Anda di halaman 1dari 37

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Tahu merupakan makanan tradisional berbahan dasar kacang kedelai yang
digemari oleh sebagian besar masyarakat Indonesia karena mengandung gizi yang
baik dan sehat serta harga terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat membuat
tahu menjadi makanan yang cukup populer di kalangan masyarakat Indonesia Hal
ini tampak dari konsumsi tahu sebanyak 0,158 kg/kapita/minggu menjadikan tahu
masuk dalam 10 besar bahan makanan penting (Badan Pusat Statistik, 2019). Saat
ini hampir di tiap kota di Indonesia dapat ditemukan industri tahu . Umumnya
industri tahu termasuk ke dalam industri kecil yang dikelola oleh rakyat dan
beberapa diantaranya masuk dalam wadah Koperasi Pengusaha Tahu dan Tempe
(KOPTI) karena pengolahan yang mudah dengan mesin dan peralatan sederhana.
Pengolahan pembuatan tahu di Indonesia umumnya masih dilakukan dengan
teknologi yang sederhana, sehingga tingkat efisiensi penggunaan sumber daya (air
dan bahan baku) dirasakan masih rendah dan tingkat produksi limbahnya juga
relatif tinggi (Arsalan, 2019). Limbah industri tahu dapat berupa limbah padat
maupun limbah cair. Limbah padat dihasilkan dari proses penyaringan dan
penggumpalan, limbah ini kebanyakan dijual dan diolah menjadi tempe gembus
dan pakan ternak. Sedangkan limbah cairnya dihasilkan dari proses pencucian,
perebusan, pengepresan dan pencetakan tahu, oleh karena itu limbah cair yang
dihasilkan dari industri tahu volumenya cukup tinggi.
Jumlah volume yang cukup tinggi serta seiring perkembangan industri tahu,
apabila ditinjau dari segi lingkungannya industri tahu dapat menghasilkan limbah
cair yang dapat mencemari lingkungan. Tidak jarang limbah tahu tersebut
langsung dibuang menuju saluran air dan menimbulkan permasalahan bau yang
terjadi akibat air limbah tahu bercampur dengan limbah rumah tangga yang
mengalir sepanjang sistem drainase yang menyebabkan daerah di hilirnya terkena
dampak berupa genangan air limbah tahu di area rumah warga, dan berpotensi
menimbulkan gesekan sosial (BALITBANG PUPR). Selain itu akan berdampak
pada segi estetika, seperti timbul bau dan warna, serta mengganggu keseimbangan
ekologi hingga kematian pada biota perairan. Hal ini dikarenakan limbah cair tahu
tempe memiliki karakteristik yaitu mengandung bahan organik tinggi dan kadar
BOD, COD yang cukup tinggi pula, jika langsung dibuang ke badan air, maka
akan menurunkan daya dukung lingkungan pada perairan tersebut. Salah satu
faktor yang menentukan daya dukung lingkungan dalam kondisi baik atau tidak
adalah akumulasi limbah dari aktivitas produksi. Menurut Peraturan Menteri
Lingkungan Hidup Republik Indonesia No.5 Tahun 2014 Tentang Baku Mutu Air
Limbah, Baku Mutu Air Limbah Bagi Usaha Dan/Atau Kegiatan Pengolahan
Kedelai. Indikator pencemar bahan organik ditandai oleh parameter BOD, COD,
TSS, dan pH. Pencemaran pada badan air juga dapat menyebabkan gangguan
kesehatan pada manusia seperti diare, gatal-gatal, radang usus, kolera juga dapat
terjadi karena air yang kotor dan buruknya sanitasi lingkungan (Sayow dkk,
2020).
Untuk mengatasi permasalahan limbah cair dari produksi tahu perlu
dilakukan perancangan instalasi pengolahan air limbah (IPAL) pada industri
pembuatan tahu serta pengolahan limbah cair industri tahu secara fisik-kimia
maupun secara biologis. Secara fisik-kimia teknologi atau alternatif pengolahan
yang digunakan diantaranya adalah proses sedimentasi, koagulasi-flokulasi, dan
oksidasi kimia. Secara proses biologi adapun alternatif yang dapat digunakan
dapat berupa degradasi menggunakan bakteri dengan proses aerob maupun
anaerob. Disisi lain pengolahan biologis yang dapat diterapkan adalah dengan
degradasi menggunakan fungi (Pamungkas, 2017).
Adapun output yang diharapkan dari tugas besar ini adalah dalam
perencanaan IPAL untuk industri tahu kita bisa mengetahui unit serta ukuran dari
IPAL berdasarkan kategori yang ada. Adapun aspek yang dikaji adalah aspek
teknis berkaitan dengan penentuan alternatif pengolahan limbah cair berdasarkan
standar baku mutu.

1.2 Rumusan Masalah


Rumusan masalah yang menjadi dasar untuk dilakukannya Perencanaan
Bangunan Pengolahan Air Limbah Industri Tahu adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana menentukan kebutuhan air bersih per hari yang digunakan untuk
desain instalasi pengolahan air limbah untuk industri tahu?
2. Bagaimana menghitung debit air limbah untuk Industri tahu?
3. Bagaimana menentukan Unit-Unit Instalasi Pengolahan Air Limbah
(IPAL)?
4. Bagaimana menentukan 2 alternatif pemilihan teknologi pada unit
pengolahan secondary treatment, kemudian menentukan unit pengolahan
yang dipilih dengan menilai masing-masing teknologi pengolahan dari
berbagai aspek?
5. Bagaimana menentukan dimensi Unit Instalasi Pengolahan Air Limbah
(IPAL) sehingga diperoleh kualitas effluentnya sesuai dengan standar baku
mutu?
6. Bagaimana menentukan Mass Balance?
7. Bagaimana menentukan kehilangan energi dari masing-masing bak
pengolahan?
1.3 Tujuan
Tujuan dari Perencanaan Bangunan Pengolahan Air Limbah Industri Tahu
adalah sebagai berikut:
1. Untuk menentukan kebutuhan air bersih per hari yang digunakan untuk
desain instalasi pengolahan air limbah untuk industri tahu.
2. Untuk menghitung debit air limbah untuk Industri tahu.
3. Untuk menentukan Unit-Unit Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL).
4. Untuk menentukan 2 alternatif pemilihan teknologi pada unit pengolahan
secondary treatment, kemudian menentukan unit pengolahan yang dipilih
dengan menilai masing-masing teknologi pengolahan dari berbagai aspek.
5. Untuk menentukan dimensi Unit Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL)
sehingga diperoleh kualitas effluentnya sesuai dengan standar baku mutu.
6. Untuk menentukan Mass Balance.
7. Untuk menentukan kehilangan energi dari masing-masing bak pengolahan.

1.4 Ruang Lingkup


Ruang lingkup laporan ini meliputi perancangan bangunan pengolahan air
limbah pada air limbah industri tahu dan desain unit-unit pengolahan seperti Pre-
Treatment, Primary Treatment, Secondary Treatment, Pengolahan lanjutan, dan
Pengolahan Lumpur pada industri tahu dengan menggunakan data yang
didapatkan dan melakukan kajian studi mengenai Unit Instalasi Pengolahan Air
Limbah (IPAL).
BAB II
LANDASAN TEORI

2.1. Pengertian Air Limbah


Limbah adalah bahan sisa atau buangan dari suatu kegiatan dan proses
produksi yang sudah tidak terpakai lagi. Limbah juga tidak memiliki nilai
ekonomi dan daya guna, melainkan bisa sangat membahayakan jika sudah
mencemari lingkungan sekitar. Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 82 tahun 2001, air limbah adalah sisa dari suatu usaha dan atau kegiatan
yang berwujud cair.
Limbah cair merupakan limbah yang dihasilkan dari proses industri yang
berwujud cair dan mengandung padatan tersuspensi atau terlarut, akan mengalami
proses perubahan fisik, kimia, maupun biologi yang menghasilkan zat beracun
dan dapat menimbulkan gangguan ataupun resiko terjadinya penyakit dan
kerusakan lingkungan. Limbah cair adalah limbah yang memiliki wujud cair.
Limbah cair ini selalu larut dalam air dan selalu berpindah (kecuali ditempatkan
pada wadah/bak). Contoh dari limbah cair ini adalah air bekas cuci pakaian dan
piring, limbah cair dari Industri, dan lain-lain (Gusti, 2021).

2.2. Sumber Air Limbah Cair


Sumber Air Limbah Menurut Eddy, (2008) dalam Putri, (2019) sumber-
sumber air limbah dibedakan menjadi 3,yaitu:
a. Air Limbah Industri
Air limbah industri adalah air yang dihasilkan oleh industri, baik akibat
proses produksi yang dihasilkan industri maupun dari proses lainnya.
Limbah non domestic adalah limbah yang II-3 berasal dari pabrik, industri,
pertanian, perikanan, transportasi, dan sumber-sumber lainnya.
b. Infiltrasi
Infiltrasi adalah masuknya air tanah ke dalam saluran air buangan
melalui sambungan pipa, pipa bocor atau dinding manhole, sedangkan
inflow adalah masuknya aliran air permukaan melalui tutup manhole, atap,
area cross connection, saluran air hujan maupun air buangan.
c. Air Limbah Domestik atau Rumah Tangga
Limbah cair domestik adalah limbah cair yang berasal dari usaha dan
atau kegiatan pemukiman, rumah makan, perkantoran, perniagaan,
apartemen, dan asrama. Air limbah domestic mengandung berbagai bahan
yaitu kotoran, urine dan air bekas cucian yang mengandung deterjen, bakteri
dan virus (Black Wate) dan air limbah non toilet (Grey Water). Air limbah
toilet terdiri dari tinja, air kencing serta bilasan. Sedangkan, air limbah non
toilet yakni air limbah yang berasal dari air mandi, air limbah cucian, air
limbah dapur dan wastafel.

