediakan di Desa Pematang
Duri (Gambar 1.). Waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan pengolahan
tergantung pada faktor jenis dan jumlah senyawa polutan yang akan diolah, ukuran
dan kedalaman area yang tercemar, jenis tanah dan kondisi setempat dan teknik
yang digunakan. Jenis minyak mentah ringan (light crude sesuai nomor API ) yang
7

diolah dengan teknik biopile bioaugmetnasi dan konsentrasi pengolahan sesuai


dengan yang ditetapkan oleh Kepmen LH 128/2003 yaitu max 15% memerlukan
waktu 4 – 6 bulan. Sedangkan minyak mentah berat (heavy crude) akan
memerlukan waktu dari 1 tahun atau lebih. Kondisi ini bervariasi dari satu area
tercemar dengan area lainnya, sehingga waktu yang diperlukan dalam rentang 4
bulan sampai 1 tahun. Kondisi akhir (end point) untuk menyatakan bahwa proses
bioremediasi berhasil dan selesai adalah konsentrasi total hidrokarbon minyak bumi
(TPH) 1%. Kepmen LH 128/2003 untuk saat ini baru menggunakan parameter TPH
saja karena kegiatan yang menerapkan teknologi bioremediasi masih terbatas pada
industri migas. Proses Bioremidiasi di PT CPI seperti pada terlihat pada Gambar 2.

Gambar 1. Lokasi Pengolahan Tanah Terkontaminasi


8

Gambar 2. Proses Pengolahan Tanah Terkontaminasi

Menurut Suhardi (2016) biaya yang diperlukan untuk melakukan


bioremediasi berada pada rentang US $25 – 75 per ton tanah olahan, tergantung
pada kondisi pencemaran. Harga ini masih lebih murah dibandingkan dengan
menggunakan teknik pengolahan lainnya misalnya insinerasi yang bisa mencapai 4
sampai 10 kali lipatnya. Bioremediasi sebagai teknologi yang dapat digunakan untuk
membersihkan berbagai jenis polutan bukan berarti tanpa keterbatasan.
Bioremediasi tidak dapat diaplikasikan untuk semua jenis polutan, misalnya untuk
pencemaran dengan konsentrasi polutan yang sangat tinggi sehingga toksik untuk
mikroba atau untuk pencemar jenis logam berat misal kadmium dan Pb.
Dimasa yang akan datang, penerapan teknologi bioremediasi di Indonesia
akan berkembang tidak hanya terbatas pada pemulihan lahan tercemar minyak
bumi di industri migas, tetapi juga pencemaran di industri otomotif, SPBU dan
industri lainnya seperti pertanian. Dengan demikian, polutan targetnya bukan
hidrokarbon minyak bumi saja tetapi juga senyawa inorganik lainnya seperti
pestisida. Pendekatan molekular misalnya identifikasi mikroba dengan 16sRNA atau
18sRNA untuk mengetahui keberlimpaphan mikroba dalam proses bioremediasi
dapat dilakukan untuk meningkatkan kinerja bioproses. Teknologi molekular ini
sudah tersedia dan dibandingkan dengan teknik identifikasi konvesional yang saat
9

ini umum digunakan di Indonesia memberikan waktu pemeriksaan lebih cepat.


Namun demikian, penggunaan teknik molekular ini masih mahal dan belum perlu
sebagai prioritas.

2.3. Sumber Energi dan Nutrisi Tanah


2.3.1. Sumber energi
Senyawa yang dioksidasi oleh suatu organisme untuk menyediakan energi
bagi proses metabolismenya disebut sebagai substrat (Sylvia, et al. 1998). Secara
definisi, substrat organisme khemoauototrof adalah bahan bentuk organik. Istilah
substart dalam biokimia adalah senyawa kimia yang bereaksi dengan enzim dalam
proses metabolisme. Istilah ini digunakan bidang ekologi mikroba untuk
menggambarkan sisa organik seperti daun, batang, kotoran dll atau komposisi
penyusunnya seperti selulosa, lignin, gula, asam amino dll. Jadi, dalam biologi
tanah, istilah substart dapat digunakan agak mirip biokimia tetapi memiliki arti lebih
luas. Sebagian besar oksidasi biologi berlangsung berikut ini:
AH2 + B BH2 + A
Reaksi tersebut dikenal dengan istilah dehidrogenasi, dan melibatkan
transfer atom hydrogen (dan elektron) dari donor hidrogen, atau substrat(AH2), ke
akseptor hidrogen (B). berdasarkan spesifikasi akseptor hidrogen, terdapat tiga
macam proses penghasil energi, yakni respirasi, respirasi anaerob dan fermentasi.
Atas dasar reaksi mikroorganisme terhadap oksigen, dikenal empat
kelompok mikroorganisme yaitu (Handayanto dan Hairiah. 2009):
1. Mikroaerofil, adalah organisme aerop obligat yang berkembang dengan baik
pada kandungan oksigen rendah
2. Aerob, organisme hanya tumbuh jika ada oksigen dan sangat tergantung pada
respirasi sumber energi
3. Anaerob, pertumbuhan organisme terhambat atau mati jika ada oksigen, jadi
tergantung pada fermentasi atau respirasi anaerop sumber energi
4. Anaerob fakultatif, organisme yang aktif pada kondisi aerob maupun anaerob
Empat jenis hubungan antara mikroba dengan oksigen tersebut di atas tidak
dijumpai pada semua kelompok taksonomi mikroba. Sebagian besar organism,
seperti fauna dan tanaman, adalah aerob, tetapi yeast dan beberapa jamur lainnya
adalah anaerob fakultatif. Semua jenis hubungan dengan oksigen tersebut
ditemukan pada kelompok bakteri.
10

2.3.2. Nutrisi tanah


Suatu organisme tidak hanya memerlukan sumber energi dalam
lingkungannya, tetapi juga harus menemukan semua bahan yang diperlukan untuk
membentuk dan mempertahankan organisasi selnya (Atlas and Bartha. 1998).
Dengan kata lain, dalam lingkungannya harus tersedia nutrisi. Pagotrof memperoleh
semua nutrisinya dari bahan yang di lumatnya, tetapi penyerapan nutrisi oleh
osmotrof sagant tergantung dari larutan di sekitarnya. Dua faktor yang menentukan
bisa tidaknya suatu senyawa dapat digunakan sebagai nutrisi oleh osmotrof , adalah
(1) kemampuan senyawa untuk penetrasi membran sitoplasma dan memasuki sel,
dan (2) kemampuan organisme untuk metabolisme senyawa setelah memasuki sel.
Molekul yang terlalu besar untuk penetrasi membran plasma mungkin dapat
digunakan sebagai sumber nutrisi jika organisme dapat menghidrolisisnya secara
enzimatik di luar sel.

2.3.3. Nutrisi mineral/anorganik


Menurut Handayanto dan Hairiah (2009), nutrisi mineral dalam tanah berasal
dari sumber atmosfer atau geologi. Masukkan dari atmosfer dapat berupa curah
hujan, aerosol pada vegetasi, dan penambatan gas oleh proses-proses biologi.
Adanya berbagai unsur kimia dalam air hujan sangat penting di daerah pesisir atau
di daerah yang dipengaruhi oleh polusi industri. Masukkan sulfur yang berasal dari
cerobong asap pabrik dapat menyebabkan terjadinya ‘hujan asam’ yang
menyebabkan terjadinya pencemaran lingkungan. Penambahan nitrogen secara
bilogi, baik secara simbiosis maupun non simbiosis, merupakan utama nitrogen bagi
semua organisme, karena batuan hampir tidak mengandung unsur nitrogen yang
diperlukan oleh tanaman dan mikroorganisme. Karbon juga harus ditambat secara
biologi(terutama melalui fotosintetis), dan atmosfer merupakan sumber utama
oksigen yang digunakan dalam respirasi aerob.
Selanjutnya menurut Handayanto dan Hairiah (2009), beberapa unsur nutrisi
mineral lainnya dapat berasal dari batuan yang merupakan bahan induk tanah,
tetapi hasil pelapukan batuan tidak dapat dinyatakan sebagai sumber nutrisi untuk
pengembangan ekosistem kecuali yang dihasilkan di daerah perakaran tanaman.
Kepekaan pelapukan mineral primer bervariasi, dan sebagian dari hasil pelapukan
yang larut dapat tercuci dar daerah perakaran. Unsur fosfor sangat penting dalam
prosespembentukan tanah karena peran utamanya dalam proses-proses biokimia.
Unsur fosfor bersama besi dan aluminium dapat membentuk komplek yang tidak
11

larut dan tahan terhadap pencucian. Dengan demikian jumlah fosfor dalam tanah
mencerminkan konsenterasinya dalam bahan induk, hal ini pada gilirannya
mempengaruhi jenis tanaman yang tumbuh.
Menurut Paul (2015), Handayanto dan Hairiah (2009) masin masing
organisme tanah memiliki ketergantungan berbeda terhadap lingkungan tanah
dalam hal pasokan energi dan nutrisi untuk pertumbuhannya. Sebagian besar
organisme mendapatkan energi dan nutrisi langsung dari tanah. Untuk memahami
fungsi organisme tanah dalam ekosistem, yaitu aliran energi dan dekomposisi
bahan organik, serta siklus unsur hara, diperlukan pemahaman hal-hal terkait
dengan kebuthan energi dan nutrisi organisme tanah sebagai berikut:
1. Pergerakkan nutrisi
Nitrogen dan karbon adalah unsur yang mencapai organisme tanah langsung
dari sumber utamanya, jika organisme tersebut mampu menambat dinitrogen atau
karbon langsung dari atmosfer. Kebanyakan karbon dan nitrogen, dan unsur
lainnya, dapat diakses mikroorganisme melalui subsistem vegetasi. Mekanisme
utama yang terlibat dalam pemindahan nutrisi dari vegetasi ke tanah adalah
konsumsi oleh herbivora, pencucian dan kanopi, dan seresah(litter-fall) serta akar
tanaman yang mati. Atas dasar berbagai mekanisme tersebut, sebagian besar
nutrisi dipindahkan ke organisme tanah melalui sisa tanaman, termasuk masukan
seresah dalam ekosistem hutan.
2. Distribusi nutrisi dalam tanah
Salah satu ciri utama tanah yang paling mencolok adalah distribusi hara tanah
bersifat acak, baik secara vertikal maupun horizontal. Unsur seperti nitrogen dan
sulfur, yang sebagian besar dalam bentuk organik, konsenterasinya menurun dari
lapisan atas ke lapisan bawah tanah. Pola yang sama juga dijumpai pada fosfor
serta kalsium dan kalium dapat dipertukarkan. Sebagai akibatnya, keberadaan
tanah umumnya terkait dengan pola sebaran unsur hara didalam tanah.
3. Nutrisi anorganik karbon
Karbon adalah unsur yang diperlukan oleh organisme dalam jumlah besar.
Semua organisme fotosintetis dapat mereduksi CO2 atmosfer, tetapi tidak
semuanya dapat menggunakan CO2 tersebut sebagai satu-satunya sumber karbon.
Pada bakteri ungunon-sulfur yang fotoheterotof, senyawa organik seperti asam
asetat dan asam suksinat berperan sebagai donor pada reduksi CO2. Mikroba
khemoautotrof seperti bakteri nitrifikasi mengunakan senyawa anorganik dalam
jumlah besar, jadi harus menggunakan CO2 udara sebagai satu-satunya sumber
12

karbon. Sebagian besar organisme khemotrof mengoksidasi senyawa organik tidak


hanya sebgai substrat dalam reaksi-reaksi penghasil energi, tetapi juga sebagai
sumber karbon.
Karbohidarat adalah di antara sekian banyak sumber karbon yang cepat
tersedia untuk mikroorganisme tanah. Monosakarida, terutama heksosa, digunakan
secara luas oleh mikroorganisme, tetapi alkohol polihidrat seperti manitol dan
gliserol juga merupakan sumber karbon yang baik, terutama untuk jamur dan
aktinomisetes. Asam-asam organik dari siklus asam trikarboksilat(siklus TCA)
biasanya tidak dapat mempenetrasi mebran sitoplasma, tetapi asam amino banyak
tersedia untuk digunakan sebagai sumber karbon beberapa mikroorganisme.
Menurut Handayanto dan Hairiah (2009), penggunaan senyawa aromatik
seperti lignin cukup banyak pada kondisi aerob, tetapi jika ada keterbatasan oksigen
(anaerob) lignin sulit didekomposisi dan kemuadian terakumulasi menjadi misalnya
gambut dan batubara. Jamur adalah perombak lignin, terutama untuk genus
Basidiomycetes
Nitrogen
Unsur N diperlukan dalam jumlah besar untuk sintesis asamamino dan
protein, nekleotida purin dan pyrimidin, dan vitamin tertentu. Di alam, atom N
berbeda dalam berbagai bentuk oksidasi yang semuanya dapat digunakan oleh
mikroorganisme. Bentuk yang paling disenangi adalah ion amonium (NH4+), karena
dalam bentuk amonium ini unsur N dileburkan dalam bentuk organik. Namun
demikian, ion nitrat (NO3-) juga dapat digunakan oleh beberapa ganggang dan
jamur, walau tidak sebanyak bakteri.
Fosfor
Fosfor berada dalam organisme hidup terutama sebagai fosfat gula dalam
nukeotida dan asam nukleat, dan sebagai pytat dan fospolipida. Pytat adalah ester
fosfat inositol yang banyak dijumpai dalam organisme hidup. Fosfor biasanya
sebagai fosfat anorganik, maka perlu disediakan dalam jumlah besar untuk
pertumbuhan organisme. Sebagian besar fosfat ini berasal dari mineral, tetapi
beberapa dapat berasal dari pelapukan enzimatik terhadap inositol heksafosfat
dalam bahan organik tanah oleh mikroba penghasil pytase.
Sulfur
Sulfur berada dalam organisme dalam bentuk sulfudril (-SH) cystein asam
amino, dan senyawa sulfur lainnya yang dijumpai dalam sel, seperti metionin, asam
amino, vitamin, biotin, thiamin berasal dari cystein. Sebagian besar mikroorganisme
13

menyerap sulfur dalam bentuk ion sulfat (SO42-), jadi harus mereduksinya menjadi
sulfudril. Thiosulfat (S2O32-) juga dapat digunakan sebagai sumber S bagi beberapa
organisme (Killham, dalam Handayanto dan Hairiah, 2009). Namun demikian ada
juga mikroba yang tidak dapat mereduksi thiosulfat, sehingga memerlukan senyawa
sulfur yang telah tereduksi sebagai nutrisi, seperti hidrogen sulfida atau cystein.

2.4. Mikroba Tanah


dengan kapas lalu disterilisasi pada suhu 121°C selama 15 Susunan mikroba
di dalam tanah yang dapat mendegadrasi produk minyak menurut Thapa, et al
(2012) yaitu Pseudomonas, Aeromonas, Moraxella, Beijerinckia, F lavobacteria,
chrobacteria, Nocardia, Corynebacteria, Atinetobacter, Mycobactena,, Modococci,
Streptomyces, Bacilli, Arthrobacter, Aeromonas, Cyanobacteria dll.
Populasi mikroba dalam tanah dipengaruhi oleh beberapa faktor yang
mempengaruhi pertumbuhan mikroba yaitu:
 Jumlah dan macam zat hara
 Kelembaban
 Tingkat aerasi
 Suhu
 pH dan
 Perlakuan pada tanah seperti penambahan pupuk atau banjir yang dapat
menyebabkan peningkatan jumlah mikroba.
Bakteri dapat hidup subur dalam tanah, terutama tanah dengan kelembaban,
temperatur dan pH yang optimal, dengan mengandung kandungan substrat yang
cukup banyak. Diperkirakan terdapat tidak kurang satu juta bakteri dalam 1 gram
tanah. Jumlah tersebut akan berkurang pada kedalaman tanah.
Berdasarkan struktur dinding sel dan pergerakannya, bakteri dapat dibagi
menjadi tiga kelompok, yaitu (Thapa, et al, 2012):
 Eubacteria
 Mycobacteria
 Spirochetes
Eubacteria merupakan bakteri terbanyak yang terdapat di dalam tanah yang
umumnya bergerak menggunakan flagella dan mempunyai dinding sel yang tebal
dan kaku. Sedangkan mycobacteria bergerak dengan melayang (gliding) dan
spirochetes bergerak menggunakan filamen. Berdasarkan dinding selnya,
mycobacteria dan spirochetes memiliki dinding sel yang tipis dan fleksibel.
14

Berdasarkan bentuknya Eubacteria dapat berbentuk bulat (cocci), tongkat (rod) dan
helix seperti vibrio dan spirilla. Contoh Eubacteria berbentuk vibrio yaitu Desulfurbio,
merupakan bakteri yang dapat mereduksi sulfat menjadi sulfide. Bakteri yang dapat
digunakan dalam mendegradasi zat pencemar dalam tanah antara lain
Pseudomonas, Nocardia, Mycobacterium, Arthrobacter dan Bacillus. Bakteri dari
kelompok Actinomycetes seperti Nocardia dan Mycobacterium memiliki peran
penting dalam mendegradasi hidrokarbon yang berasal dari minyak bumi.
Menurut Paul, (2015), Handayanto dan Hairiah, (2009) lingkungan tanah
akan berbeda dari satu lokasi dengan lokasi lainnya. Faktor yang mempengaruhi
dan menentukan jenis mikroba pada suatu sampel tanah adalah kelembaban, pH,
temperatur, kandungan gas oksigen dan komposisi organik maupun anorganik
tanah. Jenis mikroba tanah sangat bervariasi sehingga untuk menganalisanya
diperlukan salah satu metodenya yaitu metode pengenceran.
Jenis medium yang digunakan adalah agar yeast glycerol untuk media
pertumbuhan actinomycetes, agar Sabouroud untuk isolasi jamur dan agar nutrisi
untuk bakteri. Selain agar kedua jenis mdium lain ditambahkan 10mg Aureomycin
(klortetrasiklin) per mililiter medium untuk menghambat pertumbuhan bakteri.
Nutrien agar adalah medium umum untuk uji air dan produk dairy. NA juga
digunakan untuk pertumbuhan mayoritas dari mikroorganisme yang tidak selektif,
dalam artian mikroorganisme heterotrof. Media ini merupakan media sederhana
yang dibuat dari ekstrak beef, pepton, dan agar. NA merupakan salah satu media
yang umum digunakan dalam prosedur bakteriologi seperti uji biasa dari air,
sewage, produk pangan, untuk membawa stok kultur, untuk pertumbuhan sampel
pada uji bakteri, dan untuk mengisolasi organisme dalam kultur murni. Untuk
komposisi nutrien adar adalah eksrak beef 10 g, pepton 10 g, NaCl 5 g, air desitilat
1.000 ml dan 15 g agar/L. Agar dilarutkan dengan komposisi lain dan disterilisasi
dengan autoklaf pada 121°C selama 15 menit. Kemudian siapkan wadah sesuai
yang dibutuhkan.
Yeast Glycerol Agar berfungsi untuk isolasi, enumerasi, dan menumbuhkan sel
khamir. Dengan adanya dekstrosa yang terkandung dalam media ini, PGYA dapat
digunakan untuk mengidentifikasi mikroba terutama sel khamir. Untuk membuatnya,
semua bahan dicampur dengan ditambah CaCO3 terlebih dahulu sebanyak 0,5 g
lalu dilarutkan dengan akuades. Kemudian dimasukkan dalam erlenmeyer dan
disumbat.
15

2.5. Pemanfaatan Air Lindi Limbah Domestik pada Bioremidiasi Tanah


Terkontaminasi Minyak Bumi di PT CPI Pematang Duri
Air lindi mempunyai potensi untuk dapat dimanfaatkan sebagai pupuk
organik karena mengandung berbagai macam bahan organik seperti nitrat, mineral
dan mikroorganisme.
Menurut Campbell (dalam Rilawati, 2016), bakteri perombak (decomposer)
merupakan kelompok terbesar yang mengkonsumsi senyawa karbon sederhana,
seperti eksudat akar, dan sisa tanaman segar. Melalui proses ini, bakteri
mengkonversi energi dalam bahan organik tanah menjadi bentuk yang bermanfaat
untuk organisme tanah lain di dalam rantai makanan (food web) tanah. Sejumlah
bakteri perombak dapat merombak pestisida dan pencemar tanah. Bakteri
perombak terutama penting dalam imobilisasi, atau menahan unsur hara seperti
nitrogen.
Sejumlah strategi bioremidiasi dapat memperbaiki kualitas tanah dan lingkungan.
Pada kontaminan tertentu khususnya minyak bumi di PT CPI Duri menggunakan
strategi landfarming yaitu suatu aplikasi atau pencampuran kontaminan atau limbah
ke dalam permukaan tanah yang tidak terkontaminasi. Secara khusus hal ini
dilakukan pada petak yang bagian bawahnya diberi lapisan tanah liat untuk
mencegah pencucian kontaminan masuk ke air tanah. Tanah diolah agar tercampur
serta memperbaiki aerasi dan kelengasan tanah. Jika kontaminan terlalu tinggi
untuk didegradasi, pengolahan tanah juga membantu menurunkan konsentrasi
kontaminan. Saat ini pengolahan yang dilakukan digabung dengan biostimulasi C,
N dan P dengan perbandingan 100:5:1 dan dolomit untuk mendapatkan kisaran pH
6 – 9, dan strategi selanjutnya dengan penambahan air lindi limbah domestik
sebagai tambahan nutrisi, kelembaban dan juga pH yang dibutuhkan untuk
percepatan perkembangan bakteri. Menurut Handayanto dan Hairiah (2009)
penggunaan mikroorganisme thermofilik aerobik pada timbunan tanah untuk
mendegradasi kontaminan. Timbunan tanah dicampur secara fisik dan dibasahi
secara periodik untuk merangsang aktivitas mikroba. Pemanfaatan air lindi limbah
domesti pada bioremidiasi tanah terkontaminasi minyak bumi akan mempercepat
proses pemulihan tanah sehingga diharapka dapat:
1. Mengurangi timbunan tanah terkontaminasi yang belum diolah di Pematang
Duri, dengan adanya percepatan proses pengolahan/penurunan kontaminan
minyak pada tanah.
16

2. Mencegah konflik dengan masyarakat karena timbunan tanah kontaminan


dapat dilah seluruhnya.
3. Diharapkan dengan adanya pemanfaatan air limbah domestik ini pemerintah
dapat memberikan izin perluasan tempat pengolahan tanah kontaminan.
17

III. DAMPAK PEMANFAATAN AIR LINDI LIMBAH DOMESTIK PADA


BIOREMIDIASI TANAH TERKONTAMINASI MINYAK MENTAH DI PT CPI
DURI

3.1. Aspek Ekonomi


Bila air lindi limbah tanah terkontaminasi minyak mentah di PT CPI Duri tidak
dikelola, akibatnya, kegiatan perusahaan dan proses produksinya dapat
menurunkan kualitas lingkungan dan kesehatan masyarakat sebagaimana yang
dialami oleh warga masyarakat yang mengeluhkan empat sumur di daerah
Wonosobo Ujung, Kelurahan Talang Mandi, Kabupaten Bengkalis, Riau,
terkontaminasi minyak yang diduga berasal dari pengolahan limbah PT CPI. “Air di
empat sumur milik warga sebenarnya sudah bercampur dengan minyak sejak tahun
2010, tapi baru sekarang keluhan kita dapat respons,” Air sumur itu kini berwarna
hitam dan tidak bisa lagi dikonsumsi (Purba. 2014).
Biasanya tempat yang terkontaminasi diperlakukan dengan metode tradisional
seperti fisik, kimia dan proses termal menyerupai penggalian dan transportasi.
Dengan metode ini, biaya pengolahan 1 m3 tanah dari daerah yang terkontaminasi
1-acre diperkirakan US $ 0,6-2.5 juta (McIntyre, 2003 dalam Shukla, Singh, and
Sharma, 2010). Miliaran dolar yang dibutuhkan untuk dapat digunakan
membersihkan semua situs tercemar dengan hidrokarbon aromatik polisiklik (PAH)
dalam beberapa dekade mendatangi.
Akibat diduga mencemari lingkungan aktifitas PT CPI sempat terhambat
produksinya oleh masyarakat, namun dampak positifnya dapat menciptakan
lapangan pekerjaan dan peningkatan ekonomi, bagian mana yang lebih menonjol
dari kedua dampak tersebut tergantung dari sudut mana masyarakat
memandangnya. Apabila dampak positif lebih menonjol dibandingkan dampak
negatif di mata masyarakat sekitar, maka hal tersebut tentu akan menguntungkan
bagi perusahaan. Hal yang tidak diinginkan adalah apabila yang terjadi merupakan
hal yang sebaliknya. Akibatnya, kegiatan perusahaan dan proses produksinya.
Bila dilakukan pengelolaan dengan memanfaatkan air lindi limbah domestik
pada bioremidiasi tanah terkontaminasi minyak bumi di PT. CPI Duri akan
memberikan dampak ekonomi yang positif bagi
- Perusahaan PT. CPI
Dengan memanfaatkan air lindi limbah domestik akan mengurangi biaya
belanja pupuk NPK, dan dengan memanfaatkan air lindi diharapkan waktu
18

proses bioremidiasi akan menjadi lebih cepat sehingga biaya untuk membayar
operator menjadi berkurang.
- Masyarakat Duri
Dengan dimanfaatkannya air lindi limbah domestik, menjadikan
sistempengolahan limbah padat domestik PT CPI di Pematang Duri tidak ada
lagi buangan air limbah (zero waste discharge) ke lingkungan masyarakat,
sehingga masyarakat dapat dengan aman daan nyaman menggunakan
sumber air tanah untuk memenuhi kebutuhan air minum dan bersih.
- Pemda
Dapat dijadikan sebagai model percontohan perusahaan di Provinsi Riau
khususnya di Kabupaten Bengkalis dalam pengelolaan dan pemanfaatan
limbah domestik yang dihasilkan oleh perusahaan dalam kegiatannya selama
beroperasi.
3.2. Aspek Sosial dan Budaya Masyarakat Duri
Aspek sosial, keberadaan PT. CPI dalam pemnglolaan limbah yang dihasilkan
dan bermitra dengan komunitas setempat melalui berbagai macam cara untuk
memberikan kontribusi bermakna bagi pengembangan sosial, ekonomi dan upaya
investasi dalam bentuk program-program yang bertujuan meningkatkan
kesejahteraan sosial dan ekonomi di komunitas lapangan operasionalnya yaitu pada
masyarakat Duri. CSR di dalam perusahaan terbagi menjadi empat bagian dan
setiap bagian memiliki cabang yang berfungsi untuk lebih memfokuskan kegiatan
CSR perusahaan terhadap masyarakat di daerah operasional perusahaan. Bagian
CSR perusahaan antara lain :
1. Ekonomi
2. Kesehatan
3. Bantuan Lepas
4. Pendidikan
Dalam bidang pendidikan, PT. CPI memiliki bermacam program yang berjalan
di sekitar daerah operasional.Seperti bantuan pembangunan gedung-gedung
sekolah, pemberian bantuan lepas dalam mendukung kegiatan yang mengandung
unsur pendidikan dan bermanfaat bagi masyarakat banyak dan program beasiswa.
Dalam program beasiswa, perusahaan memiliki beberapa kegiatan beasiswa yang
bergerak di daerah operasional perusahaan, diantaranya: Darmasiswa-Riau,
bantuan pendidikan Suku Sakai, pemberian bantuan sarana dan prasarana untuk
sekolah-sekolah dan lainnya. Untuk program Darmasiswa, program ini merupakan
19

program perusahaan yang bekerjasama dengan Pemerintah Daerah Pekanbaru


dalam hal pelaksanaan dan penyeleksian calon penerima dana bantuan beasiswa.
Darmasiswa adalah salah satu program investasi sosial Chevron di bidang
Pendidikan. Program Darmasiswa diperuntukkan bagi pelajar berprestasi tingkat
SLTA/SMK/MA di seluruh penjuru Riau untuk melanjutkan kuliah di perguruan tinggi
(Fithri, 2015).
Aspek budaya masyarakat Duri khususnya Mandau yang berbatasan
langsung dengan daerah operasional PT CPI, telah membawa perubahan budaya
dari masyarakat tempatan (Sakai), terhadap pengelolaan limbah rumah tangga
terutama dalam pemilahan dan pemanfaatan limbah seperti yang dilakukan oleh
warga (pegawai PT CPI) di Perumahan sampai dengan disiplin kerja yang
diperlihatkan oleh para karyawan. Dan juga sebagai contoh untuk perusahaan lain
yang berada di Pemerintahan Kabupaten Bengkalis tata cara dan pemanfaatan
limbah yang dihasilkan oleh PT CPI sebagai perusahaan yang patuh terhadap
budaya hukum yang diberlakukan oleh pemerintah.
Disisi lain tidak sedikit keluarga dan karyawan PT CPI yang tinggal diluar
perumahan perusahaan berbaur dengan masyarakat sekitar perusahaan sehingga
terjadi ragam budaya dan adat istiadat antara melayu dengan barbagai budaya
yang dibawa oleh warga pendatang,misanya Jawa, Minang, Batak, dan juga budaya
dari bangsa manca negara. Dengan demikian meskipun Mandau hanya merupkan
daerah kecamatan namun masyarakaynya mempunyai budaya metropolitan karena
hampir semua suku di Indonesia dapat ditemukan di Duri.

3.3. Aspek Linkungan dan Kesehatan


Air tanah merupakan salah satu sumber yang paling penting dari air minum di
bumi. Namun, dalam beberapa dekade terakhir, telah terkontaminasi dengan
hidrokarbon minyak bumi, yang tumpah di tanah. senyawa organik ini telah
menyebabkan kekhawatiran masyarakat yang serius karena benzena, toluena, etil
benzena, dan xilena (BTEX) adalah polutan yang berbahaya bagi kesehatan
manusia (Shukla, et al. 2010). Jika PT CPI tidak mengelola limbah tanah yang
terkontaminasi minyak bumi dengan baik hal ini tentu akan terjadi di Pematang Duri.
Dengan pemanfaatan limbah air lindi limbah domestik pada proses
bioremidiasi di Pematang Duri, dapat diharapkan menjadikan proses pengolahan
menjadi lebih cepat, efisien dan ekonomis sehingga timbunan limbah tanah
terkontaminasi minyak bumi menjadi kecil atau tidak ada lagi serat tidak ada lagi
20

limpasan air limbah yang mencemari lingkungan meskipun terjadi hujan yang lebat
di wilayah operasi PT CPI, seperti harapan dari warga masyarakat di Pematang Duri
tidak ada pencemaran baik tanah maupun air oleh polutan minyak bumi.
21

IV. UPAYA PENYEMPURNAAN KEGIATAN DENGAN PEMANFAATAN AIR


LINDI LIMBAH DOMESTIK PADA BIOREMIDIASI TANAH
TERKONTAMINASI MINYAK BUMI

4.1. Mengurangi Timbunan Tanah Terkontaminasi yang belum dioalah


4.1.1. Jangka panjang
Bioremediasi merupakan pilihan yang menawarkan kemungkinan untuk
mendegradasi atau menurunkan kandungan kontaminan minyak bumi pada tanah
menjadi tidak berbahaya lagi dengan menggunakan aktivitas biologis alami. Dengan
menggunakan biaya yang relatif murah, teknik-teknologi sederhana, dan yang
umumnya penerimaan publik yang tinggi dan dapat dilakukan di tempat (Vidali
dalam Shukla, 2010). Dibandingkan dengan metode lain, bioremediasi adalah cara
yang lebih menjanjikan dan lebih murah untuk membersihkan tanah yang
terkontaminasi minyak bumi. Bioremediasi menggunakan agen biologis, terutama
mikroorganisme, misalnya ragi, jamur atau bakteri untuk membersihkan tanah dan
air yang terkontaminasi (Strong and Burgess dalam Shukla, 2010).
Proses Bioremediasi dapat ditingkatkan, dengan penggunaan landfarming
digabung dengan penambahan air lindi limbah domestik untuk mengaktivkan
mikroba dalam proses biologis.
Menurut Handayanto dan Hairiah, (2009) proses metabolisme dan degradasi
mikroba terjadi pada kondisi mulai dari sangat aerob sampai sangat anaerob. Akhir-
akhir ini sebagian besar uapaya dan keberhasilan dalam bioremidiasi terpusat pada
proses-proses aerobik, akan menjadi lebih efektif jika pada sistem anaerob juga
dijalankan sehingga mikroba anaerob dapat mendegradasi molekul polutan
dinyatakan lebih bandel.
4.1.2. Jangka pendek
Dalam jangka pendek PT CPI untuk mengurangi timbunan tanah
terkontaminasi minyak bumi telah melibatkan pihak ke tiga yaitu: PT Semen
Indonesia (Padang), PT Holcim Indonesia yang mempunyai izin untuk pemanfaatan
limbah B3 sebagai bahan capuran produsi semen, dan PT Prasada Pamunah
Limbah Industri (PPLI) untuk pengolahan dengan sitem landfill.
22

4.2. Konflik dengan Masyarakat


Seperti dalam kasus warga yang mengeluhkan empat sumur di daerah
Wonosobo Ujung, Kelurahan Talang Mandi, Kabupaten Bengkalis, Riau,
terkontaminasi minyak yang diduga berasal dari pengolahan limbah PT Chevron
Pacific Indonesia.
Dalam hal ini Humas dari PT CPI melibatkan Staf Teknis Penegakan
Hukum Lingkungan Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kabupaten Bengkalis dan PT
Sucofindo sebagai pihak ketiga untuk mengambil sampel air sumur guna diteliti
dilaboratorium PT Sucofindo sesuai dengan kesepakatan dari warga dan
perusahaan.
Untuk menjaga kepercayaan masyarakat dan netralitas perusahaan. PT
CPI sengaja melibatkan pihak pemerintah dan laboratorium pihak ketiga untuk
memastikan kandungan zat yang terkandung di dalam air, ada tidaknya rembesan
minyak di sumur tersebut, dan jika terbukti minyak tersebut berasal dari PT CPI,
perusahaan akan membayar ganti rugi kepada masyarakat.

4.3. Kesulitan Perizinan Perluasan Tempat Pengolah


Dengan kemampuan pengolahan limbah yang ada saat ini akan sangat
sulit untuk menyelesaikan atau mengembalikan tanah yang terkontaminasi minyak
bumi, dengan mengacu pada Peraturan Pemerintah No. 18/1999 jo Peraturan
Pemerintah No. 85/1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan
Beracun dan KepmenLH No. 128 tahun 2003 tentang Tata Cara dan Persyaratan
Teknis Pengolahan Limbah Minyak Bumi dan Tanah Terkontaminasi oleh Minyak
Bumi Secara Biologis. PT CPI harus mengajukan perluasan lahan untuk tempat
pengolahan tanah terkontaminasi minyak bumi. Dengan melakukan terobosan-
terobosan atau inovasi yang dilakukan oleh perusahaan, pemerintah tentunya akan
melihat kesungguhan dari PT CPI untuk mengelola limbah hasil produksinya
sehingga dimungkinkan untuk mendapatkan izin perluasan tempat pengolahan
limbah.
Dengan melampirkan data-data penanganan limbah yang telah dilakukan
oleh perusahaan kepada pemerintah daerah dalam hal ini melibatkan BLH
Bengkalis untuk memberikan rekomendasinya ke pemerintah pusat untuk dapat
memberikan izin perluasan tempat pengolahan limbah minyak bumi di PT CPI.
23

DAFTAR PUSTAKA

Atlas, R.M. and R. Bartha. 1998. Microbial Ecologi : Fundamental and applications.
Cummings, Menio Park, California
Damanhuri, T.P, 2004. Pengelolaan Persampahan, Erlangga, jakarta
Fithri, A., 2015. Efektivitas Pelaksanaan Program DCR pada PT Chevron Pacific
Indonesia di Provinsi Riau (http://download.portalgaruda.org, diakses 25 Juli
2016)
Handayanto, E dan K. Hairiah. 2009. Biologi Tanah, Pustaka Adipura, Yogyakarta
Menteri LH. 2003. Keputusan Menteri L.H No. 128 tahun 2003 tentang Tatacara dan
Persyaratan Teknis Pengolahan Limbah Minyak Bumi dan Tanah
Terkontaminasi Minyak Bumi Secara Biologis. Kementerian LH, Jakarta
Paul, E.A. 2015. Soil Microbiology, Ecology, and Biochemistry: An Exciting Present
and Great Future Built on Basic Knowledge and Unifying Concepts, pp. 1 –
14. In E.A Paul (ed) Soil Microbiology, Ecology and Biochemistry. Elsevier,
N.Y
Prasetyo, B dan L.M Jannah. 20012. Metode Penelitian Kuantitatif., Raja Grafindo
Persada, Jakarta
Purba, J. 2014. Persepsi Masyarakat Wonosobo terhadap Aktivitas PT CPI di
Kelurahan Talang Mandi Kecamatan Mandau Kabupaten Bengkalis
(http://jom.unri.ac.id/index.php/JOMFSIP/article/view/2476, diakses 25 Juli
2016)
Rilawati, D. 2016 Kajian Penggunaan BOISCA untuk Pemanfaatan Air Lindi
(Leachate) Menjadi Pupuk Cair
(https://core.ac.uk/download/files/478/12349618.pdf, diakses 29 Juli 2016)
Romanus, A.A, E.A Omolola, A.S Patrick, and O.A Ifeoma., 2015. Bacterial
Degradation of Petroleum Hydrocarbon in Crude Oil Polluted Soil Amended
With Cassava Peels. American Journal of Research Communication., 3 (7) :
99 - 118
Sharma, S. 2012. Bioremidoation: Features, Strategies and Application. Asian
Journal of Pharmacy and Life Science. 2 (2) : 202 - 213
Shukla, K.P., N.K. Singh, and S. Sharma,2010. Bioremidiation: Developments,
Current Practices and Perspectives. Genetic Engineering and Biotechnology
Journal (3) : 1 – 20
Suhardi, 2016. Bioremediasi.
24

http://blogs.itb.ac.id/rennisuhardi/bioremediasi/. Diakses tanggal 29 Juli 2016


Sylvia, D.M., J.L. Furhmann., P.G. Hartel and D.A. Zuberer. 1998. Principles and
Application of Soil Microbiology. Prentice-Hall, Inc., New Jersey
Thapa, B., A.KC. Kumar, and A. Ghimire, 2012. A Review on Bioremidiation of
Petroleum Hydrocarbon Contaminants in Soil, Kathmandu University Journal
of Sciene 8 (1):164
25

Lampiran 1. Peta Propinsi Riau

Lampiran 2. Peta Kabupaten Bengkalis


26

Lampiran 3. Peta Areal PT Cevron Pacific Indonesia


27

s
PENURUNAN PENDENGARAN PEMOTONG RUMPUT AKIBAT
KEBISINGAN MESIN PEMOTONG RUMPUT di KECAMATAN
MANDAU - DURI

Disusun Oleh

Sonny Pratama

NIM :1510248211

PROGRAM STUDI ILMU LINGKUNGAN

PROGRAM PASCA SARJANA

UNIVERSITAS RIAU

PEKANBARU

2016
DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR ISI ................................................................................................ ii
DAFTAR TABEL ......................................................................................... iv
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... v
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. vi

I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ................................................................................. 1
1.2. Rumusan Masalah ........................................................................... 3

II. PENGARUH PENURUNAN PENDENGARAN PADA PEKERJA


PEMOTONG RUMPUT AKIBAT KEBISINGAN DARI MESIN
PEMOTONG RUMPUT

2.1. Kebisingan ....................................................................................... 4


2.1.1. Definisi Kebisingan ................................................................. 4
2.1.2. Klasifikasi Kebisingan............................................................. 5
2.1.3. Sumber Kebisingan ................................................................ 6
2.1.4. Pengaruh Kebisingan terhadap Kesehatan Tenaga Kerja ..... 7
2.2. Pendengaran Manusia ..................................................................... 10
2.2.1. Sistem pendengaran manusia ................................................ 10
2.2.2. Gangguan pendengaran ........................................................ 12
2.2.3. Keluhan pendengaran subyektif ............................................. 13
2.3. Pengendalian Kebisingan ................................................................ 14
2.4. Audiometri ........................................................................................ 15
2.4.1. Gambaran umum Audiometri ................................................. 15
2.4.2. Manfaat Audiometri ................................................................ 17
2.4.3. Tujuan Audiometri .................................................................. 17
2.4.4. Waktu pelaksanaan Audiometri .............................................. 18
2.4.5. Komponen Audiometri ............................................................ 19
2.4.6. Audiogram .............................................................................. 19
2.4.7. Prosedur Audiometri............................................................... 19

ii
2.5. Alat Pelindung Diri ........................................................................... 22
2.5.1. Pengertian alat pelindung diri ................................................. 22
2.5.2. Penggunaan alat pelindung diri .............................................. 24
2.6. Penurunan Pendengaran Pemotong Rumput Akibat Kebisingan
Mesin Pemotong Rumput di Kecamatan Mandau - Duri .................. 29

III. DAMPAK PENURUNAN PENDENGARAN PADA PEKRJA PEMOTONG


RUMPUT AKIBAT KEBISINGAN DARI MESIN PEMOTONG RUMPUT DI
KECAMATAN MANDAU

3.1. Dampak Ekonomi............................................................................. 32


3.2. Dampak Sosial Budaya .................................................................... 33
3.3. Dampak Lingkungan dan Kesehatan ............................................... 34

IV. UPAYA MINIMALISASI PENURUNAN PENDENGARAN PADA


PEKERJA PEMOTONG RUMPUT AKIBAT KEBISINGAN MESIN
PEMOTONG RUMPUT DI KECAMATAN MANDAU

4.1. Rendahnya Kesadaran Pekerja Pemotong Rumput Menggunakan


Alat Pelindung Diri ............................................................................ 36
4.2. Lamanya Masa Kerja Pemotongan Rumput dalam Satu Hari .......... 36
4.3. Kurangnya Tingkat Kepedulian Perusahaan dalam Menangani
Kebisingan dan Penurunan Pendengaran Bagi Pemotong Rumput . 37
4.4. Kurangnya Tingkat Kepedulian Pemerintah dalam Menangani
Kebisingan dan Penurunan Pendengaran Bagi Pemotong
Rumput............................................................................................. 37

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

iii
DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel

2.1. Skala intensitas kebisingan dan sumber kebisingan yang


menyebabkannya ............................................................................... 9

2.2. Nilai ambang batas kebisingan .......................................................... 30

iv
DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar

2.1. Anatomi Telinga Manusia................................................................... 10

2.2. Masker ............................................................................................... 25

2.3. Kacamata Keselamatan ..................................................................... 25

2.4. Sepatu Keselamatan .......................................................................... 27

2.5. Pelindung Telinga .............................................................................. 28

2.6. Pakaian Keselamatan ........................................................................ 29

v
DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran

1. Peta Provinsi Riau ................................................................................ 40

2. Peta Kabupaten Bengkalis .................................................................... 41

3. Peta Kecamatan Mandau...................................................................... 42

vi
I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kebisingan merupakan salah satu faktor bahaya fisik yang sering di

jumpai di lingkungan kerja. Menurut Rotinsulu (2008), di lingkungan kerja,

kebisingan merupakan masalah kesehatan kerja yang selalu timbul baik di

industri besar, kecil, ataupun pekerjaan yang menggunakan peralatan yang

memiliki kebisingan yang tinggi, seperti pekerjaan memotong rumput

menggunakan mesin pemotong rumput. Pada proses pemotongan rumput,

terdapat kebisingan yang ditimbulkan oleh mesin-mesin pemotong rumput.

Bising mesin pemotong rumput ini bervariasi dan cukup tinggi sehingga

berpengaruh langsung pada tenaga kerja maupun orang lain yang berada

ditempat kerja yaitu berupa gangguan komunikasi, gangguan konsentrasi,

gangguan kenyamanan pendengaran, dan gangguan seperti ini akan

dirasakan para tenaga kerja pada setiap melakukan pekerjaan sehingga

akan dapat menimbulkan ketidaknyamanan kerja.

Gangguan pendengaran akibat terpapar suara yang bising atau Noise

Induced Hearing Loss (NIHL) merupakan salah satu penyakit akibat kerja

paling banyak dijumpai pada saat ini. Noise Induced Hearing Loss dalam

bahasa Indonesia disebut Tuli Akibat Bising. Tuli Akibat Bising adalah suatu

kelainan atau gangguan pendengaran berupa penurunan fungsi indera

pendengaran akibat terpapar oleh bising dengan intensitas yang berlebih

terus-menerus dalam waktu lama.

Beberapa kondisi lain ikut berperan pada gangguan pendengaran

seperti intoksikasi, trauma pada usia 55 tahun ke atas juga presbiakusis.


2

Pernyataan ini sesuai dengan yang dilaporkan Tasbeh (1999) dalam

penelitiannya yang dilakukan terhadap enam perusahaan di Jakarta,

menunjukkan bahwa noise induce permanent treshold shift meningkat terus

setelah masa kerja 10 tahun dan perubahan ini bukan diakibatkan oleh

penuaan namun disebabkan oleh pengaruh pemaparan terhadap kebisingan.

Kebisingan adalah bunyi yang tidak diinginkan dari usaha atau

kegiatan dalam tingkat dan waktu tertentu yang dapat menimbulkan

gangguan kesehatan masyarakat dan kenyamanan lingkungan. Sedangkan

getaran adalah pergerakan bolak-balik suatu massa / berat melalui keadaan

seimbang terhadap suatu titik tertentu (Keputusan MENLH No: 48, Tahun

1996 tentang Baku Mutu Tingkat Kebisingan).

Kebisingan dari mesin pemotong rumput ini merupakan salah satu

sumber kebisingan yang melebihi nilai ambang batas (NAB). Proses

pemotongan rumput sendiri dengan menggunakan mesin-mesin pemotong

rumput tipe gendong. Mesin-mesin pemotong rumput yang disertai suara

yang keras, akan meningkatkan pemaparan suara pada pekerja serta

menambah risiko bahaya terhadap para pekerja. Berdasarkan Keputusan

Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Per 13/Men/X/2011 tentang

Kebisingan adalah sebesar 85 dB (A) untuk pemaparan 8 jam sehari dan 40

jam seminggu.

Proses mekanis pemotongan rumput sendiri adalah dengan

menggunakan mesin-mesin pemotong rumput tipe gendong. Mesin-mesin

pemotong rumput yang disertai suara yang keras, akan meningkatkan

pemaparan suara pada pekerja serta menambah risiko bahaya terhadap


3

para pekerja. Pekerjaan memotong rumput ini memerlukan waktu kurang

lebih 6 jam untuk setiap pemotongannya.

Kecamatan Mandau adalah salah satu kecamatan di kota Duri pada

kabupaten Bengkalis yang kegiatan penduduknya sebagai karyawan industri.

Pada setiap industri selalu ada kawasan hijau yang ditumbuhi rerumputan,

yang secara berkala harus dirawat dengan salah satu caranya adalah

dengan memotong rumput tersebut. Pemotongan rumput dilakukan oleh

karyawan khusus pemotong rumput yang sudah terlatih dan menggunakan

peralatan lengkap karena proses pemotongannya menggunakan mesin yang

mana telah diatur dengan seksama oleh setiap industri atau perusahaan.

Namun dalam pelaksanaannya di lapangan seringkali aturan dan alat

pelindung diri yang diwajibkan tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya.

Hal ini tentu menimbulkan berbagai masalah.

1.2. Rumusan Masalah

Masalah yang berkaitan dengan gangguan pendengaran akibat

kebisingan terhadap pekerja adalah

1. Rendahnya kesadaran tenaga kerja pemotong rumput menggunakan

alat pelindung diri khususnya untuk pendengaran.

2. Lamanya masa kerja pemotongan rumput dalam satu hari.

3. Kurangnya tingkat kepedulian perusahaan dalam menangani kebisingan

dan penurunan pendengaran bagi pemotong rumput.

4. Kurangnya tingkat kepedulian pemerintah dalam menangani kebisingan

dan penurunan pendengaran bagi pemotong rumput.


4

II. PENURUNAN PENDENGARAN PADA PEKERJA PEMOTONG RUMPUT


AKIBAT KEBISINGAN DARI MESIN PEMOTONG RUMPUT DI KECAMATAN
MANDAU

2.1. Kebisingan

2.1.1. Definisi Kebisingan

Menurut Suma‟mur (2009), bunyi atau suara didengar sebagai

rangsangan pada sel saraf pendengar dalam telinga oleh gelombang

longitudinal yang ditimbulkan getaran dari sumber bunyi atau suara dan

gelombang tersebut merambat melalui media udara atau penghantar lainnya,

dan manakala bunyi atau suara tersebut tidak dikehendaki oleh karena

mengganggu atau timbul di luar kemauan orang yang bersangkutan, maka

bunyi-bunyian atau suara demikian dinyatakan sebagai kebisingan. Jadi

kebisingan adalah bunyi atau suara yang keberadaannya tidak dikehendaki

(noise is unwanted sound). Dalam rangka perlindungan kesehatan tenaga

kerja kebisingan diartikan sebagai semua suara / bunyi yang tidak

dikehendaki yang bersumber dari alat-alat proses produksi dan atau alat-alat

kerja yang pada tingkat tertentu dapat menimbulkan gangguan pendengaran.

Sementara dalam bidang kesehatan kerja, kebisingan diartikan

sebagai suara yang dapat menurunkan pendengaran, baik secara kualitatif

(penyempitan spektrum pendengaran) maupun secara kuantitatif

(peningkatan ambang pendengaran), berkaitan dengan faktor intensitas,

frekuensi, dan pola waktu Buchari (2008). Jadi, dapat disimpulkan bahwa

kebisingan adalah bunyi maupun suara-suara yang tidak dikehendaki dan

dapat mengganggu kesehatan, kenyamanan, serta dapat menimbulkan

gangguan pendengaran (ketulian).


5

2.1.2. Klasifikasi kebisingan

Di tempat kerja, kebisingan diklasifikasikan ke dalam dua jenis

golongan besar Tambunan, (2005):

1. Kebisingan tetap (steady noise) dipisahkan lagi menjadi dua jenis, yaitu:

1) Kebisingan dengan frekuensi terputus (discrete frequency noise)

Kebisingan ini berupa “nada-nada” murni pada frekuensi yang beragam,

contohnya suara mesin, suara kipas, dan sebagainya.

2) Broad band noise

Kebisingan dengan frekuensi terputus dan broad band noise sama-sama

digolongkan sebagai kebisingan tetap (steady noise). Perbedaannya

adalah broad band noise terjadi pada frekuensi yang lebih bervariasi

(bukan “nada”murni).

2. Kebisingan tidak tetap (unsteady noise) dibagi lagi menjadi tiga jenis,

yaitu:

1) Kebisingan fluktuatif (fluctuating noise)

Kebisingan yang selalu berubah-ubah selama rentang waktu tertentu.

2) Intermittent noise

Sesuai dengan terjemahannya, intermittent noise adalah kebisingan yang

terputus-putus dan besarnya dapat berubah-ubah, contohnya kebisingan

lalu lintas.

3) Impulsive noise

Kebisingan impulsif dihasilkan oleh suara-suara berintensitas tinggi

(memekakkan telinga) dalam waktu relatif singkat, misalnya suara ledakan

senjata api dan alat sejenisnya.


6

Menurut Yanri (dalam Srisantyorini, 2002), pengaruh kebisingan

terhadap tenaga kerja khususnya pengaruh terhadap manusia dapat dibagi

menjadi tiga kelompok, yaitu:

1. Bising yang mengganggu (Irritating noise)

Merupakan bising yang mempunyai intensitas tidak terlalu keras, misalnya

mendengkur.

2. Bising yang menutupi (Masking noise)

Merupakan bunyi yang menutupi pendengaran yang jelas, secara

tidak langsung bunyi ini akan membahayakan kesehatan dan keselamatan

tenaga kerja,karena teriakan atau isyarat tanda bahaya tenggelam dalam

bising dari sumber lain.

3. Bising yang merusak (Damaging/ Injurious noise)

Merupakan bunyi yang intensitasnya melampaui nilai ambang batas.

Bunyi jenis ini akan merusak atau menurunkan fungsi pendengaran.

2.1.3. Sumber Kebisingan

Menurut Ada (2008), peningkatan mekanisasi akan mengakibatkan

meningkatnya tingkat kebisingan. Pembangunan yang banyak memakai

peralatan modern di suatu industri atau perusahaan untuk meningkatkan

produktivitas memberikan dampak terhadap tenaga kerja oleh karena bunyi

yang dihasilkan mesin dalam proses tersebut akan berdampak negatif

terhadap tenaga kerja. Salah satu dampak yang dihasilkan oleh mesin

produksi terhadap tenaga kerja adalah menimbulkan bising di tempat kerja

sehingga mengganggu kenyamanan dalam bekerja. Ketulian atau


7

berkurangnya pendengaran juga disebabkan oleh kebisingan dimana tenaga

kerja berada. Sumber-sumber kebisingan di industri antara lain adalah mesin

produksi, mesin potong atau gergaji, ketel uap untuk pemanas air,dan mesin

diesel.

2.1.4. Pengaruh Kebisingan terhadap Kesehatan Tenaga Kerja

Bising menyebabkan berbagai gangguan pada tenaga kerja

Roestam (2004), seperti:

1. Gangguan fisiologis

Pada umumnya, bising bernada tinggi sangat mengganggu, apalagi bila

terputus-putus atau yang datangnya tiba-tiba. Gangguan ini dapat berupa

peningkatan tekanan darah (mmHg), peningkatan nadi, konstriksi

pembuluh darah perifer terutama pada tangan dan kaki, serta dapat

menyebabkan pucat dan gangguan sensoris.

2. Gangguan psikologis

Gangguan psikologis dapat berupa rasa tidak nyaman, kurang

konsentrasi, susah tidur, cepat marah. Bila kebisingan diterima dalam

waktu yang lama dapat menyebabkan penyakit psikosomatik berupa

gastritis, stress, kelelahan, dan lain-lain.

3. Gangguan komunikasi

Gangguan komunikasi biasanya disebabkan masking effect (bunyi yang

menutupi pendengaran yang jelas) atau gangguan kejelasan suara.

Komunikasi pembicaraan harus dilakukan dengan cara berteriak.

Gangguan ini bisa menyebabkan terganggunya pekerjaan, sampai pada


8

kemungkinan terjadinya kesalahan karena tidak mendengar isyarat atau

tanda bahaya. Gangguan komunikasi ini secara tidak langsung

membahayakan keselamatan tenaga kerja.

4. Gangguan keseimbangan

Bising yang sangat tinggi dapat menyebabkan kesan berjalan di ruang

angkasa atau melayang, yang dapat menimbulkan gangguan fisiologis

berupa kepala pusing (vertigo) atau mual-mual.

