Anda di halaman 1dari 104

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

UJI AKTIVITAS GEL ETIL P-METOKSISINAMAT


TERHADAP PENYEMBUHAN LUKA TERBUKA
PADA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) JANTAN
GALUR SPRAGUE DAWLEY

SKRIPSI

NITA FITRIANI
1112102000078

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN


PROGRAM STUDI FARMASI
JAKARTA
JUNI 2016
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

UJI AKTIVITAS GEL ETIL P-METOKSISINAMAT


TERHADAP PENYEMBUHAN LUKA TERBUKA
PADA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) JANTAN
GALUR SPRAGUE DAWLEY

SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar sarjana farmasi

NITA FITRIANI
1112102000078

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN


PROGRAM STUDI FARMASI
JAKARTA
JUNI 2016

ii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


iii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
iv UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
v UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
ABSTRAK

Nama : Nita Fitriani


Program studi : S-1 Farmasi
Judul : Uji Aktivitas Gel Etil p-metoksisinamat terhadap
Penyembuhan Luka Terbuka pada Tikus Putih (Rattus
norvegicus) Jantan Galur Sprague Dawley

Luka merupakan suatu gangguan normal lepasnya integrasi epitel kulit


diikuti oleh gangguan struktur dari anatomi dan fisiologinya. Ketika terjadi
perlukaan pada jaringan kulit, proses kesembuhan dan regenerasi sel terjadi secara
otomatis sebagai respon fisiologis tubuh. Etil p-metoksisinamat (EPMS)
merupakan komponen terbesar yang dimiliki oleh kencur (Kaempferia galanga
L.). EPMS mempunyai aktivitas sebagai anti-inflamasi, analgesik dan
angiogenesis. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh gel EPMS
terhadap kecepatan penyembuhan luka. Penelitian ini menggunakan tikus putih
jantan galur sprague dawley yang dibagi menjadi 5 kelompok yaitu kelompok
kontrol positif yang diberikan gel Bioplacenton®, kelompok kontrol negatif yang
diberikan basis gel dan 3 kelompok uji konsentrasi yang diberikan gel EPMS
dengan konsentrasi yang bervariasi (1%, 3% dan 5%). Luka terbuka dibuat
dengan metode Morton pada bagian dorsal sekitar 3cm dari auricula tikus.
Pemberian gel EPMS dilakukan sebanyak dua kali sehari selama 14 hari.
Parameter yang diamati meliputi perubahan warna, terbentuknya scab (keropeng),
pembentukan kulit baru, persentase penyembuhan luka, neokapilerisasi, fibroblas
dan makrofag. Hasil analisis statistik non parametrik Kruskal-Wallis
menunjukkan bahwa gel EPMS dengan 3 konsentrasi berbeda menunjukkan efek
peningkatan persentase penyembuhan luka yang tidak berbeda bermakna dengan
kontrol positif dan kontrol negatif (p≥0,05). Hasil uji Paired Samples T-Test
menunjukkan perbedaan bermakna pada semua kelompok antara hari ke-0 dan 14
(p≤0,05). Hasil pengamatan mikroskopik menunjukkan terbentuknya
neokapilerisasi serta fibroblas dan mengurangi jumlah makrofag pada kelompok
uji konsentrasi 1%,3% dan 5% dibandingkan kelompok kontrol negatif. Dengan
demikian, gel EPMS dapat membantu dalam proses penyembuhan luka terbuka
pada fase inflamasi dan proliferasi.

Kata kunci : Kaempferia galanga L., Etil p-metoksisinamat, Luka Terbuka,


Metode Morton.

vi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


ABSTRACT

Name : Nita Fitriani


Major : Bachelor of Pharmacy
Title : Study of Ethyl p-methoxycinnamate Gel Towards Open Wound
Healing on The Male Rats (Rattus norvegicus) Sprague Dawley
Strain.

The wound is a disruption in the form of loss of normal skin epithelium


followed by the integration of anatomic stuctures and physiological disorders.
Due to the injury to the skin tissue, healing and cell regeneration process occurs
automatically as the physiological response of the body. Ethyl p-
methoxycinnamate (EPMC) was found as major compound of the rhizome of
Kaempferia galanga L. (kencur). EPMC was reported to have anti-inflammatory ,
analgetic and angiogenesis activity. Aim of this study to evaluate the effect of
EPMC gel in healing the wound. In this research, male rats Sprague Dawley strain
were as experimental animals which were divided into 5 groups, the positive
control group was treated with Bioplacenton® gel, negative control was treated
with gel base, and three other group was treated with EPMC gel using three
different concentration (1%, 3%, 5%). Open wounds were made by using the
Morton method on the dorsal part that was about 3cm from the auricula rats.
Treatments and observations of wound healing were conducted twice in a day
during 14 days. Parameters observed were discoloration, scab formation, the
formation of new skin, the percentage of healing, neocapillary, fibroblasts and
macrophages. Kruskal-Wallis non parametric statistical analysis results showed
that EPMC gel with three different concentrations exhibited wound healing
enhancement effect percentage was not significantly different to the positive
control and a negative control (p>0,05). The results of Paired Samples T-Test was
significantly different (p≤0,05). Microscopic observation results in the increased
neocapillary, fibroblast and decreased amount of macrophages occured on 1%,
3% and 5% concentration group than negative control group. It can be concluded
that the EPMC gel can treat open wound healing on inflammation and
proliferation phase.

Keywords: Kaempferia galanga L., Ethyl p-methoxycinnamate, Open Wound


Healing, Morton Method.

vii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan
nikmat sehat, iman, islam, rezeki, kekuatan, petunjuk, rahmat serta kasih
sayangNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Uji
Aktivitas Gel Etil p-metoksisinamat terhadap Penyembuhan Luka Terbuka
pada Tikus Putih (Rattus norvegicus) Jantan Galur Sprague Dawley”.
Shalawat serta salam tak lupa semoga selalu tercurhakan kepada Nabi Muhammad
SAW beserta keluarga dan para sahabatnya hingga akhir zaman.
Penulisan skripsi ini dilakukan dalam rangka memenuhi tugas akhir sebagai
salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Program Studi Farmasi UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta. Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan serta bimbingan dari berbagai
pihak, dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan skripsi akan sangatlan sulit
untuk menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan
terimakasih yang tak terhingga kepada:
1. Ibu Dr. Azrifitria, M.Si., Apt selaku Pembimbing I sekaligus dosen
Penanggung jawab Akademik serta Ibu Ismiarni Komala, Ph.D., Apt
selaku Pembimbing II yang telah memberikan waktu, motivasi, pikiran
dan bimbingan selama penelitian dan penyusunan skripsi
2. Bapak Prof. Dr. Arif Sumantri, S.K.M., M.Kes. selaku Dekan Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3. Ibu Dr. Nurmeilis, M.Si., Apt. selaku Kepala Program Studi Farmasi
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4. Kedua orang tua tercinta, Ayahanda Drs. H. Hidayat Taufik, MM dan
Ibunda Hj. Neni Nuraeni atas pengorbanan, kasih sayang, motivasi, moril,
materil serta doa yang telah mama dan bapak berikan selama ini. Adikku
Ainul Shofiati yang telah memberikan dukungan, motivasi dan doanya,
semoga Allah selalu memberikan kesehatan dan keberkahan dalam
kehidupan kita.

viii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


5. Seluruh dosen Farmasi UIN yang telah membimbing serta memberikan
ilmunya selama ini
6. Hary Abdul Rahman atas perhatian, semangat, bantuan dan kesediaannya
menemani penulis serta mendengarkan keluh kesah penulis selama ini
7. Noni Tri Utami, Nabilah Urwatul Wutsqo, Verona Shaqila, Nurul Fitri
Rukmana, Ade Rachma Islamiah dan Anissa Florensia atas perjuangan,
dukungan, motivasi serta persahabatan yang begitu indah selama di
bangku kuliah
8. Teman-teman seperjuangan “moushimoushi” dan “KINGDOM 2012”
Denny Bachtiar, Afina Almas Ghasani, Azmi Indillah, Amma, Cony,
Moethia, Windi, Putri Nufus, Rifatul, Ghilman, Thantowi, M. Beny, Elsa
dan Ani atas perjuangan, bantuan dan semangatnya
9. Kakak laboran program studi Farmasi (Kak Walid dan Kak Eris) kak
Charinna, Kak Nuha, Kak Ali, Kak Haidar dan Wildana Aqila (program
studi Pendidikan Dokter) serta Ahmad Faiz (program studi Kesehatan
Masyarakat) yang telah banyak membantu penulis selama penelitian
10. Teman-teman Farmasi 2012, khususnya Farmasi BD yang telah menjadi
kepingan memori berharga di Ibu kota. Tanpa mereka, cerita ini tidak akan
lengkap.
11. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah
membantu penulis selama ini
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, namun
harapan penulis semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu
pengetahuan. Akhir kata, penulis berharap Allah SWT berkenan membalas segala
kebaikan semua pihak yang telah membantu penulis dalam penelitian ini.

Jakarta, 22 Juni 2016

Penulis,

ix UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIK

Sebagai sivitas akademik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah


Jakarta, saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Nita Fitriani
NIM : 1112102000078
Program studi : S-1 Farmasi
Fakultas : Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Jenis Karya : Skripsi
Demi perkembangan ilmu pengetahuan, saya menyetujui/karya ilmiah saya,
dengan judul :
UJI AKTIVITAS GEL ETIL P-METOKSISINAMAT TERHADAP
PENYEMBUHAN LUKA TERBUKA PADA TIKUS PUTIH (Rattus
norvegicus) JANTAN GALUR SPRAGUE DAWLEY

Untuk dipublikasikan atau ditampilkan di internet atau media lain yaitu Digital
Library Perpustakaan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
untuk kepentingan akademik sebatas sesuai dengan Undang-Undang Hak Cipta.
Demikian pernyataan persetujuan publikasi karya ilmiah ini saya buat dengan
sebenarnya

Dibuat di : Jakarta
Pada tanggal : 22 Juni 2016

Yang menyatakan,

(Nita Fitriani)

x UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .......................................................................................... ii


HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ............................................ iii
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................. iv
HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI ........................................................... v
ABSTRAK ......................................................................................................... vi
ABSTRACT ....................................................................................................... vii
KATA PENGANTAR ..................................................................................... viii
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ....................... x
DAFTAR ISI ...................................................................................................... xi
DAFTAR TABEL ........................................................................................... xiv
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ xv
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... xvi
BAB 1. PENDAHULUAN ............................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................ 3
1.3 Tujuan Penelitian ............................................................................. 4
1.4 Hipotesis .......................................................................................... 4
1.5 Manfaat Penelitian ........................................................................... 5

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................... 6


2.1 Tumbuhan Kencur (Kaempferia galanga L.) ................................ 6
2.1.1 Klasifikasi Kencur ............................................................... 6
2.1.2 Morfologi Tanaman ............................................................. 6
2.1.3 Tempat Tumbuh ................................................................... 7
2.1.4 Kandungan Kimia ................................................................ 8
2.1.5 Aktivitas Farmakologi Kaempferia galanga L. ................... 8
2.2 Tinjauan Hewan Percobaan ........................................................... 9
2.2.1 Klasifikasi Tikus Putih ......................................................... 9
2.2.2 Biologis Tikus Putih ............................................................ 9
2.3 Kulit ............................................................................................. 11
2.3.1 Anatomi Kulit .................................................................... 11
2.3.2 Fisiologi Kulit .................................................................... 12
2.4 Luka ............................................................................................. 13
2.4.1 Definisi Luka ..................................................................... 13
2.4.2 Jenis-Jenis Luka ................................................................. 14
2.4.3 Proses Penyembuhan Luka ................................................ 17
2.4.4 Prinsip Penyembuhan Luka ............................................... 22
2.4.5 Tatalaksana Penyembuhan Luka ....................................... 25
2.5 Sediaan Gel .................................................................................. 27
2.5.1 Formula Sediaan Gel ......................................................... 28
2.5.1.1 Karbopol 940 ......................................................... 28
2.5.1.2 Propilen Glikol ...................................................... 29
2.5.1.3 Metil Paraben dan Propilen Paraben ..................... 30
2.5.1.4 Trietanolamin ........................................................ 30

xi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


2.5.1.5 Natrium Metabisulfit ............................................. 31
2.5.1.6 Alkohol 96% .......................................................... 31
2.6 Bioplacenton® Gel ......................................................................... 32
BAB 3. METODE PENELITIAN ................................................................. 33
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ...................................................... 33
3.2 Alat dan Bahan Penelitian ............................................................ 33
3.2.1 Alat Penelitian .................................................................... 33
3.2.2 Bahan Penelitian ................................................................ 33
3.2.3 Hewan Uji .......................................................................... 34
3.3 Rancangan Penelitian ................................................................... 34
3.4 Kegiatan Penelitian ...................................................................... 35
3.4.1 Isolasi Kristal Etil p-metoksisinamat .................................. 35
3.4.1.1 Pemeriksaan Simplisia (Determinasi) ................... 35
3.4.1.2 Penyiapan Simplisia .............................................. 35
3.4.1.3 Pembuatan Ekstrak ................................................ 35
3.4.1.4 Isolasi Kristal Etil p-metoksisinamat .................... 35
3.4.2 Identifikasi dan Uji Kemurnian ......................................... 36
3.4.2.1 Pemeriksaan Organoleptis ..................................... 36
3.4.2.2 Pengujian Titik Leleh ............................................ 36
3.4.2.3 Pengujian Kristal Etil p-metoksisinamat dengan
Kromatografi Gas Spektrometri Massa (GC-MS) . 36
3.4.3 Pembuatan Sediaan ............................................................ 37
3.4.4 Evaluasi Sediaan Gel ......................................................... 38
3.4.4.1 Uji Organoleptik .................................................... 38
3.4.4.2 Uji Homogenitas .................................................... 38
3.4.5 Persiapan Hewan Uji ......................................................... 38
3.4.5.1 Pemeriksaan Komisi Etik Penelitian ..................... 38
3.4.6 Pembuatan Luka ................................................................ 38
3.4.7 Pemberian Bahan Uji ......................................................... 39
3.4.8 Pengamatan Penyembuhan Luka ....................................... 39
3.4.9 Eksisi Jaringan Kulit Tikus ................................................ 40
3.4.10 Pembuatan Preparat Histopatologi Jaringan Kulit Tikus .. 40
3.4.11 Pengamatan Preparat Histopatologi ................................. 40
3.4.12 Rancangan Analisis Data ................................................. 41

BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN ......................................................... 42


4.1 Determinasi Tanaman .................................................................. 42
4.2 Pembuatan Serbuk Simplisia ....................................................... 42
4.3 Isolasi Etil p-metoksisinamat ........................................................ 43
4.4 Identifikasi dan Uji Kemurnian Etil p-metoksisinamat ............... 44
4.4.1 Pengamatan Organoleptis .................................................. 44
4.4.2 Pengukuran Titik Leleh ..................................................... 44
4.4.3 Pengukuran Senyawa Etil p-metoksisinamat dengan
Kromatografi Gas Spektrometri Massa (GC-MS) ............. 44
4.5 Evaluasi Sediaan Gel ................................................................... 45
4.6 Komisi Etik Penelitian ................................................................. 46
4.7 Pengukuran Bobot Tikus .............................................................. 47

xii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


4.8 Pengamatan Visual Luka Terbuka ............................................... 48
4.9 Pengamatan Persentase Penyembuhan Luka ............................... 51
4.10 Pengamatan Preparat .................................................................. 53

BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN ......................................................... 58


5.1 Kesimpulan .................................................................................. 58
5.2 Saran ............................................................................................ 58
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 59
LAMPIRAN ..................................................................................................... 64

xiii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


DAFTAR TABEL

Tabel Halaman
Tabel 3.1 Pembagian Kelompok Hewan Uji Berdasarkan Perlakuan.................34
Tabel 3.2 Penilaian Histopatologi Secara Mikroskopis ......................................40
Tabel 4.1 Hasil Pengukuran Titik Leleh Senyawa Etil p-metoksisinamat .........44
Tabel 4.2 Hasil Evaluasi Gel Etil p-metoksisinamat .........................................45
Tabel 4.3 Hasil Pengamatan Visual Luka Terbuka ............................................49
Tabel 4.4 Hasil Pengamatan Preparat Histopatologi Hari ke-7 .........................54
Tabel 4.5 Hasil Penilaian Parameter pada Preparat Hari ke-7 ...........................55

xiv UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman
Gambar 2.1 Tanaman Rimpang Kencur (Kaempferia galanga L.) .........................7
Gambar 2.2 Struktur Senyawa Etil p-metoksisinamat .............................................8
Gambar 2.3 Struktur Kulit .....................................................................................13
Gambar 2.4 Proses Penyembuhan Luka.................................................................18
Gambar 4.1 Serbuk Simplisia Kencur (Kaempferia galanga L.) ..........................42
Gambar 4.2 Grafik Rerata Bobot Tikus Tiap Kelompok ......................................47
Gambar 4.3 Grafik Rerata Persentase Penyembuhan Luka Tiap Kelompok ........52
Gambar 4.4 Hasil Pengamatan Preparat Histopatologi Hari ke-7 .........................54

xv UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Alur Penelitian .................................................................................. 64


Lampiran 2. Isolasi Etil p-Metoksisinamat ........................................................... 65
Lampiran 3. Skema Pembuatan gel EPMS ........................................................... 66
Lampiran 4. Surat Determinasi Tanaman Kaempferia galanga L. ...................... 67
Lampiran 5. Surat Keterangan Kesehatan Hewan ............................................... 68
Lampiran 6. Surat Keterangan Lolos Kaji Etik (Ethical Approval) ..................... 69
Lampiran 7. Gambar Alat Penelitian ................................................................... 70
Lampiran 8. Hasil Uji Homogentias Gel dengan Berbagai Konsentrasi ............. 70
Lampiran 9. Proses Pembuatan Luka ................................................................... 70
Lampiran 10. Proses Eksisi Jaringan Kulit Tikus ................................................ 71
Lampiran 11. Perhitungan Rendemen Kristal Etil p-metoksisinamat .................. 71
Lampiran 12. Spektrum GC-MS Senyawa Etil p-metoksisinamat ....................... 71
Lampiran 13. Luka Tikus Mulai Hari ke-0 Hingga Hari ke-14 ............................ 73
Lampiran 14. Tahapan Pengukuran Diameter Luka Dengan Aplikasi ImageJ ... 77
Lampiran 15. Diameter Luka Seluruh Kelompok Hewan Uji ............................. 79
Lampiran 16. Pengukuran Bobot Tikus ................................................................ 81
Lampiran 17. Hasil Pengukuran Luas Luka dan Persentase Penyembuhan Luka 82
Lampiran 18. Hasil Analisis Statistik Persentase Penyembuhan Luka Hari Ke-
3,6,9,12 dan 14 ................................................................................ 83
Lampiran 19. Hasil Analisis Statistik Luas Luka ................................................. 86

xvi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Segala aktivitas dalam kehidupan sehari-hari dapat menimbulkan risiko
timbulnya luka pada tubuh. Luka merupakan suatu gangguan normal lepasnya
integrasi epitel kulit diikuti oleh gangguan struktur dari anatomi dan fisiologinya.
Proses penyembuhan luka harus terjadi pada kondisi yang mendukung jaringan
tubuh untuk melakukan proses perbaikan dan regenerasi sel (Sibuea, 2015).
Ketika terjadi perlukaan pada jaringan kulit, proses kesembuhan dan regenerasi
sel terjadi secara otomatis sebagai respon fisiologis tubuh. Terdapat tiga fase
dalam proses kesembuhan luka, yaitu fase inflamatori, fase proliferasi dan fase
remodelling. Komponen yang berperan penting dalam proses penyembuhan luka
adalah kolagen, angiogenesis dan granulasi. Berdasarkan proses kesembuhan luka
tersebut, diperlukan terapi efektif yang dapat mengoptimalkan kinerja komponen
tersebut (Ferdinandez et al., 2013).
Luka terbuka jika tidak diobati berpotensi akan mengakibatkan terjadinya
infeksi seperti tetanus. Jika infeksi tidak segera diobati maka akan merambat ke
jaringan atau organ lain yang akan menyebabkan infeksi kronik atau bahkan
kematian. Prinsip dasar di balik penyembuhan luka yang optimal adalah
meminimalkan kerusakan jaringan dan memberikan perfusi jaringan yang
memadai, oksigenasi dan nutrisi yang tepat untuk jaringan (Reddy et al., 2012).
Menurut data HCAI (Health Care-Associated Infection) agen terjadinya
infeksi disebabkan oleh faktor endogen atau eksogen. Sumber endogen itu sendiri
merupakan situs tubuh seperti kulit, hidung, mulut, saluran pernafasan atau vagina
yang dihinggapi oleh mikroba (WHO, 2011). Berdasarkan data terakhir
menyebutkan bahwa pada tahun 1995-2010, infeksi luka pasca operasi
menunjukkan bahwa tingkat kejadian berkisar 1,2 - 23,6% di negara
berpenghasilan rendah hingga menengah. Tingkat kejadian pada negara maju
yaitu mencapai 1,2 – 5,2 %. (WHO, 2011). 225 pasien di Indonesia yang
mengalamai HCAI, terdapat 38 pasien yang mengalami infeksi luka pasca operasi,

1 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


2

sehingga didapat persentase dari kejadian luka pasca operasi yaitu 16,9%
(Zuhrotul & Prijono 2012).
Perawatan luka dan pemeliharaannya melibatkan sejumlah langkah, seperti
pertolongan pertama pada pasien, antibiotik topikal, penggunaan agen anti-
inflamasi, agen anti-mikroba serta menggunakan gel topikal yang memiliki
kemampuan untuk proses penyembuhan luka. Selain itu, tujuan dari manajemen
luka yaitu mengurangi terjadinya luka infeksi dan untuk mempercepat proses
penyembuhan (Babu et al., 2012). Saat ini sejumlah besar tanaman atau ekstrak
tanaman dapat digunakan untuk pengobatan luka terbuka atau luka bakar.
Tanaman, struktur kimia atau turunannya yang berasal dari tanaman perlu
diidentifikasi dan diformulasi untuk pengobatan manajemen luka (Kumar et al.,
2007).
Indonesia merupakan salah satu negara yang terkenal dengan sumber daya
hayati terbesar dan mempunyai potensi yang sangat besar untuk menjadikan
tanaman sebagai bahan baku obat. Rimpang kencur (Kaempferia galanga L.)
merupakan salah satu sumber daya alam yang terdapat di Indonesia. Kencur
termasuk ke dalam famili Zingiberaceae dan merupakan tanaman asli India yang
penyebarannya telah memasuki kawasan Asia Tenggara, salah satunya Indonesia.
Kencur sering digunakan sebagai pengobatan tradisional untuk mengobati
pembengkakan, encok, batuk, disentri, diare dan sakit perut. Telah dilakukan
penelitian untuk mendukung klaim penggunaan tradisional pada ekstrak kencur,
seperti menunjukkan nematicidal, obat nyamuk dan larvasida, anti-mikroba,
vasorelaksan, anti neoplastik, anti alergi, antioksidan, analgesik dan efek
penyembuhan luka (Umar et al., 2012).
Menurut penelitian Tara et al., (2006) menyatakan bahwa ekstrak alkohol
Kaempferia galanga L. mampu mengobati proses penyembuhan luka pada tikus
putih galur wistar. Dijelaskan bahwa ekstrak alkohol mempercepat proses
epitelisasi pada jaringan luka dengan memfasilitasi proliferasi sel epitel, memiliki
efek prohealing yang baik dan komponen yang berperan dari kencur yaitu
flavonoid, memiliki efek antioksidan yang merupakan komponen penting dalam
penyembuhan luka.

