SKRIPSI
SHEILA SABRINA
11141020000058
JAKARTA
SEPTEMBER 2018
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
SKRIPSI
SHEILA SABRINA
11141020000058
JAKARTA
SEPTEMBER 2018
NIM :11141020000058
Tanda tangan :
NIM : 11141020000058
Disetujui Oleh
Pembimbing 1 Pembimbing 2
Mengetahui,
Ketua Program Studi Farmasi
Fakultas Ilmu Kesehatan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
NIM : 11141020000058
DEWAN PENGUJI
Ditetapkan di : Jakarta
Alhamdulillah, segala puji dan syukur ke hadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat, dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi yang berjudul “Uji Daya Penetrasi Sediaan Spray Gel Etil p-
Metoksisinamat dari Rimpang Kencur (Kaempferia galanga Linn) dan Menthol”.
Shalawat serta salam semoga senantiasa terlimpahkan kepada Nabi Muhammad
Rasulullah SAW. Skripsi ini dilakukan sebagai salah satu syarat untuk mencapai
gelar Sarjana Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ciputat, 2018
Penulis
NIM : 11141020000058
Demi perkembangan ilmu pengetahuan, saya menyetujui skripsi karya ilmiah saya
dengan judul
Untuk dipublikasikan atau ditampilkan di internet atau media lain yaitu Digital
Library Perpustakaan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
untuk kepentingan akademis sebatas sesuai dengan Undang-Undang Hak Cipta.
Demikian persutujuan publikasi karya ilmiah ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di : Jakarta
Yang Menyatakan:
(Sheila Sabrina)
PENDAHULUAN
Untuk mencapai kerja obat secara maksimal dari sediaan spray gel
adalah dengan cara melihat penetrasi obat melalui lapisan kulit teratas
sehingga efek farmakologinya dapat dirasakan (Iswandana, 2011).
Penetrasi obat melalui kulit dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu profil
pelepasan obat dari pembawanya, afinitas zat aktif terhadap pembawa,
kelarutan zat aktif dalam pembawa dan pH pembawa.
TINJAUAN PUSTAKA
Kencur biasa digunakan sebagai obat tradisional atau jamu untuk obat luar
(topikal) maupun obat dalam (oral). Kencur yang dibuat dalam ramuan tradisional
2.4 Simplisia
nabati lainnya yang dengan cara tertentu dipisahkan dari tanamannya dan
belum berupa zat kimia murni).
2. Simplisia hewani adalah simplisia yang merupakan hewan utuh, sebagian
hewan atau zat-zat berguna yang dihasilkan oleh hewan dan belum berupa
zat kimia murni.
3. Simplisia pelikan atau mineral adalah simplisia yang berupa bahan pelikan
atau mineral yang belum diolah dengan cara yang sederhana dan belum
berupa zat kimia murni.
(Ditjen POM, 1995. Mei, 2013)
Ekstrak adalah sediaan kering, kental, atau cair yang diperoleh dengan
mengekstraksi zat aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan
pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan
massa atau serbuk yang diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang
telah ditetapkan (Depkes RI, 1995).
1. Cara dingin
a. Maserasi, merupakan proses pengekstrakan simplisia dengan
menggunakan pelarut dan beberapa kali pengocokan atau
pengadukan pada temperatur ruangan. Pelarut akan menembus
dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat
aktif, kemudian zat aktif akan larut akibat adanya perbedaan
konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam sel dan di luar sel
maka larutan terpekat keluar.
b. Perkolasi, merupakan proses ekstraksi dengan menggunakan
pelarut yang selalu baru sampai sempurna dan umumnya dilakukan
pada temperatur ruangan. Perkolasi dilakukan dengan cara serbuk
sampel dibasahi secara perlahan dalam sebuah perkolator (wadah
silinder yang dilengkapi dengan kran pada bagian bawahnya).
Pelarut ditambahkan pada bagian atas serbuk sampel dan dibiarkan
menetes perlahan pada bagian bawah.. Metode ekstraksi perkolasi
lebih baik dibandingkan dengan cara maserasi karena:
Aliran pelarut (cairan penyari) menyebabkan adanya
pergantian larutan yang terjadi dengan larutan yang
konsentrasinya lebih rendah, sehingga meningkatkan
derajat perbedaan konsentrasi.
Ruangan diantara butir-butir serbuk simplisia membentuk
saluran tempat mengalir pelarut (cairan penyari). Akibat
kecilnya saluran kapiler tersebut, kecepatan pelarut cukup
untuk mengurangi lapisan batas, sehingga dapat
meningkatkan perbedaan konsentrasi.
2. Cara Panas
a. Refluks, merupakan ekstraksi dengan cara sampel dimasukkan
bersama pelarut ke dalam labu yang dihubungkan dengan
kondensor. Pelarut dipanaskan hingga mencapai titik didih. Uap
2.6 Kulit
banyak ujung saraf, tempat penyimpanan nutrisi dan air yang dapat digunakan
apabila terjadi penurunan volume darah dan tempat terjadinya metabolisme
vitamin D (Richardson, 2003; Perdanakusuma, 2007). Dalam pemberian obat
dengan rute transdermal, kulit merupakan tempat administrasi bukan sebagai
organ sasaran (Honeywell-Nguyen & Bouwstra, 2005).
Kulit terdiri atas 2 lapisan utama yaitu epidermis dan dermis. Epidermis
merupakan jaringan epitel yang berasal dari ektoderm, sedangkan dermis berupa
jaringan ikat agak padat yang berasal dari mesoderm. Di bawah dermis terdapat
selapis jaringan ikat longgar yaitu hipodermis, yang pada beberapa tempat
terutama terdiri dari jaringan lemak.
