1 MARET 2012
ISSN : 1412-7709
Jurnal
RONA LINGKUNGAN HIDUP
(Journal of Environment)
BAP EDAL
PEMERINTAH ACEH
BADAN PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN
BAPEDAL
ISSN : 1412-7709
Jurnal
RONA LINGKUNGAN HIDUP
(Journal of Environment)
Dalam rangka meningkatkan peran
Dewan Redaksi :
Pengarah : Kepala BAPEDAL Aceh
Penanggung jawab : Mountie Syurga, ST,
MM (Kepala Bidang Program Informasi
dan Tata Ruang Lingkungan)
Sekretaris : Safrida Afriana, ST, MEM
lingkungan
Pengendalian
hidup,
Dampak
Badan
Lingkungan
sebagai
media
pengembangan
Staf Redaksi :
Badriah Hasballah, S.Hut
Dewi Erawati Utami, SP
Cut Intan Mutia, S.Kep
Muhammad Yusuf, SE
Elva Rahmi, MT
Afrianti, S.Si
Hery Yanto, S.Hut
Yuli Hartati, A.Md
TM. Fahrizal, SP
Rr. Chandra T. Ratih, A.Md
Dedi Satria, ST, M.Si
Sri Hartini,SE
Saifuddin, SP
Rostina, SP
Jusman, SE
Syarifah Maulidya, SP
Abdul Munir
informasi.
Jurnal
Rona
Lingkungan
Hidup
yang
berhubungan
dengan
Rona
Lingkungan
Hidup
setiap
bulan
Maret
dan
September.
Bendahara
Alvan Ade Reza, ST
Redaksi
Jurnal
16
25
31
37
49
ii
55
63
Abstract - Breadfruit starch is a unique resource which benefits for raw material of green adhesive making. This
green adhesive is made from raw material which is organic, degradable and renewable. This adhesive is
significant to be produced in order to replace inorganic and synthetic adhesive whose character is carcinogenic,
vitiate respiration, and pollute environment because it is hard to be degraded. This study investigated hydrolysis
method of breadfruit starch into dextrin with Hidrochloride Acid (HCl) catalysator. Dextrin hydrolysis is done in
order to produce high dextrin percentage by subtracting the total glucose with free glucose. This study also
evaluated composition change of breadfruit starch in various time and temperature. Optimum dextrin percentage
was obtained at hydrolysis temperature of 120C, hydrolysis time 10 minutes, and 0.6 N HCl concentration, with
dextrin percentage of 86.61%. Furthermore, dextrin obtained was added by casein, cold water, triethanolamine,
and water in order to form adhesive. The research result showed that the shear strength of the dextrin glue is
15.38 kg/cm2 which is larger than that of glue of Fox brands sold in the market that is only 12.48 kg/cm2.
Because there is previous study regarding starch hydrolysis from durian kernel by using chloride acid
catalysator, then data in this research showed the influence of the dextrin usage as raw material of adhesive.
Based on the comparison, it seems that for breadfruit starch hydrolyzed at 120oC for 10 minutes, dextrin
produced is more.
Keywords : adhesive, dextrin, hydrolysis, shear strength.
I. PENDAHULUAN
Menurut Agra dkk. (1979), dekstrin
merupakan senyawa glukosa yang
dihasilkan dari hidrolisisis pati dan
tergantung pada pemecahan rantai
polisakarida. Pati sukun tersusun dari
polimer rantai lurus dan tidak lurus. Kedua
polimer ini sangat potensial untuk dibuat
bahan perekat (starch gum) untuk
kebutuhan industri kertas, keramik,
kosmetik, cat, percetakan, dan plywood
karena merupakan bahan organik yang
bersifat ramah lingkungan (Holtzapple,
2009).
Saat ini penggunan perekat sintetik
anorganik mulai ditinggalkan karena
mengakibatkan banyak dampak negatif
seperti merusak pernafasan, mencemarkan
lingkungan karena sulit didegradasi,
bersifat karsinogenik, dan tidak ekonomis.
Sebagai alternatif, para ahli mulai
80
60
40
5 menit
10 menit
20
0
100
110
120
130
140
Temperatur (C)
Gambar
1.
Hubungan
temperatur
hidrolisis dan kadar dekstrin dengan
konsentrasi HCl 0,6N
Menurut
Kerr
(1970)
untuk
memperoleh dekstrin dari pati dengan
mengunakan katalis pada tekanan 1
atmosfer, suhu pemanasannya berkisar
4
Dekstrin (%)
Dekstrin (%)
100
5 menit
10 menit
0.4
18
16
14
12
10
8
6
4
2
0
0
10
20
30
IV. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitiaan ini,
maka dapat diambil kesimpulan bahwa
selain digunakan sebagai sebagai bahan
makanan, sukun juga sangat prospektif
digunakan sebagai bahan baku pembuatan
perekat sintetik ramah lingkungan. Kadar
dekstrin optimum diperoleh sebesar
86,61% pada kondisi temperatur hidrolisis
120C, waktu hidrolisis 10 menit, dengan
konsentrasi HCl 0,6 N. Kekuatan geser lem
dekstrin tertinggi yaitu 15,38 kg/cm2
diperoleh pada massa dekstrin 20 gram,
sedangkan kekuatan geser lem Fox 12,48
kg/cm2.
Ini
menunjukkan
bahwa
kemampuan daya rekat lem dekstrin dari
tepung sukun lebih tinggi dari lem kayu
biasa sehingga sangat potensial untuk
dikembangkan sebagai bahan pembuatan
perekat organik yang tidak membahayakan
lingkungan.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis berterima kasih kepada rekan
M. Fakri dan kepada Prof. Dr. Mark T.
Holtzapple dari Texas A&M University
atas diskusi yang sangat berharga
mengenai penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Agra, I. B. Warnijati, S, dan Pujianto, B,
1973, Hidrolisa Pati Ketela Rambat
pada Suhu Lebih dari 100oC, Forum
Teknik, 3.
Agra, I. B., Warnijati, S, dan R. S. Riyadi,
1979, Hydrolisis of Sweet Potato
Starch at Atmosphere pressure,
Research Journal, 2 (3), 34.
Agra, I. B., Warnijati, S., dan Indriyani, K.,
1987, Hydrolysis of Dry Cassava
Powder, CHEMECA 87, The 15th
Australasian Chemical Engineering
Conference, pp. 99. 1 96,
Melbourne, Australia.
Abstract - The aims of this research was to understand the diversity of benthos in the Krueng Daroy Darul
Imarah Aceh Besar. The research was conducted from October to November 2011. Sampling location consisted
of four stations that were the station I (upstream) with low community activities, station II (used for public
toilets). Stations III ( community rice fields) and station IV ( industrial sewage household). The result showed
that a high similarity index values were found between stations I and II (72.72%), the station I and IV (51.80%),
and station III to IV (63.68%), whereas a low index of similarity was found between the station I and III
(48.72%), station II and III (49.89%), as well as station II and IV (47.83%). Bentos found in the Krueng
Daroy, Aceh Besar was comprised four classes: Gastropoda, bivalves, Oligochaeta, and crustaceans. The most
dominant benthos found at each station was Goniobasis virginica of the gastropod class, and the lowest was
marmatus Turbo gastropods , found at station I.
Keywords : Biodiversity, benthos
I. PENDAHULUAN
Bentos adalah organisme yang selalu
mendiami dan menetap di dasar perairan.
Bentos mencakup biota yang menempel,
merayap, atau meliang di dasar perairan.
Bentos
tidak
dapat
menghasilkan
makanannya sendiri yang disebut biota
heterotrof
(heterotrofic)
(Sriwijana,
2005:51).
Komunitas bentos di dasar perairan
lebih banyak diketahui karena hidup
menetap atau melekat di suatu tempat atau
merayap, sehingga dapat menghindar dari
mangsa. Komposisi spesies bentos di suatu
perairan bervariasi sesuai kedalaman air,
perubahan jarak dari pantai dan komposisi
bagian dasarnya (James, W, 1992:192).
