Disusun oleh :
Kelompok 3
1. Ade Yusuf (1730123)
2. Anggie Maronita Astuti (1730129)
3. Dimas Bayu Pradana (1730137)
4. Firda Tabur (1730142)
5. Irsyad Hafizh Aldiadi (1730150)
6. Mega Putri Arumdhani (1730155)
7. Muhammad Reza Pahlevi (1730160)
8. Reza Agustini Buana (1730171)
9. Rezky Alifya Taufani (1730172)
10. Veiny Ena Dwiviaoktaja (1730181)
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Panyayang, Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah hasil praktikum Pengolahan Limbah Industri Manufaktur dan
Petrokimia yang berjudul “PERBANDINGAN EFISIENSI PENGOLAHAN FENOL
DALAM LIMBAH CAT DENGAN KOAGULAN BIJI KELOR DAN OKSIDASI
KIMIA (HIDROGEN PEROKSIDA)” dengan tepat waktu.
Kami mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu
kelancaran dalam pembuatan laporan ini terutama kepada dosen beserta asisten
dosen laboratorium lingkungan yang sudah membimbing dalam proses penyusunan
makalah.
Makalah hasil praktikum ini dibuat untuk memenuhi tugas kuliah praktik
Pengolahan Limbah Industri Manufaktur dan Petrokimia Politeknik AKA Bogor.
Semoga makalah ini bermanfaat dan memberikan pengetahuan mengenai bagi
pembacanya.
Penyusun
i
DAFTAR ISI
ii
4.2.4 Total Suspended Solid (TSS) ..................................................................... 20
4.2.5 Derajat Keasaman (pH) ............................................................................. 23
BAB V PENUTUP..................................................................................................... 26
5.1 Simpulan ........................................................................................................ 26
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 27
LAMPIRAN............................................................................................................................28
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
Indonesia rata-rata per tahun sebesar 380 ribu ton. Sedangkan untuk tingkat
konsumsinya, menurut hasil survey yang dilakukan oleh Pusat Audit Teknologi di
wilayah Jabotabek pada tahun 2002, per kapita rata-rata sebesar 8,232 kg.
Perkembangan usaha binatu atau laundry yang sebelumnya hanya
dikhususkan bagi masyarakat menengah ke atas, kini mengalami pergeseran hingga
harganya dapat dijangkau semua kalangan masyarakat. Hal ini menyebabkan limbah
deterjen semakin banyak kuantitasnya.
Air limbah detergen termasuk polutan atau zat yang mencemari
lingkungan karena didalamnya terdapat zat yang disebut ABS (alkyl benzene
sulphonate) yang merupakan deterjen tergolong keras. Deterjen tersebut sukar dirusak
oleh mikroorganisme (nonbiodegradable) sehingga dapat menimbulkan pencemaran
lingkungan.
Surfaktan sebagai komponen utama dalam deterjen dan memiliki rantai kimia
yang sulit didegradasi (diuraikan) alam. Pada mulanyasurfaktan hanya digunakan
sebagai bahan utama pembuat deterjen. Namun karena terbukti ampuh membersihkan
kotoran, maka banyak digunakan sebagai bahan pencuci lain. Surfaktan merupakan
suatu senyawa aktif penurun tegangan permukaan yang dapat diproduksi melalui
sintesis kimiawi maupun biokimiawi. Sifat aktif permukaan yang dimiliki surfaktan
diantaranya mampu menurunkan tegangan permukaan, tegangan antarmuka dan
meningkatkan kestabilan sistem emulsi. Hal ini membuat surfaktan banyak digunakan
dalam berbagai industri, seperti industri sabun, deterjen, produk kosmetika dan
produk perawatan diri, farmasi, pangan, cat dan pelapis, kertas, tekstil, pertambangan
dan industri perminyakan, dan lain sebagainya (Scheibel J, 2004).
Dengan makin luasnya pemakaian deterjen maka risiko bagi kesehatan
manusia maupun kesehatan lingkungan pun makin rentan. Limbah yang dihasilkan
dari deterjen dapat menimbulkan dampak yang merugikan bagi lingkungan yang
selanjutnya akan mengganggu atau mempengaruhi kehidupan masyarakat.
2
1.2 Tujuan
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Industri cat merupakan industri yang utamanya memproduksi cat, pernis dan
lak serta berbagai produk pelapis lainnya. Aplikasi produk-produk industri cat dapat
dikategorikan berdasarkan penggunaannya menjadi empat kelompok, yaitu pelapis
arsitektur atau cat rumah, pelapis produk industri, pelapis khusus dan penggunaan
lain. Selain itu juga dapat dikategorikan berdasarkan jenis pelarutnya menjadi dua
kelompok, yaitu berbasis air dan berbasis larutan.
Proses produksi cat berbasis air maupun berbasis larutan umumnya sama.
Pembuatan cat berbasis air dimulai dengan penggilingan (grinding) pigmen dengan
campuran air, amonia, dispersant dan extenders. Ketika penggilingan selesai, bahan
ini kemudian dipindahkan ke tangki pencampuran. Dalam tangki pencampuran
dilakukan penambangan resin, plasticizer, pengawet, antifoaming, emulsi polivinil
asetat dan air. Setelah proses pencampuran mencapai konsistensi yang diinginkan, cat
disaring untuk menghilangkan untuk menghilangkan pigmen yang tidak terdispersi
sempurna dan kemudian dikemas untuk dipasarkan. Sedangkan pembuatan cat
berbasis larutan dimulai dengan penggilingan pigmen dengan campuran resin,
extender, pelarut dan plasticizer. Setelah penggilingan selesai, bahan ini kemudian
ditransfer ke tangki pencampuran dan dilakukan penambahan pelarut serta pewarna.
Setelah konsistensi yang diinginkan tercapai, cat disaring, dikemas dan siap untuk
dipasarkan.
Berbagai limbah bahan berbahaya dan beracun (limbah B3), baik dalam
bentuk padat, cair maupun gas dihasilkan selama proses produksi cat, terutama pada
proses produksi cat berbasis larutan.
