Anda di halaman 1dari 113

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

PENGARUH VARIASI KONSENTRASI EKSTRAK


KULIT BATANG NANGKA (Artocarpus heterophyllus L.)
TERHADAP KARAKTERISTIK NIOSOM

SKRIPSI

PUSPITA NUR AFIFAH


1111102000122

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN


PROGRAM STUDI FARMASI
JAKARTA
APRIL 2015
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

PENGARUH VARIASI KONSENTRASI EKSTRAK


KULIT BATANG NANGKA (Artocarpus heterophyllus L.)
TERHADAP KARAKTERISTIK NIOSOM

SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi

PUSPITA NUR AFIFAH


1111102000122

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN


PROGRAM STUDI FARMASI
JAKARTA
APRIL 2015
iii
iv
v
ABSTRAK

Nama : Puspita Nur Afifah


Program Studi : Farmasi
Judul : Pengaruh Variasi Konsentrasi Ekstrak Kulit Batang
Nangka (Artocarpus heterophyllus L.) terhadap
Karakteristik Niosom

Tanaman nangka (Artocarpus heterophyllus L.) mengandung polifenol yang


berpotensi sebagai agen depigmentasi melalui penghambatan tirosinase. Ekstrak
kulit batang nangka dapat diformulasikan ke dalam bentuk niosom untuk
meningkatkan kemampuan penetrasi senyawa polifenol melalui stratum korneum.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh variasi konsentrasi dari
ekstrak kulit batang nangka terhadap karakteristik niosom. Niosom dibuat dengan
menggunakan metode hidrasi lapis tipis dalam tiga formula yaitu F1, F2 dan F3
dengan memvariasikan konsentrasi ekstrak kulit batang nangka yaitu berturut-
turut adalah 50 mg, 100 mg dan 150 mg. Niosom yang dihasilkan dikarakterisasi
meliputi analisis ukuran partikel, analisis kadar polifenol yang terjerap serta
persen efisiensi penjerapan. Dihasilkan ukuran partikel pada formula niosom F1,
F2, dan F3 berturut-turut yaitu 207 nm; 168,8 nm dan 150,72 nm, dengan kadar
polifenol yang terjerap sebesar 2,281 mg; 4,127 mg dan 4,608 mg serta efisiensi
penjerapan sebesar 74,40%; 67,30% dan 50,10%. Penelitian ini menunjukkan
bahwa peningkatan konsentrasi dari ekstrak kulit batang nangka yang digunakan
dalam formula niosom menghasilkan penurunan ukuran partikel, peningkatan
kadar polifenol yang terjerap, namun terjadi penurunan efisiensi penjerapan.

Kata Kunci : Ekstrak kulit batang nangka, Artocarpus heterophyllus L.,


niosom, ukuran partikel, efisiensi penjerapan.

vi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


ABSTRACT

Name : Puspita Nur Afifah


Study Program : Pharmacy
Title : The Influence of Concentration Variations of Jackfruit
Cortex Extract (Artocarpus heterophyllus L.) on Niosome
Characteristics

Jackfruit cortex extract (Artocarpus heterophyllus L.) plant contain polyphenols


which has potential as an agents of depigmentation through the inhibition of
tyrosinase. Jackfruit cortex extract can be formulated into a niosome to enhance
the penetration capability of polyphenol compounds through the stratum corneum.
The aims of this study were to determine the influence of varying concentrations
of the jackfruit cortex extract on niosome characteristics. Niosome were prepared
by thin film hydration method in three formulas, F1, F2 and F3 with varying
concentrations of jackfruit cortex extract were respectively 50 mg; 100 mg and
150 mg. Niosome were characterized for particle size, polyphenols level and
entrapment efficiency. The particle size of resulting niosome for F1, F2 and F3
were respectively 207 nm; 168.8 nm and 150.72 nm, the polyphenols level were
2.281 mg; 4.127 mg; 4.608 mg and the entrapment efficiency 74.40%; 67.30%
and 50.10%. This study shows that particle size and entrapment efficiency were
decreased while the polyphenols level were increased by increasing the
concentration of jackfruit cortex extract in the niosomal formulas.

Keywords : Jackfruit cortex extract, Artocarpus heterophyllus L.,


niosome, particle size, entrapment efficiency.

vii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirobbil’alamin, segala puji bagi Allah SWT, yang telah


melimpahkan rahmat, taufik dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan penelitian dan menyusun skripsi berjudul “Pengaruh Variasi
Konsentrasi Ekstrak Kulit Batang Nangka (Artocarpus heterophyllus L.)
terhadap Karakteristik Niosom” dengan baik. Shalawat serta salam senantiasa
penulis curahkan kepada Nabi Besar Muhammad SAW sebagai tauladan umat
manusia, semoga kita dapat menjunjung nilai-nilai Islam yang beliau ajarkan dan
semoga kita mendapat syafaat beliau.
Selama penyusunan dan penyelesaian skripsi ini, penulis telah
memperoleh bantuan dari berbagai pihak yang senantiasa meluangkan waktu
dalam memberikan bimbingan, petunjuk, saran serta dorongan kepada penulis
dalam penyusunan skripsi ini. Selesainya penyusunan skripsi ini tidak lepas dari
bantuan berbagai pihak, maka pada kesempatan ini perkenanlah penulis
menyampaikan ucapan terimakasih dan penghargaan yang tulus dan sebesar-
besarnya kepada :
1. Ibu Yuni Anggraeni, M.Farm., Apt Sebagai pembimbing I dan Ibu Afriani
Rahma, M.Farm., Apt Sebagai pembimbing II yang dengan sabar
memberikan bimbingan, ilmu, masukan, dukungan, dan semangat kepada
penulis.
2. Pemerintah Kabupaten Musi Banyuasin selaku pemberi beasiswa,
sehingga penulis dapat menempuh pendidikan di Program Studi Farmasi
FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Bapak Drs. Umar Mansur, M.Sc., Apt selaku Ketua Program Studi
Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
4. Ibu Ofa Suzanti Betha, M.Si., Apt selaku Sekretaris Program Studi
Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.

viii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


5. Bapak dan Ibu Dosen Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan
Ilmu Kesehatan yang telah memberikan ilmunya kepada penulis.
6. Kedua orang tua tercinta Ayahanda H. Khusen Basuki, A.Ma dan Ibunda
Hj. Siti Fadhilah, A.Ma yang senantiasa memberikan kasih sayang,
dukungan baik moril maupun materil, serta doa tanpa henti yang menyertai
setiap langkah penulis. Terimakasih atas segala perjuangan dan
pengorbanan yang telah dilakukan, semoga Allah SWT membalasnya
dengan surga.
7. Kakak-kakakku tercinta Muflikhul Hasan, S. Ag, Elis Ernawati, S. Pd, Rita
Hikmawati, S. Pdi, Yuli Rahmawati, S. Pd yang dengan sangat ikhlas dan
sabar mendengarkan segala keluh kesah penulis.
8. Keluarga besar tersayang, para keponakanku tercinta, Mia, Kia, Sarah,
Nasywa, Bela, Rizki, Fahmi, Ari, Rainan, Lia, Daffa, yang sudah menjadi
cambuk semangat bagi penulis untuk selalu berusaha memberikan yang
terbaik.
9. Cakra Nugraha, S.T., atas semangat, motivasi dan kesabarannya
mendengarkan segala keluh kesah penulis.
10. Sahabat-sahabat tersayang Umni, Nando, Cemon, dan teman D8 yang lain
karena telah meyakinkan bahwa teman sejati itu ada dan menjadi teman-
teman terbaik. Terimakasih karena selalu ada bagi penulis baik selama
perkuliahan sampai dengan selesainya skripsi ini.
11. Teman-teman Ash-Shof angkatan 2011, Gina, Nayla, Donna, Umi, Adek
Amay, Teh Vina, Herlina, Meri, yang telah senantiasa menjadi teman
terbaik bagi penulis.
12. Laboran Farmasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Kak Tiwi, Mbak Rani,
Kak Eris, Kak Lisna, Kak Liken, Kak Rahmadi yang membantu penulis
mempersiapkan alat dan bahan selama penelitian.
13. Teman–teman Farmasi 2011 atas persaudaraan dan kebersamaan yang
telah banyak membantu dan memotivasi penulis baik selama pengerjaan
skripsi ini maupun selama di bangku perkuliahan.
14. Semua pihak yang turut membantu dan mendoakan yang tidak bisa penulis
sebutkan satu persatu.

ix UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini masih belum sempurna
dan banyak kekurangan. Oleh karena itu saran serta kritik yang membangun
sangat diharapkan. Dengan segala kerendahan hati, penulis berharap semoga hasil
penelitiana ini bermanfaat bagi program studi farmasi serta kalangan akademis
dan dunia ilmu pengetahuan. Amin Ya Robbal’alamin.

Jakarta, 28 April 2015

Penulis

x UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


xi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
DAFTAR ISI

Hal
HALAMAN JUDUL ...................................................................................... ii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ......................................... iii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .......................................... iv
HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI ....................................................... v
ABSTRAK ...................................................................................................... vi
ABSTRACT ..................................................................................................... vii
KATA PENGANTAR .................................................................................... viii
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ............... xi
DAFTAR ISI ................................................................................................... xii
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... xv
DAFTAR TABEL .......................................................................................... xvi
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. xvii
BAB 1 PENDAHULUAN .............................................................................. 1
1.1. Latar Belakang ........................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah ...................................................................... 3
1.3. Tujuan Penelitian ....................................................................... 3
1.4. Manfaat Penelitian ..................................................................... 3
1.5. Hipotesis Penelitian.................................................................... 3

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................... 4


2.1. Kulit .......................................................................................... 4
2.1.1. Definisi Kulit ................................................................ 4
2.2. Epidermis .................................................................................. 5
2.3. Dermis ....................................................................................... 5
2.4. Lemak Subkutan ........................................................................ 5
2.5. Fisiologi Kulit ........................................................................... 5
2.5.1. Proteksi .......................................................................... 5
2.5.2. Termoregulasi ............................................................... 6
2.5.3. Persepsi Sensoris ........................................................... 6
2.5.4. Absorpsi ........................................................................ 6
2.5.5. Fungsi Ekskresi ............................................................. 6
2.5.6. Fungsi Pembentuk Pigmen ............................................ 6
2.5.7. Fungsi Keratinisasi ........................................................ 7
2.5.8. Fungsi Produksi Vitamin D ........................................... 7
2.6. Jalur Absorpsi Perkutan ............................................................ 7
2.6.1. Absorpsi Transappendageal .......................................... 9
2.6.2. Absorpsi Transepidermal .............................................. 9

xii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


2.7. Pigmentasi Kulit ....................................................................... 10
2.8. Tanaman Artocarpus Sp Sebagai Inhibitor Tirosinase ............. 12
2.8.1. Kandungan Kimia Eksrak Kulit Batang Nangka .......... 13
2.8.2. Analisis Kadar Total Senyawa Polifenol Ekstrak Kulit
Batang Nangka ............................................................. 14
2.9. Liposom .................................................................................... 14
2.10. Niosom ...................................................................................... 16
2.10.1. Struktur Niosom ........................................................... 18
2.10.2. Klasifikasi Niosom ....................................................... 19
2.10.3. Stabilitas Niosom .......................................................... 19
2.10.4. Metode Pembuatan Niosom .......................................... 20
2.10.5. Komponen Pembentukan Niosom ................................ 22
2.11. Karakterisasi Niosom ............................................................... 26
2.11.1. Analisis Ukuran Partikel ............................................... 26
2.11.2. Efisiensi Penjerapan Niosom ........................................ 27
2.12. Spektrofotometer UV-Vis ......................................................... 28

BAB 3 METODE PENELITIAN ................................................................. 30


3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ..................................................... 30
3.2. Alat ............................................................................................ 30
3.3. Bahan ......................................................................................... 30
3.4. Prosedur Kerja ........................................................................... 31
3.4.1. Uji Parameter Spesifik Ekstrak Kulit Batang Nangka .... 31
3.4.1.1. Identitas ............................................................. 31
3.4.1.2. Organoleptik ...................................................... 31
3.4.2. Uji Parameter Non Spesifik Ekstrak Kulit Batang
Nangka ........................................................................... 31
3.4.2.1. Kadar Abu ......................................................... 31
3.4.2.2. Kadar Air .......................................................... 31
3.4.3. Uji Penapisan Fitokimia Ekstrak Kulit Batang Nangka .. 32
3.4.3.1. Alkaloid ............................................................ 32
3.4.3.2. Flavonoid .......................................................... 32
3.4.3.3. Saponin ............................................................. 32
3.4.3.4. Steroid ............................................................... 32
3.4.3.5. Tanin dan Polifenol .......................................... 33
3.4.4. Analisis Kadar Total Senyawa Senyawa Polifenol
Ekstrak Kulit Batang Nangka ......................................... 33
3.4.4.1. Pembuatan Larutan Induk Asam Galat dalam
Aquadest ........................................................... 33
3.4.4.2. Penentuan Panjang Gelombang Maksimum
Asam Galat dalam Aquadest ............................. 33
3.4.4.3. Pembuatan Kurva Standar Asam Galat dalam
Aquadest ........................................................... 33
3.4.4.4. Penentuan Total Senyawa Polifenol dalam
Ekstrak Kulit Batang Nangka ........................... 34
3.4.5. Preparasi Niosom Ekstrak Kulit Batang Nangka ........... 34
3.4.5.1. Pembuatan Larutan PBS pH 7,3 ±0,2 ................ 34
3.4.5.2. Formulasi Niosom ............................................ 34

xiii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


3.4.5.3. Pembuatan Niosom dengan Metode Hidrasi
Lapis Tipis ........................................................ 35
3.4.6. Karakterisasi Niosom ..................................................... 35
3.4.6.1. Analisis Ukuran Partikel ................................... 35
3.4.6.2. Penentuan Kadar Polifenol yang Terjerap dan
Efisiensi Penjerapan .......................................... 36

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN ......................................................... 38


4.1. Uji Parameter Spesifik Ekstrak Kulit Batang Nangka .............. 38
4.1.1. Identitas .......................................................................... 38
4.1.2. Organoleptik ................................................................... 38
4.2. Uji Parameter Nonspesifik Ekstrak Kulit Batang Nangka ....... 38
4.2.1. Kadar Abu ....................................................................... 38
4.2.2. Kadar Air ........................................................................ 39
4.3. Penapisan Fitokimia Ekstrak Kulit Batang Nangka .................. 39
4.4. Analisis Kadar Total Senyawa Polifenol Ekstrak Kulit Batang
Nangka ...................................................................................... 41
4.4.1. Penentian Panjang Gelombang Maksimum Asam Galat
dalam Aquadest .............................................................. 41
4.4.2. Pembuatan Kurva Standar Asam Galat dalam Aquadest 42
4.4.3. Penentuan Total Senyawa Polifenol dalam Esktrak
Kulit Batang Nangka ...................................................... 43
4.5. Preparasi Niosom Ekstrak Kulit Batang Nangka ...................... 44
4.6. Karakterisasi Niosom ................................................................ 47
4.6.1. Analisis Ukuran Partikel ................................................. 48
4.6.2. Kadar Polifenol yang Terjerap dan Efisiensi
Penjerapan Niosom ........................................................ 50

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN ......................................................... 55


5.1. Kesimpulan ................................................................................ 55
5.2. Saran .......................................................................................... 55

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 56


LAMPIRAN .................................................................................................... 64

xiv UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


DAFTAR ISI

Hal
HALAMAN JUDUL ...................................................................................... ii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ......................................... iii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .......................................... iv
HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI ....................................................... v
ABSTRAK ...................................................................................................... vi
ABSTRACT ..................................................................................................... vii
KATA PENGANTAR .................................................................................... viii
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ............... xi
DAFTAR ISI ................................................................................................... xii
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... xv
DAFTAR TABEL .......................................................................................... xvi
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. xvii
BAB 1 PENDAHULUAN .............................................................................. 1
1.1. Latar Belakang ........................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah ...................................................................... 3
1.3. Tujuan Penelitian ....................................................................... 3
1.4. Manfaat Penelitian ..................................................................... 3
1.5. Hipotesis Penelitian.................................................................... 3

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................... 4


2.1. Kulit .......................................................................................... 4
2.1.1. Definisi Kulit ................................................................ 4
2.2. Epidermis .................................................................................. 5
2.3. Dermis ....................................................................................... 5
2.4. Lemak Subkutan ........................................................................ 5
2.5. Fisiologi Kulit ........................................................................... 5
2.5.1. Proteksi .......................................................................... 5
2.5.2. Termoregulasi ............................................................... 6
2.5.3. Persepsi Sensoris ........................................................... 6
2.5.4. Absorpsi ........................................................................ 6
2.5.5. Fungsi Ekskresi ............................................................. 6
2.5.6. Fungsi Pembentuk Pigmen ............................................ 6
2.5.7. Fungsi Keratinisasi ........................................................ 7
2.5.8. Fungsi Produksi Vitamin D ........................................... 7
2.6. Jalur Absorpsi Perkutan ............................................................ 7
2.6.1. Absorpsi Transappendageal .......................................... 9
2.6.2. Absorpsi Transepidermal .............................................. 9

xii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


2.7. Pigmentasi Kulit ....................................................................... 10
2.8. Tanaman Artocarpus Sp Sebagai Inhibitor Tirosinase ............. 12
2.8.1. Kandungan Kimia Eksrak Kulit Batang Nangka .......... 13
2.8.2. Analisis Kadar Total Senyawa Polifenol Ekstrak Kulit
Batang Nangka ............................................................. 14
2.9. Liposom .................................................................................... 14
2.10. Niosom ...................................................................................... 16
2.10.1. Struktur Niosom ........................................................... 18
2.10.2. Klasifikasi Niosom ....................................................... 19
2.10.3. Stabilitas Niosom .......................................................... 19
2.10.4. Metode Pembuatan Niosom .......................................... 20
2.10.5. Komponen Pembentukan Niosom ................................ 22
2.11. Karakterisasi Niosom ............................................................... 26
2.11.1. Analisis Ukuran Partikel ............................................... 26
2.11.2. Efisiensi Penjerapan Niosom ........................................ 27
2.12. Spektrofotometer UV-Vis ......................................................... 28

BAB 3 METODE PENELITIAN ................................................................. 30


3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ..................................................... 30
3.2. Alat ............................................................................................ 30
3.3. Bahan ......................................................................................... 30
3.4. Prosedur Kerja ........................................................................... 31
3.4.1. Uji Parameter Spesifik Ekstrak Kulit Batang Nangka .... 31
3.4.1.1. Identitas ............................................................. 31
3.4.1.2. Organoleptik ...................................................... 31
3.4.2. Uji Parameter Non Spesifik Ekstrak Kulit Batang
Nangka ........................................................................... 31
3.4.2.1. Kadar Abu ......................................................... 31
3.4.2.2. Kadar Air .......................................................... 31
3.4.3. Uji Penapisan Fitokimia Ekstrak Kulit Batang Nangka .. 32
3.4.3.1. Alkaloid ............................................................ 32
3.4.3.2. Flavonoid .......................................................... 32
3.4.3.3. Saponin ............................................................. 32
3.4.3.4. Steroid ............................................................... 32
3.4.3.5. Tanin dan Polifenol .......................................... 33
3.4.4. Analisis Kadar Total Senyawa Senyawa Polifenol
Ekstrak Kulit Batang Nangka ......................................... 33
3.4.4.1. Pembuatan Larutan Induk Asam Galat dalam
Aquadest ........................................................... 33
3.4.4.2. Penentuan Panjang Gelombang Maksimum
Asam Galat dalam Aquadest ............................. 33
3.4.4.3. Pembuatan Kurva Standar Asam Galat dalam
Aquadest ........................................................... 33
3.4.4.4. Penentuan Total Senyawa Polifenol dalam
Ekstrak Kulit Batang Nangka ........................... 34
3.4.5. Preparasi Niosom Ekstrak Kulit Batang Nangka ........... 34
3.4.5.1. Pembuatan Larutan PBS pH 7,3 ±0,2 ................ 34
3.4.5.2. Formulasi Niosom ............................................ 34

xiii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


3.4.5.3. Pembuatan Niosom dengan Metode Hidrasi
Lapis Tipis ........................................................ 35
3.4.6. Karakterisasi Niosom ..................................................... 35
3.4.6.1. Analisis Ukuran Partikel ................................... 35
3.4.6.2. Penentuan Kadar Polifenol yang Terjerap dan
Efisiensi Penjerapan .......................................... 36

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN ......................................................... 38


4.1. Uji Parameter Spesifik Ekstrak Kulit Batang Nangka .............. 38
4.1.1. Identitas .......................................................................... 38
4.1.2. Organoleptik ................................................................... 38
4.2. Uji Parameter Nonspesifik Ekstrak Kulit Batang Nangka ....... 38
4.2.1. Kadar Abu ....................................................................... 38
4.2.2. Kadar Air ........................................................................ 39
4.3. Penapisan Fitokimia Ekstrak Kulit Batang Nangka .................. 39
4.4. Analisis Kadar Total Senyawa Polifenol Ekstrak Kulit Batang
Nangka ...................................................................................... 41
4.4.1. Penentian Panjang Gelombang Maksimum Asam Galat
dalam Aquadest .............................................................. 41
4.4.2. Pembuatan Kurva Standar Asam Galat dalam Aquadest 42
4.4.3. Penentuan Total Senyawa Polifenol dalam Esktrak
Kulit Batang Nangka ...................................................... 43
4.5. Preparasi Niosom Ekstrak Kulit Batang Nangka ...................... 44
4.6. Karakterisasi Niosom ................................................................ 47
4.6.1. Analisis Ukuran Partikel ................................................. 48
4.6.2. Kadar Polifenol yang Terjerap dan Efisiensi
Penjerapan Niosom ........................................................ 50

