Farmasi B
Kelompok 3 :
2016
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas segala
limpahan rahmat dan karunia-Nya kepada kami tim penulis sehingga dapat menyelesaikan
makalah laporan praktikum fitofarmaka, mengenai Pembuatan Ekstrak Rimpang
Kaempferia galanga, Penentuan Parameter Mutu Ekstrak Kaempferia galanga, Penetapan
Kadar Senyawa Marker Pada Ekstrak Kaempferia galanga, Pembuatan Kapsul Ekstrak
Kencur dan Penetapan Kadar Senyawa Marker EPMS dalam Kapsul, dan Penetapan Kadar
Senyawa Marker EPMS dalam Sediaan Kapsul.
Kami menyadari bahwa didalam pembuatan makalah ini berkat bantuan dan tuntunan
Tuhan Yang Maha Esa dan tidak lepas dari bantuan berbagai pihak untuk itu dalam
kesempatan ini kami menghaturkan rasa hormat dan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada semua anggota yang membantu dalam pembuatan makalah ini.
Kami menyadari bahwa dalam proses penulisan makalah ini masih dari jauh dari
kesempurnaan baik materi maupun cara penulisannya. Namun demikian, kami telah berupaya
dengan segala kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki sehingga dapat selesai dengan
baik dan oleh karenanya, kami dengan rendah hati menerima masukan, saran dan usul guna
penyempurnaan makalah ini.
Akhirnya kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi seluruh pembaca.
Penulis
LAPORAN PRAKTIKUM FITOFARMAKA
Praktikum 1
Farmasi B
Kelompok 3 :
2016
1.1 Judul: Pembuatan Ekstrak Rimpang Kaempferia galanga
1.2 Tujuan: Untuk mengetahui cara pembuatan ekstrak rimpang Kaempferia galanga
melalui berbagai macam metode.
Kingdom : Plantae
Subkingdom : Traecheobionta
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Liliopsida
Ordo : Zingiberales
Famili : Zingiberaceae
Genus : Kaempferia
b. Deskripsi Tanaman
Kencur (Kaempferia galanga L.) merupakan salah satu dari lima jenis
tumbuhan yang dikembangkan sebagai tanaman obat asli Indonesia.kencur
merupakan tanaman obat yang bernilai ekonomis cukup tinggi sehingga banyak
dibudidayakan. Bagian rimpangnya digunakan sebagai bahan baku industri obat
tradisioanl, bumbu dapur, bahan makanan, maupun penyengar minuman lainnya
(Rostiana et al., 2003).
c. Kandungan Kimia
Kebanyakan rizoma ginger banyak yang bisa dimakan yang telah lama
digunakan sebagai bahan untuk pengobatan tradisional selama berabad- abad tetapi
ridak sepenuhnya telah dilakukan indentifikasi terhadap aktivitas bioaktifnya (Tang et
al.,2014).
e. Ekstraksi
Maserasi Ultrasonik
Sonikasi merupakan salah satu teknik ekstraksi yang menggunakan
energi tambahan berupa vibrasi ultrasonik untuk meningkatkan interaksi
antara zat yang akan diambil dengan pelarutnya. Penggunaan gelombang
ultrasonik dapat meningkatkan rendemen dan kualitas produk yang dihasilkan
(Supardan et al., 2011).
Penggunaan ultrasonik pada dasarnya menggunakan prinsip dasar yaitu
dengan mengamati sifat akustik gelombang ultrasonik yang dirambatkan
melalui medium yang dilewati. Pada saat gelombang merambat, medium yang
dilewatinya akan mengalami getaran. Getaran akan memberikan pengadukan
yang intensif terhadap proses ekstraksi. Pengadukan akan meningkatkan
osmosis antara bahan dengan pelarut sehingga akan meningkatkan proses
ekstraksi.
Cara kerja metode ultrasonik dalam mengekstraksi adalah sebagai
berikut:
Gelombang ultrasonik terbentuk dari pembangkitan ultrason secara
lokal dari kavitasi mikro pada sekeliling bahan yang akan diekstraksi
sehingga akan terjadi pemanasan pada bahan tersebut dan melepaskan
senyawa ekstrak.
Terdapat ekstrak ganda yang dihasilkan yaitu pengacauan dinding sel
sehingga membebaskan kandungan senyawa yang ada didalamnya dan
pemanasan lokal pada cairan dan meningkatkan difusi ekstrak.
Energi kinetik dilewati keseluruhan bagian cairan diikuti dengan
munculnya gelembung kavitasi pada dinding atau permukaan sehingga
meningkatkan transfer massa anatara permukaan padat- cair.
Efek mekanik yang ditimbulkan adalah meningkatkan penetrasi dari
cairan menuju dinding membran sel yang mendukung pelepasan
komponen sel dalam meningkatkan transfer massa (Kerl, 2007).
Liu et al., (2010), menyatakan bahwa kavitasi ultrasonik menghasilkan
daya patah yang akan memecah dinding sel secara mekanis dan meningkatkan
transfer material. Kavitasi adalah gejala menguapnya zat cair yang sedang
mengalir sehingga membentuk gelembung- gelembung uap yang disebabkan
karena berkurangnya tekanan cairan tersebut sampai dibawah titik jenuh
uapnya.
