SKRIPSI
VITA FITRIA
NIM. 109102000069
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi
VITA FITRIA
NIM. 109102000069
ii
HALAMAIY PER}IYATAAN ORISINALITAS
NIn[ :109102{X}0069
Tanda Tangan , 7f
Tnnggel : 12 September20l3
ill
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING
Menyetujui,
Pembimbing I Pembimbing II
-l,\ [i r
fW*{1^l
(
r__,, \J
^
4*^+
\r i
Mengetahui,
U^r--
Drs. Umar Mansu{" M.Sc.. Apt
lv
HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI
DEWAN PENGUJI
Ditetapkan di lalor'/le
Tanggal ta .Sepl:nrbe
ABSTRAK
Segala puji penulis panjatkan hanya kepada Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat kasih sayang, kenikmatan, dan kemudahan yang begitu
besar. Shalawat dan salam semoga selalu tercurahkan kepada junjungan baginda
Nabi Muhammad SAW yang membawa petunjuk dan suri tauladan bagi umat
manusia, semoga kelak kita semua mendapat syafaat beliau.
Skripsi dengan judul: “Karakterisasi Pektin Hasil Ekstraksi dari Limbah
Kulit Pisang Kepok (Musa balbisiana ABB)” ini disusun untuk memenuhi salah
satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi di Program studi Farmasi Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Penulis menyadari bahwa, tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai
pihak, sangatlah sulit untuk menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, dalam
kesempatan kali ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya pada pihak yang membantu dan memberikan bimbingan dalam
penyusunan skripsi ini. Ucapan terima kasih dan penghargaan, penulis sampaikan
kepada:
1. Bapak Sukardi dan Ibu Saniyem, kedua orang tua tercinta yang tiada
henti-hentinya mendoakan di setiap waktunya, memberikan kasih sayang,
motivasi, semangat dan nasihat, tanpa Bapak dan Ibu penulis tidaklah
memiliki arti apa-apa. Adik tersayang Ade Rifky Amalia yang selalu
memberikan dukungan, semangat dan keceriaan, serta untuk kelurga
besar yang tak pernah lupa memberikan doa dan semangat.
2. Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan dan Diknas Sumatera Selatan serta
jajaran pengurus program Santri Jadi Dokter, selaku pemberi beasiswa
sehingga penulis dapat menempuh pendidikan di Program Studi Farmasi
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Ibu Ofa Suzanti Betha M.Si, Apt, selaku dosen pembimbing 1 dan Bapak
Supandi M.Si, Apt selaku dosen membimbing 2. Terimaksih atas segala
Penulis
Dibuat di : Jakarta
Yang menyatakan,
71
(Vita Fitria)
Halaman
HALAMAN JUDUL ........................................................................... ii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ................................ iii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................. iv
HALAMAN PENGESAHAN .............................................................. v
ABSTRAK ........................................................................................... vi
ABSTRACT ........................................................................................ vii
KATA PENGANTAR ......................................................................... viii
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ....... x
DAFTAR ISI ....................................................................................... xi
DAFTAR GAMBAR ........................................................................... xiii
DAFTAR TABEL ............................................................................... xiv
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................... xv
Halaman
Gambar 2.1. Struktur Dinding Sel Tanaman .......................................... 5
Gambar 2.2. Struktur Pektin .................................................................. 7
Gambar 2.3. Molekul Pektin dengan Kadar Metoksil Tinggi .................. 8
Gambar 2.4. Molekul Pektin dengan Kadar Metoksil Rendah ................ 8
Gambar 2.5. Pisang Kepok .................................................................... 20
Gambar 3.1. Alur Penelitian .................................................................. 24
Gambar 4.1. Persentase Rendemen ........................................................ 38
Gambar 4.2. Kadar Air .......................................................................... 40
Gambar 4.3. Kadar Abu ......................................................................... 41
Gambar 4.4. Berat Ekivalen ................................................................... 43
Gambar 4.5. Kadar Metoksil .................................................................. 45
Gambar 4.6. Kadar Asam Galakturonat ................................................. 47
Gambar 4.7. Derajat Esterifikasi ............................................................ 49
Gambar 4.8. Struktur Pektin .................................................................. 52
Halaman
Tabel 2.1. Standar Mutu Pektin ............................................................ 14
Tabel 2.2. Spesifikasi Pektin Berdasarkan Farmakope .......................... 14
Tabel 4.1. Bahan Baku ......................................................................... 31
Tabel 4.2. Pemerian Pektin Hasil Ekstraksi .......................................... 34
Tabel 4.3. Hasil Karakterisasi Pektin .................................................... 36
Tabel 4.4. Data Spektrum FTIR............................................................ 51
Halaman
Lampiran 1. Hasil Determinasi Tumbuhan ............................................ 59
Lampiran 2. Hasil Pemeriksaan Kadar Air Serbuk Kulit Pisang ............. 60
Lampiran 3. Karakterisasi Pektin Hasil Ekstraksi .................................. 61
Lampiran 4. Hasil Spektrum FTIR ........................................................ 70
Lampiran 5. Proses Ekstraksi dan Alat-Alat yang Digunakan ................ 73
2.1 Pektin
2.1.1 Pengertian, Sumber dan Struktur Pektin
Berdasarkan Herbstreith dan Fox (2005) kata pektin berasal dari bahasa
Latin “pectos” yang berarti pengental atau yang membuat sesuatu menjadi keras
atau padat. Pektin ditemukan oleh Vauquelin dalam jus buah sekitar 200 tahun
yang lalu. Pada tahun 1790, pektin belum diberi nama. Nama pektin pertama kali
digunakan pada tahun 1824, yaitu ketika Braconnot melanjutkan penelitian yang
dirintis oleh Vauquelin. Braconnot menyebut substansi pembentuk gel tersebut
sebagai asam pektat.
Menurut Hasbullah (2001) yang dijelaskan dalam Tarigan, et al., (2012)
pektin merupakan polisakarida kompleks yang bersifat asam yang terdapat dalam
jumlah bervariasi, terdistribusi secara luas dalam jaringan tanaman. Umumnya
pektin terdapat di dalam dinding sel primer. Khususnya di sela-sela antara
selulosa dan hemiselulosa. Pektin juga berfungsi sebagai bahan perekat antara
dinding sel yang satu dengan yang lainnya. Substansi pektin tersusun dari asam
poligalakturonat, dimana gugus karboksil dari unit asam poligalakturonat dapat
teresterifikasi sebagian dengan metanol.
Senyawa pektin adalah asam pektat, asam pektinat dan protopektin menurut
(Winarno, 1989 dan Klavons, 1995 dalam Tarigan, et al., 2012).
1. Asam Pektat
Asam pektat adalah senyawa asam galakturonat yang bersifat koloid dan
pada dasarnya bebas dari kandungan metil ester.
2. Asam Pektinat
Asam pektinat adalah asam poligalakturonat yang bersifat koloid dan
mengandung sejumlah metil ester. Pektin merupakan asam pektinat dengan
kandungan metil ester dan derajat netralisasi yang berbeda-beda.