4
Limbah B3 padat yang dihasilkan terutama berupa bekas wadah atau kemasan
bahan baku, filter bekas, dan cat kering. Sedangkan limbah cair berupa air limbah
pencucian peralatan produksi, tumpahan dan ceceran, cat yang tidak memenuhi syarat
spesifikasi, car kadaluarsa dan cat yang dikembalikan dari pemasaran. Sementara itu,
limbah gas yang dihasilkan berupa senyawa organik volatil (VOC) yang berasal dari
bahan baku maupun pelarut yang digunakan dalam produksi cat dan debu atau
partikel pigmen yang terdispersi ke udara. Jika limbah B3 ini tidak ditangani dan
didetoksifikasi dengan baik, maka akan mencemari lingkungan dan membahayakan
manusia. Pemahaman tentang karakteristik dan teknik pengolahan limbah B3 menjadi
hal yang penting untuk kesuksesan penanganan dan detoksifikasi limbah B3 dari
industri cat.
5
rendah pula. Hal ini terjadi karena pada pHrendah aktivitas mikroorganisme akan
terlambat, selain itu pengaruh oksigen yang tidak larut pada pHair rendah
mengakibatkan kurangnya persediaan oksigen yang diperlukn oleh mikroorganisme
untuk menguraikn senyawa fenol dalam perairan.
Hidrogen Peroksida (H2O2) adalah cairan bening agak lebih kental daripada
air, yang merupakan oksidator kuat. Sebagai bahan kimia anorganik dalam bidang
industri, teknologi yang digunakan untuk hidrogen peroksida adalah auto oksidasi
Anthraquinone. Dengan ciri khasnya berbau khas keasaman dan mudah larut dalam
air, dalam kondisi normal (ambient) kondisinya sangat stabil dengan laju
dekomposisi kira-kira kurang dari 1% per tahun.
Memiliki sifat oksidator yang sangat kuat dan digunakan sebagai bahan
pemutih, juga sebagai desinfektan. Hidrogen peroksida sebagaimana dinyatakan
adalah cairan tidak berwarna dan memiliki banyak kesamaan dengan air. Itu terlihat
seperti larutan encer, yang memiliki viskositas lebih dari air. Hidrogen Peroksida
mengandung hidrogen dan air dan ternyata menjadi bahan kimia yang sangat reaktif.
6
2.4 Tanaman Kelor
Batang kayunya getas (mudah patah) dan cabangnya jarang tetapi mempunyai
akar yang kuat. Batang pohonnya berwarna kelabu. Bunganya berwarna putih
Madsen dan Dchlunt serta Grabow menunjukkan bahwa serbuk biji kelor
mapu menumpas bakteri Escherichia coli, Srepcoccus faecalis dan Salmonella
typymurium. Biji kelor berperan sebagai koagulan yang efektif karena adanya zat
aktif 4-alfa-rhamnosyloxy-benzil-isothiocyanate yang terkandung dalam biji kelor.
Zat aktif itu mampu mengadsorbsi partikel-partikel air limbah. Menghilangkan zat
organik dan anorganik dari air baku merupakan hal yang penting sebelum air
dikonsumsi oleh manusia. Biji kelor dapat digunakan sebagai adsorben bahan
organik, sebagai koagulan pada pengolahan air, dan merupakan zat polimer organik
yang tidak berbahaya (Vieira et al. 2009). Beberapa penelitian menunjukan bahwa
efisiensi ekstrak biji akan menurun seiring bertambah lamanya waktu penyimpanan.
Penurunan terjadi setelah disimpan 1–5 bulan (Katayon et al. 2006).
7
Koagulan biji kelor yang dicampur dengan air merupakan protein yang
bersifat serupa dengan polielektrolit positif. Biji kelor juga mengandung logam alkali
kuat seperti K dan Ca, yang menjadi kutub positif (Duke 1998). Efektivitas koagulasi
biji kelor ditentukan oleh kandungan protein kationik dengan bobot molekul sekitar
6.5 kDa.
Pembentukan ikatan protein bermuatan positif dari biji kelor akan terjadi pada
bagian bermuatan negatif dari permukaan partikel. Ini membantu pembentukan
muatan negatif dan positif pada permukaan partikel. Pembentukan ikatan partikel
dapat ditingkatkan dengan proses pengadukan. Terjadi kejenuhan antarpartikel yang
berbeda muatan sehingga flok akan terbentuk.
8
BAB III
METODOLOGI
3.1.1 Alat
Pipet Volumetrik 5 mL
Labu Takar 100 mL
Pipet Volumetrik 25 mL
Botol Aquades
Beaker Glass 500 mL
Pipet Volumetrik 2 mL
pH Universal
Pipet Mohr 10 mL
Jar Test
Tabung COD Reaktor
Turbidimeter
COD Reaktor
Spektrofotometer UV- Vis
Erlenmayer 250 mL
Pipet Volumetrik 10 mL
Buret Makro 50 mL
Pipet Volumetrik 50 mL
Gelas Ukur 50 mL
Labu Destilasi
Pipet Tetes
Bunsen
Oven
Labu Takar 250 Ml
Rotary Agritator
Saringan 24 mesh
Kertas Saring Whatman no 42
Cawan Porselen
Neraca Analitik
Desikator
9
3.1.2 Bahan
Limbah Fenol Larutan HCL
Biji Kelor Larutan NaOH
Aquades Serbuk Al2SO4
Larutan FAS 0.2 N Larutan H2O2
Larutan K2Cr2O7 Indikator SM
H2SO4 (p) Larutan H3PO4
Ag2SO4 + H2SO4 Larutan CuSO4
Indikator Feroin Buffer pH 10
Serbuk K2Cr2O7 Larutan K2Fe(CN)6
Larutan Aminoantipiridin
Blanko
1) Pipet 2 ml Aquades ke tabung reaktor.
2) Tambahkan 2ml larutan K2Cr2O7.
1
3) Tambahkan 2ml larutan AgSO4-H2SO4.
