Oleh
MARWATI
NIM 061711535006
Mengesahkan
Direktur,
ii
PERSETUJUAN
SKRIPSI
Oleh:
MARWATI
061711535006
Menyetujui
(Prof. Iwan Sahrial Hamid, drh., M.Si.) (Faisal Fikri, drh., M.Vet.)
NIP. 196807131993031009 NIP. 198812082015041003
Mengetahui
Koordinator Program Studi Kedokteran Hewan
iii
PERNYATAAN ORISINALITAS
Nama : Marwati
NIM : 061711535006
Program Studi : Kedokteran Hewan Sekolah Ilmu Kesehatan dan
Ilmu Alam Universitas Airlangga
Angkatan : 2017
Jenjang : Sarjana
tidak dilakukan tindak plagiasi atau sejenisnya atas karya ilmiah orang
lain. Apabila suatu saat nanti terbukti saya melakukan plagiat dalam
penulisan skripsi ini maka saya bersedia menerima sanksi sesuai ketentuan
Universitas Airlangga.
Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya.
Marwati
NIM. 061711535006
iv
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadiran Allah SWT atas karunia yang telah dilimpahkan
Dexamethasone.
Prof. Dr. Soetojo, dr., Sp.U. (K) selaku Direktur Sekolah Ilmu Kesehatan
dan Ilmu Alam. Bodhi Agustono, drh., M.Si. selaku Koordinator Program Studi
Kedokteran Hewan, Sekolah Ilmu Kesehatan dan Ilmu Alam yang telah banyak
Prof. Iwan Sahrial Hamid, drh., M.Kes. selaku pembimbing utama skirpsi
atas waktu, saran, arahan dan bimbingan yang diberikan sampai dengan selesainya
skripsi ini. Faisal Fikri, drh., M.Vet. selaku pembimbing skripsi. Bodhi Agustono,
drh., M.Si. selaku dosen wali yang telah membimbing, mengarahkan serta
Agustono, drh., M.Si. selaku sekretaris penguji, dan Amung Logam Saputra, drh.,
M.Si. selaku anggota penguji yang telah memberikan saran dan nasihat yang
Seluruh staf pengajar Prodi Kedokteran Hewan Sekolah Ilmu Kesehatan dan
Ilmu Alam serta staf administrasi atas wawasan keilmuan dan bantuan yang telah
diberikan selama penulis menempuh pendidikan. Kedua orang tua penulis yang
v
tidak putus mendo’akan, mendidik, mendukung baik moral dan materil serta kasih
sayang yang tidak ada habisnya sehingga penulis mampu menyelesaikan tugas
akhir skripsi ini dengan baik. Kepada seluruh kakak dan adik, yang juga turut serta
memberi dukungan, semangat, dan masukan kepada penulis sehingga dapat sampai
Terima kasih juga penulis sampaikan kepada para sahabat terdekat yang
seperjuangan Fakultas Kedokteran Hewan angkatan 2017 serta seluruh pihak yang
tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah banyak membantu penulis sehingga
Terima kasih kepada diri sendiri karena mampu melewati semua kesulitan
yang dialami selama proses pengerjaan skipsi ini sampai dengan selesai. Terima
kasih kepada diri sendiri karena sudah mampu bangkit dan memotivasi diri menjadi
pribadi yang lebih baik lagi dan banyak belajar dari kejadian lalu. Penulis berharap
semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan semua pihak yang
menyadari bahwa masih terdapat kekurangan pada skripsi ini. Penulis sangat
mendatang.
Marwati
vi
RINGKASAN
bimbingan Prof. Iwan Sahrial Hamid, drh., M.Si. dan Faisal Fikri, drh., M.Vet.
terjadi pada gambaran histopatologi duodenum tikus putih setelah diberikan induksi
Deksametason serta mengetahui dosis terbaik Astaxanthin diantara tiga dosis yang
diberikan pada tikus. Tikus putih yang digunakan pada penelitian ini sebanyak 25
ekor berdasarkan rumus Federer. Tikus putih yang digunakan dalam penelitian ini
termasuk dalam jenis Rattus norvegicus, tikus putih dibagi ke dalam 5 kelompok
perlakuan yang terdiri dari kelompok kontrol negative K(-), kelompok kontrol
positif K(+), kelompok P1, kelompok P2, dan kelompok P3. Setiap kelompok
perlakuan terdiri dari 5 ekor tikus putih galur wistar berjenis kelamin jantan dengan
berat badan 130-150 gram. Sebelum diberikan perlakuan, tikus putih melakukan
masa adaptasi selama 7 hari, selanjutnya pada hari ke-8 tikus putih mulai diberikan
yaitu kelompok yang diberikan Deksametason dengan dosis 0,75 mg/ekor, serta
Deksametason dengan dosis 0,75 mg/ekor dan Astaxanthin dengan dosis 6 mg/ekor
vii
mg/ekor dan Astaxanthin dengan dosis 12 mg/ekor. Perlakuan diberikan selama 10
hari. Pada hari ke-11 tikus putih dieuthanasia kemudian diambil bagian duodenum
Eclipse E200) dengan melihat perubahan pada lima lapang pandang pengamatan.
Product and Service Solutions (SPSS) for Windows. Data di uji normalitas
menggunakan Saphiro-wilk karena sampel kurang dari 50. Jika didapatkan data
dengan nilai p<0,05 maka dilanjutkan dengan uji Mann Whitney untuk mengetahui
viii
ABTRACT
This study aims to determine the effect of Astaxanthin in repairing damage to the
duodenum of the small intestine of white rats (Rattus norvegicus) induced by
Dexamethasone. A total of 25 rats were divided into 5 groups, the negative control
(K-) was not given any drug, the positive control (K+) was only given
Dexamethasone at a dose of 0.75 mg, the treatment group I (P1) was only given
Dexamethasone at a dose of 0.75 mg and Astaxanthin dose of 2 mg, treatment group
II (P2) was treated with Dexamethasone dose of 0.75 mg and Astaxanthin dose of
6 mg, and treatment group III (P3) was treated with Dexamethasone dose of 0.75
mg and Astaxanthin dose of 12 mg. The treatment was carried out for 10 days, then
the rats were euthanized and the necropsy method and parts of the duodenum were
preserved for histopathological examination with Hematoxylin-Eosin staining. The
results showed that the average value of damage to the duodenum was negative
control (K-) 4.60, positive control (K+) 2.00, treatment group I (P1) 5.20, treatment
group II (P2). of 2.00, and the treatment group III (P3) of 2.20. Data were analyzed
using the One Way ANOVA test and continued with Duncan's Post Hoc test which
showed a significant difference (P<0.05). The conclusion in this study is that
Astaxanthin has not been able to have an effect on Dexamethasone, seen from the
negative control results K(-) and P1 are not significantly different, but significantly
different from the K(+), P(2) and P(3) groups.