3. Protopektin
Protopektin adalah substansi pektat yang tidak larut dalam air, terdapat
dalam tanaman, jika dipisahkan secara hidrolisis akan menghasilkan asam
pektinat.
Winarno (2002) mengemukakan komposisi kandungan protopektin, pektin,
dan asam pektat dalam buah sangat bervariasi dan tergantung pada derajat
kematangan buah. Pada umumnya protopektin yang bersifat tidak larut dalam air
dan lebih banyak terdapat pada buah-buahan yang belum matang. Dwidjoseputro
(1983) menjelaskan bahwa di dalam buah-buahan yang masih muda, sel-sel yang
satu dengan sel-sel yang lain masih dipersatukan dengan kuat oleh protopektin
tersebut. Akan tetapi jika buah menjadi dewasa, maka sebagian dari protopektin
mengalami penguraian menjadi pektin karena pertolongan enzim protopektinase.
Hal ini mengakibatkan terlepasnya sel-sel satu dari yang lain, sehingga buah
menjadi lunak. Selanjutnya enzim pektinase meneruskan pengubahan pektin
menjadi asam-pektat, hal mana menyebabkan buah menjadi matang.
Adapun Rowe, et al., (2006) menjelaskan bahwa pektin merupakan molekul
dengan bobot molekul tinggi, kunstituen dalam tanaman yang menyerupai
karbohidrat, terutama terdiri dari unit rantai asam galakturonat terikat dengan
ikatan 1,4-α-glukosida, dengan berat molekul 30.000-100.000. Pektin merupakan
kompleks polisakarida yang terutama terdiri dari residu asam D-galakturonat yang
teresterifikasi dalam rantai α-(1-4). Gugus asam sepanjang rantai sebagian besar
teresterifikasi membentuk kelompok metoksil. Kadar metoksil pektin bervariasi
tergantung pada derajat metilasi (Madhav dan Pushpalatha, 2002).
adanya sejumlah kalsium atau kation divalent lainnya untuk pembentukan gel
(Sriamornsak, 2003). Pengaruh terbesar pada sifat pektin adalah derajat
esterifikasi (DE) yang misalnya menentukan tingkat reaktivitas dengan kalsium
dan kation lainnya (International Pectin Producers Association, 2002).
Pektin yang diekstraksi biasanya memiliki lebih dari 50% unit asam yang
teresterifikasi sehingga disebut pektin bermetoksil tinggi. Sedangka modifikasi
proses ekstraksi atau dengan perlakuan lebih lanjut akan menghasilkan pektin
bermetoksil rendah dengan kurang dari 50% grup metil ester (IPPA, 2002).
gliserin, atau dengan sirup simplek atau jika permukaan dicampur dengan 3
bagian atau lebih sukrosa.
Menurut May (1990), pektin merupakan asam poligalakturonat yang
bermuatan negatif. Pektin bereaksi dengan makromolekul bermuatan positif.
Pembentukan gel dapat terjadi dengan cepat pada pH rendah, tetapi reaksi ini
dapat dihambat dengan penambahan garam.
Gliksman (1969) di dalam Hariyati (2006) memaparkan pembentukan gel
pektin metoksil tinggi terjadi melalui ikatan hidrogen diantara gugus karboksil
bebas dan antara gugus hidroksil. Pada pektin metoksil rendah, kemampuan
membentuk gel dengan gula dan asam hilang. Sebaliknya pektin ini mampu
membentuk gel dengan adanya ion kalsium.
Rouse (1977) serta Chang dan Miyamoto (1992) menjelaskan faktor-faktor
yang mempengaruhi pembentukan gel dengan tingkat kekenyalan dan kekuatan
tertentu meliputi pH, konsentrasi pektin, suhu, ion kalsium, dan gula (Hariyati,
2006). Kekentalan larutan pektin mempunyai kisaran yang cukup lebar tergantung
pada konsentrasi pektin, garam, dan ukuran rantai asam poligalakturonat.
Meskipun pektin umumnya terkandung di sebagian besar jaringan tanaman,
namun sumber yang dapat digunakan untuk pembuatan pektin komersial sangat
terbatas. Hal demikian dikarenakan kemampuan pektin untuk membentuk gel
tergantung pada ukuran molekul dan derajat esterifikasi (DE). Pektin dari sumber
yang berbeda tidak memiliki kemampuan membentuk gel yang sama karena
adanya variasi dalam parameter ini (Sriamornsak, 2003).
Pektin merupakan salah satu tipe serat pangan yang bersifat larut dalam air,
karena merupakan serat yang berbentuk gel, pektin dapat memperbaiki otot
pencernaan dan mendorong sisa makanan pada saluran pembuangan. Pektin juga
dikenal sebagai antikolesterol karena dapat mengikat asam empedu yang
merupakan hasil akhir metabolism kolesterol. Makin banyak asam empedu yang
berikatan dengan pektin dan terbuang ke luar tubuh, makin banyak kolesterol
yang dimetabolisme sehingga pada akhirnya kolesterol menurun jumlahnya.
Selain itu, pektin juga dapat menyerap kelebihan air dalam usus, memperlunak
feses, serta mengikat dan menghilangkan racun dari usus (Ide, 2009).
Pektin dengan sendirinya atau dengan sifat pembentuk gelnya dimanfaatkan
dalam industri farmasi, kesehatan dan pengobatan. Pektin telah digunakan secara
potensial sebagai karier atau pembawa untuk pengiriman obat ke saluran
pencernaan, seperti matriks tablet, gel beads dan film-coated. Pektin merupakan
senyawa menarik bagi keperluan dalam bidang farmasi, misalnya sebagai
pembawa berbagai obat untuk aplikasi pelepasan terkontrol. Banyak teknik telah
digunakan untuk memproduksi pektin berbasis sistem pengiriman, terutama
ionotropik gelasi dan gel coating. Dengan teknik sederhana dan dengan profil
toksisitas yang sangat aman, membuat pektin sebagai eksipien menarik dan
menjanjikan dalam bidang industri farmasi untuk aplikasi sekarang maupun masa
depan (Sriamornsak, 2003). Dalam usus besar, mikroorganisme mendegradasi
pektin dan membebaskan rantai pendek asam lemak yang memiliki pengaruh
positif pada kesehatan atau dikenal sebagai efek prebiotik (Srivastava dan
Malviya, 2011).
Srivastava dan Malviya (2011) menjelaskan pektin dapat digunakan sebagai
polimer mukoadhesiv, agen pembentuk gel, pengental, pengikat air dan stabilator.
