Anda di halaman 1dari 33

PROFIL DAN DIFERENSIASI LEUKOSIT TIKUS PUTIH

(Rattus norvegicus) GALUR SPRAGUE DAWLEY MODEL


HIPERGLIKEMIA MELALUI PEMBERIAN
DEKSAMETASON

FIKRI AMANDA

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN


INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2018
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Profil dan Diferensiasi
Leukosit Tikus Putih (Rattus norvegicus) Galur Sprague Dawley Model
Hiperglikemia melalui Pemberian Deksametason adalah benar karya saya dengan
arahan dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2018


Fikri Amanda
NIM B04140033
ABSTRAK
FIKRI AMANDA. Profil dan Diferensiasi Leukosit Tikus Putih (Rattus
norvegicus) Galur Sprague Dawley Model Hiperglikemia melalui Pemberian
Deksametason. Dibimbing oleh HUDA SALAHUDIN DARUSMAN dan
WAHONO ESTHI PRASETYANINGTYAS.

Deksametason merupakan obat golongan glukokortikoid yang digunakan


sebagai antiinflamasi dan imunosupresan. Penelitian ini bertujuan melihat profil
leukosit dan diferensiasinya, yaitu neutrofil, limfosit, eosinofil, basofil, dan monosit
pada tikus putih (Rattus norvegicus) galur Sprague Dawley yang diinduksi
menggunakan deksametason dengan berbagai dosis. Penelitian ini menggunakan 16
ekor tikus putih yang dibagi menjadi 4 kelompok dengan berbagai dosis yaitu
kontrol, 1 mg/kg BB, 2.5 mg/kg BB dan 5 mg/kg BB. Pemberian deksametason
dilakukan selama 10 hari dan dilakukan pengambilan darah sebanyak dua kali pada
hari ke-5 dan hari ke-10 untuk menghitung jumlah leukosit, limfosit, neutrofil,
monosit, eosinofil, basofil dan rasio N/L. Berdasarkan hasil penelitian, induksi
deksametason pada tikus putih model hiperglikemia dapat menurunkan total
leukosit. Hiperglikemia yang terjadi berbanding terbalik dengan total leukosit
akibat induksi pada dosis 2.5 mg/kg BB. Deksametason menyebabkan penurunan
nilai absolut limfosit, monosit dan eosinofil serta peningkatan neutrofil namun tidak
mempengaruhi basofil. Deksametason mampu meningkatkan rasio N/L secara
signifikan seiring dengan peningkatan dosis dan menyebabkan kematian pada dosis
5 mg/kg BB.
Kata kunci : deksametason, hiperglikemia, diferensiasi leukosit, Rattus norvegicus
ABSTRACT
FIKRI AMANDA. Profile and Differentitation Leucocytes of Rat (Rattus
norvegicus) Sprague Dawley Strain Hyperglicemia Model by Administration of
Dexamethasone. Supervised by HUDA SALAHUDIN DARUSMAN and
WAHONO ESTHI PRASETYANINGTYAS.

Dexamethasone is glucocorticoid drug that has an effect as


antiinflammatory and imunosuppressant activity. The purpose of this research was
to observe profile and differential of leucocytes (neutrophils, limphocytes,
monocytes, eosinophils, and basophils) in rat (Rattus norvegicus) Sprague Dawley
strain induced with dexamethasone. This research was conducted using 16 rat
which divided into 4 groups, which were control and 3 groups of dexamethasone
doses (1, 2.5, and 5 mg/kg BW). Dexamethasone was applied for 10 days and
followed blood sampling twice in the 5 days and 10 days to count the number of
leukocytes (lymphocytes, neutrophils, monocytes, eosinophils, basophils) and
neutrophils/lymphocytes ratio. Based on the results, the dexamethasone-induced
hyperglicemia rat had a decreased total of leucocytes, that hyperglicemia was
inversely proportional to total leucocyte at 2.5 mg/kg BW. Dexamethasone can
decrease absolute value of lymphocytes, monocytes and eosinophils, increase
absolute value of neutrophils, however not affected in absolute value of basophils.
Dexamethasone can significantly increase neutrophils/lymphocytes ratio along
with increased dosage and causes death at 5 mg/kg BW.
Keywords: dexamethasone, hyperglicemia, differentiation leucocytes, Rattus
norvegicus
PROFIL DAN DIFERENSIASI LEUKOSIT TIKUS PUTIH
(Rattus norvegicus) GALUR SPRAGUE DAWLEY MODEL
HIPERGLIKEMIA MELALUI PEMBERIAN
DEKSAMETASON

FIKRI AMANDA

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan
pada
Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN


INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2018
Judul Skripsi : Profil dan Diferensiasi Leukosit Tikus Putih (Rattus norvegicus)
Galur Sprague Dawley Model Hiperglikemia melalui Pemberian
Deksametason
Nama : Fikri Amanda
NIM : B04140033

Disetujui oleh

Drh Huda Salahudin Darusman, MSi PhD Drh Wahono Esthi Prasetyaningtyas, MSi
Pembimbing I Pembimbing II

Diketahui oleh

Prof Drh Agus Setiyono, MS PhD APVet


Wakil Dekan Bidang Akademik dan Kemahasiswaan
FKH IPB

Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala atas
segala nikmat dan karunia Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang
berjudul “Profil dan Diferensiasi Leukosit Tikus Putih (Rattus norvegicus) Galur
Sprague Dawley Model Hiperglikemia melalui Pemberian Deksametason”. Ucapan
terima kasih juga penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu baik
secara langsung maupun secara tidak langsung khususnya kepada:
 Ayahanda Hatamar Rasyid, ibunda Juairiah, adikku Putri Khairunnisa,
beserta keluarga tercinta atas doa, dorongan, dan motivasi yang tiada henti
 Drh. Huda S Darusman, MSi PhD selaku dosen pembimbing I yang selalu
memberikan pengarahan kepada penulis selama penelitian dan penulisan.
 Drh. Wahono Esthi Prasetyaningtyas, MSi selaku dosen pembimbing II
sekaligus dosen pembimbing akademik yang selalu memberikan
pengarahan dan dukungan kepada penulis selama penulisan..
 Kak Rahmania Hanim dan Muflih M. Rasyid sebagai rekan kerja penelitian
yang selalu memberikan bantuan selama penelitian berlangsung.
 Sahabat-sahabat terbaik Abduljalil Hazzi, Valen Hilmy Ramadhan, Febri
Ramadhan, Ang Guan Ming, Ulfi Nurul Fadhlilah telah banyak memberikan
semangat, motivasi dan canda tawa serta teman-teman keluarga Acinonyx
FKH 51 IPB yang telah menjadi bagian hidup dari penulis selama ini.
 Sahabat BEM Kominfo FKH 2016 Kak Asri Nuraini, Bagas Aris Priyono,
Riskiqa Akla Velayati, Atika Fadilah yang telah memberikan semangat dan
motivasinya.
 Sahabat-sahabat terbaik Agustin Mayang Putri, Ismul Azan, dan Firma
Diansyah yang selalu memberikan dukungan, semangat, maupun do’anya
kepada penulis.
 Ibu Sri dan ibu Ida dari Laboratorium Fisiologi, Departemen Anatomi,
Fisiologi, dan Farmakologi - Fakultas Kedokteran Hewan, IPB yang telah
membantu penulis dalam pengumpulan data. Pak Yuri dari Lab Hewan RSH
IPB yang telah membantu penulis dalam pengumpulan data.
 Agus Hairullah, Julanda Saputra, Yulia Christina, Yusuf Setiawan Putra dan
semua anggota Ikatan Mahasiswa Bangka (ISBA) Bogor yang selalu
memberikan senyuman penuh semangat.
 Semua pihak yang telah membantu secara langsung maupun tidak langsung
dalam penelitian ini.

Penulis menyadari penyusunan skripsi ini tidak luput dari kekurangan, namun
penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi masyarakat serta ilmu
pengetahuan, khususnya di bidang kedokteran hewan.