2.3. Karakteristik Limbah Cair


Dalam Resdiyono (2020), sifat fisik dan komposisi dalam air limbah yaitu:
1. Sifat fisik
Sifat fisik air limbah terdiri dari 99.9% air dan 0,1% zat padat. Zat padat
berupa zat organik dan anorganik (sebagai larutan). Air limbah rumah
tangga sedikit berbau, berwarna gelap, dan agak berbusa, sering
mengandung kotoran manusia dan sampah dapur. temperaturnya lebih tinggi
dari temperatur air bersih dan udara disekitarnya. Karakteristik fisika air
limbah yang perlu diketahui adalah total solid, bau, temperatur, densitas,
warna, konduktivitas, dan turbidity.
a. Total Solid (TS)
Total solid adalah semua materi yang tersisa setelah proses evaporasi
pada suhu 103-105°C. Karakteristik yang bersumber dari saluran air
domestik, industri, erosi tanah, dan infiltrasi ini dapat menyebabkan
bangunan pengolahan penug dengan sludge dan kondisi anaerob dapat
tercipta sehingga mengganggu proses pengolahan.
b. Bau
Disebabkan oleh udara yang dihasilkan pada proses dekomposisi materi
atau penambahan substansi pada limbah.
c. Temperatur
Temperatur ini mempengaruhi konsentrasi oksigen terlarut di dalam air.
Air yang baik mempunyai temperatur normal 8°C dari suhu kamar
27°C. Semakin tinggi temperatur air (>27°C) maka kandungan oksigen
dalam air berkurang atau sebaliknya.
d. Density
Density adalah perbandingan anatara massa dengan volume yang
dinyatakan sebagai slug/ft3 (kg/m3 ).
e. Warna.
Pada dasarnya air bersih tidak berwarna, tetapi seiring dengan waktu
dan meningkatnya kondisi anaerob, warna limbah berubah dari yang
abu–abu menjadi kehitaman.
f. Kekeruhan
Kekeruhan diukur dengan perbandingan antara intensitas cahaya yang
dipendarkan oleh sampel air limbah dengan cahaya yang dipendarkan
oleh suspensi standar pada konsentrasi yang sama (Sitorus dkk, 2021).
2. Sifat kimia
Sifat kimia disebabkan oleh adanya zat-zat organik dan anorganik di
dalam air limbah, yang berasal dari limbah manusia maupun kegiatan lain
manusia. Zat organik dapat mengandung nitrogen seperti lemak, sedangkan
zat anorganik dapat mengandung logam, fosfat, klor, dan gas. Pada air
limbah ada tiga karakteristik kimia yang perlu diidentifikasi yaitu bahan
organik, anorganik, dan gas.
a. Bahan organik
Pada air limbah bahan organik bersumber dari hewan, tumbuhan, dan
aktivitas manusia. Bahan organik itu sendiri terdiri dari C, H, O, N yang
menjadi karakteristik kimia adalah protein, karbohidrat, lemak dan
minyak, surfaktan, pestisida dan fenol, dimana sumbernya adalah
limbah domestik, komersil, industri kecuali pestisida yang bersumber
dari pertanian.
b. Bahan anorganik
Jumlah bahan anorganik meningkat sejalan dan dipengaruhi oleh asal
air limbah. Pada umumnya berupa senyawa-senyawa yang mengandung
logam berat (Fe, Cu, Pb, dan Mn), asam kuat dan basa kuat, senyawa
fosfat senyawa-senyawa nitrogen (amoniak, nitrit, dan nitrat), dan juga
senyawa- senyawa belerang (sulfat dan hidrogen sulfida).
c. Gas
Gas yang umumnya ditemukan dalam limbah cair yang tidak diolah
adalah nitrogen (N2), oksigen (O2), metana (CH4), hidrogen
sulfida (H2S), amoniak (NH3), dan karbondioksida (Niswita, 2016).

3. Sifat bakteriologi
Sifat bakteriologi air limbah disebabkan oleh adanya kehidupan biologis
atau mikrobiologis di dalamnya. Dalam proses metabolisme, mikroba
menguraikan zat-zat terlarut maupun suspensi yang digunakan untuk
pertumbuhan, pembentukan dinding sel dan sumber tenaga. Pada air limbah,
karakteristik biologi menjadi dasar untuk mengontrol timbulnya penyakit
yang dikarenakan organisme pathogen. Karakteristik biologi tersebut seperti
bakteri dan mikroorganisme lainnya yang terdapat dalam dekomposisi dan
stabilitas senyawa organik (Niswita, 2016).
Karakteristik biologi ini diperlukan untuk mengukur kualitas air terutama
bagi air yang dipergunakan sebagai air minum dan air bersih. Selain itu,
untuk menaksir tingkat kekotoran air limbah sebelum dibuang ke badan air.
Parameter yang seiring digunakan adalah banyaknya kandungan
mikroorganisme yang ada dalam kandungan air limbah. Mikroorganisme
utama yang dijumpai pada pengolahan air buangan adalah :
a. Bakteri dengan berbagai bentuk (batang, bulat, spiral). Bakteri
Escherichia coli merupakan bakteri yang dapat diajdikan sebagai
indikator polusi pada buangan manusia.
b. Jamur merupakan organisme yang mendekomposisikan karbon di biosfer
dan dapat memecah materi organik, dapat hidup dalam pH rendah, suhu
rendah dan juga area rendah.
c. Algae dapat menyebabkan busa dan mengalami perkembangan yang
pesat. Algae menjadi sumber makanan ikan, bakteri yang akibatnya
adalah kondisi anaerobik.
d. Protozoa
e. Virus (Syamsul, 2020)

2.4. Baku Mutu Air Limbah Cair


Air limbah yang dilepas ke lingkungan khususnya sungai haruslah
memenuhi standar baku mutu air limbah. Menurut Peraturan Menteri Lingkungan
Hidup Nomor 5 Tahun 2014 tentang Baku Mutu Air Limbah, baku mutu air limbah
adalah ukuran batas atau kadar unsur pencemar dan/atau jumlah unsur pencemar
yang ditenggang keberadaannya dalam air limbah yang akan dibuang atau dilepas
ke dalam media air dari suatu usaha dan/atau kegiatan. Baku mutu air buangan
domestik dapat kita lihat pada tabel 2.1.
Tabel 2.1 Baku Mutu Air Limbah Domestik
Parameter Satuan Kadar Maksimum

pH - 6-9

BOD mg/lt 30

COD mg/lt 100

TSS mg/lt 30

Minyak dan Lemak mg/lt 5

Amoniak mg/lt 10

Total Coliform Jumlah/100 ml 3000

Sumber: Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia


Nomor 68 Tahun 2016

2.5. Perhitungan Debit Air Limbah


Berikut ini adalah beberapa persamaan yang sekiranya akan digunakan
dalam perencanaan. Adapun cara perhitungan debit rata-rata dan debit puncak
sebagai berikut (Pamungkas, 2017):
1. Menginput data debit pemakaian air selama satu tahun dalam tabel. Data
debit yang berasal dari rekening pemakaian air diinput ke dalam Tabel.
Adapun kolom yang disediakan adalah bulan, pemakaian air, dan produksi
air limbah.
2. Menghitung produksi air limbah dari pemakaian air bersih. Air limbah
dihitung dengan cara mengasumsikan debit air limbah sebagai 70%
pemakaian air. Produksi air limbah selanjutnya diinput juga kedalam
tabulasi yang telah dibuat sebelumnya. Perhitungan air limbah dilakukan
dengan persamaan sebagai berikut

Qair limbah = 70% x Qair bersih .....................................................(2.1)

3. Menghitung debit air limbah rata-rata Perhitungan debit air limbah rata-rata
dilakukan dengan menjumlah seluruh produksi air limbah selama satu tahun
kemudian membagi debit tersebut dengan jumlah bulan dalam satu tahun.
Perhitungan debit rata-rata menggunakan persamaan 2.2.
Qave =
...........................................................................................(2.2)
∑Q
12
Keterangan:
Qave = Debit limbah rata-rata (m3/bulan)
∑ Q = Jumlah debit dalam 12 bulan (m3/bulan)
Debit yang diperoleh selanjutnya dikonversi baik dalam satuan m3/hari
maupun dalam satuan m3/jam. Cara mengkonversi debit disajikan
persamaan 2.3 dan 2.4

Qave (m3/hari) =
m3
Q( ) .....................................................................(2.3)
bulan
30 hari

Qave (m3/hari) =
3
m
Q( )
hari .....................................................................(2.4)
24 jam
4. Menghitung Debit Petak
Debit peak dihitung dengan mengalikan debit rata-rata dengan factor peak.
Perhitungan debit peak menggunakan persamaan 2.5.

Qpeak (m3/jam) =Qave x factor peak ..................................................(2.5)

2.6. Pengolahan Air Limbah


Menurut Surbakti (2017) klasifikasi pengolahan air limbah dikelompokkan
atas:
1. Berdasarkan tingkat pengolahan, yang terdiri atas:
a. Pengolahan primer, merupakan proses pengolahan tahap awal
yangdilakukan terhadap air limbah yang biasanya merupakan proses
fisik.
b. Pengolahan sekunder, merupakan proses pengolahan tahap kedua yang
biasanya merupakan gabungan proses kimiawi dan biologis yang
menggunakan mikroorganisme.
c. Pengolahan tersier, merupakan proses pengolahan lanjutan dari
pengolahan sekunder yang tidak dapat dihilangkan dalam proses
pengolahan sekunder, seperti P dan N.