Keywords: Astaxanthin, Duodenum, Dexamethasone
ix
ABSTRAK
memperbaiki kerusakan duodenum usus halus tikus putih (Rattus norvegicus) yang
kontrol negatif (K-) diberikan cairan aquadest, kontrol positif (K+) diberikan
mg, dan kelompok perlakuan III (P3) diberikan perlakuan Dexamethasone dosis
hari, kemudian tikus dieuthanasia dan metode nekropsi serta bagian duodenum
negatif (K-) 4,60, kontrol positif (K+) 2,00, kelompok perlakuan I (P1) 5,20,
kelompok perlakuan II (P2). sebesar 2,00, dan kelompok perlakuan III (P3) sebesar
2,20. Data dianalisis menggunakan uji One Way ANOVA dan dilanjutkan dengan
uji Post Hoc Duncan yang menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05). Kesimpulan
terhadapah Deksametason, dilihat dari hasil kontrol negatif K(-) dan P1 tidak
berbeda nyata, akan tetapi berbeda nyata dengan kolompok K(+), P(2) dan P(3).
x
DAFTAR ISI
Halaman
BAB 1 PENDAHULUAN................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang .................................................................................. 1
1.2 Batasan Penelitian............................................................................ 3
1.3 Rumusan Masalah ........................................................................... 4
1.4 Tujuan Penelitian .............................................................................. 4
1.4.1 Tujuan Umum .......................................................................... 4
1.4.2 Tujuan Khusus ......................................................................... 4
1.5 Manfaat Penelitian ............................................................................ 4
1.5.1 Manfaaat Praktis ...................................................................... 4
1.5.2 Manfaaat Teoritis ..................................................................... 5
xi
2.7 Tikus Putih (Rattus norvegicus) ..................................................... 21
xii
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................... 45
LAMPIRAN ..................................................................................................... 53
xiii
DAFTAR TABEL
xiv
DAFTAR GAMBAR
xv
DAFTAR LAMPIRAN
xvi
SINGKATAN DAN ARTI LAMBANG
ATP = Adenosine Trifosfat
CAT = Catalase
COX-2 = Cyclooxygenase-2
HPx = Hydroperoxidase
MDA = Malondialdehyde
P = Perlakuan
® = Registered
xvii
BAB 1 PENDAHULUAN
(Narang dan Preet, 2019). Kortikosteroid merupakan obat anti inflamasi yang serupa
dengan kortisol. Kortisol merupakan hormon steroid alami pada manusia yang
disintesis dan disekresi oleh korteks adrenal. Efek antiinflamasi dari obat
makrofag, sel dendritik, eosinofil, neutrofil, dan sel mast yang bekerja dengan
menghambat respons inflamasi dan menyebabkan apoptosis dari berbagai sel tersebut
(Smoak and Cidlowski, 2008). Jenis kortikosteroid yang sering digunakan dalam
Manfaat terapi dari golongan obat kortikosteroid cukup luas sehingga efek
dibatasi sesuai indikasi (Sukandar, dkk., 2012). Salah satu obat golongan
dan alergi kurang lebih sepuluh kali lebih hebat dibandingkan prednisone (Katzung,
2002). Harga yang murah dan mudah didapat membuat Deksametason menjadi obat
1
2
seperti pada pankreas (Dharma, 2014), hati (Insani, 2014), ginjal (Ridho, 2010),
dan lambung (Kusumaadhi, 2010). Selain itu, efek penggunaan jangka panjang
penekanan fungsi sistem imun (El-Sawy et al., 2018). Deksametason yang masuk
ke dalam tubuh akan melalui proses absorbsi didalam organ pencernaan seperti usus
halus.
Jumlah obat yang mencapai sirkulasi sistemik setelah dimetabolisme oleh hati dapat
diabsorbsi dengan baik oleh usus. Hampir semua enzim untuk metabolisme obat
yang ada di hati ditemukan pula pada usus halus (Lin et al., 1999). Hasil penelitian
yang dilakukan oleh Wijayanti, dkk. (2017) menunjukkan bahwa efek samping dari
pemberian deksametason pada usus halus berupa nekrosis sel. Selain itu, obat
oksidatif pada sel (Hegardt, 2003; Renner, 2003; Tome, 2004; Tonomura, 2003).
Stres oksidatif pada sel terjadi akibat banyaknya akumulasi radikal bebas
bebas endogen merupakan radikal bebas yang terbentuk sebagai respon normal dari
putih (Rattus norvegicus) yang diberikan deksametason dengan dosis 0,75 mg/ekor.
1. Penelitian ini dilakukan pada tikus putih galur wistar (Rattus norvegicus)
2. Pengamatan dan analisis yang dilakukan pada penelitian ini yaitu histopat
kelompok perlakuan.
perbaikan gambaran histopatologi usus halus tikus putih (Rattus norvegicus) yang
manfaat bagi dokter hewan untuk mengetahui efek samping dari penggunaan obat
2.1 Deksametason
C22H29FO5, berat molekul 392,47 g/mol, dan nama kimianya adalah 9-Fluoro-
membran sel target. Obat ini mengikat reseptor pada sitoplasma kemudian
memasuki nucleus sel melalui komplek drug-reseptor dengan ikatan spesifik pada
6
7
aborsi, penurunan produksi susu, serta penekanan fungsi sistem imun (El-Sawy et
al., 2018)
2.2 Astaxanthin
pigmen karotenoid alami yang dapat ditemukan pada hewan yang hidup dalam air.
mulai dari daerah tropis sampai padang salju Antartika, atau di hewan laut seperti
salmon segar, udang, dan lobster. Astaxanthin ini yang memberikan warna merah
muda pada hewan laut tersebut (Hussein et al., 2006; Suseela and Toppo, 2006).
Penyerapan karotenoid pada sel mukosa usus disertai dengan pembentukan asam
empedu pada lumen usus kecil dan terjadilah penyerapan pasif, setelah memasuki
peradaran darah, karotenoid terdapat diberbagai jaringan tubuh, yaitu hati, lemak,
pankreas, ginjal, paru adrenal, lien, jantung, tiroid, testis, ovarium, dan mata.
Namun jumlah terbesar terdapat di hati dan jaringan lemak, yang merupakan tempat
dapat atau tidak mencerminkan efek biologis dari organ tersebut (Osterlie, et al.,
memiliki sifal lipofilik dengan bioavailabilitas oral yang rendah (Johanna, et al.,
lipid. Astaxanthin menunjukkan aktivitas kuat dalam mencerna radikal bebas dan
kolesterol LDL, membran sel, sel, dan jaringan (Suseela and Toppo, 2006).
Senyawa ini lebih kuat 550 kali dibandingkan vitamin E dan 40 kali lebih kuat
dibandingkan beta karoten dalam mengikat singlet oksigen. Peroksidasi lipid dapat
mekanisme fisik, dimana energi yang berlebihan dari singlet oksigen tersebut
ditransfer ke struktur karotenoid yang kaya akan elektron dan mengubah energinya
menjadi panas sehingga tidak terbentuk singlet oksigen lagi serta bereaksi dengan
9
radikal lain untuk mencegah dan menghentikan reaksi rantai, sehingga mampu
melindungi komponen sel lain (lemak, protein, DNA) dari kerusakan oleh radikal
karoten, lycopene, dan xeaxanthin. Bahkan antioksidan yang sudah sangat dikenal
astaxanthin tidak pernah menjadi prooksidan. Hal ini merupakan faktor penting lain
resisten terhadap autooksidasi, tetapi tidak dijelaskan bahwa efek antioksidan yang
lebih tinggi akan meningkat dengan pertambahan dosis (McNulty, et al., 2006;
related factor 2 (NRF2) serta nuclear factor-κB (NF-κB) namun belum diketahui
secara signifikan cara kerjanya (Farruggia et al., 2018). NRF2 berperan dalam
inflamasi yang terkait dengan NF-κB dalam makrofag (Park et al., 2015).