4) Masukkan ke COD reaktor dengan suhu 150°C selama 45 menit.
5) Keluarkan, angkat dan dinginkan sebentar.
6) Pindahkan ke erlenmeyer 250 ml.
7) Tambahkan indikator feroin 3 tetes.
8) Titrasi dengan larutan FAS yang sudah distandarisasi.
9) Titik akhir titrasi warna merah kecoklatan.
2
4) Diatur kecepatan 80 rpm selama 1 menit (koagulasi).
5) Diatur kecepatan 20 rpm selama 15 menit.
6) Dibiarkan mengendap selama 30 menit.
7) Diukur kekeruhan dengan turbidimeter.
3
1) Masukkan 300 ml sampel ke dalam labu destilasi.
2) Tambahkan indikator SM sampai kuning, H3PO4 10% sampai merah
muda, 1 drop CuSO4 10%.
3) Dipanaskan 70-80 °C.
4) Didinginkan dan dimasukkan ke dalam labu takar 250 ml.
5) Dilakukan pengenceran 100x, 1000x, dan 2000x.
6) Tambahkan 2 ml buffer pH 10, 2 ml K2Fe(CN)6, 2 ml aminoantipirin.
7) Lakukan pengukuran di spektofotometer dengan panjang gelombang
510 nm.
4
3) Dicek pH dan diatur pH 7.
4) Ditambahkan H2O2 0,09 % 2,5; 7,5; 10; 15; 20 ml.
5) Rotary Agitator selama 1 jam dengan r = 30 rpm.
6) Pengujian fenol dengan destilasi dan parameter akhir (pH, suhu,
COD, TSS, TDS, dan kekeruhan).
7) Ukur kadar fenol dengan destilasi.
5
3) Pengenceran 2000x
a. Dipipet 50 ml dari larutan pengenceran 1000x dan masukkan ke
labu takar 100 ml.
b. Ditera dengan aquades dan dihomogenkan.
Pembuatan Deret Standar Fenol
1) Larutan baku 100 mg/L
a. Dipipet 10 ml larutan induk 1000 mg/L dan masukkan ke labu
takar 100 ml.
b. Ditera dengan aquades dan dihomogenkan.
2) Larutan kerja 10 mg/L
a. Dipipet 10 ml larutan baku 100 mg/L dan masukkan ke labu takar
100 ml.
b. Ditera dengan aquades dan dihomogenkan.
3) Deret Standar Fenol
a. Dimasukkan larutan fenol 100 mg/L ke buret.
b. Dimasukkan 0,0; 0,5; 1; 1,5; 2,0; 2,5 ml ke dalam labu takar 50 ml.
c. Ditambahkan 2 ml buffer pH 10, 2 ml K2Fe(CN)6, 2 ml
aminoantipirin.
d. Ditera dengan aquades dan dihomogenkan.
e. Dilakukan pengukuran di spektofotometer dengan panjang
gelombang 510 nm.
3.2.6 Pengolahan Fenol Dengan Biji Kelor
Pembuatan Biokoagulan Biji Kelor
1) Kulit biji kelor dikupas, dicuci dan dijemur hingga kering.
2) Biji kelor dihaluskan dan dipanaskan pada suhu 60 °C.
3) Biji kelor disaring dengan saringan 24 mesh.
4) Biji kelor berbentuk serbuk halus.
Penetapan pH Optimum
1) Masukkan air limbah 400 ml ke dalam 6 beaker glass 500 ml.
2) pH diatur 4, 5, 6, 7, 8, dan 9.
3) Tambahkan 2 g koagulan pada tiap beaker glass. ‘
4) Diatur kecepatan 80 rpm selama 1 menit (koagulasi).
6
5) Diatur kecepatan 20 rpm selama 15 menit.
6) Dibiarkan mengendap sempurna.
7) Diukur kekeruhan dengan turbidimeter.
Penetapan Dosis Optimum
1) Masukkan air limbah 400 ml ke dalam 6 beaker glass 500 ml.
2) Ditambahkan koagulan 0, 1, 2, 3, 4, 5, 6 g.
3) Diatur kecepatan 80 rpm selama 1 menit (koagulasi).
4) Diatur kecepatan 20 rpm selama 15 menit.
5) Dibiarkan mengendap sempurna.
6) Diukur kekeruhan dengan turbidimeter.
Aplikasi Pengolahan Fenol dengan Biji Kelor
1) Dimasukkan 250 ml air limbah ke dalam erlenmeyer.
2) Diatur pH dan dosis optimum.
3) Dishaker dengan 150 rpm selama 30, 45, 60 menit.
4) Dilakukan destilasi.
5) Diukur dengan spektrofotometer UV-Vis.
7
BAB IV
Pengenceran pada penetapan COD dilakukan sebesar 20x karena jika tidak
dilakukan pengenceran maka sampel limbah fenol tersebut masih cukup pekat
untuk dianalisa kadar COD nya. Bentuk tanda ia masih pekat ialah larutan
berubah warna menjadi hijau ketika dilakukan langkah kerja penentuan kadar
COD dari langkah awal sampai setelah penambahan Ag2SO4+H2SO4. Hal
tersebut menandakan sampel masih cukup pekat dan kadar oksigen untuk
mengurai bahan organik telah habis. Oleh sebab itu haruslah dilakukan
pengenceran sebanyak 20x. Dan penentuan kadar COD ini dilakukan duplo atau 2
kali pengulangan. Setelah direaktorkan selama 45 menit dan dititrasi
menggunakan FAS yang sudah distandardisasikan sebesar 0.1925 N didapatkan
kadar COD pertama sebesar 6317,28 mg/L dan kedua sebesar 5546,88 mg/L.
Tentu saja kadar tersebut masih cukup besar bila dibandingkan dengan Permen
LH No. 5 tahun 2014 dimana kadar COD tidak boleh melebihi 3000 mg/L bila
melebihi baku mutu harus dilakukan pengolahan untuk mengurangi kadar COD
agar aman jika sudah dibuang ke lingkungan.