2. Perkolasi
3) Faktor pengadukan
Pengadukan dapat mempercepat pelarutan dan meningkatkan laju difusi
solute. Pergerakan pelarut di sekitar bahan akibat pengadukan dapat mempercepat
kontak bahan dengan pelarut dan memindahkan komponen dari permukaan bahan ke
dalam larutan dengan jalan membentuk suspensi serta melarutkan komponen tersebut
ke dalam media pelarut (Larian, 1959). Pengadukan dapat dilakukan dengan cara
mekanis, pengaliran udara atau dengan kombinasi keduanya.
f. Pemilihan Pelarut
Pemilihan pelarut merupakan salah satu faktor yang penting dalam proses
ekstraksi. Jenis pelarut yang digunakan dalam proses ekstraksi mempengaruhi jenis
komponen aktif bahan yang terekstrak karena masing-masing pelarut mempunyai
selektifitas yang berbeda untuk melarutkan komponen aktif dalam bahan. Menurut
Perry (1984), berbagai syarat pelarut yang digunakan dalam proses ekstraksi, yaitu
sebagai berikut:
a. Memiliki daya larut dan selektivitas terhadap solute yang tinggi. Pelarut harus
dapat melarutkan komponen yang diinginkan sebanyak mungkin dan sesedikit
mungkin melarutkan bahan pengotor.
b. Bersifat inert terhadap bahan baku, sehingga tidak bereaksi dengan komponen
yang akan diekstrak.
c. Reaktivitas. Pelarut tidak menyebabkan perubahan secara kimia pada
komponen bahan ekstraksi.
d. Tidak menyebabkan terbentuknya emulsi.
e. Tidak korosif.
f. Tidak beracun.
g. Tidak mudah terbakar.
h. Stabil secara kimia dan termal.
i. Tidak berbahaya bagi lingkungan.
j. Memiliki viskositas yang rendah, sehingga mudah untuk dialirkan.
k. Murah dan mudah didapat, serta tersedia dalam jumlah yang besar.
l. Memiliki titik didih yang cukup rendah agar mudah diuapkan.
m. Memiliki tegangan permukaan yang cukup rendah.
Berbagai jenis pelarut yang sering digunakan dalam proses ekstraksi seperti contoh
tabel dibawah ini :
Tabel 1.2 Nilai konstanta dielektrik pelarut organik pada 20C (Adnan, 1997)
Heptan 1,924
n-heksana 1,890
Sikloheksana 2,023
Benzen 2,284
Kloroform 4,806
Piridin 12,30
Aseton 20,70
Etanol 24,30
Metanol 33,62
Asetonitril 38,00
Air 80,37
Beberapa jenis pelarut yang sering digunakan dalam proses ekstraksi
a. Metanol
Metanol (CH3OH) juga dikenal dengan nama hidrat, alkohol kayu atau
spiritus merupakan alkohol alifatik paling sederhana. tekanan atmosfer, metanol
berbentuk cairan yang ringan tidak berwarna, mudah menguap, mudah terbakar,
bersifat racun dengan aroma yang khas, dan larut sempurna dalam air, alkohol,
serta eter. Metanol mempunyai berat molekul 32,04 gr/mol, titik didih 64,7 berat
jenis pada 20C sebesar 0,792 gr/cm sebesar 0,59 mPa.s. Metanol tergolong
pelarut polar dengan konstanta dielektrik sebesar 33,26 pada 25C dan momen
dipol sebesar 1,69 D (gas) (Merck, 1999; Mills B., 2009). Struktur molekul
methanol dapat dilihat pada gambar 2.1 berikut:
b. Etanol
Etanol merupakan pelarut paling penting kedua setelah air pada industri.
Etanol merupakan alkohol yang paling tidak beracun (hanya beracun apabila
dalam jumlah yang sangat besar), umumnya digunakan sebagai pelarut, antiseptik,
perasa (sari vanila) atau pewarna makanan, dan bahan pada industri kosmetik
(parfum) maupun obat-obatan. Struktur molekul etanol dapat dilihat pada Gambar
2.2 berikut: (Schiller M., 2010; Cacycle, 2008)
c. Air
Air (H2O) merupakan senyawa yang tidak berbau, tidak berasa, dan tidak
berwarna dengan satu molekul air terdiri dari dua atom hidrogen yang terikat
secara kovalen (ikatan yang terjadi akibat adanya pemakaian bersama pasangan
elektron) pada satu atom oksigen. Atom oksigen memiliki keelektronegatifan yang
sangat besar sedangkan atom hidrogen memiliki keelektronegatifan yang paling
kecil diantara unsur-unsur bukan logam. Hal tersebut menyebatbkan sifat
kepolaran air yang sangat besar. Air merupakan pelarut universal karena air
mampu melarutkan banyak senyawa kimia lainnya.
Kelarutan suatu zat dalam air ditentukan oleh dapat tidaknya zat tersebut
menandingi kekuatan gaya tarik-menarik listrik (gaya intermolekul dipol-dipol)
antara molekulmolekul air. Jika suatu zat tidak mampu menandingi gaya tarik-
menarik antar molekul air, maka molekul-molekul zat tersebut tidak dapat larut
dalam air. Zat yang dapat bercampur dengan baik atau larut dalam air (misalnya
asam, alkohol, dan garam) disebut sebagai zat hidrofilik, sedangkan zat-zat yang
tidak mudah tercampur atau larut dalam air (misalnya lemak dan minyak), disebut
sebagai zat hidrofobik.
