Anda di halaman 1dari 115

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

KARAKTERISASI EKSTRAK ETANOL DAUN


SALAM (Syzygium polyanthum Wight) DARI TIGA
TEMPAT TUMBUH DI INDONESIA

SKRIPSI

ARUM SAMUDRA
1110102000046

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN


PROGRAM STUDI FARMASI
JAKARTA
SEPTEMBER 2014

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

KARAKTERISASI EKSTRAK ETANOL DAUN


SALAM (Syzygium polyanthum Wight) DARI TIGA
TEMPAT TUMBUH DI INDONESIA

SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi

ARUM SAMUDRA
1110102000046

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN


PROGRAM STUDI FARMASI
JAKARTA
SEPTEMBER 2014
ii

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Skripsi ini adalah hasil karya sendiri,


Dan semua sumber yang dikutip maupun dirujuk
telah saya nyatakan dengan benar.

Nama

: Arum Samudra

NIM

: 1110102000046

Tanda tangan

Tanggal

: 4 September 2014

iii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING

Nama

: Arum Samudra

NIM

: 1110102000046

Program Studi : Farmasi


Judul Skripsi : Karakterisasi Ekstrak Etanol Daun Salam (Syzygium polyanthum
Wight) Dari Tiga Tempat Tumbuh Di Indonesia

Disetujui oleh

Pembimbing I

Pembimbing II

Puteri Amelia, M. Farm., Apt


NIP. 198012042011012004

Marissa Angelina, M. Farm., Apt


NIP. 198212312005022001

Mengetahui
Ketua Program Studi Farmasi
FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Drs. Umar Mansur, M.Sc.,Apt

iv

HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI

Skripsi ini diajukan oleh :


Nama

: Arum Samudra

NIM

: 1110102000046

Program Studi : Farmasi


Judul Skripsi : Karakterisasi Ekstrak Etanol Daun Salam (Syzygium polyanthum
Wight) Dari Tiga Tempat Tumbuh Di Indonesia

Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima


sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar
Sarjana Farmasi pada Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan
Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta

Dewan Penguji
Pembimbing I

: Puteri Amelia, M. Farm., Apt

Pembimbing II

: Marissa Angelina, M. Farm., Apt

Penguji I

: Ismiarni Komala, M.Sc., PhD., Apt (

Penguji II

: Prof. Dr. Atiek Soemiati, MS., Apt (

Ditetapkan di
Tanggal

: Ciputat
: 4 September 2014
v

ABSTRAK

Nama

: Arum Samudra

Program Studi

: Farmasi

Judul

: Karakterisasi Ekstrak Etanol Daun Salam (Syzygium


polyanthum Wight) Dari Tiga Tempat Tumbuh Di
Indonesia

Standardisasi ekstrak tanaman obat perlu dilakukan untuk melindungi masyarakat


dari penggunaan obat herbal yang tidak memenuhi persyaratan mutu. Pada
penelitian ini dilakukan karakterisasi sebagai langkah awal standardisasi ekstrak
etanol daun Salam (Syzygium polyanthum Wight) dari tiga tempat tumbuh di
Indonesia yaitu Tangerang Selatan, Sukoharjo, dan OKU Timur. Tujuan dari
penelitian ini adalah untuk menetapkan beberapa parameter spesifik dan non
spesifik sehingga menjamin bahwa ekstrak tersebut mempunyai nilai dan
parameter yang terukur. Hasil karakterisasi untuk parameter spesifik
menunjukkan organoleptik ekstrak (bentuk ekstrak kering, warna hitam
kecoklatan, bau aromatik lemah, dan rasa pahit), dengan kadar senyawa terlarut
dalam air 31,167 % 0,756 - 49,011 % 0,577, dan terlarut dalam etanol 38,545
% 0,5829 - 58,091 % 0,671. Kandungan kimia ekstrak daun Salam ini yaitu
flavonoid, alkaloid, tanin, saponin, dan terpenoid. Hasil uji parameter non spesifik
menunjukkan susut pengeringan (8,420 % 0,2979 sampai 12,624 % 1,5844),
bobot jenis (1,002 % 0,0005 - 1,005 % 0,0016), kadar air (4,999 % 0,2403 7,298 % 0,1807), kadar abu total (7.242 % 0,5365 - 14,438 % 0,4065),
kadar abu tidak larut asam (0,380 % 0,0315 - 1,314 % 0,0220). Pada
pengujian cemaran logam Pb (Tidak terdeteksi - 95,43 g/g), logam Cd (4,42 8,62 g/g), dan logam As (<0,005 g/g).

Kata Kunci : Standardisasi, karakterisasi, daun Salam (Syzygium polyanthum


Wight), parameter spesifik, parameter non spesifik

vi

ABSTRACT

Name

: Arum Samudra

Program Study

: Pharmacy

Title

: Characterization of Ethanol Leaf Extract Salam


(Syzygium polyanthum Wight) From Three Places to
Grow in Indonesia

Standardization of medicinal plant extracts needs to be done to protect the public


from the use of herbal remedies that do not meet the quality requirements. In this
research, the characterization as a first step to standardization of the ethanol
extract of leaves of Salam (Syzygium polyanthum Wight) of the three places to
grow in Indonesia, South Tangerang, Sukoharjo, and East OKU. The purpose of
this study is to establish some specific and non-specific parameters so as to ensure
that the extract has a value and the measured parameters. Characterization results
for a specific parameter indicating the organoleptic extract (dry extract form,
brownish black color, weak aromatic odor and bitter taste), with levels of
dissolved compounds in water 31,167 % 0,756 - 49,011 % 0,577, dissolved in
ethanol 38,545 % 0,5829 - 58,091% 0.671. Greetings leaf chemical
constituents of this extract are flavonoids, alkaloids, tannins, saponins, and
triterpenoids. The test results indicate non-specific parameters of drying shrinkage
(8.420% 0.2979 - 12.624% 1.5844), specific gravity (1.002% 0.0005 - 1.005
0.0016%), water content (4.999% 0,2403 - 7.298% 0.1807), total ash
content (7242% 0.5365 - 14.438% 0.4065), acid insoluble ash content
(0.380% 0.0315 - 1.314 0.0220%). The testing of Pb contamination (Not
detected - 95.43 mg/g), metal Cd (4.42 - 8.62 mg/g), and metal As (<0.005 mg/g).

Keywords: Standardization, characterization, leaves Salam (Syzygium


polyanthum Wight), specific parameters, the parameters of non-specific

vii

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang tak tak pernah lelah melimpahkan
rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian serta
penyusunan skripsi ini. Shalawat serta salam semoga tetap tercurah kepada
junjungan kita Nabi Muhammad SAW yang telah menuntun umatnya dari lembah
kegelapan menuju jalan yang terang benderang.
Skripsi yang berjudul Karakterisasi Ekstrak Etanol Daun Salam
(Syzygium polyanthum Wight) Dari Tiga Tempat Tumbuh Di Indonesia ini
disusun sebagai salah satu syarat tugas akhir untuk mendapatkan gelar Sarjana
Farmasi pada Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis menyampaikan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada :
1. Allah SWT yang selalu memberikan nikmat dan karunia yang tak
terhingga.
2. Prof. Dr. Komarudin Hidayat selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
3. Prof. Dr. (hc) dr. M. K. Tadjudin, Sp.And selaku Dekan Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Drs. Umar Mansur, M.Sc., Apt. selaku Ketua Program Studi Farmasi
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
5. Ibu Puteri Amelia, M. Farm., Apt dan Ibu Marissa Angelina, M. Farm.,
Apt selaku pembimbing yang selalu memberikan arahan serta meluangkan
waktu, tenaga, dan juga pikiran dalam penelitian dan penyusunan skripsi
ini.
6. Kedua orang tua tercinta, Bapak Musthofa Suyadi dan Ibu Saginah, yang
selalu memberikan dukungan baik moril maupun materiil, serta kasih
sayang dan doa tiada henti. Kepada kedua adikku, Lirra Apriansyah dan

viii

Kurnia Istiqomah, yang selalu menghibur dan memberikan semangat serta


doa.
7. Kepada Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan yang telah memberi
kesempatan kepada penulis untuk menempuh pendidikan melalui program
beasiswa Santri Jadi Dokter.
8. Para peneliti di LIPI, Ibu Lia, Ibu Lala, Ibu Tatik, Ibu Mimin, Ibu Lisna,
Ibu Mega, Mas Udin, Pak Rokib, serta Mas Lili yang telah membantu
penulis selama melakukan penelitian di LIPI.
9. Bapak/Ibu dosen yang telah memberikan ilmunya selama penulis
menempuh pendidikan di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
10. Para staf, karyawan dan laboran Program Studi Farmasi yang telah banyak
membantu.
11. Keluarga besar Harjo Wiyoto dan Soekaryo yang selalu memberikan
dukungan dan semangat.
12. Untuk yang selalu mendengar keluh kesah dan selalu memberi semangat
serta bantuan kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini, Finti Muliati.
13. Teman yang berjuang bersama di LIPI, Arsyadanie Saifi Adli, serta The
Pavillioons yang selalu berbagi dalam suka ataupun duka.
14. Teman-teman Farmasi angkatan 2010 (Andalusia) yang tidak membuat
penulis menyesal telah menjadi bagian dari kalian.
15. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah
membantu penulis selama ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, namun
harapan penulis semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Ciputat, 4 September 2014

Penulis

ix

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI


TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIK

Sebagai civitas akademik Universitas Islam

Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta, saya yang bertanda tangan di bawah ini :


Nama

: Arum Samudra

NIM

: 1110102000046

Program Studi

: Farmasi

Fakultas

: Kedokteran dan Ilmu Kesehatan

Jenis Karya

: Skripsi

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya menyetujui skripsi/karya


ilmiah saya dengan judul :
KARAKTERISASI EKSTRAK ETANOL DAUN SALAM (Syzygium
polyanthum Wight) DARI TIGA TEMPAT TUMBUH DI INDONESIA
untuk dipublikasikan atau ditampilkan di internet atau media lain yaitu Digital
Library Perpustakaan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
untuk kepentingan akademik sebatas sesuai dengan Undang-Undang Hak Cipta.
Demikian pernyataan persetujuan publikasi karya ilmiah ini saya buat
dengan sebenarnya.
Dibuat di

: Ciputat

Pada Tanggal

: 4 September 2014

Yang menyatakan

(Arum Samudra)

DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL.......................................................................................
ii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS.........................................
iii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING...........................................
iv
LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI........................................................
v
ABSTRAK................................................................................................
vi
ABSTRACT..............................................................................................
vii
KATA PENGANTAR.................................................................................
viii
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK
KEPENTINGAN AKADEMIK......................................................................
x
DAFTAR ISI...................................................................................................
xi
DAFTAR GAMBAR......................................................................................
xiv
DAFTAR TABEL.......................................................................................
xv
DAFTAR LAMPIRAN.............................................................................
xvi
BAB 1 PENDAHULUAN..............................................................................
1.1 Latar Belakang .......................................................................................
1.2 Rumusan Masalah ..................................................................................
1.3 Tujuan Penelitian ....................................................................................
1.4 Manfaat Penelitian .................................................................................

1
1
3
4
4

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA.....................................................................


2.1 DAUN SALAM (Syzygium polyanthum Wight).....................................
2.1.1 Klasifikasi Tanaman .....................................................................
2.1.2 Nama Daerah.................................................................................
2.1.3 Deskripsi Tanaman .......................................................................
2.1.4 Tempat Tumbuh.............................................................................
2.1.5 Kandungan Kimia Tumbuhan........................................................
2.1.6 Kegunaan Tanaman ......................................................................
2.2 STANDARISASI..................................................................................
2.2.1 Karakterisasi Simplisia................................................................
2.2.2 Parameter Standardisasi ..............................................................
2.2.2.1 Aspek Parameter Spesifik ...................................................
2.2.2.2 Aspek Parameter Non Spesifik ...........................................
2.2.3 Manfaat Standardisasi .................................................................
2.2.3.1 Standardisasi menjamin keseragaman khasiat (efikasi) .....
2.2.3.2 Standardisasi untuk uji klinik .............................................
2.2.3.3 Standardisasi menjamin aspek keamanan dan stabilitas
ekstrak/bentuk sediaan ........................................................
2.2.3.4 Standardisasi meningkatkan nilai ekonomi.........................
2.3 SIMPLISIA ...........................................................................................
2.4 EKSTRAK.............................................................................................
2.3.4.1 Faktor yang mempengaruhi mutu ekstrak ..................................
2.5 EKSTRAKSI.........................................................................................
2.5.1 Proses Pembuatan Ekstrak ..........................................................

5
5
5
6
6
7
7
7
9
9
10
10
12
13
13
13

xi

14
14
15
16
18
20
20

2.5.1.1 Pembuatan serbuk simplisia...............................................


2.5.1.2 Pelarut ................................................................................
2.5.1.3 Pemekatan/penguapan (vaporasi dan evaporasi) ...............
2.5.1.4 Pengeringan ekstrak ...........................................................
2.5.1.5 Rendemen ..........................................................................
2.5.2 Metode Ekstraksi..........................................................................
2.6 KROMATOGRAFI...............................................................................
2.6.1 Kromatografi Lapis Tipis.............................................................
2.6.2 Kromatografi Gas-Spektrometri Massa (KG-SM).......................
2.6.3 High Performance Liquid Chromatography (HPLC).......................
2.7 SPEKTROFOTOMETRI .....................................................................
2.7.1 Spektrofotometri UV-Vis ............................................................
2.7.2 Spektrofotometri Serapan Atom .................................................

20
20
21
21
22
22
23
24
27
31
32
32
33

BAB 3 METODE PENELITIAN..................................................................


3.1 TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN.............................................
3.2 BAHAN DAN ALAT ...........................................................................
3.2.1 Bahan Uji ....................................................................................
3.2.2 Bahan Kimia................................................................................
3.2.3 Alat ..............................................................................................
3.3 PROSEDUR KERJA.............................................................................
3.3.1 Pengambilan Sampel....................................................................
3.3.2 Determinasi Sampel....................................................................
3.3.3 Penyiapan Simplisia.....................................................................
3.3.4 Pengamatan Makroskopik ..................................................
3.3.5 Pembuatan Ekstrak ......................................................................
3.3.6 Penentuan Parameter-parameter Standarisasi .............................
3.3.6.1 Parameter Spesifik .............................................................
3.3.6.2 Parameter Non Spesifik .....................................................

37
37
37
37
37
37
38
38
38
38
39
39
39
39
43

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN...........................................................


4.1 HASIL PENELITIAN...........................................................................
4.1.1 Hasil Determinasi Sampel..........................................................
4.1.2 Pengamatan Makroskopik Daun Salam......................................
4.1.3 Hasil Ekstraksi Daun Salam......................................................
4.1.4 Parameter Spesifik...................................................................
4.1.4.1 Identitas Ekstrak.............................................................
4.1.4.2 Organoleptik Ekstrak......................................................
4.1.4.3 Penentuan Kadar Senyawa Terlarut dalam Pelarut
Tertentu...............................................................................
4.1.4.4 Identifikasi Kandungan Kimia Ekstrak...............................
4.1.4.5 Pola Kromatogram.............................................................
4.1.4.6 Kadar Total Flavonoid......................................................
4.1.5 Parameter Non Spesifik.............................................................
4.2 PEMBAHASAN...............................................................................

47
47
47
47
48
48
48
49

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN..........................................................

64

xii

49
50
50
52
53
55

5.1 KESIMPULAN.................................................................................
5.2 SARAN.........................................................................................

64
65

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................

66

LAMPIRAN.....................................................................................................

69

xiii

DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Pohon salam..................................................................................
Gambar 2 Buah, bunga, dan daun salam........................................................
Gambar 3 Kromatografi lapis tipis.................................................................
Gambar 4 kromatografi gas spektrometri massa.........................................
Gambar 5 High performance liquid chromatography....................................
Gambar 6 Spektrofotometri UV-Vis...............................................................
Gambar 7 Spektrofotometri serapan atom......................................................
Gambar 8 Hasil uji Kromatografi Lapis Tipis................................................
Gambar 9 Hasil uji HPLC...............................................................................
Gambar 10 Hasil Uji GCMS...........................................................................
Gambar L.1 Maserator....................................................................................
Gambar L.2 Tanur/Furnace............................................................................
Gambar L.3 Spektrofotometri UV-Vis.........................................................
Gambar L.4 Timbangan analitik...................................................................
Gambar L.5 Desikator...................................................................................
Gambar L.6 Oven..........................................................................................
Gambar L.7 HPLC........................................................................................
Gambar L.8 Simplisia daun Salam...............................................................
Gambar L.9 Rotary evaporator.....................................................................
Gambar L.10 Pilot plan..................................................................................

xiv

5
6
27
31
32
33
36
50
51
54
98
98
98
98
98
98
99
99
99
99

DAFTAR TABEL
Tabel 4.1 Pengamatan makroskopik daun Salam.........................................
Tabel 4.2 Hasil rendemen daun Salam...........................................................
Tabel 4.3 Identitas ekstrak..............................................................................
Tabel 4.4 Organoleptik ekstrak.......................................................................
Tabel 4.5 Kadar senyawa terlarut dalam pelarut tertentu...............................
Tabel 4.6 Identifikasi kandungan kimia ekstrak.............................................
Tabel 4.7 Nilai Rf...........................................................................................
Tabel 4.8 Data Kromatogram HPLC..............................................................
Tabel 4.9 Kadar Total Flavonoid....................................................................
Tabel 4.10 Parameter non spesifik daun Salam..............................................
Tabel L.1 Senyawa terlarut air........................................................................
Tabel L.2 Senyawa terlarut etanol..................................................................
Tabel L.3 Susut pengeringan..........................................................................
Tabel L.4 Bobot jenis......................................................................................
Tabel L.5 Kadar abu.......................................................................................
Tabel L.6 Kadar abu tidak larut asam.............................................................
Tabel L.7 Kadar air.........................................................................................
Tabel L.8 Standar kuersetin............................................................................
Tabel L.9 Kadar total flavonoid......................................................................
Tabel L.10 Standar logam Pb..........................................................................
Tabel L.11 Standar logam Cd.........................................................................
Tabel L.12 Standar logam As.........................................................................

xv

47
48
48
49
49
50
50
52
52
53
73
75
77
79
81
83
85
87
87
94
95
97

DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Alur penelitian.........................................................................
Lampiran 2 Hasil determinasi.......................................................................
Lampiran 3 Rendemen ekstrak.......................................................................
Lampiran 4 Perhitungan kadar senyawa terlarut air.......................................
Lampiran 5 Perhitungan kadar senyawa terlarut etanol.................................
Lampiran 6 Pehitungan susut pengeringan.....................................................
Lampiran 7 Perhitungan bobot jenis...............................................................
Lampiran 8 Perhitungan kadar abu.................................................................
Lampiran 9 Perhitungan kadar abu tidak larut asam......................................
Lampiran 10 Perhitungan kadar air.................................................................
Lampiran 11 Perhitungan kadar total flavonoid.............................................
Lampiran 12 Hasil uji cemaran logam berat...................................................
Lampiran 13 Perhitungan cemaran logam berat.............................................
Lampiran 14 Bahan dan alat penelitian..........................................................

xvi

69
70
72
73
75
77
79
81
83
85
87
89
94
98

BAB I
PENDAHULUAN

1.1

LATAR BELAKANG
Indonesia merupakan salah satu negara dengan kekayaan hayati terbesar

didunia yang memiliki lebih dari 30.000 spesies tanaman tingkat tinggi. Hingga
saat ini, tercatat 7000 spesies tanaman telah diketahui khasiatnya. Namun, kurang
dari 300 tanaman yang digunakan sebagai bahan baku industri farmasi secara
regular. Sekitar 1000 tanaman telah diidentifikasi dari aspek botani sistematik
tumbuhan dengan baik (Saifudin, Rahayu, & Teruna, 2011).
Dengan kekayaan hayati yang berlimpah tersebut, tidak sedikit masyarakat
Indonesia yang memanfaatkannya untuk berbagai keperluan, diantaranya sebagai
obat tradisional. Obat tradisional telah digunakan sejak zaman dahulu baik di
Indonesia maupun di negara-negara lainnya. Sampai sekarangpun tetap
dimanfaatkan dan bahkan cenderung meningkat. Namun, eksistensinya belum
dapat disetarakan dengan pelayanan pengobatan modern dengan menggunakan
obat kimia, karena memang belum seluruhnya teruji keamanan dan manfaatnya.
Selama ini kebanyakan manfaat dan pengembangannya hanya dari data empiris
dan dari pengalaman yang diwariskan dari generasi ke generasi (Hariyati, 2005).
WHO pada tahun 2008 mencatat bahwa 68% penduduk dunia masih
menggantungkan sistem pengobatan tradisional yang mayoritas melibatkan
tumbuhan untuk menyembuhkan penyakit dan lebih dari 80% penduduk dunia
menggunakan obat herbal untuk mendukung kesehatan mereka (Saifudin, Rahayu,
& Teruna, 2011).
Kecenderungan masyarakat untuk kembali ke alam meneguhkan peran
penting tumbuhan sebagai sumber obat bahkan berpotensi nilai ekonomi tinggi.
Namun isu besar yang menjadi pemikiran pemerintah saat ini adalah bagaimana
menjamin obat yang berbasis herbal memiliki mutu yang terukur, mampu
mendukung derajat kesehatan dan terjamin keamanan, terbebas dari bahan dan
mikroba berbahaya serta bagaimana menaikkan nilai ekonomi sehingga menjadi
negara produsen yang bermartabat (Saifudin, Rahayu, & Teruna, 2011).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Dalam rangka mengembangkan obat tradisional diperlukan pengendalian


mutu simplisia yang akan digunakan untuk bahan baku obat atau sediaan galenik.
Pengendalian mutu simplisia dapat dilakukan salah satunya dengan cara
melakukan standardisasi simplisia. Standardisasi perlu dilakukan untuk menjaga
kualitas bahan baku obat alam baik yang berupa simplisia maupun yang berbentuk
ekstrak atau sediaan galenik (Hariyati, 2005). Standardisasi dalam kefarmasian
tidak lain adalah serangkaian parameter, prosedur dan cara pengukuran yang
hasilnya merupakan unsur-unsur terkait paradigma mutu kefarmasian, mutu dalam
artian memenuhi syarat standar (kimia, biologi dan farmasi), termasuk jaminan
(batas-batas) stabilitas sebagai produk kefarmasian umumnya. Persyaratan mutu
ekstrak terdiri dari berbagai parameter standar umum dan parameter standar
spesifik. Pemerintah melakukan pembinaan dan pengawasan serta melindungi
konsumen

untuk

tegaknya

trilogi

mutu-keamanan-manfaat.

