Anda di halaman 1dari 77

SKRIPSI

PENGARUH PEMBERIAN ASTAXANTHIN TERHADAP GAMBARAN


HISTOPATOLOGI DUODENUM USUS HALUS
TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) YANG
DIINDUKSI DEXAMETHASONE

Oleh
MARWATI
NIM 061711535006

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN HEWAN


SEKOLAH ILMU KESEHATAN DAN ILMU ALAM
UNIVERSITAS AIRLANGGA
BANYUWANGI
2023
PENGESAHAN

Dipertahankan di depan Tim Penguji Skripsi


Program Studi Kedokteran Hewan
Sekolah Ilmu Kesehatan dan Ilmu Alam Universitas Airlangga
dan diterima untuk memenuhi persyaratan guna memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan (S.KH.)
pada tanggal 13 Juni 2023

Tim Penguji Skripsi:

Ketua : Maya Nurwatanti Yunita, drh., M.Si.


Anggota : 1. Bodhi Agustono, drh., M.Si.
2. Amung Logam Saputra, drh., MSi.
3. Prof. Iwan Sahrial Hamid, drh., M.Si.
4. Faisal Fikri, drh., M.Vet.

Mengesahkan

Sekolah Ilmu Kesehatan dan Ilmu Alam


Universitas Airlangga

Direktur,

Prof. Dr. Soetojo, dr., Sp.U. (K)


NIP 195606081986121001

ii
PERSETUJUAN

PENGARUH PEMBERIAN ASTAXANTHIN TERHADAP GAMBARAN


HISTOPATOLOGI DUODENUM USUS HALUS TIKUS PUTIH (Rattus
norvegicus) YANG DIINDUKSI DEXAMETHASONE

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar


Sarjana Kedokteran Hewan (S.KH.)
Program Studi Kedokteran Hewan
Sekolah Ilmu Kesehatan dan Ilmu Alam
Universitas Airlangga

Oleh:

MARWATI
061711535006

Banyuwangi, 13 Juni 2023

Menyetujui

Pembimbing Utama, Pembimbing Serta,

(Prof. Iwan Sahrial Hamid, drh., M.Si.) (Faisal Fikri, drh., M.Vet.)
NIP. 196807131993031009 NIP. 198812082015041003

Mengetahui
Koordinator Program Studi Kedokteran Hewan

Bodhi Agustono, drh., M.Si


NIP. 198808132014093101

iii
PERNYATAAN ORISINALITAS

Yang bertanda tangan dibawah ini, saya:

Nama : Marwati
NIM : 061711535006
Program Studi : Kedokteran Hewan Sekolah Ilmu Kesehatan dan
Ilmu Alam Universitas Airlangga
Angkatan : 2017
Jenjang : Sarjana

menyatakan bahwa dalam penulisan skripsi yang berjudul:

PENGARUH PEMBERIAN ASTAXANTHIN TERHADAP GAMBARAN


HISTOPATOLOGI DUODENUM USUS HALUS TIKUS PUTIH (Rattus
norvegicus) YANG DIINDUKSI DEXAMETHASONE

tidak dilakukan tindak plagiasi atau sejenisnya atas karya ilmiah orang
lain. Apabila suatu saat nanti terbukti saya melakukan plagiat dalam
penulisan skripsi ini maka saya bersedia menerima sanksi sesuai ketentuan
Universitas Airlangga.
Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya.

Banyuwangi, 13 Juni 2023

Marwati
NIM. 061711535006

iv
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadiran Allah SWT atas karunia yang telah dilimpahkan

sehingga penulis dapat melaksanakan penelitian dan menyelesaikan skripsi dengan

judul Pengaruh Pemberian Astaxanthin Terhadap Gambaran Histopatologi

Duodenum Usus Halus Tikus Putih (Rattus norvegicus) Yang Diinduksi

Dexamethasone.

Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada:

Prof. Dr. Soetojo, dr., Sp.U. (K) selaku Direktur Sekolah Ilmu Kesehatan

dan Ilmu Alam. Bodhi Agustono, drh., M.Si. selaku Koordinator Program Studi

Kedokteran Hewan, Sekolah Ilmu Kesehatan dan Ilmu Alam yang telah banyak

memberikan bantuan dan dukungan.

Prof. Iwan Sahrial Hamid, drh., M.Kes. selaku pembimbing utama skirpsi

atas waktu, saran, arahan dan bimbingan yang diberikan sampai dengan selesainya

skripsi ini. Faisal Fikri, drh., M.Vet. selaku pembimbing skripsi. Bodhi Agustono,

drh., M.Si. selaku dosen wali yang telah membimbing, mengarahkan serta

memberikan nasihat kepada saya selama menempuh pendidikan kedokteran hewan.

Maya Nurwartanti Yunita, drh., M.Si. selaku ketua penguji, Bodhi

Agustono, drh., M.Si. selaku sekretaris penguji, dan Amung Logam Saputra, drh.,

M.Si. selaku anggota penguji yang telah memberikan saran dan nasihat yang

membangun demi kesempurnaan penulisan skripsi ini.

Seluruh staf pengajar Prodi Kedokteran Hewan Sekolah Ilmu Kesehatan dan

Ilmu Alam serta staf administrasi atas wawasan keilmuan dan bantuan yang telah

diberikan selama penulis menempuh pendidikan. Kedua orang tua penulis yang

v
tidak putus mendo’akan, mendidik, mendukung baik moral dan materil serta kasih

sayang yang tidak ada habisnya sehingga penulis mampu menyelesaikan tugas

akhir skripsi ini dengan baik. Kepada seluruh kakak dan adik, yang juga turut serta

memberi dukungan, semangat, dan masukan kepada penulis sehingga dapat sampai

ke tahap penyelesaian tugas akhir ini.

Terima kasih juga penulis sampaikan kepada para sahabat terdekat yang

selalu memberikan semangat, motivasi, dukungan serta bantuan kepada penulis

sehingga mampu menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Teman-teman

seperjuangan Fakultas Kedokteran Hewan angkatan 2017 serta seluruh pihak yang

tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah banyak membantu penulis sehingga

mampu menyelesaikan skripsi ini.

Terima kasih kepada diri sendiri karena mampu melewati semua kesulitan

yang dialami selama proses pengerjaan skipsi ini sampai dengan selesai. Terima

kasih kepada diri sendiri karena sudah mampu bangkit dan memotivasi diri menjadi

pribadi yang lebih baik lagi dan banyak belajar dari kejadian lalu. Penulis berharap

semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan semua pihak yang

membutuhkan demi kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan. Penulis

menyadari bahwa masih terdapat kekurangan pada skripsi ini. Penulis sangat

mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi perbaikan di masa

mendatang.

Banyuwangi, 21 Juni 2023

Marwati

vi
RINGKASAN

Penelitian ini berjudul Pengaruh Pemberian Astaxanthin terhadap

Perubahan Gambaran Histopatologi Usus Halus Duodenum Tikus Putih (Rattus

norvegicus) Yang Diinduksi Deksametason, penelitian ini berada dibawah

bimbingan Prof. Iwan Sahrial Hamid, drh., M.Si. dan Faisal Fikri, drh., M.Vet.

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui perubahan yang

terjadi pada gambaran histopatologi duodenum tikus putih setelah diberikan induksi

Deksametason serta mengetahui dosis terbaik Astaxanthin diantara tiga dosis yang

diberikan pada tikus. Tikus putih yang digunakan pada penelitian ini sebanyak 25

ekor berdasarkan rumus Federer. Tikus putih yang digunakan dalam penelitian ini

termasuk dalam jenis Rattus norvegicus, tikus putih dibagi ke dalam 5 kelompok

perlakuan yang terdiri dari kelompok kontrol negative K(-), kelompok kontrol

positif K(+), kelompok P1, kelompok P2, dan kelompok P3. Setiap kelompok

perlakuan terdiri dari 5 ekor tikus putih galur wistar berjenis kelamin jantan dengan

berat badan 130-150 gram. Sebelum diberikan perlakuan, tikus putih melakukan

masa adaptasi selama 7 hari, selanjutnya pada hari ke-8 tikus putih mulai diberikan

perlakuan dengan pembagian sebagai berikut:kelompok K(-) merupakan kelompok

yang tidak diberikan perlakuan Deksametason dan Astaxanthin, kelompok K(+)

yaitu kelompok yang diberikan Deksametason dengan dosis 0,75 mg/ekor, serta

kelompok P1 adalah kelompok dengan pemberian Deksametason dengan dosis 0,75

mg/ekor dan Astaxanthin dengan dosis 2 mg/ekor, kelompok P2 diberikan

Deksametason dengan dosis 0,75 mg/ekor dan Astaxanthin dengan dosis 6 mg/ekor

, dan pada kelompok P3 masing-masing diberikan Deksametason dengan dosis 0,75

vii
mg/ekor dan Astaxanthin dengan dosis 12 mg/ekor. Perlakuan diberikan selama 10

hari. Pada hari ke-11 tikus putih dieuthanasia kemudian diambil bagian duodenum

untuk dijadikan preparat dengan pewarnaan Hematoxilin-Eosin (HE). Pemeriksaan

gambaran histopatologi dilakukan menggunakan Mikroskop Trinokuler (Nikon

Eclipse E200) dengan melihat perubahan pada lima lapang pandang pengamatan.

Hasil penelitian dianalisis menggunakan program komputer Statistical

Product and Service Solutions (SPSS) for Windows. Data di uji normalitas

menggunakan Saphiro-wilk karena sampel kurang dari 50. Jika didapatkan data

terdistribusi normal maka dilanjutkan pengujian menggunakan one way ANOVA

untuk menguji perbedaan rata-rata pada kelompok kontrol dan kelompok

perlakuan. Jika data tidak terdistribusi normal pengujian dilanjutkan menggunakan

uji non-parametrik Kruskal-Wallis, jika terdapat perbedaan nyata yang dibuktikan

dengan nilai p<0,05 maka dilanjutkan dengan uji Mann Whitney untuk mengetahui

perbedaan kelompok perlakuan dan kelompok kontrol.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, disimpulkan bahwa dengan

pemberian Astaxanthin belum dapat memberikan pengaruh terhadap perbaikan

gambaran histopatologi duodenum usus halus tikus putih yang diberi

Deksametason. Sehingga disarankan agar melakukan penelitian lanjutan untuk

mendapatkan dosis Astaxanthin yang tepat sampai dengan mempengaruhi

perbaikan pada gambaran histopatologi duodenum.

viii
ABTRACT

The Effect Of Astaxanthin On Dexamethasone-Induced Changes In


Histopathology Of The Small Intestine Duodenum Of White Rats (Rattus
Norvegicus)

This study aims to determine the effect of Astaxanthin in repairing damage to the
duodenum of the small intestine of white rats (Rattus norvegicus) induced by
Dexamethasone. A total of 25 rats were divided into 5 groups, the negative control
(K-) was not given any drug, the positive control (K+) was only given
Dexamethasone at a dose of 0.75 mg, the treatment group I (P1) was only given
Dexamethasone at a dose of 0.75 mg and Astaxanthin dose of 2 mg, treatment group
II (P2) was treated with Dexamethasone dose of 0.75 mg and Astaxanthin dose of
6 mg, and treatment group III (P3) was treated with Dexamethasone dose of 0.75
mg and Astaxanthin dose of 12 mg. The treatment was carried out for 10 days, then
the rats were euthanized and the necropsy method and parts of the duodenum were
preserved for histopathological examination with Hematoxylin-Eosin staining. The
results showed that the average value of damage to the duodenum was negative
control (K-) 4.60, positive control (K+) 2.00, treatment group I (P1) 5.20, treatment
group II (P2). of 2.00, and the treatment group III (P3) of 2.20. Data were analyzed
using the One Way ANOVA test and continued with Duncan's Post Hoc test which
showed a significant difference (P<0.05). The conclusion in this study is that
Astaxanthin has not been able to have an effect on Dexamethasone, seen from the
negative control results K(-) and P1 are not significantly different, but significantly
different from the K(+), P(2) and P(3) groups.
Keywords: Astaxanthin, Duodenum, Dexamethasone

ix
ABSTRAK

Pengaruh Pemberian Astaxanthin Terhadap Gambaran Histopatologi


Duodenum Usus Halus Tikus Putih (Rattus norvegicus) Yang Diinduksi
Dexamethasone.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh Astaxanthin dalam

memperbaiki kerusakan duodenum usus halus tikus putih (Rattus norvegicus) yang

diinduksi Dexamethasone. Sebanyak 25 ekor tikus yang terbagi dalam 5 kelompok,

kontrol negatif (K-) diberikan cairan aquadest, kontrol positif (K+) diberikan

Dexamethasone dosis 0,75 mg, kelompok perlakuan I (P1) diberikan

Dexamethasone dosis 0. ,75 mg dan Astaxanthin dosis 2 mg, kelompok perlakuan

II (P2) diberikan perlakuan Dexamethasone dosis 0,75 mg dan Astaxanthin dosis 6

mg, dan kelompok perlakuan III (P3) diberikan perlakuan Dexamethasone dosis

0,75 mg dan Astaxanthin dosis 12 mg. Pemberian perlakuan dilakukan selama 10

hari, kemudian tikus dieuthanasia dan metode nekropsi serta bagian duodenum

diawetkan untuk pemeriksaan histopatologi dengan pewarnaan Hematoxilin-Eosin.

Hasil penelitian menunjukkan nilai rata-rata kerusakan pada duodenum kontrol

negatif (K-) 4,60, kontrol positif (K+) 2,00, kelompok perlakuan I (P1) 5,20,

kelompok perlakuan II (P2). sebesar 2,00, dan kelompok perlakuan III (P3) sebesar

2,20. Data dianalisis menggunakan uji One Way ANOVA dan dilanjutkan dengan

uji Post Hoc Duncan yang menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05). Kesimpulan

dalam penelitian ini yaitu Astaxanthin belum dapat memberikan pengaruh

terhadapah Deksametason, dilihat dari hasil kontrol negatif K(-) dan P1 tidak

berbeda nyata, akan tetapi berbeda nyata dengan kolompok K(+), P(2) dan P(3).