Senyawa polar dapat larut dalam air dan membentuk ikatan hidrogen
dengan air. Ikatan hidrogen dapat terjadi karena elektron bebas pada atom yang
memiliki elektronegatifan tinggi seperti N, O, F menarik proton yang dimiliki oleh
atom H. Air memiliki berat molekul 18 gr/mol, titik didih 100 oC, viskositas 1,005
cP, dan konstanta dielektrik sebesar 80,37 pada 2 0oC. Kelarutan beberapa zat
dalam air disajikan pada Tabel 2.3 dan stuktur molekul air dapat dilihat pada
Tabel 1.3 berikut (Anonim, 2008; Azizah U., 2011):
Garam 36
Gula 211
Oksigen 0,0041
Karbondioksida 0,144
Bahan
Serbuk rimpang kencur
Etanol 96%
Cab- o-sil
Alat
Labu Erlenmeyer
Beaker glass
Batang pengaduk
Corong Buchner
Rotavapor
Kertas saring
Loyang
Sudip
Alumunium foil
Wadah selai
Analytical balance
Toples
1.5 Prosedur Kerja
Ditimbang 400 g
Dimasukkan (+) 1600 ml etanol
serbuk rimpang
kedalam beaker
kencur 96%
glass
Ditutup bagian
Di diaduk ada
didiamkan selama 24 mulut beaker glass
serbuk terbasahi
jam dengan alumunium
dan homogen
foil
Hasil maserasi Residu dilakukan
Filtrat ditampung
disaring dengan remaserasi dengan 2400
dalam jurigen
corong buchner ml etanol 96%
hasilnya
Filtrat yang terkumpul
Dikaliberasi labu pada dipindahkan
dilakukan pemekatan dengan
rotavapor atau jurigen kedalam loyang
rotavapor ad 400 ml
(berisi ekstrak) pada
tanda 400 ml Ditambahkan
cab- o-sil Ekstrak diratakan
Cab-o-il ditaburkan sebanyak 5% pada loyang
sedikit demi sedikit dari volume
secara merata akhir ekstrak
1.7 Pembahasan
Pada praktikum kali ini digunakan percobaan pembuatan ekstrak Kaempfreia galanga
L. (kencur) dengan metode maserasi atau perendaman. Metode maserasi dilakukan dengan
cara merendam serbuk kencur yang ditambah pelarut etanol 96% selama 24 jam. Setelah
dilakukan perendaman selama 24 jam ekstrak disaring untuk memisahkan filtrat dan residu.
Filtrat ditampung dan residu ditambahkan pelarut etanol 96% untuk dilakukan proses
perendaman lagi (remaserasi) selama 24 jam. Maserasi serbuk kencur dilakukan dengan
menggunakan pelarut etanol 96% karena sifatnya yang mampu melarutkan hampir seluruh
zat, baik yang bersifat polar, semi polar, dan non polar (Arifin et al., 2006). Hasil seluruh
filtrat ditampung dan dilakukan pemekatan dengan rotavapor.
Setelah pekat, filtrat diletakkan diloyang dan ditaburi cab- o-sil perlahan dan merata
untuk mempercepat pengeringan. Setelah itu ditunggu sampai kering. Setelah kering ekstrak
dihomogenkan diatas motir dengan stamper, lalu ditimbang dan dimasukkan kedalam botol
selai. Didapatkan hasil berat ekstrak kering kencur adalah 48,42 g dengan % rendemen hasil
12,11%.
Dari hasil praktikum yang dilakukan dengan metode maserasi yang dimodifikasi,
yakni maserasi, maserasi kinetik, dan maserasi dengan ultrasonik. Hasil rendemen dari
beberapa metode ini cukup bervariasi. Diambil 3 hasil rendemen ekstrak yang tertinggi pada
setiap metode, didapatkan hasil maserasi kinetik (12,19%), maserasi (12,11%), dan maserasi
ultrasonik (11,89%). Hasil rendemen yang didapatkan dari tiap metode menunjukkan
perbedaan hasil yang tidak begitu signifikan. Dilihat dari hasil rendemen yang tertinggi di
peroleh dari metode maserasi kinetik (12,19%), hal ini dikarenakan pada metode ini adanya
faktor yang mempengaruhi saat berlangsungnya poses ekstraksi, yakni pengadukan.
Pengadukan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi proses ekstraksi. Dengan
adanya faktor pengadukan membuat interaksi yang terjadi antara pelarut dengan sampel
semakin maksimal sehingga akan semakin banyak pula senyawa yang tertarik kedalam etanol
sebagai pelarut. Dengan begitu rendemen hasil yang didapatkan juga lebih tinggi.
