Anda di halaman 1dari 113

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

UJI EFEK ANTIHIPERGLIKEMIK EKSTRAK


ETANOL 70% BIJI RAMBUTAN (Nephelium lappaceum
L.) PADA TIKUS PUTIH JANTAN DENGAN METODE
INDUKSI ALOKSAN

SKRIPSI

FIKA HILMIYATU DURRY


NIM. 1112102000070

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
JAKARTA
2016
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

UJI EFEK ANTIHIPERGLIKEMIK EKSTRAK


ETANOL 70% BIJI RAMBUTAN (Nephelium lappaceum
L.) PADA TIKUS PUTIH JANTAN DENGAN METODE
INDUKSI ALOKSAN

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi

FIKA HILMIYATU DURRY


NIM. 1112102000070

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN


PROGRAM STUDI FARMASI
JAKARTA
2016

ii
iii
iv
v
ABSTRAK

Nama : Fika Hilmiyatu Durry


Program Studi : Farmasi
Judul : Uji Efek Antihiperglikemik Ekstrak Etanol 70% Biji Rambutan
(Nephelium lappaceum L.) pada Tikus Putih Jantan dengan
Metode Induksi Aloksan

Rambutan (Nephelium lappaceum L.) merupakan salah satu tanaman yang banyak
ditemui di Indonesia, di mana bijinya digunakan secara tradisional oleh
masyarakat untuk menurunkan kadar glukosa darah. Penelitian ini dilakukan
untuk mengetahui pengaruh ekstrak etanol 70% biji rambutan tehadap penurunan
kadar glukosa darah dan perubahan histologi pankreas tikus diinduksi aloksan,
serta terhadap penghambatan aktivitas enzim α glukosidase. Pada uji dengan
metode induksi aloksan, tikus dibagi menjadi enam kelompok yaitu kontrol
normal, kontrol positif, kontrol negatif, dan tiga kelompok uji diberi ekstrak dosis
80; 160; dan 320 mg/kgBB. Perlakuan dilakukan selama 21 hari, dimulai 7 hari
setelah induksi aloksan dosis 150 mg/kgBB secara intraperitoneal. Pengukuran
kadar glukosa darah puasa (GDP) dilakukan pada waktu sebelum induksi, hari ke-
0, 7, 14, dan 21 perlakuan. Pada hari ke-21 setelah pengukuran GDP, satu tikus
dari tiap kelompok diambil organ pankreasnya untuk diamati secara histologi.
Parameter pengamatan histologi yaitu penghitungan jumlah sel pulau langerhans
pankreas. Untuk uji penghambatan enzim α glukosidase, tikus dibagi dalam tiga
kelompok yaitu kontrol positif, kontrol negatif, dan kelompok ekstrak dosis 320
mg/kg BB. Pengukuran kadar glukosa darah dilakukan pada menit ke-0, 30, 60,
90, dan 120 setelah pemberian sukrosa. Hasil penelitian menunjukkan persentase
penurunan kadar GDP pada dosis ekstrak 80; 160; dan 320 mg/kgBB yaitu
42,10%, 48,83%, 57,36% sedangkan pada kontrol positif yaitu 63,96%. Pada
pengamatan histologi, tikus kelompok ekstrak 320 mg/kgBB memiliki jumlah sel
pada langerhans pankreas yang hampir sama dengan kelompok kontrol positif.
Pada uji penghambatan enzim α glukosidase, ekstrak dosis 320 mg/kgBB terbukti
mampu menghambat peningkatan kadar glukosa darah postprandial tikus dengan
lebih cepat dibandingkan dengan kelompok kontrol positif. Penelitian ini
membuktikan bahwa ekstrak etanol biji rambutan memiliki efek antihiperglikemia
dan berpotensi dalam pengobatan diabetes.

Kata Kunci : Antihiperglikemia, aloksan, biji rambutan, histologi, α


glukosidase, Nephelium lappaceum L.

vi
ABSTRACT

Name : Fika Hilmiyatu Durry


Major : Pharmacy
Title :Antihyperglycemic Activity of 70% Ethanolic Extract of
Rambutan Seed (Nephelium lappaceum L.) in Alloxan Induced
White Male Rats

Rambutan (Nephelium lappaceum L.) is one of the local plant from Indonesia that
its seed used traditionally to decrease blood glucose level. This study aim to know
the affect of 70% ethanolic extract of rambutan seed in lowering blood glucose
level and pancreatic histology of alloxan induced rats and α glucosidase enzyme
blocking activity. For alloxan induced method, 30 rats divided into six groups,
normal control, positive control, negative control, and test groups were treated
with extract in three different dose:80, 160, and 320 mg/kg BB. Before treatment,
rats were induced by alloxan at a dose of 150 mg/kgBB, intraperitoneally. After 7
days of induction, rats were treated orally for 21 days. Blood glucose
measurement performed before induction, day 0, 7, 14, and 21 after treatment. At
21st day treatment after measuring blood glucose level, one rat from each groups
were sacrificed and the pancreas was taken to be observed histologically.
Histology observation parameter was to calculate the cell in rat’s pancreas islet. In
α glucosidase enzyme blocking activity test, rats divided into three groups,
positive control, negative control, test group treated with extraxt at dose 320
mg/kgBB. Blood glucose level then measured at 0 30, 60, 90, and 120 minutes
after sucrose treatment. Result showed that extract ethanol of rambutan seed can
control blood glucose level. Percentage of decreasing blood glucose level of
glybenclamide and extract treatment at doses 80, 160, and 320 mg/kgBB are
63.96%, 42.10%, 48.83%, and 57.36% respectively. As the result of histological
study, rat which treated with extract at dose 320 mg/kg BB has similar amount of
islet cell with positive control group. In α glucosidase enzyme blocking activity
test, the result shows that extract at dose 320 mg/kgBB can inhibit the rising of
postprandial blood glucose level faster than positive control. This study proved
that 70% ethanolic extract of rambutan seed has antihyperglycamic effect and
potential as diabetic treatment.

Keyword : Antihyperglycemic, alloxan, rambutan seed, histology, α


glucosidase, Nephelium lappaceum L.

vii
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirobbil’alamin, segala puji bagi Allah SWT atas segala


nikmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan
penulisan skripsi. Serta shalawat dan salam untuk baginda Nabi Muhammad SAW
yang telah membawa petunjuk bagi seluruh umat manusia, semoga kelak kita
mendapatkan syafaat beliau. Skripsi ini berjudul “Uji Efek Antihiperglikemik
Ekstrak Etanol 70% Biji Rambutan (Nephelium lappaceum L.) pada Tikus Putih
Jantan dengan Metode Induksi Aloksan” yang telah diajukan sebagai persyaratan
untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi Program Studi Farmasi FKIK UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
Dalam proses penelitian dan penyusunan skripsi ini penulis menyadari
bahwa penulisan skripsi ini tidak akan terselesaikan tanpa bantuan dari berbagai
pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini perkenankan penulis menyampaikan
rasa terimakasih kepada:
1. Bapak Yardi, Ph.D., Apt dan Bapak Drs. Ahmad Musir, M. Sc., Apt.
selaku pembimbing yang memiliki andil besar dalam proses penelitian
dan penyelesaian skripsi ini.
2. Bapak Prof. Dr. Arief Sumantri, M. Kes selaku dekan Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Ibu Dr. Nurmeilis, M. Si., Apt selaku Ketua Program Studi Farmasi
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Bapak dan ibu dosen Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan
Ilmu Kesehatan atas ilmu yang telah diberikan kepada penulis.
5. Para staf karyawan dan laboran Program Studi Farmasi yang telah
banyak membantu selama berlangsungnya penelitian ini.
6. Bapak H. Khariri Machmud dan Ibu Nanik Nikmatus Sa’diyah yang
selalu menjadi orang tua terhebat yang telah berjuang keras
membantu, mendo’akan dan mendukung penulis dengan sepenuh hati.
Serta kakak Mayli Faroh Nabila yang selalu memberikan doa dan
semangat.
7. Sahabat seperjuangan selama kuliah, geng 99 Ummi Habibah, Santi
Susilawati, dan Addina Syahida. Terima kasih atas semua kebaikan,

viii
perhatian, semangat, bantuan, dan do’a selama masa perkuliahan dan
penelitian.
8. Teman seperjuangan penelitian Farmakologi 2012 terima kasih atas
segala bantuan dan semangat selama penelitian berlangsung.
9. Teman-teman Farmasi 2012, terkhusus untuk Farmasi AC yang
banyak membantu penulis selama masa perkuliahan.
10. Umi Kulsum, Afra, Noni, Endang, Niha (Farmasi 2012), dan Irma
(Hubungan Internasional 2012). Terima kasih atas segala bantuan
selama penelitian berlangsung.
11. Teman-teman Reenable JJBB yang tiada henti memberikan doa,
semangat, dan hiburan selama kepada penulis.
12. Serta kepada seluruh pihak yang telah membantu penulis selama
penyusunan skripsi ini yang namanya tidak dapat disebutkan satu
persatu.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih memiliki banyak
kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, dengan segala
kerendahan hati penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun
demi kesempurnaan skripsi ini.
Penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat dan dapat memberikan
sumbangan pengetahuan khususnya di Program Studi Farmasi Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta dan pembaca pada umumnya.

Ciputat, Desember 2016

Penulis

ix
x
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN SAMPUL ......................................................................................................i


HALAMAN JUDUL ....................................................................................................... ii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ............... Error! Bookmark not defined.
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ................ Error! Bookmark not defined.
HALAMAN PENGESAHAN ............................................. Error! Bookmark not defined.
ABSTRAK .......................................................................................................................vi
ABSTRACT .................................................................................................................... vii
KATA PENGANTAR .................................................................................................. viii
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ...... Error! Bookmark not
defined.
DAFTAR ISI ...................................................................................................................xi
DAFTAR GAMBAR .................................................................................................... xiii
DAFTAR TABEL .........................................................................................................xiv
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................................. xv

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................1


1.1. Latar belakang .............................................................................................1
1.2. Rumusan masalah........................................................................................3
1.3. Hipotesa ......................................................................................................3
1.4. Tujuan Penelitian ........................................................................................3
1.5. Manfaat Penelitian ......................................................................................3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................................4


2.1. Rambutan ....................................................................................................4
2.1.1. Klasifikasi Tanaman .................................................................... 4
2.1.2. Nama lain ..................................................................................... 4
2.1.3. Morfologi ..................................................................................... 5
2.1.4. Persebaran .................................................................................... 5
2.1.5. Kandungan Kimia ........................................................................ 5
2.1.6. Penggunaan .................................................................................. 6
2.1.7. Literatur Review .......................................................................... 6
2.2. Hewan coba .................................................................................................9
2.3. Ekstrak dan Ekstraksi ................................................................................ 10
2.3.1. Ekstrak ....................................................................................... 10
2.3.2. Ekstraksi .................................................................................... 10
2.3.3. Ekstraksi dengan menggunakan pelarut ..................................... 11
2.4. Diabetes Mellitus ...................................................................................... 13
2.4.1. Definisi ...................................................................................... 13
2.4.2. Klasifikasi .................................................................................. 13
2.4.3. Etiologi dan Patofisiologi ........................................................... 14
2.4.4. Faktor risiko ............................................................................... 16
2.4.5. Gejala ......................................................................................... 16
2.4.6. Diagnosa .................................................................................... 17

xi
2.4.7. Tatalaksana ................................................................................ 17
2.5. Peranan Pankreas dalam mengatur Metabolisme Glukosa ........................ 20
2.6. Aloksan ..................................................................................................... 21
2.7. Glibenklamid ............................................................................................. 22
2.9. Metode Pengujian Diabetes ....................................................................... 24
2.9.1. Metode Induksi oleh Bahan Kimia ............................................. 24
2.9.2. Metode Toleransi Glukosa ......................................................... 24
2.10. Metode Pengukuran Kadar Glukosa Darah ............................................... 24
2.10.1. Metode Oksidasi Reduksi .......................................................... 24
2.10.2. Metode Kondensasi .................................................................... 25
2.10.3. Metode Enzimatik ...................................................................... 25
2.11. Glukometer ............................................................................................... 25

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ..................................................................... 28


3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ................................................................... 28
3.2. Alat dan Bahan .......................................................................................... 28
3.2.1. Alat ............................................................................................ 28
3.2.2. Bahan ......................................................................................... 28
3.3. Prosedur Kerja ........................................................................................... 29
3.3.1. Penyiapan Ekstrak Etanol 70% Biji Rambutan .......................... 29
3.3.2. Penapisan Fitokimia ................................................................... 30
3.3.3. Pengujian Parameter Spesifik Ekstrak ........................................ 31
3.3.4. Pengujian Parameter Non Spesifik Ekstrak ................................ 31
3.3.5. Uji Antihiperglikemik ................................................................ 32

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................................ 39


4.1. Determinasi Tanaman ............................................................................... 39
4.2. Penyiapan Sampel ..................................................................................... 39
4.3. Ekstraksi Biji Rambutan ............................................................................ 39
4.4. Penapisan Fitokimia .................................................................................. 40
4.5. Parameter Spesifik dan Non Spesifik Ekstrak ........................................... 42
4.6. Uji Efek Antihiperglikemik ....................................................................... 43
4.6.1. Metode Induksi Aloksan ............................................................ 43
4.6.2. Uji Aktivitas Penghambatan Enzim α Glukosidase .................... 49
4.6.2. Pengamatan Histologi Pankreas ................................................. 51

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN.......................................................................... 55


5.1. Kesimpulan ............................................................................................... 55
5.2. Saran ......................................................................................................... 55

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................... 56


LAMPIRAN 61

xii
DAFTAR GAMBAR

Halaman
Gambar 2.1. Buah Rambutan Parakan .............................................................................4
Gambar 2.2. Struktur Aloksan .......................................................................................21
Gambar 2.3. Struktur Glibenklamid ...............................................................................22
Gambar 2.4. Struktur akarbosa ......................................................................................23
Gambar 2.5. Strip glukometer ........................................................................................26
Gambar 4.1. Gambaran Histologi Pankreas Tikus Uji ...................................................52

xiii
DAFTAR TABEL

Halaman
Tabel 2.1. Kriteria Diagnosa Diabetes Mellitus ............................................................17
Tabel 3.1. Kelompok Perlakuan Hewan Uji .................................................................32
Tabel 3.2. Kelompok Perlakuan Uji Toleransi Glukosa Oral ........................................33
Tabel 4.1. Hasil Penapisan Fitokimia Ekstrak Etanol 70% ...........................................40
Tabel 4.2. Parameter Spesifik dan Non Spesifik Ekstrak Etanol 70% Biji Rambutan ..42
Tabel 4.3. Kadar glukosa darah pada uji pendahuluan ..................................................44
Tabel 4.4. Nilai Rerata dan Standar Deviasi Kadar Glukosa Darah Tikus ....................46
Tabel 4.5. Persentase Penurunan Kadar Glukosa Darah Tikus .....................................46
Tabel 4.6. Rata-Rata dan Standar Deviasi Kadar Glukosa Darah .................................50
Tabel 4.7. Jumlah Sel Pulau Langerhans Pankreas Tikus Uji .......................................53

xiv
DAFTAR LAMPIRAN

Halaman
Lampiran 1. Determinasi Biji Rambutan .......................................................................62
Lampiran 2. Surat Keterangan Kesehatan Hewan .........................................................63
Lampiran 3. Surat CoA Aloksan ...................................................................................64
Lampiran 4. Alur Pembuatan Ekstrak ............................................................................65
Lampiran 5. Alur Aklimatisasi Hewan ..........................................................................66
Lampiran 6. Alur Kerja Uji Induksi Aloksan ................................................................67
Lampiran 7. Alur Kerja Uji Toleransi Glukosa .............................................................68
Lampiran 8. Perhitungan Dosis .....................................................................................69
Lampiran 9. Penapisan Fitokimia Ekstrak .....................................................................72
Lampiran 10. Gambar Kegiatan Penelitian ......................................................................74
Lampiran 11. Perhitungan Rendemen, Kadar Air, dan Kadar Abu Ekstrak .....................75
Lampiran 12 Kadar Glukosa Darah Tikus Uji Pendahuluan ...........................................76
Lampiran 13. Kadar Glukosa Darah Tikus Uji Induksi Aloksan .....................................77
Lampiran 14. Kadar Glukosa Uji Penghambatan Aktivitas Enzim α Glukosidase ..........78
Lampiran 15. Persentase Penurunan Kadar Glukosa Darah Uji Induksi Aloksan ............79
Lampiran 16. Analisis Kadar Glukosa Darah Uji Induksi Aloksan .................................80
Lampiran 17. Analisis Kadar Glukosa Darah Uji Aktivitas Penghambatan Enzim α
Glukosidase ...............................................................................................87
Lampiran 18. Foto Hasil Pengukuran Kadar Glukosa Darah Tikus Uji Induksi Aloksan 91
Lampiran 19. Foto Hasil Pengukuran Kadar Glukosa Darah Tikus Uji Aktivitas
Penghambatan Enzim α Glukosidase ........................................................96

xv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang


Diabetes mellitus (DM) merupakan kondisi gangguan metabolik yang
ditandai dengan tingginya kadar glukosa di dalam darah (hiperglikemia) dan
beresiko menyebabkan kerusakan mikrovasular seperti retinopati, nefropati, dan
neuropati (WHO, 2006). Tingginya kadar glukosa darah pada pasien diabetes
berkaitan dengan adanya gangguan metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein
(DiPiro, 2005). Diabetes merupakan penyakit kronis yang disebabkan oleh
penurunan sekresi insulin oleh sel β pankreas atau disebabkan oleh resistensi
insulin sehingga tubuh tidak dapat menggunakan insulin yang telah dihasilkan
secara efektif.
Diabetes dan komplikasinya merupakan penyebab kematian utama di
banyak negara di dunia, terutama pada negara-negara berkembang. Berdasarkan
International Diabetes Federation (IDF) Diabetes Atlas, pada tahun 2015 satu di
antara 11 orang dewasa di dunia menderita diabetes dan diperkirakan pada tahun
2040 akan menjadi satu di antara 10 orang dewasa. Di antara penderita diabetes
ini IDF memperkirakan sebanyak 193 juta di antaranya atau bisa dikatakan salah
satu di antara dua orang yang terkena diabetes, merupakan penderita diabetes
yang tidak terdiagnosa sehingga resiko komplikasi akan lebih besar. Pada tahun
2015 diabetes gestasi terjadi pada satu diantara tujuh kelahiran dan sebanyak
542.000 anak menderita diabetes tipe 1.
Di Indonesia, besar angka kejadian diabetes yang terdiagnosa berdasarkan
laporan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 yaitu sebesar 1,5%.
Menurut WHO hingga tahun 2014 angka kejadian diabetes di Indonesia mencapai
7 % (WHO, 2016). Dan pada tahun 2015 berdasarkan IDF Diabetes Atlas, jumlah
penderita diabetes di Indonesia yaitu sebanyak 6,2% atau sekitar 15 juta orang.
Dengan sekitar 5,2 juta orang di antaranya merupakan pasien diabetes yang tidak
terdiagnosa.
.

1 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


2

Kadar gula darah yang tinggi dapat merusak sistem organ dalam tubuh
serta menyebabkan serangan jantung, stroke, gagal ginjal, kebutaan, impotensi
dan infeksi yang dapat menyebabkan amputasi. Dampak diabetes tersebut dapat
diminimalkan jika kadar gula darah dikontrol dengan baik. Pasien diabetes tipe 1
bisa menghindari komplikasi jika menjaga kadar gula darah dengan ketat (WHO,
2015).
Pengontrolan kadar gula darah dapat dilakukan dengan penggunaan insulin
serta mengonsumsi obat antidiabetes oral (Depkes RI, 2005). Kadar gula darah
juga dapat dikontrol menggunakan obat herbal (Hosseini, 2015), dibuktikan
dengan berbagai penelitian terkait manfaat fitoterapi terhadap manajemen diabetes
(Ghorbani, 2013). Di Indonesia yang memiliki keanekaragaman hayati yang
begitu luas, memiliki potensi yang sangat besar untuk mengembangkan fitoterapi
sebagai obat antidiabetes. Rambutan (Nephelium lappaceum L.) yang banyak
ditemui di Indonesia, juga telah menarik peneliti untuk mengeksplorasi aktivitas
terapeutik dari tanaman ini, termasuk sebagai antihiperglikemik.
Penelitian yang dilakukan oleh Afika (2015) membuktikan bahwa
pemberian ekstrak etanol biji rambutan selama 7 hari dapat menurunkan kadar
gula darah puasa mencit model diabet, dengan dosis optimal yaitu 23,4 mg/kgBB.
Pada penelitian yang dilakukan Syifa (2008) menunjukkan bahwa pemberian
ekstrak etanol biji rambutan dosis 50, 100, dan 200 mg/kgBB selama 7 hari
memiliki kemampuan yang sama dengan glibenklamid dalam menurunkan kadar
gula darah puasa tikus jantan yang diinduksi aloksan. Penelitian yang dilakukan
oleh Rahayu (2013) menyatakan bahwa pada mencit yang diberikan air seduhan
biji rambutan dalam dosis tinggi (3,12 g/kgBB), jumlah sel β pankreas yang hidup
hampir sama dengan jumlah sel β yang hidup jika diberikan glibenklamid 0,65
mg/kgBB.`
Berdasarkan dari penelitian yang sebelumnya sudah pernah dilakukan,
maka pada penelitian ini akan dilakukan penelitian lanjutan uji efek antidiabetes
dari ekstrak etanol 70% biji rambutan. Pada penelitian ini peneliti akan menguji
pengaruh ekstrak etanol 70% biji rambutan terhadap penurunan kadar glukosa
darah dan perubahan histologi pankreas tikus yang diinduksi aloksan setelah
pemberian ekstrak selama 21 hari. Selain itu peneliti juga melakukan pengamatan

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


3

pengaruh ekstrak etanol 70% biji rambutan terhadap penghambatan enzim α


glukosidase.