2 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


3

Kandungan metabolit sekunder dalam ekstrak kencur telah diteliti oleh Umar
et al. (2012) diantaranya ialah asam propionate (4,7%), pentadekan (2,08%), asam
tridekanoat (1,81%), 1,21-docosadiene (1,47%), beta-sitosterol (9,88%) dan
komponen yang terbesar yaitu Etil p-metoksisinamat (80,05%).
Etil p-metoksisinamat (EPMS) merupakan komponen terbesar yang dimiliki
oleh kencur. Berdasarkan penelitian Umar et al. (2012) secara in vitro, EPMS
sangat berpotensi sebagai efek anti-inflamasi yang signifikan dalam pengobatan
peradangan melalui penghambatan aktivitas enzim siklooksigenase 1 (COX-1)
42,9% dan menghambat aktivitas enzim siklooksigenase 2 (COX-2) 57,82%,
dengan nilai IC50 untuk COX-1 1,12µM dan untuk COX-2 0,83 µM. Selanjutnya,
Umar et al. (2014) menyatakan bahwa EPMS menghasilkan efek anti-inflamasi
dan efek analgesik. EPMS juga memiliki efek angiogenesis (proses pembentukan
pembuluh darah baru). Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa EPMS dapat
menjadi prekursor potensial untuk pengembangan agen terapi yang potensial
untuk mengobati penyakit yang melibatkan peradangan dan angiogenesis.
Berdasarkan uraian di atas bahwa kandungan EPMS yang terdapat di dalam
kencur mempunyai efek anti-inflamasi, analgesik dan angiogenesis yang sangat
baik sehingga dapat mempercepat penyembuhan luka. Oleh karena itu, perlu
dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai pengaruh senyawa EPMS terhadap
kecepatan penyembuhan luka pada tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur
Sprague Dawley dengan metode Morton selama 14 hari. Parameter yang akan
dinilai dalam luka adalah pengamatan secara visual, seperti perubahan warna,
terbentuknya scab (keropeng), pembentukan kulit baru, persentase penyembuhan
luka, dan parameter histopatologi seperti pembentukan pembuluh darah baru
(neokapilerisasi), pertumbuhan pada jaringan ikat (fibroblas) dan keberadaan sel
radang (makrofag).

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan dari uraian latar belakang, maka rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah :

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


4

1. Apakah pemberian gel EPMS yang diamati secara visual dapat


mempengaruhi persentase penyembuhan luka pada tikus putih (Rattus
norvegicus) jantan galur Sprague Dawley?
2. Apakah pemberian gel EPMS yang diamati secara histopatologi dapat
mempengaruhi pembentukan pembuluh darah baru (neokapilerisasi),
pertumbuhan pada jaringan ikat (fibroblas) dan keberadaan sel radang
(makrofag) pada penyembuhan luka pada tikus putih (Rattus norvegicus)
jantan galur Sprague Dawley?

1.3 Tujuan Penelitian


Tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Menguji pengaruh pemberian gel EPMS yang diamati secara visual terhadap
persentase penyembuhan luka pada tikus putih (Rattus norvegicus) jantan
galur Sprague Dawley
2. Menguji pengaruh pemberian gel EPMS yang diamati secara histopatologi
terhadap pembentukan pembuluh darah baru (neokapilerisasi), pertumbuhan
pada jaringan ikat (fibroblas) dan keberadaan sel radang (makrofag) pada
penyembuhan luka pada tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur Sprague
Dawley.

1.4 Hipotesis
Hipotesis dari penelitian ini adalah
1. Pemberian gel EPMS diamati secara visual dapat mempercepat waktu
penyembuhan luka pada tikus putih (Rattus novergicus) jantan galur Sprague
Dawley
2. Pemberian gel EPMS diamati secara histopatologi dapat mempercepat
pembentukan pembuluh darah baru (neokapilerisasi), pertumbuhan pada
jaringan ikat (fibroblas) dan keberadaan sel radang (makrofag) pada
penyembuhan luka pada tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur Sprague
Dawley.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


5

1.5 Manfaat penelitian


Memberikan informasi kepada masyarakat luas mengenai khasiat senyawa
EPMS yang terdapat didalam kencur yang mempercepat penyembuhan luka dan
memberikan informasi yang dapat digunakan dalam pengobatan luka setelah
pembedahan.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tumbuhan Kencur (Kaempferia galanga L.)


Rimpang kencur (Kaempferia galanga L.) sudah sejak lama dikenal dan
ditanam di Indonesia. Tanaman ini diperkirakan berasal dari Asia Tropika. Kencur
merupakan tanaman aromatik yang tergolong ke dalam famili Zingiberaceae
(temu-temuan) yang dipakai dalam pengobatan tradisional. Pembeda utama
kencur dengan tanaman temu-temuan lainnya adalah daunnya yang menutup
tanah. Tanaman ini sudah berkembang di pulau jawa dan di luar pulau jawa
seperti sumatera barat, sumatera utara dan kalimantan selatan (Mufidah, 2014).
2.1.1 Klasifikasi Kencur (USDA)
Kingdom : Plantae
Subkingdom : Tracheobionta
Super Divisi : Spermatophyta
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Liliopsida
Sub Kelas : Zingiberidae
Ordo : Zingiberales
Famili : Zingiberaceae
Genus : Kaempferia L.
Spesies : Kaempferia galanga L.
2.1.2 Morfologi Tanaman
Tumbuhan ini hampir menutupi tanah, tidak berbatang, rimpang bercabang,
akar berbentuk gelendong, berumbi, panjang 1-1,5 cm. Setiap tanaman berdaun
sebanyak 1-3 helai, lebar merata dan hampir menutup tanah, daun berbentuk
jorong lebar sampai hampir bundar, pangkal hampir berbentuk jantung, ujung
mendadak lancip, bagian atas tidak berambut, bagian bahan berambut halus,
pinggir bergelombang berwarna merah kecoklatan, bagian tengah berwarna hijau,
pinggir helai daun 7-15 cm, lebar 2-8 cm, tangkai pendek, berukuran 3-10 mm,
pelepah terbenam dalam tanah, panjang 1,5-3,5 cm, berwarna putih. Perbungaan
memiliki panjang 4 cm dan mengandung 4-12 bunga. Kelopak berbentuk tabung,

6 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


7

panjang ± 3 cm, bergerigi 2-3 buah. Tajuk berwarna putih dengan tabung panjang
2,5-5 cm, ujung berbelah-belah berbentuk pita, panjang 2,5-3 cm dan lebar 1,5-3
mm (Regianto, 2009).

Gambar 2.1 Tanaman Rimpang Kencur (Kaempferia galanga L.)


[Sumber: Koleksi Pribadi]

2.1.3 Tempat Tumbuh (Roemantyo et al., 1996)


Dalam suatu literatur dikatakan bahwa kencur merupakan tanaman asli Asia
Tropika. Jenis ini sekarang tersebar luas di hampir seluruh kepulauan Indonesia,
umumnya ditanam oleh penduduk untuk kebutuhan keluarga. Kencur ditemukan
hanya ditanam, terutama di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Pengamatan di berbagai
tempat di Jawa Timur, seperti di daerah Malang, Lawang dan Blitar. Di Jawa
Barat, petani yang mengusahakan kencur dalam jumlah banyak hanya di beberapa
daerah saja seperti di Bogor, Cianjur, Sukabumi, Tasikmalaya dan Ciamis.
Sedangkan di daerah Jawa Tengah penanaman kencur dilakukan didaerah
Ungaran, Magelang, Salatiga, Boyolali, Karanganyar, Sleman dan Bantul.
Berdasarkan peta letak distribusi tipe tanah di Jawa, diketahui bahwa kencur
dapat tumbuh baik di berbagai tipe tanah, yaitu: latosol, regosol, kombinasi antara
latosol-androsol, legosol-latosol serta regosol-litosol. Dari peta curah hujan di
jawa, diketahui bahwa kencur dapat beradaptasi di daerah yang basah (9 bulan
basah) maupun yang sedang (5-6 bulan basah dan 5-6 bulan kering) dan
mencakup areal kira-kira 60% dari luas pulau jawa, umumnya terletak di daerah
dengan ketinggian antara 80 – 600 mdpl kencur yang ditanam di kawasan
pegunungan dengan ketinggian lebih dari 600 mdpl mempunyai resiko
pertumbuhan yang kurang baik.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


8

2.1.4 Kandungan Kimia


Kandungan kimia dalam ekstrak minyak atsiri dari kencur yang telah diteliti
oleh Umar et al. (2012) diantara nya yaitu 1,21-Dokosadin (1,47%), asam
tridekanoat (1,81%), pentadekan (2,08%), asam propionat (4,71%), beta-
sitosterol (B) (9,88%) dan kandungan kimia terbesar yang terdapat didalam
kencur yaitu Etil p-metoksisinamat (80,05%). Selain itu pada penelitian Singh et
al. (2013) juga disebutkan bahwa terdapat kandungan eukaliptol (9,59%), karvon
(11,13%), pentadekan (11,13%) dan metil sinamat (23,23%).

Gambar 2.2 Struktur Senyawa etil p-metoksisinamat


[Sumber: www.chemicalbook.com]

2.1.5 Aktifitas Farmakologi Kaempferia galanga L.


Ekstrak minyak atsiri kencur memiliki aktivitas antibakteri (antiinfeksi) dan
antijamur dengan konsentrasi 10% memiliki daya hambat sementara (< 24 jam)
terhadap bakteri Staphylococcus aureus, Bacillus subtilis, Serratia marcescens
serta terhadap jamur Candida albicans, Penicillium sp. dan terhadap Aspergillus
nigrum tidak mempunyai daya hambat. Sedangkan daya hambat terhadap
Streptococcus faecalis, Aerobacter aerogenes, Escherichia coli, Proteus sp.,
Serratia marcescens lebih dari 24 jam. (Astuti et al., 1996). Batang kencur juga
memiliki efek antimikroba yang mampu menghambat bakteri dan jamur pada
zona hambatnya dan memiliki aktivitas antioksidan (Rao, 2014). Kencur memiliki
aktifitas sebagai antiinflamasi dan analgesik (Vittalrao et al., 2011) dan
kandungan minyak atsiri sebagai antiinflamasi (Hasanah et al., 2011). Di Asia
Tropika, Kencur sering digunakan sebagai pengobatan tradisional untuk
mengobati pembengkakan, encok, batuk, disentri, diare dan sakit perut. Telah
dilakukan penelitian untuk mendukung klaim penggunaan tradisional pada ekstrak
kencur, seperti menunjukkan menaticidal, obat nyamuk dan larvasida,

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


9

antimikroba, vasorelaksan, anti neoplastik, anti alergi, antioksidan, analgesik dan


efek penyembuhan luka (Umar et al., 2012). Selain itu kencur mampu mengobati
proses penyembuhan luka bakar dari ekstrak alkohol Kaempferia galanga Linn.
pada tikus galur wistar. Telah diketahui bahwa ekstrak etanol Kaempferia galanga
Linn. dapat mempercepat proses epitelisasi pada jaringan luka dengan
memfasilitasi proliferasi sel epitel, memiliki efek prohealing yang baik, dan salah
satu komponen dari kencur yaitu flavonoid yang berperan sebagai antioksidan
yang merupakan komponen penting dalam penyembuhan luka (Tara et al., 2006).

2.2 Tinjauan Hewan Percobaan


2.2.1 Klasifikasi Tikus Putih
Menurut Suckow (2006) klasifikasi Tikus Putih (Rattus norvegicus) adalah
sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Phylum : Chordata
Subphylum : Vertebrata
Class : Mammalia
Order : Rodentia
Family : Muridae
Genus : Rattus
Species : Rattus norvegicus

2.2.2 Biologis Tikus Putih


Hewan laboratorium atau hewan percobaan adalah hewan yang sengaja
dipelihara dan diternakkan untuk dipakai sebagai hewan model guna mempelajari
dan mengembangkan berbagai macam bidang ilmu dalam skala penelitian atau
pangamatan laboratorium. Tikus termasuk hewan mamalia, oleh sebab itu
dampaknya terhadap suatu perlakuan mungkin tidak jauh berbeda dibanding
dengan mamalia lainnya. Selain itu, penggunaan tikus sebagai hewan percobaan
juga didasarkan atas pertimbangan ekonomis dan kemampuan hidup tikus hanya
2-3 tahun dengan lama reproduksi 1 tahun.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


10

Kelompok tikus laboratorium pertama-tama dikembangkan di Amerika


Serikat pada tahun 1775. Penyebaran spesies tikus pada mulanya yaitu melalui
Norwegia yang disebut dengan ―tikus norwegia‖ yang kemudian berganti menjadi
norvegicus (spesies) (Suckow, 2006). Pada percobaan ini digunakan tikus putih
jantan sebagai binatang percobaan karena tikus putih jantan dapat memberikan
hasil penelitian yang lebih stabil karena tidak dipengaruhi oleh adanya siklus
menstruasi dan kehamilan seperti pada tikus betina. Tikus putih jantan juga
mempunyai kecepatan metabolisme obat yang lebih cepat dan kondisi biologis
tubuh yang lebih stabil dibanding tikus betina. Tikus putih sebagai hewan
percobaan relatif resisten terhadap infeksi dan sangat cerdas. Tikus putih tidak
begitu bersifat fotofobik seperti halnya mencit dan kecenderungan untuk
berkumpul dengan sesamanya tidak begitu besar. Aktifitasnya tidak terganggu
oleh adanya manusia disekitarnya. Ada dua sifat yang membedakan tikus putih
dari hewan percobaan yang lain, yaitu bahwa tikus putih tidak dapat muntah
karena struktur anatomi yang tidak lazim di tempat esofagus bermuara ke dalam
lubang dan tikus putih tidak mempunyai kandung empedu (Fauziah, 2010).
Tikus laboratorium jantan jarang berkelahi seperti mencit jantan. Tikus
putih dapat tinggal sendirian di dalam kandang dan hewan ini lebih besar
dibandingkan dengan mencit, sehingga untuk percobaan laboratorium, tikus putih
lebih menguntungkan daripada mencit (Fauziah, 2010). Keunggulan tikus putih
dibandingkan tikus liar antara lain lebih cepat dewasa, tidak memperlihatkan
perkawinan musiman, dan umumnya lebih cepat berkembang biak. Secara umum,
berat badan tikus laboratorium lebih ringan dibandingkan berat badan tikus liar.
Biasanya pada umur empat minggu beratnya 35-40 g, dan berat dewasa rata-rata
200-250 g, tetapi bervariasi tergantung pada galur. Galur Sprague Dawley
merupakan galur yang paling besar diantara galur yang lain.
Terdapat beberapa galur tikus yang sering digunakan dalam penelitian.
Galur-galur tersebut antara lain : Wistar, Sprague Dawley, Long Evans, dan
Holdzman. Dalam penelitian ini digunakan galur Sprague Dawley dengan ciri-ciri
berwarna putih, berkepala kecil dan ekornya lebih panjang daripada badannya
(Smith dan Mangkoewidjojo, 1988). Tikus ini pertama kali diproduksi oleh
peternakan Sprague Dawley. Tikus Sprague Dawley merupakan jenis outbred

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


11

tikus albino serbaguna secara ekstensif dalam riset medis. Keuntungan utamanya
adalah ketenangan dan kemudahan penanganannya.

2.3 Kulit (Perdanakusuma, 2007)


2.3.1 Anatomi Kulit
Kulit adalah suatu organ pembungkus seluruh permukaan luar tubuh,
merupakan organ terberat dan terbesar dari tubuh. Pembagian kulit secara garis
besar terdiri atas 3 lapisan, yaitu lapisan epidermis, dermis dan subkutis.
1. Epidermis
Epidermis merupakan lapisan luar kulit yang tipis dan avaskuler. Terdiri
dari epitel berlapis gepeng bertanduk, mengandung sel melanosit, langerhans dan
merkel. Tebal epidermis berbeda-beda pada berbagai tempat di tubuh, paling tebal
pada telapak tangan dan kaki. Ketebalan epidermis hanya sekitar 5% dari seluruh
ketebalan kulit. Terjadi proses regenerasi setiap 4-6 minggu. Fungsi epidermis
yaitu sebagai proteksi barier, organisasi sel, sintesis vitamin D dan sitokin,
pembelahan dan mobilisasi sel, pigmentasi (melanosit) dan pengenalan alergen
(sel Langerhans).
Epidermis terdiri dari 5 lapisan (lapisan yang paling atas sampai yang
terdalam):
1. Stratum Korneum, terdiri dari sel keratinosit yang bisa mengelupas dan
berganti.
2. Stratum Lusidum, berupa garis translusen, biasanya terdapat pada kulit
tebal telapak kaki dan telapak tangan. Tidak tampak pada kulit tipis.
3. Stratum Granulosum, ditandai oleh 3-5 lapis sel polygonal gepeng yang
intinya ditengah dan sitoplasma terisi oleh granula basofilik kasar yang
dinamakan granula keratohialin yang mengandung protein kaya akan
histidin. Terdapat sel langerhans.
4. Stratum Spinosum, pada lapisan ini terdapat berkas-berkas filamen yang
dinamakan tonofibril, dianggap filamen-filamen tersebut memegang
peranan penting untuk mempertahankan kohesi sel dan melindungi
terhadap efek abrasi. Epidermis pada tempat yang terus mengalami
gesekan dan tekanan mempunyai stratum spinosum dengan lebih banyak

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


12

tonofibril. Stratum basale dan stratum spinosum disebut debagai lapisan


malfigi. Terdapat sel langerhans.
5. Stratum Basale (Stratum Germinativum), terdapat aktivitas mitosis yang
hebat dan bertanggung jawab dalam pembaharuan sel epidermis secara
konstan. Epidermis diperbaharui setiap 28 hari untuk migrasi ke
permukaan, hal ini tergantung letak, usia dan faktor lain. Merupakan satu
lapisan sel yang mengandung melanosit.
2. Dermis
Dermis merupakan bagian yang paling penting di kulit yang sering dianggap
sebagai ―true skin‖. Terdiri atas jaringan ikat yang menyokong epidermis dan
menghubungkannya dengan jaringan subkutis. Tebalnya bervariasi, yang paling
tebal pada telapak kaki sekitar 3 mm. Fungsi nya yaitu sebagai struktur
penunjang, mechanical strength, suplai nutrisi dan respon inflamasi.
Dermis terdiri dari 2 lapisan:
- lapisan papiler; tipis mengandung jaringan ikat jarang.
- lapisan retikuler; tebal terdiri dari jaringan ikat padat.
3. Subkutis
Lapisan ini terdapat dibawah dermis atau hipodermis yang terdiri dari
lapisan lemak. Lapisan ini terdapat jaringan ikat yang menghubungkan kulit
secara longgar dengan jaringan dibawahnya. Jumlah dan ukurannya berbeda-beda
menurut daerah di tubuh dan keadaan nutrisi individu. Berfungsi menunjang
suplai darah ke dermis untuk regenerasi. Fungsi dari subkutis atau hipodermis
yaitu melekat ke struktur dasar, isolasi panas, cadangan kalori kontrol bentuk
tubuh dan mechanical shock absorber.

2.3.2 Fisiologi Kulit (Gunstream, 2000).


1. Proteksi
Kulit memberikan penghalang (barrier) fisik antara jaringan dibawahnya
dan lingkungan eksternal. Memberikan perlindungan dari abrasi, dehidrasi, radiasi
ultraviolet dan invasi bakteri.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


13

2. Ekskresi
Produksi keringat dari kelenjar keringat untuk menghapus sisa-sisa
metabolisme dalam jumlah kecil seperti senyawa organik, garam dan air.
3. Regulasi Suhu
Selama periode produksi kelebihan panas oleh tubuh, sekresi dari keringat
dan evaporasinya dari permukaan tubuh membantu untuk menurunkan temperatur
tubuh selama periode pelepasan panas tubuh, pembuluh darah di permukaan tubuh
mengalami konstriksi untuk mengurangi kehilangan panas tubuh.
4. Persepsi Sensorik
Kulit memuat ujung-ujung saraf dan reseptor yang dapat mendeteksi
stimulus yang berkaitan dengan sentuhan, tekanan, suhu dan rasa sakit.
5. Sintesis Vitamin D
Pemapaparan radiasi ultraviolet mengkonversi molekul prekursor di dalam
kulit menjadi vitamin D.

Gambar 2.3 Struktur Kulit


[sumber: Airlangga University School of Medicine, 2007]

2.4 Luka
2.4.1 Definisi Luka
Luka merupakan keadaan hilang atau rusaknya sebagian jaringan tubuh
yang dapat disebabkan oleh trauma benda tajam atau tumpul, perubahan suhu, zat
kimia, ledakan, sengatan listrik atau gigitan serangga. Tubuh yang sehat
mempunyai kemampuan alami untuk melindungi dan memulihkan dirinya. Proses

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


14

kesembuhan luka harus terjadi pada kondisi yang mendukung jaringan tubuh
untuk melakukan proses perbaikan dan regenerasi (Ferdinandez, 2013).

