Anda di halaman 1dari 42

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil’alamin, puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat


Allah Subhanahu wa Ta’ala, karena dengan rahmat dan hidayah-Nya penulis
dapat menyelesaikan “Laporan Koasistensi di Unit Pelayanan Teknis Dinas
Rumah Potong Hewan Banda Aceh” Shalawat berangkaikan salam penulis
sampaikan kepada Baginda Rasulullah Muhammad Shallallahu’alaihi Wa Sallam,
yang telah membawa umat manusia dari alam kebodohan ke alam yang penuh
dengan ilmu pengetahuan seperti sekarang.
Penulis menyampaikan penghargaan dan rasa terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada drh. Roni Hidayat selaku Kepala UPTD RPH, kepada seluruh
pemateri drh. Yulimah Kasmaisari, Razali, SP, Heriansyah, SP, drh. Syafrizal,
M.Si, drh. Oki Komara, drh. Adil Umara, drh. Riska Anggita Sari, Afrizal dan
Sudirman yang telah membimbing dan juga menjaga kami selama berada di
UPTD RPH Banda Aceh. Selain itu penulis juga mengucapkan terima kasih
kepada koordinator Laboratorium Kesmavet Fakultas Kedokteran Hewan
Universitas Syiah Kuala drh. T. Reza Ferasyi, M.Sc serta semua pihak yang telah
membantu dan mendukung kami dalam menjalani koasistensi ini.
Penulis menyadari bahwa masih banyak terdapat kesalahan dalam
penyusunan laporan ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran
yang membangun demi kesempurnaan laporan ini demi hasil yang lebih baik di
lain waktu. Semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Akhirnya kepada
Allah SWT jualah kita meminta petunjuk, mudah-mudahan kita semua mendapat
lindungan dan petunjuk. Amin ya Rabbal’ Alamin.

Banda Aceh, 28 Juli 2019


KELOMPOK 1

i
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Pertambahan populasi penduduk dan meningkatnya pendapatan penduduk
Kota Banda Aceh menyebabkan permintaan produk peternakan terus meningkat.
Hal ini juga mempengaruhi jumlah pemotongan sapi di rumah pemotongan
hewan (RPH). Dari tahun 2014-2016 jumlah pemotongan sapi di rumah
pemotongan hewan Kota Banda Aceh adalah 8.534 ekor. Diperkirakan
permintaan dan kebutuhann daging ini akan terus meningkat (ODBA, 2017).
Daging adalah salah satu hasil dari kegiatan RPH yang mengandung nilai gizi
yang sangat baik untuk kesehatan dan pertumbuhan manusia. Tingkat kecernaan
protein daging sapi termasuk tinggi yaitu mencapai 95-100% (Gracey, 1999).
Rumah pemotongan hewan merupakan muara terakhir dari mata rantai
penyediaan daging. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 413
Tahun 1992, Rumah Pemotongan Hewan yang disebut dengan RPH adalah suatu
bangunan atau kompleks bangunan dengan desain dan syarat tertentu yang
digunakan sebagai tempat memotong hewan bagi konsumsi masyarakat umum.
Rumah Pemotongan Hewan sebagai tempat usaha pemotongan hewan dalam
penyediaan daging harus memperhatikan higenitas dan sanitasi penyembelihan,
pekerja dan lingkungan RPH maupun lingkungan di sekitarnya (Mentan, 1992).
Di Rumah Pemotongan Hewan, hewan yang disembelih akan terjadi
perubahan (konversi) dari otot (hewan hidup) ke daging, serta dapat terjadi juga
pencemaran mikroorganisme terhadap daging, terutama pada tahap eviserasi
(pengeluaran jeroan). Penanganan hewan dan daging di rumah pemotongan yang
kurang baik dan tidak higienis akan berdampak terhadap kehalalan, mutu,
keamanan daging dan kesehatan kepada masyarakat. Oleh sebab itu, penerapan
sistem jaminan mutu dan keamanan pangan di rumah pemotongan sangatlah
penting. Aspek yang perlu diperhatikan dalam sistem tersebut adalah higiene,
sanitasi, kehalalan, dan kesejahteraan hewan (Rochadi, 2012). Selain itu di rumah
potong hewan juga berfungsi sebagai tempat pengontrolan dan pemantauan
penyebaran penyakit zoonosis

1
2

Tujuan
Agar mahasiswa koasistensi dapat mengetahui prosedur penerimaan ternak
yang masuk di rumah potong hewan, dan pemeriksaan ante dan post mortem pada
ternak yang akan dikonsumsi serta mengetahui peraturan-peraturan tentang
penyembelihan hewan ternak ruminansia

Manfaat
1. Untuk memperoleh daging yang aman, utuh, sehat dan halal
2. Mencegah pemotongan hewan betina produktif
3. Pengontrolan penyebaran daging yang menyebabkan penyakit.
TINJAUAN PUSTAKA

Rumah Pemotongan Hewan


Pemotongan sapi harus dilakukan di rumah pemotongan hewan, karena
pemotongan harus diawasi dan harus melalui proses pemeriksaan ante-mortem
dan post-mortem untuk menghasilkan daging yang sehat dan layak untuk
dikonsumsi. Berdasarkan SK Mentan No. 413 Tahun 1992, Rumah Pemotongan
Hewan yang selanjutnya disebut dengan RPH adalah suatu bangunan atau
kompleks bangunan dengan desain dan syarat tertentu yang digunakan sebagai
tempat memotong hewan bagi konsumsi masyarakat umum. Rumah pemotongan
hewan merupakan unit pelayanan masyarakat dalam penyediaan daging yang
aman, sehat, utuh dan halal, sebagai tempat pemotongan hewan yang benar,
sebagai tempat pemantauan dan survailans penyakit hewan zoonosis (Mentan,
1992).
Kualitas dan kuantitas karkas dari seekor ternak selain dipengaruhi oleh
faktor pemeliharaan di peternakan, juga dipengaruhi oleh faktor penanganan
ternak pascapanen. Penanganan pascapanen meliputi transportasi, penyediaan
pakan dan minum saat transportasi, pengistirahatan ternak dan penanganan
sebelum ternak dipotong. Penanganan ternak sebelum dan selama pemotongan di
rumah pemotongan hewan, merupakan salah satu faktor penentuan kualitas
daging. Oleh karena itu sebuah rumah pemotongan hewan harus memiliki
persyaratan lokasi, sarana bangunan, higiene dan peralatan (BSN, 1999).
Berdasarkan perluasan dan peredaran daging yang dihasilkan, usaha
pemotongan hewan dibagi atas beberapa tipe, yaitu: 1) usaha pemotongan hewan
tipe A, yaitu usaha pemotongan hewan untuk penyediaan daging kebutuhan
ekspor; 2) usaha pemotongan hewan tipe B, yakni usaha pemotongan hewan
untuk penyediaan daging kebutuhan antar provinsi; 3) usaha pemotongan hewan
tipe C ditujukan untuk penyediaan daging kebutuhan antar kabupaten dan kota
dalam satu provinsi; dan 4) usaha pemotongan hewan tipe D yakni usaha
pemotongan hewan untuk penyediaan daging kebutuhan di dalam wilayah
kabupaten dan kota bersangkutan (BSN, 1999).

3
4

Persyaratan Rumah Pemotongan Hewan


Persyaratan RPH secara umum adalah tempat atau bangunan khusus untuk
pemotongan hewan yang dilengkapi dengan atap, lantai dan dinding, memiliki
tempat atau kandang untuk menampung hewan untuk diistirahatkan dan dilakukan
pemeriksaan ant-mortem dan pos-mortem dan syarat lainnya adalah memiliki
persediaan air bersih yang cukup, cahaya yang cukup, meja atau alat penggantung
daging agar daging tidak bersentuhan dengan lantai. Untuk menampung limbah
hasil pemotongan diperlukan saluran pembuangan yang cukup baik, sehingga
lantai tidak digenangi air buangan atau air bekas cucian.
Persyaratan sebuah rumah pemotongan hewan yang harus diperhatikan
adalah:
1. Lokasi Rumah Pemotongan Hewan
Lokasi RPH merupakan faktor yang harus diperhatikan supaya tidak
mencemari lingkungan. Oleh karena itu pada lokasi RPH yang direncanakan harus
dibangun sistem pengolahan limbah yang baik untuk limbah padat maupun limbah
cair. Lokasi RPH yang ideal harus berjarak 2-3 km dari rumah penduduk
(Simamora, 2002). Sedangkan menurut Rianto (2010) lokasi pembangunan rumah
pemotongan hewan tidak bertentangan dengan Rencana Umum Tata Ruang
(RUTR), Rencana Detail Tata Ruang (RDTR), dan Rencana Bagian Wilayah Kota
(RBWK). Tidak berada di bagian kota yang padat penduduknya dan letaknya
lebih rendah dari pemukiman penduduk, tidak berada dekat industri logam atau
kimia serta daerah rawan banjir, dan lahan luas.
2. Bangunan Rumah Pemotongan Hewan
Menurut Burhanuddin (2005) Persyaratan Bangunan Rumah Pemotongan
Hewan terdiri dari : 1. Bangunan harus berventilasi cukup, tahan terhadap
serangga, lalat dan binatang kecil pengganggu. 2. Lantai beton atau bahan lain
kedap air, tidak licin, tahan arus listrik dan karat dengan kemiringan lantai satu
inchi (2,5 cm) untuk drainase. 3. Permukaan dinding bagian dalam ruang RPH
harus dilapisi bahan licin/halus dan keras, kedap air, mudah dibersihkan dan
berwarna terang. 4. Permukaan langit-langit (plafon) dilapisi bahan kedap air,
tahan debu, mudah dicuci. 5. Penerangan, minimal 20 fc (foot candle) untuk ruang
5