Pengertian

standardisasi juga berarti proses menjamin bahwa produk akhir (obat, ekstrak atau
produk ekstrak) mempunyai nilai parameter tertentu yang konstan (ajeg) dan
ditetapkan (dirancang dalam formula) terlebih dahulu (Anonim, 2000).
Salah satu tanaman yang mempunyai banyak manfaat yaitu daun salam
(Syzygium polyanthum Wight). Daun salam telah dikenal secara luas oleh
masyarakat indonesia. Biasanya daun salam digunakan untuk bumbu berbagai
macam masakan. Namun dibalik itu semua, ternyata daun salam mempunyai
aktivitas farmakologis yang sangat berguna bagi tubuh kita. Menurut Nuratmi dkk
(1998), pemberian sirup daun salam pada tikus putih dengan dosis yang berbedabeda, memperlihatkan adanya efek antidiare. Semakin besar dosis yang diberikan
maka efeknya juga semakin besar. Pada dosis 450 mg/100 g BB sama dengan
tikus yang diberi loperamid 0,12 mg/100 g BB. Penelitian selanjutnya juga
menunjukkan bahwa ekstrak etanolik 30% daun salam memberikan aktivitas
antidiare pada hewan uji (Malik & Ahmad, 2013).
Berdasarkan data uji praklinik antihiperurisemia, ekstrak daun salam dan
jinten hitam dan kombinasinya dengan dosis tunggal 200 mg/kgBB terbukti
berpotensi menurunkan kadar asam urat dalam darah mencit putih jantan galur
Balb-C yang diinduksi Potassium oksonat dengan prosentase penurunan kadar

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

asam urat berturut-turut adalah kurang lebih sebesar 79,35 %, 61,29 %, dan
72,90 % (Muhtadi, Suhendi, W., & Sutrisna, 2012)
Sementara itu, ekstrak metanol daun salam memiliki aktivitas sebagai
antibakteri yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri Escherichia coli (Rambe,
Pasaribu, & Nst, 2012). Ekstrak metanol daun salam juga dapat menghambat

pertumbuhan vegetatif F.oxysporum, meskipun persentase penghambatan tertinggi


hanya sebesar 57,16 % pada konsentrasi 5 %. Pada media cair, ekstrak daun salam
efektif menurunkan jumlah konidia dan berat hifa. Selain itu, ekstrak metanol
daun salam mampu menghambat perkecambahan konidia F. oxysporum.
Persentase penghambatan perkecambahan konidia pada perlakuan ekstrak daun
salam 3 % sebesar 84,67 % pada jam ke-4 setelah

inkubasi (Noveriza &

Miftakhurohmah, 2010).
Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa ekstrak etanol daun salam
dengan dosis 2,62 mg/20 g BB dan 5,24 mg/20 g BB dapat menurunkan secara
bermakna kadar glukosa darah mencit jantan yang diinduksi dengan aloksan
(Studiawan & Santosa, 2005). Sedangkan ekstrak metanol daun salam
menunjukkan adanya aktivitas antioksidan pada lC50 sebesar 90,85 g/mL (Har &
Ismail, 2012).
Mengingat begitu banyak manfaat pada daun salam (Syzygium
polianthum) berdasarkan dari penelitian-penelitian yang telah dilakukan, maka
perlu dilakukan upaya penetapan standar mutu dan juga keamanan dari ekstrak
daun salam. Selain itu, untuk mendukung program LIPI (Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia) yang menguji tentang aktivitas daun salam sebagai
Antiviral Dengue, maka dalam penelitian ini dilakukan karakterisasi ekstrak
etanol daun salam dari tiga tempat tumbuh di Indonesia (OKU Timur, Sukoharjo,
dan Tangerang Selatan).

1.2

RUMUSAN MASALAH
Dari hasil penelusuran pustaka yang telah dilakukan, belum ada penelitian

mengenai karakterisasi ekstrak etanol daun salam (Syzygium polyanthum Wight).


Berdasarkan hal tersebut maka dalam penelitian ini dilakukan karakterisasi
terhadap ekstrak etanol daun salam (Syzygium polyanthum Wight).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

1.3

TUJUAN PENELITIAN
Untuk mengetahui beberapa hasil uji parameter spesifik dan non spesifik

dari ekstrak etanol daun salam (Syzygium polyanthum Wight) sehingga nantinya
dapat menjamin bahwa sampel tersebut mempunyai mutu dan nilai-nilai
parameter yang terstandar.

1.4

MANFAAT PENELITIAN
Diharapkan dari penelitian ini dapat memberikan data awal standardisasi

sehingga dapat menjamin kualitas, mutu, dan keamanan ekstrak etanol daun salam
(Syzygium polyanthum Wight)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1

DAUN SALAM (Syzygium polyanthum Wight)

2.1.1

Klasifikasi Tanaman
Secara ilmiah, tanaman salam diklasifikasikan sebagai berikut :
Kingdom

: Plantae

Divisi

: Spermatophyta

Sub Divisi

: Angiospermae

Kelas

: Dicotyledoneae

Sub Kelas

: Dialypetalae

Bangsa

: Myrtales

Suku

: Myrtaceae

Marga

: Syzygium

Jenis

: Syzygium polyanthum

(Tjitrosoepomo, 1988)

Gambar 1. Pohon salam (Sumber : Koleksi pribadi)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Gambar 2. Buah, bunga, dan daun salam (sumber : Ibujempol.com)

2.1.2

Nama Daerah
Daun salam memiliki banyak nama lain di daerah, diantaranya adalah

Sumatera : meselangan, ubar serai (Melayu), Jawa : salam, gowok (Sunda), salam,
manting (Jawa), salam (Madura), Kangean : kastolam. Nama asing daun salam
yaitu salam leaf dan sinonimnya Eugenia polyantha Wight (Dalimartha, 2000).

2.1.3

Deskripsi Tanaman
Tinggi pohon mencapai 25 m, batang bulat, permukaan licin, bertajuk

rimbun dan berakar tunggang. Daun tunggal, letak berhadapan, panjang tangkai
daun 0,5-1 cm. Helaian daun berbentuk lonjong sampai elips atau bundar telur
sungsang, ujung meruncing, pangkal runcing, tepi rata pertulangan menyirip,
permukaan atas licin berwarna hijau tua, permukaan bawah berwarna hijau muda,
panjang 5-15 cm, lebar 3-8 cm, jika diremas berbau harum. Bunga majemuk
tersusun dalam malai yang keluar dari ujung ranting, berwarna putih, baunya
harum. Biji bulat, diameter sekitar 1 cm berwarna cokelat.Buahnya buah buni,
bulat diameter 8-9 mm,buah muda berwarna hijau, setelah masak menjadi merah
gelap, rasanya agak sepat (Dalimartha, 2000).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2.1.4

Tempat Tumbuh
Salam menyebar di Asia Tenggara, mulai dari Burma, Indocina, Thailand,

Semenanjung Malaya, Sumatera, Kalimantan, dan Jawa. Salam tumbuh liar di


hutan dan pegunungan, atau ditanam di pekarangan dan sekitar rumah. Pohon ini
dapat ditemukan didaerah dataran rendah sampai ketinggian 1.400 m dpl
(Dalimartha, 2000).

2.1.5 Kandungan Kimia Tumbuhan


Tanaman salam (Syzygium polyanthum Wight) mengandung banyak
senyawa. Menurut Hariana (2008) antara lain minyak atsiri, tanin, flavonoid.
Anggota famili Myrtaeae memiliki sifat rasa kelat, wangi, dan astringen
(Enda, 2009).
Bagian tanaman salam yang paling banyak dimanfaatkan adalah bagian
daunnya. Daun salam mengandung tanin, minyak atsiri (salamol dan eugenol),
flavonoid

(Kuersetin,

Kuersitrin,

mirsetin

dan

mirsitrin),

seskuiterpen,

triterpenoid, fenol, steroid, sitral, lakton, saponin, dan karbohidrat (Fitri, 2007).
Menurut Purwati (2004), daun salam oleh Badan POM ditetapkan sebagai salah
satu dari sembilan tanaman obat unggulan yang telah diteliti atau diuji secara
klinis untuk menanggulangi masalah kesehatan tertentu (Fitri, 2007).
Menurut Sudarsono (2002) Kandungan tanaman salam lainnya adalah
saponin,triterpenoid, flavonoid, polifenol, alkaloid, tanin dan minyak atsiri yang
terdiri dari sesquiterpen, lakton dan fenol (Adrianto, 2012).
Uji fitokimia dari daun salam menunjukkan adanya beberapa senyawa
metabolit sekunder yaitu flavonoid, fenolik, dan kumarin (Hermansyah, 2008)

2.1.6 Kegunaan Tanaman


Daun salam umumnya digunakan sebagai rempah pengharum masakan di
sejumlah negeri di Asia Tenggara, baik untuk masakan daging, ikan, sayur mayur,
maupun nasi. Daun dicampur dalam keadaan utuh, kering ataupun segar dan turut
dimasak hingga masakan tersebut matang. Dari segi kesehatan, daun salam efektif
menurunkan kadar gula darah, menurunkan tekanan darah, menurunkan kadar

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

kolesterol darah, menurunkan kadar asam urat, mengobati sakit maag (gastritis),
gatal-gatal (pruritis), kudis (scabies), dan eksim (Enda, 2009).
Hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa ekstrak etanolik 30%
daun salam memberikan

aktivitas

antidiare pada hewan

uji

(Malik &

Ahmad, 2013).
Winarto (2004) menyatakan bahwa daun salam mempunyai kandungan
kimia yaitu tanin, flavonoid, dan minyak atsiri 0,05 % yang terdiri dari eugenol
dan sitral. Minyak atsiri atau dikenal orang dengan nama minyak ateris atau
minyak terbang (essential oil) dihasilkan oleh tanaman tertentu. Mekanis
metoksisitas fenol dalam minyak atsiri menyebabkan denaturasi protein pada
dinding sel kuman dengan membentuk struktur tersier protein dengan ikatan
nonspesifik atau ikatan disulfida (Adrianto, 2012).
Minyak atsiri mengandung sitral dan eugenol yang berfungsi sebagai
anestetik dan antiseptik (Adrianto, 2012). Antiseptik adalah obat yang
meniadakan atau mencegah keadaan sepsis, zat ini dapat membunuh atau
mencegah pertumbuhan mikroorganisme (Ganiswara, 1995). Eugenol adalah
sebuah senyawa kimia aromatik, berbau, sedikit larut dalam air dan larut pada
pelarut organik. Bidang medis sering menggunakan eugenol. Kandungan eugenol
merupakan analgesik dan antiseptik lokal yang baik. Beberapa minyak atsiri dapat
digunakan sebagai bahan antiseptik internal dan eksternal, bahan analgesik,
hemolitik atau enzimatik, sedatif, stimulan, untuk obat sakit perut, bahan pewangi
kosmetik dan sabun (Adrianto, 2012).
Selain minyak atsiri terdapat kandungan tanin. Tanin, tannic acid atau
gallotanic acid dapat ditemukan pada berbagai macam tanaman. Tanin telah
terbukti mempunyai efektifitas antioksidan dan menghambat pertumbuhan tumor
(Robinson, 1995). Tanin menyebabkan denaturasi protein dengan membentuk
kompleks protein. Pembentukan kompleks protein melalui kekuatan nonspesifik
seperti ikatan hidrogen dan efek hidrofobik sebagaimana pembentukan ikatan
kovalen, menginaktifkan adhesi kuman (molekul untuk menempel pada sel
inang), menstimulasi sel-sel fagosit yang berperan dalam respon imun selular
(Soebowo, 1993).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Flavonoid adalah senyawa yang terdapat pada sebagian besar tumbuhtumbuhan. Sebagian besar tumbuhan obat mengandung flavonoid (Adrianto,
2012). Pada tumbuhan, flavonoid tidak hanya berperan sebagai pigmen yang
memberi warna pada bunga dan daun saja, namun juga sangat penting bagi
pertumbuhan, perkembangan dan pertahanan tumbuhan. Misalnya sebagai enzim
inhibitor, prekusor bahan toksik, melindungi tumbuhan (dari bakteri, virus, radikal
bebas dan radiasi sinar UV) (Sabir, 2003). Beberapa penelitian terakhir
menunjukan bahwa flavonoid memiliki efek antimikroba, antiinflamasi,
merangsang pembentukan kolagen, melindungi pembuluh darah, antioksidan dan
antikarsinogenik (Sabir, 2003). Flavonoid sebagai antibakterial dapat menekan
pertumbuhan bakteri yang mengkontaminasi luka sehingga infeksi dapat
dihindarkan (Dharmayanti, 2000).
Pelezar (1988) menyatakan bahwa sebagai antibakteri, flavonoid bekerja
dengan menghambat perkembangan mikroorganisme karena mampu membentuk
senyawa kompleks dengan protein melalui ikatan hidrogen. Mekanisme kerjanya
dengan mendenaturasikan molekul-molekul protein dan asam nukleat yang
menyebabkan koagulasi dan pembekuan protein yang akhirnya akan terjadi
gangguan metabolisme dan fungsi fisiologis bakteri. Jika metabolisme bakteri
terganggu maka kebutuhan energi tidak tercukupi sehingga mengakibatkan
rusaknya sel bakteri secara permanen yang pada akhirnya menyebabkan kematian
bakteri (Adrianto, 2012).

2.2

STANDARDISASI

2.2.1 Karakterisasi Simplisia


Karakterisasi merupakan langkah awal dari standardisasi. Standardisasi
simplisia dilakukan untuk mengendalikan mutu simplisia. Standarisasi diperlukan
agar dapat diperoleh bahan baku yang seragam yang akhirnya dapat menjamin
efek farmakologi tanaman tersebut (Hariyati, 2005). Standarisasi simplisia
mempunyai pengertian bahwa simplisia yang akan digunakan untuk obat sebagai
bahan baku harus memenuhi persyaratan tertentu (Krisyanella, Dachriyanus, &
Marlina, n.d.).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

10

Standardisasi dalam kefarmasian tidak lain adalah serangkaian parameter,


prosedur dan cara pengukuran yang hasilnya merupakan unsur-unsur terkait
paradigma mutu kefarmasian, mutu dalam artian memenuhi syarat standar (kimia,
biologi dan farmasi), termasuk jaminan (batas-batas) stabilitas sebagai produk
kefarmasian umumnya. Persyaratan mutu ekstrak terdiri dari berbagai parameter
standar umum dan parameter standar spesifik. Pengertian standardisasi juga
berarti proses menjamin bahwa produk akhir obat (obat, ekstrak atau produk
ekstrak) mempunyai nilai parameter tertentu yang konstan (ajeg) dan ditetapkan
terlebih dahulu (Anonim, 2000).
Standardisasi suatu simplisia tidak lain pemenuhan terhadap persyaratan
sebagai bahan dan penetapan nilai berbagai parameter dari suatu produk.
Standardisasi simplisia juga mempunyai pengertian bahwa simplisia yang akan
digunakan untuk obat sebagai bahan baku harus memenuhi persyaratan yang
tercantum dalam monografi terbitan resmi Departemen Kesehatan (Materia
Medika Indonesia) (Anonim, 2000).
Objek standardisasi adalah ekstrak tumbuhan yakni material yang
diperoleh dengan cara menyari bahan tumbuhan dengan pelarut tertentu. Kecuali
dinyatakan lain pelarut yang diperbolehkan adalah etanol (Anonim, 1995). Pelarut
organik selain etanol memiliki potensi toksisitas yang lebih tinggi. Etanol
memiliki kemampuan menyari dengan polaritas yang lebar mulai senyawa
nonpolar sampai dengan polar. Sedangkan penyari air cukup sulit diuapkan pada
suhu rendah sehingga berpotensi terdegradasinya komponen aktif atau
terbentuknya senyawa lain karena

pemanasan. Ekstraksi dengan non pelarut

seperti superkritikal gas diperkenankan namun yang menjadi masalah aplikasi di


Indonesia untuk industri masih sangat terbatas karena peralatan yang cukup mahal
(Saifudin, Rahayu, & Teruna, 2011).

2.2.2 Parameter Standardisasi


2.2.2.1 Aspek Parameter Spesifik (Saifudin, Rahayu, & Teruna, 2011)
Parameter spesifik yakni parameter yang berfokus pada senyawa atau
golongan senyawa yang bertanggung jawab terhadap aktivitas farmakologis.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

11

Analisis kimia yang dilibatkan ditujukan untuk analisa kualitatif dan kuantitatif
terhadap senyawa aktif.
Menurut Anonim (2000), Parameter spesifik meliputi :
a.

Parameter identitas ekstrak, meliputi deskripsi tata nama (Nama ekstrak,


Nama latin tumbuhan, Bagian tumbuhan yang digunakan, dan Nama
Indonesia tumbuhan) dan senyawa identitas (senyawa tertentu yang
menjadi petunjuk spesifik dengan metode tertentu). Tujuannya adalah
untuk memberikan identitas obyektif dari nama dan spesifik dari senyawa
identitas.

b.

Parameter organoleptik ekstrak, yaitu penentuan parameter yang


menggunakan pancaindra untuk mendeskripsikan bentuk, warna, bau, dan
rasa dari suatu ekstrak.

c.

Parameter senyawa terlarut dalam pelarut tertentu, yaitu parameter yang


diuji dengan cara melarutkan ekstrak dengan pelarut tertentu (air atau
alkohol) untuk ditentukan jumlah solut yang identik dengan jumlah
senyawa kandungan secara gravimetri. Dalam hal tertentu dapat diukur
senyawa terlarut dalam pelarut lain misalnya heksana, diklorometan, dan
metanol.

d.

Parameter kandungan kimia ekstrak


1) Pola kromatogram
Tujuannya untuk memberikan gambaran awal komposisi kandungan
kimia berdasarkan pola kromatogram.
2) Kadar kandungan kimia tertentu
Dengan tersedia suatu kandungan kimia yang berupa senyawa
identitas atau senyawa kimia utama ataupun kandungan kimia lainnya,
maka secara kromatografi instrumental dapat dilakukan penetapan
kadar kandungan kimia tersebut. Instrumen yang dapat digunakan
adalah densitometer, kromatografi gas, KCKT atau instrumen yang
sesuai. Tujuannya memberikan data kadar kandungan kimia tertentu
sebagai senyawa identitas atau senyawa yang diduga bertanggung
jawab pada efek farmakologi.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

12

2.2.2.2 Aspek Parameter Non Spesifik (Saifudin, Rahayu, & Teruna, 2011)
Parameter non spesifik yakni aspek yang berfokus pada aspek kimia,
mikrobiologi dan fisis yang akan mempengaruhi keamanan konsumen dan
stabilitas. Aspek ini tidak berpengaruh pada aktivitas farmakologi secara
langsung.
Aspek parameter nonspesifik diantaranya (Anonim, 2000) :
a.

Parameter susut pengeringan, adalah pengukuran sisa zat setelah


pengeringan pada temperatur 105oC selama 30 menit atau sampai berat
konstan, yang dinyatakan sebagai nilai prosen. Dalam hal khusus (jika
bahan tidak mengandung minyak atsiri dan sisa pelarut organik menguap)
identik dengan kadar air karena berada di atmosfer/lingkungan udara
terbuka. Tujuannya untuk memberikan batasan maksimal (rentang) tentang
besarnya senyawa yang hilang pada proses pengeringan.

b.

Parameter bobot jenis, adalah masa per satuan volume pada suhu kamar
tertentu (25oC) yang ditentukan dengan alat khusus piknometer atau alat
lainnya. Tujuannya untuk memberikan batasan tentang besarnya masa
persatuan volume yang merupakan parameter khusus ekstrak cair sampai
ektrak pekat (kental) yang masih dapat dituang dan untuk memberikan
gambaran kandungan kimia terlarut.

c.