Bogor, Agustus 2018

Fikri Amanda
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL v
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan Penelitian 2
Manfaat Penelitian 2
TINJAUAN PUSTAKA 2
Tikus Putih (Rattus norvegicus) 2
Deksametason 3
Profil Leukosit 4
Rasio Neutrofil dan Leukosit sebagai Indeks Stres 6
METODE PENELITIAN 6
Waktu dan Tempat Penelitian 6
Alat dan Bahan Penelitian 6
Prosedur Penelitian 7
Analisis Data 8
HASIL DAN PEMBAHASAN 8
Leukosit 8
Diferensiasi Leukosit 9
Hubungan Perubahan Jumlah Leukosit dan Kondisi Hiperglikemia 14
SIMPULAN DAN SARAN 14
Simpulan 14
Saran 15
DAFTAR PUSTAKA 15
RIWAYAT HIDUP 18
DAFTAR TABEL

1 Profil dan diferensiasi leukosit tikus putih menurut literatur 5


2 Rata-rata total leukosit, nilai absolut neutrofil, limfosit, monosit, eosinofil, dan
rasio N/L tikus yang diinduksi deksametason 10
3 Nilai glukosa darah puasa tikus selama induksi deksametason 14
1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Deksametason merupakan golongan obat kortikosteroid yang masuk dalam


kelompok glukokortikoid sintetik yang memiliki fungsi utama sebagai
antiinflamasi dan imunosupresif. Deksametason sebagai antiinflamasi digunakan
untuk mengobati radang pada mata, telinga, hidung, mulut, ginjal, persendian dan
rektal. Sebagai imunosupresif, deksametason digunakan untuk anafilaksis dan
gangguan sistem imun tubuh (Katzung et al. 2013).
Obat golongan kortikosteroid banyak digunakan sebagai antiinflamasi karena
mampu berinteraksi dengan respon imun. Efek kortikosteroid pada infeksi akan
menyebabkan terjadinya penurunan sitokin (Djillali et al. 2004). Deksametason
termasuk golongan obat yang penting dalam pengobatan karena aksi
farmakologinya yang luas sehingga sering digunakan untuk mengobati berbagai
penyakit. Deksametason yang digunakan di pasaran adalah deksametason sintetis
sehingga efek terapi yang ditimbulkan cepat dan berbeda dengan senyawa
alaminya. Efek terapi yang cepat menyebabkan deksametason sering
disalahgunakan. Penyalahgunaan deksametason antara lain penambahan dalam
obat tradisional dan penggunaan pada pasien usia lanjut (Huiqing et al. 2007).
Penambahan deksametason ke dalam obat tradisional sering kali melebihi
dosis maksimal, sehingga menyebabkan kerusakan pada ginjal. Penggunaan
deksametason pada pasien usia lanjut untuk pengobatan radang, dapat
menyebabkan pengeroposan tulang yang cepat sehingga pasien menjadi sulit untuk
berjalan karena terdapat gangguan pada persendian khususnya lutut (Huiqing et al.
2007).
Penggunaan deksametason secara berlebih dan tidak tepat memiliki efek
samping yang luas, antara lain depresi, insomnia, schizophrenia, dan efek
metabolik. Efek metabolik dari penggunaan deksametason adalah resistensi insulin,
peningkatan glukoneogenesis di hati, penurunan uptake dan penggunaan glukosa
pada jaringan adiposa. Efek metabolik deksametason inilah yang mempengaruhi
kadar glukosa darah dan memicu terjadinya hiperglikemia (Neal 2002). Seperti
yang diketahui, hiperglikemia merupakan salah satu tanda dari diabetes mellitus.
Diabetes dengan induksi deksametason mempunyai karakteristik terjadinya
peningkatan kadar gula darah, penurunan indeks sensitivitas insulin, serta
penurunan bobot badan. Namun, pada diabetes tipe ini tidak terdapat tanda-tanda
polidipsi dan poliuri, tidak terjadi peningkatan maupun penurunan jumlah insulin
serta tidak terdapat perubahan jumlah sel beta pankreas (Hanim et al. 2018).
Deksametason juga mampu mempengaruhi sistem kekebalan tubuh tubuh.
Deksametason dapat mempengaruhi kadar leukosit melalui penurunan jumlah
limfosit dan peningkatan jumlah neutrofil (Bauer et al. 2002). Penelitian ini
merupakan penelitian lanjutan dari penelitian Hanim et al (2018) terkait hewan
model diabetes dengan induksi deksametason pada hewan coba tikus putih galur
Sprague Dawley. Potensi deksametason sebagai imunosupresan khususnya profil
leukosit pada hewan model hiperglikemia perlu dipelajari lebih lanjut.
2

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk melihat profil leukosit dan diferensiasinya,


yaitu neutrofil, limfosit, eosinofil, basofil, dan monosit pada tikus putih (Rattus
norvegicus) galur Sprague Dawley model hiperglikemia yang diinduksikan dengan
deksametason.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai


pengaruh pemberian deksametason terhadap profil dan diferensiasi leukosit dari
tikus putih (Rattus norvegicus) galur Sprague Dawley model hiperglikemia dan
dapat digunakan sebagai acuan dalam kebijakan penggunaan deksametason.

TINJAUAN PUSTAKA

Tikus Putih (Rattus norvegicus)


Hewan coba yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus putih dengan
nama ilmiah Rattus norvegicus. Tikus putih banyak digunakan sebagai hewan
percobaan karena mempunyai respon yang cepat serta dapat memberikan gambaran
secara ilmiah yang mungkin terjadi pada manusia maupun hewan lain. Tikus putih
diharapkan lebih mempermudah para peneliti untuk mendapatkan hewan percobaan
yang sesuai dengan kriteria yang dibutuhkan dalam penelitian di bidang kesehatan.
Tiga galur tikus yang biasa digunakan sebagai hewan percobaan yaitu galur
Sprague Dawley, Wistar, dan Long Evans. Galur Sprague Dawley berwarna putih
albino, kepala kecil, dan ekor yang lebih panjang dibanding tubuhnya. Galur Wistar
memiliki kepala besar dan ekor yang lebih pendek dari tubuhnya. Galur Long Evans
memiliki warna hitam pada kepala dan tubuh bagian depan serta ukuran tubuh lebih
kecil (Malole dan Pramono 1989).
Penelitian ini menggunakan tikus putih jantan galur Sprague Dawley. Tikus
ini mempunyai daya tahan yang baik terhadap penyakit dan cukup agresif
dibandingkan galur lainnya. Tikus jantan memiliki kepekaan yang baik terhadap
metode pembuatan model hewan diabetes mellitus, hal ini disebabkan tikus jantan
memiliki hormon androgen yang menghambat adipokin yang merangsang sekresi
insulin (Malole dan Pramono 1989). Tikus betina tidak digunakan karena kondisi
hormonal yang sangat berfluktuasi saat beranjak dewasa sehingga dikhawatirkan
akan memberikan respon yang berbeda dan dapat mempengaruhi hasil penelitian
(Kesenja 2005).
Temperatur yang cocok untuk habitat tikus yang tergolong hewan nokturnal
berkisar antara 19-23oC dengan kelembaban 40-70 %. Kebutuhan makan dan
minum masing-masing 5-10 gram per 100 gram berat badan dan 10 mililiter (ml)
per 100 gram berat badan serta jangka hidup 3-4 tahun. Pakan yang diberikan pada
tikus putih umumnya tersusun dari komposisi alami dan mudah diperoleh dari
sumber daya komersial (Wolfenshon dan Lloyd 2013).
3

Selain pakan, hal yang perlu diperhatikan dalam penggunaan tikus strain ini
sebagai hewan percobaan adalah perkandangan yang baik. Kandang tikus terbuat
dari kotak plastik yang ditutup dengan kawat berlubang. Sebagai alas kandang tikus
dapat digunakan sekam. Alas kandang diganti setiap tiga hari bertujuan agar
kebersihan tikus tetap terjaga dan tidak terkontaminasi bakteri yang ada di feses
serta urine tikus (Marice dan Raflizar 2010).

