OLEH
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2020
EVALUASI PEMBERIAN EKSTRAK DAUN KELOR (Moringa oleifera) TERHADAP
GAMBARAN MAKROSKOPIS DAN HISTOPATOLOGI HEPAR TIKUS PUTIH
(Rattus norvegicus) YANG DIINDUKSI GENTAMISIN
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan
pada
Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Airlangga
Oleh :
YULISTIA NUR FADHILAH
NIM 061611133045
Menyetujui
Komisi Pembimbing,
ii
PERNYATAAN
iii
Telah dinilai pada Seminar Hasil Penelitian
Tanggal : 4 Agustus 2020
iv
Telah diuji pada
Tanggal : 18 Agustus 2020
v
RINGKASAN
pembimbing utama dan Dr. Endang Suprihati, drh., M.Si selaku pembimbing serta.
merupakan salah satu Negara berkembang dan urutan penyakit utama masih
relatif terjangkau dan efektif melawan sebagian besar bakteri gram-negatif aerob
yang resisten dengan antibiotik lain. Hepar dan ginjal adalah organ yang paling
meningkatkan stres oksidatif dan aktivitas radikal bebas serta menghambat sistem
(Reactive Oxygen Spesies). Radikal bebas yang berlebihan dalam tubuh dan stres
oksidatif dapat dilawan dengan mengkonsumsi zat yang kaya antioksidan. Saat ini,
mulai banyak dikembangkan obat obatan herbal atau dari bahan alam kaya
antioksidan. Tanaman herbal yang berpotensi salah satunya adalah tanaman kelor.
berbagai penyakit salah satunya penyakit hepar. Khasiat obat tanaman kelor
vi
flavonoid dengan aktifitas antioksidan yang dapat melindungi dan mengobati
kerusakan hepar. Salah satu bagian yang sangat berpotensi dari tanaman kelor yaitu
daun kelor.
Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui pengaruh dari pemberian
dan histopatologi hepar tikus putih (Rattus norvegicus) yang diinduksi Gentamisin.
Hasil analisis data dengan uji Kruskall Wallis menunjukkan bahwa gambaran
perbedaan yang signifikan (p>0,05). Dalam nilai Mean Rank menunjukkan bahwa
gambaran makroskopis hepar tikus putih dengan kerusakan paling tinggi terjadi
pada kelompok P1 dengan nilai Mean Rank sebesar 17,80. Dan untuk kerusakan
paling rendah terjadi pada kelompok P3 dengan nilai Mean Rank sebesar 7,70.
uji Kruskal Wallis menunjukkan adanya perbedaan yang nyata (P<0,05) antar tiap
kelompok perlakuan. Pada uji Kruskall Wallis, hasil dari nilai Mean Rank
paling rendah terjadi pada kelompok K-. Untuk perlakuan yang diberikan ekstrak
vii
daun kelor yaitu kelompok P1, P2, dan P3 menunjukkan bahwa kerusakan paling
rendah menurut hasil Mean Rank terjadi pada kelompok P3 dengan dosis ekstrak
daun kelor sebesar 600 mg/kg bb. Uji statistik Mann-Whitney untuk hasil
(P>0,05).
Kesimpulan dari penelitian ini yaitu pemberian ekstrak daun kelor (Moringa
putih yang diinduksi Gentamisin. Dosis ekstrak daun kelor yang paling efektif
untuk menyembuhkan kerusakan hepar akibat toksisitas gentamisin yaitu dosis 600
viii
EVALUATION OF MORINGA LEAVES (Moringa oleifera) EXTRACT ON
LIVER MACROSCOPIS AND HISTOPATHOLOGICAL FEATURE OF
WHITE RAT (Rattus norvegicus) THAT INDUCED BY GENTAMICIN
ABSTRACT
The research aimed to know about evaluation of Moringa oleifera leaf extract
with different dosage on macroscopic and histopathological liver of Wistar Rat (Rattus
norvegicus) that induced by Gentamicin with toxic dosage. The dosage of gentamicin
is 80 mg/kg bw. This research use twenty five of Wistar Rat (Rattus norvegicus). All
member of population of the wistar rat were divided into five groups, consist of five
repetition each, namely K-, K+, P1, P2, and P3. K- as a negative control respectively.
K+ was given only gentamicin dosage 80 mg/kg bw. P1 was given gentamicin 80
mg/kg bw and moringa extract 150 mg/kg bw. P2 was given gentamicin 80 mg/kg bw
and moringa extract 300 mg/kg bw. P3 was given gentamicin 80 mg/kg bw and
moringa extract 600 mh/kg bw. The macroscopic observed based on criteria, i.e color
change, size change, and consistency change. According to the macroscopic observed,
show that most swelling occurred in the K+ and P1 group and pale liver most common
in group P1. The histopathological scoring method were using modification of Knodell
(1981) with parameter degeneration and necrosis. Then Kruskall-Wallis test through
with Mann-Whitney test of statistical analysis. From the result can be concluded that
Moringa oleifera extract with dosage 600 mg/kg bw most effectively to treat the liver
damage.
Keywords : Gentamicin, liver, Moringa oleifera
ix
UCAPAN TERIMAKASIH
Puji syukur Alhamdulillah saya panjatkan kepada Allah SWT atas berkat,
Hepar Tikus Putih (Rattus norvegicus) yang diinduksi Gentamisin. Tak lupa
Sholawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi tercinta, Nabi
Muhammad SAW atas tuntunan dan syafaatnya sehingga kita semua bisa selalu
kepada :
Hewan Universitas Airlangga serta para wakil dekan dan staf dekan atas
utama dan Dr. Endang Suprihati, drh., M.Si selaku pembimbing serta yang telah
memberikan saran, masukan, dan bimbingan dengan sabar sehingga penulis bisa
drh selaku sekretaris penguji, dan Dr.Eka Pramyrtha Hestianah, drh.,M.Kes selaku
anggota penguji yang telah memberikan bimbingan, koreksi, serta masukan pada
x
Dr.Benjamin CHR Tehupuring, Drh., M.Si selaku dosen wali yang kini
sudah purna tugas dan digantikan oleh dokter Sri Chusniati Drh, M.Kes,
terimakasih banyak atas segala bimbingan, arahan, serta motivasinya dari awal
atas segala ilmu, pengetahuan, dan wawasan, dan kesabaran yang tidak lelah
staf Laboratorium Hewan Coba, Bapak Hidayat staf Laboratorium Pakan Ternak,
dan Bapak Fahrul staf Laboratorium Patologi Klinik yang banyak membantu
Orang tua penulis, Bapak Sunaryo, dan Ibu Kaeksi Kusumawati, serta Adik
penulis Muhammad Akhlis Nur Fadhil yang selalu memberikan kasih sayang yang
tiada usai, doa, dukungan, bimbingan, serta materi sehingga bisa menyelesaikan
pendidikan sarjana kedokteran hewan ini. Tak lupa kepada semua keluarga besar
berjalannya penelitian penulis dari awal hingga selesai Hidayatul Nur Wijayanti,
Nindiarto, Nailul Ngizzah, Meidi Mardatillah, dan masih banyak lagi yang tidak
Bertalina, Nailatul, Elita, Eriza yang selalu saling tolong menolong, bertukar
xi
cerita, berbagi keceriaan dan saling mendoakan tanpa pamrih. Serta sahabat sejak
dari SMA Hafsoh, Ayu Dinar, Ericha, Dila, Nabilah, Hana, Qonita, Retno, dan
Sherlyn yang senantiasa saling memberi kabar dan selalu memberi motivasi, dan
dunia kampus. Kakak tingkat Delphinus 2015 dan adik tingkat Red wolf 2017
Untuk rekan-rekan JMV FKH Unair 2017, BEM Kabinet Harmonis, KMPV
Unggas dan Burung yang selalu memberikan semangat dan pengalaman yang
pembuatan dan pengerjaan. Penulis berharap karya ini dapat menjadi sangat
dan kesehatan manusia pada umumnya. Saran dan masukan mengenai kekurangan
yang ada dalam pengerjaan penelitian dan penyususnan naskah dapat menjadi
diberikan.
