FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HANG TUAH
SURABAYA
2013
Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri, bebas plagiat, semua sumber
baik yang dikutip maupun yang dirujuk telah saya nyatakan dengan benar.
Apabila dikemudian hari terbukti terdapat plagiat dalam skripsi saya, maka
saya bersedia menerima sanksi sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Oleh
Mensahkan :
Dosen Pembimbing,
Risma, dr.,M.Si
NIK 01377
i
SKRIPSI
Oleh
Mensahkan :
Ketua sidang
ii
UCAPAN TERIMA KASIH
iii
8. Theresia Tyas Utami, A.md yang telah membantu dalam identifikasi
lidah buaya di laboratorium Fitokimia Fakultas Farmasi Universitas
Katolik Widya Mandala Surabaya.
9. Ir. Mahmudah, M.Kes yang telah membantu dan memberikan
masukan dalam pengerjaan skripsi ini, beliau selaku ahli statistik
yang mau meluangkan waktunya untuk mengarahkan dengan
sabar.
10. Para dosen dan staf pengajar yang telah mengajar dan
membagikan ilmunya yang sangat berharga untuk saya. Saya tidak
bisa menyebutkan semuanya satu per satu, namun tidak
mengurangi rasa hormat saya dalam mengucapkan terima kasih
sebanyak-banyaknya.
11. Orang tua dan keluarga saya yang selalu memberikan dukungan,
doa dan motivasi serta bantuan dana untuk skripsi ini.
12. Terima kasih kepada teman-teman saya yang telah memberi
dukungan dan motivasi dalam pengerjaan skripsi ini.
13. Dan pihak-pihak lain yang tidak bisa disebutkan satu per satu yang
telah membantu sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan
baik, semoga Allah SWT membalas budi baik semua pihak yang
telah membantu.
Penulis
iv
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN i
LEMBAR PENGESAHAN ii
UCAPAN TERIMA KASIH iii
DAFTAR ISI v
DAFTAR TABEL vii
DAFTAR GAMBAR viii
DAFTAR LAMPIRAN ix
ABSTRAK x
ABSTRACT xii
BAB 1 PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Rumusan Masalah 5
1.3 Tujuan Penelitian 6
1.4 Manfaat Penelitian 6
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 7
2.1 Nyamuk Aedes aegypti 7
2.1.1 Taksonomi 7
2.1.2 Siklus hidup 7
2.1.3 Morfologi 9
2.1.4 Bionomik (tata hidup) nyamuk betina 12
2.1.5 Kepentingan medis
Dengue dan demam berdarah dengue 13
2.1.6 Usaha pengendalian Aedes aegypti 17
2.2 Lidah Buaya (Aloe vera) 18
2.2.1 Sekilas tentang lidah buaya (Aloe vera) 18
2.2.2 Taksonomi 18
2.2.3 Morfologi 19
2.2.4 Kandungan kimia 20
2.2.5 Manfaat 21
v
BAB 3 KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS 24
BAB 4 METODE PENELITIAN 26
4.1 Jenis dan Rancangan Penelitian 26
4.2 Populasi, Sampel, Besar Sampel, dan Teknik Pengambilan
Sampel 26
4.3 Variabel Penelitian 28
4.4 Alat dan Bahan Penelitian 29
4.5 Lokasi dan Waktu Penelitian 30
4.6 Prosedur Penelitian 31
4.7 Validasi dan Rehabilitasi 33
4.8 Pengelolaan dan Analisa Data 33
4.9 Alur Penelitian 36
BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS HASIL PENELITIAN 38
5.1 Hasil Penelitian 38
5.2 Analisis Hasil Penelitian 40
BAB 6 PEMBAHASAN 45
BAB 7 KESIMPULAN DAN SARAN 49
7.1 Kesimpulan 49
7.2 Saran 49
DAFTAR PUSTAKA 51
vi
DAFTAR TABEL
Tabel 5.1 Jumlah larva Aedes aegypti yang mati dan hidup 39
Tabel 5.2 Persentase larva nyamuk yang mati dan hidup 39
Tabel 5.7 Hasil uji mann-whitney 43
Tabel 5.8 Hasil uji T satu sampel 44
vii
DAFTAR GAMBAR
viii
DAFTAR LAMPIRAN
ix
Pengaruh Supernatan Jus Daun Lidah Buaya (Aloe vera) Sebagai
Larvasida Terhadap Larva Nyamuk Aedes aegypti
ABSTRAK
x
Way Anova, Kruskal-Wallis test, Mann-Whitney test dan One-Sample T
test.
xi
The Effect Of Supernatant Of Aloe vera Leaves Juice As Larvacide
On Aedes aegypti Larvae
ABSTRACT
xii
Conclusion : Supernatant of Aloe vera leaves juice has an effect as
larvacide on Aedes aegypti larvae.
xiii
BAB 1
PENDAHULUAN
1
cepat. Yaitu dengan peningkatan 30 kali lipat dibandingkan 50 tahun
sebelumnya (WHO, 2012b).
Sedangkan untuk Indonesia yang merupakan negara tropis di Asia
Tenggara, dengue juga merupakan salah satu masalah kesehatan
masyarakat yang utama (Pusat Data dan Surveilans Epidemiologi
Kementrian Kesehatan RI, 2010). Hal ini disebabkan jumlah kasus DBD
cenderung meningkat dari tahun ke tahun dan Indonesia merupakan salah
satu negara endemik DBD yang setiap tahunnya selalu terjadi kejadian
luar biasa (KLB) di berbagai kota dan setiap 5 tahun sekali terjadi KLB
besar (Achmadi, 2010). Indonesia bahkan merupakan Negara yang
menduduki peringkat pertama dengan kasus DBD tertinggi di antara
negara-negara ASEAN (Ferdian, 2013).
Di Indonesia, penyakit ini pertama kali ditemukan di Surabaya pada
tahun 1968, di mana sebanyak 58 orang terinfeksi dan 24 orang
diantaranya meninggal dunia (Angka Kematian : 41,3%). Sejak tahun
tersebut, telah terjadi peningkatan persebaran jumlah provinsi dan
kabupaten/kota yang endemis Demam Berdarah Dengue (DBD), dari 2
provinsi dan 2 kota, menjadi 32 (97%) dan 382 (77%) kabupaten/kota
pada tahun 2009. Selain itu, terjadi juga peningkatan jumlah kasus DBD,
pada tahun 1968 hanya 58 kasus menjadi 158.912 kasus pada tahun
2009 (Pusat Data dan Surveilans Epidemiologi Kementrian Kesehatan RI,
2010). Untuk kasus DBD pada tahun 2010, jumlahnya sebanyak 156.086
kasus dengan jumlah kematian sebesar 1.358 (Natalia, 2012).
Sedangkan untuk kasus DBD di Jawa Timur, selama tahun 2005 - 2009
walaupun angka insidennya cukup tinggi, Jawa Timur tidak termasuk
dalam lima provinsi dengan angka insiden tertinggi di Indonesia. Dimana,
pada tahun 2005, lima provinsi dengan angka insiden DBD tertinggi
diduduki oleh DKI Jakarta, Kalimantan Timur, Bali, Sulawesi Utara dan
Kepulauan Riau. Untuk tahun 2006, diduduki oleh DKI Jakarta, Bali,
Kalimantan Timur, Kepulauan Riau dan DI Yogyakarta. Tahun 2007
diduduki oleh DKI Jakarta, Bali, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, dan
Jawa Barat. Tahun 2008 diduduki oleh DKI Jakarta, Kalimantan Timur,
2
Bali, Kepulauan Riau dan Papua Barat. Dan untuk tahun 2009 diduduki
oleh DKI Jakarta, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Bali dan
Kepulauan Riau (Pusat Data dan Surveilans Epidemiologi Kementrian
Kesehatan RI, 2010) .
Sedangkan pada awal tahun 2013 jumlah kasus DBD di Jawa Timur
mengalami peningkatan yang cukup signifikan dibandingkan dengan
tahun sebelumnya. Bedasarkan data yang dirangkum Dinas kesehatan
Jatim, jumlah kasus DBD di Jatim sampai maret 2013 adalah sebesar
7.496 penderita dan 68 orang diantaranya meninggal dunia. Kondisi ini
mengakibatkan peningkatan kasus sebesar 66,98% bila dibandingkan
tahun lalu pada periode yang sama (Januari – Maret 2012). Peningkatan
paling tinggi ada di kota Surabaya, dimana pada bulan Februari 2013
jumah kasusnya mencapai 256, dan pada bulan Maret tercatat 418
penderita DBD. Dan saat ini, Jatim berada pada urutan nomor dua dalam
jumlah kasus DBD-nya setelah provinsi Jawa Barat (Maulana, 2013).
Peningkatan dan penyebaran kasus DBD tersebut kemungkinan
disebabkan oleh mobilitas penduduk yang tinggi, perkembangan wilayah
perkotaan, perubahan iklim, perubahan kepadatan dan distribusi
penduduk serta faktor epidemiologi lainnya yang masih memerlukan
penelitian lebih lanjut (Pusat Data dan Surveilans Epidemiologi
Kementrian Kesehatan RI, 2010).
