Anda di halaman 1dari 90

SKRIPSI

EVALUASI PEMBERIAN EKSTRAK DAUN KELOR


(Moringa oleifera) TERHADAP GAMBARAN MAKROSKOPIS
DAN HISTOPATOLOGI HEPAR TIKUS PUTIH
(Rattus norvegicus) YANG DIINDUKSI GENTAMISIN

OLEH

YULISTIA NUR FADHILAH


NIM. 061611133045

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

UNIVERSITAS AIRLANGGA

SURABAYA

2020
EVALUASI PEMBERIAN EKSTRAK DAUN KELOR (Moringa oleifera) TERHADAP
GAMBARAN MAKROSKOPIS DAN HISTOPATOLOGI HEPAR TIKUS PUTIH
(Rattus norvegicus) YANG DIINDUKSI GENTAMISIN

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan
pada
Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Airlangga

Oleh :
YULISTIA NUR FADHILAH
NIM 061611133045

Menyetujui
Komisi Pembimbing,

(Prof. Dr.Wiwik Misaco Yuniarti,Drh.,M.Kes) (Dr.Endang Suprihati,Drh.,M.Si)


Pembimbing Utama Pembimbing Serta

ii
PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi berjudul :

Evaluasi Pemberian Ekstrak Daun Kelor (Moringa oleifera) terhadap


Gambaran Makroskopis dan Histopatologi Hepar Tikus Putih (Rattus
norvegicus) yang Diinduksi Gentamisin

Tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar


kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak
terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain,
kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar
pustaka

Surabaya, 9 Agustus 2020

Yulistia Nur Fadhilah


061611133045

iii
Telah dinilai pada Seminar Hasil Penelitian
Tanggal : 4 Agustus 2020

KOMISI PENILAI SEMINAR HASIL PENELITIAN


Ketua : Dr. Rochmah Kurnijasanti, drh.,M.Si
Anggota : Arimbi, drh., M.Kes
Dr. Eka Pramyrtha Hestianah, drh.,M.Kes
Prof. Dr.Wiwik Misaco Yuniarti, drh.,M.Kes
Dr.Endang Suprihati, drh.,M.Si

iv
Telah diuji pada
Tanggal : 18 Agustus 2020

KOMISI PENGUJI SKRIPSI

Ketua : Dr. Rochmah Kurnijasanti, drh.,M.Si


Anggota : Arimbi, drh., M.Kes
Dr. Eka Pramyrtha Hestianah, drh.,M.Kes
Prof. Dr.Wiwik Misaco Yuniarti, drh.,M.Kes
Dr.Endang Suprihati, drh.,M.Si

Surabaya, 9 Agustus 2020


Fakultas Kedokteran Hewan
Universitas Airlangga
Dekan,

Prof. Dr. Pudji Srianto, drh.,M.Kes


NIP.195601051986011001

v
RINGKASAN

Yulistia Nur Fadhilah. “Evaluasi Pemberian Ekstrak Daun Kelor

(Moringa oleifera) terhadap Gambaran Makroskopis dan Histopatologi Hepar

Tikus Putih (Rattus norvegicus) yang Diinduksi Gentamisin”.Penelitian ini

dibawah bimbingan Prof. Dr. Wiwik Misaco Yuniarti, drh.,M.Kes selaku

pembimbing utama dan Dr. Endang Suprihati, drh., M.Si selaku pembimbing serta.

Di Indonesia penggunaan antibiotik cukup tinggi karena Indonesia

merupakan salah satu Negara berkembang dan urutan penyakit utama masih

ditempati oleh berbagai penyakit infeksi. Gentamisin merupakan salah satu

antibiotik dari golongan aminoglikosida yang sering digunakan karena harganya

relatif terjangkau dan efektif melawan sebagian besar bakteri gram-negatif aerob

yang resisten dengan antibiotik lain. Hepar dan ginjal adalah organ yang paling

sering mengalami kerusakan akibat Gentamisin karena terlibat dalam metabolisme

dan sekresi xenobiotik, sehingga rentan terjadi kondisi patologis. Gentamisin

meningkatkan stres oksidatif dan aktivitas radikal bebas serta menghambat sistem

pertahanan antioksidan pada hepar sehingga terjadi kelebihan produksi ROS

(Reactive Oxygen Spesies). Radikal bebas yang berlebihan dalam tubuh dan stres

oksidatif dapat dilawan dengan mengkonsumsi zat yang kaya antioksidan. Saat ini,

mulai banyak dikembangkan obat obatan herbal atau dari bahan alam kaya

antioksidan. Tanaman herbal yang berpotensi salah satunya adalah tanaman kelor.

Tanaman kelor merupakan tanaman tradisional yang diketahui dapat mengobati

berbagai penyakit salah satunya penyakit hepar. Khasiat obat tanaman kelor

dihubungkan dengan kandungan senyawa kimia quercetin dan silymarin golongan

vi
flavonoid dengan aktifitas antioksidan yang dapat melindungi dan mengobati

kerusakan hepar. Salah satu bagian yang sangat berpotensi dari tanaman kelor yaitu

daun kelor.

Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui pengaruh dari pemberian

ekstrak daun kelor (Moringa oleifera) terhadap perbaikan gambaran makroskopis

dan histopatologi hepar tikus putih (Rattus norvegicus) yang diinduksi Gentamisin.

Secara makroskopis, hepar dinilai dengan kriteria perubahan warna,

perubahan ukuran (pembengkakan), dan perubahan konsistensi serta dilakukan

penimbangan berat organ dalam gram sebagai data pendukung. Secara

histopatologi dilakukan skoring menggunakan parameter kerusakan degenerasi dan

nekrosis. Data makroskopis dan histopatologi selanjutnya dianalisis menggunakan

uji Kruskall Wallis dan dilanjutkan dengan uji Mann Whitney.

Hasil analisis data dengan uji Kruskall Wallis menunjukkan bahwa gambaran

makroskopis dari kelima kelompok perlakuan menunjukkan tidak adanya

perbedaan yang signifikan (p>0,05). Dalam nilai Mean Rank menunjukkan bahwa

gambaran makroskopis hepar tikus putih dengan kerusakan paling tinggi terjadi

pada kelompok P1 dengan nilai Mean Rank sebesar 17,80. Dan untuk kerusakan

paling rendah terjadi pada kelompok P3 dengan nilai Mean Rank sebesar 7,70.

Hasil skoring histopatologi hepar tikus putih yang dianalisis menggunakan

uji Kruskal Wallis menunjukkan adanya perbedaan yang nyata (P<0,05) antar tiap

kelompok perlakuan. Pada uji Kruskall Wallis, hasil dari nilai Mean Rank

menunjukkan kerusakan paling tinggi terjadi pada kelompok K+ dan kerusakan

paling rendah terjadi pada kelompok K-. Untuk perlakuan yang diberikan ekstrak

vii
daun kelor yaitu kelompok P1, P2, dan P3 menunjukkan bahwa kerusakan paling

rendah menurut hasil Mean Rank terjadi pada kelompok P3 dengan dosis ekstrak

daun kelor sebesar 600 mg/kg bb. Uji statistik Mann-Whitney untuk hasil

histopatologi menunjukkan bahwa kelompok K- berbeda nyata dengan K+

(P<0,05), serta tidak berbeda nyata dengan P1 (P>0,05), P2 (P>0,05), dan P3

(P>0,05). Kelompok K+ tidak berbeda nyata dengan P1 (P>0,05), serta berbeda

nyata dengan P2 (P<0,05) dan P3 (P<0,05). Kelompok P1 tidak berbeda nyata

dengan P2 (P>0,05) dan P3 (P>0,05). Kelompok P2 tidak berbeda nyata dengan P3

(P>0,05).

Kesimpulan dari penelitian ini yaitu pemberian ekstrak daun kelor (Moringa

oleifera) dapat memperbaiki gambaran makroskopis dan histopatologi hepar tikus

putih yang diinduksi Gentamisin. Dosis ekstrak daun kelor yang paling efektif

untuk menyembuhkan kerusakan hepar akibat toksisitas gentamisin yaitu dosis 600

mg/kg bb atau pada kelompok P3.

viii
EVALUATION OF MORINGA LEAVES (Moringa oleifera) EXTRACT ON
LIVER MACROSCOPIS AND HISTOPATHOLOGICAL FEATURE OF
WHITE RAT (Rattus norvegicus) THAT INDUCED BY GENTAMICIN

Yulistia Nur Fadhilah

ABSTRACT

The research aimed to know about evaluation of Moringa oleifera leaf extract
with different dosage on macroscopic and histopathological liver of Wistar Rat (Rattus
norvegicus) that induced by Gentamicin with toxic dosage. The dosage of gentamicin
is 80 mg/kg bw. This research use twenty five of Wistar Rat (Rattus norvegicus). All
member of population of the wistar rat were divided into five groups, consist of five
repetition each, namely K-, K+, P1, P2, and P3. K- as a negative control respectively.
K+ was given only gentamicin dosage 80 mg/kg bw. P1 was given gentamicin 80
mg/kg bw and moringa extract 150 mg/kg bw. P2 was given gentamicin 80 mg/kg bw
and moringa extract 300 mg/kg bw. P3 was given gentamicin 80 mg/kg bw and
moringa extract 600 mh/kg bw. The macroscopic observed based on criteria, i.e color
change, size change, and consistency change. According to the macroscopic observed,
show that most swelling occurred in the K+ and P1 group and pale liver most common
in group P1. The histopathological scoring method were using modification of Knodell
(1981) with parameter degeneration and necrosis. Then Kruskall-Wallis test through
with Mann-Whitney test of statistical analysis. From the result can be concluded that
Moringa oleifera extract with dosage 600 mg/kg bw most effectively to treat the liver
damage.
Keywords : Gentamicin, liver, Moringa oleifera

ix
UCAPAN TERIMAKASIH

Puji syukur Alhamdulillah saya panjatkan kepada Allah SWT atas berkat,

rahmat, nikmat dan hidayahnya menjadikan penulis dapat menyelesaikan penelitian

dan melaksanakan skripsi dengan judul Evaluasi Pemberian Ekstrak Daun

Kelor (Moringa oleifera) terhadap Gambaran Makroskopis dan Histopatologi

Hepar Tikus Putih (Rattus norvegicus) yang diinduksi Gentamisin. Tak lupa

Sholawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi tercinta, Nabi

Muhammad SAW atas tuntunan dan syafaatnya sehingga kita semua bisa selalu

berada pada jalan Allah SWT.

Pada kesempatan kali ini penulis ingin dapat menyampaikan terimakasih

kepada :

Prof. Dr Pudji Srianto, drh., M.Kes selaku Dekan Fakultas Kedokteran

Hewan Universitas Airlangga serta para wakil dekan dan staf dekan atas

kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menempu pendidikan di

Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga.

Prof. Dr. Wiwik Misaco Yuniarti, drh.,M.Kes selaku dosen pembimbing

utama dan Dr. Endang Suprihati, drh., M.Si selaku pembimbing serta yang telah

memberikan saran, masukan, dan bimbingan dengan sabar sehingga penulis bisa

menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

Dr . Rochmah Kurnijasanti, drh., M.Si selaku ketua penguji, Arimbi M.Kes.,

drh selaku sekretaris penguji, dan Dr.Eka Pramyrtha Hestianah, drh.,M.Kes selaku

anggota penguji yang telah memberikan bimbingan, koreksi, serta masukan pada

proses pembuatan skripsi penulis.

x
Dr.Benjamin CHR Tehupuring, Drh., M.Si selaku dosen wali yang kini

sudah purna tugas dan digantikan oleh dokter Sri Chusniati Drh, M.Kes,

terimakasih banyak atas segala bimbingan, arahan, serta motivasinya dari awal

masuk kuliah sampai akhir perkuliahan ini kepada beliau keduanya.

Seluruh staff pengajar Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga

atas segala ilmu, pengetahuan, dan wawasan, dan kesabaran yang tidak lelah

membimbing penulis dari semester 1 hingga semester 8. Seluruh karyawan

Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga khususnya kepada Bapak Pardi

staf Laboratorium Hewan Coba, Bapak Hidayat staf Laboratorium Pakan Ternak,

dan Bapak Fahrul staf Laboratorium Patologi Klinik yang banyak membantu

berjalannya penelitian penulis.

Orang tua penulis, Bapak Sunaryo, dan Ibu Kaeksi Kusumawati, serta Adik

penulis Muhammad Akhlis Nur Fadhil yang selalu memberikan kasih sayang yang

tiada usai, doa, dukungan, bimbingan, serta materi sehingga bisa menyelesaikan

pendidikan sarjana kedokteran hewan ini. Tak lupa kepada semua keluarga besar

yang telah memberikan semangat, doa, motivasi, dan dukungannya.

Untuk sahabat dan teman seperjuangan yang sudah banyak membantu

berjalannya penelitian penulis dari awal hingga selesai Hidayatul Nur Wijayanti,

Shinta Noviani Azzahra, Agus Krisdiyantoro, Ahmad Aswin, Rikho Dwi

Nindiarto, Nailul Ngizzah, Meidi Mardatillah, dan masih banyak lagi yang tidak

bisa disebutkan satu persatu.

Sahabat penulis selama berkuliah Wima, Winadya, Intan, Bitari, Nissa,

Bertalina, Nailatul, Elita, Eriza yang selalu saling tolong menolong, bertukar

xi
cerita, berbagi keceriaan dan saling mendoakan tanpa pamrih. Serta sahabat sejak

dari SMA Hafsoh, Ayu Dinar, Ericha, Dila, Nabilah, Hana, Qonita, Retno, dan

Sherlyn yang senantiasa saling memberi kabar dan selalu memberi motivasi, dan

semangat untuk penulis.

Untuk teman teman Elephas 2016 yang bersama-sama berjuang dalam

dunia kampus. Kakak tingkat Delphinus 2015 dan adik tingkat Red wolf 2017

yang memberikan dukungan semangat dalam pengerjaan skripsi dan penelitian.

Untuk rekan-rekan JMV FKH Unair 2017, BEM Kabinet Harmonis, KMPV

Unggas dan Burung yang selalu memberikan semangat dan pengalaman yang

bermakna bagi penulis.

Sebuah karya manusia akan senantiasa ditemukan kekurangan dalam

pembuatan dan pengerjaan. Penulis berharap karya ini dapat menjadi sangat

bermanfaat dalam kehidupan masyarakah di bidang kesehatan hewan khususnya

dan kesehatan manusia pada umumnya. Saran dan masukan mengenai kekurangan

yang ada dalam pengerjaan penelitian dan penyususnan naskah dapat menjadi

masukan kepada penulis. Penulis mengucapkan terimakasih atas semua yang

diberikan.

