Anda di halaman 1dari 101

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

UJI DAYA PENETRASI SEDIAAN SPRAY GEL


ETIL p-METOKSISINAMAT DARI RIMPANG KENCUR
(Kaempferia galanga Linn) DAN MENTHOL

SKRIPSI

SHEILA SABRINA

11141020000058

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI FARMASI

JAKARTA

SEPTEMBER 2018
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

UJI DAYA PENETRASI SEDIAAN SPRAY GEL


ETIL p-METOKSISINAMAT DARI RIMPANG KENCUR
(Kaempferia galanga Linn) DAN MENTHOL

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi

SHEILA SABRINA

11141020000058

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI FARMASI

JAKARTA

SEPTEMBER 2018

ii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri,

dan semua sumber baik yang dikutip atau yang dirujuk

telah saya nyatakan dengan benar.

Nama : Sheila Sabrina

NIM :11141020000058

Tanda tangan :

Tanggal : 13 September 2018

iii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING

Nama : Sheila Sabrina

NIM : 11141020000058

Program Studi : S-1 Farmasi

Judul : Uji Daya Penetrasi Sediaan Spray Gel Etil p-


Metoksisinamat dari Rimpang Kencur (Kaempferia
galanga Linn) dan Menthol

Disetujui Oleh

Pembimbing 1 Pembimbing 2

Nelly Suryani, Ph.D., Apt. Ismiarni Komala, Ph.D., Apt.


NIP. 196510242005012001 NIP. 197806302006042001

Mengetahui,
Ketua Program Studi Farmasi
Fakultas Ilmu Kesehatan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Dr. Nurmeilis, M,Si., Apt.


NIP. 197404302005012003

iv UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


LEMBAR PENGESAHAN

Skripsi ini diajukan oleh:

Nama : Sheila Sabrina

NIM : 11141020000058

Program Studi : S-1 Farmasi

Judul : Uji Daya Penetrasi Sediaan Spray Gel Etil p-


Metoksisinamat dari Rimpang Kencur (Kaempferia
galanga Linn) dan Menthol

Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima


sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar
Sarjana Farmasi pada program Studi Farmasi Fakultas Ilmu Kesehatan
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta

DEWAN PENGUJI

Pembimbing I : Nelly Suryani, Ph.,D., Apt ( )

Pembimbing II : Ismiarni Komala, Ph.,D.,Apt ( )

Penguji I : Estu Mahanani, M.Si.,Apt ( )

Penguji II : Yardi, Ph.,D.,Apt ( )

Ditetapkan di : Jakarta

Tanggal : 13 September 2018

v UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


ABSTRAK

Nama : Sheila Sabrina


Program Studi : Farmasi
Judul Skripsi : Uji Daya Penetrasi Sediaan Spray Gel Etil p-
Metoksisinamat dari Rimpang Kencur (Kaempferia
galanga Linn) dan Menthol

Etil p-metoksisinamat merupakan senyawa isolat terbesar yang terkandung dalam


rimpang kencur (Kaempferia galanga Linn) yang memiliki aktivitas antiinflamasi.
Penelitian ini bertujuan untuk menguji daya penetrasi sediaan spray gel EPMS
dan menthol menggunakan sel difusi franz serta melihat profil pelepasan EPMS
dalam sediaan spray gel. Pada penelitian ini sediaan spray gel yang digunakan
telah dinyatakan stabil secara fisik dan kimia oleh penelitian sebelumnya. EPMS
diisolasi dari ekstrak n-heksan kencur melalui tahap rekristalisasi. Kemurnian
kristal hasil isolat diidentifikasi dengan metode KLT, titik leleh, dan Kromatografi
Gas Spektrofotometri Massa (GC-MS). Kristal EPMS hasil isolasi kemudian di
formulasikan menjadi sediaan spray gel serta di evaluasi secara fisik. Pengujian
penetrasi in vitro dilakukan dengan alat sel difusi franz menggunakan membran
difusi berupa kulit tikus galur Sprague Dawley. Hasil dari penelitian ini
menunjukkan bahwa jumlah kumulatif zat aktif per luas area yang tertinggi terjadi
pada jam ke-8 yaitu 174,5172 µg/cm2 dan presentase kumulatif EPMS yang
terpenetrasi per luas area adalah 28,24 %. Kecepatan penetrasi EPMS yang
tertinggi terjadi pada menit ke-10 yaitu 174,7257 µg.cm-2.jam-1. Sehingga
berdasarkan data tersebut dapat disimpulkan bahwa sediaan spray gel EPMS
mampu berpenetrasi cepat ke dalam kulit namun sediaan ini memiliki durasi kerja
yang sebentar.
Kata kunci : etil p-metoksisinamat, penetrasi, rimpang kencur, spray gel

vi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


ABSTRACT

Name : Sheila Sabrina


Study Program : Pharmacy
Title : Penetration Ability Test of Spray Gel Ethyl p-
Methoxycinamate from Kencur Rhizome (Kaempferia
galanga Linn) and Menthol

Ethyl p-methoxycinnamate (EPMC) is the main isolate compound from kencur


rhizome (Kaempferia galanga Linn) that has anti-inflammatory activity. The aim
of this study is to test the penetration ability of spray gel ethyl p-
methoxycinnamate and menthol by using a franz diffusion cell and to observe
penetration profil released of ethyl p-methoxycinnamate from spray gel. In this
study, the spray gel has been stated physically and chemically stable. EPMC was
isolated from n-hexane extract of kencur rhizome through recrystallization. The
purity of isolate EPMC crystals was examined by TLC, melting point, and Gas
Chromatography Mass Spectrometry (GC-MS) method. The isolate EPMC
crystals was formulated in to spray gel and was evaluated by physical
characteristic. Penetration ability test was examined by in vitro franz cell diffusion
test uses rats Sprague Dawley strain skin as a membrane diffusion. The result of
this research shown that the highest cumulative amount of EPMC penetrated per
area was at the 8th hour of spray gel EPMC was 174,5172 µg/cm2 and the
percentage total cumulative penetration of EPMC was 28,24 %. The highest
EPMC penetration flux was at the 10th minute was 174,7257 µg.cm-2.hour-1.
Based on the result, it can be concluded that spray gel EPMC can quickly
penetrated into the skin but the duration of action was fast.

Keywords : ethyl p-methoxycinamate, kencur rhizome, penetration, spray gel

vii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji dan syukur ke hadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat, dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi yang berjudul “Uji Daya Penetrasi Sediaan Spray Gel Etil p-
Metoksisinamat dari Rimpang Kencur (Kaempferia galanga Linn) dan Menthol”.
Shalawat serta salam semoga senantiasa terlimpahkan kepada Nabi Muhammad
Rasulullah SAW. Skripsi ini dilakukan sebagai salah satu syarat untuk mencapai
gelar Sarjana Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Penulis menyadari bahwa dalam penelitian sampai penyusunan skripsi ini


tidak akan terwujud tanpa adanya bantuan, bimbingan, dan dukungan dari
berbagai pihak. Oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis secara khusus
mengucapkan terima kasih banyak kepada:

1. Kedua orang tua tercinta, Ayahanda Yudi Kusnanto, Ibunda Endang


Pujihartati yang senantiasa mencurahkan cinta, kasih sayang, do’a, nasihat,
serta dukungan baik moral maupun materil.
2. Adik tercinta Amanda Amelia yang selalu memberikan semangat,
keceriaan, dukungan dan doa.
3. Mbah Akung Marwoto, Mbah Putri Darinih, serta Alm. Engkung
Kusnaryanto yang telah memberikan doa serta dukungan baik moral
maupun materil yang diberikan.
4. Ibu Nelly Suryani, Ph.D. Apt, dan Ismiarni Komala, M.Sc., Ph.D. Apt,
selaku pembimbing yang dengan sabar memberikan bimbingan, ilmu,
masukan, dukungan, dan semangat kepada penulis.
5. Dr. Arif Sumantri, M.KM selaku Dekan Fakultas Ilmu Kesehatan
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
6. Ibu Dr. Nurmeilis, M.Si., Apt selaku Ketua Program Studi Farmasi
Fakultas Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
7. Ibu Ofa Suzanthi Betha M,Si., Apt selaku Dosen Pembimbing Akademik
yang telah membimbing dan menerima keluh kesah selama perkuliahan.

viii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


8. Bapak dan Ibu Dosen Program Studi Farmasi Fakultas Ilmu Kesehatan dan
Fakultas Kedokteran yang telah bersedia memberikan ilmunya kepada
penulis selama masa perkuliahan.
9. PT. Megasetia Agung Kimia yang telah bersedia memberikan dukungan
berupa bahan yang diperlukan dalam penelitian ini.
10. Para calon mempelai wanita, Seavhira Dianmurdedi, Deani Nurul
Mubarika, Syifa Rizkia, Shoffiya Amaliya dan Annisa Ulfa Mutiara yang
telah menjadi sahabat sejak awal perkuliahan hingga membantu dalam
selesainya penelitian ini.
11. Teman-teman seperjuangan di laboratorium, Deani Nurul Mubarika,
Fauziah, Syifa Rizkia, Annisa Ulfa Mutiara, Seavhira Dianmurdedi, Nada
Nursetiyanti, Puspitasari, Syifa Munika, Ramadhani, Inez latanza,
Novitasari, Ridho dan Amajida yang telah memberikan motivasi dan
bantuan selama penelitian.
12. Kawan-kawan Kos Griya Kurnia Asri, Seavhira Dianmurdedi, Deani
Nurul Mubarika, Shoffiya Amaliya, Nada Nursetiyanti, Nurma Faizah,
Sona Ledinia dan Tasha Azizah yang telah menemani keseharian penulis
selama dikosan, memberikan motivasi, dan doa.
13. Teman-teman Paduan Suara FKIK dan Pharmacy Music Community.
14. Teman-teman program studi Farmasi UIN Jakarta angkatan 2014
(khususnya kelas BD) atas persaudaraan dan kebersamaan yang telah
terjalin dan memotivasi penulis baik selama pengerjaan skripsi ini maupun
selama di bangku perkuliahan.
15. Seluruh laboran Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan UIN Jakarta atas kerjasamanya selama melakukan penelitian di
laboratorium.
16. Semua pihak yang telah membantu selama penelitian dan penyelesaian
naskah skripsi baik secara langsung maupun tidak langsung yang namanya
tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Semoga Allah SWT memberikan balasan yang berlipat ganda atas semua
bantuan dan dukungan yang diberikan. Penulis menyadari bahwa penyusunan
skripsi ini masih belum sempurna dan banyak kekurangan. Oleh karena itu, saran

ix UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


serta kritik yang membangun sangat diharapkan. Semoga skripsi ini bermanfaat
bagi penulis dan pembaca. Aamiin Ya Rabbal’alamiin.

Ciputat, 2018
Penulis

x UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK
KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah


Jakarta saya yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama : Sheila Sabrina

NIM : 11141020000058

Program Studi : Farmasi

Fakultas : Ilmu Kesehatan

Jenis Karya : Skripsi

Demi perkembangan ilmu pengetahuan, saya menyetujui skripsi karya ilmiah saya
dengan judul

UJI DAYA PENETRASI SEDIAAN SPRAY GEL ETIL p-


METOKSISINAMAT DARI RIMPANG KENCUR (KAEMPFERIA
GALANGA Linn.) DAN MENTHOL

Untuk dipublikasikan atau ditampilkan di internet atau media lain yaitu Digital
Library Perpustakaan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
untuk kepentingan akademis sebatas sesuai dengan Undang-Undang Hak Cipta.
Demikian persutujuan publikasi karya ilmiah ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Jakarta

Pada tanggal : 13 September 2018

Yang Menyatakan:

(Sheila Sabrina)

xi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


DAFTAR ISI

Halaman Judul ..................................................................................................... ii


Halaman Pernyataan Orisinalitas ..................................................................... iii
Halaman Persetujuan Pembimbing ...................................................................iv
Lembar Pengesahan .............................................................................................. v
Abstrak ..................................................................................................................vi
Abstract ............................................................................................................... vii
Kata Pengantar ................................................................................................. viii
Halaman Pernyataan Persetujuan Publikasi ....................................................xi
Daftar Isi ............................................................................................................. xii
Daftar Tabel ........................................................................................................xvi
Daftar Gambar .................................................................................................. xvii
Daftar Lampiran .............................................................................................. xviii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang .............................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ......................................................................................... 2
1.3 Tujuan Penelitian ........................................................................................... 3
1.4 Manfaat Penelitian ......................................................................................... 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................... 4
2.1 Rimpang Kencur (Kaempferia galanga L.) ................................................... 4
2.1.1 Taksonomi Tumbuhan ....................................................................... 4
2.1.2 Habitat Tumbuh ................................................................................. 5
2.1.3 Morfologi Tanaman ........................................................................... 5
2.1.4 Kandungan Kimia dan Aktivitas ........................................................ 6
2.2 Senyawa Etil p-Metoksisinamat (EPMS) ...................................................... 7
2.3 Isolasi Etil p-Metoksisinamat (EPMS) ......................................................... 8
2.4 Simplisia ........................................................................................................ 8
2.5 Ekstraksi dan Ekstrak ................................................................................... 9
2.5.1 Metode Ekstraksi ............................................................................. 10
2.6 Kulit ............................................................................................................ 11
2.6.1 Struktur Kulit ................................................................................... 12

xii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


2.7 Penetrasi Obat Melalui Kulit ......................................................................14
2.8 Faktor Yang Mempengaruhi Absorbsi Perkutan ......................................... 15
2.9 Gel .............................................................................................................. 17
2.10 Spray Gel ................................................................................................... 18
2.11 Studi Formulasi Sediaan Spray Gel EPMS .............................................. 20
2.11.1 Na CMC ......................................................................................... 20
2.11.2 Kopovidon ..................................................................................... 21
2.11.3 Menthol .......................................................................................... 22
2.11.4 Propilen Glikol .............................................................................. 23
2.11.5 Etanol ............................................................................................. 24
2.11.6 Metil Paraben ................................................................................. 25
2.11.7 Propil Paraben ................................................................................ 26
2.12 Uji Penetrasi Sediaan Secara In Vitro Menggunakan Sel Difusi Franz .... 26
2.13 Spektrofotometri UV-Vis ......................................................................... 27
2.14 Kromatografi Lapis Tipis .......................................................................... 30
2.15 Kromatografi Gas Spektrofotometri Massa (GC-MS) ............................... 31
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ........................................................ 33
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ..................................................................... 33
3.2 Alat dan Bahan ............................................................................................. 33
3.2.1 Alat ................................................................................................... 33
3.2.2 Bahan ............................................................................................... 34
3.3 Prosedur Kerja ............................................................................................. 34
3.3.1 Determinasi Tanaman Kencur .......................................................... 34
3.3.2 Penyiapan Simplisia Rimpang Kencur ............................................ 34
3.3.3 Pembuatan Ekstrak Rimpang Kencur .............................................. 35
3.3.4 Isolasi EPMS .................................................................................... 35
3.3.5 Identifikasi dan Uji Kemurnian EPMS ............................................ 36
3.3.5.1 Pemeriksaan Organoleptik ................................................ 36
3.3.5.2 Pengukuran Titik Leleh ..................................................... 36
3.3.5.3 Pengujian Kromatografi Lapis Tipis (KLT) ..................... 36
3.3.5.4 Identifikasi EPMS Menggunakan GCMS ......................... 36
3.3.5.4.1 Pembuatan Larutan Sampel ......................................... 36

xiii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


3.3.5.4.2 Identifikasi Senyawa EPMS Menggunakan GCMS .... 37
3.3.6 Pembuatan Sediaan Spray Gel EPMS ............................................... 37
3.3.7 Evaluasi Fisik Sediaan Spray Gel EPMS .......................................... 38
3.3.7.1 Pemeriksaan Organoleptik ................................................. 38
3.3.7.2 Pemeriksaan Homogenitas ................................................. 38
3.3.7.3 Pemeriksaan pH ................................................................. 38
3.3.7.4 Pemeriksaan Viskositas ..................................................... 39
3.3.7.5 Pemeriksaan Pola Penyemprotan dan Bobot Per Semprot 39
3.3.7.6 Pemeriksaan Daya Sebar Lekat ......................................... 39
3.3.7.7 Pemeriksaan Bobot Penghantaran Sediaan Setiap
Semprotan .......................................................................... 39
3.3.8 Penetapan Kadar EPMS dalam Sediaan ........................................... 40
3.3.8.1 Pembuatan Kurva Kalibrasi EPMS dalam Metanol ........... 40
3.3.8.2 Pengukuran Kadar EPMS dalam Sediaan .......................... 41
3.3.9 Uji Penetrasi Sediaan Secara In Vitro ............................................... 41
3.3.9.1 Penyiapan Membran Difusi ............................................... 41
3.3.9.2 Pembuatan Larutan EDP .................................................... 41
3.3.9.3 Pembuatan Kurva Kalibrasi EPMS dalam Larutan
Kompartemen Reseptor ................................................................. 42
3.3.9.4 Uji Penetrasi Sediaan ......................................................... 42
3.3.9.5 Perhitungan Jumlah Kumulatif dan Kecepatan Penetrasi Zat
Aktif ................................................................................... 43
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................ 44
4.1 Isolasi EPMS ............................................................................................... 44
4.1.1 Pembuatan Ekstrak Kencur .............................................................. 44
4.1.2 Isolasi Kristal EPMS dari Ekstrak Kencur ....................................... 45
4.2 Identifikasi dan Uji Kemurnian .................................................................... 45
4.2.1 Pemeriksaan Organoleptik ............................................................... 45
4.2.2 Pengukuran Titik Leleh .................................................................... 46
4.2.3 Pengujian Kromatografi Lapis Tipis (KLT) .................................... 46
4.2.4 Identifikasi EPMS Menggunakan GCMS ........................................ 47
4.3 Pembuatan Sediaan Spray Gel EPMS ......................................................... 50

xiv UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


4.4 Evaluasi Fisik Sediaan Spray Gel EPMS ..................................................... 51
4.4.1 Pemeriksaan Organoleptik ............................................................... 51
4.4.2 Pemeriksaan Homogenitas ............................................................... 51
4.4.3 Pemeriksaan pH ................................................................................ 52
4.4.4 Pemeriksaan Viskositas ................................................................... 53
4.4.5 Pemeriksaan Pola Penyemprotan dan Bobot Per Semprot................ 53
4.4.6 Pemeriksaan Daya Sebar Lekat ........................................................ 54
4.4.7 Pemeriksaan Daya Penghantaran Sediaan Setiap Semprotan ........... 54
4.5 Penetapan Kadar EPMS dalam Sediaan ...................................................... 54
4.5.1 Pembuatan Kurva Kalibrasi EPMS dalam Metanol .......................... 54
4.5.2 Pengukuran Kadar EPMS dalam Sediaan ......................................... 55
4.6 Uji Penetrasi Sediaan Secara In Vitro ......................................................... 56
4.6.1 Pembuatan Kurva Kalibrasi EPMS dalam Larutan EDP .................. 56
4.6.2 Penyiapan Membran Sel Difusi dari Kulit Tikus .............................. 56
4.6.3 Pengujian Penetrasi EPMS ............................................................... 57
4.6.4 Jumlah Kumulatif Zat Aktif Terpentrasi Per Luas Area ................... 58
4.6.5 Fluks Penetrasi .................................................................................. 62
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................. 64
5.1 Kesimpulan .................................................................................................. 64
5.2 Saran ............................................................................................................ 64
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 65
LAMPIRAN ........................................................................................................ 75

xv UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Klasifikasi Rimpang kencur (Kaempferia galanga Linn.) ....................... 4


Tabel 2.2 Kegunaan Na CMC...................................................................................... 21
Tabel 2.3 Kegunaan Kopovidon ................................................................................. 22
Tabel 2.4 Kegunaan Menthol....................................................................................... 23
Tabel 2.5 Kegunaan Propilen glikol ........................................................................... 24
Tabel 2.6 Kegunaan Alkohol ....................................................................................... 25
Tabel 3.1 Formulasi Spray Gel EPMS ....................................................................... 37
Tabel 4.1 Data Hasil Uji Titik Leleh .......................................................................... 46
Tabel 4.2 Komposisi Formula Sediaan Spray Gel EPMS ...................................... 48
Tabel 4.3 Hasil Pemeriksaan Organoleptik ............................................................... 51
Tabel 4.4 Hasil Pemeriksaan pH ................................................................................. 52
Tabel 4.5 Hasil Pemeriksaan Viskositas .................................................................... 53
Tabel 4.6 Jumlah Kumulatif DIfusi EPMS per Luas Area dari Sediaan ............... 59
Tabel 4.7 Presentase Kumulatif Difusi EPMS per Luas Area ................................ 60
Tabel 4.8 Kecepatan Penetrasi (Fluks) EPMS Tiap Satuan Waktu ........................ 62

xvi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Rimpang kencur (Kaempferia galanga Linn.) ...................................... 4


Gambar 2.2 Struktur kimia etil p-metoksisinamat ..................................................... 7
Gambar 2.3 Lapisan-lapisan dan apendiks kulit. ..................................................... 12
Gambar 2.4 Struktur Natrium karboksimetil selulosa (Na CMC) ......................... 20
Gambar 2.5 Struktur Kopovidon ................................................................................ 21
Gambar 2.6 Struktur Menthol ..................................................................................... 22
Gambar 2.7 Struktur Propilen Glikol ......................................................................... 23
Gambar 2.8 Struktur Etanol ........................................................................................ 24
Gambar 2.9 Struktur Metil Paraben ........................................................................... 25
Gambar 2.10 Struktur Propil Paraben ........................................................................ 26
Gambar 2.11 Kompartemen Sel Difusi Franz .......................................................... 27
Gambar 2.12 Prinsip Kerja Spektrofotometri UV-Vis ............................................ 29
Gambar 2.13 Skema Kromatografi Lapis Tipis ....................................................... 31
Gambar 2.14 Prinsip Kerja GCMS ............................................................................ 32
Gambar 4.1 Kristal Etil p-Metoksisinamat Hasil Isolasi......................................... 46
Gambar 4.2 Plat KLT Etil p-Metoksisinamat Hasil Isolasi .................................... 47
Gambar 4.3 Kromatogram Standar Etil p-Metoksisinamat .................................... 48
Gambar 4.4 Kromatogram Isolat Etil p-Metoksisinamat ........................................ 49
Gambar 4.5 Grafik pH Sediaan Spray Gel EPMS .................................................. 52
Gambar 4.6 Grafik Viskositas Sediaan Spray Gel EPMS ..................................... 53
Gambar 4.7 Grafik Jumlah Kumulatif EPMS yang Berdifusi per Luas Area ...... 59
Gambar 4.8 Grafik Fluks Penetrasi EPMS Tiap Satuan Waktu ............................. 63

xvii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Alur Penelitian........................................................................................ 75


Lampiran 2. Hasil Determinasi Tumbuhan Rimpang Kencur ................................ 76
Lampiran 3. Perhitungan Rendemen, Perhitungan Rf, Nilai Luas Puncak dan
Presentase Kadar EPMS ...................................................................... 77
Lampiran 4. Gambar Hasil Pemeriksaan Organoleptik, dan Hasil Pemeriksaan
Homogenitas ........................................................................................... 78
Lampiran 5. Evaluasi Pola Penyemprotan dan Bobot per Semprot, dan Gambar
Pola Penyemprotan Sediaan Spray Gel .............................................. 79
Lampiran 6. Evaluasi Daya Sebar Lekat ................................................................... 80
Lampiran 7. Scanning Panjang Gelombang Maksimum EPMS dalam Metanol,
Data Absorbansi dan Kurva Standar EPMS dalam Metanol .......... 80
Lampiran 8. Data Hasil Penetapan Kadar EPMS dalam Sediaan Spray Gel ....... 81
Lampiran 9. Scanning Panjang Gelombang Maksimum EPMS dalam Metanol,
Data Absorbansi dan Kurva Standar EPMS dalam Larutan EDP .. 81
Lampiran 10. Contoh perhitungan Jumlah Kumulatif Zat Aktif Terpenetrasi per
Luas Area ............................................................................................. 82
Lampiran 11. Contoh Perhitungan Fluks Penetrasi ................................................. 83
Lampiran 12. Sertifikat Analisa Natrium Karboksimetil Selulosa ........................ 84
Lampiran 13. Sertifikat Analisa Kopovidon ............................................................. 85
Lampiran 14. Surat Keterangan Hewan Uji ............................................................. 86

xviii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Rimpang kencur (Kaempferia galanga L.) merupakan salah satu


jenis tanaman obat yang tergolong dalam suku temu-temuan
(Zingiberaceae). Rimpang kencur dikenal sebagai tanaman yang
dimanfaatkan sebagai bumbu dapur, kencur juga dikenal sebagai tanaman
obat yang dapat menyembuhkan berbagai penyakit karena khasiatnya
sebagai ekspetoransia, diuretika, dan stimulansia. Kencur juga dapat
mengobati batuk, radang lambung, bengkak, muntah-muntah, tetanus,
nyeri, sakit kepala, memperlancar haid dan influenza (Santoso, 2008).