Penulis
xii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................. ii
HALAMAN PERNYATAAN ...........................................................................iii
HALAMAN IDENTITAS ................................................................................. iv
RINGKASAN .................................................................................................... vi
ABSTRAK ......................................................................................................... ix
UCAPAN TERIMAKASIH ................................................................................ x
DAFTAR ISI ....................................................................................................xiii
DAFTAR TABEL ............................................................................................. xv
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xvi
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... xvii
SINGKATAN DAN ARTI LAMBANG .......................................................xviii
BAB 1 PENDAHULUAN ................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................ 3
1.3 Tujuan............................................................................................... 3
1.4 Manfaat............................................................................................. 3
1.5 Landasan Teori ................................................................................. 4
1.6 Hipotesis ........................................................................................... 6
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................ 7
2.1 Gentamisin ........................................................................................ 7
2.2 Mekanisme Jejas Sel akibat Radikal Bebas ...................................... 8
2.3 Karakteristik, Fungsi, dan Kondisi Patologis Hepar ....................... 10
2.3.1 Struktur anatomi hepar ..................................................... 10
2.3.2 Gambaran mikroskopik hepar .......................................... 11
2.3.3 Fungsi hepar ..................................................................... 13
2.3.4 Degenerasi hepatosit ......................................................... 14
2.3.5 Nekrosis hepatosit ............................................................ 16
2.4 Tanaman Kelor ................................................................................ 17
2.4.1 Morfologi dan taksonomi ................................................. 17
2.4.2 Kandungan daun kelor ..................................................... 19
2.4.3 Manfaat daun kelor untuk kesehatan................................ 21
2.5 Tikus Putih (Rattus Norvegicus) ..................................................... 23
xiii
BAB 3 MATERI DAN METODE ................................................................... 25
3.1 Rancangan Penelitian ...................................................................... 25
3.2 Sampel dan Besar Sampel ............................................................... 25
3.3 Variabel Penelitian .......................................................................... 26
3.4 Definisi Operasional........................................................................ 26
3.5 Tempat dan Waktu Penelitian ......................................................... 28
3.6 Bahan dan Materi Penelitian ........................................................... 28
3.6.1 Hewan penelitian .............................................................. 28
3.6.2 Bahan dan alat penelitian ................................................. 28
3.7 Prosedur Penelitian ......................................................................... 29
3.7.1 Uji kelaikan etik ............................................................... 29
3.7.2 Tahap ekstraksi daun kelor .............................................. 29
3.7.3 Tahap adaptasi tikus putih................................................ 30
3.7.4 Tahap perlakuan ............................................................... 30
3.7.5 Tahap pengambilan sampel hepar .................................... 31
3.7.6 Tahap pemeriksaan sampel .............................................. 32
3.8 Analisis Data ................................................................................... 33
3.9 Diagram Alir Penelitian .................................................................. 34
xiv
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
2.1 Kandungan nilai gizi daun kelor segar dan kering ...................................... 20
3.1 Skoring histopatologi hepar lesi degenerasi dan nekrosis
modifikasi dari Knodell, (1981) ................................................................. .33
4.1 Nilai Mean Rank penilaian perubahan makroskopis hepar tikus putih
(Rattus norvegicus) dalam lima kelompok perlakuan ................................. 35
4.2 Jumlah organ hepar yang mengalami perubahan makroskopis setiap
kelompok perlakuan serta rata rata berat hepar ......................................... 36
4.3 Mean Rank hasil skoring histopatologi hepar tikus putih
(Rattus norvegicus) lesi degenerasi dan nekrosis ...................................... 39
xv
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
xvii
SINGKATAN DAN ARTI LAMBANG
xviii
BAB 1 PENDAHULUAN
merupakan salah satu Negara berkembang dan urutan penyakit utama masih
yang sering digunakan karena harganya relatif terjangkau dan efektif melawan
sebagian besar bakteri gram-negatif aerob yang resisten dengan antibiotik lain
(Khan et al., 2011). Gentamisin memiliki efek samping seperti alergi, reaksi iritasi,
dan reaksi toksik (Istiantoro dan Gan, 2007). Gentamisin juga bersifat toksik pada
berbagai organ seperti ginjal, hepar, paru-paru, dan kulit karena menginduksi
toksik, dan mikroba (Robbins et al., 2007). Hepar dan ginjal adalah organ yang
membuktikan bahwa Gentamisin dengan dosis 100 mg/kg bb selama 10 hari dapat
1
2
Gentamisin pada tikus putih (Rattus norvegicus) dengan dosis 80 mg/kg bb selama
produksi ROS (Reactive Oxygen Spesies) (Galaly et al., 2014). Radikal bebas yang
berlebihan dalam tubuh dan stres oksidatif dapat dilawan dengan mengkonsumsi
zat yang kaya antioksidan (Abdel-Raheem, 2010). Saat ini, mulai banyak
dikembangkan obat obatan herbal atau dari bahan alam kaya antioksidan. Tanaman
tropis yang sudah tumbuh dan berkembang di daerah tropis termasuk Indonesia
Indonesia saat ini masih terbatas. Masyarakat biasa menggunakan daun kelor
menjadikan tanaman kelor hanya sebagai tanaman hias yang tumbuh pada teras-
teras rumah, bahkan di beberapa wilayah di Indonesia pemanfaatan daun kelor lebih
banyak untuk memandikan jenazah, meluruhkan jimat, dan sebagai pakan ternak
mengobati berbagai penyakit salah satunya penyakit hepar (Purwati, 2019). Khasiat
obat tanaman kelor dihubungkan dengan kandungan senyawa kimia quercetin dan
3
dan mengobati kerusakan hepar (Syahrin dkk., 2016). Salah satu bagian yang sangat
berpotensi dari tanaman kelor yaitu daun kelor. Dalam penelitian Syahrin dkk
(2016) telah dibuktikan bahwa ekstrak daun kelor dapat meregenarsi hepatosit yang
perubahan hepar akibat induksi Gentamisin belum diketahui secara pasti pengaruh
ekstrak daun kelor terhadap perubahan makroskopis dan histopatologi hepar pada
adalah apakah terdapat pengaruh pemberian ekstrak daun kelor (Moringa oleifera)
Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui pengaruh dari pemberian
dan histopatologi hepar tikus putih (Rattus norvegicus) yang diinduksi Gentamisin.
Hasil dari penelitian ini nantinya dapat diterapkan dan diketahui oleh
masyarakat apakah obat herbal yang berasal dari daun kelor bisa digunakan untuk
serta penurunan fungsi hepatosit akibat toksisitas dari obat tertentu seperti
Gentamisin.
luas yang biasa diresepkan untuk mengobati pasien dari infeksi. Efek buruknya
dalam jangka panjang dalam penggunaan klinis dapat mengakibatkan stres oksidatif
(Udupa and Prakash, 2019). Gentamisin dapat menginduksi stres oksidatif dengan
percobaan Susianti (2013) telah dibuktikan pada tikus putih (Rattus norvegicus),
tempat.
Hepar merupakan organ tubuh yang rentan mengalami kerusakan. Hal ini
disebabkan oleh peradangan yang sebagian besar merupakan akibat infeksi virus,
paparan alkohol, keracunan obat-obatan atau bahan kimia (Yenny et al., 2010).
Induksi obat obatan dengan dosis toksik secara terus menerus akan membentuk
peroksidasi lipid dan penurunan kadar antioksidan endogen adalah indikator stres
oksidatif yang merupakan salah satu penyebab jejas pada sel. Apabila semakin
parah akan terjadi serangkaian perubahan morfologi sel yang dapat bersifat subletal
kerusakan sel oleh radikal bebas yang dapat menimbulkan stres oksidatif. Ekstrak
daun kelor memiliki aktivitas antioksidan mencapai 66,8 % (Ezejindu et al., 2006).