Karena insiden dan angka kematian, khususnya di Indonesia terutama
di Jawa Timur, yang cukup tinggi, maka sangat diperlukan tindakan
kontrol atau pencegahan untuk menurunkan jumlah kasus DBD.
Untuk vaksin, masih belum tersedia. Beberapa masih dalam fase uji
coba (WHO, 2012a). Oleh karena itu, Pengontrolan dengue tergantung
pada pengontrolan vektor, terutama Aedes aegypti, an anthropophilic
domestic mosquito, yang hidup dekat dengan host manusia (Cook &
Zumla, 2008).
Beberapa metode pengendalian vektor telah banyak diketahui di tingkat
pusat dan daerah yaitu: 1. Manajemen lingkungan 2. Pengendalian
biologis (pemanfaatan agen biologi, predator dan bakteri) 3.
3
Pengendalian kimiawi 4. Partisipasi masyarakat (contoh: 3M plus atau
PSN) 5. Perlindungan individu (contoh: repellent) 6. Peraturan
perundangan (Sukowati, 2010).
Untuk pengendalian kimiawi, merupakan pengendalian yang masih
paling populer baik bagi program pengendalian DBD dan masyarakat.
Namun, penggunaan insektisida dalam pengendalian vektor DBD
bagaikan pisau bermata dua, artinya bisa menguntungkan sekaligus
merugikan. Insektisida kalau digunakan secara tepat sasaran, tepat dosis,
tepat waktu, dan cakupan akan mampu mengendalikan vektor dan
mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan dan organisme yang
bukan sasaran. Tapi , penggunaan dalam jangka waktu tertentu akan
menimbulkan resistensi vektor (Sukowati, 2010).
Insektisida kimia juga bisa menimbulkan gangguan pada kesehatan
manusia. Contohnya adalah golongan organophosphor (contoh:
malathion, abate) yang umumnya mempunyai kemampuan residual yang
tidak panjang sehingga harus sering diulang penggunaannya.
Penggunaan insektisida ini apabila melebihi dosis, bisa menimbulkan
gejala keracunan (Soedarto, 1989).
Sedangkan untuk fogging atau pengasapan yang biasanya dilakukan
setelah pada stadium tertentu dan ada bukti terjangkitnya DBD pada suatu
wilayah, juga mempunyai beberapa dampak negatif. Antara lain : nyamuk
yang mati hanya nyamuk dewasa, mencemari lingkungan dengan
pestisida yang akhirnya juga mencemari manusia, mahal dan hasilnya
tidak begitu signifikan. Bahan yang digunakan terdiri dari pestisida dan
solar. Dengan pestisida, manusia dapat terganggu kesehatannya karena
dapat masuk ke dalam tubuh melalui kulit dan ini merupakan kasus yang
banyak ditemukan, selain itu bisa juga masuk melalui saluran pernafasan
dan juga mulut (Sukamto, 2011).
Karena adanya efek negatif dari insektisida kimia ini, maka perlu
dilakukan upaya penggunaan bahan alami yang dampaknya terhadap
lingkungan dan kesehatan lebih sedikit. Oleh Karena itu, banyak penelitian
4
yang telah dilakukan untuk mengetahui efek dari bahan alami tertentu
sebagai insektisida alami.
Pada penelitian ini, yaitu untuk mencegah peyakit demam berdarah
dengan upaya pengendalian vektor, dikhususkan pada nyamuk Aedes
aegypti yang merupakan vektor utama. Untuk stadiumnya, digunakan
larva Aedes aegypti instar III. Sedangkan bahan alami yang digunakan
adalah Lidah buaya (Aloe vera) yang masuk dalam famili Liliaceae.
Kandungan kimia dalam lidah buaya (Aloe vera) yang berfungsi
sebagai larvasida adalah saponin. Efek saponin sebagai larvasida diduga
karena senyawa ini bekerja sebagai racun pernafasan dan sedikit racun
perut. Apabila saponin masuk ke dalam tubuh larva maka alat pencernaan
akan terganggu dengan menghambat reseptor perasa pada daerah mulut
larva. Hal ini menyebabkan larva gagal mendapat stimulus rasa sehingga
tidak mampu mengenali makanannya. Selain itu, senyawa saponin juga
mempengaruhi sistem saraf (Zanaria et al., 2012).
Interaksi saponin dengan membran kutikula yang menyebabkan
perubahan susunan membran karena adanya ikatan saponin dengan
membran juga bisa menjadi alasan kematian dari larva. Selain itu,
kurangnya oksigen yang terlarut dalam air karena adanya saponin juga
tidak bisa diabaikan (Chapagain & Wiesman, 2005).
5
1.3Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan umum
Untuk meneliti ada tidaknya pengaruh pemberian supernatan jus daun
lidah buaya (Aloe vera) sebagai larvasida terhadap larva nyamuk Aedes
aegypti.
1.3.2 Tujuan khusus
Untuk mengetahui pengaruh dari berbagai konsentrasi supernatan jus
daun lidah buaya (Aloe vera) sebagai larvasida terhadap larva nyamuk
Aedes aegypti.
6
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
7
dewasa yang baru terbentuk, muncul dari air setelah merusak kulit pupa
(CDC, 2012).
TELUR
2-7 hari
LARVA
>4hari
PUPA
2 hari
DEWASA
Gambar 2.2 Siklus hidup nyamuk Aedes aegypti
(Sumber: Anonymous, 2013)
8
2.1.3 Morfologi
Karena adanya metamorfosis yang telah di jelaskan di atas, maka
morfologi dari nyamuk Aedes aegypti ini mengalami perubahan bentuk
dan fungsinya sesuai dengan stadiumnya.
9
2.1.3.2 Stadium larva
Larva Aedes aegypti memiliki mulut tipe pengunyah dan memiliki bulu
yang simetris. Perutnya tersusun dari 8 ruas dan pada ruas yang ke-8,
terdapat alat untuk bernafas yang disebut corong pernafasan (siphon).
Corong pernafasan tanpa duri-duri, berwarna hitam dan ada seberkas
bulu-bulu (tulf). Ruas ke-8 juga dilengkapi dengan seberkas bulu-bulu
sikat (brush) di bagian ventral dan gigi sisir (comb). Gigi-gigi sisir
membentuk lekukan seperti gerigi (Simanjuntak, 2011).
Tubuh larva Aedes berbentuk lasing dan bergerak lincah serta bersifat
fototaktis negatif dengan memperlihatkan gerakan naik ke permukaan air
dan turun ke dasar secara berulang-ulang. Pada saat larva mengambil
oksigen dari udara, larva menempatkan sifonnya di permukaan air
sehingga abdomennya terlihat menggantung pada permukaan air dalam
posisi membentuk sudut dengan permukaan air (Ulie, 2010). Sedangkan
pada saat mengambil makanan, larva turun ke dasar wadah sehingga
disebut pemakan makanan di dasar (bottom feeder). Makanannya terdiri
dari mikroorganisme, detritus, alga, protista, daun, dan invertebrata hidup
dan mati (Barry, dikutip dalam Valasyifa, 2011).
Pada stadium larva, terdapat 4 stadium yang disebut dengan instar
yang memerlukan waktu 5-10 hari untuk berkembang (beberapa
mengatakan 5 – 7 hari) (Maricopa, 2006).
10
Perbedaan morfologi masing-masing instar tersebut adalah sebagai
berikut:
1. Larva instar I berukuran paling kecil (1–2mm) atau 1-2 hari setelah
menetas. Ciri: corong pernafasan pada siphon belum jelas.
2. Larva instar II berukuran 2,5 – 3,5 mm atau 2 – 3 hari setelah menetas.
Duri-duri (spinae) pada dada belum jelas, corong kepala mulai
menghitam.
3. Larva instar III berukuran 4 – 5 mm atau 3 – 4 hari setelah menetas.
Duri pada dada mulai jelas dan corong pernafasan berwarna coklat
kehitaman.
4. Larva instar IV berukuran paling besar (5 – 6mm) atau 4 – 6 hari
setelah menetas, dengan warna kepala gelap (Wahyuni, 2005).
11
hari, maka kulit pupa akan pecah dan nyamuk dewasa akan keluar dan
terbang (Sembel, 2009).
12
sedangkan di laboratorium mencapai umur 2 bulan. Aedes aegypti mampu
terbang sejauh 2 km, walaupun umumnya jarak terbangnya adalah
pendek yaitu kurang lebih 40 meter (Tjokronegoro & Utama, 2004).
Tempat perindukan utama adalah tempat yang berisi air jernih yang
letaknya dekat dengan rumah penduduk, biasanya tidak lebih dari 500
meter. Seekor nyamuk betina dapat meletakkan rata-rata sebanyak 100
butir telur tiap kali bertelur (Tjokronegoro & Utama, 2004).
2.1.5.2 Etiologi
Virus dengue merupakan arboviral terpenting yang menyebabkan
penyakit dan kematian pada manusia (Zuckerman, 2001). Virus ini
merupakan anggota dari genus Flavivirus dalam famili Flaviviridae yang
merupakan single-stranded enveloped RNA virus yang diameternya 30
nm dan dapat tumbuh pada berbagai macam nyamuk dan kultur jaringan
(Cook & Zumla, 2008).
