Anda di halaman 1dari 58

MAKALAH PRAKTIK PENGOLAHAN LIMBAH IDNUSTRI

MANUFAKTUR DAN PETROKIMIA


PERBANDINGAN EFISIENSI PENGOLAHAN FENOL DALAM
LIMBAH CAT DENGAN KOAGULAN BIJI KELOR DAN OKSIDASI KIMIA
(HIDROGEN PEROKSIDA)

Disusun oleh :
Kelompok 3
1. Ade Yusuf (1730123)
2. Anggie Maronita Astuti (1730129)
3. Dimas Bayu Pradana (1730137)
4. Firda Tabur (1730142)
5. Irsyad Hafizh Aldiadi (1730150)
6. Mega Putri Arumdhani (1730155)
7. Muhammad Reza Pahlevi (1730160)
8. Reza Agustini Buana (1730171)
9. Rezky Alifya Taufani (1730172)
10. Veiny Ena Dwiviaoktaja (1730181)

Program Studi Pengolahan Limbah Industri


KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA BADAN
PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA INDUSTRI
POLITEKNIK AKA BOGOR
BOGOR
2019
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Panyayang, Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah hasil praktikum Pengolahan Limbah Industri Manufaktur dan
Petrokimia yang berjudul “PERBANDINGAN EFISIENSI PENGOLAHAN FENOL
DALAM LIMBAH CAT DENGAN KOAGULAN BIJI KELOR DAN OKSIDASI
KIMIA (HIDROGEN PEROKSIDA)” dengan tepat waktu.

Kami mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu
kelancaran dalam pembuatan laporan ini terutama kepada dosen beserta asisten
dosen laboratorium lingkungan yang sudah membimbing dalam proses penyusunan
makalah.

Makalah hasil praktikum ini dibuat untuk memenuhi tugas kuliah praktik
Pengolahan Limbah Industri Manufaktur dan Petrokimia Politeknik AKA Bogor.
Semoga makalah ini bermanfaat dan memberikan pengetahuan mengenai bagi
pembacanya.

Bogor, November 2019

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................. i


DAFTAR ISI................................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................ 1
1.1 Latar belakang .................................................................................................. 1
1.2 Tujuan ................................................................................................................ 3
1.3 Rumusan Masalah ............................................................................................. 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................ 4
2.1 Limbah Industri Cat .......................................................................................... 4
2.2 Karakteristik Limbah Fenol ............................................................................. 5
2.3 Karakteristik Hidrogen Peroksida (H2O2)....................................................... 6
2.4 Tanaman Kelor................................................................................................... 7
2.5 Biji Kelor sebagai Koagulan ............................................................................. 7
BAB III METODOLOGI ........................................................................................... 9
3.1 Alat dan Bahan .................................................................................................. 9
3.1.1 Alat ................................................................................................................ 9
3.1.2 Bahan ............................................................................................................. 1
3.2 Cara Kerja ......................................................................................................... 1
3.2.1 Penetapan Kadar Awal COD Fenol ........................................................... 1
3.2.2 Penetapan Kadar Awal TSS Fenol ............................................................ 2
3.2.3 Jartest Fenol (biji kelor, pH optimum, hidrogen peroksida) ................... 2
3.2.4 Penetapan Kadar Awal Fenol Secara Spektrofotometri .......................... 3
3.2.5 Pengolahan Limbah Fenol Secara Hidrogen Peroksida ........................... 4
3.2.6 Pengolahan Fenol Dengan Biji Kelor ......................................................... 6
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................... 8
4.1 Karakteristik awal .......................................................................................... 8
4.2 Kadar Parameter Limbah Setelah Pengolahan ........................................... 9
4.2.1 Chemical Oxygen Demand (COD)........................................................... 11
4.2.2 Total Dissolved Solid (TDS) ...................................................................... 13
4.2.3 Kadar Fenol ................................................................................................ 16

ii
4.2.4 Total Suspended Solid (TSS) ..................................................................... 20
4.2.5 Derajat Keasaman (pH) ............................................................................. 23
BAB V PENUTUP..................................................................................................... 26
5.1 Simpulan ........................................................................................................ 26
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 27
LAMPIRAN............................................................................................................................28

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Jumlah industri untuk menghasilkan berbagai macam produk dan memenuhi


kebutuhan manusia saat ini semakin tinggi. Selain menghasilkan produk yang dapat
digunakan oleh manusia, kegiatan produksi ini juga menghasilkan produk lain yang
belum begitu banyak dimanfaatkan yaitu limbah. Seiring dengan peningkatan industri
ini, juga akan terjadi peningkatan jumlah limbah.
Limbah yang dihasilkan dapat memberikan dampak negatif terhadap sumber
daya alam dan lingkungan, seperti gangguan pencemaran alam dan pengurasan
sumber daya alam, yang nantinya dapat menurunkan kualitas lingkungan antara lain
pencemaran tanah, air, dan udara jika limbah tersebut tidak diolah terlebih dahulu.
Bermacam limbah industri yang dapat mencemari lingkungan antara lain limbah
industri tekstil, limbah agroindustri (limbah kelapa sawit, limbah industri karet remah
dan lateks pekat, limbah industri tapioka, dan limbah pabrik pulp dan kertas), limbah
industri farmasi, dan lain-lain. Selain kegiatan industri, diperkotaan limbah juga
dihasilkan oleh hotel, rumah sakit dan rumah tangga. Bentuk limbah yang dihasilkan
oleh komponen kegiatan yang disebut di atas adalah limbah padat dan limbah
cair. Limbah padat dan cair yang dibuang ke lingkungan langsung dapat
menimbulkan keseimbangan alam terganggu yaitu terjadi pencemaran tanah yang
mampu merubah pH tanah, kandungan mineral berubah dan ganguan nutrisi dari
tanah untuk kehidupan tumbuhan serta sumber air tanah tercemar. Pencemaran air
dapat mengganggu biota air, perubahan BOD, COD serta DO, disamping itu dampak
psikologis akibat dari pencemaran lingkungan yang tidak kalah berbahayanya jika
dibandingkan dengan dampak secara fisik.
Pemakaian bahan pembersih sintesis yang dikenal dengan deterjen makin
marak di masyarakat luas, di dalam deterjen terkandung komponen utamanya, yaitu
surfaktan, baik bersifat kationik, anionik maupun non-ionik. Produksi deterjen di

1
Indonesia rata-rata per tahun sebesar 380 ribu ton. Sedangkan untuk tingkat
konsumsinya, menurut hasil survey yang dilakukan oleh Pusat Audit Teknologi di
wilayah Jabotabek pada tahun 2002, per kapita rata-rata sebesar 8,232 kg.
Perkembangan usaha binatu atau laundry yang sebelumnya hanya
dikhususkan bagi masyarakat menengah ke atas, kini mengalami pergeseran hingga
harganya dapat dijangkau semua kalangan masyarakat. Hal ini menyebabkan limbah
deterjen semakin banyak kuantitasnya.
Air limbah detergen termasuk polutan atau zat yang mencemari
lingkungan karena didalamnya terdapat zat yang disebut ABS (alkyl benzene
sulphonate) yang merupakan deterjen tergolong keras. Deterjen tersebut sukar dirusak
oleh mikroorganisme (nonbiodegradable) sehingga dapat menimbulkan pencemaran
lingkungan.
Surfaktan sebagai komponen utama dalam deterjen dan memiliki rantai kimia
yang sulit didegradasi (diuraikan) alam. Pada mulanyasurfaktan hanya digunakan
sebagai bahan utama pembuat deterjen. Namun karena terbukti ampuh membersihkan
kotoran, maka banyak digunakan sebagai bahan pencuci lain. Surfaktan merupakan
suatu senyawa aktif penurun tegangan permukaan yang dapat diproduksi melalui
sintesis kimiawi maupun biokimiawi. Sifat aktif permukaan yang dimiliki surfaktan
diantaranya mampu menurunkan tegangan permukaan, tegangan antarmuka dan
meningkatkan kestabilan sistem emulsi. Hal ini membuat surfaktan banyak digunakan
dalam berbagai industri, seperti industri sabun, deterjen, produk kosmetika dan
produk perawatan diri, farmasi, pangan, cat dan pelapis, kertas, tekstil, pertambangan
dan industri perminyakan, dan lain sebagainya (Scheibel J, 2004).
Dengan makin luasnya pemakaian deterjen maka risiko bagi kesehatan
manusia maupun kesehatan lingkungan pun makin rentan. Limbah yang dihasilkan
dari deterjen dapat menimbulkan dampak yang merugikan bagi lingkungan yang
selanjutnya akan mengganggu atau mempengaruhi kehidupan masyarakat.

2
1.2 Tujuan

1. Mengetahui metode penentuan kadar fenol pada limbah Cat

2. Menentukan kadar fenol pada limbah Cat

3. Mengetahui Perbandingan Efisiensi pengolahan Limbah Fenol dalam Cat


dengan koagulan biji kelor dan oksidasi H2O2

1.3 Rumusan Masalah

1. Bagaimana karakteristik awal limbah fenol dalam cat.

2. Bagaimana tingkat efisiensi dari proses pengolahan limbah fenol


menggunakan metode koagulasi dan flokulasi menggunakan koagulan biji
kelor dan oksidasi kimia menggunakan hidrogen peroksida.

3. Bagaimana proses pengolahan limbah fenol menggunakan metode koagulasi


dan flokulasi menggunakan koagulan biji kelor dan oksidasi kimia
menggunakan hidrogen peroksida

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Limbah Industri Cat

Industri cat merupakan industri yang utamanya memproduksi cat, pernis dan
lak serta berbagai produk pelapis lainnya. Aplikasi produk-produk industri cat dapat
dikategorikan berdasarkan penggunaannya menjadi empat kelompok, yaitu pelapis
arsitektur atau cat rumah, pelapis produk industri, pelapis khusus dan penggunaan
lain. Selain itu juga dapat dikategorikan berdasarkan jenis pelarutnya menjadi dua
kelompok, yaitu berbasis air dan berbasis larutan.

Proses produksi cat berbasis air maupun berbasis larutan umumnya sama.
Pembuatan cat berbasis air dimulai dengan penggilingan (grinding) pigmen dengan
campuran air, amonia, dispersant dan extenders. Ketika penggilingan selesai, bahan
ini kemudian dipindahkan ke tangki pencampuran. Dalam tangki pencampuran
dilakukan penambangan resin, plasticizer, pengawet, antifoaming, emulsi polivinil
asetat dan air. Setelah proses pencampuran mencapai konsistensi yang diinginkan, cat
disaring untuk menghilangkan untuk menghilangkan pigmen yang tidak terdispersi
sempurna dan kemudian dikemas untuk dipasarkan. Sedangkan pembuatan cat
berbasis larutan dimulai dengan penggilingan pigmen dengan campuran resin,
extender, pelarut dan plasticizer. Setelah penggilingan selesai, bahan ini kemudian
ditransfer ke tangki pencampuran dan dilakukan penambahan pelarut serta pewarna.
Setelah konsistensi yang diinginkan tercapai, cat disaring, dikemas dan siap untuk
dipasarkan.

Berbagai limbah bahan berbahaya dan beracun (limbah B3), baik dalam
bentuk padat, cair maupun gas dihasilkan selama proses produksi cat, terutama pada
proses produksi cat berbasis larutan.

4
Limbah B3 padat yang dihasilkan terutama berupa bekas wadah atau kemasan
bahan baku, filter bekas, dan cat kering. Sedangkan limbah cair berupa air limbah
pencucian peralatan produksi, tumpahan dan ceceran, cat yang tidak memenuhi syarat
spesifikasi, car kadaluarsa dan cat yang dikembalikan dari pemasaran. Sementara itu,
limbah gas yang dihasilkan berupa senyawa organik volatil (VOC) yang berasal dari
bahan baku maupun pelarut yang digunakan dalam produksi cat dan debu atau
partikel pigmen yang terdispersi ke udara. Jika limbah B3 ini tidak ditangani dan
didetoksifikasi dengan baik, maka akan mencemari lingkungan dan membahayakan
manusia. Pemahaman tentang karakteristik dan teknik pengolahan limbah B3 menjadi
hal yang penting untuk kesuksesan penanganan dan detoksifikasi limbah B3 dari
industri cat.

