Anda di halaman 1dari 25

KEJADIAN PENYAKIT KULIT PADA ANJING DAN KUCING

AKIBAT INFEKSI CENDAWAN DI BEBERAPA


KLINIK HEWAN

UMMI HANI TRISANDI

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN


INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Kejadian Penyakit


Kulit pada Anjing dan Kucing Akibat Infeksi Cendawan di Beberapa Klinik
Hewan adalah benar karya saya dengan arahan dari pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, September 2016

Ummi Hani Trisandi


NIM B04120063
iii

ABSTRAK
UMMI HANI TRISANDI. Kejadian Penyakit Kulit pada Anjing dan Kucing
Akibat Infeksi Cendawan di Beberapa Klinik Hewan. Dibimbing oleh EKO
SUGENG PRIBADI.

Anjing dan kucing merupakan dua jenis peliharaan yang yang paling sering
dipelihara. Penampilan hewan peliharan harus selalu diperhatikan karena
seringkali mengalami gangguan dan dapat berdampak pada infeksi yang lebih
luas. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui keragaman penyakit kulit yang
disebabkan oleh infeksi cendawan dan agen lainnya pada anjing dan kucing.
Penelitian menggunakan data sekunder yang berasal dari rekam medik periode
2010-2014 yang tersimpan di klinik yang diambil dari dua klinik hewan. Data
primer diperoleh dari hasil identifikasi keberadaan kapang pada contoh kerokan
kulit dan rambut pasien anjing dan kucing yang diambil dari 10 klinik hewan di
Kota Bogor. Pemeriksaan makroskopik dilakukan terhadap koloni cendawan yang
tumbuh di media pertumbuhan SDA dan SDA-m. Pemeriksaan mikroskopik
dilakukan terhadap contoh kerokan kulit dan rambut yang ditetesi dengan KOH
10% dan terhadap struktur mikroskopik cendawan yang tumbuh di media
pertumbuhan. Kasus infestasi ektoparasit merupakan kasus yang paling banyak
didiagnosa dari anjing dan kucing yang dating ke klinik hewan dengan angka
sebesar 30,00% pada anjing ras dan 45,58% pada kucing ras. Kasus dermatofitosis
merupakan kasus kedua terbanyak yang dialami pasien, yaitu sebesar 25,71%
pada anjing ras dan 14,28% pada kucing ras. Kapang Dermatofita tidak ditemukan
pada contoh kerokan kulit dan rambut. Sejumlah cendawan saprofit dan
kosmopolitan ditemukan dari contoh yang diperiksa

Kata kunci: penyakit kulit, infestasi ektoparasit, infeksi cendawan, anjing, kucing
iv

ABSTRACT

UMMI HANI TRISANDI. Dermatomycoses in Dogs and Cats in Animal Clinics.


Supervised by EKO SUGENG PRIBADI.

Dogs and cats are two pets are most popular pet kept by human. Pet animals
performance should be always considered because they are often susceptible to
pathogen infection and could be impacted on the wider infection. The purpose of
this study was to determine various skin disease caused by mycoses and other
agents in dogs and cats. The study used secondary data derived from medical
records that are kept in the period of 2010-2014 were taken from two animal
clinics. Primary data obtained from the fungi identification on skin scrapings and
hair samples of dogs and cats taken from 10 animal clinics in the City of Bogor.
The macroscopic examination performed on colonies of fungi that grown on the
SDA and SDA-m. Microscopic examination carried out on skin scrapings and hair
sample that spilled with 10% KOH and fungi microscopic structure that grown in
the medium. The case of ectoparasites infestation was highest on dogs and cats
that were came to the animal clinic with a rate of 30.00% on a race dog and
45.58% in a race cat. Dermatofitosis case was the second most experienced
patients, with rate of 25.71% on a races dog and 14.28% on a race cat.
Dermatophyte were not found in skin scrapings and hair samples. Some saprofit
and cosmopolitan fungi found from the sample examined

Keywords: skin diseases, infestations of ectoparasites, fungal infections, dogs,


cats
v

KEJADIAN PENYAKIT KULIT PADA ANJING DAN KUCING


AKIBAT INFEKSI CENDAWAN DI BEBERAPA
KLINIK HEWAN

UMMI HANI TRISANDI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN


INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
vi
vii

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juni 2014 ini adalah
penyakit kulit, dengan judul Kejadian Penyakit Kulit pada Anjing dan Kucing
Akibat Infeksi Cendawan di Beberapa Klinik Hewan.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Budianto dan Ibu
Trismawaty sebagai orang tua penulis dan keluarga atas kasih sayangnya, yang
selalu mendoakan dan memberikan dukungan kepada penulis. Selain itu penulis
juga mengucapkan terima kasih kepada Dr. Eko Sugeng Pribadi, MS., drh. selaku
Pembimbing. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada para dokter
hewan di Klinik Hewan Jakarta dan Bogor, yang telah membantu selama
pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Herdian
Saputra, teman-teman WISMA NUSANTARA, CCA, dan ASTROCYTE 49 yang
telah menjadi sahabat dan teman yang selalu mendoakan dan memberi dukungan
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, September 2016

Ummi Hani Trisandi


viii

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ix
DAFTAR GAMBAR ix
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 1
Tujuan Penelitian 1
Manfaat Penelitian 2
TINJAUAN PUSTAKA 2
METODE 4
Waktu dan Tempat Penelitian 4
Bahan dan Alat 4
Tahapan Percobaan 5
HASIL DAN PEMBAHASAN 6
KESIMPULAN DAN SARAN 11
DAFTAR PUSTAKA 12
ix

DAFTAR TABEL
1 Data penyakit kulit pada anjing yang dibandingkan terhadapp 6
ras/bangsa dan jenis kelamin
2 Data penyakit kulit pada kucing yang dibandingkan 6
terhadap ras/bangsa dan jenis kelamin
3 Data sekunder penyakit kulit pada anjing pada periode 8
musim basah dan kering yang diperoleh dari Klinik 4
4 Data sekunder penyakit kulit pada kucing pada periode 8
musim basah dan kering yang diperoleh dari Klinik 4
5 Hasil identifikasi terhadap koloni keberadaan cendawan dari 9
contoh kerokan kulit dan rambut yang diambil dari beberapa
klinik dan di wilayah Kota Bogor

DAFTAR GAMBAR

1 Hasil pengamatan mikroskopik kapang yang 10


diisolasi dari contoh kerokan kulit dan rambut
1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Hewan peliharaan adalah hewan yang dipelihara sebagai teman manusia.