Dalam bidang kedokteran dan farmasi, pektin digunakan untuk mengatasi
konstipasi dan diare, sebagai salah satu bahan utama yang digunakan dalam
Kaopektat, bersama dengan kaolinit. pektin juga digunakan dalam pelega
tenggorokan sebagai demulcent, sebagai sumber diet serat, sebagai komponen
propilaktit alami untuk melawan keracunan kation toksik, dalam formulasi
pelepasan terkontrol, dan dalam penargetan situs spesifik.
beberapa kali dengan air dan alkohol untuk menghilangkan garam dan kotoran
lainnya. Menurut Ranganna (1977) pengumpulan pektin dapat dilakukan dengan
menggunakan alkohol 95% yang mengandung 2 mL asam klorida setiap satu liter
alkohol. Biasanya untuk pengendapan secara komersial digunakan alkohol dan
garam metal seperti alumunium hidroksida, kalium sulfat atau alumunium sulfat.
Penggunaan asam dalam ekstraksi pektin adalah untuk menghidrolisis
protopektin menjadi pektin yang larut dalam air ataupun membebaskan pektin dari
ikatan dengan senyawa lain, misalnya selulosa (Kaban, et al., 2012). Disini asam
dengan ion H+ berfungsi selain memecahkan ikatan protopektin dengan senyawa-
senyawa dalam dinding sel tanaman juga menyatukan satu molekul pektin yang
lain sehingga terbentuk sebuah jaringan yang dapat memerangkap air (Nurhikmat,
2003).
Berdasarkan Rouse (1977) di dalam Astuti (2007) penggumpalan atau
koagulasi pektin terjadi karena gangguan terhadap kestabilan dispersi koloidalnya.
Pektin adalah termasuk koloidal hidrofilik yang bermuatan negatif (dari gugus
karboksil bebas yang terionisasi) dan tidak mempunyai titik isoelektrik. Seperti
koloid hidrofilik umumnya, pektin distabilkan terutama oleh hidrasi partikelnya
daripada oleh muatannya. Pektin distabilkan oleh selapis air melalui ikatan
elektrostatik antara muatan negatif molekul pektin dan muatan positif molekul air.
Penambahan zat pendehidrasi seperti alkohol dapat mengurangi stabilitas disperse
pektin karena efek dehidrasi mengganggu keseimbangan pektin-air, sehingga
pektin akan menggumpal.
asam pektat yang asam galakturonatnya bebas dari gugus metil ester. Jumlah
gugus metil ester menunjukkan jumlah gugus karboksil yang tidak teresterifikasi
atau derajat esterifikasi (Budiyanto dan Yulianingsih, 2008).
berfikir dan menghindari kepikunan atau mudah lupa (Suyanti dan Supriyadi,
2008). Kulit buah pisang selain untuk pakan ternak juga dapat dijadikan sebagai
bahan campuran krim antinyamuk. Kulit buah pisang juga dapat diekstrak untuk
dibuat pektin. Bagian dalam kulit pisang matang yang dikerok dan dihancurkan
dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan nata pisang. Sementara
tepung kulit pisang yang dicampur dengan ampas tahu dapat digunakan sebagai
pakan ayam buras untuk meningkatkan pertumbuhannya. Manfaat lainnya dapat
dijadikan sebagai pembunuh larva serangga, yakni dengan menambahkan sedikit
urea dan pemberian bakteri. Berdasarkan hasil temuan dari Taiwan diketahui
bahwa kulit pisang yang mengandung vitamin B6 dan serotonin dapat diekstrak
dan dimanfaatkan untuk kesehatan mata (Suyanti dan Supriyadi, 2008).
Asam laktat termasuk dalam golongan asam organik (Dashek dan Micales,
1997). Asam laktat dapat digunakan untuk ekstraksi pektin menurut seperti halnya
jenis asam lain yakni asam tartarat, asam malat, asam sitrat, asam asetat dan asam
fosforat (Canteri-Schemin, et al., 2005)
Endapan pektin
Penyaringan Supernatan
pektin tersebut didiamkan selama 10-14 jam. Endapan pektin yang terbentuk
kemudian dipisahkan dari larutannya menggunakan kertas saring dengan bantuan
penyaring vakum (Akhmalludin dan Kurniawan 2009).
d. Pencucian Pektin
Endapan pektin yang terbentuk ditambahkan dengan aseton sambil diaduk
untuk kemudian dilakukan penyaringan dengan menggunakan penyaring vakum.
Hal ini dilakukan beberapa kali sampai pektin tidak lagi meninggalkan residu
asam. Adapun pektin yang sudah tidak lagi meninggalkan residu asam adalah
pektin yang tidak berwarna merah bila ditambahkan dengan indikator
phenolphtalein (PP) (Akhmalludin dan Kurniawan, 2009).
e. Pengeringan Pektin
Pektin basah hasil pengendapan yang telah bebas dari residu asam kemudian
dikeringkan dalam oven pada suhu 40℃ selama 8 jam. Hasil yang diperoleh
disebut dengan pektin kering (Tarigan, et al., 2012).
merah kemudian dititrasi dengan titran NaOH 0,1 N hingga larutan berubah
menjadi merah muda.
ml NaOH x 31 x N NaOH x 100
Kadar Metoksil (%) = bobot sampel mg
Kulit pisang kepok yang belum dipisahkan dari ujung dan tangkainya serta
belum dibersihkan dari pengotornya seperti tanah yang melekat adalah sebanyak 5
kilogram. Setelah dilakukan pembersihan, pengeringan dan penghalusan
menghasilkan serbuk kulit pisang sebanyak 511 gram. Dengan demikian,
dibutuhkan banyak bahan baku limbah kulit pisang yang diperlukan untuk
menghasilkan serbuk kulit pisang yang banyak pula. Sebab dengan 5 kg limbah
kulit pisang segar hanya menghasilkan serbuk kering kulit pisang sebanyak 511
gram. Artinya kandungan air dalam limbah kulit pisang segar cukup tinggi
ditambahkan dengan larutan asam laktat hingga batas 2000 mL. Dalam
Erlenmeyer tersebut dimasukkan pula magnetic stirrer dan pada leher
erlenmeyer ditutup menggunakan sumbat kapas. Pemanasan dilakukan
diatas hot plate dengan masing-masing pengaturan suhu 80℃ dan 90℃ yang
selalu dikontrol dengan termometer agar suhunya tetap. Pengadukan otomatis juga
dilakukan dengan kecepatan yang konstan menggunakan magnetic stirrer.
Menurut Perina, dkk (2007) pengadukan dalam ekstraksi penting karena
meningkatkan perpindahan solut dari permukaan partikel ke cairan pelarut, selain
itu pengadukan suspensi partikel halus mencegah pengendapan padatan dan
memperluas kontak partikel dengan pelarutnya. Pemanasan dilakukan selama 80
menit dan setelah selesai pemanasan dilakukan penyaringan yang sebelumnya
campuran tersebut didinginkan terlebih dahulu. Penyaringan hasil ekstraksi
dilakukan dengan menggunakan kertas saring dan bantuan corong Buchner dan
pompa sehingga penyaringan dapat berjalan lebih cepat. Penyaringan bertujuan
untuk memisahkan antara filtrat dan ampasnya.