pemotongan dan 50 fc untuk ruang pemeriksaan daging. 6. Panggung (platform),


tangga, bangunan miring untuk peluncur (chute), meja dan semua peralatan
terbuat dari logam tahan karat (stainless steel). 7. Semua bagian luar pintu keluar
masuk harus dilapisi dengan bahan yang halus, bahan tahan karat (stainless steel),
dan kedap air bukan dari kayu. 8. Rel untuk menggantung karkas harus berjarak
satu meter dari dinding terdekat. 9. Semua ruangan tempat penanganan karkas,
daging dan produk hewan, tempat cuci harus dilengkapi dengan sabun dan tissue.
10. Tidak boleh ada pintu dari fasilitas toilet (WC) yang menghadap atau
membuka ke dalam ruang pemotongan atau ke tempat penanganan karkas atau
daging. 11. Terdapat area terpisah untuk penyembelihan (bleeding), pengerjaan
karkas (carcass dressing), pembersihan hasil ikutan karkas (offals), dan
penempatannya. 12. Terdapat ruang afkiran (condemen meat) dengan luas
proporsional dengan jumlah karkas yang diproses/dihasilkan (turn over) tiap hari.
13. Kapasitas ruang pendingin (chilling room) untuk pelayuan (aging) sesuai
dengan besarnya pasokan daging selama tiga hari sebagai tambahan untuk cold
storage. 14. Ruangan untuk penanganan dan penyimpanan kulit baru yang masih
berbulu (hide) dan kulit yang sudah bersih/tanpa bulu (skin) harus jauh.
3. Sarana Pendukung.
Berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 13 / Permentan / Ot.140 / 1 /
2010, RPH harus dilengkapi dengan sarana/prasarana pendukung paling kurang
meliputi: a) akses jalan yang baik menuju RPH yang dapat dilalui kendaraan
pengangkut hewan potong dan kendaraan daging, b) sumber air yang memenuhi
persyaratan baku mutu air bersih dalam jumlah cukup, paling kurang 1.000
liter/ekor/hari, sumber tenaga listrik yang cukup dan tersedia terus menerus, dan
c) fasilitas penanganan limbah padat dan cair (Permentan, 2010). Menurut Aurora
(2014), penanganan limbah yang baik adalah dengan membuat lubang khusus dan
menutupnya kembali karena dapat mengurangi pencemaran lingkungan. Limbah
hasil hewan ternak dapat menimbulkan polusi air, tanah dan udara. Hal ini dapat
terjadi jika limbah tidak ditangani dengan baik, atau jika limbah langsung
dialirkan begitu saja ke selokan atau sungai (Simamora, 2004).
6

Daging merupakan produk peternakan yang mudah rusak, oleh sebab itu
dibutuhkan rencana tata ruang yang baik dan benar. Berikut ini Tata ruang rumah
pemotongan hewan berdasarkan tipenya:
1. Rumah pemotongan hewan tipe D
Rumah pemotongan hewan tipe D, adalah rumah pemotongan hewan yang
mana menyediakan daging untuk kebutuhan wilayah kota atau kabupaten
bersangkutan. Jumlah pemotongan hewannya 5-15 ekor/hari (BSN, 1999). Tata
ruang dari rumah pemotongan hewan tipe D adalah:
a. Lokasi tidak menimbulkan gangguan lingkungan, mudah dicapai dengan
kendaraan, dan kompleks RPH harus dipagar.
b. Memiliki ahli kesehatan veteriner.
c. Sarana yang harus ada adalah: ruang pemotongan, ruang penanganan karkas,
pakaian pekerja, ruang pemeriksaan daging, persediaan air, penerangan,
kebersihan.
d. Bangunan RPH terdiri dari:
- Bangunan utama RPH: Ruang penyembelihan, pengulitan, pengeluaran
jeroan, pembagian karkas, dan pemeriksaan daging.
- Kandang penampung.
- Laboratorium sederhana.
- Incenerator.
- Kandang isolasi.
- Unit pengolahan limbah cair.
- Unit penampungan sementara limah padat.
- Ruang administrasi, gudang, toilet dan tempat parkir.
2. Rumah pemotongan hewan Tipe C
Rumah pemotongan hewan tipe C adalah rumah pemotongan hewan yang
menyediakan daging untuk kebutuhan antar kabupaten dan kota dalam satu
provinsi. Jumlah pemotongannya adalah 15-25 ekor/hari (BSN, 1999). Tata ruang
rumah pemotongan hewan tipe C adalah:
a. Persyaratan minimal sama dengan RPH tipe D.
b. Perlengkapan tambahan:
7

- Lairage berlantai semen.


- Laboratorium yang mampu mengidentifikasi kuman.
- Tempat pemotongan ternak darurat.
- Unit pemisahan limbah padat.
- Memiliki tempat pelayuan, dinding terbuat dari bahan kedap air setinggi
minimal 2 meter dan dilengkapi dengan exhauster.
- Dilengkapi dengan alat penimbang karkas.
3. Rumah pemotongan hewan tipe B
Rumah pemotongan hewan tipe B adalah rumah pemotongan hewan yang
menyediakan daging untuk kebutuhan provinsi. Jumlah pemotongannya 25-100
ekor/hari (BSN, 1999). Tata ruang rumah pemotongan hewan tipe B adalah:
a. Syarat minimal seperti RPH tipe C.
b. Perlengkapan tambahan:
- Laboratorium mampu mendeteksi residu antibiotik.
- Pengolahan limbah secara fisik dan biologi.
- Lairage berjarak minimal 50 meter dari bangunan utama.
- Incenerator dengan pembakaran bertekanan tinggi.
c. Ruang khusus untuk pencucian dan perebusan jeroan.
d. Ruang pelayuan dengan temperatr 180C.
e. Dinding bagian dalam bangunan utama terbuat dari porselin.
f. Tersedia sumber air panas untuk pencucian peralatan.
g. Tersedia ruang ganti pakaian untuk pekerja, memikiki transportasi daging
dengan alat pendingin atau tidak ada alat pendingin sesuai dengan jarak
angkut.
h. Memiliki tenaga dokter hewan.
4. Rumah pemotongan hewan tipe A
Rumah pemotongan hewan tipe A adalah rumah pemotongan hewan yang
menyediakan daging untuk kebutuhan ekspor. Jumlah pemotongannya > 100
ekor/hari (BSN, 1999). Tata ruang rumah pemotongan hewan tipe A adalah:
a. Minimalnya sama dengan tipe B
8

b. Memiliki ruang pendingin yang dilengkapi dengan pintu pengaman tahan


karat dan pengatur suhu.
c. Ruang pelepasan daging dan tulang bersuhu 100C.
d. Ruang pembungkusan.
e. Laboratorium memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi residu hormon.
f. Memiliki ruang ganti pakaian, ruang istirahat, loker dan kantin.
g. Memiliki kendaraan khusus yang memiliki pendingin dan dinding mobil
mudah dibersihkan dan tidak korosif.

Prosedur Penyembelihan
Proses pemotongan ternak di Indonesia harus benar-benar memperhatikan
hukum-hukum agama Islam, karena ada kewajiban menjaga ketentraman batin
masyarakat. Pada pelaksanaannya ada 2 cara yang digunakan di Indonesia yaitu,
Tidak dengan pemingsanan, cara ini banyak dilakukan di rumah potong
tradisional. Penyembelihan dengan cara ini ternak direbahkan secara paksa
dengan menggunakan tali temali yang diikatkan pada kaki-kaki ternak yang
dihubungkan dengan ring-ring besi yang tertanam pada lantai rumah pemotongan.
Dengan menarik tali-tali ini ternak akan rebah. Pada penyembelihan dengan
sistem ini diperlukan waktu kurang lebih 3 menit untuk mengikat dan merebahkan
ternak. Pada saat ternak rebah akan menimbulkan rasa sakit karena ternak masih
dalam keadaan sadar (Kartasudjana, 2011).
Dengan pemingsanan, pemingsanan dilaksanakan dengan alasan untuk
keamanan, menghilangkan rasa sakit sesedikit mungkin pada ternak, memudahkan
pelaksanaan penyembelihan dan kualitas kulit dan karkas yang dihasilkan lebih
baik. Pemingsanan dapat dilakukan dengan berbagai cara, yaitu dengan alat
pemingsan knocker, senjata pemingsan stunning gun, pembiusan dan arus listrik.
Alat yang sering digunakan adalah captive bolt, yaitu suatu tongkat berbentuk
silinder selongsong kosong yang mempunyai muatan eksplosif yang ditembakkan
oleh suatu tekanan pada kepala sapi. Alat pemingsan diarahkan pada bagian titik
tengan tulang kening kepala sapi sedikit keatas antara kedua kelopak mata,
sehingga peluru diarahkan pada bagian otak. Peluru yang ditembakkan akan
9

mengenai otak dengan kecepatan tinggi, sehingga sapi menjadi pingsan


(Soeparno, 1992).
Di Indonesia penyembelihan dilakukan dengan tata cara agama Islam sesuai
dengan fatwa Majelis Ulama Indonesia antara lain: 1. Hewan dirobohkan dengan
kepala menghadap ke arah kiblat, 2. Membaca Basmalah, 3. Pisau yang
digunakan untuk menyembelih hewan kurban harus tajam . Hewan disembelih
dengan sekali gerakan tanpa mengangkat pisau dari leher pada saat memotong 3
(tiga) saluran sekaligus, yaitu: a. Saluran makanan (mar'l) b. Pembuluh darah
(wadajain) c. Memutus saluran nafas (hulqum) 4. Proses selanjutnya dilakukan
setelah hewan benar-benar mati sempurna ( Depertemen Agama, 2013).
Menurut Dirjen Peternakan Depertemen Pertanian Standard Operational
Procedure (SOP) penyembelihan hewan adalah:
A. Persiapan Penyembelihan/ Pemotongan adalah langkah sebelum hewan di
potong, hal yang harus diperhatikan adalah: 1) ruang proses produksi dan
peralatan harus dalam kondisi bersih sebelum dilakukan proses
penyembelihan/pemotongan, 2) hewan ternak harus ditimbang sebelum
dipotong. 3) hewan ternak harus dibersihkan terlebih dahulu dengan air
(disemprot air) sebelum memasuki ruang pemotongan, 4) hewan ternak
digiring dari kandang penampungan ke ruang pemotongan melalui gang way
dengan cara yang wajar dan tidak membuat stress.
B. Penyembelihan, meliputi: 1) hewan ternak dapat dipingsankan atau tidak
dipingsankan, 2) apabila dilakukan pemingsaan, maka tata cara pemingsanan
harus mengikuti Fatwa MUI tentang tata cara pemingsanan hewan yang
diperbolehkan, 3) apabila tidak dilakukan pemingsanan, maka tata cara
menjatuhkan hewan harus dapat meminimalkan rasa sakit dan stress (missal
menggunakan re-straining box), 4) apabila hewan ternak telah rebah dan telah
diikat (aman) segera dilakukan penyembelihan sesuai dengan syariat Islam
yaitu memotong bagian ventral leher dengan menggunakan pisau yang tajam,
sekali tekan tanpa diangkat sehingga memutus saluran makan, nafas dan
pembuluh darah sekaligus, 5) proses selanjutnya dilakukan setelah hewan
ternak benar-benar mati dan pengeluaran darah sempurna, 6) setelah hewan
10

