Anda di halaman 1dari 75

Volume : 5 No.

1 MARET 2012

ISSN : 1412-7709

Jurnal
RONA LINGKUNGAN HIDUP
(Journal of Environment)

BAP EDAL

PEMERINTAH ACEH
BADAN PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN

BAPEDAL

Volume : 5 No. 1 MARET 2012

ISSN : 1412-7709

Jurnal
RONA LINGKUNGAN HIDUP
(Journal of Environment)
Dalam rangka meningkatkan peran

Dewan Redaksi :
Pengarah : Kepala BAPEDAL Aceh
Penanggung jawab : Mountie Syurga, ST,
MM (Kepala Bidang Program Informasi
dan Tata Ruang Lingkungan)
Sekretaris : Safrida Afriana, ST, MEM

serta masyarakat di dalam pengelolaan


lingkungan hidup dan penyebarluasan
informasi

lingkungan

Pengendalian

hidup,

Dampak

Badan

Lingkungan

(BAPEDAL) Aceh menerbitkan sebuah


jurnal

sebagai

media

Ketua Redaksi : M. Daud, S.Hut, M.Si

pengembangan

Staf Redaksi :
Badriah Hasballah, S.Hut
Dewi Erawati Utami, SP
Cut Intan Mutia, S.Kep
Muhammad Yusuf, SE
Elva Rahmi, MT
Afrianti, S.Si
Hery Yanto, S.Hut
Yuli Hartati, A.Md
TM. Fahrizal, SP
Rr. Chandra T. Ratih, A.Md
Dedi Satria, ST, M.Si
Sri Hartini,SE
Saifuddin, SP
Rostina, SP
Jusman, SE
Syarifah Maulidya, SP
Abdul Munir

informasi.
Jurnal

Rona

Lingkungan

Hidup

merupakan salah satu media bagi peneliti


dan pemerhati lingkungan hidup untuk
penyebarluasan hasil penelitian atau ulasan
kebijakan

yang

berhubungan

dengan

permasalahan lingkungan hidup.


Jurnal

Rona

Lingkungan

Hidup

merupakan jurnal enam bulanan yang


diterbitkan

setiap

bulan

Maret

dan

September.

Bendahara
Alvan Ade Reza, ST

Redaksi

Staf Ahli Redaksi :


Sekretaris/Kabid BAPEDAL ACEH
Staf Ahli BAPEDAL ACEH
Jurnal Rona Lingkungan Hidup ini diterbitkan enam bulan sekali
Bagi yang ingin mengirimkan naskah Jurnal Lingkungan Hidup, dapat menghubungi bidang Program,
Informasi dan Tata Ruang Lingkungan Bapedal Aceh.
Untuk surat menyurat harap menghubungi Sdri Yuli pada Bidang Program, Informasi dan Tata Ruang
Lingkungan dengan alamat seperti tercantum di bawah ini:
BAPEDAL ACEH
Jl. Tgk. Malem No.2 Banda Aceh 23121
Telp. (0651) 635722 Faks.: (0651) 32456
Website:www.bapedal.acehprov.go.id

Volume : 5 No. 1 MARET 2012

ISSN : 1412 - 7709

Jurnal

RONA LINGKUNGAN HIDUP


(Journal of Environment)
Daftar Isi
Daftar Isi

HIDROLISIS PATI SUKUN DENGAN KATALISATOR HCL UNTUK


PEMBUATAN PEREKAT RAMAH LINGKUNGAN
Mirna Rahmah Lubis1, Cut Meurah Rosnelly2
.....................................................

STUDI BIODIVERSITI BENTOS DI KRUENG DAROY KECAMATAN


DARUL IMARAH KABUPATEN ACEH BESAR
Jailani1, M. Nur2 ......................................................................................................

SCREENING OF WELL IN BANDA ACEH DISTRICTS AND ACEH BESAR


DISTRICTS FOR CONTAMINATION WITH FAECAL COLIFORM
BACTERIA
Cut Yulvizar ...........................................................................................................

16

PERUBAHAN TUTUPAN KARANG DI MEDIA CORAL RUBBLE UNTUK


TUJUAN REHABILITASI TERUMBU KARANG DI PULAU ACEH
Edi Rudi 1, Sayyid Afdhal Elrahimi2 ....................................................................

25

KEANEKARAGAMAN JENIS KUPU-KUPU PIERIDAE DI KAWASAN


WISATA SUNGAI SARAH ACEH BESAR PASCA TERJADINYA BENCANA
TSUNAMI
Suwarno1, Syibral Fuadi2, Abdul Hadi Mahmud3 .................................................

31

PERENCANAAN LANDSKAP KAWASAN WISATA SEJARAH PUSAT


KOTA BANDA ACEH, PROVINSI ACEH
Syarifah Maulidya, SP ...................................................

37

STUDI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI SEKITAR KAWASAN


TAMAN NASIONAL GUNUNG LEUSER (TNGL). STUDI KASUS DESA
AGUSAN KECAMATAN BLANGKEJEREN KABUPATEN GAYO LUES
Tasliati Djafar ............................................................

49

ii

KAJIAN KUALITAS AIR PADA JARINGAN PERPIPAAN PERUSAHAAN


DAERAH AIR MINUM (PDAM) TIRTA DAROY KOTA BANDA ACEH
A. Muis ...................................................................................................................

55

PENGARUH KETEBALAN MULSA AMPAS SAGU (Metroxylon sp)


TERHADAP PERTUMBUHAN GULMA DAN HASIL KEDELAI
Gina Erida, M. Abduh Ulim, Jamaluddin
............................................................

63

HIDROLISIS PATI SUKUN DENGAN KATALISATOR HCL UNTUK


PEMBUATAN PEREKAT RAMAH LINGKUNGAN
Mirna Rahmah Lubis, Cut Meurah Rosnelly
Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Syiah Kuala
Jl. Syech Abdurrauf No. 7, Darussalam, Banda Aceh, 23111
Email: m.lubis06@fulbrightmail.org

Abstract - Breadfruit starch is a unique resource which benefits for raw material of green adhesive making. This
green adhesive is made from raw material which is organic, degradable and renewable. This adhesive is
significant to be produced in order to replace inorganic and synthetic adhesive whose character is carcinogenic,
vitiate respiration, and pollute environment because it is hard to be degraded. This study investigated hydrolysis
method of breadfruit starch into dextrin with Hidrochloride Acid (HCl) catalysator. Dextrin hydrolysis is done in
order to produce high dextrin percentage by subtracting the total glucose with free glucose. This study also
evaluated composition change of breadfruit starch in various time and temperature. Optimum dextrin percentage
was obtained at hydrolysis temperature of 120C, hydrolysis time 10 minutes, and 0.6 N HCl concentration, with
dextrin percentage of 86.61%. Furthermore, dextrin obtained was added by casein, cold water, triethanolamine,
and water in order to form adhesive. The research result showed that the shear strength of the dextrin glue is
15.38 kg/cm2 which is larger than that of glue of Fox brands sold in the market that is only 12.48 kg/cm2.
Because there is previous study regarding starch hydrolysis from durian kernel by using chloride acid
catalysator, then data in this research showed the influence of the dextrin usage as raw material of adhesive.
Based on the comparison, it seems that for breadfruit starch hydrolyzed at 120oC for 10 minutes, dextrin
produced is more.
Keywords : adhesive, dextrin, hydrolysis, shear strength.

I. PENDAHULUAN
Menurut Agra dkk. (1979), dekstrin
merupakan senyawa glukosa yang
dihasilkan dari hidrolisisis pati dan
tergantung pada pemecahan rantai
polisakarida. Pati sukun tersusun dari
polimer rantai lurus dan tidak lurus. Kedua
polimer ini sangat potensial untuk dibuat
bahan perekat (starch gum) untuk
kebutuhan industri kertas, keramik,
kosmetik, cat, percetakan, dan plywood
karena merupakan bahan organik yang
bersifat ramah lingkungan (Holtzapple,
2009).
Saat ini penggunan perekat sintetik
anorganik mulai ditinggalkan karena
mengakibatkan banyak dampak negatif
seperti merusak pernafasan, mencemarkan
lingkungan karena sulit didegradasi,
bersifat karsinogenik, dan tidak ekonomis.
Sebagai alternatif, para ahli mulai

memikirkan penggunaan perekat organik


yang bersifat ramah lingkungan.
Pembuatan perekat dari bahan baku
buah sukun dianggap sangat prospektif
untuk dikembangkan, selain dari sisi harga
yang murah juga sangat mudah diperoleh
di berbagai tempat di Aceh tanpa mengenal
musim. Oleh sebab itu, penelitian ini
bertujuan
untuk
mengoptimalkan
pemanfatan buah sukun yang tidak hanya
dapat digunakan sebagai bahan makanan,
tetapi juga bisa digunakan untuk bahan
baku pembuatan perekat dekstrin yang
bermutu.
Penelitian ini mengolah buah sukun
menjadi tepung yang digunakan sebagai
bahan baku pembuatan perekat. Penelitian
ini diharapkan dapat mengoptimalkan
pemanfaatan buah sukun yang hanya
digunakan sebagai makanan selingan.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat
menjadi
sebuah
rujukan
untuk
mengembangkan ilmu pengetahuan dan
1

teknologi produksi perekat yang lebih


ekonomis dan berkualitas bagus dengan
bahan dasar buah sukun.
Perekat dekstrin yang dihasilkan
bersifat ramah lingkungan karena terbuat
dari bahan baku organik yang dapat
terdegradasi dan dapat diperbaharui.
Dengan demikian perekat ini mendukung
penggantian perekat sintetik anorganik
yang umumnya bersifat karsinogenik,
merusak pernafasan, dan mencemarkan
lingkungan.
Secara umum, sukun memiliki dua
kelompok yaitu sukun lokal dan sukun
introduksi. Berdasarkan pengelompokan
menurut Syah dan Nazaruddin (1994),
sukun lokal termasuk dalam kelompok
sukun kecil sedangkan sukun introduksi
termasuk dalam kelompok medium.
Perbedaan pada kedua kelompok sukun
dapat dilihat melalui ukuran dan warna
yang berbeda. Unsur-unsur kimia yang
terkandung dalam buah sukun ditunjukkan
dalam Tabel 1.
Tabel 1. Komposisi Buah Sukun dalam
100 gram bahan.
Zat gizi
Keterangan
Pati (%)
61,03
Amilosa (%)
24,89
Amilopektin (%)
36,14
Protein (%)
3,9
Kadar air (%)
16,6
Kadar abu (%)
3,22
Serat kasar (%)
4,22
Suhu gelatinisasi (C) 75,4
Retrogradasi
Tidak terjadi
Sumber : Koswara, 2006
Perekat yang terbuat dari tepung
kebanyakan berasal dari tumbuh-tumbuhan
seperti jagung, kentang, singkong, sagu,
gandum, beras, dan kedelai. Di luar negeri
getah sukun (latek) digunakan sebagai
bahan untuk menjerat burung, sedangkan
di Ambon getah sukun (latek) digunakan
sebagai bahan pembuat dempul (dicampur
tepung sagu, gula merah dan putih telur
bebek) untuk tong kayu atau perahu,

supaya kedap air. Kayu pohon sukun tahan


terhadap serangan rayap, dan biasa
digunakan untuk membuat perahu atau
konstruksi rumah (Koswara, 2006).
Hampir semua reaksi hidrolisis
memerlukan
katalisator
untuk
mempercepat jalannya reaksi. Katalisator
yang dipakai dapat berupa enzim atau
asam, untuk mempercepat terjadinya
reaksi. Hidrolisis pada tekanan 1 atm
memerlukan asam yang jauh lebih pekat
(Agra dkk, 1973; Stout dan Rydberg,
1939). Pemanasan kering (tanpa air)
seperti penyangraian dan pemanggangan
akan menyebabkan dekstrin terpolimerasi
membentuk senyawa coklat yang disebut
piro-dekstrin (Gaman dan Sherington,
1981).
II. BAHAN DAN METODE
Penelitian dilakukan dengan terlebih
dahulu mengupas buah sukun. Kemudian
dilakukan perajangan secara tipis agar
irisan
sukun
mudah
mongering.
Selanjutnya dilakukan penjemuran di
panas matahari selama 4 hari. Penggilingan
dan pengayakan dilakukan dengan ayakan
150 mesh. Proses hidrolisis dilakukan pada
20 gram tepung sukun di dalam cawan
porselin dengan menggunakan katalis asam
khlorida dengan variasi konsentrasi, waktu
hidrolisis, dan temperatur hidrolisis.
Tiap sampel dianalisis untuk
mengetahui kandungan glukosa bebas dan
glukosa
total
untuk
menentukan
kandungan dekstrin yang terkandung
dalam setiap sampel. Menurut Agra dkk.
(1979) metode Lane Eynon menyatakan:
Dekstrin = (B-A) / Berat Kering 100 %
Ket.: A = Kandungan glukosa bebas (g)
B = Kandungan gukosa total (g)
Dekstrin hasil hidrolisis yang telah
divariasikan sebesar 5; 9; 12,5; 16; 20
gram ditambahkan dengan 2,56% air
dingin,
15,79%
kasein,
2,59%

trietanolamin, kemudian diaduk hingga


membentuk pasta. Campuran tersebut
ditambahkan kembali dengan 44,31% air
dan dipanaskan pada suhu 60C kemudian
diaduk hingga campuran homogen.
Alat utama yang digunakan pada
tahap ini adalah suatu bejana yang
dimasukkan ke dalam bejana yang
berukuran lebih besar. Kekuatan geser
dianalisis dengan menggunakan shear
stress testing machine setelah mengoleskan
campuran tersebut pada kayu meranti
dengan luas olesan sebesar 2,5 2,5 cm2.
Kadar glukosa total dan glukosa
bebas yang terdapat di dalam sampel yang
telah dihidrolisis ditentukan sebagai
berikut. Untuk glukosa bebas, sampel hasil
hidrolisis sebanyak 2,5 gram dilarutkan
dalam 50 ml aquades. Larutan diaduk
kemudian disaring.
Untuk glukosa total, sampel hasil
hidrolisis sebanyak 2,5 gram dilarutkan
dalam 100 ml asam khlorida dengan
konsentrasi
yang
telah
ditentukan
kemudian dipanaskan dalam labu leher tiga
yang dilengkapi dengan kondensor selama
1 jam. Larutan ini diencerkan kembali
dengan aqudes sampai 500 ml. Masingmasing
larutan
tersebut
kemudian
ditambahkan 5 ml fehling A dan 5 ml
fehling B selanjutnya dititrasi dengan
glukosa standar dalam keadaan mendidih.
Sebagai indikator ditambahkan metilen
biru sebanyak 2 4 tetes. Titrasi
dihentikan setelah terjadi perubahan warna
dari biru menjadi merah. Glukosa yang
terbentuk dihitung dengan menggunakan
persamaan berikut:
A = M 50 / (m 5) (V1 V2) C
B = M 50 / (m 5) (V1 V2) C
Keterangan:
A = Glukosa bebas (gram)
B = Glukosa total (gram)
M = Berat hasil untuk setiap proses
setelah di panaskan
m = Berat hasil yang dianalisis

V1 = Volume larutan glukosa standar yang


digunakan untuk menitrasi larutan
fehling
V2 = Volume larutan glukosa standar yang
digunakan untuk menitrasi larutan
fehling dan hasil
C = Konsentrasi larutan glukosa standar
= 2,5 / 500
Kadar air perekat juga ditentukan dengan
persamaan sebagai berikut:
% Air = (A B) / A
Keterangan:
A = Berat sampel sebelum dipanaskan (g)
B = Berat sampel setelah dipanaskan (g)
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengaruh Temperatur terhadap Kadar
Dekstrin
Berdasarkan hasil penelitian, kadar
dekstrin optimum diperoleh sebesar
86,61% yaitu pada temperatur 120oC,
waktu pemanasan 10 menit, dan
konsentrasi asam khlorida (HCl) 0,6 N.
Pengaruh temperatur pemanasan terhadap
kadar dekstrin tersebut dapat dilihat pada
Gambar 1. Kadar dekstrin akan meningkat
seiring
bertambahnya
temperatur
pemanasan. Hal ini sesuai dengan prinsip
kinetika reaksi kimia, bahwa kecepatan
reaksi
akan
meningkat
dengan
bertambahnya suhu reaksi, yaitu akibat
bertambahnya
energi
kinetik
yang
dihasilkan dari molekul-molekul yang
bereaksi. Molekul-molekul yang bereaksi
menjadi lebih aktif mengadakan tabrakantabrakan. Memperbesar temperatur akan
mengakibatkan reaksi berlangsung lebih
cepat, namun pada batas tertentu dapat
menyebabkan perekat dapat berkurang
kekuatannya. Hasil penelitian ini juga
sesuai dengan pernyataan Hartomo dkk.
(1992), yang menyatakan bahwa batas
wajar untuk kebanyakan perekat adalah
sekitar 70oC. Ini menunjukkan bahwa
temperatur pencampuran 60oC yang
digunakan dalam penelitian ini merupakan

faktor yang menentukan agar perekat


efektif.
Pada temperatur hidrolisis 140oC,
hasil
perolehan
dekstrin
menurun
dibandingkan pada suhu 120oC, hal ini
disebabkan
oleh
molekul-molekul
pembentukan
dekstrin
mengalami
degradasi dengan terputusnya ikatan rantai
senyawa pembentuk dekstrin. Dekstrin
yang dihasilkan pada temperatur hidrolisis
140oC berubah warna menjadi coklat tua
dibandingkan dengan dekstrin yang
dihasilkan pada kondisi optimum yang
berwarna putih kekuningan. Hal ini sesuai
dengan pernyataan Gaman dan Sherington
(1981) yang mengemukakan bahwa
dekstrin
putih
dihasilkan
dengan
pemanasan pada suhu sedang (79-121oC),
menggunakan katalis asam seperti HCl
atau asam asetat dengan karakteristik
produk berwarna putih hingga krem. Hal
ini berbeda dengan literatur Saifullah
(1995) yang menyatakan bahwa proses
hidrolisis pati mengunakan katalisator HCl
menghasilkan warna hidrolisis yang
bening, sedangkan dengan mengunakan
asam sulfat (H2SO4) akan menghasilkan
produk
hidrolisis
berwarna
agak
kecoklatan.

80
60
40

5 menit
10 menit

20
0
100

110

120

130

140

Temperatur (C)

Gambar
1.
Hubungan
temperatur
hidrolisis dan kadar dekstrin dengan
konsentrasi HCl 0,6N
Menurut
Kerr
(1970)
untuk
memperoleh dekstrin dari pati dengan
mengunakan katalis pada tekanan 1
atmosfer, suhu pemanasannya berkisar
4

Pengaruh Konsentrasi HCl terhadap


Kadar Dekstrin
Hasil yang diperoleh dari penelitian
sebelumnya (Crueger, 1984) menunjukkan
bahwa katalis asam klorida (HCl)
menghasilkan dekstrin dengan sifat
kelarutan dalam air yang lebih tinggi
dibandingkan dengan dekstrin yang
dihasilkan katalis asam sulfat (H2SO4).
Penggunaan
asam
klorida
(HCl)
menghasilkan dekstrin yang mempunyai
daya larut dalam air yang terbaik, dengan
nilai derajat asam yang memenuhi
persyaratan standar SNI. Maka untuk
mengolah pati menjadi dekstrin disarankan
menggunakan katalis asam klorida (HCl).
Hubungan antara konsentrasi HCl
terhadap kadar dekstrin dapat dilihat pada
Gambar 2. Gambar tersebut menunjukkan
bahwa kadar dekstrin maksimum diperoleh
pada konsentrasi HCl 0,6 dan waktu
hidrolisis 10 menit. Pada konsentrasi HCl
0,7 N dengan waktu yang sama, kadar
dekstrin kembali menurun. Hal ini dapat
disebabkan adanya kerusakan atau
degradasi pada senyawa dekstrin selama
proses hidrolisis, sehingga perolehan
tepung
kering
setelah
dihidrolisis
berkurang.
100
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0

Dekstrin (%)

Dekstrin (%)

100

antara 70 130C dan waktu pemanasan


antara 3 15 menit. Sedangkan untuk
proses tanpa mengunakan katalis, suhu
pemanasan disarankan 175 200oC.

5 menit
10 menit

0.4

0.5 0.6 0.7 0.8


Konsentrasi HCl (N)

Gambar 2. Grafik hubungan konsentrasi HCl


dan kadar dekstrin pada 120C.

Menurut Agra dkk. (1987) konstanta


kecepatan reaksi (k) akan terus meningkat
seiring
bertambahnya
konsentrasi
katalisator, tetapi pada keadaan tertentu
perolehan hasil hidrolisis bisa kembali
menurun hal ini mungkin disebabkan
terjadinya degradasi pemutusan rantai
pembentukan dekstrin. Menurut Arbianti
(2008) persentase hasil hidrolisis akan
terus
meningkat
seiring
dengan
bertambahnya konsentrasi katalisator dan
akan mencapai titik maksimum pada
konsentrasi katalis yang optimum, semakin
besarnya konsentrasi katalis maka, reaksi
akan semakin cepat atau laju reaksi
semakin besar, namun konsentrasi katalis
yang terlalu tinggi mengakibatkan
terjadinya degradasi pemutusan rantai
pembentukan dekstrin.
Berdasarkan
hasil
penelitian,
persentase dekstrin pada waktu hidrolisis
10 menit dengan temperatur 100C dan
konsentrasi HCl 0,6 N yaitu 65,02% dan
pada waktu yang sama persentase dekstrin
untuk konsentrasi HCl 0,7 N yaitu 72,25%.
Sedangkan pada temperatur hidrolisis
120C dengan waktu hidrolisis yang sama
persentase dekstrin untuk konsentrasi HCl
0,6 N meningkat menjadi 86,61% dan pada
konsentrasi 0,7 N persentase dekstrin
menurun yaitu 53,70%. Hal ini disebabkan
karena kecepatan pembentukan dekstrin
pada konsentrasi HCl 0,7 N lebih kecil dari
terputusnya
molekul-molekul
pembentukan dekstrin sehingga tingkat
degradasinya lebih besar.
Berdasarkan penelitian yang telah
dilakukan pada biji durian (Lubis, 2004)
kadar dekstrin maksimum juga diperoleh
pada konsentrasi HCl 0,6 N. Semakin
tinggi konsentrasi HCl yang digunakan
persentase perolehan dekstrin semakin
bervariasi. Berdasarkan hasil penelitian
tersebut, penelitian ini hanya menggunakan
5 (lima) variasi konsentrasi HCl yaitu 0,4
N, 0,5 N, 0,6 N, dan 0,7 N, dan 0,8 N
karena persentase pembentukan dekstrin

optimum telah diperoleh pada lima variasi


konsentrasi HCl tersebut.
Penentuan Daya Rekat Lem Dektrin
Penentuan daya rekat lem dekstrin
terhadap
kayu
ditentukan
dengan
mengunakan kadar dekstrin maksimum
86,61% yang diperoleh pada kondisi
optimum, dengan suhu pemanasan 120C,
konsentrasi HCl 0,6 N, dan waktu
pemanasan 10 menit. Hubungan jumlah
dekstrin yang ditambahkan dengan
kekuatan daya rekat ditunjukkan dalam
Gambar 3. Sebagai perbandingan terhadap
pengujian daya rekat dalam penelitian ini
digunakan lem kayu yang dijual di pasar
yaitu merek Fox.
Gambar 3 menunjukkan bahwa
kekuatan geser lem dekstrin tertinggi yaitu
15,38 kg/cm2 yang diperoleh pada massa
dekstrin 20 gram, sedangkan untuk massa
dekstrin 5 gram kekuatan gesernya 9,52
kg/cm2. Untuk massa dekstrin 12,5,
kekuatan gesernya sebesar 13,28 kg/cm2.
Daya rekat lem kayu biasa yang dijual
dipasaran (merk Fox) yaitu 12,48 kg/cm2,
ini menunjukkan bahwa daya rekat lem
dekstrin lebih besar dibandingkan dengan
lem kayu biasa, ini sesuai dengan yang
dinyatakan oleh Tano (1997) bahwa
kualitas bahan perekat yang dihasilkan
tergantung pada kadar dekstrin yang
dihasilkan. Daya rekat ini dapat
ditingkatkan dengan pemberian filler
(bahan pengisi atau aditif) lain, yaitu untuk
menambah kekuatan pada gaya kohesi
resin dan gaya adhesi antara resin dengan
permukaan kayu, karton, dan sebagainya.

Kekuatan Geser (kg/cm2)

18
16
14
12
10
8
6
4
2
0
0

10

20

30

Massa Dekstrin (g)

Gambar 3. Hubungan antara jumlah


dekstrin dengan kekuatan geser perekat
dekstrin.
Kadar Air
Pengukuran terhadap kadar air
menunjukkan bahwa persentase air
menurun dengan bertambahnya temperatur
hidrolisis. Hal ini dapat terjadi antara lain
karena air lebih mudah menguap jika
temperaturnya dinaikkan, sehingga air
yang dikandung perekat menjadi lebih
sedikit. Kadar air merupakan salah satu
indikator dalam memilih perekat yang
baik, karena air merupakan penghalang
pada perekatan kayu. Bila kayu kurang
kering, perekatannya tidak akan bagus.
Sehubungan dengan perekat yang
bersifat termoplastis, jika terlalu kering
dapat
dijadikan
basah,
dengan
menggunakan pelarut, atau memanaskan
sampai ke titik lelehnya. Spesimen perekat
dapat terputus jika diberi stress mekanik
apabila ada air atau zat pembasah lainnya.
Oleh karena itu kadar air perlu
diperhitungkan dalam pemakaian perekat.
Bila dibandingkan dengan perekat Fox
yang mempunyai persentase air sebesar
25%, maka perekat dekstrin yang
dihidrolisis pada temperatur 120oC selama
5 dan 10 menit, kadar airnya masingmasing sebesar 28,5% dan 26,01%.

IV. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitiaan ini,
maka dapat diambil kesimpulan bahwa
selain digunakan sebagai sebagai bahan
makanan, sukun juga sangat prospektif
digunakan sebagai bahan baku pembuatan
perekat sintetik ramah lingkungan. Kadar
dekstrin optimum diperoleh sebesar
86,61% pada kondisi temperatur hidrolisis
120C, waktu hidrolisis 10 menit, dengan
konsentrasi HCl 0,6 N. Kekuatan geser lem
dekstrin tertinggi yaitu 15,38 kg/cm2
diperoleh pada massa dekstrin 20 gram,
sedangkan kekuatan geser lem Fox 12,48
kg/cm2.
Ini
menunjukkan
bahwa
kemampuan daya rekat lem dekstrin dari
tepung sukun lebih tinggi dari lem kayu
biasa sehingga sangat potensial untuk
dikembangkan sebagai bahan pembuatan
perekat organik yang tidak membahayakan
lingkungan.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis berterima kasih kepada rekan
M. Fakri dan kepada Prof. Dr. Mark T.
Holtzapple dari Texas A&M University
atas diskusi yang sangat berharga
mengenai penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Agra, I. B. Warnijati, S, dan Pujianto, B,
1973, Hidrolisa Pati Ketela Rambat
pada Suhu Lebih dari 100oC, Forum
Teknik, 3.
Agra, I. B., Warnijati, S, dan R. S. Riyadi,
1979, Hydrolisis of Sweet Potato
Starch at Atmosphere pressure,
Research Journal, 2 (3), 34.
Agra, I. B., Warnijati, S., dan Indriyani, K.,
1987, Hydrolysis of Dry Cassava
Powder, CHEMECA 87, The 15th
Australasian Chemical Engineering
Conference, pp. 99. 1 96,
Melbourne, Australia.

Arbianti, R., 2008, Reaksi Hidrolisis


Singkong dengan Katalisator Asam
Sulfat, Departemen Teknik Kimia,
Fakultas Teknik UI.

Tano, E., 1997, Pedoman Membuat


Perekat Sintetis, PT. Rineka Cipta, Jakarta.

Crueger dkk., 1984, Hidrolisis dengan


menggunakan Katalisator HCl dan
H2SO4, www.wikipedia.com,/publikasi/wr142228.pdf, diakses tanggal
18 Oktober 2010 jam 17.00 WIB.
Gaman dan Sherington, 1981, Plant
Resources of South East Asia, Spices
Backhuys Publishers, Leiden.
Hartomo, A. J., Rusdihardjo, A.,
Hardjanto, D., 1992, Memahami
Polimer dan Perekat, Penerbit Andi
Offset, Yogyakarta.
Holtzapple, M. T., 2009, Green
Engineering Approach for Producing
Synthetic Adhesive, Texas A&M
University, Texas.
Kerr, R. W., 1970, Chemistry and Industry
of Starch, 2nd ed., Academic Press
Inc., New York.
Koswara, S., 2006, Sukun sebagai
Cadangan
Pangan
Alternatif.
http://ebookpangan.com, di akses
tanggal 18 Oktober 2010.
Lubis, M. R. 2004, Pembuatan Perekat dari
Biji Durian, Jurnal Reaksi, 28-34.
Saifullah. 1995, Pemanfaatan Tanin dari
Kulit Kayu Pinus Merkusii sebagai
Bahan Perekat, Universitas Syiah
Kuala, Banda Aceh.
Stout dan Rydberg Jr, 1939, Tropical
Forest and Their Crops, Cornell
Univ, Ithaca.
Syah dan Nazaruddin, 1994, Sukun dan
Kluwih, Penerbit Swadaya, Jakarta.