Gambar 2.3 Lapisan-lapisan dan apendiks kulit. Diagram lapisan kulit memperlihatkan saling
hubung dan lokasi apendiks dermal (folikel rambut, kelenjar keringat, dan kelenjar sebasea).
[Sumber: Mescher AL, 2010]
Epidermis merupakan lapisan paling luar kulit dan terdiri atas epitel berlapis
gepeng dengan lapisan tanduk. Epidermis hanya terdiri dari jaringan epitel, tidak
mempunyai pembuluh darah maupun limf, oleh karena itu semua nutrien dan
oksigen diperoleh dari kapiler pada lapisan dermis. Epitel berlapis gepeng pada
epidermis ini tersusun oleh banyak lapis sel yang disebut keratinosit. Sel-sel ini
secara tetap diperbarui melalui mitosis sel-sel dalam lapis basal yang secara
berangsur digeser ke permukaan epitel. Selama perjalanannya, sel-sel ini
berdiferensiasi, membesar, dan mengumpulkan filamen keratin dalam
sitoplasmanya. Mendekati permukaan, sel-sel ini mati dan secara tetap dilepaskan
(terkelupas). Waktu yang dibutuhkan untuk mencapai permukaan adalah 20
sampai 30 hari. Modifikasi struktur selama perjalanan ini disebut sitomorfosis dari
sel-sel epidermis. Bentuknya yang berubah pada tingkat berbeda dalam epitel
memungkinkan pembagian dalam potongan histologik tegak lurus terhadap
permukaan kulit. Epidermis terdiri atas 5 lapisan yaitu, dari dalam ke luar, stratum
basal, stratum spinosum, stratum granulosum, stratum lusidum, dan stratum
korneum.
Pada rute transelular, molekul obat akan melewati kulit secara langsung
melewati membran fosfolipid dan keratinosit. Jalur ini memungkinkan untuk obat
yang bersifat polar dan hidrofilik. Sedangkan rute interselular adalah rute
penetrasi utama untuk banyak molekul yang melewati stratum korneum. Pada
jalur interselular, obat menembus lapisan kulit melalui ruang antar sel dari kulit,
sehingga jalurnya menjadi berliku dan lebih panjang. Untuk jalur ini lebih
cenderung untuk obat yang bersifat lipofilik karena akan larut dalam lemak yang
terdapat di antara filamen (Lund, 1994). Untuk jalur transappendageal molekul
melewati kelenjar keringat dan melewati folikel rambut yang disebabkan adanya
pori-pori diantaranya yang memungkinkan obat tersebut berpenetrasi. Jalur
appendageal hanya mencakup 0,1% area untuk penyerapan pada kulit, sehingga
jalur ini dianggap kurang potensial dibandingkan jalur transepidermal (Touitou &
Barry, 2007). Penetrasi obat melalui jalur transepidermal lebih baik dibandingkan
dengan jalur transppendageal, karena luas permukaan pada jalur transppendageal
lebih kecil (Anggraeni, 2008).
2.9 Gel
Gel adalah sediaan semi padat yang terdiri atas dispersi partikel anorganik
atau organik yang atau molekul organik yang besar, terpenetrasi oleh suatu cairan
(Sezer dan Cevher, 2011). Menurut Ansel (1989) gel merupakan sediaan
semipadat yang jernih, tembus cahaya dan mengandung zat aktif. Gel merupakan
dispersi koloid, mempunyai kekuatan yang disebabkan oleh jaringan yang saling
berikatan pada fase terdispersi. Makromolekul sediaan gel disebarkan ke seluruh
cairan sampai tidak terlihat batas diantaranya, disebut dengan gel fase satu.
Apabila masa gel terdiri dari kelompok-kelompok partikel kecil yang berbeda,
maka gel ini dikelompokkan dalam dua fase. Gel dibuat dengan proses peleburan,
atau diperlukan suatu proses khusus berkenaan dengan sifat mengembang dari gel
(Lachman, dkk., 1994). Komposisi sediaan gel umumnya terdiri dari komponen
bahan yang mengembang dengan adanya air (gelling agent), humektan dan
pengawet, terkadang diperlukan bahan yang dapat meningkatkan penetrasi bahan
berkhasiat (Charinna, 2015). Berdasarkan Ansel (1989), dasar gel yang umum
digunakan ada 2 yaitu:
Gel memiliki absorpsi pada kulit yang lebih baik dibandingkan dengan krim.
Selain itu gel juga baik digunakan untuk lesi pada kulit yang memiliki rambut
(Sharma, 2008). Gel memiliki beberapa keistimewaan berdasarkan sifat dan
komposisinya yaitu, gel memiliki kemampuan penetrasi yang lebih jauh kedalam
kulit dibandingkan dengan krim, gel baik digunakan pada area kulit yang
berambut, serta bentuk gel disukai secara kosmetika (Yanhendri dan Yenny,
2012).
Menurut Holland, et al. (2002) spray gel merupakan istilah “gel atau
hidrogel” yang berarti suatu sistem yang memiliki setidaknya 10% sampai 90%
basis fase berair dari bobot sediaan, sedangkan untuk istilah spray adalah
komposisi yang dikabutkan, berupa tetesan cairan dengan ukuran kecil atau
ukuran besar melalui sebuah aplikator, seperti halnya aerosol atau pompa semprot
(Sheilayanti, 2015; Kamishita, et al., 1992).