Deksametason

Deksametason termasuk ke dalam golongan obat-obatan kortikosteroid


(glukokortikoid). Kortikosteroid adalah obat yang memiliki efek sangat luas
sehingga banyak digunakan untuk mengobati berbagai penyakit. Kortokosteroid
pertama kali dipakai untuk pengobatan pada tahun 1949 oleh Hence untuk
pengobatan rheumatoid arthritis. Sejak saat itu, kortikosteroid semakin luas dipakai
dan dikembangkan usaha-usaha untuk membuat senyawa-senyawa kortikosteroid
(glukokortikoid) sintetik untuk mendapatkan efek glukokortikoid yang lebih besar
dengan efek mineralokortikoid lebih kecil serta serendah mungkin efek sampingnya
(Pilkey et al. 2012).
Kortikosteroid alami dalam tubuh diproduksi oleh kelenjar adrenal bersamaan
dengan hormon seks. Kortikosteroid terdiri dari mineralokortikoid dan
glukokortikoid. Mineralokortikoid banyak berperan dalam pengaturan
keseimbangan cairan dan elektrolit,sedangkan glukokortikoid berperan dalam
metabolisme karbohidrat. Glukokortikoid dieksresi oleh korteks kelenjar adrenal
yang dikeluarkan kedalam sirkulasi secara circadian sebagai respon terhadap stress.
Salah satu glukokortikoid utama di dalam tubuh manusia adalah kortisol (Dalmazi
et al. 2012).
Deksametason dapat mempengaruhi metabolisme glukosa melalui dua
mekanisme, yaitu mengurangi penggunaan glukosa oleh sel dan meningkatkan
produksi glukosa di hati. Deksametason mengacaukan metabolisme glukosa di hati
dengan meningkatkan produksi glukosa basal, serta pada jaringan adiposa dan
tulang dengan resistensi insulin sehingga menurunkan penggunaan glukosa.
Deksametason mengurangi sensitivitas insulin dan menyebabkan kerusakan sel β
pankreas melalui reseptor glukokortikoid pada sel β pankreas. Glukokortikoid
(deksametason) juga menyebabkan gangguan pengambilan dan metabolisme
glukosa di sel β melalui aksi genomik yang menyebabkan penurunan efikasi ion
Ca2+ sitoplasma pada proses eksositosis insulin (Dalmazi et al. 2012).
Deksametason merangsang lipase yang berperan dalam lipolisis. Peningkatan
kadar insulin merangsang lipogenesis dan sedikit menghambat lipolisis sehingga
hasil akhirnya adalah peningkatan deposit lemak, peningkatan pelepasan asam
lemak, dan gliserol ke dalam darah. Efek ini paling nyata pada kondisi puasa,
dimana kadar glukosa otak dipertahankan dengan cara glukoneogenesis,
katabolisme protein otot melepas asam amino, perangsangan lipolisis, dan
hambatan ambilan glukosa di jaringan perifer (Mycek et al. 2001).
Deksametason juga merangsang glikogenolisis (katalisa glikogen menjadi
glukosa) sehingga kadar gula darah meningkat dan pembentukan glikogen di dalam
hati dan jaringan menurun. Hal ini menyebabkan deksametason menjadi pemicu
terjadinya hiperglikemia dan akhirnya meyebabkan diabetes mellitus. Kadar
4

kortikosteroid yang meningkat akan menyebabkan gangguan distribusi lemak,


sebagian lemak di bagian tubuh berkurang dan sebagian akan menumpuk pada
bagian muka (moonface), tengkuk (buffalo hump), perut dan lengan (Mycek et al.
2001).

Profil Leukosit

Darah adalah jaringan cair yang terdiri atas dua bagian yaitu plasma darah dan
sel darah. Sel darah terdiri dari tiga jenis yaitu eritrosit, leukosit dan trombosit.
Sekitar 55% komponen darah adalah plasma darah, sedang 45% sisanya terdiri dari
sel darah. Sampel darah sangat mudah diperoleh jika dibandingkan dengan cairan
tubuh lainnya tanpa menyakiti hewan (Girindra 1988).
Pengambilan sampel darah yang baik merupakan langkah awal dalam
menjamin ketelitian dan kepercayaan terhadap pemeriksaan laboratorium seperti
pemeriksaan hematologi, kadar asam urat darah, serta glukosa. Spesimen untuk
pemeriksaan hematologi (profil atau diferensiasi leukosit) dapat diperoleh dari
darah vena ataupun darah kapiler. Suatu contoh darah memberi gambaran tentang
keadaan darah saat diperoleh, sedangkan jika diambil berkali-kali dalam jangka
waktu tertentu akan memperlihatkan gambaran dinamis dari perubahan patologis
atau fisiologis yang dialami selama penelitian berlangsung (Guyton dan Hall 2006).
Darah memiliki banyak fungsi diantaranya adalah sebagai pertahanan tubuh
dengan mengedarkan antibodi dan sel darah putih (Girindra 1988). Sel darah putih
atau leukosit merupakan komponen dasar dalam darah yang berperan dalam sistem
imun seluler. Leukosit dibentuk sebagian di sumsum tulang dan sebagian lagi di
jaringan limfe yang kemudian diangkut dalam darah menuju berbagai bagian tubuh
(Guyton dan Hall 2006). Peningkatan jumlah leukosit merupakan ciri umum
terjadinya infeksi didalam tubuh. Jenis infeksi di dalam tubuh dapat dilihat dari
jenis-jenis leukosit. Berdasarkan keberadaan granul di sitoplasma, leukosit
dibedakan menjadi granulosit (neutrofil, eosinofil, dan basofil) dan agranulosit
(limfosit dan monosit) (Bacha dan Bacha 2000).
Neutrofil memiliki granula yang tidak bewarna, mempunyai inti sel yang
terangkai, kadang seperti terpisah-pisah, protoplasmanya banyak berbintik-bintik
halus atau granula, serta banyaknya sekitar 60-70 % (Handayani 2008). Neutrofil
memiliki fungsi dalam proses fagositosis infeksi kuman patogen seperti bakteri atau
zat asing (seperti kristal asam urea yang dapat ditemukan pada sendi lutut). Setiap
material asing yang difagosit akan didegradasi oleh granul neutrofil yang
mengandung enzim lisozim dan mieloperoksidase (Lee et al. 2003).
Limfosit memiliki nukleus yang besar dan berbentuk bulat. Sebagian besar sel
limfosit berkembang dalam jaringan limfe. Ukurannya bervariasi dari 7-15 mikron
dan jumlahnya 20-25% dalam darah. Fungsi limfosit adalah membunuh dan
memakan bakteri yang masuk ke dalam jaringan tubuh. Limfosit ada 2 macam,
yaitu limfosit T dan limfosit B (Handayani 2008). Limfosit B berfungsi dalam
kekebalan humoral yaitu akan berdifferensiasi menjadi sel plasma untuk
membentuk antibodi, sedangkan limfosit T berperan dalam kekebalan seluler yaitu
akan membentuk limfokin (Guyton dan Hall 2006).
Jumlah limfosit dalam tubuh juga dapat dipengaruhi oleh kadar kortisol dalam
tubuh, seiring dengan kenaikan jumlah kortisol dalam tubuh maka jumlah limfosit
5

akan mengalami penurunan (Davis et al. 2008). Kadar kortisol yang berlebih dalam
tubuh dapat menyebabkan immunosupresi, keadaan ini menyebabkan limfosit akan
berkurang dalam sistem sirkulasi, kortisol akan menghambat sintesis DNA limfosit
T dalam sumsum tulang (Kannan et al. 2000).
Monosit merupakan leukosit terbesar dengan diameter 15-20 μm dan
jumlahnya 3-9% dari seluruh sel darah putih. Sel ini memiliki inti berbentuk
lonjong, berlekuk seperti tapal kuda dan tersusun dari kromatin-kromatin yang
halus dengan jumlah sitoplasma yang banyak berwarna abu-abu hingga basofilik
(Clark et al. 2009). Monosit dapat mencapai tingkat dewasa pada saat monosit telah
berubah menjadi makrofag, monosit akan berubah menjadi makrofag bila terjadi
infeksi yang membuat monosit bermigrasi keluar dari pembuluh darah dan masuk
ke dalam jaringan.
Makrofag banyak tersebar dalam organ-organ penting tubuh, seperti di
sinusoid hati (sel Kupffer), sumsum tulang, alveoli paru-paru, lapisan serosa usus,
sinus limpa, limfonodus, kulit (sel Langerhans), sinovial (sel Synovial A), otak
(mikroglia), atau lapisan endothel (misalnya glomerulus ginjal). Monosit jaringan
atau makrofag mempunyai kemampuan fagositosis yang lebih hebat dari neutrofil,
yang bahkan mampu untuk memfagosit 100 sel bakteri (Davis et al. 2008).
Eosinofil memiliki inti dengan dua lobus serta sitoplasma berwarna pucat
hingga basofilik dan berisi granul eosinofilik. Eosinofil berasal dari myelosit
eosinofilik dari sumsum tulang. Sel ini sangat penting dalam respon terhadap
penyakit parasitik dan alergi (Hoffbrand 2006). Eosinofil memiliki granula bewarna
merah dengan pewarnaan asam, ukuran dan bentuknya hampir sama dengan
neutrofil, tetapi granula dalam sitoplasmanya lebih besar, banyaknya kira-kira 24%
(Handayani 2008).
Basofil merupakan granulosit yang paling jarang dijumpai dalam sirkulasi
darah (Latimer 2011). Basofil diproduksi di dalam sumsum tulang dari myelosit.
Basofil memiliki granula bewarna biru dengan pewarnaan basa. Sel basofil lebih
kecil daripada eosinofil, tetapi mempunyai inti yang bentuknya teratur, di dalam
protoplasmanya terdapat granula-granula yang besar (Handayani 2008). Fungsi
basofil yang telah diketahui adalah membangkitkan proses peradangan akut pada
tempat deposisi antigen. Butir granul basofil mengandung heparin, histamin,
khondroitin sulfat, serotonin, dan beberapa faktor kemotaktik. Bahan-bahan ini
dapat menyebabkan reaksi jaringan dan pembuluh darah setempat yang
menyebabkan timbulnya alergi (Guyton dan Hall 2006).