10
Radikal bebas adalah atom atau molekul yang mempunyai elektron yang
tidak berpasangan pada orbital (Clarkson dan Thomson, 2000, Silalahi, 2006).
mempertahankan bentuk asli dalam waktu lama dan segera berikatan dengan bahan
sekitarnya. Radikal bebas akan menyerang molekul stabil yang terdekat dan
mengambil elektron, zat yang terambil elektronnya akan menjadi radikal bebas juga
sehingga akan memulai suatu reaksi berantai, yang akhirnya terjadi kerusakan sel
tersebut (Droge, 2002). Kebanyakan radikal bebas bereaksi secara cepat dengan
atom lain untuk mengisi orbital yang tidak berpasangan, sehingga radikal bebas
normalnya berdiri sendiri hanya dalam periode waktu yang singkat sebelum
menyatu dengan atom lain (Halliwell and Whiteman, 2004). Radikal bebas sangat
reaktif dan dengan mudah menjurus ke reaksi yang tidak terkontrol, menghasilkan
ikatan silang (cross-link) pada DNA, protein, lipida, atau kerusakan oksidatif pada
lipid di membran sel dapat merusak membran sel dengan mengganggu fluiditas dan
terikat seperti enzim dan reseptor. Kerusakan langsung pada protein dapat
disebabkan oleh radikal bebas yang dapat mempengaruhi berbagai jenis protein,
mengganggu aktivitas enzim dan fungsi protein struktural (Sarma et al, 2010).
11
Radikal bebas dibagi menjadi dua kelompok yang berbeda yaitu Reactive
Oxygen Species (ROS) dan Reaktif Nitrogen spesies (NOS) (Marciniak et al.,
2009). Simbol untuk radikal bebas adalah sebuah titik yang berada di dekat simbol
atom (R·). ROS (Reactive Oxygen Species) adalah senyawa pengoksidasi turunan
oksigen yang bersifat sangat reaktif yang terdiri atas kelompok radikal bebas dan
kelompok nonradikal. Kelompok radikal bebas antara lain superoxide anion (O2·-
), hydroxyl radicals (OH·), dan peroxyl radicals (RO2·). Yang nonradikal misalnya
oleh sejumlah sistem enzim melalui reaksi-reaksi autooksidasi dan oleh elektron
transfer enzimatik. Hydroxyl radicals (OH·) terjadi karena radiolisis air dalam
sistem biologis. Radikal hidroksil menyerang semua protein, DNA, PUFA dalam
senyawa antara yang terbentuk dalam rangkaian reaksi oksidasi lipida, misalnya
oksidasi lemah jenuh ganda. Hidrogen peroksida dapat melewati membran dan
secara perlahan akan mengoksidasi sejumlah senyawa juka kadarnya cukup tinggi,
Hydroxyl (𝑂𝐻 − )
Superoxide (𝑂2− )
Radikal bebas yang berlebihan dalam tubuh akan bereaksi dengan lemak,
protein, serta asam nukleat selular yang menyebabkan terjadinya kerusakan lokal
pada jaringan. Biomolekul yang rentan terhadap radikal bebas adalah lemak.
Kerusakan sel paling awal diketahui melalui peroksidasi lipid pada membran sel.
Kandungan poly unsaturated fatty acid (PUFA) pada membran sel menjadi sasaran
utama radikal bebas karena mudah sekali dirusak. Peroksidasi lipid menghasilkan
Radikal bebas yang bereaksi dengan protein sangat jarang ditemui kecuali
dalam keadaan akumulasi atau kerusakan terfokus pada daerah tertentu dalam
protein, hal ini disebabkan oleh sifat protein yang lebih tahan terhadap radikal
bebas, sama seperti ketahan asam nukleat. Kemungkinan kerusakan pada bagian
DNA juga amat kecil kecuali radikal bebas terbentuk disekitar DNA seperti pada
2.4 Antioksidan
hidrogen dan atau elektron (Silalahi, 2006). Di dalam tubuh terdapat mekanisme
antioksidan atau anti radikal bebas secara endogenik (Dyatmiko et al., 2000)
dimana radikal bebas yang terbentuk akan dinetralkan oleh elaborasi sistem
(SOD), glutation peroxidase dan sejumlah anti oksidan non enzim termasuk
terdiri dari vitamin C, vitamin E, dan beta karoten (Chevion, 2003; Ji, 1999). Sistem
pertahanan ini bekerja dengan beberapa cara antara lain berinteraksi langsung
senyawa oksigen reaktif, atau mengubah senyawa reaktif menjadi kurang reaktif
(Winarsi, 2007).
Stres oksidatif adalah kondisi ketika jumlah radikal bebas melebihi jumlah
kerusakan molekuler (Sies dan Jones, 2007). Stres oksidatif terjadi akibat reaksi
keseimbangan kadar radikal bebas dan antioksidan. Produksi radikal bebas yang
Suarsana, 2013). Kerusakan yang disebabkan oleh stres oksidatif disebut kerusakan
terjadi dengan tiga cara yakni peroksidasi lipid, oksidasi protein dan oksidasi DNA
permeabilitas serta merusak aktivitas enzim yang terkait dengan membran sel.
disebabkan oleh radikal bebas yang dapat mempengarui berbagai jenis protein,
transduction protein, enzim, struktur dan transport protein. Oksidasi protein dapat
disebabkan oleh oksidasi zat radikal, non radikal maupun efek sekunder akibat
reaksi dengan produk peroksidasi lipid. Kerusakan yang terjadi akibat oksidasi
2015).
Oksidasi DNA disebabkan oleh lesi pada susunan molekul yang apabila
tidak dapat diatasi dan terjadi sebelum replikasi akan menyebabkan terjadi mutasi.
15
Usus halus merupakan bagian dari sistem pencernaan. Usus halus terletak
diantara lambung dan usus besar yang merupakan tempat utama proses pencernaan
secara kimiawi dan penyerapan nutrisi. Usus halus bekerja dibantu oleh pankreas
yang menghasilkan enzim yang digunakan dalam proses pencernaan. Secara normal
usus halus terdiri dari duodenum, jejunum dan ileum. Duodenum merupakan bagian
proximal dari usus halus yang melewati bagian kaudal dari permukaan kanan
lengkungan “U” tersebut terdapat pankreas (Sisson dan Grossman 1953) yang
menghasilkan enzim amylase, lipase dan tripsin (North 1984). Jejunum dan ileum
tidak memiliki batas yang jelas, untuk menentukan batas antara usus halus tersebut
nutrient, dan sekresi endokrin. Proses pencernaan dituntaskan dalam usus halus,
tempat nutrient hasil pencernaan diabsorbsi oleh sel epitel pelapis. Usus halus
terdiri dari tiga segmen yakni duodenum, yeyunum, dan ileum (Junqueira, 2012).
