Anda di halaman 1dari 35

OPTIMASI JENIS DAN KONSENTRASI KOAGULAN DALAM

PENGOLAHAN LIMBAH CAIR TAHU

MAKALAH SEMINAR TINJAUAN PUSTAKA

FAJAR RETNOWATI
062120702

PROGRAM STUDI KIMIA


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS PAKUAN
BOGOR
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat-Nya penulis
dapat menyelesaikan makalah seminar tinjauan pustaka ini dengan judul “Optimasi
Jenis dan Konsentrasi Koagulan Dalam Pengolahan Limbah Cair Tahu”
dengan baik. Makalah seminar tinjauan pustaka ini merupakan salah satu syarat
mencapai gelar Sarjana Sains Program Studi Kimia pada Fakultas Matematika dan
Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Pakuan.
Selain itu, dalam penyusunan makalah ini, penulis di bantu dan dibimbing oleh
berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih sebesar-
besarnya kepada :

(1) Asep Denih, M.Sc., Ph.D selaku Dekan FMIPA, Universitas Pakuan Bogor.
(2) Dr. Ade Heri Mulyati, M.Si selaku Ketua Program Studi Kimia Universitas
Pakuan.
(3) Seluruh dosen dan staf FMIPA Universitas Pakuan Bogor atas ilmu yang
diberikan.
(4) Keluarga saya atas dukungan, bantuan serta doanya yang diberikan.
(5) Seluruh pihak yang membantu penyusunan Seminar Tinjauan Pustaka (STP)
ini yang tidak bisa disebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan.
menyangkut materi penyusunan, penyajian maupun pembahasannya. Oleh karena
itu, diperlukan saran dan kritik dari pembaca yang sifatnya membangun dan
menjadikan makalah ini lebih sempurna dan berbobot. Penulis berharap semoga
makalah ini dapat berguna bagi semua pihak. Baik secara langsung maupun tidak
langsung. Serta dapat bermanfaat di masa sekarang maupun di masa depan

Bogor, Januari 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ....................................................................................................................... ii


DAFTAR TABEL .............................................................................................................. iii
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................................... iv
1.1 Latar Belakang .......................................................................................................... 1
1.2 Tujuan Penelitian ...................................................................................................... 3
1.3 Hipotesis Penelitian .................................................................................................. 3
1.4 Manfaat Penelitian .................................................................................................... 4
2.1 Limbah Cair Tahu ..................................................................................................... 5
2.2 Pengolahan Limbah Cair Tahu ................................................................................. 7
2.2.1 Koagulasi ........................................................................................................... 7
2.2.2 Flokulasi .......................................................................................................... 11
2.2.3 Jar Test ............................................................................................................ 14
2.3 Analisis Kualitas Air Hasil Pengolahan ................................................................. 15
2.3.1 Nilai pH ........................................................................................................... 15
2.3.2 Kekeruhan ........................................................................................................ 16
2.3.3 Total Suspended Solid (TSS) ........................................................................... 18
2.3.4 Total Dissolved Solid (TDS)............................................................................ 19
2.3.5 Chemical Oxygen Demand (COD) .................................................................. 20
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... 24

ii
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Penerapan dosis flokulan .................................................................................... 13

iii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Proses pembuatan tahu (Kartika, 2018) ............................................................ 5


Gambar 2. Reaksi hidrolisis PAC dalam air (Budiman et al., 2008) .................................. 8
Gambar 3. Reaksi pembentukan flok Al(OH)3 (Kristijarti et al., 2013) ............................. 8
Gambar 4. Proses pengikatan partikel koloid oleh koagulan (CG) (Risdianto, 2007)...... 11
Gambar 5. Proses pengikatan koloid oleh flokulan (Al Hidayah, 2018) (Risdianto, 2007)
........................................................................................................................................... 12
Gambar 6. Alat jar test (Carty et al., 2002) ...................................................................... 14
Gambar 7. Teknik pengukuran kekeruhan air (Faisal et al., 2016). ................................. 17
Gambar 8. Skema spektrofotometri (Susanto, 2008) ........................................................ 22

iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Limbah merupakan hasil sisa yang sudah tidak diinginkan lagi dari berbagai
aktivitas manusia dan makhluk hidup lainnya yang pada akhirnya akan menjadi
suatu masalah baru bagi lingkungan jika tidak dikelola secara baik dan benar.
Semakin lama limbah tidak dikelola maka akan menjadi masalah yang besar bagi
lingkungan. Mengelola dan menangani limbah secara benar menjadi hambatan
karena keterbatasan Sumber Daya Manusia (SDM) yang kompeten dan teknologi
yang belum tepat. Limbah cair yang mengandung padatan tersuspensi maupun
terlarut, mengalami perubahan fisik, kimia, dan hayati yang akan menghasilkan zat
beracun atau menciptakan media untuk tumbuhnya patogen. Limbah akan berubah
menjadi coklat kehitaman dan berbau busuk. Bau busuk ini akan mengakibatkan
gangguan pernapasan. Apabila limbah ini dialirkan ke sungai maka akan
mencemari sungai dan bila masih digunakan maka akan menimbulkan penyakit
gatal, diare, dan mual (Sugiharto 2007).
Salah satu pencermaran air yang sangat berbahaya pada limbah yaitu bahan
organik yang didapatkan pada limbah pabrik tahu. Bahan organik terlarut dapat
menghabiskan oksigen dalam limbah serta akan menimbulkan bau yang tidak sedap
pada penyediaan air bersih dan akan lebih berbahaya apabila bahan tersebut
merupakan bahan yang beracun. Beberapa bahan organik tertentu yang terdapat
pada air limbah kebal terhadap degradasi biologis dan ada beberapa diantaranya
yang beracun meskipun konsentrasi rendah (Potter et al., 1994). Industri tahu pada
umumnya menghasilkan air limbah yang berbahaya, dengan kandungan nilai
Chemical Oxygen Demand (COD) berkisar antara 4000-6000 mg/L. Hal ini berarti
bahwa setiap 1 m3 air limbah rata-rata dibutuhkan 5 kg O2, jadi setiap 100 kg kedelai
menghasilkan 2 m3 air limbah maka O2 yang dibutuhkan adalah 10 kg per 100 kg
kedelai (Kafadi, 1990).
Produksi tahu yang terdapat di Indonesia sebagian besar dilakukan oleh
masyarakat yang termasuk golongan menengah ke bawah. Proses produksi yang
dilakukan masih secara tradisional, sehingga tidak adanya sistem pengatur
pembuangan limbah hasil dari pembuatan tahu tersebut. Umumnya produsen tahu

1
2

tidak mengolah limbah hasil pembuatan tahu dikarenakan biaya yang cukup mahal
dan kurangnya pengetahuan dalam pengelolaan limbah (Yudhistira et al., 2016).
Oleh karena itu, limbah cair tahu sebelum dibuang ke lingkungan perlu diolah
terlebih dahulu untuk mengurangi konsentrasi kandungan pencemar yang
menyertai limbah tersebut.
Teknik pengolahan limbah cair dibagi menjadi tiga metode yaitu pengolahan
secara fisika, kimia, dan biologi. Pengolahan limbah cair secara kimia merupakan
metode pengolahan yang sangat luas diaplikasikan karena mudah dilakukan,
sederhana, biaya rendah, dan mampu menurunkan kadar pencemar limbah hingga
memenuhi baku mutu (Liang et al., 2014). Salah satu proses dalam pengolahan
limbah secara kimia yaitu dengan menggunakan metode koagulasi-flokulasi.
Koagulasi-flokulasi adalah suatu rangkaian proses pengolahan air limbah yang
menggunakan pembubuhan bahan kimia (koagulan). Koagulan ditambahkan untuk
menetralkan keadaan atau mengurangi partikel kecil yang tercampur dalam limbah
cair melalui pengendapan. Akibat dari proses tersebut, terbentuklah flok-flok kecil.
Setelah terbentuk flok, dilanjutkan dengan proses flokulasi, yakni dengan
penggabungan inti flok menjadi flok berukuran yang lebih besar yang dapat
memungkinkan partikel mengendap. Penggabungan flok kecil menjadi flok besar
terjadi akibat proses tumbukan antarflok (Umah et al., 2018).
Koagulan yang digunakan bisa koagulan kimia ataupun koagulan alami.
Umumnya, koagulan kimia yang digunakan ialah Poly Aluminium Chloride (PAC)
dan [Al2(SO4)3] atau dikenal sebagai tawas. Menurut Husaini et al. (2018) koagulan
PAC dapat menurunkan pencemar kekeruhan hingga 97.69% dari nilai awal
kekeruhan pada limbah cair. Sedangkan koagulan tawas dapat memperbaiki
kualitas limbah cair industri tahu dengan efektivitas penurunan kekeruhan sebesar
94.98% (Nurlina et al., 2015). Penurunan nilai kekeruhan dapat sebanding dengan
penurunan pencemar lainnya seperti nilai jumlah Total Suspended Solid (TSS),
Total Dissolved Solid (TDS), dan Chemical Oxygen Demand (COD) (Siregar
2018). Kelemahan dari kedua koagulan kimia ini adalah relatif mahal, dan
penggunaan koagulan kimia pada akhir proses pengolahan menghasilkan endapan
yang lebih sulit ditangani, serta terdapat monomer beberapa polimer organik
sintetik seperti PAC dan alum yang memiliki sifat neurotoksisitas. Namun
3