Dalam memformulasikan sediaan spray gel hal paling penting yang harus
diperhatikan adalah viskositas sediaan tersebut. Menurut Kamishita, et al. (1992)
nilai viskositas untuk basis spray gel adalah 500-5000 cPs. Sediaan spray gel ini
juga cocok untuk zat aktif yang larut maupun tidak larut dalam air dengan
mendispersikan zat aktif terlebih dahulu dalam pelarut organik atau yang dapat
melarutkan zat aktif namun dapat larut dalam air (water-soluble organic solvent),
contohnya surfaktan, alcohol dengan rumus molekul rendah (etanol, isopropanol),
dan golongan glikol (propilen glikol, 1-2 butilen glikol, serta polietilen glikol
dengan berat molekul 300-500) (Kamishita, et al., 1992). Selain itu, menurut
Shafira, dkk. (2015) pemilihan polimer dan plasticizer juga merupakan faktor
penentu yang penting dalam formulasi sediaan gel semprot agar menghasilkan
film yang kontinu, elastik, mudah kering dan tidak lengket. Umumnya, beberapa
polimer yang digunakan pada sediaan gel semprot yaitu hidroksipropil metil
selulosa, hidroksipropil selulosa, polivinil alkohol, polivinilpirolidon, gelatin,
natrium alginat dan karbopol.
2.11.2 Kopovidon
2.11.3 Menthol
2.11.5 Etanol
2.12 Uji Penetrasi Sediaan Secara In Vitro Menggunakan Sel Difusi Franz
diatas dapat berupa cahaya visibel, UV dan inframerah, sedangkan materi dapat
berupa atom dan molekul namun yang lebih berperan adalah elektron valensi
(Mukti, 2011).
Keterangan : A = serapan
Io = intensitas sinar yang datang
It = intensitas sinar yang diteruskan (ditransmisikan)
ε = absorbtivitas molekuler / konstanta ekstingsi (L.mol-1.
Cm-1)
a = daya serap (L.g-1.cm-1)
b = tebal larutan / kuvet (cm)
c = konsentrasi (g.L-1 , mg. mL-1)
(Henry, dkk., 2002).
Contohnya seperti alkena (C=C), C=O, -NO2, benzen dan lain-lain. Sementara
itu, gugus auksokrom yaitu gugus yang memiliki elektron nonbonding dan tidak
mengabsorbsi radiasi pada panjang gelombang diatas 200 nm, namun
mengabsorbsi radiasi UV jauh. Contohnya seperti –OH, -NH2, -X dan lain-lain
(Harmita, 2006).
Pada kromatografi lapis tipis, zat penjerap merupakan lapisan tipis serbuk
halus yang dilapiskan pada lempeng kaca, plastic atau logam secara merata,
umumnya digunakan lempeng kaca. Lempeng yang dilapisi dapat dianggap
sebagai kolom kromatografi terbuka dan pemisahan yang dicapai dapat
didasarkan pada adsorpsi, partisi, atau kombinasi kedua efek, tergantung dari
jenis zat penyangga, cara pembuatan, dan jenis pelarut yang digunakan (Depkes
RI, 1995).
untuk mengidentifikasi zat yang berbeda dalam sampel uji. GC dapat memisahkan
senyawa volatil dan semi-volatil dengan resolusi besar, tetapi tidak dapat
mengidentifikasi senyawa tersebut. MS dapat memberikan informasi struktural
rinci pada kebanyakan senyawa sehingga senyawa tersebut dapat diidentifikasi
dengan tepat, tetapi tidak dapat dengan mudah untuk memisahkannya (Hussain
dan Maqbool, 2014 dalam Wikhdatul, 2017).
METODOLOGI PENELITIAN
3.2.2 Bahan
Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah Kristal EPMS dari
ekstrak rimpang kencur (Kaempferia galanga L.) yang diperoleh dari Ciamis,
Jawa Barat pada bulan Desember 2017, yang selanjutnya dideterminasi di Pusat
Konservasi Tumbuhan Kebun Raya-LIPI, Bogor, dan bahan eksipien lain seperti
Na CMC, kopovidon, propilenglikol, menthol, trietanolamin, metil paraben,
propil paraben, aquadest, etanol 96% (teknis), serta pelarut dan bahan pembantu
lainnya seperti: n-heksana (yang telah didestilasi), etil asetat, metanol (teknis),
dan metanol pro analisis.
Kristal yang telah didapat selanjutnya diukur titik lelehnya dengan alat
apparatus melting point. Uji titik leleh dilakukan dengan cara sedikit kristal
dimasukkan ke dalam pipa kapiler lalu dimasukkan ke dalam alat dan diamati
suhu pada saat kristal tersebut meleleh. Rentang titik leleh dimulai dari suhu awal
dimana kristal mulai melebur hingga melebur seluruhnya. Titik leleh etil p-
metoksisinamat adalah 49-50o C (Umar, 2014).
Cara pembuatan:
3.3.7.3 Pemeriksaan pH
AL = (Wt - Wo) / Da
Campuran etanol 96% dan dapar fosfat pH 7,4 (1:1) dibuat dengan cara
memasukkan dapar fosfat pH 7,4 sebanyak 10 mL ke dalam labu ukur 100 mL
kemudian ditambahkan etanol 96% sebanyak 50 mL dan ditambahkan dapar
fosfat pH 7,4 sampai batas garis 100 mL, dikocok hingga homogen (Agus, 2015).