Kandungan utama yang terdapat pada kencur adalah Etil p-


metoksisinamat (EPMS). Selain itu juga terdapat senyawa kamfer,
borneol, sineol, penta dekana (Komala, et.al. 2017,2018). Etil sinamat dan
etil p-metoksi sinamat (EPMS) dari minyak atsiri kencur banyak
digunakan di dalam industri kosmetika dan dimanfaatkan dalam bidang
farmasi sebagai obat asma dan antijamur (Tewtrakul, dkk., 2005), selain
itu juga memiliki aktivitas sebagai penyembuh luka (Tara, 2006), serta
untuk mengobati hipertensi, rematik, dan asma (Sulaiman, dkk., 2007).
Senyawa EPMS juga telah dilaporkan memiliki aktivitas antiinflamasi
dengan menghambat edema tikus yang diinduksi karagenan (Umar, dkk.,
2012) mekanisme kerjanya adalah menghambat sintesis sitokin pro-
inflamasi meliputi TNF-a dan IL-1 secara in vivo dan in vitro (Umar,
2014).

Dari penelitian sebelumnya diketahui bahwa EPMS sudah dibuat


dalam beberapa bentuk sediaan sebagai pengembangan suatu obat
antiinflamasi lokal, yaitu sediaan salep, krim, gel, dan spray gel (Agus,
2015; Wikhdatul, 2017). Berdasarkan penelitian sebelumnya diketahui
bahwa senyawa EPMS paling stabil dalam sediaan gel dan spray gel
(Wikhdatul, 2017). Pembuatan obat antiinflamasi berupa sediaan spray gel

1 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


2

bertujuan untuk terapi local dengan memberikan efek penghantaran bahan


aktif yang nyaman karena memberikan rasa dingin dikulit, mudah
mengering dan membentuk lapisan film sehingga mudah dicuci dan
digunakan (Lukman, dkk., 2012). Sediaan spray gel bertujuan memberikan
kepatuhan lebih pada pasien dan mengurangi kemungkinan kontaminasi
atau penyebaran infeksi di lokasi luka (Sulekha, 2016). Tujuan terapi lokal
hanya membutuhkan penetrasi obat melalui kulit pada organ atau jaringan
tertentu tubuh yang mengalami gangguan, dengan harapan hanya sedikit
atau tidak ada obat yang masuk ke dalam sistemik (Ranade et. al, 2004).

Untuk mencapai kerja obat secara maksimal dari sediaan spray gel
adalah dengan cara melihat penetrasi obat melalui lapisan kulit teratas
sehingga efek farmakologinya dapat dirasakan (Iswandana, 2011).
Penetrasi obat melalui kulit dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu profil
pelepasan obat dari pembawanya, afinitas zat aktif terhadap pembawa,
kelarutan zat aktif dalam pembawa dan pH pembawa.

Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya


mengenai uji penetrasi, dinyatakan bahwa penetrasi EPMS lebih baik pada
sediaan gel dibanding krim dan salep (Agus, 2015). Dalam penelitian lain
(Wikhdatul, 2017) diketahui juga bahwa formulasi EPMS dalam sediaan
spray gel stabil secara fisika dan kimia, modifikasi bentuk sediaan menjadi
spray gel, memerlukan pengujian lanjutan sehingga sediaan dapat
dipertimbangkan untuk penelitian lebih lanjut. Oleh karena itu,
berdasarkan uraian diatas penulis melakukan penelitian lanjutan mengenai
uji daya penetrasi sediaan spray gel EPMS dari rimpang kencur
(Kaempferia galangal Linn) dan menthol.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah profil pelepasan EPMS yang terkandung dalam sediaan


spray gel?
2. Berapakah jumlah EPMS yang terpenetrasi dan fluks penetrasi EPMS ke
dalam membran kulit hewan uji?

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


3

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menguji daya penetrasi sediaan


spray gel EPMS dan menthol menggunakan sel difusi franz serta melihat
profil pelepasan EPMS yang terkandung dalam sediaan spray gel.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai


daya penetrasi sediaan spray gel EPMS dan menthol sehingga diketahui
jumlah EPMS yang terpenetrasi dan fluks penetrasi EPMS dari spray gel.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Rimpang Kencur


2.1.1 Taksonomi Tumbuhan

Gambar 2.1 Rimpang kencur (Kaempferia galanga Linn.)


[Sumber: Koleksi pribadi]

Rimpang kencur (Kaempferia galanga Linn.) dapat diklasifikasikan


sebagai berikut:

Tabel 2.1 Klasifikasi Rimpang kencur (Kaempferia galanga Linn.)


Kingdom Plantae
Sub kingdom Traecheobionta
Super divisi Spermatophyta
Divisi Magnoliophyta
Kelas Liliopsida
Sub kelas Commenlinidae
Ordo Zingiberales
Famili Zingiberaceae
Genus Kaempferia
Spesies Kaempferia galanga Linn.
(Haryono dan Maretta, 2013)

4 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


5

2.1.2 Habitat Tumbuh

Kencur merupakan terna kecil yang tumbuh liar di tepi-tepi kebun,


tersebar luas di daerah tropis dan subtropik, namun sudah banyak yang
dibudidayakan secara monokultur. Kencur tumbuh subur di daerah dataran
rendah atau pegunungan yang tanahnya gembur atau tidak terlalu banyak air.
Kencur tumbuh dengan baik pada tanah yang gembur, sedikit berpasir, dan subur.
Kencur sudah banyak dibudidayakan di Indonesia terutama di pulau Jawa. Selain
itu juga banyak ditanam di India, Malaysia, Taiwan, dan Cina (Wikhdatul, 2017
telah dimodifikasi).

Kencur dikenal dengan berbagai nama daerah di Indonesia yaitu kencur


(Jawa), cikur (Sunda), ceuko (Aceh), cekuk (Bali), cakue (Minangkabau), cekur
(Lampung), kecewer (Karo), Sukung (Manado), dan Bataka (Ternate, Tidore)
(Haryono dan Maretta, 2013).

2.1.3 Morfologi Tanaman

Kencur (Kaempferia galanga Linn.) merupakan terna yang hampir


menutupi tanah, tidak berbatang, rimpang bercabang-cabang, berdesak-desakan,
akar-akar berbentuk gelondong, kadang-kadang berumbi, panjangnya 1-1,5 cm.
Daun kencur berbentuk jorong lebar sampai hampir bundar, pangkalnya hampir
berbentuk jantung, memiliki ujung yang lancip, bagian atas tidak berambut,
bagian bawah berambut halus, pinggir bergelombang berwarna merah kecoklatan,
bagian tengah berwarna hijau, pinggir helai daun 7-15 cm, lebar 2-8 cm, tangkai
pendek, berukuran 3-10 mm, pelepah terbenam dalam tanah, panjang 1,5-3,5 cm,
warna putih (Depkes, 1977).

Kencur terbagi menjadi 2 jenis berdasarkan ukuran daun dan rimpangnya,


yaitu kencur berdaun lebar dengan ukuran rimpang besar dan kencur berdaun
sempit dengan ukuran rimpang lebih kecil. Perbedaan dari kedua jenis kencur ini
adalah kandungan minyak atsirinya, pada kencur jenis berdaun lebar dengan
rimpang besar kandungan minyak atsirinya lebih rendah bila dibandingkan
dengan kencur jenis berdaun sempit dengan rimpang yang lebih kecil. (Rostiana et
al., 2005. Charinna, 2015 telah dimodifikasi)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


6

2.1.4 Kandungan Kimia dan Aktivitas

Rimpang kencur mengandung saponin, flavonoid, polifenol, dan minyak


atsiri (Depkes, 2001). Menurut Umar, et,al (2012) kandungan kimia dalam ekstrak
kencur adalah asam propionat (4,71%), pentadekan (2,08%), asam tridekanoat
(1,81%), 1,21-docosadiene (1,47%), beta-sitosterol (9,88%), dan komponen
terbesar adalah etil para metoksisinamat (80,05%). Kandungan lain yang terdapat
dalam kencur adalah α-pinen, kamfer, karvon, benzen, eukaliptol, borneol, dan
metil sinamat (Umar, dkk. 2012).

Berdasarkan penelitian Umar, et,al (2012), mekanisme kerja dari EPMS


adalah menghambat induksi edema karagenan pada tikus dengan MIC 100mg/kg
dan menghambat aktivitas COX-1 dan COX-2 dengan nilai IC50 masing-masing
1,12 µM dan 0,83 µM berdasarkan hasil uji in vitro EPMS secara non-selektif.

Kencur dikenal sebagai tanaman obat yang memiliki berbagai khasiat,


antara lain sebagai obat batuk, gatal-gatal pada tenggorokan, perut kembung, rasa
mual, masuk angin, pegal-pegal, pengompres bengkak atau radang, tetanus dan
penambah nafsu makan (Miranti, 2009). Selain itu, ekstrak minyak atsiri dari
kencur juga memiliki aktivitas antimikroba terhadap gram positif, seperti
Staphylococcus aureus ATCC 25923, Streptococcus faecalis, Bacillus subtilis,
dan terhadap gram negative, seperti Salmonellatyphi, Shigella flexneri, Eschericia
coli ATCC 259, serta memiliki aktivitas antifungi terhadap Candida albicans
(Tewtrakul, et,al. 2005). Berdasarkan penelitian Sulaiman et,al. (2007), ekstrak
air daun kencur diketahui memiliki aktivitas antiinflamasi dan antinosiseptif yang
diuji pada radang akut yang dinduksi dengan karagenan (Sulaiman, dkk., 2007).
Ekstrak alkohol kencur juga memiliki aktivitas sebagai penyembuh luka
(Tara,dkk., 2006). Berdasarkan penelitian sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa
kencur memiliki berbagai khasiat. Dalam hal ini, EPMS dianggap sebagai
kandungan dari kencur yang mempengaruhi aktivitasnya sebagai antiinflamasi.

Kencur biasa digunakan sebagai obat tradisional atau jamu untuk obat luar
(topikal) maupun obat dalam (oral). Kencur yang dibuat dalam ramuan tradisional

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


7

atau jamu biasanya dimanfaatkan sebagai antiinflamasi, antimikroba, analgesik


dan antipiretik (Suwito, 2005, dalam Nugraini, 2015).

2.2 Senyawa Etil p-metoksisinamat (EPMS)

Senyawa EPMS berbentuk kristal berwarna putih dengan berat molekul


206,24 g/mol, rumus molekul C12H14O dan memiliki titik lebur 55-560C (Bangun,
2011). EPMS memiliki gugus fungsi yang reaktif yang dapat membuatnya sangat
mudah ditransformasikan menjadi gugus fungsi yang lain dan merupakan ester
alam dimana gugus esternya dapat dihidrolisis menjadi senyawa asam karboksilat
(Mufidah, 2014).

Gambar. 2.2 Struktur kimia etil p-metoksisinamat


[Sumber : Koleksi pribadi]

Pemanfaatan EPMS dulunya digunakan sebagai bahan dasar senyawa tabir


surya atau sebagai pelindung kulit dari sengatan sinar matahari, kemudian
penelitian dilanjutkan oleh Umar, dkk. (2012) melaporkan bahwa senyawa etil p-
metoksisinamat memiliki aktivitas sebagai antiinflamasi non-selektif menghambat
COX-1 dan COX-2 secara in vitro. Penelitian terbaru yang dilakukan oleh Umar,
dkk. (2014) melaporkan bahwa EPMS mempunyai efek analgesik dan
antiinflamasi dengan mekanisme penghambatan sintesis sitokin pro-inflamasi
meliputi TNF-a dan IL-1 secara in vivo dan in vitro (Wikhdatul, 2017 telah
dimodifikasi).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


8

2.3 Isolasi Etil p-metoksisinamat (EPMS)

EPMS termasuk dalam golongan senyawa ester yang mengandung cincin


benzena dan gugus metoksi yang bersifat nonpolar dan juga gugus karbonil yang
mengikat etil yang bersifat sedikit polar sehingga dalam ekstraksinya dapat
menggunakan pelarut-pelarut yang mempunyai variasi kepolaran yaitu etanol, etil
asetat, metanol, air, dan heksana. Pelarut yang digunakan untuk ekstraksi harus
mempunyai kepolaran yang berbeda. Ekstrasi EPMS dari kencur menggunakan
suhu yang kurang dari titik lelehnya yaitu 48–500 C (Eko,2012). Menurut
penelitian Cindy (2009) kandungan EMPS yang optimal dapat diperoleh dengan
mengekstraksi serbuk Kencur (Kaempferia galanga L.) dengan pelarut N-heksan.
Dari analisis dengan KGSM hasilnya adalah EPMS kemungkinan besar ada pada
ekstrak kencur dengan pelarut N-heksan dan mempunyai kemurnian yang cukup
tinggi yaitu sebesar 96,92 %. Hal ini dapat dibuktikan dengan munculnya satu
puncak yang sangat dominan.

Isolasi dan pemurnian EPMS dapat dilakukan dengan menggunakan


metanol secara mudah hingga didapatkan kristal berwarna putih (Barus, 2009).
Taufikkurohmah, dkk. (2008) melaporkan hasil penelitiannya bahwa didapat pada
pemilihan pelarut, heksan pada suhu kamar merupakan pelarut yang paling sesuai
ditandai dengan persen hasil isolasi tertinggi yaitu 2,111 %, kemudian diikuti
dengan etanol yatu 1,434 %, dan etil asetat 0,542% sedangkan dengan aquades
tidak terdapat kristal (Wikhdatul, 2017 telah dimodifikasi).

2.4 Simplisia

Dalam dunia farmasi, bahan mentah untuk obat-obatan biasa disebut


dengan simplisia. Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia (1983)
simplisia adalah bahan alami yang dipergunakan sebagai obat yang belum
mengalami pengolahan apapun dan berupa bahan yang telah dikeringkan.
Simplisia terdiri dari 3 macam yaitu :

1. Simplisia nabati adalah simplisia yang berupa tanaman utuh, bagian


tanaman atau eksudat tanaman ( isi sel yang secara spontan keluar dari
tanaman atau dengan cara tertentu dikeluarkan dari selnya ataupun zat-zat

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


9

nabati lainnya yang dengan cara tertentu dipisahkan dari tanamannya dan
belum berupa zat kimia murni).
2. Simplisia hewani adalah simplisia yang merupakan hewan utuh, sebagian
hewan atau zat-zat berguna yang dihasilkan oleh hewan dan belum berupa
zat kimia murni.
3. Simplisia pelikan atau mineral adalah simplisia yang berupa bahan pelikan
atau mineral yang belum diolah dengan cara yang sederhana dan belum
berupa zat kimia murni.
(Ditjen POM, 1995. Mei, 2013)

Untuk menjamin keseragaman senyawa aktif, keamanan maupun


kegunaannya, maka simplisia harus memenuhi persyaratan minimal tersebut,
persyaratan tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu bahan baku simplisia,
proses pembuatan simplisia termasuk cara penyimpanan bahan baku simplisia,
serta cara pengepakan dan penyimpanan simplisia.

2.5 Ekstraksi dan Ekstrak

Ekstraksi merupakan proses pemisahan bahan dari campurannya dengan


menggunakan pelarut yang sesuai. Proses ekstraksi dihentikan ketika tercapai
kesetimbangan antara konsentrasi senyawa dalam pelarut dengan konsentrasi
dalam sel tanaman. Setelah proses ekstraksi, pelarut dipisahkan dari sampel
dengan penyaringan. Ekstrak awal sulit dipisahkan melalui teknik pemisahan
tunggal untuk mengisolasi senyawa tunggal. Oleh karena itu, ekstrak awal perlu
dipisahkan ke dalam fraksi yang memiliki polaritas dan ukuran molekul yang
sama (Mukhriani, 2014).

Ekstrak adalah sediaan kering, kental, atau cair yang diperoleh dengan
mengekstraksi zat aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan
pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan
massa atau serbuk yang diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang
telah ditetapkan (Depkes RI, 1995).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


10

2.5.1 Metode Ekstraksi

Menurut Ditjen POM (2000) metode ekstraksi terbagi atas:

1. Cara dingin
a. Maserasi, merupakan proses pengekstrakan simplisia dengan
menggunakan pelarut dan beberapa kali pengocokan atau
pengadukan pada temperatur ruangan. Pelarut akan menembus
dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat
aktif, kemudian zat aktif akan larut akibat adanya perbedaan
konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam sel dan di luar sel
maka larutan terpekat keluar.
b. Perkolasi, merupakan proses ekstraksi dengan menggunakan
pelarut yang selalu baru sampai sempurna dan umumnya dilakukan
pada temperatur ruangan. Perkolasi dilakukan dengan cara serbuk
sampel dibasahi secara perlahan dalam sebuah perkolator (wadah
silinder yang dilengkapi dengan kran pada bagian bawahnya).
Pelarut ditambahkan pada bagian atas serbuk sampel dan dibiarkan
menetes perlahan pada bagian bawah.. Metode ekstraksi perkolasi
lebih baik dibandingkan dengan cara maserasi karena:
 Aliran pelarut (cairan penyari) menyebabkan adanya
pergantian larutan yang terjadi dengan larutan yang
konsentrasinya lebih rendah, sehingga meningkatkan
derajat perbedaan konsentrasi.
 Ruangan diantara butir-butir serbuk simplisia membentuk
saluran tempat mengalir pelarut (cairan penyari). Akibat
kecilnya saluran kapiler tersebut, kecepatan pelarut cukup
untuk mengurangi lapisan batas, sehingga dapat
meningkatkan perbedaan konsentrasi.
2. Cara Panas
a. Refluks, merupakan ekstraksi dengan cara sampel dimasukkan
bersama pelarut ke dalam labu yang dihubungkan dengan
kondensor. Pelarut dipanaskan hingga mencapai titik didih. Uap

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


11

terkondensasi dan kembali ke dalam labu. Umumnya dilakukan


pengulangan pada residu pertama sebanyak 3-5 kali sehingga
proses ekstraksinya sempurna.
b. Sokletasi, merupakan ekstraksi dengan menempatkan serbuk
sampel dalam sarung selulosa (dapat digunakan kertas saring)
dalam klonsong yang ditempatkan di atas labu dan di bawah
kondensor. Pelarut yang sesuai dimasukkan ke dalam labu dan
suhu penangas diatur di bawah suhu reflux. Teknik ekstraksi ini
menggunakan pelarut yang selalu baru dan dilakukan dengan alat
khusus sehingga terjadi ekstrak kontinu dengan jumlah pelarut
relatif konstan dengan adanya pendingin balik.
c. Digesti, merupakan maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu)
pada temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan, yaitu
secara umum dilakukan pada temperatur 40-50oC.
d. Infundasi, merupakan proses penyarian yang umumnya dilakukan
untuk menyari zat kandungan aktif yang larut dalam air dari bahan-
bahan nabati. Proses ini dilakukan pada suhu 90oC selama 15
menit.
e. Dekok, merupakan infus pada waktu yang lebih lama dan
temperatur sampai titik didih air, yakni 30 menit pada suhu 90-
100oC.

