Anda di halaman 1dari 80

SKRIPSI

PENGARUH INTERMITTENT FASTING TERHADAP JUMLAH KADAR


MALONDIALDEHID (MDA) PADA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus)
JANTAN GALUR WISTAR YANG DIINDUKSI PARACETAMOL

Penelitian Eksperimental Laboratoris

ARDANIS BERGAS RACHMANTYO


2015.04.1.0031

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HANG TUAH
SURABAYA
2020
SKRIPSI

PENGARUH INTERMITTENT FASTING TERHADAP JUMLAH KADAR


MALONDIALDEHID (MDA) PADA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus)
JANTAN GALUR WISTAR YANG DIINDUKSI PARACETAMOL

Penelitian Eksperimental Laboratoris

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana


Kedokteran pada Fakultas Kedokteran Universitas Hang Tuah Surabaya

ARDANIS BERGAS RACHMANTYO


2015.04.1.0031

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HANG TUAH
SURABAYA
2020

ii
PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Ardanis Bergas Rachmantyo


NIM : 20150410031

Dengan ini menyatakan bahwa usulan penelitian yang berjudul


“Pengaruh Inttermittent Fasting Terhadap Kadar Malondialdehid Tikus
Putih (Rattus norvegicus) Jantan Galur Wistar yang Diinduksi Oleh
Parasetamol” adalah orisinil, bebas plagiat, semua sumber baik yang
dikutip maupun yang dirujuk telah saya nyatakan dengan benar.
Apabila di kemudian hari terbukti terdapat plagiarisme dalam skripsi
saya, maka saya bersedia dituntut dan diproses sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan
dengan sebenar-benarnya.

Surabaya, 2 Desember 2019


Yang menyatakan,

Ardanis Bergas. R
2015.04.1.0031

iii
LEMBAR PENGESAHAN

SKRIPSI

PENGARUH INTERMITTENT FASTING TERHADAP JUMLAH KADAR


MALONDIALDEHID (MDA) PADA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus)
JANTAN GALUR WISTAR YANG DIINDUKSI PARACETAMOL
Penelitian Eksperimental Laboratoris

Oleh

ARDANIS BERGAS RACHMANTYO


2015.04.1.0031

Menyetujui :

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Eric Mayo Dagradi, dr., M.Kes Prajogo Wibowo, dr., M.Kes


01182 01170

iv
LEMBAR PERSETUJUAN

SKRIPSI
PENGARUH INTERMITTENT FASTING TERHADAP JUMLAH KADAR
MALONDIALDEHID (MDA) PADA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus)
JANTAN GALUR WISTAR YANG DIINDUKSI PARACETAMOL

Penelitian Eksperimental Laboratoris

Oleh

ARDANIS BERGAS RACHMANTYO


2015.04.1.0031

Menyetujui :
Ketua Penguji

Eric Mayo Dagradi, dr., M.Kes


01182

Anggota Penguji I, Anggota Penguji II,

Prajogo Wibowo, dr., M.Kes Dr. Eva Pravitasari. N, dr., SpPA., MH


01170 01452

v
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim Alhamdulillah Puji dan syukur kepada


Allah Subhanahu Wa Ta’ala, atas Rahmat dan Bimbingan-Nya,
penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan karya akhir
yang berjudul “PENGARUH INTERMITTENT FASTING TERHADAP
KADAR MALONDIALDEHID TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus)
JANTAN GALUR WISTAR YANG DIINDUKSI OLEH
PARASETAMOL”.
Skripsi ini diajukan sebagai syarat untuk meraih gelar sarjana
kedokteran. Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak akan
terselesaikan tanpa bantuan dari beberapa pihak. Oleh sebab
itu,dengan rendah hati penulis menyampaikan ucapan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada:

1. Laksamana Muda TNI (Purn) Ir. Sudirman, S.IP., S.E,. M.AP.,


selaku Rektor Universitas Hang Tuah Surabaya yang telah
memberikan kesempatan dan kemudahan untuk mengikuti
pendidikan di Universitas Hang Tuah Surabaya
2. Laksamana Pertama TNI (Purn) Sulantari, dr., Sp.THT-KL selaku
Dekan Fakultas Kedokteran Umum Universitas Hang Tuah
Surabaya yang telah membantu penulis selama mengikuti
pendidikan di Fakultas Kedokteran Universitas Hang Tuah
Surabaya.
3. Dian Ardiana, dr., Sp.KK, FINSDV, selaku Wakil Dekan I Fakultas
Kedokteran Umum Universitas Hang Tuah Surabaya yang telah
membantu memberi motivasi untuk teteap semangat menempuh
pendidikan di Fakultas Kedokteran Universitas Hang Tuah
Surabaya.
4. Djati Widodo Edi, dr., M.Kes. selaku Wakil Dekan II Fakultas
Kedokteran Umum Universitas Hang Tuah Surabaya yang telah
memberi kesempatan dan membantu penulis menyelesaikan

vi
pendidikan di Fakultas Kedokteran Universitas Hang Tuah
Surabya.
5. Prajogo Wibowo, dr.,M.Kes, selaku Wakil Dekan III Fakultas
Kedokteran Umum Universitas Hang Tuah Surabaya dan Dosen
Pembimbing yang telah memberi kesempatan dan membantu dan
memberikan ide penulis menyelesaikan pendidikan dan skripsi di
Fakultas Kedokteran Universitas Hang Tuah Surabaya.
6. A.Sareh Arjono Tjandra, dr., Sp.PK. selaku dosen wali yang selalu
membantu dan memberi saran dalam mengerjakan dan
menyelesaikan pendidikan di Fakultas Kedokteran Universitas
Hang Tuah Surabaya.
7. Eric Mayo Dagradi, dr., M.Kes dan memberikan ide, saran, dan
bimbingan bagi penulis untuk menyelesaikan penelitian ini.
8. Fitri Handajani, dr., M.Kes, selaku Kepala Laboratorium Biokimia
Fakultas Kedokteran Umum Universitas Hang Tuah Surabaya yang
memberikan kemudahan bagi penulis untuk menggunakan fasilitas
laboraturium dalam melakukan penelitian.
9. Para dosen Fakultas Kedokteran Umum Universitas Hang Tuah
Surabaya yang telah berkenan memberi ilmu, pengalaman dan
pelajaran yang berharga kepada penulis.
10. Arlene Kusuma Dewi, S.Si, M.Si., Dini Tri Wulandari, A.Md, dan
Eko Wahyu Nugroho selaku staf Laboraturium Biokimia Fakultas
Kedokteran Umum Universitas Hang Tuah Surabaya..
11. Orang tua tercinta, Ir. Yuarif Abadi dan Dra. Wahyu Lestari yang
telah mendidik dengan penuh kasih sayang, yang selalu
memotivasi saya untuk selalu belajar, mendoakan kesuksesan dan
keberhasilan saya, dan selalu memberi dukungan penuh baik
secara materi maupun imateriil dalam pendidikan saya.
12. Kakek serta nenek saya, Laksamana TNI (purn) Arief Koeshariadi,
Sri Widayati, (Alm.) RTB. Noeroedin Soerjaatmadja, (Almh.). R.Ay.
Simbarsini dan kakak saya adik adik saya, Ardityo Dimas dan
Ananda Satrio yang selalu memberikan dukungan moral dan

vii
spiritual bagi saya untuk tetap semangat dalam menghadapi
kehidupan serta semua keluarga besar R. Soewadi &
Soerjaatmadja yang selalu memberikan dukungan dalam bentuk
apapun.
13. Rekan satu tim penelitian Siti Jamila dan Sukma Maulana yang
sudah berjuang dan membantu satu sama lain sehingga mampu
melewati masa susah dan senang untuk menyelesaikan penelitian
dan skripsi ini.
14. Teman - teman terdekat saya, Sabriantoro Pratama, S.Ked dan I
Made Krisnadwipayana, S.Ked yang telah menemani saya
semenjak awal perkuliahan di fakultas kedokteran dan membantu
saya dalam masa masa sulit.
15. Teman - teman yang selalu membantu saya dalam berbagai hal,
lembur skripsi di ruang BEM dan juga santapan makan, Dakli Aufar,
Fariz Atiqi, M. Rizky Kurnia, Wisnu Tri dan Rizki Apriliyanto
16. Teman yang selalu saya tumpangi untuk mencetak proposal ini
Lintang Budi.K S.
17. Kakak kelas dan senior di BEM yang selalu membantu dan
memotivasi saya dalam mengerjakan penelitian dan skripsi ini,
Samiaji Gilang Arisandi, S.Ked dan M. Rizky Ramadhani, S.Ked.
18. Teman- teman terdekat lainnya yang selalu memberikan semangat,
membantu, dan memberi motivasi serta mengingatkan agar skripsi
ini dapat terselesaikan dengan tepat waktu. Semoga lulus bersama
menjadi dokter yang sukses

viii
Penulis menyadari bahwa tidak ada manusia yang sempurna, oleh
karena itu penulis mohon maaf apabila terdapat banyak kesalahan dalan
penyusunan skripsi ini. Saran dan kritik akan penulis terima dengan
lapang dada demi penyempurnaan skripsi ini. Semoga penelitian ini dapat
memberi manfaat bagi kita semua khususnya kawan kawan mahasiswa
Fakultas Kedokteran Universitas Hang Tuah Surabaya.
Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih dan Allah S.W.T
selalu memberikan berkat-Nya kepada semua pihak yang sudah
berkontribusi dalam penelitian ini.

Surabaya, 26 November 2019

Ardanis Bergas Rachmantyo

ix
DAFTAR ISI

PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME.........................................................................ii


LEMBAR PENGESAHAN............................................................................................iv
LEMBAR PERSETUJUAN............................................................................................v
KATA PENGANTAR............................................................................................vi
DAFTAR ISI................................................................................................................x
DAFTAR GAMBAR..................................................................................................xiv
DAFTAR TABEL........................................................................................................xv
DAFTAR SINGKATAN..............................................................................................xvi
ABSTRAK...............................................................................................................xvii
ABSTRACT............................................................................................................xviii
BAB 1........................................................................................................................1
PENDAHULUAN........................................................................................................1
1.1 Latar Belakang............................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.....................................................................................3
1.3 Tujuan..........................................................................................................3
1.3.1 Tujuan Umum....................................................................................3
1.3.2 Tujuan Khusus....................................................................................3
1.4 Manfaat Penelitian........................................................................................3
BAB 2........................................................................................................................4
2.1 Puasa...........................................................................................................4
2.1.1 Definisi puasa.....................................................................................4
2.1.2 Jenis - jenis puasa...............................................................................4
2.1.3 Efek puasa..........................................................................................6
2.1.4 Kelebihan dan kekurangan puasa......................................................7
2.1.5 Hubungan puasa dan radikal bebas...................................................7
2.1.6 Hubungan puasa dengan antioksidan................................................8
2.2 Radikal bebas dan senyawanya..................................................................8
2.3 Antioksidan.....................................................................................................9
2.4 Puasa sebagai stress oksidatif...................................................................14

x
2.5 Puasa sebagai antioksidan.........................................................................15
2.6 Stress Oksidatif.............................................................................................16
2.6.1 Penjelasan stress oksidatif....................................................................16
2.6.2 Sumber stress oksidatif.........................................................................16
2.7 Malondialdehid..............................................................................................18
2.7.1 Definisi Malondialdehid........................................................................18
2.7.2 Struktur kimia & sintesis malondialdehid.............................................18
2.7.3 Biokimia Malondialdehid......................................................................19
2.8 Paracetamol..................................................................................................19
2.8.1 Definisi dan penjelasan Paracetamol....................................................19
2.8.2 Farmakokinetika....................................................................................20
2.8.3 Indikasi..................................................................................................20
2.8.4 Efek samping.........................................................................................21
2.8.5 Dosis......................................................................................................21
2.8.6 Terapi....................................................................................................22
2.9` Tikus Putih Galur Wistar (Rattus norvegicus).........................................23
BAB 3....................................................................................................................24
3.1 Kerangka Konseptual..................................................................................24
3.1.1 Penjelasan Kerangka Konseptual.....................................................25
3.2 Hipotesis......................................................................................................26
BAB 4.....................................................................................................................27
4.1. Rancangan Penelitian.............................................................................27
4.1.1 Desain penelitian..................................................................................27
4.1.2 Metode penelitian...........................................................................27
4.2 Populasi, Sampel, Besar Sampel, dan Teknik Pengambilan Sampel
28
4.2.1 Populasi............................................................................................28
4.2.2 Sampel..............................................................................................28
4.2.3 Besar sampel....................................................................................29
4.2.4 Teknik pengambilan sampel............................................................30
4.3 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional.......................................30
4.3.1 Variabel penelitian...........................................................................30
4.3.2 Definisi operasional..........................................................................33
4.3.3 Hewan coba.....................................................................................34

xi
4.4 Alat dan Bahan Penelitian.......................................................................34
4.4.1 Alat penelitian..................................................................................34
4.4.2 Bahan penelitian..............................................................................35
4.5 Tempat dan Waktu Penelitian................................................................35
4.5.1 Tempat penelitian............................................................................35
4.5.2 Waktu penelitian..............................................................................35
4.6 Prosedur Pengambilan atau Pengambilan Data.................................35
4.6.1 Aklimitisasi hewan coba...................................................................35
4.6.2 Persiapan hewan coba.....................................................................35
4.6.3 Pembuatan paracetamol.................................................................36
4.6.4 Pembuatan CMC-Na.........................................................................36
4.6.5 Tahap perlakuan..............................................................................36
4.6.6 Perlakuan puasa...............................................................................37
4.6.7 Tahap anastesi.................................................................................37
4.6.8 Cara pengambilan darah..................................................................38
4.6.9 Cara pemeriksaan jumlah MDA.......................................................39
4.6.10 Cara memperlakukan karkas (sisa tubuh hewan coba) setelah
penelitian.......................................................................................................39
4.7 Manajemen Data......................................................................................39
4.8 Cara Analisis Data...................................................................................39
4.9 KERANGKA OPERASIONAL PENELITIAN........................................41
41
BAB 5......................................................................................................................42
5.1 Pengaruh Intermittent Fasting Terhadap Terhadap Jumlah Kadar MDA
(Malondialdehid) Tikus Putih (Ratus norvegicus) Jantan Galur Wistar Setelah
Diinduksi Parasetamol.......................................................................................42
5.2 Hasil Pemeriksaan MDA...................................................................................42
5.2.1 Hasil uji normalitas kadar MDA tikus putih (Rattus novergicus) galur
wistar setelah diinduksi parasetamol............................................................45
5.2.2 Hasil uji homogenitas............................................................................46
5.2.3 Hasil uji sensitivitas...............................................................................47
BAB 6....................................................................................................................48
PEMBAHASAN....................................................................................................48
BAB 7......................................................................................................................50
7.1 Kesimpulan.......................................................................................................50

xii
7.2 Saran................................................................................................................50
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................51
LAMPIRAN...........................................................................................................56
Lampiran 1. Jadwal Pelaksanaan...................................................................56
Lampiran 2. Surat Keterangan Hewan Coba & Hasil Pemeriksaan................57
Lampiran 3. Analisa Jumlah Malondialdehid (MDA).....................................60

xiii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Penyebab dan Penghambat Stress Oksidatif (Reuter et al.,