Usus halus pada tikus putih memiliki panjang 1.3 meter (Flindt, 2006).
16
pancreas ditandai ujung distalnya menyatu dengan jejunum yang terikat pada
dinding dorsal rongga melalui mesenterium. Jejunum dapat bergerak bebas pada
merupakan sisa dari tiga perlimanya. Dinding usus halus terdiri atas empat lapis
konsentris yaitu mukosa, submukosa, muskularis, dan serosa (Leeson et al, 1996).
Selain fungsi utama pencernaan dan penyerapan, mukosa usus juga berfungsi
sebagai penghalang penting untuk bahan beracun dan berbahaya serta melindungi
Salah satu segmen usus halus tempat berlangsungnya absorbs paling besar
adalah duodenum (Cunninghan, 2007). Duodenum menerima empedu dari hati dan
cairan pencerna dari pancreas melalui duktus biliaris komunis dan duktus
lipatan permanen sirkular atau semilunar yang terdiri dari mukosa dan submukosa
jaringan areolar serta berisi banyak pembuluh darah, kelenjar, aluran limfe, dan
pleksus saraf yang dikenal sebagai pleksus Meissner. Duodenum terdapat beberapa
kelenjar khas yang dikenal dengan kelenjar Brunner. Dinding submukosa dan
mukosa dipisahkan oleh selapis otot datar yang disebut mukosa muskularis (Pearce,
2010).
17
berproyeksi ke dalam lumen usus halus. Pada duodenum, vili ini berbentuk daun
tetapi berangsur berubah bentuk menyerupai jari saat mendekati ileum. Vili
dilapisis oleh selapis epitel kolumnar sel absorbtif dan sel goblet. Diantara vili
terdapat muara kecil kelenjar tubular simpleks yang disebut riptus intestinal. Epitel
setiap vili menyatu dengan epitel kelenjar yang mengandung sel absorbtif dan sel
goblet berdiferensiasi, sel Paneth, sel enteroendokrin dan sel punca yang
Keterangan:
A : Plika Kerkringi
B : Vili Intestinal
18
Keterangan:
A : Sel goblet
B : Epitel selapis silindris dengan striated border
C : Sel interstitial
dengan inti lonjong di bagian basal sel. Pada ujung sel terdapat lapisan homogeny
silindris dari setoplasma apical dengan panjang 1 mm dan diameter 0,1 mm dan
terdiri atas filament aktin serta dibungkus membran sel. Mikrovili memperluas
Sel goblet tersebar diantara sel absorbtif. Sel-sel ini tidak banyak terdapat
pada duodenum akan tetapi jumlah sel goblet akan betambah banyak dalam ileum.
Sel-sel ini menghasilkan musin glikoprotein yang terhidrasi dan berikatan silang
membentuk mucus dengan fungsi utama melindungi dan melumasi lapisan usus
(Junqueira, 2012).
19
Duodenum berbeda dari jejunum dan ileum dalam hal vili yang lebih lebar
dan tinggi serta jumlah vili per unit area yang lebih banyak. Sel goblet per unit lebih
sedikit dari jejunum dan ileum dan pada bagian sub mukosa terdapat kelenjar
bruner. Vili di jejunum lebih lansing, pendek, dan jarang dibandingkan pada
duodenum. Jumlah sel goblet per unit area lebih banyak di jejunum dibandingkan
Vili di ileum jumlahnya paling sedikit dan ukurannya paling pendek dan
Payer’s patches ini hanya terdapat pada again dinding ileum yang berlawanan
dengan tempat lekat mesenterium. Pada daerah yang mengandung Payer’s patches
ukuran dari vili memendek, dan terkadang tidak ditemui vili (Gartner, 2007).
antioksidan endogen tidak mampu untuk menetralisir dari radikal bebas, seperti
pemberian deksametason berupa nekrosis dengan intensitas berat, dimana vili dan
mucus usus halus secara keseluruhan mengalami nekrosis (Wijayanthi, dkk. 2017).
20
berlangsung di usus halus melalui dua saluran yaitu pembuluh kapiler darah dan
saluran limfe di vili yang berada di sebelah dalam permukaan usus halus. Sebuah
villus yag berisi lacteal, pembuluh darah, epitellium, dan jaringan otot yang diikat
bersama jaringan limfoid. Lacteal sentralis akan berakhir menjadi ujung buntu,
sedangkan jaringan otot dasar akan melaluinya dan pembuluh kapiler darah
epitelium. Vili akan bersentuhan dengan makanan cair atau kime dan lemak
diabsorbsi ke dalam lacteal karena keluar dari dinding usus (Pearce, 2010).
Tergantung dari jenis nutrisi, transport melewati sel-sel dapat bersifat pasif
maupun aktif. Gula fruktosa bergerak secara difusi terfasilitasi menuruni gradien
konsentrasi dari lumen usus halus menuju ke sel-sel epitel kemudian fruktosa
atau kapiler pada bagian tengah masing-masing vilus. Nutrient lainnya seperti asam
amino, vitamin, peptide kecil, dan sebagian besar molekul glukosa akan dipompa
melawan gradient konsentrasi oleh sel epitel vilus. Transpor aktif tersebut
memungkinkan jauh lebih banyak abrobsi nutrient daripada difusi pasif (Campbell,
2011).
Tikus putih merupakan salah satu hewan coba yang paling banyak
digunakan dalam penelitian. Hal ini dikarenakan tikus memiliki keunggulan yaitu
memiliki kesamaam fisiologis dengan manusia, siklus hidup yang relatif pendek,
jumlah anak perkelahiran banyak, mudah berkembang biak, murah, serta mudah
untuk di dapat (Krinke, 2000). Ciri anatomis dari tikus putih meliputi kepala kecil,
albino serta memiliki ekor berukuran lebih panjang dari tubuh. Sifat lain dari tikus
memiliki temperamen yang baik, serta memiliki ketahanan terhadap arsenic tiroksid
(Akbar, 2010).
Menurut Myres dan Armitage (2004), klasifikasi tikus putih (Rattus norvegicus)
adalah sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Mamalia
Ordo : Rodentia
Subordo : Sciurognathi
Famili : Muridae
Sub-Famili : Murinae
Genus : Rattus
Spesies : Rattus norvegicus
Galur/strain : Wistar
Perbedaan morfologi antara tikus putih jantan dan betina terletak di bagian
bobot badan. Tikus putih jantan dewasa memiliki bobot rata-rata 450-520 gram
(Wolfenshon dan Lloyd, 2013), sementara tikus putih betina memiliki bobot badan
rata-rata 250-300 gram. Bobot badan dipengaruhi oleh jenis kelamin serta umur.
Penambahan umur mempengaruhi perubahan berat organ seperti ginjal, hati, limpa
serta pulmo.