penggunaan koagulan kimia ini lebih efektif dibanding koagulan alami dalam
menurunkan bahan pencemar pada limbah pengolahan tahu (Hendrawati et al.,
2013).
Adapula koagulan alami yang sering digunakan dalam pengolaham limbah cair
tahu yaitu biji asam jawa (Tamarindus indica) dan biji kelor (Moringa oleifera L).
Memang potensinya tidak sefektif koagulan kimia dalam meminimalisir bahan
pencemar pada limbah tahu namun koagulan alami ini ramah lingkungan, dan
menghasilkan endapan yang tidak sulit untuk diolah kembali, dan masyakarat
setempat dapat membudidayakan biji tanaman tersebut sehingga dapat melestarikan
alam (Wati 2014). Penelitian terdahulu menyatakan bahwa biji asam jawa efektif
menurunkan kekeruhan pada limbah cair tahu sebesar 81.40% (Enrico, 2008).
Sedangkan biji kelor dapat menurunkan kekeruhan sebesar 70.20% (Haslinah,
2016). Berdasarkan hal-hal tersebut maka dilakukan penelitian terhadap
penggunaan jenis dan konsentrasi koagulan yaitu PAC, tawas, biji asam jawa, dan
biji kelor dalam menurunkan berbagai pencemar pada limbah cair tahu sehingga
diperoleh jenis dan kondisi koagulan yang terbaik pada pengolahan limbah cair tahu
secara kimia yang ditinjau dari segi parameter pH, kekeruhan, TSS, TDS, dan COD.

1.2 Tujuan Penelitian


Menentukan jenis dan kondisi optimum koagulan (konsentrasi) dari koagulan
yang dianalisis (PAC, tawas, biji asam jawa, dan biji kelor) pada pengolahan limbah
cair tahu yang ditinjau terhadap parameter pH, kekeruhan, Total Suspended Solid
(TSS), Total Dissolved Solid (TDS), dan Chemical Oxygen Demand (COD) hingga
sesuai dengan baku mutu yang ditetapkan berdasarkan Peraturan Menteri
Lingkungan Hidup Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2014 tentang Baku Mutu
Air Limbah.

1.3 Hipotesis Penelitian


1. Koagulan kimia yang paling optimum dalam pengolahan limbah cair tahu
ialah Poly Aluminium Chloride (PAC)
2. Koagulan alami yang paling optimum dalam pengolahan limbah cair tahu
ialah biji asam jawa
4

3. Koagulan yang paling efektif diantara kedua koagulan (koagulan kimia dan
alami) dalam menurunkan bahan pencemar pada limbah cair tahu ialah biji
asam jawa

1.4 Manfaat Penelitian


Manfaat dari penelitian ini yakni untuk aplikasi jenis dan konsentrasi koagulan
terbaik dalam menurunkan bahan pencemar pada limbah cair tahu.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Limbah Cair Tahu


Limbah tahu adalah bahan atau materi buangan yang timbul akibat kegiatan
produksi tahu dimana sisa pengolahan kedelai tersebut terbuang karena tidak
terbentuk menjadi tahu sehingga sudah tidak dimanfaatkan lagi. Limbah tahu ada
dalam bentuk padat dan cair. Limbah bentuk padat yang merupakan kotoran hasil
pembersihan kedelai (batu, tanah, kulit kedelai, dan benda padat lain yang
menempel pada kedelai), dan sisa saringan bubur kedelai atau ampas tahu,
sedangkan hasil pencucian tahu berupa limbah cair (Pagoray et al. 2021). Berikut
ini bagan proses pembuatan tahu disertai dengan limbah yang dihasilkan.

Gambar 1. Proses pembuatan tahu (Kartika, 2018)

5
6

Limbah padat tahu berasal dari proses penyaringan serta penggumpalan tahu.
Umumnya limbah padat tahu belum dirasakan dampaknya terhadap lingkungan
karena dapat dimanfaatkan untuk tempe gembus, kerupuk ampas tahu, pakan
ternak, serta diolah menjadi tepung ampas tahu. Sedangkan, limbah tahu yang
berbentuk cair jika dibuang ke perairan akan mengakibatkan dampat buruk bagi
kualitas air (Yudhistira et al. 2016). Limbah cair tahu adalah air buangan yang
dihasilkan selama proses pembuatan tahu. Pada produksi tahu, limbah cair yang
dihasilkan berasal dari air buangan sisa proses perendaman, pembersihan kedelai,
pembersihan peralatan produksi, penyaringan, pengepresan atau pencetakan tahu
dan apabila dibuang langsung ke perairan akan berbau busuk dan mencemari
lingkungan (Kaswinarni, 2008).
Limbah cair tahu sebagian besar merupakan cairan kental yang terpisah dari
gumpalan tahu yang disebut dengan air dadih (whey). Limbah cair tahu memiliki
kandungan senyawa-senyawa organik diantaraya berupa protein sebesar 40-60%,
karbohidrat 25-50%, dan lemak sebesar 10% (Pujiastuti, 2009). Kandungan bahan
organik tersebut dapat mempengaruhi kadar COD. Selain itu limbah cair tahu juga
mengandung gas seperti oksigen terlarut (O2), hidrogen sulfida (H2S),
karbondioksida (CO2), dan amoniak (NH3). Gas-gas ini apabila melebihi standar
maka akan berpengaruh terhadap kehidupan biota perairan. Menurut Agung dan
Winata (2011), limbah tahu yang mengandung COD dan bahan organik tinggi akan
berpengaruh terhadap daya dukung lingkungan (Pagoray et al. 2021).
Limbah cair tahu memiliki kecenderungan bersifat asam dengan pH 3-4, hal
ini dikarenakan dalam proses pembuatan tahu dilakukan penambahan asam cuka
(CH3COOH) sebagai bahan penggumpal. Suhu limbah cair tahu berkisar 40-60oC.
Suhu tersebut lebih tinggi jika dibandingkan dengan suhu rata-rata lingkungan.
Limbah cair tahu yang tidak dikelola dengan baik serta dibuang langsung ke badan
sungai dapat menyebabkan pencemaran air karena senyawa-senyawa organik yang
ada pada limbah membusuk. Limbah cair tahu yang tidak diolah akan keruh
berwarna kuning muda keabu-abuan yang apabila dibiarkan akan berubah menjadi
hitam dan berbau busuk (Rolia dan Amran, 2015). Limbah cair tahu tanpa
pengolahan terlebih dahulu dapat menimbulkan gangguan kesehatan bagi manusia
7

seperti gatal, diare, kolera, radang usus, gangguan pernapasan, dan penyakit lainnya
(Kaswinarni, 2008).

2.2 Pengolahan Limbah Cair Tahu


Limbah cair yang dibiarkan mengalir langsung ke lingkungan tanpa suatu
proses pengolahan dapat mencemari lingkungan. Upaya pengolahan dilakukan
untuk mencapai kualitas air yang sesuai dengan baku mutu lingkungan. Pengolahan
limbah cair dapat dilakukan secara fisika, kimia, dan biologi. Pengolahan limba cair
secara fisika meliputi proses pembersihan gas, pemisahan cairan, penyisihan
adsorbs, kristalisasi, dialisis, elektrodialisis, evaporasi, leaching, reverse osmosis,
ekstraksi pelarut, dan stripping. Pengolahan limbah cair secara kimia meliputi
koagulasi-flokulasi, reaksi redoks, elektrolisis, netralisasi, pengendapan, penukaran
ion, dan pirolisis. Pengolahan biologi limbah cair meliputi proses nitrifikasi dan
denitrifikasi (Rizal dan Nurhayati, 2017).