Filtrat yang diperoleh ditampung dan selanjutnya dilakukan pengendapan
pektin dengan penambahan aseton. Penambahan aseton dalam filtrat dilakukan
dengan perlahan sambil diaduk sehingga terbentuk endapan. Endapan yang
terbentuk didiamkan selama semalaman (10-14 jam) dan kemudian endapan yang
diperoleh dicuci beberapa kali dengan aseton pula hingga bebas dari asam dan
dilakukan penekanan terhadap endapan dalam kertas saring sehingga endapan
tidak terlalu basah dengan aseton. Endapan yang telah bebas dari asam dan tidak
terlalu basah dengan aseton selanjutnya dikeringkan dalam oven menggunakan
cawan porselain selama ± 8 jam dengan suhu oven 40℃. Pada awalnya
pengendapan pektin dilakukan dengan penambahan etanol 96% ke dalam filtrat,
namun menghasilkan endapan yang tidak lebih baik pemisahannya antara
supernatan dibandingkan endapan yang terbentuk dengan penambahan aseton
dalam filtrat. Agen pengendap pektin yang digunakan dalam penelitan ini adalah
aseton yang mampu mengendapkan lebih baik daripada menggunakan etanol
96%. Hal ini sesuai menurut Akhmalludin dan Kurniawan (2009) yang
menyatakan bahwa pengendapan dengan aseton lebih disukai karena dapat
membentuk endapan yang tegar sehingga mudah dipisahkan dari asetonnya,
pH 1., T: 80℃
pH 1., T: 90℃
pH 1,5., T: 80℃
pH 1,5., T: 90℃
pH 2., T: 80℃
pH 2., T: 90℃
yang dihasilkan memiliki warna yang lebih gelap dibanding pada ekstraksi pH 1,5
dan 2 yang penyaringannya jauh lebih sempurna.
Berdasarkan Farmakope Indonesia Edisi IV (1995) pemerian pektin berupa
serbuk kasar atau halus, berwarna putih kekuningan hampir tidak berbau dan
mempunyai rasa musilago. Serta berdasarkan Food Chemical Codex (1996)
pemerian pektin berupa serbuk kasar hingga halus yang perwarna putih,
kekuningan, kelabu atau kecoklatan. Pemerian pektin hasil ekstraksi pada
penelitian ini sesuai dengan literatur yang disebutkan di atas.
4.4.1 Rendemen
Pektin diperoleh dari jaringan tanaman dengan cara ekstraksi menggunakan
pelarut, dalam hal ini berupa larutan asam laktat dengan variasi pH keasaman.
Jumlah pektin yang dihasilkan tergantung pada jenis dan bagian tanaman yang
diekstrak. Sebelum dilakukan ekstraksi, bahan dipersiapkan dengan memperkecil
ukuran partikel sehingga mempermudah terjadinya kontak bahan dengan larutan
yang akan mempermudah proses ekstraksi.
Rendemen pektin yang dihasilkan dari limbah kulit pisang kepok berkisar
antara 5,17 % - 10,78%. Rendemen tertinggi didapat pada ekstraksi dengan pH
1,5 dengan suhu 90℃ selama 80 menit yakni sebesar 4,85 gram pektin dari 45,00
gram serbuk kulit pisang kepok. Rendemen terendah diperoleh pada ekstraksi pH
2 dengan suhu 80℃ selama 80 menit. Gambar 4.1 menunjukkan semakin tinggi
suhu ekstraksi, rendemen pektin yang dihasilkan semakin besar. Suhu ekstraksi
yang tinggi menyebabkan peningkatan energi kinetik larutan sehingga difusi
pelarut ke dalam sel jaringan semakin meningkat. Berdasarkan Perina, et al.,
(2007) kenaikan suhu akan meningkatkan kelarutan sehingga menghasilkan laju
ekstraksi yang tinggi, secara umum suhu ekstraksi untuk ekstraksi pektin adalah
antara 60℃-90℃.
Dalam hal ini, rendemen tertinggi yang didapatkan sesuai dengan hasil
penelitian yang telah dilakukan oleh Tarigan, et al., (2012), yang menyatakan
bahwa rendemen pektin tertinggi diperoleh dari ekstraksi kulit pisang kepok
menggunakan HCl adalah pada pH ekstraksi 1,5 dengan suhu 90℃ dan lama
ekstraksi 80 menit yakni sebesar 5,21 gram dari 10 gram serbuk kulit pisang.
Rendemen pektin yang diperoleh dari penelitian yang dilakukan oleh Tarigan di
atas lebih besar bila dibandingkan dengan rendemen yang dihasilkan dari
penelitian ini, namun kondisi pH, suhu dan waktu ekstraksi menunjukkan
kesamaan kondisi optimum dihasilkannya rendemen tertinggi meskipun pelarut
yang digunakan berbeda.
10,78%
pH 1 pH 1,5 pH 2
11,96%
11,54%
pH 1 pH 1,5 pH 2
Kadar air yang dihasilkan dari penelitian ini berkisar antara 10,54-11,96%.
Batas maksimum nilai kadar air yang diperbolehkan yaitu 12% berdasarkan Food
Chemical Codex (1996), artinya kadar air dari pektin yang dihasilkan tidak
melebihi standar yang diperbolehkan. Tingginya kadar air pada pektin yang
dihasilkan dapat dipengaruhi oleh pengeringan yang tidak maksimal dan juga
kondisi penyimpanan pektin sebelum dilakukan uji kadar air. Penyimpanan pada
tempat yang lembab dan wadah yang tidak kedap udara akan menyebabkan
kerentanan pektin terpapar oleh udara luar, sehingga pektin menjadi lembab
kembali. Menurut Firiani (2003), kadar air pektin dipengaruhi oleh derajat
pengeringan. Jika derajat pengeringan rendah maka yang terlihat adalah berat
rendemen yang lebih besar daripada yang sebenarnya.
Pada Gambar 4.2 di atas memperlihatkan bahwa kadar air tertinggi pektin
yang dihasilkan adalah pada kondisi larutan pengekstrak pH 1,5 dengan suhu
ekstraksi 90℃ dan kadar air terendah pada kondisi pengekstrak pH 2 dengan suhu
ekstraksi 80℃. Kadar air yang dihasilkan dapat dipengaruhi oleh rendemen
pektin. Semakin tinggi rendemen pektin yang dihasilkan, maka akan semakin
tinggi pula kadar airnya (Budiyanto dan Yulianingsih, 2008). Terbukti bahwa
kadar air tertinggi dimilki oleh pektin dengan rendemen tertinggi, dan kadar air
terendah dimiliki oleh rendemen terendah pula.
7,92% 8,05%
6,90%
6,15%
kadar abu (%)
4,70%
4,25%
pH 1 pH 1,5 pH 2
ekstraski pH 2 suhu 80℃ memiliki kadar abu 7,92% dan suhu 90℃ memiliki
kadar abu 8,05%, perbedaan suhu disini tidak menghasilkan perbedaan kadar abu
yang terukur. Pada dasarnya semakin tinggi suhu maka kecepatan hidrolisis
protopektin semakin meningkat sehingga kadar abu juga akan semakin tinggi.