2.2 Karakteristik Limbah Fenol

Nursaaadah et al, (2000) mengungkapkan bahwa penggunaan fenol dan


turunannya dalam industri akan mengakibatkan tercemarnya lingkungan oleh senyaa
beracun tersebut dan memberikan ancaman terhadap lingkungan. Senyawa fenol
dapat mengahambat pertumbuhan bakteri dikarenakan turunan fenol berinteraksi
dengan sel bakteri melalui proses adsorpsi yang melibatkan ikatan hidrogen. Pada
kadar rendah akan membentuk kompeks protein fenol dengan ikatan yang lemah dan
segera mengalami penguraian.(Luthana, 2009 dalam Pamungkas et al., 2010)

Senyawa fenol (C6H5OH) pada limbah buangan industry tidak pernah


dijumpai dalam keadaan murni, tetapi pada umumnya bergabung dengan senyawa-
senyawa turunannya seperti pentaklorofenol (PCP), 2,4,6-triklorofenol (TCP),
nitrofenol, dinitrofenol (DNP), dan lain-lain. Limbah fenol biasanya berasal dari
industry polimer, plastic, kertas, organic pestisida, pulp, dan industri kimia lainnya.
Limbah fenol pada konsentrasi 0,002 mg/L dapat menimbulkan rasa dan bau pada air.
Toksisitas fenol sangat dipengaruhi oleh factor fisika dan kimia air yang dicemarinya.
Pada temperature tinggi dan kelarutan oksigen dalam air rendah, toksisitasnya pada
biota akuatik akan bertambah tinggi. Jika pHair tinggi maka laju degradasi fenol akan

5
rendah pula. Hal ini terjadi karena pada pHrendah aktivitas mikroorganisme akan
terlambat, selain itu pengaruh oksigen yang tidak larut pada pHair rendah
mengakibatkan kurangnya persediaan oksigen yang diperlukn oleh mikroorganisme
untuk menguraikn senyawa fenol dalam perairan.

Fenol pada konsentrasi tinggi dapat mengakibatkan kematian jika tertelan,


trhisap, atau terserap oleh kulit. Senyawa ini dapat mempengaruhi syaraf pusat dan
mengakibatkan kerusakan pada hati dan ginjal. Fenol juga mengakibatkan iritasi pada
kulit tetapi mempunyai efek bius local, sehingga rasa sakit tidak terasa pada awal
kontak. Area kontak biasanya menjadi putih dan dapat menjadi luka bakar.

2.3 Karakteristik Hidrogen Peroksida (H2O2)

Hidrogen Peroksida (H2O2) adalah cairan bening agak lebih kental daripada
air, yang merupakan oksidator kuat. Sebagai bahan kimia anorganik dalam bidang
industri, teknologi yang digunakan untuk hidrogen peroksida adalah auto oksidasi
Anthraquinone. Dengan ciri khasnya berbau khas keasaman dan mudah larut dalam
air, dalam kondisi normal (ambient) kondisinya sangat stabil dengan laju
dekomposisi kira-kira kurang dari 1% per tahun.

Salah satu keunggulan hidrogen peroksida dibandingkan dengan oksidator


lain adalah sifatnya yang ramah lingkungan karena tidak meninggalkan residu, hanya
air dan oksigen. Kekuatan oksidatornya pun dapat diatur sesuai kebutuhan, semakin
basa maka laju dekomposisi hidrogen peroksida pun semakin tinggi.

Memiliki sifat oksidator yang sangat kuat dan digunakan sebagai bahan
pemutih, juga sebagai desinfektan. Hidrogen peroksida sebagaimana dinyatakan
adalah cairan tidak berwarna dan memiliki banyak kesamaan dengan air. Itu terlihat
seperti larutan encer, yang memiliki viskositas lebih dari air. Hidrogen Peroksida
mengandung hidrogen dan air dan ternyata menjadi bahan kimia yang sangat reaktif.

6
2.4 Tanaman Kelor

Tumbuhan kelor dapat tumbuh subur di dataran rendah sampai dengan


ketinggian 700 m di atas permukaan laut. Tumbuhan kelor ersifat mudah tumbuh
pada tanah kering san gersang, dan jika tumbuh maka lahan di sekitarnya dapat
diumbuhi oleh tanaman lain yang lebih kecil, sehingga pada akhirnya pertumbuhan
tanaman lain akan cepat terjadi. Kelor merupakan pohon berjenis perdu yang dapat
memiliki ketingguan kurang lebih 7-11 m.

Batang kayunya getas (mudah patah) dan cabangnya jarang tetapi mempunyai
akar yang kuat. Batang pohonnya berwarna kelabu. Bunganya berwarna putih

kekuning-kuningan dan tudung pelepah bunganya berwarna hijau. Bunga


kelor keluar sepanjang tahun dengan aroma bau semerbak. Buah kelor berbentuk
segitiga memanjang yang disebut klentang (jawa). Buahnya juga berbentuk seperti
kacang panjang berwarna hijau dank eras serta berukuran 120 cm (panjang).
Detahnya yang telah berubah warna menjadi coklat disebut lendok (Jawa).

2.5 Biji Kelor sebagai Koagulan

Madsen dan Dchlunt serta Grabow menunjukkan bahwa serbuk biji kelor
mapu menumpas bakteri Escherichia coli, Srepcoccus faecalis dan Salmonella
typymurium. Biji kelor berperan sebagai koagulan yang efektif karena adanya zat
aktif 4-alfa-rhamnosyloxy-benzil-isothiocyanate yang terkandung dalam biji kelor.
Zat aktif itu mampu mengadsorbsi partikel-partikel air limbah. Menghilangkan zat
organik dan anorganik dari air baku merupakan hal yang penting sebelum air
dikonsumsi oleh manusia. Biji kelor dapat digunakan sebagai adsorben bahan
organik, sebagai koagulan pada pengolahan air, dan merupakan zat polimer organik
yang tidak berbahaya (Vieira et al. 2009). Beberapa penelitian menunjukan bahwa
efisiensi ekstrak biji akan menurun seiring bertambah lamanya waktu penyimpanan.
Penurunan terjadi setelah disimpan 1–5 bulan (Katayon et al. 2006).

7
Koagulan biji kelor yang dicampur dengan air merupakan protein yang
bersifat serupa dengan polielektrolit positif. Biji kelor juga mengandung logam alkali
kuat seperti K dan Ca, yang menjadi kutub positif (Duke 1998). Efektivitas koagulasi
biji kelor ditentukan oleh kandungan protein kationik dengan bobot molekul sekitar
6.5 kDa.

Mekanisme koagulasi dengan koagulan protein yang paling mungkin adalah


adsorpsi, netralisasi muatan, dan pembentukan ikatan antarpartikel yang tidak stabil
(Katayon et al, 2006). Dari ketiga mekanisme tersebut, sulit untuk menentukan
mekanisme yang terjadi, karena mungkin berlangsung simultan. Akan tetapi,
umumnya mekanisme koagulasi dengan biji kelor adalah adsorpsi dan netralisasi
muatan (Sutherland et al. 1990). Ketika biiji kelor serbuk dimasukan ke dalam air
kotor, protein yang terdapat dalam biji kelor akan mengikat partikulat partikulat yang
bermuatan negatif, partikulat ini menyebabkan kekeruhan. Pada kondisi kecepatan
pengadukan yang tepat, partikulat-partikulat bermuatan negatif yang sudah terikat,
ukurannya akan membesar dan membentuk flok. Flok ini bisa diendapkan dengan
gravitasi atau dihilangkan dengan filtrasi. Untuk menjernihkan air dosis dapat
bervariasi tergantung dari keadaan air yang akan diproses.

Pembentukan ikatan protein bermuatan positif dari biji kelor akan terjadi pada
bagian bermuatan negatif dari permukaan partikel. Ini membantu pembentukan
muatan negatif dan positif pada permukaan partikel. Pembentukan ikatan partikel
dapat ditingkatkan dengan proses pengadukan. Terjadi kejenuhan antarpartikel yang
berbeda muatan sehingga flok akan terbentuk.

8
BAB III

METODOLOGI

3.1 Alat dan Bahan

3.1.1 Alat
 Pipet Volumetrik 5 mL
 Labu Takar 100 mL
 Pipet Volumetrik 25 mL
 Botol Aquades
 Beaker Glass 500 mL
 Pipet Volumetrik 2 mL
 pH Universal
 Pipet Mohr 10 mL
 Jar Test
 Tabung COD Reaktor
 Turbidimeter
 COD Reaktor
 Spektrofotometer UV- Vis
 Erlenmayer 250 mL
 Pipet Volumetrik 10 mL
 Buret Makro 50 mL
 Pipet Volumetrik 50 mL
 Gelas Ukur 50 mL
 Labu Destilasi
 Pipet Tetes
 Bunsen
 Oven
 Labu Takar 250 Ml
 Rotary Agritator
 Saringan 24 mesh
 Kertas Saring Whatman no 42
 Cawan Porselen
 Neraca Analitik
 Desikator

9
3.1.2 Bahan
 Limbah Fenol  Larutan HCL
 Biji Kelor  Larutan NaOH
 Aquades  Serbuk Al2SO4
 Larutan FAS 0.2 N  Larutan H2O2
 Larutan K2Cr2O7  Indikator SM
 H2SO4 (p)  Larutan H3PO4
 Ag2SO4 + H2SO4  Larutan CuSO4
 Indikator Feroin  Buffer pH 10
 Serbuk K2Cr2O7  Larutan K2Fe(CN)6
 Larutan Aminoantipiridin

3.2 Cara Kerja

3.2.1 Penetapan Kadar Awal COD Fenol


 COD 20x
1) Pipet 5 ml sampel ke dalam labu takar 100ml.
2) Tera dan Homogenkan dengan aquades.
3) Pipet 2ml larutan ke tabung reaktor.
4) Tambahkan 2ml larutan K2Cr2O7.
5) Tambahkan 2ml larutan AgSO4-H2SO4.
6) Masukkan ke COD reaktor dengan suhu 150°C selama 45 menit.
7) Keluarkan, angkat dan dinginkan sebentar.
8) Pindahkan ke erlenmeyer 250 ml.
9) Tambahkan indikator feroin 3 tetes.
10) Titrasi dengan larutan FAS yang sudah distandarisasi.
11) Titik akhir titrasi warna merah kecoklatan.

 Blanko
1) Pipet 2 ml Aquades ke tabung reaktor.
2) Tambahkan 2ml larutan K2Cr2O7.

1
3) Tambahkan 2ml larutan AgSO4-H2SO4.
4) Masukkan ke COD reaktor dengan suhu 150°C selama 45 menit.
5) Keluarkan, angkat dan dinginkan sebentar.
6) Pindahkan ke erlenmeyer 250 ml.
7) Tambahkan indikator feroin 3 tetes.
8) Titrasi dengan larutan FAS yang sudah distandarisasi.
9) Titik akhir titrasi warna merah kecoklatan.

 Standarisasi FAS 0.2N


1) Timbang 250 mg lansung di erlenmeyer 250ml.
2) Tambahkan aquades kurang lebih 25 ml.
3) Tambahkan 15 ml larutan H2SO4 (p).
4) Tambahkan 3 tetes indikator feroin 3 tetes.
5) Titrasi dengan larutan FAS.
6) Titik akhir titrasi berwarna merah kecoklatan.
7) Lakukan duplo.

3.2.2 Penetapan Kadar Awal TSS Fenol


1) Oven kertas saring selama 30 menit dengan suhu 105° C.
2) Masukkan ke dalam desikator.
3) Timbang kertas saring di neraca.
4) Masukkan kembali ke oven selama 15 menit dengan suhu 105° C.
5) Masukkan ke dalam desikator.
6) Timbang bobot awal kertas saring di neraca yang sama.
7) Saring 25 ml sampel.
8) Masukkan ke oven selama 1 jam dengan suhu 105° C.
9) Masukkan ke dalam desikator.
10) Timbang bobot akhir kertas saring di neraca yang sama.
3.2.3 Jartest Fenol (biji kelor, pH optimum, hidrogen peroksida)
 Penetapan pH Optimum
1) Masukkan air limbah 400 ml ke dalam 6 beaker glass 500 ml.
2) pH diatur 4, 5, 6, 7, 8, dan 9.
3) Tambahkan 2 g koagulan pada tiap beaker glass. ‘

2
4) Diatur kecepatan 80 rpm selama 1 menit (koagulasi).
5) Diatur kecepatan 20 rpm selama 15 menit.
6) Dibiarkan mengendap selama 30 menit.
7) Diukur kekeruhan dengan turbidimeter.