2. Berdasarkan unit operasi dan proses, yang terdiri atas:


a. Pengolahan secara fisik, merupakan proses pengolahan dengan
melakukan removal bahan pencemar secara fisik. Unit pengolahannya
meliputi : Screening, Communitor, Grit Removal, Mixing, Sedimentasi
dan Filtrasi.
b. Pengolahan secara kimiawi, merupakan proses pengolahan dimana
proses removal atau konversi kontaminan melalui penambahan bahan
kimia dalam air buangan. Unit pengolahan meliputi: Presipitasi, Gas
transfer, Koagulasi, Desinfeksi, dan Karbon aktif.
c. Pengolahan secara biologis, merupakan proses pengolahan dengan
melakukan removal kontaminan dalam air limbah melalui aktivitas
biologis mikroorganisme. Pengolahan ini terutama digunakan untuk
penghilangan bahan organik yang biodegradable dalam air limbah.
Pengolahan biologis dapat dibedakan menurut pemakaian oksigennya:
1) Proses aerobik, yaitu activated sludge, aerated lagoon, aerobic
digester dan trickling filter.
2) Proses anaerobik, yaitu anaerobic digestion, anaerobik filter, dan
anaerobik ponds.
3) Proses fakultatif, yaitu fakultatif lagoon dan maturation ponds.
2.7. Teknologi Pengolahan Air Limbah Tahu
Teknologi pengolahan limbah tahu tempe yang ada saat ini pada umumnya
berupa pengolahan limbah sistem anaerob. Proses biologis anaerob, efisiensi
pengolahan hanya sekitar 70-80 %, sehingga air lahannya masih mengandung
kadar polutan organik cukup tinggi, serta bau yang ditimbulkan dari sistem
anaerob dan tingginya kadar fosfat merupakan masalah yang belum dapat diatasi
(Said, 2018). Maka alternatifnya dengan cara kombinasi proses biologis anaerob-
aerob yakni proses penguraian anaerob dan diikuti dengan proses pengolahan
lanjut dengan sistem biofilter anaerob-aerob. Secara garis besar proses pengolahan
air limbah industri tahu dan tempe ditunjukkan seperti pada gambar berikut :

Gambar 2.1 Proses Pengaliran Air Limbah


Sumber : Jurnal BPPT, 1999

Teknologi pengolahan air limbah dengan proses Biofilter Anaerob-Aerob


adalah proses pengolahan air limbah dengan cara menggabungkan proses biofilter
anaerob dan proses biofilter anaerob. Dengan mengunakan proses biofilter
anaerob, polutan organik yang ada di dalam air limbah akan terurai menjadi gas
karbon dioksida dan methan tanpa menggunakan energi (blower udara), tetapi
amoniak dan gas hidrogen sulfida (H2S) tidak hilang, sehingga selanjutnya
diproses menggunakan biofilter aerob. Dengan proses biofilter aerob polutan
organik yang masih tersisa akan terurai menjadi gas karbon dioksida (CO2) dan air
(H2O), amoniak akan teroksidasi menjadi nitrit selanjutnya akan menjadi nitrat,
sedangkan gas H2S akan diubah menjadi sulfat (Said, 2018). Dengan
menggabungkan kedua proses biofilter anaerob-aerob maka dihasilkan air olahan
dengan kualitas yang baik dengan konsumsi energi yang lebih rendah. Terdapat
beberapa teknologi yang dapat mengolah air limbah tahu, antara lain pre-
treatment, primary treatment, secondary treatment, dan tertiary treatment.

2.7.1 Teknologi Pengolahan Pretreatment


Dalam pengolahan air dan air limbah, pengolahan pendahuluan mungkin
diperlukan untuk menghilangkan pengotor tertentu atau untuk membuat air atau
air limbah dapat menerima pengolahan berikutnya.
1. Sumur Pengumpul
Seluruh air limbah yang dihasilkan dari proses produksi dikumpulkan
pada sumur pengumpul yang berada dibawah permukaan tanah dengan
fungsi menampung air limbah dengan debit bervariasi. Dari bak pengumpul
air limbah dipompa ke unit IPAL.
Tabel 2.2 Kriteria Desain Perencanaan Sumur Pengumpul
Parameter Nilai Satuan
Waktu detensi 5 – 10 menit
Freebord 0,5 m
Tinggi sumur 1 m
Rasio panjang : lebar 2:1 -
Diameter pipa 200 mm
Kedalaman pipa 1,3 m
Sumber : Metclaf dan Eddy, 1991 dalam Nanga, 2017

Adapun kelebihan dari penggunaan sumur pengumpul adalah tidak


memerlukan luas lahan yang besar karena dapat diletakkan di bawah
permukaan sehingga debit yang dihasilkan lebih stabil. Adapun
kelemahannya, dimana diperlukan perawatan yang rutin terhadap sistem
pemompaan dikarenakan jika tidak dilakukan perawatan secara periodik
maka dapat mempersingkat umur pompa. Penentuan volume dapat
dilakukan dengan menghitung waktu detensi yang telah ditetapkan dengan
debit air limbah yang masuk ke dalam sumur pengumpul. Persamaan yang
dapat digunakan, yakni:

900 Q p
V=
S ...........…………......................................................(2.6)

Keterangan :
V = volume antara level switch-on dan switch-off (m3)
S = waktu siklus, dengan kriteria:
- ≤ 6 kali untuk dry pit motor ( ≤20 kW)
- 4 kali untuk dry pit motor (25-75 kW)
- 2 kali untuk dry pit motor (100-200 kW)
- 10 kali untuk pompa selam
Qp = debit pompa (m3/detik) -> merupakan debit puncak

2. Barscreen
Penyaringan merupakan unit yang penting untuk digunakan pada tahap
awal proses pengolahan lumpur tinja. Unit ini bertujuan untuk menahan
sampah/benda-benda padat besar yang terbawa dalam lumpur tinja agar
tidak mengganggu dan mengurangi beban pada sistem pengolahan
selanjutnya. Sampah/benda padat besar yang biasa ditemukan dalam
lumpur tinja, diantaranya plastik, kain, kayu, dan kerikil. Pada IPLT yang
menangani lumpur tinja dengan kapasitas debit influen relatif kecil, tahap
penyaringan umumnya menggunakan manual bar screen (Direktorat Jenderal
Cipta Karya, 2018).
Manual bar screen juga dapat digunakan pada instalasi pengolahan
dengan debit influen besar, tetapi hanya digunakan sebagai by-pass sebelum
air limbah disaring menggunakan penyaring mekanis. Sampah-sampah yang
tertahan pada bar screen harus sering dibersihkan karena apabila
menumpuk dapat menyumbat dan mengganggu proses penyaringan.
Pembersihan manual bar screen seringkali dilakukan menggunakan sikat
besi dengan gigi-gigi yang disesuaikan dengan jarak antar bar (Direktorat
Jenderal Cipta Karya, 2018).
Tabel 2.3 Kriteria Desain Perencanaan Bar Screen
Parameter Nilai Satuan
Lebar batang 4–8 mm
Tebal batang 25 – 50 mm
Kecepatan aliran 0,3 – 0,6 m/detik
Lebar kisi 4–8 mm
Jarak antar bar 25 – 75 mm
Kemiringan 45 – 60 derajat
Kehilangan tekanan pada bukaan 150 mm
Kehilangan tekanan pada max 800 mm
β (Persegi) 2,42 -
Sumber : Direktorat Jenderal Cipta Karya, 2018
Rumus Peritungan Desain :
Tahap A: Menghitung dimensi saringan

V
Q=
A ..............…………......................................................(2.7)

 Lebar bukaan dibutuhkan = luas bukaan / kedalaman aliran


 Jumlah batang dibutuhkan = jumlah bukaan – 1
 Lebar saluran = Lebar saringan maka,
= (jumlah bukaan x lebar bukaan) + (jumlah batang x lebar batang)
Keterangan :
A = Luas bukaan saringan (m2)
Q = Debit air limbah (m3/detik)
V = Kecepatan aliran lewat saringan (m/detik)

2.7.2 Teknologi Pengolahan Primary Treatment


Tujuan pengolahan yang dilakukan pada tahap ini adalah menghilangkan
partikel-partikel padat organik dan organik melalui proses fisika, yakni
sedimentasi dan flotasi. Sehingga partikel padat akan mengendap (sludge)
sedangkan partikel lemak dan minyak akan berada diatas/permukaan (grease).
Pengolahan tahap pertama merupakan proses pengolahan fisik yang ditujukan
untuk menyisihkan material kasar berupa sampah, pasir, dan material tersuspensi
(suspended solid) dengan menggunakan metode pengolahan fisik. Terdapat
beberapa unit pengolahan pada tahap awal yakni Bak Ekualisasi (Equalization
Tank) dan Bak Sedimentasi (Primary Sedimentation).
1. Bak Pengendap Awal
Bak pengendapan awal atau primary sedimentation dioperasikan untuk
mengendapkan senyawa organik solid dari limbah cair. Mayoritas
suspended solid didalam air buangan bersifat lengket dan terflokulasi secara
alami. Bak pengendapan awal bekerja dengan metode klarifikasi tingkat II
tanpa penambahan senyawa koagulan, pengadukan maupun operasi
flokulator. Materi organik seperti minyak dan lemak yang lebih berat dari
air, secara perlahan akan mengendap dengan kecepatan 1,0 – 2,5 m/jam.
Bak pengendapan awal mempunyai tingkat penyisihan padatan (60 – 70) %
dan tingkat penyisihan material organik (25 – 30) %. (Metcalf & Eddy,
1991). Bak pengendapan awal yang mengikuti proses pengolahan biologi
dengan desain waktu detensi pendek dan lebih tingginya beban permukaan
daripada sebagai unit.
Bak pengendap awal befungsi untuk mengendapkan pasir, lumpur, dan
kotoran lainnya. Bak ini dapat menyisihkan TSS sebesar 30 – 40%, COD
25%, dan BOD5 25% (Said Dalam Naomi, 2020).
Pengolahan. Bak Sedimentasi atau Bak pengendapan awal berbentuk
persegi panjang yang terbuat dari pasangan batu bata dan tertutup yang
dilengkapi dengan lubang kontrol, air limbah masuk melalui pipa inlet
secara overflow, pemeliharaan dengan cara pengurasan manual.
Kriteria-kriteria yang diperlukan untuk menentukan ukuran bak
pengendap awal antara lain adalah waktu tinggal hidrolik, beban permukaan
(surface loading), dan kedalaman bak. Waktu Tinggal Hidrolik (Hydraulic
Retention Time, WTH) adalah waktu yang dibutuhkan untuk mengisi bak
dengan kecepatan seragam yang sama dengan aliran rata-rata per hari.
Waktu tinggal dihitung dengan membagi volume bak dengan laju alir
masuk, satuannya jam. Nilai waktu tinggal adalah

24 V
T=
Q …………......................................................(2.8)

Keterangan:
T = waktu tinggal (jam)
V = volume bak (m3)
Q = laju rata-rata harian (m3 per hari)

Beban permukaan (surface loading), sama dengan laju alir (debit


volume) rata-rata per hari dibagi luas permukaan bak, satuannya m3 per
meter persegi per hari.