Bentos terutama makrozoobentos
memegang peranan penting di perairan
yang ditempatinya. Diantaranya dapat
membantu mempercepat dekomposisi
materi organik sebagai makanan alami bagi
ikan-ikan pemakan di dasar dan dapat juga
digunakan sebagai indikator kualitas air
(Zulmahdi, 1995:5). Sifat bentos yang khas
yaitu
memiliki
toleransi
terhadap
perubahan lingkungan dan hidupnya yang
relatif menetap. Adanya pencemaran
Prosedur Kerja
Metode yang digunakan dalam
pengumpulan data adalah dengan membuat
4 (empat) stasiun pengamatan yang
masing-masing terletak: Stasiun I (satu)
mewakili daerah hulu Krueng Daroy
(daerah pemandian Mata Ie) karena daerah
tersebut aktifitas masyarakat masih rendah,
stasiun II (dua) di Desa Gendring karena
aliran sungai di daerah ini sering dipakai
masyarakat untuk MCK (mandi, cuci,
kakus), stasiun III (tiga) di daerah
persawahan di desa Gugajah karena aliran
airnya lebih deras dan Stasiun IV (empat)
dibelakang pasar Ketapang yang dipakai
sebagai saluran pembuangan limbah
industri rumah tangga. Dalam setiap
stasiun tersebut terdapat 9 (sembilan) titik
sampling yang terbagi antara lain 3 (tiga)
titik di bagian ke dua tepi dan 3 (tiga) titik
di bagian tengah. Jarak antara ke tiga titik
tersebut adalah 10 m.
Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dilakukan
dengan cara pengamatan langsung
terhadap objek penelitian. Pengambilan
data dilakukan dengan cara mengambil
bentos pada 36 titik sampling yang terbagi
dalam 4 (empat) stasiun, kemudian
masing-masing stasiun dijumlahkan dan
diidentifikasi.
Analisis Data
a. Indeks Keragaman
H = pi ln pi
H = Indeks Keragaman
ni
pi =
N
ni = Jumlah Individu Spesies ke-i
N = Total Individu Populasi (Barbour et
all,1987)
b. Indeks Kemerataan
Indeks kemerataan menunjukkan
banyaknya jenis yang sama yang
dijumpai pada setiap stasiun.
11
H
log S
Keterangan
e = Indeks Kemerataan
H = Indeks Keragaman
S = jumlah spesies yang dijumpai
e=
c. Indeks Similaritas
2W
IS =
x 100 %
A+ B
Keterangan:
IS = Indeks Similaritas (Kesamaan)
A = Jumlah Spesies pada stasiun A
B = Jumlah Spesies pada stasiun B
W = Jumlah Spesies yang sama
yang ditemukan pada kedua
stasiun namun yang diambil
ialah nilai yang terendah
(Krebs,1978)
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
Keragaman dan Kelimpahan Bentos di
Perairan Krueng Daroy
Dari hasil pengamatan terhadap
keragaman dan kelimpahan bentos di
perairan Krueng Daroy, didapatkan empat
kelas bentos pada bulan Oktober dan
November 2010. Bentos yang ditemukan
pada musim hujan yaitu bulan Oktober dan
November
tersebut
adalah
kelas
Gastropoda, Bivalvia, Oligochaeta, dan
Crustecea. Bentos yang ditemukan pada
bulan Oktober dan November di keempat
stasiun pengbambilan terdiri dari enam
jenis Gastropoda, dua jenis Bivalvia, satu
jenis Oligochaeta, dan satu jenis Crustacea.
Jumlah jenis bentos terbanyak pada
bulan oktober didapatkan di stasiun I yaitu
Sembilan jenis, yang terdiri dari enam jenis
dari kelas Gastropoda, dua jenis dari kelas
Bivalvia, satu jenis dari kelas Oligochaeta,
dan satu jenis Crustacea. Jumlah jenis
terendah didapatkan pada stasiun II yaitu
lima jenis, yang terdiri dari empat jenis
dari kelas Gastropoda dan satu jenis dari
kelas Oligochaeta. Pada bulan November
jumlah jenis yang ditemukan di stasiun III
12
Rata-rata
29,9
31,9
32,3
32,5
Salinitas
I
II
III
IV
0,3
1,1
1,9
2,4
Ph
I
II
III
IV
7.4
7,2
7,2
7,3
Kecerahan
I
II
III
IV
0,50
0,97
0,93
0,65
November
Taksa
I
II
III
IV
II
III
IV
A. Gastropoda
1 Pomacea
paludosa
2 Goniobasis
virginica
3 Batilliria
attramentaria
4 Trayoria
cathrata
5 Helix
pomata
6 Turbo
marmathus
B. Oligochaeta
500
325
525
600
175
450
125
275
375
175
450
25
7 Lumbricus
terrestris
C. Bivalvia
375
50
250
75
50
375
300
425
8 Psidium
dubium
9 Actinonatus
carinata
D. Cructacea
200
450
25
300 1125
50
50
100
25
225
550
125
125
250
200
275
500
10 Parathelposa sp
Jumlah
jenis/spesies
Jumlah total
950
1375 200
Keterangan:
Stasiun I : Daerah pemandian Mata Ie
Stasiun II : Desa Gendring
Stasiun III : Persawahan di Desa Gugajah
Stasiun IV : Belakang pasar Ketapang
Kepadatan rata-rata bentos di setiap
stasiun pada bulan Oktober dan November
dapat dilihat pada tabel 1. Pada bulan
Oktober kepadatan rata-rata tertinggi
terdapat pada stasiun IV yaitu 9600
individu/m2 dan terendah pada stasiun II
yaitu 1725 individu/m2. Untuk bulan
November kepadatan rata-rata tertinggi
terdapat pada stasiun III yaitu 10100
13
menyukai substrat
Trisna,2001:35).
berpasir
(Sanita
4
5
6
II dan III
II dan IV
III dan IV
49,89
47,83
63,68
14
Indeks
Similaritas
(kesamaan)
digunakan untuk melihat kesamaan jenis
antar stasiun. Indeks kesamaan yang
tertinggi dijumpai pada stasiun I dan II
yaitu 72,72 % dan yang terendah pada
stasiun II dan III yaitu 47,83 %. Menurut
Odum (1993) jika nilai indeks kesamaan
lebih besar dari 50 % berarti adanya
persamaan antara dua komunitas dan jika
nilai indeks kesamaannya lebih kecil dari
50 % berarti adanya perbedaan antar dua
komunitas. Tingginya kesamaan antara
stasiun I dan II menunjukkan bahwa secara
umum kondisi fisik dan kimia perairan
relatif sama. Hal ini dapat dilihat dari nilai
faktor fisik dan kimia perairan yang tidak
jauh berbeda.
V. SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian tentang
keragaman bentos di Krueng Daroy dapat
disimpulkan bahwa:
1. Terdapat 10 jenis bentos yang
dikelompokkan kedalam 4 kelas yaitu
Gastropoda, Bivalvia, Oligochaeta, dan
Crustacea.
2. Indeks keragaman bentos yang
ditemukan berkisar antara 1,245 sampai
3,488, hal ini menunjukkan bahwa
tingkat keragaman bentos antara satu
stasiun dengan stasiun lain tinggi.
3. Indeks keseragaman berkisar antara
0,598 sampai 1,793 yang berarti bahwa
jumlah individu tiap jenis merata atau
seragam.
4. Indeks similaritas menunjukkan bahwa
bentos di Krueng Daroy relatif sama
dengan nilai antara 47,83 % sampai
72,72 %.
DAFTAR PUSTAKA
Ardi. 2002. Pemanfaatan Makrozoobentos
Sebagai Indikator Kualitas Perairan
Pesisir. ITB: Bogor.
Boyd dan Lichtkoppler dalam Yustina,
Keanekaragaman Ikan di Krueng
Daroy Kecamatan Darul Imarah
Aceh Besar, NAD (Skripsi) (Banda
Aceh Unsyiah, 2004), hal. 4.
Brotowidjoyo
dalam
Yustiana,
Keanekaragaman Ikan di Krueng
Daroy Kecamatan Darul Imarah
Aceh Besar, NAD (Skripsi) (Banda
Aceh: Unsyiah,2004), hal.3.
DPPW-DJSDA, Laporan Pendahuluan
Penanggulangan Bankir Krueng
Daroy,
Krueng Neng dan Krueng
Lung Panga (Tahap II) Kabupaten
Aceh Besar ,(NAD: Wahana Adya
Konsultan, 2001), hal.21.
DPPW-DJSDA, Laporan Nota Penjelasan
Penanggulangan Bankir Krueng
Daroy, Krueng Neng dan Krueng
Lung Panga (Tahap II) Kabupaten
Aceh Besar, (NAD: Wahana Adya
Konsultan, 2001), hal.1.