Tabel 1. Profil dan diferensiasi leukosit tikus putih menurut literatur


Profil leukosit tikus putih
Total leukosit 7.30 – 12.66 x 103 sel/μL*
Diferensiasi leukosit Nilai relatif (%)** Nilai absolut (x 103 sel/μL)***
Neutrofil 9.00-34.00 1.25-3.71
Limfosit 65.00-84.00 5.07-9.07
Monosit 0.00-5.00 0.05-0.44
Eosinofil 0.00-6.00 0.04-0.30
Basofil 0.00-1.50 0.00-0.03
Keterangan : *Smith dan Mangkoedidjojo 1988, **Baker et al. 1980, ***Thrall et al. 2004
6

Rasio Neutrofil dan Leukosit sebagai Indeks Stres

Stres merupakan reaksi tubuh terhadap tekanan lingkungan yang dapat


memengaruhi keadaan fisiologis normal tubuh. Reaksi tubuh terhadap perubahan
ini akan merangsang induksi beberapa hormon. Awal pelepasan hormon stres
dimulai dengan sekresi corticotropin releasing factor (CRF). CRF memberi sinyal
ke hipofise anterior menghasilkan adrenocorticotropic hormone (ACTH) yang
menginduksi korteks adrenal untuk mengeluarkan glukokortikoid atau kortisol
yang merupakan produk akhir hormon (Sahin et al. 2003). Apabila stresor yang
diterima hipotalamus kuat, maka CRF yang disekresi akan meningkat sehingga
rangsangan yang diterima hipofise anterior meningkat dan sekresi kortisol oleh
kelenjar adrenal juga meningkat. Stres akibat sekresi kortisol dapat meningkat
sampai 20 kali (Zaenullah 2005).
Peranan ACTH pada sekresi kortisol terjadi melalui interaksi komponen-
komponen yang terdapat dalam hypothalamicpituitary axis (HPA-axis). ACTH
yang disekresi oleh hipofisis anterior akan terikat dengan reseptornya pada
membran sel korteks adrenal, untuk ini dibutuhkan ion kalsium ekstrasel. Ikatan
tersebut akan mengaktifkan enzim adenilsiklase, cAMP dan protein kinase-A,
sehingga terjadi perubahan kolesterol esterase menjadi kolesterol bebas (Guyton
2000). Kortisol disintesis dari kolesterol. Kolesterol mengalami esterifikasi oleh
kolesterol esterase dan disimpan dalam lipid droplet. Pembentukan kolesterol bebas
pada lipid droplet dilakukan oleh kolesterol esterase hidrolase. Perangsangan oleh
ACTH akan mengakibatkan aktifasi kolesterol esterase. ACTH mengaktifkan sel
korteks adrenal untuk memproduksi kortikosteroid (Duman et al. 2001).
Kortisol mempunyai efek di dalam tubuh yaitu meningkatkan pembentukan
energi yang berasal dari protein, lemak, dan karbohidrat. Akan tetapi,
glukokortikoid berdampak pada penurunan bobot badan, penurunan sistem
imunitas tubuh, dan perubahan diferensiasi leukosit. Perubahan diferensiasi
leukosit karena pengaruh glukokortikoid menyebabkan jumlah neutrofil meningkat
di dalam pembuluh darah, sedangkan jumlah limfosit mengalami penurunan. Rasio
neutrofil/limfosit digunakan untuk mengetahui indeks stres yang terjadi pada hewan
(Zulkifli et al 2000). Hewan mamalia dikatakan stres jika nilai indeks stres lebih
dari 1.5 (Kannan et al. 2000).

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada Januari-Februari 2017 di Laboratorium Hewan


Rumah Sakit Hewan Pendidikan dan Laboratorium Fisiologi, Departemen Fisiologi
Anatomi dan Farmakologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Alat dan Bahan Penelitian

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu disposable syringes 3 ml,
jarum suntik, gunting, pipet leukosit beserta aspiratornya, object glass, cover glass,
7

kamar hitung Neubauer, mangkok keramik, tabung darah, alat pengukur glukosa
darah, dan mikroskop. Bahan yang digunakan adalah darah tikus, giemsa, larutan
turk, Ethyl Diamine Tetracetic Acid (EDTA), methanol, minyak emersi, dan larutan
xylol.

Prosedur Penelitian

Tahap Persiapan dan Adaptasi


Penelitian ini menggunakan hewan coba tikus putih (Rattus norvegicus)
berjumlah 24 ekor tikus jantan galur Sprague Dawley. Tikus yang digunakan berada
dalam kisaran umur di bawah 1 tahun dengan bobot badan rata-rata 300-400 gram.
Selama penelitian dilakukan, tikus dikandangkan dalam kandang yang terbuat dari
kotak plastik yang ditutup dengan kawat berlubang dan dialasi dengan sekam. Satu
kandang diisi dengan 2 ekor tikus. Kandang tikus selalu dijaga kebersihannya
dengan penggantian sekam setiap 3 hari sekali. Tikus diberi makanan pelet
sebanyak 50 gram dalam 1 kandang dan minum ad libitum.

Induksi Deksametason
Induksi deksametason dilakukan secara rutin sehari sekali selama 10 hari.
Tikus dikelompokkan menjadi empat kelompok yaitu kontrol (K), dosis 1 mg/kg
BB (P), 2,5 mg/kg BB (Q), dan 5 mg/kg BB (R). Induksi dilakukan secara subkutan
pada tengkuk atau punggung tikus. Sebelum tikus diinduksi, tikus dipegang sebaik
mungkin dengan menggunakan kain lap.

Pengambilan Darah
Pengambilan darah dilakukan setiap 5 hari sekali setelah induksi dalam kurun
waktu 10 hari. Sebelum dilakukan pengambilan darah, tikus dimasukkan ke dalam
kandang jepit dan ekor tikus dibersihkan dengan xylol untuk memudahkan
penentuan letak vena lateralis ekor. Setelah diketahui letak vena lateralis, darah
diambil sebanyak ± 1 ml menggunakan dysposable syringes dan kemudian darah
dimasukkan ke dalam tabung darah yang sudah diberi antikoagulan EDTA
sebelumnya. Selain itu, dilakukan juga penetesan darah ± 1 tetes pada object glass.
Setelah itu darah dibawa ke Laboratorium Fisiologi untuk dilakukan pemeriksaan
lebih lanjut.

Penghitungan Jumlah Leukosit


Darah diaspirasi menggunakan pipet leukosit dan aspiratornya sampai batas
garis 0,5 kemudian dilanjutkan dengan penambahan larutan pengencer turk 9
sampai batas garis 11. Campuran dalam pipet ini kemudian dihomogenkan dengan
mengocok pipet membentuk angka 8. Campuran diujung pipet yang tidak ikut
terkocok dibuang terlebih dahulu. Campuran yang sudah homogen tersebut
8

diteteskan kedalam kamar hitung dengan cara menempelkan ujung pipet pada
pertemuan antara dasar kamar hitung yang ditutup dengan cover glass.
Penghitungan butir-butir darah putih dilakukan pada kelima kotak yang terletak
diagonal pada 4 bujur sangkar besar disudut kamar hitung hasilnya x 50 butir/mm3
darah (Eggen et al. 2001).

Pembuatan Sediaan Apus Darah dan Diferensiasi Leukosit


Darah diteteskan pada ujung salah satu object glass yang telah disediakan,
kemudian ulas dengan object glass yang lain kemudian keringkan dan difiksasi
selama 5 menit dalam methanol. Setelah difiksasi, direndam dalam zat warna
Giemsa selama 30 menit kemudian dicuci dengan air mengalir secara perlahan-
lahan untuk menghilangkan sisa zat warna yang tidak ikut mewarnai sediaan,
sediaan apus darah kemudian dikeringkan. Sediaan apus darah yang telah diberi
pewarnaan kemudian diamati dibawah mikroskop dengan perbesaran objektif 100x
dan okuler 10x untuk menghitung jumlah differensiasi sel darah putih hingga
jumlah total yang teramati mencapai jumlah 100. Setelah dilakukan presentase
differensiasi leukosit, nilai absolut dari masing-masing jenis leukosit ditentukan
dengan cara mengalikan presentase tersebut dengan jumlah total leukosit (Eggen et
al. 2001).

Penghitungan Indeks Stress

Setelah diketahui masing-masing jumlah differensiasi leukosit, kemudian


jumlah ini dapat digunakan dalam penghitungan indeks stress tikus putih dengan
menggunakan perbandingan (N/L) (Kannan et al. 2000).