2.2.1 Koagulasi
Koagulasi adalah metode untuk menghilangkan bahan-bahan limbah dalam
bentuk koloid dengan menambahkan koagulan. Koagulan adalah bahan kimia yang
dibutuhkan untuk membantu proses pengendapan partikel-partikel kecil yang tidak
dapat mengendap secara gravimetri. Tujuan dari koagulasi adalah mengubah
partikel padatan dalam air limbah yang tidak bisa mengendap menjadi mudah
mengendap. Hal ini karena adanya proses pencampuran koagulan ke dalam air
limbah sehingga menyebabkan partikel padatan yang mempunyai berat ringan dan
ukurannya kecil menjadi lebih berat dan ukurannya besar (flok) yang mudah
mengendap (Susanto, 2008). Koagulan yang digunakan dalam koagulasi bisa
berupa koagulan kimia maupun koagulan alami. Berikut ini beberapa jenis
koagulan kimia dan koagulan alami yang sering digunakan untuk pengolahan air
limbah.
1. Poly Aluminium Chloride (PAC)
PAC adalah garam khusus pada pembuatan aluminium klorida yang
mampu memberikan daya koagulasi dan flokulasi yang kuat. Kegunaan
dari PAC adalah sebagai koagulan atau flokulan untuk menguraikan larutan
8

yang keruh dan menggumpalkan partikel, sehingga memungkinkan untuk


memisahkan dari medium larutannya. Pembuatan PAC dapat dilakukan
dengan mereaksikan aluminium dengan asam klorida 5-15% pada suhu 67-
97oC atau dengan mereaksikan aluminium hidroksida dengan asam klorida.
Pada penggunaan PAC sebagai koagulan, pH air hasil pengolahan tidak
mengalami penurunan pH yang cukup tajam (Budiman et al., 2008). Hal
ini dapat dilihat dari reaksi yang terjadi sebagai berikut.
[Al2(OH)5]+ + H2O → 2Al(OH)3 + H+
Gambar 2. Reaksi hidrolisis PAC dalam air (Budiman et al., 2008)
Berdasarkan reaksi di atas, ketika PAC yang ditambahkan ke dalam air dan
terjadi reaksi hidrolisis maka PAC hanya melepaskan 1 buah ion H+
(Budiman et al., 2008). PAC memiliki rumus kimia AlnCl(3n-m)(OH)m
banyak digunakan karena memiliki rentang pH yang lebar sesuai nilai n
dan m pada rumus kimianya. PAC yang sering dipakai pada pengolahan air
yakni Al12Cl12(OH)24. PAC digunakan untuk mengurangi kebutuhan akan
penyesuaian pH untuk pengolahan, dan digunakan jika pH badan air
penerima lebih tinggi dari 7.5 (Lolo et al., 2020).
2. Tawas
Aluminium sulfat [Al2(SO4)3.18H2O] biasa dikenal dengan nama tawas
atau alum adalah salah satu koagulan yang umum digunakan karena
harganya murah dan mudah didapat. Ketika ditambahkan ke dalam air,
tawas bereaksi dengan air menghasilkan ion-ion bermuatan positif. Ion-ion
bermuatan +4 tetapi secara tipikal bermuatan +2 (bivalen). Ion-ion bivalen
30-60 kali lebih efektif dalam menetralkan muatan-muatan partikel
dibandingkan ion-ion yang bermuatan +1 (monovalen). Pembentukan flok
aluminium hidroksida merupakan hasil reaksi antara koagulan yang
bersifat asam dengan alkalinitas alami air (biasanya mengandung kalsium
bikarbonat) (Setyawati et al., 2018). Reaksi sebagai berikut.
Al2(SO4)3 + 3Ca(HCO3)2 ↔ 2Al(OH)3 + 3CaSO4 + 6CO2
Gambar 3. Reaksi pembentukan flok Al(OH)3 (Kristijarti et al., 2013)
Jika air kurang memiliki kapasitas alkalinitas (buffering capacity), basa
tambahan seperti sodium hidroksida (soda kaustik) atau sodium karbonat
9

harus ditambahkan. pH optimum untuk koagulasi menggunakan tawas


sangat tergantung pada karakteristik air yang diolah, biasanya berada
dalam rentang 5-8 (Indrawati dan Yunitasari, 2016).
3. Biji asam jawa (Tamaricus indica)
Asam jawa dapat dimanfaatkan sebagai koagulan alami. Kemampuan biji
asam jawa sebagai biokoagulan diakibatkan kandungan proteinnya yang
cukup tinggi yang dapat berperan sebagai polielektrolit alami. Protein yang
terkandung dalam biji asam jawa dapat mengikat partikel-partikel koloid
tersebut sehingga partikel tersebut terdestabilisasi membentuk ukuran yang
lebih besar dan pada akhirnya terendapkan (Hendrawati et al., 2013). Biji
asam jawa mengandung zat aktif berupa tanin, minyak esensial dan
beberapa polimer alami seperti pati, getah dan albuminoid (Coniwanti et
al., 2013. Secara umum, biji asam jawa selain banyak mengandung protein,
juga banyak mengandung karbohidrat, serat, dan mineral yang tinggi.
Dalam ekstrak biji asam jawa terkandung ion-ion logam Mg2+ dan Fe3+.
Dalam 500 mg ekstrak biji asam jawa terdapat 0.9 mg ion Mg2+ dan 0.4 mg
ion Fe2+. Bahan organik yang terkandung dalam air/limbah memiliki
muatan negatif dan akan berikatan dengan ion-ion positif yang terkandung
dalam koagulan sehingga sistem koloid dalam air tersebut menjadi tidak
stabil. Ikatan tersebut akan membentuk flok-flok yang lebih besar setelah
mengalami proses pengadukan lambat dimana partikelnya saling
bertubrukan dan tetap bersatu untuk kemudian mengendap sebagai endapan
(Wardani dan Agung, 2016).
4. Biji kelor (Moringa oleifera)
Biji kelor dapat dimanfaatkan sebagai salah satu koagulan organik
alternatif yang tersedia secara lokal. Biji kelor yang dipergunakan adalah
yang matang atau tua sehingga dapat dijadikan serbuk dengan kadar air
10%. Biji kelor dapat digunakan sebagai koagulan alami karena memiliki
zat aktif 4-alfa-4-rhamnosyloxy-benzyl-isothiocyanate yang cenderung
bermuatan positif, sehingga mampu mendestabilisasikan koloid yang
bermuatan negatif dan mampu mengadsorpsi partikel-partikel air limbah
(Coniwanti et al., 2013). Dengan pengubahan bentuk menjadi lebih kecil,
10

maka zat aktif dari biji kelor tersebut akan semakin banyak karena luas
permukaan biji kelor semakin besar (Bangun et al., 2013). Bahan koagulan
lain dalam biji kelor adalah protein kationik bertegangan rapat
(polielektrolit kationik) dengan berat molekul sekitar 6.5 kdalton yang larut
dalam air, serta mengandung hingga 6 asam-asam amino terutama asam
glutamat, metionin, dan arginin. Potensial zeta larutan 5% biji kelor tanpa
kulit adalah +6mV. Hal ini menunjukan bahwa larutan biji kelor
didominasi oleh tegangan positif (bermuatan positif). Prinsip utama
mekanisme koagulasi adalah adsorpsi dan netralisasi tegangan protein
tersebut. Dalam proses koagulasinya, biji kelor memberikan pengaruh yang
kecil terhadap derajat keasaman dan konduktifitas (Coniwanti et al., 2013).
Prinsip koagulasi adalah adalah pencampuran koagulan ke dalam air dengan
pengadukan secara cepat untuk mendestabilisasi koloid dan padatan tersuspensi
yang halus, kemudian membentuk jonjot mikro atau mikro flok (Rahimah, 2016).
Flok sendiri merupakan endapan yang dihasilkan dari pembubuhan koagulan
sedangkan mikro merupakan sesuatu yang berukuran kecil, jadi mikro flok
merupakan endapan yang berukuran kecil yang dihasilkan dari pembubuhan
koagulan. Partikel-partikel yang tersuspensi dalam air mempunyai muatan listrik
pada permukaannya. Muatan ini disebabkan oleh adsorpsi ion-ion oleh partikel
seperti hidroksida (OH-) dari dalam air (Susanto, 2008).
Muatan listrik yang sama pada partikel-partikel tersebut saling tolak-
menolak sehingga membuat partikel-partikel atau koloid kecil tersebut terpisah satu
sama lain. Koagulasi dilakukan untuk menurunkan atau menetralkan muatan listrik
pada koloid dan partikel tersuspensi (Ancela, 2020). Koagulasi ini akan
menyebabkan partikel-partikel koloid akan saling tarik-menarik dan menggumpal
membentuk flok. Proses destabilisasi koloid dalam limbah cair dengan
menambahkan koagulan yang mempunyai muatan berlawanan dengan muatan
partikel-partikel koloid yang menyebabkan terjadinya gaya tarik-menarik yang
dapat mengikat dan menggumpalkan partikel-partikel koloid (Al Hidayah, 2018).
Berikut ini proses pengikatan partikel koloid oleh koagulan.
11

Gambar 4. Proses pengikatan partikel koloid oleh koagulan (CG) (Risdianto,


2007)
Proses koagulasi berfungsi untuk mengurangi atau menetralkan muatan
listrik negatif pada partikel sehingga menimbulkan gaya tarik van der waals untuk
menunjang terjadinya agregasi koloid dan zat-zat tersuspensi halus untuk
membentuk mikro flok (Ancela, 2020). Selama proses koagulasi, ion positif dari
koagulan akan melapisi permukaan dari partikel koloid yang bermuatan negatif
sehingga terjadi penggumpalan butiran-butiran koloid yang semakin lama akan
semakin besar dan mengendap. Menurut Bangun et al. (2013), ion positif
didapatkan dengan memanfaatkan keberadaan logam pada zat koagulan sedangkan
ion negatif adalah zat-zat organik/pencemar, mikroorganisme, dan bakteri.