STUDI BIODIVERSITI BENTOS DI KRUENG DAROY KECAMATAN


DARUL IMARAH KABUPATEN ACEH BESAR
Jailani1, M. Nur2
Staf Pengajar FKIP Universitas Serambi Mekkah

Abstract - The aims of this research was to understand the diversity of benthos in the Krueng Daroy Darul
Imarah Aceh Besar. The research was conducted from October to November 2011. Sampling location consisted
of four stations that were the station I (upstream) with low community activities, station II (used for public
toilets). Stations III ( community rice fields) and station IV ( industrial sewage household). The result showed
that a high similarity index values were found between stations I and II (72.72%), the station I and IV (51.80%),
and station III to IV (63.68%), whereas a low index of similarity was found between the station I and III
(48.72%), station II and III (49.89%), as well as station II and IV (47.83%). Bentos found in the Krueng
Daroy, Aceh Besar was comprised four classes: Gastropoda, bivalves, Oligochaeta, and crustaceans. The most
dominant benthos found at each station was Goniobasis virginica of the gastropod class, and the lowest was
marmatus Turbo gastropods , found at station I.
Keywords : Biodiversity, benthos

I. PENDAHULUAN
Bentos adalah organisme yang selalu
mendiami dan menetap di dasar perairan.
Bentos mencakup biota yang menempel,
merayap, atau meliang di dasar perairan.
Bentos
tidak
dapat
menghasilkan
makanannya sendiri yang disebut biota
heterotrof
(heterotrofic)
(Sriwijana,
2005:51).
Komunitas bentos di dasar perairan
lebih banyak diketahui karena hidup
menetap atau melekat di suatu tempat atau
merayap, sehingga dapat menghindar dari
mangsa. Komposisi spesies bentos di suatu
perairan bervariasi sesuai kedalaman air,
perubahan jarak dari pantai dan komposisi
bagian dasarnya (James, W, 1992:192).
Bentos terutama makrozoobentos
memegang peranan penting di perairan
yang ditempatinya. Diantaranya dapat
membantu mempercepat dekomposisi
materi organik sebagai makanan alami bagi
ikan-ikan pemakan di dasar dan dapat juga
digunakan sebagai indikator kualitas air
(Zulmahdi, 1995:5). Sifat bentos yang khas
yaitu
memiliki
toleransi
terhadap
perubahan lingkungan dan hidupnya yang
relatif menetap. Adanya pencemaran

perairan dapat dikenali dan dapat menurun


kan keragaman spesies makarobenthos
salah satunya di Krueng Daroy.
Krueng Daroy adalah salah satu anak
sungai yang ada di Kabupaten Aceh Besar
dan juga Kota Banda Aceh yang
memanjang ke arah utara kurang lebih 12
Km, yang berasal dari daerah hulu yaitu
pemandian Mata Ie. Sebagian daerah aliran
Krueng Daroy, berada di daerah
pemukiman penduduk yang padat dan
dimanfaatkan sebagai tempat mandi dan
mencuci pakaian, di samping itu juga
dijadikan tempat membuang kotoran
(Anonimous, 2003). Krueng Daroy juga
memiliki lebar yang berbeda-beda antara
bagian hulu, tengah, dan hilir. Bagian hulu
memiliki lebar 12,75 m, tengah lebarnya
14,25 m dan bagian hilir 15 m.
Dewasa
ini
seiring
dengan
bertambahnya jumlah dan aktifitas
penduduk di sekitar aliran krueng daroi,
menyebabkan
semakin tinggi tingkat
pencemaran, yang berdampak pada
keberadaan flora dan fauna di sungai
krueng daroi. Dengan demikian indikator
pencemaran air juga dapat dilihat dari
menurunnya tingkat kehadiran bentos di
suatu habitat. Berdasarkan pengamatan

penulis kenyataan tersebut dialami oleh


lingkungan krueng daroi, sehingga penulis
tertarik untuk meneliti secara khusus
tentang Studi Biodiversity Bentos di
Krueng Daroy Kecamatan Darul Imarah
Kabupaten Aceh Besar Tujuan penelitian
adalah untuk mengetahui keragaman
bentos yang terdapat di Krueng Daroy
Kecamatan Darul Imarah Kabupaten Aceh
Besar.
II. KAJIAN TEORITIS
Komunitas Bentos
Nama bentos diberikan pada semua
organisme penghuni dasar perairan, istilah
dasar ini mencakup substrat pada garis
pantai, danau, demikian juga kedalaman
tertentu dari setiap badan air (Michael, P.
1994:137). Keberadaan fauna bentos di
suatu
tempat
tertentu
terutama
dikendalikan oleh sifat fisik dari
substratnya. Substrat itu dapat dibagi atas
dua rangkaian yang amat berbeda yaitu
substrat batu karang keras dan substrat
lunak seperti pasir dan lumpur.
Berdasarkan ukurannya, bentos
dibagi dalam tiga katagori yaitu
mikrofauna, mesofauna, dan makrofauna.
Mikrofauna adalah organisme bentos yang
berukuran lebih kecil dari 0,1 mm,
protozoa termasuk dalam golongan ini.
Mesofauna merupakan organisme bentos
yang berukuran antara 0,1 mm 1,0 mm,
yang termasuk golongan ini adalah
Cnidana dan beberapa Crustaceae kecil.
Makrofauna yaitu organisme bentos yang
berukuran lebih besar dari 1,0 mm,
termasuk golongan ini adalah Crustaceae,
Annelida,
Molusca
dan
lain-lain
(Hutabarat, 1985:124).
Berdasarkan cara makannya, hewan
bentos dibagi menjadi dua, yaitu bentos
penyaring (Filter feeders) contohnya
kerang dan pemakan deposit (Deposite
feeders) contohnya siput (Eguine P.
1996:373). Berdasarkan hubungan tempat
hidup, hewan dasar (Bentic Animals)

terbagi atas epifauna dan infauna. Epifauna


adalah organisme yang hidup pada
permukaan dasar baik melekat maupun
bergerak. Termasuk kelompok ini adalah
tiram, ketam, keong, dan kepiting. Infauna
merupakan organisme menggali ke dalam
endapan dan hidup dalam liang. Kelompok
ini meliputi ganggang, molusca, cacing,
crustacae dan flagellata penghuni dasar
perairan.
Menurut batasan ekologis bentos
dapat digolongkan ke dalam fitobentos dan
zoobentos. Fitobentos merupakan bentos
yang tergolong ke dalam tumbuhan,
sedangkan yang termasuk hewan disebut
zoobentos. Berdasarkan kepekaannya
terhadap pencemaran karena bahan
organik,
bentos
khususnya
makrozoobentos dikelompokkan ke dalam
tiga kelompok yaitu kelompok intoleran,
fakultatif dan toleran. Organisme intoleran
yaitu organisme yang tidak dapat tumbuh
dan berkembang dalam kisaran kondisi
lingkungan yang sempit dan jarang
dijumpai di perairan yang kaya organik.
Organisme fakultatif yaitu organisme yang
dapat bertahan hidup pada kondisi
lingkungan yang lebih besar bila
dibandingkan dengan organisme intoleran.
Organisme ini dapat bertahan hidup di
perairan yang banyak bahan organik,
namun tidak dapat mentolerir tekanan
lingkungan. Organisme toleran yaitu
organisme yang dapat tumbuh dan
berkembang dalam kondisi lingkungan
yang luas yaitu organisme yang sering
dijumpai di perairan yang berkualitas jelek.
Pada umumnya organisme toleran tidak
peka terhadap berbagai tekanan lingkungan
dan kelimpahannya dapat bertambah di
perairan yang tercemar oleh bahan organik
(Ardi, 2002:3).
Faktor Fisik dan Kimia Lingkungan
Perairan
Kehidupan organisme air yang akan
berlangsung terus jika air mengandung
unsur yang dibutuhkan dalam kondisi

seimbang, seperti halnya kehidupan


organisme lain, maka penyebaran dan
kehidupan
komunitas
bentos
juga
dipengaruhi oleh kualitas lingkungannya.
Kelarutan Oksigen kurang dari 1
(satu) ppm akan mengakibatkan kematian
bagi organisme perairan. Konsentrasi
Oksigen terlarut mencapai nilai terendah
pada waktu subuh dan kemudian
meningkat pada waktu siang, akhirnya
mencapai nilai tertinggi pada waktu siang
hari.
Sebenarnya tiap spesies hewan itu
harus ada di mana-mana, oleh karena
faktor-faktor tertentu, maka keberadaan
hewan
di
suatu
daerah
tidak
memungkinkan. Faktor-faktor itu antara
lain tidak adanya adaptasi, yaitu: karena
iklim di suatu region menghambat adanya
suatu spesies hewan di daerah itu. Namun
demikian, mungkin saja di suatu habitat
yang baik sekali, serasi dan cocok untuk
hidup suatu spesies hewan, ternyata habitat
itu tidak memungkinkan ia datang ke
tempat tersebut, (Mukayat, 1989:277).
Variasi suhu dalam air tidak sebesar
di udara, hal ini merupakan faktor
pembatas utama karena organisme akuatik
sering kali mempunyai toleransi yang
sempit. Perubahan suhu menyebabkan pola
sirkulasi yang khas dan stratifikasi yang
amat mempengaruhi kehidupan akuatik
(Odum, P.1971:370).
Kondisi air yang keruh juga kurang
disukai oleh komunitas bentos. Kekeruhan
air biasanya disebabkan oleh bahan
tersuspensi dan koloid yang terdapat di
dalam air, misalnya partikel-partikel,
lumpur, bahan organik, plankton, dan
mikroorganisme.
Peranan Bentos Dalam Ekosistem Air
Dalam komunitas perairan zoobentos
memegang peranan penting di perairan
yang ditempatinya yaitu dalam proses
pendaurulang material organik, menduduki
beberapa tingkatan tropik dalam rantai
makanan serta dapat digunakan untuk
memantau perubahan kualitas air sungai.
10

Peranan bentos dalam ekosistem perairan


yaitu dapat menguraikan material organik
yang jatuh ke dasar perairan, selain itu
bentos dapat mentransper energi dari
produsen primer ke tingkat tropik
berikutnya. Bagi manusia manfaat bentos
juga
dapat
diperoleh
dengan
memanfaatkan berbagai jenis bentos
seperti tiram / lokan dan kerang mutiara
yang mempunyai nilai ekonomis cukup
penting.
Zoobentos juga dapat dipakai
sebagai indikator ekologi dari suatu
perairan, hal ini disebabkan oleh
habitatnya di dasar perairan serta
pergerakannya yang relatif lambat. Bila
ada berbagai perubahan lingkungan
akuatik akibat masuknya substansi yang
diangkut oleh aliran perairan maka secara
terus menerus ia akan mendapat pengaruh
dari perubahan tersebut. Salah satu jenis
zoobentos yang digunakan sebagai
indikator perairan yang terpolusi berat
material organik dan mampu hidup pada
perairan dengan pH di bawah 4,5 adalah
larva Chironomus.
Jenis kerang juga merupakan
bioindikator yang paling tepat untuk
pencemaran logam berat, contohnya kijing
Taiwan (Anodonta trapesialis). Beberapa
alasan yang mendukung kerang sebagai
bioindikator
tersebut
adalah
kemampuannya
yang
tinggi
untuk
mengakumulasi bahan tercemar tanpa mati
terbunuh, terdapat dalam jumlah yang
banyak, terikat pada suatu tempat yang
keras, dan hidup pada jangka waktu lama.
Selain itu, ada juga jenis molusca yang
keberadaannya sangat merugikan seperti
karang (Teredo.sp). Molusca ini dikenal
sebagai pemakan kayu seperti tiang-tiang
pelabuhan dan lunas perahu (Nontji,
1003:174.
III. METODE PENELITIAN
Alat dan Bahan

Alat-alat yang digunakan dalam


penelitian ini adalah alat tulis, pH meter,
thermometer Hg, piringan secchi, hand
refragtometer, pengeruk Echmand Grab,
kantong plastik, karet pengikat, kertas
lebel, foto digital. Bahan yang digunakan
adalah formalin 10%.
Pengukuran Faktor Fisik dan Kimia
Lingkungan
Pengukuran faktor fisik dan kimia
perairan seperti suhu, kecerahan, salinitas
dan derajat keasaman dilakukan in situ.
a. Suhu, Pengukuran suhu dilakukan
dengan mencelupkan thermometer ke
dalam air. Pembacaan skala dilakukan
sewaktu thermometer masih di dalam
air.
b. Kecerahan, Pengukuran dilakukan
dengan cara memasukkan piringan
secchi ke dalam perairan hingga tidak
terlihat batas hitam putih, kemudian
dicatat
kedalamannya.
Lalu
ditenggelamkan lebih dalam dan dicatat
kedalamannya. Nilai rata-rata kedua
jeluk tadi diambil sebagai nilai
kecerahan.
c. Salinitas,
Pengukuran
salinitas
dilakukan dengan menggunakan hand
refragtometer yaitu dengan cara
memasukkan satu atau dua tetes
aquadest
pada
lubang
ujung
refragtometer setelah garis putih atau
biru tepat pada titik nol, maka teteskan
satu atau dua tetes air sample pada
tempat yang sama dengan aquadest.
d. Derajat keasaman, Pengukuran
derajat keasaman dilakukan dengan
menggunakan pH meter dengan
mencelupkan bagian bawah atau
bagian tertentu dari pH meter ke
dalam aquadest selama 2-5 menit.
setelah angka berada pada angka 7
maka masukkan bagian tertentu
dari pH meter ke dalam air sampel.

Prosedur Kerja
Metode yang digunakan dalam
pengumpulan data adalah dengan membuat
4 (empat) stasiun pengamatan yang
masing-masing terletak: Stasiun I (satu)
mewakili daerah hulu Krueng Daroy
(daerah pemandian Mata Ie) karena daerah
tersebut aktifitas masyarakat masih rendah,
stasiun II (dua) di Desa Gendring karena
aliran sungai di daerah ini sering dipakai
masyarakat untuk MCK (mandi, cuci,
kakus), stasiun III (tiga) di daerah
persawahan di desa Gugajah karena aliran
airnya lebih deras dan Stasiun IV (empat)
dibelakang pasar Ketapang yang dipakai
sebagai saluran pembuangan limbah
industri rumah tangga. Dalam setiap
stasiun tersebut terdapat 9 (sembilan) titik
sampling yang terbagi antara lain 3 (tiga)
titik di bagian ke dua tepi dan 3 (tiga) titik
di bagian tengah. Jarak antara ke tiga titik
tersebut adalah 10 m.
Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dilakukan
dengan cara pengamatan langsung
terhadap objek penelitian. Pengambilan
data dilakukan dengan cara mengambil
bentos pada 36 titik sampling yang terbagi
dalam 4 (empat) stasiun, kemudian
masing-masing stasiun dijumlahkan dan
diidentifikasi.
Analisis Data
a. Indeks Keragaman
H = pi ln pi
H = Indeks Keragaman
ni
pi =
N
ni = Jumlah Individu Spesies ke-i
N = Total Individu Populasi (Barbour et
all,1987)
b. Indeks Kemerataan
Indeks kemerataan menunjukkan
banyaknya jenis yang sama yang
dijumpai pada setiap stasiun.

11

H
log S
Keterangan
e = Indeks Kemerataan
H = Indeks Keragaman
S = jumlah spesies yang dijumpai

e=

c. Indeks Similaritas
2W
IS =
x 100 %
A+ B
Keterangan:
IS = Indeks Similaritas (Kesamaan)
A = Jumlah Spesies pada stasiun A
B = Jumlah Spesies pada stasiun B
W = Jumlah Spesies yang sama
yang ditemukan pada kedua
stasiun namun yang diambil
ialah nilai yang terendah
(Krebs,1978)
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
Keragaman dan Kelimpahan Bentos di
Perairan Krueng Daroy
Dari hasil pengamatan terhadap
keragaman dan kelimpahan bentos di
perairan Krueng Daroy, didapatkan empat
kelas bentos pada bulan Oktober dan
November 2010. Bentos yang ditemukan
pada musim hujan yaitu bulan Oktober dan
November
tersebut
adalah
kelas
Gastropoda, Bivalvia, Oligochaeta, dan
Crustecea. Bentos yang ditemukan pada
bulan Oktober dan November di keempat
stasiun pengbambilan terdiri dari enam
jenis Gastropoda, dua jenis Bivalvia, satu
jenis Oligochaeta, dan satu jenis Crustacea.
Jumlah jenis bentos terbanyak pada
bulan oktober didapatkan di stasiun I yaitu
Sembilan jenis, yang terdiri dari enam jenis
dari kelas Gastropoda, dua jenis dari kelas
Bivalvia, satu jenis dari kelas Oligochaeta,
dan satu jenis Crustacea. Jumlah jenis
terendah didapatkan pada stasiun II yaitu
lima jenis, yang terdiri dari empat jenis
dari kelas Gastropoda dan satu jenis dari
kelas Oligochaeta. Pada bulan November
jumlah jenis yang ditemukan di stasiun III

12

dan IV delapan jenis, stasiun I tujuh jenis


dan stasiun II enam jenis (Tabel 2).
Banyaknya jumlah jenis yang ditemukan di
stasiun I diperkirakan karena didukung
oleh kualitas air yang relatif baik untuk
kehidupan bentos seperti suhu, pH,
kecerahan dan salinitas.
Parameter Fisik dan kimia Perairan
Krueng Daroy
Hasil pengukuran dan pencacatan
kondisi fisik dan kimia perairan pada
pengambilan sampel di semua stasiun
ditunjukkan pada tabel 1.
Tabel 1. Parameter Fisik dan kimia
Perairan Krueng Daroy
No Parameter Stasiun
1 Suhu
I
II
III
IV

Rata-rata
29,9
31,9
32,3
32,5

Salinitas

I
II
III
IV

0,3
1,1
1,9
2,4

Ph

I
II
III
IV

7.4
7,2
7,2
7,3

Kecerahan

I
II
III
IV

0,50
0,97
0,93
0,65

Tabel di atas menunjukkan bahwa


suhu air berkisar antara 29,90C sampai
32,50C dengan tingkat kecerahan antara
0,50 m sampai 0,97 m. pH air berkisar
antara 7,2 sampai 7,4 dengan salinitas
antara 0,3 permil sampai 2,4 permil.
Kepadatan rata-rata
Kepadatan rata-rata bentos masingmasing spesies di setiap stasiun tidak jauh
berbeda, kepadatan rata-rata bentos

tertinggi pada bulan Oktober ditemukan di


stasiun IV, sedangkan pada bulan
November ditemukan di stasiun III.
Kepadatan rata-rata masing-masing spesies
bentos di setiap stasiun ditampilkan pada
tabel 2.
Tabel 2. Kepadatan rata-rata (individu/m2)
bentos yang terdapat di perairan
Krueng Daroy
Oktober
No

November

Taksa
I

II

III

IV

II

III

IV

A. Gastropoda
1 Pomacea
paludosa
2 Goniobasis
virginica
3 Batilliria
attramentaria
4 Trayoria
cathrata
5 Helix
pomata
6 Turbo
marmathus
B. Oligochaeta

500

275 1425 700

325

350 3325 4550 1375 700 2800 5375

525

600

725 3700 2050 2400 2550 1425

175

450

125

275

375

175

450

25

7 Lumbricus
terrestris
C. Bivalvia

375

50

250

75

50

375

300

425

8 Psidium
dubium
9 Actinonatus
carinata
D. Cructacea

200

450

25

300 1125

50

50

100

25

225

550

125

125

250

200

275

500

10 Parathelposa sp
Jumlah
jenis/spesies
Jumlah total

950

500 1125 625

1375 200

2350 1725 6525 9600 5450 4500 10100 8725

Keterangan:
Stasiun I : Daerah pemandian Mata Ie
Stasiun II : Desa Gendring
Stasiun III : Persawahan di Desa Gugajah
Stasiun IV : Belakang pasar Ketapang
Kepadatan rata-rata bentos di setiap
stasiun pada bulan Oktober dan November
dapat dilihat pada tabel 1. Pada bulan
Oktober kepadatan rata-rata tertinggi
terdapat pada stasiun IV yaitu 9600
individu/m2 dan terendah pada stasiun II
yaitu 1725 individu/m2. Untuk bulan
November kepadatan rata-rata tertinggi
terdapat pada stasiun III yaitu 10100

individu/m2 dan kepadatan rata-rata


terendah terdapat pada stasiun II yaitu 450
individu/m2.
Kepadatan rata-rata bentos yang
relatif tinggi di stasiun III dan IV baik
pada bulan oktober ataupun bulan
November
disebabkan
oleh
kelas
Gastropoda yang mendominasi di stasiun
ini. Jenis-jenis Gastropoda yang banyak
dijumpai di stasiun ini adalah Pomacea
paludosa, Goniobasis virginica, Batilliria
attramentaria, Trayoria cathrata, Helix
pomata, Turbo marmathus. Kepadatan
Gastropoda yang ditemukan di stasiun III
dan IV baik pada bulan Oktober ataupun
bulan November disebabakan oleh kondisi
lingkungan yang mendukung seperti
tekstur substrat dan kandungan bahan
organik yang relatif tinggi serta
kemampuan adaptasi yang baik untuk
hidup diberbagai tempat dibandingkan
bentos kelas yang lain. Tingginya jumlah
kepadatan bentos di stasiun IV diduga
karena kondisi fisik dan kimia yang
mendukung yaitu suhu 32,5oC, salinitas
2,4 permil, pH 7,3 dan kecerahan 0,65 m.
Stasiun III juga memiliki suhu 32,3oC,
salinitas 1,9 permil, pH 7,2 dan kecerahan
0,91 m. Dharma (1988) menyatakan
bahwa molusca termasuk binatang yang
sangat berhasil menyesuaikan diri untuk
hidup di berbagai tempat dan cuaca pada
berbagai kisaran suhu. Menurut Soetjipta
(1993) menyatakan suhu yang dapat
ditolerir oleh organisme pada suatu
perairan berkisar antara 200C sampai
dengan 300C (Soetirta, 1993:39).
Hasil menunjukkan bentos yang
sedikit
ditemukan
adalah
kelas
Oligochaeta, Bivalvia dan Crustacea, yaitu
masing-masing satu spesies. Kelompok
bentos yang terbesar yang hidup di Krueng
Daroy adalah dari kelas Gastropoda yaitu
Sembilan jenis. Menurut Sanitta Trisna
(2001), Gastropoda merupakan organisme
yang mempunyai kisaran penyebaran yang
luas di substrat berbatu, berpasir, maupun
berlumpur, tetapi organisme ini cenderung

13

menyukai substrat
Trisna,2001:35).

berpasir

(Sanita

4
5
6

II dan III
II dan IV
III dan IV

49,89
47,83
63,68

Indeks Kemerataan (e)


Indeks Kemerataan diperoleh dengan
analisis pada lampiran 4, dan diperoleh
data seperti pada tabel 4.
Tabel 3. Indeks Kemerataan bentos yang
terdapat di Krueng Daroy
No
Stasiun
Indeks Keseragaman
1
I
0,774
2
II
1,793
3
III
0,835
4
IV
0,598
Indeks Kemerataan digunakan untuk
mengetahui kemerataan masing-masing
jenis dalam satu ekosistem. Dari tabel 3
dapat dilihat bahwa indeks kemerataan
bentos di empat stasiun penelitian berkisar
antara 0,598 sampai 1,793, berarti nilainya
cenderung mendekati satu. Menurut Krebs
(1989) apabila nilai kemerataan nol atau
mendekati nol artinya kemerataannya
rendah. Kemerataan mendekati satu atau
satu maka nilai kemerataannya tinggi dan
jumlah individu tiap jenis merata atau
seragam. Dari indeks kemerataan dapat
diketahui bahwa bentos yang terdapat di
Krueng Daroy memiliki jumlah individu
tiap jenis merata atau seragam.
Indeks Similaritas (IS)
Indeks Similaritas diperoleh dengan
pembagian jumlah spesies yang sering
dijumpai dengan jumlah spesies yang sama
pada kedua stasiun yang dibandingkan, dan
diperoleh data seperti pada tabel 4.
Tabel 4. Indeks Similaritas bentos yang
terdapat di Krueng Daroy
Stasiun
Indeks Similaritas
No
(%)
1
I dan II
72,72
2
I dan III
48,72
3
I dan IV
51,80

14

Indeks
Similaritas
(kesamaan)
digunakan untuk melihat kesamaan jenis
antar stasiun. Indeks kesamaan yang
tertinggi dijumpai pada stasiun I dan II
yaitu 72,72 % dan yang terendah pada
stasiun II dan III yaitu 47,83 %. Menurut
Odum (1993) jika nilai indeks kesamaan
lebih besar dari 50 % berarti adanya
persamaan antara dua komunitas dan jika
nilai indeks kesamaannya lebih kecil dari
50 % berarti adanya perbedaan antar dua
komunitas. Tingginya kesamaan antara
stasiun I dan II menunjukkan bahwa secara
umum kondisi fisik dan kimia perairan
relatif sama. Hal ini dapat dilihat dari nilai
faktor fisik dan kimia perairan yang tidak
jauh berbeda.
V. SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian tentang
keragaman bentos di Krueng Daroy dapat
disimpulkan bahwa:
1. Terdapat 10 jenis bentos yang
dikelompokkan kedalam 4 kelas yaitu
Gastropoda, Bivalvia, Oligochaeta, dan
Crustacea.
2. Indeks keragaman bentos yang
ditemukan berkisar antara 1,245 sampai
3,488, hal ini menunjukkan bahwa
tingkat keragaman bentos antara satu
stasiun dengan stasiun lain tinggi.
3. Indeks keseragaman berkisar antara
0,598 sampai 1,793 yang berarti bahwa
jumlah individu tiap jenis merata atau
seragam.
4. Indeks similaritas menunjukkan bahwa
bentos di Krueng Daroy relatif sama
dengan nilai antara 47,83 % sampai
72,72 %.

DAFTAR PUSTAKA
Ardi. 2002. Pemanfaatan Makrozoobentos
Sebagai Indikator Kualitas Perairan
Pesisir. ITB: Bogor.
Boyd dan Lichtkoppler dalam Yustina,
Keanekaragaman Ikan di Krueng
Daroy Kecamatan Darul Imarah
Aceh Besar, NAD (Skripsi) (Banda
Aceh Unsyiah, 2004), hal. 4.
Brotowidjoyo
dalam
Yustiana,
Keanekaragaman Ikan di Krueng
Daroy Kecamatan Darul Imarah
Aceh Besar, NAD (Skripsi) (Banda
Aceh: Unsyiah,2004), hal.3.
DPPW-DJSDA, Laporan Pendahuluan
Penanggulangan Bankir Krueng
Daroy,
Krueng Neng dan Krueng
Lung Panga (Tahap II) Kabupaten
Aceh Besar ,(NAD: Wahana Adya
Konsultan, 2001), hal.21.
DPPW-DJSDA, Laporan Nota Penjelasan
Penanggulangan Bankir Krueng
Daroy, Krueng Neng dan Krueng
Lung Panga (Tahap II) Kabupaten
Aceh Besar, (NAD: Wahana Adya
Konsultan, 2001), hal.1.

Hutabarat,S dan S.M Evans, 1993.


Pengantar Oceonografi. Djambatan:
Jakarta.
James dalam Evi Ranggayani, Keragaman
dan Kelimpahan Makrozoobentos di
Perairan Laut Tawar Kabupaten
Aceh Tengah (skripsi) (Banda Aceh:
UNSYIAH, 2001), hal.5.
McConnaugheu, B.H dan R.Zattoli, 1993
Pengantar biologi Laut, IKIP
Semarang.
Michael,P, 1994. Metode Ekologi Untuk
Ladang dan Laboratorium. UI:
Jakarta
Mukayat Djarubito Brotowidjoyo. 1989.
Zoologi Dasar. Erlangga: Jakarta.
Nontji. 1993. Laut Nusantara, Djambatan:
Jakarta.
Suin dalam Herfiyusni,Studi Biodiversity
Makrozoobentos
di
Vegetasi
Mangrove Peukan Bada Aceh Besar,
(Skripsi) (Banda Aceh: UNSYIAH,
2001), hal. 4.

DPPW-DJSDA, Laporan Pendahuluan


Penanggulangan Bankir Krueng
Daroy, Krueng Neng dan Krueng
Lung Panga Kabupaten Aceh Besar,
(NAD: Wahana Adya Konsultan,
2001), hal.1.
Eugene.P.Odum dalam Huslidar. 2006.
Keanekaragaman Ikan di Sungai
Alue Tho Desa Alue Tho Nagan Raya
Sebagai Media Praktikum Zoologi
Vertebrata,NAD (Skripsi) (Banda
Aceh: IAIN,2006), hal. 8.
Eugene P. Odum. 1971. Dasar-dasar
Ekologi Edisi ke 3. UGM.
Yogyakarta.

15

Screening of Well in Banda Aceh Districts and Aceh Besar Districts for
Contamination with Faecal Coliform Bacteria
Cut Yulvizar
Biology Department,
Faculty of Mathematics and Natural Sciences, Syiah Kuala University, Indonesia
Email: Yunda_mnz@yahoo.com

Abstrak - Tsunami telah menghancurkan infrastruktur prasarana air termasuk sumur di masyarakat aceh.
Faktor tsunami, penataan lahan(kota dan desa) dan pengunaan lahan dapat mempengaruhi kualitas air
termasuk kontaminasi faekal. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh rehabilitasi sumur setelah
tiga tahun tsunami terhadap kualitas air. Parameter yang diukur adalah total jumlah bakteri faekal (koliform
dan Escherichia coli). Sebanyak empat puluh delapan sampel air sumur diambil dan dianalisis dari bulan
Agustus 2007 sampai Desember 2007. Interview dengan pemilik sumur juga dilakukan untuk mendapatkan
informasi tambahan. Hasil penelitian menunjukan adanya kehadiran bakteri koliform melebihi batas yang
ditetapkan (907/MENKES/SK/VII/2002).
Kata Kunci: Tsunami, Kualitas Air, Bakteri Koliform

I. INTRODUCTION
The earthquake and the following
Tsunami devastated South Asia in
December 2004 and especially Indonesia.
It has caused remarkable problems such as
social, economic and environmental
aspects in some regions of Nanggroe Aceh
Darussalam and Nias. Aceh Besar is one of
the regions that have been impact hardest
by Tsunami. One effect is the
contamination of water that was caused by
damaged sanitary infrastructure such as
septic tanks, wells and water canals. The
water that was contaminated by Tsunami
contains chemical and infectious material
that is dangerous for life.
According
to
Agency
for
Reconstruction and Rehabilitation (BRR)
progress report (2006) in 2005, many
donors
and
non-governmental
organizations (NGOs) have focused on the
provision of housing with limited
investment in associated infrastructure.
NGOs were encouraged to invest in
housing construction without provision of
basic services such as water supply,
sanitation and electricity power. In 2006, a
number of water supply projects were

16

initiated, which are preparing and


rehabilitating water supply that was
damaged by Tsunami. The first priority has
been to provide drinking water to reduce
the need for water tanker and similar
emergency water interventions. The second
priority was to support the reconstruction
of housing and third priority was to
provide water to key strategic areas such as
ports and industrial areas, to support
economic rehabilitation.
Water is very important for life.
Water is used for drinking, irrigation,
cleaning, bathing, and to generate
electricity. Based on Csuros and Csuros
(1999) well is the primary source of
drinking water. Well is still used as a main
source of clean water in rural and urban
areas of Aceh. To reach drinking water, it
is mostly used from the well. Before
Tsunami, only 19% of the total population
in urban area in Aceh Province had access
to piped water supply. Self-provided water
supply is based on wells and springs
(Environment and Mineral Resource
Sector, 2005). Generally, the surface
conditions of wells are open and cause
contaminate with Tsunami material.