Virus ini mempunyai 4 serotype yang berbeda tetapi mempunyai
hubungan yang dekat (DENV 1 – 4) (Cook & Zumla, 2008). Infeksi
menyebabkan proteksi seumur hidup terhadap serotype tersebut, tapi
cross-protection antar serotype hanya dalam durasi yang singkat (Jawetz
et al, 2007). Durasi proteksi pada serotype yang berbeda tersebut berkisar
13
antara 2 – 12 bulan (Cook & Zumla, 2008). Oleh karena itu, seorang
individu dapat mengalami dengue setelah infeksi dari serotype yang
berbeda dan infeksi serotype yang kedua menyebabkan individu tersebut
beresiko mengalami hemorrhagic fever (Jawetz et al, 2007).
2.1.5.3 Transmisi
Virus dengue ditransmisikan dari manusia ke manusia oleh gigitan
nyamuk Aedes aegypti yang merupakan vektor nyamuk yang paling efektif
karena habitat domestiknya. Nyamuk betina menggigit manusia selama
siang hari. Setelah menggigit orang yang darahnya mengandung virus,
Aedes aegypti betina dapat mentransmisikan dengue ke orang lain. sekali
terinfeksi host nyamuk akan tetap infektif selama hidupnya (30 – 45 hari)
(Cook & Zumla, 2008).
Nyamuk Aedes lain yang dapat mentransmisikan dengue antara lain
Aedes albopictus, Aedes polynesiensis, dan beberapa Scutellaris complex
(Cook & Zumla, 2008).
2.1.5.4 Epidemiologi
Sebagian besar daerah tropis dan subtropis dimana terdapat vektor
Aedes, merupakan area yang endemik (Jawetz et al, 2007). Pada daerah
endemik tersebut, biasanya kasus banyak terjadi pada musim di mana
populasi nyamuk Aedes tinggi, yaitu pada musim hujan yang merupakan
musim yang optimal untuk perkembangbiakannya (CDC, 2012).
Epidemik dengue membutuhkan perpaduan antara nyamuk dalam
jumlah yang besar, orang yang tidak mempunyai imunitas terhadap satu
dari 4 tipe virus (DENV 1 – 4) yang juga dalam jumlah yang besar, serta
kesempatan kontak antara keduanya (CDC, 2012).
Peningkatan dan penyebaran kasus DBD kemungkinan disebabkan
oleh mobilitas penduduk yang tinggi, perkembangan wilayah perkotaan,
perubahan iklim, perubahan kepadatan dan distribusi penduduk serta
faktor epidemiologi lainnya yang masih memerlukan penelitian lebih lanjut
14
(Pusat Data dan Surveilans Epidemiologi Kementrian Kesehatan RI,
2010).
2.1.5.5 Patologi
DBD akan terjadi jika seseorang yang pernah mendapat infeksi dengue
tipe tertentu mendapat infeksi ulangan untuk kedua kalinya atau lebih
dengan virus dengue tipe lainnya dalam jangka waktu tertentu (Soedarto,
1990).
Pada DBD, kerusakan umum dari sistem vaskuler menyebabkan
peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah terhadap protein
plasma. Pengaktifan system komplemen diduga menjadi penyebab
kerusakan dinding kapiler. Hipofibrinogenemia juga berpengaruh atas
derajad beratnya penyakit. Rejatan yang terjadi disebabkan oleh
hipovolemi yang dapat mencapai lebih dari 20%. Akibat rejatan, akan
timbul anoksia jarinan, asidosis metabolik dan akan diakhiri dengan
kematian penderita (Soedarto, 1990).
Perdarahan pada DBD disebabkan trombositopeni hebat, gangguan
fungsi trombosit dan defisiensi faktor I, II, V, VII, IX dan faktor X(Soedarto,
1990).
15
Hal ini sering terjadi pada anak yang sebelumnya pernah terinfeksi
genotype yang lain. Sedangkan dengue shock syndrome merupakan DBD
ditambah dengan adanya penyempitan pulse pressure, hipotensi, dan
shock yang sering dihubungkan dengan case fatality rate yang lebih dari
40% (Steffen et al, 2003).
2.1.5.7 Diagnosa
Diagnosa DBD bisa dibuat berdasarkan kriteria klinis dan kriteria
laboratoris. Kriteria-kriteria tersebut adalah sebagai berikut:
2.1.5.7.1 Kriteria klinis
1. Demam tinggi mendadak tanpa sebab yang jelas dan berlangsung
secara terus menerus selama 2-7 hari.
2. Terdapat manifestasi perdarahan (petekia, purpura, ekimosis,
perdarahan gusi, hematemesis atau melena.
3. Pembesaran hati.
4. Shock.
2.1.5.7.2 Kriteria laboratoris
1. tombositopenia (<100.000/mm3)
2. hemokonsentrasi (hematokrit meningkat >20%)
Pasien dinyatakan menderita deman berdarah dengue apabila terdapat
minimal 2 gejala klinis yang positif dan 1 hasil laboratoris yang positif. Bila
gejala dan tanda tersebut kurang dari ketentuan di atas, maka pasien
dinyatakan menderita demam dengue (Widoyono, 2008).
2.1.5.8 Pengobatan
Bagian terpenting dari pengobatan dengue adalah terapi suportif.
Untuk demam dengue : tirah baring, kompres demam,parasetamol
(hindari aspirin karena resiko perdarahan). Sedangkan untuk DBD atau
DSS, terapi penunjang intensif berperan penting (Mandal et al., 2008).
16
2.1.6 Usaha Pengendalian Aedes aegypti
Metode pengendalian vektor (Aedes aegypti) yang digunakan pada
progam pengendalian DBD tingkat pusat dan daerah yaitu (Sukowati,
2010):
1. Manajemen lingkungan
Untuk mengurangi bahkan menghilangkan habitat perkembangbiakan
nyamuk vektor sehingga akan mengurangi kepadatan populasi.
2. Pengendalian biologis
Dengan menggunakan agen biologi untuk pengendalian nyamuk Aedes
aegypti. Beberapa yang digunakan adalah dari kelompok bakteri,
predator pemakan jentik seperti ikan pemakan jentik dan cyclop.
3. Pengendalian kimiawi (insektisida)
Penggunaan insektisida ini bisa menguntungkan sekaligus merugikan.
Insektisida harus digunakan secara tepat sasaran, tepat dosis, tepat
waktu dan tepat cakupan sehingga mampu mengendalikan vektor dan
mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan dan organisme yang
bukan sasaran. Penggunaan insektisida jangka tetentu dapat
menimbulkan resistensi vektor.
4. Partisipasi masyarakat
Partisipasi masyarakat merupakan proses panjang dan memerlukan
ketekunan. kesabaran dan upaya dalam memberikan pemahaman
motivasi kepada individu, kelompok dan masyarakat, bahkan pejabat
yang berkesinambungan.
Program yang melibatkan masyarakat adalah mengajak masyarakat
mau dan mampu melakukan 3M (menguras, menutup dan mengubur)
dan PSN di lingkungan mereka.
5. Perlindungan individu
Dilakukan secara individu dengan menggunakan repellent, pakaian
yang mengurangi gigitan nyamuk (baju lengan panjang dan celana
panjang), memasang kelambu pada waktu tidur dan kasa anti nyamuk.
6. Peraturan perundangan
17
2.2 Lidah Buaya (Aloe vera)
2.2.1 Sekilas tentang lidah buaya (Aloe vera)
Untuk pertama kalinya, tanaman lidah buaya diberi nama Aloe vera
oleh Carl Von Linne pada tahun 1720. Aloe vera atau lidah buaya adalah
varietas tanaman lidah buaya dari kelas Aloe yang sudah melegenda
dalam dunia pengobatan. Kata vera, yang berarti ‘benar’ dalam bahasa
latin, adalah nama yang dipersembahkan khusus kepada varietas lidah
buaya untuk membedakan karakteristik instimewa lidah buaya sebagai
tanaman obat dari varietas Aloe yang lain (Rosita, 2008).
Selain manfaatnya yang besar dalam dunia pengobatan, lidah buaya
juga menunjukka efek larvasida pada larva Anopheles gambie dan Aedes
aegypti (Matasyoh et al, 2008 ; Subramaniam et al., 2012).
Tanaman lidah buaya ini memiliki ratusan spesies. Tapi, hanya tiga
jenis lidah buaya yang dibudidayakan secara komersial di dunia, yakni
Curaco Aloe atau Aloe vera (Aloe Barbadensis Miller), Cape Aloe atau
Aloe Ferox Miller, dan Socotrine Aloe yang salah satunya adalah Aloe
Perryi Baker. Adapun yang ditanam di Indonesia adalah jenis Barbadensis
yang memiliki sinonim Aloe vera linn (Hartawan, 2012).