Analisis Data

Data yang diperoleh dianalisa dengan menggunakan analisa sidik ragam


(Anova) kemudian dilanjutkan dengan uji Tukey dengan menggunakan program
software Minitab 17.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Leukosit

Deksametason yang digunakan untuk induksi mampu mengubah jumlah


leukosit dalam plasma dengan menurunkan kadar limfosit serta meningkatkan
kadar neutrofil. Rata-rata total leukosit, nilai absolut neutrofil, limfosit, monosit,
eosinofil, dan indeks stres pada tikus putih jantan yang diinduksi deksametason
dengan berbagai dosis tersaji pada Tabel 2.
Total leukosit pada Tabel 2 berbeda secara signifikan antar perlakuan. Pada
hari ke-0, nilai rata-rata total leukosit semua kelompok tidak berbeda nyata dan
9

berada dalam kisaran normal. Pada hari ke-5 induksi, terdapat perbedaan yang nyata
antara kontrol dan kelompok perlakuan. Nilai rata-rata leukosit yang tinggi
ditunjukkan oleh kelompok Q dan R. Kelompok P menunjukkan perbedaan yang
nyata dengan kontrol walaupun nilainya tidak setinggi kelompok Q dan R.
Meningkatnya rata-rata total leukosit pada hari ke-5 induksi menunjukkan bahwa
leukosit telah bereaksi terhadap deksametason yang masuk ke dalam tubuh.
Pemberian deksametason mampu meningkatkan leukosit melalui peningkatan
neutrofil/heterofil dan penurunan jumlah sel limfosit (Bauer et al. 2002).
Pada hari ke-10 induksi, terdapat perbedaan yang nyata antara kontrol dan
perlakuan. Nilai rata-rata kontrol dan kelompok P berada dalam rentang normal
sedangkan nilai rata-rata kelompok Q dan R berada dibawah rentang normal. Total
leukosit yang berada dalam kisaran normal menunjukkan bahwa leukosit telah
melakukan peranannya dan berangsur stabil. Leukosit mempunyai peranan dalam
pertahanan seluler dan humoral organisme terhadap zat-zat asing. Leukosit dapat
meninggalkan kapiler dan masuk di antara sel-sel endotel serta menembus ke dalam
jaringan (Effendi 2003). Respon penurunan jumlah leukosit (leukopenia) sering
terjadi akibat kerusakan limfosit maupun akibat penggunaan bahan-bahan
immunosupresif seperti deksametason.
Tabel 2 menunjukkan adanya interaksi antara perlakuan dengan waktu
(p<0.05) selama 10 hari induksi. Nilai rata-rata leukosit kontrol terlihat stabil dan
tidak menunjukkan adanya perbedaan yang nyata. Nilai rata-rata leukosit kelompok
perlakuan P, Q, dan R secara statistik berbeda nyata. Secara umum terjadi
peningkatan nilai rata-rata leukosit pada hari ke-5 dan penurunan pada hari ke-10
induksi. Perubahan jumlah leukosit akibat deksametason disebabkan oleh
redistribusi sel dan tingkat kematian sel yang tinggi (Corum et al. 2016).
Pemberian deksametason setiap hari selama 10 hari menyebabkan penurunan
signifikan jumlah sel darah putih, limfosit, monosit, eosinofil dan basofil, namun
jumlah neutrofil meningkat secara signifikan. Penurunan nilai rata-rata leukosit
yang rendah pada hari ke-10 induksi dialami kelompok perlakuan Q dan R. Hal ini
sesuai dengan penelitian Ohkaru et al (2009) yang menyatakan bahwa pemberian
deksametason pada dosis yang tinggi secara akut dan sub-akut mampu menurunkan
jumlah leukosit. Semakin tinggi dosis yang diberikan semakin tinggi penurunan
jumlah leukositnya akibat tingginya apoptosis sel-sel leukosit.

Diferensiasi Leukosit

Neutrofil
Nilai absolut neutrofil pada Tabel 2 menunjukkan adanya perbedaan yang
signifikan antar perlakuan (p<0.05). Pada hari ke-0, terdapat perbedaan nilai absolut
antar kelompok. Nilai absolut kelompok kontrol dan R lebih tinggi dibandingkan
normal. Peningkatan neutrofil dapat terjadi akibat infeksi, peradangan ataupun
kondisi stres saat pengambilan darah (Amanda 2012). Pada hari ke-5 induksi,
terdapat perbedaan yang nyata antara kontrol dan kelompok perlakuan. Nilai
absolut neutrofil yang tinggi ditunjukkan oleh kelompok Q dan R. Kelompok P
menunjukkan perbedaan yang nyata dengan kontrol walaupun nilainya tidak
setinggi kelompok Q dan R. Nilai absolut semua kelompok perlakuan berada di atas
rentang normal.
10

Tabel 2. Rata-rata total leukosit, nilai absolut neutrofil, limfosit, monosit, eosinofil,
dan rasio N/L tikus putih jantan galur Sprague Dawley yang diinduksi
deksametason dengan berbagai dosis.
Kelompok Rataan Total Leukosit (x 103 sel/μL)
Perlakuan Hari ke-0 Hari ke-5 Hari ke-10
Literatur 7.30 – 12.66
K 12.20 ± 1.60bc 12.00 ± 2.65bc 12.47 ± 1.97bc
bc
P 12.00 ± 1.33 16.38 ± 2.51ab 7.42 ± 0.86c
Q 11.38 ± 1.85bc 21.98 ± 5.36a 6.15 ± 2.07c
bc
R 11.83 ± 0.29 21.30 ± 4.72a 5.30 ± 2.10c
Nilai Absolut Neutrofil (x 103 sel/μL)
Literatur 1.25-3.71**
K 4.42 ± 1.29bc 3.46 ± 2.21c 3.83 ± 2.30c
P 2.07 ± 0.30c 14.62 ± 2.19ab 4.80 ± 0.45bc
c
Q 2.66 ± 1.74 20.25 ± 4.65a 4.50 ± 1.88bc
bc
R 4.18 ± 1.27 19.81 ± 5.01a 4.05± 1.14bc
Nilai Absolut Limfosit (x 103 sel/μL)
Literatur 5.07-9.07**
K 7.41 ± 1.59ab 8.31 ± 1.06ab 7.94 ± 2.28ab
a
P 9.45 ± 1.77 1.37 ± 0.48c 2.27 ± 0.90bc
Q 8.31 ± 1.11ab 1.54 ± 1.05c 1.37 ± 0.21c
ab
R 7.21 ± 1.26 1.36 ± 0.51c 1.11 ± 0.87c
Nilai Absolut Monosit (x 103 sel/μL)
Literatur 0.05-0.44**
K 0.15 ± 0.08ab 0.16 ± 0.03ab 0.56 ± 0.27a
ab
P 0.43 ± 0.08 0.16 ± 0.03ab 0.34 ± 0.18ab
ab
Q 0.40 ± 0.28 0.18 ± 0.17ab 0.27 ± 0.01ab
R 0.20 ± 0.14ab 0.12 ± 0.11ab 0.14 ± 0.10ab
Nilai Absolut Eosinofil (x 103 sel/μL)
Literatur 0.04-0.30**
K 0.21 ± 0.20a 0.07 ± 0.06a 0.12 ± 0.11a
P 0.04 ± 0.03a 0.11 ± 0.10a 0.00b
a
Q 0.19 ± 0.06 0.00b 0.00b
a
R 0.24 ± 0.12 0.00b 0.00b
Nilai Absolut Basofil (x 103 sel/μL)
Literatur 0-0.03**
K 0.00a 0.00a 0.00a
a
P 0.00 0.00a 0.00a
Q 0.00a 0.00a 0.00a
a
R 0.00 0.00a 0.00a
Rasio N/L
Literatur 1.5***
K 0.62 ± 0.27cde 0.42 ± 0.27e 0.55 ± 0.47de
P 0.23 ± 0.08e 11.27 ± 2.99ab 2.46 ± 1.34bcd
e a
Q 0.34 ± 0.26 16.03 ± 7.40 3.20 ± 0.88abc
cde a
R 0.61 ± 0.29 16.13 ± 7.57 7.15 ± 7.04ab
Keterangan: K: Kontrol; P: Dosis 1 mg/kg BB; Q: Dosis 2.5 mg/kg BB; R: 5 mg/kg BB; huruf
superscript yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata (p>0.05). *Smith dan
Mangkoewidjojo 1988, **Thrall et al. 2004, ***Kannan et al. 2000.
11