Jumlah kumulatif zat aktif yang terpenetrasi per luas area difusi (µg/cm2 )
dapat dihitung dengan rumus :
𝐶𝑛𝑉 + ∑𝑛−1
𝑖=1 𝐶. 𝑆
𝑄=
𝐴
Keterangan:
𝑄 = Jumlah kumulatif yang terpenetrasi per luas area (µg/cm2 )
𝐶𝑛 = Konsentrasi terpenetrasi pada menit ke-n
∑𝑛−1
𝑖=1 𝐶 = Jumlah konsentrasi zat pada sampling menit sebelummnya
𝑀
𝐽=
𝑠𝑥𝑡
Keterangan:
𝐽 = Fluks (µg cm-2 jam-1 )
𝑀 = Jumlah kumulatif zar yang melalui membran (µg)
𝑠 = Luas area difusi (cm2)
𝑡 = waktu (jam)
Setelah itu dibuat grafik jumlah kumulatif yang terpenetrasi (µg) perluas
area difusi (cm2) terhadap waktu (jam) (Ramadon, 2012; Thakker, 2003).
BAB IV
mendekati n-heksan, karena dalam EPMS terdapat dua gugus yang mendukung
sifat non-polar yaitu gugus eter dan lingkar benzene, sedangkan gugus yang
mendukung ke arah polar hanya satu yaitu adanya karbonil dalam gugus eter
(Taufikurohmah, Rusmini, dan Nurhayati, 2008, dalam Robbani, 2015). Maserasi
dilakukan selama 3-5 hari dengan sesekali dilakukan pengadukan dengan cara
wadah digoyang-goyangkan agar pelarut dapat melarutkan sampel dengan
sempurna.
Hasil maserasi kemudian dipekatkan dengan vacuum rotatory evaporator.
Evaporasi ini dilakukan untuk menguapkan pelarut kembali agar didapatkan
ekstrak kental dari rimpang kencur. Ekstrak kental rimpang kencur yang
didapatkan sebanyak 337,162 gram, selanjutnya didiamkan pada suhu ruang agar
terbentuk kristal. Hal ini berdasarkan penelitian Umar, dkk. (2012) yang
melaporkan bahwa hampir 80% dari ekstak kental kencur yang didapatkan akan
mengkristal saat didiamkan pada suhu ruang.
Warna: Putih
Bentuk: Kristal Jarum
Bau: Aromatik khas lemah
4 cm
2.5 cm
Hasil Rf yang diperoleh dari uji KLT adalah 0,625 cm. Rf kristal etil p-
metoksisinamat hasil isolasi dan kristal etil p-metoksisinamat standar (telah di
validasi) menunjukkan nilai yang sama dan memiliki spot yang sama, sehingga
kristal etil p-metoksisinamat hasil isolat dapat dikatakan murni. Perhitungan Rf
dapat dilihat pada lampiran 3.
(a)
(b)
Gambar 4.3 Kromatogram etil p-metoksisinamat standar (telah di validasi)
Ket; (a) waktu retensi, (b) fragmentasi massa dan bobot molekul
[Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2018]
(a)
(b)
Gambar 4.4 Kromatogram isolat etil p-metoksisinamat
Ket; (a) waktu retensi, (b) fragmentasi massa dan bobot molekul
[Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2018]
Hasil pemeriksaan homogenitas sediaan spray gel EPMS pada suhu ruang
(27- 28 ºC) dari hari ke-0, 7, 14, dan 21 menunjukkan bahwa semakin lama
penyimpanan, maka sediaan semakin tidak homogen karena jenis Na CMC yang
digunakan kurang kompatibel dalam formula (Lampiran 4). Dalam sediaan tidak
ditemukan pembentuk gel yang masih menggumpal. Namun dari hasil
penyimpanan pada hari ke-21 diketahui bahwa sediaan mulai mengendap. Hal ini
mungkin terjadi karena pengupan pelarut pada sediaan selama masa penyimpanan.
Pemeriksaan homogenitas bertujuan untuk melihat distribusi partikel dalam
sediaan (Mumtihanah, 2015).
4.4.3 Pemeriksaan pH
pH Spray gel
6,8
6,6
pH
6,4
6,2
Spray gel
6
0 7 14 21
Waktu (hari)
Hasil pemeriksaan pH dapat dilihat pada tabel 4.4 dan grafik gambar 4.5
yang menunjukkan nilai pH dari sediaan spray gel EPMS selama penyimpanan.
Pengamatan nilai pH dilakukan pada hari ke 0, 7, 14, dan 21. Berdasarkan data
tersebut dapat dilaporkan bahwa nilai pH sediaan mengalami penurunan setiap
minggu, hal tersebut dapat disebabkan oleh faktor lingkungan seperti suhu dan
penyimpanan yang kurang baik. Sediaan kulit sebaiknya memiliki pH yang
kurang lebih sama dengan pH kulit sehingga tidak mudah mengiritasi kulit yaitu
antara 5-7 (Swastika dkk., 2013). Pada penelitian ini pH memenuhi pH normal
kulit yaitu 6,28 – 6,62.
3000
2000
1000 Spray gel
0
0 7 14 21
Waktu (hari)
Hasil pemeriksaan viskositas sediaan spray gel EPMS pada hari ke-0, 7,
14, dan 21 berturut-turut adalah 3.200 cps, 2.930 cps, 2.830 cps, dan 2.420 cps,
viskositas tersebut termasuk ke dalam rentang viskositas sediaan spray gel yaitu
500-5000 cps (Nisak, 2016). Selama penyimpanan 21 hari sediaan mengalami
penurunan viskositas, namun masih termasuk dalam rentang.