1.2. Rumusan masalah


Apakah pemberian ekstrak etanol 70% biji rambutan memiliki efek
tehadap penurunan kadar glukosa darah tikus dan perubahan histologi pankreas
tikus yang diinduksi aloksan serta terhadap penghambatan aktivitas enzim α
glukosidase?

1.3. Hipotesa
Ekstrak etanol 70% biji rambutan memiliki efek tehadap penurunan kadar
glukosa darah tikus dan perubahan histologi pankreas tikus yang diinduksi
aloksan serta terhadap penghambatan aktivitas enzim α glukosidase.

1.4. Tujuan Penelitian


Untuk mengetahui pengaruh ekstrak etanol 70% biji rambutan tehadap
penurunan kadar glukosa darah tikus dan perubahan histologi pankreas tikus yang
diinduksi aloksan serta terhadap penghambatan aktivitas enzim α glukosidase.

1.5. Manfaat Penelitian


a. Secara Teoritis
Hasil penelitian ini dapat mengembangkan ilmu pengetahuan tentang
ekstrak biji rambutan yang digunakan sebagai antihiperglikemia.
b. Secara Aplikatif
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi sebagai landasan
ilmiah untuk mengembangkan obat tradisional terutama sebagai
antihiperglikemia.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Rambutan
2.1.1. Klasifikasi Tanaman
Berdasarkan ilmu taksonomi, klasifikasi rambutan parakan adalah
sebagai berikut (ITIS):
Kingdom : Plantae
Subkingdom : Viridiplantae
Divisi : Tracheophyta
Subdivisi : Spermatophytina
Kelas : Magnoliopsida
Ordo : Sapindales
Suku : Sapindaceae
Marga : Nephelium L.
Gambar 2.1. Buah Rambutan Parakan
Jenis : Nephelium lappaceum L. Sumber: Dokumen pribadi
Varietas : Parakan

2.1.2. Nama lain


(Dalimartha, 2003) Di Indonesia rambutan dikenal dengan berbagai
nama, antara lain:
Sumatera : Rambutan, rambot, rambut, rambuteun, rambuta, jailan, folui,
bairabit, puru biancak, puru biawak, hahujam, kakapas, likis,
takujung alu
Jawa : Rambutan, corogol, tundun, bunglon, buwa buluwan
Kalimantan : Rambutan, siban, banamon, beriti, sanggalaong, sagalong, beliti,
maliti, kayokan, bengayau, puson
Sulawesi : Rambutan, rambuta, rambusa, barangkasa, bolangkat, balatu,
balatung, walatu, wayatu, wulangas, lelamu, lelamun, toleang
Maluku : Rambutan, rambuta
Rambutan juga dikenal dengan beberapa bahasa asing dengan nama Shao
tzu (China), rambutan (Bahasa Tagalog), dan ramustan (bahasa Spanyol).

4 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


5

2.1.3. Morfologi
Rambutan merupakan tumbuhan tropis yang tumbuh pada iklim lembab
dengan curah hujan tahunan paling sedikit 2.000 mm. Pohon rambutan mampu
tumbuh hingga ketinggian 15-25 m dan mempunyai banyak cabang. Terdapat
beberapa jenis buah rambutan, anatara lain ropiah, parakan, simacan, sinyonya,
lebakbulus, dan binjei (Dalimartha, 2003).
Rambutan parakan memiliki daunnya bulat cuspidate berujung lancip
serta bertangkai pendek. Daun berwarna hijau tua dengan panjang 14-16 cm dan
lebar 4-5 cm. Bunga rambutan parakan berbentuk bulat kuning dengan warna
kekuningan (Departemen Pertanian, 2003). Rambutan berbunga pada akhir musim
kemarau dan berbuah pada musim hujan yaitu antara bulan November-Februari.
(Dalimartha, 2003). Buah rambutan parakan memiliki bentuk lonjong dengan
warna buah masak yaitu merah kehitaman serta rambut buah berwarna merah dan
kaku. Daging buah berwarna putih kekuningan mudah terkelupas dari bijinya
yang berbentuk lonjong. Rasanya manis dan tidak banyak mengandung banyak air
(Departemen Pertanian, 2003).

2.1.4. Persebaran
Rambutan merupakan tanaman asli Malaysia dan Indonesia. Tanaman ini
banyak ditanam di Asia Tenggara sejak lama. Hingga kini tanaman rambutan juga
ditanam di India, Sri Lanka, dataran rendah di Amerika Selatan, Australia utara,
Papua Nugini, kepulauan Pasifik dan Hawaii (Lim, 2012)

2.1.5. Kandungan Kimia


Kulit batang rambutan mengandung tanin, saponin, flavonoid, dan zat
besi. Daun rambutan mengandung tanin dan saponin. Buah rambutan
mengandung karbohidrat, protein, lemak, fosfor, besi, kalsium, dan vitamin C
(Dalimartha, 2003). Kulit buahnya mengandung tanin, dengan senyawa yang
memiliki konsentrasi terbesar yaitu geraniin (Thitilertdecha, 2010).
Terdapat beberapa penelitian yang telah melakukan penapisan fitokimia
ekstrak biji rambutan, antara lain pada penelitian yang dilakukan oleh Elya (2015)
yang menunjukkan bahwa biji rambutan mengandung alkaloid, flavonoid, dan
glikosida. Uji kandungan metabolit sekunder biji rambutan pada penelitian oleh

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


6

Yuda (2015) menunjukkan hasil positif terhadap senyawa fenol, flavonoid, dan
tannin. Dan pada penelitian oleh Soeng (2015) menunjukkan bahwa ekstrak etanol
biji rambutan mengandung triterpenoid, terpenoid, alkaloid, dan fenol.

2.1.6. Penggunaan
Bagian tanaman yang digunakan yaitu kulit buah, kulit kayu, daun, biji,
dan akarnya. Kulit buah rambutan digunakan sebagai terapi disentri dan demam.
Kulit kayu sebagai terapi sariawan, daunnya digunakan sebagai terapi diare dan
untuk menghitamkan rambut, akarnya digunakan sebagai terapi demam.
Sedangkan biji rambutan digunakan pada terapi diabetes melitus (Dalimartha,
2003)

2.1.7. Literatur Review


Berikut merupakan beberapa penelitian yang telah dilakukan tentang efek
antihiperglikemik biji rambutan.
2.1.7.1. Efek Ekstrak Etanol Biji Rambutan (Nephelium Lappaceum L.)
dalam Menurunkan Kadar Glukosa Darah Puasa Mencit Model
Diabet (Afika, 2015)
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui efek ekstrak etanol biji
rambutan terhadap kadar glukosa darah puasa (GDP) mencit yang diinduksi
aloksan. Uji dilakukan terhadap 25 ekor mencit jantan galur Swiss Webster, yang
dibagi ke dalam lima kelompok. Kelompok I sebagai kontrol negatif, kelompok II
diberi glibenklamid 0,65 mg/kgBB. Kelompok III IV, dan V sebagai kelompok
uji, diberikan ekstrak etanol biji rambutan dengan dosis berturut-turut sebesar 11,7
mg/kgBB, 23,4 mg/kgBB, dan 46,8 mg/kgBB.
Perlakuan diberikan secara peroral selama 7 hari, dengan sebelumnya
mencit telah diinduksi dengan aloksan dengan dosis 3,36 mg/kg BB. Pengukuran
kadar glukosa darah dilakukan sebelum induksi, 3 hari setelah induksi, dan setelah
7 hari perlakuan. Hasil yang didapat menunjukkan bahwa ekstrak etanol biji
rambutan terbukti menurunkan kadar glukosa darah secara signifikan, dengan
rata-rata penurunan GDP pada kelompok II, III, IV, V berturut-turut adalah 55
mg/dL, 24,9 mg/dL, 38,2 mg/dL, dan 37,4 mg/dL. Sehingga disimpulkan bahwa

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


7

ekstrak etanol biji rambutan dapat menurunkan kadar GDP dengan dosis optimal
23,4 mg/kgBB.

2.1.7.2. Potensi Ekstrak Etanol Biji Rambutan (Nephelium lappaceum L.)


sebagai Penurun Kadar Glukosa Darah pada Tikus Jantan yang
Diinduksi Aloksan (Syifa, 2008)
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui potensi ekstrak etanol biji
rambutan sebagai penurun kadar glukosa darah puasa pada tikus Sprague Dawley
jantan yang telah diinduksi aloksan. Parameter yang diukur yaitu kadar glukosa
darah puasa yang ditetapkan dengan metode Glucose Oxidative-Phenyl
Aminoantipirin (GOD-PAP). Hewan uji dibagi menjadi 6 kelompok, yaitu
kelompok I (kontrol normal), kelompok II (kontrol positif), kelompok III (kontrol
negatif), kelompok IV, V, dan VI (perlakuan variasi dosis ekstrak). Ekstrak etanol
biji rambutan didapat dengan metode ekstraksi perkolasi, diberikan pada tikus
selama 7 hari melalui per oral dengan dosis 50, 100, dan 200 mg/kg BB dimulai
48 jam setelah induksi dengan aloksan (dosis 125 mg/kg melalui subkutan).
Hasil analisa Paired Samples T-Test (p<0,05) menunjukkan adanya
pengaruh induksi aloksan terhadap kenaikan kadar GDP. Persentase penurunan
kadar GDP setelah pemberian ekstrak biji rambutan dosis 50, 100 dan 200 mg/kg
berturut-turut yaitu 48,114%; 47,747 %; dan 49,882 %. Analisa One Way ANOVA
(p>0,05) yang dilanjutkan dengan uji Tukey menunjukkan ketiga dosis ekstrak
etanol biji rambutan ini memiliki kemampuan yang sama dengan glibenklamid
dalam menurunkan kadar GDP tikus jantan yang diinduksi aloksan. Analisa
correlative bivariate (p>0,01) menunjukkan adanya korelasi yang searah antara
peningkatan dosis ekstrak dengan presentase penurunan kadar GDP tikus.

2.1.7.3. Pengaruh Air Seduhan Biji Rambutan (Nephelium lappaceum L.)


terhadap Glukosa Darah dan Histologi Pankreas Mencit yang
diinduksi Aloksan (Rahayu, 2013)
Penelitian ini dilakukan untuk menguji efek seduhan biji rambutan
terhadap penurunan kadar glukosa darah dan berat badan mencit. Uji dilakukan
terhadap 30 ekor mencit yang terbagi menjadi 6 kelompok. Kelompok I sebagai
kelompok normal, kelompok II sebagai kontrol negatif, kelompok III sebagai

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


8

kontrok positif, kelompok IV, V, dan VI sebagai kelompok uji yang diberi infusa
biji rambutan dengan dosis masing-masing sebesar 1,56 g/kgBB, 2,34 g/kgBB,
dan 3,12 g/kgBB.
Perlakuan diberikan selama 16 hari, setelah mencit dinyatakan diabetes
akibat pemberian aloksan dosis 250 mg/kgBB. Gula darah puasa diperiksa setiap
4 hari yaitu pada hari ke 1, 4, 8, 12, dan 16 menggunakan glukometer. Dilakukan
pula pengukuran berat badan tikus setiap 2 hari sekali.
Hasil yang didapat menunjukkan bahwa air seduhan biji rambutan dapat
menurunkan kadar gula darah serta berat badan mencit secara signifikan.
Pemeriksaan histologi pankreas mencit dilakukan terhadap kelompok perlakuan
dan menunjukkan bahwa pada mencit yang diberikan air seduhan biji rambutan
dalam dosis tinggi (3,12 g/kgBB), jumlah sel β pankreas yang hidup hampir sama
dengan jumlah sel β yang hidup jika diberikan glibenklamid. Sehingga
disimpulkan bahwa khasiat air seduhan biji rambutan dosis 3,12 gram/kg BB tidak
berbeda secara signifikan dengan glibenklamid 0,65 mg/kg BB.

2.1.7.4. Kandungan Metabolit Sekunder dan Efek Penurunan Glukosa Darah


Ekstrak Biji Rambutan (Nephelium lappaceum L.) pada Mencit (Mus
musculus) (Yuda, 2015)
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui kandungan metabolit
sekunder, aktivitas, dan dosis efektif ekstrak biji rambutan terhadap penurunan
kadar glukosa darah mencit. Pembuatan ekstrak dilakukan dengan metode
maserasi menggunakan pelarut metanol. Ekstrak yang telah didapat diuji
kandungan metabolit sekundernya menggunakan reaksi warna serta dilakukan uji
aktivitas penurunan kadar glukosa darah hewan uji.
Uji dilakukan terhadap 20 ekor mencit jantan yang dibagi dalam 4
kelompok uji. Dosis yang digunakan pada penelitian ini yaitu sebesar 0,05 mg/20
g BB, 0,09 mg/20 g BB, dan 0,18 mg/20 g BB. Sebelum diberikan ekstrak, semua
hewan coba diberi aloksan secara intraperitonial dengan dosis sebesar 150 mg/Kg
BB mencit. Setelah diberikan aloksan, kemudian dilanjutkan dengan uji toleransi
glukosa oral. Pemberian toleransi glukosa secara oral ini tujuannya agar hewan uji
mengalami diabetes. Pemberian toleransi glukosa dilakukan selama 3 hari

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


9

berturut-turut dengan volume pemberian 0,5 mL. Mencit yang digunakan pada
penelitian ini yaitu mencit dengan kadar gula darah lebih dari 200 mg/dL.
Pemberian ekstrak dimulai setelah mencit dinyatakan mengalami
hiperglikemia. Pengukuran kadar glukosa darah dilakukan pada hari ke-0, 4, dan 8
menggunakan alat glukometer. Data yang didapat dianalisa menggunakan uji
statistik ANAVA satu arah, dilanjutkan dengan uji Beda Nyata Jujur Duncan
(BNJD).
Berdasarkan hasil pengujian kandungan metabolit sekunder, diketahui
bahwa ekstrak mengandung senyawa fenol, flavonoid, dan tannin. Berdasarkan
pengujian kadar glukosa darah, ekstrak biji rambutan terbukti memiliki aktivitas
penurunan kadar glukosa darah. Hasil analisa ANAVA satu arah dan dilanjutkan
dengan uji lanjutan BNJD menunjukan bahwa dosis 0,09 mg/ 20 g BB
merupakan dosis efektif sebagai penurunan kadar glukosa darah.

2.2. Hewan coba


Pada penelitian ini digunakan hewan coba tikus putih galur sprague
dawley. Berdasarkan taksonomi, klasifikasi tikus galur sprague dawley yaitu
sebagai berikut (ITIS):
Kingdom : Animalia
Subkingdom : Bilateria
Filum : Chordata
Subfilum : Vertebrata
Kelas : Mammalia
Subkelas : Theria
Ordo : Rodentia
Subordo : Myomorpha
Famili : Muridae
Subfamili : Murinae
Genus : Rattus
Species : Rattus norvegicus
Galur : Sprague Dawley

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


10

Tikus jenis ini memiliki panjang hingga 400 mm, dengan bobot
bervariasi antara 140 hingga 500 g (Armitage, 2004). Tikus galur sprague dawley
memiliki bulu putih, dengan bentuk kepala yang sempit dan panjang. Tikus ini
memiliki laju reproduksi yang tinggi serta kejadian tumor spontan juga rendah.
Penanganan tikus mudah dan cenderung tenang sehingga sering digunakan
sebagai hewan coba di laboratorium (Johnson, 2012). Tikus juga terbukti sensitif
terhadap induksi dengan aloksan yang bermanfaat pada uji efek antihiperglikemik
(Tyrberg, 2001).

2.3. Ekstrak dan Ekstraksi


2.3.1. Ekstrak
Menurut Farmakope Indonesia edisi 4, ekstrak adalah sediaan kental
yang diperoleh dengan mengekstraksi senyawa aktif dari simplisia nabati atau
hewani dengan menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir
semua pelarut diuapkan dan massa yang tersisa diperlakukan sedemikian hingga
memenuhi standar yang telah ditetapkan.
2.3.2. Ekstraksi
Ekstraksi adalah proses penarikan kandungan kimia dengan pelarut cair
sehingga akan terpisah dari bahan-bahan yang tidak larut (Depkes RI, 2000).
Ekstraksi merupakan proses pemisahan bahan dari campurannya dengan
menggunakan pelarut yang sesuai (Mukhriani, 2014). Pelarut dan metode
ekstraksi harus disesuaikan dengan struktur kimia senyawa yang dikandung
simplisia, yang nantinya akan mempengaruhi kelarutan serta stabilitas terhadap
pemanasan, udara, cahaya, logam berat, dan derajat keasaman (Depkes RI, 2000).
Faktor utama untuk pertimbangan dalam pemilihan cairan penyari antara
lain selektivitas, kemudahan bekerja dan proses menggunakan cairan tersebut,
ekonomis, ramah lingkungan, serta keamanan cairan penyari. Cairan pelarut harus
memenuhi syarat kefarmasian atau disebut juga pharmaceutical grade (Depkes
RI, 2000).
Cairan pelarut yang digunakan disesuaikan untuk penyarian selektif atau
total. Pada ekstraksi selektif, simplisia diekstraksi menggunakan pelarut dengan
polaritas yang sesuai. Pelarut non polar untuk menyari senyawa lipofilik, pelarut

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


11

dengan kepolaran sedang menyari senyawa dengan kepolaran sedang, dan pelarut
polar menyari senyawa yang lebih polar. Ekstraksi selektif juga bisa dilakukan
menggunakan pelarut dengan polaritas bertingkat. Ekstraksi total dilakukan
bertujuan untuk menyari senyawa metabolit sekunder sebanyak mungkin dengan
memanfaatkan kemampuan pelarut alkohol meningkatkan permeabilitas dinding
sel, sehingga dapat menyari senyawa dengan kepolaran tinggi, sedang, maupun
rendah. Ekstraksi total dilakukan menggunakan cairan pelarut organik polar,
misalnya etanol, metanol, atau campuran alkohol-air (Sarker (ed), 2006).
2.3.3. Ekstraksi dengan menggunakan pelarut
Berdasarkan suhu selama proses ekstraksi, metode ekstraksi
menggunakan pelarut dapat dibedakan menjadi cara panas dan cara dingin.
1. Cara dingin
a. Maserasi
Maserasi dilakukan dengan cara bahan tanaman yang akan diekstraksi
diletakkan dalam wadah tertutup dan ditambahkan dengan pelarut yang sesuai
(Handa, 2008). Proses pengekstraksian simplisia dilakukan pada suhu kamar,
dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan (Depkes RI, 2000). Maserasi
dilakukan dalam waktu minimal 3 hari, setelah itu cairan dipisahan dari bahan
padat melalui proses filtrasi sehingga didapat maserat (Handa, 2008). Maserat
dipekatkan dengan cara diuapkan pelarutnya hingga didapat ekstrak kental.
Kemudian dilakukan remaserasi yang berarti dilakukan pengulangan maserasi
setelah dilakukan penyaringan maserat pertama, dan seterusnya (Depkes RI,
2000).
Pada metode maserasi, ekstraksi berlangsung secara lambat melalui
proses difusi. Pengocokan atau pengadukan yang dilakukan bertujuan untuk
menggantikan cairan jenuh yang berada di sekitar permukaan partikel bahan
tanaman dengan pelarut yang belum jenuh. Ekstraksi dilakukan pada wadah
tertutup untuk mencegah penguapan pelarut (Handa, 2008).
b. Perkolasi
Perkolasi adalah ekstraksi yang dilakukan pada suhu ruang, dengan
pelarut yang selalu baru sampai semua senyawa kimia terekstrak sempurna.
(Depkes RI, 2000). Pada ekstraksi dengan cara perkolasi, mula-mula simplisia

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


12

direndam dengan pelarut dan di atasnya juga ditambahkan dengan pelarut.


Kemudian pelarut akan mengalir melewati simplisia dan menetes melalui bagian
bawah percolator. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam ekstraksi dengan
perkolasi antara lain kepadatan simplisia yang diletakkan dalam perkolator serta
laju alir pelarut dalam perkolator. Simplisia yang terlalu padat dalam perkolator
akan sulit dialiri oleh pelarut sehingga ekstraksi tidak berjalan maksimal
sedangkan laju alir akan menentukan waktu kontak antara simplisia dan pelarut
(Sarker (ed), 2006).
2. Cara panas
a. Refluks
Refluks adalah proses pengekstraksian simplisia dengan menggunakan
pelarut pada titik didihnya selama waktu tertentu. Jumlah pelarut yang digunakan
pada proses ekstraksi dengan refluks relatif konstan karena adanya pendingin
balik (Depkes RI, 2000).
b. Soxhlet
Soxhlet adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru, dengan
jumlah pelarut yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik (Depkes RI,
2000). Keuntungan ekstraksi dengan sokletasi yaitu adanya proses yang kontinu,
sehingga sokletasi cenderung hemat waktu dan hemat pelarut dibanding maserasi
maupun perkolasi (Sarker (ed), 2006).
c. Digesti
Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu) pada
temperatur di atas suhu ruang, biasanya pada suhu 40-500C (Depkes RI, 2000).
d. Infus
Infus adalah ekstraksi dengan pelarut air dengan temperatur dan waktu
tertentu (15-20 menit). Bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih, di
mana temperatur terukur 96-980C (Depkes RI, 2000). Kelemahan metode ini yaitu
mudah terkontaminasi dengan jamur dan bakteri (Handa, 2008).
e. Dekok
Dekok adalah infus pada waktu yang lebih lama, yaitu ≥ 30 menit dan
temperatur sampai titik didih air (Depkes RI, 2000).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


13

2.4. Diabetes Mellitus


2.4.1. Definisi
Diabetes mellitus (DM) merupakan gangguan metabolisme kronis yang
ditandai dengan peningkatan kadar glukosa darah di atas nilai normal. Diabetes
disebabkan oleh penurunan sekresi insulin atau penurunan sensitivitas insulin,
atau keduanya, sehingga menyebabkan ketidaknormalan pada metabolisme
karbohidrat, lemak, dan protein. Kondisi ini dapat menyebabkan komplikasi
kronis pada mikrovaskular, makrovaskular, serta neuropati (Sukandar, 2009).

