Anda di halaman 1dari 90

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

KARAKTERISASI PEKTIN HASIL EKSTRAKSI DARI


LIMBAH KULIT PISANG KEPOK
(Musa balbisiana ABB)

SKRIPSI

VITA FITRIA
NIM. 109102000069

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN


PROGRAM STUDI FARMASI
JAKARTA
2013
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

KARAKTERISASI PEKTIN HASIL EKSTRAKSI DARI


LIMBAH KULIT PISANG KEPOK
(Musa balbisiana ABB)

SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi

VITA FITRIA
NIM. 109102000069

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN


PROGRAM STUDI FARMASI
JAKARTA
2013

ii
HALAMAIY PER}IYATAAN ORISINALITAS

Skripsi ini adalah hasil karya sendiri,


dan semua sumber yang dikutip maupun dirujuk
telah saya nyatakan dengan benar.

Nama : Yita Fitria

NIn[ :109102{X}0069
Tanda Tangan , 7f
Tnnggel : 12 September20l3

ill
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING

Nama Vita Fitria


NIM 109102000069
Pmgram Studi Farmasi
Judul Karaktedsasi Pektin Hasil Ek$trak$i dari Limbah Kulit
Pisaug Kepok {Musa balbisiana ABB)

Menyetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

-l,\ [i r
fW*{1^l
(
r__,, \J
^
4*^+
\r i

Ofa Suzanti Betha" M.Si.. Apt


I

Supandi. M.Si. Aot


NIP : 1975010420091 220A1

Mengetahui,

Kepala Program Sfirdi Farmasi


Fakultas Kedokteran dan Iknu Kesehatan
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

U^r--
Drs. Umar Mansu{" M.Sc.. Apt

lv
HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI

Skripsi ini diajukan oleh :

Nama Vita Fitria


NIM 109102000069

Program Studi Farmasi


Judul Karakterisasi Pektin Hasil Ekstraksi dari Limbah Kulit
Pisang Kepok (Musa balbisiana ABB)

Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima


sebagai bagian persyaratan yang diperlukan unfuk memperoleh gelar
Sarjana Farmasi pada Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan
trlmu Kesehatan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

DEWAN PENGUJI

Pembimbing I Ofa Suzanti Bethq M.Si., Apt

Pernbimbing II Supandi, M.Si., Apt

Penguji I Nelly Suryani, PhD., Apt

Fenguji II Yuni Anggraeni, M.Famr., Apt ( @YYto^Xi'

Ditetapkan di lalor'/le
Tanggal ta .Sepl:nrbe
ABSTRAK

Nama : Vita Fitria


Program Studi : Farmasi
Judul : Karakterisasi Pektin Hasil Ekstraksi dari Limbah Kulit
Pisang Kepok (Musa balbisiana ABB)

Pektin merupakan polimer dari asam D-galakturonat yang dihubungkan oleh


ikatan α-1,4 glikosidik. Senyawa pektin banyak digunakan dalam industri farmasi,
makanan dan minuman. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik
pektin hasil ekstraksi dari limbah kulit pisang kepok menggunakan pelarut asam
laktat dengan variasi pH keasaman dan suhu ekstraksi. Penelitian ini dilakukan
dengan metode ekstraksi menggunakan pelarut asam laktat kemudian
ditambahkan aseton ke dalam filtrat untuk mengendapkan pektin dan proses
terakhir dilakukan pengeringan untuk mendapatkan pektin kering. Variasi
keasaman pelarut adalah pH 1, 1,5 dan 2, suhu ekstraksi 80℃ dan 90℃ serta lama
ekstraksi 80 menit. Pektin yang dihasilkan ditentukan karakteristiknya meliputi
rendemen, kadar air, kadar abu, berat ekivalen, kadar metoksil, kadar galakturonat
dan derajat esterifikasi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa rendemen pektin (5,02%-10,78%),
rendemen tertinggi didapat pada pH 1,5 dan suhu 90℃. Kadar air berkisar antara
10,54%-11,96%, kadar air terendah didapat pada pH 2 dan suhu 80℃. Kadar abu
berkisar antara 4,25%-8,05%, kadar abu terendah didapat pada pH 1,5 dan suhu
90℃. Berat ekivalen berkisar antara 4094,4-9534,71, berat ekivalen tertinggi
didapat pada ekstraksi pH 2. Pektin termasuk dalam pektin metoksil rendah,
dengan kadar metoksil antara 1,01%-2,70%. Kadar asam galakturonat berkisar
antara 32,74%-78,60%. Derajat esterifikasi berkisar antara 17,13%-20,78%.
Spektroskopi FTIR digunakan untuk membandingkan spektrum dari pektin
sampel, komersial dan standard dan hasilnya menunjukkan kemiripan masing-
masing serapan gugus fungsi.

Kata Kunci : karakterisasi, pektin, ekstraksi, Musa balbisiana ABB

vi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


ABSTRACT

Name : Vita Fitria


Program Study : Pharmacy
Title : Characterization of Pectin Extracted from Banana Peels
(Musa balbisiana ABB)

Pectin are polymer of D-galacturonic acids connected by α-1,4 glucosidic. Pectin


are widely used in pharmaceutical, food dan beverage industries. This reaserch
was aimed to investigate the characteristics of pectin extracted from banana peels
(Musa balbisiana ABB) using lactic acid solvent with pH variation of acidity and
temperature of extraction. The research used an extraction method by using lactic
acid solvent in additional to acetone to form the sediment of pectin and the last
step was drying in order to get dry pectin. Variation of solvent acidity was pH 1;
1,5 and 2, extraction temperature of 80℃, 90℃ and extraction time of 80 minute.
Pectin determined characteristics include yield, water content, ash content,
equivalent weight, methoxyl content, galacturonic acid content and degrees of
esterification.
The results showed that the pectin yield (5.02%-10.78%), the highest yield
obtained at pH 1.5 and temperature of 90℃. Water content ranged from 10.54%-
11.96%, the lowest water content obtained at pH 2 and temperature of 80 ℃. Ash
content ranged from 4.25%-8.05%, the lowest ash content obtained at pH 1.5 and
temperature of 90℃. Equivalent weight ranged from 4094.47-9534.71, the highest
equivalent weight obtained at pH 2. Pectin was included in the low methoxyl
pectin, with a methoxyl content between 1.01%-2.70%. Galacturonic acid content
ranged from 32.74%-78.60%. Degree of esterification ranged from 17.13%-
20.78%. FTIR Spectroscopy was used to compare the spectrum of the sample,
commercial and standard pectin and the result showed the similarity of each
absorption functional groups.

Keyword : characterization, pectin, extraction, Musa balbisiana ABB

vii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


KATA PENGANTAR

Segala puji penulis panjatkan hanya kepada Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat kasih sayang, kenikmatan, dan kemudahan yang begitu
besar. Shalawat dan salam semoga selalu tercurahkan kepada junjungan baginda
Nabi Muhammad SAW yang membawa petunjuk dan suri tauladan bagi umat
manusia, semoga kelak kita semua mendapat syafaat beliau.
Skripsi dengan judul: “Karakterisasi Pektin Hasil Ekstraksi dari Limbah
Kulit Pisang Kepok (Musa balbisiana ABB)” ini disusun untuk memenuhi salah
satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi di Program studi Farmasi Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Penulis menyadari bahwa, tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai
pihak, sangatlah sulit untuk menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, dalam
kesempatan kali ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya pada pihak yang membantu dan memberikan bimbingan dalam
penyusunan skripsi ini. Ucapan terima kasih dan penghargaan, penulis sampaikan
kepada:
1. Bapak Sukardi dan Ibu Saniyem, kedua orang tua tercinta yang tiada
henti-hentinya mendoakan di setiap waktunya, memberikan kasih sayang,
motivasi, semangat dan nasihat, tanpa Bapak dan Ibu penulis tidaklah
memiliki arti apa-apa. Adik tersayang Ade Rifky Amalia yang selalu
memberikan dukungan, semangat dan keceriaan, serta untuk kelurga
besar yang tak pernah lupa memberikan doa dan semangat.
2. Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan dan Diknas Sumatera Selatan serta
jajaran pengurus program Santri Jadi Dokter, selaku pemberi beasiswa
sehingga penulis dapat menempuh pendidikan di Program Studi Farmasi
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Ibu Ofa Suzanti Betha M.Si, Apt, selaku dosen pembimbing 1 dan Bapak
Supandi M.Si, Apt selaku dosen membimbing 2. Terimaksih atas segala

viii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


bimbingan, arahan dan kesabaran dalam membimbing hingga skripsi ini
selesai. Semoga Allah membalas amal baik ibu dan bapak.
4. Prof. DR (hc). Dr. M.K. Tadjudin, Sp. And, selaku Dekan Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
5. Bapak Drs. Umar Mansur M.Sc., Apt, selaku kepala prodi Farmasi
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
6. Bapak dan ibu staff pengajar dan karyawan yang telah memberikan
bantuan dan bimbingan kepada penulis selama menempuh pendidikan di
Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
7. Rekan-rekan Santri Jadi Dokter (SJD-Sumsel), teman-teman Farmasi
2009 yang selalu memberikan dukungan, semangat perjuangan serta
pengalaman kebersamaan yang tak ternilai. Untuk Tika, Kiki, Rani,
Nurul, Maharani, dkk terima kasih atas segala semangat, dukungan,
keceriaan dan kebersamaan yang tak terlupakan, sukses untuk kita
semua. Serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan
dan jauh dari kesempurnaan. Oleh sebab itu dengan segala kerendahan hati
penulis sangat mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan skripsi ini
Akhir kata, penulis berharap Allah SWT berkenan membalas segala
kebaikan semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi
ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan dapat memberi sumbangan
pengetahuan khususnya di Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dan bagi pembaca
pada umumnya yang mempergunakannya terutama untuk proses kemajuan
pendidikan.

Jakarta, 12 September 2013

Penulis

ix UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIK

Sebagai sivitas akademik Universitas Islam Negeri ruIliD Syarif


Hidayatullah Jakaxta, Saya yang bertandatangan di bawah ini :

Nama Vita Fitria


NIM 109102000069
Program Studi Farmasi
Fakultas Fakultas Kedoleteran dan IImu Kesehatan (FKIK)
Jenis Karya Skripsi
Demi pengembangan ilmu pengetatruan, saya menyetujui skripsiikarya
ilmiah saya dengan judul:
KARAKTERISASI PEKTIN HASIL EKSTRAKSI DARI LIMBAH
KIILIT PISANG IffiPOK (Musa balbisiana ABB)
rmtuk dipublikasikan atau ditaurpilkan di internet atau media lain yaitu Digital
Library Perpustakaan Universitas Islam Negeri (Jtr{) Syarif Hidayatullah Jakarta
untuk kepentingan akademik sebatas sesuai dengan Undang-Undang Hak Cipta.
Dengan demikiau persetu$uan publikasi karya ilmiah ini saya buat dengan
sebenarnya.

Dibuat di : Jakarta

Pada Tanggal : 12 September 2013

Yang menyatakan,

71
(Vita Fitria)

x UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL ........................................................................... ii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ................................ iii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................. iv
HALAMAN PENGESAHAN .............................................................. v
ABSTRAK ........................................................................................... vi
ABSTRACT ........................................................................................ vii
KATA PENGANTAR ......................................................................... viii
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ....... x
DAFTAR ISI ....................................................................................... xi
DAFTAR GAMBAR ........................................................................... xiii
DAFTAR TABEL ............................................................................... xiv
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................... xv

BAB 1 PENDAHULUAN ...................................................................


1.1 Latar Belakang ................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .............................................................. 3
1.3 Tujuan Penelitian................................................................ 4
1.4 Manfaat Penelitian .............................................................. 4

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ......................................................... 5


2.1 Pektin ................................................................................ 5
2.1.1 Pengertian, Sumber dan Struktur Pektin ................... 5
2.1.2 Jenis Pektin .............................................................. 7
2.1.3 Sifat Pektin............................................................... 8
2.1.4 Kegunaan Pektin ...................................................... 9
2.1.5 Ekstraksi Pektin........................................................ 11
2.2 Karakteristik Pektin ........................................................... 14
2.2.1 Kadar Air ................................................................. 15
2.2.2 Kadar Abu ................................................................ 15
2.2.3 Berat Ekivalen .......................................................... 15
2.2.4 Kadar Metoksil ......................................................... 16
2.2.5 Kadar Asam Galakturonat ........................................ 16
2.2.6 Derajat Esterifikasi ................................................... 16
2.2.7 Kekuatan Gel ........................................................... 17
2.2.8 Bilangan Asetil......................................................... 17
2.3 Pisang Kepok (Musa balbisiana) ....................................... 18
2.3.1 Uraian Umum Pisang ................................................ 18
2.3.2 Klasifikasi Pisang Kepok (Musa balbisiana) ............. 19
2.3.3 Kandungan Kimia Kulit Pisang ................................. 20
2.4 Asam Laktat ...................................................................... 21
2.5 Spektroskopi FTIR (Fourier Transform Infra Red) ............ 22

xi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


BAB 3 METODE PENELITIAN ....................................................... 24
3.1 Alur Penelitian................................................................... 24
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ............................................. 25
3.3 Bahan Uji .......................................................................... 25
3.3.1 Penyediaan Bahan Baku ............................................ 25
3.3.2 Determinasi Bahan Baku ........................................... 25
3.4 Alat dan Bahan .................................................................. 25
3.4.1 Alat ........................................................................... 25
3.4.2 Bahan........................................................................ 25
3.5 Prosedur Kerja ................................................................... 26
3.5.1 Produksi Pektin ......................................................... 26
3.5.2 Karakterisasi Pektin Hasil Ekstraksi .......................... 27
3.5.3 Perbandingan Spektrum FTIR ................................... 29

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................... 30


4.1 Bahan Baku ....................................................................... 30
4.1.1 Penentuan Bahan Baku ............................................. 30
4.1.2 Determinasi Tanaman Bahan Baku ........................... 30
4.1.3 Persiapan Bahan Baku............................................... 31
4.2 Ekstraksi Pektin ................................................................. 32
4.3 Pemerian Pektin Hasil Ekstraksi ........................................ 34
4.4 Karakterisasi Pektin Hasil Ekstraksi................................... 36
4.4.1 Rendemen ................................................................. 37
4.4.2 Kadar Air .................................................................. 39
4.4.3 Kadar Abu ................................................................ 41
4.4.4 Berat Ekivalen .......................................................... 42
4.4.5 Kadar Metoksil ......................................................... 44
4.4.6 Kadar Galakturonat ................................................... 46
4.4.7 Derajat Esterifikasi .................................................... 48
4.5 Perbandingan Spektrum FTIR ............................................ 49

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN ............................................... 53


5.1 Kesimpulan ....................................................................... 53
5.2 Saran ................................................................................. 53

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................... 55

xii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


DAFTAR GAMBAR

Halaman
Gambar 2.1. Struktur Dinding Sel Tanaman .......................................... 5
Gambar 2.2. Struktur Pektin .................................................................. 7
Gambar 2.3. Molekul Pektin dengan Kadar Metoksil Tinggi .................. 8
Gambar 2.4. Molekul Pektin dengan Kadar Metoksil Rendah ................ 8
Gambar 2.5. Pisang Kepok .................................................................... 20
Gambar 3.1. Alur Penelitian .................................................................. 24
Gambar 4.1. Persentase Rendemen ........................................................ 38
Gambar 4.2. Kadar Air .......................................................................... 40
Gambar 4.3. Kadar Abu ......................................................................... 41
Gambar 4.4. Berat Ekivalen ................................................................... 43
Gambar 4.5. Kadar Metoksil .................................................................. 45
Gambar 4.6. Kadar Asam Galakturonat ................................................. 47
Gambar 4.7. Derajat Esterifikasi ............................................................ 49
Gambar 4.8. Struktur Pektin .................................................................. 52

xiii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


DAFTAR TABEL

Halaman
Tabel 2.1. Standar Mutu Pektin ............................................................ 14
Tabel 2.2. Spesifikasi Pektin Berdasarkan Farmakope .......................... 14
Tabel 4.1. Bahan Baku ......................................................................... 31
Tabel 4.2. Pemerian Pektin Hasil Ekstraksi .......................................... 34
Tabel 4.3. Hasil Karakterisasi Pektin .................................................... 36
Tabel 4.4. Data Spektrum FTIR............................................................ 51

xiv UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


DAFTAR LAMPIRAN

Halaman
Lampiran 1. Hasil Determinasi Tumbuhan ............................................ 59
Lampiran 2. Hasil Pemeriksaan Kadar Air Serbuk Kulit Pisang ............. 60
Lampiran 3. Karakterisasi Pektin Hasil Ekstraksi .................................. 61
Lampiran 4. Hasil Spektrum FTIR ........................................................ 70
Lampiran 5. Proses Ekstraksi dan Alat-Alat yang Digunakan ................ 73

xv UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Komoditas pisang di Indonesia menduduki tempat pertama di antara jenis
buah-buahan lainnya, baik dari segi luas pertanamannya maupun dari segi
produksinya. Pada tahun 2010, produksi pisang di Indonesia mencapai 5,8 juta
ton atau sekitar 30% dari produksi buah nasional (Kuntarsih, 2012).
Sentra produksi pisang di Indonesia adalah, NAD (Pidie, Aceh Besar),
Sumatera Utara (Deli Serdang, Serdang Begadai), Sumatera Barat (Pasaman
Barat), Lampung (Lampung Selatan, Lampung Timur, Lampung Barat), Jawa
Barat (Cianjur, Bogor, Sukabumi, Tasikmalaya, Sumedang, Ciamis, Garut), Jawa
Tengah (Kendal, Purbalingga, Banyumas, Cilacap), Jawa Timur (Lumajang,
Malang), NTT (Ngada, Nagageo, Ende, Sikka), Kalimantan Selatan (Tapin,
Banjar), Kalimantan Timur (Kutai Timur, Kutai Kertanegara) (Departemen
Pertanian, 2012).
Buah pisang sangat digemari untuk dikonsumsi baik secara langsung sebagai
buah segar ataupun sebagai produk olahan. Saat ini kulit pisang digunakan untuk
pakan ternak atau hanya dibuang sebagai limbah rumahan atau industri.
Pemanfaatan kulit pisang tersebut kurang optimal, padahal kulit pisang
mengandung komponen yang bermanfaat bagi manusia.
Menurut hasil penelitian dari Balai Penelitian dan Pengembangan Industri,
tanaman pisang mengandung berbagai macam senyawa seperti air, gula
pereduksi, sukrosa, pati, protein kasar, pektin, lemak kasar, serat kasar, dan abu.
Senyawa pektin cukup besar terkandung di dalam kulit pisang (Satria dan Ahda,
2009).
Pektin adalah substansi alami yang terdapat pada sebagian besar tanaman
pangan. Selain sebagai elemen struktural pada pertumbuhan jaringan dan
komponen utama dari lamela tengah pada tanaman, pektin juga berperan sebagai
perekat dan menjaga stabilitas jaringan dan sel (Herbstreith dan Fox, 2005).
Struktur pektin yaitu polimer asam α-D-galakturonat yang terikat dengan ikatan