Factors that are affecting the water


quality of well are soil type, season,
distance of septic tank to the on-site
sanitation, construction of those facilities
and water users` behavior. According to
Kusnaedi (2000), there are three essential
points for good drinking water. Firstly:
physically; drinking water must be clear;
secondly: chemically; it must not contain
dangerous chemical materials such as
heavy metals that originated most often
from local source industry and agriculture;
and thirdly: microbiologically; drinking
water must not contain pathogenic
bacteria. Buckle et al. (1987) and Staff of
the Medical Faculty of Indonesia
University (1994) reported that many
microorganisms like coliform bacteria,
Salmonella,
Escherichia
coli,
and
Pseudomonas may cause various diseases.
According to Ministry of Health
Regulation
RI
number:
907/MENKES/SK/VII/2002 E. coli in
drinking water is 0 CFU/100ml. Although
these microorganisms belong to the natural
population of the water, some strains
should be considered as opportunistic
pathogens. The study of these is especially
important if the well is analyzed.
Based on previous research by
Mardiatno and Junun (2006) who reported
that some water samples from well have
been
contaminated
by
Tsunami;
nevertheless, they partially still can be used
for domestic purposes except for drinking
water. Followed by Local Environmental
Impact
Management
Agency
(BAPELDALDA) and National Nuclear
Energy Agency of Indonesia (BATAN)
(2007) reported that a study of sites
devastated by Tsunami showed water
pollution in wells. It was caused by
dangerous and poisonous material from
Tsunami contamination that includes
pathogenic microorganisms, as well as
high contents of nitrate and heavy metals.
The breach of water distribution
pipelines and filling of wells with debris

and garbage occurred soon after the


Tsunami. The well is one of the main
domestic water sources in rural area. Based
on Environment and Mineral Resource
Sector (2005), it is estimated that quality of
wells are influenced not only by Tsunami
but also by activity of the community in
those area such as agriculture activity. In
addition, the wells can be contaminated
with various hazardous wastes such as
gasoline products, medicine, pesticides,
etc.
The research was conducted in the
Aceh Besar and Banda Aceh districts from
August 2007 until December 2007 and
aimed to determining how Tsunami
rehabilitation efforts affected the water
quality of well by measuring count faecal
coliforms in rural and urban areas. The
study includes bacteriological assessment
of water samples, interviews with the
owners of the water facilities and sanitary
inspection of well wells. The sample points
of well were determined by simple random
sampling method.
II. MATERIALS AND METHOD
Description of Experimental Site, Time
and Location
In this research, areas are referred to
the Tsunami area and non-Tsunami area.
Generally, all water bodies and water
sources in the coastal areas and the other
area were hit by the Tsunami and brought
dangerous material and pollution, thus they
did not function at all during some time
after the disaster, both as water sources,
water flow and city drainage as well as
septic tanks was damaged.
The research has been conducted in
fixed places which are damaged differently
by the Tsunami in Banda Aceh and Aceh
Besar District, to show the difference
between urban and rural areas and the
difference between agriculture land and
home gardens.

17

Banda Aceh is the provincial capital


and largest city of Aceh, Indonesia. It is
located on the island of Sumatra at 531 N
9525 E. It is bordered on the north by the
Straits of Malacca: on the south by Darul
Imarah dan Ingin Jaya sub-districts; on the
east by Barona Jaya and Darussalam subdistricts; and on the west by Peukan Bada
sub-districts.
Aceh Besar is located at the northern
end of Sumatra Island from 5.2 to 5.8
degrees latitude North and 95 to 95.8
degrees longitude east. It is bordered on
the north by the Straits of Malacca and the
city of Banda Aceh; on the south by Aceh
Jaya District; on the east by Pidie District;
and on the west by the India Ocean. Aceh
Besar has an area of 2.974 km2. The
earthquake which affected by Tsunami
include eight sub-districts from 22 subdistricts in Aceh Besar. The population
becomes more dispersed farther away from
the province capital Banda Aceh.

The research was done from last


August 2007 to December 2007.The wells
were selected randomly following many
characteristics such as area, land use and
land management. Twenty-four wells
selected with repetition in dry season on
August and rainy season on December.
The selections of sample were done in the
beginning of August, before the data
collection was done. A total samples were
48 wells.The sample areas were selected
by simple random sampling by taking three
areas in each class according to the
characteristics area needed. Then, for each
area, the survey places were determinate
by passing the main road of villages and
numbering the place in a certain series.
After that, three survey places were
defined by randomly sampling. This
research was conducted in two activities:
firstly, samples were taken in the survey
place and secondly, samples were analyzed
in laboratory.
Collection of Samples

Figure 1: The areas selected for this research are 4


sites from Banda Aceh and 4 sites from Aceh
Besar. In Banda Aceh, the selected wells were
Banda Raya, Jaya Baru, Baiturrahman and Ulee
Kareng, while those in Aceh Besar were Darul
Imarah, Lhoknga, Peukan Bada and Kutabaro.
: Site in Banda aceh ,
: site in Aceh
Besar.

18

Before the water samples were


collected, the interviews were carried out
with the well owners to get general
information about wells condition;
characteristics of the household, the
utilization of well, depth of wells, and
number of users. This information was
needed to provide additional data for the
description of the area.
Then, 500 ml shallow groundwater
were collected and put in a sterile bottle as
sample. The microbial population that
presents at the surface is the best sampling
by sterile bottle. The label of sample was
written on the sterile bottle, addressed
about the date and place of sample taking
and the owner. The samples were kept and
transported in ice cooled containers.
All
samples
were
analyzed
immediately
after
collection
In
Microbiology Laboratory of Veterinary
faculty; long holding time has been

avoided. The direct contact between the


person and the sample was avoided (Alley,
2007).
Preparation of medium Chromocult
Coliform and detection coliform
bacteria and Escherichia coli.
Twenty-six point five g Chromocult
Coliform was suspended in 1l boiling
water. Supplement was added to cooled
medium to 45 50 OC. Every plate was
filled with 20 ml medium. The plates were
yellowish. One ml pipette water was taken
directly from a sample. Water samples
were diluted with 1 in 8, pipetted with 1 ml
water directly on the surface of the
medium with pour plate technique. Then,
the samples incubated at 37oC for 2x24
hours. Total coliforms produced salmon to
red colonies, whereas presumptive E.coli
formed dark blue to violet colonies. To
Increase accuracy of the results, it was best
to plate the sample in duplicate and
determine
the
average
account.
ChromoCult coliform agar was a new
medium allowing the simultaneous
detection of coliforms and E. coli in the
water with high bacterial.
It had
advantages to show characteristic colony
colors for easy identification; clearly
differentiated colony reduced mistakes and
ensured accurate data, only 48 hours
incubation time and only one medium for
the simultaneous detection of coliform
bacteria and E.coli. So it reduced time,
materials, workload and laboratory
equipment.
Statistical Analysis
The statistical analysis was used to
examine the data. This statistical test
showed the effects of some independent
variables in the research; Tsunami and non
tsunami area, urban and rural area,
agriculture and home garden area.
The data of the well contamination
was analyzed by ANOVA (Factorial
design with 4 factors level) followed by a

Tukey test to show the significant value by


using SYSTAT version 5.0. All results
from microbial determination were
transferred to log CFU/100ml. Last, all
recorded data were compared with the
critical value of the regulation from
Indonesian Ministry of Health.
III.RESULTS AND DISCUSSION
Contamination
of
Water
Microorganism.

by

The occurrence of pathogens and


indicator organisms in wells depends on a
number of factors, including intrinsic
physical and chemical characteristics of the
area and the range of human activities and
animal sources that release pathogens to
the environment. This may occur through
contaminated septic tank. The results were
obtained
from
the
microorganism
analyzing
especially
in
coliform,
Escherichia coli.
Figure 2 shows there were
interactions among area, land use and land
management in coliform bacteria. The
interaction shows that in non-Tsunami area
there were significant which based on land
use and land management. However, in
non-Tsunami urban agriculture areas found
lower number of coliform bacteria than
Tsunami rural agriculture. In contrast, in
Tsunami areas were point out a significant,
which based on land use and land
management. It was analyzed by ANOVA
and obtained significant difference (P=
0.017) in the total coliform bacteria
interaction among area, land use and land
management was significant value of
=5% and followed post hoc Tukey test.

19

coliform bacteria(CFU/100ml)

8
7

d
cd

cd

UH NRA
NUA NU

NRH

ab

b
bd

bd

TTRA

TRH

6
5
4
3
2
1
0
TUA

TUH

Area$*LU$*LM
M$

Figure 2: Innteraction am
mong areas, laand use and
land manageement in colifo
form bacteria. NUA: NonTsunami Urbban Agricultu
ure, NUH: Non-Tsunami
N
Urban Homee Garden, NR
RA: Non-Tsunnami Rural
Agriculture, NRH: Non--Tsunami Rural
R
Home
A: Tsunami Urban
U
Agricuulture, TUH:
Garden, TUA
Tsunami Urrban Home Garden, TRA
A: Tsunami
Rural Agricculture, TRH: Tsunami Rural
R
Home
Garden,. a, aab, bd, b, c and
a cd diffferent letters
show statisccally significcant differennce between
location(P<00.05).

The total colifo


orm countss from the
entire wateer as samplle exceededd 0 Colony
Forming U
Unit (CFU)//100 ml bassed on the
critical vallue quoted by
b Ministryy of Health
Regulationn RI. The highest coliform
bacteria coount was fo
ound in nonn-Tsunami
rural agricculture (8 CFU/100ml)
C
) followed
by 7 CFU
U/100ml in Tsunami urrban home
garden andd the lower total colifoorm counts
was founnd in non-Tsunam
n
mi urban
agriculturee area (5 CFU/100ml)
C
). In nonTsunami rrural area, total
t
colifoorm counts
were founnd significaant differennt between
home gardden and agriculture activvity.
In noon-Tsunamii rural agricuulture area
had the hhighest cou
unt of totall coliform
bacteria. Itt is estimateed that the opportunity
o
of fecal contamination
n. Sanitationn practices
are knownn as weak in this areea because
toilets are not availaable and livvestock is
present. Thhe majority
y of local innhabitants
practices fa
faeces open excretion inn the field.
They still used faecees from livvestock to
increase thhe crop grow
wth becausee chemical
fertilizer w
was too expeensive, so thhe farmers
still use ffaeces to ad
dditional feertilizer in
20

crop. Agriculturre sector prrovide incom


me to
theirr families. They
T
also built
b
up liveestock
to suupport incoome. They did not haave a
goodd toilet whicch well kno
own as nightt soil.
Nighht soil was
w
referreed open field
defeccation by human
h
faecces in the bush
and plastic
p
bagss.
In contrrast, the communityy in
Tsunnami urbann agriculturre area didd not
excreeted in opeen field. The
T providinng of
septiic tank caan caused decreasingg the
numb
mber of colifform bacteriia. It is indiicated
that Tsunami agriculture areas
a
more good
sanittation
thaan
non-T
Tsunami
rural
agricculture areea. Anoth
her factor that
influuenced the present
p
of coliform
c
waas the
livesstock. The limited areea for liveestock
was one of thee factors in
n decreasing the
total coliform. Because th
he animal faeces
f
can contain larrge numberrs of pathoogenic
orgaanisms succh as baacteria, virruses,
protoozoa and heelminth, it can
c cause huuman
diseaase (Personnne et al. 1998).
1
How
wever,
manyy species exxcreted by farm animaals do
not cause
c
diseaase in humaans. Majoriity of
pathoogens that affect hu
uman healthh are
derivved from human faaeces and bad
sanittation. In general, th
he pathogenns in
wateer are the main
m
conceerning to public
p
healtth, which originate
o
fro
om the faecces of
hum
mans and animals,
a
an
nd indicatedd the
faecaal contaminnation. Hiriiart et al. (22008)
reported that inn urban area with grrazing
anim
mals could provide ev
vidence of some
species that are
a
not naative in naatural
envirronment.
The open or poorly covered shallow
dug wells apppose the greatest
g
riskk for
contaamination when inap
ppropriate water
w
fillinng devices are
a used. In
n addition, faecal
f
contaamination from latrin
nes, septic tanks
and farm manuure are morre commonn than
for borehole
b
weell (Viklund
d and Welaander,
20077). It was estimated
e
th
hat all conditions
in the
t
characcteristic of the loccation
indiccated similaar contamin
nation with total
colifform bacterria. Poorly built wellss can
allow
w the enttering of access harrmful

d on land use and laand


differennces based
manageement.
coli counnts from the
E
Escherichia
samplee based on mean amoong area, laand
use and land man
nagement were
w
exceedded
(0 Colony Formin
ng Unit (C
CFU) /100 m
ml)
based on the crritical valuue quoted by
Ministrry of Heallth Regulattion R.I. T
The
highestt E.coli cou
unts were found
f
in noonTsunam
mi rural agriculturre area (8
CFU/100ml). On the other haand, the low
wer
E.coli count wass found in non-Tsunaami
urban area
a (6 CFU
U/100ml.).
9
8
7
6
5
4
3
2
1
0

E.coli(CFU/100ml)

coontaminantss to enter the well tthat can


reeduce the water
w
qualitty. In these cases,
faaecal colifo
orm bacterria from ddamaged
seeptic tanks have
h
infiltraated the welll.
Coliforrm bacteria levels werre above
thhe detection
n limit andd very highh in all
saamples baseed on mean areas, land use and
laand manag
gement (F
Figure 2). These
m
microorganissms are associated witth feacal
m
material from
m humans and otherr warmbllooded anim
mals and their presence in
w
water is used
d to indicatee potential ppresence
off enteric pathogens
p
that couldd cause
illlness in exposed persons.
p
C
Coliform
baacteria are a specific group of bacteria
thhat are normal
n
inhhabitants of the
gaastrointestin
nal tract off animals aand men
arre found in
n the envirronment. C
Coliform
baacteria also
o indicate the preseence of
daangerous microorganis
m
sms. The prresent of
cooliform in
ndicates thhat the w
water is
coontaminated
d with feacaal material (Csuros
annd Csuross, 1999; Spelman, 1997).
A
Although thee coliform bacteria m
may not
caause diseasees, the pressence indiccates the
poossible prresence of
o
gastroinntestinal
paathogens su
uch as Sallmonella, SShigella,
annd Campylo
obacter thatt are also passed in
feeces. Thus coliform baacteria are referred
ass indicatorr organism
ms becausse their
prresence often indicatees the pressence of
faaeces from
m humans and other warmbllooded anim
mals and cooncurrent eexistence
off serious patthogens (Annynomous, 1996).
The ressults in Figuure 3 were aanalyzed
byy ANOVA
A and obbtained siggnificant
diifferences (P= 0.045)) in E.colli count
innteraction am
mong area, land use aand land
m
management was significant value at
=55% and folllowed post hoc
h Tukey.
The in
nteraction shhows that in nonTssunami area were signnificant diffferences
baased on lan
nd use and land manaagement.
H
However, non-Tsunam
mi agricultuure area
haas higher Escherichia
Es
coli counts in rural
arrea than in
n urban areea. In conttrast, in
Tssunami areea there were
w
no siggnificant

a
ab
b

ab

ab

ab

ab

N
NUA
NUH NR
RA NRH TUA
A TUH TRA TRH
Area$*LU$*LLM$

n among areaas, land use and


Figure 3: Interaction
E coli. NUA
A: Non-Tsunnami
land maanagement E.
Urban Agriculture, NUH: Non--Tsunami Urrban
RA: Non-Tssunami
Ruural
Home Garden, NR
N
i Rural Hoome
Agricultture, NRH: Non-Tsunami
Garden, TUA: Tsunaami Urban Agriculture, TU
UH:
Tsunamii Urban Home Garden, TRA: Tsunnami
Rural Agriculture,
A
TRH:
T
Tsunam
mi Rural Hoome
Garden,. a, ab, and
d b differeent letters shhow
significcant
difference
betw
ween
statiscallly
location(P<0.05).

Inn non-Tsu
unami urbaan agricultture
areas (Ule
(
Karen
ng) have beeen found the
lowest E.coli contaminattions. Urbban
agricullture uses more offten chemiical
fertilizeers and liv
vestock prodduction is nnot
presentt. Animal faeces conntain a large
number of E.coli. Thereforre, agricultture
activitiies frequenttly are the source
s
of w
well
contam
mination (W
WHO, 20006b). Anim
mal
faeces have been
n used to enhance ssoil
fertilityy because th
he chemicall fertilizers are

21

more expensive; nevertheless, they still


used chemical fertilizer (Kuta Baro).
Human and animal faecal material is the
most likely source of most water-borne
pathogens. They should be excluded from
catchments (Anonymous, 1996).
Escherichia coli is naturally present
in human and animal faeces. The provision
of sanitation facilities is an important
public health measure that together with
hygiene education contributes significantly
to the reduction of fecal contamination.
Gordon (1990); Robertson and Edberg,
(1997) concluded that the absence of water
and sanitation facilities lead to high rates
of infection diseases and infant mortality
rates. Improvements in sanitation need to
be integrated and properly planned;
otherwise, an unanticipated outcome may
be the contamination of drinking water by
faeces matter derived from on site
sanitation. On site sanitation systems,
which include septic tanks and store faeces
at the point of disposal. The fecal waste
usually undergoes decomposition to some
extent. Nevertheless, on site systems
require emptying or construction of new
facilities once they have been filled up.
Escherichia coli is present in faeces
of animal particularly cattle and sheep and
lesser from goats, pigs and chickens.
Previous studies carried out by Staff of
Medical Faculty of Indonesia University
(1994) showed that cattle are the main
reservoir of E.coli 0157:H7 and able to
survive longer in the environment than
other E.coli strain. The presence of E. coli
in
water
indicates
recent
faecal
contamination. While it is not possible to
know whether E. coli is of human origin,
animals and birds can harbor human
intestinal pathogens, and therefore the
presence of E. coli indicates that there may
be a health risk.World Health Organization
(2006a) showed that sources of wells
contamination were associated with human
activities. They were widespread and
include diffuse as well as point source

22

contaminants like land application of


animal wastes and agrochemicals in
agriculture; disposal practices of human
excreta and wastes such as leaking sewers
or sanitation systems, leakage of waste
disposal sites, landfills, underground
storage tanks and pipelines; and pollution
due to both poor practices and accidental
spills in mining, industry, traffic, health
care facilities and military sites. Well water
contamination by microorganism can occur
in two ways: firstly, indirect localized
pathway because of the poor design and
construction, the second way through
directly aquifer pathway, where the
microorganism migrate from the septic
tank to the well (Anonymous, 1996).
It could be concluded that all
microorganism contamination from the
results especially faecal coliform and
E.coli may occur naturally or from human
activity. In this research, naturally terms
referred to Tsunami areas, in contrast,
human activity referred to land use (rural
and urban activity) and land management
(agriculture land and home garden).
IV. CONCLUSION
The interaction shows that in nonTsunami area there were significant based
on land use and land management.
However,
in
non-Tsunami
urban
agriculture area has lower coliform
bacteria than Tsunami rural agriculture. In
contrast, in Tsunami area there were
significant differences based on land use
and land management.
The interaction shows that in nonTsunami area there were significant
differences based on land use and land
management. However, in non-Tsunami
agriculture area has higher Escherichia coli
counts in rural area than urban area. In
contrast, in Tsunami area there were no
significant differences based on land use
and land management.

Many wells were vulnerable to the


contamination of coliform, Escherichia coli
and Pseudomonas spp. Coliform bacteria
and Escherichia coli counts exceed the
regulatory acceptable limit based on the
critical value quoted by Ministry of Health
Regulation R.I.
ACKNOWLEDGEMENTS
This research was part of a master
project funded DAAD. I would like to
express my great appreciation to my thesis
supervisor, Dr. Ronald F. Kuehne and
Prof. Dr. med. Uwe Gross for their
excellent supports, concerns and guidance
during my work. I would also endlessly
thank to my colleague, Task NAD for their
incredible advises, assistances, and
supportive inputs as well as editing to this
research.
REFERENCES
Alley, E.R., 2007, Water quality control
handbook, Mc.Graw Hill, 2nd
Edition,Virginia.
Anonymous, 1996, Australian drinking
water guidelines, Commonwealth of
Australia, Canberra.
Buckle, K.A, Edward, R.A, Fleet, M ,1987,
Ilmu Pangan (Food science), Edisi
Kedua, Universitas Indonesia, Jakarta.
Csuros, M and Csuros, C. , 1999,
Microbial examination of water and
wastewater, CRC Press LLC, United
Sates of America.
Environment and Mineral Resource Sector,
2005,
Master
plan
for
the
rehabilitation and reconstruction for
the region and people of the provinces
of Nanggroe Aceh Darussalam and
Nias Islands, North Sumatra, Jakarta,
Indonesia.

Gordon, A.M . , 1990, Drinking water


microbiology,
University
of
Wisconsin, New York.
Hiriart, M.M., Len, S.P., Vidal, Y. L.,
Macas, P. I., Fernndez, R.I. and
Falconi, F.Q., 2008, Microbiological
implications of periurban agriculture
and water reuse in Mexico City.Plos
One. 3(5). e2305.
Kusnaedi , 2000, Mengolah air gambut
dan air kotor untuk air minum
(Manage turf and waste water as
drinking water), Penebar Swadaya,
Jakarta.
Local Environmental Impact Management
Agency
(BAPELDALDA)
and
National Nuclear Energy Agency of
Indonesia (BATAN) , 2007,.Isu
pencemaran air sumur di daerah
Tsunami (Issue contamination well in
land Tsunami). Serambi Indonesia.
Nanggroe Aceh Darusalam. Indonesia.
Mardiatno, D and Junun, S. , 2006,
Tsunami impact on soil and well
condition. Geophysical Research
Abstracts, European Geosciences
Unions. 8: 58- 60.
Personne, J.C., Poty, F., Vaute, L and
Droque, C. ,1998,Survival, ransport
and dissemination of Escherichia coli
and
enterococci
in
Fissured
Enviroment. Journal of Applied
Microbiology. 84:431-438.
Robertson, J and Edberg, S.C., 1997,
Natural protection of spring and well
drinking water against surface
microbial contamination. Critical
Reviews in Microbiology, 23(2): 143178.

23

Staff of the Medical Faculty of Indonesia


University
,
1994,Mikrobiologi
kedokterran (Medicine microbiology).
Bina Rupa Aksara, Jakarta.
Spelman, F.R., 1997, Microbiology for
water/wastewateroperators.Technomic
Publishing Company, Inc. Lancaster,
USA.
Viklund, P and Welander, S., 2007, Tools
for
improved
water
quality
monitoring, sanitation and safe use of
human excreta in agriculture. Master
thesis,
Lule
University
of
Technology.Bolivia.
World Health Organization, 2006a,
Guidelines for drinking water quality,
3rd
edition,
World
Health
Organization Press, Switzerland.
World Health Organization, 2006b,
Protecting ground water for health:
managing the quality of drinkingwater
sources, World Health Organization,
USA

24

PERUBAHAN TUTUPAN KARANG DI MEDIA CORAL RUBBLE UNTUK TUJUAN


REHABILITASI TERUMBU KARANG DI PULAU ACEH
Edi Rudi 1, Sayyid Afdhal Elrahmi2
1
2

Staf Pengajar Fakultas FMIPA Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, email: edirudi@yahoo.com
Staf Pengajar Koordinatorat Kelautan dan Perikanan Universitas Syiah Kuala

Abstract - Pulau Aceh coral reef reefs, which are located in westernmost Indonesia, give important ecological
services for local communities. The catastrophic tsunami in December 2004 caused degradation of marine
resources around Pulau Aceh. Using coral rubble as a media for coral recruitment is an alternative strategy in
order to rehabilitate degraded coral reefs. This research was conducted at three sites (Calog Semani, Pase
Busuk and Luen Balee) in the coral reef ecosystem of Pulau Aceh, from May to October 2007. Changing of
coral cover at rubble media was used to investigate the effectiveness of the media for rehabilitation purposes.
Data were collected by using line intercept transects (LIT) at two levels of water depth. It was found that the
mean of hard coral covers were variable among the site and tend to increase. The results suggested that coral
rubble media can be used as a media for rehabilitation purpose.
Keywords: rehabilitation, coral reef, coral rubble, recruitment, Pulau Aceh

I. PENDAHULUAN
Ekosistem terumbu karang di
wilayah utara Aceh adalah salah satu yang
mengalami degradasi karena adanya
perbuatan manusia yang tidak ramah
lingkungan, seperti penangkapan ikan
dengan metode yang merusak (destructive
fishing) dan penangkapan ikan berlebih
(over fishing) serta sedimentasi dari
daratan. Adanya penangkapan ikan dengan
metode yang merusak di wilayah ini
diperoleh dari informasi langsung melalui
masyarakat di lapangan dan terlihat juga
dari bekas-bekas pengeboman.
Hasil pengamatan Baird et al. (2005)
dan
Campbell
et
al.
(2005)
memperlihatkan bahwa terumbu karang
Pulau Aceh khususnya berada dalam
ancaman dengan kondisi penutupan karang
keras <10% serta keragaman dan biomassa
ikan karang yang rendah terutama bila
dibandingkan dengan Pulau Weh. Namun
demikian, Campbell et al. (2006) dan
didukung hasil pengamatan Rudi et al.
(2007) memperlihatkan bahwa potensi
pulihnya ekosistem terumbu karang di
Pulau Aceh cukup tinggi karena banyaknya

karang baru (rekrut) yang ditemukan pada


perairan yang dangkal (1-3 m) akibat
banyaknya substrat batu. Sebaliknya, pada
perairan lebih dalam dari 6 m selain
kondisi karang rusak parah, juga sedikit
ditemukan rekrut karang yang hidup akibat
substrat perairan dipenuhi oleh pecahanpecahan karang (rubble) atau substrat yang
ada berupa hamparan pasir. Bila kondisi
ini dibiarkan, maka pemulihan terumbu
karang di Pulau Aceh sulit terjadi sebab
menurut Fox (2004), coral rubble dapat
menyebabkan kematian rekrut karang
setelah terjadi penempelan (post settlement
mortality), sehingga tidak akan terjadi
pemulihan ekosistem walaupun dalam
waktu yang lama. Untuk itu dikembangkan
penelitian dengan tujuan untuk mengkaji
penggunaan media pecahan karang (coral
rubble) sebagai terumbu karang buatan dan
melihat pengaruhnya terhadap perubahan
persentase tutupan karang dan kelimpahan
ikan-ikan karang.
II. METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan di tiga
stasiun pengamatan yang terletak di sisi

25

timur Pulau Aceh, Kabupaten Aceh Besar.


Stasiun 1 di Calog Semani dengan posisi
5040083 LU dan 95008521 BT, Stasiun
2 di Pase Busuk dengan posisi 5041300
LU dan 95007695 BT dan Stasiun 3 di
Luen Balee dengan posisi 5044098 LU
dan 95004017 BT (Gambar 1). Hasil
yang diperoleh pada ketiga stasiun
pengamatan dibandingkan dengan lokasi
berdekatan dengan karakteristik yang
mirip,
namun
tidak
mendapatkan
perlakukan. Identifikasi rekrut (juvenil)
karang dilakukan dengan berpedoman pada
Babcock et al. (2003).

ke media rubble di kedalaman 3-4 m dan


lima buah untuk kedalaman 6-8 m setiap
bulannya.
Substrat diikatkan dengan
menggunakan tali plastik tise melalui
lubang yang dibuat di masing-masing
sudut substrat.
Pengambilan substrat
dilakukan sekali dalam sebulan selama
lima bulan, lalu dilakukan penggantian
dengan substrat baru yang akan diambil
satu bulan berikutnya. Semua substrat yang
telah ditempatkan selama sebulan,
kemudian dipindahkan ke media yang baru
berupa kumpulan coral rubble yang telah
ditempatkan di dalam jaring sehingga lebih
kokoh dan stabil. Adapun ukuran
kumpulan coral rubble adalah dengan
panjang 20 m, dengan lebar 1 m serta
tinggi 0,5 m di dua kedalaman perairan.
Penilaian kondisi terumbu karang
dilakukan berdasarkan metode transek
garis (line intercept transect, LIT) terhadap
bentuk pertumbuhan benthik. Pengamatan
secara perlahan-lahan menyusuri transek
sambil melakukan mencatat data untuk
semua bentuk kategori pertumbuhan
benthik sehingga diperoleh persentase
tutupan masing-masing kategori (English
et al., 1997; Hill dan Wilkinson, 2004).
III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambar 1. Lokasi penelitian di Pulau Aceh: 1


Luen Balee-1, 2 Luen Balee 3 Leupung, 4 Pasee
Busuk, 5 Calog Seumani dan 6 Deudap. Lokasi 1
6 untuk pengamatan LIT dan 2, 4, 5 untuk
rekrutmen karang.

