Anda di halaman 1dari 21

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tahu merupakan salah satu jenis makanan sumber protein dengan bahan

dasar kacang kedelai yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia. Saat ini

industri tahu yang tersebar di daerah Samarinda masih tergolong dalam skala

rumah tangga. Industri tahu di daerah Samarinda memproduksi 10 ton

kedelai/bulan dan dapat menghasilkan limbah cair sebanyak 20 m3 dari

pengolahan (Allo, 2015).

Selama ini limbah cair industri tahu tidak dimanfaatkan dengan maksimal

dan biasanya dibuang langsung ke lingkungan tanpa diolah. Limbah cair industri

tahu dapat menyebabkan turunnya kualitas air akibat meningkatnya kandungan

bahan organik serta ganguan kesehatan, khususnya yang berkaitan dengan air

yang kotor sanitasi lingkungan yang tidak baik (Herlambang, 2002).

Limbah cair industri tahu memiliki kandungan senyawa organik yang

terdiri dari protein 40% - 60%, karbohidrat 25% - 50%, dan lemak 10%

(Coniwanti dkk., 2013). Kandungan tersebut dapat diolah lebih lanjut agar dapat

mengurangi pencemaran lingkungan dan menghilangkan sumber penyakit dengan

metode koagulasi-flokulasi.

Limbah cair industri tahu yang telah diolah dapat mengurangi pencemaran

lingkungan dan aman untuk dibuang ke sungai karena polutan yang terkandung

dalam limbah cair industri tahu sudah memenuhi baku mutu standar dan tidak
2

membahayakan makhluk hidup. Pada penelitian ini, limbah cair industri tahu akan

diolah dengan metode koagulasi-flokulasi menggunakan koagulan air tua.

1.2 Rumusan Masalah

Penelitian terkait pengolahan limbah cair industri tahu menggunakan

proses koagulasi-flokulasi telah dilakukan oleh peneliti sebelumnya. Dalam

penelitian yang dilakukan oleh Bangun dkk. (2013) menggunakan koagulan

serbuk biji kelor dengan memvariasikan waktu pengendapan (50, 60, dan 70

menit), dosis kaogulan (2000, 3000, 4000, dan 5000 mg/200 L), dan ukuran

partikel koagulan (50 dan 70 mesh). Dari penelitian tersebut diperoleh waktu

pengendapan optimum yaitu selama 60 menit dengan penurunan turbiditas

77,43%, total suspended solid (TSS) 90,32%, dan chemical oxygen demand

(COD) 63,26% pada dosis koagulan 5000 mg/200 L dan ukuran partikel koagulan

70 mesh.

Pada penelitian yang dilakukan oleh Yanuarita dkk. (2017) menggunakan

koagulan bittern (air tua) pada limbah cair proses pencucian industri pengolahan

ikan dengan memvariasikan bittern yang ditambahkan (10%, 20%, 30%, dan 40%

dari volume limbah cair) dan waktu pengadukan lambat (15, 30, 45, 60, dan 75

menit). Hasil TSS terbaik adalah 80 mg/L pada waktu pengadukan 30 menit

dengan penambahan koagulan 40% dari volume limbah cair.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Bangun dkk. (2013) limbah

cair industri tahu dapat diolah dengan proses koagulasi-flokulasi dan dapat

menurunkan nilai turbiditas, TSS, dan COD. Pada penelitian yang dilakukan oleh
3

Yanuarita dkk. (2017) bittern dapat digunakan sebagai koagulan dan dapat

menurunkan nilai TSS dari 500 mg/L menjadi 80 mg/L.

Untuk mengetahui kegunaan air tua sebagai koagulan perlu dilakukan

penelitian lain yaitu dengan mengolah limbah cair industri tahu menggunakan

proses koagulasi-flokulasi. Pada penelitian kali ini yang divariasikan yaitu volume

koagulan dan waktu pengendapan. Digunakan air tua sebagai koagulan karena

merupakan produk samping dari produksi garam yang memiliki banyak

kandungan mineral dan aman untuk lingkungan sekitar (Nugraha dkk., 2015).