Surabaya, Agustus 2020

Penulis

xii
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................. ii
HALAMAN PERNYATAAN ...........................................................................iii
HALAMAN IDENTITAS ................................................................................. iv
RINGKASAN .................................................................................................... vi
ABSTRAK ......................................................................................................... ix
UCAPAN TERIMAKASIH ................................................................................ x
DAFTAR ISI ....................................................................................................xiii
DAFTAR TABEL ............................................................................................. xv
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xvi
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... xvii
SINGKATAN DAN ARTI LAMBANG .......................................................xviii
BAB 1 PENDAHULUAN ................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................ 3
1.3 Tujuan............................................................................................... 3
1.4 Manfaat............................................................................................. 3
1.5 Landasan Teori ................................................................................. 4
1.6 Hipotesis ........................................................................................... 6
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................ 7
2.1 Gentamisin ........................................................................................ 7
2.2 Mekanisme Jejas Sel akibat Radikal Bebas ...................................... 8
2.3 Karakteristik, Fungsi, dan Kondisi Patologis Hepar ....................... 10
2.3.1 Struktur anatomi hepar ..................................................... 10
2.3.2 Gambaran mikroskopik hepar .......................................... 11
2.3.3 Fungsi hepar ..................................................................... 13
2.3.4 Degenerasi hepatosit ......................................................... 14
2.3.5 Nekrosis hepatosit ............................................................ 16
2.4 Tanaman Kelor ................................................................................ 17
2.4.1 Morfologi dan taksonomi ................................................. 17
2.4.2 Kandungan daun kelor ..................................................... 19
2.4.3 Manfaat daun kelor untuk kesehatan................................ 21
2.5 Tikus Putih (Rattus Norvegicus) ..................................................... 23

xiii
BAB 3 MATERI DAN METODE ................................................................... 25
3.1 Rancangan Penelitian ...................................................................... 25
3.2 Sampel dan Besar Sampel ............................................................... 25
3.3 Variabel Penelitian .......................................................................... 26
3.4 Definisi Operasional........................................................................ 26
3.5 Tempat dan Waktu Penelitian ......................................................... 28
3.6 Bahan dan Materi Penelitian ........................................................... 28
3.6.1 Hewan penelitian .............................................................. 28
3.6.2 Bahan dan alat penelitian ................................................. 28
3.7 Prosedur Penelitian ......................................................................... 29
3.7.1 Uji kelaikan etik ............................................................... 29
3.7.2 Tahap ekstraksi daun kelor .............................................. 29
3.7.3 Tahap adaptasi tikus putih................................................ 30
3.7.4 Tahap perlakuan ............................................................... 30
3.7.5 Tahap pengambilan sampel hepar .................................... 31
3.7.6 Tahap pemeriksaan sampel .............................................. 32
3.8 Analisis Data ................................................................................... 33
3.9 Diagram Alir Penelitian .................................................................. 34

BAB 4 HASIL PENELITIAN .......................................................................... 35


4.1 Hasil Pengamatan Makroskopis Hepar Tikus Putih........................ 35
4.2 Hasil pengamatan Histopatologi Hepar Tikus Putih ....................... 38

BAB 5 PEMBAHASAN ................................................................................... 42


5.1 Perubahan Makroskopis Hepar Tikus Putih.................................... 42
5.2 Perubahan Histopatologi Hepar Tikus Putih ................................... 45

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................ 47


6.1 Kesimpulan ..................................................................................... 47
6.2 Saran ................................................................................................ 47

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 48

xiv
DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

2.1 Kandungan nilai gizi daun kelor segar dan kering ...................................... 20
3.1 Skoring histopatologi hepar lesi degenerasi dan nekrosis
modifikasi dari Knodell, (1981) ................................................................. .33
4.1 Nilai Mean Rank penilaian perubahan makroskopis hepar tikus putih
(Rattus norvegicus) dalam lima kelompok perlakuan ................................. 35
4.2 Jumlah organ hepar yang mengalami perubahan makroskopis setiap
kelompok perlakuan serta rata rata berat hepar ......................................... 36
4.3 Mean Rank hasil skoring histopatologi hepar tikus putih
(Rattus norvegicus) lesi degenerasi dan nekrosis ...................................... 39

xv
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman

2.1 Mekanisme Jejas Sel ..................................................................................... 9


2.2 Anatomi Hepar Tikus dan Pembagian Lobus pada Hepar Tikus Putih ...... 11
2.3 Gambaran Histologi Hepar Tikus Putih Normal......................................... 12
2.4 Degenerasi Hidropik Hepatosit ................................................................... 15
2.5 Degenerasi Melemak Hepatosit .................................................................. 16
2.6 Ilustrasi Nekrosis (kematian) pada Sel ........................................................ 17
2.7 Tanaman Kelor dan Daun Kelor ................................................................. 19
2.8 Tikus Putih (Rattus norvegicus) .................................................................. 24
4.1 Gambar Makroskopis Organ Hepar Tikus Putih (Rattus norvegicus)
Pada kelompok K-, K+, P1, P2, dan P3 ...................................................... 37
4.2 Gambaran Histopatologi Hepar Tikus Putih (Rattus norvegicus)
pada kelompok K-, K+, P1, P2, dan P3. ..................................................... 40

xvi
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Perhitungan Dosis Induksi Gentamisin serta Ketamin dan Xylazine


untuk Anestesi......................................................................................... 53
2. Perhitungan Dosis Ekstrak Daun Kelor (Moringa oleifera)
terhadap Tikus Putih (Rattus norvegicus)............................................. . 54
3. Teknik Pembuatan Preparat Histopatologi.............................................. 56
4. Total nilai perubahan makroskopis hepar tikus putih setiap organ dari
kelompok K-, K+, P1, P2, dan P3.......................................................... 60
5. Hasil Skoring Histopatologi Hepar Tikus Putih (Rattus norvegicus)
Parameter Degenerasi dan Nekrosis ...................................................... 61
6. Analisis Statistik Histopalogi Hepar Tikus Putih
(Rattus norvegicus)................................................................................ 62
7. Hasil Uji Fitokimia Ekstrak Daun Kelor................................................ 69
8. Dokumentasi Penelitian ..........................................................................71

xvii
SINGKATAN DAN ARTI LAMBANG

ATP = Adenosina Trifosfat


CCl4 = Carbon Tetrachlorida
CMC-Na = Carboxymethylcellulose Natrium
DW = Dry Weight (Daun Kering)
GAE = Gallic Acid Equivalent (Setara Asam Galat)
HDL = High Density Lipoprotein
IP = Intraperitonial
LDL = Low Density Lipoprotein
LP = Lapang Pandang
TAE = Tannin Acid Equivalent (Setara Asam Tannin)

xviii
BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Di Indonesia penggunaan antibiotik cukup tinggi karena Indonesia

merupakan salah satu Negara berkembang dan urutan penyakit utama masih

ditempati oleh berbagai penyakit infeksi. Penyakit infeksi merupakan indikasi

penggunaan antibiotik untuk terapi. Antibiotik yang sering digunakan dalam

mengobati infeksi yaitu golongan betalaktam, sefalosprorin, sulfonamide, dan

aminoglikosida (Sudoyo dkk., 2007 ; Susianti, 2013).

Gentamisin merupakan salah satu antibiotik dari golongan aminoglikosida

yang sering digunakan karena harganya relatif terjangkau dan efektif melawan

sebagian besar bakteri gram-negatif aerob yang resisten dengan antibiotik lain

(Khan et al., 2011). Gentamisin memiliki efek samping seperti alergi, reaksi iritasi,

dan reaksi toksik (Istiantoro dan Gan, 2007). Gentamisin juga bersifat toksik pada

berbagai organ seperti ginjal, hepar, paru-paru, dan kulit karena menginduksi

radikal bebas dan stress oksidatif (Khan et al., 2011).

Hepar merupakan gerbang semua bahan yang masuk ke dalam tubuh

melalui saluran cerna, sehingga sangat rentan terhadap gangguan metabolik,

toksik, dan mikroba (Robbins et al., 2007). Hepar dan ginjal adalah organ yang

paling sering mengalami kerusakan akibat Gentamisin karena terlibat dalam

metabolisme dan sekresi xenobiotik, sehingga rentan terjadi kondisi patologis

(Susianti, 2013). Penelitian yang dilakukan oleh Khan et al (2011) telah

membuktikan bahwa Gentamisin dengan dosis 100 mg/kg bb selama 10 hari dapat

digunakan sebagai bahan yang dapat menginduksi degenerasi hidropik pada

1
2

hepatosit. Penelitian Susianti (2013) juga telah membuktikan bahwa induksi

Gentamisin pada tikus putih (Rattus norvegicus) dengan dosis 80 mg/kg bb selama

8 hari dapat menimbulkan pembengkakan hepatosit, dilatasi sinusoid, dan terjadi

perdarahan di beberapa tempat.

Gentamisin meningkatkan stres oksidatif dan aktivitas radikal bebas serta

menghambat sistem pertahanan antioksidan pada hepar sehingga terjadi kelebihan

produksi ROS (Reactive Oxygen Spesies) (Galaly et al., 2014). Radikal bebas yang

berlebihan dalam tubuh dan stres oksidatif dapat dilawan dengan mengkonsumsi

zat yang kaya antioksidan (Abdel-Raheem, 2010). Saat ini, mulai banyak

dikembangkan obat obatan herbal atau dari bahan alam kaya antioksidan. Tanaman

herbal yang berpotensi salah satunya adalah tanaman kelor.

Tanaman kelor (Moringa oleifera) merupakan salah satu jenis tanaman

tropis yang sudah tumbuh dan berkembang di daerah tropis termasuk Indonesia

(Simbolan dan Katharina, 2007 ; Isnan, 2017). Pemanfaatan tanaman kelor di

Indonesia saat ini masih terbatas. Masyarakat biasa menggunakan daun kelor

sebagai pelengkap dalam masakan sehari-hari, bahkan tidak sedikit yang

menjadikan tanaman kelor hanya sebagai tanaman hias yang tumbuh pada teras-

teras rumah, bahkan di beberapa wilayah di Indonesia pemanfaatan daun kelor lebih

banyak untuk memandikan jenazah, meluruhkan jimat, dan sebagai pakan ternak

(Dewi et al., 2016 ; Isnan, 2017).

Tanaman kelor merupakan tanaman tradisional yang diketahui dapat

mengobati berbagai penyakit salah satunya penyakit hepar (Purwati, 2019). Khasiat

obat tanaman kelor dihubungkan dengan kandungan senyawa kimia quercetin dan
3

silymarin golongan flavonoid dengan aktivitas antioksidan yang dapat melindungi

dan mengobati kerusakan hepar (Syahrin dkk., 2016). Salah satu bagian yang sangat

berpotensi dari tanaman kelor yaitu daun kelor. Dalam penelitian Syahrin dkk

(2016) telah dibuktikan bahwa ekstrak daun kelor dapat meregenarsi hepatosit yang

mengalami perlemakan akibat induksi CCl4.

Penggunaan ekstrak daun kelor (Moringa oleifera) sebagai terapi dalam

perubahan hepar akibat induksi Gentamisin belum diketahui secara pasti pengaruh

dan efektifitasnya. Maka perlu adanya penelitian mengenai evaluasi pemberian

ekstrak daun kelor terhadap perubahan makroskopis dan histopatologi hepar pada

tikus putih (Rattus norvegicus) yang diinduksi obat yaitu Gentamisin.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah dari penelitian ini

adalah apakah terdapat pengaruh pemberian ekstrak daun kelor (Moringa oleifera)

terhadap perbaikan gambaran makroskopis dan histopatologi hepar tikus putih

(Rattus norvegicus) yang diinduksi Gentamisin?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui pengaruh dari pemberian

ekstrak daun kelor (Moringa oleifera) terhadap perbaikan gambaran makroskopis

dan histopatologi hepar tikus putih (Rattus norvegicus) yang diinduksi Gentamisin.

1.4 Manfaat Hasil Penelitian

1.4.1 Manfaat teoritis

Manfaat teoritis dari penelitian ini adalah untuk mengetahui khasiat

penggunaan ekstrak daun kelor terhadap hepar yang diaplikasikan untuk


4

memperbaiki kondisi tikus putih yang mengalami perubahan makroskopis dan

histopatologi hepar akibat induksi Gentamisin.

1.4.2 Manfaat praktis

Hasil dari penelitian ini nantinya dapat diterapkan dan diketahui oleh

masyarakat apakah obat herbal yang berasal dari daun kelor bisa digunakan untuk

memperbaiki kerusakan makroskopis dan histopatologi hepar meliputi struktur

serta penurunan fungsi hepatosit akibat toksisitas dari obat tertentu seperti

Gentamisin.

1.5 Landasan Teori

Gentamisin merupakan antibiotik golongan aminoglikosida berspektrum

luas yang biasa diresepkan untuk mengobati pasien dari infeksi. Efek buruknya

dalam jangka panjang dalam penggunaan klinis dapat mengakibatkan stres oksidatif

(Udupa and Prakash, 2019). Gentamisin dapat menginduksi stres oksidatif dengan

meningkatkan pembentukan radikal bebas dan peroksidasi lipid, serta menurunkan

cadangan antioksidan (Kim et al., 2014). Peroksidasi lipid akibat induksi

Gentamisin bisa mengganggu fungsi seluler (Upaganlawar et al., 2006). Pada

percobaan Susianti (2013) telah dibuktikan pada tikus putih (Rattus norvegicus),

bahwa pemberian Gentamisin dosis 80 mg/kg bb selama 8 hari menimbulkan

pembengkakan hepatosit, dilatasi sinusoid, dan terjadi perdarahan di beberapa

tempat.

Hepar merupakan organ tubuh yang rentan mengalami kerusakan. Hal ini

terjadi karena hepar mempunyai peran penting dalam proses metabolisme,

konjugasi dan detoksifikasi, sehingga pemaparan berbagai bahan toksik akan


5

memperparah kerusakan hepar (Underwood, 2000). Kerusakan hepar dapat

disebabkan oleh peradangan yang sebagian besar merupakan akibat infeksi virus,

paparan alkohol, keracunan obat-obatan atau bahan kimia (Yenny et al., 2010).

Induksi obat obatan dengan dosis toksik secara terus menerus akan membentuk

Reactive Oxygen Spesies (ROS) yang menyebabkan peroksidasi lipid. Terjadinya

peroksidasi lipid dan penurunan kadar antioksidan endogen adalah indikator stres

oksidatif yang merupakan salah satu penyebab jejas pada sel. Apabila semakin

parah akan terjadi serangkaian perubahan morfologi sel yang dapat bersifat subletal

yaitu degeneratif atau letal berupa nekrosis (Andreas dkk., 2015).

Antioksidan adalah zat kimia yang membantu melindungi tubuh dari

kerusakan sel oleh radikal bebas yang dapat menimbulkan stres oksidatif. Ekstrak

daun kelor memiliki aktivitas antioksidan mencapai 66,8 % (Ezejindu et al., 2006).

Kelor (Moringa oleifera) merupakan spesies yang paling terkenal dari tiga belas

spesies genus Moringacae. Tanaman ini dapat tumbuh dengan cepat dan

digambarkan sebagai salah satu tanaman yang paling bergizi di dunia (Aminah

dkk., 2015).

Kelor merupakan tanaman tradisional yang diketahui dapat mengobati

penyakit hepar. Khasiat obat tanaman kelor dihubungkan dengan kandungan

senyawa kimia quercetin, dan silymarin golongan flavonoid dengan aktifitas

antioksidan yang dapat melindungi dan mengobati kerusakan hepar (Syahrin dkk.,

2016). Kadar polyphenol dan flavonoid pada daun kelor diketahui lebih tinggi

dibandingkan daun lain seperti daun labu silam dan daun pakis (Alverina dkk.,

2016).
6

Aktivitas antioksidan dari luar tubuh akan menghentikan serangan radikal

bebas terhadap molekul molekul disekitar tempat yang terjadi reaksi oksidasi.

Apabila terdapat antioksidan eksternal yang masuk, radikal bebas akan segera

bereaksi dengan cara antioksidan membentuk molekul yang stabil dan tidak

berbahaya, maka reaksi berantai yang membahayakan akan berhenti (Khaira,

2010).

1.6 Hipotesis

Berdasarkan permasalahan dan tujuan penelitian dapat ditarik suatu

hipotesis bahwa pemberian ekstrak daun kelor (Moringa oleifera) dapat

memperbaiki gambaran makroskopis dan histopatologi hepar tikus putih (Rattus

norvegicus) yang diinduksi Gentamisin.


BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Gentamisin

Gentamisin pertama kali ditemukan pada tahun 1963 dari sejenis kapang,

yakni Micromonospora purpurea. Aktivitas antibakterial lebih luas dibandingkan

dengan kelompok aminoglikosida lainnya. Gentamisin efektif untuk mengatasi

infeksi oleh pseudomonas yang menginfeksi urogenital, juga sangat efektif

terhadap infeksi oleh E.coli, Proteus, dan kuman gram positif seperti

Staphyilococcus dan Streptococcus. Gentamisin juga dapat digunakan dalam

perawatan infeksi akibat bakteri pada saluran pernapasan dan penyakit darah,

tulang, dan jaringan lunak (Hafez, et al 2019). Apabila kuman resisten terhadap

Gentamisin biasanya kuman tersebut akan resisiten terhadap semua kelompok

aminoglikosida lainnya (Kurnijasanti dkk., 2018).

Gentamisin merupakan antibiotika turunan aminoglikosida yang berefek

nefrotoksik, neurotoksik terhadap saraf otak, dan ototoksik terhadap komponen

vestibular maupun akustik (Lintong et al., 2012). Antibiotik golongan

aminoglikosida tidak diserap melalui saluran cerna, sehingga harus diberikan secara

parenteral untuk infeksi sistemik. Menurut Sugiyanto (2006), Gentamisin juga

memiliki efek samping hepatotoksik dikarenakan kapasitas metabolisme xenobiotik

tertinggi terjadi pada hepar. Menurut Khan et al (2011), Gentamisin bersifat toksik

terhadap hepar akibat reaksi stres oksidatif yang ditimbulkannya. Bahaya dari efek

gentamisin bervariasi sesuai dengan waktu sirkulasinya (McKinney et al., 2015).

Dosis yang disarankan pada pemakaian parenteral atau secara injeksi pada manusia

7
8

yaitu 5 mg/kg bb yang diberikan 2 kali sehari, sedangkan untuk pemakaian topikal

mengandung 3 mg/ml (Kurnijasanti dkk., 2018).

2.2 Mekanisme Jejas Sel akibat Radikal Bebas

Radikal bebas adalah molekul yang kehilangan elektron sehingga molekul

tersebut menjadi tidak stabil dan selalu berusaha mengambil elektron dari molekul

dalam sel lain. Radikal bebas dapat didefinisikan sebagai suatu atom, molekul, atau

senyawa yang mengandung satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan

sehingga sangat reaktif. Tiga spesies radikal bebas yang penting dan menimbulkan

stres oksidatif dan jejas seluler adalah superoksid (O2+), hidrogen peroksid (H2O2),

dan hidroksil radikal (OH-) (Robbins dkk., 2007).