2.6 Kulit

Kulit beserta turunannya, meliputi rambut, kuku, kelenjar sebasea, kelenjar


keringat, dan kelenjar mamma disebut juga integumen (Sonny, 2013). Luas kulit
orang dewasa 2m2 dengan berat kira-kira 16% berat badan, kulit merupakan organ
yang esensial dan vital serta merupakan cermin kesehatan dan kehidupan. Kulit
juga sangat kompleks, elastis dan sensitif, bervariasi pada keadaan iklim, umur,
jenis kelamin, ras dan juga bergantung pada lokasi tubuh (Tortora, Derrickson,
2009). Fungsi kulit adalah melindungi tubuh dari kehilangan cairan elektrolit,
trauma mekanik dan radiasi ultraviolet sebagai barier dari invasi mikroorganisme
patogen, merespon rangsangan sentuhan, rasa sakit dan panas karena terdapat

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


12

banyak ujung saraf, tempat penyimpanan nutrisi dan air yang dapat digunakan
apabila terjadi penurunan volume darah dan tempat terjadinya metabolisme
vitamin D (Richardson, 2003; Perdanakusuma, 2007). Dalam pemberian obat
dengan rute transdermal, kulit merupakan tempat administrasi bukan sebagai
organ sasaran (Honeywell-Nguyen & Bouwstra, 2005).

2.6.1 Struktur Kulit

Kulit terdiri atas 2 lapisan utama yaitu epidermis dan dermis. Epidermis
merupakan jaringan epitel yang berasal dari ektoderm, sedangkan dermis berupa
jaringan ikat agak padat yang berasal dari mesoderm. Di bawah dermis terdapat
selapis jaringan ikat longgar yaitu hipodermis, yang pada beberapa tempat
terutama terdiri dari jaringan lemak.

Gambar 2.3 Lapisan-lapisan dan apendiks kulit. Diagram lapisan kulit memperlihatkan saling
hubung dan lokasi apendiks dermal (folikel rambut, kelenjar keringat, dan kelenjar sebasea).
[Sumber: Mescher AL, 2010]

Epidermis merupakan lapisan paling luar kulit dan terdiri atas epitel berlapis
gepeng dengan lapisan tanduk. Epidermis hanya terdiri dari jaringan epitel, tidak
mempunyai pembuluh darah maupun limf, oleh karena itu semua nutrien dan

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


13

oksigen diperoleh dari kapiler pada lapisan dermis. Epitel berlapis gepeng pada
epidermis ini tersusun oleh banyak lapis sel yang disebut keratinosit. Sel-sel ini
secara tetap diperbarui melalui mitosis sel-sel dalam lapis basal yang secara
berangsur digeser ke permukaan epitel. Selama perjalanannya, sel-sel ini
berdiferensiasi, membesar, dan mengumpulkan filamen keratin dalam
sitoplasmanya. Mendekati permukaan, sel-sel ini mati dan secara tetap dilepaskan
(terkelupas). Waktu yang dibutuhkan untuk mencapai permukaan adalah 20
sampai 30 hari. Modifikasi struktur selama perjalanan ini disebut sitomorfosis dari
sel-sel epidermis. Bentuknya yang berubah pada tingkat berbeda dalam epitel
memungkinkan pembagian dalam potongan histologik tegak lurus terhadap
permukaan kulit. Epidermis terdiri atas 5 lapisan yaitu, dari dalam ke luar, stratum
basal, stratum spinosum, stratum granulosum, stratum lusidum, dan stratum
korneum.

a. Stratum basal (lapis basal, lapis benih)


Lapisan ini terletak paling dalam dan terdiri atas satu lapis sel yang
tersusun berderet-deret di atas membran basal dan melekat pada dermis di
bawahnya. Sel-selnya kuboid atau silindris. Intinya besar, jika dibanding
ukuran selnya, dan sitoplasmanya basofilik. Pada lapisan ini biasanya
terlihat gambaran mitotik sel, proliferasi selnya berfungsi untuk regenerasi
epitel. Sel-sel pada lapisan ini bermigrasi ke arah permukaan untuk
memasok sel-sel pada lapisan yang lebih superfisial. Pergerakan ini
dipercepat oleh adalah luka, dan regenerasinya dalam keadaan normal
cepat.
b. Stratum spinosum (lapis taju)
Lapisan ini terdiri atas beberapa lapis sel yang besar-besar berbentuk
poligonal dengan inti lonjong. Sitoplasmanya kebiruan. Bila dilakukan
pengamatan dengan pembesaran obyektif 45x, maka pada dinding sel yang
berbatasan dengan sel di sebelahnya akan terlihat taju-taju yang seolah-
olah menghubungkan sel yang satu dengan yang lainnya. Pada taju inilah
terletak desmosom yang melekatkan sel-sel satu sama lain pada lapisan
ini. Semakin ke atas bentuk sel semakin gepeng.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


14

c. Stratum granulosum (lapis berbutir)


Lapisan ini terdiri atas 2-4 lapis sel gepeng yang mengandung banyak
granula basofilik yang disebut granula keratohialin, yang dengan
mikroskop elektron ternyata merupakan partikel amorf tanpa membran
tetapi dikelilingi ribosom. Mikrofilamen melekat pada permukaan granula.
d. Stratum lusidum (lapis bening)
Lapisan ini dibentuk oleh 2-3 lapisan sel gepeng yang tembus cahaya, dan
agak eosinofilik. Tak ada inti maupun organel pada sel-sel lapisan ini.
Walaupun ada sedikit desmosom, tetapi pada lapisan ini adhesi kurang
sehingga pada sajian seringkali tampak garis celah yang memisahkan
stratum korneum dari lapisan lain di bawahnya.
e. Stratum korneum (lapis tanduk)
Lapisan ini terdiri atas banyak lapisan sel-sel mati, pipih dan tidak berinti
serta sitoplasmanya digantikan oleh keratin. Sel-sel yang paling
permukaan merupakan sisik zat tanduk yang terdehidrasi yang selalu
terkelupas (Sonny, 2013).

2.7 Penetrasi Obat Melalui Kulit

Kulit merupakan target masuknya obat dari sediaan transdermal. Kulit


merupakan barrier penghalang yang terdiri dari berbagai lapisan. Mekanisme obat
melintasi stratum korneum dapat terjadi karena adanya proses difusi melalui dua
mekanisme, yaitu: transepidermal yang terdiri dari interselular dan transelular
serta jalur transppendageal.

Pada rute transelular, molekul obat akan melewati kulit secara langsung
melewati membran fosfolipid dan keratinosit. Jalur ini memungkinkan untuk obat
yang bersifat polar dan hidrofilik. Sedangkan rute interselular adalah rute
penetrasi utama untuk banyak molekul yang melewati stratum korneum. Pada
jalur interselular, obat menembus lapisan kulit melalui ruang antar sel dari kulit,
sehingga jalurnya menjadi berliku dan lebih panjang. Untuk jalur ini lebih
cenderung untuk obat yang bersifat lipofilik karena akan larut dalam lemak yang
terdapat di antara filamen (Lund, 1994). Untuk jalur transappendageal molekul

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


15

melewati kelenjar keringat dan melewati folikel rambut yang disebabkan adanya
pori-pori diantaranya yang memungkinkan obat tersebut berpenetrasi. Jalur
appendageal hanya mencakup 0,1% area untuk penyerapan pada kulit, sehingga
jalur ini dianggap kurang potensial dibandingkan jalur transepidermal (Touitou &
Barry, 2007). Penetrasi obat melalui jalur transepidermal lebih baik dibandingkan
dengan jalur transppendageal, karena luas permukaan pada jalur transppendageal
lebih kecil (Anggraeni, 2008).

2.8 Faktor yang Mempengaruhi Absorbsi Perkutan

Faktor-faktor yang mempengaruhi absorpsi perkutan adalah sifat-sifat


fisikokimia dari obat, sifat pembawa yang digunakan, dan kondisi fisiologis kulit
(Charinna, 2015). Senyawa obat dapat diberikan secara transdermal karena
pengaruh beberapa faktor, secara umum faktor tersebut meliputi sifat fisikokimia
obat seperti berat molekul, solubilitas, koefisien partisi dan konstanta disosiasi
(pKa), faktor lainnya adalah sifat dari pembawa dan kondisi dari kulit. Di bawah
ini merupakan faktor-faktor yang ditemukan oleh para peneliti pada kulit yang
normal, sedangkan pada kulit yang terluka sistem penghantaran obat transdermal
tidak terjadi karena akan terakses langsung ke jaringan subkutan dan kapiler
(Allen dan Ansel, 2014).

1. Konsentrasi obat merupakan faktor penting, umumnya jumlah obat yang


terabsorbsi secara perkutan per unit luas permukaan setiap periode waktu
bertambah sebanding dengan bertambahnya konsentrasi obat dalam suatu
sistem penghantaran obat trasnsdermal.
2. Berat molekul obat, absorbsi berhubungan terbalik dengan berat molekul
dan semakin kecil molekul semakin cepat penetrasinya kedalam kulit
daripada yang berukuran besar. Semakin tinggi berat molekul semakin
rendah tingkat penetrasi kedalam kulit.
3. Lipofilisitas, pengaruh koefisien partisi terhadap difusi molekul telah
dipelajari dengan mengacu pada difusi pasif, peningkatan lipofilisitas obat
menyebabkan berkurangnya permeasi.
4. Formulasi, faktor lain yang mempengaruhi penetrasi senyawa bioaktif
melalui kulit adalah jenis formulasi yang dirancang untuk masuknya obat.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


16

Konsentrasi obat mempengaruhi penghantaran topikal dan formulasi


memainkan peranan penting dalam pemasukan obat melalui kulit, dengan
korelasi antara konsentrasi dan jumlah obat yang dihantarkan melalui
kulit. Selanjutnya, peningkatan viskositas pada formulasi menurunkan
penetrasi obat ke dalam kulit yang mungkin disebabkan oleh penurunan
difusi.
5. Koefisien Partisi, koefisien partisi merupakan faktor yang penting untuk
permeasi obat melalui stratum korneum untuk pemberian obat pertama
sampai terakhir, obat harus memiliki karakteristik tertentu yang meliputi
massa molekul rendah, kelarutan yang cukup dalam minyak, dan koefisien
partisi yang cukup tinggi. Hal ini diamati bahwa semakin tinggi nilai
koefisien partisi, obat lipofilik tidak mudah masuk ke stratum korneum
(Prakash dan Thiagarajan, 2012).
6. Semakin besar area pengaplikasian, semakin banyak obat yang diabsorbsi.
7. Obat harus memiliki ketertarikan fisikokimia yang lebih besar kepada kulit
dibandingkan dengan pembawa sehingga obat akan meninggalkan
pembawa menuju kulit.
8. Obat dengan berat molekul 100 - 800 dan solubilitasnya cukup pada lipid
dan air dapat mempenetrasi kulit. Berat molekul ideal pada sistem
penghantaran obat transdermal dipercayai 400 atau dibawahnya.
9. Hidrasi pada kulit umumnya menyokong absorbsi perkutan. Sistem
penghantaran obat transdermal berperan sebagai barrier oklusif yang
menghambat keringat untuk lewat sehingga meningkatkan hidrasi kulit.
10. Absorbsi perkutan tampak lebih baik apabila diaplikasikan pada area yang
memiliki lapisan tanduk tipis dibandingkan dengan yang tebal.
11. Secara umum, semakin lama obat yang diaplikasikan berkontak dengan
kulit akan semakin banyak total obat yang diabsorbsi.
12. Enchancer atau peningkat penetrasi adalah bahan yang dapat
meningkatkan permeabilitas kulit. Bahan peningkat penetrasi tidak
memiliki efek terapi, tetapi dapat mentransport obat dari bentuk sediaan ke
dalam kulit.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


17

2.9 Gel

Gel adalah sediaan semi padat yang terdiri atas dispersi partikel anorganik
atau organik yang atau molekul organik yang besar, terpenetrasi oleh suatu cairan
(Sezer dan Cevher, 2011). Menurut Ansel (1989) gel merupakan sediaan
semipadat yang jernih, tembus cahaya dan mengandung zat aktif. Gel merupakan
dispersi koloid, mempunyai kekuatan yang disebabkan oleh jaringan yang saling
berikatan pada fase terdispersi. Makromolekul sediaan gel disebarkan ke seluruh
cairan sampai tidak terlihat batas diantaranya, disebut dengan gel fase satu.
Apabila masa gel terdiri dari kelompok-kelompok partikel kecil yang berbeda,
maka gel ini dikelompokkan dalam dua fase. Gel dibuat dengan proses peleburan,
atau diperlukan suatu proses khusus berkenaan dengan sifat mengembang dari gel
(Lachman, dkk., 1994). Komposisi sediaan gel umumnya terdiri dari komponen
bahan yang mengembang dengan adanya air (gelling agent), humektan dan
pengawet, terkadang diperlukan bahan yang dapat meningkatkan penetrasi bahan
berkhasiat (Charinna, 2015). Berdasarkan Ansel (1989), dasar gel yang umum
digunakan ada 2 yaitu:

1. Dasar gel hidrofobik, umumnya terdiri atas partikel-partikel anorganik dan


bila ditambahkan ke dalam fase pendispersi, hanya sedikit interaksi antara
2 fase. Sedangkan bahan hidrofobik, tidak secara spontan menyebar
namun harus dirancang dengan prosedur khusus.
2. Dasar gel hidrofilik, umunya terdiri atas molekul-molekul organic yang
besar dan dapat dilarutkan atau disatukan dengan molekul dari fase
pendispersi. Umumnya daya tarik-menarik pada pelarut dari bahan yang
bersifat hidrofilik berkebalikan dengan bahan yang bersifat hidrofobik.
Sistem koloid hidrofilik biasanya lebih mudah untuk dibuat dan
mempunyai stabilitas yang lebih baik (Luhtfia, 2017).

Gel memiliki absorpsi pada kulit yang lebih baik dibandingkan dengan krim.
Selain itu gel juga baik digunakan untuk lesi pada kulit yang memiliki rambut
(Sharma, 2008). Gel memiliki beberapa keistimewaan berdasarkan sifat dan
komposisinya yaitu, gel memiliki kemampuan penetrasi yang lebih jauh kedalam
kulit dibandingkan dengan krim, gel baik digunakan pada area kulit yang

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


18

berambut, serta bentuk gel disukai secara kosmetika (Yanhendri dan Yenny,
2012).

2.10 Spray Gel

Menurut Holland, et al. (2002) spray gel merupakan istilah “gel atau
hidrogel” yang berarti suatu sistem yang memiliki setidaknya 10% sampai 90%
basis fase berair dari bobot sediaan, sedangkan untuk istilah spray adalah
komposisi yang dikabutkan, berupa tetesan cairan dengan ukuran kecil atau
ukuran besar melalui sebuah aplikator, seperti halnya aerosol atau pompa semprot
(Sheilayanti, 2015; Kamishita, et al., 1992).

Sediaan semprot yang biasa digunakan adalah aerosol. Namun, untuk


menyemprotkan zat aktif yang terlarut didalamnya dibutuhkan hidrokarbon
fluorida (seperti Freon) yang bertindak sebagai propelan. Sediaan aerosol yang
menggunakan propelan kurang disenangi karena obat yang dihantarkan ke kulit
tidak maksimal dan terkadang beberapa zat aktif kurang dapat melarut dalam
sediaan aerosol. Suatu sediaan semprot yang tidak mengandung propelan
memiliki beberapa kekurangan antara lain, sifat lekatnya yang berlebihan pada
kulit sehingga menimbulkan ketidaknyamanan pada saat penggunaan apabila
disemprotkan karena larutan yang mengandung zat aktif akan menetes dan tidak
menetap pada tempat yang akan dituju. Oleh sebab itu, perlu dibuatnya suatu
sediaan spray gel yang mengandung bahan untuk meningkatkan viskositas larutan
tanpa harus menggunakan propelan untuk meningkatkan daya sebar dan daya
lekat dari semprotan serta dapat mengatasi permasalahan yang disebabkan oleh
aerosol (Kamishita, et al., 1992).

Keuntungan sediaan dengan teknik semprot terhadap luka adalah tingkat


kontaminasi mikroba yang rendah, lebih praktis dalam penggunaannya dan waktu
kontak obat yang relatif lebih lama dibanding sedian lainnya. (Jáuregui, et al.,
2009). Selain itu, penghantaran obat dengan teknik semprot dapat meningkatkan
penetrasi polimer ke area luka sehingga memiliki potensi untuk menghantarkan
zat aktif secara efisien (Sheilayanti, 2015; Scales; 1963). Mekanisme
penyemprotan mekanik akan mengakibatkan penurunan viskositas sediaan yang

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


19

menyebabkan keadaan stress atau dibawah tekanan. Kemudian setelah


penyemprotan sediaan akan kembali ke bentuk awal akibat keadaan yang terbebas
dari keadaan stress (Porzio, dkk., 2008 dalam Nisak, 2016).

Dalam memformulasikan sediaan spray gel hal paling penting yang harus
diperhatikan adalah viskositas sediaan tersebut. Menurut Kamishita, et al. (1992)
nilai viskositas untuk basis spray gel adalah 500-5000 cPs. Sediaan spray gel ini
juga cocok untuk zat aktif yang larut maupun tidak larut dalam air dengan
mendispersikan zat aktif terlebih dahulu dalam pelarut organik atau yang dapat
melarutkan zat aktif namun dapat larut dalam air (water-soluble organic solvent),
contohnya surfaktan, alcohol dengan rumus molekul rendah (etanol, isopropanol),
dan golongan glikol (propilen glikol, 1-2 butilen glikol, serta polietilen glikol
dengan berat molekul 300-500) (Kamishita, et al., 1992). Selain itu, menurut
Shafira, dkk. (2015) pemilihan polimer dan plasticizer juga merupakan faktor
penentu yang penting dalam formulasi sediaan gel semprot agar menghasilkan
film yang kontinu, elastik, mudah kering dan tidak lengket. Umumnya, beberapa
polimer yang digunakan pada sediaan gel semprot yaitu hidroksipropil metil
selulosa, hidroksipropil selulosa, polivinil alkohol, polivinilpirolidon, gelatin,
natrium alginat dan karbopol.

Formulasi gel semprot EPMS (etilp-metoksisinamat) dari kencur ini


berkhasiat digunakan pada sistem penghantaran obat topikal sebagai
antiiinflamasi, sehingga juga berpotensi untuk proses penyembuhan luka
(Wikhdatul, 2017).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


20

2.11 Studi Formulasi Sediaan Spray Gel EPMS


2.11.1 Na CMC

Gambar 2.4 Struktur Natrium karboksimetil selulosa (Na CMC)


[Sumber: http://lib.itenas.ac.id]

Natrium karboksimetil selulosa (Na CMC) merupakan garam natrium dari


karboksimetil eter selulosa. Na CMC diperoleh dengan sintesis melalui reaksi
pengembangan selulosa dengan natrium hidroksida dan reaksi yang dikatalisis
alkali dari selulosa dengan asam klororasetat. Na CMC mempunyai berat molekul
antara 90000- 2000000 dan berat molekul ini dapat mempengaruhi profil reologi
dari Na CMC. (Sheilayanti, 2015. Sudhakar, dkk, 2006 dalam Wikhdatul, 2017)

Na CMC berfungsi sebagai pengabsorpsi eksudat luka atau air


transepidermal dan keringat. Hal ini dikarenakan Na CMC mempunyai kapasitas
yang tinggi untuk mengikat air dan juga mampu mengatur difusi uap air melalui
distribusi pori matriks (Rowe, R. C., Paul, J. S., dan Marian, E. Q., 2009;
Karathanos dan Saravacos G. D., 1993). Na CMC juga digunakan sebagai
pengikat tablet dan disintegran, penstabil emulsi, agen penyalut, agen
pensuspensi, agen pengabsorpsi air, dan agen peningkat viskositas serta agen
pembentuk film. Dengan viskositas sedang Na CMC pada konsentrasi tinggi,
sekitar 3% sampai 6%, dapat digunakan sebagai basis pembentuk gel (Sheilayanti,
2015; Rowe, R. C., Paul, J. S., dan Marian, E. Q., 2009; Vinklarkova et al., 2014).
Penggunaan Na CMC bersama dengan glikol dapat mencegah terjadinya
penguapan (Rowe, R. C., Paul, J. S., dan Marian, E. Q., 2009). Berikut
konsentrasi Na CMC dalam berbagai kegunaan:

Tabel 2.2 Kegunaan Na CMC


Kegunaan Konsentrasi (%)
Zat pengemulsi 0,25-0,1
Agen pembentuk gel 3,0-6,0
Bahan pengikat tablet 1,0-6,0
[Sumber : Rowe, R.C., Paul, J.S., dan Marian, 2009]

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


21

2.11.2 Kopovidon

Gambar 2.5 Struktur Kopovidon


[Sumber: https://www.medicinescomplete.com]

Kopovidon adalah kopolimer vinilpirolidon dan vinil asetat (6:4) yang


dihasilkan melalui reaksi polimerisasi radikal bebas. Karena copovidone
merupakan vinil asetat yang tidak larut dalam air, maka sintesisnya dilakukan
dalam pelarut organik, seperti etanol atau isopropanol Kopovidon disebut juga
kollidon VA 64 atau Plasdone S-630 (Buhler, 1998). Kopovidon memiliki bentuk
serbuk amorf yang berwarna putih hingga putih kekuningan, memiliki rasa yang
lemah dan sedikit berbau. Viskositas kopovidon dalam larutan tergantung pada
berat molekul dan konsentrasi. Pada konsentrasi kurang dari 10% viskositasnya
kurang dari 10 cPs (25°C). Kopovidon mempunyai kelarutan yang baik dalam air,
polietilen glikol 400, gliserin ataupun pelarut organik, seperti halnya etanol,
metanol, dan kloroform. Kopovidon mempunyai berat molekul antara 45000-
70000. (Rowe, R. C., Paul, J. S., dan Marian, E. Q., 2009)

Kopovidon berfungsi sebagai agen pengikat tablet, agen pembentuk film,


dan sebagai matriks pada formulasi rilis terkontrol. Kandungan vinil asetat dalam
kopovidon mampu menghasilkan film dengan sifat adhesi yang baik, tingkat
elastisitas yang tinggi, dan dapat berperan sebagai barier pelembab. Pembentukan
film kopovidon dapat terbentuk pada konsentrasi kopovidon yang digunakan 0,5%
sampai 5%.