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kemampuan air tua

sebagai koagulan pada proses koagulasi-flokulasi terhadap pengolahan limbah

cair industri tahu agar dapat mengurangi kadar TSS dan COD dengan variasi

penambahan koagulan dan waktu pengendapan sehingga dapat sesuai dengan

baku mutu lingkungan.

Manfaat dari penelitian ini adalah untuk menurunkan nilai TSS dan COD

limbah cair industri tahu serta menemukan koagulan pengganti yang lebih ramah

lingkungan bagi industri tahu sehingga dapat mengurangi tingkat pencemaran

terhadap lingkungan.
4

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Limbah Cair

Limbah cair atau air buangan (waste water) adalah cairan buangan yang

berasal dari rumah tangga, perdagangan, perkantoran, industri maupun tempat-

tempat umum lainnya yang biasanya mengandung bahan-bahan atau zat-zat yang

dapat membahayakan kesehatan atau kehidupan manusia serta mengganggu

kelestarian lingkungan hidup. Setiap aktivitas produksi dalam suatu industri selalu

menghasilkan air buangan. Oleh karena itu, diperlukan penanganan lebih lanjut

secara tepat agar tidak mencemari lingkungan (Asmadi dan Suharno, 2012).

2.1.1 Limbah Industri Tahu

Limbah industri tahu terdiri dari dua jenis, yaitu limbah cair dan padat.

Dari kedua jenis limbah tersebut, limbah cair merupakan bagian terbesar dan

berpotensi mencemari lingkungan (Enrico, 2008). Limbah padat industri tahu

berupa kotoran hasil pembersihan kedelai (batu, tanah, kulit kedelai, dan benda

padat lain yang menempel pada kedelai) dan sisa saringan bubur kedelai yang

disebut dengan ampas tahu. Limbah padat yang berupa kotoran berasal dari proses

awal (pencucian) bahan baku kedelai dan umumnya limbah padat yang terbentuk

tidak terlalu banyak (0,3% dari bahan baku kedelai). Sedangkan limbah padat

yang berupa ampas tahu terjadi pada proses penyaringan bubur kedelai. Ampas
5

tahu yang terbentuk besarnya berkisar antara 25-35% dari produk tahu yang

dihasilkan (Kaswinarni, 2007).

Limbah cair pada proses produksi tahu berasal dari proses perendaman,

pencucian kedelai, pencucian peralatan proses produksi tahu, penyaringan,

pengepresan atau pencetakan tahu. Sebagian besar limbah cair yang dihasilkan

oleh industri tahu adalah cairan kental yang terpisah dari gumpalan tahu yang

disebut dengan air dadih (whey). Cairan ini mengandung kadar protein yang

tinggi dan cepat terurai. Limbah ini sering dibuang secara langsung tanpa

pengolahan terlebih dahulu sehingga dapat menimbulkan bau busuk dan

mencemari lingkungan (Kaswinarni, 2007).

2.1.2 Dampak Negatif Limbah Cair Industri Tahu

Menurut Herlambang (2002), dampak yang ditimbulkan oleh pencemaran

bahan organik limbah industri tahu adalah terganggunya kehidupan biotik.

Turunnya kualitas air akibat meningkatnya kandungan bahan organik. Aktivitas

organisme dapat memecah molekul organik yang kompleks menjadi molekul

organik yang sederhana. Bahan anorganik seperti ion fosfat dan nitrat dapat

dipakai sebagai makanan oleh tumbuhan yang melakukan fotosintesis. Selama

proses metabolism oksigen banyak dikonsumsi, sehingga apabila bahan organik

dalam air sedikit, oksigen yang hilang dari air akan segera diganti oleh oksigen

hasil proses fotosintesis dan oleh reaerasi dari udara. Sebaliknya jika konsentrasi

beban organik terlalu tinggi, maka akan tercipta kondisi anaerobik yang

menghasilkan produk dekomposisi berupa ammonia, karbondioksida, asam asetat,


6

hidrogen sulfide, dan metana. Senyawa-senyawa tersebut sangat toksik bagi

sebagian besar hewan air dan akan menimbulkan gangguan estetika yang berupa

rasa tidak nyaman dan menimbulkan bau.

