Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Parasit adalah istilah yang digunakan untuk menyebut makhluk hidup yang hidupnya
tergantung pada makhluk hidup lainnya. Kata parasit berasal dari bahasa Yunani
‘Parasitos’ yang artinya di samping makanan (para=di samping/di sisi, dan
sitos=makanan). Parasit hidup dengan menempel dan menghisap nutrisi dari makhluk
hidup yang di tempelinya. Makhluk hidup yang di tempeli oleh parasit di sebut dengan
istilah inang. Secara umum, keberadaan parasit pada suatu inang akan merugikan dan
menurunkan produktivitas inang. Karena selain menumpang tempat tinggal, parasit juga
mendapatkan nutrisi dan sari makanan dari tubuh inang. Hal seperti ini akan
menyebabkan tubuh inang mengalami mal nutrisi yang akan mempengaruhi metabolisme
tubuhnya.

Pada paper ini akan dibahas tentang parasit darah yaiti Babesiosis pada anjing
penyakit Babesiosis atau piroplasmosis adalah penyakit yang disebabkan karena infeksi
oleh parasit protozoa darah Babesia canis yang termasuk dalam family Babesiidae.
Babaesiosis pada anjing merupakan penyakit yang sebabkan oleh parasit darah (protozoa)
melalui darah yang menyerang sel darah merah oleh vektor utama gigitan caplak, gigitan
secara langsung oleh anjing penderita, transfusi darah, transplasental/induk ke anaknya
sehingga mengakibatkan kerusakan dan kekurangan sel darah merah/anemia, turunnya
kadar hemoglobin yang menyebabkan penyakit kuning (jaundice). Kasus babesiosis pada
anjing sebagian besar terjadi pada musim kemarau dimana terjadi peningkatan jumlah
populasi caplak yang sangat banyak.

Ukuran Babesia canis tiga mikron (> 3 µ) (Adam,1971).Pada infeksi yang berat
babesia dapat menyebabkan adanya anemia hemolitik yang berat. Selain itu, pada infeksi
yang kronis anjing biasanya memperlihatkan anemia dan demam dengan hiperplasia
limfoid dan limfositosis. Anjing yang terinfeksi babesiosis dapat menghasilkan kekebalan
yang bertahan seumur hidup terhadap penyakit ini Parasit babesia bersifat intraseluler
pada sel darah merah. Infeksi babesia umumnya melalui vektor. Pada anjing, vektor yang
paling sering dilaporkan dapat menularkan babesia ialah caplak dari spesies
Rhipicephalus sanguineus filum Ixodidae (Atmojo 2010). Beberapa laporan menyebutkan
pada infeksi ringan tingkat parasetemianya kurang dari 1%, sedangkan infeksi berat bila
tingkat parasetemianya sudah melebihi 1% (Schetters et al. 1997).
1.2 RUMUSAN MASALAH

1. Apa agen penyebab (etiologi) dari Babesiosis ?


2. Bagaimana epidemiologi dari Babesiosis ?
3. Bagaimana patogenesis dari Babesiosis ?
4. Bagaimana sikulus hidup dan cara penularan dari Babesiosis ?
5. Apa gejala klinis dari Babesiosis ?
6. Bagaimana meyode diagnosa dari Babesiosis?
7. Bagaimana pengendalian dan pencegahan dari Babesiosis ?
8. Apa saja obat yang dapat diberikan untuk hewan yang terkena Babesiosis ?

BAB II

TUJUAN DAN MANFAAT TULISAN

(JOANITA)

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

(JOANITA)
BAB IV

PEMBAHASAN

4.1 ETIOLOGI BABESIOIS

Babesiosis disebabkan oleh protoza darah intraseluler dari Babesia sp. Nama Babesia
sendiri diambil dari penemunya, yaitu Victor Babes yang mengidenfikasi organisme didalam sel
darah  merah pada tahun 1888. Selanjutnya, pada tahun 1893, Victor Babes kembali menemukan
protoza intra eritotrosit pada penderita sapi yang mengalami haemoglobinuria. Adapun kasus
Babesiosis pada manusi pertama kali ditemukan pada peternak sapi di daerah Yugoslavia pada
tahun 1957.