Hasil pengujian pola penyemprotan sediaan spray gel pada jarak 3 cm, 5
cm, 10 cm, dan juga 15 cm dapat dilihat pada Lampiran 5. Diameter pola
penyemprotan yang terbentuk setelah diukur menggunakan mistar untuk sediaan
spray gel berbanding lurus dengan jarak penyemprotannya. Semakin jauh jarak
pada pembuatan kurva kalibrasi EPMS dan pengukuran kadar EPMS dalam
sediaan.
Pembuatan kurva kalibrasi EPMS untuk uji penetrasi sama halnya dengan
pembuatan kurva kalibrasi untuk penetapan kadar EPMS dalam sediaan.
Perbedaannya terletak pada pelarut yang digunakan untuk melarutkan standar
EPMS. Penelitian Agus (2015) mengatakan bahwa panjang gelombang
maksimum standar EPMS dalam larutan EDP yaitu 310,2 nm. Sementara, hasil
pengukuran panjang gelombang maksimum EPMS dalam larutan EDP adalah
309,6 nm. Persamaan regresi linier hasil pembuatan kurva kalibrasi yaitu y=
0,1068x – 0,0193 dengan nilai koefisien relasi = 0,9966. Kurva kalibrasi EPMS
dalam larutan EDP dapat dilihat pada Lampiran 9.
Membran sel difusi yang digunakan dalam uji penetrasi secara in vitro
dapat berupa membran biologis hewan atau membran artificial seperti membran
selofan. Pada penelitian ini, membran yang digunakan adalah membran dari kulit
abdomen tikus putih betina galur Sprague dawley yang berumur 2-3 bulan dengan
kisaran berat 150-200 gram. Membran yang digunakan diseleksi dengan ketebalan
0,6 ± 0,1 mm dan luas membran 3,14 cm2 disesuaikan dengan alat uji difusi.
Alasan penggunaan kulit tikus sebagai membran difusi karena mudah didapatkan
dan permeabilitias kulit tikus yang mendekati permeabilitas kulit manusia.
Koefisien permeabilitias kulit manusia sebesar 93 cm/jam x 105, sedangkan kulit
tikus yang telah dicukur bulunya memiliki koefisien permeabilitas sebesar 103
cm/jam 105 (Kielhorn, Kollmuβ, Mangelsdorf, 2006). Kelemahan penggunaan
kulit tikus sebagai membran difusi yaitu kulit tikus memiliki luas penampang
yang kecil. Untuk mengatasinya, kulit diambil pada daerah yang sama sehingga
memperkecil variasi tempat yang akan digunakan untuk uji penetrasi (hadyanti,
2008).
Hal yang perlu diperhatikan pada uji penetrasi secara in vitro adalah
kelarutan zat aktif. Pada pengujian ini EPMS harus larut dalam cairan
kompartemen reseptor yang digunakan. Medium kompartemen resptor yang
digunakan pada pengujian ini adalah larutan EDP, yaitu larutan campuran yang
terdiri dari etanol 96% dan dapar fosfat pH 7,4 dengan perbandingan 1:1. Dapar
fosfat pH 7,4 dipilih untuk medium reseptor sebagai simulasi cairan biologis
tubuh, sementara etanol 96% pada medium reseptor digunakan sebagai bahan
pensolubilisasi. Pemilihan larutan ini berdasarkan struktur EPMS yang bersifat
hidrofobik, sehingga EPMS akan sulit larut dalam medium kompartemen reseptor
jika medium yang digunakan air atau dapar fosfat pH 7,4, maka diperbolehkan
untuk menambahkan bahan pensolubilisasi ke dalam kompartemen reseptor yaitu
etanol 96% (Romadon, 2012 telah dimodifikasi).
Sebelum dilakukan uji penetrasi, membran kulit tikus yang disimpan pada
suhu -20oC diambil, kemudian direndam pada medium kompartemen reseptor
selama 10-30 menit. Perendaman ini bertujuan untuk mengkondisikan kulit seperti
sebelum dilakukan penyimpanan (Bartosova, Bajgar, 2012). Sediaan ditimbang
sebanyak 200 mg dan diratakan di atas membran yang telah diletakkan di atas alat
uji difusi. Penentuan bobot sediaan yang diaplikasikan berdasarkan luas membran
dan penyebaran sediaan yang merata. Pengaplikasian sediaan dengan bobot yang
terlalu besar pada luas membran yang kecil akan menyebabkan terjadinya
penumpukan sediaan pada lapisan atas membran. Sehingga zat aktif tidak
sepenuhnya terlepas dari sediaan dan hanya tertinggal di permukaan membran
kulit uji (Simanjuntak, 2006).
Jumlah kumulatif zat aktif terpenetrasi per luas area dapat dihitung dari
data absorbansi hasil pengukuran menggunakan spektrofotometri UV-Vis.
Perhitungan jumlah kumulatif zat aktif yang terpenetrasi dapat dilihat pada
Lampiran 10. Data hasil perhitungan jumlah kumulatif difusi EPMS per luas area
dapat dilihat pada Tabel 4.6. Jumlah kumulatif difusi EPMS per luas area dari
sediaan spray gel, sedangkan grafik jumlah kumulatif EPMS per luas area dapat
dilihat pada Gambar 4.7. Sementara Tabel 4.7 menunjukkan data presentase
kumulatif difusi EPMS.