Limbah cair yang dihasilkan mengandung padatan tersuspensi maupun

terlarut, akan mengalami perubahan fisika, kimia, dan hayati yang akan

menimbulkan gangguan terhadap kesehatan karena menghasilkan zat beracun atau

menciptakan media untuk tumbuhnya kuman penyakit atau kuman lainnya yang

merugikan baik pada produk tahu sendiri ataupun tubuh manusia. Bila dibiarkan,

air limbah akan berubah warna menjadi cokelat kehitaman dan menimbulkan bau

busuk. Bau busuk ini dapat mengakibatkan sakit pernapasan. Apabila air limbah

ini masuk ke dalam tanah yang dekat dengan sumur maka air sumur itu tidak

dapat digunakan lagi. Apabila limbah ini mengalir ke sungai maka akan

mencemari sungai dan bila masih digunakan akan menimbulkan gangguan

kesehatan yang berupa penyakit gatal, diare, kolera, radang usus, dan penyakit

lainnya, khususnya yang berkaitan dengan air yang kotor dan sanitasi lingkungan

yang tidak baik (Kaswinarni, 2007).

2.2 Koagulasi-Flokulasi

Koagulasi adalah proses pengolahan air atau limbah cair dengan

menstabilisasi partikel-partikel koloid untuk memfasilitasi pertumbuhan partikel

selama flokulasi. Sedangkan flokulasi adalah proses pengolahan air dengan cara

mengadakan kontak diantara partikel-partikel koloid yang telah mengalami


7

destabilisasi sehingga ukuran partikel-partikel tersebut bertambah menjadi

partikel-partikel yang lebih besar (Coniwanti dkk., 2013).

Koagulasi-flokulasi diperlukan untuk menghilangkan material limbah

berbentuk suspense atau koloid. Koloid merupakan partikel-partikel berdiameter

sekitar 1 nm (10 - 7 cm) hingga 0,1 nm (10 - 8 cm). Partikel-partikel ini tidak

dapat mengendap dalam periode waktu tertentu dan tidak dapat dihilangkan

dengan proses perlakuan fisika biasa (Coniwanti dkk., 2013).

2.2.1 Faktor yang Mempengaruhi Koagulasi-Flokulasi

Menurut Rahimah dkk. (2016), factor-faktor yang mempengaruhi proses

koagulasi-flokulasi sebagai berikut :

1. Tingkat Kekeruhan

Pada tingkat kekeruhan yang rendah proses destabilisasi akan sukar

terjadi. Sebaliknya pada tingkat kekeruhan air yang tinggi maka

proses destabilisasi akan berlangsung cepat. Tetapi apabila kondisi

tersebut digunakan pada dosis koagulan yang rendah maka

pembentukan flok tidak efektif.

2. Kadar Ion Terlarut

Pengaruh ion-ion yang terlarut dalam air terhadap proses koagulasi

yaitu pengaruh anion lebih besar daripada kation. Dengan demikian

ion natrium, kalsium, dan magnesium tidak memberikan pengaruh

yang berarti terhadap proses koagulasi.


8

3. Temperatur Air

Temperatur air yang rendah mempunyai pengaruh terhadap efisiensi

proses koagulasi. Bila temperature air diturunkan, maka besarnya

daerah pH yang optimum pada proses koagulasi akan berubah dan

merubah penambahan dosis koagulan.

4. Derajat Keasaman (pH)

Proses koagulasi akan berjalan dengan baik bila berada pada daerah

pH yang optimum. Untuk tiap jenis koagulan mempunyai pH

optimum yang berbeda satu sama lainnya.

5. Alkalinitas

Alkalinitas dalam air ditentukan oleh kadar asam atau basa.

Alkalinitas dalam air dapat membentuk flok dengan menghasilkan ion

hidroksida pada reaksi hidrolisa koagulan.