Terbentuknya radikal bebas dalam sel dapat terjadi melalui beberapa proses

salah satunya yaitu terjadinya reduksi oksigen dalam mitokondria, membran

plasma, retikulum endoplasma, peroksisom, dan sitosol menjadi radikal kemudian

terbentuklah superoksida (O2-), hidrogen peroksid (H2O2), dan hidroksil radikal

(OH-). Ketiga tiganya bersifat radikal sehingga menimbulkan ROS (Reactive

Oxygen Species) yang bisa mengakibatkan terjadinya jejas pada sel. ROS adalah

suatu kondisi dimana atom oksigen memiliki muatan elektron lebih (Robbins dkk.,

2007). Mekanisme jejas sel akibat radikal bebas ditunjukkan seperti dalam Gambar

2.1.
9

Gambar 2.1 : Mekanisme Jejas Sel


Keterangan : Mekanisme jejas sel akibat ischemia (sebelah kiri)
yang mengakibatkan kekurangan oksigen dan akibat radikal bebas
(sebelah kanan) yang menimbulkan (Reactive Oxygen Spesies) atau
atom oksigen memiliki muatam elektron lebih sehingga
menimbulkan jejas sel (Kumar et al., 2007).
Jejas sel atau gangguan fungsi sel terdiri dari dua macam, yaitu dapat

bersifat reversible ataupun irreversible tergantung pada mekanisme adaptasi sel.

Secara patologis, kerusakan sel reversibel adalah dimana sel dapat beradaptasi atau

me-recovery yaitu akan kembali berfungsi normal bila penyebabnya hilang. Jejas

irreversibel adalah kematian sel atau nekrosis sel karena sel tidak dapat beradaptasi

terhadap stressor atau akibat injury yang terus menerus (McGavin and Zachary,

2007). Penelitian yang dilakukan oleh Khan et al (2011) telah membuktikan bahwa

hepar tikus putih yang terpapar gentamisin dosis 100 mg/kg bb selama 10 hari

mengalami degenerasi hidropik pada hepatosit dimana kondisi degenerasi tersebut

merupakan jejas reversibel atau gangguan yang masih bisa diperbaiki dan tidak

sampai mengalami nekrosis sel.


10

2.3 Karakteristik, Fungsi. dan Kondisi Patologis Hepar

2.3.1 Struktur anatomi hepar

Hepar merupakan kelenjar tubuh terbesar dengan berat sekitar 2,5% berat

badan manusia dewasa, atau berkisar dari 1.400 sampai 1.600 g. Hepar sebagian

besar terletak di perut bagian kanan atas di belakang tulang costae dan memiliki

ukuran yang normal sebesar telapak tangan individu itu sendiri (Cotran et al., 1999),

serta terletak di bawah diafragma bagian kanan, diafragma tersebut memisahkan

hepar dari pleura, paru-paru, perikardium dan jantung (Moore and Dalley, 2006).

Hepar termasuk organ perantara antara sistem pencernaan dan sistem

peredaran darah dalam tubuh serta memiliki fungsi penting yaitu melindungi tubuh

terhadap terjadinya penumpukan zat berbahaya yang masuk dari luar misalnya obat

(Abdulkadir, 2019). Warna normal hepar adalah coklat kemerahan (Scudamore,

2014). Organ hepar termasuk organ yang mudah diraba dengan melakukan palpasi

dinding abdomen di bawah lengkung tulang costae kanan, yaitu dengan memeriksa

pada waktu inspirasi dalam sehingga tepi bawah hepar dapat teraba. Bagian bawah

hepar berbentuk cekung dan merupakan bagian atas dari ginjal kanan, lambung,

pankreas, dan usus (Wibowo dan Paryana, 2009).

Pada Gambar 2.2 menunjukkan struktur anatomi hepar tikus putih (Rattus

norvegicus) serta pembagian lobus hepar tikus putih yang terbagi menjadi 4 yaitu

lobus kanan atau lobus dextra, lobus kiri atau lobus sinistra, lobus median dan lobus

caudatus.
11

Gambar 2.2 : Anatomi Hepar dan Pembagian Lobus pada Hepar Tikus Putih
Keterangan : Anatomi hepar tikus putih terbagi menjadi 4 lobus yaitu
lobus median atau lobus sistik (A), lobus lateral dekstra (B), lobus
lateral sinistra (C), dan lobus caudatus (D) (Vinerean, 2014).

2.3.2 Gambaran mikroskopik hepar

Secara mikroskopik, unit morfologi dari hepar adalah lobulus hepar,

hepatosit (sel hepar) yang berada dalam pusat yang disebut vena sentralis. Di sudut

pinggir dimana lobulus hepar yang berdekatan saling bertemu, ada daerah yang

disebut segitiga portal yaitu terdiri dari cabang cabang dari arteri hepatika dan vena

portal (pembuluh darah interlobular), saluran empedu interlobular, dan limfatik

(Fails and Magee, 2018).

Di antara susunan hepatosit tersebut terdapat sinusoid hepar. Sinusoid hepar

adalah saluran yang berliku liku dan melebar, diameternya tidak teratur, dan

kebanyakan dilapisi sel endotel bertingkat yang tidak utuh (Gibson, 2003).

Terdapat zat makanan mengalir di dalam sinusoid yang memiliki akses langsung

melalui dinding endotel yang tidak utuh dengan hepatosit. Struktur dan jalur

sinusoid yang berliku di hepar memungkinkan pertukaran zat yang efisien


12

antarahepatosit dan darah (Eroschenko, 2012). Sinusoid hepar mengandung sel-sel

fagosit dari sel retikuloendotel (sel Kupffer) dan sel-sel endotel (Junquiera and

Carneiro, 2012). Sel Kupffer mempunyai inti besar, pucat dan sitoplasmanya lebih

banyak dengan cabang-cabangnya meluas dan melintang di dalam ruang-ruang

sinusoid (Leeson et al., 1996). Sel kupffer memiliki fungsi utama yaitu menelan

bakteri dan benda asing lain dalam darah (Price and Wilson, 2006). Sel Kupffer

berperan penting pada proses metabolisme eritrosit, pencernaan hemoglobin,

sekresi protein yang berhubungan dengan proses imunologis dan fagositosis

bakteri. Sel ini paling banyak ditemukan pada daerah periportal di lobulus hepar

(Junquiera & Carneiro, 2012). Struktur histologi hepar bagian lobulus dengan

paerbesaran 1000x yang ditunjukkan pada Gambar 2.3.

Gambar 2.3 : Gambaran Histologi Hepar Tikus Putih Normal


Keterangan : Gambar histologi hepar tikus putih normal dengan
perbesaran 1000x dan pewarnaan HE .Dalam gambar merupakan
daerah lobulus hepar dengan bagian terbesar adalah hepatosit.
Hepatosit memiliki khas yaitu nukleus yang besar dan bulat.
Diantara hepatosit terdapat pembuluh darah yang disebut sinusoid.
Pada sinusoid terdapat sel kupffer (Mulyono et al., 2009).
13

2.3.3 Fungsi hepar

Fungsi dasar hepar dapat dibagi menjadi (1) fungsi vaskularisasi untuk

menyimpan dan menyaring darah, (2) fungsi metabolisme yang berhubungan

dengan sebagian besar sistem metabolisme tubuh, dan (3) fungsi sekresi dan

ekskresi yang berperan membentuk empedu yang mengalir melalui saluran empedu

ke saluran pencernaan (Guyton and Hall, 2014).

Dalam menjalankan fungsi ekskresi, hepar membantu fungsi ginjal dengan

cara memecah beberapa senyawa yang bersifat racun dan menghasilkan ammonia

dan urea. Proses pemecahan senyawa beracun oleh hepar disebut dengan proses

detoksifikasi. Selain itu, hepar juga sebagai organ sekresi (empedu yang berguna

untuk pencernaan lemak, tempat penyimpanan lemak, vitamin A dan B, glikogen,

tempat sintesis (fibrinogen, globulin, albumin, protrombin), dan tempat fagositosis

(benda asing) (Hestianah dkk.,2014). Fungsi vaskularisasi hepar 70-80 % berasal

dari vena porta dan sebagian kecil berasal dari arteri hepatika. Seluruh materi yang

diserap melalui usus dibawa ke hepar melalui vena porta, kecuali lemak akan

dibawa melalui pembuluh limfe. Vena porta membawa darah penuh makanan yang

diserap dari usus, sedangkan arteri hepatika berisi darah yang mengandung oksigen.

Cabang cabang dari kedua pembuluh darah tersebut mengikuti jaringan ikat

interlobularis di daerah portal (Hestianah dkk.,2014). Fungsi hepar sebagai

metabolisme tubuh yaitu ketika hepatosit saling memberikan substrat dan energi

dari satu sistem metabolisme ke sistem yang lain, mengolah dan mensintesis

berbagai zat yang diangkut ke daerah tubuh lainnya, dan melakukan berbagai fungsi

metabolisme lain. Berbagai metabolisme yang dilakukan oleh hepar antara lain
14

metabolisme karbohidrat, metabolisme lemak dan metabolism protein. Hepar juga

memiliki fungsi metabolik yang lain seperti penyimpanan vitamin, sebagai proses

koagulasi darah, penyimpanan besi, serta sebagai pengeluaran atau ekskresi obat

obatan, hormon, dan zat zat lain (Guyton and Hall, 2014).

2.3.4 Degenerasi hepatosit

Degenerasi yaitu keadaan penurunan perubahan biokimia intraselular

disertai perubahan morfologis akibat jejas nonfatal pada sel, atau sebagai reaksi sel

terhadap jejas yang masih reversibel dengan terjadinya proses penimbunan atau

akumulasi cairan atau zat lain dalam organel sel. Secara mikroskopis, sel akan

tampak membengkak, dan akan terjadi perubahan morfologik. Perubahan

morfologik sel bersifat reversibel atau masih bisa disembuhkan dalam bentuk

semula (Arimbi dkk., 2015). Terdapat tiga jenis degenerasi sel yaitu degenerasi

hidropik, degenerasi melemak (Fatty Changes), dan degenerasi hialin. Degenerasi

hialin jarang sekali terjadi pada hepar.

Degenerasi hidropik yaitu pembengkakan ukuran sel karena intake cairan

berlebih dan bersifat reversibel. Kondisi yang ekstrim disebut ballooning

degeneration. Secara makroskopis terjadi pembesaran ukuran organ, dan bidang

sayatan cembung. Secara mikroskopis terjadi pembesaran ukuran sel karena

akumulasi cairan di sitoplasma, inti sel normal, dan sitoplasma sel hepar keruh.

Sedangkan pada kejadian ballooning degeneration, sitoplasma sel tampak lebih

jernih (McGavin, 2007).

Degenerasi hidropik terjadi ketika bahan toksik yang diinduksikan

menyebabkan peningkatan permeabilitas membran plasma terhadap natrium


15

dengan merusak pompa natrium-kalium ATPase di membran sel. Hepatosit

mengalami degenerasi hidropik diduga karena terdapat gangguan pompa natrium-

kalium di membran sel akibat peroksidasi lipid membran, sehingga terjadi

hipernatremia di dalam sel yang menyebabkan masuknya air sehingga terjadilah

degenerasi hidropik (Andreas dkk., 2015). Hepatosit yang mengalami degenerasi

hidropik dapat dilihat pada Gambar 2.4.

Gambar 2.4 : Degenerasi Hidropik Hepatosit


Keterangan : panah no 1 dan 3 menunjukkan sel membengkak, no
2 menunjukkan sel nekrosis, panah no 4 menunjukkan sel normal.
(McGavin, 2007).
Degenerasi melemak (Fatty Changes) merupakan akumulasi intraseluler

lemak yang biasa terjadi pada organ hepar, ginjal, dan jantung. Hal ini dapat

disebabkan karena peningkatan produksi asam lemak dan berkurangnya oksidasi

dari asam lemak. Perubahan ini bersifat reversibel. Secara makroskopis organ

membesar, tepi organ tumpul, organ berwarna kekuningan (lebih cerah), sayatan

organ tampak berminyak. Secara mikroskopis ukuran sel membesar, inti terdesak

ke tepi, terdapat vakuola lemak (bisa unilokuler ataupun multilokuler) dan vakuola

lemak tampak kosong (Arimbi, 2009). Hepar yang mengalami degenerasi melemak

dapat dilihat pada Gambar 2.5.


16

Gambar 2.5 : Degenerasi Melemak Hepatosit


Keterangan : pada gambar no 1 = vena sentralis, no 2 = vakuola
lemak, no 3 = inti hepatosit (Arimbi, 2009).

2.3.5 Nekrosis hepatosit

Jika cedera cukup hebat, maka sel akan mencapai dimana sel tidak lagi

mampu mengkompensasi suatu titik “Point of no return”. Sel mati tidak dapat

melangsungkan metabolisme. Pada sel nekrosis akan terjadi perubahan pada

sitoplasma yaitu menjadi eosinofilik, eosin akan terikat dengan protein

intrasitoplasmik terdenaturasi dan hilangnya basofilia yang secara normal berasal

dari RNA di sitoplasma (McGavin and Zachary, 2007).

Saat sel mengalami nekrosis, perubahan perubahan yang terjadi pada inti

hepatosit dapat berupa kariolisis, karioreksis, dan kariopiknotis. Kariolisis terjadi

apabila basofilia memudar, karioreksis terjadi apabila terjadi fragmentasi pada

DNA, sedangkan kariopignotis terjadi apabila DNA berkondensasi menjadi massa

yang melisut dan padat (Gavin dan Zachary, 2007). Nekrosis terjadi bermula dari

jejas yang reversibel yaitu degenerasi, kemudian perubahan menjadi irreversibel

dengan ditandai dengan peningkatan pembengkakan sel, pembengkakan dan

pecahnya lisosom, mitokondria bengkak, tidak berbentuk, dan memadat.

Meningkatnya kalsium dalam sitoplasma menyebabkan peningkatan beberapa


17

enzim antara lain phospholipase dan protease yang mengakibatkan pecahnya

membran sel. Enzim endonuklease akan menyebabkan perubahan inti sangat

mencolok. Lebih lanjut, inti terkondensasi (piknosis), diikuti karioreksis, dan

hilangnya inti (kariolisis) (McGavin and Zachary, 2011). Ilustrasi sel yang

mengalami nekrosis ditunjukkan pada Gambar 2.6.

Gambar 2.6 : Ilustrasi Nekrosis (kematian) pada Sel (Arimbi dkk., 2015).
Keterangan : Gambar ilustrasi nekrosis sel, nomor 1 = Inti sel
normal, nomor 2 = kariopiknotis, nomor 3 = Kariolisis, nomor 4 =
karioreksis.

2.4 Tanaman Kelor

2.4.1 Morfologi dan taksonomi

Berdasarkan Tejas et al (2012), klasifikasi tanaman kelor (Moringa

oleifera) adalah sebagai berikut

Kingdom : Plantae

Sub Kingdom : Tracheobionta

Super Divisi : Spermatophyta

Divisi : Magnoliopsida
18

Sub Kelas : Dilleniidae

Ordo : Capparales

Famili : Moringaceae

Genus : Moringa

Spesies : Moringa oleifera

Kelor merupakan tanaman dalam famili Moringaceae, yang tumbuh di

daerah tropis dan subtropis, banyak tersebar di Asia Tenggara, seperti Vietnam, Sri

Lanka, India, Malaysia, Thailand, dan Indonesia. Tanaman ini sudah sejak lama

dimanfaatkan sebagai bahan obat obatan tradisional. Semua bagian tanaman kelor

secara tradisional digunakan untuk tujuan yang berbeda, tetapi yang sering

digunakan adalah daun. Daun kelor yang kaya akan senyawa protein, mineral, beta

karoten, dan antioksidan. Senyawa tersebut merupakan senyawa bermanfaat namun

belum banyak diteliti dan dimanfaatkan secara maksimal pada populasi negara

terbelakang atau berkembang (Edwinanto et al., 2018).

Tanaman kelor memiliki akar tunggang, berwarna putih, biasanya

bercabang atau serabut dan dapat mencapai kedalaman 5 – 10 meter. Akar ini

berguna untuk membantu penyerapan air dalam tanah, serta membantu sebagai

penyokong pertumbuhan tanaman kelor. Batang tanaman ini dapat tumbuh

mencapai 12 meter, batang tidak terlalu keras, berkulit tipis, permukaan kasar,

banyak percabangan dan arah percabangan cenderung tegak atau agak miring

dengan pertumbuhan lurus dan memanjang. Daun kelor berbentuk bulat telur,

dengan ukuran relatif kecil, daun majemuk, tersusun selang seling, beranak daun

gasal, helai daun berwarna hijau muda dan biasanya digunakan sebagai obat
19

tradisional. Bunga kelor berwarna putih kekuning kuningan dan memiliki pelepah

bunga berwarna hijau. Buah kelor berbentuk segitiga memanjang berkisar antara 20

cm hingga 60 cm, sering disebut juga sebagai kelentang dan berwarna hijau muda

hingga kecoklatan. Biji kelor berbentuk bulat dan berwarna coklat kehitaman.