5. Efek pada pendengaran

Efek pada pendengaran adalah gangguan paling serius karena dapat

menyebabkan ketulian. Ketulian bersifat progresif. Pada awalnya bersifat

sementara dan akan segera pulih kembali bila menghindar dari sumber

bising namun bila terus menerus bekerja di tempat bising, daya dengar

akan hilang secara menetap dan tidak akan pulih kembali.

Menurut Srisantyorini (2002), kebisingan mempunyai pengaruh

terhadap tenaga kerja, antara lain sebagai berikut:

1. Gangguan terhadap konsentrasi kerja dapat mengakibatkan

menurunnyakualitas pekerjaan. Hal ini pernah dibuktikan pada sebuah

perusahaan film dimana penurunan intensitas kebisingan berhasil

mengurangi jumlah film yang rusak sehingga menghemat bahan baku.

2. Gangguan terhadap komunikasi, akan menganggu kerja sama antara

pekerjadan kadang-kadang mengakibatkan salah pengertian secara tidak

langsung dapat menurunkan kualitas atau kuantitas kerja. Kebisingan juga

mengganggu persepsitenaga kerja terhadap lingkungan sehingga

mungkin sekali tenaga kerja kurang cepat menanggapi adanya situasi


9

yang berbahaya dan lambat dalam bereaksi sehingga dapat menimbulkan

kecelakaan.

3. Gangguan dalam kenikmatan kerja berbeda-beda untuk tiap-tiap orang.

Padaorang yang sangat rentan kebisingan dapat menimbulkan rasa

pusing, gangguankonsentrasi, dan kehilangan semangat kerja.

4. Penurunan daya pendengaran akibat yang paling serius dan

dapatmenimbulkan ketulian total sehingga seseorang sama sekali tidak

dapat mendengarkan pembicaraan orang lain.

Suma‟mur (2009) mengelompokkan skala intensitas kebisingan dan

sumber kebisingan yang menyebabkannya seperti pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Skala intensitas kebisingan dan sumber kebisingan yang


menyebabkannya
Intensitas (desibel) Sumber Kebisingan
Kerusakan alat pendengar 120 (Batas dengar tertinggi)
Menyebabkan tuli 110 Halilintar
Meriam
100 Mesin uap
Sangat hiruk 90 Jalan hiruk pikuk
Perusahaan sangat gaduh
80 Peluit polisi
Kuat 70 Kantor bising
Jalanan pada umumnya
60 RadioPerusahaan
Sedang 50 Rumah gaduh
Kantor pada umumnya
Percakapan kuat
40 Radio perlahan
Tenang 30 Rumah tenang
Kantor perorangan
Auditorium
20 Percakapan
Sangat tenang 20 Suara daun
Berbisik (Batas dengar
10 terendah)
Sumber: Suma‟mur (2009)
10

2.2. Pendengaran Manusia


2.2.1. Sistem pendengaran manusia

Menurut Tambunan (2005), telinga manusia dibagi menjadi tiga

bagian utama, yaitu bagian luar (outer ear), bagian tengah (middle ear) dan

bagian dalam (inner ear). Ketiga bagian tersebut memiliki komponen-

komponen berbeda dengan fungsi masing-masing dan saling berkelanjutan

dalam menanggapi gelombang suara yang berada di sekitar manusia.

Anatomi telinga manusia Gambar 2.1

Gambar 2.1 Anatomi Telinga Manusia

Bagian luar telinga terdiri dari daun telinga (earflap) dan saluran

telinga manusia (ear canal) yang panjangnya kurang lebih 2 cm. Fungsi

utama bagian luar telinga ini adalah sebagai saluran awal masuknya

gelombang suara di udara ke dalam sistem pendengaran manusia.


11

Bagian kedua, bagian tengah (middle ear) terdiri dari gendang telinga

(eardrum) dan tiga tulang, yaitu hammer (malleus), anvil (incus), dan stirrup

(stapes). Bagian tengah telinga manusia, tepatnya pada bagian belakang

gendang telinga berhubungan dengan hidung melalui tabung eustachius

(arah masuknya gelombang suara dari saluran telinga luar dianggap sebagai

bagian depan gendang telinga).

Secara fisik gendang telinga dapat berlubang karena beberapa hal

yang bersifat traumatik, seperti tertusuk oleh benda-benda lancip yang

masuk terlalu dalam hingga mencapai gendang telinga, retak pada tulang

tengkorak, noise last seperti ledakan yang sangat keras, percikan arang las

pada proses pengelasan, atau karena percikan zat-zat kimia tertentu,

misalnya asam. Selain penyebab-penyebab traumatik, lubang pada gendang

telinga juga dapat terjadi karena adanya infeksi pada bagian tengah telinga

yang menjalar hingga gendang telinga. Saat hal ini terjadi, terkadang akan

keluar darah dari telinga.

Gangguan lubang pada telinga menyebabkan gangguan pada sistem

[pendengaran manusia dan biasanya tidak disertai oleh rasa sakit. Sebagian

besar kasus-kasus yang terjadi adalah temporary hearing loss dan umumnya

gendang telinga yang berlubang dapat sembuh dengan sendirinya asal

selama proses penyembuhan telinga aman dari kemasukan benda-benda

apa pun, termasuk air. Penyembuhan beberapa jenis kasus berat pada

gendang telinga harus melalui operasi yang disebut tympanoplasty.


12

Gelombang suara yang mencapai gendang telinga akan

membangkitkan getaran pada selaput gendang telinga tersebut. Getaran

yang terjadi akan diteruskan pada tiga buah tulang, yaitu hammer (malleus),

anvil (incus), dan stirrup (stapes) yang saling terhubung di bagian tengah

telinga (middle ear) yang akan menggerakkan fluida (cairan seperti air)

dalam organ pendengaran berbentuk keong (cochlea) pada bagian dalam

telinga (inner ear).

Selanjutnya, gerakan fluida ini akan menggetarkan ribuan sel

berbentuk rambut halus (hair cells) di bagian dalam telinga yang akan

mengkonversikan getaran yang diterima menjadi impuls bagi saraf

pendengaran. Oleh saraf pendengaran (auditory nerve), impuls tersebut

dikirim ke otak untuk diterjemahkan menjadi suara yang kita dengar.

Terakhir, suara akan ”ditahan” oleh otak manusia kurang lebih selama 0,1

detik.

2.2.2. Gangguan pendengaran

Gangguan pada telinga, baik telinga luar, telinga tengah, maupun

telinga dalam dapat menyebabkan ketulian. Dikenal tiga jenis gangguan

pendengaran Tambunan (2005), yaitu:

1. Condutive hearing loss

Jenis gangguan ini diklasifikasikan sebagai masalah mekanis

(mechanical hearing loss) karena menyerang bagian luar dan tengah

telinga pekerja, tepatnya selaput gendang telinga dan ketiga tulang utama
13

(hammer, anvil, dan stirrup) menjadi sulit atau tidak bisa bergetar.

Akibatnya, pekerja menjadi agak sulit mendengar.

2. Sensorineural hearing loss

Sesuai dengan namanya, sensorineural hearing loss diklasifikasikan

sebagai masalah pada sistem sensor, dan bukan masalah mekanis.

Sensorineural hearing loss disebabkan oleh ketidakberesan pada bagian

dalam telinga, khususnya cochlea.

3. Mixed hearing loss

Tuli gabungan disebabkan oleh kombinasi antara tuli konduktif dan tuli

saraf.

Jika kedua threshold konduksi menunjukan adanya

kehilangan/gangguan pendengaran, namun porsi kehilangan lebih besar

pada konduksi udara.

2.2.3. Keluhan Pendengaran Subyektif

Keluhan pendengaran subyektif merupakan gangguan yang dirasakan

oleh seseorang akibat dari keadaan lingkungan kerja yang bising, namun

dalam hal ini tidak dilakukan pemeriksaan, melainkan hanya berupa persepsi

atau pendapat pekerja Srisantyorini (2002). Gangguan yang dirasakan oleh

pekerja tersebut dapat bervariasi, seperti gangguan dalam hal

berkomunikasi, gejala kelainan fisiologis pada telinga (misalnya tinnitus), dan

gejala penurunan pendengaran.


14

2.3. Pengendalian Kebisingan

Menurut Pramudianto ( dalam Babba ,2007), pada prinsipnya

pengendalian kebisingan di tempat kerja terdiri dari:

1. Pengendalian secara teknis

Pengendalian secara teknis dapat dilakukan pada sumber bising, media

yang dilalui bising dan jarak sumber bising terhadap pekerja.

Pengendalian bising pada sumbernya merupakan pengendalian yang

sangat efektif dan hendaknya dilakukan pada sumber bising yang paling

tinggi.

Cara-cara yang dapat dilakukan antara lain:

1) Desain ulang peralatan untuk mengurangi kecepatan atau bagian yang

bergerak, menambah muffler pada masukan maupun keluaran suatu

buangan, mengganti alat yang telah usang dengan yang lebih baru dan

desain peralatan yang lebih baik.

2) Melakukan perbaikan dan perawatan dengan mengganti bagian yang

bersuara dan melumasi semua bagian yang bergerak.

3) Mengisolasi peralatan dengan cara menjauhkan sumber dari

pekerja/penerima, menutup mesin ataupun membuat barrier/penghalang.

4) Meredam sumber bising dengan jalan memberi bantalan karet untuk

mengurangi getaran peralatan dari logam, mengurangi jatuhnya sesuatu

benda dari atas ke dalam bak maupun pada sabuk roda.

5) Menambah sekat dengan bahan yang dapat menyerap bising pada ruang
kerja.
15

Pemasangan peredam ini dapat dilakukan pada dinding suatu


ruangan bising.

1. Pengendalian secara administratif

Pengendalian ini meliputi rotasi kerja pada pekerja yang terpapar oleh
kebisingan dengan intensitas tinggi ke tempat atau bagian lain yang lebih
rendah, cara mengurangi paparan bising dan melindungi pendengaran.

2. Pemakaian alat pelindung telinga

Pengendalian ini tergantung terhadap pemilihan peralatan yang tepat


untuk tingkat kebisingan tertentu, kelayakan dan cara merawat peralatan.

Jenis-jenis alat pelindung telinga (Roestam, 2004) :

1. Sumbat telinga (ear plugs), dimasukkan dalam telinga sampai menutup


rapat sehingga suara tidak mencapai membrane timpani. Sumbat telinga
dapat mengurangi bising s/d 30 dB.

2. Tutup telinga (ear muff), menutupi seluruh telinga eksternal dan


dipergunakan untuk mengurangi bising s/d 40-50 dB.

3. Helmet (enclosure), menutupi seluruh kepala dan digunakan untuk


mengurangi bising maksimum 35dB.

2.4. Audiometri

2.4.1. Gambaran Umum Audiometri

Menurut Qomarya (2014), Audiometri berasal bahasa Latin yaitu dari

kata audire yang bearti pendengaran dan metrios yang bearti mengukur, jadi

secara harfiah audiometri adalah pemeriksaan untuk menguji fungsi

pendengaran. Audiometri adalah sebuah alat yang digunakan untuk


16

mengetahui level pendengaran seseorang. Pemeriksaan audiometri dalam

ilmu medis maupun ilmu hiperkes tidak saja dapat digunakan untuk

mengukur ketajaman pendengaran, tetapi juga dapat untuk menentukan

lokasi kerusakan anatomis yang menimbulkan gangguan pendengaran.

Audiometri merupakan tes kemampuan pendengaran, selain

menentukan tingkat pendengaran tetapi juga mengukur kemampuan

membedakan intensitas suara dan mengenali pitch. Alat yang digunakan

untuk menguji pendengaran adalah audiometer yang diujikan pada kedua

belah telinga secara bergantian. Audiometer merupakan suatu peralatan

elektronik yang digunakan untuk menguji pendengaran, dimana

audiometer mampu menghasilkan suara yang memenuhi syarat sebagai

bahan pemeriksaan yaitu frekuensi (125-8000 dan intensitas suara yang

dapat diukur (-10 s/d 110 dB).

Selanjutnya Menurut Qomarya (2014), Indikasi pemeriksaan

Audiometri diantaranya adalah:

1. Adanya penurunan pendengaran

2. Telinga berbunyi dengung (tinitus)

3. Rasa penuh di telinga

4. Riwayat keluar cairan

5. Riwayat terpajan bising

6. Riwayat trauma

7. Riwayat pemakaian obat ototoksik

8. Riwayat gangguan pendengaran pada keluarga

9. Gangguan keseimbangan
17

Pemeriksaan audiometri memerlukan audiometri ruang kedap suara,

audiologis, dan pasien yang kooperatif. Prinsip dasar pemeriksaan

audiometri ini adalah pemeriksaan pada bermacam-macam frekuensi dan

intensitas suara (dB) ditransfer melalui headset atau bone conductor ke

telinga atau mastoid dan batasan intensitassuara (dB) pasien yang tidak

dapat didengar lagi dicatat melalui program komputer atau diplot secara

manual pada kertas grafik.

2.4.2. Manfaat Audiometri

Menurut Qomarya (2014), terdapat tiga manfaat Audiometri yaitu :

1. Untuk kedokteran klinik, khususnya menentukan penyakit telinga.

2. Untuk kedokteran kehakiman, sebagai dasar ganti rugi.

3. Untuk kedokteran pencegahan, mendeteksi ketulian pada anak-anak

dan pekerja pabrik.

2.4.3. Tujuan Audiometri

Menurut Qomarya (2014), terdapat empat tujuan dari pemeriksaan

audiometri yaitu sebagai berikut:

1. Mendiagnostik penyakit telinga.

2. Mengukur kemampuan pendengaran dalam menangkap percakapan

sehari – hari, atau dengan kata lain validitas sosial pendengaran seperti

untuk tugasdan pekerjaan, apakah membutuhkan alat bantu dengar,

pendidikan khusus, atau gantu rugi (misalnya dalam bidang kedokteran

kehakiman dan asuransi).


18

3. Skrining pada anak balita dan sekolah dasar (SD).

4. Monitoring untuk pekerja yang bekerja di tempat bising.

Selain itu Audiometri juga bertujuan untuk:

1. Untuk mengetahui ambang dengar, yaitu kadar suara (dB) minimal yang

masih bisa didengar oleh telinga.

2. Untuk mengetahui apakah kerusakan pendengaran (pergeseran ambang

dengar) memang disebabkan oleh kebisingan (NIHL-Noise Induced

Hearing Loss).

3. Sebagai kebutuhan indikator pada Hearing Loss Prevention Program

(HLPP) yaitu kehilangan kemampuan pendengaran terjadi secara

bertahap, sehingga pekerja tidak merasakan perubahan pada

pendengaran mereka.

4. Memberikan rekomendasi kepada pihak manajemen untuk perbaikan

lingkungan kerja.

2.4.4. Waktu pelaksanaan Audiometri

Menurut Qomarya (2014), Audiometri dilakukan pada:

1. Masa rekruitmen pekerja (Pre-employment).

2. Masa sebelum penempatan di lingkungan kerja yang bising (Pre-

replacement).

3. Pemeriksaan berkala di tempat kerja bising (85-100 dB) atau dua kali

setahun untuk pemaparan tingkat kebisingan diatas 100 dB.

4. Saat akan ditempatkan di luar area bising.

5. Saat pemutusan hubungan kerja.


19

2.4.5. Komponen Audiometri

Menurut Qomarya (2014), Komponen yang ada pada audiometri yaitu:

1. Oscilator : untuk menghasilkan bermacam nada murni.

2. Amplifier : alat untuk menambah intensitas nada.

3. Interuptor / pemutus: alat pemutus nada.

4. Atteneurator : alat mengukur intensitas suara.

5. Earphone : alat merubah sinyal listrik yang ditimbulkan audiometer

menjadi sinyal suara yang dapat didengar.

6. Masking noise generator : untuk penulian telinga yang tidak diperiksa.

2.4.6. Audiogram

Audiogram merupakan hasil pemeriksaan dengan audiometer yang berupa

catatan grafis yang diambil dari hasil tes pendengaran dengan audiometer,

yang berisi grafik ambang pendengaran pada berbagai frekuensi terhadap

intensitas suara dalam desibel (dB).

2.4.7. Prosedur Audiometri

Menurut Qomarya (2014), Prosedur Audiometri dilaksanakan menurut

aturan sebagai berikut :

1. Persiapan Alat

1) Nyalakan power audiometer 10 menit sebelum pemeriksaan

2) Tombol :

 Output, untuk memilih earphone (kiri atau kanan), AC atau BC

 Frekuensi, memilih nada


20

 Hearing Level, mengatur Intensitas

 Tone, memberikan Sinyal

 Masking, memberikan bunyi Masking pada NTE (Non-Test Ear) apabila

diperlukan

2. Persiapan Pasien

1) Pemeriksaan kemampuan komunikasi penderita sebelum pemeriksaan

 Telinga mana yang mampu mendengar lebih jelas

 Telinga mana yang lebih sering digunakan bertelpon

 Pemeriksaan tinitus

 Daya tahan terhadap suara yang keras.

2) Pemeriksaan Liang Telinga, periksa dan bersihkan dahulu liang

telingadari serumen.

3) Memberikan instruksi secara singkat dan sederhana

 Penderita menekan tombol (atau mengangkat tangan) saat

mendengar sinyal yang diberikan.

 Saat sinyal tidak terdengar, penderita diminta untuk tidak menekan

tombol

3. Posisi Pemeriksaan

1) Penderita duduk di kursi

2) Penderita tidak boleh melihat gerakan pemeriksa, minimal menghadap

30° dari posisi pemeriksa.

4. Presentasi Sinyal

1) Nada harus diberikan selama 1 – 3 detik.

2) Nada harus diberikan secara acak.


21

3) Pasien tidak boleh melihat gerakan pemeriksa dan menebak interval

waktu pemberian sinyal.

5. Pemeriksaan Air Conduction (AC)

1) Mulai pada telinga yang lebih baik.

2) Atur frekuensi dengan ketentuan sebagai berikut:

 Mulai pada 1000 Hz, kemudian naik setiak 1 oktaf ke 8000 Hz, dan

kembali lagi ke 500 Hz dan 250 Hz.

 Sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulang pada frekwensi 1000 Hz.

3) Bila terjadi perubahan 20 dB atau lebih, antar oktaf perlu

dilakukan pemeriksaan pada ½ oktaf.

4) Intensitas awal diperoleh dengan memberikan sinyal yang terdengar

jelas(50 dB atau 60 dB)

 Bila tidak terdengar, naikkan 20 dB secara gradual hinggamemperoleh

respon.

 Bila ada respon, turunkan 10 dB hingga tidak terdengar.

 Bila telah tidak tidak terdengar, naikkan 5 dB hingga terdengar.

 Lakukan berulang hingga diperoleh ambang terendah

 Ambang terendah diperoleh pada respon terhadap 2

kali perangsangan ulangan dengan cara yang sama (turun 10 dB, naik

5dB).

5) Lakukan cara tersebut pada semua frekuensi.

6. Pemeriksaan Bone Conduction

1) Hanya dilakukan bila ambang AC meningkat. Bila AC berada dalam batas

normal, BC tidak diperlukan.


22

2) Vibrator harus dipasang pada mastoid pasien dengan baik, dengan

sedikit penekanan.

3) Cara pemeriksaan sama dengan AC, tetapi dengan frekuensi

danintensitas yang terbatas (500 Hz s.d. 4000 Hz, hanya sampai

45 dB – 80dB).

7. Masking

1) Pada prinsipnya masking perlu dilakukan apabila salah satu

telinganormal dan satu telinga mengalami gangguan pendengaran.

 AC: perbedaan lebih besar dari 40 dB antara AC TE dan AC NTE

 BC: Perbedaan lebih besar dari 5 dB antara BC TE dan BC NTE

2) Pemeriksaan dimulai pada frekuensi 1000 Hz

2.5. Alat Pelindung Diri

2.5.1. Pengertian alat pelindung diri

Menurut Anizar (2009), alat pelindung diri (APD) adalah suatu

kewajiban dimana biasanya para pekerja atau buruh bangunan yang bekerja

disebuah proyek atau pembangunan sebuah gedung, diwajibkan

menggunakannya. Kewajiban itu sudah disepakati oleh pemerintah melalui

Departemen tenaga Kerja Republik indonesia. Alat-alat demikian harus

memenuhi persyaratan tidak mengganggu kerja dan memberikan

perlindungan efektif terhadap jenis bahaya.

Alat pelindung diri (APD) berperan penting terhadap Kesehatan dan

Keselamatan Kerja. Dalam pembangunan nasional, tenaga kerja memiliki

peranan dan kedudukan yang penting sebagai pelaku pembangunan.


23

Sebagai pelaku pembangunan perlu dilakukan upaya-upaya perlindungan

baik dari aspek ekonomi, politik, sosial, teknis, dan medis dalam mewujudkan

kesejahteraan tenaga kerja.

Bahaya yang mungkin terjadi pada proses produksi dan diprediksi

akan menimpa tenaga kerja adalah sebagai berikut:

1. Tertimpa benda keras dan berat

2. Tertusuk atau terpotong benda tajam

3. Terjatuh dari tempat tinggi

4. Terbakar atau terkena aliran listrik

5. Terkena zat kimia berbahaya pada kulit atau melalui pernafasan.

6. Pendengaran menjadi rusak karena suara kebisingan

7. Penglihatan menjadi rusak diakibatkan intensitas cahaya yang tinggi

8. Terkena radiasi dan gangguan lainnya.

Sedangkan kerugian yang harus ditanggung oleh pekerja maupun

pihak pemberi kerja apabila terjadi kecelakaan adalah:

1. Produktivitas pekerja berkurang selama sakit

2. Adanya biaya perawatan medis atas tenaga kerja yang terluka, cacat,

bahkan meninggal dunia.

3. Kerugian atas kerusakan fasilitas mesin dan yang lainnya.

4. Menurunnya efesiensi perusahaan.

Alat Pelindung Diri (APD) bukanlah alat yang nyaman apabila

dikenakan tetapi fungsi dari alat ini sangatlah besar karena dapat mencegah

penyakit akibat kerja ataupun kecelakaan pada waktu bekerja. Pada


24

kenyataannya banyak pekerja yang masih belum menggunakan alat

pelindung diri ini karena merasakan ketidaknyamanan.

2.5.2. Penggunaan alat pelindung diri

Peraturan yang mengatur penggunaan alat pelindung diri ini tertuang

dalam pasal 14 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan

dan Kesehatan Kerja, dimana setiap pengusaha atau pengurus perusahaan

wajib menyediakan Alat Pelindung Diri secara cuma-cuma terhadap tenaga

kerja dan orang lain yang memasuki tempat kerja. Berdasarkan peraturan

tersebut secara tidak langsung setiap pekerja diwajibkan untuk memakai

APD yang telah disediakan oleh perusahaan.

Alat Pelindung Diri yang disediakan oleh pengusaha dan dipakai oleh

tenaga kerja harus memenuhi syarat pembuatan, pengujian dan sertifikat.

Tenaga kerja berhak menolak untuk memakainya jika APD yang disediakan

jika tidak memenuhi syarat.

Macam-macam alat pelindung diri sebagai berikut ini Anizar (2009):

1. Masker

Masker digunakan untuk pada tempat-tempat kerja tertentu dan seringkali

udaranya kotor yang diakibatkan oleh bermacam-macam hal antara lain.

1) Debu-debu kasar dari penggerinderaan atau pekerjaan sejenis

2) Racun dan debu halus yang dihasilkan dari pengecatan atau asap

3) Uap sejenis beracun atau gas beracun dari pabrik kimia

4) Gas beracun seperti CO2 yang menurunkan konsentrasi oksigen diudara.


25

Gambar 2.2. Masker

Untuk mencegah masuknya kotoran-kotoran tersebut, kita dapat

menggunakan alat yang biasa desebut dengan “masker” (pelindung

pernafasan). Adapun hal yang perlu diperhatikan dalam menggunakan

masker yaitu:

1) Bagaimana cara menggunakan secara benar

2) Macam dan jenis dari kotoran yang perlu dihindari

3) Lamanya menggunakan alat tersebut

2. Kacamata

Kacamata pengaman digunakan untuk melindungi mata dari debu

kayu, batu, atau serpihan besi yang berterbangan di tiup angin. Mengingat

partikel-partikel debu berukuran sangat kecil dan halus yang terkadang tidak

terlihat oleh kasat mata. (Gambar 2.3)

Gambar 2.3. Kacamata Keselamatan


26

Oleh karenanya bagian mata perlu mendapat perhatian dan diberikan

perlindungan dengan menggunakan alat pelindung mata, biasanya pekerjaan

yang membutuhkan kacamata yaitu saat pekerjaan mengelas atau pekerjaan

yang lainnya. Salah satu masalah tersulit dalam pencegahan kecelakaan

adalah pencegahan kecelakaan yang menimpa mata dimana jumlah

kejadiannya demikian besar.

Kebanyakan tenaga kerja merasa enggan memakai kaca mata karena

ketidaknyamanan sehingga dengan alasan tersebut merasa mengurangi

kenyamanan dalam bekerja. Sekalipun kaca mata pelindung yang memenuhi

persyaratan demikian banyaknya. Upaya untuk pembinaan kedisiplinan pada

pekerja, atau melalui pendidikan dan keteladanan, agar tenaga kerja

memakainya. Tenaga kerja yang berpandangan bahwa resiko kecelakaan

terhadap mata adalah besar akan memakainya dengan kemauan dan

kesadarannya sendiri. Sebaliknya tenaga kerja yang merasa bahwa bahaya

itu kecil, maka mereka tidak begitu mengindahkannya dan tidak akan mau

memakainya. Kesulitan akan pemakaian kacamata ini dapat diatasi dengan

berbagai cara. Pada beberapa perusahaan, tempat kerja dengan bahaya

pekerjaan mata hanya boleh di masuki jika kaca mata pelindung di kenakan.

Sebagaimana fungsi sebagai tempat kerja tersebut, maka suatu keharusan

setiap tenaga kerja akan selalu memakai kaca mata pelindung selama jam

kerja, dan bagi barang siapa tidak memakai kaca mata pelindung akan

merasa paling tidak bersaing bila dibandingkan dari kelompok tenaga kerja

yang memakai kaca mata pelindung.


27

3. Sepatu Pengaman

Sepatu pengaman harus dapat melindungi tenaga kerja terhadap

kecelakaan-kecelakaan yang disebabkan oleh beban berat yang menimpa

kaki, paku-paku atau benda tajam lain yang mungkin terinjak, logam pijar,

larutan asam dan sebagainya. Biasanya sepatu kulit yang buatannya kuat

dan baik cukup memberikan perlindungan, tetapi terhadap kemungkinan

tertimpa benda-benda berat masih perlu sepatu dengan ujung berttutup baja

dan lapisan baja didalam solnya. Lapisan baja dalam sol sepatu perlu untuk

melindungi pekerja dari tusukan benda runcing khususnya pada pekerjaan

bangunan. (Gambar 2.4)

Gambar 2.4. Sepatu Keselamatan

Untuk keadaan tertentu kadang-kadang harus diberikan kepada

tenaga kerja sepatu pengaman yang lain. Misalnya, tenaga pekerja yang

bekerja dibidang listrik harus mengenakan sepatu konduktor, yaitu sepatu

tanpa paku dan logam, atau tenaga kerja ditempat yang menimbulkan

peledakan diwajibkan memakai sepatu yang tidak menimbulkan loncatan

bunga api.
28

4. Perlindungan Telinga

Alat ini digunakan untuk menjaga dan melindungi telinga dari bunyi-

bunyi yang yang bersumber atau dikeluarkan oleh mesin yang memiliki

volume suara yang cukup keras dan bising. Alat perlindungan telinga harus

dilindungi terhadap loncatan api, percikan logam, pijar atau partikel yang

melayang. Perlindungan terhadap kebisingan dilakukan dengan sumbat atau

turup telinga. (Gambar 2.5)

Gambar 2.5. Pelindung Telinga

5. Alat Pelindung Diri Lainnya

Masih banyak terdapat alat-alat pelindung diri lainnya seperti “tali

pengaman” bagi tenaga kerja yang mungkin terjatuh, selain itu mungkin pula

diadakan tempat kerja khusus bagi tenaga kerja dengan segala alat

proteksinya. Juga „‟pakaian khusus’’ bagi saat terjadinya kecelakaan atau

untuk proses penyelamatan. (Gambar 2.6)


29

Gambar 2.6. Pakaian Keselamatan

Pakaian kerja harus dianggap suatu alat perlindungan terhadap

bahaya-bahaya kecelakaan. Pakaian tenaga kerja pria yang bekerja

melayani mesin seharusnya berlengan pendek, pas (tidak longgar) pada

dada atau punggung, tidak berdasi dan tidak ada lipatan-lipatan yang

mungkin mendatangkan bahaya. Bagi tenaga kerja wanita sebaiknya

memakai juga celana panjang, ikat rambut, baju yang pas dan tidak

memakai perhiasan-perhiasan yang dapat mengganggu saat bekerja.

Pakaian kerja sintetis hanya baik terhadap bahan-bahan kimia korosif, tetapi

justru berbahaya pada lingkungan kerja dengan bahan-bahan yang dapat

meledak oleh aliran listrik statis.

2.6 Penurunan Pendengaran Pemotong Rumput Akibat Kebisingan

Mesin Pemotong rumput di Kecamatan Mandau Duri

Erman (2014), mengemukakan hasil pengukuran terhadap beberapa

mesin pemotong rumput menggunakan alat Sound Level Meter pada bulan

September 2013, ditemukan tingkat kebisingan yang bervariasi dan

semuanya memiliki tingkat kebisingan yang sudah melebihi NAB yang telah
30

di tentukan menurut Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi

Nomor Per 13/Men/X/2011 Tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika dan

Faktor Kimia di Tempat Kerja. Hasil pemantauan tingkat kebisingan

berdasarkan hasil observasi, kebisingan dari mesin pemotong rumput

tersebut sudah melampaui nilai ambang batas yang ditetapkan, yaitu

berkisar antara 95 db(A) s/d 105 db(A), seperti pada Tabel 2.2

Tabel 2.2 Nilai ambang batas kebisingan

Waktu pemaparan per hari Intensitas kebisingan dalalm dBA


8 Jam 85
4 88
2 91
1 94

30 Menit 97
15 100
7.5 103
3.75 106
1.88 109
0.94 112

28.12 Detik 115


14.06 118
7.03 121
3.52 124
1.76 127
0.88 130
0.44 133
0.22 136
0.11 139
Catatan :
Tidak boleh terpijan lebih dari 140 dBA, Walaupun sesaat
Sumber : Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (2011)

Berkurangnya pendengaran akibat kebisingan terjadi secara perlahan-

lahan dalam waktu berbulan-bulan hingga bertahun-tahun. Grantham (1992),


31

hal ini sering tidak disadarai oleh penderitanya, sehingga pada saat

penderita mulai mengeluh berkurangnya pendengarannya biasanya sudah

dalam stadium irreversible. Dalam hubungan ini, jalan yang paling baik

adalah mencegah terjadinya ketulian sedini mungkin. Kecepatan penurunan

pendengaran tergantung pada tingkat kebisingan, lamanya pemaparan dan

kepekaan individu.

Gangguan pendengaran atau tuli secara klinis dapat disebabkan oleh

gangguan penyaluran suara di telinga luar atau tengah yang disebut sebagai

tuli konduktif dan kerusakan sel rambut atau jalur saraf yang disebut tuli

sensorineural. Penurunan kemampuan pendengaran akibat dari tingginya

intensitas kebisingan dari mesin pemotong rumput, disertai waktu

pemaparan yang terus menerus selama 6 jam sehari dan 18 jam seminggu

akan mengganggu fungsi pendengaran dalam melakukan aktifitas sehari-hari

khususnya dalam melakukan pekerjaan.

Masalah lain yang berkaitan dengan gangguan pendengaran akibat

kebisingan terhadap pekerja adalah rendahnya kesadaran tenaga kerja

untuk menggunakan alat pelindung diri khususnya untuk pendengaran,

Masih kurangnya pengawasan dari atasan langsung di lapangan sebagai

perwakilan dari perusahaan dan kurangnya tingkat kepedulian pemerintah

setempat dalam menangani masalah kebisingan dan gangguan

pendengaran pekerja yaitu kurangnya penyediaan alat pelindung diri

pendengaran bagi tenaga kerja dan tidak dilakukannya pemeriksaan

kesehatan pekerja secara berkala secara gratis dan sesuai dengan

kebutuhan pekerjaan memotong rumput tersebut.


32

III. DAMPAK PENURUNAN PENDENGARAN PADA PEKERJA PEMOTONG


RUMPUT AKIBAT KEBISINGAN DARI MESIN PEMOTONG RUMPUT DI
KECAMATAN MANDAU

3.1 Dampak Ekonomi

Dampak Ekonomi yang dapat diambil apabila tidak dilakukan

pencegahan terhadap penurunan pendengaran pada pekerja pemotong

rumput maka akan berakibat terhadap menurunnya kualitas pekerjaan,

Gangguan terhadap komunikasi akan menganggu kerja sama antara

pekerjaan kadang-kadang mengakibatkan salah pengertian yang mana

secara tidak langsung dapat menurunkan kualitas atau kuantitas kerja, dan

penurunan daya pendengaran yang paling serius dapat menimbulkan

ketulian total sehingga seseorang sama sekali tidak dapat mendengarkan

pembicaraan orang lain dan kehilangan pekerjaannya.

Penurunan pendengaran pada pekerja pemotong rumput maka juga

akan berdampak terhadap perusahaan, pekerja yang tidak produktif

menyebabkan terhalangnya laju produksi dari suatu perusahaan, karena

akan mengeluarkan biaya tambahan untuk pengobatan pekerja yang terkena

dampak penurunan pendengaran tersebut serta harus memberikan biaya

tambahan untuk pekerja pengganti dan secara tidak langsung waktu

produksi akan mengalami penurunan yang bisa mengakibatkan kerugian

pada perusahaan tersebut.

Kebisingan juga mengganggu persepsi tenaga kerja terhadap

lingkungan sehingga mungkin sekali tenaga kerja kurang cepat menanggapi

adanya situasi yang berbahaya dan lambat dalam bereaksi sehingga dapat
33

menimbulkan kecelakaan dan akan mengakibatkan mengeluarkan biaya

untuk penanganannya.

Dengan dilakukannya pencegahan penurunan pendengaran terhadap

pekerja pemotong rumput ini, diharapkan pekerja tersebut mengetahui

tingkat pendengaran dari aktifitas pemotongan rumput. Dampak ekonomi

yang dapat diambil dari aspek ini yaitu mengurangi efek rusaknya

pendengaran sehingga indera pendengar masih bisa digunakan. Oleh

karena itu, aktifitas untuk melakukan sesuatu tidak terhalang dan masih

produktif, serta Laju produksi dari perusahaan bisa dipertahankan. Hal ini

pernah dibuktikan pada sebuah perusahaan film dimana penurunan

intensitas kebisingan berhasil mengurangi jumlah film yang rusak sehingga

menghemat bahan baku.

3.2 Dampak Sosial Budaya

Dampak sosial budaya yang dapat diambil apabila tidak dilakukan

pencegahan terhadap penurunan pendengaran pada pekerja pemotong

rumput maka akan berakibat terganggunya komunikasi di dalam keluarga

atau bahkan antara sesama anggota masyarakat seperti mengakibatkan

salah pengertian yang mana secara tidak langsung dapat mempengaruhi

hubungan sesama anggota masyarakat menjadi tidak baik karena

mengalami kendala dalam berkomunikasi. Dampak yang paling serius

adalah anggota masyarakat tersebut akan dikucilkan dari anggota

masyarakat lainnya sehingga hubungan dalam suatu masyarakat tersebut

menjadi tidak harmonis. Hal ini juga berdampak terhadap perusahaan,

karena berhubungan dengan nama baik perusahaan di mata perusahaan lain


34

karena tidak mempunyai sistem atau program yang baik sehubungan dengan

kesejahteraan pekerjanya dan dinilai hanya memprioritaskan produksi saja

diatas kesejahteraan pekerjanya. Demikian juga terhadap lingkungan

sehingga mungkin sekali tenaga kerja kurang cepat menanggapi adanya

situasi yang berbahaya dan lambat dalam bereaksi sehingga dapat

menimbulkan kecelakaan dan kerusakan terhadap lingkungan sehingga

mengakibatkan mengeluarkan biaya untuk penanganannya.

Dampak sosial budaya yang dapat diambil dengan dilakukannya

pencegahan penurunan pendengaran terhadap pekerja pemotong rumput

ini, diharapkan pekerja tersebut mengetahui dan mendapatkan pengetahuan

sehingga memberikan kesadaran bahwa pentingnya memiliki pendengaran

yang normal baik dalam pekerjaan dan dikehidupan sehari-hari yang

membutuhkan komunikasi. Nama besar perusahaan akan terjaga dengan

baik karena memiliki program yang memprioritaskan kesejahteraan pekerja

diatas produksi serta budaya yang harmonis akan tercipta sesama pekerja

dan juga dengan perusahaan. Lingkungan akan tetap terpelihara karena

tidak adanya kesalahan selama melakukan pemotongan rumput sehingga

kerusakan dari lingkungan tersebut dapat dihindari.

3.3 Dampak Lingkungan dan Kesehatan

Dampak lingkungan dan kesehatan yang dapat diambil apabila tidak

dilakukan pencegahan terhadap penurunan pendengaran pada pekerja

pemotong rumput maka akan berakibat rusaknya lingkungan baik terjadi

dengan sengaja atau tidak dan jika lingkungan telah rusak akan berdampak
35

kepada kesehatan pekerja tersebut, seperti gangguan fisiologis, psikologis,

dan terutama gangguan komunikasi. Nama baik perusahaan akan terkena

dampak juga karena akan ditetapkan sebagai perusahaan yang tidak peduli

dengan lingkungan sekitarnya dan kesehatan pekerja serta masyarakat.

Dampak lingkungan dan kesehatan yang dapat diambil Dengan

dilakukannya pencegahan penurunan pendengaran terhadap pekerja

pemotong rumput ini, diharapkan memberikan lingkungan yang baik karena

memliki kesadaran untuk menjaganya serta melakukan pekerjaan

pemotongan rumput sesuai dengan yang diperintahkan, membuat

lingkungan menjadi indah dan tidak adanya keinginan untuk merusaknya dan

didukung dengan terjaminnya kesehatan pekerja karena perusahaan sangat

peduli dengan kesehatan pekerjanya dengan memberikan program dan

memberikan kesejahteraan terhadap pekerjanya sehingga nama baik

perusahaan akan tetap terjaga.


36

IV. UPAYA MINIMALISASI PENURUNAN PENDENGARAN PEKERJA


PEMOTONG RUMPUT AKIBAT KEBISINGAN MESIN PEMOTONG RUMPUT
DI KECEMATAN MANDAU

4.1. Rendahnya Kesadaran Tenaga Kerja Pemotong Rumput


Menggunakan Alat Pelindung Diri
Upaya yang bisa dilakukan agar penurunan pendengaran pada

pekerja pemotong rumput dapat diminimalisasi dan meningkatkan kesadaran

pekerja menggunakan alat pelindung diri khususnya pendengaran

diantaranya dengan cara melakukan sosialisasi yang dilakukan perusahaan

ke pekerja mengenai hasil pengukuran mesin potong rumput. Hal ini

dilakukan agar pekerja mengetahui berapa bunyi dan standar yang

diperbolehkan untuk menggunakan alat pemotongan rumput agar tidak

berpengaruh kepada pendengar pekerja. Melakukan edukasi terhadap

pekerja, bahwa pentingnya menjaga atau melindungi diri dari kebisingan.

Karena efeknya akan terasa beberapa tahun kemudian.

4.2. Lamanya Masa Kerja Pemotongan Rumput dalam Satu Hari

Penentuan dan pengaturan waktu yang sesuai dalam pelaksanaan

pemotongan rumput untuk setiap harinya sangat dibutuhkan karena ini

berpengaruh terhadap produktivitas pekerja dan produksi perusahaan, jika

tidak adanya aturan yang jelas mengenai hal ini maka bisa saja terjadi

kelebihan jam kerja atau malah sebaliknya. Perusahaan wajib membuat

aturan mengenai lamanya masa kerja pemotongan rumput dan

konsekuensinya jika pekerja tidak mengikuti aturan tersebut


37

Kemudian di sosialisasikan kepada pekerja. Misalnya, waktu lama kerja 8

jam satu hari dapat diatur agar pemotongan rumput dilakukan dalam waktu

tertentu dengan diselingi waktu istirahat

4.3. Kurangnya Tingkat Kepedulian Perusahaan dalam Menangani


Kebisingan dan Penurunan Pendengaran Bagi Pemotong Rumput

Kurangnya kepedulian perusahaan dalam mengatasi kebisingan dan

mencegah penurunan pendengaran pada pemotong rumput dapat

berpengaruh terhadap produktivitas pekerja dan laju produksi perusahaan.

Upaya yang bisa dilakukan oleh perusahaan antara lain, memberikan

pengawasan yang baik dilapangan, menegur atau mengingatkan untuk

selalu bekerja sesuai aturan dan menggunakan alat pelindung diri yang

sesuai serta melakukan kontrol terhadap mesin pemotong rumput secara

periodik, karena kondisi alat akan berubah. Untuk itu perusahaan perlu

melakukan pengukuran kebisingan dan perawatan secara berkala supaya

mesin tetap terawat dan bunyi yang dihasilkan bisa diketahui.

4.4. Kurangnya Tingkat Kepedulian Pemerintah dalam Menangani


Kebisingan dan Penurunan Pendengaran Bagi Pemotong Rumput

Peran pemerintah sangat dibutuhkan dengan cara mengeluarkan

peraturan pemerintah daerah setempat dalam hal penggunaan alat

pelindung diri (sumbat telinga) yang merupakan salah satu cara untuk

mengatasi dampak dari kebisingan. Untuk menjaga agar alat pelindung diri

digunakan dengan baik, maka harus dilakukan pengawasan ketat kepada

pekerja pemotongan rumput di Kecamatan Mandau- Duri.


DAFTAR PUSTAKA

Ada, Y., 2008. Kebisingan, Pencahayaan, dan Getaran di Tempat Kerja.


Mitra No. 3 : XIV Tahun 2008

Anizar, 2009. Teknik Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Industri.


Yogyakarta.

Babba, J., 2007. Hubungan antara Intensitas Kebisingan di Lingkungan Kerja


dengan Peningkatan Tekanan Darah (Penelitian pada Karyawan
PT Semen Tonasa di Kabupaten Pangkep Sulawesi Selatan).
Tesis, Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro,
Semarang. (Tidak diterbitkan)

Buchari, 2008. Kebisingan Industri dan Hearing Conservation Program.


USURepository.
http://www.repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/1435/3/0700
2749.pdf.txt . Diakses tanggal 3 Maret 2013.

Erman, D. 2014. Analisis Gangguang Pendengaran pada Pekerja Pemotong


Rumput Akibat Kebisingan dari Mesin Pemotongan Rumput.
Jurnal Ilmu Lingkungan. Universitas Riau.

Grantham, D., 1992. Occupational health and hygiene guidebook for the
WHSO. The Australian occupational health and safety trust.

Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Per 13/ Men/ X/
2011 tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika dan Faktor Kimia
di Tempat Kerja, Jakarta

Menteri Negara Lingkungan Hidup 1996. Keputusan Menteri Negara


Lingkungan Hidup: KEP-48/MENLH/11/1996 tentang Baku Tingkat
Kebisingan. Jakarta

Qomarya, R.I., 2014. Audiometri


http://www.academia.edu/4377667/TINJAUANPUSTAKA. Diakses
tanggal 6 Juli 2014.

Roestam, A.W., 2004. Program Konservasi Pendengaran di Tempat Kerja.


Cermin Dunia Kedokteran No. 144, Jakarta

Rotinsulu, 2008. Cara mengatasi gangguan pendengaran.


http://www.indofamily. net/health/index.php?option=com
content&task=view&id=120&Itemid=47. Diakses tanggal 13
Agustus 2009.
39

Soetjipto, D., 2007. Gangguan Pendengaran Akibat Bising /GPAB Komite


Nasional Penanggulangan Gangguan Pendengaran dan Ketulian
(Komnas PGPKT) - Version 1.0.
http://ketulian.com/v1/web/index.php?to=article&id=15

Suma‟mur, P.K., 2009. Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja (Hiperkes).


Sagung Seto, Jakarta.

Srisantyorini, 2002. Tingkat Kebisingan dan Gangguan Pendengaran pada


Karyawan PT Friesche Vlag Indonesia Tahun 2002. Tesis,
Program Pasca Sarjana Universitas Indonesia, Jakarta. (Tidak
diterbitkan)

Tambunan, S.T.B., 2005. Kebisingan di Tempat Kerja (Occupational Noise).


ANDI, Yogyakarta.
40

Peta Provinsi Riau


41

Peta Kabupaten Bengkalis


42

Peta Kecamatan Mandau


PENANGGULANGAN LIMBAH CAIR PABRIK PULP DAN KERTAS
PT RAPP TERHADAP PERBAIKAN KUALITAS SUNGAI KAMPAR DI
PANGKALAN KERINCI KAB. PELALAWAN RIAU

oleh
BARKATUL AULIA
NIM 1510248511

PROGRAM STUDI ILMU LINGKUNGAN


PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
2016
DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR ISI........................................................................................................... ii
DAFTAR TABEL.................................................................................................. iii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. iv
DAFTAR LAMPIRAN............................................................................................v
I PENDAHULUAN ............................................................................................1
1.1. Latar Belakang ............................................................................................ 1
1.2. Perumusan Masalah..................................................................................... 2
II PENANGGULANGAN LIMBAH CAIR PT RAPP TERHADAP
KUALITAS PERAIRAN SUNGAI KAMPAR DI PANGKALAN KERINCI4
2.1. Pabrik dan Proses Pembuatan Pulp dan Kertas ........................................... 4
2.2. Pengolahan Limbah Cair ............................................................................. 7
2.3. Karakteristik Limbah Cair Industri Pulp dan Kertas................................... 9
2.4. Proses Pengolahan Limbah Cair Industri Pulp dan Kertas........................ 11
2.5. Penanggulangan Limbah Cair Pulp dan Kertas di PT RAPP terhadap
Perbaikan Kualitas Perairan di Sungai Kampar ........................................ 13
2.5.1 Pengolahan Primer ............................................................................. 14
2.5.2 Pengolahan Sekunder ......................................................................... 16
2.5.3 Sludge Handling................................................................................. 17
2.5.4 Pembuangan Limbah Cair PT RAPP ke Perairan Sungai Kampar .... 17
2.5.5 Penanggulangan Limbah Cair PT RAPP Terhadap Perbaikan Kualitas
Sungai Kampar................................................................................... 18
III DAMPAK PENANGGULANGAN LIMBAH CAIR PT RAPP TERHADAP
PERBAIKAN KUALITAS PERAIRAN SUNGAI KAMPAR DI
PANGKALAN KERINCI KAB. PELALAWAN ..........................................21
3.1. Aspek Ekonomi ......................................................................................... 21
3.2. Aspek Sosial Budaya................................................................................. 22
3.3. Aspek Lingkungan dan Kesehatan ............................................................ 23
IV OPTIMALISASI PENANGGULANGAN LIMBAH CAIR PT RAPP
PANGKALAN KERINCI KAB. PELALAWAN ..........................................24
4.1 Tingginya COD dari limbah yang masuk ke instalasi pengolahan limbah
(IPAL) ....................................................................................................... 24
4.2 Tingginya kerusakan yang terjadi pada unit IPAL.................................... 25
4.3 Keterbatasan kapasitas Emergency pond .................................................. 25
4.4 Internal target untuk sludge yang di proses pada sludge handling............ 26
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................27
LAMPIRAN...........................................................................................................29

ii
DAFTAR TABEL

Tabel Halaman
1. Tipikal karakteristik dari effluent proses Pulp dan Kertas…………………….11
2. Karakteristik Limbah Cair yang diolah di PT RAPP………………………….13
3. Kadar Limbah Cair yang telah diolah PT RAPP………………………………17
4. Biaya Pengolahan Limbah dan COD pada Limbah PT RAPP………………...19

iii
DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman
1. Siklus rekoveri pada pembuatan pulp dalam proses kraft.................................5
2. Limbah pada tahapan proses Pulp dan Kertas ..................................................6
3. Diagram alir sederhana pengolahan limbah cair di PT RAPP ..........................14

iv
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman
1. Peta Provinsi Riau .............................................................................................29
2. Peta Kabupaten Pelalawan dan Lokasi PT. RAPP............................................30
3. Baku Mutu Air Limbah Pembuatan Pulp dan Kertas........................................31

v
1

I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Industri Pulp dan Kertas adalah salah satu industri yang menggunakan serta
menghasilkan energi dan material berbasis biomassa (Svensson dan Berntsson,
2014). Dari proses kegiatan produksi ini menghasilkan tiga tipe polutan yang
utama yaitu emisi udara, limbah cair dan limbah padat (World Bank Group,
1998a,b). Namun, Industri Pulp dan Kertas sekarang menghadapi tantangan untuk
mematuhi peraturan lingkungan yang ketat. Pabrik-pabrik ini menghasilkan
sejumlah besar air limbah. Air limbah yang dihasilkan oleh operasi industri
memiliki dampak signifikan terhadap lingkungan. Industri Pulp dan Kertas adalah
konsumen besar air tawar. Air tawar merupakan sumber penting bagi industri
kertas yang digunakan pada berbagai tahapan kegiatan pembuatan Pulp dan
Kertas. Air limbah yang dihasilkan memiliki dampak yang merugikan pada
lingkungan dan menimbulkan ancaman serius pada ekosistem dan kehidupan
manusia. Industri ini menghasilkan jumlah terbesar ketiga air limbah setelah
industri logam dan industri bahan kimia (Savant, Abdul-Rahman dan Ranade,
2006).
Untuk meminimalkan dampak lingkungan dari air limbah maka dirancang
sistem pengolahan air limbah sehingga air limbah yang dibuang ke badan air
dalam level aman bagi lingkungan (Dosary, Galal dan Halim, 2015). Jika
meminimalisasi dampak lingkungan merupakan salah satu fungsi utama dari
sistem pengolahan air limbah maka pengolahan harus dirancang sehingga total
dampaknya terhadap lingkungan berkurang (Dixon, Simon dan Burkitt, 2003).
Sebagian besar pabrik pengolahan memiliki pengolahan primer (Penghilangan
padatan tersuspensi dan terapung) dan pengolahan sekunder (Penghilangan
padatan biologis terlarut) (Dosary et al., 2015).
Indonesia sebagai salah satu dari 10 negara penghasil Pulp dan Kertas di
dunia (Swedish Forest Industries Federation, 2014) berdasarkan data Kementerian
Perindustrian, realisasi produksi Pulp dan Kertas Indonesia masing-masing
mencapai 6,4 juta ton dan 10,4 ton per tahun yang menempatkan industri pulp
2

nasional pada peringkat ke-9 dan industri kertas peringkat ke-6 di dunia,
sedangkan di Asia dikutip dari antaranews.com (2016) menempati peringkat ke-
3 untuk industri pulp maupun kertas. dan memiliki beberapa perusahaan kertas
yang tersebar di pulau Sumatera dan Jawa.
Salah satu perusahaan Pulp dan Kertas terbesar di Asia berada di Pangkalan
Kerinci Kabupaten Pelalawan Provinsi Riau yaitu PT RAPP (Lampiran 1 dan 2).
Dengan produksi pulp sebesar lebih kurang 7.500 ton/hari dan mengkonsumsi air
sebanyak 280.000 m3/hari. Limbah cair yang telah diolah dibuang ke lingkungan
(sungai) pun berkisar sekitar 280.000 m3/hari. Walaupun limbah yang telah diolah
masih memenuhi baku mutu limbah Pulp dan Kertas yang diatur dalam
PERMENLH No 5 tahun 2014 tentang Baku Mutu Limbah Cair (Lampiran 3),
perusahaan memiliki target yang lebih jauh lagi yaitu mendapatkan peringkat
hijau dimana berdasarkan PERMENLH No 06 tahun 2013 tentang Kriteria dan
Mekanisme PROPER; Nilai hijau, diberikan kepada penanggung jawab usaha
dan/atau kegiatan yang telah melakukan pengelolaan lingkungan lebih dari yang
dipersyaratkan dalam peraturan (beyond compliance) melalui pelaksanaan sistem
manajemen lingkungan.

