Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH

VIROLOGI DAN PARASITOLOGI


“Studi Kasus Penyakit Yang disebabkan Arthropoda Sebagai Vektor
Protozoa "

DISUSUN OLEH:
KELOMPOK 7
1. Dinda Khairunnisa Kadarisman D1A210123
2. Diqa Qaulia D1A210083
3. Luthfiyah Irbah As-sa’idah D1A210101
4. Reski Khaerunnisa D1A210102
5. Yunita Feriyanti Putri D1A210103

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENEGTAHUAN ALAM
UNIVERSITAS AL - GHIFARI
TAHUN 2022

1
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena dengan
rahmat dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini
mengenai “Studi Kasus Penyakit yang Disebabkan Arthropoda Sebagai Vektor
Protozoa“ yang merupakan bagian dari tugas Mata Kuliah Virologi dan
Parasitologi. Kami mengucapkan terima kasih kepada Dosen mata kuliah
Virologi dan Parasitologi Ibu Adhelina Khristiani M.Si yang telah membantu
dan membimbing kami selama penyusunan makalah ini. Tidak lupa teman-
teman dan semua pihak yang ikut berpartisipasi dalam menyelesaikan tugas
makalah ini. Dalam penulisan makalah ini apabila terdapat kesalahan dan
kekurangan yang ditemukan pembaca, penulis mengharapkan kritik dan saran
untuk memperbaiki kesalahan agar dapat lebih baik lagi kedepannya

Penulis

DAFTAR ISI

ii
KATA PENGANTAR.............................................................................................ii
DAFTAR ISI..........................................................................................................iii
BAB I.......................................................................................................................1
PENDAHULUAN...................................................................................................1
1.1 Latar Belakang..........................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.....................................................................................3
1.3 Tujuan Penelitian.......................................................................................3
BAB II......................................................................................................................4
METODE PENELITIAN.........................................................................................4
2.1 Materi dan Metode Penelitian...................................................................4
2.1.1 Babesia spp........................................................................................4
2.1.2 Leismaniasis Infantum.......................................................................5
BAB III..................................................................................................................11
HASIL PENELITIAN............................................................................................11
3.1 Hasil penelitian babesia sp......................................................................11
3.2 Hasil Penelitian Lesihmania Infantum....................................................14
BAB IV..................................................................................................................18
KESIMPULAN......................................................................................................18
4.1 Kesimpulan..............................................................................................18
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................19

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Babesiosis atau piroplasmosis adalah penyakit parasite dalam sel
darah merah akibat dari infeksi protozoa dari genus Babesia (Wahyuni,
Wirawan & Pitriani, 2018). Bebsiosis merupakan penyakit yang menyerang
baik hewan ternak, hewan kesayangan maupun hewan liar serta menyebabkan
morbiditas dan mortalitas yang tinggi pada hewan tersebut. Kasus bebsiosis
di Indonesia telah dilaporkan sejak tahun 1986 dan sapai sekarang belum di
berantas (Astyawati et al., 2010).
Babesiosis pada anjing disebabkan Babesia canis dan Babesia
gibsoni. Protozoa Babesia canis pertama kali diidentifikasi oleh Pinna dan
Galli Valerio tahun 1895 di Italia (Astyawati et al., 2010). Sebagian besar
kasus babesiosis pada anjing terjadi pada musim kemarau bersamaan dengan
peningkatan jumlah populasi caplak yang sangat banyak. Hal ini karena
pathogenesis dari penyakit babesiosis adalah melalui gigitan caplak
Rhipicephalus sanguineus sebagai vector utama (Chauvin, Mpreau, Bonnet,
Plantard & Malandrin, 2009).
Siklus hidup Babesua pada inang anjing dimulai saat caplak yang
mengandung babesia menghisap darah anjing. Saliva caplak menularkan
sporozoid yang masuk peredaran darah inang dan menginfeksi eritrosit
kemudian berkembang menjadi tropozoid, setelah itu menginfeksi eritrosit
lain dan berubah menjadi merozoid serta pregametosit. Stadium pregametosit
dapat masuk ke dalam tubuh caplak jika caplak menghisap darah anjing yang
telah terinfeksi babesia dan berada di epitel usus caplak. Pada usus caplak ini
terjadi gametogoni atau diferensiasi gamet dan pembentukan zigot. Kemudian
menjadi kinate yang dapat ditransmisi secara transtadial maupun transovarial.
Pembentukan stadium infektif Babesia ini terjadi di glandula saliva capral
sebagai sporozoid (Chauvin et al., 2009).

1
Menurut Astyawati et al., (2010) gejala klinis yang dapat timbul
antara lain demam, anoreksia, malaise, hemoglobinuria, splenomegaly dan
hemolysis darah yang seringkali menyebabkan kematian. Berdasarkan uraian
tersebut, maka kajian ilmiah pada anjing dibutuhkan untuk menentukan
strategi pengendaliannya.
Human visceral leishmaniasis (HVL) adalah salah satu infeksi
zoonosis yang paling parah. Penyakit ini berpotensi fatal dan lazim di wilayah
mediteranian. Hal ini disebabkan oleh Leishmania (Lheismania) Infantum
syn, chagasi dan L. Donovani. Parasit tersebut ditularkan oleh vektor
phlebtomine sandfly dan menginfeksi beberapa spesies mamalia, yaitu
manusia dan anjing.
Penyakit ini terdapat di timur laut (NE) Brazil, laporan tentang
anjing dan manusia yang terinfeksi telah meluas ke Brazil selatan, Paraguay,
dan, baru-baru ini di NE Argentina. Pada daerah perkotaan telah dicatat di
kota Posadas, provinsi Misiones, Argentina, dan terjadinya HVL telah meluas
ke daerah tetangga.
Beberapa spesies vektor phlebotomine telah diidentifikasi di NE
Argentina, khususnya di lokasi di mana kasus HVL dan Canine Cases (CanL)
ditemukan. Lutzomyia longipalpis adalah vektor yang dikonfirmasi dari L.
(L.) infantum di seluruh Amerika. Baru-baru ini, Lu. Longipalpis telah
ditemukan di kota Tartagal, terletak di NW Argentina, berjarak kurang dari
50 km dari tempat infeksi dua kasus HVL.
Studi ini membahas identifikasi dua kasus HVL yang tampaknya
terisolasi di provinsi Salta, NWArgentina, dimana kami dapat memperoleh
data tentang kemungkinan titik geografis dimana infeksi terjadi. Mengambil
titik-titik ini sebagai pusat area survei, kami menyelidiki terjadinya CanL
menggunakan lima metode diagnostik yang berbeda.

