Anda di halaman 1dari 39

IDENTIFIKASI JENIS BURUNG RANGKONG (FAMILI

BUCEROTIDAE)
DI SUB DAS MENDALAM DUSUN PADUA MENDALAM CAGAR
BIOSFER BETUNG KERIHUN KAPUAS HULU

OLEH
WITRI APRIANTI
H1041171030

KERJA PRAKTEK

PROGRAM STUDI BIOLOGI


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK
2020
IDENTIFIKASI JENIS BURUNG RANGKONG (FAMILI
BUCEROTIDAE)
DI SUB DAS MENDALAM DUSUN PADUA MENDALAM CAGAR
BIOSFER BETUNG KERIHUN KAPUAS HULU

OLEH
WITRI APRIANTI
H1041171030

KERJA PRAKTEK
Kerja praktek disusun sebagai salah satu syarat
untuk memperoleh gelar sarjana sains pada
Program Studi Biologi

PROGRAM STUDI BIOLOGI


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK
2020
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena
berkat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan laporan kerja praktek
berjudul “Identifikasi Jenis Burung Rangkong (Famili Bucerotidae) di Sub DAS
Mendalam Dusun Padua Mendalam Cagar BIOSFER Betung Kerihun Kapuas
Hulu”. Laporan ini disusun berdasarkan hasil kerja praktek selama satu bulan
yaitu tanggal 13 Juli-13 Agustus 2020 di Balai Besar Taman Nasional Betung
Kerihun dan Danau Sentarum, Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Penulis
menyadari bahwa dalam penyusunan laporan kerja praktek banyak pihak yang
telah membantu, untuk itu penulis mengucapkan rasa terima kasih kepada ;
1. H. Afghani Jayuska, S.Si., M.Si. selaku Dekan Fakultas Matematika dan
Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Tanjungpura.
2. Dr. Kustiati S.Si., M.Si. selaku Ketua Program Studi Biologi Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Tanjungpura.
3. Ir. Arief Mahmud, M.Si selaku Kepala Balai Besar Taman Nasional
Betung Kerihun dan Danau Sentarum.
4. Fery A.M Liuw, S.Hut,T., M.Sc selaku Kepala Bidang Pengelolaan Taman
Nasional Wilayah II Kedamin.
5. Hery Gunawan, S.Hut selaku Kepala Seksi Pengelolaan Taman Nasional
Wilayah III Padua Mendalam .
6. Tri Rima Setyawati S.Si., M.Si selaku dosen pembimbing kerja praktek.
7. Nanding Sarjoko, S.Hut selaku pembimbing lapangan dalam kegiatan kerja
praktek.
8. Karalus Ipin selaku pendamping penulis saat di lapangan
9. Orang tua, keluarga dan rekan kerja praktek yang telah memberikan
dukungan, motivasi dan doa.

Semoga laporan kerja praktek ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Penulis
menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna, untuk itu penulis

i
menerima kritik dan saran yang bersifat membangun demi perbaikan menuju lebih
baik. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih.

Pontianak, 2021

Witri Aprianti
NIM H1041171030
DAFTAR ISI

ii
DAFTAR GAMBAR...............................................................................................v
DAFTAR TABEL...................................................................................................vi
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1
1.1.Latar Belakang...................................................................................................1
1.2.Rumusan Masalah..............................................................................................2
1.3.Tujuan………......................................................................................................
2
1.4.Manfaat……........................................................................................................
2
BAB II KEADAAN UMUM INSTANSI................................................................3
2.1. Taman Nasional Betung Kerihun dan Danau Sentarum...................................3
2.2. Visi dan Misi ....................................................................................................5
2.2.1. Visi…... ................................................................................................5
2.2.2.Misi…... ................................................................................................5
2.4. Struktur Organisasi...........................................................................................7
BAB III TINJAUAN PUSTAKA............................................................................8
3.1. Klasifikasi dan Morfologi................................................................................8
3.2. Penyebaran ....................................................................................................9
3.3 Habitat Keluarga Burung Rangkong (Bucerotidae)........................................11
3.4 Ekologi Pakan..................................................................................................12
BAB IV METODE PENELITIAN........................................................................13
4.1. Waktu dan Tempat..........................................................................................13
4.2. Deskripsi Tempat Penelitian...........................................................................13
4.3. Bahan dan Alat................................................................................................14
4.4. Prosedur Kerja.................................................................................................14
4.5.Analisa Data ..................................................................................................15
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN.................................................................16
5.1 Hasil……….. ..................................................................................................16
5.2. Pembahasan....................................................................................................19
5.2.1.Kangkareng Hitam atau Antracoceros malayanus..............................19
5.2.2. Enggang Klihingan atau Anorrhinus galeritus...................................20

iii
5.2.3. Rangkong Badak (Buceros rhinoceros)..............................................20
5.2.4. Enggang Gading (Rhinoplax vigil).....................................................22
BAB VI PENUTUP...............................................................................................24
6.1. Simpulan….. ..................................................................................................24
6.2. Saran………...................................................................................................24
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................25
LAMPIRAN ..........................................................................................................27

iv
DAFTAR GAMBA

Gambar 2.1 Struktur Organisasi Balai Besar Taman Nasional Betung Kerihun dan
Danau Sentarum .................................................................................7
Gambar 3. 1 Tipe paruh dan casque jantan dan betina genus Anthracoceros.......9Y
Gambar 4.1 Peta Dijumpai Burung Rangkong........................................................1
Gambar 5.1 Kangkareng Hitam (Antracoceros malayanus) Jantan......................18
Gambar 5.2 Kangkareng Hitam (Antracoceros malayanus) Betina......................19
Gambar 5.3 Enggang Klihingan (Anorrhinus galeritus).......................................20
Gambar 5.4 Rangkong Badak (Buceros rhinoceros).............................................21

v
DAFTAR TABEL

Tabel 5. 1. Frekuensi Perjumpaan dengan Burung Enggang di Taman Nasional


Betung Kerihun.................................................................................20
Tabel 5. 2. Jenis Burung Enggang di Taman Nasional Betung Kerihun...............20