Kata kunci: Astaxanthin, Duodenum, Deksametason

x
DAFTAR ISI

Halaman

SAMPUL DEPAN ............................................................................................... i


PENGESAHAN ................................................................................................. iii
PERSETUJUAN ................................................................................................ iv
PERNYATAAN ORISINALITAS ..................................................................... v
KATA PENGANTAR ........................................................................................ vi
RINGKASAN .................................................................................................... xi
SUMMARY ........................................................................................................ xii
ABSTRAK ....................................................................................................... xiii
ABSTRACT ....................................................................................................... xiv
DAFTAR ISI ..................................................................................................... xv
DAFTAR TABEL .......................................................................................... xviii
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ xx
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xxi
DAFTAR ARTI LAMBANG, SINGKATAN, DAN ISTILAH ..................... xxii

BAB 1 PENDAHULUAN................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang .................................................................................. 1
1.2 Batasan Penelitian............................................................................ 3
1.3 Rumusan Masalah ........................................................................... 4
1.4 Tujuan Penelitian .............................................................................. 4
1.4.1 Tujuan Umum .......................................................................... 4
1.4.2 Tujuan Khusus ......................................................................... 4
1.5 Manfaat Penelitian ............................................................................ 4
1.5.1 Manfaaat Praktis ...................................................................... 4
1.5.2 Manfaaat Teoritis ..................................................................... 5

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA.......................................................................... 6


2.1 Deksametason ................................................................................... 6
2.2 Astaxanthin ....................................................................................... 7
2.2.1 Definisi Astaxanthin ................................................................ 7
2.2.2 Komposisi kimia, absorbsi, dan metabolisme ......................... 7
2.3 Radikal Bebas ................................................................................. 10
2.3.1 Definisi Radikal Bebas .......................................................... 10
2.3.2 Kelompok Radikal Bebas ..................................................... 12
2.3.3 Mekanisme Kerusakan Sel .................................................... 13
2.4 Antioksidan .................................................................................... 13
2.5 Stress Oksidatif ............................................................................... 13
2.6 Usus Halus ...................................................................................... 15
2.6.1 Anatomi Usus Halus ............................................................. 15
2.6.2 Histologi Usus Halus ............................................................ 15
2.6.3 Histopatologi Usus Halus yang Diinduksi Deksametason ... 19
2.6.4 Absorbsi Usus Halus ............................................................ 20

xi
2.7 Tikus Putih (Rattus norvegicus) ..................................................... 21

BAB 3 KERANGKA KONSEPTUAL ............................................................. 24


3.1 Kerangka Konseptual ..................................................................... 24
3.2 Hipotesis ......................................................................................... 25

BAB 4 METODE PENELITIAN ...................................................................... 26


4.1 Rancangan Penelitian .................................................................... 26
4.2 Sampel dan Besar Sampel .............................................................. 26
4.2.1 Sampel Penelitian ................................................................. 26
4.2.2 Besar Sampel Penelitian ....................................................... 26
4.3 Variabel yang Diamati .................................................................... 27
4.3.1 Variabel Bebas ....................................................................... 27
4.3.2 Variabel Terikat ..................................................................... 27
4.3.3 Variabel Kontrol .................................................................... 27
4.4 Definisi Operasional Variabel ........................................................ 28
4.4.1 Astaxanthin ............................................................................ 28
4.4.2 Histologi Duodenum.............................................................. 28
4.5 Tempat dan Waktu Penelitian......................................................... 28
4.6 Bahan dan Materi............................................................................ 29
4.6.1 Materi Penelitian .................................................................. 29
4.7 Prosedur Penelitian ......................................................................... 29
4.7.1 Uji Etika Media ..................................................................... 29
4.7.2 Persiapan Hewan Coba .......................................................... 30
4.7.3 Perlakuan Hewan Coba ......................................................... 30
4.7.4 Euthanasi Hewan Percobaan ................................................. 31
4.7.5 Pembuatan Preparat ............................................................... 32
4.7.6 Pemberian Skor...................................................................... 32
4.7.7 Pemngambilan Data ............................................................... 32
4.8 Analisis Data .................................................................................. 33
4.9 Kerangka Operasional .................................................................... 34

BAB 5 HASIL DAN ANALISIS DATA .......................................................... 35


5.1 Hasil Perhitungan dan Analisis Statistik ........................................ 35
5.2 Hasil Histopatologi Duodenum ...................................................... 35
5.2.1 Kelompok K(-) ...................................................................... 36
5.2.2 Kelompok K(+)...................................................................... 36
5.2.3 Kelompok P1 ......................................................................... 38
5.2.4 Kelompok P2 ......................................................................... 39
5.2.5 Kelompok P3 ......................................................................... 39

BAB 6 PEMBAHASAN ................................................................................... 40

BAB 7 PENUTUP ............................................................................................. 44


7.1 Kesimpulan ..................................................................................... 44
7.2 Saran ............................................................................................... 44

xii
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................... 45
LAMPIRAN ..................................................................................................... 53

xiii
DAFTAR TABEL

Nomor Judul Tabel Halaman

Tabel 2.1 Radikal Bebas .................................................................................. 11


Tabel 2.3 Data Fisiologis Tikus Putih ............................................................ 23
Tabel 5.1 Hasil Rata-Rata Variabel Kerusakan Tiap Perlakuan...................... 35

xiv
DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Gambar Halaman

Gambar 2.1 Struktur Kimia Deksametason ................................................... 6


Gambar 2.2 Struktur Kimia Astaxanthin ........................................................ 7
Gambar 2.3 Struktur Plika Kerkringi .............................................................. 17
Gambar 2.4 Histologi Usus Halus ................................................................. 18
Gambar 2.5 Hiastologi Kerusakan Usus Halus ............................................... 20
Gambar 2.6 Tikus Putih (Rattus norvegicus) .................................................. 21
Gambar 4.1 Skema Alur Penelitian................................................................. 33
Gambar 5.2 Histopatologi duodenum kelompok K(-) .................................... 37
Gambar 5.3 Histopatologi duodenum kelompok K(+) ................................... 38
Gambar 5.4 Histopatologi duodenum kelompok P1 ....................................... 38
Gambar 5.5 Histopatologi duodenum kelompok P2 ....................................... 39
Gambar 5.6 Histopatologi duodenum kelompok P3 ....................................... 39

xv
DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Lampiran Halaman

Lampiran 1 Prosedur Pembuatan Preparat Histologi .......................................... 53


Lampiran 2 Kelayakan Ethical Clearance .......................................................... 57
Lampiran 3 Dokumentasi Perlakuan Penelitian .................................................. 58
Lampiran 4 Analisis SPSS .................................................................................. 60

xvi
SINGKATAN DAN ARTI LAMBANG
ATP = Adenosine Trifosfat

CAT = Catalase

COX-2 = Cyclooxygenase-2

CYP450 = Cytochrome P450

H₂O₂ = Hydrogen Peroxide

HPx = Hydroperoxidase

MDA = Malondialdehyde

mRNA = messenger-Ribonucleic Acid

NF-κB = Nuclear Factor-κB

NRF2 = Nuclear Factor E2-related Factor 2

O₂∙¯ = Superoxide Anion

OH∙ = Hydroxyl Radical

P = Perlakuan

RNS = Reactive Nitrogen Species

ROO∙ = Radical Peroxyl

ROS = Reactive Oxygen Species

SOD = Superoxide Dismutase

TGF-β1 = Transforming Growth Factor β1

TNF-α = Tumor Necrosis Factor-α

PUFA = poly unsaturated fatty acid

® = Registered

xvii
BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penelitian

Golongan obat yang sering digunakan untuk penyembuhan gangguan

fisiologi tubuh seperti gejala inflamasi adalah kortikosteroid. Penyalahgunaan

penggunaan kortikosteroid sering terjadi dikarenakan efek penggunaan yang luas

(Narang dan Preet, 2019). Kortikosteroid merupakan obat anti inflamasi yang serupa

dengan kortisol. Kortisol merupakan hormon steroid alami pada manusia yang

disintesis dan disekresi oleh korteks adrenal. Efek antiinflamasi dari obat

kortikosteroid dapat pula berpengaruh terhadap sel imunokompeten seperti sel T,

makrofag, sel dendritik, eosinofil, neutrofil, dan sel mast yang bekerja dengan

menghambat respons inflamasi dan menyebabkan apoptosis dari berbagai sel tersebut

(Smoak and Cidlowski, 2008). Jenis kortikosteroid yang sering digunakan dalam

pengobatan hewan adalah glukokortikoid seperti Prednisolone yang berikan secara

peroral, dan Deksametason secara injeksi (Elkholly et al., 2019).

Manfaat terapi dari golongan obat kortikosteroid cukup luas sehingga efek

samping yang ditimbulkan juga cukup banyak, maka dalam penggunaannya

dibatasi sesuai indikasi (Sukandar, dkk., 2012). Salah satu obat golongan

kortikosteroid yang banyak digunakan untuk pengobatan baik di manusia maupun

hewan adalah Deksametason. Deksametason merupakan salah satu kortikosteroid

sintetis terampuh karena memiliki kemampuan dalam menanggulangi perdangan

dan alergi kurang lebih sepuluh kali lebih hebat dibandingkan prednisone (Katzung,

2002). Harga yang murah dan mudah didapat membuat Deksametason menjadi obat

andalan untuk terapi inflamasi (Samsuri et al., 2011).

1
2

Efek samping penggunaan deksametason tersebar luas di beberapa organ.

Pemberian Deksametason pada tikus menyebabkan kerusakan pada beberapa organ

seperti pada pankreas (Dharma, 2014), hati (Insani, 2014), ginjal (Ridho, 2010),

dan lambung (Kusumaadhi, 2010). Selain itu, efek penggunaan jangka panjang

deksametason juga dapat menyebabkan aborsi, penurunan produksi susu, serta

penekanan fungsi sistem imun (El-Sawy et al., 2018). Deksametason yang masuk

ke dalam tubuh akan melalui proses absorbsi didalam organ pencernaan seperti usus

halus.

Secara anatomis, usus halus memiliki hubungan langsung dengan hati.

Jumlah obat yang mencapai sirkulasi sistemik setelah dimetabolisme oleh hati dapat

diabsorbsi dengan baik oleh usus. Hampir semua enzim untuk metabolisme obat

yang ada di hati ditemukan pula pada usus halus (Lin et al., 1999). Hasil penelitian

yang dilakukan oleh Wijayanti, dkk. (2017) menunjukkan bahwa efek samping dari

pemberian deksametason pada usus halus berupa nekrosis sel. Selain itu, obat

golongan kortikoseroid sintesis khususnya deksametason menyebabkan stress

oksidatif pada sel (Hegardt, 2003; Renner, 2003; Tome, 2004; Tonomura, 2003).

Stres oksidatif pada sel terjadi akibat banyaknya akumulasi radikal bebas

endogen karena pemberian deksametason secara berkala. Pada dasarnya radikal

bebas endogen merupakan radikal bebas yang terbentuk sebagai respon normal dari

peristiwa biokimia di dalam tubuh secara kontinu. Peristiwa biokimia tersebut

meliputi reaksi reduksi-oksidasi normal di dalam mitokondria maupun peroksisom,

dan metabolisme obat-obatan (Halliwell dan Gutteridge, 1992). Jumlah radikal

bebas yang terlalu banyak akibat pemberian deksametason menyebabkan


3

antioksidan endogen tidak akan mampu menetralisir radikal bebas tersebut.

Kekurangan antioksidan menyebabkan stres oksidatif yang berujung pada

kerusakan sel dan menyebabkan timbulnya berbagai macam penyakit degeneratif

(Evans et al., 2004).

Antioksidan merupakan senyawa yang dapat mencegah proses oksidasi

akibat adanya radikal bebas, misalnya berupa efek samping pemberian

deksametason yang dapat menyebabkan kerusakan jaringan (Lingaiah et al., 2012).

Salah satu contoh antioksidan adalah astaxanthin. Astaxanthin merupakan

karotenoid xanthophyll yang memiliki potensi sebagai peredam oksigen tunggal,

anion superoksida, serta radikal hidroksil dengan berperan sebagai antioksidan

(Hama et al., 2012).

Berdasarkan penjelasan diatas maka perlu dilakukan penelitian lebih lanjut

mengenai efektivitas antioksidan Astaxanthin terhadap kerusakan duodenum usus

halus yang diinduksi dengan Deksametason.

1.2 Batasan Penelitian

Penelitian ini akan menganalisis pengaruh dari pemberian Astaxanthin dosis

bertingkat 2 mg, 6 mg. Dan 12 mg pada gambaran histopatologi duodenum tikus

putih (Rattus norvegicus) yang diberikan deksametason dengan dosis 0,75 mg/ekor.

Adapun batasan pada penelitian ini, antara lain:

1. Penelitian ini dilakukan pada tikus putih galur wistar (Rattus norvegicus)

dengan jenis kelamin jantan sebanyak 25 ekor.


4

2. Pengamatan dan analisis yang dilakukan pada penelitian ini yaitu histopat

duodenum yang dilihat dengan adanya perubahan struktur pada tiap

kelompok perlakuan.

1.3 Rumusan Masalah

Apakah pemberian Astaxanthin memiliki pengaruh terhadap perubahan

gambaran histopatologi usus halus duodenum tikus (Rattus norvegicus) yang

diinduksi dengan Deksametason?

1.4 Tujuan Penelitian

1.4.1 Tujuan Umum

Tujuan umum dilakukannya penelitiannya ini yaitu untuk mengetahui adanya

perubahan gambaran histopatologi duodenum yang diberikan Deksametasone

1.4.2 Tujuan Khusus

Tujuan khusus dilakukannya penelitian ini antara lain yaitu:

- untuk mengetahui dosis Astaxanthin yang tepat dalam mengurangi stres

oksidatif yang diberikan oleh Deksametason.