Penempatan
kolektor
rekrutmen
karang.
Penelitian
rekrutmen
karang
dilakukan menggunakan substrat batu
kapur (Rudi et al., 2005) berukuran
10x10x2 cm3 yang diikatkan pada suatu
kerangka besi berbentuk persegi panjang
yang ditanam secara kuat di dasar perairan
dengan kedalaman 2-3 m. Jumlah substrat
untuk masing-masing lokasi adalah 10
buah, yaitu lima buah untuk dipindahkan

26

Hasil pengamatan selama lima bulan


(Juni-Oktober 2007) diperoleh tiga famili
dengan tujuh genera spesies rekrut karang
yang terdiri dari Acropora spp. dan
Montipora
digitata
(Acroporidae),
Pocillopora
damicornis,
Seriatopora
hystrix,
Stylophora
pistillata
(Pocilloporidae),
Porites
sp.
dan
Goniastrea sp. (Poritidae).
Rerata kepadatan rekrut karang yang
didapatkan pada substrat penempelan
selama pengamatan adalah berkisar antara
1,86,9
koloni/substrat
penempelan,
dengan rerata tertinggi diperoleh di stasiun
Luen Balee pada bulan Oktober,
sedangkan terendah di Calog Semani pada
bulan September (Gambar 2). Namun

Kelimpahan (koloni/substrat)

secara umum, bila dilihat perbandingan


antar stasiun, maka nilai yang tertinggi
adalah di stasiun Luen Balee, sedangkan
yang terendah adalah di stasiun Pase
Busuk. Hasil pengamatan secara umum
mengambarkan rendahnya rekrutmen
karang di wilayah yang kualitas airnya
kurang
bagus
terutama
rendahnya
kecerahan perairan seperti yang terjadi di
Pase Busuk.
8
7

Juni

Juli

Agustus

September

Oktober

2
1
0
Calog Semani

Pase Busuk

Luen Balee

Stasiun

Kepadatan (Jumlah Koloni/m 2)

Gambar 2. Kelimpahan rekrut karang di


stasiun pengamatan.
12
10

Deudap
Calog Semani

Pase Busuk

Leupung

Luen Balee
Luen Balee-1

2
0
1
Waktu Pengamatan

Gambar 3. Kelimpahan rekrut karang di


habitat alami sekitar stasiun pengamatan.

Kualitas air di stasiun Pase Busuk


relatif kurang mendukung bagi kehidupan
organisme karang yang antara lain
kecerahan perairan yang rendah dan
kandungan nitrat dan posfat yang lebih
tinggi dibandingkan stasiun yang lainnya
(data tidak dipublikasikan). Menurut
Szmant (2003), rendahnya kecerahan
perairan dapat membunuh karang dewasa
dan
juga
menghalangi
terjadinya
rekrutmen karang baru di ekosistem
terumbu karang.
Hasil
yang
diperoleh
dalam
penelitian ini mengindikasikan bahwa
reproduksi karang secara umum di sekitar
wilayah penelitian Pulau Aceh berlangsung

sepanjang
tahun,
walaupun
memperlihatkan adanya fluktuasi nilai.
Pemijahan sepanjang tahun ini merupakan
tipikal organisme wilayah tropis secara
umum. Fluktuasi terjadi karena adanya
puncak-puncak pemijahan pada waktuwaktu tertentu, yaitu diperkirakan mirip
dengan yang terjadi di wilayah yang
berdekatan dan sudah dilakukan peneltian,
misalnya untuk hewan karang yang ada di
Singapura sebagaimana dilaporkan oleh
Guest et al. (2005) bahwa waktu
pemijahan massal karang di wilayah itu
terjadi dua kali dalam setahun, yaitu
dengan puncaknya pada bulan Maret-April
dan diikuti dengan bulan OktoberNovember.
Pengamatan terhadap rekrut karang
yang ditemukan pada habitat alami,
terutama pada substrat yang keras
memperlihatkan perbedaan antar enam
lokasi pengamatan.
Nilai tertinggi
diperoleh pada stasiun Deudap dengan
kelimpahan 9,94 koloni/m2, sedangkan
terendah di Luen Balee 1 dengan
kelimpahan 5,25 koloni/m2 (Gambar 3).
Tingginya kelimpahan rekrut karang
di lokasi penelitian menunjukkan bahwa
potensi rehabilitasi ekosistem terumbu
karang di Pulau Aceh cukup tinggi bila
ditinjau dari ketersediaan larva dan rekrut
karang yang sukses atau ditemukan di
habitat alami.
Namun demikian,
kebanyakan substrat yang ada di Pulau
Aceh adalah dalam kondisi tidak stabil
karena berupa pecahan-pecahan karang
(coral
rubble)
sehingga
apabila
penempelan larva terjadi pada tempat ini,
dipastikan sulit untuk tumbuh sampai
dewasa, bahkan pada umumnya akan
mengalami kematian pasca penempelan.
Banyak coral rubble yang terdapat di
perairan pulau Aceh tidak hanya akibat
kejadian tsunami tahun 2004 silam, namun
jauh sebelumnya perairan ini menjadi
tempat praktik illegal fishing dan
cenderung
terjadinya
over
fishing,
termasuk di dalamnya pemakaian bom dan

27

40

Aceh Island
30
20

Luen B alee 1

P as e B us uk

Lapeung

Deudap

Luen B alee

10

Calog S em ani

P ercent C over

50

Gambar 4. Persentase penutupan karang


keras ( SE) di enam stasiun pengamatan
Pulau Aceh

28

Persentase penutupan karang keras


yang terdiri dari hard coral (Acropora) dan
hard coral (non-Acropora) merupakan
acuan dalam menentukan kondisi terumbu
karang. Dari hasil yang didapatkan, maka
terumbu karang di Pulau Aceh semuan
termasuk dalam kategori jelek sesuai
dengan Gomez dan Yap (1998).
Rendahnya penutupan karang diharapkan
mampu segera diatasi dengan adanya
penambahan karang-karang baru ke dalam
ekosistem sehingga terumbu karang akan
didominasi kembali oleh karang keras.
Hasil
penelitian
dengan
memanfaatkan coral rubble sebagai media
tumbuhnya
karang
memperlihatkan
perubahan penutupan karangnya dengan
semakin lamanya waktu pengamatan di
kedalaman 3 meter, peningkatan yang
paling tinggi terjadi di stasiun Calog
Semani dan Luen Balee (Gambar 5).
Hasil yang diperoleh mengindikasikan
bahwa coral rubble yang dikumpulkan dan
telah ditempeli oleh anakan (juvenile)
karang mampu untuk tumbuh dan
menambah ukuran koloninya dari waktu ke
waktu. Pada akhir pengamatan tutupan
karang keras di Calog Semani mencapai
15,7%, dan di Luen Balee adalah 16,8%,
sedangkan di stasiun Pasee Busuk adalah
12,1%. Hasil yang diperoleh ini
memperlihatkan bahwa penjaringan coral
rubble dan membuat kondisi substrat yang
kokoh menjadi media yang efektif untuk
pertumbuhan karang-karang baru dan juga
karang muda yang sudah tumbuh pada
media coral rubble tersebut.
Kedalaman 3 meter
Persentase Karang Keras

sianida untuk penangkapan ikan yang tidak


ramah lingkungan. Dengan kondisi Pulau
Aceh yang merupakan perairan terbuka
dan dapat diakses siapa saja (open access),
maka kerusakan yang dialami oleh
ekosistemnya terutama terumbu karang
sangat luar biasa dan kondisinya termasuk
jelek akibat penutupan karang kerasnya
yang kurang dari 25% (Baird et al., 2005).
Pemulihan dapat terjadi apabila penyebab
kerusakan dapat dikurangi dan proses
alamiah
penempelan
larva
karang
berlangsung dengan baik dan pada substrat
yang tepat.
Pengamatan
terhadap
kondisi
terumbu karang di sekitar lokasi
pengamatan dengan menggunakan metode
LIT (Line Intercept Transect) di dua
kedalaman perairan untuk mendata kondisi
benthik dasar perairan dengan mengamati
bentuk pertumbuhan dan bentuk hidupnya,
maka hasilnya dapat dilihat pada Gambar
4. Secara umum terdapat perbedaan antar
lokasi dalam hal penutupan karang keras
(hard coral). Penutupan karang keras yang
paling tinggi ditemukan pada stasiun
Deudap yaitu sebesar 21,12%, sedangkan
terendah adalah di Luen Balee dengan
penutupan sebesar 3,55%.

18
16
14
12
10
8
6
4
2
0

Juni
Agustus
Oktober

Calog Semani

Pase Busuk
Stasiun

Luen Balee

Persentase Karang Keras

Kedalaman 6 meter
16
14

Tinggi yang telah memberikan bantuan


dana penelitian di tahun 2007.

12
10

DAFTAR PUSTAKA

Juni

Agustus

Oktober

Babcock,

2
0
Calog Semani

Pase Busuk

Luen Balee

Stasiun

Gambar 5. Perubahan penutupan karang keras


pada media rubble di dua kedalaman perairan.

Peningkatan penutupan karang keras


juga terjadi di kedalaman 6 meter, yang
paling tinggi terjadi di stasiun Calog
Semani dan Luen Balee, sedangkan di
Pasee Busuk cenderung stabil terutama
sampai pengamatan kedua. Pada akhir
pengamatan tutupan karang keras di Calog
Semani mencapai 14,7%, dan di Luen
Balee adalah 14,3 %, sedangkan di Pasee
Busuk adalah 11,1 %.
Hasil yang
diperoleh ini memperlihatkan bahwa
penggunaan coral rubble menjadi media
yang efektif untuk pertumbuhan karangkarang baru sehingga dapat dijadikan
sebagai
strategi
alternatif
dalam
rehabilitasi terumbu karang di Pulau Aceh.
IV. KESIMPULAN
Proses rekrutmen karang di lokasi
penelitian Pulau Aceh berlangsung
sepanjang tahun dengan adanya fluktuasi
bulanan dan perbedaan kelimpahan rekrut
antar lokasi. Persentase penutupan karang
di media rubble menunjukkan variasi antar
lokasi dengan nilai yang semakin tinggi
dengan semakin lama waktu pengamatan.
Rekrutmen
karang
dengan
cara
memanfaatkan menjaring pecahan karang
(rubble) dapat dijadikan salah satu strategi
alternatif dalam rehabilitasi ekosistem
terumbu karang Pulau Aceh.
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih kami sampaikan
kepada BRR NAD-Nias Satker Pendidikan

R.C.,
Baird,
A.H.,
Piromvaragorn S., Thomson, D.P.
and
Willis,
B.L.
2003.
Identification of Scleractinian
coral recruits from Indo-Pacific
reefs. Zoological Studies 42:
211-226

Baird, A.H., Campbell, S.J., Anggoro,


A.W., Ardiwijaya, R.L., Fadli,
N., Herdiana, Y., Kartawijaya, T.,
Mahyiddin, D., Mukminin, A.,
Pardede, S.T., Pratchett, M.S.,
Rudi, E. and Siregar, A.M. 2005.
Acehnese reefs in the wake of the
Asian Tsunami. Current Biology
16: 1926-1930
Campbell, S.J., Pratchett, M.S., Anggoro,
A.W., Ardiwijaya, R.L., Fadli,
N., Herdiana, Y., Kartawijaya, T.,
Mahyiddin, D., Mukminin, A.,
Pardede, S.T., Rudi, E., Siregar,
A.M. and Baird, A,H. 2005.
Disturbance to coral reef in Aceh,
Northern
Sumatera.
Atoll
Research Bulletin 544: 55 78
Campbell,
S.J.,
Ardiwijaya,
R.L.,
Kartawijaya, T., Herdiana, Y. and
Setiawan, F. 2006. Baseline
survey, coral reef ecology at Weh
and Aceh Island. WCS-Marine
Program, Bogor.
English, S., Wilkinson, C. and Baker, V.
1997. Survey manual for tropical
marine resources. Australian
Institute of
Marine Science,
Townsville.
Fox, H.E. 2004. Coral recruitment in
blasted and unblasted sites in
Indonesia:
Assessing
rehabilitation potential. Marine

29

Ecological Progress Series (269):


131-139
Gomez, E.D. and Yap, H.T.
1998.
Monitoring coral reef condition.
Di dalam: Kenchington, R.A. dan
Hudson, B.E.T. (Eds). Coral reef
management
hand
book.
UNESCO, Jakarta.
Guest, J.R., Baird, A.H., Goh, B.P.L. and
Chou, L.M. 2005. Reproductive
seasonality in an equatorial
assemblage
of
scleractinian
corals. Coral Reef (24): 112-116
Hill, J. and Wilkinson, C. 2004. Methods
for ecological monitoring of coral
reefs.
Australian Institute of
Marine Science, Townsville.
Richmond, R.H. and Hunter, C.L. 1990.
Reproduction and recruitment in
corals: comparisons among the
Caribbean, the Tropical Pacific,
and the Red Sea. Marine
Ecological Progress Series (60):
185-203
Rudi, E., Soedharma, D., Sanusi, H. dan
Pariwono, J.I. 2005. Affinitas
penempelan
larva
karang
(Skleraktinia) pada substrat keras.
Jurnal Ilmu-Ilmu Perairan dan
Perikanan Indonesia MSP IPB.
Jurnal Ilmu-ilmu Perairan dan
Perikanan Indonesia 12 (2): 129137
Rudi, E., Elrahimi, S.A., Irawan, S.,
Valentino, R.A., Surikawati,
Yulizar, Munandar, Kartawijaya,
T., Herdiana, Y., Setiawan, F.,
Rizal, S., Pardede, S.T. and
Campbell, S.J. 2007.
Post
Tsunami status of Coral Reef and
Fish in Northern Aceh. CORDIO
Report, Banda Aceh.
Szmant, A.M. 2002. Nutrient enrichment
on coral reefs: is it a major cause

30

of coral reef decline? Estuaries


(25): 743-766.

KEANEKARAGAMAN JENIS KUPU-KUPU PIERIDAE


DI KAWASAN WISATA SUNGAI SARAH ACEH BESAR
PASCA TERJADINYA BENCANA TSUNAMI
Suwarno, Syibral Fuadi dan Abdul Hadi Mahmud
Jurusan Biologi Fakultas MIPA Universitas Syiah Kuala Banda Aceh
Abstract - Research on the Pierid butterflies in the tourism area of Sarah River, Aceh Besar was carried out from
May to June 2011. The aim of this study was to determine the relative frequency, relative abundance, and species
diversity of Pierid butterflies in Sarah River, Aceh Besar. This research was conducted by using exploratory
survey method. Butterflies were caught by using an insect net during exploration. In this research, seven genus
and 15 species of Pierid butterflie were found. The species with the highest number of individual and relative
frequency were Appias lyncida, followed by Catopsilia pomona and Eurema hecabe. The diversity index of
Pierid butterflies in the Sarah river obtained was = 1.864.
Keywords : Pierid butterflies, Diversity, Sarah River

I. PENDAHULUAN
Keragaman hayati Indonesia yang
terhimpun dalam ekosistem hutan tropika
jumlahnya mencapai 47 tipe ekosistem.
Dengan berbagai keanekaragaman hayati
yang berbeda dan latar belakang bervariasi,
dunia menetapkan Indonesia sebagai salah
satu dari 12 negara megabiodiversitas.
Keragaman fauna Indonesia yang
sangat berlimpah merupakan modal dasar
bagi pembangunan nasional yang dapat
dimanfaatkan bagi kemakmuran bangsa.
Pemanfaatan keragaman fauna ini harus
memperhatikan aspek kelestarian sehingga
keanekaragaman tersebut tetap terjaga.
Salah satu jenis keragaman fauna
Indonesia adalah kupu-kupu.
Kecantikan dan keindahan kupukupu menjadi daya tarik tersendiri bagi
kolektor, seniman dan ilmuwan (Noerdjito
dan Aswari, 2003; Corbert and Pendlebury,
1992). Banyak penelitian telah dilakukan
oleh para ilmuwan tentang kupu-kupu dari
aspek
biologi,
fisiologi,
ekologi,
taksonomi, dan penyebaran (Borror et al.,
1996).
Lebih dari 2.500 jenis kupu-kupu
terdapat di Indonesia dan beberapa jenis

diantaranya dilindungi sebagai satwa


langka (Noerdjito dan Aswari, 2003). Aini
(2000) melaporkan terdapat tujuh famili
kupu-kupu
(Danaidae,
Hesperidae,
Lychaenidae, Nymphalidae, Papilionidae,
Pieridae, dan Satyridae) di Taman Hutan
Raya Pocut Meurah Intan, Aceh Besar.
Familia Pieridae merupakan salah
satu kelompok kupu-kupu yang umum
dijumpai. Habitat kupu-kupu ini tersebar
mulai dari kawasan padang rumput, semak
belukar, hutan sekunder bahkan hutan
primer (Corbert and Pendlebury, 1992).
Tanaman inang dari kupu-kupu familia
Pieridae ini sangat bervariasi. Larva dari
kupu-kupu ini bisa memakan rumputrumputan, tumbuhan herba, semak bahkan
sampai kelompok pohon di hutan (Otsuka,
2001).
Informasi tentang Pieridae yang
yang terdapat di Aceh, masih sangat
terbatas. Oleh karena itu dilakukan
penelitian tentang keragaman jenis kupukupu dari familia Pieridae di kawasan
wisata Sungai Sarah, Aceh Besar. Hasil
penelitian ini diharapkan dapat menambah
informasi tentang kupu-kupu Pieridae yang
terdapat di kawasan wisata Sungai Sarah
dan upaya-upaya konservasi sehingga

31

dapat dijadikan sebagai objek dalam


pengembangan ekoturisme kawasan wisata
tersebut.
II. METODE PENELITIAN
Pengkoleksian Kupu-kupu
Penelitian ini dilakukan dengan
menggunakan metode survei eksploratif.
Pengkoleksian
kupu-kupu
dilakukan
dengan metode transek (Pollard, 1975;
Dahelmi et al., 2009; Salmah et al., 2002;
Suwarno et al., 1997). Transek dibuat
sepanjang 2 km di wisata Sungai Sarah.
Kupu-kupu ditangkap menggunakan jaring
serangga.
Pengkoleksian
kupu-kupu
dilakukan mulai pukul 08.00 sampai 17.00
wib (Prayuda, 2010; Dahelmi et al., 2009;
Salmah et al., 2002), setiap dua hari sekali
dari bulan Mei sampai Juni 2011.
Kupu-kupu yang tertangkap diambil
dengan hati-hati dari jaring serangga dan
bunuh dengan cara menekan pada bagian
dadanya. Selanjutnya, sayap kupu-kupu
dilipat ke atas dan dimasukkan ke dalam
kertas segitiga. Kupu-kupu yang sudah
dimasukkan ke dalam kertas segitiga
dimasukkan ke dalam kotak koleksi supaya
tidak rusak atau patah. Setelah itu sampel
yang didapat dibawa ke laboratorium untuk
dibuat
spesimen
keringnya
untuk
selanjutnya diidentifikasi.
Pembuatan Spesimen Kupu-kupu
Metode dalam pembuatan spesimen
kupu-kupu ini merujuk pada metode yang
digunakan oleh Dahelmi et al. (2009),
Suwarno (2009) dan Salmah et al. (2002).
Kupu-kupu yang terdapat dalam kertas
segitiga dikeluarkan satu persatu dengan
hati-hati. Setelah dikeluarkan, kemudian
kupu-kupu ditusuk thoraknya dengan
jarum serangga (insect pin) atau jarum
pentul. Selanjutnya sayap kupu-kupu
direntangkan diatas papan perentang.
Sayap diatur sedemikian rupa sehingga
sayap ini tidak patah dan menjadi indah.
Kupu-kupu yang telah dipin pada papan
perentang dikeringkan dalam oven dengan

32

suhu 50oC selama satu minggu. Setelah


kering kupu-kupu diidentifikasi, disimpan
dalam kotak koleksi dan diberi label.
Dalam kotak koleksi diberi kapur barus
sebagai pengawet dan mencegah serangan
semut dan organisme perusak lainnya
Identifikasi Sampel
Kupu-kupu yang telah dijadikan
spesimen kering selanjutnya diidentifikasi
dengan
melihat
ciri-ciri
utama
pengidentifikasian seperti bentuk tubuh
secara umum, warna, sebaran warna,
bentuk dan venasi sayap serta ciri lainnya
(Corbet
and
Pendlebury,
1992).
Identifikasi dilakukan di Laboratorium
Zoologi Jurusan Biologi FMIPA Unsyiah
dengan menggunakan acuan Fleming
(1975), Tsukada and Nishiyama (1982),
Corbet and Pendlebury (1992), Borror et
al. (1996), Otsuka (2001), dan Salmah et
al. (2002).
Parameter Penelitian
Parameter yang akan diamati dalam
penelitian ini adalah jumlah jenis dan
jumlah individu masing-masing jenis
kupu-kupu yang tertangkap. Sebagai
parameter
pendukung,
dilakukan
pengukuran suhu dan kelembaban udara.
Analisis Data
Komposisi jenis kupu-kupu yang
didapat akan dianalisis secara deskriptif
dalam bentuk tabel dan gambar.
Perhitungan terhadap nilai frekuensi relatif,
kelimpahan
relatif,
dan
indeks
keanekaragaman Shannon-Wiener kupukupu di kawasan wisata Sungai Sarah,
dilakukan dengan rumus sebagai berikut:
a. Frekuensi Relatif (Suin, 2002 dan Cox,
1976)
Frekuensi suatu jenis
100%
FR =
Frekuensi seluruh jenis
b. Kelimpahan Relatif (Suin, 2002 dan
Cox, 1976)

KR =

Jlh indiv. suatu jenis


100%
Jlh indiv. seluruh jenis

c. Indeks Keanekaragaman
Untuk
memperoleh
Indeks
Keanekaragaman kupu-kupu dihitung
dengan menggunakan rumus ShannonWiener (Odum, 1993) yaitu:
H = Pi ln Pi
dimana :
H = Indek keanekaragaman spesies
Pi = ni/ N
ni = Jumlah individu panda spesies ke-i
N = Total jumlah individu seluruh spesies
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Jumlah Jenis Kupu-kupu
Hasil pengkoleksian kupu-kupu
familia Pieridae yang telah dilakukan di
kawasan Wisata Sungai Sarah ditemukan
sebanyak 14 jenis yang tergolong ke dalam
tujuh genus. Terjadi peningkatan terhadap
jumlah jenis dari familia ini dibandingkan
pemantauan pada tahun 2007 dan 2009
yang dilakukan oleh Luthfi (2010) yang
hanya
menemukan
masing-masing
sebanyak 5 dan 11 jenis. Jumlah jenis dan
individu yang tertangkap di lokasi
penelitian dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Jenis-jenis kupu-kupu dari familia
Pieridae yang ditemukan di Sungai Sarah
No
Jenis
Jlh indiv.
1
2
Appias albina
2
3
Appias libythea
3
38
Appias lyncida
4
9
Catopsilia pomona
5
3
Catopsilia scylla
6
1
Delias hyparate
7
1
Eurema ada
8
1
Eurema andersonii
9
2
Eurema blanda
10 Eurema hecabe
7
11 Eurema lacteola
7
12 Gandaca harina
1
13 Hebomoia glaucippe
3
14 Leptosia nina
1

Peningkatan terhadap jumlah jenis


dari Pieridae yang ditemukan diduga
karena terjadinya suksesi tumbuhan inang
dari berbagai jenis kupu-kupu yang
tergolong ke dalam familia Pieridae ini
pasca
bencana
tsunami.
Beberapa
tumbuhan yang menjadi tanaman inang
dari Pieridae yang banyak tumbuh di
kawasan ini adalah dari kelompok
Caecalpinaceae,
Leguminoceae,
Lorantaceae dan Mimosaceae. Selain itu
banyaknya tumbuhan berbunga yang
menjadi makanan kupu-kupu dewasa juga
menjadi salah satu faktor banyaknya jenis
kupu-kupu dari familia Pieridae ini
didapatkan. Menurut Noerdjito dan Amir
(1991), bunga-bunga tumbuhan merupakan
sumber makanan bagi berbagai jenis kupukupu. Bunga yang paling sering dikunjungi
oleh kupu-kupu biasanya berwarna cerah
dan terang.
Lokasi pengambilan sampel yang
berupa semak belukar dan terbuka
merupakan habitat yang sangat disenangi
oleh kupu-kupu dari kelompok Pieridae
ini. Kawasan semak belukar ini merupakan
kawasan hutan yang sudah beralih fungsi
menjadi perkebunan masyarakat, namun
pada saat penelitian dilaksanakan kawasan
ini tidak ditanami dan terbiar sehingga
banyak tumbuh semak belukar. Adanya
aliran sungai menjadikan kawasan ini
menjadi lebih sejuk. Kondisi ini juga
sangat disukai oleh banyak jenis kuipukupu. Menurut Whalley (1992), kupu-kupu
lebih menyukai kawasan terbuka, seperti
semak belukar, daerah hutan yang banyak
celahnya dan tumbuhan yang sedang
berbunga. Kingsolver (1985), melaporkan
kupu-kupu umumnya memerlukan suhu
tubuh 28-37C untuk melakukan aktifitas
secara optimal, sedangkan kelembaban
relatif udara 60-75%. Selanjutnya menurut
Salmah et al. (2002), beberapa jenis kupukupu famili Papilionidae, Pieridae dan
Nymphalidae sering terlihat dan terbang di
sepanjang aliran sungai.

33

Jenis Appias lyncida merupakan jenis


yang paling banyak didapatkan. Hal ini
diduga karena tanaman inang dari familia
ini tersebar merata di sepanjang lokasi
penelitian, khususnya di kawasan semak
belukar. Larva dari kupu-kupu A. lyncida
ini memakan berbagai macam jenis
tumbuhan herbaceus yang banyak terdapat
di lokasi.
Frekuensi dan Kelimpahan Relatif
Frekuensi Relatif tertinggi jenis
kupu-kupu yang tertangkap adalah Appias
lyncida (100%), diikuti oleh Catopsilia
pomona dan Eurema hecabe masingmasing sebesar 47%. Tingginya frekuensi
relatif ketiga jenis kupu-kupu ini didukung
oleh berbagai faktor, antara lain adalah
tersedianya tumbuhan sebagai sumber
pakan dan kondisi lingkungan, khususnya
suhu dan kelembaban relatif udara yang
sesuai. Leucaena glauca yang merupakan
makanan larva bagi C. pomona tersebar
merata di sepanjang Sungai Sarah, begitu
juga dengan dan beberapa jenis tumbuhan
Leguminoceae lainnya yang merupakan
tanaman inang dari A. lyncida dan E.
hecabe. Peggie dan Amir (2006)
menyatakan, setiap jenis kupu-kupu
memilih tumbuhan inang tertentu sebagai
sumber pakan bagi larva. Selanjutnya
Suwarno (2009) melaporkan bahwa
kandungan
nutrisi
tanaman
inang
mempengaruhi pertumbuhan dan kelulushidupan dari larva.
Nilai kelimpahan relatif tertinggi
terdapat pada jenis A. lyncida (48.10%),
diikuti oleh C. pomona (11.39%) dan E.
hecabe (8.86%). Femomena yang sama
juga didapatkan oleh Luthfi (2010).
Tingginya kerapatan bunga Lantana
camara, Stachytarpheta indica, dan
Mimosa spp. merupakan salah satu faktor
tingginya kelimpahan ketiga jenis kupukupu di atas.
Selain ketersediaan makanan bagi
ketiga jenis ini, perilaku berbagai jenis dari
Pieridae yang suka melakukan pudling

34

behaviour juga menjadi fenomena yang


menarik. Beberapa jenis yang selalu
terlihat melakukan pudling diantaranya
adalah A. lyncida, A. libythea, C. pomona,
C. scylla, E. hecabe, dan E. lacteola.
Indeks Keanekaragaman Jenis
Analisis indeks keanekaragaman
jenis (H) menunjukkan nilai 1,864.
Berdasarkan
kisaran
indeks
keanekaragaman menurut Odum nilai
indeks keragaman jenis kupu-kupu dari
familia Pieridae ini tergolong rendah.
Odum (1993) mengklasifikasikan indeks
keragaman ini ke dalam tiga katagori yaitu
rendah (H 2), sedang (2,0 < H > 3) dan
tinggi (H 3). Rendahnya nilai indeks
keanekaragaman ini diduga karena
kelimpahan jenis A. lyncida jauh lebih
tinggi dibanding 13 jenis lainnya.
Komponen-komponen
yang
mempengaruhi besar kecilnya nilai indeks
keanekaragaman adalah jumlah jenis,
jumlah individu masing-masing jenis dan
jumlah total individu. Dengan jumlah jenis
hanya 13 dan adanya dominansi dari salah
satu jenis mengakibatkan keanekaragaman
menjadi rendah. Namun demikian, nilai
indeks keragaman jenis ini akan dapat
berubah seiring dengan perubahan
komposisi jenis dan sebaran atau
kelimpahan
masing-masing
jenis.
Perubahan ini tentunya akan sangat
tergantung pada perubahan kondisi habitat
kupu-kupu tersebut.
IV. KESIMPULAN
Dari penelitian yang telah dilakukan
dapat disimpulkan bahwa:
1. Terjadi peningkatan jumlah jenis
kupu-kupu dari familia Pieridae mulai
dari tahun 2007, 2009 sampai 2011.
2. Kupu-kupu familia Pieridae yang
tertangkap terdiri dari lima genus dan
14 spesies.
3. Jenis yang paling banyak dan paling
sering ditemukan adalah Appias

4.

lyncida, diikuti oleh Catopsila pomona


dan Eurema hecabe.
Indeks keanekaragaman jenis kupukupu Pieridae yang tertangkap di
kawasan Sungai Sarah tergolong
rendah yaitu 1,864.
DAFTAR PUSTAKA

Annual Review Entomology. 28: 407453.


Kingslover, JG. 1985. Thermal ecology of
Pieris
butterflies
(Lepidoptera:
Pieridae) : a new mechanism of
behavioral
thermoregulation.
Oecologia 66: 540-545.

L.
2000.
Keanekaragaman
Rhopalocera Diurnal di Taman
Hutan Raya Cut Nyak Dhien
Seulawah, Aceh Besar. Skripsi.
Universitas Syiah Kuala, Banda
Aceh.

Luthfi. 2010. Keanekaragaman Jenis


Kupu-Kupu di Kawasan Wisata
Sarah Kecamatan Leupung, Aceh
Besar. Skripsi. Sekolah Tinggi Ilmu
Kehutanan Yayasan Teungku Chik
Pante Kulu.