Peningkatan nilai absolut neutrofil dibandingkan normal mengindikasikan


tikus mengalami neutrofilia. Glukokortikoid seperti deksametason mampu
menginduksi mobilisasi neutrofil dari sumsum tulang dan menghambat apoptosis
neutrofil dalam sirkulasi sambil mempromosikan migrasi neutrofil ke dalam
jaringan. Kondisi ini yang menyebabkan terjadinya neutrofilia pada kasus induksi
deksametason secara akut atau subakut (Ohkaru et al. 2009). Pada hari ke-10
induksi, terdapat perbedaan yang nyata antara kontrol dan kelompok perlakuan.
Nilai absolut neutrofil semua kelompok perlakuan berada di atas rentang normal.
Tabel 2 juga menunjukkan adanya interaksi antara perlakuan dengan waktu
(p<0.05) selama 10 hari induksi. Nilai absolut neutrofil kontrol terlihat stabil dan
tidak ada perbedaan yang nyata pada hari ke-5 dan ke-10. Nilai absolut neutrofil
kelompok perlakuan P, Q, dan R berbeda nyata selama 10 hari induksi. Secara
umum terjadi peningkatan nilai absolut neutrofil pada hari ke-5 dan penurunan pada
hari ke-10 induksi. Peningkatan pada hari ke-5 induksi disebabkan deksametason
menginduksi peningkatan pelepasan neutrofil dari cadangan sumsum tulang.
Tingginya pelepasan neutrofil mempengaruhi fungsinya dalam fagositosis dan
menurunkan produksi spontan dari metabolisme O2 reaktif (Jeklova et al. 2008).
Kondisi penurunan jumlah neutrofil atau neutropenia umum terjadi setelah
terapi pemberian kortikosteroid dalam jumlah besar. Kondisi neutropenia
disebabkan rusaknya sel-sel prekursor neutrofil di sumsum tulang dan terjadinya
hipersensitivitas obat yang mengenai sirkulasi neutrofil serta terbentuknya antibodi
terhadap kompleks obat-protein yang bekerja sebagai antigen. Neutrofil yang
dilapisi komplemen akan cepat dikeluarkan dari sirkulasi oleh sel retikulum
endoplasma (Hoffbrand 2006).

Limfosit
Nilai absolut limfosit pada Tabel 2 menunjukkan adanya perbedaan yang
signifikan antara perlakuan dan adanya interaksi antara perlakuan dengan waktu
(p<0,05). Pada hari ke-0, terdapat perbedaan nilai absolut antar kelompok. Nilai
absolut kelompok P lebih tinggi dibandingkan normal. Peningkatan limfosit dapat
terjadi jika antigen masuk ke dalam tubuh, sehingga tubuh harus memproduksi
antibodi (Frandson 1992).
Pada hari ke-5 induksi, terdapat perbedaan yang nyata antara kontrol dan
kelompok perlakuan. Nilai absolut limfosit yang rendah ditunjukkan oleh semua
kelompok perlakuan. Nilai absolut semua kelompok perlakuan berada di bawah
rentang normal. Penurunan nilai absolut limfosit mengindikasikan tikus mengalami
limfositopenia. Deksametason mempengaruhi reseptor pada sitoplasma di luar
membran mitokondria yang menstimulasi mekanisme apoptosis. Limfosit yang
berada pada organ limfoid akan mengalami apoptosis sehingga kepadatan folikel
limfoid akan berkurang (deplesi). Deplesi terjadi akibat apoptosis yang melibatkan
enzim caspase (Bauer et al 2002). Selain itu deksametason akan menurunkan
aktifitas Cluster Differentiaton (CD)4+ dan CD8+, yang berakibat pada penurunan
sel B dan sel T, sel B dan sel T teraktifasi, dan peningkatan natural killer (Mehra
et al. 2017).
Tabel 2 juga menunjukkan adanya interaksi antara perlakuan dengan waktu
(p<0.05) selama 10 hari induksi. Nilai absolut limfosit kontrol terlihat stabil dan
tidak ada perbedaan yang nyata secara statistik pada hari ke-5 dan ke-10. Secara
12

umum terjadi penurunan nilai absolut limfosit hari ke-5 dan ke-10 induksi pada
kelompok perlakuan, kecuali kelompok P yang mengalami peningkatan pada hari
ke-10. Peningkatan ini mengindikasikan aktivitas CD4+ dan CD8+ sel limfosit
mulai kembali normal. Penurunan nilai absolut limfosit akibat deksametason
disebabkan redistribusi limfosit yang memicu kematian prekursor sel T dan B yang
belum matang dan atrofi timus (Jeklova et al. 2008).

Monosit
Nilai absolut monosit pada Tabel 2 tidak menunjukkan adanya perbedaan
yang signifikan antara perlakuan dan tidak adanya interaksi antara perlakuan
dengan waktu (p>0.05). Pada hari ke-10, terjadi peningkatan nilai absolut monosit
pada kontrol. Hal ini dapat disebabkan terjadinya infeksi kronis dan ganguan sistem
imunologis (Frandson 1992).
Nilai absolut monosit umumnya menurun pada hari ke-5 dan meningkat
mendekati nilai normalnya pada hari ke-10. Penelitian Ohkaru et al (2009) terhadap
tikus putih melalui pemberian deksametason secara signifikan mengurangi jumlah
dan monosit yang bersirkulasi. Terjadinya monositopenia menyebabkan penurunan
jumlah makrofag pada jaringan tubuh sehingga proses fagositosis tidak berlangsung
dengan baik. Monositopenia disebabkan oleh penurunan jumlah prekursor monosit
pada sumsum tulang belakang sehingga terjadinya penurunan jumlah monosit
(Basten et al. 1973).
Peran monosit hampir sama dengan neutrofil, yaitu sebagai fagositik yang
berkemampuan memakan antigen, seperti bakteri. Monosit dalam darah tidak
pernah mencapai dewasa penuh sampai bermigrasi ke jaringan menjadi makrofag
dan menetap di jaringan, seperti pada sinusoid hati, sumsum tulang, alveoli paru-
paru, dan jaringan limfoid. Selain sebagai makrofag, monosit juga berperan dalam
sistem imun. Kontak yang dekat antara permukaan limfosit dan monosit diperlukan
untuk respon imunologis yang maksimal (Dellmann dan Brown 1992).

Eosinofil
Nilai absolut eosinofil pada Tabel 2 menunjukkan adanya perbedaan yang
signifikan antar perlakuan dan adanya interaksi antara perlakuan dengan waktu
(p<0.05) pada hari ke-5 dan ke-10. Secara umum kelompok perlakuan mengalami
penurunan nilai absolut eosinofil atau eosinopenia. Kelompok P mengalami
peningkatan nilai absolut eosinofil atau eosinofilia pada hari ke-5 dan penurunan
pada hari ke-10. Eosinofilia dapat terjadi akibat infeksi cacing, peradangan, atau
alergi (Samuelson 2007).
Eosinofil berperan dalam memakan kompleks antigen-antibodi, tetapi tidak
memakan dan menghancurkan mikroorganisme. Kondisi penurunan eosinofil dapat
ditemui pada keadaan stres dan level kortikosteroid di dalam darah yang meningkat
(Weiss dan Wardrop 2010). Penelitian Ohkaru et al (2009) membuktikan bahwa
deksametason yang diinjeksi secara akut atau sub-akut dapat menurunkan jumlah
eosinofil. Penurunan jumlah eosinofil disebabkan apoptosis sel secara spontan
seperti mekanisme apoptosis neutrofil akibat penggunaan deksametason (Sivertson
et al. 2007).
13

Basofil
Nilai absolut basofil tidak mengalami perubahan setelah induksi
deksametason. Jumlah basofil dalam darah sangat sedikit (0-30 sel/μL). Fungsi
basofil yang telah diketahui adalah membangkitkan proses peradangan akut pada
tempat deposisi antigen. Fagositosis oleh basofil sangat terbatas. Basofil muncul
utamanya pada aktivitas peradangan langsung dengan mekanisme yang hampir
sama seperti yang dilakukan oleh sel mast (Guyton dan Hall 2006).
Berdasarkan penelitian Ohkaru et al (2009), induksi deksametason secara akut
atau subakut dapat menurunkan jumlah basofil. Kemampuan deksametason untuk
menginduksi terjadinya sitopenia ini kemungkinan berhubungan langsung dengan
kemampuannya untuk memodulasi apoptosis dan mendasari efek anti-inflamasi
glukokortikoid.