2.2.2 Flokulasi
Flokulasi merupakan proses kelanjutan dari proses koagulasi, dimana
mikroflok hasil koagulasi mulai menggumpalkan partikel-partikel koloid menjadi
flok-flok yang lebih besar (makroflok) yang dapat diendapkan dan proses ini
dibantu dengan pengadukan lambat (Setyawati et al., 2018). Flok yang besar akan
mempermudah proses penyaringan karena flok yang besar akan mudah tersaring
dan tidak menutup lubang pori saat penyaringan (Siregar, 2018). Pada proses ini,
digunakan flokulan yang merupakan bahan kimiawi, biasanya bahan organik yang
ditambahkan untuk meningkatkan proses flokulasi. Mekanisme flokulasi dapat
12

diterangkan melalui jembatan kimia, misalnya molekul polimer akan mengikat


partikel koloid dan ekor polimer yang telah diserap dapat mengikat partikel lain
pada permukaan partikel membentuk jembatan kimia (Al Hidayah, 2018).
Mekanisme yang terjadi dapat ditunjukan pada gambar berikut.

Gambar 5. Proses pengikatan koloid oleh flokulan (Al Hidayah, 2018) (Risdianto,
2007)
Penambahan polimer pada flokulasi akan mempengaruhi kestabilan
molekul dari agregat yang terbentuk, sehingga ketika molekul dalam keadaan tidak
stabil maka polimer akan mudah untuk berikatan dengan agregat yang nantinya
akan membentuk agregasi baru atau flok. Flok-flok tersebut akan saling bergabung
membentuk flok yang lebih besar. Flok-flok yang terbentuk mempunyai berat
molekul yang lebih besar dari molekul air akibat penambahan polimer, sehingga
flok tersebut akan mudah mengendap (Eckenfelder dan Wesley, 2000). Berikut ini
terdapat informasi mengenai jenis dan batasan dosis optimal untuk flokulan sebagai
13

referensi dalam menentukan jenis flokulan yang akan digunakan serta batasan dosis
optimalnya sebagai langkah awal penelitian.
Tabel 1. Penerapan dosis flokulan
Rentang
Proses kimia dosis pH Keterangan
(mg/L)
Untuk koagulasi koloid atau
Polimer Tidak untuk menambah koagulasi
2-5
kationik berubah dengan logam. Pembentukan zat
inert harus dihindari

Polimer Digunakan untuk tujuan flokulasi,


Tidak
anionik dan 0.25 - 1.0 untuk mempercepat flokulasi dan
berubah
nonionik pengendapan

Penambahan Digunakan untuk suspensi koloid


Tidak
berat dan tanah 3 - 20 yang sangat encer untuk
berubah
liat diberatkan
Sumber: Risdianto (2007)
Gaya antarmolekul yang diperoleh dari agitasi atau pengadukan merupakan
salah satu faktor yang berpengaruh terhadap laju terbentuknya partikel flok. Salah
satu faktor penting yang mempengaruhi keberhasilan proses flokulasi adalah
pengadukan secara lambat, keadaan ini memberi kesempatan partikel melakukan
kontak atau hubungan agar membentuk penggabungan (aglomerasi). Pengadukan
lambat ini dilakukan secara hati-hati karena flok-flok yang besar akan mudah pecah
melalui pengadukan dengan kecepatan tinggi (Susanto, 2008). Menurut
Eckenfelder dan Wesley (2000), penggunaan polimer dapat dilakukan pada proses
flokulasi dalam jumlah sedikit (0.25 – 1.0 mg/L), bekerja pada rentang pH 4-9, dan
tidak memberi pengaruh perubahan pH.
Menurut Vineswaran dan Visvanathan (1995), terdapat tiga mekanisme utama
flokulasi, yaitu
1. Flokulasi perikinetik
Merupakan penggumpalan yang diakibatkan oleh gerak acak Brown dari
molekul di dalam larutan. Ketika-partikel-partikel bergerak di dalam air
akibat gerak Brown, partikel tersebut saling bertubrukan satu sama lain
14

dan pada saat hubungan itulah terjadi pembentukkan partikel yang lebih
besar dan selanjutnya terus menumpuk.
2. Flokulasi ortokinetik
Merupakan penggumpalan yang diakibatkan oleh gradien kecepatan
dalam cairan. Proses ini membutuhkan pergerakan yang lambat dari
partikel di dalam air. Partikel akan dianggap bertubrukan bila jarak mereka
dekat atau berada dalam daerah yang masih mempunyai pengaruh terhadap
partikel lain. Pada proses ini kecepatan pengendapan dari partikel
diabaikan. Untuk itu dibutuhkan pergolakan air atau gradien kecepatan
untuk menaikkan tumbukan antarpartikel.
3. Pengendapan diferensial
Merupakan terjadinya flokulasi akibat dari kecepatan pengendapan yang
berbeda karena adanya perbedaan ukuran partikel. Partikel besar akan
lebih cepat mengendap dibandingkan partikel kecil. Hal ini akan
membantu flokulasi ortokinetik karena gradien kecepatan yang dihasilkan
menyebabkan penggumpalan lebih lanjut. Pada pengendapan ini, partikel-
partikel besar menarik partikel-partikel kecil membentuk partikel-partikel
yang lebih besar.

2.2.3 Jar Test


Jar test merupakan rangkaian tes untuk mengevaluasi proses-proses
koagulasi dan flokulasi serta menentukan dosis pemakaian bahan kimia. Pada
pengolahan air bersih atau air limbah dengan proses kimia selalu dibutuhkan bahan
kimia tertentu dengan dosis tertentu pula untuk menurunkan kadar polutan yang ada
di dalam air limbah (Susanto, 2008). Berikut ini gambar dari alat jar test.

Gambar 6. Alat jar test (Carty et al., 2002)


15

Jar test digunakan untuk mengetahui kinerja koagulasi dan flokulasi secara
simulasi di laboratorium dan menentukan dosis optimum koagulan serta flokulan
yang digunakan. Prinsip dari jar test ini ialah proses pengolahan air skala kecil
(Sabilina et al., 2018). Pengujian koagulasi dan flokulasi dengan jar test
berpedoman pada SNI 19-6449-2000.
Pelarutan koagulan pada jar test dilakukan melalui dua tahap yaitu
pengadukan cepat dan pengadukan lambat untuk membentuk flok-flok. Setelah
proses koagulasi flokulasi dilanjutkan dengan proses pengendapan mikroflok dan
makroflok. Dosis optimum koagulan ditentukan berdasarkan ukuran flok yang lebih
besar dan kecepatan flok tersebut mengendap di dasar beaker glass (Lolo et al.,
2020). Apabila percobaan dilakukan secara tepat, informasi yang berguna akan
diperoleh untuk membantu operator IPAL dalam mengoptimalkan proses-proses
koagulasi, flokulasi, dan penjernihan. Jar test memberikan data mengenai kondisi
optimum untuk parameter-parameter proses seperti dosis koagulan dan koagulan
pembantu, pH, metode pembubuhan bahan kimia, kecepatan larutan kimia, waktu
dan intensitas pengadukan cepat (koagulasi) dan pengadukan lambat (flokulasi)
serta waktu penjernihan (Husaini et al., 2018).

2.3 Analisis Kualitas Air Hasil Pengolahan


Pengolahan air dilakukan untuk memperbaiki kualitas air yang akan diperoleh
melalui pengubahan sifat-sifat pada air. Pengolahan akan berorientasi terhadap
hasil pengolahan. Karakteristik air hasil pengolahan dapat dinyatakan dalam
beberapa parameter pengukuran seperti pH, kekeruhan, Total Suspended Solid
(TSS), Total Dissolved Solid (TDS), Chemical Oxygen Demand (COD), dan
susbtansi lain sesuai sumber limbah (Hidayat, 2016).