2
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana hasil fisik pada anjing yang terinfeksi Babesia spp?
2. Bagaimana hasil klinik pada anjing yang terinfeksi Babesia spp?
3. Bagaimana hasil pemeriksaan darah pada anjing yang terinfeksi
Babesia spp?
4. Bagaimana mengidentifikasi Leismania sp. Yang menyebabkan penyakit
pada anjing?
5. Apa metode yang digunakan untuk mencari reservoir dan vector dari
penyakit Leishmaniasis Visceral?
6. Bagaimana cara mengidentifikasi spesies Phlebotomines yang ditangkap di
tempat yang memungkinkan bisa menginfeksi manusia dan anjing?

1.3 Tujuan Penelitian


1. Untuk mengetahui hasil fisik anjing yang terinfeki Babesia spp.
2. Untuk mengetahui hasil klinis anjing yang terinfeksi Babesia spp.
3. Untuk mengetahui hasil pemeriksaan darah pada anjing yang terinfeksi
Babesia spp.
4. Untuk mencari reservoir dan vector dari penyakit Leishmaniasis Visceral
5. Untuk mengidentifikasi Leishmania sp. yang menyebabkan penyakit pada
anjing
6. Untuk mengidentifikasi spesies Phlebotomines yang ditangkap ditempa
yang memugkinkan bisa menginfeksi manusia dan anjing

3
BAB II

METODE PENELITIAN

2.1 Materi dan Metode Penelitian


2.1.1 Babesia spp
a. Sinyalemen dan Anamnesa
Anjing ras gembala Jerman bernama Jaka. Anjing tersebut
memiliki rabut berwarna hitam dan cokelat, umur 5 tahun dan berjenis
kelain jantan, memiliki berat badan 23,45 kg. anjing dibawa ke klinik
dengan keluhan lemas dan nafsu makan menurun sejak lima hari yang
lalu, dan feses terdapat darah. pada seluruh tubuhnya terdapat infestasi
ektoparasit adalah caplak yang cukup banyak. Infestasi caplak tersebut
sudah sekitar 3 minggu yang lalu.
b. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mengidentifikasi tanda-tanda
klinis. Pemeriksaan fisik dilakukan berdasarkan metode dari Widodo et
al (2011).
c. Pemeriksaan laboratorium
1) Pemeriksaan darah
Sampel darah diambil dari anjing melalui Vena Cephalica
Antebrachii dengan syringe 3 ml kemudian ditempatkan pada tabung
vacuum yang telah berisi Asam Etilen Diamin Tetraasetat (EDTA).
Kemudian diperiksa dengan menggunakan alat cell counter blood
analyzer Hmavet®. Pembuata preparat ulas darah dengan cara
meneteskan 1 tetes kecil darah segar pada satu sisi gelasobyek.
Kemudian salah satu sisi gelas objek yang lain ditempatkan pada
ujung gelas dengan membentuk sudut 30o-45o. Gelas objek kedua
ditarik sampai menyentuh tetes darah dan dibiarkan menyebar
sepanjang tepi gelas objek kedua. Gelas obyek kedua didorong ke

4
sepanjang permukaan gelas objek pertama sehingga terbentuk lapisan
darah tipis dan merata.
Preparat ulasyang kering, kemudian difiksasi ke dala methanol
selama 5 menit. Kemudian preparat dibiarkan mongering di udara
sebelum proses pewarnaan. Setelah kering, dilakukan pewarnaan
menggunakan larutan Giemsa 10% selama 45-60 menit. Kemudian
preparat tersebut yang sudah diwarnai, dicuci dengan air mengalir dan
dikeringkan di udara. Preparat ulas darah dapat dibaca di bawah
mikroskop dengan pembesaran 40 x 10 dan diidentifikasi morfologi
eritrosit serta eritroparasit Babesia sp.
d. Diagnosa dan Prognosa
Pemeriksaan anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
laboratorium melalui pemeriksaan ulas darah, anjing positif menderita
babesiosis dengan prognosa dubius.
e. Penanganan
Pengobatan yang diberikan yaitu terapi cairan Ringer Laktat,
Clindamycin 25 mg/kgBB sebagai antiparasit. Antibiotik Oxytetracycline
15 mg/kgBB, anti inflamasi dexamethasone 0,5-1 mg/kgBB, hematodine
1 ml/5 kg BB diberikan selama 7 hari untuk mengatasi anemia.

2.1.2 Leismaniasis Infantum


a. Daerah studi
Sampel dikumpulkan didalam kawasan hutan ~5,090 km2, antara
paralel 22°06’25.15² S dan 22°28’55.31² S dan meridian 63°31’44,94² W
dan 62°20’23.27² W. Seluruh area tersebut terletak diwilayah Chaco di
Provinsi Salta, yang dicirikan hutan xerophytic yang seragam, rendah,
kering dengan petak-petak deforestasi yang terpisah untuk pertanian
(Chaco kering).
b. Desain studi
Anjing didekat lokasi infeksi dari dua kasus HVL (Human Visceral
Leishmaniasis) diperiksa dan diambil sampelnya. Hanya dua kasus HVL

5
(Human Visceral Leishmaniasis) yang diamati baru-baru ini didaerah
penelitian. Satu diterbitkan dan yang lainnya sejauh ini telah dilaporkan ke
Kementerian Kesehatan Masyarakat.

Angka 1. Peta skema tempat infeksi kedua pasien dan deteksi vektor dan anjing yang
terinfeksi. Lingkaran konsentris berjarak 10 km.