23
Tabel 2.3 Data fisiologis tikus putih (Wolfenshion dan Lloyd, 2013)
Nilai Fisiologis Kadar
Berat tikus dewasa Jantan 450 - 520 g
Betina 250 – 300 g
Kebutuhan makan 5-10 g/100 g berat badan
Kebutuhan minum 10 ml/100 g berat badan
Jangka hidup 3 - 4 tahun
Temperatur rektal 36C – 40C
Detak jantung 250 – 450 kali / menit
Tekanan darah
Sistol 84 – 134 mmHg
Diastol 60 mmHg
Laju Pernafasan 70 – 115 kali / menit
Serum Protein (g/dl) 5.6 – 7.6
Albumin (g/dl) 3.8 – 4.8
Globulin (g/dl) 1.8 - 3
Glukosa (mg/dl) 50 – 135
Nitrogen urea darah (mg/dl) 15 – 21
Kreatinin (mg/dl) 0.2 – 0.8
Total bilirubin (mg/dl) 0.2 – 0.55
Kolesterol (mg/dl) 40 - 130
BAB 3 KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS
ROS
g (OH)
Radikal Hidroksil
:menghambat
24
25
3.2 Hipotesis
histopatologi duodenum usus halus tikus putih (Rattus norvegicus) yang diinduksi
menggunakan Deksametason.
BAB 4 MATERI DAN METODE PENELITIAN
test only control group design. Rancangan penelitian ini dilakukan terhadap lima
perlakuan pada hewan coba tikus putih jantan (Rattus norvegicus) galur wistar.
Sampel yang diamati yaitu duodenum usus halus tikus putih untuk dilihat dari hasil
Sampel penelitian yang diambil yaitu dudodenum usus halus tikus putih
(Rattus norvegicus) galur wistar dengan jenis kelamin jantan, berat badan 130-150
gram, tikus berumur 4 bulan dengan keadaan sehat tanpa cacat anatomis. Tikus
yang digunakan sebagai hewan coba didapatkan dari Fakultas Kedokteran Hewan
Universitas Airlangga, Surabaya. Kriteria sampel berupa galur, jenis kelamin, berat
badan, serta umur dipastikan dengan menggunakan sertifikat dari breeder hewan
(n-1) (t-1) ≥ 15
(n-1) (5-1) ≥ 15
26
27
(n-1) (4) ≥ 15
4n ≥ 15 + 4
19
n≥ 4
n ≥ 4,75 ~ 5
Keterangan:
t = perlakuan
n = jumlah ulangan
Maka, hewan coba yang diperlukan sejumlah 25 ekor yang dibagi menjadi
Variabel terikat dalam pada penelitian ini adalah perubahan pada gambaran
Variabel kontrol pada penelitian ini adalah strain tikus putih, umur tikus
putih, berat badan tikus putih, jenis kelamin tikus putih, pakan, minum, kandang
tikus, suhu kandang, dosis obat pada setiap perlakuan, serta waktu pemberian
perlakuan.
28
4.4.1 Astaxanthin
mengurangi radikal bebas serta meredam reactive oxygen species (ROS) sehingga
dapat melindungi molekul alamiah dalam sel seperti lemak serta melindungi
membran sel dari oksidasi (McNulty et al., 2007). Astaxanthin yang digunakan
pluvialis senyawa antioksidan yang berfungsi menangkal radikal bebas dan dengan
yang diamati adanya perubahan patologis pada duodenum dengan bantuan alat
dan 400x.
halus di buat di Laboratorium dr. Satria Pandu Persada Isma, Sp. OT, Malang.
dengan dosis 0,13 mg/kg berat badan, Astaxanthin® dengan dosis 2 mg, 6 mg, dan
12 mg, Buffer formalin 10% serbuk kayu sebagai alas kandang perawatan tikus
putih, pakan komersial tikus putih berbentuk pellet, air yang diberikan secara ad
Kandang hewan percobaan yang terbuat dari wadah plastik dengan luas
kandang minimal 500 cm³ serta ram sebagai penutup wadah plastik (Kusumawati,
2016). Spuit tuberculin merk OneMed®, kapas alkohol, sonde lambung, alat bedah
minor set, neraca analitik dengan ketelitian 0,01 g, mikroskop trinokuler, serta log
book untuk mencatat data observasi dan inspeksi selama masa adaptasi, masa
Uji etika medik dilakukan sebelum kegiatan penelitian dimulai. Uji etika
medik perlu dilakukan untuk memastikan segala tindakan medik yang diberikan
kepada hewan percobaan sesuai dengan Standart Operasional Prosedur (SOP). Uji
30
kampus A Surabaya.
tikus putih (Rattus norvegicus) galur wistar. Tikus putih dihandling menggunakan
selama 7 hari. Air minum disediakan ad libitum serta pakan komersial yang cukup
Hewan coba diberikan waktu untuk masa adaptasi terlebih dahulu selama 7
Kontrol (-) : Diberikan Aquadest 0,5 ml/ekor secara per-oral selama 10 hari.
selama 10 hari.
selama 10 hari.
selama 10 hari.
dilakukan oleh Indayani dkk (2015) serta dosis Astaxanthin didapatkan dari
hasil berat badan awal dan akhir digunakan untuk mendapat hasil yang homogen
serta distribusi data yang normal. Langkah lanjutan setelah dilakukan pendataan
mengambil organ usus halus bagian duodenum. Duodenum yang telah dipisahkan
Eosin (HE).
32
trinokuler dengan pembesaran 400x dan untuk memastikan hasil pengamatan tidak
Jenis kerusakan yang diamati pada histopatolgi duodenum usus halus tikus putih
Data yang diperoleh dari hasil skoring kerusakan organ usus dianalisis
sampel kurang dari 50. Jika didapatkan data terdistribusi normal maka dilanjutkan
pengujian menggunakan one way ANOVA untuk menguji perbedaan rata-rata pada
kelompok kontrol dan kelompok perlakuan. Jika data tidak terdistribusi normal
terdapat perbedaan nyata yang dibuktikan dengan nilai p<0,05 maka dilanjutkan
dengan uji Mann Whitney untuk mengetahui perbedaan kelompok perlakuan dan
kelompok kontrol.
34
P1
P2 P3
Kontrol + Dexamethasone
Kontrol – Dexamethasone Dexamethasone
Dexamethas ® 0,75 mg/ekor
Diberikan ® 0.75/ekor ® 0,75 mg/ekor
one® 0,75 dan
Aquadest dan dan
mg/ekor Astaxanthin® 2
0,5ml/ekor Astaxanthin® 6 Astaxanthin®
mg/ekor
mg/ekor 12 mg/ekor
Fiksasi organ usus halus bagian duodenum dalam buffer formalin 10%
Pengambilan data
Analisis data
nilai rata-rata kerusakan duodenum usus halus tikus putih yang dilihat dari lima
perbesaran 100x dan 400x. Hasil rata-rata pada setiap variabel kerusakan dapat
Kelompok Mean ± SD
K (-) 4,60a ± 1,00
K (+) 2,00b ± 2,08
P1 5,20a ± 1,30
P2 2,00b ± 0,80
P3 2,20b ± 2,80
a,b,c, merupakan huruf berbeda yang menunjukkan perbedaan yang signifikan
(p<0,05)
Keterangan:
K (-) = Kelompok kontrol negatif (diberikan Aquadest secara per-oral)
K (+) = Kelompok kontrol positif (Deksametason 0,75 mg/ekor)
P1 = Kelompok perlakuan I (Deksametason 0,75 mg/ekor + Astaxanthin
2 mg/ekor)
P2 = Kelompok perlakuan II (Deksametason 0,75 mg/ekor + Astaxanthin
6 mg/ekor)
P3 = Kelompok perlakuan III (Deksametason 0,75 mg/ekor +
Astaxanthin 12 mg/ekor
Berdasarkan hasil pada tabel 5.1 menunjukkan bahwa rata rata kerusakan
paling tinggi pada kelompok P1 yaitu 5,20 dengan pemberian Deksametason 0,75
mg/ekor dan Astaxanthin 2 mg/ekor, kemudian diikuti oleh kelompok K(-) yaitu
35
36
Astaxanthin. Data hasil pada tabel tidak menunjukkan perbedaan nyata pada
Hasil skoring yang di dapat dianalisis secara statistik menggunakan uji One
Way ANOVA dan uji Post Hoc Duncan. Jika hasil uji normalitas dengan interpretasi
‘H0 diterima’ (data normal atau tidak terdapat perbedaan) jika sig. > 0,05 dan ‘H0
ditolak’ (data tidak normal atau terdapat perbedaan) jika sig.< 0,05.