Kelor (Moringa oleifera) merupakan spesies yang paling terkenal dari tiga belas
spesies genus Moringacae. Tanaman ini dapat tumbuh dengan cepat dan
digambarkan sebagai salah satu tanaman yang paling bergizi di dunia (Aminah
dkk., 2015).
antioksidan yang dapat melindungi dan mengobati kerusakan hepar (Syahrin dkk.,
2016). Kadar polyphenol dan flavonoid pada daun kelor diketahui lebih tinggi
dibandingkan daun lain seperti daun labu silam dan daun pakis (Alverina dkk.,
2016).
6
bebas terhadap molekul molekul disekitar tempat yang terjadi reaksi oksidasi.
Apabila terdapat antioksidan eksternal yang masuk, radikal bebas akan segera
bereaksi dengan cara antioksidan membentuk molekul yang stabil dan tidak
2010).
1.6 Hipotesis
2.1 Gentamisin
Gentamisin pertama kali ditemukan pada tahun 1963 dari sejenis kapang,
terhadap infeksi oleh E.coli, Proteus, dan kuman gram positif seperti
perawatan infeksi akibat bakteri pada saluran pernapasan dan penyakit darah,
tulang, dan jaringan lunak (Hafez, et al 2019). Apabila kuman resisten terhadap
aminoglikosida tidak diserap melalui saluran cerna, sehingga harus diberikan secara
tertinggi terjadi pada hepar. Menurut Khan et al (2011), Gentamisin bersifat toksik
terhadap hepar akibat reaksi stres oksidatif yang ditimbulkannya. Bahaya dari efek
Dosis yang disarankan pada pemakaian parenteral atau secara injeksi pada manusia
7
8
yaitu 5 mg/kg bb yang diberikan 2 kali sehari, sedangkan untuk pemakaian topikal
tersebut menjadi tidak stabil dan selalu berusaha mengambil elektron dari molekul
dalam sel lain. Radikal bebas dapat didefinisikan sebagai suatu atom, molekul, atau
senyawa yang mengandung satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan
sehingga sangat reaktif. Tiga spesies radikal bebas yang penting dan menimbulkan
stres oksidatif dan jejas seluler adalah superoksid (O2+), hidrogen peroksid (H2O2),
Terbentuknya radikal bebas dalam sel dapat terjadi melalui beberapa proses
Oxygen Species) yang bisa mengakibatkan terjadinya jejas pada sel. ROS adalah
suatu kondisi dimana atom oksigen memiliki muatan elektron lebih (Robbins dkk.,
2007). Mekanisme jejas sel akibat radikal bebas ditunjukkan seperti dalam Gambar
2.1.
9
Secara patologis, kerusakan sel reversibel adalah dimana sel dapat beradaptasi atau
me-recovery yaitu akan kembali berfungsi normal bila penyebabnya hilang. Jejas
irreversibel adalah kematian sel atau nekrosis sel karena sel tidak dapat beradaptasi
terhadap stressor atau akibat injury yang terus menerus (McGavin and Zachary,
2007). Penelitian yang dilakukan oleh Khan et al (2011) telah membuktikan bahwa
hepar tikus putih yang terpapar gentamisin dosis 100 mg/kg bb selama 10 hari
merupakan jejas reversibel atau gangguan yang masih bisa diperbaiki dan tidak
Hepar merupakan kelenjar tubuh terbesar dengan berat sekitar 2,5% berat
badan manusia dewasa, atau berkisar dari 1.400 sampai 1.600 g. Hepar sebagian
besar terletak di perut bagian kanan atas di belakang tulang costae dan memiliki
ukuran yang normal sebesar telapak tangan individu itu sendiri (Cotran et al., 1999),
hepar dari pleura, paru-paru, perikardium dan jantung (Moore and Dalley, 2006).
peredaran darah dalam tubuh serta memiliki fungsi penting yaitu melindungi tubuh
terhadap terjadinya penumpukan zat berbahaya yang masuk dari luar misalnya obat
2014). Organ hepar termasuk organ yang mudah diraba dengan melakukan palpasi
dinding abdomen di bawah lengkung tulang costae kanan, yaitu dengan memeriksa
pada waktu inspirasi dalam sehingga tepi bawah hepar dapat teraba. Bagian bawah
hepar berbentuk cekung dan merupakan bagian atas dari ginjal kanan, lambung,
Pada Gambar 2.2 menunjukkan struktur anatomi hepar tikus putih (Rattus
norvegicus) serta pembagian lobus hepar tikus putih yang terbagi menjadi 4 yaitu
lobus kanan atau lobus dextra, lobus kiri atau lobus sinistra, lobus median dan lobus
caudatus.
11
Gambar 2.2 : Anatomi Hepar dan Pembagian Lobus pada Hepar Tikus Putih
Keterangan : Anatomi hepar tikus putih terbagi menjadi 4 lobus yaitu
lobus median atau lobus sistik (A), lobus lateral dekstra (B), lobus
lateral sinistra (C), dan lobus caudatus (D) (Vinerean, 2014).
hepatosit (sel hepar) yang berada dalam pusat yang disebut vena sentralis. Di sudut
pinggir dimana lobulus hepar yang berdekatan saling bertemu, ada daerah yang
disebut segitiga portal yaitu terdiri dari cabang cabang dari arteri hepatika dan vena
adalah saluran yang berliku liku dan melebar, diameternya tidak teratur, dan
kebanyakan dilapisi sel endotel bertingkat yang tidak utuh (Gibson, 2003).
Terdapat zat makanan mengalir di dalam sinusoid yang memiliki akses langsung
melalui dinding endotel yang tidak utuh dengan hepatosit. Struktur dan jalur
fagosit dari sel retikuloendotel (sel Kupffer) dan sel-sel endotel (Junquiera and
Carneiro, 2012). Sel Kupffer mempunyai inti besar, pucat dan sitoplasmanya lebih
sinusoid (Leeson et al., 1996). Sel kupffer memiliki fungsi utama yaitu menelan
bakteri dan benda asing lain dalam darah (Price and Wilson, 2006). Sel Kupffer
bakteri. Sel ini paling banyak ditemukan pada daerah periportal di lobulus hepar
(Junquiera & Carneiro, 2012). Struktur histologi hepar bagian lobulus dengan
Fungsi dasar hepar dapat dibagi menjadi (1) fungsi vaskularisasi untuk
dengan sebagian besar sistem metabolisme tubuh, dan (3) fungsi sekresi dan
ekskresi yang berperan membentuk empedu yang mengalir melalui saluran empedu
cara memecah beberapa senyawa yang bersifat racun dan menghasilkan ammonia
dan urea. Proses pemecahan senyawa beracun oleh hepar disebut dengan proses
detoksifikasi. Selain itu, hepar juga sebagai organ sekresi (empedu yang berguna
dari vena porta dan sebagian kecil berasal dari arteri hepatika. Seluruh materi yang
diserap melalui usus dibawa ke hepar melalui vena porta, kecuali lemak akan
dibawa melalui pembuluh limfe. Vena porta membawa darah penuh makanan yang
diserap dari usus, sedangkan arteri hepatika berisi darah yang mengandung oksigen.