8
yang ditetapkan ialah sebesar 50 mg/L. Sehingga TSS pada karakteristik awal ini
masih sangat tinggi sehingga perlu dilakukan pengolahan lebih lanjut.
9
Kemudian sampel diukur kadar dari tiap parameter yang digunakan (COD, TSS,
TDS, pH, dan kadar fenol). Dan didapatkan hasil analisis seperti yang dituangkan
pada tabel 1.
10
Masing-masing hasil yang didapatkan akan dibahas secara rinci dengan
membandingkan hasil dari efisiensi penurunan kadar yang didapatkan dengan
pengolahan menggunakan hydrogen peroksida dan menggunakan biokoagulan
(biji kelor).
11
sehingga tidak didapatkan kadar yang sebenarnya. Selain itu, pengukuran kadar
dilakukan oleh banyak praktikan yang berbeda, sehingga sulit untuk mendapatkan
sumber kesalahan dengan jelas. Grafik efisiensi juga dibuat untuk mengetahui
terjadinya penurunan dan kenaikan dari kadar COD yang dilakukan pada variasi
volume yang berbeda. Grafik dapat dilihat pada gambar 1
-20,00
-30,00
-40,00
-50,00
-60,00
-70,00
-80,00
volume peroksida (mL)
Berdasarkan tabel 3 juga dapat dilihat bahwa terjadi kenaikan kadar yang
cukup signifikan saat mengolah limbah cair industri cat menggunakan
biokoagulan (biji kelor). Hal ini mungkin terjadi akibat beberapa hal, namun yang
paling mungkin terjadi adalah kenaikan kadar ini sendiri diakibatkan oleh zat
organik yang terkandung pada biji kelor itu sendiri. Pada dasarnya, biji kelor
mengandung protein yang larut dalam air dengan berat molekul yang rendah.
Protein ini akan bermuatan positif jika dilarutkan dalam air. Fungsi protein ini
sendiri akan bekerja seperti bahan sintetik yang bermuatan positif dan dapat
12
digunakan sebagai koagulan polimer sintetik (YULIASTRI, 2010). Selain
kandungan protein yang terdapat dalam biji kelor, terdapat senyawaan organik
lainnya yang mana apabila ditambahkan pada air limbah maka ia akan menambah
kadar senyawaan organik didalam sampel apabila tidak dilakukan penanganan
yang tepat. Grafik efisiensi penurunan kadar COD menggunakan biokoagulan
dengan variasi waktu pengadukan dapat dilihat pada gambar 2.
-20,00
Efisiensi (%)
-30,00
-40,00
-50,00
-60,00
-70,00
-80,00
Waktu Pengadukan (menit)
Kadar TDS pada sampel dilakukan pada saat sebelum dan setelah
pengolahan (menggunakan hidrogen peroksida dan juga biokoagulan). TDS
diukur kadarnya menggunakan TDS meter. Didapatkan kadar pengujian TDS
seperti yang tertera pada Tabel 4.
13
Tabel 4. Data Hasil Analisis Kadar TDS Pada Sampel Limbah
Berdasarkan data pada tabel 4, kadar TDS yang didapatkan pada saat
pengolahan limbah menggunakan hidrogen peroksida mengalami penurunan
secara umumnya. Namun, penurunan terjadi secara signifikan pada penambahan
2,5 dan 5,0 mL hidrogen peroksida. Penurunan kadar ini terjadi karena hydrogen
peroksida mampu mengoksidasi senyawaan organik kompleks yang terdapat pada
sampel menjadi senyawa yang lebih simpleks bahkan mengion, sehingga padatan-
padatan terlarut yang terdapat didalam sampel berkurang dan didapatkan hasil
kadar TDS yang lebih rendah setelah dilakukan pengolahan. Namun, penurunan
kadar pada variasi volume yang lainnya tidak terlalu signifikan, hal ini dapat
terjadi karena banyak faktor, diantara adalah kesalahan acak yang diakibatkan
oleh analis saat menganalisis sampel, karena pada teorinya, semakin banyak
hidrogen peroksida yang ditambahkan maka proses pengoksidasian zat organik
seharusnya menjadi lebih optimal, namun pada percobaan kali ini tidak
didapatkan data seperti teori tersebut. Grafik efisiensi penurunan kadar TDS pada
air limbah menggunakan hidrogen peroksida dengan variasi volume dapat dilihat
pada gambar 3.
14
Efisiensi Penurunan Kadar TDS Dalam Limbah Fenol
120,00
100,00
80,00
Efisiensi (%)
60,00
40,00
20,00
0,00
0 5 10 15 20 25
Volume Hidrogen Peroksida (mL)
Pada tabel 4, dapat dilihat juga kadar TDS sampel yang diolah
menggunakan biji kelor. Dari data yang ditampilkan, terjadi penurunan pada saat
setelah pengolahan sampel, hal ini terjadi karena penambahan biji kelor sebagai
biokoagulan mampu merusak struktur koloid hidrofilik yang menyebabkan
tingginya kadar padatan terlarut dalam sampel menjadi flok-flok yang berukuran
lebih besar sehingga koloid-koloid terlarut dapat terpisahkan dengan air limbah.
Selain itu, kecilnya penurunan kadar yang didapatkan bisa juga terjadi karena
kurang optimalnya pengadukan yang dilakukan, untuk proses koagulasi
seharusnya dilakukan pengadukan cepat dengan waktu yang singkat untuk
mempermudah reaksi antara zata koagulan dengan koloid yang terdapat dalam
sampel, setelah itu harus ada proses flokulasi dimana dilakukan pengadukan
secara lambat dengan waktu tertentu agar terbentuk flok-flok yang berkuruan
lebih besar sehingga dapat terpisah dari larutan limbah. Namun, pada percobaan
ini dilakukan pengadukan secara lambat yaitu 30 rpm dari awal hingga akhir
pengolahan sampel, sehingga tidak didapatkan hasil yang optimal. Efisiensi
15
penurunan nilai TDS pada saat pengolahan menggunakan biokoagulan dapat
dilihat pada gambar 4.