Hanya kondisi ekstraski pH 2 yang sesuai dengan pernyataan tersebut. Untuk
kondisi ekstraksi pH 1 dan pH 1,5 tidak sesuai dengan pernyataan tersebut.
Pektin merupakan hasil hidrolisis dari protopektin dalam buah-buahan dan
sayuran. Protopektin terdapat dalam bentuk kalsium-magnesium pektat. Perlakuan
dengan asam mengakibatkan terhidrolisisnya pektin dari ikatan kalsium dan
magnesiumnya. Peningkatan reaksi hidrolisis protopektin akan mengakibatkan
bertambahnya komponen Ca dan Mg dalam larutan ekstrak. Dengan demikian,
semakin banyaknya mineral berupa kalsium dan magnesium akan semakin banyak
kadar abu pektin tersebut (Hanum, et al., 2012).
Kadar abu dalam pektin akan meningkat seiring meningkatnya konsentrasi
asam yang digunakan, suhu dan waktu ekstraksi. Hal demikian disebabkan oleh
kemampuan asam untuk melarutkan mineral alami dari bahan yang diekstrak.
Mineral yang terlarut akan turut mengendap bercampur dengan pektin pada saat
proses pengendapan (Kalapathy, 2001). Hasilnya pengukuran kadar abu pektin
pada penelitian ini tidak sesuai dengan pernyataan di atas, karena pada konsentrasi
asam terendah menghasilkan kadar abu tertinggi, bukan pada konsentrasi asam
tertinggi.
Kadar abu adalah salah satu parameter mutu pektin yang dihasilkan.
Semakin rendah kadar abu, maka mutu pektin semakin meningkat.
rendahnya jumlah asam galakturonat bebas yang berarti semakin tingginya berat
ekivalen (Rouse, 1977).
9534,71 9534.71
8667,91
Berat Ekivalen
6652,12
5757,44
4094,47
pH 1 pH 1,5 pH 2
Berat ekivalen yang dihasilkan dari penelitian ini berkisar antara 4094,47-
9534,71. Pektin hasil ekstraksi pH 1 suhu 80℃ memiliki berat ekivalen 5757,44
mg sedangkan pada ekstraksi suhu 90℃ memiliki berat ekivalen 4094,47. Berat
ekivalen pektin hasil ekstraksi pH 1 dan 1,5 menurun seiring meningkatnya suhu
ekstraksi, akan tetapi untuk pektin hasil ekstraksi pH 2 dengan suhu 80℃ dan
90℃ tidak menunjukkan peningkatan ataupun penurunan seiring meningkatnya
suhu ekstraksi. Ekstraksi pH 1,5 suhu 80℃ menghasilkan pektin dengan berat
ekivalen 8667,91 dan pada suhu 90℃ sebesar 6652,12. Kemudian untuk ekstraksi
pH 2 suhu 80℃ menghasilkan pektin dengan berat ekivalen 9534,71 dan 9534,71
untuk pektin hasil ekstraksi suhu 90℃. Berat ekivalen pektin yang dihasilkan
semakin menurun dengan semakin meningkatnya suhu ekstraksi kecuali pada pH
2. Berat ekivalen pektin berdasarkan standar IPPA (International Pectin
Producers Association) (2002) yakni berkisar antara 600-800 mg. Pektin hasil
ekstraksi dari limbah kulit pisang kepok ini memiliki berat ekivalen yang tidak
memenuhi standar yang ada.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Budiyanto dan
Yulianingsih (2008) dan Hariyati (2006) bahwasanya pengaruh kenaikan suhu dan
waktu ekstraksi mengakibatkan semakin rendahnya berat ekivalen pektin yang
dihasilkan. Pada penelitian ini, berat ekivalen pektin cenderung menurun seiring
meningkatkan suhu ekstraksi. Hanya pada kondisi ekstraksi pH 2 saja yang tidak
menunjukkan peningkatan maupun penurunan berat ekivalen seiring
meningkatnya suhu ekstraksi.
Bobot molekul pektin tergantung pada jenis tanaman, kualitas bahan baku,
metode ekstraksi dan perlakuan pada proses ekstraksi. Kemungkinan besar hal
yang mempengaruhi nilai berat ekivalen adalah sifat pektin hasil ekstraksi itu
sendiri, serta proses titrasi yang dilakukan. Ketika sampel pektin dilarutkan dalam
aquadest dan telah benar-benar larut sempurna, dilakukan pengukuran pH
menggunakan pH indikator universal. Hasil dari pengukuran pH awal adalah
berkisar pH 6, sehingga saat dititrasi menggunakan larutan titran (NaOH) hanya
memerlukan sedikit saja larutan NaOH untuk mencapai titik ekivalen (pH netral).
Titik ekivalen terlihat saat larutan berubah warna menjadi merah muda dari
larutan awal. Sehingga hasil perhitungan berat ekivalen pektin berdasarkan rumus
berat ekivalen adalah perbandingan antara bobot sampel pektin terhadap volume
titran NaOH yang terpakai dan Normalitas titran (NaOH). Volume titran (NaOH)
yang terpakai hanya berkisar antara 0,3-0,7 mL dengan normalitas NaOH 0,0874
N dan bobot sampel 250 mg, sehingga hasil perhitungan menujukkan nilai berat
ekivalen yang terlalu besar. Hasil titrasi untuk perhitungan berat ekivalen ini akan
mempengaruhi perhitungan selanjutnya seperti kadar metoksil, kadar galakturonat
dan derajat esterifikasi.
2,64% 2,70%
pH 1 pH 1,5 pH 2
penelitian yang dilakukan oleh Kaban, et al., (2012) dan Tarigan, et al., (2012)
yang menunjukkan bahwa kadar metoksil meningkat seiring kenaikan suhu dan
waktu ekstraksi, hal ini disebabkan oleh gugus karboksil bebas yang teresterifikasi
semakin meningkat.
Perhitungan kadar metoksil dipengaruhi oleh banyaknya volume titran
(NaOH) yang terpakai pada proses titrasi. Larutan netral pada penentuan berat
ekivalen yang selanjutnya ditambahkan dengan 25 mL NaOH 0,25 N dan
didiamkan selama 30 menit dalam keadaan tertutup, selanjutnya ditambahkan 25
mL HCl dan indikator fenol merah. pH larutan tersebut kemudian diukur
menggunakan pH indikator universal, hasilnya menunjukkan pH larutan berkisar
pH 5, sehingga hanya sedikit volume titran yang diperlukan untuk mencapai titik
ekivalen (netral) yakni antara 1,0-2,5 mL, mengakibatkan perhitungan persentase
kadar metoksil menjadi kecil.
Pektin yang dihasilkan dari penelitian ini merupakan pektin bermetoksil
rendah yang mampu membentuk gel dengan adanya kation polivalen seperti
kalsium. Pektin bermetoksil rendah lebih menguntungkan karena dapat langsung
diproduksi tanpa melalui proses demetilasi pektin bermetoksil tinggi menjadi
pektin bermetoksil rendah.