Tabel 4.6 Jumlah Kumulatif Difusi EPMS Per Luas Area dari Sediaan Spray Gel
Waktu Jumlah kumulatif zat aktif
(Jam) terpenetrasi (µg/cm2)
0 0,00 ± 0,00
0,167 29,17 ± 1,65
0,5 40,33 ± 6,90
1 66,44 ± 6,95
1,5 92,24 ± 28,17
2 104,35 ± 4,39
3 138,03 ± 24,26
4 141,11 ± 9,29
5 146,58 ± 35,10
6 152,41 ± 13,26
7 164,33 ± 17,09
8 174,51 ± 18,22
200
Jumlah zat aktif
150
100
50 Spray gel
0
0 2 4 6 8 10
Waktu (Jam)
Gambar 4.7 Grafik jumlah kumulatif EPMS yang berdifusi per luas area
Dari hasil difusi EPMS selama 8 jam pada tabel 4.6 dan tabel 4.7 dapat
diketahui bahwa jumlah kumulatif zat aktif terpenetrasi per luas area melalui
membran kulit tikus dan nilai presentase kumulatif difusi EPMS per luas area
tertinggi pada jam ke-8 yang dihasilkan oleh sediaan spray gel yaitu 174,51
µg/cm2 dan 28,24 %. Nilai tersebut menunjukkan kadar EPMS yang terdapat di
dalam cairan reseptor. Berdasarkan data Gambar 4.7 menunjukkan bahwa EPMS
yang terpenetrasi ke dalam membran kulit semakian lama semakin banyak dan
terakumulasi di dalam cairan kompartemen reseptor, namun setelah jam ke-3,
jumlah zat aktif yang terpenetrasi kenaikannya semakin sedikit. Faktor yang
dapat mempengaruhi jumlah zat aktif yang terpenetrasi yaitu terjadinya
penguapan pelarut (etanol 96%) saat penyimpanan sediaan ataupun saat preparasi
penetrasi, sehingga kemungkinan zat aktif yang berdifusi sebagian tertinggal
dalam jaringan kulit tikus yang digunakan sebagai membran difusi. Oleh karena
itu jumlah total EPMS yang berdifusi sebenarnya lebih besar dari nilai terukur
dalam cairan reseptor (Anggraeni, 2008; Allen dan Ansel, 2014).
memengaruhi interaksi antar obat, enhancer dan kulit. Enhancer atau agen
peningkat penetrasi dapat mengubah integritas kulit, sehingga meningkatkan
absorpsi ke dalam kulit (Aliska, 2015).
Agen peningkat penetrasi yang terkandung dalam sediaan spray gel EPMS
yaitu alkohol 96%, dan propilen glikol. Alkohol sebagai enhancer dapat
mengekstrak lipid dan protein pada stratum korneum sehingga kepolaran stratum
korneum meningkat dan senyawa hidrofilik dapat masuk menembus stratum
korneum. Alkohol juga meningkatkan kelarutan zat lipofilik dalam area lipofilik
stratum korneum (Kielhorn, Kollmuβ, Mangelsdorf, 2006). Sedangkan propilen
glikol sebagai enhancer mampu meningkatkan penetrasi senyawa lipofilik.
Propilen glikol sebagai enhancer hanya dapat terjadi pada senyawa yang lebih
larut dalam alkohol daripada air. Hal ini sesuai dengan sifat kelarutan EPMS yang
lebih larut dalam alkohol daripada air (Nuebert, 2006). Selain itu, menthol sebagai
cooling senzation berinteraksi langsung dengan reseptor dingin tubuh sehingga
memberikan sensasi dingin dan menyegarkan, selain itu menthol juga bisa
berperan sebagai enhancer dengan mengganggu struktur lipid dari stratum
korneum, meningkatkan kemampuan difusi obat dengan meningkatkan koefisien
partisi obat. Menthol juga dapat meningkatkan konduktivitas elektrik dari jaringan
sehingga terbentuk pori-pori yang polar dari stratum korneum (Kamatou, 2013).
Selain enhancer, adanya kadar air yang mendominasi dalam sediaan spray
gel juga dapat menghidrasi kulit. Efek hidrasi ini akan meningkatkan kadar air, di
mana air akan membuka struktur lapisan tanduk yang kompak dan juga benang-
benang keratin dari stratum korneum akan mengembang sehingga kulit menjadi
lebih permeabel (Djajadisastra dkk, 2008). Hidrasi stratum korneum merupakan
salah satu faktor utama yang meningkatkan penetrasi zat aktif baik hidrofilik atau
lipofilik melalui membran (Simanjuntak, 2006). Umumnya stratum korneum
mengandung 5-20% air, dan dapat meningkat hingga diatas 50% ketika terjadi
hidrasi. Terjadinya hidrasi kulit maka akan meningkatkan penetrasi obat
(Kielhorn, Kollmuβ, Mangelsdorf, 2006).
Laju pelepasan obat juga dipengaruhi oleh afinitas pembawa obat dan sifat
fisikokimia obat seperti kelarutan obat, partisi antar muka obat dari formulasi
menentukan tingkat laju pelepasan obat. Obat harus mempunyai afinitas yang
lebih besar terhadap kulit daripada pembawa (Sri, 2017). Sediaan spray gel
memiliki afinitas yang kecil, karena kelarutan EPMS dalam pembawa berair yang
rendah sehingga menyebabkan EPMS lebih mudah terlepas dari pembawanya, hal
ini akan memudahkan EPMS berdifusi ke dalam stratum korneum (Simanjuntak,
2006).
Fluks penetrasi EPMS dapat dihitung dari data jumlah kumulatif EPMS
terpenetrasi. Data hasil perhitungan dapat dilihat pada Lampiran 11. Berdasarkan
hasil perhitungan tersebut didapatkan hasil sebagai berikut.