Hewan yang paling sering dipelihara sebagai teman bermain adalah anjing dan
kucing. Banyak hal yang dapat diperoleh jika memelihara hewan di rumah. Selain
sebagai penghilang tekanan dan penat, hewan lucu tersebut dapat diikutsertakan
dalam berbagai lomba penampilan dan kompetisi. Untuk itu, penampilan hewan
peliharan harus selalu diperhatikan, terutama bagian kulit dan rambut karena
anjing dan kucing mudah sekali terserang penyakit kulit. Anjing dan kucing sering
menggaruk-garuk tubuhnya dan kadangkala ini sering dianggap wajar dilakukan
oleh anjing atau kucing. Namun, bisa saja itu merupakan gejala awal adanya
gangguan pada kulit. Kondisi ini akan semakin berlanjut menjadi alopesia,
kemerahan, sampai terjadi perlukaan apabila tidak segera ditangani.
Gangguan kulit memang seringkali menimbulkan polemik karena termasuk
penyakit terpopuler yang paling sering ditemui baik pada anjing maupun
kucing. Meskipun bersifat superfisial, bukan berarti gangguan pada kulit bisa
diabaikan begitu saja. Gangguan pada kulit dapat mengganggu keindahan
penampilan dan bila tidak ditangani dengan segera dapat menyebar hingga seluruh
tubuh dan berdampak pada infeksi yang lebih meluas. Penyakit kulit pada hewan
paling sering diakibatkan oleh parasit kulit, seperti demodex, skabies,
dan cendawan. Parasit ini umumnya telah dikenal, tetapi tidak mudah dalam
pengendaliannya (Bunawan 2009).

Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, rumusan masalah yang dibahas dalam


penelitian ini dinyatakan menggunakan beberapa pertanyaan, diantaranya:
1. jenis penyakit kulit apa yang sering diderita oleh anjing dan kucing?
2. berapa angka kejadian dermatofitosis diantara kasus penyakit kulit pada
hewan kesayangan khususnya anjing dan kucing?
3. apakah bangsa hewan mempengaruhi kejadian penyakit kulit pada anjing dan
kucing?

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah mengetahui angka kejadian dermatofitosis


diantara penyakit kulit pada anjing dan kucing akibat infeksi cendawan
dibandingkan infeksi agen lain pada sejumlah bangsa hewan.
2

Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah adanya informasi tentang angka prevalensi
atau tingkat kejadian penyakit kulit yang diderita oleh hewan kesayangan,
khususnya anjing dan kucing akibat infeksi cendawan dan infeksi agen lain.

TINJAUAN PUSTAKA

Struktur kulit terdiri dari epidermis, dermis, dan hipodermis. Lapisan kulit
(epidermis) tersusun dari banyak lapis sel. Klasifikasi lapisan epidermis dari yang
paling dalam sampai luar adalah stratum basal, stratum spinosum, stratum
granulosum, stratum lucidum, dan stratum korneum. Secara umum, epidermis dari
anjing dan kucing tipis (dua sampai tiga lapis sel nukleus, tidak termasuk stratum
korneum), pada kulit yang berambut ketebalan atau kedalamannya berkisar 0,1-
0,5 mm (Miller et al. 2013).
Beberapa masyarakat pada saat ini telah menanggap memelihara hewan
peliharaan merupakan salah satu hobi. Kucing merupakan salah satu hewan yang
paling digemari karena memiliki wajah yang lucu, rambut yang halus, serta sifat
yang unik. Kucing persia, anggora, exotic short hair, himalayan, dan maine coon
merupakan jenis kucing yang paling banyak dipelihara (Jamez 2015). Selain
kucing, anjing juga merupakan salah satu jenis hewan peliharaan yang paling
populer. Contoh anjing yang sering dipelihara karena sifatnya yang ramah yakni
golden retriever, labrador retriever, beagel, dachshund, dan yorkshire terrier
(Soeparyono 2014).
Pemilik hewan tentu menginginkan hewan peliharaannya terhindar dari
penyakit, untuk itu perlu adanya kepedulian dan perhatian dalam pemeliharaan
hewan agar infeksi penyakit dapat dicegah. Menurut Rahmiati dan Pribadi (2014),
kepedulian dan perhatian yang tinggi memicu keinginan pemilik untuk lebih
memahami bagaimana cara agar hewan peliharaan mereka sejahtera. Menurut
Indriani et al. (2014), salah satu upaya pencegahan penyakit dalam pemeliharaan
kucing adalah dengan memperhatikan makanan serta perawatannya agar
kesehatan kucing tetap terjaga dan tidak mudah terserang penyakit.