vi
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Indonesia memiliki 13 spesies burung rangkong. Spesies tersebut tersebar
di lima pulau besar, yaitu di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Irian
Jaya (Sukmantoro et al., 2007). Rangkong merupakan kelompok burung yang
memiliki fungsi ekologi tinggi. Burung tersebut merupakan kelompok burung
frugivor yang berfungsi sebagai agen penyebar biji berbagai tumbuhan hutan
(Noerdjito, 2005). Anggota keluarga Bucerotidae hidup di hutan hujan tropika,
namun juga membutuhkan hutan primer sebagai habitat alaminya. Umumnya
burung rangkong hidup pada tajuk-tajuk pohon hutan yang menjulang tinggi.
Tajuk-tajuk hutan digunakan sebagai tempat hinggap, mencari makan,
serta bersarang. Seluruh anggota famili Bucerotidae masuk dalam kategori satwa
dilindungi di Indonesia (Sutedja dan Indrabrata, 1992). Hal ini dikarenakan
populasinya dan terancam punah sebagai akibat dari ketersediaan habitat yang
semakin berkurang. Konversi hutan menjadi lahan pemukiman, lahan budidaya,
perkebunan, industri, dan sarana transportasi mengakibatkan semakin
menyempitnya habitat bagi keluarga burung rangkong. Hilangnya pohon-pohon
pakan dan pohon berdiameter besar sebagai tempat bersarang merupakan faktor
utama terancamnya keberadaan burung rangkong (Meijaard, 2005).
Seluruh jenis rangkong (Bucerotidae) di Indonesia merupakan satwa yang
dilindungi melalui Undang-undang No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber
Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dan Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun
1999 tentang Pengawetan Tumbuhan dan Satwa. Rangkong merupakan kelompok
burung yang mudah dikenali. Secara umum ciri yang dimiliki burung rangkong
adalah ukuran tubuhnya yang besar dengan panjang total antara 381 sampai 1600
mm. Memiliki paruh yang sangat besar dan kokoh tetapi ringan yang dinamai
hornbill, berwarna merah atau kuning, melengkung dan beberapa menyerupai
cula.

1
2

Bulu berwarna coklat, hitam, putih, atau hitam dan putih. Kulit dan bulu disekitar
tenggorokan berwarna terang, sayap kuat, ekor panjang, kaki pendek, jari-jari kaki
besar dan sindaktil (MacKinnon et al., 2010).
Taman Nasional Betung Kerihun (TNBK) merupakan taman nasional yang
tergolong baru. Penunjukkannya didasarkan SK Menteri Kehutanan No.
467/Kpts-II/95 dengan luas 800.000 hektar. Kawasan ini merupakan hulu dari
sungai yang menjadi bagian dari Daerah Aliran Sungai (DAS) Kapuas yang
meliputi seluruh wilayah Provinsi Kalimantan Barat, sehingga kawasan ini
memiliki nilai yang sangat penting bagi ekosistem yang ada.

1.2. Rumusan Masalah

Hutan primer yang terdapat di Kalimantan salah satunya di DAS


Mendalam merupakan habitat burung enggang. Beberapa area di DAS Mendalam
sudah dijadikan area konsentrasi pengamatan burung enggang. Masalah yang
diangkat dalam kerja praktek adalah, jenis burung enggang apa saja yang terdapat
di sub DAS Mendalam, Cagar Biosfer Betung Kerihun?

1.3. Tujuan

Tujuan dari kegiatan Kerja Praktek adalah, mengetahui jenis burung


enggang apa saja yang terdapat di sub DAS Mendalam, Cagar Biosfer Betung
Kerihun.

1.4. Manfaat

Manfaat dari kegiatan kerja praktek ini adalah, memberikan informasi bagi
pembaca dan masyarakat tentang jenis burung enggang yang terdapat di sub DAS
Mendalam, Cagar Biosfer Betung Kerihun beserta ciri-cirinya.
3

BAB II
KEADAAN UMUM INSTANSI

2.1. Taman Nasional Betung Kerihun dan Danau Sentarum

Taman Nasional Betung Kerihun (TNBK) adalah kawasan konservasi


terbesar di Propinsi Kalimantan Barat yang terletak di kabupaten Kapuas Hulu.
Kawasan TNBK hanya berada dalam satu wilayah kabupaten, namun batas-batas
wilayahnya meliputi batas negara dan batas provinsi. Batas- batas dimaksud
adalah sebelah utara berbatasan dengan Malaysia (Sarawak). Sebelah timur
berbatasan dengan Provinsi Kalimantan Timur sebelah selatan berbatasan dengan
hutan lindung Kabupaten Kapuas Hulu sebelah barat berbatasan dengan wilayah
Lanjak/Nanga Badau.
Secara administratif kawasan ini termasuk dalam wilayah empat
kecamatan yaitu Kecamatan Putussibau Utara, Kecamatan Putussibau Selatan,
Kecamatan Embaloh Hulu, dan Kecamatan Batang Lupar. Secara geografis
TNBK terletak diantara koordinat 112010'4''BT-1036'3''LU dan 114012' 49B''-
0036'2''LU. Kawasan TNBK memiliki total area 816.693,40 hektar atau sekitar
27,37% dari luas total Kabupaten Kapuas Hulu. Total garis perbatasan TNBK
sepanjang 784 km yang terbagi menjadi sepanjang 368 km berbatasan dengan
Malaysia, 138 km dengan batas propinsi Kalimantan Timur, dan berbatasan
dengan hutan lindung sepanjang 278 km.
Kawasan konservasi ini pada awalnya adalah Cagar Alam (CA) seluas
600.000 ha berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian pada tanggal 12
Oktober 1982, luasnya ditambah menjadi 800.000 ha berdasarkan surat keputusan
Menteri Kehutanan No. 118/Kpts-II/1992 pada tanggal 11 Februari 1992. Untuk
mengakomodisir tujuan pelestarian keanekaragaman hayati sekaligus mendorong
pembangunan sosial ekonomi masyarakat yang tinggal di sekitarnya pada tanggal
5 September 1995 status Cagar Alam diubah menjadi status Taman Nasional
dengan surat keputusan Menteri Kehutanan No. 467/Kpts-II/1995 dengan nama
4