2010)..........................................................................................................16

Gambar 2.2 Struktur Malondialdehid.........................................................18

Gambar 2.3 Rumus Kimia Paracetamol (Smyth & FitzGerald, 2012).......20

Gambar 2.4 Tikus Rattus norvegicus galur wistar (Poryono, 2011).........23


Y

Gambar 5.1 Rerata kadar MDA Tikus Putih (Ratus norvegicus) Jantan
Galur Wistar Setelah Diinduksi Parasetamol Pada Tiap Kelompok
Perlakuan...................................................................................................44

xiv
DAFTAR TABEL

YTabel 2.1 Contoh antidot spesifik bagi penyakit keracunan akibat obat -
obatan (Katzung, 2011)..................................................................................

Tabel 4.1 Variabel dan Definisi Operasional.............................................33


Tabel 5.1 Hasil pemeriksaan kadar MDA Kelompok Hewan Coba...........43

Tabel 5.2 Deskripsi Statistik Kadar MDA Kelompok Hewan Coba...........44

Tabel 5.3 Hasil uji normalitas kadar MDA Tikus Putih (Ratus norvegicus)
Jantan Galur Wistar Setelah Diinduksi Parasetamol Pada Tiap Kelompok
Perlakuan dengan uji Shapiro-Wilk............................................................45

Tabel 5.4 Hasil uji homogenitas antar kelompok hewan coba..................46

Tabel 5.5 Hasil uji sensitivitas kadar MDA Tikus Putih (Ratus norvegicus)
Jantan Galur Wistar Setelah Diinduksi Parasetamol Pada Tiap Kelompok
Perlakuan dengan uji ONE WAY ANOVA.................................................47

xv
DAFTAR SINGKATAN

ADF : Alternate-day Fasting


ADH : Anti Diuretic Hormone (Vasopressin)
AGE : Advanced Glycation End-Products
ALE : Advanced Lipoxidation End-Products
CR : Caloric Restriction
CRP : C-Reactive Protein
DR : Dietary Restriction
GFR : Glomerular Filtration Rate
GPx : Glutathion Peroksidase
H2O2 : Hidrogen Peroksida
hsCRP : high sensitivity C-Reactive Protein
HOMA-IR : Homeo Static Model Assestment for Insulin Resistance
IF : Intermittent Fasting
MDA : Malondialdehid
NO : Nitrit Oksida
O2- : Anion Superoksida
OH• : Radikal Hidroksil
Prx : Peroxiredoxin
ROS : Reactive Oxygen Species
SIRT1 : Sirtuin 1
SIRT3 : Sirtuin 3
SOD : Superoxide Dismutase

xvi
ABSTRAK

PENGARUH INTERMITTENT FASTING TERHADAP JUMLAH KADAR


MALONDIALDEHID (MDA) PADA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus)
JANTAN GALUR WISTAR YANG DIINDUKSI PARACETAMOL
Ardanis Bergas Rachmantyo

Latar Belakang: Puasa merupakan salah satu bagian ibadah yang


banyak dilakukan oleh umat bergama diseluruh dunia. Sebagai contoh
pada agama Islam, puasa dilakukan sebelum matahari terbit hingga
matahari terbenam, dan agama lain seperti Kristen, Katolik, Hindu,
Buddha juga melakukan puasa secara tradisional sesuai ajaran mereka.
Paracetamol merupakan obat yang sering digunakan pada penggunaan
berlebihan dapat memicu permasalahan terutama penyakit pada liver.
Puasa dalam respon seluler adaptif yang mengurangi kerusakan oksidatif

Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh intermittent


fasting terhadap jumlah MDA pada tikus putih (Rattus novergicus) jantan
galur wistar yang diinduksi paracetamol.

Metode Penelitian: Penelitian ini adalah penelitian eksperimental murni


laboratoris dengan metode Post Test Only Control Group Design. Subyek
pada penelitian ini adalah 24 ekor tikus putih (Rattus novergicus) jantan
galur wistar yang dibagi menjadi empat kelompok yakni, kelompok hewan
coba yang diberi diet standar, kelompok hewan coba yang diberi
intermittent fasting, kelompok hewan coba yang diberi perlakuan diet
standar lau diinduksi paracetamol dengan dosis 50mg/tikus dan kelompok
hewan coba yang diberi perlakuan intermittent fasting dan diinduksi
paracetamol dosis 50mg/tikus.

Hasil Penelitian: Analisa deskriptif dari nilai rerata dan standar deviasi
lebih tinggi pada kelompok perlakuan intermittent fasting daripada diberi
diet standar. Uji Saphiro Wilk dan homogenitas varian menghasilkan
distribusi data yang homogen dan normal (p>0,05). Hasil analisa statistik
menggunakan uji One – Way Anova menunjukan tidak terdapat
penurunan jumlah MDA yang signifikan pada kelompok hewan coba yang
diberi perlakuan intermittent fasting dan diinduksi paracetamol 50mg/tikus
(p>0,05).

Simpulan: Pemberian perlakuan intermittent fasting tidak dapat


menurunkan jumlah MDA

Kata Kunci: Intermittent fasting, MDA, Paracetamol

xvii
ABSTRACT
THE EFFECT OF INTERMITTENT FASTING ON THE NUMBER OF
MALONDIALDEHYDE (MDA) IN WHITE MALE RAT (Rattus
Norvegicus) WISTAR STRAIN WHICH INDUCED WITH
PARACETAMOL
Ardanis Bergas Rachmantyo

Background: Fasting is one of worship that is mostly performed by


religious people around the world. For example in Islam, fasting is done
before sunrise and ended in sunset, and other religions such as
Christianity, Catholicism, Hinduism, Buddhism also do traditional fasting
according to their teachings. Paracetamol is a drug that is often used in
overuse can trigger problems, especially diseases of the liver. Fasting can
trigger adaptive cellular response that reduces damage

Purpose: This study aimed to determine the effect of intermittent fasting


on total amount of MDA in white male rat ( Rattus norvegicus) wistar strain
which administrated paracetamol.

Method: This study was a true experimental research using Post Test
Only Control Group Design . The subjects of this study were 24 wistar
male rat (Rattus novergicus) which were divided into four groups: a group
of experimental animal were given normal diet, a group of experimental
animal were given intermittent fasting, the group of experimental animal
were given a normal diet and acetaminophen at a dose of 50mg/rat and
the group of experimental animal were given intemittent fasting and
paracetamol at a dose of 50mg/rat.

Results: Descriptive analysis of mean and standard deviation was higher


in the intermittent fasting treatment group than given the standard diet.
Saphiro Wilk test and homogeneity of variants produce homogeneous and
normal data distribution (p> 0.05). Statistical analysis using the One-Way
Anova test showed that there was no significant decrease in the amount of
MDA in the group of experimental animals treated with intermittent fasting
and induced paracetamol 50mg/rat. (p> 0.05).

Conclusion: Intermittent fasting treatment can not reduce the amount of


MDA

Keywords: Intermittent fasting , The number of MDA, paracetamol

xviii
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Puasa merupakan salah satu bagian ibadah yang banyak dilakukan
oleh umat bergama diseluruh dunia. Sebagai contoh pada agama Islam,
puasa dilakukan sebelum matahari terbit hingga matahari terbenam, dan
agama lain seperti Kristen, Katolik, Hindu, Buddha juga melakukan puasa
secara tradisional sesuai ajaran mereka. (Longo & Mattson, 2014)
Puasa dapat didefinisikan sebagai sebagian atau total absen dari
seluruh makanan, atau abstensi yang dipilih dari makanan yang diijinkan.
Sebagai intervensi non farmakologis untuk meningkatkan kesehatan dan
umur panjang, puasa sudah menjadi subjek untuk sejumlah penelitian
(Trepanowski & Bloomer, 2010).
Jenis-jenis puasa (shaum), khususnya pada agama Islam,
dibedakan menjadi: (1) Shaum Wajib, (2) Shaum Sunnah
Puasa Daud adalah puasa sunnah yang biasa dikerjakan oleh Nabi
Daud. Puasa dikerjakan dengan cara sehari puasa dan sehari tidak.
Rasulullah SAW berkata kepada Abdullah bin 'Amru bin Al 'Ash:
"Berpuasalah dengan puasanya Nabi Allah Daud Alaihissalam dan jangan
kamu tambah lebih dari itu". Aku bertanya: "Bagaimanakah cara puasanya
Nabi Allah Daud Alaihissalam?" Beliau menjawab: "Dia berpuasa
setengah dari puasa Dahr (puasa sepanjang tahun) (caranya yaitu sehari
puasa dan sehari tidak)" (HR.Bukhari). (Kudus, 2018). Puasa Daud Ini
adalah puasa yang dilakukan dengan interval satu hari berpuasa dan tidak
pada hari berikutnya, akan tetapi puasa daud hanya dilakukan oleh
sebagian kecil dari umat muslim. Ini terjadi dikarenakan banyak orang
yang tidak menyadari banyaknya kebaikan serta manfaat puasa secara
spiritual dan kesehatan fisik (Aminati, 2015)

xix
Selain dilakukan untuk tujuan spiritual, puasa juga memiliki
potensi mempengaruhi kesehatan seseorang. Dengan demikian, efek
puasa agama baru-baru ini menjadi subjek penyelidikan ilmiah,
dengan sebagian besar penelitian sedang dilakukan dalam dua
dekade terakhir (Trepanowski & Bloomer, 2010).
Sebuah studi menunjukkan, Puasa dapat menurunkan hormon
Noradrenalin dan mengurangi efek simpatetik sebagai mekanisme
pengingat akan kebutuhan tidur . Puasa juga dapat meningkatkan
waktu tidur dan menumbuhkan rasa kantuk. Selain itu, puasa bisa
mengurangi tingkat sensitivitas hsCRP, yang dapat menimbulkan
gangguan tidur. Dan juga sebuah studi telah menjelaskan peran
puasa dalam respon seluler adaptif yang mengurangi kerusakan
oksidatif dan peradangan, mengoptimalkan metabolisme energi, dan
meningkatkan perlindungan seluler. Pada eukariota yang lebih
rendah, puasa memperpanjang umur panjang dengan memprogram
ulang jalur metabolisme dan stres. Pada tikus puasa intermiten atau
periodik melindungi terhadap diabetes, kanker, penyakit jantung, dan
neurodegenerasi, sedangkan pada manusia itu membantu
mengurangi obesitas, hipertensi, asma, dan rheumatoid arthritis.
Dengan demikian, puasa memiliki potensi untuk menunda penuaan
dan membantu mencegah dan mengobati penyakit sambil
meminimalkan efek samping yang disebabkan oleh intervensi diet
kronis (Longo & Mattson, 2014).
Berdasarkan kajian tentang puasa yang belum terungkap,
peneliti akan melakukan penelitian tentang pengaruh inttermittent
fasting terhadap kadar malondialdehid tikus putih (Rattus norvegicus)
jantan galur wistar yang diinduksi oleh Parasetamol.

xx
1.2 Rumusan Masalah
Apakah intermmittent fasting berpengaruh terhadap kadar
malondialdehid pada tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur
wistar yang diinduksi oleh paracetamol ?
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui pengaruh intermittent fasting terhadap kadar
malondialdehid pada tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur
Wistar yang diinduksi paracetamol.
1.3.2 Tujuan Khusus
Adanya pengaruh intermittent fasting terhadap penurunan
kadar malondialdehid kelompok tikus putih (Rattus norvegicus) jantan
galur Wistar yang diinduksi paracetamol.
1.4 Manfaat Penelitian
Mendapatkan informasi teoritis serta menambah pengetahuan
mengenai pengaruh intermittent fasting terhadap jumlah sel darah putih
pada tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur Wistar yang diinduksi
paracetamol.

xxi
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Puasa
2.1.1 Definisi puasa
Puasa didefinisikan sebagai absen sebagian atau total seluruh
makanan, atau absen tertentu dari makanan. Sebagai potensi intervensi
non-farmakologi untuk meningkatkan kesehatan dan umur panjang, puasa
sudah dijadikan subyek dari beberapa penelitian (Trepanowski & Bloomer,
2010).
Pada manusia, puasa dapat tercapai dengan mengkonsumsi tidak
atau minimal sejumlah makanan dan minuman berkalori selama beberapa
periode dari 12 jam hingga 3 minggu (Longo & Mattson, 2014).
2.1.2 Jenis - jenis puasa
Menurut Mattson, Longo, & Harvie (2017), terdapat beberapa tipe
puasa yang diketahui yaitu caloric restriction (CR), alternate-day fasting
(ADF), and dietary restriction (DR) dan juga intermittent fasting (IF).
1. Caloric Restriction adalah reduksi dari pemasukan kilocalori
(kcal) dengan persentase tertentu (khususnya 20 - 40 %) dari
konsumsi ad libitum. CR sudah didemonstrasikan dapat
meningkatkan kesehatan dan meningkatkan usia dari banyak
grup dari spesies termasuk : anjing, lalat, nematoda, hewan
pengerat, rotifer, laba - laba, primata bukan manusia dan ikan
zebra (Trepanowski & Bloomer 2010).
2. Alternate Day Fasting terdiri dari 24 jam periode bergantian :
saat "feast period", orang yang berpuasa dapat mengkonsumsi
makanan ad libitum; saat "fast period" konsumsi makanan

xxii
dibatasi atau dihentikan secara bersama - sama. Air
diperbolehkan ad libitum setiap saat. Percobaan pada binatang
ADF telah membuktikan perpanjangan masa hidup dan juga
penghambatan atau pervensi bersama dari perkembangan
banyak morbiditas (Trepanowski & Bloomer, 2010).
3. Dietary Restriction (DR) adalah reduksi dari satu atau lebih
komponen asupan makanan (biasanya makronutrien) dengan
reduksi minimal atau tidak sama sekali dari total asupan kcal.
Peneliti menyarankan bahwa restriksi karbohidrat maupun
restriksi lipid tidak memperpanjang hidup. Di sisi lain, restriksi
protein meningkatkan masa hidup maksimum hingga kurang
lebih 20 % (Trepanowski & Bloomer, 2010).
4. Intermittent fasting (IF) mencakup pola makan dimana individu
melewati periode watu (16-18 jam) dengan sedikit atau tanpa
asupan energi, dengan periode intervensi dari asupan makanan
normal, pada asas berulang. Yang paling menonjol diantaranya
adalah meningkatkan masa hidup, menurunkan mortalitas dari
kanker dan penyakit cardiovaskular, meningkatkan sensitivitas
insulin dan menurunkan stress oksidatif dan inflamasi (Mattson
et al., 2017).