- Untuk mengetahui hasil perbedaan tiap perlakuan yang diberikan

Deksametason dan Astaxanthin dengan dosis betingkat pada duodenum.

1.5 Manfaat Penelitian

1.5.1 Manfaat Teoritis


5

Manfaat teoritis dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan

manfaat bagi pengembangan ilmu di bidang kedokteran dasar veteriner terutama

farmakologi mengenai potensi dari Astaxanthin sebagai antioksidan terhadap

perbaikan gambaran histopatologi usus halus tikus putih (Rattus norvegicus) yang

diinduksi dengan Deksametason.

1.5.2 Manfaat Praktis

Manfaat praktis dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan

manfaat bagi dokter hewan untuk mengetahui efek samping dari penggunaan obat

jangka panjang Deksametason sebagai obat antiinflamasi.


BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Deksametason

Deksametason merupakan obat jenis kortikosteroid golongan

glukokortikoid sintetik yang kuat untuk menaggulangi gangguan inflamasi dan

masalah imunologi (Anggraeni, 2019). Deksametason memiliki rumus molekul

C22H29FO5, berat molekul 392,47 g/mol, dan nama kimianya adalah 9-Fluoro-

11β, 17, 21-trihidroksi-16α- metilpregna1,4-diena-3,20-dion. Berikut rumus

bangun deksametason (Ditjen POM, 2014).

Gambar 2.1 Struktur Kimia Dexamethasone (Chen et al., 2008).

Deksametason bekerja dalam bentuk hormon glukokortikoid melewati

membran sel target. Obat ini mengikat reseptor pada sitoplasma kemudian

memasuki nucleus sel melalui komplek drug-reseptor dengan ikatan spesifik pada

area deoksiribonukleat (DNA). Komplek ini diarahkan untuk menstimulasi

transkripsi mRNA, kemudian obat akan berhubungan dengan enzim yang

bertanggung jawab atas efek sistematis kortikosteroid (Katzung et al., 2004).

Deksametason menghambat enzim phospholipase A₂ serta menghambat produksi

endothelin-1-stimulated arachidonic acid (Ostrov et al., 1997).

6
7

Efek penggunaan jangka panjang deksametason juga dapat menyebabkan

aborsi, penurunan produksi susu, serta penekanan fungsi sistem imun (El-Sawy et

al., 2018)

2.2 Astaxanthin

2.2.1 Definisi Astaxanthin

Astaxanthin (3,3’-dihydroxy-β,β’-carotene-4,4’-dione) merupakan suatu

pigmen karotenoid alami yang dapat ditemukan pada hewan yang hidup dalam air.

Astaxanthin bisa ditemukan di mikroalga yang hidup di perairan seluruh dunia

mulai dari daerah tropis sampai padang salju Antartika, atau di hewan laut seperti

salmon segar, udang, dan lobster. Astaxanthin ini yang memberikan warna merah

muda pada hewan laut tersebut (Hussein et al., 2006; Suseela and Toppo, 2006).

2.2.2 Komposisi kimia, absorbsi, dan metabolisme

Astaxanthin, seperti karotenoid lainnya, terbentuk dari rantai 40-

karbonpoliene, yang menjadi tulang punggung molekulnya. Rantai ini diakhiri

dengan kelompok siklik (cincin) yang dilengkapi dengan kelompok oksigen

fungsional (Nishida, et al., 2007).

Gambar 2.2 Struktur Kimia Astaxanthin (Fasset dan Coombes, 2011).


8

Struktur karotenoid berbeda potensinya berdasarkan pigmen yang dimiliki.

Penyerapan karotenoid pada sel mukosa usus disertai dengan pembentukan asam

empedu pada lumen usus kecil dan terjadilah penyerapan pasif, setelah memasuki

peradaran darah, karotenoid terdapat diberbagai jaringan tubuh, yaitu hati, lemak,

pankreas, ginjal, paru adrenal, lien, jantung, tiroid, testis, ovarium, dan mata.

Namun jumlah terbesar terdapat di hati dan jaringan lemak, yang merupakan tempat

penyimpanan terbesar karotenoid. Konsentrasi karotenoid pada serum atau plasma

dapat atau tidak mencerminkan efek biologis dari organ tersebut (Osterlie, et al.,

1999; Odeberg, et al., 2003). Astaxanthin, seperti golongan karotenoid lainnya,

memiliki sifal lipofilik dengan bioavailabilitas oral yang rendah (Johanna, et al.,

2003; Susan and John, 2002).

2.2.3 Astaxanthin sebagai Antioksidan

Astaxanthin memiliki aktivitas menetralkan singlet oxygen dan peroksida

lipid. Astaxanthin menunjukkan aktivitas kuat dalam mencerna radikal bebas dan

memberikan perlindugan melawan peroksidasi lipid dan kerusakan oksidasi oleh

kolesterol LDL, membran sel, sel, dan jaringan (Suseela and Toppo, 2006).

Senyawa ini lebih kuat 550 kali dibandingkan vitamin E dan 40 kali lebih kuat

dibandingkan beta karoten dalam mengikat singlet oksigen. Peroksidasi lipid dapat

dihambat dengan astaxathin, karena astaxanthin bersifat lebih kuat dibandingkan

vitamin E (Johanna, et al., 2003). Astaxanthin menetralkan singlet oksigen melalui

mekanisme fisik, dimana energi yang berlebihan dari singlet oksigen tersebut

ditransfer ke struktur karotenoid yang kaya akan elektron dan mengubah energinya

menjadi panas sehingga tidak terbentuk singlet oksigen lagi serta bereaksi dengan
9

radikal lain untuk mencegah dan menghentikan reaksi rantai, sehingga mampu

melindungi komponen sel lain (lemak, protein, DNA) dari kerusakan oleh radikal

bebas (Nishida, et al., 2007).

Beberapa jenis antioksidan pada keadaan tertentu dapat menjadi prooksidan

sehingga memiliki efek negatif dengan menyebabkan oksidasi di dalam tubuh.

Antioksidan dari golongan karotenoid yang dapat menjadi prooksidan yaitu β-

karoten, lycopene, dan xeaxanthin. Bahkan antioksidan yang sudah sangat dikenal

seperti vitamin C, vitamin E dan zinc dapat menjadi prooksidan, sedangkan

astaxanthin tidak pernah menjadi prooksidan. Hal ini merupakan faktor penting lain

yang membedakan astaxanthin dari antioksidan lain dan dikatakan bahwa

astaxanthin memiliki kekuatan antioksidan yang luar biasa. Astaxanthin sangat

resisten terhadap autooksidasi, tetapi tidak dijelaskan bahwa efek antioksidan yang

lebih tinggi akan meningkat dengan pertambahan dosis (McNulty, et al., 2006;

Nishida, et al., 2007).

Astaxanthin memiliki fungsi antioksidan melalui peran Nuclear factor E2-

related factor 2 (NRF2) serta nuclear factor-κB (NF-κB) namun belum diketahui

secara signifikan cara kerjanya (Farruggia et al., 2018). NRF2 berperan dalam

pertahanan antioksidan endogen serta mencegah stres oksidatif dengan cara

menstimulasi enzim antioksidan. Aktivasi NRF2 dapat pula menghambat respon

inflamasi yang terkait dengan NF-κB dalam makrofag (Park et al., 2015).
10

2.3. Radikal Bebas

2.3.1 Definisi Radikal Bebas

Radikal bebas adalah atom atau molekul yang mempunyai elektron yang

tidak berpasangan pada orbital (Clarkson dan Thomson, 2000, Silalahi, 2006).

Dalam rangka mendapatkan stabilitas kimia, radikal bebas tidak dapat

mempertahankan bentuk asli dalam waktu lama dan segera berikatan dengan bahan

sekitarnya. Radikal bebas akan menyerang molekul stabil yang terdekat dan

mengambil elektron, zat yang terambil elektronnya akan menjadi radikal bebas juga

sehingga akan memulai suatu reaksi berantai, yang akhirnya terjadi kerusakan sel

tersebut (Droge, 2002). Kebanyakan radikal bebas bereaksi secara cepat dengan

atom lain untuk mengisi orbital yang tidak berpasangan, sehingga radikal bebas

normalnya berdiri sendiri hanya dalam periode waktu yang singkat sebelum

menyatu dengan atom lain (Halliwell and Whiteman, 2004). Radikal bebas sangat

reaktif dan dengan mudah menjurus ke reaksi yang tidak terkontrol, menghasilkan

ikatan silang (cross-link) pada DNA, protein, lipida, atau kerusakan oksidatif pada

gugus fungsional yang penting pada biomulekulnya (Silalahi, 2006). Peroksidasi

lipid di membran sel dapat merusak membran sel dengan mengganggu fluiditas dan

permeabilitas. Peroksidasi lipid juga dapat mempengaruhi fungsi protein membran

terikat seperti enzim dan reseptor. Kerusakan langsung pada protein dapat

disebabkan oleh radikal bebas yang dapat mempengaruhi berbagai jenis protein,

mengganggu aktivitas enzim dan fungsi protein struktural (Sarma et al, 2010).
11

2.3.2 Kelompok Radikal Bebas

Radikal bebas dibagi menjadi dua kelompok yang berbeda yaitu Reactive

Oxygen Species (ROS) dan Reaktif Nitrogen spesies (NOS) (Marciniak et al.,

2009). Simbol untuk radikal bebas adalah sebuah titik yang berada di dekat simbol

atom (R·). ROS (Reactive Oxygen Species) adalah senyawa pengoksidasi turunan

oksigen yang bersifat sangat reaktif yang terdiri atas kelompok radikal bebas dan

kelompok nonradikal. Kelompok radikal bebas antara lain superoxide anion (O2·-

), hydroxyl radicals (OH·), dan peroxyl radicals (RO2·). Yang nonradikal misalnya

hydrogen peroxide (H2O2), dan organic peroxides (ROOH) (Halliwell and

Whiteman, 2004). Superoxide anion (O2·-) memiliki reaktifitas selektif; dibentuk

oleh sejumlah sistem enzim melalui reaksi-reaksi autooksidasi dan oleh elektron

transfer enzimatik. Hydroxyl radicals (OH·) terjadi karena radiolisis air dalam

sistem biologis. Radikal hidroksil menyerang semua protein, DNA, PUFA dalam

membran dan semua molekul yang disentuhnya. Radikal peroksida merupakan

senyawa antara yang terbentuk dalam rangkaian reaksi oksidasi lipida, misalnya

oksidasi lemah jenuh ganda. Hidrogen peroksida dapat melewati membran dan

secara perlahan akan mengoksidasi sejumlah senyawa juka kadarnya cukup tinggi,

tetapi kurang reakti pada kadar yang rendah (Silalahi, 2006).

Tabel 2.1 Radikal Bebas (Evan et al., 2005)

Tipe Radikal Bebas Nonradikal

Reactive Nitrogen Nitrogen dioxide (𝑁𝑂2− ) Nitrous oxide (HNO2)


Spesies (RNS)
Nitric Oxide (NO) Peroxynitrite (OONO-)
12

Reactive Oxygen Peroxyl (𝑅𝑂2− ) Hypochlorous acid (HOCl)


Spesies (ROS)
Hydroperoxyl (𝐻𝑂2− ) Hydrogen peroxide (H2O2)

Hydroxyl (𝑂𝐻 − )

Superoxide (𝑂2− )

2.3.3 Mekanisme kerusakan sel

Radikal bebas yang berlebihan dalam tubuh akan bereaksi dengan lemak,

protein, serta asam nukleat selular yang menyebabkan terjadinya kerusakan lokal

pada jaringan. Biomolekul yang rentan terhadap radikal bebas adalah lemak.

Kerusakan sel paling awal diketahui melalui peroksidasi lipid pada membran sel.

Kandungan poly unsaturated fatty acid (PUFA) pada membran sel menjadi sasaran

utama radikal bebas karena mudah sekali dirusak. Peroksidasi lipid menghasilkan

Malondialdehyde (MDA) yang dijadikan indikator umum jumlah radikal bebas

(Liang et al., 2008).

Radikal bebas yang bereaksi dengan protein sangat jarang ditemui kecuali

dalam keadaan akumulasi atau kerusakan terfokus pada daerah tertentu dalam

protein, hal ini disebabkan oleh sifat protein yang lebih tahan terhadap radikal

bebas, sama seperti ketahan asam nukleat. Kemungkinan kerusakan pada bagian

DNA juga amat kecil kecuali radikal bebas terbentuk disekitar DNA seperti pada

radiasi biologis (Sinaga, 2017).


13

2.4 Antioksidan

Antioksidan atau reduktor berfungsi untuk mencegah terjadinya oksidasi

atau menetralkan senyawa yang telah teroksidasi, dengan cara menyumbangkan

hidrogen dan atau elektron (Silalahi, 2006). Di dalam tubuh terdapat mekanisme

antioksidan atau anti radikal bebas secara endogenik (Dyatmiko et al., 2000)

dimana radikal bebas yang terbentuk akan dinetralkan oleh elaborasi sistem

pertahanan antara antioksidan enzim-enzim seperti katalase, superoksid dismutase

(SOD), glutation peroxidase dan sejumlah anti oksidan non enzim termasuk

diantaranya vitamin A, E dan C, glutatione, ubiquinone dan flavonoid

(Christopher,2004; Urso, 2003; Lekhi, 2007).

Antioksidan enzimatik disebut juga antioksidan pencegah, terdiri dari

superoksid dismutase, katalase, dan glutathione peroxidase. Antioksidan

nonenzimatik disebut juga antioksidan pemecah rantai. Antioksidan pemecah rantai

terdiri dari vitamin C, vitamin E, dan beta karoten (Chevion, 2003; Ji, 1999). Sistem

pertahanan ini bekerja dengan beberapa cara antara lain berinteraksi langsung

dengan radikal bebas, oksidan, atau oksigen tunggal, mencegah pembentukan

senyawa oksigen reaktif, atau mengubah senyawa reaktif menjadi kurang reaktif

(Winarsi, 2007).