Taman Nasional Bentuang Karimun. Pada tanggal 2 September 1999 terjadi


perubahan nama dari Taman Nasional Bentuang Karimun menjadi Taman
Nasional Betung Kerihun. Perubahan nama ini berdasarkan kondisi di lapangan
bahwa terdapat Gunung Betung di wilayah barat dan Gunung Kerihun di bagian
timur. Setelah tata batas di kawasan Taman Nasional Betung Kerihun sudah temu
gelang, pada tanggal 23 April 2014 melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan
No. SK. 3075/Menhut-VII/KUH/2014 statusnya ditetapkan sebagai Taman
Nasional dengan luas 816.693,40 ha.
Taman Nasional Danau Sentarum (TNDS) adalah kawasan konservasi
lahan basah terbesar di Indonesia yaitu 127.393,40 hektar yang terletak di hulu
Sungai Kapuas, sekitar 700 km dari Kota Pontianak Kabupaten Kapuas Hulu,
Provinsi Kalimantan Barat. Secara administratif TNDS masuk dalam wilayah 7
(tujuh) kecamatan yaitu Kecamatan Badau, Kecamatan Nanga Kantuk,
Kecamatan Batang Lupar, Kecamatan Suhaid, Kecamatan Selimbau, Kecamatan
Jongkong, dan Kecamatan Bunut. Berdasarkan geografis TNDS terletak diantara
koordinat 0°45'- 01° 02' LU, dan 111° 57'-112°20' BT. Batas- batas wilayah
TNDS meliputi sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Batang Lupar,
sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Jongkong dan Kecamatan Bunut
Hilir, sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Suhaid dan Kecamatan
Selimbau, sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Badau dan Kecamatan
Nanga Kantuk.
Kawasan Taman Nasional Danau Sentarum yang merupakan salah satu
kawasan ekosistem lahan basah yang penting di Indonesia, dan di dunia. Taman
Nasional Danau Sentarum telah mengalami perubahan status kawasan, mulai dari
ditetapkannya sebagai kawasan suaka margasatwa yang pada tahun 1982, dan
statusnya diubah menjadi Taman Nasional berdasarkan Surat Keputusan Menteri
Kehutanan dan Perkebunan No. 34/Kpts-II/1999 tanggal 4 Pebruari 1999, dengan
luas ± 132.000 ha. Tahun 2002 sampai dengan tahun 2009 dalam perkembangan
kawasan Taman Nasional Danau Sentarum, dilakukan tata batas oleh Tim dari
Balai Inventarisasi dan Perpetaan Hutan.
5

Wilayah III Pontianak (sekarang Balai Pemantapan Kawasan Hutan


wilayah III Pontianak) dengan hasil berupa tata batas kawasan telah ketemu
gelang dengan panjang batasnya 179.683,50 meter dan sesuai proses BATB
(Berita Acara Tata Batas) luas kawasan luas 130.940 hektar. Setelah tata batas di
kawasan Taman Nasional Danau Sentarum sudah temu gelang, pada tanggal 30
Juni 2014 melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. SK. 4815/Menhut-
VII/KUH/2014 statusnya ditetapkan sebagai Taman Nasional dengan luas
127.393,40 ha. Dalam rangka pemantapan pengelolaan kawasan Taman Nasioanal
Danau Sentarum, maka pada tahun 2014 Zonasi Taman Nasional Danau Sentarum
telah disahkan melalui surat keputusan Direktur Jenderal PHKA nomor
SK.230/IV-Set/2014 Tanggal 20 November 2014.

2.1 . Visi dan Misi

2.1.1. Visi
A. Taman Nasional Betung Kerihun
“Mewujudkan Taman Nasional Betung Kerihun Sebagai Pusat Pelestarian
Keanekaragaman Hayati pada Kawasan Konservasi Lintas Batas di Jantung
Kalimantan (Heart of Borneo) “.
B. Taman Nasional Danau Sentarum
“Mewujudkan Taman Nasional Danau Sentarum sebagai pusat pelestarian
keanekaragaman hayati Ramsar Site dan destinasi ekowisata unggulan di Jantung
Borneo (Heart of Borneo)”.
2.1.2. Misi
a. Taman Nasional Betung Kerihun
Misi Taman Nasional Betung Kerihun , yaitu;
1. Meningkatkan kualitas data keanekaragaman hayati yang benar (valid),
dapat dipertanggungjawabkan (reliable) dan mutakhir (up – to – date)
serta menyediakan informasi keanekaragaman hayati yang akurat
(accurate), tepat waktu (timelines) dan relevan (relevance),
2. Membangun perencanaan kelola keanekaragaman hayati yang dapat
dicapai (realistis), menghindari pemborosan sumberdaya (economis),
6

menyesuaikan kondisi (fleksibel) yang didasari atas partisipasi para pihak


khususnya masyarakat lokal,
3. Meningkatkan upaya perlindungan dan pengamanan, pengawetan dan
pemanfaatan keanekaragaman hayati secara berkelanjutan,
4. Membangun dan mengintensifkan komunikasi, koordinasi dan kerjasama
para pihak dalam upaya meningkatkan dukungan pengelolaan
keanekaragaman hayati kawasan Taman Nasional Betung Kerihun,
5. Memberikan dan membuka peluang akses pemanfaatan potensi kawasan
berupa jasa lingkungan dan hasil hutan bukan kayu serta ruang partisipasi
aktif masyarakat lokal dalam pengelolaan keanekaragaman hayati,
6. Meningkatkan upaya perlindungan dan pengamanan, pengawetan dan
pemanfaatan keanekaragaman hayati secara berkelanjutan,

B. Taman Nasional Danau Sentarum


Misi Taman Nasional Danau Sentarum yaitu:
1. Memantapkan data dan informasi serta mengembangkan pengetahuan dan
teknologi dengan mempertimbangkan kearifan tradisional dalam
pengelolaan dan pemanfaatan biodiversitas kawasan secara bijaksana dan
lestari,
2. Memperkuat upaya perlindungan dan pengamanan kawasan dari kegiatan-
kegiatan yang dapat mengancam kelestarian kawasan,
3. Meningkatkan kegiatan pemulihan kawasan yang mengalami degradasi
terutama yang diakibatkan oleh kebakaran hutan,
4. Mengembangkan potensi objek dan daya tarik, meningkatkan kepedulian,
kemampuan, dan peran aktif masyarakat lokal dalam mengelola dan
memanfaatkan potensi kawasan secara bijaksana dan lestari,
5. Memperkuat kelembagaan dan kerjasama tingkat lokal, regional dan
internasional dalam pengelolaan dan pemanfaatan potensi lahan basah
secara bijaksana dan lestari.
7

2.4. Struktur Organisasi

Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Nomor:


P.7/Menlhk/Setjen/OTL.0/1/2016 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit
Pelaksana Teknis Taman Nasional.

Gambar 2. 1 Struktur Organisasi Balai Besar Taman Nasional Betung Kerihun dan Danau
Sentarum (Sumber: BBTNBKDS)

Pengelolaan Taman Nasional Betung Kerihun dan Danau Sentarum,


diterapkan sistem pengolahannya sesuai dengan struktur organisasi yang terbagi
menjadi beberapa bidang pengelolaan. Adanya Kepala Bidang dan Kepala Seksi
yang ditugaskan untuk mengatur dan menjaga setiap wilayah yang telah dibagi-
bagi. Kerja praktik ini dilaksanakan di Bidang Pengelolaan Taman Nasional
wilayah II, Seksi Pengelolaan Taman Nasional wilayah III Padua Mendalam.
8