2.4.2. Klasifikasi
Diabetes mellitus dapat dibedakan berdasarkan etiologinya yaitu diabetes
tipe 1, diabetes tipe 2, diabetes gestasi, serta diabetes tipe lain.
1. Diabetes Tipe 1
Diabetes tipe ini disebabkan oleh kerusakan sel β pankreas akibat reaksi
autoimun sehingga terjadi defisiensi insulin secara absolut. Reaksi autoimun
umumnya terjadi setelah waktu yang panjang (9-13 tahun) dan ditandai dengan
adanya parameter sistem imun. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya
autoimun ini masih belum diketahui (Sukandar, 2009). Diabetes tipe 1
populasinya sangat sedikit, yaitu sekitar kurang dari 5-10% dari semua populasi
diabetes (Depkes RI, 2005).
2. Diabetes Tipe 2
DM tipe dua ditandai dengan adanya resistensi insulin dan defisiensi
insulin relatif. Tanda resistensi insulin yaitu adanya peningkatan lipolisis dan
produksi asam lemak bebas, peningkatan produksi glukosa hepatik, serta
penurunan pengambilan glukosa pada otot skelet. DM tipe dua merupakan jenis
diabetes yang lebih umum terjadi dibanding diabetes tipe 1, yaitu terjadi pada 90-
95% dari semua kasus diabetes dan lebih disebabkan oleh gaya hidup penderita
seperti kurang olahraga, kelebihan kalori, dan obesitas (Sukandar, 2009).
3. Diabetes Gestasi
Merupakan intoleransi glukosa yang terjadi saat kehamilan. Diabetes
gestasi dapat terjadi 7% dari semua kehamilan. Terapi diabetes gestasi perlu
dilakukan untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas perinatal (DiPiro, 2005).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


14

4. Diabetes Tipe Lain


Diabetes tipe lain merupakan diabetes yang tejadi dikarenakan defek
genetik fungsi sel β pankreas, defek genetik kerja insulin, penyakit eksokrin
pankreas, endokrinopati, diabetes karena obat atau zat kimia, serta diabetes karena
infeksi (Sukandar, 2009).

2.4.3. Etiologi dan Patofisiologi


1. Diabetes Mellitus Tipe 1
Penderita diabetes tipe 1 mengalami gangguan produksi insulin yang
disebabkan adanya kerusakan pada sel yang mensekresikan insulin, yaitu sel β
pankreas. Hal ini disebabkan adanya reaksi autoimun yang bisa dipicu oleh faktor
lingkungan, misalnya karena paparan virus dan toksin pada individu yang rentan
secara genetik. Destruksi yang disebabkan autoimun pada sel β pankreas akan
mengakibatkan penurunan sekresi insulin (Koda-Kimble (ed), 2009). Penurunan
kadar insulin inilah yang menyebabkan gangguan metabolisme pada diabetes tipe
1. Diabetes tipe 1 dihubungkan dengan beberapa jenis antibodi, yaitu Islet Cell
Cytoplasmic Antibodies (ICCA), Islet Cell Surface Antibodies (ICSA), dan
antibodi terhadap Glutamic Acid Decarboxylase (GAD) (Depkes RI, 2005).
ICCA merupakan antibodi yang cukup akurat untuk mengenali pasien
diabetes tipe 1. Hampir 90% pasien DM tipe 1 di dalam darahnya terdapat ICCA,
dimana pada tubuh non diabetik frekuensi adanya ICCA hanya 0,5-4% saja. ICCA
tidak spesifik dikenali oleh sel β saja pada pulau langerhans, tetapi juga dapat
dikenali oleh sel lain, yaitu sel α dan sel δ pulau langerhans pada pankreas.
Namun, serangan autoimun secara selektif hanya menghancurkan sel-sel β
(Depkes RI, 2005).
ICSA atau antibodi terhadap antigen permukaan sel ditemukan pada 80%
penderita DM tipe 1 serta pada beberapa penderita DM tipe 2. Antibodi terhadap
enzim GAD ditemukan pada 80% pasien yang baru didiagnosis positif menderita
diabetes tipe 1. Adanya antibodi anti-GAD ini merupakan prediktor untuk DM
tipe 1, khususnya pada populasi yang berisiko tinggi (Depkes RI, 2005).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


15

Sel β pankreas normal mampu mensekresikan insulin jauh melebihi


jumlah yang dibutuhkan untuk mengontrol metabolisme karbohidrat, lemak, dan
protein. Inilah mengapa pada mulanya pasien DM tipe 1 tidak merasakan gejala
meskipun sel β pankreas mulai mengalami kerusakan. Efek hiperglikemia baru
terlihat saat sel β pankreas telah berkurang sebanyak 80-90%. Reaksi autoimun ini
biasanya mulai berkembang pada masa anak-anak atau pada awal masa dewasa.
Dalam waktu kurang dari 8-10 tahun kerusakan telah terjadi pada seluruh sel β
pankreas sehingga menyebabkan defisiensi insulin absolut (Koda-Kimble (ed),
2009).
2. Diabetes Mellitus Tipe 2
Etiologi diabetes tipe 2 merupakan multifaktor yang masih belum
sepenuhnya jelas. Faktor genetik dan pengaruh lingkungan berperan penting
dalam menyebabkan terjadinya penyakit diabetes tipe 2. Pasien diabetes tipe 2
memiliki kemungkinan adanya riwayat keluarga menderita diabetes yang lebih
tinggi dibanding pasien diabetes tipe 1. Faktor lingkungan yang berkontribusi
dalam perkembangan resistensi insulin antara lain obesitas, diet tinggi lemak dan
rendah serat, serta gaya hidup (Depkes RI, 2005).
Pada awalnya patofisiologis diabetes tipe 2 ditandai bukan disebabkan
oleh kurangnya sekresi insulin, tetapi karena kurangnya respon pada sel-sel
sasaran insulin, atau disebut juga sebagai resistensi insulin. Resistensi insulin ini
disebabkan antara lain oleh obesitas, gaya hidup kurang gerak dan penuaan
(Depkes RI, 2005). Resistensi insulin akan menyebabkan gangguan ambilan
glukosa ke dalam jaringan dan produksi glukosa hepatik akan meningkat sehingga
akan menyebabkan akumulasi glukosa berlebih pada sirkulasi darah (Koda-
Kimble (ed), 2009).
Pada diabetes tipe 2, selain terjadi resistensi insulin, juga terdapat
gangguan sekresi insulin. Pada awal perkembangan diabetes tipe 2, sel β pankreas
mengalami gangguan pada sekresi insulin yang seharusnya terjadi segera setelah
kadar glukosa darah meningkat. Apabila tidak ditangani dengan baik, maka akan
terjadi kerusakan sel β pankreas secara progresif dan akan menyebabkan
defisiensi insulin (Depkes RI, 2005).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


16

3. Diabetes Mellitus Gestasional


Diabetes Mellitus Gestasional merupakan keadaan diabetes atau
intoleransi glukosa yang timbul selama masa kehamilan. Sekitar 4-5% wanita
hamil diketahui menderita DM gestasi, dan umumnya terdeteksi pada atau setelah
trimester kedua. Keadaan ini biasanya hanya berlangsung sementara atau
temporer dan umumnya dapat pulih sendiri beberapa saat setelah melahirkan.
Namun, dampak yang ditimbulkan buruk bagi bayi yang dikandung. Akibat buruk
yang dapat terjadi antara lain malformasi kongenital, peningkatan berat badan
bayi ketika lahir dan meningkatnya risiko mortalitas perinatal. Selain itu, ibu yang
pernah menderita DM gestasi akan lebih besar risikonya untuk menderita diabetes
lagi di masa depan (Depkes RI, 2005).

2.4.4. Faktor risiko


Orang yang patut waspada jika memiliki faktor risiko diabetes, antara
lain (Depkes RI, 2005):
1. Memiliki riwayat diabetes dalam keluarga; riwayat diabetes gestasional;
pernah melahirkan bayi dengan berat > 4 kg; kista ovarium; serta riwayat
glukosa darah terganggu dan toleransi glukosa terganggu.
2. Obesitas, dengan berat badan >120% berat badan ideal
3. Umur >65 tahun
4. Memiliki riwayat penyakit hipertensi
5. Memiliki riwayat penyakit hiperlipidemia, dengan kadar HDL <35 mg/dl dan
kadar lipid darah >250mg/dl
6. Kurang olahraga dan pola makan rendah serat

2.4.5. Gejala
Diabetes biasanya tanpa gejala. Tetapi terdapat beberapa gejala yang
harus diwaspadai sebagai isyarat kemungkinan diabetes. Gejala yang biasanya
dirasakan antara lain sering buang air kecil (poliuria), sering merasa haus
(polidipsia), dan sering merasa lapar (polifagia). Sering pula muncul keluhan
penglihatan kabur, koordinasi gerak anggota tubuh terganggu, kesemutan pada
tangan dan kaki, timbul gatal yang mengganggu (pruritus), dan berat badan
menurun tanpa sebab yang jelas (Depkes RI, 2005).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


17

Pada diabetes tipe 1, penderita biasanya memiliki tubuh yang kurus.


Diabetes tipe ini biasanya akan berkembang menjadi diabetes ketoasidosis, karena
insulin pasien sangat rendah disertai dengan meningkatnya hormon glukagon.
Sebanyak 20-40% pasien mengalami diabetes ketoasidosis setelah mengalami
gejala seperti poliuria terutama pada malam hari, polidipsia, polifagia, dan
kehilangan berat badan (DiPiro, 2005).
Pasien diabetes tipe 2 biasanya asimptomatik. Pasien diketahui menderita
diabetes setelah muncul komplikasi yang mengindikasikan bahwa pasien telah
menderita diabetes selama bertahun-tahun. Pasien umumnya terdeteksi adanya
letargi, poliuria, nokturia, polidipsia, dan jarang terdapat penurunan berat badan
yang signifikan (DiPiro, 2005). Penderita DM Tipe 2 umumnya lebih mudah
terkena infeksi, sukar sembuh dari luka, daya penglihatan makin buruk, dan
umumnya menderita hipertensi, hiperlipidemia, obesitas, serta komplikasi pada
pembuluh darah dan syaraf (Depkes RI, 2005).

2.4.6. Diagnosa
Berdasarkan American College of Clinical Pharmacy (2013), parameter
diagnosa diabetes mellitus tipe 1 dan 2 untuk pasien yang tidak sedang hamil
yaitu:

Tabel 2.1. Kriteria Diagnosa Diabetes Mellitus


Parameter Nilai
Gula darah puasa > 126 mg/dL
Gula darah sewaktu ≥ 200 mg/dL disertai adanya gejala
hiperglikemia
Gula darah 2 jam setelah makan ≥ 200 mg/dL
Glycated Haemoglobin (HbA1c) ≥ 6,5 %

2.4.7. Tatalaksana (Depkes RI, 2005)


2.4.7.1. Terapi non farmakologi
a. Pengaturan Diet
Diet yang baik berperan dalam keberhasilan penatalaksanaan
diabetes. Penderita diabetes dianjurkan makan dengan komposisi
seimbang sesuai kecukupan gizi yang baik, yaitu karbohidrat 60-70%,
protein 10-15%, dan lemak 20-25%. Asupan kalori disesuaikan dengan

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


18

pertumbuhan, status gizi, umur, stres akut dan kegiatan fisik untuk dapat
mencapai dan mempertahankan berat badan ideal. Penurunan berat badan
telah terbukti dapat mengurangi resistensi insulin serta memperbaiki
respon sel β terhadap stimulus glukosa.
Selain jumlah kalori, jenis bahan makanan yang dikonsumsi juga
perlu diperhatikan. Asupan kolesterol tidak lebih dari 300 mg, dengan
sumber yang berasal dari bahan nabati karena mengandung lebih banyak
asam lemak tak jenuh dibanding asam lemak jenuh. Masukan serat
minimal 25 g per hari, karena dapat membantu mengatasi rasa lapar yang
biasa dirasakan pasien DM tanpa khawatir masukan kalori berlebih.
b. Olah Raga
Olahraga dapat memperbanyak jumlah serta meningkatkan
aktivitas reseptor insulin dalam tubuh, juga akan meningkatkan
penggunaan glukosa. Olahraga yang disarankan bagi penderita diabetes
yaitu bersifat CRIPE (Continuous, Rhytmical, Interval, Progressive,
Endurance Training). Zona sasaran olah raga yang dilakukan yaitu 75-
85% denyut nadi maksimal (220-umur), yang disesuaikan pula dengan
kemampuan dan kondisi penderita. Olah raga yang disarankan antara lain
jalan atau lari pagi, bersepeda, berenang, dan lainnya yang dilakukan
selama total 30-40 menit per hari diawali pemanasan 5-10 menit dan
diakhiri pendinginan selama 5-10 menit.

2.4.6.2. Terapi Farmakologi


a. Terapi Insulin
Terapi insulin wajib diberikan pada penderita diabetes tipe 1.
Pada diabetes tipe 1, sel β kelenjar pankreas penderita rusak, sehingga
tidak bisa lagi memproduksi insulin. Sehingga penderita harus mendapat
insulin eksogen untuk membantu proses metabolisme dalam tubuh. Pada
penderita diabetes tipe 2, sebagian besar tidak memerlukan terapi insulin
di samping terapi hipoglikemik oral.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


19

b. Terapi Obat Hipoglikemik Oral


 Golongan Sulfonilurea
Obat golongan sulfonilurea merupakan obat pilihan untuk pasien
diabetes dewasa baru dengan berat badan normal atau kurang serta
pernah mengalami ketoasidosis sebelumnya. Obat golongan ini
merangsang sekresi insulin oleh kelenjar pankreas, sehingga hanya akan
efektif jika sel β pankreas masih dapat berproduksi. Obat sulfonilurea
sebaiknya tidak diberikan pada penderita gangguan hati, ginjal, dan
tiroid. Yang termasuk golongan sulfonilurea antara lain glibenklamid,
glipizida, glikazida, glimepirida, dan glikuidon.
 Golongan Meglitinida dan Turunan Fenilalanin
Obat golongan ini merupakan obat baru yang cara kerjanya mirip
golongan sulfonilurea, yaitu dengan meningkatkan sintesis dan sekresi
insulin oleh kelenjar pankreas. Umumnya obat golongan meglitinida dan
turunan fenilalanin ini dipakai dalam bentuk kombinasi dengan obat
antidiabetik oral lainnya. Adapun yang termasuk golongan ini yaitu
repaglinida dan nateglinida.
 Golongan Biguanida
Obat golongan biguanida bekerja bukan dengan merangsang
sekresi insulin, tetapi langsung pada hati yaitu dengan menurunkan
produksi glukosa hati. Biguanida hampir tidak pernah menyebabkan
hipoglikemia. Satu-satunya senyawa biguanida yang masih dipakai saat
ini adalah metformin.
 Golongan Tiazolidindion (TZD)
Golongan tiazolidindion bekerja dengan menurunkan resistensi
insulin dan menurunkan kecepatan glikoneogenesis. Tiazolidindion
meningkatkan kepekaan sel tubuh terhadap insulin, yaitu dengan cara
berikatan dengan peroxisome proliferator activated receptor-gama
(PPARγ) di otot, jaringan lemak dan hati. Adapun yang termasuk
golongan tiazolidindion yaitu rosiglitazine dan pioglitazone.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


20

 Golongan Inhibitor α-Glukosidase


Senyawa inhibitor α-glukosidase bekerja menghambat enzim alfa
glukosidase yang terdapat pada dinding usus halus. Enzim ini berfungsi
untuk menghidrolisis oligosakarida pada dinding usus halus. Senyawa
inibitor α-glukosidase juga menghambat enzim α-amilase pankreas yang
bekerja menghidrolisa polisakarida di lumen usus alus. Obat ini efektif
bagi pasien dengan diet tinggi karbohidrat dan kadar glukosa plasma
puasa kurang dari 180 mg/dL. Adapun yang termasuk golongan inhibitor
α-glukosidase yaitu akarbosa dan miglitol.

2.5. Peranan Pankreas dalam mengatur Metabolisme Glukosa


Pankreas manusia tersusun atas dua bagian, yaitu bagian eksokrin yang
berperan pada pencernaan dan bagian endokrin yang beperan dalam sekresi
hormon. Kelenjar endokrin terdiri dari kumpulan sel, yaitu pulau langerhans, yang
menjaga keseimbangan nutrisi dalam darah dan sel depo. Inti pulau langerhans
terdiri dari sel β (65-90%) yang mensekresikan insulin, dan permukaannya
tersusun atas sel α (15-20%) yang mensekresikan glukagon, sel δ (3-10%) yang
mensekresikan somatostatin, dan sel PP (1%) yang memproduksi polipeptida
(Skelin, 2010).
Insulin dan glukagon merupakan dua hormon yang bekerja bersama
untuk menjaga kadar gula darah tetap dalam rentang normal. Glukosa yang
bersirkulasi dalam darah dapat berasal dari makanan yang diserap melalui usus
halus, proses glikogenolisis (pemecahan glikogen menjadi glukosa), dan proses
glukoneogenesis (pembentukan glukosa dari sumber non karbohidrat) (Aronoff,
2004). Sekresi insulin akan meningkat jika kadar glukosa darah meningkat.
Adanya insulin akan menurunkan kadar glukosa dalam darah, dengan cara
meningkatkan ambilan glukosa ke dalam otot, jaringan adiposa dan jaringan lain
dalam tubuh, serta menstimulasi hati untuk menyimpan glukosa dalam bentuk
glikogen (Bowen, 2002).
Glukagon memiliki efek yang berlawanan dengan insulin, yaitu akan
meningkatan kadar glukosa darah. Sekresi glukagon dari sel α pankreas
dirangsang oleh rendahnya kadar glukosa plasma, serta oleh glukokortikoid dan

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


21

katekolamin. Pelepasan glukagon dihambat oleh insulin, somatostatin, dan


glukosa. Setelah disekresi, glukagon akan merangsang pemecahan glikogen yang
disimpan di hati dan merangsang proses glukoneogenesis hepatik sehingga kadar
glukosa darah akan meningkat (Bowen, 2002)

2.6. Aloksan

Gambar 2.2. Struktur Aloksan


(Sumber : https://pubchem.ncbi.nlm.nih.gov/compound/Alloxan#section=ChemicaloI)_-Vendors)

Rumus molekul : C4H2N2O4


Bobot molekul : 142,07 gr/mol
Penyimpanan : Simpan aloksan dalam wadah tertutup rapat dan dalam tempat
dengan aliran udara yang baik. Jangan simpan di atas suhu 80 C
atau 46,40 F (National Center for Biotechnology Information,
nd).
Aloksan merupakan turunan urea yang bersifat hidrofilik dan tidak stabil.
Aloksan biasa digunakan untuk menginduksi diabetes pada hewan model diabetes
seperti kelinci, tikus, mencit, dan anjing. Pada hewan coba, aloksan menginduksi
respon keseimbangan kadar glukosa dalam darah sehingga juga akan
mempengaruhi konsentrasi plasma darah yang diikuti dengan perubahan struktur
pada sel β pankreas dan menimbulkan kematian sel (Rohilla, 2012). Tingkat
keparahan penyakit diabetes yang ditimbulkan aloksan bisa diatur dengan
memvariasiakan dosis aloksan yang diberikan pada hewan coba (Etuk, 2010).
Dosis yang biasa digunakan untuk menginduksi diabetes pada tikus yaitu
65 mg/kgBB diberikan secara intravena (Gruppuso, 1990). Jika diberikan secara
intaperitoneal atau subkutan dosis yang diberikan 2-3 kali lebih besar (Szkudelski,
2001). Aloksan dosis tunggal yang diberikan pada semua jenis hewan coba, yaitu
sebanyak 140-180 mg/kgBB (dosis yang biasa digunakan 150 mg/kgBB),

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


22

diencerkan dengan aquades 5% b/v dan diberikan melalui vena marginalis kelinci
atau secara intraperitoneal pada mencit atau tikus (Etuk, 2010).
Aloksan memiliki bentuk yang mirip dengan glukosa sehingga akan
diambil secara selektif dan terakumulasi pada sel β pankreas. Kesamaan bentuk
ini memungkinkan aloksan ditransport ke dalam sitosol dengan bantuan
transporter glukosa (GLUT2) menuju membran plasma sel β. Aloksan kemudian
mengalami reaksi reduksi-oksidasi yang menghasilkan produk yang sitotoksik dan
akhirnya akan menyebabkan nekrosis secara selektif pada sel β pankreas. Aloksan
juga dapat mengganggu keseimbangan kadar ion Ca2+ intrasel yang juga
berkontribusi dalam menyebabkan kerusakan sel β pada pulau langerhans. Efek
biologis lain yang juga disebabkan oleh aloksan yaitu dapat menghambat secara
selektif sekresi insulin yang dirangsang oleh glukosa melalui penghambatan
terhadap enzim glukokinase. Penghambatan glukokinase dapat mengurangi
oksidasi glukosa dan pembentukan ATP yang akhirnya dapat menekan sekresi
insulin. (Rohilla, 2012).