Kombinasi kopovidon dengan turunan selulosa dapat menurunkan


higroskopisitas film yang dibentuk oleh kopovidone murni (Ashland, 2013).
Penggunaan plasticizer, seperti polietilen glikol juga diperlukan (Sheilayanti,
2015). Berikut konsentrasi Kopovidon dalam berbagai kegunaan:

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


22

Tabel 2.3 Kegunaan Kopovidon


Kegunaan Konsentrasi (%)
Agen pembentuk film 0,5-5,0
Bahan pengikat tablet dengan kompresi 2,0-5,0
Bahan pengikat tablet dengan granulasi basah 2,0-5,0
[Sumber : Rowe, R.C., Paul, J.S., dan Marian, 2009]

2.11.3 Menthol

Gambar 2.6 Struktur Menthol


[Sumber: Rowe, R.C., Paul, J.S., dan Marian, 2009]

Menthol merupakan komponen utama dari peppermint dan minyak corn


mint yang diperoleh dari Mentha piperita dan Mentha arvensis. Menthol banyak
digunakan dalam obat-obatan, pangan dan produk perlengkapan mandi sebagai
agen perasa menthol atau enhancer. Mekanisme menthol sebagai peningkat
penetrasi yaitu dengan mengganggu struktur lipid dari stratum corneum,
meningkatkan kemampuan difusi obat atau dengan meningkatkan koefisien partisi
obat. Menthol juga berinteraksi langsung dengan reseptor dingin tubuh sehingga
memberikan sensasi dingin dan menyegarkan yang dimanfaatkan dalam banyak
sediaan topikal. Ketika diterapkan pada kulit, menthol melebarkan pembuluh
darah, menyebabkan sensasi dingin diikuti oleh efek analgesik. Ini mengurangi
gatal dan digunakan dalam krim, lotion, dan salep. Ketika digunakan untuk perasa
tablet, menthol umumnya dilarutkan dalam etanol (95%) dan disemprotkan ke
butiran tablet dan tidak digunakan sebagai eksipien padat. Penggunaan menthol
1% pada formulasi gel Diclofenac dapat meningkatkan penetrasi ke dalam kulit
(Mukesh, 2014). Berikut merupakan konsentrasi menthol dalam berbagai
kegunaan:

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


23

Tabel 2.4 Kegunaan Menthol


Kegunaan Bentuk sediaan Konsentrasi (%)
Produk farmasetik Sirup oral 0,005-0,015
Topikal 0,05-10,0
Produk kosmetik Pasta gigi 0,4
Spray oral 0,3
[Sumber : Rowe, R.C., Paul, J.S., dan Marian, 2009]

2.11.4 Propilen Glikol

Gambar 2.7. Struktur Propilen Glikol


[Sumber: Rowe, R.C., Paul, J.S., dan Marian, 2009]

Propilen glikol (C3H8O2) merupakan cairan bening, kental, tidak berwarna,


praktis tidak berbau, dan memiliki rasa manis yang sedikit tajam menyerupai
gliserin (Rowe, R.C., Paul, J.S., dan Marian, 2009). Propilen glikol memiliki berat
molekul sebesar 76. Viskositas propilen glikol sebesar 58,1 cPs. Propilen glikol
dapat larut dalam etanol (95%), aseton, kloroform, gliserin, dan air; dapat larut
pada eter (1:6); tidak dapat larut dengan minyak mineral, tetapi dapat melarutkan
beberapa minyak esensial. Propilen glikol stabil pada suhu dingin, dalam wadah
tertutup rapat terlindung dari cahaya, dan jika dicampur dengan etanol 95%,
gliserin atau air, namun cenderung teroksidasi pada keadaan terbuka.

Propilen glikol telah banyak digunakan dalam berbagai formulasi sediaan


farmasi parenteral dan nonparenteral sebagai pengawet antimikroba, humektan,
desinfektan, plasticizer, pelarut, dan juga zat penstabil . Propilen glikol umumnya
lebih baik dibandingkan dengan gliserin dan dapat melarutkan berbagai macam
bahan, seperti fenol, kortikosteroid, obat sulfat, barbiturat, vitamin A dan D,
akaloid, dan banyak anastesi lokal (Rowe, R. C., Paul, J. S., dan Marian, E. Q.,
2009). Berikut merupakan konsentrasi propilen glikol dalam berbagai kegunaan:

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


24

Tabel 2.5 Kegunaan Propilen glikol


Kegunaan Bentuk sediaan Konsentrasi (%)
Humektan Topikal ≈15
Preservatif Larutan semisolid 15-30
Larutan aerosol 10-30
Solven dan Kosolven Parenteral 10-60
Topikal 5-80
[Sumber : Rowe, R.C., Paul, J.S., dan Marian, 2009]

2.11.5 Etanol

Gambar 2.8 Struktur Etanol


[Sumber: Rowe, R.C., Paul, J.S., dan Marian, 2009]

Etanol atau Alkohol (C2H6O) merupakan cairan bening, tidak memiliki


warna, mudah mengalir, sedikit mudah menguap, serta memiliki bau yang khas
dan rasa terbakar. Etanol mempunyai berat molekul sebesar 46,70. Etanol dapat
larut dengan kloroform, eter, gliserin, dan juga air (dengan kenaikan suhu dan
peningkatan volume). Alkohol atau etanol harus disimpan dalam wadah kedap
udara dan ditempat sejuk. Larutan etanol atau alkohol dapat bereaksi dengan
material pengoksidasi pada kondisi asam. Pencampuran alkohol atau etanol
dengan alkali dapat menyebabkan warna menjadi gelap akibat reaksi dengan
sejumlah residu aldehid (Rowe, R.C., Paul, J.S., dan Marian, 2009).

Etanol banyak digunakan dalam memformulasikan sediaan farmasi dan


kosmetik. Selain berfungsi sebagai pelarut, etanol juga digunakan sebagai
desinfektan dan pengawet antimikroba dalam bentuk larutan. Larutan etanol
topikal digunakan dalam pembuatan sistem penghantaran transdermal sebagai
peningkat permeasi (Rowe, R. C., Paul, J. S., dan Marian, E. Q., 2009). Berikut
merupakan konsentrasi etanol atau alkohol dalam berbagai kegunaan:

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


25

Tabel 2.6 Kegunaan Alkohol


Kegunaan Konsentrasi (%)
Preservatif antimikroba ≥ 10
Desinfektan 60-90
Pelarut dalam sediaan topical 60-90
[Sumber : Rowe, R.C., Paul, J.S., dan Marian, 2009]

2.11.6 Metil Paraben

Gambar 2.9 Struktur Metil Paraben


[Sumber: Rowe, R.C., Paul, J.S., dan Marian, 2009]

Metil paraben (C8H8O3) memiliki nama lain Nipagin yang merupakan


serbuk kristal berwarna putih, tidak berbau, dan tidak memiliki rasa. Metil
paraben memiliki berat molekul sebesar 152,15. Metil paraben larut dalam etanol
(1:2), dalam etanol 95% (1:3) dan dalam propilen glikol (1:5) (Rowe, R.C., Paul,
J.S., dan Marian, 2009).

Metil paraben berfungsi sebagai pengawet antimikroba pada kosmetik,


formulasi sediaan farmasi, dan juga produk makanan. metil paraben juga memiliki
aktivitas antimikroba dengan spektrum yang luas, meskipun lebih efektif terhadap
ragi dan jamur. Aktivitas paraben dapat ditingkatkan dengan memperpanjang
rantai alkil, tetapi hal tersebut dapat mempengaruhi penurunan kelarutannya. Oleh
karena hal tersebut, kombinasi paraben sering digunakan untuk meningkatkan
efektivitas pengawet. Penambahan propilen glikol sekitar 2% sampai dengan 5%
atau kombinasi dengan paraben lainnya dapat meningkatkan efikasi pengawet.
Paraben dikatakan efektif sebagai pengawet antimikroba ketika memiliki rentang
pH yang luas, yaitu berkisar antara 4,0-8,0 (Rowe, R. C., Paul, J. S., dan Marian,
E. Q., 2009).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


26

2.11.7 Propil Paraben

Gambar 2.10 Struktur Propil Paraben


[Sumber: Rowe, R.C., Paul, J.S., dan Marian, 2009]

Propil paraben (C10H12O3) memiliki nama lain Nipasol yang merupakan


serbuk kristal berwarna putih, tidak berbau, dan tidak memiliki rasa. Propil
paraben berfungsi sebagai pengawet antimikroba golongan paraben yang banyak
digunakan dalam formulasi sediaan farmasi, produk makanan, serta produk
kosmetik. Propil paraben dapat digunakan secara tunggal, dikombinasikan dengan
pengawet antimikroba lain, atau dapat pula dikombinasikan dengan paraben
lainnya. Aktivitas paraben dapat ditingkatkan dengan memperpanjang rantai alkil,
tetapi hal tersebut dapat mempengaruhi penurunan kelarutannya. Paraben
dikatakan efektif sebagai pengawet antimikroba ketika memiliki rentang pH yang
luas, yaitu berkisar antara 4,0-8,0. Efikasi paraben akan menurun seiring
peningkatan pH, akibat adanya pembentukan anion fenolat.

Propil paraben (0,02% b/v) biasanya digunakan bersama dengan metil


paraben (0,18% b/v) sebagai bahan pengawet. Aktivitas antimikroba propil
paraben menurun dengan adanya surfaktan nonionik karena terjadinya
pembentukan misel. Paraben juga lebih aktif terhadap gram-positif dibandingkan
terhadap bakteri gram-negatif (Rowe, R.C., Paul, J.S., dan Marian, 2009).

2.12 Uji Penetrasi Sediaan Secara In Vitro Menggunakan Sel Difusi Franz

Studi penetrasi kulit secara in vitro berfungsi untuk mengukur kecepatan


dan jumlah komponen yang melewati kulit dan jumlah komponen yang tertahan
pada kulit. Salah satu cara untuk mengukur jumlah obat yang terpenetrasi melalui
kulit yaitu dengan menggunakan sel difusi Franz. Sel difusi Franz terbagi atas dua
kompartemen yaitu kompartemen donor dan kompartemen reseptor yang
terpisahkan oleh suatu pelapis atau potongan kulit. Membran yang digunakan
dalam uji penetrasi ini dapat berupa kulit manusia atau kulit hewan. Membran

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


27

diletakkan di antara kedua kompartemen yang dilengkapi o-ring untuk menjaga


letak membran, Selanjutnya kompartemen reseptor diisi dengan larutan penerima
(Witt & Buck, 2003).

Kompartemen reseptor diisi dengan larutan penerima, biasanya digunakan


dapar fosfat. Suhu sel dijaga dengan sirkulasi air menggunakan water jacket
disekeliling kompartemen reseptor. Sediaan yang akan diuji diaplikasikan pada
membran kulit. Pada interval waktu tertentu diambil beberapa ml cairan dari
kompartemen reseptor dan jumlah obat yang terpenetrasi melalui kulit dapat
dianalisis dengan metode yang sesuai. Setiap pengambilan sampel cairan dari
kompartemen reseptor, harus selalu digantikan dengan cairan yang sama sejumlah
volume terambil (Anggraeni, 2008).

Gambar 2.11 Kompartemen Sel Difusi Franz


[Sumber: permegear.com]

2.13 Spektrofotometri UV-Vis

Spektrofotometri merupakan sebuah metode pengukuran yang didasarkan


pada interaksi antara materi dan cahaya. Interaksi tersebut didasarkan pada
kenyataan bahwa molekul selalu mengabsorbsi cahaya elektromagnetik jika
frekuensi cahaya tersebut sama dengan frekuensi getaran dari molekul tersebut.
Elektron yang terikat dan elektron yang tidak terikat akan tereksitasi pada suatu
daerah frekuensi, yang sesuai dengan cahaya ultraviolet dan cahaya tampak (UV-
Vis) (Henry,Suryadi,Yanuar, 2002). Dalam spektrofotometri peralatan yang
digunakan disebut spektrofotometer. Cahaya yang berinteraksi dengan materi

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


28

diatas dapat berupa cahaya visibel, UV dan inframerah, sedangkan materi dapat
berupa atom dan molekul namun yang lebih berperan adalah elektron valensi
(Mukti, 2011).

Metode spektrofotometri ultraviolet-visibel digunakan untuk menetapkan


kadar senyawa obat secara kuantitatif maupun kualitatif dengan menggunakan
perbandingan absorbansi sampel dengan absorbansi baku atau dengan
menggunakan persamaan regresi linier yang menyatakan hubungan antara
konsentrasi baku dengan absorbansinya. Persamaan kurva baku selanjutnya
digunakan untuk menghitung kadar dalam sampel (Gandjar dan Rohman 2007).
Spektrum absorbsi daerah ini adalah sekitar 220 nm sampai 800 nm dan
dinyatakan sebagai spektrum elektron. Suatu spektrum ultraviolet meliputi daerah
bagian ultraviolet (190-380nm), spektrum Vis (Vis = Visibel) bagian sinar tampak
(380-780 nm) (Henry,Suryadi,Yanuar,2002).

Untuk mendapatkan hasil pengukuran yang optimum, setiap komponen


dari instrumen yang dipakai harus berfungsi dengan baik. Komponen-komponen
spektrofotometri UV-Vis meliputi sumber sinar, monokromator, dan sistem optik.

1. Sebagai sumber sinar; lampu deuterium atau lampu hidrogen untuk


pengukuran UV dan lampu tungsten digunakan untuk daerah visibel.
2. Monokromator; digunakan untuk mendispersikan sinar ke dalam
komponen-komponen panjang gelombangnya yang selanjutnya akan
dipilih oleh celah (slit). Monokromator berputar sedemikian rupa sehingga
kisaran panjang gelombang dilewatkan pada sampel sebagai scan
instrumen melewati spektrum.
3. Optik-optik; dapat didesain untuk memecah sumber sinar sehingga sumber
sinar melewati 2 kompartemen, dan sebagaimana dalam spektrofotometer
berkas ganda (double beam), suatu larutan blanko dapat digunakan dalam
satu kompartemen untuk mengoreksi pembacaan atau spektrum sampel.
Blanko yang paling sering digunakan dalam spektrofotometri adalah
semua pelarut yang digunakan untuk melarutkan sampel atau pereaksi
(Rohman, 2007).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


29

Gambar 2.12 Prinsip Kerja Spektrofotometri UV-Vis


[Sumber: lecture.ub.ac.id]

Penggunaan spektrofotometri UV-Vis untuk analisa kuantitatif didasarkan


pada hukum Lambert-Beers yang menyatakan “jumlah radiasi cahaya tampak
(ultraviolet, inframerah dan sebagainya) yang diserap atau ditransmisikan oleh
suatu larutan merupakan suatu fungsi eksponen dari konsentrasi zat dan tebal
larutan” (Mukti, 2011).

Berikut merupakan persamaan Hukum Lambert-Beer:

Keterangan : A = serapan
Io = intensitas sinar yang datang
It = intensitas sinar yang diteruskan (ditransmisikan)
ε = absorbtivitas molekuler / konstanta ekstingsi (L.mol-1.
Cm-1)
a = daya serap (L.g-1.cm-1)
b = tebal larutan / kuvet (cm)
c = konsentrasi (g.L-1 , mg. mL-1)
(Henry, dkk., 2002).

Dalam analisisnya sampel yang sering dianalisis menggunakan


spektrofotometer UV-Vis yaitu senyawa organik yang memiliki gugus kromofor
dan auksokrom, sehingga dapat memberikan serapan. Gugus kromofor yaitu
gugus tidak jenuh yang memberikan serapan pada daerah UV atau cahaya tampak.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


30

Contohnya seperti alkena (C=C), C=O, -NO2, benzen dan lain-lain. Sementara
itu, gugus auksokrom yaitu gugus yang memiliki elektron nonbonding dan tidak
mengabsorbsi radiasi pada panjang gelombang diatas 200 nm, namun
mengabsorbsi radiasi UV jauh. Contohnya seperti –OH, -NH2, -X dan lain-lain
(Harmita, 2006).

2.14 Kromatografi Lapis Tipis

Kromatografi didefinisikan sebagai teknik pemisahan zat terlarut oleh


suatu proses migrasi diferensial dinamis dalam sistem yang terdiri dari dua fase
atau lebih, salah satu diantaranya bergerak secara berkesinambungan dalam arah
tertentu dan di dalamnya zat-zat itu menunjukkan perbedaan mobilitas disebabkan
adanya perbedaan dalam adsorpsi, partisi, kelarutan, tekanan uap, ukuran molekul
atau kerapatan muatan ion. Dengan demikian masing-masing zat dapat
diidentifikasi atau ditetapkan dengan metode analitik (Depkes RI, 1995).
Campuran yang akan dipisah dalam bentuk larutan ditotolkan berupa bercak atau
pita (awal). Setelah pelat atau lapisan ditaruh didalam bejana tertutup rapat yang
berisi larutan pengembang yang cocok (fase gerak), pemisahan terjadi selama
perambatan kapiler (pengembangan). Selanjutnya senyawa yang tidak berwarna
harus ditampakkan (dideteksi) (Stahl Egon dalam Khoirrunni’mah, 2013).

Pada kromatografi lapis tipis, zat penjerap merupakan lapisan tipis serbuk
halus yang dilapiskan pada lempeng kaca, plastic atau logam secara merata,
umumnya digunakan lempeng kaca. Lempeng yang dilapisi dapat dianggap
sebagai kolom kromatografi terbuka dan pemisahan yang dicapai dapat
didasarkan pada adsorpsi, partisi, atau kombinasi kedua efek, tergantung dari
jenis zat penyangga, cara pembuatan, dan jenis pelarut yang digunakan (Depkes
RI, 1995).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


31

Gambar 2.13 Skema Kromatografi Lapis Tipis


[Sumber: Mufidah, 2014]

2.15 Kromatografi Gas Spektrofotometri Massa (GC-MS)

Metode analisa menggunakan GC MS (Gas Chromatography - Mass


Spectroscopy) dapat mengukur jenis dan kandungan senyawa dalam suatu sampel
baik secara kualitatif dan kuantitatif. Instrumen ini merupakan perpaduan dari dua
buah instrumen, yaitu Kromatografi Gas yang berfungsi untuk memisahkan
senyawa menjadi senyawa tunggal dan Spektroskopi Massa yang berfungsi
mendeteksi jenis senyawa berdasarkan pola fragmentasinya. Pengukuran
menggunakan GC MS pada umumnya hanya dibatasi untuk senyawa berwujud
gas atau cairan yang mempunyai tekanan uap minimal 10-10 torr (BPPT, 2014).
Kromatografi Gas (GC) merupakan jenis kromatografi di mana fase geraknya
adalah gas pembawa, biasanya gas inert seperti helium, dan fase diamnya adalah
lapisan mikroskopis dari cairan atau polimer pada padatan yang inert di dalam
gelas atau tabung logam yang disebut kolom. Kolom kapiler berisi fase diam yang
berupa padatan baik dilapisi dengan cairan yang mudah menguap atau padatan
sendiri dapat menjadi fase diam. Sampel menyapu kolom dengan aliran gas
helium (Hussain dan Maqbool, 2014 dalam Wikhdatul, 2017).

Komponen dalam sampel terpisah satu sama lain karena beberapa


komponen membutuhkan waktu yang lebih lama untuk melewati kolom
dibandingkan dengan komponen yang lain. Ketika sampel keluar dari kolom GC,
sampel akan terfragmentasi oleh ionisasi dan fragmen diurutkan berdasarkan
massa untuk membentuk pola fragmentasi. Seperti waktu retensi (RT), pola
fragmentasi untuk komponen tertentu dari sampel berbeda-beda dan khas, hal
tersebut merupakan karakteristik untuk mengidentifikasi suatu komponen.
Kromatografi gas-spektrometri massa (GC-MS) merupakan suatu metode analisis
yang menggabungkan fitur dari kromatografi gas-cair dan spektrometri massa

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


32

untuk mengidentifikasi zat yang berbeda dalam sampel uji. GC dapat memisahkan
senyawa volatil dan semi-volatil dengan resolusi besar, tetapi tidak dapat
mengidentifikasi senyawa tersebut. MS dapat memberikan informasi struktural
rinci pada kebanyakan senyawa sehingga senyawa tersebut dapat diidentifikasi
dengan tepat, tetapi tidak dapat dengan mudah untuk memisahkannya (Hussain
dan Maqbool, 2014 dalam Wikhdatul, 2017).

Perbedaan sifat kimia antara molekul-molekul yang berbeda dalam suatu


campuran dipisahkan dari molekul dengan melewatkan sampel sepanjang kolom.
Spektrometri massa mendeteksi molekul dengan cara memecah masing-masing
molekul menjadi terionisasi mendeteksi fragmen menggunakan massa untuk
mengisi rasio (Rohman dan Gholib, 2007).

Gambar 2.14 Prinsip Kerja GCMS


[Sumber: btbrd.bppt.go.id]

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan di Laboratorium Penelitian I, Laboratorium Penelitian


II, Laboratorium Analisis Obat dan Pangan Halal Fakultas Kedokteran dan Ilmu
kesehatan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Waktu penelitian
dimulai pada Desember 2017 hingga selesai.

3.2 Alat dan Bahan


3.2.1 Alat

Blender (Cosmos), timbangan kilogram, timbangan analitik (AND GH-


202), alummuium foil, plastic wrap, kertas saring, kapas, pisau, botol maserasi,
seperangkat alat vaccumrotary evaporator (N-1000, Eyela, Japan), pH meter (F-
52, Horiba, Japan), viskometer (Brookfield LV), oven (NDO-400, Eyela, Japan),
refrigerator (Sanyo Medicool), lemari pendingin (DW—40 W 100, Haier,
Tiongkok), centrifuge 5417R (Eppendorf), homogenizer (IKA RW 20 digital), dry
vacuum pump/compressor (Welch), apparatus meltingpoint (Stuart, UK),
Kromatografi Gas – Spektrometri Massa (GCMS), spektrofotometer UV-Vis (U-
2900, Hitachi, Amerika), object glass, digital stirring hot plate (Cimarec, USA),
magnetic stirrer (MST Basic, Wiggen Hauser, USA), plat silika gel F254 (Merck
Millipore, Germany), termometer suhu, tip dan mikropipet (Rainin, USA), botol
semprot, pipa kapiler, spidol, penggaris, wadah kaca, plastic mika, kertas berlabel,
kertas perkamen, seperangkat alat uji sel difusi franz dan alat-alat gelas di
laboratorium seperti, gelas piala (Scott Duran, Germany), gelas ukur (Scott Duran,
Germany), labu ukur (Pyrex, USA), Erlenmeyer (Pyrex, USA), mortar, corong,
kaca arloji, spatula, sudip, batang pengaduk, spuit, tabung reaksi, dan pipet tetes.