6. Kecepatan Pengadukan

Tujuan pengadukan adalah untuk mencampurkan koagulan ke dalam

air. Dalam pengadukan hal-hal yang perlu diperhatikan adalah

pengadukan harus benar-benar merata, sehingga semua koagulan yang

dibubuhkan dapat bereaksi dengan partikel-partikel atau ion-ion yang

berada dalam air. Kecepatan pengadukan sangat berpengaruh terhadap

pembentukan flok. Bila pengadukan terlalu lambat mengakibatkan

lambatnya pembentukan flok dan sebaliknya apabila pengadukan

terlalu cepat mengakibatkan pecahnya flok yang terbentuk.


9

7. Dosis Koagulan

Untuk menghasilkan inti flok yang lain dari proses koagulasi-flokulasi

sangat tergantung dari dosis koagulasi yang dibutuhkan. Bila

penambahan koagulan sesuai dengan dosis yang dibutuhkan maka

proses pembentukan inti flok akan berjalan dengan baik.

8. Jenis Koagulan

Pemilihan jenis koagulan didasarkan pada pertimbangan segi

ekonomis dan daya efektivitas koagulan terhadap pembentukan flok.

Koagulan dalam bentuk larutan lebih efektif disbanding koagulan

dalam bentuk serbuk atau butiran.

2.3 Air Tua (Bittern)

Proses produksi garam rakyat melalui berbagai tahapan, diantaranya

penyediaan lahan (tambak), pengaliran air laut ke lahan, proses penguapan air

laut, proses kristalisasi garam, serta pemisahan garam dari airnya sehingga

diperoleh garam rakyat. Air sisa dari proses produksi garam rakyat disebut dengan

istilah air tua atau bittern. Air tua adalah larutan sisa proses pembuatan garam dari

air laut dengan menggunakan energi matahari. Dalam proses pembuatan garam,

komponen yang diambil dari air laut adalah natrium klorida (Nugraha dkk., 2015).

Pemanfaatan air tua sebagai koagulan alternative yang ramah lingkungan

karena merupakan produk samping dari produksi garam. Walaupun sebagai

produk samping air tua memiliki banyak kandungan mineral, diantaranya


10

magnesium klorida (MgCl2), kalium klorida (KCl), magnesium sulfat (MgSO4),

natrium klorida (NaCl), dan garam-garam lainnya (Sutiyono, 2006).

2.4 Total Suspended Solid (TSS)

Total suspended solid atau padatan tersuspensi total (TSS) adalah residu

dari padatan total yang tertahan oleh saringan dengan ukuran partikel maksimal 2

µm atau lebih besar dari ukuran partikel koloid. Contoh dari TSS yaitu lumpur,

tanah liat, logam oksida, sulfida, ganggang, bakteri, dan jamur. TSS umumnya

dihilangkan dengan flokulasi dan penyaringan. TSS memberikan kontribusi untuk

kekeruhan (turbidity) dengan membatasi penetrasi cahaya untuk fotosintesis dan

visibilitas di perairan. Sehingga nilai kekeruhan tidak dapat dikonversi ke nilai

TSS (Anonim, 2012).

2.5 Chemical Oxygen Demand (COD)

Kebutuhan oksigen kimiawi atau COD adalah jumlah oksigen yang

diperlukan agar bahan buangan yang ada di dalam air dapat teroksidasi melalui

reaksi kimia. Dalam hal ini, bahan buangan organik akan dioksidasi oleh kalium

bikromat (K2Cr2O7) menjadi gas CO2 dan H2O serta sejumlah ion krom. Kalium

bikromat digunakan sebagai sumber oksigen (oxidizing agent). Oksidasi terhadap

bahan buangan organik akan mengikuti reaksi berikut :

Reaksi tersebut perlu pemanasan dan juga penambahan katalis perak sulfat

(Ag2SO4) untuk mempercepat reaksi. Setelah reakis oksidasi selesai maka akan
11

berubah warna menjadi hijau. Jumlah oksigen yang diperlukan untuk reaksi

oksidasi terhadap bahan buangan organik sama dengan jumlah kalium bikromat

yang dipakai pada reaksi oksidasi, berarti semakin banyak oksigen yang

diperlukan maka semakin banyak juga kalium bikromat yang terpakai (Enrico,

2008).