Fluks Penetrasi
2 jam-1)
100
Spray Gel
0
0 100 200 300 400 500 600
Waktu (menit)
Berdasarkan data pada tabel 4.8. dapat diketahui bahwa nilai fluks
penetrasi sediaan spray gel meningkat pada menit ke-10 yaitu 174,72 µg cm-2 jam-
1
. Grafik fluks penetrasi EPMS tiap satuan waktu dapat dilihat pada Gambar 4.8.
Kurva menaik menunjukkan bahwa gradien konsentrasi antara kompartemen
donor dan reseptor donor besar, sedangkan kurva menurun disebabkan karena
konsentrasi EPMS di kompartemen donor mulai berkurang. Berdasarkan kurva
tersebut dapat dilihat bahwa titik maksimal pada sediaan spray gel terjadi pada
menit ke-10, sehingga dapat disimpulkan bahwa pada menit ke-10 terjadi
penetrasi EPMS dalam jumlah terbesar dibandingkan pada waktu yang lainnya.
Sehingga dapat dikatakan bahwa sediaan spray gel EPMS memiliki penetrasi yang
cepat pada saat awal pengaplikasian sediaan ke dalam kulit. Menurut Hukum
Ficks I, kecepatan penetrasi senyawa berbanding lurus dengan jumlah kumulatif
zat aktif terpenetrasi per luas area. Oleh karena itu, faktor-faktor yang
mempengaruhi jumlah kumulatif EPMS yang terpenetrasi per luas area turut
mempengaruhi kecepatan penetrasi EPMS melalui membran difusi (Anggraeni,
2008 dalam Agus 2015).
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
5.2 Saran
a. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang pengaruh variasi pemakaian
menthol pada uji penetrasi sediaan spray gel EPMS, karena ternyata menthol
juga bisa digunakan sebagai enhancer.
b. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang uji penetrasi menggunakan
membran kulit manusia.
Sheilayanti, Anissa Tiana. 2015.” Formulasi Dan Evaluasi Sifat Fisik Gel
Semprot Metronidazole Menggunakan Kombinasi Natrium Karboksimetil
Selulosa Dan Copovidone Sebagai Pembalut Luka”. Jakarta: Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Simanjuntak, M. T. 2005. Biofarmasi Sediaan Yang Diberikan Melalui Kulit.
Universitas Sumatera Utara.
Somchit MN,et al.Antinociceptive and antiinflammatory effects of Centella
Asiatica. Indian Journal Pharmacol. 2004 : 36 (6) ; 377- 380
Sri, Jelian. 2017. Studi Penetrasi Indometasin Melalui Kulit Kelinci dari Basis
Emulgel. Medan: Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara. Skripsi.
Sulaiman, M. R., Z. A. Akaria, I. A. Daud, F. N. Ng, Y.C. Ng, and M. T. Hidayat.
2007. Antinociceptive and Anti-inflammatory Activities of the Aqueous
Extract of Kaempferia galanga Leaves in Animal Models. J. Nat. Med., 62,
221-227.
Sulekha, Bhadra and Gajera Avin. 2016. Topical Spray of Silver Sulfadiazine for
Wound Healing. Journal of Chemical and pharmaceutical Research, 8(7);
492-498. ISSN 0975-7348.
Susanty. 2016. Perbandingan Metode Ekstraksi Maserasi dan Refluks Terhadap
Kadar Fenolik dari Ekstrak Tongkol Jagung (Zea Mays, L.). Jakarta: Teknik
Kimia Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Jakarta.
Swastika, A, Mufrod & Purwanto. 2013. Aktivitas Antioksidan Krim Ekstrak Sari
Tomat (Solanumlycopersicum L.). Traditional Medicine Journal. 18 (3):132-
140
Tara V., Shanbag; Sharma candrakala; Adiga Sachidananda; Bary
Laximinarayana Kurady; Shenoy Smita; Shenoy Ganesh. 2006. Wound
Healing Activity of Alcoholic Extract of Kaempferia galanga in Wistar Rats.
Indian J.Physiol Pharmacol 50 (4) : 384-390.
Taufikurohmah, T., Rusmini, Nurhayati. 2008. Pemilihan Pelarut Optimasi Suhu
Pada Isolasi Senyawa Etil Para Metoksi Sinamat (EPMS) Dari Rimpang
Kencur Sebagai Bahan Tabir Surya Pada Industri Kosmetik.
Tewtrakul, S. dan S. Subhadirasakul, 2007, Anti-allergic Activity of Some Selected
Plants in The Zingiberaceae Family. Journal of Ethnopharmacology 109,
535-538.
Thakker KD, Chern WH. 2003. Development and Validation of In Vitro Release
Test for Semisolid Dosage Forms-case Study. Dissolution Technologies
2003, 10-15.
Tortora, G.J. dan Derrickson, B.H. 2009. Principles of Anatomy and Physiology.
Twelfth Edition. Asia: Wiley.
Touitou, Elka. Barry W. 2007. Enhancement In Drug Delivery. New York: CRC
Press, 220-221, 237, 246.
Umar, Muhammad I.; Mohd Zaini Asmawi; Amirin Sadikun; Item J. Atangwho 1;
Mun Fei Yam; Rabia Altaf; Ashfaq Ahmed. 2012. Bioactivity-
GuidedIsolation of Ethyl-p-methoxycinnamate, an Antiinflammatory
Constituent,from Kaempferia galanga L. Extracts. Molecules, 17, 8720-8734.