15
Screening of Well in Banda Aceh Districts and Aceh Besar Districts for
Contamination with Faecal Coliform Bacteria
Cut Yulvizar
Biology Department,
Faculty of Mathematics and Natural Sciences, Syiah Kuala University, Indonesia
Email: Yunda_mnz@yahoo.com
Abstrak - Tsunami telah menghancurkan infrastruktur prasarana air termasuk sumur di masyarakat aceh.
Faktor tsunami, penataan lahan(kota dan desa) dan pengunaan lahan dapat mempengaruhi kualitas air
termasuk kontaminasi faekal. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh rehabilitasi sumur setelah
tiga tahun tsunami terhadap kualitas air. Parameter yang diukur adalah total jumlah bakteri faekal (koliform
dan Escherichia coli). Sebanyak empat puluh delapan sampel air sumur diambil dan dianalisis dari bulan
Agustus 2007 sampai Desember 2007. Interview dengan pemilik sumur juga dilakukan untuk mendapatkan
informasi tambahan. Hasil penelitian menunjukan adanya kehadiran bakteri koliform melebihi batas yang
ditetapkan (907/MENKES/SK/VII/2002).
Kata Kunci: Tsunami, Kualitas Air, Bakteri Koliform
I. INTRODUCTION
The earthquake and the following
Tsunami devastated South Asia in
December 2004 and especially Indonesia.
It has caused remarkable problems such as
social, economic and environmental
aspects in some regions of Nanggroe Aceh
Darussalam and Nias. Aceh Besar is one of
the regions that have been impact hardest
by Tsunami. One effect is the
contamination of water that was caused by
damaged sanitary infrastructure such as
septic tanks, wells and water canals. The
water that was contaminated by Tsunami
contains chemical and infectious material
that is dangerous for life.
According
to
Agency
for
Reconstruction and Rehabilitation (BRR)
progress report (2006) in 2005, many
donors
and
non-governmental
organizations (NGOs) have focused on the
provision of housing with limited
investment in associated infrastructure.
NGOs were encouraged to invest in
housing construction without provision of
basic services such as water supply,
sanitation and electricity power. In 2006, a
number of water supply projects were
16
17
18
by
19
coliform bacteria(CFU/100ml)
8
7
d
cd
cd
UH NRA
NUA NU
NRH
ab
b
bd
bd
TTRA
TRH
6
5
4
3
2
1
0
TUA
TUH
Area$*LU$*LM
M$
Figure 2: Innteraction am
mong areas, laand use and
land manageement in colifo
form bacteria. NUA: NonTsunami Urbban Agricultu
ure, NUH: Non-Tsunami
N
Urban Homee Garden, NR
RA: Non-Tsunnami Rural
Agriculture, NRH: Non--Tsunami Rural
R
Home
A: Tsunami Urban
U
Agricuulture, TUH:
Garden, TUA
Tsunami Urrban Home Garden, TRA
A: Tsunami
Rural Agricculture, TRH: Tsunami Rural
R
Home
Garden,. a, aab, bd, b, c and
a cd diffferent letters
show statisccally significcant differennce between
location(P<00.05).
E.coli(CFU/100ml)
a
ab
b
ab
ab
ab
ab
N
NUA
NUH NR
RA NRH TUA
A TUH TRA TRH
Area$*LU$*LLM$
Inn non-Tsu
unami urbaan agricultture
areas (Ule
(
Karen
ng) have beeen found the
lowest E.coli contaminattions. Urbban
agricullture uses more offten chemiical
fertilizeers and liv
vestock prodduction is nnot
presentt. Animal faeces conntain a large
number of E.coli. Thereforre, agricultture
activitiies frequenttly are the source
s
of w
well
contam
mination (W
WHO, 20006b). Anim
mal
faeces have been
n used to enhance ssoil
fertilityy because th
he chemicall fertilizers are
21
22
23
24
Staf Pengajar Fakultas FMIPA Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, email: edirudi@yahoo.com
Staf Pengajar Koordinatorat Kelautan dan Perikanan Universitas Syiah Kuala
Abstract - Pulau Aceh coral reef reefs, which are located in westernmost Indonesia, give important ecological
services for local communities. The catastrophic tsunami in December 2004 caused degradation of marine
resources around Pulau Aceh. Using coral rubble as a media for coral recruitment is an alternative strategy in
order to rehabilitate degraded coral reefs. This research was conducted at three sites (Calog Semani, Pase
Busuk and Luen Balee) in the coral reef ecosystem of Pulau Aceh, from May to October 2007. Changing of
coral cover at rubble media was used to investigate the effectiveness of the media for rehabilitation purposes.
Data were collected by using line intercept transects (LIT) at two levels of water depth. It was found that the
mean of hard coral covers were variable among the site and tend to increase. The results suggested that coral
rubble media can be used as a media for rehabilitation purpose.
Keywords: rehabilitation, coral reef, coral rubble, recruitment, Pulau Aceh
I. PENDAHULUAN
Ekosistem terumbu karang di
wilayah utara Aceh adalah salah satu yang
mengalami degradasi karena adanya
perbuatan manusia yang tidak ramah
lingkungan, seperti penangkapan ikan
dengan metode yang merusak (destructive
fishing) dan penangkapan ikan berlebih
(over fishing) serta sedimentasi dari
daratan. Adanya penangkapan ikan dengan
metode yang merusak di wilayah ini
diperoleh dari informasi langsung melalui
masyarakat di lapangan dan terlihat juga
dari bekas-bekas pengeboman.
Hasil pengamatan Baird et al. (2005)
dan
Campbell
et
al.
(2005)
memperlihatkan bahwa terumbu karang
Pulau Aceh khususnya berada dalam
ancaman dengan kondisi penutupan karang
keras <10% serta keragaman dan biomassa
ikan karang yang rendah terutama bila
dibandingkan dengan Pulau Weh. Namun
demikian, Campbell et al. (2006) dan
didukung hasil pengamatan Rudi et al.
(2007) memperlihatkan bahwa potensi
pulihnya ekosistem terumbu karang di
Pulau Aceh cukup tinggi karena banyaknya
25
Penempatan
kolektor
rekrutmen
karang.
Penelitian
rekrutmen
karang
dilakukan menggunakan substrat batu
kapur (Rudi et al., 2005) berukuran
10x10x2 cm3 yang diikatkan pada suatu
kerangka besi berbentuk persegi panjang
yang ditanam secara kuat di dasar perairan
dengan kedalaman 2-3 m. Jumlah substrat
untuk masing-masing lokasi adalah 10
buah, yaitu lima buah untuk dipindahkan
26
Kelimpahan (koloni/substrat)
Juni
Juli
Agustus
September
Oktober
2
1
0
Calog Semani
Pase Busuk
Luen Balee
Stasiun
Deudap
Calog Semani
Pase Busuk
Leupung
Luen Balee
Luen Balee-1
2
0
1
Waktu Pengamatan
sepanjang
tahun,
walaupun
memperlihatkan adanya fluktuasi nilai.
Pemijahan sepanjang tahun ini merupakan
tipikal organisme wilayah tropis secara
umum. Fluktuasi terjadi karena adanya
puncak-puncak pemijahan pada waktuwaktu tertentu, yaitu diperkirakan mirip
dengan yang terjadi di wilayah yang
berdekatan dan sudah dilakukan peneltian,
misalnya untuk hewan karang yang ada di
Singapura sebagaimana dilaporkan oleh
Guest et al. (2005) bahwa waktu
pemijahan massal karang di wilayah itu
terjadi dua kali dalam setahun, yaitu
dengan puncaknya pada bulan Maret-April
dan diikuti dengan bulan OktoberNovember.
Pengamatan terhadap rekrut karang
yang ditemukan pada habitat alami,
terutama pada substrat yang keras
memperlihatkan perbedaan antar enam
lokasi pengamatan.
Nilai tertinggi
diperoleh pada stasiun Deudap dengan
kelimpahan 9,94 koloni/m2, sedangkan
terendah di Luen Balee 1 dengan
kelimpahan 5,25 koloni/m2 (Gambar 3).
Tingginya kelimpahan rekrut karang
di lokasi penelitian menunjukkan bahwa
potensi rehabilitasi ekosistem terumbu
karang di Pulau Aceh cukup tinggi bila
ditinjau dari ketersediaan larva dan rekrut
karang yang sukses atau ditemukan di
habitat alami.