 Penetapan Dosis Optimum


1) Masukkan air limbah 400 ml ke dalam 6 beaker glass 500 ml.
2) Ditambahkan koagulan 0, 1, 2, 3, 4, 5, 6 g.
3) Diatur kecepatan 80 rpm selama 1 menit (koagulasi).
4) Diatur kecepatan 20 rpm selama 15 menit.
5) Dibiarkan mengendap selama 30 menit.
6) Diukur kekeruhan dengan turbidimeter.

 Pengaruh pH Pada Degradasi Fenol Menggunakan Hidrogen Peroksida


1) Sampel 500 ml dalam beaker glass.
2) Cek pH awal sampel.
3) pH divariasikan menjadi 2, 3, 4, 5, 6, 7 dengan menambahkan HCl
atau NaOH.
4) Masukkan ke botol dan tambahkan masing masing 5 mg/L H2O2.
5) Reaksikan selama 1 jam di rotary agitator dengan kecepatan 30 rpm.
6) Uji kadar fenol dengan spektro UV-Vis.
7) Tentukan pH optimum.

 Pengaruh Dosis Pada Degradasi Fenol Menggunakan Hidrogen Peroksida


1) Campurkan air limbah fenol dengan H2O2.
2) Reaksikan selama 2 jam dengan pH optimum yang didapat.
3) Tambahkan variasi H2O2 ( 5, 10, 15, 20, 25) mg/L.
4) Reaksikan selama 1 jam di rotary agitator dengan kecepatan 30 rpm.
5) Uji kadar fenol dengan spektro UV-Vis.
6) Tentukan dosis optimum.
3.2.4 Penetapan Kadar Awal Fenol Secara Spektrofotometri
 Sampel

3
1) Masukkan 300 ml sampel ke dalam labu destilasi.
2) Tambahkan indikator SM sampai kuning, H3PO4 10% sampai merah
muda, 1 drop CuSO4 10%.
3) Dipanaskan 70-80 °C.
4) Didinginkan dan dimasukkan ke dalam labu takar 250 ml.
5) Dilakukan pengenceran 100x, 1000x, dan 2000x.
6) Tambahkan 2 ml buffer pH 10, 2 ml K2Fe(CN)6, 2 ml aminoantipirin.
7) Lakukan pengukuran di spektofotometer dengan panjang gelombang
510 nm.

 Pembuatan Deret Standar Fenol


1) Larutan baku 100 mg/L
a. Pipet 10 ml larutan induk 1000 mg/L dan masukkan ke labu
takar 100 ml.
b. Tera dengan aquades dan homogenkan.
c. Larutan kerja 10 mg/L
d. Pipet 10 ml larutan baku 100 mg/L dan masukkan ke labu
takar 100 ml.
e. Tera dengan aquades dan homogenkan.
2) Deret Standar Fenol
a. Masukkan larutan fenol 100 mg/L ke buret.
b. Masukkan 0,0; 0,5; 1; 1,5; 2,0; 2,5 ml ke dalam labu takar 50
ml.
c. Tambahkan 2 ml buffer pH 10, 2 ml K2Fe(CN)6, 2 ml
aminoantipirin.
d. Tera dengan aquades dan homogenkan.
e. Lakukan pengukuran di spektofotometer dengan panjang
gelombang 510 nm.
3.2.5 Pengolahan Limbah Fenol Secara Hidrogen Peroksida
 Pengolahan Fenol dengan H2O2
1) Siapkan 500 ml air limbah.
2) Masukkan ke botol rotary agitator.

4
3) Dicek pH dan diatur pH 7.
4) Ditambahkan H2O2 0,09 % 2,5; 7,5; 10; 15; 20 ml.
5) Rotary Agitator selama 1 jam dengan r = 30 rpm.
6) Pengujian fenol dengan destilasi dan parameter akhir (pH, suhu,
COD, TSS, TDS, dan kekeruhan).
7) Ukur kadar fenol dengan destilasi.

 Penetapan Kadar Fenol


1) Masukkan 300 ml sampel ke dalam labu destilasi.
2) Tambahkan indikator SM sampai kuning, H3PO4 10% sampai merah
muda,
3) Ditambahkan 1 drop CuSO4 10%.
4) Dipanaskan 70-80 °C.
5) Didinginkan dan dimasukkan ke dalam labu takar 250 ml.
6) Dilakukan pengenceran 100x, 1000x, dan 2000x.
7) Ditambahkan 2 ml buffer pH 10, 2 ml K2Fe(CN)6, 2 ml
aminoantipirin.
8) Lakukan pengukuran di spektofotometer dengan panjang gelombang
510 nm.

 Pengeceran 100x, 1000x, dan 2000x


1) Pengenceran 100x
a. Dipipet 10 ml sampel dan masukkan ke labu takar 100 ml.
b. Ditera dan homogenkan dengan aquades.
c. Dipipet 10 ml dari larutan pengenceran 10x dan masukkan ke labu
takar 100 ml.
d. Ditera dengan aquades dan homogenkan.
2) Pengenceran 1000x
a. Dipipet 10 ml dari larutan pengenceran 100x dan masukkan ke
labu takar 100 ml.
b. Ditera dengan aquades dan homogenkan.

5
3) Pengenceran 2000x
a. Dipipet 50 ml dari larutan pengenceran 1000x dan masukkan ke
labu takar 100 ml.
b. Ditera dengan aquades dan dihomogenkan.
 Pembuatan Deret Standar Fenol
1) Larutan baku 100 mg/L
a. Dipipet 10 ml larutan induk 1000 mg/L dan masukkan ke labu
takar 100 ml.
b. Ditera dengan aquades dan dihomogenkan.
2) Larutan kerja 10 mg/L
a. Dipipet 10 ml larutan baku 100 mg/L dan masukkan ke labu takar
100 ml.
b. Ditera dengan aquades dan dihomogenkan.
3) Deret Standar Fenol
a. Dimasukkan larutan fenol 100 mg/L ke buret.
b. Dimasukkan 0,0; 0,5; 1; 1,5; 2,0; 2,5 ml ke dalam labu takar 50 ml.
c. Ditambahkan 2 ml buffer pH 10, 2 ml K2Fe(CN)6, 2 ml
aminoantipirin.
d. Ditera dengan aquades dan dihomogenkan.
e. Dilakukan pengukuran di spektofotometer dengan panjang
gelombang 510 nm.
3.2.6 Pengolahan Fenol Dengan Biji Kelor
 Pembuatan Biokoagulan Biji Kelor
1) Kulit biji kelor dikupas, dicuci dan dijemur hingga kering.
2) Biji kelor dihaluskan dan dipanaskan pada suhu 60 °C.
3) Biji kelor disaring dengan saringan 24 mesh.
4) Biji kelor berbentuk serbuk halus.
 Penetapan pH Optimum
1) Masukkan air limbah 400 ml ke dalam 6 beaker glass 500 ml.
2) pH diatur 4, 5, 6, 7, 8, dan 9.
3) Tambahkan 2 g koagulan pada tiap beaker glass. ‘
4) Diatur kecepatan 80 rpm selama 1 menit (koagulasi).

6
5) Diatur kecepatan 20 rpm selama 15 menit.
6) Dibiarkan mengendap sempurna.
7) Diukur kekeruhan dengan turbidimeter.
 Penetapan Dosis Optimum
1) Masukkan air limbah 400 ml ke dalam 6 beaker glass 500 ml.
2) Ditambahkan koagulan 0, 1, 2, 3, 4, 5, 6 g.
3) Diatur kecepatan 80 rpm selama 1 menit (koagulasi).
4) Diatur kecepatan 20 rpm selama 15 menit.
5) Dibiarkan mengendap sempurna.
6) Diukur kekeruhan dengan turbidimeter.
 Aplikasi Pengolahan Fenol dengan Biji Kelor
1) Dimasukkan 250 ml air limbah ke dalam erlenmeyer.
2) Diatur pH dan dosis optimum.
3) Dishaker dengan 150 rpm selama 30, 45, 60 menit.
4) Dilakukan destilasi.
5) Diukur dengan spektrofotometer UV-Vis.

7
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Karakteristik awal

Karakteristik awal ialah karakteristik sampel ketika sebelum dilakukan


pengolahan menggunakan biji kelor ataupun hidrogen peroksida. Karakteristik
fisik limbah awal fenol memiliki bau khas fenol dan berbentuk cair. Pada
karakteristik awal ini juga dilakukan penetapan COD, TDS, TSS, pH, suhu, dan
tentu saja kadar awal fenol haruslah ditentukan.

Pengenceran pada penetapan COD dilakukan sebesar 20x karena jika tidak
dilakukan pengenceran maka sampel limbah fenol tersebut masih cukup pekat
untuk dianalisa kadar COD nya. Bentuk tanda ia masih pekat ialah larutan
berubah warna menjadi hijau ketika dilakukan langkah kerja penentuan kadar
COD dari langkah awal sampai setelah penambahan Ag2SO4+H2SO4. Hal
tersebut menandakan sampel masih cukup pekat dan kadar oksigen untuk
mengurai bahan organik telah habis. Oleh sebab itu haruslah dilakukan
pengenceran sebanyak 20x. Dan penentuan kadar COD ini dilakukan duplo atau 2
kali pengulangan. Setelah direaktorkan selama 45 menit dan dititrasi
menggunakan FAS yang sudah distandardisasikan sebesar 0.1925 N didapatkan
kadar COD pertama sebesar 6317,28 mg/L dan kedua sebesar 5546,88 mg/L.
Tentu saja kadar tersebut masih cukup besar bila dibandingkan dengan Permen
LH No. 5 tahun 2014 dimana kadar COD tidak boleh melebihi 3000 mg/L bila
melebihi baku mutu harus dilakukan pengolahan untuk mengurangi kadar COD
agar aman jika sudah dibuang ke lingkungan.

Penentuan kadar TSS dilakukan dengan proses gravimetri dengan kertas


saring yaitu menimbang bobot awal dan bobot akhir kertas saring setelah
ditambahkan sampel. Kemudian selisih dari bobot akhir dengan bobot awal
disebut TSS atau padatan tersuspensi. Kadar TSS yang diperoleh ialah sebesar
11860 mg/L. Bila dibandingkan dengan Permen LH No. 5 tahun 2014, baku mutu

8
yang ditetapkan ialah sebesar 50 mg/L. Sehingga TSS pada karakteristik awal ini
masih sangat tinggi sehingga perlu dilakukan pengolahan lebih lanjut.

Untuk penetapan TDS,pH, dan suhu dilakukan dengan alat multyparameter


analysis diperoleh data TDS sebesar 184,6 mg/L, Ph sebesar 6, dan suhu sebesar
27,5 ℃. Menurut Permen LH No. 5 tahun 2014 suhu dan pH sudah cukup bagus
akan tetapi kadar TDS masih cukup tinggi sehingga harus dilakukan pengolahan
lebih lanjut agar ketika dibuang ke lingkungan tidak berdampak negatif.

Kemudian pada penentuan kadar awal fenol dilakukan pengenceran sebesar


1000x, 2000x dan 5000x. Karena limbah fenol cukup pekat oleh karena itu perlu
dilakukan pengenceran yang cukup besar pula. Setelah dibaca dengan
spektrofotometer didapatkan absorbansi yang dapat dilihat pada tabel, kemudian
setelah itu dengan data absorbansi akan didapatkan kadar awal fenol. Sehingga
diperoleh kadar fenol sebesar 3386,82 mg/L untuk pengenceran 1000x, 4067,65
mg/L untuk pengenceran 2000x, dan untuk pengenceran 5000x diperoleh kadar
fenol sebesar 5247,18 mg/L. Dari semua data kadar tersebut dapat dibandingkan
dengan Permen LH No. 5 tahun 2014 yang menyatakan bahwa kadar fenol tidak
boleh melebihi 0,2 mg/L sehingga dari data karakteristik awal ini semua kadar
melebihi baku mutu sehingga perlu dilakukan pengolahan lebih lanjut agar ketika
dibuang ke perairan tidak memiliki dampak negatif pada lingkungan.

