Anda di halaman 1dari 32

I.

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Tahu merupakan makanan yang banyak dijumpai dan digemari oleh masyarakat Indonesia. Kandungan gizi yang cukup tinggi dengan harga yang terjangkau membuat tahu banyak diminati, sehingga untuk memenuhi permintaan kebutuhan masyarakat tersebut berkembang pengrajin tahu di berbagai tempat di Indonesia. Proses produksi tahu menghasilkan output berupa produk tahu dan limbah tahu, dimana limbah yang dihasilkan berupa limbah padat dan cair. Limbah cair tahu memiliki polutan yang cukup tinggi, sehingga jika dibuang ke lingkungan begitu saja akan mengakibatkan terganggunya kualitas air dan menurunnya daya dukung lingkungan di perairan di sekitar industri tahu. Rosiana (2006) menyebutkan bahwa penurunan daya dukung lingkungan tersebut menyebabkan kematian organisme air dan menyebabkan terjadinya alga blooming, sehingga menghambat pertumbuhan tanaman air dan menimbulkan bau. Dampak dari buruknya pengelolaan limbah cair tahu dapat mengakibatkan masalah yang lebih serius seperti gangguan kesehatan pada manusia, gangguan terhadap keseimbangan ekosistem, dan gangguan terhadap estetika seperti warna, bau, dan rasa. Pengelolaan limbah dengan cara yang tepat akan dapat meminimalisir terjadinya masalah-masalah akibat limbah tersebut, sehingga perlu dilakukan kajian guna mengetahui manajemen yang baik untuk mengatasi masalah yang timbul.

Sistem suatu industri terdiri atas input, proses dan output. Input dalam sistem yakni berupa pengambilan sumberdaya dari lingkungan ke dalam proses dan output adalah keluaran dari proses. Pengambilan input yang berlebihan akan menyebabkan berkurangnya ketersediaan sumberdaya dan output yang berupa limbah akan berdampak negatif terhadap lingkungan. Dampak buruk terhadap lingkungan akibat penggunaan energi ataupun sumberdaya harus dikaji dan diteliti, agar nantinya dapat dikembangkan suatu sistem manajemen yang lebih baik dalam penggunaan energi dan sumberdaya. Metode yang dapat digunakan untuk mengukur dan mengevaluasi dampak lingkungan akibat penggunaan energi dan sumberdaya dalam suatu proses produksi adalah metode Life Cycle Assessment (LCA). LCA adalah suatu metode untuk menganalisis dampak suatu produk atau proses tertentu terhadap ekosistem atau lingkungan yang dilakukan dengan mengidentifikasi, mengklasifikasi, mengukur, menilai, dan menginterpretasikan hasil. LCA disebut juga penakaran siklus hidup. LCA bersifat menyeluruh pada setiap tahapan siklus hidup, dimana disetiap tahapan tersebut akan mengkonsumsi sumberdaya atau energi dan menghasilkan emisi atau limbah yang berdampak pada lingkungan. LCA diterapkan guna menangani dampak lingkungan dari produk, proses, atau aktifitas dalam seluruh siklus hidup mulai dari ekstraksi bahan mentah, pemrosesan, transportasi, penggunaaan, dan pembuangan akhir. Proses produksi tahu membutuhkan energi untuk menghasilkan produk dalam jumlah tertentu, namun apabila konsumsi energi tidak dikelola dengan baik maka akan menurunkan efisiensi penggunaannya. Manajemen yang buruk terhadap

penggunaan energi tidak hanya menurunkan nilai efisiensi penggunaan enrgi tersebut, namun juga akan berdampak negatif terhadap lingkungan. Metode pada LCA akan mengidentifikasi, menilai, dan mengevaluasi bagian proses mana yang memiliki dampak paling besar terhadap lingkungan. Haas (2000) menyatakan bahwa LCA dikembangkan untuk mengkaji dampak lingkungan yang ditimbulkan oleh pabrik dan proses produksi. LCA memungkinkan estimasi dampak secara kumulatif dari seluruh tahapan siklus hidup produk (Pesonen, 2001).Efisiensi bahan dan energi dalam pemanfaatan, pemrosesan, dan daur ulang akan menghasilkan keunggulan kompetitif dan manfaat ekonomi (Hambali, 2003).

B. Rumusan masalah

Rumusan masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana dampak dari konsumsi energi pada tiap tahap proses produksi terhadap lingkungan. 2. Faktor apa saja yang mempengaruhi adanya dampak konsumsi energi ke lingkungan.

C. Tujuan penelitian

Tujuan dalam penelitian ini adalah: 1. 2. Mengetahui jumlah konsumsi energi selama proses produksi tahu. Mengetahui dampak output penggunaan energi terhadap lingkungan dilihat dari jumlah emisi terhadap udara dan emisi terhadap air.

D. Manfaat penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah:


1.

Memberikan informasi terhadap produsen tahu tentang dampak terhadap lingkungan dari proses produksi tahu.

2.

Hasil penelitian dapat dijadikan sebagai gagasan atau ide untuk pemerintah, swasta ataupun pelaku industri lainnya dalam manajemen penggunaan energi dan manajemen mengenai dampak terhadap lingkungan.

II. KERANGKA PEMIKIRAN

A. Tahu

Tahu adalah salah satu jenis makanan olahan yang terbuat dari kedelai (Glycine spp) yang paling digemari masyarakat Indonesia selain tempe, tentunya karena harganya yang terjangkau dan manfaatnya gizi yang terkandung di dalamnya. Kandungan gizi yang terkandung dalam tahu dan kedelai dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Nilai Gizi Tahu dan Kedelai (Berdasarkan Berat Kering) Kandungan gizi No Komponen gizi Kedelai Tahu 1 Protein (gram) 0,39 0,49 2 Lemak (gram) 0,20 0,27 3 Karbohidrat (gram) 0,36 0,14 4 Serat (gram) 0,05 0,00 5 Abu (gram) 0,06 0,04 6 Kalsium (mg) 2,53 9,13 7 Natrium (mg) 0,00 0,38 8 Fosfor (mg) 6,51 6,56 9 Besi (mg) 0,09 0,11 10 Vitamin B1 (mg) 0,01* 0,001 11 Vitamin B2 (mg) 0,001 12 Vitamin B3 (mg) 0,03 Sumber: Sarwono dan Saragih (2003) (*) : sebagai B kompleks Permintaan akan tahu di berbagai daerah terus bertambah, sehingga industri atau pengrajin tahu banyak muncul dimana-mana. Industri tahu sudah banyak
berkembang baik skala industri rumah tangga maupun skala pabrik. Proses pembuatan tahu dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Diagram proses pembuatan tahu.