sampel <50, diperoleh nilai significancy untuk kelompok lebih dari 0,05 (sig. >
diterima). Analisis data dilanjutkan dengan uji parametrik menggunakan uji One
Way ANOVA. Uji One Way ANOVA dilakukan untuk menentukan perbedaan
signifikan secara statistik antara dua atau lebih kelompok variabel bebas dan
variabel terikat dengan data nominal dan data skala. Hasil uji One Way ANOVA
didapatkan nilai significancy (p < 0,05) yaitu p=0,000 yang menandakan terdapat
lanjutan dengan uji Post Hoc Duncan. Hasil Post Hoc Duncan menunjukkan
kelompok K(-) tidak signifikan atau tidak berbeda nyata terhadap kelompok P1
kontrol negatif K(-) yang diberikan Aquadest tanpa diberikan Deksametason dan
Astaxanthin didapatkan dengan nilai rerata 4,60a ± 1,00. Gambaran kerusakan pada
tiap variable yaitu pada kelompok K (+), P1, P2, dan P3. Tingkat kerusakan pada
pada mukosa duodenum dan terdapat kongesti diantara sel enterstitial duodenum.
dengan nilai rerata 2,00b ± 2,08 menunjukkan adanya kerusakan seperti edema,
Pada gambar ini menunjukkan bahwa tingkat kerusakan pada kelompok K(+) parah
5.2.3 Kelompok P1
rerata 5,20a ± 1,30 menunjukkan kerusakan yang dapat dilihat berupa edema,
5.2.4 Kelompok P2
5.2.5 Kelompok P3
memberikan efek radikal bebas sehingga menyebakan stres oksidatif. Efek dari
stres oksidatif dapat diketahui melalui salah satu organ seperti duodenum. Efek dari
stres oksidatif dapat dilihat dari adanya perubahan pada lapisan penyusun
Lapisan pertama yaitu lapisan mukosa, muskularis mukosa, lamina propia, serta
epitel. Lapisan kedua terdiri atas jaringan ikat submukosa dengan kelenjar doudenal
(Brunner). Lapisan ketiga terdiri dari dua lapis otot polos pada muskularis eksterna.
oksidatif akibat banyaknya radikal bebas yang terbentuk. Dalam keadaan ekstrim
keadaan ini dapat mengurangi aksi kapasitas antioksidan seperti SOD serta
yang terlalu banyak menyebabkan stres oksidatif yang dapat berujung pada
radikal bebas dan mekanisme antioksidan. Radikal bebas merupakan atom atau
seperti lipid, asam nukleat, dan protein akan beresiko untuk teroksidasi. Hal ini
pengenalan oleh sistem imun. Lipid sangat sensitif terutama terhadap kerusakan
40
41
maka diperlukan antioksidan. Salah satu bahan antioksidan yang digunakan untuk
berlebihan dari singlet oksigen tersebut ditransfer ke struktur karotenoid yang kaya
akan elektron dan mengubah energinya menjadi panas sehingga tidak terbentuk
singlet oksigen lagi serta bereaksi dengan radikal lain untuk mencegah dan
(lemak, protein, DNA) dari kerusakan oleh radikal bebas (Nishida, et al., 2007).
bertingkat pada tiap perlakuan tikus putih dengan tujuan untuk mengetahui dosis
perbedaan. Pada kelompok kontrol negatif K(-) yang tidak diberi perlakuan
dikarenakan dari faktor fisiologis tikus putih itu sendiri. Kelompok K(-) menjadi
kerusakan parah dilihat dari susunan lapisan mucosa dan submucosa duodenum
42
ketebalan mukosa dan ulserasi mukosa, yaitu hilangnya seluruh tebal mukosa dan
sering menembus lapisan yang lebih dalam. Kerusakan juga bisa di karenakan
dihambat oleh stimulus simpatis yang meningkat pada keadaan stress kronik.
parah dilihat dari melebarnya epital vili usus, erosi, dan ulcer. Perbedaan tingkat
kerusakan yang dapat dilihat antar kelempok K(+) dengan P1 adalah susunan
lapisan mucosa dan submukosa duodenum. Epitel vili usus yang melebar dapat di
sebut dengan edema (Gambar 5.4). Edema pada mukosa duodenum terjadi akibat
akumulasi cairan yang abnormal didalam ruang interstisial dari jaringan dan organ.
dengan nilai rata-rata 2,00b ± 0,80, kemudian dilihat dari susunan vili usus yang
utuh hanya terdapat sedikit erosi pada bagian mukosa, dan masih cukup banyak
terdapat kongesti.
dengan nilai rata-rata 2,20b ± 2,80, kemudian dilihat dari lapisan mukosa yang
bahwa perubahan histopatologi dari duodenum tikus putih yang terdapat pada
kelompok kontrol negatif K(-) mendekati kerusakan yang terjadi pada kelompok
P1, dan berbeda pada pada kelompok K(+), P2, dan P3.
BAB 7 PENUTUP
7.1 Kesimpulan
Deksametason.
7.2 Saran
terhadap organ lain seperti pankreas, limpa, jantung yang diinduksi dengan
Deksametason
memperbaiki kerusakan bagian usus halus yang lain yang induksi dengan
Deksametason
44
DAFTAR PUSTAKA
Al-Hajj, N. Q. M., Sharif, H. R., Aboshora, W., and Wang, H. 2016. In vitro and in
vivo evaluation of antidiabetic activity of leaf essential oil of Pulicaria
inuloides-Asteraceae.
Asmita Narang and Gurpreet Singh Preet. 2019. Corticosteroids: Use or Misuse in
Veterinary Medicine. Int.J.Curr.Microbiol.App.Sci. 8(08): 1183-1189.
Chen, Q., Zielinski, D., Chen, J., Koski, A., Werst, D., and Nowak, S. 2008. A
validated, stability-indicating HPLC method for the determination of
dexamethasone related substance on dexamethasone-coated drug-eluting
stents. Journal of pharmaceutical and biomedical analysis, 48(3), 732-738.