Namun demikian,
kebanyakan substrat yang ada di Pulau
Aceh adalah dalam kondisi tidak stabil
karena berupa pecahan-pecahan karang
(coral
rubble)
sehingga
apabila
penempelan larva terjadi pada tempat ini,
dipastikan sulit untuk tumbuh sampai
dewasa, bahkan pada umumnya akan
mengalami kematian pasca penempelan.
Banyak coral rubble yang terdapat di
perairan pulau Aceh tidak hanya akibat
kejadian tsunami tahun 2004 silam, namun
jauh sebelumnya perairan ini menjadi
tempat praktik illegal fishing dan
cenderung
terjadinya
over
fishing,
termasuk di dalamnya pemakaian bom dan
27
40
Aceh Island
30
20
Luen B alee 1
P as e B us uk
Lapeung
Deudap
Luen B alee
10
Calog S em ani
P ercent C over
50
28
18
16
14
12
10
8
6
4
2
0
Juni
Agustus
Oktober
Calog Semani
Pase Busuk
Stasiun
Luen Balee
Kedalaman 6 meter
16
14
12
10
DAFTAR PUSTAKA
Juni
Agustus
Oktober
Babcock,
2
0
Calog Semani
Pase Busuk
Luen Balee
Stasiun
R.C.,
Baird,
A.H.,
Piromvaragorn S., Thomson, D.P.
and
Willis,
B.L.
2003.
Identification of Scleractinian
coral recruits from Indo-Pacific
reefs. Zoological Studies 42:
211-226
29
30
I. PENDAHULUAN
Keragaman hayati Indonesia yang
terhimpun dalam ekosistem hutan tropika
jumlahnya mencapai 47 tipe ekosistem.
Dengan berbagai keanekaragaman hayati
yang berbeda dan latar belakang bervariasi,
dunia menetapkan Indonesia sebagai salah
satu dari 12 negara megabiodiversitas.
Keragaman fauna Indonesia yang
sangat berlimpah merupakan modal dasar
bagi pembangunan nasional yang dapat
dimanfaatkan bagi kemakmuran bangsa.
Pemanfaatan keragaman fauna ini harus
memperhatikan aspek kelestarian sehingga
keanekaragaman tersebut tetap terjaga.
Salah satu jenis keragaman fauna
Indonesia adalah kupu-kupu.
Kecantikan dan keindahan kupukupu menjadi daya tarik tersendiri bagi
kolektor, seniman dan ilmuwan (Noerdjito
dan Aswari, 2003; Corbert and Pendlebury,
1992). Banyak penelitian telah dilakukan
oleh para ilmuwan tentang kupu-kupu dari
aspek
biologi,
fisiologi,
ekologi,
taksonomi, dan penyebaran (Borror et al.,
1996).
Lebih dari 2.500 jenis kupu-kupu
terdapat di Indonesia dan beberapa jenis
31
32
KR =
c. Indeks Keanekaragaman
Untuk
memperoleh
Indeks
Keanekaragaman kupu-kupu dihitung
dengan menggunakan rumus ShannonWiener (Odum, 1993) yaitu:
H = Pi ln Pi
dimana :
H = Indek keanekaragaman spesies
Pi = ni/ N
ni = Jumlah individu panda spesies ke-i
N = Total jumlah individu seluruh spesies
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Jumlah Jenis Kupu-kupu
Hasil pengkoleksian kupu-kupu
familia Pieridae yang telah dilakukan di
kawasan Wisata Sungai Sarah ditemukan
sebanyak 14 jenis yang tergolong ke dalam
tujuh genus. Terjadi peningkatan terhadap
jumlah jenis dari familia ini dibandingkan
pemantauan pada tahun 2007 dan 2009
yang dilakukan oleh Luthfi (2010) yang
hanya
menemukan
masing-masing
sebanyak 5 dan 11 jenis. Jumlah jenis dan
individu yang tertangkap di lokasi
penelitian dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Jenis-jenis kupu-kupu dari familia
Pieridae yang ditemukan di Sungai Sarah
No
Jenis
Jlh indiv.
1
2
Appias albina
2
3
Appias libythea
3
38
Appias lyncida
4
9
Catopsilia pomona
5
3
Catopsilia scylla
6
1
Delias hyparate
7
1
Eurema ada
8
1
Eurema andersonii
9
2
Eurema blanda
10 Eurema hecabe
7
11 Eurema lacteola
7
12 Gandaca harina
1
13 Hebomoia glaucippe
3
14 Leptosia nina
1
33
34
4.
L.
2000.
Keanekaragaman
Rhopalocera Diurnal di Taman
Hutan Raya Cut Nyak Dhien
Seulawah, Aceh Besar. Skripsi.
Universitas Syiah Kuala, Banda
Aceh.
Aini,
35
Island.
Vol.
1,
Papilionidae.
Translate into English by Morishita,
K and Kaneko, M. Plapac co.ltd.
Tokyo, Japan.
36
Abstract - This research was done in Banda Aceh City Centre, Aceh Province. Banda Aceh City is one of the
historical place that comprises elements since the Kingdom of Aceh period. This place has many historical
sites that can serve as historical attractions. However, the historical sites do not provides appropriate facility
for visitors, especially for interpretation. The purpose of this research was to create landscape planning for
historical tourism and to provide an appropriate landscape for interpretation and comfortness in Banda Aceh
City Centre. This research used Gold method (1980) based on activity and historical tourism approach, and
also used qualitative and quantitative analysis to define the strength and the weakness of the site. The proposed
tourism planning concept was the historical tourism planning that help the activity of interpretation for visitor,
and it introduced the values of historical and cultural in Banda Aceh City. This basic concept of the tourism
planning was derived into space plan, circulation plan, tourism facilities plan, greenery plan, trip for touring
plan and interpretation plan. The final result of this study was landscape plan.
Keywords: Aceh Province, Historical Sites, The Centre of Banda Aceh City, Tourism Landscape Planning
I. PENDAHULUAN
Kota Banda Aceh merupakan ibukota
dari provinsi Aceh. Dahulu kota ini
bernama Kutaraja yang kemudian pada
tanggal 28 Desember 1962, kota ini
berubah nama menjadi Banda Aceh. Saat
ini, Kota Banda Aceh telah berumur 805
tahun (Arif, 2008). Pusat Kota Banda Aceh
memiliki banyak situs sejarah pada masa
sejarah
tertentu.
Hal
tersebut
mengharuskan pemerintah kota untuk
dapat menjaga situs peninggalan sejarah
yang ada pada kota tersebut. Oleh karena
itu, diperlukan perencanaan pada situssitus sejarah tersebut menjadi kawasan
wisata sejarah Pusat Kota Banda Aceh.
Saat ini, situs-situs sejarah tersebut
merupakan objek wisata sejarah di Pusat
Kota Banda Aceh yang sering dikunjungi.
Akan tetapi, pengunjung baik wisatawan
lokal
maupun
wisatawan
asing
mengunjungi situs-situs sejarah tersebut
secara terpisah, sehingga pengunjung
belum mendapatkan pengalaman dan
37
an
objek
sejarah
E.
Atraksi
seni
dan
budaya
memiliki
keutuhan
kurang dari
30%
Terdapat
satu jenis
atraksi seni
dan budaya
keutuhan 3080%
keutuhan
lebih dari
80%
Terdapat dua
sampai lima
jenis atraksi
seni dan budaya
Terdapat
lebih dari
enam atraksi
seni dan
budaya
Krite
ria
Penilai
an
F.
Aksesi
bilitas
dan
sirkula
si
menuju
elemen
lanskap
sejarah
Akses jalan
kurang
mendukung
(kondisi jalan
yang sempit,
beraspal, tetapi
di beberapa
tempat ada yang
mengalami
kerusakan dan
tidak terdapat
pedestrian),
sehingga kurang
mudah untuk
menuju elemen
lanskap sejarah
G.
Inform
asi dan
promos
i
Informasi dan
promosi tentang
elemen lanskap
sejarah kurang
jelas dan tidak
mejadi program
wisata
H.
Aktivit
as
wisata
Terdapat satu
jenis variasi
aktivitas wisata
sejarah
I.
Kunjun
gan
wisata
wan
Kunjungan
wisatawan ke
elemen lanskap
sejarah sedikit
J.
