Rattus norvegicus
Rattus norvegicus
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan pada
Fakultas Kedokteran Hewan
Disetujui
Komisi Pembimbing
Diketahui,
Tanggal lulus :
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-
Nya sehingga skripsi yang berjudul Ragam Jenis Ektoparasit pada Hewan Coba
Tikus Putih (Rattus norvegicus) Galur Sprague Dawley telah diselesaikan. Skripsi
ini disusun sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Kedokteran
Hewan Institut Pertanian Bogor.
Penghargaan dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya, penulis
ucapkan kepada :
1 Keluarga tercinta, Bapak, Ibu, Ajun dan Fahmi atas segala nasehat,
kesabaran, dukungan, dan doanya kepada penulis.
2 drh. Upik Kesumawati Hadi, MS, Ph.D dan drh. Supriyono selaku dosen
pembimbing tugas akhir yang telah memberikan ilmu-ilmunya dan
bersabar dalam membimbing penulis.
3 Bima yang selalu menemani dan memberikan semangat untuk tidak pernah
menyerah setiap saat.
4 Teman-teman seperjuangan penelitian di Laboratoriun Entomologi yang
bersama-sama berjuang dalam menyelesaikan tugas akhir.
5 Arni, Rio, dan Ridwan yang telah membantu penulis dalam proses
penyusunan skripsi dan dukungannya dalam penyelesaian tugas akhir.
6 Seluruh teman-teman Gianuzzi yang telah bersama-sama selama 3 tahun
menuntut ilmu di FKH IPB.
7 Dosen-dosen dan Staf Laboratorium Entomologi yang tak pernah bosan
selalu membantu dan memberikan senyuman serta semangat setiap
harinya.
8 Teman-teman di Tri Regina yang tak pernah lelah mendukung penulis
untuk menyelesaikan tugas akhirnya.
Penulis dilahirkan di Bengkulu pada tanggal 1 Maret 1990 dari ayah Drs.
Boko Susilo, M.Kom dan ibu Rusmiyati. Penulis merupakan putri pertama dari
tiga bersaudara.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL
No Teks Halaman
1 Jenis-enis ektoparasit pada tikus putih (R. norvegicus) ..... 24
2 Sebaran ektoparasit pada tikus putih (R. norvegicus)
berdasarkan regio .............................................................. 25
3 Gambaran sel darah putih tikus putih (R. norvegicus) ........ 26
v
DAFTAR GAMBAR
No Teks Halaman
1 Morfologi Laelaps echidninus .......................................... 7
2 Morfologi Notoedres cati .................................................. 8
3 Xenopsylla cheopis ............................................................ 9
4 Sel darah putih 13
(a) Neutrofil; (b) Eosinofil; (c) Basofil; (d) Limosit;
(e) Monosit .......................................................................
5 Laelaps echidninus ............................................................ 18
6 Polyplax spinulosa ............................................................ 20
7 Larva caplak Ixodidae ....................................................... 23
1 PENDAHULUAN
Tikus putih (R. norvegicus) merupakan hewan coba yang sering digunakan
pada penelitian biomedis, pengujian, dan pendidikan. Sebagai hewan rondentia
(pengerat), tikus juga tidak bebas dari infestasi ektoparasit. Ektoparasit adalah
parasit yang berada di luar tubuh inang.
Jenis ektoparasit pada tikus yang pernah dilaporkan pada studi di Sarpole-
Zahab, Provinsi Kermanshah, Iran, terdapat sebanyak sembilan spesies ektoparasit
yang ditemukan pada 139 ekor tikus di enam spesies yang diidentifikasi.
Ektoparasit tersebut yaitu tiga jenis pinjal (Pulex irritans, Xenopsylla buxtoni,
Nosopsyllus medus), satu jenis kutu penghisap (Polyplax spinulosa), dua jenis
caplak (Rhipicephalus sp., Hyalomma sp.), dan tiga jenis tungau (Laelaps nutalli,
Dermanysus sanguineus, Ornithonyssus bacoti) (Telmadarraiy et al. 2007).