Infeksi Cendawan

Dermatofita yang paling sering menginfeksi kulit hewan adalah


Microsporum dan Tricophyton. Tiga spesies yang menjadi penyebab sebagian
besar kasus dermatofitosis pada anjing dan kucing adalah M. canis, M. gypseum,
dan T. mentagrophytes. Umumnya, M. canis yang paling sering menyebabkan
kasus dermatofitosis pada kucing dan anjing. Dermatofitosis ditularkankan
melalui kontak dengan rambut yang terinfeksi dan cendawan yang ada di kulit
hewan, pada lingkungan, atau melalui benda mati yang berperan sebagai agen
penularan penyakit(Miller et al. 2013).
3

Ptyriasis versicolor (PV) atau dikenal juga dengan tinea versicolor, adalah
penyakit kulit yang disebabkan oleh genus Malassezia. Penyakit ini merupakan
infeksi kulit di bagian superfisial yang sering terjadi di seluruh dunia, terutama di
wilayah yang beriklim tropis. PV sulit di sembuhkan dan dapat menyebabkan
kambuh atau berulang apabila terjadi infeksi akibat peningkatan jumlah
Malassezia yang merupakan flora normal pada kulit (Gupta dan Foley 2015).

Infeksi Bakteri

Patogen utama yang menyebabkan infeksi kulit pada anjing adalah


Staphylococcus intermedius. Bakteri ini dapat ditemukan pada mukosa, khususnya
nasal, anal, traktus genital, dan tumbuh pada kulit melalui kegiatan mandi atau
aktivitas lainnya. Kasus ini jarang terjadi tanpa adanya faktor pokok. Hampir
semua kondisi kulit dapat terinfeksi oleh bakteri, namun faktor yang paling sering
menyebabakan infeksi adalah alergi, penyakit keratinisasi dan penyakit folikular.
Infeksi bakteri pada kucing jarang terjadi. Infeksi bakteri pada kucing hanya
sebagai infeksi sekunder. Abses subkutaneus sering terjadi pada kucing, biasanya
infeksi terjadi akibat adanya luka gigitan (Paterson 2008).

Infestasi Ektoparasit

Parasit adalah organisme yang hidupnya bergantung pada organisme lain


(beda jenis) sebagai tumpangan, dan sebagai sumber makanan. Berdasarkan
tempat menumpang, parasit dibedakan menjadi endoparasit dan ektoparasit.
Endoparasit adalah parasit yang hidup di dalam tubuh inang. Sedangkan
ektoparasit adalah parasit yang hidup di bagian luar dari tempat bergantung atau
pada permukaan tubuh inangnya (Hadi dan Soviana 2012). Dalam memelihara
hewan kesayangan, seringkali timbul masalah yang berkaitan dengan penyakit
hewan. Masalah yang sering muncul adalah gangguan ektoparasit. Ektoparasit
yang sering ditemukan pada anjing adalah caplak, kutu, tungau, dan pinjal
(Priasdhika 2014).
Demodekosis merupakan penyakit pada kulit yang disebabkan tungau
Demodex sp. yang hidup di folikel rambut. Gejala penyakit ini adalah kerontokan
rambut di daerah tertentu, di antaranya di sekitar mata, mulut, leher, dan siku kaki
depan, yang diikuti dengan munculnya tonjolan-tonjolan pada kulit yang berwarna
kemerahan. Selain itu, demodekosis yang menyebabkan gatal-gatal pada kulit
membuat hewan menggaruk kulitnya dan dapat menimbulkan luka yang jika
dibiarkan dapat menyebabkan infeksi. Kebanyakan kasus demodekosis ditemukan
pada anjing. Namun Demodex sp. juga dapat menyerang kuda, sapi, domba,
kambing, babi, dan kucing. Demodekosis pada anjing disebabkan oleh Demodex
sp (Aripin et al. 2013)
Skabies atau kudis merupakan penyakit kulit menular yang disebabkan
oleh infestasi tungau Sarcoptes scabiei yang bersifat zoonotik. Sarcoptes
scabieivar canis menyerang bagian tubuh anjing yang tidak memiliki rambut,
seperti kepala, dada, abdomen, leher, wajah, telinga, dan siku. Lesio ini menjadi
kemerahan berhubungan dengan proses persisikan, pengerakan, dan pembentukan
4

keropeng. Gejala ini juga disertai dengan alopesia dan kehilangan bobot badan.
(Bandi dan Saikumar 2013).

Alergi

Dermatitis atopik atau dermatitis kontak alergi adalah reaksi alergi yang
terjadi pada kulit akibat paparan alergen dari bahan-bahan tertentu atau bahan-
bahan penyusun suatu produk. Gejala yang timbul antara lain radang, kemerahan,
bengkak, gatal-gatal, dan biduran. Gejala-gejala reaksi alergi yang parah, atau
disebut reaksi anafilaksis, meliputi sesak napas, biduran kemerah-merahan, ruam
kulit yang gatal, dan bengkak pada muka, tenggorokan, dan mulut. Pada kasus
yang sangat parah, reaksi ini beresiko menyebabkan kematian (ME 2013).

Tumor Kulit

Tumor baik yang berbentuk jinak maupun ganas bisa timbul pada tiap
bagian kulit. Sebagian besar tumor kulit adalah jinak, sehingga sering hanya
merupakan gangguan kosmetik. Namun, menjadi hal yang penting untuk
menentukan dengan cepat dan efektif potensi suatu tumor untuk menjadi ganas
sehingga dapat menentukan diagnosa tingkat awal (Graham-Brown dan Burns
2005).Lapisan kulit paling luar atau kulit ari (epidermis) cepat aus.
Penggantiannya berawal dari lapisan basal atau lapisan terdalam. Di dalam lapisan
inilah terletak penyebab kanker kulit di mana terjadi penggandaan sel-sel basal
yang tidak ada hentinya (de Jong 2005).

METODE

Waktu dan tempat penelitian

Penelitian ini menggunakan dua bentuk data. Bentuk data pertama


merupakan data sekunder yang diperoleh dari rekam medik yang dilaksanakan di
satu klinik hewan yang berlokasi di Jakarta Utara pada bulan Juni 2014, dan satu
klinik hewan yang berlokasi di Kota Bogor pada bulan Februari 2015. Sedangkan
bentuk kedua adalah hasil pemeriksaan laboratorium di laboratorium Divisi
Mikrobiologi Medik Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan
Masyarakat Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor yang
di lakukan pada bulan Januari 2016.