33 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


34

3.2.2 Bahan

Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah Kristal EPMS dari
ekstrak rimpang kencur (Kaempferia galanga L.) yang diperoleh dari Ciamis,
Jawa Barat pada bulan Desember 2017, yang selanjutnya dideterminasi di Pusat
Konservasi Tumbuhan Kebun Raya-LIPI, Bogor, dan bahan eksipien lain seperti
Na CMC, kopovidon, propilenglikol, menthol, trietanolamin, metil paraben,
propil paraben, aquadest, etanol 96% (teknis), serta pelarut dan bahan pembantu
lainnya seperti: n-heksana (yang telah didestilasi), etil asetat, metanol (teknis),
dan metanol pro analisis.

3.3 Prosedur Kerja


3.3.1 Determinasi Tanaman Kencur

Untuk memastikan kebenaran simplisia yang digunakan dalam penelitian


ini adalah rimpang kencur (Kaempferia galanga L.), maka dilakukan determinasi
di Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya-LIPI, Bogor.

3.3.2 Penyiapan Simplisia Rimpang Kencur

Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah rimpang kencur


(Kaempferia galanga L.) yang diperoleh dari Ciamis, Jawa Barat pada bulan
Desember 2017. Sebanyak 4 kg sampel rimpang disortasi basah kemudian dicuci
dengan air mengalir hingga bersih. Selanjutnya sampel dirajang membentuk irisan
tipis-tipis sekitar 2-3 mm, lalu dikering-anginkan dan dihindarkan dari cahaya
matahari langsung selama 5 hari, pengeringan dilakukan sampai benar-benar
kering. Sampel yang telah kering, disortasi kering kemudian direduksi ukuran
partikelnya dengan blender sampai menjadi serbuk (Barus, 2009). Serbuk yang
didapat disimpan dalam wadah tertutup rapat, pada suhu ruangan dan terhindar
dari cahaya matahari langsung (Wikhdatul, 2017 telah dimodifikasi).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


35

3.3.3 Pembuatan Ekstrak Rimpang Kencur

Rimpang kencur diekstraksi menggunakan metode maserasi dengan


pelarut n-heksan yang telah dimurnikan sebelumnya. Serbuk simplisia
dimasukkan ke dalam botol maserasi dan ditambahkan n-heksan sampai serbuk
simplisia terendam seluruhnya dan terdapat lapisan pelarut setebal 3 cm di atas
serbuk simplisia. Selanjutnya ditutup dan dimaserasi selama 3-5 hari sambil
sesekali diaduk dengan cara wadah digoyang-goyangkan. Maserasi terus
dilakukan hingga pelarut hasil maserasi berwarna bening kekuningan. Ampas
kemudian diremaserasi kembali sekitar 3-4 kali sehingga mendapatkan filtrat yang
jernih (warna kuning bening). Setelah proses ekstraksi selesai, kemudian ekstrak
yang didapat disaring menggunakan kapas dan kertas saring, lalu dipekatkan
dengan vaccum rotary evaporator pada suhu 48-50°C hingga diperoleh ekstrak
kental pekat yang berwarna coklat kekuningan (Wikhdatul, 2017 telah
dimodifikasi). Kemudian ekstrak yang didapatkan ditimbang. Ekstrak kemudian
dihitung persentasi rendemen ekstrak dengan rumus berikut (Annisa, 2017 telah
dimodifikasi):

𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑒𝑘𝑠𝑡𝑟𝑎𝑘 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑑𝑎𝑝𝑎𝑡 (𝑔)


% 𝑅𝑒𝑛𝑑𝑒𝑚𝑒𝑛 𝑒𝑘𝑠𝑡𝑟𝑎𝑘 = 𝑥 100 %
𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑠𝑖𝑚𝑝𝑙𝑖𝑠𝑖𝑎 𝑎𝑤𝑎𝑙 (𝑔)

3.3.4 Isolasi EPMS

Isolasi EPMS dilakukan dengan mengendapkan ekstrak kental pada suhu


kamar sehingga terbentuk kristal. Ekstrak kental rimpang kencur yang disimpan
dalam suhu kamar akan mengkristal hampir 80% nya. Selanjutnya kristal yang
terbentuk pada filtrat dipisahkan dengan penyimpanan. Kristal yang terbentuk
kemudian dimurnikan menggunakan n-heksana dan direkristalisasi dengan cara
melarutkan kristal dalam n-heksana dan beberapa tetes methanol pro analisis,
kemudian dibiarkan pada suhu kamar hingga terbentuk kristal kembali. Kristal
yang terbentuk lalu dipisahkan dengan cara penyaringan. Kristal murni yang telah
diperoleh kemudian dilarutkan dalam etil asetat dan diuji kemurniannya
menggunakan KLT dengan eluen n-heksan : etil asetat perbandingan 9:1 dan

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


36

dihitung rendemennya. Perhitungan rendemen dapat menggunakan rumus berikut


(Wikhdatul, 2017) :

𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑘𝑟𝑖𝑠𝑡𝑎𝑙 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑑𝑎𝑝𝑎𝑡 (𝑔)


% 𝑅𝑒𝑛𝑑𝑒𝑚𝑒𝑛 𝑘𝑟𝑖𝑠𝑡𝑎𝑙 = 𝑥 100 %
𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑒𝑘𝑠𝑡𝑟𝑎𝑘 𝑛 − ℎ𝑒𝑘𝑠𝑎𝑛 (𝑔)

3.3.5 Identifikasi EPMS


3.3.5.1 Pemeriksaan Organoleptis

Pemeriksaan secara fisik menggunakan panca indera yang meliputi


pemeriksaan bentuk, warna, dan bau (Depkes RI, 2001).

3.3.5.2 Pengukuran Titik Leleh

Kristal yang telah didapat selanjutnya diukur titik lelehnya dengan alat
apparatus melting point. Uji titik leleh dilakukan dengan cara sedikit kristal
dimasukkan ke dalam pipa kapiler lalu dimasukkan ke dalam alat dan diamati
suhu pada saat kristal tersebut meleleh. Rentang titik leleh dimulai dari suhu awal
dimana kristal mulai melebur hingga melebur seluruhnya. Titik leleh etil p-
metoksisinamat adalah 49-50o C (Umar, 2014).

3.3.5.3 Pengujian Kromatografi Lapis Tipis (KLT)

Pengujian KLT dilakukan dengan cara membandingkan kemurnian kristal


etil p-metoksisinamat hasil isolasi dengan kristal etil p-metoksisinamat standar.
Kristal etil p-metoksisinamat hasil isolasi diaplikasikan pada plat silica F254
dengan eluen n-heksan dan etil asetat dengan perbandingan 9:1. Spot yang
didapatkan kemudian dihitung nilai Rfnya dan dibandingkan dengan standar etil
p-metoksisinamat (Mufidah, 2014 dalam Charinna, 2015).

3.3.5.4 Identifikasi EPMS Menggunakan GC-MS


3.3.5.4.1 Pembuatan Larutan Sampel

Sebanyak 50 mg kristal EPMS dilarutkan dalam 10 mL metanol pro


kromatografi yang digunakan sebagai larutan induk 5000 ppm. Selanjutnya
dilakukan pengenceran menjadi konsentrasi 100 ppm kemudian dilakukan analisis
dengan GC-MS. (Robbani, 2015).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


37

3.3.5.4.2 Identifikasi Senyawa EPMS Menggunakan GC-MS

Analisis senyawa EPMS dilakukan dengan cara 1 µL sampel yang telah


disiapkan diinjeksikan ke dalam alat GCMS (Umar, dkk., 2012). Kolom yang
digunakan adalah HP-5MS (30 m x 0,25mm ID x 0,25 µm) dengan suhu awal 70
°C selama 2 menit, kemudian suhu dinaikkan 285 °C. Suhu MSD 285 °C.
Kecepatan aliran 1,2 mL/min dengan split 1:100. Parameter scanning dilakukan
dari massa paling rendah yaitu 35 sampai paling tinggi 550. Waktu retensinya
32,07 menit (Umar et al., 2012).

3.3.6 Pembuatan Sediaan Spray Gel EPMS

Tabel 3.1 Formulasi Spray Gel Etil p-metoksisinamat


Bahan Jumlah (%) Fungsi
Kristal EPMS 1 Zat Aktif
Menthol 0,05 Cooling sensation
Na CMC 1 Gelling agent
Kopovidon 1 Polimer film
Propilen glikol 2,7 Pelarut
Metil Paraben 0,18 Pengawet
Propil Paraben 0,02 Pengawet
Etanol 96% 20,00 Pelarut
Ad Aquadest 100,00 Pelarut

Cara pembuatan:

a. Kopovidon didispersikan dalam etanol 96%, kemudian diaduk dengan


homogenizer ± 200 rpm hingga terdispersi seluruhnya dan
viskositasnya rendah (A).
b. Natrium karboksimetil selulosa didispersikan dalam aquadest 60 °C,
kemudian didiamkan selama 30 menit hingga terdispersi seluruhnya,
diaduk dengan homogenizer ± 200 rpm sehingga membentuk gel yang
bening (B).
c. Campuran A dimasukkan sedikit demi sedikit ke dalam campuran B,
kemudian diaduk dengan homogenizer ± 200 rpm hingga homogen.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


38

d. Metilparaben dan propilparaben didispersikan dalam etanol 96% dan


dimasukkan kedalam campuran A dan B.
e. Kristal EPMS didispersikan dalam etanol 96% dan ditambahkan
kedalam campuran. Menthol dilarutkan dalam propilen glikol, lalu
ditambahkan kedalam campuran.
f. Tambahkan propilenglikol lalu campuran didispersikan menggunakan
homogenizer hingga terdispersi seluruhnya.
g. Sediaan yang telah homogen, kemudian ditambahkan sisa aquadest
yang sudah ditimbang sediaan hingga mencapai bobot yang sudah
ditentukan sebelumnya.
h. Gel semprot yang dihasilkan kemudian ditempatkan dalam wadah
yang tertutup rapat dan disimpan pada suhu ruang selama 21 hari
untuk evaluasi sifat fisik dan kimia sediaan. (Wikhdatul, 2017 telah
dimodifikasi)

3.3.7 Evaluasi Fisik Sediaan Spray Gel EPMS


3.3.7.1 Pemeriksaan Organoleptik

Pemeriksaan organoleptiknya dilakukan dengan cara diamati tampilan


fisik sediaan, meliputi bentuk, warna, dan bau pada hari ke 0, 7, 14, dan 21 pada
suhu ruang (Depkes RI, 1995).

3.3.7.2 Pemeriksaan Homogenitas

Pemeriksaan homogenitas diamati secara visual yaitu dengan mengoleskan


sediaan pada preparat kaca, kemudian diratakan dengan menempelkan preparat
kaca lain dan diamati. Pengamatan dilakukan untuk melihat ada atau tidaknya
partikel yang belum tercampur secara homogen. Pemeriksaan homogenitas
dilakukan pada hari ke 0, 7, 14, dan 21 (Aponno, dkk., 2014;Depkes RI, 1995).

3.3.7.3 Pemeriksaan pH

Pemeriksaan pH dilakukan dengan menggunakan alat pH meter yang telah


dikalibrasi. Pengukuran pH dilakukan pada hari ke 0, 7, 14, dan 21 (Depkes RI,
1995).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


39

3.3.7.4 Pemeriksaan Viskositas

Pemeriksaan viskositas dilakukan dengan menggunakan viskometer


Brookfield LV. Sediaan disiapkan dalam gelas beker 100 mL, lalu spindel
diturunkan ke dalam sediaan hingga batas yang ditentukan. Pengukuran dilakukan
dengan kecepatan 30 rpm. Pengukuran viskositas dilakukan sebanyak 3 kali
pengulangan pada hari ke 0, 7, 14, dan 21 (Kuncari, dkk., 2014; Septiani, dkk.,
2011;Depkes RI, 1995).

3.3.7.5 Pemeriksaan Pola Penyemprotan dan Bobot per Semprot

Pemeriksaan pola penyemprotan dan bobot per semprot dilakukan dengan


cara disemprotkan sediaan dari botol dengan jarak 3, 5, 10, dan 15 cm pada
selembar plastik mika. Pengujian dilakukan sebanyak tiga kali dan diamati pola
pembentukan semprotan, diameter dari pola semprot yang terbentuk dan bobot per
semprotan (Sukhbir, Kaur, dkk., 201, Sulekha, 2016 telah dimodifikasi).

3.3.7.6 Pemeriksaan Daya Sebar Lekat

Pemeriksaan daya sebar lekat dilakukan dengan cara disemprotkan


sebanyak satu kali ke kulit bagian lengan atas dari jarak 3 cm. Setelah
disemprotkan, kemudian dihitung selama 10 detik untuk melihat apakah sediaan
menempel atau tetesan dari hasil semprotan menetes ke bawah (Suyudi, 2014).

3.3.7.7 Pengujian Bobot Penghantaran Sediaan Setiap Semprotan

Pengujian bobot penghantaran sediaan setiap semprotan dapat dilakukan


dengan cara ditimbang bobot awal sediaan, kemudian sediaan disemprotkan
sebanyak lima kali, lalu ditimbang bobot sediaan dalam wadah setelah
penyemprotan. Setelah itu, volume penghantaran sediaan setiap semprotan
dihitung menggunakan persamaan:

AL = (Wt - Wo) / Da

Dimana, AL adalah bobot sediaan yang dihantarkan setiap semprotan. Wt


adalah bobot sediaan setelah penyemprotan. Wo adalah bobot awal sediaan

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


40

sebelum penyemprotan dan Da adalah jumlah semprotan (Suyudi, 2014, Sulekha,


2016 telah dimodifikasi).

3.3.8 Penetapan Kadar EPMS dalam Sediaan

Penetapan kadar etil p-metoksisinamat dilakukan dengan metode


spektrofotometri UV-Vis terhadap masing-masing formula. Penetapan kadar
dilakukan dengan cara mengekstraksi etil p-metoksisinamat dari sediaan dengan
menggunakan pelarut metanol. Sebanyak 500 mg sediaan dilarutkan dalam
metanol sampai 50 mL kemudian disaring menggunakan kertas saring. Hasil
penyaringan yang merupakan hasil ekstraksi dengan konsentrasi 100 ppm
kemudian dibuat pengenceran dengan konsentrasi 5 ppm untuk masing-masing
formula. Pengenceran hasil ekstraksi tersebut kemudian dibaca serapannya.
Serapan yang didapatkan kemudian dikurangi dengan serapan blanko (basis
sediaan) dan disubstitusikan ke persamaan linear yang diperoleh dari kurva
kalibrasi untuk mendapatkan nilai kadar etil p-metoksisinamat dalam masing-
masing formula. Perlakuan ini dilakukan sebanyak 3 kali pengulangan pada titik
pengambilan yang berbeda pada masing-masing formula. (Agus, 2015).

3.3.8.1 Pembuatan Kurva Kalibrasi EPMS dalam Metanol

Kristal etil p-metoksisinamat sebanyak 10 mg dilarutkan dalam 100 mL


metanol untuk dibuat larutan induk 100 ppm. Kemudian larutan induk tersebut
diekstraksi dengan cara di vortex selama 10 menit dan di sentrifugasi dengan
kecepatan 3000 rpm selama 10 menit (Reddy, dkk., 2015. Wikhdatul, 2017 telah
dimodifikasi). Larutan induk diencerkan dan dibuat seri konsentrasi 1 ppm, 2
ppm, 3 ppm, 4 ppm, 5 ppm, 6 ppm, 7 ppm, dan 8 ppm. Sebelum diukur serapan
pada masing-masing seri konsentrasi, terlebih dahulu ditentukan panjang
gelombang maksimum pada satu konsentrasi. Kemudian masing-masing seri
konsentrasi tersebut diukur serapannya pada panjang gelombang yang telah
didapatkan dan dibuat kurva kalibrasinya. Persamaan regresi linier yang
didapatkan dari kurva kalibrasi kemudian digunakan untuk menghitung
konsentrasi sampel pada penetapan kadar etil p-metoksisinamat dalam sediaan
(Agus, 2015).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


41

3.3.8.2 Pengukuran Kadar EPMS dalam Sediaan

Sampel hasil pengenceran dari larutan indukhasil ekstraksi masing-masing


formula kemudian diukur serapannya. Serapan yang didapatkan dikurangi dengan
serapan blanko (berisi kosong tanpa zat aktif)kemudian disubstitusikan ke
persamaan regresi linear kurva kalibrasi untuk didapatkan nilai konsentrasinya.
Kemudian kadar etil p-metoksisinamat ditentukan dalam persen dengan cara
membagi hasil konsentrasi sebenarnya dengan konsentrasi teoritis dikalikan
seratus persen (Agus, 2015).

3.3.9 Uji Penetrasi Sediaan Secara In Vitro


3.3.9.1 Penyiapan Membran Difusi

Membran difusi yang digunakan adalah membran kulit abdomen tikus


putih betina galur Sprague Dawley yang berumur 2-3 bulan dengan kisaran berat
badan 150-200 gram. Tikus putih yang telah dibius dengan eter hingga mati,
kemudian dicukur bulunya pada bagian abdomen secara hati-hati dan secepat
mungkin. Kulit tersebut kemudian dipotong dan dibersihkan dari lemak subkutan
yang menempel menggunakan air mengalir (Ramadon, 2012). Kulit yang telah
bersih kemudian dipotong sesuai ukuran alat difusi lalu dimasukkan ke dalam
botol yang telah berisi larutan NaCl 0,9% fisiologis. Botol tersebut kemudian
disimpan dalam lemari pendingin bersuhu -20oC (Bartosova,Bajgar, 2012).

3.3.9.2 Pembuatan Larutan Kompartemen Reseptor

Kompartemen reseptor yang digunakan adalah Larutan EDP yang


merupakan kombinasi dapar fosfat pH 7,4 dan etanol 96% . Pembuatan dapar
fosfat pH 7,4 dilakukan dengan cara sebanyak 250 mL larutan kalium dihidrogen
fosfat 0,2 M dimasukkan ke dalam labu ukur 1000 mL, kemudian ditambahkan
kira-kira 195,5 mL larutan natrium hidroksida 0,2 M dan dilakukan pengujian pH
menggunakan pH meter hingga pH 7,4. Selanjutnya ditambahkan air suling
sampai tanda batas, kemudian labu ukur dikocok hingga larutan homogen, setelah
itu larutan dapar fosfat pH 7,4 tersebut disimpan dalam wadah tertutup rapat,
dibungkus dengan aluminium foil (Depkes RI, 1995 dalam Ramadon, 2012).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


42

Campuran etanol 96% dan dapar fosfat pH 7,4 (1:1) dibuat dengan cara
memasukkan dapar fosfat pH 7,4 sebanyak 10 mL ke dalam labu ukur 100 mL
kemudian ditambahkan etanol 96% sebanyak 50 mL dan ditambahkan dapar
fosfat pH 7,4 sampai batas garis 100 mL, dikocok hingga homogen (Agus, 2015).

3.3.9.3 Pembuatan Kurva Kalibrasi EPMS dalam Larutan Kompartemen


Reseptor (EDP)

Kristal etil p-metoksisinamat sebanyak 10 mg dilarutkan dalam 100 mL


larutan EDP untuk dibuat larutan induk 100 ppm. Larutan induk diencerkan dan
dibuat seri konsentrasi 1 ppm, 2 ppm, 3 ppm, 4 ppm, 5 ppm, 6 ppm, 7 ppm, dan 8
ppm. Sebelum diukur serapan pada masing-masing seri konsentrasi, terlebih
dahulu ditentukan panjang gelombang maksimum pada satu konsentrasi.
Kemudian masing-masing seri konsentrasi tersebut diukur serapannya pada
panjang gelombang yang telah didapatkan dan dibuat kurva kalibrasinya.
Persamaan regresi linier yang didapatkan dari kurva kalibrasi kemudian
digunakan untuk menghitung kadar etil p-metoksisinamat yang terpentrasi (Agus,
2015).

3.3.9.4 Uji Penetrasi Sediaan

Sebanyak 1 mL sediaan spray gel ditimbang dan diratakan di atas


membran. Suhu media adalah 37° ± 0,5° C dengan total volume cairan reseptor 21
mL serta diaduk dengan pengaduk magnetik dengan kecepatan 500 rpm. Proses
dilakukan selama 360 menit (Bhadra, 2016 telah dimodifikasi). Cuplikan diambil
dari media kompartemen reseptor pada menit ke 10, 30, 60, 90, 120, 180, 240,
300 dan 360 sebanyak 1 ml dan segera digantikan dengan larutan n-heksan
sejumlah volume yang sama (Anggraeni, 2008 telah dimodifikasi). Cuplikan yang
diperoleh kemudian diukur serapannya menggunakan spektrofotometer UV-Vis
pada panjang gelombang maksimal yang telah didapatkan sebelumnya. Proses
yang sama dilakukan sebanyak 2 kali pengulangan.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


43

3.3.9.5 Perhitungan Jumlah Kumulatif dan Kecepatan Penetrasi Zat Aktif

Jumlah kumulatif zat aktif yang terpenetrasi per luas area difusi (µg/cm2 )
dapat dihitung dengan rumus :
𝐶𝑛𝑉 + ∑𝑛−1
𝑖=1 𝐶. 𝑆
𝑄=
𝐴

Keterangan:
𝑄 = Jumlah kumulatif yang terpenetrasi per luas area (µg/cm2 )
𝐶𝑛 = Konsentrasi terpenetrasi pada menit ke-n
∑𝑛−1
𝑖=1 𝐶 = Jumlah konsentrasi zat pada sampling menit sebelummnya

𝑉 = Volume sel difusi (21ml)


𝑆 = Volume sampling = 1 ml
𝐴 = Luas area membrane = 3,14 cm2

Kemudian dilakukan perhitungan fluks (kecepatan penetrasi tiap satuan


waktu) obat berdasarkan hukum Fick I :

𝑀
𝐽=
𝑠𝑥𝑡
Keterangan:
𝐽 = Fluks (µg cm-2 jam-1 )
𝑀 = Jumlah kumulatif zar yang melalui membran (µg)
𝑠 = Luas area difusi (cm2)
𝑡 = waktu (jam)

Setelah itu dibuat grafik jumlah kumulatif yang terpenetrasi (µg) perluas
area difusi (cm2) terhadap waktu (jam) (Ramadon, 2012; Thakker, 2003).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


44

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Isolasi EPMS


4.1.1 Pembuatan Ekstrak Rimpang Kencur

Rimpang Kencur yang digunakan pada penelitian ini sebanyak 4 kg yang


diperoleh dari Ciamis, Jawa Barat pada bulan Desember 2017 dan telah
dideterminasi oleh Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya-LIPI, Bogor.
Determinasi terhadap tanaman yang akan diteliti bertujuan untuk mendapatkan
kebenaran identitas dari tanaman yang akan diteliti, mungkin mengandung
kesalahan dalam pengumpulan bahan utama / tercampurnya tanaman yang akan
diteliti dengan tanaman lain (Caesaria, 2009). Hasil determinasi menunjukkan
bahwa tumbuhan yang digunakan dalam penelitian merupakan rimpang kencur
(Kaempferia galanga L.). Hasil determinasi dapat dilihat di Lampiran 2.