1.2. Perumusan Masalah


Pengolahan limbah cair yang dilakukan oleh PT RAPP menggunakan metode
pengolahan biologi dengan activated sludge, yang memiliki dua tahap pengolahan
yaitu pengolahan primer dan pengolahan sekunder. Beberapa variabel yang
mempengaruhi hasil pengolahan limbah cair adalah COD influent, soda dan black
liquor dari limbah yang masuk, tipe dari kayu yang diolah menjadi pulp,
pengolahan sludge, dan performa dari peralatan. Selain itu, shutdown di beberapa
area proses juga menghasilkan peningkatan beban pada proses pengolahan limbah
cair.
Saat ini nilai PROPER untuk PT RAPP masih Biru perusahaan menargetkan
untuk mendapatkan nilai Hijau, dengan tujuan untuk perbaikan kualitas sungai
Kampar. Salah satunya yaitu mengurangi kadar limbah cair yang dibuang ke
Lingkungan. Oleh karena itu, Perusahaan berusaha untuk mendapatkan hasil
3

pengolahan limbah cair dimana nilai parameter seperti Biological Oxygen


Demand (BOD), Chemical Oxygen Demand (COD), dan Total Suspended Solid
(TSS) setengah dari nilai baku mutu pemerintah (175 ppm , 50 ppm dan 50 ppm).
Dengan target ini juga diharapkan dapat meningkatkan kualitas perairan sungai
Kampar sehingga dampak negatif dari limbah dapat berkurang.
Penanggulangan limbah cair yang dilakukan dengan proses biologi sejauh ini
parameter BOD, TSS telah dapat diturunkan diatas target. Akan tetapi parameter
COD masih belum tercapai dan berfluktuasi, sehingga ini menjadi hambatan
dalam pencapaian peringkat hijau serta dapat berdampak buruk pada kualitas
sungai kampar. Perusahaan telah melakukan beberapa cara seperti; memberi
polymer pada tahap primary treatment untuk menurunkan beban organik, dan
mengoptimalkan penggunaan Emergency pond. Akan tetapi, masih belum bisa
mendapatkan nilai COD yang stabil sesuai dengan target karena masih ditemukan
masalah yaitu sebagai berikut:
1. Tingginya COD dari limbah yang masuk ke instalasi pengolahan limbah
(IPAL),
2. Kerusakan yang terjadi pada unit IPAL,
3. Keterbatasan kapasitas Emergency pond, dan
4. Internal target untuk sludge yang di proses pada sludge handling.
Sejauh mana dengan target yang ingin dicapai PT RAPP yaitu rating hijau
dan perbaikan kualitas sungai Kampar, tentu memiliki dampak dari segi aspek
ekonomi, sosial budaya, lingkungan dan kesehatan, serta kendala-kendala yang
dihadapi dan sekaligus solusinya akan dibahas.
4

II PENANGGULANGAN LIMBAH CAIR PT RAPP TERHADAP


KUALITAS PERAIRAN SUNGAI KAMPAR DI PANGKALAN
KERINCI
2.1. Pabrik dan Proses Pembuatan Pulp dan Kertas
Pembuatan pulp adalah tahap awal dari pembuatan industri kertas dan sebagai
bahan baku untuk pengolahan lainnya. Proses ini adalah sumber terbesar dari
polusi di seluruh proses pembuatan kertas. Dalam jumlah besar air limbah yang
dihasilkan pada berbagai tahapan proses ini.
Untuk membuat pulp dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu secara
mechanical, kimia dan fisika (menggunakan panas) atau dengan gabungan dari
beberapa cara tersebut. Menurut Pokhrel dan Viraraghavan (2004) untuk membuat
pulp terdiri dari operasi terdiri dari dua bagian utama; pertama adalah persiapan
stok dengan mengolah pulp ke tingkat konsistensi yang diperlukan dan yang
seterusnya adalah membuat kertas di mana pulp yang diolah dilewatkan secara
terus menerus melalui cetakan/kabel untuk membentuk lembaran kertas.
Prosesnya sebagai berikut:
1. Pembuatan Pulp secara Mekanis, Yield hasil dari proses ini sangat tinggi yaitu
90-95% (Smook dalam Pokhrel dan Viraraghavan, 2004) tetapi kualitas pulp
yang dihasilkan merupakan grade tingkat rendah, berwarna dan memiliki serat
yang pendek.
2. Pembuatan Pulp secara Kimia, Potongan kayu (chip) dimasak dengan dalam
larutan bahan kimia dengan penaikan temperature untuk memutus chip menjadi
serat fiber. Yield yang dihasilkan sekitar 40-50% (Smook dalam Pokhrel dan
Viraraghavan, 2004) ada dua tipe media larutan yang digunakan yaitu basa
(kraft proses) dan asam (proses sulfite).
1). Proses Kraft: Chip dimasak dengan larutan sodium hydroxide (NaOH) dan
sodium sulfide (Na2S). Proses ini yang paling sering digunakan. Proses ini
memiliki keunggulan yaitu efisiensi dari rekoveri bahan kimia yang
digunakan. Gambar 1, memperlihatkan prinsip operasi dari proses kraft:
evaporasi weak black liquor, pembakaran thick black liquor dalam
tungku/furnace menjadi smelt, kemudian didilusi dengan air menjadi green
5

liquor; causticizing sodium carbonate (Na2CO3) dalam green liquor menjadi


(NaOH) atau white liquor dan pembentukan limemud (CaCO3) di lime kiln.
Black liquor direkoveri setelah proses pemasakan chip dan proses
pembakaran di Recovery boiler untuk menghasilkan panas sebagai
pembangkit listrik. Sehingga tidak diperlukan power tambahan pada proses
ini. Pengecualian hanya pada lime kiln yang menggunakan minyak atau gas
alam, akan tetapi dapat digantikan dengan gas diperoleh dari kulit kayu yang
telah digasifiyer (proses membuat gas dari bahan padat) (Gambar 1).

Gambar 1. Siklus rekoveri pada pembuatan pulp proses kraft (Henricson, 2005)

2). Proses Sulfite: Chip dimasak dengan campuran sulfurous acid (H2SO3) dan
bisulfide ions (HSO-3) untuk melarutkan lignin
3. Pembuatan Pulp secara Kimia-Mekanis
Bahan baku pertama-tama diolah secara kimia kemudian dilanjutkan dengan
pengolahan mekanikal untuk memisahkan seratnya. Effisiensi pulp yang
dihasilkan berkisar 85-90% dan kekuatan pulpnya lebih baik dibandingkan
dengan proses mekanik.
4. Pembuatan Pulp secara Fisika-Mekanis
Proses ini menggunakan steam pada material dibawah tekanan atmosfer pada
6

waktu yang singkat, sebelum dan selama pemisahan. Proses termo-mekanis lebih
lanjut lagi dimodifikasi dengan menggunakan kimia selama tahapan proses steam.
Proses pembuatan kertas dan kertas karton secara umum dapat dibagi
menjadi dua tahap: pengolahan pulp, dan pembentukan kertas. Pengolahan pulp
yaitu menjadikan pulp dengan derajat kekentalan sesuai dengan mesin pengolah
kertasnya. Selanjutnya pulp diproses pada mesin dimana pulp diolah melewati
kawat/cetakan sehingga membentuk lembaran kertas.
Limbah pada setiap tahapan proses dapat dilihat pada Gambar 2. Setiap
tahapan proses pembuatan pulp menggunakan sejumlah besar air, dimana akan
berakhir di effluent. Sumber yang paling banyak adalah tahapan proses persiapan
kayu (wood preparation), proses pemasakan pulp (digester house), pencucian
pulp (pulp washing), pemisahan, pemutihan (bleaching) dan pembuatan kertas
(paper making).

Gambar 2. Limbah pada tahapan proses Pulp dan Kertas (Pokhrel dan
Viraraghavan, 2004)
7

Dari keseluruhan proses, pembentukan pulp menghasilkan limbah cair yang


kuat. Limbah ini terdiri dari sisa lignin dan material kayu terlarut. Pemutihan pulp
menghasilkan konten limbah yang beracun berasal dari penggunaan klorin untuk
pencerahan kertas. Serat pulp dapat diambil dari berbagai tanaman dari alam
seperti kayu, ilalang, rumput dan bambu. Kayu merupakan sumber utama untuk
pembuatan kertas. Kayu terdiri dari berbagai macam komponen (lignin,
karbohidrat, dan ekstraktif material) dimana sangat sulit untuk dibiodegradasi dan
turunan lainnya dicuci dari fiber selama proses pencucian, pengeringan dan proses
pemisahan. Limbah yang dihasilkan tergantung dari proses pulp yang digunakan.

2.2. Pengolahan Limbah Cair


Pengelolaan air limbah jelas terkait dengan pengelolaan seluruh siklus air.
pengelolaan air limbah yang tidak memadai dapat mencemari badan air yang juga
merupakan sumber penting untuk air minum, perikanan dan jasa lainnya. Oleh
karena itu, pembuangan air limbah, tanpa atau dengan pengolahan yang tidak
memadai, melibatkan biaya yang signifikan, termasuk terhadap lingkungan dan
sosial.
Pada dasarnya kegiatan suatu industri adalah mengolah masukan (input) atau
bahan baku menjadi keluaran (output) bahan jadi atau setengah jadi. Keluaran
yang dihasilkan suatu industri adalah berupa produk yang diinginkan beserta
limbah. Limbah dapat yang bernilai ekonomis sehingga dapat dijual atau
dipergunakan kembali dan yang tidak bernilai ekonomis yang akan menjadi beban
lingkungan. Limbah yang masuk ke lingkungan inilah yang dapat menjadi bahan
pencemar.
Shoba (2006) dalam penelitiannya menyatakan bahan pencemar yang masuk
ke dalam lingkungan akan berinteraksi dengan satu atau lebih komponen
lingkungan. Perubahan komponen lingkungan secara fisika, kimia dan biologi
sebagai akibat dari adanya bahan pencemar akan mengakibatkan perubahan
kualitas lingkungan.
Limbah yang mengandung bahan pencemar akan mengubah kualitas
lingkungan. Apabila lingkungan tersebut tidak mampu memulihkan kondisinya
8

sesuai dengan daya dukung yang ada padanya. Oleh karena itu, sangat perlu
diketahui sifat limbah dan komponen bahan pencemar yang terkandung dalam
limbah tersebut.
Usaha pengendalian pencemaran dapat dilakukan melalui berbagai upaya.
Salah satunya dengan mengolah limbah sebelum dibuang ke alam. Pengolahan
limbah juga termasuk dari bentuk tanggung jawab industri pada lingkungan dan
masyarakat, selain itu untuk mendukung industri yang sesuai dengan
pembangunan berkelanjutan. Pembangunan industri di Indonesia yang lebih
menitik beratkan pada aspek pertumbuhan ekonomi telah menjadikan
pertumbuhan di sektor lain tidak seimbang. Aspek sosial-budaya dan aspek
lingkungan seperti diabaikan. Setelah muncul berbagai masalah barulah disadari
bahwa pembangunan berkelanjutan adalah suatu keharusan. Berdasarkan World
Comission on Environment and Development yang dilaksanakan di tahun 1987,
Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang memenuhi kebutuhan
masa kini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi
kebutuhan mereka sendiri.
Keraf (2002) menjelaskan bahwa konsep pembangunan berkelanjutan
dimaksudkan untuk mensinkronkan, mengintegrasikan dan memberi bobot yang
sama bagi tiga aspek utama pembangunan yaitu aspek ekonomi, aspek sosial-
budaya dan aspek lingkungan hidup. Gagasan dibalik itu bahwa pembangunan
ekonomi, sosial-budaya dan lingkungan hidup harus dipandang sebagai terkait
erat satu sama lain, sehingga unsur-unsur dari kesatuan yang saling terkait ini
tidak boleh dipisahkan atau dipertentangkan satu dengan lainnya.
Pengolahan limbah adalah salah satu upaya untuk melindungi lingkungan,
selain untuk memenuhi peraturan pemerintah tentang baku mutu lingkungan juga
merupakan tanggung jawab industri terhadap lingkungan dan masyarakat sekitar.
Sejauh mana dampak yang diberikan oleh sistem pengolahan limbah oleh industri
Pulp dan Kertas diuraikan dari segi aspek ekonomi, sosial dan lingkungan.
9

2.3. Karakteristik Limbah Cair Industri Pulp dan Kertas


Karakteristik atau sifat dasar dari limbah cair terbagi atas fisika, kimia dan
biologi. Fisika seperti temperatur, bau, TSS dan warna, kimia yaitu kandungan
organik, nonorganik, logam berat, pH dan gas terlarut, biologi berupa total
bakteri. Untuk limbah cair pulp dan kertas sesuai dengan baku mutu yang
diberikan oleh pemerintah maka yaitu COD, BOD, pH, TSS dan temperatur.
1. COD
Konten zat organik di dalam limbah cair harus ditentukan secara kulitas
maupun kuantitas. Pengukuran kandungan zat organik dapat dilakukan dalam
bentuk pengukuran Chemical Oxygen Demand (COD) dan Biochecmical Oxygen
Demand (BOD).
Chemical Oxygen Demand (COD) adalah jumlah kebutuhan oksigen dalam
air untuk proses reaksi kimia guna menguraikan unsur pencemar yang ada. COD
dinyatakan dalam ppm (part per million) atau ml O2/liter. Menurut Alaerts dan
Santika (1987) nilai COD mencakup kebutuhan oksigen untuk reaksi biokimia,
karena senyawa organik yang dapat dirombak oleh mikroorganisme dapat pula
mengalami oksidasi lewat reaksi kimia. Jadi nilai COD memiliki nilai numerik
yang lebih besar dari pada BOD. COD merupakan kunci untuk pendeteksian
tingkat pencemaran air. Semakin tinggi COD semakin jelek kualitas air
COD digunakan untuk mengukur kadar materi organik air limbah dan air
bersih serta pada industri dan limbah yang mengandung senyawa beracun untuk
biotik. Tchobanoglous, Burton dan Stensel (2003) menyatakan bahwa COD dalam
limbah biasanya lebih tinggi dari BOD karena senyawa-senyawa lebih mudah
dioksidasi secara kimia daripada biologi. COD lebih sering digunakan karena
COD dapat ditentukan dalam waktu 3 jam, dibandingkan dengan BOD yang
memerlukan waktu 5 hari. COD biasa digunakan sebagai control treatment plant
dan operasional
2. BOD
Biochemical Oxygen Demand (BOD) menunjukkan jumlah oksigen terlarut
yang dibutuhkan oleh mikroorganisme hidup untuk menguraikan atau
mengoksidasi bahan-bahan buangan di dalam air. Jadi, menurut Alaerts dan
10

Santika (1987) nilai BOD tidak menunjukkan jumlah bahan organik yang
sebenarnya, tetapi hanya mengukur secara relatif jumlah oksigen yang dibutuhkan
untuk mengoksidasi bahan-bahan buangan tersebut. Jika konsumsi oksigen tinggi,
yang ditunjukkan dengan semain kecilnya sisa oksigen terlarut dalam air, maka
berarti konten bahan buangan yang membutuhkan oksigen adalah tinggi.
Parameter polusi zat organik yang terjadi pada air limbah dan air permukaan
adalah BOD selama lima hari (BOD5). Hasil tersebut merupakan kadar oksigen
terlarut yang digunakan oleh mikroorganisme pada proses oksidasi biokimia
materi organik. Menurut Tchobanoglous et al (2003) alasan dilakukan pengujian
BOD adalah untuk menentukan jumlah oksigen yang digunakan mikroorganisme.
Menentukan ukuran system pengolahan air limbah, serta mengukur efisiensi dari
tiap unit pengolahan.
3. Total suspended solid (TSS)
TSS adalah semua zat yang masih ada/tersisa setelah terjadi penguapan dalam
suhu 103-105 oC. zat yang mempunyai tekanan uap pada temperatur ini akan
menguap dan tidak dikelompokkan sebagai padatan. Total solid setelah
penguapan dapat dikelompokkan sebagai padatan yang tidak dapat tersaring
(mengendap) (Tchobanoglous et al 2003).
TSS (Total Suspended Solid) atau total padatan tersuspensi adalah padatan
yang tersuspensi di dalam air berupa bahan-bahan organik dan inorganik yang
dapat disaring dengan kertas millipore berporipori 0,45 μm. Materi yang
tersuspensi mempunyai dampak buruk terhadap kualitas air karena mengurangi
penetrasi matahari ke dalam badan air, kekeruhan air meningkat yang
menyebabkan gangguan pertumbuhan bagi organisme produsen (Huda, 2009).
4. pH
Kadar pH yang baik adalah kadar pH dimana masih memungkinkan
kehidupan biologis di dalam air berjalan baik. pH yang baik bagi air limbah
adalah netral.
5. Temperatur
Temperatur dari limbah cair biasanya lebih tinggi dari air bersih dikarenakan
penambahan panas dari aktifitas industri. Secara spesifik, panas dari air limbah
11

lebih tinggi daripada udara, kecuali pada musim panas. Temperatur merupakan
parameter yang penting berkaitan dengan efeknya pada reaksi kimia, laju reaksi,
kehidupan organisme air dan penggunaan air untuk berbagai aktifitas. Selain itu
oksigen yang terlarut dalam air panas lebih sedikit dibandingkan dengan air
dingin.

Karakteristik limbah cair yang dihasilkan pada proses pembuatan Pulp dan
Kertas tergantung dari jenis proses yang digunakan. Tipikal karakteristik dari
limbah cair dari berbagai tipe proses produksi pulp dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Tipikal karakteristik dari effluent proses Pulp dan Kertas

Sumber: Kamali dan Khodaparast (2014)

2.4. Proses Pengolahan Limbah Cair Industri Pulp dan Kertas


Polusi dari Industri Pulp dan Kertas dapat diminimalkan dengan berbagai
perubahan proses dan langkah-langkah manajemen seperti Teknologi Tersedia
Terbaik (TTT) (Pokhrel dan Viraraghavan, 2004). Proses pengolahan limbah di
pabrik kertas terdiri dari dua tahapan utama yaitu pengolahan primer dan
pengolahan sekunder. Pengolahan primer yaitu memisahkan limbah cair dari
padatan tersuspensi dan terapung, pengolahan sekunder yaitu pengolahan secara
biologis untuk mengurai limbah menjadi rantai yang lebih pendek dan
memisahkannya. Pengolahan yang sering digunakan yaitu secara aerobik dengan
activated sludge.
Limbah cair yang dihasilkan dari proses produksi diolah dengan menggunakan
Instalasi Pengelolaan Air Limbah (IPAL). Sistem pengelolaan limbah cair
12

berdasarkan unit operasinya dibedakan menjadi tiga (Pokhrel dan Viraraghavan,


2004) yaitu :
1. Fisik
Pada unit operasi ini, salah satu hal yang digunakan ialah proses screening
(penyaringan). Screening merupakan proses untuk menyisihkan bahan tersuspensi
yang berukuran besar seperti kayu, kulit kayu. Selanjutnya bahan yang
tersuspensi diendapakan (sedimentasi) di unit pengendapan (clarifier). Prinsip
clarifier yaitu proses pemisahan berdasarkan berat jenis dimana padatan
tersuspensi akan mengendap kebagian dasar clarifier setelah waktu tinggal kurang
lebih 24 jam. Sedimentasi ialah pemisahan antara limbah cair dengan padatan
tersuspensi. Padatan tersuspensi yang terdapat dalam air limbah Pulp dan Kertas
yang terutama terdiri dari partikel kulit, serat, puing-puing serat, pengisi dan
bahan pelapis. sedimentasi adalah pilihan yang lebih sering digunakan dalam
pabrik kertas di dan kontribusi untuk pengurangan lebih dari 80% dari padatan
tersuspensi. Nilai desain utama clarifier rata-rata adalah 70-80%.
2. Kimia
Pengolahan air buangan secara kimia biasanya dilakukan untuk
menghilangkan partikel-partikel yang sukar mengendap, senyawa fosfor, logam-
logam berat, dan zat organik beracun. Dinamakan secara kimia karena pada
proses ini dibutuhkan bahan kimia yang akan mengubah sifat bahan terlarut
tersebut dari sangat terlarut menjadi tidak terlarut atau dari ukuran sangat halus
menjadi gumpalan (flok) yang dapat diendapkan maupun dipisahkan dengan
filtrasi.
3. Biologi.
Tujuan utama dari pengolahan limbah cair secara biologi adalah
menggumpalkan dan menghilangkan/menguraikan padatan organic terlarut yang
biodegradable dengan memanfaatkan aktivitas mikroorganisme. Pengolahan
secara biologis mengurangi kadar racun dan meningkatkan mutu buangan (bau,
warna, potensi yang menggangu dan rasa air). Apabila terdapat lahan yang
memadai, laguna fakultatif dan laguna aerasi bisa digunakan. Laguna aerasi akan
mengurangi 80% BOD buangan pabrik dengan waktu tinggal 10 hari
13

Proses lumpur aktif telah menjadi metode pengolahan utama untuk limbah
cair Pulp dan Kertas dalam beberapa tahun terakhir dalam bentuk konvensional
dan modifikasi, yang mampu memenuhi pengolahan sekunder batas limbah.
Dalam hal ini, telah ditunjukkan bahwa penerapannya lebih efisiensi untuk
mengurangi BOD dan COD dari limbah.

2.5. Penanggulangan Limbah Cair Pulp dan Kertas di PT RAPP terhadap


Perbaikan Kualitas Perairan di Sungai Kampar
Proses pengolahan limbah cair di PT RAPP menggunakan pengolahan secara
biologi dengan metode activated sludge. Pengolahan biologi yang dilakukan yaitu
dengan menggunakan bakteri aerob untuk mengurai limbah cair sehingga dapat
memenuhi baku mutu limbah yang ditetapkan oleh pemerintah. IPAL ini mampu
mengolah 330.000 m3 limbah cair per hari dan beban organik 422 ton perhari
(Sanyoto, 2013). Dimana karakteristik dari limbah yang masuk dapat dilihat pada
Tabel 2.
Tabel 2. Karakteristik Limbah Cair yang diolah di PT RAPP
No Parameter Satuan Nilai
1 Warna pt.Co 800-1300
2 TSS ppm 600-800
3 COD ppm 1000-1400
4 pH - 7-12
o
5 Temperatur C 60-65
Sumber: RAPP (2016)
Tahapan proses dapat dibagi dua yaitu pengolahan primer dan pengolahan
sekunder. Pada pengolahan primer limbah diolah di Bucket Screen, kemudian
dilanjutkan dengan Primary Clarifier, setelah itu limbah di netralisasi pada kolam
Neutralization. Pada pengolahan sekunder prosesnya dimulai setelah limbah di
netralisasi maka limbah diproses secara biologi didalam kolam aerasi selanjutnya
limbah dipisah dari padatan tersuspensi pada Secondary Clarifier. Sementara
lumpur (sludge) dari pengolahan di primary dan secondary clarifier diolah untuk
mengurangi kadar airnya sehingga dapat digunakan sebagai bahan bakar.
14

Proses pengolahan limbah di PT RAPP menggunakan tahapan pengolahan


primer dan sekunder. Tahapan proses secara singkat ditampilkan seperti pada
diagram alir proses pengolahan yang dapat dilihat pada Gambar 3.

Limbah Bucket Primary Equal and Neutral


Screen Clarifier Basin

Emergeny
Pond

Sludge Secondary Aeration Cooling


handling Clarifier Basin tower

Furnace River

Gambar 3. Diagram alir sederhana pengolahan limbah cair di PT RAPP

2.5.1. Pengolahan Primer


Berdasarkan Sanyoto (2013) tahapan pengolahan primer pada IPAL di PT
RAPP adalah sebagai berikut:
1. Pre-treatment dan Emergency Pond
Sumber limbah yang berasal dari tiap tahapan proses pengolahan bersifat
basa. Sehingga perlu dilakukan netralisasi. Netralisasi dengan menggunakan asam
klorida. Penambahan asam ini dilakukan di bucket screening.
Selain itu, jika kuantitas limbah yang masuk sangat besar dan diatas dari
target maka limbah yang masuk dialihkan sementara ke kolam emergensi. Kolam
emergensi dilapisi dengan geomembran agar limbah yang masuk ke kolam ini
tidak merembes ke dalam badan dan air tanah. Tidak ada perlakuan khusus di
kolam ini. Limbah hanya ditampung dengan harapan dapat menurunkan kadar
limbah dengan bantuan alam seperti oleh air hujan. Sedikit demi sedikit limbah
dipompakan ke unit pengolahan.
15

2. Screening (bucket screen)


Tujuan dari screening adalah untuk memisahkan limbah dari material yang
besar/kasar seperti ranting kayu, sampah pelastik dsb. Material ini diangkat
dengan menggunakan bucket dan dikirim ke bunker dengan menggunakan belt
conveyor. Setelah proses screening, limbah diolah di primary clarifier. Bucket
screen dilengkapi dengan alat ukur pH dan konduktifitas untuk memantau dan
mengontrol parameter dari limbah yang masuk.
3. Clarification (primary clarifier)
Serat dan padatan tidak terlarut dipisahkan dari limbah cair di primary
clarifier dengan menggunakan prinsip sedimentasi. Lumpur yang mengendap
dipompakan ke sludge handling (sistem pengolahan lumpur). Target TSS limbah
cair yang diinginkan adalah dibawah 100 ppm.
4. Equalization and Neutralization
Limbah cair yang masuk sangat berfluktasi sehingga perlu diaduk terlebih
dahulu untuk mendapatkan hasil yang lebih merata. Tujuan dari Equalization
basin adalah agar menyamakan kualitas dan kuantitas dari limbah yang masuk
sehingga lebih mudah dalam pengontrolan parameter pada proses pengolahan
sekunder. Unit ini dilengkapi dengan floating mixer (alat pengaduk terapung) dan
pengaturan aliran. Setelah Equalization basin, limbah di netralisasi dengan
menggunakan asam klorida (HCl) untuk mendapatkan pH yang sesuai untuk
aktifitas mikrobiologi yaitu 6-7.
5. Cooling tower
Cooling tower berfungsi untuk menurunkan suhu limbah. Karena
karakteristik temperatur limbah yang masuk sangat tinggi (60-65 oC) tidak cocok
untuk aktifitas mikroba. Temperatur untuk aktifitas mikrobiologi pengurai limbah
yaitu berkisar 35-38 oC. Sehingga perlu dikontrol agar temperatur yang keluar dari
cooling tower tidak melebihi 38 oC.
Pada Cooling tower ditambahkan nutrisi untuk perkembangan
mikroorganisme. Nutrisi ditambahkan sesuai dengan dosis yang dibubutuhkan
oleh mikroba. Nutrisi tersebut yaitu larutan campuran dari Diammonium
16

Phosphate (DAP) dan (NH2)2CO (urea). Selain itu Defoamer juga ditambahkan
pada keluaran Cooling tower untuk mengontrol busa saat proses aerasi.

2.5.2 Pengolahan Sekunder


Berdasarkan Sanyoto (2013) setelah tahapan pengolahan primer limbah
selanjutnya diolah dengan pengolahan Sekunder. Untuk pengolahan sekunder
pada IPAL di PT RAPP adalah sebagai berikut:
1. Aeration basin
Unit Aeration basin (kolam aerasi) berfungsi sebagai tempat perkembangan
mikroba untuk menguraikan dan medekomposisi limbah sehingga menjadi lebih
aman saat masuk ke lingkungan. Mikroorganisme yang digunakan berasal dari
proses activated sludge, dimana mikroba ini berkembang dengan menggunakan
oksigen. Oleh karena itu, diperlukan aerasi sebagai sumber oksigen bagi
perkembangan dan aktifitas mikroba.
Terdapat dua tipe proses aerasi pada IPAL di RAPP yaitu surface aerator
dan Membrane aerator. Surface aerator dengan menggunakan pengaduk mekanis
terapung yang membuat kontak oksigen dengan limbah cair, terdapat beberapa
surface aerator pada satu kolam aerasi. Sedangkan membrane aerator
menggunakan blower untuk menghasilkan gelembung udara yang disebarkan oleh
membrane sehingga kontak udara atau oksigen lebih merata.
2. Secondary Clarifier
Proses yang digunakan pada unit Secondary clarifier adalah proses
sedimentasi. Limbah yang telah diproses di unit aerasi memiliki jumlah padatan
tidak terlarut yang tinggi. Padatan ini berupa campuran material organik dan
nonorganik yang kemudian diendapkan pada unit Secondary clarifier. Endapan
(berupa lumpur) ini sebagian dikembalikan lagi ke proses aerasi dan sebagian lagi
diproses pada sludge handling. Lumpur yang ini terdiri dari komponen organik
dan mikroba yang dapat digunakan lagi pada proses aerasi sebagi sumber
mikroba atau lebih sering activated sludge. Lumpur tersebut mengendap didasar
unit ini sementara itu limbah yang telah diolah mengalir melalui atas dan
dikembalikan ke sungai melalui kanal.
17

2.5.3 Sludge Handling


Lumpur yang berasal dari pengolahan primer dan sekunder diolah pada unit
ini. Unit ini terdiri dari beberapa alat yaitu mixing tank, rotary screen thickner dan
screw press. Lumpur pada alat ini dikurangi kadar airnya sehingga dapat
digunakan sebagai bahan bakar di Power boiler untuk membangkitkan tenaga
listrik. Kadar air yang masuk ke unit ini 95-98% setelah pengolahan lumpur
tersebut diharapkan memiliki kadar air 60-55%. Filtrat hasi pengolahan ini
dikembalikan kembali ke unit primary clarifier (Sanyoto, 2013).
Untuk mendapatkan target kadar air maka ditambahkan polymer sehingga
lumpur lebih mudah menggumpal. Selain itu rasio perbandingan antara lumpur
dari primary clarifier dengan secondary clarifier harus diperhatikan, karena
lumpur dari secondary sangat encer dan sulit untuk ditekan. Rasio yang tepat
yaitu berkisar 65-75% lumpur primary, semakin banyak lumpur dari primary
semakin rendah kadar air, akan tetapi menyebabkan tingginya lumpur di
secondary clarifier dapat menyebabkan tingginya TSS yang masuk kesungai.

2.5.4 Pembuangan Limbah Cair PT RAPP ke Perairan Sungai Kampar


Semua limbah cair dari proses pembuatan pulp dan kertas pada PT RAPP
diolah pada IPAL. Limbah yang telah diolah harus memenuhi baku mutu yang
telah ditetapkan pemerintah sebelum dibuang ke lingkungan. Limbah Cair PT
RAPP dari IPAL dibuang ke sungai Kampar.
Hasil pengolahan limbah cair PT RAPP dapat dilihat pada Tabel 3. Serta
sebagai pembanding baku mutu dan target yang ingin dicapai. Dari Baku Mutu
limbah cair telah sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Tabel 3. Kadar Limbah Cair Hasil IPAL PT RAPP dengan Baku Mutu dan Target
No Parameter Satuan Baku Mutu Target Hasil
RAPP Pengolahan
1 BOD ppm 100 50 18-20
2 TSS ppm 100 50 50-70
3 COD ppm 350 175 180-210
4 pH - 7-9 7-9 7-9
o
5 Temperatur C 30 30-35
Sumber: PermenLH No 5 2014 dan RAPP (2016)
18

Kegagalan dalam pencapaian target merupakan permasalahan tersendiri bagi


perusahaan dalam keinginan perusahaan akan target hijau dan perbaikan kualitas
sungai Kampar. Dapat dilihat nilai BOD dan TSS sudah dapat dikurangi dengan
baik melewati target yang diberikan. Akan tetapi, COD yang masih belum
mencapai target.
Penyebab utama target COD yang belum tercapai yaitu tingginya COD dari
limbah yang masuk. Sehingga diperlukan upaya lebih lanjut agar COD dapat
diturunkan. Walaupun dibatasi dengan kapasitas dan kemampuan IPAL itu sendiri
yaitu kemampuan untuk mereduksi limbah, untuk IPAL pada PT RAPP
kemampuan mereduksi limbah yaitu sebesar 85%.

2.5.5 Penanggulangan Limbah Cair PT RAPP terhadap Perbaikan Kualitas


Sungai Kampar
Berdasarkan uraian yang dikemukakan dalam pembuangan limbah cair PT
RAPP masih ada yang belum mencapai target. Tentu ini akan berdampak buruk
terhadap kualitas perairan sungai Kampar bila limbah tersebut masuk ke sungai
Kampar. Guna memperbaiki kualitas limbah cair PT RAPP di Pangkalan Kerinci
ditemukan masalah yaitu:
1. Tingginya COD dari limbah yang masuk ke instalasi pengolahan limbah
(IPAL), Unit-unit operasi yaitu Woodyard, Fiberline (digester), Pulp dan Paper
Machine serta Recovery Boiler adalah sumber terbesar limbah cair. Limbah
tersebut memiliki material organik dan kimia yang tinggi. Setiap unit ini memiliki
target produksi dan kualitas tersendiri yang harus dicapai dan menjadi perioritas
utama. Sedangkan limbah yang dihasilkan bukan perioritas utama. Semakin tinggi
produksi semakin besar limbah cair yang dihasilkan. Sehingga limbah yang
masuk sangat sulit untuk dikontrol. Ditambah lagi kerusakan alat pada unit-unit
operasi tersebut. Limbah yang dibuang akan semakin banyak dan dengan konten
COD yang sangat tinggi yaitu dengan kadar diatas 1200 ppm. Dengan COD diatas
1200 ppm dan dengan kemampuan reduksi limbah dari IPAL 85% maka COD
yang dihasilkan diatas dari target yang ditentukan. Akibatnya kualitas dari limbah
yang diolah tidak dapat mencapai target.
19

Tingginya beban COD dari sumber limbah membuat peningkatan terhadap


biaya pengolahan untuk mereduksi limbah. Pada Tabel 4 dapat dilihat COD dari
limbah yang masuk dan yang keluar dari IPAL serta biaya yang dikeluarkan untuk
mengolah limbah dari segi nutrient, polymer dan listrik. Pada bulan juli COD dari
limbah yang masuk memang lebih kecil akan tetapi reduksi lebih kecil
dibandingkan dengan bulan Juni sehingga membuat biaya pengolahan pada bulan
Juli lebih kecil dibandingkan dengan bulan Juni.
Tabel 4. Biaya Pengolahan Limbah dan COD pada Limbah PT RAPP

Parameter Harga Satuan Budget/ Juni Juli


($) Target
Produksi Pulp ton/bulan 224772 223831
Defoamer 1.67 kg/ton pulp 0.031 0.032 0.03
DAP 0.88 kg/ton pulp 0.024 0.017 0.024
Urea 0.35 kg/ton pulp 0.01 0.008 0.007
Polymer 4 kg/ton pulp 0.112 0.09 0.091
Power 36.98 MWH/ton pulp 0.024 0.06 0.024
Steam 4.02 ton/ton Pulp 0.011 0.023 0.011
Biaya Total 0.212 0.23 0.187
COD inlet ppm 1200 1340 1191
COD outlet ppm 175 202 187
Persen
reduksi % 85.4 84.9 84.3
Sumber: RAPP (2016)
Ini menandakan semakin tinggi COD yang akan direduksi maka akan
semakin tinggi biaya untuk pengolahan. Selain itu pada tabel ini juga
menunjukkan bahwa efek dari limbah yang masuk juga mempengaruhi hasil dari
pengolahan. Apabila COD yang masuk tinggi maka nilai COD hasil pengolahan
akan meningkat pula.
2. Kerusakan yang terjadi pada unit IPAL, unit pengolahan krusial yaitu
aeration basin, cooling tower, dan sludge handling. Sebaliknya unit-unit tersebut
yang paling sering mengalami kerusakan. Kerusakan pada aeration basin atau
salah satu aerator akan mengakibatkan tidak sempurnanya penggunaan oksigen
oleh mikroorganisme sehingga proses penguraian limbah terganggu dan reduksi
limbah menjadi berkurang. Kerusakan pada cooling tower mengakibatkan
tingginya temperatur dari limbah yang masuk ke aeration basin, sehingga aktifitas
mikroba terhambat serta mempercepat kematian mikroba itu sendiri, sehingga
20

kemampuan pengurangan kadar limbah oleh IPAL akan turun. Sludge handling
seperti ginjal pada manusia, apabila unit ini mengalami kerusakan padatan
tersuspensi dari Primary dan Secondary Clarifier akan menumpuk sehingga
beban organik akan meningkat, akibatnya beban pengolahan akan berat untuk
menurunkan kadar limbah. Dengan kata lain apabila salah satu unit pengolahan
limbah terjadi kerusakan, sehingga unit lain kelebihan beban dan mengakibatkan
tidak optimalnya proses pengolahan.
3. Keterbatasan kapasitas Emergency pond, volume yang tidak cukup untuk
menampung semua limbah apabila terjadi shutdown. Keterbatasan ini diakibatkan
terjadinya pendangkalan akibat adanya pengendapan dari padatan tersuspensi
yang tidak bisa dipompakan ke unit pengolahan. Dengan terbatasnya volume
Emergency pond ini, maka apabila terjadi shutdown, limbah harus diproses segera
walaupun nilai kadar limbah COD, TSS dan pH tinggi. Dengan beban yang tinggi
mengakibatkan hasil yang diolah akan menjadi tinggi, menjadikan kualitas limbah
yang dibuang ke Sungai Kampar menjadi menurun.
4. Internal target untuk sludge yang di proses pada sludge handling. Target
dari sludge handling yaitu untuk memperoleh lumpur yang diproses di sludge
handling dengan kadar air kurang dari 60%, sehingga dapat mengorbankan target
utama dari pengolahan limbah cair dan peningkatan kualitas limbah. Untuk
mendapatkan kadar air yang rendah maka dilakukan pengurangan rasio dari
lumpur yang diambil dari unit secondary clarifier (biosludge). Dengan
berkurangnya bioslude yang diambil dari secondary clarifier. Akibatnya, beban
organik lebih banyak kembali ke sistem (aeration basin) Sehingga beban
pengolahan semakin meningkat dan menjadikan persen reduksi dari COD
berkurang. Penurunan reduksi COD dari IPAL tentunya menjadikan kualitas
limbah yang dibuang ke sungai Kampar juga turun.
21

III DAMPAK PENANGGULANGAN LIMBAH CAIR PT RAPP


TERHADAP PERBAIKAN KUALITAS PERAIRAN SUNGAI
KAMPAR DI PANGKALAN KERINCI KAB. PELALAWAN

3.1. Aspek Ekonomi


Apabila tidak diterapkan penanggulangan limbah ini maka dapat
berdampak negatif baik pada perusahaan, masyarakat dan pemerintah sekitar
aliran buangan limbah yaitu sebagai berikut:
1. Perusahaan; Predikat dan gambaran terhadap perusahaan akan menurun
sehingga dapat mengurangi tingkat pembelian dari pelanggan. Selain itu
perusahaan melanggar peraturan pemerintah yang dapat menyebabkan
ditutupnya perusahaan oleh pemerintah.
2. Masyarakat; Pencemaran yang diakibatkan tidak optimalnya pengolahan
limbah maka masyarakat sekitar yang akan langsung menerima akibatnya.
Mata pencaharian mereka dapat hilang akibat terjadinya pencemaran di
sekitar tempat tinggal mereka.
3. Pemerintah Kabupaten; Kontaminasi dari limbah yang tinggi pada sungai
akan mengurangi investasi yang masuk ke daerah kabupaten. Sebab
dibatasi oleh daya dukung dan daya tampung lingkungan. Sehingga dapat
mengurangi pendapatan daerah.
Dengan diterapkannya penganggulangan ini maka diharapakan
memberikan dampak positif pada perusahaan, masyarakat serta pemerintah
kabupaten:
1. Perusahaan; Peningkatan kepercayaan pelanggan terhadap kemampuan
perusahaan sehingga dapat meningkatkan pendapatan dari segi penjualan,
kepercayaan masyarakat pada perusahaan sehingga putra-putri terbaik ikut
untuk mengembangkan perusahaan untuk mendapatkan keuntungan yang
lebih banyak. Menunjukkan pemenuhan dan kepatuhan terhadap
peraturan.
2. Masyarakat; Peningkatan kualitas limbah yang dibuang perusahaan maka
akan memudahkan lingkungan untuk memperbaiki diri sehingga mata
22

pencaharian mereka tidak terganggu. Maka dari itu, terjadi peningkatan


ekonomi masyarakat disekitar aliran sungai.
3. Pemerintah Kabupaten; Pemerintah dapat membuat peraturan baru agar
Pabrik Kertas yang ada untuk menerapkan penanggulangan limbah yang
dapat meningkatkan kualitas air sungai. Dengan peningkatan kualitas air
sungai investor dapat menanamkan modalnya kedaerah dan laju
pembangunan ekonomi meningkat. Terciptanya lapangan pekerjaan baru
dan peningkatan pendapatan masyarakat akan memberikan keberhasilan
dari pemerintahan.

3.2. Aspek Sosial Budaya


Penerapan penanggulangan limbah ini berdampak secara sosial seperti
pada perusahaan mendapatkan keuntungan sosial. Keuntungan sosial yang
dimaksud yaitu penerimaan masyarakat sekitar akan buangan limbah yang masuk
ke daerah tempat mereka berkehidupan berkaitan dengan mata pencaharian
dibidang pertanian, perkebunan dan perikanan. Untuk pemerintah dapat
menjadikan acuan untuk pabrik pembuatan pulp dan kertas lainnya agar dapat
mengurangi kadar limbah yang dibuang ke lingkungan.
Sedangkan apabila tidak dilakukan penanggulangan limbah cair ini maka
akan banyak terjadi konflik dengan masyarakat sekitar. Pada tahun lalu disadur
dari Metroterkini.com (2015), Hampir seratus warga sepanjang Sungai Kampar
mendatangi Kantor PT. Riau Pulp and Paper di Rukan Komplek Perkantoran
RAPP menuntut kejelasan nasib pengusaha Ponton yang selama ini terkesan
diabaikan. Selain itu dalam pertemuan anatar warga dan Perusahaan yang di hadiri
Kapolres Pelalawan, AKBP, Ade Johan Sinaga, juga terungkap perusahaan RAPP
pilih kasih dalam menerima tenaga kerja tidak mempekerjakan putra tempatan.
"kami kecewa kelakuan RAPP, yang selama ini tidak memperhatikan warga kami,
sementara sungai kami tempat pembuang limbah mereka," Jelas salah seorang
perwakilan warga. Kekecewaan warga ini dipicu oleh pelecehan yang dilakukan
oknum perusahaan yang menjanjikan setiap desa dapat pekerjaan mengangkut
kayu RAPP melewati Sungai Kampar.
23

3.3. Aspek Lingkungan dan Kesehatan


Dari segi lingkungan dan kesehatan penerapan penanggulangan limbah pada
PT RAPP ini jelas berdampak positif. Beban kepada lingkungan akan berkurang
ekosistem dapat berkembang lebih baik lagi selain itu kesehatan masyarakat
sekitar tidak terganggu terutama masyarakat yang menggunakan air sungai untuk
mandi dan mencuci. Dengan meningkatkan kualitas limbah tentunya dapat
mengurangi dari dampak yang diberikan ke lingkungan terutama sungai Kampar.
Walaupun sungai Kampar tidak bisa digunakan sebagai baku air minum, tetapi air
sungai ini masih dapat dimanfaatkan untuk budi daya ikan air tawar, peternakan,
dan mengairi tanaman atau peruntukan kelas III.
Apabila tidak dilakukan optimalisasi pada penanggulangan limbah cair ini
dapat memberikan dampak buruk bagi lingkungan. Seperti yang dikutip
berdasarkan Riauterkini (2010) Ribuan ekor ikan berbagai jenis mati mendadak
dan mengapung di kanal yang bermuara pada Sungai Kampar, di Desa Sering,
Kecamatan Pelalawan. Pihak manajemen PT RAPP, melalui Kepala Coporate
Comunication, Geraldin Jensen ketika dikomfirmasi terkait masalah ini
mengatakan, kemungkinan pencemaran terjadi akibat matinya listrik di
lingkungan komplek PT RAPP sehingga instalasi limbahnya tak berfungi optimal.
Pada kesehatan masyarakat gagalnya penanggulangan limbah menyebabkan
terganggunya kesehatan masarakat sekitar. Penyakit kulit adalah penyakit yang
dapat langsung terasa apabila limbah mengkontaminasi perairan bersentuhan
dengan kulit dari manusia. Selain itu terganggunya pernapasan akibat bau busuk
dari limbah yang mencemari perairan.
24

IV OPTIMALISASI PENANGGULANGAN LIMBAH CAIR PT RAPP


PANGKALAN KERINCI KAB. PELALAWAN

4.1 Tingginya COD dari Limbah yang Masuk ke Instalasi Pengolahan Air
Limbah (IPAL)
Untuk mengatasi COD dari limbah yang masuk ke IPAL dari unit-unit
operasi dapat dilakukan dua cara berikut:
1. Pengendalian limbah setiap tahapan proses pembuatan Pulp dan Kertas
Kadar COD dari limbah yang masuk tergantung dari tahapan proses
pengolahan pulp dan kertas. Oleh karena itu, Pengendalian limbah harus dimulai
dari setiap tahapan proses dimana setiap proses harus ditingkatkan efisiensinya,
misalnya penggunaan air untuk pencucian kayu di woodyard harus dapat
digunakan dengan optimal seperti dengan menaikkan tekanan air serta membuat
nozzle sehingga pencucian lebih maksimal. Jika dimungkinkan air dapat
digunakan kembali dengan melakukan pencucian bertahap.
Kadar COD limbah juga berkaitan dengan stabilitas proses. Apabila dari
tahapan proses terjadi masalah misalnya ada kerusakan pada unit pulp washing,
sehingga terjadi peningkatan limbah dari unit ini. Oleh karena itu, perlu adanya
upaya untuk menjaga stabilitas proses dengan melakukan tindakan pencegahan
dan perawatan mesin serta peralatan. Kemudian menindaklanjuti dengan cepat
apabila ada terjadi kebocoran, kerusakan pada tahapan proses karena dapat
meningkatkan kapasitas buangan limbah.
Pencegahan kerusakan pada unit pengolahan limbah harus dapat dicegah.
Kerusakan pada alat dapat menimbulkan berkurangnya efisiensi pengolahan
limbah serta dapat mengganggu parameter proses lainnya. Oleh karena itu, perlu
dilakukan tindakan perawatan mesin secara berkala untuk mencegah terjadinya
kerusakan tiba-tiba pada mesin.
2. Pemberian Polymer pada Primary Clarifier
Tujuan utama pemberian polymer pada unit primary clarifier yaitu agar
padatan tersuspensi lebih mudah dalam pembentukan flok. Semakin cepat
terbentuknya flok maka akan semakin cepat terjadinya pengendapan. Padatan
25

tersuspensi pada limbah cair dari proses Pulp dan Kertas sebagian besar adalah
organik. Dengan penurunan beban organik diharapkan dapat mengurangi beban
dari limbah yang diolah sehingga pada proses biologi tingkat reduksi dari COD
lebih tinggi dan dicapainya target.
Berdasarkan Irfan, Butt, Imtiaz, Abbasa, Khana dan Shafique (2013)
dengan menggunakan polyacrylamide kationic dan anionic yang dikombinasikan
dengan ferric chloride dan aluminium chloride maka reduksi yang diperoleh dapat
lebih tinggi yaitu sekitar 95% COD dan 95% TSS .

4.2 Tingginya Kerusakan yang Terjadi pada Unit IPAL


Untuk mencegah kerusakan pada unit IPAL langkah yang dapat dilakukan
adalah total productive maintenance. Total Productive Maintenance atau
disingkat dengan TPM adalah suatu sistem yang digunakan untuk memelihara dan
meningkatkan kualitas produksi melalui perawatan perlengkapan dan peralatan
kerja seperti Mesin, Equipment dan alat-alat kerja. Fokus utama Total Productive
Maintanance atau TPM ini adalah untuk memastikan semua perlengkapan dan
peralatan Produksi beroperasi dalam kondisi terbaik sehingga menghindari
terjadinya kerusakan ataupun keterlambatan dalam proses produksi
Tim produksi dan tim maintenance berkerjasama dalam pemeliharaan
peralatan proses. Segala kerusakan kecil harus dideteksi dan diperbaiki sesegera
mungkin untuk mencegah kerusakan yang lebih besar.

4.3 Keterbatasan Kapasitas Emergency pond


Untuk mengatasi keterbatasan emergency pond ada dua cara untuk optimalisasi
limbah yang berada di kolam ini:
1. Mengoksidasi limbah dengan menggunakan oksidator, salah satu oksidator
yaitu dengan menggunakan ozon (O3). Menurut Karat (2013) oksidasi dengan
ozon lebih aman bagi lingkungan dibandingkan dengan chemical treatment
(precipitation/flocculation) dimana dapat menurunkan COD, warna dan tingkat
racun tanpa harus membutuhkan penanganan sejumlah besar lumpur.
26

2. Memodifikasi untuk kemudahan pembuangan lumpur yang mengendap.


Modifikasi dilakukan untuk membuat lumpur dapat dengan mudah mengalir
sehingga dapat dipompakan ke unit pengolahan lumpur.

4.4 Internal Target untuk Sludge yang di Proses pada Sludge Handling
Perlu diperhatikan kapasitas dan kemampuan alat ini terbatas maka perlu
dijalankan dengan proses parameter optimal. Operasi produksi yang melebihi
kapasitas dapat menurunkan efektifitas dari unit pengolahan. Selain itu, perlu
dijaga agar rasio lumpur dari secondary dan primary. Rasio yang tepat
berdasarkan Sanyoto (2013) adalah 65-75% untuk lumpur yang diambil dari
primary clarifier. Dengan rasio 65-75% maka akan diperoleh konsistensi sekitar
40%. Walaupun selain rasio masih ada parameter lain yang berpengaruh seperti
polymer. Parameter seperti jumlah polymer juga perlu diperhatikan agar tidak
terlalu berlebihan. Selain itu, instruksi dan standard pengoperasian harus jelas dan
tertulis serta dimengerti agar mudah diikuti oleh operator.
Untuk konsistensi di atas 40% akan sulit dicapai oleh unit Sludge handling.
Oleh karena itu, perusahaan dapat menambah unit baru untuk pengeringan sludge.
Atau bisa juga memisahkan pengolahan biosludge dengan primary sludge.
Biosludge dapat digunakan sebagai pupuk untuk kegiatan pengembangbiakan
tanaman akasia. Sehingga akan diperoleh konsistensi sludge yang akan dikirim ke
boiler diatas 40%.
27

DAFTAR PUSTAKA

Alaerts, G. dan S.S Santika, 1987, Metoda Penelitian Air, Usaha National,
Surabaya
Anonim, 2010, Ribuan Ikan Mati Mendadak di Desa Sering, Pelalawan
(http://riauterkini.com/lingkungan.php?arr=33568, diakses 25 juli 2016)
----------, 2015, Tak Tahan Limbah RAPP 5 Warga Minta Kompensasi
(http://metroterkini.com/berita-15177-tak-tahan-limbah-rapp-warga-5-desa-
minta-kompensasi-pekerjaan.html diakses 25 Juli 2016)
----------, 2016, Industri Pulp dan Kertas,
(http://www.antaranews.com/foto/101152/industri-pulp-dan-kertas, diakses
25 Juli 2016)
Dixon, A., M. Simon, dan T. Burkitt, 2003, Assessing The Environmental Impact
of Two Options For Small-Scale Wastewater Treatment: Comparing A Reed
Bed And An Aerated Biological Filter Using A Life Cycle Approach.
Journal Ecological Engineering, 20:297–308
Dosary, A.S., M.M Galal dan A.H Halim, 2015, Environment Impact of
Wastewater Treatment Plants (Zenien and 6th October WWTP), Journal
Curr. Microbial. App. Sci., 4(1):953-964
Henricson, K., 2005, Chemical Recovery Cycle: An Introduction to Chemical
Pulping Technology, Lapperanta University of technology, Lapperanta
Huda, T., 2009, Hubungan antara Total Suspended Solid Dengan Turbidity dan
Dissolved Oxygen, (http://thorik.staff.uii.ac.id/2009/08/23/hubungan-antara-
total-suspended-solid-dengan-turbidity-dan-dissolved-oxygen/, diakses 3
Agustus 2016)
Irfan, M., T. Butt, N. Imtiaz, N. Abbas, R.A. Khan, dan A. Shafique, 2013, The
Removal of COD, TSS and Colour of Black Liquor by Coagulation–
Flocculation Process at Optimized pH, Settling and Dosing Rate, Arabian
Journal of Chemistry,
(http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S1878535213002682,
diakses 9 September 2016)
Kamali, M. dan Z. Khodaparast, 2014, Review on Recent Developments on Pulp
and Paper Mill Wastewater Treatment, Journal Ecotoxicology and
Environmental Safety, 114:326–342
Karat, I. 2013, Advanced Oxidation Processes for Removal of COD from Pulp
and Paper Mill Effluents, (http://www.diva-
portal.org/smash/get/diva2:618554/FULLTEXT02, diakses 9 September
2016)
Keraf, A.S., 2002, Etika Lingkungan, Buku Kompas, Jakarta
28

Pokhrel, D. dan T. Viraraghavan, 2004, Treatment of Pulp and Paper Mill


Wastewater-A Review, Journal Science of the Total Environment, 333:37–
58
RAPP, 2016, Monthly Report RKE, PT RAPP, Pangkalan Kerinci
Sanyoto, A.A, 2013, Effluent Treatment Operating Philosophy: Modul Training
Effluent PT RAPP, PT RAPP, Pangkalan Kerinci
Savant, D.V., R. Abdul-Rahman dan D.R Ranade, 2006. Anaerobic Degradation
of Adsorbable Organic Halides (AOX) From Pulp And Paper Industri
Wastewater. Journal Bioresources Technology, 97:1092-1104.
Shoba, A., 2006, Evaluasi Pelaksanaan Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan
pada Beberapa Industri di Kabupaten Tangerang, Tesis, Universitas
Diponegoro, Semarang
Svensson, E. dan T. Berntsson, 2014, The Effect of Long Lead Times for
Planning ff Energy Efficiency and Biorefinery Technologies at a Pulpmill,
Journal Renewable Energy, 61:12–16.
Swedish Forest Industries Federation, 2014, Production and Exports of Paper,
(http://www.forestindustries.se/documentation/statistics_ppt_files/internatio
nal/production-and-exports-of-paper diakses 25 Juli 2016)
Tchobanoglous, G., F.L. Burton, dan H.D. Stensel, 2003, Wastewater
Engineering: Treatment and Reuse, McGraw-Hill, Michigan
World Bank Group, 1998, Pollution Prevention and Abatement Handbook: Pulp
And Paper Mills,
(http://ifclnl.ifc.org/ifcext/enviro.nsf/AttachmentsByTitle/gui_pulp_WB/$FI
LE/pulp_PPAH.pdf, diakses 25 Juli 2016)
World Bank Group,1998, Pollution Prevention and Abatement Handbook:
Electroplating
(http://ifclnl.ifc.org/ifcext/enviro.nsf/AttachmentsByTitle/gui_electroplating
_WB/$FILE/electroplating_PPAH.pdf, diakses 25 Juli 2016)
29

LAMPIRAN

1. Peta Provinsi Riau


30
2. Peta Kabupaten Pelalawan dan Lokasi PT RAPP
31
3. Baku Mutu Air Limbah Pembuatan Pulp dan Kertas (PermenLH No 5 Tahun 2014)
PEMANFAATAN CAMPURAN ARANG SEKAM PADI DAN KARBON
AKTIF UNTUK MENURUNKAN KESADAHAN DAN BESI (Fe) AIR
DARI SUNGAI JURONG - DURI