2.7. Glibenklamid

Gambar 2.3. Struktur Glibenklamid


(Sumber: Martindale: The Complete Drug Reference 36th edition p. 440)

Nama lain : Glibenclamida, glyburide, glybenclamidum, glibenklamidas


Rumus molekul : C23H28ClN3O5S
Bobot molekul : 494,0 g/mol
Pemerian : Serbuk kristal putih atau hampir putih
Kelarutan : Praktis tidak larut dalam air, agak sukar larut dalam alkohol,
sukar larut dalam diklorometan
Dosis : Dosis inisiasi 2,5-5 mg per hari

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


23

Farmakokinetik : Glibenklamid mudah diabsorpsi pada saluran gastrointestinal,


dengan konsentrasi maksimum biasanya tercapai kurang dari
2-4 jam. Absorpsi dapat diperlambat pada kondisi pasien
hiperglikemik dan dapat berbeda tergantung ukuran partikel
sediaan yang digunakan. Glibenklamid dimetabolisme
hampir seluruhnya di liver. Sebanyak 50% obat diekskresi
melalui urin sementara 50% lainnya melalui empedu dan
dikeluarkan bersama feses (Sweetman, 2009).

2.8. Akarbosa

Gambar 2.4. Struktur akarbosa


(Sumber: Martindale: The Complete Drug Reference 36th edition p. 436)

Nama lain : Acarbosum, akarbosi, akarbos.


Rumus molekul : C25H43NO18
Bobot molekul : 645,6 g/mol
Pemerian : Serbuk higroskopis, amorf, berwarna putih atau kekuningan.
Kelarutan : Sangat larut dalam air, larut dalam metil alkohol, praktis tidak
larut dalam diklorometan.
Dosis : Dosis inisiasi 25-50 mg per hari, kemudian dinaikkan
bertahap hingga 25-50 mg tiga kali sehari.
Farmakokinetik : Di saluran cerna, sebagian besar akarbosa tetap dalam bentuk
aktifnya sehingga bisa menimbulkan efek farmakologis di
saluran cerna. Akarbosa dimetabolisme oleh enzim intestinal
dan flora dalam usus. Akarbosa terabsorbsi dalam bentuk
metabolitnya hingga sebesar 35% dari dosis yang diberikan.
Akarbosa diekskresi melalui urin dan feses (Sweetman,
2009).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


24

2.9. Metode Pengujian Diabetes


2.9.1. Metode Induksi oleh Bahan Kimia
Metode pengujian diabetes dapat dilakukan pada hewan coba model
diabet yang telah diinduksi bahan kimia. Bahan kimia yang paling umum
digunakan yaitu streptozotosin dan aloksan. Kedua bahan ini memiliki sifat
diabetogenik jika diberikan melalui parenteral (intravena, intraperitoneal,
subkutan). Dosis yang dibutuhkan untuk menginduksi diabetes tergantung pada
spesies hewan coba yang digunakan, rute pemberian, dan status gizi hewan (Etuk,
2010).

2.9.2. Metode Toleransi Glukosa


Metode toleransi glukosa merupakan metode yang umum digunakan
untuk menguji bahan uji obat diabetes pada tikus. Dengan dilakukannya uji ini
akan diketahui kemampuan tubuh dalam menggunakan karbohidrat. Ketika
pemberian glukosa melalui peroral, kadar glukosa dalam darah akan meningkat
dan mencapai puncak dalam waktu ½-1 jam, kemudian akan kembali normal
setelah 2-3 jam.
Prosedur uji dilakukan dengan cara hewan uji dipuasakan sepanjang
malam, kemudian diukur kadar glukosa puasa tikus (sebagai baseline) lalu
diberikan bahan uji obat diabetes dan glukosa melalui per oral sebanyak 1-2,5
g/kgBB. Pengukuran kadar glukosa darah selanjutnya dilakukan lagi pada interval
waktu tertentu setelah dilakukan pemberian glukosa (Etuk, 2010).

2.10. Metode Pengukuran Kadar Glukosa Darah


Pemeriksaan kadar gula darah bisa dilakukan dengan tiga macam
metode, yaitu metode oksidasi reduksi, metode kondensasi, dan metode enzimatik
(McMillin, 1990).
2.10.1. Metode Oksidasi Reduksi
Metode ini dilakukan berdasarkan sifat glukosa sebagai zat pereduksi
dalam larutan alkali panas. tetapi metode ini non spesifik karena adanya zat non
glukosa lain yang juga bersifat mereduksi (McMillin, 1990).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


25

2.10.2. Metode Kondensasi


Prinsip metode ini yaitu kondensasi glukosa dengan amin aromatis
primer dalam asam asetat glasial panas (reagen o-toluidin). Metode ini spesifik
mengukur glukosa saja dan dapat digunakan untuk mengukur glukosa dalam
berbagai cairan tubuh, termasuk dalam darah (Dubowski, 2008). Protein dalam
darah mula-mula diendapkan dengan asam trikloroasetat. Kemudian glukosa pada
filtrat direaksikan dengan reagen o-toluidin sehingga akan menghasilkan warna
hijau, dan diukur menggunakan kolorimetri (WHO, 2003).

2.10.3. Metode Enzimatik


Pada metode ini menggunakan enzim-enzim yang bekerja secara spesifik
pada glukosa. Sehingga hasil yang didapat relatif lebih tepat dibanding metode
lainnya. Enzim yang paling sering digunakan pada analisa glukosa secara
enzimatik yaitu heksokinase dan glucose oxidase. Pada metode dengan enzim
heksokinase, glucose-6-fosfat yang berasal dari glukosa dan ATP dari heksokinase
akan dioksidasi oleh NAD. Reaksi ini dikatalis dengan adanya glucose-6-fosfat
dehidrogenasi sehingga akan membentuk NADH yang dapat dianalisa dengan
spektrofotometer. Pada metode dengan enzim glucose oxidase, glukosa dioksidasi
oleh glucose oxidase membentuk glukonolakton dan hidrogen peroksida.
Hidrogen peroksida selanjutnya teroksidasi oleh peroksidase membentuk senyawa
yang dapat dianalisa dengan spektrofotometer (Duxbury, 2004).

2.11. Glukometer
Glukometer merupakan alat kesehatan yang digunakan untuk mengukur
kadar glukosa darah. Glukometer banyak digunakan di rumah sakit, klinik, ruang
gawat darurat, serta penggunaan di rumah. Glukometer memberikan analisa kadar
glukosa darah secara cepat, sehingga dapat segera dilakukan managemen kondisi
hipoglikemik atau hiperglikemik yang dialami pasien (Toyushkina, 2009).
Pengukuran kadar glukosa darah menggunakan glukometer memiliki
kelebihan antara lain metode pengukuran yang mudah, cepat, hanya memerlukan
sampel darah dalam jumlah yang sedikit, dan akurat. Tetapi kerugiannya antara
lain harganya yang relatif mahal, serta ketepatan hasil yang didapat bisa
dipengaruhi oleh suhu (King, 1995).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


26

Glukometer terdiri dari dua bagian yaitu bagian reaksi enzimatik dan
detektor. Bagian enzimatik berada pada strip atau kuvet dalam kondisi
terdehidrasi. Glukosa dalam sampel darah akan menghidrasi kemudian bereaksi
dengan enzim dan menghasilkan senyawa yang dapat terdeteksi. Hingga saat ini
terdapat tiga reaksi enzimatik yang biasa digunakan pada glukometer antara lain
glucose oxidase, glucose dehydrohenase, dan hexokinase. (Toyushkina, 2009).

Gambar 2.5. Strip glukometer (Heller, 2008)

Terdapat beberapa prinsip kerja glukometer, antara lain dengan prinsip


kolorimetri dan prinsip elektrokimia. Pada glukometer dengan prinsip kolorimetri,
reaksi antara glukosa dan enzim menghasilkan hidrogen peroksida atau senyawa
antara lain yang dapat bereaksi dengan pewarna, sehingga akan menghasilkan
perubahan warna yang intensitasnya berbanding lurus dengan konsentrasi glukosa
pada sampel (Toyushkina, 2009). Prinsip reaksi pada glukometer kolorimetri
dijelaskan sebagai berikut (Yamada, 2011):
Glucose oxidase
Glukosa + O2 Asam glukoronat + H2O2

Peroksidase
Kromogen + H2O2 Warna

Sedangkan pada glukometer dengan prinsip elektrokimia mengandung


enzim sebagai biosensor yang menghasilkan elektron sehingga dapat terdeteksi

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


27

oleh detektor. Reaksi pada glukometer ini dijelaskan sebagai berikut (Wang,
2008):
Glukosa + GOX(ox) asam glukoronat + GOX (red)
GOX(red) + 2M (ox) GOX(ox) + 2M(red) +2H+
2M(red) 2M(ox) + 2e-

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Waktu dan tempat penelitian


Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Penelitian I dan Laboratorium
Animal House FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada bulan Maret 2016
sampai dengan bulan September 2016.

3.2. Alat dan Bahan


3.2.1. Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain perangkat alat
destilasi, vacum rotary evaporator (EYELA), erlenmeyer (pyrex), timbangan
analitik, blender, spatula, corong, batang pengaduk, alumunium foil, kapas steril,
kertas saring, lemari pendingin, desikator, botol maserasi, tabung reaksi, botol
maserasi, botol maserat, alokoholmeter, kandang tikus beserta wadah makan dan
minumnya, alas bedah, alat bedah, stoples, timbangan, glukometer GlucoDR.

3.2.2. Bahan
1. Bahan Uji
Bahan uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah biji rambutan
(Nephelium lappaceum L). Biji diambil dari buah rambutan segar yang diambil
dari Serang, Banten pada bulan Februari 2016. Jenis rambutan yang digunakan
yaitu rambutan parakan yaitu dengan ciri buah berbentuk lonjong, warna buah
masak yaitu merah kehitaman serta rambut buah berwarna merah dan kaku.
Daging buah berwarna putih kekuningan, rasanya manis dan tidak banyak
mengandung banyak air, serta mudah terkelupas dari bijinya yang berbentuk
lonjong. Selain itu digunakan pula glibenklamid (Indofarma) dan akarbosa
sebagai kontrol positif, sukrosa, serta aloksan (Sigma-aldrich) sebagai
penginduksi.

28 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


29

2. Hewan Uji
Hewan uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus putih jantan
galur spreague dawley berumur 2-3 bulan dengan berat 150-200 g yang diperoleh
dari Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.
3. Bahan Kimia
Bahan yang diperlukan dalam penelitian ini adalah etanol 70%, H2SO4
pekat, amonia encer, etil asetat, FeCl3, pereaksi Mayer, pereaksi Dragendroff,
asam klorida, NaOH, aquadest, Na CMC, formalin, dan larutan saline.

3.3. Prosedur Kerja


3.3.1. Penyiapan Ekstrak Etanol 70% Biji Rambutan
3.3.1.1. Penyiapan Bahan Uji
Buah rambutan parakan segar dikumpulkan dari Serang, Banten.
Sebelum biji diproses menjadi simplisia, sampel tanaman rambutan (Nephelium
lappaceum L.) yaitu berupa ranting, daun, dan buah diidentifikasi di Pusat
Konservasi Tumbuhan Kebun Raya, LIPI, Bogor untuk memverifikasi identitas
tanaman.

3.3.1.2. Pembuatan Simplisia


Simplisia biji rambutan dibuat dengan tahap sebagai berikut:
1. Biji rambutan dipisahkan dari daging buahnya dan didapat biji segar
sebanyak 2 kg.
2. Biji dicuci dengan air mengalir.
3. Biji dikeringkan dengan cara diangin-anginkan dan dihindarkan dari
sinar matahari.
4. Setelah kering, dilakukan sortasi kembali untuk memastikan
simplisia bebas dari pengotor.
5. Simplisia digiling hingga menjadi serbuk kemudian ditimbang dan
disimpan dalam wadah yang kering, tertutup rapat, serta terhindar
dari cahaya matahari. Simplisia yang didapat yaitu sebanyak 903
gram.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


30

3.3.1.3. Ekstraksi
Ekstraksi dilakukan dengan cara maserasi menggunakan pelarut etanol
70%. Sebanyak 451,5 g serbuk simplisia masing-masing dimasukkan ke dalam
dua wadah botol berwarna cokelat, kemudian ditambahkan pelarut hingga setinggi
kurang lebih 2,5 cm di atas serbuk simplisia. Jumlah total pelarut etanol 70% yang
digunakan adalah sebanyak 7 L. Campuran disimpan di tempat gelap dengan
sesekali dilakukan pengadukan. Maserasi dilakukan dalam waktu 3 hari, setelah
itu cairan dipisahkan dari simplisia melalui proses filtrasi menggunakan kapas dan
kertas saring. Filtrat yang diperoleh diuapkan dengan rotary evaporator hingga
didapat ekstrak kental. Maserasi dilakukan berkali-kali hingga pelarut berwarna
jernih. Ekstrak kental selanjutnya dikeringkan kembali dengan menggunakan
freeze dry. Proses pengeringan ini dilakukan di Laboratorium Fitokimia Gedung
Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Cibinong, Jawa Barat.

3.3.2. Penapisan Fitokimia


Penapisan fitokimia dilakukan dengan menguji adanya golongan
senyawa alkaloid, flavonoid, saponin, tanin, dan fenolik. Prosedur pengujian
dilakukan sebagai berikut:
1. Identifikasi Alkaloid
Identifikasi alkaloid dilakukan dengan cara ekstrak diuapkan di cawan
porselen, kemudian dilarutkan dengan asam klorida encer 2 M. Larutan yang
diperoleh kemudian dibagi ke dalam tiga tabung reaksi. Tabung pertama sebagai
kontrol, tabung kedua diuji menggunakan pereaksi Mayer, dan tabung ketiga diuji
dengan pereaksi Dragendroff. Pada penambahan pereaksi Mayer, hasil positif jika
terbentuk dengan endapan berwarna putih atau kuning. Sedangkan pada
penambahan pereaksi Dragendroff hasil positif ditunjukkan dengan adanya
endapan berwarna oranye hingga merah (Farnsworth, 1966).
2. Identifikasi Flavonoid
Ekstrak diencerkan dengan etanol 70%, lalu ditambahkan dengan 2 mg
serbuk magnesium dan ditambahkan dengan asam klorida. Hasil menunjukkan
positif mengandung flavonoid jika terbentuk warna merah muda, oranye, atau
warna merah hingga ungu (Fransworth, 1966; Evans, 2002).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


31

3. Identifikasi Saponin
Ekstrak ditambahkan aquades, lalu dikocok kuat. Hasil positif
ditunjukkan dengan terbentuknya buih yang stabil selama tidak kurang dari 10
menit (Fransworth, 1966).
4. Identifikasi Tanin
Ekstrak dipanaskan dalam 10 mL aquades dalam tabung reaksi,
kemudian disaring. Filtrat ditambahkan FeCl 3 0,1% dan diamati, hasil positif jika
terbentuk warna biru, hijau, biru kehijauan, hijau kecoklatan atau biru kehitaman
(Evans, 2002; Fransworth, 1966).
5. Identifikasi Steroid/Triterpenoid
Sebanyak 1 mL ekstrak dicampur dengan 3 mL kloroform kemudian
ditambahkan 2 mL asam sulfat pekat dan 2 mL asam asetat anhidrat (reagen
Liebermann-Burchard). Hasil menunjukkan positif mengandung steroid jika
terjadi perubahan warna menjadi biru atau biru kehijauan. Sedangkan hasil positif
mengandung triterpenoid jika terbentuk warna merah, pink, atau ungu
(Farnsworth, 1966).
6. Identifiasi Antrakuinon
Ekstrak dididihkan dengan 10 mL asam sulfat dan disaring selagi masih
panas. Kemudian filtrat dikocok dengan 5 ml kloroform. Fraksi kloroform diambil
menggunakan pipet dan ditempatkan dalam tabung reaksi lalu ditambahkan
dengan amonia encer. Hasil positif jika terjadi perubahan warna pada larutan
(Ayoola, 2008).

3.3.3. Pengujian Parameter Spesifik Ekstrak


Uji parameter spesifik yang dilakukan meliputi parameter organoleptik
ekstrak yaitu warna, bentuk, dan bau ekstrak yang diuji menggunakan panca
indera (Depkes RI, 2000).

3.3.4. Pengujian Parameter Non Spesifik Ekstrak


Uji parameter non spesifik yang dilakukan yaitu kadar air dan kadar abu
ekstrak (Depkes RI, 2000).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


32

1. Kadar Air (Metode Gravimetri)


Pengukuran kadar air dilakukan dengan ekstrak ditimbang 3 gram dalam
wadah yang telah ditara. Kemudian ekstrak dipanaskan pada suhu 105 0C selama 5
jam kemudian ditimbang kembali. Pengeringan dilanjutkan dan ditimbang pada
jarak 1 jam sampai perbedaan antara 2 penimbangan berturut-turut tidak lebih dari
0,25%.
2. Kadar Abu
Ekstrak ditimbang seksama 2-3 gram, dimasukkan dalam krus platina
atau krus silikat yang telah dipijarkan dan ditara, ekstrak diratakan. Dipijarkan
perlahan-lahan hingga arang habis, didinginkan, lalu ditimbang. Jika arang tidak
dapat hilang, ditambahkan air panas, disaring menggunakan kertas saring bebas
abu, kemudian dipijarkan sisa abu dan kertas saring dalam krus yang sama. Filtrat
dimasukkan ke dalam krus, diuapkan, dan dipijarkan hingga bobot tetap lalu
ditimbang. Kadar abu dihitung terhadap berat ekstrak dan dinyatakan dalam %
b/b.

3.3.5. Uji Antihiperglikemik


3.3.5.1. Pengelompokan Hewan Uji
Hewan uji dikelompokkan menjadi enam kelompok untuk uji dengan
metode induksi aloksan (tabel 3.1.) dan menjadi tiga kelompok untuk uji toleransi
glukosa oral (tabel 3.2.). Setiap kelompok uji terdiri dari 5 ekor tikus sesuai
dengan syarat oleh WHO (WHO, 2000).

Tabel 3.1. Kelompok Perlakuan Hewan Uji


Kelompok Jumlah Perlakuan
I 5 Kontrol normal, diberi suspensi NaCMC 0,5%
II 5 Kontrol negatif, diinduksi aloksan dan suspensi
NaCMC 0,5%
III 5 Kontrol positif, diinduksi aloksan kemudian diberi
suspensi glibenklamid 0,1 mg/200 g BB
IV 5 Diinduksi aloksan dan diberi suspensi ekstrak etanol
70% biji rambutan dosis 80 mg/kgBB
V 5 Diinduksi aloksan dan diberi suspensi ekstrak etanol
70% biji rambutan dosis 160 mg/kgBB
VI 5 Diinduksi aloksan dan diberi suspensi ekstrak etanol
70% biji rambutan dosis 320 mg/kgBB

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


33

Tabel 3.2. Kelompok Perlakuan Uji Aktivitas Penghambatan Enzim α Glukosidase

Kelompok Jumlah Perlakuan


I 5 Kontrol negatif, diberi larutan sukrosa
II 5 Kontrol positif, diberi akarbosa kemudian larutan sukrosa
III 5 Diberi ekstrak etanol 70% biji rambutan dosis 320
mg/kgBB kemudian larutan sukrosa

3.3.5.2. Aklimatisasi Hewan Uji


Hewan uji diaklimatisasi selama dua minggu agar dapat menyesuaikan
dengan lingkungannya. Selama proses adaptasi ini diamati kondisi umum hewan
coba serta dilakukan penimbangan berat badan.

3.3.5.3. Pembuatan Sediaan Dosis Uji


1. Dosis Ekstrak Biji Rambutan (Nephelium lappaceum L.)
Dosis ekstrak etanol biji rambutan (Nephelium lappaceum L.) yang
digunakan yaitu 80 mg/kgBB, 160 mg/kgBB, dan 320 mg/kgBB atau sebesar 16
mg/200 gr BB, 32 mg/200 gr BB, dan 64 mg/200 gr BB yang diberikan kepada
tikus masing-masing kelompok uji. Pemilihan dosis diambil berdasarkan dosis
yang paling optimal pada penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, yaitu oleh
Syifa (2008) dan Afika (2015). Ekstrak dibuat dalam bentuk suspensi dengan
suspending agent NaCMC konsentrasi 0,5%. Proses pembuatan sediaan yaitu
sebagai berikut:
a. NaCMC dikembangkan dengan air panas sebanyak 20 kali berat Na
CMC.
b. Setelah mengembang, NaCMC digerus hingga homogen dengan perlahan
ditambahkan akuades.
c. Ekstrak ditambahkan dalam suspensi dan digerus hingga homogen.
2. Dosis Glibenklamid
Glibenklamid diberikan dalam bentuk suspensi dengan suspending agent
NaCMC sesuai dosis efektif pemberian oral pada manusia yaitu 5 mg/60kgBB.
Dosis ini dikonversikan berdasarkan perhitungan menggunakan luas permukaan
tubuh sehingga didapat dosis untuk setiap 200 g BB tikus yaitu 0,1 mg/200g BB.
Proses pembuatan sediaan yaitu sebagai berikut:
a. NaCMC dikembangkan dengan air panas sebanyak 20 kali berat Na
CMC.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


34

b. Setelah mengembang, NaCMC digerus hingga homogen dengan perlahan


ditambahkan akuades.
c. Glibenklamid ditambahkan dalam suspensi dan digerus hingga homogen.
3. Dosis Aloksan
Dosis aloksan yang diberikan dalam percobaan yaitu 150 mg/kgBB yang
dilakukan melalui intraperitoneal. Aloksan diberikan dalam bentuk larutan dalam
saline dingin. Aloksan yang sudah dilarutkan segera diberikan pada hewan uji.
4. Dosis Akarbosa
Akarbosa diberikan dalam bentuk suspensi dengan suspending agent
NaCMC 0,5 % sesuai dosis efektif pemberian oral pada manusia yaitu 50 mg/60
kg BB. Dosis ini dikonversikan berdasarkan perhitungan menggunakan luas
permukaan tubuh sehingga didapat dosis untuk setiap 200 g BB tikus yaitu 1 mg/
200 g BB. Proses pembuatan sediaan yaitu sebagai berikut:
a. NaCMC dikembangkan dengan air panas sebanyak 20 kali berat Na
CMC.
b. Setelah mengembang, NaCMC digerus hingga homogen dengan perlahan
ditambahkan akuades.
c. Akarbosa ditambahkan dalam suspensi dan digerus hingga homogen.
5. Dosis Sukrosa
Sukrosa diberikan dalam bentuk larutan dengan konsentrasi 80% b/v.
Dosis sukrosa yang diberikan yaitu sebesar 4 g/kg BB atau setara dengan 0,8
g/200 g tikus.