Cabang cabang dari kedua pembuluh darah tersebut mengikuti jaringan ikat
metabolisme tubuh yaitu ketika hepatosit saling memberikan substrat dan energi
dari satu sistem metabolisme ke sistem yang lain, mengolah dan mensintesis
berbagai zat yang diangkut ke daerah tubuh lainnya, dan melakukan berbagai fungsi
metabolisme lain. Berbagai metabolisme yang dilakukan oleh hepar antara lain
14
memiliki fungsi metabolik yang lain seperti penyimpanan vitamin, sebagai proses
koagulasi darah, penyimpanan besi, serta sebagai pengeluaran atau ekskresi obat
obatan, hormon, dan zat zat lain (Guyton and Hall, 2014).
disertai perubahan morfologis akibat jejas nonfatal pada sel, atau sebagai reaksi sel
terhadap jejas yang masih reversibel dengan terjadinya proses penimbunan atau
akumulasi cairan atau zat lain dalam organel sel. Secara mikroskopis, sel akan
morfologik sel bersifat reversibel atau masih bisa disembuhkan dalam bentuk
semula (Arimbi dkk., 2015). Terdapat tiga jenis degenerasi sel yaitu degenerasi
akumulasi cairan di sitoplasma, inti sel normal, dan sitoplasma sel hepar keruh.
lemak yang biasa terjadi pada organ hepar, ginjal, dan jantung. Hal ini dapat
dari asam lemak. Perubahan ini bersifat reversibel. Secara makroskopis organ
membesar, tepi organ tumpul, organ berwarna kekuningan (lebih cerah), sayatan
organ tampak berminyak. Secara mikroskopis ukuran sel membesar, inti terdesak
ke tepi, terdapat vakuola lemak (bisa unilokuler ataupun multilokuler) dan vakuola
lemak tampak kosong (Arimbi, 2009). Hepar yang mengalami degenerasi melemak
Jika cedera cukup hebat, maka sel akan mencapai dimana sel tidak lagi
mampu mengkompensasi suatu titik “Point of no return”. Sel mati tidak dapat
Saat sel mengalami nekrosis, perubahan perubahan yang terjadi pada inti
yang melisut dan padat (Gavin dan Zachary, 2007). Nekrosis terjadi bermula dari
hilangnya inti (kariolisis) (McGavin and Zachary, 2011). Ilustrasi sel yang
Gambar 2.6 : Ilustrasi Nekrosis (kematian) pada Sel (Arimbi dkk., 2015).
Keterangan : Gambar ilustrasi nekrosis sel, nomor 1 = Inti sel
normal, nomor 2 = kariopiknotis, nomor 3 = Kariolisis, nomor 4 =
karioreksis.
Kingdom : Plantae
Divisi : Magnoliopsida
18
Ordo : Capparales
Famili : Moringaceae
Genus : Moringa
daerah tropis dan subtropis, banyak tersebar di Asia Tenggara, seperti Vietnam, Sri
Lanka, India, Malaysia, Thailand, dan Indonesia. Tanaman ini sudah sejak lama
dimanfaatkan sebagai bahan obat obatan tradisional. Semua bagian tanaman kelor
secara tradisional digunakan untuk tujuan yang berbeda, tetapi yang sering
digunakan adalah daun. Daun kelor yang kaya akan senyawa protein, mineral, beta
belum banyak diteliti dan dimanfaatkan secara maksimal pada populasi negara
bercabang atau serabut dan dapat mencapai kedalaman 5 – 10 meter. Akar ini
berguna untuk membantu penyerapan air dalam tanah, serta membantu sebagai
mencapai 12 meter, batang tidak terlalu keras, berkulit tipis, permukaan kasar,
banyak percabangan dan arah percabangan cenderung tegak atau agak miring
dengan pertumbuhan lurus dan memanjang. Daun kelor berbentuk bulat telur,
dengan ukuran relatif kecil, daun majemuk, tersusun selang seling, beranak daun
gasal, helai daun berwarna hijau muda dan biasanya digunakan sebagai obat
19
tradisional. Bunga kelor berwarna putih kekuning kuningan dan memiliki pelepah
bunga berwarna hijau. Buah kelor berbentuk segitiga memanjang berkisar antara 20
cm hingga 60 cm, sering disebut juga sebagai kelentang dan berwarna hijau muda
hingga kecoklatan. Biji kelor berbentuk bulat dan berwarna coklat kehitaman.
Dalam satu biji ini akan terdapat beberapa (10 sampai dengan 20 biji) butir dalam
buah (Edwinanto et al., 2018). Bentuk pohon kelor dan daun kelor dapat dilihat
a) b)
Daun kelor juga memiliki kandungan senyawa aktif yaitu steroid (Putra dkk.,
2016). Kandungan karotenoid terdiri dari β- carotine, dan lutein (Leone et al.,
2015). Vitamin yang terkandung dalam daun kelor antara lain yaitu vitamin A,
20
absorbic acid, vitamin E – tokoferol. Semua vitamin yang terkandung dalam daun
Kadar polyphenol dan flavonoid pada daun kelor diketahui lebih tinggi
dibandingkan daun lain seperti daun labu silam dan daun pakis. Daun kelor kering
GAE/100g DW. Jumlah ini lebih besar daripada yang ditemukan dalam buah dan
sayuran (Brat et al., 2006). Daun kelor juga memiliki kandungan vitamin C yang
bagus yaitu 220mg/100g daun. Kandungan vitamin C daun kelor ini hampir 4 kali
lebih banyak daripada daun lainnya seperti daun kenikir yang memiliki kandungan
vitamin C 64,6mg/100g daun dan daun pepaya yang memiliki kandungan vitamin
antioksidan berupa kadar air, protein, lemak, kadar abu, karbohidrat, serat, kalsium,
Tabel 2.1. Kandungan nilai gizi daun kelor segar dan kering (Melo et al., 2013)
Komponen Gizi Daun Segar Daun Kering
Kadar air (%) 94,01 4,09
Protein (%) 22,7 28,44
Lemak (%) 4,65 2,74
Kadar abu (%) - 7,95
Karbohidrat (%) 51,66 57,01
Serat (%) 7,92 12,63
Kalsium (mg) 350-550 1600-2200
Energi (Kcal/100g) - 307,3
21
Banyak sekali kandungan daun kelor yang masing masing memiliki manfaat
yang berbeda beda untuk tubuh. Vitamin A pada daun kelor memainkan peran
pertumbuhan dan perkembangan, sistem imun, diferensiasi sel, proliferasi sel dan
apoptosis, pemeliharaan jaringan epitel, dan fungsi otak (Alvarez et al., 2014).
Vitamin C pada daun kelor berperan dalam sintesis dan metabolisme banyak
berbagai efek buruk dari radikal bebas, polutan, dan racun (Chambial et al., 2013).
monosit dan regulasi massa tulang (Borel et al., 2013). Vitamin kelompok vitamin
B, yaitu terdiri dari tiamin, riboflavin, dan niasin yang terdapat pada daun kelor.
Kelompok vitamin B ini terutama bertindak sebagai kofaktor dari banyak enzim
flavonoid dan asam fenolik. Flavonoid termasuk antioksidan yang memiliki efek
perlindungan melawan banyak penyakit menular (bakteri dan virus) dan penyakit
lainnya (Kumar dan Pandey, 2013). Daun kelor (Moringa oleifera) memang
dalam daun kelor kering berkisar 5.05 g hingga 12,16 mg/g DW (Yang et al., 2008).
senyawa kimia quercetin dan silymarin yang dapat melindungi dan mengobati
partikel yang merusak dalam tubuh yang dikenal sebagai radikal bebas, yang
berdampak negatif terhadap cara kerja sel. Silymarin juga dapat memperbaiki
membran hepatosit dan mencegah zat asing (xenobiotik) masuk ke dalam sel lewat
Antioksidan lain yang terdapat pada daun kelor yaitu kandungan alkaloid. Alkaloid
(Rahman et al., 2017). Antioksidan tannin adalah senyawa fenolik yang larut dalam
air yang mengikat dan mengendapkan alkaloid, gelatin, dan protein lainnya. Sifat
aktivitas replikasi anti hepatoksik, anti bakterial, dan anti HIV (Human
antioksidan yang merupakan sekelompok senyawa alami yang terdiri dari senyawa
hemolitik, senyawa ini dipelajari juga mempunyai khasiat sebagai antikanker (Tian
et al., 2013). Daun kelor merupakan sumber saponin yang baik, dengan jumlah
yang lebih besar dari konsentrasi yang ditemukan pada tanaman lain (Edeoga et al.,
2005). Senyawa steroid dalam daun kelor memiliki kegunaan yaitu sebagai
Senyawa lain yang bukan termasuk antioksidan yang terdapat pada daun
kelor terdapat senyawa glukosinolat, isotiosianat, oksalat, dan fitat (Leone et al.,
2015) . Kandungan Glukosinolat yang ada pada daun kelor (Moringa oleifera)
efektif terhadap kanker. Sel sel kanker berkembang biak dengan cepat, oleh karena
itu agen antikanker diperlukan untuk menghentikan tindakan mereka. Daun kelor
protein dan molekul untuk menghambat perkembangan sel kanker (Karim et al.,
2016). Sedangkan senyawa isotiosianat pada daun kelor berpotensi sebagai agen
antifertilitas (Adebiyi, 2013). Oksalat dan fitat adalah senyawa anti – nutrisi karena
oleifera) menyajikan kandungan tinggi dari senyawa ini. Oksalat yang terkandung
dalam daun kering berkisar antara 430 – 1050 mg/100 g DW (Teixeria et al., 2014)
mirip dengan tanaman lain yang kaya akan senyawa ini (Gupta et al., 2012).