Parameter kadar air, adalah parameter pengukuran kandungan air yang


berada di dalam bahan, dilakukan dengan cara yang tepat diantara cara
titrasi, destilasi atau gravimetri. Tujuannya untuk memberikan batasan
minimal atau rentang tentang besarnya kandungan air dalam bahan.

d.

Parameter kadar abu, yaitu parameter yang dilakukan dengan cara


memanaskan bahan pada temperatur dimana senyawa orgaik dan
turunannya terdestruksi dan menguap. Sehingga tinggal unsur mineral dan
anorganik. Tujuannya untuk memberikan gambaran kandungan mineral
internal dan eksternal yagn berasal dari proses awal sampai terbentuknya
ekstrak.

e.

Parameter sisa pelarut, parameter yang diuji dengan cara menentukan


kandungan sisa pelarut tertentu (yang memang ditambahkan) yang secara

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

13

umum dengan kromatografi gas. Untuk ekstrak cair berarti kandungan


pelarutnya, misalnya kadar alkohol.
f.

Parameter cemaran logam berat, adalah penentuan kandungan logam berat


secara spektroskopi serapan atom atau lainnya yang lebih valid. Tujuannya
untuk memberikan jaminan bahwa ekstrak tidak mengandung logam berat
tertentu melebihi nilai yang ditetapkan karena berbahaya (toksik) bagi
kesehatan.

2.2.3 Manfaat Standardisasi


2.2.3.1 Standardisasi menjamin keseragaman khasiat (efikasi)
Mayoritas penggunaan bahan obat berbasis herbal di Indonesia masih
bersifat tidak terukur baik kepastian tanaman, takaran, cara penyiapan sehingga
tidak menjamin konsistensi khasiat. Salah satu tujuan dari standardisasi adalah
menjaga konsistensi dan keseragaman khasiat dari obat herbal. Standardisasi
melibatkan pemastian kadar senyawa aktif farmakologis melalui analisis
kuantitatif metabolit sekunder yang akan menjamin keseragaman khasiat
(Saifudin, Rahayu, & Teruna, 2011).
Tercatat sekitar 997 industri obat tradisional di Indonesia dan 98
diantaranya adalah produsen dengan skala besar dan sedang. Produsen dengan
skala besar dan sedang telah mampu mengekspor produknya ke negara lain.
Selain itu juga banyak bahan mentah rempah dan obat herbal diekspor ke luar
negeri tanpa mengalami pengolahan. Problem yang seringkali dihadapi adalah
belum terstandarnya bahan baku yang diperdagangkan bahkan dijumpainya
kontaminan

mikrobiologis

pada produk obat herbal

(Saifudin, Rahayu, &

Teruna, 2011).

2.2.3.2 Standardisasi untuk uji klinik


Uji Klinik adalah uji senyawa kimia obat, obat herbal, ekstrak dan
berbagai sediaan pada dosis tertentu dengan target biologis manusia agar
memberikan respon biologis berupa parameter-parameter klinik perbaikan dari
kondisi patologis yang terkait dengan penyakit tertentu. Untuk itu semua aspek
dituntut terdesain dan dikontrol dengan baik. Respon uji klinik sangat ditentukan

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

14

oleh konsistensi dosis. Jika jumlah zat aktif yang diberikan tidak konsisten maka
disini peran besar standardisasi untuk menjaga senyawa-senyawa aktif selalu
konsisten terukur antar perlakuan. Jadi, penentuan dosis senyawa marker untuk uji
klinik ekstrak atau obat herbal sangatlah fundamental (Saifudin, Rahayu, &
Teruna, 2011).

2.2.3.3 Standardisasi

menjamin

aspek

keamanan

dan

stabilitas

ekstrak/bentuk sediaan
Tempat tumbuh tanaman, penanganan pasca panen, proses ekstraksi,
penyimpanan simplisia tanaman dan ekstrak juga mempengaruhi elemen
keamanan terhadap pemakaian logam berat, pestisida dalam tanah, udara dan air,
jenis dan jumlah mikroorganisme dan metabolit pencemar berbahaya. Keberadaan
air di dalam suatu ekstrak juga mempengaruhi stabilitas bahan baku bahkan
bentuk sediaan yang nantinya dihasilkan. Untuk itu dilakukan berbagai analisis
untuk menentukan batas minimal kadar air, zat dan jumlah mikroba pencemar.
Upaya ini disebut dengan penentuan parameter spesifik dan non spesifik
(Saifudin, Rahayu, & Teruna, 2011).
Proses standardisasi yang meliputi aspek kimiawi metabolit sekunder,
jumlah cemaran mikroba minimal dan cemaran logam berat sangatlah penting
karena terkait dengan khasiat dan keamanan pada konsumen. Keberadaan residu
air

yang cukup

tinggi

menyebabkan

tumbuhnya

mikroba

yang akan

memperpendek stabilitas ekstrak atau bentuk sediaan yang dibuat (Saifudin,


Rahayu, & Teruna, 2011).

2.2.3.4 Standardisasi meningkatkan nilai ekonomi


Tanaman obat dan rempah Indonesia mempunyai potensi besar sebagai
produk unggulan. Belum tingginya upaya lintas sektoral dan terpadu antara
swasta-pemerintah-perguruan tinggi untuk mengangkat secara sistematis natural
product Indonesia mengakibatkan banyak produk ekspor herbal yang berdaya
tawar rendah. Hingga kini Cina dan India adalah raja produk herbal dunia, bahkan
Singapura yang merupakan negara mungil adalah salah satu pengolah dan penjual
produk alam yang cukup besar dan negara inilah yang menerapkan standar bagi

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

15

eksportir sehingga banyak sekali bahan mentah Indonesia yang diekspor dengan
harga yang cukup murah. Namun, melalui pabrikasi dan proses di negara yang
bersangkutan tersebut dijual dengan nilai yang jauh lebih tinggi. Standardisasi
adalah upaya penting untuk menaikkan nilai ekonomi produk alam Indonesia
(Saifudin, Rahayu, & Teruna, 2011).

2.3

SIMPLISIA
Dalam buku Materia Medika Indonesia ditetapkan definisi bahwa simplisia

adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat yang belum mengalami
pengolahan apapun juga dan kecuali dinyatakan lain, berupa bahan yang telah
dikeringkan. Simplisia dibedakan menjadi simplisia nabati, simplisia hewani dan
simplisia pelikan. Simplisia nabati adalah simplisia yang berupa tumbuhan utuh,
bagian tumbuhan atau eksudat tumbuhan. Eksudat tumbuhan adalah isi sel yang
secara spontan keluar dari tumbuhan atau isi sel yang dengan cara tertentu
dikeluarkan dari selnya, atau senyawa nabati lainnya yang dengan cara tertentu
dipisahkan dari tumbuhannya dan belum berupa senyawa kimia murni
(Anonim, 2000).
Simplisia sebagai produk hasil pertanian atau pengumpulan tumbuhan liar
(wild crop) tentu saja kandungan kimianya tidak dapat dijamin selalu ajeg
(konstan) karena disadari adanya variabel bibit, tempat tumbuh, iklim, kondisi
(umur dan cara) panen, serta proses pasca panen dan preparasi akhir. Walaupun
ada juga pendapat bahwa variabel tersebut tidak besar akibatnya pada mutu
ekstrak nantinya dan dapat dikompensasi dengan penambahan/pengurangan bahan
setelah sedikit prosedur analisis kimia dan sentuhan inovasi teknologi farmasi
lanjutan

sehingga

tidak

berdampak

banyak

pada

khasiat

produknya

(Anonim, 2000).
Proses panen dan preparasi simplisia merupakan proses yang dapat
menentukan mutu simplisia dalam berbagai artian, yaitu komposisi senyawa
kandungan, kontaminasi dan stabilitas bahan. Namun demikian simplisia sebagai
produk olahan, variasi senyawa kandungan dapat diperkecil, diatur atau diajegkan.
Hal ini karena penerapan iptek pasca panen yang terstandar (Anonim, 2000).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

16

Dalam hal simplisia sebagai bahan baku (awal) dan produk siap
dikonsumsi langsung, dapat dipertimbangkan 3 konsep untuk menyusun
parameter standar umum (Anonim, 2000) :
1. Bahwa simplisia sebagai bahan kefarmasian seharusnya memenuhi 3
parameter mutu umum suatu bahan (material), yaitu kebenaran jenis
(identifikasi), kemurnian (bebas dari kontaminasi kimia dan biologis)
serta aturan penstabilan (wadah, penyimpanan dan transportasi).
2. Bahwa simplisia sebagai bahan dan produk konsumsi manusia sebagai
obat tetap diupayakan memenuhi 3 paradigma seperti produk
kefarmasian lainnya, yaitu Quality-Safety-Efficacy (Mutu-AmanManfaat).
3. Bahwa simplisia sebagai bahan dengan kandungan kimia yang
bertanggung jawab terhadap respon biologis haru mempunyai
spesifikasi kimia, yaitu informasi komposisi (jenis dan kadar) senyawa
kandungan.

2.4

EKSTRAK
Menurut buku Farmakope Indonesia Edisi 4, disebutkan bahwa ekstrak

adalah sediaan kental yang diperoleh dengan mengekstraksi senyawa aktif dari
simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai,
kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang
tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang telah ditetapkan.
Sebagian besar ekstrak dibuat dengan mengekstraksi bahan baku obat secara
perkolasi. Seluruh perkolat biasanya dipekatkan secara destilasi dengan
pengurangan

tekanan, agar

bahan

sesedikit

mungkin terkena

panas

(Anonim, 2000).
Ekstrak cair adalah sediaan dari simplisia nabati yang mengandung etanol
sebagai pelarut atau sebagai pengawet. Jika tidak dinyatakan lain pada masingmasing monografi tiap ml ekstrak mengandung senyawaaktif dari 1 gr simplisia
yang memenuhi syarat. Ekstrak cair yang cenderung membentuk endapan dapat
didiamkan dan disaring atau bagian yang bening dienap tuangkan (dekantasi)
(Anonim, 2000).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

17

Infus adalah sediaan cair yang dibuat dengan cara mengekstraksi simplisia
nabati dengan air pada suhu 90oC selama 15 menit. Simplisia dicampur dengan
derajat halus yang sesuai dalam panci dengan air secukupnya, lalu dipanaskan di
atas tangas air selama 15 menit terhitung mulai suhu mencapai 90oC sambil
sesekali diaduk. Diserkai selagi panas melalui kain flanel, lalu ditambahkan air
panas secukupnya melalui ampas hingga diperoleh volume infus yang
dikehendaki (jika dikatakan lain, dibuat infus 10%) (Anonim, 2000).
Menurut Saifudin dkk (2011), lingkungan tempat tumbuh tanaman sangat
mempengaruhi kualitas dan keamanan bahan baku ekstrak dan produk akhir yang
dihasilkan. Umumnya tanaman liar heterogen dari berbagai aspek misalnya
kandungan metabolitnya secara kuantitatif (bahkan kualitatif yakni beberapa
senyawa tidak terdeteksi), kemungkinan adanya pencemar dan kontaminan yang
berasal dari air dan tanah yang tidak terkontrol. Tanaman budidaya mungkin lebih
bisa dikontrol berbagai aspek yang mengurangi mutu. Keseragaman genetik juga
mempengaruhi kualitas dan kuantitas metabolit sekunder yang dihasilkan.
Senyawa kimia dalam ekstrak ditinjau dari asalnya dapat dibedakan
menjadi 4 kelompok yaitu (Anonim, 2000) :
1. Senyawa kandungan asli dari tumbuhan asal
2. Senyawa hasil dari perubahan senyawa asli
3. Senyawa kontaminasi
4. Senyawa hasil interaksi kontaminasi dengan senyawa asli atau senyawa
perubahan.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

18

2.4.1 Faktor yang mempengaruhi mutu ekstrak


Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi mutu ekstrak. Faktorfaktor itu diantaranya (Anonim, 2000) :
1. Faktor biologi
Mutu ekstrak dipengaruhi oleh bahan asal yaitu tumbuhan obatnya dan
khusus dipandang dari segi biologi. Faktor biologi, baik untuk bahan dari
tumbuhan obat hasil budidaya (kultivar) ataupun dari tumbuhan liar (wild
crop) yang meliputi beberapa hal yaitu (Anonim, 2000) :
a. Identitas jenis (spesies)
Jenis tumbuhan dari sudut keragaman hayati dapat dikonfirmasi sampai
informasi genetik sebagai faktor internal untuk validasi jenis (spesies).
b. Lokasi tumbuhan asal
Lokasi berarti faktor eksternal, yaitu lingkungan (tanah dan atmosfer)
dimana tumbuhan berinteraksi berupa energi (cuaca, temperatur,
cahaya) dan materi (air, senyawa organik dan anorganik)
c. Periode pemanenan hasil tumbuhan
Faktor ini merupakan dimensi waktu dari proses kehidupan tumbuhan
terutama metabolisme sehingga menentukan senyawa kandungan.
Kapan senyawa kandungan mencapai kadar optimal dari proses
biosintesis dan sebaliknya kapan senyawa tersebut dikonversi atau
dibiotransformasi ataupun dibiodegradasi menjadi senyawa lain.
Menurut Saifudin dkk (2011), pemanenan sebaiknya dilakukan pada
saat tanaman mengandung kadar metabolit tertinggi. Untuk itu perlu
diperhatikan musim panen, kematangan organ terpilih dan siklus
biosintesis harian. Hal itu perlu didasarkan pada penelitian ilmiah
terkait, setidaknya dengan penelusuran pustaka yang relevan.
d. Penyimpanan bahan tumbuhan
Merupakan faktor eksternal yang dapat diatur karena dapat berpengaruh
pada stabilitas bahan serta adanya kontaminasi (biotik dan abiotik).
Menurut Saifudin dkk (2011), penyimpanan yang baik adalah
penyimpanan yang menghindarkan dari kontaminasi dan menjaga
stabilitas ekstrak serta metabolit yang dikandung. Keberadaan lembab

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

19

menyebabkan uap air terabsorpsi ke dalam ekstrak sehingga kadar air


meningkat. Penyimpanan didalam ruang berpengatur udara sangatlah
direkomendasikan. Penyimpanan ekstrak di dalam pendingin atau
freezer bersuhu 0oC tidak direkomendasikan karena menyebabkan
pembacaan coliform positif bahkan cukup tinggi hingga ekstrak tidak
memenuhi syarat terkait kadar bakteri coliform. Penyimpanan ekstrak
pada kotak dengan dasar dilapisi kapur tohor cukup baik mencegah
pertumbuhan kapang dan bakteri. Namun demikian umumnya tanaman
yang mengandung minyak atsiri ekstraknya cukup resisten terhadap
pertumbuhan mikroba selama lebih dari 0,5-1 tahun apalagi dengan
ruang berpengatur udara.
e. Umur tumbuhan dan bagian yang digunakan
2. Faktor kimia
Mutu ekstrak dipengaruhi oleh bahan asal yaitu tumbuhan obatnya,
khususnya dipandang dari segi kandungan kimianya. Faktor kimia, baik
untuk bahan dari tumbuhan obat hasil budidaya (kultivar) ataupun dari
tumbuhan liar (wild crop), meliputi beberapa hal yaitu (Anonim, 2000) :
a. Faktor internal
1) Jenis senyawa aktif dalam bahan
2) Komposisi kualitatif senyawa aktif
3) Komposisi kuantitatif senyawa aktif
4) Kadar total rata-rata senyawa aktif
b. Faktor eksternal
1) Metode ekstraksi
2) Perbandingan ukuran alat ekstraksi (diameter dan tinggi alat)
3) Ukuran, kekerasan dan kekeringan bahan
4) Pelarut yang digunakan dalam ekstraksi
5) Kandungan logam berat
6) Kandungan pestisida

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

20

2.5

EKSTRAKSI
Pengambilan bahan aktif dari suatu tumbuhan, dapat dilakukan dengan

cara ekstraksi. Pengertian ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia


yang dapat larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut. Pengetahuan
mengenai golongan senyawa aktif yang dikandung dalam simplisia akan
mempermudah proses pemilihan pelarutan dan cara ekstraksi yang tepat (Anonim,
2000). Prinsip ekstraksi adalah melarutkan senyawa polar dalam pelarut polar dan
senyawa non polar dalam senyawa non polar. Metode ekstraksi dipilih
berdasarkan beberapa faktor seperti sifat dari bahan mentah obat, daya
penyesuaian dengan tiap macam metode ekstraksi, dan kepentingan dalam
memperoleh ekstrak yang sempurna atau mendekati sempurna (Ansel, 1989).

2.5.1 Proses Pembuatan Ekstrak


2.5.1.1 Pembuatan serbuk simplisia (Anonim, 2000)
Proses awal pembuatan ekstrak adalah tahapan pembuatan serbuk
simplisia kering (penyerbukan). Dari simplisia dibuat serbuk simplisia dengan
peralatan tertentu sampai derajat kehalusan tertentu. Proses ini dapat
mempengaruhi mutu ekstrak dengan dasar beberapa hal sebagai berikut :
1. Makin halus serbuk simplisia, proses ekstraksi makin efektif-efisien,
namun makin halus serbuk, maka makin rumit secara teknologi perlatan
untuk tahapan filtrasi.
2. Selama penggunaan peralatan penyerbukan dimana ada gerakan dan
interaksi dengan benda keras (logam dll) maka akan timbul panas (kalori)
yang dapat berpengaruh pada kandungan senyawa. Namun hal ini dapat
dikompensasi dengan penggunaan nitrogen cair.

2.5.1.2 Pelarut (Anonim, 2000)


Pelarut dalam proses pembuatan ekstrak adalah pelarut yang baik
(optimal) untuk senyawa kandungan yang berkhasiat atau yang aktif, dengan
demikian senyawa tersebut dapat terpisahkan dari bahan dan dari senyawa
kandungan lainnya, serta ekstrak hanya mengandung sebagian besar senyawa

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

21

kandungan yang diinginkan. Dalam hal ekstrak total, maka cairan pelarut yang
dipilih yang melarutkan hampir semua metabolit skunder yang terkandung.
Faktor utama untuk pertimbangan pada pemilihan pelarut adalah sebagai
berikut (Anonim, 2000) :
1. Selektivitas
2. Kemudahan bekerja dan proses dengan cairan tersebut
3. Ekonomis
4. Ramah lingkungan
5. Keamanan
Pada prinsipnya, Pelarut harus memenuhi syarat kefarmasian atau dalam
perdagangan dikenal dengan kelompok spesifikasi pharmaceutical grade.
Sampai saat ini berlaku bahwa pelarut yang diperbolehkan adalah air dan alkohol
(etanol) serta campurannya. Jenis pelarut seperti metanol dan lainnya (alkohol
turunannya), heksana dan lainnya (hidrokarbon aliphatik), toluen dan lainnya
(hidrokarbon aromatik), kloroform, aseton, umumnya digunakan sebagai pelarut
untuk tahap separasi dan tahap pemurnian (fraksinasi). Khusus metanol, dihindari
penggunaannya karena sifatnya yang toksik akut dan kronik. Namun demikian
jika dalam uji ada sisa pelarut dalam ekstrak menunjukkan negatif, maka metanol
sebenarnya pelarut yang lebih baik dari etanol (Anonim, 2000).

2.5.1.3 Pemekatan/penguapan (vaporasi dan evaporasi) (Anonim, 2000)


Pemekatan berarti peningkatan jumlah partial solute (senyawa terlarut)
secara penguapan pelarut tanpa sampai menjadi kondisi kering, ekstrak hanya
menjadi kental/pekat.

2.5.1.4 Pengeringan ekstrak (Anonim, 2000)


Pengeringan

berarti

menghilangkan

pelarut

dari

bahan

sehingga

menghasilkan serbuk, masa kering-rapuh, tergantung proses dan peralatan yang


digunakan. Ada berbagai proses pengeringan ekstrak yaitu :
1. Pengeringan Evaporasi
2. Pengeringan Vaporasi
3. Pengeringan Sublimasi

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

22

4. Pengeringan konveksi
5. Pengeringan Kontak
6. Pengeringan Radiasi
7. Pengeringan Dielektrik

2.5.1.5 Rendemen (Anonim, 2000)


Rendemen adalah perbandingan antara berat ekstrak yang diperoleh
dengan berat simplisia awal.

2.5.2 Metode Ekstraksi (Anonim, 2000)


Beberapa metode ekstraksi dengan menggunakan pelarut (Anonim, 2000)
yaitu:
1).

Cara dingin
a.

Maserasi

Maserasi ialah proses pengekstrakan simplisia dengan menggunakan


pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur
ruangan (kamar). Secara teknologi termasuk ekstraksi dengan prinsip metode
pencapaian konsentrasi pada keseimbangan. Maserasi kinetik berarti dilakukan
pengadukan yang kontinyu (terus-menerus). Remaserasi berarti dilakukan
pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan maserat pertama,
dan seterusnya.
b.