3.3.5.4. Uji Pendahuluan Induksi Aloksan


Uji pendahuluan induksi aloksan dilakukan untuk menentukan metode
induksi yang tepat yang nantinya akan dilakukan saat penelitian. Uji dilakukan
dengan prosedur sebagai berikut:
1. Disiapkan empat ekor tikus yang akan digunakan. Satu ekor nantinya
sebagai kontrol dan tiga tikus akan dilakukan induksi. Tikus
diaklimatisasi selama tujuh hari dengan dilakukan pemantauan berat
badan setiap harinya.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


35

2. Sebelum dilakukan induksi, tikus dipuasakan terlebih dahulu selama 12


jam namun tetap mendapat akses untuk minum, kemudian dilakukan
pemeriksaan kadar glukosa darah puasa.
3. Aloksan monohidrat yang telah dilarutkan dalam salin normal steril
diinjeksikan pada tikus 1, 2, dan 3 melalui rute intraperitoneal dengan
dosis sebesar 30 mg/200 g BB tikus.
4. Hewan uji diberikan larutan glukosa 5% selama 24 jam penuh, dimulai 1
jam setelah dilakukannya induksi. Hal ini dilakukan karena aloksan dapat
menyebabkan kondisi hipoglikemia parah pada hewan uji.
5. Kadar glukosa darah puasa tikus diperiksa kembali pada hari ke-3 dan
ke-7 setelah induksi. Sebelum dilakukan pemeriksaan, tikus dipuasakan
dahulu selama 12 jam. Hewan uji dikatakan mengalami kondisi
hiperglikemia jika kadar glukosa darah lebih dari 140 mg/dL (Wang,
2010; Ulas, 2015).

3.3.5.5. Induksi Aloksan


Induksi yang dilakukan bertujuan untuk menimbulkan kondisi diabetes
pada hewan uji. Prosedur induksi dilakukan sebagai berikut:
1. Sebelum dilakukan induksi, tikus dipuasakan terlebih dahulu selama 12
jam dengan tetap mendapat akses untuk minum.
2. Aloksan monohidrat yang telah dilarutkan dalam salin normal steril
diinjeksikan pada tikus kelompok II sampai kelompok VI melalui rute
intraperitoneal dengan dosis 30 mg/200 g BB tikus.
3. Hewan uji diberikan larutan glukosa 5% selama 24 jam penuh, dimulai 1
jam setelah dilakukannya induksi. Hal ini dilakukan karena aloksan dapat
menyebabkan kondisi hipoglikemia parah pada hewan uji.
4. Kadar glukosa darah puasa tikus diperiksa kembali pada hari-7 setelah
induksi. Sebelum dilakukan pemeriksaan, tikus dipuasakan dahulu
selama 12 jam. Hewan uji dikatakan mengalami kondisi hiperglikemia
jika kadar glukosa darah lebih dari 140 mg/dL (Wang, 2010; Ulas, 2015).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


36

3.3.5.6. Pemberian Bahan Uji


Setelah tikus dinyatakan mengalami kondisi hiperglikemik, selanjutnya
dilakukan pemberian bahan uji. Pemberian dilakukan melalui peroral pada
masing-masing kelompok uji sesuai dengan yang tertera pada tabel kelompok
perlakuan hewan uji. Bahan uji diberikan setiap hari selama 21 hari dengan
frekuensi pemberian satu kali dalam sehari. Selama masa ini hewan uji mendapat
akses makan sebanyak 10% dari berat badannya dan minum secara ad libitum.

3.3.5.7. Pengukuran Kadar Glukosa Darah


Sampel darah pada pengukuran kadar glukosa darah diambil dari vena
ekor tikus. Pengambilan darah dilakukan dengan cara tikus dimasukkan ke dalam
kandang, lalu ekor tikus dibersihkan dengan alkohol 70%. Darah diambil melalui
intravena yaitu dengan membuat torehan pada ujung ekor menggunakan gunting
bedah lalu ekor dipijat perlahan agar darah keluar. Kadar gula darah diukur
menggunakan alat glukometer GlucoDR Biosensor dengan cara tetesan darah
tikus ditempatkan pada strip yang telah dimasukkan pada glukometer. Nilai kadar
glukosa darah yang terukur dinyatakan dalam satuan miligram per desimeter.
Pemeriksaan kadar glukosa darah dilakukan setiap 7 hari yaitu pada hari ke-0, 7,
14, dan 21 pemberian bahan uji dengan sebelumnya tikus dipuasakan dahulu
selama 12 jam.

3.3.5.8. Uji Penghambatan Aktivitas Enzim α Glukosidase


Sebelum dilakukan uji, tikus dipuasakan selama 12 jam. Tikus kemudian
diberikan sediaan uji melalui oral, yaitu suspensi NaCMC 0,5% untuk kontrol
negatif, akarbosa untuk kelompok kontrol positif, dan ekstrak etanol 70% biji
rambutan dosis 320 mg/kgBB untuk kelompok uji. Selang 30 menit kemudian
setiap kelompok diberikan larutan sukrosa melalui peroral, serta kadar glukosa
darah tikus segera diukur sebagai kadar glukosa darah menit ke-0. Selanjutnya
kadar glukosa darah tikus diukur pada menit ke 30, 60, 90, dan 120.

3.3.5.9. Penyiapan Preparat Jaringan Pankreas


Pengambilan jaringan pankreas dilakukan pada hari ke-21 setelah
dilakukan pengukuran kadar darah. Hewan uji diterminasi menggunakan eter,
kemudian dibedah dan diambil organ pankreasnya. Organ pankreas tikus difiksasi

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


37

dengan formalin 10%. Kemudian dilakukan dehidrasi yang bertujuan untuk


mengeluarkan air yang terkandung dalam jaringan. Dehidrasi dilakukan
menggunakan cairan dehidran, yaitu dengan etanol selama 20-30 menit. Setelah
itu dilakukan clearing dengan xylol selama 10 menit, kemudian dilakukan
infiltrasi paraplas dengan titik cair 45-60˚C selama 30 menit dan dilakukan
embedding. Jaringan selanjutnya dipotong dengan ketebalan 5-7 μm (Anonim,
2014).
Jaringan diwarnai dengan pewarnaan hematoksilin eosin untuk
pengamatan mikroskopik. Setelah itu preparat diberi entelan dan ditutup
menggunakan cover glass dengan hati-hati agar tidak terdapat gelembung.
Preparasi jaringan pankreas dilakukan di Laboratorium Histopatologi Departemen
Patologi Anatomik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

3.3.5.10. Pengamatan Histologi Pankreas


Pengamatan histologi dilakukan untuk mengetahui perbedaan struktur
jaringan pankreas pada masing-masing perlakuan. Parameter yang diamati yaitu
gambaran deskriptif serta penghitungan jumlah sel pulau langerhans pankreas
tikus. Pengamatan dilakukan menggunakan mikroskop cahaya Olympus SZ61
dengan perbesaran 400x. Hasil pemeriksaan preparat dianalisa secara deskriptif.

3.3.5.11.Metode Pengolahan dan Statistik Data


1. Pengolahan data
Data yang diperoleh selanjutnya diolah secara statistik menggunakan
aplikasi SPSS. Data yang didapat dilakukan uji normalitas dan uji homogenitas.
Uji normalitas dilakukan menggunakan metode Kolmogorof-Smirnof, sedangkan
uji homogenitas dilakukan menggunakan metode Levene. Jika data yang didapat
terdistribusi normal dan memiliki varian yang homogen, selanjutnya dilakukan
analisa data menggunakan metode analisis varian satu arah (ANOVA) yang
dilanjutkan dengan uji beda nyata terkecil (BNT). Jika data yang didapat tidak
terdistribusi normal atau memiliki varian yang tidak homogen, maka analisa data
dilakukan menggunakan metode Kruskal-Wallis yang dilanjutkan dengan uji
Mann-Whitney (Dahlan, 2012).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


38

Hipotesis:
Ho : Tidak terdapat perbedaan bermakna antara setiap kelompok.
Ha : Terdapat perbedaan yang bermakna antara setiap kelompok.
Pengambilan keputusan:
Jika nilai signifikansi ≥ 0,05, maka Ho diterima.
Jika nilai signifikansi ≤ 0,05, maka Ho ditolak.
2. Presentase penurunan kadar glukosa darah
Perhitungan persentase penurunan kadar glukosa darah dilakukan untuk
mengetahui kemampuan ekstrak dalam menurunkan kadar glukosa, yang dihitung
dengan cara:
Go −Gt
Presentase penurunan kadar glukosa darah = x 100%
Go

Keterangan:
Go = Gula darah puasa sebelum diberikan sediaan uji
G t = Gula darah puasa setelah diberikan sediaan uji

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Determinasi Tanaman


Determinasi dilakukan untuk memastikan identitas tanaman yang akan
digunakan. Determinasi dilakukan di Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya,
LIPI, Bogor. Hasil determinasi menunjukkan bahwa sampel yang digunakan yaitu
Nephelium lappaceum L. suku Sapindaceae (Lampiran 1).

4.2. Penyiapan Sampel


Sampel yang digunakan pada penelitian ini yaitu tanaman rambutan
(Nephelium lappaceum L.), yaitu pada bagian bijinya. Jenis rambutan yang
digunakan yaitu rambutan parakan. Sampel diambil dari Serang, Banten pada
bulan Februari 2016. Sampel yang dikumpulkan sesuai dengan deskripsi rambutan
varietas parakan menurut Surat Keputusan Menteri Pertanian (2003), yaitu buah
rambutan parakan memiliki bentuk lonjong dengan warna buah masak yaitu
merah kehitaman serta rambut buah berwarna merah dan kaku. Daging buah
berwarna putih kekuningan mudah terkelupas dari bijinya yang berbentuk
lonjong. Rasanya manis dan tidak banyak mengandung banyak air.
Buah rambutan yang telah dikumpulkan dikupas dan diambil bijinya. Biji
lalu dicuci dengan air mengalir kemudian dirajang dan dikeringkan dengan cara
diangin-anginkan serta terhindar dari sinar matahari langsung. Setelah kering, biji
disortasi kembali kemudian dihaluskan. Hal ini bertujuan untuk memperbesar luas
permukaan kontak dengan pelarut, sehingga proses ekstraksi bisa berjalan
maksimal. Serbuk simplisia biji rambutan yang didapat yaitu sebanyak 903 gram.

4.3. Ekstraksi Biji Rambutan


Ekstraksi biji rambutan dilakukan dengan metode maserasi menggunakan
pelarut etanol 70%. Jika dibandingkan dengan metode ekstraksi dingin lainnya,
maserasi lebih mudah dilakukan serta membutuhkan alat yang lebih sederhana.
Etanol 70% merupakan salah satu pelarut pilihan utama yang digunakan untuk

39 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


40

ekstraksi metabolit sekunder yang belum diketahui strukturnya karena daya


ekstraksinya yang luas dapat menyari semua metabolit sekunder (Saifudin, 2014).
Sebanyak 903 g serbuk simplisia biji rambutan direndam dengan pelarut
dalam botol gelap pada suhu ruang. Maserat yang didapat disaring menggunakan
kapas dan kertas saring hingga didapat filtrat. Filtrat selanjutnya dipekatkan
menggunakan rotary evaporator hingga didapat ekstrak kental. Sedangkan serbuk
simplisia dimasukkan kembali dalam botol untuk dilakukan pengulangan maserasi
(remaserasi). Pengulangan dilakukan hingga maserat berwarna hampir jernih.
Ekstrak kental yang didapat dari proses ekstraksi yaitu sebanyak 68,77 g.
Ekstrak kental yang didapat masih memiliki kadar air yang cukup tinggi,
sehingga dilakukan pengeringan kembali menggunakan metode freeze-dry. Proses
pengeringan dilakukan selama 10 jam di Laboratorium Fitokimia Gedung Biologi
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Cibinong, Jawa Barat. Ekstrak yang
didapat setelah freeze dry sebanyak 49,19 gram dan dihitung rendemen yang
didapat yaitu sebesar 5,45 %.

4.4. Penapisan Fitokimia


Penapisan fitokimia dilakukan untuk mengetahui kandungan metabolit
sekunder yang terdapat dalam sampel. Hasil penapisan fitokimia yang dilakukan
dapat dilihat pada tabel 4.1. (Lampiran 9).

Tabel 4.1. Hasil Penapisan Fitokimia Ekstrak Etanol 70% Biji Rambutan
Pengujian Indikator hasil
Hasil Kesimpulan
senyawa positif
Alkaloid a) Pereaksi (a) Menggunakan +
Dragendroff: pereaksi
adanya endapan dragendorf
berwarna oranye
terbentuk endapan
hingga merah
b) Pereaksi Mayer: (b) Menggunakan
terbentuk dengan pereaksi meyer
endapan terbentuk endapan
berwarna putih putih kekuningan
atau kuning.
Flavonoid Terbentuk warna Terdapat endapan +
merah muda, oranye, berwarna oranye
atau warna merah
hingga ungu

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


41

Saponin Terbentuknya buih Setelah pengocokan -


yang stabil selama terbentuk busa yang
tidak kurang dari 10 hilang setelah 10
menit menit
Tanin Terbentuk warna Terbentuk warna +
biru, hijau, biru hijau kecokelatan
kehijauan, hijau
kecoklatan atau biru
kehitaman
Steroid Terjadi perubahan Tidak terjadi -
warna menjadi biru perubahan warna
atau biru kehijauan.
Triterpenoid Terbentuk warna Tidak terjadi -
merah, pink, atau perubahan warna
ungu
Antrakuinon Terjadi perubahan Tidak terjadi -
warna pada larutan perubahan warna
Keterangan: (+) Memberikan reaksi positif; (-) Memberikan reaksi negatif

Terdapat beberapa penelitian yang telah melakukan penapisan fitokimia


ekstrak biji rambutan. Penelitian yang dilakukan oleh Zulhipri (2007)
membuktikan bahwa biji rambutan mengandung senyawa fenolik dan flavonoid.
Uji fitokimia juga dilakukan oleh Elya (2015) yang menunjukkan bahwa biji
rambutan mengandung alkaloid, flavonoid, dan glikosida. Uji kandungan
metabolit sekunder biji rambutan pada penelitian oleh Yuda (2015) menunjukkan
hasil positif terhadap senyawa fenol, flavonoid, dan tannin. Kemudian pada
penelitian oleh Soeng (2015) menunjukkan bahwa ekstrak etanol biji rambutan
mengandung triterpenoid, terpenoid, alkaloid, dan fenol.
Hasil penapisan fitokimia yang didapat pada penelitian ini menunjukkan
bahwa ekstrak etanol 70% biji rambutan positif terhadap senyawa alkaloid,
flavonoid dan tanin, serta menunjukkan hasil negatif untuk saponin, steroid,
triterpenoid, dan antrakuinon. Hasil yang didapat sedikit berbeda dengan
penapisan fitokimia yang pernah dilakukan oleh Soeng (2015), di mana pada
penelitian ini menunjukkan bahwa ekstrak etanol biji rambutan juga mengandung
triterpenoid. Adanya perbedaan hasil ini bisa disebabkan lingkungan tempat
tumbuh tanaman yang berbeda. Kadar kandungan senyawa metabolit sekunder
pada suatu tanaman dipengaruhi oleh berbagai faktor biotik dan abiotik. Faktor

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


42

abiotik yaitu segala faktor pada habitat tempat tumbuh tanaman seperti intensitas
cahaya, ketersediaan air, temperatur tempat tumbuh, serta komposisi tanah
(Pavarini, 2012).

4.5. Parameter Spesifik dan Non Spesifik Ekstrak


Parameter spesifik dan non spesifik merupakan proses standardisasi yang
dilakukan untuk menjamin mutu ekstrak. Parameter spesifik ekstrak yang
dilakukan pada penelitian ini yaitu identifikasi organoleptis meliputi bentuk,
warna, dan bau yang menjadi karakter spesifik ekstrak. Serta dilakukan pengujian
dua parameter non spesifik yaitu pengujian kadar air dan kadar abu. Pengujian
kadar air dilakukan untuk memberikan batasan minimal atau rentang besarnya
kandungan air dalam ekstrak. Sedangkan pengujian kadar abu dilakukan untuk
memberikan gambaran kandungan mineral internal dan eksternal yang berasal dari
proses awal pembuatan hingga terbentuk ekstrak (Depkes, 2000). Hasil pengujian
parameter spesifik dan non spesifik ekstrak dijelaskan pada tabel 4.2.

Tabel 4.2. Parameter Spesifik dan Non Spesifik Ekstrak Etanol 70% Biji Rambutan
No. Parameter Hasil
1 Identitas ekstrak  Nama latin tumbuhan: Nephelium lappaceum L.
 Nama Indonesia : Rambutan
 Bagian tumbuhan yang digunakan : biji
2 Organoleptis  Warna : Cokelat gelap
 Bentuk : Kental
 Bau : Aromatik
3 Kadar air 8,98 %
4 Kadar abu 6,78 %

Parameter kadar air ekstrak penting untuk diketahui karena kadar air dapat
memengaruhi stabilitas dan bentuk ekstrak. Kadar air ekstrak etanol 70% biji
rambutan yang didapat dari uji kadar air yaitu sebesar 8,98%, di mana batas kadar
air ekstrak yang masih memenuhi syarat yaitu kurang dari 10%. Kadar air yang
tinggi dapat menyebabkan cepatnya pertumbuhan jamur dalam ekstrak.
Sedangkan kadar abu ekstrak yang didapat dari uji kadar abu yaitu sebesar 6,78%.
Kadar abu ekstrak masih memenuhi persyaratan yaitu di bawah 16,67% (Depkes
RI, 1995).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


43

4.6. Uji Efek Antihiperglikemik


4.6.1. Metode Induksi Aloksan
Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui efek hiperglikemik ekstrak
etanol biji rambutan. Uji dilakukan terhadap 30 ekor tikus putih jantan galur
Sprague Dawley berusia 2-3 bulan dengan bobot 150-200 g. Tikus dipilih karena
tikus memiliki fisiologi yang menyerupai manusia (NABR, 2015). Tikus uji
dikelompokkan menjadi enam kelompok yang terdiri dari 3 kelompok kontrol dan
3 kelompok dosis uji. Kelompok kontrol meliputi kontrol normal, kontrol negatif,
dan kontrol positif. Kelompok kontrol pada penelitian digunakan untuk
memastikan bahwa perubahan kadar glukosa darah hanya disebabkan oleh sediaan
uji yang diberikan (Pithon, 2013).
Sebelum dilakukan induksi, tikus diaklimatisasi selama 7 hari. Selama
proses aklimatisasi ini, tikus diberi makan dan minum secara ad libitum serta
ditimbang berat badannya setiap hari. Tikus digunakan dalam penelitian jika tidak
mengalami penurunan berat badan lebih dari 10% (Foltz, 1999; IACUC, 2014).
Pada penelitian ini dilakukan pengamatan perubahan kadar glukosa darah
setelah pemberian sediaan uji pada tikus diabetes. Aloksan digunakan sebagai
senyawa diabetogen untuk menimbulkan kondisi hiperglikemik pada tikus. Tikus
putih terbukti sensitif terhadap efek diabetogenik oleh aloksan (Rerup, 1970
dikutip dari Lenzen, 2007). Aloksan menyebabkan diabetes dengan cara merusak
secara spesifik sel β pada pankreas tikus (Gorus, 1982), sehingga pankreas tidak
mampu memproduksi insulin dalam jumlah yang cukup.
Sebelum dilakukan induksi dengan aloksan, tikus dipuasakan selama 12
jam. Hal ini dikarenakan glukosa dapat memberikan sifat proteksi terhadap efek
diabetogenik aloksan, meskipun efek proteksi dipengaruhi juga oleh konsentrasi
glukosa. Kemiripan struktur antara glukosa dan aloksan menyebabkan glukosa
dapat menghambat secara kompetitif ambilan aloksan ke dalam sel β pankreas
(Jorns, 1997). Tikus dipuasakan terlebih dahulu untuk meminimalkan kadar
glukosa dalam darah.
Penginduksian menggunakan aloksan dilakukan secara intraperitoneal
dengan dosis yang digunakan sebesar 150 mg/kgBB dan konsentrasi larutan 30
mg/ml. Aloksan bersifat diabetogenik jika diberikan secara parenteral, baik

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


44

melalui rute intravena, intraperitoneal, atau subkutan (Rohilla, 2012). Rute


pemberian dilakukan melalui rute intraperitoneal karena lebih ditoleransi oleh
tikus (Federiuk, 2004; Radenkovi`c, 2015). Dosis yang diberikan pada penelitian
ini diambil dari penelitian sebelumnya oleh Radenkovi`c (2013). Pemberian
aloksan dosis 150 mg/kgBB melalui rute intraperitoneal juga telah dilakukan pada
uji pendahuluan, yang terbukti dapat menyebabkan diabetes pada hari ke-7 setelah
induksi. Kadar glukosa darah puasa tikus saat uji pendahuluan dapat dilihat pada
tabel 4.3.