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN ......................................................... 55


5.1. Kesimpulan ................................................................................ 55
5.2. Saran .......................................................................................... 55

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 56


LAMPIRAN .................................................................................................... 64

xiv UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


DAFTAR GAMBAR

Hal
Gambar 2.1. Struktur Kulit.................................................................................. 4
Gambar 2.2. Jalur Penetrasi Perkutan ................................................................. 8
Gambar 2.3. Jalur Penetrasi Perkutan ................................................................. 8
Gambar 2.4. Biosintesis Melanin ........................................................................ 11
Gambar 2.5. Bagian Batang Artocarpus heterophyllus L ................................... 13
Gambar 2.6. Struktur Niosom ............................................................................. 18
Gambar 2.7. Struktur Molekul Surfaktan ............................................................ 23
Gambar 2.8. Struktur Molekul Span 60 .............................................................. 24
Gambar 2.9. Struktur Molekul Kolesterol .......................................................... 25
Gambar 4.1. Kurva Kalibrasi Asam Galat dalam Aquadest................................ 43
Gambar 4.2. Suspensi Niosom F1, F2 dan F3 .................................................... 47
Gambar 4.3. Diagram Perbandingan Ukuran Partikel
Niosom F1, F2 dan F3 .................................................................. 48
Gambar 4.4. Kurva Kalibrasi Asam Galat dalam PBS ....................................... 51
Gambar 4.5. Diagram Perbandingan Polifenol yang Terjerap
dalam Niosom F1, F2 dan F3 ......................................................... 52
Gambar 4.6. Diagram Perbandingan Persen Efisiensi Penjerapan
Niosom F1, F2 dan F3 .................................................................... 53

xv UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


DAFTAR TABEL

Hal
Tabel 2.1. Persen Inhibisi Ekstrak Kulit Batang Artocarpus Sp
terhadap Tirosinase ............................................................................. 12
Tabel 3.1. Formula Niosom ................................................................................. 35
Tabel 4.1. Hasil Uji Kadar Abu Ekstrak Kulit Batang Nangka .......................... 39
Tabel 4.2. Hasil Uji Kadar Air Ekstrak Kulit Batang Nangka ............................ 39
Tabel 4.3. Hasil Penapisan Fitokimia Ekstrak Kulit Batang Nangka ................. 40
Tabel 4.4. Data Kadar Total Senyawa Polifenol ................................................. 44
Tabel 4.5. Data Analisis Ukuran Partikel ............................................................ 48
Tabel 4.6. Kadar Polifenol yang Terjerap serta
Persen Efisiensi Penjerapan ................................................................ 52

xvi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


DAFTAR LAMPIRAN

Hal
Lampiran 1. Skema Prosedur Penelitian ............................................................. 64
Lampiran 2. Hasil Determinasi Kulit Batang Nangka ........................................ 65
Lampiran 3. Perhitungan Kadar Abu Ekstrak Kulit Batang Nangka .................. 66
Lampiran 4. Perhitungan Kadar Air Ekstrak Kulit Batang Nangka.................... 67
Lampiran 5. Hasil Penentuan Panjang Gelombang Maksimum
Asam Galat dalam Aquadest .......................................................... 68
Lampiran 6. Absorbansi Standar dan Kurva Kalibrasi Asam Galat
dalam Aquadest .............................................................................. 69
Lampiran 7. Perhitungan Kadar Total Senyawa Polifenol Ekstrak Kulit
Batang Nangka ............................................................................... 70
Lampiran 8. Grafik Distribusi Ukuran Partikel Niosom ..................................... 73
Lampiran 9. Data Distribusi Ukuran Partikel Niosom F1................................... 74
Lampiran 10. Data Distribusi Ukuran Partikel Niosom F2................................... 76
Lampiran 11. Data Distribusi Ukuran Partikel Niosom F3................................... 78
Lampiran 12. Hasil Penentuan Panjang Gelombang Maksimum
Asam Galat dalam PBS .................................................................. 79
Lampiran 13. Absorbansi Standar dan Kurva Kalibrasi Asam Galat
dalam PBS....................................................................................... 80
Lampiran 14. Perhitungan Kadar Total Senyawa Polifenol Bebas ....................... 81
Lampiran 15. Perhitungan Kadar Polifenol yang Terjerap
dan Persen Efisiensi Penjerapan ..................................................... 83
Lampiran 16. Gambar Alat dan Bahan yang Digunakan ...................................... 84
Lampiran 17. Certificate of Analysis Asam Galat ................................................ 85
Lampiran 18. Certificate of Analysis Kolesterol............................................................................ 86
Lampiran 19. Certificate of Analysis Span 60 ...................................................... 87
Lampiran 20. Certificate of Analysis Folin Ciocalteu ........................................... 88
Lampiran 21. Certificate of Analysis Tablet PBS ................................................. 89
Lampiran 22. Certificate of Analysis Metanol Pro Analisa ................................................... 90
Lampiran 23. Certificate of Analysis Na2CO3 ................................................................................. 92

xvii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Tanaman Artocarpus heterophyllus L. diketahui berpotensi sebagai agen
depigmentasi melalui penghambatan tirosinase. Tanaman Artocarpus
heterophyllus L. memiliki aktivitas sebagai penghambat tirosinase yang paling
besar dibandingkan dengan jenis tanaman Artocarpus lainnya terutama pada
bagian kulit batangnya (Putri,Supriyanti, Zackiyah, 2009).
Senyawa bioaktif agen depigmentasi dari ekstrak kulit batang nangka
adalah senyawa polifenol. Mekanisme penghambatan terjadi karena struktur
polifenol pada ekstrak kulit batang nangka secara prinsip sesuai sebagai substrat
(L-DOPA) dan mampu berkompetisi untuk berikatan dengan active site tirosinase
sehingga dapat menjadi penghambat tirosinase (Chang, 2009).
Potensi ekstrak kulit batang nangka sebagai agen depigmentasi dapat
diformulasi menjadi sediaan kosmetik. Masalah yang sering dihadapi dalam
sediaan kosmetik bahan alam adalah stabilitas serta kemampuannya untuk
berpenetrasi ke dalam lapisan kulit. Kulit merupakan lapisan penghalang yang
efektif dalam penetrasi obat. Lapisan kulit terluar, stratum korneum menjadi
penghalang absorpsi obat perkutan terutama bagi senyawa polar seperti polifenol.
Penggunaan sistem pembawa (carrier) yang berukuran nano merupakan salah
satu strategi yang dapat digunakan untuk meningkatkan penetrasi senyawa
melalui stratum korneum (Thassu, Pathak, Deleers, 2007).
Liposom merupakan suatu sistem pembawa berukuran nano yang dapat
digunakan untuk meningkatkan penetrasi obat perkutan melalui stratum korneum
(Verma, Blume, Fahr, 2003). Namun, pada perkembangannya liposom
menunjukkan beberapa kekurangan, di antaranya adalah stabilitas kimia yang
buruk dan mahalnya harga fosfolipid yang digunakan dalam formula liposom,
sehingga dicari alternatif dari liposom yang memiliki sifat-sifat serupa namun
dengan komposisi yang lebih murah dan lebih stabil. Niosom dapat digunakan
sebagai alternatif pengganti liposom (Anwar, Henry, Jufri, 2004).

1 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


2

Niosom merupakan suatu vesikel surfaktan nonionik yang memiliki


struktur bilayer yang dibentuk melalui penyusunan monomer-monomer surfaktan
yang terhidrasi yang distabilkan dengan penambahan kolesterol. Niosom dapat
membawa obat yang bersifat hidrofilik maupun lipofilik (Vyas dan Khar, 2011).
Formulasi niosom yang mengandung agen depigmentasi pada sediaan
kosmetik dapat digunakan untuk meningkatkan stabilitas zat aktif yang terjerap
dan dapat meningkatkan penetrasi zat aktif melalui kulit. Dimana, niosom dapat
meningkatkan jumlah zat aktif yang terlokalisasi di kulit sesuai dengan jumlah
yang dibutuhkan (Buckton G, 1995; Shatallebi, Mostafavi, Moghaddas, 2010;
Manosroi, 2011).
Salah satu parameter yang dapat mempengaruhi karakteristik niosom yang
dihasilkan adalah konsentrasi zat aktif yang ditambahkan ke dalam formulanya
(Anwar dan Jufri, 2004). Menurut Sharma, Chauchan dan Anilkumar (2009)
menyatakan bahwa peningkatan konsentrasi zat aktif yang ditambahkan ke dalam
formula niosom dapat menurunkan ukuran partikel niosom. Selain itu,
peningkatan konsentrasi zat aktif dalam formula niosom dapat meningkatkan
jumlah zat aktif yang terjerap, namun tidak terus-menerus. Ada titik dimana
penambahan konsentrasi zat aktif tidak lagi memberikan pengaruh yang positif
terhadap jumlah zat aktif yang terjerap. Hal ini dikarenakan niosom memiliki
batas kemampuan dalam menjerap sejumlah zat aktif. Namun, peningkatan
konsentrasi zat aktif yang ditambahkan ke dalam formula niosom dapat
menurunkan efisiensi penjerapan. Hal ini disebabkan ketika zat aktif yang
ditambahkan melebihi kapasitas jerap vesikel niosom, maka akan terjadi
peningkatan jumlah zat aktif yang tidak terjerap, dan berdampak pada penurunan
efisiensi penjerapan niosom (Tim, 2004; Hidayat, 2006; Dua, Anil, Rana, 2014).
Berdasarkan latar belakang di atas, akan dilakukan penelitian terkait
pengaruh variasi konsentrasi ekstrak kulit batang nangka (Artocarpus
heterophyllus L.) pada formula niosom terhadap karakteristik niosom yang
dihasilkan, meliputi ukuran partikel, kadar senyawa polifenol yang terjerap serta
efisiensi penjerapan.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


3

1.2 Rumusan Masalah


Bagaimana pengaruh variasi konsentrasi ekstrak kulit batang nangka
(Artocarpus heterophyllus L.) dalam formula niosom terhadap karakteristiknya
meliputi ukuran partikel, kadar senyawa polifenol yang terjerap serta efisiensi
penjerapan?

1.3 Tujuan Penelitian


Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh variasi
konsentrasi ekstrak kulit batang nangka (Artocarpus heterophyllus L.) dalam
formula niosom terhadap karakteristiknya meliputi ukuran partikel, kadar
senyawa polifenol yang terjerap serta efisiensi penjerapan.

1.4 Manfaat Penelitian


Manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini adalah :
1. Hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan oleh pihak pendidikan sebagai
tambahan literatur yang digunakan oleh mahasiswa/i yang berkepentingan.
2. Hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan oleh pihak peneliti dan lainnya
yang berminat di bidang penelitian yang sama sebagai dasar untuk
melakukan penelitian lanjutan tentang niosom yang mengandung ekstrak
kulit batang nangka (Artocarpus heterophyllus L.) yang dapat digunakan
sebagai bahan aktif dalam sediaan kosmetik untuk mencegah
hiperpigmentasi pada kulit.
3. Hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan oleh industri farmasi untuk
memproduksi sediaan kosmetik dalam sistem penghantaran niosom yang
mengandung ekstrak kulit batang nangka (Artocarpus heterophyllus L.).

1.5 Hipotesis Penelitian


Peningkatan konsentrasi ekstrak kulit batang nangka (Artocarpus
heterophyllus L.) dalam formula niosom dapat mempengaruhi karakteristiknya
meliputi ukuran partikel, kadar senyawa polifenol yang terjerap serta efisiensi
penjerapan.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kulit
2.1.1 Definisi Kulit
Kulit merupakan selimut yang menutupi permukaan tubuh dan memiliki
fungsi utama sebagai pelindung dari berbagai macam gangguan dan rangsangan
dari luar. Fungsi perlindungan terjadi melalui sejumlah mekanisme biologis,
seperti pembentukan lapisan tanduk secara terus-menerus, respirasi dan
pengaturan suhu tubuh, produksi sebum dan keringat, dan pembentukan melanin
untuk melindungi kulit dari bahaya sinar UV matahari, sebagai peraba dan perasa,
serta pertahanan terhadap tekanan dan infeksi dari luar. Luas permukaan kulit
sekitar 2 m2 dengan berat 10 kg jika dengan lemak atau 4 kg jika tanpa lemak
(Tranggono & Latifah, 2007). Adapun struktur kulit dapat dilihat pada Gambar
2.1.

Gambar.2.1. Struktur Kulit


[Sumber : Mescher, 2011]

4 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


5

2.2 Epidermis
Epidermis, bagian terluar kulit dibagi menjadi dua lapisan utama : lapisan
sel-sel tidak berinti yang bertanduk (stratum korneum), dan lapisan dalam yaitu
stratum malfigi. Stratum malfigi merupakan asal sel-sel permukaan bertanduk
setelah mengalami proses diferensiasi. stratum malfigi dibagi menjadi: (1) stratum
granulosum, (2) lapisan sel basal (stratum germinativum) dan (3) stratum
spinosum (Sylvia & Lorraine 2005).

2.3 Dermis
Dibawah epidermis terdapat dermis, suatu lapisan jaringan ikat yang
mengandung banyak serat elastin (untuk peregangan) dan serat kolagen (untuk
kekuatan), serta banyak pembuluh darah dan ujung syaraf khusus. Pembuluh
darah dermis tidak saja memasok dermis dan epidermis tetapi juga berperan besar
dalam mengatur suhu tubuh (Sherwood, 2007).

2.4 Lemak Subkutan


Dibawah dermis terdapat laipsan kulit ketiga yaitu lemak subkutan.
Lapisan ini merupakan bantalan untuk kulit, isolasi untuk mempertahankan suhu
tubuh dan tempat penyimpanan energi. Dari sudut kosmetik, lemak subkutan ini
mempengaruhi daya tarik seksual kedua jenis kelamin (Sylvia & Lorraine 2005).

2.5 Fisiologi Kulit


2.5.1 Proteksi
Kulit melindungi bagian dalam tubuh manusia terhadap gangguan fisik
maupun mekanik. Gangguan fisik dan mekanik ditanggulangi dengan adanya
bantalan lemak subkutis, tebalnya lapisan kulit dan serabut penunjang yang
berfungsi sebagai pelindung bagian luar tubuh. Gangguan sinar UV diatasi oleh
sel melanin yang menyerap sebagian sinar tersebut. Gangguan kimia
ditanggulangi dengan adanya lemak permukaan kulit yang berasal dari kelenjar
palit kulit yang mempunyai pH 4,5-6,5 (Madison; Connor, 2003).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


6

2.5.2 Termoregulasi
Kulit mengatur temperatur tubuh melalui mekanisme dilatasi dan
konstriksi pembuluh kapiler dan melalui respirasi, yang keduanya dipengaruhi
saraf otonom. Pada saat temperatur badan menurun terjadi vasokontriksi,
sedangkan pada saat temperatur badan meningkat terjadi vasodilatasi untuk
meningkatkan pembuangan panas (Tranggono, Latifah, 2007).

2.5.3 Persepsi Sensoris


Kulit bertanggung jawab sebagai indera terhadap rangsangan dari luar
berupa tekanan, raba, suhu, dan nyeri melalui beberapa reseptor seperti benda
meissner, diskus merkell dan korpskulum ruffini dan benda krauss sebagai
reseptor suhu dan nervus end plate sebagai reseptor nyeri (Tranggono, Latifah,
2007).

2.5.4 Absorbsi
Beberapa bahan dapat diabsorbsi kulit masuk ke dalam tubuh melalui dua
jalur yaitu melalui epidermis dan melalui kelenjar sebasea (Tranggono, Latifah,
2007). Kemampuan absorpsi kulit dipengaruhi oleh tebal tipisnya kulit, hidrasi,
kelembaban udara, metabolisme dan jenis pembawa zat yang menempel di kulit.
Penyerapan dapat melalui celah antarsel, saluran kelenjar atau saluran keluar
rambut (Madison; Connor, 2003).

2.5.5 Fungsi Ekskresi


Kelenjar-kelenjar pada kulit mengeluarkan zat-zat yang tidak berguna atau
sisa metabolisme dalam tubuh misalnya NaCl, urea, asam urat, ammonia, dan
sedikit lemak. Sebum yang diproduksi kelenjar palit kulit melindungi kulit dan
menahan penguapan yang berlebihan sehingga kulit tidak menjadi kering
(Madison; Connor, 2003).

2.5.6 Fungsi Pembentukan Pigmen


Sel pembentuk pigmen kulit (melanosit) terletak di lapisan basal
epidermis. Sel ini berasal dari rigi saraf, jumlahnya 1:10 dari sel basal. Jumlah
melanosit serta jumlah dan besarnya melanin yang terbentuk menentukan warna

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


7

kulit. Pajanan sinar matahari mempengaruhi produksi melanin. Bila pajanan


bertambah produksi melanin akan meningkat (Madison; Connor, 2003).

2.5.7 Fungsi Keratinisasi


Keratinisasi dimulai dari sel basal yang kuboid, bermitosis ke atas berubah
bentuk lebih poligonal yaitu sel spinonum, terangkat ke atas menjadi lebih
gepeng, dan bergranula menjadi sel granulosum. Kemudian sel tersebut terangkat
ke atas lebih gepeng, dan granula serta intinya hilang menjadi sel spinosum dan
akhirnya sampai di permukaan kulit menjadi sel yang mati, protoplasmanya
mengering menjadi keras, gepeng, tanpa inti yang disebut sel tanduk (Madison;
Connor, 2003).

2.5.8 Fungsi Produksi Vitamin D


Kulit juga dapat membuat vitamin D dari bahan baku 7-
dihidroksikolesterol dengan bantuan sinar matahari. Namun produksi ini masih
lebih rendah dari kebutuhan tubuh akan vitamin D dari luar makanan (Madison;
Connor, 2003).

2.6 Jalur Absorbsi Perkutan


Sediaan topikal dimaksudkan untuk penggunaannya melalui kulit dan
menghendaki obat untuk berpenetrasi atau terlokalisasi melalui kulit. Penetrasi
perkutan yaitu perjalanan melalui kulit meliputi disolusi obat dalam pembawanya,
difusi obat terlarut (solute) dari pembawa ke permukaan kulit dan penetrasi obat
melalui lapisan-lapisan kulit terutama stratum korneum. Tahapan paling lambat
dalam proses absorbsi perkutan biasanya perjalanan melalui stratum korneum
yang membatasi atau mengontrol permeasi. Molekul obat yang berkontak dengan
permukaan kulit dapat berpenetrasi melalui beberapa rute, diantaranya
transappendageal dan transepidermal. Adapun jalur penetrasi perkutan dapat
dilihat pada Gambar 2.2 dan 2.3.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


8

Gambar 2.2. Jalur Penetrasi Perkutan (telah diolah kembali)


[Sumber : Maghraby, Barry, Williams, 2008]
Keterangan: 1. Melalui kelenjar keringat, 2. Melewati stratum korneum,
3. Melewati folikel rambut

Gambar 2.3. Jalur Penetrasi Perkutan


[Sumber : Maghraby, Barry, Williams, 2008]

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


9

2.6.1 Absorbsi Transappendageal


Jalur absorpsi transappendageal merupakan jalur masuknya obat melalui
kelenjar keringat dan folikel rambut yang disebabkan karena adanya pori-pori
diantaranya sehingga memungkinkan obat tersebut berpenetrasi. Jalur
appendageal hanya mencakup 0,1% area untuk penyerapan pada kulit, sehingga
jalur ini dianggap kurang potensial dibandingkan jalur transepidermal (Touitou &
Barry, 2007).

2.6.2 Absorpsi Transepidermal


Jalur absorpsi transepidermal merupakan jalur masuknya obat melintasi
epidermis. Epidermis merupakan permukaan lapisan yang lebih besar untuk
absorpsi di mana epidermis memiliki luas permukaan 100-1000 kali lebih luas
dibandingkan jalur transappendageal, sehingga jalur transepidermal merupakan
jalur utama untuk absorpsi perkutan banyak senyawa (Lund, 1994).
Terdapat dua jalur untuk absorpsi obat secara transepidermal yaitu jalur
interseluler dan jalur intraseluler. Jalur interseluler obat menembus lapisan kulit
melalui ruang antar sel dari kulit, sehingga jalurnya menjadi berliku dan lebih
panjang. Obat yang bersifat lipofilik akan lebih cenderung berpenetrasi melalui
cara ini karena akan larut dalam lemak yang terdapat di antara filamen. Jalur
intraseluler obat akan melewati kulit secara langsung melalui membran fosfolipid
dan keratinosit yang merupakan kandungan utama stratum korneum. Obat yang
bersifat hidrofilik lebih cenderung berpenetrasi melalui jalur ini karena obat
hidrofilik akan membentuk ikatan hidrogen dengan bagian protein dalam lapisan
filamen protein (Lund, 1994).
Penetrasi obat melalui jalur transepidermal lebih baik dari pada jalur
transappendageal, karena luas permukaan pada jalur transappendageal lebih kecil.
Faktor-faktor yang mempengaruhi absorpsi perkutan adalah sifat-sifat fisikokimia
dari obat, sifat pembawa yang digunakan, dan kondisi fisiologi kulit. Dari sifat-
sifat tersebut, dapat diuraikan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi absorpsi
perkutan, antara lain (Ansel, 1989) :
1. Konsentrasi obat umumnya merupakan faktor yang penting, jumlah obat
diabsorpsi secara perkutan perunit luas permukaan setiap periode waktu

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


10

bertambah, sebanding dengan bertambahnya konsentrasi obat dalam suatu


pembawa.
2. Profil pelepasan obat dari pembawanya, tergantung dari afinitas obat
terhadap pembawa, kelarutan obat dalam pembawa dan pH pembawa.
3. Komposisi sistem tempat pemberian obat, yang ditentukan dari
permeabilitas stratum korneum yang disebabkan hidratasi dan perubahan
struktur lipid.
4. Pembawa yang dapat meningkatkan kelembapan kulit akan mendorong
terjadi absorpsi obat melalui kulit.
5. Peningkatan suhu kulit dapat menyebabkan perubahan difusi yang
disebabkan oleh peningkatan kelarutan obat.
6. Waktu kontak obat dengan kulit.
7. Bahan-bahn peningkat penetrasi (enhancer) yang dapat meningkatkan
permeabilitas kulit dengan cara mengubah sifat fisikokimia stratum
korneum sehingga mengurangi daya tahan difusi.