Proses pembuatan tahu masih sangat tradisional dan banyak memakai tenaga manusia. Bahan baku utama pembuatan tahu adalah kedelai dan air, dimana air digunakan untuk mencuci, merendam, dan merebus kedelai. Dasar pembuatan tahu adalah melarutkan protein yang terkandung dalam kedelai dengan menggunakan air sebaagai pelarutnya. Setelah protein tersebutlarut, diusahakan untuk diendapkan kembali dengan penambahan bahan pengendap yakni kalsium sulfat (CaSO4) atau biasa disebut larut sampai terbentuk gumpalan-gumpalan protein yang akan menjadi tahu.

Alat-alat yang digunakan dalam proses pembuatan tahu antara lain: 1. Ember 2. Tampah (nyiru) 3. Kain Saring atau kain blancu 4. Kain pengaduk 5. Cetakan 6. Keranjang 7. Rak bambu 8. Tungku atau kompor 9. Alat penghancur (alu)

B. Limbah Industri Tahu

Limbah industri tahu ada dua macam yaitu limbah cair dan limbah padat. Akibat dari banyaknya penggunaan air pada proses pembuatan tahu, limbah cair yang dihasilkan juga cukup banyak. Sudaryati (2008) menyatakan bahwa air yang digunakan dalam proses produksi tahu 25 liter per 1 kg bahan baku kedelai. Kedelai sebagai bahan baku tahu mengandung protein (34,9%), karbohidrat (34,8%), lemak (18,1%), dan bahan-bahan nutrisi lainnya. Akibatnya, limbah cair yang dihasilkan dapat mengandung bahan organik yang tinggi.Bahan organik dalam limbah cair merupakan media yang baik untuk pertumbuhan mikroba. Oleh karena itu, limbah cair industri tahu merupakan salah satu sumber pencemar sehingga dibutuhkan pengolahan limbah yang memadai. Karakteristik limbah cair industri tahu berupa pH, BOD, COD, TSS, ammonia, nitrat, dan nitrit. Kajian mengenai ambang batas dari limbah cair

industri tahu diatur dalam KEP/MENLH/No.51/II/1995 tentang Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Industri untuk golongan I (Lampiran A), kadar pH, TSS, COD, BOD5, amonia, nitrit, dan nitrat. Gas yang umumnya ditemukan dalam limbah cair yang tidak diolah adalah nitrogen (N2), oksigen (O2), metana (CH4), hidrogen sulfide (H2S), amonia (NH3), dan karbondioksida (CO2). Limbah cair industri tahu merupakan salah satu sumber pencemar lingkungan. Karakteristik air buangan yang dihasilkan berbeda karena berasal dari proses yang berbeda. Karakteristik buangan industri tahu meliputi dua hal, yaitu karakteristik fisika dan kimia. Karakteristik fisika meliputi padatan total, padatan tersuspensi, suhu, warna, dan bau. Karakteristik kimia meliputi bahan organik, bahan anorganik, dan gas. Enrico (2008) menyebutkan bahwa sebagian besar limbah cair industri pangan dapat ditangani dengan mudah baik secara biologis maupun kimia, karena polutan utamanya berupa bahan organik seperti karbohidrat, lemak, protein, dan vitamin. Polutan tersebut umumnya dalam bentuk tersuspensi atau terlarut. Suhu air limbah tahu berkisar 37-45C, kekeruhan 535-585 FTU, amonia 23,3-23,5 mg/1, BOD 6.000-8.000 mg/1, dan COD 7.500-14.000 mg/1 (Kaswinarni, 2007). Karakteristik limbah cair industri tahu antara lain (Husni, 2011): 1. Temperatur Suhu buangan industri tahu berasal dari proses pemasakan kedelai. Suhu yang meningkat dilingkungan perairan akan mempengaruhi kehidupan biologis, kelarutan oksigen dengan gas lain, kerapatan air, viskositas, serta tegangan permukaan. Suhu limbah cair yang dihasilkan dari proses

pencetakan tahu 30-35C dan sekitar 80-100C dari air bekas merebus kedelai. 2. pH Nilai pH air digunakan untuk mengekpresikan kondisi keasaman (konsentrasi ionhidrogen) air imbah. Skala pH berkisar antara 1-14 dimana kisaran nilai pH 1-7 termasuk kondisi asam, pH 7-14 termasuk kondisi basa, dan pH 7 adalah kondisi netral. 3. TSS (Total Suspended Solid) Padatan-padatan tersuspensi atau TSS (Total Suspended Solid) digunakan untuk menentukan kepekatan air limbah, efisiensi proses, dan beban unit proses. 4. Senyawa organik Air buangan industri tahu mengandung senyawa-senyawa organik berupa protein, karbohidrat, lemak, dan minyak. Senyawa berupa protein dan karbohidrat memiliki jumlah yang paling besar yaitu 40%-60% dan 25%50% sedangkan lemak 10%. Komponen terbesar dari limbah cair tahu yaitu protein (N-total) sebesar 226,06-434,78 mg/l, sehingga masuknya limbah cair tahu ke lingkungan perairan akan meningkatkan total nitrogen di perairan tersebut. 5. Gas Gas yang biasa ditemukan dalam limbah tahu adalah gas nitrogen (N2), amonia (NH3), Oksigen (O2), hidrogen sulfida (H2S), karbondioksida (CO2), dan metana (CH4). Gas-gas tersebut berasal dari dekomposisi bahanbahan organik yang terdapat di dalam air buangan.