Fasilita
s
wisata
untuk
interpr
etasi
Terdapat satu
jenis fasilitas
wisata untuk
interpretasi
B.
Keunik
an
objek
sejarah
C.
Keaslia
n objek
sejarah
D.
Keutuh
1 (kurang
sesuai
untuk area
wisata
sejarah)
Terdapat
elemen
lanskap
sejarah
yang
mendukung
objek
sejarah dan
terkait
dengan
peristiwa
sejarah
Terdapat
objek
sejarah
dengan
nilai
keunikan
lokal
Terdapat
objek
sejarah
yang
memiliki
keaslian
kurang dari
30%
Objek
sejarah
Skor
2 (cukup sesuai
untuk area
wisata sejarah)
Terdapat
elemen lanskap
sejarah yang
bukan BCB
dengan nilai
sejarah dalam
skala lokal
Terdapat objek
sejarah dengan
keunikan
nasional
3 (sesuai
untuk area
wisata
sejarah)
Terdapat
elemen
lanskap
sejarah yang
merupakan
BCB dan
objek wisata
sejarah
dengan nilai
sejarah dalam
skala nasional
dan
internasional
Terdapat
objek sejarah
dengan
keunikan
internasional
Terdapat objek
sejarah yang
memiliki
keaslian 3080%
Terdapat
objek sejarah
yang
memiliki
keaslian lebih
dari 80%
Objek sejarah
memiliki
Objek sejarah
memiliki
1 (kurang
sesuai untuk
area wisata
sejarah)
Skor
2 (cukup
sesuai
untuk area
wisata
sejarah)
Akses jalan
cukup
mendukung
(kondisi
jalan yang
lebar,
beraspal,
tidak rusak,
tetapi tidak
terdapat
pedestrian)
, sehingga
cukup
mudah
untuk
menuju
elemen
lanskap
sejarah
Informasi
dan
promosi
tentang
elemen
lanskap
sejarah
cukup jelas,
tetapi
belum
menjadi
program
wisata
Terdapat
dua sampai
lima jenis
aktivitas
wisata
sejarah
Kunjungan
wisatawan
ke elemen
lanskap
sejarah
sedang
Terdapat
dua sampai
lima jenis
fasilitas
wisata
untuk
interpretasi
3 (sesuai
untuk area
wisata
sejarah)
Akses jalan
sangat
mendukung
(jalan raya,
kondisi jalan
yang lebar,
beraspal,
tidak rusak,
ada
pedestrian),
sehingga
sangat mudah
untuk menuju
elemen
lanskap
sejarah
Informasi dan
promosi
tentang
elemen
lanskap
sejarah sangat
jelas dan
sudah
menjadi
program
wisata
Terdapat
lebih dari
enam jenis
aktivitas
wisata sejarah
Kunjungan
wisatawan ke
elemen
lanskap
sejarah
banyak
Terdapat
lebih dari
enam jenis
fasilitas
wisata untuk
interpretasi
39
K.
Pelesta
rian/
pengel
olaan
wisata
Tidak terdapat
aktivitas
pelestarian/
pengelolaan
terhadap elemen
lanskap sejarah
L.
Kebija
kan
pemeri
ntah
Kawasan yang
kurang
mendukung
kawasan cagar
budaya
Terdapat
perencanaa
n aktivitas
pelestarian/
pengelolaan
dengan
perkemban
gan
lingkungan
yang
mendukung
terhadap
elemen
lanskap
sejarah
Kawasan
yang sangat
mendukung
kawasan
cagar
budaya
dalam
upaya
pelestarian
yang
ditetapkan
oleh
kebijakan
pemerintah
Terdapat
aktivitas
pelestarian/
pengelolaan
dengan baik
dan intensif
terhadap
elemen
lanskap
sejarah
Kawasan
cagar budaya
yang
ditetapkan
dan
dipertahankan
dengan
adanya
kebijakan
pemerintah
yang
berkaitan
dengan
pelestarian
dan
pengembanga
n wisata
Elemen Sejarah
41
an
RI
(tahun
1945sekarang)
43
Kriteria Penilaian
B
C
D
3
3
3
E
Taman Putroe Phang
1
(Gunongan dan Kandang)
Taman Putroe Phang (Pintoe
3
3
3
3
2
Khop)
Pendopo, Makam Sultan
3
3
3
3
2
Iskandar Muda, Museum Aceh
Mesjid Raya Baiturrahman
3
3
3
3
3
Lapangan Blang Padang
3
3
3
3
3
Pemakaman Belanda
3
3
3
3
1
Museum Tsunami Aceh
3
3
3
3
3
Kawasan Taman Budaya
1
1
2
2
3
Kawasan Pasar Aceh
2
2
2
2
3
Kawasan Taman Sari
2
2
2
2
3
Kawasan Militer
1
1
2
2
1
Kawasan Permukiman
1
1
1
1
1
Keterangan: A: nilai sejarah; B : keunikan objek sejarah; C :
keaslian objek sejarah; D : keutuhan objek sejarah; E : atraksi
seni dan budaya.
Pendukung Wisata
Analisis ini dilakukan berdasarkan
tata guna lahan. Analisis ini berhubungan
dengan pengembangan wisata sejarah yang
dapat diterapkan pada pengembangan
konsep perencanaan tapak.
Tabel 5. Analisis pendukung wisata
dengan metode scoring.
44
Elemen
Lanskap
Sejarah
Taman Putroe
Phang
(Gunongan dan
Kandang)
Taman Putroe
Phang (Pintoe
Khop)
Pendopo, Makam
Sultan Iskandar
Muda, Museum
Aceh
Mesjid Raya
Baiturrahman
Lapangan Blang
Padang
Pemakaman
Belanda
Museum
Tsunami Aceh
Kawasan Taman
Budaya
Kawasan Pasar
Aceh
Kawasan Taman
Sari
Kawasan Militer
Kawasan
Permukiman
Kriteria Penilaian
H
I
J
2
1
2
1
1
1
2
1
1
1
2
2
2
2
Total Skor
Kategori Ruang
32
Tinggi
35
Tinggi
35
Tinggi
36
Tinggi
36
34
36
25
29
30
19
14
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Sedang
Tinggi
Tinggi
Rendah
Rendah
Ruang
Transisi
58.670
m
8%
Ruang
Pelayana
n
475.578
m
64%
Ruang
Penerim
aan
11.738
m
2%
Aktivitas
Mengamati dan
mempelajari nilai
sejarah,
interpretasi,
meilhat objek
sejarah, berfoto,
merasakan
suasana,
beribadah dan
berziarah
Jalan-jalan,
menikmati
suasana dan
pemandangan,
beristirahat
singkat
Membeli
cinderamata atau
souvenir khas
Aceh, menikmati
suasana,
beristirahat,
duduk-duduk,
makan dan
minum, mencari
informasi,
menikmati atraksi
berupa seni dan
budaya, jalanjalan
Memarkir
kendaraan,
membeli tiket dan
registrasi, mencari
informasi
mengenai objek
dan atraksi wisata,
jalan-jalan dan
menikmati
suasana
Fasilitas
Papan informasi, papan
interpretasi, jalur
interpretasi, rest area,
name sign, tempat
duduk, lampu dan tempat
sampah
45
Transisi
Jenis
Vegetasi
Ki Hujan
Asam
Kurma
Beringin
Saga
Tanjung
Lotus
Glodokan
Tiang
Bawangbawangan
Spider Lily
Pangkas
Kuning
Cempaka
Asam
Spider Lily
Teh-tehan
Pangkas
Kuning
Spider Lily
Pangkas
Kuning
Cempaka
Asam
Soka
46
Soka
Penerim
aan
Soka
Cempaka
Asam
Tanjung
Soka
Pelayana
n
Fungsi Vegetasi
B
C
D
IV. KESIMPULAN
Kawasan Pusat Kota Banda Aceh
layak dijadikan sebagai kawasan wisata
sejarah karena banyak terdapat elemen
sejarah dari masa Kerajaan Aceh sampai
masa Kemerdekaan RI. Analisis yang
dilakukan pada elemen sejarah tersebut
mencakup analisis unit lanskap sejarah,
potensi daya tarik wisata sejarah, serta
pendukung wisata. Kawasan tersebut dapat
dimanfaatkan sebagai potensi untuk
dijadikan suatu kawasan wisata sejarah
dengan
memperhatikan
wilayah
administrasi, tata guna lahan, aksesibilitas
dan sirkulasi, serta unit lanskap sejarah.