2.7 Pigmentasi Kulit


Warna kulit normal ditentukan oleh jumlah dan sebaran melanin yang
dihasilkan oleh melanosom pada melanosit, yang secara genetik jumlahnya
tertentu. Warna kulit juga dipengaruhi oleh ketebalan kulit, vaskularisasi kulit,
kemampuan refleksi permukaan kulit serta kemampuan absorbsi epidermis dan
dermis. Selain itu, juga ada beberapa pigmen lain seperti karoten (oranye),
oksihemoglobin (merah), hemoglobin (biru) dan melanin (coklat) yang
mempengaruhi warna kulit (Tranggono, Latifah, 2007).
Melanin merupakan pigmen yang dapat melindungi jaringan kulit dari
penghamburan sinar UV. Melanin terbentuk melalui rangkaian oksidasi dari asam
amino tirosin dengan melibatkan tirosinase. Tirosinase mengubah tirosin menjadi
DOPA, kemudian menjadi dopakuinon. Dopakuinon diubah menjadi dopakrom
melalui autooksidasi sehingga menjadi dihydroxy indole (DHI) atau dihydroxy
indole carboxy acid (DHICA) untuk membentuk eumelanin (pigmen berwarna
cokelat). Dengan adanya sistein atau glutation, dopakuinon diubah menjadi
sistenil dopa, reaksi ini membentuk feomelanin (pigmen berwarna kuning).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


11

Banyaknya jumlah eumelanin dan feomelanin yang terbentuk dapat memberikan


warna lain pada kulit sehingga kulit manusia tidak hanya berwarna hitam atau
putih saja (Chang, 2009). Adapun biosintesis melanin dapat dilihat pada Gambar
2.4.

Gambar 2.4. Biosintesis Melanin


[Sumber : Donsing dan Viyoch, 2008]

Tirosinase adalah enzim monooksigenase yang berperan sebagai


katalisator pada reaksi hidroksilasi monofenol menjadi bentuk difenol
(monofenolase) dan oksidasi difenol menjadi quinon (difenolase). Tirosinase
memainkan peranan penting dalam pembentukan melanin selama proses
melanogenesis karena tirosinase mampu menghidroksilasi L-tirosin (monofenol)
menjadi L-DOPA (difenol) dan mengoksidasi L-DOPA menjadi dopakuinon
(senyawa kuinon). Dopakuinon yang terbentuk akan bereaksi secara spontan
membentuk dopakrom. Peranannya dalam proses melanogenesis terjadi karena
tirosinase memiliki gugus tembaga (Cu) yang merupakan suatu active site yang
dapat berikatan dengan substrat pada proses pembentukan melanin (Ramsden,
Riley, 2010).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


12

2.8 Tanaman Artocarpus Sp Sebagai Inhibitor Tirosinase


Indonesia memiliki banyak spesies tanaman Artocarpus Sp yang
mengandung senyawa bioaktif yang dapat menginhibisi tirosinase, diantaranya
adalah: A. communis, A. heterophyllus, dan A. altilis. Dari ketiga tanaman
tersebut tanaman Artocarpus heterophyllus memiliki persen inhibisi paling besar
dibandingkan dengan dua spesies tanaman Artocarpus yang lainnya (Putri,
Supriyanti, Zackiyah, 2009). Adapun persen inhibisi ekstrak kulit batang
Artocarpus Sp terhadap tirosinase dapat dilihat pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1. Persen Inhibisi Ekstrak Kulit Batang Artocarpus Sp


terhadap Tirosinase
Konsentrasi Sampel
(µg/mL) % Inhibisi dengan Penambahan Sampel
A. heterophyllus A. altilis A. communis
25 0,76 2,56 0
50 6,41 2,65 0,32
75 36,14 6,09 14,23
150 40,96 7,87 14,23
300 57,35 20,47 19,22

[Sumber: Putri, Supriyanti, Zackiyah, 2009]

Nangka merupakan buah dikotil dari pohon Artocarpus heterophyllus yang


termasuk suku dari Moraceae. Pohon Artocarpus heterophyllus merupakan
tanaman buah yang berupa pohon yang berasal dari india dan menyebar ke daerah
tropis termasuk Indonesia. Tanaman nangka memiliki ukuran yang sedang,
tingginya sekitar 8-25 meter dengan diameter pohon 30-80 cm. Batang pohon
nangka tegak berkayu, bulat, kasar dan berwarna hijau kotor. Daun Artocarpus
heterophyllus tunggal berseling lonjong memiliki tulang daun yang menyirip,
daging daun tebal, tepi rata, ujung runcing panjang 5-15 cm, lebar 4-5 cm, tangkai
panjang lebih kurang 2 cm dan berwarna hijau. Bunga nangka merupakan bunga
majemuk yang berbentuk bulir, berada di ketiak daun dan berwarna kuning.
Bunga jantan dan betinanya terpisah dengan tangkai yang memiliki cincin, bunga
jantan yang ada di batang baru di antara daun atau di atas bunga betina. Buah
berwarna kuning ketika masak, oval dan berbiji coklat muda (Prihatman, 2000;
Elevitch & Manner, 2006). Adapun bagian batang Artocarpus heterophyllus L.
dapat dilihat pada Gambar 2.5.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


13

Gambar 2.5. Bagian Batang Artocarpus heterophyllus L.


[Sumber : Elevitch dan Manner, 2006]

Kingdom : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Bangsa : Urticales
Suku : Moraceae
Marga : Artocarpus
Jenis : Artocarpus heterophyllus L. (Elevitch & Manner, 2006)

2.8.1 Kandungan Kimia Ekstrak Kulit Batang Nangka


Tanaman Artocarpus Sp mengandung senyawa bioaktif yang dapat
menginhibisi tirosinase, inhibisi terkuat didapat pada ekstrak kulit batang nangka
Artocarpus heterophyllus. Senyawa bioaktif yang secara potensial dapat
menghambat tirosinase adalah senyawa golongan polifenol (Putri, Supriyanti,
Zackiyah; Chang, 2009). Polifenol mewakili berbagai kelompok senyawa yang
mengandung gugus fenol dan tersebar secara luas di alam. Polifenol merupakan
kelompok terbesar inhibitor tirosinase. Polifenol dapat dikenali sebagai substrat

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


14

oleh tirosinase, tergantung pada posisi subtituen yang bertindak sebagai inhibitor
tirosinase (Chang, 2009).

2.8.2 Analisis Kadar Total Senyawa Polifenol Ekstrak Kulit Batang Nangka
Kandungan total polifenol dari ekstrak kulit batang nangka ditetapkan
secara spektrofotometri dengan pereaksi Folin-Ciocalteu. Pereaksi Folin-
Ciocalteu merupakan larutan kompleks ion polimerik yang dibentuk dari asam
fosfomolibdat dan asam heteropolifosfotungstat. Pereaksi ini terbuat dari air,
natrium tungstat, natrium molibdat, asam fosfat, asam klorida, litium sulfat, dan
bromin (Folin, dkk., 1944).
Prinsip dari metode ini adalah terbentuknya senyawa kompleks berwarna
biru yang dapat diukur absorbansinya pada panjang gelombang terb tentu.
Pereaksi Folin-Ciocalteu mengoksidasi fenolat (garam alkali) atau gugus fenolik-
hidroksi mereduksi asam heteropoli (fosfomolibdat-fosfotungstat) yang terdapat
dalam pereaksi Folin-Ciocalteu menjadi suatu kompleks molibdenum-tungsten.
Senyawa polifenol bereaksi dengan reagen Folin-Ciocalteu hanya dalam suasana
basa agar terjadi disosiasi proton pada senyawa fenolik menjadi ion fenolat. Oleh
karena itu, untuk membuat suasana basa dilakukan penambahan natrium karbonat.
Gugus hidroksil pada senyawa fenolik yang bereaksi dengan reagen Folin-
Ciocalteu dapat diukur absorbansinya dengan spektrofotometer. Semakin besar
konsentrasi senyawa fenolik maka semakin banyak ion fenolat yang akan
mereduksi asam heteropoli (fosfomolibdat-fosfotungstat) menjadi kompleks
molibdenum-tungsten sehingga warna biru yang dihasilkan semakin pekat (Alfian,
Susanti, 2012).

2.9 Liposom
Liposom merupakan suatu vesikel berair yang dikelilingi oleh membran
lipid lapis ganda unilamellar atau multilamellar, terbentuk secara spontan ketika
fosfolipid dihidrasi dengan sejumlah air. Lapisan ganda terbentuk dari lipid
seperti kolesterol dan lesitin. Lesitin memiliki bagian molekul hidrofilik dan
hidrofobik yang memiliki kelarutan berbeda dan secara spontan membentuk
lapisan tunggal atau ganda, yang kemudian membentuk vesikel tertutup dengan
adanya larutan air (Lasic, Papahadjopoulos, 1998).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


15

Berbagai lipid dan molekul ampifilik lain diperlukan sebagai bahan dasar
pembentuk liposom untuk membentuk membran lapis ganda (bilayer) liposom.
Molekul ampifilik yang banyak digunakan untuk membentuk liposom biasanya
berasal dari golongan fosfolipid, sphingolipid, atau lipid golongan sterol seperti
kolesterol. Fosfolipid sebagai bahan penyusun liposom diklasifikasikan menjadi
empat kelompok berdasarkan asal perolehannya, diantaranya : fosfolipid alam,
fosfolipid alam termodifikasi, fosfolipid semisintetik, dan fosfolipid sintetik.
Harga dan stabilitas kimia yang buruk menjadi kelemahan fosfolipid yang
digunakan dalam formulasi liposom (Barenholz dan Crommelin, 1994). Selain
liposom, terdapat beberapa jenis vesikel lain yang dapat digunakan sebagai
penghantar obat, diantaranya:
1. Niosom, merupakan sistem vesikel yang mirip dengan liposom. Niosom
merupakan suatu pembawa dengan sistem bilayer yang dibentuk dari
surfaktan nonionik sebagai pengganti fosfolipid yang distabilkan yang
dengan penambahan kolesterol (Gaur, Mishra, Purohit, Dave, 2009) .
2. Transfersom, merupakan suatu vesikel fleksibel yang memiliki inti akuatik
yang dikelilingi oleh kelompok lipid bilayer. Transfersom terdiri dari
fosfolipid sebagai bahan utama, surfaktan dengan konsentrasi 10-25%
(seperti natrium kolat) dan 3-10% etanol (Gaur, Mishra, Purohit, Dave,
2009).
3. Etosom, adalah suatu vesikel pembawa yang tersusun atas fosfolipid dan
memiliki kandungan alkohol (etanol dan isopropil alkohol) dengan
konsentrasi yang cukup tinggi, serta air. Ukuran etosom bervariasi dari
puluhan nanometer hingga ukuran mikron. Komposisi yang tepat mampu
meningkatkan penetrasi zat aktif ke jaringan dan sirkulasi sistemik (Gaur,
Mishra, Purohit, Dave, 2009).
4. Virosom, merupakan obat atau mekanisme pemberian vaksin yang terdiri
dari vesikel fosfolipid bilayer unilamelar yang menggabungkan protein
yang berasar dari virus sehingga memungkinkan virosom menyatu dengan
sel target. Virosom terdiri dari bilayer fosfolipid yang mengandung protein
permukaan virus yang menempel pada lapisan bilayer (Gaur, Mishra,
Purohit, Dave, 2009).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


16

5. Pharmacosome, merupakan dispersi koloidal obat yang terikat pada lipid


dan berbentuk ultrafine vesicular, misellar, atau agregat heksagonal
bergantung dari struktur kimia kompleks obat-proteinnya (Bansal,
Kashyap, Aggarwal, Harikumar, 2012).

2.10 Niosom
Niosom adalah suatu pembawa dengan dasar vesikel yang dibentuk dari
surfaktan nonionik, yang dalam media larutan menghasilkan struktur bilayer
tertutup. Struktur ini membentuk sebuah vesikel dimana sebuah bagian hidrofobik
dari molekul terlindung dari pelarut dan gugus kepala hidrofilik berkontak dengan
pelarut (Uchegbu, Vyas, 1998).
Niosom merupakan suatu vesikel surfaktan nonionik yang memiliki
struktur bilayer yang dibentuk melalui penyusunan monomer-monomer surfaktan
yang terhidrasi. Bentuk vesikel niosom merupakan struktur bilayer multilamellar
atau unilamellar yang tersusun dari surfaktan nonionik dan kolesterol yang
berfungsi sebagai bahan penstabil (Kapoor, Gahoi, Kumar 2011). Vesikel yang
terbentuk pada niosom dipengaruhi oleh metode pembuatan yang digunakan.
Secara umum terdapat dua jenis vesikel yang dihasilkan, yaitu vesikel unilamellar
dan multilamellar. Vesikel unilamellar adalah vesikel yang hanya terdiri dari satu
bilayer atau lapis ganda, sedangkan vesikel multilamellar terdiri dari beberapa
lapis ganda (Blazek, Rhodes, 2001).
Niosom dapat menjerap obat hidrofilik dan lipofilik dalam lapisan berair
dan masing-masing membran vesikular. Bilayer dari Niosom memiliki dua
permukaan yaitu permukaan dalam dan luar atau permukaan hidrofilik serta
permukaan lipofilik. Oleh karena itu sejumlah besar obat-obatan dan bahan
lainnya dapat dihantarkan ke jaringan target dengan menggunakan niosom
(Sankhyan, Pawar, 2012).
Niosom memiliki dua komponen utama yaitu terdiri dari surfaktan
nonionik dan kolesterol. Surfaktan memberikan peranan yang penting dalam
pembuatan niosom. Beberapa surfaktan nonionik yang umumnya digunakan
dalam preparasi niosom adalah: Spans (span 60, 40, 20, 85, 80), Tweens (twen 20,
40, 60, 80), Brijs (brij 30, 35, 52, 58, 72, 76). Surfaktan nonionik memiliki bagian

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


17

kepala yang bersifat hidrofilik dan bagian ekor yang bersifat hidrofobik.
Kolesterol digunakan untuk memberikan kekakuan serta memberikan bentuk yang
tepat, konformasi yang sesuai dalam preparasi niosom (Chandu, Arunachalam,
Jeganath, Yamini, Tharangini, Chaitanya, 2012).
Penggunaan sistem vesikuler dalam kosmetik dan untuk tujuan terapetik
memberikan beberapa keuntungan diantaranya (Van, Bouwstra, Rensen,
Jeremiasse, Vringer, Junginger, 1996):
1. Suspensi niosom adalah pembawa dengan basis air sehingga lebih mudah
diterima oleh pasien dibandingkan dengan bentuk sediaan dengan basis
minyak.
2. Vesikel memungkinkan penyerapan berbagai jenis obat, yakni obat
hidrofilik, lipofilik dan ampifilik.
3. Karakteristik formulasi vesikel dapat divariasikan dan dikontrol dengan
mengubah komposisi pada vesikel, baik dari segi ukuran, lamelaritas,
volume pelarut, muatan permukaan, serta konsentrasinya.
4. Sistem vesikel yang dihasilkan adalah mudah didegradasi secara biologik
(biodegradable) dan tidak berinteraksi dengan tubuh (biocompatible).
5. Vesikel dapat bertindak sebagai depot yang dapat melepaskan obat dengan
sistem yang terkendali.
6. Vesikel dapat melindungi obat dari degradasi karena obat diformulasikan
ke dalam suatu pembawa.

Menurut Sharma, Kumar, Mahadevan, (2012) Keuntungan menggunakan


niosom dalam kosmetik dan perawatan kulit adalah kemampuan niosom dalam
meningkatkan stabilitas zat aktif yang terjerap, dapat meningkatkan bioavibilitas
zat yang sulit diserap, serta mampu meningkatkan penetrasi kulit. Jika
dibandingkan dengan liposom, niosom memiliki beberapa kelebihan, diantaranya
penggunaan surfaktan nonionik yang stabil terhadap adanya reaksi oksidasi, serta
harga yang lebih murah dibandingkan dengan fosfolipid (Sankhyan, Pawar, 2012).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


18

Niosom memiliki beberapa hal yang menjadi kekurangan ketika digunakan


sebagai pembawa obat, diantaranya (Chandu, Arunachalam, Jeganath, Yamini,
Tharangini, Chaitanya, 2012) :
1. Ketidakstabilan fisik
2. Agregasi
3. Fusi atau penggabungan
4. Kebocoran vesikel yang terbentuk dan menyebabkan obat yang terjerap
keluar
5. Hidrolisis dari obat yang terenkapsulasi dapat menyebabakan
berkurangnya masa simpan.

2.10.1 Struktur Niosom


Secara struktur niosom mirip dengan liposom, karena keduanya terdiri dari
bilayer. Namun, bilayer yang terdapat pada niosom tersusun dari surfaktan
nonionik, bukan fosfolipid seperti yang terdapat pada liposom. Niosom dapat
berupa unilamellar atau multilamellar tergantung dari metode yang digunakan
dalam pembuatannya. Niosom merupakan bilayer yang tersusun dari surfaktan
nonionik dengan ujung hidrofilik terdapat pada luar vesikel, sementara rantai
hidrofobik saling berhadapan di dalam bilayer. Obat yang bersifat hidrofilik
terdapat didalam vesikel sementara obat yang bersifat hidrofobik tertanam dalam
lapisan ganda niosom (Makeshwar, Wasankar, 2013). Adapun struktur niosom
dapat dilihat pada gambar 2.6.

Gambar 2.6. Struktur Niosom


[Sumber : Chandu, Arunachalam, Jeganath, Yamini, Tharangini, Chaitanya, 2012]

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


19

2.10.2 Klasifikasi Niosom


Niosom dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa hal, diantaranya :
jumlah bilayernya (misal, Multilamellar Vesicle, Small Unilamellar Vesicle),
ukuran (misal, Large Vesicle Unilamellar, Small Unilamellar Vesicle), dan
metode pembuatan (Makeshwar, Wasankar, 2013). Beberapa jenis niosom
diantaranya :
a. Multilamellar Vesicle (MLV)
Multilamellar vesicle terdiri dari sejumlah lapisan, dengan ukuran
diameter vesicle 0,5-10 µm. Vesikel multilamellar merupakan niosom yang paling
sering digunakan, karena sederhana dalam pembuatan serta cukup stabil untuk
penyimpanan dalam waktu yang lama. Vesikel ini cocok digunakan sebagai
pembawa untuk obat yang bersifat lipofilik.
b. Large Vesicle Unilamellar (LUV)
Niosom jenis ini memiliki perbandingan kompartemen air atau lipid yang
tinggi, sehingga bahan yang terjerap akan lebih besar serta ekonomis.
c. Small Unilamellar Vesicle (SUV)
Niosom jenis ini sebagian besar dibuat dari vesicle multilamellar dengan
menggunakan metode sonikasi.

2.10.3 Stabilitas Niosom


Niosom memiliki beberapa faktor yang dapat mempengaruhi stabilitasnya,
diantaranya adalah stabilitas fisik, stabilitas kimia, serta stabilitas dalam cairan
biologi. Adapun keterangan mengenai faktor yang dapat mempengaruhi stabilitas
niosom adalah sebagai berikut (Mujoriya dan Bodla 2011):
a. Stabilitas Fisik
Stabilitas fisik niosom tergantung pada ukuran partikel yang dapat berubah
karena pembentukan agregat dan penggabungan, terjadinya pemisahan dari
komponen bilayer setelah penyimpanan, serta terjadinya kebocoran bahan
enkapsulasi dari niosom.
b. Stabilitas Kimia
Stabilitas kimia niosom tergantung pada stabilitas komponen lipid dan
komponen bilayernya yang dirancang untuk membawa zat aktif. Fosfolipid dapat
mengalami degradasi berupa hidrolisis dan peroksidasi.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


20

c. Stabilitas Dalam Cairan Biologi


Niosom tidak mampu mempertahankan zat yang terjerap ketika diinkubasi
dalam darah atau plasma. Ketidakstabilan niosom dalam plasma terjadi karena
adanya transfer bilayer lipid dengan albumin dan protein dengan densitas yang
tinggi. Garam empedu juga dapat mengganggu struktur membran bilayer dari
niosom yang dapat menyebabkan kebocoran pada niosom.