6. BOD dan COD Kebutuhan oksigen dalam air limbah ditunjukkan melalui BOD dan COD. a. BOD (Biological Oxygen Demand) adalah suatu karakteristik yang menunjukkan mikroorganisme jumlah oksigen terlarut yang untuk diperlukan mengurai oleh atau

(biasanya

bakteri)

mendekomposisi bahan organik dalam kondisi aerobik (Metcalf and Eddy, 2003). b. COD (Chemical Oxygen Demand) adalah kebutuhan oksigen dalam proses oksidasi secara kimia. Nilai COD akan selalu lebih besar daripada BOD karena kebanyakan senyawa lebih mudah teroksidasi secara kimia daripada secara biologi. Nilai BOD bermanfaat untuk mengetahui apakah air limbah tersebut mengalami biodegradasi atau tidak, yakni dengan membuat perbandingan antara nilai BOD dan COD. Oksidasi berjalan sangat lambat dan secara teoritis memerlukan waktu tak terbatas. Dalam waktu 5 hari (BOD5), oksidasi organik karbon akan mencapai 60%-70% dan dalam waktu 20 hari akan mencapai 95%. COD adalah kebutuhan oksigen dalam proses oksidasi secara kimia. Pengukuran COD membutuhkan waktu yang jauh lebih cepat, yakni dapat dilakukan selama 3 jam, sedangkan pengukuran BOD paling tidakmemerlukan waktu 5 hari. Jika korelasi antara BOD dan COD sudah diketahui, kondisi air limbah dapat diketahui (Siregar, 2005). Parameter air limbah tahu yang sesuai dengan Perda Propinsi Jawa Tengah No. 10 Tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Limbah Industri dapat dilihat pada Tabel 2.

10

Tabel 2. Baku Mutu Air Limbah Tahu No 1 2 Parameter BOD COD Kadar Max (mg/lt) 150 275 Beban Pencemaran Max (kg/ton kedelai) 3 5,5

3 pH 6,0 9,0 Sumber: Perda Propinsi Jawa Tengah No. 10 Tahun 2004 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2001 tentang PengelolaanKualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air, menyatakan bahwa diperlukan upaya pemeliharaan kualitas air agar tetap dalam kondisi alamiah dan kualitasnya sesuai dengan standar baku mutu air. Jasmiyati (2010) menyatakan bahwa mengingat tingginya potensi pencemaran perairan akibat limbah cair industri tahu, maka diperlukan strategi pengendalian pencemaran perairan tersebut dengan mengolah limbah cair sebelum dibuang ke lingkungan. Air limbah tahu mempunyai kandungan metana (CH4) > 50%, sehingga sangat memungkinkan untuk bahan sumber energi biogas. Berdasarkan hasil riset bahwa produksi tahu dengan kapasitas kedelai 700 kg/hari, dihasilkan biogas tidak kurang dari 10.500 liter. Kebutuhan satu rumah tangga dengan 4-5 orang anggota, kurang lebih 1200-2000 liter per hari digunakan untuk sumber energi misalnya kompor (memasak), lampu, penghangat ruangan, suplai bahan bakar diesel, dan lain-lain (Dorin, 2008). Limbah lain dari proses produksi tahu adalah limbah padat atau biasa disebut dengan ampas tahu. Ampas tahu yang terbentuk besarannya berkisar antara 25%-35% dari produk tahu yang dihasilkan. Ampas tahu masih mengandung kadar protein cukup tinggi sehingga masih dapat dimanfaatkan sebagai bahan pakan ternak dan ikan (Husni, 2011). Limbah padat tahu juga telah

11

dikembangkan menjadi produk olahan seperti kerupuk, kecap ataupun nata de soya, namun belum sampai skala produksi yang lebih besar. Limbah padat dihasilkan dari proses penyaringan dan penggumpalan, limbah ini kebanyakan oleh pengrajin dijual dan diolah menjadi tempe gembus, kerupuk ampas tahu, pakan ternak, dan diolah menjadi tepung ampas tahu yang akan dijadikan bahan dasar pembuatan roti kering dan cake (Kaswinarni, 2007). Limbah padat tahu pada perkembangannya masih belum dimanfaatkan secara optimal, padahal limbah tahu merupakan bahan baku yang sangat prospek untuk diolah. Asumsi masyarakat pada umunya menganggap ampas tahu sebagai barang sisa atau buangan, sehingga pemanfaatannya masih kurang optimal karena minimnya pengetahuan. Pengetahuan mengenai resiko pencemaran dan tingkat ekonomi yang masih rendah menjadi beban para produsen tahu untuk membangun sebuah sistem pengolah limbah secara mandiri (Syamsudin, 2007). Isu-isu lingkungan menjadi perhatian dunia saat ini dan prinsip 3R (Reuse, Recycle, Reduce) wajib diterapkan guna menangani masalah-masalah terkait dampak lingkungan. Selama ini masih banyak pabrik tahu yang belum memiliki tempat pengolahan limbah cair tahu (Imran, 2011). Pemahaman secara luas mengenai pengelolaan limbah masih merupakan beban dan hanya memboroskan biaya saja, namun seiring perkembangan teknologi saat ini memungkinkan pengelolaan limbah menjadi suatu keuntungan atau profit. Limbah jenis organik yang dihasilkan misalnya kotoran ternak, tinja, limbah tahu, dan limbah organik lainnya saat ini sudah banyak dikembangkan menjadi biogas dan produk sampingan lain seperti pupuk dan sebagai sumber