Dalam penelitian ini, kemungkinan situs infeksi kedua pasien ini


disimpulkan dari wawancara rinci. Pasien pertama adalah seorang pekerja
pedesaan berusia 44 tahun yang melaporkan telah digigit serangga selama
bekerja di tepi hutan yang gundul. Rumahnya lebih dari 100 km jauhnya
dari tempat kerja, tetapi pekerja yang direkrut biasanya tidur di kamp-
kamp terdekat selama musim kerja. Yang kedua adalah bayi berusia 1
tahun yang sebagian besar tinggal dirumahnya di hutan dan menurut
laporan ibunya, tidak berisiko leishmania infeksi ditempat lain. Kedua
kasus didiagnosis secara parasitologis dengan mengamati amastigot dari
leishmania sp. Dalam apusan sumsum tulang. Lokasi-lokasi ini diambil
sebagai titik pusat, dan survei terhadap 77 anjing dilakukan didaerah
sekitarnya (Gambar 1). Anjing-anjing yang diteliti hidup dari 0 km (rumah
yang sama) hingga 29 km dari kemungkinan lokasi infeksi dari dua kasus
indeks manusia yang disebutkan diatas. Selain anjing, 34 manusia yang
tampaknya sehat yang tinggal didekat kasus indeks kedua diperiksa secara
serologis setelah memberikan persetujuan. Mereka menyumbangkan
sampel darah 2 mL dari fungsi vena antebrachial.
6
c. Pemeriksaan fisik dan pengambilan sampel
Prosedur yang direkomendasikan dalam Deklarasi Helsinki dan
Panduan Penggunaan dan Perawatan Hewan Laboratorium diikuti untuk
pemeriksaan fisik dan pengambilan sampel anjing. Hewan ditahan oleh
pemiliknya dan dibius dengan 0,1 mg/kg acepromazine maleat (Acedán,
Laboratorium Holliday-Scott, Buenos Aires, Argentina) melalui rute
intramuskular. Foto hewan diambil dan data pemeriksaan fisik dicatat
onikogrifosis, lesi mata, limfadenopati, penurunan berat badan,
splenomegali, alopecia, dan lesi kulit nontraumatik lainnya dicatat untuk
setiap anjing. Hewan diberi skor sebagai asimtomatik, oligosimtomatik,
atau polisimptomatik ketika mereka tidak menunjukkan satu pun, dua atau
kurang, atau tiga atau lebih dari tanda-tanda ini, masing-masing. Dua
pasien manusia dianggap sebagai polisimptomatik.
Tusukan limpa dilakukan seperti yang dijelaskan sebelumnya
dalam sebuah penelitian dengan menggunakan spoit 5 mL dengan 1,5 mL
steril proline balanced salts solution (PBSS). Di lapangan, 0,4 mL suspensi
yang diperoleh diinokulasi ke dalam media agar darah “Difco” (DIFCO
Argentina, Buenos Aires, Argentina) (USMARU) yang mengandung 20%
darah kelinci yang telah didefibrinasi, dan biakan dibawa ke laboratorium.
Jumlah penangguhan yang hampir sama disebarkan ke dalam lingkaran
FTA™ Kartu Klasik (Whatman BioScience, Newton Center, MA)
mengikuti instruksi pabrik. Kartu dikeringkan dan disimpan pada suhu
kamar untuk metode PCR. Alikuot lain dengan volume yang sama
ditambahkan ke tabung eppendorf 1,5 mL (Mithril SRL, Buenos Aires,
Argentina) yang mengandung 1 mL etanol 96% untuk analisis PCR.
Terakhir, beberapa tetes aspirasi limpa diteteskan pada kaca objek,
dikeringkan diudara, difiksasi dengan metanol selama 2 menit, dan dibawa
ke laboratorium. Sera dari 2 mL darah tepi dipisahkan dengan sentrifugasi
pada 10.000 rpm selama 5 menit, disimpan pada 20°C dan digunakan
untuk reaksi serologis seperti yang dijelaskan di bawah ini.

7
d. Metode Parasitologi
Kultur aspirasi limpa dipertahankan pada 23 °C dan diperiksa secara
teratur di bawah mikroskop selama 2 bulan. Promastigot yang diisolasi
dari kultur diawetkan dengan kriopreservasi mengikuti metodologi yang
dijelaskan sebelumnya. Pencarian langsung untuk leishmania amastigot
dilakukan pada apusan aspirasi limpa diambil dari 76 anjing.
e. Metode Serologi
Dipstick, metode imunokromatografi (Kalazar Detect, Canine;
Inbios International Inc., Seattle, WA) digunakan secara keseluruhan,
mengikuti instruksi pabrik. Kit serupa, disesuaikan untuk manusia,
digunakan untuk 34 sampel manusia.
f. Amplifikasi DNA lingkaran kecil kinetoplastik dari Leishmania
Template dibuat dari alikuot aspirasi limpa yang disimpan dalam
etanol, dengan mengikuti metode yang dijelaskan. Amplifikasi PCR dari
urutan DNA lingkaran kecil kinetoplastik yang dilestarikan diantara
leishmania sp. dilakukan seperti yang dijelaskan sebelumnya.
g. PCR bersarang dan sekuensing gen sitokrom b dari DNA lingkaran
besar kinetoplastik dari Leishmania.
FTA klasik Fragmen kertas saring kartu berdiameter 2 mm yang
mengandung fraksi aspirasi limpa atau sampel kultur digunakan sebagai
cetakan untuk PCR pertama menggunakan primer untuk gen sitokrom b
(cyt b). PCR bersarang dilakukan dengan primer untuk gen cyt b L.cyt -AS
(5’-GCG GAG AGR ARG AAA AGG C-3’) dan L.cyt-AR (5’- CCA CTC
ATA ATA TAC TAT A-3’). 1 µL dari produk PCR pertama digunakan
sebagai template untuk PCR kedua menggunakan primer L.cyt-S (5’-
GGTGTAGGTT TTAGTYTAGG-3’) dan L.cyt- R (5’-CTA CAA TAA
ACA AAT CAT AAT ATR CAA TT-3’). Reaksi diakhiri dengan tahap
polimerisasi pada suhu 72 °C selama 7 menit. Ukuran amplikon yang
diharapkan adalah 900 bp. Produk PCR kemudian dianalisis pada
sekuenser otomatis Applied Biosystems Hitachi 3130 GeneticAnalyzer
(Applied Biosystems, Foster City, CA).