47
48
Abstract -Communities surrounding The National Park of Lauser Mountain, especially Agusan Village is a
community that meet their daily needs from agriculture and livestock sector by using conventional .
management . It drives poverty and underdevelopment their lives. The result showed that Characteristics of the
population was 50.61% of productive age, the average education level of primary school graduates, 6 (six) of
dependents of family in average. Types of livelihoods in Agunan village was farmers and plantation estates
around 97.44%
with an
average income
of Rp. 4.5
million per year.
Income and
education levels are relatively lower than other areas leading to negative impact on the preservation of
The National Park of Leuser Mountain, which exists around settlements.
Keywords : The National Park of Lauser Mountain, Agusan Village
,
I. PENDAHULUAN
Hutan sangat penting bagi kehidupan
manusia baik untuk kelestarian sumber
daya alam maupun untuk memenuhi
kebutuhan perumahan dan lapangan kerja
dan akan berguna bagi kehidupan generasi
yang akan datang. Pembangunan dan
peningkatan kelestarian sumber daya alam
hutan dan kelangsungan fungsi serta mutu
lingkungan hidup dan peningkatan fungsi
sosial ekonomi bagi masyarakat sekitar
hutan perlu terus diupayakan pelestarian.
Taman Nasional dikembangkan
sesuai dengan fungsi kawasan lindung
pengelolaannya harus berdasarkan kepada
asas-asas konservasi. Di samping itu
karena Taman Nasional mengandung nilainilai yang dapat dikembangkan bagi
kepentingan kesejahteraan masyarakat
maka taman nasional dikelola pula dengan
pendekatan
asas-asas
pemanfaatan.
Sebagai aturan umum, prioritas pertama
harus
mementingkan
keperluan
perlindungan sumber daya alam, dan kedua
untuk
dapat
memenuhi
kebutuhan
masyarakat dari hasil sumberdaya alam
yang dipungut (Anonyumus, 1995).
49
50
7.800.000
36.000.000
26,67
4.800.000
24.000.000
17,78
9.600.000
9.600.000
7,11
5.400.000
5.400.000
4,00
1.200.000
2.400.000
1,78
30
135.000.000
100,00
Jumlah
Pendapatan Rata-rata/Tahun
: 4.500.000
Tingkat
Pendidikan
Tidak sekolah
SD
SLTP
SMU
Perguruan
Tinggi
Jumlah
Sumber
(diolah)
Analisa
Jumlah
(orang)
9
12
4
3
2
Persentase
(%)
3 0,00
40,00
13,33
10,00
6,66
30
100,00
Data
Primer,
2006
51
3.
Perumahan &
Pekarangan
Sawah:
- Teknis
- Sederhana
Ladang/
Kebun
- Garapan
- Teknis
Jumlah:
Sumber Analisa
(diolah).
52
213
51,70
Jenis Hasil
Hutan yang
Dipungut
Kayu dan non
Kayu
Rotan
1.
(Calamus pp)
Kayu Bakar
2.
Rumput
3.
(Pallinia pp)
Tumbuhan
4.
Obat
Rimbang
5.
Rebung
7.
Madu
8.
Jumlah :
Jumlah
(KK)
Persentase
(%)
10
13
2
43,33
6,66
10
4
3
2
30
13,33
10
6,66
100,00
1,45
5,08
162
10
412
39,32
2,42
100,00
Data
Primer,
2006
Tingkat
Pengetahuan
Tau
2.
Tidak tahu
10
33,33
3.
Ragu-ragu
06,66
30
100,00
Jumlah
Sumber Analisis
(diolah)
Jumlah
(orang)
18
Persentase
(%)
60,00
Data
Primer,
2006
IV. KESIMPULAN
Dari hasil penelitian dapat ditarik
beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Jumlah penduduk Desa Agusan
berjumlah 575 jiwa dengan 283 jiwa
laki-laki atau (49,21%) dan 292 jiwa
perempuan (50,78%). Penduduk ini
terbagi dalam 120 kepala keluarga
(KK).
2. Karakteristik penduduk dipandang dan
segi umur berada pada dalam usia
produktif (umur 15-54 tahun) sebesar
50,61% penduduk kelompok usia tua
(umur 55 tahun ke atas) sekitar 4,61%,
lamanya pendidikan rata-rata 7 tahun
danjumlah tanggungan keluarga ratarata 6 jiwa.
3. Pola pemanfaatan lahan 3014 Ha.
Terbagi atas pemukiman penduduk
berupa perumahan dan pekarangan
seluas 51,70%, sawah teknis 1,45% dan
sederhana 5,08%, ladang/kebun garapan
39,32% dan teknis seluas 2,42%. Maka
dapat di asumsikan bahwa pemanfaatan
lahan di desa agusan semakin lama
semakin luas karena disebabkan
perkembangan penduduk semakin lama
semakin banyak.
4. Jenis mata pencaharian Desa Agusan
dominannya sebagai petani dan
perkebunan 97,44 % dengan pendapatan
rata-rata
petani
per
tahun
Rp.4.500.000,5. Tingkat pendapatan dan pendidikan
yang relatif rendah masyarakat Desa
Agusan
Kecamatan
Blangkejeren
Kabupaten Gayo Lues, berdampak
negatif terhadap kawasan Taman
Nasional Gunung Leuser ( TNGL ),
yang ada di sekitar pemukiman dan
berpengaruh terhadap kawasan Taman
Nasional Gunung Leuser ( TNGL).
Saran
1. Mengupayakan peningkatan pendapatan
masyarakat oleh intansi terkait dengan
pembinaan lapangan kerja.
53
2. Adanya
penyuluhan
terhadap
masyarakat akan pentingnya hutan
terutama kawasan pelestarian alam,
sehingga
masyarakat
tidak
lagi
membuka kawasan hutan dengan ladang
berpindah dan pemukiman.
3. Perlu adanya penelitian lebih lanjut
tentang permasalahan sosial ekonomi
masyarakat di sekitar kawasan Taman
Nasional Gunung Leuser (TNGL).
DAFTAR PUSTAKA
Anonimous, 1980. Pengantar Ilmu
Kehutanan, Diklat Kuliah Sekolah
Tinggi Ilmu Kehutanan Banda Aceh.
__________,
1990.
Undang-Undang
Republik Indonesia No. 5 Tentang
Konservasi L Sumberdaya Alam
Hayati dan Ekosistemnya. Dep.
Kehutanan Jakarta.
_________,
1995-2020,
Rencana
Pengolahan Taman Nasional Gunung
Leuser (TNGL). Dep. Kehutanan.
Dwidjoseputro, 1990. Ekologi Manusia
Dengan Lingkungannya. Erlangga.
Handoyo, 1985. Manusia dan Hutan Proses
Perubahan Ekologi Lereng Gunung
Merapi, Gajah Mada University
Press Yogyakarta.
Lubis,S. 1985. Konservasi di Indonesia.
Mudjijono, 1996/1997. fungsi Keluarga
dalam
Meningkatkan
Kualitas
Sumber Daya Manusia. Dep.
Pendidikan
dan
Kebudayaan
Yogyakarta.
Suprianto, 1995. Propil Ladang Berpindah
di Kecamatan Seulimeum Kabupaten
Aceh Besar, Skripsi Sekolah Tinggi
Ilmu Kehutanan Banda Aceh. (tidak
di publikasikan).
54
I. PENDAHULUAN
Air sangat penting bagi kehidupan
seluruh makhluk hidup di bumi. Untuk
manusia, air selain sebagai konsumsi
makan dan minum juga diandalkan untuk
keperluan pertanian, industri dan lain
sebagainya (Totok Sutrisno, 2006).
Kebutuhan
air
bagi
manusia
(khususnya air konsumsi) harus memenuhi
persyaratan baku mutu tertentu. Mengacu
pada
Peraturan
Kepmen
No.
907/Menkes/SK/VII/2002
Tentang
Persyaratan Kualitas Air Minum yaitu ada
4 syarat tinjauan kualitas air minum yaitu
fisik,
kimia,
mikrobiologi
dan
radioaktivitas.
Untuk
memenuhi
persyaratan tersebut maka diperlukan
pengolahan air secara balk dan benar
berdasarkan sumber air itu sendiri hingga
sampai kepada pengguna.