12

energi listrik. Dengan demikian, aspek lingkungan bisa dipandang sebagai peluang dibandingkan sebagai ancaman atau kendala (Brissaud et al. 2006). Kepala Bidang Analisis Kebutuhan Iptek Akademisi dan Litbang (KNRT) mengkaji bahwa jumlah industri tahu di Indonesia mencapai 84 ribu unit dengan kapasitas produksi sekitar 2,56 juta ton per tahun. Diperkirakan potensi reduksi emisi karbondioksida (CO2) mencapai 1 juta ekivalen per tahun dan limbah cair yang diprediksi mencapai 20 juta m per tahun. Berdasar hasil kajian KNRT tersebut, limbah yang sedemikian banyak dari industri tahu akan mencemari lingkungan jika tidak dikelola dengan baik. Dampak dari proses produksi tahu tidak hanya dari limbah yang dihasilkan, namun juga dari proses produksi. Penggunaan energi dalam proses produksi juga menimbulkan emisi yang apabila kapasitasnya melebihi ambang batas dapat mencemari lingkungan. Penggunaan bahan bakar dalam proses produksi tahu akan menghasilkan emisi yang dapat mencemari udara jika kapasitasnya melebihi ambang batas. Gas yang berdampak pada pencemaran emisi udara antara lain nitrogen (N2), oksigen (O2), metana (CH4), hidrogen sulfide (H2S), amonia (NH3), dan karbon dioksida (CO2). Pengembangan berbagai macam pengelolaan limbah dan upaya penurunan emisi dari industri sudah banyak dikembangkan, namun penerapan dalam skala besar di Indonesia masih sulit dikarenakan beberapa kendala seperti biaya dan keterbatasan sumberdaya.
3

13

C. Industri Tahu Desa Kalisari

Desa Kalisari adalah desa yang dikenal sebagai sentra industri tahu di Kabupaten Banyumas, pada mulanya merupakan penggabungan dari dua desa yaitu desa Karangsari dan desa Kalikidang yang dilakukan pada tahun 1912. Shaffitri (2011) menyebutkan bahwa secara administratif desa Kalisari termasuk dalam wilayah Kecamatan Cilongok, Kabupaten Banyumas, terletak di Banyumas bagian barat dari Kecamatan Cilongok. Jarak dari pusat Kabupaten Banyumas dengan Desa Kalisari sekitar 17 km, dengan waktu tempuh sekitar 35 menit. Desa Kalisari terdiri atas dua dusun yaitu dusun I yang terletak di sebelah timur yang terbagi atas dua RW dan dusun II yang terletak di sebelah barat yang terbagi atas 2 RW. Luas wilayah desa Kalisari yaitu 204,355 ha dengan batasbatas wilayah sebagai berikut: 1. Sebelah Utara 2. Sebelah Barat : Desa Karang Tengah. : Desa Cikembulan.

3. Sebelah Selatan : Desa Lesmana. 4. Sebelah Timur : Desa Karanglo. Industri tahu di desa Kalisari yang sudah berkembang membawa dampak positif bagi kehidupan masyarakat, tidak hanya dari sisi perekonomiannya tapi juga dari pengoptimalan potensi desa. Kalisari merupakan desa yang sedang mempersiapkan diri menuju Desa Mandiri Energi (DME). Limbah cair industri tahu dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan biogas. Biogas yang dihasilkan dari Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) kemudian disalurkan kepada industri tahu sesuai dengan kapasitasnya, dimana biogas tersebut digunakan untuk proses produksi tahu.

14

Desa Kalisari tidak hanya memiliki industri tahu, namun telah berkembang usaha lain seperti produk kerupuk dari ampas tahu, nata de soya, dan pengrajin kemasan produk tahu. Industri tahu Kalissari seiring perkembangannya terintegrasi dengan sektor lain seperti sektor pertanian dan peternakan. Limbah padat tahu dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak dan limbah cair tahu dapat dimanfaatkan menjadi pupuk organik selain sebagai bahan baku biogas. Sistem yang terintegrasi tersebut saling memberikan sumbangsih keuntungan antar sektor, sehingga pengoptimalan potensi desa menuju Desa Mandiri Energi mempunyai peluang yang besar.

D. Life Cycle Assessment (LCA)

Life Cycle Assessment (LCA) merupakan salah satu metode yang dapat digunakan untuk mengevaluasi dampak suatu produk terhadap lingkungan, konsep dasar LCA didasarkan pada pemikiran bahwa suatu sistem industri tidak dapat terlepas dengan lingkungan tempat industri itu berada (Megasari, 2008). LCA memberikan perkiraan secara kuantitatif aliran materi dan energi yang terkait dengan realisasi produk (Russo, 2005). Mattson (2003) menjelaskan bahawa LCA adalah suatu metode yang digunakan untuk mengevaluasi dampak lingkungan, yang disebabkan oleh suatu produk selama proses produksi atau aktivitas selama siklus hidupnya dan aliran bahan yang terjadi di dalam proses produksi tersebut. Pradel1 (2010) menyatakan bahwa siklus penggunaan energi menguras sumber daya non terbarukan dan menghasilkan emisi udara, tanah, dan air pada skala yang berbeda (skala lokal, regional atau global).

15

Data yang dibutuhkan dalam melakukan LCA terdiri dari dampak lingkungan, limbah yang dihasilkan, konsumsi energi, dan bahan baku yang digunakan pada setiap proses. Komponen utama LCA dapat dibagi menjadi empat bagian menurut ISO 14040 (1997), yaitu: 1. Tujuan dan cakupan (Goal and Scoping) Tujuan dan cakupan atau ruang lingkup perlu dirumuskan untuk dilakukan inventarisasi kegiatan yang diperkirakan dapat menimbulkan dampak penting yang ditimbulkan oleh proses atau produk tertentu terhadap lingkungan. 2. Analisis inventori (Inventory Analysis) Analisis inventori merupakan bagian LCAyang berisi inventori input yang berupa energi maupun bahan baku dan output emisi maupun limbah. Pada proses ini dilakukan pengumpulan data kuantitatif, data tersebut digunakan untuk menentukan level atau tipe input energi maupun material pada suatu sistem industri dan hasil yang di lepaskan ke lingkungan. 3. Penakaran dampak (Impact Assessment) Penakaran dampak digunakan untuk menganalisis dampak suatu proses terhadap lingkungan dan kesehatan manusia yang telah didata secara kuantitatif pada penakaran inventori. Dalam pengklasifikasian, data inventori yang dihubungkan dengan efek potensi terhadap ekologi dan kesehatan manusia ditempatkan dalam kategori-kategori khusus. 4. Interpretasi atau analisis perbaikan (Improvement Analysis) Pada tahapan ini dilakukan interpretasi hasil, evaluasi, dan analisis terhadap usaha-usaha yang dapat dilakukan untuk perbaikan.