Menurut Devries (1963) puasa dapat dibedakan menjadi beberapa


tipe berdasarkan pertimbangan melakukan puasa yaitu sebagai
berikut.

1. Religious fasting
Puasa yang dilakukan dengan berpantang terhadap makanan dan
minuman dengan tujuan untuk mengembangkan pemikiran spiritual
atau memenuhi ritual keagamaan.
2. Professional fasting
Puasa yang dilakukan dengan tujuan publisitas.

xxiii
3. Physiological fasting
Puasa yang dilakukan karena kondisi kekurangan makanan yang
terjadi secara alami, seperti hibernasi dan pantangan musiman
hewan tertentu.

4. Pathological fasting
Puasa ini dikaitkan dengan kondisi individu, individu melakukan
puasa karena ketidakmampuan untuk mengambil dan
mempertahankan makanan.

5. Accidental/ experimental fasting


Puasa yang dilakukan pada manusia atau hewan dengan tujuan
penyelidikan ilmiah (Devries, 1963).

2.1.3 Efek puasa

Puasa dapat menimbulkan chain effect pada manusia. Puasa


dikarakteristikan dengan serangkaian perubahan metabolic yang
terkoordinasi yang dilakukan untuk dengan menurunkan asupan
karbohidrat dan meningkatkan penggunaan lemak tubuh sebagai
substrat untuk pasokan energi. Puasa mempengaruhi peningkatan
laju proses glukoneogenesis dari asam amino, gliserol dan keton
untuk membantu mempertahankan pasokan karbohidrat. Adaptasi
fisiologis ini terkait dengan kebutuhan energi selama berpuasa
dilakukan dengan memobilisasi cadangan energi dalam tubuh yaitu
melalui proses glikogenolisis (pemecahan glikogen), pemecahan
lemak (lipolisis) menjadi asam lemak dan gliserol untuk kemudian
diubah menjadi asetil KoA sebagai bahan dalam siklus Krebs dan juga
akan dibentuk glukosa dari sumber nutrisi non karbohidrat
(glukoneogenesis), sebagai sumber energi alternatif (Guyton dan Hall,
2006). Selain itu, pada kondis terjadi adaptasi untuk keseimbangan

xxiv
cairan dalam tubuh dimana ginjal berperan penting sebagai organ
ekskresi utama. Mekanisme adaptasi fisiologis untuk menjaga
keseimbangan cairan adalah sebagai berikut. Dalam kondisi puasa
juga akan terjadi penurunan asupan cairan yang kemudian
menyebabkan peningkatan osmolaritas sehingga merangsang
produksi hormon antidiuretik (ADH). Hormon ini memicu peningkatan
reabsorbsi air di ginjal sehingga urine pekat dan sedikit. Penurunan
asupan cairan merangsang saraf simpatis yang memicu penurunan
Glomerular Filtration Rate (GFR). Selain itu, dalam kondisi puasa,
ginjal akan terangsang untuk memproduksi Aldosteron yang berfungsi
untuk meningkatkan reabsorpsi natrium sehingga meningkatkan
reabsorpsi air (Sherwood, 2007).

2.1.4 Kelebihan dan kekurangan puasa


Puasa memiliki kelebihan dan kekurangan. Untuk
kelebihannya, selain kepada aspek religius, juga mempunyai
pengaruh pada aspek kesehatan. Pada percobaan hewan, puasa
(terutama Intermittent fasting), bahwa puasa mengurangi kadar
glukosa plasma dan juga kadar insulin lebih rendah, dan juga
perubahan profil histopatologi lebih rendah pada otak dibanding
dengan yang tidak puasa. Selain itu puasa juga mengurangi ukuran
dari adiposa, baik itu pada visceral maupun subkutan. Dan juga
ditemukan penyeimbangan metabolisme trigliserida antara
anabolisme (glukoneogenesis & de novo lipogenesis) dengan
katabolisme (lipolisis) (Reis et al., 2013). Akan tetapi, puasa juga
memiliki efek negatif pada tubuh, karena pada puasa (terutama
Intermittent Fasting), Menurut Caramoci dkk. (2016) defisit kalori
sementara (intermitten fasting) menghasilkan stres oksidatif moderat
yang mengaktifkan gen yang bertanggung jawab dalam mekanisme
perbaikan dan perlindungan sel (Caramoci, 2016).

xxv
2.1.5 Hubungan puasa dan radikal bebas
Puasa merupakan jenis stres biologi yang dapat menyebabkan
terjadinya stres oksidatif. Stres oksidatif terjadi karena jumlah radikal
bebas lebih banyak dibandingkan antioksidan. Puasa seperti caloric
restriction secara temporer diketahui dapat meningkatkan produksi ROS
(Reactive Oxygen Species) yang kemudian memicu respon fisiologis yang
bersifat melindungi dan respon adaptif. Adanya respon ini menjadi
mekanisme fisiologi homeostasis penting yang mendasari efek positif
melakukan puasa (Wegman dkk., 2015).

2.1.6 Hubungan puasa dengan antioksidan


Ketika jumlah radikal bebas dalam tubuh meningkat maka secara
alami tubuh akan memberikan respon fisiologis untuk menetralisir radikal
bebas melalui aktivitas enzimatis. Tubuh secara aktif akan melepaskan
antioksidan endogen seperti superoxide dismutase (SOD), katalase,
glutathione peroxidase (GPx), peroxiredoxin (Prx) sebagai mekanisme
pertahanan terhadap radikal bebas. Mekanisme inilah yang menyebabkan
adanya respon adaptif pada tubuh (Sulastri dan Keswani, 2009).
Berdasarkan penelitian oleh Jannah dkk. (2016) mengemukakan
bahwa puasa seperti puasa Ramadan dapat meningkatkan level
superoxide dismutase (SOD) dan glutathione peroxidase (GPx) sehingga
dapat mencegah stress oksidatif, kerusakan sel dan penyakit degeneratif
(Jannah dkk., 2016).

2.2 Radikal bebas dan senyawanya

FR adalah suatu atom atau moleklul yang mempunyai satu atau


lebih elektron yang tidak berpasangan dalam strukturnya
(digambarkan dengan simbol titik dibelakang rumus kimianya).
Sebaliknya, kebanyakan biomolekul memiliki elektron yang
berpasangan. Oleh karena itu FR adalah sangat reaktif, karena pada
dasarnya elektron yang tidak berpasangan akan berupaya keras untuk

xxvi
dapat menemukan elektron lain untuk dapat berpasangan, baik
dengan menghibahkan elektron yang tak berpasangan tersebut
(proses oksidasi), maupun menerima elektron dari sumber lain
(proses reduksi). Mudah terjadinya reaksi kimia berantai ini adalah ciri
khas dari reaktivitas yang begitu tinggi dari FR, sebagaimana
digambarkan secara persamaan kimiawi sebagai berikut:

X. + Y: —> X+ + Y.- (radikal bebas X. menghibahkan elektron


pada molekul Y yang tak punya elektron bebas, yang kemudian pada
gilirannya menjadi radikal bebas Y. )

X. + Y: —> X- + Y.+ (radikal bebas X. mencuri elektron dari


molekul Y yang tak punya elektron bebas, yang kemudian pada
gilirannya menjadi radikal bebas Y. )

X. + Y —> XY. (radikal bebas X. mengikatkan diri dengan


molekul Y yang tak punya elektron bebas, sehingga sekarang radikal
bebas XY. ) (Danusantoso, 2003)

FR dapat bermuatan listrik negatif, positif ataupun netral. FR


tidak selalu harus mengandung atom O, tetapi FR utama dalam sistim
biologis merupakan derivat radikal dari atom oksigen, seperti misalnya
anion superoksid atau O2.- , hidroksil atau .OH dan nitrogenoksida-
sintase atau NO.-sintase.

Oleh karena itu kelompok FR atas dasar atom O ini disebut


pula ROS. Dengan demikian pada hakekatnya FR dapat juga
dikelompokkan kedalam ROS. Tetapi dalam kelompok ROS terdapat
juga berbagai senyawa dengan atom Oksigen yang bukan radikal
bebas, misalnya singlet oxygen atau | O2 , ozon atau O3 ,hidrogen
peroxyda atau H2O2 , asam hipoklorit atau HOCl. Semua molekul ini
dengan mudah dapat membentuk FR dengan derivat radikal dari atom
O baik dalam lingkungan ekstra maupun intraseluler. Oleh karena itu,

xxvii
sangat tepat untuk mengatakan bahwa oksidan utama dalam tubuh
manusia adalah ROS (Danusantoso, 2003).

2.3 Antioksidan

Antioksidan adalah molekul yang mampu menghambat oksidasi


dari molekul oksidan. Oksidasi merupakan reaksi kimia yang
memindahkan elektron dari satu substansi ke agen oksidan. Sebagai
pertahanan terhadap kerusakan oksidatif, maka sel dilengkapi dengan
berbagai jenis AO yang akan bekerja melalui beragam mekanisme.
Integritas selular dipertahankan oleh berbagai AO enzimatik antara
lain katalase, glutation peroksidase (GPX) dan glutation reduktase
(GRD) yang akan menahan dampak negatif H2O2 . Superoksida
dismutase (SOD) merupakan pelindung area ekstraseluler dari
dampak negatif (+O2-). Sedangkan sistem AO nonenzimatik akan
mempertahankan membran sel. Dalam hal ini termasuk glutation dan
asam askorbat (vitamin C) di fase air serta α-tokoferol (vitamin E) dan
ubiquinol (CoQ10) di fase lipid. AO dalam sistem biologis, dibedakan
atas:
Sistem AO enzimatik: SOD, katalase, GPX, GRD, Glukosa–6
fosfat dehidrogenase (G6PD), sistem sitokrom oksidase, peroksidase.
(a) Sistem AO nonenzimatik:
• Senyawa yang terbentuk in vivo seperti glutation, albumin,
transferin/laktoferin/seruloplasmin, feritin, sistein, bilirubin, dan lainnya
• Senyawa yang digolongkan mikronutrien esensial yakni karotenoid (β-
karoten), vitamin E, vitamin C, dan sebagainya.
Berdasarkan mekanisme pertahanannya, dibedakan atas:
1. Mekanisme pertahanan AO primer/chain breaking /scavenger
antioxidants adalah menetralisir radikal bebas dengan
mendonasikan satu elektronnya. Molekul AO yang telah
kehilangan 1 elektronnya akan menjadi radikal bebas yang
baru, namun dianggap relatif stabil atau akan dinetralisir oleh
AO lainnya. Contoh AO tipe ini ialah vitamin E,16 vitamin C,7

xxviii
asam α lipoat (ALA),5 CoQ10, flavonoid, asam urat dan
bilirubin.
2. Mekanisme pertahanan AO sekunder/preventive antioxidants
bekerja dengan mengikat logam, menyingkirkan berbagai
logam transisi pemicu ROS, dan menyingkirkan ROS. Contoh
AO tipe ini ialah transferin, laktoferin, seruloplasmin, dan
albumin.
3. Mekanisme pertahanan tersier dilakukan untuk mencegah
penumpukan biomolekul yang telah rusak agar tidak
menimbulkan kerusakan lebih lanjut. Misalnya kerusakan DNA
akan diperbaiki oleh enzim metionin sulfaoksida reduktase,
protein yang teroksidasi akan diproses oleh sistem enzim
proteolitik dan lipid teroksidasi oleh lipase, peroksidase dan
sebagainya.
AO juga dapat dibedakan berdasarkan kelarutannya. AO yang
larut dalam lemak misalnya vitamin A dan vitamin E dan CoQ10. AO
yang larut dalam air antara lain vitamin C dan glutation. Sedangkan
ALA merupakan AO yang larut dalam lemak dan air.
Lebih lanjut AO juga dapat dibedakan atas:
a. AO alamiah misalnya flavonoid, kumarin, asam fenolat, asam
linoleat, omega–3, vitamin E, β-karoten, vitamin C, dan lainnya.
b. AO farmakologis/sintetik antara lain: probukol, inhibitor xantin
oksidase (alopurinol, asam folat), SOD, katalase, NADPH
inhibitors (adenosin, calcium channel blockers), AO endogen
hasil akitivitas glutation peroksidase (glutation, asetilsistein),
inhibitor siklus redoks besi (deferoksmin, apotransferin,
seruloplasmin), antiinflamasi nonsteroid, oral antidiabetik
(misalnya metformin), statin (misalnya simvastatin), omeprazole,
dan sebagainya.
Terdapat 2 strategi guna meredam dampak negatif oksidan,
yakni mencegah menumpuknya senyawa oksidan dan mencegah
rantai reaksi berkelanjutan. Itu sebabnya, agar dapat bekerja secara