Dalam satu biji ini akan terdapat beberapa (10 sampai dengan 20 biji) butir dalam

buah (Edwinanto et al., 2018). Bentuk pohon kelor dan daun kelor dapat dilihat

pada Gambar 2.7.

a) b)

Gambar 2.7 : a) Tanaman Kelor (Moringa oleifera Lam) b) Daun kelor


Keterangan : Kelor memiliki batang berkayu (lignosus), tegak,
berwarna putih kotor, kulit tipis, permukaan kasar. Daun kelor
merupakan daun majemuk, bertangkai panjang, tersusun berseling,
beranak daun gasal (imparipinnatus), helai daun saat muda berwarna
hijau muda (Leone et al., 2015).
2.4.2 Kandungan daun kelor

Daun kelor (Moringa oleifera) memiliki kandungan antioksidan yaitu

vitamin, karotenoid, polifenol, flavonoid, asam fenolik, alkaloid, tannin, saponin.

Daun kelor juga memiliki kandungan senyawa aktif yaitu steroid (Putra dkk.,

2016). Kandungan karotenoid terdiri dari β- carotine, dan lutein (Leone et al.,

2015). Vitamin yang terkandung dalam daun kelor antara lain yaitu vitamin A,
20

vitamin B1- thiamine, vitamin B2 – riboflavin, vitamin B3 – niacin, vitamin C –

absorbic acid, vitamin E – tokoferol. Semua vitamin yang terkandung dalam daun

kelor termasuk dalam antioksidan (Kurniasih, 2013).

Kadar polyphenol dan flavonoid pada daun kelor diketahui lebih tinggi

dibandingkan daun lain seperti daun labu silam dan daun pakis. Daun kelor kering

merupakan sumber polifenol yang bagus, konsentrasinya yaitu 12.200 mg

GAE/100g DW. Jumlah ini lebih besar daripada yang ditemukan dalam buah dan

sayuran (Brat et al., 2006). Daun kelor juga memiliki kandungan vitamin C yang

bagus yaitu 220mg/100g daun. Kandungan vitamin C daun kelor ini hampir 4 kali

lebih banyak daripada daun lainnya seperti daun kenikir yang memiliki kandungan

vitamin C 64,6mg/100g daun dan daun pepaya yang memiliki kandungan vitamin

C 61,8mg/100mg daun (Alverina dkk., 2016). Kandungan daun kelor non

antioksidan berupa kadar air, protein, lemak, kadar abu, karbohidrat, serat, kalsium,

dan energi dapat dilihat pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1. Kandungan nilai gizi daun kelor segar dan kering (Melo et al., 2013)
Komponen Gizi Daun Segar Daun Kering
Kadar air (%) 94,01 4,09
Protein (%) 22,7 28,44
Lemak (%) 4,65 2,74
Kadar abu (%) - 7,95
Karbohidrat (%) 51,66 57,01
Serat (%) 7,92 12,63
Kalsium (mg) 350-550 1600-2200
Energi (Kcal/100g) - 307,3
21

2.4.3 Manfaat daun kelor untuk kesehatan

Banyak sekali kandungan daun kelor yang masing masing memiliki manfaat

yang berbeda beda untuk tubuh. Vitamin A pada daun kelor memainkan peran

penting dalam banyak proses fisiologis seperti penglihatan, reproduksi, embrionik

pertumbuhan dan perkembangan, sistem imun, diferensiasi sel, proliferasi sel dan

apoptosis, pemeliharaan jaringan epitel, dan fungsi otak (Alvarez et al., 2014).

Vitamin C pada daun kelor berperan dalam sintesis dan metabolisme banyak

senyawa. Vitamin C juga bertindak sebagai antioksidan, melindungi tubuh dari

berbagai efek buruk dari radikal bebas, polutan, dan racun (Chambial et al., 2013).

Vitamin E bertindak sebagai antioksidan liposoluble, tetapi juga terlibat dalam

modulasi ekspresi gen, penghambatan proliferasi sel, agregasi trombosit, adhesi

monosit dan regulasi massa tulang (Borel et al., 2013). Vitamin kelompok vitamin

B, yaitu terdiri dari tiamin, riboflavin, dan niasin yang terdapat pada daun kelor.

Kelompok vitamin B ini terutama bertindak sebagai kofaktor dari banyak enzim

yang terlibat dalam metabolisme nutrisi dan produksi energi.

Senyawa Antioksidan polifenol yang utama dalam daun kelor adalah

flavonoid dan asam fenolik. Flavonoid termasuk antioksidan yang memiliki efek

perlindungan melawan banyak penyakit menular (bakteri dan virus) dan penyakit

degeneratif seperti penyakit kardiovaskular, kanker, dan penyakit terkait usia

lainnya (Kumar dan Pandey, 2013). Daun kelor (Moringa oleifera) memang

memiliki kandungan flavonoid yang menarik yaitu konsentrasi total flavonoid

dalam daun kelor kering berkisar 5.05 g hingga 12,16 mg/g DW (Yang et al., 2008).

Dalam senyawa flavonoid terdapat banyak senyawa kimia diantaranya adalah


22

senyawa kimia quercetin dan silymarin yang dapat melindungi dan mengobati

kerusakan hepar (Syahrin dkk., 2016). Quercetin dapat membantu menghentikan

partikel yang merusak dalam tubuh yang dikenal sebagai radikal bebas, yang

berdampak negatif terhadap cara kerja sel. Silymarin juga dapat memperbaiki

membran hepatosit dan mencegah zat asing (xenobiotik) masuk ke dalam sel lewat

sirkulasi enterohepatik (Karimi et al., 2011). Untuk senyawa asam fenolik

merupakan senyawa yang berkhasiat sebagai antioksidan, antiinflamasi, dan

memiliki sifat antimutagenik dan antikanker (Zhao and Moghadasian, 2008).

Antioksidan lain yang terdapat pada daun kelor yaitu kandungan alkaloid. Alkaloid

dalam daun kelor mempunyai kemampuan menghambat bakteri kariogenik

(Rahman et al., 2017). Antioksidan tannin adalah senyawa fenolik yang larut dalam

air yang mengikat dan mengendapkan alkaloid, gelatin, dan protein lainnya. Sifat

biologis dari tannin adalah sebagai anti-kanker, anti-aterosklerosis, anti-inflamasi,

aktivitas replikasi anti hepatoksik, anti bakterial, dan anti HIV (Human

Immunodeficiency Virus) (Kancheva et al., 2013). Saponin juga merupakan

antioksidan yang merupakan sekelompok senyawa alami yang terdiri dari senyawa

aglikon turunan isoprenoid. Meskipun beberapa saponin memiliki efek samping

hemolitik, senyawa ini dipelajari juga mempunyai khasiat sebagai antikanker (Tian

et al., 2013). Daun kelor merupakan sumber saponin yang baik, dengan jumlah

yang lebih besar dari konsentrasi yang ditemukan pada tanaman lain (Edeoga et al.,

2005). Senyawa steroid dalam daun kelor memiliki kegunaan yaitu sebagai

pengatur pertumbuhan (Putra dkk., 2016).


23

Senyawa lain yang bukan termasuk antioksidan yang terdapat pada daun

kelor terdapat senyawa glukosinolat, isotiosianat, oksalat, dan fitat (Leone et al.,

2015) . Kandungan Glukosinolat yang ada pada daun kelor (Moringa oleifera)

efektif terhadap kanker. Sel sel kanker berkembang biak dengan cepat, oleh karena

itu agen antikanker diperlukan untuk menghentikan tindakan mereka. Daun kelor

telah terbukti memiliki kandungan glukosinolat dapat menargetkan beberapa

protein dan molekul untuk menghambat perkembangan sel kanker (Karim et al.,

2016). Sedangkan senyawa isotiosianat pada daun kelor berpotensi sebagai agen

antifertilitas (Adebiyi, 2013). Oksalat dan fitat adalah senyawa anti – nutrisi karena

mengikat mineral yang menghambat usus penyerapan. Daun kelor (Moringa

oleifera) menyajikan kandungan tinggi dari senyawa ini. Oksalat yang terkandung

dalam daun kering berkisar antara 430 – 1050 mg/100 g DW (Teixeria et al., 2014)

mirip dengan tanaman lain yang kaya akan senyawa ini (Gupta et al., 2012).

Konsentrasi fitat pada daun kering berkisar antara 25 hingga 31 g/kg DW (Makkar

and Becker, 1995). Jumlah ini lebih besar dari kacang kacangan dan sereal tetapi

lebih rendah dari sekam (Garcia-Estapa et al., 1999).

2.5 Tikus putih (Rattus norvegicus)

Tikus putih atau Rattus norvegicus merupakan spesies tikus yang memiliki

badan yang lebih besar dibandingkan tikus yang lainnya. Rata rata panjang tikus ini

mencapai 400 ml dari ujung ke ujung dan memiliki berat 140 – 500 g. Tikus jantan

biasanya lebih besar daripada tikus betina. Telinga dan ekornya tidak memiliki

rambut atau gundul. Ekornya lebih panjang daripada panjang tubuhnya. Spesies ini
24

memiliki telinga lebih pendek daripada spesies yang mendekati, dan tidak menutupi

mata saat ditarik ke bawah (Falana and Olubayode, 2019).

Berikut merupakan klasifikasi Tikus Putih (Rattus norvegicus) menurut

Simanjuntak (2013) :

Kingdom : Animalia

Phylum : Chordata

Subphylum : Vertebrata

Class : Mamalia

Ordo : Rodentia

Family : Muridae

Genus : Rattus

Spesies : Rattus norvegicus

Ciri ciri tikus putih (Rattus norvegicus) mulai dari warna dan bentuk dari

kepala, badan, dan ekor dapat diamati pada Gambar 2.8.

Gambar 2.8 : Tikus Putih (Rattus norvegicus)


Keterangan :Tikus putih memiliki ciri-ciri seperti berkepala kecil,
albino, ekor yang lebih panjang dibanding badannya,
pertumbuhannya cepat, kemampuan laktasi tinggi, tempramennya
baik dan tahan terhadap arsenik tiroksid (Akbar, 2010).
BAB 3 MATERI DAN METODE

3.1 Jenis dan Rancangan Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian eksperimental

laboratorik. Dengan desain penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak

Lengkap (RAL). Semua aspek yang dibuat sama kecuali variabel bebas yang

hendak diteliti pengaruhnya (Kusriningrum,2015).

3.2 Sampel dan Jumlah Ulangan

Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah 25 ekor tikus putih

jantan (Rattus norvegicus) yang berumur 2-3 bulan dengan berat badan 150 – 200

gram. Tikus yang digunakan sebagai hewan coba sebelum diberikan perlakuan

harus dalam kondisi sehat dengan tanda tanda bulu bersih, mata jernih, tingkah laku

normal. Besaran sampel yang digunakan ditentukan dengan rumus Rancangan

Acak Lengkap (RAL) (Al - arif, 2018). Dengan perhitungan sebagai berikut :

(t-1) (n-1) ≥ 15

(5-1) (n-1) ≥ 15

4n – 4 ≥ 15

4n ≥ 19

n ≥ 4, 75 dibulatkan menjadi 5

n : Jumlah sampel pada masing masing kelompok

t : Jumlah perlakuan

Jadi pada satu kelompok perlakuan menggunakan 5 sampel tikus putih.

25
26

3.3 Variabel Penelitian

Variabel bebas : pemberian ekstrak daun kelor.

Variabel tergantung : gambaran organ makroskopis hepar dan

histopatologi hepar tikus putih (Rattus norvegicus).

Variabel kendali : Jenis hewan coba, umur hewan coba (2-3 bulan),

berat badan hewan coba (150-200 gram), jenis

kelamin (jantan), kandang, suhu, dan prosedur

pemeliharaan.

3.4 Definisi Operasional

1. Ekstrak daun kelor

Daun kelor (Moringa oleifera) diambil dari kecamatan Pare, Kediri, Jawa

Timur. Kemudian dibuat ekstrak dengan metode maserasi selama kurang

lebih 3 hari menggunakan etanol 96 % sebagai pelarut. Ekstrak daun kelor

yang sudah jadi diberikan sesuai dosis dengan pengenceran menggunakan 1

ml campuran CMC Na 1 % dan Tween 2% saat diberikan pada hewan coba.

2. Pemberian gentamisin

Gentamisin dengan merk Genta-100 di injeksikan pada tikus putih (Rattus

norvegicus) dengan dosis 80 mg/ kg bb secara intraperitonial untuk

memberikan perlakuan toksisitas pada hepar.

3. Gambaran perubahan makrosopis hepar dilakukan penilaian dengan tiga

kriteria serta ditambah data pendukung berupa berat organ dalam satuan

gram. Tiga kriteria yang diamati adalah sebagai berikut :


27

a) Perubahan warna, diamati secara langsung apakah terjadi

perubahan dari warna hepar normal. Warna hepar normal yaitu

merah kecoklatan.

b) Perubahan ukuran (pembengkakan), diamati secara langsung

dengan cara melihat bagian tepian organ hepar. Apabila hepar

membengkak, tepian organ menjadi tumpul.

c) Perubahan konsistensi, diamati dengan cara meraba organ apakah

terdapat perubahan konsistensi atau tidak. Konsistensi hepar normal

yaitu terasa kenyal.

4. Perubahan histopatologi hepar yang diamati dalam lima lapang pandang

setiap sampel adalah sebagai berikut :

a) Degenerasi, ditandai dengan ukuran sel membengkak, sitoplasma

keruh untuk degenerasi hidropik tanpa terjadinya balloning

degeneration serta sitopasma jernih untuk yang mengalami

balloning degeneration. Degenerasi melemak ditandai dengan

adanya vakuola lemak pada sitoplasma sel.

b) Nekrosis, ditandai dengan inti hepatosit mengalami kariopiknotis,

kariolisis, dan karioreksis. Kariopiknotis ditandai dengan inti yang

mengkondensasi sehingga tampak lebih gelap dan penuh. Kariolisis

ditandai dengan inti sel terlihat pucat dan memudar atau tidak lagi

tampak. Karioreksis ditandai dengan inti tampak seperti pecah dan

berfragmen.
28

3.5 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di beberapa laboratorium. Uji etik hewan coba

dilaksanakan di Departemen Klinik Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan

Universitas Airlangga. Pembuatan ekstrak daun kelor dilaksanakan di

Laboratorium Departemen Ilmu Kedokteran Hewan Dasar FKH Unair. Kemudian

Pemeliharaan tikus putih dilakukan di Laboratorium Hewan Coba FKH Unair,

untuk pengambilan organ hepar dilakukan di kandang hewan coba secara nekropsi

serta pembuatan preparat histopatologi hepar dilakukan di Klinik Satwa Sehat

Malang dan dilanjutkan dengan pembacaan skoring di Laboratorium Departemen

Patologi Veteriner FKH Unair. Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Desember

2019 – Maret 2020.

3.6 Bahan dan Materi Penelitian

3.6.1 Hewan penelitian

Hewan coba yang digunakan dalam penelitian ini adalah 25 ekor tikus putih

jantan (Rattus norvegicus) yang berumur 2-3 bulan dengan berat badan 150 – 200

gram. Tikus yang digunakan sebagai hewan coba dalam kondisi sehat dengan tanda

tanda yaitu bulu bersih, mata jernih, tingkah laku normal.

3.6.2 Bahan dan alat penelitian

Bahan untuk perlakuan toksisitas pada hewan coba yaitu Gentamisin botol

100 mg (Genta-100). Bahan injeksi untuk anestesi pembedahan laparotomi yaitu

Ketamine dan Xylazine, alkohol 70 % untuk sterilisasi, dan NaCl fisiologis untuk

pencucian organ hepar.


29

Bahan yang diperlukan dalam proses ekstraksi daun kelor terdiri dari daun

kelor yang diambil dari kecamatan Pare, Kediri Jawa Timur, kemudian Etanol 96

%, dan CMC Na 1 % dan tween 2 % sebagai pelarut ekstrak.

Alat dan bahan tambahan yang dibutuhkan selama penelitian terdiri dari

kandang tikus, feeding tube ukuran 8, sekam, pakan dan minum tikus, gloves,

masker, alat dokumentasi, jarum sonde, kapas, spuit 1 cc, timbangan neraca, gelas

ukur, kertas saring, vacuum rotary evaporator, botol, corong, mortar, batang kaca

pengaduk, stamper, scalpel, pinset, gunting operasi ujung tajam tumpul.

3.7 Prosedur Penelitian

3.7.1 Uji kelaikan etik

Sebelum dimulainya penelitian, telah dilakukan uji kelaikan etik terlebih

dahulu yang bertempat di Ruang Pascasarjana Fakultas Kedokteran Hewan

Universitas Airlangga Surabaya pada bulan Januari 2020.

3.7.2 Tahap ekstraksi daun kelor

Pembuatan ekstrak daun kelor diawali dengan pengumpulan bahan daun

kelor dari Kecamatan Pare, Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Setelah itu, daun kelor

dikeringkan dengan cara diletakkan pada suhu ruang kurang lebih tiga hari sampai

benar benar kering hingga kadar air tersisa 5 %. Daun kelor yang sudah kering

kemudian dirontokkan dari tangkainya kemudian dihaluskan dengan cara digiling

hingga menjadi serbuk kelor. Kemudian serbuk daun kelor direndam dengan pelarut

etanol 96 % hingga pelarut merendam serbuk setinggi tiga jari dari permukaan

serbuk selama tiga hari dengan melakukan pengadukan setiap harinya. Kemudian

didapatkan hasil berupa maserat. Maserat kemudian disaring dan proses


30

penyaringan diulang sekurang kurangnya dua kali dengan jenis dan jumlah pelarut

yang sama. Maserat dikumpulkan dan diuapkan dengan Vacuum Rotary Evaporator

hingga diperoleh ekstrak kental. Rendamen ekstrak dihitung dalam persen dengan

membandingkan bobot ekstrak kental dengan bobot serbuk simplisia yang

digunakan.