Motevalli et al. (2002) menemukan ektoparasit Echinolaelaps echidninus,
Hoplopleura sp., Rhipicephalus sp., dan Nosopsyllus fasciatus pada R.
norvegicus, R. rattus, Mus musculus, Glis glis, Apodemous sylvaticus, Nesokia
indica, dan Arvicola terretris di wilayah Selatan Laut Kaspia.
berbagai macam agen penyakit. Tikus juga berperan dalam penyebaran penyakit
zoonosis, seperti leptospirosis, salmonellosis, rat-bite fever, leishmaniasis, dan
plague (Kia et al. 2009). Tikus rentan terhadap penyakit infeksius yang
disebabkan oleh bakteria, virus, parasit, dan jamur. Beberapa penelitian yang telah
dilakukan menunjukkan penyakit yang terdapat pada tikus seperti plague,
tripanosomiasis, dan merupakan reservoir alami penyebab epidemic haemorrhagic
fever (EHF) virus (Su et al. 1989; Coutinho dan Linardi 2007; Wei et al. 2010).
Selain itu, tikus di alam juga dapat dijadikan sebagai indikator kehadiran dan
dispersal dari enam agen mikroba zoonotik, seperti Rickettsia typhi, R. Conorii,
Toxoplasma sp., Coxiella burnetti, Bartonella henselae, dan Leishmania infantum
(Anna et al. 2010).
Tikus putih (R. norvegicus) atau biasa dikenal dengan nama lain Norway
Rat berasal dari wilayah Cina dan menyebar ke Eropa bagian barat (Sirois 2005).
Pada wilayah Asia Tenggara, tikus ini berkembang biak di Filipina, Indonesia,
Laos, Malaysia, dan Singapura (Medway 1983). Faktor yang mempengaruhi
penyebaran ekologi dan dinamika populasi tikus putih (R. norvegicus) yaitu faktor
abiotik dan biotik. Faktor abiotik yang penting dalam mempengaruhi dinamika
populasi tikus adalah air minum dan sarang. Air merupakan kebutuhan penting
bagi tikus. Sarang memiliki beberapa fungsi untuk kehidupan tikus, seperti untuk
melahirkan, membesarkan anak-anaknya, menyimpan pakan, berlindung dari
lingkungan yang kurang menguntungkan, dan tempat untuk beristirahat. Cuaca
tidak mempengaruhi secara langsung pada dinamika populasi tikus. Faktor biotik
yang penting dalam mempengaruhi populasi tikus antara lain adalah (1) tumbuhan
atau hewan kecil sebagai sumber pakan, (2) patogen (penyebab penyakit) dari
golongan virus, bakteri, cendawan, nematoda, protozoa, dan sebagainya, (3)
predator dari golongan reptilia, aves, dan mamalia, (4) tikus sebagai kompetitor,
khususnya pada populasi tinggi, dan (5) manusia yang merupakan musuh utama
bagi tikus (Priyambodo 1995).
Ordo Rodentia merupakan ordo terbesar dari kelas mamalia karena memiliki
jumlah spesies (40%) dari 5.000 spesies di seluruh mamalia.
Klasifikasi tikus putih (R. norvegicus) menurut Myres & Armitage (2004).
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Mamalia
Ordo : Rodentia
Subordo : Sciurognathi
Famili : Muridae
Sub-Famili : Murinae
Genus : Rattus
Spesies : Rattus norvegicus
Galur/Strain : Sprague Dawley
Tikus putih (R. norvegicus) yang memiliki nama lain Norway rat,
termasuk ke dalam hewan mamalia yang memiliki ekor panjang. Ciri-ciri galur ini
yaitu bertubuh panjang dengan kepala lebih sempit. Telinga tikus ini tebal dan
pendek dengan rambut halus. Mata tikus putih berwarna merah. Ciri yang paling
terlihat adalah ekornya yang panjang. Bobot badan tikus jantan pada umur dua
belas minggu mencapai 240 gram sedangkan betinanya mencapai 200 gram. Tikus
memiliki lama hidup berkisar antara 4-5 tahun dengan berat badan umum tikus
jantan berkisar antara 267-500 gram dan betina 225-325 gram (Sirois 2005).
antara 8-32 kHz. Suara ultrasonik ini sangat penting sebagai alat berkomunikasi
antara induk dengan anaknya. Galur ini memiliki pertumbuhan yang cepat,
tempramen yang baik dan kemampuan laktasi yang tinggi (Robinson 1979). Tikus
putih (R. norvegicus) tersebar luas di beberapa tipe habitat, namun tikus putih
lebih sering terlihat pada beberapa tempat yang merupakan habitat alami dari tikus
putih, yaitu area pertanian, hutan alami maupun buatan, pesisir pantai, dan tempat-
tempat yang lembab (Pagad 2011).