2.5 Stress Oksidatif

Stres oksidatif adalah kondisi ketika jumlah radikal bebas melebihi jumlah

antioksidan dalam tubuh, sehingga mengakibatkan gangguan metabolisme dan

kerusakan molekuler (Sies dan Jones, 2007). Stres oksidatif terjadi akibat reaksi

metabolik yang menggunakan oksigen dan mengakibatkan gangguan pada


14

keseimbangan kadar radikal bebas dan antioksidan. Produksi radikal bebas yang

berlebihan berpotensi mengakibatkan kerusakan tingkat seluler (Kevin et al., 2006;

Suarsana, 2013). Kerusakan yang disebabkan oleh stres oksidatif disebut kerusakan

oksidatif. Kerusakan oksidatif adalah kerusakan biomolekuler akibat ROS pada

organisme hidup (Halliwell dan Gutteridge, 2015). Kerusakan oksidatif dapat

terjadi dengan tiga cara yakni peroksidasi lipid, oksidasi protein dan oksidasi DNA

(Casado et al., 2008).

Peroksidasi lipid merupakan salah satu konsekuensi utama dari

ketidakseimbangan oksidatif. Peroksidasi lipid mengakibatkan perubahan fluiditas,

permeabilitas serta merusak aktivitas enzim yang terkait dengan membran sel.

Peroksidasi lipid juga mengakibatkan terbentuk zat-zat aldehyde seperti

malondialdehyde, 4-hydroxynonenal dan TBARS (thiobarbituric acid-reactive

substances) (Chang et al., 2014). Kerusakan langsung pada protein dapat

disebabkan oleh radikal bebas yang dapat mempengarui berbagai jenis protein,

mengganggu aktivitas enzim dan fungsi protein structural (Sarma et a, 2010)

Oksidasi protein dapat merusak fungsi reseptor, antibodi, signal

transduction protein, enzim, struktur dan transport protein. Oksidasi protein dapat

disebabkan oleh oksidasi zat radikal, non radikal maupun efek sekunder akibat

reaksi dengan produk peroksidasi lipid. Kerusakan yang terjadi akibat oksidasi

protein dapat bersifat reversibel maupun irreversibel (Halliwell dan Gutteridge,

2015).

Oksidasi DNA disebabkan oleh lesi pada susunan molekul yang apabila

tidak dapat diatasi dan terjadi sebelum replikasi akan menyebabkan terjadi mutasi.
15

Radikal oksigen dapat menyebabkan kerusakan DNA apabila terbentuk disekitar

DNA misal akibat radiasi biologis (Sinaga, 2016).

2.6 Usus Halus

2.6.1 Anatomi Usus Halus

Usus halus merupakan bagian dari sistem pencernaan. Usus halus terletak

diantara lambung dan usus besar yang merupakan tempat utama proses pencernaan

secara kimiawi dan penyerapan nutrisi. Usus halus bekerja dibantu oleh pankreas

yang menghasilkan enzim yang digunakan dalam proses pencernaan. Secara normal

usus halus terdiri dari duodenum, jejunum dan ileum. Duodenum merupakan bagian

proximal dari usus halus yang melewati bagian kaudal dari permukaan kanan

ventrikulus dan membentuk suatu lengkungan seperti huruf“U”. Diantara

lengkungan “U” tersebut terdapat pankreas (Sisson dan Grossman 1953) yang

menghasilkan enzim amylase, lipase dan tripsin (North 1984). Jejunum dan ileum

tidak memiliki batas yang jelas, untuk menentukan batas antara usus halus tersebut

berdasarkan letak dari Meckel’s divertikulum (Sisson dan Grossman 1953).

2.6.2 Histologi Usus Halus

Usus halus adalah tempat terakhir berlangsung pencernaan, absorbsi

nutrient, dan sekresi endokrin. Proses pencernaan dituntaskan dalam usus halus,

tempat nutrient hasil pencernaan diabsorbsi oleh sel epitel pelapis. Usus halus

terdiri dari tiga segmen yakni duodenum, yeyunum, dan ileum (Junqueira, 2012).

Usus halus pada tikus putih memiliki panjang 1.3 meter (Flindt, 2006).
16

Duodenum memiliki jalan berbentuk seperti hurup “C” yang mengelilingi

pancreas ditandai ujung distalnya menyatu dengan jejunum yang terikat pada

dinding dorsal rongga melalui mesenterium. Jejunum dapat bergerak bebas pada

mesenteriumnya dan merupakan dua-perlima bagian proksimal usus halus. Ileum

merupakan sisa dari tiga perlimanya. Dinding usus halus terdiri atas empat lapis

konsentris yaitu mukosa, submukosa, muskularis, dan serosa (Leeson et al, 1996).

Selain fungsi utama pencernaan dan penyerapan, mukosa usus juga berfungsi

sebagai penghalang penting untuk bahan beracun dan berbahaya serta melindungi

seseorang dari reaksi antigen dan inflamasi (Nusrat et al, 2000).

Salah satu segmen usus halus tempat berlangsungnya absorbs paling besar

adalah duodenum (Cunninghan, 2007). Duodenum menerima empedu dari hati dan

cairan pencerna dari pancreas melalui duktus biliaris komunis dan duktus

pankreaticus (Gartner, 2007). Permukaan usus halus akan memperlihatkan lipatan-

lipatan permanen sirkular atau semilunar yang terdiri dari mukosa dan submukosa

apabila dillihat dengan mata telanjang (Junqueira, 2012).

Dinding submukosa dapat ditemui diantara otot sirkular dan lapisan

terdalam yang merupakan suatu perbatasan. Dinding submukosa terdiri dari

jaringan areolar serta berisi banyak pembuluh darah, kelenjar, aluran limfe, dan

pleksus saraf yang dikenal sebagai pleksus Meissner. Duodenum terdapat beberapa

kelenjar khas yang dikenal dengan kelenjar Brunner. Dinding submukosa dan

mukosa dipisahkan oleh selapis otot datar yang disebut mukosa muskularis (Pearce,

2010).
17

Vili usus merupakan penonjolan sepanjang 0,5 sampai 1.5 mm dan

berproyeksi ke dalam lumen usus halus. Pada duodenum, vili ini berbentuk daun

tetapi berangsur berubah bentuk menyerupai jari saat mendekati ileum. Vili

dilapisis oleh selapis epitel kolumnar sel absorbtif dan sel goblet. Diantara vili

terdapat muara kecil kelenjar tubular simpleks yang disebut riptus intestinal. Epitel

setiap vili menyatu dengan epitel kelenjar yang mengandung sel absorbtif dan sel

goblet berdiferensiasi, sel Paneth, sel enteroendokrin dan sel punca yang

membentuk tipe tersebut (Junqueira, 2012).

Gambar 2.3 Struktur Plika Kerkringi (Sumber: Siomianka, 2009)

Keterangan:
A : Plika Kerkringi
B : Vili Intestinal
18

Gambar 2.4 Histologi Usus Halus (Sumber: Siomianka, 2009)

Keterangan:
A : Sel goblet
B : Epitel selapis silindris dengan striated border
C : Sel interstitial

Enterosit yaitu sel absorbtif merupakan sel silindris tinggi, masing-masing

dengan inti lonjong di bagian basal sel. Pada ujung sel terdapat lapisan homogeny

yang disebut brush (striated) border. Setiap mikrovilus merupakan tonjolan

silindris dari setoplasma apical dengan panjang 1 mm dan diameter 0,1 mm dan

terdiri atas filament aktin serta dibungkus membran sel. Mikrovili memperluas

daerah kontak antara permukaan usus dengan nutrient (Junqueira, 2012).

Sel goblet tersebar diantara sel absorbtif. Sel-sel ini tidak banyak terdapat

pada duodenum akan tetapi jumlah sel goblet akan betambah banyak dalam ileum.

Sel-sel ini menghasilkan musin glikoprotein yang terhidrasi dan berikatan silang

membentuk mucus dengan fungsi utama melindungi dan melumasi lapisan usus

(Junqueira, 2012).
19

Duodenum berbeda dari jejunum dan ileum dalam hal vili yang lebih lebar

dan tinggi serta jumlah vili per unit area yang lebih banyak. Sel goblet per unit lebih

sedikit dari jejunum dan ileum dan pada bagian sub mukosa terdapat kelenjar

bruner. Vili di jejunum lebih lansing, pendek, dan jarang dibandingkan pada

duodenum. Jumlah sel goblet per unit area lebih banyak di jejunum dibandingkan

pada duodenum (Gartner, 2007).

Vili di ileum jumlahnya paling sedikit dan ukurannya paling pendek dan

langsing dibandingkan dengan jejunum dan duodenum. Lamina propria ileum

mengandung kelompok nodul limfoid permanen yang disebur Payer’s patches.

Payer’s patches ini hanya terdapat pada again dinding ileum yang berlawanan

dengan tempat lekat mesenterium. Pada daerah yang mengandung Payer’s patches

ukuran dari vili memendek, dan terkadang tidak ditemui vili (Gartner, 2007).

2.6.3. Histopatologi usus halus yang diinduksi Deksametason

Jumlah radikal bebas yang terlalu banyak dalam tubuh menyebabkan

antioksidan endogen tidak mampu untuk menetralisir dari radikal bebas, seperti

contoh pemberian deksametason. Kerusakan usus halus yang disebakan oleh

pemberian deksametason berupa nekrosis dengan intensitas berat, dimana vili dan

mucus usus halus secara keseluruhan mengalami nekrosis (Wijayanthi, dkk. 2017).
20

Gambar 2.5 Histopatologi kerusakan usus halus (Sumber:Wijayanthi,dkk.


2017)

2.6.4 Absorbsi pada Usus Halus

Absorbsi makanan yang telah melalui proses cerna secara menyeluruh

berlangsung di usus halus melalui dua saluran yaitu pembuluh kapiler darah dan

saluran limfe di vili yang berada di sebelah dalam permukaan usus halus. Sebuah

villus yag berisi lacteal, pembuluh darah, epitellium, dan jaringan otot yang diikat

bersama jaringan limfoid. Lacteal sentralis akan berakhir menjadi ujung buntu,

sedangkan jaringan otot dasar akan melaluinya dan pembuluh kapiler darah

mengelilingi. Keseluruhan selanjutnya diselimuti membrane dasar dan ditutupi oleh

epitelium. Vili akan bersentuhan dengan makanan cair atau kime dan lemak

diabsorbsi ke dalam lacteal karena keluar dari dinding usus (Pearce, 2010).

Tergantung dari jenis nutrisi, transport melewati sel-sel dapat bersifat pasif

maupun aktif. Gula fruktosa bergerak secara difusi terfasilitasi menuruni gradien

konsentrasi dari lumen usus halus menuju ke sel-sel epitel kemudian fruktosa

meninggalkan permukaan basal dan diserap ke dalam pembuluh darah mikroskopik


21

atau kapiler pada bagian tengah masing-masing vilus. Nutrient lainnya seperti asam

amino, vitamin, peptide kecil, dan sebagian besar molekul glukosa akan dipompa

melawan gradient konsentrasi oleh sel epitel vilus. Transpor aktif tersebut

memungkinkan jauh lebih banyak abrobsi nutrient daripada difusi pasif (Campbell,

2011).

2.7 Tikus Putih (Rattus norvegicus)

Tikus putih merupakan salah satu hewan coba yang paling banyak

digunakan dalam penelitian. Hal ini dikarenakan tikus memiliki keunggulan yaitu

memiliki kesamaam fisiologis dengan manusia, siklus hidup yang relatif pendek,

jumlah anak perkelahiran banyak, mudah berkembang biak, murah, serta mudah

untuk di dapat (Krinke, 2000). Ciri anatomis dari tikus putih meliputi kepala kecil,

albino serta memiliki ekor berukuran lebih panjang dari tubuh. Sifat lain dari tikus

putih yang menguntungkan bagi peneliti adalah pertumbuhannya yang cepat,

memiliki temperamen yang baik, serta memiliki ketahanan terhadap arsenic tiroksid

(Akbar, 2010).

Gambar 2.6 Tikus Putih (Rattus norvegicus) (Al-Hajj et al., 2016)


22

Menurut Myres dan Armitage (2004), klasifikasi tikus putih (Rattus norvegicus)
adalah sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Mamalia
Ordo : Rodentia
Subordo : Sciurognathi
Famili : Muridae
Sub-Famili : Murinae
Genus : Rattus
Spesies : Rattus norvegicus
Galur/strain : Wistar
Perbedaan morfologi antara tikus putih jantan dan betina terletak di bagian

bobot badan. Tikus putih jantan dewasa memiliki bobot rata-rata 450-520 gram

(Wolfenshon dan Lloyd, 2013), sementara tikus putih betina memiliki bobot badan

rata-rata 250-300 gram. Bobot badan dipengaruhi oleh jenis kelamin serta umur.