2.10.4 Metode Pembuatan Niosom


Pembuatan niosom secara umum dibedakan menjadi delapan metode,
diantaranya: teknik penjerapan pasif, hidrasi lapis tipis, injeksi eter, penguapan
fase balik, ekstruksi beberapa membran, mikrofluidasi, sonikasi, metode
gelembung, teknik penjerapan aktif, gradien pH transmembran.
a. Teknik Penjerapan Pasif
Teknik ini merupakan teknik yang paling sering digunakan dalam
pembuatan niosom dimana obat tergabung selama pembentukan niosom
(Sankhyan, Pawar, 2012).
b. Hidrasi Lapis Tipis
Semua komponen pembentuk vesikel yaitu surfaktan, kolesterol dilarutkan
dalam pelarut organik yang mudah menguap dalam labu alas bulat. Pelarut
organik diuapkan menggunakan rotary evaporator pada suhu kamar yang
membentuk film tipis dari komponen terlarut. Film tipis yang terbentuk dihidrasi
dengan fase air dengan agitasi lembut sehingga terbentuk niosom (Sankhyan,
Pawar, 2012).
c. Injeksi Eter
Surfaktan dan komponen lain dilarutkan dalam eter (dietil eter) dan
kemudian secara perlahan-lahan diinjeksikan ke dalam fase cair pada suhu 600C
menggunakan jarum. Penambahan tersebut akan menyebabkan penguapan eter
dan pembentukan vesikel lapis tunggal. Metode ini memiliki kelebihan dalam
mengontrol ukuran, yang dapat diperoleh dengan mengontrol ukuran jarum dan
kondisi lainnya. Kelemahannya adalah kelarutan bahan dalam eter yang terbatas
dan sulit dalam menghilangkan eter dari formulasi akhir (Sankhyan, Pawar,
2012).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


21

d. Penguapan Fase Balik


Bahan dilarutkan dalam campuran pelarut organik yang mudah menguap
(eter dan kloroform) dan obat dilarutkan dalam fase air. Emulsi air dalam minyak
terbentuk dari dua fase dalam bath sonicator. Prinsip dasar meliputi penguapan
pelarut organik untuk membentuk niosom. Emulsi ini dikeringkan menggunakan
rotary evaporator pada suhu 400C untuk membentuk gel semi solid dari vesikel
besar. Sejumlah kecil buffer ditambahkan dan semi solid yang terbentuk
disonikasi pada suhu 4-50C untuk membentuk vesikel kecil unilamellar
(Sankhyan, Pawar, 2012).
e. Ekstruksi Beberapa Membran
Prinsip dasar melibatkan ekstruksi yang memaksa bagian dari campuran,
suspensi, atau emulsi dari komponen melalui membran polikarbonat berulang kali
untuk memperoleh niosom dengan ukuran yang diinginkan. Fase organik
dikeringkan dalam rotary evaporator dan dihidrasi dengan fase air, hasilnya
diekstruksi melalui membran (Sankhyan, Pawar, 2012).
f. Mikrofluidisasi
Kedua fase saling berinteraksi pada kecepatan yang sangat tinggi dalam
saluran mikro di dalam interaction chamber. Energi dan tumbukan kecepatan
tinggi menyebabkan pembentukan niosom yang kecil dan seragam. Metode ini
memiliki tingkat reprodusibilitas yang tinggi (Sankhyan, Pawar, 2012).
g. Sonikasi
Campuran larutan obat dalam buffer, surfaktan, dan kolesterol disonikasi
dengan sonikator pemeriksaan titanium pada suhu 600C selama 3 menit untuk
menghasilkan niosom. Metode ini juga digunakan untuk memproduksi vesikel
unilamellar kecil dari vesikel multilamellar besar yang dipreparasi dengan teknik
lainnya (Sankhyan, Pawar, 2012).
h. Metode Gelembung
Metode pembuatan niosom ini dengan satu tahap tanpa menggunakan
pelarut organik. Semua komponen didispersikan dalam buffer dan ditempatkan
dalam labu alas bulat di atas penangas air dengan suhu yang dikontrol. Labu
tersebut memiliki tiga leher yang dihubungkan pada refluks pendingin air,
termometer, dan penyedia nitrogen. Dispersi dicampurkan dengan homogenizer

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


22

selama 15 detik dan kemudian dibuat gelembung dengan nitrogen untuk


membentuk niosom (Sankhyan, Pawar, 2012).
i. Teknik Penjerapan Aktif
Meliputi penambahan obat setelah pembentukan niosom. Niosom
dipreparasi dan kemudian obat dimasukkan dengan mempertahankan gradien pH
atau gradien ion untuk memfasilitasi penjerapan obat ke dalam niosom. Cara ini
dapat memberikan keuntungan penjerapan 100%, perbandingan obat-lipid yang
tinggi, menghindari kebocoran, biaya yang efektif, dan cocok untuk obat-obat yang
tidak stabil (Sankhyan, Pawar, 2012).
j. Gradien pH Transmembran
Fase organik dan komponen terlarut diuapkan untuk membentuk lapisan
dan dihidrasi dengan asam sitrat, vesikel multilamellar dibentuk dengan
pembekuan yang dicairkan 3 kali dan disonikasi. Ke dalam suspensi niosom
ditambahkan fase air dan obat, divortex dan pH dinaikkan hingga 7,0-7,2 dengan
1M dinatrium fosfat. Campuran tersebut kemudian dipanaskan pada suhu 600C
selama 10 menit untuk memasukkan obat ke dalam niosom (Sankhyan, Pawar,
2012).

2.10.5 Komponen Pembentukan Niosom


a. Surfaktan
Surfaktan berasal dari kata surface active agent (agen aktif permukaan).
Surfaktan banyak digunakan karena kemampuannya dalam mempengaruhi sifat
permukaan (surface) dan antar muka (interface). Surfaktan memiliki gugus
hidrofobik dan hidrofilik. Bagian “kepala” mengacu pada pelarut hidrofilik, dan
bagian “ekor” mengacu pada gugus hidrofobik (Perkins, 1998). Surfaktan dapat
mengabsorpsi pada permukaan atau antar muka untuk mengurangi tegangan
permukaan atau tegangan antar muka. Bagian hidrofobik terdiri dari rantai
hidrokarbon sedangkan bagian hidrofilik dapat berupa ion, gugus polar atau gugus
yang larut dalam air. Oleh karena itu surfaktan sering disebut ampifil yang berarti
memiliki aktivifas tertentu baik terhadap pelarut polar maupun non polar. Ampifil
secara dominan dapat berupa hidrofil, lipofil, atau berada di antara minyak-air
(Bucton, 1995). Adapun struktur molekul surfaktan dapat dilihat pada Gambar
2.7.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


23

Gambar 2.7. Struktur Molekul Surfaktan


[Sumber : Perkins, 1998]

Surfaktan dapat dikategorikan menjadi 4 jenis, yaitu: surfaktan anionik,


kationik, nonionik, dan amfoterik (Tang dan Suendo, 2011). Adapun keterangan
masing-masing jenis niosom adalah sebagai berikut:
1. Surfaktan Anionik
Bagian hidrofilik molekul surfaktan bermuatan negatif. Contohnya adalah
natrium alkil benzena sulfonat, natrium lauril sulfonat, natrium dodesil
benzen sulfonat, natrium lauril eter sulfat, ammonium lauril sulfat, natrium
metil kokoli sulfat, natrium lauril sarkosinat.
2. Surfaktan Kationik
Komponen aktif permukaan dalam surfaktan ini adalah kation. Bagian
hidrofilik molekul surfaktan bermuatan positif (contohnya: garam amina
rantai panjang, dan benzalkonium klorida).
3. Surfaktan Nonionik
Merupakan suatu surfaktan dengan bagian aktif permukaannya
mengandung gugus nonion. Contohnya adalah Cetomagrol, Span, Tween,
dan Brij.
4. Surfaktan Amfolitik (zwitterionik)
Surfaktan ini dapat bersifat baik anionik atau kationik, tergantung pada
pH. Salah satu contohnya adalah N-dodesil-N,N-dimetil betain dan lesitin.

Surfaktan nonionik dapat diklasifikasikan berdasarkan ukuran


kesetimbangan hidrofilik-lipofilik (HLB : Hidrophilic-Lipophilic Balance). Makin
tinggi HLB suatu zat, maka zat tersebut semakin hidrofilik. Surfaktan yang
mempunyai HLB rendah kurang dari 10 biasanya digunakan sebagai zat antibusa
untuk menghilangkan busa, zat pengemulsi air dalam minyak dan sebagai zat

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


24

pembasah untuk menurunkan sudut kontak antar-permukaan dan cairan


pembasah. Adapun struktur molekul span 60 dapat dilihat pada Gambar 2.8.
Span 60 atau sorbitan monostearat dapat berfungsi sebagai agen
pengemulsi (emulgator), surfaktan nonionik lipofilik, agen pelarut, dan agen
penghidrasi. Span 60 praktis tidak larut dalam air, dapat bercampur dengan
alkohol, larut dalam parafin cair, mudah larut dalam eter, tidak larut dalam aseton
dan propilenglikol. Nilai HLB (Hydrophilic-Lipophilic Balance) span 60 adalah
4,7 (Rowe, Sheskey, & Owen, 2006).

Gambar 2.8. Struktur Molekul Span 60


[Sumber : Rowe, Sheskey, & Owen, 2006]

b. Kolesterol
Kolesterol memiliki rumus empiris C27H46O dan berat molekul 386,67
serta titik lebur 147-150⁰C. Dalam kosmetik dan formulasi topikal kolesterol
digunakan pada konsentrasi 0,3-5,0 % b/b sebagai zat pengemulsi. Kolesterol
mampu menyerap air pada sediaan salep dan memiliki aktivitas sebagai emolien.
Senyawa ini dapat berwarna putih atau kekuningan (samar), hampir tidak berbau,
berbentuk mutiara, jarum, bubuk atau butiran. Pada paparan cahaya dan udara
yang berkepanjangan kolesterol dapat berubah warna menjadi kuning kecoklatan.
Kolesterol larut dalam aseton, larut 1 : 4,5 dalam kloroform, larut dalam minyak
nabati, dan praktis tidak larut dalam air. Senyawa ini stabil dan harus disimpan
dalam wadah tertutup, terlindung dari cahaya (Rowe, Sheskey, & Owen, 2006).
Adapun struktur molekul kolesterol dapat dilihat pada Gambar 2.9.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


25

Gambar 2.9 . Struktur Molekul Kolesterol


[Sumber : Rowe, Sheskey, & Owen, 2006]

Kolesterol merupakan steroid yang menyebabkan perubahan fluiditas dan


permeabilitas dari bilayer niosom. Kolesterol merupakan metabolit steroid lilin
yang dicampurkan dengan surfaktan nonionik untuk memberikan kekakuan dan
keteraturan pada niosom. Kolesterol merupakan molekul ampifilik, dimana gugus
OH-nya akan mengarah pada fasa air, dan rantai alifatiknya akan mengarah pada
rantai hidrokarbon dari surfaktan. Kekakuan yang terjadi pada niosom disebabkan
karena adanya kerangka steroid yang kaku yang berinteraksi dengan molekul
surfaktan sehingga membatasi pergerakan karbon dari rantai hidrokarbon
surfaktan. Kolesterol juga dapat mencegah terjadinya kebocoran pada molekul
surfaktan yang telah menjerap zat aktif (Sankhyan, Pawar, 2012).
c. Metanol
Metanol adalah bentuk paling sederhana dari alkohol yang biasa
digunakan sebagai pelarut di industri dan sebagai bahan tambahan dari etanol
dalam proses denaturasi sehingga etanol menjadi toksik. Rumus kimia dari
metanol adalah CH3OH dan dikenal dengan nama lain yaitu metil alkohol, metal
hidrat, metil karbinol, wood alcohol atau spiritus. Pada keadaan atmosfer metanol
berbentuk cairan yang ringan, mudah menguap, tidak berwarna, mudah terbakar
dan beracun dengan bau yang khas (berbau lebih ringan daripada etanol)
(Martindale, 1996).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


26

d. Kloroform
Kloroform juga dikenal sebagai triklorometana, metana triklorida,
trikloroform, metil triklorida, dan formil triklorida. Kloroform memiliki rumus
molekul dan massa molekul relatif masing-masing adalah CHCl3 dan 119,4. Pada
suhu ruang kloroform jernih, tidak berwarna, cairan mudah menguap dengan bau
khas eterik (WHO, 2004). Kloroform sedikit larut dalam air, mudah larut dalam
karbon disulfida, dan dapat bercampur dengan alkohol, eter, benzen, karbon
tetraklorida, dan minyak yang mudah menguap (HSBD, 2009). Kloroform stabil
di bawah suhu dan tekanan normal dalam wadah tertutup (Akron, 2009).
e. Phosphate Buffered Saline
Phosphate buffered saline adalah larutan isotonis yang digunakan dalam
penelitian biologis. Larutan ini mengandung natrium klorida, natrium fosfat,
kalium klorida, dan kalium fosfat. PBS banyak digunakan karena isotonis dengan
cairan tubuh manusia dan tidak bersifat toksik (Medicagi AB, 2010). PBS
memiliki pH yang berkisar 7,3-7,5 dan osmolaritasnya berkisar 280-315 Mosm/kg
(Maureen, 2002).

2.11 Karakterisasi Niosom


2.11.1 Analisis Ukuran Partikel
Ukuran partikel dan distribusi ukuran partikel adalah karakteristik yang
penting dalam niosom. Pelepasan obat dipengaruhi oleh ukuran partikel. Partikel
yang berukuran kecil memiliki luas permukaan yang lebih besar, dimana akan
mengakibatkan pelepasan zat aktif yang lebih cepat. Sementara itu partikel yang
lebih besar memiliki inti yang lebih besar yang dapat mengurangi kecepatan obat
untuk berdifusi keluar. Namun demikian partikel yang berukuran kecil memiliki
resiko yang lebih besar untuk terjadinya agregasi selama penyimpanan
(Jahanshashi dan Babaei, 2008).
Ukuran partikel dapat ditentukan dengan menggunakan photon correlation
spectroscopy (PCS) atau dapat juga digunakan dynamic light scattering (DLS).
Sampel yang dianalisa menggunakan PCS harus terdispersi di dalam medium cair.
Dalam kondisi tertentu partikel akan bergerak konstan secara acak, sebagaimana
yang ditunjukan oleh gerak Brown. Kemudian PCS akan mengukur kecepatan

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


27

gerak partikel tersebut dengan melewatkan laser. PCS mengukur ukuran partikel
rata-rata dan indeks polidispersitas. Dynamic light scattering (DLS) menerapkan
konsep pengukuran di mana partikel kecil di dalam suspensi bergerak dalam pola
acak. Partikel besar bergerak lebih lambat dari partikel yang berukuran lebih kecil
(Jahanshashi dan Babaei, 2008).

2.11.2 Efisiensi Penjerapan Niosom


Obat yang tidak terjerap dapat dipisahkan dengan berbagai teknik, di
antaranya :
a. Dialisis
Dispersi cairan niosom didialisis dalam tabung dialisis dengan
menggunakan buffered phosphate atau normal saline atau larutan glukosa.
b. Gel filtration
Obat yang tidak terjerap dihilangkan dari niosom menggunakan filtrasi gel
melalui kolom Sphadex-G-50 dan dielusi dengan buffer garam fosfat atau
normal salin.
c. Sentrifugasi
Suspensi niosom disentrifugasi dan supernatannya dipisahkan. Pelet yang
diperoleh dicuci kemudian disuspensikan kembali untuk mendapatkan
niosom yang bebas dari obat yang tidak terjerap.

Efisiensi penjerapan obat dalam vesikel (EE%) diukur dengan


memisahkan obat bebas dari vesikel penjerap menggunakan teknik
ultrasentrifugasi. Sejumlah volume suspensi niosom disentrifugasi selama 50
menit pada 50.000 rpm dan suhu 4◦C (OptimaTM ultrasentrifus, Beckman
Coulter, USA) untuk memisahkan obat bebas (obat yang tidak terjerap). Jumlah
obat bebas (FD) disebut sebagai supernatan. Suspensi niosom digunakan untuk
menilai total jumlah obat (TD). Supernatan hasil ultrasentrifugasi ditetapkan
kadarnya dengan menggunakan spektrofotometer UV-Vis pada panjang
gelombang maksimum (Pham, Maalej, Charcosset, Fessi, 2012).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


28

2.12 Spektrofotometri UV-Vis


Senyawa yang dapat memberikan serapan ketika diukur dengan
spektrofotometer adalah senyawa yang memiliki gugus kromofor. Kromofor
adalah gugus fungsional yang mengabsorbsi radiasi ultraviolet dan tampak, jika
mereka diikat oleh senyawa-senyawa bukan pengabsorbsi (auksokrom).
Auksokrom adalah gugus fungsional yang memiliki elektron bebas, seperti OH,
O, NH3, dan OCH3. Spektrofotometer UV-Vis dapat digunakan untuk informasi
kualitatif dan analisis kuantitatif. Dalam aspek kualitatif, data yang diperoleh dari
spektroskopi UV dan Vis adalah panjang gelombang maksimum, intensitas
absorbsi, efek pH, dan pelarut, semuanya dibandingkan dengan data yang telah
dipublikasikan. Dari spektra yang diperoleh dapat dilihat, misalnya serapan
berubah atau tidak karena perubahan pH. Dalam aspek kuantitatif, berkas radiasi
yang dilewatkan pada larutan sampel dan intensitas sinar radiasi yang diteruskan
diukur besarnya. Radiasi yang diserap oleh larutan sampel ditentukan dengan
membandingkan intensitas sinar yang datang dengan intensitas sinar yang
diteruskan (Gandjar dan Rohman, 2007).
Hukum Lambert Beer :
A = log (I0/lt) = γ.b.c = a.b.c (2.1)
Dimana : A = serapan
Io = Intensitas sinar yang datang
It = Intensitas sinar yang diteruskan
γ = absorbtivitas molekuler (mol.cm.lt-1)
a = daya serap (g.m.lt-1)
b = tebal larutan / kuvet (cm)
c = konsentrasi (g.lt-1.mg.ml-1)

Hukum Lambert-Beer menyatakan bahwa intensitas yang diteruskan oleh


larutan zat penyerap berbanding lurus dengan tebal dan konsentrasi larutan.
Komponen-komponen dalam spektrofotometer UV-Vis meliputi sumber-sumber
sinar, monokromator, dan sistem optik. Sumber-sumber lampu, lampu deutrium
digunakan untuk daerah UV pada panjang gelombang dari 190-350 nm,
sedangkan lampu halogen kuarsa atau lampu tungsten digunakan untuk daerah
sinar tampak pada panjang gelombang 350-900 nm. Monokromator, digunakan

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


29

untuk mendispersikan sinar ke dalam komponen-komponen panjang


gelombangnya yang selanjutnya akan dipilih oleh celah (slit). Monokromator
berputar sedemikian rupa sehingga kisaran panjang gelombang dilewatkan pada
larutan sampel sebagai scan. Optik-optik didisain untuk memecah sumber sinar
sehingga sumber sinar melewati 2 kompartemen, sebagaimana yang digunakan
dalam spektrofotometer berkas ganda (double beam), suatu larutan blanko
digunakan dalam satu kompartemen untuk mengoreksi pembacaan atau spektrum
sampel. Umumnya yang paling sering digunakan sebagai blanko dalam
spektrofotometri adalah semua pelarut yang digunakan untuk melarutkan sampel
atau pereaksi (Gandjar dan Rohman, 2007).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian


Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Penelitian II, Laboratorium
Farmakognosi dan Fitokimia, dan Laboratorium Kimia Obat, Fakultas Kedokteran
dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dan
Laboratorium Analisa Bahan Fakultas MIPA Jurusan Fisika Institut Pertanian
Bogor. Waktu penelitian dimulai pada bulan November 2014 sampai bulan Maret
2015.

3.2 Alat
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah spektrofotometer
UV-Vis (Hitachi, Jepang), vacuum rotary evaporator (Eyela N-1000, Jepang),
ultrasentrifuge (Himac CP 100WX, Hitachi, Jepang), tube (Hitachi, Jepang),
particle size analysis (Vasco, Perancis), vortex mixer (VM-300, Taiwan), autoklaf
digital (MC 30-L., Ltd, Jepang), mikropipet (Rainin, USA), timbangan analitik
(KERN ACJ 220-4M, Balingen), pH meter (Horiba F-52, Jepang), glass beads,
dan alat-alat gelas lain yang biasa digunakan.

3.3 Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah ekstrak kulit batang
nangka (Artrocarpus heterophyllus L.) yang diperoleh dengan metode maserasi
(Bogor, Indonesia), span 60 (Croda, Singapura), kolesterol (TCI, Jepang),
kloroform pro analisa (Merck, Jerman), metanol pro analisa (Merck, Jerman),
Na2CO3 pro analisa (Sinopharm, China), Folin-Ciocalteu (Merck, Jerman),
Phosfate Buffered Saline pH 7,3±0,2 (Oxoid, Inggris), asam galat standar (Sigma,
USA), dan aquadest.

30 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


31

3.4 Prosedur Kerja


3.4.1 Uji Parameter Spesifik Ekstrak Kulit Batang Nangka
3.4.1.1 Identitas
Pendeskripsian tata nama, yaitu nama ekstrak, nama latin tumbuhan,
bagian tumbuhan yang digunakan dan nama Indonesia tumbuhan (Depkes RI,
2000).
3.4.1.2 Organoleptik
Penetapan organoleptik yaitu pengenalan secara fisik dengan
menggunakan panca indera dalam mendeskripsikan bentuk, warna, bau (Depkes
RI, 2000).