Q
V 0=
A
…………......................................................(2.9)

Keterangan:
Vo = laju limpahan / beban permukaan (m3/ m2. hari)
Q = aliran rata-rata harian, (m3 per hari)
A = total luas permukaan (m2)
Tabel 2.4 Kriteria Desain Bak Pengendap Awal
Parameter Nilai Satuan
Waktu Tinggal Hidrolik 1,5 – 2,5 jam
Overflow rate
Aliran Rata-rata 32 – 40 m3/m2.hari
Aliran puncak 80 – 120 m3/m2.hari
Parameter Nilai Satuan
Weir Loading 125 – 500 m3/m.hari
Dimensi :
Bentuk Persegi Panjang
Panjang 15 – 90 m
Lebar 3 – 24 m
Kedalaman 3–5 m
Kecepatan pengeruk lumpur 0,6 – 1,2 m/menit
Dimensi :
Bentuk bulat (circular)
Kedalaman 3–5 m
Diameter 3,6 – 60 m
Slope dasar 60 – 160 mm/m
Kecepatan sludge scrapper 0,02 – 0,05 r/menit
Sumber : Metcalf & Eddy, 1979

2. Bak Ekualisasi
Bak ekualisasi berfungsi untuk menyeragamkan debit air limbah
domestik yang berfluktuasi pada kondisi puncak dan minimum.
Pertimbangan menggunakan bak ekualisasi dalam sistem ini ialah untuk
meningkatkan kinerja pengolahan biologi karena akan mengurangi potensi
efek shock loading serta dapat menstabilkan pH. Waktu detensi di bak
ekualisasi maksimum 30 menit untuk mencegah terjadinya pengendapan
dan dekomposisi air limbah domestik (Metcalf & Eddy, 1991). Tinggi muka
air saat kondisi puncak harus berada di bawah aliran masuk agar tidak
terjadi aliran balik. Setelah keluar dari bak ekualisasi ini, debit air limbah
domestik yang berfluktuasi akan menjadi debit rata-rata. Untuk menghitung
volume bak ekualisasi yang diperlukan dapat dihitung dengan rumus
sebagai berikut :

V =T ×Q
………………...................................................(2.10)

Keterangan:
V = volume bak (m3)
T = waktu tinggal (jam)
Q = laju rata-rata harian (m3/jam)
Tabel 2.5 Kriteria Desain Bak Ekualisasi
Parameter Nilai Satuan
Waktu detensi 6 – 10 jam
Parameter Nilai Satuan
Kedalaman air minimum 1,5 – 2 m
Ambang bebas (Freeboard) 1 m
Kemiringan dasar tangki 40 - 100 mm/m diameter
Laju pemompaan udara 0,01 – 0,015 m3/m2-menit
Sumber : Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat,
Cetakan pertama, 2018

Adapun manfaat utama dari aplikasi bak ekualisasi antara lain:


a. Pengolahan biologis ditingkatkan, karena shock loading dihilangkan
atau dapat diminimalisir, zat penghambat dapat diencerkan, dan pH
dapat distabilkan.
b. Kualitas efluen dan kinerja tangki sedimentasi sekunder setelah
pengolahan biologis ditingkatkan melalui peningkatan konsistensi
dalam pembuatan padatan.
c. Kebutuhan luas permukaan filtrasi efluen dikurangi, filter kinerja
ditingkatkan, dan siklus filter- backwash yang lebih seragam
dimungkinkan dengan muatan hidrolik yang lebih rendah.
d. Dalam pengolahan kimia, redaman loading massa meningkatkan
kontrol pakan kimia dan keandalan proses (Metcalf & Eddy, 2004
dalam Arina, 2017).

Adapun kekurangan dari flow equalization meliputi antara lain:


a. Memerlukan area atau lokasi yang relatif besar.
b. Fasilitas ekualisasi mungkin harus menanggung kontrol bau dekat
c. daerah perumahan.
d. Operasi dan pemeliharaan tambahan diperlukan
e. Biaya modal meningkat. (Metcalf & Eddy, 2004 dalam Arina, 2017)

2.7.3 Teknologi Pengolahan Secondary Treatment


1. Biofilter Anaerobic
Biofilter anaerobik merupakan saringan yang memiliki media penyangga
sebagai tempat bertumbuhnya mikroorganisme untuk menguraikan bahan
organik dalam air limbah tanpa bantuan oksigen (Herlambang & Marsidi
dalam Naomi, 2020). Mikroorganisme yang tumbuh pada media filter akan
berkembang dan membentuk biofilm. Media yang dapat digunakan sebagai
filter beserta luas permukaan spesifiknya antara lain:
Tabel 2.6 Media Filter
No
Jenis Media Luas Permukaan Spesifik (m2/m3)
.
Tricking Filter dengan Batu
1 100 – 200
Pecah
2 Sarang Tawon (honeycomb) 150 – 240
3 Tipe Jaring 50
4 RBC 80 – 150
Sumber : Simanjuntak, 2020

Semakin luas permukaan yang dimiliki media, maka semakin banyak


pula mikroorganisme yang dapat dibiakkan. Oleh karena itu, media filter
yang paling efektif untuk mengolah air limbah adalah sarang tawon.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Said dan Firly (Dalam Naomi,
2020), biofilter anaerobik dengan media sarang tawon dapat menyisihkan
COD sebesar 71 – 81%, BOD5 78 – 84%, dan TSS 83 – 90%. Berikut
kriteria desain untuk biofilter anaerobik (Kementerian Kesehatan RI, 2011).
Tabel 2.7 Kriteria Desain Anaerobic Filter (AF)
No. Item Satuan Kriteria
1 Tinggi ruang lumpur m 0,5
Waktu tinggi total rata-
2 jam 6–8
rata
kg BOD per m3
3 Beban BOD5 0,5 – 4
media
Tinggi media bed
4 mm/m diameter 0,9 – 1,5
pembiakan mikroba
Tinggi air di atas media
5 cm 20
bed
6 Beban organic Kg COD/m3.hari 4,5
HRT di bak pengendap /
7 Jam 2
tangki septik
8 HRT di anaerobic filter Hari 1,5 – 2
9 BOD Removal - 70 – 90%
10 Rasio SS/BOD 0,35 – 0,45
11 Luas spesifik media m2/m3 80 – 180
12 Velocity Upflow m/jam <2
Sumber : : Kementerian Kesehatan RI, 2011 dan Pamungkas, 2017

Kolam Anaerobik pada umumnya memiliki geometri berbentuk


rectangular, walaupun dapat pula disesuaikan dengan kondisi area
perencanaan setempat. Bentuk rectangular direncanakan dengan memiliki
rasio panjang dan lebar seperti pada kriteria desain. Kebutuhan volume
kolam anaerobik dapat ditentukan dengan menggunakan persamaan berikut
ini:
Li ×Q
Va = ………….…………............................................(2.9)
λv

Dimana:
Li = konsentrasi BOD Influen (mg/L)
Q = debit air limbah domestik (m3/hari)
Va = volume kolam anaerobik (m3)
λV = beban volumetrik BOD (g/m3.hari)

Untuk menghitung dimensi kolam, persamaan berikut ini :

Va = [(LW)+ (L-2sD)(W-2)+4(L-sD)] [D ⁄6] ………………..........(2.9)

Dimana:
Va = volume kolam anaerobik (m3)
L = panjang kolam pada permukaan air (m)
W = lebar kolam pada permukaan/TWL (m)
s = faktor kemiringan horizontal (contoh: kemiringan 1 dalam s)
D = kedalaman air kolam, belum termasuk free board (m)

2. Lumpur Aktif
Lumpur aktif termasuk pengolahan sekunder yang mengolah air limbah
secara biologis dalam keadaan aerobik (Mines, 2014 dalam Simajuntak,
2020). Pada proses pengolahan ini, air limbah diaerasi sehingga pengadukan
terjadi secara merata bak aerasi (Setiadi & Hartaja, 2016 dalam Simajuntak,
2020). Unit ini tidak menggunakan media penyangga sehingga tidak mudah
terjadi penyumbatan. Dalam proses pengolahannya, unit ini akan
menghasilkan produksi lumpur yang tinggi. Energi yang dibutuhkan pun
tinggi karena diperlukan aerator untuk menyuplai udara. Konstruksi unit
tidak membutuhkan luas lahan yang besar (Rahmawati, Wardhani, &
Apriyanti, 2019 dalam Simajuntak, 2020).
Tabel 2.8 Kriteria Desain Perencanaan Lumpur Aktif Standar
Parameter Desain Nilai
Beban BOD
BOD-MLSS Loading 0,2 – 0,4 kg/hari
BOD-Volume Loading 0,3 – 0,8 kg/m3.hari
Parameter Desain Nilai
MLSS 1500 – 2000 mg/l
Umur Lumpur 2 – 4 hari
Kebutuhan Udara (Qudara/Qair) 3–7
Waktu Aerasi (T) 6 – 8 jam
Rasio Sirkulasi Lumpur (Qlumpur/Qair limbah) 20 – 40%
Efisiensi Pengolahan 85 – 95%
Sumber : Nusa Idaman Said, 2017 dalam Hutagalung, 2018