1 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


2

glikosidik α(1-4). Sebagian gugus karboksil pada polimer pektin mengalami


esterifikasi dengan metil (metilasi) menjadi gugus metoksil (Akhmalludin dan
Kurniawan 2009).
Pektin dapat dimanfaatkan dalam beberapa bidang industri, misalnya pada
industri pangan dan industri farmasi. Dalam industri pangan, pektin berperan
sebagai bahan pokok pembuatan jeli, selai, dan marmalade (Herbstreith dan Fox,
2005). Pektin dalam industri farmasi sebagai agen pembentuk gel, pengental,
penstabil dan pengemulsi (Commite on Food Chemical Codex, 1996). Pektin juga
dapat digunakan sebagai bahan terapi diare, sembelit, dan obesitas (Rowe, et al.,
2006).
Hingga tahun 2012, pektin yang digunakan di industri-industri Indonesia
merupakan barang impor. Data terakhir pada Januari sampai November 2012
jumlah impor substansi pektin, yaitu 2.276.742 kg dengan nilai sebesar US $
2.132.966 (Badan Pusat Statistik, 2012).
Pektin komersial biasanya diperoleh dari kulit buah sitrus atau apel, namun
dengan berkembangnya penelitian, pektin juga dapat diperoleh dari pengolahan
kulit pisang kepok, kulit pisang raja, buah naga, kulit coklat, limbah pengolahan
jeruk, cincau hijau, ampas nanas serta kulit durian. Baker (1997) menyebutkan
pektin juga dapat diperoleh dari lemon, aprikot, beri-berian, anggur, labu-abuan
dan semangka. Sebagian besar pektin diproduksi dengan mengekstraksi bahan
baku dengan larutan asam mineral panas (May, 1990) dan dapat pula
menggunakan asam organik (Kertesz, 1951).
Karakteristik pektin yang baik berdasarkan IPPA (2002) dan Food Chemical
Codex (1996) adalah memiliki kadar air maksimum 12%, kadar abu maksimum
10%, berat ekivalen 600-800 mg, kandungan metoksil tinggi jika >7,12%,
bermetoksil rendah jika 2,5-7,12%, kadar asam galakturonat minimal 35%, derajat
esterifikasi untuk pektin ester tinggi minimal 50% dan derajat esterifikasi untuk
pektin ester rendah maksimum 50%. Menurut Budiyanto dan Yulianingsih (2008)
perlakuan suhu, waktu ekstraksi pektin dan interaksi keduanya berpengaruh nyata
terhadap karakteristik pektin yang dihasilkan. Kondisi ekstraksi pektin
berpengaruh terhadap karakteristik pektin dan sifat fisik pektin tergantung dari
karakteristik kimia pektin.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


3

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Tarigan, et al., (2012) menunjukkan


bahwa karakteristik pektin terbaik hasil ekstraksi dari kulit pisang kepok
menggunakan asam klorida (HCl) diperoleh pada temperatur 90℃, pH 1,5 selama
80 menit dengan perolehan rendemen tertinggi, kadar air 11,88%, kadar abu
0,98%, dan kadar metoksil 3,72%. Ekstraksi kulit papaya dengan pelarut asam
asetat (CH3COOH) oleh Sofiana, et al., (2012), pada temperatur 80℃ selama 2
jam menghasilkan karakteristik pektin terbaik dengan rendemen 3,26%, kadar
metoksil 4,65% dan kadar galakturonat 64,02%.
Penggunaan asam organik seperti asam laktat dalam ekstraksi pektin sangat
jarang dipublikasikan, sehingga peneliti sangat tertarik untuk mengetahui karakter
pektin yang dihasilkan. Pengkarakterisasian pektin hasil ekstraksi tersebut
diharapkan dapat memberikan informasi dan menjadi suatu peluang dalam
mengembangkan sumber pektin baru dengan memanfaatkan kulit pisang kepok
sebagai bahan bakunya yang selama ini hanya menjadi limbah.

1.2 Rumusan Masalah


Ditinjau dari latar belakang di atas maka dapat dirumuskan masalah dalam
penelitian ini adalah:
1. Belum diketahuinya karakteristik pektin hasil ekstraksi dari limbah kulit
pisang kepok menggunakan pelarut asam laktat dengan variasi pH dan suhu
ekstraksi.
2. Bagaimanakah karakteristik pektin yang dihasilkan dan apakah karateristik
tersebut sesuai dalam standar mutu yang telah ditetapkan.

1.3 Tujuan Penelitian


Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan data karakteristik pektin yang
dihasilkan dari ekstraksi limbah kulit pisang kepok menggunakan asam laktat
dengan variasi pH dan suhu ekstraksi

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


4

1.4 Manfaat Hasil Penelitian


Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi karakteristik
pektin hasil ekstraksi dari limbah kulit pisang kepok menggunakan asam laktat
dengan variasi pH dan suhu ekstraksi.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pektin
2.1.1 Pengertian, Sumber dan Struktur Pektin
Berdasarkan Herbstreith dan Fox (2005) kata pektin berasal dari bahasa
Latin “pectos” yang berarti pengental atau yang membuat sesuatu menjadi keras
atau padat. Pektin ditemukan oleh Vauquelin dalam jus buah sekitar 200 tahun
yang lalu. Pada tahun 1790, pektin belum diberi nama. Nama pektin pertama kali
digunakan pada tahun 1824, yaitu ketika Braconnot melanjutkan penelitian yang
dirintis oleh Vauquelin. Braconnot menyebut substansi pembentuk gel tersebut
sebagai asam pektat.
Menurut Hasbullah (2001) yang dijelaskan dalam Tarigan, et al., (2012)
pektin merupakan polisakarida kompleks yang bersifat asam yang terdapat dalam
jumlah bervariasi, terdistribusi secara luas dalam jaringan tanaman. Umumnya
pektin terdapat di dalam dinding sel primer. Khususnya di sela-sela antara
selulosa dan hemiselulosa. Pektin juga berfungsi sebagai bahan perekat antara
dinding sel yang satu dengan yang lainnya. Substansi pektin tersusun dari asam
poligalakturonat, dimana gugus karboksil dari unit asam poligalakturonat dapat
teresterifikasi sebagian dengan metanol.

Sumber: IPPA (2002)


Gambar 2.1. Struktur Dinding Sel Tanaman

5 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


6

Senyawa pektin adalah asam pektat, asam pektinat dan protopektin menurut
(Winarno, 1989 dan Klavons, 1995 dalam Tarigan, et al., 2012).
1. Asam Pektat
Asam pektat adalah senyawa asam galakturonat yang bersifat koloid dan
pada dasarnya bebas dari kandungan metil ester.
2. Asam Pektinat
Asam pektinat adalah asam poligalakturonat yang bersifat koloid dan
mengandung sejumlah metil ester. Pektin merupakan asam pektinat dengan
kandungan metil ester dan derajat netralisasi yang berbeda-beda.
3. Protopektin
Protopektin adalah substansi pektat yang tidak larut dalam air, terdapat
dalam tanaman, jika dipisahkan secara hidrolisis akan menghasilkan asam
pektinat.
Winarno (2002) mengemukakan komposisi kandungan protopektin, pektin,
dan asam pektat dalam buah sangat bervariasi dan tergantung pada derajat
kematangan buah. Pada umumnya protopektin yang bersifat tidak larut dalam air
dan lebih banyak terdapat pada buah-buahan yang belum matang. Dwidjoseputro
(1983) menjelaskan bahwa di dalam buah-buahan yang masih muda, sel-sel yang
satu dengan sel-sel yang lain masih dipersatukan dengan kuat oleh protopektin
tersebut. Akan tetapi jika buah menjadi dewasa, maka sebagian dari protopektin
mengalami penguraian menjadi pektin karena pertolongan enzim protopektinase.
Hal ini mengakibatkan terlepasnya sel-sel satu dari yang lain, sehingga buah
menjadi lunak. Selanjutnya enzim pektinase meneruskan pengubahan pektin
menjadi asam-pektat, hal mana menyebabkan buah menjadi matang.
Adapun Rowe, et al., (2006) menjelaskan bahwa pektin merupakan molekul
dengan bobot molekul tinggi, kunstituen dalam tanaman yang menyerupai
karbohidrat, terutama terdiri dari unit rantai asam galakturonat terikat dengan
ikatan 1,4-α-glukosida, dengan berat molekul 30.000-100.000. Pektin merupakan
kompleks polisakarida yang terutama terdiri dari residu asam D-galakturonat yang
teresterifikasi dalam rantai α-(1-4). Gugus asam sepanjang rantai sebagian besar
teresterifikasi membentuk kelompok metoksil. Kadar metoksil pektin bervariasi
tergantung pada derajat metilasi (Madhav dan Pushpalatha, 2002).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


7

Asam α-galakturonat polimer asam α-galakturonat

Polimer asam α-galakturonat dimana sebagian gugus karboksilatnya teresterifikasi


dengan metil menjadi gugus metoksil

Sumber: Tarigan, et al., (2012)


Gambar 2.2. Struktur Pektin

Beberapa gula juga ikut dalam pembentukan pektin, diantaranya adalah


rhamnosa, galaktosa dan xilosa (Winarno, 2002). Kelompok asam galakturonat
baik dalam bentuk bebas, dikombinasikan sebagai metil ester atau sebagai garam
natrium, kalium, kalsium atau amonium dan dalam beberapa kelompok pektin
amida (IPPA, 2002).

2.1.2 Jenis Pektin


Berdasarkan derajat esterifikasi (DE) pektin dibedakan menjadi dua
golongan, yaitu pektin dengan kadar metoksi tinggi (HM) dan pektin dengan
kadar metoksi rendah (LM). Nilai DE untuk pektin komersial dengan derajat
metoksi tinggi biasanya berkisar dari 60-75% dan untuk pektin dengan derajat
metoksi rendah berkisar dari 20-40%. Untuk pektin dengan kadar metoksi tinggi
memerlukan jumlah minimum padatan terlarut dan pH dalam kisaran yang sempit
sekitar 3,0 untuk membentuk gel. Pektin dengan kadar metoksi tinggi bersifat
termal reversibel dan secara umum larut terhadap air panas serta seringkali
mengandung zat terdispersi seperti dekstrosa untuk mencegah penggumpalan.
Pektin dengan kadar metoksi rendah menghasilkan pembentukan gel yang
tergantung dengan kadar gula dan tidak sensitif terhadap pH serta memerlukan

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


8

adanya sejumlah kalsium atau kation divalent lainnya untuk pembentukan gel
(Sriamornsak, 2003). Pengaruh terbesar pada sifat pektin adalah derajat
esterifikasi (DE) yang misalnya menentukan tingkat reaktivitas dengan kalsium
dan kation lainnya (International Pectin Producers Association, 2002).

Sumber: IPPA (2002)


Gambar 2.3. Molekul Pektin dengan Kadar Metoksil Tinggi

Sumber: IPPA (2002)


Gambar 2.4. Molekul Pektin dengan Kadar Metoksil Rendah

Pektin yang diekstraksi biasanya memiliki lebih dari 50% unit asam yang
teresterifikasi sehingga disebut pektin bermetoksil tinggi. Sedangka modifikasi
proses ekstraksi atau dengan perlakuan lebih lanjut akan menghasilkan pektin
bermetoksil rendah dengan kurang dari 50% grup metil ester (IPPA, 2002).

2.1.3 Sifat Pektin


Commite on Food Chemical Codex (1996), menyatakan bahwa pektin
sebagian besar tersusun atas metil ester dari asam poligalakturonat dan sodium,
potasium, kalsium dan garam ammonium. Pektin merupakan zat berbentuk serbuk
kasar hingga halus yang berwarna putih, kekuningan, kelabu atau kecoklatan dan
banyak terdapat pada buah-buahan dan sayuran matang.
Berdasarkan Farmakope Indonesia Edisi IV (1995) pektin berupa serbuk
kasar atau halus, berwarna putih kekuningan, hampir tidak berbau dan mempunyai
rasa musilago. Pektin hampir larut sempurna dalam 20 bagian air, membentuk
cairan kental, opalesen, larutan koloidal mudah dituang dan bersifat asam
terhadap lakmus, praktis tidak larut dalam etanol atau pelarut organik lain. Pektin
larut dalam air lebih cepat jika, permukaan dibasahi dengan etanol, dengan

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


9

gliserin, atau dengan sirup simplek atau jika permukaan dicampur dengan 3
bagian atau lebih sukrosa.
Menurut May (1990), pektin merupakan asam poligalakturonat yang
bermuatan negatif. Pektin bereaksi dengan makromolekul bermuatan positif.
Pembentukan gel dapat terjadi dengan cepat pada pH rendah, tetapi reaksi ini
dapat dihambat dengan penambahan garam.
Gliksman (1969) di dalam Hariyati (2006) memaparkan pembentukan gel
pektin metoksil tinggi terjadi melalui ikatan hidrogen diantara gugus karboksil
bebas dan antara gugus hidroksil. Pada pektin metoksil rendah, kemampuan
membentuk gel dengan gula dan asam hilang. Sebaliknya pektin ini mampu
membentuk gel dengan adanya ion kalsium.
Rouse (1977) serta Chang dan Miyamoto (1992) menjelaskan faktor-faktor
yang mempengaruhi pembentukan gel dengan tingkat kekenyalan dan kekuatan
tertentu meliputi pH, konsentrasi pektin, suhu, ion kalsium, dan gula (Hariyati,
2006). Kekentalan larutan pektin mempunyai kisaran yang cukup lebar tergantung
pada konsentrasi pektin, garam, dan ukuran rantai asam poligalakturonat.
Meskipun pektin umumnya terkandung di sebagian besar jaringan tanaman,
namun sumber yang dapat digunakan untuk pembuatan pektin komersial sangat
terbatas. Hal demikian dikarenakan kemampuan pektin untuk membentuk gel
tergantung pada ukuran molekul dan derajat esterifikasi (DE). Pektin dari sumber
yang berbeda tidak memiliki kemampuan membentuk gel yang sama karena
adanya variasi dalam parameter ini (Sriamornsak, 2003).

2.1.4 Kegunaan Pektin


Pektin adalah produk alami yang dapat ditemukan dalam dinding sel dari
semua tanaman tingkat tinggi. Umumnya digunakan sebagai agen pembentuk gel,
penebal dan penstabil. Saat ini pektin merupakan komponen yang tak terpisahkan
dari berbagai macam produk baik dalam industri makanan, dimana ia digunakan
dalam produksi selai, gula-gula, pasta, dan produk susu. Pektin juga dapat
dimanfaatkan dalam industri non-pangan, seperti dalam kosmetik dan farmasi.
Beberapa tahun terakhir manfaat pektin semakin penting dan dibutuhkan oleh
konsumen (International Pectin Producers Association, 2002).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


10

Pektin merupakan salah satu tipe serat pangan yang bersifat larut dalam air,
karena merupakan serat yang berbentuk gel, pektin dapat memperbaiki otot
pencernaan dan mendorong sisa makanan pada saluran pembuangan. Pektin juga
dikenal sebagai antikolesterol karena dapat mengikat asam empedu yang
merupakan hasil akhir metabolism kolesterol. Makin banyak asam empedu yang
berikatan dengan pektin dan terbuang ke luar tubuh, makin banyak kolesterol
yang dimetabolisme sehingga pada akhirnya kolesterol menurun jumlahnya.
Selain itu, pektin juga dapat menyerap kelebihan air dalam usus, memperlunak
feses, serta mengikat dan menghilangkan racun dari usus (Ide, 2009).
Pektin dengan sendirinya atau dengan sifat pembentuk gelnya dimanfaatkan
dalam industri farmasi, kesehatan dan pengobatan. Pektin telah digunakan secara
potensial sebagai karier atau pembawa untuk pengiriman obat ke saluran
pencernaan, seperti matriks tablet, gel beads dan film-coated. Pektin merupakan
senyawa menarik bagi keperluan dalam bidang farmasi, misalnya sebagai
pembawa berbagai obat untuk aplikasi pelepasan terkontrol. Banyak teknik telah
digunakan untuk memproduksi pektin berbasis sistem pengiriman, terutama
ionotropik gelasi dan gel coating. Dengan teknik sederhana dan dengan profil
toksisitas yang sangat aman, membuat pektin sebagai eksipien menarik dan
menjanjikan dalam bidang industri farmasi untuk aplikasi sekarang maupun masa
depan (Sriamornsak, 2003). Dalam usus besar, mikroorganisme mendegradasi
pektin dan membebaskan rantai pendek asam lemak yang memiliki pengaruh
positif pada kesehatan atau dikenal sebagai efek prebiotik (Srivastava dan
Malviya, 2011).
Srivastava dan Malviya (2011) menjelaskan pektin dapat digunakan sebagai
polimer mukoadhesiv, agen pembentuk gel, pengental, pengikat air dan stabilator.
Dalam bidang kedokteran dan farmasi, pektin digunakan untuk mengatasi
konstipasi dan diare, sebagai salah satu bahan utama yang digunakan dalam
Kaopektat, bersama dengan kaolinit. pektin juga digunakan dalam pelega
tenggorokan sebagai demulcent, sebagai sumber diet serat, sebagai komponen
propilaktit alami untuk melawan keracunan kation toksik, dalam formulasi
pelepasan terkontrol, dan dalam penargetan situs spesifik.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


11

Sriamornsak (2003) menjelaskan dalam jurnalnya bahwa di bidang farmasi


pektin digunakan sebagai pembawa obat ke saluran pencernaan, seperti matriks
tablet dan sediaan salut tipis. Selain itu dijabarkan pula beberapa menfaat dari
pektin, diantaranya adalah mengkonsumsi setidaknya 6 gram per hari pektin
memiliki pengaruh yang signifikan terhadap pengurangan kolesterol, namun jika
kurang dari 6 gram per hari pektin tidak efektif. Pektin bertindak sebagai zat
penangkal alami terhadap keracunan dari kation beracun. Telah terbuksti efektif
dalam mengatasi keracunan timah dan merkuri pada saluran pencernaan dan organ
pernafasan. Ketika disuntikkan secara inravena, pektin menimbulkan efek
mempersingkat waktu koagulasi darah yang diambil, sehingga berguna dalam
pengendalian perdarahan. Pektin dan kombinasi dari pektin dengan koloid lain
yang telah digunakan efektif untuk mengobati diare, terutama pada bayi dan anak-
anak. Dalam kondisi in-vitro tertentu pektin mungkin memiliki efek antimikroba
terhadap Escherichia coli. Pektin dapat mengurangi laju pencernaan oleh
immobilisasi komponen makanan dalam usus, menyebabkan penyerapan makanan
menjadi lebih sedikit. Ketebalan lapisan pektin mempengaruhi penyerapan karena
mengurangi kontak antara enzim usus dan makanan sehingga mengurangi
ketersediaan sari makanan. Adanya kapasitas waterbinding yang besar, pektin
memberikan rasa kenyang sehingga mengurangi konsumsi makanan. Hasil
percobaan menunjukkan perpanjangan waktu paruh pengosongan lambung 23-50
menit dengan makanan yang diperkaya dengan pektin. Sifat-sifat pektin
dimanfaatkan dalam pengobatan penyakit yang berhubungan dengan gangguan
makan yang berlebihan. Pektin hidrogel telah digunakan dalam formulasi tablet
sebagai agen pengikat dan telah digunakan dalam formulasi tablet lepas
terkontrol.