ternak tidak bergerak lagi, leher dipotong dan kepala dipisahkan dari badan,
kemudian kepala digantung untuk dilakukan pemeriksaan selanjutnya, 7) pada
RPH yang fasilitasnya lengkap, kedua kaki belakang pada sendi tarsus dikait
dan dikerek (hoisted), sehingga bagian leher ada di bawah, agar pengeluaran
darah benar-benar sempurna dan siap untuk proses selanjutnya, 8) untuk RPH
yang tidak memiliki fasilitas hoist, setelah hewan benar-benar tidak bergerak,
hewan dipindahkan ke atas keranda/penyangga karkas (cradle) dan siap untuk
proses selanjutnya.
C. Tahap Pengulitan, meliputi: 1) sebelum proses pengulitan, harus dilakukan
pengikatan pada saluran makan di leher dan anus, sehingga isi lambung dan
feses tidak keluar dan mencemari karkas, 2) pengulitan dilakukan bertahap,
diawali membuat irisan panjang pada kulit sepanjang garis dada dan bagian
perut, 3) irisan dilanjutkan sepanjang permukaan dalam (medial) kaki 4) kulit
dipisahkan mulai dari bagian tengah ke punggung, 5) pengulitan harus hati-hati
agar tidak terjadi kerusakan pada kulit dan terbuangnya daging.
D. Pengeluaran Jeroan, meliputi: 1) rongga perut dan rongga dada dibuka dengan
membuat irisan sepanjang garis perut dan dada, 2) organ-organ yang ada di
rongga perut dan dada dikeluarkan dan dijaga agar rumen dan alat pencernaan
lainnya tidak robek, 3) dilakukan pemisahan antara jeroan merah (hati, jantung,
paru-paru, tenggorokan, limpa, ginjal dan lidah) dan jeroan hijau (lambung,
usus, lemak dan esophagus).
E. Pembelahan Karkas, dengan tahapan: 1) karkas dibelah dua sepanjang tulang
belakang dengan kampak yang tajam atau mesin yang disebut automatic cattle
splitter, 2) karkas dapat dibelah dua/empat sesuai kebutuhan.
F. Pelayuan meliputi: 1) karkas yang telah dipotong/dibelah disimpan diruang
yang sejuk, 2) karkas selanjutnya siap diangkut ke pasar.
G. Pengangkutan Karkas meliput: 1) karkas/daging harus diangkut dengan
angkutan khusus daging yang didesain dengan boks tertutup, sehingga dapat
mencegah kontaminasi dari luar, 2) jeroan dan hasil sampingannya diangkut
dengan wadah dan atau alat angkut yang terpisah dengan alat angkut
karkas/daging, 3) karkas/daging dan jeroan harus disimpan dalam
11

wadah/kemasan sebelum disimpan dalam boks alat angkut, 4) untuk menjaga


kualitas daging dianjurkan alat angkut karkas/daging dan jeroan dilengkapi
dengan alat pendingin (refrigerator).

Pemeriksaan Antemortem
Untuk mendapatkan daging yang berkulitas bagus harus dilakukan
pemeriksaan, baik sebelum penyembelihan (antemortem) maupun setelah
penyembelihan (posmortem). Pada pemeriksaan antemortem hal-hal yang harus
diperhatikan adalah;
1. Mengidentifikasi dan memisahkan pemotongan ternak-ternak yang
terkontaminasi/terserang penyakit terutama penyakit yang dapat menulari
ke manusia yang mengkonsumsinya.
2. Mengidentifikasi dan memisahkan pemotongan ternak yang dicurigai
terkontaminasi penyakit, dengan syarat dagingnya baru bisa dijual bila telah
dilakukan pemeriksaan post-mortem dan ternak-ternak ini harus dipotong
terpisah dengan ternak-ternak lain yang sehat.
3. Mencegah agar ternak yang kotor tidak memasuki rumah pemotongan, untuk
mencegah agar lantai rumah pemotongan tidak kotor. Ternak yang kotor
dalam rumah pemotongan akan menjadi sumber kontaminasi bakteri yang
sangat tinggi terhadap karkas.
4. Melakukan pemeriksaan epizootic (penyakit-penyakit ternak yang bisa
menular pada manusia). Pemeriksaan terhadap jenis penyakit ini harus
dilakukan sedini mungkin seperti pada penyakit Mulut dan Kuku, Anthrax
dan penyakit lain yang sejenis.
5. Memeriksa umur ternak dengan teliti dan benar, agar tidak tertukar antara
daging dari ternak muda yang kualitas baik dengan daging yang berasal dari
ternak yang sudah tua yang umumnya kualitas kurang baik.
6. Ternak yang akan dipotong harus diawasi siang dan malam, karena serangan
penyakit bisa datang sewaktu-waktu, sehingga bila ada yang terserang
mendadak dapat segera diketahui sedini mungkin.
12

7. Cara hewan bergerak dan respon hewan terhadap benda yang dilihatnya. Pada
hewan yang sakit respon terhadap benda disekitar kurang baik dan pergerakan
dari hewan tersebut akan lambat.
8. Permukaan luar kulit pun harus diperhatikan dengan baik. Hewan yang sehat
bulunya akan terlihat mengkilat dan turgornya baik, selain itu kelenjar-
kelenjar limfe dibawah kulit harus diperhatikan, bila ada pembengkakan
harus dicurigai hewan itu terkena penyakit.
9. Pada alat pencernaan yang harus mendapat perhatian adalah bibir dan hidung
apakah basah atau tidak, cara mengunyah atau memamah biak.
10. Kondisi tubuh hewan apakah gemuk, kurus atau sedang (Kartasudjana, 2011)

Pemeriksaan Postmortem
Pemeriksaan posmortem adalah pemeriksaan yang dilakukan setelah
penyembelihan, pemeriksaan yang dilakukan adalah pemeriksaan karkas, kelenjar
limfe, pemeriksaan kepala meliputi mulut, lidah bibir dan otot maseter, dan
pemeriksaan paru, jantung, ginjal, hati serta limpa. Jika terjadi kondisi abnormal
lain pada karkas, organ-organ internal atau bagian-bagian karkas lainnya, maka
dilakukan pemeriksaan lebih lanjut. Untuk menentukan layak dikonsumsi atau
tidak (Rochadi, 2012).
Menurut Kartasudjana (2011) maksud diadakannya pemeriksaan postmortem
adalah: 1) melindungi konsumen dari penyakit yang dapat ditimbulkan karena
makan daging yang tidak sehat. 2) melindungi konsumen dari pemalsuan daging.
Kelengkapan pemeriksaan postmortem tergantung pada: 1) tersedianya petugas
yang ahli. 2) adanya fasilitas yang memadai untuk melaksanakan pemeriksaan
postmortem, 3) tersedianya fasilitas laboratorium di rumah potong hewan, untuk
pemeriksaan bakteriologi, parasitologi dan biokimia bila ada bahan yang
dicurigai. Bila pada tahap awal pemeriksaan ditemukan hal yang mencurigakan
maka pemeriksaan harus dilakukan dengan lebih teliti di laboratorium yang lebih
lengkap dengan tenaga ahli laboratorium diagnostik. Pemeriksaan juga dengan
cara meraba serta menekan (palpasi). Jika diperlukan dilakukan penyayatan
(insisi).
13

Penyakit di Rumah Potong Hewan


Penyakt yang sering di jumpai pada rumah potong hewan adalah sebagai
berikut:
1. Distomatosis (Fascioliasis), terutama pada ruminansia (sapi, domba, kambing),
penyebabnya adalah Fasciola gigantica dan fasciola hepatica.
2. Sindrom Sapi Ambruk (SSA, Downer cow syndrome), gangguan fungsional
yang bersifat kompleks, sering kali ditemukan pada sapi perah dengan
kebanyakan diawali gejala milk fever dan penderita tidak mampu bangun
meskipun telah dilakukan pengobatan.
3. Hipokalsemia, sapi yang mengalami distokia dapat mengalami kepayahan
selama dan setelah melahirkan, hingga sapi tidak mampu bangun.
4. Kerusakan sel dan jaringan dapat berbentuk sebagai berikut (a) pencucuran
darah misalnya oleh cacing Ancylostoma sp, Ostertagia sp, Hemonchus sp,
bunostomum sp, (b) Atrofi dan penyumbatan saluran usus atau saluran empedu
misalnya oleh cacing Ascaris sp dan Fasciola sp, (c) Invasi terhadap sel
jaringan misalnya oleh Coccidia dan (d) radang lokal baik oleh larva maupun
parasit dewasa seperti yang dilakukan oleh cacing dewasa Ostertagia dan
cacing muda paramphistomum, larva Oesophagostomum sp dan strongylus sp
(Subronto, 2004)
HASIL PEMERIKSAAN

Adapun hasil kegiatan koasistensi yang diperoleh selama delapan hari yang
dimulai dari tanggal 21 Juli sampai 27 Juli 2019 berada di UPTD Rumah Potong
Hewan (RPH) baik kegiatan internal atau kegiatan yang dilakukan dalam
lingkungan RPH dan kegiatan eksternal atau kegiatana diluar lingkungan RPH
adalah sebagai berikut:
1. Pemantauan hewan ternak yang masuk ke UPTD Rumah Potong Hewan
(RPH) dengan melakukan pemeriksaan dokumen.
2. Pengawasan dan pemeriksaan antemortem dan postmortem terhadap ternak
yang masuk ke UPTD Rumah Potong Hewan (RPH).
3. Pemantauan terhadap prosedur pemotongan/penyembelihan hewan ternak
yang masuk ke UPTD Rumah Potong Hewan (RPH).
4. Pengawasan terhadap pemotongan ternak betina produktif dan bunting yang
masuk ke UPTD Rumah Potong Hewan (RPH).
Adapun kegiatan yang dilakukan selama berada di UPTD Rumah Potong
Hewan (RPH) sebagai berikut:
a. Pemeriksaan Antemortem

14
15

b. Pemeriksaan Postmortem

Gambar 1. Paramphistomum, sp. Gambar 2. Fasciola, sp. pada hati


pada rumen
PEMBAHASAN

Adapun pembahasan berdasarkan hasil kegiatan yang dilakukan selama di


UPTD Rumah Potong (RPH) adalah setiap pemotongan hewan di Rumah Potong
Hewan (RPH) harus dilakukan dengan memperhatikan kaidah-kaidah yang telah
ditetapkan oleh pemerintah. Penetapan aturan maupun teknis pelaksaan
pemotongan di RPH dimaksudkan sebagai upaya penyediaan pangan asal hewan
khususnya daging ASUH (aman, sehat utuh, dan halal). Untuk medapatkan daging
ASUH yang bersumber dari RPH maka sudah seharusnya RPH memiliki prosedur
operasional standar yang dijadikan dasar atau patokan dalam menyelenggarakan
fungsi RPH sebagai tempat pemotongan, pengulitan, pelayuan, dan akhirnya
penyediaan daging untuk konsumen.