3.4.2 Uji Parameter Nonspesifik Ekstrak Kulit Batang Nangka


3.4.2.1 Kadar Abu
Sebanyak 1 gram ekstrak ditimbang seksama (W1) dimasukkan dalam
kurs yang sebelumnya telah dipijarkan dan ditimbang (W0). Setelah itu ekstrak
dipijar dengan menggunakan tanur secara perlahan-lahan dengan suhu dinaikkan
secara bertahap hingga 600±25°C sampai arang habis. Kemudian ditimbang
hingga bobot tetap (W2) (Depkes RI, 2000).

W 2−W 0
% Kadar Abu Total = x 100% (3. 1)
𝑊1

Keterangan : W0 = bobot cawan kosong (gram)


W1 = bobot ekstrak awal (gram)
W2 = bobot cawan + ekstrak setelah pemanasan (gram)

3.4.2.2 Kadar Air


Ekstrak ditimbang secara seksama sebanyak 1 gram dan dimasukkan ke
dalam botol timbang dangkal bertutup yang sebelumnya telah dipanaskan pada
suhu 105ºC selama 30 menit dan telah ditara. Sebelum ditimbang, ekstrak
diratakan dalam botol timbang dengan batang pengaduk. Kemudian dikeringkan
dalam oven 105ºC selama 5 jam dan ditimbang. Pengeringan dilanjutkan
kemudian ditimbang pada jarak 1 jam sampai perbedaan antara 2 penimbangan
berturut-turut tidak lebih dari 0,25% (Depkes RI, 2000).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


32

W 0−W1
% Kadar Air = x 100% (3. 2)
𝑊0

Keterangan : W0 = bobot ekstrak sebelum dikeringkan (gram)


W1 = bobot ekstrak setelah dikeringkan (gram)

3.4.3 Uji Skrining Fitokimia Ekstrak Kulit Batang Nangka


3.4.3.1 Alkaloid
Sebanyak 2 mL larutan ekstrak uji diuapkan di atas cawan porselin hingga
diperoleh residu. Residu kemudian dilarutkan dengan 5 mL HCl 2N. Larutan yang
didapat kemudian dibagi ke dalam 3 tabung reaksi. Tabung pertama ditambahkan
dengan asam encer yang berfungsi sebagai blanko. Tabung kedua ditambahkan
pereaksi Dragendroff sebanyak 3 tetes dan tabung ketiga ditambahkan pereaksi
Mayer sebanyak 3 tetes. Terbentuknya endapan jingga pada tabung kedua dan
endapan kuning pada tabung ketiga menunjukkan adanya alkaloid (Farnsworth,
1966).
3.4.3.2 Flavonoid
Sejumlah ekstrak ditambahkan dengan 100 mL air panas, didihkan selama
5 menit, kemudian disaring, diambil filtratnya, dipindahkan ke dalam tabung
reaksi. Filtrat sebanyak 5 mL ditambahkan 0,05 g serbuk Mg, 1 mL HCl pekat
dan amil alkohol, kemudian dikocok kuat-kuat. Terbentuknya warna merah,
kuning, atau jingga menunjukkan sampel mengandung flavonoid (Harborne,
1987).
3.4.3.3 Saponin
Beberapa mL ekstrak ditambahkan dengan 10 mL air sambil dikocok
selama 1 menit, lalu ditambahkan 2 tetes HCl 1 N. Bila busa yang terbentuk tetap
stabil selama kurang lebih 7 menit, maka ekstrak positif mengandung saponin
(Harborne, 1987).
3.4.3.4 Steroid
Sejumlah 2 mL larutan ekstrak uji diuapkan di atas cawan porselin hingga
diperoleh residu. Residu kemudian dilarutkan dalam kloroform dan disaring.
Filtrat ditambahkan H2SO4 pekat sebanyak 2 tetes. Larutan dikocok perlahan dan
dibiarkan selama beberapa menit. Terbentuknya cincin cokelat kemerahan
menunjukkan bahwa ekstrak mengandung steroid (Harborne, 1987).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


33

3.4.3.5 Tanin dan Polifenol


Sejumlah 2 mL larutan ekstrak uji diuapkan di atas cawan porselin hingga
diperoleh residu. Residu kemudian direaksikan dengan FeCl3 10%. Terbentuknya
warna biru tua, biru kehitaman, atau hitam kehijauan menunjukkan adanya
senyawa polifenol dan tanin (Robinson, 1991).

3.4.4 Analisis Kadar Total Senyawa Polifenol Ekstrak Kulit Batang Nangka
3.4.4.1 Pembuatan Larutan Induk Asam Galat dalam Aquadest
Larutan standar asam galat dengan konsentrasi 1000 ppm (µg/mL) dapat
dibuat dengan cara 10 mg asam galat standar dilarutkan dalam 1 mL metanol pro
analisa lalu ditambahkan aquadest di dalam labu ukur 10 mL sampai tanda batas
(Ratnayani, 2012).
3.4.4.2 Penentuan Panjang Gelombang Maksimum Asam Galat dalam
Aquadest
Larutan standar asam galat 40 ppm (µg/mL) dibuat dengan cara
mengambil 0,2 mL larutan induk asam galat 1000 ppm (µg/mL), lalu dimasukkan
ke dalam labu ukur 5 mL dan ditambahkan aquadest sampai tanda batas.
Sebanyak 0,5 mL larutan standar 40 ppm dimasukkan ke dalam tabung reaksi,
kemudian ditambah 0,3 mL reagen Folin-Ciocalteu dan 2 mL larutan Na2CO3
15%, lalu ditambahkan 2,2 mL aquadest. Larutan diinkubasi pada suhu kamar
selama 2 jam. Campuran larutan tersebut kemudian diukur serapannya pada
panjang gelombang 400 sampai 800 nm. Hasil yang diperoleh dibuat dalam
bentuk kurva, sebagai sumbu y adalah absorbansi dan panjang gelombang cahaya
sebagai sumbu x. Dari kurva tersebut dapat ditentukan panjang gelombang yang
memberikan serapan maksimum (Alfian, Susanti, 2012; Pontis, Costa, Silva,
Flach, 2014).
3.4.4.3 Pembuatan Kurva Standar Asam Galat dalam Aquadest
Larutan standar asam galat dengan konsentrasi 20, 30, 40, 50, 60, 70, dan
80 ppm (µg/mL) dibuat dengan cara mengambil masing-masing sebanyak 0,2 mL;
0,3 mL; 0,4 mL; 0,5 mL; 0,6 mL; 0,7 mL dan 0,8 mL larutan induk asam galat
1000 ppm (µg/mL), lalu dimasukkan ke dalam labu ukur 10 mL, dan ditambahkan
aquadest sampai tanda batas. Sebanyak 0,5 mL dari masing-masing seri
konsentrasi larutan tersebut dimasukkan dalam tabung reaksi, kemudian ditambah

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


34

0,3 mL reagen Folin-Ciocalteu dan 2 mL larutan Na2CO3 15%, lalu ditambahkan


2,2 mL aquadest. Campuran larutan tersebut kemudian diinkubasi selama 2 jam.
Semua larutan diukur absorbansinya menggunakan spektrofotometer UV-Vis
pada panjang gelombang 755 nm, kemudian dibuat kurva kalibrasi hubungan
antara konsentrasi asam galat (μg/mL) dengan absorbansi (Pontis, Costa, Silva,
Flach, 2014).
3.4.4.4 Penentuan Total Senyawa Polifenol dalam Ekstrak Kulit Batang
Nangka
Sebanyak 10 mg ekstrak kulit batang nangka dilarutkan dalam 1 mL
metanol pro analisa lalu ditambahkan aquadest di dalam labu ukur 10 mL sampai
tanda batas. Sebanyak 0,5 mL larutan ekstrak yang diperoleh dimasukkan ke
dalam tabung reaksi, kemudian ditambah 0,3 mL reagen Folin-Ciocalteu dan 2
mL larutan natrium karbonat 15%, lalu ditambahkan 2,2 mL aquadest. Larutan
diinkubasi pada suhu kamar selama 2 jam. Campuran larutan tersebut diukur
absorbansinya menggunakan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang
755 nm, kadar senyawa polifenol total dapat dihitung dengan menggunakan
persamaan regresi linear dari kurva kalibrasi. Kadar total polifenol ditetapkan
sebagai ekivalen asam galat (GAE) (Pontis, Costa, Silva, Flach, 2014).

3.4.5 Preparasi Niosom Ekstrak Kulit Batang Nangka


3.4.5.1 Pembuatan Larutan PBS pH 7,3±0,2
Larutan phosphate buffered saline pH 7,3±0,2 dibuat dengan melarutkan
10 buah tablet phosphate buffered saline yang mengandung natrium klorida (8
g/L), kalium klorida (0,2 g/L), kalium hidrogen fosfat (0,2 g/L), kalium
dihidrogen fosfat (0,2 g/L) dan dinatrium hidrogen fosfat (1,15 g/L) dalam 1000
mL air bebas karbondioksida, kemudian diautoklaf pada suhu 115°C selama 10
menit menggunakan autoklaf digital (Oxoid, Inggris).
3.4.5.2 Formulasi Niosom
Niosom yang mengandung ekstrak kulit batang nangka sebagai bahan aktif
diformulasikan dengan menggunakan span 60 sebagai surfaktan nonionik,
kolesterol sebagai bahan penstabil, dan PBS (phosphate buffered saline) pH 7,3±2
sebagai fase air. Adapun formula niosom yang digunakan terdapat pada Tabel 3.1.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


35

Tabel 3.1 Formula Niosom


Bahan F1 F2 F3
Ekstrak kulit batang 50 mg 100 mg 150 mg
nangka
Kolesterol 200 mg 200 mg 200 mg
Span 60 400 mg 400 mg 400 mg
PBS pH 7,3 12,5 mL 12,5 mL 12,5 mL

3.4.5.3 Pembuatan Niosom dengan Metode Hidrasi Lapis Tipis


Niosom dibuat dengan menggunakan metode hidrasi lapis tipis. Ekstrak
kulit batang nangka, span 60, dan kolesterol (Tabel 3.1) dilarutkan dalam pelarut
organik. Ekstrak kulit batang nangka dilarutkan dalam 3 mL metanol, span 60
dilarutkan dalam 4,5 mL kloroform, dan kolesterol dilarutkan dalam 1,5 mL
kloroform, dan kemudian dimasukkan ke dalam labu alas bulat. Pelarut kemudian
diuapkan dengan vacuum rotary evaporator pada suhu 60°C dengan kecepatan
180 rpm hingga terbentuk lapisan tipis pada dinding labu, kemudian disimpan
selama 1x24 jam untuk menghilangkan sisa pelarut dan membentuk lapisan yang
compact. Lapisan film yang terbentuk dihidrasi dengan fase air PBS (Phosphate
Buffered Saline) pH 7,3±2 dengan bantuan mekanik glass beads pada suhu 60°C
dengan kecepatan 20 rpm untuk membentuk suspensi niosom (Ruckmani, Sankar,
2010).

3.4.6 Karakterisasi Niosom


3.4.6.1 Analisis Ukuran Partikel
Suspensi niosom yang telah terbentuk dapat dianalisis ukuran partikel dan
distribusi ukuran partikel serta indeks polidispersitasnya oleh Dynamic Light
Scattering (DLS) dengan menggunakan alat Particle Size Analyzer (PSA)
(Bayindir, Yuksel, 2009). Suspensi niosom yang telah dihasilkan dari ketiga
formula, diteteskan pada wadah sampel alat Particle Size Analyzer (PSA)
dilakukan measuring sampai didapatkan hasil ukuran partikel, distribusi ukuran
partikel dan indeks polidispersitas.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


36

3.4.6.2 Penentuan Kadar Polifenol yang Terjerap dan Persen Efisiensi


Penjerapan
Kadar polifenol yang terjerap dan efisiensi penjerapan vesikel ditentukan
dengan memisahkan obat bebas dari vesikel penjerap obat dengan menggunakan
teknik ultrasentrifugasi. Suspensi niosom disentrifugasi selama 50 menit pada
50.000 rpm dan suhu 4°C dengan tujuan untuk memisahkan obat yang tidak
terjerap. Jumlah obat bebas (FD) disebut supernatan. Supernatan hasil sentrifugasi
ditetapkan kadarnya dengan menggunakan spektrofotometer UV-Vis (Pham,
Maalej, Charcosset, Fessi, 2012).
Efisiensi Penjerapan (% EP) dihitung dengan rumus :
TD −FD
% EP = x 100% (3. 3)
TD

Keterangan:
TD = total senyawa fenolat yang terdapat dalam formula
FD = jumlah senyawa fenolat yang terdeteksi pada supernatan

a. Pembuatan Larutan Induk Asam Galat dalam PBS (Phosphate


Buffered Saline)
Larutan standar asam galat dengan konsentrasi 1000 ppm (µg/mL) dapat
dibuat dengan cara 10 mg asam galat standar dilarutkan dalam 1 mL metanol pro
analisa, lalu ditambahkan PBS (phosphate buffered saline) di dalam labu ukur 10
mL sampai tanda batas (Ratnayani, 2012).

b. Penentuan Panjang Gelombang Maksimum Asam Galat dalam PBS


(Phosphate Buffered Saline)
Larutan standar asam galat 40 ppm (µg/mL) dibuat dengan cara
mengambil 0,2 mL larutan induk asam galat 1000 ppm (µg/mL), lalu dimasukkan
ke dalam labu ukur 5 mL dan ditambahkan PBS (phosphate buffered saline)
sampai tanda batas. Sebanyak 0,5 mL larutan standar 40 ppm (µg/mL)
dimasukkan dalam tabung reaksi, kemudian ditambah 0,3 mL reagen Folin-
Ciocalteu dan 2 mL larutan Na2CO3 15%, lalu ditambahkan 2,2 mL PBS
(phosphate buffered saline). Larutan diinkubasi pada suhu kamar selama 2 jam.
Campuran larutan tersebut kemudian diukur serapannya pada panjang gelombang
400 sampai 800 nm. Hasil yang diperoleh dibuat dalam bentuk kurva, sebagai
sumbu y adalah absorbansi dan panjang gelombang cahaya sebagai sumbu x. Dari

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


37

kurva tersebut dapat ditentukan panjang gelombang yang memberikan serapan


maksimum (Alvian; Susanti, 2012; Pontis, Costa, Silva, Flach, 2014).

c. Pembuatan Kurva Standar Asam Galat dalam PBS (Phosphate


Buffered Saline)
Larutan standar asam galat dengan konsentrasi 20, 30, 40, 50, 60, 70, dan
80 ppm (μg/ml) dibuat dengan cara mengambil masing-masing sebanyak 0,2 mL;
0,3 mL; 0,4 mL; 0,5 mL; 0,6 mL; 0,7 mL dan 0,8 mL larutan induk asam galat
1000 ppm (µg/mL), lalu dimasukkan ke dalam labu ukur 10 mL, dan ditambahkan
PBS (phosphate buffer saline) sampai tanda batas. Sebanyak 0,5 mL dari masing-
masing seri konsentrasi larutan tersebut dimasukkan dalam tabung reaksi,
kemudian ditambah 0,3 mL reagen Folin-Ciocalteu dan 2 mL larutan Na2CO3
15%, lalu ditambahkan 2,2 mL PBS (phosphate buffer saline). Larutan tersebut
diinkubasi selama 2 jam. Semua larutan diukur absorbansinya menggunakan
spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 756 nm, kemudian dibuat
kurva kalibrasi hubungan antara konsentrasi asam galat (μg/ml) dengan
absorbansi (Pontis, Costa, Silva, Flach, 2014).

d. Penentuan Kadar Polifenol Bebas


Sebanyak 0,5 mL supernatan hasil sentrifugasi dimasukkan ke dalam
tabung reaksi, kemudian ditambah 0,3 mL reagen Folin-Ciocalteu dan 2 mL
larutan natrium karbonat 15%, lalu ditambahkan 2,2 mL PBS (phosphate buffer
saline). Larutan diinkubasi pada suhu kamar selama 2 jam. Campuran larutan
tersebut diukur absorbansinya menggunakan spektrofotometer UV-Vis pada
panjang gelombang 756 nm, kadar senyawa polifenol bebas dapat dihitung
dengan menggunakan persamaan regresi linear dari kurva kalibrasi. Kadar
polifenol bebas ditetapkan sebagai ekivalen asam galat (GAE) (Pontis, Costa,
Silva, Flach, 2014).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Uji Parameter Spesifik Ekstrak Kulit Batang Nangka


4.1.1 Identitas
Ekstrak kulit batang nangka yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh
dari LIPI Serpong Indonesia. Ekstrak kulit batang nangka ini memiliki identitas
sebagai berikut :
Nama Ekstrak : Ekstrak kulit batang nangka
Nama Latin : Artocarpus heterophyllus L.
Bagian yang digunakan : Kulit batang

4.1.2 Organoleptik
Penentuan organoleptik ini termasuk salah satu parameter spesifik yag
ditentukan dengan menggunakan panca indera dan bertujuan untuk pengenalan
awal secara sederhana dan subjektif. Pada pemeriksaan organoleptik ekstrak
meliputi bentuk, warna dan bau (Arifin, Anggraini, Handayani, Rasyid, 2006).
Dari pengamatan didapatkan hasil ekstrak kulit batang nangka berkonsistensi
kental, berwarna cokelat kehitaman dengan bau khas kulit batang nangka.

4.2 Parameter Nonspesifik Ekstrak Kulit Batang Nangka


4.2.1 Kadar Abu
Penetapan kadar abu bertujuan untuk memberikan gambaran tentang
kandungan mineral internal dan eksternal yang berawal dari proses awal sampai
terbentuknya ekstrak (Depkes RI, 2000). Tujuan pemanasan yang dilakukan pada
uji kadar abu adalah untuk mendestruksi dan menguapkan senyawa organik dan
turunannya sampai tinggal unsur mineral dan anorganik saja. Adapun hasil uji
kadar abu ekstrak kulit batang nangka dapat dilihat pada Tabel 4.1.

38 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


39

Tabel 4.1. Hasil Uji Kadar Abu Ekstrak Kulit Batang Nangka
Sampel Kadar Abu (%) Rata-rata (%)
1 1,266
1,32
2 1,364

Hasil uji kadar abu ekstrak kulit batang nangka adalah 1,32 %. Kadar abu
ekstrak kulit batang nangka mengindikasikan bahwa ekstrak yang diperoleh
mengandung mineral dan senyawa anorganik sebesar 1,32%. Hasil kadar abu
yang didapatkan tersebut sesuai dengan standar simplisia batang nangka di
Materia Medika Indonesia yaitu < 3,5% (Depkes RI, 1989). Perhitungan kadar
abu ekstrak kulit batang nangka dapat dilihat pada Lampiran 3.

4.2.2 Kadar Air


Tujuan dilakukannya penetapan kadar air adalah untuk memberikan
batasan minimal atau rentang besarnya kandungan air di dalam bahan (Depkes RI,
2000). Dalam penelitian ini, uji kadar air dilakukan dengan menggunakan metode
gravimetri. Hasil uji kadar air ekstrak kulit batang nangka dapat dilihat pada Tabel
4.2.

Tabel 4.2. Hasil Uji Kadar Air Ekstrak Kulit Batang Nangka
Sampel Kadar Air (%) Rata-rata (%)
1 13,07
13,17
2 13,27

Hasil uji kadar air ekstrak kulit batang nangka adalah 13,17%. Ekstrak
kulit batang nangka ini merupakan ekstrak kental dan kadar air yang dihasilkan
berada dalam batas untuk ekstrak kental yaitu 5-30% (Saifudin, Rahayu, Teruna,
2011). Adapun perhitungan kadar air ekstrak kulit batang nangka dapat dilihat
pada Lampiran 4.

4.3 Penapisan Fitokimia Ekstrak Kulit Batang Nangka


Penapisan fitokimia dilakukan terhadap ekstrak kulit batang nangka.
Penapisan fitokimia dilakukan untuk menguji adanya golongan senyawa metabolit
sekunder yang terkandung dalam suatu tumbuhan dan untuk memberikan

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


40

gambaran kandungan ekstrak secara kualitatif. Hasil penapisan fitokimia ekstrak


kulit batang nangka menunjukkan adanya senyawa golongan saponin, tanin,
alkaloid, fenolik, flavonoid dan steroid. Hal ini membuktikan bahwa ekstrak kulit
batang nangka mengandung senyawa aktif metabolit sekunder. Adapun hasil
penapisan fitokimia ekstrak kulit batang nangka dapat dilihat pada Tabel 4.3.