Sampel rimpang kencur pertama-tama disortasi basah untuk memisahkan


rimpang kencur dari rumput, batang, dan daun, lalu dilakukan pencucian dengan
air mengalir untuk menghilangkan pengotor dan tanah yang menempel pada
sampel. Selanjutnya sampel dirajang membentuk irisan tipis-tipis untuk
mempercepat proses pengeringan. Proses pengeringan dilakukan menghilangkan
kandungan air dalam sampel. Setelah sampel benar-benar kering, selanjutnya
sampel diblender untuk memperkecil ukuran partikelnya sampai menjadi serbuk.
Sampel dalam bentuk serbuk lebih mudah diambil kandungan kimianya. Serbuk
simplisia yang dihasilkan yaitu sebanyak 600 gram dan berwarna kuning
kecoklatan.
Pada penelitian ini metode untuk mengekstraksi rimpang kencur adalah
metode maserasi dengan pelarut n-heksan. Metode maserasi memiliki kelebihan
yaitu mudah dilakukan dan tidak perlu pemanasan, sehingga kecil kemungkinan
bahan alam menjadi rusak atau terurai (Istiqomah, 2013, dalam Susanty, 2016).
Sebanyak 600 g serbuk simplisia yang diperoleh diekstraksi dengan pelarut n-
heksana. N-heksana yang digunakan sebelumnya telah dimurnikan. Pelarut n-
heksan digunakan sebagai pelarut ekstraksi karena kepolaran EPMS lebih

44 UIN Syarif Hidayatullah jakarta


45

mendekati n-heksan, karena dalam EPMS terdapat dua gugus yang mendukung
sifat non-polar yaitu gugus eter dan lingkar benzene, sedangkan gugus yang
mendukung ke arah polar hanya satu yaitu adanya karbonil dalam gugus eter
(Taufikurohmah, Rusmini, dan Nurhayati, 2008, dalam Robbani, 2015). Maserasi
dilakukan selama 3-5 hari dengan sesekali dilakukan pengadukan dengan cara
wadah digoyang-goyangkan agar pelarut dapat melarutkan sampel dengan
sempurna.
Hasil maserasi kemudian dipekatkan dengan vacuum rotatory evaporator.
Evaporasi ini dilakukan untuk menguapkan pelarut kembali agar didapatkan
ekstrak kental dari rimpang kencur. Ekstrak kental rimpang kencur yang
didapatkan sebanyak 337,162 gram, selanjutnya didiamkan pada suhu ruang agar
terbentuk kristal. Hal ini berdasarkan penelitian Umar, dkk. (2012) yang
melaporkan bahwa hampir 80% dari ekstak kental kencur yang didapatkan akan
mengkristal saat didiamkan pada suhu ruang.

4.1.2 Isolasi Kristal EPMS dari Ekstrak Rimpang Kencur

Kristal hasil ekstraksi kemudian direkristalisasi untuk mendapatkan kristal


EPMS murni dengan cara dilarutkan lagi dengan n-heksana dan beberapa tetes
metanol pro analisis. Penggunaan pelarut n-heksan dan metanol pada tahap ini
bertujuan untuk memisahkan senyawa semi polar yang sulit terpisah dari kristal
EPMS (Mufidah, 2014 dalam Nurmeilis, 2016). Kristal EPMS yang diperoleh
sebanyak 51,56 gram, sehingga presentase rendemen kristal yang didapatkan
adalah 15,29 %. Selanjutnya perlu dilakukan identifikasi dan uji kemurnian untuk
mengetahui kemurnian dari kristal hasil isolasi. Hasil perhitungan rendemen
kristal dapat dilihat di Lampiran 3.

4.2 Identifikasi dan Uji Kemurnian


4.2.1 Pemeriksaan organoleptic

Warna: Putih
Bentuk: Kristal Jarum
Bau: Aromatik khas lemah

UIN Syarif Hidayatullah jakarta


46

Gambar 4.1 Kristal etil p-metoksisinamat hasil isolasi


[Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2017]

Hasil pemeriksaan organoleptik menunjukkan bahwa kristal yang


didapatkan memiliki bentuk kristal jarum, berwarna putih serta memiliki aromatik
khas lemah. Pemeriksaan organoleptik bertujuan untuk melihat identitas kristal
etil p-metoksisinamat hasil isolasi.

4.2.2 Pegukuran Titik leleh

Tabel 4.1 Tabel Data Hasil Uji Titik Leleh


Pengujian ke- Hasil Titik Leleh (oC)
1 49
2 49
3 50
Rata-rata 49,33

Hasil pengukuran titik leleh menggunakan apparatus melting point


sebanyak 3 kali (triplo) menunjukkan bahwa rata-rata titik leleh kristal EPMS
yaitu 49,33ºC. Hasil ini sesuai dengan nilai titik leleh EPMS murni yaitu 49-50 ºC
(Umar,dkk., 2012).

4.2.3 Pengujian Kromatografi Lapis Tipis (KLT)

Kristal EPMS yang telah didapatkan lalu diidentifikasi kemurniannya


menggunakan KLT dengan eluen n-heksana : etil asetat perbandingan 9 : 1.

UIN Syarif Hidayatullah jakarta


47

4 cm
2.5 cm

Gambar 4.2 Plat KLT etil p-metoksisinamat hasil isolasi


[Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2017]

Hasil Rf yang diperoleh dari uji KLT adalah 0,625 cm. Rf kristal etil p-
metoksisinamat hasil isolasi dan kristal etil p-metoksisinamat standar (telah di
validasi) menunjukkan nilai yang sama dan memiliki spot yang sama, sehingga
kristal etil p-metoksisinamat hasil isolat dapat dikatakan murni. Perhitungan Rf
dapat dilihat pada lampiran 3.

4.2.4 Identifikasi EPMS Menggunakan GCMS

Hasil identifikasi EPMS menggunakan GCMS menunjukkan bahwa kristal


EPMS hasil isolasi muncul pada waktu retensi 9,856 menit, dengan berat molekul
206,0 dan fragmentasi massa 161, 134, 118, 89, 63, dan 44. Sementara itu,
interpretasi GC-MS kristal EPMS standar muncul pada waktu retensi 9,917 menit,
dengan berat molekul 206,1 dan fragmentasi massa 161, 134, 118, 89, 76, 63, dan
50.

Berdasarkan penelitian Umar, dkk. (2012) yang melaporkan bahwa


senyawa EPMS muncul pada waktu retensi 9,9 dengan bobot molekul 206,4 dan
fragmentasi massa pada 161, 134, 118, 89, 77, 63, dan 51. Kristal EPMS hasil
isolasi dikatakan murni ketika waktu retensi, fragmentasi, dan nilai persen area
kristal EPMS hasil isolasi sama dengan waktu retensi, fragmentasi, dan nilai
persen area kristal EPMS standar yaitu 100%. Berikut merupakan hasil
kromatogram kristal EPMS standar dan isolate kristal EPMS:

UIN Syarif Hidayatullah jakarta


48

(a)

(b)
Gambar 4.3 Kromatogram etil p-metoksisinamat standar (telah di validasi)
Ket; (a) waktu retensi, (b) fragmentasi massa dan bobot molekul
[Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2018]

UIN Syarif Hidayatullah jakarta


49

(a)

(b)
Gambar 4.4 Kromatogram isolat etil p-metoksisinamat
Ket; (a) waktu retensi, (b) fragmentasi massa dan bobot molekul
[Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2018]

UIN Syarif Hidayatullah jakarta


50

4.3 Pembuatan Sediaan Spray Gel EPMS

Tabel 4.2 Komposisi Formula Spray Gel Etil p-metoksisinamat


Bahan Banyaknya (%) Fungsi
Kristal EPMS 1 Zat Aktif
Menthol 0,05 Cooling senzation
Na CMC 1 Gelling agent
Kopovidon 1 Polimer film
Propilen glikol 2,7 Pelarut
Metil Paraben 0,18 Pengawet
Propil Paraben 0,02 Pengawet
Etanol 96% 20,00 Pelarut
Ad Aquadest 100,00 Pelarut

Pembuatan sediaan dilakukan berdasarkan formula dan metodologi yang


pernah dilakukan sebelumnya dan telah dievaluasi secara fisika dan kimia pada
penelitian Wikhdatul, 2017. Berdasarkan penelitian tersebut diambil satu formula
sediaan yang dianggap paling stabil secara fisika dan kimia yaitu Formula 2 untuk
dilakukan uji lanjutan yaitu uji penetrasi. Bahan-bahan yang digunakan untuk
membuat sediaan yaitu kristal EPMS sebagai zat aktif, natrium karboksimetil
selulosa (Na CMC) sebagai gelling agent atau pembentuk gel, kopovidon sebagai
polimer film, propilen glikol sebagai plasticizer dan pelarut, menthol sebagai
bahan peningkat penetrasi atau enhancer dan memberikan efek menyejukan saat
diaplikasikan ke kulit, metil paraben dan propil paraben sebagai pengawet, etanol
96% sebagai pelarut dan agen yang mempercepat penguapan, serta aquadest
sebagai pelarut.

Proses pencampuran Na CMC dan kopovidon menghasilkan gel yang


bening agak sedikit lengket namun mudah disemprotkan. Ketika ditambahkan
menthol sediaan berubah warna menjadi agak putih, kemudian ditambahkan zat
aktif berupa EPMS dari rimpang kencur terjadi perubahan warna menjadi putih
keruh, namun setelah penambahan air sediaan kembali berwarna putih, hal
tersebut menunjukkan bahwa ekstrak telah larut di dalam sediaan spray gel,
namun sediaan berwarna putih karena perbedaan jenis Na CMC yang digunakan
dalam pembuatan sediaan. (Wikhdatul, 2017, telah dimodifikasi).

UIN Syarif Hidayatullah jakarta


51

4.4 Evaluasi Fisik Sediaan Spray Gel


4.4.1 Pemeriksaan organoleptik

Tabel 4.3 Hasil Pemeriksaan Organoleptik


Hari ke- Warna Bau Bentuk
0 Putih Khas Cairan agak kental dan agak lengket
7 Putih Khas Cairan agak kental dan agak lengket
14 Putih Khas Cairan agak kental dan agak lengket
21 Putih Khas Cairan agak kental dan agak lengket

Hasil pemeriksaan organoleptik pada Tabel 4.3 dan Lampiran 4


menunjukkan bahwa formula menghasilkan sediaan spray gel dengan zat aktif etil
p-metoksisinamat berwarna putih, memiliki bau berupa bau khas alkohol, serta
bentuk sediaan berupa cairan gel agak kental dan agak lengket. Sediaan yang
dihasilkan bersifat stabil secara organoleptik dalam suhu ruang (27º- 28ºC). Hal
tersebut karena sediaan tidak mengalami perubahan bau, warna, bentuk dan
pertumbuhan jamur.

4.4.2 Pemeriksaan Homogenitas

Hasil pemeriksaan homogenitas sediaan spray gel EPMS pada suhu ruang
(27- 28 ºC) dari hari ke-0, 7, 14, dan 21 menunjukkan bahwa semakin lama
penyimpanan, maka sediaan semakin tidak homogen karena jenis Na CMC yang
digunakan kurang kompatibel dalam formula (Lampiran 4). Dalam sediaan tidak
ditemukan pembentuk gel yang masih menggumpal. Namun dari hasil
penyimpanan pada hari ke-21 diketahui bahwa sediaan mulai mengendap. Hal ini
mungkin terjadi karena pengupan pelarut pada sediaan selama masa penyimpanan.
Pemeriksaan homogenitas bertujuan untuk melihat distribusi partikel dalam
sediaan (Mumtihanah, 2015).

UIN Syarif Hidayatullah jakarta


52

4.4.3 Pemeriksaan pH

Tabel 4.4 Hasil Pemeriksaan pH


Hari ke- pH
0 6,620
7 6,410
14 6,341
21 6,285

pH Spray gel
6,8
6,6
pH

6,4
6,2
Spray gel
6
0 7 14 21
Waktu (hari)

Gambar 4.5 Grafik pH sediaan Spray Gel EPMS

Hasil pemeriksaan pH dapat dilihat pada tabel 4.4 dan grafik gambar 4.5
yang menunjukkan nilai pH dari sediaan spray gel EPMS selama penyimpanan.
Pengamatan nilai pH dilakukan pada hari ke 0, 7, 14, dan 21. Berdasarkan data
tersebut dapat dilaporkan bahwa nilai pH sediaan mengalami penurunan setiap
minggu, hal tersebut dapat disebabkan oleh faktor lingkungan seperti suhu dan
penyimpanan yang kurang baik. Sediaan kulit sebaiknya memiliki pH yang
kurang lebih sama dengan pH kulit sehingga tidak mudah mengiritasi kulit yaitu
antara 5-7 (Swastika dkk., 2013). Pada penelitian ini pH memenuhi pH normal
kulit yaitu 6,28 – 6,62.

UIN Syarif Hidayatullah jakarta


53

4.4.4 Pemeriksaan Viskositas

Tabel 4.5 Hasil Pemeriksaan Viskositas


Hari ke- Viskositas (cps)
0 3.200
7 2.930
14 2.830
21 2.420

Viskositas Spray gel


4000
Viskositas

3000
2000
1000 Spray gel
0
0 7 14 21
Waktu (hari)

Gambar 4.6 Grafik viskositas sediaan Spray Gel EPMS

Hasil pemeriksaan viskositas sediaan spray gel EPMS pada hari ke-0, 7,
14, dan 21 berturut-turut adalah 3.200 cps, 2.930 cps, 2.830 cps, dan 2.420 cps,
viskositas tersebut termasuk ke dalam rentang viskositas sediaan spray gel yaitu
500-5000 cps (Nisak, 2016). Selama penyimpanan 21 hari sediaan mengalami
penurunan viskositas, namun masih termasuk dalam rentang.

Pengukuran viskositas sediaan gel yang telah diformulasi menggunakan


viskometer Brookfield LV spindel no.3 dengan kecepatan 30 rpm. Pemeriksaan
viskositas pada sediaan spray gel bertujuan untuk mengetahui ketahanan sediaan
untuk mengalir melalui aplikator semprot (Wikhdatul, 2017). Sediaan spray gel
memiliki nilai viskositas yang rendah dengan tujuan mempermudah
pengaplikasian dengan cara disemprotkan (Shafira, dkk., 2015).

4.4.5 Pemeriksaan Pola Penyemprotan dan Bobot Per Semprot

Hasil pengujian pola penyemprotan sediaan spray gel pada jarak 3 cm, 5
cm, 10 cm, dan juga 15 cm dapat dilihat pada Lampiran 5. Diameter pola
penyemprotan yang terbentuk setelah diukur menggunakan mistar untuk sediaan
spray gel berbanding lurus dengan jarak penyemprotannya. Semakin jauh jarak

UIN Syarif Hidayatullah jakarta


54

semprotnya, maka semakin besar pula diameter pola penyemprotan yang


dihasilkan (Wikhdatul, 2017). Semakin besar diameter yang dihasikan berarti
semakin besar area kontak obat dengan kulit sehingga semakin banyak obat yang
dapat berpenetrasi ke dalam kulit.

4.4.6 Pemeriksaan Daya Sebar lekat

Hasil pemeriksaan daya sebar lekat menunjukkan bahwa sediaan dapat


melekat setelah disemprotkan di kulit lengan bagian atas selama waktu pengujian
10 detik, dan membentuk lapisan yang kuat sehingga dapat menempel pada kulit
dan tidak mengalir. Daya sebar lekat dipengaruhi oleh viskositas sediaan.
Semakin rendah viskositas sediaan maka daya sebar lekat sediaan semakin mudah
mengalir atau tidak terlalu melekat, sedangkan semakin tinggi viskositas sediaan
maka daya sebar lekat semakin mudah melekat (Dwi, 2017).

Berdasarkan penelitian Mappa, dkk., 2013, pemeriksaan daya sebar lekat


bertujuan mengetahui kecepatan penyebaran dan menjamin pemerataan sediaan
saat diaplikasikan pada kulit. Daya sebar yang baik menyebabkan kontak antara
obat dengan kulit menjadi luas, sehingga absorpsi obat ke kulit dapat berlangsung
cepat (Aryani, 2015). Hasil pemeriksaan daya sebar lekat dapat dilihat pada
Lampiran 6.

4.5 Penetapan Kadar EPMS dalam Sediaan


4.5.1 Pembuatan Kurva Kalibrasi EPMS dalam Metanol

Pembuatan kurva kalibrasi EPMS dalam metanol dilakukan menggunakan


alat spektrofotometri UV-Vis untuk mendapatkan persamaan regresi linier yang
akan digunakan saat menetapkan kadar EPMS dalam sediaan spray gel. Alasan
penggunaan metanol sebagai pelarut karena EPMS sangat mudah larut dalam
metanol (Agus, 2015). Tahap awal yang harus dilakukan adalah menentukan
panjang gelombang maksimum EPMS dalam metanol. Hasil pengukuran panjang
gelombang yang didapatkan pada puncak serapan yaitu 308,6 nm. Penelitian Agus
(2015) melaporkan bahwa panjang gelombang EPMS dengan pelarut metanol
yaitu 308,2 nm. Berdasarkan literatur tersebut, maka panjang gelombang
maksimum yang diperoleh tersebut dapat digunakan untuk melakukan optimasi

UIN Syarif Hidayatullah jakarta


55

pada pembuatan kurva kalibrasi EPMS dan pengukuran kadar EPMS dalam
sediaan.

Pembuatan kurva kalibrasi EPMS dalam metanol pada panjang gelombang


maksimum 308,6 nm menghasilkan persamaan regresi linier y= 0,1066x + 0,018
dengan nilai koefisien relasi = 0,9953. Data kurva kalibrasi EPMS dalam metanol
dapat dilihat pada Lampiran 7.

4.5.2 Pengukuran Kadar EPMS dalam Sediaan

Pengukuran kadar EPMS dalam Sediaan dilakukan dengan cara


mengekstraksi EPMS dari sediaan. Ekstraksi tersebut dilakukan dengan cara
melarutkan sediaan di dalam metanol (Agus, 2015). Metanol dipilih sebagai
pelarut pengekstraksi sebab EPMS sangat mudah larut dalam metanol. Larutan
hasil ekstraksi kemudian dilakukan pengenceran dengan konsentrasi 5 ppm.
Larutan hasil pengenceran kemudian diukur serapannya menggunakan
spektrofotometri UV-Vis pada panjang gelombang 308,6 nm. Perlakuan ini
diulangi hingga 3 kali pengulangan pada titik pengambilan yang berbeda.

Perlakuan tersebut juga dilakukan terhadap basis sediaan tanpa EPMS.


Kemudian hasil absorbansi sampel yang didapatkan dikurangi dengan absorbansi
basis tanpa EPMS. Data hasil pengukuran kadar EPMS dalam sediaan dapat
dilihat pada Lampiran 8. Berdasarkan hasil penetapan kadar diketahui bahwa
kadar EPMS dalam sediaan spray gel adalah 0,97 %.

Metode Spektrofotometri UV-Vis merupakan metode yang cepat,


sederhana dan mudah penanganannya (Henry, dkk. 2002). Metode
spektrofotometri juga sering digunakan sebagai analisa kuantitatif untuk
penetapan kadar suatu senyawa, karena kurva kalibrasi hasil spektrofotometri
dapat digunakan secara berulang-ulang untuk jumlah sampel yang banyak
(Iskandar, 2017).

UIN Syarif Hidayatullah jakarta


56

4.6 Uji Penetrasi Sediaan Secara In Vitro


4.6.1 Pembuatan Kurva Kalibrasi EPMS dalam Larutan Kompartemen
Reseptor (EDP)

Pembuatan kurva kalibrasi EPMS untuk uji penetrasi sama halnya dengan
pembuatan kurva kalibrasi untuk penetapan kadar EPMS dalam sediaan.
Perbedaannya terletak pada pelarut yang digunakan untuk melarutkan standar
EPMS. Penelitian Agus (2015) mengatakan bahwa panjang gelombang
maksimum standar EPMS dalam larutan EDP yaitu 310,2 nm. Sementara, hasil
pengukuran panjang gelombang maksimum EPMS dalam larutan EDP adalah
309,6 nm. Persamaan regresi linier hasil pembuatan kurva kalibrasi yaitu y=
0,1068x – 0,0193 dengan nilai koefisien relasi = 0,9966. Kurva kalibrasi EPMS
dalam larutan EDP dapat dilihat pada Lampiran 9.