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Klasifikasi dan Morfologi


Klasifikasi kerabat burung rangkong (Bucerotidae) (Sukmantoro et al,
2007) adalah:
Kingdom : Animalia
Phylum : Chordata
Class : Aves
Ordo : Coraciiformes
Famili : Bucerotidae
Keluarga burung rangkong merupakan kelompok burung yang mudah
dikenali karena memiliki ciri khas berupa paruh yang besar dengan struktur
tambahan di bagian atasnya yang menyerupai tanduk (casque). Jenis burung
rangkong di Indonesia, ukuran tubuhnya berkisar antara 45-125 cm (MacKinnon
1998), rangkong dengan ukuran kecil seperti jenis kangkareng perut putih
(Anthracoceros albirostis) sedangkan rangkong ukuran besar seperti jenis
rangkong papan (Buceros bicornis), rangkong badak (Buceros rhinoceros), dan
rangkong gading (Rhinoplax vigil). Umumnya warna bulu rangkong didominasi
oleh warna hitam untuk bagian badan dan warna putih pada bagian ekor,
sedangkan warna bagian leher dan kepala cukup bervariasi. Untuk warna paruh
kebanyakan berwarna mencolok (kuning) dan terdapat pula jenis yang paruhnya
berwarna hitam.
Keanggotaan burung rangkong ditandai dengan adanya “casque” dan hal
ini merupakan dasar dari penentuan marga dan jenis burung rangkong berdasarkan
perbedaan bentuk dan ukuran. Menurut Noerdjito (2005), berdasarkan bentuknya
secara umum casque dibedakan menjadi bentuk bilah, tegak, lempeng datar,
balok, tembereng bola. Punggung casque dapat berbentuk tumpul atau tajam.
Ujung posterior casque dapat berbentuk runcing atau cembung. Permukaan
casque dapat beralur, datar, atau polos. Pada beberapa jenis anggota famili
9

Bucerotidae ada yang memiliki lekuk pemisah antara paruh dengan casque.
Keadaan permukaan casque ada yang bergaris ada yang polos, sedangkan panjang
paruh ada yang lebih dari 15 cm dan ada yang kurang dari 15 cm. Tonjolan
permukaan casque ada yang berbentuk silindris dan ada yang agak datar,
sedangkan ujung casque ada yang runcing dan ada yang tumpul.

Gambar 3. 1 Tipe paruh dan casque jantan dan betina genus Anthracoceros
10

Menurut Kemp (1995) casque terbentuk dari lapisan keratin yang


mengeras dan menutupi seluruh bagian paruh. Fungsi dari casque diduga sebagai
penguat/penahan bagian tengah dari paruh yang melengkung dan panjang ketika
menusuk dengan keras. Selain itu casque juga berfungsi sebagai identitas
pembeda antar spesies, pembeda antar jenis kelamin, dan digunakan dalam
interaksi sosial. Pada spesies Ceratogymna diketahui berfungsi sebagai resonator
suara, selain itu pada spesies Buceros (termasuk Rhinoplax) diketahui berfungsi
untuk menjatuhkan buah.

3.2. Penyebaran

Terdapat 54 jenis burung rangkong di seluruh dunia (Kemp 1995).


Burung rangkong mempunyai sebaran mulai dari daerah sub-sahara Afrika, India,
Asia Tenggara, New Guinea dan Kepulauan Solomon. Sebagian besar hidup di
hutan hujan tropis dan hanya beberapa jenis saja yang hidup di daerah kering
seperti di Afrika. Indonesia merupakan rumah bagi 13 jenis burung rangkong
yang tersebar di hutan hujan tropis, tiga diantaranya bersifat endemik.
Indonesia terdapat 14 jenis burung rangkong yang tersebar di lima pulau
besar, yaitu di Sumatera 10 jenis, Jawa 3 (tiga) jenis, Kalimantan 8 (delapan)
jenis, Sulawesi 2 (dua) jenis dan Irian Jaya 1(satu) jenis (Holmes, 1993). Jenis
julang jambul hitam (Aceros corrugatus), kangkareng hitam (Antracoceros
malayanus), enggang gading (Rhinoplax vigil) secara global menurut IUCN
(International Union for Conservation Nature) masuk kategori mendekati
terancam punah, julang sumba (Aceros everetti) dan julang dompet (Aceros
subruficollis), sementara julang emas (Aceros undulatus) termasuk kategori tidak
diperhitungkan (Birdlife International, 2011).
Indonesia memiliki 8 marga dari famili Bucerotidae yang terdiri dari 13
jenis (Noerdjito, 2005) yaitu marga Anorrhinus di Indonesia, juga di dunia, hanya
terdapat satu jenis marga Anorrhinus yaitu Anorrhinus galeritus (Temminck,
1831). Marga Anthracoceros di Indonesia terdapat dua jenis marga Anthracoceros
yaitu Anthracoceros albirostis (Shaw & Nodder, 1790) dan Anthracoceros
11

malayanus (Raffles, 1822). Marga Penelopides di Indonesia, juga di dunia, hanya


terdapat satu jenis dari marga Penelopides yaitu Penelopides exarhatus
(Temminck, 1823). Marga Berenicornis di Indonesia terdapat hanya terdapat satu
jenis dari marga Berenicornis comatus (Raffles, 1822). Marga Aceros di
Indonesia terdapat dua jenis dari marga Aceros yaitu Aceros cassidix dan Aceros
corrugatus (Temminck, 1832). Marga Rhyticeros di Indonesia terdapat tiga jenis
marga Rhyticeros yaitu Rhyticeros everetti (Rothschild, 1897), Rhyticeros
plicatus (Forster, 1781), dan Rhyticeros undulatus (Shaw, 1811). Marga Buceros
di Indonesia terdapat dua jenis anggota marga Buceros yaitu Buceros rhinoceros
(Linnaeus, 1758) dan Buceros bicornis (Linnaeus, 1758). Marga Rhinoplax di
Indonesia, juga di dunia, hanya terdapat satu jenis dari marga Rhinoplax yaitu
Rhinoplax vigil (Forster, 1781).
Pulau Sumatera menempati urutan pertama dalam jumlah jenis rangkong
yaitu sebanyak 9 jenis, jumlah jenis terbanyak kedua adalah Kalimantan sebanyak
8 jenis, Jawa sebanyak 3 jenis, Sulawesi 2 Jenis (endemik), Papua 1 jenis, dan
Sumba 1 jenis (endemik). Burung rangkong di Sumatera tersebar merata ke
seluruh hutan-hutan alam mulai dari ujung utara sampai ujung selatan Sumatera,
namun saat ini sebarannya terbatas pada kawasan lindung, taman nasional,
kawasan konservasi lainnya, dan beberapa daerah yang masih berhutan. Beberapa
jenis memiliki sebaran yang sangat luas seperti julang emas (Rhyticeros
undulatus) dan kangkareng perut putih (Anthracoceros albirostris), kedua jenis
tersebut biasa ditemukan di banyak lokasi di Sumatera maupun di pulau lainnya.
Terdapat pula jenis yang memiliki sebaran terbatas karena habitatnya yang
spesifik seperti julang jambul hitam (Aceros corrugatus) dan rangkong papan
(Buceros bicornis) yang hanya menghuni hutan dataran rendah hutan perbukitan,
dan hutan rawa (Holmes et al, 1993).
3.3 Habitat Famili Burung Rangkong (Bucerotidae)