2.1.5 Ekstraksi Pektin


Ekstraksi pektin merupakan proses pengeluaran pektin dari sel pada
jaringan tanaman. Ekstraksi pektin dengan larutan asam dilakukan dengan cara
memanaskan bahan dalam larutan asam encer yang berfungsi untuk
menghidrolisis protopektin menjadi pektin. Ekstraksi ini dapat dilakukan dengan
asam mineral seperti asam klorida atau asam sulfat. Semakin tinggi suhu

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


12

ekstraksi, semakin singkat waktu yang dibutuhkan untuk mendapatkan hasil


yang maksimum. Tatapi dalam hal ini faktor keasaman yang digunakan tidak
bisa diabaikan. Kisaran pH yang dirokemendasikan 1,5 – 3,0 tetapi pH kisaran
pada pH 2,6 – 2,8 lebih sering dipakai (Kirk dan Othmer, 1958 di dalam
Akmalludin dan Kurniawan 2009).
Beberapa jenis asam dapat digunakan dalam ekstraksi pektin, diantaranya
adalah asam tartrat, asam malat, asam sitrat, asam laktat, asam asetat, asam fosfat
tetapi ada kecenderungan untuk menggunakan asam mineral yang murah seperti
asam sulfat, asam klorida, dan asam nitrat (Kertesz, 1951 di dalam Hariyati,
2006).
Menurut Sriamornsak (2003) pektin komersial diekstraksi dengan
memperlakukan bahan baku dengan asam mineral encer panas pada pH sekitar 2.
Lama waktu ekstraksi bervariasi tergantung dengan bahan baku, jenis pektin yang
diinginkan dan tergantung oleh suatu produsen tertentu. Ekstrak pektin panas
dipisahkan dari residu padat semaksimal mungkin.
Berdasarkan May (2000) pektin kebanyakan diproduksi dengan
mengekstraksi bahan baku dengan larutan asam mineral panas. Setiap produsen
pektin telah mengembangkan kondisi yang sesuai dengan jenis bahan baku yang
diolah di pabrik mereka, namun tujuannya adalah selalu untuk menghasilkan
bubur yang mengandung residu padat yang dapat dengan mudah dipisahkan oleh
teknologi yang dipilih, dan fase cair (filtrat) yang mengandung pektin konsentrasi
tinggi dan berat molekul tinggi, tanpa menghasilkan viskositas yang berlebihan.
Menghilangkan kotoran pada ekstrak cair dilakukan sebelum dilanjutkan untuk
mengisolasi pektin padat. Pada prinsipnya, pektin murni dapat diisolasi dengan
berbagai cara. Metode yang paling umum digunakan adalah dengan mencampur
ekstrak pekat dengan pelarut organik yang melarutkan pektin, tapi memungkinkan
banyak kotoran tetap dalam larutan. Standar makanan internasional mengizinkan
penggunaan metanol, etanol, atau isopropanol sebagai pelarut organik. Dalam
proses ini, ekstrak pektin dapat diperoleh dengan konsentrasi sekitar 2%, dan
dicampur dengan alkohol yang cukup untuk membentuk endapan yang
selanjutnya dapat dilakukan pemisahan dengan penyaringan atau sentrifugasi.
Pektin dipisahkan semaksimal mungkin dari larutan induk, dan dicuci sekali atau

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


13

beberapa kali dengan air dan alkohol untuk menghilangkan garam dan kotoran
lainnya. Menurut Ranganna (1977) pengumpulan pektin dapat dilakukan dengan
menggunakan alkohol 95% yang mengandung 2 mL asam klorida setiap satu liter
alkohol. Biasanya untuk pengendapan secara komersial digunakan alkohol dan
garam metal seperti alumunium hidroksida, kalium sulfat atau alumunium sulfat.
Penggunaan asam dalam ekstraksi pektin adalah untuk menghidrolisis
protopektin menjadi pektin yang larut dalam air ataupun membebaskan pektin dari
ikatan dengan senyawa lain, misalnya selulosa (Kaban, et al., 2012). Disini asam
dengan ion H+ berfungsi selain memecahkan ikatan protopektin dengan senyawa-
senyawa dalam dinding sel tanaman juga menyatukan satu molekul pektin yang
lain sehingga terbentuk sebuah jaringan yang dapat memerangkap air (Nurhikmat,
2003).
Berdasarkan Rouse (1977) di dalam Astuti (2007) penggumpalan atau
koagulasi pektin terjadi karena gangguan terhadap kestabilan dispersi koloidalnya.
Pektin adalah termasuk koloidal hidrofilik yang bermuatan negatif (dari gugus
karboksil bebas yang terionisasi) dan tidak mempunyai titik isoelektrik. Seperti
koloid hidrofilik umumnya, pektin distabilkan terutama oleh hidrasi partikelnya
daripada oleh muatannya. Pektin distabilkan oleh selapis air melalui ikatan
elektrostatik antara muatan negatif molekul pektin dan muatan positif molekul air.
Penambahan zat pendehidrasi seperti alkohol dapat mengurangi stabilitas disperse
pektin karena efek dehidrasi mengganggu keseimbangan pektin-air, sehingga
pektin akan menggumpal.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


14

2.2 Karakteristik Pektin


Berikut adalah standar mutu pektin dan spesifikasi pektin, berdasarkan
standar mutu International Pectin Producers Association (2002), Food Chemical
Codex (1996) dan Hanbook of Pharmaceutical Excipiens (2006).
Tabel 2.1. Standar Mutu Pektin
Faktor Mutu Kandungan
Kadar air Maks 12%
Kadar abu Maks 10%
Berat ekivalen 600-800 mg
Kandungan metoksi:
 Pektin metoksi tinggi >7,12%
 Pektin metoksi rendah 2,5 – 7,12%
Kadar asam galakturonat Min 35%
Derajat esterifikasi untuk:
 Pektin ester tinggi Min 50%

 Pektin ester rendah Maks 50%

Kekuatan gel Min 150 grade

Bilangan asetil 0,15-0,45%

Tabel 2.2 Spesifikasi Pektin Berdasarkan Farmakope


Tes USP 28
Identifikasi +
Susut pengeringan < 10,0%
Arsenik < 3 ppm
Timah < 5µg/g
Gula dan asam organik +
Batas mikroba +
Uji kadar:
 Grup metoksil < 6,7%
 Asam galakturonat < 74,0%

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


15

Pektin komersial harus memenuhi syarat mutu International Pectin


Producers Association (IPPA) dan Food Chemical Codex serta spesifikasi dalam
Farmakope di atas. Karakteristik pektin tergantung dari kondisi ekstraksi pektin,
dan sifat fisik pektin tergantung dari karakteristik kimia pektin. Pektin hasil
ekstraksi terbaik biasanya diperbandingkan dengan pektin komersial. Hal ini
dilakukan karena jika diaplikasikan pada industri kebutuhan energi untuk
peningkatan suhu dan lama ekstraksi akan meningkatkan biaya produksi. Apabila
perlakuan suhu terendah dan waktu paling cepat dapat memberi hasil yang masih
diperbolehkan oleh International Pectin Producers Association, Food Chemical
Codex dan Farmakope maka hal ini akan sangat menguntungkan jika
diaplikasikan (Fitriani, 2003).

2.2.1 Kadar Air


Pengukuran kandungan air yang berada di dalam bahan (Departemen
Kesehatan, 2000). Kadar air suatu bahan berpengaruh terhadap masa simpan.
Kadar air yang tinggi menyebabkan kerentanan terhadap aktivitas mikroba
(Budiyanto dan Yulianingsih, 2008).

2.2.2 Kadar Abu


Abu merupakan residu atau sisa pembakaran bahan organik yang berupa
bahan anorganik. Kadar abu berpengaruh pada tingkat kemurnian pektin. Semakin
tinggi tingkat kemurnian pektin, kadar abu dalam pektin semakin rendah
(Budiyanto dan Yulianingsih, 2008).
Prinsip penetapan kadar abu adalah bahan dipanaskan pada temperatur
dimana senyawa organik dan turunannya terdestruksi dan menguap, sehingga
tinggal unsur mineral dan anorganik (Departemen Kesehatan, 2000).

2.2.3 Berat Ekivalen


Berat ekivalen merupakan ukuran terhadap kandungan gugus asam
galakturonat bebas (tidak teresterifikasi) dalam rantai molekul pektin. Asam
pektat murni merupakan zat pektat yang seluruhnya tersusun dari asam
poligalakturonat yang bebas dari gugus metil ester atau tidak mengalami

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


16

esterifikasi. Semakin rendah kadar pektin akan menyebabkan berat ekivalen


semakin rendah (Ranganna, 1977).

2.2.4 Kadar Metoksil


Constenla dan Lozano (2003) mendefinisikan kadar metoksil sebagai
jumlah mol etanol yang terdapat di dalam 100 mol asam galakturonat. Kadar
metoksil pektin memiliki peranan penting dalam menentukan sifat fungsional
larutan pektin dan dapat mempengaruhi struktur dan tekstur dari gel pektin.
Berdasarkan kandungan metoksilnya, pektin dapat dibagi menjadi dua
golongan yaitu pektin berkadar metoksil tinggi (HMP), dan pektin berkadar
metoksil rendah (LMP). Pektin bermetoksil tinggi mempunyai kandungan
metoksil minimal 7%, sedangkan pektin bermetoksil rendah mempunyai
kandungan pektin maksimal 7%) (Guichard, 1991 di dalam Hariyati, 2006).

2.2.5 Kadar Asam Galakturonat


Perhitungan kandungan asam galakturonat sangat penting untuk mengetahui
kemurnian pektin. Kadar galakturonat dan muatan molekul pektin memiliki
peranan penting dalam menentukan sifat fungsional larutan pektin. Kadar
galakturonat dapat mempengaruhi struktur dan tekstur dari gel pektin (Sofiana, et
al., 2012).

2.2.6 Derajat Esterifikasi (DE)


Derajat esterifikasi didefinisikan sebagai persentase grup karboksil yeng
teresterifikasi. Pektin dengan derajat esterifikasi di atas 50% dinamakan pektin
tinggi metoksi dan derajat esterifikasi di bawah 50% dinamakan pektin rendah
metoksi (Siamornsak, 2003).
Derajat esterifikasi merupakan persentase jumlah residu asam D-
galakturonat yang gugus karboksilnya teresterifikasi dengan etanol. Semakin
tinggi suhu dan lama proses ekstraksi dapat menyebabkan degradasi gugus metil
ester pada pektin menjadi asam karboksil oleh adanya asam. Ikatan glikosidik
gugus metil ester dari pektin cenderung terhidrolisis menghasilkan asam
galakturonat. Jika ekstraksi dilakukan terlalu lama, pektin akan berubah menjadi

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


17

asam pektat yang asam galakturonatnya bebas dari gugus metil ester. Jumlah
gugus metil ester menunjukkan jumlah gugus karboksil yang tidak teresterifikasi
atau derajat esterifikasi (Budiyanto dan Yulianingsih, 2008).

2.2.7 Kekuatan Gel


Konsentrasi pektin berpengaruh terhadap pembentukan gel dengan tingkat
kekenyalan dan kekuatan tertentu (Budiyanto dan Yulianingsih, 2008). Grade dari
pektin merupakan indikasi penting yang menggambarkan mutu pektin. Grade
pektin didefinisikan sebagai jumlah gula yang dibutuhkan oleh satu bagian pektin
untuk membentuk gel yang diinginkan pada kondisi yang sesuai. Pektin yang
mempunyai grade pektin 100 berarti dapat membentuk gel yang baik dengan 100
gram gula. Penentuan grade pektin biasanya menggunakan metode International
Food Technologist (IFT) yaitu dengan membuat gel dengan konsentrasi gula 65%
pada pH 2,2 - pH 2,4. Gel kemudian disimpan selama 18-24 jam dan kemudian
diuji dengan alat Ridgelimeter (Meilina dan Silah, 2003).

2.2.8 Bilangan Asetil


Pektin gula bit mengandung gugus asetil, dimungkinkan juga dalam pektin
lain mengandung gugus asetil ini. Jika gugus asetil hadir dalam pektin maka akan
menghambat pembentukan jelly. Analisis adanya gugus asetil menggunakan
prosedur saponifikasi alkali sederhana diikuti dengan titrasi kembali namun
hasilnya tidak menunjukkan hasil yang memuaskan (Ranganna, 1977).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


18

2.3 Pisang Kepok (Musa balbisiana)


2.3.1 Uraian Umum Pisang
Pisang adalah tanaman herba yang berasal dari kawasan Asia Tenggara
(termasuk Indonesia). Tanaman buah ini kemudian menyebar luas ke kawasan
Afrika (Madagaskar), Amerika Selatan dan Amerika Tengah. Penyebaran
tanaman ini selanjutnya hampir merata ke seluruh dunia, yakni meliputi daerah
tropik dan subtropik, dimulai dari Asia Tenggara ke timur melalui Lautan Teduh
sampai ke Hawai. Selain itu tanaman pisang menyebar ke barat melalui Samudera
Atlantik, Kepulauan Kenari sampai Benua Amerika (Suyanti dan Supriyadi,
2008).
Produksi pisang dunia dalam 120 negara diperkirakan mencapai 68 juta
setiap tahunnya. Negara-negara Asia Tenggara penghasil pisang yang terkenal
diantaranya adalah Filipina, Thailand, Malaysia dan Indonesia. Indonesia, Filipina
dan Thailand merupakan negara penghasil pisang nomor satu di kawasan Asia
Tenggara (Verheij dan Coronel, 1992).
Pisang merupakan tumbuhan basah yang besar, biasanya mempunyai batang
semu yang tersusun dari pelepah-pelepah daun. Tangkai daun jelas beralur pada
sisi atasnya, helaian daun lebar, bangun jorong memanjang, dengan ibu tulang
yang nyata dan tulang-tulang cabang yang menyirip dan kecil-kecil. Bunga dalam
suatu bunga majemuk dengan daun-daun pelindung yang besar dan berwarna
merah. Masing-masing bunga mempunyai tenda bunga yang menyerupai mahkota
atau jelas mempunyai kelopak dan mahkota yang biasanya berlekatan, zigomorf.
Benang sari 6 yang 5 fertil yang satu staminoidal. Bakal buah tenggelam, beruang
3 dengan 1 bakal biji dalam tiap ruang. Tangkai putik berbelah 3-6. Buahnya buah
buni atau buah kendaga. Biji mempunyai salut, endosperm dan juga perisperm
(Tjitrosoepomo, 1994).
Pemanfaatan pisang telah meluas di kalangan masyarakat, baik dari mulai
daun, batang, bunga, buah hingga kulitnya. Buah pisang memiliki kandungan
kalium yang tinggi, tingginya kandungan kalium dalam pisang membantu
mengatasi stress yang memacu gangguan sulit tidur dengan cara menurunkan
tekanan darah dan menyingkirkan rintangan berupa penyumbatan dalam
pembuluh darah (Apriadji, 2007). Mencegah stroke, memberikan tenaga untuk

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


19

berfikir dan menghindari kepikunan atau mudah lupa (Suyanti dan Supriyadi,
2008). Kulit buah pisang selain untuk pakan ternak juga dapat dijadikan sebagai
bahan campuran krim antinyamuk. Kulit buah pisang juga dapat diekstrak untuk
dibuat pektin. Bagian dalam kulit pisang matang yang dikerok dan dihancurkan
dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan nata pisang. Sementara
tepung kulit pisang yang dicampur dengan ampas tahu dapat digunakan sebagai
pakan ayam buras untuk meningkatkan pertumbuhannya. Manfaat lainnya dapat
dijadikan sebagai pembunuh larva serangga, yakni dengan menambahkan sedikit
urea dan pemberian bakteri. Berdasarkan hasil temuan dari Taiwan diketahui
bahwa kulit pisang yang mengandung vitamin B6 dan serotonin dapat diekstrak
dan dimanfaatkan untuk kesehatan mata (Suyanti dan Supriyadi, 2008).

2.3.2 Klasifikasi Pisang Kepok (Musa balbisiana)


Berikut adalah klasifikasi dari pisang kepok berdasarkan Herbarium
Bogoriense:
Jenis : Musa balbisiana (grup ABB)
Suku : Musaceae
Sehingga taksonomi dari Musa balbisiana berdasarkan United States
Department of Agriculture (USDA) adalah:
Kerajaan : Plantae
Subkerajaan : Tracheobionta
Superdivisi : Spermatophyta
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Liliopsida
Subkelas : Zingiberidae
Ordo : Zingiberales
Famili : Musaceae
Genus : Musa L.
Spesies : Musa balbisiana

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


20

Sumber: Koleksi Pribadi


Gambar 2.5. Pisang Kepok

Pisang kepok (Musa balbisiana) merupakan jenis triploid diberi simbol


ABB (Nasir, 2003). Hibridisasi beragam Musa balbisiana menghasilkan
keturunan hibrida yang sebagian besar steril terutama genom AB (dessert
bananas), AAB (plantains) dan ABB (cooking bananas) (OECD, 2010).
Musa balbisiana tersebar dari India termasuk Kepulauan Andam hingga
Myanmar utara (Burma), Thailand dan Indocina ke Cina Selatan dan Filipina.
Musa balbisiana merupakan salah satu spesiea yang berasal dari Indocina (OECD,
2010).
Menurut Cahyono (2009) pisang kepok memiliki banyak jenis, namun yang
terkenal adalah pisang kepok kuning dan kepok putih. Daging buah pisang kepok
kuning berwarna putih sedangkan kepok putih berwarna putih. Daging buahnya
bertekstur agak keras. Pisang kepok kuning memiliki rasa yang lebih manis dan
enak dibandingkan kepok putih. Buah pisang kepok tidak beraroma harum. Kulit
buah pisang kepok sangat tebal, pada buah yang sudah masak berwarna hijau
kekuningan. Dalam satu tandan bisa terdapat hingga 16 sisir dan pada setiap
sisirnya terdapat hingga 20 pisang, berat setiap tandannya sekitar 14-22 kg. buah
pisang kepok cocok untuk disantap dalam bentuk olahan.

2.3.3 Kandungan Kimia Kulit Pisang


Kulit pisang merupakan sumber yang kaya pati (3%), protein kasar (6-9%),
lemak kasar (3,8-11%), serat makanan total (43,2-49,7%), dan asam lemak ganda
tak jenuh (PUFA), terutama asam linoleat dan α-linolenat, pektin, asam amino
esensial (leusin, valin, fenilalanin dan treonin) dan mikronutrien (K, P, Ca, Mg).
Kulit pisang juga merupakan sumber yang baik dari lignin (6-12%), pektin (10-

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


21

21%), selulosa (7,6-9,6%), hemiselulosa (6,4-9,4%) dan asam galaktouronat.


Pektin yang diekstrak dari kulit pisang juga mengandung glukosa, galaktosa,
arabinosa, rhamnosa, dan xilosa. Mikronutrien (Fe dan Zn) ditemukan dalam
konsentrasi tinggi pada kulit dibandingkan pada pulp. Sehingga, kulit bisa
menjadi bahan pakan yang baik untuk ternak dan unggas. Kulit pisang juga dapat
digunakan dalam minuman anggur, produksi etanol, sebagai substrat untuk
produksi biogas dan sebagai bahan dasar untuk ekstraksi pektin. Abu kulit pisang
dapat digunakan sebagai pupuk untuk tanaman pisang dan sebagai sumber alkali
untuk produksi sabun. Ekstrak etanol kulit Musa sapientum dapat digunakan
penghambat korosi untuk baja ringan. kulit pisang juga dapat digunakan di pabrik
pengolahan air limbah (Mohapatra, et al., 2010).