Konsentrasi fitat pada daun kering berkisar antara 25 hingga 31 g/kg DW (Makkar
and Becker, 1995). Jumlah ini lebih besar dari kacang kacangan dan sereal tetapi
Tikus putih atau Rattus norvegicus merupakan spesies tikus yang memiliki
badan yang lebih besar dibandingkan tikus yang lainnya. Rata rata panjang tikus ini
mencapai 400 ml dari ujung ke ujung dan memiliki berat 140 – 500 g. Tikus jantan
biasanya lebih besar daripada tikus betina. Telinga dan ekornya tidak memiliki
rambut atau gundul. Ekornya lebih panjang daripada panjang tubuhnya. Spesies ini
24
memiliki telinga lebih pendek daripada spesies yang mendekati, dan tidak menutupi
Simanjuntak (2013) :
Kingdom : Animalia
Phylum : Chordata
Subphylum : Vertebrata
Class : Mamalia
Ordo : Rodentia
Family : Muridae
Genus : Rattus
Ciri ciri tikus putih (Rattus norvegicus) mulai dari warna dan bentuk dari
Lengkap (RAL). Semua aspek yang dibuat sama kecuali variabel bebas yang
Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah 25 ekor tikus putih
jantan (Rattus norvegicus) yang berumur 2-3 bulan dengan berat badan 150 – 200
gram. Tikus yang digunakan sebagai hewan coba sebelum diberikan perlakuan
harus dalam kondisi sehat dengan tanda tanda bulu bersih, mata jernih, tingkah laku
Acak Lengkap (RAL) (Al - arif, 2018). Dengan perhitungan sebagai berikut :
(t-1) (n-1) ≥ 15
(5-1) (n-1) ≥ 15
4n – 4 ≥ 15
4n ≥ 19
n ≥ 4, 75 dibulatkan menjadi 5
t : Jumlah perlakuan
25
26
Variabel kendali : Jenis hewan coba, umur hewan coba (2-3 bulan),
pemeliharaan.
Daun kelor (Moringa oleifera) diambil dari kecamatan Pare, Kediri, Jawa
2. Pemberian gentamisin
kriteria serta ditambah data pendukung berupa berat organ dalam satuan
merah kecoklatan.
ditandai dengan inti sel terlihat pucat dan memudar atau tidak lagi
berfragmen.
28
untuk pengambilan organ hepar dilakukan di kandang hewan coba secara nekropsi
Patologi Veteriner FKH Unair. Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Desember
Hewan coba yang digunakan dalam penelitian ini adalah 25 ekor tikus putih
jantan (Rattus norvegicus) yang berumur 2-3 bulan dengan berat badan 150 – 200
gram. Tikus yang digunakan sebagai hewan coba dalam kondisi sehat dengan tanda
Bahan untuk perlakuan toksisitas pada hewan coba yaitu Gentamisin botol
Ketamine dan Xylazine, alkohol 70 % untuk sterilisasi, dan NaCl fisiologis untuk
Bahan yang diperlukan dalam proses ekstraksi daun kelor terdiri dari daun
kelor yang diambil dari kecamatan Pare, Kediri Jawa Timur, kemudian Etanol 96
Alat dan bahan tambahan yang dibutuhkan selama penelitian terdiri dari
kandang tikus, feeding tube ukuran 8, sekam, pakan dan minum tikus, gloves,
masker, alat dokumentasi, jarum sonde, kapas, spuit 1 cc, timbangan neraca, gelas
ukur, kertas saring, vacuum rotary evaporator, botol, corong, mortar, batang kaca
kelor dari Kecamatan Pare, Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Setelah itu, daun kelor
dikeringkan dengan cara diletakkan pada suhu ruang kurang lebih tiga hari sampai
benar benar kering hingga kadar air tersisa 5 %. Daun kelor yang sudah kering
hingga menjadi serbuk kelor. Kemudian serbuk daun kelor direndam dengan pelarut
etanol 96 % hingga pelarut merendam serbuk setinggi tiga jari dari permukaan
serbuk selama tiga hari dengan melakukan pengadukan setiap harinya. Kemudian
penyaringan diulang sekurang kurangnya dua kali dengan jenis dan jumlah pelarut
yang sama. Maserat dikumpulkan dan diuapkan dengan Vacuum Rotary Evaporator
hingga diperoleh ekstrak kental. Rendamen ekstrak dihitung dalam persen dengan
digunakan.
pakan berupa pelet dan air minum pada pagi dan sore selama tujuh hari di
Setelah melewati proses adaptasi selama tujuh hari, selanjutnya masuk pada
tahap perlakuan. Keseluruhan hewan percobaan telah ditimbang dan dibagi menjadi
lima kelompok perlakuan yang masing masing kelompok terdiri dari lima ekor tikus
(membuat irisan vertikal besar pada dinding perut ke dalam rongga perut).
Laparatomi dilakukan setelah hewan coba dianestesi dengan ketamine HCl dengan
dosis 100 mg/kg bb dan xylazine HCl 5 mg/kg bb dengan tujuan agar mudah untuk
mengeksisi tikus dan mengambil organ hepar. Lobus hepar yang akan diteliti dan
dibuat preparat histopatologi secara keseluruhan yaitu lobus hepar sebelah kanan.
Hepar dimasukkan pot organ yang sebelumnya telah diisi dengan formalin buffer
perubahan ukuran diamati secara visual, dan perubahan konsistensi dinilai dengan
melakukan perabaan. Berat organ dihitung dengan satuan gram sebagai data
pendukung dan dilanjutkan dengan penilaian dengan tiga kriteria yaitu perubahan
Hasil penilaian perubahan makroskopis setiap organ hepar tikus putih yang
fiksasi, dekalsifikasi, lalu dilanjutkan pemrosesan bahan yang terdiri dari dehidrasi
tahap pembacaan dan skoring. Tiap sampel preparat dilakukan pembacaan dengan
yaitu degenerasi dan nekrosis modifikasi dari skoring Knodell (1981), lesi
degenerasi dan nekrosis dan skor masing masing lesi dapat dilihat pada Tabel 3.1.
Tabel 3.1 : Skoring histopatologi hepar lesi degenerasi dan nekrosis modifikasi dari
Knodell (1981)
yang telah dilakukan penilaian kemudian dianalisis menggunakan uji statistik non
perbedaan antar perlakuan dilanjutkan dengan uji Mann Whitney dengan taraf
K- K+ P1 P2 P3
Kelompok tikus Kelompok tikus Kelompok tikus Kelompok tikus Kelompok tikus
sehat diberi diinduksi diinduksi diinduksi diinduksi
aquades 0,16 ml Gentamisin 80 Gentamisin 80 Gentamisin 80 Gentamisin 80
selama 8 hari, mg/kg bb selama mg/kg bb selama mg/kg bb selama mg/kg bb selama
dari hari ke 8 8 hari, dari hari 8 hari, dari hari 8 hari, dari hari 8 hari, dari ke 8
hingga 16 ke 8 hingga 16 ke 8 hingga 16 ke 8 hingga 16 hingga 16
K- K+ P1 P2 P3
CMC Na 1 % CMC Na 1 % Ekstrak daun Ekstrak daun Ekstrak daun
sebanyak 1 ml sebanyak 1 ml kelor 150 mg/kg kelor 300 mg/kg kelor 600 mg/kg
selama 14 hari, selama 14 hari, bb + 1 ml bb + 1 ml bb + 1 ml
dari hari ke 17 dari hari ke 17 campuran CMC campuran CMC campuran CMC
hingga 30 hingga 30 Na 1 % dan Na 1 % dan Na 1 % dan
tween 2 % selama tween 2 % tween 2 % selama
14 hari, dari hari selama 14 hari, 14 hari, dari 17
17 hingga 30 dari 17 hingga 30 hingga 30
Analisis data
BAB 4 HASIL PENELITIAN
putih yang terbagi dalam lima kelompok perlakuan yaitu K-, K+, P1, P2, dan P3.