4.6.2 Penyiapan Membran Sel Difusi dari Kulit Tikus

Membran sel difusi yang digunakan dalam uji penetrasi secara in vitro
dapat berupa membran biologis hewan atau membran artificial seperti membran
selofan. Pada penelitian ini, membran yang digunakan adalah membran dari kulit
abdomen tikus putih betina galur Sprague dawley yang berumur 2-3 bulan dengan
kisaran berat 150-200 gram. Membran yang digunakan diseleksi dengan ketebalan
0,6 ± 0,1 mm dan luas membran 3,14 cm2 disesuaikan dengan alat uji difusi.
Alasan penggunaan kulit tikus sebagai membran difusi karena mudah didapatkan
dan permeabilitias kulit tikus yang mendekati permeabilitas kulit manusia.
Koefisien permeabilitias kulit manusia sebesar 93 cm/jam x 105, sedangkan kulit
tikus yang telah dicukur bulunya memiliki koefisien permeabilitas sebesar 103
cm/jam 105 (Kielhorn, Kollmuβ, Mangelsdorf, 2006). Kelemahan penggunaan
kulit tikus sebagai membran difusi yaitu kulit tikus memiliki luas penampang
yang kecil. Untuk mengatasinya, kulit diambil pada daerah yang sama sehingga
memperkecil variasi tempat yang akan digunakan untuk uji penetrasi (hadyanti,
2008).

Tikus yang telah dikondisikan dengan lingkungannya terlebih dahulu


dibius dengan eter kemudian dipastikan sudah tidak bernyawa. Setelah itu, bagian

UIN Syarif Hidayatullah jakarta


57

kulit abdomen dipotong dan dibersihkan dari lemak-lemak subkutan yang


mungkin masih menempel, digunting bulu-bulunya dan dicukur menggunakan
pisau pencukur dengan hati-hati sampai kulit tikus bersih dari bulu-bulu.
Pencukuran bulu pada kulit dilakukan secepat mungkin agar tidak terjadi luka
pada kulit yang dapat berpengaruh terhadap laju penetrasi suatu obat (Nisa ,2013).
Lemak subkutan yang masih menempel pada kulit dapat mengganggu penetrasi
EPMS dalam kulit (Romadon, 2012). Setelah itu kulit dicuci dengan air dan
dibilas dengan larutan NaCl 0,9% fisiologis untuk melepaskan sisa jaringan yang
masih melekat. Kemudian dipotong sesuai dengan ukuran yang telah ditentukan,
lalu disimpan di dalam botol yang berisi NaCl 0,9% fisiologis pada suhu -20oC.
Penyimpanan kulit segar dapat bertahan selama 1 bulan jika disimpan pada suhu -
20oC dan tidak memiliki efek relevan pada permeabilitas in vitro baik kulit
manusia maupun kulit hewan (Bartosova, Bajgar, 2012).

4.6.3 Pengujian Penetrasi EPMS

Pada penelitian ini dilakukan pengujian penetrasi EPMS secara in vitro


menggunakan sel difusi franz. Uji penetrasi bertujuan untuk mengetahui jumlah
zat aktif yang terpenetrasi melalui kuit selama interval waktu tertentu dari sediaan
yang telah dibuat (Bartosova, bajgar, 2012).

Hal yang perlu diperhatikan pada uji penetrasi secara in vitro adalah
kelarutan zat aktif. Pada pengujian ini EPMS harus larut dalam cairan
kompartemen reseptor yang digunakan. Medium kompartemen resptor yang
digunakan pada pengujian ini adalah larutan EDP, yaitu larutan campuran yang
terdiri dari etanol 96% dan dapar fosfat pH 7,4 dengan perbandingan 1:1. Dapar
fosfat pH 7,4 dipilih untuk medium reseptor sebagai simulasi cairan biologis
tubuh, sementara etanol 96% pada medium reseptor digunakan sebagai bahan
pensolubilisasi. Pemilihan larutan ini berdasarkan struktur EPMS yang bersifat
hidrofobik, sehingga EPMS akan sulit larut dalam medium kompartemen reseptor
jika medium yang digunakan air atau dapar fosfat pH 7,4, maka diperbolehkan
untuk menambahkan bahan pensolubilisasi ke dalam kompartemen reseptor yaitu
etanol 96% (Romadon, 2012 telah dimodifikasi).

UIN Syarif Hidayatullah jakarta


58

Sebelum dilakukan uji penetrasi, membran kulit tikus yang disimpan pada
suhu -20oC diambil, kemudian direndam pada medium kompartemen reseptor
selama 10-30 menit. Perendaman ini bertujuan untuk mengkondisikan kulit seperti
sebelum dilakukan penyimpanan (Bartosova, Bajgar, 2012). Sediaan ditimbang
sebanyak 200 mg dan diratakan di atas membran yang telah diletakkan di atas alat
uji difusi. Penentuan bobot sediaan yang diaplikasikan berdasarkan luas membran
dan penyebaran sediaan yang merata. Pengaplikasian sediaan dengan bobot yang
terlalu besar pada luas membran yang kecil akan menyebabkan terjadinya
penumpukan sediaan pada lapisan atas membran. Sehingga zat aktif tidak
sepenuhnya terlepas dari sediaan dan hanya tertinggal di permukaan membran
kulit uji (Simanjuntak, 2006).

Pengujian dilakukan selama 8 jam, dengan suhu medium kompartemen


reseptor 37 ± 0,5oC disesuaikan dengan suhu tubuh. Total volume cairan reseptor
yaitu 21 mL dengan kecepatan pengadukan 500 rpm. Pencuplikan dilakukan pada
menit ke 10, 30, 60, 90, 120, 180, 240, 300, 360, 420, dan 480 (Anggraeni, 2008).
Pencuplikan sebanyak 1 mL dan digantikan dengan medium kompartemen
reseptor yang baru dengan volume yang sama untuk mempertahankan sink
condition (Lachman et al, 1994). Hasil cuplikan kemudian dilakukan pengenceran
dan diukur serapannya menggunakan spektrofotometri UV-Vis pada panjang
gelombang maksimum 309,6 nm (Agus, 2015 telah dimodifikasi).

4.6.4 Jumlah Kumulatif Zat Aktif Terpenetrasi Per Luas Area

Jumlah kumulatif zat aktif terpenetrasi per luas area dapat dihitung dari
data absorbansi hasil pengukuran menggunakan spektrofotometri UV-Vis.
Perhitungan jumlah kumulatif zat aktif yang terpenetrasi dapat dilihat pada
Lampiran 10. Data hasil perhitungan jumlah kumulatif difusi EPMS per luas area
dapat dilihat pada Tabel 4.6. Jumlah kumulatif difusi EPMS per luas area dari
sediaan spray gel, sedangkan grafik jumlah kumulatif EPMS per luas area dapat
dilihat pada Gambar 4.7. Sementara Tabel 4.7 menunjukkan data presentase
kumulatif difusi EPMS.

UIN Syarif Hidayatullah jakarta


59

Tabel 4.6 Jumlah Kumulatif Difusi EPMS Per Luas Area dari Sediaan Spray Gel
Waktu Jumlah kumulatif zat aktif
(Jam) terpenetrasi (µg/cm2)
0 0,00 ± 0,00
0,167 29,17 ± 1,65
0,5 40,33 ± 6,90
1 66,44 ± 6,95
1,5 92,24 ± 28,17
2 104,35 ± 4,39
3 138,03 ± 24,26
4 141,11 ± 9,29
5 146,58 ± 35,10
6 152,41 ± 13,26
7 164,33 ± 17,09
8 174,51 ± 18,22

Jumlah Kumulatif Zat Aktif Terpenerasi


terpenetrasi (µg/cm2)

200
Jumlah zat aktif

150
100
50 Spray gel
0
0 2 4 6 8 10
Waktu (Jam)

Gambar 4.7 Grafik jumlah kumulatif EPMS yang berdifusi per luas area

UIN Syarif Hidayatullah jakarta


60

Tabel 4.7. Presentase Kumulatif Difusi EPMS Per luas Area


Waktu % kumulatif difusi EPMS
(Jam) Per Luas Area
0 0,00 ± 0,00
0,167 4,72 ± 5,66
0,5 6,52 ± 17,11
1 10,75 ± 10,46
1.5 14,92 ± 30,54
2 16,88 ± 4,21
3 22,34 ± 17,57
4 22,84 ± 6,58
5 23,72 ± 23,95
6 24,66 ± 8,70
7 26,59 ± 10,40
8 28,24 ± 10,44

Dari hasil difusi EPMS selama 8 jam pada tabel 4.6 dan tabel 4.7 dapat
diketahui bahwa jumlah kumulatif zat aktif terpenetrasi per luas area melalui
membran kulit tikus dan nilai presentase kumulatif difusi EPMS per luas area
tertinggi pada jam ke-8 yang dihasilkan oleh sediaan spray gel yaitu 174,51
µg/cm2 dan 28,24 %. Nilai tersebut menunjukkan kadar EPMS yang terdapat di
dalam cairan reseptor. Berdasarkan data Gambar 4.7 menunjukkan bahwa EPMS
yang terpenetrasi ke dalam membran kulit semakian lama semakin banyak dan
terakumulasi di dalam cairan kompartemen reseptor, namun setelah jam ke-3,
jumlah zat aktif yang terpenetrasi kenaikannya semakin sedikit. Faktor yang
dapat mempengaruhi jumlah zat aktif yang terpenetrasi yaitu terjadinya
penguapan pelarut (etanol 96%) saat penyimpanan sediaan ataupun saat preparasi
penetrasi, sehingga kemungkinan zat aktif yang berdifusi sebagian tertinggal
dalam jaringan kulit tikus yang digunakan sebagai membran difusi. Oleh karena
itu jumlah total EPMS yang berdifusi sebenarnya lebih besar dari nilai terukur
dalam cairan reseptor (Anggraeni, 2008; Allen dan Ansel, 2014).

Hal-hal yang dapat mempengaruhi kinetik absorpsi obat topikal, yaitu


lokasi pemberian, kondisi kulit, konsentrasi obat dan luas area pemberian, serta
pemberian obat secara berulang. Selain itu, faktor pH dan konsentrasi obat juga

UIN Syarif Hidayatullah jakarta


61

memengaruhi interaksi antar obat, enhancer dan kulit. Enhancer atau agen
peningkat penetrasi dapat mengubah integritas kulit, sehingga meningkatkan
absorpsi ke dalam kulit (Aliska, 2015).

Agen peningkat penetrasi yang terkandung dalam sediaan spray gel EPMS
yaitu alkohol 96%, dan propilen glikol. Alkohol sebagai enhancer dapat
mengekstrak lipid dan protein pada stratum korneum sehingga kepolaran stratum
korneum meningkat dan senyawa hidrofilik dapat masuk menembus stratum
korneum. Alkohol juga meningkatkan kelarutan zat lipofilik dalam area lipofilik
stratum korneum (Kielhorn, Kollmuβ, Mangelsdorf, 2006). Sedangkan propilen
glikol sebagai enhancer mampu meningkatkan penetrasi senyawa lipofilik.
Propilen glikol sebagai enhancer hanya dapat terjadi pada senyawa yang lebih
larut dalam alkohol daripada air. Hal ini sesuai dengan sifat kelarutan EPMS yang
lebih larut dalam alkohol daripada air (Nuebert, 2006). Selain itu, menthol sebagai
cooling senzation berinteraksi langsung dengan reseptor dingin tubuh sehingga
memberikan sensasi dingin dan menyegarkan, selain itu menthol juga bisa
berperan sebagai enhancer dengan mengganggu struktur lipid dari stratum
korneum, meningkatkan kemampuan difusi obat dengan meningkatkan koefisien
partisi obat. Menthol juga dapat meningkatkan konduktivitas elektrik dari jaringan
sehingga terbentuk pori-pori yang polar dari stratum korneum (Kamatou, 2013).

Selain enhancer, adanya kadar air yang mendominasi dalam sediaan spray
gel juga dapat menghidrasi kulit. Efek hidrasi ini akan meningkatkan kadar air, di
mana air akan membuka struktur lapisan tanduk yang kompak dan juga benang-
benang keratin dari stratum korneum akan mengembang sehingga kulit menjadi
lebih permeabel (Djajadisastra dkk, 2008). Hidrasi stratum korneum merupakan
salah satu faktor utama yang meningkatkan penetrasi zat aktif baik hidrofilik atau
lipofilik melalui membran (Simanjuntak, 2006). Umumnya stratum korneum
mengandung 5-20% air, dan dapat meningkat hingga diatas 50% ketika terjadi
hidrasi. Terjadinya hidrasi kulit maka akan meningkatkan penetrasi obat
(Kielhorn, Kollmuβ, Mangelsdorf, 2006).

Laju pelepasan obat juga dipengaruhi oleh afinitas pembawa obat dan sifat
fisikokimia obat seperti kelarutan obat, partisi antar muka obat dari formulasi

UIN Syarif Hidayatullah jakarta


62

menentukan tingkat laju pelepasan obat. Obat harus mempunyai afinitas yang
lebih besar terhadap kulit daripada pembawa (Sri, 2017). Sediaan spray gel
memiliki afinitas yang kecil, karena kelarutan EPMS dalam pembawa berair yang
rendah sehingga menyebabkan EPMS lebih mudah terlepas dari pembawanya, hal
ini akan memudahkan EPMS berdifusi ke dalam stratum korneum (Simanjuntak,
2006).

4.6.5 Fluks Penetrasi

Fluks penetrasi EPMS dapat dihitung dari data jumlah kumulatif EPMS
terpenetrasi. Data hasil perhitungan dapat dilihat pada Lampiran 11. Berdasarkan
hasil perhitungan tersebut didapatkan hasil sebagai berikut.

Tabel 4.8 Kecepatan Penetrasi (Fluks) EPMS Tiap Satuan Waktu


Waktu Fluks penetrasi
(Menit) (µg cm-2 jam-1)
0 0,00 ± 0,00
10 174,72 ± 9,90
30 80,67 ± 13,80
60 66,44 ± 6,95
90 61,49 ± 18,78
120 52,17 ± 2,19
180 46,01 ± 8,08
240 35,27 ± 2,32
300 29,31 ± 7,02
360 25,40 ± 2,21
420 23,47 ± 2,44
480 21,81 ± 2,27

UIN Syarif Hidayatullah jakarta


63

Fluks Penetrasi

Fluks penetrasi (µg cm-


200

2 jam-1)
100
Spray Gel
0
0 100 200 300 400 500 600
Waktu (menit)

Gambar 4.8 Grafik Fluks Penetrasi EPMS Tiap Satuan Waktu

Berdasarkan data pada tabel 4.8. dapat diketahui bahwa nilai fluks
penetrasi sediaan spray gel meningkat pada menit ke-10 yaitu 174,72 µg cm-2 jam-
1
. Grafik fluks penetrasi EPMS tiap satuan waktu dapat dilihat pada Gambar 4.8.
Kurva menaik menunjukkan bahwa gradien konsentrasi antara kompartemen
donor dan reseptor donor besar, sedangkan kurva menurun disebabkan karena
konsentrasi EPMS di kompartemen donor mulai berkurang. Berdasarkan kurva
tersebut dapat dilihat bahwa titik maksimal pada sediaan spray gel terjadi pada
menit ke-10, sehingga dapat disimpulkan bahwa pada menit ke-10 terjadi
penetrasi EPMS dalam jumlah terbesar dibandingkan pada waktu yang lainnya.
Sehingga dapat dikatakan bahwa sediaan spray gel EPMS memiliki penetrasi yang
cepat pada saat awal pengaplikasian sediaan ke dalam kulit. Menurut Hukum
Ficks I, kecepatan penetrasi senyawa berbanding lurus dengan jumlah kumulatif
zat aktif terpenetrasi per luas area. Oleh karena itu, faktor-faktor yang
mempengaruhi jumlah kumulatif EPMS yang terpenetrasi per luas area turut
mempengaruhi kecepatan penetrasi EPMS melalui membran difusi (Anggraeni,
2008 dalam Agus 2015).

UIN Syarif Hidayatullah jakarta


BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian uji penetrasi secara in vitro menggunakan sel


difusi franz dengan kulit abdomen tikus betina galur Sprague Dawley sebagai
membran difusi didapatkan jumlah kumulatif zat aktif per luas area yang tertinggi
terjadi pada jam ke-8 yaitu 174,51 µg/cm2 dan presentase kumulatif EPMS yang
terpenetrasi per luas area adalah 28,24 %. Sedangkan kecepatan penetrasi EPMS
yang tertinggi terjadi pada menit ke-10 yaitu 174,72 µg.cm-2.jam-1. Berdasarkan
data tersebut dapat disimpulkan bahwa sediaan spray gel EPMS mampu
berpenetrasi dengan cepat saat awal pengaplikasian ke dalam kulit.

5.2 Saran
a. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang pengaruh variasi pemakaian
menthol pada uji penetrasi sediaan spray gel EPMS, karena ternyata menthol
juga bisa digunakan sebagai enhancer.
b. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang uji penetrasi menggunakan
membran kulit manusia.

64 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


DAFTAR PUSTAKA
Aliska, Gestina. 2015. Berbagai faktor Yang Mempengaruhi Pemberian Obat
Secara Topikal. MDVI. Vol. 42 No. 1. 38-46.
Allen, L. V., & Ansel H. C. 2014. Ansel’s Pharmaceutical Dosage Forms and
Drug Delivery Systems. Tenth Edition. Philadelpia: Lippincott Williams &
Wilkins. 343-344.
Afriastini. 1990. Daftar Jenis Nama Tanaman. Penebar Swadaya. Jakarta.
Agus, Charinna. 2015. Evaluasi Daya Penetrasi Etil p-metoksisinamat Hasil
Isolasi Dari Rimpang Kencur (Kaempferia galanga Linn.) Pada Sediaan
Salep, Krim, dan Gel. Jakarta: Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, UIN
Syarif Hidayatullah.
Annissa, Lulu. 2017. “Formulasi dan Uji Stabilitas Fisika-Kimia Sediaan Gel Etil
p-Metoksisinamat dari Rimpang EKncur *Kempferia galanga L.)”. Jakarta:
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan,UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Anggraeni, C.A. 2008. Pengaruh Bentuk Sediaan Krim, Gel, dan Salep Terhadap
Penetrasi Aminofilin Sebagai Antiselulit Secara In Vitro Menggunakan Sel
Difusi Franz. Skripsi Sarjana Farmasi :Universitas Indonesia.
Ansel,H.C., 1989. Pengatar Bentuk sediaan Farmasi.Edisi 4. UI Press. Jakarta.
Aroonrerk N, Kamkaen N. Anti-inflamatory Activity of Querous Infectoria
Glycyrrhiza Uralensis, Kaempferia galanga L. and Coptis chinensis the
Maincomponent of Thai Herbal Remedies for Aphthous Ulcer.Lagos,
Nigeria: Journal of Health Res. 2009. Hal 17-22.
Ashland. 2013. PlasdoneTM S-630 Copovidone: Product Overview. USA:
Ashland Inc.
Bangun, Robijanto. 2011. “Semi Sintesis N,N-Bis(2-Hidroksietil)-3-(4-
Metoksifenil) Akrilamida Dari Etil p-Metoksisinamat Hasil IsolasiRimpang
Kencur (Kaempferia Galanga L) Melalui Amidasi DenganDietanolamin”.
Medan:Universitas Sumetra Utara.
Barus, Rosbina. 2009. Amidasi Etil p-Metoksi Sinamat yang Diisolasi dari
Kencur (Kaempferia galanga Linn.). Medan: Sekolah Pasca Sarjana USU.
Buhler,Volker.1998.Kollidon®, Polyvinylpyrrolidone for the Pharmaceutical
Industry. BASF Aktiengesell schaft Fine Chemicals.
Caesaria, Cindy. 2009. Isolasi Etil p-Metoksisinamat dari Rimpang Kencur
(Kaempferia galanga, L.) dan Identifikasinya dengan Kromatografi Gas
Spektroskopi Massa. Purwokerto: Fakultas Farmasi Universitas
Muhammadiyah Purwokerto.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1995. Farmakope Indonesia Edisi IV.
Jakarta : Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

65 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


66

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1997. Materia Medika Indonesia Jilid


I. Jakarta: Depkes RI.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2001. Inventaris Tanaman Obat
Indonesia Jilid II. Jakarta: Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial
RI.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Farmakope Indonesia. Edisi IV.
Jakarta. 2005. 847 – 854, 999, 1037-9.
Dewi, Nisa Utami. 2016. “Formulasi dan Uji Stabilitas Fisik Sediaan Spray Gel
Antibakteri Ekstrak Etanol 70% Herba Kumis Kucing (Ortosiphon stamineus
Benth.)”. Jakarta: Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan,UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. Skripsi
Ditjen POM. 1995. Materia Medika Indonesia. Jilid VI. Jakarta: Departemen
Kesehatan RI.
Ditjen POM. 2000. Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat. Jakarta:
Depkes RI.
Djajadisastra, J., Sutriyo dan Anggraeni, C, A., 2008, Pengaruh Bentuk Sediaan
Krim, Gel dan Salep Terhadap Penetrasi in vitro Aminofilin sebagai
Antiselulit Menggunakan Sel Difusi Franz, Prosseding Kongres Ilmiah ISFI
XVI, Yogyakarta.
Dwi, Youstiana. 2017. Uji Aktivitas Tabir Surya dan Stabilitas Fisik Formula Gel
Semprot dari Ekstrak Temugiring (Curcuma heyneana Val.) dan Ekstrak
Kayu Manis (Cinnamomum burmanii Nees.) dengan Kombinasi Karbopol
dan HPMC. Jurnal Terpadu Ilmu Kesehatan, Volume 6, No 2,November
2017, hlm 118-240.
Faisal, Muhammad. 2017. “Karakterisasi Sifat Fisik dan Permeabilitas Krim
Gamma-Oryzanol dengan Variasi Natrium Lauril Sulfat”. Jakarta: Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan,UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Skripsi.
Fang, Chao, et.al. 2008. Synergistically Enhanced Transdermal Permeation and
Topical Analgesia of Tetracaine Gel Containing menthol and Ethanol in
Experimental and Clinical Studies. European Journal of Pharmaceutics and
Biopharmaceutics 68 (2008) 735-740.
Fitriani, Nita. 2016. “Uji Aktivitgas Gel Etil p-Metoksisinamat Terhadap
penyembuhan Luka Terbuka Pada Tikus Putih (Ratus norvegicus) Jantan
Galur Sprague Dawley”. Jakarta: Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan,UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Gandjar, I.G., dan Rohman, A. 2007. Kimia Farmasi Analisis.Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Gandjar, I. G., dan Rohman, A. 2012 . Analisis Obat Secara Spektrofotometridan
Kromatografi.Cetakan I. Yokyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


67

Harmita, APT. 2006.Analisa Fisikokimia.UI Press. Jakarta. 17,144-152.