Proses pemotongan di Rumah Potong Hewan Banda Aceh


1. Tahap penerimaan dan penampungan hewan
Prosedur operasional meliputi:
a. Hewan yang baru tiba di RPH diturunkan dari alat angkut denganc ara hati-
hati sehingga hewan tidak menjadi stres.
b. Melakukan pemeriksaan dokumen meliputi surat-surat asal hewan dan
kesehatan hewan tempat asal.
c. Ternak sebelum disembelih, diistirahatkan terlebih dahulu selama 12 jam
sampai 24 jam. Ternak diistirahatkan mempunyai maksud agar ternak tidak
stress, darah dapat keluar sebanyak mungkin dan tersedia energi agar proses
rigormortis berjalan sempurna (Agustina, 2017).

2. Tahap pemeriksaan antemortem


Pemeriksaan Ante Mortem adalah serangkaian prosedur pemeriksaan atau uji
terhadap hewan hidup sebelum pemotongan / penyembelihan untuk menentukan
apakah hewan boleh disembelih atau tidak (SNI, 1999).
Tahapan pemeriksaan antemortem:

16
17

a. Pemeriksaan antemortem dilakukan oleh dokter hewan atau petugas yang


ditunjuk di bawah pengawasan dokter hewan sesuai dengan prosedur yang
ditetapkan (Surat Keputusan Bupati/Walikota /Kepala Dinas).
b. Pemeriksaan Ante Mortem yang dilakukan oleh dokter hewan/petugas
ditunjuk di bawah pengawasan dokter hewan dengan cara pengamatan
keseluruhan ternak secara umum. Pemeriksaan ini meliputi keadaan umum
hewan, lubang-lubang tubuh hewan, pernafasan, temperatur tubuh, dan
selaput-selaput lendir (SNI, 1999).
c. Hewan yang dinyatakan sakit atau diduag sakit dan tidak boleh dipotong atau
ditunda pemotongannya, harus segera dipisahkan dan ditempatkan pada
kandang isolasi untuk pemeriksaan lebih lanjut.
d. Apabila ditemukan penyakit menular (zoonosis), maka dokter hewan/petugas
yang ditunjuk di bawah pengawasan dokter hewan harus segera mengambil
tindakan sesuai prosedur yang telah ditetapkan.
Keputusan pemeriksaan antemortem menurut Surat Keputusan Menteri
Pertanian No.413/Kpts/TN.310/7/1992 yaitu :
1) Hewan potong diizinkan dipotong tanpa syarat, apabila dalam pemeriksaan
antemortem ternyata hewan potong tersebut sehat,
2) Hewan potong diizinkan dipotong dengan syarat, apabila dalam pemeriksaan
antemortem ternyata bahwa hewan tersebut menderita atau menunjukkan
gejala penyakit; coryza gangrenosa bovum, haemorraghic septicaemia,
cachexia influenza equorum, epithelimia, aktinomikosis, aktinobasilosis,
piroplasmosis, mastitis, brusellosis, surra, arthritis, hernia, edema, fraktura,
abses, dan tuberculosis,
3) Ditunda untuk dipotong, pada keadaan-keadaan ; hewan yang lelah,
pemeriksaan belum yakin bahwa hewan yang bersangkutan adalah sehat oleh
karenanya harus dalam pengawasan,
4) Hewan potong ditolak untuk disembelih dan kemudian dimusnahkan menurut
ketentuan yang berlaku di Rumah Potong Hewan atau tempat potong yang
lain, apabila dalam pemeriksaan antemortem ternyata ditemukan bahwa
hewan potong tersebut menderita atau menunjukkan gejala penyakit; anemia
18

contagious equorum, pleura pneumonia contagious bovum, apthae


epizootica, morbus maculosus equorum, rinderpest, variola ovine, pestis
bovine, blue tongue akut, radang pada gangren emphisematosa, malleus,
rabies, sakaromikosis akut dan kronis, mikotoksitosis, kolibasilosis,
botulismus, listeriosis, tetanus, busung gawat, dan toksoplasmosis akut.

3. Persiapan penyembelihan/pemotongan
a. Ruang proses produksi dan peralatan harus dalam kondisi bersih sebelum
dilakukan proses penyembelihan/pemotongan.
b. Hewan ternak harus ditimbang sebelum dipotong
c. Hewan ternak harus dibersihkan terlebih dahulu dengan air (disemprot air)
sebelum memasuki ruang pemotongan.
d. Hewan ternak digiring dari kandang penampungan ke ruang pemotongan
melalui gang way dengan cara wajar dan tidak membuat stress.

4. Penyembelihan
a. Hewan dijatuhkan dengan meminimalisir rasa sakit dan stress (dengan
menggunakan straining box)
b. Apabila hewan telah rebah dan telah diikat segera dilakukan penyembelihan
sesuai dengan syariat islam yaitu memotong bagian ventral leher dengan
menggunakan pisau yang tajam sekali tekan tanpa dangkat sehingga memutus
saluran makan, nafas, dan pembuluh darah sekaligus.
c. Proses pengulitan dilakukan stelah hewan benar-benar mati dan pengeluaran
darah sempurna.

5. Tahap pengulitan
a. Sebelum proses pengulitan, harus dilakukan pengikatan pada saluran makan
di leher dan anus, sehingga isi lambung dan feses tidak keluar dan mencemari
karkas.
b. Pengulitan dilakukan bertahap, diawali membuat sayatan panjang pada kulit
sepanjang garis dada dan bagian perut.
19

c. Sayatan dilanjutkan sepanjang permukaan dalam (medial kaki).


d. Kulit dipisahkan mulai dari bagian tengah ke punggung.
e. Pengulitan harus hati-hati agar tidak terjadi kerusakan pada kulit dan
terbuangnya daging.

6. Pengeluaran jeroan
a. Rongga dada dan perut dibuka dengan membuat sayatan sepanjang garis prut
dan dada.
b. Organ-organ yang ada di rongga dada dan perut dikeluarkan dan dijaga agar
rumen dan alat perncernaan lannya tidak robek.
c. Dilakukan pemisahan antara jeroan merah (hati, jantung, paru-paru,
tenggorokan, limpa, ginjal, dan lidah) dan jeroan hijau ( lambung, usus, dan
esofagus).

7. Tahap pemeriksaan posmortem


a. Pemeriksaan postmortem dilakukan oleh dokter hewan atau petugas yang
ditunjuk di bawah pengawasan dokter hewan.
b. Pemeriksaan post mortem dilakukan mulai dari kepala, trakhea, paru-paru,
jantung, hati, limpa, ginjal, dan karkas (SNI, 1999).
c. Karkas dan organ yang dinyatakan ditolak atau dicurigai harus segera
dipisahkan untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut.
d. Apabila ditemukan penyakit hewan menular dan zoonosis, maka dokter
hewan harus segera mengambil tindakan sesuai dengan prosedur yang
ditetapkan.
Keputusan pemeriksaan Post Mortem adalah:
1) Dapat diedarkan untuk konsumsi, yaitu:
a) Daging dari hewan potong yang tidak menderita suatu penyakit
b) Daging dari hewan potong yang menderita penyakit arthritis, hernia,
fraktura, apses, epithelimia, aptinomikosys, aptimobacillosis dan mastitis
serta penyakit lain yang bersifat lokal setelah bagian-baginan yang tidak
layak untuk dikonsumsi manusia dibuang.
20

2) Dapat diedarkan untuk konsumsi dengan syarat sebelum peredaran, yaitu


daging yang merupakan bagian dari hewan potong yang menderita penyakit
tertentu dan harus dikenakan perlakukan tertentu, misalnya Trichinellosis
ringan harus dimasak dulu sebelum diedarkan.
3) Dapat diedarkan untuk konsumsi dengan syarat selama peredaran, yaitu
daging yang warna, konsistensi dan baunya tidak normal, Septichaemia,
Cachexia, Hydrops dan Oedema. Penjualan daging ini dilakukan di RPH atau
tempat penjualan lain yang ditunjuk dan dibawah pengawasan petugas
pemeriksa yang berwenang setelah bagian-bagian yang tidak layak dikonsumsi
dibuang.
4) Dilarang diedarkan dan dikonsumsi, adalah daging yang berbahaya bagi
konsumsi manusia karena berasal dari hewan potong yang mengandung
penyakit misalnya malleus, rabies dan anthrax.
Daging dinyatakan baik diberi cap dan siap diedarkan untuk konsumsi masyarakat
(SNI, 1999).

8. Pembelahan karkas
a. Karkas dibelah dua sepanjang tulang belakang dengan kampak yang tajam
b. Karkas dapat dibelah duat atau empat sesuai kebutuhan

9. Pelayuan
a. Karkas yang telah dipotong/dibelah disimpan diruang sejuk
b. Karkas selanjutnya diangkut ke pasar.

10. Pengangkutan karkas


a. Karkas/daging harus diangkut dengan angkutan khusus yang di desain dengan
boks tertutup yang terbuat dari bahan yang tidak toksik, boks dilengkapi
dengan alat pendngin dengan suhu ±7℃ (SNI, 1999).
b. Jeroan dan hasil sampingannya diangkut dengan wadah/kemasan sebelum
disimpan dalam boks alat angkut.
PEMBAHASAN KASUS

Dari hasil pemeriksaan sampel feses ditemukan beberapa parasit diantara


caing nematoda, trematoda dan ektoparasit yaitu caplak. Berikut beberapa uraian
tentang parasit yang didapat pada saat pemeriksaan sampel feses sapi yang ada di
Rumah Potong Hewan Banda Aceh.

TREMATODA
1. Fasciola sp
a. Etiologi dan morfologi Fasciola sp.
Cacing Fasciola sp. diklasifikasikan ke dalam filum Platyhelmintes, kelas
Trematoda, ordo Digenea, family Fasciolidae, genus Fasciola, spesies Fasciola
hepatica dan Fasciola gigantica.