Borror, D.J., Triphelon, C.A., and Johnson,


N.F. 1996. Pengenalan Pelajaran
Serangga.
Terjemahan
dari
Introduction to The Studi of Insects,
oleh S. Partosoedjono, Gajah Mada
Press, Yogyakarta.

Noerdjito, WA., Amir, M. 1991. Kekayaan


Kupu-kupu
di
Cagar
Alam
Bantimurung Sulawesi Selatan.
Puslitbang Biologi-LIPI, Bogor.

Aini,

Corbet, A.S., and Pendlebury, H.M. 1992.


The Butterflies of The Malay
Peninsula 2nd ed. British Museum.
Tweeddale
Court.
Edinburgh,
London.
Cox, C.W. 1976. Laboratory Manual of
General Ecology. WMC, Brown
Corp Publisher, Iowa.
Dahelmi., Salmah, S., dan Primaldavi, I.
2009. Kupu-kupu di Pulau Marak,
Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera
Barat. Proc. Seminar dan Rapat
Tahunan BKS-BTN Wilayah Barat
ke-21. Padang.
Fleming, WA. 1975. Butterflies of West
Malaysia and Singapore. Volume
Two. Second Edition. Longeman,
Kuala Lumpur.
Kevan, PG., Baker, HG. 1983. Insect As
Flowers Visitors and Pollinators.

Noerdjito, WA., Aswari, P. 2003. Metode


Survei dan Pemanfaatan Populasi
Satwa. Seri keempat: Kupu-kupu
Papilionidae. Puslitbang Biologi,
CV. Putra Nusantara, Bogor.
Odum, E.P. 1993. Dasar-Dasar Ekologi
Edisi Ketiga. Terjemahan dari
Fundamental of Ecology Third
Edition, oleh Tjahjono Samingan.
Universitas
Gajah
Mada,
Yogyakarta.
Otsuka, K. 2001. A fiel Guide to the
Butterflies of Borneo and South East
Asia. Hornbill books- adivision of
iwase bookshop Sdn. Bhd, Malaysia.
Pedigo, L.P. 2002. Entomology Pest
Management.
Fourth
Edition.
Pearson Education, New Delhi.
Peggie dan Amir, M. 2006. Panduan
Praktis Kupu-kupu di Kebun Raya
Bogor. Bidang Zoologi, LIPI
Cibinong.

35

Pollard, E. 1975. A Methods for Asessing


Changes in the Abundance of
Butterflies. Biological Conservation
(12): 116-134.

Island.
Vol.
1,
Papilionidae.
Translate into English by Morishita,
K and Kaneko, M. Plapac co.ltd.
Tokyo, Japan.

Prayuda, D. 2010. Jenis-jenis Kupu-kupu


di Taman Nasioanal Kerinci Seblat
Resort Bukit Reges Kecamatan
Tapus Kabupaten Lebong, Bengkulu.
Skripsi.
FMIPA
Universitas
Bengkulu, Bengkulu.

Whalley, P, 1992, Kupu-kupu dan


Ngengat.
Seri
EyeWitness.
(diterjemahkan oleh S. Syahdan, dari
Butterflies and Moths ). PT. Bentara
Antar Asia, Jakarta.

Salmah S., Abbas I., dan Dahelmi. 2002.


Kupu-kupu Papilionidae di Taman
Nasional Kerinci Seblat. Departemen
Kehutanan Republik Indonesia,
Jakarta.
Suin,

M.I. 2002. Metode ekologi.


Universitas Andalas, Padang.

Suwarno. 2009. Studies on Some


Biological and Ecologycal Aspects
of Papilio polytes L. (Lepidoptera;
Papilionidae) and Papilio demoleus
L. (Lepidoptera: Papilionidae) on
Rutaceous Hots Plants. Thesis.
Universiti Sains Malaysia, Penang.
Suwarno., A.H. Mahmud., D. Kurniasih.,
D.
Oesman.,
Djufri
(1997).
Inventarisassi Kupu-kupu (Butterfly)
di kota Madya Sabang Guna Upaya
pengembangan dan Pelestariannya.
Laporan
Hasil
Penelitian.
Universitas Syiah Kuala, Banda
Aceh.
Suwarno, Che Salmah, M. R., Abu Hassan,
A., and Norani, A. 2007. Effect Of
Different Host Plants On The Life
Cycle Of Papilio Polytes L.
(Lepidoptera:
Papilionidae)
(Common
Mormon
Butterfly).
Jurnal Biosains. 18(1): 3544.
Tsukada, E., and Nishiyama, Y. 1982.
Butterflies of the South East Asian

36

PERENCANAAN LANSKAP KAWASAN WISATA SEJARAH


PUSAT KOTA BANDA ACEH, PROVINSI ACEH
Syarifah Maulidya, SP
Jurusan Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor
Kampus IPB Darmaga, Jl. Raya Darmaga, Bogor, Jawa Barat
Email: cutajapyon@yahoo.com

Abstract - This research was done in Banda Aceh City Centre, Aceh Province. Banda Aceh City is one of the
historical place that comprises elements since the Kingdom of Aceh period. This place has many historical
sites that can serve as historical attractions. However, the historical sites do not provides appropriate facility
for visitors, especially for interpretation. The purpose of this research was to create landscape planning for
historical tourism and to provide an appropriate landscape for interpretation and comfortness in Banda Aceh
City Centre. This research used Gold method (1980) based on activity and historical tourism approach, and
also used qualitative and quantitative analysis to define the strength and the weakness of the site. The proposed
tourism planning concept was the historical tourism planning that help the activity of interpretation for visitor,
and it introduced the values of historical and cultural in Banda Aceh City. This basic concept of the tourism
planning was derived into space plan, circulation plan, tourism facilities plan, greenery plan, trip for touring
plan and interpretation plan. The final result of this study was landscape plan.
Keywords: Aceh Province, Historical Sites, The Centre of Banda Aceh City, Tourism Landscape Planning

I. PENDAHULUAN
Kota Banda Aceh merupakan ibukota
dari provinsi Aceh. Dahulu kota ini
bernama Kutaraja yang kemudian pada
tanggal 28 Desember 1962, kota ini
berubah nama menjadi Banda Aceh. Saat
ini, Kota Banda Aceh telah berumur 805
tahun (Arif, 2008). Pusat Kota Banda Aceh
memiliki banyak situs sejarah pada masa
sejarah
tertentu.
Hal
tersebut
mengharuskan pemerintah kota untuk
dapat menjaga situs peninggalan sejarah
yang ada pada kota tersebut. Oleh karena
itu, diperlukan perencanaan pada situssitus sejarah tersebut menjadi kawasan
wisata sejarah Pusat Kota Banda Aceh.
Saat ini, situs-situs sejarah tersebut
merupakan objek wisata sejarah di Pusat
Kota Banda Aceh yang sering dikunjungi.
Akan tetapi, pengunjung baik wisatawan
lokal
maupun
wisatawan
asing
mengunjungi situs-situs sejarah tersebut
secara terpisah, sehingga pengunjung
belum mendapatkan pengalaman dan

pengetahuan sejarah secara optimal,


terutama alur sejarah Pusat Kota Banda
Aceh. Oleh karena itu, perlu adanya
perencanaan situs-situs sejarah ini menjadi
suatu kawasan wisata sejarah yang berada
di Pusat Kota Banda Aceh.
Tujuan umum dari penelitian ini
adalah menyusun perencanaan lanskap
kawasan wisata sejarah di Pusat Kota
Banda
Aceh
untuk
memberikan
interpretasi dan kenyamanan wisata sejarah
secara optimal. Secara khusus, penelitian
ini bertujuan untuk :
1. Mengidentifikasi dan menganalisis unit
lanskap sejarah sesuai karakter dan
periode sejarah.
2. Mengidentifikasi dan menganalisis
potensi daya tarik wisata sejarah.
3. Mengidentifikasi dan menganalisis
pendukung wisata sejarah.
4. Menentukan konsep lanskap wisata dan
merencanakan jalur interpretasi lanskap
kawasan wisata sejarah di Pusat Kota
Banda Aceh.

37

Adapun manfaat dari penelitian ini


adalah menjadi bahan masukan bagi
Pemerintah Kota Banda Aceh beserta
pihak yang terkait dalam mengembangkan
lanskap kawasan wisata sejarah Pusat Kota
Banda Aceh, serta sarana pendidikan dan
menambah wawasan mengenai sejarah
Pusat Kota Banda Aceh, baik bagi
masyarakat
Aceh
maupun
Bangsa
Indonesia, serta bangsa-bangsa lainnya.

printer, scanner dan program komputer


(AutoCAD 2006, CorelDraw X4, Adobe
Photoshop CS3, Google SketchUp,
Microsoft Word 2007 dan Microsoft Excel
2007).

Gambar 1. Kerangka pikir penelitian


(Sumber: RTRW Kota Banda Aceh Tahun 2009-2029)

II. METODE PENELITIAN


Kegiatan penelitian ini dilakukan di
Pusat Kota Banda Aceh, Kecamatan
Baiturrahman, tepatnya mencakup tiga
kampung, yaitu Kampung Baru, Peuniti
dan Sukaramai. Tapak ini terletak di
bagian tengah Kota Banda Aceh. Luas
Kecamatan Baiturrahman adalah 453,9 Ha,
sedangkan luas tapak penelitian adalah
73,5 Ha (Gambar 2). Penelitian ini
dilakukan sejak pelaksanaan penelitian
hingga
penyusunan
laporan
akhir
penelitian (skripsi) yang berlangsung dari
bulan Februari 2011 hingga bulan Oktober
2011.
Bahan dan alat yang digunakan
dalam proses inventarisasi adalah peta
dasar, alat tulis, alat gambar, kamera
digital, laptop, printer, scanner, catatan
dan studi pustaka. Bahan dan alat yang
digunakan dalam proses pengolahan data
adalah alat tulis, alat gambar, laptop,
38

Gambar 2. Lokasi penelitian


Penelitian ini merupakan studi
perencanaan lanskap kawasan wisata
sejarah untuk mendukung berlangsungnya
kegiatan wisata pada kawasan wisata
sejarah Pusat Kota Banda Aceh. Produk
penelitian
ini
merupakan
bentuk
perencanaan lanskap wisata berupa
rencana lanskap beserta deskripsi dan
rencana jalur interpretasi.
Penelitian ini akan dilakukan dengan
menggunakan metode Gold (1980)
berdasarkan pendekatan aktivitas dan
sumberdaya wisata sejarah, dengan
tahapan penelitian:
1. Persiapan, pada tahap ini dilakukan
penetapan tujuan, penyusunan usulan
penelitian dan permohonan izin
penelitian pada instansi pemerintahan
daerah.
2. Inventarisasi, pada tahap ini dilakukan
pengambilan data primer melalui survei

an
objek
sejarah
E.
Atraksi
seni
dan
budaya

memiliki
keutuhan
kurang dari
30%
Terdapat
satu jenis
atraksi seni
dan budaya

keutuhan 3080%

keutuhan
lebih dari
80%

Terdapat dua
sampai lima
jenis atraksi
seni dan budaya

Terdapat
lebih dari
enam atraksi
seni dan
budaya

(Sumber: Nurisjah dan Pramukanto, 2001)

Tabel 2. Kriteria penilaian pendukung


wisata sejarah.
3. Analisis dan Sintesis, analisis yang
dilakukan meliputi:
Analisis dengan metode skoring
dilakukan untuk mendapatkan lokasi
dengan nilai tertinggi yang potensial.
Analisis ini mencakup analisis potensi
daya tarik objek dan atraksi wisata sejarah
dan analisis pendukung wisata sejarah,
dengan kriteria penilaian dapat dilihat pada
Tabel 1 dan Tabel 2.

Krite
ria
Penilai
an
F.
Aksesi
bilitas
dan
sirkula
si
menuju
elemen
lanskap
sejarah

Akses jalan
kurang
mendukung
(kondisi jalan
yang sempit,
beraspal, tetapi
di beberapa
tempat ada yang
mengalami
kerusakan dan
tidak terdapat
pedestrian),
sehingga kurang
mudah untuk
menuju elemen
lanskap sejarah

G.
Inform
asi dan
promos
i

Informasi dan
promosi tentang
elemen lanskap
sejarah kurang
jelas dan tidak
mejadi program
wisata

H.
Aktivit
as
wisata

Terdapat satu
jenis variasi
aktivitas wisata
sejarah

I.
Kunjun
gan
wisata
wan

Kunjungan
wisatawan ke
elemen lanskap
sejarah sedikit

J.
Fasilita
s
wisata
untuk
interpr
etasi

Terdapat satu
jenis fasilitas
wisata untuk
interpretasi

Tabel 1. Kriteria penilaian potensi daya


tarik objek dan atraksi wisata sejarah.
Krite
ria
Penilai
an
A.
Nilai
sejarah

B.
Keunik
an
objek
sejarah
C.
Keaslia
n objek
sejarah

D.
Keutuh

1 (kurang
sesuai
untuk area
wisata
sejarah)
Terdapat
elemen
lanskap
sejarah
yang
mendukung
objek
sejarah dan
terkait
dengan
peristiwa
sejarah
Terdapat
objek
sejarah
dengan
nilai
keunikan
lokal
Terdapat
objek
sejarah
yang
memiliki
keaslian
kurang dari
30%
Objek
sejarah

Skor
2 (cukup sesuai
untuk area
wisata sejarah)

Terdapat
elemen lanskap
sejarah yang
bukan BCB
dengan nilai
sejarah dalam
skala lokal

Terdapat objek
sejarah dengan
keunikan
nasional

3 (sesuai
untuk area
wisata
sejarah)
Terdapat
elemen
lanskap
sejarah yang
merupakan
BCB dan
objek wisata
sejarah
dengan nilai
sejarah dalam
skala nasional
dan
internasional
Terdapat
objek sejarah
dengan
keunikan
internasional

Terdapat objek
sejarah yang
memiliki
keaslian 3080%

Terdapat
objek sejarah
yang
memiliki
keaslian lebih
dari 80%

Objek sejarah
memiliki

Objek sejarah
memiliki

1 (kurang
sesuai untuk
area wisata
sejarah)

Skor
2 (cukup
sesuai
untuk area
wisata
sejarah)
Akses jalan
cukup
mendukung
(kondisi
jalan yang
lebar,
beraspal,
tidak rusak,
tetapi tidak
terdapat
pedestrian)
, sehingga
cukup
mudah
untuk
menuju
elemen
lanskap
sejarah
Informasi
dan
promosi
tentang
elemen
lanskap
sejarah
cukup jelas,
tetapi
belum
menjadi
program
wisata
Terdapat
dua sampai
lima jenis
aktivitas
wisata
sejarah
Kunjungan
wisatawan
ke elemen
lanskap
sejarah
sedang
Terdapat
dua sampai
lima jenis
fasilitas
wisata
untuk
interpretasi

3 (sesuai
untuk area
wisata
sejarah)
Akses jalan
sangat
mendukung
(jalan raya,
kondisi jalan
yang lebar,
beraspal,
tidak rusak,
ada
pedestrian),
sehingga
sangat mudah
untuk menuju
elemen
lanskap
sejarah

Informasi dan
promosi
tentang
elemen
lanskap
sejarah sangat
jelas dan
sudah
menjadi
program
wisata

Terdapat
lebih dari
enam jenis
aktivitas
wisata sejarah
Kunjungan
wisatawan ke
elemen
lanskap
sejarah
banyak
Terdapat
lebih dari
enam jenis
fasilitas
wisata untuk
interpretasi

39

K.
Pelesta
rian/
pengel
olaan
wisata

Tidak terdapat
aktivitas
pelestarian/
pengelolaan
terhadap elemen
lanskap sejarah

L.
Kebija
kan
pemeri
ntah

Kawasan yang
kurang
mendukung
kawasan cagar
budaya

Terdapat
perencanaa
n aktivitas
pelestarian/
pengelolaan
dengan
perkemban
gan
lingkungan
yang
mendukung
terhadap
elemen
lanskap
sejarah
Kawasan
yang sangat
mendukung
kawasan
cagar
budaya
dalam
upaya
pelestarian
yang
ditetapkan
oleh
kebijakan
pemerintah

Terdapat
aktivitas
pelestarian/
pengelolaan
dengan baik
dan intensif
terhadap
elemen
lanskap
sejarah

Kawasan
cagar budaya
yang
ditetapkan
dan
dipertahankan
dengan
adanya
kebijakan
pemerintah
yang
berkaitan
dengan
pelestarian
dan
pengembanga
n wisata

(Sumber: Gunn, 1997)

Analisis spasial merupakan analisis


yang dilakukan dengan spasialisasi
hasil skoring yang kemudian dioverlay terhadap peta-peta unit
lanskap
sejarah,
sehingga
mendapatkan tata ruang unit lanskap
sejarah untuk pelestarian kawasan,
serta tata ruang potensi daya tarik
wisata sejarah dan pendukung wisata
untuk kawasan wisata sejarah.
Analisis
deskriptif
merupakan
analisis yang digunakan untuk
mengetahui unit lanskap sejarah,
potensi daya tarik objek dan atraksi
wisata sejarah, serta pendukung
wisata yang mencakup fasilitas
pendukung, kebijakan atau dukungan
pemerintah mengenai pelestarian dan
pengembangan
wisata,
potensi
pengunjung, persepsi masyarakat
dengan membuat penjelasan secara
deskriptif, dimana kondisi fasilitas
pendukung yang ada pada tapak
mencakup akomodasi, transportasi,
toko dan restaurant, hotel dan tempat
40

penginapan, parkir kendaraan, serta


fasilitas pendukung lainnya.
Hasil analisis yang diperoleh akan
disajikan dalam bentuk peta dan deskriptif.
Hasil ini kemudian akan dilanjutkan ke
tahap sintesis. Pada tahap sintesis akan
diperoleh pengembangan tapak yang akan
digunakan untuk menentukan konsep dasar
dan pengembangan konsep. Hasil dari
pengembangan konsep tersebut berupa
rencana blok (block plan). Penentuan
konsep dasar dan pengembangan konsep
ini akan dijadikan sebagai acuan dalam
perencanaan kawasan Pusat Kota Banda
Aceh ini.
4. Perencanaan, tahap ini merupakan
tahapan yang mengacu pada rencana
blok untuk menentukan pengembangan
yang akan dilakukan dalam menata
kawasan wisata sejarah Pusat Kota
Banda Aceh. Pada tahap ini, akan
menghasilkan suatu produk Arsitektur
Lanskap berupa rencana lanskap
tergambar (landscape plan) dan rencana
tertulis pada kawasan wisata sejarah ini
yang meliputi rencana ruang, sirkulasi,
fasillitas, tata hijau, jalur interpretasi
dan touring plan pada kawasan wisata
sejarah Pusat Kota Banda Aceh.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
DATA TAPAK
Aspek Kesejarahan Kawasan
Sejarah Kota Banda Aceh
Kota Banda Aceh banyak memiliki
periode-periode sejarah, dimana terdapat
empat periode sejarah yang paling
menonjol
karena
periode
tersebut
merupakan periode yang menyebabkan
terjadinya perubahan yang signifikan
dalam sejarah arsitektur Kota Banda Aceh.
Empat periode tersebut adalah masa
Kerajaan Aceh, masa Kolonial Belanda,
masa Pascakolonial/ Kemerdekaan RI,
serta masa peristiwa dan pasca peristiwa
gelombang tsunami. Kota Banda Aceh
memiliki hari jadi yang ditetapkan jatuh

pada 22 April 1205, bertepatan dengan


didirikannya istana Kerajaan Aceh pada
tahun 1205. Salah satu raja Aceh yang
sangat terkenal dengan pemerintahannya
adalah Sultan Iskandar Muda (1607-1636).
Pada masa pemerintahannya, ia banyak
mendirikan bangunan dan taman, seperti
Taman Putroe Phang, Gunongan dan
Mesjid Raya Baiturrahman yang dibangun
pada tahun 1612. Ia sangat peduli pada
masalah pelestarian alam dan lingkungan.
Belanda masuk ke Banda Aceh pertama
kali pada tanggal 5 April 1873 yang
dipimpin oleh Jendral Kohler. Pada saat
pertempuran tersebut, Belanda tidak dapat
menembus pertahanan Kerajaan Aceh,
sehingga Belanda membakar Mesjid Raya
Baiturrahman. Sebagai upaya rekonsiliasi
tekanan perlawanan rakyat Aceh, pada
tahun 1877, Belanda merencanakan
membangun kembali Mesjid Raya
Baiturrahman. Desain mesjid baru
dirancang oleh arsitek Belanda bernama
De Bruins. L. P. Luycks. Pembangaunan
mesjid baru ini dimulai pada tanggal 9
Oktober 1879 dan selesai pada tanggal 27
Desember 1881.
Setelah kemerdekaan pada tahun
1945, pemerintah daerah berperan dalam
membangun
Aceh
dan
berupaya
mengembalikan citra warisan Kerajaan
Aceh dengan memberi nama dan gelar
yang diambil dari khazanah masa lalu kota
ini. Pada tahun 1948, Bung Karno datang
ke Banda Aceh meminta bantuan rakyat
Aceh membeli pesawat terbang untuk misi
diplomasi RI ke luar negeri, sehingga Bung
Karno memberi gelar Aceh dengan Aceh
Daerah Modal. Ada empat gubernur Aceh
yang memiliki peran penting dalam
pembangunan Kota Banda Aceh, yaitu Ali
Hasjmy, Ibrahim Hasan, Syamsuddin
Mahmud dan Abdullah Puteh. Pada masa
kepemimpinan empat gubernur ini,
dilaksanakannya pengembangan terhadap
Mesjid Raya Baiturrahman, Menara Modal
dan Monumen Pesawat RI 001 Seulawah,
serta pengembangannya lebih menekankan

pada hubungan antar situs-situs yang ada,


sehingga menjadi landmark Kota Banda
Aceh (Arif, 2008).
Peristiwa
gempa
bumi
dan
gelombang tsunami terjadi pada tanggal 26
Desember 2004. Salah satu kawasan yag
ikut terkena gelombang tsunami adalah
Kecamatan
Baiturrahman.
Setelah
peristiwa tsunami, pada kawasan ini
dilakukan perbaikan dan pengembangan
terhadap bangunan yang mengalami
kerusakan, terutama situs-situs sejarah.
Selain itu, juga dilakukan pembangunan
terhadap bangunan yang berhubungan
dengan peristiwa tsunami, seperti Museum
Tsunami Aceh.
Elemen Lanskap Sejarah
Elemen lanskap sejarah pada tapak
merupakan peninggalan sejarah dari masa
Kerajaan Aceh, masa Kolonial Belanda
dan masa Kemerdekaan RI (Tabel 3).
Beberapa elemen sejarah yang ada pada
tapak merupakan kawasan cagar budaya
yang dilindungi. Menurut Pasal 49 tahun
2009 Qanun Kota Banda Aceh, kawasan
cagar budaya mencakup Mesjid Raya
Baiturrahman, Museum Aceh, Gunongan,
Taman Putroe Phang, Pendopo, Kerkhof
Peutjoet, Pintoe Khop, Makam Sultan
Iskandar Muda, Museum Tsunami Aceh
dan Lapangan Blang Padang (Dinas
Pekerjaan Umum Bidang Tata Kota Banda
Aceh, 2009).
Tabel 3. Elemen sejarah pada Pusat Kota
Banda Aceh.
Periode
Peninggalan
Sejarah
Masa
Kerajaan
Aceh (tahun
1205-1873)
Masa
Kolonial
Belanda
(tahun
1873-1945)
Masa
Kemerdeka

Elemen Sejarah

Taman Putroe Phang


Makam Sultan Iskandar Muda
Mesjid Raya Baiturrahman
Pasar Aceh
Pendopo
Museum Aceh
Mesjid Raya Baiturrahman
Pemakaman Belanda
Kawasan Militer
Mesjid Raya Baiturrahman
Lapangan Blang Padang

41

an
RI
(tahun
1945sekarang)

Museum Tsunami Aceh


Taman Sari
Taman Budaya
Kawasan Pemukiman Penduduk

Aspek Fisik Tapak


Pusat Kota Banda Aceh berada
Kecamatan Baiturrahman, Kota Banda
Aceh, Provinsi Aceh. Objek-objek
peninggalan sejarah Pusat Kota Banda
Aceh berada di Kecamatan Baiturrahman,
tepatnya di tiga kampung, yaitu Kampung
Baru, Peuniti dan Sukaramai. Dari segi
penggunaan lahan, kawasan yang berada di
tiga kampung ini merupakan kawasan
budidaya yang mencakup kawasan cagar
budaya, open space, perdagangan, kawasan
penggunaan khusus, kawasan militer, serta
kawasan permukiman. Kawasan ini
memiliki aksesibilitas yang cukup baik dan
mudah dicapai dengan sistem jaringan
sirkulasi yang baik. Transportasi di kota ini
memiliki jaringan pelayanan dalam dan
luar kota. Akses menuju kawasan Pusat
Kota Banda Aceh ini sangat mudah dan
juga terdapat banyak jalan yang menuju
kawasan ini. Hal ini dikarenakan kawasan
ini berada di pusat kota. Akses jalan yang
sering
digunakan
masyarakat
dan
pengunjung menuju kawasan ini, yaitu
Jalan Teuku Umar, Jalan Teuku Chik
Ditiro, Jalan Sultan Iskandar Muda dan
Jalan Diponegoro, dengan kondisi jalan
beraspal, lebar dan memiliki jalur
pedestrian.
Aspek Sosial dan Budaya Masyarakat
Kota
Banda
Aceh
memiliki
kehidupan sosial dan budaya yang relatif
tinggi dan didasari oleh Agama Islam. Hal
ini dapat dilihat dari adat istiadat, kesenian
dan kehidupan masyarakatnya sehari-hari.
Masyarakat Aceh sangat menjunjung
tinggi nilai dan ajaran Agama Islam. Dari
prinsip hidup masyarakat Aceh ini menjadi
salah satu faktor penyebab istilah daerah
Aceh sebagai Serambi Mekkah. Kesenian
tradisional masyarakat Aceh memiliki
identitas
yang
religius,
komunal,
42

demokratik dan heroik. Kesusasteraan


Aceh terdapat dalam Bahasa Aceh dan
Melayu yang dipengaruhi oleh Bahasa
Arab. Pakaian sehari-hari masyarakat Aceh
disesuaikan dengan prinsip ajaran Islam,
yaitu memakai pakaian yang menutup
aurat. Tatakrama kehidupan masyarakat
Aceh merupakan hal yang sangat penting
yang harus diketahui oleh orang
pendatang. Orang pendatang yang masuk
ke sebuah perkampungan harus mematuhi
peraturan yang berlaku dan melaporkan
diri kepada Kepala Kampung untuk saling
berkenalan.
Atraksi seni dan budaya yang hingga
saat ini masih dilakukan dan dilestarikan
oleh masyarakat, mencakup makanan khas
Aceh, alat musik khas Aceh, tarian
tradisional, musik dan lagu tradisional,
pakaian tradisional masyarakat Aceh, ritual
perkawinan adat Aceh, kerajinan tangan
khas Aceh, serta berbagai macam festival
dan perayaan acara khusus di Kota Banda
Aceh yang telah menjadi program wisata
Visit
Banda
Aceh
2011
yang
diselenggarakan oleh Dinas Kebudayaan
dan Pariwisata Kota Banda Aceh.
Masyarakat asli di daerah ini sangat
mengetahui sejarah yang pernah terjadi di
Kota Banda Aceh, terutama elemen sejarah
dan perkembangannya dari masa lalu
sampai saat ini, sehingga masyarakat turut
menjaga, melindungi dan melestariakn
elemen sejarah dan atraksi budaya yang
ada pada kawasan ini.
Aspek Kepariwisataan
Kawasan Pusat Kota Banda Aceh
memiliki beberapa objek serta daya tarik
yang
dapat
dikembangkan
dan
dimanfaatkan dalam kegiatan wisata. Daya
tarik dan objek wisata tersebut memiliki
nilai penting yang berkaitan dengan sejarah
dan budaya Kota Banda Aceh. Objekobjek wisata sejarah tersebut terdapat pada
enam kawasan unit lanskap sejarah, yaitu
kawasan Taman Putroe Phang, kawasan
Pendopo,
kawasan
Mesjid
Raya

Baiturrahman, kawasan Blang Padang,


kawasan Pemakaman Belanda dan
kawasan Museum Tsunami. Adapun objek
yang berada di sekitar kawasan Pusat Kota
Banda Aceh, terdiri dari Taman Putroe
Phang (Gunongan, Kandang dan Pintoe
Khop), Pendopo, Makam Sultan Iskandar
Muda, Museum Aceh (Rumah Tradisional
Aceh, Cakra Donya dan Makam Sultan
Aceh dari Dinasti Goa Bugis), Mesjid
Raya Baiturrahman dan Menara Modal,
Lapangan Blang Padang (Monumen
Pesawat RI 001 Seulawah, Tugu
Peringatan Tsunami dan Tugu Aceh
Thanks The World), Pemakaman Belanda
(Kerkhoff Peutjoet) dan Museum Tsunami
Aceh. Salah satu objek wisata sejarah di
kawasan ini yang sangat terkenal dan
banyak dikunjungi oleh para wisatawan
adalah Mesjid Raya Baiturrahman yang
memiliki struktur bangunan yang artistik
dan monumental dengan halaman yang
luas (Dinas Kebudayaan dan Pariwisata
Kota Banda Aceh, 2011).
Atraksi wisata yang ada pada tapak
berupa atraksi seni dan budaya Aceh yang
mencakup makanan khas Aceh, alat musik
khas Aceh, tari tradisonal Aceh, musik dan
lagu tradisional Aceh, pakaian tradisional
masyarakat Aceh, ritual pernikahan dan
perkawinan adat Aceh, kerajinan tangan
atau souvenir khas Aceh, pemutaran film
atau dokumentasi sejarah Kota Banda
Aceh, serta festival dan perayaan suatu
acara di Kota Banda Aceh. Atraksi seni
dan budaya ini sering dilakukan sesuai
dengan jadwal kalender acara Banda Aceh
setiap tahunnya. Beberapa tempat wisata
yang sering diadakan atraksi ini adalah
Taman Budaya, Taman Putroe Phang,
Taman Sari, Mesjid Raya Baiturrahman,
Pasar Aceh, Lapangan Blang Padang dan
Museum Tsunami Aceh. Selain itu, pada
kawasan wisata ini juga diadakan festival
atau suatu perayaan acara setiap bulannya
dalam satu tahun yang juga diadakan oleh
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota
Banda Aceh.