xxix
optimal maka diperlukan kerjasama sistem AO. Hindari penggunaan
AO tunggal sebagai panacea. Dalam industri kosmetik, dikenal istilah
network antioxidants yang bekerja sinergistik untuk regenerasi dan
saling meningkatkan kekuatan masing-masing. Baumann (2002),
menyatakan bahwa terdapat 5 jenis network AO yakni, vitamin A dan
C, ALA, glutation dan CoQ10. Berdasarkan cara pemberiannya, AO
dapat diberikan secara sistemik (oral maupun injeksi) dan topikal.
Keuntungan pemberian secara oral antara lain mudah dilakukan, tidak
seperti terapi topikal yang dipengaruhi oleh kondisi keringat atau
basah. Kelebihan lainnya, karena memberi efek sistemik dan mudah
dikombinasikan dengan strategi proteksi lainnya. Adanya kelebihan
berupa efek sistemik yang terjadi, akan memberi nilai tambah bila
diingat bahwa dampak negatif UV bersifat menyeluruh. Selain itu
perlindungan juga dapat mencapai dermis, area tempat penuaan juga
terjadi.
Terdapat beberapa jenis vitamin, 2 diantaranya adalah vitamin
terapeutik (yakni vitamin A dan vitamin D) dan lainnya adalah vitamin
AO (vitamin A dan E). Di samping itu ada beberapa vitamin lainnya
(misalnya vitamin D, B dan K), dan mikronutrien (antara lain mineral
zinc, selenium) serta karotenoid dan flavonoid yang berperan penting
dalam kehidupan.

Vitamin C
Vitamin C merupakan AO yang larut dalam air, pertama kali
diisolasi oleh Scent-Gyorgyi pada tahun 1928. Senyawa ini banyak
dijumpai pada sitrus dan sayuran berdaun hijau gelap. Vitamin C
sangat esensial dalam biosintesis kolagen dan mampu menurunkan
sintesis pigmen dengan menghambat enzim tirosinase dan dianggap
mampu mengurangi keluhan kelopak mata yang gelap. Vitamin C juga
merupakan senyawa reduktor terbanyak di tubuh dan merupakan AO
yang paling dominan di kulit. Bentuk radikal bebas yang terjadi
sesudah donasi elektronnya, relatif stabil, masih mampu berfungsi

xxx
sebagai scavenger AO dan dapat direduksi oleh sistem enzim.
Vitamin C mampu mendaur ulang radikal bebas vitamin E. Namun
adanya logam transisi (Fe2+ atau Cu2+) akan memicu vitamin C
menjadi prooksidan,2,24 suatu kondisi paradoks. Dosis harian vitamin
C yang dianjurkan (Recommended Daily Allowance/RDA) bervariasi
dari 40-60 mg/hari12 sampai 100 mg/hari.

Vitamin E
Vitamin E merupakan scavenger AO fase lipid utama yang
banyak dijumpai dalam kacangkacangan, minyak sayur dan sayur-
sayuran hijau. Saat terjadi stress oksidatif di stratum korneum, kadar
vitamin E akan menurun namun adanya vitamin C dan CoQ10 dan
selenium sebagai co-AO3 dapat mempertahankan proses regenerasi
vitamin E. RDA vitamin E ialah 22 IU/hari7 atau 30 mg/hari.

Vitamin A (retinol dan karotenoid)


Retinol dan karotenoid merupakan dua bentuk utama vitamin A
di alam. Retinol (preformed vitamin A) banyak dijumpai di telur, hati
dan susu. Sedangkan karotenoid (provitamin A) banyak dijumpai di
buah dan sayuran berwarna. Terdapat 3 jenis karotenoid utama yang
berasal dari diet yakni β-karoten, lutein dan likopen. β-karoten
merupakan mikronutrien terbanyak dengan senyawa yang efektif
dalam fotoproteksi sebagai scavenger AO natural terhadap oksigen
tunggal. Karotenoid mempunyai struktur kimia dan mekanisme kerja
menyerupai vitamin A, namun dengan efek AO yang lebih tinggi.
Flavonoid Flavonoid merupakan beragam senyawa polifenol aromatik
dengan efek AO. Diantaranya yang paling sering digunakan ialah
genistein (berasal dari kacang kedele) suatu fitoestrogen yang juga
merupakan scavenger AO terhadap gugus peroksil.2 Senyawa lainnya
ialah ekstrak teh hijau dan silimarin.

xxxi
ALA
ALA merupakan senyawa scavenger AO terhadap gugus
radikal hidroksil22 yang utama pada mitokondria14 dengan efek
antiinflamasi yang terbukti secara klinis dan objektif efektif dalam
penanganan photoaging. ALA dikenal sebagai outstanding AO yang
dapat menembus sawar darah-otak. ALA juga disebut AO metabolik
karena bentuk reduksinya yakni dihydro lipoic acid (DHLA) dapat
didaur ulang sendiri.5 ALA diperlukan untuk efisiensi fungsi biokimiawi
vitamin C dan E. Belum ada RDA yang ditetapkan, namun dosis yang
umum digunakan bervariasi dari 25-500 mg/hari.

CoQ10
CoQ10 adalah suatu koenzim yang di pasaran sering
dikategorikan sebagai vitamin. CoQ10 dikenal sebagai AO
intraseluler16 dan banyak berperan dalam reaksi biokimiawi di
mitokondria dan merupakan komponen GPX. CoQ10 merupakan AO
pertahanan lini pertama sesudah pajanan UV, dengan efek AO
menyerupai vitamin E dan mampu meningkatkan vitalitas sel karena
berfungsi sebagai stabilisator mitokondria. RDA CoQ10 ialah 30-90
mg/hari. Selenium Selenium merupakan mikronutrien esensial yang
diperlukan untuk bekerjanya enzim GPX yang penting dalam sistem
pertahanan terhadap stres oksidatif. RDA selenium ialah 55 μg/hari.

Zinc
Zinc termasuk mineral esensial yang memiliki efek AO yang
efektif di jaringan. Kulit dan adneksanya merupakan area yang kaya
akan zinc, yakni 20% dari total kadar di tubuh. Zinc dianggap
mempunyai 2 mekanisme AO, yakni kemampuan mengganti logam
transisi (Fe2+ atau Cu2+) dan menginduksi terbentuknya protein yang
dapat menetralisir ROS (Tjandrawinata et al., 2011).

xxxii
2.4 Puasa sebagai stress oksidatif

Intermitten fasting menghasilkan stres oksidatif moderat yang


mengaktifkan gen yang bertanggung jawab dalam mekanisme perbaikan
dan perlindungan sel (Caramoci dkk., 2016).
Menurut Wegman dkk., puasa merupakan jenis stres biologi yang
dapat menyebabkan terjadinya stres oksidatif. Puasa seperti caloric
restriction secara temporer diketahui dapat meningkatkan produksi ROS
(Reactive Oxygen Species) yang kemudian memicu respon fisiologis yang
bersifat melindungi dan respon adaptif. Adanya respon ini menjadi
mekanisme fisiologi homeostasis penting yang mendasari efek positif
melakukan puasa (Wegman dkk., 2015).
Mekanisme fisiologis saat puasa adalah terjadinya peningkatan
SIRT1, deacetylase histone yang berpengaruh terhadap metabolisme
seluler dan aging. SIRT1 berfungsi untuk mengatur gen yang memiliki
efek langsung terhadap proses penuaan, meningkatkan respon gen dan
bertindak sebagai antioksidan endogen untuk melindungi sel-sel dari
kerusakan oleh ROS. Apabila intermitten fasting dilakukan tanpa
suplementasi antioksidan, maka akan memiliki efek terhadap peningkatan
SIRT3 sebanyak 2,71%. Berdasarkan temuan ini diketahui bahwa
intermitten fasting memicu respon adaptif dengan peningkatan SIRT3
yang merupakan salah satu jenis sirtuin, kelompok histone deacetylases
dan berperan sebagai perlindungan sel terhadap stres oksidatif (Wegman
dkk., 2016)

2.5 Puasa sebagai antioksidan

Sebuah studi menunjukkan, Puasa dapat menurunkan hormon


Noradrenalin dan mengurangi efek simpatetik sebagai mekanisme
pengingat akan kebutuhan tidur . Puasa juga dapat meningkatkan
waktu tidur dan menumbuhkan rasa kantuk. Selain itu, puasa bisa
mengurangi tingkat sensitivitas hsCRP, yang dapat menimbulkan
gangguan tidur. Namun, studi tentang efek puasa Ramadhan pada

xxxiii
pola tidur menghasilkan variasi hasil yang disebabkan oleh variasi
usia, seperti dewasa muda aktif dengan lansia, serta durasi puasa dan
waktu santap sahur yang berbeda (Medicine & Indonesia, 2018).
Selain itu, penurunan resiko penyakit kardiovaskular ditemukan pada
pemeriksaan kondisi sebelum puasa dengan sesudah puasa. Indikator
indikator seperti kolesterol total, tekanan darah (sistolik-diastolik),
Insulin, HOMA-IR, CRP semuanya mengalami penurunan yang
signifikan secara klinis walaupun pada perhitungan statistik
penurunannya tidak signifikan (Trepanowski & Bloomer, 2010). Dan
juga sebuah studi telah menjelaskan peran puasa dalam respon
seluler adaptif yang mengurangi kerusakan oksidatif dan peradangan,
mengoptimalkan metabolisme energi, dan meningkatkan perlindungan
seluler. Pada eukariota yang lebih rendah, puasa memperpanjang
umur panjang dengan memprogram ulang jalur metabolisme dan
stres. Pada tikus puasa intermiten atau periodik melindungi terhadap
diabetes, kanker, penyakit jantung, dan neurodegenerasi, sedangkan
pada manusia itu membantu mengurangi obesitas, hipertensi, asma,
dan rheumatoid arthritis.

2.6 Stress Oksidatif


2.6.1 Penjelasan stress oksidatif
Stress oksidatif adalah mekanisme molekular fundamental dari
penuaan. Penting untuk kesejahteraan esensial, umur panjang dan
kelangsungan hidup. Stress oksidatif juga memicu pro-inflammatory
signaling pathway dan dikenal memiliki peran pada banyak variasi
penyakit seperti diabetes, penyakit kardiovaskular dan kondisi
neurodegenerative (Miller and Sadeh, 2014).
Stress oksidatif didefinisikan sebagai ketidakseimbangan produksi
dari radikal bebas dan metabolit reaktif , yang disebut sebagai oksidan
atau spesies oksigen reaktif, dan eliminasi mereka oleh mekanisme
protektif yaitu antioksidan. Ketidakseimbangan ini menyebabkan
kerusakan dari biomolekul penting dan juga sel, dengan dampak potensial
pada kesatuan organisme (Reuter et al., 2010).

xxxiv
2.6.2 Sumber stress oksidatif

Gambar 2.1 Penyebab dan Penghambat Stress Oksidatif (Reuter et al. 2010)

ROS diproduksi oleh metabolisme selular normal dan memainkan


peran vital pada stimulasi jalur sinyal pada sel tumbuhan dan binatang
pada respon perubahan kondisi lingkungan intra dan ekstraseluler.
Kebanyakan ROS dihasilkan dalam sel oleh rantai respirasi mitokondrial.
Saat reaksi metabolik endogen, sel aerobik menghasilkan ROS seperti
anion superoksida (O2-), hidrogen peroksida (H2O2) , radikal hidroksil
(OH•) dan peroksida organik sebagai perodik normal dari reduksi biologis
dari oksigen molekuler. Transfer elektron menuju oksigen molekular terjadi
pada level rantai respirasi, dan rantai transpor elekron terletak pada
membran mitokondria. Pada keadaan hipoksia, rantai respirasi
mitokondria juga memproduksi Nitrit oksida (NO), yang menghasilkan
spesies nitrogen reaktif (RNS). RNS selanjutnya dapat menghasilkan
spesies reaktif seperti aldehid reaktif - malondialdehyd dan 4-
hydroxynonenal- dengan menginduksi peroksidasi lipid berlebih. Protein
dan lipid juga merupakan target signifikan dari serangan oksidatif dan
modifikasi dari molekul ini dapat meningkatkan risiko mutagenesis
(Reuter et al., 2010).

xxxv
Reduksi single-electron dari oksigen molekuler menghasilkan
pembuatan ROS, termasuk superoksida, hidrogen peroksida, dan radikal
hidroksil. Tambahan ROS dapat dihasilkan oleh myeloperoxidase dari
hidrogen peroksida (asam hipoklorik) dan peroksidase lipid (LPO), yang
memproduksi sejumlah asam lemak hidroperoksida dan radikal alkosik.
Kombinasi dari kedua radikal. superperokisda dan oksida nitrit,
menghasilkan pembentukan dari peroxynitrit, spesies nitrogen yang
sangat reakti (RNS). Sumber dari ROS pada sel adalah rembesan dari
elektron yang berasal dari transpor elektron mitokondria (utamanya
superoksida). dari sistem P450 dan reduktasenya (superoksida dan
hidrogen peroksida) dan berasal dari oksida yang terdapat dalam sel
(seperti asam lemak pada peroksisom). Pada kondisi patofisiologis,
tambahan oksida seperti xanthin oksida, dapat dihasilkan dan menjadi
sumber dari ROS. Fagosit mengandung nikotinamida adenin dinukleotida
fosfat (NADPH) oksida (NOX2), yang melepaskan superoksida ke dalam
fagosome atau diluar dari sel ketika fagosit dihasilkan. Gabungan dari
myeloperoksida yang dilepaskan kemudian membentuk asam hipoklorik.
Beberapa jenis obat atau bahan kimia (seperti diquat dan paraquat) dapat
direduksi oleh P450 reduktase untuk membentuk radikal yang tidak stabil,
yang kemudian mentransfer elektron mereka menuju oksigen molekular
dan membentuk superoksida. Redox ini beredar pada pembentukan
sejumlah besar superoksida pada sel. Sehingga, terdapat sejumlah besar
jalan untuk membentuk ROS dan RNS pada lokasi yang berbeda di dalam
maupun di luar sel (Jaeschke et al., 2012).