Penambahan umur mempengaruhi perubahan berat organ seperti ginjal, hati, limpa

serta pulmo.
23

Tabel 2.3 Data fisiologis tikus putih (Wolfenshion dan Lloyd, 2013)
Nilai Fisiologis Kadar
Berat tikus dewasa Jantan 450 - 520 g
Betina 250 – 300 g
Kebutuhan makan 5-10 g/100 g berat badan
Kebutuhan minum 10 ml/100 g berat badan
Jangka hidup 3 - 4 tahun
Temperatur rektal 36C – 40C
Detak jantung 250 – 450 kali / menit
Tekanan darah
Sistol 84 – 134 mmHg
Diastol 60 mmHg
Laju Pernafasan 70 – 115 kali / menit
Serum Protein (g/dl) 5.6 – 7.6
Albumin (g/dl) 3.8 – 4.8
Globulin (g/dl) 1.8 - 3
Glukosa (mg/dl) 50 – 135
Nitrogen urea darah (mg/dl) 15 – 21
Kreatinin (mg/dl) 0.2 – 0.8
Total bilirubin (mg/dl) 0.2 – 0.55
Kolesterol (mg/dl) 40 - 130
BAB 3 KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS

3.1 Kerangka Konseptual

Deksametason Dosis 0.75 mg Tikus Putih

ROS

Akumulasi radikal bebas


Astaxanthin
dalam darah

Antioksidan Stres Oksidatif

Usus Halus Duodenum

Singlet Oksigen (O2) Hidrogen Peroksida (H2O2) Radikal Peroksil (OOH)

g (OH)
Radikal Hidroksil

Peroksidasi Lipid dan Kerusakan DNA

Keterangan: Histopatologi Duodenum

:menghambat

: diteliti Edema, kongesti/hemoragi, erosi, ulcer


: Diteliti
: tidak diteliti
Kerusakan duodenum

Gambar 3.1 Kerangka Konseptual

24
25

3.2 Hipotesis

Pemberian Astaxanthin memiliki pengaruh terhadap gambaran

histopatologi duodenum usus halus tikus putih (Rattus norvegicus) yang diinduksi

menggunakan Deksametason.
BAB 4 MATERI DAN METODE PENELITIAN

4.1 Rancangan Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimental dengan rancangan post

test only control group design. Rancangan penelitian ini dilakukan terhadap lima

perlakuan pada hewan coba tikus putih jantan (Rattus norvegicus) galur wistar.

Sampel yang diamati yaitu duodenum usus halus tikus putih untuk dilihat dari hasil

perubahan gambaran histopatologi.

4.2 Sampel dan Besar Sampel

4.2.1 Sampel Penelitian

Sampel penelitian yang diambil yaitu dudodenum usus halus tikus putih

(Rattus norvegicus) galur wistar dengan jenis kelamin jantan, berat badan 130-150

gram, tikus berumur 4 bulan dengan keadaan sehat tanpa cacat anatomis. Tikus

yang digunakan sebagai hewan coba didapatkan dari Fakultas Kedokteran Hewan

Universitas Airlangga, Surabaya. Kriteria sampel berupa galur, jenis kelamin, berat

badan, serta umur dipastikan dengan menggunakan sertifikat dari breeder hewan

coba tikus putih.

4.2.2 Besar Sampel Penelitian

Besar sampel penelitian ditentukan berdasarkan jumlah ulangan

menggunakan rumus Federer (Dahlan, 2011), dengan perhitungan sebagai berikut:

(n-1) (t-1) ≥ 15

(n-1) (5-1) ≥ 15

26
27

(n-1) (4) ≥ 15

4n ≥ 15 + 4

19
n≥ 4

n ≥ 4,75 ~ 5

Keterangan:

t = perlakuan

n = jumlah ulangan

Maka, hewan coba yang diperlukan sejumlah 25 ekor yang dibagi menjadi

5 kelompok perlakuan dan tiap perlakuan menggunakan 5 ekor tikus.

4.3 Variabel yang Diamati

4.3.1 Variabel Bebas

Variabel bebas penelitian adalah pemberian perlakuan dengan Astaxanthin

menggunakan dosis 2 mg/ekor, 6 mg/ekor, dan 12 mg/ekor per hari.

4.3.2 Variabel Terikat

Variabel terikat dalam pada penelitian ini adalah perubahan pada gambaran

histopatologi duodenum tikus putih (Rattus norvegicus) galur wistar.

4.3.3 Variabel Kontrol

Variabel kontrol pada penelitian ini adalah strain tikus putih, umur tikus

putih, berat badan tikus putih, jenis kelamin tikus putih, pakan, minum, kandang

tikus, suhu kandang, dosis obat pada setiap perlakuan, serta waktu pemberian

perlakuan.
28

4.4 Definisi Operasional Variabel

4.4.1 Astaxanthin

Astaxanthin merupakan antioksidan yang memiliki fungsi untuk

mengurangi radikal bebas serta meredam reactive oxygen species (ROS) sehingga

dapat melindungi molekul alamiah dalam sel seperti lemak serta melindungi

membran sel dari oksidasi (McNulty et al., 2007). Astaxanthin yang digunakan

pada penelitian ini adalah Astaxanthin yang mengandung Ekstrak Haemotococcus

pluvialis senyawa antioksidan yang berfungsi menangkal radikal bebas dan dengan

dosis pemakaian 2 mg, 6 mg, 12 mg, diberikan secara peroral.

4.4.2 Histopatologi Duodenum

Histopatologi duodenum merupakan gambaran mikroskopis dari duodenum

yang diamati adanya perubahan patologis pada duodenum dengan bantuan alat

yaitu Mikroskop Trinokuler melalui 5 lapang pandang dengan pembesaran 100x

dan 400x.

4.5. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 1 Oktober sampai dengan 30

Oktober 2020. Pemberian perlakuan dilaksanakan di Laboratorium Pakan dan

Nutrisi SIKIA Universitas Airlangga Banyuwangi. Sediaan histopatologi usus

halus di buat di Laboratorium dr. Satria Pandu Persada Isma, Sp. OT, Malang.

Sediaan histopatologi usus halus diperiksa di Laboratorium Instrumen SIKIA

Universitas Airlangga di Banyuwangi.


29

4.6 Bahan dan Materi Penelitian

Hewan percobaan pada penelitian ini menggunakan tikus putih (Rattus

norvegicus) galur wistar dengan berat badan 130-150gram sejumlah 25 ekor.

Hewan coba didapatkan dari Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga,

Surabaya. Bahan yang digunakan pada penilitian ini meliputi Dexamethasone®

dengan dosis 0,13 mg/kg berat badan, Astaxanthin® dengan dosis 2 mg, 6 mg, dan

12 mg, Buffer formalin 10% serbuk kayu sebagai alas kandang perawatan tikus

putih, pakan komersial tikus putih berbentuk pellet, air yang diberikan secara ad

libitum, ketamine HCL 100 mg/ml, serta Xylazine HCL 20 mg/ml.

4.6.1. Materi Penelitian

Kandang hewan percobaan yang terbuat dari wadah plastik dengan luas

kandang minimal 500 cm³ serta ram sebagai penutup wadah plastik (Kusumawati,

2016). Spuit tuberculin merk OneMed®, kapas alkohol, sonde lambung, alat bedah

minor set, neraca analitik dengan ketelitian 0,01 g, mikroskop trinokuler, serta log

book untuk mencatat data observasi dan inspeksi selama masa adaptasi, masa

pemberian perlakuan, hingga hasil data.

4.7 Prosedur Penelitian

4.7.1. Uji Etika Media

Uji etika medik dilakukan sebelum kegiatan penelitian dimulai. Uji etika

medik perlu dilakukan untuk memastikan segala tindakan medik yang diberikan

kepada hewan percobaan sesuai dengan Standart Operasional Prosedur (SOP). Uji
30

etika medik dilaksanakan di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Airlangga

kampus A Surabaya.

4.7.2 Persiapan Hewan Coba dan Pembagian Kelompok

Hewan percobaan yang digunakan pada penilitian ini berjumlah 25 ekor

tikus putih (Rattus norvegicus) galur wistar. Tikus putih dihandling menggunakan

sarung tangan kemudian dilakukan penimbangan untuk mengetahui bobot badan

tikus. Pembagian kelompok hewan percobaan dilakukan secara acak sejumlah 5

ekor tiap kelompok. Hewan percobaan diadaptasikan dengan lingkungan kandang

selama 7 hari. Air minum disediakan ad libitum serta pakan komersial yang cukup

diberikan selama 7 hari masa adaptasi.

4.7.3 Perlakuan hewan coba

Hewan coba diberikan waktu untuk masa adaptasi terlebih dahulu selama 7

hari, kemudian tikus diberikan perlakuan sebagai berikut:

Kontrol (+) : Diberikan Dexamethasone® dengan dosis 0,75 mg/ekor secara

intramuskular setiap hari selama 10 hari.

Kontrol (-) : Diberikan Aquadest 0,5 ml/ekor secara per-oral selama 10 hari.

P1 : Diberikan Dexamethasone® dengan dosis 0,75 mg/ekor secara

intramuskular dan Astaxanthin® dengan dosis 2 mg/ekor yang

dilarutkan dengan 0,5 ml aquadest secara oral setiap hari

selama 10 hari.

P2 : Diberikan Dexamethasone® dengan dosis 0,75 mg/ekor secara

intramuskular dan Astaxanthin® dengan dosis 6 mg/ekor yang


31

dilarutkan dengan 0,5 ml aquadest secara oral setiap hari

selama 10 hari.

P3 : Diberikan Dexamethasone® dengan dosis 0,75 mg/ekor secara

intramuscular dan Astaxanthin® dengan dosis 12 mg/ekor

yang dilarutkan dengan 0,5 ml aquadest secara oral setiap hari

selama 10 hari.

Pemberian perlakuan diberikan selama 10 hari (Indayani dkk., 2015).

Pemberian dosis Dexamethasone® didapatkan dari penelitian sebelumnya yang

dilakukan oleh Indayani dkk (2015) serta dosis Astaxanthin didapatkan dari

penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Zuluaga et al (2018).

4.7.4 Euthanasia Hewan Percobaan

Hari ke 14 setelah pemberian perlakuan selesai hewan coba di handling

menggunakan gloves kemudian dilakukan penimbangan berat badan akhir. Data

hasil berat badan awal dan akhir digunakan untuk mendapat hasil yang homogen

serta distribusi data yang normal. Langkah lanjutan setelah dilakukan pendataan

berat badan adalah proses euthanasi. Tikus di handling dan dieuthanasi

menggunakan kombinasi Xylazine HCL serta Ketamine HCL secara intramuscular

kemudian dilanjutkan dengan cervical dislocation. Tikus dinekropsi untuk

mengambil organ usus halus bagian duodenum. Duodenum yang telah dipisahkan

difiksasi dalam larutan Buffered Neutral Formalin 10% kemudian dilanjutkan

dengan pembuatan preparat histopatologi menggunakan pewarnaan Hematoxyline-

Eosin (HE).
32

4.7.5 Pembuatan preparat histopatologi

Pembuatan sediaan histopatologi dibuat dengan metode paraffin dan

dilakukan pemberian pewarnaan Hematoxyline-Eosin (HE) pada preparat.

Pembuatan preparat histopatologi dilakukan di Laboratorium dr. Satria Pandu

Persada Isma, Sp. OT, Malang.

4.7.6 Pemberian Skor

Pengamatan preparat histopatologi usus diamati menggunakan mikroskop

trinokuler dengan pembesaran 400x dan untuk memastikan hasil pengamatan tidak

bersifat subjektif maka peneliti meminta bimbingan seorang ahli patolog.

Pengamatan preparat histopatologi dilakukan dengan mengamati lima lapang

pandang perubahan duodenum usus halus tikus putih menggunakan mikroskop.

Menurut Aprilia, S. I. (2019) skoring pemeriksaan kerusakan histopatologi pada

epitel mukosa duodenum yang diamati antara lain:

Skor 1 = tidak ada perubahan

Skor 2 = kerusakan ringan (kerusakan < ¼ lapang pandang pengamatan)

Skor 3 = kerusakan sedang (kerusakan ¼-3/4 lapang pandang pengamatan)

Skor 4 = kerusakan berat (kerusakan >3/4 - seluruh lapang pandang pengamatan)

Jenis kerusakan yang diamati pada histopatolgi duodenum usus halus tikus putih

yaitu edema, kongesti, erosi, dan ulcer

4.7.7 Pengambilan Data

Data hasil penelitian didapatkan dari hasil skoring dengan kriteria

pemeriksaan yang dijelaskan.


33

4.8 Analisis Data

Data yang diperoleh dari hasil skoring kerusakan organ usus dianalisis

menggunakan program komputer Statistical Product and Service Solutions (SPSS)

for Windows. Data mula-mula diuji normalitas menggunakan Saphiro-wilk karena

sampel kurang dari 50. Jika didapatkan data terdistribusi normal maka dilanjutkan

pengujian menggunakan one way ANOVA untuk menguji perbedaan rata-rata pada

kelompok kontrol dan kelompok perlakuan. Jika data tidak terdistribusi normal

pengujian dilanjutkan menggunakan uji non-parametrik Kruskal-Wallis, jika

terdapat perbedaan nyata yang dibuktikan dengan nilai p<0,05 maka dilanjutkan

dengan uji Mann Whitney untuk mengetahui perbedaan kelompok perlakuan dan

kelompok kontrol.
34

4.9 Kerangka Operasional Penelitian

Timbang tikus putih galur Wistar

25 ekor tikus putih dimasukkan dalam 5 wadah perawatan

Adaptasi 25 ekor tikus putih dilakukan selama 7 hari

P1
P2 P3
Kontrol + Dexamethasone
Kontrol – Dexamethasone Dexamethasone
Dexamethas ® 0,75 mg/ekor
Diberikan ® 0.75/ekor ® 0,75 mg/ekor
one® 0,75 dan
Aquadest dan dan
mg/ekor Astaxanthin® 2
0,5ml/ekor Astaxanthin® 6 Astaxanthin®
mg/ekor
mg/ekor 12 mg/ekor

Perlakuan diberikan selama 10 hari

Pada hari ke-11, timbang berat badan akhir

Dilakukan euthanasia dengan injeksi ketamine-xylazine secara intraperiteonial

Fiksasi organ usus halus bagian duodenum dalam buffer formalin 10%

Pembuatan sediaan histopatologi organ usus

Pengamatan mikroskopis organ usus

Pemberian skor kerusakan organ usus

Pengambilan data

Analisis data

Gambar 4.1 Skema alur penelitian


BAB 5 HASIL DAN ANALISIS DATA

5.1 Hasil Perhitungan dan Analisis Statistik

Hasil pengamatan gambaran histopatologi duodenum didapatkan jumlah

nilai rata-rata kerusakan duodenum usus halus tikus putih yang dilihat dari lima

lapang pandang pengamatan menggunakan mikroskop trinokuler dengan

perbesaran 100x dan 400x. Hasil rata-rata pada setiap variabel kerusakan dapat

dilihat pada tabel 5.1

Tabel 5.1 Hasil rata-rata variable kerusakan duodenum tiap perlakuan

Kelompok Mean ± SD
K (-) 4,60a ± 1,00
K (+) 2,00b ± 2,08
P1 5,20a ± 1,30
P2 2,00b ± 0,80
P3 2,20b ± 2,80
a,b,c, merupakan huruf berbeda yang menunjukkan perbedaan yang signifikan
(p<0,05)
Keterangan:
K (-) = Kelompok kontrol negatif (diberikan Aquadest secara per-oral)
K (+) = Kelompok kontrol positif (Deksametason 0,75 mg/ekor)
P1 = Kelompok perlakuan I (Deksametason 0,75 mg/ekor + Astaxanthin
2 mg/ekor)
P2 = Kelompok perlakuan II (Deksametason 0,75 mg/ekor + Astaxanthin
6 mg/ekor)
P3 = Kelompok perlakuan III (Deksametason 0,75 mg/ekor +
Astaxanthin 12 mg/ekor

Berdasarkan hasil pada tabel 5.1 menunjukkan bahwa rata rata kerusakan

paling tinggi pada kelompok P1 yaitu 5,20 dengan pemberian Deksametason 0,75

mg/ekor dan Astaxanthin 2 mg/ekor, kemudian diikuti oleh kelompok K(-) yaitu

4,60 dengan pemberian Deksametason 0,75 mg/ekor tanpa disertai pemberian

35
36

Astaxanthin. Data hasil pada tabel tidak menunjukkan perbedaan nyata pada

kelompok perlakuan K(+), P2, dan P3.