3.7.3 Tahap adaptasi tikus putih

Tikus putih (Rattus norvegicus) ditempatkan dalam kandang dan diberi

pakan berupa pelet dan air minum pada pagi dan sore selama tujuh hari di

Laboratorium Hewan Coba Fakultas Kedokteran Hewan Unair.

3.7.4 Tahap perlakuan

Setelah melewati proses adaptasi selama tujuh hari, selanjutnya masuk pada

tahap perlakuan. Keseluruhan hewan percobaan telah ditimbang dan dibagi menjadi

lima kelompok perlakuan yang masing masing kelompok terdiri dari lima ekor tikus

putih. 25 ekor tikus putih diberi perlakuan sebagai berikut

K- : 5 ekor tikus putih diberi placebo beruba aquades sebanyak 0,16 ml

secara intraperitonial selama 8 hari kemudian diberi CMC Na 1 %

sebanyak 1 ml selama 14 hari.

K+ : 5 ekor tikus putih diinduksi Gentamisin dengan dosis 80 mg/kg bb

secara intraperitonial selama 8 hari kemudian diberi CMC Na 1

% sebanyak 1 ml selama 14 hari.

P1 : 5 ekor tikus putih diinduksi Gentamisin dengan dosis 80 mg/kg bb

secara intraperitonial selama 8 hari kemudian diberi ekstrak daun


31

kelor dengan dosis 150 mg/kg bb yang dilarutkan dalam 1 ml

campuran CMC Na 1 % dan tween 2 % selama 14 hari.

P2 : 5 ekor tikus putih diinduksi Gentamisin dengan dosis 80 mg/kg bb

secara intraperitonial selama 8 hari kemudian diberi ekstrak daun

kelor dengan dosis 300 mg/kg bb yang dilarutkan dalam 1 ml

campuran CMC Na 1 % dan tween 2 % selama 14 hari.

P3 : 5 ekor tikus putih diinduksi Gentamisin dengan dosis 80 mg/kg bb

secara intraperitonial selama 8 hari kemudian diberi ekstrak daun

kelor dengan dosis 600 mg/kg bb yang dilarutkan dalam 1 ml

campuran CMC Na 1 % dan tween 2 % selama 14 hari.

3.7.5 Tahap pengambilan sampel hepar

Pengambilan organ hepar dilakukan melalui anestesi serta eutanasi dengan

cara pengambilan darah intrakardial dilanjutkan dengan pembedahan laparotomi

(membuat irisan vertikal besar pada dinding perut ke dalam rongga perut).

Laparatomi dilakukan setelah hewan coba dianestesi dengan ketamine HCl dengan

dosis 100 mg/kg bb dan xylazine HCl 5 mg/kg bb dengan tujuan agar mudah untuk

mengeksisi tikus dan mengambil organ hepar. Lobus hepar yang akan diteliti dan

dibuat preparat histopatologi secara keseluruhan yaitu lobus hepar sebelah kanan.

Hepar dimasukkan pot organ yang sebelumnya telah diisi dengan formalin buffer

10 % sebagai fiksator. Dilanjutkan dengan proses pengamatan secara makroskopis

dan prosedur pembuatan preparat histopatologi.


32

3.7.6 Tahap pemeriksaan sampel

Pemeriksaan preparat hepar secara makroskopis dilakukan dengan

pengamatan langsung. Berat organ dilakukan penimbangan, perubahan warna dan

perubahan ukuran diamati secara visual, dan perubahan konsistensi dinilai dengan

melakukan perabaan. Berat organ dihitung dengan satuan gram sebagai data

pendukung dan dilanjutkan dengan penilaian dengan tiga kriteria yaitu perubahan

warna, perubahan ukuran (pembengkakan), dan perubahan konsistensi pada hepar.

Hasil penilaian perubahan makroskopis setiap organ hepar tikus putih yang

disajikan adalah sebagai berikut

0 = Tidak terjadi perubahan apapun dari kriteria perubahan warna, perubahan

ukuran (pembengkakan), dan perubahan konsistensi.

1 = Bila ditemukan 1 dari kriteria perubahan warna, perubahan ukuran

(pembengkakan), dan perubahan konsistensi.

2 = Bila ditemukan 2 dari kriteria perubahan warna, perubahan ukuran

(pembengkakan), dan perubahan konsistensi.

3 = Bila ditemukan 3 dari kriteria perubahan warna, perubahan ukuran

(pembengkakan), dan perubahan konsistensi.

Pemeriksaan preparat histopatologi dilakukan dengan pembuatan preparat

yang dilakukan di Klinik Satwa Sehat Malang dengan menggunakan pewarnaan

Hematoxylin Eosin (HE). Tahapan pembuatan preparat histopatologi antara lain

fiksasi, dekalsifikasi, lalu dilanjutkan pemrosesan bahan yang terdiri dari dehidrasi

(penarikan air), clearing (penjernihan), embeding (pengeblokan), sectioning

(pemotongan), staining (pewarnaan). Setelah tahap pembuatan dilanjutkan dengan


33

tahap pembacaan dan skoring. Tiap sampel preparat dilakukan pembacaan dengan

lima lapang pandang (LP) dan dilakukan teknik skoring.

Teknik skoring histopatologi dilakukan menggunakan derajat kerusakan

yaitu degenerasi dan nekrosis modifikasi dari skoring Knodell (1981), lesi

degenerasi dan nekrosis dan skor masing masing lesi dapat dilihat pada Tabel 3.1.

Tabel 3.1 : Skoring histopatologi hepar lesi degenerasi dan nekrosis modifikasi dari
Knodell (1981)

Bentuk Lesi Skor Keterangan


Mikroskopik

0 Tidak terjadi degenerasi dan nekrosis

1 Degenerasi dan nekrosis terlihat 1/3 bagian dari lapang


pandang (ringan)
Degenerasi
dan Nekrosis 3 Degenerasi dan nekrosis terlihat 1/3-2/3 bagian dari
lapang pandang (sedang)

4 Degenerasi dan nekrosis terlihat > 2/3 bagian dari


lapang pandang (berat)

3.8 Analisis Data

Data hasil pengamatan gambaran secara makroskopis dan histopatologi

yang telah dilakukan penilaian kemudian dianalisis menggunakan uji statistik non

parametrik yang dianalisis menggunakan perangkat lunak computer SPSS 20 for

windows. Pengolahan data menggunakan uji Kruskal wallis. Apabila terdapat

perbedaan antar perlakuan dilanjutkan dengan uji Mann Whitney dengan taraf

signifikan (Jayanti, 2015).


34

3.9 Diagram Alir Penelitian

25 ekor tikus putih

Adaptasi tikus putih selama 7 hari

K- K+ P1 P2 P3
Kelompok tikus Kelompok tikus Kelompok tikus Kelompok tikus Kelompok tikus
sehat diberi diinduksi diinduksi diinduksi diinduksi
aquades 0,16 ml Gentamisin 80 Gentamisin 80 Gentamisin 80 Gentamisin 80
selama 8 hari, mg/kg bb selama mg/kg bb selama mg/kg bb selama mg/kg bb selama
dari hari ke 8 8 hari, dari hari 8 hari, dari hari 8 hari, dari hari 8 hari, dari ke 8
hingga 16 ke 8 hingga 16 ke 8 hingga 16 ke 8 hingga 16 hingga 16

K- K+ P1 P2 P3
CMC Na 1 % CMC Na 1 % Ekstrak daun Ekstrak daun Ekstrak daun
sebanyak 1 ml sebanyak 1 ml kelor 150 mg/kg kelor 300 mg/kg kelor 600 mg/kg
selama 14 hari, selama 14 hari, bb + 1 ml bb + 1 ml bb + 1 ml
dari hari ke 17 dari hari ke 17 campuran CMC campuran CMC campuran CMC
hingga 30 hingga 30 Na 1 % dan Na 1 % dan Na 1 % dan
tween 2 % selama tween 2 % tween 2 % selama
14 hari, dari hari selama 14 hari, 14 hari, dari 17
17 hingga 30 dari 17 hingga 30 hingga 30

Tikus putih di anestesi dan dilakukan pembedahan laparatomi pada hari ke 31

Pemeriksaan hepar secara makroskopis

Pembuatan preparat dan pemeriksaan


histopatologi hepar

Analisis data
BAB 4 HASIL PENELITIAN

4.1. Hasil Pengamatan Makroskopis Hepar Tikus Putih (Rattus norvegicus)

Pemeriksaan makroskopis dilakukan terhadap 25 sampel organ hepar tikus

putih yang terbagi dalam lima kelompok perlakuan yaitu K-, K+, P1, P2, dan P3.

Penilaian diamati dengan tiga kriteria yaitu perubahan warna, perubahan ukuran

(pembengkakan), dan perubahan konsistensi kemudian dilakukan analisis data

menggunakan uji Kruskall Wallis. Hasil analisis data dengan uji Kruskall Wallis

menunjukkan bahwa gambaran makroskopis dari kelima kelompok perlakuan

menunjukkan tidak adanya perbedaan yang signifikan (p>0,05). Tingkat kerusakan

mulai dari yang tertinggi hingga rendah dapat dilihat dari hasil Mean Rank atau

peringkat rata rata yang ditunjukkan pada Tabel 4.1.

Tabel 4.1. Nilai Mean Rank penilaian perubahan makroskopis hepar tikus putih
(Rattus norvegicus) dalam lima kelompok perlakuan

Kelompok Perlakuan Mean Rank


K- 9,80a
K+ 15,90a
P1 17,80a
P2 13,80a
P3 7,70a
Keterangan : Superskrip yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak
adanya perbedaan yang signifikan (p=0,076)
Dalam nilai Mean Rank menunjukkan bahwa gambaran makroskopis hepar

tikus putih dengan kerusakan paling tinggi terjadi pada kelompok P1 dengan nilai

Mean Rank sebesar 17,80. Dan untuk kerusakan paling rendah terjadi pada

kelompok P3 dengan nilai Mean Rank sebesar 7,70. Hasil penilaian 25 organ hepar

tikus putih (Rattus norvegicus) pada setiap organ serta data pendukung berupa berat

35
36

organ hepar dalam kelompok kontrol negatif (K-), Kontrol positif (K+), Perlakuan

1 (P1), Perlakuan 2 (P2), dan Perlakuan 3 (P3) dapat dilihat pada tabel yang

dijabarkan dalam lampiran 4.

Jumlah organ yang mengalami perubahan makroskopis pada lima kelompok

perlakuan berdasarkan pada tiga kriteria, serta rata rata berat hepar setiap kelompok

perlakuan dapat dilihat pada Tabel 4.2.

Tabel 4.2. Jumlah organ hepar yang mengalami perubahan makroskopis setiap
kelompok perlakuan serta rata rata berat hepar
Kriteria K- K+ P1 P2 P3
Perubahan
Perubahan 0 organ 1 organ 2 organ 1 organ 0 organ
Warna
Perubahan
3 organ 5 organ 5 organ 4 organ 2 organ
Ukuran
(Pembengkakan)
Perubahan 0 organ 0 organ 0 organ 0 organ 0 organ
Konsistensi
Rata rata berat 5,66 7,64 7,45 7,87 7,5
organ (gram)
Keterangan : Dalam kolom kelompok perlakuan menunjukkan jumlah organ hepar
yang mengalami perubahan makroskopis sesuai pada kriteria pada
kolom kriteria perubahan

Dari hasil penilaian, perubahan warna menjadi lebih pucat terjadi pada

kelompok K+, P1, dan P2 dengan jumlah tertinggi pada kelompok P1 yaitu

sebanyak dua organ mengalami perubahan warna menjadi lebih pucat.

Pembengkakan terjadi pada semua kelompok perlakuan dengan jumlah paling

tinggi terjadi pada kelompok K+ dan P1 yaitu dengan kelima organ mengalami

pembengkakan, serta pembengkakan paling rendah terjadi pada kelompok P3

dengan hanya dua organ yang mengalami pembengkakan. Perubahan konsistensi

tidak terjadi pada semua organ dalam kelima kelompok perlakuan. Data pendukung
37

berupa berat organ yang ditunjukkan dalam gram didapatkan hasil bahwa rata rata

berat hepar pada kelompok K- adalah 5,66 gram, K+ yaitu 7,64 gram, P1 yaitu 7,45

gram, P2 yaitu 7,87 gram, dan P3 yaitu 7,5 gram. Rata rata berat organ pada

kelompok K+, P1, P2, dan P3 hampir sama dan tidak menunjukkan jarak perbedaan

yang besar.

Berikut merupakan gambaran makroskopis hepar tikus putih (Rattus

norvegicus) dari masing masing perlakuan antar kelompok

K- K+ P1

P2 P3

Gambar 4.1 Gambar makroskopis organ hepar tikus putih (Rattus norvegicus) pada
kelompok K-, K+, P1, P2, dan P3.
Keterangan : kelompok K- menunjukkan tidak terjadi perubahan.
Perubahan berupa pembengkakan terjadi pada kelompok K+, P1,
P2,dan P3. Perubahan warna menjadi pucat terjadi pada kelompok P1.
38

Pada Gambar 4.1 menunjukkan bahwa pada kelompok kontol negatif (K-),

hepar tidak mengalami perubahan warna, ukuran, dan konsistensi. Pada kelompok

kontrol positif (K+) terlihat bahwa hepar tidak mengalami perubahan warna, namun

hepar mengalami pembengkakan akibat degenerasi yang ditandai dengan semakin

membesarnya ukuran hepar dan tepian hepar menjadi tumpul, sedangkan

konsistensi tetap normal. Kelompok Perlakuan 1 (P1) terlihat bahwa hepar

mengalami perubahan warna. Warna hepar pada kelompok P1 menjadi lebih pucat.

Hepar pada kelompok P1 juga mengalami pembengkakan yang ditandai dengan

bertambahnya ukuran dan tepian hepar yang tumpul, sedangkan konsistensi hepar

tetap normal. Hepar pada kelompok perlakuan 2 (P2) menunjukkan warna organ

tetap normal, sedangkan ukuran berubah dengan terjadi pembengkakan, serta

konsistensi hepar tetap normal. Pada kelompok Perlakuan 3 (P3) terlihat bahwa

hepar tidak mengalami perubahan warna. Pada kelompok ini, hepar mengalami

pembengkakan, tetapi pembengkakan yang terjadi tidak sebesar pada kelompok

K+, P1,dan P2. Hal ini dapat dibuktikan dari salah satu bagian tepian lobus hepar

pada kelompok P3 yaitu lobus medial tidak berubah menjadi tumpul. Konsistensi

organ kelompok P3 tetap dalam keadaan normal.

4.2. Hasil Pengamatan Histopatologi Hepar Tikus Putih (Rattus norvegicus)


Hasil skoring histopatologi pada 25 sampel variabel degenerasi dan nekrosis

yang dianalisis dengan uji Kruskall Wallis menunjukkan adanya perbedaan yang

signifikan antar kelompok perlakuan (P<0,05). Hepar yang dianalisis menggunakan

uji Kruskall wallis menunjukkan hasil Mean Rank yang ditunjukkan pada Tabel

4.3.
39

Tabel 4.3. Mean Rank hasil skoring histopatologi hepar tikus putih (Rattus
norvegicus) lesi degenerasi dan nekrosis

Kelompok Perlakuan Mean Ranks


K- 6,90a
K+ 20,60b
P1 14,60abc
P2 13,10ac
P3 9,80ac
Keterangan : Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan adanya
perbedaan yang signifikan (p= 0,033)
Hasil skoring yang dianalisis menggunakan uji Kruskal Wallis

menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan (P<0,05) antar tiap kelompok

perlakuan. Pada uji Kruskall Wallis, hasil dari nilai Mean Rank menunjukkan

kerusakan paling tinggi terjadi pada kelompok K+ dan kerusakan paling rendah

terjadi pada kelompok K-. Untuk perlakuan yang diberikan ekstrak daun kelor yaitu

kelompok P1, P2, dan P3 menunjukkan bahwa kerusakan paling rendah menurut

hasil Mean Rank terjadi pada kelompok P3 dengan dosis ekstrak daun kelor sebesar

600 mg/kg bb. Hasil skoring secara keseluruhan pada 25 sampel dengan lima lapang

pandang lesi degenerasi dan nekrosis ditampilkan pada Lampiran 5.

Uji statistik Mann-Whitney menunjukkan adanya perbedaan nyata antar

kelompok perlakuan. kelompok K- berbeda nyata dengan K+ (P<0,05), serta tidak

berbeda nyata dengan P1 (P>0,05), P2 (P>0,05), dan P3 (P>0,05). Kelompok K+

tidak berbeda nyata dengan P1 (P>0,05), serta berbeda nyata dengan P2 (P<0,05)

dan P3 (P<0,05). Kelompok P1 tidak berbeda nyata dengan P2 (P>0,05) dan P3

(P>0,05). Kelompok P2 tidak berbeda nyata dengan P3 (P>0,05).