2.4 Asam Laktat


Berdasarkan Rowe, et al., (2006) asam laktat (C3H6O3) memiliki sinonim 2-
hydroxypropanoic acid; a-hydroxypropionic acid; DL-lactic acid; Lexalt L; milk
acid; Patlac LA; Purac 88 PH; racemic lactic acid. Berfungsi sebagai agen
pengasam. Asam laktat dibuat dari fermentasi karbohidrat, seperti glukosa,
sukrosa laktosa dengan Bacillus asam laktat atau mikroorganisme terkait lainnya.
- Titik didih: 122℃ pada 2 kPa (15mmHg)
- Konstanta disosiasi: pKa = 4,14 pada 22,5℃
- Kelarutan: larut dengan etanol (95%), eter dan air, praktis tidak larut
dalam kloroform.
- Stabilitas: Asam laktat bersifat higroskopis dan akan membentuk
produk kondensasi seperti asam polilaktat pada saat kontak dengan air.
Kesetimbangan antara asam polilaktat dan asam laktat tergantung pada
konsentrasi dan temperatur. Pada suhu tinggi asam laktat akan
membentuk laktida, yang mudah dihidrolisis kembali ke asam laktat.
Asam laktat harus disimpan dalam wadah tertutup baik dalam tempat
dingin dan kering.
- Inkompatibilitas: Kompatibel dengan oksidator, iodida, dan albumin.
Bereaksi hebat dengan asam fluorida dan asam nitrat.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


22

Asam laktat termasuk dalam golongan asam organik (Dashek dan Micales,
1997). Asam laktat dapat digunakan untuk ekstraksi pektin menurut seperti halnya
jenis asam lain yakni asam tartarat, asam malat, asam sitrat, asam asetat dan asam
fosforat (Canteri-Schemin, et al., 2005)

2.5 Spektroskopi FTIR (Fourier Transform Infra Red)


Spektroskopi adalah studi mengenai interaksi antara energi cahaya dan
materi. Warna-warna yang nampak dan fakta bahwa orang bisa melihat adalah
akibat-akibat absorpsi energi oleh senyawa organik maupun anorganik, yang
merupakan perhatian primer bagi ahli kimia organik ialah fakta bahwa panjang
gelombang pada suatu senyawa organik menyerap energi cahaya, bergantung pada
struktur senyawa itu. Oleh karena itu teknik-teknik spektroskopi dapat digunakan
untuk menentukan struktur senyawa yang tidak diketahui dan untuk mempelajari
karakteristik ikatan dari senyawa yang diketahui (Fessenden dan Fessenden,
1986).
Analisa spektroskopi inframerah mencakup beberapa metode yang
berdasarkan atas absorbsi atau refleksi dari radiasi elektromagnetik (Rousessac
dan Rousessac, 2000). Spektrum inframerah berada di antara daerah sinar tampak
dan daerah microwave. Daerah spektrum yang paling baik digunakan untuk
berbagai keperluan praktis dalam kimia organik adalah antara 4000-400 cm-1.
Rentang bilangan gelombang inframerah dibagi dalam tiga daerah, inframerah
jauh (200-10 cm-1), inframerah tengah (4000-200 cm-1) dan inframerah dekat
(12500-4000 cm-1) (Watson, 2009).
Dua jenis instrumen yang biasa digunakan untuk memperoleh spektrum
inframerah yaitu instrumen dispersi, yang menggunakan suatu monokromator
untuk memilih masing-masing bilangan gelombang secara berurutan untuk
memantau intensitasnya setelah radiasi telah melewati sampel, dan instrumen
transformasi Fourier, yang menggunakan suatu interferometer. Instrumen
tranformasi Fourier menghasilkan sumber radiasi dengan masing-masing bilangan
gelombang dapat dipantau dalam ± 1 detik pulsa radiasi tanpa memerlukan
dispersi. Dalam suatu instrumen inframerah transformasi Fourier (Fourier
transform infrared, FT-IR), prinsipnya adalah monokromator digantikan oleh

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


23

suatu interferometer. Interferometer menggunakan cermin bergerak untuk


memindahkan bagian radiasi yang dihasilkan oleh satu sumber, sehingga
menghasilkan suatu interferogram yang dapat diubah dengan menggunakan suatu
persamaan yang disebut „Transformasi Fourier‟ untuk mengekstraksi spektrum
dari suatu seri frekuensi yang bertumpang tindih (Watson, 2009).
Spektroskopi FTIR memiliki banyak keunggulan dibanding spektroskopi
inframerah diantaranya yaitu lebih cepat karena pengukuran dilakukan secara
serentak (simultan), serta mekanik optik lebih sederhana dengan sedikit
komponen yang bergerak (Suseno dan Firdausi, 2008).
Jika sinar inframerah dilewatkan melalui sampel senyawa organik, maka
terdapat sejumlah frekuensi yang diserap dan ada yang diteruskan atau
ditransmisikan tanpa diserap. Serapan cahaya oleh molekul tergantung pada
struktur pada struktur elektronik dari molekul tersebut. Molekul yang menyerap
energi tersebut terjadi perubahan energi vibrasi dan perubahan tingkat energi
rotasi. Pada suhu kamar, molekul senyawa organik dalam keadaan diam, setiap
ikatan mempunyai frekuensi yang karakteristik untuk terjadinya vibrasi ulur
(stretching vibrations) dan vibrasi tekuk (bending vibrations) dimana sinar
inframerah dapat diserap pada frekuensi tersebut (Suseno dan Firdausi, 2008).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


BAB 3
METODE PENELITIAN

3.1 Alur Penelitian

Kulit pisang kepok Pengeringan dalam Dihaluskan menjadi


oven serbuk

Penyaringan Ekstraksi menggunakan asam laktat dengan


Ampas
variasi pH dan suhu ekstraksi selama 80
menit
Penambahan aseton dengan perbandingan volume
Filtrat
filtrate 1:1,5

Endapan pektin

Penyaringan Supernatan

Pencucian endapan dilakukan dengan menggunakan


aseton secara berulang-ulang

Pengeringan endapan pektin dalam


Endapan pektin Pektin kering
oven suhu 40℃

Perbandingan spektrum Karakterisasi


FTIR antara pektin -Rendemen
standard, komersial dan -Kadar air
hasil ekstraksi -Kadar abu
- Berat ekivalen
- Kadar metoksi
- Kadar asam
galakturonat
- Derajat esterifikasi

Gambar 3.1. Alur Penelitian

24 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


25

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Penelitian I, Laboratorium
Penelitian II, Laboratorium Kimia Obat, Laboratorium Farmakognosi dan
Fitokimia, dan Laboratorium Kimia Analisa Pangan dan Obat, Program Studi
Farmasi, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta dan dilaksanakan pada bulan April sampai Agustus 2013.

3.3 Bahan Uji


3.3.1 Penyediaan Bahan Baku
Bahan baku yang digunakan berupa kulit pisang kepok yang masih mentah.
Bahan uji didapatkan dari limbah pengolahan kripik pisang kepok yang ada di
daerah Lampung. Pengambilan bahan baku pada pagi hari tanggal 14 Februari
2013.
3.3.2 Determinasi Bahan Baku
Bahan baku berupa kulit pisang kepok yang dilakukan identifikasi terlebih
dahulu di Laboratorium Herbarium Bogoriense Pusat Penelitian Biologi LIPI,
Bogor, Jawa Barat.

3.4 Alat dan Bahan


3.4.1 Alat
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain alat-alat gelas
seperti, erlenmeyer (Schott Duran), gelas beker (Schott Duran), gelas ukur, pipet
tetes, pipet volume, batang pengaduk, botol timbang, buret, labu Buchner dll.
Adapun alat-alat lain diantaranya adalah corong Buchner, hot plate, oven,
blender, tanur, krustang, krus porselain, cawan porselain, desikator, kertas saring,
statif dan klem, termometer, pH meter, pH indikator universal, magnetic stirrer,
neraca analitik, dan Jasco FTIR-6100.
3.4.2 Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah asam laktat,
aquades, asam klorida (HCl), natrium hidroksida (NaOH), natrium klorida (NaCl),
aseton teknis, indikator phenolptalein (PP), indikator fenol merah, pektin murni
(Sigma), serbuk KBr.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


26

3.5 Prosedur Kerja


3.5.1 Produksi Pektin
a. Persiapan Bahan Uji
Kulit pisang yang didapatkan dari limbah pengolahan kripik pisang kepok
disortir (dipisahkan antara kulit pisang yang bagus dengan yang busuk). Kulit
pisang kepok yang berwarna hijau atau kekuningan yang dipilih. Bagian pucuk
dan tangkai kulit pisang tidak diambil. Kemudian dilakukan pencucian dengan
menggunakan air mengalir agar kulit pisang dapat bersih dari kotoran-kotoran
yang menempel. Setelah kulit pisang tersebut bersih, dilakukan pemotongan kecil-
kecil dan dilakukan pengeringan dengan cara diangin-anginkan yang selanjutnya
dikeringkan dalam oven suhu 50℃. Setelah didapatkan kulit pisang kering,
selanjutnya dilakukan penghalusan dengan cara diblender dan diayak dengan
ayakan mesh 100 (ukuran partikel 105 mikrometer) sehingga didapatkan serbuk
kering kulit pisang kepok yang kemudian diukur kadar airnya, kadar air
seharusnya tidak lebih dari 10% (Tarigan, et al., 2012).
b. Ekstraksi Pektin
Serbuk kulit pisang kepok yang dihasilkan dimasukkan ke dalam
erlenmeyer sebanyak 60,0 gram, kemudian ditambahkan larutan asam laktat
sebanyak 2000 mL dengan variasi pH 1, 1,5 dan 2. Pembuatan larutan asam laktat
dengan variasi pH dilakukan dengan cara melarutkan asam laktat dalam aquadest
dan pH larutan diukur menggunakan pH meter. Campuran 60,0 gram serbuk kulit
pisang kepok dan larutan asam laktat tersebut dipanaskan di atas pemanas listrik
dengan pengaturan suhu 80℃ dan 90℃ untuk masing-masing pH disertai
pengadukan menggunakan magnetic stirrer. Penghitungan waktu ekstraksi dari
saat tercapainya kondisi operasi percobaan yaitu 80 menit. Setelah dipanaskan,
campuran tersebut disaring menggunakan kertas saring dengan bantuan penyaring
vakum guna memisahkan ampas dan filtratnya. Filtrat yang didapatkan disebut
dengan filtrat pektin (Akhmalludin dan Kurniawan, 2009; Satria dan Ahda, 2009;
Tarigan, et al., 2012).
c. Pengendapan Pektin
Pengendapan pektin dilakukan dengan penambahan aseton dalam filtrat
dengan perbandingan tiap 1 liter filtrat ditambahkan dengan 1,5 liter aseton. Filtrat

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


27

pektin tersebut didiamkan selama 10-14 jam. Endapan pektin yang terbentuk
kemudian dipisahkan dari larutannya menggunakan kertas saring dengan bantuan
penyaring vakum (Akhmalludin dan Kurniawan 2009).
d. Pencucian Pektin
Endapan pektin yang terbentuk ditambahkan dengan aseton sambil diaduk
untuk kemudian dilakukan penyaringan dengan menggunakan penyaring vakum.
Hal ini dilakukan beberapa kali sampai pektin tidak lagi meninggalkan residu
asam. Adapun pektin yang sudah tidak lagi meninggalkan residu asam adalah
pektin yang tidak berwarna merah bila ditambahkan dengan indikator
phenolphtalein (PP) (Akhmalludin dan Kurniawan, 2009).
e. Pengeringan Pektin
Pektin basah hasil pengendapan yang telah bebas dari residu asam kemudian
dikeringkan dalam oven pada suhu 40℃ selama 8 jam. Hasil yang diperoleh
disebut dengan pektin kering (Tarigan, et al., 2012).

3.5.2 Karakterisasi Pektin Hasil Ekstraksi


1. Perhitungan Persen Rendemen
Persen rendemen adalah perbandingan gram pektin yang dihasilkan
dengan gram bahan baku kering.
bobot total pektin yang diperoleh
Rendemen (%) = x 100%
bobot bahan baku kering

2. Penentuan Kadar Air


Sebanyak 0,300 gram sampel pektin dikeringkan di dalam oven pada
suhu 100oC selama 4 jam menggunakan botol timbang yang telah diketahui
bobot kosongnya. Selanjutnya didinginkan dalam desikator dan ditimbang
sampai diperoleh bobot yang tetap.
Wa −Wb
Kadar Air (%) = x 100% (Pardede, et al., 2013)
W

Dimana: Wa = bobot sebelum dikeringkan


Wb = bobot akhir setelah dikeringkan

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


28

3. Penentuan Kadar Abu (Ranganna, 1977)


Krus porselain dikeringkan di dalam tanur pada suhu 600oC kemudian
didinginkan di dalam desikator dan ditimbang sebagai bobot wadah.
Selanjutnya sebanyak 0,500 gram pektin ditimbang dan di masukkan dalam
krus silikat yang telah diketahui bobotnya kemudian di masukkan dalam
tanur dengan suhu 600℃ selama 4 jam. Residu didinginkan dalam desikator
dan ditimbang sampai diperoleh bobot tetap.
W 1−W 2
Kadar Abu (%) = = x 100%
W

Dimana: W = bobot sampel awal (g)


W1 = bobot wadah + sampel setelah pemanasan (g)
W2 = bobot wadah kosong (g)

4. Penentuan Berat Ekivalen (Ranganna, 1977)


Nilai berat ekivalen digunakan untuk perhitungan kadar asam
galakturonat dan derajat esterifikasi. Berat ekivalen ditentukan dengan
menimbang 0,25 gram pektin dimasukkan dalam Erlenmeyer 250 mL dan
dilembabkan dengan 1,0 mL alkohol. Air suling bebas O2 sebanyak 50,0 mL
dan 6 tetes indikator fenol merah ditambahkan. Campuran tersebut
kemudian diaduk dengan cepat untuk memastikan bahwa semua substansi
pektin telah terlarut dan tidak ada gumpalan yang menempel pada sisi
Erlenmeyer. Titrasi dilakukan perlahan-lahan dengan titran standar NaOH
0,1 N sampai warna campuran berubah menjadi merah muda (pH 7,5) dan
tetap bertahan selama setidaknya 30 detik. Larutan tersebut dinetralkan yang
kemudian digunakan untuk penentuan kadar metoksil.
bobot pektin (mg )
Berat Ekivalen = ml NaOH x N NaOH

5. Kadar Metoksil (Ranganna, 1977)


Penentuan kadar metoksil dilakukan dengan menambahkan 25,0 mL
NaOH 0,25 N ke dalam larutan netral dari penentuan BE kemudian dikocok
dengan benar dan didiamkan selama 30 menit pada suhu kamar dalam
Erlenmeyer tertutup. Ditambahkan 25,0 mL HCl 0,25 N dan indikator fenol

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


29

merah kemudian dititrasi dengan titran NaOH 0,1 N hingga larutan berubah
menjadi merah muda.
ml NaOH x 31 x N NaOH x 100
Kadar Metoksil (%) = bobot sampel mg

Dimana 31 adalah berat molekul (BM) dari metoksil

6. Kadar Galakturonat (Ismail, et al., 2012)


Kadar galakturonat dihitung dari miliekivalen NaOH yang diperoleh
dari penentuan BE (berat ekivalen) dan kandungan metoksil.
% Galakturonat = (meq dari NaOH untuk asam bebas + meq dari NaOH untuk
bobot sampel (mg )
metoksil ) x 176 x 100

Dimana 176 adalah berat ekivalen terendah asam pektat

7. Derajat Esterifikasi (Schultz, 1965 dalam Hariyati, 2006)


Derajat esterifikasi (DE) dari pektin dapat dihitung dengan:
kadar metoksil x 176 x 100
DE (%) = kadar galakturonat x 31

3.6 Perbandingan Spektrum FTIR


Spektrum FTIR digunakan untuk memperoleh informasi serapan gugus
fungsional. Data FTIR diperoleh dengan menggunakan Jasco FTIR-6100 dengan
rentang panjang gelombang dari 4000 cm-1 sampai 400 cm-1 (Ismail, et al., 2012).
Perbandingan antara sebuk KBr dan masing-masing sampel pektin adalah
100:1 mg. Setelah didapatkan spektrum masing-masing sampel pektin, ketiganya
(pektin hasil ekstraksi, komersial dan standard) dibandingkan tiap serapan gugus
fungsionalnya.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Bahan Baku


4.1.1 Penentuan Bahan Baku
Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah limbah kulit pisang
kepok yang diperoleh dari pengolahan kripik pisang di daerah Lampung. Kulit
pisang merupakan bagian dari buah pisang yang umumnya dibuang sebagai
sampah. Limbah kulit pisang kepok dipilih sebagai bahan baku karena pisang
kepok lebih sering digunakan sebagai makanan olahan sehingga menghasilkan
limbah kulit yang cukup banyak. Pemilihan bahan baku berupa limbah kulit
pisang didasarkan pada pemanfaatan limbah yang tidak digunakan menjadi suatu
bahan baku produksi pektin. Cahyono (2009) mengungkapkan bahwa kulit buah
pisang kepok sangat tebal. Sedangkan pektin terdistribusi secara luas dalam
jaringan tanaman dan umumnya terdapat dalam dinding sel, sehingga pemilihan
kulit pisang kepok untuk produksi pektin diharapkan mampu menghasilkan pektin
yang melimpah pula. Menurut Mohapatra, et al., (2010) kandungan pektin dalam
kulit pisang berkisar antara 10-21%. Limbah kulit pisang diperoleh dengan tidak
mengeluarkan biaya karena limbah biasanya dibuang begitu saja. Keuntungan dari
pemanfaatan limbah tersebut adalah menjadikan biaya produksi pektin dapat lebih
ekonomis dan diharapkan tidak mengurangi kualitas pektin yang dihasilkan.

4.1.2 Determinasi Tanaman Bahan Baku


Determinasi tanaman bahan baku dilakukan di Herbarium Bogoriense Pusat
Penelitian Biologi LIPI, Bogor, Jawa Barat. Hasil determinasi menunjukkan
bahwa tanaman bahan baku yang digunakan adalah benar tanaman pisang kepok
(Musa balbisiana ABB) famili Musaceae. Hasil determinasi dapat dilihat pada
Lampiran 1.