78,60%
72,14%
pH 1 pH 1,5 pH 2
Kadar galakturonat pektin hasil ekstraksi pada penelitian ini berkisar antara
30,27%-78,60%. Kadar asam galakturonat untuk pektin hasil ekstraksi pH 1 suhu
80℃ adalah sebesar 72,14% dan pada suhu 90℃ sebesar 78,60%, kadar
galakturonat meningkat seiring meningkatnya suhu ekstraksi. Sedangkan untuk
pektin hasil ekstraksi pH 1,5 suhu 80℃ yaitu sebesar 32,74% dan pada suhu 90℃
sebesar 33,47%, kadar galakturonat menurun seiring meningkatnya suhu
ekstraksi. Kemudian untuk pektin hasil ekstraksi pH 2 suhu 80℃ sebesar 34,46%
dan pada suhu 90℃ sebesar 36,92%, disini kadar galakturonat meningkat seiring
meningkatnya suhu ekstraksi seperti pada pektin hasil ekstraksi masing-masing
kondisi pH. Kadar galakturonat tertinggi sebesar 78,60% dimiliki oleh pektin hasil
ekstraksi pH 1 dengan suhu 90℃, sedangkan kadar terendah yakni 32,74%
dimiliki oleh pektin hasil ekstraksi pH 1,5 suhu 80℃.
Perbedaan kadar galakturonat pada pektin hasil ekstraksi pH 1,5 dan 2 tidak
terlalu jauh. Hanya pada pektin hasil ekstraksi pH 1 yang menunjukkan nilai
cukup tinggi. kadar galakturonat yang ditetapkan oleh IPPA (International Petin
Producers Association) (2002) yaitu minimal 35% dan ketetapan USP 28 yaitu <
74%. Ada beberapa kadar galakturonat yang masuk dalam standar yang telah
ditetapkan tersebut di atas dan ada pula yang terlalu rendah dari standard yang
telah ditetapkan. Masing-masing kondisi ekstraksi pH 1., 1,5 dan 2 menunjukkan
kadar galakturonat meningkat seiring meningkatnya suhu ekstraksi. Menurut
Sofiana, et al., (2012) serta Budiyanto dan Yulianingsih (2008) kecenderungan
20,78%
19,61% 20,00%
pH 1 pH 1,5 pH 2
bebas dari gugus metil ester. Jumlah gugus metil ester menunjukkan jumlah gugus
karboksil yang tidak teresterifikasi atau derajat esterifikasi (Budiyanto dan
Yulianingsih, 2008).
Menurut Awashti (2011), nilai derajat esterifikasi untuk pektin tinggi
metoksil memiliki rentang nilai derajat esterifikasi sebesar 60-70% dan untuk
pektin rendah metoksil memiliki rentang 20-40%. Pektin yang dihasilkan pada
penelitian ini merupakan pektin dengan kadar metoksil rendah dan memiliki
rentang nilai derajat esterifikasi antara 17,13%-20,78%. Jelas bahwa hasil
perhitungan derajat esterifikasi di sini lebih rendah dibanding dengan teori yang
ada, namun sesuai dengan kadar metoksil yang dimiliki.
Sesuai dengan pernyataan yang telah disebutkan di atas bahwasanya nilai
derajat esterifikasi diperoleh dari perhitungan antara kadar metoksil dan kadar
asam galakturonat. Seharusnya pektin dengan kandungan metoksil rendah
memiliki rentang derajat esterifikasi 20-40%, namun pada penelitian ini pektin
dengan kadar metoksil lebih rendah dari standard memiliki nilai derajat
esterifikasi lebih rendah pula. Pengaruh dari proses titrasi dan sifat pektin yang
dihasilkan sangat berperan dalam hasil perhitungan ini.
yang berbeda. Pada bilangan gelombang antara 1100 dan 1200 cm-1 menunjukkan
ikatan dari eter (R-O-R) dan ikatan C-C siklik dalam struktur cincin dari molekul
pektin. Spektrum melebar pada 2400-3600 cm-1 merupakan lembab dalam pektin
yang terserap.
Area
(bilangan gelombang) (cm-1)
No Keterangan
Standard Komersial Sampel
Pada struktur pektin di atas, terlihat bahwa gugus fungsional yang terukur
oleh spektroskopi FTIR dengan masing-masing serapan pada bilangan gelombang
tertentu menunjukkan kesesuain dengan struktur pektin. Terdapat vibrasi OH,
ikatan –CH3 pada cabang metoksil (COOCH3), ikatan -C-H, karbonil (-C=O) dan
eter (-O-).
5.1 Kesimpulan
Limbah kulit pisang kepok dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku
pembuatan pektin. Pektin yang dihasilkan dari ekstraksi menggunakan pelarut
asam laktat dengan variasi pH dan suhu ekstraksi menunjukkan pemerian yang
sesuai dalam Farmakope Indonesia Edisi IV yaitu serbuk halus berwarna putih
atau kecoklatan dan tidak berbau. Rendemen pektin tertinggi dihasilkan pada
kondisi ekstraksi pH 1,5 suhu 90℃ yaitu 10,78%. Kadar air pektin yang
dihasilkan kurang dari 12% yaitu berkisar 10,54%-11,96%, kadar air terendah
pada ekstraksi pH 2 suhu 80℃. Kadar abu pektin kurang dari 10% yaitu berkisar
4,25%-8,05%, kadar abu pektin terendah pada ekstraksi pH 1,5 suhu 90℃. Berat
ekivalen pektin yang dihasilkan berkisar 4094,47-9534,7. Kadar metoksil pektin
yang dihasilkan berkisar antara 1,01%-2,70%, kadar metoksil pektin yang masuk
dalam rentang standar pektin bermetoksil rendah adalah pada ekstraksi pH 1 suhu
80℃ dan 90℃ yaitu sebesar 2,64% dan 2,70%. Kadar galakturonat pektin berkisar
antara 32,74%-78,60% dan derajat esterifikasi berkisar antara 17,13%-20,78%.
Derajat esterifikasi pektin lebih rendah dari standar yang telah ditetapkan.
Spektrum FTIR antara pektin standar, komersial dan hasil ekstraksi menunjukkan
kemiripan. Karakteristik kimia pektin hasil ekstraksi dari limbah kulit pisang
kepok ini menunjukkan kurang memenuhi standar yang telah ditetapkan.
5.2 Saran
1. Perlunya pengembangan metode ekstraksi, pemilihan bahan baku dan
pelarut yang cocok untuk menghasilkan pektin dengan karakteistik yang
lebih baik, sehingga pektin yang dihasilkan sesuai dengan standar yang telah
ditetapkan.
2. Perlunya penelitian lebih lanjut tentang aplikasi pektin yang telah
dihasilkan.
Apriadji, Wied Harry. 2007. Good Mood Food. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta.