16

LCA secara umum merupakan metode untuk mengidentifikasi dan menghitung penggunaan energi, penggunaan sumber daya alam, dan pembuangan pada lingkungan, serta mengevaluasi dan menerapkan kemungkinan perbaikan lingkungan (Singgih, 2009). Fase dari daur hidup suatu produk yang dievaluasi dan dikaji meliputi ekstrasi dan pengolahan produk, proses produksi, transportasi, dan distribusi, pemanfaatan, daur ulang, perawatan, serta manajemen limbah. Semua hal tersebut dilakukan sebagai upaya untuk merumuskan suatu bentuk produksi dan konsumsi yang berkelanjutan (Searcy, 2000). Setiap produk mempunyai dampak terhadap lingkungan selama tahap-tahap daur hidupnya yaitu mulai dari perolehan bahan baku, proses produksi, distribusi, sampai kepada pembuangan akhir. Dampak potensial lingkungan produk dapat dikurangi dengan mempertimbangkan isu lingkungan kedalam standar produk (Suminto, 2011). LCA merupakan evaluasi dari dampak teknologi, ekonomi, dan lingkungan yang relevan dari proses, produk atau sektor perekonomian sepanjang siklus hidup (Schempf, 1999 dan Curran, 1996). Harjanto (2009) menyatakan bahwa hal-hal yang perlu diperhatikan dalam menjaga kelestarian lingkungan yang berkaitan dengan Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL) adalah: dampak penting yang dipantau, sumber dampak, parameter dampak yang dipantau, tujuan rencana pemantauan lingkungan, dan metode pemantauan yang digunakan. LCA merupakan suatu konsep dan metode yang digunakan untuk mengevaluasi dampak lingkungan sebuah produk dan kemungkinan perbaikan akibat dampak yang ditimbulkan suatu proses produksi. LCA menganalisis keseluruhan proses yang meliputi identifikasi serta perhitungan energi dan

17

material yang digunakan, serta limbah yang dibuang ke lingkungan (Mitchell et al., 2000 dalam Sihyanti, 2000). LCA adalah alat yang tepat untuk membuat penilaian seperti menilai dampak terhadap pemanasan global, pengasaman, eutrofikasi, dan tanah berkualitas (Achtenet. all 2010). Metode LCA memiliki kelemahan dalam hal pengumpulan dan kualitas data, pendefinisian batas sistem, serta kesulitan dalam penilaian dan interpretasi hasil. Namun LCA menawarkan kesempatan untuk membantu perusahaan dan pembuat kebijakan di manajemen lingkungan, karena menyediakan indikator seperti emisi gas rumah kaca, perubahan iklim, dan penipisan sumberdaya dari keberlanjutan sistem (Georgakellous, 2002). Manfaat dilakukannya LCA yaitu dapat membantu dalam: 1. Mengidentifikasi peluang bagi upaya peningkatan aspek lingkungan dari produk pada beberapa titik daur hidupnya. 2. Pengambilan keputusan bagi industri, lembaga pemerintahan atau lembaga non pemerintahan (misalnya: perencanaan strategi, penetapan prioritas, perancangan atau perancangan kembali terhadap produk atau proses). 3. Menyeleksi indikator yang sesuai bagi upaya peningkatan kinerja, termasuk didalamnya teknik-teknik pengukuran pemasaran (misalnya: klaim masalah lingkungan, ekolabel atau pernyataan suatu produk lingkungan). 4. Bahan informasi, perencanaan, bahkan alat politik, perbandingan antara beberapa produk untuk tujuan yang sama serta optimasi produk tunggal dalam siklus hidup produk tersebut (BAPEDAL, 1999 dalam Rahmi, 2005). LCA adalah metode yang secara sistematis mengevaluasi aspek lingkungan dari seluruh siklus hidup produk mulai dari ekstraksi sumber daya, proses

18

produksi, penggunaan produk, sampai dengan umur akhir produk. Penerapan LCA juga dapat menunjang dalam pengambilan keputusan dan pengaturan kebijakan terkait isu isu lingkungan (Bosma, 2011).

19

III. METODOLOGI PENELITIAN

A. Waktu dan tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Agustus Oktober tahun 2012 di industri tahu desa Kalisari, Kecamatan Cilongok Banyumas.

B. Variabel pengukuran

Berdasar metode LCA menurut ISO 14040 mengenai tujuan dan ruang lingkup kajian siklus hidup, maka penelitian akan mengkaji keseluruhan proses produksi tahu dan dampaknya terhadap lingkungan. Data yang dibutuhkan antara lain jumlah penggunaan energi dan sumberdaya serta emisi yang dihasilkan. Batasan ruang lingkup penelitian hanya pada pengukuran dampak dari sisi emisi udara dan emisi air. Emisi udara akan dibatasi hanya pada pengukuran kadar CO2, sedangkan pada emisi air hanya pada pengukuran kadar pH, BOD, dan COD. Perthitungan jumlah penggunaan energi manusia, energi listrik, energi bahan bakar, dan nilai emisi udara untuk CO2 adalah sebagai berikut: 1. Energi manusia (Stout, 1990) . (1) Keterangan: Etm : Energi tenaga manusia untuk memproduksi tiap kg tahu (MJ/kg) Jtk : Jumlah tenaga kerja (Orang)

Nm : Nilai kalor manusia = 0,725 (MJ/Jam) orang (Stout, 1990) T : Waktu kerja orang (jam)

20

Js

: Jumlah produksi (kg)