Hasil rendemen dari metode maserasi dengan ultrasonik lebih rendah yakni 11,89%
dibandingkan dengan metode perendaman (12,11%). Jika dilihat dari metode yang digunakan
seharusnya metode ultrasonik memberikan rendemen hasil yang lebih tinggi dibandingkan
dengan rendemen hasil perendaman. Hal ini dikarenakan metode maserasi dengan metode
ultrasonik memiliki pengaruh adanya faktor gelombang ultasonik yang dapat meningkatkan
interaksi pelarut dengan ekstrak. Sedangkan dibandingakan dengan perendaman yang
perlakuannya tidak dipengaruhi oleh apapun sehingga seharusnya rendemen hasilnya lebih
kecil. Ketidaksesuaian ini bisa diakibatkan oleh pelarut (etanol) mengalami kejenuhan
sehingga tidak dapat mengekstraksi seluruh komponen senyawa metabolit sekunder. Selain
itu juga lolosnya residu saat penyaringan.
Berdasarkan farmakope herbal bahwa persen hasil rendemen pada ekstrak kencur
tidak kurang dari 8,3%. Sehingga dapat disimpulkan dari hasil praktikum kali bahwa
ekstraksi kencur memiliki hasil yang baik. Hasil terbaik didapatkan dari metode maserasi
kinetik.
1.8 Kesimpulan
Dari hasil praktikum pembuatan ekstrak rimpang Kaempferia galanga L. dengan
tiga metode yang berbeda didpatkan kesimpulan sebagai berikut:
Hasil rendemen tertinggi dari 3 metode didapatkan metode maserasi kinetika yakni sebesar
12,19%.
Urutan hasil rendemen dari 3 metode yang diambil dari tiap- tiap metode tertinggi yakni
maserasi kinetika (12,19%), perendaman (12,11%), dan maserasi uktrasonik (11,89%).
Berdasarkan farmakope herbal hasil rendemen ekstrak kencur tidak kurang dari 8,3%,
sehingga dapat disimpulkan bahwa hasil rendemen ekstrak kencur dengan 3 metode yang
berbeda mendpaatkan hasil yang baik.
LAMPIRAN
Praktikum 2
PENENTUAN PARAMETER MUTU EKSTRAK Kaempferia galanga
Farmasi B
Kelompok 3 :
2016
2.2 Tujuan: Untuk mengetahui macam- macam metode penentuan mutu ekstrak dan
tujuan dilakukan metode penentuan mutu ekstrak.
2.3 Tinjauan Pustaka
a. Standardisasi
Bahan : Alat :
Ektrak kering rimpang kencur Corong pisah Desikator
Aquadest
Kloroform Kaki tiga
Corong
Etanol 96%
Kertas saring
Oven Bunsen
A. Parameter Spesifik
1. Identitas
Ditampung dalam
Diambil filtrat sebanyak Diuapkan ad kering
cawan penguapan yang
20 ml
sudah ditara
Catatan: Air- kloroform LP adalah air suling 99,75 ml Residu dipanaskan pada
dicampur dengan 2,5 ml kloroform. suhu 105C ad bobot
konstan
Dimasukkan kedalam
Ditimbang 5.0 g ekstrak corong pisah (+) 100 ml etanol 96%
2. Kadar Air
3. Kadar Abu
1. Identifikasi
2. Organoleptis
Bentuk : Serbuk
Warna : Kuning
4. Kadar Abu
5. Kadar Air
Waktu : 64 menit
Suhu : 105C
Kadar MC : 24,95%
6. Susut Pengeringan
2.7 Pembahasan
Pada praktikum kali ini dilakukan penentuan parameter mutu ekstrak dari
Kaempferia galanga L.. Pada praktikum kali ini merupakan kelanjutan dari praktikum
sebelumnya yang telah dilakukan proses ekstrak dari Kaempferia galanga L.. Setelah
didapatkan ekstrak kering kemudian dilakukan pengujian parameter mutu ekstrak
Kaempferia galanga L.. Pengujian parameter mutu ekstrak ini meliputi pengujian
parameter spesifik dan parameter non- spesifik.
Pada pengujian parameter mutu spesifik senyawa yang terlarut dalam pelarut
tertentu dengan menggunakan pelarut etanol dan air hasil persentase kadar senyawa
terkarut etanol lebih tinggi yakni 17, 09% dibandingkan dengan senyawa yang terlarut air
4, 91%. Pada hasil pengujian ini terlihat bahwa ekstrak lebih larut dalam etanol
dibandingkan dengan air. Pada pengujian senyawa terlarut dalam pelarut tertentu
bertujuan sebagai perkiraan kasar kandungan senyawa- senyawa aktif yang bersifat polar
(larut air) dan senyawa aktif yang bersifat semi polar- non polar (larut etanol) (Saifudin et
al., 2011). Hasil pengujian kadar senyawa larut etanol memenuhi persyaratan yang telah
ditetepkan dalam Farmakope herbal, yakni kadar senyawa larut etanol tidak kurang dari
atau lebih besar sama dengan 4,2%. Sedangkan hasil pengujian kadar sneyawa larut air
tidak sesuai dengan standar yang ditetapkan dalam Farmakope Herbal, yakni senyawa
terlarut air tidak kurang dari atau lebih besar sama dengan 14, 2%.