Penyakit yang dapat diderita oleh tikus salah satunya diakibatkan oleh
parasit luar. Ektoparasit yang dapat menginfestasi pada tikus ini meliputi Polyplax
spinulosa, Laelaps echidninus, Bdellonyssus bacoti, Notoedres cati, Otodectes
cyanotis, Echidnophaga gallinacea, dan Xenopsylla cheopis (Sirois 2005).
Laelaps echidninus merupakan jenis tungau yang biasa terdapat pada tikus
(Gambar 1). Tungau ini memiliki ukuran yang sangat kecil dan aktif menghisap
darah. L. echidninus sendiri merupakan vektor alami dari Hepatozoon muris dan
dapat juga mentransmisikan agen tularemia (Francisella tularensis) di antara
rodentia lain. Infestasi tungau pada tubuh tikus dapat menyebabkan iritasi dan
kegatalan. L. echidninus menyebabkan lesio pada telapak kaki tikus (Flynn
1973).
7
a
b
d
e
f
Notoedres cati merupakan parasit pada kucing, tikus, kelinci, dan manusia
(bersifat sementara). Tungau ini memiliki ukuran dewasa mencapai 230-275 m
dan memiliki empat kaki yang pendek (Gambar 2). Bagian dorsal tubuh tungau
terdapat sisik, namun tidak terdapat duri. Anus N. cati terletak pada bagian dorsal
antara kaki ketiga dan keempat (Flynn 1973). Tungau ini menginfestasi kucing,
dan dapat berpindah ke hewan lain atau manusia, tetapi hanya dapat bertahan
hidup tidak lebih dari tiga hari. Hal ini disebabkan karena tungau memiliki induk
semang (inang) yang spesifik (Nahm & Corwin 1997). Peradangan dan
8
keratinisasi pada kulit menyebabkan kulit menjadi tebal dan berkerut (Soulsby
1982).
Xenopsylla cheopis merupakan genus pinjal yang terdapat pada tikus serta
dapat menyerang ke manusia. Ukuran tubuh pinjal kurang lebih 2,5 mm. Tubuh
pinjal terdiri dari kepala, thoraks, dan abdomen. Bagian kepala dan toraks
memiliki dua segmen dan abdomen memiliki delapan segmen. X. Cheopis
memiliki tiga pasang kaki (Gambar 3). Kaki belakang pinjal memiliki tungkai
yang panjang sehingga pinjal dapat melompat jauh. Ciri morfologi yang
membedakan X. cheopis dengan genus lainnya adalah tidak memiliki rambut dan
bentuk kepala yang lebih bulat. Pinjal ini berperan penting dalam penyebaran
penyakit pes di Indonesia maupun di dunia (Gage & Kosoy 2005).
(a) (b)
Gambar 3 Xenopsylla cheopis; (a) jantan; (b) betina
2.3.1 Gambaran Diferensiasi Sel Darah Putih pada Tikus Putih (R.
norvegicus)
Sel darah putih dikenal sebagai leukosit merupakan unit pertahanan tubuh
yang dibentuk di sumsum tulang belakang dan sebagian dibentuk di jaringan
limfoid. Granulosit dan monosit merupakan sel darah putih yang dibentuk di
sumsum tulang belakang, sedangkan limfosit dan sel-sel plasma dibentuk di
jaringan limfoid. Granulosit merupakan sel-sel polimorfonuklear yang memiliki
granular, seperti neutrofil, eosinofil, dan basofil. Granulosit memiliki masa hidup
empat sampai delapan jam dalam sirkulasi darah dan empat sampai lima hari
berikutnya pada jaringan yang membutuhkan. Namun, pada infeksi yang berat,
masa hidup keseluruhan dapat berkurang lebih cepat karena granulosit bekerja
lebih cepat pada daerah yang terinfeksi, melakukan fungsinya, dan masuk ke
dalam proses ketika sel-sel tersebut dimusnahkan. Monosit memiliki masa edar
yang singkat, yaitu 10-20 jam dalam darah, sedangkan limfosit memiliki masa
hidup berminggu-minggu atau berbulan-bulan tergantung dari kebutuhan tubuh
terhadap limfosit (Guyton & Hall 2008)
2.3.2 Neutrofil
2.3.3 Eosinofil
2.3.4 Basofil
Basofil merupakan sel darah putih yang memiliki jumlah kecil di dalam
darah tikus. Jumlah basofil di dalam darah berkisar antara 0-3% (Thrall et al.