Menurut Djasio Sanropie (1994)
dalam bukunya menjelaskan bahwa air
adalah suatu zat yang merupakan senyawa
kimia yang terdiri dari dua unsur yaitu
Hydrogen (H) dan Oksigen (O2) yang
membentuk H2O yang disebut dengan air.
Namun dalam kenyataannya di dalam air
tidak selalu murni sebagai H2O akan tetapi
mengandung komponen lain baik berupa
56
Hasil Uji
Laboratorium
Titik I Titik II
Titik III
1000
83,5
86,1
83,5
Suhu Udara 3 oC
28,7
29,1
28,5
Warna
TCU
15
1,70
2,01
2,55
Kekeruhan/Turbidity
NTU
0,38
1,73
1,76
6,5 8,5
77,33
7,31
7,42
(TDS)
Suhu
PH
Tabel 2. Hasil Uji Sampling pada hari Rabu tanggal 21 Oktober 2009.
Parameter Kualitas
Fisik Air
Zat Padat Terlarut
Satuan
Mg/I
Hasil Uji
Laboratorium
Titik I Titik II
Titik III
81,2
85,4
82,1
(TDS)
o
Suhu Udara 3 oC
28,5
Warna
TCU
15
1,64
2,23
2,46
Kekeruhan/Turbidity
NTU
0,46
1,67
1,58
6,5 8,5
7,42
7,25
7,53
Suhu
PH
29,4
28,7
Tabel 3 Hasil Uji Sampling pada hari Jumat tanggal 23 Oktober 2009.
Parameter Kualitas
Fisik Air
Zat Padat Terlarut
Satuan
Mg/I
Hasil Uji
Laboratorium
Titik
Titik II
Titik III
I
82,7
85,2
82,4
(TDS)
o
Suhu Udara 3 oC
29,1
28,4
27,7
Warna
TCU
15
1,59
2,18
2,23
Kekeruhan/Turbidity
NTU
0,87
1,56
1,64
6,5 8,5
7,35
7,42
7,28
Suhu
PH
57
Satuan
Mg/I
Kadar M
Maksimum yaang
diperboleh
hkan Kepmeenkes
No.
907/Menk
kes/SK/VII/22002
1000
Hasiil Uji
Labora
atorium
Tittik I
Titik
k II
Titik
k III
822,46
85,56
82,666
(TDS)
Suhu
Warna
Kekeruhann/Turbidity
PH
Suhu U
Udara 3 oC
28,776
TCU
15
4,933
2,1
14
2,441
NTU
0,577
1,6
65
1,666
6,5 8,5
7,366
7,3
32
7,441
28,96
6
28,3
2. S
Suhu
Berdasarkkan
Kep
pmenkes
No.
9O7ffMenkesISK
KIVIIJ2002
2
tenntang
Persyyaratan Kuualitas Airr Minwn untuk
u
nilai Suhu dittetapkan nilai
n
maksiimum
3 C. Deengan
untuuk Suhu Udara 3
demiikian dapatt disimpulk
kan bahwa, nilai
rata--rata Suhu pada jaring
gan pipa PD
DAM
Tirtaa Daroy Koota Banda Aceh
A
pada tiitik I,
titik II, dan titikk III memen
nuhi standarr baku
mutuu seperti terlihat dalaam grafik 2 di
bawaah ini :
1. TDS
No.
Berddasarkan
Kepmenkes
907/Menkees/SKJVII/2
2002
tentang
Persyaratann Kualitas Air Minuum untuk
nilai TDS ditetapkan
n sebesar 1000
1
mg/l.
Dengan demikian dapat diisimpulkan
bahwa, nillai rata-rataa TDS padda jaringan
pipa PDAM
M Tirta Darroy Kota Baanda Aceh
memenuhi standar baku muttu seperti
terlihat dallam grafik 1 di bawah ini
i :
Grafik 1. P
Perbandingaan nilai rataa-rata TDS
terhadap baaku mutu
3. W
Warna
Berdasarkkan
Kep
pmenkes
No.
9O7ffMenkes/SK
KJVIIJ2002
2
tenntang
Persyyaratan
Kualitas
Air
M
Minum
ditettapkan
nilai
ksimum
u
untuk
mak
param
meter Warnna sebesar 15
1 TCU. Deengan
demiikian dapatt disimpulk
kan bahwa, nilai
rata--rata param
meter Warnaa pada jaringan
pipa PDAM Tirrta Daroy Kota
K
Banda Aceh
58
han
4.. Kekeruh
Berdasarkan
K
Kepmenkes
No.
9007/Menkes//SK/VIII20002
tentang
Peersyaratan
Kualitass
Air
Minum
diitetapkan
nilai
m
maksimum
untuk
K
Kekeruhan sebesar 5 NTU. Dengan
deemikian dap
pat disimpuulkan bahw
wa, nilai
raata-rata paarameter Kekeruhann pada
jaaringan pipa PDAM Tirta Darooy Kota
Banda Aceh pada titik I, titik II, ddan titik
fi memenuh
hi standar baku mutuu seperti
ifi
teerlihat dalam
m grafik 4 di
d bawah ini :
5.. pH
No.
Berdasarkan
K
Kepmenkes
tentang
9O
O7/Menkes/SK/VII/2002
Minum
Peersyaratan
Kualitass
Air
diitetapkan nilai
n
makssimum unttuk pH
seebesar 6,5 - 8,5. Denggan demikiaan dapat
diisimpulkan bahwa, nilaai rata-rata ppH pada
S
Sebelum
mencari
m
nillai IP maaka
terlebihh dahulu haarus ditentukkan nilai:
Ci = Hasil pengukurann sampel
Lix = Nilaii baku mutuu
Ci/Lix
Hasil Peengukuran
=
Nilai baku mutu
Ci/Lix barru = 1 + 5 + log Ci/L
Lix,
jika nilai Ci/Lix > 1,0.
1
Jika nilai
Lix
Ci/Lix < 1,0 maka nilai Ci/L
adalah nilaai Ci/Lix barru tertinggi.
59
Ci/Lix
baru
0,08246 0,08246
0,9586667 0,9586667
N
o
1
2
Paramet Ci
er
TDS
85,56
Suhu
28,96
3
4
Warna
Kekeruh
an
PH
0,8658824 0,8658824
Ci/Lix
Ci/Lix
baru
0,08556 0,08556
0,96533 0,9653
3
1000
Suhu
Udara
3 oC
2,14 15
0,14266 0,14266
1,65 5
0,33
0,33
7,32
6,5
8,5
0,86117 0,86117
0,3286667 0,3286667
0,114
0,114
Lix
3.
Ci/Lix
60
Parame
ter
TDS
Suhu
Ci
Lix
Ci/Lix
Ci/Lix
baru
0,08266 0,08266
0,9433 0,9433
82,66 1000
28,3 Suhu
Udara
3 oC
Warna
2,41 15
0,16066 0,16066
Kekeruh 1,66 5
0,332
0,332
an
PH
7,41 6,5 0,8717 0,8717
8,5
IV. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian ini maka
dapat diambil beberapa kesimpulan
sebagai berikut;
1. Kualitas fisik air minum pada jaringan
pipa PDAM Tirta Daroy Kota Banda
Aceh memenuhi standar baku mutu
yang ditetapkan dalam Kepmenkes No.
9O7/Menkes/SK/VII/2002
tentang
Persyaratan Kualitas Air Minum. Hal
ini berdasarkan hasil penelitian
terhadap parameter fisik air ternyata;
a) Parameter TDS berkisar antara
82,46 Mg/l - 85,56 Mg/l. Dan titik
tertinggi TDS berada di titik II
61
melakukan
kecurangan-kecurangan
yang dapat merusak kualitas air.
4. Kualitas air minum yang dihasilkan
PDAM Tirta Daroy Kota Banda Aceh
sekarang ini sudah cukup baik dan
seyogyanya dapat dipertahankan.
5. Keberlanjutan dan kesinambungan
kondisi air senantiasa berubah setiap
saat akibat dari berbagai proses fisik
sehingga output yang dihasilkan dalam
penelitian ini akan tidak relevan lagi
pada beberapa tahun mendatang.
Untuk itu, penelitian lanjutan secara
berkala perlu dilakukan.