Hasil skoring yang di dapat dianalisis secara statistik menggunakan uji One

Way ANOVA dan uji Post Hoc Duncan. Jika hasil uji normalitas dengan interpretasi

‘H0 diterima’ (data normal atau tidak terdapat perbedaan) jika sig. > 0,05 dan ‘H0

ditolak’ (data tidak normal atau terdapat perbedaan) jika sig.< 0,05.

Berdasarkan hasil uji normalitas dengan Shapiro-Wilk dengan jumlah

sampel <50, diperoleh nilai significancy untuk kelompok lebih dari 0,05 (sig. >

0,05) yang menandakan bahwa data-data tersebut terdistribusi normal (H0

diterima). Analisis data dilanjutkan dengan uji parametrik menggunakan uji One

Way ANOVA. Uji One Way ANOVA dilakukan untuk menentukan perbedaan

signifikan secara statistik antara dua atau lebih kelompok variabel bebas dan

variabel terikat dengan data nominal dan data skala. Hasil uji One Way ANOVA

didapatkan nilai significancy (p < 0,05) yaitu p=0,000 yang menandakan terdapat

perbedaan gambaran histopatologi duodenum pada lima kelompok perlakuan.

Perbedaan tingkat kerusakan duodenum antar kelompok perlakuan dilakukan uji

lanjutan dengan uji Post Hoc Duncan. Hasil Post Hoc Duncan menunjukkan

kelompok K(-) tidak signifikan atau tidak berbeda nyata terhadap kelompok P1

tetapi berbeda nyata terhadap kelompok K(+), P2,dan P3.

5.2 Hasil Histopatologi Duodenum

5.2.1 Kelompok K(-)


37

Hasil pengamatan gambaran histopatologi duodenum pada kelompok

kontrol negatif K(-) yang diberikan Aquadest tanpa diberikan Deksametason dan

Astaxanthin didapatkan dengan nilai rerata 4,60a ± 1,00. Gambaran kerusakan pada

kelompok K(-) menunjukkan kerusakan dengan tingkat keparahan yang berbeda di

tiap variable yaitu pada kelompok K (+), P1, P2, dan P3. Tingkat kerusakan pada

kelompok kontrol dapat di lihat pada tabel 5.1.

Gambar 5.2 Histopatologi duodenum kelompok K(-)

Histopatologi duodenum pada kelompok K(-) menunjukkan adanya erosi

pada mukosa duodenum dan terdapat kongesti diantara sel enterstitial duodenum.

Kongesti yang terdapat pada kelompok K(-) diakibatkan karena meningkatnya

volume darah dalam pembuluh darah yang melebar.

5.2.2. Kelompok K(+)

Hasil pengamatan gambaran mikroskopis histopatologi duodenum pada

kelompok kontol positif K(+) yang diberi perlakuan dengan memberikan

Deksametason 0,75 mg/ekor tanpa disertai pemberian Astaxanthin di dapatkan

dengan nilai rerata 2,00b ± 2,08 menunjukkan adanya kerusakan seperti edema,

kongesti, erosi, dan ulcer.


38

Gambar 5.3 Histopatologi duodenum kelompok K(+)

Pada gambar ini menunjukkan bahwa tingkat kerusakan pada kelompok K(+) parah

di lihat dari tidak adanya stuktur vili usus.

5.2.3 Kelompok P1

Hasil pengamatan gambaran mikroskopis histopatologi duodenum pada

kelompok kontol positif P1 yang diberi perlakuan dengan memberikan

Deksametason 0,75 mg/ekor dan Astaxanthin 2mg/ekor di dapatkan dengan nilai

rerata 5,20a ± 1,30 menunjukkan kerusakan yang dapat dilihat berupa edema,

kongesti,erosi dan ulcer.

Gambar 5.4 HIstopatologi duodenum kelompok P1


39

5.2.4 Kelompok P2

Hasil pengamatan gambaran histopatologi pada kelompok perlakuan P2

yang diberi perlakuan dengan memberikan Deksametason 0,75 mg/ekor dan

Astaxanthin 6 mg/ekor di dapatkan dengan nilai rerata 2,00b ± 0,80 menunjukkan

adanya kerusakan seperti edema, kongesti, erosi, sedikit ulcer.

Gambar 5.5 Histopatologi duodenum kelompok P2

5.2.5 Kelompok P3

Hasil pengamatan gambaran histopatologi pada kelompok perlakuan P2

yang diberi perlakuan dengan memberikan Deksametason 0,75 mg/ekor dan

Astaxanthin 12 mg/ekor didapatkan dengan nilai rerata 2,20b ± 2,80 menunjukkan

adanya kongesti/hemoragi, erosi, sedikit ulcer.

Gambar 5.6 Histopatologi duodenum kelompok P3


BAB 6 PEMBAHASAN

Penelitian ini menggunakan Deksametason sebagai bahan yang dapat

memberikan efek radikal bebas sehingga menyebakan stres oksidatif. Efek dari

stres oksidatif dapat diketahui melalui salah satu organ seperti duodenum. Efek dari

stres oksidatif dapat dilihat dari adanya perubahan pada lapisan penyusun

duodenum dengan bantuan mikroskop. Dinding duodenum terdiri atas 4 lapisan.

Lapisan pertama yaitu lapisan mukosa, muskularis mukosa, lamina propia, serta

epitel. Lapisan kedua terdiri atas jaringan ikat submukosa dengan kelenjar doudenal

(Brunner). Lapisan ketiga terdiri dari dua lapis otot polos pada muskularis eksterna.

Lapisan keempat yaitu serosa peritonium visceralis (Mescher, 2012).

Peningkatan jumlah Deksametason dalam tubuh menghasilkan stres

oksidatif akibat banyaknya radikal bebas yang terbentuk. Dalam keadaan ekstrim

keadaan ini dapat mengurangi aksi kapasitas antioksidan seperti SOD serta

meningkatkan volume hidrogen peroksida serta malondialdehyde. Jumlah ROS

yang terlalu banyak menyebabkan stres oksidatif yang dapat berujung pada

kematian sel (Rajaraman et al, 2007).

Stres oksidatif didefinisikan sebagai ketidakseimbangan antara produksi

radikal bebas dan mekanisme antioksidan. Radikal bebas merupakan atom atau

molekul dengan elektron yang tidak berpasangan sehingga menyebabkan reaktifitas

tinggi. Apabila mekanisme antioksidan gagal menangani ROS, makromolekul

seperti lipid, asam nukleat, dan protein akan beresiko untuk teroksidasi. Hal ini

mengarah ke disintegrasi struktur, malfungsi, bahkan perubahan pada epitop dan

pengenalan oleh sistem imun. Lipid sangat sensitif terutama terhadap kerusakan

40
41

oksidatif. Jumlah produk peroksidasi lipid terutama malondialdehyde (MDA) dapat

diukur untuk menghitung keparahan stres oksidatif (Watson, 2015).

Untuk mengurangi efek stres oksidatif yang disebabkan oleh Deksametason

maka diperlukan antioksidan. Salah satu bahan antioksidan yang digunakan untuk

mengurangi efek stress oksidatif yaitu Astaxanthin. Astaxanthin bersifat

menetralkan singlet oksigen melalui mekanisme fisik, dimana energi yang

berlebihan dari singlet oksigen tersebut ditransfer ke struktur karotenoid yang kaya

akan elektron dan mengubah energinya menjadi panas sehingga tidak terbentuk

singlet oksigen lagi serta bereaksi dengan radikal lain untuk mencegah dan

menghentikan reaksi rantai, sehingga mampu melindungi komponen sel lain

(lemak, protein, DNA) dari kerusakan oleh radikal bebas (Nishida, et al., 2007).

Astaxanthin yang digunakan pada penelitian ini diberikan dengan dosis

bertingkat pada tiap perlakuan tikus putih dengan tujuan untuk mengetahui dosis

tepat yang mampu mengurangi efek stres oksidatif dari Deksametason.

Berdasarkan hasil pada tiap perlakuan masing-masing menunjukkan

perbedaan. Pada kelompok kontrol negatif K(-) yang tidak diberi perlakuan

menunjukkan tingkatan kerusakan yang sedikit. Hal tersebut kemungkinan

dikarenakan dari faktor fisiologis tikus putih itu sendiri. Kelompok K(-) menjadi

acuan dalam menentukan setiap perbedaan kerusakan susunan lapisan duodenum

yang diberikan Deksametason.

Hasil pengamatan pada kelompok kontol positif K(+) yang diberikan

Deksametason dosis 0,75 mg/ekor tanpa diberi Astaxanthin menunjukkan tingkat

kerusakan parah dilihat dari susunan lapisan mucosa dan submucosa duodenum
42

mengalami ulcer. Kerusakan epitel mukosa duodenum dapat didefenisikan dengan

melihat kedalamannya yaitu berupa erosi mukosa merupakan kehilangan sebagian

ketebalan mukosa dan ulserasi mukosa, yaitu hilangnya seluruh tebal mukosa dan

sering menembus lapisan yang lebih dalam. Kerusakan juga bisa di karenakan

kurangnya produksi mukus oleh kelenjar brunner yang terdapat di submukosa

duodenum yang berfungsi sebagai pelindung mukosa, aktivasi kelenjar brunner

dihambat oleh stimulus simpatis yang meningkat pada keadaan stress kronik.

Hasil pengamatan pada kelompok P1 yang diberikan Deksametason 0,75

mg/ekor dan diberi Astaxanthin 2 mg/ekor menunjukkan tingkat kerusakan cukup

parah dilihat dari melebarnya epital vili usus, erosi, dan ulcer. Perbedaan tingkat

kerusakan yang dapat dilihat antar kelempok K(+) dengan P1 adalah susunan

lapisan mucosa dan submukosa duodenum. Epitel vili usus yang melebar dapat di

sebut dengan edema (Gambar 5.4). Edema pada mukosa duodenum terjadi akibat

akumulasi cairan yang abnormal didalam ruang interstisial dari jaringan dan organ.

Kerusakan Edema yang terjadi disebabkan oleh ketidakseimbangan tekanan

hidrostatik akibat peningkatan permeabilitas pembuluh kapiler (Aprilia, S. I. 2019).

Hasil pengamatan pada kelompok P2 yang diberikan Deksametson 0,75

mg/ekor dan diberi Astaxanthin 6 mg/ekor menunjukkan tingkat kerusakan ringan

dengan nilai rata-rata 2,00b ± 0,80, kemudian dilihat dari susunan vili usus yang

utuh hanya terdapat sedikit erosi pada bagian mukosa, dan masih cukup banyak

terdapat kongesti.

Hasil pengamatan pada kelompok P3 yang diberikan Deksametson 0,75

mg/ekor dan diberi Astaxanthin 12 mg/ekor menunjukkan tingkat kerusakan ringan


43

dengan nilai rata-rata 2,20b ± 2,80, kemudian dilihat dari lapisan mukosa yang

mengalami erosi, dan terdapat kongesti diantara epitel vili usus.

Pada hasil pengamatan kerusakan ditiap kelompok perlakuan menunjukkan

bahwa perubahan histopatologi dari duodenum tikus putih yang terdapat pada

kelompok kontrol negatif K(-) mendekati kerusakan yang terjadi pada kelompok

P1, dan berbeda pada pada kelompok K(+), P2, dan P3.
BAB 7 PENUTUP

7.1 Kesimpulan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian Astaxanthin dengan dosis

6 mg dan 12 mg memberikan pengaruh perbaikan terhadap gambaran kerusakana

histopatologi Doudenum tikus putih (Rattus norvegicus) yang diinduksi dengan

Deksametason.

7.2 Saran

1. Dapat dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai pengaruh Astaxanthin

terhadap organ lain seperti pankreas, limpa, jantung yang diinduksi dengan

Deksametason

2. Dapat dilakukan penelitian sejenis menggunakan Astaxanthin dalam

memperbaiki kerusakan bagian usus halus yang lain yang induksi dengan

Deksametason

3. Dapat dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai bahan antioksidan lain

yang mampu mengurangi efek dari stres oksidatif oleh Deksametason

44
DAFTAR PUSTAKA

Aisoi, L. 2016. Karakteristik Astaxanthin Sebagai Antioksidan. NOVAE GUINEA


Jurnal Biologi, 7(1).