2004). Basofil umumnya berbentuk seperti huruf S (Gambar 4c). Sitoplasma
basofil berisi granul yang lebih besar dan seringkali menutupi inti. Granul basofil
memiliki bentuk ireguler berwarna metakromatik. Basofil merupakan sel utama
yang paling banyak ditemukan pada tempat peradangan atau alergi (Caroline et al.
2009). Basofil mengandung heparin dan memiliki protein reseptor pada bagian
12
2.3.5 Limfosit
2.3.6 Monosit
a b
c d
Gambar 4 Sel darah putih (leucocyte) dan sel darah merah (erytrocyte) ; (a)
Neutrofil, (b) Eosinofil, (c) Basofil, (d) Limfosit, (e) Monosit
3 METODE PENELITIAN
Sampel ektoparasit diambil dari empat belas ekor tikus putih (R.
norvegicus) galur Sprague Dawley. Pengambilan ektoparasit pada tikus ini
dilakukan secara manual yaitu dengan menggunakan kapas yang dibasahi dengan
alkohol 70% dan pinset. Kapas yang sudah dibasahi dengan alkohol ini kemudian
ditempelkan ke bagian tubuh tikus yang terdapat ektoparasit. Hal ini dimaksudkan
supaya ektoparasit pada tubuh tikus mudah untuk didapatkan dan dikoleksi
sedangkan pinset digunakan sebagai alat bantu untuk mengambil ektoparasit yang
menempel pada badan tikus.
Teknik pengambilan sampel dilakukan selama sepuluh menit dan dilakukan
pengulangan sebanyak dua kali. Sampel yang telah didapatkan kemudian
dimasukkan ke dalam cawan petri yang berisi alkohol 70%. Tiap-tiap sampel
ektoparasit yang telah terkumpul kemudian dipisahkan dengan kotoran yang
terikut di dalam cawan petri dan dipindahkan ke dalam tabung koleksi yang juga
berisi alkohol 70% dan diberi label.
dengan larutan laktofenol, spesimen kemudian dicuci sebanyak tiga sampai empat
kali sampai air tidak berkabut. Larutan Hoyer diteteskan kurang lebih satu sampai
dua tetes di atas gelas objek yang akan dipakai. Lalu satu sampai dua spesimen
diletakkan ke dalam larutan Hoyer dengan cara menenggelamkan ke dalam
larutan. Preparat kemudian ditutup dengan gelas penutup dan jangan sampai ada
gelembung udara yang masuk. Namun, jika ada gelembung udara yang masuk
maka gelas objek dipanaskan di atas api secara perlahan-lahan sehingga
gelembung udara ini akan menghilang. Setelah itu, slide disimpan ke dalam slide
warmer selama empat sampai lima hari atau di dalam temperatur kamar selama
tujuh sampai sepuluh hari. Jika preparat tersebut sudah kering, pada sekeliling
gelas penutup diberikan lapisan kuteks secara merata.
4. 1 Jenis Ektoparasit
Jenis ektoparasit yang ditemukan dari empat belas ekor tikus putih (R.
norvegicus) galur Sprague Dawley terdiri atas tiga jenis, yaitu tungau Laelaps
echidninus, kutu Polyplax spinulosa, dan larva caplak.
echidninus jantan memiliki rata–rata panjang sekitar 880 . Seta koksa berbentuk
filiform dan semua seta tarsal lonjong runcing. Peritreme terletak lebih ke depan
mendekati koksa II. Seluruh seta anal terlihat tipis dengan bentuk meruncing.
a
b
c
i d
e
h
g f
daur hidupnya, seekor tungau betina dapat menghasilkan ratusan hingga ribuan
telur. Telur-telur berubah menjadi larva dan sebagian besar bertindak sebagai
ektoparasit pada inangnya.