2.6 Baku Mutu Air Limbah

Berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Republik Indonesia

Nomor 5 Tahun 2014, baku mutu air limbah adalah ukuran batas atau kadar unsur

pencemar dan/atau jumlah unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam

air limbah yang akan dibuang atau dilepas ke dalam media air dari suatu usaha

dan/atau kegiatan. Air merupakan komponen lingkungan hidup yang penting bagi

kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lainnya, sehingga diperlukan

upaya-upaya untuk melestarikan fungsi air. Upaya yang dilakukan adalah dengan

mengelola kualitas air dan mengendalikan pencemaran air secara bijaksana

dengan memikirkan kepentingan generasi sekarang dan yang akan dating.

Pengelolaan kualitas air adalah upaya pemeliharaan air sehingga tercapai kualitas

air yang diinginkan sesuai peruntukannya. Pengendalian pencemaran air

dilakukan untuk menjamin kualitas air agar sesuai dengan baku mutu air melalui

upaya pencegahan dan penanggulangan pencemaran air serta pemulihan kualitas

air. Pada Tabel 2.1 dapat dilihat kadar maksimum baku mutu limbah cair industri

tahu.
12

Tabel 2.1 Baku Mutu Limbah Cair Industri Tahu

Limbah Cair Industri Tahu


Parameter Kadar Maksimum Beban Pencemaran Maksimum
(mg/L) (kg/ton)
BOD 150 3
COD 300 6
TSS 200 4
pH 6–9
Sumber : Kementerian Lingkungan Hidup, 2014
13

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan selama kurang lebih satu semester mulai

dari bulan September hingga Desember 2019. Penelitian dilakukan di

Laboratorium Kimia Dasar Jurusan Teknik Kimia Politeknik Negeri Samarinda.

3.2 Rancangan Penelitian

3.2.1 Variabel Berubah

1. Volume Koagulan Air Tua : 1, 2, 3, dan 4 mL

2. Waktu Pengendapan : 15, 30, 45, dan 60 menit

3.2.2 Variabel Tetap

1. Volume Limbah Cair Industri Tahu : 50 mL

2. pH Limbah Cair Industri Tahu : 11

3. Waktu Pengadukan Cepat : 90 menit

4. Waktu Pengadukan Lambat : 15 menit

5. Pengadukan Cepat : 180 rpm

6. Pengadukan Lambat : 80 rpm

3.2.3 Variabel Respon

1. TSS : SNI 06-6989.3-2004

2. COD : SNI 6989.73:2009


14

Konsentrasi Awal−Konsentrasi Akhir


3. %Removal = × 100%
Konsentrasi Awal

3.3 Alat dan Bahan

3.3.1 Alat

1. Indikator Universal 11. Kaca Arloji

2. Gelas Ukur 50 mL 12. Gegep

3. Gelas Beaker 1000 mL 13. Oven

4. Magnetic Stirer 14. Desikator

5. Pipet Ukur 5 mL, 10 mL 15. Pipet Volume 10 mL, 25 mL

6. Hot Plate 16. Erlenmeyer 250 mL

7. Kertas Saring 17. Satu Set Alat Refluks

8. Bulb 18. Pipet Tetes

9. Satu Set Alat Vakum 19. Buret

10. Neraca Analitik 20. Statif

3.3.2 Bahan

1. Limbah Cair Industri Tahu

2. Air Tua

3. Ca(OH)2

4. Aquadest

5. Kalium Dikromat 0,1 N

6. Asam Sulfat (H2SO4) 5 N

7. Indikato Ferroin

8. Ferro Ammonium Sulfat (FAS) 0,05 M


15

3.4 Prosedur Penelitian

3.4.1 Diagram Alir Penelitian

Menyiapkan limbah cair industri tahu

Mengukur pH, TSS, dan COD awal

Memasukkan 50 mL limbah cair industri tahu


ke dalam gelas beaker

Menambahkan koagulan air tua


(1, 2, 3, dan 4 mL)
ke dalam limbah cair industri tahu

Meletakkan gelas beaker di atas hot plate

Mengatur pH
dengan menambahkan Ca(OH)2

Melakukan proses koagulasi-flokulasi


dengan menyalakan magnetic stirer pada hot plate
selama 90 menit (pengadukan cepat)
dan 15 menit (pengadukan lambat)