2.2.2 Taksonomi
Taksonomi lidah buaya (Aloe vera) adalah sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Divisi : Angiospermae
Kelas : Monocotyledoneae
Ordo : Liliales
Family : Liliaceae
Genus : Aloe
Spesies : Aloe vera (Hartawan, 2012)
18
Gambar 2.7Aloe vera
(Sumber: Anonymous, 2012)
2.2.3 Morfologi
Morfologi lidah buaya (Aloe vera) yang terdiri dari batang, daun, bunga
dan akar adalah sebagai berikut:
2.2.3.1 Batang
Tanaman lidah buaya mempunyai batang yang berserat dan berkayu
(Hartawan, 2012). Batangnya pendek dan tidak kelihatan karena tertutup
oleh daun-daun yang rapat, sehingga terbenam dalam tanah. Melalui
batang ini, muncul tunas-tunas yang selanjutnya menjadikan anakan
(Wijoyo, 2009). Beberapa spesies lidah buaya ada yang berbentuk pohon
dengan ketinggian 3-5 m. Spesies semacan ini dapat dijumpai di gurun-
gurun di Afrika Utara dan Amerika (Hartawan, 2012).
2.2.3.2 Daun
Daun lidah buaya berdaging tebal, panjang dan mengecil ke ujung.
Bentuknya agak mirip dengan lidah buaya. Apabila daun dibelah, terlihat
daging berwarna hijau, dingin, dan banyak mengandung lendir. Panjang
daun sekitar 15-37 cm, sedangkan lebarnya 2-6 cm. Daun berwarna hijau
segar dengan bintik garis putih kecil-kecil yang jelas saat daun masih
muda (Muhlisah, 2008). Permukaan daun dilapisi lilin dengan duri lemas di
pinggirnya. Panjang helaian daun bisa mencapai 50-75 cm, dengan berat
0,5-1 kg. Daun melingkar rapat di sekeliling batang sersaf-saf, bersifat
19
sekulen (banyak mengandung air) sehingga lidah buaya tahan terhadap
kekeringan (Wijoyo, 2009).
2.2.3.3 Bunga
Bunga lidah buaya berbentuk terompet atau tabung kecil sepanjang 2-3
cm. Bunga ini berwarna kuning sampai oranye dan tersusun sedikit
berjuntai melingkari ujung tangkai menjulang ke atas sepanjang sekitar
50-100 cm (Hartawan, 2012).
2.2.3.4 Akar
Lidah buaya mempunyai sistem perakaran yang sangat pendek dengan
akar serabut yang panjangnya bisa mencapai 30-40 cm (Hartawan, 2012).
Bagian yang dapat dipakai untuk obat adalah daun, bunga,akar,
pemakaian segar (Wijoyo, 2009).
20
2012). Interaksi saponin dengan membran kutikula yang
menyebabkan perubahan susunan membran karena adanya ikatan
saponin dengan membran juga bisa menjadi alasan kematian dari
larva. Kurangnya oksigen yang terlarut dalam air karena adanya
saponin juga tidak bisa diabaikan (Chapagain & Wiesman, 2005).
3) Compleks Anthraguinone : sebagai bahan laksatif, penghilang rasa
sakit, mengurangi racun, dan antibakteri (Hartawan, 2012).
4) Antibiotik Acemannan : sebagai anti-virus, anti bakteri, anti jamur,
dapat menghancurkan sel tumor, serta meningkatkan daya tahan
tubuh (Hartawan, 2012).
5) Enzim Bradykinase, Karboksipeptidase : mengurangi inflamasi,
antialergi, dan dapat mengurangi rasa sakit (Hartawan, 2012).
6) Glukomannan, Mukopolisakarida : memberikan efek imunomodulasi
(Hartawan, 2012).
7) Tennin, Aloctin A : sebagai anti-inflamasi (Hartawan, 2012).
8) Salisilat : menghilangkan rasa sakit dan anti–inflamasi (Hartawan,
2012).
9) Asam Amino : bahan untuk pertumbuhan dan perbaikan serta
sebagai sumber energi. Aloe vera menyediakan 20-22 asam amino
yang dibutuhkan oleh tubuh (Hartawan, 2012).
10) Mineral : Kalsium, Magnesium, Potasium, Sodium, Manganese,
Cooper, Chloride, Iron, Zinc, dan Chromium. Mineral ini memberikan
ketahanan tubuh terhadap penyakit dan berinteraksi dengan vitamin
untuk melancarkan fungsi (Hartawan, 2012).
11) Vitamin A, B1, B2, B6, B12, C, Asam folat : merupakan bahan
penting untuk menjalankan fungsi tubuh secara normal dan sehat
(Hartawan, 2012).
2.2.5 Manfaat
Lidah buaya ini memiliki kandungan sekitar 75 zat bermanfaat dan lebih
dari 200 senyawa yang dapat digunakan dalam pengobatan herbal
(hartawan, 2012). Manfaat dalam bidang kesehatan tersebut antara lain:
21
1) Detoksifikasi
Vitamin dan mineral yeng terkandung dalam lidah buaya dapat
membantu tubuh menghadapi ketegangan setiap hari karena paparan
polusi dan makanan cepat saji (Hartawan, 2012).
2) Gangguan pencernaan
Lidah buaya dapat mengatasi refluks asam dan menenangkan
esofagus. Tanaman lidah buaya juga mengandung Aloe latex yang
dapat menghasilkan antrakuinon glikosidesaloin A dan B. zat tersebut
memiliki manfaat sebagai obat pencahar yang kuat dan membantu
gerakan usus dalam mencerna makanan (Hartawan, 2012).
3) Masalah gigi
Gel lidah buaya dapat digunakan pada gusi yang sakit dan berdarah.
Tujuannya adalah mengurangi peradangan, nyeri dan mempercepat
proses penyembuhan. Juga dapat mengatasi kerusakan gigi dan
mengurangi flak (Hartawan, 2012).
4) Diabetes mellitus (Hartawan, 2012).
5) Luka
Lidah buaya efektif dalam membantu menyembuhan luka dan
mengatasi iritasi kulit. Ini karena sifatnya yang menyejukkan,
menyegarkan, dan meredakan peradangan pada kulit (Hartawan,
2012).
6) Membangun kekebalan
Polisakarida pada jus lidah buaya merangsang makrofag sel darah
putih untuk melawan virus (Hartawan, 2012).
7) Mengurangi peradangan
Jus lidah buaya dapat meningkatkan kelenturan sendi dan membantu
dalam regenerasi sel-sel tubuh. Ia juga dapat meningkatkan
metabolisme tubuh dan mencegah penyakit degenertif (Hartawan,
2012).
8) Penunjang nutrisi
Lidah buaya memiliki tingkat kadar karbohidrat, lemak, air, serta
vitamin dan mineral yang baik (Hartawan, 2012).
22
9) Anti bakteri
Senyawa tumbuban Aloe vera yang spesifik seperti anthraquinones
dan dihydroaxyanthraquinines bersama dengan saponin, mempunyai
aktivitas antimikroba yang langsung. Aktivitas bakterial dari Aloe vera
dapat dilihat pada Staphylococcus pyogenes, Pseudomonas
aeruginosa, Escherechia coli, Shigella flexneri, dll (Arunkumar &
Muthuselvam, 2009).
10) Anti fungal (Arunkumar & Muthuselvam, 2009).
11) Larvacidal
Dari penelitian, lidah buaya menunjukkan efek larvasida pada larva
Anopheles gambie (Matasyoh et al, 2008). Selain itu, ekstrak lidah
buaya juga mempunyai efek lavasida pada nyamuk Aedes aegypti
(Subramaniam et al., 2012).
23
BAB 3
KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS
Demam Berdarah
Jumlah
kasus tinggi
Masalah kesehatan utama di Indonesia dan sering
terjadi KLB
Pencegahan
Salah satunya
Bahan kimia Larvasida Bahan alami
24
Keterangan :
: Diteliti
: Tidak diteliti
HIPOTESIS
Ho : Supernatan jus daun lidah buaya (Aloe vera) tidak mempunyai
pengaruh sebagai larvasida terhadap larva nyamuk Aedes aegypti
H1 : Supernatan jus daun lidah buaya (Aloe vera) mempunyai
pengaruh sebagai larvasida terhadap larva nyamuk Aedes aegypti
25
BAB 4
METODE PENELITIAN
4.2.1 Populasi
Pupulasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah larva nyamuk
Aedes aegypti yang berumur 3-4 hari (instar III) (Hayati, 2008). Larva yang
digunakan adalah larva yang dikembangkan di ITD (Institute of Tropical
Disease) Universitas Airlangga.
Keterangan :
t = Jumlah kelompok perlakuan
r = Jumlah replikasi atau pengulangan
26
( t – 1 ) ( r – 1 ) ≥ 15
( 6 – 1 ) ( r – 1 ) ≥ 15
5 ( r – 1 ) ≥ 15
5r – 5 ≥ 15
5r ≥ 15 + 5
20
r≥ 5
r≥4
Dari hasil perhitungan di atas, didapatkan jumlah replikasi adalah
sebanyak 4 kali.
Jadi, jumlah total larva yang digunakan dalam penelitian ini adalah (20
larva × 6 kelompok coba × 4 kali pengulangan) + (20 larva × 2 (1 kontrol
positif dan 1 kontrol negatif) = 520 larva Aedes aegypti.