KRITERIA PERENCANAAN
Beban BOD :
BOD – MLSS Loading = 0,2 – 0,4[kg/kg.hari]
BOD – Volume Loading = 0,3 – 0,8 [kg/m3.hari]
MLSS = 1500 – 2000 mg/l
Sludge Age = hari
Kebutuhan Udara (QUdara/QAir) =3–7
Waktu Aerasi (T) = 6 – 8 jam
Ratio Sirkulasi Lumpur = 20 – 40%
(QLumpur/QAir Limbah)
Efisiensi Pengolahan = 85 – 95%
Keterangan :
Gambar 2.2 Diagram Proses Pengolahan Air dengan Sistem Lumpur Aktif
Standar (Konvensional) dan Kriteria Perencanaan

Parameter yang umum digunakan dalam lumpur aktif Davis dan


Cornwell Verstraete dan van Vaerenbergh (dalam Herlambang, 2002)
adalah sebagai berikut:
1) Beban BOD (BOD Loading rate atau Volumetric Loading rate).
Beban BOD adalah jumlah massa BOD di dalam air limbah yang
masuk (influent) dibagi dengan volume reaktor. Beban BOD dapat
dihitung dengan rumus sebagai berikut
Q× So
Beban BOD =
v
……..............…….........................(2.7)
Dimana :
Q = debit air limbah yang masuk (m3/hari)
S0 = Konsentrasi BOD dalam air limbah yang masuk (kg/m3)
V = Volume reaktor (m3)

2) Mixed-liqour suspended solids (MLSS)


Isi tangki aerasi dalam sistem lumpur aktif disebut sebagai mixed
liqour yang diterjemahkan sebagai lumpur campuran. MLSS adalah
jumlah total dari padatan tersuspensi yang berupa bahan organik dan
mineral, termasuk didalamnya adalah mikroorganisme. MLSS ditentukan
dengan cara menyaring lumpur campuran dengan kertas saring (filter),
kemudian filter dikeringkan pada Suhu 105 0C, dan bobot padatan dalam
contoh ditimbang.
3) Mixed-liqour volatile suspended solids (MLVSS)
Porsi bahan organik pada MLSS diwakili oleh MLVSS, yang berisi
bahan organik bukan mikroba, mikroba hidup dan mati, dan hancuran sel
(Nelson dan Lawrence, 1980). MLVSS diukur dengan memanaskan terus
sampel filter yang telah kering pada 600 – 650 0C, dan nilainya
mendekati 65-75% dari MLSS.
4) Food - to - microorganism ratio (F/M Ratio)
Parameter ini merupakan indikasi beban organik yang masuk kedalam
sistem lumpur aktif dan diwakili nilainya dalam kilogram BOD per
kilogram MLSS per hari (Curds dan Hawkes, 1983; Nathanson, 1986).
Adapun rumusnya sebagai berikut :

Q × BOD5 ……….............................................(2.8)
F/M =
MLSS ×V
Keterangan :
Q = Laju alir limbah (m3/hari)
BOD5 = BOD5 (mg/l)
MLSS = Mixed liquor suspended solids (mg/l)
V = Volume tangki aerasi (m3)
5) Waktu tinggal hidraulik (Hidraulic retention time = HRT).
Waktu tinggal hidraulik adalah waktu rata-rata yang dibutuhkan oleh
larutan influen masuk ke dalam tangki aerasi untuk proses lumpur aktif;
nilainya berbanding terbalik dengan laju pengenceran (D) (Sterritt dan
Lester, 1988).

HRT = 1/D = V/ Q
…………............................................(2.9)
Keterangan :
V = Volume tangki aerasi (m3)
Q = Laju influen ke dalam tangki aerasi (m3/hari)
D = Laju pengenceran (hari)
6) Umur lumpur (Sludge age)
Umur lumpur adalah waktu tinggal rata-rata mikroorganisme dalam
sistem. Waktu tinggal sel mikroba dalam tangki aerasi dapat dalam hari
lamanya. Parameter ini berbanding terbalik dengan laju pertumbuhan
mikroba. Umur lumpur dihitung dengan rumus sebagai berikut (Hammer,
1986; Curds dan Hawkes, 1983) :
Umur Lumpuh (hari) =
MLSS ×V ……….......................(2.10)
Keterangan
SS e ×Q e +: SSw +Qw
MLSS = Mixed liquor suspended solids (mg/l).
V = Volume tangki aerasi (l)
SSe = Padatan tersuspensi dalam effluent (mg/l)
Qe = Laju effluent (m3/hari)
SSw = Padatan tersuspensi dalam lumpur limbah (mg/l)
Qw = Jumlah lumpur (m3/hari)

Adapun kelebihan dari teknologi lumpur aktif standar, dimana teknologi


ini dapat menampung kapasitas pengolahan dalam jumlah besar (komunal)
dan memiliki tingkat efisiensi pengolahan yang cukup tinggi dimana
mencapai 85- 95% dibandingkan dengan pengolahan lainnya. Sedangkan
kekurangannya adalah memerlukan aerasi yang banyak dan umur
lumpurnya sedikit hanya sampai 2-4 hari, besaran flok yang terbentuk tidak
merata dan relatif berbentuk kecil sehingga kesulitan untuk mengendap,
selain itu memerlukan lahan yang cukup banyak.

3. Biofilter Aerobik
Biofilter aerobik adalah saringan yang memiliki media penyangga
sebagai tempat tumbuhnya mikroorganisme hingga membentuk biofilm
(Filliazati, Apriani, & Zahara, 2011 dalam Simajuntak, 2020). Biofilm
tersebut akan menguraikan bahan organik pada air limbah dengan bantuan
oksigen. Biofilter aerobik memiliki risiko penyumbatan tinggi karena
biofilm yang terbentuk pada permukaan media penyangga mudah untuk
terlepas dan menyumbat saluran (Said, 2005 dalam Simajuntak, 2020).
Dalam proses pengolahannya, unit ini akan menghasilkan produksi lumpur
yang tinggi. Energi yang dibutuhkan pun tinggi karena diperlukan aerator
untuk menyuplai udara. Konstruksi unit membutuhkan luas lahan yang
besar (Nasoetion, S, Saputra, & Ergantara, 2017 dalam Simajuntak, 2020).
Unit ini dapat menyisihkan BOD5 sebesar 75 – 95%, COD 80 – 85%, TSS
50 – 65% (Nasoetion, S, Saputra, & Ergantara, 2017 dalam Simajuntak,
2020).
Tabel 2.9 Kriteria Desain Perencanaan Biofilter Aerobik
Parameter Desain Nilai
Beban BOD (kg BOD/m3) 0,5 – 4
Waktu tinggal (jam) 6–8
Tinggi ruang lumpur (m) 0,5
Tinggi bed media (m) 1,2
Tinggi air diatas bed media (cm) 30
Sumber : Tchobanoglous, 2003 dalam Nasoetion, dkk., 2017

Adapun kelebihan dari penggunaan biofilter aerobik adalah


pengelolaannya murah dan biaya operasinya relatif murah, lumpur yang
dihasilkan sedikit dibandingkan dengan proses lumpur aktif, suplai udara
kecil dan dapat digunakan untuk kadar BOD yang besar. Sedangkan
kekurangan dalam penggunaan biofilter aerobik adalah waktu start relatif
lama menunggu terbentuknya film, kontrol bakteri tidak dilakukan dan tidak
memperhitungkan jumlah dan jenis mikroba yang hidup (Puspasari, 2017).

4. Rotating Biological Contactor (RBC)


Reaktor biologis putar (Rotating Biological Contactor) disingkat RBC
adalah salah satu teknologi pengolahan air limbah yang mengandung
polutan organik yang tinggi secara biologis dengan sistem biakan melekat
(attached culture). Prinsip kerja pengolahan air limbah dengan RBC yakni
air limbah yang mengandung polutan organik dikontakkan dengan lapisan
mikro-organisme (microbial film) yang melekat pada permukaan media di
dalam suatu reaktor. Media tempat melekatnya film biologis ini berupa
piringan (disk) dari bahan polimer atau plastik yang ringan dan disusun dari
berjajar-jajar pada suatu poros sehingga membentuk suatu modul atau paket,
selanjutnya modul tersebut diputar secara pelan dalam keadaan tercelup
sebagian ke dalam air limbah yang mengalir secara kontinyu ke dalam
reaktor tersebut.
RBC terdiri dari seri cakram plastik yang dipasang pada suatu poros yang
perlahan berputar. Pengolahan pada RBC menggunakan mikroorganisme
yang melekat pada cakram sehingga memiliki risiko penyumbatan yang
tinggi (Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, 2018).
Cakram diberi jarak agar air limbah dan udara bisa masuk ke dalamnya
sehingga terjadi kontak antara air limbah dan oksigen. Dalam proses
pengolahannya, unit ini menghasilkan produksi lumpur dalam jumlah yang
sedikit. Konstruksi unit tidak membutuhkan luas lahan yang besar
(Rahmawati, Wardhani, & Apriyanti, 2019 dalam Simajuntak, 2020). Daya
yang dibutuhkan untuk pengolahan pun rendah (Kementerian Pekerjaan
Umum dan Perumahan Rakyat, 2018). Unit ini dapat menyisihkan BOD5
sebesar 60 – 80%, COD 60 – 80%, dan TSS 60 – 85% (Qasim & Zhu, 2018
dalam Simajuntak, 2020).