40

Berikut merupakan gambar hasil pengamatan histopatologi hepar tikus

putih (Rattus norvegicus) dari masing masing perlakuan antar kelompok

K- K+
per
ub
aha
n
wa
rna
,
per
ub
aha
n
uk P1
ura
n,
per
ub
aha
n
ko
nsi
ste
nsi
,
P2
ser P3
ta
Gambar 4.2 Gambaran histopatologi hepar tikus putih (Rattus norvegicus) pada
ada
kelompok K-, K+, P1, P2, dan P3.
Keterangan :Panah hitamata menunjukkan hepatosit normal, panah
kuning yaitu degenerasi, udan panah merah yaitu nekrosis. Gambar
tid
dengan perbesaran 400x dengan pewarnaan Hematoxylin Eosin (HE).
ak
ny
a
lesi
per
mu
41

Dari Gambaran hasil histopatologi hepar pada Gambar 4.2 dapat diketahui

bahwa kelompok K- Sebagian besar menunjukkan hepatosit tetap normal, sinusoid

tidak menyempit menandakan bahwa hepatosit tidak mengalami degenerasi. Pada

kelompok ini, hanya sebagian kecil hepatosit mengalami nekrosis. Nekrosis yang

terjadi adalah kariopiknotis yang ditandai dengan inti sel menjadi padat dan hitam

pekat. Pada Kelompok K+, perubahan terlihat sangat nyata jika dibandingkan

kelompok K-. Celah sinusoid menyempit bahkan hampir tidak terlihat. Hepatosit

sebagian besar mengalami degenerasi hidropik dan nekrosis. Degenerasi hidropik

ditandai dengan pembengkakan ukuran sel dan sitoplasma sel tampak keruh.

Jumlah hepatosit yang mengalami nekrosis terlihat lebih banyak daripada kelompok

K-. Pada kelompok ini, hepatosit yang mengalami nekrosis ditandai dengan

kariopiknotis. Pada kelompok P1 , sebagian besar hepatosit mengalami degenerasi

hidropik dan nekrosis. Sel membengkak hingga celah sinusoid tidak terlihat sama

sekali serta sitoplasma sel tampak keruh. Hepatosit yang mengalami nekrosis

ditandai dengan kariolisis. Kariolisis ditandai dengan inti sel yang sangat pucat dan

hampir tidak terlihat. Pada kelompok P2 menunjukkan sebagian besar hepatosit

terlihat normal, inti sel terlihat jelas, celah sinusoid terlihat jelas menunjukkan

bahwa sel tidak mengalami degenerasi. Hanya sebagian kecil hepatosit yang

mengalami degenerasi hidropik dan nekrosis. Nekrosis pada kelompok ini

ditunjukkan dengan kariopiknotis. Pada kelompok P3, menunjukkan sebagian besar

hepatosit tampak normal, sinusoid normal dan tidak menyempit.


BAB 5 PEMBAHASAN

5.1 Perubahan Makroskopis Hepar Tikus Putih (Rattus norvegicus)


Berdasarkan hasil evaluasi pemberian ekstrak daun kelor (Moringa oleifera)

terhadap tikus putih yang diinduksi Gentamisin secara makroskopis, perubahan

yang paling tampak adalah terjadinya pembengkakan. Kelompok K- dan P3

memiliki nilai pembengkakan organ yang rendah dibandingkan kelompok lainnya.

Pada kelompok K- dinyatakan tidak adanya zat toksisitas yang diinduksikan,

mengakibatkan kondisi hepar yang relatif baik. Organ hepar yang masih normal

disebabkan karena tidak terbentuknya radikal bebas dan peroksidasi lipid yang bisa

menimbulkan jejas seluler yang terjadi akibat induksi Gentamisin. Jejas seluler

dapat mengakibatkan hepatosit mengalami degenerasi dan menimbulkan

pembengkakan pada organ secara makroskopis. Organ yang mengalami

pembengkakan pada kelompok K- bisa disebabkan karena adanya faktor stres

oksidatif yang lain, dan bukan karena induksi dari Gentamisin. Menurut Suarsana

et al (2013) bahwa faktor stres oksidatif umumnya dapat meliputi makanan, udara,

air, asap, dan lain sebagainya. Gangguan hepar yang dapat memicu terjadinya

degenerasi hepatosit dapat disebabkan oleh faktor defisiensi pakan, hipoksia yang

berkepanjangan, intoksikasi dan penuaan jaringan.

Hasil Penilaian menunjukkan kelompok P3 memiliki jumlah

pembengkakan organ paling kecil. Kondisi ini dapat terjadi karena pada kelompok

ini, tikus putih diberi pengobatan ekstrak daun kelor secara peroral dengan dosis

paling tinggi yaitu 600 mg/kg bb setelah diinduksi Gentamisin. Stres oksidatif yang

terjadi akibat induksi Gentamisin mengakibatkan ketidakseimbangan antara zat

42
43

radikal bebas dan antioksidan yang ada di dalam tubuh. Dengan pemberian ekstrak

daun kelor dosis yang cukup tinggi dapat menggantikan antioksidan yang hilang

dalam tubuh secara cepat, oleh karena itu hepar pada kelompok P3 memiliki

kemampuan lebih cepat untuk melakukan regenerasi sehingga kembali pulih dan

paling sedikit mengalami pembengkakan. Hepar masih sanggup melakukan

regenerasi bahkan hingga sembuh, jika penyebab kerusakan berkurang atau hilang

(Ratnawati dkk., 2013). Antioksidan didefinisikan sebagai suatu substansi yang

dapat menunda, mencegah, atau menghilangkan kerusakan oksidatif pada molekul

target (Halliwell and Gutteridge, 2007). Kandungan ekstrak daun kelor yang

diberikan secara peroral memiliki aktifitas antioksidan yang tinggi yaitu mencapai

66,8 % yang didominasi oleh flavonoid, sehingga semakin banyak dosis yang

diberikan, semakin cepat juga hepar melakukan regenerasi. Jejas seluler yang

terjadi dapat hilang dan kembali normal. Kandungan flavonoid dalam ekstrak daun

kelor memiliki efek perlindungan melawan penyakit hepar. Senyawa flavonoid

yang paling berperan dalam mengobati penyakit hepar yaitu quercetin dan

sylimarin. Quercetin dapat menghentikan partikel radikal bebas yang masuk ke

dalam tubuh sehingga bisa mempercepat regenerasi. Sylimarin dapat memperbaiki

membran hepatosit dan mencegah zat asing (xenobiotik) masuk ke dalam sel lewat

sirkulasi enterohepatik (Karimi et al., 2011).

Organ hepar kelompok K+ dan P1 memiliki jumlah pembengkakan organ

paling tinggi dikarenakan induksi Gentamisin yang dapat meningkatkan

pembentukan radikal bebas dan peroksidasi lipid sehingga menurunkan cadangan

antioksidan. Fungsi seluler terganggu dan hepatosit banyak mengalami degenerasi


44

serta nekrosis. Kelompok K+ tidak diberikan terapi apapun setelah induksi

Gentamisin, sehingga tidak ada zat aktif untuk mempercepat regenerasi atau

perbaikan kondisi hepar yang mengakibatkan organ membengkak karena

degenerasi sel. Pada kelompok P1, setelah diinduksi gentamisin, dilanjutkan

dengan pemberian ekstrak daun kelor dosis terendah yaitu 150 mg/kg bb. Dosis

tersebut dirasa kurang efektif karena belum mengakibatkan perbaikan kondisi

hepatosit. Dosis terlalu rendah sehingga dirasa kurang mampu mempercepat proses

regenerasi hepar.

Kelompok K- memiliki rata rata berat lebih kecil daripada keempat

kelompok lainnya. Kelompok K+, P1, P2, serta P3 memiliki rata rata berat organ

yang hampir sama. Kondisi seperti ini dapat terjadi akibat tingkat pembengkakan

pada kelompok K- tidak begitu parah jika dibandingkan dengan kelompok

perlakuan lainnya sehingga pertambahan berat hepar hanya sedikit. Kecilnya

perubahan kondisi pada hepar kelompok K- dikarenakan tidak adanya perlakuan

apapun yang diberikan pada kelompok ini, baik Gentamisin maupun ekstrak daun

kelor. Akan tetapi, tidak menutup kemungkinan tetap terjadi perubahan kondisi

pada hepar. Menurut Silva et al (2015), hepar sangat berpotensi mengalami

gangguan karena hepar termasuk salah satu organ yang rentan terhadap stres

fisiologis. Stres fisiologis salah satunya dapat disebabkan karena kekurangan nutrisi

yang disertai aktivitas berlebihan yang dapat memicu peningkatan produksi radikal

bebas, gangguan keseimbangan hormonal dan menyebabkan permasalahan

kekurangan energi yang dibutuhkan oleh tubuh. Perubahan warna terjadi pada

sebagian sampel dari kelompok K+, P1, dan P2. Perubahan warna pada beberapa
45

organ tersebut dapat terjadi akibat senyawa yang bersifat toksik yang

menyebabkan terjadinya perlemakan pada hepar, hal tersebut akan menggangu

aliran darah ke hepar sehingga hepar berwarna pucat. Dari keseluruhan organ,

hanya sedikit yang mengalami perubahan warna tersebut yaitu pada kelompok K+

sebanyak satu organ, P1 sebanyak dua organ, dan P3 sebanyak satu organ.

5.2 Perubahan Histopatologi Hepar Tikus Putih (Rattus norvegicus)


Induksi gentamisin dosis toksik 80 mg/kg bb masuk ke dalam tubuh tikus

putih (Rattus norvegicus) dan diedarkan menuju hepar melalui vena porta hepatika

dan dialirkan melalui sinusoid menuju vena sentralis dan vena sublobularis

sehingga organ hepar tikus putih (Rattus norvegicus) mengalami perubahan.

Perubahan yang terjadi akibat induksi Gentamisin pada tikus putih (Rattus

norvegicus) salah satunya yaitu terjadinya degenerasi dan nekrosis hepatosit.

Gangguan pada organ hepar dapat diperbaiki dan ditingkatkan fungsinya

(Charlton, 2006). Perlakuan untuk pemulihan histopatologi hepar pada prinsipnya

adalah pemeliharaan keseimbangan hormonal, peningkatan antioksidan dalam

tubuh, menjamin ketersediaan nutrisi yang dibutuhkan oleh tubuh untuk

mendukung proses metabolisme yang berorientasi pada produk energi, dan

pembentukan jaringan baru (Silva et al., 2015).

Hasil histopatologi hepar tikus putih kelompok P2 dan P3 menunjukkan

hepatosit mulai melakukan kemampuan regenerasi atau perbaikan sel dikarenakan

pada kelompok ini, dosis ekstrak daun kelor yang digunakan cukup tinggi sehingga

kadar antioksidan yang masuk mampu menyeimbangkan kembali kondisi stres

oksidatif yang terjadi akibat induksi Gentamisin. Kemampuan regenerasi bisa


46

terjadi dengan cara mekanisme pembelahan hepatosit dan terus berlangsung sampai

perbaikan masa jaringan tercapai (Junqueira and Carneiro, 2005). Ketika dosis

ekstrak daun kelor semakin dinaikkan maka degenerasi dan nekrosis yang terjadi

semakin rendah.

Dapat dilihat dari hasil histopatologi yang terdapat pada Gambar 4.2, bahwa

pada kelompok K-, sebagian besar celah sinusoid masih terlihat normal dan tidak

menyempit. Hal ini dapat diartikan bahwa hepatosit tidak mengalami degenerasi

atau hanya sebagian sedikit yang mengalami degenerasi. Kondisi pada K- sangat

berbeda dengan K+ dan P1. Pada kelompok K+ dan P1 terlihat sinusoid mengalami

penyempitan. Sedangkan pada kelompok P2 dan P3 terlihat celah sinusoid yang

mulai tampak normal kembali. Pada kelompok K+ terlihat banyak sel yang

mengalami nekrosis yang ditandai dengan inti kariopiknotis. Pada keadaan

kariopiknosis, inti sel mengecil dan berwarna kehitaman, hal ini terjadi karena DNA

sel terkondensasi sehingga menjadi massa yang melisut tebal. Sedangkan Kariolisis

ditandai dengan inti sel yang sangat pucat dan tidak berbentuk. Nekrosis pada P3

terlihat lebih sedikit daripada kelompok K+, P1 dan P2 dikarenakan pada kelompok

P3 sudah terjadi regenerasi hepatosit lebih baik akibat dosis ekstrak daun kelor yang

diberikan lebih tinggi sehingga hepatosit yang mengalami degenerasi dapat dapat

kembali normal.
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Pemberian ekstrak daun kelor (Moringa oleifera) dapat memperbaiki

gambaran makroskopis dan histopatologi hepar tikus putih (Rattus norvegicus)

yang diinduksi Gentamisin. Dosis ekstrak daun kelor yang paling efektif untuk

memperbaiki kerusakan hepar akibat toksisitas Gentamisin yaitu dosis 600 mg/kg

bb atau pada kelompok P3.

6.2 Saran

1. Perlu diadakan penelitian lebih lanjut terhadap efek toksisitas Gentamisin

terhadap hepar dengan parameter lain, dan juga pengaruhnya terhadap organ

lain pada tikus putih.

2. Perlu diadakan penelitian lebih lanjut mengenai efek samping dari

penggunaan ekstrak daun kelor yang digunakan sebagai terapi pada organ

hepar maupun organ lain apabila dosisnya tidak tepat atau berlebihan.

3. Perlu dilakukan himbauan kepada masyarakat agar tidak sering

menggunakan antibiotik seperti Gentamisin dengan dosis yang berlebihan

karena dapat mengakibatkan efek samping yang buruk.

47
48

DAFTAR PUSTAKA

Abdel-Raheem, I.T. 2010. Greentea ameliorates renal oxidative damage induced by


gentamicin in rats. Pak J Pharmaceut Sci. (23) :21-28.
Abdulkadir, W.S. 2019. Uji Invivo Efek Hepatoprotektor Ekstrak Teripang Laut
(Holothuria scabra) dalam Variasi Dosis dengan Parameter SGPT terhadap
Hewan Uji yang diinduksi Parasetamol Dosis Hepatotoksik. Pharmacy
medical journal : Vol.2 No 1.2019.
Adebiyi, A., P.G. Adaikan., R.N.F. Prasad. 2013. Spermatozoa Quality of Young
Male White Rat after Treated with Moringa oleifera Leaf Extract Life Sci.
74 581-92.
Akbar, B. 2010. Tumbuhan dengan kandungan senyawa aktif yang berpotensi
sebagai bahan antifertilitas. Jakarta: Adabia Press.
Al-Arif, A. 2018. Buku Ajar Metodologi Penelitian Terpadu I. Airlangga
University Press
Alvarez-Parrilla E., A. Laura., F. Torres-Rivas , J. Rodrigo-Garcia , G.A. González
2005. Complexation of apple antioxidants: chlorogenic acid, quercetin and
rutin by β-cyclodextrin (β-CD). J. Inclus. Phenom. Macrocycl. Chem. 53:
121-129.
Alverina, C., D. Andari., dan G.S. Prihanti. 2016. Pengaruh Pemberian Ekstrak
Daun Kelor (Moringa oleifera lam.) Terhadap Sel Kardiomiosit Pada Tikus
Putih (Rattus novergicus strain wistar) dengan Diet Aterogenik. Saintika
Medika, 12(1), 30. https://doi.org/10.22219/sm.v12i1.5257.
Aminah, Syarifah, T. Ramdhan. and M. Yanis. 2015. ‘Kandungan Nutrisi Dan Sifat
Fungsional Tanaman Kelor (Moringa oleifera)’. Buletin Pertanian Perkotaan
5 Nomor 2.
Andreas, H., H.F.Trianto., M.I. Ilmiawan. 2015. Gambaran Histologi Regenerasi
Hati pasca Penghentian Pajanan Monosodium Glutamat pada Tikus Wistar.
Jurnal Ejki. vol 3. no 1.
Arimbi, A. Azmijah, H. Plumeriastuti, T.V. Widiyatno, dan D. Legowo. 2009.
Patologi Umum Veteriner Edisi 2. Surabaya . Airlangga Univ Press. 188hlm
Arimbi, A. Azmijah, H. Plumeriastuti, T.V. Widiyatno, dan D. Legowo. 2015.
Patologi Umum Veteriner Edisi 2. Surabaya . Airlangga Univ Press. 188hlm.
Brat, P., S. George, A. Bellamy., L. Du Chaffaut., A. Scalbert., N. Arnault.,M.J.
Amiot. 2006. Daily polyphenol intake in France from fruit and vegetables. J.
Nutr., 136, 2368-2373.
Borel, P.D. Prevaraud., C. Desmarchelier. 2013. Bioavailability of vitamin E in
humans: An update. Nutr. Rev.71, 319-331.
Chambial, S. , S. Dwivedi., Shukla, P.T.John., P. Sharma. 2013. Vitamin C in
disease prevention and cure: An overview.Indian J.Clin.Biochem.2013, 28,
314-328.
Charlton, M. 2006. Branched-Chain Amino Acid Enriched Supplements as Therapy
for Liver Disease. The Journal of Nutrition., 12(12): 295S-298S.
Cotran, R.S., V. Kumar., T. Collins .1999. Robbins Pathologic Basis of
Disease WB Saunders: Philadelphia; p1425.
49