2.4.2 Jenis-Jenis Luka (Bakkara, 2012)


Luka sering digambarkan berdasarkan bagaimana cara mendapatkan luka itu
dan menunjukkan derajat luka.
1. Berdasarkan Tingkat Kontaminasi
a. Luka Bersih, yaitu luka luka yang tidak terdapat inflamasi dan infeksi,
yang merupakan luka sayat efektif dan steril dimana luka tersebut
berpotensi untuk terinfeksi. Luka tidak ada kontak dengan orofaring,
traktus respiratorius maupun traktus genitourinarius. Dengan demikian
kondisi luka tetap dalam keadaan bersih. Kemungkinan terjadinya
infeksi luka sekitar 1%-5%
b. Luka Bersih Terkontaminasi, merupakan luka pembedahan dimana
saluran respirasi, pencernaan, genital atau perkemihan dalam kondisi
terkontrol. Proses penyembuhan luka akan lebih lama namun luka
tidak menunjukkan tanda infeksi. kemungkinan timbulnya infeksi luka
adalah 3%-11%.
c. Luka Terkontaminasi, merupakan luka yang berpotensi terinfeksi
spillage saluran pernafasan, pencernaan dan kemih. Luka
menunjukkan tanda infeksi. Luka ini dapat ditemukan pada luka
terbuka karena trauma atau kecelakaan (luka laserasi), fraktur terbuka
maupun luka penetrasi. Kemungkinan infeksi luka 10%-17%.
d. Luka Kotor, yaitu luka lama, luka kecelakaan yang mengandung
jaringan mati dan luka dengan tanda infeksi seperti cairan purulen.
Luka ini bisa sebagai akibat pembedahan yang sangat terkontaminasi.
Bentuk luka seperti perforasi visera, abses dan trauma lama.
2. Berdasarkan Penyebab
a. Vulnus Ekskoriasi atau luka lecet/gores adalah cedera pada permukaan
epidermis akibat bersentuhan dengan benda berpermukaan kasar atau
runcing. Luka ini banyak dijumpai pada kejadian traumatik seperti

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


15

kecelakaan lalu lintas, terjatuh maupun benturan benda tajam ataupun


tumpul.
b. Vulnus Scissum adalah luka sayat atau iris yang ditandai dengan tepi
luka berupa garis lurus dan beraturan. Vulnus scissum biasanya
dijumpai pada aktivitas sehari-hari seperti terkena pisau dapur, sayatan
benda tajam (kaca, seng, dll), dimana bentuk luka teratur.
c. Vulnus Laseratum atau luka robek adalah luka dengan tepi yang tidak
beraturan atau compang camping biasanya karena tarikan atau goresan
benda tumpul. Luka ini dapat kita jumpai pada kejadian kecelakaan
alalu lintas dimana bentuk luka tidak beraturan dan kotor, kedalaman
luka bisa menembus lapisan mukosa hingga lapisan otot.
d. Vulnus Punctum atau luka tusuk adalah luka akibat tusukan benda
runcing yang biasanya kedalaman luka lebih dari pada lebarnya.
Misalnya tusukan pisau yang menembus lapisan otot, tusukan paku
dan benda-benda tajam lainnya. Semuanya menimbulkan efek tusukan
yang dalam dengan permukaan luka tidak begitu lebar.
e. Vulnus Morsum adalah luka karena gigitan binatang. Luka gigitan
hewan memiliki bentuk permukaan luka yang mengikuti gigi hewan
yang menggigit. Dengan kedalaman luka juga menyesuaikan gigitan
hewan tersebut.
f. Vulnus Combutio adalah luka karena terbakar oleh api atau cairan
panas maupun sengatan arus listrik. Vulnus combutio memiliki bentuk
luka yang tidak beraturan dengan permukaan luka yang lebar dan
warna kulit yang menghitam. Biasanya juga disertai pula karena
kerusakan epitel kulit dan mukosa.
3. Berdasarkan Kedalaman dan Luas Luka
a. Stadium I: luka superfisial (non-blanching erithema) yaitu luka yang
terjadi pada lapisan epidermis kulit.
b. Stadium II: luka paratial thickness yaitu hilangnya lapisan kulit pada
lapisan epidermis dan bagian atas dari dermis. Merupakan luka
superficial dan adanya tanda klinis seperti abrasi, blister atau lubang
yang dangkal.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


16

c. Stadium III: luka full thickness yaitu hilangnya kulit keseluruhan


meliputi kerusakan atau nekrosis jaringan subkutan yang dapat meluas
sampai bawah tetapi tidak melewati jaringan yang mendasarinya.
Lukanya sampai pada lapisan epidermis, dermis dan fasia tetapi tidak
mengenai otot. Luka timbul secara klinis sebagai suatu lubang yang
dalam dengan atau tanpa merusak jaringan sekitarnya.
d. Stadium IV: luka full thickness yang telah mencapai lapisan otot,
tendon dan tulang dengan adanya destruksi/kerusakan yang luas.
4. Berdasarkan Waktu Penyembuhan Luka
a. Luka Akut: luka dengan masa penyembuhan sesuai dengan konsep
penyembuhan yang telah disepakati
b. Luka Kronis: luka yang mengalami kegagalan dalam proses
penyembuhan, dapat karena faktor eksogen dan endogen.
5. Berdasarkan Mekanisme terjadinya luka
a. Luka insisi (incised wound), terjadi karena teriris oleh instrumen yang
tajam. Misalnya yang terjadi akibat pembedahan. Luka bersih (aseptik)
biasanya tertutup oleh sutura setelah seluruh pembuluh darah yang
luka diikat (ligasi)
b. Luka memar (contusion wound), terjadi akibat benturan oleh suatu
tekanan dan dikarakteristikan oleh cedera pada jaringan lunak,
perdarahan dan bengkak.
c. Luka lecet (abraded wound), terjadi akibat kulit bergesekan dengan
benda lain yang biasanya dengan benda yang tidak tajam.
d. Luka tusuk (punctured wound), terjadi akibat adanya benda, seperti
peluru atau pisau yang masuk kedalam kulit dengan diameter yang
kecil.
e. Luka gores (lacerated wound), terjadi akibat benda yang tajam seperti
oleh kaca atau oleh kawat.
f. Luka tembus (penetrating wound), yaitu luka yang menembus organ
tubuh biasanya pada bagian awal luka masuk diameternya kecil tetapi
pada bagian ujung biasanya lukanya akan melebar.
g. Luka bakar (combustio)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


17

2.4.3 Proses Penyembuhan Luka


Rangsangan eksogen dan endogen dapat menimbulkan kerusakan sel, dan
selanjutnya memicu reaksi vaskuler kompleks pada jaringan ikat yang ada
pembuluh darahnya. Reaksi inflamasi berguna sebagai proteksi terhadap jaringan
yang mengalami kerusakan untuk tidak mengalami infeksi dan meluas tak
terkendali. Proses inflamasi sangat erat berhubungan dengan penyembuhan luka.
Tanpa adanya inflamasi tidak akan terjadi proses penyembuhan luka, luka akan
tetap menjadi sumber nyeri sehingga proses inflamasi dan penyembuhan luka
akan cenderung menimbulkan luka (Prabakti, 2005).
Proses inflamasi terjadi pada jaringan ikat dengan pembuluh darah yang
mengandung plasma, sel yang bersirkulasi, elemen seluler dan ekstra seluler
jaringan pengikat. Termasuk komponen seluler (eritrosit, lekosit), sel jaringan ikat
(sel mast, fibroblas, monosit, makrofag dan limfosit) dan elemen ekstra seluler
diantaranya kolagen, elastin, glikoprotein adesif: fibronektin, laminin, kolagen
non fibril, tenasen, proteoglikan (Prabakti, 2005).
Peradangan dan perbaikan merupakan proses terus menerus pada
penyembuhan luka, sel-sel inflamasi, epitel, endotel, trombosit dan fibroblast
keluar secara bersamaan dari tempatnya semula dan berinteraksi untuk
mengembalikan kerusakan jaringan serta proses revaskularisasi (Novriansyah,
2008). Sel dalam jaringan rusak akan melepaskan mediator kimiawi yaitu
kemoatraktran dan sitokin, yang mempunyai daya kemotaktik, mampu menarik
leukosit dalam sirkulasi kapiler (Prabakti, 2005).
Sitokin bersama faktor pertumbuhan (growth factor) seperti PDGF, FGF
aktif berperan melaksanakan proses penyembuhan. Beberapa macam sitokin
terlibat dalam proses penyembuhan yaitu: TNF α, IL 1, IL 6, IL 8 dan TGF β
(Prabakti, 2005).
Kerusakan jaringan dan pembuluh darah akan diikuti oleh reaksi kompleks
dalam jaringan pengikat yang memiliki pembuluh darah. Setelah terjadi trauma,
luka akan mengalami kondisi lingkungan yang kekurangan oksigen. Hal tersebut
disebabkan karena kerusakan vaskuler dan kebutuhan oksigen meningkat akibat
proses katabolisme. Hipoksia jaringan akan menyebabkan tekanan oksigen
jaringan rendah, pada tingkat seluler dan molekuler terbukti bahwa kondisi

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


18

tersebut merupakan stimulator sinyal awal penyembuhan luka (tissue


repair/angiogenesis), proliferasi fibroblas, sintesis faktor pertumbuhan. Sel
endotel yang mengalami hipoksia memproduksi sejumlah platelet-derived growth
factor (PDGF), endotelin dan vascular endothelial growth factor yang berperan
dalam proses angiogenesis, motilitas keratinosit juga akan meningkat dengan
kondisi tekanan oksigen yang rendah. Kondisi ini hanya berlangsung sampai
dengan 2-3 hari setelah luka, selanjutnya tekanan oksigen jaringan menjadi
normal kembali setelah terjadi revaskularisasi jaringan. Tekanan oksigen yang
rendah dan persisten akan menyebabkan gangguan pada proses penyembuhan
luka dan integritas jaringan (Novriansyah, 2008).
Proses penyembuhan luka yang alami:

Gambar 2.4 Proses Penyembuhan Luka


[Sumber: Prabakti, 2005]
1. Fase Inflamasi
Fase inflamasi terjadi pada hari 0-5. Proses penyembuhan terjadi pada saat
terjadi luka. Luka karena trauma atau luka karena pembedahan mengakibatkan
kerusakan pada struktur jaringan dan mengakibatkan perdarahan. Pada
awalnya darah akan mengisi jaringan yang cedera dan terpaparnya darah
terhadap kolagen akan mengakibatkan terjadinya degranulasi trombosit dan
pengaktifan faktor hageman. Hal ini kemudian akan memicu sistem biologis
lain seperti pengaktifan komplemen kinin, kaskade pembekuan dan
pembentukan plasmin. Keadaan ini memperkuat sinyal dari tempat luka,

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


19

sehingga tidak hanya mengaktifkan pembentukan bekuan yang menyatukan


tepi luka tetapi juga akumulasi dari beberapa mitogen dan menarik zat kimia
ke daerah luka. Pembentukan kinin dan prostaglandin menyebabkan
vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas dari pembuluh darah di daerah
luka. Hal ini menyebabkan edema dan kemudian menimbulkan
pembengkakan dan nyeri pada awal terjadinya luka. Leukosit PMN adalah sel
pertama yang menuju ketempat luka. Jumlahnya meningkat cepat dan
mencapai puncaknya pada 24-48 jam. Fungsi utamanya adalah
memfagositosis bakteri yang masuk. Pada penyembuhan luka normal
tampaknya kehadiran sel-sel ini tidak begitu penting sebab penyembuhan luka
dapat terjadi tanpa keberadaan sel-sel ini. Adanya sel ini menunjukkan bahwa
luka terkontaminasi bakteri. Bila tidak terjadi infeksi sel-sel PMN berumur
pendek dan jumlahnya menurun dengan cepat setelah hari ketiga (Prabakti,
2005).
Elemen imun seluler yang berikutnya adalah makrofag. Muncul pertama
48-96 jam setelah terjadi luka dan mencapai puncak pada hari ke-3. Makrofag
berumur lebih panjang dibanding dengan sel PMN dan tetap ada di dalam luka
sampai proses penyembuhan berjalan sempurna. Sesudah makrofag akan
muncul limfosit T dengan jumlah bermakna pada hari ke 5 dan mencapai
puncak pada hari ke 7. Sebaliknya dari PMN, makrofag dan limfosit T penting
keberadaannya pada penyembuhan luka normal. Makrofag seperti halnya
netrofil, memfagositosis dan mencerna organisme-organisme patologis dan
sisa-sisa jaringan. Makrofag juga melepas faktor pertumbuhan dan sitokin
yang mengawali dan mempercepat formasi jaringan granulasi (Novriansyah,
2008).
2. Fase Proliferasi
Fase ini terjadi pada hari ke 3-14. Bila tidak ada kontaminasi atau infeksi
yang bermakna, fase inflamasi berlangsung pendek. Setelah luka berhasil
dibersihkan dari jaringan mati dan sisa material yang tidak berguna,
dimulailah fase proliferasi. Fase proliferasi ditandai dengan pembentukan
jaringan granulasi pada luka. Jaringan granulasi merupakan kombinasi dari
elemen seluler termasuk fibroblast dan sel inflamasi, yang bersamaan dengan

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


20

timbulnya kapiler baru tertanam dalam jaringan longgar ekstra seluler dari
matriks kolagen, fibronektin dan asam hialuronik. Fibroblas muncul pertama
kali secara bermakna pada hari ke 3 dan mencapai puncak pada hari ke 7.
Peningkatan jumlah fibroblast pada daerah luka merupakan kombinasi dari
proliferasi dan migrasi. Fibroblast merupakan elemen utama pada proses
perbaikan untuk pembentukan protein struktural yang berperan dalam
pembentukan jaringan. Fibroblast juga memproduksi kolagen dalam jumlah
besar, kolagen ini berupa glikoprotein berantai tripel, unsur utama matriks
luka ekstraseluler yang berguna membentuk kekuatan pada jaringan parut.
Kolagen pertama kali dideteksi pada hari ke 3 setelah luka, meningkat sampai
minggu ke 3. Pada awalnya penumpukan kolagen terjadi berlebihan kemudian
fibril kolagen mengalami reoganisasi sehingga terbentuk jaringan reguler
sepanjang luka. Fibroblas juga menyebabkan matriks fibronektin, asam
hialuronik dan glikos aminoglikan (Prabakti, 2005).
Revaskularisasi luka terjadi secara bersamaan dengan fibroplasia. Tunas-
tunas kapiler tumbuh dari pembuluh darah yang berdekatan dengan luka.
Tunas-tunas kapiler ini bercabang di ujungnya kemudian bersatu membentuk
lengkung kapiler dimana darah kemudian mengalir. Tunas-tunas baru muncul
dari lengkung kapiler membentuk pleksus kapiler. Proses ini terjadi dari
kombinasi proliferasi dan migrasi. Mediator pertumbuhan sel endotelial dan
kemotaksis termasuk sitokin yang dihasilan trombosit, makrofag dan limfosit
pada luka. Tekanan oksigen yang rendah, terbentuknya asam laktat dan amin
biogenik merupakan stimulan potensial terbentuknya sitokin dan growth factor
seperti platelet-derived growth factor (PDGF), endotelial, vascular endothelial
growth factor (VEGF), FGF. Beberapa sitokin yang dilepaskan oleh makrofag
serta terlibat dalam proses penyembuhan yaitu: TNF α, IL 1, IL 6, IL 8 dan
TGF β. Peran TGF β dalam proses penyembuhan luka adalah meningkatkan
matriks ekstra seluler (ECM) dan meningkatkan kolagenasi (Novriansyah,
2008).
Proses yang telah diuraikan sebelumnya merupakan proses pada fase
proliferasi didalam luka, sementara itu pada permukaan luka juga akan terjadi
restorasi integral epitel. Reepitelisasi terjadi beberapa jam setelah luka. Pada

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


21

tepi luka epidermis segera mendekati tepi luka dan menebal. Sel marginal
basalis mulai mengalami migrasi sepanjang serat-serat fibrin dan berhenti
ketika tepi luka sudah kontak. Pada tingkat seluler seluruh luka telah
mengalami epitelisasi pada kurang dari 48 jam. Stimulator reepitelisasi sampai
sat ini belum diketahui secara lengkap. Faktor-faktor yang diduga berperan
adalah EGF, TGF β, bFGF, PDGF dan IGF. Proses epitelisasi terus berulang
ketika permukaan epitel sudah menebal. Fibroblas akan muncul pada bagian
dalam luka, selanjutnya diproduksi kolagen (Novriansyah, 2008).
3. Fase Maturasi
Fase ini berlangsung dari hari ke 7 sampai dengan 1 tahun. Setelah matriks
ekstraseluler terbentuk, dimulailah reorganisasi. Pada mulanya matriks
ekstrasel kaya akan fibronektin. Hal ini tidak hanya menghasilkan migrasi sel
subtratum dan pertumbuhan sel ke dalam tetapi juga menyebabkan
penumpukan kolagen oleh fibroblast. Terbentuknya asam hialuronidase dan
proteoglikan dengan berat molekul besar berperan dalam pembentukan
matriks ekstraseluler dengan konsistensi seperti gel dan membantu infiltrasi
seluler. Kolagen berkembang cepat menjadi faktor utama pembentuk matriks.
Serabut kolagen pada permulaan terdistribusi acak membentuk persilangan
dan beragregasi menjadi serabut fibril yang secara perlahan menyebabkan
penyembuhan jaringan dan meningkatkan kekakuan dan kekuatan ketegangan
luka. Sesudah 5 hari periode jeda, bersesuaian dengan pembentukan jaringan
granulasi awal dengan matriks sebagian besar tersusun dari fibronektin dan
asam hialuronidase, terjadi peningkatan cepat dari kekuatan tahanan luka
karena fibrogenesis kolagen. Pencapaian kekuatan tegangan luka berjalan
lambat. Sesudah 3 minggu kekuatan penyembuhan luka mencapai 20% dari
kekuatan akhir (Novriansyah, 2008). Bagaimanapun, kekuatan akhir
penyembuhan luka tetap kurang dibanding dengan kulit yang tidak pernah
terluka, dengan kekuatan tahanan maksimal jaringan parut hanya 70% dari
kulit utuh (Prabakti, 2005).
Pengembalian kekuatan tegangan berjalan perlahan karena deposisi
jaringan kolagen terus menerus, remodeling serabut kolagen membentuk
serabut-serabut kolagen lebih besar dan perubahan dari cross linking inter

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


22

molekuler. Remodeling kolagen selama pembentukan jaringan parut


tergantung pada proses sintesis dan katabolisme kolagen yang
berkesinambungan. Degradasi kolagen pada luka dikendalikan oleh enzim
kolagenase. Kecepatan tinggi sintesis kolagen mengembalikan luka ke
jaringan normal dalam waktu 6 bulan sampai 1 tahun (Novriansyah, 2008).
Remodeling aktif jaringan parut akan terus berlangsung sampai 1 tahun dan
tetap berjalan dengan lambat seumur hidup (Prabakti, 2005).
Pada proses remodeling terjadi reduksi secara perlahan pada vaskularisasi
dan selularitas jaringan yang mengalami perbaikan sehingga terbentuk
jaringan parut kolagen yang relatif avaskuler dan aseluler. Hal ini tampak pada
berkurang nya eritema dan reduksi jaringan parut yang terbentuk. Gambaran
tersebut merupakan gambaran normal dari penyembuhan (Prabakti, 2005).

2.4.4 Prinsip Penyembuhan Luka


Prinsip penyembuhan luka mengikuti fase penyembuhan luka menurut
Schwatz (2000) yaitu:
a. Koagulasi
Terjadinya luka baik yang bersifat traumatic atau yang terbentuk pada
pembedahan menyebabkan perdarahan dari pembuluh darah yang rusak.
Vasokonstriksi segera terjadi sebagai akibat dilepaskannya katekolamin kedalam
lingkungan cedera. Bradikinin, serotonin dan histamine merupakan senyawa vaso
aktif lain yang dilepas oleh sel mast ke jaringan sekitar. Senyawa-senyawa ini
mengawali peristiwa diapedesis yaitu keluarnya sel-sel intravascular kedalam
ruang ekstravaskular yang rusak. Suatu bekuan darah terbentuk dari trombosit
yang dikeluarkan dari ekstravasasi darah yang dapat mempengaruhi peristiwa
penyembuhan luka.
b. Inflamasi
Fase inflamasi dimulai dengan migrasi leukosit kedalam luka. Leukosit
polimorfonuklear akan mendominasi luka dalam 24 jam pertama, diikuti oleh
makrofag dalam jumlah yang banyak dan kemudian limfosit. Sel-sel radang ini
mengatur perbaikan matriks jaringan ikat dengan melepaskan berbagai macam
sitokin, yang sebelumnya dikenal sebagai ―faktor pertumbuhan‖.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


23

c. Fibroplasia
Fibroplasia adalah fase penyembuhan luka yang ditandai oleh sintesis
kolagen. Sintesis kolagen dimulai 24 jam pertama setelah cedera, namun tidak
akan mencapai puncak hingga 5 hari kemudian. Setelah 7 hari sintesis kolagen
akan berkurang secara perlahan-lahan. Remodeling luka mengacu pada
keseimbangan antara sintesis kolagen dan degradasi kolagen. Pada saat seraburt
kolagen tua diuraikan oleh kolagenase jaringan, serabut baru dibentuk dengan
kepadatan pengerutan yang makin bertambah. Proses ini akan meningkatkan
kekuatan potensial dari jaringan parut.
d. Sitokin
Sitokin memungkinkan berjalannya seluruh interaksi antar sel. mereka juga
berperan penting dalam penatalaksanaan penyembuhan luka. Contohnya sitokin
ikut mengatur peranan dan pengaturan fibrosis, penyembuhan luka kronik,
cangkokan kulit, vaskularisasi, peningkatan kekuatan tendon dan tulang setelah
perbaikan.
e. Metabolisme matriks ekstraseluler
Matriks ekstraseluler merupakan suatu struktur yang kompleks, dimana
berbagai jenis sel dan komponen berinteraksi. Kolagen merupakan komponen
utama dari matriks ekstraseluler, dari semua jaringan lunak, tendon, ligament dan
matriks tulang.
f. Sintesis kolagen
Sintesis kolagen dimulai dengan transkrip DNA menjadi mRNA. Translasi
mRNA berlangsung pada ribosom di reticulum endoplasma yang kasar. Kolagen
berbeda dengan protein lain karena kolagen akan mengalami beberapa modifikasi
jika telah mencapai lingkungan ekstraseluler. Disini terjadi pengerutan kolagen
untuk membentuk fibril dan serabut kolagen. Lisil oksidase merupakan enzim
yang diperlukan untuk pengerutan kolagen. Jadi pada sintesis kolagen terjadi
sintesa protein tingkat tinggi, sehingga tubuh memerlukan asupan protein yang
banyak dalam makanan yang dimakan.
g. Degradasi kolagen
Degradasi kolagen atau penguraian kolagen diawali oleh enzim-enzim yang
sangat spesifik yang disebut kolagenase jaringan yang dihasilkan oleh berbagai

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


24

sel, termasuk sel radang, fibroblast dan sel epitel. Kolagenase masih dalam bentuk
tidak aktif dan harus diaktifkan oleh protein seperti plasmin. Setelah kolagenase
menjadi aktif, enzim dapat dihambat dengan menggabungkannya dengan protein
plasma dan jaringan yaitu makroglobulin alfa-2.
h. Substansi Dasar
Substansi dasar terdiri dari proteoglikan dan glikosaminoglikan. Kombinasi
kartilago dan proteoglikan berfungsi sebagai peredam syok molekuler. Keduanya
juga berperan menjaga kelembapan dan mengeluarkan sitokin. Asam hialuronat
memberikan linkungan yang cair untuk mempermudah gerakan sel yang cepat dan
diferensiasi sel. Asam ini timbul dini dan bertahan untuk sementara waktu setelah
cedera pada orang dewasa, namun bertahan lebih lama pada kulit dan luka di
janin.
i. Kontraksi luka
Kontraksi luka merupakan salah satu tenaga mekanis tubuh yang paling kuat.
Pada luka terbuka ditemukan sel-sel mirip fibroblast yang berkontraksi. Sel-sel ini
memiliki komponen otot polos dalam sitoplasmanya serta memiliki sifat-sifat
fibroblast lainnya.
j. Epitelisasi
Sel epitel berfungsi untuk menutupi semua permukaan kulit yang terpapar
dengan lingkungan luar. Kulit merupakan suatu contoh dari proses epitelisasi
tetapi mekanisme perbaikan epitel adalah sama diseluruh tubuh. Lapisan luar kulit
yaitu epidermis terdiri dari epitel berlapis gepeng yang melindungi kulit dari
kehilangan cairan, invasi bakteri dan trauma. Luka ketebalan partial akan sembuh
melalui proses epitelisasi. Terdapat dua fenomena utama dalam proses epitelisasi
yaitu: migrasi dan mitosis. Setelah epitel rusak akan terbentuk bekuan darah.
Keropeng merupakan bekuan darah yang mengering yang melindungi dermis
dibawahnya. Migrasi sel epitel mengawali proses perbaikan dan tidak bergantung
pada mitosis epitel. Sel-sel yang bermigrasi berasal dari tepi luka dan polikel
rambut serta kelenjar sebasea didasar luka.
Setelah permukaan kulit ditutupi oleh sel-sel epitel, sel-sel ini akan kembali
ke fenotipik yang normal. Epetelisasi yang berhasil, diperluas dengan
mempertahankan permukaan kulit agar tetap lembab dan tidak kering. Keropeng

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


25

alami mungkin cukup baik untuk tujuan ini, bahan penutup yang tidak lengket
sangat baik untuk mempertahankan permukaan kulit tetap lembab dan dapat
meningkatkan proses epitelisasi secara bermakna.
k. Nutrisi
Nutrisi yang tidak adekuat dapat mengganggu proses penyembuhan.
Misalnya penghambatan respon imun dan opsonisasi bakteri. Defisiensi asam
askorbat merupakan penyebab gangguan penyembuhan luka yang paling sering.
Asam askorbat merupakan suatu kofaktor dalam hidroksilasi prolin menjadi asam
aminohidroksi prolin pada sintesis kolagen dalam penambahan molekul oksigen.
Zat besi merupakan unsur yang penting untuk penyembuhan luka yang
sesuai. Besi juga diperlukan untuk berlangsungnya hidroksilase residu prolin.
Kalsium dan magnesium dibutuhkan untuk aktivasi kolagenase dan sintesis
protein secara umum. Faktor esensial lain untuk penyembuhan luka adalah suplai
oksigen yang adekuat. Kebanyakan penyembuhan luka yang kronik dapat diatasi
secara efektif dengan meningkatkan oksigenisasi jaringan.