Gambar 2.3 Diagram Proses Pengolahan Air Limbah dengan Sistem RBC
Tabel 2.11 Kriteria Desain Perencanaan RBC
Parameter Nilai Satuan
10 – 15 gr BOD/m2 .hari (domestik)
Beban Organik
10 – 50 gr BOD/m2 .hari (industri)
50 – 100 1/m2/hari (BOD influen = 200 mg/l)
Beban Hidrolis
10 – 20 1/m2/hari (BOD influen = 500-1000 mg/l)
Jarak antara piringan 3–5 Cm
Diameter Piringan 1,5 – 3 m
Waktu Detensi 2-4 Jam
Produk Lumpur 0,4 – 0,5 Kg/Kg BOD removal
Kecepatan Putaran
1-2 Rpm
Cakram
Diameter Cakram 1 – 3,6 m
Kedalaman Bak 40% Dari diameter cakram
Temperatur
15 – 40 °C
Pengoperasian
Sumber: Direktorat Jenderal Cipta Karya (2018)

Adapun keuntungan dari penggunaan RBC adalah biaya perawatan dan


pengoperasian alatnya murah, dapat dipasang beberapa tahap sehingga tahan
terhadap fluktuasi beban pengolahan dan tidak terjadi bulking ataupun buih
seperti pada proses lumpur aktif. Sedangkan untuk kelemahan dari
penggunaan teknologi ini adalah pengontrolan jumlah mikroorganisme sulit
dilakukan, sensitif terhadap perubahan suhu, BOD kadang-kadang masih
tinggi sehingga perlu digabungkan dengan unit pengolahan biologis lainnya
dan dapat timbul cacing rambut serta memiliki bau yang tidak sedap
(Puspasari, 2017). Tahapan penghitungan unit pengolahan RBC dapat
dilakukan dengan menggunakan metode sebagai berikut:
a. Tentukan konsentrasi sBOD pada influen dan efluen serta debit air
buangan

Beban sBOD = sBOD (mg/L) x Qdesain (m3/hari) .........................(2.10)

b. Tentukan luas piringan RBC untuk tahap I dengan sBOD maksimum 12–
15 g sBOD/m2.hari
Beban sBOD(g /hari)
Acakram =
g
sBOD loading rate( .hari) ..……...............(2.10)
m2
c. Tentukan jumlah shaft dengan dengan menggunakan asumsi tipe cakram
A cakram(m2)
Acakram =
m2
luas per shaft ( ) …...………..……...............(2.10)
shaft

d. Tentukan luas area tiap cakram

diameter cakram ( m) 2
Acakram =ϖ ×( ) ×2
2 ….……...............(2.10)

2.7.4 Teknologi Pengolahan Tertiary Treatment


Berguna untuk menghilangkan zat-zat spesifik, warna, bau, dan bahan-
bahan toksik baik kimiawi maupun biologis. Dimana pengolahan ini Bertujuan
untuk membuang padatan- padatan/cairan hasil pengolahan-pengolahan
sebelumnya.
1. Bak Pengendap Akhir
Bak pengendap akhir merupakan pengolahan lanjutan dari pengolahan
biologis. Bak ini berfungsi sebagai bak penjernih, yaitu mengendapkan
padatan tersuspensi atau lumpur yang dihasilkan dari pengolahan biologis
(Said, 2002 dalam Simajuntak, 2020). Lumpur yang masih mengandung
bakteri aktif akan diresirkulasi kembali ke pengolahan biologis sebelumnya.
Bak pengendap akhir dapat menyisihkan 30% BOD, 30% COD, dan 30%
TSS (Marhadi, 2016 dalam Simajuntak, 2020). Untuk menghitung kriteria
perencanaan bak pengendapan akhir dengan menggunakan rumus
(Pamungkas, 2017):

Volume = Q x td …....…....................................................(2.11)

Panjang = V/ lebar (w) x kedalaman (d) …...……........................(2.12)


Bak pengendap akhir berfungsi untuk memisahkan atau mengendapkan
kotoran padatan tersuspensi (TSS) yang ada di dalam air limbah agar air
olahan IPAL menjadi jernih. Waktu tingak hidrolik di dalam bak pengendap
akhir umumnya sekitar 2-4 jam. Dibandingkan dengan proses lumpur aktif,
lumpur yang berasal dari biofilter anerob-aerob lebih sedikit dan lebih
mudah mengendap, karena ukurannya lebih besar dan lebih berat. Air
limpasan (over flow) dari bak pengendap akhir relatif sudah jernih,
selanjutnya dialirkan ke bak biokontrol dan selanjutnya dilairkan ke bak
khlorinasi.
2.7.5 Teknologi Pengolahan Lumpur (Sludge Treatment)
Setiap tahap pengolahan limbah cair, baik primer, sekunder, maupun tersier,
akan menghasilkan endapan polutan berupa lumpur. Lumpur tersebut tidak dapat
dibuang secara langsung, melainkan pelu diolah lebih lanjut. Endapan lumpur
hasil pengolahan limbah biasanya akan diolah dengan cara diurai/dicerna secara
aerob (anaerob digestion), kemudian disalurkan ke beberapa alternatif, yaitu
dibuang ke laut atau ke lahan pembuangan (landfill), dijadikan pupuk kompos,
atau dibakar (incinerated).
Sludge drying beds merupakan salah satu teknik pengeringan lumpur
konvensional yang banyak digunakan. Tipikal lapisan terdiri dari pasir kasar
dengan tebal 15 – 25 cm di dasarnya dan lapisan diatasnya di beri batu pecah. Di
dasar juga diberi effluent berupa pipa berlubang sebagai underdrain-nya. Effluent
dari underdrain terkadang juga dikembalikan lagi ke unit pengolahan. Tipikal
bentuk sludge drying bed umumnya persegi panjang. Lumpur dihamparkan pada
beds dengan ketebalan 20-30 cm dan dibiarkan mengering. Periode pengeringan
umumnya 10-15 hari.

2.8. Kesetimbangan Massa dan Energi


Dalam teknologi pengolahan air limbah tahu, salah satu faktor penting
adalah pertimbangan massa atau mass balance, yakni perhitungan yang bertujuan
untuk mengetahui beban masa pencemar, konsentrasi lumpur dan debit lumpur
yang tersisihkan selama proses pengolahan di dalam IPAL, memudahkan dalam
proses operasi pengolahan lumpur, pemilihan teknologi pengolahnya maupun
proses akomodasi untuk menyalurkan menuju ke instalasi pengolahan lumpur.
Dengan perhitungan mass balance maka dapat diketahui besaran perbandingan
kadar pencemar yang tereduksi pada unit IPAL hingga produksi konsentrasi dan
debit lumpur yang dihasilkan pada proses pengolahan di dalam IPAL (Pinanggih,
2020). Perhitungan mass balance disesuaikan dengan kriteria desain yakni
persentase BOD dan COD removal dari unit pengolahan.
Penggunaan kesetimbangan massa (mass balance) pada pengolahan air
limbah untuk mengetahui konsentrasi substansi yang mengalami perubahan pada
setiap unit pengolahan. Kesetimbangan massa (mass balance) digunakan untuk
mempelajari karakteristik aliran hidrolik reaktor dan menggambarkan perubahan
yang terjadi didalam reaktor. Konsep dasar dalam perhitungan kesetimbangan
massa menggunakan konsep kekekalan energi, yaitu energi tidak dapat diciptakan
atau dimusnahkan tetapi bisa berubah wujud. Prinsip dari kesetimbangan massa
pada proses pengolahan air limbah yaitu influen yang masuk ke pengolahan akan
sama dengan total effluent (Metcalf dan Eddy, 2004 dalam Muzakky, 2017).

dC1V = QCodt - Vrdt -QC1dt ….……………………........................(2.14)


Akumulasi = (input)-(penurunan)-(out) ..………………....................(2.15)

Keterangan :
dC1V = Akumulasi
Codt = Konsentrasi masuk (mg/L)
Q = Debit (m3/s)
Vrdt = Penurunan karena reaksi/beban removal (mg/L)
C1dt = Konsentrasi keluar (mg/L)

Neraca massa merupakan suatu perhitungan yang tepat dari semua bahan-
bahan yang masuk, kemudian terakumulasi dan keluar pada waktu tertentu.
Pernyataan tersebut sesuai dengan hukum kekekalan massa yaitu, massa tidak
dapat dihilangkan atau dimusnahkan meskipun terjadi perubahan bentuk atau
keadaan fisik. Neraca massa digunakan untuk mengetahui jumlah bahan dan air
yang digunakan selama proses produksi dan juga limbah yang dihasilkan.

2.9. Kehilangan Energi (head loss)


Dalam Sulhairi, dkk (2020), kehilangan energi (Head loss) merupakan
faktor yang mempengaruhi kapasitas pipa sebagai sarana penghantar aliran baik
air maupun pipa. Kehilangan energi (Head loss) terdiri dari kehilangan energi
mayor dan kehilangan energi minor. Major loss adalah kehilangan pada aliran
pipa yang disebabkan oleh friksi yang terjadi di sepanjang aliran fluida yang
mengalir terhadap dinding pipa. Sedangkan Minor head loss (minor losses)
merupakan kehilangan-kehilangan yang terjadi dalam sistem pipa dikarenakan
oleh bends (tekukan-tekukan), elbows (siku-siku), joints (sambungan-
sambungan), valves (klep-klep) dan lain-lain disebut dengan kehilangan minor.
Salah satu hal penting yang mempengaruhi kinerja jaringan adalah
kehilangan energi. Akibat kekeliruan dalam memperhitungkan kehilangan energi
ini dapat menyebabkan permasalahan yaitu terkadang apa yang direncanakan
kurang sesuai dengan apa yang terjadi terutama terkait dengan kapasitas dan
tekanan pada jaringan perpipaan (Sulhairi, dkk, 2020).
Kehilangan tekanan adalah besar tinggi tekanan yang hilang sepanjang
perjalanan air dalam pipa akibat dari gesekan air dengan pipa dan pelengkapnya.
Kehilangan tekanan dapat dihitung dengan persamaan Hazen William, Darcy
Weisbach, dan Chezy Manning. Untuk ukuran dimensi yang lebih besar akan baik
untuk menggunakan rumus persamaan Hazen William, yaitu:
Kehilangan tekanan mayor :
1,85
10,67 x Q
hf = 1,85 4,87
x L ……….……………………....................... (2.16)
C xd

Kehilangan tekanan minor :

2
v
hf =k ..........................................................................................(2.17)
2g

Keterangan :
Hf = Kehilangan tekanan (m)
C = Koefisien kekasaran pipa
Q = Debit air (m3/detik)
D = Diameter pipa (m)
L = Panjang pipa (m)
K = Koefisien kehilangan tekanan minor
v = Kecepatan aliran (m/detik)
g = Percepatan gravitasi (m/detik2)

2.10. Peraturan Standarisasi Air Limbah


Terdapat beberapa peraturan terkait standarisasi air limbah yang terbagi atas
dasar-dasar hukum terkait serta standar kualitas atau baku mutu dari air limbah.
Berikut adalah peraturan mengenai standarisasi air limbah:
Tabel 2.15 Dasar Hukum Terkait Standarisasi Air Limbah
No Dasar Hukum Keterangan
1 UU No. 32 Tahun 2009 Upaya sistematis terpadu untuk
tentang Perlindungan dan melestarikan fungsi lingkungan hidup
Pengelolaan Lingkungan dan mencegah terjadinya pencemaran
Hidup dengan perencanaan, pemanfaatan,
pengendalian, pemeliharaan,
pengawasan, dan penegakan hukum.