Klasifikasi berdasarkan taksonominya babesiosis tergolong ;


Phylum : ApicomplexaKelas : Sporozoasida
Sub kelas : Coccidiasina
Sub ordo : Haemospororina
Famili : Babesiidae
Genus : Babesia
Species : Babesia canis.

Beberapa spesies Babesia, hanya ditemukan pada hewan-hewan yang lain, seperti
B.mayor menginfeksi sapi, B.equi pada kuda dan B.canis pada anjing, B.felis pada tikus, dan
B.microti pada binatang mengerat (rodent), juga binatang menyusui kecil dan jenis kera,
sedangkan B.divergen pada tikus dan gerbil (sejenis tikus yang kaki belakang dan ekornya
panjang).
Di Indonesia, umumnya kasus babesiosis disebabkan oleh B.bovis dan B.bigemina,
keduanya dapat dibedakan secara morfologi. Babesia bovis berbentuk cincin- signet yang
bervakuol dan mempunyai merozoit berukuran 1,5 - 2,4 µm yang terletak di tengah-tengah
eritrosit, sedangkan B.bigemina berbentuk periform, bulat,oval atau tidak teratur, berpasang-
pasangan dengan ukuran diameter 2 - 3 µm dan panjang 4 - 5 µm.

(gambar 1. morfologi dari babesiois)