Tahap pengujian parameter non- spesifik meliputi kadar abu total, kadar air, dan
susut pengeringan. Pengujian kadar abu dilakukan dengan tujuan memberikan gambaran
kandungan mineral internal dan eksternal yang berasal dari proses awal sampai
terbentuknya ekstrak. Pada pengujian ini ekstrak dipanaskan hingga senyawa organik dan
turunannya terdestruksi dan menguap sampai tinggal unsur mineral dan kandungan
anorganik. Pada pengujian kadar abu didaptkan hasil sebesar 24, 86%. Hasil ini
menunjukkan bahwa mineral dan kandungan anorganik dalam ekstrak ada sebesar 24,
86%. Hasil yang didapat dalam pengujian kadar abu total tidak sesuai dengan standar
yang telah ditetapkan dalam Farmkope Herbal, yakni kadar abu dalam ekstrak kurang dari
10,2%.
Susut pengeringan merupakan salah satu parameter non- spesifik yang tujuannya
memberikan batasan maksimal (rentang) tentang besarnya senyawa yang hilang pada
proses pengeringan. Parameter susut pengeringan pada dasarya adalah pengukuran sisa
zat setelah pengeringan pada temperatur 105C sampai berat konstan yang dinyatakan
sebagai nilai persen (Depkes RI, 2000). Hasil pengujian susut pengeringan pada ekstrak
Kaempferia galanga L. sebesar 16, 93%. Hasil yang didapat dalam pengujian susut
pengeringan tidak sesuai dengan standar yang telah ditetapkan dalam Farmkope Herbal,
yakni susut pengeringan dalam ekstrak kurang dari atau tidak lebih dari 10%.
Ketidaksesuaian hasil yang diperoleh dengan standar yang telah ditetapkan dalam
Farmakope Herbal bisa disebabkan oleh banyak faktor. Misalnya saja ketidaktelitian
praktikan dalam melakukan serangkaian prosedur pengujian baik pengujian parameter
speisifik maupun non- spesifik. Faktor- faktor lain yang masih belum diketahui juga
menjadi penghambat atau ketidaktepatan hasil pengujian.
2.8 Kesimpulan
1. Identifikasi
2. Organoleptis
Bentuk : Serbuk
Warna : Kuning
Praktikum 3
Farmasi B
Kelompok 3 :
2016
3.1 Judul: Penetapan kadar senyawa marker pada ekstrak rimpang Kaempferia galanga
3.2 Tujuan: Mahasiswa mampu menetapkan kadar senyawa marker pada kestrak rimpang
Kaempferia galanga
a. Klasifikasi Tanaman
Kingdom : Plantae
Subkingdom : Tracheobionta
Super divisi : Spermatophyta
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Liliopsida
Subkelas : Commelinidae
Ordo : Zingiberales
Famili : Zingiberaceae
Genus : Kaempferia
Spesies : Kaempferia galanga
(Plantamor, 2016)
b. Kandungan Tanaman
Kencur merupakan tanaman tropis yang banyak tumbuh di berbagai daerah di
Indonesia. Bagian dari tanaman kencur yang diperdagangkan adalah buah akar yang
tinggal di dalam tanah yang disebut rimpang kencur ataurhizoma (Soeprapto,1986).
Rimpang kencur mengandung minyak atsiri sekitar 2-4% yang terdiri dari 3,7,7-
trimetil-bisiklo-(4,1,0)-hept-3-ena, etil sinamat, etil parametoksi sinamat (EPMS),
para metoksi stirena, n-penta dekana, borneal dan kamper (Suyatno, 2011).
c. Etil Parametoksi Sinamat (EPMS)
Kandungan EPMS di dalam rimpang kencur menjadi bahan yang penting
dalam industri kosmetik. Penelitian telah membuktikan kebenaran pengalaman nenek
moyang bahwa dalam tanaman kencur mengandung senyawa tabir surya yaitu EPMS.
EPMS adalah salah satu senyawa hasil isolasi rimpang kencur yang merupakan bahan
dasar senyawa tabir surya yaitu pelindung kulit dari sinar matahari. EPMS suatu ester
yang mengandung cincin benzene dengan gugus metoksi yang bersifat non polar dan
mengandung gugus karbonil yang mengikat etil yang bersifat agak polar
menyebabkan senyawa ini mampu larut dalam beberapa pelarut dengan kepolaran
(Taufik Hurohmah, 2008).
Analisis EPMS dari rimpang kencur yang dilakukan meliputi karakterisasi :
1. Bentuk kristal dibawah mikroskop dengan cara membuat preparat
kristal dengan meneteskan aquades pada kristal diatas objek glass.
Bentuk kristal EPMS seperti padatan jarum-jarum putih kecil yang
tidak beraturan.
2. Uji jarak lebur menggunakan mikroskop khusus yang terdapat
thermometer. Kristal EPMS mempunyai jarak lebur 48-48,5C
(Bachtiar, 2005)
3. Uji kelarutan
4. Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
d. Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
Kromatografi lapis tipis adalah salah satu metode pemisahan kromatografi
yang fleksibel dan banyak digunakan. Diantara berbagai jenis teknik kromatografi,
KLT adalah yang paling cocok untuk analisis obat di laboratorium farmasi karena
hanya memerlukan invertasi yang kecil untuk perlengkapan, waktu analisis relatif
singkat, jumlah replikan yang diperlukan sedikit. Selain itu, kebutuhan ruang
minimum, serta penanganannya sederhana.
KLT-Densitometri adalah salah satu metode yang banyak digunakan untuk
penetapan kadar bahan aktif. Densitometri adalah metode analisis instrumental yang
berdasarkan interaksi radio elektromagnetik dengan analit yang merupakan noda pada
KLT. Analisis Densitometri dibutuhkan standar dan sampel yang cukup murni.