2.4.5 Tatalaksana Penyembuhan Luka


Berdasarkan Burn Injury Guidelines For Care, tatalaksana penyembuhan
luka yaitu dengan:
1. NSAID (Non Steroid Anti Inflammatory Drug)
Proses penyembuhan luka pada anak-anak, orang dewasa dan orang tua,
akan mengalami proses yang berbeda dalam penyembuhannya. Pada anak dan
orang dewasa proses penyembuhan luka lebih cepat dari pada orang tua. Karena
pada orang tua lebih sering terkena penyakit kronis, penurunan fungsi hati yang
dapat mengganggu sintesis dari faktor pembekuan darah. Obat golongan NSAID
yang dapat digunakan untuk terapi management penyembuhan luka yaitu dengan
Asetaminofen, Ibuprofen, naproxen, tramadol dan morphin. Karena mekanisme
kerja dari obat NSAID yaitu dengan menghambat aktivitas enzim siklooksigenase
(COX) yang merupakan suatu enzim yang bertanggung jawab atas biosintesis
prostaglandin dan autokoid (Goodman & Gilman, 2002) . Prostaglandin
merupakan suatu modulator dari reaksi radang, prostaglandin akan menghasilkan
potensi yang kuat setelah terjadi kombinasi dengan mediator atau substansi lain

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


26

yang bebas secara lokal dan autokoid (histamin, serotonin dan leukotrin). Jika
prostaglandin tidak dihambat maka akan terjadi proses peradangan yang
menyebabkan terjadinya inflamasi pada jaringan (Masjoer, 2003).
2. Pembalut Luka
Pembalut luka bertujuan untuk mengabsorbsi eksudat dan melindungi luka
dari kontaminasi eksogen. Penggunaan balutan juga harus disesuaikan dengan
karakteristik luka. Adapun jenis-jenis balutan luka antara lain:
1. Balutan kering yaitu untuk luka dengan kulit kering yang masih utuh atau tepi
kulit yang dipertautkan mempunyai permukaan yang kering sehingga balutan
tidak akan melekat. Bahan yang dapat digunakan untuk balutan kering seperti
kasa dengan jala-jala yang lebar untuk melindungi luka dan memungkinkan
sirkulasi udara yang baik melalui balutan luka.
2. Balutan basah kering yaitu balutan kasa yang terbuat dari tenunan dan serat
non tenunan, rayon, poliester atau kombinasi lainnya
3. Balutan modern merupakan hasil teknologi tinggi yang mampu mengontrol
kelembapan disekitar luka. Bahan balutan luka ini disesuaikan dengan jenis
luka dan eksudat yang menyertainya. Bahan yang digunakan untuk balutan
luka modern seperti alginat, hidrogel, foam silikon lunak, hidrokoloid,
hidrofiber
3. Larutan Pembersih
Tujuan pemberian larutan pembersih yaitu untuk mengeluarkan debris
organik maupun anorganik sebelum menggunakan pembalut luka untuk
mempertahankan lingkungan yang optimum pada tempat luka untuk proses
penyembuhan.
Menurut pedoman AHCPR 1994, cairan pembersih yang diajurkan adalah
sodium klorida (Sinaga, 2012). Sodium klorida atau natrium klorida tersusun atas
Na dan Cl yang sama seperti plasma. Larutan ini tidak mempunyai sel darah
merah. Sodium klorida tersedia dalam beberapa konsentrasi, yang paling sering
adalah sodium klorida 0,90% merupakan konsentrasi normal dari sadium klorida
disebut juga normal salin yang merupakan larutan isotonis yang aman untuk
tubuh, tidak iritan, melindungi granulasi jaringan dari kondisi kering, menjaga

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


27

kelembapan disekitar luka, membantu luka menjalani proses penyembuhan serta


mudah didapat dan harga relatif lebih murah (Sinaga, 2012).
4. Agen Topikal
Agen topikal terdiri dari antiseptik dan antibakteri. Antiseptik adalah
bahan kimia yang dioleskan pada kulit atau jaringan yang hidup untuk
menghambat dan membunuh mikroorganisme dengan demikian akan mengurangi
jumlah total bakteri yang ada pada luka.
Pemakaian povidone iodine hanya digunakan pada luka-luka akut dan
kronik, sedangkan untuk luka terbuka tidak disarankan untuk menggunakannya.
Povidone iodine juga digunakan untuk mensterilkan alat dan permukaan kulit
yang utuh yang akan dioperasi. Sehingga untuk mencegah kerusakan jaringan
baru, WHO tidak menyarankan untuk menggunakan antiseptik pada luka bersih,
tetapi menggunakan larutan normal salin sebagai agen pembersih (WHO, 2010).

2.5 Sediaan Gel


Gel adalah sediaan semisolid yang terdiri dari dispersi molekul kecil atau
molekul besar dalam fase cair dengan menggunakan gelling agent (agen
pembentuk gel) (Ansel et al., 2011). Fase cair dari gel dapat dipertahankan dalam
tiga dimensi matriks polimer. Obat diendapkan dalam matriks atau dilarutkan
dalam fase cair (Marriott et al., 2010). Polimer-polimer yang biasa digunakan
untuk membuat gel-gel farmasetik meliputi gom alam tragakan, pektin, alginat,
gelatin, clays, PVA, serta bahan-bahan sintetis dan semisintetis seperti derivat
selulosa carbopol (Marriott et al., 2010). Gel dapat digunakan dengan berbagai
macam rute administrasi, seperti pemberian pada kulit, mata, hidung, vagina dan
rektum (Ansel et al., 2011).
Kelebihan dari sediaan gel yaitu penyimpanannya stabil dalam jangka waktu
lama, memiliki penampilan yang baik, pembawa yang baik untuk diaplikasikan
pada kulit dan selaput lendir, pelepasan obat yang tinggi serta absorpsi
(penyerapan) yang cepat (Marriott et al., 2010).
Metode pembuatan gel secara umum, diantaranya:
a. Panaskan semua komponen gel (terkecuali dengan air), kurang lebih
sekitar 900C

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


28

b. Panaskan air, kurang lebih sekitar 900C


c. Tambahkan air ke minyak, aduk terus. Hindari pengadukan kuat karena
hal ini akan menimbulkan gelembung (Marriott et al., 2010).
Fungsi gel menurut Lachman et al. 1989 yaitu gel dapat digunakan untuk
pemberian oral, sediaan obat long-acting yang diinjeksikan secara intramuskular,
bahan pengikat pada granulasi tablet, bahan pelindung koloid pada suspensi,
bahan pengental pada sediaan cairan per oral dan basis supositoria. Selain itu gel
juga dapat digunakan untuk obat yang diberikan secara setengah padat (non steril)
atau dimasukan ke dalam lubang tubuh atau mata (steril) dan telah digunakan
dalam prosuk kosmetik.

2.5.1 Formula Sediaan Gel


2.5.1.1 Karbopol 940
Karbopol merupakan polimer sintetis dengan BM tinggi dari asam akrilat
yang dicampur dengan alil sukrosa lain atau eter alil dari pentaeritriol. Karbopol
mengandung antara 56%-68% asam karboksilat (COOH) terhitung dengan basis
kering. Karbopol berwarna putih, halus, bersifat asam, higroskopis, sebuk dengan
bau sedikit khas. Fungsi karbopol yaitu sebagai agen bioadhesif, agen pengemulsi,
agen pelepasan termodifikasi, agen pensuspensi, pengikat tablet dan agen
peningkat viskositas. Karbopol larut dalam air dan setelah dinetralisasi dapat larut
dalam etanol 95% dan gliserin. Meskipun karbopol larut dalam air, tetapi tidak
terdisolusi melainkan hanya mengembang (Rowe et al., 2006).
Karbopol memiliki pH yang sangat asam yaitu 2,7-3,5 dalam 0,5% b/v
disperse dalam air dan 2,5-3,0 dalam 1 b/v dalam air, oleh karena itu pada tahap
pembuatannya sebagai basis gel, seringkali ditambahkan NaOH atau golongan
amin untuk menyesuaikan pH sediaan hingga mendekati pH kulit. Titik leleh
karbopol, terdekomposisi pada suhu 260 C selama 30 menit. Karbopol merupakan
senyawa yang stabil, yang dapat dipanaskan dibawah suhu 104 C hingga 2 jam
tanpa mempengaruhi efisiensinya. Bagaimanapun, paparan temperatur yang
sangat tinggi dapat menyebabkan perubahan warna dan penurunan stabilitas.
Bentuk serbuk kering dari karbopol tidak akan adanya pertumbuhan dari mikroba
dan fungi. Sebaliknya mikroorganisme dapat tumbuh dengan baik dalam dispersi

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


29

air tanpa adanya pengawet, pengawet antimikroba yang dapat ditambahkan seperti
0,1% b/v klorokresol, 0,18% b/v metil paraben – 0,02% b/v propil paraben atau
0,1% b/v timerosal (Rowe et al., 2006).
Pada suhu ruang, dispersi karbopol dapat mempertahankan viskositasnya
selama penyimpanan dalam periode berkepanjangan. Demikian pula, viskositas
dispersi terjaga atau sedikit terjadi penurunan pada suhu penyimpanan yang tinggi
jika terdapat antioksidan didalamnya atau jika dispersi tersebut disimpan terlidung
oleh cahaya. Paparan cahaya menyebabkan oksidasi dan penurunan viskositas
dispersi. Serbuk karbopol harus disimpan dalam ruang kedap udara, wadah tahan
korosi, disimpan di tempat kering. Dan penggunaan kaca, plastik atau wadah resin
berlapis dianjurkan untuk menyimpan formula dengan kandungan karbopol.
Karbopol akan berubah warna apabila adanya resorsinol dan inkompatibel dengan
fenol, polimer kationik, asam kuat dan elektrolit level tinggi (Rowe et al., 2006).

2.5.1.2 Propilen glikol


Propilen glikol merupakan cairan kental, jernih, praktis tidak berbau
dengan rasa sedikit manis pedas mirip gliserin. Larut dengan aseton, kloroform,
etanol 95%, gliserin dan air. Larut pada 1 dari 6 bagian dari eter, tidak larut
dengan minyak mineral ringan atau minyak tetap, tetapi akan memisah pada
beberapa minyak esensial. Fungsi propilen glikol yaitu sebagai pengawet
antimikroba, disinfektan, humektan, plasticizer, pelarut, stabilizer untuk vitamin,
pelarut campur dengan air. Pada suhu dingin, propilen glikol stabil di wadah
tertutup, tetapi pada suhu tinggi, di tempat terbuka, cenderung mudah teroksidasi,
menghasilkan produk seperti propionaldehid, asam laktat, asam piruvat dan asam
asetat. Propilen glikol stabil bila dicampur dengan etanol 95%, gliserin atau air.
Larutan mengandung air dapat disterilkan dengan cara autoklaf. Propilen glikol
inkompatibel dengan reagen oksidasi seperti kalium permanganat. Propilen glikol
higroskopis dan harus disimpan dalam wadah tertutup baik, terlindung dari
cahaya, di tempat sejuk dan kering (Rowe et al., 2006).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


30

2.5.1.3 Metil Paraben dan Propil Paraben


Metil paraben dengan nama lain nipagin, merupakan serbuk hablur halus,
putih, hampir tidak berbau, tidak mempunyai rasa, agak membakar diikuti rasa
tebal. Larut dalam 500 bagian air, dalam 20 bagian air mendidih, dalam 3,5
bagian etanol 95% dan dalam 3 bagian aseton, larut dalam 60 bagian gliserol
panas dan dalam 40 bagian minyak lemak nabati panas. Fungsi metil paraben
sebagai pengawet antimikroba. Inkompatibilitas dengan zat lain seperti bentonit,
magnesium trisilikat, talk, tragakan, sodium alginat, minyak esensial, sorbitol dan
atropin. Larutan berair metilparaben pada pH 3-6 dapat disterilkan dengan cara
autoklaf pada suhu 120 selama 20 menit, tanpa terjadinya dekomposisi. Larutan
berair pada pH 3-6 stabil (kurang dari 10% dekomposisi) sampai sekitar 4 tahun
pada suhu kamar, sedangkan larutan air pada pH 8 atau di atas tunduk pada
hidrolisis yang cepat (10% atau lebih setelah sekitar 60 hari penyimpanan pada
suhu kamar) (Rowe et al., 2006).
Propil paraben dengan nama lain yaitu nipasol merupakan serbuk hablur
putih, kristalin, tidak berbau, tidak berasa. Sangat sukar larut dalam air, larut
dalam 3,5 bagian etanol 95%, dalam 140 bagian gliserol dan dalam 40 bagian
minyak lemak, mudah larut dalam larutan alkali hidroksida. Propil paraben
berubah warna dengan adanya besi dan dihidrolisis oleh alkali lemah dan asam
kuat. Larutan propil paraben pada pH 3-6 dapat disterilkan dengan cara autoklaf,
tanpa dekomposisi. Pada pH 3-6 larutan stabil (kurang dari 10% dekomposisi)
sampai sekitar 4 tahun pada suhu kamar. Penyimpanan dalam wadah tertutup baik
(Rowe et al., 2006).

2.5.1.4 Trietanolamin
Trietanolamin biasa disingkat dengan TEA merupakan cairan kental,
tidak berwarna hingga kuning pucat, bau lemah mirip amoniak, higroskopik. TEA
mudah larut dalam air dan dalam etanol 95%, larut dalam kloroform.
Trietanolamin akan bereaksi dengan tembaga untuk membentuk garam kompleks.
TEA dapat berubah warna menjadi cokelat pada paparan udara dan cahaya. 85%
TEA cenderung stratifikasi dibawah 15OC, dapat homogen dengan pemanasan

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


31

kembali sebelum digunakan untuk pencampuran. Penyimpanan dalam wadah


tertutup rapat, terlindung dari cahaya (Rowe et al., 2006).

2.5.1.5 Natrium Metabisulfit


Natrium metabisulfit memiliki rumus empiris Na2S2O5 dengan bobot
molekul 190, 15. Natrium metabisulfit berupa kristal prisma tidak berwarna atau
putih krem-putih, bubuk kristal yang memiliki bau sulfur dioksida dan asam, rasa
seperti garam. Penggunaan natrium metabisulfit digunakan sebagai antioksidan
tetapi dapat pula sebagai pengawet dalam beberapa sediaan farmasi. Natrium
metabisulfit larut dalam etanol 95%, sangat larut dalam gliserin, larut dalam 1
bagian dalam 1,9 bagian air dan larut 1 bagian dalam 1,2 bagian air mendidih 100
C (Rowe et al., 2006).
Pada paparan udara dan kelembaban, natrium metabisulfit perlahan
teroksidasi menjadi natrium sulfat dengan disintegrasi kristal. penambahan asam
kuat membebaskan sulfur dioksida. Di dalam air, natrium metabisulfit segera di
konversi menjadi ion natrium dan ion bisulfit. cairan natrium metabisulfit juga
terurai di udara, terutama dengan adanya pemanasan. Cairan yang akan di
sterilkan dengan cara autoklaf harus masukkan kedalam wadah yang berisi gas
inert seperti nitrogen. Penyimpanan natrium metabisulfit ditempatkan pada wadah
tertutup, terlindung dari cahaya, ditempat sejuk dan kering (Rowe et al., 2006).
Natrium metabisulfit bereaksi dengan simpatomimetik dan obat derivat
alkohol lainnya. Obat-obat dapat terinaktivasi adalah epinefrin (adrenalin) dan
turunannya. Selain itu, natrium metabisulfit inkompatibel dengan kloramfenikol
karena reaksi yang lebih kompleks, juga menginaktivasi cisplatin dalam larutan.
Natrium metabisulfit inkompatibel dengan fenilmerkuri asetat ketika di autoklaf
dalam preparasi sediaan tetes mata. Natrium metabisulfit bereaksi dengan tutup
karet botol dosis ganda (Rowe et al., 2006).

2.5.1.6 Alkohol 96%


Alkohol 96% atau disebut juga etanol memiliki rumus empiris C2H6O dan
bobot molekul 46,07. Alkohol adalah cairan bening, tidak berwarna, mudah
menguap dengan cepat, bau yang khas dan rasa terbakar. Alkohol memliki fungsi

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


32

sebagai pengawet antimikroba, disinfektan, penetrasi kulit dan pelarut.


Penggunaannya sebagai pelarut dalam sediaan topikal sebanyak 60-90%,
sedangkan sebagai pengawet penggunaannya ≥ 10%. Alkohol 96% memiliki titik
didih 78,15 C. Larut dalam kloroform, eter, gliserin, dan air (dengan rise
temperature dan kontraksi volume). Larutan alkohol dapat disterilisasi dengan
cara autoklaf atau penyaringan dan harus disimpan dalam wadah kedap udara dan
ditempat sejuk. Pada kondisi asam, larutan alkohol dapat bereaksi keras dengan
bahan pengoksidasi. Campuran dengan alkali dapat menggelapkan warna karena
reaksi dengan jumlah sisa aldehida. Garam organik atau akasia dapat diendapkan
dari larutan berair atau dispersi. Garam organik atau akasia dapat diendapkan dari
larutan berair atau dispersi. Larutan alkohol juga tidak sesuai dengan wadah
aluminium dan dapat bereaksi dengan beberapa obat (Rowe et al., 2006).

2.6 Bioplacenton® Gel


Bioplacenton merupakan sebuah obat topikal berbentuk gel yang dikemas
dalam tube. Bioplacenton memiliki kandungan ekstrak plasenta sapi 10%,
neomisin sulfat 0,5% dan jelly base, kombinasi ini merupakan bagian dari
perawatan luka yang sangat efektif. Ekstrak plasenta sebagai ―biogenic
stimulator‖ yang dapat menstimulasi terjadinya regenerasi sel dan untuk wound
healing, sedangkan neomisin sulfat merupakan antibiotik topikal yang berpotensi
untuk mencegah atau mengatasi infeksi bakteri gram negatif pada area luka.
Indikasi bioplacenton yaitu untuk mengobati luka bakar, luka terbuka, ulkus
kronis, luka yang lama sembuh dan terdapat granulasi, ulkus dekubistus,
pencegahan & pengobatan dermatitis karena radiasi dan infeksi kulit lainnya.
Kontra Indikasi pada pasien yang hipersensitif terhadap ekstrak plasenta sapi dan
neomisin sulfat. Penggunaan dosis bioplacenton 4-6 kali sehari atau sesuai
kebutuhan pada area luka. Efek samping penggunaan bioplacenton yaitu
terjadinya reaksi hipersensitivitas (Kalbe farma, 2015).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


BAB 3
METODE PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Penelitian 1 dan 2, Laboratorium
Analisis Obat dan Pangan Halal, Laboratorium Farmakognosi dan Fitokimia serta
Animal House Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta. Penelitian dilaksanakan pada bulan November 2015 hingga Mei 2016.

3.2 Alat dan Bahan Penelitian


3.2.1 Alat Penelitian
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah timbangan analitik
(AND GH-202 dan Wiggen Hauser), beaker glass, batang pengaduk, spatula,
mortar dan stamfer, kapas, tissue, kaca objek dan penutupnya, corong, pipet tetes,
gelas ukur, erlenmeyer, hot plate, kaca arloji, rotary evaporator, kulkas, lemari
asam, termometer, alumunium foil, pot sediaan, timbangan hewan (Ohauss),
kandang tikus beserta tempat makanan dan minum, spuit 1 cc, pinset, gunting
bedah, alcohol swab, wadah pembius dan mikroskop cahaya (Olympus SZ61).

3.2.2 Bahan Penelitian


Bahan uji yang digunakan adalah senyawa etil p-metoksisinamat yang
diisolasi dari ekstrak kencur (Kaempferia galanga L.). Rimpang kencur diperoleh
dari BALITRO, Bogor. Jawa Barat dan di determinasi di Herbarium Bogoriense
Bidang Botani Pusat Penelitian Biologi – Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
(LIPI).
Bahan kimia yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah pakan tikus
berupa pellet, akuadest, n-heksan, gel Bioplacenton®, cairan injeksi Ketamin 50
mg/ml, Veet®, larutan Hematoxylin-eosin, eter, disinfektan, karbopol 940,
propilenglikol, metil paraben (nipagin), propil paraben (nipasol), natrium
metabisulfit, trietanolamin, alkohol 96%, air suling.

33 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


34

3.2.3 Hewan Uji


Hewan uji yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah tikus putih
jantan galur Sprague Dawley yang sehat berumur 2,5-3 bulan dengan bobot badan
150-200 gram yang diperoleh dari Fakultas Kedokteran Hewan (FKH), Institut
Pertanian Bogor.