2,00
1,50
1,00
0,50
0,00
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50
waktu pengadukan (menit)
16
Tabel 5. Data Analisis Kadar Fenol Pada Sampel Air Pengenceran 1000x
Tabel 6. Data Analisis Kadar Fenol Pada Sampel Air Pengenceran 2000x
17
menggunakan hidrogen peroksida dengan variasi volume yang berbeda dapat
dilihat pada gambar 5 dan 6.
-20,00
Efisiensi (%)
-30,00
-40,00
-50,00
-60,00
Volume Hidrogen Peroksida (mL)
-40,00
-50,00
-60,00
-70,00
-80,00
-90,00
-100,00
Volume Hidrogen Peroksida (mL)
18
Dari kedua gambar diatas, dapat dilihat bahwa efisiensi penurunan kadar
fenol setelah sampel diolah menggunakan hidrogen peroksida menunjukkan
efisisensi yang negatif. Hal ini terjadi karena kadar awal fenol yang diuji pada air
limbah menunjukkan angka yang lebih kecil daripada kadar fenol yang diuji saat
sampel sudah dilakukan pengolahan menggunakan hidrogen peroksida.
20,00
15,00
10,00
5,00
0,00
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50
waktu pengadukan (menit)
19
Grafik Efisiensi Penurunan Kadar Fenol fp 2000x dengan
menggunakan biokoagulan dan variasi waku
pengadukan
40,00
30,00
20,00
Efisiensi (%)
10,00
0,00
-10,00 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50
-20,00
-30,00
-40,00
-50,00
waktu pengadukan (menit)
Menurut baku mutu air limbah bagi usaha dan/atau kegiatan industri cat
yang ditetapkan dalam PermenLH No. 5 Tahun 2014 tentang Baku Mutu Air
Limbah, kadar fenol yang diizinkan berada pada sampel air limbah yang telah
diolah adalah sebesar 0,20 mg/L. Sedangkan kadar fenol yang didapatkan dengan
pengolahan paling optimum pada percobaan ini (menggunakan biokoagulan
dengan waktu pengadukan 30 menit) adalah sebesar 2694,14 mg/L. Hal ini dapat
diatasi dengan cara mengoptimalkan pengolahan air limbah agar didapat kadar
fenol yang lebih kecil daripada baku mutu yang sudah ditetapkan.
20
untuk menyaring sampel dan dikeringkan. Pengujian TSS didasarkan pada
perbandingan bobot setelah dan sebelum dilakukan penyaringan sampel. Padatan
yang tersaring pada kertas saring ukuran 0,45 µmditimbang dan dibandingkan
dengan volume sampel, hasil hitung perbandingan dianggap sebagai kadar TSS
sampel. Hasil analisis kadar TSS dapat dilihat pada tabel 7.
21
Grafik Efesiensi Penurunan Kadar TSS Pada Air Limbah
Dengan Variasi Hidrogen Peroksida
100,00
80,00
60,00
40,00
Efisiensi (%)
20,00
0,00
-20,00 0 5 10 15 20 25
-40,00
-60,00
-80,00
-100,00
Volume Hidrogen Peroksida (mL)
80,00
60,00
40,00
20,00
0,00
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50
22
Gambar 8. Grafik Efisiensi Penurunan Kadar TSS Pada Air Limbah
Dengan Variasi Waktu Pengadukan Biokoagulan.
Dari gambar 8, dapat dilihat bahwa terjadi penurunan persen efisiensi dari
pengadukan 15 menit ke 30 menit, sedangkan terjadi kenaikan efisiensi penurunan
kadar TSS dari 30 menit ke 45 menit, dan didapatkan persen efisiensi penurunan
kadar TSS paling tinggi pada pengadukan 15 menit.
Menurut baku mutu air limbah bagi usaha dan/atau kegiatan industri cat
yang ditetapkan dalam PermenLH No. 5 Tahun 2014 tentang Baku Mutu Air
Limbah, kadar TSS maksimal yang diizinkan ada pada hasil olahan air limbah
adalah sebesar 50 mg/L. Sedangkan hasil olahan yang paling optimal (dengan
menggunakan bii kelor dengan pengadukan 15 menit) masih berada diatas nilai
baku mutu yang ditetapkan. Hal ini dapat diatasi dengan mengoptimalkan proses
pengolahan dengan mengurangi hal-hal yang dapat menimbulkan kesalahan pada
saat proses pengolahan.
23
Dari data yang ada pada tabel 8, dapat dilihat bahwa terjadi kenaikan kadar
pH pada saat penambahan hidrogen peroksida kedalam sampel, hal ini terjadi
karena hidrogen peroksida yang bereaksi dengan senyawa yang berada dalam
sampel menghasilkan gugus-gugus hidroksil yang bersifat basa sehingga
menaikkan pH dari larutan sampel tersebut. Grafik kenaikan pH dapat dilihat pada
gambar 9.
4 pH awal
3
pH akhir
2
1
0
0 5 10 15 20 25
Volume Hidrogen Peroksida (mL)
24
Grafik pH Awal dan Akhir pengolahan limbah fenol
dengan variasi waktu pengadukan biokoagulan
9 7,903
7,841 7,788
8
7 6 6 6
6
5
pH
4 pH awal
3 pH akhir
2
1
0
0 10 20 30 40 50
waktu pengadukan (menit)
Gambar 10. Grafik pH awal dan akhir pengolahan limbah fenol dengan
variasi waktu pengadukan biokoagulan.
Menurut baku mutu air limbah bagi usaha dan/atau kegiatan industri cat
yang ditetapkan dalam PermenLH No. 5 Tahun 2014 tentang Baku Mutu Air
Limbah, pH yang diizinkan ada pada air limbah fenol berada pada range 6,0-9,0
yang berarti hasil air limbah olahan menggunakan hidrogen peroksida maupun
menggunakan biokoagulan biji kelor masih sesuai dengan standar baku mutu yang
ditetapkan oleh pemerintah.