Penetapan kadar dengan menggunakan kombinasi KLT dan Densitometer cukup
ekonomis, karena menggunakan fase gerak sedikit, waktu yang relatif singkat dan
dapat dilakukan penetapan kadar beberapa sampel secara simultan (Nining, 2012).
KLT yang dimaksudkan untuk uji kuantitatif dengan menggunakan densitometer
sebagai alat pelacak, prinsip kerjanya dengan pelacakan pada panjang gelombang
maksimal yang telah ditetapkan sebelumnya, yatu ada 2 metode, yaitu dengan cara
memanjang dan sistem zig-zag. Pada umumnya lebih banyak digunakan metode zig-
zag karena pengukurannya lebih merata serta ketelitian pengukuran lebih terjamin
dibanding pengamatan secara lurus atau memanjang.
Analisis kuantitatif dengan KLT-Densitometer pada prinsipnya mengarah pada
nilai Rf, yaitu membandingkan Rf analitik dengan Rf baku pembanding atau yang
dikenal dengan faktor Rx. Penentuan kuantitatif dengan Rf harus dilakukan
bersamaan dengan sampel pada alat yang sama. Analisis kuantitatif hampir sama
dengan spektrofotometer. Penentuan kadar analaitik dikorelasikan dengan area bercak
pada plat KLT.
e. Limit of Detection (LOD) dan Limit of Quantification (LOQ)
Suatu metode analisa akan dapat memberikan data yang valid apabila telah
dilakukan validasi sebelumnya. parameter validasi tersebut meliputi, linieritas,
penetapan Limit of Detection (LOD) dan Limit of Quantification (LOQ), ketelitian,
dan ketepatan. Parameter tersebut perlu dievaluasi agar data yang diperoleh masuk
dalam kemampuan alat tersebut untuk mendeteksi, sehingga hasil yang diperoleh
mendekati harga yang sebenarnya dan apabila diulang akan memberikan hasil yang
sama (Nining, 2012).
f. Senyawa Marker
Senyawa marker dibutuhkan sebagai pembanding dalam konfirmasi
keberadaan suatu ekstrak tanaman dalam produk obat. Analisis senyawa marker
secara kuantitatif dan kualitatif dapat dijadikan indikator mutu suatu obat herbal.
Berdasarkan Natural Health Product Pirectorate (NHPD), senyawa marker merupakan
komponen yang terjadi secara alami dalam bahan dan yang dipilih, misalnya untuk
identifikasi dan tujuan standardisasi oleh peneliti atau produsen. Menurut The
European Medicines Agency (EMEA), senyawa marker mempunyai 2 klasifikasi,
yaitu sebagai senyawa identitas yang hanya digunakan untuk tujuan analisis dan
senyawa aktif sebagai senyawa atau sekelompok senyawa yang digunakan untuk
memberikan aktivitas terapi. Marker sangat penting dalam evaluasi jaminan produk.
Senyawa marker tidak harus memiliki aktivitas farmakologi, senyawa marker dapat
digolongkan menjadi 4 kategori berdasarkan bioaktivitasnya :
1. Zat aktif
Merupakan senyawa kimia dengan aktivitas klinik yang diketahui.
Contoh : Epedrin pada Ephedra sinensis dan slimarin pada Sylibum marianum.
2. Marker aktif
Merupakan zat kimia yang memounyai efek farmakologi tapi belum
tentu mempunyai efikasi klinik. Contoh : Allin pada Allium sativum.
3. Marker analisis
Merupakan zat kimia yang dipilih untuk dekriminasi kuantitatif tapi
belum tentu mempunyai aktivitas biologi dan efikasi klinis. Selain itu, marker
ini juga berguna untuk identifikasi positif bahan baku dari ekstrak untuk
standarisasi. Contoh : Alkilamid yang berbeda ditemukan pada akar Echinoceae
angustifolia dan Echinoceae purporeae tetapi tidak ada pada Echinoceae
palida.
4. Marker negatif
Senyawa aktif dengan zat aktif toksik/allergenik. Contoh : asam ginkolat.
Alat : Bahan :
Larutan Induk 2
Dipipet larutan Masukkan ke labu (+) etanol 96% ad
induk 1 4,0 ml ukur 10,0ml tanda. Homogenkan
BK 5
Dipipet larutan Masukkan ke labu (+) etanol 96% ad
induk 2 3,0 ml ukur 10,0ml tanda. Homogenkan
BK 6
Dipipet larutan Masukkan ke labu (+) etanol 96% ad
induk 2 4,0 ml ukur 10,0ml tanda. Homogenkan
BK 3
Dipipet BK 6 Masukkan ke labu (+) etanol 96% ad
5,0 ml ukur 10,0ml tanda. Homogenkan
BK 2
Dipipet BK 5 Masukkan ke labu (+) etanol 96% ad
5,0 ml ukur 10,0ml tanda. Homogenkan
BK 1
Dipipet BK 3 Masukkan ke labu (+) etanol 96% ad
5,0 ml ukur 10,0ml tanda. Homogenkan
D. Preparasi Sampel
Sampel untuk penetapan kadar EPMS dalam bentuk ekstrak kering
Pengenceran rekoveri
Dipipet masing-masing 1,0 Ditambahkan etanol
ml pada labu ukur rekoveri.