Penilaian diamati dengan tiga kriteria yaitu perubahan warna, perubahan ukuran
menggunakan uji Kruskall Wallis. Hasil analisis data dengan uji Kruskall Wallis
mulai dari yang tertinggi hingga rendah dapat dilihat dari hasil Mean Rank atau
Tabel 4.1. Nilai Mean Rank penilaian perubahan makroskopis hepar tikus putih
(Rattus norvegicus) dalam lima kelompok perlakuan
tikus putih dengan kerusakan paling tinggi terjadi pada kelompok P1 dengan nilai
Mean Rank sebesar 17,80. Dan untuk kerusakan paling rendah terjadi pada
kelompok P3 dengan nilai Mean Rank sebesar 7,70. Hasil penilaian 25 organ hepar
tikus putih (Rattus norvegicus) pada setiap organ serta data pendukung berupa berat
35
36
organ hepar dalam kelompok kontrol negatif (K-), Kontrol positif (K+), Perlakuan
1 (P1), Perlakuan 2 (P2), dan Perlakuan 3 (P3) dapat dilihat pada tabel yang
perlakuan berdasarkan pada tiga kriteria, serta rata rata berat hepar setiap kelompok
Tabel 4.2. Jumlah organ hepar yang mengalami perubahan makroskopis setiap
kelompok perlakuan serta rata rata berat hepar
Kriteria K- K+ P1 P2 P3
Perubahan
Perubahan 0 organ 1 organ 2 organ 1 organ 0 organ
Warna
Perubahan
3 organ 5 organ 5 organ 4 organ 2 organ
Ukuran
(Pembengkakan)
Perubahan 0 organ 0 organ 0 organ 0 organ 0 organ
Konsistensi
Rata rata berat 5,66 7,64 7,45 7,87 7,5
organ (gram)
Keterangan : Dalam kolom kelompok perlakuan menunjukkan jumlah organ hepar
yang mengalami perubahan makroskopis sesuai pada kriteria pada
kolom kriteria perubahan
Dari hasil penilaian, perubahan warna menjadi lebih pucat terjadi pada
kelompok K+, P1, dan P2 dengan jumlah tertinggi pada kelompok P1 yaitu
tinggi terjadi pada kelompok K+ dan P1 yaitu dengan kelima organ mengalami
tidak terjadi pada semua organ dalam kelima kelompok perlakuan. Data pendukung
37
berupa berat organ yang ditunjukkan dalam gram didapatkan hasil bahwa rata rata
berat hepar pada kelompok K- adalah 5,66 gram, K+ yaitu 7,64 gram, P1 yaitu 7,45
gram, P2 yaitu 7,87 gram, dan P3 yaitu 7,5 gram. Rata rata berat organ pada
kelompok K+, P1, P2, dan P3 hampir sama dan tidak menunjukkan jarak perbedaan
yang besar.
K- K+ P1
P2 P3
Gambar 4.1 Gambar makroskopis organ hepar tikus putih (Rattus norvegicus) pada
kelompok K-, K+, P1, P2, dan P3.
Keterangan : kelompok K- menunjukkan tidak terjadi perubahan.
Perubahan berupa pembengkakan terjadi pada kelompok K+, P1,
P2,dan P3. Perubahan warna menjadi pucat terjadi pada kelompok P1.
38
Pada Gambar 4.1 menunjukkan bahwa pada kelompok kontol negatif (K-),
hepar tidak mengalami perubahan warna, ukuran, dan konsistensi. Pada kelompok
kontrol positif (K+) terlihat bahwa hepar tidak mengalami perubahan warna, namun
mengalami perubahan warna. Warna hepar pada kelompok P1 menjadi lebih pucat.
bertambahnya ukuran dan tepian hepar yang tumpul, sedangkan konsistensi hepar
tetap normal. Hepar pada kelompok perlakuan 2 (P2) menunjukkan warna organ
konsistensi hepar tetap normal. Pada kelompok Perlakuan 3 (P3) terlihat bahwa
hepar tidak mengalami perubahan warna. Pada kelompok ini, hepar mengalami
K+, P1,dan P2. Hal ini dapat dibuktikan dari salah satu bagian tepian lobus hepar
pada kelompok P3 yaitu lobus medial tidak berubah menjadi tumpul. Konsistensi
yang dianalisis dengan uji Kruskall Wallis menunjukkan adanya perbedaan yang
uji Kruskall wallis menunjukkan hasil Mean Rank yang ditunjukkan pada Tabel
4.3.
39
Tabel 4.3. Mean Rank hasil skoring histopatologi hepar tikus putih (Rattus
norvegicus) lesi degenerasi dan nekrosis
perlakuan. Pada uji Kruskall Wallis, hasil dari nilai Mean Rank menunjukkan
kerusakan paling tinggi terjadi pada kelompok K+ dan kerusakan paling rendah
terjadi pada kelompok K-. Untuk perlakuan yang diberikan ekstrak daun kelor yaitu
kelompok P1, P2, dan P3 menunjukkan bahwa kerusakan paling rendah menurut
hasil Mean Rank terjadi pada kelompok P3 dengan dosis ekstrak daun kelor sebesar
600 mg/kg bb. Hasil skoring secara keseluruhan pada 25 sampel dengan lima lapang
tidak berbeda nyata dengan P1 (P>0,05), serta berbeda nyata dengan P2 (P<0,05)
K- K+
per
ub
aha
n
wa
rna
,
per
ub
aha
n
uk P1
ura
n,
per
ub
aha
n
ko
nsi
ste
nsi
,
P2
ser P3
ta
Gambar 4.2 Gambaran histopatologi hepar tikus putih (Rattus norvegicus) pada
ada
kelompok K-, K+, P1, P2, dan P3.
Keterangan :Panah hitamata menunjukkan hepatosit normal, panah
kuning yaitu degenerasi, udan panah merah yaitu nekrosis. Gambar
tid
dengan perbesaran 400x dengan pewarnaan Hematoxylin Eosin (HE).
ak
ny
a
lesi
per
mu
41
Dari Gambaran hasil histopatologi hepar pada Gambar 4.2 dapat diketahui
kelompok ini, hanya sebagian kecil hepatosit mengalami nekrosis. Nekrosis yang
terjadi adalah kariopiknotis yang ditandai dengan inti sel menjadi padat dan hitam
pekat. Pada Kelompok K+, perubahan terlihat sangat nyata jika dibandingkan
kelompok K-. Celah sinusoid menyempit bahkan hampir tidak terlihat. Hepatosit
ditandai dengan pembengkakan ukuran sel dan sitoplasma sel tampak keruh.