2 UU No. 36 Tahun 2009 Kebijakan peningkatan dan


tentang Kesehatan perlindungan kesehatan dalam
memenuhi hak asasi manusia dalam
mencapai kesejahteraan

3 PP RI No. 82 Tahun 1990 melestarikan fungsi air dilakukan upaya


tentang Pengelolaan pengelolaan kualitas air dengan
Kualitas Air dan pengendalian pencemaran air secara
Pengendalian Pencemaran bijaksana dan memperlihatkan
No Dasar Hukum Keterangan
Air kepentingan generasi sekarang juga
mendatang serta keseimbangan
ekologis.

4 PP No. 20 Tahun 1990 Mengendalikan laju pencemaran air


tentang Pengendalian dengan memanfaatkan air secara
Pencemaran Air berkelanjutan agar kualitas air aman
bagi kehidupan manusia dan makhluk
hidup.

5 KepMen LH No. 112 Mengatur mengenai Baku mutu air


Tahun 2003 tentang Baku limbah domestik dan pemberlakuan
Mutu Air Limbah kawasan yang wajib mengikuti baku
Domestik mutu tersebut

6 PerMen LH RI No. 13 Penapisan terhadap jenis usaha dan/atau


Tahun 2010 tentang kegiatan wajib yang dilengkapi dengan
Upaya Pengelolaan upaya pengelolaan lingkungan hidup
dan Upaya dan upaya pemantauan lingkungan
Pemantauan Lingkungan hidup
Hidup dan Surat
Pernyataan Kesanggupan
Pengelolaan dan
Pemantauan Lingkungan
Hidup
7 PerMen LH No. 5 Tahun Mengatur mengenai baku mutu air
2014 tentang Baku Mutu limbah dari berbagai bidang industri
Air Limbah
8 Peraturan Daerah Istimewa Mengatur mengenai baku mutu air
Yogyakarta No.7 Tahun limbah dari berbagai bidang industri
2016 Tentang Baku Mutu salah satunya yaitu industri tahu,
Air Limbah pelayanan kesehatan, dan jasa
pariwisata.

2.11. Metode Skoring


Pemilihan proses yang tepat didahului dengan mengelompokkan
karakteristik kontaminan dalam air limbah dengan menggunakan indikator
parameter setelah kontaminan dikarakterisasikan, diadakan pertimbangan secara
detail mengenai aspek ekonomi, aspek teknis, keamanan, kehandalan, dan
kemudahan peoperasian. Pada akhirnya, teknologi yang dipilih haruslah
teknologi yang tepat guna sesuai dengan karakteristik limbah yang akan diolah.
Setelah pertimbangan- pertimbangan detail, perlu juga dilakukan studi kelayakan
atau bahkan percobaan skala laboratorium yang bertujuan untuk :
1. Memastikan bahwa teknologi yang dipilih terdiri dari proses- proses yang
sesuai dengan karakteristik limbah yang akan diolah.
2. Mengembangkan dan mengumpulkan data yang diperlukan untuk
menentukan efisiensi pengolahan yang diharapkan.
3. Menyediakan informasi teknik dan ekonomi yang diperlukan untuk
penerapan skala sebenarnya (Kencanawati, 2016)

Dalam Buku 3 Sistem Pengelolaan Air Limbah Domestik – Terpusat Skala


Permukiman, dijabarkan beberapa aspek dalam pemilihan alternatif teknologi
yang mencakup berbagai aspek sesuai pada tabel:
Tabel 2.16 Skoring Pemilihan Alternatif Teknologi
No Aspek Keterangan
Biaya investasi, konstruksi, operasional, dan
1. Ekonomi
pemeliharaan
Penentuan lahan dan teknologi yang sesuai
Teknis dan
2. dengan kapasitas pengolahan air limbah.
operasional
Operasional dan pemeliharaan unit yang efisien
3. Lingkungan Tidak mengakibatkan pencemaran
Kebutuhan Penentuan luas lahan untuk penempatan unit
4.
lahan dan teknologi IPAL
Kemampuan teknologi dalam mereduksi
Efisiensi
5. senyawa organic dan zat lainnya sehingga dapat
pengolahan
memenuhi batas baku mutu air limbah
6. Kualitas efluen Kualitas dari hasil pengolahan air limbah
Sumber: Buku 3 Sistem Pengelolaan Air Limbah Kementerian PUPR,
2016
BAB III
GAMBARAN UMUM

3.1. Limbah Cair Industri Tahu


Menurut Potter dkk dalam Pamungkas (2017), jumlah air limbah tahu yang
dihasilkan oleh industri pembuatan tahu kira kira 15-20 L/kg bahan baku kedelai,
sedangkan beban pencemarannya kira-kira sebesar 30 kg Total Suspended Solid
(TSS)/kg bahan baku kedelai, Biologycal Oxygen Demand (BOD) 65 gr/kg bahan
baku kedelai dan Chemical Oxygen Demand (COD) 130 gr/kg bahan baku
kedelai.

3.2. Sumber Air Limbah Tahu


Limbah tahu berasal dari buangan atau sisa pengolahan kedelai menjadi tahu
yang terbuang karena tidak terbentuk dengan baik menjadi tahu sehingga tidak
dapat dikonsumsi. Limbah industri tahu pada umumnya dibagi menjadi 2 (dua)
bentuk limbah, yaitu limbah padat dan limbah cair. Menurut Arsalan (2019)
Limbah padat pabrik pengolahan tahu berupa kotoran hasil pembersihan kedelai
(batu, tanah, kulit kedelai, dan benda padat lain yang menempel pada kedelai) dan
sisa saringan bubur kedelai yang disebut dengan ampas tahu. Limbah padat yang
berupa kotoran berasal dari proses awal (pencucian) bahan baku kedelai dan
umumnya limbah padat yang terjadi tidak begitu banyak (0,3% dari bahan baku
kedelai). Sedangkan limbah padat yang berupa ampas tahu terjadi pada proses
penyaringan bubur kedelai. Ampas tahu yang terbentuk besarannya berkisar
antara 25-35% dari produk tahu yang dihasilkan.

3.3. Karakteristik Air Limbah Tahu


Menurut Herlambang dalam Pamungkas (2017), karakteristik buangan
industri tahu meliputi dua hal, yaitu karakteristik fisika dan kimia. Karakteristik
fisika meliputi padatan total, padatan tersuspensi, suhu, warna, dan bau.
Karakteristik kimia meliputi bahan organik, bahan anorganik dan gas. Suhu air
limbah tahu berkisar 37-45°C, kekeruhan 535-585 FTU, warna 2.225-2.250 Pt.Co,
amonia 23,323,5 mg/L, BOD5 6.000-8.000 mg/L dan COD 7.500-14.000 mg/L
Terdapat pula gas-gas yang biasa ditemukan dalam limbah tahu yaitu gas nitrogen
(N2). Oksigen (O2), hidrogen sulfida (H2S), amonia (NH3), karbondioksida (CO2)
dan metana (CH4). Gas-gas tersebut berasal dari dekomposisi bahan-bahan
organik yang terdapat di dalam air buangan.
Menurut Sani dalam Simanjuntak (2020), air limbah yang dihasilkan dari
pembuatan tahu sebagian besar merupakan air asam yang berasal dari cairan
kental yang terpisah dari gumpalan tahu saat proses pemadatan Air asam
mengandung kadar protein yang tinggi sehingga kandungan bahan organik pada
air limbah tahu pun tinggi. Jika air limbah ini dibuang tanpa pengolahan terlebih
dahulu, maka dapat mencemari lingkungan. Menurut Simanjuntak (2020)
parameter kualitas air limbah tahu ditunjukkan oleh konsentrasi BOD5, COD,
TSS, dan pH yang dijelaskan sebagai berikut :
1. BOD5
BOD5 menunjukkan jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme
untuk menguraikan bahan organik di perairan dalam waktu 5 hari pada suhu
20℃. Dengan begitu, dapat diketahui pula jumlah bahan organik di perairan
yang dapat terurai. Semakin banyak jumlah bahan organik, maka semakin
banyak oksigen terlarut yang dihabiskan oleh mikroorganisme untuk proses
penguraian. Berkurangnya oksigen terlarut lama-kelamaan dapat
menciptakan kondisi anaerobik yang dapat menyebabkan kematian pada
biota perairan. Hal ini juga dapat menyebabkan timbulnya bau busuk di
sekitar perairan (Pamungkas, 2017).
2. COD
Chemichal Oxygen Demand (COD) adalah jumlah kebutuhan oksigen yang
di butuhkan dalam proses oksidasi/menguraikan benda organik secara
kimia. Nilai COD akan selalu lebih besar dari BOD karena kebanyakan
senyawa lebih mudah teroksidasi secara kimia daripada secara biologi. COD
adalah jumlah oksigen yang diperlukan untuk mengurai seluruh bahan
organik yang terkandung dalam air yang sengaja diurai secara kimia dengan
menggunakan oksidator kuat kalium bikromat pada kondisi asam dan panas
dengan katalisator perak sulfat, sehingga segala macam bahan organik, baik
yang mudah terurai maupun yang kompleks dan sulit terurai akan
teroksidasi. Angka COD merupakan ukuran bagi pencemaran air oleh zatzat
organik yang secara alamiah dapat dioksidasikan melalui proses
mikrobiologis dan mengakibatkan berkurangnya oksigen terlarut dalam air
(Haerun, 2018).
3. TSS
TSS (Total Suspended Solid) atau total padatan tersuspensi adalah segala
macam zat padat dari padatan total yang tertahan pada saringan dengan
ukuran partikel maksimum 2,0 μm dan dapat mengenda. Kekeruhan air erat
sekali hubungannya dengan nilai TSS karena kekeruhan pada air salah
satunya memang disebabkan oleh adanya kandungan zat padat tersuspensi.
Zat tersuspensi yang ada di dalam air terdiri dari berbagai macam zat,
misalnya pasir halus, tanah liat, dan lumpur alami yang merupakan bahan-
bahan anorganik atau dapat pula berupa bahan-bahan organik yang
melayang-layang di dalam air (Wardhani, 2018).
4. pH
Derajat keasaman (pH) digunakan untuk menyatakan tingkat keasaman atau
kebasaan yang dimiliki oleh suatu larutan. Nilai pH air yang normal adalah
6,5 - 7,5. Perubahan keasaman pada limbah cair, baik ke arah alkali atau
basa (pH naik) maupun ke arah asam (pH turun) dapat mengganggu
kehidupan biota perairan. Perubahan pH pada limbah cair menunjukkan
bahwa telah terjadi aktivitas mikroba yang mengubah bahan organik mudah
terurai menjadi asam (Haerun, 2018). Menurut Sato dalam Haerun (2018)
pH air yang tercemar seperti limbah cair berbeda-beda tergantung pada jenis
limbahnya. Limbah cair industri tahu memiliki nilai pH yang cenderung
asam yaitu 4 - 5. Pada keadaan asam ini akan terlepas zat-zat yang mudah
menguap. Hal ini akan mengakibatkan limbah cair industri mengeluarkan
bau busuk. Umumnya indikator sederhana yang digunakan untuk mengukur
pH adalah kertas lakmus yang berubah menjadi merah bila keasamannya
tinggi dan biru bila keasamannya rendah. Selain menggunakan kertas
lakmus, indikator asam basa dapat diukur dengan pH meter yang bekerja
berdasarkan prinsip elektrolit suatu larutan.