27
4.3 Variabel Penelitian
4.3.1 Klasifikasi variabel
1. Variabel bebas
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah konsentrasi supernatan
jus daun lidah buaya (Aloe vera) yang terbagi dalam serial dosis
konsentrasi.
2. Variabel tergantung
Variabel tergantung dalam penelitian ini adalah jumlah kematian
larva Aedes aegypti.
3. Variabel kontrol
Variabel kontrol dalam penelitian ini meliputi air aquadest sebagai
perlarut supernatanjusdaun lidah buaya (Aloe vera), dan suhu
ruangan penelitian.
28
4.4 Bahan dan Alat Penelitian
4.4.1 Bahan penelitian
4.4.1.1 Larva Aedes aegypti
Larva yang digunakan dalam penelitian ini adalah larva Aedes aegypti
yang berumur 3 – 5 hari (instar III) (Hayati, 2008). Larva yang digunakan
tersebut adalah larva yang dikembangkan di ITD Universitas Airlangga.
4.4.1. 2 Supernatan jus daun lidah buaya (Aloe vera)
Supernatan jus daun lidah buaya (Aloe vera) dibuat dengan cara
sebagai berikut :
A. Bahan
Daun lidah buaya (Aloe vera)
B. Alat
1. Alat penggerus / blender 7. Timbangan
2. Alat untuk sentrifugasi 8. Wadah (baskom kecil)
3. Gelas ukur 9. Label
4. pipet 10. Pensil
5. Pisau 11. Botol untuk menyinpan air
6. Tatakan untuk memotong perasan
C. Cara pembuatan
1. Daun lidah buaya (Aloe vera) dicuci sampai bersih kemudian gel
bagian tengan daun sebagian dibuang untuk mengurangi kadar air.
2. Hasil dari daun lidah buaya (Aloe vera) yang sudah dibuang sedikit
bagian tengah (gel) tersebut kemudian ditimbang sampai mencapai
2000 gram lalu diblender tanpa menambahkan aquadest.
3. Hasil pemblenderan tersebut disentrifugasi dan diambil
supernatannya.
4. Supernatan yang diperoleh dari sentrifugasi tersebut dianggap 100%.
5. Larutan yang digunakan pada masing-masing konsentrasi perlakuan
adalah 25ml yang merupakan modifikasi dari penelitian Pradana, 2011
yang menggunakan 100ml larutan. Hal ini disebabkan karena
pertimbangan sedikitnya jumlah supernatan yang dihasilkan.
29
Pembuatan larutan dengan konsentrasi 50%, 60%, 70%, 80%, 90%,
dan 100% adalah sebagai berikut :
a) Larutan konsentrasi 50% berasal dari 12,5 ml supernatan jus lidah
buaya (Aloe vera) konsentrasi 100% + aquadest 12,5 ml.
b) Larutan konsentrasi 60% berasal dari 15 ml supernatan jus lidah
buaya (Aloe vera) konsentrasi 100% + aquadest 10 ml.
c) Larutan konsentrasi 70% berasal dari 17,5 ml supernatan jus lidah
buaya (Aloe vera) konsentrasi 100% + aquadest 7,5 ml.
d) Larutan konsentrasi 80% berasal dari 20 ml supernatan jus lidah
buaya (Aloe vera) konsentrasi 100% + aquadest 5 ml.
e) Larutan konsentrasi 90% berasal dari 22,5 ml supernatant jus lidah
buaya (Aloe vera) konsentrasi 100% + aquadest 2,5 ml.
f) Larutan konsentrasi 100% berasal dari 25 ml supernatant jus lidah
buaya (Aloe vera) konsentrasi 100%.
4.4.1.3 Larutan kontrol negatif
Larutan kontrol negatif yang digunakan adalah aquadest.
4.4.1.4 Larutan kontrol positif
Larutan kontrol positif yang dugunakan adalah abate (mengandung
Temofos 1%) yang dicampur dengan aquadest steril.
30
kompleks RSAL Jl. Gadung no 1, Surabaya, Perpustakaan Fakultas
Kedokteran Universitas Airlangga, Perpustakaan Daerah Kota surabaya
dan internet. Sedangkan uji potensi dilakukan di Laboratorium Entomologi
ITD Universitas Airlangga Surabaya.
31
b) Kolompok B : Wadah berisi abate (mengandung Temofos 1%) yang
dicampur dengan aquadest steril. Kelompok ini disebut kontrol
positif.
c) Kelompok C : Wadah berisi 25ml larutan supernatan jus daun lidah
buaya (Aloe vera) konsentrasi 50%.
d) Kelompok D : Wadah berisi 25ml larutan supernatan jus daun lidah
buaya (Aloe vera) konsentrasi 60%.
e) Kelompok E : Wadah berisi 25ml larutan supernatan jus daun lidah
buaya (Aloe vera) konsentrasi 70%.
f) Kelompok F : Wadah berisi 25ml larutan supernatan jus daun lidah
buaya (Aloe vera) konsentrasi 80%.
g) Kelompok G: Wadah berisi 25ml larutan supernatan jusdaun lidah
buaya (Aloe vera) konsentrasi 90%.
h) Kelompok H : Wadah berisi 25ml supernatan jus daun lidah buaya
(Aloe vera) konsentrasi 100%.
Dalam penelitian ini, supernatan jus daun lidah buaya (Aloe vera)
dalam setiap wadah tidak diganti selama percobaan (Pradana 2011).
Setiap kelompok percobaan mengalami pengulangan sebanyak 4 kali.
4.6.3 Pemindahan larva ke wadah yang berisi supernatan jus daun lidah
buaya (Aloe vera)
1. Dengan menggunakan pipet, ambil 20 larva dari nampan plastik
dan dipindahkan ke masing-masing wadah larva.
2. Setelah semua larva dipindahkan, larva kemudian di tuang ke
wadah yang sudah berisi larutan supernatan jus daun lidah buaya
(Aloe vera) yang sudah di bagi menjadi kelompok A-H .
32
Jika 10% dari larva uji dan larva kontrol telah berubah menjadi pupa,
pengujian harus diulang karena kondisi ini menggambarkan larva berada
pada kondisi tidak makan. Pengujian juga harus diulang jika kematian
larva uji pada kelomok kontrol lebih dari 20%.Mortalitas larva uji harus
dikoreksi dengan formula Abott jika ada kematian pada kelompok kontrol
sebesar 5-20% (WHO, 2005).
Formula Abott (WHO, 2005)
𝑋−𝑌
Mortalitas (%) = × 100
𝑋
Keterangan :
X = Persentasi larva hidup pada kontrol negatif
Y= Presentasi larva hidup pada perlakuan
33
4.8.2 Cara Analisis Data
Secara deskriptif, data dinyatakan dalam bentuk tabel, persentase, dan
grafik. Sedangkan secara analitik, menggunakan uji statistik sebagai
berikut :
1. Uji Anova (Analysis of Variance)
Uji anova ini berfungsi untuk melihat perbedaan larva yang masih hidup
karena sepernatan jus daun lidah buaya (Aloe vera) dengan berbagai
konsentrasi.
Metode One-way Anova dapat dilakukan apabila data memenuhi syarat
sebagai berikut (Analisisdata, 2013):
a. Sampel berasal dari kelompok yang independen.
b. Distribusi data harus normal, yang dapat diketahui dari uji normalitas
(Kolmogorov-Smirnov). Jika nilai signifikansi< 0.05 maka sebaran
data tidak normal. Dan jika nilai signifikansi> 0.05 maka sebaran
data normal (Assyiehab, 2012a).
c. Varians data harus sama atau homogen, yang dapat diketahui dari
uji homogenitas (Levene Statistic) yang digunakan untuk melihat
apakah data homogen atau tidak. Jika nilai signifikansi > 0.05 maka
data adalah homogen (Assyiehab, 2012b).
Jika memenuhi syarat tersebut, maka dipilih uji one way ANOVA.Jika
tidak, maka diupayakan untuk melakukan transformasi data supaya
distribusi menjadi normal dan varians menjadi sama. Namun, Jika
variable hasil transformasi tidak berdistribusi normal atau varians tetap
tidak sama, maka alternatifnya dipilih uji Kruskal-Wallis (Analisisdata,
2013).
34
3. Uji Mann-Whitney (U test)
Uji Mann-Whiney digunakan untuk mengetahui kelompok mana yang
mempunyai perbedaan apabila hasil uji Kruskal-Wallis menyatakan ada
perbedaan (minimal sepasang). Dasar pengambilan keputusan dengan
membandingkan nilai sinifikansi. Jika nilai signifikansi > 0,05 maka Ho
diterima (Ariyoso, 2010).
35
4.9 Alur Penelitian
Pengolahan dan
analisa data
36
4. Kelompok D : supernatan jus daun lidah buaya (Aloe vera)
konsentrasi 60%.
5. Kelompok E : supernatan jus daun lidah buaya (Aloe vera)
konsentrasi 70%.
6. Kelompok F : supernatan jus daun lidah buaya (Aloe vera)
konsentrasi 80%.