Habitat burung rangkong adalah hutan alam mulai dari ketinggian 0 –


1000 mdpl. Pada daerah pegunungan (>1000 mdpl) rangkong mulai jarang
ditemukan (Riri, 2010). Menurut MacKinnon (1991) burung rangkong hidup di
hutan yang masih lebat (hutan primer) dan menempati pohon-pohon besar dan
12

tinggi. Kriteria pohon besar menurut Poonswad (1993) adalah pohon dengan
diameter lebih dari 40 cm atau yang memiliki keliling lebih dari 125 cm.
Rangkong papan (Buceros bicornis) biasanya menempati habitat hutan
primer yang selalu hijau sepanjang tahun, hutan Dipterocarpaceae, dan hutan
gugur yang lembab, dan terutama pada hutan dataran rendah di bawah 1000 mdpl.
(Kemp & Poonswad 1993). Menurut Kemp (1995) Aceros corrugatus menghuni
hutan primer dataran rendah yang hijau sepanjang tahun, khususnya hutan rawa
yang dekat dengan pesisir/pantai, sedangkan Buceros rhinoceros juga menghuni
hutan primer dataran rendah kecuali pada hutan rawa (Holmes 1969 dalam Kemp
1995), namun Madrim (1998) menyebutkan bahwa habitat yang disukai oleh
kangkareng perut putih justru bukan hutan lebat seperti yang biasa digunakan oleh
kerabat burung rangkong lainnya, melainkan daerah terbuka, hutan sekunder,
bahkan hutan tanaman.

3.4 Preferensi Pakan Burung Rangkong (Bucerotidae)

Burung rangkong yang hidup di hutan hujan tropis umumnya bersifat


frugivor (pemakan buah). Buah beringin (Ficus sp.) yang berbuah sepanjang
tahun di hutan tropis Indonesia merupakan makanan yang sangat penting bagi
burung rangkong (Poonswad, 1993; Kemp, 1995; Hadiprakarsa dan Kinnaird,
2001; Lee et al, 2001). Selain buah beringin, jenis buah-buahan lainnya juga
dikonsumsi oleh beberapa jenis burung rangkong di daerah penelitian Way
Canguk menurut Hadiprakarsa dan Kinnaird (2001) adalah buah pala hutan
(Myristicaceae), kenari-kenarian (Burseraceae), Lauracecae, dan Meliaceae adalah
famili tumbuhan yang banyak dimanfaatkan buahnya sebagai pakan oleh burung
rangkong.
Burung rangkong memakan buah-buahan berdaging bersamaan dengan
bijinya. Biji-biji tersebut tidak hancur melewati sistem pencernaannya, sehingga
apabila dikeluarkan biji tersebut utuh dan mampu tumbuh pada tempat yang
cocok (Fachrul, 2007), proses tersebut penting dalam proses regenarasi hutan
secara alamiah.
13

Rangkong selain memakan buah-buahan, juga memakan invertebrata dan


vertebrata kecil. Selain untuk memenuhi kebutuhannya seperti saat
perkembangbiakan, pakan berupa invertebrata dan vertebatra kecil juga di
konsumsi sebagai pakan pengganti di saat ketersediaan buah mulai menipis.
Menurut Poonswad (1993) burung rangkong biasanya memakan binatang lain
seperti arthropoda, mamalia kecil, burung, reptil, amfibi, mollusca, dan crustacea.
Didukung oleh postur tubuh yang memungkinkan burung rangkong terbang cukup
jauh (200-1200 m/jam,) dan kapasitas perut yang cukup besar, burung rangkong
dapat memencarkan biji hampir di seluruh bagian hutan tropis sehingga dapat
menjaga dinamika hutan.
BAB IV
METODE KERJA PRAKTEK

4.1. Waktu dan Tempat


Kerja praktek dilaksanakan selama satu bulan, mulai dari bulan Juli 2020
hingga Agustus 2020 yang meliputi persiapan alat, pengambilan data, identifikasi
dan analisis data. Kerja praktek ini dilaksanakan di kawasan Taman Nasional
Betung Kerihun dan Danau Sentarum, Kecamatan Kedamin Hulu, Kabupaten
Kapuas hulu. Pengumpulan data dilakukan di SPTN Wilayah III Padua
Mendalam, tepatnya di Sub Daerah Aliran Sungai Mendalam yakni habitat yang
biasa dijumpai beberapa jenis burung enggang.

4.2 Deskripsi Tempat Penelitian

Taman Nasional Betung Kerihun (TNBK) merupakan taman nasional yang


tergolong baru. Penunjukkannya didasarkan SK Menteri Kehutanan No.
467/Kpts-II/95 dengan luas 800.000 hektar. Kawasan ini merupakan hulu dari
sungai yang menjadi bagian dari Daerah Aliran Sungai (DAS) Kapuas yang
meliputi seluruh wilayah Provinsi Kalimantan Barat, sehingga kawasan ini
memiliki nilai yang sangat penting bagi ekosistem yang ada.
Daerah Aliran Sungai (DAS) Mendalam merupakan salah satu DAS yang
mengalir dari kawasan Taman Nasional Betung Kerihun, selain DAS Sibau,
Embaloh, Bungan dan Kapuas Koheng. Daerah pencuplikan mempunyai elevasi
kurang lebih 200 mdpl. Vegetasi pinggiran umumnya merupakan hutan primer
dengan penutupan kanopi 50-100%. Keadaan air jernih, banyak jeram-jeram kecil
(cascade), bersubstrat pasir, kerikil, batuan sampai batuan yang berdiameter lebih
dari 4.5 malder). Kecuraman pinggiran berkisar dari landai sampai curam.

14
15

Gambar 4. 1 Peta Dijumpai Burung Rangkong di Sub DAS Mendalam

4.3 Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah burung rangkong


(Bucerotidae). Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat tulis,
binokuler, buku panduan burung (Seri Panduan Lapang Burung-burung di
Sumatera, Jawa, Bali dan Kalimantan oleh MacKinnon 1998), GPS, kamera, dan
pengatur waktu.

4.4 Prosedur Kerja

Kegiatan kerja praktek ini dilaksanakan di Taman Nasional Betung


Kerihun dimulai pada tanggal 13 Juli 2020 - 13 Agustus 2020, dengan metode
survey atau jelajah di Sub DAS Mendalam, yaitu area yang terkonsentrasi ditemui
banyak enggang dan berdasarkan perjumpaan dengan burung enggang dan metode
call count (dicatat atau disensus saat mendengar suara burung enggang per
spesiesnya).
Data yang diambil berupa jenis burung enggang dan jumlah individu
dengan cara mengamati lingkungan sekitar selama menjelajah menggunakan
16

binokuler untuk perjumpaan secara visual dan voice recorder untuk perjumpaan
secara audio. Waktu perjumpaan burung enggang dicatat berdasarkan waktu yang
sesuai dengan penunjuk waktu.