Edeoga, H.O., D.E. Okwu., B.O. Mbaebie. 2005. Phytochemical constituents of


some Nigerian medicinal plants.Afr.J.Biotechnol., 4, 685-688.
Eroschenko, V.P. 2012. Atlas Histologi difiore: dengan korelasi fungsional Ed.11. EGC.
Jakarta.
Edwinanto, L., E. Septiadi., L.R. Nurfazriah., K.S. Anastasya., N. Pranata. 2018.
Phytochemical features of Moringa oleifera leaves as anticancer a Review
article. Journal of Medicine and Health, 2(1), 680–688.
Ezejindu, D.N., O.O. Udemezue and K.C. Chinweife. 2014. Hepatoprtective
Effects of Moringa oleifera Extract on Liver of Wistar Rats.International
Journal of Research In Medical and Health Sciences. 3(5): 23-27.
Falana, B.A., K.E. Olubayode. 2019. Comparative Anatomy the Heart and Lungs
of The Rat (Rattus norvegicus), Bat (Manis tricuspis), and Pangolin
(Eidolon helvum). Journal of Surgical research and therapeutic 2(1) : 11-16.
Fails, A.D., C. Magee. 2018.Anatomy and Physiologi of Farm Animal. Eigh
Edition.USA :Penerbit Willey Blacked.
Galaly S.R., O.M. Ahmed., A.M. Mahmoud. 2014. Thymoquinone and Curcumin
Prevent Gentamicin-Induced Liver Injury by Attenuating Oxidative Stress,
Inflammation, and Apoptosis. Journal of Physiology and Pharmacology.
65(6): 823-832.
Gibson, J. 2003. Fisiologi dan Anatomi Modern.Jakarta: EGC.
Gracia-Estepa, R.M., E. Guerra-Hernandez., B. Garcia-Villanova.1999. Phytic acid
content in milled cereal products and breads. Food Res.Int.,32, 217-221.
Gupta, R., M. Manas., K.B., K. Pawan., Y. Su- nita., K. Raka. and S.G. Radhey.
2012. Evaluation of Antidiabetic and Antioxidant Activity of Moringa
oleifera in experimental diabetes. Journal of Diabetic 4:164-171.
Guyton, A.C., J.E. Hall. 2014. Textbook of Medical Physiology. Jakarta : Penerbit
Buku Kedokteran.
Hafez, L.,F.A Ali, A. El-Ghoneimy, dan M. Abdel-Aziz. 2019. Nephro-Protective
Effect of Wheat Germ Oil on Gentamicin-Induced Acute Nephrotoxicity in
Wistar Albino Rat. SVU-International Journal of Veterinary Sciences, 2(1),
51–67. https://doi.org/10.21608/svu.2019.23582.
Halliwell B., J.M.C. Gutteridge. 2007. Free Radicals In Biology And Medicine. Ed
ke-4. Oxford, UK: Oxford University Press.
Hestianah, E.P., C. Anwar., S. Kuncorojakti., L.R.Yunitasari. 2014. Buku Ajar
Histologi Veteriner Jilid 2. Surabaya : PT Revka Petra Media.
Isnan, W., M. Nurhaedah. 2017. Ragam Manfaat Tanaman Kelor (Moringa oleifera
lam) Bagi Masyarakat. Info Teknis Eboni. Vol. 14 No.1. Juli 2017 : 63-75.
Istiantoro,Y.H. dan V.H.S. Gan. 2007. Farmakologi dan Terapi Departemen
Farmakologi dan Terapeutik. FKUI Edisi5. Jakarta: Penerbit Gaya Baru.
Jayanti, E. 2015. Efektivitas media video Pembelajaran Letak Wilayah Indonesia
bagi Siswa Kelas VII MTSn Ngemplak. UNS Skripsi.
Junqueira, L.C. , J. Carneiro. 2005. Basic Histology 11th Edition. USA: The
McGraw-Hill Companies Inc.
Junquiera, L.C. and J. Carneiro. 2012. Histologi dasar, Edisi 10. trans. A Dharma,
EGC, Jakarta.
50

Kancheva, V.D., O.T. Kasaikina. 2013. Bio-antioxidants-a chemical base of their


sntioxidant activity and beneficial effect on human health. Curr. Med.
Chem. 2013, 20, 4784-805.
Karim, N.A.A., M.D. Ibrahim., S.B. Kntayya., Y. Rukayadi., H.A. Hamid., A.F.A.
Razis. 2016. Moringa oleifera lam : targeting chemoprevention, Asian Pac.
J. Cancer Prev 17 : 3675 – 3686.
Karimi G., M. Vahabzadeh., P. Lari., M. Rashedimia., M. Moshiri. 2011. Silymarin,
a promising pharmacological agent for treatment of diseases. Iranian Journal
of Basic Medical Sciences.14(4):308-17.
Kurnijasanti, R..,D.K. Meles., S.A. Sudjarwo.,T. Juniastuti.,I.S.Hamid. 2018. Buku
Ajar Farmakoterapi dan Toksikologi. Surabaya : Penerbit Airlangga
University Press.
Khaira, K. 2010. Menangkal radikal bebas dengan antioksidan. Jurnal saintek Vol.
II No 2: 183-187.
Khan, M., I. Badar., A.Siddiquah. 2011. Prevention of hepatorenal toxicity with
Sonchus asper in gentamicin treated rats. Medical Journal:Pubmed. 11:1-9.
Kim, S.H. et al. 2014. Melatonin prevents gentamicin-induced testicular toxicity
and oxidative stress in rats. Andrologia. 46(9): 1032–1040.
Knodell, 1981. Grading and Staging The Histopathological Lession of Chronic
Hepatitis : The Knodell Histology Activity Index and Beyond. Hepathology
Vol.31, No.1,2000: 241-246.
Kumar, S., A.K. Pandey. 2013. Chemistry and biological activities of flavonoids:
An overview. Sci. World J. 2013, 2013, 162750.
Kumar, V., S.L.Robbin., R.S. Cotran. 2007.Buku ajar Patologi.Vol. 1, Edisi 7. Alih
bahasa:Prasetyo, A dkk. Penerbit buku kedokteran EGC, Jakarta.
Kumar, V.,Robbin, S.L.,Cotran, R.S. 2007. Buku ajar Patologi.Vol. 1, Edisi 9. Alih
bahasa:Prasetyo, A dkk. Penerbit buku kedokteran EGC, Jakarta.
Kurniasih. 2013. Khasiat dan Manfaat Daun Kelor Untuk Penyembuhan Berbagai
Penyakit. Cetakan I. Pustaka Baru Press.Yogyakarta.
Kusriningrum. 2015. Rancangan Percobaan. Airlangga University Press.
Surabaya.
Leone, A., A. Spada., A.Battezzati., A. Schiraldi., J. Aristil., S.Bertoli. 2015.
Cultivation, genetic, ethnopharmacology, phytochemistry and
pharmacology of Moringa oleifera leaves. An overview. Int J Mol Sci.
16(6): 12791–835.
Leeson, C.R., T.S. Leeson., A.A.Paparo. 1996. Buku ajar histologi, 5th Ed, trans. J
Tambayong, EGC, Jakarta, Hal. 383-396.
Lintong, M.P., C.F.Kairupan.,P.L.N Sondakh. 2012. Gambaran Mikroskopik
Ginjal Tikus Wistar (Rattus norvegicus) Setelah Diinduksi Dengan
Gentamisin, Jurnal Biomedik, Volume 4, Nomor 3, 185-192.
Makkar, H.P.S., M. Blllmmel. and K. Becker. 1995. Formation of complexes
between polyvinyl pyrrolidones or polyethylene glycols and tannins, and
their implication in gas production and true digestibility in in vitro
techniques. Br. .I. Nutr., 73: 897-913.
McGavin, M.D., J.F. Zachary. 2007. Pathology Basis of Veterinary Disease. 4th
Edition.Churchill Livingstone.
51

McGavin, M.D., J.F. Zachary. 2011. Pathology Basis of Veterinary Disease. 5th
Edition.Churchill Livingstone.
McKinney, W., A.Yonovitz., M.H. Smolensky. 2015. Circadian variation of
gentamicin toxicity in rats. The Laryngoscope, 125(7): 252-256.
Melo, N. V., T. Vargas.. Quirino., C. M. C. Calvo. 2013. Moringa oleifera An
underutilized tree with macronutrients for human health. Emir. J. Food
Agric. 2013. 25 (10): 785-789.
Mulyono, A., Ristiyanto., N.H. Soesanti. 2009. Karakteristik histopatologi hepar
tikus got Rattus norvegicus infektif Leptospira sp. Jurnal Vektora. 1(2): 84-
92.
Moore, KL and A.F. Dalley. 2006, Clinically oriented anatomy, 5Ed,Lippincott
Williams and Wilkins, Philadelphia, Pp. 289.
Price S.A., L.M. Wilson. 2006. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit,
edisi ke- 6. Jakarta: EGC. hlm. 867– 75.
Purwati. 2019. Evaluasi Daun Kelor (Moringa oleifera) sebagai Pangan
Fungsional. Adimas Mahakan Journal : Vol 3 No 02.
Putra, I.W.D.P., A.A.G.O. Dharmayudha., L.M. Sudimartini. 2016. Identifikasi
Senyawa Kimia Ekstrak Etanol Daun Kelor (Moringa oleifera L). Bali :
Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Udayana.
Rahman, M., Karno., A. Kristanto. 2017. Pemanfaatan tanaman Kelor (Moringa
oleifera) sebagai hormon pada pembibitan tanamana tebu (Saccharum
officinarum L.). Jurnal Agro Complex. 1(3):94-100.
Ratnawati, A., U. Purwaningsih, Kurniasih. 2013. Histopatologis Dugaan
Edwarsiella tarda sebagai Penyebab Kematian Ikan Maskoki (Crassius
auratus) : Postulat Koch. Jurnal Sins Veteriner : 31 (1).
Robbins, dkk. 2007. Buku Ajar Patologi. Volume 2. Edisi 7.Jakarta. Penerbit buku
Kedokteran EGC.
Scudamore, C.L. 2014. A Practical Guide to The Histology of The Mouse.
Garsington Road, Oxford, UK. Wiley Blackwell. Chapter 1: 6-9.
Silva, M., S. Gomes., A. Peixoto., P.T. Ramalho., H. Cardoso., R. Azevedo., C.
Cunha. and G. Macedo. 2015. Nutrition in Chronic Liver Disease. GE Port
J Gastroenterol., 22(16): 268-276.
Simanjuntak, L.C.H. 2013 .Histomorfologi tubulus seminiferus dan kelenjar prostat
tikus (Rattus norvegicus) serta Kosentrasi Hormon Androgen Pasca
Pemberian Ekstrak Purwoceng [Tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Simbolan, J. M. dan N. Katharina. 2007. Cegah Malnutrisi dengan Kelor.
Yogyakarta: Kanisius.
Suarsana, I. N., T. Wresdiyati. dan A. Suprayogi. 2013. Respon Stres Oksidatif dan
Pemberian Isoflavon terhadap Aktivitas Enzim Superoksida Dismutase dan
Peroksidasi Lipid pada Hati Tikus. JITV 18(2): 146-152.
Sudoyo,A.W., B. Setiyohadi., I.S.S Alwi. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Jilid I. Jakarta. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Indonesia. Jilid 1.
Sugiyanto. 2006. Peran Aktivasi Metabolik pada Toksikologi Biokimiawi
Xenobiotik. Yogyakarta: Fakultas Farmasi UGM.
52

Susianti . 2013. Pengaruh Ekstrak Jintan Hitam (Nigella Sativa L.) terhadap
Gambaran Histopatologi Hepar, Paru, dan Testis Tikus Putih (Rattus
norvegicus) yang diinduksi Gentamisin. Jurnal Sainsmat, Halaman 107-118.
Syahrin, S., C.Kairupan , L.Loho. 2016. Gambaran histopatologik hati tikus Wistar
yang diberi ekstrak daun kelor (Moringa oleifera) setelah diinduksi karbon
tetraklorida (CCl4). Jurnal e-Biomedik : Volume 4, Nomor 2.
Teixeira, E., M. Carvalho., V. Neves., M. Silva., P. Arantes. 2014. Chemical
characteristics and fractionation of proteins from Moringa oleifera Lam.
leaves. J Food Chem 147 ( 2) : 51-54.
Tejas, G.H., J.H. Umang., B.N. Payal., D.R. Tusharbinu., T.R. Pravin. 2012. A
panoramic view on pharmacognostic, pharmacological, nutritional,
therapeutic and prophylactic values of Moringa oleifera Lam. Int. Res. J.
Pharm. 3, 1–7.
Tian, X., H. Tang., H. Lin., G.Cheng., S. Wang., D. Zhang., X. Saponins. 2013. The
potential chemotherapeutic agents in pursuing new anti-glioblastoma drugs.
Mini Rev Med Chem. 2013, 13, 1709-1724.
Udupa, V. dan V. Prakash. 2019. Gentamicin induced acute renal damage and its
evaluation using urinary biomarkers in rats. Toxicology Reports, 6 June
2018), 91–99. https://doi.org/10.1016/j.toxrep.2018.11.015.
Underwood, J.C.E. 2000. Patologi Umum dan Sistemik. Vol.2. 2nd ed. Jakarta:
Penenrbit Buku Kedokteran ECG.
Upaganlawar, A., M. Farswan., S. Rathod., R. Balamaraman. 2006. Modification
of biochemical parameters of gentamicin nephrotoxicity by coenzymes Q10
and green tea in rats. Ind J Exp Biol 2006,44:416-418.
Vinerean, H.V. 2014. Rats-biology & husbandry [Internet]. Florida International
University Research. 2014 [diakses 11 Juli 2014]. Diunduh dari
http://research.fiu.edu/facilities/acf/documents/rats-biology- husbandry.pdf
Yang Y.S, Ahn., J.C Lee., C.J. Moon., S.H. Kim., W. Jun., S.C. Park., H.C. Kim.,
J.C. Kim. 2008. Protective effects of pycnogenol on carbon tetrachloride-
induced hepatotoxicity in Sprague-Dawley rats.Food Chem Toxicol,
46, 380–387.
Yenny, E. Herwana., W. Marwoto dan R. Setiabudi. 2010. Efek schizandrine C
terhadap kerusakan hati akibat pemberian parasetamol pada tikus. Universal
Medicina; 24(4): 161-166.
Zachary,J.F., M.D.McGavin. 2011. Pathologic Basis of Veterinary Disease 5th
Edition.Mosby Elsevier. Philadelphia.
Zhao, Z. and M. H. Moghadasian. 2008. Chemistry, natural sources, dietary intake
and pharmacokinetic properties of ferulic acid: a review. Food Chem.,
109(4): 691-702.
53

Lampiran 1. Perhitungan Dosis Induksi Gentamisin serta Ketamin dan Xylazine


untuk Anestesi
 Dosis Induksi Gentamisin

Gentamisin yang yang digunakan untuk injeksi adalah Gentamisin merek

Genta-100, dalam satu botol ini mengandung kandungan Gentamisin 100

mg. Maka perhitungan dosis injeksi pada tikus putih dengan berat badan

misal 200 gram (0,2 kg) yaitu :

Dosis gentamisin 80 mg/kg BB : 100 x 0,2 kg (berat tikus) = 0,16 CC

Jadi pemberian sekali injeksi Gentamisin pada tikus putih secara IP yaitu

0,16 cc dengan menggunakan spuit 1 cc.

 Dosis Pemberian Ketamin dan Xylazine

Dosis anestesi menggunakan perbandingan Ketamin dan Xylazine 100 : 5.

Ketamin HCl (Kepro B.V., Ketamine®) setiap ml mengandung 100 mg

Ketamin dan Xylazine HCl (De adelaar B.V., Xyla®) setiap ml mengandung

20 mg. Sehingga diperoleh perbandingan Ketamine dan Xylazine 1 ml : 0,25

ml per kg bb. Dosis untuk masing masing tikus dengan berat badan 200

gram, Ketamine yang diberikan sebanyak 0,2 ml dan Xylazine yang harus

diberikan sebanyak 0,05 ml.


54

Lampiran 2. Perhitungan Dosis Ekstrak Daun Kelor (Moringa oleifera) terhadap


Tikus Putih (Rattus norvegicus).

1. Dosis ekstrak diambil dari penelitian Pidada dkk (2018) yang dilakukan

pada hewan coba tikus putih (Rattus norvegicus) dengan dosis efektif

sebesar 300 mg/kg BB

2. Berat badan tikus adalah 200 gram (0.2 kg)

3. Dosis yang digunakan dalam penelitian ini yaitu dosis serial yaitu 150

mg/kg BB. 300 mg/kg BB, dan 600 mg/kg BB. Dengan dosis 300 mg/kg

BB sebagai dosis tengah.