2.3.1 Nilai pH
Derajat keasaman atau pH merupakan intensitas keasaman suatu cairan dan
menunjukkan tinggi rendahnya konsentrasi ion hidrogen (Kartike, 2018). pH
mempunyai peran yang sangat penting dalam proses kehidupan di sistem perairan.
pH juga menggambarkan tingkat pencemaran yang terjadi di lingkungan perairan
yang nilainya diukur menggunakan pH meter terkalibrasi (BSN, 2004). Derajat
16

keasaman (pH) dipengaruhi oleh aktivitas biologi yang terdiri dari proses
fotosintesis dan respirasi organisme, suhu, dan kondisi ion-ion di dalam perairan.
Selain itu, pH sangat penting untuk menentukan sifat korosif air. Nilai pH
yang rendah menunjukkan tingkat korosif air yang tinggi (Okbah et al., 2017).
Tinggi rendahnya pH di perairan dapat disebabkan oleh seberapa besar kadar O2
dan CO2 di dalam air. CO2 dan O2 berkaitan dengan proses fotosintesis di dalam
perairan. Jika proses fotosintesis menghasilkan O2 yang banyak, maka pH air akan
semakin naik, sebaliknya jika nilai pH rendah maka akan menurunkan kadar O2
terlarut dalam perairan yang akan mengakibatkan kematian biota yang ada di
perairan tersebut. Tinggi rendahnya nilai derajat keasaman atau pH di suatu
perairan dipengaruhi oleh banyaknya limbah organik maupun limbah anorganik
yang masuk ke dalam badan air (Zharifa et al., 2019).
Semakin tinggi limbah tahu akan berpengaruh terhadap pH air. Air limbah
industri tahu sifatnya cenderung asam, pada keadaan asam ini akan terlepas zat-zat
yang mudah menguap. Hal ini mengakibatkan limbah cair industri tahu
mengeluarkan bau busuk (Simanjuntak, 2015). Menurut Mardhia dan Abdullah
(2018) pH industri tahu yang masuk ke perairan berkisar 3.62-5.56. Sedangkan
menurut Hamzani dan Syarifudin (2020), menyatakan bahwa pH air timbah tahu
berada pada kisaran 4.3-5.33. Air limbah tahu apabila masuk ke badan air
berpotensi menurunkan pH air dan berpengaruh terhadap biota perairan (organisme
perairan) (Mardhia dan Abdullah, 2018). Sedangkan penurunan kadar zat pencemar
(kontaminan) oleh tumbuhan akan mengakibatkan pH semakin meningkat. Nilai
pH penting untuk dipertimbangkan karena dapat memperngaruhi proses dan
kecepatan reaksi kimia di dalam air (Karim, 2007).

2.3.2 Kekeruhan
Kekeruhan merupakan suatu ukuran biasan cahaya dalam perairan.
Kekeruhan bisa disebabkan oleh partikel koloid yang tersuspensi baik senyawa-
senyawa organik maupun anorganik yang masuk ke dalam air. Kekeruhan air
mengacu pada jumlah bahan yang tersuspensi yang mengganggu penetrasi cahaya
di kolom air. Penyebab terjadinya kekeruhan adalah terjadinya erosi tanah (seperti
endapan lumpur dan tanah liat), limbah industri (seperti limbah cair pengolahan,
partikulat), bahan organik (seperti mikroorganisme, tumbuhan dan hewan yang
17

membusuk, bensin, solar atau minyak dari jalan) (Kale, 2016). Jika kekeruhan air
tinggi, hal ini dapat menyebabkan terhalangnya cahaya matahari yang masuk ke
dalam perairan. Jika cahaya matahari yang masuk terhalang, maka dapat
menyebabkan berkurangnya produksi oksigen di dalam air yang berpengaruh
terhadap keberlangsungan hidup biota air. Selain itu, semakin tinggi suspended
solid di dalam perairan maka akan menyebabkan kekeruhan semakin tinggi (Riza
et al., 2015).
Tingkat kekeruhan air (turbidity) dapat diketahui menggunakan
turbidimeter. Metode pengukuran tingkat kekeruhan zat cair dibedakan menurut
intensitas cahaya mana yang diukur, cahaya yang diteruskan, cahaya yang
dihamburkan atau kedua-duanya. Umumnya terdapat dua metode yaitu
absorptiometri yaitu pengukuran penyerapan (pelemahan) dari cahaya yang
melewati suatu larutan. Kedua, nefelometri yaitu pengukuran hamburan cahaya
yang melewati suatu larutan (Faisal et al., 2016). Metode yang sering digunakan
ialah nefelometri dengan satuan NTU (Nephelometric Turbidity Unit) (BSN, 2005).
Berikut ini teknik pengukuran tingkat kekeruhan air.

Gambar 7. Teknik pengukuran kekeruhan air (Faisal et al., 2016).


Umumnya prinsip dari turbidimetri adalah pengukuran intensitas cahaya
yang ditransmisikan mengenai partikel padat, maka sebagian cahaya akan
mengalami pemantulan/penghamburan dan sisanya akan ditransmisikan (Guretno,
2016). Sedangkan prinsip analisa dengan metode nefelometri adalah pengukuran
terhadap intensitas cahaya yang dihamburkan oleh partikel-partikel yang ada di
dalam air. Semakin tinggi intensitas cahaya yang dihamburkan maka semakin
tinggi nilai kekeruhannya, sehingga nilai atau kualitas air menjadi buruk karena
18

cahaya yang dipancarkan terhalang oleh kotoran, dalam hal ini adalah flok atau
gumpalan yang terbentuk dari kumpulan butiran-butiran lumpur (Arifiani dan
Muchtar, 2006). Pengukuran dilakukan dengan membandingkan intensitas cahaya
yang dihamburkan oleh sampel dengan intensitas cahaya yang dihamburkan oleh
larutan standar dalam keadaan sama. Sebagai standar kekeruhan digunakan larutan
polimer formazin dengan satuan FTU (Formazin Turbidity Unit) atau sama dengan
satuan NTU (Nephelometric Turbidity Unit) (Susanto, 2008).
Pengukuran kekeruhan air dengan turbidimeter memanfaatkan prinsip
hukum Lambert-Beer. Hukum Lambert-Beer menjelaskan hubungan pelemahan
intensitas cahaya terhadap sifat-sifat material yang dilewati oleh berkas cahaya.
Bila suatu berkas cahaya monokromatik melewati medium transparan, maka
intensitas cahaya yang diteruskan berkurang dengan bertambahnya ketebalan
medium yang mengabsorpsi. Selain itu intensitas cahaya yang diteruskan berkurang
secara eksponensial dengan bertambahnya konsentrasi spesimen yang menyerap
cahaya tersebut (Faisal et al., 2016).

2.3.3 Total Suspended Solid (TSS)


Bahan padat tersuspensi atau biasa disebut Total Suspended Solid (TSS)
merupakan materi atau bahan tersuspensi yang menyebabkan kekeruhan air terdiri
dari lumpur, pasir halus, serta jasad-jasat renik yang terutama disebabkan oleh
kikisan tanah atau erosi yang terbawa badan air (Effendi, 2003). TSS memiliki
hubungan yang erat dengan tingkat kekeruhan air. Semakin tinggi nilai TSS maka
air akan semakin keruh (Kartika, 2018). TSS menjadi salah satu faktor penting
menurunnya kualitas perairan sehingga menyebabkan perubahan secara fisika
meliputi penambahan zat padat baik bahan organik maupun anorganik ke dalam
perairan sehingga meningkatkan kekeruhan yang selanjutnya akan menghambat
penetrasi cahaya matahari ke badan air. Berkurangnya penetrasi cahaya matahari
akan berpengaruh terhadap proses fotosintesis yang dilakukan oleh fitoplankton
dan tumbuhan air lainnya. Banyaknya TSS yang berada dalam perairan dapat
menurunkan kesediaan oksigen larut. Jika menurunnya ketersediaan oksigen
berlangsung lama hal itu menyebabkan perairan menjadi anaerob sehingga
organisme aerob akan mati (Rinawati et al., 2016). Selain itu, menurut Anggraini
et al. (2014), tingginya TSS juga dapat secara langsung mengganggu biota perairan
19

seperti ikan dan zooplankton lainnya karena terjadi penyumbatan insang dan
berpengaruh terhadap perilaku ikan (Pagoray et al. 2021).
Pengukuran TSS dapat dilakukan secara filtrasi dan gravimetri dalam satuan
mg/L zat tersuspensi. Padatan tersuspensi akan tertahan oleh suatu penyaringan
berdiameter 2 µm atau lebih kecil (0.45 µm), kemudian zat padat yang tertahan
pada filter dikeringkan dalam oven pengering pada suhu 103°C - 105°C hingga
bobot konstan (BSN, 2004). Sebelum dilakukan uji TSS, filter atau penyaring
dikeringkan dalam oven dan ditimbang terlebih dahulu. Selanjutnya air dengan
volume tertentu dituang melalui sebuah filter. Berat filter awal akan dibandingkan
dengan berat filter akhir, yaitu setelah dialirkan air limbah dan dikeringkan di dalam
oven pengering. Berat filter akhir akan bertambah dibanding berat filter awal karena
adanya partikel-partikel tersuspensi yang terperangkap dalam filter tersebut
(Mawaddah et al., 2014).