25
BAB V
PENUTUP
5.1 Simpulan
26
DAFTAR PUSTAKA
27
LAMPIRAN
28
Lampiran 1. Foto Kegiatan
29
proses destilasi sampel Pengukuran pH, suhu, DHL
30
LAMPIRAN 2. PERHITUNGAN
Deret standar
Kadar sampel
(0,731 + 0,05)𝑎𝑏𝑠
Fenol1000x = 𝑚𝑔 𝑥 1000 = 3386,82 𝑚𝑔/𝐿
0,2306 abs/
𝑙
(0,419 + 0,05)𝑎𝑏𝑠
Fenol2000x = 𝑚𝑔 𝑥 2000 = 4067,65 𝑚𝑔/𝐿
0,2306 abs/
𝑙
(0,192 + 0,05)𝑎𝑏𝑠
Fenol5000x = 𝑚𝑔 𝑥 5000 = 5247,18 𝑚𝑔/𝐿
0,2306 abs/
𝑙
COD
𝑚𝑔 𝐾2𝐶𝑟2𝑂7
𝑁 FAS =
𝑉𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑡𝑖𝑡𝑟𝑎𝑛 (𝑚𝐿) 𝑥 𝐵𝐸 𝐾2𝐶𝑟2𝑂7
244,8 𝑚𝑔
𝑁1 FAS 1 = = 0,1919 𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘/𝑚𝐿
26,03 𝑚𝐿 × 49 𝑚𝑔/𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘
244,7 𝑚𝑔
𝑁2 FAS 2 = = 0,1933 𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘/𝑚𝐿
25,83 𝑚𝐿 × 49 𝑚𝑔/𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘
31
N2 − N1
% 𝑅𝑃𝐷 = × 100 %
𝑁2 + 𝑁1
2
(0,1933 − 0,1919) 𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘/𝑚𝐿
= × 100% = 0,73%
0,1933 𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘/𝑚𝐿 + 0,1919𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘/𝑚𝐿
2
𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘 𝑚𝑔 𝑚𝑙
mg ( v blanko − v sampel ) (𝑚𝐿) × 𝑁 FAS ( ) × 𝐵𝐸 𝑂 ( ) × 1000 ( )
𝑚𝐿 𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘 𝐿
COD( ) =
L volume sampel (mL)
𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘 𝑚𝑔 𝑚𝑙
mg (1,96 − 0,55) (𝑚𝐿) × 0,1926 ( ) × 8( ) × 1000 ( )
𝑚𝐿 𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘 𝐿
Kadar COD20X(1) ( ) = 𝑥20
L 2 (mL)
𝑚𝑔
= 6317,28
𝐿
𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘 𝑚𝑔 𝑚𝑙
mg (1,96 − 1,60) (𝑚𝐿) × 0,1926 ( ) × 8( ) × 1000 ( )
𝑚𝐿 𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘 𝐿
Kadar COD20x(2) ( ) = 𝑥20
L 2 (mL)
𝑚𝑔
= 5546,88
𝐿
32
Setelah Pengolahan oleh Oksidasi H2O2
Deret standar
Kadar sampel
(0,281 + 0,0139)𝑎𝑏𝑠
Fenol2,5 2000X = 𝑚𝑔 𝑥 2000 = 4407,59 𝑚𝑔/𝐿
0,1212 abs/
𝑙
(0,484 + 0,0139)𝑎𝑏𝑠
Fenol2,5 1000X = 𝑚𝑔 𝑥 1000 = 3878,71𝑚𝑔/𝐿
0,1212 abs/
𝑙
(0,298 + 0,0139)𝑎𝑏𝑠
Fenol5 2000X = 𝑚𝑔 𝑥 2000 = 4688,12 𝑚𝑔/𝐿
0,1212 abs/
𝑙
(0,467 + 0,0139)𝑎𝑏𝑠 𝑚𝑔
Fenol5 1000X = 𝑥 1000 = 3738,45
abs 𝐿
0,1212 𝑚𝑔
𝑙
(0,487 + 0,0139)𝑎𝑏𝑠
Fenol7,5 2000X = 𝑚𝑔 𝑥 2000 = 7806,93 𝑚𝑔/𝐿
0,1212 abs/
𝑙
(0,605 + 0,0139)𝑎𝑏𝑠
Fenol7,5 1000X = 𝑚𝑔 𝑥 1000 = 4877,06 𝑚𝑔/𝐿
0,1212 abs/
𝑙
(0,414 + 0,0139)𝑎𝑏𝑠
Fenol15 2000X = 𝑚𝑔 𝑥 2000 = 6602,31 𝑚𝑔/𝐿
0,1212 abs/
𝑙
(0,630 + 0,0139)𝑎𝑏𝑠
Fenol15 1000X = 𝑚𝑔 𝑥 1000 = 5083,33 𝑚𝑔/𝐿
0,1212 abs/
𝑙
33
COD
𝑚𝑔 𝐾2𝐶𝑟2𝑂7
𝑁 FAS =
𝑉𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑡𝑖𝑡𝑟𝑎𝑛 (𝑚𝐿) 𝑥 𝐵𝐸 𝐾2𝐶𝑟2𝑂7
244,8 𝑚𝑔
𝑁1 FAS 1 = = 0,1944 𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘/𝑚𝐿
25,70 𝑚𝐿 × 49 𝑚𝑔/𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘
244,9 𝑚𝑔
𝑁2 FAS 2 = = 0,1875 𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘/𝑚𝐿
26,60 𝑚𝐿 × 49 𝑚𝑔/𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘
mg
COD( )
L
𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘 𝑚𝑔 𝑚𝑙
( v blanko − v sampel ) (𝑚𝐿) × 𝑁 FAS ( ) × 𝐵𝐸 𝑂 ( ) × 1000 ( )
𝑚𝐿 𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘 𝐿
=
volume sampel (mL)
mg
Kadar COD2,5 ( )
L
𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘 𝑚𝑔 𝑚𝑙
(2,06 − 1,63) (𝑚𝐿) × 0,1912 ( ) × 8 (𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘) × 1000 ( 𝐿 )
𝑚𝐿
= 𝑥20
2 (mL)
𝑚𝑔
= 6577,28
𝐿
mg
Kadar COD5 ( )
L
𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘 𝑚𝑔 𝑚𝑙
(2,06 − 1,65) (𝑚𝐿) × 0,1912 ( ) × 8( ) × 1000 ( )
𝑚𝐿 𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘 𝐿
= 𝑥20
2 (mL)
𝑚𝑔
= 6271,36
𝐿
34
mg
Kadar COD7,5 ( )
L
𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘 𝑚𝑔 𝑚𝑙
(2,06 − 1,63) (𝑚𝐿) × 0,1912 ( ) × 8 (𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘) × 1000 ( 𝐿 )
𝑚𝐿
= 𝑥20
2 (mL)
𝑚𝑔
= 6577,28
𝐿
mg
Kadar COD10 ( )
L
𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘 𝑚𝑔 𝑚𝑙
(2,06 − 1,73) (𝑚𝐿) × 0,1912 ( ) × 8( ) × 1000 ( )
𝑚𝐿 𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘 𝐿
= 𝑥20
2 (mL)
𝑚𝑔
= 5047,68
𝐿
mg
Kadar COD515 ( )
L
𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘 𝑚𝑔 𝑚𝑙
(2,06 − 1,73) (𝑚𝐿) × 0,1912 ( )×8( ) × 1000 ( )
𝑚𝐿 𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘 𝐿
= 𝑥20
2 (mL)
𝑚𝑔
= 5047,68
𝐿
mg
Kadar COD520 ( )
L
𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘 𝑚𝑔 𝑚𝑙
(2,06 − 1,40) (𝑚𝐿) × 0,1912 ( ) × 8 (𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘) × 1000 ( 𝐿 )
𝑚𝐿
= 𝑥20
2 (mL)
𝑚𝑔
= 10095,36
𝐿
TSS
35
mg (1,0014−1,2979) 𝑔 𝑥 1000 (𝑚𝑔/𝑔) mg
TSS asli L.Fenol( L )= = 11860 L
0,025 𝐿
Deret standar
Kadar sampel
(0,601 + 0,0184)𝑎𝑏𝑠
Fenol15 1000x = 𝑚𝑔 𝑥 1000 = 3359,00 𝑚𝑔/𝐿
0,1844 abs/
𝑙
(0,528 + 0,0184)𝑎𝑏𝑠
Fenol15 2000x = 𝑚𝑔 𝑥 2000 = 5926,25 𝑚𝑔/𝐿
0,1844 abs/
𝑙
(0,442 + 0,0184)𝑎𝑏𝑠
Fenol30 1000x = 𝑚𝑔 𝑥 1000 = 2496,75𝑚𝑔/𝐿
0,1844 abs/
𝑙
(0,230 + 0,0184)𝑎𝑏𝑠
Fenol30 2000x = 𝑚𝑔 𝑥 2000 = 2694,14 𝑚𝑔/𝐿
0,1844 abs/
𝑙
(0,488 + 0,0184)𝑎𝑏𝑠 𝑚𝑔
Fenol45 1000x = 𝑥 1000 = 2746,20
abs 𝐿
0,1844 𝑚𝑔
𝑙
(0,286 + 0,0184)𝑎𝑏𝑠
Fenol45 2000x = 𝑚𝑔 𝑥 2000 = 3301 𝑚𝑔/𝐿
0,1844 abs/
𝑙
COD
36
𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘 𝑚𝑔 𝑚𝑙
mg ( v blanko − v sampel ) (𝑚𝐿) × 𝑁 FAS ( ) × 𝐵𝐸 𝑂 ( ) × 1000 ( )
𝑚𝐿 𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘 𝐿
COD( ) =
L volume sampel (mL)
𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘 𝑚𝑔 𝑚𝑙
mg (2,00 − 1,50) (𝑚𝐿) × 0,1912 ( )×8( ) × 1000 ( )
𝑚𝐿 𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘 𝐿
Kadar COD 15 ( ) = 𝑥20
L 2 (mL)
𝑚𝑔
= 7648,00
𝐿
𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘 𝑚𝑔 𝑚𝑙
mg (2,00 − 1,60) (𝑚𝐿) × 0,1912 ( )×8( ) × 1000 ( )
𝑚𝐿 𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘 𝐿
Kadar COD 30 ( ) = 𝑥20
L 2 (mL)
𝑚𝑔
= 6118,40
𝐿
𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘 𝑚𝑔 𝑚𝑙
mg (2,00 − 1,33) (𝑚𝐿) × 0,1912 ( )×8( ) × 1000 ( )
𝑚𝐿 𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘 𝐿
Kadar COD 45 ( ) = 𝑥20
L 2 (mL)
𝑚𝑔
= 10248,32
𝐿
Kadar TSS
% Efisiensi Pengolahan
COD
5932,08−6577,28 5932,08−5047,68
% efisiensi 2,5 = 5932,08
𝑥 100% = % efisiensi 10 = 5932,08
𝑥 100% =
-10,88% 14,91%
37
5932,08−6271,36 5932,08−5047,68
% efisiensi 5 = 5932,08
𝑥 100% = % efisiensi 15 = 5932,08
𝑥 100% =
−5,72% 14,91%
5932,08−6577,28 5932,08−10095,36
% efisiensi 7,5 = 5932,08
𝑥 100% = % efisiensi 20 = 5932,08
𝑥 100% =
−10,88% −70,18%
TDS
184,6−4,51 184,6−177,2
% efisiensi 2,5 = 𝑥 100% = % efisiensi 10 = 184,6
𝑥 100% =
184,6
97,56% 4,01%
184,6−4,08 184,6−146,6
% efisiensi 5 = 184,6
𝑥 100% = % efisiensi 15 = 184,6
𝑥 100% =
97,79% 20,59%
184,6−177,7 184,6−161,6
% efisiensi 7,5 = 184,6
𝑥 100% = % efisiensi 20 = 184,6
𝑥 100% =
3,74% 12,46%
TSS
11860−20864 11860−2576
% efisiensi 2,5 = 11860
𝑥 100% = % efisiensi 5 = 𝑥 100% =
11860
−75,92% 78,28%
11860−10604 11860−2164