Akbar, B. 2010. Tumbuhan dengan Kandungan Senyawa Aktif yang Berpotensi


Sebagai Bahan Antifertilitas. Jakarta: Adabia Press. 4-5.

Al-Hajj, N. Q. M., Sharif, H. R., Aboshora, W., and Wang, H. 2016. In vitro and in
vivo evaluation of antidiabetic activity of leaf essential oil of Pulicaria
inuloides-Asteraceae.

Ananto, AS. 2018. Pengaruh Pemberian Minyak Jelantah terhadap Perbedaan


Rerata Kerusakan Gambaran Histologi Jaringan Usus Halus Tikus Jantan
(Rattus norvegicus) Galur Spargue dawley [Skripsi]. Fakultas Kedokteran.
Universitas Lampung, Bandar Lampung. 13.

Andriyanti, R. 2009. Ekstraksi Senyawa Aktif Antioksidan dari Lintah Laut


(Discodoris sp.) asal Perairan Kepulauan Belitung. Fakultas Pertanian.
Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Anggraeni, A.W., 2019. Tingkat Pengetahuan Pasien Tentang Tablet


Deksametason Di Apotek Fortuna Sejahtera Singosari (Doctoral
dissertation, Akademi Farmasi Putera Indonesia Malang).

Ansel, C. Howard. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. UI Press

Asmita Narang and Gurpreet Singh Preet. 2019. Corticosteroids: Use or Misuse in
Veterinary Medicine. Int.J.Curr.Microbiol.App.Sci. 8(08): 1183-1189.

Barnes, P. J. 2011. Glucocorticosteroids: current and future directions. British


journal of pharmacology, 163(1), 29-43. Bertingkat Per Oral 30 Hari
Terhadap Kerusakan Tubulus Ginjal Tikus Wistar. Fakultas Kedokteran.
Universitas Diponegoro.
Campbell. 2011. Biologi Edisi Kelima Jilid 3. Jakarta: Erlangga.

Chen, J. T., and Kotani, K. 2016. Astaxanthin as a potential protector of liver


function: A review. Journal of clinical medicine research, 8(10), 701.

Chen, Q., Zielinski, D., Chen, J., Koski, A., Werst, D., and Nowak, S. 2008. A
validated, stability-indicating HPLC method for the determination of
dexamethasone related substance on dexamethasone-coated drug-eluting
stents. Journal of pharmaceutical and biomedical analysis, 48(3), 732-738.

45
46

Chevion, S., Moran D.S., Heled Y., Shani Y., Regrev G., Abbou B., Berenshtein
E., Stadtman E.R. and Epstein Y. 2003. Plasma Antioxidant Status and Cell
Injury After Severe Physical Exercise. Proc Nati Acad Sci. 100(9): 5119-
5123.
Christopher, P.I., Wenke, J.C., Nofal,T., Armstrong, R.B. (2004), Adaptation to
lenghthening contraction-induced injury in mouse muscle. J.Appl.Physiol
97:1067-76.

Ciobotaru, O. R., Lupu, M. N., Rebegea, L., Ciobotaru, O. C., Duca, O. M., Tatu,
A. L., and Miulescu, M. 2019. Dexamethasone-chemical structure and
mechanism of action in prophylaxis of postoperative side effects. Rev Chim
Buchar, 70, 843-847.

Clarkson, P. M., dan Thompson, H. S. 2000. Antioxidants: what role do they play
in physical activity and health? The American journal of clinical nutrition,
72(2), 637S-646S.

Davis AK, Maney DL, and Maerz JC. 2008. The use of leukocyte profiles to
measure stress in vertebrates: a review for ecologists. Funct Ecol 22: 760-
772.

Dharma IGBS. 2014. Skripsi: Pengaruh Pemberian Suplementasi Vitamin E


Terhadap Efek Samping Deksametason pada Pankreas Tikus Putih.
Fakultas Kedokteran Hewan. Universitas Udayana.

Drodge, W. 2002. Free radicals in the physiological control of cell function.


Physiological reviews, 82(1), 47-95. Efek Samping Deksametason pada
Hati Tikus Putih. Fakultas Kedokteran Hewan. Universitas Udayana.

Elkholly, D. A., O’Neill, D. G., Wright, A. K., Mwacalimba, K., Nolan, L. S.,
Pavlock, A., and Brodbelt, D. C. 2019. Systemic glucocorticoid usage in
dogs under primary veterinary care in the UK: prevalence and risk factors.
Veterinary Record, 185(4).

El-Sawy, A. E. S. F., El-Maddawy, Z. K., and Ashoura, N. R. 2018. Role of


Silymarin in Restoring the Deleterious Effects induced by Dexamethasone
in Male Rats. Alexandria Journal for Veterinary Science, 59(2).
Elsayed, A., and Azab, A. E. 2019. Oxidative stress and antioxidant mechanisms in
human body Toxicological effects of Propoxur View project Anti-
dyslipidemic and Antiatherogenic Effects of Some Natural Products View
project. Article in Journal of Biotechnology, 6(I–2019), 43–47.
47

Evan, J.L, Betty A.M. dan Ira D.G. 2005. The Molecular Basis for Oxidative Stress-
Induced Insulin Resistance. Antioxidants and Redox Signaling. 7(7): 1040-
1052.

Evans, W. J. 2000. Vitamin E, Vitamin C, and exercise. The American Journal of


clinical nutrition, 72(2), 647S-652S. Farmakologi Fakultas Kedokteran
Universitas Airlangga. Ed 8. Jakarta: Salemba Medika, pp: 582-590.

Farrugia, C., Kim, M. B., Bae, M., Lee, Y., Pham, T. X., Yang, Y., and Lee, J. Y.
2018. Astaxanthin exerts anti-inflammatory and antioxidant effects in
macrophages in NRF2-dependent and independent manners. The Journal of
nutritional biochemistry, 62, 202-209.

Fasset, R. G., and Coombes, J. S. 2011. Astaxanthin: a potential therapeutic agent


in cardiovascular disease. Marine drugs, 9(3), 447-465.

Feng, R., Feng, L., Yuan, Z., Wang, D., Wang, F., Tan, B., and Han, Y. 2013. Icariin
protects against glucocorticoid-induced osteoporosis in vitro and prevents
glucocorticoid-induced osteocyte apoptosis in vivo. Cell biochemistry and
biophysics, 67(1), 189-197.

Flindt, Rainer. 2006. Amazing Number in Biology. Berlin, Heidelberg: Spinger


Berlin Heidelberg.

Fromm MF, Busse D, Kroemer HK Eichelbaum M. 1996. Differential induction of


prehepatic and hepatic metabolism of verapamil by rifampin. Hepatology
24: 796-801.

Gartner, Leslie P dan James L. 2. 2007. Histology. Singapore: Elseiver Saunders.


Gillies BS, Thummel KE. 1996. Firstpass metabolism of midazolam by the
human intestine. Clin Pharmacol Ther 60: 14-24.

Goodwin, J. S. 1994. Anti-inflammatory drugs. Basic and Clinical Immunology.


Los Altos, CA: Lange Medical Publication, 786-95.

Guyton AC, Hall JE. 2000. Textbook of Medical Physiology. 10th Ed. Philadelphia,
WB Saunders Company. Pp: 875-879.

Guyton, A., and Hall. J. 2006. Textbook of medical physiology, 11th.

Halim, A., Handini, M., Armayanti, I., and Novianry, V. 2019. The Effect of
Astaxanthin on Glutathione Levels in Damage Liver Tissues of Male Wistar
Rats Induced By Oral Formaldehyde. KnE Life Science, 147-154.

Halliwell B, Gutteridge JMC. 1999. Free radicals in biology and medicine.


48

Halliwell, B. 1995. Oxygen radical, nitric oxide and human inflammantory joints
disease. Annals of the Rheumatic Diseases, 54,505-510.

Halliwell, B., and Gutteridge, J. M. 2015. Free radicals in biology and medicine.
Oxford University Press, USA.

Hama, S., Takahashi, K., Inai, Y., Shiota, K., Sakamoto, R., Yamada, A and
Kogure, K. 2012. Protective effects of topical application of a poorly soluble
antioxidant astaxanthin liposomal formulation on ultraviolet induced skin
damage. Journal of pharmaceutical science, 101(8), 2909-2916.

Hanafy AM, Khalil HA. 2015. Influence of chronic dexamethasone administration

Holtbecker N, Fromm MF, Kroemer HK, Ohnhms EF, Heidemann H. 1996. The
nifedipinerifampin interaction: Evidence for induction of gut wall
metabolism. Drug Metab Dispos 24: 1121-1123.

Hussein, G., Sankawa, U., Goto, H., Matsumoto, K., and Watanabe, H. 2006.
Astaxanthin, a carotenoid with potential in human health and nutrition.
Journal of natural products, 69(3), 443-449.
Ji, L.L. 1999. Antioxidants and Oxidative stress in exercise. Society for
Experimental Biology and Medicine, 283: 292.
Johanna, M.O., Ake, L., Annette, P., and Peter, H. 2003. Oral bioavailability of the
antioxidant astaxanthin in human is enhanced by incorporation of lipid
based formulations. European journal of pharmaceutical sciences, 19, pp.
299-304.

Junquire. L.C. and Carneriro J. 2012. Histology Dasra Teks dan Atlas. 10th ed:
Jakarta. EGC.

Katzung GB. 2002. Farmakologi dasar dan klinik. Penerjemah dan editor: Bagian
Katzung, G.B., Masters, B.S., and Trevor J.A. 2013. Farmakologi dasar and klinik.
Ed. 12 Vol. 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Kevin, C., Kregel, Hannah J. and Zhang. 2006. An Integrated View of Oxidative
Stress in Aging: Basic Mechanisms, Functional Effects, And Pathological
Considerations. Am J Physiol Regul Integr Comp Physiol. 292: 18-36.

Krinke, G. J. 2000. The Laboratory Rat. San Diego, CA: Academic Press. Hal: 150-
152.

Kusriningrum, R.S. 2010. Perancangan Percobaan. Airlangga University Press.


Surabaya. 213-215.
49

Kusumaadhi ZM. 2010. Artikel karya ilmiah: Pengaruh Pemberian Deksametason


Dosis Bertingkat Per Oral 30 Hari Terhadap Kerusakan Mukosa Lambung
Tikus Wistar. Fakultas Kedokteran. Universitas Diponegoro.

Kusumawati Diah. 2016. Bersahabat dengan Hewan Coba Yogyakarta


Gadjah Mada University Press.

Kwieien, Jansos K, Magierowski M, Sliwowski Z, Padjo R, dan Jagiellonian P.


2014. Review article lipid peroxidation, reactive oxygen species and
antioxidative factors in the pathogenesis of gastric mucosal lesions and
mechanism of protection against oxidative stress-induced gastric injury. J
Physiol Pharmacol. 65 (5):613-622.

Leong XF, Ng CY, Jaarin K and Mustafa MR. 2015. Effects of repeated heating of
cooking oils on antioxidant content and endothelial function. Austin Journal
of Pharmacology and Therapeutics. 3(2):1-7.

Liang, Y., Fang, J. Q., Wang, C. X., and Ma, G. Z. 2008. Effects of transcutaneous
electric acupoint stimulation on plasma SOD and MDA in rats with sport
fatigue. Zhen ci yan jiu= Acupuncture research, 33(2), 120-123.

Lingaiah, HB, Thamaraiselvan R, Periyasamy BR. 2012. Dexamethasone Induced


Alterations in Lipid Peroxidation, Antioxidants, Membrane Bound Atpase
in Wistar Albino Rats. Int J Pharm Pharm Sci, Vol 4, Suppl 3. Department
of Pharmacology and Environmental Toxicology, Dr. ALM Post Graduate
Institute of Basic Medical Sciences, University of Madras, Taramani
Campus, Chennai 600113, Tamil Nadu, India. Hal. 497-499.

Liu, D., Ahmet, A., Ward, L., Krishnamoorthy, P., Mandelcorn, E. D., Leigh, R.,
and Kim, H. 2013. A practical guide to the monitoring and management of
the complication of systemic corticosteroid theraphy. Allery, Asthma and
Clinical Immunology, 9(1), 30.

Lorenz, R. Todd. 2000. Astaxanthin, Nature’s Super Carotenoid. BioAstinTM


Technical Bulletin #062.

Lorenz, R.T. and Cysewski, G.R. 2000. Commercial potential for Haematococcus
microalgae as a natural source of astaxanthin. Trends Biotechnol. 18, 160–
167

Lu, S. C. 2008. Antioxidants in the treatment of chronic liver diseases: why is the
efficacy evidence so weak in humans Hepatology (Baltimore, Md.), 48(5),
1359.
50

Marciniak, A., Brzeszczynska, J., Gwozdzinski, K., and Jegier, A. 2009.


Antioxidant Capacity And Physical. Biology of Sport, 26(3).
Mc.Nulty, H.P., Byun,J., Lockwood, S.F., Jacob, R.F., and Matsuo, R.P. (2006).
Differential effects of carotenoid on lipid peroxidation due to membrane
interactions: X-Ray diffraction analysis. Biochimica et Biophysica Acta,
Vol 1768, pp. 167-174.

McNulty, H., Jacob, R. F., and Mason, R. P. 2008. Biologic activity of carotenoids
related to distinc membrane physicochemical interaction. The American
journal of cardiology, 101(10), S20-S29.

Mescher AL. 2007. Histologi dasar. Jakarta: EGC. metabolism overemphasized.


Pharmacol Rev 51: 135-158.

Miguel, M. G. 2010. Antioxidant activity of medical and aromatic plants. A review.


Flavor and Fragrance Journal, 25(5), 291-312.

Naito Y, Suematsu M, Yoshikawa T. 2011. Free radical and lipid peroxidation. Free
Radical Biology in Digestive Diseases. 29(1):1-11.