Tabel 4.3. Kadar glukosa darah puasa pada uji pendahuluan


Kadar Glukosa Darah (mg/dL)
Tikus
Sebelum induksi 3 hari setelah induksi 7 hari setelah induksi
1 100 128 166
2 126 136 161
3 125 287 492
4 (Normal) 92 99 91

Aloksan dapat menimbulkan diabetes pada tikus dengan mengalami empat


fase. Fase pertama merupakan fase hipoglikemia yang berlangsung selama 30
menit setelah injeksi aloksan. Fase kedua merupakan fase hiperglikemia, yang
terjadi sekitar satu jam setelah injeksi aloksan, dan berlangsung selama 2-4 jam.
Fase ketiga yaitu fase hipoglikemia lagi, yang biasanya terjadi 4-8 jam setelah
injeksi aloksan (Lenzen, 2007). Fase ini berlangsung selama beberapa jam dan
dapat berakibat fatal jika tanpa asupan glukosa (Radenkovic, 2015). Untuk
mencegah kematian hewan uji, selang 1 jam setelah injeksi aloksan tikus
diberikan larutan glukosa 5% secara ad libitum selama 24 jam. Sedangkan fase
keempat yaitu fase hiperglikemia permanen yang ditimbulkan oleh aloksan
(Lenzen, 2007).
Pengecekan kadar glukosa darah dilakukan 7 hari setelah induksi. Tikus
dinyatakan diabetes jika kadar glukosa darah tikus lebih dari 140 mg/dL (Wang,
2010; Ulas, 2015). Setelah tikus dinyatakan diabetes, masing-masing tikus mulai
diberikan sediaan uji. Pada pengujian ini, sediaan dibuat dalam bentuk suspensi
dengan suspending agent NaCMC konsentrasi 0,5%. Hal ini dikarenakan
glibenklamid yang digunakan sebagai kontrol positif, tidak larut dalam air
sehingga didispersikan dalam bentuk suspensi. NaCMC konsentrasi 0,5%

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


45

digunakan karena dapat mendispersikan glibenklamid dan ekstrak pada setiap


konsentrasi.
Kontrol positif menggunakan glibenklamid dengan dosis tikus sebesar 0,5
mg/kgBB. Glibenklamid bekerja dengan cara meningkatkan pelepasan insulin dari
sel β pankreas (Brunton, 2008). Glibenklamid digunakan sebagai pembanding
positif karena pada penelitian ini diharapkan ekstrak mampu mengurangi
kerusakan sel β pankreas sehingga dapat memproduksi insulin lebih banyak. Pada
kelompok kontrol negatif, tikus yang telah diinduksi diberi NaCMC 0,5% untuk
memastikan bahwa kadar glukosa darah tikus yang diinduksi tetapi tidak diberi
ekstrak, tetap berada pada kondisi hiperglikemia. Kelompok kontrol normal tidak
diperlakukan apapun, untuk memastikan bahwa kadar glukosa darah tikus yang
tidak diberi perlakuan berada pada rentang normal.
Sedangkan pada kelompok dosis, tikus diberi ekstrak etanol biji rambutan
dengan dosis masing-masing sebesar 80 mg/kgBB, 160 mg/kgBB, dan 320
mg/kgBB. Waktu pemberian ekstrak dilakukan satu kali perhari (pukul 09.00-
10.00) selama 21 hari, dengan dilakukan pemeriksaan kadar glukosa darah
dilakukan pada hari ke 7, 14, dan 21 setelah pemberian ekstrak. Kadar glukosa
darah diukur menggunakan alat glukometer GlucoDR biosensor.
Pada manusia, pemeriksaan kadar gula darah puasa (GDP) dilakukan pagi
hari sebelum sarapan, setelah dilakukan puasa pada malam harinya. Pemeriksaan
paling baik dilakukan pada jam tersebut, karena pada waktu kadar glukosa darah
meningkat, atau biasa disebut dawn phenomenon. Dawn phenomenon merupakan
kondisi normal terjadinya peningkatan kadar glukosa darah di pagi hari sebagai
persiapan tubuh untuk melakukan aktivitas. Pada manusia normal, peningkatan
kadar glukosa darah ini diimbangi pula dengan produksi insulin, sehingga kadar
glukosa tetap dalam batas normal. Hal ini berbeda jika dibandingkan dengan
pasien diabetes, di mana kadar glukosa darah cukup tinggi (ADA, 2013).
Dawn phenomenon juga terjadi pada tikus laboratorium (Bailey, 2014)
namun terjadi pada awal malam hari karena tikus merupakan hewan nokturnal
(Gale, 2011). Sehingga pemeriksaan kadar GDP dilakukan sekitar pukul 18.00 –
19.00 setelah tikus dipuasakan selama siang hari. Selain itu, pada penelitian oleh
Sun (2016) juga telah membuktikan bahwa tikus yang dipuasakan selama siang

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


46

hari memiliki variasi nilai GDP yang konsisten lebih rendah dibanding tikus yang
dipuasakan selama malam hari. Pada penelitian ini pemeriksaan kadar GDP
dilakukan pada jam 18.00-19.00 petang. Nilai rerata dan standar deviasi kadar
GDP tikus selama uji dijelaskan pada tabel 4.4. dan nilai persentase penurunan
kadar glukosa darah tikus dijelaskan pada tabel 4.5.

Tabel 4.4. Nilai Rerata dan Standar Deviasi Kadar Glukosa Darah Tikus
Kadar Glukosa Darah (mg/dL)
Waktu Kontrol Positif Dosis Tinggi Dosis Sedang Dosis Rendah
Sebelum Induksi 104,2 ± 19,31 110 ± 9,08 98,2 ± 13,57 94,6 ± 11,87
Setelah Induksi 354,6 ± 163,34 289 ± 85,4 282,6 ± 122,24 325,4 ± 143,63
Hari Ke-7 237,4 ± 139,37 147,2 ± 19,25 220,4 ± 77,82 290 ± 133,84
Hari Ke-14 188,6 ± 103,23 162,2 ± 54,04 189,6 ± 111,37 259 ± 110,24
Hari Ke-21 127,8 ± 30,51 122,8 ± 19,38 144,6 ± 44,55 188,4 ± 76,66
Data ditampilkan dalam bentuk Rerata ± Standar Deviasi

Grafik Rerata Kadar Glukosa Darah Tikus Uji Metode Induksi


Aloksan
400
Kadar Glukosa darah (mg/dL)

350
300
250
dosis tinggi
200
150 dosis sedang
100 dosis rendah
50
0 kontrol positif
kontrol negatif
kontrol normal

Tabel 4.5 Persentase Penurunan Kadar Glukosa Darah Tikus

Kelompok Uji Hari Ke-7 Hari Ke-14 Hari Ke-21


Kontrol Positif 33,05% 46,81% 63,96%
Dosis Tinggi 48,89% 43,87% 57,36%
Dosis Sedang 22,01% 32,91% 48,83%
Dosis Rendah 10,88% 20,41% 42,10%

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


47

Berdasarkan penelitian, diketahui bahwa di antara kelompok dosis rendah,


sedang, dan tinggi, kelompok dosis yang menunjukkan persentase penurunan
kadar glukosa darah dari paling besar adalah kelompok dosis tinggi (57,36%),
kemudian kelompok dosis sedang (48,83 %) dan kelompok dosis rendah (42,1%).
Persentase penurunan ketiga dosis yang diberikan ini masih di bawah penurunan
kadar glukosa oleh kontrol positif yaitu sebesar 63,96%. Berdasarkan persentase
penurunan kadar glukosa darah, dapat disimpulkan bahwa penurunan kadar
glukosa darah bersifat dose-dependent, di mana peningkatan dosis ekstrak
menyebabkan peningkatan efek penurunan kadar glukosa darah tikus yang
diinduksi aloksan.
Analisa hasil pengukuran kadar glukosa darah tikus dilakukan
menggunakan program SPSS 22.0. Hasil analisa data dapat dilihat pada lampiran
16. Uji yang pertama dilakukan yaitu uji normalitas dan homogenitas. Uji
normalitas dilakukan untuk mengetahui apakah data di setiap kelompok uji
memiliki sebaran yang normal atau tidak. Uji normalitas dilakukan menggunakan
metode Kolmogorov-Smirnof. Sedangkan uji homogenitas dilakukan bertujuan
untuk mengetahui apakah antar kelompok uji memiliki varian data yang sama atau
tidak. Uji homogenitas dilakukan menggunakan metode Levene. Data dikatakan
memiliki sebaran normal dan homogen jika memiliki nilai signifikansi ≥ 0,05
(Dahlan, 2012).
Secara statistika, penelitian ini termasuk ke dalam penelitian analitik
komparatif numerik tidak berpasangan. Untuk analisa data, uji yang pertama
dilakukan yaitu uji normalitas dan homogenitas. Jika data terdistribusi normal dan
memiliki varian yang homogen, data dianalisa dengan metode One-Way ANOVA
yang dilanjutkan dengan uji Beda Nyata Terkecil (BNT). Jika data tidak
terdistribusi normal dan memiliki varian yang homogen, maka data dianalisa
dengan uji Kruskal-Wallis yang dilanjutkan dengan uji Mann-Whitney (Dahlan,
2012).
Berdasarkan hasil analisis data, diketahui bahwa data yang diperoleh tidak
tersebar normal pada hari ke-21 (p ≤ 0,05). Data juga tidak memiliki varian yang
homogen pada waktu setelah induksi, hari ke-7, dan hari ke-21 setelah pemberian
ekstrak (p ≤ 0,05). Karena terdapat data yang tidak terdistribusi normal serta tidak

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


48

homogen, maka pengolahan data tidak bisa dilakukan dengan metode One-Way
ANOVA. Pengolahan data selanjutnya dilakukan dengan metode Kruskal-Wallis.
Berdasarkan hasil analisa dengan metode Kruskal-Wallis, diketahui bahwa
semua kelompok memiliki perbedaan secara bermakna pada waktu setelah
induksi, pada hari ke-7, ke-14, dan ke-21 (p ≤ 0,05) serta tidak memiliki
perbedaan bermakna pada waktu sebelum induksi (p ≥ 0,05). Analisis selanjutnya
dilanjutkan dengan metode Mann-Whitney untuk mengetahui ada atau tidaknya
perbedaan secara bermakna antara kelompok.
Hasil uji Mann-Whitney menunjukkan bahwa secara statistik kelompok
kontrol positif, dosis 160 mg/kgBB, dan dosis 320 mg/kgBB memiliki perbedaan
bermakna dengan kontrol negatif. Hal ini menunjukkan bahwa kelompok ini
memiliki aktivitas dalam menurunkan kadar glukosa darah tikus. Senyawa
metabolit sekunder yang dikandung ekstrak etanol biji rambutan berperan penting
dalam aktivitas antihiperglikemik yang ditimbulkan. Berdasarkan penapisan
fitokimia yang sudah dilakukan, ekstrak etanol 70% biji rambutan positif
mengandung alkaloid, flavonoid, serta tannin.
Alkaloid terbukti memiliki efek antihiperglikemik dengan cara
menurunkan transport glukosa melewati epitel intestinal. Alkaloid juga terbukti
berperan dalam regenerasi sel islet pankreas serta menghambat enzim α
glukosidase (Narender, 2011). Flavonoid terbukti mampu menurunkan kadar
glukosa darah dengan cara menghambat absorpsi glukosa serta meningkatkan
toleransi glukosa. Flavonoid juga terbukti mampu menghambat kerja enzim α
glukosidase. Selain itu, flavonoid juga terbukti bekerja menyerupai insulin, yaitu
bekerja dengan menstimulasi ambilan glukosa pada jaringan perifer serta berperan
dalam ekspresi enzim yang berperan dalam jalur metabolisme karbohidrat
(Brahmachari, 2011).
Tanin terbukti memiliki efek sebagai antioksidan (Amarowicz, 2007) yang
bermanfaat dalam mengendalikan kadar glukosa darah. Pada kondisi
hiperglikemia, jumlah stres oksidatif meningkat yang menyebabkan menurunnya
jumlah sel β pankreas dan sekresi insulin. Adanya antioksidan dapat
meningkatkan jumlah sel β pankreas serta menstimulasi sekresi insulin (Kajimoto
dan Kaneto, 2004). Pada penelitian yang dilakukan oleh Thitilertdecha (2010)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


49

membuktikan bahwa senyawa tanin yang paling banyak terkandung pada kulit
buah rambutan adalah geraniin. Namun masih perlu dilakukan penelitian lanjutan
apakah senyawa tersebut juga merupakan senyawa tanin yang terkandung pada
biji rambutan.

4.6.2. Uji Aktivitas Penghambatan Enzim α Glukosidase


Penelitian oleh Zulhipri (2007) membuktikan bahwa ekstrak metanol biji
rambutan memiliki aktivitas penghambatan terhadap enzim α glukosidase.
Sehingga pada penelitian ini akan dibuktikan bagaimana aktivitas ekstrak etanol
biji rambutan terhadap enzim α glukosidase.
Enzim α glukosidase merupakan enzim pada intesinal yang bekerja
menghidrolisis karbohidrat sehingga terpecah menjadi monosakarida dan dapat
diabsorpsi dalam saluran cerna. Penghambat enzim α glukosidase dapat
menghambat absorpsi karbohidrat sehingga menghambat peningkatan kadar
glukosa darah postprandial (Brunton (ed), 2008; Hayakawa, 1984). Pada uji
aktivitas enzim α glukosidase ini, digunakan pembanding positif akarbosa, suatu
oligosakarida yang bekerja secara kompetitif menghambat kerja enzim α
glukosidase seperti α amilase, sukrase, dan maltase (Hayakawa, 1984). Larutan
gula yang dibebankan pada tikus uji yaitu sukrosa yang termasuk dalam golongan
disakarida.
Uji dilakukan pada tiga kelompok uji, yaitu kelompok kontrol positif,
kelompok kontrol negatif, serta kelompok dosis uji. Dosis yang diberikan untuk
kelompok dosis uji yaitu ekstrak etanol 70% biji rambutan dosis 320 mg/kgBB.
Pemilihan dosis ini dilakukan berdasarkan kelompok dosis yang memberikan
aktivitas paling optimum pada uji dengan metode induksi aloksan.
Sebelum perlakuan, hewan uji dipuasakan selama 12 jam dengan tetap
mendapat akses air minum. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan kadar glukosa
darah awal yang seragam serta untuk memastikan perubahan kadar glukosa darah
tikus nantinya tidak dipengaruhi apapun selain sediaan uji dan larutan sukrosa
yang diberikan. Nilai rerata dan standar deviasi kadar glukosa darah tikus dari
setiap kelompok dijelaskan pada tabel 4.6.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


50

Tabel 4.6. Rata-Rata dan Standar Deviasi Kadar Glukosa Darah


Kadar Glukosa Darah (mg/dL)
Waktu
Kontrol Negatif Kontrol Positif Dosis 320 mg/kgBB
Menit ke-0 103,4 ± 9,29 99,8 ± 8,23 99,8 ± 13,44
Menit ke-30 140,4 ± 21,89 126,4 ± 14,21 155,6 ± 11,37
Menit ke-60 193,8 ± 25,06 165,6 ± 21,76 134,6 ± 11,37
Menit ke-90 133,8 ± 22,08 128,2 ± 8,53 126,4 ± 10,78
Menit ke-120 106,8 ± 28,31 113,6 ± 16,26 101,4 ± 18,49
Data ditampilkan dalam bentuk Rerata ± Standar Deviasi

Grafik Rerata Kadar Glukosa Darah Tikus Uji Penghambatan


Enzim α Glukosidase
250
Kadar Glukosa Darah (mg/dL)

200

150
Kontrol Positif
100 Kontrol Negatif

50 Dosis 320 mg/kgBB

0
0 30 60 90 120 150
Menit ke-

Analisa data dilakukan menggunakan aplikasi SPSS 22.0. Hasil analisa


data dapat dilihat pada lampiran 17. Uji yang pertama dilakukan yaitu uji
normalitas menggunakan metode Kolmogorov-Smirnov serta uji homogenitas
menggunakan metode Levene. Berdasarkan hasil analisa, data yang didapat
terdistribusi normal dan memiliki varian yang homogen (p ≥ 0,05) sehingga uji
bisa dilanjutkan menggunakan metode One-Way ANOVA.
Berdasarkan uji One-Way ANOVA, diketahui bahwa terdapat perbedaan
bermakna pada menit ke-60 (p ≤ 0,05). Analisa data dilanjutkan dengan uji Beda
Nyata Terkecil (BNT) untuk mengetahui kelompok manakah yang memiliki
perbedaan secara bermakna. Berdasarkan uji BNT, diketahui bahwa kelompok
dosis tinggi berbeda secara bermakna dengan kontrol negatif pada menit ke-60 (p
≤ 0,05). Hal ini menunjukkan adanya efek penghambatan peningkatan kadar
glukosa darah yang signifikan pada kelompok dosis tinggi.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


51

Berdasarkan uji BNT juga terlihat adanya perbedaan yang bermakna


antara kelompok kontrol positif dan kelompok dosis uji pada menit ke-60 (p ≤
0,05). Meskipun demikian, dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan dalam waktu
puncak kadar glukosa darah tertinggi. Pada kelompok dosis uji, kadar glukosa
darah tertinggi terlihat pada menit ke-30 dan mengalami penurunan pada menit
ke-60. Sedangkan pada kelompok kontrol positif, kadar glukosa darah menit ke-
30 tidak berbeda bermakna dengan kelompok kontrol dosis uji, dan masih
mengalami kenaikan serta mengalami puncak kadar glukosa darah pada menit ke-
60. Hal ini menunjukkan ekstrak etanol biji rambutan dosis tinggi lebih kuat
berikatan dengan enzim α glukosidase jika dibandingkan dengan kontrol positif.
Aktivitas penghambatan peningkatan kadar glukosa darah dari ekstrak
etanol biji rambutan disebabkan adanya senyawa metabolit sekunder yang
terkandung. Senyawa metabolit sekunder yang terkandung yaitu alkaloid dan
flavonoid terbukti memiliki aktivitas dalam penghambatan enzim α glukosidase
(Narender, 2011; Brahmachari, 2011).

4.6.2. Pengamatan Histologi Pankreas


Pada penelitian ini pengamatan histologi dilakukan untuk memberikan
gambaran histologi pulau langerhans tikus uji. Setelah dilakukan pengukuran
kadar glukosa darah puasa tikus pada hari ke-21, tikus diterminasi kemudian satu
tikus dari setiap kelompok diambil organ pankreasnya untuk dilakukan
pengamatan histologi. Tikus yang diambil organ pankreasnya dipilih berdasarkan
nilai persentase penurunan kadar glukosa darah yang paling besar dalam satu
kelompok. Pengamatan dilakukan menggunakan mikroskop cahaya (Olympus
SZ61) secara dekskriptif dengan perbesaran 400 x.
Pulau langerhans tikus terdiri dari beberapa macam sel yaitu sel α, sel β,
sel δ, dan sel PP. Jumlah sel β pada pulau langerhans tikus paling banyak
dibandingkan dengan sel lain, yaitu mencapai 60-80% dari pulau langerhans
(Steiner, 2010). Pada penelitian ini, preparat pankreas diberi pewarnaan
hematoksilin eosin. Pada pewarnaan dengan metode ini mampu untuk
menggambarkan pulau langerhans tikus uji. Parameter dalam pengamatan
histologi ini adalah gambaran deskriptif pulau langerhans serta penghitungan
jumlah sel pada pulau langerhans pankreas tikus uji. Penggambaran pulau

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


52

langerhans tikus uji ditunjukkan pada gambar 4.1. dan jumlah sel pada pulau
langerhans masing-masing kelompok dijelaskan dalam tabel 4.7.
Berdasarkan pengamatan mikroskopik, dapat terlihat bahwa pada tikus
kelompok kontrol normal, kontrol positif dan pada kelompok dosis 320 mg/kgBB
pulau langerhans tikus terlihat dengan jelas dan luas. Berbeda halnya dengan pada
kelompok kontrol negatif, kelompok dosis 80 mg/kgBB dan dosis 160 mg/kgBB
pulau langerhans tikus terlihat jauh lebih sempit.

Gambar 4.1. Gambaran Histologi Pankreas Tikus Uji

Kontrol normal Kontrol positif

Kontrol negatif Dosis rendah

Dosis sedang Dosis tinggi

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


53

Berdasarkan penghitungan sel pada pulau langerhans tikus juga diketahui


bahwa jumlah sel pada pulau langerhans paling banyak terdapat pada kelompok
normal. Sedangkan jumlah sel pulau langerhans yang paling sedikit terlihat pada
kelompok kontrol negatif. Hal ini menunjukkan bahwa aloksan terbukti dapat
menyebabkan kematian sel β pankreas. Sedangkan untuk kelompok dosis uji, hasil
pengamatan membuktikan bahwa ekstrak etanol biji rambutan dosis tinggi mampu
mengurangi kerusakan pada pulau langerhans tikus dengan paling baik
dibandingkan kelompok dosis sedang dan dosis rendah. Hal ini dilihat dari jumlah
sel pada kelompok dosis tinggi paling mendekati jumlah sel pada kelompok
kontrol positif.