3.3 Rancangan Penelitian


Penelitian ini merupakan eksperimen murni dengan Rancangan Acak
Lengkap (RAL) dengan beberapa kondisi perlakuan. Perlakuan dikelompokkan
menjadi 5 bagian dengan jumlah total tikus yang digunakan 30 ekor di mana 5
ekor tikus digunakan untuk pengamatan persentase penyembuhan luka dan 1 ekor
dari masing-masing kelompok diambil untuk pengamatan histopatologis. Lima
kelompok tersebut terdiri dari kelompok kontrol negatif yang diberikan basis gel,
kontrol positif dengan diberikan sediaan gel Bioplacenton®, dan 3 kelompok
perlakuan yang diberikan gel senyawa etil p-metoksisinamat dengan konsentrasi
yang berbeda (Ameri et al., 2008).
Tabel 3.1 Pembagian Kelompok Hewan Uji Berdasarkan Perlakuan
Jumlah Lama Parameter
Kelompok Perlakuan
tikus perlakuan yang diamati
Kontrol Kelompok 1, daerah dorsal sekitar
Negatif 6 3 cm dari auricula tikus dilukai 14 hari
dan dioleskan Basis gel (2x1 hari)
Kontrol Kelompok 2, daerah dorsal sekitar
Positif 3 cm dari auricula tikus dilukai
6 14 hari
dan dioleskan dengan gel
Bioplacenton® (2x1 hari) Parameter
Uji Kelompok 3, daerah dorsal sekitar visual dan
Konsentrasi 3 cm dari auricula tikus dilukai
6 14 hari parameter
Rendah dan dioleskan gel senyawa EPMS
1% (2x1 hari) histopatologi
Uji Kelompok 4, daerah dorsal sekitar
Konsentrasi 3 cm dari auricula tikus dilukai *
6 14 hari
Sedang dan dioleskan gel senyawa EPMS
3% (2x1 hari)
Uji Kelompok 5, daerah dorsal sekitar
Konsentrasi 3 cm dari auricula tikus dilukai
6 14 Hari
Tinggi dan dioleskan gel senyawa EPMS
5% (2x1 hari)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


35

Keterangan: * Parameter visual meliputi: perubahan warna, terbentuknya scab (keropeng),


pembentukan kulit baru, persentase penyembuhan luka.
Parameter histopatologi meliputi: pembentukan pembuluh darah baru
(neokapilerisasi), pertumbuhan pada jaringan ikat (fibroblas) dan keberadaan
sel radang (makrofag).

3.4 Kegiatan Penelitian


3.4.1 Isolasi Kristal Etil p-Metoksisinamat
3.4.1.1 Pemeriksaan Simplisia (Determinasi)
Sebelum dilakukan penelitian, Kaempferia galanga L. terlebih dahulu
dideterminasi di Herbarium Bogoriense Bidang Botani Pusat Penelitian Biologi-
LIPI Bogor untuk memastikan kebenaran simplisia.

3.4.1.2 Penyiapan Simplisia


Rimpang kencur (Kaempferia galanga L.) diperoleh dari BALITRO,
Bogor-Jawa Barat. Selanjutnya dilakukan proses pencucian, sortasi basah,
perajangan, sortasi kering dan penyerbukan rimpang kencur dilakukan di
laboratorium FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Pengeringan dilakukan
dengan cara kering anginkan selama 11 hari. Serbuk simplisia disimpan dalam
wadah kering, tertutup rapat dan terlindung dari cahaya.

3.4.1.3 Pembuatan Ekstrak


Pada pembuatan ekstrak rimpang kencur digunakan metode ekstraksi cara
dingin dengan maserasi dan menggunakan n-heksan sebagai pelarut yang
sebelumnya telah didestilasi. Serbuk simplisia ditimbang kemudian dimaserasi
dengan pelarut n-heksan hingga sampel terendam. Proses maserasi dilakukan
selama 5 hari sambil sesekali dilakukan pengocokan. Setelah 5 hari disaring
sehingga diperoleh ampas dan filtrat. Ampas di maserasi lagi sebanyak 4 kali
hingga hasil maserasi menunjukkan warna hampir jernih. Filtrat yang diperoleh
dipekatkan dengan menggunakan vacuum rotary evaporator pada suhu 48-500C
sampai diperoleh ekstrak kental yang berwarna coklat kekuningan.

3.4.1.4 Isolasi Kristal Etil p-metoksisinamat


Ekstrak kental rimpang kencur yang dihasilkan kemudian dimasukkan ke
dalam kulkas untuk membantu mempercepat proses pengkristalan. Kristal yang
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
36

terbentuk kemudian dipisahkan dari ekstrak kental dengan cara melarutkan


ekstrak kental rimpang kencur yang mengkristal dengan pelarut n-heksan lalu
dilakukan penyaringan. Larutan ekstrak hasil penyaringan kemudian dipekatkan
kembali menggunakan vaccum rotary evaporator pada suhu 48-500C, lalu proses
pemisahan kristal diulangi hingga ekstrak kental yang diperoleh tidak mengkristal
lagi. Kristal yang tertinggal di atas kertas saring kemudian dicuci dengan
menggunakan etil asetat. Kristal yang tidak ikut terlarut selama proses pencucian
disaring untuk dipisahkan dengan kristal yang terlarut. Kristal yang terlarut
dipekatkan kembali dengan vaccum rotary evaporator pada suhu 48-500C.
Kemudian proses pencucian diulangi beberapa kali sampai didapatkan kristal
murni (Mufidah, 2014 dengan modifikasi).

3.4.2 Identifikasi dan Uji Kemurnian Kristal Etil p-metoksisinamat


3.4.2.1 Pemeriksaan Organoleptis
Pemeriksaan secara fisik menggunakan panca indera yang meliputi
pemeriksaan warna, bau dan bentuk (Prabawati, 2015).

3.4.2.2 Pengujian Titik Leleh


Senyawa etil p-metoksisinamat yang didapat kemudian diidentifikasi titik
lelehnya dengan menggunakan alat apparatus melting point (Mufidah, 2014).

3.4.2.3 Pengujian Kristal Etil p-metoksisinamat dengan Kromatografi Gas


Spektrometri Massa (GC-MS)
Pengujian kristal hasil isolasi menggunakan kromatografi gas spektrometri
masa bertujuan untuk mengidentifikasi senyawa etil p-metoksisinamat yang
terkandung. Proses pengujian dilakukan secara kualitatif dengan cara kristal hasil
isolasi dilarutkan dalam metanol pro chromatography hingga larut. Larutan
tersebut kemudian diinjekkan ke dalam kromatografi gas spektrometri massa.
Kolom yang digunakan adalah HP-5MS (30 m x 0,25 mm ID x 0,25 mikro m)
(Prabawati, 2015 dengan modifikasi).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


37

3.4.3 Pembuatan Sediaan


Sediaan yang akan dibuat yaitu gel dengan formula yang mengandung etil
p-metoksisinamat. Penentuan dosis dilakukan dengan melakukan uji pendahuluan
dengan memakai dosis dengan konsentrasi EPMS 1%, 3% dan 5%. Formulasi
yang digunakan berdasarkan penelitian Prabawati, 2015 yaitu sediaan gel, karena
daya penetrasi EPMS kedalam barrier kulit lebih cepat dan kadar EPMS yang
didapat lebih besar nilainya dibanding sediaan krim dan salep. Formula basis gel
yang digunakan (Prabawati, 2015):
R/ Kristal EPMS
Karbopol 940 1%
Propilen glikol 15%
Metil paraben 0,2 %
Propil paraben 0,1%
Natrium metabisulfit 0,2%
Trietanolamin 1%
Alkohol 96% 5%
Air suling ad 100

Cara pembuatan: karbopol didispersikan dalam air suling dingin kemudian


diaduk sampai homogen, setelah itu ditambahkan air suling panas secukupnya
diaduk hingga homogen, kemudian didiamkan beberapa saat setelah itu
ditambahkan terietanolamin dan diaduk perlahan hingga homogen dan
membentuk gel. Tambahkan campuran air suling dengan propilen glikol, metil
paraben dan propil paraben yang telah dididihkan sedikit demi sedikit sambil
diaduk hingga homogen. Lalu ditambahkan natrium metabisulfit yang telah
dilarutkan dengan sisa air suling. Setelah itu senyawa EPMS yang sebelumnya
telah di larutkan dengan alkohol 96% ditambahkan sedikit demi sedikit sambil
digerus hingga homogen (Marriott et al., 2010). Proses pembuatan gel EPMS
untuk konsentrasi 3% dan 5%, sama halnya dengan pembuatuan gel EPMS`1%,
namun sebelum dilarutkan dengan alkohol 96%, kristal dihaluskan dengan cara
mekanik, sampai didapatkan partikel yang lebih halus (Mose, 2014).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


38

3.4.4 Evaluasi Sediaan Gel


3.4.4.1 Uji Organoleptik
Pemeriksaan organoleptik sediaan gel yang diamati secara visual meliputi
bentuk, warna dan bau gel. Uji organoleptik dilakukan untuk mengetahui gel yang
dibuat sesuai dengan warna dan bau senyawa yang digunakan.

3.4.4.2 Uji Homogenitas


Pemeriksaan homogenitas dilakukan dengan cara 1 gram sediaan
ditimbang dan kemudiaan dioleskan di atas kaca objek dan dikatupkan dengan
kaca objek lain, selanjutnya homogenitas gel diamati. Gel harus menunjukkan
susunan yang homogen dan tidak terlihat adanya bintik-bintik.

3.4.5 Persiapan Hewan Uji


Hewan uji yang digunakan adalah tikus putih jantan galur Sprague Dawley
berumur 2,5-3 bulan dengan berat badan 150-200 gram diadaptasi selama 1
minggu agar dapat menyesuaikan dengan lingkungan. Selama proses adaptasi,
tikus diberikan makanan berupa pelet dan air ad libitum serta dilakukan
pengamatan kondisi umum dan penimbangan bobot badan.

3.4.5.1 Pemeriksaan Komisi Etik Penelitian


Dilakukan pengajuan komisi etik penelitian di Fakultas Kedokteran -
Universitas Indonesia, Salemba. Agar penelitian yang akan dilakukan memenuhi
etika penggunaan hewan uji.

3.4.6 Pembuatan Luka


Pembuatan luka dilakukan dengan metode Morton yang telah
dimodifikasi, yaitu dengan cara: pada hari ke-0, tikus dianestesi dengan
menggunakan injeksi Ketamin 7 mg/KgBB secara i.m, kemudian diletakkan di
atas papan bedah dengan posisi telungkup dan ke empat kaki diikat. Rambut
disekitar punggung tikus di cukur dengan menggunakan krim perontok bulu
(Veet®), kemudian dibersihkan dengan menggunakan alkohol swab. Kemudian
dibuat luka yang berbentuk lingkaran berdiameter ±1 cm pada dorsal sekitar 3 cm

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


39

dari auricula tikus, dengan cara mengangkat kulit tikus dengan pinset kemudian
digunting dengan gunting bedah hingga bagian dermis beserta jaringan yang
terikat di bawahnya (Ameri et al., 2008 dengan modifikasi).

3.4.7 Pemberian Bahan Uji


30 ekor tikus putih jantan galur Sprague Dawley yang digunakan dalam
penelitian dan diberikan 5 perlakuan berbeda. Masing-masing kelompok
perlakuan terdiri dari 6 ekor tikus putih jantan yaitu kelompok kontrol negatif
yang hanya diberikan basis gel tanpa kandungan senyawa EPMS, kelompok
kontrol positif diberikan gel Bioplacenton®, kelompok perlakuan yang diberikan
gel yang mengandung senyawa EPMS dengan 3 dosis yang berbeda (gel EPMS
1%, gel EPMS 3% dan gel EPMS 5%). Gel dioleskan sebanyak ±200 mg yang
menutupi keseluruhan bagian luka di daerah punggung tikus dua kali sehari, yaitu
pagi dan sore hari selama 14 hari setelah pembuatan luka sesuai dengan fase
proliferasi selama penyembuhan luka.

3.4.8 Pengamatan Penyembuhan Luka


Pengukuran diameter luka diukur dengan aplikasi ImageJ. Pengukuran
dilakukan pada hewan uji dengan arah vertikal, horizontal dan kedua diagonal
mulai hari ke-1 sampai hari ke-14. Perlakuan pengolesan sediaan gel dilakukan
setiap hari (Kusmiati et al., 2006).
Cara penilaian luka:
Mengukur diameter rata-rata luka: D =

Luas luka: L= ⁄ x π x D2
Persentase penyembuhan luka, dapat dihitung dari rumus luas luka:
% penyembuhan luka = x 100%
⁄ ⁄
= ⁄
- ⁄
x 100%

= x 100%

Dimana:
D = diameter rata-rata

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


40

D0 = diameter luka setelah pembuatan luka


D1 = diameter luka pada hari dilakukan pengamatan
Bahan uji diberikan setelah pembuatan luka (hari ke-0) dan pengamatan
pertama luka dilakukan 24 jam setelah pembuatan luka (hari ke-1). Pengamatan
persentase penyembuhan luka dilakukan dari hari ke-1 hingga hari ke-14.

3.4.9 Eksisi Jaringan Kulit Tikus


Pengambilan sampel jaringan kulit dilakukan pada hari ke-7 dari kelima
kelompok diambil masing-masing 1 ekor tikus, pengambilan dilakukan setelah
tikus dikorbankan dengan larutan eter secara inhalasi. Daerah dorsal yang akan
diambil jaringan kulitnya dibersihkan dari rambut yang mulai tumbuh kembali,
jaringan kulit digunting dengan ketebalan ±3 mm hingga lapisan subkutan dan
sekitar ±2 cm dari tepi luka. Jaringan kulit yang diperoleh kemudian direndam
dengan larutan formalin 10% dan disimpan di dalam pot sediaan.

3.4.10 Pembuatan Preparat Histopatologi Jaringan Kulit Tikus


Pembuatan preparat histopatologi jaringan kulit dengan pewarna
Hematoxyllin-Eosin, dilakukan di laboratorium patologi Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.

3.4.11 Pengamatan Preparat Histopatologi


Pengamatan secara histopatologi dilakukan pada preparat jaringan kulit.
Pengamatan dilakukan dengan menggunakan mikroskop cahaya (Olympus SZ61)
pada perbesaran 400x dengan menggunakan metode scorring. Pengamatan ini
meliputi parameter-parameter yang berperan dalam penyembuhan luka seperti
pembentukan pembuluh darah baru (neokapilerisasi), pertumbuhan pada jaringan
ikat (fibroblas) dan keberadaan sel radang (makrofag).
Tabel 3.2 Penilaian Histopatologi Secara Mikroskopis Menurut Junianto dan
Prasetyo (2006) dalam Mawarti dan Ghofar (2014)
Parameter dan Deskripsi Skor
1. Pembentukan pembuluh darah baru (neokapilerisasi)
 Kapiler pada daerah luka menyebar dengan kepadatan +

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


41

rendah ( 1- 20 kapiler/lapang pandang)


 Kapiler pada daerah luka menyebar dengan kepadatan ++
sedang ( > 20-50 kapiler/lapang pandang)
 Kapiler pada daerah luka menyebar dengan kepadatan +++
rapat ( >50-75 kapiler/lapang pandang)
 Kapiler pada daerah luka menyebar dengan kepadatan ++++
sangat rapat ( > 75 kapiler/lapang pandang)
2. Pertumbuhan pada jaringan ikat (fibroblas)
 Kepadatan fibroblas pada daerah luka rendah +
 Kepadatan fibroblas pada daerah luka sedang ++
 Kepadatan fibroblas pada daerah luka rapat +++
 Kepadatan fibroblas pada daerah luka sangat rapat ++++
3. Keberadaan sel radang (makrofag)
 Sel radang menyebar dengan kepadatan rendah (1 s/d 50 +
sel/lapang pandang)
 Sel radang menyebar dengan kepadatan sedang ( > 50 – ++
100 sel/lapang pandang)
 Sel radang menyebar dengan kepadatan rapat ( > 1 - 100 +++
sel/lapang pandang)
 Sel radang menyebar dengan kepadatan sangat ( >200 ++++
sel/lapang pandang)

3.4.12 Rancangan Analisis Data


Data hasil pengujian disajikan dalam bentuk mean ± standar deviasi (SD).
Perbedaan dibandingkan antara kelompok uji dengan kelompok kontrol negatif
dan kontrol positif dengan cara analisis statistik menggunakan one-way Analysis
of Variance (ANOVA) atau uji non parametrik (Kruskal-Wallis) dan uji Paired
Samples T Test. Hasil dianggap signifikan secara statistik ketika nilai P ≤ 0,05
(Gogoi et al., 2014).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Determinasi Tanaman


Kencur (Kaempferia galanga L.) merupakan tanaman aromatik yang
tergolong ke dalam famili Zingiberaceae (temu-temuan) yang dipakai dalam
pengobatan tradisional. Kencur memiliki komponen yang terbesar yaitu senyawa
etil p-metoksisinamat yang mempunyai aktivitas antiinflamasi (Umar, et al.
2012). Bagian yang digunakan dalam penelitian adalah rimpang kencur yang
diperoleh dari BALITRO, Bogor. Determinasi tanaman dilakukan di Herbarium
Bogoriense Bidang Botani Pusat Penelitian Biologi – Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (LIPI) Bogor, menunjukkan bahwa tanaman yang digunakan adalah
Kaempferia galanga L. Sertifikat hasil determinasi dapat dilihat pada lampiran 4.

4.2 Pembuatan Serbuk Simplisia

Gambar 4.1 Serbuk Simplisia Kencur (Kaempferia galanga L.)


[Sumber: Kolesi Pribadi]
Rimpang kencur yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 5,5 Kg,
setelah melalui serangkaian proses pembuatan simplisia, diperoleh serbuk
simplisia rimpang kencur sebanyak 797 gram. Serbuk simplisia yang dihasilkan
berwarna kecoklatan (Gambar 4.1). Pembuatan serbuk simplisia bertujuan untuk
memperkecil ukuran partikel simplisia dan memperluas permukaan simplisia,
sehingga simplisia akan lebih banyak kontak dengan pelarut ketika diekstraksi dan
menghasilkan banyak kristal yang tersari ke dalam pelarut yang selanjutnya

42 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


43

dimaserasi dengan menggunakan pelarut n-heksan hingga dilakukan proses


isolasi.

4.3 Isolasi Etil p-metoksisinamat


Isolasi senyawa etil p-metoksisinamat dilakukan dengan cara rekristralisasi
(lampiran 2). Senyawa etil p-metoksisinamat mengkristal pada suhu ruang,
sehingga tahap isolasi menjadi lebih mudah. Hampir 80% dari ekstrak kental yang
didapat mengkristal dibiarkan dalam suhu ruang (Umar et al., 2012).
Proses isolasi kristal etil p-metoksisinamat diperoleh dengan proses ekstraksi
hingga proses isolasi. Metode ekstraksi yang digunakan adalah maserasi. Maserasi
dilakukan dengan cara merendam rimpang kencur dengan pelarut n-heksan selama
4-5 hari pada temperatur kamar. Maserasi dipilih karena baik untuk senyawa-
senyawa yang tidak tahan terhadap panas dan memiliki beberapa keuntungan
yaitu: peralatan yang dibutuhkan sederhana dan proses pengerjaannya mudah
(Tiwari et al., 2011). Penggunaan n-heksan sebagai pelarut berdasarkan pada
penelitian yang dilakukan oleh Taufikurohmah, et al. (2008) menyatakan bahwa
kepolaran senyawa etil p-metoksisinamat lebih mendekati heksan karena senyawa
etil p-metoksisinamat memiliki 2 gugus yang bersifat non polar yaitu gugus ester
dan lingkar benzen, sedangkan gugus yang bersifat polar hanya satu yaitu karbonil
dalam gugus ester.
Filtrat hasil maserasi yang didapat kemudian dipekatkan menggunakan
vacuum rotary evaporator untuk menguapkan pelarut n-heksan dan untuk
menghasilkan ekstrak. Ekstrak yang didapat kemudian dilakukan proses
rekristalisasi senyawa yang dilakukan dengan dua tahapan yaitu proses pemisahan
kristal dan pencucian kristal. Pemisahan kristal dilakukan dengan menambahkan
pelarut n-heksan pada ekstrak kental yang masih berwarna coklat, kemudian
disaring untuk memisahkan kristal etil p-metoksisinamat dari kandungan ekstrak
lainnya. Selanjutnya dilakukan proses pencucian kristal etil p-metoksisinamat
untuk memisahkan pengotor yang menempel pada kristal sehingga didapatkan
kristal yang murni yang berwarna putih. Penggunaan pelarut n-heksan dan Etanol
96% pada tahap ini bertujuan untuk memisahkan senyawa semi polar yang sulit
terpisah dari kristal etil p-metoksisinamat (Mufidah, 2015 dengan modifikasi).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


44

Kristal yang didapatkan sebanyak 32,37 gram dengan nilai rendemen kristal
sebesar 4,06% (perhitungan rendemen kristal dapat dilihat di lampiran 8).

4.4 Identifikasi dan Uji Kemurnian Senyawa Etil p-metoksisinamat


Identifikasi dan uji kemurnian kristal etil p-metoksisinamat dilakukan untuk
membuktikan bahwa senyawa tersebut merupakan senyawa murni. Proses
identifikasi meliputi:
4.4.1 Pengamatan Organoleptis
Warna : Putih
Bau : Aromatik khas
Bentuk : Kristal

4.4.2 Pengukuran Titik Leleh


Pengukuran titik leleh dilakukan triplo dengan menggunakan alat apparatus
melting point stuart SMP 10.
Tabel 4.1 Hasil pengukuran titik leleh senyawa etil p-metoksisinamat
Replikasi Jarak titik leleh (oC)
1. 49-50
2. 49-50
3. 49-50

Parameter kemurnian suatu senyawa dapat dinilai jika rentang titik leleh
awal hingga melebur sempurna tidak lebih dari 2oC (Riswanto et al., 2015).
Rentang titik leleh senyawa yang didapatkan dari pengujian ini yaitu 49-50oC
hanya lebih 1oC dengan titik leleh standar etil p-metoksisinamat yaitu 49oC (Umar
et al., 2014). Senyawa yang memiliki titik leleh yang sempit adalah senyawa yang
murni. Oleh karena itu kristal hasil isolasi dapat dikatakan murni senyawa etil p-
metoksisinamat (Riswanto et al., 2015).