4.5. Analisa Data

Data dari kegiatan kerja praktek ini dianalisis secara deskriptif dengan
melihat karakter-karakter morfologi.Untuk identifikasi jenis burung berdasarkan
vocal atau audio dianalisis rekaman suara yang direkam. Data ditampilkan dalam
bentuk gambar dan tabel, dengan mencantumkan nama ilmiah dan nama lokal.
17

BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Hasil

Berdasarkan hasil pengamatan identifikasi jenis burung enggang yang


diperoleh selama 7 hari di lapangan data dapat diinterpretasikan sebagai berikut :

Gambar 5. 1 Kangkareng Hitam (Antracoceros malayanus) Jantan

Gambar 5. 2 Kangkareng Hitam (Antracoceros malayanus) Betina


18

Gambar 5. 3 Enggang Klihingan (Anorrhinus galeritus)

Gambar 5. 4 Rangkong Badak (Buceros rhinoceros)

Tabel 5. 1. Frekuensi Perjumpaan dengan Burung Enggang di Taman Nasional Betung


Kerihun

Perjumpaan
Jumlah
Lokasi Pagi Siang Sore
Visual Audio Visual Audio Visual Audio Visual Audio
Sungai
Mendalam 2 2 4 0 1 0 7 2
Sungai Gasa 0 0 2 0 2 0 4 0
Trail Mentibat 0 3 3 6 0 1 3 10
19

Tabel 5. 2. Jenis Burung Enggang di Taman Nasional Betung Kerihun

Status
Nama Spesies Nama Lokal Lokasi
IUCN CITES
E
Anorrhinus galeritus nggang Sungai Gasa NT Appendix II
Klihingan
Sungai
Kangkareng V
Antracoceros malayanus Mendalam Appendix II
Hitam U
Sungai Gasa
Sungai
Mendalam V
Buceros rhinoceros Enggang Cula Appendix II
Trail U
Mentibat
Rangkong Trail
Rhinoplax vigil CR Appendix I
Gading Mentibat

Jenis burung anggota famili Bucerotidae yang dijumpai di Sub Daerah


Aliran Sungai Mendalam sebanyak empat jenis yaitu Anorrhinus galeritus,
Antracoceros malayanus, Buceros rhinoceros, dan Rhinoplax vigil. Pada jalur
Sungai Gasa ditemui burung enggang jenis enggang klihingan atau Anorrhinus
galeritus sekitar pukul 16.35 WIB secara visual, sedang bertengger di dahan
pohon, kemudian ditemukan juga kangkareng hitam atau Antracoceros malayanus
jenis kelamin jantan yang terihat jelas dari morfologi warna paruh dan balung
berwarna putih pada pukul 16.39 WIB, sedang bertengger di dahan pohon tepat di
riparian sungai gasa.
Jalur Sungai Mendalam ditemui dua ekor burung enggang jenis
kangkareng hitam atau Antracoceros malayanus berjenis kelamin jantan dan
betina yang terlihat jelas dari perbedaan morfologi warna paruh dan balung,
dijumpai sekitar pukul 14.10 WIB sedang bertengger di dahan pohon mati.
Kemudian ditemukan juga enggang cula atau Buceros rhinoceros berjumlah dua
individu sedang terbang pada pukul 09.50 WIB dan ditemukan juga di hari yang
berbeda yaitu enggang cula atau Buceros rhinoceros sedang bertengger di dahan
pohon berjumlah satu individu pada pukul 13.38 WIB. Jenis enggang klihingan
atau Anorrhinus galeritus satu individu sedang bertengger dan memakan buah ara
atau Ficus sp. pada pukul 14.12 WIB. Kemudian ditemukan juga enggang cula
20

atau Buceros rhinoceros berjumlah empat individu sedang terbang pada pukul
13.59 WIB. Kemudian ditemukan jenis kangkareng hitam atau Antracoceros
malayanus jenis kelamin jantan berjumlah satu individu sedang bertengger di
dahan pohon pada pukul 10.48 WIB. Kemudian ditemukan jenis enggang cula
atau Buceros rhinoceros berjumlah satu individu sedang terbang pada pukul 16.26
WIB.

5.2. Pembahasan

Burung enggang ditemukan di Afrika tropis dan Asia dengan karakter


ukuran tubuh dan casque besar (Smythies, 1981). Sebagian besar spesies burung
enggang di Kalimantan terdaftar berada dalam kategori berisiko rendah atau
hampir terancam di Asia, sebagai dievaluasi oleh Bird Life International untuk
IUCN (Sreedharan, 2006).

5.2.1. Kangkareng Hitam atau Antracoceros malayanus


Kangkareng hitam (Anthracoceros malayanus) memiliki ukuran tubuh ±
75 cm. Warna bulu didominasi oleh warna hitam. Kepala dan leher berwarna
hitam. Paruh dan tanduk berwarna putih pada jantan sedangkan pada betina
berwarna kehitaman. Tanduk pada jantan lebih besar dibandingkan betina.
Matanya memiliki iris berwarna coklat kemerahan. Kangkareng hitam
(Anthracoceros malayanus) memiliki sayap berwarna hitam. Bulu pada bagian
dada dan paha berwarna hitam. Bulu ekor berwarna hitam dan ekor terluar
berujung putih, kakinya berwarna hitam. Kangkareng hitam memiliki suara
geraman yang serak (MacKinnon, 2000).
Bulu burung, seluruh tubuh berwarna hitam kecuali garis mata
superciliary yang dimulai di atas mata dan membentang kembali ke oksiput dan
sepertiga terakhir dari empat bulu ekor luar, batasan antara hitam dan putih adalah
garis lurus. Sepasang tengah bulu ekor berwarna hitam, beberapa terdapat juga
bagian ujung berwarna putih berukuran kecil. Ukuran tubuh jantan lebih besar
dari betina. Paruh dan casque, bentuk dan warnanya yang sangat dimorfik secara
seksual. Casque jantan berbentuk kapak dan cekung, bergerigi menyamping
21

sepanjangnya, dan berwarna putih kekuningan dengan ekstremitas posterior


casing dan dasar bawah pada rahang bawah dan rahang atas. Casque betina lebih
kecil terproyeksikan dan lebih sedikit panjang, dan paruh serta casque seluruhnya
berwarna hitam (frith dan frith, 1983).
Warna garis mata superciliary, warna area ini bervariasi dari warna
hitam, , abu-abu tua dan abu-abu pucat, dan putih keperakan. Tidak ada perbedaan
yang signifikan antara persentase dari setiap jenis kelamin yang menunjukkan
warna garis tertentu, atau perbedaan yang mencolok antara individu dewasa dan
belum dewasa (Kemp, 1979).