Astuti, Sussi. 2007. Efek Pektin Kulit Jeruk Lemon Terhadap Kadar Kolesterol,
LDL, HDL dan Trigliserida Serum Tikus. Jurnal Teknologi Hasil Pertanian
Fakultas Pertanian, Universitas Lampung, Media Gizi dan Keluarga,
Desember, 31 (2): 84-91.
Awasthi, Rajendra. 2011. Selection of Pectin As Pharmaceutical Excepient on The
Basis of Rheological Behavior. International Journal of Pharmacy and
Pharmaceutical Sciences. ISSN-0975-1491. Vol 3, Issue 1.
Kaban, Irza Menka Deviliany., Tarigan, Martha Angelina., Hanum, Farida. 2012.
Ekstraksi pektin dari Kulit Pisang Raja (Musa sapientum). Jurnal Teknik
Kimia. USU : Medan.
Kalapathy, U. dan A. Proctor. 2001. Effect of Acid Extraction and Alcohol
Precipitation Conditions on The Yield and Purity of Soy Hull Pectin. Food
Chemistry 73 : 393 – 396
Kertesz, Z.I. 1951. The Pectin Substances. Interscience Pub. Inc: New York.
Rowe, Raymond C., Sheskey, Paul J., Owen, Sian C. 2006. Handbook of
Pharmaceutical Exipients Fifth Edition. Pharmaceutical Press: London
Satria, H Berry dan Ahda, Yusuf. 2009. Pengolahan Limbah Kulit Pisang
Menjadi Pektin. Universitas Diponegoro: Semarang.
Sofiana, Heni., Triaswuri, Khrista., Sasongko, Setia Budi. 2012. Pengambilan
Pektin dari Kulit Pepaya dengan Cara Ekstraksi. Jurnal Teknologi Kimia
dan Industri, Vol. 1, No. 1, hal 482-486.
Sriamornsak, Pornsark. 2003. Chemistry of Pectin and Its Pharmaceutical Uses :
A Review. International Journal, Vol. 3. Silpakorn University.
Srivastava, Pranati dan Malviya, Rishabha. 2011. Sources of Pectin and Its
Applications in Pharmaceutical Idustry-An overview. Indian Journal of
Natural Products and Resources Vol. 2(1), March, pp. 10-18.
Lampiran 1
Hasil Determinasi Tumbuhan
60
Lampiran 2
Hasil Pemeriksaan Kadar Air Serbuk Kulit Pisang Kepok
(Musa balbisiana ABB)
61
Lampiran 3
Karakterisasi Pektin Hasil Ekstraksi
1. Rendemen
Kondisi ekstrasi Bobot Bobot % rendemen=
bahan baku pektin hasil 𝐛𝐨𝐛𝐨𝐭 𝐩𝐞𝐤𝐭𝐢𝐧 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐝𝐢𝐩𝐞𝐫𝐨𝐥𝐞𝐡
𝐛𝐨𝐛𝐨𝐭 𝐛𝐚𝐡𝐚𝐧 𝐛𝐚𝐤𝐮 𝐤𝐞𝐫𝐢𝐧𝐠
x 100%
kering (g) (g)
pH 1., T: 80℃ 60,39 3,12 5,17 %
pH 1., T: 90℃ 60,10 5,41 9,00%
pH 1,5., T: 80℃ 60,52 4,27 7,05%
pH 1,5., T: 90℃ 45,00 4,85 10,78%
pH 2., T: 80℃ 60,55 3,04 5,02%
pH 2., T: 90℃ 60.59 4,74 7,82%
2. Kadar Air
Data penimbangan dan perhitungan karakterisasi kadar air
Bobot Bobot Bobot
wadah+sampel sampel awal wadah+sampel
Kondisi sebelum (W) (g) setelah % kadar air
pemanasan (Wa) pemanasan (Wb)
(g) (g)
pH 1., suhu 80℃ 15,946 0,303 15,914 10,56%
pH 1., suhu 90℃ 17,237 0,302 17,202 11,54%
pH 1,5., suhu 80℃ 15,946 0,302 15,914 10,59%
pH 1,5., suhu 90℃ 17,238 0,301 17,202 11,96%
pH 2., suhu 80℃ 11,507 0,294 11,476 10,54%
pH 2., suhu 90℃ 11,517 0,303 11,484 10,89%
62
Contoh perhitungan:
𝐖𝐚−𝐖𝐛
% kadar air = x 100%
𝐖
15,946 −15,914
% kadar air = x 100% = 10,56%
0,303
3. Kadar Abu
Data penimbangan dan perhitungan karakterisasi kadar abu
𝑾𝟏−𝑾𝟐
% kadar abu = 𝑾
x 100%
Perhitungan:
I 35,8250 −35,7910
Kadar abu = x 100% = 6,80%
0,500
pH 1., T: 80℃
II Kadar abu = 25,6160 −25,5810 x 100% = 7,00%
0,500
Rerata = 6,90%
I 12,9380 −12,9140
Kadar abu = x 100% = 4,80%
0,500
pH 1., T: 90℃
II Kadar abu = 26,7900 −26,7670 x 100% = 4,60%
0,500
Rerata = 4,70%
I 36,5599 −36,5290
Kadar abu = x 100% = 6,10%
0,500
pH 1,5., T:80℃
II Kadar abu = 38,0632 −38,0320 x 100% = 6,20%
0,500
Rerata = 6,15%
I 23,9698 −23,9570
Kadar abu = x 100% = 4,20%
0,300
pH 1,5., T:90℃
II Kadar abu = 25,5948 −25,5817 x 100% = 4,30%
0,500
Rerata = 4,25%
64
I 25,1978 −25,1742
Kadar abu = x 100% = 7,87%
0,300
pH 2., T: 80℃
II Kadar abu = 25,2037 −25,1798 x 100% = 7,97%
0,300
Rerata = 7,92%
I 26,2916 −26,2674
Kadar abu = x 100% = 8,07%
0,300
pH 2., T: 90℃
II Kadar abu = 38,8633 −38,8392 x 100% = 8,03%
0,300
Rerata = 8,05%
4. Berat Ekivalen
1. Perhitungan pembakuan NaOH 0,0874 N menggunakan larutan
baku standard asam oksalat 0,03 N.