30 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


31

4.1.3 Persiapan Bahan Baku


Bahan baku limbah kulit pisang yang digunakan adalah kulit pisang yang
masih mentah berwarna hijau atau kekuningan. Kebanyakan limbah kulit pisang
dari pengolahan kripik pisang menggunakan buah pisang yang masih mentah.
Limbah kulit pisang dipisahkan dari tangkai dan ujungnya kemudian dibersihkan
dengan dicuci menggunakan air mengalir, dipotong kecil-kecil dan dikeringkan
dengan diangin-anginkan dan selanjutnya dikeringkan lebih lanjut menggunakan
oven pada suhu 50℃ selama kurang lebih 3 hari hingga kulit pisang benar-benar
kering dengan kadar air kurang dari 10%. Kulit pisang yang telah kering
selanjutnya dihaluskan hingga berbentuk serbuk dan diayak dengan ayakan mesh
100 (ukuran partikel 105 mikrometer). Pemotongan dan pembelahan bahan-bahan
yang akan diekstraksi membantu pengontakan antara padatan dengan pelarut
karena pecahnya sel-sel yang mengandung solut (Perina, et al., 2007). Serbuk
kulit pisang yang dihasilkan ditentukan kadar airnya. Penentuan kadar air serbuk
kulit pisang menggunakan prinsip gravimetri. Kadar air serbuk kulit pisang adalah
8,39% kadar ini tidak lebih dari yang ditetapkan yakni tidak lebih dari 10%
(Tarigan, et al., 2012). Pemeriksaan kadar air dilakukan di BPPT LABTIAP
Serpong, Banten.
Tabel 4.1. Bahan Baku
Bahan Baku Hasil
Bobot kulit pisang kepok awal 5 kg
Bobot serbuk kulit pisang kepok setelah pengeringan 511 gram
Kadar air serbuk kulit pisang 8,39%

Kulit pisang kepok yang belum dipisahkan dari ujung dan tangkainya serta
belum dibersihkan dari pengotornya seperti tanah yang melekat adalah sebanyak 5
kilogram. Setelah dilakukan pembersihan, pengeringan dan penghalusan
menghasilkan serbuk kulit pisang sebanyak 511 gram. Dengan demikian,
dibutuhkan banyak bahan baku limbah kulit pisang yang diperlukan untuk
menghasilkan serbuk kulit pisang yang banyak pula. Sebab dengan 5 kg limbah
kulit pisang segar hanya menghasilkan serbuk kering kulit pisang sebanyak 511
gram. Artinya kandungan air dalam limbah kulit pisang segar cukup tinggi

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


32

sehingga setelah pengeringan menghasilkan sedikit serbuk kulit pisang. Begitu


pula dengan banyaknya bagian yang tidak diambil dari kulit pisang tersebut
seperti tangkai dan ujung kulit pisang.

4.2 Ekstraksi Pektin


Pektin diekstraksi dengan menggunakan pelarut asam laktat dengan variasi
pH 1, 1,5 dan 2, variasi suhu ekstraksi 80℃ dan 90℃ dengan waktu ekstraksi
tetap yakni 80 menit. Waktu ekstraksi ditetapkan berdasarkan hasil penelitian
yang dilakukan oleh Tarigan, et al., (2012) yang menyatakan bahwa waktu
optimum rendemen tertinggi yang diperoleh dari hasil ekstraksi kulit pisang kepok
menggunakan pelarut asam klorida adalah selama waktu 80 menit. Sehingga
waktu optimum tersebut yang digunakan dalam penelitian ini. Ekstraksi pektin
disini dilakukan dengan metode konvensional yakni secara pemanasan langsung,
menurut Srivastava dan Malviya (2011) ada dua metode ekstraksi pektin yang
biasa dilakukan yaitu pemanasan langsung dan pemanasan menggunakan
microwave.
Pelarut yang digunakan dalam ekstraksi pektin disini adalah menggunakan
pelarut asam organik berupa larutan asam laktat dengan variasi pH. Larutan asam
laktat digunakan untuk merombak protopektin yang tidak larut menjadi pektin
yang dapat larut. Berdasarkan Tarigan, et al., (2012) ekstraksi pektin dilakukan
dengan hidrolisis asam atau enzimatis. Ekstraksi pektin pada penelitian ini
dilakukan dengan hidrolisis asam, asam yang berperan adalah larutan asam laktat.
Penggunaan asam laktat dalam ekstraksi pektin sesuai dengan yang dikemukakan
oleh Fellow (2002) dalam Perina, et al., (2007) bahwa asam lain selain HCl (asam
klorida), H2SO4 (asam sulfat) dan CH3COOH (asam asetat) yang dapat digunakan
adalah asam sitrat, asam laktat dan asam tartrat.
Bahan baku berupa serbuk kering kulit pisang kepok berukuran 105
mikrometer, berdasarkan Fellow (2002) di dalam Perina, et al., (2007)
menjelaskan bahwa semakin kecil ukuran partikel berarti semakin luas permukaan
yang kontak antara padatan dan pelarut serta semakin pendek jarak difusi solut
sehingga kecepatan ekstraksi lebih besar. Sebanyak 60,0 gram serbuk kering kulit
pisang kepok tersebut di masukkan dalam Erlenmeyer 2000 mL yang kemudian

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


33

ditambahkan dengan larutan asam laktat hingga batas 2000 mL. Dalam
Erlenmeyer tersebut dimasukkan pula magnetic stirrer dan pada leher
erlenmeyer ditutup menggunakan sumbat kapas. Pemanasan dilakukan
diatas hot plate dengan masing-masing pengaturan suhu 80℃ dan 90℃ yang
selalu dikontrol dengan termometer agar suhunya tetap. Pengadukan otomatis juga
dilakukan dengan kecepatan yang konstan menggunakan magnetic stirrer.
Menurut Perina, dkk (2007) pengadukan dalam ekstraksi penting karena
meningkatkan perpindahan solut dari permukaan partikel ke cairan pelarut, selain
itu pengadukan suspensi partikel halus mencegah pengendapan padatan dan
memperluas kontak partikel dengan pelarutnya. Pemanasan dilakukan selama 80
menit dan setelah selesai pemanasan dilakukan penyaringan yang sebelumnya
campuran tersebut didinginkan terlebih dahulu. Penyaringan hasil ekstraksi
dilakukan dengan menggunakan kertas saring dan bantuan corong Buchner dan
pompa sehingga penyaringan dapat berjalan lebih cepat. Penyaringan bertujuan
untuk memisahkan antara filtrat dan ampasnya.
Filtrat yang diperoleh ditampung dan selanjutnya dilakukan pengendapan
pektin dengan penambahan aseton. Penambahan aseton dalam filtrat dilakukan
dengan perlahan sambil diaduk sehingga terbentuk endapan. Endapan yang
terbentuk didiamkan selama semalaman (10-14 jam) dan kemudian endapan yang
diperoleh dicuci beberapa kali dengan aseton pula hingga bebas dari asam dan
dilakukan penekanan terhadap endapan dalam kertas saring sehingga endapan
tidak terlalu basah dengan aseton. Endapan yang telah bebas dari asam dan tidak
terlalu basah dengan aseton selanjutnya dikeringkan dalam oven menggunakan
cawan porselain selama ± 8 jam dengan suhu oven 40℃. Pada awalnya
pengendapan pektin dilakukan dengan penambahan etanol 96% ke dalam filtrat,
namun menghasilkan endapan yang tidak lebih baik pemisahannya antara
supernatan dibandingkan endapan yang terbentuk dengan penambahan aseton
dalam filtrat. Agen pengendap pektin yang digunakan dalam penelitan ini adalah
aseton yang mampu mengendapkan lebih baik daripada menggunakan etanol
96%. Hal ini sesuai menurut Akhmalludin dan Kurniawan (2009) yang
menyatakan bahwa pengendapan dengan aseton lebih disukai karena dapat
membentuk endapan yang tegar sehingga mudah dipisahkan dari asetonnya,

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


34

sedangkan pengendapan dengan etanol menghasilkan pektin yang kurang murni


karena etanol tidak hanya mengendapkan pektin tetapi juga senyawa lain seperti
dekstrin dan hemiselulosa.
Endapan kering (pektin) kemudian dapat dihitung hasil rendemen terhadap
bahan baku dan pengkarakterisasian diantaranya pengukuran kadar air, kadar abu,
berat ekivalen, kadar metoksi, kadar asam galakturonat dan derajat esterifikasi.
Pektin kering yang diperoleh berwarna kecoklatan hal ini dapat disebabkan
adanya pengaruh bahan baku yang digunakan. Bahan baku berupa serbuk kulit
pisang berwarna hitam dan filtrat hasil ekstraksi berwarna kehitamanan pula. Pada
penelitian ini, endepan pektin yang telah kering berbentuk tepung setelah
dilakukan penggerusan menggunakan lumpang. Jika pektin yang dihasilkan
banyak maka dapat dilakukan penghalusan menggunakan alat penghalus seperti
blender. Namun, dikarenakan pektin kering yang dihasilkan sedikit maka hanya
dilakukan penggerusan menggunakan lumpang.

4.3 Pemerian Pektin Hasil Ekstraksi


Tabel 4.2. Hasil Pemerian Pektin
Kondisi ekstraksi Pemerian

Serbuk halus, abu-abu kecoklatan, tidak berbau

pH 1., T: 80℃

Serbuk halus, abu-abu kecoklatan, tidak berbau

pH 1., T: 90℃

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


35

Serbuk halus, putih, tidak berbau

pH 1,5., T: 80℃

Serbuk halus, putih, tidak berbau

pH 1,5., T: 90℃

Serbuk halus, putih, tidak berbau

pH 2., T: 80℃

Serbuk halus, putih, tidak berbau

pH 2., T: 90℃

Pektin hasil ekstraksi pada penelitian ini menunjukkan pemerian yang


berbeda pada tiap perlakuan pH dan suhu ekstraksi. Pada ekstraksi pH 1 suhu 80
dan 90℃ menghasilkan pektin dengan pemerian bentuk serbuk halus, berwarna
abu-abu kecoklatan dan tidak berbau. Berbeda dengan pektin hasil ekstraksi pH
1,5 dan 2 pada suhu 80 dan 90℃ menghasilkan pektin dengan warna yang lebih
putih, berbentuk serbuk halus dan tidak berbau. Perbedaan warna pada pektin
hasil ekstraksi ini dapat terjadi disebakan oleh penyaringan filtrat yang tidak
sempurna. Kertas saring yang digunakan tidak mampu memisahkan secara
sempurna antara filtrat dan ampas, akibatnya partikel-partikel serbuk kulit pisang
masih terdapat dalam filtrat dan ikut mengendap bersama pektin. Pektin kering

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


36

yang dihasilkan memiliki warna yang lebih gelap dibanding pada ekstraksi pH 1,5
dan 2 yang penyaringannya jauh lebih sempurna.
Berdasarkan Farmakope Indonesia Edisi IV (1995) pemerian pektin berupa
serbuk kasar atau halus, berwarna putih kekuningan hampir tidak berbau dan
mempunyai rasa musilago. Serta berdasarkan Food Chemical Codex (1996)
pemerian pektin berupa serbuk kasar hingga halus yang perwarna putih,
kekuningan, kelabu atau kecoklatan. Pemerian pektin hasil ekstraksi pada
penelitian ini sesuai dengan literatur yang disebutkan di atas.

4.4 Karakterisasi Pektin Hasil Ekstraksi


Tabel 4.3. Hasil Karakterisasi Pektin

Perlakuan (kondisi eksraksi)


pH, suhu (℃)
No Karakterisasi 1., 80℃ 1., 90℃ 1,5., 1.5., 2., 80℃ 2., 90℃
80℃ 90℃

1 Rendemen 5,17 9,00 7,05 10,78 5,02 7,82


(%)

2 Kadar Air (%) 10,56 11,54 10,59 11,96 10,54 10,89

3 Kadar Abu 6,90 4,70 6,15 4,25 7,92 8,05


(%)

4 Berat Ekivalen 5757,44 4094,47 8667,91 6652,12 9534,71 9534,71

5 Kadar 2,64 2,70 1,08 1,01 1,19 1,30


Metoksil (%)

6 Kadar 72,14 78,60 32,74 33,47 34,46 36,91


galakturonat
(%)

7 Derajat 20,00 19,50 18,72 17,13 19,61 20,00


Esterifikasi
(%)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


37

4.4.1 Rendemen
Pektin diperoleh dari jaringan tanaman dengan cara ekstraksi menggunakan
pelarut, dalam hal ini berupa larutan asam laktat dengan variasi pH keasaman.
Jumlah pektin yang dihasilkan tergantung pada jenis dan bagian tanaman yang
diekstrak. Sebelum dilakukan ekstraksi, bahan dipersiapkan dengan memperkecil
ukuran partikel sehingga mempermudah terjadinya kontak bahan dengan larutan
yang akan mempermudah proses ekstraksi.
Rendemen pektin yang dihasilkan dari limbah kulit pisang kepok berkisar
antara 5,17 % - 10,78%. Rendemen tertinggi didapat pada ekstraksi dengan pH
1,5 dengan suhu 90℃ selama 80 menit yakni sebesar 4,85 gram pektin dari 45,00
gram serbuk kulit pisang kepok. Rendemen terendah diperoleh pada ekstraksi pH
2 dengan suhu 80℃ selama 80 menit. Gambar 4.1 menunjukkan semakin tinggi
suhu ekstraksi, rendemen pektin yang dihasilkan semakin besar. Suhu ekstraksi
yang tinggi menyebabkan peningkatan energi kinetik larutan sehingga difusi
pelarut ke dalam sel jaringan semakin meningkat. Berdasarkan Perina, et al.,
(2007) kenaikan suhu akan meningkatkan kelarutan sehingga menghasilkan laju
ekstraksi yang tinggi, secara umum suhu ekstraksi untuk ekstraksi pektin adalah
antara 60℃-90℃.
Dalam hal ini, rendemen tertinggi yang didapatkan sesuai dengan hasil
penelitian yang telah dilakukan oleh Tarigan, et al., (2012), yang menyatakan
bahwa rendemen pektin tertinggi diperoleh dari ekstraksi kulit pisang kepok
menggunakan HCl adalah pada pH ekstraksi 1,5 dengan suhu 90℃ dan lama
ekstraksi 80 menit yakni sebesar 5,21 gram dari 10 gram serbuk kulit pisang.
Rendemen pektin yang diperoleh dari penelitian yang dilakukan oleh Tarigan di
atas lebih besar bila dibandingkan dengan rendemen yang dihasilkan dari
penelitian ini, namun kondisi pH, suhu dan waktu ekstraksi menunjukkan
kesamaan kondisi optimum dihasilkannya rendemen tertinggi meskipun pelarut
yang digunakan berbeda.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


38

Suhu 80ᵒC Suhu 90ᵒC

10,78%

persen rendemen (%)


9,00%
7,82%
7,05%
5,17% 5,02%

pH 1 pH 1,5 pH 2

Gambar 4.1. Persentase Rendemen

Terlihat dari Gambar 4.1 di atas bahwasanya persen rendemen meningkat


seiring meningkatnya suhu ekstraksi. Peningkatan suhu ekstraksi hingga suhu
tertentu memang mempengaruhi rendemen pektin yang dihasilkan. Menurut
Ranganna (1977) rendemen pektin yang didapat akan maksimum pada suhu
tertentu dan mengalami kejenuhan atau rendemen pektin yang didapat akan tetap.
Sejalan dengan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Pardede, et al., (2013),
pada rentang suhu 60℃ hingga 100℃ rendemen pektin yang tertinggi dihasilkan
pada suhu 100℃ , hal ini disebabkan suhu yang semakin tinggi menyebabkan ion
hidrogen yang dihasilkan akan mensubtitusi kalsium dan magnesium dari
protopektin semakin banyak, sehingga protopektin yang terhidrolis menghasilkan
pektin juga semakin banyak. Jadi dengan suhu ekstraksi yang tinggi, rendemen
pektin akan terus meningkat sampai dicapai keadaan maksimum dimana
protopektin telah habis terhidrolis.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Budiyanto dan
Yulianingsih (2008) semakin lama waktu dan semakin tinggi suhu ekstraksi yang
digunakan maka semakin besar rendemen yang dihasilkan. Karena pada penelitian
ini faktor lamanya waktu ekstraksi tidak berubah maka hanya faktor pH dan suhu
yang akan mempengaruhi hasil rendemen. Menurut Puspitasari, et al., (2008)
kombinasi keasaman yang terlalu tinggi (pH rendah) dengan suhu yang tinggi
harus dihindari karena konversi pektin akan menurun disebabkan pektin yang
terkonversi menjadi asam pektat. Peningkatan pH larutan pengekstrak dalam

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


39

penelitian ini menunjukkan penurunan persen rendemen pektin yang dihasilkan.


Larutan pengekstrak pada pH 1,5 menunjukkan pH optimum menghasilkan persen
rendemen tertinggi. Sedangkan larutan pengekstrak pada pH 2 menghasilkan
persen rendemen terendah. Menurut Gusti (2008) pada ekstraksi pektin
menggunakan pelarut dengan pH rendah akan menghasilkan rendemen yang
tinggi, hal ini disebabkan karena pada pH yang rendah konsentrasi asamnya lebih
tinggi sehingga proses hidrolisa protopektin menjadi pektin terjadi lebih intensif
sehingga pada pH rendah menghasilkan rendemen pektin yang lebih tinggi. Akan
tetapi menurut Nasution (2002) dalam Gusti (2008) menyatakan bahwa pada pH
yang lebih rendah akan mendekomposisi senyawa pektin menjadi asam
galakturonat sehingga rendemen pektin yang dihasilkan akan menurun.

4.4.2 Kadar Air


Kadar air bahan akan berpengaruh terhadap masa simpan bahan. Jika kadar
air dalam bahan terbilang tinggi maka menyebabkan kerentanan terhadap aktivitas
mikroba (Budiyanto dan Yulianingsih, 2008). Dengan demikian, usaha untuk
memperpanjang masa simpan bahan dilakukan pengeringan sampai dengan batas
kadar air tertentu. produk dengan kadar air rendah relative lebih stabil dalam
penyimpanan jangka panjang daripada produk yang berkadar air tinggi (Pardede,
et al., 2013)
Pada penelitian ini, pengeringan pektin dilakukan dalam oven pengering
suhu 40℃ selama 8 jam. Pengeringan pada suhu rendah ini bertujuan untuk
meminimalkan terjadinya degradasi pektin. Puspitasari, et al., (2008)
menggunakan suhu 40℃-60℃ untuk mengeringkan pektin hasil ekstraksi dari
ampas nanas dan Tarigan, et al., (2012) melakukan pengeringan pektin hasil
ekstraksi dari kulit pisang kepok dengan suhu 40℃ selama 8 jam.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


40

Suhu 80ᵒC Suhu 90ᵒC

11,96%
11,54%

kadar air (%)


10,89%
10,56% 10,59% 10,54%

pH 1 pH 1,5 pH 2

Gambar 4.2. Kadar Air

Kadar air yang dihasilkan dari penelitian ini berkisar antara 10,54-11,96%.
Batas maksimum nilai kadar air yang diperbolehkan yaitu 12% berdasarkan Food
Chemical Codex (1996), artinya kadar air dari pektin yang dihasilkan tidak
melebihi standar yang diperbolehkan. Tingginya kadar air pada pektin yang
dihasilkan dapat dipengaruhi oleh pengeringan yang tidak maksimal dan juga
kondisi penyimpanan pektin sebelum dilakukan uji kadar air. Penyimpanan pada
tempat yang lembab dan wadah yang tidak kedap udara akan menyebabkan
kerentanan pektin terpapar oleh udara luar, sehingga pektin menjadi lembab
kembali. Menurut Firiani (2003), kadar air pektin dipengaruhi oleh derajat
pengeringan. Jika derajat pengeringan rendah maka yang terlihat adalah berat
rendemen yang lebih besar daripada yang sebenarnya.
Pada Gambar 4.2 di atas memperlihatkan bahwa kadar air tertinggi pektin
yang dihasilkan adalah pada kondisi larutan pengekstrak pH 1,5 dengan suhu
ekstraksi 90℃ dan kadar air terendah pada kondisi pengekstrak pH 2 dengan suhu
ekstraksi 80℃. Kadar air yang dihasilkan dapat dipengaruhi oleh rendemen
pektin. Semakin tinggi rendemen pektin yang dihasilkan, maka akan semakin
tinggi pula kadar airnya (Budiyanto dan Yulianingsih, 2008). Terbukti bahwa
kadar air tertinggi dimilki oleh pektin dengan rendemen tertinggi, dan kadar air
terendah dimiliki oleh rendemen terendah pula.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


41

4.4.3 Kadar Abu


Abu merupakan residu atau sisa pembakaran bahan organik yang berupa
bahan anorganik. Kandungan mineral suatu bahan dapat diketahui dari kadar abu
yang dimiliki bahan tersebut. Kadar abu berpengaruh pada tingkat kemurnian
pektin (Budiyanto dan Yulianingsih, 2008). Semakin tinggi tingkat kemurnian
pektin, maka kadar abu dalam pektin akan semakin rendah. Jika kadar abu dalam
tepung pektin tinggi, maka persentase kandungan pektin yang terdapat di
dalamnya semakin rendah sehingga tingkat kemurnian tepung pektin tersebut juga
rendah. Kadar abu dalam tepung pektin dipengaruhi oleh adanya residu bahan
anorganik yang terkandung dalam bahan baku, metode ekstraksi dan isolasi pektin
(Kalapathy, 2001).