4.2 Kadar Parameter Limbah Setelah Pengolahan


Air limbah yang mengandung fenol, diolah menggunakan dua cara yaitu
dengan penambahan H2O2 dan juga biokoagulan (biji kelor). Kedua zat yang
digunakan ini digunakan untuk mereduksi kadar fenol dalam sampel air limbah
dengan perlakuan yang berbeda-beda.

Air limbah ditambahkan dengan hidrogen peroksida dengan dosis


optimum yaitu sebesar 0,09% pada pH 6 dengan variasi penambahan hydrogen
peroksida yang berbeda-beda yaitu 2,5; 7,5; 10,0; 15,0; 20,0 mL. Yang dimana
sampel diagitasi selama 1 jam menggunakan agitator dengan kecepatan 30 rpm.

9
Kemudian sampel diukur kadar dari tiap parameter yang digunakan (COD, TSS,
TDS, pH, dan kadar fenol). Dan didapatkan hasil analisis seperti yang dituangkan
pada tabel 1.

Tabel 1. Hasil Pengukuran Parameter Pengolahan Limbah Fenol Dengan


Hidrogen Peroksida

kadar pengolahan peroksida


parameter
awal 2,5 5 7,5 10 15 20
cod 20 5932,08 6577,28 6271,36 6577,28 5047,68 5047,68 10095,36
Tds 184,6 4,51 4,08 177,7 177,2 146,6 161,6
fenol
1000 3386,82 3878,71 3738,45 4877,06 - 5083,33 -
fenol
2000 4067,65 4407,59 4688,12 7806,93 - 6602,31 -
fenol
5000 5247,18 - - - - - -
Tss 11860 20864 2576 10604 2164 21284 1308
pH 6 8,083 8,029 8,024 7,966 7,947 8,057
Suhu 27,5 26,8 26,9 26,7 26,8 27,1 26,8

Untuk penggunaan biokoagulan, air limbah ditambahkan dengan


biokoagulan (biji kelor) sebanyak 2 gram pada masing-masing beaker glass dan
pH diatur menjadi 6, sampel diaduk menggunakan shaker dengan kecepatan 150
rpm dengan variasi waktu 15, 30, dan 45 menit. Lalu diukur kadar per-parameter
yang digunakan dan didapatkan data pada Tabel 2.

Tabel 2. Hasil Pengukuran Parameter Pengolahan Limbah Fenol Dengan


Hidrogen Peroksida

pengolahan biji kelor


Parameter kadar awal
15 30 45
cod 20 5932,08 7648 6118,4 10248,32
Tds 184,6 178,8 182,4 182,2
fenol 1000 3386,82 3359 2496,75 2746,2
fenol 2000 4067,65 5926,25 2694,14 3301
- - - - -
Tss 11860 276 4024 300
ph 6 7,841 7,788 7,903
Suhu 27,5 27,5 27,8 27,3

10
Masing-masing hasil yang didapatkan akan dibahas secara rinci dengan
membandingkan hasil dari efisiensi penurunan kadar yang didapatkan dengan
pengolahan menggunakan hydrogen peroksida dan menggunakan biokoagulan
(biji kelor).

4.2.1 Chemical Oxygen Demand (COD)

Dilakukan pengujian kadar COD dengan pengenceran sampel sebanyak


20x, COD diukur menggunakan metode refluks dengan penambahan K2Cr2O7
sebagai sumber oksigen, pengujian dilakukan dalam suasana asam dan dengan
penambahan katalis Ag2SO4. Sampel dimasukan ke dalam COD reactor pada suhu
150˚C selama 1 jam. Didapatkan hasil pengujian yang dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Hasil Analisis Kadar COD Pada Sampel Setelah Pengolahan.

Kadar Awal Kadar Akhir


Pengolahan Efisiensi (%)
(mg/L) (mg/L)
2,5 6577,28 -10,88
5 6271,36 -5,72
7,5 6577,28 -10,88
H2O2 (mL)
10 5047,68 14,91
15 5932,08 5047,68 14,91
20 10095,36 -70,18
15 7648 -28,93
Biji Kelor
30 6118,4 -3,14
(menit)
45 10248,32 -72,76

Kadar COD pada sampel dengan berbagai variasi pengolahan


menggunakan hydrogen peroksida dapat diliat pada tabel . Berdasarkan data yang
ada pada tabel 3, dapat dilihat bahwa terjadi kenaikan kadar COD setelah
pengolahan dengan saat dilakukan penambahan 2,5; 5,0; 7,5; 20,0 mL H2O2
0,09%, selain itu terjadi penurunan kadar COD pada saat penambahan 10,0 mL
dan 15 mL H2O2 0,09%. Seharusnya akan terjadi penurunan kadar COD seiring
dengan bertambahnya volume hydrogen peroksida yang ditambahkan. Hal ini
mungkin diakibatkan karena adanya faktor kesalahan yang terjadi pada saat
melakukan analisis.
Faktor-faktor kesalahan ini diantaranya adalah penggunaan reaksi yang
berbeda karena pengukuran kadar awal dan kadar akhir dilakukan pada hari yang
berbeda, sehingga kondisi reagen maupun kondisi lainnya pun akan berbeda

11
sehingga tidak didapatkan kadar yang sebenarnya. Selain itu, pengukuran kadar
dilakukan oleh banyak praktikan yang berbeda, sehingga sulit untuk mendapatkan
sumber kesalahan dengan jelas. Grafik efisiensi juga dibuat untuk mengetahui
terjadinya penurunan dan kenaikan dari kadar COD yang dilakukan pada variasi
volume yang berbeda. Grafik dapat dilihat pada gambar 1

Grafik Efisiensi COD limbah fenol dengan variasi volume


hidrogen peroksida
20,00
10,00
0,00
-10,00 0 5 10 15 20 25
Efisiensi (%)

-20,00
-30,00
-40,00
-50,00
-60,00
-70,00
-80,00
volume peroksida (mL)

Gambar 1. Grafik Efisiensi COD Limbah Fenol DenganVariasi Volume


Hidrogen Peroksida.
Berdasarkan grafik efisiensi, dapat dilihat bahwa terjadi kenaikan efisiensi
pengolahan kadar COD dengan penambahan 10,0 mL dan 15,0 mL hydrogen
peroksida. Hal ini bisa terjadi karena, hydrogen peroksida merupakan senyawa
oksidator yang dapat mereduksi senyawaan organik pada sampel (termasuk fenol)
yang memiliki struktur kompleks menjadi senyawa yang lebih simpleks sehingga
didapatkan kadar zat organik yang lebih rendah pada sampel setelah dilakukan
pengolahan.

Berdasarkan tabel 3 juga dapat dilihat bahwa terjadi kenaikan kadar yang
cukup signifikan saat mengolah limbah cair industri cat menggunakan
biokoagulan (biji kelor). Hal ini mungkin terjadi akibat beberapa hal, namun yang
paling mungkin terjadi adalah kenaikan kadar ini sendiri diakibatkan oleh zat
organik yang terkandung pada biji kelor itu sendiri. Pada dasarnya, biji kelor
mengandung protein yang larut dalam air dengan berat molekul yang rendah.
Protein ini akan bermuatan positif jika dilarutkan dalam air. Fungsi protein ini
sendiri akan bekerja seperti bahan sintetik yang bermuatan positif dan dapat

12
digunakan sebagai koagulan polimer sintetik (YULIASTRI, 2010). Selain
kandungan protein yang terdapat dalam biji kelor, terdapat senyawaan organik
lainnya yang mana apabila ditambahkan pada air limbah maka ia akan menambah
kadar senyawaan organik didalam sampel apabila tidak dilakukan penanganan
yang tepat. Grafik efisiensi penurunan kadar COD menggunakan biokoagulan
dengan variasi waktu pengadukan dapat dilihat pada gambar 2.

Grafik Efisiensi COD Dengan Variasi Pengadukan dan


Koagulan Biji Kelor
0,00
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50
-10,00

-20,00
Efisiensi (%)

-30,00

-40,00

-50,00

-60,00

-70,00

-80,00
Waktu Pengadukan (menit)

Gambar 2. Grafik Efisiensi COD Pengolahan Limbah Fenol Menggunakan


Biokoagulan Dengan Variasi Waktu Pengadukan
Selain dari faktor penambahan biji kelor, kesalahan lainnya juga mungkin
terjadi akibat dari kesalahan-kesalahan sistematis maupun kesalahan acak. Tidak
homogennya sampel juga berperan penting dalam terjadinya kesalahan yang
mengakibatkan kesalahan hasil analisis yang didapatkan sehingga data tidak
merepresentasikan keadaan sampel yang sebenarnya.

4.2.2 Total Dissolved Solid (TDS)

Kadar TDS pada sampel dilakukan pada saat sebelum dan setelah
pengolahan (menggunakan hidrogen peroksida dan juga biokoagulan). TDS
diukur kadarnya menggunakan TDS meter. Didapatkan kadar pengujian TDS
seperti yang tertera pada Tabel 4.

13
Tabel 4. Data Hasil Analisis Kadar TDS Pada Sampel Limbah

Kadar Awal Kadar Akhir


Pengolahan Efisiensi (%)
(mg/L) (mg/L)
2,5 4,51 97,56
5 4,08 97,79
7,5 177,7 3,74
H2O2 (mL)
10 177,2 4,01
15 184,6 146,6 20,59
20 161,6 12,46
15 178,8 3,14
Biji Kelor
30 182,4 1,19
(menit)
45 182,2 1,30

Berdasarkan data pada tabel 4, kadar TDS yang didapatkan pada saat
pengolahan limbah menggunakan hidrogen peroksida mengalami penurunan
secara umumnya. Namun, penurunan terjadi secara signifikan pada penambahan
2,5 dan 5,0 mL hidrogen peroksida. Penurunan kadar ini terjadi karena hydrogen
peroksida mampu mengoksidasi senyawaan organik kompleks yang terdapat pada
sampel menjadi senyawa yang lebih simpleks bahkan mengion, sehingga padatan-
padatan terlarut yang terdapat didalam sampel berkurang dan didapatkan hasil
kadar TDS yang lebih rendah setelah dilakukan pengolahan. Namun, penurunan
kadar pada variasi volume yang lainnya tidak terlalu signifikan, hal ini dapat
terjadi karena banyak faktor, diantara adalah kesalahan acak yang diakibatkan
oleh analis saat menganalisis sampel, karena pada teorinya, semakin banyak
hidrogen peroksida yang ditambahkan maka proses pengoksidasian zat organik
seharusnya menjadi lebih optimal, namun pada percobaan kali ini tidak
didapatkan data seperti teori tersebut. Grafik efisiensi penurunan kadar TDS pada
air limbah menggunakan hidrogen peroksida dengan variasi volume dapat dilihat
pada gambar 3.

14
Efisiensi Penurunan Kadar TDS Dalam Limbah Fenol
120,00

100,00

80,00
Efisiensi (%)

60,00

40,00

20,00

0,00
0 5 10 15 20 25
Volume Hidrogen Peroksida (mL)

Gambar 3. Grafik Efisiensi Penurunan Kadar TDSDalam Limbah Fenol


Menggunakan Variasi Volume Hidrogen Peroksida.
Dari grafik dapat dilihat bahwa efisiensi pengolahan kadar TDS paling
tinggi terdapat pada penambahan 5,0 dan 10,0 mL hidrogen peroksida 0,09%,
sedangkan pada variasi volume lainnya efisiensi yang didapatkan tidak terlalu
signifikan.