Narang, A., dan Preet, G. S. 2019. Corticosteroids: Use or Misuse in Veterinary


Medicine. Int. J. Curr. Microbiol. App. Sci, 8(8), 1183-1189.

Nishida, Y., Yamashita, E., and Miki, W. 2007. Quenching activities of common
hydrophilic and lipophilic antioxidants agains singlet oxygen using
chemiluminescence detection system. Carotenoid Science, 11(6), 16-20.

North MO. 1984. Commercial Chicken Production Manual. Connecticut: Avi


norvegicus). Asosiasi Farmakologi dan Farmasi Veteriner Indonesia.

Nusrat A, Turner JR, Madara JL. 2000. Molecular Physiology and Pathology of
Tight Junctions IV Regulation of Tight Junctions by Extracellular Stimuli:
Nutrient, Cytokines, and Immune Cells. Am J Physiol. 279(5): G851-7.
onreproductive parameters and semen traits in male of japanesequail. Asian
J Poult Sci 9(4): 223-232.

Osterlie, M., Bjerkeng, B., and Liaaen-Jensen, S. 1999. Accumulation of


astaxanthin all-e, 9 z and 13 Z geometrical isomers and 3 and 3’ RS optical
isomers in rainbow trout (Oncorhyncus mykiss) is selective. The Journal of
nutrition, 129(2), 391-398.

Ostrov, C. S., Sirkin, S. R., Deutsch, W. E., Masi, R. J., Chandler, J. W., and
Lindquist, T. D. 1997. Ketolorac, prednisolone, and dexamethasone for
postoperative inflammation. Clinical therapeuitics, 19(2), 259-272.
51

Paine MF, Shen DD, Kunze KL, Persins JD, Marsh CL, McVicar JP, Barr DM,

Park, J. H., Choi, J. W., Ju, E. J., Pae, A. N., an/ Park, K. D. 2015. Antioxidant and
anti-inflammatory activities of a natural compound, shizukahenriol, through
Nrf2 activation. Molecules, 20(9), 15989-16003.
Pearce, Evelyn C. 2010. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama.

Renwick AG, George CF. 1989. Metabolism of xenobiotics in the gastrointestinal


tract, in intermediary xenobiotic metabolism in animals: methodology,
mechanisms and significance. Taylor and Francis, London, pp: 13-40.

Ridho MR. 2010. Artikel karya ilmiah: Pengaruh Pemberian Deksametason Dosis

Samsuri, Rahardjo, Sudjarwo. 2011. The influences of Dexamethasone sodium


phosphate to Insulin and Glucose level in young male rats body (Rattus
norvegicus). Asosiasi Farmakologi dan Farmasi Veteriner Indonesia.

Seon-Jin, L. 2003. Astaxanthin inhibits nitric oxide production and inflammatory


gene expression by suppressing IkB kinase-dependent NF-kB activation.
Mol Cells, 16, 97-105.

Sies, H. dan Jones D.P. 2007. Encyclopedia of Stress (Ed. G Fink). Elsevier. San
Diego. California. 45-48.

Silalahi, J. 2006. Makanan fungsional. Kanisius. Hal 38-56.

Sinaga, F.A. 2016. Stress Oksidatif dan Status Antioksidan pada Aktivitas Fisik
Maksimal. Jurnal Generasi Kampus. 9(2): 176-189.

Sisson S, Grossman JD. 1953. Anatomy of The Domestic Animal. Philadelphia:

Slomianka, L. 2009. Blue Histology Urinary system


(https::www.lab.anhb.uwa.edu.au/mb104/. [16 September 2020].

Smith, M. E. and Morton, D. G. 2001. The digestive system. Chrurchill Livingstone:


New York.
Smoak, K.A. and Cidlowski, J.A. 2008. Glucocorticoid signaling in health and
disease. In Rey A.D., Chrousos G., Besedovsky H. Neuroimmune Biology:
The Hypothalamus-Pituitary-Adrenal Axis. Vol.7: 33-53.

Spencer, J.P.E., Rice, E. C. and Srai, S.K. 2003 Metabolism in the Small Intestine
and Gastrointestinal Tract in Rice, E.C. (Ed) Flavonoids in Health and
Disease. New York: Marcel Dekker.
52

Suarsana, I.N, Wresdiyati T. dan Suprayogi A. 2013. Respon Stress Oksidatif dan
Pemberian Isoflavon terhadap Aktivitas Enzim Superoksida Dismutase dan
Peroksidasi Lipid pada Hati Tikus. JITV. 18(2): 146-152.
Suseela, M.R. and Toppo, K. 2006. Haematococcus pluvialis A Green Alga,
Richest Natural Source of Astaxanthin. Current Science. Vol 90 (12), pp.
1602-1603.
third edition. New York: Oxford Univ Pr Inc.

Tomlinson, E. S., Maggs, J. L., Park, B. K., and Back, D. J. 1997. Dexamethasone
metabolism in vitro: species differences. The Journal of steroid
biochemistry and molecular biology, 62(4), 345-352.

Tuminah S., 2000. Radikal Bebas dan Antioksidan kaitanya dengan nutrisi dan
penyakit kronis. DepKes RI. Jakarta.
Undang-undang Bidang Kesehatan dan Farmasi. Departemen Kesehatan Republik
Indonesia
Urso, M.L., Clarkson, P.M. 2003. Oxidative stress, exercise, and antioxidant
supplementation. Toxicology 189(1-2):41-54

Valko, M., Leibfritz D., Moncol J., Cronin M.T.D., Mazur M. and Telser J. 2007.
Review: Free Radical and Antioxidant in Normal Physiological Function
and Human Disease. Inter J Biochem Cell Biol. 39: 44-84.
WB Saunders Company.

Wijayanthi, K. K. D., Berata, I. K., and Samsuri, S. I. 2017. Histopatologi Usus


Halus Tikus Putih Jantan yang Diberikan Deksametason dan Vitamin
E. Buletin Veteriner Udayana, 9(1), 47-53.

Winarsi, H. 2007. Antioksidan Alami dan Radikal Bebas: Potensi dan Aplikasinya
dalam Kesehatan. Kanisius. Yogyakarta. Hal. 77-82.

Wolfenshon, S., dan Lloyd, M., 2013, Handbook of Laboratory Animal.


Management and Welfare, 4th ed., Wiley-Blackwell, West Sussex, 234.

Yara S, Jean CL, Jean F, Ois B, Edgard D, Devendra A, et al. 2013. Iron Ascorbate-
Mediated Lipid Peroxidation Causes Epigenetic Changes in the Antioxidant
Defense in Intestinal Epithelial Celss: Impact on Inflammation. PLoS ONE.
8(5):1-11.

Yates, F. E., Marsh, D. J., and Maran, J. W. 1980. The adrenal cortex. In Medical
physiology (Vol. 1, pp. 1558-1601). Mosby St. Louis. Mo.
LAMPIRAN

Lampiran 1. Prosedur Pembuatan Preparat Histologi

Prosedur pembuatan preparat histopatologi dibagi menjadi delapan tahapan

(Hestianah dkk., 2012) dengan langkah sebagai berikut:

1. Pengambilan bahan/specimen

Pengambilan bahan sedapat mungkin dari tubuh hewan yang masih hidup

atau selambat-lambatnya empat jam post mortem, untuk menghindari terjadinya

pencernaan oleh enzim (autolisis) atau bakteri dan mempertahan struktur fisiknya.

Pemotongan dilakukan mengunakan pisau yag tajam , tidak boleh menekan jaringan

dan dipotong tidak melebihi 1 cm3.

2. Fiksasi

Larutan fiksasi yang digunakan adalah larutan formalin 10%. Fiksasi

bertujuan untuk mencegah terjadinya perubahan post mortem, mengeraskan

jaringan supaya mudah saat dipotong, membunuh kuman penyakit yang mungkin

masih ada, meningkatkan perbedaan indeks refraksi komponen jaringan, dan

meningkatkan afinitas protoplasma terhadap bahan cat tertentu.

3. Dehidrasi

Tujuan dari dilakukan dehidrasi adalah untuk menarik air yang ada di dalam

jaringan sehingga memudahkan pengecatan. Proses dehidrasi dengan beberapa

larutan dilakukan bertahap sebagai berikut : etanol 70% (2 jam), etanol 80% (2

jam), etanol 90% (2 jam), etanol absolut (2 jam), xylol (2 jam), paraffin cair (2 jam).

4. Penjernihan / clearing

53
54

Penjernihan yaitu proses penghilangan udara dari jaringan dengan

menggunakan mesin vakum yang didalamnya terdapat tabung untuk menyimpan

keranjang yang diisi paraffin cair dengan (59º - 60º C) divakum selama 30 menit.

Keranjang diangkat tissue cassette dikeluarkan dan disimpan pada temperature 60º

C untuk sementara waktu sebelum pencetakan dilakukan dengan paraffin cair.

5. Pengeblokan / embedding

Pengeblokan bertujuan untuk memfiltrasi paraffin ke dalam jaringan.

Caranya yaitu dengan menghangatkan cetakan dari bahan stainless steel di atas api

bunsen, lalu ke dalam setiap cetakan dimasukkan jaringan sambil diatur dan sedikit

ditekan. Sementara itu siapkan parafin cair dalam suatu tempat khusus, sehingga

dicapai suhu 60º C. jaringan yang akan dipotong diatur posisinya menghadap

kebah, lalu parafin cair tersebut dituangkan ke dalam jaringan sampai seluruh

jaringan terendam. Parafin dibiarkan membeku diatas mesin pendingin. Selanjutnya

blok paraffin dilepas dari cetakan dan disimpan di freezer (-20ºC) sebelum

dilakukan pemotongan.

6. Pemotongan / sectioning

Blok paraffin yang mengandung jaringan dipotong dengan menggunakan

mesin mikrotom dengan ketebalan berkisar 3 – 10 mikro meter. Kemudian

potongan tersebut diletakkan secara hati – hati di atas permukaan air di dalam

waterbath bersuhu 46ºC. Pada kesempatan ini bentuk irisan dirapikan, kemudian

diletakkan di atas kaca obyek yang telah diolesi ewith, yang berfungsi sebagai

bahan perekat. Kaca obyek dengan jaringan di atasnya disusun di dalam rak khusus
55

dan dimasukkan kedalam incubator bersuhu 60ºC sampai preparat siap untuk

diwarnai.

7. Pengecatan / staining

Pengecatan bertujuan meningkatkan kontras alamiah yang sudah ada dan

untuk menonjolkan sel, komponen jaringan dan bahan ekstrinsik yang hendak di

teliti. Metode pewarnaan yang sering dilakukan adalah Haematoxylin – Eosin (HE)

atau biasa disebut pewarnaan rutin. Preparat yang akan diwarnai diletakkan pada

rak khusus dan dicelupkan secara berurutan ke dalam larutan dengan rincian

sebagai berikut : xylol (3 menit), etanol absolut (3 menit), etanol 90% (3 menit),

etanol 80% (3 menit), bilas dengan air mengalir selama (1 menit), larutan

hematoksilin (6 – 7 menit), bilas dengan air mengalir (1 menit), larutan pembiru (1

menit), bilas dengan air (1 menit), larutan eosin (1 – 5 menit), bilas dengan air

mengalir (1 menit), etanol 80 % 10 celupan, etanol 90% 10 celupan, etanol absolut

10 celupan, etanol absolut 1 menit, dan yang terakhir adalah xylol selama 3 menit.

Setelah itu, preparat diangkat satu persatu dari larutan xylol dalam keadaan basah,

diberi satu tetes cairan perekat (DPX).

8. Penutupan sediaan (mounting)

Jaringan di kaca obyek yang telah diwarnai dibersihkan terlebih dahulu dari

cat yang berlebih, kemudian ditetesi Entellan® dan ditutup dengan cover glass.

Microslides ini disimpan di tempat yang kering.


56

Keterangan :

- Astaxanthin yang digunakan merk Asthin® force dosis 6 mg memiliki

berat total 300 mg/kapsul

- Deksametason yang digunakan merk Phapros® bentuk ampul dengan

dosis 5 mg/ml
57

Lampiran 2. Kelayakan Ethical Clearance


58

Lampiran 3. Dokumentasi Perlakuan Penelitian

Gambar 1.1 Tikus putih galur Wistar dalam kandang perawatan

Gambar 1.2 Deksametason (kiri); Astaxanthin (kanan)


59

Gambar 1.3 Persiapan Astaxanthin

Gambar 1.4 Pemberian perlakuan kepada tikus putih


60

Lampiran 5. Analisis SPSS

Multiple Comparisons
Dependent Variable: NILAI
Bonferroni

(I) KELOMPOK (J) KELOMPOK Mean Std. Error Sig. 95% Confidence Interval
Difference (I-J) Lower Bound Upper Bound

B -1,000 ,410 ,241 -2,29 ,29

C -1,800* ,410 ,003 -3,09 -,51


A
D -1,000 ,410 ,241 -2,29 ,29

E -,800 ,410 ,651 -2,09 ,49


A 1,000 ,410 ,241 -,29 2,29
C -,800 ,410 ,651 -2,09 ,49
B
D ,000 ,410 1,000 -1,29 1,29
E ,200 ,410 1,000 -1,09 1,49
A 1,800* ,410 ,003 ,51 3,09
B ,800 ,410 ,651 -,49 2,09
C
D ,800 ,410 ,651 -,49 2,09
E 1,000 ,410 ,241 -,29 2,29
A 1,000 ,410 ,241 -,29 2,29
B ,000 ,410 1,000 -1,29 1,29
D
C -,800 ,410 ,651 -2,09 ,49
E ,200 ,410 1,000 -1,09 1,49
A ,800 ,410 ,651 -,49 2,09

B -,200 ,410 1,000 -1,49 1,09


E
C -1,000 ,410 ,241 -2,29 ,29

D -,200 ,410 1,000 -1,49 1,09

*. The mean difference is significant at the 0.05 level.

Anda mungkin juga menyukai