2.7 Malondialdehid
2.7.1 Definisi Malondialdehid
Malondialdehid  adalah senyawa
organik dengan rumus CH2(CHO)2. Struktur senyawa ini lebih rumit
daripada struktur kimia yang tertulis. MDA merupakan senyawa reaktif
yang terbentuk secara alami dan merupakan penanda stres oksidatif.

xxxvi
(Davey MW, 2005). Senyawa malondialdehid merupakan produk akhir
peroksidasi lipid dalam tubuh, melalui proses enzimatik atau
nonenzimatik. (Ayuningati et al., 2018)

2.7.2 Struktur kimia & sintesis malondialdehid

Gambar 2.2 Struktur Malondialdehid

Malondialdehid umumnya berada dalam bentuk enol.

CH2(CHO)2 → HOCH=CH-CHO

Dalam pelarut organik, cis-isomer lebih disukai, sedangkan di


dalam air, trans-isomer mendominasi.

Malondialdehid adalah senyawa yang sangat reaktif yang tidak


biasa diamati dalam bentuk murni. Di laboratorium senyawa ini dapat
dihasilkan secara  in situ oleh hidrolisis 1,1,3,3-tetramethoxypropane,
yang tersedia secara komersial. senyawa tersebut mudah
dideprotonasi untuk menghasilkan garam natrium dari enolat (t.l. 245
°C). (Nair et al., 2008)

2.7.3 Biokimia Malondialdehid

Spesies oksigen reaktif menurunkan asam lemak tak jenuh ganda,


membentuk malondialdehid (Pryor & Stanley, 1975).  Senyawa Ini
merupakan aldehida yang sangat reaktif  dan merupakan salah satu dari
banyak spesi reaktif elektrofil yang menyebabkan stres dalam sel dan
membentuk ikatan kovalen dengan protein yang disebut sebagai

xxxvii
advanced lipoxidation end-products (ALE), dalam analogi dengan
advanced glycation end-products (AGE) (Glazebrook & Jurrian, 2007).
Produksi aldehida ini digunakan sebagai biomarker untuk mengukur
tingkat stres oksidatif dalam suatu organisme (Moore & Roberts, 1998)
(Del Rio et al., 2005).

2.8 Paracetamol
2.8.1 Definisi dan penjelasan Paracetamol
Paracetamol (N-acetyl-p-aminophenol; APAP) adalah obat
analgesik bebas yang secara luas digunakan dan obat antipiretik. Pada
dosisi terapeutik, obat ini diyakini aman dan memiliki dosis analgesik dan
efek antipiretik yang mirip dengan aspirin dan ibuprofen. Tidak seperti
obat lainnya, paracetamol hanya memiliki sifat anti inflamasi yang lemah
(Hinson et al., 2010).

Gambar 2.3 Rumus Kimia Paracetamol (Smyth & FitzGerald 2012)

Paracetamol adalah metabolik aktif fenasetin yang berperan


menghasilkan efek analgesik. Obat ini adalah inhibitor lemak COX-1 dan
COX-2 di jaringan perifer dan tidak memiliki efek antiinflamasi (Katzung,
2012).

2.8.2 Farmakokinetika
Penggunaan paracetamol biasanya diberikan secara oral dan
penyerapannya berkaitan dengan laju pengosongan lambung. Konsentrasi
puncak dalam darah biasanya dicapai pada 30 - 60 menit. Paracetamol

xxxviii
sedikit terikat dengan protein plasma dan mengalami metabolisasi parsial
oleh enzim - enzim mikrosom hati dan diubah menjadi acetaminophen
sulfat dan glukoronida, yang secara farmakologis inaktif. Kurang dari 5%
diekskresikan tanpa diubah. Suatu metabolit minor, tetapi sangat reaktif
(N-asetil-p-benzokuinon) berperan penting dalam dosis besar karena
bersifat toksik bagi hati dan ginjal. Waktu paruh Paracetamol adalah 2-3
jam tetapi bisa meningkat pada penyakit hati maupun ginjal (Katzung,
2012).

2.8.3 Indikasi
Paracetamol dikatakan setara dengan aspirin sebagai obat
analgesik dan antipiretik tetapi dia tidak memiliki fungsi sebagai anti-
inflamasi. Juga tidak mempengaruhi kadar asam urat dan tidak
menghambat trombosit. Indikasinya adalah nyeri ringan sampai sedang
seperti nyeri kepala, myalgia, nyeri pascapartus dan keadaan lain ketika
aspirin merupakan analgesik yang efektif. Paracetamol saja kurang
memadai untuk penyakit peradangan seperti artritis rematoid, meskipun
obat ini dapat digunakan sebagai analgesik adjuvan terhadap terapi anti
inflamasi. Obat ini merupakan pilihan bagi pasien yang memiliki riwayat
alergi terhadap aspirin maupun salisilat apabila sukar untuk ditoleransi.
Obat ini juga lebih disukai pada pasien dengan hemofilia, riwayat tukak
peptik dan bronkospasme akibat aspirin. Tidak seperti aspirin ,
acetaminophen juga tidak mengantagonisasi efek obat urikosurik
(Katzung, 2012).

2.8.4 Efek samping


Pada dosis terapeutik, obat ini dapat menimbulkan peningkatan
ringan pada enzim hati tanpa ikterus dan kondisi ini dapat reversibel. Pada
dosis yang lebih besar, dapat terjadi pusing bergoyang, eksitasi dan
disorientasi. Pemakaian 15 gram dapat menimbulkan terjadinya kematian,
akibat hepatotoksisitas berat disertai dengan nekrosis sentrilobulus,
kadang disertai nekrosis tubulus akut. Data menunjukkan bahwa terjadi

xxxix
peningkatan kelainan tes fungsi hati pada dosis 4 - 6 gram/hari. Dosis
diatas 4 gram biasanya tidak dianjurkan dan penggunaan alkohol adalah
kontraindikasi. Gejala yang dapat terjadi adalah mual, muntah, nyeri
abdomen dan diare (Katzung, 2012).
2.8.5 Dosis
Nyeri akut serta demam dapat ditangani secara efektif dengan 325
- 500 mg empat kali sehari dan lebih sedikit secara proporsional pada
anak. Pada orang dewasa, dosis tidak dianjurkan lebih dari 4g/hari
(Katzung, 2012).

xl
2.8.6 Terapi

Tabel 2.1 Contoh antidot spesifik bagi penyakit keracunan akibat obat - obatan
(Katzung, 2011)

Pada kerusakan hati akibat paracetamol yang dapat diberikan


sebagai antidot spesifik adalah asetilsistein (acetadote, mucomyst) yang
bekerja sebagai pengganti glutation, mengikat metabolik toksik yang
terbentuk. Obat ini efektif diberikan pada 8-10 jam setelah kelebihan dosis
atau diberikan sejak awal. Kemudian tetap harus dilakukan pemantauan

xli
terhadap uji fungsi hati dan kadar darah paracetamol. Acetadote diberikan
secara intravena dan mycomyst secara per oral (Katzung, 2012).

2.9` Tikus Putih Galur Wistar (Rattus norvegicus)

Gambar 2.4 Tikus Rattus norvegicus galur wistar (Poryono 2011)

Berdasarkan taksonomi, Rattus norvegicus diklasifikasikan


sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Sub-filum : Vertebrae
Kelas : Mamalia
Ordo : Rodentia
Sub-ordo : Myomorpha
Famili : Muridae
Genus : Rattus
Spesies: Rattus norvegicus
Galur : Wistar

xlii
BAB 3

KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS

3.1 Kerangka Konseptual

TIKUS NORMAL

DIINDUKSI STRESSOR
PARACETAMOL INTERMITTENT
FASTING
(STRESSOR)

DEPRESI SIRT 3
GLUTATION

BERIKATAN STRESS
DENGAN ASAM OKSIDATIF
LEMAK TAK JENUH
PADA SEL

PEROKSIDASI LIPID

STRESS OKSIDATIF

Ket. Gambar :
KADAR MDA : Berhubungan langsung

: Intervensi

xliii
3.1.1 Penjelasan Kerangka Konseptual

Acetaminophen adalah obat analgesik dan antipiretik yang umum


digunakan. Pada dosis terapetik tidak akan menyebabkan gangguan yang
berarti tetapi bila digunakan dengan dosis yang tinggi dapat menyebabkan
hepatotoksisitas melalui serangkaian mekanisme. Untuk membentuk
konjugatnya, biasanya paracetamol mengalami glukuronidasi dan sulfasi
serta sedikit masuk ke dalam jalur konjugasi GSH-dependen-P-450. Pada
keadaan dosis tinggi maka jalur GSH dependen P-450 akan menjadi lebih
dominan. Selama kondisi hati masih dalam keadaan yang baik maka tidak
akan terjadi kelainan yang berarti.
Parasetamol dosis toksik dimetabolisme di hepar oleh sitokrom
P-450 menjadi radikal bebas NAPQI yang jumlahnya berlebihan
sehingga cenderung berikatan dengan komponen sel yaitu asam
lemak tidak jenuh membran sel dan terjadi peroksidasi lipid sehingga
menimbulkan kenaikan kadar MDA (Rahmawati & Sakinah, 2018).
Radikal tersebut bereaksi dengan asam lemak tidak jenuh ganda pada
membran sel hepar sehingga menghasilkan peroksidasi lipid yang
selanjutnya akan mengubah struktur dan fungsi membran sel berupa
meningkatnya permeabilitas membran hingga kerusakan sel. Reaksi
peroksidasi lipid membran sel hepar akan meningkatkan produksi
senyawa MDA (Malondialdehid) (Rahmawati & Sakinah, 2018).
Mekanisme fisiologis saat puasa adalah terjadinya peningkatan
SIRT1, deacetylase histone yang berpengaruh terhadap metabolisme
seluler dan aging. SIRT1 berfungsi untuk mengatur gen yang memiliki
efek langsung terhadap proses penuaan, meningkatkan respon gen dan
bertindak sebagai antioksidan endogen untuk melindungi sel-sel dari
kerusakan oleh ROS. Apabila intermitten fasting dilakukan tanpa
suplementasi antioksidan, maka akan memiliki efek terhadap peningkatan
SIRT3 sebanyak 2,71%. Berdasarkan temuan ini diketahui bahwa
intermitten fasting memicu respon adaptif dengan peningkatan SIRT3
yang merupakan salah satu jenis sirtuin, kelompok histone deacetylases

xliv
dan berperan sebagai perlindungan sel terhadap stres oksidatif (Wegman
dkk., 2016)

3.2 Hipotesis

H0 : Tidak ada perbedaan kadar MDA tikus putih (Ratus norvegicus)


jantan galur wistar setelah diinduksi parasetamol pada tiap kelompok
perlakuan

H1 : Ada perbedaan kadar MDA tikus putih (Rattus norvegicus) jantan


galur wistar setelah diinduksi parasetamol pada tiap kelompok perlakuan.

xlv
BAB 4
METODE PENELITIAN

4.1. Rancangan Penelitian


4.1.1 Desain penelitian
Penelitian ini menggunakan disain penelitian eksperimental
murni laboratoris.
4.1.2 Metode penelitian
Metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini yaitu
Post Test Control Group Design. Secara skematis rancangan
penelitian tersebut digambarkan sebagai berikut:

P1
K1 O1

P2
K2 O2
S R

P1 P3
K3 O3

P2 P3
K4 O4

Keterangan:
S : Sampel
R : Randomisasi
K1 : Kelompok 1, kelompok kontrol negatif, yaitu kelompok tikus
wistar yang diberi diet standar saja selama 28 hari
K2 : Kelompok 2, kelompok kontrol positif, yaitu kelompok tikus
wistar yang diberi perlakuan intermittent fasting selama 28 hari

xlvi
K3 : Kelompok 3, kelompok perlakuan, yaitu kelompok tikus wistar
yang diberi diet standar selama 28 hari dan diinduksi
paracetamol dosis 50mg/tikus tiap hari selama 14 hari
K4 : Kelompok 4, kelompok perlakuan, yaitu kelompok tikus wistar
yang diberi perlakuan intermittent fasting selama 28 hari yang
kemudian akan diinduksi paracetamol dosis 50mg/tikus tiap
hari selama 14 hari
P1 : Perlakuan dengan memberikan diet standar
P2 : Perlakuan dengan memberikan diberi intermittent fasting
P3 : Perlakuan dengan memberikan induksi acetaminophen
O1 : Pemeriksaan kadar hitung jumlah Malonaldehid pada
kelompok 1
O2 : Pemeriksaan kadar hitung jumlah Malonaldehid pada
kelompok 2
O3 : Pemeriksaan kadar hitung jumlah Malonaldehid pada
kelompok 3
O4 : Pemeriksaan kadar hitung jumlah Malonaldehid pada
kelompok 4

4.2 Populasi, Sampel, Besar Sampel, dan Teknik Pengambilan


Sampel
4.2.1 Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah tikus putih (Rattus
norvegicus) jantan galur Wistar dewasa.
4.2.2 Sampel
Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus putih
(Rattus norvegicus) jantan galur Wistar berumur 2-3 bulan dengan
berat badan 150-200 gram.