Pada tabel 4, dapat dilihat juga kadar TDS sampel yang diolah
menggunakan biji kelor. Dari data yang ditampilkan, terjadi penurunan pada saat
setelah pengolahan sampel, hal ini terjadi karena penambahan biji kelor sebagai
biokoagulan mampu merusak struktur koloid hidrofilik yang menyebabkan
tingginya kadar padatan terlarut dalam sampel menjadi flok-flok yang berukuran
lebih besar sehingga koloid-koloid terlarut dapat terpisahkan dengan air limbah.
Selain itu, kecilnya penurunan kadar yang didapatkan bisa juga terjadi karena
kurang optimalnya pengadukan yang dilakukan, untuk proses koagulasi
seharusnya dilakukan pengadukan cepat dengan waktu yang singkat untuk
mempermudah reaksi antara zata koagulan dengan koloid yang terdapat dalam
sampel, setelah itu harus ada proses flokulasi dimana dilakukan pengadukan
secara lambat dengan waktu tertentu agar terbentuk flok-flok yang berkuruan
lebih besar sehingga dapat terpisah dari larutan limbah. Namun, pada percobaan
ini dilakukan pengadukan secara lambat yaitu 30 rpm dari awal hingga akhir
pengolahan sampel, sehingga tidak didapatkan hasil yang optimal. Efisiensi

15
penurunan nilai TDS pada saat pengolahan menggunakan biokoagulan dapat
dilihat pada gambar 4.

Efisiensi Penurunan Kadar TDS Dalam Limbah Fenol


menggunakan Biokoagulan
3,50
3,00
2,50
Efisiensi (%)

2,00
1,50
1,00
0,50
0,00
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50
waktu pengadukan (menit)

Gambar 4. Grafik Efisiensi Penurunan Kadar TDS Dalam Limbah Fenol


Menggunakan Biokoagulan Dengan Variasi Waktu
Pengadukan.
Berdasarkan gambar 4, dapat dilihat bahwa efisiensi penurunan kadar
TDS berkurang seiring dengan bertambahnya waktu pengadukan sampel. Hal ini
mungkin terjadi karena flok-flok yang terbentuk pada ukuran tertentu akan
menjadi tidak stabil dan akan terpecah kembali akibat dari gesekan yang
disebabkan oleh aliran air pada saat proses pengadukan (SAID, 2017). Berarti
dapat dikonklusikan bahwa lama waktu pengadukan optimum untuk proses yang
dilakukan adalah selama 15 menit dengan kecepatan 30 rpm.

4.2.3 Kadar Fenol

Kadar fenol dianalisis secara spektrofotometri dengan mereaksikan


sampel yang mengandung fenol menggunakan larutan K3Fe(CN)6 dan amino
antipirin sebagai pengkompleks dalam suasana basa akan membentuk senyawa
kompleks berwarna merah kecoklatan yang diukur pada spektrofotometer UV-Vis
pada panjang gelombang 510 nm. Sebelumnya sampel fenol di preparasi dengan
cara distilasi sampel yang ditambahkan indicator SM hingga berwarna kuning,
penambahan H3PO4 hingga berwarna merah muda, dan CuSO4. Hasil analisis
kadar fenol pada sampel dapat dilihat pada tabel 5 dan 6.

16
Tabel 5. Data Analisis Kadar Fenol Pada Sampel Air Pengenceran 1000x

Kadar Awal Kadar Akhir


Pengolahan Efisiensi (%)
(mg/L) (mg/L)
2,5 3878,71 -14,52
5 3738,45 -10,38
H2O2 (mL)
7,5 4877,06 -44,00
15 3386,82 5083,33 -50,09
15 3359 0,82
Biji Kelor
30 2496,75 26,28
(menit)
45 2746,2 18,92

Tabel 6. Data Analisis Kadar Fenol Pada Sampel Air Pengenceran 2000x

Kadar Awal Kadar Akhir


Pengolahan Efisiensi (%)
(mg/L) (mg/L)
2,5 4407,59 -8,36
5 4688,12 -15,25
H2O2 (mL)
7,5 7806,93 -91,93
15 4067,65 6602,31 -62,31
15 5926,25 -45,69
Biji Kelor
30 2694,14 33,77
(menit)
45 3301,00 18,85

Pada pengolahan menggunakan hidrogen peroksida, baik pada


pengenceran 1000x maupun 2000x menghasilkan kadar hasil pengolahan yang
lebih tinggi daripada kadar awal sampel. Hal ini mungkin terjadi akibat dari
kurang optimalnya proses destilasi sampel yang dilakukan. Menurut metode
acuan, destilasi seharusnya dilakukan hingga berkurangnya 2/3 bagian sampel
yang berada didalam distillation flask. Namun, destilasi yang dilakukan hanya
sampai kira-kira didapatkan 50 mL sampel didalam labu penampung. Hal ini
sangat mempengaruhi kadar fenol yang diukur. Maka dapat diputuskan bahwa
ketidak konsistenan waktu inilah yang mempengaruhi tidak stabilnya kadar fenol
yang diukur dan kadar fenol yang dianalisis tidak merepresentasikan keadaan
sampel yang sebenarnya. Grafik efisiensi penurunan kadar fenol yang dilakukan

17
menggunakan hidrogen peroksida dengan variasi volume yang berbeda dapat
dilihat pada gambar 5 dan 6.

Grafik Efisiensi Penurunan Kadar Fenol fp 1000x


menggunakan variasi hidrogen peroksida
0,00
0 2 4 6 8 10 12 14 16
-10,00

-20,00
Efisiensi (%)

-30,00

-40,00

-50,00

-60,00
Volume Hidrogen Peroksida (mL)

Gambar 5. Grafik Efisiensi Penurunan Kadar Fenol dengan 1000x


Pengenceran Menggunakan Variasi Volume Hidrogen
Peroksida.

Grrafik Efesiensi Penurunan Kadar Fenol fp 2000x


dengan variasi volume hidrogen peroksida
0,00
-10,00 0 2 4 6 8 10 12 14 16
-20,00
-30,00
Efisiensi (%)

-40,00
-50,00
-60,00
-70,00
-80,00
-90,00
-100,00
Volume Hidrogen Peroksida (mL)

Gambar 6. Grafik Efisiensi Penurunan Kadar Fenol dengan 1000x


Pengenceran Menggunakan Variasi Volume Hidrogen
Peroksida.

18
Dari kedua gambar diatas, dapat dilihat bahwa efisiensi penurunan kadar
fenol setelah sampel diolah menggunakan hidrogen peroksida menunjukkan
efisisensi yang negatif. Hal ini terjadi karena kadar awal fenol yang diuji pada air
limbah menunjukkan angka yang lebih kecil daripada kadar fenol yang diuji saat
sampel sudah dilakukan pengolahan menggunakan hidrogen peroksida.

Untuk pengolahan kandungan senyawa fenol dalam air limbah


menggunakan biokoagulan biji kelor menunjukkan adanya penurunan kadar fenol
yang cukup signifikan pada variasi pengadukan 30 menit. Penurunan kadar ini
terjadi karena zat protein terlarut pada biji kelor bertindak sebagai koagulan serta
gaya Van der waals antara senyawa 4-alfa-4-rhamnosyloxibenzil-isothiocyanate
dalam biji kelor yang cenderung bermuatan positif untuk mengoksidasi senyawa-
senyawa fenolik pada limbah yang dapat membentuk flok-flok dari zat organik
(termasuk fenol) yang terkandung dalam sampel sehingga kadar fenol terlarut
menjadi berkurang walaupun hanya sedikit. Grafik efisiensi penurunan kadar
fenol menggunakan biokoagulan dapat dilihat pada gambar 7 dan 8.

Grafik Efisiensi Penurunan Kadar Fenol fp 1000x


menggunakan biokoagulan dengan variasi waktu
pengadukan
30,00
25,00
Efisiensi (%)

20,00
15,00
10,00
5,00
0,00
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50
waktu pengadukan (menit)

Gambar 7. Grafik Efisiensi Penurunan Kadar Fenol Dengan 1000x


Pengenceran Menggunakan Biokoagulan Dengan Variasi
Waktu Pengadukan.

19
Grafik Efisiensi Penurunan Kadar Fenol fp 2000x dengan
menggunakan biokoagulan dan variasi waku
pengadukan
40,00
30,00
20,00
Efisiensi (%)

10,00
0,00
-10,00 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50
-20,00
-30,00
-40,00
-50,00
waktu pengadukan (menit)

Gambar 8. Grafik Efisiensi Penurunan Kadar Fenol Dengan 2000x


Pengenceran Menggunakan Biokoagulan Dengan Variasi
Waktu Pengadukan.

Menurut baku mutu air limbah bagi usaha dan/atau kegiatan industri cat
yang ditetapkan dalam PermenLH No. 5 Tahun 2014 tentang Baku Mutu Air
Limbah, kadar fenol yang diizinkan berada pada sampel air limbah yang telah
diolah adalah sebesar 0,20 mg/L. Sedangkan kadar fenol yang didapatkan dengan
pengolahan paling optimum pada percobaan ini (menggunakan biokoagulan
dengan waktu pengadukan 30 menit) adalah sebesar 2694,14 mg/L. Hal ini dapat
diatasi dengan cara mengoptimalkan pengolahan air limbah agar didapat kadar
fenol yang lebih kecil daripada baku mutu yang sudah ditetapkan.

Optimalisasi pereduksian kadar fenol dalam air limbah dapat dioptimalkan


dengan menambahkan senyawa yang dapat menghasilkan senyawa hidroksil
radikal yang apabila direaksikan dengan hidrogen peroksida, hidroksil radikal
yang bersinggungan dengan fenol akan mampu mendegradasi senyawa fenol
sehingga didapatkan kadar fenol yang lebih sedikit pada air limbah yang akan
diuji.

4.2.4 Total Suspended Solid (TSS)

TSS diuji secara gravimetric, dengan penimbangan bobot kertas saring


kering dan kosong dan penimbangan bobot kertas saring yang sudah digunakan

20
untuk menyaring sampel dan dikeringkan. Pengujian TSS didasarkan pada
perbandingan bobot setelah dan sebelum dilakukan penyaringan sampel. Padatan
yang tersaring pada kertas saring ukuran 0,45 µmditimbang dan dibandingkan
dengan volume sampel, hasil hitung perbandingan dianggap sebagai kadar TSS
sampel. Hasil analisis kadar TSS dapat dilihat pada tabel 7.

Tabel 7. Tabel Data Pengukuran Kadar TSS Pada Sampel

Kadar Awal Kadar Akhir


Pengolahan Efisiensi (%)
(mg/L) (mg/L)
2,5 20864 -75,92
5 2576 78,28
7,5 10604 10,59
H2O2 (mL)
10 2164 81,75
15 11860 21284 -79,46
20 1308 88,97
15 276 97,67
Biji Kelor
30 4024 66,07
(menit)
45 300 97,47

Dari tabel 7, penurunan kadar TSS pada sampel menggunakan hidrogen


peroksida didapatkan efisiensi paling tinggi dari penambahan 10 mL hidrogen
peroksida pada sampel, penurunan kadar TSS terjadi karena hidrogen peroksida
mengoksidasi zat organik (terlarut maupun tersuspensi) dalam sampel sehingga
didapatkan kadar TSS yang lebih rendah pada sampel setelah penambahan
hidrogen peroksida dibandingkan dengan sebelum penambahan. Namun, pada
beberapa variasi didapatkan efisiensi yang negatif, hal ini dapat terjadi karena
berbagai macam kesalahan. Untuk menghindari faktor-faktor kesalahan tersebut
dapat dilakukan beberapa hal diantaranya menggunakan alat gelas yang bebas
kontaminasi, alat yang terkalibrasi, analis yang kompeten dan analisis sampel
dilakukan dalam jangka waktu yang tidak melampaui waktu simpan maksimum
24 jam (SNI, 2004). Sampel yang digunakan sudah disimpan selama berhari-hari
sehingga dapat terjadi kontaminasi pada sampel yang merubah kandungan yang
ada didalam sampel. Grafik efisiensi penurunan kadar TSS pada sampel dengan
menggunakan hidrogen peroksida dapat dilihat pada gambar 7.