Morfologi Fasciola sp. (Nguyen, 2012)


Fasciola gigantica berukuran 25-27 x 3-12 mm, mempunyai pundak sempit,
ujung posterior tumpul, ovarium lebih panjang dengan banyak cabang, sedangkan
Fasciola hepatica berukuran 35 x 10 mm, mempunyai pundak lebar dan ujung
posterior lancip. Telur Fasciola gigantica memiliki operkulum, berwarna emas
dan berukuran 190 x 100 μ, sedangkan telur Fasciola hepatica juga memiliki
operkulum, berwarna kuning emas dan berukuran 150 x 90 μ (Baker, 2007).
Fasciola gigantica berukuran 25-27 x 3-12 mm, mempunyai pundak sempit,

21
22

ujung posterior tumpul, ovarium lebih panjang dengan banyak cabang, sedangkan
Fasciola hepatica berukuran 35 x 10 mm, mempunyai pundak lebar dan ujung
posterior lancip. Telur Fasciola gigantica memiliki operkulum, berwarna emas
dan berukuran 190 x 100 μ, sedangkan telur Fasciola hepatica juga memiliki
operkulum, berwarna kuning emas dan berukuran 150 x 90 μ (Baker, 2007).

Purwanta, dkk. (2009) mengemukakan unsur-unsur yang tampak jelas pada telur
Fasciola sp. yang dilihat di bawah mikroskop dengan perbesaran 10 x 10 ialah
sel-sel kuning telur (yolk) dan sel germinal yang tampak transparan di daerah
operkulum pada salah satu kutubnya.

b. Siklus Hidup
23

Siklus hidup berbagai spesies Fasciola sp. umumnya memiliki pola yang
sama, dengan variasi pada ukuran telur, jenis siput sebagai hospes perantaranya
dan panjang waktu yang diperlukan untuk berkembang di dalam hospes tersebut,
maupun pertumbuhannya dalam hospes definitif (Subronto, 2007). Di dalam
tubuh hospes yaitu ternak, ikan, dan manusia, cacing dewasa hidup di dalam hati
dan bertelur di usus, kemudian telur keluar bersama dengan feses. Telur menetas
menjadi larva dengan cilia (rambut getar) di seluruh permukaan tubuhnya yang
disebut mirasidium. Larva mirasidium kemudian berenang mencari siput Lymnea.
Mirasidium akan mati bila tidak masuk ke dalam siput air tawar (Lymnea
rubiginosa).
Setelah berada dalam tubuh siput selama 2 minggu, mirasidium akan berubah
menjadi sporosis. Larva tersebut mempunyai kemampuan reproduksi secara
aseksual dengan cara paedogenesis di dalam tubuh siput, sehingga terbentuk larva
yang banyak. Selanjutnya sporosis melakukan paedogenesis menjadi beberapa
redia, kemudian redia melakukan paedogenesis menjadi serkaria. Larva serkaria
kemudian berekor menjadi metaserkaria, dan segera keluar dari siput dan
berenang mencari tanaman yang ada di pinggir perairan misalnya rumput,
tanaman padi atau tumbuhan air lainnya. Setelah menempel, metaserkaria akan
membungkus diri dan menjadi kista yang dapat bertahan lama pada rumput,
tanaman padi, atau tumbuhan air. Apabila tumbuhan tersebut termakan oleh
hewan ruminansia maka kista tersebut dapat menembus dinding usus, kemudian
masuk ke dalam hati, lalu ke saluran empedu dan menjadi dewasa selama
beberapa bulan sampai bertelur dan siklus ini terulang kembali (Ditjennak, 2012).
Di dalam tubuh hospes yaitu ternak, ikan, dan manusia, cacing dewasa hidup
di dalam hati dan bertelur di usus, kemudian telur keluar bersama dengan feses.
Telur menetas menjadi larva dengan cilia (rambut getar) di seluruh permukaan
tubuhnya yang disebut mirasidium. Larva mirasidium kemudian berenang
mencari siput Lymnea. Mirasidium akan mati bila tidak masuk ke dalam siput air
tawar (Lymnea rubiginosa). Setelah berada dalam tubuh siput selama 2 minggu,
mirasidium akan berubah menjadi sporosis. Larva tersebut mempunyai
kemampuan reproduksi secara aseksual dengan cara paedogenesis di dalam tubuh
24

siput, sehingga terbentuk larva yang banyak. Selanjutnya sporosis melakukan


paedogenesis menjadi beberapa redia, kemudian redia melakukan paedogenesis
menjadi serkaria. Larva serkaria kemudian berekor menjadi metaserkaria, dan
segera keluar dari siput dan berenang mencari tanaman yang ada di pinggir
perairan misalnya rumput, tanaman padi atau tumbuhan air lainnya. Setelah
menempel, metaserkaria akan membungkus diri dan menjadi kista yang dapat
bertahan lama pada rumput, tanaman padi, atau tumbuhan air. Apabila tumbuhan
tersebut termakan oleh hewan ruminansia maka kista tersebut dapat menembus
dinding usus, kemudian masuk ke dalam hati, lalu ke saluran empedu dan menjadi
dewasa selama beberapa bulan sampai bertelur dan siklus ini terulang kembali
(Ditjennak, 2012).
Pada pemeriksaan darah akibat fasciolosis akut ditemukan perubahan berupa
anemia normokromik, eosinophilia, dan hipoalbuminemia. Pada penyakit yang
berlangsung akut, daur hidup cacing belum sempurna dan telur cacing belum
dihasilkan sehingga dalam pemeriksaan feses tidak terlihat adanya telur Fasciola
sp. Pada fasciolosis subakut dan kronis anemia yang ditemukan bersifat
hipokromik, makrositik dan hipoproteinemia. Pada penyakit yang berlangsung
subakut maupun kronis, feses selalu mengandung telur Fasciola sp. Penemuan
telur cacing tidak selalu dapat dikaitkan pada beratnya kerusakan hati (Subronto,
2007).

c. Gejala Klinis
Fasciola sp. merupakan jenis parasit yang paling banyak menyerang sapi
Bali. Sapi yang terserang Fasciola sp. akan tampak pucat, lesu, mata
membengkak, tubuh kurus, dan bulu kasar serta kusam atau berdiri (Gambar 6).
Fasciola sp. yang masih muda merusak sel-sel parenkim hati dan cacing dewasa
hidup sebagai parasit dalam pembuluh-pembuluh darah yang ada di hati. Sapi
yang terserang Fasciola sp. mengalami gangguan fungsi hati, peradangan hati dan
empedu, obstipasi, serta gangguan pertumbuhan (Guntoro, 2002).
Tingkat infeksi fasciolosis bergantung pada jumlah metaserkaria yang tertelan
dan infektivitasnya. Bila metaserkaria yang tertelan sangat banyak akan
25

mengakibatkan kematian pada ternak sebelum cacing tersebut mencapai dewasa.


Manifestasi fasciolosis juga bergantung pada stadium infeksi yaitu migrasi cacing
muda dan perkembangan cacing dewasa dalam saluran empedu (Ditjennak, 2012).
Secara umum, bentuk infeksi Fasciola sp. dibagi menjadi bentuk akut,
subakut, dan kronis. Infeksi Fasciola sp. bentuk akut disebabkan oleh adanya
migrasi cacing muda di dalam jaringan hati sehingga menyebabkan kerusakan
jaringan hati. Ternak menjadi lemah, nafas cepat dan pendek, perut membesar
disertai rasa sakit. Fasciolosis bentuk subakut kurang atau bahkan sama sekali
tidak memperlihatkan gejala. Namun, pada waktu hewan tersebut dipekerjakan di
sawah, ditranportasikan, serta mengalami kelelahan dapat mengakibatkan
kematian mendadak. Fasciolosis bentuk kronis terjadi saat cacing mencapai
dewasa 4-5 bulan setelah infeksi dengan gejala anemia sehingga menyebabkan
Yternak lesu, lemah, nafsu makan menurun, cepat mengalami kelelahan, membran
mukosa pucat, diare, oedema di antara sudut dagu dan bawah perut, ikterus serta
kematian dapat terjadi dalam waktu 1-3 bulan (Subronto, 2007; Ditjennak, 2012).

d. Diagnosa
Diagnosa fasciolosis dapat dilakukan dengan 2 cara, yakni diagnosa klinis
dan diagnosa laboratorium. Diagnosa klinis berdasarkan gejala klinis sulit
dilakukan, maka sebagai penunjang diagnosa dapat digunakan pemeriksaan
ultrasonografi (USG), sedangkan diagnosa laboratorium dilakukan dengan
pemeriksaan feses, biopsi hati, uji serologi untuk deteksi antibodi dan antigen
serta western blotting (Ditjennak, 2012).
Penentuan diagnosa fasciolosis seekor hewan atau sekelompok hewan dapat
dibuktikan, salah satunya dengan melakukan pemeriksaan feses, yaitu
menemukan telur Fasciola sp. dalam feses dengan menggunakan metode
sedimentasi. Pada hewan yang berkelompok, diagnosa juga perlu diperkuat
dengan kerusakan hati salah satu hewan yang mati dengan melalui pemeriksaan
post-mortem. Kendala yang ditemukan pada pemeriksaan feses untuk mendeteksi
telur cacing adalah durasi infeksi Fasciola gigantica karena telur baru dapat
ditemukan 15 minggu setelah hewan terinfeksi, sedangkan untuk infeksi
26

Fasciolahepatica, telur baru dapat ditemukan 10 minggu setelah hewan terinfeksi.