7. Kelompok G : supernatan jus daun lidah buaya (Aloe vera)
konsentrasi 90%.
8. Kelompok H : supernatan jus daun lidah buaya (Aloe vera)
konsentrasi 100%.
37
BAB 5
HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS HASIL PENELITIAN
38
Tabel 5.1 Jumlah larva Aedes aegypti mati dan hidup
Konsent R1 R2 R3 R4 Rata-rata
No
rasi (%) M H M H M H M H M H
1 50 2 18 4 16 2 18 2 18 2,5 17,5
2 60 3 17 4 16 3 17 5 15 3,75 16,25
3 70 13 7 8 12 11 9 12 8 11 9
4 80 18 2 18 2 18 2 19 1 18,25 1,75
5 90 20 0 20 0 20 0 20 0 20 0
6 100 20 0 20 0 20 0 20 0 20 0
Keterangan :
Konsentrasi = konsentrasi supernatant jus daun lidah buaya (Aloe vera)
R1 = Replikasi 1
R2 = Replikasi 2
R3 = Replikasi 3
R4 = Replikasi 4
M = Jumlah larva mati
H = Jumlah larva hidup
% = Persentase jumlah larva Aedes aegypti yang hidup dan
mati
39
Persentase jumlah larva mati, dihitung dengan rumus:
𝐴
%= × 100 %
𝐶
Persentase jumlah larva hidup, dihitung dengan rumus:
𝐵
%= × 100 %
𝐶
Keterangan:
A = Jumlah larva mati
B = Jumlah larva hidup
C = Jumlah larva yang digunakan tiap perlakuan (20 ekor)
18
16
14
12
Replikasi 1
10
Replikasi 2
8
Replikasi 3
6
Replikasi 4
4
2
0
50% 60% 70% 80% 90% 100%
Konsentrasi Supernatan Jus Daun Lidah Buaya (Aloe vera)
Gambar 5.1 Grafik larva nyamuk Aedes aegypti yang masih hidup
setelah 24 jam perlakuan
40
5.2.1 One Way Anova
Analisis yang digunakan adalah One Way Anova yang berfungsi untuk
melihat perbedaan larva yang masih hidup karena pemberian supernatan
jus daun lidah buaya (Aloe vera). Tapi sebelumnya, harus dipastikan
terlebih dahulu bahwa data sudah memebuhi syarat penggunaan One
Way Anova.
Syarat dari penggunaan One Way Anova adalah sebagai berikut:
1. Sampel berasal dari kelompok yang independen
2. Data berdistribusi normal
3. Varians data homogen
Persyaratan no. 1 terpenuhi karena pengambilan sampel secara acak
terhadap beberapa (>2) kelompok yang independen yang mana nilai dari
satu kelompok tidak tergantung pada kelompok yang lain.
Untuk persyaratan no. 2 (data berdistribusi normal), dilakukan uji
Kolmogorov Smirnov yang berfungsi untuk melihat distribusi data.
Uji Kolmogorov Smirnov
Hipotesis dari uji Kolmogorov-Smirnov adalah :
Ho : Data berdistibusi normal
H1 : Data tidak berdistribusi normal
Untuk mengambil kesimpulan, digunakan nilai signifikansi. Ho ditolak
jika nilai signifikansi < α (5%).
Dari uji Kolmogorov-Smirnov, diperoleh bahwa nilai signifikansi 0,073.
Dan karena 0,073 > α (5%), maka dapat disimpulkan bahwa Ho diterima
dan data berdistribusi normal.
Untuk persyaratan no.3 (varian data homogen), dilakukan uji Levene
Statistic.
Levene Statistic
Hipotesis dari uji variasi (Levene Statistic) adalah:
Ho : Varians data homogen
H1 : Varians data heterogen
Untuk mengambil kesimpulan, digunakan nilai signifikansi. Ho ditolak
jika nilai signifikansi < α (5%).
41
Dari uji ini diperoleh bahwa nilai signifikansinya adalah 0,019. Dan
karena 0,019 < α (5%), maka dapat disimpulkan bahwa varians data
heterogen. Dan karena syarat One Way Anova no.3 adalah data harus
homogen, maka data pada penelitian ini tidak memenuhi syarat
penggunaan uji One Way Anova dan tidak dapat menggunakan uji
tersebut. Oleh karena itu, digunakan uji non parametik, yaitu Kruskal-
Wallis
5.2.2 Kruskal-Wallis
Tujuan dari uji ini adalah untuk menganalisa apakah ada perbedaan
rata-rata persentase kematian larva antara masing-masing konsentrasi
dengan melihat nilai signifikansinya.
Hipotesis dari uji Kruskal-Wallis adalah:
Ho : tidak ada perbedaan Jumlah Larva Hidup berdasarkan
konsentrasi sepernatan jus daun lidah buaya (Aloe vera)
H1 : Ada perbedaan (minimal sepasang) Jumlah Larva Hidup
berdasarkan konsentrasi sepernatan jus daun lidah buaya (Aloe vera)
Untuk mengambil kesimpulan, digunakan nilai signifikansi. Ho ditolak
jika nilai signifikansi < α (5%).
Dari uji ini diperoleh bahwa nilai signifikansinya adalah 0,000. Dan
karena 0,000 < α (5%) maka dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan
(minimal sepasang) Jumlah Larva Hidup berdasarkan konsentrasi
supernatan jus daun lidah buaya (Aloe vera).
Untuk mencari pasangan yang berbeda, digunakan uji Wilcoxon Mann-
Whitney.
42
5.2.3 Mann-Whitney
Pada metode ini, akan dilakukan perbandingan antara masing-maing
kelompok uji.
Tabel 5.7 Hasil uji mann-whitney
Konsentrasi 50% 60% 70% 80% 90%
50%
60% 0,099
70% 0,018 0,020
80% 0,015 0,017 0,018
90% 0,011 0,013 0,014 0,011
100% 0,011 0,013 0,014 0,011 1,000
43
5.2.4 One-Sample T-test
Uji T satu sampel ini digunakan untuk menentukan apakah sampel
memiliki nilai rata-rata yang berbeda dengan nilai rata-rata acuan. Berikut
ini adalah tabel hasil uji T satu sampel.
44
BAB 6
PEMBAHASAN
45
digunakan aquadest sebagai kontrol negatif dan larutan abate 1% sebagai
kontrol positif.
Alasan penggunaan metode sentrifugasi adalah biayanya lebih murah
dibandingkan dengan ekstraksi, caranya mudah dan tidak memerlukan
waktu yang lama. Selain itu, dengan metode sentrifugasi pemisahan sari
dengan ampas diperkirakan lebih sempurna karena berdasarkan berat
jenis partikel serta tidak dipengaruhi oleh kekuatan individu seperti yang
terjadi apabila pemisahan antara sari dengan ampasnya dilakukan dengan
metode perasan.
Sedangkan kerugiannya adalah hasil sentrifugasi yang keruh dan
berbau sehingga masih belum bisa diaplikasikan secara langsung oleh
masyarakat luas, hasil sentrifugasi yang tidak bisa bertahan lama, dan
masih belum bisa diketahui secara pasti senyawa aktif mana dan berapa
besar kandungan senyawa tersebut yang akhirnya menyebabkan
kematian larva. Selain itu metode ini memerlukan sentrifugase dan tenaga
terlatih yang bisa mengoperasikan alat tersebut.
Untuk larvanya, digunakan larva nyamuk Aedes aegypti instar III yang
dikembangkan di ITD (Institute of Tropical Disease) Universitas Airlangga.
Pemilihan instar menjadi bagian yang penting karena larva tersebut
merupakan objek penelitian. Pemilihan larva instar III dikarenakan larva
instar ini sudah lengkap terbentuk alat-alat organ tubuh dan telah relatif
stabil terhadap pengaruh lingkungan (Hayati, 2008). Selain itu, larva ini
ukurannya cukup besar sehingga mudah untuk identifikasi dan merupakan
sampel penelitian yang menjadi standar WHO (Sumilih et al., 2010).
Pada proses pengamatan, kriteria kematian larva nyamuk Aedes
aegypti yang digunakan mengikuti tanda-tanda kematian larva yang
diungkapkan oleh WHO (2005) antara lain sebagai berikut : 1. Larva tidak
bergerak sama sekali. 2. Mengapung di permukaan air dengan keadaan
memanjang. 3. Warna tubuh larva putih kuning pucat. 4. Kaku atau
inkoordinasi. 5. Sebagian kepala terlepas atau tubuhnya hancur.
Hasil pengamatan jumlah larva yang mati dan yang masih hidup
setelah 24 jam perlakuan dapat dilihat dalam tabel 5.1. Dari tabel tersebut
46
dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan efek larvasida pada
konsentrasi yang berbeda. Semakin tinggi konsentrasi, semakin banyak
larva yang mati dan semakin sedikit larva yang hidup. Hal ini
menunjukkan, semakin tinggi konsentrasi supernatan jus daun lidah buaya
(Aloe vera), semakin tinggi efek supernatan tersebut sebagai larvasida,
begitu pula sebaliknya.