Perkolasi

Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai


sempurna (exhaustive extraction) yang umumnya dilakukan pada temperatur
ruangan. Proses ini terdiri dari tahapan pengembangan bahan, tahap maserasi
antara, tahap perkolasi sebenarnya (penetesan/penampungan ekstrak), terus
menerus sampai diperoleh ekstrak (perkolat) yang jumlahnya 1-5 kali bahan.
2).

Cara Panas
a. Refluks
Refluks merupakan ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik

didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan
dengan adanya pendingin balik. Umumnya dilakukan pengulangan proses pada

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

23

residu pertama sampai 3-5 kali sehingga dapat termasuk proses ekstraksi
sempurna.
b. Sokletasi
Sokletasi ialah ekstraksi dengan menggunakan pelarut yang selalu baru
yang umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinyu
dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendinginan balik.
c. Digesti
Digesti merupakan maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinyu) pada
temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan (kamar), yaitu secara umum
dilakukan pada temperatur 40-50oC.
d. Infusa
Infusa adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas air
mendidih, temperatur terukur 96oC-98oC selama waktu tertentu (15-20 menit).
e. Dekok
Dekok adalah infus yang waktunya lebih lama (lebih dari 30 menit) dan
temperatur sampai titik didih air.

2.6

KROMATOGRAFI
Kromatografi adalah suatu prosedur pemisahan zat terlarut oleh suatu

proses migrasi diferensial dinamis dalam sistem yang terdiri dari dua fase atau
lebih, salah satu diantaranya bergerak secara berkesinambungan dalam arah
tertentu dan di dalamnya zat-zat itu menunjukkan perbedaan mobilitas disebabkan
adanya perbedaan dalam adsorpsi, partisi, kelarutan, tekanan uap, ukuran molekul
atau kerapatan muatan ion (Anonim, 1995).
Kromatografi dapat dibedakan atas berbagai macam tergantung pada
pengelompokannya. Berdasarkan mekanisme pemisahannya dibedakan menjadi
kromatografi adsorbsi, kromatografi partisi, kromatografi pasangan ion,
kromatografi penukar ion, kromatografi eksklusi ukuran, dan kromatografi
afinitas. Sedangkan berdasarkan pada alat yang digunakan, kromatografi dapat
dibagi menjadi kromatografi kertas, kromatografi lapis tipis, kromatografi cair
kinerja tinggi, dan kromatografi gas (Gandjar & Rohman, 2007). Pemisahan dan
pemurnian kandungan tumbuhan terutama dilakukan dengan mengunakan salah

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

24

satu atau gabungan dari beberapa teknik tersebut dan dapat digunakan pada skala
mikro maupun makro (Harbone, 1987).
Dalam

penggunaan

kromatografi

untuk

tujuan

kualitatif

dapat

mengungkapkan ada atau tidak adanya senyawa tertentu dalam cuplikan.


Sedangkan untuk tujuan kuantitatif dapat menunjukkan banyaknya masingmasing komponen campuran. Selain penggunaan kualitatif dan kuantitatif,
kromatografi dapat digunakan untuk tujuan preparatif yaitu untuk memperoleh
komponen campuran dalam jumlah memadai dalam keadaan murni. Selama
pemisahan kromatografi, solut individual akan membentuk profil konsentrasi
yanng simetris atau dikenal juga dengan profil Gaussian dalam arah aliran fase
gerak. Profil dikenal juga dengan puncak atau pita, secara perlahan-lahan akan
melebar dan sering juga membentuk profil yang asimetrik karena solut-solut
melanjutkan migrasinya ke fase diam (Gandjar & Rohman, 2007).

2.6.1 Kromatografi Lapis Tipis


Kromatografi lapis tipis (KLT) merupakan salah satu metode pilihan
kromatografi secara fisikokimia (Gandjar & Rohman, 2007). KLT merupakan
bentuk planar, selain kromatografi kertas dan elektroforesis. Pada KLT fase
diamnya berupa lapisan yang seragam pada permukaan bidang datar yang
didukung oleh lempeng kaca, pelat alumunium atau plat plastik. Meskipun
demikian, kromatografi planar ini merupakan bentuk terbuka dari kromatografi
kolom.
KLT dapat dipakai dengan dua tujuan. Pertama, dipakai untuk mencapai
hasul kualitatif, kuantitatif atau preparatif. Kedua dipakai untuk menjajaki sistem
pelarut dan sistem penyangga yang akan dipakai dalam kromatografi kolom.
Kromatografi lapis tipis (KLT) dapat digunakan untuk tujuan analitik dan
preparatif, KLT analitik digunakan untuk menganalisa senyawa-senyawa organik
dalam jumlah kecil, misalnya menentukan jumlah komponen dalam campuran dan
menentukan pelarut yang tepat untuk pemisahan dengan KLT preparatif.
Sedangkan KLT preparatif digunakan untuk memisahkan campuran senyawa dari
sampel dalam jumlah besar berdasarkan fraksinya, yang selanjutnya fraksi-fraksi

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

25

tersebut

dikumpulkan

dan

digunakan

untuk

analisa

berikutnya

(Townshend, 1995).
Plat KLT yang umum digunakan adalah plat KLT analitik dengan
ketebalan 0,1-0,2 nm dengan ukuran 20x20 cm yang dilapisi dengan adsorben
silika gel 60 F254 dengan ketebalan 0,2 mm. Plat kemudian ditempatkan ke dalam
bejana dengan fase gerak yang sesuai, dimana ketinggian fase gerak cukup untuk
membasahi bagian bawah plat dan tidak sampai membasahi dimana sampel
diaplikasikan. Fase gerak kemudian bermigrasi melewati adsorben dengan gaya
kaliper, dan proses ini dikenal sebagai pengembangan (Sarker, Latif, & Gray,
2006).
Jumlah volume fase gerak harus mampu mengelusi lempeng sampai
ketinggian lempeng yang telah ditentukan. Setelah lempeng terelusi, dilakukan
deteksi bercak. Laju pergerakan fase gerak terhadap fase diam dihitung sebagai
retardation factor (Rf). Nilai Rf diperoleh dengan membandingkan jarak yang
ditempuh oleh zat terlarut dengan jarak yang ditempuh oleh fase gerak (Gandjar &
Rohman, 2007). Fase gerak harus memiliki kemurnian yang tinggi. Hal ini
dikarenakan KLT merupakan teknik yang sensitif. Fase gerak yang digunakan
adalah pelarut organik yang memiliki tingkat polaritas tersendiri, melarutkan
senyawa contoh, dan tidak bereaksi dengan penjerap (Gocan, 2002). Adsorben
yang umumnya digunakan dalam KLT meliputi :
1. Silika Gel
Silika gel adalah yang paling banyak digunakan sebagai adsorben dan fase
stasioner yang dominan untuk KLT. Sebagian besar analisa dengan KLT
dilakukan dengan menggunakan fase normal lapisan silika gel.
Silika gel ini dapat digunakan sebagai fase polar maupun non polar. Untuk
fase polar, merupakan silika yang dibebaskan dari air dan bersifat sedikit asam.
Silika gel perlu ditambah gips (kalsium sulfat) untuk memperkuat pelapisannya
pada pendukung. Sebagai pendukung biasanya lapisan tipis digunakan kaca
dengan ukuran 20x20 cm, 10x20 cm, atau 5x10 cm. Pendukung yang lain berupa
lembaran alumunium atau plastik seperti ukuran diatas yang umumnya dibuat oleh
pabrik.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

26

Silika gel kadang-kadang ditambah senyawa fluoresensi, agar bila disinari


dengan sinar UV dapat berfluoresensi atau berpendar, sehingga dikenal sebagai
silika gel 60 F254 yang berarti silika gel untuk fase non polar terbuat dari silika
yang dilapisi dengan senyawa non polar misalnya, lemak, parafin, minyak silikon
raber gom, atau lilin, dengan fase gerak air yang bersifat polar dapat digunakan
sebagai eluen. Fase diam ini dapat memisahkan banyak senyawa namun elusinya
sangat lambat dan keterulangannya kurang bagus (Sumarno, 2001).
2. Alumina
Alumina ini bersifat sedikit basa, lebih jarang digunakan. Saat akan
digunakan harus diaktifkan kembali dengan pemanasan. Alumina yang digunakan
sebagai fase diam untuk KLT umunya yang bebas air, sehingga mempunyai
aktivitas penjerapan lebih tinggi (Sumarno, 2001).
3. Perlit Mineral
Perlit mineral adalah adsorben baru untuk KLT, yang dibuat dengan
mengkonversi SiO2 (70-75%) menjadi silikat yang larut dengan Na2CO3
(Gocan, 2002).
4. Kiselgur
Kiselgur ini sebenarnya merupakan asam silika yang berbentuk amorf,
berasal dari kerangka diatomae, maka lebih dikenal dengan nama tanah diatome,
kurang bersifat adsorptif dibanding silika (Sumarno, 2001).
5. Magnesium Silikat
Magnesium silikat hanya digunakan bila adsorben atau penjerap lain tidak
dapat digunakan. Nama lain dalam perdagangan dikenal floresil (Sumarno, 2001).
Floresil (magnesium silikat) adalah endapan silika dan magnesium. Sifat dan
aplikasi dari floresil pada KLT dan KCKT ditinjau dan dibandingkan dengan
adsorben lainnya (Gocan, 2002).
6. Selulosa
Selulosa mempunyai polaritas tinggi sehingga dapat digunakan sebagai
pemisahan secara partisi, baik dengan bentuk kertas maupun bentuk lempeng.
Kedua bentuk tersebut masih sering digunakan untuk pemisahan flavonoid.
Ukuran partikel yang digunakan kira-kira 50 m. Fase diam ini sekarang sudah
diganti dengan bubuk selulosa yang dapat dilapisi pada kaca seperti halnya fase

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

27

diam yang lain sehingga lebi efisien dan lebih banyak digunakan untuk
memisahkan senyawa-senyawa polar atau isomernya (Sumarno, 2001).
7. Resin
Resin berfungsi sebagai fase pada KLT penukar ion. Resin merupakan
polimer dari stirendifenil yang mengalami kopolimerisasi, bersifat non polar. Fase
diam ini sangat berguna untuk memisahkan senyawa berbobot molekul tinggi dan
bersifat amfoter seperti asam amino, protein, enzim, nukleotida. Sebagai fase
gerak digunakan larutan asam kuat atau basa kuat (Sumarno, 2001).

Gambar 3. Kromatografi Lapis Tipis


(Sumber : http://www.chemguide.co.uk/analysis/chromatography/thinlayer.html)
Harga Rf dapat dihitung dengan menggunakan perbandingan sebagaimana
persamaan berikut :

Harga maksimum Rf adalah 1, sampel bermigrasi dengan kecepatan sama


dengan fase gerak. Harga minimum Rf adalah 0, dan ini teramati jika sampel
tertahan pada posisi titik awal di permukaan fase diam (Gandjar & Rohman,
2007).
2.6.2 Kromatografi Gas Spektrometri Massa/Gas Chromatography Mass
Spectrometry
Kromatografi Gas (KG) merupakan metode yang dinamis untuk
pemisahan dan deteksi senyawa-senyawa yang mudah menguap dalam suatu

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

28

campuran. Kegunaan umum KG yaitu untuk melakukan pemisahan dinamis dan


identifikasi semua jenis senyawa organik yang mudah menguap dan juga untuk
melakukan analisis kualitatif dan kuantitatif senyawa dalam suatu campuran
(Gandjar & Rohman, 2007).
KG merupakan teknik pemisahan yang mana solut-solut yang mudah
menguap (dan stabil terhadap panas) bermigrasi melalui kolom yang mengandung
fase diam dengan suatu kecepatan yang bergantung pada rasio distribusinya. Pada
umumnya solut akan terelusi berdasarkan pada peningkatan titik didihnya, kecuali
jika ada interaksi khusus antara solut dengan fase diam. Pemisahan pada KG
didasarkan pada titik didih suatu senyawa dikurangi dengan semua interaksi yang
mungkin terjadi antara solut dengan fase diam. Fase gerak yang berupa gas akan
mengelusi solut dari ujung kolom lalu menghantarkannya ke detektor.
Penggunaan suhu yang meningkat (biasanya pada kisaran 50oC-350oC) bertujuan
untuk menjamin bahwa solut akan menguap dan karenanya akan cepat terelusi
(Gandjar & Rohman, 2007).
Komponen utama pada KG adalah kontrol dan penyedia gas pembawa,
ruang suntik sampel, kolom yang diletakkan pada oven yang dikontrol secara
termostatik, sistem deteksi dan pencatat (detektor dan recorder) serta komputer
yang dilengkapi dengan perangkat pengolah data (Gandjar & Rohman, 2007).
1. Fase gerak pada KG
Fase gerak ada KG disebut juga sebagai gas pembawa karena tujuan
awalnya adalah membawa solut ke kolom, karenanya gas pembawa tidak
berpengaruh pada selektifitas. Syarat gas pembawa yaitu tidak reaktif,
murni/kering karena kalau tidak murni akan berpengaruh pada detektor, dan dapat
disimpan dalam tangki tekanan tinggi.
Gas pembawa biasanya mengandung gas helium, nitrogen, hidrogen, atau
campuran argon dan metana. Pemilihan gas pembawa tergantung pada
penggunaan spesifik dan jenis detektor yang digunakan.
2. Ruang suntik sampel pada KG
Fungsi dari ruang suntik ini adalah untuk mengantarkan sampel ke dalam
aliran gas pembawa. Penyuntikan sampel dapat dilakukan secara manual atau
otomatis.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

29

Sampel yang akan dikromatografi dimasukkan ke dalam ruang suntik


melalui gerbang suntik yang biasanya berupa lubang yang ditutupi dengan septum
atau pemisah karet. Ruang suntik harus dipanaskan tersendiri (terpisah dari
kolom) dan biasanya 10 oC -15oC lebih tinggi daripada suhu kolom maksimum.
3. Kolom pada KG
Kolom merupakan tempat terjadinya proses pemisahan karena di dalamnya
terdapat fase diam. Oleh karena itu, kolom merupakan komponen sentral pada
KG. Jenis kolom pada KG yaitu kolom kemas (packing column) dan kolom
kapiler (capillary column).
Kolom kemas (packing column) terbuat dari gelas atau logam tahan karat
atau dari tembaga dan alumunium. Panjang jenis kolom ini adalah 1-5 meter
dengan diameter dalam 1-4 mm. Efisiensi kolom akan meningkat dengan semakin
bertambah halusnya partikel fase diam ini. ukuran partikel fase diam biasanya
berkisar antara 60-80 mesh (250-170 m)
Sedangkan kolom kapiler (capillary column) berbeda dengan kolom
kemas, dalam hal adanya rongga pada bagian dalam kolom yang menyerupai pipa
(tube). Oleh karena itu, sering disebut open tubular columns. Banyak macam
bahan kimia yang digunakan sebagai fase diam antara lain : squalen, dietilglikol
suksinat, OV-17 (phenyl methyl silicone oil). Semakin tipis lapisan penyalut
sebagai fase diam, maka semakin tinggi suhu operasionalnya.
4. Detektor pada KG
Detektor merupakan perangkat yang diletakkan pada ujung kolom tempat
keluar fase gerak (gas pembawa) yang membawa komponen hasil pemisahan.
Detektor pada kromatografi adalah suatu sensor elektronik yang berfungsi
mengubah sinyal gas pembawa dan komponen-komponen di dalamnya menjadi
sinyal elektronik. Sinyal elektronik detektor akan sangat berguna untuk analisis
kualitatif maupun kuantitatif terhadap komponen-komponen yang terpisah
diantara fase diam dan fase gerak.
Jenis-jenis detektor yang sering digunakan antara lain : detektor hantar
panas, detektor ionisasi nyala, detektor tangkap elektron, detektor nitrogen-fosfor,
detektor fotometri nyala, detektor konduktivitas elektrolitik, detektor foto-ionisasi,
dan detektor spektrofotometer massa.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

30

5. Komputer
KG modern menggunakan komputer yang dilengkapi dengan perangkat
lunaknya (software) untuk digitalisasi sinyal detektor dan mempunyai beberapa
fungsi antara lain :
a. Memfasilitasi setting parameter-parameter instrumen.
b. Menampilkan

kromatogram

dan

informasi-informasi

lain

dengan

menggunakan grafik berwarna.


c. Merekam data kalibrasi, retensi, serta perhitungan-perhitungan dengan
statistik.
d. Menyimpan data parameter analisis untuk analisis senyawa tertentu.
Spektrometri Massa adalah suatu instrumen yang dapat menyeleksi
molekul-molekul gas bermuatan berdasarkan massanya. Spektrum massa
diperoleh dengan dengan mengubah senyawa cuplikan menjadi ion-ion yang
bergerak cepat yang dipisahkan berdasarkan perbandingan massa terhadap muatan
(Fessenden & Fessenden, 1992).
Prinsip kerja KG-SM yaitu cuplikan disuntikkan ke dalam injektor. Aliran
gas dari gas pengangkut akan membawa cuplikan yang telah teruapkan masuk ke
dalam kolom. Kolom akan memisahkan komponen-komponen dari cuplikan.
Komponen-komponen tersebut akan terelusi sesuai dengan urutan semakin
membesarnya koefisien partisi, selanjutnya masuk ke dalam spektrometri massa.
Pada spektrometri massa komponen cuplikan ditembaki dengan berkas elektron
dan diubah menjadi ion-ion bermuatan positif yang bertenaga tinggi dan dapat
pecah

menjadi

ion-ion

yang

lebih

kecil.

Lepasnya

elektron

dari

molekul/komponen-komponen menghasilkan radikal kation. Ion-ion molekul, ionion pecahan, dan ion-ion radikal pecahan dipisahkan oleh ion pembelokan dalam
medan magnet yang berubah sesuai dengan massa dan muatannya. Perubahan
tersebut menimbulkan arus ion yang kemudian dicatat sebagai spektra massa
(Sastrohamidjojo, 1985).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

31

Gambar 4. Kromatografi Gas spektrofotometri massa


(sumber : http://prezi.com/j9bkyznkpt-w/gcms/)

2.6.3 High Performance Liquid Chromatography (HPLC)


HPLC digunakan untuk pemisahan sejumlah senyawa organik, anorganik
maupun senyawa biologis, analisis ketidakmurnian, analisis senyawa yang tidak
mudah menguap, penetuan molekul-molekul netral, ionik, maupun zwitter ion,
isolasi dan pemurnian senyawa, dll. HPLC metode yang tidak destruktif dan dapat
digunakan baik untuk analisis kualitatif maupun kuantitatif ( (Gandjar & Rohman,
2007).
Hampir semua jenis campuran solut dapat dipisahkan dengan HPLC
karena banyaknya fase diam yang tersedia dan selektifitas yang dapat ditingkatkan
dengan mengatur fase gerak. Pemisahan dapat dilakukan dengan fase normal atau
fase terbalik tergantung pada polaritas relatif fase diam dan fase gerak (Gandjar &
Rohman, 2007).
Komponen-komponen penting dalam HPLC yaitu :
a. Wadah fase gerak
b. Sistem penghantaran fase gerak
c. Injektor

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

32

d. Kolom
e. Detektor
f. Wadah penampungan buangan fase gerak
g. Tabung penghubung
h. Suatu komputer

Gambar 5. High Performance Liquid Chromatography


(sumber : http://pioneer.netserv.chula.ac.th/~skitipat/hplc/howto.html)

2.7

SPEKTROFOTOMETRI

2.7.1 Spektrofotometri UV-Vis


Spektrofotometri UV-Vis adalah alat yang digunakan untuk mengukur
serapan yang dihasilkan dari interaksi kimia antara radiasi elektromagnetik
dengan molekul atau atom dari suatu zat kimia pada daerah ultraviolet dan sinar
tampak.
Absorbsi cahaya UV-Vis mengakibatkan transisi elektronik, yaitu promosi
elektron-elektron dari orbital keadaan dasar yang berenergi rendah ke orbital
keadaan tereksitasi berenergi lebih tinggi. Energi yang terserap kemudian
terbuang sebagai cahaya atau tersalurkan dalam reaksi kimia. Absorbsi cahaya
tampak dan radiasi ultraviolet meningkatkan energi elektronik sebuah molekul,
artinya energi yang disumbangkan oleh foton-foton memungkinkan elektron-

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

33

eletron itu mengatasi kekangan inti dan pindah keluar ke orbital baru yag lebih
tinggi energinya. Semua molekul dapat menyerap radiasi dalam daerah UV-Vis
karena mereka mengandung elektron, baik sekutu maupun menyendiri, yang dapat
dieksitasi ke tingkat energi yang lebih tinggi (Day & Underwood, 1999).
Sumber lampu pada Spektrofotometer UV-Vis berdasarkan panjang
gelombang terbagi menjadi dua, yaitu lampu deuterium dan tungstent. Lampu
deuterium menghasilkan sinar 190-350 nm, sementara lampu tungsten digunakan
untuk daerah visibel (pada panjang gelombang antara 350-900 nm) (Gandjar &
Rohman, 2007).
Suatu spektrofotometri UV-Vis tersusun dari sumber spektrum tampak
yang kontinyu, monokromator, sel pengabsorbsi untuk larutan sampel atau blanko
dan suatu alat untuk mengukur perbedaan absorbsi antara sampel dan blangko
ataupun pembanding (Khopkar, 2003).