Telur yang keluar secara intermitten bergantung pada pengosongan kantung
empedu. Telur Fasciola sp. sangat mirip dengan telur Paramphistomum sp. Telur
Fasciola sp. berwarna kekuningan, sedangkan telur Paramphistomum sp.
berwarna keabu-abuan. Untuk membedakan keduanya, dapat diamati dari
karakteristik telur, yakni ukuran telur Fasciola sp. lebih kecil dari
Paramphistomum sp., dinding telur Paramphistomum sp. lebih tipis sehingga
mudah menyerap zat warna empedu, yodium atau methylene blue. Selain itu, telur
Paramphistomum sp. memiliki sel-sel embrional yang lebih jelas terlihat
dibandingkan dengan telur Fasciola sp. (Subronto, 2007; Ditjennak, 2012).
Salah satu pendekatan alternatif untuk diagnosis fasciolosis adalah dengan uji
serologi dan coproantigen. Uji serologi dilakukan untuk mendeteksi adanya
antibodi dalam serum menggunakan ELISA. Uji ini dapat mendeteksi adanya
infeksi awal pada minggu ke 2 sampai minggu ke 4 setelah infeksi dengan
sensitivitas 91% dan spesifisitas 88% (Estuningsih, dkk., 2004a). Coproantigen
dilakukan untuk mendeteksi antigen dalam feses menggunakan Sandwich-ELISA.
Uji ini dapat mendeteksi adanya infeksi awal pada minggu ke 5 sampai minggu ke
9 setelah infeksi dengan sensitivitas 95% dan spesifisitas 91% (Estuningsih, dkk.,
2004b).

e. Pengobatan dan Pengendalian


Keberhasilan pengobatan fasciolosis bergantung pada efektivitas obat
terhadap stadium perkembangan cacing. Obat cacing yang digunakan harus
bersifat toksik minimal agar jaringan hati tidak mengalami kerusakan. Obat yang
baik adalah obat yang mampu membunuh Fasciola sp. yang sedang migrasi dan
cacing dewasa, serta tidak toksik pada jaringan (Subronto, 2007).
Pengobatan fasciolosis pada sapi, kerbau dan domba menggunakan Nitroxinil
dengan dosis 10 mg/kg sangat efektif dengan daya bunuh 100% pada infeksi
setelah 6 minggu. Namun pengobatan ini perlu diulang 8-12 minggu setelah
pengobatan pertama. Pemberian obat cacing secara berkala minimal 2 kalidalam 1
tahun bertujuan mengeliminasi migrasi cacing dewasa. Pengobatan pertama
27

dilakukan pada akhir musim hujan sehingga selama musim kemarau, ternak dalam
kondisi yang baik dan juga menjaga lingkungan terutama kolam air. Pengobatan
kedua dilakukan pada akhir musim kemarau dengan tujuan untuk mengeliminasi
cacing muda yang bermigrasi ke dalam parenkim hati. Pada pengobatan kedua ini
perlu dipilih obat cacing yang dapat membunuh cacing muda (Ditjennak, 2012).
Menurut Martindah, dkk. (2005), prinsip pengendalian fasciolosis pada ternak
ruminansia adalah memutus daur hidup cacing. Secara umum, strategi
pengendalian fasciolosis didasarkan pada musim (penghujan/basah dan
kemarau/kering). Pada musim penghujan, populasi siput mencapai puncaknya dan
tingkat pencemaran metaserkaria sangat tinggi. Untuk itu, diperlukan tindakan-
tindakan pencegahan terhadap infeksi dan atau menekan serendah mungkin
terjadinya pencemaran lingkungan, antara lain dengan cara:
a. Limbah kandang hanya digunakan sebagai pupuk pada tanaman padi apabila
sudah dikomposkan terlebih dahulu sehingga telur Fasciola sp. sudah mati.
b. Pengambilan jerami dari sawah sebagai pakan ternak dilakukan dengan
pemotongan sedikit di atas tinggi galengan atau 1-1.5 jengkal dari tanah.
c. Jerami dijemur selama 2-3 hari berturut-turut dibawah sinar matahari dan
dibolak-balik selama penjernuran sebelum diberikan untuk pakan.
d. Penyisiran jerami agar daun padi yang kering terlepas untuk mengurangi
pencemaran metaserkaria.
e. Tidak melakukan penggembalaan ternak di daerah berair atau yang tercemar
oleh metaserkaria cacing hati, misalnya di sawah sekitar kandang ternak atau
dekat pemukiman.
f. Mengandangkan sapi dan itik secara bersebelahan sehingga kotorannya
tercampur saat kandang dibersihkan (pengendalian secara biologis).
g. Gabungan dari cara-cara tersebut di atas.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Infeksi Cacing Hati (Fasciola sp.)


Terdapat beberapa faktor yang umumnya mempengaruhi infeksi cacing hati
(Fasciola sp.), yakni:
28

Umur
Menurut Hambal, dkk. (2013), pengaruh umur erat kaitannya dengan kurun
waktu infestasi terutama di lapangan. Semakin tua umur sapi maka semakin tinggi
pula resiko infeksinya terhadap Fasciola sp. Pada sapi muda, prevalensi
fasciolosis lebih rendah, hal ini disebabkan oleh sapi muda relatif lebih sering
dikandangkan dalam rangka penggemukan. Selain itu, intensitas makan rumput
sapi muda masih rendah dibandingkan dengan sapi dewasa, hal ini karena sapi
muda masih minum air susu induknya sehingga kemungkinan untuk terinfeksi
larva metaserkaria lebih rendah. Sayuti (2007), melaporkan bahwa sapi bali
berumur lebih dari 12 bulan lebih rentan terhadap infeksi Fasciola sp.
dibandingkan dengan sapi bali berumur kurang dari 6 bulan dan antara 6-12
bulan.

Sistem Pemeliharaan
Sadarman, dkk. (2007) menyebutkan bahwa sapi yang dipelihara secara
ekstensif lebih beresiko terhadap infeksi Fasciola sp. dibandingkan dengan
sapiyang dipelihara secara intensif. Ternak sapi yang dipelihara secara ekstensif
mempunyai resiko terinfeksi Fasciola sp. yang lebih tinggi karena sapi-sapi
tersebut mencari pakannya sendiri sehingga pakan yang diperoleh tidak terjamin
baik secara kuantitas maupun kualitasnya serta sesuai dengan kebutuhannya.
Kekurangan pakan akan menyebabkan ternak mengalami malnutrisi. Nutrisi
merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kerentanan seekor sapi terhadap
infeksi cacing. Sapi yang mengalami malnutrisi akan lebih peka (Purwanta, dkk.,
2007).
Menurut Abidin (2002), bahwa konsumsi hijauan yang masih berembun dan
yang tercemar siput, merupakan salah satu penyebab terjadinya infeksi larva
cacing saluran pencernaan. Subronto (2007) menyebutkan bahwa kebanyakan
jenis parasit saluran pencernaan masuk ke dalam tubuh hospes definitif melalui
mulut dari pakan yang tercemar larva. Karena suatu sebab, misalnya defisiensi
posfor, hewan jadi pica sehingga makan feses (koprofagi) atau benda lain yang
mengandung larva.
29

Musim
Tidak ada perbedaan yang signifikan antara infeksi cacing Fasciola sp. pada
musim basah dan musim kering, namun persentase kasus positif cenderung lebih
tinggi pada musim basah. Suyuti (2007) juga mengemukakan bahwa musim
berpengaruh terhadap derajat prevalensi fasciolosis di Kabupaten Karangasem,
Bali. Kejadian fasciolosis banyak terjadi pada awal musim hujan karena
pertumbuhan telur menjadi mirasidium cukup tinggi dan perkembangan di dalam
tubuh siput mencapai tahap yang lengkap pada akhir musim hujan. Selain itu,
pelepasan serkaria terjadi pada awal musim kering seiring dengan terjadinya
penurunan curah hujan.

2. Paramphistomum sp
a. Morfologi
Paramphistomum sp. adalah cacing trematoda yang memiliki ujung anterior
cacing daun ini memiliki sebuah mulut, tetapi tanpa basil hisap. Secara umum
bentuk tubuh cacing ini ditutupi oleh papilla, tidak sama dengan bentuk daun yang
khas dari cacing daun lainnya, kebanyakan tubuhnya bulat dan lebih mirip buah
pir, dengan lubang di puncaknya (Subronto, 2007). Ada 2 spesies
Paramphistomum sp. yang telah ditemukan di Indonesia, yaitu P. cervi dan P.
Gygantocotyl explanatum. Jenis cacing yang sering menginfeksi sapi adalah
Paramphistomum cervi (Subronto, 2007). Cacing ini berotot dan bertubuh tebal,
menyerupai bentuk kerucut, dengan satu penghisap mengelilingi mulut dan yang
lainnya pada usus posterior tubuh. Sebagian besar cacing ini terdapat pada
ruminansia dan mempunyai panjang sekitar 10–12 mm dan lebar 2–4 mm. Ukuran
telur cacing ini adalah 114–16 73–100 μm (Horak, 1967).

b. Siklus hidup
Ternak ruminansia yang terinfestasi oleh parasit cacing ini biasanya memakan
rumput yang terdapat metaserkaria. Metaserkaria masuk ke dalam saluran
pencernaan, di usus halus akan berkembang menjadi cacing muda dan dapat
menimbulkan kerusakan pada mukosa usus. Cacing muda menembus mukosa
30

sampai ke dalam dan bisa menimbulkan pengerutan (strangulasi), nekrose, erosi


dan hemoragik pada mukosa. Akibatnya bisa timbul radang akut pada usus dan
abomasum. Cacing muda kemudian berkembang cepat, lalu menuju permukaan
mukosa dan bermigrasi ke rumen kira-kira dalam jangka satu bulan setelah
infestasi (Horak dan Clark 1963). Cacing berkembang menjadi dewasa dalam
rumen. Cacing dewasa dapat bertahan hidup lama. Cacing dewasa bertelur kira-
kira 75 butir telur/ekor/hari (Horak 1967).
Telur keluar melalui tinja dan terjatuh di tempat yang basah dan lembab.
Telur selanjutnya berkembang cepat menjadi mirasidium, kemudian berenang
mencari siput yang cocok sebagai inang antara. Dalam tubuh siput, mirasidium
berkembang menjadi ookista, dan kemudian menjadi redia, dan menjadi serkaria
selama kira-kira 4 sampai 10 minggu. Serkaria keluar dari tubuh siput dan
berkembang menjadi metaserkaria dengan melepaskan ekornya. Metaserkaria ini
akan menempel pada daun dan rerumputan, menunggu untuk ikut termakan ternak
ruminansia (Boray, 1969).
Migrasi cacing muda setelah inang definitif menelan metaserkaria
mengakibatkan terjadinya erosi pada mukosa duodenum, pada infeksi ringan yang
terjadi adalah enteritis yang dikarakteristikkan dengan adanya udema,
hemorraghi,dan dalam nekropsi ditemukan cacing muda dalam mukosa duodenum
atau di jejunum maupun abomasum, sedangkan cacing dewasa akan berada di
dinding rumen maupun retikulum. Perubahan patologi yang terjadi yaitu
keradangan katharalis meluas dan hemorrhagi dari duodenum dan jejunum serta
kerusakan kelenjar intestinal, degenerasi lymphonodus dan organ intestinal,
terjadi anemia, hypoproteinemia, odema dan emasiasi (Radostits et al. 2000).
Paramphistomum sp. dari kelas trematoda yang menyerang rumen dan reticulum
ternak ruminansia. Gejala yang terlihat akibat terinfeksi cacing mengakibatkan
ternak tersebut menjadi lemas, mudah lelah, badan kurus, dan mencret (Arifin dan
Soedarmono, 1982).
31

c. Gejala Klinis
Paramphistomum sp. dari kelas trematoda yang menyerang rumen dan
reticulum ternak ruminansia, dapat mengakibatkan ternak tersebut menjadi lemas,
mudah lelah, badan kurus, dan mencret (Arifin dan Soedarmono, 1982).