2. Energi listrik ( Pramudita dan Tambunan, 2011) P = V I . (2) ... (3) Keterangan: El P t I V : Energi listrik (MJ) : Daya yang terpasang (Watt) :Waktu (jam) : Arus (Ampere) : Tegangan (Volt)

3. Energi bahan bakar (BUWAL 250 1999 dalam Rahmi 2005) Nilai kalor LPG = 46,1 MJ/kg Nilai kalor kayu kering udara (kelembaban 10%-20%) = 16 MJ/kg Nilai kalor gas metana = 55,52 MJ/kg Ebp = Mb Nb.... (4) Keterangan: Ebp : Energi bahan bakar produksi (MJ) Mb : Massa bahan bakar (kg) Nb : Nilai kalor bahan bakar (MJ)

4. Emisi (Sudariyono, 2009) E= Ai x EFi (5) Keterangan: E Ai : Emisi : Konsumsi bahan jenis i atau jumlah produk i

21

EFi : Faktor Emisi dari bahan jenis i atau produk i Tabel 3. Faktor Emisi Produk Energi No Produk energi 1 Bensin 2 Solar 3 Minyak tanah 4 Batubara 5 LPG 6 Briket batubara 7 Arang Kayu 8 Kayu Bakar Sumber: IPCC Guidence 2006. Faktor emisi 69300 74100 71900 94600 63100 97500 112000 112000 Satuan kg/TJ kg/TJ kg/TJ kg/TJ kg/TJ kg/TJ kg/TJ kg/TJ

Tabel 4. Faktor Emisi CO2 Berdasarkan Jenis Bahan Bakar (kg/TJ) No Fuel Default Lower 1 Gasoline 69300 67500 2 Other Kerosene 71900 70800 3 Gas/Diesel Oil 74100 72600 4 Residual Fuel Oil 77400 75500 5 LPG 63100 61600 6 Refinery Gas 57600 48200 7 Paraffin Waxes 73300 72200 8 White Spirit & SBP 73300 72200 9 Other Petroleum Products 73300 72200 10 Natural Gas 56100 54300 Sumber: IPCC Guidence 2006. Tabel 5.Energy Content Hydro Nuclear (typical value)

Upper 73000 73600 74800 78800 65600 69000 74400 74400 74400 58300

3,6 MJ/kWh 11,6 MJ/kWh Steam 2,33 MJ/kg Natural Gas 37,23 MJ/m3 Ethane (liquid) 18,36 MJ/l Propane (liquid) 25,53 MJ/l Anthracite 27,7 MJ/kg Bituminous 27,7 MJ/kg Coal Sub-bituminous 18,8 MJ/kg Lignite 14,4 MJ/kg Average domestic use 22,2 MJ/kg Aviation gasoline 33,62 MJ/l Motor gasoline 34,66 MJ/l Kerosene 37,68 MJ/l Petroleum products Diesel 38,68 MJ/l Light fuel oil (no.2) 38,68 MJ/l Heavy fuel oil (no.6) 41,73 MJ/l Sumber: Aube,2001 (CANMET Energy Diversification Research Laboratory, 2001). Electricity

22

Pengukuran nilai pH, BOD, dan COD akan dilakukan dengan pengambilan sampel pada 3 titik dilokasi IPAL yang terdapat di desa Kalisari. Limbah cair yang diambil yakni: 1. Limbah cair yang belum masuk ke IPAL. 2. Limbah cair yang keluar melalui lubang pembuangan IPAL. 3. Sampel air sungai yang berada disekitar lokasi IPAL. Penentuan lokasi pengambilan sampel tersebut bertujuan untuk mengetahui efisiensi IPAL dalam mengolah limbah cair industri tahu Kalisari. Nilai pH akan diukur dengan menggunakan alat pH meter. Penentuan nilai BOD akan dilakukan dengan terlebih dahulu diukur DOnya (DO 0 hari), sementara sampel yang lainnya diinkubasi selama 5 hari pada suhu 20C, selanjutnya setelah 5 hari diukur DO nya (DO 5hari). Kadar BOD ditentukan dengan rumus:

5 x [ kadar { DO(0 hari) - DO (5 hari) }] ppm ........................ (6)

Selama penentuan oksigen terlarut, baik untuk DO maupun BOD, diusahakan seminimal mungkin larutan sampai yang akan diperiksa tidak berkontak dengan udara bebas. Khusus untuk penentuan BOD, digunakan botol sampel BOD dengan volume 250 ml dans emua isinya dititrasi secara langsung. Perhitungan kadar DO adalah sebagai berikut:

DO ml/L = B/B -2 x 5,6 x 10 x N x V ..................................... (7)

Keterangan: B : volume botol sampel BOD = 250 ml.

23

B 2 : volume air dalam botol sampel setelah ditambah 1 ml larutan MnCl2 dan 1mlNaOH - KI. 5,6 10 N V : konstanta yang sama dengan ml oksigen ~ 1 mgrek tiosulfat. : volume K2Cr2O 70,01 N yang ditambahkan. : normalitas tiosulfat. : volume tiosulfat yang dibutuhkan untuk titrasi.

Tabel 6. Tingkat Pencemaran Berdasarkan Nilai DOdan BOD Parameter No Tingkat pencemaran DO (ppm) 1 Rendah >5 2 Sedang 0-5 3 Tinggi 0 Sumber: Wirosarjono (1974).