Tabel 4.7. Jumlah Sel Pulau Langerhans Pankreas Tikus Uji

Kelompok Perlakuan Jumlah Sel pada Pulau


Langerhans Tikus Uji
Kontrol normal 143
Kontrol positif 120
Kontrol negatif 28
Dosis tinggi 98
Dosis sedang 47
Dosis rendah 39

Aloksan merupakan salah satu senyawa kimia yang sering digunakan


sebagai penginduksi diabetes. Aloksan merupakan turunan urea yang dapat
menyebabkan nekrosis secara selektif pada sel β pankreas (Etuk, 2010). Di dalam
tubuh, aloksan dapat membentuk reactive oxygen species (ROS) yang merupakan
mediator penting dalam perusakan sel β pankreas (Hosseini, 2015). Sel β pankreas
rentan terhadap stres oksidatif karena sel β pankreas menunjukkan aktivitas serta
ekspresi enzim yang sangat rendah dibandingkan dengan jaringan lainnya, di
mana enzim ini penting dalam proteksi sel terhadap stres oksidatif. Enzim yang
dimaksud antara lain katalase, glutathione peroxidase, cytosolic Cu2+/Zn2+
dismutase dan mitochondrial Mn2+ dismutase (Lenzen, 1996).
Sel β pankreas memiliki kemampuan untuk beregenerasi demi
mempertahankan keseimbangan kadar glukosa darah, meskipun kemampuan
regenerasi ini akan menurun dan prosesnya akan semakin lambat seiring dengan
bertambahnya usia (Hosseini, 2015). Regenerasi sel β pankreas dapat terjadi

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


54

melalui replikasi sel β yang masih hidup atau melalui neogenesis stem cell dan sel
progenitor. Neogenesis dapat berasal dari sel tipe lain pada pankreas, misalnya sel
α, sel δ, epitel duktus, sel acinar, dan sel sentroacinar. Namun, proses ini
membutuhkan aktivator seperti hormon, growth factor, dan aktivator lainnya
(Bouwens, 2005).
Penelitian mengenai efek ekstrak biji rambutan terhadap histologi
pankreas mencit pernah dilakukan sebelumnya oleh Rahayu (2013). Hasil
pemeriksaan histologi pada penelitian ini membuktikan bahwa air seduhan biji
rambutan memiliki aktivitas pada proses regerasi sel β pankreas, dengan jumlah
sel β pankreas yang hidup pada mencit kelompok dosis tinggi (3,12 g/kg BB)
hampir sama dengan jumlah sel β pankreas mencit kelompok kontrol positif.
Kemampuan perbaikan sel islet pankreas oleh ekstrak etanol biji rambutan
disebabkan oleh senyawa metabolit sekunder yang terkandung. Senyawa
metabolit sekunder yang terkandung dalam ekstrak etanol biji rambutan yaitu
alkaloid terbukti berperan dalam regenerasi sel islet pankreas (Narender, 2011).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat diambil beberapa
kesimpulan sebagai berikut:
1. Setelah dilakukan pemberian ekstrak etanol 70% biji rambutan selama 21
hari, presentase penurunan kadar glukosa darah terbesar ditunjukkan pada
kelompok uji dosis 320 mg/kgBB yaitu sebesar 57,36%. .
2. Ekstrak etanol biji rambutan dosis 320 mg/kgBB terbukti mampu
menghambat peningkatan kadar glukosa darah postprandial tikus uji
dengan lebih cepat dibandingkan dengan kelompok kontrol positif.
3. Pada pengamatan histologi, ekstrak biji rambutan dosis 320 mg/kgBB
terbukti paling baik dalam perbaikan kerusakan langerhans pankreas tikus.

5.2. Saran
Perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai dosis efektif maksimal
dalam menurunkan kadar glukosa darah serta uji toksisitas dari ekstrak etanol
70% biji rambutan.

55 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


DAFTAR PUSTAKA

Afika, M., Sastramihardja, H. S., Indriyanti, R. A. 2015. Efek Ekstrak Etanol Biji
Rambutan (Nephelium lappaceum L.) dalam Menurunkan Kadar Glukosa
Darah Puasa Mencit Model Diabet. Prosiding Pendidikan Dokter ISSN:
2460-657X
Amarowicz, R. 2007. Tannin: The New Natural Antioxidants. European Journal
of Lipid Science and Technology Vol. 109 page 549-551
American College of Clinical Pharmacy. 2013. Pharmacotherapy Review
Program for Advanced Clinical Pharmacy Practice. Lenexa, Kansas:
American College of Clinical Pharmacy
American Diabetes Association. 2013. Dawn Phenomenon.
http://www.diabetes.org/living-with-diabetes/treatment-and-care/blood-
gluc ose-control/dawn-phenomenon.html
Anonim. 2014. Standard Operating Procedure Preparing Pancreas Section for
Histology. Duarte, California: Integrated Islet Distribution Program
Armitage, D. 2004. Rattus norvegicus. Animal Diversity Web. Diakses tanggal 28
Maret 2016 dari http://animaldiversity.org/accounts/Rattus_norvegicus/
Aronoff, S. L. et al. 2004. Glucose Metabolism and Regulation: Beyond Insulin
and Glucagon. Diabetes Spectrum Vol. 17 (3)
Ayoola, G. A. et al. 2008. Phytochemical Screening and Antioxidant Activities of
Some Selected Medicinal Plants Used for Malaria Therapy in
Southwestern Nigeria. Tropical Journal of Pharmaceutical Research 7 (3)
1019-1024
Bailey, S. M., Udoh, U. S., dan Young, M. E. 2014. Circadian Regulation of
Metabolism. Journal of Endocrinology Vol. 222 No. 2
Bouwens, L., Rooman, I. 2005. Regulation of Pancreatic Beta-Cell Mass.
Physiological Reviews Vol 85 Page 1255-1270
Bowen, R. 2002. The Endocrine Pancreas: Introduction and Index. Diakses pada
25 April 2016 dari http://arbl.cvmbs.colostate.edu/hbooks/pathphys/
endocrine/pancreas/
Brahmachari, G. 2011. Bio-Flavonoids with Promising Antidiabetic Potentials: A
Critical Survey. Opportunity, Challange, and Scope of Natural Product in
Medicinal Chemistry page 187-212
Brunton, L. L. et al (ed). 2008. Goodman & Gilman’s: Manual of Pharmacology
and Therapeutics. United States: McGraw-Hill Companies

56 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


57

Dahlan, S. M. 2012. Statistik untuk Kedokteran dan Kesehatan: Deskriptif,


Bivariat, dan Multivariat Dilengkapi Aplikasi dengan Menggunakan SPSS.
Jakarta: Salemba Medika
Dalimartha, S. 2003. Atlas Tumbuhan Obat Indonesia Jilid 3. Jakarta: Puspa
Swara
Departemen Kesehatan RI. 1995. Materia Medika Indonesia Jilid VI. Jakarta:
Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan
Departemen Kesehatan RI. 2000. Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan
Obat. Jakarta: Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan
Departemen Kesehatan RI. 2005. Pharmaceutical Care untuk Penyakit Diabetes
Mellitus. Direktorat Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan
Departemen Kesehatan RI. 2013. Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia
Departemen Pertanian. 2003. Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor
518Kpts/PD.210/10/2003 tentang Pelepasan Rambutan Parakan sebagai
Varietas Unggul Jakarta
DiPiro, J. T. et al. 2005. Pharmacotherapy: A phisiologic Approach. McGraw-
Hill
Dubowski, K. M. 2008. An o-Toluidine Method for Body Fluid Glucose
Determination. Clinical Chemistry 54:11 1919-1920
Duxbury, M. 2004. An Enzymatic Clinical Chemistry Laboratory Experiment
Incorporating an Introduction to Mathematical Method Comparison
Techniques. Biochemistry and Molecular Biology Education Vol. 32, No.
4, Page 246–249,
Etuk, E. U. 2010. Animal Model for Studying Diabetes Mellitus. Agriculture and
Biology Journal of North America 1 (2): 130-134
Evans, W. C. 2002. Trease & Evans Pharmacognosy 15th Edition. Elsevier
Federiuk, I. F. et al. 2004. Induction of Type-1 Diabetes Mellitus in Laboratory
Rats by Use of Alloxan: Route of Administration, Pitfalls, and Insulin
Treatment. Comparative Medicine Vol. 54 No. 3 Page 252-257
Foltz, C. J., Ullman-Cullere, M. 1999. Guidelines for Assessing the Health and
Condition of Mice. Lab Animal Vol. 28 No. 4
Fransworth, N. R. 1966. Biological and Phytochemical Screening of Plants.
Journal of Pharmaceutical Sciences Vol. 55 No. 3

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


58

Gale, J. E. et al. 2011. Disruption of Circadian Rhythms Accelerates Development


of Diabetes through Pancreatic Beta-Cell Loss and Dysfunction. Journal of
Biological Rhythms Vol 26 No 5 Page 423-433
Ghorbani, A. 2013. Best Herbs for Managing Diabetes: A Review of Clinical
Studies. Braz. J. Pharm. Sci., V.49, P.413-422
Ghorbani, A. 2013. Phytotherapy for Diabetic Dyslipidemia: Evidence from
Clinical Trials. Clin. Lipidol., V.8, P.311-319, 2013b.
Gorus, F. K., Malaisse, W. J., Pipeleers, D. G. 1982. Selective uptake of Alloxan
by Pancreatic B-Cells. The Biochemical Journal Vol. 208 No. 2 Page 513-
515
Gruppuso, P. A. et al. 1990. Hepatic Protein Phosphotyrosine Phosphatase:
Dephosphorylation of Insulin and epidermal Growth Factor Receptors in
Normal and Alloxan Diabetic Rats. Journal of Clinical Investigation Vol.
85; 1754-1760
Handa, S. S., Khanuja, S. P. S., Longo, G., Rakesh, D. D. (ed). 2008. Extraction
Technologies for Medicinal and Aromatic Plants. Trieste, Italia:
International Center for Science and High Technology
Hayakawa, Tetuo et al. 1984. Effect of Acarbose, an α-glucosidase inhibitor (Bay
G 5421), on Orally Loaded Glucose, Maltose, and Sucrose and on Blood
Glucose Control in Non-Insulin-Dependent Diabetics. Nagoya Journal of
Medicine Scienc 47 page 35-41
Heller, A. Feldman, B. 2008. Electrochemical Glucose Sensors and Their
Application in Diabetes Management. Chemical Reviews, 108, page 2482-
2506
Hosseini, A., Shafiee-Nick, R., Ghorbani, A. 2015. Pancreatic Beta Cell
Protection/Regeneration with Phytotherapy. Brazilian Journal of
Pharmaceutical Sciences Vol. 51 No. 1
IDF Diabetes Atlas, 7th edition. 2015. International Diabetes Federation
Integrated Taxonomic Information System. nd. Nephelium lappaceum L..
http://www.itis.gov/servlet/SingleRpt/SingleRpt?search_topic=TSN&searc
h_value=506073
Integrated Taxonomic Information System. nd. Rattus norvegicus.
http://www.itis.gov/servlet/SingleRpt/SingleRpt?search_topic=TSN&searc
h_value=180363
Johnson, M. 2012. Laboratory Mice and Rats. http://www.labome.com/method/
Laboratory-Mice-and-Rats.html
Jorns, A. et al. 1997. Comparative Toxicity of Alloxan, N-Alkylalloxans and
Ninhydrin to Isolated Pancreatic Islets In Vitro. Journal of Endocrinology
Vol. 155 page 283-293

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


59

Kajimoto, Y. dan Kaneto, H. 2004. Role of Oxidative Stress in Pancreatic Beta-


Cell Dysfunction. Annals of The New York Academy of Science page 168-
176
King, J. M., Eigenmann, C. A., Colagiuri, S. 1995. Effect of Ambient
Temperature and Humidity on Performance of Blood Glucose Meters.
Diabetic Medicine: A Journal of The British Diabetic Association Vol. 12,
No. 4, Page 337-340
Koda-Kimble, M. A. et al (ed). 2009. Apllied Therapeutics: The Clinical Use of
Drugs Ninth Edition. USA : Lippincott Williams & Wilkins
Lenzen, S. 2007. Alloxan and Streptozocin Diabetes In Endokrinologie III
Vorträge im Rahmen des Projektes ‘Zeitstrukturen endokriner Systeme’
[Endocrinology III lectures within the ‘time structures of endocrine
systems’ project framework]. Abhandlung der Sächs. Akad. Wiss.,
Mathnaturwiss Klasse, Publisher Saxon Academy of Sciences, Leipzig,
commissioned by S. Hirzel Verlag, Stuttgart/ Leipzig, pp 119–138
Lenzen, S., Drinkgern, J., and Tiedge, M. 1996. Low Antioxidant Enzyme Gene
Expression in Pancreatid Islets Compared with Various Other Mouse
Tissues. Free Radical Biology and Medicine Vol. 20 Issue 3 Page 463-466
Lim, T. K. 2012. Edible Medicinal and Non-Medicinal Plants: Volume 6 p. 62-71.
DOI 10.1007/978-94-007-5628-1
McMillin. 1990. Clinical Methods: The History, Physical, and Laboratory
Examinations. Third Edition. Boston: Butterworths Publisher
Mukhriani. 2014. Ekstraksi, Pemisahan Senyawa, dan Identifikasi Senyawa Aktif.
Jurnal Kesehatan Vol. VII No. 2
Narender, T. Khaliq, T. and Madhur, G. 2011. Naturally Occuring
Antihyperglycemic and Antidyslipidemic Agents. Opportunity, Challange,
and Scope of Natural Product in Medicinal Chemistry page 155-185
National Association for Biomedical Research (NABR). 2015. Mice and Rats:
The Essential Need for Animals in Medical Research. Washington DC
National Center for Biotechnology Information. nd. PubChem Compound
Database; Alloxan CID 5781, https://pubchem.ncbi.nlm.nih.gov/
compound/5781
Pavarini, D. P. et al. 2012. Exogenous influences on plant secondary metabolite
levels. Animal Feed Science and Technology Vol 176 Page 5-16
Pithon, M. M. 2013. Importance of the Control Group in Scientific Research.
Dental Press Journal of Orthodontics Vol. 18 No. 6
Radenkovi´c, M., Stojanovi´c, M., dan Prostran, M. 2015. Experimental Diabetes
Induced by Alloxan and Streptozotocin: The Current State of The Art.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


60

Journal of Pharmacological and Toxicological Methods DOI:


10.1016/j.vascn.2015.11.004.
Rahayu, L. dkk. 2013. Pengaruh Air Seduhan Biji Rambutan (Nephelium
lappaceum L.) terhadap Glukosa Darah dan Histologi Pankreas Mencit
yang Diinduksi Aloksan. Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia Vol. 11 No.
1 28-35
Rohilla, A. and Ali, S., 2012. Alloxan Induced Diabetes: Mechanism and Effect.
International Journal of Research in Pharmaceutical and Biomedical
Science Vol. 3 (2)
Saifudin, Azis. 2014. Senyawa Alam Metabolit Sekunder: Teori, Konsep, dan
Teknik Pemurnian. Yogyakarta: Deepublish.
Sarker, S. D., Latif, Z., and Gray, A. I. 2006. Natural Products Isolation Second
Edition. Totowa, New Jersey: Humana Press
Skelin, M., Rupnik, M., Cencic, A. 2010. Pancreatic Beta Cell Lines and Their
Application in Diabetes Mellitus Research. Altex Vol. 27 2/10
Soeng, S. et al. 2015. Inhibitory Potential of Rambutan Seeds Extract and
Fractions on Adipogenesis in 3T3-L1 Cell Line. Journal of Experimental
and Integrative Medicine Vol. 5 Issue 1
Steiner, D. J. et al. 2010. Pancreatic Islet Plasticity: Interspecies Comparison of
Islet Architecture and Composition. Islets Vol. 2 Page 135-145
Sukandar, E. Y. dkk. 2009. ISO Farmakoterapi. Jakarta: ISFI Penerbitan
Sun, C. et al. 2016. Effect of Fasting Time on Measuring Mouse Blood Glucose
Level. International Journal of Clinical and Experimental Medicine Vol. 9
Page 4186-4189
Sweetman, S.C. (Ed). 2009. Martindale: The Complete Drug Reference 36th
Edition. Pharmaceutical Press
Syifa’, N. 2008. Potensi Ekstrak Etanol Biji Rambutan (Nephelium lappaceum L.)
sebagai Penurun Kadar Gluosa Darah pada Tikus Jantan yang diinduksi
Aloksan. Yogyakarta. Universitas Islam Indonesia. Skripsi
Szkudelski T. 2001. The Mechanism of Alloxan and Streptozotocin Action B
Cells of Rat Pancreas. Physiological Research Vol. 50 Page 536-546
The Institutional Animal Care and Use Committee (IACUC). 2014. Weight Loss
in Research Animals (approved script 2003)
Thitilertdecha, N. et al. Identification of Major Phenolic Compounds from
Nephelium lappaceum L. and Their Antioxidant Activities. Molecules Vol
15 page 1453-1465

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


61

Tonyushkina, K., Nichols, J. H. 2009. Glucose Meters: A Review of Technical


Challenges to Obtaining Accurate Results. Journal of Diabetes Science
and Technology 3(4): 971–980.
Tyrberg, B., Andersson, A., and Borg, L. A. 2001. Species Differences in
Susceptibility of Transplanted and Cultured pancreatic islets to the beta-
cell toxin alloxan. General and Comparative Endocrinology 122 (3), 238-
251
Ulas, M. et al. 2015. Anti-Diabetic Potential of Chromium Histidin in Diabetic
Retinopathy Rats. BioMed Central Complementary and Alternative
Medicine 15:16
Wang, J. 2008. Electrochemical Glucose Biosensors. Chemical Reviews 108 (2)
page 814-825
Wang, Z. et al. 2010. Estimation of Normal Range of Blood Glucose in
Rats. Journal of Hygiene Research. vol. 39(2): pp 133-7, 142.
World Health Organization. 2000. General Guidelines for Methodologies on
Research and Evaluation of Traditional Medicine. Geneva: World Health
Organization
World Health Organization. 2003. Manual of Basic Techniques for Health
Laboratory 2nd Edition. Geneva: World Health Organization
World Health Organization. 2006. Defintion and Diagnosis of Diabetes Mellitus
and Intermediate Hyperglycemia: Report of a WHO/IDF Consultation.
Geneva: World Health Organization
World Health Organization. 2015. Diabetes programme: World Diabetes Day
2015. http://www.who.int/diabetes/wdd_2015/en/
World Health Organization. 2016. Diabetes Country Profiles 2016.
http://www.who.int/diabetes/country-profiles/en/
Yamada, S. 2011. Historical Achievements of Self-Monitoring of Blood Glucose
Technology Development in Japan. Journal of Diabetes Science and
Technology Vol. 5, Issue 5
Yuda, A. A. G. P., Rusli R., dan Ibrahim A. 2015. Kandungan Metabolit Sekunder
dan efek Penurunan Glukosa Darah Ekstrak Biji Rambutan (Nephelium
lappaceum L.) pada Mencit (Mus musculus). Jurnal Sains dan Kesehatan
Vol. 1 No. 3
Zulhipri, Kartika, I. R., Sumaji, I. 2007. Uji Fitokimia dan Aktivitas Antidiabetes
ekstrak Biji Rambutan (Nephelium lappaceum L.) dengan Berbagai
Pelarut. Jurnal Kedokteran dan Kesehatan Fakultas Kedokteran
Universitas Tarumanagara Vol. 13 No. 03 89-97

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


62

Lampiran 1. Determinasi Biji Rambutan

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


63

Lampiran 2. Surat Keterangan Kesehatan Hewan

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


64

Lampiran 3. Surat CoA Aloksan

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


65

Lampiran 4. Alur Pembuatan Ekstrak

Biji Rambutan Nephelium lappaceum L.

Determinasi tanaman

Biji dipisahkan dari daging buahnya

Dicuci dengan air bersih dan mengalir

Dikeringkan dengan cara diangin-anginkan

Sortasi kering

Dihaluskan hingga menjadi serbuk

Simplisia biji rambutan

903 gram serbuk biji rambutan dimaserasi dengan


etanol 70%. Disimpan di tempat gelap dan
sesekali diaduk. Pelarut diganti setiap 3 hari.

Disaring dengan kapas dan kertas saring.