Sedangkan untuk kontrol, tidak ditemukan larva yang mati pada kontrol
negatif. Hal ini menunjukkan kematian larva pada kelompok perlakuan
disebabkan oleh supernatan jus daun lidah buaya (Aloe vera).
Pada uji statistik, uji parametrik yang digunakan adalah One Way
Anova. Namun, karena syarat untuk penggunaan One Way Anova tidak
terpenuhi, maka dilakukan pengujian dengan menggunakan uji Kruskal-
Wallis.
Pada uji Kruskal-Wallis, diperoleh nilai yang menunjukkan terdapat
perbedaan jumlah larva hidup berdasarkan konsentrasi supernatan jus
daun lidah buaya (Aloe vera). Dan untuk mengetahui pasangan yang
berbeda, maka harus dilakukan uji analisa Mann-Whitney.
Pada uji Mann-Whitney, diperoleh hasil bahwa tidak ada perbedaan
efek larvasida yang signifikan antara perbandingan konsentrasi 50% dan
60% serta 90% dan 100%. Sedangkan untuk perbandingan konsentrasi
yang lain menunjukkan terjadi perbedaan efek larvasida dimana
konsentrasi yang lebih tinggi menyebabkan kematian larva yang lebih
banyak (efek larvasidanya lebih tinggi).
Kemudian, dilakukan uji T satu samel yang berfungsi untuk
menentukan apakah sampel memiliki nilai rata-rata yang berbeda dengan
nilai rata-rata acuan (kontrol negatif). Dari uji tersebut (tabel 5.8) dapat
disimpulkan bahwa pada semua konsentrasi, jumlah larva nyamuk Aedes
aegypti yang hidup tidak sama dengan nilai 20 (jumlah larva yang hidup
pada kontrol negatif). Hal ini menunjukkan bahwa semua konsentrasi
supernatan jus daun lidah buaya yang digunakan pada uji sesungguhnya
memiliki efek larvasida terhadap larva nyamuk Aedes aegypti.
47
Dalam penelitian ini, faktor-faktor yang mempengaruhi aktivitas larva
seperti suhu, pH lingkungan, jumlah larva telah dikontrol, hanya
konsentrasi supernatan jus daun lidah buaya (Aloe vera) saja yang
dimanipulasi.
48
BAB 7
KESIMPULAN DAN SARAN
7.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan analisa data yang dilakukan, maka
dapat ditarik beberapa kesimpulan. Antara lain:
1. Supernatan jus daun lidah buaya (Aloe vera) terbukti memiliki efek
larvasida terhadap larva nyamuk Aedes aegypti.
2. Semakin tinggi konsentrasi supernatan jus daun lidah buaya (Aloe
vera), semakin tinggi pula jumlah kematian larva Aedes aegypti
(semakin tinggi efek larvasidanya). Untuk konsentrasi supernatan jus
daun lidah buaya (Aloe vera) yang mampu membunuh 100% larva
Aedes aegypti adalah 90% dan 100%. Sedangkan untuk konsentrasi
yang lebih efektif adalah konsentrasi 90% karena dengan jumlah
supernatan yang lebih sedikit dibandingkan konsentrasi 100%,
konsentrasi 90% sudah mampu membunuh 100% larva.
7.2 Saran
1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang kandungan zat aktif
dalam daun ludah buaya (Aloe vera) yang dapat berperan sebagai
larvasida beserta persentasenya.
2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang efek larvasida daun
lidah buaya (Aloe vera) dalam bentuk sediaan lain, misalnya infusa.
3. Perlu dilakukan penelitian mengenai efektivitas daun lidah buaya
(Aloe vera) sebagai larvasida terhadap larva nyamuk lain yang
merupakan vektor penyakit.
4. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai berapa lama
supernatan jus daun lidah buaya (Aloe vera) masih berpotenasi
sebagai larvasida yang efektif.
5. Perlu penelitian lebih lanjut tentang cara pemrosesan lidah buaya
(Aloe vera) untuk menjadi produk yang dapat digunakan oleh
masyarakat luas.
49
6. Perlu penelitian lebih lanjut mengenai keamanan dan keselamatan
sebelum digunakan oleh masyarakat.
50
DAFTAR PUSTAKA
51
<http://fmel.ifas.ufl.edu/key/genus/aedes_aeg.shtml>
Fransiska RL, 2010, Efektifitas larutan serai (Andropogon nardus)
terhadap larva nyamuk Aedes aegypti instar 3, Skripsi,
Universitas Hang Tuah Surabaya.
Goldman L & Ausiello D ed., 2008, Cecil Medicine, 23rd edition, Saunders
Elsevier, Philadelphia.
Hartawan EY, 2012, Sejuta Khasiat Lidah Buaya, Pustaka Diantara.
Indonesia.
Hartono T, 2009, Saponin? Apaan tuh?, Farmasi Asia, viewed 21 January
2013, <http://www.farmasi.asia/saponin/>
Hayati N, 2008, Uji Efikasi Larvasida Nabati Dari Perasan Daun Jeruk
Purut (Citrus histrik DC) Terhadap Kematian Larva Aedes
aegypti di Laboratorium B2P2VP, Tesis, Universitas
Muhammadyah Semarang.
Hendry, 2010, One sample t test / uji t satu sampel, Teori-Online, viewed 7
june 2013, <http://teorionline.wordpress.com/2010/12/30/one-
sample-t-test-uji-t-satu-sampel/>
Hernawan A, 2013,Awal 2013, Kasus demam berdarah meningkat tajam
di Jatim,Lensa Indonesia, viewed 7 Mey 2013,
<http://www.lensaindonesia.com/2013/03/28/awal-2013-kasus-
demam-berdarah-meningkat-tajam-di-jatim.html>
Jawetz, Melnick & Adelberg, 2007, Medical Microbiology, 24th edition, The
McGraw-Hill Companies, inc. United State of America.
Mandal BK, Wilkins EGL, Dunbar EM & Mayon-White RT, 2008. Lecture
Notes Penyakit Infeksi. 6th edition. Penerbit Erlangga.
Maricopa County Environmental Services, 2006, Life cycle and information
on Aedes aegypti mosquitoes, viewed 4 July 2013.
<http://www.maricopa.gov/EnvSvc/VectorControl/Mosquitos/Mos
qInfo.aspx>
Matasyoh JC, Wathuta EM, Kariuki ST, Chepkorir R & Kavulani J, 2008,
‘Aloe plant extract as alternative larvacides for mosquito control’,
African Journal of Biotechnology, Vol. 7 (7), pp. 912-915.
Maulana D, 2013, Dinkes Jatim galakkan gerakan PSN,Berita Jatim, 2
July 2013.
<http://m.beritajatim.com/detailnews.php/11/Pendidikan&Kesehat
an/2013-04-19/168520/Dinkes_Jatim_Galakkan_Gerakan_PSN>
Muhlisah F, 2008, Tanaman Obat Keluarga (TOGA), Penebar Swadaya.
Jakarta.
Natalia A, 2012, ‘Gambaran Pelaksanaan Surveilans Epidemiologi
Penyakit Demam Berdarah Dengue Ditinjau Dari Aspek Petugas
di Tingkat Puskesmas Kota Semarang Tahun 2011’, Jurnal
Kesehatan Masyarakat, Vol. 1 (2), pp. 262-271.
Pradana NIB, 2011, Pengaruh air perasan daun jeruk nipis (Citrus
aurantifolia) terhadap pertumbuhan larva nyamuk Aedes aegypti
instar III, Skripsi, Universitas Hang Tuah Surabaya.
Pusat Data dan Surveilans Epidemiologi Kementrian Kesehatan RI , 2010,
‘DBD di Indonesia Tahun 1968-2009’, Buletin Jendela
Epidemiologi. Volume 2.pp. 1-14.
52
Rosita & Tim redaksi Qanita, 2008,Sehat, Cantik, dan Penuh Vitalitas
Berkat Lidah Buaya, Penerbit Qanita, Bandung.
Sembel DT, 2009, Entomologi Kedokteran, Penerbit ANDI, Yogyakarta.
Simanjuntak SM, 2011, Efektifitas ekstrak cabai rawit (Capsicum
frutescens L) Terhadap kematian larva nyamuk Aedes spp. pada
ovitrap. Skripsi, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas
Sumatra Utara.
Simmons CP, Farrar JJ, Chau NV & Wills B, 2012, ‘Current Concepts
Dengue’, The new England Journal of Medicine, pp.1423-1432.
Soedarto, 1989, Entomologi Kedokteran, Penerbit Buku Kedokteran ECG,
Jakarta.
Soedarto, 1990, Penyakit-Penyakit Infeksi di Indonesia, Widya Medika,
Jakarta.
Steffen R, DuPont HL & Wilder-Smith A, 2003, Manual of Travel Medicine
and Health, 2nd edition, BC Decker Inc., Canada.
Subramaniam J, Kovendan K, Kumar PM, Murugan K & Walton W, 2012,
‘Mosquito larvacidal activity of Aloe vera (Family: Liliaceae) leaf
extract and Bacillus sphaericus, against Chikungunya vector,
Aedes aegypti’, Saudi Journal of Biological Sciences. pp. 1-7.