d. Patogenesis
Patogenesis yang terjadi yakni: stadium infektif yang termakan hospes akan
mengakibatkan terjadinya erosi pada mukosa duodenum; pada infestasi ringan
yang terjadi adalah enteritis yang ditandai dengan adanya oedema, hemorraghi;
dan dalam nekropsi ditemukan cacing muda dalam mukosa duodenum atau di
jejunum maupun abomasum, sedangkan cacing dewasa akan berada di dinding
rumen maupun retikulum. Perubahan patologi yang terjadi yaitu keradangan
katharalis meluas dan hemorrhagi dari duodenum dan jejunum serta kerusakan
kelenjar intestinal, degenerasi lymphenodes dan organ intestinal, terjadi anemia,
hypoproteinemia, oedema, dan emasiasi (Radostits dkk., 2000).

e. Diagnosis
Ternak ruminansia yang terserang oleh parasit cacing ini terlihat kurang nafsu
makan (anorexia) dan mencret. Cacing dewasa pada infestasi yang berat dapat
keluar bersama-sama dengan tinja. Diagnosa juga bisa dilakukan
denganpemeriksaan tinja dari hewan penderita dan akan ditemukan telur cacing
yang berwarna kuning muda (Soulsby, 1965).

NEMATODA

1. Haemonchus sp.
a. Taksonomi
Haemonchus merupakan genus nematoda yang paling penting pada domba,
kambing dan sapi. Cacing ini hidup di abomasum domba, kambing, sapi dan
ruminansia lain. Berdasarkan habitat dan bentuknya sering di sebut cacing
32

lambung berpilin atau cacing kawat pada ruminansia (Levine, 1990). Klasifikasi
cacing Haemonchus sp. menurut Soulsby (1986) adalah sebagai berikut:
Filum : Nemathelminthes
Kelas : Nematoda
Ordo : Strongylida
Famili : Trichostrongylidae
Genus : Haemonchus
Species : Haemonchus contortus
Haemonchus placei
Haemonchus similis
Haemonchus longisitipes

b. Morfologi
Ujung anterior cacing berdiameter kurang dari 50 μm, dengan bukal kapsul
yang kecil berisi gigi yang ramping atau lanset di dasarnya. Terdapat papilla
servikal yang jelas menyerupai bentuk duri (Levine, 1990). Cacing betina
mempunyai ukuran panjang antara 18–20 mm dan berdiameter 0,5 mm dengan
warna spesifik yaitu berselang seling merah putih seperti spiral. Uterus yang putih
membelit secara spiral mengelilingi usus yang berwarna merah. Pada bagian
posterior terdapat vulva yang tertutup oleh cuping vulva di bagian depannya, yang
terbentuk sebagai suatu tonjolan yang besar dan panjang. Kadang-kadang cuping
vulva tampak berbentuk seperti bungkul yang kecil (Soulsby, 1986; Levine, 1990)
Cacing jantan mempunyai ukuran panjang antara 10–20 mm dan berdiameter 0,4
mm.
Cacing berwarna coklat kemerahan yang sebenarnya adalah warna bagian
intestin yang penuh dengan darah dari induk semangnya. Pada ujung posteriornya
terdapat bursa kopulatrik yang terdiri dari tiga lobi, yaitu sepasang lobus lateral
dengan ukuran yang relatif besar, dan sebuah lobus dorsal yang terletak asimetris
dan lebih dekat dengan lobus lateral yang sebelah kiri. Spikula yang dimiliki
berukuran panjang antara 0,46–0,50 mm dan mempunyai gubernakulum yang
panjangnya sekitar 0,2 mm dengan ujung berkait (Levine, 1990).
33

Telur Haemonchus sp. mempunyai ukuran antara 62-90 μm x 39-50 μm.


Biasanya dikeluarkan bersama feses induk semangnya dalam keadaan
mengandung sel telur yang sudah mengadakan pembelahan menjadi 16 – 32 sel.
Seekor cacing betina diperkirakan mampu memproduksi telur sebanyak 10.000
butir setiap hari (Soulsby, 1986).

c. Siklus Hidup
Pada lingkungan yang menguntungkan telur akan menetas menjadi larva
stadium pertama. Dalam waktu kurang lebih empat hari larva mengalami ekdisis
menjadi larva stadium kedua. Larva stadium pertama dan kedua ini akan
memakan mikroorganisme yang terdapat pada tinja induk semang. Larva stadium
kedua mengalami ekdisis menjadi larva yang infektif yaitu larva stadium ketiga
dalam waktu 4 sampai 6 hari. Perkembangan larva–larva ini dipengaruhi oleh
perbedaan lingkungan yaitu temperatur, iklim dan kelembaban.
Larva infektif lebih tahan terhadap kekeringan dan udara dingin dibanding
dengan larva stadium pertama dan kedua karena selubung kutikula yang terdapat
pada stadium kedua tidak dilepaskan sehingga larva stadium ketiga mempunyai
dua selubung. Larva infektif tidak memperoleh makanan tetapi dapat hidup dari
persediaan makanan yang disimpan dalam sel–sel intestin. Larva infektif bergerak
aktif (mempunyai ekor) dan memanjat rerumputan pada pagi hari dan malam hari
(Levine, 1990). Penyebaran penyakit terjadi secara langsung melalui rumput yang
terkontaminasi larva infektif. Pada musim penghujan penyebarannya cepat, oleh
karena fluktuasi jumlah telur nematoda pada kotoran cenderung di pengaruhi oleh
fluktuasi curah hujan dengan titik tertinggi pada musim hujan dan terendah pada
musim kemarau ( Soulsby, 1986 ).

d. Epidemiologi
Distribusi Haemonchus sp. tersebar di seluruh dunia (kosmopolitan), namun
lebih banyak dijumpai di daerah savanna tropis dan sub tropis yang lembab
dengan temperatur hangat (Olsen, 1967; Ristic, 1981; Urquhart, 1994) dikutip
oleh Subekti dkk., (2001). Menurut Amin dan Nasution, (1984) yang dikutip oleh
34

Subekti dkk., (2001) menyatakan kejadian haemonchosis pada ruminansia kecil di


kabupaten Aceh besar sebesar 45 % dari semua tingkatan umur penderita dengan
derajat infeksi ringan.

e. Gejala Klinis
Haemonchosis perakut tidak umum terjadi, tetapi dapat terlihat ketika hewan
yang rentan terinfeksi larva dalam jumlah banyak secara mendadak. Jumlah
parasit yang banyak menyebabkan anemia yang parah, tinja berwarna gelap dan
kematian hewan mendadak karena kehilangan darah akut akibat adanya gastritis
hemorragis yang parah (Urquhart et al, 1996). Haemonchosis akut pertama kali
terlihat ketika hewan-hewan rentan baru saja terinfeksi cacing yang berat. Anemia
bisa parah, tapi ada respon eritropoetik dari sumsum tulang. Anemia itu disertai
dengan hipoproteinemia dan udema di bawah mandibula (bottle jaw) atau bisa
juga pada sisi ventral dari dada dan abdomen.
Hewan akan menjadi lemah, tinja berwarna gelap dan bulu rontok. Diare
bukan merupakan ciri yang umum, kadang timbul diare atau konstipasi,
sedangkan nafsu makan bervariasi. Diare dapat terjadi bila infeksi tejadi
bersamaan dengan banyaknya hijauan muda yang dimakan ataupun ada infeksi
campuran dengan cacing Trichostrongylus. Beberapa saat sebelum kematian,
hewan menjadi sangat lemah sehingga tidak dapat berdiri. Pemeriksaan darah
menunjukkan penurunan yang tajam dari jumlah eritrosit dan terdapat adanya sel-
sel darah yang abnormal. Telur dalam feses biasanya jumlah banyak dan
bisaterdapat 1000-10000 parasit pada abomasum (Soulsby, 1986; Urquhart et al,
1996).
Haemonchosis kronis sering terjadi dan erat hubungannya dengan
kepentingan ekonomis. Kejadian kronis ini disebabkan oleh infeksi
berkepanjangan dengan jumlah parasit yang sedikit (100-1000 ekor). Morbiditas
dapat mencapai 100 % tapi angka kematiannya rendah. Hewan menjadi lemah dan
kurus. Anemia dan hipoproteinemia dapat menjadi parah atau tidak parah,
35

tergantung pada kapasitas eritropoietik dari hewan tersebut, zat besi yang
tersimpan dan cadangan metabolisme (Soulsby, 1986).

2. Trichostrongylus sp.
a. Morfologi
Cacing ini berukuran kecil sehingga sering terlepas dari pengamatan sewaktu
dilakukan nekropsi. Cacing jantan panjangnya kurang lebih 5 mm dan cacing
betina panjangnya 6 mm. Cacing ini berwarna kemerahan atau coklat dan terdapat
di abomasum atau usus kecil dari sapi (Akoso, 1996).

b. Gejala klinis
Gejala klinis dari hewan terinfestasi cacing Trichostrongylus sp. adalah
terjadi penurunan nafsu makan, anemia, berat badan menurun, diare,
pembengkakan dan pendarahan mukosa, bahkan sampai kematian (Noble dan
Noble, 1989).

c. Patogenesis
Patogenesis pada hewan muda lebih hebat daripada hewan dewasa (Noble
dan Noble, 1989). Semua spesies strongyloides hidup di usus halus. Cacing
dewasa bertelur yang sudah mengandung embrio dan langsung menetas di usus
halus. Larva yang dibebaskan bersama feses juga ditemukan di kelenjar susu dan
cacing dewasa yang siap bertelur sudah dapat ditemukan saat anak berumur satu
minggu. Jika infestasi lewat kulit, larva terbawa aliran darah dan sampai di paru-
paru, untuk selanjutnya menuju pangkal tenggorok dan tekak, akhirnya ke
lambung dan usus. Infestasi melalui kulit dapat menyebabkan dermatitis dan jika
di daerah penis mengakibatkan balanopstitis (Subronto, 2004).
Periode prepaten cacing kurang lebih 10 hari. Pada individu muda, misalnya
pedet kurang dari 6 bulan, infestasi cacing ini dapat menyebabkan kematian
mendadak, tanpa terdiagnosis. Dibutuhkan waktu kurang dari 2 hari oleh larva
infektif untuk berkembang di bawah kondisi optimum di dalam siklus hidup
36

homogenik, dan kemungkinan dibutuhkan satu hari lebih lama pada siklus
heterogenik (Subronto, 2004).

d. Diagnosis
Pemeriksaan feses dapat dilakukan dengan metode natif, metode sentrifuse,
metode Parfitt and Banks, atau metode Mc. Master. Pada pemeriksaan feses dapat
ditemukan adanya telur strogly (Smith, 2002).