Vinklarkova, Lenka,dkk. 2014. Formulation of Novel Layered Sodium
Carboxymethylcellulose Film Wound Dressings with Ibuprofen for
Alleviating Wound Pain. Hindawi Publishing Corporation, BioMed Research
International, Article ID 892671.
Wardyah, Sri. 2015. “Perbandingan sifat fisik sediaan krim, gel dan salep yang
mengandung etil p-metoksisinamat dari ekstrak rimpang kencur (Kaempferia
galanga Linn)”.Jakarta: Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, UIN
Syarif Hidayatullah.
Wikhdatul, Luthfia. 2017. Formulasi dan Uji Stabilitas Fisika-Kimia Sediaan
Spray Gel Etil p-metoksisinamat Dari Rimpang Kencur (Kaempferia galanga
Linn.) dan Menthol. Jakarta: Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, UIN
Syarif Hidayatullah.
Witt, Krista dan D., Bucs. 2003. Studying In Vitro Skin Penetration and Drug
Release to Optimize Dermatological Formulations. In Pharmaceutical
Technology. USA : Advanstar Communication Inc.
Yerizel, Eti dan Gusti Revilla. 2003. Efek Senyawa P-Metoksi Sinamat Etil Ester
Kencur (Kaempferia galanga Linn.) Sebagai Antiinflamasi. Padang: Fakultas
Kedokteran UNAND.
1. Organoleptik
Identifikasi dan Uji Kemurnian 2. Titik Leleh
Kristal Etil p-metoksisinamat 3. Uji KLT
4. Uji GC-MS
Evaluasi Sediaan Spray Gel Penetapan Kadar EPMS Uji Penetrasi Sediaan
EPMS dalam sediaan
Perbandingan Fluks
Penetrasi
337,162 𝑔𝑟𝑎𝑚
% Rendemen ekstrak = 𝑥 100% = 56,19%
600 𝑔𝑟𝑎𝑚
51,5624 𝑔𝑟𝑎𝑚
% Rendemen kristal = 𝑥 100% = 15,29%
337,162 𝑔𝑟𝑎𝑚
2,5 𝑐𝑚
Rf = = 0,625 𝑐𝑚
4 𝑐𝑚
Keterangan:
Warna: Putih
Bau: Khas aromatik
Bentuk: Cairan agak kental dan agak lengket
Lampiran 5. Evaluasi Pola Penyemprotan dan Bobot per Semprot, Gambar Pola
Penyemprotan Sediaan Spray Gel
Formula Jarak Diameter hasil Bobot per Total Bobot Bobot rata-rata
(cm) semprot (cm) semprot (g) (g) per jarak (g)
0,7 0,0416
3 0,8 0,0423 0,1307 0,043567
0,8 0,0468
Sediaan 0,9 0,0674
Spray 5 0,9 0,0748 0,2032 0,067733
Gel 0,8 0,0610
EPMS 1 0,0806
10 0,8 0,0627 0,2161 0,072033
0,9 0,0728
0,9 0,0735
15 0,9 0,0710 0,2203 0,073433
1 0,0758
308,6 nm
Absorbansi
Konsentrasi
(ppm) Absorbansi Kalibrasi epms-metanol
0 0 1
y = 0,1066x + 0,018
0,8
absorbansi
1 0.104 R² = 0,9953
0,6
2 0.280 0,4 Series1
0,2
3 0.338 Linear (Series1)
0
4 0.443 0 5 10
ppm
5 0.552
6 0.659
Keterangan: Analisa dilakukan pada panjang
7 0.755
gelombang 308,6 nm, nilai r = 0,9953
8 0.867
Lampiran 8. Data Hasil Penetapan Kadar EPMS dalam Sediaan Spray Gel
309,6 nm
Absorbansi
Konsentrasi
Kalibrasi EPMS - EDP
(ppm) Absorbansi
1
0 0 y = 0,1068x - 0,0193
0,8 R² = 0,9966
absorbansi
1 0.093 0,6
0,4 Series1
2 0.185
0,2 Linear (Series1)
3 0.288 0
4 0.381 -0,2 0 5 10
ppm
5 0.51
6 0.635 Keterangan: Analisa dilakukan pada panjang
7 0.754 gelombang 309,6 , nilai r = 0,9966
8 0.826
Lampiran 10. Contoh perhitungan Jumlah Kumulatif Zat Aktif Terpenetrasi per
Luas Area
𝐶𝑛𝑉 + ∑𝑛−1
𝑖=1 𝐶. 𝑆
𝑄=
𝐴
Keterangan:
𝑄 = Jumlah kumulatif yang terpenetrasi per luas area (µg/cm2 )
𝐶𝑛 = Konsentrasi terpenetrasi pada menit ke-10 = 4,6938202 µg/mL
∑𝑛−1
𝑖=1 𝐶 = Jumlah konsentrasi zat pada sampling menit sebelummnya = 0 µg/mL
Jadi Jumlah Kumulatif EPMS terpenetrasi per luas area pada menit ke-10 adalah
29,179 µg/cm2 dengan % Kumulatif 4,72 %
𝑀
𝐽=
𝑠𝑥𝑡
Keterangan:
𝐽 = Fluks (µg cm2jam1)
𝑀 = Jumlah kumulatif zar yang melalui membran (µg)
𝑠 = Luas area difusi (cm2 )
𝑡 = waktu (jam)
Diketahui :
M/S = 29,179 µg cm2
t = 0,167 jam (10 menit)
Maka:
J = 29,179 µg cm2 / 0,167 jam
= 174,7257 µg cm2jam1
Jadi kecepatan penetrasi sediaan spray gel EPMS pada menit ke-10 adalah
174,7257 µg cm2jam1.