Disusun Oleh

Welman Afero Simbolon

NIM : 1510248300

PROGRAM STUDI ILMU LINGKUNGAN

PROGRAM PASCA SARJANA

UNIVERSITAS RIAU

PEKANBARU

2016
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Air merupakan kebutuhan sangat vital bagi kehidupanbumi ini terutama air
bersih bagi manusia. Sumber air bersih merupakan kekayaan alam yang perlu dijaga
kelestariannya. Air bersih penting untuk manusia, karena air tidak pernah dapat
digantikan oleh senyawa lain manapun. Tubuh manusia terdiri dari 70% air (Orang
dewasa). Sekitar 2,50 liter air dalam tubuh manusia harus diganti dengan air yang
baru setiap hari. Diperkirakan dari sejumlah air yang harus diganti, 1,5 liter berasal
dari air minum dan sekitar 1 liter berasal dari bahan makanan yang dikonsumsi
(Bachtiar, 2007).
Air adalah materi esensial di dalam kehidupan dan merupakan substansi kimia
dengan rumus kimia H2O: satu molekul air tersusun atas dua atom hidrogen yang
terikat secara kovalen pada satu atom oksigen. Air bersifat tidak berwarna, tidak
berasa dan tidak berbau pada kondisi standar, yaitu pada tekanan 100 kPa (1 bar) dan
temperatur 273,15 K (0°C). Zat kimia ini merupakan suatu pelarut yang penting, yang
memiliki kemampuan untuk melarutkan banyak zat kimia lainnya, seperti garam-
garam, gula, asam, beberapa jenis gas dan banyak macam molekul organik.
Sumber-sumber air yang ada di bumi ini antara lain adalah air laut, air atmosfer,
air permukaan dan air tanah. Manusia dan makhluk hidup lainnya yang tidak hidup
dalam air senantiasa mencari tempat tinggal dekat air supaya mudah untuk
mengambil air untuk keperluan hidupnya. Selain itu pemenuhan kebutuhan air bersih
dapat tercukupi sehingga mereka dapat hidup sehat dan tidak mudah terkena
penyakit. Air merupakan suatu sarana utama untuk meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat, karena air merupakan salah satu media dari berbagaimacam penularan
penyakit. Air bersih adalah air yang jernih, tidak berwarna, tawar dan tidak berbau.
Melalui penyediaan air bersih dan sebagai pemenuhan kebutuhan sehari-hari.
Salah satu sumber air yang berasal dari air permukaan adalah sungai. Sungai
merupakan alur atau wadah air alami dan/ atau buatan berupa jaringan pengaliran air
beserta air dalamnya, mulai dari hulu sampai muara, dengan dibatasi kanan dan kiri
oleh garis sempadan. SungaiJurong merupakan salah satu sungai yang berada di
DuriKabupaten Bengkalis yang memiliki peranan penting dalam keberlangsungan
31

kehidupan masyarakat. Kesadahan dan besi (Fe) merupakan parameter kimia dalam
perairan sungai, jika parameter ini memiliki kandungan yang tinggi dan dimanfaatkan
terus menerus, maka dapat menimbulkan gangguan kesehatan bagi penggunanya.
Menurut Anonim (2016),Kesadahan dan besi (Fe) merupakan parameter
tentang kualitas air bersih, karena kesadahan, dan besi (Fe) menunjukkan ukuran
pencemaran air secara kimia. Parameter kesadahan menunjukkan ukuran pencemaran
air oleh mineral-mineral terlarut berupa Ca2+dan Mg2+. Air yang kesadahannya tinggi
apabila dikonsumsi secara terus menerus akan mengakibatkan terjadinya gangguan
kesehatan, yaitu perut menjadi mual bahkan terjadinya gangguan pada fungsi ginjal.
Selain itu dapat pula mengurangi daya aktif sabun, membentuk kerak pada alat
pemasak dan penyumbatan pada pipa.
Parameter besi (Fe) termasuk golongan tidak beracun/toksisitas rendah, tetapi
apabila dikonsumsi secara regular melebihi 10 tahun dan melebihi standar baku mutu
diperbolehkan, akan dapat menyebabkan pembengkakkan ginjal, lever, batu ginjal/
kandung kemih, iritasi usus besar (lambung) dan penyakit pinggang. Selain itu juga
dapat menimbulkan perkaratan pada pipa besi dan boros dalam penggunaan sabun
maupun deterjen oleh karena tidak berbuih serta dapat memunculkan partikel-partikel
berwarna kuning, kuning kecoklatan, coklat kehitaman dan hitam dalam air.
Sekam padi sebagai limbah pertanian masih memungkinkan untuk
dimanfaatkan dengan adanya kandungan bahan-bahan organiknya. Senyawa utama
dinding sel sekam padi adalah polisakarida yaitu serat kasar atau selulosa, lignin, dan
hemiselulosa yang memiliki gugus hidroksil yang dapat berperan dalam proses
adsorpsi (Bachtiar, 2007).
Menurut Nurulita(2010), kesadahanbisa diturunkan menggunakan karbon aktif
termasuk ion-ion logam berat. Karbon aktif dipilih karena memiliki sejumlahsifat
kimia maupun fisika yang menarik, diantaranya mampu menyerap bahanorganik
maupun anorganik, dapat berlaku sebagai penukar kation, dan sebagaikatalis untuk
berbagai reaksi.
Karena sekam padi dan karbon aktif memiliki kandungan bahan organik dan
sejumlah sifat kimia maupun fisika yang mampu menurunkan bahan pencemar logam
berat dan kesadahan, maka penulis tertarik untuk membahas campuran karbon aktif
32

dan arang sekam padi untuk menurunkan bahan pencemar pada air sungai yang
memiliki kandungan kesadahan yang tinggi dan besi (Fe).
Sungai Jurong merupakan sungai di daerah Duri. Kawasan Sungai Jurong
merupakan tempat kehidupan penduduk sekitarnya. Segala aktivitas dilakukan penduduk
di Sungai Jurong ini, baik untuk menangkap ikan, penggunaan air untuk mandi, cuci dan
kakus serta tempat pembuangan limbah. Sungai Jurong juga dimanfaatkan sebagai
sumber air baku untuk pengolahan air minum untuk kawasan swasta dan PDAM Duri.
Pemerintahan sendiri memiliki sasaran yang ingin dicapai dalam penyusunan pola
pengelolaan air sungai dengan memberikan:
1. Arahan tentang kebijakan dalam konservasi sumber daya air di Sungai Jurong.
2. Arahan tentang kebijakan pendayagunaan sumber daya air di Sungai Jurong dengan
memperhatikan kebijakan daerah, termasuk arahan dalam penataan ruang
wilayah.
3. Arahan tentang kebijakan dalam pengendalian daya rusak air.
4. Arahan tentang kebijakan dalam meningkatkan peran masyarakat dan dunia usaha
dalam pengelolaan sumberdaya air.
5. Arahan tentang kebijakan pelaksanaan Sistim Informasi Sumber Daya Airdisungai
Jurong.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang tersebut maka masalah yang timbul adalah :
1. Tidak adanya sistem pengolahan air sungai menggunakan arang sekam padi dan
karbon aktif untuk menurunkan kesadahan dan besi (Fe) air di Sungai
Jurong,Duri.
2. Kurangnya upaya yang dilakukan masyarakat desa sungai jurong agar
penyempurnaan pemanfaatan arang sekam padi dan karbon aktif dapat
digunakan oleh masyarakat.
3. Kurangnya peran pemerintah daerah dalam sistem pengolahan air sungai
menggunakan arang sekam padi dan karbon aktif untuk menurunkan kesadahan
dan besi (Fe) air di Sungai Jurong - Duri.
II. PEMANFAATAN CAMPURAN ARANG SEKAM PADI DAN KARBON
AKTIF UNTUK MENURUNKAN KESADAHAN, DAN BESI (Fe) AIR
DARI SUNGAI JURONG- DURI

2.1 Pengertian Sungai


Sungai adalah mengalirnya massa air tawar dari sumbernya menuju atau
bermuara di laut, danau, atau sungai yang lebih besar. Sungai yang ada di permukaan
bumi ini tidak semuanya sama. Oleh karena itu, sungai dibedakan menjadi beberapa
jenis.Berdasarkan letaknya, sungai dapat dibagi menjadi tiga bagian yakni (Hartono,
2009):
1. Bagian hulu
Arus sungai deras, arah erosi ke dasar sungai (erosi vertikal), lembahnya curam,
lembahnya berbentuk V, kadang-kadang terdapat air terjun, terdapat erosi mudik,
tidak terjadi pengendapan (sedimentasi), terdapat batu-batu besar dan runcing.
2. Bagian tengah
Arus air sungai tidak begitu deras, erosi sungai mulai ke samping (erosi
horizontal), aliran sungai mulai berkelok-kelok, mulai terjadi proses sedimentasi dan
(pengendapan) karena kecepatan air mulai berkurang, batu-batu bersudut bulat,
dengan ukuran lebih kecil dari daerah hulu.
3. Bagian hilir
Arus air sungai tenang, terjadi banyak sedimentasi, erosi ke arah samping
(horizontal), sungai berkelok-kelok (terjadi proses meandering), terkadang ditemukan
meander yang terpotong sehingga membentuk kali mati/danau tapal kuda (oxbow
lake), di bagian muara kadang-kadang terbentuk delta, terdapat batu-batu kecil
bersudut bulat.
Berdasarkan pola alirannya, sungai dapat dibagi menjadi tiga bagian
yakni(Hartono, 2009):
1. Pola Aliran Radial
Aliran sungai radial itu mirip menjari (telapak tangan dan jari). Aliran ini ada
dua macam yakni radial sentrifugal dan radial sentripetal.
34

2. Pola Aliran Dendritis


Pola dendritis, ciri-cirinya adalah bahwa anak-anak sungainya bermuara pada
sungai induk secara tidak teratur yaitu membentuk sudut yang berlainan besarnya dan
tidak tentu besarnya. Pola ini terdapat di daerah yang menunjukkan tidak adanya
pengaruh struktur. Pola ini sering terdapat pada batuan horizontal (mendatar).
3. Pola Aliran Trellis
Pola aliran trellis, yaitu sungai yang memperlihatkan letak yang paralel. Anak-
anak sungainya bergabung secara tegak pada sungai yang paralel (sejajar) tadi. Pola
ini terjadi di daerah dengan struktur lipatan.
4. Pola Aliran Rektanguler
Pola aliran sungai ini saling membentuk sudut siku, pada daerah patahan atau
pada batuan yang tingkat kekerasannya berbeda. Ciri cirinya adalah sungai induk
dengan anakanak sungainya membelok dengan membentuk sudut 90°. Pola aliran ini
terdapat di daerah patahan.
5. Pola Aliran Anular
Pola aliran ini merupakan pola aliran yang semula merupakan aliran radial
sentrifugal, selanjutnya muncul sungai subsekuen yang sejajar, sungai obsekuen, dan
resekuen. Pola aliran ini terdapat di daerah dome stadium dewasa.
Berdasarkan sumber airnya, sungai dapat kita bedakan menjadi tiga macam
yakni:
1. Sungai Hujan, yakni sungai yang airnya berasal dari air hujan
2. Sungai Gletser, yakni sungai yang airnya berasal dari es
3. Sungai Campuran, yakni sungai yang airnya berasal dari es dan air hujan

2.2Kesadahan dan Kandungan Fe dalam Air


1. Kesadahan
Menurut Kristyanto(2011), kesadahan air didefinisikan sebagai kemampuan air
untuk mengendapkan sabun, sehingga keaktifan/ daya bersih sabun menjadi
berkurang atau hilang sama sekali. Sabun adalah zat aktif permukaan yang berfungsi
menurunkan tegangan permukaan air, sehingga air sabun dapat berbusa. Air sabun
35

akan membentuk emulsi atau sistem koloid dengan zat pengotor yang melekat dalam
benda yang hendak dibersihkan.

Selanjutnya dikatakan Kristyanto(2011), ketika kesadahan kadarnya adalah lebih


besar dibandingkan penjumlahan dari kadar alkali karbonat dan bikarbonat, yang
kadar kesadahannya eqivalen dengan total kadar alkali disebut “ kesadahan karbonat;
apabila kadar kesadahan lebih dari ini disebut “kesadahan non-karbonat”. Ketika
kesadahan kadarnya sama atau kurang dari penjumlahan dari kadar alkali karbonat
dan bikarbonat, semua kesadahan adalah kesadahan karbonat dan kesadahan
noncarbonate tidak ada. Kesadahan mungkin terbentang dari nol ke ratusan miligram
per liter, bergantungkepada sumber dan perlakuan dimana air telah subjeknya.

Kesadahan sangat penting artinya bagi para akuaris karena kesadahan


merupakan salah satu petunjuk kualitas air yang diperlukan bagi ikan. Tidak semua
ikan dapat hidup pada nilai kesadahan yang sama. Dengan kata lain, setiap jenis ikan
memerlukan prasarat nilai kesadahan pada selang tertentu untuk hidupnya.
Disamping itu, kesadahan juga merupakan petunjuk yang penting dalam
hubungannya dengan usaha untuk memanipulasi nilai pH.

Secara lebih rinci kesadahan dibagi dalam dua tipe, yaitu: (1) kesadahan umum
dan (2) kesadahan karbonat. Disamping dua tipe kesadahan tersebut, dikenal pula
tipe kesadahan yang lain yaitu yang disebut sebagai kesadahan total atau total
hardness.Kesadahan total merupakan penjumlahan dari kesadahan umum dan
kesadahan karbonat.
Kesadahan dalam air dapat disebabkan oleh adanya garam-garam anorganik
atau persenyawaan antara lain(Kristyanto, 2011):
1. Kalsium (Ca) dan magnesium (Mg) dengan bikarbonat
2. Kalsium dan magnesium dengan sulfat, nitrat dan klorida
3. Garam-garam besi, seng dan silica
Kandungan ion Ca dan Mg dalam air dapat dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu:
1. Faktor Alamiah : karena sumber air berdekatan dengan lokasi penambangan
batu kapur atau pun daerah tersebut dekat lokasi persawahan.
36

2. Faktor non alamiah : karena ditambahkan dalam air baik disengaja atau pun
tidak sengaja.
Air dengan batasan kesadahan lebih dari 3 mEq/l (150 ppm) akan menimbulkan
kerugian-kerugian sebagai berikut:Menyebabkan pemakaian sabun meningkat karena
sulit larut dan sulit berbusa. Bila air dididihkan akan menimbulkan endapan dan
kerak pada cerek/boiler. Penggunaan bahan bakar akan meningkat, tidak efisien dan
dapat meledakkan boiler. Menyebabkan biaya produksi yang tinggi pada industri
yang menggunakan air dengan kesadahan tinggi.
Penggunaan paramater kesadahan total sering sekali membingungkanoleh
karena itu, sebaiknya penggunaan parameter ini dihindarkan. Menurut Bintoro
(2000), kesadahan dikategorikan sebagai berikut :
1. Kesadahan umum
Kesadahan umum atau "General Hardness" merupakan ukuran yang
menunjukkan jumlah ion kalsium (Ca++) dan ion magnesium (Mg++) dalam air. Ion-
ion lain sebenarnya ikut pula mempengaruhi nilai kesadahan umum, akan tetapi
pengaruhnya diketahui sangat kecil dan relatif sulit diukur sehingga diabaikan.
Apabila nilai kesadahan umum terlalu rendah bagi suatu jenis ikan, ia dapat
dinaikkan dengan menambahkan kalsium sulfat, magnesium sulfat, atau kalsium
karbonat. Akan tetapi perlu diperhatikan bahwa penambahan garam-garam tersebut
membawa dampak lain yang perlu mendapat perhatian. Pemberian garam sulfat akan
memberikan tambahan sulfat kedalam air, sehingga perlu dilakukan denganhati-hati.
Sedangkan penambahan garam karbonat akan menyumbangkan ion karbonat kedalam
air sehingga akan menaikkan kesadahan karbonat. Untuk mendapat kondisi yang
diinginkan perlu dilakukan manipulasi dengan kombinasi pemberian yang
sesuai.Penurunan nilai kesadahan umum dapat dilakukan dengan perlakuan-perlakuan
yang mampu menghilangkan kadar kalsium (Ca) dan magnesium (Mg) dari dalam air.

2.Kesadahan karbonat
Kesadahan karbonat merupakan besaran yang menunjukkan kandungan ion
bikarbonat (HCO3-) dan karbonat (CO3--) di dalam air. Dalam akuarium air tawar,
37

pada kisaran pH netral, ion bikarbonat lebih dominan, sedangkan pada akuarium laut,
ion karbonat lebih berperan.
Kesadahan karbonat sering disebut sebagai alkalinitas yaitu suatu ekspresi dari
kemampuan air untuk mengikat kemasaman (ion-ion yang mampu mengikat H+).
Oleh karena itu, dalam sistem air tawar, istilah kesadahan karbonat, pengikat
kemasaman, kapasitas pem-bufferan asam, dan alkalinitas sering digunakan untuk
menunjukkan hal yang sama. Dalam hubungannya dengan kemampuan air mengikat
kemasaman, kesadahan karbonat berperan sebagai agen pem-buffer-an yang
berfungsi untuk menjaga kestabilan pH.
Kesadahan karbonat pada umumnya sering dinyatakan sebagai derajat
kekerasan dan diekspresikan dalam CaCO3 seperti halnya kesadahan
umum. Kesadahan karbonat dapat diturunkan dengan merebus air yang bersangkutan,
atau dengan memperlakukan air melewati gambut. Perlakuan perebusan air tentu saja
tidak praktis, kecuali untuk akuarium ukuran kecil.

2. Besi (Fe)
Menurut Agusnar (2011),Keberadaan besi dalam air bersamaan dengan mineral
mangan, tetapi besi didapatkan lebih sering dari pada managan, berdasarkan data
survai air tanah yang pernah dilakukan di beberapa kota Illinois (USA) tahun 1963
pernah didapatkan bahwa konsentrasi besi kira-kira 10 kali konsentrasi mangan.
Selanjutnya Agusnar(2011), mengatakan pada dasarnya besi dalam air dalam
bentuk Ferro (Fe2+) atau Ferri (Fe3+), hal ini tergantung dari kondisi pH dan oksigen
terlarut dalam air. Pada pH netral dan adanya oksigen terlarut yang cukup, maka ion
ferro yang terlarut dapat teroksidasi menjadi ion ferri dan selanjutnya membentuk
endapan Ferrihidrosida yang sukar larut, berupa hablur (presipitat) yang biasanya
berwarna kuning kecoklatan, oleh karena pada kondisi asam dan aerobic bentuk
ferrolah yang larut dalam air. Pada pH di atas 12 ferri hedroksida dapat terlarut
kembali membentuk Fe(OH)4.
Prinsip penurunan kadar besi adalah proses oksidasi dan pengendapan. Adapun
prosesnya adalah besi dalam bentuk ferro dioksidasi terlebih dahulu bentuk ferri,
38

kemudian pengendapan dengan membentuk endapan ferrihidroksida. Proses ini


mudah terjadi pada kondisi pH +7 di mana kelarutannya minimum.
Persamaan Reaksi :
Fe(HCO)3 + O2 Fe(HCO)2 + 2 HCO2 + O2
Fe(OH)2 +2 H2O + O2 Fe(OH)3 + H2O + O2 + H+
Jadi penurunan kadar besi dalam air pada hakikatnya mengubah dari bentuk
yang larut dalam air menjadi yang tidak larut dalam air. Oleh karena itu hasil reaksi
oksidasi ini selalu menghasilkan endapan.Mengingat hal ini, dalam penerapannya
biasanya disertai penyaringan. Proses penyaringan ini dilakukan apabila kadar besi
lebih rendah dari 5 mg/l.
Hal yang mempengaruhi Kelarutan Besi (Fe) dalam air adalah (Agusnar, 2011):
1. Kedalam resapan air
Air hujan yang turun jatuh ketanah dan mengalami infiltrasi masuk ke dalam
tanah yang mengandung FeO akan bereaksi dengan H2O dan CO2 dalam tanah dan
membentuk Fe(HCO3)2 di mana semakin dalam air yang meresap ke dalam tanah
semakin tinggi juga kelarutan besi karbonat dalam air tersebut.
2. pH
pH air akan terpengaruh terhadap kesadahan kadar besi dalam air, apabila pH
air rendah akan berakibat terjadinya proses korosif sehingga menyebabkan larutnya
besi dan logam lainnya dalam air, pH yang rendah kurang dari 7 dapat melarutkan
logam. Dalam keadaan pH rendah, besi yang ada dalam air berbentuk ferro dan ferri,
di mana bentuk ferri akan mengendap dan tidak larut dalam air dan tidak dapat dilihat
dengan mata dan berakibat terdajinya warna pada air, air berbau dan adanya rasa
karat pada air.
3. Temperatur air
Temperatur air yang baik menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor
907/Menkes/SK/VII/2002 tentang Syarat- syarat dan Pengawasan Kualitas Air
Minum Bersih adalah sama dengan temperatur udara. Temperatur yang tinggi akan
menyebabkan menurunnya kadar O2 dalam air, kenaikan temperature air juga akan
menguraikan derajat kelarutan sehingga kelarutan Fe pada air tinggi.
39

4. Bakteri Besi
Bakteri besi (Crenothrix dan Lepothrix) adalah bakteri yang dapat mengambil
unsur besi dari sekeliling lingkungan hidupnya sehingga mengakibatkan turunnya
kandungan besi dalam air.
Dalam aktivitasnya bakteri besi memerlukan oksigen dan besi sehingga bahan
makanan dari bakteri besi tersebut. Hasil aktivitas bakteri besi tersebut menghasilkan
presipitat (oksida besi) yang akan menyebabkan warna kuning pada pakaian dan
bangunan.

2.3 Klasifikasi Air


Air merupakan bahan yang sangat penting bagi kehidupan umat manusia dan
fungsinya tidak pernah dapat digantikan oleh senyawa lain. Air juga merupakan
komponen penting Dalam bahan makanan, air dapat mempengaruhi penampakan,
tekstur, serta cita rasa makanan kita. Air berperan sebagai pembawa zat-zat makanan
dan sisa-sisa metabolisme, sebagai media reaksi yang menstabilkan pembentukan
biopolimer, dan sebagainya (Agusnar, 2011).
Air merupakan pelarut yang baik, oleh karena itu air alam tidak pernah murni,
air alam mengandung berbagai zat terlarut maupun tidak larut. Air alam juga
mengandung mikroorganisme. Apabila kandungan air itu tidak mengganggu
kesehatan manusia, maka air itu dianggap bersih. Selain itu air yang tidak layak untuk
diminum, masih dapat digunakan untuk keperluan lain, seperti irigasi atau untuk
industri.
Air dikatakan tercemar apabila ada gangguan terhadap kualitas air sehingga air
tidak dapat digunakan untuk tujuan penggunaannya. Air minum yang ideal
seharusnya jernih, tidak berbau, tidak berwarna, tidak berasa. Air minum pun
seharusnya tidak mengandung kuman patogen dan segala makhluk yang
membahayakan kesehatan manusia. Tidak mengandung zat kimia yang dapat
merubah fungsi tubuh, tidak dapat diterima secara estetis dan dapat merugikan secara
ekonomis.
Standar kualitas air adalah baku mutu yang ditetapkan berdasarkan sifat-sifat
fisik, kimia, radioaktif maupun bakteriologis yang menunjukkan persyaratan kualitas
40

air tersebut. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 82 Tahun 2001 tentang
Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air, air menurut
kegunaannya digolongkan menjadi :
1. Kelas I : Air yang peruntukannya dapat digunakan untuk air baku air minum, dan
atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan
kegunaan tersebut.
2. Kelas II : Air yang peruntukannya dapat digunakan untuk prasarana/sarana
rekreasi air, pembudidayaan ikan air tawar, Peternakan, air untuk mengairi
pertanaman, dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama
dengan kegunaan tersebut.
3. Kelas III : Air yang peruntukannya dapat digunakan untuk pembudidayaan ikan
air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman, dan atau peruntukan lain
yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut.
4. Kelas IV : Air yang peruntukannya dapat digunakan untuk mengairi pertanaman
dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan
kegunaan tersebut (Lail,2008).

2.4 Arang Sekam Padi


Sekam adalah bagian dari bulir padi-padian (serealia) berupa lembaran yang
kering, bersisik, dan tidak dapat dimakan, yang melindungi bagian dalam
(endospermium dan embrio). Sekam dapat dijumpai pada hampir semua anggota
rumput-rumputan (Poaceae).
Sekam padi dihasilkan dari proses penggilingan padi. Dari proses penggilingan
padi biasanya diperoleh sekam sekitar 20-30%, dedak 8- 12% dan beras giling 50-
63,5% data bobot awal gabah (Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian).
Dalam pertanian, sekam dapat dipakai sebagai campuran pakan, alas kandang,
dicampur di tanah sebagai pupuk, dibakar, atau arangnya dijadikan media tanam
(Anonim, 2005). Tetapi hingga saat ini, pemanfaatan Arang Sekam Padi mulai
beragam. Selain sebagai bahan bakar, juga tengah dikembangkan sebagai bahan alami
penjernih air yang dapat menyerap bau serta warna dari air yang kotor sehingga
menghasilkan air jernih. Dalam pemanfaatannya yang tersebut biasanya arang sekam
41

padi dimasukkan dalam sistem filterisasidalam pengolahan air bersih (Supriadi,


2005).
Dalam bidang industri dikenal bermacam-macam arang yang berhubungan
dengan pembuatan dan kegunaannya, tetapi yang banyak dimanfaatkan ada dua yaitu
arang aktif dan arang briket. Pembuatan arang briket terutama dimaksudkan untuk
keperluan bahan bakar, sedangkan pembuatan arang aktif bukan untuk keperluan
bahan bakar, akan tetapi keperluan bahan penyerap dalam berbagai industri pangan
dan non pangan. Ditinjau data komposisi kimiawi, sekam mengandung beberapa
unsur kimia yang penting, sehingga dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan.
Adapun komposisi komponen kimiawi dapat dilihat pada Tabel 1:

Tabel 1 Komposisi Kimiawi Sekam Padi


No. Komponen Persentase %
1 Kadar Air 9.02
2 Protein Kasar 3.03
3 Lemak 1.18
4 Serat Kasar 35.68
5 Abu 17.71
6 Karbohidrat Kasar 33.71
7 Karbon (Zat Arang) 1.33
8 Hidrogen 1.54
9 Oksigen 33.64
10 Silika 16.98
Sumber:Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,Departemen
Pertanian (2006)

Menurut Subroto(2007), arang adalah bahan padat yang berpori-pori dan


merupakan hasil pembakaran dari bahan yang mengandung unsur karbon (C).
Sebagian besar pori-porinya masih tertutup dengan hidrokarbon, dan senyawa
organik lain yang komponennya terdiri dari fixed carbon, abu, air, nitrogen dan
sulfur. arang dengan komponen penyusun utamanya berupa karbon dapat digunakan
42

sebagai bahan bakar, filter atau penyerap dengan diolah menjadi karbon aktif,
pewarna dengan diolah menjadi karbon black dan berbagai kebutuhan industri kimia
lainnya. Penggunaan arang yang lain sebagai reduktor sebagaimana halnya coke pada
industri logam, karena mengandung karbon bebas yang tinggi (>70%). Kegunaan
lainnya dari arang diantaranya adalah sebagai bahan penjernih, arang kompos, dan
baterai Lithium.Berikut ini komposisi kimia arang sekam padi table 2:

Tabel 2 Komposisi Kimia Arang Sekam Padi


No. Komponen Persen (%)
1. SiO2 52
2. Carbon 31
3. Al2O3 1,05
4. Fe2O3 1,05
5. CaO 0,25
6. MgO 0,23
7. SO4 1,13
8. Na2O 0,78
9. K2O 1
Sumber : Tanti (2009)
Sekam Bakar atau Arang Sekam adalah sekam/kulit padi yang dibakar dengan
teknik sedemikian rupa, sehingga menghasilkan sekam yang menjadi arang. Sekam
bakar yang baik adalah sekam yang sudah terbakar, tetapi tidak terlalu hancur. Sifat
sekam bakar yang porous dan mampu menyimpan air.
Arang Sekam atau Sekam Bakar adalah Sekam yang sudah melewati proses
pembakaran yang tak sempurna berwarna hitam. Proses sama dengan pembuatan
arang, yaitu menghentikan pembakaran sebelum sekam jadi abu dengan cara ditutup
atau disiram dengan air. Struktur bentuk tak jauh beda dengan sekam mentah/putih –
berwarna hitam, karena sudah ikut hangus terbakar(Supriadi, 2005).
43

2.5 Karbon Aktif


Karbon aktif adalah karbon yang di proses sedemikian rupa sehingga
pori-porinya terbuka, dan dengan demikian akan mempunyai daya serap yang
tinggi. Karbon aktif merupakan karbon yang bebas serta memiliki permukaan
dalam (internal surfece), sehingga mempunyai serap yang baik. Keaktifan daya
menyerap dari karbon aktif ini tergantung dari jumlah senyawa kabonnya yang
berkisar antara 85 % sampai 95% karbon bebas.
Adapun keuntungan dari pemakaian karbon aktif ialah:
1. Pengoperasian mudah karena air mengalir dalam media karbon.
2. Proses berjalan cepat karena ukuran butiran karbonnya lebih besar.
3. Karbon tidak tercampur dengan lumpur sehingga dapat diregenerasi.
Secara umum dalam pembuatan karbon aktif terdapat dua tingkatan proses
yaitu (Supriadi, 2005):
1. Proses pengarangan (karbonisasi)
Proses ini merupakan proses pembentukan arang dari bahan baku. Secara
umum, karbonisasi sempurna adalah pemanasan bahan baku tanpa adanya
udara, sampai temperatur yang cukup tinggi untuk mengeringkan dan
menguapkan senyawa dalam karbon. Hasil yang diperoleh biasanya kurang aktif dan
hanya mempunyai luas permukaan beberapa meter persegi pergram.Selama
proses karbonisasi dengan adanya dekomposisi pirolitik bahan baku, sebagian
elemen-elemen bukan karbon, yaitu hydrogen dan oksigen dikeluarkan dalam
bentuk gas dan atom-atom yang terbebaskan dari karbon elementer membentuk
Kristal yang tidak teratur, yang disebut sebagai Kristal grafit elementer. Struktur
kristalnya tidak teratur dan celah-celah kristal ditempati oleh zat dekomposisi
tar. Senyawa ini menutupi pori-pori karbon, sehingga hasil proses karbonisasi
hanya mempunyai kemampuan adsorbsi yang kecil. Oleh karena itu karbon aktif
dapat juga dibuat dengan cara lain, yaitu dengan mengkarbonisasi bahan baku
yang telah dicampur dengan garam dehidrasi atau zat yang dapat mencegah
terbentuknya tar, misalnya ZnCl, MgCl, dan CaCl. Perbandingan garam dengan
bahan baku adalah penting untuk menaikkan sifat – sifat tertentu dari karbon.
44

2. Proses aktivasi
Secara umum, aktivasi adalah pengubahan karbon dengan daya serap
rendah menjadi karbon yang mempunyai daya serap tinggi. Untuk menaikan
luas permukaan dan memperoleh karbon yang berpori, karbon diaktivasi, misalnya
dengan menggunakan uap panas, gas karbondioksida dengan temperatur 700-
1100°C, ataupenambahan bahan-bahan mineral sebagai activator. Selain itu aktivasi
juga berfungsi untuk mengusir tar yang melekat pada permukaan dan pori-pori
karbon. Aktivasi menaikan luas permukaan dalam (internal area), menghasilkan
volume yang besar, berasal dari kapiler-kapiler yang sangat kecil, dan mengubah
permukaan dalam dari stuktur pori.
Karbon aktif dapat digunakan sebagai bahan pemucat, penyerap gas, penyerap
logam, menghilangkan polutan mikro misalnya zat organic, detergen, bau, senyawa
phenol dan lain sebagainya. Pada saringan arang aktif ini terjadi proses adsorbsi,
yaitu proses penyerapan zat - zat yang akan dihilangkan oleh permukaan arang aktif,
termasuk CaCO3 yang menyebabkan kesadahan, serta ion-ion logam berat. Apabila
seluruh permukaan arang aktif sudah jenuh, atau sudah tidak mampu lagi menyerap
maka kualitas air yang disaring sudah tidak baik lagi, sehingga arang aktif harus diganti
dengan arang aktif yang baru. Banyak penelitian yang mempelajari tentang manfaat/kegunaan
dari kegunaan karbon aktif yang dapat menyerap senyawa organik maupun
anorganik, penyerap gas, penyerap logam, menghilangkan polutan mikro misalnya
detergen, bau, senyawa phenol dan lain sebagainya. Pada saringan arang aktif ini
terjadi proses adsorbsi, yaitu proses penyerapan zat-zat yang akan dihilangkan oleh
permukaan arang aktif. Apabila seluruh permukaan arang aktif sudah jenuh, atau
sudah tidak mampu lagi menyerap maka kualitas air yang di saring sudah tidak baik
lagi,sehingga arang aktif harus di ganti dengan arang aktif yang baru.

2.6 Pemanfaatan Campuran Arang Sekam Padi dan Karbon Aktif untuk
Menurunkan Kesadahan dan Besi (Fe) Air Sungai Jurong-Duri
Sungai Jurong merupakan anak sungai Rokan yang berhulu di Rokan Hulu
dengan melewati Kota Duri bermuara di Selat Malaka dan Laut Cina Selatan yang
dipengaruhi oleh pasang surut air laut (Lampiran 1,2 dan 3) (Wikipedia, 2015).
45

Sungai Jurongmempunyai potensi sumberdaya alam yang cukup besar. Hal ini dilihat
dari peranannya yang cukup andil sebagai sumber utama dan pelengkap bagi
pemenuhan kebutuhan sehari-hari rumah tangga masyarakat setempat seperti makan,
minum, mandi, dan cuci.Kesadahan dan besi (Fe) merupakan parameter kimia air
sungai yang harus di kendalikan karena air sungai digunakan sebagai sumber
kehidupan.
Menurut Siregar, (2010) air sadah adalah air yang mengandung ion Kalsium
(Ca) dan Magnesium (Mg). Ion-ion ini terdapat dalam air dalam bentuk sulfat,
kionda, dan hidrogenkarbonat. Kesadahan air alam biasanya disebabkan garam
karbonat atau garam asamnya. Kesadahan merupakan petunjuk kemampuan air untuk
membentuk busa apabila dicampur dengan sabun.Sedangkan, besi dalam air dalam
bentuk Ferro (Fe2+) atau Ferri (Fe3+), hal ini tergantung dari kondisi pH dan oksigen
terlarut dalam air. Pada pH netral dan adanya oksigen terlarut yang cukup, maka ion
ferro yang terlarut dapat teroksidasi menjadi ion ferri dan selanjutnya membentuk
endapan.Ferrihidrosida yang sukar larut, berupa hablur (presipitat) yang biasanya
berwarna kuning kecoklatan, oleh karena pada kondisi asam dan aerobic bentuk
ferrolah yang larut dalam air. Pada pH di atas 12 ferri hedroksida dapat terlarut
kembali membentuk Fe(OH)4.
Selanjutnya dikatakan Siregar(2010), karbon aktif dan arang sekam padi dapat
digunakan sebagai bahan pemucat, penyerap gas, penyerap logam, menghilangkan
polutan mikro misalnya zat organik, detergen, bau, senyawa phenol dan lain
sebagainya. Dalam reaksinya munurunkan kesadahan dan logam dengan
mekanismenya yaitu air baku yang banyak mengandung zat CaCO3 dan logam
dialirkan ke filter karbon aktif . Selama mengalir melalui media tersebut, zat CaCO3
dan logam yang terdapat dalam air baku akan diserap oleh karbon aktif. Pada
saringan karbon aktif ini terjadi proses adsorpsi, yaitu proses penyerapan zat - zat
yang akan dihilangkan oleh permukaan karbon aktif, termasuk CaCO3 yang
menyebabkan kesadahan dan logam. Apabila seluruh permukaan karbon aktif sudah
jenuh, atau sudah tidak mampu lagi menyerap maka kualitas air yang disaring sudah
tidak baik lagi, sehingga karbon aktif harus diganti dengan karbon aktif yang baru.
Banyak penelitian yang mempelajari tentang manfaat/kegunaan dari kegunaan karbon
46

aktif dan arang sekam padi yang dapat menyerap senyawa organik maupun
anorganik, penyerap gas, penyerap logam, menghilangkan polutan mikro misalnya
detergen, bau, senyawa phenol dan lain sebagainya.
Pengolahan air sungai menggunakan sistem yang menggunakan campuran
arang sekam padi dan karbon aktif sebagai filter air sungai jurong merupakan hal
yang baru bagi masyarakat sekitar sungai Jurong. Karena jika tidak ditangani, akan
menimbulkan masalah kesehatan yang berdampak jangka panjang. Di desa Jurong
tidak ada sistem pengolahan air sungai seperti yang dikemukakan. Oleh karena itu,
masyarakat harus mengetahui bagaimana cara pengolahan air menggunakan arang
sekam padi dan karbon aktif untuk menurunkan parameter kesadahan dan besi (Fe).
Selanjutnya masyarakat di Desa sungai jurong berupaya dalam pemanfaatan
campuran arang sekam padi dan karbon aktif sebagai filtrasi air sungai agar
memperoleh air bersih.
Peran Pemerintah daerah kecamatan Mandau juga diaharapkan berupaya
menggalang keterlibatan peran swasta dan masyarakat terutama dalam pemanfaatan
sistem pengolahan air sungai menggunakan arang sekam padi dan karbon aktif untuk
menurunkan kesadahan dan besi (Fe) air di Sungai Jurong–Duri.
III. DAMPAK PEMANFAATAN CAMPURAN ARANG SEKAM PADI DAN
KARBON AKTIF UNTUK MENURUNKAN KESADAHAN DAN BESI
(Fe) AIR DARI SUNGAI JURONG-DURI

3.1 Dampak Ekonomi


Pemanfaatan arang sekam padi dan karbon aktif untuk menurunkan kesadahan,
dan besi air sungai Jurongbanyak dampak ekonomi yang dapat diperoleh oleh warga
sekitar sungai Jurong, diantaranya sebagai berikut:

Bila pemanfaatan arang sekam padi dan karbon aktif dilakukan, maka:
1. Kesadahan menjadi tinggi dan mempengaruhi kemampuan air untuk
mengendapkan sabunmenjadi berkurang atau hilang sama sekali.
2. Masyarakat masih harus membeli air bersih untuk kebutuhan air minum.

Bila pemanfaatan arang sekam padi dan karbon aktif dilakukan, maka:
1. Pembuatan arang sekam padi dapat menjadi usaha untuk warga sekitar.Sekam
padi merupakan sisa hasil dari gilingan padi yang tidak digunakan kembali.
Karena sekam padi merupakan salah satu cara untuk menurunkan kadar
pencemar, maka sekam padi dapat dimanfaatkan dengan optimal.
2. Merupakan pendapatan sampingan bagi petani/ penggilingan padi. Selain itu,
sekam padi yang akan diolah menjadi arang, dilakukan oleh masyarakat sekitar
dan ini merupakan nilai jual yang menghasilkan keuntungan bagi warga sekitar.
3. Menurunkan nilai kesadahan. Jika nilai kesadahan turun di sungai Jurong, maka
penggunaan sabun akan menjadi lebih hemat. Selanjutnya dampak ekonomi
lainnya yang diperoleh yaitu para pengumpul batok kelapa juga merasakan
dampak ekonomi dari pemanfaatan sistem ini.
4. Menghemat pengeluaran untuk membeli bahan baku air minum dan juga akan
merubah prilaku warga untuk menjaga kondisi air sesuai dengan yang diharapkan.
48

3.2 Dampak Sosial Budaya


Sungai merupakan tempat sumber kehidupan masyarakat. Bila kondisi air dari
sungai Jurongbaik setelah dilakukan pengolahan pemanfaatan arang sekam padi dan
karbon aktif maka warga bisa memanfaatkan airnya sebagai berikut :

Bila pemanfaatan arang sekam padi tidak dilakukan, maka:


1. Kebiasaan masyarakat membeli air bersih untuk kebutuhan air minum dan
kebutuhan sehari-hari tidak akan berubah.
2. Masyarakat akan tetap membakar sekam padi karena berfikir sekam padi hanya
sampah yang tidak dapat digunakan kembali.

Bila pemanfaatan arang sekam padi dilakukan, maka:


1. Sebagai sumber untuk air minum. Selanjutnya kondisi sosial dan kebiasaan
masyarakat sekitar akan berubah seperti pemakaian air sebagai sumber air
minum.
2. Mengubah kebiasaan masyarakat yang biasanya membakar sekam padi.
3. Masyarakat tergerak dan akan berperan aktif untuk memelihara kondisi sungai
jurong agar tetap bersih.

3.3 Dampak Lingkungan dan Kesehatan


Bila tidak dilakukan penggunaan arang sekam dan karbon aktif antara lain
sebagai barikut:
1. Pembakaran arang sekam padi dan karbon aktif mengakibatkan polusi udara
2. Terjadinya penumpukan limbah arang sekam padi dan karbon padi setelah
digunakan.
3. Mengeluarkan biaya untuk pengolahan dan perlu ada perawatan berkala supaya
tempat pengolahan air sungai terpelihara dengan baik.
4. jika tidak dimanfaatkan akan menjadi limbah hasil produksi penggilingan padi
sehingga akan mengganggu sanitasi dan menjadi sumber vector tikus dan
nyamuk.
49

Bila dilakukan pemanfaatan arang sekam padi dan karbon aktif yaitu :
1. Memanfaatkan sekam padi untuk pengolahan sehingga mengurangi jumlah
timbulan sampah sekam di tempat penggilingan padi.
2. Dapat menurunkan parameter sumber pencemar seperti kesadahan dan besi.
3. Menjaga ekosistem dan biota perairan di sekitar sungai
4. Turun parameter air setelah dilakukan pengolahan mengurangi penyakit yang
akan ditimbulkan oleh kesadahan dan besi jika dijadikan sumber air minum
5. Manjaga sanitasi air sungai Jurong agar tetap selalu bersih dari bahan pencemar.
6. Masyarakat yang memanfaatkan air Sungai Jurong yang bersih dari bahan
pencemar (kesadahan dan besi (Fe) rendah) akan terhindar dari penyakit yang
timbul dari pengaruh kesadahan dan besi (Fe) air sungai jurong.
IV. UPAYA PENYEMPURNAANPEMANFAATAN CAMPURAN ARANG SEKAM
PADI DAN KARBON AKTIF UNTUK MENURUNKAN KESADAHAN, DAN
BESI (Fe) AIR DARISUNGAI JURONG- DURI

Upaya untuk penyempurnaan pemanfaatan campuran arang sekam padi dan karbon aktif,
upaya yang dilakukan antara lain sebagai berikut:

4.1 Pengolahan Menggunakan Campuran Arang Sekam Padi dan Karbon Aktif
Di Sungai Jurong belum terdapat pengolahan air yang dapat menurunkan kesadahan dan
kadar besi. Jika kesadahan dan kandungan besi tidak diturunkan, maka akan menimbulkan
penyakit bagi masyarakat. Sehingga perlu penanganan yang efisien untuk hal ini.
Sekam padi yang merupakan limbah pertanian dan karbon aktif mengandung bahan-
bahan kimia yang dapat menurunkan tingkat kesadahan pada Sungai Jurong. Tetapi, karena
pengolahan air untuk menurunkan kesadahan dan besi menggunakan sekam padi dan karbon
aktif merupakan hal yang baru. Masyarakat belum mengenal bagaimana cara pengolahan.
Oleh karena itu, perlu ada sosialisasi kepada masyarakat sekitar sungai Jurong untuk sistem
pengolahan air sungai menggunakan arang sekam padi dan karbon aktif untuk menurunkan
kesadahan dan besi (Fe) air di Sungai Jurong –Duri

4.2 Kurangnya Upaya yang Dilakukan agar Penyempurnaan Pemanfaatan Arang


Sekam Padi dan Karbon Aktif Dapat Digunakan Oleh Masyarakat
Untuk penyempurnaan pemanfaatan arang sekam padi dan karbon aktif, masyarakat
disekitar Sungai Jurong melakukan upaya untuk pemanfaatan arang sekam padi dan karbon
aktif. Selanjutnya, melakukan penyempurnaan dengan menciptakan secara inovatif agar
campuran arang sekam padi dan karbon aktif bisa digunakan dan mudah dalam
pengoperasiannya oleh masyarakat.
4.3 Kurangnya Peran Pemerintah Daerah Dalam Sistem Pengolahan Air Sungai
Menggunakan Arang Sekam Padi dan Karbon Aktif Untuk Menurunkan
Kesadahan dan Besi (Fe) Air di Sungai Jurong, Duri Peran Pemerintah
Pengolaan air sungai memerlukan sistem kelembagaan yang kuat dan multi sektoral
yang bertanggung jawab. Selain pemerintah daerah dan dinas terkait, pemerintahan tingkat
kecamatan harus berperan aktif dalam meningkatkan upaya pengembangan sistem ini.
Pemerintah juga berupaya menggalang keterlibatan peran swasta dan masyarakat terutama
dalam hal upaya penyempurnaan sistem pengolahan air sungai menggunakan arang sekam
padi dan karbon aktif untuk menurunkan kesadahan dan besi (Fe) air di Sungai Jurong–Duri.
Diharapkan pengembangan sistem ini, dapat digunakan oleh masyarakat untuk menurunkan
kesadahan dan besi (Fe) Sungai Jurong agar dapat dimanfaatkan oleh masyarakat disekitar
Sungai Jurong-Duri.
DAFTAR PUSTAKA

Agusnar, H. 2008. Analisa Pencemaran dan Pengendalian Lingkungan. Skripsi,


Universitas Sumatera Utara. Medan (Tidak diterbitkan)
Anonimus. 2007. Kesadahan Air
http://id.wikipedia.org.(diakses pada tanggal 02 Juni 2016).
2010a. Adsorpsi Karbon Aktif
http://smk3ae.wordpress.com/2010/08/28/adsorpsi-karbon-aktif/. (Diakses 14
Mei 2016)
2010b. Adsorpsi.
http://www.scribd.com/doc/47299413/ADSORPSI-2. (diaksesPadatanggal 02
Juni 2016)
2013.Sekam Padi. http://subhanesa.wordpress.com/2013/04/03/abu-sekam-padi-
indonesia/ (Diaksespadatanggal 14 Mei 2016)
Bahtiar, A. R., 2007, Penurunan Kesadahan Air Menggunakan Serbuk Sekam Padi
Perlakuan dengan NaOH. Skripsi, Politeknik Kesehatan Makasar, Makasar.
(Tidak diterbitkan)
Bintoro. 2008. Penentuan Kesadahan Sementara dan Kesadahan Permanen.
http://aabin.blogsome.com. (Diakses pada tanggal 3 Juni 2016)
Cahyana, H. Gede. 2009. Karbon Aktif.
http://gedehace.blogspot.com/2009/03/adsorpsi-karbon-aktif.html.(Diakses
padatanggal 02 Juni 2016)
Hartono, 2009 Geografi: Jelajah Bumi dan Alam Semesta. Citra Praya.Bandung
Kristyanto. 2011. Kesadahan.
http://studilingkungan. blogspot. com/2011_03_01_archive. html (Diakses pada
tanggal 09 September 2016)
Lail, N. 2008. Penggunaan Tanaman Eceng Gondok sebagai Pre Treatment
Pengolahan Air Minum. Skripsi, Universitas Islam Indonesia, Solo (Tidak
diterbitkan)
53

Supriadi, A. 2010. AdsorpsiKarbonaktif.


http://smk3ae.wordpress.com/2010/08/28/adsorpsi-karbon-aktif/. (Diakses 14
Mei 2016)
Tanti. 2009. Protein. Terhubung berkala.
http://id.shvoong.com/exactsciences/biology/1902571-Protein.(Diakses 4 Juli
2016)
Wikipedia, 2016. Profil Sungai Rokan. http://id.m.wikipedia.org (Diakses 18 Agustus
2016)
54

Lampiran 1 Peta Propinsi Riau


55

Lampiran 2 Peta Kabupaten Bengkalis


56

Lampiran 3 Peta Sungai Jurong


PERBAIKAN LINGKUNGAN TEMPAT TUMBUH
TANAMAN DALAM RANGKA MENAIKKAN
PRODUKSI KAYU MELALUI PEMUPUKAN TANAH
ULTISOL DI HTI PT. RAPP KAB. KUANSING

Oleh
Wahyudi
1510248204

PROGRAM STUDI ILMU LINGKUNGAN


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
2016
I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Dewasa ini ini salah satu program pembangunan bidang kehutanan yang

sedang digalakkan adalah pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI). Program ini

direncanakan oleh pemerintah untuk memenuhi kebutuhan kayu, baik untuk

konsumsi langsung di dalam negeri maupun sebagai pemenuhan bahan baku industri

saat ini dan masa yang akan datang melalui tindakan peningkatan produktivitas

lahan-lahan kritis, padang alang-alang dan semak belukar. Atas dasar program ini

dan didorong pula oleh pembangunan hutan tanaman yang lestari dan

berkesinambungan serta ramah lingkunan.

Menurut PP Nomor 7 tahun 1990 Pasal 2 mengenai Hak Pengusahaan Hutan

Tanaman Industri, HTI merupakan hutan tanaman yang dibangun dalam rangka

meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan silvikultur

intensif untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri hasil hutan. Tujuan

pengusahaan HTI adalah menunjang pengembangan industri hasil hutan dalam negeri

guna meningkatkan nilai tambah dan devisa, meningkatkan produktivitas lahan dan

kualitas lingkungan hidup, serta memperluas lapangan kerja dan lapangan usaha .

Adanya pembangunan HTI maka diharapkan dapat menyelamatkan hutan alam dari

kerusakan karena HTI merupakan potensi kekayaan alam yang dapat diperbaharui,

dimanfaatkan secara maksimal dan lestari bagi pembangunan nasional secara

berkelanjutan untuk kesejahteraan penduduk

Instruksi Presiden R.I Nomor 1 tahun 2010 tanggal 19 Februari 2010 tentang

Percepatan Pelaksanaan Prioritas Pembangunan Nasional tahun 2010, antara lain


192

menetapkan pengembangan hutan tanaman industri adalah salah satu prioritas

pembangunan nasional yang perlu percepatan pelaksanaan. Pengelolaan HTI sering

menemui kendala pada saat perusahaan berhadapan dengan kondisi tanah yang

memiliki tingkat kesuburan yang rendah. Kendala ini dihadapi oleh PT. Riau

Andalan Pulp and Paper (PT.RAPP), dimana kondisi tanah Ultisol yang menjadi

tempat tumbuh bagi tanaman pokok menghasilkan produksi kayu yang kurang

memuaskan. Tanaman Eucalyptus sp yang dibudidayakan di PT. RAPP memiliki

pertambahan volume kayu tahunan jauh di bawah target 30 ton/ha/tahun. Untuk

memperbaiki kondisi lingkungan terutama tanah yang kurang baik bagi pertumbuhan

tanaman pokok, PT. RAPP sudah melakukan pemupukan saat penanaman dengan

menggunakan pupuk TSP,MOP dan ZA, kemudian pada saat tanaman berumur

sekitar 4 bulan dilakukan pemupukan ulang untuk meningkatkan pertumbuhan

tanaman. Disamping melakukan pemupukan yang teratur, telah dilakukan penerapan

teknik silvikultur intensif seperti pemilihan bibit ungul, pengolahan tanah secara

mekanik, pengendalian hama dan penyakit, mengatur jarak tanam termasuk

pencegahan terhadap kebakaran.

Walaupun sudah dilakukan pemupukan yang berulang, namun masih

ditemukan tanaman pokok Eucalyptus spp. memiliki pertumbuhan yang kurang baik,

antara lain tanaman yang memiliki tinggi, diameter yang tidak seragam pada saat

umur 2,5 Tahun dan 5 Tahun.

Adanya tanaman pokok yang tidak seragam pada umur 2,5 tahun dan 5 tahun

menjadi motivasi bagi saya untuk menganalisis lebih jauh adanya kemungkinan

unsur hara yang tidak cukup bagi tanaman pokok seiring bertambahnya volume
193

pohon, sedangkan unsur hara yang disediakan oleh proses dekomposisi seresah

belum bisa mencukupi kebutuhan unsur hara yang meningkat.

1.2. Rumusan Masalah

Tanah Ultisol merupakan tanah dengan tingkat kesuburan tanah yang rendah

yang menjadi lingkungan tempat tumbuh bagi tanaman Eucalyptus spp yang

dibudidayakan oleh PT. RAPP dalam memproduksi serat kayu untuk keperluan

bubur kertas. Untuk menaikan tingkat kesuburan tanah Ultisol tersebut perusahaan

sudah melakukan pemupukan dengan menggunakan pupuk TSP, MOP dan ZA pada

saat penanaman dengan dosis TSP 100 gr/pokok tanaman, MOP 40 gr/pokok

tanaman dan ZA 50 gr/pokok tanaman. Pada saat tanaman berumur 4 bulan

dilakukan kembali pemupukan dengan menggunakan pupuk MOP dan ZA dengan

dosis MOP 50 gr/pokok tanaman dan ZA 10 gr/pokok tanaman.

Walaupun sudah dilakukan pemupukan dua kali yaitu pada saat penanaman

dan pada saat tanaman berumur 4 bulan namun masih ditemukan masalah pada

pertumbuhan tanaman Eucalyptus spp. dimana masih ditemukan tanaman tidak

seragam pertumbuhannya pada saat berumur 2.5 tahun dan 5 tahun, demikian juga

MAI (Mean Annual Increment) atau penambahan riap tahunan yang masih rendah

jauh dibawah 30 ton/ha/tahun yang ditargetkan oleh perusahaan.

Adapun permasalahan lingkungan tempat tumbuh yang menjadi kendala bagi

pertumbuhan tanaman Eucalyptus spp. yang belum diselesaikan oleh PT. RAPP

terkait sifat fisika dan kimia tanah Ultisol adalah :

1. Kegiatan pemanenan dengan alat berat yang tidak konsisten dilakukan

operator mengikuti Microplan yang sudah dibuat oleh Divisi Perencanaan.


194

2. Masih ditemukan alat berat yang memotong alur atau drainase yang

menyebabkan terjadinya waterlog.

3. Belum ada dilakukan kegiatan pengapuran pada tanah Ultisol sebelum

dilakukan kegiatan penanaman.

4. Belum ada usaha melakukan pemupukan pada saat tanaman berumur 2.5

tahun atau petengahan daur.


II. PERBAIKAN KESUBURAN TANAH DAN PENGELOLAAN HTI DI
PT.RAPP KABUPATEN KUANSING

2.1. Ekosistem HutanTanaman Industri

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No 6 Tahun 2007 tentang Tata

Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Serta Pemanfaatan Hutan Pasal

1 Ayat 4 sampai 8 menyebutkan bahwa Pemanfaatan hutan adalah kegiatan untuk

memanfaatkan kawasan hutan, memanfaatkan jasa lingkungan, memanfaatkan hasil

hutan kayu dan bukan kayu serta memungut hasil hutan kayu dan bukan kayu secara

optimal dan adil untuk kesejahteraan masyarakat dengan tetap menjaga

kelestariannya. Pemanfaatan kawasan adalah kegiatan untuk memanfaatkan ruang

tumbuh sehingga diperoleh manfaat lingkungan, manfaat sosial dan manfaat ekonomi

secara optimal dengan tidak mengurangi fungsi utamanya. Pemanfaatan jasa

lingkungan adalah kegiatan untuk memanfaatkan potensi jasa lingkungan dengan

tidak merusak lingkungan dan mengurangi fungsi utamanya. Pemanfaatan hasil

hutan kayu adalah kegiatan untuk memanfaatkan dan mengusahakan hasil hutan

berupa kayu dengan tidak merusak lingkungan dan tidak mengurangi fungsi

pokoknya. Pemanfaatan hasil hutan bukan kayu adalah kegiatan untuk memanfaatkan

dan mengusahakan hasil hutan berupa bukan kayu dengan tidak merusak lingkungan

dan tidak mengurangi fungsi pokoknya.

Kemudian dalam Undang Undang No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan

dan Pengelolaan Lingkungan Hidup pasal 1 ayat 5 menyebutkan bahwa ekosistem

adalah tatanan unsur lingkungan hidup yang merupakan satu kesatuan utuh

menyeluruh dan saling mempengaruhi dalam membentuk keseimbangan, stabilitas

dan produktivitas. Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda,
196

daya, keadaan, dan makluk hidup termasuk manusia dan perilakunya, yang

mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan, perikehidupan, dan kesejahteraan

manusia serta makluk hidup lain. Menurut Kasry (2016), untuk keperluan deskriptif ,

komponen-komponen yang merupakan bagian dari ekosistem adalah komponen

abiotik, komponen biotik.