Tabel 4.3. Hasil Penapisan Fitokimia Ekstrak Kulit Batang Nangka


Jenis Pengujian/Pemeriksaan Hasil Pengujian/Pemeriksaan
Saponin +
Tanin +
Alkaloid +
Fenolik +
Flavonoid +
Steroid -
Keterangan : ( + ) = memberikan reaksi positif (ada)
( - ) = memberikan reaksi negatif (tidak ada)

Pereaksi yang digunakan pada identifikasi alkaloid adalah mayer,


dragendorf, dan bouchardat. Pereaksi ini bereaksi dengan alkaloid membentuk
senyawa kompleks yang mengendap (Fransworth, 1966). Hasil positif ditunjukkan
dengan terbentuknya endapan setelah penambahan pereaksi. Pada hasil uji ekstrak
kulit batang nangka menunjukkan hasil positif.
Identifikasi flavonoid dilakukan dengan cara mereaksikan Mg/HCl
prinsipnya adalah reduksi menggunakan Mg. Pengamatan identifikasi flavonoid
adalah melalui lapisan amil alkohol berwarna merah, kuning, atau jingga yang
terbentuk. Hasil uji pada ekstrak kulit batang nangka menunjukkan hasil yang
positif mengandung senyawa golongan flavonoid.
Hasil positif pada identifikasi saponin diamati melalui banyak dan
stabilnya busa yang terbentuk. Pada hasil uji ini ekstrak kulit batang nangka
menunjukkan hasil yang positif.
Identifikasi steroid menunjukkan hasil yang positif ditandai dengan
terbentuknya cincin coklat kemerahan. Hasil uji ekstrak kulit batang nangka
menunjukkan hasil yang negatif.
Identifikasi tanin dan polifenol dilakukan dengan reaksi warna FeCl3.
Warna yang terbentuk dihasilkan dari reaksi antara inti fenolik yang terdapat pada
tanin dengan ion Fe³⁺ dari pereaksi FeCl3 membentuk senyawa kompleks

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


41

berwarna (Harborne, 1987). Hasil uji pada ekstrak kulit batang nangka
menunjukkan hasil yang positif.

4.4 Analisis Kadar Total Senyawa Polifenol Ekstrak Kulit Batang Nangka
Prinsip penentuan total senyawa polifenol adalah senyawa fenol yang akan
bereaksi dengan pereaksi Folin-Ciocalteau akan memberikan warna kuning dan
dengan penambahan alkali akan menghasilkan warna biru. Gugus hidroksil pada
senyawa polifenol bereaksi dengan reagen Folin-Ciocalteu membentuk kompleks
molibdenum-tungsten berwarna biru dalam suasana basa agar terjadi disosiasi
proton pada senyawa fenolik menjadi ion fenolat yang dapat dideteksi dengan
spektrofotometer UV-Vis (Alfian, Susanti, 2012). Metode Folin-Ciocalteu
digunakan dalam menetapkan kadar polifenol dalam ekstrak kulit batang nangka
karena metode ini bersifat spesifik (Singleton dan Rossi, 1965).

4.4.1 Penentuan Panjang Gelombang Maksimum Asam Galat dalam


Aquadest
Panjang gelombang maksimum ditentukan dengan menggunakan
spektrofotometer UV-Vis terhadap larutan standar asam galat dengan konsentrasi
40 ppm. Pada analisis kadar total senyawa fenolik ekstrak kulit batang nangka,
larutan diinkubasi pada suhu kamar selama 2 jam. Inkubasi ini digunakan untuk
memastikan bahwa reaksi pewarnaan yang terjadi telah berjalan dengan
sempurna, yang nantinya akan menghasilkan absorbansi yang sebenarnya. Waktu
inkubasi selama 2 jam juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Pontis,
Costa, Silva dan Flach (2014) terkait penelitian tentang kandungan total fenolik
pada madu. Larutan diukur absorbansinya pada panjang gelombang 400-800 nm.
Nilai absorbansi tertinggi didapatkan pada saat panjang gelombang 755 nm
dengan absorbansi 0,419. Menurut penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh
Aditria, Cahyono, Swastawati (2013), panjang gelombang yang digunakan untuk
mengukur kadar polifenol dengan menggunakan metode Folin-Ciocalteu adalah
760 nm. Perbedaan hasil panjang gelombang yang didapatkan dengan penelitian
sebelumnya dapat dipengaruhi oleh proses preparasi dan kondisi alat yang
digunakan. Panjang gelombang maksimum asam galat dalam aquadest dapat
dilihat pada Lampiran 5.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


42

Panjang gelombang ini ditentukan sebagai panjang gelombang maksimum.


Penentuan panjang gelombang maksimum dilakukan untuk mengetahui ketika
senyawa memberikan absorbansi yang maksimum sehingga meningkatkan proses
absorpsi larutan terhadap sinar, memberikan absorbansi yang sensitif dan
kuantitatif, dimana kenaikan kadar yang kecil dapat memberikan peningkatan
absorbansi yang signifikan (Rohman, 2007 dan Handayani, 2011).

4.4.2 Pembuatan Kurva Standar Asam Galat dalam Aquadest


Konsentrasi senyawa polifenol dalam ekstrak kulit batang nangka dapat
dihitung dengan menggunakan persamaan garis linier kurva standar asam galat.
Asam galat digunakan sebagai standar karena asam galat merupakan turunan dari
asam hidroksibenzoat yang tergolong fenol sederhana, selain itu asam galat lebih
stabil, serta lebih murah dibandingkan dengan standar yang lainnya. Untuk
mendapatkan konsentrasi yang diinginkan, dilakukan pengenceran terhadap
larutan Induk asam galat 1000 ppm yang telah dibuat dengan teliti untuk
menghindari kesalahan dalam pengenceran.
Nilai absorbansi perlu diperhatikan dalam melakukan pengenceran agar
diperoleh absorbansi antara 0,2-0,8 sehingga memenuhi hukum Lambert-Beer.
Kurva standar asam galat dibuat dengan 7 seri konsentrasi, yaitu 20 ppm; 30 ppm;
40 ppm; 50 ppm; 60 ppm; 70 ppm; dan 80 ppm diperoleh dari pengenceran
larutan standar 1000 ppm. Larutan yang akan dianalisis diinkubasi selama 2 jam,
dan diukur absorbansinya menggunakan spektrofotometer UV-Vis pada panjang
gelombang 755 nm, kemudian dibuat kurva kalibrasi hubungan antara konsentrasi
asam galat (μg/mL) dengan absorbansi. Adapun kurva kalibrasi asam galat
aquadest dapat dilihat pada Gambar 4.1.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


43

0.9
0.8
0.7
0.6

Absorbansi
0.5 y = 0,010x + 0,006
0.4 R = 0,9999
0.3
0.2
0.1
0
0 20 40 60 80 100
Konsentrasi (µg/mL)

Gambar 4.1. Kurva Kalibrasi Asam Galat dalam Aquadest

Persamaan garis linier yang didapat adalah y = 0,0102x + 0,0069 dengan


koefisien korelasi (r) adalah 0,9999 dan koefisien determinasi (R²) 0,9997. Nilai
koefisien korelasi (r) yang mendekati 1 dari kurva kalibrasi menunjukkan korelasi
antara konsentrasi dan absorbansi. Hal ini sesuai dengan hukum Lambert-Beer
yaitu A = abc, dimana nilai A (absorbansi) berbanding lurus dengan nilai
konsentrasi (c). Harga koefisien korelasi yang didapatkan dari persamaan kurva
kalibrasi memenuhi syarat linearitas validasi metode analisis sehingga dapat
digunakan untuk menghitung kadar total fenolik dalam ekstrak kulit batang
nangka (Day dan Underwood, 2002). Nilai koefisien determinasi merupakan
angka yang berkisar dari 0 sampai 1 yang menunjukkan seberapa dekat nilai
perkiraan untuk analisis regresi yang mewakili data yang sebenarnya. Analisis
regresi yang paling dapat dipercaya jika nilai R² sama dengan atau mendekati 1
(Rahmawati, 2009).

4.4.3 Penentuan Total Senyawa Polifenol dalam Ekstrak Kulit Batang


Nangka
Penentuan kandungan polifenol dari ekstrak kulit batang nangka
ditetapkan secara spektrofotometer UV-Vis dengan pereaksi Folin-Ciocalteu
menggunakan standar asam galat. Kandungan polifenol total yang ditetapkan
menurut metode Folin-Ciocalteu bukan kadar absolut, tapi prinsipnya berdasarkan

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


44

kapasitas reduksi dari bahan yang diuji terhadap suatu reduksi ekivalen dari asam
galat (Singleton dan Rossi, 1965).
Pengukuran kadar polifenol total ekstrak kulit batang nangka dilakukan
secara triplo. Untuk menghitung kadar total polifenol dalam ekstrak kulit batang
nangka, hasil absorbansi sampel dimasukkan ke dalam persamaan regresi linier
y = 0,010x + 0,006 yang diperoleh dari kurva kalibrasi asam galat dalam
aquadest, kadar polifenol total yang didapat dihitung rata-ratanya. Adapun kadar
total senyawa polifenol dapat dilihat pada Tabel 4.4.

Tabel 4.4. Data Kadar Total Senyawa Polifenol


Sampel Kadar total (%)
1 6,16
2 6,09
3 6,15
Rata-rata 6,133±0,04

4.5 Preparasi Niosom Ekstrak Kulit Batang Nangka


Niosom yang mengandung ekstrak kulit batang nangka dibuat dengan
menggunakan span 60 sebagai surfaktan nonionik, kolesterol, metanol pro analisa
dan kloroform pro analisa sebagai pelarut organik yang digunakan untuk
melarutkan bahan-bahan yang digunakan. Pada penelitian ini surfaktan nonionik
yang dipilih adalah span 60, di mana menurut beberapa penelitian span 60
menunjukkan efisiensi penjerapan yang terbesar dibandingkan dengan jenis
surfaktan nonionik yang lain. Efisiensi penjerapan span 60> span 40> span 20.
Kolesterol yang digunakan pada pembuatan niosom berfungsi untuk mencegah
terjadinya kebocoran dari vesikel di mana kolesterol mengepak barisan molekul
lipid pada lapisan lipid ganda pada vesikel (Hao, Zhao, Yang, Ke’an, 2002).
Formulasi yang digunakan pada penelitian ini menggunakan perbandingan
span 60 dan kolesterol 2 : 1, di mana perbandingan ini merupakan hasil optimasi
dari studi pendahuluan yang telah dilakukan sebelumnya. Menurut penelitian
sebelumnya formula niosom yang menggunakan perbandingan span 60 dan
kolesterol 2 : 1 juga menunjukkan efisiensi penjerapan terbesar dan ukuran
partikel yang terkecil dibandingkan dengan perbandingan span 60 : kolesterol 1 :
1 dan 1 : 1,5 (Sabarikumar, Varatharajan, Ilavarasan, Shaik, 2012).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


45

Pada penelitian ini dibuat tiga formula niosom dengan peningkatan


konsentrasi ekstrak kulit batang nangka yang ditambahkan. Hal ini ditujukan
untuk melihat pengaruh jumlah kandungan ekstrak kulit batang nangka terhadap
ukuran partikel, kadar polifenol yang terjerap serta efisiensi penjerapan niosom.
Metode yang digunakan untuk membuat niosom yaitu hidrasi lapis tipis. Metode
hidrasi lapis tipis adalah metode yang paling umum digunakan karena relatif lebih
mudah, lebih sederhana serta ketersediaan alat di laboratorium. Tahapan pada
metode hidrasi lapis tipis adalah proses menguapkan pelarut organik, sehingga
terbentuk lapisan tipis pada dinding labu yang kemudian dihidrasi dengan
menggunakan fase air berupa larutan dapar fosfat pH 7,3 ±2.
Pada penelitian ini dilakukan percobaan pendahuluan untuk mengetahui
kondisi yang sesuai serta waktu yang dibutuhkan pada saat pembuatan niosom.
Kondisi dan waktu yang sesuai dibutuhkan untuk penggunaan alat rotary
evaporator pada saat pembuatan hidrasi lapis tipis dan proses hidrasi agar
terbentuk suspensi niosom yang baik. Kondisi dan waktu alat rotary evaporator
yang digunakan untuk menguapkan pelarut organik sampai terbentuk lapis tipis
pada dinding labu adalah dengan kecepatan putaran labu sebesar 180 rpm, suhu
±60⁰C dengan waktu selama ±5 jam, di mana pada 1 jam pertama larutan yang
terdiri dari ekstrak kulit batang nangka, span 60 dan kolesterol dibiarkan
bercampur untuk memastikan semua bahan tersebut telah terlarut sempurna dalam
pelarut organik, setelah itu pompa vacum dihidupkan dan sesekali dimatikan
untuk menghasilkan lapisan tipis yang baik pada dinding labu.
Pompa vacum tidak langsung dihidupkan pada awal pembuatan, tujuannya
agar pelarut organik yang digunakan tidak langsung habis menguap agar terbentuk
lapisan tipis yang merata pada dinding labu, ketika lapisan tipis telah terbentuk,
pompa vacum terus dihidupkan agar pelarut yang tersisa menguap selama ±5 jam.
Setelah lapis tipis telah terbentuk, labu alas bulat dialiri dengan menggunakan gas
nitrogen dan didiamkan selama 24 jam. Hal ini bertujuan untuk memastikan
pelarut organik yang digunakan telah menguap sempurna sehingga tidak
mempengaruhi proses hidrasi (Ruckmani, Sankar, 2010). Namun, karena
keterbatasan alat pada laboratorium, proses pengaliran menggunakan nitrogen

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


46

tidak dilakukan, lapisan tipis yang telah terbentuk pada labu alas bulat ditutup
dengan aluminium foil yang telah dilubangi dan disimpan selama semalam.
Lapisan tipis yang telah terbentuk pada dinding labu dan telah didiamkan
selama semalam, dilakukan proses hidrasi menggunakan larutan phosphate
buffered saline pH 7,3 ±0,2 sebanyak 12,5 mL selama 2 jam, 30 menit pertama
kecepatan putaran labu alas bulat alat rotary evaporator adalah 60 rpm
selanjutnya kecepatan putaran labu alas bulat ditingkatkan menjadi 180 rpm.
Proses pengikisan lapis tipis yang telah terbentuk pada dinding labu dibantu
dengan cara memasukkan 15 buah glass beads ke dalam labu alas bulat, tujuannya
adalah untuk membantu mengikis kerak lapisan tipis yang menempel pada
dinding labu secara mekanik, sehingga lapisan tipis yang telah terbentuk dapat
terdispersi secara sempurna dalam larutan phosphate buffered saline pH 7,3 ±0,2
dan membentuk suspensi niosom yang homogen. Glass beads merupakan manik-
manik gelas berukuran kecil yang tidak merusak labu alas bulat.
Pada proses hidrasi, suhu yang digunakan pada alat rotary evaporator
adalah ±60⁰C. Hidrasi ini dilakukan untuk mengembangkan vesikel yang telah
terbentuk serta untuk mengoptimalkan penjerapan obat. Vesikel yang telah
terbentuk akan mengembang karena masuknya cairan ke dalamnya, sehingga
ekstrak kulit batang nangka yang larut dalam fase air yang belum terjerap ke
dalam niosom diharapkan akan ikut masuk ke dalam vesikel. Penjerapan ekstrak
kulit batang nangka berlangsung mulai saat pembentukan lapis tipis pada dinding
labu alas bulat, di mana ekstrak kulit batang nangka akan terdisposisi pada bagian
polar molekul surfaktan nonionik dalam hal ini span 60.
Proses hidrasi juga dapat meningkatkan penjerapan ekstrak kulit batang
nangka ke dalam niosom. Besarnya konsentrasi zat yang terjerap tergantung pada
kemampuan obat itu untuk terdisposisi pada bagian polar dan nonpolar molekul
surfaktan yang membentuk vesikel serta kemampuannya untuk berdifusi selama
proses hidrasi berlangsung (Rahman, Ismail, Wahyudin, 2011). Setelah lapisan
tipis dihidrasi, suspensi niosom yang dihasilkan disimpan dalam lemari pendingin
untuk menjaga stabilitasnya sebelum dilakukan karakterisasi terhadap analisa
ukuran partikel dan efisiensi penjerapan.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


47

Gambar 4.2. Suspensi Niosom F1, F2, dan F3

Suspensi niosom yang telah dihasilkan dapat dilihat pada Gambar 4.2.
Secara organoleptis, suspensi niosom yang dihasilkan berwarna kecokelatan, agak
kental, bau khas ekstrak kulit batang nangka. Terdapat perbedaan warna antara
F1, F2, dan F3 pada niosom ekstrak kulit batang nangka yang dihasilkan. Secara
berurutan warna yang dihasilkan niosom F1 lebih muda dibandingkan dengan
niosom F2, dan niosom F3 dengan intesitas warna cokelat yang semakin
bertambah tua. Suspensi niosom F1 memiliki konsistensi lebih kental
dibandingkan niosom F2, dan niosom F2 memiliki konsistensi lebih kental
dibandingkan niosom F3. Hal ini dikarenakan perbedaan jumlah ekstrak kulit
batang nangka yang ditambahkan ke dalam formula, di mana F1 komposisi
ekstrak yang ditambahkan 50 mg, F2 100 mg dan F3 150 mg. Hal ini
menunjukkan bahwa peningkatan konsentrasi ekstrak kulit batang nangka yang
ditambahkan ke dalam formula niosom membuat warna suspensi niosom yang
dihasilkan semakin ke arah cokelat tua, dengan konsistensi yang lebih encer.

4.6 Karakterisasi Niosom


Niosom yang dihasilkan akan dikarakterisasi ukuran partikel, kadar
polifenol yang terjerap serta efisiensi penjerannya. Adapun dilakukannya
karakterisasi ini adalah untuk mengetahui pengaruh peningkatan konsentrasi

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


48

ekstrak kulit batang nangka yang ditambahkan ke dalam formula niosom terhadap
kadar polifenol yang terjerap serta efisiensi penjerannya.

4.6.1 Analisis Ukuran Partikel


Suspensi niosom ekstrak kulit batang nangka F1, F2, dan F3 dianalisa
ukuran partikelnya menggunakan alat PSA (Particle Size Analyzer) dengan
menggunakan prinsip pengukuran dynamic light scattering (DLS). Data ukuran
partikel dan indeks polidispersitas masing-masing formula niosom dapat dilihat
pada Tabel 4.5.

Tabel 4. 5. Data Analisis Ukuran Partikel


Formula Ukuran Partikel (nm) PDI (Polidispersity Index)
F1 207,55 0,3
F2 168,80 0,1990
F3 150,72 0,0430

250
207.55
200
Ukuran Partikel (nm)

168.8
150.72
150

100

50

0
F1 F2 F3
Formula Niosom

Gambar 4.3 Diagram Perbandingan Ukuran Partikel


Niosom F1, F2 dan F3

Berdasarkan hasil pengukuran, ketiga formula niosom yang dihasilkan


tergolong berukuran nanopartikel karena berukuran dibawah 1000 nm (Mohanraj
& Chen, 2006). Adapun ukuran partikel ketiga formula niosom yang dihasilkan
untuk F1, F2, dan F3 adalah 207,55 nm; 168,80 nm; dan 150,72 nm. Penurunan

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


49

ukuran partikel niosom ekstrak kulit batang nangka berbanding terbalik dengan
peningkatan jumlah ekstrak kulit batang nangka yang ditambahkan. F1 memiliki
ukuran partikel yang lebih besar dibandingkan dengan F2 dan F3. Hal ini
menunjukkan bahwa peningkatan konsentrasi ekstrak kulit batang nangka dapat
menurunkan ukuran partikel niosom yang dihasilkan. Hal ini sesuai dengan hasil
penelitian sebelumnya bahwa peningkatan jumlah obat dengan jumlah surfaktan
yang tetap dapat menurunkan ukuran partikel niosom yang dihasilkan (Sharma,
Chauhan, Anilkumar, 2009). Penurunan ukuran partikel akibat peningkatan
konsentrasi obat yang ditambahkan tidak selalu konsisten, terdapat penelitian lain
yang menyebutkan bahwa peningkatan konsentrasi obat yang ditambahkan ke
dalam formula dapat meningkatkan ukuran partikel niosom yang dihasilkan (Dua,
Anil, Rana, 2014). Adapun diagram perbandingan ukuran partikel niosom dapat
dilihat pada Gambar 4.3.
Penentuan nilai indeks polidispersitas digunakan untuk melihat persebaran
ukuran partikel yang terjadi dalam niosom yang telah diformulasi. Semakin tinggi
nilai indeks polidispersitas menunjukkan distribusi ukuran partikel yang tidak
seragam, hal ini disebabkan karena nanopartikel tersebut saling beragregasi
membentuk kumpulan-kumpulan (saling berkelompok) sehingga terdispersi tidak
seragam (polidispersi), dan menyebabkan kestabilan dari nanopartikel berkurang.
Berdasarkan hasil pengukuran menggunakan alat Particle Size Analyzer
didapatkan nilai Polidispersity index untuk tiap formula secara berturut-turut
untuk F1, F2, dan F3 adalah 0,3; 0,199 dan 0,430. Berdasarkan data tersebut,
formula niosom yang dihasilkan memiliki sifat monodispersi dengan kata lain
formula niosom yang dihasilkan memiliki distribusi ukuran partikel yang sempit
yang ditunjukkan dengan nilai indeks polidispersitas yang rendah. Hal ini
mengindikasikan bahwa niosom yang terbentuk stabil secara fisik, tidak terjadi
agregasi pada partikel yang menyebabkan terbentuknya partikel dengan ukuran
besar. Sistem nanopartikel monodispersi dapat meningkatkan stabilitas fisik dari
sistem niosom, karena memperlihatkan ukuran, bentuk, dan berat partikel yang
homogen (Lanimarta, 2012).
Ketiga formula niosom yang dihasilkan menunjukkan dispersi yang
homogen di mana nilai indeks polidispersitas ketiga formula berada di bawah 0,5.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


50

Indeks polidispersitas menggambarkan homogenitas suspensi. Indeks


polidispersitas memiliki range nilai dari 0 sampai 1. Nilai yang mendekati 0
mengindikasikan dispersi yang homogen, sedangkan nilai yang lebih besar dari
0,5 mengindikasikan heterogenitas yang tinggi (Avandi, 2009).