Haryono, Bambang Sucipto, dan Maretta, Delvi. 2013. Kencur.Trisula Adisakti
:Jakarta.
Henry, Arthur., M.T Suryadi., Yanuar Any. 2002. Analisis Spektrofotometri UV-
vis Pada Obat Influenza Dengan Menggunakan Aplikasi Sistem Persamaan
Linier.Jakarta.FMIPA UI.
Holland, Troy, Hassan Chaouk, Bruktawit Aswaf, Stephen Goodrich, Adrian
Hunter dan Vimala Francis. 2002. Spray Hydrogel Wound Dressing. United
State Patent Application Publication.
Honneywell-Nguyen, P. L., & Bouwstra, J. A. (2005). Vesicles as a Tool for
Transdermal and Dermal Delivery. Drug Discovery Today: Technologies.
Vol. 2, No. 1.68-74.
Hussain, Syed Zameer, dan Maqbool, Khushnuma. 2014. GC-MS: Principle,
Technique and its application in Food Science.Review Article. India:Division
of Post Harvest Technology, Sher-e-Kashmir University of Agricultural
Science and Technology of Kashmir.
Inayatullah, M.S. 1997. Standarisasi rimpang kencur dengan parameter etil para
metoksi sinamat. Skripsi. Fakultas Farmasi, Universitas Erlangga.Surabaya.
Iskandar, Dodi. 2017. Perbandingan Metode Spektrofotometri UV-Vis dan
Iodimetri dalam Penentuan Asam Askorbat Sebagai Bahan Ajar Kimia
Analitik Mahasiswa Jurusan Teknologi Pertanian Berbasis Open-ended
Experiment dan Problem Solving. Jurnal Teknologi Technoscientia. ISSN:
1979-8415.
Istiqomah. 2013. Perbandingan Metode Ekstraksi Maserasi Dan Sokletasi
Terhadap Kadar Piperin Buah Cabe Jawa (Piperis Retrofracti Fructus).
Skripsi. UIN Jakarta
Iswandana, R; Anwar, E; Mun’im, A. 2011. Uji Penetrasi Secara In Vitro & Uji
Stabilitas Fisik Sediaan Krim, Salep, dan Gel yang mengandung Kurkumin
dari Kunyit (Curcuma Longa L.). Jurnal Bahan Alam Indonesia ISSN 1412-
2855 Vol. 7 No. 7, September 2011.
Kamatou, G. P., Vermaak, I., Viljoen, A. M., & Lawrence, B. M. 2013. Menthol:
a simple monoterpene with remarkable biological properties. Phytochemistry,
96, 15-25.
Kamishita, Takuzo, dkk.1992. Spray Gel Base and Spray Gel Preparation Using
Thereof. United State Patent Application Publication.
Khoirunni’mah, Zulfa. 2013. Modifikasi Struktur dan Senyawa Metil Sinamat
Melalui Proses Degradasi Sinamat Serta Uji BSLT (Brine Shrimp Lethality
Test) Terhadap Senyawa Hasil Modifikasi. Skripsi Sarjana Farmasi; UIN
Syarif Hidayatullah.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


68

Kielhorn, J., S. M. Kollmu. I. Mangelsdorf. 2006. Dermal absorption. Dalam:


Environmental Health Criteria 235. World Health Organization.
Komala, et.al. 2017. Microwave Assisted synthesis of p-Methoxycinnamides and
p-Methoxy-β-nitrostyrenes from Ethyl p-methoxycinnamate and Screening
their Anti-inflammatory Activity. Natural Product Communication. Vol 12,
No.8, 1265-1268.
Lachman L. Lieberman HA, Kanig JL.diterjemahkan oleh Siti Suyatmi. Teori dan
Praktek Farmasi Industri II. Penerbit Universitas Indonesia. Edisi ke-3.
1994.1029-1089
Lukman, A, Susanti, E., & Oktaviana, R., 2012. Formulasi Gel Minyak Kulit
KayuManis (Cinnamomum burmanii BI) Sebagai Sediaan Antinyamuk,
JurnalPenelitian Farmasi Indonesia, 1 (1), 24-29.
Lund, W. 1994. Pharmaceutical Codex, 12th edition. London: The Pharmaceutical
Press.
Martin A, Swarbrick J, Cammarata A. Farmasi Fisik : Dasar-Dasar Farmasi
Fisik dalam Ilmu Farmasetika. Edisi Ketiga.Jilid 2. Jakarta: UIPress.2008.
1143-1164. Mescher, A.L. 2013. Junquiera’s Basic Histology Test and
Atlas.13th Edition.The Mc Graw Hill Companies.
Miranti, L.2009. Pengaruh Konsentrasi MinyakAtsiri Kencur (Kaempferia
galanga L.)dengan Basis Salep Larut Air terhadap SifatFisik Salep dan Daya
Hambat BakteriStaphylococcus aureus secara In vitro.
Mufidah, Syarifatul. 2014. “Modifikasi Struktur Senyawa Etil pmetoksisinamat
yang Diisolasi dari Kencur (Kaempferia galangaLinn.) Melalui Transformasi
Gugus Fungsi Serta Uji Aktivitas Sebagai Antiinflamasi”. Jakarta: Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Mukhriani.2014. Ekstraksi, Pemisahan Senyawa dan Identifikasi Senyawa Aktif.
Program Studi Farmasi Fakultas Ilmu Kesehatan UIN Alauddin Makassar.
Mukti.K.W.2011. Analisis Spektro UV-Vis: Penentuan Konsentrasi Permanganat
(KMnO4). Jurusan Fisika, FMIPA Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Mumtihanah, A.M. 2015. Evaluasi Stabilitas Fisik dan Profil DIfusi Sediaan Gel
Minyak Zaitun. Jurnal Fitofarmaka Indonesia, Vol.4 No.1. Jakarta: Fakultas
Farmasi Universitas Muslim Indonesia.
Neubert, R. H. H:; Trommer, H. Overcoming The Stratum Corneum: The
Modulation Of Skin Penetration. Skin Pharmacol Physiol 2006, 19: 106-121
Nisa, Michrun. 2013. Uji Efektivitas beberapa Senyawa Sebagai Peningkat
Penetrasi Terhadap Laju Difusi Krim Asam Kojat Tipe Minyak dalam Air
Secara In Vitro. Pharmacy, Vol.10 No. 01. ISSN 1693-3591

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


69

Nugraini,Indah Nunik.2015. “Modifikasi Struktur Senyawa Etil


pmetoksisinamatyang Diisolasi dari Kencur (Kaempferia galangaLinn.)
MelaluiProses Nitrasi-Esterifikasi dengan1-Butanol Serta Uji Aktivitas
SebagaiAntiinflamasi”. Jakarta: Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan,
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Perdanakusuma, D.S. 2007. Anatomi Fisiologi Kulit Dan Penyembuhan Luka.
Surabaya: Airlangga University School Of Medicine – Dr. Soetomo General
Hospital.
Prakash RT, Thiagarajan. 2012. Synthesis and characterization of silver
nanoparticles using Penicillium sp. isolated from soil. International Journal of
Advanced Scientific and Technical Research 1:137-149.
Rahmah, Rizki, et.al. 2017. Uji Efektivitas Antiinflamasi Salep Ekstrak Rimpang
Kencur (Kaempferia galanga L.) Terhadap Luka Sayat Pada Tikus Jantan.
Cirebon; STF YPIB Cirebon.
Rajesh, N, et.al. 2010. Formulation and Evaluation of Biopolymer Based
Trasndermal Drug Delivery. International Journal of Pharmacy and
Pharmaceutical Sciences. VVol 2, suppl 2. ISSN: 0975-1491.
Ranade, V. V. and M. A. Hollinger, 2004, Transdermal Drug Delivery, in: Drug
Delivery Systems, V. V. Ranade and M. A. Hollinger, 2nd ed., CRC Press
LLC, New York, 222-243.
Robbani, Khairunnisa. 2015. “Uji Stabilitas Kimia Etil p-metoksisinamat dari
Rimpang Kencur (Kaempferia galanga Linn.) Dalam Sediaan Setengah
Padat”. Jakarta: Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Rohman, A. 2007. Kimia Farmasi Analisis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Rostiana, Otih, dkk. 2005. Budidaya Tanaman kencur. Bogor: Balai Penilitian
Tanaman Obat dan Aromatika.
Rowe, C. R., Paul J. Sheskey, dan Marian E. Quinn. 2009. Handbook of
Pharmaceutical Excipients .6 thEdition. Washington: Pharmeceutical Press.
Ruswanto, Lestari, T. 2013. Sintesi Senyawa 1-Benzoyl-3-Phenyl-Thiourea
Sebagai Kandidat Anti Kanker. Tasikmalaya: Stikes Bakti Tunas Husada.
Santoso HB. 2008. Ragam dan Khasiat Tanaman Obat. Jakarta:Agromedia
Pustaka.
Sezer, Ali Demir, dan Erdal Cevher. 2011. Biopolymers as Wound Healing
Materials: Challenges and New Strategies. Turkey. Rosario Pignatello,ISBN
978-953-307-661-4, Published: November 16, 2011 under CC BY 3.0license.
Shafira, U., Gadri, A., Lestari, F., 2015. Formulasi Sediaan Spray Gel Serbuk
Getah Tanaman Jarak Cina (Jatropha multifida Linn.) dengan Variasi Polimer
Pembentuk Film dan Jenis Plasticizer. Jakarta: Unisba.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


70

Sheilayanti, Anissa Tiana. 2015.” Formulasi Dan Evaluasi Sifat Fisik Gel
Semprot Metronidazole Menggunakan Kombinasi Natrium Karboksimetil
Selulosa Dan Copovidone Sebagai Pembalut Luka”. Jakarta: Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Simanjuntak, M. T. 2005. Biofarmasi Sediaan Yang Diberikan Melalui Kulit.
Universitas Sumatera Utara.
Somchit MN,et al.Antinociceptive and antiinflammatory effects of Centella
Asiatica. Indian Journal Pharmacol. 2004 : 36 (6) ; 377- 380
Sri, Jelian. 2017. Studi Penetrasi Indometasin Melalui Kulit Kelinci dari Basis
Emulgel. Medan: Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara. Skripsi.
Sulaiman, M. R., Z. A. Akaria, I. A. Daud, F. N. Ng, Y.C. Ng, and M. T. Hidayat.
2007. Antinociceptive and Anti-inflammatory Activities of the Aqueous
Extract of Kaempferia galanga Leaves in Animal Models. J. Nat. Med., 62,
221-227.
Sulekha, Bhadra and Gajera Avin. 2016. Topical Spray of Silver Sulfadiazine for
Wound Healing. Journal of Chemical and pharmaceutical Research, 8(7);
492-498. ISSN 0975-7348.
Susanty. 2016. Perbandingan Metode Ekstraksi Maserasi dan Refluks Terhadap
Kadar Fenolik dari Ekstrak Tongkol Jagung (Zea Mays, L.). Jakarta: Teknik
Kimia Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Jakarta.
Swastika, A, Mufrod & Purwanto. 2013. Aktivitas Antioksidan Krim Ekstrak Sari
Tomat (Solanumlycopersicum L.). Traditional Medicine Journal. 18 (3):132-
140
Tara V., Shanbag; Sharma candrakala; Adiga Sachidananda; Bary
Laximinarayana Kurady; Shenoy Smita; Shenoy Ganesh. 2006. Wound
Healing Activity of Alcoholic Extract of Kaempferia galanga in Wistar Rats.
Indian J.Physiol Pharmacol 50 (4) : 384-390.
Taufikurohmah, T., Rusmini, Nurhayati. 2008. Pemilihan Pelarut Optimasi Suhu
Pada Isolasi Senyawa Etil Para Metoksi Sinamat (EPMS) Dari Rimpang
Kencur Sebagai Bahan Tabir Surya Pada Industri Kosmetik.
Tewtrakul, S. dan S. Subhadirasakul, 2007, Anti-allergic Activity of Some Selected
Plants in The Zingiberaceae Family. Journal of Ethnopharmacology 109,
535-538.
Thakker KD, Chern WH. 2003. Development and Validation of In Vitro Release
Test for Semisolid Dosage Forms-case Study. Dissolution Technologies
2003, 10-15.
Tortora, G.J. dan Derrickson, B.H. 2009. Principles of Anatomy and Physiology.
Twelfth Edition. Asia: Wiley.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


71

Touitou, Elka. Barry W. 2007. Enhancement In Drug Delivery. New York: CRC
Press, 220-221, 237, 246.
Umar, Muhammad I.; Mohd Zaini Asmawi; Amirin Sadikun; Item J. Atangwho 1;
Mun Fei Yam; Rabia Altaf; Ashfaq Ahmed. 2012. Bioactivity-
GuidedIsolation of Ethyl-p-methoxycinnamate, an Antiinflammatory
Constituent,from Kaempferia galanga L. Extracts. Molecules, 17, 8720-8734.
Vinklarkova, Lenka,dkk. 2014. Formulation of Novel Layered Sodium
Carboxymethylcellulose Film Wound Dressings with Ibuprofen for
Alleviating Wound Pain. Hindawi Publishing Corporation, BioMed Research
International, Article ID 892671.
Wardyah, Sri. 2015. “Perbandingan sifat fisik sediaan krim, gel dan salep yang
mengandung etil p-metoksisinamat dari ekstrak rimpang kencur (Kaempferia
galanga Linn)”.Jakarta: Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, UIN
Syarif Hidayatullah.
Wikhdatul, Luthfia. 2017. Formulasi dan Uji Stabilitas Fisika-Kimia Sediaan
Spray Gel Etil p-metoksisinamat Dari Rimpang Kencur (Kaempferia galanga
Linn.) dan Menthol. Jakarta: Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, UIN
Syarif Hidayatullah.
Witt, Krista dan D., Bucs. 2003. Studying In Vitro Skin Penetration and Drug
Release to Optimize Dermatological Formulations. In Pharmaceutical
Technology. USA : Advanstar Communication Inc.
Yerizel, Eti dan Gusti Revilla. 2003. Efek Senyawa P-Metoksi Sinamat Etil Ester
Kencur (Kaempferia galanga Linn.) Sebagai Antiinflamasi. Padang: Fakultas
Kedokteran UNAND.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


72

Lampiran I. Alur Penelitian

Ekstraksi Rimpang Kencur (Kaempferia galanga Linn.)

Isolasi Kristal Etil p-metoksisinamat

1. Organoleptik
Identifikasi dan Uji Kemurnian 2. Titik Leleh
Kristal Etil p-metoksisinamat 3. Uji KLT
4. Uji GC-MS

Pembuatan Sediaan Spray Gel

Evaluasi Sediaan Spray Gel Penetapan Kadar EPMS Uji Penetrasi Sediaan
EPMS dalam sediaan

1. Organoleptik Pengukuran Serapan dengan Spektrofotometri UV-Vis


2. Homogenitas
3. pH
4. Viskositas Perhitungan Kadar Penetapan Kadar EPMS
5. Pola Penyemprotan EPMS dalam sediaan terpenetrasi
dan Bobot Per
Semprot
6. Daya Sebar Lekat Perbandingan
7. Daya Penghantaran Presentase Kumulatif
Sediaan Setiap EPMS terpenetrasi per
Semprotan luas area

Perbandingan Fluks
Penetrasi

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


73

Lampiran 2. Hasil Determinasi Tumbuhan Rimpang Kencur

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


74

Lampiran 3. Perhitungan Rendemen, Perhitungan Rf, Nilai Luas Puncak dan


Presentase Kadar EPMS

337,162 𝑔𝑟𝑎𝑚
% Rendemen ekstrak = 𝑥 100% = 56,19%
600 𝑔𝑟𝑎𝑚

51,5624 𝑔𝑟𝑎𝑚
% Rendemen kristal = 𝑥 100% = 15,29%
337,162 𝑔𝑟𝑎𝑚

2,5 𝑐𝑚
Rf = = 0,625 𝑐𝑚
4 𝑐𝑚

Keterangan: Kristal EPMS Standar

Keterangan: Kristal EPMS hasil isolasi

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


75

Lampiran 4. Gambar Hasil Pemeriksaan Organoleptik, Hasil Pemeriksaan


Homogenitas

Keterangan:
Warna: Putih
Bau: Khas aromatik
Bentuk: Cairan agak kental dan agak lengket

Hari ke-0 Hari ke-7 Hari ke-14 Hari ke-21

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


76

Lampiran 5. Evaluasi Pola Penyemprotan dan Bobot per Semprot, Gambar Pola
Penyemprotan Sediaan Spray Gel

Formula Jarak Diameter hasil Bobot per Total Bobot Bobot rata-rata
(cm) semprot (cm) semprot (g) (g) per jarak (g)
0,7 0,0416
3 0,8 0,0423 0,1307 0,043567
0,8 0,0468
Sediaan 0,9 0,0674
Spray 5 0,9 0,0748 0,2032 0,067733
Gel 0,8 0,0610
EPMS 1 0,0806
10 0,8 0,0627 0,2161 0,072033
0,9 0,0728
0,9 0,0735
15 0,9 0,0710 0,2203 0,073433
1 0,0758

Jarak 3 cm Jarak 5 cm Jarak 10 cm Jarak 15 cm

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


77

Lampiran 6. Evaluasi Daya Sebar Lekat

Setelah disemprotkan Setelah didiamkan 10 detik

Lampiran 7. Scanning Panjang Gelombang Maksimum EPMS dalam Metanol,


Data Absorbansi dan Kurva Standar EPMS dalam Metanol

308,6 nm
Absorbansi

Panjang Gelombang (nm)

Konsentrasi
(ppm) Absorbansi Kalibrasi epms-metanol
0 0 1
y = 0,1066x + 0,018
0,8
absorbansi

1 0.104 R² = 0,9953
0,6
2 0.280 0,4 Series1
0,2
3 0.338 Linear (Series1)
0
4 0.443 0 5 10
ppm
5 0.552
6 0.659
Keterangan: Analisa dilakukan pada panjang
7 0.755
gelombang 308,6 nm, nilai r = 0,9953
8 0.867

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


78

Lampiran 8. Data Hasil Penetapan Kadar EPMS dalam Sediaan Spray Gel

Sampel Pengujian Berat Abs Kadar EPMS Kadar Rata- SD


ke- sampel terukur (mg) (%) rata %
(mg)
Spray 1 100 0,111 0,872420263 0,87
Gel 2 100 0,125 1,003752345 1,00 0,97 0,98
EPMS 3 100 0,129 1,041275797 1,04

Lampiran 9. Scanning Panjang Gelombang Maksimum EPMS dalam Larutan


EDP, Data Absorbansi dan Kurva Standar EPMS dalam Larutan EDP

309,6 nm
Absorbansi

Panjang Gelombang (nm)

Konsentrasi
Kalibrasi EPMS - EDP
(ppm) Absorbansi
1
0 0 y = 0,1068x - 0,0193
0,8 R² = 0,9966
absorbansi

1 0.093 0,6
0,4 Series1
2 0.185
0,2 Linear (Series1)
3 0.288 0
4 0.381 -0,2 0 5 10
ppm
5 0.51
6 0.635 Keterangan: Analisa dilakukan pada panjang
7 0.754 gelombang 309,6 , nilai r = 0,9966

8 0.826

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


79

Lampiran 10. Contoh perhitungan Jumlah Kumulatif Zat Aktif Terpenetrasi per
Luas Area

Serapan Menit ke 10 (y10) = 0,446


y = 0,1068x - 0,0193
0,446 = 0,1068x - 0,0193
X10 = 4,362 µg/mL
Konsentrasi Terpenetrasi = X10 x Faktor Pengenceran
= 4,6938202 x 1
= 4,362 µg/mL
Jumlah kumulatif zat aktif yang terpenetrasi per luas area difusi (µg/cm2 ) dapat
dihitung dengan rumus :

𝐶𝑛𝑉 + ∑𝑛−1
𝑖=1 𝐶. 𝑆
𝑄=
𝐴
Keterangan:
𝑄 = Jumlah kumulatif yang terpenetrasi per luas area (µg/cm2 )
𝐶𝑛 = Konsentrasi terpenetrasi pada menit ke-10 = 4,6938202 µg/mL
∑𝑛−1
𝑖=1 𝐶 = Jumlah konsentrasi zat pada sampling menit sebelummnya = 0 µg/mL

𝑉 = Volume sel difusi (21ml)


𝑆 = Volume sampling = 1 ml
𝐴 = Luas area membrane = 3,14 cm2

Q = {(4,362 µg/mL x 21 mL) + (0 x 1 mL)} / 3,14 cm2


= 29,179 µg/cm2

% Kumulatif = (Q xA x 100) / Kandungan zat aktif dalam sediaan


= (29,179 µg/cm2 x 3,14 cm2 x 100) / (0,97% x 2000 µg)
= 4,72 %

Jadi Jumlah Kumulatif EPMS terpenetrasi per luas area pada menit ke-10 adalah
29,179 µg/cm2 dengan % Kumulatif 4,72 %

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


80

Lampiran 11 . Contoh perhitungan Fluks Penetrasi

Rumus perhitungan fluks (kecepatan penetrasi tiap satuan waktu) obat


berdasarkan hukum Fick I :

𝑀
𝐽=
𝑠𝑥𝑡

Keterangan:
𝐽 = Fluks (µg cm2jam1)
𝑀 = Jumlah kumulatif zar yang melalui membran (µg)
𝑠 = Luas area difusi (cm2 )
𝑡 = waktu (jam)

Diketahui :
M/S = 29,179 µg cm2
t = 0,167 jam (10 menit)
Maka:
J = 29,179 µg cm2 / 0,167 jam
= 174,7257 µg cm2jam1

Jadi kecepatan penetrasi sediaan spray gel EPMS pada menit ke-10 adalah
174,7257 µg cm2jam1.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


81

Lampiran 12. Sertifikat Analisa Natrium Karboksimetil Selulosa

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


82

Lampiran 13 . Sertifikat Analisa Kopovidon

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


83

Lampiran 14 . Surat Keterangan Hewan Uji

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Anda mungkin juga menyukai