5.2.2 Enggang Klihingan atau Anorrhinus galeritus

Genus Anorrhinus juga dikenal sebagai burung enggang coklat. Genus


Anorrhinus memiliki ukuran tubuh sekitar 60-65 cm dengan berat tubuhnya 680-
1.250 gram.Genus ini terdiri dari satu spesies yaitu Anorrhinus galeritus
(Kinnaird et al., 2007).
Enggang klihingan atau enggang belukar (Anorrhinus galeritus) memiliki
ukuran tubuh 70 cm. Ekor berwarna coklat keabu-abuan dengan garis lebar hitam
pada ujungnya. Kulitnya tidak berbulu di sekitar mata dan tenggorokan berwarna
biru. Enggang klihingan jantan memiliki iris berwarna merah , pada betina irisnya
berwarna hitam, dan pada remaja berwarna biru. Paruh enggang klihingan jantan
berwarna hitam, sedangkan pada betina berwarna putih. Bagian kaki berwarna
hitam (Mackinnon, 2000).
Persebaran enggang klihingan (Anorrhinus galeritus) di hutan dataran
rendah dan daerah perbukitan, sampai ketinggian 1.800 mdpl. Kebiasaannya
hidup berkelompok antara 5-15 ekor dan pada umumnya mencari makan pada
tajuk tengah di hutan lebat (Mackinnon, 2000).

5.2.3 Rangkong Badak (Buceros rhinoceros)


Burung rangkong badak (Buceros rhinoceros) merupakan anggota dari
genus Buceros, spesies yang mempunyai karakter yang khas dikepala berupa
casque berbentuk tanduk dan mempunyai pelindung kepala yang berwarna
22

orange (Poonswad, 1993). Kemampuan burung rangkong badak memakan buah-


buahan dalam jumlah banyak. Rangkong badak sanggup menelan buah-buahan
dalam skala banyak. Biji-bijian dari hasil muntahan dan sisa dari pencernaan
burung rangkong badak sangat membantu untuk regenerasi dan menjamin
keberlanjutan ekosistem di area hutan, khususnya dikawasan Sungai Mendalam.
Distribusi penyebaran burung rangkong berada di Pulau Sumatra yang
menempati jumlah terbanyak burung rangkong dengan 9 jenis disusul dengan
Kalimantan dengan 8 jenis. Populasi burung rangkong badak di Indonesia saat ini
semakin menurun. Hal ini disebabkan berkurangnya kawasan habitat sebagai
akibat deforestasi hutan, berkurangnya makanan, tempat bersarang, dan tingginya
aktivitas perburuan burung rangkong badak.Karakter morfologi kepala burung
rangkong badak pada balung (casque) burung rangkong badak mempunyai warna
orange, sedangkan pada paruh burung rangkong badak memiliki warna putih,
morfologi pada iris mata burung rangkong badak memiliki warna iris merah, bulu
tubuh seluruhnya berwarna hitam dan pada bagian perut berwarna putih
sedangkan pada bulu penutup sayap tubuh (alula) memiliki pola warna coklat
kehitaman (Kinnaird et al., 2007).
Kehadiran burung rangkong badak sangat mencolok karena mempunyai
ukuran badan yang besar, serta kebiasaan dan suaranya yang khas. Keberadaan
burung rangkong badak sangat penting sebagai penyebar biji pohon yang dapat
membantu regenerasi tumbuhan, umumnya buah yang dimakan burung rangkong
badak bijinya dibuang di kawasan hutan. Burung rangkong badak hanya dapat
ditemui dalam jumlah kecil didalam satu kawasan hutan yang luas karena
dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor yang menentukan keberadaan burung
rangkong badak adalah ketersediaan makanan, tempat istirahat, bermain, kawin,
bersarang, bertengger dan berlindung. Keberadaaan burung rangkong badak
ditentukan oleh luasan, komposisi dan struktur vegetasi, banyaknya tipe ekosistem
dan bentuk habitat (Kemp, 1995).
23

5.2.4 Enggang Gading (Rhinoplax vigil)


Enggang gading atau Rhinoplax vigil adalah salah satu spesies enggang
terbesar di Asia, ini menempati habitat hutan dataran rendah di Brunei, Indonesia,
Malaysia, Myanmar dan Thailand dan dianggap punah di Singapura. Casque
kokoh unik Helmeted Hornbill sangat diminati di seluruh Asia sebagai bahan
untuk perhiasan dan ornamen berukir. Telah terdaftar di Appendix I dari
Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and
Flora (CITES) sejak 1975. Daftar ini melarang semua perdagangan komersial
internasional atas suku cadang, produk, dan spesimen. Namun, meningkatnya
permintaan, ditambah dengan penegakan hukum yang tidak memadai di beberapa
negara, telah menyebabkan lonjakan perdagangan ilegal baru-baru ini. Pada akhir
2015, lonjakan ini, dikombinasikan dengan hilangnya habitat yang sedang
berlangsung, mengarahkan Bird Life International (Otoritas Daftar Merah IUCN
untuk burung) untuk mengubah status konservasi spesies dalam Daftar Merah
Spesies Terancam Punah IUCN dari Hampir Terancam Punah (Near Threatened)
menjadi Sangat Terancam Punah (Critically Endangered) (Mackinnon, 2000).
Populasi liar enggang gading di Indonesia telah semakin terancam sejak
2011 oleh perburuan untuk memasok permintaan balung mentah dan berukir dan
sekarang menjadi barang koleksi mewah di antara konsumen di China dan Asia
Tenggara. Pihak tersebut mengakui kebutuhan untuk memperkuat kerjasama
teknis di antara semua pihak terkait dan dukungan keuangan yang akan
berkontribusi pada konservasi spesies yang lebih efektif (Beehler et al., 2001).
Burung enggang gading memiliki paruh yang relatif pendek dengan
pelindung kepala berwarna merah yang khas (padat pada jantan dan betina), di
bagian depan berwarna kuning karena minyak preen. Jantan memiliki leher
berwarna merah tidak berbulu, sedangkan betina memiliki kulit putih kebiruan di
leher dan selubung yang lebih kecil. Burung remaja memiliki ekor yang lebih
pendek, paruh kuning kecil dengan penutup kepala rendah dan kepala serta leher
berwarna biru kehijauan. Vokal jantan unik dan dapat didengar lebih dari 2 km.
Burung dewasa diperkirakan hidup selama 40 - 50 tahun. Ukuran dewasa
24

mencapai 110 - 120 cm, dengan satu atau dua bulu ekor diperpanjang 20 - 30 cm
di luar pangkal ekor (Kinnaird dan O’Brien, 2007).
Enggang gading telah dianggap penting bagi manusia selama berabad-
abad. Bulu ekor, kepala, dan balungnya telah digunakan sebagai dekorasi, dan
selama upacara oleh masyarakat adat. Setelah mencapai status mistis, enggang
gading juga dihormati dan sangat terkait dengan kehidupan setelah kematian, dan
merupakan lambang provinsi Kalimantan Barat, Indonesia (Bennett et al., 1997).
BAB VI
PENUTUP