Bahan dan Alat

Untuk pekerjaan laboratorik, bahan yang digunakan dalam penelitian ini


adalah KOH 10%, alkohol 70%, Lactophenol Cotton Blue (LPCB), media
5

Sabouraud Dextrose Agar CM0041® (OXOID), dan media SDA yang


dimodifikasi (SDM-m). SDA-m merupakan media SDA yang telah diimbuhi
kloramfenikol dan merah fenol. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pinset, kapas, mikroskop, gelas objek, dan kaca penutup.

Tahapan Percobaan

Pengambilan data
Data sekunder yang berasal dari rekam medik periode 2010-2014 yang
diambil dari dua klinik hewan. Data yang dihimpun berupa nama pasien, jenis
pasien, jenis kelamin, tanggal kunjungan, tujuan kunjungan, dan hasil diagnosa
yang ditetapkan oleh dokter pemeriksa. Data dihimpun dalam bentuk tabulasi.

Pengambilan contoh
Contoh yang digunakan dalam penelitian ini adalah kerokan kulit dan
rambut dari pasien anjing dan kucing. Pengambilan contoh dilakukan di 10 klinik
hewan yang ada di Kota Bogor. Klinik hewan tersebut berlokasi di empat tempat
di Kecamatan Bogor Utara, dua tempat di Kecamatan Tanah Sereal, dan satu
tempat masing-masing di Kecamatan Bogor Timur, Bogor Tengah, Bogor Barat,
dan Bogor Selatan.

Pemeriksaan Mikroskopik
Contoh kerokan kulit dan rambut diperiksa secara mikroskopis.
Pemeriksaan mikroskopik ini terdiri dari dua tahap, yaitu dengan menggunakan
KOH 10% dan pemeriksaan mikroskopik terhadap koloni cendawan yang tumbuh
setelah pembiakan contoh kerokan kulit dan rambut di atas media SDA dan SDA-
m. Perhatian dari pemeriksaan koloni yang tumbuh adalah untuk mengidentifikasi
cendawan Dermatofita dan non-Dermatofita yang tumbuh pada media yang
ditempati contoh kerokan kulit dan rambut.
Pemeriksaan mikroskopik dilakukan dengan mengambil sedikit contoh
kerokan kulit dan rambut menggunakan pinset dan diletakkan di atas kaca
preparat yang telah dibersihkan dengan alkohol 70%. Contoh kerokan kulit dan
rambut tersebut ditetesi KOH 10% lalu ditutup dengan kaca penutup. Preparat
diamati terhadap keberadaan struktur kapang seperti hifa, makrokonidia, dan
mikrokonidia melalui pembesaran 10x dan 40x.
Pemeriksaan lanjutan terhadap contoh kulit dan rambut dilakukan dengan
meletakkan contoh kulit dan rambut di atas media SDA dan SDA-m. Media
tersebut diinkubasi pada suhu 25oC dan diamati pada hari ke-5, ke-8, dan ke-12
terhadap pertumbuhan koloni kapang. Pemeriksaan mikroskopik selanjutnya
dilakukan terhadap bagian dari koloni kapang dengan menggunakan larutan
pewarna lactophenol cotton blue (LPCB).
6

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengamatan kejadian penyakit kulit pada anjing dan kucing dilakukan


dengan memanfaatkan data rekam medik. Data diagnosa yang diperoleh
merupakan hasil diagnosa yang dibuat oleh dokter yang melakukan pemeriksaan
terhadap pasien. Gambaran data penyakit terhadap bangsa dan jenis kelamin
pasien dipaparkan dalam Tabel 1 untuk anjing dan Tabel 2 untuk kucing berikut.

Tabel 1 Data sekunder penyakit kulit pada anjing berdasarkan bangsa dan jenis
kelamin pasien yang diperoleh dari dua klinik hewan
Bangsa Jenis Kelamin
No Jenis Penyakit (ekor) (ekor)
Ras Lokal Campuran Jantan Betina
1 Dermatofitosis 18 1 2 10 11
2 Ptyriasis versicolor 1 0 0 0 1
3 Infeksi bakteri 7 1 2 7 3
4 Demodekosis 1 0 1 1 1
5 Skabies 4 0 0 1 3
6 Infestasi ektoparasit 21 3 2 15 11
7 Alergi 4 1 0 1 4
8 Tumor 1 0 0 0 1
57 6 7 35 35
Total
70 70

Tabel 2 Data sekunderpenyakit kulit pada kucing berdasarkanbangsa dan jenis


kelamin pasien yang diperoleh dari dua klinik hewan
Bangsa Jenis kelamin
No Jenis Penyakit (ekor) (ekor)
Ras Lokal Campuran Jantan Betina
1 Dermatofitosis 21 7 4 19 13
2 Ptyriasis versicolor 0 0 0 0 0
3 Infeksi bakteri 3 3 1 5 2
4 Demodekosis 0 0 0 0 0
5 Skabies 13 3 0 11 5
6 Infestasi ektoparasit 67 16 5 44 44
7 Alergi 4 0 0 2 2
8 Tumor 0 0 0 0 0
108 29 10 81 66
Total
147 147

Total pasien berjumlah 217 ekor terdiri dari 70 ekor anjing dan 147 ekor
kucing. Dari data tersebut, Tabel 1 dan 2 memperlihatkan bahwa anjing dan
kucing ras merupakan kelompok dominan yang menjadi pasien klinik
dibandingkan dua kelompok lainnya, yakni 57 ekor anjing dan 108 ekor kucing.
Hal ini sesuai dengan data populasi anjing dan kucing di wilayah Provinsi DKI
Jakarta dan Kota Bogor. Menurut Wahyudi (2015) Dinas Kelautan, Pertanian dan
7