96% masing-masing
Dimasukkan ke vial sebanyak 2 ml
0,5
cm
cm
10
2,0
cm
1,5
cm
1,5
cm
1,5
cm
Penimbangan sampel
Penimbangan 1
Botol+ekstrak : 12,6711 g
Botol kosong : 12,6509 g -
Ekstrak : 0,0202 gram = 20,2 mg
Ekstrak tanpa cab-o-sil : 100% x 0,0202 g
100%+5%
: 0,0192 gx 1000 = 19,24 mg
Penimbangan 2
Botol+ekstrak : 12,6725 g
Botol kosong : 12,6516 g -
Ekstrak : 0,0209 g = 20,9 mg
Ekstrak tanpa cab-o-sil : 100% x 0,0209 g
100%+5%
: 0,0199 g x 1000 = 19,90 mg
Penimbangan 3
Botol+ekstrak : 12,6715 g
Botol kosong : 12,6515 g -
Ekstrak : 0,02 g = 20 mg
Ekstrak tanpa cab-o-sil : 100% x 0,02 g
100%+5%
: 0,0190 g x 1000 = 19,05 mg
Penimbangan 1
Botol+ekstrak : 12,6754 g
Botol kosong : 12,6547 g -
Ekstrak : 0,0207 g = 20,7 mg
Ekstrak tanpa cab-o-sil : 100% x 0,0207 g
100%+5%
: 0,0197 g x 1000 = 19,71 mg
Penimbangan 2
Botol+ekstrak : 12,6762 g
Botol kosong : 12,6551 g -
Ekstrak : 0,0211 g = 21,1 mg
Ekstrak tanpa cab-o-sil : 100% x 0,0211 g
100%+5%
: 0,0211 g x 1000 = 20,10 mg
Penimbangan 3
Botol+ekstrak : 12,6764 g
Botol kosong : 12,6560 g -
Ekstrak : 0,0204 g = 20,40 mg
Ekstrak tanpa cab-o-sil : 100% x 0,0204 g
100%+5%
: 0,0194 g x 1000 = 19,43 mg
4. Luas area (Scan 308 nm)
5. Linieritas
Regresi konsentrasi dan luas area
Baku kerja Konsentrasi Luas area A 11021,50755
(X) (Y) B 24,3067
1 198,04 ppm 15030,8 Au R 0,98783
2 297,06 ppm 18157,0 Au Direject BK 1 & 3
A 11094,0807
3 396,08 ppm 22133,3 Au
B 23,7829
4 495,10 ppm 22827,2 Au R 0,99995
5 594,12 ppm 25291,7 Au Y = bx+ a
6 792,16 ppm 29910,0 Au Y = 23,7829x + 11094,0807
S1 Y = bx+a
21442,0 = bx+a
X = 435,0995 ppm
S2 Y = bx+a
22343,9 = bx+a
X = 473,0217 ppm
S3 Y = bx+a
21899,7 = bx+a
X = 454,3444 ppm
S1 V1 x N1 = V2 X N2
1 ml x N1 = 3 ml x 435,2985 ppm
N1 = 1305,2985 ppm
S2 V1 x N1 = V2 X N2
1 ml x N1 = 3 ml x 473,0217 ppm
N1 = 1419,0651 ppm
S3 V1 x N1 = V2 X N2
1 ml x N1 = 3 ml x 454,3444 ppm
N1 = 1363,0332 ppm
8. Bobot EPMS 5 ml
S1 1305,2985 mg x 5 = 6,5265 mg
1000
S2 1419,0651 mg x 5 = 7,0953 mg
1000
S3 1363,0332 mg x 5 = 6,8152 mg
1000
R3 V1 x N1 = V2 x N2
1 ml x N1 = 3m l x 527,1405 ppm
N1 = 1581,4215 ppm
12. Bobot EPMS 5 ml
R1 1454,1198 mg x 5 = 7,2706 mg
1000
R2 1484,1036 mg x 5 = 7,4205 mg
1000
R3 1581,4215 mg x 5 = 7,9071 mg
1000
3.7 Pembahasan
Pada praktikum kali ini dilakukan penetapan kadar senyawa marker pada ekstrak
rimpang kencur (Kaempferia galanga). Senyawa marker merupakan senyawa yang
terdapat dalam bahan alam dan dideteksi untuk keperluan khusus (contoh untuk tujuan
identifikasi atau standarisasi) melalui penelitian (Pattern, 2006). Senyawa atau zat
penanda juga dapat dipakai untuk menandai atau sebagai senyawa identitas suatu
simplisia tanaman tertentu. Untuk memenuhi syarat ini, zat atau senyawa tersebut tidak
dimiliki oleh simplisia tanaman lain.
Tujuan dari penelitian ini adalah mendapatkan metode yang valid untuk dapat
menentukan senyawa marker spesifik dari tanaman yang berada pada jenis yang sama
menggunakan KLT-Densitometer.