21
Grafik Efesiensi Penurunan Kadar TSS Pada Air Limbah
Dengan Variasi Hidrogen Peroksida
100,00
80,00
60,00
40,00
Efisiensi (%)

20,00
0,00
-20,00 0 5 10 15 20 25
-40,00
-60,00
-80,00
-100,00
Volume Hidrogen Peroksida (mL)

Gambar 7. Grafik Efisiensi Penurunan Kadar TSS Pada Air Limbah


Dengan Variasi Hidrogen Peroksida.
Dari grafik dapat dilihat bahwa efisiensi yang paling baik berada pada
penambahan 10,0 mL hidrogen peroksida 0,09% pada sampel air limbah yang
akan diolah.

Sedangkan pada pengolahan air limbah menggunakan biokoagulan biji


kelor, didapatkan kadar TSS yang juga berkurang, hal ini terjadi karena endapan-
endapan tersuspensi dalam sampel ikut mengendap bersama flok-flok yang
dihasilkan dari proses koagulasi dan flokulasi sampel. Grafik efisiensi penurunan
kadar TSS pada sampel menggunakan biokoagulan biji kelor dapat dilihat pada
gambar 8.

Grafik Efisiensi Penurunan Kadar TSS Pada Air Limbah


Dengan Variasi Waktu Pengadukan Biokagulan
120,00
100,00
Efisiensi (%)

80,00
60,00
40,00
20,00
0,00
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50

waktu pengadukan (menit)

22
Gambar 8. Grafik Efisiensi Penurunan Kadar TSS Pada Air Limbah
Dengan Variasi Waktu Pengadukan Biokoagulan.
Dari gambar 8, dapat dilihat bahwa terjadi penurunan persen efisiensi dari
pengadukan 15 menit ke 30 menit, sedangkan terjadi kenaikan efisiensi penurunan
kadar TSS dari 30 menit ke 45 menit, dan didapatkan persen efisiensi penurunan
kadar TSS paling tinggi pada pengadukan 15 menit.

Menurut baku mutu air limbah bagi usaha dan/atau kegiatan industri cat
yang ditetapkan dalam PermenLH No. 5 Tahun 2014 tentang Baku Mutu Air
Limbah, kadar TSS maksimal yang diizinkan ada pada hasil olahan air limbah
adalah sebesar 50 mg/L. Sedangkan hasil olahan yang paling optimal (dengan
menggunakan bii kelor dengan pengadukan 15 menit) masih berada diatas nilai
baku mutu yang ditetapkan. Hal ini dapat diatasi dengan mengoptimalkan proses
pengolahan dengan mengurangi hal-hal yang dapat menimbulkan kesalahan pada
saat proses pengolahan.

4.2.5 Derajat Keasaman (pH)

Derajat keasaman masing-masing sampel yang sudah dilakukan


pengolahan diuji menggunakan pH meter, dan didapatkan data pengukuran pH
yang dapat dilihat pada tabel 8.

Tabel 8. Tabel Data Pengamatan Pengukuran pH Sampel Air Limbah

Pengolahan pH Awal pH Akhir


2,5 6 8,083
5 6 8,029
7,5 6 8,024
H2O2 (mL)
10 6 7,966
15 6 7,947
20 6 8,057
15 6 7,841
Biji Kelor (menit) 30 6 7,788
45 6 7,903

23
Dari data yang ada pada tabel 8, dapat dilihat bahwa terjadi kenaikan kadar
pH pada saat penambahan hidrogen peroksida kedalam sampel, hal ini terjadi
karena hidrogen peroksida yang bereaksi dengan senyawa yang berada dalam
sampel menghasilkan gugus-gugus hidroksil yang bersifat basa sehingga
menaikkan pH dari larutan sampel tersebut. Grafik kenaikan pH dapat dilihat pada
gambar 9.

Grafik pH Awal dan Akhir pengolahan limbah fenol


dengan variasi volume hidrogen peroksida
9 8,083 8,029 8,024 7,966 7,947 8,057
8
7 6 6 6 6 6 6
6
5
pH

4 pH awal
3
pH akhir
2
1
0
0 5 10 15 20 25
Volume Hidrogen Peroksida (mL)

Gambar 9. Grafik pH Awal dan Akhir pengolahan air limbah dengan


variasi volume hidrogen peroksida.

Kenaikan pH juga dialami oleh sampel yang diolah dengan penambahan


biokoagulan biji kelor, kenaikan pH ini dapat dijelaskan dengan fakta bahwa
larutan menjadi bersifat lebih basa disebabkan oleh kekuatan biji kelor sebagai
koagulan terletak pada keberadaan protein kationik larut air yang terdapat dalam
biji kelor. Hal ini menyebabkan di dalam air terjadi penerimaan proton dari air
oleh asam amino yang bersifat basa yang terdapat dalam protein biji kelor yang
menghasilkan pelepasan gugus hidroksil yang membuat larutan menjadi basa
(AMAGLOH, 2009). Grafik kenaikan derajat keasaman saat sampel diolah
menggunakan biji kelor dapat dilihat pada gambar 10.

24
Grafik pH Awal dan Akhir pengolahan limbah fenol
dengan variasi waktu pengadukan biokoagulan
9 7,903
7,841 7,788
8
7 6 6 6
6
5
pH

4 pH awal
3 pH akhir
2
1
0
0 10 20 30 40 50
waktu pengadukan (menit)

Gambar 10. Grafik pH awal dan akhir pengolahan limbah fenol dengan
variasi waktu pengadukan biokoagulan.
Menurut baku mutu air limbah bagi usaha dan/atau kegiatan industri cat
yang ditetapkan dalam PermenLH No. 5 Tahun 2014 tentang Baku Mutu Air
Limbah, pH yang diizinkan ada pada air limbah fenol berada pada range 6,0-9,0
yang berarti hasil air limbah olahan menggunakan hidrogen peroksida maupun
menggunakan biokoagulan biji kelor masih sesuai dengan standar baku mutu yang
ditetapkan oleh pemerintah.

25
BAB V

PENUTUP

5.1 Simpulan

Hasil pengolahan limbah fenol menggunakan oksidasi kimia hidrogen


peroksida lebih efektif dalam mengurangi kadar padatan tersuspensi dan kadar
bahan organik serta anorganik dalam limbah cair fenol dibandingkan dengan
menggunakan koagulan biji kelor. Sedangkan hasil pengolahan limbah fenol
dengan menggunakan koagulan biji kelor lebih efektif dalam menurunkan
kadar fenol dalam air limbah. Hal ini disebabkan karena adanya zat protein
terlarut pada biji kelor bertindak sebagai koagulan serta gaya Van der waals
antara senyawa 4-alfa-4-rhamnosyloxibenzil-isothiocyanate dalam biji kelor
yang cenderung bermuatan positif untuk mengoksidasi senyawa-senyawa
fenolik pada limbah.

26
DAFTAR PUSTAKA

AMAGLOH, F. KWEKU., & A. BENANG. 2009. Effectiveness of Moringa


Oleifera Seed as Coagulant for Water Purification. African Journal of
Agricultural Research. Vol. 4(1), pp. 199-123.
Bangun, A. R., Siti Aminah, Rudi Anas Hutahaean, M. Yusuf Ritonga, 2013,
Pengaruh Kadar Air, Dosis Dan Lama Pengendapan Koagulan Serbuk
Biji Kelor Sebagai Alternatif Pengolahan Limbah Cair Industri Tahu,
Jurnal Teknik Kimia USU, 2(1), 1-5.
Chandra, A., Penentuan Dosis Optimum Koagulan Ferro Sulfat-Kapur Flokulan
Chemifloc dan Besfloc, serta Bioflokulan Moringa Oleifera dalam
Pengolahan Limbah Cair Pabrik Tekstil, Laporan Penelitian Jurusan
Teknik Kimia, Universitas Parahyangan, Bandung, 1998.
SAID, N. I. 2017. Teknologi Pengolahan Air Limbah. Erlangga. Jakarta.
Scheibel J. 2004. The Evolution of Anionic Surfactan Tehnology to Meet the
Requirement of the Laundry Deterjent Industry. Journal of Surfactan and
Detergent. Vo7. No. 5.
SNI. 2004. Air dan air limbah: Cara Ujii Padatan Tersuspensi Total (Total
Suspended Solid, TSS) secara Gravimetri. BSN. Indonesia.
YULIASTRI, I. R. 2010. Skripsi. Penggunaan Serbuk Biji Kelor (Moringa
oleifera) Sebagai Koagulan dan Flokulan dalam Perbaikan Kualitas Air
Limbah dan Air Tanah. Universitas Negri Syarif Hidayatullah. Jakarta.

27
LAMPIRAN

28
Lampiran 1. Foto Kegiatan

Biji kelor proses penghalusan biji kelor

Pengayakan biji kelor penimbangan adsorbat biji kelor

Penentuan dosis optimal adsorbat sampel fenol

29
proses destilasi sampel Pengukuran pH, suhu, DHL

Deret standar fenol

Pengukuran dengan spektrofotometer

sampel COD sebelum dititrasi FAS


Pengukuran COD sampel dengan COD reactor

Warna saat mencapai TAT

30
LAMPIRAN 2. PERHITUNGAN

Karakteristik Awal Limbah Fenol

Kadar awal fenol

Deret standar

̂ = −𝟎, 𝟎𝟓 + 𝟎, 𝟐𝟑𝟎𝟔(𝟎) = −𝟎, 𝟎𝟓


𝒚
̂ = −𝟎, 𝟎𝟓 + 𝟎, 𝟐𝟑𝟎𝟔(𝟏) = 𝟎, 𝟏𝟖𝟎𝟔
𝒚

̂ = −𝟎, 𝟎𝟓 + 𝟎, 𝟐𝟑𝟎𝟔(𝟐) = 𝟎, 𝟒𝟏𝟏𝟐


𝒚

̂ = −𝟎, 𝟎𝟓 + 𝟎, 𝟐𝟑𝟎𝟔(𝟑) = 𝟎, 𝟔𝟒𝟏𝟖


𝒚

̂ = −𝟎, 𝟎𝟓 + 𝟎, 𝟐𝟑𝟎𝟔(𝟒) = 𝟎, 𝟖𝟕𝟐𝟒


𝒚

̂ = −𝟎, 𝟎𝟓 + 𝟎, 𝟐𝟑𝟎𝟔(𝟓) = 𝟏, 𝟏𝟎𝟑


𝒚

Kadar sampel

(0,731 + 0,05)𝑎𝑏𝑠
Fenol1000x = 𝑚𝑔 𝑥 1000 = 3386,82 𝑚𝑔/𝐿
0,2306 abs/
𝑙

(0,419 + 0,05)𝑎𝑏𝑠
Fenol2000x = 𝑚𝑔 𝑥 2000 = 4067,65 𝑚𝑔/𝐿
0,2306 abs/
𝑙

(0,192 + 0,05)𝑎𝑏𝑠
Fenol5000x = 𝑚𝑔 𝑥 5000 = 5247,18 𝑚𝑔/𝐿
0,2306 abs/
𝑙

COD

Standardisasi FAS 0,2 N

𝑚𝑔 𝐾2𝐶𝑟2𝑂7
𝑁 FAS =
𝑉𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑡𝑖𝑡𝑟𝑎𝑛 (𝑚𝐿) 𝑥 𝐵𝐸 𝐾2𝐶𝑟2𝑂7

244,8 𝑚𝑔
𝑁1 FAS 1 = = 0,1919 𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘/𝑚𝐿
26,03 𝑚𝐿 × 49 𝑚𝑔/𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘

244,7 𝑚𝑔
𝑁2 FAS 2 = = 0,1933 𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘/𝑚𝐿
25,83 𝑚𝐿 × 49 𝑚𝑔/𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘

31
N2 − N1
% 𝑅𝑃𝐷 = × 100 %
𝑁2 + 𝑁1
2
(0,1933 − 0,1919) 𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘/𝑚𝐿
= × 100% = 0,73%
0,1933 𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘/𝑚𝐿 + 0,1919𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘/𝑚𝐿
2

0,1933 𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘/𝑚𝐿 + 0,1919𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘/𝑚𝐿


rerata N FAS =
2
= 0.1926 𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘/𝑚𝐿