Gambar 6. Spektrofotometri UV-Vis


(sumber : Gandjar & Rohman,2007)
2.7.2 Spektrofotometri Serapan Atom
Spektroskopi serapan atom digunakan untuk analisis kuantitatif unsurunsur logam dalam jumlah sedikit (trace) dan sangat sedikit (ultratrace). Cara
analisis ini memberikan kadar total unsur logam dalam suatu sampel dan tidak
tergantung pada bentuk molekul dari logam dalam sampel tersebut. Cara ini cocok
untuk analisis sedikit logam karena mempunyai kepekaan yang tinggi (batas
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

34

deteksi kurang dari 1 ppm), pelaksanaannya relatif sederhana. Spektroskopi


serapan atom didasarkan pada penyerapan energi sinar oleh atom-atom netral, dan
sinar diserap biasanya sinar tampak atau ultraviolet. Perbedaan terletak pada
bentuk spektrum, cara pengerjaan sampel dan peralatannya

(Gandjar dan

Rohman, 2007).
Metode spektroskopi serapan atom mendasarkan pada prinsip absorbsi
cahaya oleh atom. Atom-atom akan menyerap cahaya pada panjang gelombang
tertentu, tergantung pada sifat unsurnya. Cahaya pada panjang gelombang tertentu
mempunyai cukup energi untuk mengubah tingkat elektronik suatu atom yang
mana transisi elektronik suatu atom bersifat spesifik. Dengan menyerap suatu
energi, maka atom akan memperoleh energi sehingga suatu atom pada keadaan
dasar dapat

ditingkatkan energinya ke tingkat

eksitasi (Gandjar dan

Rohman, 2007).
Keberhasilan analisis dengan spektroskopi serapan atom ini tergantung
pada proses eksitasi dan cara memperoleh garis resonansi yang tepat serta
temperatur nyala harus sangat tinggi (Gandjar dan Rohman, 2007). Pengukuran
dalam spektroskopi serapan atom ini didasarkan pada radiasi yang diserap oleh
atom yang tidak tereksitasi dalam bentuk uap (Hermanto, 2009).
Bagian-bagian dari instrumen spektrofotometri serapan atom diantarnya (Gandjar
& Rohman, 2007) :
1. Sumber sinar
Sumber sinar yang lazim dipakai adalah lampu katoda berongga (hollow
cathode lamp). Lampu ini terdiri dari atas tabung kaca tertutup yang mengandung
suatu katoda dan anoda. Katoda sendiri berbentuk silinder berongga yang terbuat
dari logam atau dilapisi dengan logam tertentu. Tabung logam ini diisi dengan gas
mulia (neon atau argon) dengan tekanan rendah (10-15 torr). Bila antara anoda
dan katoda diberi suatu selisih tegangan yang tinggi (600 volt), maka katoda akan
memancarkan berkas-berkas elektron yang bergerak menuju anoda yang mana
kecepatan dan energinya sangat tinggi. Elektron-elektron dengan energi tinggi ini
dalam perjalanannya menuju anoda akan bertabrakan dengan gas-gas mulia yang
diisikan. Akibat dari tabrakan-tabrakan ini membuat unsur-unsur gas mulia akan
kehilangan elektron dan menjadi ion bermuatan positif. Ion-ion gas mulia yang

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

35

bermuatan positif ini akan bergerak ke katoda yang mana pada katoda ini terdapat
unsur yang sesuai dengan unsur yang akan dianalisis. Atom-atom unsur dari
katoda ini kemudian akan mengalami eksitasi ke tingkat energi-energi elektron
yang lebih tinggi dan akan memancarkan spektrum pancaran dari unsur yang
sama dengan unsur yang akan dianalisis.
2. Nyala (Flame)
Nyala digunakan untuk mengubah sampel yang berupa padatan atau cairan
menjadi bentuk uap atomnya, dan juga berfungsi untuk atomisasi. Pada cara
spektrofotometri serapan atom, nyala ini berfungsi atom dari tingkat dasar ke
tingkat yang lebih tinggi. Sumber nyala yang paling banyak digunakan adalah
campuran asetilen sebagai bahan pembakar dan udara sebagai pengoksidasi.
3. Monokromator
Pada spektrofotometer serapan atom, monokromator dimaksudkan untuk
memisahkan dan memilih panjang gelombang yang digunakan dalam analisis. Di
samping sistem optik, dalam monokromator juga terdapat suatu alat yang
digunakan untuk memisahkan radiasi resonansi dan kontinyu yang disebut dengan
chopper (pemotong radiasi).
4. Detektor
Detektor digunakan untuk mengukur intensitas cahaya yang melalui
tempat

pengatoman.

Biasanya

digunakan

tabung

pengandaan

foton

(photomultiplier tube). Ada 2 cara yang dapat digunakan dalam sistem deteksi
yaitu (a) yang memberikan respon terhadap radiasi resonansi dan radiasi kontinyu
dan (b) yang hanya memberikan respon terhadap radiasi resonansi.
5. Readout
Readout merupakan suatu alat penunjuk atau dapat juga diartikan sebagai
sistem pencatatan hasil. Pencatatan hasil dilakukan dengan suatu alat yang telah
terkalibrasi untuk pembacaan suatu transmisi atau absorbsi. Hasil pembacaan
dapat berupa angka atau berupa kurva dari suatu recorder yang menggambarkan
absorbansi atau intensitas emisi.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

36

Gambar 7. Spektrofotometri Serapan Atom


(sumber : Gandjar & Rohman,2007)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

37

BAB III
METODE PENELITIAN

3.1

TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN


Penelitian dilaksanakan dari bulan Januari hingga bulan Juli 2014 di

Laboratorium Bahan Alam, Pusat Penelitian KimiaLembaga Ilmu Pengetahuan


Indonesia (LIPI), Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, serpong.

3.2

BAHAN DAN ALAT

3.2.1 Bahan Uji


Bahan uji yang digunakan adalah

bagian daun dari tanaman Salam

(Syzygium polyanthum ) yang diperoleh dari tiga daerah tempat tumbuh yaitu :
Ogan Komering Ulu (OKU) Timur (Desa Nusa Tunggal Kec. Belitang III Kab.
OKU Timur Provinsi Sumatera Selatan) sebanyak 1.613,6 gram, Sukoharjo
(Tegalmiri RT 02/05, Puhgogor, Bendosari, Sukoharjo) sebanyak 1.893,3 gram,
dan

Tangerang Selatan (kawasan Puspiptek, jalan Raya Puspiptek Serpong,

Tangerang Selatan, Banten) sebanyak 3.158,8 gram.


3.2.2 Bahan Kimia
Bahan-bahan kimia yang digunakan dalam penelitian ini adalah : etanol
70 %, kloroform LP, aquadest, etanol 95 %, metanol, n-heksan, etil asetat, H2SO4
2 N, pereaksi Meyer, pereaksi Dragendorf, serbuk Mg, HCl pekat, FeCl3 1 %,
NaOH 1 N, eter, pereaksi Lieberman-Buchard, HCl 4 N, AlCl3 10%, Na asetat 1
M, kuersetin (sigma), HNO3 pekat, HNO3 pekat, dan HClO4.

3.2.3 Alat
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah timbangan analitik
(mettler toledo AB 204-s/FOC), labu erlenmeyer, cawan penguap, kertas saring,
tabung reaksi, pipet tetes, oven, piknometer, labu ukur, plat KLT, hot plate,
desikator, gelas kimia, gelas ukur, corong, spatula, batang pengaduk, mikropipet,
kertas saring, kertas saring bebas abu, botol timbang, krus silikat, waterbath,
magnetic stirrer, Pilot plant (Buchi glassuster), Rotary evaporator (Buchi), oven
(XMT-152A), plat KLT, Furnace (Sibata SMS-160), Atomic Absorpsion

37

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

38

Spectrophotometer (AAS) (AA Shimadzu-6300), Spectrophotometer UV-Vis


(Mecasys), High Performance Liquid Chromatography (HPLC) (Shimadzu10AVP), dan Gas Chromatography-Mass Spectrometry (GCMS) (ShimadzuQP2010).

3.3

PROSEDUR KERJA

3.3.1 Pengambilan Sampel


Sampel daun salam yang digunakan diperoleh dari tiga daerah yang
berbeda yaitu Ogan Komering Ulu (OKU) Timur (Desa Nusa Tunggal Kec.
Belitang III Kab. OKU Timur Provinsi Sumatera Selatan), Sukoharjo (Tegalmiri
RT 02/05, Puhgogor, Bendosari, Sukoharjo), dan Tangerang Selatan (kawasan
Puspiptek, jalan Raya Puspiptek Serpong Tangerang Selatan, Banten).
Pengambilan sampel dilakukan pada pagi hari. Sampel yang diambil dalam
keadaan masih segar.

3.3.2 Determinasi Sampel


Determinasi sampel daun salam (Syzygium polyanthum Wight) dari ketiga
tempat tumbuh dilakukan di Herbarium Bogoriense, Pusat Penelitian BiologiLIPI, Bogor, Jawa Barat.

3.3.3 Penyiapan Simplisia


Simplisia yang telah didapat kemudian dipisahkan berdasarkan lokasi
pengambilan agar masing-masing simplisia tidak tercampur. Penyiapan simplisia
daun salam dilakukan dengan cara sortasi basah untuk memisahkan kotoran atau
bahan-bahan asing lainnya pada daun. Kemudian dilakukan pencucian dengan air
mengalir untuk menghilangkan tanah dan pengotor lainnya yang masih menempel
pada bahan yang sudah disortasi basah. Tahap selanjutnya adalah proses
pengeringan dengan cara dikering anginkan dan dilakukan sortasi kering.
Kemudian simplisia yang sudah benar-benar kering dilakukan penggilingan untuk
mendapatkan serbuk simplisia.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

39

3.3.4. Pengamatan Makroskopik


Pengamatan makroskopik meliputi uji fisik terhadap daun salam (Syzygium
Polyanthum) yang digunakan seperti bentuk daun, bau, rasa, dan warna daun.

3.3.5 Pembuatan Ekstrak


Masing-masing simplisia dimaserasi dengan cara mencampurkan 1kg
simplisia kering daun salam yang sudah dibuat serbuk dengan etanol 70%. Proses
maserasi dilakukan sampai hasil maserat mendekati tidak berwarna dan dilakukan
penyaringan setiap 24 jam. Maserat dikumpulkan lalu dikentalkan dengan
menggunakan rotary evaporator. Kemudian dihitung rendemen dari ekstrak
kental tersebut.

3.3.6 Penentuan Parameter-Parameter Standardisasi


3.3.6.1 Parameter spesifik
a. Identitas Ekstrak
Deskripsi tata nama meliputi : nama ekstrak, nama latin tumbuhan, bagian
tumbuhan yang digunakan, dan nama Indonesia tumbuhan (Anonim, 2000).
b. Organoleptik Ekstrak
Penentuan

organoleptik

ekstrak

dilakukan

dengan

menggunakan

pancaindra untuk mendeskripsikan bentuk, warna, bau, dan rasa. Tujuannya


untuk pengenalan awal yang sederhana seobyektif mungkin (Anonim, 2000).
c. Penentuan kadar senyawa terlarut dalam pelarut tertentu (Anonim, 2000)
Penentuan kadar senyawa terlarut dilakukan dengan cara melarutkan
ekstrak dengan pelarut (alkohol atau air) untuk ditentukan jumlah solut yang
identik dengan jumlah senyawa kandungan secara gravimetri. Dalam hal
tertentu dapat diukur senyawa terlarut dalam pelarut lain misalnya n-heksan,
diklorometan, metanol. Tujuannya untuk memberikan gambaran awal jumlah
senyawa kandungan.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

40

1.

Kadar senyawa yang larut dalam air


Sejumlah 1,0 g ekstrak dimasukkan ke dalam labu bersumbat dan
ditambahkan 25,0 mL air-kloroform LP (2,5 mL kloroform dimasukkan
dalam labu ukur 1000 mL dan ditambahkan air hingga tanda batas).
Kemudian didiamkan selama 24 jam sambil dikocok berkali-kali selama
6 jam pertama dan dibiarkan selama 18 jam lalu disaring. Sebanyak 5,0
mL filtrat diuapkan hingga kering dalam cawan dangkal berdasar rata
yang telah ditara. Lalu residu dipanaskan pada suhu 105oC hingga bobot
tetap. Kadar dalam persen senyawa yang larut air dihitung terhadap
ekstrak awal (Saifudin, Rahayu, & Teruna, 2011).

Keterangan : A1 = Bobot cawan + Residu setelah pemanasan (g)


A0 = Bobot cawan kosong (g)
B = Bobot sampel awal (g)
2.

Kadar senyawa larut dalam etanol


Sejumlah 1,0 g ekstrak dimasukkan ke dalam labu bersumbat dan
ditambahkan 25,0 mL etanol (96%). Kemudian didiamkan selama 24 jam
sambil dikocok berkali-kali selama 6 jam pertama dan dibiarkan selama
18 jam. Lalu disaring dengan cepat untuk menghindarkan penguapan
etanol. Sebanyak 5,0 mL filtrat diuapkan hingga kering dalam cawan
dangkal berdasar rata yang telah ditara. Residu dipanaskan pada suhu
105oC hingga bobot tetap. Kadar dalam persen senyawa yang larut etanol
(95%) dihitung terhadap ekstrak awal

Keterangan : A1 = Bobot cawan + Residu setelah pemanasan (g)


A0 = Bobot cawan kosong (g)
B = Bobot sampel awal (g)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

41

d. Identifikasi kandungan kimia ekstrak


1. Penapisan golongan kimia ekstrak
a) Uji terpenoid dan steroid
Ekstrak sebanyak 0,5 g dimasukkan dalam tabung reaksi dan
ditambahkan 1 mL kloroform dan disaring. Filtrat ditambahkan beberapa
tetes asam sulfat dan dikocok. Terbentuknya warna kuning emas
mengindikasi positif terpenoid (tes salkowski). Sedangkan untuk steroid,
setelah filtrat disaring dan ditambahkan asam sulfat maka akan terbentuk
cincin berwarna coklat (Lieberman-burchard) (Tiwari, et al, 2011).

b) Uji flavonoid
Ekstrak sebanyak 1 g ditambahkan serbuk Mg, lalu ditambahkan HCl
pekat. Apabila terbentuk warna orange, merah, atau kuning, berarti positif
flavonoid (Arifin, Anggraini, Handayani, & Rasyid, 2006)

c) Uji tanin
Sejumlah 1 g ekstrak ditambahkan 10 mL air dididihkan selama 15
menit. Filtratnya disaring dan direaksikan dengan FeCl3 1 %. Tanin positif
apabila terbentuk warna biru tua atau hitam kehijauan (Mutiatikum,
Alegantina, & Astuti, 2010).

d) Uji saponin
Sebanyak 0,5 gram serbuk dimasukkan dalam tabung pereaksi
ditambahkan 10 mL air panas dan didinginkan. Kemudian dikocok dengan
kuat selama 10 detik sehingga terbentuk buih yang mantap selama 10
menit setinggi 1 sampai 10 cm, dengan penambahan 1 tetes HCl 2 N buih
tidak hilang (Mutiatikum, Alegantina, & Astuti, 2010).

e) uji alkaloid
Sebanyak 5 gram serbuk ditambahkan 10 mL HCl 0,1 N lalu dimaserasi
selama 2 jam dan disaring. Kemudian sebanyak 1 mL filtrat ditambahkan 5
tetes pereaksi dragendorf sehingga terjadi endapan coklat kemerahan.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

42

Untuk memperjelas, sebanyak 1 mL filtrat ditambahkan 5 tetes pereaksi


meyer terbentuk endapan putih (Mutiatikum, Alegantina, & Astuti, 2010).
2. Pola kromatogram
Pada pengujian pola kromatogram ini menggunakan Kromatografi Lapis
Tipis. Prosedurnya yaitu dengan cara melarutkan sebanyak 5 mg ekstrak dari
ketiga sampel masing-masing dalam 1 mL metanol. Masing-masing larutan
uji kemudian ditotolkan pada plat KLT yang berupa silika gel sebagai fase
diam, lalu dielusi dengan fase gerak yang sesuai. Kemudian diamati
pemisahan senyawa di bawah sinar UV pada panjang gelombang 254 nm dan
365 nm. Untuk menampakkan bercak pada plat KLT, disemprotkan H2SO4
pada plat KLT (Saifudin, Rahayu, & Teruna, 2011).
Pada pengujian pola kromatogram menggunakan High Performance
Liquid Chromatography (HPLC), dilakukan dengan berbagai kombinasi fase
gerak air, metanol, dan asetonitril.

3. Penentuan Kadar Flavonoid Total


a. Pembuatan Standar
Sebanyak 10 mg Quersetin dilarutkan dalam etanol 80 % dan
dilarutkan menjadi 5, 10, 15, dan 20 g/mL. Larutan standar 0,5 mL pada
masing-masing konsentrasi dicampurkan dengan 1,5 mL etanol 95% lalu
ditambahkan 0,1 mL AlCl3 10%, 0,1 mL CH3COOK 1 M dan 2,8 mL
aquadest. Larutan diinkubasikan dalam suhu kamar selama 30 menit lalu
dibaca absorbansinya dengan spektrofotometer pada panjang gelombang
415 nm dan digunakan larutan tanpa Quersetin sebagai blanko.
b. Pengukuran Sampel
Sebanyak 0,1 gram ekstrak dilarutkan dalam 1 mL aquadest lalu
0,5 mL larutan sampel diambil dan dicampurkan dengan 1,5 mL alkohol
95% dan ditambahkan 0,1 mL AlCl3 10%, 0,1 mL CH3COOK 1 M, dan
2,8 mL aquadest lalu diinkubasikan dalam suhu kamar selama 30 menit.
Absorbansi dibaca dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 415
nm dan aquadest tanpa ekstrak digunakan sebagai blanko standar. Data

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

43

diekspresikan dalam milligram Quersetin Equivalent (QE/100 gram).


Pengujian ini dilakukan sebanyak 3 kali.

3.3.6.2 Parameter Non Spesifik


a. Parameter Susut Pengeringan
Ekstrak ditimbang sebanyak 1-2 g dan dimasukkan dalam botol timbang
dangkal bertutup yang sebelumnya telah dipanaskan pada suhu 105oC selama
30 menit dan telah ditara. Sebelum ditimbang, ekstrak diratakan dalam botol
timbang, dengan menggoyangkan botol hingga merupakan lapisan setebal
lebih kurang 5-10 mm. Kemudian dimasukkan dalam ruang pengering dengan
tutup botol dibuka. Dikeringkan pada suhu 105oC hingga bobot tetap. Lalu
botol dalam keadaan tertutup dibiarkan mendingin dalam desikator hingga
suhu kamar (Anonim, 2000). Kemudian bobot yang diperoleh dicatat.

Ket : A = Bobot sampel sebelum dipanaskan (g)


B = Bobot sampel setelah dipanaskan (g)

b. Parameter Bobot Jenis


Pada penetapan bobot jenis ini digunakan ekstrak dengan pengenceran 5
%. Penetapan bobot jenis menggunakan piknometer yang bersih dan kering
serta telah dikalibrasi dengan menetapkan bobot piknometer dan bobot air
yang baru dididihkan pada suhu 25oC. Suhu ekstrak cair diatur hingga lebih
kurang 20oC, lalu dimasukkan dalam piknometer. Suhu piknometer yang
telah diisi diatur hingga 25oC, kelebihan ekstrak cair dibuang dan piknometer
ditimbang. Bobot piknometer kosong dikurangkan dengan bobot piknometer
yang telah diisi. Bobot jenis ekstrak cair adalah hasil yang diperoleh dengan
membagi bobot ekstrak dengan bobot air, dalam piknometer pada suhu 25oC
(Anonim, 2000).
Bobot Jenis

x BJ Air

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

44

Ket : W0 = bobot piknometer kosong (g)


W1 = bobot piknometer + air (g)
W2 = bobot piknometer + ekstrak (g)
BJ Air = bobot jenis air (1)

c. Parameter Kadar Air


Sebanyak 10 g ekstrak dimasukkan dalam wadah yang telah ditara.
Kemudian dikeringkan pada suhu 105oC selama 5 jam lalu ditimbang.
Pengeringan dilanjutkan dan ditimbang pada jarak 1 jam sampai perbedaan
antara 2 penimbangan berturut-turut tidak lebih dari 0,25 % (Anonim, 2000).

Ket : A = Bobot sampel sebelum dipanaskan (g)


B = Bobot sampel setelah dipanaskan (g)

d. Parameter Kadar Abu


Lebih kurang 2-3 gr ekstrak digerus dan ditimbang dengan seksama, lalu
dimasukkan ke dalam krus silikat yang telah dipijarkan dan ditara, kemudian
diratakan. Dipijarkan perlahan-lahan hingga arang habis, lalu didinginkan dan
ditimbang. Jika cara ini arang tidak dapat dihilangkan, ditambahkan air panas
dan disaring melalui kertas saring bebas abu. Sisa kertas dan kertas saring
dipijarkan dalam krus yang sama. Filtrat dimasukkan dalam krus, lalu
diuapkan dan dipijarkan hingga bobot tetap. Kemudian ditimbang dan
dihitung kadar abu terhadap berat sampel awal.