Ketahanan Pangan (KPKP) DKI Jakarta tidak memiliki data mengenai jumlah
anjing liar yang berada di Jakarta, namun untuk anjing peliharaan jumlahnya
15.000 ekor. Khusus di Wilayah Jakarta Utara, populasi kucing liar diperkirakan
mencapai 47.000 ekor, tersebar di enam kecamatan (Liauw 2014). Kedua Tabel
menjelaskan juga bahwa kasus infestasi ektoparasit merupakan kasus yang paling
banyak dialami oleh pasien-pasien ras yang memiliki masalah kesehatan kulit
tersebut, yaitu sebesar 30,00% pada anjing ras dan 45,58% pada kucing ras.
Menurut Rahayu (2015) sebanyak 80% kucing kampung liar di Pasar Batu dan
sebanyak 50% kucing kampung peliharaan di Arhanud terinfeksi ektoparasit.
Ektoparasit yang biasanya terdapat pada anjing dan kucing adalah caplak, tungau,
kutu, dan pinjal. Menurut Rahayu (2015) ditemukan Ctenocephalides felis pada
kucing liar, dan pada kucing peliharaan ditemukan Ctenocephalides felis dan kutu
Felicola subrostratus. Puri et al. (2014) menemukan lima jenis ektoparasit pada
anjing peliharaan, yaitu Ctenocephalides canis, Dermacentor sp., Haemaphysalis
sp.,Laelapidae sp., dan Rhipicephalus sanguineus.
Menurut Puri et al. (2014), anjing yang paling banyak mengalami infestasi
ektoparasit adalah anjing dengan rambut panjang dan halus. Anjing dengan
rambut pendek dan kasar kurang disukai oleh ektoparasit karena sulit untuk
menembus lapisan kulit sehingga menyulitkan ektoparasit untuk menghisap darah.
Menurut Sutrisna (2015), anjing ras murni lebih mudah terinfestasi ektoparasit
karena memiliki rambut yang tebal, gimbal, ataupun kulit yang menggulung yang
membuat ektoparasit nyaman untuk bersembunyi.
Kasus dermatofitosis merupakan kasus kedua terbanyak yang dialami
pasien, yaitu sebesar 25,71% pada anjing ras dan 14,28% pada kucing ras.
Menurut Tilley dan Smith (2007), kucing ras dengan rambut panjang paling sering
menderita dermatofitosis. Dermatofitosis merupakan penyakit kulit yang
disebabkan oleh kapang kelompok Dermatofita. Penyakit ini pada hewan lebih
dikenal dengan penyakit ringworm. Hewan yang menderita Dermatofitosis
memiliki lesi yang terdiri dari kombinasi alopesia, eritema, papula, dan kulit
penderita akan terlihat bersisik dan mengeras. Lesi yang nampak pada anjing dan
kucing umumnya memiliki batasan yang jelas dengan radang aktif di pinggiran
lesi yang biasa ditemukan di bagian wajah atau anggota badan (Indrajulianto et al.
2014).
Berdasarkan jenis kelamin pasien yang datang ke klinik, tidak ada
perbedaan yang nyata dari kasus infestasi ektoparasit dan dermatofitosis antara
anjing jantan dan betina. Tetapi, sedikit berlainan dengan data yang diperoleh dari
pasien kucing yang memperlihatkan bahwa kasus penyakit kulit lebih banyak
diderita oleh kucing jantan dibandingkan dengan betina. Hasil ini selaras dengan
pendapat Tilley dan Smith (2007) yang menyatakan bahawa jenis kelamin tidak
mempengaruhi kejadian dermatofitosis.
Faktor lain yang diamati terhadap kejadian penyakit kulit pada anjing dan
kucing adalah musim. Indonesia adalah negara yang terletak di garis khatulistiwa
sehingga mengalami dua musim, yakni musim basah dan kering atau yang sering
disebut musim hujan dan kemarau. Musim kemarau di Indonesia terjadi pada
bulan April sampai Oktober sedangkan musim hujan terjadi pada bulan November
hingga Maret (Balitbang 2014). Gambaran data penyakit kulit pada periode
musim basah dan kering, dipaparkan dalam Tabel 3 untuk anjing dan Tabel 4
untuk kucing berikut.
8
9

Tabel 3 Data sekunder penyakit kulit pada anjing pada periode musim basah dan
kering yang diperoleh dari Klinik 4
Bulan (ekor)
No Jenis Penyakit
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des
1 Dermatofitosis 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0
2 Ptyriasis versicolor 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0
3 Infeksi bakteri 1 1 0 1 0 2 0 4 0 0 0 0
4 Demodekosis 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0
5 Skabies 1 2 0 1 0 0 0 1 0 0 0 0
6 Infestasi ektoparasit 0 0 0 0 0 3 2 10 3 0 0 0
7 Alergi 0 1 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0
8 Tumor 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0

Tabel 4 Data sekunder penyakit kulit pada kucing pada periode musim basah dan
kering yang diperoleh dari Klinik 4
Bulan (ekor)
No Jenis Penyakit
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des
1 Dermatofitosis 2 0 0 0 0 1 10 3 1 0 0 0
2 Ptyriasis versicolor 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
3 Infeksi bakteri 2 0 0 0 0 0 1 4 0 0 0 0
4 Demodekosis 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
5 Skabies 1 0 0 0 0 5 5 5 0 0 0 0
6 Infestasi ektoparasit 9 0 0 0 0 16 35 24 0 0 0 0
7 Alergi 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0
8 Tumor 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