BOD 0 - 10 10 - 20 25

COD atau kebutuhan oksigen kimia (KOK) adalah jumlah oksigen (mg O2) yang dibutuhkan untuk mengoksidasi zat-zat organik yang ada dalam satu liter sampel air, dimana pengoksidanya adalah K2Cr2O7 atau KMnO4. Nilai COD dihitung dengan rumus:
( )

........................................ (8)

Keterangan: A B N : mL titran blangko : mL titrasi sampel : Normalitas FAS

BeO2: 8 P : Pengenceran

24

C. Garis Besar Penelitian

Penelitian akan dilaksanakan dalam beberapa tahap sebagai berikut: 1. Tahap persiapan Melakukan survei terhadap obyek penelitian yang dalam hal ini adalah industri tahu desa Kalisari, kecamatan Cilongok, Banyumas. Survei yang dilakukan bertujuan untuk mendapatkan informasi mengenai jumlah pengrajin tahu, kapasitas produksi tahu, jumlah IPAL serta jumlah pengrajin tahu yang limbah cairnya disalurkan ke IPAL. 2. Tahap pengumpulan data Data yang akan diperoleh berupa data primer dan data sekunder. a. Data primer Data primer diperoleh dari hasil wawancaradan data dari variable pengukuran. Wawancara dilakukan dengan pemerintah desa Kalisari, pengrajin tahu desa Kalisari, pengrajin kerupuk ampas tahu, dan kelompok pemelihara biogas (BIOLITA). Data hasil wawancara meliputi data kapasitas produksi tahu, jumlah bahan baku, jenis-jenis energi yang digunakan, jumlah konsumsi energi, dan proses produksi tahu. Data variabel pengukuran meliputi nilai pH, BOD, dan COD pada sampel air untuk mengetahui tingkat emisi air, sedangkan untuk data emisi udara diperoleh dari hasil perhitungan pada persamaan (5). b. Data sekunder Data sekunder diperoleh dari data demografi desa yang meliputi data kondisi wilayah desa Kalisari, jumlah penduduk, tingkat pendidikan, mata pencaharian, dan lain-lain.

25

D. Analisis data

Sesuai dengan metode LCA menurut ISO 14040, data yang telah diperoleh baik data primer maupun sekunder akan di klasifikasi dan dikuantifikasikan menurut kategori dampak tertentu, selanjutnya data akan diinterpretasikan untuk ditarik kesimpulan dan evaluasi perbaikan yang dimungkinkan.

26

IV. JADWAL PELAKSANAAN PENELITIAN

Tabel 7. Jadwal Pelaksanaan Penelitian Waktu (minggu) Jenis Kegiatan I Persiapan Pelaksanaan Analisis data Penyusunan Laporan II III IV V

27

DAFTAR PUSTAKA

Achten, W. M. J., J. Almeida., P. Vandenbempt., E. Bolle1., V. Fobelets., L. V., Verchot., V. P. Singh., E. Mathijs., and B. Muys. 2010. Life Cycle Assessments Of Biodiesels: Jatropha Versus Palm Oil. Department Earth & Environmental Sciences, Katholieke Universiteit Leuven, Celestijnenlaan 200 E -2411, BE-3001 Leuven, Belgium. P:113. Aube, F. 2001. Guide for computing CO2 emissions Related to energy use. Research Scientist, CANMET Energy Diversification Research Laboratory. USA. BAPPEDAL. 2004. Berbagai Jenis Zat Pencemar: Sumber dan Lingkungan. Departemen Lingkungan Hidup.Banyumas. Bosma, R.,P. T. Anh, and J. Potting. 2011. Life Cycle Assessment Of Intensive Striped Catfish Farming In The Mekong Delta For Screening Hotspots As Input To Environmental Policy And Research Agenda. Aquaculture and Fisheries, Wageningen University, Marijkeweg 40,6709PG Wageningen, The Netherlands. International Journal Life Cycle Assess (2011) 16:903 915. Brissaud, D., S. Tichkiewitch, dan P. Zwolinski. 2006. Innovation in Life-Cycle Engineering and Sustainable Development. Springers. Netherlands. Curran, M. A. 1996. Environmental Life-Cycle Assessment. McGraw-Hill. New York. Dorin, M. 2008. Pengolahan Limbah Tahu Menjadi Biogas, Karya Tulis Ilmiah, Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Politeknik Kesehatan Yogyakarta Jurusan Kesehatan Lingkungan. Yogyakarta. Enrico, B. 2008. Jurnal: Pemanfaatan Biji Asam Jawa (Tamarindus Indica) Sebagai Koagulan Alternative Dalam Proses Penjernihan Limbah Cair Industri Tahu. Universitas Sumatera Utara. Medan. Georgakellous, D. A. 2002. LCA As A Tool For Environtmental Management: A Life Cycle Inventory Case Study From The Greek Market. University of Piraeus, Dept. Business Administration 80. Greece. Global Nest: the Int. J. Vol 4, No 2-3, pp 93 -106. Haas, G., Wetterich, F., and Kpke U. 2001. Comparing intensive, extensified and organic grassland farming in southern Germany by process life cycle assessment. Agric. Ecosyst. Environm. 83, 43-53.

28

Hambali. 2003. Analisis Resiko Lingkungan (Studi Kasus Limbah Pabrik CPO PT Kresna Duta Agroindo Kabupaten Merangin, Jambi). Program Pascasarjana, Program Studi Magister Teknik Lingkungan ITS. Surabaya. Harjanto, N. T. 2009. Studi Proses Amdal Untuk Rencana Pembangunan Dan Pengoperasian Pabrik Bahan Bakar Nuklir. Prosiding Seminar Pengelolaan Perangkat Nuklir Tahun 2009 PTBN-BATAN, Serpong 19 Agustus 2009. Husni, H dan Esmiralda. 2011. Uji Toksisitas Akut Limbah Cair Industri Tahu Terhadap Ikan Mas (Cyprinus carpio Lin). Jurusan Teknik Lingkungan. Universitas Andalas. Imran, F., Vita. L. F, dan Doni, S. S. 2011. Penggunaan Sistem Anaerob dengan Fixed Bedfreactor dalam Pemanfaatan Limbah Cair Industri Tahu Sebagai Penunjang Devisa Negara. IPB. Bogor. IPCC. 2006. Guidelines for National Greenhouse Gas Inventories. Chapter 3: Mobile Combustion. ISO 14040. 1997. Environmental Management, Life Cycle Assessment, Principles and Framework. International Standards Organization. Geneva, Switzerland. Jasmiyati, S. Anita, dan Thamrin. 2010. Bioremediasi Limbah Cair Industri Tahu Menggunakan Efektif Mikroorganisme (Em4). Program Studi Ilmu Lingkungan PPS Universitas Riau. Hal: 148 158. Kaswinarni, F. 2007. Kajian Teknis Pengolahan Limbah Padat Dan Cair Industri Tahu. Universitas Diponegoro. Semarang. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor: Kep-51/MENLH/10/1995 tentang Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Industri. Mattson, B dan U. Somesson. 2003. Environmentally-Friendly Food Processing. Woohead Publishing Limited. Cambridge. England. Megasari, K., D. Swantomo, dan M. Christina. 2008. Penakaran Daur Hidup Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batubara Kapasitas 50 Mwatt. Sekolah Tinggi Teknologi Nuklir-BATAN. Yogyakarta. Metcalf and Eddy. 2003. Wastewater Engineering: Treatment, Disposal and Reuse. McGraw-Hill, Inc: USA. Peraturan Pemerintah Tahun 2001, Nomor. 82. Tentang Pengelolaan Kualitas Air danPengendalian Pencemaran Air.