Rasio Neutrofil/Limfosit
Rasio N/L pada Tabel 2 menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan
antara perlakuan (p<0.05). Pada hari ke-0, rasio N/L kontrol dan kelompok
perlakuan berbeda nyata. Rasio N/L semua kelompok berada dalam kisaran normal
(<1.5). Pada hari ke-5 induksi, terdapat perbedaan yang nyata antara kontrol dan
kelompok perlakuan. Rasio N/L kelompok P, Q, dan R meningkat drastis
dibandingkan nilai awalnya dan melebihi batas normal (>1.5). Pada hari ke-10
induksi, masih terdapat perbedaan yang nyata antara kontrol dan kelompok
perlakuan. Rasio N/L pada hari ke-10 lebih rendah dari hari ke-5 namun masih di
atas nilai normal (>1.5). Peningkatan indeks stres terjadi akibat peningkatan
neutrofil/heterofil dan penurunan jumlah sel limfosit (Bauer et al. 2002).
Tabel 2 juga menunjukkan adanya interaksi antara perlakuan dengan waktu
(p<0.05) selama 10 hari induksi. Rasio N/L kontrol tidak mengalami perubahan
yang signifikan dibandingkan kelompok perlakuan. Rasio N/L kelompok perlakuan
P, Q, dan R berbeda nyata selama 10 hari induksi. Secara umum terjadi peningkatan
rasio N/L pada hari ke-5 dan penurunan pada hari ke-10 induksi. Peningkatan rasio
N/L tertinggi dialami oleh kelompok perlakuan R. Hal ini sesuai dengan penelitian
Machmud (2016) yang menyatakan semakin tinggi dosis deksametason yang
diberikan semakin tinggi pula tingkat rasio N/L yang diaplikasikan pada buyung
puyuh sebagai model imunosupresan. Rasio N/L yang tinggi ini menyebabkan
kematian pada tikus-tikus kelompok R setelah hari ke-10 pasca penghentian induksi
deksametason.
Glukokortikoid mempunyai efek di dalam tubuh yaitu meningkatkan
pembentukan energi yang berasal dari protein, lemak, dan karbohidrat. Akan tetapi,
glukokortikoid berdampak pada penurunan bobot badan, penurunan sistem
imunitas tubuh, dan perubahan diferensiasi leukosit. Perubahan diferensiasi
leukosit karena pengaruh glukokortikoid menyebabkan jumlah neutrofil meningkat
di dalam pembuluh darah, sedangkan jumlah limfosit mengalami penurunan. Kadar
kortisol yang meningkat pada kondisi stres akan menyebabkan neutrofilia karena
terjadinya stimulasi pembentukan neutrofil dan pelepasan neutrofil dari sumsum
tulang. Kortisol dapat menyebabkan limfopenia, eosinopenia, dan basopenia
melalui pelepasan dari sel-sel limpa dan paru-paru dan penurunan mitosis limfosit
dari sumsum tulang (Chastain dan Ganjam 1986).
14

Hubungan Perubahan Jumlah Leukosit dan Kondisi Hiperglikemia

Hiperglikemia menyebabkan peningkatan dari sitokin proinflamasi dan


penurunan fungsi sel polimorfonuklear (PMN). Hiperglikemia menginduksi
disfungsi neutrofil dengan memodulasi salah satu jalur biokimiawi neutrofil yaitu
mieloperoksidase (MPO). MPO berperan penting dalam mengatur fungsi
fagositosis dari neutrofil. Selama proses fagositosis, pemakaian glukosa, konsumsi
O2, dan produksi laktat mengalami peningkatan. Hiperglikemia juga mengurangi
degranulasi neutrofil. Perubahan metabolisme neutrofil dalam kondisi
hiperglikemia berperan penting pada individu yang mengalami diabetes karena
glukosa dan glutamin juga mengatur fungsi neutrofil (Clement et al. 2004). Nilai
glukosa darah puasa tikus putih jantan galur Sprague Dawley sebagai model
hiperglikemia dengan induksi deksametason tersaji pada Tabel 3.
Tabel 3. Nilai glukosa darah puasa tikus putih jantan galur Sprague Dawley selama
induksi deksametason (Hanim et al. 2018)
Kelompok
Hari ke-0 Hari ke-5 Hari ke-10
Perlakuan
K 82.00 ± 7.07 d 92.80 ± 7.26d 104.00 ± 11.53 d
d cd
P 89.83 ± 10.23 113.33 ± 16.13 112.67 ± 19.66cd
Q 92.20 ± 4.60d 146.80 ± 34.08c 214.50 ± 2.12b
d a
R 96.40 ± 9.66 297.40 ± 58.76 196.00 ± 39.60b
Keterangan: K: Kontrol; P: Dosis 1 mg/kg BB; Q: Dosis 2.5 mg/kg BB; R: 5 mg/kg BB; huruf
superscript yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata (p>0.05).

Keterkaitan nilai glukosa darah puasa pada penelitian Hanim et al (2018)


dengan hasil penghitungan nilai total leukosit dalam penelitian ini berbanding
terbalik. Hal ini dapat terlihat pada kelompok perlakuan Q yang mengalami
peningkatan kadar glukosa darah puasa dari hari 5 ke hari 10 induksi (Tabel 3) dan
penurunan total leukosit dari hari 5 ke hari 10 induksi (Tabel 2). Semakin tinggi
kadar glukosa darah (hiperglikemia) semakin rendah nilai leukosit. Kondisi
hiperglikemia menyebabkan makrofag dapat melepaskan sitokin yang akan
merusak endotel dan meningkatkan pembentukan plak. Penebalan ini akan
menghalangi gerakan keluar masuknya leukosit dan mencegah difusi insulin serta
glukosa yang dibutuhkan leukosit dalam jaringan tempat masuknya bakteri.
Kondisi ini menyebabkan penurunan leukosit dan mudah terjadinya infeksi oleh
bakteri (Xiu et al. 2014).

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Induksi deksametason pada tikus model hiperglikemia dapat menurunkan


total leukosit. Deksametason menyebabkan penurunan nilai absolut limfosit,
monosit, dan eosinofil, peningkatan neutrofil namun tidak mempengaruhi basofil.
Deksametason mampu meningkatkan rasio N/L secara signifikan seiring dengan
peningkatan dosis dan menyebabkan kematian pada dosis 5 mg/kg BB.
15

Hiperglikemia yang terjadi berbanding terbalik terhadap total leukosit akibat


induksi pada kelompok perlakuan dengan dosis 2.5 mg/kg BB (Q). Semakin tinggi
kadar glukosa darah puasa semakin rendah total leukosit.

Saran

Penggunaan deksametason sebagai induktor hewan model hiperglikemia


perlu memperhatikan kondisi kekebalan terutama profil leukosit. Penelitian lebih
lanjut dapat dilakukan untuk melihat profil eritrosit dan trombosit tikus putih
sehingga dapat melengkapi gambaran hematologi pada hewan model hiperglikemia
dengan induksi deksametason . Selain itu, perlu dilakukannya manajemen atau
pengaturan penggunaan deksametason di masyarakat terkait dengan efek
sampingnya terhadap sel darah putih dan kadar glukosa darah yang memicu
terjadinya hiperglikemia.

DAFTAR PUSTAKA

Amanda AS. 2012. Diferensiasi leukosit dan rasio neutrofil/limfosit (N/L) pada
kerbau lumpur (Bubalus bubalis) betina [skripsi]. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor.
Bacha WJ, Bacha LM. 2000. Color Atlas of Veterinary Histology. 2nd Ed.
Philadelphia (US): Lippincott Williams and Wilkins. hlm 221-243.
Baker HJ, Lindsey JR, Weishbroth SH. 1980. The Laboratory Rat. Volume 1. New
York (US): Academic Press. hlm 153-155.
Basten A, Miller JF, Sprent J, Pye J. 1973. A receptor for antibody on B
lymphocytes. I. Method of detection and functional significance. Journal of
Experiment Medicine. 135(3):610–626.
Bauer ME, Papadopoulos A, Poon L, Perks P, Lightman SL, Chechley S, Shanks
N. 2002. Dexamethasone induced effects on lymphocyte distribution and
expression of adhesion molecules in treatment resistant depression.
Psychiatry Research. 113:1-15.
Chastain CB, Ganjam VK. 1986. Clinical Endocrinology of Companion Animals.
Philadelphia (US): Lea & Febiger. hlm 86-90.
Clark P, Boardman W, Raidal S. 2009. Atlas of Clinical Avian Hematology. West
Sussex (UK): John Wiley & Sons Ltd.
Clement S, Braithwaite SS, Magee MF. 2004. Management of diabetes and
hyperglicemia in hospitals. Diabetes Care. 24:553-591.
Corum O, Dik B, Er A. 2016. Effect of single dose dexamethasone (0.1 mg/kg) on
white blood cell counts and serum glucose levels in healthy ewes. Eurasian
Journal Veterinary Science. 32(3):174-177.
Dalmazi DG, Pagotto U, Pasquali R, Vicennati V. 2012. Glucocorticoids and type
2 diabetes: from physiology to pathology. Journal of Nutrition and
Metabolism. 12:1-9.
16