Menurut Supangat et al. (2013), pembangunan hutan tanaman di Indonesia

merupakan kegiatan utama yang mendukung program rehabilitasi kawasan hutan dan

lahan kritis. Selain untuk merestorasi fungsi kawasan hutan, pembangunan hutan

tanaman juga diharapkan untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri kayu

yang tidak dapat dipenuhi dari hutan alam. Khusus untuk fungsi yang kedua, di

Indonesia dikenal adanya Hutan Tanaman Industri (HTI) dengan berbagai jenis

komoditas seperti kayu penghasil pulp maupun kayu pertukangan. Selain pada

kawasan hutan yang terdegradasi, alokasi lahan untuk pembangunan HTI

diarahkan pada lahan-lahan yang tidak produktif (kritis) dengan produktivitas

rendah. Jenis tanaman yang dikembangkan pada HTI khususnya HTI pulp

kebanyakan merupakan fast growing species (FGS), yang berdaur pendek sekitar 4

sampai 6 tahun.

Menurut Santoso (2006), kebutuhan bahan baku kertas terus meningkat dari

tahun ke tahun seiring dengan kemajuan zaman. Pada saat ini, sebagian besar bahan

baku kertas diperoleh dari bubur kayu, tetapi di masa mendatang akan mengalami

kesulitan karena tanaman yang menjadi sumber bahan baku tersebut juga digunakan

untuk bangunan dan industri mebel.


197

2.2. Tanah Ultisol

Poerwowidodo (1992) mengatakan bahwa tanah di dunia ini dikelompokan

ke dalam dua kelompok ordo, yaitu : 1). Kelompok ordo tanah pelican, terdiri dari :

Alfisol, Aridisol, Entisol, Inseptisol, Moliso, Oksisol, Spodosol, Ultisol, dan Vertisol.

2). Kelompok ordo tanah organik, terdiri dari Histosol. Pembagian kelompok ordo

tanah ini hanya didasarkan pada perbedaan jenis tanah induk. Ordo-ordo tanah

pelican mempunyai bahan induk yang bersal dari batuan, sedangkan ordo tanah

organik mempunyai bahan induk bahan induk yang bersal dari sisa-sisa organik.

Tanah di dunia ini oleh USDA (1975 dalam Wahyudi, 2001) dikatakan

bahwa yang termasuk Order Ultisol adalah tanah yang disebut tanah Red-Yelow

Podzolic dan Reddish Brown Lateritic bersama dengan Kubrozem disebut tanah

Humic Glay, Low Humic Glay dan Ground water Laterite.

Ultisol mencakup 1.14 juta km2 di tenggara China dan merupakan jenis tanah

yang dominan di Amerika Selatan dan Asia Tenggara. Penggunaan lahan yang tidak

tepat, topografi yang bergelombang yang bisa menyebabkan erosi tanah yang parah

di daerah Ultisol yang menjadi salah satu masalah lingkungan yang paling

menantang di China.( Wang, et al. 2015).

Terkait erosi tanah Ultisol, Sharma et al. (1987) berpendapat bahwa sulit

untuk menekankan pentingnya infiltrasi di daerah tangkapan air karena proses ini

menentukan limpasan permukaan air yang tersedia untuk pertumbuhan tanaman atau

drainase. Pengetahuan kuantitatif diperlukan agar tahu sifat infiltasi tanah untuk

memprediksi perilaku tangkapan hidrologi.


198

Menurut Rachman, Latifa dan Nurida (2015), tanah Podzolik memiliki

karakteristik tertentu dan potensi tingkat kesuburan yang cukup rendah sehingga

memerlukan manajemen khusus agar dapat berproduksi secara optimal. Untuk dapat

mengoptimalkan lahan suboptimal, dapat dilakukan pendekatan melalui perbaikan

dari segi sifat fisik, kimia maupun biologi tanahnya. Dengan sifat dan karakteristik

yang dimilikinya, sistem pengolahan tanah pada tanah Podzolik dapat

memberikan efek yang sangat besar, baik terhadap produksi tanaman maupun

beberapa sifat fisik tanah utama. Dalam sistem pengolahan tanah dikenal ada tiga

cara, yaitu: 1) pengolahan tanah intensif (konvensional), 2) pengolahan tanah

minimum, dan 3) tanpa pengolahan tanah. Dua sistem pengolahan tanah terakhir

tergolong sistem pengolahan tanah konservasi. Teknik pengolahan tanah yang baik

akan berdampak pada perbaikan sifat-sifat tanah dan peningkatan hasil produksi.

Supangat et al. (2013) mengatakan bahwa lahan yang digunakan untuk

pembangunan HTI banyak dilakukan di lahan kritis yang tanahnya salah satunya

masuk dalam kategori tanah Ultisol. Tanah Ultisol memiliki sifat fisik, kimia maupun

biologi yang kurang bagus untuk pertumbuhan tanaman Eucalyptus petlita.

Da Silva et al. (2016) mengatakan bahwa dengan memberikan tambahan

pupuk pada tanaman Eucalyptus spp. dengan komposisi NPK 2.5 ton/ha, Single

superphosphat 800 kg/ha, kapur 4 ton/ha dan unsur mikro FTE 300 kg/ha pada saat

tahun ke 2 pada tanah Ultisol akan menaikan pertumbuhan volume kayu rata-rata 62

m³/ha/tahun saat umur 7 tahun, dibandingkan tanaman yang tidak dilakukan

pemupukan pada tahun ke-2 rata-rata pertumbuhannya hanya 49 m³/ha/tahun.


199

Umur 1 Tahun Umur 2.5 Tahun Umur 5 Tahun

Gambar 1. Ketidak Seragaman Pertumbuhan Tanaman Eucalyptus spp. Umur


1 tahun, 2.5 Tahun dan 5 Tahun

2.3. Kesuburan Tanah

Menurut Poerwowidodo (1992), kesuburan tanah merupakan kemampuan

tanah sebagai medium untuk menunjang pertumbuhan tanaman yang digunakan

dalam berbagai batasan. Dua batasan yang sering digunakan secara rancu adalah

produktivitas tanah dan kesuburan tanah. Produktivitas tanah diberi batasan sebagai

kemampuan suatu tanah untuk menghasilkan suatu tanaman (sekuen tanaman) yang

diusahakan dengan sistem pengelolaan tertentu. Produktvitas tanah merupakan

perwujudan dari seluruh faktor (tanah dan bukan tanah) yang mempengaruhi hasil

tanaman. Kesuburan tanah diberi batasan sebagai mutu kemampuan suatu tanah

untuk menyediakan anasir unsur hara, pada takaran dan keseimbangan tertentu secara

sinambung, untuk menunjang pertumbuhan suatu jenis tanaman pada lingkungan

dengan faktor pertumbuhan lainnya dalam keadaan menguntungkan.

Menurut Sutedjo (2008) hasil analisis para pakar sehubungan dengan

kesuburan tanah per tanaman, telah menyatakan bahwa apa yang tersedia atau

diberikan di dalam tanah (yaitu bahan bahan mineral) tidaklah langsung dapat
200

terhisap akar-akar tanaman, melainkan banyak dari bahan-bahan mineral tersebut

akan diikat secara kimiawi, adsorbtif ataupun biologis, setelah itu baru bahan-bahan

tadi secara berangsur angsur terlepas dari ikatannya dalam bentuk yang dapat dihisap

oleh akar dan organ lainnya dari tanaman.

Tanaman memerlukan sejumlah anasir hara dalam takaran cukup, seimbang

dan sinambung untuk terus tumbuh dan berkembang, menyelesaikan daur hidupnya.

Anasir hara tanaman ini diambil dari atmosfer dan sistem tanah. Paling sedikit ada 16

macam anasir hara yang diperlukan secara teratur untuk pertumbuhan vascular

tanaman. Anasir hara yang dibutuhkan dalam takaran banyak disebut anasir hara

makro, sedangkan yang dibutuhkan dalam takaran sedikit anasir hara mikro

(Poerwowidodo, 1992).

Menurut Supangat et al. (2013) bahwa kesuburan tanah adalah mutu tanah

untuk bercocok tanam, yang ditentukan oleh interaksi sejumlah sifat kimia, fisika

dan biologi bagian tubuh tanah yang menjadi habitat akar-akar aktif tanaman.

Menurut Peng et a.l (2014), struktur tanah adalah sifat dasar dari tanah menentukan

kemampuan untuk mengangkut dan menyimpan air, udara dan nutisi dan untuk

menyediakan habitat bagi mikroba dan fauna. Struktur tanah agregat dapat menyerap

lebih banyak Carbon, meningkatkan produktivitas agronomi dan meningkatkan

ketahanan terhadap erosi tanah.

Menurut Nugroho (2009), lahan Hutan Tanaman Industri (HTI) sebagian

besar berada pada tanah yang memiliki tingkat kesuburan yang cukup rendah seperti

tanah podzolik dimana ciri-ciri umum tanah tersebut dapat diuraikan sebagai berikut

: jenis tanah ini sering disebut dengan tanah kuarsa, tersusun atas horison organik
201

dan mineral organik tipis, sedangkan ke bawahnya merupakan horison tanah yang

banyak mengandung lempung (clay), berwarna merah hingga kekuningan beralih ke

bahan induk silika. Tanah ini terbentuk dari batuan beku dan tufa, pada umumnya

bertekstur halus, berstruktur gumpal, agregat tanahnya kurang stabil dan

permeabilitas tanahnya rendah. Kandungan unsur hara umumnya juga rendah,

sehingga dapat dikatakan kesuburan tanah jenis ini juga rendah, baik, secara fisik

maupun kimianya.

Supangat et al. (2013) mengatakan bahwa evaluasi status kesuburan tanah

dilakukan melalui tiga tahapan kegiatan lapangan. Ketiga kegiatan tersebut adalah

kegiatan pembuatan profil tanah untuk melihat lapisan tanah (horison tanah),

pengambilan sampel fisik, kimia dan biologi tanah untuk analisis karakteristik

kesuburan fisika, kimia dan biologi, serta analisis laboratorium terhadap sampel

tanah. Profil tanah dibuat dengan ukuran 1 m x 1 m x 1,5 m (dalam). Profil tanah

dibuat sebanyak satu ulangan pada setiap umur tanaman, serta dilakukan

kroscek dengan bor tanah sebanyak tiga kali ulangan. Sampel fisik tanah (ring

sampel) diambil sebanyak dua kali ulangan (titik) pada setiap umur tanaman.

Masing-masing titik diambil dua kedalaman, yaitu 0 – 15 cm dan 15 – 30 cm.

Sampel kimia dan biologi tanah diambil secara komposit, sebanyak tiga kali

ulangan (titik) pada setiap umur tanaman.

Menurut Nugroho (2009) dan Zahrawani (2015) parameter tanah yang

sering di gunakan dalam penelitian tanah dan metode yang digunakan dalam analisa

tanah bisa dilihat dalam Tabel 1.


202

Tabel 1. Parameter dan Metode Analisis Sampel Tanah

Parameter Metode Analisis Satuan

- Bulk density Gravimetri g/cm3

- Partikel density Gravimetri g/cm3

- Porositas Volumetri %

- Kadar Air Gravimetri %

- pH pH Meter -

- C-Organik Pengabuan Kering %

- P2O2 (P-Potensial) Extraksi HCl 25 % mg/100 g

- K2O (K Potensial) Extraksi HCl 25 % mg/100 g

- Jumlah Mikroba Total Plate Count Cfu/g tanah

2.4. Pengelolaan HTI PT. RAPP di Kabupaten Kuansing

Dalam Buku Revisi Rencana Kerja Umum (RKU) tahun 2010 sampai tahun

2019 bahwa Izin HTI PT. RAPP berdasarkan pada Kepmenthut No 180 Tanggal 21

Maret 2013 yang merupakan perubahan IV dari Kepmenthut No 130 tanggal 27

Februari 1993 PT. RAPP mendapat izin seluas 338.536 Ha di Riau termasuk yang

berlokasi di Kabupaten Kuansing. Di Kab.Kuansing tepatnya di Kecamatan Baserah

terdapat 24.855 ha areal konsensi yang dikelola oleh PT. RAPP.

Berikut Kondisi Areal PT. RAPP di Kabupaten Kuansing yang yang terdapat dalam

Buku Revisi RKU tanggal 27 Februari 2016 PT. RAPP.

- Secara Geografi PT. RAPP di Kuansing berlokasi di 1010 30' 00” – 1010 54’ 00”

BT dan 00 07’ 00” – 00 54’ 00” LS.


203

- Topografi masuk kedalam kategori landai

- Ketinggian tempat berdasarkan Peta Rupa Bumi Indonesia sakala 1 : 250.000

berkisar 5 sampai dengan 160 m dpl.

- Tipe Iklim A (Schmidt & Ferguson 1955), Curah hujan rata-rata 2315

mm/tahun

- Data sosial Ekonomi dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Data Kependudukan dan Luas Wilayah Kab. Kuansing

Uraian Satuan Jumlah

Jumlah Penduduk

1. Total penduduk Orang 292.116

2. Anak-anak ≤ 14 Tahun Orang 92.253

3. Angkatan kerja ≥ 15 Tahun Orang 173.747

4. Angkatan Tidak Produktif ≥ 55 tahun Orang 26.116

Luas Wilayah Ha 520.216

Kepadatan Penduduk Jiwa/Ha 0.56

Sumber : Buku Revisi RKU PT. RAPP tanggal 27 Februari 2016.

Tanaman pokok yang dibudidayakan di perusahaan PT.RAPP di Kuansing

adalah tanaman Eucalytus spp. yang termasuk tanaman cepat tumbuh dengan jarak

tanam yang bervariasi 3 m x 3 m, 3 m x 2.5 m dan 3 m x 2 m dengan daur tanaman 5

tahun.

Untuk meningkatkan kesuburan tanah Ultisol di PT. RAPP dilakukan

pemupukan pada dengan dosis TSP 100 gr /pokok, ZA 50 gr/pokok dan MOP 40

gr/pokok. Pemupukan dilakukan bersamaan dengan kegiatan penanaman.


204

2.5. Perbaikan Lingkungan Pertumbuhan Produksi Kayu Melalui


Pemupukan Tanah Ultisol di HTI PT. RAPP di Kabupaten Kuansing

Tanaman Eucalyptus spp. membutuhkan kondisi lingkungan yang cocok bagi

pertumbuhannya, kondisi lingkungan yang kurang bagus seperti tanah yang padat,

Waterlog, keasaman tanah yang tinggi, unsur hara yang kurang akan menyebabkan

pertumbuhan yang kurang bagus yang pada gilirannya akan menyebabkan tanaman

memiliki diameter dan tinggi yang tidak seragam. Tanaman yang pertumbuhannya

tidak seragam akan menghasilkan penambahan volume kayu per tahun menjadi lebih

kecil dari target perusahaan yaitu 30 ton/ha/tahun.

Sudah ada usaha perbaikan tingkat kesuburan tanah Ultisol oleh perusahaan

tapi belum optimal dengan cara melakukan kegiatan operasional sesuai dengan SOP

yang sudah ada mulai dari pemanenan, penanaman sampai pada pemeliharaan

tanaman. Hal-hal yang sudah dilakukan oleh PT. RAPP dalam operasional sehari-hari

dalam rangka meningkatkan kesuburan tanah Ultisol sebagai berikut :

1. Membuat Mikroplan sebelum kegitan pemanenan dilakukan.

Hal ini bertujuan agar pada saat pemanenan alat berat yang digunakan untuk

menarik kayu dari dalam areal ke jalan harus mengikuti jalur yang sudah ditentukan.

Dengan sistem ini tanah tidak banyak mengalami pemadatan yang akan berpengaruh

ke penurunan sifat fisik tanah. Walaupun sudah dibuat Microplan yang baik namun

operator alat berat kurang peduli untuk mengikuti aturan yang sudah dibuat dengan

alasan tidak paham membaca tanda-tanda yang dibuat di lapangan dan kurang paham

dalam membaca peta Microplan yang sudah dibuat dari kantor. Kepedulian seorang

operator Excavator sangat diperlukan untuk menjaga agar tanah tidak mengalami

pemadatan yang parah.


205

2. Mengurangi terjadinya Waterlog

Salah satu usaha yang sudah dilakukan agar tidak terjadi waterlog dengan

melakukan kegitan microplan salah satu tujuanya agar alat berat saat melakukan

pemanenan tidak memotong alur/drainase. Namun dalam prakteknya masih ada

operator alat berat yang melanggar aturan yang sudah ada dengan alasan lebih cepat

dalam menarik kayu dan tidak perlu berputar.

3. Mengurangi keasaman tanah dengan menggunakan Pupuk TSP dan MOP

Sudah ada usaha untuk meningkatkan kesuburan tanah dan mengurangi

keasaman tanah Ultisol di PT. RAPP dengan pemupukan dengan pupuk MOP,ZA

dan TSP. Pemupukan dengan menggunakan dosis TSP 100 gr /pokok, ZA 50

gr/pokok dan MOP 40 gr/pokok, pemupukan dilakukan bersamaan dengan kegiatan

penanaman. Pemupukan tambahan dengan pupuk TSP dan ZA dilakukan pada saat

tanaman berumur 4 bulan dengan dosis MOP 50 gr/pokok dan ZA 100 gr/pokok agar

tanaman mendapatkan unsur hara yang cukup bagi pertumbuhannya. Meskipun sudah

dilakukan pemupukan pada saat tanam dan umur 4 bulan keasaman tanah belum juga

sepenuhnya teratasi dengan pupuk TSP dan MOP.

4. Pemupukan saat tanam dan umur 4 bulan

Pemupukan saat tanam dan saat tanaman berumur 4 bulan sudah dilakukan,

tapi masih belum menyelesaikan masalah pertumbuhan tanaman Eucalytusp spp.

karena masih ditemukan tanaman yang tidak seragam pada umur 2.5 tahun dan pada

saat umur 5 tahun yang pada giliran MAI yang diharapkan 30 ton/ha/tahun belum

bisa dicapai. Tanaman butuh unsur hara yang cukup sampai tanaman berumur 5
206

tahun atau sampai tanaman tersebut dipanen, namun pemupukan belum dilakukan

pada saat tanaman berumur 2,5 tahun atau pertengahan daur.


207

III. DAMPAK PERBAIKAN KESUBURAN TANAH ULTISOL HTI PT.


RAPP DI KABUPATEN KUANSING

3.1. Dampak Ekonomi

Apabila kondisi tanah Ultisol tidak diperbaiki tingkat kesuburannya akan

berdampak kurang baik pada pertumbuhan tanaman Eucalyptus spp. Di HTI PT.

RAPP, dampak negatifnya bagi perusahaan dan karyawan PT.RAPP adalah :

1. Tanaman tumbuhnya tidak seragam sehingga kayu yang dipanen jauh dari

target produksi.

2. MAI akan jauh dari target perusahaan pada akhirnya berpengaruh juga pada

finansial perusahaan.

3. Adanya tambahan biaya bagi perusahaan bila mau meningkatkan kesuburan

tanah Ultisol menjadi lebih baik.

4. Bagi karyawan akan berpengaruh pada kurangnya bonus produksi yang didapat

Dampak negatifnya bagi Masyarakat dan Pemerintah Daerah (PEMDA)

1. Tanah Ultisol memiliki kandungan liat yang tinggi sehingga pada saat hujan

aliran air hujan yang melewati permukaan tanah cukup kuat yang bisa memicu

luapan air sungai sehingga tangkapan ikan masyarakat bisa berkurang.

2. Jika tanah Ultisol tidak diperbaiki akan mengakibatkan produksi kayu menjadi

berkurang sehingga pendapatan perusahaan juga akan berkurang. Hal ini juga

akan mengakibatkan berkurangnya pendapatan PEMDA yang berupa pajak air

dalam tanah dan uang retribusi kayu.


208

Dampak positif bagi Perusahaan dan karyawan jika tingkat kesuburan tanah

Ultisol bisa diperbaiki adalah:

1. Produksi kayu yang digunakan untuk pulp dan kertas meningkat.

2. Produksi pulp dan kertas yang meningkat menyebabkan penjualan meningkat

sehingga finansial perusahaan menjadi baik.

3. Meningkatnya produksi kayu juga akan meningkatkan bonus produksi yang

diterima karyawan.

Dampak positifnya bagi Masyarakat dan PEMDA bila kondisi tanah Ultisol bisa

diperbaiki adalah

1. Menyerap banyak tenaga kerja

Apabila kondisi tanah Ultisol bisa diperbaiki maka pertumbuhan tanaman

bisa mencapai 30 ton/ha/tahun yang dikenal dengan MAI (Mean annual Increment),

dengan demikian perusahaan akan mendapatkan keuntungan. Kondisi perusahaan

yang sehat akan berdampak terhadap penyerapan tenaga kerja yang banyak pula bagi

masyarakat yang ada di sekitar kawasan hutan. Penyerapan tenaga kerja produktif

yang ada di sekitar kawasan hutan tentu akan meningkatkan taraf ekonomi keluarga

mereka. Semakin banyak tenaga kerja yang bisa diserap oleh perusahaan akan sangat

berpengaruh pada peningkatan ekonomi masyarakat yang ada di sekitar areal

operasional perusahaan.
209

2. Meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan penerimaan pajak untuk

negara

Produksi kayu yang meningkat akan mendatangkan keuntungan bagi

perusahaan dan juga mendatangkan tambahan pendapatan bagi daerah setempat

dalam bentuk uang retribusi kayu, retribusi dari pakir kendaraan, pajak bumi dan

bangunan, pajak air bawah tanah dan untuk negara berupa Provisi Sumber Daya

Hutan (PSDH) yang merupakan pajak kayu yang diangkut ke pabrik tiap m3.

3. Peluang usaha baru bagi masyarakat di sekitar hutan

Pertumbuhan perusahaan yang baik akan memicu terjadinya Multiplayer

Effect dimana akan ada usaha-usaha baru di sekitar kawasan hutan yang berupa

berbagai macam toko yang menjual keperluan karyawan maupun perusahaan.

Bengkel-bengkel berkembang serta penjualan sparepart untuk kendaraan juga

meningkat seiring dengan berkembangnya perusahaan.

3.2. Dampak Sosial dan Budaya

Dampak sosial yang timbul bila tanah Ultisol tidak diperbaiki adalah :

Dampak negatifnya bagi perusahaan dan karyawan PT. RAPP :

1. Perusahaan akan mengalami keterbatasan dana untuk mengembangkan

masyarakat di sekitar hutan dalam bentuk program CSR.

2. Produksi kayu yang kurang bisa memicu terjadinya Pemutusan Hubungan

Kerja PHK) antara perusahaan dengan karyawan.


210

Dampak Positifnya bagi perusahaan dan karyawan adalah :

1. Dana untuk pengembangan masyarakat melalui CSR bisa meningkat seiring

dengan meningkatnya produksi kayu.

2. Perusahaan yang berada dalam kondisi stabil akan mendatangkan kepercayaan

diri yang kuat dari karyawan maupun dari konsumen.

Dampak negatifnya dari sisi sosial bagi masyarakat adalah :

1. Dana sosial dari perusahaan akan berkurang dibandingkan pada saat finansial

perusahaan dalam kondisi bagus.

2. Banyak kegiatan sosial kemasyarakatan terkendala karena sedikitnya bantuan

dari perusahaan.

Dampak positifnya bagi masyarakat dari aspek sosial bila kondisi tanah

Ultisol bisa diperbaiki yang bisa memicu produsksi kayu yang baik adalah dana

untuk program CSR (Coorporate Sosial Responsibility) di Kabupaten Kuansing

akan meningkat.

Perusahaan sudah mengeluarkan dana yang cukup banyak dalam rangka

mengembangkan dan memberdayakan masyarakat sekitar melalui program sosial

budaya maupun peningkatan pendapatan masyarakat sekitar hutan antara lain:

- Membuat koperasi simpan pinjam.

- Melatih pemuda pemudi yang putus sekolah menjadi tenaga kerja yang siap

pakai baik sebagai petani, mekanik, nelayan dll.


211

- Membangun sarana prasarana berupa jalan, sekolah, tempat ibadah untuk

meningkatkan kualitas perikehidupan masyarakat yang ada di sekitar kawasan

PT. RAPP.

- Memberikan Beasiswa bagi anak anak yang tidak mampu untuk bisa

melanjutkan sekolahnya bahkan ke perguruan tinggi seperti UGM, IPB, UI,

INSTIPER, UNRI, dll.

Selain itu, PT. RAPP juga mendukung secara dana maupun ikut

berpartisipasi langsung dalam rangka melestarikan budaya daerah Kab. Kuantan

Singingi dalam Even Tahunan Pacu Jalur termasuk mengijinkan pengambilan kayu

untuk pembuatan jalur selagi ada izin dari Dinas Kehutanan, serta membantu

merenovasi rumah rumah adat yang menjadi simbol budaya masyarakat setempat.

3.3. Dampak Lingkungan.

Apabila kondisi tanah Ultisol tidak dikelola dengan baik akan berdampak

negatif bagi lingkungan antara lain :

1. Erosi tanah akan meningkat yang akan menyebabkan banyaknya unsur hara

tanah yang hanyut ke sungai.

2. Terjadinya Waterlog yang bisa menyebabkan tanaman banyak yang mati

Dampak negatifnya bagi masyarakat bila tanah Ultisol tidak diperbaiki

adalah :

1. Erosi dari tanah Ultisol akan menyebabkan air sungai menjadi keruh yang

akan berdampak pada banyak ikan yang mati sehingga jumlah ikan yang

menjadi mata pencarian masyarakat juga berkurang.


212

2. Air sungai yang keruh dari erosi tanah Ultisol tidak baik digunakan untuk

mandi oleh masyarakat.

Apabila kondisi tanah Ultisol bisa diperbaiki tingkat kesuburannya akan

berdampak positif bagi bagi perusaan PT. RAPP dari aspek lingkungan antara lain :

1. Erosi akan berkurang.

2. Waterlog bisa diatasi.

Dampak positifnya bagi masyarakat bila kondisi tanah Ultisol bisa diperbaiki

sifat fisik maupun kimianya dari aspek lingkungan adalah :

1. Erosi tanah Ultisol berkurang sehingga air sungai menjadi jenih, ikan yang

menjadi mata pencarian masyarakat produksinya meningkat.

2. Erosi tanah Ultisol yang kurang akan menjaga kondisi air sungai tetap jernih

sehingga bisa digunakan masyarakat untuk mandi.


213

IV. UPAYA PERBAIKAN LINGKUNGAN TEMPAT TUMBUH


TANAMAN EUCALYPTUS SPP. DALAM RANGKA MENAIKAN
PRODUKSI KAYU

Upaya yang bisa dilakukan agar kesuburan tanah Ultisol secara fisik maupun

kimia bisa ditingkatkan dalam rangka menaikkan produksi kayu pada saat panen

umur 5 tahun adalah :

1.1. Kegiatan Pemanenan dengan alat berat yang tidak konsisten dilakukan

operator mengikuti Microplan yang sudah dibuat oleh Divisi Perencanaan.

Solusinya dengan memberikan training pada operator alat berat yang

melakukan kegiatan pemanenan kayu agar mereka mengetahui cara membaca tanda-

tanda yang dipakai dalam Microplan di lapangan. Memberikan pengertian betapa

pentingnya mengikuti Mikroplan yang dibuat untuk menjaga agar alat berat tidak

menimbulkan pemadatan tanah yang merusak lingkungan tempat tumbuh bagi

tanaman Eucalytus spp. Bagi operator alat berat yang tidak mengikuti apa yang

menjadi kesepakatan bersama akan dikenakan tindakan pinalti yang berupa

pemotongan bayaran. Kalau masih ada tanah yang padat akibat operasional alat berat

maka dilakukan penggemburan tanah dengan menggunakan ripper dengan sistem

Mecanical Soil Cultivation. Solusi ini akan meningkatkan kesuburan tanah secara

fisik, seperti perbaikan agregat dan porosistas tanah.

1.2. Masih ditemukan alat berat yang memotong alur atau drainase yang

menyebabkan terjadinya waterlog.

Waterlog yang disebabkan oleh adanya alat berat yang memotong alur dapat

dicegah dengan memberikan training tentang pentingnya mengikuti Microplan saat

aktivitas pemanenan dengan alat berat berlangsung. Kalau masih ditemukan kondisi
214

air yang tergenang di daerah cekungan maka solusi terbaik adalah pembuatan

drainase yang bertujuan mengalirkan air yang tergenang ke sungai. Pembuatan

drainase dapat mencegah perakaran ataupun tanaman tergenang, tanaman yang

berada dalam kondisi tergenang oleh air dapat menyebabkan tanaman mati karena

proses sirkulasi udara di dalam tanah terhambat dan akar mudah terserang oleh

penyakit pada akhirnya akar akan membusuk.

1.3. Belum ada dilakukan kegiatan pengapuran pada tanah Ultisol sebelum

dilakukan kegiatan penanaman.

Solusinya adalah mendesak bagian Research and Development (R and D)

untuk merekomendasikan ke perusahaan untuk membuat kebijakan melakukan

pengapuran tanah Ultisol sebelum dilakukan penanaman. Pengapuran tanah Ultisol

sangat bermanfaat untuk meningkatkan sifat kimia dan fisik tanah seperti

menurunkan tingkat keasaman tanah, memperbaiki agregat tanah, memperbaiki

porosistas tanah, meningkatkan unsur P, Magnesium dalam tanah.

4.4. Belum ada usaha melakukan pemupukan pada saat tanaman berumur 2.5 tahun

atau petengahan daur.

Meminta ke R & D untuk mengkaji secara ilmiah dan membuat plot percobaan

untuk aplikasi pupuk NPK, Single superphosphat dan FTE (unsur mikro) saat

tanaman berumur 2.5 tahun atau setengah daur. Hal ini sangat penting karena tanah

Ultisol memiliki tingkat kesuburan yang rendah dan di sisi lain tanaman Eucalyptus

spp. membutuhkan unsur hara yang cukup selama masa pertumbuhannya, jadi tidak

hanya dilakukan pemupukan di saat tanam dan pada saat tanaman berumur 4 bulan
215

saja. Dosis pupuk yang dipakai dengan komposisi NPK 2.5 ton/ha, Single

superphosphat 800 kg/ha, kapur 4 ton/ha dan unsur mikro FTE 300 kg/ha
DAFTAR PUSTAKA

Da Silva R.L.M., R.E. Hakamada, J.H. Bazani, M.S.G. Otto and J.L. Stape. 2016.
Fertilization Response, Light Use, and Growth Efficiency in Eucalyptus
Plantations Across Soil and Climate Gradients in Brazil.MDPI.Forest Journal
of Forest. 7(117) : 1-12

Kasry,A. 2016. Ekologi dan Lingkungan Hidup (Untuk Sains dan


Lingkungan).Program Studi Ilmu Lingkungan Program Pascasarjana
Universitas Riau, Pekanbaru

Nugroho, Y. 2009. Analisis Sifat Fisik-Kimia dan Kesuburan Tanah pada Lokasi
Rencana HTI PT. Prima Multibuwana. Jurnal Hutan Tropis Borneo.10 (27) :
222-229.

Presiden RI. 2007. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan
dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan Serta Pemanfaatan Hutan.
Sekretariat Negara, Jakarta

Presiden RI., 2009. Undang-Undang Republik Indonesia No 32 Tahun 2009 tentang


Perlindungan dan Pengelolaan Lingkunhan Hidup.Sekretariat Negara,
Jakarta

Peng, X., X. Yan, H. Zhou, Y.Z. Zhang and H. Sun. 2014. Assessing The
Contributions of Sesquioxdes and Soil Organic Matter to Aggregation in An
Ultisol under Long-term Fertilization. Soil & Tillage Research. G.
Model.Still 3285 : 1-10.

Poerwowidodo. 1992. Telaah Kesuburan Tanah. Angkasa. Bandung

PT.RAPP, 2016. Revisi Rencana Kerja Umum Tahun 2010 Sampai Tahun 2019.
Pangkalan Kerinci

Rachman,L.M.,N. Latifa dan N.L. Nurida. 2015. Efek Sistem Pengolahan Tanah
terhadap Bahan Organik Tanah Sifat Fisik Tanah, dan Produksi Jagung pada
Tanah Podsolik Merah Kuning di Kabupaten Lampung Timur : Prosiding
Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2015, Palembang 8-9 Oktober
2015.Balai Penelitian Tanah Institut Pertanian Bogor. Palembang

Supangat,A.B, H. Supriyo, P. Sudira dan E. Poedjirahajoe. 2013. Status Kesuburan


Tanah dibawah Tegakan Eucalyptus pellita F. Muell : Studi Kasus di HPHTI
PT. Arara Abadi, Riau.Jurnal Manusia dan Lingkungan 20 (1) : 22-34

Sutedjo,M.M. 2008. Analisis Tanah, Air, dan Jaringan Tanaman.Rineka Cipta.


Jakarta
217

Santoso, B. 2006. Pemberdayaan Lahan Podsolik Merah Kuning dengan Tanaman


Rosela (Hibiscus sabdariffa L.) di Kalimantan Selatan. Jurnal Balai
Penelitian Tanaman Tembakau dan Serat. 5 (1) : 01 – 12

Sharma, M.I., R.J.,W. Barron and M.S. Fernie. 1987. Areal Distribution of
Infiltration Parameters and Some Soil Physical Proporties in Lateritic
Cathcments. Journal of Hydrologi, 94 : 109-127.

Wahyudi 2001. Pengaruh Pemupukan dengan Amina Cair dan TSP pada Tanah
Typic Hapludult terhadap Pertumbuhan Semai Gmelina arborea Roxb.
Skripsi Fakultas Kehutanan UGM, Jogjakarta (Tidak diterbitkan).

Wang, J.G., W. Yang, B. Yu, Z.X. Li, F.C. Cai and R.M. Ma. 2015. Estimating The
Influence of Related Soil Properties on Macro and Micro-aggregate Stability
in Ultisols of South-Central China. Catean. Catena. 137 : 545-553.

Zahrawani. R.A.2015. Analisis dan Strategi Pengelolaan Hutan Tanaman Industri di


Areal IUPHHK-HT PT. Satria Perkasa Agung Kabupaten Pelalawan. Tesis
Program Studi Ilmu Lingkungan. Pascasarjana Universitas Riau. (Tidak
diterbitkan).
Lampiran 1. Peta Administratif Propinsi Riau 218
Lampiran 2. Peta Administratif Kabupaten Kuantan Singgingi 219
Lampiran 3. Peta Konsensi PT. RAPP 220
PEMANFAATAN ITIK SEBAGAI PENGGANTI
PESTISIDA DALAM MEMBASMI HAMA DAN GULMA
DESA PULAU INGU KECAMATAN BENAI
KABUPATEN KUANTAN SINGINGI

OLEH:

WILIA ELVIONITA
NIM: 1510248336

PROGRAM STUDI ILMU LINGKUNGAN

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
2016
i
ii

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI ii
DAFTAR LAMPIRAN iii
I PENDAHULUAN 1
1.1. Latar Belakang 1
1.2. Masalah 4

II PEMANFAATAN ITIK SEBAGAI PENGGANTI PESTISIDA 5


DALAM MEMBASMI HAMA DAN GULMA PERSAWAHAN
DESA PULAU INGU KECAMATAN BENAI KABUPATEN
KUANTAN SINGINGI
2.1. Tanaman Padi (Oryza sativa L.) 5
2.2. Gulma 7
2.3. Keong Emas (Pomacea canaliculata L.) 8
2.4. Penggunaan Pestisida (Metode Anorganik) 9
2.5. Pestisida dan Pencemaran Tanah 9
2.6. Pemanfaatan Itik Petelur (Metode Organik) 11
2.7.Pemanfaatan Itik sebagai Pengganti Pestisida dalam 12
Membasmi Hama dan Gulma Persawahan Desa Pulau
Ingu Kecamatan Benai Kabupaten Kuantan Singingi
2.7.1.Jumlah Itik yang Dipelihara Peternak di Desa Pulau 15
Ingu
2.7.2.Perhatian Pemerintah Daerah Kabupaten Kuantan 16
singing Terhadap Peternak Itik

III DAMPAK PEMANFAATAN ITIK SEBAGAI PENGGANTI 17


PESTISIDA DALAM MEMBASMI HAMA DAN GULMA
PERSAWAHAN DESA PULAU INGU KECAMATAN BENAI
KABUPATEN KUANTAN SINGINGI
3.1. Aspek Ekonomi 17
3.2. Aspek Sosial Budaya 29
3.3. Aspek Lingkungan dan Kesehatan 21

IV PENINGKATAN PEMANFAATAN ITIK SEBAGAI PENGGANTI 24


PESTISIDA DALAM MEMBASMI HAMA DAN GULMA
PERSAWAHAN DI DESA PULAU INGU KECAMATAN BENAI
KABUPATEN KUANTAN SINGINGI
4.1. Jumlah Itik yang Dipelihara Peternak di Desa Pulau Ingu 24
4.2. Perhatian Pemerintah Daerah Kabupaten Kuantan 25
Singingi Terhadap Peternak Itik
DAFTAR PUSTAKA 27
LAMPIRAN 29
iii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Peta Provinsi Riau 29


2. Peta Kabupaten Kuantan Singingi 30
3. Peta kecamatan Benai Kabupaten Kuantan Singingi 31
4. Luas Panen Tanaman Pangan Menurut Jenis Tanaman di Provinsi 32
Riau Tahun 2009-2013
5. Luas daerah Menurut Kecamatan di Kabupaten Kuantan Singingi 33
Tahun 2013
6. Jumlah dan Rasio Penduduk Kabupaten Kuantan Singingi 34
Menurut Kecamtan dan Jenis Kelamin Tahun 2014
7. Banyaknya Petani Perkebunan Rakyat Menurut Kecamatan dan 35
Jenis Komoditas di Kabupaten Kuantan Singingi Tahun 2014
1

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Padi merupakan salah satu tanaman pangan paling penting di

Indonesia karena masyarakatnya rata- rata mengkonsumsi beras sebagai

makanan pokok. Menurut Damardjati, (1990), padi juga tanaman pangan

penghasil beras yang mengandung berbagai gizi yang diperlukan tubuh

antara lain karbohidrat 86,67%, protein 8,67%, lemak 2,45%, abu 1,22%,

dan serat kasar 0,88%. Disamping itu, beras juga mengandung beberapa

mineral antara lain, kalsium, magnesium, sodium, fosfor dan sebagainya.

Suryana (2003), mengungkapkan bahwa 95% penduduk Indonesia masih

sangat tergantung pada beras.

Badan Pusat Statistik Provinsi Riau (2014), mencatat luas tanaman

padi pada tahun 2011 sebesar 123.038 ha dengan produksi sebesar

481.911 ton, pada tahun 2012 sebesar 117.649 ha dengan produksi

sebesar 453.294 ton dan pada 2013 menurun menjadi 97.796 ha dengan

produksi 387.849 ton (Lampiran 4). Dari data tersebut dapat disimpulkan

bahwa luas lahan dan produksi tanaman padi mengalami penurunan.

Penurunan luas padi sawah disebabkan karena alih fungsi lahan,

sedangkan penurunan produksi dikarenakan luas panen yang menurun

serta adanya faktor lain, diantaranya adalah serangan hama seperti gulma

dan Keong emas.

Gulma merupakan tumbuhan pengganggu yang dapat menurunkan

hasil padi bila tidak dikendalikan secara efektif. Di lahan irigasi,

persaingan gulma dengan padi dapat menurunkan hasil padi 10-40%


2

sedangkan pada tingkat pengelolaan petani, kehilangan hasil padi

berkisar 10-15% (Pane dan Jatmiko, 2009).

Kehadiran gulma di sawah sebagai tumbuhan yang tidak

dikehendaki akan mengurangi hasil gabah karena tanaman padi bersaing

dengan gulma dalam pengambilan hara, air, udara dan ruang (Bangun

dan Syam, 1993). Selain itu kehadiran gulma diantara tanaman padi atau

di pinggiran sawah akan menjadi inang bagi hama dan penyakit

(Tjitrosoedirjo, Utomo dan Wiroatmodjo, 1984). Selain gulma gangguan

yang dapat menimbulkan kerugian pada tanaman padi adalah hama

keong emas.

Keong emas (Pomacea canaliculata L.) merupakan hama penting

pada tanaman padi di Indonesia, terutama pada areal sawah beririgasi.

Budiyono (2006) menyatakan, tingkat serangan keong emas ini tergolong

cukup tinggi karena berkembang biak dengan cepat dan menyerang

tanaman yang masih muda. Kerusakan yang ditimbulkan oleh hama

keong emas berkisar 10-40%.

Keong emas memakan berbagai tanaman yang lunak termasuk

padi yang masih muda. Menurut Hermawan (2007), biasanya keong emas

memarut pangkal batang padi dengan radulanya hingga patah, kemudian

patahan tanaman yang rebah tersebut dimakan. Bila populasi keong emas

tinggi dan air selalu tergenang, bisa mengakibatkan rumpun padi mati.

Teknik pengendalian gulma dan keong emas yang dilakukan petani

sampai saat ini masih banyak menggunakan pestisida kimia sintetis.

Pengendalian dengan cara ini mempunyai beberapa keunggulan seperti:


3

jenis pestisida ini mudah didapat, mudah diaplikasikan dan hasil

pengendaliannya cepat terlihat (Girsang, 2009). Namun penggunaan

pestisida kimia sintetis yang secara terus menerus dan tidak bijaksana

dapat menimbulkan dampak negatif seperti resistensi hama, matinya

spesies non target, terjadinya ledakan hama sekunder dan terdapatnya

residu pada tanaman. Selain itu penggunaan pestisida kimia secara

kontiniu dapat merusak lingkungan di sekitar area penanaman padi dan

dapat juga mengganggu kesehatan manusia.

Perlu dicari alternatif pengendalian lain yang tidak menimbulkan

dampak negatif sebagai upaya untuk mengurangi ketergantungan

terhadap penggunaan pestisida kimia sintetis seperti pemanfaatan itik

sebagai penyiang dan pengendali hama keong emas.

Sebagai unggas air, itik cocok dikembangkan di agroekosistem

sawah (Guntoro, 2011). Teknologi intensifikasi padi dengan itik (Inditik)

adalah suatu sistem mix farming yang merupakan suatu terobosan

intensifikasi padi dengan menggunakan ternak itik. Ternak itik difungsikan

sebagai fertilizer, pestisider, herbisider dan tenaga untuk menyiangi padi.

Suwandi (2008), menyatakan bahwa aktivitas itik di sawah ternyata juga

mampu meningkatkan oksigen dalam tanah serta meminimalkan

pertumbuhan rumput dan gulma lain serta hama, seperti serangga, siput,

dan keong emas.

Suwandi (2008), juga menyatakan bahwa selain tambahan

pendapatan dari memelihara itik, usahatani terintegrasi memberikan

keuntungan lain. Keuntungan dimaksud yaitu: (1) berkurangnya biaya


4

produksi padi karena menurunnya penggunaan pupuk, pestisida,

herbisida, dan tenaga kerja penyiang rumput. (2) Meningkatnya mutu dan

kondisi lahan akibat adanya bahan organik dari kotoran itik dan

berkurangnya pupuk anorganik

1.2. Masalah

Pestisida digunakan untuk membasmi hama keong mas dan gulma

persawahan, namun penggunaan pestisida secara terus menerus

menyebabkan dampak buruk bagi lingkungan dan kesehatan manusia.

Hama yang dibasmi dengan pestisida juga akan resistan terhadap

pertisida, dapat juga menimbulkan resurgansi hama dan ledakan populasi

hama sekunder. Sebagai pengganti penggunakan pertisida, Dimanfaatkan

itik sebagai pengganti penggunaan pestisida untuk membasmi hama

berupa keong mas dan gulma persawahan di Desa Pulau Ingu Kecamatan

Benai Kabupaten Kuantan Singingi. Namun pemanfaatan Itik

menimbulkan masalah baru, dimana jumlah itik yang diperlukan sebagai

pembasmi tidak seimbang dengan luasnya lahan sawah di Desa Pulau

Ingu. Pemerintah Daerah Kabupaten Kuantan Singingi juga belum

mengerti tentang pentingnya manfaat itik di persawahan sehingga

perhatian pemerintah terhadap peternak tidak ada.


5

II. PEMANFAATAN ITIK SEBAGAI PENGGANTI PESTISIDA


DALAM MEMBASMI HAMA DAN GULMA PERSAWAHAN
DI DESA PULAU INGU KECAMATAN BENAI
KABUPATEN KUANTAN SINGINGI

2.1. Tanaman Padi (Oryza sativa L.)

Tanaman padi sawah (Oryza sativa L.) merupakan komoditas

andalan dan bahan pangan nasional yang diupayakan ketersediaannya

tercukupi sepanjang tahun. Hasil produksinya berupa beras yang

dibutuhkan sebagai bahan makanan pokok 90% masyarakat indonesia.

Beras yang dihasilkan dari padi mengandung zat makanan penting yang

diperlukan tubuh antara lain karbohidrat, protein, lemak, serat kasar,

vitamin dan berbagai unsur mineral antara lain kalsium, magnesium,

sodium, dan fosfor (Indasari, Wibowo, dan Drajad, 2008).

Tanaman padi secara sitematis tergolong ke dalam kingdom:

Plantae, Divisi: Spermatophyte, Subdivisi: Angiuspermeae, Kelas:

Monocotyledoneae, Ordo: Poales, Famili: Gramineae, Genus: Oryza,

Spesies: sativa (Purwono dan Purnamawati, 2007) Nama ilmiah: Oryza

sativa L.

Morfologi padi terdiri dari dua bagian utama, yaitu bagian vegetatif

yang meliputi akar, batang dan daun. Sedangkan bagian kedua adalah

bagian generatif yang meliputi malai yang terdiri dari bunga dan bulir-bulir

atau buah padi (Alreza, 1990).

Menurut Purwono dan Purnamawati (2007), akar padi adalah akar

serabut yang sangat efektif dalam penyerapan unsur hara, tetapi peka

terhadap kekeringan. Akar terkonsentrasi pada kedalaman 10-20 cm dari


6

permukaan tanah. Batang padi berbuku dan berongga, dari buku batang

ini tumbuh anakan atau daun sedangkan bunga atau malai muncul dari

buku terakhir pada tiap anakan produktif.

Menurut Manurung dan Ismunadji (1988), daun padi tumbuh pada

batang dalam susunan yang berselang seling, pada setiap buku terdapat

satu daun. Tiap daun terdiri dari helaian daun, pelepah daun yang

membungkus ruas, telinga dan lidah daun. Daun yang terakhir muncul

adalah daun bendera, yang merupakan daun terpendek dan terlebar dari

daun yang lainnya. Anakan mulai tumbuh setelah memiliki 4 atau 5 daun,

tumbuh pada dasar batang, memiliki pola anakan berganda. Anakan

primer adalah anakan yang tumbuh pada kedua ketiak daun pada batang

utama sedangkan anakan sekunder adalah anakan yang tumbuh pada

ketiak anakan primer dan seterusnya yang biasanya bertambah kecil.

Surowinto (1982) menyatakan, bagian generatif tanaman padi

terdiri dari malai dan buah padi. Malai adalah sekumpulan bunga padi

(spikelet) yang keluar dari buku paling atas. Panjang malai dapat

mencapai 30 cm, mempunyai cabang-cabang yang mempengaruhi besar

rendemen suatu varietas. Bunga padi merupakan bunga telanjang dan

menyerbuk sendiri yang mempunyai satu bakal buah, benang sari serta

tangkai putik. Buah padi merupakan benih ortodok yang ditutupi oleh

palea dan lemma. Buah padi adalah biji padi atau gabah yang tertutup

oleh lemma, palea dan nerver atau kulit gabah.

Padi sebagai komoditas yang potensial untuk dikembangkan di

Provinsi Riau, maka diperlukan tindakan budidaya yang tepat untuk


7

memperoleh hasil produksi yang lebih optimal dengan kualitas hasil yang

lebih baik dan sehat. Namun dalam budidaya tanaman padi tidak terlepas

dari ganguan organisme pengganggu tanaman (OPT). Yang termasuk

dalam OPT padi adalah gulma, hama dan penyakit.

2.2. Gulma

Gulma merupakan tumbuhan pengganggu yang dapat menurunkan

hasil padi bila tidak dikendalikan secara efektif. Menurut Pane dan Jatmiko

(2009), gulma berdasarkan morfologinya bentuk gulma dapat dibedakan

menjadi gulma rumput, teki dan berdaun lebar.

Gulma rumput (Grasses) umumnya gulma ini termasuk ke dalam

famili Gramineae/poaceae. Tumbuhan tersebut memiliki batang berbentuk

bulat kadang-kadang agak pipih dan kebanyakan berongga. Gulma teki

(Sedges) umumnya termasuk ke dalam famili Cypperacea. Gulma ini

merip dengan gulma rumput, batang berbentuk segitiga, kadang-kadang

bulat dan berongga.Sedangkan gulma berdaun lebar (Broadleaf weeds)

tidak termasuk golongan gulma teki dan gulma rumput. Ada yang

monokotil dan banyak yang dikotil, daun melebar sepenuhnya, berbentuk

agak bulat atau lonjong dengan urat daun seperti jala tidak teratur.

Menurut Nantasomsaran dan Moody (1993), dilahan sawah

keragaman spesies gulma yang tinggi tergantung pada curah hujan,

intensitas genangan air, tingkat intensitas pola tanam atau pengelolaan

lahannya. Menurut Moenandir (1981), Poaceae spp. lebih dari 80 spesies

dan Cyperaceae spp. lebih dari 50 spesies. Gulma berdaun lebar terdiri
8

dari Alismataceae, Asteraceae, Fabaceae, Lythraceae dan

Scrophulariaceae. Selain gulma yang termasuk ke dalam OPT padi adalah

hama, yaitu keong emas.

2.3. Keong Emas (Pomacea canaliculata L.)

Keong emas (Pomacea canaliculata L.) dari Famili Ampularidae

merupakan keong air tawar dari Amerika Selatan seperti Argentina,

Suriname, Brazil dan Guatemala (Suharto, 2010). Awal mula keong emas

masuk ke kawasan Asia Tenggara adalah melalui perdagangan (Ardika,

2012).

Klasifikasi keong emas menurut Darma 1988 dalam Isnaningsih

(2006), adalah Kingdom: Animalia, Filum: Mollusca, Kelas: Gastropoda,

Subkelas: Ampularidae, Genus: Pomacea, Species: canaliculata Nama

ilmiah: Pomacea canaliculata L. Menurut Isnaningsih dan Marwato (2011),

Pamocea canaliculata memiliki ciri khas cangkang berbentuk bulat,

bewarna kuning hingga coklat tua. Pada sekitar satura warna cangkang

menjadi lebih muda, sulur tinggi dan meruncing, satura melekuk

membentuk kanal yang dalam, mulut cangkang lonjong dan pada bagian

atasnya meruncing.

Tingkat serangan keong emas ini tergolong cukup tinggi karena

berkembang baik dengan cepat dan menyerang tanaman yang masih

muda. Kerusakan yang ditimbulkan oleh hama keong emas berkisar

10-40% (Budiyono, 2006). Keong emas memakan berbagai tanaman yang

lunak termasuk padi yang masih muda. Biasanya keong emas memarut

pangkal batang padi dengan radulanya hingga patah, kemudian patahan


9

tanaman yang rebah tersebut dimakan. Bila populasi keong emas tinggi

dan air selalu tergenang, bisa mengakibatkan rumpun padi mati

(Hermawan, 2007).

2.4. Pengunaan Peptisida (Metode Anorganik)

Teknik pengendalian gulma dan keong emas yang dilakukan petani

sampai saat ini masih banyak menggunakan pestisida kimia sintetis.

Pengendalian dengan cara ini mempunyai beberapa keunggulan seperti:

jenis pestisida ini mudah didapat, mudah diaplikasikan dan hasil

pengendaliannya cepat terlihat (Girsang, 2009). Namun penggunaan

pestisida kimia sintetis yang secara terus menerus dan tidak bijaksana

dapat menimbulkan dampak negatif seperti resistensi gulma dan hama,

matinya spesies non target, terjadinya ledakan hama sekunder dan

terdapatnya residu pada tanaman. Selain itu penggunaan pestisida kimia

secara kontiniu dapat merusak lingkungan di sekitar area penanaman padi

dan dapat juga mengganggu kesehatan manusia.

Perlu dicari alternatif pengendalian lain yang tidak menimbulkan

dampak negatif sebagai upaya untuk mengurangi ketergantungan

terhadap penggunaan pestisida kimia sintetis seperti pemanfaatan itik

petelur untuk penyiangan gulma dan pengendalian hama keong emas.

2.5. Pestisida dan Pencemaran Tanah

Menurut Nuraintan (2012), pertisida secara umum diartikan sebagai

bahan kimia beracun yang digunakan untuk mengendalikan jasad


10

pengganggu yang merugikan kepentingan manusia. Dibidang pertanian

penggunaan pestisida juga telah dirasakan manfaatnya untuk

meningkatkan produksi, terutama digunakan untuk melindungi tanaman

dan hasil tanaman yang ditimbulkan oleh berbagai jasad pengganggu.

Petani meyakini dapat terhindar dari kerugian akibat serangan jasad

pengganggu tanaman berupa gulma dan hama. Pestisida memang

menguntungkan bagi petani, namun ada beberapa pengaruh negatif dari

pemakaian pestisida yaitu sebagai pencemar tanah, yang pada akhirnya

akan berpengaruh terhadap manusia dan makhluk lainnya.

Menurut Haikal (2011), pencemaran tanah dapat memberikan

dampak terhadap ekosistem. Perubahan kimiawi tanah yang radikal dapat

timbul dari adanya bahan kimia beracun/berbahaya bahkan pada dosis

yang rendah sekalipun. Perubahan ini dapat menyebabkan perubahan

metabolisme dari mikroorgannisme endemik dan antropoda yang hidup di

lingkungan tanah tersebut. Akibatnya dapat memusnahkan beberapa

spesies primer dari rantai makanan, yag dapat memberikan akibat yang

besar terhadap predator atau tingkatan lain dari rantai makanan tersebut.

Bebrapa bahan pencemar ini memiliki waktu paruh yang panjang dari

pada kasus lain bahan-bahan kimia derivatif akan terbentuk dari bahan

pencemar tanah utama. Hal lainnya juga akan berdampak pada unsur

hara, dimana tanah akan miskin hara. Kondisi ini akan sangat merugikan

bagi petani, karena ketika tanah miskin akan hara maka tanah tidak lagi

berproduksi sebagimana mestinya, sehingga tanaman apapun yang

ditanam di tanah tersebut tidak akan tumbuh dengan baik dan subur.
11

2.6. Pemanfaatan Itik Petelur (Metode Organik)

Itik merupakan jenis ternak unggas yang umum dipelihara di

Indonesia untuk menghasilkan telur. Masyarakat sudah terbiasa

mengkonsumsi telur itik. Menurut Susilorini (2010), secara zoologi

taksonomi itik adalah Kingdom; Animalia, Filum; Chordata, Kelas; Aves,

Ordo; Anseriformis, Famili; Anatidae, Genus; Anas danm Spesies; Anas

plathyrynchos.Sebagai unggas air, itik cocok dikembangkan di

agroekosistem sawah (Guntoro, 2011).