Aspek Pengelolaan Kawasan Wisata


Kebijakan Pemerintah Kota Banda
Aceh
Berdasarkan Qanun Kota Banda
Aceh, Bab IV tentang Rencana Pola Ruang
Kota, Pasal 58 tahun 2009 tentang kawasan
pariwisata menjelaskan bahwa salah satu
pengembangan
kawasan
pariwisata
meliputi wisata budaya dan sejarah, wisata
tsunami, wisata kuliner, serta wisata
konvensi. Pengembangan kawasan wisata
sejarah diarahkan di kawasan Mesjid Raya
Baiturrahman, Kompleks Museum Aceh,
Gunongan, Taman Putore Phang, Pintoe
Khop, Pendopo, Kerkhof Peutjoet, serta
Makam
Sultan
Iskandar
Muda.
Pengembangan kawasan wisata budaya
diarahkan untuk pengembangan kegiatan
miniatur Aceh, pameran pembangunan,
pasar seni, RTH, kawasan wisata budaya
dan kawasan resapan air. Selain itu, Qanun
Kota Banda Aceh, Pasal 69 tahun 2009
juga menjelaskan tentang salah satu
kawasan strategis kota yang memiliki
pengaruh penting dalam pengembangan
sosial budaya masyarakat dan pelestarian
cagar budaya adalah kawasan Mesjid Raya
Baiturrahman dan sekitarnya.
Analisis dan Sintesis
Unit Lanskap Sejarah
Analisis unit lanskap sejarah
dilakukan secara spasial yang mencakup
(a) area bersejarah; (b) tata guna lahan; (c)
periode sejarah; (d) aksesibilitas dan
sirkulasi. Analisis ini berhubungan dengan
usaha pelestarian objek sejarah yang
diterapkan pada tapak dan dikaitkan
dengan
aktivitas
wisata
pada
pengembangan kawasan wisata sejarah.

43

Tabel 4. Analisis potensi daya tarik objek


dan atraksi wisata sejarah dengan metode
scoring.
Elemen Lanskap Sejarah
A
3

Kriteria Penilaian
B
C
D
3
3
3

E
Taman Putroe Phang
1
(Gunongan dan Kandang)
Taman Putroe Phang (Pintoe
3
3
3
3
2
Khop)
Pendopo, Makam Sultan
3
3
3
3
2
Iskandar Muda, Museum Aceh
Mesjid Raya Baiturrahman
3
3
3
3
3
Lapangan Blang Padang
3
3
3
3
3
Pemakaman Belanda
3
3
3
3
1
Museum Tsunami Aceh
3
3
3
3
3
Kawasan Taman Budaya
1
1
2
2
3
Kawasan Pasar Aceh
2
2
2
2
3
Kawasan Taman Sari
2
2
2
2
3
Kawasan Militer
1
1
2
2
1
Kawasan Permukiman
1
1
1
1
1
Keterangan: A: nilai sejarah; B : keunikan objek sejarah; C :
keaslian objek sejarah; D : keutuhan objek sejarah; E : atraksi
seni dan budaya.

Pendukung Wisata
Analisis ini dilakukan berdasarkan
tata guna lahan. Analisis ini berhubungan
dengan pengembangan wisata sejarah yang
dapat diterapkan pada pengembangan
konsep perencanaan tapak.
Tabel 5. Analisis pendukung wisata
dengan metode scoring.

Gambar 3. Analisis spasial unit lanskap


sejarah
Potensi Daya Tarik Objek dan Atraksi
Wisata Sejarah
Analisis ini dilakukan berdasarkan
tata guna lahan. Analisis ini berhubungan
dengan pengembangan wisata sejarah yang
dapat diterapkan pada pengembangan
konsep perencanaan tapak.

44

Elemen
Lanskap
Sejarah
Taman Putroe
Phang
(Gunongan dan
Kandang)
Taman Putroe
Phang (Pintoe
Khop)
Pendopo, Makam
Sultan Iskandar
Muda, Museum
Aceh
Mesjid Raya
Baiturrahman
Lapangan Blang
Padang
Pemakaman
Belanda
Museum
Tsunami Aceh
Kawasan Taman
Budaya
Kawasan Pasar
Aceh
Kawasan Taman
Sari
Kawasan Militer
Kawasan
Permukiman

Kriteria Penilaian
H
I
J

2
1

2
1

1
1

2
1

1
1

2
2

2
2

Keterangan: A: aksesibilitas dan sirkulasi menuju elemen


lanskap sejarah; B : informasi dan promosi; C : aktivitas wisata;
D : kunjungan wisatawan; E : fasilitas wisata untuk interpretasi;
F : pelestarian/ pengelolaan wisata; G : kebijakan pemerintah.

Berdasarkan analisis unit lanskap


sejarah, analisis potensi daya tarik wisata
sejarah dan analisis pendukung wisata,
maka didapatkan sintesis tapak yang dapat
dilihat
pada
Gambar
4
dengan
penjelasannya pada Tabel 9, dimana
kategori ruang rendah berkisar skor 12
sampai 19, kategori ruang sedang berkisar
skor 20 sampai 27 dan kategori ruang
tinggi berkisar skor 28 sampai 36.
Tabel 6. Total skor dan kategori ruang dari
analisis potensi daya tarik wisata sejarah
dan pendukung wisata
Elemen Lanskap
Sejarah
Taman Putroe Phang
(Gunongan dan Kandang)
Taman Putroe Phang
(Pintoe Khop)
Pendopo, Makam Sultan
Iskandar Muda, Museum
Aceh
Mesjid Raya
Baiturrahman
Lapangan Blang Padang
Pemakaman Belanda
Museum Tsunami Aceh
Kawasan Taman Budaya
Kawasan Pasar Aceh
Kawasan Taman Sari
Kawasan Militer
Kawasan Permukiman

Total Skor

Kategori Ruang

32

Tinggi

35

Tinggi

35

Tinggi

36

Tinggi

36
34
36
25
29
30
19
14

Tinggi
Tinggi
Tinggi
Sedang
Tinggi
Tinggi
Rendah
Rendah

sehingga keterkaitan antar elemen wisata


tersebut dapat dilihat pada Tabel 12.
Tabel 7. Rencana ruang, aktivitas dan
fasilitas wisata
Ruang
Ruang
Objek
Wisata
188.591
m
26%

Ruang
Transisi
58.670
m
8%
Ruang
Pelayana
n
475.578
m
64%

Ruang
Penerim
aan
11.738
m
2%

Aktivitas
Mengamati dan
mempelajari nilai
sejarah,
interpretasi,
meilhat objek
sejarah, berfoto,
merasakan
suasana,
beribadah dan
berziarah
Jalan-jalan,
menikmati
suasana dan
pemandangan,
beristirahat
singkat
Membeli
cinderamata atau
souvenir khas
Aceh, menikmati
suasana,
beristirahat,
duduk-duduk,
makan dan
minum, mencari
informasi,
menikmati atraksi
berupa seni dan
budaya, jalanjalan
Memarkir
kendaraan,
membeli tiket dan
registrasi, mencari
informasi
mengenai objek
dan atraksi wisata,
jalan-jalan dan
menikmati
suasana

Fasilitas
Papan informasi, papan
interpretasi, jalur
interpretasi, rest area,
name sign, tempat
duduk, lampu dan tempat
sampah

Shelter, tempat duduk,


jalan (jalan kendaraan
dan jalan pedestrian),
papan informasi

Toko cinderamata dan


souvenir, gezebo,
shelter, tempat duduk,
kafetaria, papan
informasi, toilet,
mushalla, fasilitas untuk
atraksi wisata, seperti
amphitheater atau
tempat pertunjukan,
kantor pengelola

Gerbang kawasan wisata


sejarah, area parkir
kendaraan, tempat
registrasi dan penjualan
tiket, papan informasi,
pusat informasi

Rencana ruang, sirkulasi dan fasilitas


pada tapak yang diterapkan pada rencana
lanskap kawasan wisata sejarah Pusat Kota
Banda Aceh dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 4. Kesesuaian sebagai ruang


wisata sejarah
Perencanaan Kawasan Wisata Sejarah
Rencana Ruang, Sirkulasi dan Fasilitas
Rencana ruang, aktivitas dan fasilitas
wisata saling berkaitan satu sama lain,

Gambar 5. Rencana blok

45

Rencana Tata Hijau


Tata hijau pada perencanaan
kawasan wisata ini lebih ditekankan pada
tata hijau yang memiliki fungsi sebagai
penguat identitas dan karakter kawasan
(tanaman lokal). Rencana tata hijau yang
diterapkan pada perencanaan kawasan
wisata sejarah ini akan disesuaikan dengan
pemilihan jenis dan fungsi vegetasi dengan
ruang wisata. Vegetasi yang digunakan
adalah vegetasi yang memiliki fungsi
penguat identitas (A), estetika (B),
pembatas (C), peneduh (D) dan pengarah
(E), dapat dilihat pada Tabel 12.
Tabel 8. Rencana ruang, jenis vegetasi dan
fungsi vegetasi
Ruang
Objek
Wisata

Transisi

Jenis
Vegetasi
Ki Hujan
Asam
Kurma
Beringin
Saga
Tanjung
Lotus
Glodokan
Tiang
Bawangbawangan
Spider Lily

Pangkas
Kuning
Cempaka
Asam
Spider Lily

Teh-tehan

Pangkas
Kuning

Spider Lily

Pangkas
Kuning
Cempaka
Asam
Soka

Sumber: Lestari G, 2008 dan Soerotaroeno, 2009

Rencana Lanskap Wisata Sejarah


Rencana lanskap merupakan produk
akhir dari peneilitian ini. Produk akhir ini
dihasilkan dari beberapa rencana yang

46

Rencana Jalur Interpretasi


Rencana
jalur
interpretasi
dikembangkan
berdasarkan
konsep
interpretasi menurut periode waktu
perkembangan sejarah Kota Banda Aceh,
yaitu masa Kerajaan Aceh, masa Kolonial
Belanda dan masa Kemerekaan RI. Jalur
interpretasi pada kawasan ini terdapat pada
ruang objek wisata dan ruang transisi, di
mana jalur tersebut berupa jalan untuk
kendaraan dan jalan untuk pejalan kaki.
Jalur interpretasi dibagi menjadi empat
alternatif. Keempat jalur alternatif tersebut
dapat melalui akses masuk dan keluar dari
Jalan Teuku Umar dan Jalan Teuku Chik
Ditiro.

Soka

Penerim
aan

Soka

Cempaka
Asam
Tanjung

Soka
Pelayana
n

Fungsi Vegetasi
B
C
D

telah dijelaskan sebelumnya, yaitu rencana


ruang wisata, rencana sirkulasi, rencana
fasilitas, rencana tata hijau, rencana
perjalanan wisata dan rencana interpretasi
wisata. Rencana lanskap wisata sejarah
Pusat Kota Banda Aceh dapat dilihat pada
Lampiran.

Gambar 6. Jalur interpretasi sejarah masa


Kerajaan Aceh
Keterangan:
Objek Wisata Utama:
2= Taman Putroe Phang (Gunongan dan
Kandang/Makam); 3= Taman Putroe Phang (Pintoe
Khop); 4= Pendopo; 5= Kompleks Makam Sultan
Iskandar Muda; 6= Museum Aceh; 7= Mejid Raya
Baiturrahman;

Obek Wisata Pendukung:


1= Taman Budaya; 8= Pasar Aceh; 9= Taman Sari

Gambar 7. Jalur interpretasi sejarah


masa Kolonial Belanda
Keterangan:
Objek Wisata Utama:
1= Pendopo; 2= Museum Aceh; 3= Mesjid Raya
Baiturrahman; 5= Pemakaman Belanda
Objek Wisata Pendukung:
4= Pasar Aceh; 6= Taman Sari

Gambar 8. Jalur interpretasi sejarah


masa Kemerdekaan RI
Keterangan:
Objek Wisata Utama:

2= Mesjid Raya Baiturrahman; 4= Lapangan Blang


Padang; 5= Museum Tsunami Aceh
Objek Wisata Pendukung:
1= Taman Sari; 3= Pasar Aceh

Gambar 9. Jalur interpretasi sejarah


Kota Banda Aceh secara keseluruhan
Keterangan:
Objek Wisata Utama:
2= Taman Putroe Phang (Gunongan dan
Kandang/Makam); 3= Taman Putroe Phang (Pintoe
Khop); 4= Pendopo; 5= Kompleks Makam Sultan
Iskandar Muda; 6= Museum Aceh; 7= Msejid Raya
Baiturrahman; 9= Pemakaman Belanda; 10=
Lapangan Blang Padang; 11= Museum Tsunami
Objek Wisata Pendukung:
1= Taman Budaya; 8= Pasar Aceh; 12= Taman Sari

IV. KESIMPULAN
Kawasan Pusat Kota Banda Aceh
layak dijadikan sebagai kawasan wisata
sejarah karena banyak terdapat elemen
sejarah dari masa Kerajaan Aceh sampai
masa Kemerdekaan RI. Analisis yang
dilakukan pada elemen sejarah tersebut
mencakup analisis unit lanskap sejarah,
potensi daya tarik wisata sejarah, serta
pendukung wisata. Kawasan tersebut dapat
dimanfaatkan sebagai potensi untuk
dijadikan suatu kawasan wisata sejarah
dengan
memperhatikan
wilayah
administrasi, tata guna lahan, aksesibilitas
dan sirkulasi, serta unit lanskap sejarah.

47

Berdasarkan analisis potensi daya


tarik wisata sejarah, dihasilkan tiga
kategori ruang yang mencakup ruang
tinggi, ruang sedang dan ruang rendah.
Elemen lanskap sejarah yang termasuk
ruang tinggi, yaitu Taman Putroe Phang,
Pendopo, Makam Sultan Iskandar Muda,
Museum
Aceh,
Mesjid
Raya
Baiturrahman, Lapangan Blang Padang,
Pemakaman Belanda, Museum Tsunami
Aceh. Elemen lanskap sejarah yang
termasuk ruang sedang, yaitu Taman
Budaya, Pasar Aceh dan Taman Sari.
Sedangkan elemen lanskap sejarah yang
termasuk ruang rendah, yaitu kawasan
militer dan pemukiman.
Berdasarkan analisis pendukung
wisata, dihasilkan dua kategori ruang yang
mencakup ruang tinggi dan ruang rendah.
Elemen lanskap sejarah yang termasuk
ruang tinggi, yaitu Taman Putroe Phang,
Pendopo, Makam Sultan Iskandar Muda,
Museum
Aceh,
Mesjid
Raya
Baiturrahman, Lapangan Blang Padang,
Pemakaman Belanda, Museum Tsunami
Aceh, Taman Budaya, Pasar Aceh dan
Taman Sari. Sedangkan elemen lanskap
sejarah yang termasuk ruang rendah, yaitu
kawasan militer dan pemukiman. Dari
hasil analisis unit lanskap sejarah, potensi
daya tarik wisata sejarah, serta pendukung
wisata, diperoleh kesesuaian ruang wisata
secara deskriptif dan spasial yang dapat
digunakan untuk menyusun tata ruang
wisata sejarah pada pengembangan konsep.
Konsep dasar perencanaan, yaitu
menelusuri alur sejarah Kota Banda Aceh
untuk mengenal nilai sejarah kota dan
budaya masyarakat yang penuh perjuangan
dalam mencapai kejayaan. Perencanaan
jalur interpretasi dikembangkan menjadi
jalur wisata sejarah yang sesuai dengan
periode perkembangan sejarah. Rencana
lanskap wisata sejarah Pusat Kota Banda
Aceh ini menghubungkan ruang-ruang
wisata dengan jalur dan fasilitas
interpretasi secara efisien dan efektif, di
mana fasilitas wisata untuk kenyamanan

48

wisata dan RTH sebagai identitas,


kenyamanan dan keindahan pada kawasan
tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Arif K. A. 2008. Ragam Citra Kota Banda
Aceh: Interpretasi sejarah, Memori
Kolektif dan Arketipe Arsitekturnya.
Pustaka Bustanussalatin. Aceh.
Dinas Pekerjaan Umum Bidang Tata Kota
Banda Aceh. 2009. Rencana Tata
Ruang Wilayah (RTRW) Kota Banda
Aceh Tahun 2009-2029. Aceh.
Gold S. M. 1980. Recreation Planning and
Design.
The
McGraw-Hill
Companies, Inc. USA.
Lestari G, Kencana IP. 2008. Galeri
Tanaman
Lanskap.
Penebar
Swadaya. Jakarta.
Nurisjah S, Pramukanto Q. 2003. Daya
Dukung dalam Perencanaan Tapak.
Departemen Arsitektur Lanskap
Fakultas Pertanian Institut Pertanian
Bogor. Bogor.
Soerotaroeno I. H. 2009. Tanaman Hias
Indonesia. Penebar Swadaya. Jakarta.

Studi Sosial Ekonomi Masyarakat Di Sekitar Kawasan Taman Nasional


Gunung Leuser (TNGL). Studi Kasus Desa Agusan Kecamatan
Blangkejeren Kabupaten Gayo Lues
Tasliati Djafar
Staf Pengajar Fakultas Pertanian Universitas Iskandarmuda

Abstract -Communities surrounding The National Park of Lauser Mountain, especially Agusan Village is a
community that meet their daily needs from agriculture and livestock sector by using conventional .
management . It drives poverty and underdevelopment their lives. The result showed that Characteristics of the
population was 50.61% of productive age, the average education level of primary school graduates, 6 (six) of
dependents of family in average. Types of livelihoods in Agunan village was farmers and plantation estates
around 97.44%
with an
average income
of Rp. 4.5
million per year.
Income and
education levels are relatively lower than other areas leading to negative impact on the preservation of
The National Park of Leuser Mountain, which exists around settlements.
Keywords : The National Park of Lauser Mountain, Agusan Village
,

I. PENDAHULUAN
Hutan sangat penting bagi kehidupan
manusia baik untuk kelestarian sumber
daya alam maupun untuk memenuhi
kebutuhan perumahan dan lapangan kerja
dan akan berguna bagi kehidupan generasi
yang akan datang. Pembangunan dan
peningkatan kelestarian sumber daya alam
hutan dan kelangsungan fungsi serta mutu
lingkungan hidup dan peningkatan fungsi
sosial ekonomi bagi masyarakat sekitar
hutan perlu terus diupayakan pelestarian.
Taman Nasional dikembangkan
sesuai dengan fungsi kawasan lindung
pengelolaannya harus berdasarkan kepada
asas-asas konservasi. Di samping itu
karena Taman Nasional mengandung nilainilai yang dapat dikembangkan bagi
kepentingan kesejahteraan masyarakat
maka taman nasional dikelola pula dengan
pendekatan
asas-asas
pemanfaatan.
Sebagai aturan umum, prioritas pertama
harus
mementingkan
keperluan
perlindungan sumber daya alam, dan kedua
untuk
dapat
memenuhi
kebutuhan
masyarakat dari hasil sumberdaya alam
yang dipungut (Anonyumus, 1995).

Masyarakat yang berada di sekitar


area! hutan, khususnya yang di perbatasan
areal hutan merupakan suatu komunitas
yang secara tradisi mata pencahariannya
pada umumnya hasil pertanian dan
peternakan, namun anugerah dan nikmat
Tuhan yang besar itu tidak dapat
memenuhi hidup mereka. Masyarakat
tersebut
pada
umumnya
masih
memerlukan perhatian serius, oleh karena
pendidikan, pendapatan dan kesejahteraan
yang rendah di tambah lagi keterbatasan
sarana
dan
prasarana
sehingga
kemungkinan
kemiskinan
dan
keterbelakangan
selalu
mewarnai
kehidupan mereka ( Dwidjoseputro, 1990).
Adanya kondisi tersebut di atas
cenderung memotivasi masyarakat yang
tinggal di sekitar kawasan hutan untuk
memanfaatkan areal kawasan hutan,
dengan menjadikan Jalan pertanian yang
dikelola menurut tingkat kemampuan
secara tradisional untuk mendapatkan
kepentingan hidup sehari-hari. Kegiatan
tersebut terus berlangsung dan akan
berhenti bila lahan usaha tani mereka
sudah tidak produktif lagi sehingga mereka

49

mencari dan membuka lahan baru


(Suprianto, 1995).
Kawasan Taman Nasional Gunung
Leuser (TNGL) jika di tinjau dan sisi
potensi sumber daya alam memang suatu
kawasan yang menjanjikan berbagai
peluang bagi keinginan untuk melakukan
usaha eksploitasi alam yang memberikan
keuntungan ekonomis, namun harus di
sadari bahwa pemanfaatan sumber daya
alam
yang
ada
hanya
terbatas
(Anonyumus, 1995).
Desa Agusan merupakan desa yang
berada di sekitar Kawasan Taman Nasional
Gunung Leuser (TNGL), yang memiliki
jumlah penduduk 120 KK terdiri 575 jiwa.
Mata
pencaharian
penduduk
pada
umumnya adalah di sektor pertanian dan
jenis kegiatan pertanian yang dilakukan
oleh
masyarakat
meliputi
sawah,
ladang/kebun di samping itu juga
masyarakat menjual hasil hutan seperti,
rotan, kayu bakar, rumput, tumbuhan obat,
madu, rimbang dan lain-lain. Seperti
umumnya Desa Agusan berada di pinggir
hutan memiliki ketergantungan hidup pada
sekitar kawasan hutan yang termasuk
dalam kemukiman, interaksi masyarakat
dengan hutan sudah berlangsung semenjak
dari nenek moyang dulu, kebutuhan dan
perkembangan
masyarakat
dapat
mempengaruhi keberadaan lingkungan
terutama pembukaan hutan untuk dijadikan
sebagai ladang.
Sarana ekonomi yang sangat
mendukung di Desa Agusan produksi hasil
pertanian dan perkebunan berupa padi,
buah-buahan, kemiri kopi, coklat, nilam,
sen wangi dan tanaman sayur-sayuran.
Faktor-faktor yang mempengaruhi
sosial ekonomi masyarakat Desa Agusan
adalah, pendapatan masyarakat, sarana dan
prasarana yang tersedia, pendidikan,
jumlah penduduk, sosial budaya.
Berdasarkan masalah yang tersebut
di atas maka penulis ingin meneliti kondisi
sosial
ekonomi
masyarakat
dan
berpengaruh terhadap kawasan Taman

50

Nasional Gunung Leuser (TNGL).


Penelitian ini dibatasi pada identifikasi
sosial ekonomi masyarakat di Desa
Agusan.
II. METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode
Partisipasi, Observasi yang dilakukan
dengan pengumpulan data primer dan data
sekunder, dan dianalisa dalam tabel.
Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data yang di lakukan
berupa Data Primer yaitu; diperoleh
melalui wawancara, pengamatan langsung,
mengedarkan
daftar
pertanyaan
(Quesioner) yang telah di susun sebanyak
30 KK atau 25% dan 120 KK dan
pengambilan sample secara acak. Dan
selanjutnya juga peneliti menggunakan
Data sekunder yaitu; Data dan laporanlaporan pemerintah, baik dari tingkat Desa,
Kecamatan, serta beberapa hasil penelitian.
Analisis Data
Analisis data dilakukan melalui
analisis deskriptif dengan menggunakan
tabel
distribusi
frekuensi.
Dalam
mendukung keakuratan data penelitian ini
penulis
menggunakan
persamaan
matematis untuk membantu penjelasan
hasil penelitian yang diperoleh. Adapun
persamaan matematisnya adalah sebagai
berikut:
F
P = x 100%
N
Di mana:
P
= Nilai atau persentase
F
= Frekuensi jawaban dari masingmasing pertanyaan
N
= Jumlah responden yang diteliti
100 % = Konstanta persentase
Parameter yang di amati antara lain:
a. Struktur penduduk, meliputi jumlah
penduduk, pendapatan penduduk.
b. Perekonomian lokal, meliputi mata
pencaharian, hasil produksi.

c. Pola usaha tani, meliputi luas dan jenis


lahan, penyebaran pertanian menetap
dan perladangan berpindah.
d. Pendidikan,
meliputi
tingkat
pendidikan.
e. Agama dan adat istiadat, meliputi nilainilai budaya, yang berlaku dan agama
yang dianut.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Tingkat Pendapatan Masyarakat dan
Pengaruhnya
Terhadap
Kawasan
Taman Nasional Gunung Leuser
(TNGL).
Pendapatan merupakan tujuan pokok
dan motivasi bagi masyarakat yang tinggal
di sekitar kawasan hutan dalam melakukan
kegiatan usaha taninya, baik usaha tani dari
tanaman utama dan tanaman sampingan
dalam waktu satu tahun yang dinyatakan
dalam rupiah. Untuk lebih jelasnya dapat
dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Pendapatan Petani Sampel di Desa
Agusan
Kecamatan
Blangkejeren
Kabupaten Gayo Lues
No Pendapat Jumlah Pendapata Persentase
an /
(orang) n/ Tahun
%
Tahun
x Jumlah
(Rp.)
orang
42,66
57.600.000
16
1 3.600.000
2

7.800.000

36.000.000

26,67

4.800.000

24.000.000

17,78

9.600.000

9.600.000

7,11

5.400.000

5.400.000

4,00

1.200.000

2.400.000

1,78

30

135.000.000

100,00

Jumlah

Pendapatan Rata-rata/Tahun

: 4.500.000

Sumber Analisa Data Primer, 2006


(diolah)
Dari Tabel 1, tampak bahwa
pendapatan petani sampel di Desa Agusan
Rata-rata Rp. 4.500.000,- per tahun. Dan
basil pendapatan tersebut di atas, dapat di

artikan bahwa pendapatan petani sampel


terlihat rendah apabila di bandingkan
dengan upah minimal yang hams diterima
oleh setiap kepala keluarga. Seperti yang di
katakan oleh Soerjani (1987), keadaan
sosial ekonomi masyarakat desa terutama
yang tinggal pada umumnya masih sangat
rendah. Hal ini disebabkan karena
kurangnya lapangan kerja dan kesempatan
berusaha. Kehidupan masyarakat masih
bersifat tradisional, sulitnya komunikasi,
minimnya tingkat ilmu pengetahuan atau
sekil, dan penyuluhan akan arti hutan bagi
masyarakat sehingga masyarakat di sekitar
hutan kurang merasakan manfaat secara
optimal.
Kondisi
Tingkat
Pendidikan
Masyarakat di Sekitar Kawasan Taman
Nasional Gunung Leuser (TNGL).
Pendidikan
merupakan
faktor
penting yang dapat mempengaruhi laju
perkembangan daerah, oleh sebab itu
semakin
tinggi
tingkat
pendidikan
masyarakat
akan
mempercepat
kelangsungan
proses
peningkatan
teknologi. Begitu juga halnya dengan
tingkat pendidikan masyarakat Desa
Agusan untuk lebih jelasnya dapat dilihat
pada Tabel 2.
Tabel 2. Keadaan Tingkat Pendidikan
Petani Sampel di Desa Agusan Kecamatan
Blangkejeren Kabupaten Gayo Lues.
No
1
2
3
4
5

Tingkat
Pendidikan
Tidak sekolah
SD
SLTP
SMU
Perguruan
Tinggi
Jumlah

Sumber
(diolah)

Analisa

Jumlah
(orang)
9
12
4
3
2

Persentase
(%)
3 0,00
40,00
13,33
10,00
6,66

30

100,00

Data

Primer,

2006

Masyarakat Terhadap Kawasan Taman


Nasional Gunung Leuser (TNGL)

51

Pada umumnya masyarakat Desa


Agusan mempunyai hutan khususnya
Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser
dan dapat membawa dampak yang sangat
besar bagi pengembangan desa dan
peningkatan jumlah penduduk.
Memahami tanggapan masyarakat
desa Agusan pada dasarnya adalah
bagaimana seseorang berbuat sesuatu yang
dapat menimbulkan dari dalam jiwa
seseorang
dan
lingkungan
yang
mempengaruhinya, diungkapkan melalui
tindakan-tindakan
perilaku
(Taridala
2001).
Adapun
masyarakat
sangat
mempengaruhi dan berinteraksi lingkungan
terutama
dalam
pengelolaan
dan
pemanfaatan lahan di sekitar kawasan
Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL).
Pola Pemanfaatan Lahan
Desa Agusan memiliki luas 3014
ha. Terbagi atas sawah 119 ha. Dan bukan
sawah 2895 ha. Mengingat daerah tersebut
merupakan daerah pedesaan, maka areal
pertanian masih relatif luas.
Tingkat penggunaan lahan di Desa
Agusan dapat dilihat pada tabel 3 di bawah
ini.
Tabel 3. Tingkat Penggunaan Lahan Petani
Sampel di Desa Agusan Kecamatan
Blangkejeren Kabupaten Gayo Lues.
No
Jenis
Luas Persentase
Penggunaan (hektar)
(%)
lahan
1.
2.

3.

Perumahan &
Pekarangan
Sawah:
- Teknis
- Sederhana
Ladang/
Kebun
- Garapan
- Teknis
Jumlah:

Sumber Analisa
(diolah).

52

213

51,70

Dari tabel tersebut dapat dilihat Desa


Agusan sebagian besar dimanfaatkan
petani sampel untuk Pemukiman penduduk
yang berupa perumahan dan pekarangan
seluas 51,70 persen, selanjutnya untuk
sawah teknis 1,45 persen, untuk sawah.
Pemanfaatan
Hasil
Hutan
oleh
Masyarakat Desa Agusan
Syahridan, 1996 Pemanfaatan yang
intensif dan suatu kawasan lindung jika
tidak dikendalikan secara baik hanya akan
berakibat kepada ancaman kerusakan
kawasan tersebut. Konotasi pemanfaatan
kawasan lindung khususnya Kawasan
Taman Nasional hams dipahami benarbenar dan tetap berdasarkan kepada adanya
asas-asas konservasi.
Untuk kegiatan pemanfaatan hasil
hutan kayu dan non-kayu oleh masyarakat
Desa Agusan dapat dilihat pada Tabel 4
berikut ini :
No.