Kadar COD dalam sampel

𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘 𝑚𝑔 𝑚𝑙
mg ( v blanko − v sampel ) (𝑚𝐿) × 𝑁 FAS ( ) × 𝐵𝐸 𝑂 ( ) × 1000 ( )
𝑚𝐿 𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘 𝐿
COD( ) =
L volume sampel (mL)

𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘 𝑚𝑔 𝑚𝑙
mg (1,96 − 0,55) (𝑚𝐿) × 0,1926 ( ) × 8( ) × 1000 ( )
𝑚𝐿 𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘 𝐿
Kadar COD20X(1) ( ) = 𝑥20
L 2 (mL)
𝑚𝑔
= 6317,28
𝐿

𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘 𝑚𝑔 𝑚𝑙
mg (1,96 − 1,60) (𝑚𝐿) × 0,1926 ( ) × 8( ) × 1000 ( )
𝑚𝐿 𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘 𝐿
Kadar COD20x(2) ( ) = 𝑥20
L 2 (mL)
𝑚𝑔
= 5546,88
𝐿

6317,28 𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘/𝑚𝐿 + 5546𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘/𝑚𝐿


rerata COD20x = = 5932,08 𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘/𝑚𝐿
2

Kadar TSS sampel

mg (1,0014−1,2979) 𝑔 𝑥 1000 (𝑚𝑔/𝑔) mg


TSS asli L.Fenol( L )= = 11860 L
0,025 𝐿

32
Setelah Pengolahan oleh Oksidasi H2O2

Deret standar

̂ = 𝟎, 𝟎𝟏𝟑𝟗 + 𝟎, 𝟏𝟐𝟏𝟐(𝟎) = 𝟎, 𝟎𝟏𝟑𝟗


𝒚
̂ = 𝟎, 𝟎𝟏𝟑𝟗 + 𝟎, 𝟏𝟐𝟏𝟐(𝟏) = 𝟎, 𝟏𝟑𝟓𝟏
𝒚

̂ = 𝟎, 𝟎𝟏𝟑𝟗 + 𝟎, 𝟏𝟐𝟏𝟐(𝟐) = 𝟎, 𝟐𝟓𝟔𝟑


𝒚

̂ = 𝟎, 𝟎𝟏𝟑𝟗 + 𝟎, 𝟏𝟐𝟏𝟐(𝟑) = 𝟎, 𝟑𝟕𝟕𝟓


𝒚

̂ = 𝟎, 𝟎𝟏𝟑𝟗 + 𝟎, 𝟏𝟐𝟏𝟐(𝟒) = 𝟎, 𝟒𝟗𝟖𝟕


𝒚

̂ = 𝟎, 𝟎𝟏𝟑𝟗 + 𝟎, 𝟏𝟐𝟏𝟐(𝟓) = 𝟎, 𝟔𝟏𝟗𝟗


𝒚

Kadar sampel

(0,281 + 0,0139)𝑎𝑏𝑠
Fenol2,5 2000X = 𝑚𝑔 𝑥 2000 = 4407,59 𝑚𝑔/𝐿
0,1212 abs/
𝑙

(0,484 + 0,0139)𝑎𝑏𝑠
Fenol2,5 1000X = 𝑚𝑔 𝑥 1000 = 3878,71𝑚𝑔/𝐿
0,1212 abs/
𝑙

(0,298 + 0,0139)𝑎𝑏𝑠
Fenol5 2000X = 𝑚𝑔 𝑥 2000 = 4688,12 𝑚𝑔/𝐿
0,1212 abs/
𝑙

(0,467 + 0,0139)𝑎𝑏𝑠 𝑚𝑔
Fenol5 1000X = 𝑥 1000 = 3738,45
abs 𝐿
0,1212 𝑚𝑔
𝑙

(0,487 + 0,0139)𝑎𝑏𝑠
Fenol7,5 2000X = 𝑚𝑔 𝑥 2000 = 7806,93 𝑚𝑔/𝐿
0,1212 abs/
𝑙

(0,605 + 0,0139)𝑎𝑏𝑠
Fenol7,5 1000X = 𝑚𝑔 𝑥 1000 = 4877,06 𝑚𝑔/𝐿
0,1212 abs/
𝑙

(0,414 + 0,0139)𝑎𝑏𝑠
Fenol15 2000X = 𝑚𝑔 𝑥 2000 = 6602,31 𝑚𝑔/𝐿
0,1212 abs/
𝑙

(0,630 + 0,0139)𝑎𝑏𝑠
Fenol15 1000X = 𝑚𝑔 𝑥 1000 = 5083,33 𝑚𝑔/𝐿
0,1212 abs/
𝑙

33
COD

Standardisasi FAS 0,2 N

𝑚𝑔 𝐾2𝐶𝑟2𝑂7
𝑁 FAS =
𝑉𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑡𝑖𝑡𝑟𝑎𝑛 (𝑚𝐿) 𝑥 𝐵𝐸 𝐾2𝐶𝑟2𝑂7

244,8 𝑚𝑔
𝑁1 FAS 1 = = 0,1944 𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘/𝑚𝐿
25,70 𝑚𝐿 × 49 𝑚𝑔/𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘

244,9 𝑚𝑔
𝑁2 FAS 2 = = 0,1875 𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘/𝑚𝐿
26,60 𝑚𝐿 × 49 𝑚𝑔/𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘

N2 − N1 (0,1944 − 0,1875) 𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘/𝑚𝐿


% 𝑅𝑃𝐷 = × 100 % = × 100%
𝑁2 + 𝑁1 0,1944 𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘/𝑚𝐿 + 0,1875𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘/𝑚𝐿
2 2
= 3,40%

0,1944 𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘/𝑚𝐿 + 0,1875𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘/𝑚𝐿


rerata N FAS = = 0.1912 𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘/𝑚𝐿
2

Kadar COD dalam sampel

mg
COD( )
L
𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘 𝑚𝑔 𝑚𝑙
( v blanko − v sampel ) (𝑚𝐿) × 𝑁 FAS ( ) × 𝐵𝐸 𝑂 ( ) × 1000 ( )
𝑚𝐿 𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘 𝐿
=
volume sampel (mL)

mg
Kadar COD2,5 ( )
L
𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘 𝑚𝑔 𝑚𝑙
(2,06 − 1,63) (𝑚𝐿) × 0,1912 ( ) × 8 (𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘) × 1000 ( 𝐿 )
𝑚𝐿
= 𝑥20
2 (mL)
𝑚𝑔
= 6577,28
𝐿

mg
Kadar COD5 ( )
L
𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘 𝑚𝑔 𝑚𝑙
(2,06 − 1,65) (𝑚𝐿) × 0,1912 ( ) × 8( ) × 1000 ( )
𝑚𝐿 𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘 𝐿
= 𝑥20
2 (mL)
𝑚𝑔
= 6271,36
𝐿

34
mg
Kadar COD7,5 ( )
L
𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘 𝑚𝑔 𝑚𝑙
(2,06 − 1,63) (𝑚𝐿) × 0,1912 ( ) × 8 (𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘) × 1000 ( 𝐿 )
𝑚𝐿
= 𝑥20
2 (mL)
𝑚𝑔
= 6577,28
𝐿
mg
Kadar COD10 ( )
L
𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘 𝑚𝑔 𝑚𝑙
(2,06 − 1,73) (𝑚𝐿) × 0,1912 ( ) × 8( ) × 1000 ( )
𝑚𝐿 𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘 𝐿
= 𝑥20
2 (mL)
𝑚𝑔
= 5047,68
𝐿
mg
Kadar COD515 ( )
L
𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘 𝑚𝑔 𝑚𝑙
(2,06 − 1,73) (𝑚𝐿) × 0,1912 ( )×8( ) × 1000 ( )
𝑚𝐿 𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘 𝐿
= 𝑥20
2 (mL)
𝑚𝑔
= 5047,68
𝐿
mg
Kadar COD520 ( )
L
𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘 𝑚𝑔 𝑚𝑙
(2,06 − 1,40) (𝑚𝐿) × 0,1912 ( ) × 8 (𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘) × 1000 ( 𝐿 )
𝑚𝐿
= 𝑥20
2 (mL)
𝑚𝑔
= 10095,36
𝐿

TSS

mg (0,9853−1,5069) 𝑔 𝑥 1000 (𝑚𝑔/𝑔) mg


TSS 2,5( L )= = 20864 L
0,025 𝐿

mg (1,0031−1,0675) 𝑔 𝑥 1000 (𝑚𝑔/𝑔) mg


TSS 5( L )= = 2576 L
0,025 𝐿

mg (0,9966−1,2617) 𝑔 𝑥 1000 (𝑚𝑔/𝑔) mg


TSS 7,5( L )= = 10604 L
0,025 𝐿

mg (0,9923−1,0464) 𝑔 𝑥 1000 (𝑚𝑔/𝑔) mg


TSS 10( L )= = 2164 L
0,025 𝐿

mg (0,9893−1,5214) 𝑔 𝑥 1000 (𝑚𝑔/𝑔) mg


TSS 15( L )= = 21284 L
0,025 𝐿

mg (1,0231−1,0558) 𝑔 𝑥 1000 (𝑚𝑔/𝑔) mg


TSS 20( L )= = 1308 L
0,025 𝐿

35
mg (1,0014−1,2979) 𝑔 𝑥 1000 (𝑚𝑔/𝑔) mg
TSS asli L.Fenol( L )= = 11860 L
0,025 𝐿

Setelah Pengolahan dengan Biji Kelor

Deret standar

̂ = −𝟎, 𝟎𝟏𝟖𝟒 + 𝟎, 𝟏𝟖𝟒𝟒(𝟎) = −𝟎, 𝟎𝟏𝟖𝟒𝟒


𝒚
̂ = −𝟎, 𝟎𝟏𝟖𝟒 + 𝟎, 𝟏𝟖𝟒𝟒(𝟏) = 𝟎, 𝟏𝟔𝟔𝟎
𝒚

̂ = −𝟎, 𝟎𝟏𝟖𝟒 + 𝟎, 𝟏𝟖𝟒𝟒(𝟐) = 𝟎, 𝟑𝟓𝟎𝟒


𝒚

̂ = −𝟎, 𝟎𝟏𝟖𝟒 + 𝟎, 𝟏𝟖𝟒𝟒(𝟑) = 𝟎, 𝟓𝟑𝟒𝟖


𝒚

̂ = −𝟎, 𝟎𝟏𝟖𝟒 + 𝟎, 𝟏𝟖𝟒𝟒(𝟒) = 𝟎, 𝟕𝟏𝟗𝟐


𝒚

̂ = −𝟎, 𝟎𝟏𝟖𝟒 + 𝟎, 𝟏𝟖𝟒𝟒(𝟓) = 𝟎, 𝟗𝟎𝟑𝟔


𝒚

Kadar sampel

(0,601 + 0,0184)𝑎𝑏𝑠
Fenol15 1000x = 𝑚𝑔 𝑥 1000 = 3359,00 𝑚𝑔/𝐿
0,1844 abs/
𝑙

(0,528 + 0,0184)𝑎𝑏𝑠
Fenol15 2000x = 𝑚𝑔 𝑥 2000 = 5926,25 𝑚𝑔/𝐿
0,1844 abs/
𝑙

(0,442 + 0,0184)𝑎𝑏𝑠
Fenol30 1000x = 𝑚𝑔 𝑥 1000 = 2496,75𝑚𝑔/𝐿
0,1844 abs/
𝑙

(0,230 + 0,0184)𝑎𝑏𝑠
Fenol30 2000x = 𝑚𝑔 𝑥 2000 = 2694,14 𝑚𝑔/𝐿
0,1844 abs/
𝑙

(0,488 + 0,0184)𝑎𝑏𝑠 𝑚𝑔
Fenol45 1000x = 𝑥 1000 = 2746,20
abs 𝐿
0,1844 𝑚𝑔
𝑙

(0,286 + 0,0184)𝑎𝑏𝑠
Fenol45 2000x = 𝑚𝑔 𝑥 2000 = 3301 𝑚𝑔/𝐿
0,1844 abs/
𝑙

COD

Kadar COD dalam sampel

36
𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘 𝑚𝑔 𝑚𝑙
mg ( v blanko − v sampel ) (𝑚𝐿) × 𝑁 FAS ( ) × 𝐵𝐸 𝑂 ( ) × 1000 ( )
𝑚𝐿 𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘 𝐿
COD( ) =
L volume sampel (mL)

𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘 𝑚𝑔 𝑚𝑙
mg (2,00 − 1,50) (𝑚𝐿) × 0,1912 ( )×8( ) × 1000 ( )
𝑚𝐿 𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘 𝐿
Kadar COD 15 ( ) = 𝑥20
L 2 (mL)
𝑚𝑔
= 7648,00
𝐿

𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘 𝑚𝑔 𝑚𝑙
mg (2,00 − 1,60) (𝑚𝐿) × 0,1912 ( )×8( ) × 1000 ( )
𝑚𝐿 𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘 𝐿
Kadar COD 30 ( ) = 𝑥20
L 2 (mL)
𝑚𝑔
= 6118,40
𝐿

𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘 𝑚𝑔 𝑚𝑙
mg (2,00 − 1,33) (𝑚𝐿) × 0,1912 ( )×8( ) × 1000 ( )
𝑚𝐿 𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘 𝐿
Kadar COD 45 ( ) = 𝑥20
L 2 (mL)
𝑚𝑔
= 10248,32
𝐿

Kadar TSS

mg (0,9972−1,0041) 𝑔 𝑥 1000 (𝑚𝑔/𝑔) mg


TSS 15 ( L )= = 276 L
0,025 𝐿

mg (1,0025−1,1032) 𝑔 𝑥 1000 (𝑚𝑔/𝑔) mg


TSS 30 ( L )= = 4024 L
0,025 𝐿

mg (0,9349−0,9824) 𝑔 𝑥 1000 (𝑚𝑔/𝑔) mg


TSS 45 ( L )= = 300 L
0,025 𝐿

% Efisiensi Pengolahan

𝑘𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑎𝑤𝑎𝑙−𝑘𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑎𝑘𝑎ℎ𝑖𝑟


% efisiensi = 𝑘𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑎𝑤𝑎𝑙
𝑥 100%

Pengolahan dengan peroksida

COD

5932,08−6577,28 5932,08−5047,68
% efisiensi 2,5 = 5932,08
𝑥 100% = % efisiensi 10 = 5932,08
𝑥 100% =

-10,88% 14,91%

37
5932,08−6271,36 5932,08−5047,68
% efisiensi 5 = 5932,08
𝑥 100% = % efisiensi 15 = 5932,08
𝑥 100% =

−5,72% 14,91%

5932,08−6577,28 5932,08−10095,36
% efisiensi 7,5 = 5932,08
𝑥 100% = % efisiensi 20 = 5932,08
𝑥 100% =

−10,88% −70,18%

TDS

184,6−4,51 184,6−177,2
% efisiensi 2,5 = 𝑥 100% = % efisiensi 10 = 184,6
𝑥 100% =
184,6

97,56% 4,01%

184,6−4,08 184,6−146,6
% efisiensi 5 = 184,6
𝑥 100% = % efisiensi 15 = 184,6
𝑥 100% =

97,79% 20,59%

184,6−177,7 184,6−161,6
% efisiensi 7,5 = 184,6
𝑥 100% = % efisiensi 20 = 184,6
𝑥 100% =

3,74% 12,46%

TSS

11860−20864 11860−2576
% efisiensi 2,5 = 11860
𝑥 100% = % efisiensi 5 = 𝑥 100% =
11860

−75,92% 78,28%

11860−10604 11860−2164
% efisiensi 7,5 = 11860
𝑥 100% = % efisiensi 10 = 11860
𝑥 100% =

10,59% 81,75%

11860−21284 11860−1308
% efisiensi 15 = 𝑥 100% = % efisiensi 20 = 𝑥 100% =
11860 11860

−79,46% 88,97%

38
FENOL 1000

% efisiensi 2,5 = % efisiensi 7,5 =


3386,82−3878,71 3386,82−4877,06
3386,82
𝑥 100% = −14,52% 3386,82
𝑥 100% = −44%

3386,82−3738,45 % efisiensi 15 =
% efisiensi 5 = 3386,82
𝑥 100% =
3386,82−5083,33
−10,38% 𝑥 100% = −50,09%
3386,82

FENOL 2000

% efisiensi 2,5 = % efisiensi 7,5 =


4067,65−4407,59 4067,65−7806,93
4067,65
𝑥 100% = − − 8,36% 4067,65
𝑥 100% == 91,93%

4067,65−4688,12 % efisiensi 15 =
% efisiensi 5 = 4067,65
𝑥 100% =
4067,65−6602,31
−15,25% 4067,65
𝑥 100% = −62,31%

Pengolahan dengan biiji kelor

COD

5932,08−7648 5932,08−6118,4
% efisiensi 15 = 5932,08
𝑥 100% = % efisiensi 30 = 5932,08
𝑥 100% =

−28,93% −3,14%

% efisiensi 45 =
5932,08−10248,32
5932,08
𝑥 100% = −72,76%

39
TDS

184,6−178,8 184,6−182,2
% efisiensi 15 = 𝑥 100% = % efisiensi 45 = 𝑥 100% =
184,6 184,6

3,14% 1,30%

184,6−182,4
% efisiensi 30 = 184,6
𝑥 100% =

1,19%

TSS

11860−276 11860−300
% efisiensi 15 = 11860
𝑥 100% = % efisiensi 45 = 11860
𝑥 100% =

97,67% 97,47%

11860−4024
% efisiensi 30 = 𝑥 100% =
11860

66,07%

FENOL 1000

3386,82−3359 3386,82−2746,2
% efisiensi 15 = 𝑥 100% = % efisiensi 45 = 3386,82
𝑥 100% =
3386,82

0,82% 18,92%

% efisiensi 30 =
3386,82−2496,75
3386,82
𝑥 100% = 26,28%

FENOL 2000

% efisiensi 15 = 4067,65−3301
% efisiensi 45 = 4067,65
𝑥 100% =
4067,65−5926,25
4067,65
𝑥 100%=-45,69% 18,85%

% efisiensi 30=
4067,65−2694,14
𝑥 100% = 33,77%
4067,65

40
Lampiran 3. Data Pengamatan

 Data kadar Penetapan COD

Standardisasi Bobot K2Cr2O7 N FAS


V FAS (mL) N FAS (N)
FAS 0,2 N (g) rerata (N)
0,2448 26,03 0,1919
Karakteristik
0,1925
Awal 0,2447 25,83 0,1930

Pengolahan 0,2448 25,70 0,1940


0,1912
dengan H2O2 0,2449 26,60 0,1875
Pengolahan 0,2448 25,70 0,1944
dengan Biji 0,1912
0,2449 26,60 0,1879
Kelor

V FAS
V FAS blangko (mL) V COD
Penetapan N FAS COD
Sampel Sampel sampel rerata
Kadar COD pengulangan rerata (N) (mg/L)
(mL) (mL) (mg/L)
Karakteristik fp 20 (1) 1) 1,95 0,55 6317,28
1,96 0,1925 5932
Awal fp 20 (2) 2) 1,97 1,60 5546,88
H2O2 2,5 mL
1,63 6577,28
fp20
2,07
H2O2 5,0 mL
1,65 6271,36
fp20
H2O2 7,5 mL
Pengolahan 1,63 6577,28
fp20
dengan 2,10 2,06 0,1912
H2O2 10,0 mL 25
H2O2 1,73 5047,68
fp20
H2O2 15,0 mL
1,73 5047,68
fp20
2,00
H2O2 20,0 mL
1,40 10095,36
fp20
Pengolahan 15 menit fp 20 1,50 7648,00
dengan Biji 30 menit fp 20 2,00 1,60 0,1912 6118,00
Kelor 45 menit fp 20 1,23 10248,32

41
 Deret Standar

Absorbansi (Abs)
Conc (mg/L) Karakteristik Pengolahan Pengolahan
Awal Peroksida Biji Kelor
0 0,000 0,032 0
1 0,173 0,123 0,173
2 0,363 0,246 0,363
3 0,604 0,372 0,604
4 0,873 0,498 0,873
5 1,146 0,630 1,146
slope (b) 0,2306 0,1212 0,2306
intersep (a) -0,0105 0,0139 -0,0105
r 0,9965 0,9986 0,9965

 Penetapan kadar Fenol

Kadar
Penetapan Absorbansi
Sampel Fenol
Kadar Fenol (Abs)
(mg/L)
fp 1000 0,731 3386,82
Karakteristik
fp 2000 0,419 4067,65
Awal
fp 5000 0,192 5247,18
H2O2 2,5
mL fp 0,484 3878,71
1000
H2O2 2,5
mL fp 0,281 4407,59
2000
H2O2 5,0
Pengolahan
mL fp 0,467 3738,45
dengan H2O2
1000
H2O2 5,0
mL fp 0,298 4688,12
2000
H2O2 7,5
mL fp 0,605 4877,06
1000

42
H2O2 7,5
mL fp 0,487 7806,93
2000
H2O2 15,0
0,630 5083,33
mL fp 1000
H2O2 15,0
0,414 6602,31
mL fp 2000

15 menit
0,601 3359,00
fp 1000
15 menit
0,528 5926,25
fp 2000
30 menit
Pengolahan 0,442 2496,75
fp 1000
dengan Biji
Kelor 30 menit
0,230 2694,14
fp 2000
45 menit
0,488 2746,20
fp 1000
45 menit
0,286 3301,00
fp 2000

 Penetapan pH Optimum dan Dosis Optimum Pengolahan dengan Biji


Kelor

Dosis
Kekeruhan pH Variasi Kekeruhan
pH Awal Variasi pH Optimum
(NTU) Optimum Dosis (g) (NTU)
(g)

4 505 0 1,68

5 691 1 56
6 6 435 2 50,1
6 2
7 115,4 3 52,9
8 164,4 4 78,6
9 54,1 5 65,5
6 74,2

43
 Penetapan pH Optimum Pengolahan dengan Hidrogen Peroksida

Absorbansi Kadar pH
Variasi pH Fp Optimum
(Abs) (mg/L)
2000 0,548 4843,89
2
5000 0,175 4022,12

2000 0,471 4176,06


3
5000 0,202 4607,55 7
2000 0,677 5962,71
4
5000 0,191 4369,04
2000 0,423 3759,76
5
5000 0,205 4672,59

2000 0,492 4358,20


6
5000 0,199 4542,50
2000 0,038 420,64
7
5000 0,014 531,22

 Pengukuran pH, Suhu, dan Kadar TDS

Pengukuran
TDS
pH dan Kadar Sampel pH Suhu (⁰C)
(mg/L)
TDS
Karakteristik
1) 6 27,5 184,6
Awal

2,5 mL 8,083 26,8 4,51

5,0 mL 8,029 26,9 4,08


Pengolahan
7,5 mL 8,024 26,7 177,7
dengan H2O2
10,0 mL 7,966 26,8 177,2
15,0 mL 7,947 27,1 146,6
20,0 mL 8,057 26,8 161,6
Pengolahan 15 menit 7,841 27,5 178,8
dengan Biji 30 menit 7,788 27,8 182,4
Kelor 45 menit 7,903 27,3 182,2

44
 Penetapan Kadar TSS

Penetapan Bobot Awal Bobot V sampel TSS


Sampel
Kadar TSS (g) Akhir (g) (mL) (mg/L)
Karakteristik
1) 1,0014 1,2979 11860
Awal
2,5 mL 0,9853 1,5069 20864
5,0 mL 1,0031 1,0675 2576
Pengolahan 7,5 mL 0,9966 1,2617 10604
dengan H2O2 10,0 mL 0,9923 1,0464 25 2164
15,0 mL 0,9893 1,5214 21284
20,0 mL 1,0231 1,0558 1308
Pengolahan 15 menit 0,9972 1,0041 276
dengan Biji 30 menit 1,0025 1,1032 4024
Kelor 45 menit 0,9749 0,9824 300

45

Anda mungkin juga menyukai