Kriteria inklusi :

xlvii
a. Tikus putih (Rattus norvegicus) galur Wistar
b. Umur 2-3 bulan
c. Berat badan tikus 150-200 gram
d. Jenis kelamin jantan
e. Sehat selama penelitian (keadaan tikus: gerakan lincah, mata cerah,
bulu halus dan licin, nafsu makan baik, anatomi tubuh sempurna/baik,
dan berat badan tidak menurun lebih dari 10 % selama masa adaptasi)
Kriteria eksklusi :
a. Cacat tubuh
b. Berat badan kurang dari 150 gram atau lebih dari 200 gram
c. Sakit dalam 1 minggu pada saat persiapan atau adaptasi, yang dapat
dilihat dari tubuh melemah, kurang lincah, mata pudar, nafsu makan
turun, bulu yang kasar dan sedikit tegak.
Kriteria drop out :
a. Mati selama proses penelitian.

b. Menderita penyakit lain, disamping yang disebabkan oleh perlakuan


4.2.3 Besar sampel
Besar sampel pada penelitian ini menggunakan rumus Federer
(1955) sebagai berikut :
(k-1)(n-1)≥15
Keterangan
K = jumlah kelompok
N=banyaknya pengulangan / besar sampel
Sehingga
(4-1)(n-1) ≥15
3(n-1)≥15
3n -3 ≥ 15
3n ≥ 18
n≥6
20
x 6=1,2 2
100
Jumlah tikus : 6 +2 =8

xlviii
Ditambah 2 dari 20% untuk mengantisipasi jika ada tikus yang mati
atau sakit selama masa penelitian.Jadi besar sampel adalah 6 dengan
cadangan 2 hewan coba dalam setiap kelompok perlakuan.Besar sampel
minimal untuk tiap kelompok adalah 8. Sehingga total sampel yang
digunakan pada penelitian ini adalah 32 ekor hewan coba.

4.2.4 Teknik pengambilan sampel


Teknik pengambilan sampel menggunakan cara probability
sampling karena seluruh subjek penelitian memiliki kesempatan yang
sama untuk terpilih sebagai sampel baik dalam kelompok perlakuan
maupun kelompok kontrol dan menggunakan teknik pengambilan
sampel simple random sampling karena sampel hewan coba diambil
secara acak.

4.3 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional


4.3.1 Variabel penelitian
Dalam penelitian ini terdapat 3 variabel, yaitu:
1. Variabel Bebas (independent)
Variabel bebas merupakan variabel yang mempengaruhi atau
menjadi sebab terjadinya perubahan atau timbulnya variabel
tergantung.
2. Variabel Tergantung (dependent)
Variabel tergantung merupakan variabel yang dipengaruhi,
atau yang menjadi akibat karena adanya variabel bebas.
3. Variabel Kendali
Variabel kendali merupakan variabel yang dikendalikan atau
dibuat konstan, sehingga pengaruh variabel independent
terhadap variabel dependent tidak dipengaruhi oleh faktor
luar yang diteliti.

xlix
No Variabel Bentuk Definisi Indikator Cara Ukur Skala
Standar Data
Penelitian
1 Variabel intermi Puasa ini adalah Puasa Saat melakukan Rasio
Bebas ttent puasa yang dan tidak puasa subjek
fasting dilakukan secara puasa penelitian
bergantian dalam diberikan diet
(alternating), 28 hari dan minum
terdiri dari hari sedangkan yang
puasa dan tidak tidak puasa
puasa pada hari diberikan diet
berikutnya, standar dan
dilakukan secara minum
teratur dan terus
menerus dengan
pemberian
makanan pada
pagi hari dan
tidak pada
malam hari

2 Variabel Jumlah Malonaldehid Spektofo Sebanyak 100 Rasio


Tergant Malon senyawa reaktif tometri µl sampel
ung aldehi yang terbentuk (Plasma darah )
d secara alami dan atau standar
merupakan dimasukkan ke
penanda stres dalam tabung
oksidatif. sentrifuge yang
telah dilabel.
Pada Masing-
masing tabung
ditambahkan

l
aquabidest 0,9
ml pada sampel
selanjutnya
ditambahkan
TBA reagent 0,5
ml. Tabung
berisi larutan
kemudian
dipanaskan
dalam
waterbath pada
suhu 95 derajat
celcius selama
1 jam.
Selanjutnya
disentrifugasi
pada kecepatan
7000 rpm
selama 10
menit.
Supernatan
yang diperoleh
diukur
absorbansinya
menggunakan
spektrofotomete
r pada panjang
gelombang 532
nm
(Qadarpunagi,
2012)
3 Variabel Induksi Paracetamol (N- Dosis Perhitungan Rasio

li
Kendali parace acetyl-p- paraceta dosis yang
tamol aminophenol; mol diberikan
APAP) adalah dikonversi dari
obat analgesik dosis yang
bebas yang biasa digunakan
secara luas untuk manusia.
digunakan dan Obat
obat antipiretik. parasetamol
yang digunakan
ialah tablet 500
mg yang dijual
bebas dengan
dosis (toksik) 50
mg/tikus/hari
(dosis tunggal)
selama 14 hari
dengan cara
infus.(Kairupan,
2016)
Tabel 4.1 Variabel dan Definisi Operasional

4.3.2 Definisi operasional

1. Intermittent fasting
Intermittent fasting merupakan skala rasio. Puasa ini adalah puasa
yang dilakukan secara bergantian (alternating), terdiri dari hari
puasa dan tidak puasa pada hari berikutnya, dilakukan secara
teratur dan terus menerus.

2. Malondialdehid
Senyawa Ini merupakan aldehida yang sangat reaktif  dan
merupakan salah satu dari banyak spesi reaktif elektrofil yang

lii
menyebabkan stres dalam sel dan membentuk ikatan kovalen
dengan protein yang disebut sebagai advanced lipoxidation end-
products (ALE), dalam analogi dengan advanced glycation end-
products (AGE). Produksi aldehida ini digunakan sebagai
biomarker untuk mengukur tingkat stres oksidatif dalam suatu
organisme dalam satuan mmol/mL
.
3. Tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur Wistar

Tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur wistar termasuk skala


nominal dan berumur 2-3 bulan dengan berat badan 150-200 gram
dengan kondisi sehat yang ditandai dengan bulu mengkilap, aktif
bergerak dan tidak terdapat luka.
4.3.3 Hewan coba
Tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur Wistar, dengan usia 2-
3 bulan. Kemudian dipelihara dan diadaptasikan di Laboratorium Biokimia
Fakultas Kedokteran Universitas Hang Tuah Surabaya.

4.4 Alat dan Bahan Penelitian


4.4.1 Alat penelitian
1) Pemeliharaan
a. Kandang hewan coba
b. Tempat makan dan minum hewan coba
c. Sekam
d. Sonde lambung
e. Alat pengekang hewan coba
2) Pengambilan sampel
a. Spuit 3cc
b. Kapas
c. Toples
d. Jarum 26G
e. Gunting
f. Kertas Saring

liii
3) Pemeriksaan jumlah kadar Malondialdehid
4.4.2 Bahan penelitian

1) Pemeliharaan
a. Pakan standar
b. Air
2) Bahan lain
a. paracetamol
b. Larutan CMC-Na
c. Kapas dan alcohol 70
d. Ketamine
3) Pengambilan sampel: Dietil eter

4.5 Tempat dan Waktu Penelitian


4.5.1 Tempat penelitian
Tempat penelitian serta pemeriksaan jumlah MDA pada
penelitian ini adalah di Laboratorium Biokimia Fakultas Kedokteran
Universitas Hang Tuah Surabaya.
4.5.2 Waktu penelitian
Penelitian dilakukan selama 9 bulan, Februari - November
2019, dimulai dari pengajuan judul, pengumpulan data, penyusunan
proposal , analisis data sampai akhir penelitian dan penulisan laporan
penelitian dengan lama perlakuan hewan coba sekitar 28 hari.

4.6 Prosedur Pengambilan atau Pengambilan Data


4.6.1 Aklimitisasi hewan coba
Aklimitisasi tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur wistar
sejumlah 24 ekor selama 28 hari terhadap air, makanan serta hawa di
dalam kondisi laboratorium.

liv
4.6.2 Persiapan hewan coba
 Seluruh hewan coba, yaitu tikus putih jantan galur wistar,
diadakan penyesuaian terhadap lingkungannya selama 7 hari, disertai
dengan pemberian diet standar berupa pur 521 dan air minum. Hewan
coba ditempatkan secara acak di dalam kandang berukuran 34 cm,
lebar 28 cm, dan tinggi 15 cm. Kandang ditempatkan pada ruangan
yang cukup udara dan cahaya agar tidak lembab, jauh dari
kebisingan, dan tidak terpapar matahari secara langsung. Hewan
coba diberi tanda agar tidak terjadi kesalahan.
4.6.3 Pembuatan paracetamol
Dalam menghitung dosis paracetamol yang akan diberikan pada
hewan coba dalam hal ini tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur
Wistar, digunakan perhitungan yang telah dikonversikan dari dosis yang
biasa digunakan untuk manusia. Untuk dosis manusia dengan berat
badan 70kg adalah 15.20gram per hari (Katzung, 2007). Pada penelitian
ini menggunakan dosis tablet 500 mg yang dijual bebas (Brataco) yang
dijadikan serbuk sebelum dilarutkan dengan dosis (toksik) 50 mg/tikus/hari
(dosis tunggal) pada kelompok K3 dan K4 dengan cara infusi. (Kairupan,
2016)
4.6.4 Pembuatan CMC-Na
Pembuatan larutan CMC-Na dengan cara 1 gram CMC-Na
dicampur dengan 100 ml air yang difiltrasi, ditabur secara merata di atas
air tersebut, ditunggu kurang lebih 15 menit, kemudian diaduk sampai
sempurna
4.6.5 Tahap perlakuan
Setelah proses adaptasi dilakukan, seluruh tikus putih jantan
galur wistar dibagi secara acak menjadi empat kelompok antara lain:
1. Kelompok kontrol negatif (Kelompok 1, K1)
Setelah diadaptasi selama 7 hari, kelompok tikus putih ini diberi diet
standar selama 28 hari.
2. Kelompok kontrol positif (Kelompok 2, K2)

lv
Setelah diadaptasi selama 7 hari, kelompok tikus putih ini diberi
intermittent fasting dengan total hari perlakuan adalah 28 hari.
3. Kelompok perlakuan 1 (Kelompok 3, K3)
Setelah diadaptasi selama 7 hari, kelompok tikus putih ini diberi
makanan diet standar selama 28 hari dengan pemberian
paracetamol tiap harinya sebanyak 50 mg/tikus/hari (dosis tunggal)
selama 14 hari.
4. Kelompok perlakuan 2 (Kelompok 4, K4 )
Setelah diadaptasi selama 7 hari, kelompok tikus putih ini diberi
intermittent fasting selama 28 hari dengan pemberian paracetamol
tiap harinya sebanyak 50 mg/tikus/hari (dosis tunggal) selama 14
hari.
Seluruh kelompok hewan coba pada hari ke-29 setelah dilakukan
penelitian dikorbankan dan darah tikus diambil dari jantung serta
dilakukan pemeriksaan jumlah kadar malondialdehid
4.6.6 Perlakuan puasa
Perlakuan yang akan diberikan adalah dengan membagi kelompok
tikus menjadi 4 kelompok yaitu: satu kelompok dengan pemberian
makanan AL, ad libtum; IF, pemberian makanan EOD, every other day
:setiap satu hari setelahnya; dan dua kelompok dengan masing - masing
perlakuan di atas yang diberikan induksi paracetamol dosis toksik. Tikus
diberikan tempat dengan 12 jam cahaya serta 12 jam kegelapan (cahaya
pada jam 6 pagi dan dimatikan pada jam 6 sore); Tikus adalah hewan
pengerat yang aktif beraktivitas dan makan pada malam hari. Sehingga,
makanan tersedia dan diambil pada jam 10 pagi bagi tikus yang memakan
diet standar. Bagi tikus yang melakukan intermittent fasting, makanan
akan diambil pada saat menjelang sore. Sehingga tikus tersebut tidak
mendapat asupan makanan pada malam hari. (Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian Kalimantan Timur, 2015). Air tersedia AL untuk
semua kelompok. Asupan makanan diukur setiap harinya. Untuk
mencegah terjadinya tumpahan, diberikan seprai putih untuk

lvi
mempermudah pemisahan makanan yang tidak dikonsumsi dan kotoran
dari tikus.
4.6.7 Tahap anastesi
Pada hari ke-29, semua tikus dianastesi untuk diambil darah dari
jantungnya. Anastesi dilakukan dengan menggunakan ketamin 40 - 80
mg/kg BB secara intramuscular injection dengan cara :

1. Memposisikan tikus dengan cara menggenggam leher


2. Asisten memfiksasi kaki dan menyuntikkan substansi pada otot
paha belakang.
3. Volume yang disuntikkan 0,4 ml.
4. Ketebalan jarum yang paling kecil memungkinkan lewatnya
substansi yang diinjeksikan dengan mudah dan tidak melengkung
ketika dimasukkan ke dalam hewan, biasanya gauge needle cukup
adekuat.
5. Selanjutnya dilakukan pemeriksan reflex kaki untuk memastikan
bahwa tikus bisa merasakan rasa nyeri.

