BIOTEKNOLOGI
“Pemanfaatan Ampas Tebu (Saccharum sp) Untuk Membuat Pupuk Organik Berbantuan
EM4”
Disusun Oleh :
Kelompok : 9
1. Antonius Teguh Mamana Tarigan (4203151014)
2. Nur Elisa Rambe (4203151021)
3. Dini Zain (4201151009)
4. Tri Bunga Simamora (4203351029)
JURUSAN BIOLOGI
PRODI PENDIDIKAN IPA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
2022
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah Yang Maha Esa, karena berkat taufik
dan hidayahnya, kami bisa menyelesaikan tugas proposal penelitian ini dengan baik. Yang mana
tugas ini kami kerjakan untuk memenuhi tugas dari mata kuliah Bioteknologi. Terimakasih kami
ucapkan kepada pihak-pihak yang telah membantu kami dalam menyelesaikan tugas ini, terutama
kepada dosen pengampu mata kuliah Bioteknologi yaitu ibu Apt. Endang Sulistyarini, M.Si.
Adapun ulasan-ulasan yang kami sajikan mengenai Pemanfaatan Ampas Tebu (Saccharum
sp) Untuk Membuat Pupuk Organik Berbantuan EM4. Terlepas dari itu semua, kami juga
menyadari bahwa tugas yang kami kerjakan ini masih ada kekurangan dan kesalahan baik dari segi
penyusunan kalimat maupun pembahasan materi yang kurang lengkap.
Oleh karena itu, kami sangat berharap kepada pembaca agar memberikan saran dan kritik
yang membangun, agar kami lebih baik lagi dalam membuat proposal penelitian. Semoga tugas
proposal penelitian ini dapat bermanfaat bagi peneliti maupun pembaca dalam menambah
wawasan dan ilmu pengetahuan.
Penulis
Kelompok 9
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
dan kemakmuran tebu di Indonesia. Selain merupakan tanaman tropis, tebu merupakan tanaman
perdu dengan umur panen tahunan.
Dalam pertanian modern saat ini, penggunaan pupuk kimia dan organik berangsur-angsur
surut dan sebagian besar dihapuskan atau dilarang. Hal ini dikarenakan jika salah satu pupuk
organik adalah kompos, maka pupuk organik tidak meninggalkan residu kimia apapun. Kompos
bukanlah hal baru bagi petani. Nenek moyang kita telah mengetahuinya selama berabad-abad dan
membuatnya hampir sama dengan praktik pengomposan modern.
Rahimah et al (2015) menyatakan bahwa ampas tebu merupakan produk limbah dan
biasanya dibuang ke TPA terbuka tanpa pengolahan lebih lanjut sehingga menimbulkan bahaya
lingkungan dan bau yang tidak sedap. Berdasarkan hal tersebut, perlu diterapkan teknik untuk
mengatasi pemborosan ini. Ini berarti bahwa teknologi harus digunakan untuk mendaur ulang
limbah padat menjadi produk kompos yang berguna. Pengomposan dianggap sebagai teknologi
berkelanjutan karena bertujuan untuk melindungi lingkungan dan keselamatan manusia serta
memberikan nilai ekonomi. Pemanfaatan limbah ampas tebu sebagai bahan baku pembuatan
kompos merupakan salah satu alternatif untuk meminimalisir pencemaran estetika.
Ampas tebu merupakan sumber bahan organik yang dapat digunakan sebagai bahan dasar
pembuatan pupuk organik padat dan cair. 35-40% ampas tebu dibuang sehingga menjadi limbah.
Penggunaan ampas tebu dalam produksi pupuk belum optimal. Kandungan ampas tebu sangat
bervariasi, C 22,4%, rasio C/N 33,6, kadar air 5,3%, kadar N 0,25-0,60%, kadar fosfat 0,15-0,22%,
K2O 0,2-0,38%, dapat digunakan sebagai bahan baku. Bahan baku pupuk cair organik.
Serat bargassen tidak larut dalam air dan sebagian besar terdiri dari selulosa, pentosan, dan
lignin. Jika dibiarkan, ampas tebu akan lebih lama terurai. Proses pengomposan juga memerlukan
bantuan mikroba untuk mengurai bahan dan mempercepat proses pengomposan.
Mikroorganisme yang mempermudah pengomposan adalah mikroorganisme efektif
(EM4). Proses penambahan EM4 membantu mempercepat dekomposisi bahan organik,
menghilangkan bau yang ditimbulkan selama proses dekomposisi, menghambat pertumbuhan
mikroorganisme patogen dan meningkatkan aktivitas mikroorganisme yang menguntungkan
(Setiawan, 2010).
Menurut Santoso (2012), sampah memiliki nilai negatif dan positif. Dampak yang dapat
ditimbulkan oleh sampah adalah dampak negatif seperti dampak buruk bagi kesehatan manusia.
Gangguan pada manusia dapat disebabkan oleh bakteri, virus, senyawa nitrat, berbagai bahan
2
kimia industri, pestisida yang terdapat pada gangguan makanan, serta beberapa unsur logam
seperti merkuri, timbal dan kadmium. Selain itu, limbah memiliki dampak negatif dengan
mengganggu keseimbangan ekosistem.