Davis AK, Maney DL, Maerz JC. 2008. The use of leukocyte profiles to measure
stress in vertebrates: a review for ecologists. Journal of Functional Ecology.
22:706-772.
Dellman HD, Brown EM. 1992. Buku Teks Histologi Veteriner. Ed ke–3. Jakarta
(ID): Universitas Indonesia. hlm 491-499.
Djillali A, Eric B, Pierre EB, Josef B, Didier K, and Yizhak K. 2004.
Corticosteroids for Severe Sepsis and Septic Shock: a Systematic Review and
Meta-Analysis. British Medical Journal. 329(7464):480.
Duman RS, Malberg J, Nakagawa S. 2001. Regulation of adult neurogenesis by
psychotropic drugs and stress. Journal Pharmacology and Experimental
Therapeutics. 299:401-407
Effendi Z. 2003. Peranan Leukosit Sebagai Anti Inflamasi Alergik dalam Tubuh.
Sumatera Utara (ID): Bagian Histologi Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara.
Eggen JW, Schrijver JG, Bins M. 2001. WBC content of platelet concentrates
prepared by the buffy coat method using different processing procedures and
storage solutions. Journal Tranfusion. 41:1378-1383.
Frandson RD. 1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada
University Press. hlm 421-423.
Girindra A. 1988. Biokimia Patologi Hewan. Bogor (ID): Pusat Antar Universitas
Institut Pertanian Bogor. hlm 44-45.
Guyton AC. 2000. Texbook of Medical Physiology. 9th Ed. Philadelpia (US): WB
Sanders Co. hlm 199-205.
Guyton AC, Hall JE. 2006. Textbook of Medical Physiology. 11th Ed. Philadelphia
(US): Elsevier Inc. hlm 127-138.
Handayani W. 2008. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem
Hematologi. Jakarta (ID): Salemba Medika. hlm 67-69.
Hanim R, Rahminiwati M, Darusman HS. 2018. Studi karakteristik tipe diabetes
pada tikus (Rattus norvegicus) yang diinduksi deksametason. Jurnal
Veternier. 19(1):1-10.
Hoffbrand V. 2006. At a Glance Hematology. Jakarta (ID): EMS. hlm 221-295
Huiqing L, Wenrui X, Judith AS, Jun-Ming Z. 2007. Systemic anti-inflamatory
corticosteroid reduces mechanical pain behavior, symphatetic sprouting, and
elevation of pro-inflamatory cytokines in a rat model of neuropathic pain.
Anesthesiology. 107(3):469-477.
Jeklova E, Leva L, Jaglic Z, Faldyna M. 2008. Dexamethasone induced
immunosupression a rabbit model. Veterinary Immunology and
Immunopathology. 122:231-240.
Kannan G, Terrill TH, Kouakou B, Gazal OS, Gelaye S,Amoah EA, Samake S.
2000. Transportation of goat: effects on physiological stress responses and
live weight loss: Journal of Animal Science. 78:1450-1457.
Katzung GB, Masters BS, Trevor JA. 2013. Farmakologi dasar & klinik. Ed ke-12.
Volume 2. Jakarta (ID): Penerbit Buku Kedokteran EGC. hlm 709-719
Kesenja R. 2005. Pemanfaatan tepung buah pare (Momordica charantina L.) untuk
penurunan kadar glukosa darah pada tikus diabetes mellitus [skripsi]. Bogor
(ID): Institut Pertanian Bogor.
Latimer KS. 2011. Duncan & Prasse's Veterinary laboratory Medicine: Clinical
Pathology. Ed ke-5. West Sussex (UK): John Wiley dan Son Inc. hlm 14-16.
17

Lee WL, Harrison RE, Grinstein S. 2003. Phagocytosis by neutrophil. Journal


Microbes and Infection. 5:1299-1306.
Machmud MT. 2016. Profil dan diferensiasi leukosit burung puyuh (Coturnix
coturnix Japonica) terhadap pemberian dexamtehasone [skripsi]. Bogor (ID):
Institut Pertanian Bogor.
Malole MBM, Pramono CSU. 1989. Penggunaan Hewan-hewan Percobaan di
Laboratorium. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Marice S, Raflizar. 2010. Status Gizi dan Fungsi Hati Mencit Galur CBS-Swiss dan
Tikus Putih Galur Wistar di Laboratorium Hewan Percobaan Puslitbang
Biomedis Dan Farmasi. Media Litbang Kesehatan. 20(1):33-40.
Mehra N, Sharp A, Lorente D, Dolling D, Sumanasurya S, Johnson B, Dearnaley
D, Parker C, Bono DJ. 2017. Neutrophils to lymphocytes ratio in castration-
resistant prostate cancer patients treated with daily oral corticosteroids.
Clinical Genitournary Cancer. 2017:1-7.
Mycek MJ, Harvey RA, Champe PC. 2001. Farmakologi : Ulasan Bergambar. Ed
ke-2. Jakarta (ID): Penerbit Widya Medika. hlm 407-415.
Neal A. 2002. At a Glance Farmakologi Medis. Ed ke-5. Jakarta (ID): Penerbit
Erlangga. hlm 67-75.
Ohkaru Y, Arai N, Ohno H, Sato S, Sakakibara Y, Suzuki H, Aritoshi S, Akimoto
S, Ban T, Tanihita J et al. 2009. Acute and subacute effects of dexamethasone
on the number of white blood cell in rats. Journal of Health Science.
56(2):215-220.
Pilkey J, Streeter L, Beel A, Hiebert T, Li X. 2012. Corticosteroid induced diabetes
in palliative care. Journal of Palliative Medicine. 15:681–689.
Sahin K, Sahin N, Onderci M, Gursu MF, Issi M. 2003. Vitamin C and E
canalliviate negative effect of heat stress in Japanese Quail. Journal
Veterinary Science. 73:307-312.
Samuelson DA. 2007. Textbook of Veterinary Histology. China (CN): Saunders.
hlm 290-295.
Sivertson KL, Seeds MC, Long DL, Peachman KK, Bass DA. 2007. The
differential effect of dexamethasone on granulocyte apoptosis involves
stabilization of Mcl-1L in neutrophils but not in eosinophils. Cellular
Immunology. 246:34–45.
Smith JB, Mangkoewidjojo S. 1988. Pemeliharaan, Pembiakan, Penggunaan
Hewan Percobaan di Daerah Tropis. Jakarta (ID): UI Press. hlm 37-57.
Thrall MA, Baker DC, Campbell TW, Denicola D, Fettman MJ, Lassen ED, Rebar
A, Weiser G. 2004. Veterinary Hematology and Clinical Chemistry.
Maryland (US): Lippincot Williams and Wilkins. hlm 106-107
Weiss DJ, Wardrop JK. 2010. Schalm’s Veterinary Hematology. 6th Ed. Iowa (US):
Blackwell Publishing. hlm 854-856.
Wolfensohn S, Lloyd M. 2013. Handbook of Laboratory Animal Management and
Welfare. Ed ke-4. New Delhi (IN): Wiley-Blackwell. hlm 234-235.
Xiu F, Stanojcic M, Diao L, Jeschke MG. 2014. Stress hyperglycemia, insulin
treatment, and innate immune cells. International Journal of Endocrinology.
2014:1-9.
Zaenullah A. 2005. Efek puasa ramadhan terhadap perubahan imunitas pelaksana
puasa ramadhan studi berbasis paradigma psikoneuroimunologi [disertasi].
Surabaya (ID): Universitas Airlangga Surabaya.
18

Zulkifli I , Norma MTC, Chong CH, Loh TH. 2000. Heterophil to lymphocyte ratio
and tonic immobility reactions to preslaughter handle in broiler chickens
treated with ascorbic acid. Journal Poultry Science. 79:401-406.
19

RIWAYAT HIDUP

Penulis yang bernama lengkap Fikri Amanda merupakan anak pertama dari
dua bersaudara dari pasangan Hatamar Rasyid dan Juairiah. Penulis dilahirkan di
Air Beringin (Bangka) pada tanggal 11 Maret 1996. Pendidikan formal penulis
sampai dengan tingkat SMA diselesaikan di Bangka, yaitu SD Negeri 27 Jebus,
SMP Negeri 4 Jebus dan SMA Negeri 3 Pangkalpinang. Penulis lulus dari SMA
pada tahun 2014 dan pada tahun yang sama diterima di jurusan Fakultas Kedokteran
Hewan melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN).
Selama menjadi mahasiswa IPB, penulis mengikuti organisasi Himpunan Minat
dan Profesi Ruminansia sebagai anggota (2016-2017), Organisasi Mahasiswa
Daerah Bangka (ISBA) sebagai ketua (2016-2017), dan Badan Eksekutif
Mahasiswa FKH sebagai anggota Kominfo (2016-2017). Prestasi yang pernah
diraih penulis selama menjadi mahasiswa IPB adalah juara 3 Sayembara Menulis
Surat Untuk Calon Gubernur Kepulauan Bangka Belitung tahun 2016.

Anda mungkin juga menyukai