3.4. Baku Mutu Air Limbah Tahu


Parameter kualitas air limbah tahu pada Peraturan Gubernur Provinsi
Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 69 Tahun 2013 adalah BOD 5, COD, TSS,
pH, dan zat organik (KMnO4). Namun, zat organik yang ditentukan dari nilai
KMnO4 tidak akan dijadikan sebagai parameter kualitas air limbah tahu yang
harus diperhatikan pada suatu perancangan. Hal tersebut disebabkan oleh nilai
KMnO4 yang selalu lebih kecil dari COD menunjukkan bahwa kemampuan
KMnO4 dalam merepresentasikan keberadaan zat organik belum maksimal
(Effendi dalam Simanjuntak, 2020). Oleh karena itu, kandungan bahan organik
cukup ditunjukkan melalui pengukuran COD dan BOD5. Berikut adalah kadar
maksimum dari parameter BOD, COD, TSS, dan pH air limbah tahu yang harus
dipatuh (Simanjuntak, 2020).
Tabel 3.10 Baku Mutu Air Limbah Industri Tahu

No. Parameter Kadar Maksimum Satuan

1. BOD 150 mg/L

2. COD 300 mg/L

3. TSS 200 mg/L

4. pH 6-9 -
Sumber : PerMen Lingkungan Hidup RI No. 5, 2014
3.5. Dampak Limbah Industri Tahu
Menurut Herlambang dalam Arsalan (2019), dampak yang ditimbulkan oleh
pencemaran bahan organik limbah industri tahu adalah gangguan terhadap
kehidupan biotik. Turunnya kualitas air perairan akibat meningkatnya kandungan
bahan organik. Aktivitas organisme dapat memecah molekul organik yang
kompleks menjadi molekul organik yang sederhana.Bahan anorganik seperti ion
fosfat dan nitrat dapat dipakai sebagai makanan oleh tumbuhan yang melakukan
fotosintesis. Selama proses metabolisme oksigen banyak dikonsumsi, sehingga
apabila bahan organik dalam air sedikit, oksigen yang hilang dari air akan segera
diganti oleh oksigen hasil proses fotosintesis dan oleh reaerasi dari udara.
Sebaliknya jika konsentrasi beban organik terlalu tinggi, maka akan tercipta
kondisi anaerobik yang menghasilkan produk dekomposisi berupa amonia,
karbondioksida, asam asetat, hirogen sulfida, dan metana. Senyawa-senyawa
tersebut sangat toksik bagi sebagian besar hewan air, dan akan menimbulkan
gangguan terhadap keindahan (gangguan estetika) yang berupa rasa tidak nyaman
dan menimbulkan bau.
Limbah cair yang dihasilkan mengandung padatan tersuspensi maupun
terlarut, akan mengalami perubahan fisika, kimia, dan hayati yang akan
menimbulkan gangguan terhadap kesehatan karena menghasilkan zat beracun atau
menciptakan media untuk tumbuhnya kuman penyakit atau kuman lainnya yang
merugikan baik pada produk tahu sendiri ataupun tubuh manusia. Bila dibiarkan,
air limbah akan berubah warnanya menjadi cokelat kehitaman dan berbau busuk.
Bau busuk ini mengakibatkan sakit pernapasan. Apabila air limbah ini merembes
ke dalam tanah yang dekat dengan sumur maka air sumur itu tidak dapat
dimanfaatkan lagi. Apabila limbah ini dialirkan ke sungai maka akan mencemari
sungai dan bila masih digunakan akan menimbulkan gangguan kesehatan yang
berupa penyakit gatal, diare, kolera, radang usus dan penyakit lainnya, khususnya
yang berkaitan dengan air yang kotor dan sanitasi lingkungan yang tidak baik
(Reynaldi, 2020).

3.6. Perencanaan Pengolahan Air Limbah Industri Tahu


3.6.1 Tahap Pre-Treatment
3.6.2 Tahap Primary Treatment
3.6.3 Tahap Secondary Treatment
3.6.4 Tahap Tertiary Treatment
3.7. Skema Tahapan Perencanaan
DAFTAR PUSTAKA

Adani, J. P., Wardhani, E., & Pharmawati, K. (2018). Identifikasi Pencemaran Logam
Berat Timbal (Pb) dan Seng (Zn) di Air Permukaan dan Sedimen Waduk Saguling
Provinsi Jawa Barat. Jurnal Reka Lingkungan, 6(2).

Arsalan, M. (2019). Studi Pengelolaan Limbah Cair Industri Tahu di Desa Samili
Kecamatan Woha Kabupaten Bima (Tugas Akhir, Politeknik Kesehatan
Kemenkes Kupang).

Gusti, A. S. (2021). Analisis Kualitas Air Sungai Bengawan Solo Akibat Pembuangan


Limbah Industri Tahu dan Tempe di Desa Laren Kecamatan Laren Kabupaten
Lamongan (Doctoral dissertation, Universitas Islam Lamongan).

Haerun, R., Mallongi, A., & Natsir, M. F. (2018). Efisiensi Pengolahan Limbah Cair
Industri Tahu Menggunakan Biofilter Sistem Upflow dengan Penambahan Efektif
Mikroorganisme 4. Jurnal Nasional Ilmu Kesehatan, 1(2).

Nanga, K. O. M. P. P. (2017). Perencanaan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL)


Kelurahan Lemahputro dan Kelurahan Sidokare Kecamatan Sidoarjo Kabupaten
Sidoarjo (Doctoral dissertation, Institut Teknologi Sepuluh Nopember).

Pamungkas, A. W. (2017). Perancangan Tipikal Instalasi Pengolahan Air Limbah


Industri Kecil Rumah Tangga (IKRT) Tahu Di Kota Surabaya (Doctoral
dissertation, Institut Teknologi Sepuluh Nopember).

Reynaldi, A. F., Mimin, K., Dindin, W., & Nany, D. (2020). STUDY LITERATUR
EFEKTIVITAS BERBAGAI DOSIS SERBUK BIJI ASAM JAWA (Tamarindus
Indica) TERHADAP PENURUNAN KADAR TOTAL SUSPENDED SOLID (TSS)
LIMBAH CAIR TAHU (Doctoral dissertation, POLITEKNIK KESEHATAN
KEMENKES BANDUNG).

Said, N. I. (2018). Teknologi biofilter anaerobaerob untuk pengolahan air limbah


domestik. Pros. Semin. Nas. dan Konsult. Teknol. Lingkung, 99-108.

Sayow, F., Polii, B. V. J., Tilaar, W., & Augustine, K. D. (2020). Analisis Kandungan
Limbah Industri Tahu dan Tempe Rahayu di Kelurahan Uner Kecamatan
Kawangkoan Kabupaten Minahasa. AGRI-SOSIOEKONOMI, 16(2), 245-252.

Simanjuntak, N. (2020). Perancangan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) Pada


Industri Pembuatan Tahu (Doctoral dissertation, Universitas Pertamina).
Air Limbah Tahu

Anaerobic
Bar Screen Baffled Reactor
(ABR)

Bak Ekualisasi

Bak Netralisasi Bak Pengendap


Akhir

Bak Pengendap
Awal Bak Klorinasi

Sludge Drying Effluent Air


Bed Limbah
Air Limbah Tahu

Bar Screen Biofilter Anaerob

Biofilter Aerob
Bak Ekualisasi

Bak Pengendap
Bak Netralisasi Akhir

Bak Klorinasi
Bak Pengendap
Awal

Effluent Air
Limbah
Sludge Drying
Bed

Anda mungkin juga menyukai