45
46
Chevion, S., Moran D.S., Heled Y., Shani Y., Regrev G., Abbou B., Berenshtein
E., Stadtman E.R. and Epstein Y. 2003. Plasma Antioxidant Status and Cell
Injury After Severe Physical Exercise. Proc Nati Acad Sci. 100(9): 5119-
5123.
Christopher, P.I., Wenke, J.C., Nofal,T., Armstrong, R.B. (2004), Adaptation to
lenghthening contraction-induced injury in mouse muscle. J.Appl.Physiol
97:1067-76.
Ciobotaru, O. R., Lupu, M. N., Rebegea, L., Ciobotaru, O. C., Duca, O. M., Tatu,
A. L., and Miulescu, M. 2019. Dexamethasone-chemical structure and
mechanism of action in prophylaxis of postoperative side effects. Rev Chim
Buchar, 70, 843-847.
Clarkson, P. M., dan Thompson, H. S. 2000. Antioxidants: what role do they play
in physical activity and health? The American journal of clinical nutrition,
72(2), 637S-646S.
Davis AK, Maney DL, and Maerz JC. 2008. The use of leukocyte profiles to
measure stress in vertebrates: a review for ecologists. Funct Ecol 22: 760-
772.
Elkholly, D. A., O’Neill, D. G., Wright, A. K., Mwacalimba, K., Nolan, L. S.,
Pavlock, A., and Brodbelt, D. C. 2019. Systemic glucocorticoid usage in
dogs under primary veterinary care in the UK: prevalence and risk factors.
Veterinary Record, 185(4).
Evan, J.L, Betty A.M. dan Ira D.G. 2005. The Molecular Basis for Oxidative Stress-
Induced Insulin Resistance. Antioxidants and Redox Signaling. 7(7): 1040-
1052.
Farrugia, C., Kim, M. B., Bae, M., Lee, Y., Pham, T. X., Yang, Y., and Lee, J. Y.
2018. Astaxanthin exerts anti-inflammatory and antioxidant effects in
macrophages in NRF2-dependent and independent manners. The Journal of
nutritional biochemistry, 62, 202-209.
Feng, R., Feng, L., Yuan, Z., Wang, D., Wang, F., Tan, B., and Han, Y. 2013. Icariin
protects against glucocorticoid-induced osteoporosis in vitro and prevents
glucocorticoid-induced osteocyte apoptosis in vivo. Cell biochemistry and
biophysics, 67(1), 189-197.
Guyton AC, Hall JE. 2000. Textbook of Medical Physiology. 10th Ed. Philadelphia,
WB Saunders Company. Pp: 875-879.
Halim, A., Handini, M., Armayanti, I., and Novianry, V. 2019. The Effect of
Astaxanthin on Glutathione Levels in Damage Liver Tissues of Male Wistar
Rats Induced By Oral Formaldehyde. KnE Life Science, 147-154.
Halliwell, B. 1995. Oxygen radical, nitric oxide and human inflammantory joints
disease. Annals of the Rheumatic Diseases, 54,505-510.
Halliwell, B., and Gutteridge, J. M. 2015. Free radicals in biology and medicine.
Oxford University Press, USA.
Hama, S., Takahashi, K., Inai, Y., Shiota, K., Sakamoto, R., Yamada, A and
Kogure, K. 2012. Protective effects of topical application of a poorly soluble
antioxidant astaxanthin liposomal formulation on ultraviolet induced skin
damage. Journal of pharmaceutical science, 101(8), 2909-2916.
Holtbecker N, Fromm MF, Kroemer HK, Ohnhms EF, Heidemann H. 1996. The
nifedipinerifampin interaction: Evidence for induction of gut wall
metabolism. Drug Metab Dispos 24: 1121-1123.
Hussein, G., Sankawa, U., Goto, H., Matsumoto, K., and Watanabe, H. 2006.
Astaxanthin, a carotenoid with potential in human health and nutrition.
Journal of natural products, 69(3), 443-449.
Ji, L.L. 1999. Antioxidants and Oxidative stress in exercise. Society for
Experimental Biology and Medicine, 283: 292.
Johanna, M.O., Ake, L., Annette, P., and Peter, H. 2003. Oral bioavailability of the
antioxidant astaxanthin in human is enhanced by incorporation of lipid
based formulations. European journal of pharmaceutical sciences, 19, pp.
299-304.
Junquire. L.C. and Carneriro J. 2012. Histology Dasra Teks dan Atlas. 10th ed:
Jakarta. EGC.
Katzung GB. 2002. Farmakologi dasar dan klinik. Penerjemah dan editor: Bagian
Katzung, G.B., Masters, B.S., and Trevor J.A. 2013. Farmakologi dasar and klinik.
Ed. 12 Vol. 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Kevin, C., Kregel, Hannah J. and Zhang. 2006. An Integrated View of Oxidative
Stress in Aging: Basic Mechanisms, Functional Effects, And Pathological
Considerations. Am J Physiol Regul Integr Comp Physiol. 292: 18-36.
Krinke, G. J. 2000. The Laboratory Rat. San Diego, CA: Academic Press. Hal: 150-
152.
Leong XF, Ng CY, Jaarin K and Mustafa MR. 2015. Effects of repeated heating of
cooking oils on antioxidant content and endothelial function. Austin Journal
of Pharmacology and Therapeutics. 3(2):1-7.
Liang, Y., Fang, J. Q., Wang, C. X., and Ma, G. Z. 2008. Effects of transcutaneous
electric acupoint stimulation on plasma SOD and MDA in rats with sport
fatigue. Zhen ci yan jiu= Acupuncture research, 33(2), 120-123.
Liu, D., Ahmet, A., Ward, L., Krishnamoorthy, P., Mandelcorn, E. D., Leigh, R.,
and Kim, H. 2013. A practical guide to the monitoring and management of
the complication of systemic corticosteroid theraphy. Allery, Asthma and
Clinical Immunology, 9(1), 30.
Lorenz, R.T. and Cysewski, G.R. 2000. Commercial potential for Haematococcus
microalgae as a natural source of astaxanthin. Trends Biotechnol. 18, 160–
167
Lu, S. C. 2008. Antioxidants in the treatment of chronic liver diseases: why is the
efficacy evidence so weak in humans Hepatology (Baltimore, Md.), 48(5),
1359.
50
McNulty, H., Jacob, R. F., and Mason, R. P. 2008. Biologic activity of carotenoids
related to distinc membrane physicochemical interaction. The American
journal of cardiology, 101(10), S20-S29.
Naito Y, Suematsu M, Yoshikawa T. 2011. Free radical and lipid peroxidation. Free
Radical Biology in Digestive Diseases. 29(1):1-11.
Nishida, Y., Yamashita, E., and Miki, W. 2007. Quenching activities of common
hydrophilic and lipophilic antioxidants agains singlet oxygen using
chemiluminescence detection system. Carotenoid Science, 11(6), 16-20.
Nusrat A, Turner JR, Madara JL. 2000. Molecular Physiology and Pathology of
Tight Junctions IV Regulation of Tight Junctions by Extracellular Stimuli:
Nutrient, Cytokines, and Immune Cells. Am J Physiol. 279(5): G851-7.
onreproductive parameters and semen traits in male of japanesequail. Asian
J Poult Sci 9(4): 223-232.