8
Prosedur-prosedur yang dijelaskan di atas dalam dua bagian terakhir
masing-masing disebut sebagai “PCR lingkaran kecil” dan “PCR
lingkaran besar”, dalam teks ini.
Jumlah dan proporsi anjing yang positif pada setiap tes diagnostic
pengujian kadar positif jumlah
logam positif negatif % sampel
Kultur 3 72 4.0 75
Smear 2 74 2.6 76
PCR minicircle 7 59 10.6 66
PCR maxicircle 21 52 28.8 73
rK39 serologi 18 59 23.4 77
PCR = polymerase chain reaction

h. Studi vektor
Lalat pasir phlebotomine ditangkap dengan perangkap mini ringan
CDC (Centers for Disease Control) (John W. Hock Co., Gainesville, FL)
dari jam 7.00 pagi sampai 8.00 malam selama dua malam yaitu pada bulan
November 2010 dan Juli 2011. Lokasi pengambilan sampel adalah tempat
ditemukannya kasus anjing seropositif atau kasus indeks HVL. Perangkap
dipasang di tepi hutan, daerah pemukiman penduduk, lingkungan kandang
babi dan kambing, atau sumur air. Spesies ditentukan dengan
mengidentifikasi penanda taksonomi spermatheca dan cibarium pada
wanita.
i. Analisis statistik
Subyek pertama-tama diklasifikasikan menjadi dua kelompok,
terinfeksi dan tidak terinfeksi, mengikuti kriteria yang dijelaskan di bagian
Kriteria diagnostik untuk CanL dan HVL. Urutan cyt b yang diperoleh
dirakit dan diedit oleh Genetyx Mac 11.0.0 (Software Development Co.
Ltd., Jepang). Data diproses untuk menghasilkan pohon tetangga yang
bergabung dengan 1.000 ulangan bootstrap menggunakan perangkat lunak
MLSTest v1.0,18 mengarah pada identifikasi spesies/genotipe. Data dari

9
sampel lapangan dibandingkan dengan strain referensi Argentina dan
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dari genusleishmania dilaporkan
sebelumnya.

10
BAB III

HASIL PENELITIAN

3.1 Hasil penelitian Babesia sp


Hasil pemeriksaan fisik (Tabel 1), klinis (Table 2), pemeriksaan darah
lengkap (Tabel 3) dan ulas darah (Gambar 1C) menunjukkan anjing kasus
mengalami penyakit babesiosis (Gambar 1A dan 1B). Babesisosis adalah
penyakit hemoprotozoa darah. Spesies yang sering ditemukan pada anjing
adalah B. canis, B. rossi dan B. vogeli (Ayoob, Hackner, & Prittie, 2010;
Paramita & Widyastuti, 2019; SolanoGallego, Sainz, Roura, Estrada-Peña, &
Miró, 2016).

Gambar 1. Anjing mengalai kelesuan karena sudah lima hari tidak mau makan
(A), terdapat infestasi caplak dirambut anjing dengan jumlah yang banyak
(B), ulas darah anjing kasus ditemukan adanya eritoparasit Babesia sp. yang
ditunjukan oleh tanda panah (Pembesaran 40 x10) (C).
Tabel 1. Hasil pemeriksaan status praesens anjing kasus
No. Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Keterangan
normal
1. Jantung (x/menit) 148 65-90 Tidak normal
2. Pulsus (x/menit) 140 65-90 Tidak normal
3. Capillary refill Time >2 <2 Tidak normal
(CRT)(detik)
4. Respirasi 36 20-30 Tidak normal
5. Suhu (oC) 39,1 38,0-38,5 Tidak normal

11
Tabel 2. Hasil pemeriksaan klinis anjing kasus
No. Jenis pemeriksaan Keterangan
1. Kulit dan kuku Tidak normal
2. Anggota gerak Normal
3. Musculoskeletal Normal
4. Syaraf Normal
5. Sirkulasi Tidak normal
6. Respirasi Normal
7. Urogenital Normal
8. Pencernaan Normal
9. Mukosa Tidak normal
10. Limfonodus Normal

Hasil pemeriksaan fisik (Tabel 1) menunjukan anjing jaka tidak mau


makan, mukosa muluy pucat serta ditemukan infestasi caplak Rhipicephalus
sanguineus yang banyak diseluruh tubuhnya yang menyebabkan gangguan
pada kulit dan kukunya. Babesiosis ditularkan melalui vektor caplak (Irwin,
2010). Berdasarkan data genetic, caplak yang menjadi vektor diantaranya,
Dermacentor reticulatus (di Eropa), Rhipicephalus sanguineus (di daerah
tropis dan subtropis) dan Haemaphysalis elliptica (Afrika Selatan) (Kjemtrup
& Conrad, 2006).
Pada hasil pemeriksaan status praesens meliputi suhu tubuh, frekuensi
detak jantung, frekuensi pulsus dan frekuensi respirasi mengalai peningkatan
yang menunjukan bahwa anjing mengalai demam. Seperti emnurut Astyawati
et al., (2010) gejala klinis Babesiosis pada anjing yaitu lemas, tidak nafsu
makan, demam, anemia. Sedangkan menurut Ubah et al .,(2019) juga disertai
anoreksia, pucat pada membrane mukosa mulut dan pembengkakan
limfonodus serta ditemuka infestasi caplak R. sanguineus. Gonde et al.,
(2016) juga melaporkan jika Babesiosis pada anjing menunjukan pemeriksaan
klinis berupa peningkatan suhu badan, frekuensi pernafasan dan jantung serta
ditemukannya caplak.
Babesia yang merupakan parasite intraeritrosit dengan penularan
masuknya melalui gigitan caplak ke tubuh anjing sehinga dapat memicu
respon imun pada hospes (anjing) yang sifatnya sistemik. Saliva dari caplak