Kedua Tabel menjelaskan bahwa kejadian penyakit kulit banyak terjadi


pada bulan Juni, Juli, dan Agustus. Jenis penyakit kulit yang paling banyak terjadi
pada bulan tersebut adalah infestasi ektoparasit. Menurut Sutrisna (2015),
kejadian infestasi ektoparasit dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti musim,
suhu, kelembaban, cara pemeliharaan, dan perlakuan pemilik anjing. Hal tersebut
menjelaskan bahwa kejadian penyakit kulit pada anjing dan kucing, khususnya
infestasi ektoparasit, paling banyak terjadi pada musim kering atau musim
kemarau.
Pemeriksaan laboratorik diawali dengan pemeriksaan preparat natif terhadap
contoh kerokan kulit dan rambut. Kemudian dilanjutkan dengan menempatkan
kedua jenis contoh tersebut ke atas media SDA dan SDA-m sebagai pemeriksaan
baku untuk meneguhkan diagnosa terhadap infeksi oleh Dermatofita. Pemeriksaan
preparat natif terhadap contoh kerokan kulit dan rambut dilakukan menggunakan
KOH 10% pada contoh. Berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut, tidak ditemukan
makrokonidia Dermatofita pada semua contoh yang diperiksa. Sedangkan hasil
identifikasi terhadap koloni yang tumbuh di media SDA dan SDA-m setelah masa
inkubasi dicapai terpapar dalam Tabel 3 di bawah ini.
10

Tabel 5 Hasil identifikasi terhadap koloni keberadaan cendawan dari contoh


kerokan kulit dan rambut yang diambil dari beberapa klinik hewan di
wilayah Kota Bogor
Lokasi SDA-m SDA
No Pengambilan Kerokan Kerokan
Rambut Rambut
Contoh kulit kulit
1 Klinik 1 - - - -
2 Klinik 2 - - - -
3 Klinik 3 - - - Aspergillus sp.
4 Klinik 4 - Penicillium sp. - Penicilllium
Aspergillus sp. sp.
Aspergillus Chaetomium
candidus globosum
5 Klinik 5 - Penicillium sp. - Penicillium sp.
6 Klinik 6 - Chaetomium - -
globosum
Fusarium sp.
7 Klinik 7 - - - Aspergillus sp.
8 Klinik 8 - Penicilllium - Chaetomium
sp. globosum
Chaetomium
globosum
9 Klinik 9 - - - Chaetomium
globosum
10 Klinik 10 Aspergillus Aspergillus Aspergillus Aspergillus
fumigatus fumigatus fumigatus fumigatus

Tabel 3 di atas menunjukkan bahwa tidak ditemukan cendawan


Dermatofita pada semua contoh yang diperiksa. Sejumlah cendawan lingkungan
(kosmopolitan) telah diisolasi dari contoh, diantaranya Aspergillus sp.,
Penicillium sp., Fusarium sp., dan Chaetomium globosum (Gambar 1). Menurut
Miller et al. (2013), cendawan tersebut merupakan cendawan saprofit yang
normal diisolasi dari rambut dan kulit anjing dan kucing. Cendawan yang paling
banyak diisolasi dari anjing adalah Alternaria, Aspergillus, Aureobasidium,
Chrysosporidium, Mucor, Penicillium, dan Rhizopus. Pada kucing, cendawan
yang paling banyak diisolasi adalah Alternaria, Aspergillus, Aureobasidium,
Chrysosporidium, Mucor, Penicillium, Rhodotorula, dan Scapulariopsis. Menurut
Deskiharto(2016), Aspergillus fumigatus dan Fusarium semitectum merupakan
jenis cendawan yang jumlahnya paling banyak diisolasi yang terdapat di ruang
periksa dan ruang tunggu klinik hewan. Persentase keberadaan cendawan ini lebih
besar dibandingkan Microsporum canis. Kedua jenis cendawan ini bersifat lebih
invasif dan lebih tahan pada suhu ruang dibandingkan dengan kapang
Dermatofita.
11

(A) (B)

(C) (D)
Gambar 1 Hasil pengamatan mikroskopik kapang yang diisolasi dari contoh
kerokan kulit dan rambut. (A) Aspergillus sp. (B) Penicillium sp. (C)
Fusarium sp. (D) Chaetomium sp. Pewarna: LBC. Pembesaran: 400x

Aspergillus sp. terdapat di alam sebagai saprofit, tumbuh di daerah tropik


dengan kelembaban yang tinggi. Habitat asli Aspergillus adalah di tanah dengan
kondisi habitat yang memiliki kadar air tinggi (setidaknya 7%) dan suhu tinggi
(Samosir 2012). Ciri morfologi koloni berwarna hijau kebiruan dengan area
kuning sulfur pada permukaannya dan miselium berbentuk benang halus. Ciri
mikroskopis Aspergillus sp.terdapat konidiofor, sel kaki dan kepala berkonidium
terdiri dari gelembung, fialid serta kadang-kadang metula dan konidium.Fialid
dapat dibentuk langsung pada gelembung uniseriat atau metula biseriat. Kepala
konidium berbentuk kolumner atau radial. (Susilowati dan Listyawati 2001).
Penicillium sp. tumbuh pada tempat yang bersuhu rendah. Banyak
Penicillium menghasilkan mikotoksin dengan komposisi toksin yang beragam
(Leite Jr. et al. 2012). Penicilium sp. biasanya bersepta, badan buah berbentuk
seperti sapu yang diikuti sterigma dan konidia yang tersusun seperti rantai.
Konidia pada hampir semua species saat masih muda berwarna hijau kemudian
berubah menjadi kecoklatan (Purwantisari dan Hastuti 2009).
Spesies Fusarium umumnya berada di tanah pada berbagai iklim. Faktor
utama yang memengaruhi dinamika populasi dan stuktur kelompok spesies
Fusarium adalah suhu(Seremi dan Burgess 2000). Menurut Sudadi et al.
(2013)Fusarium sp. mempunyai ciri morfologi koloni berwarna putih, miselium
12