Ket : A1 = Bobot krus + ekstrak setelah pemijaran (g)


A0 = Bobot krus kosong (g)
B = Bobot sampel awal (g)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

45

Untuk pengukuran kadar abu tidak larut asam, abu yang diperoleh pada
penetapan kadar abu dididihkan dengan 25 ml asam sulfat encer P selama 5
menit, dikumpulkan bagian yang tidak larut dalam asam disaring dengan
kertas saring bebas abu yang sebelumnya telah ditimbang. Lalu dicuci dengan
air panas dan dipijarkan hingga bobot tetap, kemudian ditimbang. Kemudian
dihitung kadar abu tidak larut asam terhadap berat sampel awal.

Ket : A1 = Bobot krus + ekstrak setelah pemijaran (g)


A0 = Bobot krus kosong (g)
B = Bobot sampel awal (g)
C = Bobot kertas saring bebas abu (g)
0,0076 = Bobot kertas saring bebas abu bila menjadi abu

e. Penetapan Sisa Pelarut


Penetapan sisa pelarut pada ekstrak menggunakan GCMS (Gas
Chromatography-Mass Spectrometry). Larutan baku yang digunakan yaitu
etanol mutlak. Larutan uji dibuat dengan menimbang ekstrak daun salam
sebanyak 10 mg lalu ditambahkan metanol hingga tanda batas pada labu ukur
100 mL. Larutan uji sebanyak 0,5 mL disuntikkan ke dalam kromatograf, lalu
diamati perbandingan respon puncak antara larutan baku dan larutan uji
dalam rekam kromatogram (Anonim, 2000).

f. Parameter Uji Cemaran Logam Berat


1. Pembuatan Kurva Kalibrasi
Pembuatan kurva baku diantaranya Pb, Cd, dan As. Larutan induk timbal
(Pb) 1000 ppm, dibuat stok larutan standar 10 ppm dengan cara mengambil
sebanyak 1 mL larutan induk 1000 ppm kemudian ditambahkan aquabidest
hingga 100 mL. Kemudian dibuat larutan seri kadar Pb 0,05; 0,10; 0,50; 1,00;
1,50; 2,00; 2,50 ppm. Lalu diukur absorbansinya dari larutan standar
diperoleh persamaan kurva baku y = a + bx dengan r mendekati 1.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

46

Larutan induk Cd 1000 ppm dibuat stok larutan standar 1000 ppb dengan
cara mengambil sebanyak 0,1 mL larutan induk 1000 ppm kemudian
ditambahkan aquabidest hingga 100 mL. Kemudian dibuat seri kadar Cd
0,0005; 0,001; 0,005; 0,01; 0,05; 0,1 ppm. Lalu diukur absorbansinya dari
larutan standar diperoleh persamaan kurva baku y = a + bx dengan r
mendekati 1.
Untuk kurva baku As dibuat dengan konsentrasi 0,5; 1,0; 5; 10; 50 ppb.
Lalu diukur absorbansinya dari larutan standar diperoleh persamaan kurva
baku y = a + bx dengan r mendekati 1.

2. Penetapan Kadar Logam Berat pada Ekstrak


Penetapan kadar logam berat (As, Pd, dan Cd) dilakukan dengan cara
digesti basah dengan menggunakan metode AAS. Sebanyak 1 gr ekstrak
ditimbang dan

ditambahkan 10 ml HNO3 pekat, setelah itu dipanaskan

dengan Heating mantel hingga kental atau kering. Setelah didinginkan,


ekstrak ditambahkan aquabidest 10 ml dan asam perkolat 5 ml. Kemudian
panaskan hingga kental dan disaring ke labu ukur 50 ml. Setelah itu
ditambahkan aquabidest hingga 50 ml. Lalu sampel diukur dengan AAS,
khusus arsen dengan tambahan alat HVG (Hydride Vapor Generator).
(Saifudin, Rahayu, & Teruna, 2011).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

47

BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1

HASIL PENELITIAN

4.1.1 Hasil Determinasi Sampel


Determinasi tanaman dilakukan di Herbarium Borgoriense, Pusat
Penelitian Biologi LIPI, Cibinong, Bogor, Jawa Barat. Hasil determinasi
menunjukkan bahwa sampel yang digunakan merupakan spesies Syzygium
polyanthum (Wight) Walp.

4.1.2

Pengamatan Makroskopik Daun Salam


Pengamatan makroskopik dilakukan dengan cara mengamati secara

langsung kondisi fisik sampel daun salam yang digunakan. Dari hasil pengamatan
didapatkan hasil sebagai berikut :
Tabel 4.1 Pengamatan makroskopik daun Salam

No
1

Pengujian Tangerang Selatan

Sukoharjo

OKU Timur

Bentuk

Helaian daun

Helaian daun

Helaian daun

daun

berbentuk lonjong

berbentuk lonjong

berbentuk lonjong

sampai bulat telur,

sampai bulat telur,

sampai bulat telur,

pangkal dan ujung

pangkal dan ujung

pangkal dan ujung

meruncing, tepi

meruncing, tepi

meruncing, tepi

rata, pertulangan

rata, pertulangan

rata, pertulangan

menyirip, dan

menyirip, dan

menyirip, dan

permukaan atas

permukaan atas

permukaan atas

licin.

licin.

licin.

Bau

Aromatik lemah.

Aromatik lemah.

Aromatik lemah.

Rasa

Rasa khelat.

Rasa khelat.

Rasa khelat.

Warna

Daun segar

Daun segar

Daun segar

daun

permukaan atas

permukaan atas

permukaan atas

berwarna hijau tua

berwarna hijau tua

berwarna hijau tua

dan permukaan

dan permukaan

dan permukaan

bawah berwarna

bawah berwarna

bawah berwarna

47

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

48

4.1.3

hijau muda.

hijau muda.

hijau muda.

Daun yang sudah

Daun yang sudah

Daun yang sudah

kering berwarna

kering berwarna

kering berwarna

kecoklatan.

kecoklatan.

kecoklatan.

Hasil Ekstraksi Daun Salam


Dari hasil maserasi simplisia daun salam dengan menggunakan pelarut

etanol 70% didapatkan hasil rendemen dari masing-masing sampel sebagai


berikut :
Tabel 4.2 hasil rendemen daun salam
No

Asal Tanaman

Berat simplisia

Berat ekstrak

Rendemen

yang diekstrak (g)

yang didapat (g)

(%)

Tangerang Selatan

3158,8

192,2

6,08

Sukoharjo

1893,3

156,1

8,24

OKU Timur

1613,6

249,8

15,48

Dilihat dari tabel di atas, ekstrak etanol 70 % daun salam yang berasal dari
OKU Timur mempunyai hasil rendemen paling besar yaitu sebesar 15,48 %
sedangkan ekstrak etanol 70 % daun salam yang berasal dari Sukoharjo sebesar
8,24 % dan dari Tangerang Selatan sebesar 6,08 %.

4.1.4

Parameter Spesifik
Adapun hasil-hasil pengujian parameter spesifik adalah sebagai berikut :

4.1.4.1 Identitas Ekstrak


Tabel 4.3 Identitas ekstrak
No

Identitas ekstrak

Tangerang

Sukoharjo

OKU Timur

Ekstrak daun

Ekstrak

Ekstrak daun

salam

daun salam

salam

Nama latin

Syzygium

Syzygium

Syzygium

tumbuhan

polyanthum

polyanthum

polyanthum

Selatan
1

Nama ekstrak

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

49

Bagian tumbuhan

Wight

Wight

Wight

Daun

Daun

Daun

Daun salam

Daun salam

Daun salam

yang digunakan
4

Nama Indonesia
tumbuhan

4.1.4.2 Organoleptik Ekstrak


Tabel 4.4 Organoleptik Ekstrak
No

Organoleptik

Tangerang

ekstrak

Selatan

Sukoharjo

OKU Timur

Bentuk

Ekstrak kering

Ekstrak kering

Ekstrak kering

Warna

Hitam

Hitam

Hitam

kecoklatan

kecoklatan

kecoklatan

Aromatik lemah

Aromatik lemah

Aromatik

Bau

lemah
4

Rasa

Pahit

Pahit

Pahit

4.1.4.3 Penetuan Kadar Senyawa Terlarut Dalam Pelarut Tertentu


Tabel 4.5 Kadar senyawa terlarut dalam pelarut tertentu
No

Asal Ekstrak

Kadar senyawa

Kadar senyawa

larut air

larut etanol

Tangerang Selatan

45,039 0,44

52,050 % 0,93

Sukoharjo

49,011 0,58

58,091 % 0,67

OKU Timur

31,167 0,76

38,545 % 0,58

Rentang Nilai

31,167 0,76 49,011 0,58

38,545% 0,5858,091% 0,67

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

50

4.1.4.4 Identifikasi Kandungan Kimia Ekstrak


Tabel 4.6 Identifikasi kandungan kimia ekstrak
Senyawa

Ekstrak daun salam


Tangerang Selatan

Sukoharjo

OKU timur

Flavonoid

Alkaloid

Tanin

Saponin

Steroid

Triterpenoid

4.1.4.5 Pola Kromatogram


Gambar 8. Hasil uji Kromatografi Lapis Tipis
UV 254 nm

UV 365 nm

Setelah disemprot H2SO4

Keterangan : T=Tangerang Selatan, S=Sukoharjo, O=OKU Timur. Menggunakan


pelarut n-heksan:etil asetat dengan perbandingan 4:6.

Tabel 4.7 Nilai Rf


Rf
Rf1
Rf2
Rf3
Rf4
Rf5
Rf6
Rf7

Tangerang Selatan
0,08
0,273
0,573
0,747
0,8
0,853
0,933

Sukoharjo
0,08
0,227
0,573
0,72
0,8
0,853
0,933

OKU Timur
0,08
0,267
0,72
0,8
0,853
0,933

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

51

Gambar 9. Hasil uji HPLC


Ekstrak daun Salam Tangerang Selatan

Ekstrak daun Salam Sukoharjo

Ekstrak Daun Salam OKU Timur

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

52

Tabel 4.8 Data Kromatogram HPLC


Daerah Asal
Ekstrak

Waktu Retensi
(menit)

Luas Area (%)

Tinggi Puncak
(%)

Tangerang
Selatan

2,25
12,37
13,30
14,03
16,78
20,84
40,00

3,63
21,11
14,46
34,66
13,38
3,04
3,25

2,98
18,49
21,68
31,32
10,37
5,48
3,02

Sukoharjo

12,57
13,19
15,41
16,71
18,95
21,89
39,64

15,29
11,28
30,41
7,62
7,58
2,94
20,54

12,64
11,44
28,97
8,58
7,47
4,40
21,67

OKU Timur

13,59
16,81
24,16
43,35

11,83
5,46
8,50
74,14

12,89
7,09
14,86
64,55

4.1.4.6 Kadar Total Flavonoid


Tabel 4.9 Kadar total flavonoid
Sampel

Kadar Total Flavonoid (%)

Tangerang selatan
Sukoharjo
OKU Timur

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

53

4.1.5

Parameter Non Spesifik


Tabel 4.10 Parameter non spesifik ekstrak etanol 70 % daun salam

Parameter

Tangerang
Selatan

Sukoharjo

OKU
Timur

Rentang Nilai

Syarat

Susut
pengeringan

8,420 %
0,30

9,824 %
0,27

12,624%
1,58

8,420 % 0,30 12,624%1,58

Bobot jenis

1,004 %
0,0012

1,002 %
0,0005

1,005 %
0,0016

1,002 % 0,0005
-1,005 % 0,0016

Kadar abu

14,438 %
0,41

9,615 %
0,50

7,242 %
0,54

7,242 % 0,5414,438 0,41

Kadar abu
tidak larut
asam

1,314 %
0,02

0,667 %
0,03

0,380 %
0.03

0,380 % 0,03 1,314%0,02

Kadar air

Sisa pelarut
(menggunakan
GCMS)

7,298 %
0,18

7,087 %
0,13

4,999 %
0.24

4,999 % 0.24
7,298 % 0,18

<10 %

Cemaran
logam Pb

60,18
g/gram

Tidak
terdeteksi

95,43
g/gram

Tidak terdeteksi 95,43 g/gram

10
mg/kg

Cemaran
logam Cd

8,62
g/gram

4,42
g/gram

4,61
g/gram

4,42 g/gram 8,62 g/gram

0,3
mg/kg

Cemaran
logam As

<0,005
g/g

<0,005 g/g <0,005


g/g

<0,005 g/g

5 g/kg

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

54

Gambar 10. Hasil Uji GCMS


Etanol

Tangerang Selatan

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

55

Sukoharjo

OKU Timur

4.2

PEMBAHASAN
Penelitian karakterisasi ekstrak etanol daun salam (Syzygium polyanthum

Wight) dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui beberapa parameter spesifik


dan non spesifik dari daun salam. Penelitian ini juga mendukung penelitian di
Pusat Penelitian Kimia Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang
menguji aktivitas ekstrak etanol daun salam sebagai Antiviral Dengue.
Pada penelitian ini, ada tiga sampel daun salam yang diambil dari tiga
daerah berbeda di indonesia yaitu Tangerang Selatan, Sukoharjo dan OKU Timur.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

56

Dari hasil determinasi yang dilakukan di Herbarium Borgoriense, Pusat Penelitian


Biologi LIPI, Cibinong, Bogor, Jawa Barat menunjukkan didapatkan hasil bahwa
sampel yang digunakan merupakan spesies Syzygium polyanthum (Wight) Walp.
Selanjutnya dilakukan pengamatan makroskopik yang bertujuan untuk
mengetahui ciri-ciri fisik dari daun salam. Pengamatan ini dilakukan dengan cara
mengamati secara langsung kondisi fisik dari daun salam (Syzygium polyanthum
Wight) segar. Hasil pengamatan makroskopik daun salam dapat dilihat pada tabel
4.1.
Sampel daun Salam yang telah didapatkan dari tiga daerah berbeda
tersebut kemudian dilakukan preparasi simplisia. Tahap pertama dilakukan sortasi
basah untuk memisahkan kotoran atau bahan-bahan asing lainnya pada daun.
Kemudian dilakukan pencucian dengan air mengalir untuk menghilangkan tanah
dan pengotor lainnya yang masih menempel pada bahan yang sudah disortasi
basah. Tahap selanjutnya adalah proses pengeringan dengan cara dikering
anginkan. Sampel dari Tangerang Selatan dikeringkan selama 6 hari, sampel daun
Salam Sukoharjo dikeringkan selama 7 hari, dan sampel daun Salam OKU Timur
dikeringkan selama 6 hari. Sampel dinyatakan kering ketika sampel tersebut dapat
di remas. Selanjutnya dilakukan sortasi kering. Kemudian simplisia yang sudah
benar-benar kering dilakukan penggilingan untuk mendapatkan serbuk simplisia.
Berat masing-masing simplisia dapat dilihat pada tabel 4.3.
Selanjutnya serbuk simplisia daun Salam diekstraksi dengan metode
maserasi dengan menggunakan pelarut etanol 70%. Penggunaan etanol sebagai
pelarut adalah karena etanol mempunyai kemampuan penyari dengan polaritas
yang lebar, mulai dari senyawa non polar sampai dengan polar (Saifudin, Rahayu,
& Teruna, 2011). Proses maserasi ini dilakukan sampai hasil maserat mendekati
tidak berwarna dan dilakukan penyaringan setiap 24 jam. Maserat dikumpulkan
lalu dikentalkan menggunakan rotary evaporator dengan suhu 50oC.
Setelah didapatkan ekstrak kental, selanjutnya dapat dihitung rendemen
dari masing-masing ekstrak. Tujuan dari penghitungan rendemen ini adalah untuk
mengetahui persentase perolehan hasil ekstrak sehingga nantinya dapat diketahui
jumlah simplisia yang dibutuhkan untuk membuat sejumlah ekstrak kental
tertentu. Dilihat dari tabel 4.3, perolehan rendemen dari ekstrak daun Salam OKU

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

57

Timur paling besar yaitu 15,48 %, sedangkan dari Sukoharjo 8,24 %, dan dari
Tangerang Selatan 6,08 %. Adanya variasi persentase rendemen ini kemungkinan
disebabkan karena musim, umur tanaman, dan perbedaan lokasi tumbuh dari
masing-masing sampel.
Ekstrak yang didapatkan dari masing-masing simplisia kemudian
dilakukan pengujian parameter spesifik dan parameter non spesifik. Parameter
spesifik meliputi identitas, organoleptik, senyawa terlarut dalam pelarut tertentu,
identifikasi kandungan kimia ekstrak, dan profil kromatogram. Sedangkan untuk
parameter non spesifik meliputi susut pengeringan, bobot jenis, kadar air, kadar
abu, penetapan sisa pelarut, dan cemaran logam.
Parameter spesifik untuk identitas ekstrak yaitu ekstrak daun Salam
dengan nama latin Syzygium polyanthum Wight. Bagian tumbuhan yang
digunakan yaitu daunnya. Untuk organoleptiknya berupa ekstrak kering dengan
warna hitam kecoklatan, berbau aromatik lemah, rasa pahit. Tujuannya untuk
pengenalan awal yang sederhana terhadap sampel dengan menggunakan panca
indra dengan cara seobyektif mungkin (Anonim, 2000)
Penentuan kadar senyawa terlarut menggunakan pelarut air dan juga
pelarut etanol. Hasil dari penentuan kadar senyawa terlarut air yaitu Tangerang
Selatan (45,039 % 0,44), Sukoharjo (49,011 % 0,58), dan OKU Timur
(31,167 % 0,76). Untuk hasil senyawa terlarut etanol yaitu Tangerang Selatan
(52,050 % 0,93), Sukoharjo (58,091 % 0,67), dan OKU Timur (38,545 %
0,58). Hal ini menunjukkan bahwa ketiga ekstrak etanol daun Salam lebih larut
dalam etanol. Penetapan kadar senyawa terlarut ini tidak terkait efek
farmakologis, namun menjadi perkiraan kasar senyawa-senyawa yang bersifat
polar (larut air) dan senyawa yang bersifat semi-nonpolar (larut etanol) (Saifudin,
Rahayu, & Teruna, 2011).
Parameter spesifik selanjutnya yaitu identifikasi golongan senyawa kimia
yang terkandung dalam ekstrak etanol daun Salam. Identifikasi ini meliputi
penentuan pola Kromatogram, penapisan fitokimia dan penentuan kadar senyawa
tertentu. Pada penentuan pola kromatogram dilakukan dengan menggunakan
Kromatografi Lapis Tipis (KLT) dan High Performance Liquid Chromatography
(HPLC). Pada penentuan pola kromatogram menggunakan KLT dilakukan dengan

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

58

menggunakan berbagai perbandingan fase gerak. Fase gerak yang digunakan yaitu
n-heksan (nonpolar) dan etil asetat (semipolar). Perbandingan fase gerak antara nheksan dengan etil asetat yang digunakan yaitu heksan 100%, 7:3, 1:1, 3:7, 4:6
dan etil asetat 100 %. Dari perbandingan tersebut pola pemisahan senyawa yang
baik ditunjukkan pada perbandingan 4:6. Bercak belum terlihat jelas setelah
sampel ditotolkan pada plat KLT. Kemudian ketika di UV 245 nm, ada 3 bercak
yang terlihat jelas pada masing-masing ekstrak. Pada UV 365 nm terlihat bercak
yang berfluoresensi. Setelah di semprot dengan H2SO4, pada ekstrak daun Salam
Tangerang Selatan terdapat 7 bercak yang terlihat jelas. Bercak tersebut
mempunyai nilai Rf 0,08, 0,273, 0,573, 0,747, 0,8, 0,853, dan 0,933. Ekstrak daun
Salam Sukoharjo mempunyai 7 bercak yang mempunyai nilai Rf 0,08, 0,227,
0,573, 0,72, 0,8, 0,853, dan 0,933. Sedangkan pada OKU Timur muncul 6 bercak
yang mempunyai nilai Rf 0,08, 0,267, 0,72, 0,8, 0,853, dan 0,933. Bercak
berwarna orange-kekuningan setelah di semprot H2SO4 pada Rf 0,747 untuk
ekstrak dari Tangerang Selatan dan Rf 0,72 untuk ekstrak dari Sukoharjo dan
OKU Timur. Bercak berwarna hijau muncul pada Rf 0,8 dan bercak berwarna
merah muda pada Rf 0,853 untuk masing-masing ekstrak. Pada Rf 0,933 muncul
bercak berwarna kuning pada masing-masing ekstrak.
.