3. Oesophagostomum sp.
a. Morfologi
Cacing ini berwarna keputih-putihan. Cacing jantan berukuran panjang 12˗
˗16 mm dan cacing betina berukuran panjang 14˗ ˗18 mm. Larva membentuk
bungkul di usus halus dan usus besar, tetapi bentuk dewasa hanya terdapat di usus
besar. Bungkul tersebut berisi larva (Akoso, 1996). Menurut Sugama dan Suyasa
(2011), cacing Oesophagostomum sp. juga termasuk nematoda gastrointestinal
dan lebih spesifik digolongkan ke dalam cacing bungkul karena gejala yang
tampak adalah timbul bungkul-bungkul di dalam kolon.

b. Siklus Hidup
Siklus hidup Oesophagostomum sp. langsung dan larva secara aktif merayap
ke pucuk daun rumput yang di kemudian hari akan termakan oleh hewan. Larva
hidup di dinding usus dalam waktu satu minggu tetapi pada hewan yang lebih tua
dapat hidup sampai lima bulan. Beberapa larva menembus dinding lambung
kanan dan memasuki peritoneum (Akoso, 1996).

c. Gejala Klinis
Gejala klinis akibat infestasi cacing ini tidak begitu jelas, namun hewan
menjadi kurus, kotoran berwarna hitam, lunak bercampur lendir dan kadang-
kadang terdapat darah segar. Jika dalam keadaan kronis, sapi memperlihatkan
diare dengan feses berwarna kehitaman, nafsu makan menurun, kurus, anemia,
hipoalbuminemia, hipoproteinemia dan busung (Sugama dan Suyasa, 2011).
37

d. Patogenesis
Siklus hidup cacing ini secara langsung. Larva masuk ke dalam dinding usus
membentuk nodul di antara usus halus dan rektum. Telur dapat ditemukan dalam
pemeriksaan feses sekitar 40 hari setelah infestasi dengan larva stadium III. Larva
masuk dalam dinding sekum dan kolon, ditempat itulah larva tersebut berubah
menjadi larva stadium IV dalam 5˗ ˗7 hari, kemudian kembali ke lumen usus 7
˗14 hari setelah infestasi, menjadi stadium dewasa dalam kolon 17˗ ˗22 hari
sesudah infestasi. Telur terdapat dalam feses 32˗ ˗42 hari setelah infestasi (Levine,
1994).

e. Diagnosis
Diagnosa dapat dilakukan dengan pemeriksaan feses ditemukan telur yang
berdinding tipis dan nekropsi dapat ditemukan cacing (Yudi, 2009 dalam
Handayani, 2015).

PROTOZOA PENCERNAAN

a. Taksonomi dan Morfologi


Eimeria merupakan parasit uniseluler yang memiliki inang spesifik.
Eimeria dapat menginfeksi hewan sapi, sehingga menyebabkan kerusakan pada
sel epitel saluran pencernaan. Menurut Levine (1985) taksonomi Eimeria adalah
sebagai berikut:
Filum : Apicomplexa
Kelas : Sporozoa
Ordo : Eucoccidiorida
Subordo : Eimeriorina
Genus : Eimeria
Spesies : Eimeria sp
Morfologi Eimeria dapat diidentifikasi berdasarkan bentuk dan ukuran
ookista. Bentuk ookista yang paling umum adalah bulat, bulat telur (ovoid) dan
silinder. Ookista memiliki dinding transparan berfungsi melindungi kelangsungan
38

hidup ookista di alam. Beberapa spesies memiliki pori kecil yang terbuka di salah
satu ujung ookista yang disebut mikrofil (topi). Ookista dapat dibedakan menjadi
ada 2 tipe yaitu ookista belum bersporulasi dan ookista sudah bersporulasi.
Ookista belum besporulasi memiliki sel tunggal yaitu sporon. Sedangkan ookista
yang sudah bersporulasi memiliki empat sporokista, masing-masing berisi dua
sporozoit.

b. Siklus Hidup

Siklus hidup Eimeria spp. secara umum terdiri atas 3 stadium, yakni
skizogoni, sporogoni dan gametogoni. Stadium skizogoni dan sporogoni
merupakan stadium aseksual, sedangkan stadium gametogoni adalah stadium
seksual. Ookista yang belum bersporulasi dikeluarkan bersama feses jika kondisi
oksigen sesuai, kelembaban tinggi dan suhu optimal sekitar 27°C nukleus
membelah diri berubah menjadi bulat untuk membentuk sporoblas. Sporoblas
akan mensekresikan bahan pembentuk dinding menjadi sporokista. Ookista
matang terdiri dari 4 sporokista dan masing-masing sporokista berisi 2 sporozoit
selanjutnya menjadi ookista bersporulasi yang merupakan stadium infektif dari
Eimeria spp.
Jika tertelan oleh induk semang (sapi) sporozoit akan keluar dari sporokista
dan akan menembus sel epitel saluran pencernaan lalu menjadi tropozoit.
39

Tropozoit matang menjadi skizon melalui proses skizogoni. Skizon ini


selanjutnya akan membelah dan menghasilkan merozoit pertama, kedua, ketiga
bahkan ke empat. Merozoit yang dihasillkan akan berkembang menjadi salah satu
gamet jantan dan gamet betina. Levine (1985) menerangkan bahwa dalam
pembentukan beberapa gamet hanya sebagian kecil saja yang bertemu dan
berfertilisasi sehingga terbentuknya zigot. Kesatuan zigot dan dinding yang
mengelilinginya disebut ookista.

c. Patogenitas
Eimeria yang menginfeksi sapi terakhir diketahui terdapat 15 spesies Eimeria.
Namun, E. bovis dan E. zuernii yang mempunyai tingkat patogenisitas paling
tinggi. Kedua spesies tersebut diketahui dapat menyebabkan kematian dan diare
berdarah. Spesies lain juga dapat menimbulkan gejala klinis jika sapi tertelan
ookista dalam jumlah yang banyak yaitu E. auburnensis, E. ellipsoidalis, dan E.
alabamensis (Fraser 2006).
Infeksi terjadi setelah hewan tertelan ookista infektif. Sampai sejauh ini hanya
ookista yang bersporulasi saja yang infektif dan bila inang yang peka menelan
ookista bersporulasi dalam jumlah banyak maka akan menimbulkan gejala klinis.
Kehebatan gejala klinis yang timbul tergantung dari jumlah ookista yang tertelan,
jika ookista yang tertelan banyak maka gejala klinis yang ditimbulkan akan
makin hebat. Menurut Mundt et al. (2005) ada atau tidaknya gejala klinis
tergantung keseimbangan antara imunitas dengan dosis infeksi.
Gejala penyakit ini dapat muncul dalam berbagai situasi disaat keseimbangan
(imunitas dan dosis infeksi) gagal terbentuk akibat kondisi yang antara lain
dipengaruhi oleh cuaca, pakan yang buruk dan stress pada hewan. Patogenisitas
koksidiosis tergantung beberapa faktor yaitu jumlah sel inang yang rusak, jumlah
merozoit dan lokasi parasit di dalam jaringan sel inang.

d. Gejala Klinis
Gejala koksidiosis yang parah ditandai dengan diare yang hebat, tinja cair
bercampur mukus dan darah yang berwarna merah sampai kehitaman beserta
40

reruntuhan sel-sel epitel. Diare ini seringkali mengotori daerah sekitar perianal,
kaki belakang dan pangkal ekor. Pada kondisi diare, hewan terus merejan dan
dapat mengakibatkan prolapsus rektum. Perjalanan klinis penyakit ini bervariasi
antara 4–14 hari (Fraser 2006). Menurut Radostits et al. (2006) kejadian
koksidiosis sebagian besar terjadi pada pedet selama musim hujan dimana pedet
sudah terinfeksi dari induk atau saat dipindahkan ke peternakan lain. Gejala klinis
lainnya seperti kehilangan nafsu makan dan berat badan turun, anemia, anoreksia
dan umumnya hewan terlihat kurus. Pengembangan gejala klinisnya itu
tergantung dari beberapa faktor seperti jenis-jenis spesies Eimeria spp., umur,
jumlah ookista yang tertelan dan adanya infeksi sekunder, serta sistim tata laksana
peternakan (Daugschies dan Najdrowsk, 2005).
PENUTUP

Kesimpulan
Rumah potong hewan adalah suatu bangunan atau kompleks bangunan
dengan desain tertentu yang digunakan sebagai tempat memotong hewan untuk
konsumsi masyarakat. Daging adalah salah satu pangan asal hewan yang
mengandung zat gizi yang sangat baik untuk kesehatan dan pertumbuhan
manusia. Dari pemeriksaan antemortem dan postmortem ditemukan endo dan
ektoparasit yaitu Paramphistomum sp, Fasciola sp, Trichuris sp, Eimeria spp,
Trichostongylus sp, Haemonchus sp, Schistosoma sp, Capillaria sp,
Oesophagostomum sp,dan Boophilus sp.

Saran
Adapun saran yang diberikan yaitu:
a. Sebaiknya disediakan beberapa alat dan bahan untuk metode lain pada
pemeriksaan parasit
b. Kesrawan agar di perhatikan
c. Penambahan infrastruktur di RPH Kota Banda Aceh
d. Dokter hewan yang berwenang harus lebih aktif lagi menjalankan
pemeriksaan antemortem dan postmortem guna untuk menjamin kelayakan
dan keamanan pangan dari daging yang akan disembelih untuk mencegah dan
mengurangi penyakit zoonosis yang ditimbulkan dari hewan tersebut.

41

Anda mungkin juga menyukai