12
maupun babesia akan memicu sel makrofag sebagai salah satu sistem
pertahanan tubuh dan juga sebagai antigen presenting cell (APC) yang akan
menangkap serta memproses antigen untuk disampaikan ke sel limfosit T.
sitokin akan dikeluarkan oleh sel Th2 untuk mengaktifkan sel-sel lain,
termasuk sel B yang berfungsi untuk menghasilkan antibody terhadap babesia
(Mathlubi, 2015). Sitokin yang dihasilkan oleh sel Th2 akan melawan
parasite babesia dengan menimbulkan efek sebagai pirogen.
Hasil pemeriksaan darah lengkap (Tabel 3) mennjukan penurunan,
hemoglobin, limfositosis, eritrositopenia dan trombositopenia. Pada kasus
anjing ini, pemeriksaan darah lengkap menunjukan leukositosis (Gonde et al.,
2016), limfositosis, penurunan hemoglobin, eritrositopenia (Bilwal et al.,
2018), trombositopenia (Schetters et al., 2009).
Pada kasus ini, anjing mengalami anemia mikrositik hiperkromik yang
mana hal ini berbeda dengan yang dikemukakan oleh Dwi et al., (2018) yaitu
dapat menyebabkan anemia normositik hipokromik. Hal tersebut menunjukan
jika infeksi babesiosis menyebabkan anemia berbeda-beda. Anemia yang
terjadi dikaitkan dengan hemolysis karena agen parasite intraertitrosit.
Mekanisme destruksi eritrosit meliputi peningkatan kerapuhan osmotic, masa
hidup eritrosit yang lebih pendek dan eritrofagositosis. Destruksi yang
dimediasi kekebalan sekunder terjadi karena antigen parasit pada permukaan
eritrosit, kerusakan membrane yang diinduksi parasit (Paramita & Widyastuti,
2019). Selain itu, semakin banyak infeksi babesia pada eritrosit menyebabkan
peningkatan ekspresi molekul adhesi yang memicu penempelan eritrosit di
pembuluh darah dan dapat menyebabkan obstruksi yang menimbulkan gejala
klinis seperti anemia, peningkatan tekanan darah, kerusakan organ vital,
hewan menjadi depresi dan akhirnya menyebabkan kematian (Irawan,2015).

13
3.2 Hasil Penelitian Lesihmania Infantum
Nilai kesesuaian antara tes diagnostik
Indeks kappa (95% CI)
Kultur K39 PCR Minicircle PCR maxicircle
Smear 0.38(-0,17, 0,4 (0,002, 0,31 (-0,04, 0,30) 0,42 (0,02, 0,82)
0,93) 0,82)
Kultur - 0,58 (0, 21, 0,13 (-0,04, 0,30) 0,48 (0,05, 0,90)
0,94)
K39 - - 0,24 (0,00. 0,49) 0,84 (0,62, 1,00)
Minicircle - - 0,27 (0,04, 0,51)
PCR

Daftar deskriptif dua pasien dan 10 anjing dengan dengan Leismaniasis


metode
jenis spesies cyt b
host umur patofisiologi Serologi kPCR gelaja
kelamin Leishmania genotip
Kultur Smear mini maxi
manusia + L. (L.)
1 M 44 ND + + + infantum LiA2 poly
manusia + L. (L.)
2 M 1 - + + + infantum LiA2 poly
+ L. (L.)
anjing 3 M ND + - ND + infantum LiA2 oligo
+ L. (L.)
anjing 8 F 6 + - + + infantum LiA1 asy
anjing +
15 M 4 - - + - ND ND asy
anjing + L. (L.)
36 M 10 - - + + infantum LiA1 oligo
anjing +
37 F 6 - - + - ND ND oligo
anjing +
40 M 7 - - + - ND ND poly
anjing + L. (L.)
42 F ND - + + + infantum LiA1 poly
anjing + L. (L.)
49 M 6 - - + + infantum LiA1 poly
anjing + L. (L.)
59 M 2 + + + + infantum LiA2 asy
anjing - L. (L.)
60 M 2 - - + + infantum LiA1 oligo

14
Pada table 1 menampilkan jumlah proporsi anjing yang menurut setiap
tes diagnostik, mendapatkan hasil positif yang lebih tinggi dengan metode
molekuler dan serologi dibandingkan dengan metode parasitology (smear dan
kultur). Kriteria ada atau tidaknya infeksi dengan L. infantum pada anjing
didasarkan pada lima uji laboratorium, yaitu hasil positif dalam metode
parasitologi. Seekor anjing dianggap terinfeksi hanya jika dua atau lebih dari
tiga metode yang tersisa (serologi, PCR nimicirle, dan PCR Maxicircle)
memberikan hasil positif. Nilai kesesuaian antara uji serologi dan parasitologi
sebagian besar lemah atau sedang, tetapi kesepakatan serologi versus
maxicircle PCR sangat baik (indeks Kappa = 0,84)
Pada table 3 merangkum fitur laboratorium dan klinis utama yang
mendukung diagnosis dan identifikasi parasite pada dua pasien dan 10 anjing
yang terinfeksi. Dengan demikian, menurut kriteria yang disebutkan,
prevalensi CanL dalam penelitian ini mencapai 13%.
Hubungan antara adanya infeksi dan skor tanda klinis lemah yaitu 70%
dari anjing yang terinfeksiadalah oligo atau polisimtomatik, sedangkan angka
yang sesuai untuk anjing yang terinfeksi adalah 44,8%. Tanda atau gejala yang
paling sering adalah limfadenopati (60%), onikigryphosis (50%), dan
penurunan berat badan (40%).
Kemungkinan situasi infeksi dan dua kasus indeks manusia keduanya di
daerah sylvatic. Di daerah sekitar yang pertama, anjing 10 dan 60 yang diteliti
ditemukan terinfeksi leishmania sp. Tempat tinggal manusia, diselingi dengan
hutan di mana anjing-anjing yang terinfeksi ini terdeteksi, terletak dari 0
sampai 29 km dari titik pusat.
Pada studi vector di dapat bahwa sebanyak 42 phlebotomines. Mereka
didistribusikan di semua lokasi pengambilan sampel. Dari 24 wanita yang
diidentifikasi, 58,3% diklasifikasikan sebagai Lu. Cortelezzii atau Lu. Sallesi
dan 41,7% sebagai Lu. Migoni.
Argentina telah di ketahui sebagai endemic leishmaniasis yang
disebabkan oleh L. Braziliensis dan L. Guyanensis, pada penelitian ini
prevalendi infeksi sebesar 13% pada anjing di daaerah tersebut dengan