Jumlah hepatosit yang mengalami nekrosis terlihat lebih banyak daripada kelompok
K-. Pada kelompok ini, hepatosit yang mengalami nekrosis ditandai dengan
hidropik dan nekrosis. Sel membengkak hingga celah sinusoid tidak terlihat sama
sekali serta sitoplasma sel tampak keruh. Hepatosit yang mengalami nekrosis
ditandai dengan kariolisis. Kariolisis ditandai dengan inti sel yang sangat pucat dan
terlihat normal, inti sel terlihat jelas, celah sinusoid terlihat jelas menunjukkan
bahwa sel tidak mengalami degenerasi. Hanya sebagian kecil hepatosit yang
mengakibatkan kondisi hepar yang relatif baik. Organ hepar yang masih normal
disebabkan karena tidak terbentuknya radikal bebas dan peroksidasi lipid yang bisa
menimbulkan jejas seluler yang terjadi akibat induksi Gentamisin. Jejas seluler
oksidatif yang lain, dan bukan karena induksi dari Gentamisin. Menurut Suarsana
et al (2013) bahwa faktor stres oksidatif umumnya dapat meliputi makanan, udara,
air, asap, dan lain sebagainya. Gangguan hepar yang dapat memicu terjadinya
degenerasi hepatosit dapat disebabkan oleh faktor defisiensi pakan, hipoksia yang
pembengkakan organ paling kecil. Kondisi ini dapat terjadi karena pada kelompok
ini, tikus putih diberi pengobatan ekstrak daun kelor secara peroral dengan dosis
paling tinggi yaitu 600 mg/kg bb setelah diinduksi Gentamisin. Stres oksidatif yang
42
43
radikal bebas dan antioksidan yang ada di dalam tubuh. Dengan pemberian ekstrak
daun kelor dosis yang cukup tinggi dapat menggantikan antioksidan yang hilang
dalam tubuh secara cepat, oleh karena itu hepar pada kelompok P3 memiliki
kemampuan lebih cepat untuk melakukan regenerasi sehingga kembali pulih dan
regenerasi bahkan hingga sembuh, jika penyebab kerusakan berkurang atau hilang
target (Halliwell and Gutteridge, 2007). Kandungan ekstrak daun kelor yang
diberikan secara peroral memiliki aktifitas antioksidan yang tinggi yaitu mencapai
66,8 % yang didominasi oleh flavonoid, sehingga semakin banyak dosis yang
diberikan, semakin cepat juga hepar melakukan regenerasi. Jejas seluler yang
terjadi dapat hilang dan kembali normal. Kandungan flavonoid dalam ekstrak daun
yang paling berperan dalam mengobati penyakit hepar yaitu quercetin dan
membran hepatosit dan mencegah zat asing (xenobiotik) masuk ke dalam sel lewat
Gentamisin, sehingga tidak ada zat aktif untuk mempercepat regenerasi atau
dengan pemberian ekstrak daun kelor dosis terendah yaitu 150 mg/kg bb. Dosis
hepatosit. Dosis terlalu rendah sehingga dirasa kurang mampu mempercepat proses
regenerasi hepar.
kelompok lainnya. Kelompok K+, P1, P2, serta P3 memiliki rata rata berat organ
yang hampir sama. Kondisi seperti ini dapat terjadi akibat tingkat pembengkakan
apapun yang diberikan pada kelompok ini, baik Gentamisin maupun ekstrak daun
kelor. Akan tetapi, tidak menutup kemungkinan tetap terjadi perubahan kondisi
gangguan karena hepar termasuk salah satu organ yang rentan terhadap stres
fisiologis. Stres fisiologis salah satunya dapat disebabkan karena kekurangan nutrisi
yang disertai aktivitas berlebihan yang dapat memicu peningkatan produksi radikal
kekurangan energi yang dibutuhkan oleh tubuh. Perubahan warna terjadi pada
sebagian sampel dari kelompok K+, P1, dan P2. Perubahan warna pada beberapa
45
organ tersebut dapat terjadi akibat senyawa yang bersifat toksik yang
aliran darah ke hepar sehingga hepar berwarna pucat. Dari keseluruhan organ,
hanya sedikit yang mengalami perubahan warna tersebut yaitu pada kelompok K+
sebanyak satu organ, P1 sebanyak dua organ, dan P3 sebanyak satu organ.
putih (Rattus norvegicus) dan diedarkan menuju hepar melalui vena porta hepatika
dan dialirkan melalui sinusoid menuju vena sentralis dan vena sublobularis
Perubahan yang terjadi akibat induksi Gentamisin pada tikus putih (Rattus
pada kelompok ini, dosis ekstrak daun kelor yang digunakan cukup tinggi sehingga
terjadi dengan cara mekanisme pembelahan hepatosit dan terus berlangsung sampai
perbaikan masa jaringan tercapai (Junqueira and Carneiro, 2005). Ketika dosis
ekstrak daun kelor semakin dinaikkan maka degenerasi dan nekrosis yang terjadi
semakin rendah.
Dapat dilihat dari hasil histopatologi yang terdapat pada Gambar 4.2, bahwa
pada kelompok K-, sebagian besar celah sinusoid masih terlihat normal dan tidak
menyempit. Hal ini dapat diartikan bahwa hepatosit tidak mengalami degenerasi
atau hanya sebagian sedikit yang mengalami degenerasi. Kondisi pada K- sangat
berbeda dengan K+ dan P1. Pada kelompok K+ dan P1 terlihat sinusoid mengalami
mulai tampak normal kembali. Pada kelompok K+ terlihat banyak sel yang
kariopiknosis, inti sel mengecil dan berwarna kehitaman, hal ini terjadi karena DNA
sel terkondensasi sehingga menjadi massa yang melisut tebal. Sedangkan Kariolisis
ditandai dengan inti sel yang sangat pucat dan tidak berbentuk. Nekrosis pada P3
terlihat lebih sedikit daripada kelompok K+, P1 dan P2 dikarenakan pada kelompok
P3 sudah terjadi regenerasi hepatosit lebih baik akibat dosis ekstrak daun kelor yang
diberikan lebih tinggi sehingga hepatosit yang mengalami degenerasi dapat dapat
kembali normal.
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
yang diinduksi Gentamisin. Dosis ekstrak daun kelor yang paling efektif untuk
memperbaiki kerusakan hepar akibat toksisitas Gentamisin yaitu dosis 600 mg/kg
6.2 Saran
terhadap hepar dengan parameter lain, dan juga pengaruhnya terhadap organ
penggunaan ekstrak daun kelor yang digunakan sebagai terapi pada organ
hepar maupun organ lain apabila dosisnya tidak tepat atau berlebihan.
47
48
DAFTAR PUSTAKA
McGavin, M.D., J.F. Zachary. 2011. Pathology Basis of Veterinary Disease. 5th
Edition.Churchill Livingstone.
McKinney, W., A.Yonovitz., M.H. Smolensky. 2015. Circadian variation of
gentamicin toxicity in rats. The Laryngoscope, 125(7): 252-256.
Melo, N. V., T. Vargas.. Quirino., C. M. C. Calvo. 2013. Moringa oleifera An
underutilized tree with macronutrients for human health. Emir. J. Food
Agric. 2013. 25 (10): 785-789.
Mulyono, A., Ristiyanto., N.H. Soesanti. 2009. Karakteristik histopatologi hepar
tikus got Rattus norvegicus infektif Leptospira sp. Jurnal Vektora. 1(2): 84-
92.
Moore, KL and A.F. Dalley. 2006, Clinically oriented anatomy, 5Ed,Lippincott
Williams and Wilkins, Philadelphia, Pp. 289.
Price S.A., L.M. Wilson. 2006. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit,
edisi ke- 6. Jakarta: EGC. hlm. 867– 75.
Purwati. 2019. Evaluasi Daun Kelor (Moringa oleifera) sebagai Pangan
Fungsional. Adimas Mahakan Journal : Vol 3 No 02.
Putra, I.W.D.P., A.A.G.O. Dharmayudha., L.M. Sudimartini. 2016. Identifikasi
Senyawa Kimia Ekstrak Etanol Daun Kelor (Moringa oleifera L). Bali :
Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Udayana.
Rahman, M., Karno., A. Kristanto. 2017. Pemanfaatan tanaman Kelor (Moringa
oleifera) sebagai hormon pada pembibitan tanamana tebu (Saccharum
officinarum L.). Jurnal Agro Complex. 1(3):94-100.
Ratnawati, A., U. Purwaningsih, Kurniasih. 2013. Histopatologis Dugaan
Edwarsiella tarda sebagai Penyebab Kematian Ikan Maskoki (Crassius
auratus) : Postulat Koch. Jurnal Sins Veteriner : 31 (1).
Robbins, dkk. 2007. Buku Ajar Patologi. Volume 2. Edisi 7.Jakarta. Penerbit buku
Kedokteran EGC.
Scudamore, C.L. 2014. A Practical Guide to The Histology of The Mouse.
Garsington Road, Oxford, UK. Wiley Blackwell. Chapter 1: 6-9.
Silva, M., S. Gomes., A. Peixoto., P.T. Ramalho., H. Cardoso., R. Azevedo., C.