DAFTAR PUSTAKA
C. Totok Sutrisno, dkk, 2006, Teknologi
Penyediaan Air Bersih, Penerbit
PT. Rinika Cipta, Jakarta.
Robin, dick fisling/fluidaair/google), Sifatsifat Fisik Air.
S. Purwanto, 1985 dalam C. Totok
Sutrisno, dkk, 2006, Teknologi
Penyediaan Air Bersih, Penerbit
PT. Rinika Cipta, Jakarta.
62
Abstract - Sago dregs, beside its function as an organic matter, also potential as natural herbicide. The purpose
of this research was to find out the effects of the thickness of sago dregs to the growth of weeds and soybeans.
This research was conducted in Rumpet village, Krueng Barona jaya subdistrict, Aceh Besar from january until
April 2011. This research used a non factorial completely randomized block design with 5 treatments and 4
replications. The result showed that the thickness of sago dregs influences on variable of height crop, dry weight
of weed, number of productive pinnacles and the weight of soybeans dry seed. In thickness of sago dregs 2 cm
showed good result in height crop, dry weight of weed, number of productive pinnacles and the weight of
soybeans dry seed. In thickness of sago dregs more than 3 cm, the growth of soybeans been retarded. To
decrease the growth of weed and increase the growth of soybeans, the sago dregs with thickness of 2 cm can be
used.
Keywords : Soybean, Thickness of sago dregs, Weed
I. PENDAHULUAN
Rendahnya hasil kedelai disebabkan
oleh banyak faktor, salah satu diantaranya
adalah adanya persaingan gulma dengan
tanaman. Penurunan hasil yang diakibatkan
persaingan antara gulma dengan tanaman
kedelai sangat bervariasi, antara 18-76%
(Suprapto, 1989).
Pengendalian gulma diperlukan
untuk mengurangi kerugian akibat
kehilangan hasil. Metode pengendalian
yang umum dilakukan adalah secara
preventif, mekanis, kultur teknis, kimiawi,
hayati dan terpadu. Menurut Rahayu
(2001), penggunaan herbisida sintetik
masih
menjadi
primadona,
karena
penggunaan herbisida efektivitasnya segera
terlihat. Di sisi lain, penggunaan herbisida
sintetik cenderung menimbulkan dampak
negatif terhadap lingkungan seperti
terjadinya resisten gulma.
Mengingat banyak laporan yang
menyatakan bahwa pengendalian gulma
secara kimia secara terus menerus tidak
baik bagi lingkungan, sehingga perlu dicari
alternatif pengendalian gulma yang ramah
lingkungan.
Salah
satunya
adalah
pengendalian secara kultur teknis dengan
63
64
penunjangan
pelaksanaan penelitian
dipergunakan
alat-alat
diantaranya:
cangkul, gembor, meter , timbangan,
pancang kayu dan alat-alat tulis.
Penelitian
ini
menggunakan
Rancangan Acak Kelompok dengan 5
perlakuan dan empat kali ulangan.
Sehingga
jumlah plot percobaan
seluruhnya adalah 4 x 5 = 20 plot. Ukuran
masing-masing plot adalah 2 x 2 m.
Adapun susunan pelakuan ketebalam
mulsa ampas sagu sebagai berikut :
T 0 =Ketebalan mulsa ampas sagu 0 cm
T 1 = Ketebalan mulsa ampas sagu 1 cm
T 2 = Ketebalan mulsa ampas sagu 2 cm
T 3 = Ketebalan mulsa ampas sagu 3 cm
T 4 = Ketebalan mulsa ampas sagu 4 cm
Lahan dibajak dua kali dengan
menggunakan traktor, kemudian tanah
digaru dan dibersihkan dari sisa-sisa
gulma, Selanjutnya dibuat plot percobaan
dengan ukuran 2 x 2 meter sebanyak 20
plot dengan jarak antar plot 30 cm pada
tiap perlakuan dan ulangan.
Benih ditanam dalam larikan, lubang
tanam dibuat dengan tugal sedalam 2 cm
dengan jumlah 3 benih masing-masing per
lubang. dengan jarak tanam adalah 40 x 15
cm.
Pemberian mulsa ampas sagu
dilakukan dengan cara mecampurkan
dengan pupuk kandang dengan komposisi
2:1.
Selanjutnya
ditebarkan
diatas
pemukaan tanah (plot) dan diratakan
dengan menggunakan papan untuk
mendapatkan ketebalan sesuai perlakuan.
Pada ketebalan ampas sagu 1 cm diproleh
7,5 kg ampas sagu dan 3,75 kg pupuk
kandang per plot.
Penyiraman dilakukan 2 kali sehari
sedangkan pupuk yang digunakan adalah
pupuk NPK dengan dosis 150 kg/ha 60 g
per plot). Penyulaman dilakukan 10 hari
setelah tanam dengan 2 tanaman per
lubang tanam. Untuk pengendalian hama
dan penyakit tanaman dilakukan apabila
gejala serangan sudah mulai kelihatan.
65
66
pertumbuhan
tanaman
yaitu
dapat
mengurangi fluktuasi suhu tanah harian
sehingga kandungan air tanah dapat
dipertahankan pada batas optimal. Hal ini
diduga selain kemampuan mulsa ampas
sagu menekan gulma, juga disebabkan
kemampuan mulsa meningkatkan porositas
tanah, permeabilitas dan bulk density
tanah. Penekanan gulma hanya terjadi pada
areal percobaan, hal ini disebabkan karena
pengaruh penutupan secara fisik dan
pengaruh asam-asam fenolat pada ampas
sagu. Pengaruh alelopati ampas sagu
mampu menekan gulma di awal percobaan.
Seiring bertambahnya waktu, dekomposisi
mulsa ampas sagu lebih berfungsi sebagai
pemacu pertumbuhan terhadap tanaman
kedelai melalui penambahan unsur hara
dalam tanah dan memperbaiki sifat fisik
dan biologi tanah.
Menurut Stevenson (1994), pada
kosentrasi tertentu asam fenolat dapat
menimbulkan keracunan pada tanaman
kedelai yang menyebabkan akar kurang
berkembang, pendek, tidak memiliki akar
rambut, warna coklat, ujung daun menjadi
warna kuning, dan tanaman menjadi kerdil.
IV. KESIMPULAN
Dari hasil penelitian
dapat
disimpulkan sebagai berikut:
1. Perlakuan ketebalan mulsa ampas sagu
berpengaruh sangat nyata terhadap
tinggi tanaman kedelai, bobot kering
gulma, jumlah cabang produktif dan
bobot kering biji kedelai.
2. Pada ketebalan mulsa ampas sagu 2-3
cm menunjukkan hasil yang baik pada
tinggi tanaman, bobot kering gulma,
jumlah cabang produktif dan bobot
kering
biji
kedelai.
Sedangkan
ketebalan ampas sagu melebihi 3 cm
pertumbuhan tanaman pokok kedelai
menjadi terhambat.
68
SARAN
1. Disarankan kepada setiap pengelola
sagu agar tidak membuang limbah
ampas sagu secara bebas karena dapat
mencemari lingkungan, melainkan
dapat dimanfaatkan sebagai mulsa pada
tanaman kedelai.
2. Untuk menekan pertumbuhan gulma dan
meningkatkan pertumbuhan tanaman
kedelai dapat memberikan mulsa ampas
sagu pada ketebalan 2-3 cm.
DAFTAR PUSTAKA
Devi, S.R, Pellisier and Prasad. 1997.
Allelochamical
In:
M.N.V.
Prasad (Eds). 1997. Plant
Ecophysiologi. John Willey and
Sons. Inc. Toronto. Canada. 253303.
Einhellig. F.A. 1995. Allelophati Current
Status and Future Growth.
American Cheminal Society.
Washington. D.C.216p.
Handayanto, E.G., Gadisch, and K.. Giller.
1994. N Reselase from legume
hedgerow tree pruning in relation
to their quality and incubation
method. Plan and soil. 160: 238
M. Syakir et a,2000. Pengaruh ampas sagu
dan
kompos
terhadap
produktivitas lada perdu 173
Oudejans. J.H. 1991. Agro Pesticides:
properties and Funtion In
Intergrated
Crop
Protection
United Nations. Bangkok. 329p.
Stevenson, F.J. 1994. Humus Chemistry,
Genesis,
Composition
and
Reaction. A. Willey-Interscience
Pub Singapore. 496p.
69