Melakukan Pengendapan
(15, 30, 45, dan 60 menit)

Memisahkan air dengan endapan

Mengukur nilai pH, TSS, dan COD

Gambar 3.1 Diagram Alir Penelitian


16

3.4.2 Prosedur Penelitian

A. Preparasi Bahan Baku

1. Menyiapkan limbah cair industri tahu.

2. Mengukur pH, TSS, dan COD awal.

B. Proses Koagulasi-Flokulasi

1. Memasukkan limbah cair industri tahu sebanyak 50 mL ke

dalam gelas beaker 1000 mL yang sudah diberi magnetic stirer.

2. Menambahkan koagulan air tua dengan variasi 1, 2, 3, dan 4 mL

ke dalam gelas beaker.

3. Meletakkan gelas beaker di atas hot plate.

4. Mengatur pH menjadi 11 dengan menambahkan Ca(OH)2.

5. Melakukan proses koagulasi-flokulasi dengan menyalakan

magnetic stirer dengan kecepatan putaran 180 rpm selama 90

menit (pengadukan cepat) dan kecepatan putaran 80 rpm selama

15 menit (pengadukan lambat).

6. Mengendapkan dengan variasi waktu selama 15, 30, 45, dan 60

menit.

7. Melakukan analisa pH, TSS, dan COD.

C. Analisa TSS (SNI 06-6989.3-2004)

a. Persiapan Kertas Saring

1. Meletakkan kertas saring pada peralatan filtrasi. Memasang

vakum dan wadah pencuci dengan air suling 20 mL.


17

Melanjutkan penyedotan untuk menghilangkan sisa air,

mematikan vakum dan menghentikan pencucian.

2. Memindahkan kertas saring dari peralatan filtrasi ke wadah

timbang alumunium. Jika digunakan Gooch dapat langsung

dikeringkan.

3. Mengeringkan dalam oven pada suhu 103 – 105oC selama 1

jam, mendinginkan dalam desikator kemudian ditimbang.

4. Mengulangi langkah nomor 3 sampai diperoleh berat

konstan atau sampai perubahan berat lebih kecil dari 4%

terhadap penimbangan sebelumnya atau lebih kecil dari 0,5

mg.

b. Prosedur Analisa

1. Melakukan penyaringan dengan peralatan vakum.

Membasahi kertas saring dengan sedikit air suling.

2. Mengaduk contoh uji dengan magnetic stirer untuk

memperoleh contoh uji yang lebih homogen.

3. Memipet contoh uji dengan volume tertentu, pada waktu

contoh diaduk dengan magnetic stirer.

4. Mencuci kertas saring dengan 3 x 10 mL air suling,

dibiarkan kering sempurna dan melanjutkan penyaringan

dengan vakum selama 3 menit agar diperoleh penyaringan

sempurna.
18

5. Memindahkan kertas saring secara hati-hati dari peralatan

penyaring dan memindahkan ke wadah timbang alumunium

sebagai penyangga.

6. Mengeringkan di oven pada suhu 103 – 105oC selama 1

jam. Mendinginkan dalam desikator kemudian ditimbang.

7. Mengulangi tahap pengeringan, pendinginan dalam

desikator, dan melakukan penimbangan sampai diperoleh

berat konstan atau kurang dari 4% dari penimbangan

sebelumnya atau kurang dari 0,5 mg.

8. Menghitung nilai TSS dengan cara :

mg (A−B)×1000
TSS ( )= ...................................................(3.1)
L VSampel

A = Berat kertas saring + residu kering (mg)

B = Berat kertas saring (mg)

VSampel = Volume sampel (L)

D. Analisa COD (SNI 6989.73:2009)

1. Memipet 1 mL contoh uji, memasukkan ke dalam erlenmeyer

250 mL.