15
leishmaniasis sp, sebagai agen penyebab pada tujuh anjing terinfeksi dan
genotip tertentu dari L infantum menginfeksi dua kasus manusia dan dua
anjing, menunjukkan bahwa anjing dan manusia berbagi siklus penularan yang
sama.
Kasus indeks manusia pertama, dalam penelitian ini, mengarah pada
penemuan 10 anjing yang terinfeksi, dari 60 yang diteliti. Hewan-hewan ini
tinggal di pemukiman manusia di hutan dan berkumpul dalam radius 25 km
dari lokasi infeksi diduga, titik di tepi hutan di mana pasien disebut telah
digigit serangga selama pekerjaan deforestasi. Meskipun deskripsinya tentang
serangga itu kompatibel dengan Lutzomyia (aktivitas pada jam-jam terakhir,
tempat gigitan yang lebih disukai), bukan merupakan bukti definitif bahwa
pasien diserang oleh lalat pasir, tetapi kemungkinan tersebut didukung oleh
penangkapan kami selanjutnya terhadap Lutzomyia spesimen di lokasi.
Mengenai kasus indeks manusia kedua, tidak ada kasus infeksi lain yang
ditemukan di antara 34 manusia dan 17 anjing yang tinggal di daerah tersebut,
14 di antaranya tinggal di rumah yang sama atau lingkungan yang berdekatan
(kurang dari 0,2 km). Temuan kami akan kompatibel dengan mode transmisi
sylvatic dariL. (L.) infantum, melibatkan siklus enzootic di mana mamalia liar
akan bertindak sebagai reservoir utama.
Identifikasi akurat CanL pada anjing terhambat oleh kesulitan
diagnostik dan ada sedikit kesepakatan data klinis dan parasitologis.2 Lainnya
leishmania spp., bereaksi dengan primer PCR generik,25 beredar di daerah
tersebut dan dapat menginfeksi anjing. 7,8 Selain itu, dalam analisis
komparatif kami (Tabel 1), metode parasitologi menunjukkan sensitivitas
yang sangat rendah. Dengan demikian, kriteria diagnostik dikembangkan
dengan mempertimbangkan fakta bahwa metode yang sangat spesifik tidak
sensitif, dan metode molekuler yang sensitif dapat menanggung risiko hasil
positif palsu. Kriteria untuk infeksi demikian ketat dan tidak dapat
dikesampingkan bahwa studi lebih lanjut mungkin konfirmasi sebagai
terinfeksi beberapa anjing melahirkan kurang dari set lengkap kondisi. Dalam
studi vektor sebelumnya, Lu. longipalpistelah diidentifikasi sebagai vektor

16
utama dari L. (L.) infantum di Brazil.10 Spesies ini juga dilaporkan sebagai
vektor dari L. (L.) infantum di NE Argentina, khususnya di kota Posadas26
dan baru-baru ini di kota Tartagal,11 terletak kurang dari 50 km dari lokasi
kemungkinan infeksi salah satu dari dua kasus indeks manusia kami. Karena
koleksi lalat pasir kami diperoleh selama musim kemarau, penelitian ini hanya
memungkinkan kami untuk mengumpulkan dan mengidentifikasi sejumlah
lalat pasir, langsung di lokasi kemungkinan infeksi pada manusia dan anjing.
Terlepas dari ukuran sampel yang terbatas, kami menemukanLutzomyia
spesimen, milik cortelezzii kompleks (Lu. cortelezzii/Lu. sallesi) dan untuk
Lu. Migonei sebagai vektor yang dicurigai dari L. (L.) infantum.

17
BAB IV

KESIMPULAN

4.1 Kesimpulan
Hasil pemeriksaan fisik, klinis, pemeriksaan darah lengkap dan ulas
darah menunjukan anjing kasus mengalai penyakit babesiosis yang
disebabkan oleh Babesia spp. Pengobatan yang dilakukan tidak dapat hanya
sekali tetapi harus periodic dengan uji laboratorium berulang kali setiap
setelah pengobatan. Kebersihan tubuh hewan diperhatikan agar terhindar dari
kutu dan caplak yang dapat menyebabkan penyakit babesiosis.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa diantara 77 anjing yang diteliti,
10 (13%) ditemukan terinfeksi leishmania sp, pada 7 anjing dan 2 manusia
spesies yang menginfeksi diketikahui tipe Leishmania (Leishmania infantum).
Genotipe yang sama terdeteksi pada manusia dan 2 kasus anjing. Meskipun
beberapa metode diagnostik menunjukkan persetujuan yang lemah atau
sedang, nilai kesesuaian untuk serologi dan PCR lingkaran besar sangat baik
dengan (indeks Kappa = 0,84). Lalat pasir yang ditangkap didaerah tersebut
dan diidentifikasi sebagai Lutzomyia migonei dan Lu.cortelezzii/Lu. sallesi
(cortelezzii kompleks). Leishmaniasis pada anjing dan manusia di wilayah
sylvatic mempunyai prevalensi infeksi yang relatif rendah menunjukkan
bahwa Leishmaniasis (L.) infantum penularan ke anjing dan manusia
mungkin, di wilayah ini, berasal dari reservoir sylvatic.