4.4.3 Pengukuran Senyawa Etil p-metoksisinamat dengan Kromatografi Gas


Spektrometri Massa (GC-MS)
Pengujian kristal hasil isolasi dengan metode kromatografi gas spektrometri
massa (GC-MS) dilakukan untuk melihat identitas kristal dan kemurnian senyawa
etil p-metoksisinamat. Penggunaan metanol pro chromatography sebagai pelarut
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
45

sampel pada pengujian ini dikarenakan etil p-metoksisinamat memiliki kelarutan


tertinggi pada pelarut tersebut. Identitas senyawa etil p-metoksisinamat
ditunjukkan oleh waktu retensi, bobot molekul dan fragmentasi massa. Hasil
interpretasi GCMS menunjukkan bahwa senyawa isolat kencur muncul pada
waktu 9,892 menit, berat molekul 206,1 dengan fragmentasi massa pada 161; 134;
117; 89; 63 dan 39. Sedangkan standar etil p-metoksisinamat muncul pada waktu
9,90 menit, berat molekul 206,4 serta memiliki fragmentasi massa pada 161; 134;
118; 103; 69; 63 dan 39 (Umar et al., 2012). Kedua hasil tersebut sesuai dengan
Diani (2014) yang menyatakan bahwa senyawa etil p-metoksisinamat muncul
pada waktu retensi 9,9 menit, bobot molekul 206,4 serta memiliki 4 puncak
fragmentasi massa yang sesuai, yaitu 161, 134,63 dan 39, yang dapat dianalisis
berdasarkan data base MS. Sedangkan 3 puncak yang lainnya (69, 103 dan 118)
belum dapat dianalisis karena memiliki nilai kemiripan rendah dengan data base
library MS, sehingga diperlukan beberapa identifikasi lanjutan seperti H-NMR
dan C-NMR (Diani, 2014). Parameter kemurnian ditunjukkan dari hasil nilai
puncak kristal etil p-metoksisinamat, yaitu pada puncak fragmentasi 161, yang
menunjukkan bahwa pada puncak tersebut merupakan senyawa etil p-
metoksisinamat (Umar et al., 2012). Berdasarkan hasil pengujian, menunjukkan
bahwa kadar senyawa etil p-metoksisinamat adalah murni 100% (lampiran 12).

4.5 Evaluasi Sediaan Gel


Senyawa etil p-metoksisinamat yang telah dilakukan uji kemurnian
kemudian dibuat ke dalam suatu sediaan semi solid yaitu gel, agar dapat
diaplikasikan pada luka. Hasil evalusi gel etil p-metoksisinamat dapat dilihat pada
tabel 4.2.
Tabel 4.2 Hasil Evaluasi Gel Etil p-metoksisinamat
Hasil
Karakteristik
Gel EPMS 1% Gel EPMS 3% Gel EPMS 5%
Putih
Warna Putih Putih
transparan
Organoleptis
Bentuk Setengah padat Setengah padat Setengah padat
Gel
Aroma Khas Aroma Khas Aroma Khas
Bau
EPMS EPMS EPMS
Terdispersi Terdispersi
Homogenitas Gel Homogen
Homogen Homogen

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


46

Sediaan gel dipilih karena berdasarkan penelitian Prabawati, 2015 yaitu


sediaan gel memiliki daya penetrasi ke dalam barrier kulit yang lebih cepat dan
kadar etil p-metoksisinamat yang didapat lebih besar nilainya dibanding sediaan
krim dan salep. Kemudian sediaan gel mempunyai keuntungan lain yaitu
penyimpanannya stabil dalam jangka waktu lama, memiliki penampilan yang
baik, pembawa yang baik untuk diaplikasikan pada kulit dan selaput lendir,
pelepasan obat yang tinggi serta absorpsi (penyerapan) yang cepat (Marriott et al.,
2010).
Pengujian organoleptik meliputi bentuk, warna dan bau. Gel yang dihasilkan
memiliki bentuk setengah padat yang merupakan karakteristik dari sediaan gel itu
sendiri. Warna putih yang dihasilkan dari warna kristal etil p-metoksisinamat serta
merupakan warna dari masing-masing eksipien gel, sifat transparant yang dimiliki
oleh gel itu sendiri didapat dari gelling agent yang digunakan (Karbopol 940)
selain memberikan sifat transparant, karbopol 940 memberikan sifat mengembang
pada sediaan gel. Pada beberapa konsentrasi gel, memiliki perubahan warna yang
berwarna transparan menjadi warna putih. Semakin tinggi konsentrasi senyawa
yang terkandung, maka warna yang dihasilkan akan semakin putih. Begitu pula
halnya dengan aroma khas dari senyawa etil p-metoksisinamat dari gel dengan
konsentrasi 1%, 3% dan 5%. Semakin tinggi konsentrasi senyawa, maka semakin
tercium aroma khas senyawa etil p-metoksisinamat dalam sediaan gel. Pengujian
homogenitas merupakan pengujian terhadap ketercampuran eksipien sediaan gel
yang menunjukkan susunan yang homogen. Hasil dilakukan terhadap basis gel
serta gel dengan konsentrasi 1%, 3% dan 5%. Hasil pengujian gel konsentrasi 1%
menunjukkan susunan yang homogen dan tidak terlihat adanya butiran halus,
sedangkan pada pengujian gel konsentrasi 3% dan 5% menunjukkan bahwa
sediaan gel terdispersi homogen, dispersi padatan dan stabil. Hal tersebut menurut
Mose (2014) termasuk ke dalam sistem koloid dengan karakteristik seperti:
sediaan tampak homogen, dispersi padatan serta umumnya stabil.

4.6 Komisi Etik Penelitian


Penelitian ini telah lolos kaji etik oleh komite etik penelitian Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia (Lampiran 6).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


47

4.7 Pengukuran Bobot Tikus


Pengukuran bobot tikus, baik pada kelompok kontrol negatif (KN), kelompok
kontrol positif (KP), uji konsentrasi rendah 1% (UKR), uji konsentrasi sedang 3%
(UKS) dan uji konsentrasi tinggi 5% (UKT), dan dapat dilihat pada gambar 4.2
(lampiran 13).

250
Berat Badan Tikus (gram)

200

150 KN
KP
100 UKR
UKS
50
UKT

0
Hari ke-1 Hari ke-8 Hari ke-15 Hari ke-22

Hari Pengamatan

Gambar 4.2 Grafik rerata bobot tikus tiap kelompok (gram)

Hewan uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah 30 ekor tikus putih
jantan galur sprague dawley berusia 10-12 minggu. Tikus yang digunakan
merupakan tikus yang sehat dengan bobot sekitar 150-200 gram. Tikus betina
tidak digunakan untuk menghindari pengaruh faktor hormonal (estrogen dan
progesteron) dalam penyembuhan luka (Putri, 2013). Tikus dibagi menjadi 5
kelompok yaitu 3 kelompok uji yang diberikan perlakuan dengan konsentrasi
senyawa yang berbeda (1%, 3% dan 5%), kelompok kontrol negatif yang
diberikan basis gel dan kelompok kontrol positif yang diberikan gel
Bioplacenton®. Hewan uji kemudian diaklimatisasi selama 1 minggu agar dapat
menyesuaikan diri dalam kondisi lingkungan yang baru. Setiap kelompok tikus
putih jantan ditempatkan pada kandang yang berbeda dengan kepadatan kandang
masing-masing 2 ekor dengan kondisi kandang diberi penyekat diantara kedua
ekor tikus tersebut. Selama aklimatisasi hingga pengujian dilakukan pengamatan
kondisi umum serta penimbangan bobot tikus. Mayoritas dari hewan uji pada saat
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
48

proses aklimatisasi mengalami peningkatan bobot, tetapi pada saat dilakukan


pengujian, bobot tikus mengalami penurunan yang signifikan, dikarenakan faktor-
faktor tertentu, seperti kondisi kesehatan, kondisi organ tubuh, imunitas dan
beberapa faktor relatif lain. Menurut penelitian Sihombing dan Tuminah (2011)
salah satu faktor kenaikan bobot tikus adalah pakan. Komposisi pakan harus tetap
dikontrol dengan baik, bila terjadi penurunan salah satu kandungan protein atau
lemak akan berdampak pada penampilan tikus seperti bulu relatif kasar, lebih
agresif dan bobot tikus rendah serta pemeliharaan dan pengembangan hewan uji.
Lingkungan berperan untuk kesehatan hewan, seperti sarana kandang harus
terpenuhi dengan ventilasi, suhu dan kelembaban dapat diatur secara optimum.
Ventilasi yang baik akan menurunkan kemungkinan penyebaran penyakit pada
hewan uji. Dengan demikian kualitas hewan uji dapat terjaga, sedangkan kondisi
lingkungan dan sanitasi tempat hewan uji masih kurang memenuhi persyaratan
dikarenakan keterbatasan sarana dan tempat. Grafik bobot tikus dapat dilihat pada
Gambar 4.2.

4.8 Pengamatan Visual Luka Terbuka


Pengamatan luka dilakukan setiap hari untuk melihat perubahan fisik yang
terjadi pada daerah perlukaan. Tikus uji dan tikus kontrol, diamati perubahan-
perubahan dalam proses penyembuhan luka secara visual dan pengamatan dimulai
dari hari ke-0 hingga hari ke-14 pada setiap kelompok. Hasil pengamatan visual
luka terbuka dapat dilihat pada Tabel 4.3.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


49

Tabel 4.3 Hasil pengamatan visual luka terbuka

Kelompok Pengamatan Fisiologis Hari Ke-


Keterangan
Tikus 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Warna M C C C C C C C C MM MM MM P P P
Kontrol Terbentuk scab - - √ √ √ √ √ √ √ - - - - - -
Negatif Terbentuk kulit
- - - - - - - - - √ √ √ √ √ √
baru
Warna M C C C C C C C MM MM MM P P P P
Kontrol Terbentuk scab - - √ √ √ √ √ √ - - - - - - -
Positif Terbentuk kulit
- - - - - - - - √ √ √ √ √ √ √
baru
Warna M C C C C C C M MM MM MM P P P P
Konsentrasi
Terbentuk scab - - √ √ √ √ √ √ - - - - - - -
rendah
Terbentuk kulit
(1%) - - - - - - - - √ √ √ √ √ √ √
baru
Warna M C C C C C C C C M M M M M P
Konsentrasi
Terbentuk scab - - √ √ √ √ √ √ √ - - - - - -
sedang
Terbentuk kulit
(3%) - - - - - - - - - √ √ √ √ √ √
baru
Warna M C C C C C C C M M M M M M M
Konsentrasi
Terbentuk scab - - √ √ √ √ √ √ √ - - - - - -
tinggi
Terbentuk kulit
(5%) - - - - - - - - - √ √ √ √ √ √
baru
Ket: Merah (M); Cokelat (C); Merah muda (MM); Putih (P); Ada ( √ ); Tidak ada ( - )
Catatan: terbentuknya scab menunjukkan fase proliferasi tahap awal

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


50

Pengamatan secara visual yang diamati meliputi keadaan perubahan warna


luka, terbentuknya scab (keropeng) serta terbentuknya kulit baru. Terbentuknya
scab (keropeng) pada kelompok kontrol negatif dan kontrol positif adalah rata-
rata dimulai dari hari ke-2, terbentuknya kulit baru pada kelompok kontrol negatif
terjadi rata-rata pada hari ke-9, sedangkan untuk kelompok kontrol positif terjadi
rata-rata pada hari ke-8.
Pada kelompok uji konsentrasi 1%, 3% dan 5% terbentuknya scab (keropeng)
dimulai hari ke-2, kelompok uji konsentrasi 1%, terbentuknya kulit baru terjadi
rata-rata pada hari ke-8 sedangkan untuk kelompok uji konsentrasi 3% dan 5%
terbentuknya kulit baru terjadi rata-rata pada hari ke-9.
Menurut penelitian Mawarsari (2015) Perubahan warna pada kelompok
kontrol negatif, positif serta pada kelompok uji konsentrasi 1%, 3% dan 5%
terjadi seiring dengan mulai mengeringnya luka dan proses penyembuhan luka.
Pembentukan keropeng menunjukkan proses penyembuhan luka memasuki fase
proliferasi tahap awal (Agustina, 2011). Pengamatan secara visual menunjukkan
bahwa kondisi luka yang awalnya dalam kondisi lembab, terlihat segera
mengering setelah terbentuknya keropeng. Keropeng yang terbentuk di atas
permukaan membentuk homeostasis dan mencegah kontaminasi luka oleh
mikroorganisme. Kecepatan terbentuknya keropeng menunjukkan kecepatan
penyembuhan luka (Aponno et al., 2014). Pada fase ini ditandai dengan
pembentukan jaringan granulasi pada luka (fibroblas dan sel inflamasi) fase ini
terjadi pada hari ke 3-14 (Prabakti, 2005). Hasil tersebut, menunjukkan bahwa
kecepatan penyembuhan luka pada kelompok uji konsentrasi 1% hampir sama
dengan kelompok kontrol positif yaitu dalam rentang terbentuknya keropeng
hingga terbentuknya kulit baru antara hari ke-2 hingga hari ke-8. Sedangkan
penyembuhan luka pada kelompok uji konsentrasi 3% dan 5% hampir sama
dengan kelompok kontrol negatif yang hanya diberikan basis gel dalam rentang
hari ke-2 hingga hari ke-9. Pengaplikasian sediaan dengan konsentrasi tinggi pada
permukaan luas luka yang kecil akan menyebabkan terjadinya penumpukan
sediaan pada lapisan atas membran, karena terjadinya perubahan struktur
membran sebagai akibat dari konsentrasi yang tinggi, terjadi perubahan koefisien
partisi antara pembawa dan sawar kulit. Sehingga zat aktif tidak sepenuhnya

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


51

terlepas dari sediaan dan hanya tertinggal di permukaan kulit (Simanjuntak,


2006).
Pada kelompok uji konsentrasi 1% mengalami proses penyembuhan yang
hampir sama dengan kelompok kontrol positif. Hal ini dibuktikan pada waktu
mulai terbentuknya scab (keropeng) dan waktu terbentuknya kulit baru.
Perubahan warna luka terjadi seiring dengan mulai mengeringnya luka. Proses
lepasnya keropeng bersamaan dengan proses keringnya luka. Hal ini menandakan
sudah terjadinya pertumbuhan sel-sel baru pada kulit sehingga membantu
mempercepat lepasnya keropeng dan merapatnya tepi luka sehingga terbentuknya
kulit baru (Aponno et al., 2014).

4.9 Pegukuran Persentase Penyembuhan Luka


Pada pengukuran persentase penyembuhan luka, masing-masing tikus dibuat
perlukaan pada bagian dorsal 3 cm dari auricula tikus dengan cara tikus dianestesi
dengan diberikan injeksi intramuskular ketamin-hameln 50 mg/ml dengan dosis 7
mg/KgBB dengan tujuan untuk memudahkan dalam penanganan serta mengurangi
rasa sakit yang akan ditimbulkan selama dan setelah perlukaan, kemudian rambut
rambut tikus dicukur dengan tujuan memudahkan pengamatan luka dari hari ke
hari pada saat dilakukannya pengujian. Pembuatan luka pada masing-masing
kelompok dilakukan dengan metode Morton (Ameri et al., 2008) dengan dibuat
diameter sebesar ±1 cm kemudian bagian kulit tersebut diangkat menggunakan
pinset dan dibedah dengan menggunakan gunting bedah. Luka yang dihasilkan
berbentuk lingkaran.
Pengukuran persentase penyembuhan luka diamati pada kelompok kontrol
dan kelompok uji dalam interval waktu 3 hari selama 14 hari, karena untuk
melihat adanya perubahan luka pada tikus sehingga terjadi penyembuhan luka
pada tikus. Pengukuran persentase penyembuhan luka dapat dilihat pada gambar
4.3 (lampiran 14).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


52

120

100
Penyembuhan Luka (%)
80
Persentase

KN
60 KP
UKR (1%)
40
UKS (3%)
UKT (5%)
20

0
HARI KE-3 HARI KE-6 HARI KE-9 HARI KE-12 HARI KE-14

Hari Pengamatan

Gambar 4.3 Grafik Rerata Persentase Penyembuhan Luka tiap Kelompok (%)
Ket: kontrol negatif (KN); kontrol positif (KP); uji konsentrasi rendah (UKR); uji konsentrasi
sedang (UKS); uji konsentrasi tinggi (UKT)

Data hasil rerata persentase penyembuhan luka kemudian diuji secara statistik
menggunakan uji One-way ANOVA (SPSS 16.0). Uji normalitas dengan One
Sample Kolmogorov-Smirnov dan uji homogenitas levene’s menunjukkan bahwa
data tidak terdistribusi normal dan homogen (p ≤ 0,05) sehingga analisis
dilanjutkan dengan statistik non parametrik, yaitu uji Kruskal-Wallis dan hasil
menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan secara bermakna antara kelompok
tikus kontrol negatif, kontrol positif dan tikus uji (p ≥ 0,05) (Lampiran 15). Hal
tersebut menunjukkan bahwa pemberian gel etil p-metoksisinamat dengan
berbagai konsentrasi dan basis gel mempengaruhi persentase penyembuhan luka.
Dalam formula gel etil p-metoksisinamat digunakan alkohol dengan
konsentrasi 96% yang seharusnya memiliki efektivitas antiseptik yang rendah,
karena menurut Desiyanto dan Djannah (2013), kandungan alkohol 60-80%
merupakan konsentrasi terbaik alkohol sebagai antiseptik. Konsentrasi alkohol
diluar range optimal tersebut, diprediksi akan mengurangi kemampuan
mendenaturasi protein bakteri.
Pada penelitian ini, menggunakan gel Bioplacenton® sebagai kelompok
kontrol positif. Pemilihan ini didasarkan pada indikasi gel Bioplacenton® yang

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


53

didalamnya terkandung ekstrak plasenta yang berperan dalam menstimulasi


proses regenerasi sel sedangkan neomisin sulfat berperan sebagai bakterisidal
(Dewi, 2010). Dalam hal ini aktivitas gel Bioplacenton ® dapat berperan dalam
menstimulasi proses regenerasi sel seperti merangsang re-epitelisasi dan
pembentukan jaringan ikat fibrokolagen serta mencegah timbulnya infeksi pada
luka yang dapat menghambat proses penyembuhan luka (Dewi, 2010).
Berdasarkan hasil persentase penyembuhan luka, data yang telah
dikuantifikasi menggunakan program ImageJ, kemudian data dibuat dalam
bentuk persen (%) dan SD untuk mengetahui persentase peningkatan kesembuhan
luka pada hewan uji (lampiran 14). Berdasarkan hasil kuantifikasi persentase
penyembuhan luka tikus dapat dikatakan bahwa gel etil p-metoksisinamat
konsentrasi 1% memiliki aktivitas penyembuhan luka lebih cepat yakni luka
menutup pada hari ke-9 dengan rerata persentase kesembuhan luka 95,25% bila
dibandingkan dengan gel etil p-metoksisinamat konsentrasi 3% dan 5% maupun
kontrol negatif dan positif.

4.10 Pengamatan Preparat Histopatologi


Pengamatan preparat histopatologi dilakukan pada saat pengujian
berlangsung, setiap tikus diberikan gel etil p-metoksisinamat pada luka sebanyak
±200 mg menutupi keseluruhan bagian luka dua kali sehari, yaitu di pagi dan sore
hari selama 14 hari setelah pembuatan luka pada tikus. Pada hari ke-7, masing-
masing 1 ekor tikus dari tiap kelompok, dibunuh dengan cara dibius dengan eter
secara inhalasi dengan dosis berlebih, kemudian jaringan kulit tikus diambil untuk
pembuatan preparat histopatologi. Pengamatan preparat jaringan kulit tikus
dilakukan menggunakan mikroskop cahaya (Olympus SZ61) secara deskriptif
pada perbesaran 10x hingga 40x untuk menilai parameter histopatologi
(pembentukan pembuluh darah baru [neokapilerisasi], pertumbuhan pada jaringan
ikat [fibroblas] dan keberadaan sel radang [makrofag]) yang berperan dalam
penyembuhan luka. Gambar histopatologi kulit tikus bagian luka dapat dilihat
pada tabel berikut:

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


54

Tabel 4.4 Hasil Pengamatan Preparat Histopatologi Hari Ke-7


Perbesaran
Kelompok
10x 20x 40x

KN

KP

UKR

UKS

UKT

Gambar 4.4 Hasil Pengamatan Preparat Histopatologi Hari Ke-7


Ket: Pembuluh darah; Makrofag; Fibroblas
kontrol negatif (KN); kontrol positif (KP); uji konsentrasi rendah (UKR); uji konsentrasi sedang
(UKS); uji konsentrasi tinggi (UKT)

Hasil penilaian parameter pada pengamatan preparat histopatologi pada hari


ke-7 yang dilakukan menggunakan mikroskop cahaya (Olympus SZ61) dapat
dilihat pada tabel 4.5.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
55

Tabel 4.5 Hasil penilaian parameter pada preparat hari ke-7


Keberadaan sel
Kelompok tikus Neokapilerisasi Fibroblas
radang (makrofag)
Kontrol negatif + + ++
Kontrol positif +++ ++ +
UKR (gel EPMS 1%) ++ +++ +
UKS (gel EPMS 3%) ++ +++ +
UKT (gel EPMS 5%) ++ ++ +

Ket: (+) terdapat sedikit makrofag, fibroblas dan neokapilerisasi (<20)


(++) terdapat banyak makrofag, fibroblas dan neokapilerisasi (>50)
(+++) terdapat lebih banyak makrofag, fibroblas dan neokapilerisasi (>1-100)
(-) tidak terdapat makrofag, fibroblas dan neokapilerisasi

Pembuatan preparat pada hari ke-7 dikarenakan proses re-epitelisasi yang


biasanya menutup luka sudah memasuki tahap akhir. Secara mikroskopis,
pengamatan yang dilakukan pada hari ke-7 teramati pada kelompok uji dan
kelompok kontrol positif terbentuknya neokapilerisasi dan jaringan ikat
(fibroblas) dengan nilai >50 pembuluh darah/lapang pandang dibanding dengan
kelompok kontrol negatif yang jumlah pembuluh darah dan jaringan ikat yang
terbentuk lebih sedikit. Neokapilerisasi menunjukkan bahwa terdapat banyak
pembuluh darah baru yang akan berkembang menjadi percabangan baru pada
jaringan luka. Pembuluh darah memiliki peranan penting dalam perbaikan
jaringan untuk memberikan asupan nutrisi bagi jaringan yang sedang beregenerasi
(Prasetyo et al., 2010). Terbentuknya jaringan ikat (fibroblas) merupakan sel pada
jaringan ikat yang berpengaruh dalam proses penyembuhan luka. Fibroblas
merupakan sel pada jaringan ikat yang berpengaruh dalam proses penyembuhan.
Fibroblas mempunyai kemampuan kontraktil yang disebut miofibroblas, yang
mengakibatkan tepi luka akan tertarik dan mendekat, sehingga kedua tepi luka
akan melekat. Dengan berlangsungnya proses penyembuhan, fibroblas pun
semakin bertambah (Napanggala et al., 2014). Terbentuknya makrofag pada
kelompok uji dan kelompok kontrol menunjukkan jumlah yang berbeda, pada
kelompok uji jumlah makrofag yang terbentuk lebih sedikit dari jumlah makrofag
pada kelompok kontrol negatif (<20 makrofag/lapang pandang). Makrofag atau
sel radang merupakan sel jaringan pertahanan seluler kedua setelah sel
neutrofil/polimorfo nuclear cell (PMN) yang menunjukkan adanya fagositosis dari