a
A b
B c
C
d
e
f
memiliki tubuh yang ramping dan berwarna kuning kecoklatan dan memiliki
panjang tubuh 0,6-1,5 mm. Pada bagian kepala umumnya memiliki bentuk yang
ramping dan lebih sempit dibandingkan toraks. Di bagian toraks terdapat keping
ventral yang berbentuk pentagonal. Abdomen kutu dewasa berwarna kecokelatan
dan memiliki sebelas segmen yang ditutupi oleh seta. P. spinulosa betina
umumnya memiliki tubuh yang lebih panjang dari pada jantan yang memiliki
bentuk tubuh lebih pendek dan lebar. Pada kutu betina, organ genitalnya memiliki
dua pasang gonopod yang berfungsi untuk memandu, memanipulasi, dan
memberikan perekat pada telur untuk diletakkan pada rambut maupun kulit inang.
Organ genital P. spinulosa jantan umumnya besar dan terletak pada bagian tengah
dari abdomen. Kutu memiliki enam kaki dengan kuku yang digunakan untuk
mencengkeram rambut inang (Mullen et al. 2009).
maka dapat menyebabkan pendarahan yang serius pada tikus yang menjadi
inangnya sehingga terjadi anemia serta dermatitis akibat gigitan dari P. spinulosa.
Selain itu, P. spinulosa merupakan vektor dari Myoplasma haemomuris
(Haemobartonella muris), Rickettsia typhii, Trypanosoma lewisi, Borellia duttoni,
dan Brucella brucei (Suckow et al. 2006).
a
b
c
e
d
ditemukan ektoparasit. Selain itu, pada daerah punggung merupakan daerah yang
nyaman bagi kehidupan ektoparasit karena pada lokasi ini memiliki kelenturan
kulit yang cukup baik sehingga memudahkan ektoparasit tersebut mengambil
makanan.
Tabel 2 Sebaran ektoparasit pada tikus putih (R. norvegicus)
berdasarkan regio
Jumlah Ektoparasit pada beberapa Regio (ekor)
No Tikus Total
Kepala punggung Pangkal Ekor
1 0 4 0 4
2 4 3 0 7
3 0 2 3 5
4 0 4 1 5
5 0 2 1 3
6 2 1 0 3
7 3 0 2 5
8 1 0 2 3
9 0 1 1 2
10 0 0 3 3
11 1 1 0 2
12 1 2 0 3
13 0 0 2 2
14 0 2 1 3
Total 12 22 16 50
% 24 44 32 100
4.5 Gambaran Sel Darah Putih (Leucocyte) Tikus Putih (R. norvegicus)
Tabel 3 Persentase gambaran sel darah putih tikus putih (R. norvegicus)
Pada penelitian ini, jumlah monosit yang terkandung di dalam darah tikus
putih (R. norvegicus) lebih tinggi dibandingkan dengan jumlah normal, yaitu
berada dalam kisaran 0-13%. Hal ini berkaitan dengan monosit yang memiliki
peranan dalam pertahanan lokal spesifik. Monosit merupakan sel darah yang
secara bebas dapat bermigrasi ke dalam jaringan yang meradang, terutama jika
27
dengan cara pencucian dan pensterilan dengan bahan kimia pada suhu maksimal
120C. Alas kandang yang digunakan juga diganti sesering mungkin. Alas
kandang dapat menggunakan serbuk kayu maupun jerami yang terlebih dahulu
dijemur dibawah sinar matahari. Tikus putih sebaiknya dirawat dan dikandangkan
pada suhu yang optimal, yaitu pada suhu 20-25C (Smith & Mangkoewidjojo
1988).
5.1 Simpulan
Dari empat belas ekor tikus putih (R. norvegicus) galur Sprague Dawley
sebagai hewan percobaan, ektoparasit yang berhasil ditemukan adalah L.
echidninus, P. spinulosa, dan larva caplak. Sebagian besar ektoparasit ditemukan
di regio punggung tikus (44%), pangkal ekor (32%), dan bagian kepala (24%).