4. Dosis P1 = 150 mg/kg BB

= 150 mg x 0.2 kg

= 30 mg/ 200 g tikus

5. Dosis P2 = 300 mg/kg BB

= 300 mg x 0.2 kg

= 60 mg/ 200 g tikus

6. Dosis P3 = 600 mg/kg BB

= 600 mg x 0.2 kg

= 120 mg/ 200 g tikus

7. Setiap Tikus Putih mendapatkan 1 ml volume suspensi dari CMC-Na 1 %

dan ditambah dengan larutan tween 2 % untuk kelompok perlakuan P1,P2,

dan P3

CMC Na 1 % = 1/100 x 1 ml

= 0,01 g = 10 mg CMC-Na
55

8. Tween 2 % untuk pelarut ekstrak = 2/100 x 1 ml = 0,02 mg Tween

9. CMC Na 1 % dan tween 2 % dilarutkan ke aquades ad 1 ml


56

Lampiran 3. Teknik Pembuatan Preparat Histopatologi

Pembuatan preparat histopatologi menggunakan metode parafin dengan pewarnaan

hematoxyn-eosin. Pembuatan preparat histopatologi hepar dengan pewarnaan HE

yang meliputi tahap fiksasi, tahap dehidrasi, cleaning, infiltrasi, embedding,

pengirisan dan pewarnaan untuk menentukan perubahan struktur hepatosit

1. Tahap fiksasi

Reagen : Formalin 10%

Cara kerja :Pada tahap ini, hepar difiksasi dengan larutan formalin 10%

selama 1 jam dan diulang sebanyak 2 kali pada larutan yang

berbeda.

2. Tahap dehidrasi dan cleaning

Reagen : Alkohol 70%, 90%, 96%, alkohol absolute I, II, III, Xylol I

dan II

Cara kerja : Pada tahap ini, hepar yang telah difiksasi kemudian

didehidrasi pada larutan ethanol 70% selama 1 jam,

kemudian dipindahkan dalam larutan etanol 80% dilanjutkan

kedalam larutan etanol 95% sebanyak 2 kali dan dalam

etanol absolut selama 1 jam dan diulang sebanyak 2 kali pada

etanol absolut yang berbeda. Kemudian , hepar yang telah

didehidrasi kemudian dilakukan cleaning untuk menarik

kadar etanol dengan menggunakan larutan xylene I selama

1,5 jam dan dilanjutkan ke larutan xylene II selama 1,5 jam.


57

3. Tahap embedding

Reagen : Parafin I dan II

Cara kerja : Pada tahapan ini, hepar dimasukkan kedalam kaset dan

diinfiltrasi dengan menuangkan paraffin yang dicairkan pada

suhu 60°C, kemudian parafin dibiarkan mengeras dan

dimasukkan ke dalam freezer selama kurang lebih 1 jam.

4. Tahap sectioning (pemotongan)

Cara kerja : Pada tahap ini, hepar yang sudah mengeras dilepaskan dari

kaser dan dipasangkan pada mikrotom kemudian dipotong

setebal 5µ dengan pisau mikrotom. Hasil potongan

dimasukkan ke dalam waterbath yang sudah dihangatkan

dengan suhu 40°C. Objek glass diolesi dengan albumin

mayer untuk melekatkan sayatan organ ke objek glass.

Sayatan yang berada diobjek glass diambil menggunakan

objek glass yang sudah diolesin dengan albumin mayer

tersebut, sayatan yang sudah berada diobjek glass dibiarkan

kering selama 12 jam. Setelah kering dilakukan pewarnaan

menggunakan pewarnaan hematoxyn eosin.

5. Tahap staining (pewarnaan)

Cara kerja :

Hasil potongan diwarnai dengan hematoxyn eosin (HE) melalui tahapan

sebagai berikut :

a. Preparat direndam dalam larutan xylene I selam 10 menit


58

b. Preparat diambil dari xylene I dan direndam dalam larutan xylene II

selama 5 menit

c. Preparat diambil dari xylene II dan direndam dalam ethanol absolut

selama 5 menit

d. Preparat diambil dari etanol absolut dan direndam dalam etanol 96%

selama 30 detik

e. Preparat diambil dari etanol 96% dan direndam dalam etanol 50%

selama 30 detik

f. Preparat diambil dari etanol 50% dan direndam dalam running tap water

selama 5 menit

g. Preparat diambil dalam running tap water dan direndam dalam

pewarnaan hematoxyn selama 1-5 menit

h. Preparat diambil dari pewarnaan hematoxyn dan direndam dalam

running water selam 2-3 menit

i. Preparat diambil dari running tap water dan direndam dalam pewarnaan

eosin selama 1-5 menit

j. Preparat diambil dari larutan eosin kemudian dimasukkan dalam etanol

75% selama 5 detik, kemudian dimasukkan ke dalam etanol absolut

selama 5 detik diulang 3 kali pada etanol absolut yang berbeda

k. Preparat diambil dan direndam dalam xylene III selama 5 menit,

kemudian dipindahkan dalam xylene IV selama 5 menit dan terakhir

dipindahkan ke dalam xylene V selama 10 menit

l. Preparat diangkat dari xylene V dan ditetesi dengan canada balsam


59

m. Preparat ditutup menggunakan objek glass secara perlahan-lahan dan

dibiarkan hingga kering

6. Pemeriksaan mikroskopis

Dilakukan dengan menggunakan mikroskop cahaya pada pembesaran


400x yang diamati pada lima lapang pandang.
60

Lampiran 4. Total nilai perubahan makroskopis hepar tikus putih setiap organ
dari kelompok K-, K+, P1, P2, dan P3

Perubahan Total Berat


Organ Perubahan Perubahan
Ukuran Perubahan Nilai Organ
Hepar Warna Konsistensi
(Pembengkakan) makroskopis (gram)
K- (1) - + - + 1 5,36
K- (2) - + - + 1 5,28
K- (3) - - - - 0 5,96
K- (4) - + - + 1 6,50
K- (5) - - - - 0 5,20
K+ (1) - + - + 1 8,02
K+ (2) + + - ++ 2 9,04
K+ (3) - + - + 1 7,34
K+ (4) - + - + 1 7,50
K+ (5) - + - + 1 6,30
P1 (1) - + - + 1 7,72
P1 (2) - + - + 1 6,10
P1 (3) + + - ++ 2 8,02
P1 (4) + + - ++ 2 8,42
P1 (5) - + - + 1 7,00
P2 (1) - + - + 1 9,00
P2 (2) + + - ++ 2 9,18
P2 (3) - + - + 1 7,96
P2 (4) - - - - 0 5,94
P2 (5) - + - + 1 7,30
P3 (1) - - - - 0 7,40
P3 (2) - - - - 0 6,74
P3 (3) - + - + 1 7,52
P3 (4) - + - + 1 8,06
P3 (5) - - - - 0 8,12
Keterangan : Tanda (+) diartikan bahwa organ hepar mengalami perubahan sesuai
dengan kriteria pada kolom, tanda (–) menunjukkan tidak terjadinya
perubahan sesuai kriteria pada kolom
61

Lampiran 5. Hasil skoring Histopatologi hepar tikus putih (Rattus norvegicus)


lesi Degenerasi dan Nekrosis

Degenerasi dan Nekrosis


NO Kode Preparat Rerata
LP1 LP2 LP3 LP4 LP5
1 K- (1) 0 0 0 0 0 0
2 K- (2) 0 0 0 0 0 0
3 K- (3) 0 0 1 0 0 0
4 K- (4) 0 1 1 1 0 1
5 K- (5) 4 4 3 3 4 4
6 K+(1) 3 1 3 4 4 3
7 K+(2) 4 4 4 4 4 4
8 K+(3) 4 4 3 4 4 4
9 K+(4) 4 4 4 3 1 3
10 K+(5) 4 4 4 4 4 4
11 P1(1) 1 3 1 1 1 1
12 P1(2) 4 4 4 4 1 3
13 P1(3) 3 4 3 1 1 3
14 P1(4) 3 1 1 3 3 2
15 P1(5) 4 4 4 4 4 4
16 P2(1) 3 3 1 3 0 2
17 P2(2) 3 3 3 1 3 3
18 P2(3) 1 4 4 4 3 3
19 P2(4) 3 1 3 1 1 2
20 P2(5) 1 1 3 1 1 2
21 P3(1) 1 3 1 3 0 2
22 P3(2) 3 1 3 3 4 3
23 P3(3) 1 1 3 1 1 1
24 P3(4) 1 1 1 1 1 1
25 P3(5) 3 1 3 1 3 2
62

Lampiran 6. Analisis Statistik Makroskopis dan Histopatologi Hepar Tikus


Putih (Rattus norvegicus).

1) A. Kruskal-Wallis Test Hasil Makroskopis Hepar Tikus Putih

Ranks

Kelompok Perlakuan N Mean Rank

Kelompok K- 5 9.80

Kelompok K+ 5 15.90

Kelompok P1 5 17.80
Nilai Perubahan Makroskopis
Kelompok P2 5 13.80

Kelompok P3 5 7.70

Total 25

Test Statisticsa,b

Nilai Perubahan
Makroskopis

Chi-Square 8.472

df 4

Asymp. Sig. .076

a. Kruskal Wallis Test

b. Grouping Variable: Kelompok Perlakuan


63

2) A. Kruskal-Wallis Test Hasil Histopatologi Hepar Tikus Putih

Ranks

Kelompok Perlakuan N Mean Rank

K- 5 6.90

K+ 5 20.60

P1 5 14.60
Degenerasi dan Nekrosis
(Skor)
P2 5 13.10

P3 5 9.80

Total 25

Test Statisticsa,b

Degenerasi dan
Nekrosis (Skor)

Chi-Square 10.451

Df 4

Asymp. Sig. .033

a. Kruskal Wallis Test

b. Grouping Variable: Kelompok Perlakuan


64

2) B. Mann-Whitney Test Hasil Histopatologi Hepar Tikus Putih

Mann-Whitney Test (K- dengan K+)

Ranks Test Statisticsa

Kelompok N Mean Sum of Degenerasi dan


Perlakuan Rank Ranks Nekrosis (Skor)

K- 5 3.70 18.50 Mann-Whitney U 3.500


Degenerasi dan
K+ 5 7.30 36.50 Wilcoxon W 18.500
Nekrosis (Skor)
Total 10 Z -1.972

Asymp. Sig. (2-tailed) .049

Exact Sig. [2*(1-tailed


.056b
Sig.)]

a. Grouping Variable: Kelompok Perlakuan

b. Not corrected for ties.

Mann-Whitney Test (K- dengan P1)

Test Statisticsa
Ranks

Kelompok N Mean Sum of Degenerasi dan


Perlakuan Rank Ranks Nekrosis (Skor)

K- 5 4.00 20.00 Mann-Whitney U 5.000


Degenerasi dan
P1 5 7.00 35.00 Wilcoxon W 20.000
Nekrosis (Skor)
Total 10 Z -1.601

Asymp. Sig. (2-tailed) .109

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .151b

a. Grouping Variable: Kelompok Perlakuan

b. Not corrected for ties.


65

Mann-Whitney Test (K- dengan P2)

Ranks Test Statisticsa

Kelompok N Mean Sum of Degenerasi


Perlakuan Rank Ranks dan Nekrosis
(Skor)
K- 5 4.00 20.00
Mann-Whitney U 5.000
Degenerasi dan P2 5 7.00 35.00
Nekrosis (Skor) Wilcoxon W 20.000
Total 10
Z -1.611

Asymp. Sig. (2-tailed) .107

Exact Sig. [2*(1-tailed


.151b
Sig.)]

a. Grouping Variable: Kelompok Perlakuan

b. Not corrected for ties.

Mann-Whitney Test (K- dengan P3)

Ranks
Test Statisticsa

Kelompok N Mean Sum of Degenerasi


Perlakuan Rank Ranks dan
Nekrosis
K- 5 4.20 21.00 (Skor)
Degenerasi dan
P3 5 6.80 34.00 Mann-Whitney U 6.000
Nekrosis (Skor)
Total 10 Wilcoxon W 21.000

Z -1.396

Asymp. Sig. (2-tailed) .163

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .222b

a. Grouping Variable: Kelompok Perlakuan

b. Not corrected for ties.


66

Mann-Whitney test (K+ dengan P1)

Test Statisticsa
Ranks
Degenerasi
Kelompok N Mean Sum of
dan
Perlakuan Rank Ranks
Nekrosis
(Skor)
K+ 5 6.90 34.50
Degenerasi dan P1 5 4.10 20.50 Mann-Whitney U 5.500
Nekrosis (Skor)
Total 10 Wilcoxon W 20.500

Z -1.560

Asymp. Sig. (2-tailed) .119

Exact Sig. [2*(1-tailed


.151b
Sig.)]

a. Grouping Variable: Kelompok Perlakuan

b. Not corrected for ties.

Mann-Whitney test (K+ dengan P2)


Ranks Test Statisticsa

Kelompok N Mean Sum of Degenerasi


Perlakuan Rank Ranks dan Nekrosis
(Skor)
K+ 5 7.60 38.00
Degenerasi dan Mann-Whitney U 2.000
P2 5 3.40 17.00
Nekrosis (Skor)
Wilcoxon W 17.000
Total 10
Z -2.324

Asymp. Sig. (2-tailed) .020

Exact Sig. [2*(1-tailed


.032b
Sig.)]

a. Grouping Variable: Kelompok Perlakuan

b. Not corrected for ties.


67

Mann-Whitney test (K+ dengan P3)

Test Statisticsa
Ranks

Kelompok N Mean Sum of Degenerasi


Perlakuan Rank Ranks dan Nekrosis
(Skor)
K+ 5 7.80 39.00
Mann-Whitney U 1.000
Degenerasi dan P3 5 3.20 16.00
Nekrosis (Skor)
Wilcoxon W 16.000
Total 10
Z -2.479

Asymp. Sig. (2-tailed) .013

Exact Sig. [2*(1-tailed


.016b
Sig.)]

a. Grouping Variable: Kelompok Perlakuan

b. Not corrected for ties.

Mann-Whitney test (P1 dengan P2)

Test Statisticsa
Ranks

Kelompok N Mean Sum of Degeneras


Perlakuan Rank Ranks i dan
Nekrosis
P1 5 5.90 29.50 (Skor)

Degenerasi dan P2 5 5.10 25.50 Mann-Whitney U 10.500


Nekrosis (Skor)
Total 10 Wilcoxon W 25.500

Z -.446

Asymp. Sig. (2-tailed) .656

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .690b

a. Grouping Variable: Kelompok Perlakuan

b. Not corrected for ties.


68

Mann-Whitney test (P1 dengan P3)

Test Statisticsa
Ranks

Kelompok N Mean Sum of Degenerasi


Perlakuan Rank Ranks dan Nekrosis
(Skor)
P1 5 6.60 33.00
Mann-Whitney U 7.000
Degenerasi
dan Nekrosis P3 5 4.40 22.00
Wilcoxon W 22.000
(Skor)
Total 10 Z -1.193

Asymp. Sig. (2-tailed) .233

Exact Sig. [2*(1-tailed


.310b
Sig.)]

a. Grouping Variable: Kelompok Perlakuan

b. Not corrected for ties.

Mann-Whitney test (P2 dengan P3)

Ranks Test Statisticsa

Kelompok N Mean Sum of Degenerasi


Perlakuan Rank Ranks
dan Nekrosis
P2 5 6.60 33.00 (Skor)
Degenerasi
dan Nekrosis P3 5 4.40 22.00 Mann-Whitney U 7.000
(Skor)
Total 10 Wilcoxon W 22.000

Z -1.247

Asymp. Sig. (2-tailed) .212

Exact Sig. [2*(1-tailed


.310b
Sig.)]

a. Grouping Variable: Kelompok Perlakuan

b. Not corrected for ties.


69

Lampiran 7. Hasil Uji Fitokimia Ekstrak Daun Kelor

Hasil Penapisan Fitokimia Ekstrak Kelor (Moringa oleifera)

Senyawa Pereaksi Keterangan Hasil

Flavonoid Terjadi perubahan


warna +
menjadi lebih jingga

Tanin Terjadi perubahan


warna menjadi hijau +
kehitaman

Saponin Terbentuk buih


selama kurang lebih +
10
menit dan
penambahan 1
tetes asam klorida
buih
tidak hilang
70

Steroid/ Tritepenoid Terjadi perubahan


warna menjadi hijau +

Alkaloid Mayer Tidak Terbentuk -


endapan putih
Dragondroff Terbentuk endapan -
merah
bata
Wagner Terbentuk endapan -
coklat
71

Lampiran 8. Dokumentasi Penelitian

Genta-100 untuk induksi induksi gentamisin secara ip

Proses pengumpulan daun kelor Proses penggilingan daun kelor kering

Proses maserasi kelor Proses ekstraksi kelor


72

Pemberian ekstrak daun kelor peroral Proses nekropsi dan pengambilan hepar

Kondisi kandang hewan coba

Pemberian pakan dan minum

Anda mungkin juga menyukai