Kemudian dilakukan remaserasi hingga
didapat filtrat bening

Maserat dipekatkan dengan rotary


evaporator

Ekstrak kental

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


66

Lampiran 5. Alur Aklimatisasi Hewan Uji Metode Induksi Aloksan

Disiapkan 30 ekor tikus putih jantan


dengan bobot 150-250 gr

Diadaptasikan selama 14 hari

Tikus dikelompokkan secara acak


menjadi 6 kelompok:

5 ekor kelompok kontrol normal

5 ekor kelompok kontrol positif

5 ekor kelompok kontrol negatif

5 ekor kelompok ekstrak etanol biji


rambutan dosis 80 mg/kgBB

5 ekor kelompok ekstrak etanol biji


rambutan dosis 160 mg/kgBB

5 ekor kelompok ekstrak biji rambutan


dosis 320 mg/kgBB

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


67

Lampiran 6. Alur Kerja Uji Induksi Aloksan

Persiapan tikus puasa selama 12 jam

Kontrol Kontrol Kontrol Dosis 80 Dosis 160 Dosis 320


normal negatif Positif mg/kgBB mg/kgBB mg/kgBB

Induksi aloksan dosis 30 mg/200 gr BB tikus

Perkembangan hewan uji selama 7 hari

Pengukuran kadar hiperglikemia awal

Suspensi Suspensi Glibencla Ekstrak Ekstrak Ekstrak


NaCMC NaCMC mid 0,1 Dosis 80 Dosis 160 Dosis 320
0,5% 0,5% mg/200 gr mg/kgBB mg/kgBB mg/kgBB

Ukur kadar gula darah pada hari ke 7, 14, 21, 28 hari

Ambil jaringan pankreas pada hari ke 28 setelah dilakukan pengukuran


kadar gula darah

Analisa data

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


68

Lampiran 7. Alur Kerja Uji Toleransi Glukosa

Tikus dipuasakan selama 12 jam

Kontrol negatif Kontrol positif Dosis tinggi

Ekstrak etanol 70 % biji


Na CMC 0,5 % Akarbosa
rambutan dosis 320 mg/kgBB

Larutan sukrosa 80% sebanyak 4 gr/kg BB tikus atau setara dengan 0,8
g/200 g tikus, lalu segera cek kadar glukosa darah puasa pada menit ke-0

Pemeriksaan kadar glukosa darah pada menit ke 30, 60, 90, dan 120

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


69

Lampiran 8. Perhitungan Dosis

A. Aloksan
Dosis 30 mg/200 g BB tikus
Untuk satu ekor tikus 200 g, maka volume larutan aloksan adalah :
Dosis × Berat Badan
VAO =
Konsentrasi
30 mg
⁄200 g BB ×200 g
= 30 mg⁄
mL
= 1 mL

B. Glibenklamid
km hewan
HED (mg/kg) = dosis hewan (mg/kg) x
km manusia
6
5 mg/60 kg = dosis hewan (mg/kg) x
37
0,083 mg/kg ` = dosis hewan (mg/kg) x 0,162
0,083 mg/kg
Dosis hewan ` =
0,162

Dosis hewan = 0,5 mg/kg


= 0,1 mg/200 g BB
Untuk satu ekor tikus 200 g, maka volume suspensi sediaan glibenklamid
adalah :
Dosis × Berat Badan
VAO =
Konsentrasi
0,1 mg
⁄200 g BB ×200 g
= 0,1 mg⁄
mL
= 1 mL

C. Akarbosa
km hewan
HED (mg/kg) = dosis hewan (mg/kg) x
km manusia
6
50 mg/60 kg = dosis hewan (mg/kg) x
37

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


70

0,83 mg/kg = dosis hewan (mg/kg) x 0,162


0,083 mg/kg
Dosis hewan =
0,162

= 5 mg/kg
= 1 mg/ 200 g
Untuk satu ekor tikus 200 g, maka volume suspensi sediaan akarbosa adalah :
Dosis × Berat Badan
VAO =
Konsentrasi
1 mg
⁄200 g BB ×200 g
= 1 mg⁄
mL
= 1 mL

D. Sukrosa
Dosis = 4 g/kg BB
= 0,8 g/200 g BB
Konsentrasi sukrosa 80 % = 80 mg/ 100 mL = 0,8 mg/mL
Untuk satu ekor tikus 200 g, maka volume larutan adalah :
Dosis × Berat Badan
VAO =
Konsentrasi
0,8 mg
⁄200 g BB ×200 g
= 0,8 mg⁄
mL
= 1 mL

E. Ekstrak biji rambutan


Ekstrak etanol biji rambutan diberikan dalam dosis:
 Dosis rendah = 80 mg/kgBB
 Dosis sedang = 160 mg/kgBB
 Dosis tinggi = 320 mg/kgBB

1. Dosis rendah
Untuk satu ekor tikus 200 g, maka volume suspensi sediaan untuk dosis
rendah adalah :
Dosis rendah = 80 mg/kgBB = 16 mg/200 g BB

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


71

Dosis × Berat Badan


VAO =
Konsentrasi
16 mg
⁄200 g BB ×200 g
= 16 mg⁄
mL
= 1 mL
2. Dosis sedang
Untuk satu ekor tikus 200 g, maka volume suspensi sediaan untuk dosis
sedang adalah :
Dosis sedang = 160 mg/kgBB = 32 mg/200 g BB
Dosis × Berat Badan
VAO =
Konsentrasi
32 mg
⁄200 g BB ×200 g
= 32 mg⁄
mL
= 1 mL
3. Dosis tinggi
Untuk satu ekor tikus 200 g, maka volume suspensi sediaan untuk dosis
tinggi adalah :
Dosis tinggi = 320 mg/kgBB = 64 mg/200 g BB
Dosis × Berat Badan
VAO =
Konsentrasi
64 mg
⁄200 g BB ×200 g
= 64 mg⁄
mL
= 1 mL

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


72

Lampiran 9. Penapisan Fitokimia Ekstrak

No. Uji Keterangan gambar Indikator hasil positif Hasil


kandungan
1 Alkaloid (a) Pereaksi Hasil : +
Dragendroff: (a) Menggunakan
adanya endapan pereaksi dragendorf
berwarna oranye terbentuk endapan

(a) (b) hingga merah (b) Menggunakan


(b) Pereaksi Mayer: pereaksi meyer
terbentuk dengan terbentuk endapan
endapan berwarna putih kekuningan (+)
putih atau kuning.
2 Flavonoid Terbentuk warna Hasil : (+)
merah muda, oranye, Terdapat endapan
atau warna merah berwarna oranye
hingga ungu

3 Tanin Terbentuk warna biru, Hasil : +


hijau, biru kehijauan, Terbentuk warna hijau
hijau kecoklatan atau kecokelatan
biru kehitaman
4 Saponin Terbentuknya buih Hasil : (-)
yang stabil selama Setelah pengocokan
tidak kurang dari 10 terbentuk busa yang
menit hilang setelah 10 menit

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


73

5 Steroid dan i. Steroid : Terjadi Hasil : -


triterpenoid perubahan warna Tidak terjadi perubahan
menjadi biru atau warna
biru kehijauan.
ii. Triterpenoid :
terbentuk warna
merah, pink, atau
ungu
6 Antrakuinon Terjadi perubahan Hasil : -
warna pada larutan Tidak terjadi perubahan
warna

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


74

Lampiran 10. Gambar Kegiatan Penelitian

Buah rambutan parakan


Simplisia biji rambutan

Proses filtrasi

Ekstraksi dengan Penguapan filtrat dengan rotary


metode maserasi evaporator Ekstrak etanol 70%
biji rambutan

Pemberian sediaan uji Glukometer GlucoDR


Penimbangan hewan uji

Pengukuran kadar
glukosa darah tikus

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


75

Lampiran 11. Perhitungan Rendemen, Kadar Air, dan Kadar Abu Ekstrak

 Perhitungan Rendemen Ekstrak


Bobot Ekstrak
Persentase rendemen ekstrak = × 100%
Bobot Simplisia

49,19 gram
= × 100%
903 gram

= 5,44 %

 Pemeriksaan Kadar Air


Berat botol timbang kosong = 12,0533 gram
Berat sampel (A) = 2,5365 gram
Berat botol timbang + sampel sebelum dioven (B) = 14,5898 gram
Berat botol timbang + sampel sesudah dioven (C) = 14,3619 gram

% Kadar Air = B - C x 100%


A
= 14,5898 – 14,3619 x 100%
2,5365
= 8,98 %
 Pemeriksaan Kadar Abu
Berat kurs kosong (A) = 37,3845 gram
Berat sampel = 2,5469 gram
Berat kurs + sampel sebelum ditanur (B) = 39,9314 gram
Berat kurs + sampel sesudah ditanur (C) = 37,5573 gram

% Kadar Abu = C – A x 100%


B–A
= 37,5573 – 37,3845 x 100%
39,9314 – 37,3845
= 6,78%

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


76

Lampiran 12 Kadar Glukosa Darah Tikus Uji Pendahuluan

Kadar glukosa darah (mg/dL)


Tikus Sebelum induksi 3 hari setelah 7 hari setelah
induksi induksi
1 100 128 166
2 126 136 161
3 125 287 492
4 (Normal) 92 99 91

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


77

Lampiran 13. Kadar Glukosa Darah Tikus Uji Induksi Aloksan

Kadar Glukosa Darah (mg/dL)


Kelompok
Sebelum Setelah Hari7 Hari14 Hari21
Perlakuan
induksi induksi
Kontrol 1 111 95 105 102 99
normal 2 82 113 57 89 114
3 75 117 111 116 119
4 97 60 87 115 97
5 139 55 96 80 66
Kontrol 1 91 471 355 399 420
negatif 2 92 411 327 328 281
3 115 423 549 554 600
4 111 160 168 168 170
5 88 273 254 281 284
Kontrol 1 138 580 470 372 123
positif 2 101 443 264 143 154
3 98 155 141 123 77
4 93 268 169 153 142
5 91 327 143 152 143s
Dosis 80 1 99 232 178 183 156
mg/kgBB 2 79 486 426 375 284
3 95 462 435 379 254
4 111 289 254 212 143
5 89 158 154 146 105
Dosis 160 1 98 399 216 338 179
mg/kgBB 2 100 379 284 276 196
3 119 332 313 109 129
4 82 159 139 83 83
5 92 144 150 142 136
Dosis 320 1 106 338 131 157 114
mg/kgBB 2 122 178 159 155 133
3 109 216 152 126 108
4 98 359 124 119 107
5 115 354 170 254 152

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


78

Lampiran 14. Kadar Glukosa Uji Penghambatan Aktivitas Enzim α Glukosidase

Kadar Glukosa Darah (mg/dL)


Kelompok Menit ke- Menit ke- Menit ke- Menit ke- Menit ke-
0 30 60 90 120
Kontrol 94 180 222 160 82
negatif 107 162 216 147 72
113 149 189 124 122
138 156 189 135 129
110 125 180 125 120
Kontrol 97 138 174 126 116
positif 106 139 162 125 102
109 139 164 125 122
88 124 145 117 85
99 136 143 134 121
Ekstrak dosis 113 142 132 111 104
tinggi 82 160 137 132 108
103 167 153 133 119
90 142 126 118 106
111 137 112 93 70

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


79

Lampiran 15. Persentase Penurunan Kadar Glukosa Darah Uji Induksi Aloksan

A. Kontrol Positif (Glibenklamid)


354,6−237,4
Hari ke-7 pemberian ekstrak  × 100 % = 33,05 %
354,6
354,6−188,6
Hari ke-14 pemberian ekstrak  × 100 % = 46,81 %
354,6
354,6−127,8
Hari ke-21 pemberian ekstrak  × 100 % = 63,96 %
354,6

B. Dosis Rendah (Ekstrak 80 mg/kg BB)


325,4−289,4
Hari ke-7 pemberian ekstrak  × 100 % = 11,06 %
325,4
325,4−259
Hari ke-14 pemberian ekstrak  × 100 % = 20,41 %
325,4
325,4−188,4
Hari ke-21 pemberian ekstrak  × 100 % = 42,10 %
325,4

C. Dosis Sedang (Ekstrak 160 mg/kg BB)


282,6−220,4
Hari ke-7 pemberian ekstrak  × 100 % = 22,01 %
282,6
282,6−189,6
Hari ke-14 pemberian ekstrak  × 100 % = 32,91 %
282,6
282,6−144,6
Hari ke-21 pemberian ekstrak  × 100 % = 48,83 %
282,6

D. Dosis Tinggi (Ekstrak 320 mg/kg BB)


272,75−147,2
Hari ke-7 pemberian ekstrak  × 100 % = 49,07 %
272,75
272,75−162,2
Hari ke-14 pemberian ekstrak  × 100 % = 43,88 %
272,75
272,75−122,8
Hari ke-21 pemberian ekstrak  × 100 % = 57,51 %
272,75

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


80

Lampiran 16. Analisis Kadar Glukosa Darah Uji Induksi Aloksan

1. Uji Normalitas dan Homogenitas kadar glukosa darah


a. Uji Normalitas Kolmogorov – Smirnov
Tujuan : Untuk melihat distribusi data kadar glukosa darah tikus
Hipotesis : Ho = Data kadar glukosa darah tikus terdistribusi normal
Ha = Data kadar glukosa darah tikus tidak terdistribusi
normal
Pengambilan Keputusan :
 Jika nilai signifikansi ≥ 0,05 maka Ho diterima
 Jika nilai signifikansi ≤ 0,05 maka Ho ditolak

Keputusan : Kadar glukosa tikus tidak terdistribusi normal pada data hari
ke-21 setelah pemberian ekstrak (p ≤ 0,05)

b. Uji Homogenitas Levene


Tujuan : Untuk melihat data kadar glukosa darah tikus uji homogen
atau tidak
Hipotesis : Ho = Data kadar glukosa darah tikus homogen
Ha = Data kadar glukosa darah tikus tidak homogen
Pengambilan Keputusan :
 Jika nilai signifikansi ≥ 0,05 maka Ho diterima
 Jika nilai signifikansi ≤ 0,05 maka Ho ditolak

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


81

Kesimpulan : Data kadar glukosa darah tidak homogen pada waktu setelah
induksi, hari ke-7, dan hari ke-21 (p ≤ 0,05) sehingga analisis dilanjutkan
dengan uji Kruskal-Wallis.

2. Uji Kruskal-Wallis
Tujuan : Untuk melihat ada atau tidaknya perbedaan secara
bermakna pada data kadar glukosa darah tikus uji
Hipotesis : Ho = Data kadar glukosa darah tikus tidak berbeda secara
bermakna
Ha = Data kadar glukosa darah tikus berbeda secara bermakna
Pengambilan Keputusan :
 Jika nilai signifikansi ≥ 0,05 maka Ho diterima
 Jika nilai signifikansi ≤ 0,05 maka Ho ditolak

Kesimpulan : Terdapat perbedaan bermakna pada waktu setelah induksi,


hari ke-7, ke-14, dan ke-21. Sedangkan pada waktu sebelum induksi tidak
terdapat perbedaan secara bermakna. Analisis dilanjutkan dengan uji Mann
Whitney.

3. Uji Mann Whitney


Tujuan : Untuk melihat ada atau tidaknya perbedaan secara bermakna
pada data kadar glukosa darah tikus uji

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


82

Hipotesis : Ho = Data kadar glukosa darah tikus tidak berbeda secara


bermakna
Ha = Data kadar glukosa darah tikus berbeda secara
bermakna
Pengambilan Keputusan :
 Jika nilai signifikansi ≥ 0,05 maka Ho diterima
 Jika nilai signifikansi ≤ 0,05 maka Ho ditolak

a. Kontrol Positif vs Kontrol Negatif

 Tidak ada perbedaan secara bermakna antara kadar glukosa darah


tikus kontrol positif dengan kontrol negatif pada waktu sebelum
induksi, setelah induksi, serta pada hari ke-7.
 Terdapat perbedaan secara bermakna antara kadar glukosa darah
tikus kelompok kontrol positif dengan kontrol negatif pada hari ke-
14 dan ke-21.

b. Kontrol Positif vs Dosis Tinggi

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


83

 Tidak ada perbedaan secara bermakna antara kadar glukosa darah


tikus kontrol positif dengan dosis tinggi pada waktu sebelum
induksi, setelah induksi, serta pada hari ke-7, ke-14 dan ke-21
pemberian ekstrak.
c. Kontrol Positif vs Dosis Sedang

 Tidak terdapat perbedaan secara bermakna antara kadar glukosa


darah tikus kelompok kontrol positif dan dosis sedang pada waktu
sebelum induksi, setelah induksi, hari ke-7, ke-14, dan ke-21
pemberian ekstrak.

d. Kontrol Positif vs Dosis Rendah

 Tidak terdapat perbedaan secara bermakna antara kadar glukosa


darah tikus kelompok kontrol positif dan dosis rendah pada waktu
sebelum induksi, setelah induksi, serta pada hari ke-7, ke-14, dan
ke-21pemberian ekstrak.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


84

e. Kontrol Negatif vs Dosis Tinggi

 Tidak terdapat perbedaan secara bermakna antara kadar glukosa


darah tikus kelompok kontrol negatif dan dosis tinggi pada waktu
sebelum dan setelah induksi.
 Terdapat perbedaan secara bermakna antara kadar glukosa darah
tikus kelompok kontrol negatif dengan dosis tinggi pada hari ke-7,
ke -14, dan ke-21 pemberian ekstrak.

f. Kontrol Negatif vs Dosis Sedang

 Tidak terdapat perbedaan secara bermakna antara kadar glukosa


darah tikus kelompok kontrol negatif dan dosis sedang pada waktu
sebelum induksi, setelah induksi, hari ke-7 dan ke-14 pemberian
ekstrak.
 Terdapat perbedaan secara bermakna antara kadar glukosa darah
tikus kelompok kontrol negatif dengan dosis sedang pada hari ke-
21 pemberian ekstrak

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


85

g. Kontrol Negatif vs Dosis Rendah

 Tidak terdapat perbedaan secara bermakna antara kadar glukosa


darah tikus kelompok kontrol negatif dan dosis rendah pada waktu
sebelum induksi, setelah induksi, hari ke-7, ke-14, dan ke-21
pemberian ekstrak.

h. Dosis Tinggi vs Dosis Sedang

 Tidak terdapat perbedaan secara bermakna antara kadar glukosa


darah tikus dosis tinggi dan dosis sedang pada waktu sebelum
induksi, setelah induksi, serta pada hari ke-7, ke-14, dan ke-21
pemberian ekstrak.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


86

i. Dosis Tinggi vs Dosis Rendah

 Tidak terdapat perbedaan secara bermakna antara kadar glukosa


darah tikus kelompok dosis tinggi dan dosis rendah pada waktu
sebelum induksi, setelah induksi, hari ke-14, dan ke-21 pemberian
ekstrak.
 Terdapat perbedaan secara bermakna antara kadar glukosa darah
tikus kelompok dosis tinggi dengan dosis rendah pada hari ke-7
pemberian ekstrak

j. Dosis Sedang vs Dosis Rendah

 Tidak terdapat perbedaan secara bermakna antara kadar glukosa


darah tikus dosis sedang dan dosis rendah pada waktu sebelum
induksi, setelah induksi, serta pada hari ke-7, ke-14, dan ke-21
pemberian ekstrak.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


87

Lampiran 17. Analisis Kadar Glukosa Darah Uji Aktivitas Penghambatan Enzim
α Glukosidase

1. Uji Normalitas dan Homogenitas kadar glukosa darah


a. Uji Normalitas Kolmogorov – Smirnov
Tujuan : Untuk melihat distribusi data kadar glukosa darah tikus
Hipotesis : Ho = Data kadar glukosa darah tikus terdistribusi normal
Ha = Data kadar glukosa darah tikus tidak terdistribusi
normal
Pengambilan Keputusan :
 Jika nilai signifikansi ≥ 0,05 maka Ho diterima
 Jika nilai signifikansi ≤ 0,05 maka Ho ditolak

Keputusan : Kadar glukosa tikus terdistribusi normal pada data menit ke-0,
30, 60, 90, dan 120 (p ≥ 0,05)

b. Uji Homogenitas Levene


Tujuan : Untuk melihat data kadar glukosa darah tikus uji homogen
atau tidak
Hipotesis : Ho = Data kadar glukosa darah tikus homogen
Ha = Data kadar glukosa darah tikus tidak homogen
Pengambilan Keputusan :
 Jika nilai signifikansi ≥ 0,05 maka Ho diterima
 Jika nilai signifikansi ≤ 0,05 maka Ho ditolak

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


88

Kesimpulan : Data kadar glukosa darah homogen pada menit ke-0, 30, 60,
90, dan 120 (p ≥ 0,05) sehingga analisis dilanjutkan dengan uji analisa
varian (ANOVA) satu arah.

2. Uji analisa varian (ANOVA) satu arah


Tujuan : Untuk melihat ada atau tidaknya perbedaan secara
bermakna pada data kadar glukosa darah tikus uji
Hipotesis : Ho = Data kadar glukosa darah tikus tidak berbeda secara
bermakna
Ha = Data kadar glukosa darah tikus berbeda secara bermakna
Pengambilan Keputusan :
 Jika nilai signifikansi ≥ 0,05 maka Ho diterima
 Jika nilai signifikansi ≤ 0,05 maka Ho ditolak

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


89

Kesimpulan : Terdapat perbedaan bermakna pada menit ke-60 (p ≤ 0,05).


Sedangkan pada menit ke-0, 30, 90, dan 120 tidak terdapat perbedaan secara
bermakna (p ≥ 0,05). Analisis dilanjutkan dengan uji Beda Nyata Terkecil.

3. Uji Beda Nyata Terkecil

Tujuan : Untuk melihat ada atau tidaknya perbedaan secara bermakna


pada data kadar glukosa darah tikus uji
Hipotesis : Ho = Data kadar glukosa darah tikus tidak berbeda secara
bermakna
Ha = Data kadar glukosa darah tikus berbeda secara
bermakna
Pengambilan Keputusan :
 Jika nilai signifikansi ≥ 0,05 maka Ho diterima
 Jika nilai signifikansi ≤ 0,05 maka Ho ditolak

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


90

Kesimpulan : Terdapat perbedaan bermakna antara kelompok kontrol


positif, kontrol negatif, dan kelompok uji pada menit ke-60 (p ≤ 0,05).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


91

Lampiran 18. Foto Hasil Pengukuran Kadar Glukosa Darah Tikus Uji Induksi
Aloksan

Kelompok Sebelum 7 Hari 7 Hari 14 Hari 21 Hari


Perlakuan Induksi Setelah Setelah Setelah Setelah
Induksi Pemberian Pemberian Pemberian
Sediaan Sediaan Sediaan
Kontrol
Normal

Kontrol
negatif

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


92

Kontrol
positif

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


93

Dosis
rendah

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


94

Dosis
sedang

Dosis
tinggi

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


95

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


96

Lampiran 19. Foto Hasil Pengukuran Kadar Glukosa Darah Tikus Uji Aktivitas
Penghambatan Enzim α Glukosidase

Kelompok Menit Ke-0 Menit Ke-30 Menit Ke-60 Menit Ke-90 Menit Ke-
Perlakuan Setelah Setelah Setelah Setelah 120 Setelah
Pemberian Pemberian Pemberian Pemberian Pemberian
Larutan Larutan Larutan Larutan Larutan
Sukrosa Sukrosa Sukrosa Sukrosa Sukrosa
Kontrol
Negatif

Kontrol
Positif

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


97

Dosis
Tinggi

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


98

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Anda mungkin juga menyukai