4.6.2 Kadar Polifenol yang Terjerap dan Efisiensi Penjerapan


Efisiensi penjerapan digunakan untuk mengetahui efisiensi penambahan
zat aktif ke dalam formula niosom yang memiliki kemampuan untuk menjerap zat
aktif yang ditambahkan. Efisiensi penjerapan niosom ekstrak kulit batang nangka
ditentukan dengan cara membandingkan jumlah total senyawa polifenol yang
ditambahkan ke dalam formula dikurang dengan jumlah senyawa polifenol yang
bebas dengan jumlah total senyawa polifenol yang ditambahkan dalam formula.
Untuk menghitung jumlah senyawa polifenol yang bebas, diperlukan proses
pemisahan dengan senyawa polifenol yang terjerap dalam niosom dengan
menggunakan metode ultrasentrifugasi. Sebanyak 2,5 mL suspensi niosom ekstrak
kulit batang nangka dimasukkan ke dalam tabung ultrasentrifugasi dan
diultrasentrifugasi selama 50 menit dengan kecepatan 50.000 rpm pada suhu 4⁰C.
Jumlah senyawa polifenol yang bebas disebut sebagai supernatan. Supernatan
yang diperoleh diukur absorbansinya menggunakan spektrofotometer UV-Vis
pada panjang gelombang 756 nm dengan metode Folin-Ciocalteau (Blazzek,
Rhodes, 2001).
a. Penentuan Panjang Gelombang Maksimum Asam Galat dalam PBS
(Phosphate Buffered Saline)
Panjang gelombang maksimum ditentukan dengan menggunakan larutan
standar asam galat dengan konsentrasi 40 ppm dengan larutan blanko PBS
(phosphate buffered saline). Larutan PBS (phosphate buffered saline) digunakan
sebagai blanko dikarenakan PBS (phosphate buffered saline) merupakan fase air
yang digunakan pada saat proses hidrasi lapis tipis niosom. Nilai absorbansi
tertinggi didapatkan pada saat panjang gelombang 756 nm dengan absorbansi
0,452. Menurut penelitian sebelumnya, panjang gelombang yang digunakan
untuk mengukur kadar polifenol dengan menggunakan metode Folin Ciocalteau
adalah 760 nm. Perbedaan hasil panjang gelombang yang didapatkan dengan
penelitian sebelumnya dapat dipengaruhi oleh proses preparasi dan kondisi

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


51

lingkungan. Panjang gelombang maksimum asam galat dalam PBS dapat dilihat
pada Lampiran 12. Panjang gelombang ini ditentukan sebagai panjang gelombang
maksimum.
b. Pembuatan Kurva Standar Asam Galat dalam PBS (Phosphate
Buffered Saline)
Larutan standar asam galat dengan konsentrasi 20, 30, 40, 50, 60, 70, dan
80 ppm dengan blanko PBS (phosphate buffered saline). Semua larutan diukur
absorbansinya menggunakan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang
756 nm, kemudian dibuat kurva kalibrasi hubungan antara konsentrasi asam galat
(μg/mL) dengan absorbansi (Pontis, Costa, Silva, Flach, 2014).

1
0.9
0.8
0.7 y = 0,011x + 0,005
Absorbansi

0.6 R = 0,9999
0.5
0.4
0.3
0.2
0.1
0
0 20 40 60 80 100
Konsentrasi (µg/mL)

Gambar 4.4.Kurva Kalibrasi Asam Galat dalam PBS

Kurva kalibrasi digunakan untuk mendapatkan persamaan regresi yang


digunakan untuk menghitung kadar senyawa polifenol bebas. Hasil pengukuran
absorbansi sejumlah larutan standar asam galat dalam PBS pada panjang
gelombang 756 nm adalah y = 0,011x + 0,005 dengan nilai r = 0,9999. Kadar
senyawa polifenol bebas dapat ditentukan dengan cara absorbansi sampel yang
diperoleh dimasukkan ke dalam persamaan regresi linier y = 0,011x + 0,005.
Pengukuran dilakukan secara duplo, dihitung rata-rata konsentrasi senyawa
polifenol bebas dari masing-masing formula niosom yang dihasilkan. Adapun
kurva kalibrasi asam galat dalam PBS dapat dilihat pada Gambar 4.4.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


52

c. Penentuan Kadar Polifenol yang Terjerap serta Efisiensi Penjerapan

Tabel 4.6. Kadar Polifenol yang Terjerap serta Persen Efisiensi Penjerapan
Formula Efisiensi penjerapan (%) Jumlah yang terjerap (mg)
F1 74,4 2,281
F2 67,3 4,127
F3 50,1 4,608

5 4.608
Kadar Polifenol yang Terjerap (mg)

4.5 4.127
4
3.5
3
2.5 2.281
2
1.5
1
0.5
0
F1 F2 F3
Formula Niosom

Gambar 4.5 Diagram Perbandingan Polifenol yang Terjerap


dalam Niosom F1, F2, dan F3

Niosom F1, F2, dan F3 mengandung ekstrak kulit batang nangka dengan
variasi konsentrasi berturut-turut 50 mg, 10 mg, dan 150 mg. Kadar polifenol
yang terjerap pada formula niosom yang dihasilkan masing-masing untuk F1, F2,
dan F3 adalah 2,281 mg; 4,127 mg; dan 4,608 mg. Data tersebut menyatakan
bahwa peningkatan konsentrasi dari ekstrak kulit batang nangka yang
ditambahkan ke dalam formula niosom dapat meningkatkan jumlah senyawa
polifenol yang terjerap, namun peningkatan konsentrasi ekstrak lebih lanjut
menyebabkan peningkatan jumlah senyawa polifenol yang terjerap menjadi tidak
signifikan. Hal ini karena vesikel yang terbentuk dari surfaktan nonionik memiliki
kapasitas yang terbatas dalam menjerap obat. Ketika peningkatan konsentrasi
ekstrak dapat menyebabkan peningkatan jumlah polifenol yang terjerap, ini berarti
vesikel dari niosom masih memiliki ruang yang cukup untuk menjerap polifenol

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


53

lebih banyak lagi. Namun, penambahan polifenol lebih lanjut menyebabkan


vesikel niosom telah jenuh dan tidak mampu menampung polifenol. Akibatnya
polifenol yang ditambahkan selanjutnya, menjadi tidak terjerap lagi di dalam
vesikel. Polifenol yang tidak terjerap disebut sebagai polifenol bebas. Peningkatan
polifenol bebas inilah yang dapat menyebabkan penurunan efisiensi penjerapan
(Dua, Anil, Rana, 2014; Tim 2004). Adapun diagram perbandingan polifenol yang
terjerap dalam niosom dapat dilihat pada Gambar 4.5.

80.00% 74.40%
67.30%
70.00%
% Efisiensi Penjerapan

60.00%
50.10%
50.00%
40.00%
30.00%
20.00%
10.00%
0.00%
F1 F2 F3
Formula Niosom

Gambar 4.6. Diagram Perbandingan Persen Efisiensi Penjerapan


Niosom F1, F2, dan F3

Hasil pengukuran efisiensi penjerapan pada niosom yang mengandung


ekstrak kulit batang nangka untuk F1, F2, dan F3 dapat dilihat pada Tabel 4.6.
Adapun efisiensi penjerapan ketiga formula niosom yang dihasilkan untuk F1, F2,
dan F3 adalah 74,4%; 67,3% dan 50,1%. Peningkatan persentase efisiensi
penjerapan niosom berbanding terbalik dengan jumlah ekstrak kulit batang
nangka yang ditambahkan ke dalam formula. Semakin banyak jumlah ekstrak
kulit batang nangka yang ditambahkan ke dalam formula maka akan semakin
menurunkan efisiensi penjerapan niosom. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian
yang dilakukan oleh Tim (2004) dan Indriyani (2006), di mana peningkatan
konsentrasi obat dapat menurunkan efisiensi penjerapan niosom. Jumlah obat
yang dibawa tergantung pada konsentrasi obat yang ditambahkan. Hal ini
disebabkan karena kapasitas membran bilayer surfaktan untuk obat terbatas

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


54

sehingga peningkatan konsentrasi obat selanjutnya menyebabkan penurunan


efisiensi penjerapan.
Efisiensi penjerapan niosom pada F1 dengan jumlah ekstrak yang
ditambahkan sebesar 50 mg lebih baik. Hal ini dikarenakan jumlah vesikel yang
tersedia masih cukup banyak untuk menjerap polifenol yang ditambahkan,
sehingga kadar polifenol yang tidak terjerap pada vesikel niosom sedikit dan
efisiensi penjerapannya besar. Sedangkan pada F2 dan F3 dengan konsentrasi
ekstrak masing-masing 100 dan 150 mg menunjukkan penurunan efisiensi
penjerapan. Hal ini dikarenakan senyawa polifenol ekstrak kulit batang nangka
banyak yang tidak terjerap dan berada di luar vesikel yang disebut sebagai
senyawa polifenol bebas. Semakin besar kadar polifenol bebas, maka akan
semakin menurunkan efisiensi penjerapan niosom yang dihasilkan. Diagram
perbandingan dari ketiga formula niosom ekstrak kulit batang nangka dapat dilihat
pada Gambar 4.6.
Berdasarkan ketiga formula niosom yang dihasilkan, formula yang efektif
adalah formula 2, hal ini dikarenakan jumlah total senyawa polifenol yang terjerap
besar yaitu 4,127 mg. Jumlah total senyawa polifenol yang terjerap pada F2
mengalami peningkatan sebesar ±2 kali lipat dibandingkan dengan total senyawa
polifenol yang terjerap pada F1. Sementara pada F3 jumlah total senyawa
polifenol yang terjerap tidak mengalami kenaikan yang signifikan dibandingkan
dengan jumlah total senyawa polifenol yang terjerap dalam F2. Sehingga pada F3
banyak senyawa polifenol yang berada di luar vesikel. Jumlah total senyawa
polifenol yang terjerap pada F1 terlalu kecil sehingga masih memungkinkan
niosom memiliki daya tampung untuk menjerap senyawa polifenol ekstrak kulit
batang nangka lebih besar lagi.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5. 1 Kesimpulan
Peningkatan konsentrasi ekstrak kulit batang nangka (Artocarpus
heterophyllus L.) dalam formula niosom menghasilkan penurunan ukuran partikel
pada F1, F2, dan F3 berturut-turut adalah 207,55 nm; 168,80 nm dan 150,72 nm
dan peningkatan kadar polifenol yang terjerap di dalam vesikel niosom pada F1,
F2, dan F3, adalah sebesar 2,281 mg; 4,127 mg dan 4,608 mg. Namun
menghasilkan penurunan efisiensi penjerapan pada F1, F2, dan F3 sebesar 74,4%;
67,3% dan 50,1%.

5.2 Saran
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, untuk mendapatkan formula
yang terbaik perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap uji penetrasi masing-
masing formula niosom yang mengandung ekstrak kulit batang nangka
(Artocarpus heterophyllus L.).

55 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


DAFTAR PUSTAKA

Aditria, Riswandi. Cahyono, Bambang. Swastawati, Fronthea. 2013. Identifikasi


komponen penyusun asap cair dari ampas sagu dan kulit batang tanaman
sagu (Metroxylon sagu Rottb) serta penentuan senyawa fenolat total dan
aktivitas antioksida. Semarang: Universitas Diponegoro. 02 (01): 240-246.

Alfian, Riza. Susanti, Hari. 2012. Determination of total phenolic content of


methanolic extracts red rosell (Hibiscus sabdariffa L.) calyxs in variation
of growing area by spectrophotometry. Yogyakarta: Fakultas Farmasi,
Universitas Ahmad Dahlan. 02 (1): 73-80.

Anonim, 2000. Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat. Jakarta:


Departemen Kesehatan RI.

Ansel, H.C. (1989). Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi, edisi keempat. Terj. Dari
Introduction to Pharmaceutical Dosage Form, oleh Farida Ibrahim.
Jakarta: UI Press.

Anwar, Effionora. Henry. Jufri, Mahdi. 2004. Studi kemampuan niosom yang
menggunakan maltodekstrin pati garut (Maranta arundinaceae L.)
sebagai pembawa klorfeniramin maleat. Depok : FMIPA UI.

Arifin, Helmi. Anggraini, Nelvi. Handayani, Dian. Rasyid, Roslinda. 2006.


Standarisasi ekstrak etanol daun Eugenia cumini Merr. Jurnal Sains Tek
Far. 11 (2). Padang : FMIPA UNAND.

Astirin, Okin Parama. 2000. Permasalahan pengelolaan keanekaragaman hayati


indonesia. Surakarta: Jurusan Biologi FMIPA UNS.

Avandi, M, R.. Sadeghi, A. M, M. Mohammadpour, N. Abedin, S. Atyababi, F.


Dinarvand, R. Tehrani, R, M. 2009. Preparation and characteritation of
insulin nanoparticles using chitosan and arabic gum with ionic gelation
method. Nanomedicine: 6. 58-63.

Bansal, Saurabh. Kashyap, Chandan. Aggarwal, Geeta. Harikumar, SL. 2012. A


comparative review on vesicular drug delivery system and stability issues.
International Journal Of Research In Pharmacy And Chemistry. 2231-
2781.

Barenholz, Y. Crommelin, DJA. 1994. Liposomes as Pharmaceutical Dosage


Forms. Encyclopedia Of Pharmaceutical Technology. Inc. 9. 1-39.

56 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


57

Bayindir, Zerrin Sezgin. Yuksel, Nilufer. 2009. Characterization of niosomes


prepared with various nonionic surfactants for paclitaxel oral delivery.
Pharmacetical Technology. DOI 10. 1002/jps.21944.

Biju, S.S. Talegaonkar, S. Mishra, P.R. Khar, R.K. 2006. Vesikular system: an
overview. Indian Journal Of Pharmaceutical Science. 68(2): 141-153.

Blazzek, Welsh Al. Rhodes, DG. 2001. SEM imaging predicts quality of
niosomes from maltodextrin based proniosomes. Pharmaceutical
Research. 18(5): 1-6.

Buckton, G. 1995. Interfacial phenomena in drug delivery and targetting.


Switzerland. Harwood Academic Publisher. 135-161.

Chandu, V. Pola. Arunachalam, A. Jeganath, S. Yamini, K. Tharangini, K.


Chaitanya, G. 2012. Niosomes: a novel drug delivery system.
International journal of novel trends in pharmaceutical sciences. IJNTPS.
2: 25-31.

Chang, T.S. 2009. An updated review of tyrosinase inhibitors. Department of


Biological Science and Technology. Taiwan: National University Taiwan.

Connor, Steven. 2003. The Book Of Skin. New York: Cornell University Press,
176.

Day, R. A dan Underwood, A. 2002. Analisis Kimia Kuantitatif Edisi Ke-6.


Erlangga: Jakarta.

Departemen Kesehatan RI. 1989. Materia Medika Indonesia. Jakarta: Departemen


Kesehatan RI.

Departemen Kesehatan RI. 2000. Acuan Sediaan Herbal. Direktorat Jendral


Pengawasan Obat dan Makanan, Jakarta : 115-117.

Dewi, I.D.A.D.Y. dkk. 2013. Skrining fitokimia ekstrak etanol 95% kulit buah
manggis (Garcinia mangostana L.). Bali: Jurusan Farmasi Fakultas
Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Udayana.

Dhamecha, Dinesh. Rathi, Amit. Saifee, Maria. Lahoti, Swaroop, Dehghan, Mohd
Hassa. 2005. Drug vehicle based approaches of penetrastion enhancement.
International Journal of Pharmacy and Pharmaceutical Sciences.Vol 1. 1.

Donsing, P. and Viyoch, J. (2008). Thai breadfruitûs heartwood extract: a new


approach to skin whitening. Journal of SWU Sciences. Vol. 24, No. 1.

Dua. Anil, Bhandari. Rana. 2014. Formulation and caharcterization of


serratiopeptidase niosomes for its systemic gastrointestinal delivery.
International Journal Of Pharmaceutical Science. 3(1): 01-07.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


58

Elevitch, C. R., & Manner, H. I. (2006). Artocarpus heterphyllus (Jackfruit).


Species Profiles For Pacific Island Agroforestry. www.traditionaltree.org.
Diakses pada 25 November 2014 jam 00.30.

Faraji, A. H., dan Wipf, P. (2009). Nanoparticles in celluler drug delivery.


Bioorganic & Medical Chemistry. 17, 2950-2962.

Farnsworth, N.R. (1966). Biological and phytochemical screening of plants.


Journal Of Pharmaceutical Science. 55 (3): 225 – 276.

Fauzy, Aprilla. 2012. Pengaruh Konsentrasi Minyak Ikan Terhadap Penetrasi


Kurkumin Dalam Sediaan Mikroemulsi Gel (skripsi). Depok : FMIPA UI.

Folin, Octo, Ciocalteu, Vintila, 1999. On tyrosinase and tryptophane


determinations in proteins. Journal Bio Chem. 73: 627-650.

Gandjar, Ibnu Gholib dan Rohman, Abdul. 2007. Kimia Farmasi Analisis.
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

Gaur, P.K. Mishra, S. Purohit, S. Dave. K. 2009. Transdermal drug delivery


system: a review. Asian Journal of Pharmaceutical and Clinical Research.
Vol: 2 (01).

Handayani, Puput. 2011. Optimasi Komposisi Cetyl Alcohol Sebagai Emulsifying


Agent Dan Gliserin Sebagai Humectant Dalam Krim Sunscreen Ekstrak
Kental Apel Merah (Pyrus malus L.): Aplikasi Desain Faktorial.
Yogyakarta: Fakultas Farmasi, Universitas Sanata Dharma.

Hanifah, Nisa Dian. 2013. Formulasi Krim Ekstrak Batang Nangka (Artocarpus
Heterophyllus Lamk.). Bandung: FMIPA UNISBA.

Hao,Yongmei. Zhao, Fenglin. Yang, Yanhong. Li, Ke’an. 2002. Studies on a


high encapsulation of colchicine by a niosome system. International
Journal of pharmaceutics. China : College of Chemistry and Molecular
Enginering.

Harborne, J.B. (1987). Metode Fitokimia. Bandung: Penerbit ITB.

Hidayat, Erwin. 2006. Pengaruh nilai de maltodekstrin dari pati singkong


(manihot utilissima l.) terhadap pelepasan ketoprofen dari sediaan niosom
(skripsi). Depok : FMIPA UI.

Hindritiani, Reti, et al. 2013. Penurunan aktivitas tirosinase dan jumlah melanin
oleh fraksi etil asetat buah malaka (Phyllantus emblica) pada mouse
melanoma b16 cell-line. 45 (2): 118-24.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


59

Indriyani, Susi. 2006. Pengaruh maltodekstrin de 10-15 dan 15-20 terhadap laju
pelepasan klorfeniramin maleat dari sediaan niosom (skripsi). Depok :
FMIPA UI.

Jahanshashi & Babei. 2008. Protein nanoparticle: a unique system as drug


delivery vehicles. Journal Biotechnology. 7(25). 4926-4934.

Jufri, Mahdi. Effionora Anwar. Joshita Djajadisastra. 2004. Pembuatan niosom


berbasis maltodekstrin de 5-10 dari pati singkong (Manihot utilissima).
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas
Indonesia. ISSN: 1693-9883, Vol. I, No. 1.

Juwita, Ninin Kartika. Joshita Djajadisastra. Azizahwati. 2011. Uji penghambatan


tirosinase dan stabilitas fisik sediaan krim pemutih yang mengandung
ekstrak kulit batang nangka (Artocarpus heterophyllus). Majalah
Kefarmasian. Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,
Universitas Indonesia.

Kapoor, Anupriya. Gahoi, R. Kumar, D. 2011. In vitro drug release profile of


acyclovir from niosomes formed with different sorbitan esters. Asian
Journal Of Pharmacy & Life Science. 1 (1).

Lanimarta, Yurika. 2012. Pembuatan dan uji penetrasi nanopartikel kurkumin-


dendrimer poliamidoamin (pamam) generasi 4 dalam sediaan gel dengan
menggunakan sel difusi franz (skripsi). Depok: FMIPA UI.

Lasic, D.D. & Papahadjopoulos, D. (1998). Medical aplication of liposomes.


Elseiver. 1-2.

Li, Danhui. Zimei Wu. Nataly Martini. Jingyuan Wen. 2012. Advanced carrier
systems in cosmetics and cosmeceuticals. New Zealand: School of
Pharmacy, Faculty of Medical and Health Sciences, The University Of
Auckland. J. Cosmet. Sci. 62, 549 – 563.

Lund, W. 1994. The Pharmaceutical Codex, 12th edition. London: The


Pharmaceutical Press.

Madison KC. 2003. Barrier function of the skin: “la raison d’etre” of the
epidermis. J Invest Dermatol. 121(2)231.

Maghraby. Barry. Williams. 2008. Liposomes and skin: from drug delivery to
model membranes. European Journal Of Pharmaceutical Sciences. 34,
203-222.

Mahardika, Hastri. 2012. Uji penghambatan tirosinase secara in vitro serta


stabilitas fisik dan stabilitas kimia sediaan krim yang mengandung asam
azelat (skripsi). Depok: FMIPA UI.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


60

Makeshawar, Kshitij B. Wasankar, Suraj R. 2013. Niosome: a novel drug delivery


system. Asian Parmapres 3(1), 16-20.