Untuk pola kromatogram menggunakan HPLC dengan perbandingan fase

gerak air : metanol (8:2). Pada ekstrak Tangerang Selatan terbentuk peak pada
waktu retensi 2,25, 12,38, 13,30, 14,03, 16,78, 20,84, dan 40,00. sedangkan
ekstrak Sukoharjo 12,57, 13,19, 15, 41, 16,71, 18,95, 21,89, dan 39,64. Untuk
ekstrak OKU Timur muncul peak pada waktu retensi 13,59, 16,80, 24,16, dan
43,35. Dari profil HPLC yang terlihat, peak-peak yang muncul memiliki waktu
retensi yang hampir sama. Namun, secara kuantitas peak yang muncul berbeda
pada setiap daerah. Hal ini kemungkinan dipengaruhi oleh faktor tempat tumbuh
dan penanganan pasca panen.
Pola kromatogram juga didapatkan pada penentuan sisa pelarut dengan
menggunakan GCMS. Dari data yang didapatkan, terdapat 3 senyawa yang sama
pada masing-masing sampel yaitu asam asetat, asam heksanoat, dan gliserol.
Asam asetat terdeteksi pada ekstrak asal Tangerang Selatan, Sukoharjo, dan OKU
Timur dengan waktu retensi masing-masing yaitu 2,86 (nilai kesamaan 96%),

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

59

2,95 (nilai kesamaan 95%), dan 2,78 (nilai kesamaan 94%) . Asam heksanoat
terdeteksi pada waktu retensi 5,65 (nilai kesamaan 80%) pada ekstrak asal
Tangerang Selatan, 5,67 (nilai kesamaan 90%) pada ekstrak asal Sukoharjo, dan
5,67 (nilai kesamaan 90%) pasa ekstrak asal OKU Timur. Untuk gliserol muncul
pada waktu retensi 6,70 (nilai kesamaan 91%) pada ekstrak asal Tangerang
Selatan, 6,45 (nilai kesamaan 92%) pada ekstrak asal Sukoharjo, dan 6,45 (nilai
kesamaan 91%) pada ekstrak asal OKU Timur.
Pada identifikasi ini dilakukan penapisan fitokimia terhadap masingmasing ekstrak etanol daun Salam. Dari hasil penapisan fitokimia ini diketahui
bahwa ekstrak etanol daun mengandung alkaloid, tanin, flavonoid, saponin, dan
terpenoid.
Pada uji alkaloid, masing-masing ekstrak diambil 5 g kemudian
ditambahkan 10 mL HCl 0,1 N lalu dimaserasi selama 2 jam dan disaring. Hal
ini dilakukan untuk menghilangkan protein. Adanya protein yang mengendap
pada penambahan pereaksi yang mengandung logam berat dapat memberikan
reaksi positif palsu pada beberapa senyawa. Penambahan pereaksi dragendorf
pada 1 mL masing-masing filtrat menghasilkan endapan coklat sehingga dapat
disimpulkan bahwa masing-masing ekstrak mengandung alkaloid. Untuk
memperjelas hasilnya, maka dilakukan penambahan pereaksi Meyer pada 1 mL
masing-masing filtrat dan terbentuk endapan putih. Hal ini karena nitrogen pada
alkaloid akan bereaksi dengan ion logam K+ dari kalium tetraiodomerkurat (II)
membentuk kompleks kalium-alkaloid yang mengendap.
Pada pengujian tanin, masing-masing sebanyak 1 g dari ketiga ekstrak
ditambahkan 10 mL air dan dididihkan selama 15 menit. Kemudian filtrat disaring
dan direaksikan dengan FeCl 1 %. Hasil yang diperoleh adalah ketiga sampel
membentuk warna biru tua kehitaman. Perubahan warna ini kemungkinan
disebabkan FeCl bereaksi dengan salah satu gugus hidroksil yang ada pada
senyawa tanin. Hasil reaksi itulah yang akhirnya menimbulkan warna. Hal ini
menunjukkan bahwa ketiga sampel positif mengandung tanin. Ketiga sampel
mempunyai intensitas warna yang sama.
Flavonoid merupakan senyawa yang larut dalam air dan senyawa aktifnya
dapat diekstraksi dengan etanol 70 % (Harbone, 1987). Pada pengujian ini, ketiga

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

60

sampel masing-masing ditambahkan serbuk Mg lalu ditambahkan HCl pekat.


Ketiga sampel menunjukkan adanya flavonoid dengan warna merah-orange.
Warna merah yang dihasilkan ini akibat dari reduksi oleh asam klorida pekat dan
magnesium (Sangi, Runtuwene, Simbala, & Makang, 2008). Intensitas warna
yang ditunjukkan masing-masing ekstrak berbeda-beda. Ekstrak daun Salam
Tangerang Selatan mempunyai intensitas yang paling tinggi dibanding ekstrak
Sukoharjo dan ekstrak OKU Timur.
Pada pengujian saponin, masing-masing ekstrak ditambahkan 10 mL air
panas dan kemudian didinginkan. Kemudian dikocok selama 10 detik dan
membentuk buih yang mantap selama 10 menit. Ketika ditambahkan HCl, buih
tidak hilang. Pada ekstrak OKU Timur buih yang terbentuk setinggi 2,1 cm,
ekstrak Tangerang Selatan setinggi 1,6 cm dan ekstrak Sukoharjo setinggi 1,2 cm.
Saponin pada umumnya berada dalam bentuk glikosida sehingga cenderung
bersifat polar (Harbone, 1987). Saponin adalah senyawa aktif permukaan yang
dapat menimbulkan busa jika dikocok dalam air. Hal tersebut terjadi karena
saponin memiliki gugus polar dan gugus nonpolar yang membentuk misel. Pada
struktur misel gugus polar akan menghadap ke luar dan gugus nonpolar
menghadap ke dalam. Keadaan inilah yang tampak seperti busa (Sangi,
Runtuwene, Simbala, & Makang, 2008).
Pada pengujian terpenoid dan steroid, masing-masing ekstrak dilarutkan
dalam kloroform dan kemudian disaring. Filtrat yang diperoleh dari ketiga sampel
kemudian dibagi menjadi 2. Filtrat pertama untuk masing-masing sampel
ditambahkan asam sulfat dan dikocok. Ketiga sampel berubah warna menjadi
kuning keemasan dengan intensitas yang sama. Hal ini menunjukkan bahwa
ketiga sampel mengandung terpenoid. Untuk filtrat yang kedua dari masingmasing sampel ditambahkan asam asetat anhidrat lalu dipanaskan dan kemudian
didinginkan. Setelah dingin, ditambahkan asam sulfat melalui pinggir tabung.
Hasil dari ketiga sampel tidak membentuk cincin yang berwarna coklat. Hal ini
menunjukkan bahwa sampel tidak mengandung steroid.
Pada penentuan kadar senyawa tertentu, dilakukan penentuan kadar
flavonoid total. Alat yang digunakan yaitu spektrofotometer UV-Vis. Standar yang
digunakan pada penetapan kadar flavonoid total ini adalah kuersetin. Kuersetin ini

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

61

digunakan karena sebagian besar tumbuhan yang mengandung flavonoid terdapat


kuersetin. Pada pembuatan kurva kalibrasi, kuersetin dibuat dalam 5 seri
konsentrasi yaitu 0 ppm, 5 ppm, 10 ppm, 15 ppm, dan 20 ppm. Selanjutnya
nantinya persamaan dari kurva kalibrasi yang didapat digunakan untuk
menghitung kadar flavonoid total ekstrak daun Salam. Dari hasil penetapan kadar
flavonoid total ini, ekstrak daun Salam Tangerang Selatan mempunyai kadar
flavonoid total paling tinggi yaitu 19,810 %, sedangkan ekstrak Sukoharjo 13,284
% dan ekstrak OKU Timur 15,915 %. Kadar flavonoid total yang bervariasi ini
kemungkinan disebabkan beberapa faktor diantaranya lokasi tempat tumbuh
tanaman, umur tanaman, dan perlakuan cara panen tanaman.
Selanjutnya uji yang dilakukan adalah penentuan parameter non spesifik.
parameter non spesifik yang pertama yaitu susut pengeringan. Susut pengeringan
bertujuan untuk memberikan batasan maksimal tentang besarnya senyawa yang
hilang pada proses pengeringan. Metode yang digunakan pada susut pengeringan
ini adalah metode gravimetri. Prinsipnya adalah mengeringkan ekstrak dalam
oven pada suhu 1050C sampai berat konstan. Susut pengeringan ini sering
diidentikkan dengan kadar air, namun bedanya jika kadar air hanya untuk
mengetahui batasan maksimal air dalam ekstrak sedangkan susut pengeringan
tidak hanya air, tetapi juga senyawa menguap lain yang hilang. Pada pengujian
susut pengeringan ketiga ekstrak daun Salam didapatkan hasil yaitu ekstrak daun
Salam Tangerang Selatan sebesar 8,420 % 0,30, Sukoharjo sebesar 9,824 %
0,22, dan OKU Timur sebesar 12,624 % 1,58. Ini menunjukkan bahwa rentang
senyawa yang hilang sebesar 8,420 % 0,30 - 12,624 % 1,58.
Penetapan kadar air dilakukan menggunakan metode gravimetri.
Prinsipnya adalah menguapkan air yang ada pada ekstrak dengan cara
memanaskan dalam oven dengan suhu 1050C selama 5 jam. Untuk hasil
penentuan kadar air pada ketiga ekstrak yaitu ekstrak Tangerang Selatan sebesar
7,298 % 0,18, ekstrak Sukoharjo sebesar 7,087 % 0,13, dan ekstrak OKU
Timur sebesar 4,999 % 0.24. Jadi rentang yang didapat yaitu sebesar 4,999 %
0.24 - 7,298 % 0,18. Kadar air ini tidak berpengaruh langsung ke efek
farmakologis, namun mempengaruhi keamanan dan kemurnian suatu bahan.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

62

Penetapan sisa pelarut (etanol) dalam ekstrak bertujuan untuk mengetahui


kadar pelarut yang masih tersisa dalam suatu ekstrak. Pada penetapan sisa pelarut
kali ini menggunakan Gas Chromatography Mass Spectrometry (GCMS).
Pembuatan larutan standar yaitu dengan melarutkan 10 L etanol dalam 5 mL air.
Selanjutnya diencerkan lagi sehingga konsentrasinya menjadi 4 x 10-4 %. Lalu
diambil 1 mL untuk disuntikkan ke GCMS. Setelah didapatkan hasil
kromatogram standar, kemudian dilanjutkan pada sampel dengan cara melarutkan
masing-masing ekstrak sebanyak 0,5 mg ke dalam 3 mL aquadest. Setelah larut
lalu sampel ekstrak disaring dan filtratnya diambil 1 mL untuk disuntikkan ke
GCMS. Hasil dari ketiga sampel menunjukkan bahwa tidak ada peak yang
menyatakan bahwa ada etanol dalam masing-masing sampel.
Penetapan kadar abu bertujuan untuk memberikan gambaran kandungan
mineral yang terkandung dalam ekstrak. Prinsipnya dengan memanaskan ekstrak
hingga senyawa organik dan turunannya terdestruksi dan menguap sampai hanya
tinggal unsur mineral dan anorganik saja. Pengujian ini menggunakan alat yaitu
tanur dengan cawan penguap untuk wadah ekstrak. Pada pengujian ekstrak daun
salam untuk masing-masing daerah diperlukan waktu sampai 5 jam untuk
mendapatkan abu yang sempurna. Hasil dari penetapan kadar abu menunjukkan
bahwa ekstrak dari Tangerang Selatan memiliki kadar abu paling besar yaitu
sebesar 14,438 % 0,41, sedangkan Sukoharjo sebesar 9,615 % 0,50, dan OKU
Timur sebesar 7,242 % 0,54. Untuk hasil kadar abu tidak larut asam, ekstrak
dari Tangerang Selatan memiliki kadar paling besar yaitu sebesar 1,314 % 0,02,
sedangkan ekstrak Sukoharjo sebesar 0,667 % 0,03, dan ekstrak OKU Timur
sebesar 0,380 % 0,03. Besarnya kadar abu total dalam ekstrak menunjukkan
bahwa ekstrak yang diperoleh dari proses maserasi banyak mengandung mineral,
sedangkan adanya kadar abu tidak larut asam menunjukkan bahwa adanya kotoran
atau pasir yang terikut.
Parameter bobot jenis ekstrak diukur dengan menggunakan piknometer.
Piknometer yang digunakan harus dipastikan kering dan bersih karena nantinya
akan berpengaruh pada bobot piknometer kosong jika ada pengotor pada
piknometer. Sebelumnya piknometer dikalibrasi dulu dengan aquadest pada suhu
250C. Kemudian dilakukan pengenceran ekstrak 5 %, lalu dilakukan penetapan

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

63

menggunakan piknometer. Hasil yang diperoleh dari penetapan bobot jenis ini
yaitu ekstrak Tangerang Selatan sebesar 1,004 g/mL 0,0012, Sukoharjo sebesar
1,002 g/mL 0,0005, dan OKU Timur sebesar 1,005 g/mL 0,0016.
Cemaran logam berat yang ditentukan yaitu logam Timbal (Pb), Cadmium
(Cd), dan Arsen (As). Penentuan cemaran logam berat ini menggunakan alat
AAS. Persyaratan yang telah ditetapkan dalam Monografi Ekstrak Tumbuhan
Obat Indonesia Volume II yaitu kadar logam Pb < 10 mg/kg, kadar logam Cd <
0,3 mg/kg, dan kadar logam As < 5 g/kg. Hasil dari pengukuran cemaran logam
Pb didapatkan hasil bahwa ekstrak sukoharjo tidak terdeteksi adanya logam Pb.
Sedangkan ekstrak tangerang selatan dan OKU Timur terdeteksi logam Pb yang
melebihi batas yang telah ditetapkan. Hasil pengukurannya yaitu ekstrak
Tangerang Selatan sebesar 60,81 g/gram, ekstrak Sukoharjo tidak terdeteksi, dan
ekstrak OKU Timur 95,43 g/gram. Adanya logam Pb yang berlebih ini
kemungkinan disebabkan karena daun salam yang diambil dari Tangerang Selatan
dan OKU Timur pohonnya tumbuh di dekat jalan, sehingga daun Salam dari
Tangerang Selatan dan OKU Timur terpapar oleh gas buang kendaraan.
Sedangkan hasil cemaran logam Cd yaitu ekstrak Tangerang Selatan sebesar 8,62
g/gram, ekstrak Sukoharjo sebesar 4,42 g/gram, dan ekstrak OKU Timur
sebesar 4,61 g/gram. Untuk logam As didapatkan hasil bahwa ketiga sampel
tidak terdeteksi adanya Arsen pada limit deteksi alat < 0,005 g/kg.
Logam-logam tersebut diketahui dapat terakumulasi di dalam tubuh suatu
organisme dan tetap tinggal dalam tubuh dalam jangka waktu yang lama sebagai
racun (Kristanto, 2002). Menurut Lu (2006) akumulasi timbal dalam tubuh
menimbulkan gejala keracunan pada setiap orang, antara lain sistem pernapasan,
darah, dan sistem saraf. Menurut Darmono (2008) kadmium dalam tubuh
terakumulasi pada hati dan ginjal terutama terikat sebagai metalotienin.
Kemungkinan besar pengaruh toksisitas Cd disebabkan oleh interaksi antara Cd
dan protein tersebut sehingga menimbulkan hambatan terhadap aktivitas kerja
enzim dalam tubuh

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

64

BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1

Kesimpulan
Dari hasil pengujian parameter ekstrak daun Salam, dapat disimpulkan

bahwa :
1. Sampel daun Salam yang digunakan pada penelitian ini berasal dari tiga
tempat tumbuh di Indonesia yaitu Tangerang Selatan, Sukoharjo dan OKU
Timur. Organoleptik ekstrak yaitu ekstrak kering, berwarna hitam
kecoklatan, berbau aromatik lemah, dan rasanya pahit. Kadar senyawa
terlarut dalam air 31,167 % 0,76 49,011 % 0,58 dan kadar senyawa
terlarut dalam etanol 38,545 % 0,58 58,091 % 0,68. Kandungan
kimia ekstrak daun Salam ini yaitu flavonoid, alkaloid, tanin, saponin, dan
triterpenoid.
2. Susut pengeringan yang diperoleh yaitu 8,420 % 0,30 12,624 %
1,58. Bobot jenis ekstrak sebesar 1,002 % 0,0005 1,005 % 0,0016.
Kadar air sebesar 4,999 % 0,24 7,298 % 0,18. Kadar abu total
sebesar 7.242 % 0,54 14,438 % 0,41, sedangkan kadar abu tidak
larut asam sebesar 0,380 % 0,03 1,314 % 0,02.
3. Cemaran logam Pb untuk ekstrak daun Salam Tangerang Selatan sebesar
60,18 g/g, ekstrak Sukoharjo tidak terdeteksi, dan ekstrak OKU Timur
sebesar 95,43 g/g. Cemaran logam Cd untuk ekstrak daun salam
Tangerang Selatan sebesar 8,62 g/g, ekstrak Sukoharjo 4,42 g/g, dan
ekstrak OKU Timur 4,61 g/g. Logam Pb dan Cd pada ekstrak daun salam
tersebut sangat tinggi, hanya pada ekstrak daun salam sukoharjo yang
tidak terdeteksi logam Pb. Menurut persyaratan, batas logam Pb yaitu 10
mg/kg dan Cd 0,3 mg/kg. Cemaran logam As untuk ketiga sampel yaitu
<0,005 g/g, sehingga memenuhi persyaratan yang ditentukan yaitu
sebesar 5 g/kg.

64

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

65

5.2

SARAN
Diperlukan penelitian lanjutan ekstrak etanol daun Salam sehingga

nantinya dapat dibuat formulasi sediaan yang sesuai untuk ekstrak etanol daun
Salam.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

66

DAFTAR PUSTAKA

Adrianto, A. W. (2012). Uji Daya Antibakteri Ekstrak Daun Salam (Eugenia


polyantha Wight) Dalam Pasta Gigi Terhadap Pertumbuhan Streptococcus
mutans. Jember: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Jember.
Anonim. (1995). Farmakope Indonesia. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik
Indonesia.
Anonim. (2000). Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat Jakarta:
Departemen Kesehatan RI.
Ansel, H. (1989). Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Terjemahan Farida Ibrahim.
Jakarta: Universitas Indonesia Press.
Arifin, H., Nelvi, A., Handayani, D., & Rasyid, R. (2006). Standarisasi Ekstrak
Etanol Daun Eugenia Cumini Merr. J. Sains Tek. Far. , hal. 88-93.
Chang, C. C., Yang, M. H., Wen, H. M., & Chern, J. C. (2002). Estimation of
Total Flavonoid Content in Propolis by Two Complementary Colorimetric
Methods. Journal of Food and Drug Analysis , Vol. 10, No. 3, Hal. 178-182.
Dalimartha, S. (2000). Atlas Tumbuhan Obat Indonesia (Ed. II ed.). Jakarta:
Trubus Agriwidya.
Day, R. A., & Underwood, A. L. (1999). Analisis Kimia Kuantitatif (Penerjemah
Aloysius Hadyana Pudjaatmaka, Ph. D). Jakarta: Erlangga.
Dharmayanti, S. E. (2000). Efektifitas Pemberian Propolis Lebah Dan Royal Jelly
Pada Abses Yang Disebabkan Saphylococcus aureus. Pusat Penelitian
Bogor: LIPI.
Enda, W. G. (2009). Uji Efek Antidiare Ekstrak Etanol Kulit Batang Salam
(Syzygium polyanthum (Wight) Walp.) Terhadap Mencit Jantan. Medan:
Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.
Fessenden, R. J., & Fessenden, J. S. (1992). Kimia Organik. Jakarta: Erlangga.
Fitri, A. (2007). Pengaruh Penambah Daun Salam (Eugenia polyantha Wight)
Terhadap Kualitas Mikrobiologis, Kualitas Organoleptis dan Daya Simpan
Telur Asin pada Suhu Kamar. Surakarta: Jurusan Mikrobiologi Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sebelas Maret.
Gandjar, I. G., & Rohman, A. (2007). Kimia Farmasi Analisis. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Ganiswara, T. (1995). Farmakologi dan Terapi. Jakarta: Departemen Farmakologi
dan Terapeutik FKUI.