teratur dan pertumbuhan koloni rata, tebal. Ciri morfologi sel meliputi miselium
bercabang, mikrokonidia berbentuk ovoid (berbentuk telur dengan satu ujungnya
menyempit).
Chaetomium globosum merupakan spesies cendawan lingkungan dan
bersifat selulolitik yang kuat. Spesies ini telah diisolasi dari kertas, tekstil, tanah,
kompos, serasah, aneka buah-buahan kering, serta dari sarang, bulu, dan kotoran
burung. Chaetomium globosummempunyai lapisan askomata lebat berwarna hijau
redup keabu-abuan atau abu tua. Askomata berwarna coklat tua hingga hitam,
berbentuk bulat atau semibulat, dan memiliki rambut-rambut lateral berwarna
coklat tua kehijauan serta melingkar pada ujungnya (Gandjar et al. 2000).
Pengobatan penyakit kulit pada anjing atau kucing membutuhkan waktu
yang lama dan harus sampai tuntas. Jika pengobatan tidak tuntas, maka akan
menimbulkan permasalahan baru, yaitu adanya ketahanan terhadap antibiotika
ataupun meningkatkan keparahan penyakit. Oleh karena itu, tindakan pencegahan
lebih baik dilakukan dalam menangani penyakit kulit. Pencegahan penyakit kulit
dilakukan dengan memperbaiki sanitasi dan kebersihan hewan serta lingkungan
sekitarnya. Hal ini dilakukan dengan membersihkan kandang secara teratur,
menyemprotkan desinfektan dan fungisidal untuk membasmi cendawan, serta
membersihkan atau memandikan hewan peliharaan secara teratur. Selain itu,
pemilik harus menjauhkan hewan peliharaannya dari hewan lain yang tertular
penyakit kulit, karena beberapa jenis penyakit kulit sangat mudah menular.
Hewan yang menderita penyakit kulit harus segera dibawa ke klinik hewan agar
mendapakan pengobatan dan perawatan yang tepat.
Untuk mengantisipasi kedatangan pasien-pasien penyakit kulit, klinik
hewan harus memiliki fasilitas untuk membantu mendiagnosa jenis penyakit kulit,
pengobatan, dan perawatan pasien. Alat yang digunakan untuk membantu
mendiagnosa penyakit kulit dapat berupa lampu wood atau mikroskop. Setelah
diagnosa penyakit ditentukan, pasien diberikan pengobatan yang sesuai. Agar
persembuhan penyakit dapat lebih cepat, perawatan pasien juga harus
diperhatikan. Perawatan yang diberikan yakni dengan menjaga kebersihan hewan
dengan pemberian shampo terapi untuk membersihkan kulit dan rambut dari
cendawan maupun infestasi ektoparasit. Selain itu pasien diberikan pakan khusus
untuk menunjang dan memperbaiki kualitas kulit.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Infestasi ektoparasit merupakan penyakit kulit pada anjing dan kucing


dengan tingkat kejadian paling tinggi. Kasus dermatofitosis merupakan kasus
kedua terbanyak yang menginfeksi anjing dan kucing. Namun, cendawan
Dermatofita tidak diperoleh dari spesimen-spesimen yang diperiksa.
13

Saran

Kesehatan hewan terlihat dari kebersihan dan kecerahan kulit dan rambut
hewan. Perlu adanya kesadaran dan kepedulian dari pemilik hewan untuk
memperhatikan kebersihan dan kesehatan hewan peliharaannya agar terhindar dari
penyakit kulit. Selain itu perlu adanya penelitian lebih lanjut terhadap dampak
dari cemaran cendawan non-Dermatofita yang ada di klinik hewan.

DAFTAR PUSTAKA

Aripin DN, Dhani RR, Murtiningrum FS, Yasin MF. 2013. Penggunaan ekstrak
cabai (capsaicin) untuk pengobatan penyakit demodekosis pada anjing [PKM].
Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Bandi KM, Saikumar C. 2013. Sarcoptic mange: a zoonotic ectoparasitic skin
disease. JCDR. 7(1): 156-157.
[Balitbang] Badan Penelitian dan Pengembangan. 2014. Musim pancaroba di
Indonesia [internet]. [Diunduh 15 September 2016] Tersedia pada:
http://www.balitbang.jatimprov.go.id/berita/detail/berita/443
Bunawan A. 2009. Gangguan kulit pada hewan anda. Piet Klinik Hewan
[internet]. [Diunduh 20 Januari 2016] Tersedia pada:
http://pietklinik.com/wmview.php?ArtID=13
de Jong W. 2005. Kanker Apakah Itu? Pengobatan, Harapan Hidup, dan
Dukungan Keluarga. Heerdjan AS, penerjemah; Juwono L, editor. Jakarta
(ID): Penerbit Arcan. Terjemahan dari: Kanker, Wat Heet?! Medische
Informatie Over de Ziekte(n), de Behandeling en de Prognose.
Deskiharto A. 2016. Keberadaan kapang Dermatofita yang diisolasi dari klinik
dan toko hewan peliharaan di kota Bogor, Jawa Barat [skripsi]. Bogor (ID):
Institut Pertanian Bogor.
Gandjar I, Samson RA, Tweel-Vermeulen KVD, Oetari A, Santoso I. 2000.
Pengenalan Kapang Tropik Umum. Jakarta (ID): Yayasan Obor Indonesia.
Graham-Brown R, Burns T. 2005. Dermatologi: Catatan Kuliah. Zakariah MA,
penerjemah; Safitri A, editor. Jakarta (ID): Penerbit Erlangga. Terjemahan dari:
Lecture Notes os Dermatology.
Gupta AK, Foley KA. 2015. Antifungal treatment for pityriasis versicolor. J.
Fungi. 1: 13-29 .doi:10.3390/jof1010013.
Hadi UK, Soviana S. 2012. Ektoparasit: Pengenalan, Identifikasi, dan
Pengendaliannya. Bogor (ID): IPB Press.
Indrajulianto S, Yanuartono, Purnamaningsih H, Wikansari P, Sakan GYI. 2014.
Isolasi dan identifikasi Microsporum canis dari anjing penderita dermatofitosis
di Yogyakarta. J Vet. 15(2): 212-216.
Indriani E, Boy AR, Sushermanto. 2014. Sistem pakar diagnosa penyakit kucing
menggunakan motode Depth First Search (DFS). Progresif. 10(2): 1017-1076.
14