Manosroi, Aranya. 2011. Anti-aging efficacy of topical formulations containing


niosomes entrapped with rice bran bioactive compounds. Natural Products
Research and Development Center (NPRDC).50(2): 208–224.

Maureen, Maguire. 2002. The mouse GaIR2 galanin receptor: genomic


organization, cDNA cloning, and functional characterization. Journal of
Neurochemistry. 71(6).

Mescher, Anthony L. 2011. Histologi Dasar Junqueira: Teks & Atlas. Jakarta:
EGC.

Miyazawa, Mitsuo And Naotaka Tamura. (2006). Inhibitory compound of


tyrosinase activity from the sprout of Polygonum hydropiper L.
(Benitade). J. Biol. Pharm. Bull. 595-597.

Mohanraj, V.J. Chen, Y. (2006). Nanoparticle-a review. Tropical Journal of


Pharmaceutical Research. 5 (1), 561-573.

Mujoriya, Rajesh Z. Bodla, Ramesh Babu. 2011. Niosomes–challenge in


preparation for pharmaceutical scientist. International Journal Of Applied
Pharmaceutics. 3 (3), 11-15.

Perkins, Warren S. 1998. Surfactants a primer. 51-54. Diakses melalui


http://www.p2pays.org. Pada tanggal 22 Februari 2015.

Pham, Thi Thuy. Maalej, Chiraz Jaafar. Charcosset Catherine. Fessi, Hatem.
2012. Colloids and surfaces b: biointerfaces liposome and niosome
preparation using a membrane contactor for scale-up. Elsevier. 94, 15 - 21.

Pontis, Alves Jonierison. Costa, Luiz Antonio Mendonca Alves. Silva, Silvio Jose
Reis. Flach, Adriana. 2014. Color, phenolic and flavonoid content, and
antioxidant activity of honey from roraima. Food Science and Technology.
Brazil: Campinas., 34(1) : 69-73. ISSN 0101-2061. Diakses 10 Desember
2014.

Prihatman, K. 2000. Nangka (Artocarpus heterophillus L.), sistem informasi


manajemen pembangunan di pedesaan. BAPPENAS. p. 1-15.

Putri, Wisda Seviana. Supriyanti, F. M Titin. Zackiyah. 2012. Penentuan aktivitas


dan jenis inhibisi ekstrak metanol kulit batang nangka (Artocarpus
heterophyllus L.) sebagai inhibitor tirosinase. FPMIPA UPI. ISSN 2087-
7412, Vol 1, No 1.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


61

Rahimpour, Yahya, Hamed Hamishehkar. 2012. Recent advances in novel drug


carrier system: niosomes as carrier in dermal drug delivery. Iran: Tabriz
University of Medical Sciences.

Rahman, Latifah. Ismail, Isriany. Wahyudin, Elly. 2011. Kapasitas jerap niosom
terhadap ketoprofen dan prediksi penggunaan transdermal. Majalah
farmasi Indonesia. 22(2). 85-91.

Rahmawati, Anita. 2009. Kandungan fenol total ekstrak buah mengkudu


(Morinda citrifolia). Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Ramsden, Christopher A. Riley, Patrick A. 2010. Studies of the competing rates


of catechol oxidation and suicide inactivation of tyrosinase. Arkivoc. (x).
248-254.

Ratnayani, Ketut A.A.I.A. dkk. 2012. Kadar total senyawa fenolat pada madu
randu dan madu kelengkeng serta uji aktivitas antiradikal bebas dengan
metode DPPH (Difenilpikril Hidrazil). Jurnal Kimia. Jurusan Kimia
FMIPA Universitas Udayana, Bukit, Jimbaran. 6(2) : 163-168.

Rawat, M. Singh, D. Singh, S.S. Saraf, S. (2006). Nanocarries : Promising vehicle


for bioactive drugs. Niol. Pharm, Bull 29 (9), 1790-1798.

Reynolds, J.E.F. eds. 1996. Martindale the Extra Pharmacopoeia, 31th ed.
London: The Pharmaceutical Press.

Robinson, T. (1991). Kandungan Organik Tumbuhan Tingkat Tinggi. Bandung:


Penerbit ITB. Hal. 152 – 196.

Rohman. 2007. Kimia Farmasi Analisis. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Rowe, C.R.. Sheskey, J.P. Owen, C.S. 2006, Handbook Of Pharmaceutical


Excipients, 5th edition, 731-732. London, Chicago: American
Pharmaceutical Association.

Ruckmani, Kandasamy & Sankar, Veintramuthu. 2010. Formulation and


optimization of zidovudine niosomes. American Association of
Pharmaceutical Scientists. 03(03) : 1119-1127.

Sabarikumar, K. Varatharajan, P. Ilavarasan, P. Shaik, Sheema Meenaz. 2012.


Bioavaibility enhancement of aceclofenac niosomes containing surfactant
and cholesterol. International Journal of Biological and Pharmaceutical
Research. 3(3): 354-359. India.

Saifudin, A., V. Rahayu, dan H.Y. Teruna. 2011. Standardisasi Bahan Obat
Alam. Yogyakarta: Graha Ilmu.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


62

Sankhyan, Anchal. Pawar, Pravin. 2012. Recent trends in niosome as vesicular


drug delivery system. Journal of Applied Pharmaceutical Science. 02 (06).
20-32.

Sari, Zhuisa Martiara. 2012. Pembuatan dan karakterisasi fisikokimia


nanopartikel emas (nanogold)-dendrimer poliamidoamin (pamam)
generasi 4 (skripsi). Depok: FMIPA UI.

Sharma, Anju. Kumar, Senthil. Mahadevan, N. M. 2012. Nanotechnology: a


promising approach for cosmetics. International Journal of Recent
Advances in Pharmaceutical Research. 2(2): 54-61.

Sharma, Sandeep Kumar. Chauchan, Meenakshi. Anilkumar, Narayanapillay.


2009. Span-60 niosomal oral suspension of fluconazole: formulation and
in vitro evaluation. Research Article. 1(01). 142-156.

Shatalebi. Mostafavi. Moghaddas. 2010. Niosomes as a drug carrier for topical


delivery of N-acetyl glucosamine. Research pharmaceutical sciences.

Sherwood, Lauralee. 2007. Fisiologi Manusia. Jakarta : EGC.

Singleton VL & Rossi JA. 1965. Colorimetry of total phenolics with


phosphomolybdic-phosphotungstic acid reagents. Am J Enol Vitic. 16 (3):
144-58.

Stojanovic, Zoran. Markovic, Smilja. 2010. “Technics New Material”.


determination of particle size distributions by laser diffraction. Belgrade.
21, 11 – 20.

Sukriya, Ikha Novita Ma’wa. 2011. Formulasi surfaktan untuk screening awal
chemical flooding pada eor (enhanced oil recovery). Fakultas Teknik
Program Ekstensi Teknik Kimia. UI Depok.

Supriyanti, Florentina Maria Titin. 2009. Studi inhibisi ekstrak metanol kulit
batang Artocarpus sp. dalam mencegah hiperpigmentasi kulit. Bandung:
FMIPA UPI.

Sylvia, Anderson Pierce. Lorraine, McCarty Wilson. 2005. Patofisiologi: Konsep


Klinis Proses-Proses Penyakit Ed 6. Jakarta EGC.

Tang, Muhamad dan Veinardi Suendo. 2011. Pengaruh penambahan pelarut


organik terhadap tegangan permukaan larutan sabun. Prosiding
simposium nasional Inovasi pembelajaran dan sains (SNIPS). Bandung,
Indonesia.

Tangri et al. 2011. Niosomes: formulation and evaluation. Uttarakhand: Faculty of


Pharmacy-Mussoorie Diversion Road.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


63

Thassu, D., Pathak, Y. dan Deleers, M. 2007. Nanoparticulate drug-delivery


systems: an overview. Informa Healthcare, New York. 1–31.

Tim, Lili. 2004. Pembuatan niosom dengan menggunakan lesitin sebagai


pengganti kolesterol. Depok : FMIPA UI.

Touitou, Elka. Barry, Brian W. 2007. Enhancement In Drug Delivery. New York:
CRC Press, 220-221, 237, 246.

Tranggono, RIS. Fatma Latifah. 2007. Buku Pegangan Ilmu Pengetahuan


Kosmetik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Uchegbu, IF. Vyas, SP. 1989. Non-ionic surfactant based vesicles (niosomes) in
drug delivery. International Journal of Pharmaceutics. 172 (1-2). 33-70.

Van, Hal, D,A. Bouwstra, J,A. Van, Rensen, A. Jeremiasse, E. De Vringer, T.


Junginger, H,E. 1996. Preparation and characteritation of nonionic
surfactant vesicles. J. Coll. Interf. Sci. 178, 263-273.

Verma, D.D. Blume, G. Fahr, A. 2003. Particle size of liposomes dermal delivery
of subtanaces inti skin. International Journal of Pharmaceutics. 2581 (1-
2): 141-151.

Vyas SP and Khar RK. 2011. Targeted And Controlled Drug Delivery Novel
Carrier Systems. CBS Publisher and Distributors. 249-279.

Zahra, Soraya. 2012. Optimalisasi formula sunscreen cream berbahan aktif


nanopropolis dengan menggunakan emollient isopropyl myristate dan
emulsifier span 60. Depok: FT UI.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


Lampiran 1. Skema Prosedur Penelitian

Ekstrak kulit batang nangka


yang diperoleh dengan maserasi

Parameter spesifik: Parameter non spesifik:


- Identitas - Kadar abu
- organoleptik - Kadar air
Skrining Fitokimia:
- Alkaloid
- Flavonoid
- Saponin
- Steroid
- Tanin dan Polifenol

Analisis kadar total senyawa


polifenol ekstrak kulit batang
nangka

Pembuatan larutan induk Penentuan panjang Pembuatan kurva standar Penentuan total senyawa
asam galat gelombang maksimum asam galat polifenol

Preparasi niosom
dengan metode hidrasi
lapis tipis

Karakterisasi niosom

Analisis ukuran Penentuan kadar polifenol yang


partikel terjerap dan persen efisiensi penjerapan

64 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


65

Lampiran 2. Hasil Determinasi Kulit Batang Nangka

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


66

Lampiran 3. Perhitungan Kadar Abu Ekstrak Kulit Batang Nangka

1. Berat ekstrak awal (W1) = 1,1059 gram


Berat cawan kosong (W0) = 60,7905 gram
Berat cawan + ekstrak setelah pemanasan (W2) = 60,8045 gram
𝑊2−𝑊0
% 𝑘𝑎𝑑𝑎𝑟 𝐴𝑏𝑢 = 𝑥 100% 0,015
𝑊1
60,8045 −60,7905
= 𝑥 100%
1,1059

= 1,266%

2. Berat ekstrak awal (W1) = 1,1072 gram


Berat cawan kosong (W0) = 59,1321 gram
Berat cawan + ekstrak setelah pemanasan (W2) = 59,1472 gram
𝑊2−𝑊0
% 𝑘𝑎𝑑𝑎𝑟 𝐴𝑏𝑢 = 𝑥 100%
𝑊1
59,1472 −59,1321
= 𝑥 100%
1,1072

= 1,364%

1,266% + 1,364%
𝑅𝑎𝑡𝑎 − 𝑟𝑎𝑡𝑎 𝑘𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑎𝑏𝑢 =
2
= 1,32%

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


67

Lampiran 4. Perhitungan Kadar Air Ekstrak Kulit Batang Nangka

1. Berat cawan kosong = 23,069 gram


Berat cawan + ekstrak sebelum dikeringkan = 24,071 gram
Berat ekstrak sebelum dikeringkan (W0) = 1,002 gram
Berat cawan + ekstrak setelah dikeringkan = 23,940 gram
Berat ekstrak setelah dikeringkan (W1) = 0,871 gram

𝑊0−𝑊1
% 𝐾𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑎𝑖𝑟 = 𝑥 100%
𝑊0
1,002−0,971
= 𝑥 100%
1,002

= 13,07%

2. Berat cawan kosong = 19,001 gram


Berat cawan + ekstrak sebelum dikeringkan = 20,003 gram
Berat ekstrak sebelum dikeringkan (W0) = 1,002 gram
Berat cawan + ekstrak setelah dikeringkan = 19,870 gram
Berat ekstrak setelah dikeringkan (W1) =0,869gram
𝑊0−𝑊1
% 𝐾𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑎𝑖𝑟 = 𝑥 100%
𝑊0
1,002−0,869
= 𝑥 100%
1,002

= 13,27%
13,07% + 13,27%
𝑅𝑎𝑡𝑎 − 𝑟𝑎𝑡𝑎 𝑘𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑎𝑖𝑟 =
2
= 13,17 %

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


68

Lampiran 5. Hasil Penentuan Panjang Gelombang Maksimum Asam Galat dalam


Aquadest

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


69

Lampiran 6. Absorbansi Standar dan Kurva Kalibrasi Asam Galat dalam


Aquadest

Konsentrasi Absorbansi

0 0

20 0,219

30 0,312

40 0,421

50 0,519

60 0,618

70 0,72

80 0,824

0.9
0.8
0.7
y = 0,010x + 0,006
0.6 R = 0,9999
Absorbansi

0.5
0.4
0.3
0.2
0.1
0
0 20 40 60 80 100
Konsentrasi (µg/ml)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


70

Lampiran 7. Perhitungan Kadar Total Senyawa Polifenol Ekstrak Kulit Batang


Nangka

Kadar ekivalen asam galat :

Absorbansi ke-1 = 0,622

y = 0,010x + 0,006

0,622 = 0,010x + 0,006

0,010x = 0,622 – 0,006

x = 61,6 µgGAE/mL

Kadar ekivalen asam galat untuk volume 10 mL

= 61,6 µgGAE/mL x 10 mL

= 616 µgGAE

Kandungan fenol total (p) :

616 µgGAE / 10 mg = p mgGAE / 100 g

616 x 10ˉ³ mgGAE / 10 mg = p mgGAE / 100 g

616 x 10ˉ³ mg GAE x 100000 mg = 10 mg p

61600 mg = 10 mg p

p = 61600 mg / 10 mg

p = 6160 mg

Kandungan fenol total ekstrak kulit batang nangka = 6160 mgGAE/100 g sampel.

Absorbansi ke-2 = 0,621

y = 0,010x + 0,006

0,621 = 0,010x + 0,006

0,010x = 0,621 – 0,006

x = 61,5 µgGAE/mL

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


71

(Lanjutan)

Kadar ekivalen asam galat untuk volume 10 mL

= 61,5 µgGAE/mL x 10 mL

= 615 µgGAE

Kandungan fenol total (p) :

615 µgGAE / 10 mg = p mgGAE / 100 g

615 x 10ˉ³ mgGAE / 10 mg = p mgGAE / 100 g

615 x 10ˉ³ mgGAE x 100000 mg = 10 mg p

61500 mg = 10 mg p

p = 61500 / 10

p = 6150 mg

Kandungan fenol total ekstrak kulit batang nangka = 6150 mgGAE/100 g sampel.

Absorbansi ke-3 = 0,615

y = 0,010x + 0,006

0,615 = 0,010x + 0,006

0,010x = 0,615 – 0,006

x = 60,9 µgGAE/mL

Kadar ekivalen asam galat untuk volume 10 mL

= 60,9 µgGAE/mL x 10 mL

= 609 µgGAE

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


72

(Lanjutan)

Kandungan fenol total (p) :

609 µgGAE / 10 mg = p mgGAE / 100 g

609 x 10ˉ³ mgGAE / 10 mg = p mgGAE / 100 g

609 x 10ˉ³ mgGAE x 100000 mg = 10 mg p

60900 mg = 10 mg p

p = 60900 / 10

p = 6090 mg

Kandungan fenol total ekstrak kulit batang nangka = 6090 mgGAE/100 g sampel.

Jadi rata-rata kandungan fenol total ekstrak kulit batang nangka adalah
6160 mgGAE /100 gsampel + 6150 mgGAE /100 g sampel + 6090 mgGAE /100 g sampel
= 3

= 6133,333 mgGAE/100 g sampel

= 6.133 gGAE/100 g sampel

= 6.133%

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


73

Lampiran 8. Grafik Distribusi Ukuran Partikel Niosom

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


74

Lampiran 9. Data Distribusi Ukuran Partikel Niosom F1

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


75

(Lanjutan)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


76

Lampiran 10. Data Distribusi Ukuran Partikel Niosom F2

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


77

(Lanjutan)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


78

Lampiran 11. Data Distribusi Ukuran Partikel Niosom F3

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


79

Lampiran 12. Hasil Penentuan Panjang Gelombang Maksimum Asam Galat


dalam PBS

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


80

Lampiran 13. Absorbansi Standar dan Kurva Kalibrasi Asam Galat dalam PBS

Konsentrasi Absorbansi

0 0

20 0,23

30 0,336

40 0,447

50 0,555

60 0,657

70 0,77

80 0,885

1
0.9
0.8
0.7 y = 0,011x + 0,005
Absorbansi

0.6 R = 0,9999
0.5
0.4
0.3
0.2
0.1
0
0 20 40 60 80 100
Konsentrasi (µg/ml)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


81

Lampiran 14. Perhitungan Kadar Total Senyawa Polifenol Bebas

Formula Absorbansi Setelah Kadar Fenolat Rata-rata Faktor Kadar Fenolat yang
Pengenceran Setelah Kadar Pengenceran Tidak Terjerap (µg/ml)
Pengenceran Fenolat
0,699 63,090
F1 62,863 - 62,863
0,694 62,636
0,889 80,363
F2 80,317 2x 160,635
0,888 80,272
0,811 73,272
F3 73,363 5x 366,815
0,813 73,454

Kadar senyawa fenolat yang tidak terjerap dalam niosom dapat ditentukan dengan
persamaan:
y = 0,011x + 0,005
F1  y = 0,011x + 0,005
Absorbansi = 0,699 dan 0,694
0,699 = 0,011x + 0,005
0,011x = 0,6942  x = 63,090 ppm
0,694 = 0,011x + 0,005
0,011x = 0,689  x = 62,636 ppm
Rata-rata = 62,863 ppm
= 62,863 µg/mL x 12,5 mL = 785,787 µg = 0,786 mg

F2  y = 0,011x + 0,005
Absorbansi = 0,888 dan 0,889 (dengan 2x faktor pengenceran)
0,888 = 0,011x + 0,005
0,011x = 0,883  x = 80,272 ppm x 2 = 160,544
0,889 = 0,011x + 0,005
0,011x = 0,884  x = 80,363 ppm x 2 = 160,726
Rata-rata = 160,635 ppm
= 160,635 µg/mL x 12,5 mL = 2007,93 µg = 2,008 mg

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


82

(Lanjutan)
F3  y = 0,011x + 0,005
Absorbansi = 0,811 dan 0,813 (dengan 5x faktor pengenceran)
0,811 = 0,011x + 0,005
0,011x = 0,806  x = 73,272 ppm x 5 = 366,36
0,813 = 0,011x + 0,005
0,011x = 0,808  x = 73,454 ppm x 5 = 367,27
Rata-rata= 366,815 ppm
= 366,815 µg/mL x 12,5 mL = 4585,18 µg = 4,585 mg

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


83

Lampiran 15. Perhitungan Kadar Polifenol yang Terjerap dan Persen Efisiensi
Penjerapan Niosom

Perhitungan % Entrapment Eficiency:


Total senyawa fenolat yang ditambahkan ke dalam formula
F1= 6,133% x 50 mg
= 3,067 mg dalam 12,5 mL PBS
F2 = 6,133% x 100 mg
= 6,133 mg dalam 12,5 mL PBS
F3 = 6,133% x 150 mg
= 9,199 mg dalam 12,5 mL PBS
Jumlah senyawa fenolat yang tidak terjerap
𝑇𝐷−𝐹𝐷
%𝐸𝐸 = 𝑇𝐷
𝑥 100%

TD = total senyawa fenolat yang terdapat dalam formula


FD = jumlah senyawa fenolat yang tidak terjerap

3,067 mg −0,786 𝑚𝑔
F1  %𝐸𝐸 = 𝑥 100%
3,067 mg

2,281 mg
= 3,067 𝑥 100%
mg

= 0,744 𝑥 100%

= 74,4%

6,133 mg −2,008 mg
F2  %𝐸𝐸 = 𝑥 100%
6,133 mg
4,125 mg
= 6,133 mg 𝑥 100%

= 0,673 𝑥 100%
= 67,3%

9,199 mg – 4,585 mg
F3 %𝐸𝐸 = 𝑥 100%
9,199 mg
4,614 mg
=9,199 𝑥 100%
mg

= 0,501 𝑥 100%
= 50,1%

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


84

Lampiran 16. Gambar Alat dan Bahan yang digunakan

Ekstrak Kulit Batang Rotary evaporator Particle size analyzer


Nangka

Ultrasentifuge Autoklaf digital Tube us

Glass Beads Pembentukan Lapis Proses hidrasi lapis


Tipis tipis

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


85

Lampiran 17. Certificate of Analysis Asam Galat

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


86

Lampiran 18. Certificate of Analysis Kolesterol

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


87

Lampiran 19. Certificate of Analysis Span 60

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


88

Lampiran 20. Certificate of Analysis Folin Ciocalteu

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


89

Lampiran 21. Certificate of Analysis Tablet PBS

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


90

Lampiran 22. Certificate of Analysis Metanol Pro Analisa

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


91

(Lanjutan)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


92

Lampiran 23. Certificate of Analysis Na2CO3

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Anda mungkin juga menyukai