Ostrov, C. S., Sirkin, S. R., Deutsch, W. E., Masi, R. J., Chandler, J. W., and
Lindquist, T. D. 1997. Ketolorac, prednisolone, and dexamethasone for
postoperative inflammation. Clinical therapeuitics, 19(2), 259-272.
51
Paine MF, Shen DD, Kunze KL, Persins JD, Marsh CL, McVicar JP, Barr DM,
Park, J. H., Choi, J. W., Ju, E. J., Pae, A. N., an/ Park, K. D. 2015. Antioxidant and
anti-inflammatory activities of a natural compound, shizukahenriol, through
Nrf2 activation. Molecules, 20(9), 15989-16003.
Pearce, Evelyn C. 2010. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama.
Ridho MR. 2010. Artikel karya ilmiah: Pengaruh Pemberian Deksametason Dosis
Sies, H. dan Jones D.P. 2007. Encyclopedia of Stress (Ed. G Fink). Elsevier. San
Diego. California. 45-48.
Sinaga, F.A. 2016. Stress Oksidatif dan Status Antioksidan pada Aktivitas Fisik
Maksimal. Jurnal Generasi Kampus. 9(2): 176-189.
Spencer, J.P.E., Rice, E. C. and Srai, S.K. 2003 Metabolism in the Small Intestine
and Gastrointestinal Tract in Rice, E.C. (Ed) Flavonoids in Health and
Disease. New York: Marcel Dekker.
52
Suarsana, I.N, Wresdiyati T. dan Suprayogi A. 2013. Respon Stress Oksidatif dan
Pemberian Isoflavon terhadap Aktivitas Enzim Superoksida Dismutase dan
Peroksidasi Lipid pada Hati Tikus. JITV. 18(2): 146-152.
Suseela, M.R. and Toppo, K. 2006. Haematococcus pluvialis A Green Alga,
Richest Natural Source of Astaxanthin. Current Science. Vol 90 (12), pp.
1602-1603.
third edition. New York: Oxford Univ Pr Inc.
Tomlinson, E. S., Maggs, J. L., Park, B. K., and Back, D. J. 1997. Dexamethasone
metabolism in vitro: species differences. The Journal of steroid
biochemistry and molecular biology, 62(4), 345-352.
Tuminah S., 2000. Radikal Bebas dan Antioksidan kaitanya dengan nutrisi dan
penyakit kronis. DepKes RI. Jakarta.
Undang-undang Bidang Kesehatan dan Farmasi. Departemen Kesehatan Republik
Indonesia
Urso, M.L., Clarkson, P.M. 2003. Oxidative stress, exercise, and antioxidant
supplementation. Toxicology 189(1-2):41-54
Valko, M., Leibfritz D., Moncol J., Cronin M.T.D., Mazur M. and Telser J. 2007.
Review: Free Radical and Antioxidant in Normal Physiological Function
and Human Disease. Inter J Biochem Cell Biol. 39: 44-84.
WB Saunders Company.
Winarsi, H. 2007. Antioksidan Alami dan Radikal Bebas: Potensi dan Aplikasinya
dalam Kesehatan. Kanisius. Yogyakarta. Hal. 77-82.
Yara S, Jean CL, Jean F, Ois B, Edgard D, Devendra A, et al. 2013. Iron Ascorbate-
Mediated Lipid Peroxidation Causes Epigenetic Changes in the Antioxidant
Defense in Intestinal Epithelial Celss: Impact on Inflammation. PLoS ONE.
8(5):1-11.
Yates, F. E., Marsh, D. J., and Maran, J. W. 1980. The adrenal cortex. In Medical
physiology (Vol. 1, pp. 1558-1601). Mosby St. Louis. Mo.
LAMPIRAN
1. Pengambilan bahan/specimen
Pengambilan bahan sedapat mungkin dari tubuh hewan yang masih hidup
pencernaan oleh enzim (autolisis) atau bakteri dan mempertahan struktur fisiknya.
Pemotongan dilakukan mengunakan pisau yag tajam , tidak boleh menekan jaringan
2. Fiksasi
jaringan supaya mudah saat dipotong, membunuh kuman penyakit yang mungkin
3. Dehidrasi
Tujuan dari dilakukan dehidrasi adalah untuk menarik air yang ada di dalam
larutan dilakukan bertahap sebagai berikut : etanol 70% (2 jam), etanol 80% (2
jam), etanol 90% (2 jam), etanol absolut (2 jam), xylol (2 jam), paraffin cair (2 jam).
4. Penjernihan / clearing
53
54
keranjang yang diisi paraffin cair dengan (59º - 60º C) divakum selama 30 menit.
Keranjang diangkat tissue cassette dikeluarkan dan disimpan pada temperature 60º
5. Pengeblokan / embedding
Caranya yaitu dengan menghangatkan cetakan dari bahan stainless steel di atas api
bunsen, lalu ke dalam setiap cetakan dimasukkan jaringan sambil diatur dan sedikit
ditekan. Sementara itu siapkan parafin cair dalam suatu tempat khusus, sehingga
dicapai suhu 60º C. jaringan yang akan dipotong diatur posisinya menghadap
kebah, lalu parafin cair tersebut dituangkan ke dalam jaringan sampai seluruh
blok paraffin dilepas dari cetakan dan disimpan di freezer (-20ºC) sebelum
dilakukan pemotongan.
6. Pemotongan / sectioning
potongan tersebut diletakkan secara hati – hati di atas permukaan air di dalam
waterbath bersuhu 46ºC. Pada kesempatan ini bentuk irisan dirapikan, kemudian
diletakkan di atas kaca obyek yang telah diolesi ewith, yang berfungsi sebagai
bahan perekat. Kaca obyek dengan jaringan di atasnya disusun di dalam rak khusus
55
dan dimasukkan kedalam incubator bersuhu 60ºC sampai preparat siap untuk
diwarnai.
7. Pengecatan / staining
untuk menonjolkan sel, komponen jaringan dan bahan ekstrinsik yang hendak di
teliti. Metode pewarnaan yang sering dilakukan adalah Haematoxylin – Eosin (HE)
atau biasa disebut pewarnaan rutin. Preparat yang akan diwarnai diletakkan pada
rak khusus dan dicelupkan secara berurutan ke dalam larutan dengan rincian
sebagai berikut : xylol (3 menit), etanol absolut (3 menit), etanol 90% (3 menit),
etanol 80% (3 menit), bilas dengan air mengalir selama (1 menit), larutan
menit), bilas dengan air (1 menit), larutan eosin (1 – 5 menit), bilas dengan air
10 celupan, etanol absolut 1 menit, dan yang terakhir adalah xylol selama 3 menit.
Setelah itu, preparat diangkat satu persatu dari larutan xylol dalam keadaan basah,
Jaringan di kaca obyek yang telah diwarnai dibersihkan terlebih dahulu dari
cat yang berlebih, kemudian ditetesi Entellan® dan ditutup dengan cover glass.
Keterangan :
dosis 5 mg/ml
57
Multiple Comparisons
Dependent Variable: NILAI
Bonferroni
(I) KELOMPOK (J) KELOMPOK Mean Std. Error Sig. 95% Confidence Interval
Difference (I-J) Lower Bound Upper Bound