Jamez. 2015. Inilah 5 jenis ras kucing peliharaan. Ragam Info [internet]. [Diunduh
12 Juni 2016]. Tersedia pada: http://www.duniaq.com/inilah-5-jenis-ras-
kucing-peliharaan/
Leite Jr. DP, Yamamoto ACK, de Souza Amadio JVR, Martins ER, do Santos
FAL, de Almeida Alves Simoes S, Hahn RC. 2012. Trichocomaceaae:
biodiversity of Aspergillus spp and Penicillium spp residing in libraries. J
Infect Dev Ctris. 6(10): 734-743.
Liauw H. 2014 Mei 05. Awas ledakan Kucing. Kompas [internet]. [Diunduh pada
02 Agustus 2016] Tersedia pada:
http://megapolitan.kompas.com/read/2014/05/05/2120338/Awas.Ledakan.Kuci
ng
[ME] Med Express. 2013. Bebas Alergi. Datusanantyo A, Robertus, penerjemah.
Yogyakarta (ID): Penerbit Kanisius. Terjemahan dari: Overcoming Allergies.
Miller WH, Craige EG, Karen LC. 2013. Muller & Kirk’s Small Animal
Dermatology 7th Edition. Missouri (US): Elsevier.
Paterson S. 2008. Manual of Skin Diseases of the Dog and Cat. India (IN):
Blackwell Publishing.
Priasdhika G. 2014. Studi infestasi ektoparasit pada anjing di pondok pengayom
satwa jakarta [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Puri KM, Dahelmi, Mairawita. 2014. Jenis-jenis dan prevalensi ektoparasit pada
anjing peliharaan. J. Bio. UA. 3(3): 183-187.
Purwantisari S, Hastuti RB. 2009. Isolasi dan identifikasi jamur indigenous
rhizosfer tanaman kentang dari lahan pertanian kentang organik di desa pakis,
magelang. Bioma. 11(2): 45-53.
Rahayu T. 2015. Identifikasi dan prevalensi ektoparasit pada kucing kampung
(Felis silvestris catus) di Pasar Batu dan Arhanud sebagai sumber belajar
biologi [skripsi]. Malang (ID): Universitas Muhammadiyah Malang.
Rahmiati DU, Pribadi ES. 2014. Tingkat pendidikan dan status ekonomi pemilik
hewan dalam hal pengetahuan dan penerapan kesejahteraan hewan. J. Vet.
15(3): 386-394.
Samosir A.2012. Hubungan perilaku penjamah pembuatan pliek u pada industri
rumah tangga dengan terdapatnya jamur Aspergillus niger di kecamatan darul
imarah aceh besar tahun 2011 [skripsi]. Medan (ID): Universitas Sumatera
Utara.
Seremi H, Burgess LW. 2000. Effect of soil temperature on distribution and
population dynamics of Fussarium species. J. Agr. Sci. Tech. 2: 119-125.
Soeparyono A. 2014. 5 anjing paling ramah buat di pelihara. Kawanku [internet].
[Diunduh 12 Juni 2016] Tersedia pada:
http://kawankumagz.com/Feature/Playground/5-Anjing-Paling-Ramah-Buat-
Dipelihara
Sudadi, Ernawati I, Sumarno, Dewi WI, Widijanto. 2013. Potensi isolat mikrobia
asal andisol Dieng, Jawa Tengah sebagai inokulum pupuk hayati pengoksidasi
sulfur. Jurnal Ilmu Tanah dan Agroklimatologi. 10(1): 19-26.
Susilowati A, dan Listyawati A. 2001. Keanekaragaman jenis mikroorganisme
sumber kontaminasi kultur in vitro di sub-lab. biologi laboratorium MIPA
pusat UNS. Biodiv. 2(1): 110-114.
Sutrisna C. 2015. Sebaran infestasi ektoparasit pada anjing di Bandung [skripsi].
Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
15

Tilley LP, Smith FWK. 2007. The 5-Minute Veterinary Consult: Canine & Feline
3 th Edition. Australia(AU): Blackwell Publishing.
Wahyudi E. 2015 . Pemprov tak punya catatan jumlah anjing liar di Jakarta. CNN
Indonesia [internet]. [Diunduh 02 Agustus 2016] Tersedia pada:
http://m.cnnindonesia.com/nasional/20151001110640-20-82049/pemprov-tak-
punya-catatan-jumlah-anjing-liar-di-jakarta/
16

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Palembang pada tanggal 6 Januari 1995 dari ayah


Budianto dan ibu Trismawaty. Penulis adalah putri pertama dari empat
bersaudara. Tahun 2012 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Muara Enim dan pada
tahun yang sama penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB)
melalui jalur SNMPTN Undangan dan diterima di Fakultas Kedokteran Hewan.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis pernah menjadi asisten praktikum
Anatomi Veterinar 1 pada tahun ajaran 2013/2014. Penulis juga aktif sebagai
kepala Biro Kesekretariatan dan Inventarisasi BEM FKH IPB pada periode
2013/2014 dan 2014/2015. Penulis juga aktif sebagai staf Divisi Pendidikan pada
Himpunan Minat dan Profesi (HIMPRO) Satwa Liar. Pada bulan Agustus 2015
penulis mengikuti program Abdi Nusantara yang dilaksanakan di Provinsi Banten
dalam rangka Pembebasan Provinsi Banten dari Brucelosis.

Anda mungkin juga menyukai