Cunha. and G. Macedo. 2015. Nutrition in Chronic Liver Disease. GE Port
J Gastroenterol., 22(16): 268-276.
Simanjuntak, L.C.H. 2013 .Histomorfologi tubulus seminiferus dan kelenjar prostat
tikus (Rattus norvegicus) serta Kosentrasi Hormon Androgen Pasca
Pemberian Ekstrak Purwoceng [Tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Simbolan, J. M. dan N. Katharina. 2007. Cegah Malnutrisi dengan Kelor.
Yogyakarta: Kanisius.
Suarsana, I. N., T. Wresdiyati. dan A. Suprayogi. 2013. Respon Stres Oksidatif dan
Pemberian Isoflavon terhadap Aktivitas Enzim Superoksida Dismutase dan
Peroksidasi Lipid pada Hati Tikus. JITV 18(2): 146-152.
Sudoyo,A.W., B. Setiyohadi., I.S.S Alwi. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Jilid I. Jakarta. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Indonesia. Jilid 1.
Sugiyanto. 2006. Peran Aktivasi Metabolik pada Toksikologi Biokimiawi
Xenobiotik. Yogyakarta: Fakultas Farmasi UGM.
52
Susianti . 2013. Pengaruh Ekstrak Jintan Hitam (Nigella Sativa L.) terhadap
Gambaran Histopatologi Hepar, Paru, dan Testis Tikus Putih (Rattus
norvegicus) yang diinduksi Gentamisin. Jurnal Sainsmat, Halaman 107-118.
Syahrin, S., C.Kairupan , L.Loho. 2016. Gambaran histopatologik hati tikus Wistar
yang diberi ekstrak daun kelor (Moringa oleifera) setelah diinduksi karbon
tetraklorida (CCl4). Jurnal e-Biomedik : Volume 4, Nomor 2.
Teixeira, E., M. Carvalho., V. Neves., M. Silva., P. Arantes. 2014. Chemical
characteristics and fractionation of proteins from Moringa oleifera Lam.
leaves. J Food Chem 147 ( 2) : 51-54.
Tejas, G.H., J.H. Umang., B.N. Payal., D.R. Tusharbinu., T.R. Pravin. 2012. A
panoramic view on pharmacognostic, pharmacological, nutritional,
therapeutic and prophylactic values of Moringa oleifera Lam. Int. Res. J.
Pharm. 3, 1–7.
Tian, X., H. Tang., H. Lin., G.Cheng., S. Wang., D. Zhang., X. Saponins. 2013. The
potential chemotherapeutic agents in pursuing new anti-glioblastoma drugs.
Mini Rev Med Chem. 2013, 13, 1709-1724.
Udupa, V. dan V. Prakash. 2019. Gentamicin induced acute renal damage and its
evaluation using urinary biomarkers in rats. Toxicology Reports, 6 June
2018), 91–99. https://doi.org/10.1016/j.toxrep.2018.11.015.
Underwood, J.C.E. 2000. Patologi Umum dan Sistemik. Vol.2. 2nd ed. Jakarta:
Penenrbit Buku Kedokteran ECG.
Upaganlawar, A., M. Farswan., S. Rathod., R. Balamaraman. 2006. Modification
of biochemical parameters of gentamicin nephrotoxicity by coenzymes Q10
and green tea in rats. Ind J Exp Biol 2006,44:416-418.
Vinerean, H.V. 2014. Rats-biology & husbandry [Internet]. Florida International
University Research. 2014 [diakses 11 Juli 2014]. Diunduh dari
http://research.fiu.edu/facilities/acf/documents/rats-biology- husbandry.pdf
Yang Y.S, Ahn., J.C Lee., C.J. Moon., S.H. Kim., W. Jun., S.C. Park., H.C. Kim.,
J.C. Kim. 2008. Protective effects of pycnogenol on carbon tetrachloride-
induced hepatotoxicity in Sprague-Dawley rats.Food Chem Toxicol,
46, 380–387.
Yenny, E. Herwana., W. Marwoto dan R. Setiabudi. 2010. Efek schizandrine C
terhadap kerusakan hati akibat pemberian parasetamol pada tikus. Universal
Medicina; 24(4): 161-166.
Zachary,J.F., M.D.McGavin. 2011. Pathologic Basis of Veterinary Disease 5th
Edition.Mosby Elsevier. Philadelphia.
Zhao, Z. and M. H. Moghadasian. 2008. Chemistry, natural sources, dietary intake
and pharmacokinetic properties of ferulic acid: a review. Food Chem.,
109(4): 691-702.
53
mg. Maka perhitungan dosis injeksi pada tikus putih dengan berat badan
Jadi pemberian sekali injeksi Gentamisin pada tikus putih secara IP yaitu
Ketamin dan Xylazine HCl (De adelaar B.V., Xyla®) setiap ml mengandung
ml per kg bb. Dosis untuk masing masing tikus dengan berat badan 200
gram, Ketamine yang diberikan sebanyak 0,2 ml dan Xylazine yang harus
1. Dosis ekstrak diambil dari penelitian Pidada dkk (2018) yang dilakukan
pada hewan coba tikus putih (Rattus norvegicus) dengan dosis efektif
3. Dosis yang digunakan dalam penelitian ini yaitu dosis serial yaitu 150
mg/kg BB. 300 mg/kg BB, dan 600 mg/kg BB. Dengan dosis 300 mg/kg
= 150 mg x 0.2 kg
= 300 mg x 0.2 kg
= 600 mg x 0.2 kg
dan P3
CMC Na 1 % = 1/100 x 1 ml
= 0,01 g = 10 mg CMC-Na
55
1. Tahap fiksasi
Cara kerja :Pada tahap ini, hepar difiksasi dengan larutan formalin 10%
berbeda.
Reagen : Alkohol 70%, 90%, 96%, alkohol absolute I, II, III, Xylol I
dan II
Cara kerja : Pada tahap ini, hepar yang telah difiksasi kemudian
3. Tahap embedding
Cara kerja : Pada tahapan ini, hepar dimasukkan kedalam kaset dan
Cara kerja : Pada tahap ini, hepar yang sudah mengeras dilepaskan dari
Cara kerja :
sebagai berikut :
selama 5 menit
selama 5 menit
d. Preparat diambil dari etanol absolut dan direndam dalam etanol 96%
selama 30 detik
e. Preparat diambil dari etanol 96% dan direndam dalam etanol 50%
selama 30 detik
f. Preparat diambil dari etanol 50% dan direndam dalam running tap water
selama 5 menit
i. Preparat diambil dari running tap water dan direndam dalam pewarnaan
6. Pemeriksaan mikroskopis
Lampiran 4. Total nilai perubahan makroskopis hepar tikus putih setiap organ
dari kelompok K-, K+, P1, P2, dan P3
Ranks
Kelompok K- 5 9.80
Kelompok K+ 5 15.90
Kelompok P1 5 17.80
Nilai Perubahan Makroskopis
Kelompok P2 5 13.80
Kelompok P3 5 7.70
Total 25
Test Statisticsa,b
Nilai Perubahan
Makroskopis
Chi-Square 8.472
df 4
Ranks
K- 5 6.90
K+ 5 20.60
P1 5 14.60
Degenerasi dan Nekrosis
(Skor)
P2 5 13.10
P3 5 9.80
Total 25
Test Statisticsa,b
Degenerasi dan
Nekrosis (Skor)
Chi-Square 10.451
Df 4
Test Statisticsa
Ranks
Ranks
Test Statisticsa
Z -1.396
Test Statisticsa
Ranks
Degenerasi
Kelompok N Mean Sum of
dan
Perlakuan Rank Ranks
Nekrosis
(Skor)
K+ 5 6.90 34.50
Degenerasi dan P1 5 4.10 20.50 Mann-Whitney U 5.500
Nekrosis (Skor)
Total 10 Wilcoxon W 20.500
Z -1.560
Test Statisticsa
Ranks
Test Statisticsa
Ranks
Z -.446
Test Statisticsa
Ranks
Z -1.247
Pemberian ekstrak daun kelor peroral Proses nekropsi dan pengambilan hepar