Sukamto, 2011, Fogging apa dampaknya?’, viewed 4 July 2013.
<http://sukamto.staff.uii.ac.id/2011/02/10/fogging-apa-
dampaknya/>
Sukowati S, 2010, ‘Masalah Vektor Demam Berdarah Dengue (DBD) dan
Pengendaliannya di Indonesia’, Buletin Jendela Epidemiologi,
Volume 2. pp. 6-30.
Sumilih S, Ambarwati & Astuti D, 2010, ‘Efektivitas Ekstrak Lempuyang
Wangi (Zingiber aromaticum Val.) Dalam Membunuh Larva
Aedes aegypti’,Jurnal Kesehatan, Vol. 3 (1), pp. 78-88.
Tjokronegoro A & Utama H, 2004, Parasitologi Kedokteran, Balai Penerbit
FKUI, Jakarta.
Ulie, 2010, Aedes aegypti, viewed 3 July 2013.
<http://kireyellow.blogspot.com/2010/04/aedes-aegypti.html>
Valasyifa D, 201, Aspergillus niger sebagai bioinsektisida pada larva
nyamuk Aedes sp, Tesis, Universitas Muhammadiyah
Semarang.
Wahyuni S, 2005, Daya bunuh ekstrak serai terhadap nyamuk Aedes
aegypti, Skripsi, Universitas Negeri Semarang.
WHO, 2005, Guidelines For Laboratory and Field testing of Mosquito
Larvacide, viewed 20 June 2013.
<http://www.who.int/whopes/guidelines/en/>
WHO, 2012a, Dengue and Severe Dengue. viewed 20 January 2013.
<http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs117/en/>
WHO, 2012b, Global Strategy for Dengue Prevention and Control, viewed
2 July 2013. <apps.who.int/iris/.../1/9789241504034_eng.pdf>
Widoyono, 2008, Penyakit tropis Epidemiologi, Penularan, pencegahan
dan pemberantasan. Erlangga, Jakarta.
Wijoyo PM, 2009, 15 Ramua Penyembuh Maag, Bee Media Indonesia,
Jakarta.
53
Wikipedia, 2013, Aedes aegypti, viewed 2 January 2013,
<http://id.wikipedia.org/wiki/Aedes_ aegypti>
Zanaria TM, Ginting B, Hayati Z & Amris F, 2012, Pengaruh Ekstrak
Metanol Akar Biduri (Colotropis gigantean L.) Terhadap
Kematian Larva Nyamuk Aedes aegypti, FK Universitas Syiak
Kuala Banda Aceh.
Zettel C & Kaufman P, 2008, Common name: yellow fever mosquito,
Scientific name: Aedes aegypti (Linnaeus) (Insecta: Diptera:
Cullicidae), University of Florida, viewed 2 February 2013
<http://entnemdept.ufl.edu/creatures/aquatic/aedes_aegypti.htm>
Zuckerman JN ed., 2001, Principles and Practice of Travel Medicine, John
Wiley & Son Ltd., Chinchester.
54
Lampiran 1 Jadwal Penelitian
1 Persiapan
A Perizinan
B Pembelian
alat dan
bahan
2 Penelitian
3 Analisa data
4 Penyusunan
laporan
55
Lampiran 2 Uji Pendahuluan
Jumlah Hidup 20 20 20 19 15 13 0
56
Lampiran 3 Analisa Statistika
- One Way Anova
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
Jumlah
Larva Hidup
N 24
Negative -.175
Kolmogorov-Smirnov Z 1.288
3.617 5 18 .019
- Kruskal-Wallis
Ranks
Konsentrasi N Mean Rank
Total 24
57
Test Statistics(a,b)
Jumlah
Larva Hidup
Chi-Square 22.335
df 5
- Mann-Whitney
Ranks
Sum of
Konsentrasi N Mean Rank Ranks
Total 8
Test Statistics(b)
Jumlah
Larva
Hidup
Mann-Whitney U 2.500
Wilcoxon W 12.500
Z -1.648
Ranks
Sum of
Konsentrasi N Mean Rank Ranks
58
Jumlah Larva Konsentrasi 50% 4 6.50 26.00
Hidup
Konsentrasi 70% 4 2.50 10.00
Total 8
Test Statistics(b)
Jumlah
Larva Hidup
Mann-Whitney U .000
Wilcoxon W 10.000
Z -2.366
Ranks
Sum of
Konsentrasi N Mean Rank Ranks
Total 8
Test Statistics(b)
Jumlah
Larva Hidup
Mann-Whitney U .000
Wilcoxon W 10.000
Z -2.428
59
a Not corrected for ties.
b Grouping Variable: Konsentrasi
Ranks
Sum of
Konsentrasi N Mean Rank Ranks
Total 8
Test Statistics(b)
Jumlah
Larva Hidup
Mann-Whitney U .000
Wilcoxon W 10.000
Z -2.530
Ranks
Sum of
Konsentrasi N Mean Rank Ranks
Total 8
Test Statistics(b)
Jumlah
Larva Hidup
Mann-Whitney U .000
60
Wilcoxon W 10.000
Z -2.530
Ranks
Sum of
Konsentrasi N Mean Rank Ranks
Total 8
Test Statistics(b)
Jumlah
Larva Hidup
Mann-Whitney U .000
Wilcoxon W 10.000
Z -2.323
Ranks
Sum of
Konsentrasi N Mean Rank Ranks
61
Hidup Konsentrasi 80% 4 2.50 10.00
Total 8
Test Statistics(b)
Jumlah
Larva Hidup
Mann-Whitney U .000
Wilcoxon W 10.000
Z -2.381
Ranks
Sum of
Konsentrasi N Mean Rank Ranks
Total 8
Test Statistics(b)
Jumlah
Larva Hidup
Mann-Whitney U .000
Wilcoxon W 10.000
Z -2.477
62
b Grouping Variable: Konsentrasi
Ranks
Sum of
Konsentrasi N Mean Rank Ranks
Total 8
Test Statistics(b)
Jumlah
Larva Hidup
Mann-Whitney U .000
Wilcoxon W 10.000
Z -2.477
Ranks
Sum of
Konsentrasi N Mean Rank Ranks
Total 8
Test Statistics(b)
Jumlah
Larva Hidup
Mann-Whitney U .000
63
Wilcoxon W 10.000
Z -2.366
Ranks
Sum of
Konsentrasi N Mean Rank Ranks
Total 8
Test Statistics(b)
Jumlah
Larva Hidup
Mann-Whitney U .000
Wilcoxon W 10.000
Z -2.460
Ranks
Sum of
Konsentrasi N Mean Rank Ranks
64
Hidup Konsentrasi 100% 4 2.50 10.00
Total 8
Test Statistics(b)
Jumlah
Larva Hidup
Mann-Whitney U .000
Wilcoxon W 10.000
Z -2.460
Ranks
Sum of
Konsentrasi N Mean Rank Ranks
Total 8
Test Statistics(b)
Jumlah
Larva Hidup
Mann-Whitney U .000
Wilcoxon W 10.000
Z -2.530
65
b Grouping Variable: Konsentrasi
Ranks
Sum of
Konsentrasi N Mean Rank Ranks
Total 8
Test Statistics(b)
Jumlah
Larva Hidup
Mann-Whitney U .000
Wilcoxon W 10.000
Z -2.530
Ranks
Sum of
Konsentrasi N Mean Rank Ranks
Total 8
Test Statistics(b)
Jumlah
Larva Hidup
Mann-Whitney U 8.000
66
Wilcoxon W 18.000
Z .000
Means Plots
20
10
0
Konsentrasi 50% Konsentrasi 70% Konsentrasi 90%
Konsentrasi 60% Konsentrasi 80% Konsentrasi 100%
Konsentrasi
- T Test
Jumlah Larva
4 17.50 1.000 .500
Hidup
67
One-Sample Test(a)
Test Value = 20
95% Confidence
Interval of the
Mean Difference
Sig. (2- Differenc
t df tailed) e Lower Upper
Jumlah Larva
-5.000 3 .015 -2.50 -4.09 -.91
Hidup
Jumlah Larva
4 16.25 .957 .479
Hidup
95% Confidence
Interval of the
Mean Difference
Sig. (2- Differenc
t df tailed) e Lower Upper
Jumlah Larva
-7.833 3 .004 -3.75 -5.27 -2.23
Hidup
Jumlah Larva
4 9.00 2.160 1.080
Hidup
68
One-Sample Test(a)
Test Value = 20
95% Confidence
Interval of the
Mean Difference
Sig. (2- Differenc
t df tailed) e Lower Upper
Jumlah Larva
-10.184 3 .002 -11.00 -14.44 -7.56
Hidup
Jumlah Larva
4 1.75 .500 .250
Hidup
95% Confidence
Interval of the
Difference
Mean
t df Sig. (2-tailed) Difference Lower Upper
Jumlah Larva
-73.000 3 .000 -18.25 -19.05 -17.45
Hidup
69
Lampiran 4 Gambar Penelitian
70
Lampiran 5 Surat Keterangan Identifikasi Daun Lidah Buaya
71