66

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

67

Gocan, S. (2002). Stationary Phases for Thin Layer Chromatography. Journal of


Chromatographic Science , Vol. 40.
Har, L. W., & Ismail, I. S. (2012). Antioxidant Activity, Total Phenolic and Total
Flavonoids of Syzygium polyanthum (Wight) Walp Leaves. Int. J. Med.
Arom. Plants , Vol. 2, No. 2, Hal. 219-228.
Harbone, J. (1987). Metode Fitokimia : Penentuan Cara Modern Menganalisa
Tumbuhan. (K. Padmawinata, & I. Soediro, Penerj.) Bandung: ITB.
Hariyati, S. (2005). Standardisasi Ekstrak Tumbuhan Obat Indonesia, Salah Satu
Tahapan Penting dalam Pengembangan Obat Asli Indonesia. Info POM
Badan Pengawas Obat dan Makanan , Vol. 6 No. 4, hal 1-5.
Hermansyah. (2008). Isolasi dan karakterisasi Flavonoid Dari Daun Salam
(Polyanthi folium). Padang: Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam Universitas Andalas.
Krisyanella, Dachriyanus, & Marlina. (n.d.). Karakterisasi Simplisia dan Ekstrak
serta Isolasi Senyawa Aktif Antibakteri dari Daun Karamunting
(Rhodomyrtus tomentosa (W.Ait) Hassk). Pasca Sarjana Prodi Farmasi
Universitas Andalas .
Malik, A., & Ahmad, A. R. (2013). Antidiarrheal Acvity of Etanolic Extract of
Bay Leaves (Syzygium polyanthum [Wight.] Walp). International Research
Journal of Pharmacy, 106-108.
Muhtadi, Suhendi, A., W., N., & Sutrisna, E. (2012). Potensi Daun Salam
(Syzygium polyanthum Walp.) dan Biji Jinten Hitam (Nigella sativa Linn)
Sebagai Kandidat Obat Herbal Terstandar Asam Urat. Pharmacon , Vol. 13,
No. 1, Hal. 30-36.
Mutiatikum, D., Alegantina, S., & Astuti, Y. (2010). Standardisasi Simplisia dari
Buah Miana (Plectranthus seutellaroides (L) R.Bth) Yang Berasal dari 3
Tempat Tumbuh Menado, Kupang dan papua. Puslitbang Biomedis dan
Farmasi, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan , Vol. 38, No. 1,
hal. 1-16.
Noveriza, r., & Miftakhurohmah. (2010, Maret). Ekstrak Metanol Daun Salam
(Eugenia polyantha) dan Daun Jeruk Purut (Cytrus histrix) sebagai
Antijamur pada Pertumbuhan Fusarium oxysporum. JURNAL LITTRI VOL
16 NO. 1 , 6-11.
Pelezar W, C. E. (1988). Dasar-Dasar Mikrobiologi 2. Jakarta: UI Press.
Rambe, k. n., Pasaribu, a., & Nst, r. b. (2012). Uji Antibakteri Ekstrak Metanol
Daun Salam (Sygyzium pholyanthum). Jurnal Saintia Kimia , 1, Vol.1, No.
1.
Robinson, T. (1995). Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi. Bandung : ITB.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

68

Sabir, A. (2003). Pemanfaatan Flavonoid di Bidang Kedokteran Gigi. Surabaya:


Airlangga University Press.
Saifudin, A., Rahayu, V., & Teruna, H. Y. (2011). Standardisasi Bahan Obat
Alam. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Sangi, m., Runtuwene, m. R., Simbala, h. E., & Makang, v. M. (2008). Analisis
Fitokimia Tumbuhan Obat di Kabupaten Minahasa Utara. Chem. Prog. Vol.
1, No. 1 , 47-53.
Sarker, D. S., Latif, Z., & Gray, I. A. (2006). Natural Product Isolation (Second
Edition ed.). Totowa, New Jersey: Humana Press.
Sastrohamidjojo, H. (1985). Kromatografi (Vol. edisi pertama). Yogyakarta:
Liberty.
Soebowo. (1993). Imunologi Klinik. Bandung: Angkasa.
Studiawan, H., & Santosa, M. H. (2005). Uji Aktivitas Penurun Kadar Glukosa
Darah Ekstrak Daun Eugenia polyantha pada Mencit yang diinduksi
Aloksan. Media Kedokteran Hewan , Vol. 21, No. 2, Hal. 62-65.
Sumarno. (2001). Kromatografi Teori Dasar. Yogyakarta: Bagian Kimia Farmasi
Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada.
Tjitrosoepomo, G. (1988). Taksonomi Tumbuhan (Spermatophyta). Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
Townshend, A. (1995). Encyclopedia of Analytical Science, Vol. 2. London:
Academic Press Inc.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

69

LAMPIRAN 1
ALUR PENELITIAN
Daun salam (Syzygium polyanthum Wight) segar
Determinasi sampel di
Herbarium Bogoriense,
Bidang Botani Puslit LIPI,
Bogor

Uji makroskopik

Sortasi basah, pencucian,


pengeringan, sortasi kering,
dan penggilingan.

Ekstraksi (Maserasi dengan pelarut etanol 70% sampai mendekati tidak berwarna
Penyaringan
Ampas
Filtrat

Penguapan dengan Rotary evaporator

Ekstrak kental etanol

Rendemen

Uji parameter spesifik :

Uji parameter non spesifik :

1. Identitas
2. Organoleptik
3. Senyawa terlarut dalam pelarut
tertentu
4. Identifikasi kandungan kimia
ekstrak
5. Pola kromatogram

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Analisis data

Susut pengeringan
Bobot jenis
Kadar air
Kadar abu
Kadar abu tidak larut asam
Penetapan sisa pelarut
Cemaran logam berat

Analisis data

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

70

LAMPIRAN 2
HASIL DETERMINASI

Daun Salam Tangerang Selatan

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

71

Daun Salam Sukharjo dan OKU Timur

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

72

LAMPIRAN 3
RENDEMEN EKSTRAK

Tangerang Selatan
% Rendemen ekstrak =
=

x 100 %
x 100 %

= 6,08 %

Sukoharjo
% Rendemen ekstrak =
=

x 100 %
x 100 %

= 8,24 %

OKU Timur
% Rendemen ekstrak =
=

x 100 %
x 100 %

= 15,48 %

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

73

LAMPIRAN 4
PERHITUNGAN KADAR SENYAWA TERLARUT AIR

Tabel L.1 Senyawa terlarut air


No

Cawan

Cawan +

Bobot

Senyawa

Kosong/Ao

Ekstrak/A1

Ekstrak

Terlarut

(g)

(g)

Awal/B (g)

Air (%)

Rata-rata

Tangerang Selatan
1

34,0078

34,4662

1,0066

45,539

34,2198

34,6687

1,0014

44,827

49,3400

49,7897

1,0049

44,751

45,039%0,44

Sukoharjo
1

43,3478

43,8453

1,0058

49,463

38,6458

39,1398

1,0039

49,208

37,7095

38,1965

1,0070

48,361

49,011%0,58

OKU Timur
1

36,7663

37,0734

1,0028

30,624

34,8650

35,1878

1,0078

32,030

35,9413

36,2501

1,0011

30,846

31,167%0,76

Tangerang Selatan
1. % Kadar senyawa terlarut air

x 100 % = 45,539%

2. % Kadar senyawa terlarut air

x 100 % = 44,827%

3. % Kadar senyawa terlarut air

x 100 % = 44,751%

Sukoharjo
1. % Kadar senyawa terlarut air

x 100 % = 49,463%

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

74

2. % Kadar senyawa terlarut air

x 100 % = 49,208%

3. % Kadar senyawa terlarut air

x 100 % = 48,361%

OKU Timur
1. % Kadar senyawa terlarut air

x 100 % = 30,624%

2. % Kadar senyawa terlarut air

x 100 % = 32,030%

3. % Kadar senyawa terlarut air

x 100 % = 30,846%

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

75

LAMPIRAN 5
PERHITUNGAN KADAR SENYAWA TERLARUT ETANOL

No

Cawan

Tabel L.2 Senyawa terlarut etanol


Cawan +
Bobot
Senyawa

Kosong/Ao

Ekstrak/A1

Ekstrak

Terlarut

(g)

(g)

Awal/B (g)

Etanol

Rata-rata

Tangerang Selatan
1

48,7001

49,2283

1,0105

52,271 %

49,6599

50,1911

1,0051

52,850 %

36,1209

36,6458

1,0286

51,030 %

52,050 0.93

Sukoharjo
1

34,3224

34,9295

1,0325

58,799 %

34,3238

34,9081

1,0168

57,464 %

35,9616

36,5453

1,0062

58,010 %

58,091 0,67

OKU Timur
1

49,6601

50,0524

1,0008

39,199 %

48,5133

48,9000

1,0081

38,359 %

36,3799

36,7632

1,0066

38,079 %

38,545 0,58

Tangerang Selatan
1. % Kadar senyawa terlarut etanol

x 100 % = 52,271 %

2. % Kadar senyawa terlarut etanol

x 100 % = 52,850 %

3. % Kadar senyawa terlarut etanol

x 100 % = 51,030 %

Sukoharjo
1. % Kadar senyawa terlarut etanol

x 100 % = 58,799 %

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

76

2. % Kadar senyawa terlarut etanol

x 100 % = 57,464 %

3. % Kadar senyawa terlarut etanol

x 100 % = 58,010 %

OKU Timur
1. % Kadar senyawa terlarut etanol

x 100 % = 39,199 %

2. % Kadar senyawa terlarut etanol

x 100 % = 38,359 %

3. % Kadar senyawa terlarut etanol

x 100 % = 38,079 %

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

77

LAMPIRAN 6
PERHITUNGAN SUSUT PENGERINGAN
Tabel L.3 Susut pengeringan
No

Cawan

Cawan +

Bobot

Bobot

Susut

Kosong (g)

Ekstrak

Ekstrak

Ekstrak

Pengeringan

Setelah

Awal/ A (g)

Akhir/ B

(%)

Pemanasan

(g)

(g)
Tangerang Selatan

Rata-rata 8,420 0,30

38,8403

39,7613

1,0033

0,9210

8,203 %

40,4771

41,3999

1,0114

0,9228

8,760 %

38,8241

39,7447

1,0039

0,9206

8,298%

Sukoharjo

Rata-rata 9,824 0,27

40,9273

41,8314

1,0051

0,9041

10,049 %

37,3290

38,2358

1,0033

0,9068

9,618 %

39,3959

40,2999

1,0023

0,9040

9,807 %

OKU Timur

Rata-rata 12,624 1,58

37,2729

38,1624

1,0075

0,8895

11,712 %

39,1503

40,0361

1,0108

0,8858

12,366 %

38,8797

39,7738

1,0067

0,8941

11,185 %

Tangerang Selatan
1. % Susut pengeringan

x 100 % = 8,203 %

2. % Susut pengeringan

x 100 % = 8,760 %

3. % Susut pengeringan

x 100 % = 8,298%

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

78

Sukoharjo
1. % Susut pengeringan

x 100 % =10,049 %

2. % Susut pengeringan

x 100 % = 9,618 %

3. % Susut pengeringan

x 100 % = 9,807 %

OKU Timur
1. % Susut pengeringan

x 100 % = 11,712 %

2. % Susut pengeringan

x 100 % = 12,366 %

3. % Susut pengeringan

x 100 % = 11,185 %

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

79

LAMPIRAN 7
PERHITUNGAN BOBOT JENIS
No

Pikno

Tabel L.4 Bobot jenis


Pikno +
Pikno +
Bobot Jenis

kosong/ Ao

etanol +

(g)

ekstrak/A1 (g)

air/A2 (g)

Rata-rata

(g/mL)

Tangerang Selatan
1

17,6665

27,8688

27,8206

1,0047

1,004

17,6662

27,8757

27,8209

1,0053

0.0012

17,6664

27,8505

27,8202

1,0029

Sukoharjo
1

17,6666

27,8520

27,8201

1,0031

1,002

17,6662

27,8440

27,8198

1,0023

0.0005

17,6667

27,8430

27,8210

1,0022

OKU Timur
1

17,6664

27,8720

27,8204

1,0051

1,005

17,6665

27,8944

27,8208

1.0072

0,0016

17,6663

27,8619

27,8209

1.0040

Bobot Jenis

BJ Air

Tangerang Selatan
1. Bobot Jenis

x 1 = 1,0047 g/mL

2. Bobot Jenis

x 1 = 1,0053 g/mL

3. Bobot Jenis

x 1 = 1,0029 g/mL

Sukoharjo
1. Bobot Jenis

x 1 = 1,0031 g/mL

2. Bobot Jenis

x 1 = 1,0023 g/mL

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

80

3. Bobot Jenis

x 1 = 1,0022 g/mL

OKU Timur
1. Bobot Jenis

x 1 = 1,0051 g/mL

2. Bobot Jenis

x 1 = 1.0072 g/mL

3. Bobot Jenis

x 1 = 1.0040 g/mL

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

81

LAMPIRAN 8
PERHITUNGAN KADAR ABU

No

Cawan

Tabel L.5 Kadar abu


Cawan +
Bobot

kosong/ Ao

Abu

Ekstrak

(g)

Ekstrak/A1

awal/B (g)

Kadar Abu

Rata-rata

(g)
Tangerang Selatan
1

41,4335

41,7268

2,0014

14,438

40,4767

40,7708

2,0020

0,41

38,8888

39,1690

2,0059

Sukoharjo
1

39,0654

39,2697

2,0050

39,0033

39,1926

2,0149

37,2718

37,4587

2,0178

9,615 0,50

OKU Timur
1

49,2436

49,3769

2,0112

47,3640

47,5143

2,0093

56,9410

57,0940

2,0082

7,242 0,54

Tangerang Selatan
1. % Kadar Abu

x 100 % = 14,655 %

2. % Kadar Abu

x 100 % = 14,690 %

3. % Kadar Abu

x 100 % = 13,969 %

Sukoharjo
1. % Kadar Abu

x 100 % = 10,189 %

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

82

2. % Kadar Abu

x 100 % = 3,395 %

3. % Kadar Abu

x 100 % = 9,262 %

OKU Timur
1. % Kadar Abu

x 100 % = 6,628 %

2. % Kadar Abu

x 100 % = 7,480 %

3. % Kadar Abu

x 100 % = 7,619 %

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

83

LAMPIRAN 9
PERHITUNGAN KADAR ABU TIDAK LARUT ASAM

No

Cawan
kosong/ Ao
(g)

Tangerang Selatan
1
38,8766
2
39,1899
3
37,2711
Sukoharjo
1
39,0654
2
39,0033
3
37,2718
OKU Timur
1
49,2436
2
47,3640
3
56,9410

Tabel L.6 Kadar abu tidak larut asam


Cawan + Abu
Bobot
Bobot
Ekstrak/A1
Ekstrak
Kertas
(g)
awal/B (g) Saring/C(g)

38,9105
39,2244
37,3056

2,0014
2,0020
2,0059

39,0874
39,0243
37,2930

2,0050
2,0149
2,0178

49,2584
47,3801
56,9571

2,0112
2,0093
2,0082

Kadar Abu
tidak larut
asam

Rata-rata = 1,314 0,0220


1,0549
1,0184
1,0757
Rata-rata = 0,667 0,0348
1,0307
1,0656
1,0528
Rata-rata = 0,380 0.0315
1,0337
1,0445
1,0900

Tangerang Selatan
1. % Kadar Abu Tidak Larut Asam

100 % = 1,293 %
2. % Kadar Abu Tidak Larut Asam

100 % = 1,337 %
3. % Kadar Abu Tidak Larut Asam

100 % = 1,312 %

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

84

Sukoharjo
1. % Kadar Abu Tidak Larut Asam

100 % = 0,706 %
2. % Kadar Abu Tidak Larut Asam

100 % = 0,640 %
3. % Kadar Abu Tidak Larut Asam

100 % = 0,654 %
OKU Timur
1. % Kadar Abu Tidak Larut Asam

100 % = 0,345 %
2. % Kadar Abu Tidak Larut Asam

100 % = 0,460 %
3. % Kadar Abu Tidak Larut Asam

100 % = 0,389 %

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

85

LAMPIRAN 10
PERHITUNGAN KADAR AIR

Tabel L.7 Kadar air


Cawan
kosong
(g)

Cawan +
Ekstrak
No
setelah
pemanasan
(g)
Tangerang Selatan
1 56,9435
61,5970
2 47,3644
52,0156
3 49,2387
53,8964
Sukoharjo
1 38,8795
43,5342
2 39,1887
43,8418

Berat
Ekstrak
awal
(g)/A

Berat
Ekstrak
setelah
pemanasan
(g)/B

5,0091
5,0257
5,0270

4,6535
4,6512
4,6577

7,298
0,1807

5,0177
5,0022

4,6547
4,6531

7,087
0,1321

3 37,2734
OKU Timur
1 37,4560
2 39,0686
3 38,8267

41,9292

5,0089

4,6558

42,2266
43,8505
43,6132

5,0265
5,0432
5,0240

4,7706
4,7819
4,7865

Kadar Air

Rata-rata

4,999
0.2403

Tangeran Selatan
1. % Kadar Air

x 100 % = 7,099 %

2. % Kadar Air

x 100 % =7,451 %

3. % Kadar Air

x 100 % = 7,346 %

Sukoharjo
1. % Kadar Air

x 100 % = 7,234 %

2. % Kadar Air

x 100 % =6,978 %

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

86

3. % Kadar Air

x 100 % = 7,049 %

OKU Timur
1. % Kadar Air

x 100 % = 5,091 %

2. % Kadar Air

x 100 % = 5,181 %

3. % Kadar Air

x 100 % = 4,727 %

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

87

LAMPIRAN 11
PERHITUNGAN KADAR TOTAL FLAVONOID

Tabel L.8 Standar Kuersetin


No
1
2
3
4
5

Konsentrasi (ppm)
0
5
10
15
20

Absorbansi
0,005
0,060
0,119
0,159
0,195

Kurva Kalibrasi Kuersetin


0,250

y = 0,00958x + 0,0118

Absorbansi

0,200

R2 = 0,9944
0,150
0,100
0,050
0,000
0

10

15

20

25

Konsentrasi

Tabel L.9 Kadar total flavonoid


Sampel

Absorbansi

Absorbansi
rata-rata

Tangerang
selatan
Sukoharjo

0,206

0,194

0,200

Kons.
awal
(g/m
L)
1000

Kons.
akhir
(g/m
L)
100

Faktor
Pengenceran

0,133

0,143

0,138

1000

100

10

OKU
Timur

0,158

0,168

0,163

1000

100

10

Kadar Total
Flavonoid
(%)

10

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

88

Tangerang selatan

Sukoharjo

OKU Timur

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

89

LAMPIRAN 12
HASIL UJI CEMARAN LOGAM BERAT

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

90

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

91

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

92

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

93

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

94

LAMPIRAN 13
PERHITUNGAN CEMARAN LOGAM BERAT

a. Pb
Dari hasil pengukuran standar Timbal (Pb) didapatkan data sebagai
berikut :
Tabel L.10 standar logam Pb
No

Konsentrasi

Absorbansi

-0,0039

0,0534

10

0,1047

Kurva Kalibrasi Pb
0,12

Absorbansi

0,1
0,08

y = 0,0109x 0,0029
R2 = 0,9994

0,06
0,04
0,02
0
-0,02 0

10

12

Konsentrasi

Berdasarkan pengukuran pada masing-masing sampel, maka didapatkan


hasil sebagai berikut :
Tangerang Selatan
y = 0,0109x - 0,0029
0,0109 = 0,0109x - 0,0029
x = 0,0109 + 0,0029
0,0109
x = 1,2699

Kadar Logam =

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

95

=
= 60,18 g/gram = 60,18 ppm
Sukoharjo
Tidak terdeteksi
OKU Timur
y = 0,0109x - 0,0029
0,0194 = 0,0109x - 0,0029
x=
x = 2,0471

Kadar Logam =
=

= 95,43 g/gram = 95,43 ppm


b. Cd
Dari hasil pengukuran standar kadmium (Cd) didapatkan data sebagai
berikut :
Tabel L.11 standar logam Cd
No

Konsentrasi

Absorbansi

-0,0009

0,8856

10

1,7638

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

96

Kurva Kalibrasi Cd
2

y = 0,1764x + 0,0004
Absorbansi

1,5

R2 = 0,9999

1
0,5
0
0

-0,5

10

12

Konsentrasi

Berdasarkan pengukuran pada masing-masing sampel, maka didapatkan


hasil sebagai berikut :
Tangerang Selatan
y = 0,1764x + 0,0004
0,0325 = 0,1764x + 0,0004
x=
x = 0,1819
Kadar Logam =
=
= 8,62 g/gram = 8,62 ppm
Sukoharjo
y = 0,1764x + 0,0004
0,0173 = 0,1764x + 0,0004
x=
x = 0,0958
Kadar Logam =
=

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

97

= 4,42 g/gram = 4,42 ppm


OKU Timur
y = 0,1764x + 0,0004
0,0178 = 0,1764x + 0,0004
x=
x = 0,0989
Kadar Logam =
=

= 4,61 g/gram = 4,61 ppm


c. As
Dari hasil pengukuran standar Arsen (As) didapatkan data sebagai
berikut :
Tabel L.12 standar logam As
No
1
2
3
4
5

Konsentrasi (ug/L)
0
5
10
15
20

0,3

Abs.
0,0024
0,0658
0,1212
0,1839
0,2413

Kurva Kalibrasi As
y = 0,0119x + 0,0037
R = 0,9996

0,25
0,2
0,15
0,1
0,05
0
0

10

15

20

25

Dari hasil pengukuran pada masing-masing sampel didapatkan hasil bahwa


pada masing-masing sampel tidak tedeteksi adanya Arsen (As).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

98

LAMPIRAN 14
BAHAN DAN ALAT PENELITIAN

Gambar L.1 Maserator

Gambar L.2 tanur/Furnace

Gambar L.3 Spektrofotometri UV-Vis

Gambar L.4 Timbangan analitik

Gambar L.5 Desikator

Gambar L.6 Oven

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

99

Gambar L.7 HPLC

Gambar L.8 Simplisia Daun Salam

Gambar L.9 Rotary evaporator

Gambar L.10 Pilot plan

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Anda mungkin juga menyukai