18
DAFTAR PUSTAKA

Asato Y, Oshiro M, Myint CK, Yamamoto Y, Kato H, Marco JD, Mimori T,


Gomez EA, Hashiguchi Y, Uezato H, 2009. Phylogenic analysis of the
genus Leishmania by cytochrome b gene sequencing. Exp Parasitol 121:
352–361.
Astyawati, T., Wulansari, R., Cahyono, Ardhiansyah, F., Rumekso, A., & Dhetty.
(2010). Konsentrasi serum anjing yang optimum untuk menumbuhkan dan
memelihara Babesia canis dalam biakan. Jurnal Veteriner, 11(4), 238–243.
Ayoob, A. L., Hackner, S. G., & Prittie, J. (2010). Clinical management of canine
babesiosis. Journal of Veterinary Emergency and Critical Care, 20(1), 77–
89. https://doi. org/10.1111/j.1476-4431.2009.00489.x
Baneth G, Koutinas AF, Solano-Gallego L, Bourdeau P, Ferrer L, 2008. Canine
leishmaniosis-new concepts and insights on an expanding zoonosis.
Trends Parasitol 24: 324–330 [Review].
Barrio A, Mora MC, Ramos F, Moreno R, Samson R, Basombrı´o MA, 2007.
Short report: use of kDNA-based polymerase-chain reaction as sensitive
and differentially diagnostic method of American tegumentary
leishmaniasis in disease-endemic areas of northern Argentina. Am J Trop
Med Hyg 77: 636–639.
Barrio A, Parodi CM, Locatelli F, Mora MA, Basombrio MA, Korenaga M,
Hashiguchi Y, Garcı´a Bustos MF, Gentile A, Marco JD, 2012.
Leishmania infantum and visceral leishmaniasis, Argentina. Emerg Infect
Dis 18: 354–355.
Barrouin-Melo SM, Farias-Laranjeira D, de Andrade-Filho FA, Trigo J, Juliao FS,
Franke CR, Palis-Aguiar PH, Conrado-dosSantos WL, Pontes-de-Carvalho
L, 2006. Can spleen aspirates be safely used for the parasitological
diagnosis of canine visceral leishmaniasis? A study of asymptomatic and
polysymptomatic animals. Vet J 171: 331–339.
Basombrı´o MA, Taranto NJ, 2000. Outbreaks of mucocutaneous leishmaniasis in
northern Argentina. Anim Biol 9: 131–133.
Bilwal, A. K., Mandali, G. C., & Tandel, F. B. (2017). Clinicopathological
alterations in naturally occurring Babesia gibsoni infection in dogs of
Middle-South Gujarat, India. Veterinary World, 10(10), 1227–1232. https:
//doi.org/10.14202/vetworld.2017.1227- 1232
Bravo AG, Quintana MG, Abril M, Salomo´n OD, 2013. The first record of
Lutzomyia longipalpis in the Argentine northwest. Mem Inst Oswaldo
Cruz 108: 1071–1073.
Chauvin, A., Moreau, E., Bonnet, S., Plantard, O., & Malandrin, L. (2009).
Babesia and its hosts: adaptation to long-lasting interactions as a way to
achieve efficient transmission. Veterinary Research, 40(2), 1– 18.
https://doi.org/10.1051/vetres/20090 20
Chaves LF, Hernandez MJ, Dobson AP, Pascual M, 2007. Sources and sinks:
revisiting the criteria for identifying reservoirs for American cutaneous
leishmaniasis. Trends Parasitol 23: 311–316.

19
Darma. (2015). Deteksi parasit darah Babesia sp. pada sapi Bali di Kelurahan
Lalabata Rilau Kecamatan Lalabata Kabupaten Soppeng. Universitas
Hasanuddin.
Dwi, P., Nugraheni, Y. R., Rohayati, E. S., & Prastowo, J. (2018). Babesiosis in a
local dog in Yogyakarta, Indonesia, a case report. Research Journal of
Parasitology, 13(1), 14–18.
Foulet F, Botterel F, Buffet P, Morizot G, Rivollet D, Deniau M, Pratlong F,
Costa JM, Bretagne S, 2007. Detection and identification of Leishmania
species from clinical specimens by using a real-time PCR assay and
sequencing of the cytochrome b gene. J Clin Microbiol 45: 2110–2115.
Gonde, S., Chhabra, S., Uppal, S. K., Singla, L. D., & Randhawa, S. S. (2016). A
unique case of Babesia gibsoni infected dog with paraplegia. Journal of
Parasitic Diseases, 40(4), 1605–1608. https://doi.org/10.1007 /s12639-
015-0739-0
Higuchi H, 1990. Rapid, efficient DNA extraction for PCR from cells or blood.
Perkin Elmer Cetus Amplifications 2: 1–3.
Irawan, V. (2015). Mekanisme patogenesis pada Babesia canis. Yogyakarta.
Retrieved
fromhttps://www.researchgate.net/profile/Vidya_Irawan/publication/
278026268_MEKANISME_PATOGENESIS_PADA_BABESIA_CANIS/
links/5579af5308aeb6d8c0 205619.pdf
Irwin, P. J. (2010). Canine babesiosis. Veterinary Clinics: Small Animal Practice,
40(6), 1141– 1156. https://doi.org/10.1016/j.cvsm. 2010.08.001
Kato H, Uezato H, Katakura K, Calvopin˜ a M, Marco JD, Barroso P, Gomez EA,
Mimori T, Korenaga M, Iwata H, Nonaka S, Hashiguchi Y, 2005.
Detection and identification of Leishmania species within naturally
infected sandflies in the Andean areas of Ecuador by polymerase chain
reaction. Am J Trop Med Hyg 72: 87–93.
Kjemtrup, A. M., & Conrad, P. A. (2006). A review of the small canine
piroplasms from California: Babesia conradae in the literature. Veterinary
Parasitology, 138(1–2), 112–117. https://doi.org/10.1016/j.vetpar.2006.01.
045
Lainson R, Rangel EF, 2005. Lutzomyia longipalpis and the eco-epidemiology of
American visceral leishmaniasis, with particular reference to Brazil: a
review. Mem Inst Oswaldo Cruz 100: 811–827.
Marco JD, Barroso P, Calvopin˜ a M, Kumazawa H, Furuya M, Korenaga M,
Cajal SP, Mora MC, Rea MM, Borda CE, Basombrı´o MA, Taranto NJ,
Hashiguchi Y, 2005. Species assignation of Leishmania from human and
canine American tegumentary leishmaniasis cases by multilocus enzyme
electrophoresis in northern Argentina. Am J Trop Med Hyg 72: 606–611.
Marco JD, Barroso PA, Mimori T, Locatelli FM, Tomatani A, Mora MC, Cajal
SP, Nasser JR, Parada LA, Taniguchi T, Korenaga M, Basombrı´o MA,
Hashiguchi Y, 2012. Polymorphism-specific PCR enhances the diagnostic
performance of American tegumentary leishmaniasis and allows the rapid
identification of Leishmania species from Argentina. BMC Infect Dis 12:
191–198.