29

Perda Propinsi Jawa Tengah Tahun 2004, Nomor.10. Tentang Baku Mutu Air Limbah Industri. Pesonen, H.L. 2001. Environmental Management Of Value Chains Promoting Life-Cycle Thinking In Industrial Networks. Greeenleaf Publishing. Finland. Pradel1, M., M. Rousselet., T. Pacaud., and S. Lacour. 2010. Improving environmental performances of organic spreading technologies through the use of life cycle assessment. Author manuscript, published in "AgEng2010, International Conference on Agricultural Engineering, Clermont-Ferrand: France. P: 1-2. Pramudita, D dan Tambunan, A. H. 2011. Inventori Data Pascapanen dan Ekstraksi Minyak Jarak Pagar (Jatropha curcas Linn.)Mentah. Department of Mechanical and Biosystem Engineering, Faculty of Agricultural Technology, Bogor Agricultural University. IPB Darmaga Campus, Bogor, West Java. Indonesia. Rahmi, L. S. 2005. Life Cycle Assessment (LCA) dan Capaian Nilai Patchouly Alcohol pada Industri Penyulingan Minyak Nilam. Skripsi Fakultas Teknologi Pertanian, UNSOED. Purwokerto. Rossiana, N. 2006. Uji Toksisitas Limbah Cair Tahu Sumedang Terhadap Reproduksi Daphnia carinata KING. Jurnal Biologi. Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Padjadjaran. Bandung. Russo, G and G. S. Mugnozza. 2005. LCA Methodology Applied to Various Typology of Greenhouses. PROGESA Department, University of Bari, Italy. P: 837-844 Sarwono, B dan Saragih, Y.P. 2003. Membuat Aneka Tahu. Penebar Swadaya. Jakarta. Schempf, N. C. 1999. Case Study: Economic Input-Output Life-Cycle Assessment of Asphalt versus Steel Reinforced Concrete for Pavement Construction. Posner Hall.Carnegie Mellon University, Pittsburgh. Searcy, C. 2000. An introduction to Life Cycle Assessment. http://www.iclips.com/lca/. (01 Agustus 2012). Shaffitri, L. R. 2011. Internalisasi Biaya Eksternal Pengolahan Limbah Tahu (Studi Kasus: Desa Kalisari, Kecamatan Cilongok, Purwokerto). IPB. Bogor. Sihyanti. 2002. Aplikasi Life Cycle Assesment pada Industri Mie Basah. Skripsi Fakultas Teknologi Pertanian, UGM. Yogyakarta. 56 hal.

30

Singgih, M. L. dan Evanindya H. 2009. Pemilihan Alternatif Perbaikan Kinerja Lingkungan Sektor Industri Potensial Di Jawa Timur Dengan Metode Economic Input-Output Life-Cycle Assessment (EIO-LCA) Dan Analytic Network Process (ANP). Jurusan Teknik Industri Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS). Surabaya. Siregar, A. 2005. Instalasi Pengolahan Air Limbah. Kanisius. Yogyakarta. Stout, B. A. 1990. Handbook of Energy for World Agriculture. Elsevier Applied Science. London and New York. 495 hal. Sudariyono. 2009. Emisi Gas Rumah Kaca Dalam Angka. Deputi MENLH Bidang Pembinaan Sarana Teknis dan Peningkatan Kapasitas. Jakarta. Sudaryati, N. L. G., I.W. Kasa, dan I. W. B. Suyasa. 2008. Pemanfaatan Sedimen Perairan Tercemar Sebagai Bahan Lumpur Aktif Dalam Pengolahan Limbah Cair Industri Tahu. Program Magister Ilmu Lingkungan, Universitas Udayana. Bali. Suminto. 2011. The Study of Product Ecolabel Implementation In Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Standardisasi BSN. Syamsudin, S. 2007. Efektifitas Ketebalan Saringan Arang Sekam Padi dalam Menurunkan Zat Organik pada Air Limbah Industri Tahu. Jurusan Kesehatan Lingkungan POLTEKKES. Makassar. Wirosarjono, S. 1974. Masalah-Masalah Yang Dihadapi Dalam Penyusunan Kriteria Kualitas Air Guna Berbagai Peruntukan. PPMKL-DKI Jaya, Seminar Pengelolaan Sumber Daya Air. Eds. Lembaga Ekologi UNPAD. Bandung, 27 - 29 Maret 1974, Hal 9 15.

31

Lampiran. Diagram Alir Pelaksanaan Penelitian Mulai

Survei pendahuluan

Wawancara

1. 2. 3. 4. 5.

Kapasitas produksi Jenis-jenis energi yang digunakan Jumlah konsumsi energi Jumlah penggunaan bahan baku Proses produksi tahu Ya

Tidak

Pengambilan sampel air

Pengujian sampel

Analisis inventori

Penakaran dampak

Interpretasi hasil

Selesai

32

Anda mungkin juga menyukai