2. Menambahkan 15 mL kalium dikromat 0,1 N ke dalam

erlenmeyer.

3. Menambahkan 25 mL H2SO4 5 N ke dalam erlenmeyer.

4. Merefluks selama 2 jam kemudian mendinginkan hasil refluks.

5. Menambahkan indikator ferroin sebanyak 2 tetes.


19

6. Menitrasi dengan larutan ferro ammonium sulfat (FAS) 0,05 M

sampai warna merah kecoklatan.

7. Mencatat volume hasil titrasi.

8. Melakukan langkah 1 sampai 7 terhadap air suling sebagai

blanko.

9. Menghitung nilai COD dengan cara :

mg (A−B)×C×8000
COD ( )= ......................................................(3.2)
L VSampel

A = Volume larutan FAS yang dibutuhkan blanko (mL)

B = Volume larutan FAS yang dibutuhkan sampel (mL)

C = Normalitas larutan FAS

VSampel = Volume sampel (mL)


20

DAFTAR RUJUKAN

A, Allo. 2015. Pengaruh Loading Rate Terhadap Penurunan Kadar COD dan

TSS. Samarinda : Politeknik Negeri Samarinda.

Anonim. 2012. Total Suspended Solid (TSS).

https://environmentalchemistry.wordpress.com/2012/01/11/total-

suspended-solid-tss-2/ (Diakses pada 15 September 2019)

Asmadi dan Suharno. 2012. Dasar-Dasar Teknologi Pengolahan Air Limbah.

Jatirejo : Gosyen Publishing.

Bangun, Ayu Ridaniati., Aminah, Siti., Hutahaean, Rudi Anas., dan Ritonga, M.

Yusuf. 2013. Pengaruh Kadar Air, Dosis dan Lama Pengendapan

Koagulan Serbuk Biji Kelor Sebagai Alternatif Pengolahan Limbah Cair

Industri Tahu. Medan : Universitas Sumatera Utara.

Coniwanti, Pamilia., Mertha, Indah Desfia., dan Eprianie, Diana. 2013. Pengaruh

Beberapa Jenis Koagulan Terhadap Pengolahan Limbah Cair Industri

Tahu Dalam Tinjauannya Terhadap Turbidity, TSS, dan COD. Palembang :

Universitas Sriwijaya.

Enrico, Bernard. 2008. Pemanfaatan Biji Asam Jawa (Tamarindus Indica)

Sebagai Koagulan Alternatif Dalam Proses Penjernihan Limbah Cair

Industri Tahu. Medan : Universitas Sumatera Utara.

Herlambang, A. 2002. Teknologi Pengolahan Limbah Cair Industri Tahu-Tempe.

Samarinda : Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi Lingkungan

(BPPT) dan Bapedal.


21

Kaswinarni, Fibria. 2007. Kajian Teknis Pengolahan Limbah Padat dan Cair

Industri Tahu. Semarang : Universitas Diponegoro.

KEMEN LH. 2014. Baku Mutu Air Limbah. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup

Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2014.

Nugraha, Krisna Ardhy., Wesen, Putu., dan Mirwan, M. 2015. Pemanfaatan

Bittern Sebagai Koagulan Alternatif Pengolahan Limbah Tepung Ikan.

Jawa Timur : Universitas Pembangunan Nasional “Veteran”.

P, Dian Yanuarita., Malik, Abdul., dan Goa, Londa. 2017. Pemanfaatan Bittern

Sebagai Koagulan Pada Limbah Cair Proses Pencucian Industri

Pengolahan Ikan. Surabaya : Institut Teknologi Adhi Tama.

Rahimah, Zikri., Heldawati, Heliyanur., dan Syauqiah, Isna. 2016. Pengolahan

Limbah Deterjen Dengan Metode Koagulasi-Flokulasi Menggunakan

Koagulan Kapur dan PAC. Banjarbaru : Universitas Lambung Mangkurat.

Sutiyono. 2006. Pemanfaatan Bittern Sebagai Koagulan Pada Limbah Cair

Industri Kertas. Jatim : UPN “Veteran”.

Anda mungkin juga menyukai