- Normalitas larutan asam oksalat: 0,03 N
- Volume larutan asam oksalat: 10 mL
- Volume NaOH yang terpakai
V1= 3,4 mL., V2= 3,4 mL., V3= 3,5 mL., Rerata= 3,43 mL
Sehingga, Vasam oksalat x Nasam oksalat = VNaOH x NNaOH
10 mL x 0,03 N = 3,43 mL x NNaOH
10 mL x 0,03 N
NNaOH = 3,43 mL
NNaOH = 0,0874 N
2. Volume NaOH yang terpakai pada titrasi penentuan Berat Ekivalen
Vol NaOH (mL)
Kondisi Ulangan Rerata
I II III
pH 1., T: 80℃ 0,5 0,5 0,5 0,5
pH 1., T: 90℃ 0,7 0,7 0,7 0,7
pH 1,5., T: 80℃ 0,4 0,3 0,3 0,33
pH 1,5., T: 90℃ 0,4 0,4 0,5 0,43
pH 2., T: 80℃ 0,3 0,3 0,3 0,3
pH 2., T: 90℃ 0,4 0,3 0,2 0,3
65
pH 1., T: 90℃
250 ,5 𝑚𝑔
BE = 0,7 𝑚𝐿 𝑥 0,0874 𝑁 = 4094,47
pH 1,5., T: 80℃
250 𝑚𝑔
BE = 0,33 𝑚𝐿 𝑥 0,0874 𝑁 = 8667,91
pH 1,5., T: 90℃
250 𝑚𝑔
BE = 0,43 𝑚𝐿 𝑥 0,0874 𝑁 = 6652,12
pH 2., T: 80℃
250 𝑚𝑔
BE = 0,3 𝑚𝐿 𝑥 0,0874 𝑁 = 9534,71
pH 2., T: 90℃
250 𝑚𝑔
BE = 0,3 𝑚𝐿 𝑥 0,0874 𝑁 = 9534,71
5. Kadar Metoksil
1. Volume NaOH yang terpakai dalam titrasi untuk penentuan kadar
metoksil
Volume NaOH (mL)
Kondisi Ulangan Rerata
I II III
pH 1., T: 80℃ 2,5 2,4 2,45 2,45
pH 1., T: 90℃ 2,5 2,5 2,5 2,5
pH 1,5., T: 80℃ 1,0 0,9 1,1 1,0
pH 1,5., T: 90℃ 1,1 0,9 0,8 0,93
pH 2., T: 80℃ 1,0 0,9 1,4 1,1
pH 2., T: 90℃ 1,3 1,0 1,3 1,2
66
2. Perhitungan
pH 1., T: 80℃
2,45 𝑥 31 𝑥 0,0874 𝑥 100
% Metoksil = = 2,64%
251 ,6
pH 1., T: 90℃
2,5 𝑥 31 𝑥 0,0874 𝑥 100
% Metoksil = = 2,70%
250 ,5
pH 1,5., T: 80℃
1,0 𝑥 31 𝑥 0,0874 𝑥 100
% Metoksil = = 1,08%
250
pH 1,5., T: 90℃
0,93 𝑥 31 𝑥 0,0874 𝑥 100
% Metoksil = = 1,01%
250
pH 2., T: 80℃
1,1 𝑥 31 𝑥 0,0874 𝑥 100
% Metoksil = = 1,19%
250
pH 2., T: 90℃
1,2 𝑥 31 𝑥 0,0874 𝑥 100
% Metoksil = = 1,30%
250
= 1,0051 mg
1,748 𝑥 16
- O2- = 40
= 0,6992 mg
1,748 𝑥 1
- H+ = 40
= 0,0437 mg
2. Perhitungan mEq
𝑚𝑔 𝑁𝑎 𝑥 𝑣𝑎𝑙𝑒𝑛𝑠𝑖 𝑁𝑎
- Na+ = 𝐴𝑟 𝑁𝑎
1,0051 𝑥 1
= 23
= 0,0437
0.6992 𝑥 2
- O2- = 16
= 0,0874
0,0437 𝑥 1
- H+ = 1
= 0,0437
- mEq NaOH = mEq Na+ + mEq O2- + mEq H+
= 0,0437 + 0,0874 + 0,0437
= 0,1748
2. Perhitungan miliequivalen dari NaOH untuk metoksil
Volume NaOH yang terpakai pada titrasi = 2,45 ml, Normalitas NaOH=
0,0874
Mg NaOH yang terpakai adalah =
𝑔𝑟𝑎𝑚 1000
N= x
𝑀𝑟 𝑚𝑙
𝑔𝑟𝑎𝑚 1000
0,0874 = x 2,45
40
0,0874 𝑥 40 𝑥 2,45
gram = 1000
= 4,92499 mg
8,5652 𝑥 16
- O2- = 40
= 3,42608 mg
8,5652 𝑥 1
- H+ = 40
= 0,21413 mg
2. Perhitungan mEq
𝑚𝑔 𝑁𝑎 𝑥 𝑣𝑎𝑙𝑒𝑛𝑠𝑖 𝑁𝑎
- Na+ = 𝐴𝑟 𝑁𝑎
4,92499 𝑥 1
= 23
= 0,21413
3,42608 𝑥 2
- O2- = 16
= 0,42826
0,21413 𝑥 1
- H+ = 1
= 0,21413
- mEq NaOH = mEq Na+ + mEq O2- + mEq H+
= 0,21413 + 0,42826 + 0,21413
= 0,85652
meq dari NaOH untuk asam meq dari NaOH untuk
bebas pada penentuan Berat metoksil
Ekivalen
pH 1., T: 80℃ 0,1748 0,8565
pH 1., T: 90℃ 0,2447 0,8740
pH 1,5., T: 80℃ 0,1154 0,3496
pH 1,5., T: 90℃ 0,1503 0,3251
pH 2., T: 80℃ 0,1049 0,3846
pH 2., T: 90℃ 0,1049 0,4195
Perhitungan
pH 1., T: 80℃
0,1748 +0,8565 𝑥 176 𝑥 100
% Galakturonat = 251 ,6
= 72,14%
69
pH 1., T: 90℃
0,2447 +0,8740 𝑥 176 𝑥 100
% Galakturonat = = 78,60%
250 ,5
pH 1,5., T: 80℃
0,1154 +0,3496 𝑥 176 𝑥 100
% Galakturonat = = 32,74%
250
pH 1,5., T: 90℃
0,1503 +0,3251 𝑥 176 𝑥 100
% Galakturonat = = 33,47%
250
pH 2., T: 80℃
0,1049 +0,3846 𝑥 176 𝑥 100
% Galakturonat = = 34,46%
250
pH 2., T: 90℃
0,1049 +0,4195 𝑥 176 𝑥 100
% Galakturonat = = 36,92%
250
7. Derajat Esterifikasi
Perhitungan :
pH 1., T: 80℃
176 𝑥 2,64 𝑥 100
DE = = 20,78%
31 𝑥 72,14
pH 1., T: 90℃
176 𝑥 2,70 𝑥 100
DE = = 19,50%
31 𝑥 78,60
pH 1,5., T: 80℃
176 𝑥 1,08 𝑥 100
DE = = 18,73%
31 𝑥 32,74
pH 1,5., T: 90℃
176 𝑥 1,01 𝑥 100
DE = = 17,13%
31 𝑥 33,47
pH 2., T: 80℃
176 𝑥 1,19 𝑥 100
DE = = 19,61%
31 𝑥 34,46
pH 2., T: 90℃
176 𝑥 1,30 𝑥 100
DE = = 20,00%
31 𝑥 36,92
70
Lampiran 3
Hasil Spektrum FTIR Pektin Standard, Komersial dan Hasil Ekstraksi
Lampiran 4
Proses Ekstraksi dan Alat-Alat yang Digunakan
1. Proses Ekstraksi
pH meter
Buret