Teknologi intensifikasi padi dengan itik adalah suatu sistem mix

farming yang merupakan suatu terobosan intensifikasi padi dengan

menggunakan ternak itik.Ternak itik difungsikan sebagai fertilizer,

pestisider, herbisider dan tenaga untuk menyiangi padi (Indreswari,

Henny, dan Muyasyaroh, 2014).

Menurut Pudjiatmoko (2009), itik mempunyai beberapa manfaat

untuk budidaya padi, yaitu; (1) manfaat untuk penyiang gulma, (2) manfaat

pengendalian hama penyakit, (3) Manfaat pemupukan, (4) manfaat

pembajakan dan penggemburan tanah sepanjang waktu, (5) manfaat

pengendalian Keong Mas, dan (6) manfaat stimulasi pertumbuhan padi.

Disisi lainnya sawah padi mempunyai manfaat untuk pemeliharaan padi

yaitu; (1) penggunaan sumber alami sebagai makanan seperti gulma dan

keong mas, (2) penggunaan ruang yag tersisa di sawah padi sebagai

habitat itik, (3) penggunaan air yang berlimpah, dan (4) sebagai tempat itik

bersembunyi di bawah daun padi. Pemanfaatan itik dipersawahan untuk

biaya keseluruhan lebih murah.


12

Teknologi itik dengan padi sawah selain menekan biaya produksi

dan meningkatkan hasil juga meningkatkan efisiensi, karena pada

lahan yang sama dan dalam waktu yang bersamaan dapat diproduksi

dua komoditas sekaligus yaitu padi dan itik. Selain itu, menurut

Supriyadi (2009), keuntungan pemeliharaan ternak itik adalah mudah

berkembang biak dan tidak mudah diserang penyakit. Hasil penelitian

Mahfudz, Limbongan dan Khairani (2001), menyatakan teknologi Inditik

dapat menekan pakan itik sampai 50% dan produksi padi dapat meningkat

35% dibanding intensifikasi padi biasa.

2.7. Pemanfaatan Itik sebagai Pengganti Pestisida dalam


Membasmi Hama dan Gulma Persawahan di Desa Pulau Ingu
Kecamatan Benai Kabupaten Kuantan Singingi

Pulau Ingu adalah salah satu Desa di Kecamatan Benai Kabupaten

Kuantan Singingi (Lampiran 1,2 dan 3). Berdasarkan data dari Badan

Pusat Statistik Kabupaten Kuantan Singingi (2013), Kecamatan Benai

memiliki luas wilayah 124.66 km2 atau sekitar 1.63% dari keseluruhan

luas Kabupaten Kuantan Singingi. Jumlah penduduk Kecamatan Benai

15.822 jiwa dengan kepadatan penduduk rata-rata 103,62 jiwa/km2

(Lampiran 5 dan 6). Kondisi geografis untuk curah hujannya besar dari

1500 mm/tahun, ketinggian tanah 25-30 meter di atas permukaan air.

Aspek geologi tata lingkungan dengan marfologi daratan hingga

bergelombang, berada pada zona geseran, patahan dengan arah yang

belum diketahui, potensi terhadap banjir disekitar Daerah Aliran Sungai

(DAS), berpotensi erosi dan longsor pada bagian tengah. Mata


13

pencaharian penduduk Kecamatan Benai sebagain besar sebagai petani

perkebunan Karet, Sawit, Kakao, dan Tanaman Sawah (Padi). Data

statistik tanaman pangan Kabupaten Kuantan Singingi (2014) menyatakan

sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang masih menjadi

andalan penduduk benai yang bekerja dibidang pertanian padi yaitu

sebanyak 1.722 jiwa (Lampiran 7). Kecamatan Benai mempunyai lahan

sawah dan irigasi seluas 2.980 Ha dan potensi pada areal pertanian

didominasi oleh Desa Pulau Ingu.

Dalam bertani padi petani mengalami kesulitan dengan

berkurangnya hasil panen karena adanya musuh padi berupa hama

berupa Keong Mas dan Gulma. Hama dan gulma yang menyerang

tanaman padi dibasmi oleh petani dengan menggunakan pestisida.

Pengunaan pestisida dalam membasmi hama dan gulma sangat efektif

bagi petani karena pertisida mudah digunakan, harganya terjangkau, dan

hasil pengendaliannya cepat. Terbukti Pada tahun 2011 tanaman padi

Kabupaten Kuantan Singingi mengalami peningkatan hasil panen dari

43.460,74 ton menjadi 48.681,67 ton, tapi pada tahun 2013 hasil panen

mengalami penurunan menjadi 47.408,63 ton, dan terus mengalami

penurunan hasil panen setiap tahunnya, bahkan sesuai fakta dilapangan

pada tahun 2016 hampir 50% petani mengalami gagal panen karena padi

yang mereka tanam diberisi (hampa). Sawah petani juga dipenuhi dengan

hama keong mas yang menyebabkan batang padi jatuh dan tidak dapat

berkembang lagi.
14

Pengunaan pertisida secara terus menerus ternyata tidak bijaksana

karena menimbulkan dampak negatif, pertisida dapat menjadi pencemar

bagi tanah, air, udara, dan tanaman padi itu sendiri. Menurut hasil survey

yang dilakukan dilapangan keong mas resistan terhadap pestisida

sehingga penggunaan pestisida tidak efektik digunakan untuk

pengendaliannya. Oleh sebab itu, perlu digunakan alternatif lain dalam

membasmi hama dan gulma dipersawahan. Sebagai pengganti pestisida

petani memanfaat itik petelur sebagai pembasmi hama Keong Mas dan

gulma.

Secara umum itik memakan hama kecil berupa cacing dan keong

serta beberapa rerumputan. Atas dasar inilah itik dapat dimanfaatkan

dalam membasmi hama dan gulma dipersawahan. Apabila itik yang

dimanfaatkan dalam membasmi hama dan gulma maka pencemaran

tanah, air, udara, dan menurunnya produksi padi dapat dihindari.

Menurut hasil penelitian yang dilakukan Pujiatmoko (2009),

pemanfatan itik untuk pertanian padi dapat meningkatkan hasil panen

karena itik membasmi keong mas secara teratur. Itik yang dilepaskan ke

sawah menjadikan keong mas sebagai makanannya sehingga keong mas

berkurang setiap hari dan tidak ada perkembangbiakannya di sawah

tersebut. Padi juga semakin subur dengan adanya tambahan pupuk

organik dari kotoran itik hal ini menunjang peningkatan hasil panen padi

bagi petani.

Dalam aplikasinya itik disebarkan pada petak sawah dengan

perbadingan 20m x 20m sawah disebarkan sebanyak 10 ekor itik. Dalam


15

penerapan ini umur itik juga disesuaikan dengan umur padi, itik akan

dilepaskan ke sawah apabila padi sudah berumur dua minggu (padi baru

tanam) dan itik yang dilepaskan kurang lebih berumur 1-2 bulan (anak

itik). Hal ini dimaksudkan agar menghindari kemungkinan itik memakan

padi, jika anak itik yang dilepaskan pada umur padi yang masih 2 minggu,

maka itik tidak akan memakan padi karena padi terlalu keras untuk

dimakan itik. maka dengan ini, itik akan membasmi hama dan gulma yang

baru bermunculan di sawah tersebut.

2.7.1. Jumlah Itik yang Dipelihara Peternak di Desa Pulau Ingu

Berdasarkan hasil survey lapangan, peternak itik terbesar di Desa

Pulau Ingu rata-rata memiliki 200 ekor itik. Sedangkan peternak kecil-

kecilan memiliki 35 sampai 40 ekor itik, dari keseluruhan jumlah total itik di

Desa Pulau Ingu sekitar 900 ekor. Secara umum, makanan pokok itik

berupa sagu dan ampas tahu. Sau didapatkan oleh para peternak

sebagian ada di Desa Pulau Ingu atau desa-desa lain di Kecamatan Benai

dan ada pula sebagian yang mencari sagu di desa-desa Kecamatan

Pangean dan Kecamatan Sentajo Raya yang merupakan Kecamatan

Tetangga dari Kecamatan Benai. Sedangan ampas tahu didapakan

peternak dari industri tahu di Desa Pulau Ingu atau desa-desa lain yang

memiliki industri tahu.

Makanan tambahan untuk itik berupa hama seperti keong mas dan

gulma yang ada di persawahan Desa Pulau Ingu pada musim tanam

tanaman padi. Ketika padi sudah dipanen, itik akan mendapat tambahan

makanan dari sekam padi yang diperoleh peternak di tempat-tempat heler


16

atau penggilingan padi. Luas lahan pertanian padi yang digarap di Desa

Pulau Ingu sekitar 100 Ha (1.000.000 m2) dari keseluhan lahan di

Kecamatan Benai. Pada lahan 100 Ha jika dilepaskan 10 ekor itik setiap

20x20 m (400 m2), maka total keseluruhan itik yang diperlukan Desa

Pulau Ingu adalah 25.000 ekor itik. Secara mamtematis, Desa Pulau Ingu

kekurangan sebanyak 24.100 ekor itik.

2.7.2. Perhatian Pemerintah Daerah Kabuapaten Kuantan Singingi


Terhadap Peternak Itik

Sampai saat ini, belum ada program pemerintah yang mendukung

pemanfaatan itik sebagai pengganti pestisida dipersawahan. Peternak

mengalami kesulitan dengan minimnya tumbuhan sagu yang tidak

mencukupi pakan itik. Selain di Desa Pulau Ingu jumlah tidak mencukupi

sagu, tanaman sagu pun dikhawatiran semakin berkurang dan bahkan

bisa punah dengan di ambilnya terus menerus tanpa ada penanaman

kembali.
17

III. DAMPAK PEMANFAATAN ITIK SEBAGAI PENGGANTI


PESTISIDA DALAM MEMBASMI HAMA DAN GULMA
PERSAWAHAN DI DESA PULAU INGU KECAMATAN
BENAI KABUPATEN KUANTAN SINGINGI

3.1. Aspek Ekonomi

Bila tidak dimanfaatkan itik sebagai pengganti pestisida maka,

penggunaan pestisida dapat mengakibatkan dampak negatif bagi petani

dan Pemerintah kabupaten Kuantan Singingi.

1. Dampak Pestisida bagi Petani Desa Pulau Ingu

 Munculnya resistansi hama dan gulma terhadap pestisda.

Munculnya resistansi adalah sebagai reaksi evolusi menghadapi

suatu tekanan yang didapat dari penggunaan pestisida yang terus

menerus.

 Terjadi resurgansi hama. Resurgansi hama terjadi apabila setelah

diberi pestisida populasi hama menurun dengan cepat dan secara

tiba-tba justru meningkat lebih tinggi dari jenjang populasi

sebelumnya.

 Ledakan populasi hama sekunder. Peristiwa ledakan populasi

hama sekunder apabila, setelah pemberian pestisida terjadi

penurunan populasi hama utama. Namun kemudian terjadi

peningkatan populasi pada spesies yang sebelumnya bukan

merupakan hama utama.


18

Dari ketiga dampak penggunaan pestisida di atas, akan menimbulkan

kerugian ekonomi yang besar bagi petani di Desa Pulau Ingu Kecamatan

Benai Kabupaten Kuantan Singigi dan masyarakat disekitarnya.

Resistansi hama, resurganis hama, dan ledakan populasi hama sekunder

akan menimbulkan masalah baru yang lebih merugikan petani.

2. Dampak Pestisida bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Kuantan


Singingi

Pestisida ketika digunakan secara terus menerus dapat

menyebabkan pencemaran pada tanah, air, udara, dan padi itu sendiri.

Dengan tercemarnya tanah, maka akan mempersempit luas lahan

pertanian di Kabupaten Kuantan Singingi. Apabila air tercemar, maka

biota air akan terancam keselamatannya. Udara yang tercemar juga akan

mengakibatkan polusi yang merusak kesehatan masyarakat, serta padi

yang mengalami dampak penggunaan pestisida akan menurun

produksinya. Hal ini, secara ekonomi tentu sangat merugikan bagi

Kabupaten Kuantan Singingi.

Bila dimanfaatkan itik sebagai pengganti pestisida maka itik akan

memberikan dampak positif bagi petani dan Pemerintah kabupaten

Kuantan Singingi.

1. Manfaat Itik bagi Petani Desa Pulau Ingu

Dampak ekonomi bagi petani yaitu, tiga hal yang ditakutkan petani

seperti resisitansi hama, resurgansi hama dan ledakan populasi hama

sekunder tidak akan terjadi karena keong mas dan gulma akan dimakan

oleh itik. Itik setiap hari dilepaskan kesawah, maka hama keong mas dan
19

gulma akan setiap hari secara teratur dibasmi oleh itik, sehingga tidak aka

nada perkembangbiakan hama keong mas dan gulma yang akan

menggangu pertumbuhan padi. Seiring dengan hal tersebut petani akan

lebih diuntungkan dengan tidak perlunya mengeluarkan biaya untuk

membeli pestisida. Pendapatan petani pun kian bertambah dengan

adanya peternakan itik tersebut karena telur itik baik ttelur itik maupun itik

yang telah dewasa dapat dijual.

2. Manfaat Itik bagi Pemerintah Kabupaten Kuantan Singingi

Itik yang dimanfaat untuk membasmi hama dan gulma tidak akan

merusak unsur tanah, air, udara maupun tanaman padi itu sendiri. tidak

akan terjadi penyempitan lahan pertanian yang diakibatkan tanah yang

tercemar. Pemanfaatan itik memberikan kontribusi tambahan pada padi

seperti kotoran itik yang menjadi pupuk bagi tanaman padi yang dibuang

itik ketika sedang berada di sawah. Tanaman padi akan semakin subur

sehingga hasil panen juga akan meningkat, dengan meningkatnya hasil

panen maka pendapatan daerah Kabupaten Kuantan Singingi juga akan

bertambah.

3.2. Aspek Sosial Budaya

Bila tidak dimananfaatkan itik sebagai penggati pestisida maka

penggunaan pestisida akan menimbulkan dampak negatif bagi Petani dan

Pemerintah Daerah Kabupaten Kuantan Singingi

1. Dampak Pestisida bagi Petani Desa Pulau Ingu dan


20

Bila tidak dimananfaatkan itik sebagai penggati pestisida maka

penggunaan pestisida sebagai proses yang berkelanjutan memiliki

dampak yang luas bagi kehidupan masyarakat Desa Pulau Ingu. Dampak

tersebut meliputi perubahan lingkungan yang berpengaruh terhadap

ekosistem, yaitu terganggunya keseimbangan lingkungan alam dan

kepunahan keanekaragaman hayati. Salah satunya pencemaran di air,

jika air tercemar maka besar kemungkinan biota airnya akan punah.

Masyarakat yang pekerjaan sehari-harinya mencari ikan disungai tentu

akan mengalami kesulitan jika biota air semakin hari semakin berkurang

bahkan banyak ikan yang tidak ada lagi populasinya.

2. Dampak Pestisida bagi Pemerintah Kabupaten Kuantan Singingi

Masalah kerusakan tanah, air dan udara yang akan menyebabkan

terganggunya keseimbangan ekosisten dan keanekaragaman hayati

harus menjadi perhatian karena peletarian keanekaragaman hayati adalah

kewajiban bersama agar dapat dinikmati generasi yang akan datang.

Apabila ekosistem dan keanekaragaman hayati terganggu maka

pemerintah juga akan terancam akan kehilangan aset wisatanya berupa

keanekaragaman hayati.

Bila dimanfaatkan itik sebagai pengganti pestisida maka, itik dapat

memberikan dampak positif bagi petani dan Pemerintah kabupaten

Kuantan Singingi.

1. Manfaat Itik bagi Petani Desa Pulau Ingu

Bila dimanfaatan itik sebagai penganti penggunaan pestisida maka

secara aspek sosial dan budaya keseimbangan ekosistem yang


21

terganngu akibat penggunaan pestisida tidak perlu ditakutkan lagi.

Masyarakat Desa Pulau Ingu juga akan saling meningkatkan tali

silaturrahmi antara petani padi dan peternak itik karena mereka akan

saling membutuhkan dan saling menguntungkan. Itik yang dilepaskan

kesawah akan lebih bagus perkembangannya dibandingkan dengan itik

yang diternakkan dirumah. Di sawah itik juga bisa memakan organisme

lain seperti belalang kecil dan anak-anak katak. Jika itik memakan

belalang kecil maka akan menguntungkan padi karena dahan padi tidak

akan terganggu lagi oleh belalang. Jika itik memakan anak katak maka

akan menguntungkan itik itu sendiri, katak dapat menambah nutrisi pada

itik sehingga pertumbuhan itik menjadi lebih baik.

2. Manfaat Itik bagi Pemerintah Kabupaten Kuantan Singingi

Dampak sosial budaya bagi Pemerintah Daerah Kabupaten

Kuantan Singingi yaitu air, tanah, udara dan padi itu sendiri tidak akan

terganggu oleh itik. Dengan pemanfaatan itik kesuburan tanah tidak

terganggu., air juga tidak tercemar sehingga biota sungai akan terlindungi.

3.3. Aspek Lingkungan dan Kesehatan

Bila tidak dimanfaakan itik sebagai pengganti pestisida akan

memberikan dambak negatif terhadap lingkungan dan kesehatan.

1. Dampak Pestisida pada Lingkungan

 Pestisida pada polusi udara karena pestisida dapat tersuspensi di

udara sebagai partikulat yang terbawa oleh angin ke area selain

target dan mengkontaminasinya. Kondisi cuaca seperti temperatur


22

dan kelembaban juga menjadi penentu kualitas pengaplikasian

pestisida karena sama dengan halnya fluida yang mudah menguap.

 Pestisida pada sistem perairan, pestisida mengkontaminasi

perairan bisa melalui udara dan bisa melalui aliran air permukaan.

Dampak pestisida dalam perairan yaitu pestisida dapat merusak

biota air dan mencemari sungai.

 Senyawa kimia yang digunakan sebagai pestisida merupakan

bahan pencemar tanah yang persisten (sulit terurai). Penggunaan

pestisida mengurangi keragaman hayati secara umum di tanah.

Dalam penerapannya tidak semua pestisida sampai kesasaran.

Kurang dari 20% pertisida sampai ke tumbuhan, dan selebihnya

lepas begitu saja. Akumilasi dari pestisida dapat mencemari lahan

pertanian dan dapat masuk dalam rantai makanan sehingga

menimbulkan berbagai macam penyakit.

2. Dampak Pestisida pada Kesehatan

 Dampak bagi kesehatan petani, penggunaan pestisida bisa

mengkontaminasi pengguna secara langsung sehingga

mengakibatkan keracunan. Keracunan terbagi beberapa dalam tiga

kategiri yaitu; keracunan akut ringan, Keracunan akur berat dan

Keracunan krinis .

 Dampak pestisida bagi konsumen, pada umumnya berbentuk

keracunan kronis yang tidak segera terasa. Namun, dalam jangka

waktu lama bisa menimbukan gangguan kesehatan.


23

Bila dimanfaatkan itik sebagai pengganti pestisida dalam

membasmi hama dan gulma dipersawahan maka akan memberikan

dampak positif bagi lingkungan dan kesehatan.

1. Manfaat Pemanfaatan Itik bagi Lingungan

Dengan memanfatkan itik tidak ditakutkan lagi adanya polusi udara,

pencemaran sungai, dan pencemaran tanah yang biasa terjadi ketika

menggunakan pestisida. Unsur hara tanah akan terjaga sehingga tidak

terjadi penyempitan luas lahan pertanian, bahkan itik akan menambah

kesuburan tanah dengan kotorannya. Itik juga dapat dijadikan alternatif

sebagai penggembur dan pembajakan tanah sepanjang itik berada di

sawah tersebut.

2. Manfaat Pemanfaatan Itik bagi Kesehatan

Itik membasmi hama dan gulma secara alami tanpa adanya bahan

berbahaya dan beracun yang mencemari sawah. Hal ini sangat

meguntungkan baik bagi petani maupun konsumen. Padi yang tumbuh

dengan tidak terkontaminasi pestisida tentu lebih baik dikonsumsi karena

tidak akan menggangu kesehatan.


24

IV. PENINGKATAN PEMANFAATAN ITIK SEBAGAI


PENGGANTI PESTISIDA DALAM MEMBASMI HAMA
DAN GULMA PERSAWAHAN DI DESA PULAU INGU
KECAMATAN BENAI KABUPATEN KUANTAN SINGINGI

4.1. Jumlah Itik yang Dipelihara Peternak di Desa Pulau Ingu

Jumlah itik di Desa Pulau Ingu sekitar 900 ekor. Untuk membasmi

hama keong mas dan gulma itik dilepaskan sebanyak 10 ekor setiap

400 m2. Dengan lluas keseluhan lahan persawahan di Desa Pulau Ingu

sekitar 1.000.000 m2 maka dibutuhkan sebanyak 25.000 ekor itik. Sesuai

perhitungan matematis pada saat ini Desa Pulau Ingu kekurangan itik

sebanyak 24.100 ekor. Agar itik tetap bisa membasmi hama keong mas

dan gulma persawahan di Desa Pulau Ingu tanpa harus menghiraukan

kekurangan jumlah itik, diperlukan adanya pengaturan periode pelepasan

itik di sawah.

Desa Pulau Ingu terdiri dari tiga RT, bila satu RT itik dapat

membasmi hama dan gulma dalam dua minggu maka itik bisa digilir

pelepasan setiap per dua minggu pada masing-masing RT dengan siklus

yang berulang-ulang sampai datang masa panen pada Gambar 1.

Itik dapat membasmi hama keong mas dan gulma selama dua

minggu dalam satu RT. (a) setelah dua minggu di RT I, itik digiring ke RT

II, (b) setelah dua minggu di RT II itik digiring ke RT III, (c) setelah dua

minggu di RT III itik dikembalikan ke RT I. hal ini dilakukan secara terus


25

menerus sampai panen padi atau sampai keong mas dan gulma hilang di

persawahan.

Gambar 1 : Periode Pelepasan Itik di Persawahan Desa Pulau Ingu


Kecamatan Benai

4.2. Perhatian Pemerintah Daerah Kabupaten Kuantan Singingi


Terhadap Peternak Itik

Pemerintah Daerah Kabupaten Kuantan Singingi, sampai saat ini

belum memperhatikan ketersediaan itik untuk membasmi hama keong

mas dan gulma di persawahan. Sebaiknya pemerintah memberikan

bantuan kepada petani padi agar para petani tidak menggunakan

pestisida dan menggatinya dengan memanfaatkan itik. Peran pemerintah

seharusnya memberikan bantuan pakan ternak kepada pada peternak itik.

Jika pakan ternak disubsidi oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Kuantan

Singingi, maka peternak itik tidak akan susah mencari sagu dikecamatan

selain tempat tinggalnya (Kecamatan Benai) dan tumbuhan sagu pun

tidak dikhawatirkan punah jika ditebangl terus menerus.


26

Sagu menghasilkan nilai ekonomi dan budaya bagi Kabupaten

Kuantan Singingi. Sagu menghasilkan buah Enau yang dapat dimakan

dan dikenal sebagai buah kolang kaling. Air dari buah enau dimanfaatkan

juga oleh masyarakat sebagai air nira untuk membuat gula merah.

Sedangkan batang enau itu sendiri dijadikan tradisi pada penyambutan

hari kemerdekaan oleh sebagian masyarakat Kabupaten Kuantan Singingi

yaitu Pacu Jalur Enau yang dilombakan di darat sebelum Pacu Jalur

Kuantan Singingi di gelar. Dengan alasan inilah Pemerintah Kabupaten

Kuantan Singingi wajib melestarikan tanaman sagu.


27

DAFTAR PUSTAKA

Alreza. 1990. Budidaya Tanaman Padi Aksi Agri Kanisius. Kanisius. Yogyakarta.

Badan Pusat Statistik Provinsi Riau. 2012. Riau Dalam Angka. Pekanbaru.

Badan Pusat Statistik Kabupaten Kuantan Singingi. 2013. Kuantan Singingi Dalam
Angka. Teluk Kuantan.

Badan Pusat Statistik Kabupaten Kuantan Singingi. 2014. Kuantan Singingi Dalam
Angka. Teluk Kuantan.

Bangun, P. dan M. Syam. 1993. Pengendalian Gulma pada Tanaman Padi. Padi
Buku 2. Puslitbangtan. Bogor.

Budiyono, S. 2006. Teknik Mengendalikan Keong Emas pada Tanaman Padi. Jurnal
Ilmu-Ilmu Pertanian. 2 (2): 128-133.

Damardjati, D. 1990. Pembuatan Tepung Campuran (Gaplek, Terigu, Padi dan


Kacang Hijau) untuk Kue Basah. Mizan. Medan.

Girsang, W. 2009. Dampak Penggunaan Pestisida. Fakultas Pertanian Universitas


Simalungun Pematang Siantar. Medan.

Guntoro, S. 2011. Studi Eksplorasi Potensi Ekowisata Pesisir Desa Cikaput


Kecamatan Sijuk Kabupaten Belitung. Skripsi, Fakultas Ilmu Pemeintahan
dan Politik Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim. Pekanbaru.

Haikal, M. 2011. Penggunaan Pestisida dalam Pertanian. Aksi Agri Kanisius.


Kanisius. Yogyakarta.

Hermawan, H. 2007. Media Pembelajaran. UPI Press. Bandung.

Indasari, S.D., P. Wibowo dan A. A. Drajad, 2008. Kandungan Mineral Beras


Varietas Unggul Baru. (Abstrak), Seminar Nasional Padi. Erlangga.
Surabaya.

Indreswari, K., L. Henny dan Muyasyaroh. 2014. Itik sebagai Penyiang di


Persawahan. Jurnal Teori dan Praktik Pertanian 10 (2): 87-89.

Isnaningsih, N.R. 2006. Variasi Struktur Cangkang Keong Emas Pomacea


canaliculata (Lamarck, 1822) di Indonesia. Jurnal Biolog. 6 (1): 125-129.

Isnaningsih, N.R dan R. M. Marwoto, 2011. Keong Emas Hama Pomacea di


Indonesia: Karakter Morfologi dan Sebarannya (Mollusca, Gastropoda:
Ampullariidae). Jurnal Biologi. 10 (4): 411-446.
28

Mahfudz, Y. T., J. Limbongan dan C. Khairani. 2001. Seleksi Pohon Induk Nangka
Lokal Palu sebagai Sumber Entris untuk Produksi Bibit secara Vegetatif.
Agroland. 8 (3): 237-244.

Manurung, R. dan I. Ismunadji. 1988. Morfologi dan Fisiologi Padi. Buku 1. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor.

Moenandir, J. S. 1981. Pengantar Ilmu dan Pengendalian Gulma (Ilmu Gulma-Buku


I). Rajawali. Jakarta.

Nantasomsaran, P dan K. Moody. 1993. Weed Management for Rainfed Lowland.


Rice. Paper to be Presented at the Second Annual Technical Meeting of
the Rainfed Lowland Rice Consortium. USM. Semarang.

Nuraintan, S. 2012. Pencemaran Tanah Akibat Penggunaan Pestisida Sistesis pada


Pertanian. Aksi Agri Kanisius. Kanisius. Yogyakarta.

Pane, H. dan S. Y. Jatmiko. 2009. Pengendalian Gulma pada Tanaman Padi.


Puslitbangtan. Depok.

Pujiatmoko. 2009. Pertanian Terpadu Padi, Bebek, dan Azolla untuk Siklus
Ekosistem Produktif yang Kekal. Farming Japan 43 (3): 10-13

Purwono, dan Purnamawati. 2007. Budidaya Tanaman Pangan. Agromedia. Jakarta.

Suharto, H. 2010. Teknik Mengendalikan Keong Mas pada Tanaman Padi. Jurnal
Ilmu-Ilmu Pertanian. 2 (2): 128-133.

Supriyadi. 2009. Panen Itik Pedaging dalam Enam Minggu. Penebar Swadaya.
Jakarta.

Surowinoto, S. 1982. Tegnologi Produksi Tanaman Padi Sawah dan Gogo. Institut
Pertanian Bogor. Bogor.

Suryana, A. 2003. Kewirausahaan. Pedoman Praktis, Kiat, dan Proses Menuju


Sukses. Salemba Empat. Jakarta.

Susilorini, T. E. 2010. Budidaya Ternak Potensial pada Produksi Bersih. Penebar


Swadaya. Jakarta.

Suwandi. 2008. Integrasi Tiktok dengan Padi Sawah di Pinggiran Kota Jakarta.
Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian 30 (4): 98-102.

Tjitrosoedirdjo, S., I. H. Utomo dan J. Wiroatmodjo. 1984. Pengelolaan Gulma di


Perkebunan. Gramedia .Jakarta.
29

Lampiran 1. Peta Provinsi Riau

Sumber: www.kuansing.go.id (2016)


30

Lampiran 2. Peta Kabupaten Kuantan Singingi

Sumber: www.kuansing.go.id (2016)


31

Lampiran 3. Peta Kecamatan Benai Kabupaten Kuantan Singingi

Sumber: www.kuansing.go.id (2016)


32

Lampiran 4. Luas Panen Tanaman Pangan Menurut Jenis Tanaman di Provinsi


Riau Tahun 2009-2013

Jenis Tanaman 2009 2010 2011 2012 2013


(1) (2) (3) (4) (5) (6)
1 Padi Sawah 127.522 131.263 123.038 117.649 97.796
2 Padi Ladang 21.901 24.825 22.204 26.366 20.722
3 Jagung 25.016 18.044 14.139 13.284 11.748
4 Ubi Kayu 4.379 4.237 4.144 3.642 3.863
5 Kacang Tanah 2.023 2.188 1.819 1.732 1.325
6 Ubi Jalar 123 1.252 1.203 1.137 1.028
7 Kacang Kedelai 4.906 5.252 6.452 3.686 1.949
8 Kacang HIjau 958 114 938 865 585

Sumber : Badan Pusat Statistik Provinsi Riau 2009-2013.


33

Lampiran 5. Luas daerah Menurut Kecamatan di Kabupaten Kuantan Singingi


Tahun 2013

Luas Daerah Persentase


Kecamatan
(%)

Km2 Ha
(1) (2) (3) (4)
1. Kuantan Mudik 564,28 56.428 7,37
2. Hulu Kuantan 384,4 38.440 5,02
3. Gunung Toar 165,25 16.525 2,16
4. Pucuk Rantau 821,64 82.164 10,73
5. Singingi 1.953,66 195.366 25,52
6. Singingi Hilir 1.530,97 153.097 20

7. Kuantan Tengah 270,74 27.074 3,54

8. Sentajo Raya 145,7 14.570 1,9


9. Benai 124,66 12.466 1,63
10. Kuantan Hilir 148,77 14.877 1,94
11. Pangean 145,32 14.532 1,9

12. Logas Tanah Darat 380,34 38.034 4,97

13. Kuantan Hilir Seberang 114,29 11.429 1,49

14. Cerenti 456 45.600 5,96


15. Inuman 450,01 45.001 5,88

Kabupaten Kuantan Singingi 7.656,03 765.603 100

Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Kuantan Singingi 2013.


34

Lampiran 6. Jumlah dan Rasio Penduduk Kabupaten Kuantan Singingi


Menurut Kecamatan dan Jenis Kelamin Tahun 2014

2013 2014
Kecamatan
Laki – laki Perempuan Jumlah Laki – laki Perempuan Jumlah
Male Female Total Male Female Total
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
1. Kuantan Mudik 11650 11422 23072 11549 11329 22878
2. Hulu Kuantan 4334 4135 8469 4386 4191 8577
3. Gunung Toar 6727 6599 13326 6807 6689 13496
4. Pucuk Rantau 5588 4729 10317 5895 5040 10935
5. Singingi 16056 14330 30386 16248 14524 30772
6. Singingi Hilir 19360 17328 36688 19593 17563 37156
7. Kuantan Tengah 23698 22487 46185 23981 22791 46772
8. Sentajo Raya 14124 13413 27537 14293 13595 27888
9. Benai 7807 7817 15624 7900 7922 15822
10. Kuantan hilir 7326 7227 14553 7414 7325 14739
11. Pangean 8979 9040 18019 9085 9163 18248
12. Logas Tanah Darat 10411 9492 19903 10535 9620 20155
13. Kuantan Hilir
6426 6343 12769 6502 6428 12930
Seberang
14. Cerenti 7522 7238 14760 7612 7336 14948
15. Inuman 7589 7521 15110 7680 7623 15303

Jumlah Total 157597 149121 306718 159.480 151.139 310.619

Sumber : Proyeksi Penduduk Hasil Sensus Penduduk 2014


35

Lampiran 7. Banyaknya Petani Perkebunan Rakyat Menurut Kecamatan dan


Jenis Komoditas di Kabupaten Kuantan Singingi Tahun 2014

No Kecamatan Karet Kakao Sawit Padi Total


(1) (2) (3) (4) (5) (6)
1 Kuantan Mudik 4.268 88 5.665 1.598 11.619
2 Hulu Kuantan 4.238 24 222 1.156 5.640
3 Gunung Toar 6.221 181 93 517 7.012
4 Pucuk Rantau 4.130 19 3.684 1.089 8.922
5 Singingi 6.460 12 7.117 458 14.047
6 Singingi Hilir 3.000 41 9.444 199 12.684
7 Kuantan Tengah 4.461 149 4.032 504 9.146
8 Sentajo Raya 2.372 35 5.252 306 7.965
9 Benai 5.339 596 2.007 1.722 9.664
10 Kuantan Hilir 4.175 53 230 1.666 6.124
11 Pangean 3.803 813 1.804 2.495 8.915
Logas Tanah
12 5.153 63 4.691 2.184 12.091
Darat
Kuantan Hilir
13 2.799 11 222 1.363 4.395
Seberang
14 Cerenti 5.001 132 1.090 1.979 8.202
15 Inuman 3.755 861 317 816 5.743
Jumlah Total 65.175 3.078 45.870 18.052 132.175

Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Kuantan Singingi 2014.


PENINGKATAN KEBUTUHAN KAPASITAS PENGOLAHAN AIR LINDI
DI TEMPAT PEMROSESAN AKHIR SAMPAH RUMAH TANGGA
MUARA FAJAR KEC.RUMBAI PESISIR PEKANBARU

OLEH :

WILYANDA
1510248158

PROGRAM STUDI ILMU LINGKUNGAN


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
2016
DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR ISI........................................................................................................ ii
DAFTAR GAMBAR........................................................................................... iv
DAFTAR TABEL ............................................................................................... v
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... vi
I. PENDAHULUAN ..................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang............................................................................................ 1
1.2 Masalah ................................................................................................... 2
II. PENINGKATAN KEBUTUHAN KAPASITAS PENGOLAHAN AIR
LINDI DI TEMPAT PEMROSESAN AKHIR SAMPAH RUMAH
TANGGA MUARA FAJAR KEC.RUMBAI PESISIR PEKANBARU.... 4
2.1 Pengertian Sampah.................................................................................. 4
2.2 Tempat Pembuangan Akhir .................................................................... 6
2.2.1 Pengertian TPA ........................................................................... 6
2.2.2 Dampak Pengelolaan Sampah..................................................... 8
2.2.3 Metode pembuangan sampah ..................................................... 12
2.2.4 Persyaratan lokasi TPA ............................................................... 14
2.2.5 Jenis dan fungsi fasilitas TPA ..................................................... 14
2.2.6 Teknis operasional TPA.............................................................. 17
2.2.7 Pemeliharaan TPA ...................................................................... 22
2.2.8 Pengawasan dan pengendalian TPA ........................................... 25
2.3 Perlindungan Lingkungan TPA .............................................................. 28
2.4 Metode Analisis Peningkatan Kapasitas Pengolahan Air Lindi di
Tempat Pemrosesan Akhir Sampah ........................................................ 37
2.4.1 Menghitung prediksi jumlah sampel........................................... 38
2.4.2 Menghitung prediksi jumlah penduduk dan laju pertumbuhan
penduduk ..................................................................................... 39
2.4.3 Menghitung prediksi timbulan sampah....................................... 40
2.4.4 Menghitung prediksi kebutuhan luas lahan TPA ........................ 42
2.4.5 Menghitung prediksi kebutuhan luas IPAL lindi TPA ............... 42
2.5 Pengelolaan Air Lindi di TPA Muara Fajar Pekanbaru.......................... 43
III. DAMPAK PENINGKATAN KEBUTUHAN PENGOLAHAN LINDI DI
TPA MUARA FAJAR KECAMATAN RUMBAI PESISIR
PEKANBARU .............................................................................................. 51
3.1 Dampak Ekonomi ................................................................................... 51
3.2 Dampak Sosial Budaya ........................................................................... 52
3.2 Dampak Lingkungan dan Kesehatan ...................................................... 52
IV. UPAYA MAKSIMALISAI PENINGKATAN KEBUTUHAN
KAPASITAS PENGOLAHAN AIR LINDI DI TPA MUARA FAJAR
PEKANBARU .............................................................................................. 55
4.1 Keterlambatan Proses Penutupan Sampah yang Disebabkan Minimnya
Anggaran untuk Pembelian Tanah Penutup Kepada Pihak Ketiga ........ 55
4.2 Pembuangan Sampah dengan Sistem “Open Dumping” ....................... 56
4.3 Penurunan Faktor Pertumbuhan Lindi Melalui Konversi Sampah
Menjadi Energi Listrik ........................................................................... 57
4.4 Pendangkalan dan Penurunan Kinerja IPAL .......................................... 58
4.5 Peningkatan Kebutuhan Kapasitas Pengolahan Air Lindi Pemko Kota
Pekanbaru................................................................................................ 58
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 60
LAMPIRAN......................................................................................................... 62
DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman
1. Diagram rata-rata komposisi sampah di TPA Bantar Gebang Tahun 2010... 5
2. Perubahan paradigma tentang manajemen sampah ...................................... 7
3. Dampak pengelolaan sampah dibidang konomi ............................................ 10
4. Pengelolaan sampah metode sanitary landfill ............................................... 13
5. Lapisan kedap air TPA................................................................................... 30
6. Penampang melintang jaringan pengumpul lindi .......................................... 31
7. Denah instalasi pengelolaan lindi .................................................................. 34
DAFTAR TABEL

Tabel Halaman
1. Baku mutu efluent.......................................................................................... 35
2. Perbandingan parameter desain IPAL air lindi TPA ..................................... 37
3. Rumus menentukan luas kebutuhan IPAL lindi TPA .................................... 43
4. Hasil analisis air lindi ( outlet bak ke empat) unit pengolahan air lindi TPA
Muara Fajar .................................................................................................... 45
5. Hasil pengujian limbah air lindi (outlet ipal) TPA Muara Fajar oleh
Darmayanti..................................................................................................... 46
6. Dasar Perencanaan Penetapan kapasitas IPAL lindi di TPA ......................... 59
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman
1. Peta Provinsi Riau ............................................................................................ 62
2. Peta Kota Pekanbaru ........................................................................................ 63
3. Peta lokasi TPA Muara Fajar Pekanbaru ......................................................... 64
4. Lokasi TPA Muara Fajar Pekanbaru ................................................................ 65
I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Limbah padat rumah tangga menjadi fenomena masalah lingkungan yang
terus berkembang hingga saat ini. Selain pertumbuhan penduduk dan daya
konsumsi masyarakat yang terus meningkat di iringi petumbuhan industri
makanan dan produk kemasan yang beraneka ragam serta budaya yang
berkembang di tengah masyarakat modern saat ini, hal tersebut menyebabkan
peningkatan timbulan sampah yang dihasilkan dari kegiatan rumah tangga
sehingga jika terlambat untuk ditangani akan menjadi tumpukan limbah yang
mengganggu kebersihan udara serta merusak estetika keindahan sebuah kota. Hal
tersebut tentu saja menjadi indikasi pencemaran lingkungan yang tidak
diinginkan baik bagi masyarakat maupun pemerintah khususnya di bidang yang
terkait. Oleh sebab itu dibutuhkan tempat yang memadai baik kapasitas, prasarana
serta lingkungannya untuk menapung dan mengelola limbah-limbah masyarakat
yang aman bagi lingkungan.
Upaya yang dilakukan pemerintah dengan membangun tempat-tempat
pemrosesan sampah sementara dan tempat pemrosesan akhir sampah dengan
mengubah sistem dari penumpukan sampah dan pembakaran menjadi sanitary
landfill merupakan langkah positif untuk menjaga kelestarian lingkungan karena
meskipun mampu mereduksi jumlah timbunan sampah namun dapat
mengakibatkan pencemaran udara dari sisa gas emisi pembakaran bahkan
beresiko mengakibatkan ledakan karena gas methan yang dihasilkan dari
penimbunan sampah yang cukup tinggi. Namun sistem pengelolaan sanitary
landfill tentu saja memiliki rintangan tersendiri karena harus melakukan
perencanaan yang baik untuk mereduksi sampah, menentukan kapasitas TPA dan
fasilitas pengumpulan serta pengolahan air lindi yang dapat timbul akibat
tumpukan sampah yang terkena air hujan baik yang langsung turun maupun
berupa limpasan sehingga mampu menangani permasalahan sampah serta aman
dan ramah bagi lingkungan.
Kandungan bahan organik yang tinggi dari air lindi yang dihasilkan di
tempat pemrosesan akhir sampah memiliki sifat toksik/ beracun menjadikan unit
2

pengolahan air lindi sebagai salah satu perhatian khusus dalam merencanakan
tempat pemrosesan akhir sampah. Berdasarkan hasil periksaan P3KLL Kementian
lingkungan hidup dan kehutanan di wilayah TPST Bantar Gebang pada tahun
2010 berdasarkan PP No82 tahun 2001 tentang pengelolaan kualitas air
permukaan dan pengendalian pencemaran air bahwa telah terjadi indikasi
pencemaran air di TPST tersebut, dengan parameter yang tercemar adalah DO,
BOD, COD, TSS, DHL, Cl2, Fosfor dan Bakteri (Pusarpedal, 2010). Terjadinya
pencemaran ini merupakan indikasi manajemen perencanaan pengelolaan tempat
pengelolaan limbah yang tidak efektif, sehingga air hasil olahan lindi tidak
bekerja secara optimal dan langsung dibuang keperairan alam sehingga
menyebabkan pencemaran lingkungan.
Oleh sebab itu berdasarkan keterangan-keterangan diatas dilihat perlu
untuk menghitung peningkatan kebutuhan kapasitas pengolahan air lindi agar
proses pengolahan limbah berjalan efisien, efektif dan terkendali sehingga
diharapkan tempat pemrosesan akhir sampah yang ramah lingkungan dan
berkelanjutan.

1.2 Masalah
Pekanbaru sebagai kota metropolitan seiring dengan pertumbuhan
penduduk, pertumbuhan berbagai kegiatan masyarakat, industri serta pertanian,
akan mengakibatkan pertumbuhan jenis dan timbulan sampah. Jumlah sampah
yang meningkat setiap hari akan menibulkan masalah dalam pengelolaannya
termasuk pengolahan air lindi yang dihasilkan. Di TPA pengelolaan air lindi
mengalami berbagai masalah yaitu:
1. Keterlambatan proses penutupan sampah yang terjadi akibat minimnya
anggaran untuk pembelian tanah penutup megakibatkan peningkatan
laju pertumbuhan lindi.
2. Pembuangan sampah dengan sistem “open dumping” yang harusnya
diganti dengan “sanitary landfill” tidak berjalan menyebabkan
timbulan lindi yang tidak terkendali.
3. Laju pertumbuhan pembentukan lindi yang tinggi mengakibatkan
terjadinya pendangkalan dan penurunan kinerja IPAL sehingga luas
efektivitas kolam tidak lagi memadai.
3

4. Rencana penurunan faktor pertumbuhan lindi melalui konversi sampah


menjadi energi listrik tidak berjalan sehingga peningkatan kapasitas
kebutuhan pengolahan lindi akan terus terjadi.
5. Belum adanya kebijakan Pemko Pekanbaru dalam upaya peningkatan
kinerja pengolahan air lindi untuk menetukan peningkatan kebutuhan
kapasitas pengolahan air lindi yang optimal dan berkelanjutan.
II. PENINGKATAN KEBUTUHAN KAPASITAS PENGOLAHAN AIR LINDI
DI TEMPAT PEMROSESAN AKHIR SAMPAH RUMAH TANGGA
MUARA FAJAR KEC.RUMBAI PESISIR PEKANBARU

2.1. Pengertian Sampah


Yustina dan Purnomo (2008), menyatakan sampah atau limah rumah tangga
adalah zat-zat atau benda-benda yang sudah tidak terpakai lagi berupa bahan
buangan yang berasal dari rumah tangga. Sedangkan menurut ilmu kesehatan
lingkungan sampah adalah sebagian dari benda yang dipandang tidak berguna, tidak
disenangi atau harus dibuang sehingga tidak mengganggu kelangsungan hidup.
Sampah adalah bahan yang tidak mempunyai nilai atau tidak berharga untuk
maksud biasa atau utama dalam pembuatan atau pemakaian barang rusak atau
bercacat dalam pembuatan manufktur atau materi berkelebihan atau ditolak atau
buangan (Kementerian Lingkungan Hidup, 2005). Dalam Undang-Undang No.18
tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah dinyatakan definisi sampah sebagai sisa
kegiatan sehari- hari manusia dan/atau dari proses alam yang berbentuk padat.
Menurut Hartono (2008), berdasarkan sifatnya sampah dapat dibagi menjadi
dua yaitu sampah organik dan anorganik. Sampah organik atau sampah basah adalah
sampah yang berasal dari makhluk hidup seperti dedaunan dan sampah dapur.
Sampah seperi ini dapatdengan mudah terurai (degradable). Sementara itu sampah
anorganik atau sampah kering adalah sampah yang tidak dapat terurai
(undegradable) seperti karet, plastik karet dan logam.
Volume tumpukan sampah memiliki nilai sebanding dengan tingkat
konsumsi masyarakat tehadap material yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari.
Output jenis materialpun tergantung dari jenis material yang dikonsumsi. Secara
umum dapat ditarik benang merah bahwa peningkatan jumlah penduduk dan gaya
hidup masyarakat akan sangat berpengaruh terhadap volume sampah beserta
komposisinya. Di Indonesia sekitar 60-70% dari total volume sampah yang
dihasilkan merupakan sampah basah dengan kadar air antara 65-75%. Sumber
sampah terbanyak berasal dari pasar tradisional dan pemukiman. (Hartono, 2008).
5

Menurut Pambagio (2015), dari hasil penelitaian yang dilakukan oleh UI di


TPST Bantar Gebang, komposisi sampahnya adalah 67% sampah organik, 17%
sampah plastik, 7% sampah tekstil, 6% sampah kertas, 1,5% sampah karet, 0,9%
sampah kaca, 0,4% sampah logam dan 0,2% sampah lainnya. Jadi jelas yang
bermasalah adalah sampah organik rumah tangga (67%). Komposisi sampah di
TPST Bantar Gebang dapat dilihat dari diagram (Gambar 1):

Gambar 1. Diagram rata-rata komposisi sampah di TPA Bantar Gebang tahun 2010
Sumber : Pambagio (2015)

Keanekaragaman komposisi, waktu untuk terdekomposisi sempurna yang


cukup lama, dan sebagainya, dapat menimbulkan beberapa kesulitan dalam
pengelolaannya. Misalnya, kebutuhan lahan yang luas, masalah dalam pengangkutan,
begitu juga dengan masalah pemisahan komponen-komponen tertentu sebelum
proses pengolahan. Oleh sebab itu kurang memadainya prasarana dalam pengelolaan
sampah tentu akan mempersulit pengelolaan sampah untuk meminimalisir bahaya
dampak penumpukan sampah yang tidak terkontrol, sehingga dapat menimbulkan
dampak negatif bagi lingkungan.
6

2.2 Tempat Pembuangan Akhir


2.2.1 Pengertian TPA
Tempat Pembuangan Akhir (TPA) merupakan tempat dimana sampah
mencapai tahap terakhir dalam pengelolaannya sejak mulai timbul di sumber,
pengumpulan, pemindahan/pengangkutan, pengolahan dan pembuangan. TPA
merupakan tempat dimana sampah diisolasi secara aman agar tidak menimbulkan
gangguan terhadap lingkungan sekitarnya. Karenanya diperlukan penyediaan fasilitas
dan perlakuan yang benar agar keamanan tersebut dapat dicapai dengan baik. Selama
ini masih banyak persepsi keliru tentang TPA yang lebih sering dianggap hanya
merupakan tempat pembuangan sampah. Hal ini menyebabkan banyak Pemerintah
Daerah masih merasa berat untuk mengalokasikan pendanaan bagi penyediaan
fasilitas di TPA yang dirasakan kurang prioritas dibanding dengan pembangunan
sektor lainnya.
Di TPA, sampah masih mengalami proses penguraian secara alamiah dengan
jangka waktu panjang. Beberapa jenis sampah dapat terurai secara cepat, sementara
yang lain lebih lambat, bahkan ada beberapa jenis sampah yang tidak berubah sampai
puluhan tahun, misalnya plastik. Hal ini memberikan gambaran bahwa setelah TPA
selesai digunakanpun masih ada proses yang berlangsung dan menghasilkan
beberapa zat yang dapat mengganggu lingkungan. Karenanya masih diperlukan
pengawasan terhadap TPA yang telah ditutup.
Dalam konteks inilah, perlu dicari solusi penanganan sampah kota yang tepat,
yang mampu mengeliminir menumpuknya timbunan sampah, sampai mencapai taraf
zero waste. Tidak akan ada lagi cerita tentang menumpuknya sampah di TPA atau di
pinggir jalan atau di kali/ selokan yang mengganggu aliran air. Salah satu solusi yang
telah diterakan oleh negara-negara maju di dunia adalah pengelolaan sampah
terpadu. Pengelolaan sampah terpadu dapat didefinisikan sebagai pemilihan dan
penerapan teknik-teknik, teknologi, dan program-program manajemen yang sesuai
untuk mencapai sasaran dan tujuan yang spesifik dari pengelolaan sampah.
Perubahan paradigma penanganan sampah padat perkotaan melalui konsep
pengelolaan sampah terpadu dapat merubah hirarki manajemen sampah lama atau
7

tradisional menjadi paradigma manajemen limbah baru yang diharapkan mampu


meminimalisir volume sampah akhir yang dibuang secara landfill. Sehingga
diharapkan dapat memperkecil kapasitas kebutuhan sell landfill di area TPA.
(Gambar 2)

Gambar 2. Perubahan paradigma tentang manajemen sampah


Sumber : Saefuddin (2014)

Menurut Damanhuri dan Padmi (2010), pengelolaan sampah pada masyarakat


modern bertambah lama bertambah kompleks sejalan dengan kekomplekan
masyarakat itu sendiri. Pengelolaan sampah pada masyarakat modern membutuhkan
keterlibatan beragam teknologi dan beragam disiplin ilmu. Termasuk di dalamnya
teknologi-teknologi yang terkait dengan bagaimana mengontrol timbulan
(generation), pengumpulan (collection), pemindahan (transfer), pengangkutan
(transportation), pemrosesan (processing), pembuangan akhir (final disposal)
sampah yang dihasilkan pada masyarakat tersebut. Pendekatannya tidak lagi
sesederhana menghadapi masyarakat non-industri, seperti di perdesaan. Seluruh
proses tersebut hendaknya diselesaikan dalam rangka bagaimana melindungi
kesehatan masyarakat, pelestarian lingkungan hidup, namun juga secara estetika dan
ekonomi dapat diterima.
Beragam pertimbangan perlu dimasukkan, seperti aspek adminsitratif,
finansial, legal, arsitektural, planning, kerekayasaan. Semua disiplin ini diharapkan
saling berkomunikasi dan berinteraksi satu dengan yang lain dalam hubungan
8

interdipliner yang positif agar sebuah pengelolaan persampahan yang terintegrasi


dapat tercapai secara baik.
Pengelolaan sampah terpadu dapat didefinisikan sebagai pemilihan dan
penerapan teknik-teknik, teknologi, dan program-program manajemen yang sesuai
untuk mencapai sasaran dan tujuan yang spesifik dari pengelolaan sampah. USEPA
di Amerika Serikat mengidentifikasi empat dasar pilihan manajemen strategi yaitu
(Damanhuri dan Padmi 2010) :
• Reduksi sampah di sumber
• Recycling dan pengomposan
• Transfer ke enersi (waste-to-energy)
• Landfilling
Selanjutnya menurut Damanhuri dan Padmi (2010), konsep pengelolaan
sampah permukiman secara terintegrasi, bahwa penanganan sampah yang terintegrasi
bertujuan untuk meminimalkan atau mengurangi sampah yang terangkut menuju
pemrosesan akhir. Pengelolaan sampah yang hanya mengandalkan proses kumpul-
angkut-buang menyisakan banyak permasalahan dan kendala, antara lain
ketersediaan lahan untuk pembuangan akhirnya. Daur ulang sampah sudah menjadi
dasar yang diamanatkan oleh UU-18/2008
2.2.2 Dampak Pengelolaan Sampah
Dampak sampah bagi manusia dan lingkungan sangat besar, sudah kita sadari
bahwa pencemaran lingkungan akibat perindustrian maupun rumah tangga sangat
merugikan manusia, baik secara langsung maupun tidak langsung. Melalui kegiatan
perindustrian dan teknologi diharapkan kualitas kehidupan dapat lebih ditingkatkan.
Namun seringkali peningkatan teknologi juga menyebabkan dampak negatif yang
tidak sedikit (Saefuddin, 2014).
Jika pengelolaan sampah diiringi dengan perencanaan lokasi, penerapan
metode pembuangan dan operasional yang baik, pengawasan, pemeliharaan,
pengendalian dan perencanaan fasilitas pendukung yang benar maka sampah dapat
memberikan dampak positif baik nilainya secara ekonomi, sosial budaya dan
kesehatan serta lingkungan, akan tetapi jika terjadi pengelolaan sampah yang tidak
9

baik di TPA justru dapat memberikan dampak negatif bagi seluruh aspek baik
terhadap ekonomi, sosial budaya, kesehatan dan lingkungan
1. Dampak terhadap Ekonomi
Pengelolaan sampah yang baik dengan perencanaan dan penangan yang tepat
tentu akan sangat membantu dalam mengatasi permasalahan sampah yang ada di
tengah-tengah masyarakat. Selain meminimalisir berbagai macam dampak yang
timbul akibat menumpuknya volume sampah yang menumpuk, sampah juga
memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat baik secara langsung maupun tidak
langsung. Tidak dipungkiri bahwa kegiatan pengumpulan sampah baik di TPS
maupun TPA memberikan dampak ekonomi bagi sebagian masyarakat khusunya
yang bekerja sebagai pemulung, tersedianya sampah yang dapat diambil dalam
jumlah yang besar, akses dan lokasi yang baik, kemudahan transaksi jual beli hingga
berbagai program dan bantuan pemerintah memberikan dampak perekonomian yang
cukup memadai. Beberapa jenis sampah plastik yang dibunag di TPA juga
dimanfaatkan oleh industri rumah tangga sebagai bahan baku kerajinan tangan yang
meningkatkan nilai jual. Bagi pelaku industri, sampah yang dikumpulkan oleh
pemulung dibeli untuk dijadikan bahan baku biji plastik maupun diolah langsung
menjadi produk jadi seperti mainan, kemasan, maupun produk rumah tangga dimana
harga plastik daur ulang lebih murah dari pada harga platik dari pengolahan bahan
baku fraksi minyak bumi yang semakin lama semakin menipis ketersediaannya.
Sampah yang tergolong kedalam sampah organik seperti sisa sampah pasar
dan sebagian dari sampah rumah tangga jika dimanfaatkan menggunakan teknologi
tepat guna hasil bioteknologi berupa effective Mcroorganism (EM) yang
berwawasan ramah lingkungan, maka sampah organik dapat diolah menjadi
produk yang bermanfaat yaitu pupuk organik.
Timbunan sampah organik tersebut juga mampu menghasilkan gas methan
dimana jika dikelola maka dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar bagi masyarakat
yang berada disekitar kawasan TPA. Manfaat yang bernilai ekonomi yang telah
dimanfaatkan oleh sebagian negara-negara maju di dunia yaitu pemanfaatan sampah
sebagai salah satu sumber energi pembangkit listrik dimana sampah dibakar didalam
10

ruang insenerasi kemudian dimanfaatkan sebagai penggerak turbin. Secara ringkas


dampak pengelolaan sampah dibidang ekonomi dapat dilihat dari (Gambar 3).