4.6.8 Cara pengambilan darah


Pengambilan darah berasal darah berasal dari jantung tikus.
Sebelumnya, tikus dipuasakan selama 10-12 jam dan hanya diberikan
minum aquades. Kemudian dilakukan pengambilan darah dengan
proses sebagai berikut :
1. Menyiapkan alat dan bahan untuk pengambilan darah
2. Mengganti jarum pada spuit 3cc dengan jarum 26G
3. Menuangkan dietil eter secukupnya ke kapas kemudian
memasukkannya ke dalam toples
4. Mengeluarkan tikus yang akan diambil darahnya dari kandang
5. Memasukkan tikus ke dalam toples yang di dalamnya terdapat
kapas yang dibasahi dietil eter sampai tikus terlihat lemah dan
kehilangan kesadaran
6. Posisi tikus dengan posisi dada menghadap operator

lvii
7. Operator meraba dada tikus untuk memperkirakan posisi jantung
(diantara kedua kaki depan tikus)
8. Kemudian menusukkan jarum spuit secara tegak lurus terhadap
dada tikus pada posisi jantung tikus
9. Mengambil darah tikus secara maksimal dengan spuit 3cc
10. Sampel darah yang telah diperoleh, diberi tdana sesuai asal
kelompok sampel dan nomor tikus
11. Sampel darah kemudian dibawa ke laboratorium untuk dilakukan
pemeriksaan kadar jumlah MDA tikus
12. Memasukkan kembali tikus ke dalam toples sampai tikus mati
4.6.9 Cara pemeriksaan jumlah MDA
Sebanyak 100 µl sampel (Plasma darah) atau standar dimasukkan
ke dalam tabung sentrifuge yang telah dilabel. Pada Masing-masing
tabung ditambahkan aquabidest 0,9 ml pada sampel selanjutnya
ditambahkan TBA reagent 0,5 ml. Tabung berisi larutan kemudian
dipanaskan dalam waterbath pada suhu 95 derajat celcius selama 1 jam.
Selanjutnya disentrifugasi pada kecepatan 7000 rpm selama 10 menit.
Supernatan yang diperoleh diukur absorbansinya menggunakan
spektrofotometer pada panjang gelombang 532 nm (Qadarpunagi, 2012)
4.6.10 Cara memperlakukan karkas (sisa tubuh hewan coba) setelah
penelitian
Setelah dilakukan pengambilan sampel darah, dilakukan
euthanasia dan sisa tubuh hewan dikubur.

4.7 Manajemen Data


Sampel darah kemudian diberi label sesuai dengan kelompok dan dibawa
ke Balai Besar Laboratorium Kesehatan Surabaya untuk pemeriksaan
kadar leukoist darag. Data kemudian di periksa kelengkapannya, diolah
dan dianalisis menggunakan program SPSS.
4.8 Cara Analisis Data
Analsis statistik dilakukan untuk mengetahui apakah terdapat
pengaruh dari perlakuan intermittent fasting terhadap kadar

lviii
malonaldehid tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur Wistar yang
diberikan paracetamol dosis toksik. Dari hasil percobaan, data
dianalisis dengan menggunakan program Statistical Product and
Service Solution yang meliputi langkah analisis sebagai berikut:
1. Analisis data penyebaran dan pemusatan data atau statistik
deskriptif.
2. Uji normalitas data dengan Saphiro Wilk untuk mengetahui apakah
distribusi data normal.
3. Apabila datanya berdistribusi normal, dilanjutkan dengan uji
homogenitas varian.
4. Jika varian homogen maka dilakukan one way anova. Bila pada
one way anova menghasilkan p<0,05 (terdapat perbedaan yang
bermakna), dilanjutkan dengan menganalisa perbedaannya.
5. Apabila pada uji normalitas data tidak berdistribusi normal atau
pada uji homogenitas data tidak homogen, data tidak dapat
dianalisa dengan one way anova, melainkan dengan Kruskal
Wallis. Bila pada Kruskal Wallis menghasilkan p<0,05 (terdapat
perbedaan yang bermakna), dilanjutkan dengan menganalisa
perbedaannya

lix
4.9 KERANGKA OPERASIONAL PENELITIAN

Tikus Putih Jantan Galur Wistar

Adaptasi selama 7 hari

Kelompok kontrol Kelompok kontrol Kelompok Kelompok perlakuan


negatif (K1) positif (K2) perlakuan (K3) (K4)
8

selama 28 hari diberi perlakuan selama 28 hari diberi perlakuan


diberi diet standar intermittent fasting diberi diet standar intermittent fasting
selama 28 hari selama 28 hari

diinjeksikan diinjeksikan
paracetamol dosis 50 paracetamol dosis 50
mg/tikus/hari (dosis mg/tikus/hari (dosis
tunggal)selama 14 hari tunggal)selama 14
hari

Pemeriksaan Jumlah MDA

Uji Analisis Data

lx
BAB 5
HASIL PENELITIAN

5.1 Pengaruh Intermittent Fasting Terhadap Terhadap Jumlah Kadar


MDA (Malondialdehid) Tikus Putih (Ratus norvegicus) Jantan Galur
Wistar Setelah Diinduksi Parasetamol
Penelitian dilakukan di Laboratorium Biokimia Fakultas
Kedokteran Universitas Hang Tuah Surabaya selama 9 bulan, pada
periode Februari - November 2019, dimulai dari pengajuan judul,
pengumpulan data, penyusunan proposal, analisis data sampai akhir
penelitian dan penulisan laporan penelitian dengan lama perlakuan
hewan coba sekitar 28 hari.
Besar sampel yang digunakan sebanyak 24 ekor tikus putih,
dihitung berdasarkan rumus Federer, yang dibagi menjadi 4 kelompok
yaitu:
1. Kelompok hewan coba yang diberi diet standar selama 28 hari. (K1)
2. Kelompok hewan coba yang diberi intermittent fasting selama 28 hari.
(K2)
3. Kelompok hewan coba yang diberi diet standar dan diinduksi
parasetamol dosis 400mg/kg pada hari ke-15 sampai hari ke-28. (K3)
4. Kelompok hewan coba yang diberi intermittent fasting dan diinduksi
parasetamol dosis 400mg/kg pada hari ke-15 sampai hari ke-28 (K4)

5.2 Hasil Pemeriksaan MDA


Kadar MDA dari kelompok hewan coba yang diberi diet standar,
kelompok hewan coba yang diberi perlakuan intermittent fasting,
kelompok hewan coba yang yang diinduksi paracetamol 400 mg/kg
dan kelompok hewan coba yang diberi perlakuan intermittent fasting
dan diinduksi paraceamol 400 mg/kg dapat dilihat pada Tabel 5.1

lxi
KELOMPOK TIKUS
NO MDA (nmol/L)
K1 K2 K3 K4
1 82 58 69,5 70
2 51,5 60,5 52,5 73,5
3 44,5 58 54 41
4 46,5 57,5 44,5 56
5 67,6 44,5 51,5 93
6 54,28 82 79,5 66
RERATA 57,73 60,0833 58,5833 66,5833
Tabel 5.1 Hasil pemeriksaan kadar MDA Kelompok Hewan Coba

Keterangan :
K1 : Kelompok hewan coba yang diberi diet standar selama 28 hari.
K2 : Kelompok hewan coba yang diberi perlakuan intermittent fasting
selama 28 hari.
K3 : Kelompok hewan coba yang diberi diet standar dan diinduksi
parasetamol dosis 50mg/tikus pada hari ke-15 sampai hari ke-28.
K4 : Kelompok hewan coba yang diberi perlakuan intermittent fasting
dan diinduksi parasetamol dosis 50mg/tikus pada hari ke-15
sampai hari ke-28
Rerata, standar deviasi, nilai minimum, dan nilai maksimum kadar MDA
dari kelompok hewan coba yang diberi diet standar, kelompok hewan
coba yang diberi perlakuan intermittent fasting, kelompok hewan coba
yang yang diinduksi paracetamol 50mg/tikus dan kelompok hewan coba
yang diberi perlakuan intermittent fasting dan diinduksi 50mg/tikus dapat
dilihat pada Tabel 5.2

lxii
Kelompok
N Minimum Maksimum Rerata Std. Deviasi
perlakuan
K1 6 44,5 82 57,73 14,41049
K2 6 44,5 82 60,0833 12,15490
K3 6 44,5 79,5 58,5833 13,13932
K4 6 41 93 66,5833 17,45972
Tabel 5.2 Deskripsi Statistik Kadar MDA Kelompok Hewan Coba

Berdasarkan tabel 5.1 dan 5.2 dapat diketahui bahwa rerata


MDA tertinggi ada pada kelompok perlakuan yang diberi perlakuan
intermittent fasting dan diinduksi parasetamol dosis 400 mg/kg pada
hari ke-15 sampai hari ke-28 (K4), yaitu sebesar 66,5833 nmol/L dan
rerata MDA terendah ada pada kelompok kontrol negatif (K1) yang
diberi diet standar selama 28 hari, yaitu sebesar 57,73 nmol/L. Hasil
lebih jelas dapat dilihat pada grafik di bawah ini (Gambar 5.1)
68 66.58
66
64
62
60.08
60 58.58
57.73
58
56
54
52
K1 K2 K3 K4

MDA

Gambar 5.1 Rerata kadar MDA Tikus Putih (Ratus norvegicus) Jantan Galur
Wistar Setelah Diinduksi Parasetamol Pada Tiap Kelompok Perlakuan

lxiii
5.2.1 Hasil uji normalitas kadar MDA tikus putih (Rattus novergicus)
galur wistar setelah diinduksi parasetamol

Uji normalitas dilakukan dengan parameter Saphiro-Wilk


dikarenakan besaran sampel yang diteliti kurang dari 50 (n < 50).
Hasil uji normalitas pada masing-masing kelompok dapat dilihat pada
tabel 5.3.
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
KELOMPOK Statistic df Sig. Statistic df Sig.
MDA KONTROL NEGATIF ,261 6 ,200* ,883 6 ,283
KONTROL POSITIF ,320 6 ,055 ,843 6 ,138
PERLAKUAN TANPA
,303 6 ,090 ,888 6 ,309
INTERMITTENT FASTING
PERLAKUAN DENGAN
,179 6 ,200* ,983 6 ,964
INTERMITTENT FASTING

Tabel 5.3 Hasil uji normalitas kadar MDA Tikus Putih (Ratus norvegicus) Jantan
Galur Wistar Setelah Diinduksi Parasetamol Pada Tiap Kelompok Perlakuan
dengan uji Shapiro-Wilk

Keterangan Pengujian:
a. Jika signifikansi p > 0.05 maka data berdistribusi normal
b. Jika signifikansi p < 0.05 maka data berdistribusi tidak normal

Berdasarkan hasil analisis yang terdapat pada Tabel 5.2, hasil


signifikansi masing-masing kelompok mempunyai nilai signifikansi >
0.05 menunjukkan distribusi data normal.

5.2.2 Hasil uji homogenitas

lxiv
Data pengukuran kadar MDA tikus putih (Ratus norvegicus)
jantan galur Wistar setelah diinduksi paracetamol mempunyai
distribusi yang normal maka dilanjutkan dengan melakukan uji
homogenitas varian (uji Levene) yang bertujuan untuk mengetahui
kelompok data (K1, K2, K3 dan K4) mempunyai varian homogen atau
tidak. Uji ini dilakukan dengan taraf signifikansi (α) = 0,05. Data kadar
SGPT tikus putih (Ratus norvegicus) jantan galur wistar setelah
diinduksi parasetamol dikatakan homogen jika nilai p > α. Sebaliknya,
jika nilai p < α maka data tidak homogen. Hasil pengujian yang
diperoleh disajikan pada tabel 5.4.
Test of Homogeneity of Variances
MDA

Levene Statistic df1 df2 Sig.

,356 3 20 ,785
Tabel 5.4 Hasil uji homogenitas antar kelompok hewan coba

Berdasarkan tabel 5.4 di atas, hasil uji Levene untuk kadar


MDA tikus putih (Ratus norvegicus) jantan galur wistar setelah
diinduksi parasetamol mempunyai nilai p = 0,785. Hal ini berarti varian
data kadar MDA tikus putih (Ratus norvegicus) jantan galur Wistar
setelah diinduksi parasetamol homogen (p > 0,05). Sehingga
pengujian dilanjutkan dengan metode uji sensitivitas ONE WAY
ANOVA

lxv
5.2.3 Hasil uji sensitivitas

Data pengukuran kadar MDA tikus putih (Ratus norvegicus)


jantan galur Wistar setelah diinduksi paracetamol mempunyai
distribusi yang normal dan homogen, maka dilanjutkan untuk
melakukan uji sensitivitas dengan metode ONE WAY ANOVA. Uji ini
bertujuan untuk menguji hipotesis dari penilitian ini dengan hipotesis
sebagai berikut :

H0: Tidak ada perbedaan kadar MDA tikus putih (Ratus


norvegicus) jantan galur wistar setelah diinduksi parasetamol pada
tiap kelompok perlakuan.
H1: Ada perbedaan kadar MDA tikus putih (Rattus norvegicus)
jantan galur wistar setelah diinduksi parasetamol pada tiap kelompok
perlakuan.

Hasil uji sensitivitas ini dapat dilihat pada tabel 5.5


ANOVA
MDA

Sum of Squares Df Mean Square F Sig.