4.2 EPIDEMIOLOGI

1. Siklus Hidup
Babesiosis pada anjing tersebar di Afrika, Asia, Bagian Selatan Eropa, Rusia, Amerika
Tengah dan Selatan, sebagian kecil di Amerika Serikat. Di Asia, penyakit ini telah dilaporkan
ada di India, Sri Lanka, Jepang, dan China. Penyakit ini belum pernah dilaporkan di Indonesia,
namun tidak tertutup kemungkinan penyakit ini telah ada di Indonesia. Namun pada literatur
(Schetters THPM,1997) babesiosis jarang dilaporkan di luar Amerika. Secara sporadis
dilaporkan dari Perancis, Yugoslavia, Inggris, Irlandia,Uni Soviet dan Meksiko. Antara tahun
1968-1993 lebih dari450 penderita Babesiosis dikonfirmasi dari pemeriksaan preparat apus darah
dan serologi. Jumlah infeksi sebenarnya sulit ditentukan karena banyak penderita yang tertular
parasite Babesia tidak menunjukkan gejala.Penularan bisa melalui transfusi darah. Pada survei
atas darah donor di Cape Cod, Massachusetts (1979) ternyata 3,3-4,9% seropositif Babesia. Di
daerah non endemis Babesiosis, beresiko penularan melalui transfusi darah hanya sekitar 0.17%.
Dikenal lebih 100 spesies Babesia, Yang sering dipersoalkan,Babesia canis menginfeksi sel
darah merah
Lama waktu yang diperlukan oleh Babesia sp dari mulai menginfeksi sampai terlihat
diperedaran darah sekitar 7 – 10 hari. Berdasarkan tahap reproduksinya, perkembangan parasit
ini dapat dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu 1) Gamogoni (formasi dan fusi gamet di dalam usus
caplak); 2) Sporogoni (reproduksi aseksual dalam kelenjar ludah); dan 3) Merogoni (reproduksi
aseksual pada inang vertebrata).
Sporozoit yang berada didalam kelenjar ludah vektor (caplak) akan berpenetrasi ke dalam
eritrosit inang, selanjutnya parasit ini akan berkembang didalam butir darah merah dan berubah
menjadi bentuk tropozoit, yang kemudian berdiferensiasi dan bertunas dua atau empat
membentuk merozoit. Bentukan merozoit yang telah tumbuh sempurna (ukuran panjang 1-5 µm)
akan merusak butir darah merah dan pindah ke butir darah merah yang baru. Siklus ini terus
berlanjut sampai tingkat parasitemianya tinggi dan menyebabkan induk semang mati.
Ketika vector (caplak) menghisap darah inang yang mengandung parasit (bentukan
merozoit), maka sebagian merozoit akan mengalami kerusakan di dalam saluran pencernaannya.
Sebagian lain yang masih hidup akan berubah menjadi gametosit yang matang (telah tumbuh
sempurna), yang pada akhir tumbuh menjadi gametosit jantan dan betina. Kedua gametosit
tersebut akan menggabung (fusi) dan membentuk zigot (ookinet) yang motil.
Gametosit yang berkembang di dalam eritrosit induk semang (sapi) akan berbentuk oval
atau bulat yang pada saat tertentu akan berhenti tumbuh. Gametosit ini merupakan prekursor
pada saat perkembangan seksual parasit yang akan memperbanyak diri di dalam caplak (tick).
Zigot akan menjadi ookinet yang bermigrasi ke hemolimfe dan berpentrasi ke berbagai organ
caplak, bahkan hingga ke dalam telur caplak yang akan diturunkan ke generasi selanjutnya
melalui transovarial transmission. Ookinet yang lain akan menjadi oosit yang mengandung
sporozoit akan masuk melalui dalam kelenjar ludah caplak. Sporozoit dalam kelenjar ludah ini
selanjutnya akan memindahkan penyakit ke inang melalui gigitannya.
Gambar 2. Siklus hidup Babesia sp. Perkembangan parasite pada inang ditunjukkan pada no 1
– 6, sedangkan perkembangannya pada vektor ditunjukkan pada no 7 – 17. (1. Sporozoit yang
dilepas dari kelenjar ludah caplak, 2. skizon (koch’s blue bodies = KB) di dalam limfosit (N =
Nukleus), 3. merozoit, 4 – 5. membelah diri dalam eritrosit, 7a - b. Piroplasma dalam usus
caplak, 8 - 10. pembentukan mikrogamon (9) dan mikrogamet (10), 11. makrogamet, 12. zigot,
13-15. Pembentukan kinet, 15b. Pada Theileria parva pembelahan inti terjadi sebelum kinet
meninggalkan sel usus caplak, 16. kinet memasuki sel kelenjar ludah, 17. pembesaran sel
kelenjar ludah dan intinya, dan intinya dan di dalamnya ditemukan ribuan sporozoit. (Sumber:
Mehlhorn and Schein, 1984).
2. Sifat alami agen
Babesia sp memiliki kemampuan untuk menghindar dari proteksi respon imun inang sehingga
proteksi ini tidak dapat mencegah terjadinya infestasi berulang, namun hanya mampu
menurunkan tingkat parasitemia, morbiditas dan mortalitas inang ketika terjadi re-infestasi.
Disamping itu, respon imun yang ditimbulkan oleh Babesia sp mempunyai karakteristik reaksi
silang (cross immunity). Imunitas yang disebabkan oleh B.bigemina mampu melindungi inang
yang terinfestasi oleh B.bovis (cross protected).
3. Spesies rentan
Hampir seluruh hewan rentan terhadap infestasi Babesia sp. Umumnya sapi dewasa lebih
rentan dibandingkan dengan sapi muda. Sapi Bos taurus juga dilaporkan lebih sensitif terhadap
serangan Babesia sp dibandingkan Bos indicus atau persilangannya. Kejadian kasus Babesiosis
akibat infestasi B.bigemia di Australia dilaporkan sepuluh kali lipat lebih banyak menyerang Bos
taurus dibandingkan dengan Bos indicus.
Kualitas ketahanan tubuh (respon imun) terhadap caplak lebih besar pada jenis sapi
peranakan yang mempunyai darah /keturunan zebu yang lebih dominan. Apabila sapi-sapi yang
rentan tidak terlindungi dari infestasi caplak, maka derajat kesakitan dan kematian yang tinggi
akibat infestasi Babesia sp dapat terlihat dalam waktu 3 minggu. Jikalaupun periode kritis ini
dapat terlewati, hewan-hewan tersebut cenderung mudah menderita anaplasmosis pada 2 – 12
minggu pasca wabah babesiosis.
4. Pengaruh Lingkungan
Kondisi lingkungan yang sesuai untuk perkembangan vektor caplak berkorelasi positif
dengan semakin meningkatnya kasus Babesiosis di lapangan. Penyebaran Babesia sp. sangat
tergantung dari kondisi geografis dan cuaca disuatu wilayah.
Caplak sebagai vector penyakit ini banyak ditemukan pada lingkungan yang hangat dan
lembab, bahkan mampu bertahan hidup pada daerah - daerah kering-dingin atau kering-panas
hingga pada ketinggian 2000 m.
5. Sifat penyakit
Babesiosis pada umumnya bersifat kronis, tetapi terkadang dapat juga bersifat akut
bahkan menyebabkan kematian pada ternak dengan tingkat parasitemia yang tinggi.