3
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
4
mengandung nitrogen cukup tinggi. Jerami padi, tandan kosong kelapa sawit, kentang, dan ubi
jalar mengandung kalium yang tinggi. Kandungan Ca tanaman yang tinggi dijumpai diantaranya
pada tanaman kacang tanah. (Hartatik et. al,2015).
Limbah dari peternakan umumnya mengandung hara lebih tinggi dan sedikit logam berat,
sehingga dapat digunakan sebagai pupuk organik. Limbah dari industri oli dan beverage
mengandung logam berat cukup tinggi sehingga tidak direkomendasikan sebagai pupuk organik.
(Hartatik et. al,2015)
5
bakar ketel untuk memproduksi energi keperluan proses, yaitu sekitar 10,2 juta ton per tahun (97,4
% produksi ampas).(Yuliani dan Nugraheni, 2010)
2.1.3 Bioaktivator
a. Pengertian Bioaktivator
Bioaktivator adalah bahan aktif biologi yang digunakan untuk meningkatkan aktivitas
proses komposting. Bioaktivator bukanlah pupuk, melainkan bahan yang mengandung
mikroorganisme efektif yang secara aktif dapat membantu : (1) Mendekomposisi dan
memfermentasi sampah organik, limbah ternak, (2) Menghambat pertumbuhan hama dan penyakit
tanaman dalam tanah, (3) Membantu meningkatkan kapasitas fotosintesis tanaman, (4)
Menyediakan nutrisi bagi tanaman serta membantu proses penyerapan dan penyaluran hara dari
akar kedaun, (5) Meningkatkan kualitas bahan organik sebagai pupuk, (6) Memperbaiki kualitas
6
tanah, (7) Meningkatkan kualitas pertumbuhan vegetatif dan generatif tanaman, (8) Menghasilkan
energi, misalnya pada proses pembuatan biogas.(Wahyono,2010)
b. Bioaktivator EM-4
Effective Microorganisms - 4 (EM4) adalah bakteri mikroba hasil dari fermentasi
perubahan zat glukosa menjadi bakteri, atau bakteri yang terbuat dari zat yang mengandung
glukosa. EM4 adalah salah satu jenis larutan yang mengandung bakteri antara lain decomposer,
lactobacillus sp, bakteri asam laktat, bakteri fotosintetik, Streptomyces, jamur pengurai selulosa,
bakteri pelarut fosfor yang berfungsi sebagai pengurai bahan organik secara alami (Akmal, 2004).
7
BAB 3
METODE PENELITAN
8
memudahkan pengomposan adalah Trichoderma spp. Pembuatan kompos hanya
membutuhkan waktu satu bulan.
f. Dilakukan pengamatan warna, bau, pH, suhu dan struktur kompos selama proses
pengomposan berlangsung dan pengamatan berakhir bila kompos telah matang ditandai
dengan warna kompos yang hitam, bau seperti bau tanah, struktur remah, temperatur
normal (sama dengan suhu ruangan), dan volume menyusut hingga sepertiganya.
9
senyawa berbau busuk seperti asam organik, amonia, dan H2S. Kompos yang berbau tidak sedap
menunjukkan kualitas kompos yang buruk, dan kompos yang berbau tanah menandakan kompos
yang matang dan baik. Konsisten dengan Djurnani & Setiawan (2012) bahwa ciri bokashi yang
matang adalah hilangnya bau yang tidak sedap.
2. Warna
Kompos yang matang berwarna hitam. Hal ini sesuai dengan Djurnani & Setiawan (2012)
bahwa bokashi yang matang ditandai dengan warna coklat tua hingga kehitaman. 3. Suhu
3. Suhu
Panas dan dingin merupakan faktor penting dalam keberhasilan pengomposan. Sejak awal
pengomposan, suhu umumnya meningkat. Kenaikan ini dapat bervariasi antara 27 dan 50 °C. Ini
juga mendekati suhu awal pengomposan, yang menunjukkan bahwa kompos sudah matang. Suhu
naik (≥ 30°C) pada awal pengomposan dan tetap tinggi untuk jangka waktu tertentu. Hal ini
menunjukkan dekomposisi/dekomposisi bahan organik yang sangat kuat. Jika suhu rendah,
aktivitas mikroorganisme mesofilik mengangkut mikromu dan merupakan organisme termofilik
yang mengandung fungsi, dan jika suhu tinggi, kondisinya menguntungkan dalam mendapatkan
kompos steril yang baik.
4. pH
Menurut Indriani (2012), nilai pH yang cocok untuk kompos adalah antara 6,5 sampai 7,5
(netral). Pada penelitian ini kisaran pH divariasikan selama proses pengomposan, yaitu dari 5,5
pada awal pengamatan hingga 6,6 pada akhir pengamatan.
5. Struktur
Kompos yang matang sifatnya rapuh, lunak saat dihancurkan, dan mudah hancur saat
diremas. Saat kompos matang, volume dan beratnya berkurang. Menurut Murbanono (2013),
kompos matang menyusut. Hal ini terjadi ketika material yang dulunya berat seperti tanah pecah
dan runtuh dan menyusut saat dikompresi, atau ketika material komposit hilang dan menguap ke
udara menyebabkan penyusutan.
10