6.1 Simpulan

Berdasarkan hasil yang ditemukan, dijumpai burung enggang jenis


kangkareng hitam (Antracoceros malayanus) dengan karakter morfologi warna
bulu didominasi oleh warna hitam, kepala dan leher berwarna hitam, paruh dan
casque berwarna putih pada jantan sedangkan pada betina berwarna hitam.
Burung enggang klihingan (Anorrhinus galeritus) dengan karakter morfologi
kulitnya tidak berbulu di sekitar mata dan tenggorokan berwarna biru, memiliki
paruh dan casque berwarna hitam pada jantan dan berwarna putih pada betina.
Burung rangkong badak (Buceros rhinoceros) dengan karakter morfologi berupa
casque berbentuk cula yang berwarna orange. Burung enggang gading
(Rhinoplax vigil) dengan karakter morfologi paruh yang relatif pendek dengan
pelindung kepala berwarna merah yang khas, leher tidak berbulu dan berwarna
merah pada jantan, berwarna putih kebiruan pada betina. Burung enggang jenis
kangkareng hitam (Antracoceros malayanus) ditemukan di jalur riparian Sungai
Mendalam dan jalur riparian Sungai Gasa, kemudian enggang klihingan
(Anorrhinus galeritus) ditemukan di jalur riparian Sungai Gasa, kemudian
rangkong cula (Buceros rhinoceros) ditemukan di jalur riparian Sungai Mendalam
perjumpaan visual dan di jalur Trail Mentibat perjumpaan audio, kemudian
enggang gading (Rhinoplax vigil) ditemukan di jalur Trail Mentibat perjumpaan
audio.

6.2 Saran

Perlu penelitian lebih lanjut terkait burung enggang (Famili Bucerotidae)


di Sud DAS (Daerah Aliran Sungai) Mendalam meliputi keanekaragaman,
preferensi pakan, karakteristik pohon sarang untuk melihat presentase habitat
yang sesuai atau mencukupi bagi burung enggang

25
DAFTAR PUSTAKA

Beehler, Bruce M., dkk. 2001. Burung-Burung di Papua. Bogor: LIPI-Seri Panduan
Lapangan.

Fachrul MF. 2007. Metode Sampling Bioekologi. Jakarta: PT. Bumi Aksara

Hadiprakarsa Y, Kinnaird MF. 2001. Karakteristik Pencarian Makan Empat Jenis


Burung Rangkong. Dalam WCS-IP. Taman Nasional Bukit Barisan Selatan
dalam Ruang dan Waktu, Laporan Penelitian 2000-2001. Bogor: WCS-IP/
PHKA.

Holmes DIS, Suwelo & B Van Balen. 1993. The Distribution and status of Hornbills
in Indonesia. Bangkok

Holmes D, Suwelo IS, Balen BV. 1993. The Distribution and Status of Hornbills in
Indonesia. Di dalam : Poonswad P & Kemp AC, Editor. Manual to the
Conservation of Asian Hornbills. Bangkok: Faculty of Science Mahidol Univ.
Hlm 316-331.

Kemp AC. 1995. The Hornbills : Bucerotiformes (Bird Families of the World).
London: Oxford University Press.

Kinnaird, M. F., & O’Brien T. G. (2007). The ecology adn conservation of Asian
hornbill : farmers of the forest. Chicago: University of Chicago Press. hlm.
315.

Lee RJ, Riley J, Merril R. 2001. Keanekaragaman Hayati dan Konservasi di Sulawesi
Bagian Utara. Jakarta: Prima Centra.

Mackinnon, John. 1991. Panduan Lapangan Pengenalan Burung-Burung di Jawa dan


Bali. Gadjah Mada University Press. Yogayakarta

MacKinnon J.,K. Philips dan B. Van Balen. 2010. Burung-burung di sumatera, Jawa,
Bali, dan Kalimantan. Buku. Puslitbang Biologi-LIPI. Bogor.
Mackinnon, John. 2000. Burung-Burung di Sumatera, Jawa, Bali dan Kalimantan
(Termasuk Sabah, Serawak dan Brunei Darussalam). Bogor: LIPI-Seri
Panduan Lapangan.

26
Madrim D. 1990. Studi Habitat Kangkareng Perut Putih (Anthracoceros coronatus
convexus) di Taman Wisata dan Cagar Alam Pananjung Pangandaran Ciamis
Jawa Barat. Skripsi. Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas
Kehutanan IPB.

Meijaard E, Sheil D, Nasi R, Augeri D, Rosenbaum B, Iskandar D, Setyawati T,


Lammertink M, Rachmatika I, Wong A, Soehartono T, Stanley S, O’Brein T.
2005. Life After Logging : Reconciling Wildlife Conservation and Production
Forestry in Indonesia Borneo. Jakarta: SMK Grafika Desa Putera.

Noerdjito M. 2005. Seri Nama Baku Fauna Indonesia, Seri kesatu Anatidae &
Bucerotidae. Bogor: Bidang Zoologi, Puslit Biologi – LIPI.

Poonswad, P. 1993. Aspect of the Biology And Ecology of Some Asian Hornbills.
Manual to the Conservation of Asian Hornbills. Hornbills Project Thailand.
Bangkok.

Poonswad, P. and Kemp, A. 1993. Manual to the conservation of Asian hornbills.


Bangkok: Sirivatana Interprint.

Smythies, B.E. 1981. The Birds of Borneo. 3rd ed. The Sabah Society with the
Malayan Nature Society, Sabah.

Sukmantoro, W., M. Irham, W. Novarino., F. Hasudungan., N. Kemp. dan M.


Muchtar. 2007. Daftar Burung Indonesia no. 2. Buku. Indonesian
Ornithologists’ Union. Bogor. 157 p

Sutedja IGNN, Indrabrata MY. 1992. Mengenal Lebih Dekat Satwa yang Dilindungi,
Burung. Jakarta: Biro Hubungan Masyarakat Sekretariat Jenderal
Departemen Kehutanan.

27
Lampiran 1.

Dokumentasi Kegiatan Kerja Praktek

Pengamatan Burung Enggang di jalur trail mentibat

28
Lampiran 2.

Surat Tugas

29
Lampiran 3.

Surat Permohonan SIMAKSI

30

Anda mungkin juga menyukai