Between Groups 289,722 3 96,574 ,464 ,711


Within Groups 4164,436 20 208,222
Total 4454,158 23
Tabel 5.5 Hasil uji sensitivitas kadar MDA Tikus Putih (Ratus norvegicus) Jantan
Galur Wistar Setelah Diinduksi Parasetamol Pada Tiap Kelompok Perlakuan
dengan uji ONE WAY ANOVA

Berdasarkan hasil uji ONE WAY ANOVA pada Tabel 5.5,


diperoleh nilai p = 0,711 > 0,05, yang berarti tidak terdapat perbedaan
kadar MDA tikus putih (Ratus norvegicus) jantan galur wistar setelah
diinduksi parasetamol pada tiap kelompok perlakuan. Karena tidak
adanya perbedaan yang bermakna antar kelompok maka tidak
dilakukan analisis post hoc test.

lxvi
BAB 6
PEMBAHASAN

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar MDA pada tikus


yang diberikan diet intermittent fasting selama 28 hari adalah sebesar
60,0833 IU/L sedangkan MDA tikus kontrol negatif yang diberi diet
standar selama 28 hari yaitu sebesar 57,73 IU/L. Dari hasil ini
memberikan sebuah gambaran bahwa intermittent fasting yang
dilakukan dapat menimbulkan stress oksidatif secara transien
(sementara).
Pada penelitian ini, perlakuan dengan intermittent fasting dapat
meningkatkan kadar MDA yang dihasilkan. Hal ini terjadi karena puasa
merupakan salah satu stress oksidatif. Intermitten fasting menghasilkan
stres oksidatif moderat yang mengaktifkan gen yang bertanggung jawab
dalam mekanisme perbaikan dan perlindungan sel (Caramoci dkk.,2016).
Puasa merupakan jenis stress biologi yang dapat menyebabkan terjadinya
stres oksidatif. Puasa seperti caloric restriction secara temporer diketahui
dapat meningkatkan produksi ROS (Reactive Oxygen Species) yang
kemudian memicu respon fisiologis yang bersifat melindungi dan respon
adaptif. Adanya respon ini menjadi mekanisme fisiologi homeostasis
penting yang mendasari efek positif melakukan puasa (Wegman dkk.,
2015).
Peningkatan ROS akan meningkatkan produksi dari MDA, karena
Spesies oksigen reaktif menurunkan asam lemak tak jenuh ganda,
membentuk malondialdehid (Pryor & Stanley, 1975).  Senyawa Ini
merupakan aldehida yang sangat reaktif  dan merupakan salah satu dari
banyak spesi reaktif elektrofil yang menyebabkan stres dalam sel dan
membentuk ikatan kovalen dengan protein yang disebut sebagai
advanced lipoxidation end-products (ALE), dalam analogi dengan
advanced glycation end-products (AGE) (Glazebrook & Jurrian 2007).
Dari hasil penelitian menunjukkan adanya kenaikan kadar MDA
antara kelompok perlakuan tikus yang diberi diet standar kemudian

lxvii
diinduksi parasetamol 50mg/tikus selama 28 hari (K3) & kelompok
perlakuan tikus yang diberi diet standar kemudian diinduksi parasetamol
50mg/tikus dan dipuasakan intermittent fasting selama 28 hari (K4). Pada
K3 diketahui kadar MDA setelah penelitian adalah 58,5833 , sedangkan
K4 adalah 66,5833. Hal ini dapat terjadi karena stress oksidatif yang
transien yang disebabkan oleh puasa, juga dikarenakan adanya
penambahan beban stress oksidatif pada hepar. Hal ini bisa menimbulkan
penurunan aktivitas superoxide dismutase dan kandungan Cu, Zn-SOD
(Copper, Zinc Superoxide), serta meningkatnya kadar MDA
(Malondialdehida) jaringan hati bila dibandingkan dengan kelompok
control (Tuan, 2014). Selain itu, sifat tikus yang nocturnal (hewan yang
hidup & mencari makan pada malam hari) dapat menjadi faktor pemicu
mengapa tikus yang diberi perlakuan puasa cenderung memiliki kadar
MDA lebih tinggi, yang bisa disebabkan oleh berbagai macam faktor
(seperti kandang, jumlah pakan, dsb) yang bisa menimbulkan
kemungkinan adanya stress fisiologis lain yang tidak disebabkan oleh
puasa.
Berdasarkan pembahasan diatas dapat diambil kesimpulan, bahwa
tidak ada perbedaan kadar MDA yang bermakna antara kelompok hewan
yang tidak dipuasakan (kontrol negatif & perlakuan induksi parasetamol)
dengan kelompok hewan yang dipuasakan (tanpa induksi parasetamol-
diinduksi parasetamol).

lxviii
BAB 7

KESIMPULAN DAN SARAN

7.1 Kesimpulan

Tidak terdapat penurunan kadar MDA tikus putih (Ratus


norvegicus) jantan galur wistar setelah diinduksi parasetamol pada
tiap kelompok perlakuan.

7.2 Saran

Berdasarkan pembahasan hasil yang didapatkan dalam


penelitian ini, dapat disarankan untuk :

1. Melakukan penelitian pengaruh intermitten fasting terhadap


peningkatan kadar MDA pada tubuh tikus putih (Rattus norvegicus)
jantan galur wistar yang diinduksi parasetamol dengan jangka waktu
penelitian lebih lama dalam memberikan perlakuan puasa.

2. Melakukan penelitian lebih lanjut dengan beberapa pilihan durasi


intermittent fasting sehingga dapat mengetahui durasi minimal yang
dapat menurunkan kadar MDA tikus putih (Rattus norvegicus) jantan
galur Wistar.

3. Dapat dilakukan penelitian serupa namun dengan menggunakan


obat lain seperti contoh Strepzotocin

lxix
DAFTAR PUSTAKA

Aminati, A., 2015. RECOMMENDATION OF DAUD FASTING IN HADITH


(Study about The Optional of Daud Fasting and Its Benefits).

Ayuningati, L.K. et al., 2018. Perbedaan Kadar Malondialdehid ( MDA )


pada Pasien Dermatitis Atopik dan Nondermatitis Atopik ( Difference
Level of Malondialdehyde [ MDA ] in Atopic Dermatitis and Non-
atopic Dermatitis Patients ).

Caramoci, A. et al., 2016, Is Intermitten Fasting A Scientifically-based


Dietary Method, Medicina Sportiva, 12(2): 2747-2755.

Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kalimantan Timur, 2015.


Pengendalian Tikus Pada Tanaman Padi. , pp.1–6.

Danusantoso, H., 2003. Peran radikal bebas terhadap beberapa penyakit


paru. , 22(1), pp.31–36.

Davey MW, 2005. High-throughput determination of malondialdehyde in


plant tissues. High-throughput determination of malondialdehyde in
plant tissues.

Del Rio, D. et al., 2005. A review of recent studies on malondialdehyde as


toxic molecule and biological marker of oxidative stress. Nutrition,
Metabolism and Cardiovascular Diseases, 15(4), pp.316–328.
Available at: https://doi.org/10.1016/j.numecd.2005.05.003.

Devries, Arnold, 1963, Therapeutic Fasting, 4th Ed., Chandler Book Co.,
Los Angeles 5 California

lxx
Federer, W. (1963). Experimental Design Theory and Application. Oxford:
Oxford and Lbh Publish Hinco.

Glazebrook, J. & Jurrian, T., 2007. Current Opinion in Plant Biology,


Hinson, J.A., Roberts, D.W. & James, L.P., 2010. Adverse Drug
Reactions,

Jaeschke, H., McGill, M.R. & Ramachandran, A., 2012. Oxidant stress,
mitochondria, and cell death mechanisms in drug-induced liver injury:
Lessons learned from acetaminophen hepatotoxicity. Drug
Metabolism Reviews, 44(1), pp.88–106.

Jannah, M., Nasihun, T., dan Sumarawati, T., 2016, The Effect of Fasting
on the Concentration of Enzimatic Antioxidants (Superoxide
Dismutase and Glutathione Peroxidase) in Rats, Sains Medika,
7(1): 15-20.

Kairupan, C.F., 2016. Pengaruh Pemberian Ekstrak Daun Cengkeh


(Syzygium aromaticum) Terhadap Gambaran Histopatologik Hati
Tikus Wistar yang Diberikan Parasetamol Dosis Toksik. , 4.

Kudus, I., 2018. PERBANDINGAN PENGARUH PUASA DAUD DAN


PUASA SENIN-KAMIS TERHADAP KADAR KOLESTEROL PADA. ,
1(2), pp.192–207.

Longo, V.D. & Mattson, M.P., 2014. Review Fasting : Molecular


Mechanisms and Clinical Applications. Cell Metabolism, 19(2),
pp.181–192. Available at:
http://dx.doi.org/10.1016/j.cmet.2013.12.008.

Mattson, M.P., Longo, V.D. & Harvie, M., 2017. Impact of intermittent

lxxi
fasting on health and disease processes. Ageing Research Reviews,
39, pp.46–58.

Medicine, F. & Indonesia, U.I., 2018. Original article Decreased anxiety


after Dawood fasting in the pre-elderly and elderly Abstract : , pp.1–9.

Miller, M.W. & Sadeh, N., 2014. Traumatic stress, oxidative stress and
post-Traumatic stress disorder: Neurodegeneration and the
accelerated-aging hypothesis. Molecular Psychiatry, 19(11), pp.1156–
1162.

Moore, K. & Roberts, L.J., 1998. Measurement of Lipid Peroxidation. Free


Radical Research, 28(6), pp.659–671. Available at:
https://doi.org/10.3109/10715769809065821.

Nair, V., O’Neil, C.L. & Wang, P.G., 2008. Malondialdehyde. Encyclopedia
of Reagents for Organic Synthesis. Available at:
https://doi.org/10.1002/047084289X.rm013.pub2.

Poryono, M., 2011. Pengaruh Pemberian Jus Daging Buah Alpukat


(Persea americana Mill) terhadap Peningkatan Kadar HDL Serum
Tikus Putih Jantan (Rattus norvegicus) Galur Wistar yang Diberi Diet
Tinggi Lemak. Universitas Hang Tuah Surabaya.

Pryor, W.A. & Stanley, J.P., 1975. Suggested mechanism for the
production of malonaldehyde during the autoxidation of
polyunsaturated fatty acids. Nonenzymic production of prostaglandin
endoperoxides during autoxidation. The Journal of Organic
Chemistry, 40(24), pp.3615–3617. Available at:
https://doi.org/10.1021/jo00912a038.

lxxii
Qadarpunagi, A., 2011. Analisis kadar malondialdehid ( mda ) plasma
penderita polip hidung berdasarkan dominasi sel inflamasi pada
pemeriksaan histopatologi. , (0411), pp.1–16.

Rahmawati, N. & Sakinah, E.N., 2018. Pengaruh Pemberian Cuka Apel ’ A


’ terhadap Kadar MDA Hepar Tikus Wistar Jantan yang Diinduksi
Parasetamol Dosis Toksik ( The Effect of ’ A ’ Apple Vinegar on the
Liver MDA of Male Wistar Rat Induced by Toxic Dose of
Paracetamol ). , 6(2), pp.272–277.

Reis, F. et al., 2013. Review article Effects of intermittent fasting on


metabolism in men ଝ. Rev Assoc Med Bras, 59(2), pp.167–173.
Available at: http://dx.doi.org/10.1016/S2255-4823(13)70451-X.

Reuter, S. et al., 2010. Oxidative stress, inflammation, and cancer: How


are they linked? Free Radical Biology and Medicine, 49(11), pp.1603–
1616.

Smyth, E.M. & FitzGerald, G. a., 2012. Katzung; Basic and clinical
Pharmacology,

Sulastri, D., dan Keswani, R.R., 2009, Pengaruh Pemberian Isoflavon


Terhadap Jumlah Eritrosit dan Aktivitas Enzim Katalase Tikus yang
Dipapar Sinar Ultraviolet, Majalah Kedokteran Andalas, 33(2): 169-
173

Tjandrawinata, R.R. et al., 2011. Medicinus Scientific Djournal of


Pharmaceutical Development and Medical Application : Anti Aging,

Trepanowski, J.F. & Bloomer, R.J., 2010. The impact of religious fasting

lxxiii
on human health. , pp.1–9.

Tuan, Y.E., 2014. Pengaruh Periode Puasa Sebagai Penginduksi Stres


Terhadap Perubahan Jumlah Limfosit dan Neutrofil Pada Mencit Putih
Jantan. , pp.1–6.

Wegman, M.P. et al., 2015, Practicality of Intermittent Fasting in Humans


and its Effect on Oxidative Stress and Genes Related to Aging and
Metabolism, RejuvenationRes, 18(2): 162-172

lxxiv
LAMPIRAN
Lampiran 1. Jadwal Pelaksanaan
N Keterangan Feb Mei- Nov De Ja
o Okt c n
1 Konsultasi judul dan
pembuatan proposal

2 Perizinan dan
persiapan penelitian

3 Penelitian
4 Analisis data
5
Pembuatan laporan
6
Sidang skripsi
7
Perbaikan dan
penyerahan hasil
skripsi

lxxv
Lampiran 2. Surat Keterangan Hewan Coba, Hasil Pemeriksaan &
Keterangan Etik

lxxvi
lxxvii
lxxviii
Lampiran 3. Analisa Jumlah Malondialdehid (MDA)

KELOMPOK TIKUS
NO MDA (nmol/L)
K1 K2 K3 K4
1 82 58 69,5 70
2 51,5 60,5 52,5 73,5
3 44,5 58 54 41
4 46,5 57,5 44,5 56
5 67,6 44,5 51,5 93
6 54,28 82 79,5 66
RERATA 57,73 60,0833 58,5833 66,5833

Kelompok
N Minimum Maksimum Rerata Std. Deviasi
perlakuan
K1 6 44,5 82 57,73 14,41049
K2 6 44,5 82 60,0833 12,15490
K3 6 44,5 79,5 58,5833 13,13932
K4 6 41 93 66,5833 17,45972

Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

KELOMPOK Statistic df Sig. Statistic df Sig.

MDA KONTROL NEGATIF ,261 6 ,200* ,883 6 ,283

lxxix
KONTROL POSITIF ,320 6 ,055 ,843 6 ,138

PERLAKUAN TANPA
INTERMITTENT ,303 6 ,090 ,888 6 ,309
FASTING

PERLAKUAN DENGAN
INTERMITTENT ,179 6 ,200* ,983 6 ,964
FASTING

*. This is a lower bound of the true significance.


a. Lilliefors Significance Correction

Test of Homogeneity of Variances


MDA

Levene Statistic df1 df2 Sig.

,356 3 20 ,785

ANOVA
MDA

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups 289,722 3 96,574 ,464 ,711


Within Groups 4164,436 20 208,222
Total 4454,158 23

lxxx

Anda mungkin juga menyukai