2.3.4 Total Dissolved Solid (TDS)


TDS merupakan zat terlarut (baik itu zat organik, anorganik, atau material
lainnya) dengan ukuran < 1 µm yang terdapat pada sebuah larutan yang terlarut
dalam air (Oktarian, 2016). Semua zat ini berbentuk garam, yang merupakan
perpaduan antara logam dan non logam. Garam-garam ini biasanya terlarut di
dalam air dalam bentuk ion yang merupakan partikel yang memiliki kandungan ion
positif dan negatif (Ilyas et al., 2013). Ion yang paling umum adalah kalsium, fosfat,
nitrat, natrium, kalium, magnesium, bikarbonat, karbonat, dan klorida. Bahan
kimia dapat berupa kation, anion, molekul atau aglomerasi dari ribuan molekul.
Sumber utama TDS dalam perairan adalah limbah pertanian, limbah rumah tangga,
dan industri. Perubahan dalam konsentrasi TDS dapat berbahaya karena akan
menyebabkan perubahan salinitas, perubahan komposisi ion-ion, dan toksisitas
masing-masing ion. Perubahan salinitas dapat mengganggu keseimbangan biota air,
biodiversitas, menimbulkan spesies yang kurang toleran, dan menyebabkan
toksisitas yang tinggi pada tahapan hidup suatu organisme (Weber-Scannel dan
Duffy, 2007).
Selain TSS, pengukuran TDS juga dilakukan secara filtrasi dan gravimetri.
Gravimetri merupakan salah satu metode analisis kuantitatif suatu zat atau
komponen yang telah dikenal dengan cara mengukur berat komponen dalam
20

keadaan murni setelah melalui proses pemisahan. Metode gravimetri menekankan


prinsip pemurnian dan penimbangan. Selain itu, analisis gravimetri juga
didefinisikan sebagai proses isolasi dan pengukuran untuk berat unsur atau senyawa
tertentu (Meiningtias, 2021). Prinsip pengukuran ini adalah penguapan sampel uji
yang lolos saringan membran berpori 2 µm atau lebih kecil (0.45 µm) pada suhu
180°C hingga bobotnya konstan. Hasil pengukuran diperoleh nilai dengan satuan
miligram per Liter (mg/L) (BSN, 2005).
Selain itu pengukuran TDS juga dapat menggunakan TDS scan atau TDS
meter pada suhu 25oC (Rahayu, 2007). Sampel yang akan diukur harus dikocok
terlebih dahulu, sehingga zat-zat yang terkandung di dalamnya tersebar merata dan
homogen. Dasar pengukuran ini adalah konduktivitas atau daya hantar larutan.
Konduktivitas atau daya hantar merupakan ukuran kemampuan larutan dalam
mengalirkan arus listrik, dan menunjukkan banyaknya ion terlarut atau garam
terlarut (Nadeak, 2019). Bila dikorelasikan dengan pengukuran TDS laboratorium,
konduktivitas memberikan nilai bagi konsentrasi TDS (Kamaleddin et al., 2014).

2.3.5 Chemical Oxygen Demand (COD)


COD atau kebutuhan oksigen kimia (KOK) adalah jumlah oksigen yang
dibutuhkan untuk mengoksidasi zat-zat organik yang ada dalam 1 L sampel air,
dimana pengoksidanya adalah K2Cr2O7 atau KMnO4. Angka COD merupakan
ukuran bagi pencemaran air oleh zat-zat organik yang secara alamiah dapat
dioksidasi melalui proses mikrobiologis dan mengakibatkan berkurangnya oksigen
terlarut di dalam air. Zat-zat organik ini berasal dari berbagai sumber seperti limbah
pabrik, limbah rumah tangga dan sebagainya. Nilai COD yang tinggi dalam air
limbah menunjukan miskinnya kandungan oksigen dalam limbah sehingga biota air
tidak akan hidup di dalam air limbah tersebut (Mulyaningsih, 2013). Bahan organik
yang ada pada limbah diurai secara kimia menggunakan oksidator kuat (K2Cr2O7)
dalam kondisi asam dan panas dengan katalisator perak sulfat Ag2SO4 (Atima,
2015).
Berdasarkan kemampuan oksidasi, penentuan COD dianggap paling baik
dalam menggambarkan keberadaan bahan organik, baik yang dapat didekomposisi
secara biologis maupun tidak. Effendi (2003) menggambarkan COD sebagai
jumlah total oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi bahan organik secara
21

kimiawi, baik yang dapat didegradasi secara biologi maupun yang sukar
didegradasi menjadi CO2 dan H2O. Banyak zat organik yang tidak mengalami
penguraian biologis secara cepat berdasarkan BOD lima hari, tetapi senyawa-
senyawa organik tersebut juga menurunkan kualitas air. Bakteri dapat
mengoksidasi zat organik menjadi CO2 dan H2O. Kalium dikromat dapat
mengoksidasi lebih banyak lagi, sehingga menghasilkan nilai COD yang lebih
tinggi dari BOD untuk air yang sama. Di samping itu bahan-bahan yang stabil
terhadap reaksi biologi dan mikroorganisme dapat ikut teroksidasi dalam uji COD.
Sebesar 96% hasil uji COD yang selama 10 menit, kira-kira akan setara dengan
hasil uji BOD selama lima hari (Kristanto, 2002).
Warna larutan air lingkungan yang mengandung bahan buangan organik
sebelum reaksi oksidasi adalah kuning. Setelah reaksi oksidasi selesai maka akan
berubah menjadi hijau. Jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk reaksi oksidasi
terhadap bahan buangan organik sama dengan jumlah K2Cr2O7. Makin banyak
K2Cr2O7 yang dipakai pada reaksi oksidasi berarti makin banyak oksigen yang
diperlukan. Ini berarti air lingkungan makin tercemar oleh bahan buangan organik
(Ashar, 2020).
Penentuan nilai COD dapat dilakukan dengan refluks tertutup secara
spektrofotometri sesuai SNI 6989.2:2009. Metode ini digunakan untuk pengujian
kebutuhan oksigen kimiawi (COD) dalam air dan air limbah dengan reduksi Cr2O72-
secara spektrofotometri. Pada kisaran nilai COD 100 mg/L sampai dengan 900
mg/L pengukuran dilakukan pada panjang gelombang 600 nm dan untuk nilai COD
lebih kecil atau sama dengan 90 mg/L pengukuran dilakukan pada panjang
gelombang 420 nm (Aji, 2015). Persamaan yang digunakan dalam uji COD sebagai
berikut.
!"#"$%&
Organik + Cr2O72- + 8H+ #⎯⎯⎯% CO2 + 2Cr3+ + 4H2O
Gambar 4. Reaksi oksidasi dalam uji COD (Ashar, 2020)
Berdasarkan reaksi oksidasi dalam uji COD bahwa bahan buangan organik
yang dioksidasi oleh K2Cr2O7 tidak hanya menghasilkan gas CO2 dan H2O namun
juga menghasilkan sejumlah ion Cr3+. Intensitas pembentukan Cr3+ akan diketahui
sebagai pengaruh dari determinasi COD. Prinsip penentuan COD secara
spektrofotometri UV-Vis adalah senyawa organik dan anorganik, terutama organik
22

pada sampel dioksidasi oleh Cr2O72- dalam refluks tertutup menghasilkan Cr3+.
Jumlah oksidan yang dibutuhkan dinyatakan dalam ekuivalen oksigen (O2 mg/L)
diukur pada panjang gelombang 420 nm atau 600 nm. Cr2O72- kuat mengabsorpsi
pada panjang gelombang 420 nm, dan Cr3+ kuat mengabsorpsi pada panjang
gelombang 600 nm (BSN, 2009). Berikut ini menunjukan skema kerja dari
spektrofotometri.