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


56

bakteri dan sel-sel rusak yang mampu memfagosit 100 bakteri hingga pada
akhirnya lisis (Prasetyo et al., 2010). Hal ini menunjukkan bahwa pada kelompok
uji, dengan terbentuknya neokapilerisasi dan fibroblas serta berkurangnya jumlah
makrofag menunjukkan bahwa penyembuhan luka telah memasuki fase
proliferasi.
Pada penelitian ini, aktivitas senyawa etil p-metoksisinamat dalam proses
penyembuhan luka terbuka, menunjukkan hasil yang signifikan dalam penurunan
luas luka serta persentase penyembuhan luka. Senyawa etil p-metoksisinamat
mempengaruhi penyembuhan luka pada fase inflamasi dan fase proliferasi.
Pengaruh pada fase inflamasi terjadi pada hari ke-0 sampai hari ke-5 yang
menunjukkan jumlah makrofag mendominasi. Makrofag mempunyai kemampuan
menfagosit 100 bakteri hingga pada akhirnya lisis. Dengan demikian, jumlah sel
makrofag yang terdapat pada kelompok uji konsentrasi 1%, 3%, 5% dan kontrol
positif dengan jumlah yang lebih rendah, menunjukkan bahwa fase inflamasi
terjadi lebih cepat dibanding dengan kelompok kontrol negatif. Diketahui bahwa
pengaruh pemberian gel etil p-metoksisinamat mempunyai kemampuan untuk
mempercepat fase inflamasi dengan memicu makrofag untuk memfagosit bakteri
di sekitar luka. Pengaruh pemberian gel etil p-metoksisinamat pada fase
proliferasi ditunjukkan pada pengamatan visual luka, di mana waktu terbentuknya
scab (keropeng) pada ketiga kelompok uji rata-rata pada hari ke-2 menunjukkan
luka telah memasuki fase proliferasi yang sama dengan kelompok kontrol negatif.
Namun, setelah diamati secara mikroskopik kelompok kontrol negatif tidak
menunjukkan percepatan pada fase inflamasi, karena pada hari ke-7, terdapat
banyak makrofag yang menandakan bahwa fase inflamasi masih berlangsung.
Berdasarkan penelitian Umar et al., (2012) senyawa etil p-metoksisinamat
memiliki kemampuan antiinflamasi yang sangat baik secara in vitro. Selain
memiliki kemampuan sebagai antiinflamasi, senyawa etil p-metoksisinamat juga
memiliki efek analgesik yang mampu mengurangi rasa sakit serta memiliki efek
angiogenesis (proses pembentukan pembuluh darah baru) yaitu suatu proses
penyembuhan dari inflamasi yang sudah kronis dan menjadi prekursor potensial
untuk pengembangan agen terapi yang potensial untuk mengobati penyakit yang
melibatkan peradangan dan angiogenesis (Umar et al., 2014).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


57

Dalam penelitian Tara et al (2006) dijelaskan bahwa ekstrak alkohol


Kaempferia galanga L. memiliki aktivitas penyembuhan luka bakar yaitu
terbentuknya jaringan granulasi pada luka (fase proliferasi) dan memiliki
peningkatan yang lebih besar antara kelompok uji dengan kelompok kontrol,
mengacu pada penelitian tersebut diketahui ekstrak Kaempferia galanga L.
memiliki komponen senyawa etil p-metoksisinamat yang berpotensi sebagai
penyembuh luka, baik luka terbuka maupun luka bakar.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian uji aktivitas etil p-metoksisinamat terhadap
penyembuhan luka terbuka pada tikus putih (rattus norvegicus) jantan galur
spague dawley diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
1. Secara visual, gel etil p-metoksisinamat pada konsentrasi 1%, 3% dan 5%
menunjukkan perbedaan pada perubahan warna, pembentukan scab
(keropeng) dan terbentuknya kulit baru dengan kelompok kontrol negatif
dan positif.
2. Gel etil p-metoksisinamat diamati secara histopatologi dapat mempercepat
neokapilerisasi dan terbentuknya fibroblas
3. Gel etil p-metoksisinamat diamati secara histopatologi pada hari ke-7
terdapat sedikitnya jumlah makrofag yang menandakan bahwa
penyembuhan luka telah memasuki fase proliferasi pada kelompok uji dan
kontrol positif dibandingkan dengan kontrol negatif
4. Secara statistik, gel etil p-metoksisinamat pada konsentrasi 1%, 3% dan
5% tidak menunjukkan persentase penyembuhan luka yang berbeda
bermakna (p ≥ 0,05) dengan kelompok kontrol negatif dan positif

5.2 Saran
Adapun saran untuk penelitian lebih lanjut:
1. Perlu dilakukan pengamatan histopatologi lebih lanjut pada beberapa
interval waktu yang mewakili periode fase inflamasi, fase proliferasi dan
fase remodelling.
2. Perlu adanya kelompok kontrol negatif yang tidak menerima perlakuan
apapun, untuk meminimalisir data bias
3. Kondisi lingkungan selama perlakuan harus dijaga tetap steril untuk
menghindari terjadinya kontaminasi bakteri selama proses penyembuhan
luka.

58 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


59

DAFTAR PUSTAKA

Agustina, Dian Reni. 2011. Pengaruh Pemberian secara Topikal Kombinasi


Rebusan Daun Sirih Merah (Piper ef fragile, Benth.) dan Rebusan Herba
Pegagan (Centella asiatica (L.) Urban) Terhadap Penyembuhan Luka
Tikus Putih Jantan yang Dibuat Diabetes. Skripsi. Depok: Universitas
Indonesia
Ameri; Rajive BB; Vaidy JG; Apte K; Deokule SS. 2008. Anti-staphylococcal
and wound healing activities of Ganoderma praelongum and Glycyrrhiza
glabra formulation in mice. International Journal of Applied Research in
Natural Product. Vol. 6(1), pp. 27-31.
Ansel, Howard C; Nicholas GP; Loyd V. Allen. 2011. Ansel’s Pharmaceutical
Dosage Forms and Drug Delivery Systems Ninth Edition. ISBN 978-0-
7817-7934-0.
Astuti, Yuni; Dian Sundari; M. Wien Winarno. 1996. Tanaman Kencur
(Kaempferia galanga L.) Informasi Tentang Fitokimia dan Efek
Farmakologi. Warta Tumbuhan Obat Indonesia.
Atik, Nur; Iwan A.R, Juniarsih. 2009. Perbedaan Efek Pemberian Topikal Gel
Lidah Buaya (Aloe vera L.) Dengan Solusio Povidone Iodine Terhadap
Penyembuhan Luka Sayat Pada Kulit Mencit (Mus musculus). Jurnal
Fakultas kedokteran Universitas Padjajaran. Vol 41, No. 2
Babu VL, Ashoka; Goravanakolla A; Murali A; Madhavan V; Yoganarasimhan S
N. 2012. Wound Healing Activity of the leaves of Wattakaka volubilis
(L.f.) Stapf (Asclepiadaceae). International Journal of Applied Research
in Natural Products Vol. 5 (3), 23-29.
Bakkara, Christopher James. 2012. Pengaruh Perawatan Luka Bersih
Menggunakan Sodium Clorida 0,9% dan Povidine Iodine 10% Terhadap
Penyembuhan Luka Post Appendiktomi di RSU Kota Tanjung Pinang
Kepulauan Riau. Skripsi. Medan: Universitas Sumatera Utara
Burn Injury Guidelines For Care.
https://www.nasemso.org/Projects/DomesticPreparedness/documents/Burn
-Injury-Guidelines-for-Care.pdf (Diakses 28 januari 2016)
Diani, Ni Made. 2014. Identifikasi dan Uji Aktivitas Antikanker Isolat Toksik dari
Ekstrak Metanol Isolat Genus Haliclona Grant, 1836 Terhadap Sel Hela.
Tesis. Denpasar: Universitas Udayana
D Kusumarasamyraja, N S Jeganathan dan R Manavalan. 2012. A Review on
Medicinal Plants with Potential Wound Healing Activity. International
Journal of Pharma Science. Vol.2, No.4 (2012): 105-111.
Departemen Kesehatan Republik indonesia. 1995. Farmakope Edisi IV. Jakarta
Desiyanto, Fajar Ardi dan Djannah, Sitti Nur. 2013. Efektivitas Mencuci Tangan
Menggunakan Cairan Pembersih Tangan Antiseptik (Hand Sanitizer)
terhadap Jumlah Angka Kuman. ISSN: 1978-0575. Vol. 7: 55-112.
Dewi, S.P. 2010. Perbedaan Efek Pemberian Lendir Bekicot (Archatina fulica)
dan Gel Bioplacenton Terhadap Penyembuhan Luka Bersih Pada Tikus
Putih. Skripsi. Surakarta: UNS
Esfahani, S Ashkani; MH Imanieh; M Khoshneviszadeh; A Meshksar; A
Noorafshan, B Geramizadeh; S Ebrahimi; F Handjani; N Tanideh. 2011.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


60

The Healing Effect of Arnebia Euchroma in Second Degree Burn Wounds


in Rat as an Animal Model. Iran Red Crescent Med J 2012; 14(2):70-74
Fauziah Ermawati, Elly. 2010. Efek Antipiretik Ekstrak Daun Pare (Momordica
charantia L.) Pada Tikus Putih Jantan. Surakarta: Universitas Sebelas
Maret
Ferdinandez, Mariana Kresty; I Ketut Anom Dada dan I made Damriyasa. 2013.
Bioaktivitas Ekstrak Daun Tapak Dara (Catharantus roseus) Terhadap
Kecepatan Angiogenesis dalam Proses Penyembuhan Luka pada Tikus
Wistar. Indonesia Medicus Veterinus. 2 (2), 180-190.
Gogoi, Jyotchna; Khonamai Sewa Nakhuru; Pronobesh Chattopadhayay; Ashok
Kumar Rai; dan Vijay Veer. 2014. Hypertrophic Scar Formation on
Application of Terpenoid Fraction of Tuberous Root of Mirabilis jalapa L.
on Excision Wound Model in Wistar Albin Rats. International Scholarly
Research Notices: Hindawi Publishing Corporation.
Goodman & Gilman. 2003. Dasar Farmakologi Terapi Edisi 10. Jakarta: EGC
Penerbit Buku Kedokteran, 666
Gunstream, Stanley E. 2000. Anatomy & Physiology With Integrated Study Guide
2nd edition. United States of America: The McGraw-Hill Companies, Inc.
Hasanah, Aliya Nur; Fikri Nazaruddin; Ellin Febrina; dan Ade Zuhrotun. 2011.
Analisis Kandungan Minyak Atsiri dan Uji Aktivitas Antiinflamasi
Ekstrak Rimpang Kencur (Kaempferia galanga L.) Jurnal Matematika &
Sains. Vol. 16 No. 3
Kalbe farma. 2015. Branded product.
http://www.kalbemed.com/Products/Drugs/Branded/tabid/245/ID/5699/Bi
oplacenton.aspx (Diakses pada tanggal 22 juni 2016)
Kozier, B. gtal. 1995. Fundamental of Nursing, Concops, Process and Practice 4th
Edition. Addison Wesle. Publishing Company Inc. Hal 1359-1367
Kumar, B; M. Vijayakumar; R. Govindarajan; P. Pushpangadan. 2007.
Ethnopharmacological Approaches to Wound Healing—Exploring
Medicinal Plants of India. Journal of Ethnopharmacology. 114. 103–113
Kusmiati; Fitria Rachmawati; Syafrida Siregar; Sukma Nuswantara dan Amarila
Malik. 2006. Produksi Beta-1,3 Glukan Dari Agrobacterium dan Aktivitas
Penyembuhan Luka Terbuka Pada Tikus Putih. Makara, SAINS Vol. 10:
24-29
Krinke, Goerge J. 2000. The laboratory Rat. San Diego, California: Academic
Press. 4
Marriott, JF; Keith A Wilson; Christopher A Langley dan Dawn Belcher. 2010.
Pharmaceutical Compounding and Dispensing, Second Edition. London:
Pharmaceutical Press.
Mawarti, Herin dan Ghofar, Abdul. 2014. Aktivitas Antioksidan Flavonoid
terhadap Perubahan Histologi Proses Penyembuhan Luka Bakar Grade II.
Jurnal Edu Health, Vol. 4 No. 1
Mose, Yumike. 2014. Penerapan Model Pembelajaran Predict-Observe-Explain
(POE) Pada Materi Koloid Untuk Meningkatkan Keterampilan Berpikir
Kritis dan Keterampilan Proses Sains Siswa. Bandung: Universitas
Pendidikan Indonesia.
Mufidah, Syarifatul. 2014. Modifikasi Struktur Senyawa Etil p-metoksisinamat
yang Diisolasi Dari Kencur (Kaempferia galanga Linn.) Melalui

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


61

Transformasi Gugus Fungsi serta Uji Aktivitas Sebagai Antiinflamasi.


Skripsi. Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah
Napanggala; Susianti dan Apriliana e. 2014. Pengaruh Pemberian Getah Tanaman
Jarak Pagar (Jatropha curcas L.) Secara Topikal Terhadap Tingkat
Kesembuhan Luka Iris Pada Tikus Putih Jantan Galur Sprague Dawley.
ISSN 2337-3776.
Novriansyah, Robin. 2008. Perbedaan Kepadatan Kolagen di sekitar Luka Insisi
Tikus Wistar Yang Dibalut Kasa Konvensional dan Penutup Oklusif
Hidrokoloid Selama 2 Dan 14 Hari. Semarang: Universitas Diponegoro
Perdanakusuma, David S. 2007. Anatomi Fisiologi Kulit dan Penyembuhan Luka.
Surabaya: Universitas Airlangga.
Prabakti, Yudhi. 2005. Perbedaan Jumlah Fibroblas Di Sekitar Luka Insisi Pada
Tikus yang Diberi Infiltrasi Penghilang Nyeri Levobupivakain dan yang
Tidak Diberi Levobupivakain. Semarang: Universitas Diponegoro
Prabawati, Charinna Agus. 2015. Evaluasi Daya Penetrasi Etil p-metoksisinamat
Hasil Isolasi Dari Rimpang Kencur (Kaempferia galanga Linn.) Pada
Sediaan Salep, Krim dan Gel. Skripsi. Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah
Prasetyo, Bayu Febram; Ietje Wientarsih; Bambang Pontjo Priosoeryanto. 2010.
Aktivitas Sediaan Gel Ekstrak Batang Pohon Pisang Ambon dalam Proses
Penyembuhan Luka pada Mencit. Jurnal Veteriner. ISSN: 1411-8327. Vol.
11 No. 2: 70-73
Putri, Almahitta Cintami. 2013. Pengaruh Ekstrak Aqueous Kulit Delima (Punica
granatum) Peroral terhadap Makrofag, Fibroblas dan Kolagen pada
Penyembuhan Luka Bakar Tikus Putih. Skripsi. Surabaya: Universitas
Airlangga
Rao V., Narasinga dan DSVGK Kaladhar. 2014. Antioxidant And Antimicrobial
Activities of Rhizome Extracts Of Kaempferia galanga. World Journal of
Pharmacy And Pharmaceutical Science 3, 1180-1189
Reddy, G.A.K., Priyanka, B., Saranya, Ch.S., Kumar, C.K.A. 2012. Wound
Healing Potential Of Indian Medicinal Plants. International Journal of
Pharmacy Review & Research 2, 75-78.
Regianto, Herbert. 2009. Minyak Atsiri Rimpang Kencur (Kaempferia galanga
L.) Karakterisasi Simplisia, Isolasi dan Analisis Komponen Minyak Atsiri
Secara GC-MS. Medan: Universitas Sumatera Utara
Roatiana, Otih; Rosita SMD; Mono Rahardjo. Standar Prosedur Operasional
Budidaya Kencur. Akses online via http://balittro.litbang.pertanian.go.id
(diakses pada tanggal 9 desember 2015)
Roemantyo; G. Somaatmadja. 1996. Analisis Terhadap Keanekaragaman dan
Konservasi Kencur di Jawa. Warta tumbuhan obat Indonesia. Volume 3
No. 2
Rowe, RC; Paul JS; Sian CO. 2006. Handbook of Pharmaceutical Excipient Fifth
Edition. London: Pharmaceutical Press
Ruswanto; Susanti dan Richa M. 2015. Sintesis dan Analisis Spektrum Senyawa
3-Benzoil-1-Feniltiourea Serta Uji Interaksinya Pada Reseptor Kanker.
Tasikmalaya: STIKes Bakti Tunas Husada.
Schwart, spencer. 2000. Intisari Prinsip-Prinsip Ilmu Bedah. Edisi 6. Jakarta:
EGC

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


62

Sibuea, Martko Roverco. 2015. Pengaruh Pemberian Salep Ekstrak Etanol Kulit
Buah dari Tumbuhan Petai (Parkia speciosa Hassk.) Terhadap
Penyembuhan Luka Sayat Pada Kelinci. Medan: Universitas Sumatera
Utara
Sihombing, Marice dan Tuminah, Sulistyowati. 2011. Perubahan Nilai
Hematologi, Biokimia Darah, Bobot Organ dan Bobot Badan Tikus Putih
pada Umur Berbeda. Jurnal Veteriner. Vol.12 No.1: 58-64. 1411-8327
Simanjuntak, M.T. 2005. Biofarmasi Sediaan Yang Diberikan Melalui Kulit.
Medan: Universitas Sumatera Utara.
Sinaga, meidina. 2012. Gambaran Penggunaan Bahan Pada Perawatan Luka di
RSUD DR. Djasamen Saragih Pematangsiantar. Medan: Universitas
Sumatera Utara
Singh, Chingakham B.; S. Binita Chanu; Th. Bidyababy; W. Radhapiyari Devi; S.
Brojendro Singh; Kh. Nongalleima; Lokendrajit N dan L.W. Singh. 2013.
Biological and Chemical Properties of Kaempferia galanga L.- a
Zingiberaceae plant. NeBIO Vol. 4; 35-41
Smith dan Mangkoewidjojo. 1988. Pemeliharaan, Pembiakan dan Penggunaan
Hewan Percobaan Daerah Tropis. Jakarta: Universitas Indonesia
Suckow, Mark A; Weisbroth, Steven H; Franklin, Craig L. 2006. The Laboratory
Rat 2nd Edition. American College of Laboratory: British Library
Tara V., Shanbag; Sharma Candrakala; Adiga Sachidananda; Bairy
Laximinarayana Kurady; Shenoy Smita; Shenoy Ganesh. 2006. Wound
Healing Activity of Alkoholic Extract of Kaempferia galanga in Wistar
Rats. Indian J.physiol Pharmacol 50 (4) : 384-390
Taufikurohmah, T; Rusmini; Nurhayati. 2008. Pemilihan Pelarut dan Optimasi
Suhu pada Isolasi Senyawa Etil p-Metoksisinamat (EPMS) dari Rimpang
Kencur sebagai Bahan Tabir Surya pada Industri Kosmetik
Tiwari, P; Kumar , B. Kavr; M kaur; G Kaur. 2011. Phytochemical Screening and
Extraction: a Review. Internationale Pharmaceutical Science. Vol 1.
Issue: 1
Umar, Muhammad I.; Mohd Zaini Asmawi; Amirin Sadikun; Item J. Atangwho 1;
Mun fei Yam; Rabia Altaf; Ashfaq Ahmed. 2012. Bioactivity-Guided
Isolation of Ethyl-p-methoxycinnamate, an Anti-inflammatory
Constituent, From Kaempferia galanga L. Extracts. Molecules, 17, 8720-
8734
Umar, Muhammad I.; Mohd Zaini Asmawi; Amirin Sadikun; Amin Malik Shah
Abdul Majid; Fouad Saleih R. Al-Suede; Loiy Elsir Ahmed Hassan; Rabia
Altaf; Mohamed B. Khadeer Ahamed. 2014. Ethyl-p-Methoxycinnamate
Isolated from Kaempferia galanga Inhibits Inflammation by Suppressing
Interleukin-1, Tumor Necrosis Factor-α, and Angiogenesis by Blocking
Endothelial Functions. Clinics; 69(2): 134-144.
USDA (united states departement of agriculture). Natural resource conservation
service. Akses online via http://plants.usda.gov/ (Diakses pada tanggal 9
Desember 2015)
Vittalrao, Amberkar Mohanbabu; Tara Shanbhag; Meena Kumari K; K. L. Bairy
And Smita Shenoy. 2011. Evaluation Of Antiinflammatory And Analgesic
Activities Of Alcoholic Extract Of Kaempferia galanga in Rats. Indian J
Physiol Pharmacol 2011; 55 (1) : 13–24

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


63

WHO 2011. Report on the Burden of Endemic Health Care-Associated Infection


Worldwide.
http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/80135/1/9789241501507_eng.p
df?ua=1 (Diakses pada tanggal 15 November 2015)
WHO 2010. Wound and Lymphoedema Management
http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/44279/1/9789241599139_eng.pdf
(Diakses pada tanggal 28 Januari 2016)
Zuhrotul, Aisyah dan Prijono satyabakti. 2012. Surveilans Infeksi Daerah Operasi
(IDO) Menurut Komponen Surveilans Di Rumah Sakit X Surabaya Tahun
2012. Jurnal Berkala Epidemiologi, vol 1, 254-265

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


64

Lampiran 1. Alur Penelitian

Ekstraksi Rimpang Kencur (Kaempferia


galanga Linn.)