Suhu 80ᵒC Suhu 90ᵒC

7,92% 8,05%
6,90%
6,15%
kadar abu (%)

4,70%
4,25%

pH 1 pH 1,5 pH 2

Gambar 4.3. Kadar Abu

Hasil penelitian menunjukksn kadar abu tepung pektin yang diperoleh


adalah berkisar antara 4,25-8,05%. Batas maksimum kadar abu pektin dalam
IPPA (International Pectin Producers Association) (2002) adalah tidak lebih dari
10%. Kadar abu pektin tertinggi terukur pada kondisi ekstraksi pH 2 dengan suhu
90℃ yakni 8,05%, sedangkan kadar abu pektin terendah terukur pada kondisi
ekstraksi pH 1,5 dengan suhu 90℃ yakni 4,25%.
Pektin dengan kondisi ekstraksi pH 1 suhu 80℃ memiliki kadar abu 6,90%
berbeda nyata dengan suhu ekstraksi 90℃ dengan kadar abu 4.70%. begitu pula
kondisi ekstraski pH 1,5 suhu 80℃ memiliki kadar abu 6,15% berbeda nyata
dengan suhu 90℃ yakni memiliki kadar abu 4,25%. Sedangkan untuk kondisi

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


42

ekstraski pH 2 suhu 80℃ memiliki kadar abu 7,92% dan suhu 90℃ memiliki
kadar abu 8,05%, perbedaan suhu disini tidak menghasilkan perbedaan kadar abu
yang terukur. Pada dasarnya semakin tinggi suhu maka kecepatan hidrolisis
protopektin semakin meningkat sehingga kadar abu juga akan semakin tinggi.
Hanya kondisi ekstraski pH 2 yang sesuai dengan pernyataan tersebut. Untuk
kondisi ekstraksi pH 1 dan pH 1,5 tidak sesuai dengan pernyataan tersebut.
Pektin merupakan hasil hidrolisis dari protopektin dalam buah-buahan dan
sayuran. Protopektin terdapat dalam bentuk kalsium-magnesium pektat. Perlakuan
dengan asam mengakibatkan terhidrolisisnya pektin dari ikatan kalsium dan
magnesiumnya. Peningkatan reaksi hidrolisis protopektin akan mengakibatkan
bertambahnya komponen Ca dan Mg dalam larutan ekstrak. Dengan demikian,
semakin banyaknya mineral berupa kalsium dan magnesium akan semakin banyak
kadar abu pektin tersebut (Hanum, et al., 2012).
Kadar abu dalam pektin akan meningkat seiring meningkatnya konsentrasi
asam yang digunakan, suhu dan waktu ekstraksi. Hal demikian disebabkan oleh
kemampuan asam untuk melarutkan mineral alami dari bahan yang diekstrak.
Mineral yang terlarut akan turut mengendap bercampur dengan pektin pada saat
proses pengendapan (Kalapathy, 2001). Hasilnya pengukuran kadar abu pektin
pada penelitian ini tidak sesuai dengan pernyataan di atas, karena pada konsentrasi
asam terendah menghasilkan kadar abu tertinggi, bukan pada konsentrasi asam
tertinggi.
Kadar abu adalah salah satu parameter mutu pektin yang dihasilkan.
Semakin rendah kadar abu, maka mutu pektin semakin meningkat.

4.4.4 Berat Ekivalen


Berat ekivalen merupakan ukuran terhadap kandungan gugus asam
galakturonat bebas (tidak teresterifikasi) dalam rantai molekul pektin. Asam
pektat murni merupakan zat pektat yang seluruhnya tersusun atas asam
poligalakturonat yang bebas dari gugus metil ester atau tidak mengalami
esterifikasi. Asam pektat murni memiliki berat ekivalen 176. Tingginya derajat
esterifikasi antara asam galakturonat dengan metanol mengakibatkan semakin

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


43

rendahnya jumlah asam galakturonat bebas yang berarti semakin tingginya berat
ekivalen (Rouse, 1977).

Suhu 80ᵒC Suhu 90ᵒC

9534,71 9534.71
8667,91
Berat Ekivalen

6652,12
5757,44
4094,47

pH 1 pH 1,5 pH 2

Gambar 4.4. Berat Ekivalen

Berat ekivalen yang dihasilkan dari penelitian ini berkisar antara 4094,47-
9534,71. Pektin hasil ekstraksi pH 1 suhu 80℃ memiliki berat ekivalen 5757,44
mg sedangkan pada ekstraksi suhu 90℃ memiliki berat ekivalen 4094,47. Berat
ekivalen pektin hasil ekstraksi pH 1 dan 1,5 menurun seiring meningkatnya suhu
ekstraksi, akan tetapi untuk pektin hasil ekstraksi pH 2 dengan suhu 80℃ dan
90℃ tidak menunjukkan peningkatan ataupun penurunan seiring meningkatnya
suhu ekstraksi. Ekstraksi pH 1,5 suhu 80℃ menghasilkan pektin dengan berat
ekivalen 8667,91 dan pada suhu 90℃ sebesar 6652,12. Kemudian untuk ekstraksi
pH 2 suhu 80℃ menghasilkan pektin dengan berat ekivalen 9534,71 dan 9534,71
untuk pektin hasil ekstraksi suhu 90℃. Berat ekivalen pektin yang dihasilkan
semakin menurun dengan semakin meningkatnya suhu ekstraksi kecuali pada pH
2. Berat ekivalen pektin berdasarkan standar IPPA (International Pectin
Producers Association) (2002) yakni berkisar antara 600-800 mg. Pektin hasil
ekstraksi dari limbah kulit pisang kepok ini memiliki berat ekivalen yang tidak
memenuhi standar yang ada.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Budiyanto dan
Yulianingsih (2008) dan Hariyati (2006) bahwasanya pengaruh kenaikan suhu dan
waktu ekstraksi mengakibatkan semakin rendahnya berat ekivalen pektin yang
dihasilkan. Pada penelitian ini, berat ekivalen pektin cenderung menurun seiring

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


44

meningkatkan suhu ekstraksi. Hanya pada kondisi ekstraksi pH 2 saja yang tidak
menunjukkan peningkatan maupun penurunan berat ekivalen seiring
meningkatnya suhu ekstraksi.
Bobot molekul pektin tergantung pada jenis tanaman, kualitas bahan baku,
metode ekstraksi dan perlakuan pada proses ekstraksi. Kemungkinan besar hal
yang mempengaruhi nilai berat ekivalen adalah sifat pektin hasil ekstraksi itu
sendiri, serta proses titrasi yang dilakukan. Ketika sampel pektin dilarutkan dalam
aquadest dan telah benar-benar larut sempurna, dilakukan pengukuran pH
menggunakan pH indikator universal. Hasil dari pengukuran pH awal adalah
berkisar pH 6, sehingga saat dititrasi menggunakan larutan titran (NaOH) hanya
memerlukan sedikit saja larutan NaOH untuk mencapai titik ekivalen (pH netral).
Titik ekivalen terlihat saat larutan berubah warna menjadi merah muda dari
larutan awal. Sehingga hasil perhitungan berat ekivalen pektin berdasarkan rumus
berat ekivalen adalah perbandingan antara bobot sampel pektin terhadap volume
titran NaOH yang terpakai dan Normalitas titran (NaOH). Volume titran (NaOH)
yang terpakai hanya berkisar antara 0,3-0,7 mL dengan normalitas NaOH 0,0874
N dan bobot sampel 250 mg, sehingga hasil perhitungan menujukkan nilai berat
ekivalen yang terlalu besar. Hasil titrasi untuk perhitungan berat ekivalen ini akan
mempengaruhi perhitungan selanjutnya seperti kadar metoksil, kadar galakturonat
dan derajat esterifikasi.

4.4.5 Kadar Metoksil


Kadar metoksil didefinisikan sebagai jumlah metanol yang terdapat di
dalam pektin. Kadar metoksil pektin dapat menentukan sifat fungsional larutan
pektin dan dapat mempengaruhi struktur dan tekstur dari gel pektin yang
terbentuk. Pektin dapat disebut bermetoksi tinggi bila memiliki nilai kadar
metoksil sama dengan atau lebih dari 7%. Kurang dari 7% disebut pektin
bermetoksil rendah.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


45

Suhu 80ᵒC Suhu 90ᵒC

2,64% 2,70%

kadar metoksil (%) 1,19% 1,30%


1,08% 1,01%

pH 1 pH 1,5 pH 2

Gambar 4.5. Kadar Metoksil

Hasil perhitungan kadar metoksil pektin menunjukkan bahwa persentase


metoksil pada pektin ini sangat rendah. Hanya pada ekstraksi pH 1 yang
menghasilkan pektin dengan persentase metoksil yang masuk dalam kategori
pektin bermetoksil rendah yakni 2,64% dan 2,70%. Berdasarkan Food Chemical
Codex (1996) pektin bermetoksil rendah yakni berkisar antara 2,5-7,2%.
Sedangkan pada kondisi ekstraksi pH 1,5 dan 2, pektin yang dihasilkan
mengandung persen metoksil yang lebih rendah. Hasil penelitian yang dilakukan
oleh Tarigan, et al., (2012), kadar metoksil pektin yang dihasilkan dari ekstraksi
kulit buah pisang kepok menggunakan pelarut HCl menunjukkan kadar metoksil
pektin berkisar antara 2,48%-3,72%, termasuk juga dalam kategori pektin
bermetoksil rendah.
Pektin hasil ekstraksi pH 1 suhu 80℃ memiliki kadar metoksil sebesar
2,64% dan untuk suhu 90℃ sebesar 2,70%, kadar metoksil meningkat seiring
meningkatnya suhu ekstraksi. Sedangkan untuk pektin hasil ekstraksi pH 1,5 suhu
80℃ memiliki kadar metoksil 1,08% dan menurun kadarnya pada pektin dengan
suhu ekstraksi 90℃ yaitu sebesar 1,01% meskipun penurunannya tidak terlalu
jauh. Kemudian untuk ekstraksi pH 2 suhu 80℃ menghasilkan pektin dengan
kadar metoksil 1,1921% dan pada pektin hasil ekstraksi suhu 90℃ besar kadar
metoksilnya adalah 1,30%, kadar metoksil meningkat seiring meningkatnya suhu
ekstraksi. Berdasarkan Constenla dan Lozano (2003), kadar metoksil pektin akan
meningkat seiring meningkatnya suhu ekstraksi. Begitu pula dengan hasil

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


46

penelitian yang dilakukan oleh Kaban, et al., (2012) dan Tarigan, et al., (2012)
yang menunjukkan bahwa kadar metoksil meningkat seiring kenaikan suhu dan
waktu ekstraksi, hal ini disebabkan oleh gugus karboksil bebas yang teresterifikasi
semakin meningkat.
Perhitungan kadar metoksil dipengaruhi oleh banyaknya volume titran
(NaOH) yang terpakai pada proses titrasi. Larutan netral pada penentuan berat
ekivalen yang selanjutnya ditambahkan dengan 25 mL NaOH 0,25 N dan
didiamkan selama 30 menit dalam keadaan tertutup, selanjutnya ditambahkan 25
mL HCl dan indikator fenol merah. pH larutan tersebut kemudian diukur
menggunakan pH indikator universal, hasilnya menunjukkan pH larutan berkisar
pH 5, sehingga hanya sedikit volume titran yang diperlukan untuk mencapai titik
ekivalen (netral) yakni antara 1,0-2,5 mL, mengakibatkan perhitungan persentase
kadar metoksil menjadi kecil.
Pektin yang dihasilkan dari penelitian ini merupakan pektin bermetoksil
rendah yang mampu membentuk gel dengan adanya kation polivalen seperti
kalsium. Pektin bermetoksil rendah lebih menguntungkan karena dapat langsung
diproduksi tanpa melalui proses demetilasi pektin bermetoksil tinggi menjadi
pektin bermetoksil rendah.

4.4.6 Kadar Galakturonat


Kadar asam galakturonat serta muatan molekul pektin berperan penting
dalam penentuan sifat fungsional larutan pektin. Kadar galakturonat dapat
mempengaruhi struktur dan tekstur dari gel pektin yang terbentuk (Constenla dan
Lozano, 2006). Semakin tinggi nilai kadar galakturonat maka mutu pektin juga
semakin tinggi.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


47

Suhu 80ᵒC Suhu 90ᵒC

78,60%
72,14%

kadar galakturonat (%) 34,46% 36,92%


32,74% 33,47%

pH 1 pH 1,5 pH 2

Gambar 4.6. Kadar Galakturonat

Kadar galakturonat pektin hasil ekstraksi pada penelitian ini berkisar antara
30,27%-78,60%. Kadar asam galakturonat untuk pektin hasil ekstraksi pH 1 suhu
80℃ adalah sebesar 72,14% dan pada suhu 90℃ sebesar 78,60%, kadar
galakturonat meningkat seiring meningkatnya suhu ekstraksi. Sedangkan untuk
pektin hasil ekstraksi pH 1,5 suhu 80℃ yaitu sebesar 32,74% dan pada suhu 90℃
sebesar 33,47%, kadar galakturonat menurun seiring meningkatnya suhu
ekstraksi. Kemudian untuk pektin hasil ekstraksi pH 2 suhu 80℃ sebesar 34,46%
dan pada suhu 90℃ sebesar 36,92%, disini kadar galakturonat meningkat seiring
meningkatnya suhu ekstraksi seperti pada pektin hasil ekstraksi masing-masing
kondisi pH. Kadar galakturonat tertinggi sebesar 78,60% dimiliki oleh pektin hasil
ekstraksi pH 1 dengan suhu 90℃, sedangkan kadar terendah yakni 32,74%
dimiliki oleh pektin hasil ekstraksi pH 1,5 suhu 80℃.
Perbedaan kadar galakturonat pada pektin hasil ekstraksi pH 1,5 dan 2 tidak
terlalu jauh. Hanya pada pektin hasil ekstraksi pH 1 yang menunjukkan nilai
cukup tinggi. kadar galakturonat yang ditetapkan oleh IPPA (International Petin
Producers Association) (2002) yaitu minimal 35% dan ketetapan USP 28 yaitu <
74%. Ada beberapa kadar galakturonat yang masuk dalam standar yang telah
ditetapkan tersebut di atas dan ada pula yang terlalu rendah dari standard yang
telah ditetapkan. Masing-masing kondisi ekstraksi pH 1., 1,5 dan 2 menunjukkan
kadar galakturonat meningkat seiring meningkatnya suhu ekstraksi. Menurut
Sofiana, et al., (2012) serta Budiyanto dan Yulianingsih (2008) kecenderungan

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


48

kadar galakturonat pektin semakin meningkat seiring meningkatnya suhu dan


semakin lamanya waktu ekstraksi karena reaksi hidrolisis protopektin menjadi
pektin yang komponen dasarnya asam D-galakturonat. Banyak penelitian lain
yang menyebutkan bahwa kadar galakturonat semakin meningkat dengan
meningkatnya suhu dan waktu ekstraksi, seperti pada penelitian yang dilakukan
oleh Hariyati (2006) pada pektin hasil ekstraksi dari ampas jeruk Pontianak dan
Fitriani (2003) pada pektin hasil ekstraksi dari jeruk lemon.
Perbedaan kadar galakturonat dari hasil penelitian ini terhadap hasil
penelitian lain mungkin dipengaruhi oleh sumber bahan baku, pelarut dan metode
ekstraksi yang digunakan. Menurut Nelson, et al., (1977) dan Towle (1973) di
dalam Fitriani (2003), selain asam galakturonat, pektin juga mengandung
senyawa-senyawa lain yaitu gula netral seperti D-galaktosa, L-arabinosa dan L-
ramnosa. Senyawa-senyawa non uronat tersebut dapat terbawa pada waktu proses
penggumpalan pektin. Senyawa-senyawa inilah yang mempengaruhi komposisi
senyawa pektin. Perbedaan komposisi senyawa pektin mempengaruhi juga
terhadap kadar galakturonat dipengaruhi oleh metode ekstraksi yang digunakan.
Beberapa senyawa non uronat mungkin dapat dihilangkan melalui pelarutan
kembali pektin dalam air dan penggumpalan, tetapi tidak mungkin menghilangkan
semua senyawa non uronat.