4.3 PATOGENESIS
Babesia merupakan parasit di dalam sel darah merah (intraeritrosit). Pada fase
exoeritrositik tidak ada keluhan dan gejala seperti yang terjadi pada malaria. Parasit babesia
berbiak secara aseksual, dengan tumbuh di dalam sel darah merah, Biasanya menjadi 2-4 tunas.
Bila sel darah merah yang terinfeksi pecah, parasit menginfeksi sel darah merah lain dan
memulai siklus baru. Gejala klinik utama babesiosis, hemoglobinemia, hemoglobinuria dan
kuning (jaundice), Babesiosis pada hewan berlangsung menahun setelah gejala akut karena
parasit mampu mengubah spesifisitas antigen di permukaan sel hingga berubah kepekaannya
terhadap antibodi.
4.4 SIKLUS HIDUP DAN CARA PENULARAN
Babesiosis ditularkan melalui vector caplak. Caplak yang berinang satu menularkan
secara transovarial, sedangkan caplak berinang dua atau tiga penularannya secara “stage to
stage“. Parasit ini masuk ke dalam tubuh caplak pada saat menghisap darah inang. Di dalam
tubuh caplak, Babesia sp akan memperbanyak diri di dalam sel epitel saluran pencernaan,
selanjutnya menyebar ke seluruh tubuh dan melakukan invasi ke indung telur. Babesia akan
berada di dalam telur caplak yang akan berkembang menjadi larva (transovarial transmission).
Siklus hidup Babesia canine pada hospes anjing dimulai saat caplak yang mengandung
Babesia menghisap darah anjing. Dari saliva caplak ditularkan sporozoid yang masuk ke
peredaran darah hospes dan menginfeksi eritrosit. Di dalam eritrosit, sporozoid berkembang
menjadi tropozoid, kemudian menginfeksi eritrosit lain dan menjadi merozoid serta pre-
gametosit. Apabila ada caplak yang menghisap darah anjing yang telah terinfeksi babesia,
stadium pre-gametosit dapat masuk ke dalam tubuh caplak dan berada di epitel usus caplak. Pada
usus caplak ini terjadi gametogoni (diferensiasi gamet dan pembentukan zigot). Kemudian
menjadi kinate yang yang dapat ditransmisi secara trans-stadial maupun transovarial.
Pembentukan stadium infektif babesia ini terjadi di glandula saliva caplak sebagai sporozoid.

4.5 GEJALA KLINIS

Manifestasi klinis yang ditimbulkan akibat penyakit ini adalah mengalami demam ; Masa
inkubasi penyakit 10-21 hari yang di ikuti gejala demam ± 400C,Lesu,Malas bergerak
aktif,Anoreksia (kurang nafsu makan),Penurunan berat badan,Anemia (hilang/ rusaknya sel
darah merah),Kelemahan yang parah, SplenomegaliI, Ikterus (selaput mukosa
kuning),Bilirubinuria dan haemoglobinuria (dalam urin terdapat darah dan
bilirubin),Gangguan syaraf ( Kematian mendadak, rasa sakit otot-otot kaki hingga terjadi
kepincangan dan bahkan kelumpuhan bilateral),Kematian (akibat kegagalan nafas karena
gangguan sirkulasi dan oedema pulmonum)
Masa inkubasi babesiosis antara 2 – 3 minggu pada infeksi alam, tetapi dapat berjalan
lebih cepat jika dilakukan inokulsi di laboratorium, yaitu 4 - 5 hari (B.bigemina) dan 10 - 14
hari (B.bovis). Awalnya sapi akan mengalami peningkatan suhu tubuh (demam) selama 2
minggu lebih, dan diikuti dengan anemia hebat, selaput lendir menjadi kuning dan bisa
terjadi haemoglobinuria (kencing berwarna merah darah = red water).
4.6 METODE DIAGNOSA

Diagnosa penegakan Penyakit babesiosis dapat dilakukan dengan berbagai cara antara
lain:
a. Pemeriksaan mikroskopis melalui preparat ulas darah tipis dari ujung telinga sapi. Ulas
darah dapat difiksasi menggunakan methyl alcohol dan diwarnai dengan pewarnaan
Giemsa selama 45 menit. Setelah dicuci dengan air, preparat dikeringkan dalam suhu
ruang. Pemeriksaan parasit ini menggunakan mikrsoskop cahaya dengan pembesaran
1000 X. Gambaran parasit di dalam sel darah merah berbentuk ring mirip dengan
morfologi tropozoit pada Plasmodium malaria, hanya saja pada Babesia tidak
menunjukkan adanya pigmen.