20
Marco JD, Padilla AM, Diosque P, Fernandez MM, Malchiodi E, Basombrı´o
MA, 2001. Force of infection an evolution of lesions of canine
tegumentary leishmaniasis in northwestern Argentina. Mem Inst Oswaldo
Cruz 96: 649–652.
Marco JD, Uezato H, Mimori T, Barroso PA, Korenaga M, Nonaka S, Basombrı´o
MA, Taranto NJ, Hashiguchi Y, 2006. Are cytochrome B sequencing and
polymorphism-specific polymerase-chain reaction as reliable as multilocus
enzyme electrophoresis for identifying Leishmania spp. from Argentina?
Am J Trop Med Hyg 75: 256–260.
Mathlubi, V. (2015). Canine Babesiosis. Malang: Pendidikan Profesi Dokter
Hewan, Universitas Brawijaya. Paramita, N. M. D. P., & Widyastuti, S. K.
(2019). Studi kasus: Babesiosis pada anjing persilangan. Indonesia
Medicus Veterinus, 8(1), 79–89. https://doi.org/10.19087/imv .2019.8.1.79
National Research Council Committee for the Update of the Guide for the Care
and Use of Laboratory Animals, 2010. Guide for the Care and Use of
Laboratory Animals, 8th edition. Washington, DC: National Academies
Press, 248. Available at: http://www.nap.edu/catalog/12910.html.
Padilla AM, Marco JD, Diosque P, Segura MA, Mora MC, Fernandez MM,
Malchiodi EL, Basombrı´o MA, 2002. Canine infection and the possible
role of dogs in the transmission of American tegumentary leishmaniasis in
Salta, Argentina. Vet Parasitol 110: 1–10.
Paramita, N. M. D. P., & Widyastuti, S. K. (2019). Studi kasus: Babesiosis pada
anjing persilangan. Indonesia Medicus Veterinus, 8(1), 79–89.
https://doi.org/10.19087/imv .2019.8.1.79
Quinnel RJ, Courtenay O, Garcez LM, Dye C, 1997. Epidemiology of canine
leishmaniasis: transmission rates estimated from a cohort study in Amazon
Brazil. Parasitology 115: 143–156.
Quinnell RJ, Carson C, Reithinger R, Garcez LM, Courtenay O, 2009. Evaluation
of rK39 rapid diagnostic tests for canine visceral leishmaniasis:
longitudinal study and meta-analysis. PLoS Negl Trop Dis 7: e1992.
Rosa J, Pereira DP, Brazil RP, Filho JD, Salomo´ n O, Szelag E, 2012. Natural
infection of cortelezzii complex (Diptera: Psychodidae: Phlebotominae)
with Leishmania braziliensis in Chaco, Argentina. Acta Trop 123: 128–
131.
Salomo´ n OD, Quintana MG, Bezzic G, Moranc ML, Bethbederc E, Valdez DV,
2010. Short communication: Lutzomyia migonei as putative vector of
visceral leishmaniasis in La Banda, Argentina. Acta Trop 113: 84–87.
Salomo´ n OD, Sinagra A, Nevot MC, Barberian G, Paulin P, Estevez JO, Riarte
A, Estevez J, 2008. First visceral leishmaniasis focus in Argentina. Mem
Inst Oswaldo Cruz 103: 109–111.
Santini MS, Fernandez MS, Perez AA, Sandoval AE, Salomon OD, 2012.
Lutzomyia longipalpis abundance in the city of Posadas, north-east
Argentina: variations at different spatial scales. Mem Inst Oswaldo Cruz
107: 767–771.
Schetters, T. P. M., Moubri, K., & Cooke, B. M. (2009). Comparison of Babesia
rossi and Babesia canis isolates with emphasis on effects of vaccination

21
with soluble parasite antigens: A review. Journal of the South African
Veterinary Association, 80(2), 75–78.
Schoeman, J. P. (2009). Canine babesiosis. Onderstepoort Journal of Veterinary
Research, 76(1), 59–66.
Setiyani, E. (2009). Babesia sp. BALABA: Jurnal Litbang Pengendalian Penyakit
Bersumber Binatang Banjarnegara, 5(2), 24–25.
Silva ES, Gontijo CM, Melo MN, 2005. Contribution of molecular techniques to
the epidemiology of neotropical Leishmania species. Trends Parasitol 21:
550–552.
Solano-Gallego, L., Sainz, Á., Roura, X., Estrada-Peña, A., & Miró, G. (2016). A
review of canine babesiosis: the European perspective. Parasites &
Vectors, 9(336), 1– 18. https://doi.org/10.1186/s13071-016- 1596-0
Souza TD, Turchetti AP, Fujiwara RT, Paixa˜o TA, Santos RL, 2014. Visceral
leishmaniasis in zoo and wildlife. Vet Parasitol 200: 233–241 [Review].
Tomasini N, Lauthier JJ, Llewellyn MS, Diosque P, 2013. MLSTest: novel
software for multi-locus sequence data analysis in eukaryotic organisms.
Infect Genet Evol 20: 188–196.
Ubah, A. S., Abalaka, S. E., Idoko, I. S., Obeta, S. S., Ejiofor, C. E., Mshelbwala,
P. P.,Ajayi, I. E. (2019). Canine babesiosis in a male Boerboel:
Hematobiochemical and anatomic pathological changes in the
cardiorespiratory and reproductive organs. Veterinary and Animal
Science, 7(100049), 1– 6. https://doi.org/10.1016/j.vas.2019. 100049
Wahyuni, Wirawan, H. P., & Pitriani. (2018). Kasus babesiosis pada anjing.
Diagnosa Veteriner, 17(2), 4–9
Widodo, S., Sajuthi, D., Choliq, C., Wijaya, A., Wulansari, R., & Lelana, R. A.
(2011). Diagnostik Klinik Hewan Kecil (S. Widodo, Ed.). Bogor: IPB
Press.
Wijaya, A. (2018). Studi Kasus: Babesiosis pada anjing Doberman (Borna).
Proceedings of the 20th FAVA & The 15th KIVNAS PDHI, 595– 597.
Bali: Indonesia Veterinary Medical Association
Young DG, Duncan MA, 1994. Guide to the identification and geographic
distribution of Lutzomyia sand flies in Mexico, the West Indies, Central
and South America (Diptera: Psychodidae). Mem Am Entomol Inst 54: 1–
881.

22

Anda mungkin juga menyukai