Gambar 3.Dampak pengelolaan sampah dibidang konomi


Sumber : Saefuddin (2014)

2. Dampak terhadap Sosial Budaya


Pengelolaan sampah yang tidak baik ternyata tidak hanya berdampak pada
lingkungan fisik tetapi juga lingkungan sosial. Hal ini dikarenakan adanya konsep
yang mengatakan bahwa masyarakat di pandang sebagai bagian dari ekosistem. Jadi
masalah sampah tidak hanya berdampak pada lingkungan fisik saja tetapi juga
berdampak pada sosial atau lebih di kenal dengan istilah “Dampak Sosial”. Menurut
Hadi (2005), dampak sosial merupakan perubahan yang terjadi pada manusia dan
masyarakat yang di akaibatkan oleh proses pembangunan.
Menurut Hakim,Wijaya dan Sudirja (2006), dampak sosial yang timbul akibat
pembungan/ penimbunan sampah sampai saat ini belum banyak mengubah
pandangan para pengambil kebijakan dan operatornya. Apabila sampah tidak
dikelola dengan baik selain menyebabkan kota menjadi kotor dan kumuh juga
menyebabkan pendangkalan sungai yang berakibat timbulnyabencana banjir.
Dampak sosial dapat merupakan akibat tidak langsung baik dari lingkungan
alam seperti kontaminasi air tanah dan polusi udara, serta dari ekonomis seperti
11

menurunya harga tanah dan bangunan dan kenaikan pajak. Dapat juga sebagai akibat
langsung dari aktifitas dari kontruksi atau operasi dari proyek seperti bau, debu,
kebisingan, serta kemacetan lalu lintas. Akibat langsung yang lebih lebih sempit
misalnya kehilangan keterikatan dengan teman dan tetangga( karena harus pindah ke
tempat lain).
Dampak yang demikian dapat berlangsung dalam jangka pendek maupun
jangka panjang . Akan tetapi tanpa pengelolaan sampah di TPA justru akan
memberikan dampak penurunan nilai estetika yang besar disuatu wilayah dimana
timbulan sampah yang tidak terkendali akan mengakibatkan tumpukan sampah
dijalan-jalan, aliran sungai serta kawasan padat pemukiman. Hal ini tentu saja akan
mengakibatkan bau busuk, sumber penyakit, pendangkalan sungai serta menjadikan
pemandangan yang tidak mengenakkan.
3. Dampak terhadap Lingkungan dan Kesehatan
Sampah yang dibuang sembarangan ke berbagai tempat dibedakan menjadi
dua yaitu sampah organik dan sampah an-organik. Pada satu sisi sampah organik ini
juga dianggap dapat mengurangi kadar oksigen ke dalam lingkungan perairan,
sampah an-organik dapat juga mengurangi sinar matahari yang memasuki ke dalam
lingkungan perairan, sehingga mengakibatkan proses esensial dalam ekosistem
seperti fotosintesis akan menjadi terganggu. Sampah organik dan an-organik
membuat air menjadi keruh, kondisi akan mengurangi organisme yang hidup dalam
kondisi seperti itu. Sehingga populasi hewan kecil-kecil akan terganggu.
Rembesan cairan yang masuk ke dalam drainase atau sungai akan tercemari.
Berbagai mahluk hidup seperti ikan dipastikan akan mati sehingga beberapa spesies
ikan akan musnah sehingga akan merubah kondisi ekosistem perairan secara
biologis. Penguraian sampah yang dibuang secara langsung ke dalam air atau sungai
akan tercipta asam organik dan gas cair organik, seperti misalnya metana, selain
menimbulkan gas yang berbau, gas ini dengan konsentrasi yang tinggi akan
menimbulkan peledakan.
Permasalahan sampah bagi kesehatan timbul salah satunya akibat
pembuangan sampah secara langsung dalam ekosistem darat, sehingga akan
12

mengundang organisma tertentu menimbulkan perkembangbiakan seperti tikus,


kecoa, lalat, dan lain sebagainya. Perkembangbiakan serangga atau hewan tersebut
dapat meningkat tajam.
Pengolahan sampah yang kurang sehat sehingga menimbulkan pembuangan
sampah yang tidak terkontrol, merupakan koloni yang cocok dari beberapa
orangisma dan menarik beberapa serangga-serangga yang menyukai tempat seperti
itu, yang biasanya menjangkitkan beberapa penyakit seperti: penyakit diare, tifus,
kolera yang dengan sigap menyebar dengan cepat karena virus dan bakteri yang
berasal dari sampah dengan pengelolaannya yang tidak tepat bercampur dengan air.
2.2.3 Metode pembuangan sampah
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara metoda pembuangan sampah
mengacu pada Petunjuk Teknis Tata Cara Perencanaan Tempat Pembuangan Akhir
Sampah (Kementrian PU, 2002) pembuangan sampah mengenal beberapa metode
dalam pelaksanaannya yaitu:
1. Open dumping
Open dumping atau pembuangan terbuka merupakan cara pembuangan
sederhana dimana sampah hanya dihamparkan pada suatu lokasi; dibiarkan terbuka
tanpa pengamanan dan ditinggalkan setelah lokasi tersebut penuh. Masih ada Pemda
yang menerapkan cara ini karena alasan keterbatasan sumber daya (manusia, dana,
dll). Cara ini tidak direkomendasikan lagi mengingat banyaknya potensi pencemaran
lingkungan yang dapat ditimbulkannya seperti:
 Perkembangan vektor penyakit seperti lalat, tikus, dll
 Polusi udara oleh bau dan gas yang dihasilkan
 Polusi air akibat banyaknya lindi (cairan sampah) yang timbul
 Estetika lingkungan yang buruk karena pemandangan yang kotor
2. Control landfill
Metode ini merupakan peningkatan dari open dumping dimana secara periodik
sampah yang telah tertimbun ditutup dengan lapisan tanah untuk mengurangi potensi
gangguan lingkungan yang ditimbulkan. Dalam operasionalnya juga dilakukan
13

perataan dan pemadatan sampah untuk meningkatkan efisiensi pemanfaatan lahan


dan kestabilan permukaan TPA.
Di Indonesia, metode control landfill dianjurkan untuk diterapkan di kota
sedang dan kecil. Untuk dapat melaksanakan metode ini diperlukan penyediaan
beberapa fasilitas diantaranya:
 Saluran drainase untuk mengendalikan aliran air hujan
 Saluran pengumpul lindi dan kolam penampungan
 Pos pengendalian operasional
 Fasilitas pengendalian gas metan
 Alat berat
3. Sanitary landfill
Metode ini merupakan metode standar yang dipakai secara internsional dimana
penutupan sampah dilakukan setiap hari sehingga potensi gangguan yang timbul
dapat diminimalkan. Namun demikian diperlukan penyediaan prasarana dan sarana
yang cukup mahal bagi penerapan metode ini sehingga sampai saat ini baru
dianjurkan untuk kota besar dan metropolitan (Gambar 4).

Gambar 4. Pengelolaan sampah dengan metode sanitary landfill


Sumber : Saefuddin (2014)

Metode sanitary landfill ini merupakan salah satu metode pengolahan sampah
terkontrol dengan sistem sanitasi yang baik. Sampah dibuang ke TPA (Tempat
Pembuanagan Akhir). Kemudian sampah dipadatkan dengan traktor dan selanjutnya
di tutup tanah. Cara ini akan menghilangkan polusi udara. Pada bagian dasar tempat
14

tersebut dilengkapi sistem saluran leachate yang berfungsi sebagai saluran limbah
cair sampah atau ke lingkungan. Pada metode sanitary landfill tersebut juga dipasang
pipa gas untuk mengalirkan gas hasil aktivitas penguraian sampah.
2.2.4 Persyaratan lokasi TPA
Mengingat besarnya potensi dalam menimbulkan gangguan terhadap lingkungan
maka pemilihan lokasi TPA harus dilakukan dengan seksama dan hati-hati. Hal ini
ditunjukkan dengan sangat rincinya persyaratan lokasi TPA seperti tercantum dalam
SNI 03-3241(1994) tentang Tata Cara Pemilihan Lokasi TPA Sampah yang
diantaranya dalam kriteria regional dicantumkan:
 Bukan daerah rawan geologi (daerah patahan, daerah rawan longsor, rawan
gempa, dll)
 Bukan daerah rawan hidrogeologis yaitu daerah dengan kondisi kedalaman air
tanah kurang dari 3 meter, jenis tanah mudah meresapkan air, dekat dengan
sumber air (dalam hal tidak terpenuhi harus dilakukan masukan teknologi)
 Bukan daerah rawan topografis (kemiringan lahan lebih dari 20%)
 Bukan daerah rawan terhadap kegiatan penerbangan di Bandara (jarak minimal
1,5 – 3 km)
 Bukan daerah/kawasan yang dilindungi
2.2.5 Jenis dan fungsi fasilitas TPA
Untuk dapat dioperasikan dengan baik maka TPA perlu dilengkapi dengan
prasarana dan sarana yang meliputi (Dep. PU. Balitbang, 2002) :
1. Prasarana Jalan
Prasarana dasar ini sangat menentukan keberhasilan pengoperasian TPA.
Semakin baik kondisi jalan ke TPA akan semakin lancar kegiatan pengangkutan
sehingga efisiensi keduanya menjadi tinggi.Konstruksi jalan TPA cukup beragam
disesuaikan dengan kondisi setempat sehingga dikenal jalan TPA dengan konstruksi:
Hotmix, Beton, Aspal, Perkerasan sirtu
Dalam hal ini TPA perlu dilengkapi dengan:
 Jalan masuk/akses; yang menghubungkan TPA dengan jalan umum yang telah
tersedia
15

 Jalan penghubung; yang menghubungkan antara satu bagian dengan bagian lain
dalam wilayah TPA
 Jalan operasi/kerja; yang diperlukan oleh kendaraan pengangkut menuju titik
pembongkaran sampah. Pada TPA dengan luas dan kapasitas pembuangan yang
terbatas biasanya jalan penghubung dapat juga berfungsi sekaligus sebagai jalan
kerja/operasi
2. Prasarana drainase
Drainase di TPA berfungsi untuk mengendalikan aliran limpasan air hujan
dengan tujuan untuk memperkecil aliran yang masuk ke timbunan sampah. Seperti
diketahui, air hujan merupakan faktor utama terhadap debit lindi yang dihasilkan.
Semakin kecil rembesan air hujan yang masuk ke timbunan sampah akan semakin
kecil pula debit lindi yang dihasilkan yang pada gilirannya akan memperkecil
kebutuhan unit pengolahannya.
Secara teknis drainase TPA dimaksudkan untuk menahan aliran limpasan air
hujan dari luar TPA agar tidak masuk ke dalam area timbunan sampah. Drainase
penahan ini umumnya dibangun di sekeliling blok atau zona penimbunan. Selain itu,
untuk lahan yang telah ditutup tanah, drainase TPA juga dapat berfungsi sebagai
penangkap aliran limpasan air hujan yang jatuh di atas timbunan sampah tersebut.
Untuk itu permukaan tanah penutup harus dijaga kemiringannya mengarah pada
saluran drainase.
3. Fasilitas penerimaan
Fasilitas penerimaan dimaksudkan sebagai tempat pemeriksaan sampah yang
datang, pencatatan data, dan pengaturan kedatangan truk sampah. Pada umumnya
fasilitas ini dibangun berupa pos pengendali di pintu masuk TPA. Pada TPA besar
dimana kapasitas pembuangan telah melampaui 50 ton/hari maka dianjurkan
penggunaan jembatan timbang untuk efisiensi dan ketepatan pendataan. Sementara
TPA kecil bahkan dapat memanfaatkan pos tersebut sekaligus sebagai kantor TPA
sederhana dimana kegiatan administrasi ringan dapat dijalankan.
16

4. Lapisan kedap air


Lapisan kedap air berfungsi untuk mencegah rembesan air lindi yang terbentuk
di dasar TPA ke dalam lapisan tanah di bawahnya. Untuk itu lapisan ini harus
dibentuk di seluruh permukaan dalam TPA baik dasar maupun dinding. Bila tersedia
di tempat, tanah lempung setebal ±50 cm merupakan alternatif yang baik sebagai
lapisan kedap air. Namun bila tidak dimungkinkan, dapat diganti dengan lapisan
sintetis lainnya dengan konsekuensi biaya yang relatif tinggi.
5. Fasilitas pengamanan gas
Gas yang terbentuk di TPA umumnya berupa gas karbon dioksida dan metan
dengan komposisi hampir sama; disamping gas-gas lain yang sangat sedikit
jumlahnya. Kedua gas tersebut memiliki potensi besar dalam proses pemanasan
global terutama gas metan; karenanya perlu dilakukan pengendalian agar gas tersebut
tidak dibiarkan lepas bebas ke atmosfer. Untuk itu perlu dipasang pipa-pipa ventilasi
agar gas dapat keluar dari timbunan sampah pada titik-titik tertentu. Untuk ini perlu
diperhatikan kualitas dan kondisi tanah penutup TPA. Tanah penutup yang porous
atau banyak memiliki rekahan akan menyebabkan gas lebih mudah lepas ke udara
bebas. Pengolahan gas metan dengan cara pembakaran sederhana dapat menurunkan
potensinya dalam pemanasan global.
6. Fasilitas pengamanan lindi
Lindi merupakan air yang terbentuk dalam timbunan sampah yang melarutkan
banyak sekali senyawa yang ada sehingga memiliki kandungan pencemar khususnya
zat organik sangat tinggi. Lindi sangat berpotensi menyebabkan pencemaran air baik
air tanah maupun permukaan sehingga perlu ditangani dengan baik.
Tahap pertama pengamanan adalah dengan membuat fasilitas pengumpul lindi yang
dapat terbuat dari: perpipaan berlubang-lubang, saluran pengumpul maupun
pengaturan kemiringan dasar TPA, sehingga lindi secara otomatis begitu mencapai
dasar TPA akan bergerak sesuai kemiringan yang ada mengarah pada titik
pengumpulan yang disediakan.
Tempat pengumpulan lindi umumnya berupa kolam penampung yang ukurannya
dihitung berdasarkan debit lindi dan kemampuan unit pengolahannya. Aliran lindi ke
17

dan dari kolam pengumpul secara gravitasi sangat menguntungkan; namun bila
topografi TPA tidak memungkinkan, dapat dilakukan dengan cara pemompaan.
Pengolahan lindi dapat menerapkan beberapa metode diantaranya: penguapan/
evaporasi terutama untuk daerah dengan kondisi iklim kering, sirkulasi lindi ke
dalam timbunan TPA untuk menurunkan baik kuantitas maupun kualitas
pencemarnya, atau pengolahan biologis seperti halnya pengolahan air limbah.
7. Alat berat
Alat berat yang sering digunakan di TPA umumnya berupa: bulldozer, excavator
dan loader. Setiap jenis peralatan tersebut memiliki karakteristik yang berbeda dalam
operasionalnya.
Bulldozer sangat efisien dalam operasi perataan dan pemadatan tetapi kurang dalam
kemampuan penggalian. Excavator sangat efisien dalam operasi penggalian tetapi
kurang dalam perataan sampah. Sementara loader sangat efisien dalam pemindahan
baik tanah maupun sampah tetapi kurang dalam kemampuan pemadatan.
Untuk TPA kecil disarankan dapat memiliki bulldozer atau excavator, sementara
TPA yang besar umumnya memiliki ketiga jenis alat berat tersebut.
8. Penghijauan
Penghijauan lahan TPA diperlukan untuk beberapa maksud diantaranya adalah:
peningkatan estetika lingkungan, sebagai buffer zone untuk pencegahan bau dan lalat
yang berlebihan. Untuk itu perencancaan daerah penghijauan ini perlu memperti m
bang kan letak dan jarak kegiatan masyarakat di sekitarnya (permukiman, jalan raya,
dll).
9. Fasilitas penunjang
Beberapa fasilitas penunjang masih diperlukan untuk membantu pengoperasian
TPA yang baik diantaranya: pemadam kebakaran, mesin pengasap (mist blower),
kesehatan/keselamatan kerja, toilet dan lain lain.

2.2.6 Teknis operasional TPA


Untuk memperlancar kegiatan operasioanal pengelolaan TPA, baik persiapan
hingga penimbunan harus memperhatikan beberapa tahapan kegiatan sebagai teknis
operasional TPA meliputi (Dep. PU. Balitbang, 2002):
18

1. Persiapan lahan TPA


Sebelum lahan TPA diisi dengan sampah maka perlu dilakukan penyiapan
lahan agar kegiatan pembuangan berikutnya dapat berjalan dengan lancar. Beberapa
kegiatan penyiapan lahan tersebut akan meliputi:
 Penutupan lapisan kedap air dengan lapisan tanah setempat yang dimaksudkan
untuk mencegah terjadinya kerusakan atas lapisan tersebut akibat operasi alat
berat di atasnya. Umumnya diperlukan lapisan tanah setebal 50 cm yang
dipadatkan di atas lapisan kedap air tersebut.
 Persediaan tanah penutup perlu disiapkan di dekat lahan yang akan dioperasikan
untuk membantu kelancaran penutupan sampah; terutama bila operasional
dilakukan secara sanitary landfill. Pelatakan tanah harus memperhatikan
kemampuan operasi alat berat yang ada.
2. Tahapan operasi pembuangan
Kegiatan operasi pembuangan sampah secara berurutan akan meliputi:
 Penerimaan sampah di pos pengendalian; dimana sampah diperiksa, dicatat dan
diberi informasi mengenai lokasi pembongkaran.
 Pengangkutan sampah dari pos penerimaan ke lokasi sel yang dioperasikan;
dilakukan sesuai rute yang diperintahkan.
 Pembongkaran sampah dilakukan di titik bongkar yang telah ditentukan dengan
manuver kendaraan sesuai petunjuk pengawas.
 Perataan sampah oleh alat berat yang dilakukan lapis demi lapis agar tercapai
kepadatan optimum yang diinginkan. Dengan proses pemadatan yang baik dapat
diharapkan kepadatan sampah meningkat hampir dua kali lipat.
 Pemadatan sampah oleh alat berat untuk mendapatkan timbunan sampah yang
cukup padat sehingga stabilitas permukaannya dapat diharapkan untuk
menyangga lapisan berikutnya.
 Penutupan sampah dengan tanah untuk mendapatkan kondisi operasi kontrol
atau sanitary landfill.
19

3. Pengaturan lahan
Seringkali TPA tidak diatur dengan baik. Pembongkaran sampah terjadi di
sembarang tempat dalam lahan TPA sehingga menimbulkan kesan yang tidak baik,
disamping sulit dan tidak efisiennya pelaksanaan pekerjaan perataan, pemadatan dan
penutupan sampah tersebut. Agar lahan TPA dapat dimanfaatkan secara efisien,
maka perlu dilakukan pengaturan yang baik yang mencakup:
1) Pengaturan sel
Sel merupakan bagian dari TPA yang digunakan untuk menampung sampah
satu periode operasi terpendek sebelum ditutup dengan tanah. Pada sistem sanitary
landfill, periode operasi terpendek adalah harian; yang berarti bahwa satu sel adalah
bagian dari lahan yang digunakan untuk menampung sampah selama satu hari.
Sementara untuk control landfill satu sel adalah untuk menampung sampah selama 3
hari, atau 1 minggu, atau operasi terpendek yang dimungkinkan. Dianjurkan periode
operasi adalah 3 hari berdasarkan pertimbangan waktu penetasan telur lalat yang
rata-rata mencapai 5 hari dan asumsi bahwa sampah telah berumur 2 hari saat ada di
TPS sehingga sebelum menetas perlu ditutup tanah agar telur/larva muda segera
mati.
Untuk pengaturan sel perlu diperhatikan beberapa faktor:
 Lebar sel sebaiknya berkisar 1,5-3 lebar blade alat berat agar manuver alat berat
dapat lebih efisien
 Ketebalan sel sebaiknya berukuran 2-3 meter. Ketebalan terlalu besar akan
menurunkan stabilitas permukaan, sementara terlalu tipis akan menyebabkan
pemborosan tanah penutup
 Panjang sel dihitung berdasarkan volume sampah padat dibagi dengan lebar dan
tebal sel.
Sebagai contoh bila volume sampah padat adalah 150 m3/hari, tebal sel
direncanakan 2 m, lebar sel direncanakan 3 m, maka panjang sel adalah 150/(3x2) =
25 m. Batas sel harus dibuat jelas dengan pemasangan patok-patok dan tali agar
operasi penimbunan sampah dapat berjalan dengan lancar.
20

2) Pengaturan blok
Blok operasi merupakan bagian dari lahan TPA yang digunakan untuk
penimbunan sampah selama periode operasi menengah misalnya 1 atau 2 bulan.
Karenanya luas blok akan sama dengan luas sel dikalikan perbandingan periode
operasi menengah dan pendek. Sebagai contoh bila sel harian berukuran lebar 3 m
dan panjang 25 m maka blok operasi bulanan akan menjadi 30 x 75 m2 = 2.250 m2
3) Pengaturan zona
Zona operasi merupakan bagian dari lahan TPA yang digunakan untuk jangka
waktu panjang misal 1 – 3 tahun, sehingga luas zona operasi akan sama dengan luas
blok operasi dikalikan dengan perbandingan periode operasi panjang dan menengah.
Sebagai contoh bila blok operasi bulanan memiliki luas 2.250 m 2 maka zona operasi
tahunan akan menjadi 12 x 2.250 = 2,7 Ha.
4) Persiapan sel pembuangan
Sel pembuangan yang telah ditentukan ukuran panjang, lebar dan tebalnya
perlu dilengkapi dengan patok-patok yang jelas. Hal ini dimaksudkan untuk
membantu petugas/operator dalam melaksanakan kegiatan pembuangan sehingga
sesuai dengan rencana yang telah dibuat. Beberapa pengaturan perlu disusun dengan
rapi diantaranya:
 Peletakan tanah penutup
 Letak titik pembongkaran sampah dari truk
 Manuver kendaraan saat pembongkaran
5) Pembongkaran sampah
Letak titik pembongkaran harus diatur dan diinformasikan secara jelas kepada
pengemudi truk agar mereka membuang pada titik yang benar sehingga proses
berikutnya dapat dilaksanakan dengan efisien.
Titik bongkar umumnya diletakkan di tepi sel yang sedang dioperasikan dan
berdekatan dengan jalan kerja sehingga kendaraan truk dapat dengan mudah
mencapainya. Beberapa pengalaman menunjukkan bahwa titik bongkar yang ideal
sulit dicapai pada saat hari hujan akibat licinnya jalan kerja. Hal ini perlu diantisipasi
21

oleh penanggungjawab TPA agar tidak terjadi. Jumlah titik bongkar pada setiap sel
ditentukan oleh beberapa faktor:
 Lebar sel
 Waktu bongkar rata-rata
 Frekuensi kedatangan truk pada jam puncak
Harus diupayakan agar setiap kendaraan yang datang dapat segera mencapai
titik bongkar dan melakukan pembongkaran sampah agar efisiensi kendaraan dapat
dicapai.
6) Perataan dan pemadatan sampah
Perataan dan pemadatan sampah dimaksudkan untuk mendapatkan kondisi
pemanfaatan lahan yang efisien dan stabilitas permukaan TPA yang baik. Kepadatan
sampah yang tinggi di TPA akan memerlukan volume lebih kecil sehingga daya
tampung TPA bertambah, sementara permukaan yang stabil akan sangat mendukung
penimbunan lapisan berikutnya. Pekerjaan perataan dan pemadatan sampah
sebaiknya dilakukan dengan memperhatikan efisiensi operasi alat berat.
Pada TPA dengan intensitas kedatangan truk yang tinggi, perataan dan
pemadatan perlu segera dilakukan setelah sampah dibongkar. Penundaan pekerjaan
ini akan menyebabkan sampah menggunung sehingga pekerjaan perataannya akan
kurang efisien dilakukan.
Pada TPA dengan frekuensi kedatangan truk yang rendah maka perataan dan
pemadatan sampah dapat dilakukan secara periodik, misalnya pagi dan siang.
Perataan dan pemadatan sampah perlu dilakukan dengan memperhatikan kriteria
pemadatan yang baik:
 Perataan dilakukan selapis demi selapis
 Setiap lapis diratakan sampah setebal 20 cm – 60 cm dengan cara mengatur
ketinggian blade alat berat
 Pemadatan sampah yang telah rata dilakukan dengan menggilas sampah
tersebut 3-5 kali
 Perataan dan pemadatan dilakukan sampai ketebalan sampah mencapai
ketebalan rencana
22

7) Penutupan tanah
Penutupan TPA dengan tanah mempunyai fungsi maksud sebagai berikut:
 Untuk memotong siklus hidup lalat, khususnya dari telur menjadi lalat
 Mencegah perkembangbiakan tikus
 Mengurangi bau
 Mengisolasi sampah dan gas yang ada
 Menambah kestabilan permukaan
 Meningkatkan estetika lingkungan

Frekuensi penutupan sampah dengan tanah disesuaikan dengan metode/


teknologi yang diterapkan. Penutupan sel sampah pada sistem sanitary landfill
dilakukan setiap hari, sementara pada control landfill dianjurkan tiga kali sehari.
Ketebalan tanah penutup yang perlu dilakukan adalah:
 Untuk penutupan sel (sering disebut dengan penutup harian) adalah dengan
lapisan tanah padat setebal 20 cm
 Untuk penutupan antara (setelah 2 - 3 lapis sel harian) adalah tanah padat
setebal 30 cm
 Untuk penutup terakhir, yang dilakukan pada saat suatu blok pembuangan
telah terisi penuh, dilapisi dengan tanah padat setebal minimal 50 cm

2.2.7 Pemeliharaan TPA


Pengoperasian dan pemeliharaan TPA dengan sistem sanitary landfill membutuhkan
pengawasan dan pengendalian untuk meyakinkan bahwa setiap kegiatan yang
dilaksanakan di TPA sesuai dengan rencana yang telah ditentukan. Pemeliharaan
TPA mengacu kepada Petunjuk Teknis Tata Cara Pereancanaan Tempat Pembuangan
Akhir Sampah (Badan Standarisasi Nasional, 2002):
1. Umum
Pemeliharaan TPA dimaksudkan untuk menjaga agar setiap prasarana dan
sarana yang ada selalu dalam kondisi siap operasi dengan unjuk kerja yang baik.
Seperti halnya program pemeliharaan lazimnya maka sesuai tahapannya perlu
diutamakan kegiatan pemeliharaan yang bersifat preventif untuk mencegah
23

terjadinya kerusakan dengan melaksanakan pemeliharaan rutin. Pemeliharaan


kolektif dimaksudkan untuk segera melakukan perbaikan kerusakan-kerusakan kecil
agar tidak berkembang menjadi besar dan kompleks.
2. Pemeliharaan alat bermesin (Alat berat, pompa, dll)
Alat berat dan peralatan bermesin seperti pompa air lindi sangat vital bagi
operasi TPA sehingga kehandalan dan unjuk kerjanya harus dipelihara dengan
prioritas tinggi. Buku manual pengoperasian dan pemeliharaan alat berat harus selalu
dijalankan dengan benar agar peralatan tersebut terhindar dari kerusakan. Kegiatan
perawatan seperti penggantian minyak pelumas baik mesin maupun transmisi harus
diperhatikan sesuai ketentuan pemeliharaannya. Demikian pula dengan pemeliharaan
komponen seperti baterai, filter-filter, dan lain-lain tidak boleh dilalaikan ataupun
dihemat seperti banyak dilakukan.
3. Pemeliharaan jalan
Kerusakan jalan TPA umumnya dijumpai pada ruas jalan masuk dimana
kondisi jalan bergelombang maupun berlubang yang disebabkan oleh beratnya beban
truk sampah yang melintasinya. Jalan yang berlubang / bergelombang menyebabkan
kendaraan tidak dapat melintasinya dengan lancar sehingga terjadi penurunan
kecepatan yang berarti menurunnya efisiensi pengangkutan; disamping lebih cepat
ausnya beberapa komponen seperti kopling, rem dan lain-lain.
Keterbatasan dana dan kelembagaan untuk pemeliharaan seringkali menjadi
kendala perbaikan sehingga kerusakan jalan dibiarkan berlangsung lama tanpa
disadari telah menurunkan efisiensi pengangkutan. Hal ini sebaiknya diantisipasi
dengan melengkapi manajemen TPA dengan kemampuan memperbaiki kerusakan
jalan sekalipun bersifat temporer seperti misalnya perkerasan dengan pasir dan batu.
Bagian lain yang juga sering mengalami kerusakan dan kesulitan adalah jalan
kerja dimana kondisi jalan temporer tersebut memiliki kestabilan yang rendah;
khususnya bila dibangun di atas sel sampah. Cukup banyak pengalaman memberi
contoh betapa jalan kerja yang tidak baik telah menimbulkan kerusakan batang
hidrolis pendorong bak pada dump truck; terutama bila pengemudi memaksa
membongkar sampah pada saat posisi kendaraan tidak rata / horizontal.
24

Jalan kerja di banyak TPA juga memiliki faktor kesulitan lebih tinggi pada
saat hari hujan. Jalan yang licin menyebabkan truk sampah sulit bergerak dan harus
dibantu oleh alat berat; sehingga keseluruhan menyebabkan waktu operasi
pengangkutan di TPA menjadi lebih panjang dan pemanfaatan alat berat untuk hal
yang tidak efisien.
Sekali lagi perlu diperhatikan untuk memperbaiki kerusakan jalan sesegera
mungkin sebelum menjadi semakin parah. Pengurugan dengan sirtu umumnya sangat
efektif memperbaiki jalan yang bergelombang dan berlubang.
4. Pemeliharaan lapisan penutup
Lapisan penutup TPA perlu dijaga kondisinya agar tetap dapat berfungsi
dengan baik. Perubahan temperatur dan kelembaban udara dapat menyebabkan
timbulnya retakan permukaan tanah yang memungkinkan terjadinya aliran gas keluar
dari TPA ataupun mempercepat rembesan air pada saat hari hujan. Untuk itu retakan
yang terjadi perlu segera ditutup dengan tanah sejenis.
Proses penurunan permukaan tanah juga sering tidak berlangsung seragam
sehingga ada bagian yang menonjol maupun melengkung ke bawah.
Ketidakteraturan permukaan ini perlu diratakan dengan memperhatikan kemiringan
ke arah saluran drainase. Penanaman rumput dalam hal ini dianjurkan untuk
mengurangi efek retakan tanah melalui jaringan akar yang dimiliki.
Pemeriksaan kondisi permukaan TPA perlu dilakukan minimal sebulan sekali
atau beberapa hari setelah terjadi hujan lebat untuk memastikan tidak terjadinya
perubahan drastis pada permukaan tanah penutup akibat erosi air hujan.
5. Pemeliharaan drainase
Pemeliharaan saluran drainase secara umum sangat mudah dilakukan.
Pemeriksaan rutin setiap minggu khususnya pada musim hujan perlu dilakukan untuk
menjaga agar tidak terjadi kerusakan saluran yang serius. Saluran drainase perlu
dipelihara dari tanaman rumput ataupun semak yang mudah sekali tumbuh akibat
tertinggalnya endapan tanah hasil erosi tanah penutup TPA di dasar saluran. TPA di
daerah bertopografi perbukitan juga sering mengalami erosi akibat aliran air yang
deras. Lapisan semen yang retak atau pecah perlu segera diperbaiki agar tidak mudah
25

lepas oleh erosi air; sementara saluran tanah yang berubah profilnya akibat erosi
perlu segera dikembalikan ke dimensi semula agar dapat berfungsi mengalirkan air
dengan baik.
6. Pemeliharaan fasilitas penanganan lindi
Kolam penampung dan pengolah lindi seringkali mengalami pendangkalan
akibat endapan suspensi. Hal ini akan menyebabkan semakin kecilnya volume efektif
kolam yang berarti semakin berkurangnya waktu tinggal yang akan berakibat pada
rendahnya efisiensi pengolahan yang berlangsung. Untuk itu perlu diperhatikan agar
kedalaman efektif kolam dapat dijaga.
Lumpur endapan yang mulai tinggi melampaui dasar efektif kolam harus
segera dikeluarkan. Alat berat excavator sangat efektif dalam pengeluaran lumpur
ini. Dalam beberapa hal dimana ukuran kolam tidak terlalu besar juga dapat
digunakan truk tinja untuk menyedot lumpur yang terkumpul yang selanjutnya dapat
dibiarkan mengering dan dimanfaatkan sebagai tanah penutup sampah.
7. Pemeliharaan Fasilitas Lainnya
Fasilitas-fasilitas lain seperti bangunan kantor / pos, garasi dan sebagainya
perlu dipelihara sebagaimana lazimnya bangunan umum seperti kebersihan,
pengecatan dan lain-lain.

2.2.8 Pengawasan dan pengendalian TPA


Pengawasan dan pengendalian adalah proses untuk mengamati secara terus
menerus pelaksanaan kegiatan berupa penerapan pencatatan dan pelaporan sesuai
dengan rencana kerja yang sudah disusun dan mengadakan koreksi jika terjadi
ketidak sesuaian. Controlling atau pengawasan adalah fungsi manajemen dimana
peran dari personal yang sudah memiliki tugas, wewenang dan menjalankan
pelaksanaannya perlu dilakukan pengawasan agar supaya berjalan sesuai dengan
tujuan, visi dan misi perusahaan.
26

1. Pengawasan kegiatan pembuangan


1). Tujuan pengawasan dan pengendalian
Pengawasan dan pengendalian TPA dimaksudkan untuk meyakinkan bahwa
setiap kegiatan yang ada di TPA dilaksanakan sesuai dengan rencana yang telah
ditentukan dan dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:
 Apakah sampah yang dibuang merupakan sampah perkotaan, dan bukan
jenis sampah yang lain?
 Apakah volume dan berat sampah yang masuk TPA diukur dan dicatat
dengan baik?
 Apakah sel pembuangan dan titik bongkar sudah ditentukan?
 Apakah pengemudi sudah diarahkan ke lokasi yang benar?
 Apakah truk membongkar sampah pada titik yang benar?
 Apakah tanah penutup telah tersedia?
 Apakah perataan dan pemadatan dilakukan sesuai rencana?
 Apakah penutupan telah dilakukan dengan baik?
 Apakah prasarana dan sarana dioperasikan dan dipelihara dengan baik?
2). Tata cara pengawasan dan pengendalian
Pengawasan dilakukan dengan kegiatan pemeriksaan/ pengecekan yang
meliputi:
 Pemeriksaan kedatangan sampah
 Pengecekan rute pembuangan
 Pengecekan operasi pembuangan
 Pengecekan unjuk kerja fasilitas
Pengendalian TPA meliputi aktivitas untuk mengarahkan operasional
pembuangan dan unjuk kerja setiap fasilitas sesuai fungsinya seperti:
 Pemberian petunjuk operasi pembuangan bila petugas lapangan/ operator
melaksanakan tidak sesuai dengan rencana
 Pemeriksaan kualitas pengolahan leachate dan pemberian petunjuk cara
pengoperasian yang baik
27

2. Pendataan dan pelaporan


1). Pendataan TPA
Data-data TPA yang diperlukan akan mencakup:
 Data kedatangan kendaraan pengangkut sampah dan volume sampah yang
diperlukan untuk mengetahui kapasitas pembuangan harian; yang akan
digunakan untuk mengevaluasi perencanaan TPA yang telah disusun
berkaitan dengan kapasitas tampung dan usia pakai TPA. Data ini dapat
dikumpulkan di Pos Pengendali TPA dimana terdapat petugas yang secara
teliti memeriksa, mengukur dan mencatat data tersebut dengan bantuan form
kedatangan truk.
 Data kondisi instalasi pengolahan lindi khususnya kualitas parameter
pencemar untuk mengetahu efisiensi pengolahan lindi dan potensi
pencemaran yang masih ada. Data ini diperoleh melalui pemeriksaan
kualitas air lindi di laboratorium.
 Data operasi dan pemeliharaan alat berat yang merupakan data unjuk kerja
alat berat dan pemantauan pemeliharaannya.
2). Pelaporan
Data-data di atas perlu dirangkum dengan baik menjadi suatu laporan yang
dengan mudah memberikan gambaran mengenai kondisi pengoperasian dan
pemeliharaan TPA kepada para pengambil keputusan maupun perencana bagi
pengembangan TPA lebih lanjut.
3. Pengendalian TPA
1). Pengendalian lalat
Perkembangan lalat dapat terjadi dengan cepat yang umumnya disebabkan
oleh terlambatnya penutupan sampah dengan tanah sehingga tersedia cukup waktu
bagi telur lalat untuk berkembang menjadi larva dan lalat dewasa. Karenanya perlu
diperhatikan dengan seksama batasan waktu paling lama untuk penutupan tanah.
Semakin pendek periode penutupan tanah akan semakin kecil pula kemungkinan
perkembangan lalat.
28

Dalam hal lalat telah berkembang banyak, dapat dilakukan penyemprotan


insektisida dengan menggunakan mistblower. Tersedianya pepohonan dalam hal ini
sangat membantu pencegahan penyebaran lalat ke lingkungan luar TPA.
2). Pencegahan kebakaran dan ledakan
Kebakaran terjadi karena gas metan terlepas tanpa kendali dan bertemu
dengan sumber api. Terlepasnya gas metan seperti telah dibahas sebelumnya sangat
ditentukan oleh kondisi dan kualitas tanah penutup. Sampah yang tidak tertutup
tanah sangat rawan terhadap bahaya kebakaran. Sementara ledakan karena gas bisa
terjadi akibat tekanan gas metan yang yang terlalu tinggi didalam timbunan sampah
tanpa ventilasi gas yang berfungsi untuk mengalirkan dan mengurangi akumulasi
tekanan gas. Untuk mencegah kasus ini perlu diperhatikan pemeliharaan lapisan
tanah penutup TPA dan ventilasi gas metan.
3). Pencegahan pencemaran Air
Pencegahan pencemaran air di sekitar TPA perlu dilakukan dengan menjaga
agar leachate yang dihasilkan di TPA dapat:
 Terbentuk sesedikit mungkin; dengan cara mencegah rembesan air hujan
melalui konstruksi drainase dan tanah penutup yang baik
 Terkumpul pada kolam pengumpul dengan lancar
 Diolah dengan baik pada kolam pengolahan yang kualitasnya secara
periodik diperiksa.

2.3 Perlindungan Lingkungan TPA


Air lindi merupakan air dengan konsentrasi kandungan organik yang tinggi
yang terbentuk dalam landfill akibat adanya air hujan yang masuk ke dalam landfill.
Air lindi merupakan cairan yang sangat berbahaya karena selain kandungan
organiknya tinggi, juga dapat mengandung unsur logam (seperti Zn, Hg). Jika tidak
ditangani dengan baik, air lindi dapat menyerap dalam tanah di area penimbunan
sampah kemudian dapat mencemari air tanah di sekitar area TPA. Berdasarkan
Permen PU No.03 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana
Persampahan dalam Penanganan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis
29

Sampah Rumah Tangga, untuk menghindari dampak negatif dari infiltrasi cairan lindi
kedalam tanah maupun air permukaan disekitar TPA maka harus diperhatikan
prasarana fasilitas perlindungan TPA antara lain:
1. Lapisan dasar TPA
Lapisan dasar kedap air berfungsi untuk mencegah terjadinya pencemaran
lindi terhadap air tanah. Untuk itu maka konstruksi dasar TPA harus cukup kedap,
baik dengan menggunakan lapisan dasar dengan beberapa persyaratan:
1) Lapisan dasar TPA harus kedap air sehingga lindi terhambat meresap kedalam
tanah dan tidak mencemari air tanah. Koefisien permeabilitas lapisan dasar TPA
harus lebih kecil dari 10 –6 cm/det
2) Pelapisan dasar kedap air dapat dilakukan dengan cara melapisi dasar TPA
dengan tanah lempung yang dipadatkan (30 cm x 2) atau geomembran setebal
1,5 – 2 mm, terkandung pada kondisi tanah.
3) Dasar TPA harus dilengkapi saluran pipa pengumpul lindi dan kemiringan
minimal 2 % kearah saluran pengumpul maupun penampung lindi.
4) Pembentukan dasar TPA harus dilakukan secara bertahap sesuai dengan urutan
zona/blok dengan urutan pertama sedekat mungkin ke kolam pengolahan lindi.
5) Bila menurut desain perlu digunakan geositentis seperti geomembran, geotekstil,
non woven, geonet, dan sebagainya, pemasangan bahan ini hendaknya
disesuaikan spesifikasi teknis yang telah direncanakan, dan dilaksanakan oleh
kontraktor yang berpengalaman dalam bidang ini.
Geomembrane/ geotextile maupun lapisan tanah lempung dengan
kepadatan dan permeabilitas yang memadai (< 10-6 cm/det). Lapisan tanah
lempung sebaiknya terdiri dari 2 lapis masing-masing setebal 30 cm. Hal
tersebut dilakukan untuk mencegah terjadinya keretakan akibat kerusakan
lapisan pertama karena terekspose cukup lama. Selain itu untuk menghindari
terjadinya keretakan lapisan dasar tanah lempung, maka sebelum dilakukan
peninmbunan sebaiknya lapisan dasar “terlindung”. Sebagai contoh dapat
dilakukan penanaman rumput atau upaya lain yang memadai (Gambar 5).
30

Gambar 5. Lapisan kedap air TPA


Sumber : PERMEN PU No.03 Tahun 2013

2. Pengumpulan dan Pengolahan Lindi


Pipa jaringan pengumpul lindi di dasar TPA berfungsi untuk mengalirkan
lindi yang terbentuk dari timbunan sampah ke kolam penampung lindi. Adapun
rancangan pengumpulan dan pengolahan lindi sebagai berikut:
1) Penyaluran lindi saluran pengumpul lindi terdiri dari saluran pengumpul
sekunder dan primer.
1. Kriteria saluran pengumpul sekunder adalah sebagai berikut :
 Dipasang memanjang ditengah blok/ zona penimbun
 Saluran pengumpul tersebut menerima aliran dari dasar lahan dengan
kemiringan minimal 2 %
 Saluran pengumpul terdiri dari rangkaian pipa PVC
 Dasar saluran dapat dilapisi dengan liner (lapisan kedap air)
2. Kriteria saluran pengumpul primer : Menggunakan pipa PVC/HDPE dengan
diameter minimal 3,00 mm, berlubang (untuk pipa ke bak pengumpul lindi
tidak berlubang saluran primer dapat dihubungkan dengan hilir saluran
sekunder oleh bak kontrol, yang berfungsi pula sebagai ventilasi yang
dikombinasikan dengan pengumpul gas vertikal).
3. Syarat pengaliran lindi adalah : Pengaliran lindi dilakukan seoptimal mungkin
dengan metode gravitasi, dengan kecepatan pengaliran 0,6 – 3 m/det.
Kedalaman air dalam saluran / pipa (d/D) maksimal 80 %, dimana d = tinggi
air dan D= diameter pipa.
31

4. Perhitungan disain debit lindi adalah menggunakan model atau dengan


perhitungan yang didasarkan atas asumsi. Hujan terpusat pada 4 jam
sebanyak 90% (Van Breen), sehingga faktor puncak = 5,4. Maksimum hujan
yang jatuh 20 – 30% diantaranya menjadi lindi. Dalam 1 bulan, maksimum
terjadi 20 hari hujan. Data presipitasi diambil berdasarkan data harian atau
tahunan maksimum dalam 5 tahun terakhir.
Tipe jaringan disesuaikan dengan kebutuhan seperti luas TPA, tinggi
timbunan, debit lindi dan lain-lain. Sebagai contoh penampang melintang
jaringan pengumpul lindi untuk dialirkan kekolam penampung dapat
ditunjukkan oleh (Gambar 6).

Tampak atas

Tampak samping

Gambar 6. Penampang melintang jaringan pengumpul lindi


Sumber : PERMEN PU NO.03 Tahun 2013

2) Pengolahan lindi
Proses pengolahan lindi perlu memperhatikan debit lindi, karakteristik lindi
dan badan air penerima tempat pembuangan efluen. Hal tersebut berkaitan dengan
pemilihan proses pengolahan, penentuan kapasitas dan dimensi kolam serta
perhitungan waktu detensi. Beberapa pilihan alternatif teknologi yang diterapkan di
Indonesia adalah:
32

1. Kolam anaerobik, fakultatif, maturasi dan biofilter (alternatif I)


2. Kolam anaerobik, fakultatif, maturasi dan land treatment/ wetland (alternatif 2)
3. Anaerobic Baffled Reactor (ABR) dengan aerated lagoon (alternatif 3)
4. Proses koagulasi , flokulasi, sedimentasi, kolam anaerobik atau ABR (alternatif
4).
5. Proses koagulasi, flokulasi, sedimentasi I, aerated lagoon, sedimentasi II
(alternatif 5).
Untuk TPA di Indonesia umumnya menggunakan pilihan alternatif I sebagai
teknologi pengolahan air limbah dimana pengolahan tersebut merupakan bagian dari
sistem pengolahan limbah melalui kolam stabilisasi seperti ditunjukkan (gambar 7).
Menurut Nayono (2015), kolam stabilisasi dapat diklasifikasikan berdasarkan
pada proses biologis yang utama pada kolam tersebut, pola pembebanan hidrolis atau
tingkat pengolahan yang diinginkan. Berdasarkan pada hal tersebut, kolam stabilisasi
dapat digolongkankan menjadi: kolam anaerobik, kolam fakultatif dan kolam
pematangan.
- Kolam anaerobik (anaerobic ponds)
Kolam anaerobik didesain agar partikel padat yang dapat terurai secara biologis
dapat mengendap dan diuraikan melalui proses anaerobik. Kolam ini biasanya
mempunyai kedalaman 3 sampai 5 meter dengan masa tinggal hidrolis (hydraulic
retention time) antara 1 sampai 20 hari.
- Kolam fakultatif (facultative ponds)
Kolam fakultatif biasanya mempunyai kedalaman berkisar 1 sampai 2 meter
dengan proses penguraian secara aerobik dibagian atas dan penguraian secara
anaerobik di lapisan bawahnya. Jenis kolam ini mempunyai masa tinggal hidrolis
antara 5 sampai 30 hari. Penggunaan kolam fakultatif bertujuan untuk
menyeimbangkan input oksigen dari proses fotosintesis alga dengan pemakaian
oksigen yang digunakan untuk penguraian zat organik.
- Kolam pematangan (maturation ponds)
Kolam pematangan adalah kolam dangkal dengan kedalaman hanya 1 sampai
1,5 meter. Hal ini ditujukan agar keseluruhan kolam tersebut dapat ditumbuhi oleh
33

alga sehingga oksigen yang dihasilkan selama proses fotosintesis dapat dipergunakan
untuk proses penguraian secara aerobik. Kolam ini digunakan untuk memperbaiki
kualitas air yang dihasilkan oleh pengolahan di kolam fakultatif dan untuk
mengurangi jumlah organisme patogenik.
- Kolam Wetland
Kolam Wetland merupakan salah satu pilihan pengolahan yang tepat mengingat
karakteristik air limbah grey water dengan beban organik relatif kecil serta unsur
nitrogen dan fosfat yang cukup tinggi. Unsur N serta P pada air limbah ini merupakan
pupuk alami bagi tumbuhan sehingga sistem pengolahan dapat dilaksanakan dengan
teknologi yang sederhana, praktis, mudah dan murah dalam pemeliharaannya.
Pengolahan grey water menggunakan wetland dengan konsep fitoremediasi ini
memanfaatkan simbiosis mikroorganisme dalam tanah dengan akar tumbuhan yang
mengeluarkan oksigen.
Bahan organik yang terdapat dalam air limbah akan dirombak oleh
mikroorganisme menjadi senyawa lebih sederhana dan akan dimanfaatkan oleh
tumbuhan sebagai nutrient, sedangkan sistem perakaran tumbuhan air akan
menghasilkan oksigen yang dapat digunakan sebagai sumber energi/ katalis untuk
rangkaian proses metabolisme bagi kehidupan mikroorganisme. Jenis tumbuhan
dapat disesuaikan dengan jenis sistem wetland yang digunakan. Pada sistem wetland
ini, air tidak menggenang di atas media tanam tetapi air mengalir di bawah media
sehingga memiliki berbagai keuntungan.
Secara umum proses pengolahan lindi secara sederhana terdiri dari beberapa
tahap sebagai berikut (gambar 7) :
 Pengumpulan lindi, dilakukan di kolam pengumpul
 Proses anaerobik, dilakukan di kolam anaerob (kedalaman > 2 meter). Proses ini
diharapkan dapat menurunkan BOD sampai 60 %
 Proses fakultatif yang merupakan proses peralihan dari anaerobik, dilakukan di
kolam fakultatif. Proses ini diharapkan menurunkan BOD sampai 70%
 Proses maturasi atau stabilisasi, dilakukan di kolam maturasi dengan efisiensi
proses 80 %
34

 Land treatment (Biofilter), dilakukan dengan membuat lahan yang berfungsi


sebagai saringan biologi yang terdiri dari ijuk, pasir, tanah dan tanaman yang dapat
menyerap bahan polutan.