Jenis Hasil
Hutan yang
Dipungut
Kayu dan non
Kayu
Rotan
1.
(Calamus pp)
Kayu Bakar
2.
Rumput
3.
(Pallinia pp)
Tumbuhan
4.
Obat
Rimbang
5.
Rebung
7.
Madu
8.
Jumlah :

Jumlah
(KK)

Persentase
(%)

10

13
2

43,33
6,66

10

4
3
2
30

13,33
10
6,66
100,00

Sumber Analisis Data Primer, 2006


(diolah)
6
21

1,45
5,08

162
10
412

39,32
2,42
100,00

Data

Primer,

2006

Pengetahuan Masyarakat Tentang


Hutan Taman Nasional Gunung
Leuser (TNGL).
Hutan sangat penting bagi kehidupan
di muka bumi, terutama bagi kehidupan
generasi yang akan datang dalam
pengembangan dan pengelolaan hutan
harus berdasarkan kriteria berwawasan
lingkungan
khususnya
keberadaan

kawasan pelestarian alam atau Taman


Nasional. Tingkat kesadaran masyarakat
sekitar untuk mengelola sumberdaya alam
yang ada harus didasari ilmu dan
pengetahuan tentang pentingnya fungsi
hutan. Tingkat pengetahuan masyarakat
sampel Desa Agusan dapat dilihat dalam
table 5 di bawah ini.
Tabel 5. Pengetahuan masyarakat tentang
hutan Taman Nasional Gunung Leuser
(TNGL). Sampel Desa Agusan Kecamatan
Blangkejeren Kabupaten Gayo Lues.
No.
1.

Tingkat
Pengetahuan
Tau

2.

Tidak tahu

10

33,33

3.

Ragu-ragu

06,66

30

100,00

Jumlah

Sumber Analisis
(diolah)

Jumlah
(orang)
18

Persentase
(%)
60,00

Data

Primer,

2006

Dari pengamatan langsung terhadap


kelompok responden ini dapat ditarik
kesimpulan bahwa masyarakat sampel
Desa Agusan kurang memperhatikan
terhadap keberadaan kawasan Taman
Nasional Gunung Leuser (TNGL) atau
dengan kata lain pendekatan dan
penerangan terhadap keberadaan kawasan
pelestarian alam tidak terfokus pada
pembinaan masyarakat sekitar dalam
penetapan pemanfaatan pola usaha tani
bagi masyarakat. Hal ini sesuai dengan
pendapat Surjadi (1987), di mana program
yang disusun secara top down atau dari
atas dan dilaksanakan di bawah di tingkat
desa, tidaklah atau kurang cocok dengan
kepentingan masyarakat desa. Oleh karena
itu perlu adanya upaya mensosialisasikan
program pengembangan desa di sekitar
kawasan Taman Nasional Gunung Leuser
(TNGL) dari pihak-pihak yang terkait.

IV. KESIMPULAN
Dari hasil penelitian dapat ditarik
beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Jumlah penduduk Desa Agusan
berjumlah 575 jiwa dengan 283 jiwa
laki-laki atau (49,21%) dan 292 jiwa
perempuan (50,78%). Penduduk ini
terbagi dalam 120 kepala keluarga
(KK).
2. Karakteristik penduduk dipandang dan
segi umur berada pada dalam usia
produktif (umur 15-54 tahun) sebesar
50,61% penduduk kelompok usia tua
(umur 55 tahun ke atas) sekitar 4,61%,
lamanya pendidikan rata-rata 7 tahun
danjumlah tanggungan keluarga ratarata 6 jiwa.
3. Pola pemanfaatan lahan 3014 Ha.
Terbagi atas pemukiman penduduk
berupa perumahan dan pekarangan
seluas 51,70%, sawah teknis 1,45% dan
sederhana 5,08%, ladang/kebun garapan
39,32% dan teknis seluas 2,42%. Maka
dapat di asumsikan bahwa pemanfaatan
lahan di desa agusan semakin lama
semakin luas karena disebabkan
perkembangan penduduk semakin lama
semakin banyak.
4. Jenis mata pencaharian Desa Agusan
dominannya sebagai petani dan
perkebunan 97,44 % dengan pendapatan
rata-rata
petani
per
tahun
Rp.4.500.000,5. Tingkat pendapatan dan pendidikan
yang relatif rendah masyarakat Desa
Agusan
Kecamatan
Blangkejeren
Kabupaten Gayo Lues, berdampak
negatif terhadap kawasan Taman
Nasional Gunung Leuser ( TNGL ),
yang ada di sekitar pemukiman dan
berpengaruh terhadap kawasan Taman
Nasional Gunung Leuser ( TNGL).
Saran
1. Mengupayakan peningkatan pendapatan
masyarakat oleh intansi terkait dengan
pembinaan lapangan kerja.

53

2. Adanya
penyuluhan
terhadap
masyarakat akan pentingnya hutan
terutama kawasan pelestarian alam,
sehingga
masyarakat
tidak
lagi
membuka kawasan hutan dengan ladang
berpindah dan pemukiman.
3. Perlu adanya penelitian lebih lanjut
tentang permasalahan sosial ekonomi
masyarakat di sekitar kawasan Taman
Nasional Gunung Leuser (TNGL).
DAFTAR PUSTAKA
Anonimous, 1980. Pengantar Ilmu
Kehutanan, Diklat Kuliah Sekolah
Tinggi Ilmu Kehutanan Banda Aceh.
__________,
1990.
Undang-Undang
Republik Indonesia No. 5 Tentang
Konservasi L Sumberdaya Alam
Hayati dan Ekosistemnya. Dep.
Kehutanan Jakarta.
_________,
1995-2020,
Rencana
Pengolahan Taman Nasional Gunung
Leuser (TNGL). Dep. Kehutanan.
Dwidjoseputro, 1990. Ekologi Manusia
Dengan Lingkungannya. Erlangga.
Handoyo, 1985. Manusia dan Hutan Proses
Perubahan Ekologi Lereng Gunung
Merapi, Gajah Mada University
Press Yogyakarta.
Lubis,S. 1985. Konservasi di Indonesia.
Mudjijono, 1996/1997. fungsi Keluarga
dalam
Meningkatkan
Kualitas
Sumber Daya Manusia. Dep.
Pendidikan
dan
Kebudayaan
Yogyakarta.
Suprianto, 1995. Propil Ladang Berpindah
di Kecamatan Seulimeum Kabupaten
Aceh Besar, Skripsi Sekolah Tinggi
Ilmu Kehutanan Banda Aceh. (tidak
di publikasikan).

54

Soerjani. M. 1987. Sumber Daya Alam dan


Kependudukan dalam Pembangunan.
Universitas Indonesia. Jakarta.

Kajian Kualitas Air pada Jaringan Perpipaan Perusahaan Daerah Air


Minum (PDAM) Tirta Daroy Kota Banda Aceh
A. Muis
Staf Pengajar Fakultas Teknologi Pertanian
Universitas Serambi Mekkah Banda Aceh
Abstract - This study aimed to determine physical quality of drinking water in the piping network
PDAM Tirta Daroy Banda Aceh. The method used in this study was field observation, laboratory test and
calculation value of pollution index (IP). Sampling was done at three sites: site I (Pipeline at Pagar Air), site
II (Pipeline at Lueng Bata), and point III (Pipeline at Peuniti) and done triplet each sampling site. The result
showed that an average value of TDS was 82.46 mg / I - 82.66 mg / I, the average temperature was 28.3 C 28.96 C, the average value of color was 14 TCU - TCU 4.93, the average turbidity was 0.57 NTU 1.66 NTU, and the average pH was 7.32 to 7.41. Pollution Index (IP) at each sampling site was 0.75 (site
I), 0.81 (site II) and
0 0.74 1.0
(site
III).
It can
be
concluded that
the average
value
of TDS, Temperature, Color, Turbidity and pH as well as Pollution Index meet the quality standard.
Keywords : piping network, drinking water, PDAM Tirta Daroy.

I. PENDAHULUAN
Air sangat penting bagi kehidupan
seluruh makhluk hidup di bumi. Untuk
manusia, air selain sebagai konsumsi
makan dan minum juga diandalkan untuk
keperluan pertanian, industri dan lain
sebagainya (Totok Sutrisno, 2006).
Kebutuhan
air
bagi
manusia
(khususnya air konsumsi) harus memenuhi
persyaratan baku mutu tertentu. Mengacu
pada
Peraturan
Kepmen
No.
907/Menkes/SK/VII/2002
Tentang
Persyaratan Kualitas Air Minum yaitu ada
4 syarat tinjauan kualitas air minum yaitu
fisik,
kimia,
mikrobiologi
dan
radioaktivitas.
Untuk
memenuhi
persyaratan tersebut maka diperlukan
pengolahan air secara balk dan benar
berdasarkan sumber air itu sendiri hingga
sampai kepada pengguna.
Menurut Djasio Sanropie (1994)
dalam bukunya menjelaskan bahwa air
adalah suatu zat yang merupakan senyawa
kimia yang terdiri dari dua unsur yaitu
Hydrogen (H) dan Oksigen (O2) yang
membentuk H2O yang disebut dengan air.
Namun dalam kenyataannya di dalam air
tidak selalu murni sebagai H2O akan tetapi
mengandung komponen lain baik berupa

zat organik maupun zat anorganik serta


organisme lainnya sehingga air sering
dikatakan sebagai H2O + X.
Air memiliki sifat-sifat fisik sebagai
berikut; (Sumber; Robin, dan kawankawan fisling/fluidaair/google).
Titik beku 0C
Massa jenis es (0 C) 0,92 g/cm2
Massa jenis air (0C) 1,00 grlcm2
Panas lebur 80 kal/gram
Titik didih 100 C
Panas penguapan 540 kal/gram
Temperatur kritis 347 C
Tekanan kritis 217 atm
Konduktivitas listrik spesifik (25 C) lx
10-17/ohm-cm
Konstanta dielektrikuin (25 C) 78
Perusahaan Daerah Air Minum
(PDAM) Tirta Daroy Kota Banda Aceh
adalah perusahaan milik pemerintah Kota
Banda Aceh yang berwenang untuk
menyediakan
air
minum
bagi
masyarakatnya.
Walaupun
Proses
pengolahan air di PDAM Tirta Daroy Kota
Banda Aceh merupakan pengolahan air
yang mahir dan lengkap, di mana air yang
sudah diolah dapat langsung diminum,
namun dalam kenyataannya sebagian besar
55

tidak demikian halnya. Hal ini disebabkan


karena adanya hambatan-hambatan dalam
proses penyaluran air melalui jaringan
perpipaan dan PDAM kepada masyarakat,
sehingga air yang diperoleh masyarakat
harus dimasak dahulu sebelum diminum.
Permasalahan yang sangat sering terjadi
adalah pada saat pemasangan jaringan
pipa, di mana pada saat pengerjaan tersebut
tanah atau kotoran lainnya masuk ke dalam
pipa dan tidak dibersihkan yang
mengakibatkan penyumbatan pada proses
pendistribusian air kepada masyarakat.
Permasalahan lainnya adalah kurang
pemeliharaan seperti kualitas fisik pipa itu
sendiri
(cepat
korosi),
sehingga
mengakibatkan pipa-pipa tersebut lebih
cepat mengalami kebocoran. Keberadaan
pipa yang melewati saluran air buangan
(got, pant dll) juga menjadi salah satu
faktor penyebab menurunnya kualitas air
minum, di mana air di dalam saluran
tersebut dengan mudah masuk ke dalam
pipa, dengan demikian air yang seharusnya
bersih telah menjadi kotor kembali.
Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui kualitas fisik air pada jaringan
perpipaan PDAM Tirta Daroy Kota Banda
Aceh.
Manfaat penelitian ini adalah :
1. Menambah pengetahuan bagi penulis
dalam menganalisa kualitas fisik air
minum pada jaringan perpipaan PDAM
Tirta Daroy Kota Banda Aceh serta
memberikan gambaran ilmiah tentang
faktor-faktor
yang
mempengaruhi
kualitas air minum.
2. Memberikan masukan kepada PDAM
Tirta Daroy Kota Banda Aceh agar
memperhatikan kondisi kualitas fisik air
pada jaringan pipa distribusi meskipun
air sudah memenuhi syarat kualitas air
minum pada saat pengolahannya.
3. Memberikan
pengertian
kepada
masyarakat tentang kualitas air minum
pada PDAM Tirta Daroy Kota Banda
Aceh yang mereka gunakan setiap hari.

56

4. Bagi lembaga, sebagai informasi untuk


peneliti yang ingin melanjutkan
penelitian tentang kualitas air minum.
II. METODE PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Wilayah
Kerja PDAM Tirta Daroy Kota Banda
Aceh meliputi jaringan pipa distribusi di
Pagar Air, Lueng Bata, dan Peuniti. Untuk
pengujian sampel dilakukan di lapangan
langsung (pH dan Suhu) dan di
Laboratorium Depkes NAD di Banda Aceh
(TDS, Warna, clan Kekeruhan).
Penelitian ini dilaksanakan pada
bulan Oktober 2011.
B. Metode Pengambilan Sampel
Sampel diambil pada 3 titik jaringan
pipa distribusi air dengan perbedaan radius
masing-masing titik berjarak 2 Km. Titik
pertama diambil pada jaringan 4 pipa
distribusi air di Pagar Air, titik ke dua di
Lueng Bata, dan titik ke tiga di Peuniti.
C. Prosedur Penelitian
1. Persiapan Sampel
Botol sampling terlebih dahulu
dibersihkan, kemudian dibilas beberapa
kali dengan aquades. Setelah benar-benar
bersih lalu dimasukkan sampel yang akan
diuji ke dalam botol sampling.
2. Uji Laboratorium
Ada 3 parameter yang akan diuji
pada laboratorium yaitu Kekeruhan dengan
metode Turbidimetri, Warna, dan TDS
(Total Dissolve Solid).
3. Uji Lapangan
Ada 2 parameter yang akan diuji pada
lapangan yaitu Suhu dan pH.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN


A. Hasil Penelitian
Untuk
penelitian
ini,
maka
diperlukan data-data berdasarkan hasil

pengujian sampling pada laboratorium di


19 Oktober 2009, hari Rabu tanggal 21
tiga titik masing-masing dilakukan
Oktober 2009 dan hari Jumat tanggal 23
sebanyak tiga kali, yaitu hari Senin tanggal
Oktober 2009 seperti terlihat dalam Tabel 1, 2 dan 3 di bawah ini;
Tabel 1. Hasil Uji Sampling pada hari Senin tanggal 19 Oktober 2009.
Parameter
Kualitas Fisik Air
Zat Padat Terlarut

Kadar Maksimum yang


diperbolehkan Kepmenkes
Satuan No. 907/Menkes/SK/VII/2002
Mg/I

Hasil Uji
Laboratorium
Titik I Titik II
Titik III

1000

83,5

86,1

83,5

Suhu Udara 3 oC

28,7

29,1

28,5

Warna

TCU

15

1,70

2,01

2,55

Kekeruhan/Turbidity

NTU

0,38

1,73

1,76

6,5 8,5

77,33

7,31

7,42

(TDS)
Suhu

PH

Sumber: Hasil Penelitian Analisa Kualitas Air

Tabel 2. Hasil Uji Sampling pada hari Rabu tanggal 21 Oktober 2009.
Parameter Kualitas
Fisik Air
Zat Padat Terlarut

Satuan
Mg/I

Kadar Maksimum yang


diperbolehkan
Kepmenkes No.
907/Menkes/SK/VII/2002
1000

Hasil Uji
Laboratorium
Titik I Titik II
Titik III
81,2

85,4

82,1

(TDS)
o

Suhu Udara 3 oC

28,5

Warna

TCU

15

1,64

2,23

2,46

Kekeruhan/Turbidity

NTU

0,46

1,67

1,58

6,5 8,5

7,42

7,25

7,53

Suhu

PH

29,4

28,7

Sumber: Hasil Penelitian Analisa Kualitas Air

Tabel 3 Hasil Uji Sampling pada hari Jumat tanggal 23 Oktober 2009.
Parameter Kualitas
Fisik Air
Zat Padat Terlarut

Satuan
Mg/I

Kadar Maksimum yang


diperbolehkan
Kepmenkes No.
907/Menkes/SK/VII/2002
1000

Hasil Uji
Laboratorium
Titik
Titik II
Titik III
I
82,7
85,2
82,4

(TDS)
o

Suhu Udara 3 oC

29,1

28,4

27,7

Warna

TCU

15

1,59

2,18

2,23

Kekeruhan/Turbidity

NTU

0,87

1,56

1,64

6,5 8,5

7,35

7,42

7,28

Suhu

PH

57

Sumber: Haasil Penelitian Analisa Kuualitas Air


Tabel 4. Nillai Rata-rata parameter
Parameterr Kualitas
Fisik
k Air
Zat Padat T
Terlarut

Satuan
Mg/I

Kadar M
Maksimum yaang
diperboleh
hkan Kepmeenkes
No.
907/Menk
kes/SK/VII/22002
1000

Hasiil Uji
Labora
atorium
Tittik I

Titik
k II

Titik
k III

822,46

85,56

82,666

(TDS)
Suhu
Warna
Kekeruhann/Turbidity
PH

Suhu U
Udara 3 oC

28,776

TCU

15

4,933

2,1
14

2,441

NTU

0,577

1,6
65

1,666

6,5 8,5

7,366

7,3
32

7,441

Sumber: Haasil Penelitian Analisa Kuualitas Air

Setellah diperoleeh hasil nilaai rata-rata


parameter seperti terliihat dalam Tabel 4 di
nya perlu dilakukan
atas, makka selanjutn
analisa yanng bertujuaan untuk mengetahui
m
perbandinggan kualitass fisik air minum
m
pada
jaringan pperpipaan PDAM
P
Tirrta Daroy
Kota Banda Aceh terhadap
t
K
Kepmenkes
K/V11120022 tentang
No. 907//Menkes/SK
Persyaratann Kualitas Air
A Minum..

28,96
6

28,3

2. S
Suhu
Berdasarkkan
Kep
pmenkes
No.
9O7ffMenkesISK
KIVIIJ2002
2
tenntang
Persyyaratan Kuualitas Airr Minwn untuk
u
nilai Suhu dittetapkan nilai
n
maksiimum
3 C. Deengan
untuuk Suhu Udara 3
demiikian dapatt disimpulk
kan bahwa, nilai
rata--rata Suhu pada jaring
gan pipa PD
DAM
Tirtaa Daroy Koota Banda Aceh
A
pada tiitik I,
titik II, dan titikk III memen
nuhi standarr baku
mutuu seperti terlihat dalaam grafik 2 di
bawaah ini :

1. TDS
No.
Berddasarkan
Kepmenkes
907/Menkees/SKJVII/2
2002
tentang
Persyaratann Kualitas Air Minuum untuk
nilai TDS ditetapkan
n sebesar 1000
1
mg/l.
Dengan demikian dapat diisimpulkan
bahwa, nillai rata-rataa TDS padda jaringan
pipa PDAM
M Tirta Darroy Kota Baanda Aceh
memenuhi standar baku muttu seperti
terlihat dallam grafik 1 di bawah ini
i :
Grafik 1. P
Perbandingaan nilai rataa-rata TDS
terhadap baaku mutu
3. W
Warna
Berdasarkkan
Kep
pmenkes
No.
9O7ffMenkes/SK
KJVIIJ2002
2
tenntang
Persyyaratan
Kualitas
Air
M
Minum
ditettapkan
nilai
ksimum
u
untuk
mak
param
meter Warnna sebesar 15
1 TCU. Deengan
demiikian dapatt disimpulk
kan bahwa, nilai
rata--rata param
meter Warnaa pada jaringan
pipa PDAM Tirrta Daroy Kota
K
Banda Aceh

58

paada titik I, titik


t
II, dan titik III meemenuhi
standar baku
u mutu sepperti terlihaat dalam
grrafik 3 di baawah ini :

DAM Tirtaa Daroy K


Kota
jaringaan pipa PD
Banda Aceh padaa titik I, titiik II, dan tiitik
III meemenuhi staandar baku mutu sepeerti
terlihatt dalam graffik 5 di baw
wah ini :

han
4.. Kekeruh
Berdasarkan
K
Kepmenkes
No.
9007/Menkes//SK/VIII20002
tentang
Peersyaratan
Kualitass
Air
Minum
diitetapkan
nilai
m
maksimum
untuk
K
Kekeruhan sebesar 5 NTU. Dengan
deemikian dap
pat disimpuulkan bahw
wa, nilai
raata-rata paarameter Kekeruhann pada
jaaringan pipa PDAM Tirta Darooy Kota
Banda Aceh pada titik I, titik II, ddan titik
fi memenuh
hi standar baku mutuu seperti
ifi
teerlihat dalam
m grafik 4 di
d bawah ini :

Penenttuan Statuss Mutu Airr


S
Setelah
diperoleh hasiil pengukuuran
sampell (tabel 4.4) di atas, maaka
selanjuutnya akan dilakukan analisa muutu
air denngan meng
ggunakan metode
m
Indeeks
Pencem
maran (IP) berdasarkaan Keputussan
Menterri Lingkun
ngan Hidupp Nomor 1115
tahun 2003 tentaang Pedom
man Penentuuan
Status Mutu Air.
Rumuss (IP):
PIj =

5.. pH
No.
Berdasarkan
K
Kepmenkes
tentang
9O
O7/Menkes/SK/VII/2002
Minum
Peersyaratan
Kualitass
Air
diitetapkan nilai
n
makssimum unttuk pH
seebesar 6,5 - 8,5. Denggan demikiaan dapat
diisimpulkan bahwa, nilaai rata-rata ppH pada

(Ci / Lij ) M 2 + (Ci / Lij ) R 2


2

S
Sebelum
mencari
m
nillai IP maaka
terlebihh dahulu haarus ditentukkan nilai:
Ci = Hasil pengukurann sampel
Lix = Nilaii baku mutuu
Ci/Lix
Hasil Peengukuran
=
Nilai baku mutu
Ci/Lix barru = 1 + 5 + log Ci/L
Lix,
jika nilai Ci/Lix > 1,0.
1
Jika nilai
Lix
Ci/Lix < 1,0 maka nilai Ci/L
adalah nilaai Ci/Lix barru tertinggi.

(Ci/Lij)R = Nilai Ci/Lix baru


tertinggi
(Ci/Lij)M

59

Nilai rata rata Ci / Lix baru


Jumlah parameter
Setelah nilai IP diperoleh maka akan
dilakukan evaluasi status mutu air yaitu:
0 Pij 1,0
= memenuhi baku mutu
(kondisi baik)
1,0 Pij 5,0 = cemar ringan
5,0 Pij 10 = cemar sedang
Pij 10
= cemar berat
Berikut adalah analisa mutu air
dengan
menghitung
nilai
Indeks
Pencemaran (IP) setiap parameter pada
titik I (Jaringan Pipa di Pagar Air), titik II
(Jaringan Pipa di Lueng Bata) dan titik III
(Jaringan Pipa di Peuniti) dengan
menggunakan metode Indeks Pencemaran
(IP).

1. Titik I (Jaringan Pipa di Pagar Air)


Sebelum dilakukan perhitungan
untuk mencari nilai IP, maka terlebih dulu
ditentukan nilai Ci dan nilai Lix. Dapat
dilihat dalam table 5 di bawah ini :
Tabel 5. Nilai Ci, Lix, Ci/Lix dan Ci/Lix
baru pada titik I
No Parame Ci
Lix
ter
1 TDS
82,46 1000
2 Suhu
28,76 Suhu
Udara
3 oC
3 Warna
4,93
15
4 Kekeruh 0,57
5
an
5 PH
7,36
6,5
8,5

Ci/Lix
baru
0,08246 0,08246
0,9586667 0,9586667

N
o
1
2

Paramet Ci
er
TDS
85,56
Suhu
28,96

3
4

Warna
Kekeruh
an
PH

0,8658824 0,8658824

Ci/Lix

Ci/Lix
baru
0,08556 0,08556
0,96533 0,9653
3

1000
Suhu
Udara
3 oC
2,14 15
0,14266 0,14266
1,65 5
0,33
0,33
7,32

6,5
8,5

0,86117 0,86117

Titik III (Jaringan Pipa di Peuniti)


Seperti halnya pada titik I dan titik II,
maka pada titik III juga dilakukan
perhitungan yang sama untuk menentukan
nilai Indeks Pencemaran (IP). Sebelum
nilai IP titik III ditentukan, maka terlebih
dahulu ditentukan nilai Ci, Lix, Ci/Lix dan
Ci/Lix baru (lihat tabel 4.7) di bawah ini :
Tabel 7. Nilai Ci, Lix, Ci/Lix, dan Ci/Lix
barn pada titik III.
No
1
2
3
4
5

0,3286667 0,3286667
0,114
0,114

Lix

3.

Ci/Lix

2. Titik II (Jaringan Pipa di Lueng


Bata)
Seperti halnya pada titik I, maka
pada titik II dilakukan perhitungan yang
sama untuk menentukan nilai Indeks
Pencemaran (IP). Sebelum nilai IP titik II
ditentukan,
maka
terlebih
dahulu
ditentukan nilai Ci, Lix, Ci/Lix dan Ci/Lix
baru lihat tabel 6 di bawah ini :

60

Tabel 6. Nilai Ci, Lix, Ci/Lix dan


Ci/Lixbarn pada titik II

Parame
ter
TDS
Suhu

Ci

Lix

Ci/Lix

Ci/Lix
baru
0,08266 0,08266
0,9433 0,9433

82,66 1000
28,3 Suhu
Udara
3 oC
Warna
2,41 15
0,16066 0,16066
Kekeruh 1,66 5
0,332
0,332
an
PH
7,41 6,5 0,8717 0,8717
8,5

IV. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian ini maka
dapat diambil beberapa kesimpulan
sebagai berikut;
1. Kualitas fisik air minum pada jaringan
pipa PDAM Tirta Daroy Kota Banda
Aceh memenuhi standar baku mutu
yang ditetapkan dalam Kepmenkes No.
9O7/Menkes/SK/VII/2002
tentang
Persyaratan Kualitas Air Minum. Hal
ini berdasarkan hasil penelitian
terhadap parameter fisik air ternyata;
a) Parameter TDS berkisar antara
82,46 Mg/l - 85,56 Mg/l. Dan titik
tertinggi TDS berada di titik II

sebesar 85,56 Mg/l (Lung Bata).


Sedangkan
menurut
kadar
maksimal yang diperbolehkan
Kepmenkes
No.
907/Menkes/SK/VII/2002 adalah
1000 Mg/l.
b) Parameter Suhu berkisar antara
28,3 C 28,96 C. Dan titik
tertinggi Suhu berada di titik II
sebesar 28,96 C (Lung Bata).
Sedangkan
menurut
kadar
maksimal yang diperbolehkan
Kepmenkes
No.
9OlfMenkes/SK/V11J2002 adalah
Suhu Udara 3C
c) Parameter Warna berkisar antara
2,14 TCU - 4,93 TCU. Dan titik
tertinggi Warna berada di titik I
sebesar 4,93 TCU (Pagar Air).
Sedangkan
menurut
kadar
maksimal yang diperbolehkan
Kepmenkes
No.
907/Menkes/SK/VII/2002 adalah
15 TCU.
d) Parameter Kekeruhan berkisar
antara 0,57 NTU - 1,66 NTU. Dan
titik tertinggi Kekeruhan berada di
titik III sebesar 1,66 NTU (Peuniti).
Sedangkan
menurut
kadar
maksimal yang diperbolehkan
Kepmenkes
No.
9O7/Menkes/SK/VII/2002 adalah 5
NTU.
e) Parameter pH berkisar antara 7,32 7,4 1. Dan titik tertinggi pH berada
di titik III sebesar 7,41 (Peuniti).
Sedangkan
menurut
kadar
maksimal yang diperbolehkan
Kepmenkes
No.
907/Menkes/SK/VII/2002 adalah
6,5 - 8,5.
Dengan demikian kelima titik sampling
memenuhi baku mutu.
2. Penentuan status mutu air dengan
metode IP berdasarkan Kep-115
/MENLH/VII/2003
menunjukkan
bahwa nilai Indeks Pencemaran (IP)
pada titik I sebesar 0,75, titik II sebesar

0,81, dan titik III sebesar 0,74 berada


pada 0 PIj 1,0 berarti memenuhi
baku mutu.
3. Faktor-faktor penyebab terjadinya
penurunan nilai parameter fisik air
pada jaringan disebabkan karena
lambannya pengawasan petugas dalam
proses
pemasangan
pipa-pipa.
Pembangunan yang tidak stabil juga
dapat memberikan pengaruh seperti
pelebaran jalan dan sebagainya yang
mengakibatkan kebocoran dan kotor
pada pipa. Faktor lainnya adalah
pemasangan pipa tidak sesuai aturan
yang ditetapkan oleh PDAM Tirta
Daroy Kota Banda Aceh.
Saran
1. Diharapkan kepada masyarakat di Kota
Banda Aceh sebagai konsumen
sebaiknya memasak terlebih dahulu air
yang diambil dan jaringan pipa PDAM
Tirta Daroy Kota Banda Aceh sebelum
diminum, karena dikhawatirkan dapat
mempengaruhi kesehatan jika diminum
sebelum di masak, meskipun kualitas
air pada jaringan pipa PDAM Tirta
Daroy Kota Banda Aceh memenuhi
baku mutu.
2. PDAM Tirta Daroy Kota Banda Aceh
diharapkan
dapat
meningkatkan
pengawasan jaringan dalam proses
pengolahan air minum serta proses
pemasangan jaringan pipa.
3. PDAM Tirta Daroy Kota Banda Aceh
diharapkan dapat berkoordinasi dengan
pihak-pihak yang berwenang dalam
penyelenggaraan pembangunan Kota
Banda Aceh apabila ditinjau dapat
berpengaruh pada jaringan pipa-pipa
PDAM Tirta Daroy Kota Banda Aceh
serta
mengupayakan
semaksimal
mungkin usaha-usaha yang dapat
menumbuhkan kesadaran masyarakat
konsumen
terhadap
pentingnya
menjaga kualitas air dengan tidak

61

melakukan
kecurangan-kecurangan
yang dapat merusak kualitas air.
4. Kualitas air minum yang dihasilkan
PDAM Tirta Daroy Kota Banda Aceh
sekarang ini sudah cukup baik dan
seyogyanya dapat dipertahankan.
5. Keberlanjutan dan kesinambungan
kondisi air senantiasa berubah setiap
saat akibat dari berbagai proses fisik
sehingga output yang dihasilkan dalam
penelitian ini akan tidak relevan lagi
pada beberapa tahun mendatang.
Untuk itu, penelitian lanjutan secara
berkala perlu dilakukan.
DAFTAR PUSTAKA
C. Totok Sutrisno, dkk, 2006, Teknologi
Penyediaan Air Bersih, Penerbit
PT. Rinika Cipta, Jakarta.
Robin, dick fisling/fluidaair/google), Sifatsifat Fisik Air.
S. Purwanto, 1985 dalam C. Totok
Sutrisno, dkk, 2006, Teknologi
Penyediaan Air Bersih, Penerbit
PT. Rinika Cipta, Jakarta.