Gambar 8. Skema spektrofotometri (Susanto, 2008)


Spektrofotometer digunakan untuk mengukur jumlah cahaya yang
diabsorpsi atau ditransmitasikan oleh molekul-molekul di dalam larutan. Prinsip
kerja pada metode spektrofotometri adalah adanya interaksi antara radiasi
elektromagnetik dengan materi. Sumber sinar yang polikromatis akan melewati
suatu monokromator (prisma) agar sinar menjadi monokromatis. Sinar
monokromatis kemudian menuju kuvet berisi larutan/materi. Suatu berkas radiasi
elektromagnetik/sinar jika dilewatkan melalui sampel maka sebagian akan
terabsorpsi. Absorpsi sinar oleh larutan mengikuti hukum Lambert-Beer yaitu sinar
keseluruhan (Io) akan diserap sebagian (Ia) dan sebagian lagi akan diteruskan (It)
dan terukur oleh detektor dimana jumlah cahaya yang diteruskan (transmitan) atau
cahaya yang diserap (absorbansi) akan diubah menjadi suatu isyarat listrik yang
dideteksi oleh detektor. Nilai akan ditampilkan pada display piranti sistem baca
sebagai besarnya isyarat listrik (Susanto, 2008). Besarnya kemampuan molekul-
molekul zat terlarut untuk mengabsorpsi cahaya pada panjang gelombang tertentu
dinamakan absorbansi (A). Absorbansi zat dalam larutan berbanding lurus dengan
konsentrasi larutan. Hal ini sesuai dengan hukum Lambert-Beer yang menyatakan
absorbansi (A) berbanding lurus dengan hasil kali konsentrasi (c), tebal kuvet (b),
dan konstanta ekstingsimolar (ε) dari zat dalam larutan tersebut (Aji, 2015).
Spektrofotometer UV-Vis merupakan gabungan antara spektrofotometer
UV dan Visible. Menggunakan dua buah sumber cahaya berbeda, sumber cahaya
23

UV dan sumber cahaya visible. Kemudahan metode menggunakan instrumen ini


adalah dapat digunakan baik untuk sampel berwarna juga untuk sampel tak
berwarna. Spektrofotometer UV-Vis adalah pengukuran serapan cahaya di daerah
ultraviolet (200-350 nm) dan sinar tampak (350-800 nm) oleh suatu senyawa.
Serapan cahaya UV atau cahaya tampak mengakibatkan transisi elektronik, yaitu
promosi elektron-elektron dari orbital keadaan dasar yang berenergi rendah ke
orbital keadaan tereksitasi berenergi lebih tinggi (Wulandari, 2017).
DAFTAR PUSTAKA

[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2000. Metode Pengujian Koagulasi-


Flokulasi dengan Cara Jar. SNI 19-6449-2000. Jakarta (ID): Badan
Standardisasi Nasional

[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2004. Cara Uji Derajat Keasaman (pH)
dengan Menggunakan Alat pH Meter. SNI 06-6989.11-2004. Jakarta (ID):
Badan Standardisasi Nasional

[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2004. Cara Uji Padatan Tersuspensi Total
(Total Suspended Solid, TSS) Secara Gravimetri. SNI 06-6989.3-2004.
Jakarta (ID): Badan Standardisasi Nasional

[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2005. Cara Uji Kadar Padatan Terlarut
Total Secara Gravimetri. SNI 06-6989.27-2005. Jakarta (ID): Badan
Standardisasi Nasional

[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2005. Cara Uji Kekeruhan dengan


Nefelometer. SNI 06-6989.25-2005. Jakarta (ID): Badan Standardisasi
Nasional

[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2009. Cara Uji Kebutuhan Oksigen Kimiawi
(Chemical Oxygen Demand/COD) dengan Refluks Tertutup Secara
Spektrofotometri. SNI 6989.2:2009. Jakarta (ID): Badan Standardisasi
Nasional

[Permen LH] Peraturan Menteri Lingkungan Hidup. 2014. Peraturan Menteri


Lingkungan Hidup Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2014 tentang Baku
Mutu Air Limbah. Jakarta (ID): Kementerian Lingkungan Hidup Republik
Indonesia

Agung RT, Winata HS. 2011. Pengolahan air limbah industri tahu dengan
menggunakan teknologi plasma. Jurnal Ilmiah Teknik Kimia. 2(2): 19-28

Aji PB. 2015. Penurunan nilai COD air limbah pabrik tahu menggunakan reagen
fenton secara batch [skripsi]. Semarang (ID): Universitas Negeri Semarang

Al Hidayah HN. 2018. Pengolahan limbah cair industri tempe untuk menurunkan
kadar Chemical Oxygen Demand (COD) dengan metode koagulasi

24
menggunakan Poly Aluminium Chloride (PAC) dan aluminium sulfat
[skripsi]. Yogyakarta (ID): Universitas Islam Indonesia

Ancela W. 2020. Pemanfaatan serbuk biji asam jawa (Tamarindus indica) sebagai
biokoagulan untuk menurunkan kadar TSS, COD, dan kekeruhan dalam
limbah cair tahu [skripsi]. Bekasi (ID): Universitas Pelita Bangsa
Ashar YK. 2020. Analisis kualitas (BOD, COD, DO) air Sungai Pesanggrahan,
Desa Rawadenok, Kelurahan Rangkepan Jaya Baru, Kecamatan Mas, Kota
Depok [laporan penelitian]. Medan (ID): Universitas Islam Negeri
Sumatera Utara Medan

Atima W. 2015. BOD dan COD sebagai parameter pencemaran air dan baku mutu
air limbah. Jurnal Biology Science & Education. 4(1): 83-93

Bangun AR, Aminah S, Hutahean RS, Ritonga MY. 2013. Pengaruh kadar air,
dosis, dan lama pengendapan koagulan serbuk biji kelor sebagai alternatif
pengolahan limbah cair industri tahu. Jurnal Teknik Kimia USU. 2(1): 7-13

Budiman A, Wahyudi C, Irawati W, Hindarso H. 2008. Kinerja koagulan Poly


Aluminium Chloride (PAC) dalam penjernihan air Sungai Kalimas
Surabaya menjadi air bersih. Widya Teknik. 7(1): 25-34

Carty G, O’Leary G, Crowe M. 2002. Water Treatment Manuals: Coagulation,


Flocculation, dan Clarification. Irlandia (IE): Environmental Protection
Agency

Coniwanti P, Mertha ID, Eprianie D. 2013. Pengaruh beberapa jenis koagulan


terhadap pengolahan limbah cair industri tahu dalam tinjauannya terhadap
turbidity, TSS, dan COD. Jurnal Teknik Kimia. 19(3): 22-30

Eckenfelder Jr, Wesley W. 2000. Industrial Water Pollution Control 3th Ed.
Singapore (SG): Mc Graw Hill Book Co

Effendi H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan
Lingkungan Perairan. Yogyakarta (ID): Kanisius

Enrico B. 2008. Pemanfaatan biji asam jawa (Tamarandus indica) sebagai koagulan
alternatif dalam proses penjernihan limbah cair industri tahu [tesis]. Medan
(ID): Universitas Sumatera Utara

25
Faisal M, Harmadi, Puryanti D. 2016. Perancangan sistem monitoring tingkat
kekeruhan air secara realtime menggunakan sensor TSD-10. Jurnal Ilmu
Fisika. 8(1): 9-16

Guretno W. 2016. Turbidimeter Berbasis Mikrokontroller dengan Penyimpanan


Internal. Surabaya (ID): Politeknik Kesehatan Kementrian Kesehatan
Surabaya
Hamzani S, Syarifudin A. 2020. Pengolahan limbah cair industri tahu pada reaktor
anaerobik sistem biakan tersuspensi. Prosiding Seminar Nasional
Lingkungan Lahan Basah. p 52-56

Haslinah A. 2016. Optimilisasi serbuk biji kelor (Moringa oleifera) sebagai


koagulan untuk menurunkan turbiditas dalam limbah cair industri tahu.
ILTEK. 11(2): 1629-1633

Hendrawati, Syamsumarsih D, Nurhasni. 2013. Penggunaan biji asam jawa


(Tamarindus indica L.) dan biji kecipir (Psophocarpus tetragonolobus L.)
sebagai koagulan alami dalam memperbaiki kualitas air tanah. Jurnal
MIPA. 3(1): 22-33

Hidayat N. 2016. Bioproses Limbah Cair. Yogyakarta (ID): ANDI

Husaini, Cahyono SS, Suganal, Hidayat KN. 2018. Perbandingan koagulan hasil
percobaan dengan koagulan komersial menggunakan metode jar test.
Jurnal Teknologi Mineral dan Batubara. 14(1): 31-45

Ilyas NI, Nugraha WD, Sumiyati S. 2013. Penurunan kadar TDS pada limbah tahu
dengan teknologi biofilm menggunakan media biofilter kerikil hasil letusan
gunung merapi dalam bentuk random (studi kasus: industri tahu Jomblang
Semarang). Jurnal Teknik Lingkungan. 2(3): 1-10

Indrawati N, Yunitasari T. 2016. Efektivitas serbuk biji kelor dan serbuk biji asam
jawa sebagai koagulan organik [laporan penelitian]. Malang (ID): Institut
Teknologi Nasional Malang

Kafadi NM. 1990. Memproduksi Tahu Secara Praktis. Surabaya: Karya Anda
Surabaya

Kamaleddin S, Mashhadi M, Yadollahi H, Mashhad AM. 2014. Design and


manufacture of TDS measurement and control system for water purification
in reverse osmosis by PID fuzzy logic controller with the ability to

26
compensate effects of temperature on measurement. Turkish Journal of
Electrical Engineering & Computer Sciences. 24: 2589-2608