4.4.7 Derajat Esterifikasi


Derajat esterifikasi menunjukkan persentase jumlah residu asam D-
galakturonat yang gugus karboksilnya teresterifikasi dengan etanol (Whistler dan
Daniel, 1985 di dalam Budiyanto dan Yulianingsih, 2008). Nilai derajat
esterifikasi pektin diperoleh dari nilai kadar metoksil dan kadar asam
galakturonat.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


49

Suhu 80ᵒC Suhu 90ᵒC

20,78%
19,61% 20,00%

Derajat Esterifikasi (%)


19,50% 18,72%
17,13%

pH 1 pH 1,5 pH 2

Gambar 4.7. Derajat Esterifikasi

Derajat esterifikasi tertinggi pada pektin hasil ekstraksi pH 1 suhu 80℃


yakni sebesar 20,78% dan terendah yakni 17,13% pada pektin hasil ekstraksi pH
1,5 pH 90℃. Pektin hasil ekstraksi pH 1 suhu 80℃ menunjukkan nilai 20,78%
dan pada suhu 90℃ menunjukkan penurunan menjadi 19,50%. Kemudian untuk
pektin hasil ekstraksi pH 1,5 dengan suhu 80℃ menunjukkan nilai 18,72% dan
mengalami penurunan pada pektin hasil ekstraksi pH 1,5 suhu 90℃ yakni sebesar
17,13%. Sedangkan pada pektin hasil ekstraksi pH 2 dengan suhu 80℃
menunjukkan nilai sebesar 19,61% dan pada suhu 90℃ meningkat menjadi
20,00%. Pada ekstraksi pH 1 dan 1,5, derajat esterifikasi yang dihasilkan
menunjukkan semakin meningkatnya suhu ekstraksi semakin menurunnya derajat
esterifikasi. Pada ekstraksi pH 2 menunjukkan meningkatnya suhu meningkat pula
derajat esterifiksi, meskipun peningkatannya tidak signifikan. Hasil penelitian ini
untuk pH 1 dan 1,5 sesuai dengan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh
Budiyanto dan Yulianingsih (2008) bahwa derajat esterifikasi menurun seiring
meningkatnya suhu dan waktu ekstraksi.
Tingginya suhu dan lamanya waktu ekstraksi dapat menyebabkan degradasi
gugus metil ester pada pektin menjadi asam karboksilat oleh adanya asam
(Kertesz, 1951 di dalam Hariyati, 2006). Asam dalam ekstraksi pektin akan
menghidrolisi ikatan hidrogen. Ikatan gugus metil ester dari pektin cenderung
terhidrolisis menghasilkan asam galakturonat. Apabila ekstraksi dilakukan terlalu
lama maka pektin akan berubah menjadi asam pektat yang asam galakturonatnya

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


50

bebas dari gugus metil ester. Jumlah gugus metil ester menunjukkan jumlah gugus
karboksil yang tidak teresterifikasi atau derajat esterifikasi (Budiyanto dan
Yulianingsih, 2008).
Menurut Awashti (2011), nilai derajat esterifikasi untuk pektin tinggi
metoksil memiliki rentang nilai derajat esterifikasi sebesar 60-70% dan untuk
pektin rendah metoksil memiliki rentang 20-40%. Pektin yang dihasilkan pada
penelitian ini merupakan pektin dengan kadar metoksil rendah dan memiliki
rentang nilai derajat esterifikasi antara 17,13%-20,78%. Jelas bahwa hasil
perhitungan derajat esterifikasi di sini lebih rendah dibanding dengan teori yang
ada, namun sesuai dengan kadar metoksil yang dimiliki.
Sesuai dengan pernyataan yang telah disebutkan di atas bahwasanya nilai
derajat esterifikasi diperoleh dari perhitungan antara kadar metoksil dan kadar
asam galakturonat. Seharusnya pektin dengan kandungan metoksil rendah
memiliki rentang derajat esterifikasi 20-40%, namun pada penelitian ini pektin
dengan kadar metoksil lebih rendah dari standard memiliki nilai derajat
esterifikasi lebih rendah pula. Pengaruh dari proses titrasi dan sifat pektin yang
dihasilkan sangat berperan dalam hasil perhitungan ini.

4.5 Perbandingan Spektrum FTIR


Hasil pengukuran spektrum FTIR menujukkan kelompok gugus fungsi dan
memberikan informasi struktural pektin hasil ekstraksi dari bahan baku kulit
pisang dan larutan pengekstraksi berupa larutan asam laktat dengan variasi pH dan
suhu ekstraksi. Spektrum FTIR pektin hasil ekstraksi dibandingkan terhadap
spektrum pektin komersial dan pektin standar dari Sigma. Rentang bilangan
gelombang yang digunakan adalah 4000-400 cm-1.
Gugus fungsional utama pada pektin biasanya terletak pada area bilangan
gelombang 1000-2000 cm-1 (Kalapathy, 2001 di dalam Ismail, et al., 2012). Ikatan
karboksil berada pada 1630-1650 cm-1 untuk kelompok karboksil bebas dan 1740-
1760 cm-1 untuk kelompok karboksil teresterifikasi (Gnanasambandam, 1999 di
dalam Ismail, et al., 2012). Peningkatan nilai derajat esterifikasi juga akan
meningkatkan intensitas dan luas area dari kelompok karboksil teresterifikasi.
Kemungkinan dapat digunakan untuk membandingkan jenis pektin dari sumber

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


51

yang berbeda. Pada bilangan gelombang antara 1100 dan 1200 cm-1 menunjukkan
ikatan dari eter (R-O-R) dan ikatan C-C siklik dalam struktur cincin dari molekul
pektin. Spektrum melebar pada 2400-3600 cm-1 merupakan lembab dalam pektin
yang terserap.

Tabel 4.4. Data Spektrum FTIR

Area
(bilangan gelombang) (cm-1)
No Keterangan
Standard Komersial Sampel

1 3446,17 3393,14 3420,14 -OH

2 2934,16 2934,16 2931,27 Ulur –CH3

3 1698,02 1698,02 1698,02 -C=O

4 1456,96 1456,96 1456,96 Tekuk –C-H

5 1369 1362,46 1329,68 Ulur –C-H

6 1152 1135,87 1151,29 -O- (eter)

Terlihat dari data spektrum FTIR di atas, serapan masing-masing gugus


fungsional dari pektin standar, komersil dan pektin hasil ekstraksi menunjukkan
adanya beberapa perbedaan. Spektrum menunjukkan puncak serapan lebar yang
khas pada bilangan gelombang 3446,17 cm-1 untuk pektin standar, 3393,14 cm-1
untuk pektin komersial dan pada 3420,14 cm-1 untuk pektin hasil ekstraksi,
mengindikasikan adanya serpan dari gugs hidroksil. Serapan pada bilangan
gelombang 2934,16 cm-1, pada pektin standar dan komersial area bilangan
gelombangnya sama namun intensitasnya yang berbeda. Pektin komersial
intensitasnya lebih rendah (3,77442%) dibanding pektin standar (4,86817%).
Untuk pektin hasil ekstraksi mengalami penggeseran bilangan gelombang yakni
pada 2931,27 cm-1 dengan intensitas 3,87382%. Daerah bilangan tersebut
menunjukkan serapan dari ulur –CH3. Pada daerah bilangan gelombang 1698,02
cm-1 menunjukkan adanya serapan dari gugus karboksil (-C=O) baik pektin
standar, komersil dan pektin hasil ekstraksi ketiganya memiliki serapan yang sama
pada daerah bilangan gelombang tersebut, hanya saja intensitas serapannya yang

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


52

berbeda. Pektin standar memiliki intensitas 4,01286%, pektin komersial sebesar


4,27052% dan pektin hasil ekstraksi sebesar 4,51358%. Vibrasi dari tekuk –C-H
dapat ditemukan pada daerah bilangan gelomang 1456,96 cm-1, baik pada pektin
standar, pektin komersial dan pektin hasil ekstraksi. Perbedaannya pada intensitas
serapannya saja, seperti pada pektin standar sebesar 4,27893%, pektin komersial
sebesar 3,40071% dan pektin hasil ekstraksi sebesar 3,88204%. Terdapat serapan
dari eter (-O-) pada bilangan gelombang 1135,87 cm-1 dengan intensitas 2,68231%
pada pektin komersial dan pada bilangan gelombang 1151,29 cm-1 dengan
intensitas 2,68916% pada pektin hasil ekstraksi.

Sumber: Tarigan, et al., (2012)


Gambar 4.8. Struktur Pektin

Pada struktur pektin di atas, terlihat bahwa gugus fungsional yang terukur
oleh spektroskopi FTIR dengan masing-masing serapan pada bilangan gelombang
tertentu menunjukkan kesesuain dengan struktur pektin. Terdapat vibrasi OH,
ikatan –CH3 pada cabang metoksil (COOCH3), ikatan -C-H, karbonil (-C=O) dan
eter (-O-).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Limbah kulit pisang kepok dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku
pembuatan pektin. Pektin yang dihasilkan dari ekstraksi menggunakan pelarut
asam laktat dengan variasi pH dan suhu ekstraksi menunjukkan pemerian yang
sesuai dalam Farmakope Indonesia Edisi IV yaitu serbuk halus berwarna putih
atau kecoklatan dan tidak berbau. Rendemen pektin tertinggi dihasilkan pada
kondisi ekstraksi pH 1,5 suhu 90℃ yaitu 10,78%. Kadar air pektin yang
dihasilkan kurang dari 12% yaitu berkisar 10,54%-11,96%, kadar air terendah
pada ekstraksi pH 2 suhu 80℃. Kadar abu pektin kurang dari 10% yaitu berkisar
4,25%-8,05%, kadar abu pektin terendah pada ekstraksi pH 1,5 suhu 90℃. Berat
ekivalen pektin yang dihasilkan berkisar 4094,47-9534,7. Kadar metoksil pektin
yang dihasilkan berkisar antara 1,01%-2,70%, kadar metoksil pektin yang masuk
dalam rentang standar pektin bermetoksil rendah adalah pada ekstraksi pH 1 suhu
80℃ dan 90℃ yaitu sebesar 2,64% dan 2,70%. Kadar galakturonat pektin berkisar
antara 32,74%-78,60% dan derajat esterifikasi berkisar antara 17,13%-20,78%.
Derajat esterifikasi pektin lebih rendah dari standar yang telah ditetapkan.
Spektrum FTIR antara pektin standar, komersial dan hasil ekstraksi menunjukkan
kemiripan. Karakteristik kimia pektin hasil ekstraksi dari limbah kulit pisang
kepok ini menunjukkan kurang memenuhi standar yang telah ditetapkan.

5.2 Saran
1. Perlunya pengembangan metode ekstraksi, pemilihan bahan baku dan
pelarut yang cocok untuk menghasilkan pektin dengan karakteistik yang
lebih baik, sehingga pektin yang dihasilkan sesuai dengan standar yang telah
ditetapkan.
2. Perlunya penelitian lebih lanjut tentang aplikasi pektin yang telah
dihasilkan.

54 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


54

3. Perlunya adanya analisa tentang kelayakan dari penelitian ini untuk


mengetahui seberapa besar potensi produksi pektin ini dapat dikembangkan
dalam bidang industri.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


DAFTAR PUSTAKA

Akhmalludin., Kurniawan, Arie. 2009. Pembuatan Pektin dari Kulit Cokelat


dengan Cara Ekstraksi. Universitas Diponegoro: Semarang.

Apriadji, Wied Harry. 2007. Good Mood Food. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta.
Astuti, Sussi. 2007. Efek Pektin Kulit Jeruk Lemon Terhadap Kadar Kolesterol,
LDL, HDL dan Trigliserida Serum Tikus. Jurnal Teknologi Hasil Pertanian
Fakultas Pertanian, Universitas Lampung, Media Gizi dan Keluarga,
Desember, 31 (2): 84-91.
Awasthi, Rajendra. 2011. Selection of Pectin As Pharmaceutical Excepient on The
Basis of Rheological Behavior. International Journal of Pharmacy and
Pharmaceutical Sciences. ISSN-0975-1491. Vol 3, Issue 1.

Badan Pusat Statistik. 2012. Data Ekspor-Impor. Jakarta. Diakses melalui


http://bps.go.id/exim-frame.php?kat=2 pada tanggal 01 Maret 2013.
Baker, Robert A. 1997. Reassessment of Some Fruit and Vegetable Pectin Levels.
Journal of Food Science Vol. 62 No. 2.
Budiyanto, Agus,. Yulianingsih. 2008. Pengaruh Suhu dan Waktu Ekstraksi
Terhadap Karakter Pektin dari Ampas Jeruk Siam (Citrus nobilis L). Jurnal
Pascapanen 5 (2): 37-44.
Cahyono, Bambang. 2009. Pisang Usaha Tani Dan Penanganan Pascapanen
Revisi Kedua. Kanisius: Yogyakarta.
Canteri-Schemin, Helena Maria., Fertonani, Heloísa Cristina Ramos.,
Waszczynskyj, Nina., Wosiacki, Gilvan. 2005. Extraction of Pectin from
Apple Pomace. Jurnal Internasional Vol. 48, n. 2: pp. 259-266, ISSN 1516-
8913.
Committee on Chemicals Codex. 1996. Food Chemicals Codex. National
Academi Press: Washington, D. C.
Constenla, D,. Lozano, J. E. 2003. Kinetic Model of Pectin Demethylation. Latin
American applied Research, 33: 91-96.

Dashek, William V dan Micales, Jessie A. 1997. Methods in Plant Biochemistry


and Molecular Biology: Chapter 9 Isolation, Separation, and
Characterization of Organic Acid. Boca Raton, CRC Press: pp. 107-113.
Departemen Kesehatan RI. 1995. Farmakope Indonesia Edisi IV. Direktorat
Jendral Pengawasan Obat dan Makanan: Jakarta.
Departemen Kesehatan RI. 2000. Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan
Obat. Departemen Kesehatan: Jakarta.

55 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


56

Departemen Pertanian RI. 2012. Daerah Sentra Pisang. Direktorat Jenderal


Hortikultura: Jakarta. Diakses melalui
http://hortikultura.deptan.go.id/?q=node/333 pada tanggal 13 Februari 2013.

Dwidjoseputro. 1983. Pengantar Fisiologi Tumbuhan. Gramedia: Jakarta.


Fessenden, Ralp J,. Fessenden, Joan S. 1986. Kimia Organik Edisi Ketiga Jilid 1,
Alih Bahasa: Aloysius Hadyana Pudjaatmaka Ph.D. Penerbit Erlangga:
Jakarta.
Fitriani, Vina. 2003. Ekstraksi dan Karakterisasi Pektin dari Kulit Jeruk Lemon
(Citrus medica var Lemon). Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut
Pertanian Bogor.
Gusti, Nidya. 2009. Pengaruh pH dan Lama Ekstraksi Terhadap Rendemen dan
Mutu Pektin dari Kulit Kakao (Theobroma cacao, L). Universitas Anadalas:
Padang. Skripsi.
Hanum, Farida., Kaban, Irza Menka Deviliany., Tarigan, Martha Angelina. 2012.
Ekstraksi Pektin dari Kulit Pisang Raja (Musa sapientum). Jurnal Teknik
Kimia USU, Vol. 1, No. 2.
Hariyati, Mauliyah Nur. 2006. Ekstraksi dan Karakterisasi Pektin dari Limbah
Proses Pengolahan Jeruk Pontianak (Citrus nobilis var microcarpa). IPB:
Bogor. Skripsi
Herbstreith, K dan G. Fox. 2005. Pectin. http://www.herbstreith-
fox.de/pektin/forschung und entwicklung /forschung_entwicklung04a.htm
Ide, pangkalan. 2009. Health Secret of Dragon Fruit, Menguak Keajaiban si
Kaktus Eksotis dalam Penyembuhan Penyakit. Anggota IKAPI PT. Elex
Media Komputindo: Jakarta. Hal. 59
International Pectins Procedures Association. 2002. What is Pectin.
http://www.ippa.info/history_of_pektin.htm. Diakses 14 januari 2013.
Ismail, Norazelina Sah Mohd., Ramli, Nazaruddin., Hani, Norziah Mohd., Meon,
Zainudin. 2012. Extraction and Characterization of Pectin from Dragon
Fruit (Hylocereus polyrhizus) using Various Extraction Condition. Sains
Malaysiana. UKM: Malaysia.

Kaban, Irza Menka Deviliany., Tarigan, Martha Angelina., Hanum, Farida. 2012.
Ekstraksi pektin dari Kulit Pisang Raja (Musa sapientum). Jurnal Teknik
Kimia. USU : Medan.
Kalapathy, U. dan A. Proctor. 2001. Effect of Acid Extraction and Alcohol
Precipitation Conditions on The Yield and Purity of Soy Hull Pectin. Food
Chemistry 73 : 393 – 396
Kertesz, Z.I. 1951. The Pectin Substances. Interscience Pub. Inc: New York.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


57

Kuntarsih, Sri. 2012. Pedoman Penanganan Pasca Panen. Departemen


Pertanian.:
Jakarta.http://ditbuah.hortikultura.deptan.go.id/admin/layanan/Pedoman_Pe
nanganan_Pascapanen_Pisang.pdf. Diakses pada 06 Februari 2013.
Madhav, Apsara., Pushpalatha, P. B. 2002. Characterization of Pectin Extracted
from Different Fruit Wastes. Journal of Tropical Agriculture 40 (2000): 53-
55.
May, C.D. 2000. Handbook of Hydrocolloid, part.10 Pectins. Woodhead
Publishing Limited: England.
Meilina, Hesti dan Sailah, Illah. 2003. Produksi Pektin dari Jeruk Lemon (Citrus
medica). Prosiding Simposium Nasional Polimer V, ISSN 1410-8720.
Mohapatra, Debabandya., Mishra, Sabyasachi., Sutar, Namrata. 2010. Banana and
Its By-Product Utilisation: An Overview. Journal of Scientific & Industrial
Research Vo. 69, May, pp. 323-329.

Nurhikmat, A. 2003. Ekstraksi Pektin dari Apel Local: Optimalisasi pH dan


Waktu Hidrolisis. Widyariset vol. 4. Balai Pengembangan Proses dan
Teknologi Kimia-LIPI: Yogyakarta.
OECD. 2010. Safety Assessment of Transgenic Organisms: OECD Consesus
Documents Vol 4. OECD Publishing: Spanyol.
http://books.google.co.id/books?id=tqtBqKGPhz8C&pg=PA139&dq=musa
+balbisiana+ABB+group&hl=id&sa=X&ei=AXJIUaCPMo3orQeYqYCIC
w&redir_esc=y#v=onepage&q=musa%20balbisiana%20ABB%20group&f=
false. Diakses pada 20 Maret 2013.
Pardede, Antoni., Ratnawati, Devi., HP, Agus Martono. 2013. Ekstraksi dan
Karakterisasi Pektin dari Kulit Kemiri (Alleurites mollucana Willd). Media
Sains, Vol. 5, No. 1, ISSN 2085-3548.

Perina, Irene., Satiruinani., Soetaredjo, Felycia Adi., Hindarso, Herman. 2007.


Ekstraksi Pektin dari Berbagai Macam Kulit Jeruk. Widya Teknik Vol. 6
No. 1 (1-10).
http://www.academia.edu/3508482/EKSTRAKSI_PEKTIN_DARI_BERBA
GAI_MACAM_KULIT_JERUK. Diakses pada 5 Juni 2013.
Puspitasari, Dwi,. Dati, Natalia., Endahwati, Luluk. 2008. Ekstraksi Pektin dari
Ampas Nanas. Makalah Seminar Nasional Soebardjo Brotohardjono-
Pengolahan Sumber Daya Alam dan Energi Terbarukan, ISSN 1978-0427.
Ranganna, S. 1977. Handbook of Analysis and Quality Control for Fruit and
Vegetable Products Second Edition. Tata McGraw-Hill Publishing
Company Limited: New Delhi.
Rouessac, Francis dan Rouessac, Annick. 2000. Chemical Analysis Modern
Instrumentation Methods and Techniques. John Wiley & Sons, LTD:
England.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


58

Rowe, Raymond C., Sheskey, Paul J., Owen, Sian C. 2006. Handbook of
Pharmaceutical Exipients Fifth Edition. Pharmaceutical Press: London
Satria, H Berry dan Ahda, Yusuf. 2009. Pengolahan Limbah Kulit Pisang
Menjadi Pektin. Universitas Diponegoro: Semarang.
Sofiana, Heni., Triaswuri, Khrista., Sasongko, Setia Budi. 2012. Pengambilan
Pektin dari Kulit Pepaya dengan Cara Ekstraksi. Jurnal Teknologi Kimia
dan Industri, Vol. 1, No. 1, hal 482-486.
Sriamornsak, Pornsark. 2003. Chemistry of Pectin and Its Pharmaceutical Uses :
A Review. International Journal, Vol. 3. Silpakorn University.
Srivastava, Pranati dan Malviya, Rishabha. 2011. Sources of Pectin and Its
Applications in Pharmaceutical Idustry-An overview. Indian Journal of
Natural Products and Resources Vol. 2(1), March, pp. 10-18.