Gambaran umum mengenai perilaku tikus yang terinfestasi ektoparasit adalah
gelisah, sering menggigit dan menggesek-gesek tubuhnya sendiri. Hasil penelitian
ini juga menunjukkan bahwa gambaran diferensiasi sel darah putih pada tikus
tersebut menunjukkan adanya peningkatan jumlah limfosit dan monosit. Namun
demikian, gambaran pada neutrofil, eosinofil, dan basofil tidak mengalami
perubahan yang signifikan.
5.2 Saran
Baker EW & Canin JH. 1958. Guide to The Families of Mites. America : The
Institute of Arcalogy, Departemen Zoology.
Bowman DD, Lynn RC, Eberhard ML, & Alcaraz A. 2003. Parasitology for
Veterinarians 8th ed. Philadelphia: Wb Saunders Company.
Caroline LS, Chu NQ, Yu S, Nish SA, Laufer TM & Medzhitoy R. 2009.
Basophils function as antigen-presenting cells for an allergen-induced T
helper type 2 response. Nat. Immunol. 10 : 713–720.
Coutinho Z & Linardi M. 2007. Can Fleas from Dogs Infected with Canine
Visceral Leishmaniasis Transfer The Infection to Other Mamals?. Vet.
Parasitol. 147:320-325.
Effendi Z. 2003. Peranan Leukosit Sebagai Anti Inflamasi Alergik dalam Tubuh.
Sumatera Utara: Bagian Histologi Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara.
Foreyt WJ. 2001. Veterinary Parasitology 5th ed. America: Iowa State University
Press.
Flynn RJ. 1973. Parasites of Laboratory Animals. America: The Iowa State
University Press.
Flynn RJ & Baker DG. 2007. Flynn's parasites of laboratory animals. America:
American College of Laboratory Animal Medicine.
Gage K & Kosoy M. 2005. Natural History of Plague: Perspectives from more
than a century of research. Annu. Rev. Entomol. 50: 505-528.
Golub N & Nokkala S. 2004. Brief report Chromosome numbers of two sucking
louse species (Insecta, Phthiraptera, Anoplura). Hereditas 141: 94-96.
Guyton AC & Hall JE. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran 11st ed. Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Jimenez MC, Torres BM, & Aguilar RA. 1994. Experimental transmission of
Trypanosoma cruzi by Ornithonyssus bacoti. Vet. Mexico, 25 : 61-63.
Kim H.C, Chong ST, Sames WJ, Nunn PT, Wolf SP, Robbins RG & Klein TA.
2010. Tick surveillance of small mammals captured in Gyeonggi and
Gangwon Provinces, Republic of Korea, 2004–2008. Syst. App. Acarol.
J. 15 :100–108.
Motevalli HF, Gholami SH, Sharifi M, Mobedi I, Sobhani I, Sedaghat MM, &
Najafpour AA. 2002. Study of Rodents ectoparasites in urban areas of
Mazandaran Province in 1997-1999. Iranian J. Mazandaran. Uni. Med.
Sci. 27(13):72-77.
Mullen G, Mullen GR, & Durden L. 2009. Medical and Veterinary Entomology.
London: Academic Press.
Noble ER & Noble GA. 1989. Parasitologi : Biologi Parasit Hewan. Widiarto,
penerj UGM Press. Yogyakarta. Terjemahan dari: Parasitology: The
Biology of Animal Parasites.
Omudu EA, & Ati TT. 2010. A Survey of Rats Trapped in Residential Apartments
and Their Ectoparasites in Makurdi, Nigeria. Res. J. Agric. & Biol. Sci,
6(2): 144-149.
32
Robinson R. 1979. Taxonomy and Genetics. In Baker HJ, Lindsey JR, dan
Weisbroth. The Laboratory Rat. London : Academic Press.
Su FC, Li FG, Qu SZ, Yang JL, Zhao SD, & Zhang XK. 1989. Medical Animals
in Yunnan Province. China: Yunnan Science & Technology Press.
Suckow MA, Steven HW, & Craig LF. 2006. The laboratory rat. London:
Academic Press.
Thrall MA, Baker DC, Terry WC, DeNicola D, Fettman MJ, Lassen ED, Rebar A,
& Weiser G. 2004. Veterinary Hematology and Clinical Chemisry. USA:
Lippincott Wiliams & Wilkins.
Urquhart GM, Armour J, Duncan JL, Dunn AM, & Jennings FW. 1987.
Veterinary Parasitology. New York: Churchill Livingstone Inc.