% efisiensi 7,5 = 11860
𝑥 100% = % efisiensi 10 = 11860
𝑥 100% =
10,59% 81,75%
11860−21284 11860−1308
% efisiensi 15 = 𝑥 100% = % efisiensi 20 = 𝑥 100% =
11860 11860
−79,46% 88,97%
38
FENOL 1000
3386,82−3738,45 % efisiensi 15 =
% efisiensi 5 = 3386,82
𝑥 100% =
3386,82−5083,33
−10,38% 𝑥 100% = −50,09%
3386,82
FENOL 2000
4067,65−4688,12 % efisiensi 15 =
% efisiensi 5 = 4067,65
𝑥 100% =
4067,65−6602,31
−15,25% 4067,65
𝑥 100% = −62,31%
COD
5932,08−7648 5932,08−6118,4
% efisiensi 15 = 5932,08
𝑥 100% = % efisiensi 30 = 5932,08
𝑥 100% =
−28,93% −3,14%
% efisiensi 45 =
5932,08−10248,32
5932,08
𝑥 100% = −72,76%
39
TDS
184,6−178,8 184,6−182,2
% efisiensi 15 = 𝑥 100% = % efisiensi 45 = 𝑥 100% =
184,6 184,6
3,14% 1,30%
184,6−182,4
% efisiensi 30 = 184,6
𝑥 100% =
1,19%
TSS
11860−276 11860−300
% efisiensi 15 = 11860
𝑥 100% = % efisiensi 45 = 11860
𝑥 100% =
97,67% 97,47%
11860−4024
% efisiensi 30 = 𝑥 100% =
11860
66,07%
FENOL 1000
3386,82−3359 3386,82−2746,2
% efisiensi 15 = 𝑥 100% = % efisiensi 45 = 3386,82
𝑥 100% =
3386,82
0,82% 18,92%
% efisiensi 30 =
3386,82−2496,75
3386,82
𝑥 100% = 26,28%
FENOL 2000
% efisiensi 15 = 4067,65−3301
% efisiensi 45 = 4067,65
𝑥 100% =
4067,65−5926,25
4067,65
𝑥 100%=-45,69% 18,85%
% efisiensi 30=
4067,65−2694,14
𝑥 100% = 33,77%
4067,65
40
Lampiran 3. Data Pengamatan
V FAS
V FAS blangko (mL) V COD
Penetapan N FAS COD
Sampel Sampel sampel rerata
Kadar COD pengulangan rerata (N) (mg/L)
(mL) (mL) (mg/L)
Karakteristik fp 20 (1) 1) 1,95 0,55 6317,28
1,96 0,1925 5932
Awal fp 20 (2) 2) 1,97 1,60 5546,88
H2O2 2,5 mL
1,63 6577,28
fp20
2,07
H2O2 5,0 mL
1,65 6271,36
fp20
H2O2 7,5 mL
Pengolahan 1,63 6577,28
fp20
dengan 2,10 2,06 0,1912
H2O2 10,0 mL 25
H2O2 1,73 5047,68
fp20
H2O2 15,0 mL
1,73 5047,68
fp20
2,00
H2O2 20,0 mL
1,40 10095,36
fp20
Pengolahan 15 menit fp 20 1,50 7648,00
dengan Biji 30 menit fp 20 2,00 1,60 0,1912 6118,00
Kelor 45 menit fp 20 1,23 10248,32
41
Deret Standar
Absorbansi (Abs)
Conc (mg/L) Karakteristik Pengolahan Pengolahan
Awal Peroksida Biji Kelor
0 0,000 0,032 0
1 0,173 0,123 0,173
2 0,363 0,246 0,363
3 0,604 0,372 0,604
4 0,873 0,498 0,873
5 1,146 0,630 1,146
slope (b) 0,2306 0,1212 0,2306
intersep (a) -0,0105 0,0139 -0,0105
r 0,9965 0,9986 0,9965
Kadar
Penetapan Absorbansi
Sampel Fenol
Kadar Fenol (Abs)
(mg/L)
fp 1000 0,731 3386,82
Karakteristik
fp 2000 0,419 4067,65
Awal
fp 5000 0,192 5247,18
H2O2 2,5
mL fp 0,484 3878,71
1000
H2O2 2,5
mL fp 0,281 4407,59
2000
H2O2 5,0
Pengolahan
mL fp 0,467 3738,45
dengan H2O2
1000
H2O2 5,0
mL fp 0,298 4688,12
2000
H2O2 7,5
mL fp 0,605 4877,06
1000
42
H2O2 7,5
mL fp 0,487 7806,93
2000
H2O2 15,0
0,630 5083,33
mL fp 1000
H2O2 15,0
0,414 6602,31
mL fp 2000
15 menit
0,601 3359,00
fp 1000
15 menit
0,528 5926,25
fp 2000
30 menit
Pengolahan 0,442 2496,75
fp 1000
dengan Biji
Kelor 30 menit
0,230 2694,14
fp 2000
45 menit
0,488 2746,20
fp 1000
45 menit
0,286 3301,00
fp 2000
Dosis
Kekeruhan pH Variasi Kekeruhan
pH Awal Variasi pH Optimum
(NTU) Optimum Dosis (g) (NTU)
(g)
4 505 0 1,68
5 691 1 56
6 6 435 2 50,1
6 2
7 115,4 3 52,9
8 164,4 4 78,6
9 54,1 5 65,5
6 74,2
43
Penetapan pH Optimum Pengolahan dengan Hidrogen Peroksida
Absorbansi Kadar pH
Variasi pH Fp Optimum
(Abs) (mg/L)
2000 0,548 4843,89
2
5000 0,175 4022,12
Pengukuran
TDS
pH dan Kadar Sampel pH Suhu (⁰C)
(mg/L)
TDS
Karakteristik
1) 6 27,5 184,6
Awal
44
Penetapan Kadar TSS
45