Suseno, Jatmiko Endro dan Firdausi, K Sofjan. 2008. Rancang Bangun


Spektroskopi FTIR (Fourier Transform Infrared) untuk Penentuan Kualitas
Susu Sapi. Berkala Fisika Vol 11, No.1, Januari, hal. 23-28, ISSN: 1410-
9662.
Suyanti dan Supriyadi, Ahmad. 2008. Pisang, Budidaya, Pengolahan dan Prospek
Pasar. Penebar Swadaya: Jakarta.
Tarigan, Martha Angelina., Kaban, Irza Menka Deviliany,. Hanum, Farida. 2012.
Ekstraksi Pektin dari Kulit Buah Pisang Kepok (Musa paradisiaca). Jurnal
Teknik Kimia, Universitas Sumatera Utara.
Tjitrosoepomo, G. 1994. Taksonomi Tumbuhan Obat-Obatan. UGM: Yogyakarta.
USDA-NRCS. 2003. The Plants Database. National Plant Data Center: Lousiana.
http://plants.usda.gov/java/profile?symbol=MUBA. Diakses pada 18 Maret
2013.
Verheij, E. W. M dan Coronel, R. E. 1992. Plant Resources of South-East Asia
No. 2 Edible Fruitrs and Nuts. Prosea : Bogor
Watson, David G. 2009. Analisis Farmasi: Buku Ajar Untuk Mahasiswa Farmasi
dan Praktisi Kimia Farmasi / David G. Watson; Alih Bahasa, Winny R.
Syarif; Editor Edisi Bahasa Indonesia, Amalia H. Hadinata. Edisi 2. EGC:
Jakarta.
Winarno, F.G. 2002. Fisiologi Lepas Panen Produk Hortikultura.M-Brio Press:
Bogor.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


LAMPIRAN
59

Lampiran 1
Hasil Determinasi Tumbuhan
60

Lampiran 2
Hasil Pemeriksaan Kadar Air Serbuk Kulit Pisang Kepok
(Musa balbisiana ABB)
61

Lampiran 3
Karakterisasi Pektin Hasil Ekstraksi

1. Rendemen
Kondisi ekstrasi Bobot Bobot % rendemen=
bahan baku pektin hasil 𝐛𝐨𝐛𝐨𝐭 𝐩𝐞𝐤𝐭𝐢𝐧 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐝𝐢𝐩𝐞𝐫𝐨𝐥𝐞𝐡
𝐛𝐨𝐛𝐨𝐭 𝐛𝐚𝐡𝐚𝐧 𝐛𝐚𝐤𝐮 𝐤𝐞𝐫𝐢𝐧𝐠
x 100%
kering (g) (g)
pH 1., T: 80℃ 60,39 3,12 5,17 %
pH 1., T: 90℃ 60,10 5,41 9,00%
pH 1,5., T: 80℃ 60,52 4,27 7,05%
pH 1,5., T: 90℃ 45,00 4,85 10,78%
pH 2., T: 80℃ 60,55 3,04 5,02%
pH 2., T: 90℃ 60.59 4,74 7,82%

2. Kadar Air
Data penimbangan dan perhitungan karakterisasi kadar air
Bobot Bobot Bobot
wadah+sampel sampel awal wadah+sampel
Kondisi sebelum (W) (g) setelah % kadar air
pemanasan (Wa) pemanasan (Wb)
(g) (g)
pH 1., suhu 80℃ 15,946 0,303 15,914 10,56%
pH 1., suhu 90℃ 17,237 0,302 17,202 11,54%
pH 1,5., suhu 80℃ 15,946 0,302 15,914 10,59%
pH 1,5., suhu 90℃ 17,238 0,301 17,202 11,96%
pH 2., suhu 80℃ 11,507 0,294 11,476 10,54%
pH 2., suhu 90℃ 11,517 0,303 11,484 10,89%
62

Contoh perhitungan:

Bobot wadah+sampel 15,946


sebelum pemanasan (Wa)
Bobot sampel awal (W) 0,303
Bobot wadah+sampel 15,914
setelah pemanasan (Wb)

𝐖𝐚−𝐖𝐛
% kadar air = x 100%
𝐖

15,946 −15,914
% kadar air = x 100% = 10,56%
0,303

3. Kadar Abu
Data penimbangan dan perhitungan karakterisasi kadar abu

𝑾𝟏−𝑾𝟐
% kadar abu = 𝑾
x 100%

Kondisi Keterangan Ulangan


I II
pH 1., T: 80℃ Bobot wadah (W2) (g) 35,791 25,581
Bobot sampel awal (W) (g) 0,5000 0,5000
pH 1., T: 90℃ Bobot wadah (W2) (g) 12,914 26,767
Bobot sampel awal (W) (g) 0,5000 0,5000
pH 1,5., T: 80℃ Bobot wadah (W2) (g) 36,529 38,0320
Bobot sampel awal (W) (g) 0,5000 0,5000
pH 1,5., T: 90℃ Bobot wadah (W2) (g) 23,9570 25,5817
Bobot sampel awal (W) (g) 0,3000 0,3000
pH 2., T: 80℃ Bobot wadah (W2) (g) 25,1742 25,1798
Bobot sampel awal (W) (g) 0,3000 0,3000
pH 2., T: 90℃ Bobot wadah (W2) (g) 26,2674 38,8392
Bobot sampel awal (W) (g) 0,3000 0,3000
63

Bobot tetap wadah+sampel setelah pemanasan (W1) (g) selama 4 jam


Kondisi Ulangan
I II
pH 1., T: 80℃ 35,825 25,616
pH 1., T: 90℃ 12,938 26,790
pH 1,5., T: 80℃ 36,5599 38,0632
pH 1,5., T: 90℃ 23,9698 25,5948
pH 2., T: 80℃ 25,1978 25,2037
pH 2., T: 90℃ 26,2916 38,8633

Perhitungan:
I 35,8250 −35,7910
Kadar abu = x 100% = 6,80%
0,500
pH 1., T: 80℃
II Kadar abu = 25,6160 −25,5810 x 100% = 7,00%
0,500

Rerata = 6,90%

I 12,9380 −12,9140
Kadar abu = x 100% = 4,80%
0,500
pH 1., T: 90℃
II Kadar abu = 26,7900 −26,7670 x 100% = 4,60%
0,500

Rerata = 4,70%

I 36,5599 −36,5290
Kadar abu = x 100% = 6,10%
0,500
pH 1,5., T:80℃
II Kadar abu = 38,0632 −38,0320 x 100% = 6,20%
0,500

Rerata = 6,15%

I 23,9698 −23,9570
Kadar abu = x 100% = 4,20%
0,300
pH 1,5., T:90℃
II Kadar abu = 25,5948 −25,5817 x 100% = 4,30%
0,500

Rerata = 4,25%
64

I 25,1978 −25,1742
Kadar abu = x 100% = 7,87%
0,300
pH 2., T: 80℃
II Kadar abu = 25,2037 −25,1798 x 100% = 7,97%
0,300

Rerata = 7,92%

I 26,2916 −26,2674
Kadar abu = x 100% = 8,07%
0,300
pH 2., T: 90℃
II Kadar abu = 38,8633 −38,8392 x 100% = 8,03%
0,300

Rerata = 8,05%

4. Berat Ekivalen
1. Perhitungan pembakuan NaOH 0,0874 N menggunakan larutan
baku standard asam oksalat 0,03 N.
- Normalitas larutan asam oksalat: 0,03 N
- Volume larutan asam oksalat: 10 mL
- Volume NaOH yang terpakai
V1= 3,4 mL., V2= 3,4 mL., V3= 3,5 mL., Rerata= 3,43 mL
Sehingga, Vasam oksalat x Nasam oksalat = VNaOH x NNaOH
10 mL x 0,03 N = 3,43 mL x NNaOH
10 mL x 0,03 N
NNaOH = 3,43 mL

NNaOH = 0,0874 N
2. Volume NaOH yang terpakai pada titrasi penentuan Berat Ekivalen
Vol NaOH (mL)
Kondisi Ulangan Rerata
I II III
pH 1., T: 80℃ 0,5 0,5 0,5 0,5
pH 1., T: 90℃ 0,7 0,7 0,7 0,7
pH 1,5., T: 80℃ 0,4 0,3 0,3 0,33
pH 1,5., T: 90℃ 0,4 0,4 0,5 0,43
pH 2., T: 80℃ 0,3 0,3 0,3 0,3
pH 2., T: 90℃ 0,4 0,3 0,2 0,3
65

𝐛𝐨𝐛𝐨𝐭 𝐩𝐞𝐤𝐭𝐢𝐧 (𝐦𝐠) sampel: 250 mg


BE= 𝐕𝐨𝐥 𝐍𝐚𝐎𝐇 𝐱 𝐍 𝐍𝐚𝐎𝐇

3. Perhitungan Berat Ekivalen


 pH 1., T: 80℃
251 ,6 𝑚𝑔
BE = 0,5 𝑚𝐿 𝑥 0,0874 𝑁 = 5757,44

 pH 1., T: 90℃
250 ,5 𝑚𝑔
BE = 0,7 𝑚𝐿 𝑥 0,0874 𝑁 = 4094,47

 pH 1,5., T: 80℃
250 𝑚𝑔
BE = 0,33 𝑚𝐿 𝑥 0,0874 𝑁 = 8667,91

 pH 1,5., T: 90℃
250 𝑚𝑔
BE = 0,43 𝑚𝐿 𝑥 0,0874 𝑁 = 6652,12

 pH 2., T: 80℃
250 𝑚𝑔
BE = 0,3 𝑚𝐿 𝑥 0,0874 𝑁 = 9534,71

 pH 2., T: 90℃
250 𝑚𝑔
BE = 0,3 𝑚𝐿 𝑥 0,0874 𝑁 = 9534,71

5. Kadar Metoksil
1. Volume NaOH yang terpakai dalam titrasi untuk penentuan kadar
metoksil
Volume NaOH (mL)
Kondisi Ulangan Rerata
I II III
pH 1., T: 80℃ 2,5 2,4 2,45 2,45
pH 1., T: 90℃ 2,5 2,5 2,5 2,5
pH 1,5., T: 80℃ 1,0 0,9 1,1 1,0
pH 1,5., T: 90℃ 1,1 0,9 0,8 0,93
pH 2., T: 80℃ 1,0 0,9 1,4 1,1
pH 2., T: 90℃ 1,3 1,0 1,3 1,2
66

𝐦𝐋 𝐍𝐚𝐎𝐇 𝐱 𝟑𝟏 𝐱 𝐍 𝐍𝐚𝐎𝐇 𝐱 𝟏𝟎𝟎


% Metoksil = 𝐛𝐨𝐛𝐨𝐭 𝐬𝐚𝐦𝐩𝐞𝐥 (𝐦𝐠)

2. Perhitungan
 pH 1., T: 80℃
2,45 𝑥 31 𝑥 0,0874 𝑥 100
% Metoksil = = 2,64%
251 ,6

 pH 1., T: 90℃
2,5 𝑥 31 𝑥 0,0874 𝑥 100
% Metoksil = = 2,70%
250 ,5

 pH 1,5., T: 80℃
1,0 𝑥 31 𝑥 0,0874 𝑥 100
% Metoksil = = 1,08%
250

 pH 1,5., T: 90℃
0,93 𝑥 31 𝑥 0,0874 𝑥 100
% Metoksil = = 1,01%
250

 pH 2., T: 80℃
1,1 𝑥 31 𝑥 0,0874 𝑥 100
% Metoksil = = 1,19%
250

 pH 2., T: 90℃
1,2 𝑥 31 𝑥 0,0874 𝑥 100
% Metoksil = = 1,30%
250

6. Kadar Asam Galakturonat


% Galakturonat = (𝐦𝐞𝐪 𝐝𝐚𝐫𝐢 𝐍𝐚𝐎𝐇 𝐮𝐧𝐭𝐮𝐤 𝐚𝐬𝐚𝐦 𝐛𝐞𝐛𝐚𝐬 + 𝐦𝐞𝐪 𝐝𝐚𝐫𝐢 𝐍𝐚𝐎𝐇 𝐮𝐧𝐭𝐮𝐤 𝐦𝐞𝐭𝐨𝐤𝐬𝐢𝐥) 𝐱 𝟏𝟕𝟔 𝐱 𝟏𝟎𝟎
𝐛𝐨𝐛𝐨𝐭 𝐬𝐚𝐦𝐩𝐞𝐥 (𝐦𝐠)

1. Perhitungan miliequivalen (mEq) dari NaOH untuk asam bebas pada


penentuan berat ekivalen:
Volume NaOH yang terpakai pada titrasi = 0,5 ml, Normalitas NaOH=
0,0874
Mg NaOH yang terpakai adalah =
𝑔𝑟𝑎𝑚 1000
N= x
𝑀𝑟 𝑚𝑙
𝑔𝑟𝑎𝑚 1000
0,0874 = x
40 0,5
0,0874 𝑥 40 𝑥 0,5
gram = 1000

gram = 1,748 x 10-3


mg NaOH = 1,748
67

1. Perhitungan berat ion


𝑚𝑔 𝑁𝑎𝑂𝐻 𝑥 𝐴𝑟 𝑁𝑎
- Na+ =
𝑀𝑟 𝑁𝑎𝑂𝐻
1,748 𝑥 23
= 40

= 1,0051 mg
1,748 𝑥 16
- O2- = 40

= 0,6992 mg
1,748 𝑥 1
- H+ = 40

= 0,0437 mg
2. Perhitungan mEq
𝑚𝑔 𝑁𝑎 𝑥 𝑣𝑎𝑙𝑒𝑛𝑠𝑖 𝑁𝑎
- Na+ = 𝐴𝑟 𝑁𝑎
1,0051 𝑥 1
= 23

= 0,0437
0.6992 𝑥 2
- O2- = 16

= 0,0874
0,0437 𝑥 1
- H+ = 1

= 0,0437
- mEq NaOH = mEq Na+ + mEq O2- + mEq H+
= 0,0437 + 0,0874 + 0,0437
= 0,1748
2. Perhitungan miliequivalen dari NaOH untuk metoksil
Volume NaOH yang terpakai pada titrasi = 2,45 ml, Normalitas NaOH=
0,0874
Mg NaOH yang terpakai adalah =
𝑔𝑟𝑎𝑚 1000
N= x
𝑀𝑟 𝑚𝑙
𝑔𝑟𝑎𝑚 1000
0,0874 = x 2,45
40
0,0874 𝑥 40 𝑥 2,45
gram = 1000

gram = 8,5652 x 10-3


mg NaOH = 8,5652
68

1. Perhitungan berat ion


𝑚𝑔 𝑁𝑎𝑂𝐻 𝑥 𝐴𝑟 𝑁𝑎
- Na+ =
𝑀𝑟 𝑁𝑎𝑂𝐻
8,5652 𝑥 23
= 40

= 4,92499 mg
8,5652 𝑥 16
- O2- = 40

= 3,42608 mg
8,5652 𝑥 1
- H+ = 40

= 0,21413 mg
2. Perhitungan mEq
𝑚𝑔 𝑁𝑎 𝑥 𝑣𝑎𝑙𝑒𝑛𝑠𝑖 𝑁𝑎
- Na+ = 𝐴𝑟 𝑁𝑎
4,92499 𝑥 1
= 23

= 0,21413
3,42608 𝑥 2
- O2- = 16

= 0,42826
0,21413 𝑥 1
- H+ = 1

= 0,21413
- mEq NaOH = mEq Na+ + mEq O2- + mEq H+
= 0,21413 + 0,42826 + 0,21413
= 0,85652
meq dari NaOH untuk asam meq dari NaOH untuk
bebas pada penentuan Berat metoksil
Ekivalen
pH 1., T: 80℃ 0,1748 0,8565
pH 1., T: 90℃ 0,2447 0,8740
pH 1,5., T: 80℃ 0,1154 0,3496
pH 1,5., T: 90℃ 0,1503 0,3251
pH 2., T: 80℃ 0,1049 0,3846
pH 2., T: 90℃ 0,1049 0,4195

Perhitungan
 pH 1., T: 80℃
0,1748 +0,8565 𝑥 176 𝑥 100
% Galakturonat = 251 ,6
= 72,14%
69

 pH 1., T: 90℃
0,2447 +0,8740 𝑥 176 𝑥 100
% Galakturonat = = 78,60%
250 ,5

 pH 1,5., T: 80℃
0,1154 +0,3496 𝑥 176 𝑥 100
% Galakturonat = = 32,74%
250

 pH 1,5., T: 90℃
0,1503 +0,3251 𝑥 176 𝑥 100
% Galakturonat = = 33,47%
250

 pH 2., T: 80℃
0,1049 +0,3846 𝑥 176 𝑥 100
% Galakturonat = = 34,46%
250

 pH 2., T: 90℃
0,1049 +0,4195 𝑥 176 𝑥 100
% Galakturonat = = 36,92%
250

7. Derajat Esterifikasi

𝟏𝟕𝟔 𝐱 % 𝐌𝐞𝐭𝐨𝐤𝐬𝐢𝐥 𝐱 𝟏𝟎𝟎


%DE = = 𝟑𝟏 𝐱 % 𝐠𝐚𝐥𝐚𝐤𝐭𝐮𝐫𝐨𝐧𝐚𝐭

Perhitungan :
 pH 1., T: 80℃
176 𝑥 2,64 𝑥 100
DE = = 20,78%
31 𝑥 72,14

 pH 1., T: 90℃
176 𝑥 2,70 𝑥 100
DE = = 19,50%
31 𝑥 78,60

 pH 1,5., T: 80℃
176 𝑥 1,08 𝑥 100
DE = = 18,73%
31 𝑥 32,74

 pH 1,5., T: 90℃
176 𝑥 1,01 𝑥 100
DE = = 17,13%
31 𝑥 33,47

 pH 2., T: 80℃
176 𝑥 1,19 𝑥 100
DE = = 19,61%
31 𝑥 34,46

 pH 2., T: 90℃
176 𝑥 1,30 𝑥 100
DE = = 20,00%
31 𝑥 36,92
70

Lampiran 3
Hasil Spektrum FTIR Pektin Standard, Komersial dan Hasil Ekstraksi

1. Spektrum FTIR pektin standard


71

2. Spektrum FTIR pektin komersial


72

3. Spektrum FTIR pektin hasil ekstraksi


73

Lampiran 4
Proses Ekstraksi dan Alat-Alat yang Digunakan

1. Proses Ekstraksi

Bahan baku limbah kulit Serbuk kering kulit Ekstraksi


pisang kepok pisang kepok

Penyaringan filtrat Pengendapan pektin Pencucian endapan pektin

Penyaringan endapan Endapan pektin basah Endapan pektin kering


pektin

Penggerusan pektin Pektin


74

2. Alat-alat yang digunakan

Oven Timbangan analitik


Corong+labu Buchner

Krus silikat Desikator Botol timbang

pH meter
Buret

Anda mungkin juga menyukai