62

PENGARUH KETEBALAN MULSA AMPAS SAGU (Metroxylon sp)


TERHADAP PERTUMBUHAN GULMA DAN HASIL KEDELAI
Gina Erida, M. Abduh Ulim, Jamaluddin
Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala, Darussalam Banda Aceh

Abstract - Sago dregs, beside its function as an organic matter, also potential as natural herbicide. The purpose
of this research was to find out the effects of the thickness of sago dregs to the growth of weeds and soybeans.
This research was conducted in Rumpet village, Krueng Barona jaya subdistrict, Aceh Besar from january until
April 2011. This research used a non factorial completely randomized block design with 5 treatments and 4
replications. The result showed that the thickness of sago dregs influences on variable of height crop, dry weight
of weed, number of productive pinnacles and the weight of soybeans dry seed. In thickness of sago dregs 2 cm
showed good result in height crop, dry weight of weed, number of productive pinnacles and the weight of
soybeans dry seed. In thickness of sago dregs more than 3 cm, the growth of soybeans been retarded. To
decrease the growth of weed and increase the growth of soybeans, the sago dregs with thickness of 2 cm can be
used.
Keywords : Soybean, Thickness of sago dregs, Weed

I. PENDAHULUAN
Rendahnya hasil kedelai disebabkan
oleh banyak faktor, salah satu diantaranya
adalah adanya persaingan gulma dengan
tanaman. Penurunan hasil yang diakibatkan
persaingan antara gulma dengan tanaman
kedelai sangat bervariasi, antara 18-76%
(Suprapto, 1989).
Pengendalian gulma diperlukan
untuk mengurangi kerugian akibat
kehilangan hasil. Metode pengendalian
yang umum dilakukan adalah secara
preventif, mekanis, kultur teknis, kimiawi,
hayati dan terpadu. Menurut Rahayu
(2001), penggunaan herbisida sintetik
masih
menjadi
primadona,
karena
penggunaan herbisida efektivitasnya segera
terlihat. Di sisi lain, penggunaan herbisida
sintetik cenderung menimbulkan dampak
negatif terhadap lingkungan seperti
terjadinya resisten gulma.
Mengingat banyak laporan yang
menyatakan bahwa pengendalian gulma
secara kimia secara terus menerus tidak
baik bagi lingkungan, sehingga perlu dicari
alternatif pengendalian gulma yang ramah
lingkungan.
Salah
satunya
adalah
pengendalian secara kultur teknis dengan

menggunakan mulsa organik yang berasal


dari ampas sagu dimana orang Aceh
mengenalnya dengan sebutan meuria.
Selama ini pengolahan sagu hanya untuk
menghasilkan pati sekitar 16-28% dari
bobot total batang sagu yang dimanfaatkan
sebagai sagu kering untuk berbagai jenis
kue, sedangkan ampas dan kulit batangnya
dibuang begitu saja sehingga dapat
mencemari lingkungan.
Menurut Wahid et. al. (2005),
penggunaan bahan organik sebagai mulsa
dapat meningkatkan kesuburan kimia, fisik
dan biologi tanah, menekan fluktuasi suhu
dan kelembaban tanah serta menekan
perkembangan gulma. Penggunaan mulsa
juga dapat meningkatkan pertumbuhan dan
produktivitas kedelai serta meningkatkan
efesiensi penggunaan pupuk.
Menurut Syakir et al. (2000), ampas
tanaman yang memiliki potensi cukup
besar sebagai mulsa adalah ampas tanaman
sagu, karena didalam ampas sagu terdapat
asam fenolat yang merupakan salah satu
dari belasan alelokimia (senyawa penyebab
alelopati
yang
dapat
menghambat
pertumbuhan
tanaman
disekitarnya).
Penggunaan mulsa ampas sagu pada
ketebalan 2-3 cm dengan komposisi 100 %

63

ampas sagu dan pupuk kandang 50% per


pelakuan yang diberikan sebelum benih
ditanam, mempunyai kemampuan yang
cukup tinggi dalam menekan pertumbuhan
gulma mencapai 78,3 %. Hal ini
disebabkan karena pengaruh penutupan
secara fisik dan penguraian ampas sagu
lebih cepat sehingga pengaruh asam-asam
fenolat bisa cepat beraksi .
Menurut Devi et al. (1997),
alelokimia dari senyawa fenol ini bisa
menghambat
pertumbuhan
tanaman
melalui beberapa cara, antara lain dengan
menghambat
pembelahan
dan
pemanjangan sel, menghambat kerja
hormon, mengubah pola kerja enzim,
menghambat proses respirasi, menurunkan
kemampuan fotosintesis, mengurangi
pembukaan
stomata,
menghambat
penyerapan air dan hara serta dapat
menurunkan
permeabilitas
membran.
Senyawa fenol dari ampas sagu ini banyak
dimanfaatkan sebagai herbisida karena
sangat tinggi toktisitasnya, bersifat selektif
dan bekerja secara efektif sebagai herbisida
organik yang bersifat kontak (Oudejans,
1991)
Efektifitas penggunaan mulsa sangat
ditentukan oleh ketebalan mulsa, pada
ketebalan tertentu diperoleh hasil yang
baik bagi pertumbuhan dan hasil tanaman
serta mampu menghambat pertumbuhan
gulma(Syakir et al.,2000)..
Berdasarkan permasalahan di atas
maka perlu dilakukan penelitian tentang
pengaruh ketebalan mulsa ampas sagu
terhadap pertumbuhan gulma dan hasil
kedelai.
II. METODE PENELITIAN
Penelitian dilaksanakan di Desa
Rumpet Kecamatan Krueng Barona Jaya
Kabupaten Aceh Besar sejak bulan Januari
sampai April 2011.
Bahan-bahan yang digunakan dalam
penelitian ini antara lain : benih kedelai
varitas singgalang dan ampas sagu. Untuk

64

penunjangan
pelaksanaan penelitian
dipergunakan
alat-alat
diantaranya:
cangkul, gembor, meter , timbangan,
pancang kayu dan alat-alat tulis.
Penelitian
ini
menggunakan
Rancangan Acak Kelompok dengan 5
perlakuan dan empat kali ulangan.
Sehingga
jumlah plot percobaan
seluruhnya adalah 4 x 5 = 20 plot. Ukuran
masing-masing plot adalah 2 x 2 m.
Adapun susunan pelakuan ketebalam
mulsa ampas sagu sebagai berikut :
T 0 =Ketebalan mulsa ampas sagu 0 cm
T 1 = Ketebalan mulsa ampas sagu 1 cm
T 2 = Ketebalan mulsa ampas sagu 2 cm
T 3 = Ketebalan mulsa ampas sagu 3 cm
T 4 = Ketebalan mulsa ampas sagu 4 cm
Lahan dibajak dua kali dengan
menggunakan traktor, kemudian tanah
digaru dan dibersihkan dari sisa-sisa
gulma, Selanjutnya dibuat plot percobaan
dengan ukuran 2 x 2 meter sebanyak 20
plot dengan jarak antar plot 30 cm pada
tiap perlakuan dan ulangan.
Benih ditanam dalam larikan, lubang
tanam dibuat dengan tugal sedalam 2 cm
dengan jumlah 3 benih masing-masing per
lubang. dengan jarak tanam adalah 40 x 15
cm.
Pemberian mulsa ampas sagu
dilakukan dengan cara mecampurkan
dengan pupuk kandang dengan komposisi
2:1.
Selanjutnya
ditebarkan
diatas
pemukaan tanah (plot) dan diratakan
dengan menggunakan papan untuk
mendapatkan ketebalan sesuai perlakuan.
Pada ketebalan ampas sagu 1 cm diproleh
7,5 kg ampas sagu dan 3,75 kg pupuk
kandang per plot.
Penyiraman dilakukan 2 kali sehari
sedangkan pupuk yang digunakan adalah
pupuk NPK dengan dosis 150 kg/ha 60 g
per plot). Penyulaman dilakukan 10 hari
setelah tanam dengan 2 tanaman per
lubang tanam. Untuk pengendalian hama
dan penyakit tanaman dilakukan apabila
gejala serangan sudah mulai kelihatan.

Pengamatan meliputi tinggi tanaman,


bobot kering gulma, jumlah cabang
produktif, serta bobot biji keing kedelai per
tanaman.
Pengamatan ini dilakukan pada saat
tanaman berumur 15, 30,dan 45 HST. Pada
masing-masing petakan diamati 10 batang
tanaman sampel yang ditentukan secara
acak.Dua barisan tanaman pinggir tidak
dijadikan sebagai tanaman sampel.
Pengamatan terhadap bobot kering
gulma dilakukan pada saat tanaman
berumur 45 HST. Bobot kering gulma
diperoleh dengan cara mencabut gulma
pada petak sampel yang berukuran 50x50
cm. gulma tersebut dibersihkan dari tanah
serta dikeringkan dengan menggunakan
oven selama 48 jam dengan suhu 60 0C,
dan ditimbang dengan menggunakan
timbangan analitik.
Pengamatan
jumlah
cabang
dilakukan pada saat memasuki panne yaitu
pada saat tanaman berumur 75 HST.
Bobot biji kering per tanaman pada kadar
air 14 %.
Data hasil pengamatan setiap peubah
dianalisis dengan sidik ragam dan jika
terdapat perbedaan yang nyata dilanjutkan
dengan uji Beda Nyata Terkecil (BNT)
pada taraf 0,05 (Gomez&Gomez, 1995).
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil analisis ragam menunjukkan
bahwa perlakuan ketebalan mulsa ampas
sagu memberikan pengaruh yang sangat
nyata terhadap tinggi tanaman pada 15, 30
dan 45 HST.
Rata-rata tinggi tanaman pada 15, 30
dan 45 HST akibat pengaruh ketebalan
mulsa ampas sagu dapat dilihat pada tabel
1 dibawah ini.

Tabel 1. Rata-rata tinggi tanaman kedelai


pada 15, 30 dan 45 HST akibat perlakuan
ketebalan mulsa ampas sagu
Umur Tanaman
Perlakuan
15
30
45
(HST)
(HST) (HST)
To
6.35 a
40.95 a 67.63 a
T1
6.45 a
42.88 b 74.25 b
T2
7.35 c
46.18 c 78.98 c
T3
6.93 b 43.10 b 77.83 c
T4
6.73 ab 41.75 a 74.90 b
BNT
0,39
0,91
2,98
(0,05)
Keterangan : Angka rata-rata yang diikuti
oleh huruf yang sama pada lajur yang sama
tidak berbeda nyata pada taraf 5 persen
(Uji BNT).
Tabel 1 diatas terlihat bahwa pada
setiap pengamatan rata-rata tinggi tanaman
terendah dijumpai pada perlakuan kontrol
(T0)
dan tertinggi pada perlakuan
ketebalan mulsa ampas sagu 2 cm (T2) dan
tidak berbeda nyata dengan perlakuan
ketebalan mulsa ampas sagu 3 cm (T3).
Hal ini diduga disebabkan pengaruh
ketebalan mulsa ampas sagu yang baik
dalam menekan pertumbuhan gulma.
Dengan kata lain pada perlakuan ketebalan
mulsa ampas sagu 2-3 cm sudah dapat
menekan pertumbuhan gulma dengan baik
dan mampu meningkatkan pertumbuhan
tanaman
kedelai.
Sedangkan
pada
perlakuan ketebalan mulsa ampas sagu di
atas 3 cm kendatipun mampu menekan
pertumbuhan gulma, namun berdampak
negatif terhadap pertumbuhan tanaman
kedelai. Hal ini kemungkinan karena
keberadan mulsa ampas sagu yang
melebihi batas toleransi, karena kandungan
asam
fenolat
yang
tinggi
dapat
menghambat
pertumbuhan
tanaman
kedelai
Menurut Devi et al. (1997), banyak
turunan fenol yang berasal dari jaringan
tanaman
bersifat
sebagai
senyawa
alelopati. Asam fenolat mempunyai
pengaruh langsung terhadap proses

65

biokimia dan menyebabkan terhambatnya


pertumbuhan tanaman. Menurut Einhellig
(1995), mekanisme penghambatan asam
fenolat terhadap pertumbuhan dan
perkembangan
tumbuhan
melalui
serangkaian proses yang kompleks.
Alelokimia berinteraksi dengan hormon
tertentu pada pertumbuhan sasaran dan
mengakibatkan fungsi enzim tertentu
terganggu.
Hal
ini
mengakibatkan
pembentukan
protein
dan
pigmen
terhambat, sehingga pembelahan dan
pemanjangan sel terhambat. Rendahnya
pertumbuhan pada perlakuan ketebalan
mulsa ampas sagu pada T4 akibat
kandungan asam fenolat yang tinggi
menyebabkan laju pertumbuhan kedelai
tertekan.
Sedangkan rendahnya pertumbuhan
tinggi tanaman pada perlakuan kontrol
(T0) dan pada perlakuan ketebalan mulsa
ampas sagu 1 cm (T1) disebabkan oleh
adanya persaingan antara gulma dan
tanaman terhadap hara, air, ruang dan
cahaya matahari. Hal itu disebabkan
ketebalan mulsa ampas sagu 1 cm masih
belum
mampu
menghambat
perkecambahan dan pertumbuhan biji
gulma di sekitar tanaman kedelai. Ternyata
dengan
keterbalan
1
cm
masih
dimungkinkan terjadinya intersepsi cahaya
mencapai pemukaan tanah sehingga dapat
membantu pertumbuhan gulma.
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa
perlakuan
ketebalan
mulsa
sagu
berpengaruh sangat nyata terhadap bobot
kering gulma.
Rata-rata bobot kering gulma akibat
perlakuan ketebalan mulsa ampas sagu
dapat dilihat pada tabel 2 dibawah ini.

66

Tabel 2. Rata-rata bobot kering gulma


akibat perlakuan ketebalaan mulsa ampas
sagu
Bobot Kering Gulma
Perlakuan
(g)
To
10.03 c
T1
6.28 ab
T2
4.53 a
T3
4.78 a
T4
4.22 a
BNT (0,05)
2.79
Keterangan: Angka rata-rata yang diikuti
oleh huruf yang sama pada kolom yg sama
tidak berbeda nyata pada taraf 5 persen
(Uji BNT)
Tabel 2 di atas terlihat bahwa ratarata bobot kering gulma tertinggi dijumpai
pada perlakuan kontrol (T0) dan terendah
dijumpai pada perlakuan ketebalan mulsa
ampas sagu 4 cm (T4). Tinggi bobot kering
gulma pada perlakuan kontrol (T0)
disebabkan
banyaknya
pertumbuhan
gulma. Hal ini disebabkan karena
tingginya intersepsi sinar matahari yang
dapat mencapai permukaan tanah tanpa
dihalangi oleh mulsa sehingga memacu
perkecambahan dan pertumbuhan biji
gulma. Rendahnya bobot kering gulma
pada perlakuan ketebalan mulsa ampas
sagu 4 cm disebabkan karena dihalangi
oleh mulsa ampas sagu dan kandungan
asam fenolat yang tinggi. Hal ini sesuai
dengan pendapat Syakir et al. (2000), yang
menyatakan didalam ampas tanaman sagu
terdapat asam fenolat yang merupakan
salah satu dari belasan alelokimia senyawa
penyebab
alelopati
yang
dapat
menghambat
pertumbuhan
tanaman
sekitarnya. Proses penghambatan menurut
Devi et al. (1997), melalui beberapa cara,
antara
lain
dengan
menghambat
pembelahan dan pemanjangan sel,
menghambat kerja hormon, mengubah pola
kerja enzim, menghambat proses respirasi,
menurunkan kemampuan fotosintesis,
mengurangi
pembukaan
stomata,

menghambat penyerapan air dan hara serta


dapat menurunkan permeabilitas membran.
Hasil analisis ragam menunjukkan
bahwa perlakuan ketebalan mulsa ampas
sagu memberikan pengaruh sangat nyata
terhadap jumlah cabang produktif .
Rata-rata jumlah cabang produktif
pada perlakuan ketebalan mulsa ampas
sagu dapat dilihat pada tabel 3 di bawah
ini.
Tabel 3.Rata-rata jumlah cabang produktif
pada perlakuan ketebalan mulsa ampas
sagu
Jumlah Cabang
Perlakuan
Produktif
To
4.35 a
T1
6.45 a
T2
7.35 c
T3
6.93 b
T4
6.73 ab
BNT (0,05)
0.93
Keterangan : Angka yang diikuti huruf
sama pada kolom yang sama tidak berbeda
nyata pada taraf 5 persen (uji BNT)
Tabel 3 diatas terlihat bahwa ratarata jumlah cabang produktif terendah pada
perlakuan kontrol (T0) dan tertinggi pada
T2. Rendahnya jumlah cabang produktif
pada tanaman yang tidak diberi mulsa
bahan
organik
disebabkan
karena
terjadinya persaingan hara, air, ruang, dan
cahaya.
Tabel 3 di atas juga menunjukkan
bahwa jumlah cabang produktif yang baik
pada perlakuan T2 karena pada perlakuan
ketebalan mulsa ampas sagu pada 2 cm
dapat menghambat pertumbuhan gulma
dan meningkatkan pertumbuhan tanaman.
Sedangkan pada perlakuan ketebalan
mulsa ampas sagu diatas 3 cm dapat
menyebabkan keracunan yang disebabkan
oleh asam fenolat yang tinggi dan
ketebalan
mulsa.
Sedangkan
pada
perlakuan ketebalan mulsa ampas sagu
dibawah 2 cm menyebabkan pertumbuhan
gulma yang banyak sehingga terjadinya
persaingan faktor tumbuh antara tanaman

dan gulma. Hal ini menunjukkan ketebalan


mulsa ampas sagu diatas 3 cm atau
dibawah 2 cm kendatipun mampu
meningkatkan
pertumbuhan
cabang,
namun
belum
maksimal
dalam
pertumbuhan kedelai. Sesuai dengan
pendapat Handayanto et at. (1994), sifat
lepas dari senyawa fenolat mempunyai
kemampuan yang sangat komplek dalam
melakukan perombakan zat-zat yang
terkandung,
yang
mengakibatkan
pelepasan unsur dari ampas sagu menjadi
terhambat.
Hasil analisis ragam menunjukan
perlakuan ketebalan mulsa ampas sagu
berpengaruh sangat nyata terhadap bobot
biji kering kedelai per tanaman.
Rata-rata jumlah bobot biji kering
tanaman kedelai per tanaman akibat
perlakuan ketebalan mulsa ampas sagu
dapat dilihat pada tabel 4 di bawah ini.
Tabel 4. Rata-rata ketebalan mulsa ampas
sagu terhadap bobot biji kering kedelai per
tanaman
Bobot kering biji
Perlakuan
kedelai(g)
T0
11.50 a
T1
21.25 b
T2
37.75 d
T3
35.00 d
T4
28.00 c
BNT 0,05
3.62
Keterangan : Angka yang diikuti huruf
sama pada kolom yang sama tidak berbeda
nyata pada taraf 5 persen (uji BNT).
Tabel 4 diatas dapat dilihat bobot biji
kering kedelai tertinggi terdapat pada
perlakuan 2 cm (T2) sebanyak 37,75 g per
tanaman tidak berbeda nyata dengan T3.
Hal ini disebabkan ketebalan mulsa ampas
sagu 2-3 cm merupakan yang ideal dalam
menekan
pertumbuhan
gulma
dan
meningkatkan
pertumbuhan
tanaman
kedelai, sehingga bobot kering biji per
tanaman yang tinggi.
Menurut Wahid et al. (1999), mulsa
ampas sagu berpengaruh positif terhadap
67

pertumbuhan
tanaman
yaitu
dapat
mengurangi fluktuasi suhu tanah harian
sehingga kandungan air tanah dapat
dipertahankan pada batas optimal. Hal ini
diduga selain kemampuan mulsa ampas
sagu menekan gulma, juga disebabkan
kemampuan mulsa meningkatkan porositas
tanah, permeabilitas dan bulk density
tanah. Penekanan gulma hanya terjadi pada
areal percobaan, hal ini disebabkan karena
pengaruh penutupan secara fisik dan
pengaruh asam-asam fenolat pada ampas
sagu. Pengaruh alelopati ampas sagu
mampu menekan gulma di awal percobaan.
Seiring bertambahnya waktu, dekomposisi
mulsa ampas sagu lebih berfungsi sebagai
pemacu pertumbuhan terhadap tanaman
kedelai melalui penambahan unsur hara
dalam tanah dan memperbaiki sifat fisik
dan biologi tanah.
Menurut Stevenson (1994), pada
kosentrasi tertentu asam fenolat dapat
menimbulkan keracunan pada tanaman
kedelai yang menyebabkan akar kurang
berkembang, pendek, tidak memiliki akar
rambut, warna coklat, ujung daun menjadi
warna kuning, dan tanaman menjadi kerdil.
IV. KESIMPULAN
Dari hasil penelitian
dapat
disimpulkan sebagai berikut:
1. Perlakuan ketebalan mulsa ampas sagu
berpengaruh sangat nyata terhadap
tinggi tanaman kedelai, bobot kering
gulma, jumlah cabang produktif dan
bobot kering biji kedelai.
2. Pada ketebalan mulsa ampas sagu 2-3
cm menunjukkan hasil yang baik pada
tinggi tanaman, bobot kering gulma,
jumlah cabang produktif dan bobot
kering
biji
kedelai.
Sedangkan
ketebalan ampas sagu melebihi 3 cm
pertumbuhan tanaman pokok kedelai
menjadi terhambat.

68

SARAN
1. Disarankan kepada setiap pengelola
sagu agar tidak membuang limbah
ampas sagu secara bebas karena dapat
mencemari lingkungan, melainkan
dapat dimanfaatkan sebagai mulsa pada
tanaman kedelai.
2. Untuk menekan pertumbuhan gulma dan
meningkatkan pertumbuhan tanaman
kedelai dapat memberikan mulsa ampas
sagu pada ketebalan 2-3 cm.

DAFTAR PUSTAKA
Devi, S.R, Pellisier and Prasad. 1997.
Allelochamical
In:
M.N.V.
Prasad (Eds). 1997. Plant
Ecophysiologi. John Willey and
Sons. Inc. Toronto. Canada. 253303.
Einhellig. F.A. 1995. Allelophati Current
Status and Future Growth.
American Cheminal Society.
Washington. D.C.216p.
Handayanto, E.G., Gadisch, and K.. Giller.
1994. N Reselase from legume
hedgerow tree pruning in relation
to their quality and incubation
method. Plan and soil. 160: 238
M. Syakir et a,2000. Pengaruh ampas sagu
dan
kompos
terhadap
produktivitas lada perdu 173
Oudejans. J.H. 1991. Agro Pesticides:
properties and Funtion In
Intergrated
Crop
Protection
United Nations. Bangkok. 329p.
Stevenson, F.J. 1994. Humus Chemistry,
Genesis,
Composition
and
Reaction. A. Willey-Interscience
Pub Singapore. 496p.

Suprapto, H.S. 1989. Bertanam Kedelai.


P.T. Penebar Swadaya. Jakarta.
Rahayu, E.S. 2001. Potensi Alelopati lama
kultivar terhadap gulma dan
persaingannya. Dalam Surato A
Yunus, E.Purwanto dan Supyino.
Wahid, P., M.H.B. DjoefrieE, dan M.
Syakir.
1999.
Manipulasi
Agronomik
dalam
Upaya
Meningkatkan Daya Saing dan
Keunggulan Komparatif Lada
Perdu. Laporan RUT. (Kantor
Menteri Riset dan Teknologi
Dewan Riset Nasional (tidak
dipublikasikan).

69

PETUNJUK PENULISAN NASKAH JURNAL RONA LINGKUNGAN HIDUP


Naskah yang akan dikirimkan ke redaksi merupakan
hasil penelitian, review artikel atau kajian
kebijakan, yang berhubungan dengan permasalahan
lingkungan hidup dan dilaksanakan pada 5 tahun
terakhir.
Naskah
tersebut
belum
pernah
dipublikasikan maupun sedang dipertimbangkan
penerbitannya di jurnal lain.
Pengiriman Naskah, Naskah sebanyak 2 eksemplar
disertai dengan copi plasdisk dikirim ke alamat berikut
: Redaksi Jurnal Rona Lingkungan Hidup
Bapedalda Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam,
Jln. Tgk. Malem No. 2 Banda Aceh.
Naskah yang layak dan telah dikoreksi oleh team
editor akan dimuat dan diterbitkan dalam Jurnal
Rona Lingkungan Hidup. Naskah yang ditolak akan
dikembalikan ke pemiliknya, sedangkan naskah
yang ditunda penerbitanya akan disimpan oleh
redaksi dan akan diperioritaskan pada penerbitan
berikutnya.
Bahasa. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau
Bahasa Inggris.
Format. Naskah terdiri dari Judul, Nama Penulis,
Abstrak, Kata Kunci, Pendahuluan, Bahan dan
Metode, Hasil dan Pembahasan, Kesimpulan,
Ucapan Terima Kasih (bila diperlukan), Notasi, dan
Daftar Pustaka. Naskah diketik dengan Microsoft
Word pada kertas A4 (215 mm x 297 mm) dalam
bentuk ketikan 1 spasi dengan huruf Times New
Roman 12 pitch. Margin kiri 3,5 cm, margin kanan
2 cm, margin atas 3 cm dan margin bawah 3 cm
setiap halaman diberi nomor.
Nama Penulis. Ditulis lengkap (tanpa gelar) disertai
nama instansi tempat penulis bekerja serta alamat email.
Abstrak. Untuk tulisan berbahasa Indonesia,
abstraknya ditulis dalam bahasa Inggris sedangkan
tulisan dalam bahasa Inggris abstraknya ditulis
dalam bahasa Indonesia. Abstrak tidak melebihi 250
kata yang berisikan uraian singkat inti
permasalahan, tujuan, metode dan keluaran utama
penelitian. Abstrak diketik dengan huruf Times New
Roman 10 pitch.
Kata Kunci. Ditulis dalam bahasa Inggris,
sebanyak-banyaknya 5 buah dan dicantumkan di
bawah abstrak.
Pendahuluan. Pendahuluan menjelaskan latar
belakang penelitian, permasalahan, tinjauan pustaka

yang sangat penting serta tujuan penelitian. Metode


penelitian memuat tentang waktu dan lokasi, bahan
dan alat utama, rancangan penelitian, variabel yang
diamati serta analisis statistika yang digunakan.
Hasil dan Pembahasan. Hasil Pembahasan
digabung menjadi satu kesatuan yang utuh. Data
yang telah tertera dalam hasil penelitian, baik dalam
bentuk tabel maupun gambar tidak perlu diuraikan,
namun harus diinterprestasikan. Hasil penelitian
yang diperoleh dapat dibandingkan dengan
penelitian lain yang dipublikasikan. Setiap gambar
dan tabel diberi judul dan keterangan singkat yang
diletakkan di bawah untuk gambar dan di atas untuk
tabel.
Kesimpulan
dan
saran
merupakan
rangkuman/inti dari suatu hasil penelitian.
Daftar Pustaka. Cara mengacu daftar acuan
dilakukan dengan menuliskan nama penulis pertama
dan tahun penerbitan di dalam kurung, misalnya
(Afean dkk.,1991) untuk penulis lebih dari dua
orang atau (Lu dan Wilkins. 1996) untuk penulis
dua orang. Penulisan Daftar Pustaka harus memuat
semua nama penulis. Morton dkk, tidak dibolehkan.
Judul harus lengkap. Daftar pustaka disusun ke
bawah menurut abjad nama akhir penulis pertama.
Daftar pustaka dari suatu jurnal ilmiah ditulis ;
Lu, Y. dan Wilkins, E., 1996, Heavy Metal Removal
by Caustic-Treated Yeast Immobilized in
Alginate, J. Hazardous Materials, 49 (1) 165179.
Daftar pustaka dari suatu buku ditulis ;
Eckenfelder, W.W.Jr., 1989, Industrial Water
Pollution Control, McGraw-Hill, New York.
Daftar pustaka dari suatu prosiding ditulis ;
Berbner. S, dan Loffler. F., 1994, Pulse Jet
Cleaning of Rigid Ceramic Filters Sepating
Hard and Brown Coal Fly Ashes at High
Temperature. Proceeding of The 11th
International Piitsburgh Coal Conference,
Pittsburgh, 12-16 September, 1357-1363.
Daftar pustaka dari suatu paten ditulis ;
Afeyan, N.B., Regnier, F., dan Dean, R, Jr.,
1991, US Patent 5,019,270, May 28.
Daftar pustaka dari suatu tesis/disertasi ditulis ;
Kuriwan, T., 1997, Bioaccumulution of Arsenic,
PhD Thesis, Kagoshima University, Japan.

Anda mungkin juga menyukai