Isolasi Kristal Etil p-metoksisinamat

Membuat Gel EPMS dengan berbagai


persentase

Membuat luka terbuka pada dorsal tikus


3cm dari auricula

Pemberian perlakuan pada hewan uji


selama 14 hari

Kelompok Kelompok Kelompok Uji Kelompok Uji Kelompok Uji


Kontrol positif Kontrol konsentrasi konsentrasi konsentrasi
dengan Negatif dengan rendah (EPMS sedang (EPMS tinggi (EPMS
Bioplacenton® gel Basis gel 1%) 3%) 5%)

Pengamatan Pada hari ke-7, 1 ekor tikus dari


diameter luka masing-masing kelompok dikorbankan
selama 14 hari dan dilakukan eksisi jaringan kulit tikus

Analisis Data Pembuatan preparat histopatologi

Pengamatan preparat histopatologi

pembentukan pertumbuhan keberadaan sel


pembuluh darah pada jaringan radang
baru ikat (fibroblas) (makrofag)
(neokapilerisasi)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


65

Lampiran 2. Isolasi Etil p-metoksisinamat

Rimpang kencur Dibersihkan dari yang menempel dan


(Kaempferia galanga L.) dicabut akar-akar yang menempel
dengan dicuci menggunakan air
mengalir

Sortasi basah

Dirajang dan dikeringkan


Dihaluskan dengan cara dikering anginkan
dengan blender di udara terbuka

Simplisia kencur

Maserasi dengan n-heksan Filtrasi

Ampas Filtrat

Dipekatkan dengan vaccum rotary evaporator

Filtrat pekat diendapkan pada suhu ruang

Kristal terbentuk

Re-kristalisasi dengan n-heksan dan etanol 96%

Kristal Etil p-metoksisinamat

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


66

Lampiran 3. Skema Pembuatan Gel EPMS

Carbopol 940 di dispersikan dalam aquadest dingin secukupnya

Aduk hingga homogen dan warna menjadi transparan EPMS dilarutkan


dengan alkohol
96%

Tambahkan aquadest panas secukupnya dan aduk homogen

Didiamkan beberapa saat dan ditambah Trietanolamin

Aduk hingga homogen dan membentuk gel

Tambahkan campuran aquadest dengan propilen glikol, metil paraben,


propil paraben yang telah di didihkan sedikit demi sedikit sambil diaduk
homogen

Tambahkan Natrium Metabisulfit yang telah dilarutkan dengan aquadest

EPMS yang sebelumnya dilarutkan dengan alkohol 96% ditambahkan


sedikit demi sedikit sambil digerus homogen

Gel EPMS

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


67

Lampiran 4. Surat Determinasi Tanaman Kaempferia galanga L.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


68

Lampiran 5. Surat Keterangan Kesehatan Hewan

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


69

Lampiran 6. Surat Keterangan Lolos Kaji Etik (Ethical Approval)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


70
71
72
73

Lampiran 13. Luka Tikus Mulai Hari ke-0 Hingga Hari ke-14

Pengamatan Penyembuhan Luka


N Kelompok
Hari Hari Hari Hari Hari Hari Hari Hari Hari Hari Hari Hari Hari Hari Hari
o Hewan Uji
ke-0 ke-1 ke-2 ke-3 ke-4 ke-5 ke-6 ke-7 ke-8 ke-9 ke-10 ke-11 ke-12 ke-13 ke-14
1

2
Pembuatan Preparat Histopatologi

3
Uji
Konsentrasi
1 Rendah 4
(gel EPMS
1%)
5

Uji
Konsentrasi 1
2 Sedang
(gel EPMS 2 Pembuatan Preparat Histopatologi
3%)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


74

1 Pembuatan Preparat Histopatologi

Uji
Konsentrasi 3
3 Tinggi
(gel EPMS
5%) 4

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


75

1
Pembuatan Preparat Histopatologi

Kontrol
4
Negatif 4

1
Pembuatan Preparat Histopatologi
Kontrol
5
Positif 2

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


76

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


77

Lampiran 14. Tahapan Pengukuran Diameter Luka Dengan Aplikasi ImageJ

b. Buka aplikasi ImageJ,


a. Pilih foto yang akan
klik ―File‖ dan ―Open‖
digunakan
pada menubar

c. Klik ―Straight‖ pada menu


toolbar & buat garis lurus
sepanjang 1 cm pada d. Klik ―Analyze‖ dan ―Set
penggaris Scale‖ pada menubar

e. Buat ukuran panjang penggaris pada


kolom ―Known Distance‖ dalam
penelitian ini adalah 1, kemudian
satuannya dalam kolom ―Unit of Length‖
dalam penelitian ini adalah cm dan klik
―Ok‖

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


78

i. Buat garis lurus sepanjang h. Klik ―Analyze‖ kemudian


diameter luka klik ―Measure‖ pada
menubar

g. Klik ―Analyze‖ kemudian


klik ―Measure‖ pada
menubar
f. Lakukan langkah ―a‖ sampai ―h‖
untuk mengukur diameter luka
hewan uji lainnya, halaman
―Result‖ dapat disimpan dengan
cara klik ―File‖ kemudian klik
―Save‖

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


79

Lampiran 15. Diameter Luka Seluruh Kelompok Hewan Uji

Diameter Luka Kelompok Hewan Uji


Pengamatan Uji Konsentrasi Rendah (1) Uji Konsentrasi Sedang (3) Uji Konsentrasi Tinggi (5) Kontrol Negatif Kontrol Positif
1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5
d1 0,82 1,08 1,16 0,85 1,08 1,17 1,01 1,47 0,93 1,25 1,21 0,94 1,16 1,36 1,35 1,09 0,83 0,83 0,93 1,10 0,76 1,03 0,82 1,10 1,16
Hari d2 0,71 0,89 0,84 0,89 0,96 0,64 1,12 0,80 1,32 1,04 1,14 1,26 1,18 0,95 0,95 1,19 1,01 1,29 1,17 1,16 0,87 1,53 1,11 0,89 0,83
ke- 0 d3 0,68 1,07 1,01 0,80 1,04 1,05 0,99 1,05 1,17 1,28 1,09 1,04 1,21 1,19 1,16 1,18 0,83 1,12 1,05 1,09 0,77 1,60 0,96 1,13 0,92
d4 0,96 1,00 0,94 0,88 0,89 0,95 1,12 1,25 1,13 1,03 0,96 1,33 1,15 1,29 1,28 1,20 0,97 1,06 1,03 1,08 0,86 1,36 1,14 1,22 1,02
Diameter
D 0,79 1,01 0,98 0,85 0,99 0,95 1,06 1,14 1,13 1,15 1,1 1,14 1,17 1,19 1,18 1,14 0,91 1,06 1,04 1,10 0,81 1,38 1,00 1,08 0,98
rata-rata
Luas luka 0,49 0,80 0,75 0,56 0,76 0,70 0,88 1,02 1,00 1,03 0,95 1,02 1,07 1,11 1,09 1,02 0,65 0,88 0,84 0,95 0,51 1,49 0,78 0,91 0,75

d1 0,69 0,88 0,79 0,70 0,75 0,89 0,81 1,03 1,19 1,26 0,88 1,01 1,03 0,82 1,08 0,77 0,98 0,85 0,67 0,76 0,57 1,19 0,60 0,87 0,77
Hari d2 0,68 0,87 0,84 0,67 0,88 0,63 0,84 0,98 0,89 0,87 0,93 0,78 1,18 0,99 0,82 1,02 0,73 0,79 0,95 0,68 0,67 1,33 0,72 0,94 0,79
ke- 3 d3 0,63 0,83 0,72 0,68 0,74 0,71 0,87 1,03 1,15 1,02 0,83 0,84 1,12 0,78 0,99 0,92 1,02 0,75 0,82 0,65 0,71 1,34 0,63 0,90 0,75
d4 0,67 0,84 0,75 0,58 0,83 0,81 0,79 0,95 1,10 0,99 0,87 0,86 1,10 0,82 0,89 0,94 0,83 0,82 0,81 0,75 0,72 1,27 0,66 0,75 0,72
Diameter
D 0,66 0,85 0,77 0,65 0,8 0,76 0,82 0,99 1,08 1,03 0,87 0,87 1,10 0,85 0,94 0,91 0,89 0,80 0,81 0,71 0,66 1,28 0,65 0,86 0,75
rata-rata
Luas luka 0,34 0,56 0,46 0,33 0,50 0,45 0,52 0,76 0,91 0,83 0,59 0,59 0,95 0,56 0,69 0,65 0,62 0,50 0,51 0,39 0,34 1,28 0,33 0,58 0,44
%
32,2 29,4 38,5 41,6 34,6 36,6 40,1 24 8,66 19,6 38 41,8 11 48,9 36,6 36,4 3,65 42,8 39,8 58,6 33,8 14,2 58 37 41,6
Penyembuhan

d1 0,28 0,43 0,61 0,35 0,66 0,42 0,46 0,64 0,83 0,73 0,70 0,77 1,15 0,92 0,98 0,79 0,75 0,59 0,60 0,43 0,33 0,79 0,39 0,63 0,48
Hari d2 0,34 0,54 0,55 0,35 0,73 0,36 0,55 0,78 0,92 0,92 0,84 0,90 0,95 0,68 0,73 0,59 0,59 0,67 0,41 0,33 0,39 0,96 0,56 0,73 0,61
ke- 6 d3 0,34 0,42 0,61 0,31 0,61 0,38 0,49 0,64 0,95 0,85 0,89 0,81 1,10 0,69 0,75 0,58 0,67 0,62 0,48 0,32 0,37 0,86 0,47 0,70 0,55
d4 0,28 0,41 0,43 0,35 0,66 0,39 0,50 0,70 0,80 0,85 0,80 0,81 1,06 0,71 0,72 0,73 0,78 0,61 0,49 0,42 0,37 0,81 0,48 0,57 0,55
Diameter
D 0,31 0,45 0,55 0,34 0,66 0,38 0,5 0,69 0,87 0,83 0,80 0,82 1,06 0,75 0,79 0,67 0,69 0,62 0,49 0,37 0,36 0,85 0,47 0,65 0,54
rata-rata
Luas luka 0,07 0,15 0,23 0,09 0,34 0,11 0,19 0,37 0,59 0,54 0,50 0,52 0,88 0,44 0,49 0,35 0,37 0,30 0,18 0,10 0,10 0,56 0,17 0,33 0,22
%
85,4 80,3 68,7 84,7 56,1 84,4 77,6 63,5 40,9 48,4 47,1 48 17,6 60,2 55,3 65,8 42,6 66 77,7 89,2 81,5 62,1 78 63,7 69,7
Penyembuhan

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


80

d1 0,12 0,23 0,21 0 0,23 0,20 0,24 0,61 0,73 0,45 0,37 0,31 0,35 0,98 0,60 0,37 0,29 0,31 0,16 0,12 0 0,36 0,30 0 0,25
Hari d2 0,12 0,18 0,27 0 0,42 0,12 0,26 0,51 0,57 0,39 0,33 0,36 0,41 0,80 0,68 0,39 0,31 0,30 0,25 0,24 0 0,55 0,31 0 0,26
ke- 9 d3 0,14 0,16 0,19 0 0,29 0,18 0,23 0,65 0,58 0,42 0,33 0,31 0,42 0,78 0,58 0,36 0,40 0,27 0,29 0,16 0 0,51 0,29 0 0,26
d4 0,15 0,20 0,17 0 0,30 0,18 0,22 0,55 0,60 0,47 0,30 0,34 0,38 0,92 0,60 0,46 0,33 0,28 0,27 0,16 0 0,44 0,25 0 0,22
Diameter
D 0,13 0,19 0,21 0 0,31 0,17 0,23 0,58 0,62 0,43 0,33 0,33 0,39 0,87 0,61 0,39 0,33 0,29 0,24 0,17 0 0,46 0,28 0 0,24
rata-rata
Luas luka 0,01 0,02 0,03 0 0,07 0,02 0,04 0,26 0,30 0,14 0,08 0,08 0,11 0,59 0,29 0,11 0,08 0,06 0,04 0,02 0 0,16 0,06 0 0,04
%
98,3 97 95,8 100 90,8 97,7 95,5 74,4 70 86,3 91,7 92,2 88,9 46,8 73,3 88,3 87,8 92,8 97,2 98,3 100 88,9 93 100 94,7
Penyembuhan

d1 0 0 0 0 0 0 0 0,28 0,31 0 0 0 0,11 0,97 0,43 0 0 0 0 0 0 0,15 0 0 0


Hari d2 0 0 0 0 0 0 0 0,28 0,30 0 0 0 0,09 0,76 0,38 0 0 0 0 0 0 0,23 0 0 0
ke- 12 d3 0 0 0 0 0 0 0 0,30 0,31 0 0 0 0,11 0,84 0,31 0 0 0 0 0 0 0,17 0 0 0
d4 0 0 0 0 0 0 0 0,26 0,31 0 0 0 0,11 0,89 0,38 0 0 0 0 0 0 0,20 0 0 0
Diameter
D 0 0 0 0 0 0 0 0,28 0,30 0 0 0 0,10 0,86 0,37 0 0 0 0 0 0 0,18 0 0 0
rata-rata
Luas luka 0 0 0 0 0 0 0 0,06 0,07 0 0 0 0,07 0,58 0,10 0 0 0 0 0 0 0,02 0 0 0
%
100 100 100 100 100 100 100 94,5 92,9 100 100 100 99,2 48,2 90,6 100 100 100 100 100 100 98,4 100 100 100
penyembuhan

d1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0,91 0,30 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Hari d2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0,88 0,37 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
ke- 14 d3 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0,81 0,31 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
d4 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0,90 0,30 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Diameter
D 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0,87 0,32 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
rata-rata
Luas luka 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0,59 0,08 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
%
100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 46,8 92,8 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
penyembuhan

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


81

Lampiran 16. Pengukuran Bobot Tikus


Hari ke-
Kelompok
0 2 4 6 8 10 12 14
1 236.0 233.0 226.0 236.0 - - - -
2 276.0 262.0 280.0 275.0 278.0 278.0 284.0 296.0
3 245.0 235.0 238.0 232.0 233.0 223.0 229.0 241.0
KN
4 160.0 163.0 172.0 169.0 170.0 170.0 168.0 167.0
5 237.0 241.0 231.0 230.0 233.0 230.0 211.0 215.0
6 226.0 224.0 226.0 215.0 212.0 265.0 193.0 200.0
1 184.0 190.0 192.0 200.0 - - - -
2 146.0 155.0 159.0 173.0 186.0 197.0 205.0 213.0
3 134.0 137.0 135.0 144.0 146.0 146.0 149.0 148.0
KP
4 152.0 156.0 158.0 174.0 176.0 182.0 190.0 191.0
5 166.0 174.0 184.0 202.0 211.0 221.0 237.0 248.0
6 136.0 144.0 149.0 164.0 172.0 186.0 200.0 207.0
1 156.0 144.0 140.0 144.0 135.0 128.0 129.0 126.0
2 196.0 196.0 186.0 172.0 - - - -
3 110.0 113.0 117.0 115.0 112.0 109.0 96.0 100.0
UKR
4 139.0 134.0 144.0 143.0 134.0 130.0 131.0 128.0
5 166.0 176.0 180.0 181.0 190.0 163.0 145.0 157.0
6 129.0 129.0 131.0 133.0 116.0 116.0 112.0 111.0
1 172.0 152.0 148.0 160.0 154.0 148.0 146.0 132.0
2 197.0 191.0 188.0 190.0 - - - -
3 197.0 189.0 196.0 205.0 208.0 210.0 214.0 222.0
UKS
4 185.0 176.0 176.0 165.0 173.0 174.0 176.0 180.0
5 167.0 154.0 151.0 150.0 136.0 137.0 141.0 145.0
6 143.0 131.0 134.0 128.0 123.0 115.0 115.0 112.0
1 186.0 173.0 178.0 186.0 - - - -
2 164.0 160.0 155.0 155.0 155.0 162.0 158.0 134.0
3 217.0 217.0 219.0 234.0 235.0 241.0 238.0 232.0
UKT
4 240.0 236.0 245.0 248.0 235.0 235.0 226.0 223.0
5 145.0 131.0 115.0 114.0 115.0 116.0 110.0 110.0
6 172.0 176.0 171.0 163.0 163.0 169.0 174.0 172.0

Hari Rerata bobot tiap kelompok (gram) ± SD


Ke- KN KP UKR UKS UKT
1 222,5 ± 15,3 122,8 ± 11,6 158,8 ± 26,6 173,3 ± 11,5 195,8 ± 34,0
8 221,6 ± 20,6 154,5 ± 18,7 149,6 ± 30,0 176,8 ± 14,1 192,3 ± 29,1
15 228,8 ± 34,5 176,1 ± 22,0 148,0 ± 24,5 166,3 ± 27,6 183,3 ± 50,5
22 217,0 ± 43,7 201,4 ± 36,3 124,4 ± 21,5 158,2 ± 43,3 174,2 ± 53,5

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


82

Lampiran 17. Hasil Pengukuran Luas Luka dan Persentase Penyembuhan


Luka
Rerata Luas Luka (cm2) tiap kelompok ± SD
Kelompok
Hari ke-0 Hari ke-3 Hari ke-6 Hari ke-9 Hari ke-12 Hari ke-14
KN 0,86±0,13 0,53±0,10 0,26±0,11 0,06±0,03 0,00 0,00
KP 0,88±0,36 0,59±0,39 0,27±0,17 0,05±0,06 0,004±0,008 0,00
UKR (1%) 0,67±0,13 0,43±0,10 0,17±0,11 0,02±0,02 0,00 0,00
UKS (3%) 0,92±0,13 0,69±0,19 0,36±0,21 0,15±0,12 0,02±0,03 0,00
UKT (5%) 1,04±0,06 0,67±0,16 0,56±0,17 0,23±0,21 0,15±0,24 0,13±0,25

Rerata persentase penyembuhkan luka (%) tiap kelompok ± SD


Kelompok
Hari ke-3 Hari ke-6 Hari ke-9 Hari ke-12 Hari ke-14
KN 26,38 ± 15,99 63,68 ± 16,20 90,82 ± 4,49 100 100
KP 24,04 ± 14,66 64,84 ± 8,36 94,00 ± 5,78 99,62 ± 0,84 100
UKR (1%) 24,12 ± 7,62 70,34 ± 14,19 95,20 ± 4,14 100 100
UKS (3%) 16,11 ± 13,20 58,96 ± 18,17 82,86 ± 13,00 97,12 ± 3,94 100
UKT (5%) 26,54 ± 14,56 38,78 ± 16,48 75,22 ± 21,85 85,72 ± 25,47 86,18 ± 26,31

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


83

Lampiran 18. Hasil Analisis Statistik Persentase Penyembuhan Luka Hari Ke- 3,6,9,12 dan 14
One-way ANOVA
a. Uji Normalitas
Tujuan : Untuk melihat data persentase penyembuhan luka terdistribusi normal atau tidak
Hipotesis : Ho = data persentase penyembuhan luka terdistribusi normal
Ha = data persentase penyembuhan luka tidak terdistribusi normal
Pengambilan keputusan : Jika nilai signifikansi ≥ 0,05 Ho diterima
Jika nilai signifikansi ≤ 0,05 Ho ditolak

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

persentase_penye persentase_penye
persentase_penye persentase_penye persentase_penye mbuhan_luka_H1 mbuhan_luka_H1
Perlakuan mbuhan_luka_H3 mbuhan_luka_H6 mbuhan_luka_H9 2 4

N 25 25 25 25 25 25
a
Normal Parameters Mean 3.0000 23.5164 59.3544 87.6896 96.5012 97.2416

Std. Deviation 1.44338 12.90446 17.69130 13.37930 11.92112 12.11920

Most Extreme Differences Absolute .156 .108 .101 .260 .394 .510

Positive .156 .092 .066 .179 .385 .410

Negative -.156 -.108 -.101 -.260 -.394 -.510

Kolmogorov-Smirnov Z .779 .540 .507 1.300 1.968 2.550

Asymp. Sig. (2-tailed) .579 .933 .959 .068 .001 .000

a. Test distribution is Normal.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


84

Keputusan : Data persentase penyembuhan luka seluruh kelompok uji tidak terdistribusi normal

b. Uji Homogenitas
Tujuan : Untuk melihat data persentase penyembuhan luka homogen atau tidak
Hipotesis : Ho = data persentase penyembuhan luka terdistribusi homogen
Ha = data persentase penyembuhan luka tidak terdistribusi homogen
Pengambilan keputusan :
Jika nilai signifikansi ≥ 0,05 Ho diterima
Jika nilai signifikansi ≤ 0,05 Ho ditolak
Test of Homogeneity of Variances

Levene Statistic df1 df2 Sig.

persentase_penyembuhan_l
.383 4 20 .818
uka_H3

persentase_penyembuhan_l
.726 4 20 .585
uka_H6

persentase_penyembuhan_l
5.544 4 20 .004
uka_H9

persentase_penyembuhan_l
5.905 4 20 .003
uka_H12

persentase_penyembuhan_l
6.727 4 20 .001
uka_H14

Keputusan : Data persentase penyembuhan luka seluruh kelompok uji tidak terdistribusi homogen

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


85

c. Uji Kruskal-Wallis
Tujuan : Untuk mengetahui ada atau tidaknya perbedaan data persentase penyembuhan luka
Hipotesis : Ho : data persentase penyembuhan luka tidak berbeda secara bermakna
Ha : data persentase penyembuhan luka berbeda bermakna
Pengambilan keputusan: Jika nilai signifikansi ≥ 0,05, maka Ho diterima, berarti tidak terdapat perbedaan
Jika nilai signifikansi ≤ 0,05, maka Ho ditolak, berarti terdapat perbedaan

a,b
Test Statistics

persentase_pen persentase_pen persentase_pen persentase_pen persentase_pen


yembuhan_luka_ yembuhan_luka_ yembuhan_luka_ yembuhan_luka_ yembuhan_luka_
H3 H6 H9 H12 H14

Chi-Square 1.809 9.017 8.158 7.509 8.333

Df 4 4 4 4 4

Asymp. Sig. .771 .061 .086 .111 .080

a. Kruskal Wallis Test

b. Grouping Variable: Perlakuan

Keputusan: Data persentase penyembuhan luka tikus galur Sprague Dawley tidak berbeda secara bermakna

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


86

Lampiran 19. Hasil Analisis Statistik Luas Luka

Paired Samples T Test


Hipotesis : Ho = data penurunan luas luka tidak berbeda bermakna
Ha = data penurunan luas luka berbeda bermakna
Pengambilan keputusan : Jika nilai signifikansi ≥ 0,05 Ho diterima
Jika nilai signifikansi ≤ 0,05 Ho ditolak

Kelompok kontrol negatif hari ke-0 dan hari ke-14


Paired Samples Test

Paired Differences
95% Confidence Interval of the
Difference

Mean Std. Deviation Std. Error Mean Lower Upper T df Sig. (2-tailed)
Pair 1 KN_awal -
.86800 .13989 .06256 .69430 1.04170 13.874 4 .000
KN_akhir

Keputusan: Data penurunan luas luka untuk kelompok kontrol negatif berbeda secara bermakna

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


87

Kelompok kontrol positif hari ke-0 dan hari ke-14


Paired Samples Test

Paired Differences
95% Confidence Interval of the
Difference

Mean Std. Deviation Std. Error Mean Lower Upper t df Sig. (2-tailed)
Pair 1 KP_awal -
.88800 .36622 .16378 .43327 1.34273 5.422 4 .006
KP_akhir
Keputusan: Data penurunan luas luka untuk kelompok kontrol positif berbeda secara bermakna

Kelompok uji konsentrasi rendah (1%) hari ke-0 dan hari ke-14
Paired Samples Test

Paired Differences
95% Confidence Interval of the
Difference

Mean Std. Deviation Std. Error Mean Lower Upper t df Sig. (2-tailed)
Pair 1 UKR_awal -
.67200 .13773 .06160 .50098 .84302 10.910 4 .000
UKR_akhir
Keputusan: Data penurunan luas luka untuk kelompok uji konsentrasi rendah (1%) berbeda secara bermakna

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


88

Kelompok uji konsentrasi sedang (3%) hari ke-0 dan hari ke-14
Paired Samples Test

Paired Differences
95% Confidence Interval of the
Difference

Mean Std. Deviation Std. Error Mean Lower Upper t df Sig. (2-tailed)
Pair 1 UKS_awal -
.92600 .13993 .06258 .75226 1.09974 14.798 4 .000
UKS_akhir
Keputusan: Data penurunan luas luka untuk kelompok uji konsentrasi sedang (3%) berbeda secara bermakna

Kelompok uji konsentrasi tinggi (5%) hari ke-0 dan hari ke-14
Paired Samples Test

Paired Differences
95% Confidence Interval of the
Difference

Mean Std. Deviation Std. Error Mean Lower Upper t df Sig. (2-tailed)
Pair 1 UKT_awal -
.91400 .22434 .10033 .63544 1.19256 9.110 4 .001
UKT_akhir
Keputusan: Data penurunan luas luka untuk kelompok uji konsentrasi tinggi (5%) berbeda secara bermakna

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Anda mungkin juga menyukai