Gambar 7. Denah instalasi pengolahan lindi


Sumber : PERMEN PU NO.03 Tahun 2013

3. Pengendalian Lindi
1). Bila pada TPA yang akan ditutup belum terdapat IPL dan efluen dari lindi pada
TPA tesebut dianggap belum stabil, maka diperlukan pengkajian dan desain
khusus untuk membangun IPL yang sesuai. Namun bila desain penutup cukup
35

efektif, maka air yang masuk ke dalam timbunan akan menurun secara
signifikan. Jumlah lindi pada TPA yang sudah ditutup akan tergantung pada
desain lapisan tanah penutup akhir, jenis sampah yg ditimbun dan iklim,
khususnya jumlah hujan.
2). Bila pada lokasi belum tersedia sistem pengumpul dan penangkap lindi, maka
penangkapan lindi perlu dibangun di bagian terbawah dari timbunan tersebut.
3). Jika pada TPA telah ada IPL, maka lakukan evaluasi pada IPL, spesifikasi teknik
jaringan under-drain pengumpul lindi, sistem pengumpul lindi, bak kontrol dan
bak penampung dan pipa inlet ke instalasi.
4). Jika IPL dibangun baru dengan sistem biologi, maka lakukan seeding dan
aklimatisasi terlebih dahulu sesuai SOP IPL, sebelum dilakukan proses
pengolahan lindi sesungguhnya. Langkah ini kemungkinan besar akan terus
dibutuhkan, bila terjadi perubahan kualitas dan beban seperti akibat hujan, atau
akibat tidak berfungsinya sistem IPL biologis ini sehingga merusak
mikrorganisme semula.
5). Efluen IPL lindi harus memenuhi persyaratan seperti tercantum dalam Tabel 1.
Tabel 1. Baku mutu efluent
Komponen Satuan Baku Mutu
Zat padat terlarut mg/L 4000
Zat padat tersuspensi mg/L 400
Ph - 6-9
N-NH3 mg/L 5
N-NO3 mg/L 30
N-NO2 mg/L 3
BOD mg/L 150
COD mg/L 300

Sumber : PERMEN PU No.03 Tahun 2013

6). Dianjurkan agar pada saat tidak hujan, sebagian lindi yang ditampung
dikembalikan ke timbunan sampah sebagai resirkulasi lindi, misalnya melalui
36

sistem ventilasi gas bio. Lakukan pengecekan secara rutin pompa dan perpipaan
resirkulasi lindi untuk menjamin sistem resirkulasi tersebut.
7). Lakukan secara rutin dan periodik updating data curah hujan, temperatur dan
kelembaban udara, debit lindi, kualitas influen dan efluen hasil IPL, untuk
selanjutnya masuk ke informasi recording/ pencatatan. Umur TPA lama
mempengaruhi beban pengolahan yang dapat dilakukan sehingga perlu di
monitoring dan disesuaikan apabila diperlukan.
8). Kolam penampung dan pengolah lindi seringkali mengalami pendangkalan
akibat endapan suspensi. Hal ini akan menyebabkan semakin kecilnya volume
efektif kolam yang berarti semakin berkurangnya waktu tinggal, yang akan
berakibat pada rendahnya efisiensi pengolahan yang berlangsung. Untuk itu,
perlu diperhatikan agar kedalaman efektif kolam tetap terjaga.
9). Lumpur endapan yang mulai tinggi melampaui dasar efektif kolam harus segera
dikeluarkan. Gunakan excavator dalam pengeluaran lumpur ini. Dalam beberapa
hal dimana ukuran kolam tidak terlalu besar, dapat digunakan truk tinja untuk
menyedot lumpur yang terkumpul yang selanjutnya dapat dibiarkan mengering
dan dimanfaatkan sebagai tanah penutup sampah.
10). Lindi dapat keluar dari timbunan sampah lama secara lateral. Dibutuhkan sistem
penangkap, misalnya dengan menggali sisi miring timbunan sampah yang
mengeluarkan lindi sekitar 0,5 m ke dalam, lalu ditangkap dengan pipa 100 mm,
diarahkan menuju drainase pengumpul untuk dialirkan ke IPL.
11). Jika lahan TPA luas, maka IPL yang dibuat terdiri dari serangkaian kolam
stabilisasi anaerob, kolam fakultatif dan kolam maturasi serta lahan sanitasi.
Kolam biologis tanpa bantuan aerasi mempunyai waktu detensi yang lama dan
mempunyai dimensi yang besar. Sehingga untuk memperkecil ukuran dan
mempersingkat waktu detensi maka dapat digunakan kolam biologis dengan
bantuan aerasi. Hanya saja aerasi memerlukan biaya untuk energi listrik pada
operasionalnya. Untuk melihat perbandingan rangkaian IPL dan ukurannya
dapat dilihat dalam Tabel 2.
37

Tabel 2. Perbandingan parameter desain IPAL air lindi TPA

2.4 Metode Analisis Kebutuhan Kapasitas Pengolahan Air Lindi di Tempat


Pemrosesan Akhir Sampah
Menurut Damanhuri dan Padmi (2010), perkiraan timbulan sampah baik untuk
saat sekarang maupun dimasa mendatang merupakan dasar dari perencanaan,
perancangan dan pengkajian sistem pengelolaan persampahan . Perkiraan rerata
timbulan sampah akan merupakan langkah awal yang biasa dilakukan dalam
pengelolaan persampahan. Satuan timbulan sampah ini biasanya dinyatakan sebagai
satuan skala kuantitas perorang atau perunit bangunan dan sebagainya. Bagi kota-kota
dan negara berkembang, dalam hal mengkaji besaran timbulan sampah, agaknya
perlu diperhitungkan adanya faktor pendaurulangan sampah mulai dari
sumbernyasampai di TPA. Rata-rata timbulan sampah biasanya akan bervariasi dari
hari ke hari, antara satu daerah dengan daerah lainnya, dan antara satu negara dengan
negara lainnya. Variasi ini terutama disebakan oleh beberapa perbedaan antara lain:
Jumlah penduduk dan tingkat pertumbuhannya, tingkat hidup, musim, cara hidup,
iklim dan cara penangannan makanannya.
Adapun tahapan dalam menentukan kebutuhan luas area pemrosesan akhir
sampah serta kebutuhan luas pengolahan air lindi dapat ditentukan dengan berbagai
metode diantaranya:
38

2.4.1 Menghitung prediksi jumlah sampel


Penentuan jumlah sampel yang biasa digunakan dalam analisis timbulan
sampah adalah adalah dengan pendekatan statistika, yaitu:
1. Metode Stratified Random Sampling: yang biasanya didasarkan pada komposisi
pendapatan penduduk setempat, dengan anggapan bahwa kuantitas dan kualitas
sampah dipengaruhi oleh tingkat kehidupan masyarakat.
2. Jumlah sampel minimum: ditaksir berdasarkan berapa perbedaan yang bisa
diterima antara yang ditaksir dengan penaksir, berapa derajat kepercayaan yang
diinginkan, dan berapa derajat kepercayaan yang bisa diterima.
3. Pendekatan praktis: dapat dilakukan dengan pengambilan sampel sampah
berdasarkan atas jumlah minimum sampel yang dibutuhkan untuk penentuan
komposisi sampah, yaitu minimum 500 liter atau sekitar 200 kg. Biasanya
sampling dilakukan di TPS atau pada gerobak yang diketahui sumber
sampahnya.
Metode pengambilan dan pengukuran contoh timbulan dan komposisi sampah
di Indonesia biasanya dilaksanakan berdasarkan SNI M 36-1991-03 Penentuan
jumlah sampel sampah yang akan diambil dapat menggunakan formula berikut:
 Bila jumlah penduduk ≤ 106 jiwa
P = Cd . ............................................. (2.1)
Ps = Jumlah penduduk
Cd = Koefisien
Cd =1 Bila kepadatan penduduk normal
Cd <1 Bila kepadatan penduduk jarang
Cd >1 Bila kepadatan penduduk padat
 Bila jumlah penduduk ≥ 106 jiwa
P = Cd . Cj . .............................................. (2.2)

Cj =
106
Contoh :
39

Jumlah penduduk = 900 jiwa, Cd = 1


Penyelesaian : P = 1 x = 9,5 102 jiwa = 950 jiwa
Setiap rumah diasumsikan terdiri atas 6 jiwa
Jumlah rumah =
Jumlah sampel yang harus diambil dari masing-masing strata pendapatan yaitu:
High income : X =

Medium income : Y =

Low income : Z =

2.4.2 Menghitung prediksi jumlah penduduk dan laju pertumbuhan penduduk


Dalam memprediksi jumlah penduduk pada tahun tertentu maka dapat
menggunakan persamaan geometrik sebagai berikut:
Pn = Pa(1+r)n .............................................. (2.3)
Pn = Jumlah penduduk pada tahun n proyeksi
Pa = Jumlah penduduk pada awal tahun proyeksi
r = Rata-rata pertumbuhan penduduk pertahun
n = Selang waktu proyeksi (tahun)
Sementara itu untuk menentukan laju pertumbuhan penduduk dapat dihitung
dengan menghitung terlebih dahulu laju pertumbuhan penduduk tiap tahun seperti
persamaan berikut:
X= x 100%

P1 = Jumlah penduduk tahun awal


P2= Jumlah penduduk tahun berikutnya
Mencari rata-rata pertumbuhan penduduk pertahun :

r=

X1, X2, Xn = Laju pertumbuhan penduduk pada tahun n


n = Selang waktu proyeksi (tahun)
40

2.4.3 Menghitung prediksi Timbulan Sampah


Timbulan sampah yang dihasilkan dari sebuah kota dapat diperoleh dengan
survey pengukuran atau analisa langsung di lapangan, yaitu:
1. Mengukur langsung satuan timbulan sampah dari sejumlah sampel (rumah tangga
dan non rumah tanga) yang ditentukan secara random proporsional di sumber
selama 8 hari berturut- turut (SNI 19-3964-1995 dan SNI M 36-1991- 03 )
2. Load-count analysis: mengukur jumlah (berat dan/atau volume) sampah yang
masuk ke TPS, misalnya diangkut dengan gerobak, selama 8 hari berturut-turut.
Dengan melacak jumlah dan jenis penghasil sampah yang dilayani oleh gerobak
yang mengumpulkan sampah tersebut, akan diperoleh satuan timbulan sampah
per-ekivalensi penduduk
3. Weigh-volume analysis: bila tersedia jembatan timbang, maka jumlah sampah
yang masuk ke fasilitas penerima sampah akan dapat diketahui dengan mudah dari
waktu ke waktu. Jumlah sampah sampah harian kemudian digabung dengan
perkiraan area yang layanan, dimana data penduduk dan sarana umum terlayani
dapat dicari, maka akan diperoleh satuan timbulan sampah per-ekuivalensi
penduduk
4. Material balance analysis: merupakan analisa yang lebih mendasar, dengan
menganalisa secara cermat aliran bahan masuk, aliran bahan yang hilang dalam
system, dan aliran bahan yang menjadi sampah dari sebuah sistem yang ditentukan
batas-batasnya (system boundary) Dalam survei, frekuensi pengambilan sampel
sebaiknya dilakukan selama 8 (delapan) hari berturut-turut guna menggambarkan
fluktuasi harian yang ada. Dilanjutkan dengan kegiatan bulanan guna
menggambarkan fluktuasi dalam satu tahun. Penerapannya di Indonesia biasanya
telah disederhanakan, seperti:
 Hanya dilakukan 1 hari saja
 Dilakukan dalam seminggu, tetapi pengambilan sampel setiap 2 atau 3 hari
 Dilakukan dalam 8 hari berturut-turut
Metode yang umum digunakan untuk menentukan kuantitas total sampah
yang akan dikumpulkan dan dibuang adalah sebagai berikut:
41

 Rata-rata angkutan perhari dikalikan volume rata-rata pengangkutan dan


dikonversikan ke satuan berat dengan menggunakan densitas rata-rata yang
diperoleh melalui sampling.
 Mengukur berat sampel di dalam kendaraan angkut dengan menggunakan
jembatan timbang, kemudian rata-ratanya dikalikan dengan total angkutan per hari
 Mengukur berat setiap angkutan di jembatan timbang di TPA.
Jumlah sampah yang sampai di TPA sulit untuk dijadikan indikasi yang akurat
mengenai timbulan sampah yang sebenarnya di sumber. Hal ini disebabkan oleh
terjadinya kehilangan sampah di setiap tahapan proses operasional pengelolaan
sampah tersebut, terutama karena adanya aktivitas pemulungan atau pemilahan
sampah.
Untuk keperluan tertentu, misalnya menentukan volume yang dibutuhkan
untuk pewadahan sampah atau menentukan potensi daur ulang, perlu diupayakan
untuk mengukur jumlah sampah di sumber. Hal ini dapat dilakukan dengan
melakukan sampling sampah langsung di sumbernya. Karena aktivitas domestik
bervariasi dari hari ke hari dengan siklus mingguan, sampling sampah di sumber
harus dilaksanakan selama satu minggu (umumnya 8 hari berturut-turut).
Untuk memprediksi timbulan sampah dapat digunakan persamaan berikut
(Damanhuri,E dan T. Padmi, 2010) :
Qn = Qt (1 + Cs)n ............................................. (2.4)

Dengan Cs =
Dimana :
Qn = Timbulan sampah pada n tahun mendatang
Qt = Timbulan sampah pada tahun awal perhitungan
Cs = Peningkatan/ pertumbuhan kota
Ci = Laju pertumbuhan sektor industri
Cp = Laju pertumbuhan sektor pertanian
Cqn = laju peningkatan pendapatan perkapita
P = Laju pertumbuhan penduduk
42

Untuk menghitung volume sampah yang di proses di TPA dihitung dengan


memasukkan asumsi dalam persamaan berikut:
Vn = Pn .Qn . 65%............................................. (2.5)
Dimana :
Vn = Prediksi volume sampah pada tahun n
Pn= Prediksi jumlah penduduk pada tahun n
Qn = Prediksi jumlah sampah yang dihasilkan pada tahun n

2.4.4 Menghitung Prediksi Kebutuhan Luas Lahan TPA


Asumsi:
Tinggi tumpukan sampah dalam unit pengolahan sampah 15 (meter)
 Faktor bentuk lahan: 0,7
 Densitas sampah di TPA= 750 (kg/m3) & (memadat hingga 3 kali)
Sehingga untuk menentukan jumlah luas lahan yang dibutuhkan untuk
menerima total volume sampah yang dihasilkan pada dari awal prediksi hingga
prediksi tahun ke-n dapat di hitung dengan persamaan sebagai berikut:

Luas lahan = ∑Vn .

Dengan asumsi tersebut di atas, maka kebutuhan luas unit pengolahan

sampah: = ∑Vn (m3) x

2.4.5 Menghitung prediksi kebutuhan luas IPAL lindi TPA


Adapun data yang dibutuhkan antara lain:
 curah hujan tahunan
 koefisien infiltrasi air lindi
 waktu detensi proses: unit anaerobik, unit fakultatif, dan unit aerobik
 kedalaman unit anaerobik, unit fakultatif dan unit aerobik
Untuk mempermudah pemerintah kota dalam memberikan penilaian desain dari
instalasi pengolahan lindi (IPL), dapat ditentukan dengan menggunakan persamaan
dalam (Tabel 3)
43

Tabel 3. Rumus menentukan luas kebutuhan IPAL lindi TPA


Unit Operasi IPAL Rumus Rumus manual Unit
3
laju alir lindi (m /hari) x waktu
Bak Anaerobik 1.232 x 10-1 x CH x LUPS
detensi (hari) ÷ kedalam bak
laju alir lindi (m3/hari) x waktu
Bak Fakultatif 1.643 x 10-1 x CH x LUPS
detensi (hari) ÷ kedalam bak
laju alir lindi (m3/hari) x waktu
(m) 2
Bak Aerobik 1.643 x 10-1 x CH x LUPS
detensi (hari) ÷ kedalam bak
laju alir lindi (m3/hari) x waktu
Bak Adsorpsi 3.583 x 10-2 x CH x LUPS
detensi (hari) ÷ kedalam bak

Sumber: Bramono (2016)


Catatan:
1. CH = intensitas curah hujan (mm/tahun) ; LUPS = luas area pengolahan sampah
/landfill (ha)
2. Waktu detensi dan kedalaman dari bak adalah: 30 hari dan 4 m, 20 hari dan 2 m ;
10 hari dan 1 m, masing-masing untuk bak anaerobik, fakultatif dan bak aerobik
Kebutuhan total luas unit pengolahan air lindi = (Jumlah total luas
keseluruhan bak kolam pengolahan limbah (m2)

2.5 Pengelolaan Air Lindi di TPA Muara Fajar Pekanbaru


Selain pertambahan penduduk yang pesat, peningkatan daya konsumsi dan
perkembangan di bidang industri dan pertanian mengakibatkan naiknya timbulan
sampah padat di perkotaan. Hampir semua produk yang dikonsumsi masyarakat
setiap harinya seperti jajanan anak-anak sekarang, shampo, sabun mandi hingga
mayones semua tersedia dalam kemasan plastik. Kemasan plastik tersebut tentu
menghasilkan limbah yang tidak sedikit. Bukan rahasia umum bahwa timbunan
sampah menimbulkan banyak permasalahan, baik secara langsung maupun tidak
langsung bagi masyarakat sekitar. Mulai dari pemandangan yang merusak nilai
estetika hingga bau busuk yang meresahkan. Hal tersebut merupakan dampak
langsung dari tumbunan sampah, sedangkan dampak tidak langsungnya diantaranya
adalah penyakit menular dari pernafasan dan kulit dan bahaya banjir yang disebabkan
44

oleh terhambatnya arus air di sungai karena terhalang timbunan sampah yang dibuang
ke sungai.
Sampah yang dikumpulkan langsung dari sumbernya akan diangkut menuju
tempat pemrosesan sementara limbah untuk dilakukan pemilahan dan pemisahan
limbah secara 3R (Reduce, Reuse, Recycle). Sampah organik akan diolah menjadi
kompos, sementara untuk kemasan plastik akan dikumpulkan untuk bahan daur
ulang, pemanfaatan kembali dan kerajinan. Sampah sisa akan dibawa ke tempat
pemrosesan akhir sampah (TPA) untuk dilalukan penimbunan.
TPA yang berada di RT 01/RW 03 Kelurahan Muara Fajar Kecamatan
Rumbai merupakan Tempat Pemrosesan Akhir sampah yang berasal dari semua
kecamatan yang ada di Pekanbaru (Lampiran 1, 2 dan 3). Menurut Ertawati, Ilza dan
Nofrizal ( 2015), TPA ini berupa lahan yang berbentuk lembah yang mempunyai luas
kira-kira 9 Ha, dimana sebelumnya merupakan lokasi pengolahan tinja yang
sekarang tidak berfungsi lagi. Sampah yang masuk setiap harinya kira-kira 400-450
ton, yang di dalamnya terdapat berbagai jenis sampah seperti sampah rumah tangga,
sampah bongkaran bangunan, sampah dari tempat komersial dan lain sebagainya.
Perumahan penduduk sudah mengelilingi TPA Muara Fajar tersebut, dimana
penduduk yang berdomisili di sekitar TPA sebahagian besar adalah warga yang
mempunyai pekerjaan sebagai pemulung. Mereka hidup menggunakan air tanah
dangkal untuk keperluan sehari-hari. Jika pengolahan sampah dan pengolahan lindi
di TPA tersebut tidak dilakukan dengan metode yang baik maka akan dapat
mencemari lingkungan sekitarnya, khususnya air tanah.
Menurut Ertawari et al (2015), sampah yang masuk ke TPA Muara Fajar
ditimbang terlebih dahulu untuk mengetahui beratnya, dimana kategori sampah yang
masuk adalah sampah yang berasal dari rumah tangga, sampah dari daerah komersial
(pasar), bongkaran bangunan dan lain-lain. Truk yang berisi sampah dibongkar di
tempat pembongkaran, kemudian pemulung mengambil barang-barang yang masih
dapat dijual. Setelah kegiatan pemulung selesai sampah dipindahkan ke tempat
penimbunan yaitu pada daerah cekungan dengan menggunakan bulldozer lalu
dipadatkan. Pemadatan sampah dilakukan setiap hari mengunakan alat seperti
45

bulldozer hingga mencapai ketinggian 2-3 meter sebelum dilakukan penutupan yang
bertujuan untuk mencegah berkembangbiaknya vektor penyakit, memperlambat
tingginya sampah, mencegah keluarnya gas ke udara bebas, dan mengurangi bau
yang berasal dari sampah.
Menurut Elysita dan Asmura (2014), hasil analisis air lindi yang berasal dari
outlet bak ke empat unit pengolahan air lindi TPA Muara Fajar juga terdapat
beberapa parameter yang melebihi baku mutu diantaranya: BOD, COD, nitrat,
amoniak, nitrit, sulfida, timbal, tembaga, besi dan krom terlihat dari (Tabel 4).
Selanjutnya menurut Elysita dan Asamura (2014), limpasan air hujan (run off)
yang masuk ke TPA sampah dapat melarutkan zat organik dan anorganik dengan
konsentrasi tinggi yang disebut sebagai lindi (leachate). Lindi tersebut timbul akibat
adanya perombakan sampah oleh mikroorganisme secara aerob.

Tabel 4. Hasil analisis air lindi ( outlet bak ke empat) unit pengolahan air lindi TPA
Muara Fajar

Sumber: Elysita, (2014)


46

Lindi akan mudah terangkut bersama-sama limpasan air hujan dan dapat
merembes masuk ke sumur-sumur penduduk yang di sekitarnya. Masuknya air hujan
kedalam timbunan sampah akan menghanyutkan komponen-komponen sampah yang
telah proses dekomposisi yang menghasi lkan air lindi sampah (leachate) kemudian
merembes keluar dari TPA. Perembesan lindi yang bersifat toksik, mengakibatkan
menurunnya kualitas air sumur sesuai dengan peruntukannya. Nilai pH yang asam,
BOD5, amonia dan kandungan logam berat yang tinggi , mengindikasikan bahwa air
sumur tersebut sudah tidak layak untuk dikonsumsi dan digunakan untuk kebutuhan
sehari-hari.
Pengukuran limbah lindi yang dilakukan pada outlet limbah yang dibuang ke
lingkungan di TPA Muara Fajar terdapat parameter yang melampui baku mutu
menurut Keputusan Menteri Lingkungan Hidup NO. 51 Tahun 1995 Lampiran C
kategori I adalah parameter besi yaitu 5,5192 mg/L, parameter COD 819 mg/L,
parameter BOD 488 mg/L dan nitrat. (NO3) 130 mg/L. Pada air lindi juga terdeteksi
adanya beberapa logam berat seperti mangan (Mn), tembaga (Cu), seng (Zn),
kromium (Cr), cadmium (Cd), meskipun dalam konsentrasi kecil dan tidak melebihi
baku mutu, dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Hasil pengujian limbah air lindi (outlet IPAL) TPA Muara Fajar

Sumber: Ertawati et al. (2015)


47

Dari data dan keterangan di atas maka dapat diambil kesimpulan bahwa air
lindi yang dihasilkan pada TPA Muara fajar masih terdapat beberapa parameter yang
tidak memenuhi baku mutu air limbah KEPMENLH NO 51 tahun 1995 Lampiran C
sehingga jika dibuang akan berbahaya bagi lingkungan. Hal tersebut disebabkan
tumpukan sampah yang terlalu lama ditimbun ke dalam sel sehingga jika terjadi
hujan akan mengakibatkan laju pembentukan lindi yang tinggi.
Pengolahan sampah dan pengolahan cairan lindi yang tidak berjalan
dengan baik sudah berpengaruh terhadap kualitas air tanah di sekitar TPA Muara
Fajar, dimana cairan lindi yang belum layak dibuang ke lingkungan telah
mengakibatkan terjadinya perembesan di dalam tanah sehingga kualitas air tanah
pada sumur pantau 1 sudah tercemar. Didukung oleh penelitian Darmayanti (dalam
Elysita dan Asmura, 2014) bahwa tanah di sekitar TPA Muara Fajar Pekanbaru telah
tercemar lindi. Dari hasil pengujian resistivitas tanah tersebut didapat nilai 3,58 Um
sampai dengan 9219 Um sepanjang bentang 37 m dari titik TPA, nilai resistivitas ini
menunjukkan rembesan lindi bergerak secara horizontal. Pada kedalaman 0-1,6 m
terdapat nilai resistivitas 13,5-30 Um, secara vertical lindi telah merembes pada
kedalaman tersebut. Menurut hasil penelitian Juandi dalam Ertawati et al. (2015),
yang juga dilaksanakan di TPA Muara Fajar tersebut mendapatkan bahwa air lindi
sudah bergerak dari tengah TPA kemudian menyebar ke sekeliling TPA hingga
mencapai lapisan air tanah pemukiman penduduk. Hal ini tidak boleh dibiarkan terus
berlangsung karena berbahaya bagi kesehatan masyarakat disekitar TPA, terutama
yang memanfaatkan air tanah tersebut untuk konsumsi air besih setiap harinya.
Lambannya proses penutupan sampah yang terjadi karena tanah untuk
penimbunan sampah pada sell TPA dibeli dari pihak ketiga sementara anggaran
untuk pembelian tanah penutup terbilang cukup minim, hal tersebut mengakibatkan
penutupan sampah di TPA Muara Fajar Kecamatan Rumbai Pekanbaru hanya
dilakukan 2-3 bulan sekali. Sedangkan menurut metode “sanitary landfill” sampah
yang sudah dipadatkan akan dilakukan penutupan dengan tanah secara rutin yaitu
setiap 5 hari sekali untuk mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan di
48

sekitarnya dan untuk mencegah infiltrasi oleh air hujan yang akan melarutkan zat-zat
organik yang terdapat dalam sampah dan akan menghasilkan lindi.
Pada awal pembukaan lahan, TPA Muara Fajar menerapkan sistem controlled
landfill dalam pengolahan sampah, hal ini ditandai dengan adanya saluran drainase
untuk mengendalikan air hujan, saluran pengumpul lindi (leachate), kolam
penampung, fasilitas pengendalian gas metan dan lain-lain tetapi peningkatan jumlah
sampah yang melebihi kapasitas lahan penampungan sampah menjadikan TPA
menerapkan sistem open dumping dalam pengolahan sampah (Bali dan Hanifah,
2013). Tindak lanjut dari pemerintah kota melalui Walikota Firdaus (dalam Hendri,
2013) melakukan pantauan lapangan ke Tempat Pembuangan Sampah (TPA) sampah
Muara Fajar, pada Sabtu (9/2/2013). Lewat kunjungannya tersebut, Firdaus
didampingi Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP) Syafril, Sekretaris
DKP Erwad Husnan, Kepala Dinas Pemuda dan Olahraga (Kadispora) A Mius, dan
Kabag Humas Setdako Pekanbaru Azharisman Rozie. Kepada Tribun, Firdaus
menyebutkan, kedatangannya ke TPA sampah Muara Fajar kali ini untuk
memastikan sistem pembuangan sampah di TPA yang sistem open dumping sudah
ditutup, dan sudah menggunakan sistem sanitary. "Sistem open dumping sudah tidak
boleh lagi, maka mulai tahun 2013 ini sudah harus menggunakan sistem sanitary,
namun pengarahan yang telah diberikan tentang bagaimana cara kerja sistem
sanitary landfill itu sendiri pada kenyataannya tidak berjalan. Para pengangkut
sampah membongkar sampah hanya pada pinggir tempat pembuangan sampah,
sehingga mengalami penumpukan disatu tempat saja mengakibatkan alat berat sulit
untuk mengakses jalan dan meratakan tumpukan sampah tersebut.
Menurut hasil penelitian Ertawati et al. (2015), pengolahan sampah di TPA
Muara Fajar kurang sempurna, sehingga cairan lindi yang terbentuk di TPA Muara
fajar tersebut sebanyak 0,4 liter/detik. Laju pembentukan lindi tersebut
mengakibatkan terjadinya pendangkalan pada kolam IPAL akibat limpasan air hujan
yang membawa padatan yang bersifat tersuspensi dan mengalir pada saluran
pengumpul lindi. Terjadinya pendangkalan pada kolam IPAL dan tingginya laju
pembentukan lindi mengakibatkan penurunan efektivitas pengolahan air lindi,
49

sehingga komposisi bahan polutan dalam lindi tidak mengalami degradasi, hal ini
dapat disebabkan karena oksigen yang tidak mencukupi dalam air limbah sehingga
bakteri aerob dan anaerob tidak dapat tumbuh dan bekerja mendegradasi limbah,
selain itu lama waktu tinggal yang singkat juga menyebabkan kontak antara bakteri
pengurai dengan polutan limbah tidak maksimal. Menurut Yenita dan Ade (2015),
TPA Muara Fajar memiliki empat kolam pengolahan air lindi dan empat bak kontrol.
Akan tetapi Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) yang dimiliki sangat sederahan
dan tidak yang modern dan canggih sehingga belum mampu secara optimal
menurunkan polutan yang terdapat dalam air lindi
Dari luas sanitary yang ada, dan melihat jumlah sampah Pekanbaru yang
setiap hari sudah mencapai 300 ton, maka sanitary hanya mampu menampung
sampah selama dua tahun. Setelah itu diperlukan lahan lagi. Namun, lahan akan
disiapkan hanya jika hasil kerjasama dengan pihak Australia dan China tidak jadi.
"Kerjasama dengan Australia dan China ini, sampah ini bisa diproses dijadikan
energi listrik. Sampah yang sudah ada, bisa melayani mesin berkapasitas 10 kilowatt
sebanyak empat unit dan selama satu tahun. Artinya, jika kerjasama itu jadi, tidak
diperlukan lagi lahan untuk TPA sampah, cukup dibuang ke kawasan ini yang
nantinya akan diubah menjadi kawasan industri listrik. Walikota Pekanbaru Firdaus
(Riauterkini, 2014) mengatakan saat ini sudah banyak investor yang hendak
mengelola, namun untuk menjadi pengelola ada persyaratan yang harus penuhi yaitu
harus mengikuti terder investasi yang nilai dananya minimal Rp 500 miliar, ini
menjadi kendala bagi investor untuk memenuhi persyaratan tender sehingga rencana
konversi sampah menjadi listrik tidak kunjung terealisaikan.
Selanjutnya disampaikan Firdaus (dalam Hendri, 2013), untuk anggaran
sampah di tahun 2013 ini menghabiskan dana Rp 80 miliar. Sebanyak Rp 40 miliar
berada di DKP dan Rp 40 miliar berada di kecamatan. "Jumlah ini belum terpenuhi
dari anggaran dan retribusi sampah yang dipungut dari masyarakat. Hasil yang
diperoleh dari retribusi sampah hanya mencapai 10 persen, sehingga tidak mampu
mengembalikan tingginya biaya operasional sampah yang dikeluarkan. Untuk itu,
masyarakat harus menyadari bahwa pengolahan sampah ini telah menguras keuangan
50

daerah. Maka masyarakat sendiri harus ikut ambil bagian dalam penghematan biaya
operasional sampah dengan membuang sampah pada tempatnya, sehingga dana itu
bisa berkurang.
Seharusnya kebijakan pengelolaan sampah tidak dibebankan kepada
pemerintah daerah semata, namun dibutuhkan peran aktif dari Pemerintah Pusat
karena permasalahan lingkungan yang disebabkan oleh sampah seperti air lindi
merupakan permasalahan lingkungan dengan cakupan nasional. Minimnya lahan
TPA yang hingga saat ini memang menjadi kendala umum bagi kota-kota besar.
Akibatnya sampah dari kota-kota besar ini sering dialokasikan ke daerah-daerah
satelitnya, hal ini menimbulkan aksi penolakan keras dari warga sekitar TPA yang
merasa sangat dirugikan dengan keberadaan TPA di wilayahnya. Faktor lain adalah
tidak adanya AMDAL (Analisis Dampak Lingkungan) melalui kajian geologi,
hidrogeologi, transportasi, sosial-ekonomi, dan lain-lain dimana dengan tidak adanya
AMDAL membuat pemerintah tidak dapat memantau perkembangan yang terjadi
akibat kerusakan lingkungan yang mendukung masalah AMDAL sehingga seringkali
kita temui TPA yang berada di tempat tinggi, sehingga air limpasan lindi yang
dihasilkan mengalir keluar kawasan TPA. (Kompasiana, 2015)
Masih tingginya polutan yang terdapat dalam air lindi dibeberapa TPA
seharusnya menjadi cambuk bagi pemerintah untuk mengatasi permasalahan
tersebut. Selain memantau kondisi fasilitas pengelolaan sampah, memastikan
operasional persampahan berjalan sesuai prosedur yang tepat serta ketersediaan lahan
yang mencukupi untuk melakukan pengelolaan sampah dan limbah yang dihasilkan,
kapasitas kebutuhan tempat pengolahan limbah juga harusnya menjadi pertimbangan
mengingat laju pertumbuhan lindi yang semakin meningkat serta efektifitas IPAL
yang menurun akibat pendangkalan. Oleh sebab itu dibutuhkan kebijakan dari
pemerintah pusat dalam menetapkan pedoman upaya peningkatan kebutuhan IPAL
berdasarkan pertimabangan laju pertumbuhan lindi yang dihasilkan sehingga
permasalahan lingkungan akibat air lindi sampah dapat diatasi.
III. DAMPAK PENINGKATAN KEBUTUHAN PENGOLAHAN LINDI DI
TPA MUARA FAJAR KECAMATAN RUMBAI PESISIR PEKANBARU

3.1 Dampak Ekonomi


Jika pengelolaan air lindi pada IPAL TPA tidak dikelola dengan baik dan
sempurna maka akan mengakibatkan air lindi yang dihasilkan akan mencemari
lingkungan pada akhirnya dapat berdampak bagi perekonomian karena air yang telah
tercemar dapat mengakibatkan kerugian berupa:
1. Air tidak dapat digunakan lagi untuk keperluan rumah tangga
Air yang telah tercemar dan kemudian tidak dapat digunakan lagi sebagai
penunjang kehidupan manusia, terutama untuk keperluan rumah tangga, akan
menimbulkan dampak sosial dan ekonomi yang sangat luas sebab masyarakat yang
air tanahnya tercemar harus membeli air bersih untuk kebutuhan sehari-hari mereka.
2. Air tidak dapat digunakan untuk keperluan industri
Kalau terjadi pencemaran air yang mengakibatkan air tersebut tidak dapat
digunakan untuk keperluan industri berarti usaha untuk meningkatkan kehidupan
manusia tidak akan tercapai.
3. Air tidak dapat digunakan untuk keperluan pertanian.
Air tidak dapat digunakan lagi sebagai air irigasi, untuk pengairan di
persawahan dan kolam perikanan karena adanya senyawa-senyawa anorganik yang
mengakibatkan perubahan drastis pada pH air. Air yang bersifat terlalu basa atau
terlalu asam akan mematikan tanaman dan hewan air. Selain itu banyak senyawa
anorganik yang bersifat racun yang menyebabkan kematian. Air yang mengandung
racun seringkali justru bening, seolah-olah tidak tercemar. Sudah sering terdengar
adanya kematian ikan maupun udang di kolam perikanan dan tambak yang
disebabkan air lingkungan yang tercemar.
Air lindi jika dikelola dan diproses dengan baik maka bisa menjadi sumber
penghasil biogas, menghasilkan bahan pupuk cair atau starter mikroba. Air lindi juga
mempunyai potensi untuk dapat dimanfaatkan sebagai pupuk organik karena
mengandung berbagai macam bahan organik seperti nitrat, mineral dan
52

mikroorganisme sehingga hal tersebut dapat meningkatkan perekonomian dari nilai


jual produk yang dihasilkan dari lindi tersebut, peningkatan dibidang energi sebagai
sumber energi baru dari gas yang dihasilkan serta peningkatan bidang pertanian
dengan sumber nutrisi tambahan bagi tanaman pertanian.
3.2 Dampak Sosial Budaya
Seiring berjalannya kegiatan pengelolaan sampa di suatu kawasan maka jumlah
penduduk yang bertempat tinggal disekitar TPA semakin bertambah yang sebagian
besar dari mereka adalah pemulung yang bekerja di TPA tersebut. Sehingga jika air
lindi di TPA tidak di kelola dengan baik maka air lindi akan masuk ke sungai/ ke
badan air dimana warna yang gelap (kotor) dan bau yang tidak sedap akan
mengakibatkan sungai/ badan air yang selayaknya dapat menjadi sarana bermain dan
memberikan nilai keindahan/ nilai estetika akan rusak secara kualitas dan bahkan
membahayakan bagi masyarakat sekitar TPA dimana umumnya kebiasaan
masyarakat menjadikan sungai dan badan air sebagai tempat rekreasi (memancing),
tempat bermain, budidaya ikan bahkan kadang untuk keperluan sehari-hari seperti
mandi,cuci dan kakus tidak bisa dimanfaatkan sebagaimana mestinya.
Sebaliknya pengelolaan air lindi akan memberikan dampak yang baik bagi
kehidupan sosial budaya masyarakat yang bertempat tinggal disekitar TPA dimana
masyarakat sekitar aliran sungai masih dapat menikmati jasa ekosistem sungai
tersebut sebagai penyedia lahan rekreasi masyarakat, sebagai penyedia lahan
budidaya perikanan bahkan untuk digunakan sebagai kebutuhan sehari-hari oleh
masyarakat sekitar TPA.
3.3 Dampak Lingkungan dan Kesehatan
Lindi merupakan cairan yang sangat berbahaya bagi lingkungan jika tidak
dikelola dengan baik. Leachate atau air lindi yang telah mencapai air tanah akan
terbawa oleh aliran air tanah. Bersama aliran air tanah, air lindi dapat mencemari air
sumur dengan bahan pencemar yang terkandung di dalamnya. Terkontaminasinya
sumber air tanah dangkal oleh zat-zat kimia yang terkandung dalam lindi seperti
misalnya nitrit, nitrat, ammonia, kalsium, kalium, magnesium, kesadahan, klorida,
sulfat, BOD, COD, pH yang konsentrasinya sangat tinggi akan menyebabkan
53

terganggunya kehidupan makhluk hidup disekitar TPA. Selanjutnya air lindi yang
tidak terkelola dengan baik jika masuk kedalam drainase atau sungai akan
mencemari air. Berbagai organisme termasuk ikan dapat mati sehingga beberapa
spesies akan lenyap, hal ini mengakibatkan berubahnya ekosistem perairan biologis.
Penguraian sampah yang dibuang ke dalam air akan menghasilkan asam organik dan
gas-gas organik, seperti metana. Selain berbau kurang sedap, gas ini dalam
konsentrasi tinggi dapat meledak.
Pengelolaan lindi yang tidak memadai akan mengakibatkan peningkatan
beberapa organisme patogen dan menarik bagi berbagai binatang seperti lalat dan
anjing yang dapat menimbulkan bermacam penyakit. Potensi bahaya kesehatan yang
dapat ditimbulkan adalah sebagai berikut :
1. Penyakit diare, kolera, tifus menyebar dengan cepat karena virus yang berasal
dari sampah dengan pengelolaan yang tidak tepat dapat bercampur dengan air
minum. Penyakit demam berdarah dapat juga meningkat dengan cepat di daerah
yang pengelolaan sampahnya kurang memadai.
2. Penyakit jamur dapat juga menyebar (misalnya jamur kulit).
3. Penyakit yang dapat menyebar melalui rantai makanan. Salah satu contohnya
adalah suatu penyakit yang dijangkitkan oleh cacing pita (taenia). Cacing ini
sebelumnya masuk ke dalam pencernaan binatang ternak melalui makanannya
yang berupa sisa makanan/sampah
4. Sampah beracun. Telah dilaporkan bahwa di Jepang kira-kira 40.000 orang
meninggal akibat mengkonsumsi ikan yang telah terkontaminasi oleh raksa
(Hg). Raksa ini berasal dari sampah yang dibuang ke laut oleh pabrik yang
memproduksi baterai dan akumulator.
Pengelolaan air lindi yang memadai bertujuan untuk menjaga agar air lindi
yang timbul akibat pemrosesan sampah di TPA tidak mencemari lingkungan di
sekitar lokasi TPA agar dapat menghindari berbagai dampak negatif yang dapat
ditimbulkan oleh pencemaran air lindi, sehingga air tanah disekitar TPA yang
merupakan kebutuhan pokok bagi masyarakat bisa dimanfaatkan oleh masyarakat
untuk kebutuhan air bersih sehari-hari. Dengan pengelolaan lindi yang baik
54

masyarakat sekitar juga akan terhindar dari berbagai sumber penyakit yang dapat
timbul akibat masuknya air lindi kedalam perairan/badan air di sekitar TPA,
lingkungan perairan sebagai habitat biota, ikan dan makhluk hidup lainnya akan tetap
terjaga dan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat disekitar TPA sebagai sarana
rekreasi, tempat bermain dan petualangan bagi anak-anak, juga dapat dimanfaatkan
sebagai tempat budidaya perikanan sehingga menjadi tambahan pemasukan bagi
masyarakat sekitar TPA.
Perencanaan sistem pengelolaan persampahan merupakan bagian dari tugas
pemerintah pusat dan daerah, dimana dalam pengelolaan prasarana persampahan ini
menjadi wewenang kementrian Dinas Pekerjaan Umum khususnya Direktorat Cipta
Karya Bidang Pengembangan Penyehatan Lingkungan dan Pemukiman untuk
menyediakan fasilitas pengelolaan sampah serta fasilitas penunjang untuk mengatasi
permasalahan persampahan dikota tersebut. jika terjadi permasalahan pencemaran
yang disebabkan oleh air limbah lindi yang dihasilkan oleh TPA maka akan
menyebabkan krisis kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah kotanya sendiri
selain itu pemerintah akan mengalami kesulitan dalam pemulihan lingkungan sebab
untuk mengembalikan fungsi lingkungan kembali membutuhkan biaya yang tinggi
dan waktu yang sangat lama.
IV MAKSIMALISAI PEMENUHAN KEBUTUHAN KAPASITAS
PENGOLAHAN AIR LINDI DI TPA MUARA FAJAR PEKANBARU

Kenaikan timbulan sampah yang terus terjadi akibat pertumbuhan jumlah


penduduk, pertumbuhan sektor industri, pertanian dan pendapatan perkapita
sebaiknya diimbangi dengan optimalisasi pemanfaatan limbah baik melalui
peningkatan industri daur ulang sampah, pemanfaatan sampah menjadi pupuk
kompos, pemanfaatan sampah bagi industri kerajinan, meningkatkan peran serta
masyarakat dalam penglolaan sampah secara langsung maupun melalui bank
sampah, selain itu juga pengembangan teknologi sampah menjadi sumber
pembangkit tenaga listrik. Sehingga penanganan sampah dapat dioptimal dari
sumbernya bukan lagi penanganan sampah ditempat pemrosesan akhir sampah
saja. Adapun upaya-upaya untuk mengatasi permasalahan dalam pengelolaan lindi
di TPA dapat dilakukan dengan upaya-upaya berikut:
4.1 Keterlambatan Proses Penutupan Sampah yang Disebabkan Minimnya
Anggaran untuk Pembelian Tanah Penutup
Guna mengatasi keterlambatan proses penutupan sampah yang disebabkan
minimnya anggaran untuk pembelian tanah penutup kepada pihak ketiga harus
cepat diatasi, biaya operasi dan pemeliharaan yang mencukupi untuk kebutuhan
pengoperasian sarana prasarana persampahan perhitungannya harus didasarkan
pada kebutuhan alternatif pengoperasian seluruh kegiatan penanganan sampah
dari sumber sampai TPA (Tempat Pemrosesan Akhir) sampah untuk jangka
panjang.
Tarif atau retribusi yang disusun untuk membantu kegiatan operasional
persampahan harus dihitung berdasarkan beberapa aspek pertimbangan antara
lain:
1 struktur/ klasifikasi wajib retribusi (cross subsidi),
2 kemampuan daerah,
3 kemampuan masyarakat
4 dapat mencukupi kebutuhan operasional pengelolaan sampah (mengarah pada
pola cost recovery);
Dana yang diperoleh untuk kegiatan seluruh operasional persampahan
sebaiknya tidak hanya mengharapkan retribusi dari masyarakat dan dana daerah
56

saja namun juga dengan membuat kebijakan melalui kewajiban membayar


retribusi sampah bagi produsen atau industri penghasil sampah itu sendiri,
khususnya bagi sampah yang tidak dapat didaur ulang. Setelah memperoleh dana
dari berbagai sumber melalui kewajiban retribusi, pendapatan dari penarikan tarif
atau retribusi tersebut harus terkoordinasi dan tercatat secara baik dan transparan
serta diinvestasikan kembali untuk kepentingan pengelolaan sampah.
4.2 Pembuangan Sampah dengan Sistem “Open Dumping”
Guna menghindari terjadinya open dumping yang disebabkan kelebihan
kapasitas penampungan sampah, seharusnya dapat dilakukan melalui pengawasan
secara rutin pelaksanaan program operasional persiapan lahan dilapangan,
diantaranya dengan memastikan:

1. pengaturan sel lahan pembuangan dan penimbunan telah benar-benar siap dan
memadai untuk menapung dan menutup sampah yang diterima diTPA,
2. pengaturan zona dan blok yang benar sehingga kontinuitas proses pembuangan
sampah dapat berjalan dengan lancar,
3. pengaturan lahan pembongkaran guna mempermudah akses alat berat untuk
melakukan penimbunan sampah.
4. Sampah yang masuk kedalam tempat pembuangan akhir tidak hanya berasal
dari sumber sampah saja, akan tetapi terlebih dahulu dipilah di tempat
pembuangan sampah sementara sehingga telah mengalami proses 3R terlebih
dahulu untuk mengurangi volume sampah yang ditimbun di TPA.
Selain dengan mengawasi kegiatan operasional persampahan untuk
mencegah terjadinya open dumping dalam penanganan operasional, tenaga teknis
kegiatan persampahan harus mendapatkan bimbingan dan pelatihan sehingga
operasi kegiatan pemrosesan akhir sampah benar-benar berjalan sesuai prosedur
yang telah ditetapkan.
Dalam membantu kegiatan pemilahan sampah di TPA sebaiknya dilakukan
organisir pemulung melalui penggabungan mereka secara resmi dalam sistem,
sehingga sampah yang mereka dapatkan dapat menjamin keberlangsungan hidup
mereka, selain itu dengan memberikan bantuan biaya kesehatan dan pendidikan
anak-anak mereka, akan memberikan etos kerja bagi pemulung untuk tetap
berada didalam sistem tersebut.
57

4.3 Penurunan Faktor Pertumbuhan Lindi Melalui Konversi Sampah Menjadi


Energi Listrik
Guna menarik investor dalam mengembangkan konversi sampah
menjadi energi listrik berbagai insentif telah disediakan oleh pemerintah untuk
menarik minat investor mengembangkan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah
(PLTSa) di Indonesia, misalnya dengan mengeluarkan Payung hukum
pengembangan sampah yang di tulis dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor
19 Tahun 2013. Terkait pengolahan sampah dari sisi hilir sudah diterbitkan
Peraturan Menteri ESDM Nomor 19 Tahun 2013 tentang pembelian tenaga
listrik oleh PLN dari pembangkit listrik berbasis sampah kota. Kewajiban PLN
membeli listrik yang nantinya dihasilkan oleh PLTSa selain itu pemerintah
juga mengeluarkan peraturan terkait penetapan tarif harga listrik melalui
Permen ESDM Nomor 44 Tahun 2015 yang menetapkan Feed in Tariff sebesar
US$ 18,77 sen/kWh untuk listrik dari PLTSa. Perizinan untuk
pembangunannya juga dipermudah, seperti penyederhanaan perizinan melalui
BKPM dan sebagainya sehingga investor lebih mudah dalam mengeurus proses
administrasi perusahaan agar percepatan pembangunan PLTSa dapat terealisasi
secepat mungkin.
Dukungan dalam bentuk lain harusnya diberikan dalam kegiatan proyek
pembangunan PLTSa baik dari pemerintah pusat maupun daerah tidak hanya
menunggu investor untuk menanamkan modal dan memberi kelonggaran dalam
pengurusan izin. Namun melalui anggaran yang diperoleh dari dana
pengendalian sampah dari pemungutan retribusi bagi produsen penghasil
sampah, serta dari anggaran belanja negara melalui dana pengembangan sumber
daya energi pembangkit listrik sebaiknya dialokasikan untuk pengembangan
PLTSa tahap demi tahap sehingga dibalik itu semua kita dapat memanfaatkan
sumber daya manusia yang ada di Indonesia sendiri nantinya melalui pelatihan
dan studi langsung kenegara maju yang telah menjalankan PLTSa serta
memanfaatkan ilmuan dan tenaga kerja yang ada diluar negeri yang telah
memiliki pengalaman khususnya dibidang energi untuk saling bekerja
merealisasikan pengembangan PLTSa di Indonesia.
58

4.4 Pendangkalan dan Penurunan Kinerja IPAL


Kolam penampung dan pengolah lindi seringkali mengalami pendangkalan
akibat endapan tersususpensi yang timbul dari limpasa air hujan yang mengalir
pada tumpukan sampah yang ada di TPA. Hal ini akan menyebabkan semakin
kecilnya volume efektif kolam yang berarti semakin berkurangnya waktu tinggal
yang akan berakibat pada rendahnya efisiensi pengolahan yang berlangsung.
Untuk itu perlu diperhatikan agar kedalaman efektif kolam dapat dijaga dengan
selalu melakukan pengawasan housekeeping pada tempat pengolahan air limbah
dengan melakukan pengerukan lumpur endapan menggunakan alat berat
excavator serta juga dapat menggunakan truk tinja untuk menyedot lumpur yang
terkumpul secara rutin sehingga tidak terjadi pendangkalan pada dasar IPAL.
Lumpur dan lindi yang diperoleh dari penumpukan padatan pada kolam
IPAL bisa dimanfaatkan untuk penyiraman dalam proses pembuatan pupuk
kompos dari sampah organik yang ada di TPA sehingga dapat menambah nutrisi
bagi senyawa pengurai untuk membantu mempercepat proses pelapukan sampah.
Upaya lain yang dapat dilakukan untuk mengatasi pendangkalan dan
penurunan kinerja IPAL yaitu dengan membuat fasilitas drainase air hujan
yang terpisah dengan saluran air lindi sehingga tidak semua air hujan dan
limpasannya yang mengalir menuju tumpukan sampah masuk dan tercampur
kedalam saluran pengamanan lindi yang dapat mengakibatkan peningkatan laju
pertumbuhan lindi sehingga menyebabkan pendangkalan.
4.5 Peningkatan Kebutuhan Kapasitas Pengolahan Air Lindi Pemko Kota
Pekanbaru
Mencegah terjadinya dampak-dampak yang dapat ditimbulkan oleh air
lindi di TPA sebaiknya ada kebijakan dari pemerintah pusat, bekerja sama dengan
pemerintah daerah atau kota terutama yang memiliki permasalahan dalam
pengelolaan air lindi untuk melakukan upaya peningkatan kebutuhan kapasitas
pengolahan air lindi melalui peraturan daerah untuk menjalankan “Rencana
Teknik Rinci” sebagai pedoman dalam perencanaan pembangun fasilitas
pengolahan air lindi di TPA dan satelitnya atau TPS pembantu, sehingga melalui
perencanaan pemenuhan kebutuhan luas IPAL tersebut dapat diperoleh luas
kebutuhan optimal kolam IPAL dan wetland dengan mempertimbangkan
59

berbagai faktor yang dapat meningkatkan laju timbulan lindi. Adapun faktor-
faktor yang menjadi pertimbangan dalam upaya peningkatan kebutuhan kapasitas
pengolahan lindi parameternya dapat dilihat dari dasar perancangan sebagai
berikut (tabel 6):
Tabel 6. Dasar Perencanaan Penetapan kapasitas IPAL lindi di TPA

Sumber: Bramono (2016)


Nilai-nilai dari parameter yang menjadi faktor pertumbuhan lindi bisa
didapatkan dari data instansi terkait yang berhubungan dengan kegiatan
pemantauan parameter tersebut. Sehingga dengan adanya data yang valid dan
langsung diambil pada tahun pengamatan dan dari data beberapa tahun
sebelumnya maka dapat dilakukan prediksi peningkatan pertumbuhan lindi untuk
beberapa tahun kedepan dengan persamaan regresi linnier sehingga dapat
diperoleh kapasitas kebutuhan IPAL yang mampu bekerja secara optimal sesuai
dengan laju pertumbuhan lindi dan dapat berjalan hingga waktu umur TPA yang
ditentukan.
DAFTAR PUSTAKA

Badan Standarisasi Nasional. 1994. Standar Nasional Indonesia. SNI


03.3241.1994, Tata Cara Pemilihan Lokasi TPA Sampah. Dewan
Standarisasi Indonesia. Jakarta.
________________________. 2002. Standar Nasional Indonesia. SNI
19.2454.2002, Tata Cara Teknik Operasional Pengelolaan Sampah
Perkotaan. Dewan Standarisasi Indonesia. Jakarta.
________________________. 1994. Standar Nasional Indonesia. SNI
19.3964.1994, Tentang Metode Pengambilan dan Pengukuran
Contoh Timbulan dan Komposisi Sampah Perkotaan. Dewan
Standarisasi Indonesia. Jakarta.
Bali S dan A Hanifah. 2013. Analisis Tembaga, Krom, Sianida dan Kesadahan
Air Lindi TPA Muara Fajar Pekanbaru. Jurusan Kimia Fakultas
Matetamatika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Riau.
Pekanbaru.
Balitbang. Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman 2002. Petunjuk
Teknis Pt.T-19-2002-C, Tata Cara Pereancanaan Tempat
Pembuangan Akhir Sampah (TPA) di Daerah Pasang Surut.
Kementrian Pekerjaan Umum. Jakarta.
Bramono SE. 2016. Rencana Teknik Rinci TPA Sampah (Satuan Proses dan
Satuan Operasi). Direktorat Pengembangan Penyehatan
Lingkungan Permukiman Direktorat Jendral Cipta Karya
Kementrian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Jakarta.
Damanhuri E. 2008. Pengelolaan Leachate (Lindi) Pada Landfill. Diktat
Landfilling Limbah. Teknik Lingkungan. Universitas Institut
Teknologi Bandung. Bandung (Tidak diterbitkan).
___________ dan T Padmi. 2010. Pengelolaan Sampah. Diktat Kuliah Teknik
Lingkungan. Universitas Institut Teknologi Bandung. Bandung
(Tidak diterbitkan).
Elystia S dan J Asmura. 2014. Uji Ekokinetik Air Lindi TPA Muara Fajar
Kecamatan Rumbai Pesisir. Program Studi Teknik Lingkungan
Universitas Riau. Pekanbaru.
Ertawati M, Ilza dan Nofrizal. 2015. Sistem Pengolahan Limbah TPA Muara
Fajar dan Pengaruh Terhadap Kualitas Air Tanah di Sekitarnya.
Program Pascasarjana Program Studi Ilmu Lingkungan Universitas
Riau. Pekanbaru.
Hadi SP. 2005. Aspek Sosial AMDAL: Sejarah, Teori dan Metode . Universitas
Gajah Mada. Yogyakarta.
Hakim N, J Wijaya dan R Sudirja. 2006. Mencari Solusi Penangan Masalah
Sampah Kota. Fakultas Petanian Universitas Padjadjaran. Bandung.
61

Hartono. 2008. Sistem Informasi Lingkungan, Bahan Ajar Mata Kuliah SIG.
Magister Pengelolaan Lingkungan Universitas Gadjah Mada.
Yogyakarta (Tidak diterbitkan).
Hendri N. 2013. Walikota Pekanbaru Firdaus, M.T Mengaku Akan Pantau
Pengolahan Sampah Muara Fajar. Tribunpekanbaru.Com.
Pekanbaru. Diakses 17 februari 2013.
Kompasiana, 2015. Pengelolaan Sampah dan Kebijakan Pemerintah dalam
Penanggulangan Kasus Sampah DKI Jakarta. Diakses 26 Juni
2015. Kompasiana.com. Jakarta
Mentri Pekerjaan Umum Republik Indonesia, 2013. PERMEN PU No 03
/PRT/M/2013, Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana
Persampahan dalam Penanganan Sampah Rumah Tangga dan
Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga. Jakarta.
Nayono SE. 2015. Metode Pengolahan Air Limbah Alternatif Untuk Negara
Berkembang. Jurusan Teknik Sipil dan Perencanaan Fakultas
Teknik, Universitas Negeri. Yogyakarta.
Pambagio A. 2015. Pengelolaan Sampah dan Regulasi Salah Sasaran.
Detiknews.com. Jakarta. Diakses 23 juli 2015.
Presiden RI. 2008. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008. Tentang Pengelolaan
Sampah. Sekretariat Negara. Jakarta.
Pusat Sarana Pengendalian Dampak Lingkungan. 2010. Laporan Hasil
Pemantauan TPST Bantar Gebang Bekasi Dan TPK Sarimukti.
Bandung.
Riauterkini. 2013. Pemko Pekanbaru Terus Lakukan Antisipasi Permasalahan
Sampah. Tahun 2014, DKP Akan Membangun 10 TPS di Setiap
Kecamatan. Diakses 08 Mei 2013. Riauterkini.com. Pekanbaru.
Saefuddin A. 2014. Tenologi Pengolahan Limbah untuk Perlindungan
Lingkungan Hidup. Universitas Triologi. Jakarta
Wibowo IF. 2011. Prediksi Kebutuhan Daya Tampung Tempat Pembuangan
Akhir Sampah (TPA) Sukosari Sumantono Karanganyar Pada
Tahun 2016. Tugas Aknir. Program D3 Teknik Sipil Infrastruktur
Perkotaan. Universitas Sebelas Maret. Surakarta (Tidak
diterbitkan).
Yustina dan S Purnomo. 2008. Pengelolaan Sampah Perkotaan. Pusat
Pengembangan Pendidikan Universitas Riau. Pekanbaru.
Yenita RN dan AP Siprana. 2015. Pengaruh Parameter Fisika dan Mikribiologi
Leachet Terhadap Kesehatan Lingkungan di TPA Muara Fajar
Pekanbaru. Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Al-Insyirah.
Pekanbaru.
62

Lampiran 1. Peta Provinsi Riau


63

Lampiran 2. Peta Kota Pekanbaru

LOKASI TPA MUARA FAJAR


64

Lampiran 3. Peta Lokasi TPA Muara Fajar Pekanbaru


65

Lampiran 4. Lokasi TPA Muara Fajar Pekanbaru

Anda mungkin juga menyukai