b. Metode lain adalah dengan cara Indirect Immunoflourescent Antibody Assay. Metode
ini lebih banyak digunakan untuk manusia.

c. Diagnosa juga dapat dilakukan dengan tehnik Polymerase Chains Reaction (PCR),
tetapi tehnik tidak mampu membedakan infestasi yang terjadi secara akut atau kronis.

d. Enzim Linked Immunosorbent Assay (ELISA) untuk mendiagnosa B. bovis


menggunakan antigen seluruh merozoite sedangkan ELISA untuk B. bigemina belum
memberikan hasil yang baik karena antibodi terhadap B. bigemina dilaporkan kurang
sensitif. Adapun metode ELISA untuk B. divergens belum divalidasi.

4.7 PENGENDALIAN ATAU PENCEGAHAN

 Penanganan atau pengendalian dari penyakit ini adalah dengan cara


mengendalikan caplak dan kutu yang menjadi vektor penyakit ini serta
merawat anjing agar terhindar dari caplak dan kutu tersebut.

 Menghindari kemungkinan digigit/kontak dengan caplak dan kutu


hewan. Misalnya, menggunakan obat insektisida gosok (repellant).
Beberapa jam setelah digigit, terjadi penularan babesia. Hingga
seseorang yang curiga digigit harus segera memeriksa bagian
tubuhnya yang digigit.
 Menyaring donor darah dan penderita babesiosis yang parasitemia
rendah. Seperti melakukan pemeriksaan zat anti. Untuk menghindari
penularan melalui transfusi darah. (Atmojo SD. 2010)

R. sanguineus dapat dikendalikan melalui berbagai cara, salah satunya adalah dengan
manajemen pemeliharaan dan perawatan anjing (inang) yang baik dan tepat. Manajemen tersebut
terdiri atas pemeliharaan kandang dan pemeliharan anjing. Pemeliharaan kandang dilakukan
dengan menutup dan meminimalkan adanya celah-celah pada pintu, jendela, dinding, maupun
lantai. Kandang dibersihkan secara rutin dengan menggunakan desinfektan hingga ke celah-celah
dan seluruh bagian kandang yang bertujuan agar caplak yang bersarang maupun telur-telur
caplak yang disimpan dapat dibersihkan. Pada manajemen pemeliharaan anjing, jika
memungkinkan sebaiknya anjing di kandang masing-masing 1 ekor agar tidak terjadinya
penularan caplak antar inang.

 Hindarkan kontak langsung dengan penderita


 Untuk mencegah penuluran ke anjing lain pisahkan hewan yang masih sehat dengan
anjing yang sedang sakit babesiosis.
 Lakukan penyemprotan insectisida untuk membasmi caplak di sekitar kandang,
lingkungan dan peralatan-peralatan

4.7 PENGOBATAN

Pemberian obat Imidocarb dipropionate (Imizol, Burroughs Wellcome, Schering-Plough)


2.5 mg/pound BB IM tiap 2 minggu untuk 2x treatment. (Donald C. Plumb, Pharm.D.1999)

Diberikan obat anti parasit darah seperti Trypan blue, Imidocarb dipropionat, pirevan, atau
phenamidin.Jika infeksi sekunder muncul, dokter hewan akan memberikan antibiotik. Pemberian
cairan elektrolis (infus) dilakukan apabila anjing mengalami dehidrasi. Perlakuan transfusi darah
diberikan jika anjing mengalami anemia.

BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
(JOANITA)

SISANYA DAFTAR PUSTAKA, DAFTAR ISI DLL KAMU YAA ...


NNTI KU BUAT PPTNYA

https://www.rajapetshop.com/en/news/BABESIOSIS-PADA-ANJING
https://web.facebook.com/notes/justina-neng-lim/parasit-darah
https://karyadrh.blogspot.com/2015/10/babesiosis-penyakit-parasit-darah-pada.html
UBAH KE PUSTAKA YA

Anda mungkin juga menyukai