Karim MY. 2007. Pengaruh salinitas dan bobot terhadap konsumsi kepiting bakau
(Scylla serrata forsskal). Jurnal Sains dan Teknologi. 7(2): 85-92

Kartika YSW. 2018. Pengaruh kitosan limbah cangkang bekicot (Achatina fulica)
sebagai biokoagulan terhadap kualitas limbah cair tahu [skripsi]. Malang
(ID): Universitas Muhammadiyah Malang

Kaswinarni F. 2008. Kajian teknis pengolahan limbah padat dan cair industri tahu.
Majalah Ilmiah Lontar. 22(2): 1-20

Kristanto P. 2002. Ekologi Industri. Yogyakarta (ID): ANDI

Kristijarti AP, Suharti I, Marieanna. 2013. Penentuan jenis koagulan dan dosis
optimum untuk meningkatkan efisiensi sedimentasi dalam instalasi
pengolahan air limbah pabrik jamu X [laporan penelitian]. Bandung (ID):
Universitas Katolik Parahyangan

Liang CZ, Sun SP, Li FY, Ong YK, Shung TS. 2014. Treatment of highly
concentrated wastewear containing multiple synthetic dyes by a combined
process of coagulation/flocculation and nanofiltration. Journal of
Membrane Science. 469: 306-315

Lolo EU, Pambudi YS, Gunawan RI, Widianto. 2020. Pengaruh koagulan PAC dan
tawas terhadap surfaktan dan kecepatan pengendapan flok dalam proses
koagulasi flokulasi. Serambi Engineering. 5(4): 1295-1305

Mardhia D, Abdullah V. 2018. Studi analisis kualitas air Sungai Brangbiji


Sumbawa Besar. Jurnal Biologi Tropis. 18(2): 182-189

Mawaddah D, Titin AZ, Gusrizal. 2014. Penurunan bahan organik air gambut
menggunakan biji asam jawa (Tamarindus indica Linn). Jurnal MIPA. 3(1):
27-31

Mulyaningsih D. 2013. Pengaruh efetivitas mikroorganisme MS-4 (EM-4) terhadap


penurunan kadar Chemical Oxygen Demand (COD) pada limbah cair
industri tahu [skripsi]. Surakarta (ID): Universitas Muhammadiyah
Surakarta

27
Nadeak R. 2019. Penentuan kadar Total Suspended Solid (TSS), Total Dissolved
Solid (TDS), dan klor bebas pada air limbah di Balai Teknik Kesehatan
Lingkungan dan Pengendalian Penyakit (BTKLPP) [skripsi]. Medan (ID):
Universitas Sumatera Utara

Nurlina, Zahara TA, Gusrizal, Kartika ID. 2015. Efektivitas penggunaan tawas dan
karbon aktif pada pengolahan limba cair industri tahu. Prosiding
SEMIRATA 2015 Bidang MIPA BKS-PTN Barat. Pontianak (ID):
Universitas Tanjungpura. p 690-699

Okbah MA, El-Halim AMA, El-Regal MAA, Nassar ME. 2017. Water quality
assessment of Lake Edku using physicochemical and nutrients salts, Egypt.
Chemistry Research Journal. 2(4): 104-117

Oktarian N. 2016. Analisis dampak pembuangan limbah cair industri tahu terhadap
sifat fisis air Sungai Sumber Wayuh, Kota Blitar [skripsi]. Jember (ID):
Universitas Jember

Pagoray H, Sulistyawati, Fitriyani. 2021. Limah cair industri tahu dan dampaknya
terhadap kualitas air dan biota perairan. Jurnal Pertanian Terpadu. 9(1): 53-
65

Potter C, Soepardi M, Gani A. 1994. Limbah Cair Berbagai Industri di Indonesia,


Sumber, Pengendalian, dan Baku Mutu. Jakarta (ID): Enviromental
Management Development in Indonesia (EMDI)

Pujiastuti P. 2009. Perbandingan efisiensi teknologi pengolahan limbah cair


industri tahu secara aerasi, flokulasi, biofilter anaerob, dan biofilter
anaerob-aerob ditinjau dari parameter BOD5 dan COD. Jurnal Ilmiah
Biologi dan Kesehatan. 2(1): 52-63

Rahayu I. 2007. Cara Menanggapi Air Kotor Menjadi Air Bersih. Jakarta (ID):
Erlangga

Rahimah Z, Heldawati H, Syauqiah I. 2016. Pengolahan limbah deterjen dengan


metode koagulasi-flokulasi menggunakan koagulan kapur dan PAC.
Konversi. 5(2): 13-19

Rinawati, Hidayat D, Suprianto R, Dewi PS. 2016. Penentuan kandungan zat padat
(total Dissolved solid dan total suspended solid) di perairan Teluk
Lampung. Analit: Analytical and Environmental Chemistry. 1(1): 36-45

28
Risdianto D. 2007. Optimasi proses koagulasi flokulasi untuk pengolahan air libah
industri jamu (studi kasus PT. Sido Muncul) [tesis]. Semarang (ID):
Universitas Diponegoro

Riza F, Bambang AN, Kismartini. 2015. Tingkat pencemaran lingkungan perairan


ditinjau dari aspek fisika, kimia, dan logam di Pantai Kartini Jepara.
Indonesian Journal of Conservation. 4(1): 52-60
Rizal AM, Nurhayati I. 2017. Pengolahan limbah bahan berbahaya dan beracun
(B3) dengan insinerator tipe reciprocating grate incinetaror. Jurnal Teknik
Waktu. 15(2): 21-27

Rolia E, Amran Y. 2015. Perencanaan bangunan pengolahan limbah cair pada


pabrik tahu di Kelurahan Mulyojati. Jurnal Tapak. 5(1): 83-88

Sabilina PE, Setiawan A, Adiuddin AE. 2018. Studi penggunaan dosis koagulan
PAC (Poly Aluminium Chloride) dan flokulan polymer anionic pada
pengolahan limbah cair industri tahu. Conference Proceeding on Waste
Treatment Technology. ISSN No. 2623-1727.

Setyawati H, Sinaga EJ, Wulandari LS, Sandy F. Efektifitas biji kelor dan tawas
sebagai koagulan pada peningkatan mutu limbah cair industri tahu. Jurnal
Teknik Kimia. 12(2): 47-51

Simanjuntak DS. 2015. Peningkatan mutu limbah cair tahu (BOD, COD, TSS, pH)
degan menggunakan rumput vetiver (Vetiveria zizanoides L) pada beberapa
konsentrasi limbah [skripsi]. Medan (ID): Universitas Sumatera Utara

Siregar MR. 2018. Optimasi jenis dan konsentrasi koagulan terhadap penurunan
pencemar limbah cair industri [tugas akhir]. Bogor (ID): Institur Pertanian
Bogor

Sugiharto. 2007. Dasar-Dasar Pengolahan Limbah. Jakarta (ID): Universitas


Indonesia

Susanto R. 2008. Optimasi koagulasi-flokulasi dan analisis kualitas air pada


industri semen [skripsi]. Jakarta (ID): UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Umah NR, Joko T, Dangiran HL. 2018. Efektivitas dosis ferri klorida (FeCl3)
dalam menurunkan Chemical Oxygen Demand (COD) pada limbah pabrik
tahu di Tempelsari Kalikajar Wonosobo. Jurnal Kesehatan Masyarakat.
6(6): 279-289

29
Wardani FA, Agung T. 2016. Pemanfaatan biji asam jawa (Tamarandus indica)
sebagai koagulan alternatif dalam proses pengolahan air sungai. Jurnal
Ilmiah Teknik Lingkungan. 7(2): 85-91

Wati DA. 2014. Keefektifan penambahan koagulan biji asam awa (Tamarandus
indica) untuk menurunkan kadar Total Suspended Solid (TSS) pada limbah
cair tahu [skripsi]. Surakarta (ID): Universitas Muhammadiyah Surakarta
Weber-Scannel PK, Duffy LK. 2017. Effect of total Dissolved solids on aquatic
organisms: a review of literature and recommendation for salmonid species.
American Journal of Enviromental Sciences. 3(1): 1-6

Wulandari EA. 2017. Penentuan warna dan angla serapan madu lokal menggunakan
spektrofotometer UV-Visible [skripsi]. Jember (ID): Unibersitas Jember

Yudhistira B, Andriani M, Utami R. 2016. Karakterisasi: limbah cair industri tahu


dengan koagulan yang berbeda (asam asetat dan kalsium sulfat). Journal of
Sustainable Agriculture. 31(2): 137-145

Zharifa A, Fachrul MF, Hendrawan DI. 2019. Evaluasi kualitas air Situ Parigi, Kota
Tangerang Selatan, Provinsi Banten. Prosiding Seminar Nasional
Pembangunan Wilayah dan Kota Berkelanjutan. Jakarta (ID): Universitas
Trisakti. p 177-186

30

Anda mungkin juga menyukai