Langkah pertama yang dilakukan adalah dengan pembuatan baku induk dan baku
kerja dan larutan standart EPMS. Namun, pada praktikum kali ini baku induk dan baku
kerja yang digunakan menggunakan baku kerja sisa kelompok sebelumnya, sehingga
diperoleh konsentrasi :
R1 = 97,66%
R2 = 97,87% rata-rata 101,05%
R3 = 107,63%
SD = 5,6965 dan KV = 5,64%
Dilihat dari data diatas, jika menurut Farmakope Herbal Indonesia, kadar
EPMS dalam rimpang kencur tidak kurang dari 4,30%, sehingga kadar EPMS pada
sampel sebesar 35,12% telah memenuhi persyaratan. Pada nilai KV >2% dapat
memberi gambaran bahwa presisinya kurang bagus. Hal tersebut bisa terjadi karena
faktor kesalahan dari praktikkan, seperti kurangnya ketelitian ketika melakukan
replikasi sampel atau rekoveri, waktu untuk melakukan pengulangan tidak secara
bersamaan karena harus mengantri menggunakan alat. Dilihat dari akurasinya, dilihat
nilai %rekoveri adalah 101,05% dimana untuk analisis sediaan obat jadi, sebaiknya
%rekoveri berkisar antara 98-102%, tetapi angka 95-105% sudah cukup memadai
untuk suatu laboratorium QC di industri farmasi (Indrayanto, 1994). Berarti akurasi
sudah masuk d\alam rentang, sehingga memenuhi persyaratan akurasi yang bagus.
3.8 Kesimpulan
Metode KLT densitometer dengan fase diam silika gel, fase gerak N-heksan: etil
asetat: asam formiat (90:10:1) dengan volume penotolan 5,0l memenuhi parameter
linieritas dan presisi untuk senyawa EPMS. Berdasarkan hasil dibawah ini menunjukkan
bahwa metode KLT densitometer mempunyai validitas yang baik dan dapat digunakan
untuk menetapkan kadar senyawa EPMS.
Nilai KV >2% yaitu 2,96% dapat memberi gambaran presisinya kurang bagus
Adanya hasil yang bervariasi setiap kelompok bisa terjadi karena banyak
faktor, karena dilakukan oleh orang yang berbeda-beda. Melalui praktikum ini, dapat
ditetapkan berapa % kadar EPMS pada ekstrak rimpang kencur, dimana EPMS
merupakan senyawa marker atau senyawa penanda yang menjadi identitas kencur.
LAMPIRAN
UV 254 nm
LAPORAN PRAKTIKUM FITOFARMAKA
Praktikum 4
Farmasi B
Kelompok 3 :
2016
4.1 Judul: Pembuatan Kapsul Ekstrak Kencur dan Penetapan Kadar Senyawa Marker
EPMS dalam Kapsul
4.2 Tujuan: Mahasiswa mampu mengetahui cara pembuatan kapsul ekstrak kencur dan
menetapkan kadar senyawa marker EPMS dalam kapsul dengan penetapan
keseragaman bobot
Penggunaan ekstrak atau bahan alam sebagai pengobatan, akan lebih mudah
dikonsumsi masyarakat luas dalam bentuk sediaan seperti tablet atau kapsul.
Permasalahan ekstrak atau bahan alam adalah cenderung memiliki rasa yang tidak enak
dan bau yang khas. Oleh karena itu, untuk menutupi kekurangan bahan alam tersebut
sediaan dibuat dalam betuk kapsul. Isi kapsul dapat berupa serbuk atau granul. Formulasi
serbuk sering membutuhkan penambahan zat pengisi, lubrikan, dan glidan pada bahan
aktif untuk mempermudah proses pengisian kapsul (Departemen Kesehatan Republik
Indonesia, 1995).
Definisi kapsul menurut F.I ed III Kapsul adalah bentuk sediaan obat yang
terbungkus cangkang kapsul, keras atau lunak. Macam-macam kapsul, yaitu kapsul
cangkang keras (capsulae durae, hard capsul) contohnya kapsul tetrasiklin, kapsul
kloramfenikol dan kapsul sianokobalamin. Kapsul cangkang lunak (capsulae molles, soft
capsule) contohnya kapsul minyak ikan dan kapsul vitamin. Komponen kapsul zat aktif
obat, cangkang kapsul, zat tambahan. Zat tambahan teriri dari bahan pengisi contohnya
laktosa. Sedangkan untuk obat yang cenderung mencair diberi bahan pengisi magnesium
karbonat, kaolin atau magnesium oksida atau silikon dioksida, bahan pelicin (magnesium
stearat), surfaktan/zat pembasah. (Farmakope Indonesia ed.III, 1979).
Obat tradisional merupakan produk yang dibuat dari bahan alam yang jenis dan
sifat kandungannya sangat beragam sehingga untuk menjamin mutu obat tradisional
diperlukan cara pembuatan yang baik dengan lebih memperhatikan proses produksi dan
penanganan bahan baku. Mengingat pentingnya penerapan CPOTB, maka pemerintah
secara terus menerus memfasilitasi industri obat tradisional baik skala besar maupun kecil
untuk dapat menerapkan CPOTB melalui langkah-langkah dan pentahapan yang
terprogram. Dengan adanya perkembangan jenis produk obat bahan alam tidak hanya
dalam bentuk Obat Tradisional (Jamu), tetapi juga dalam bentuk Obat Herbal Terstandar
dan Fitofarmaka, maka Pedoman Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik ini dapat
pula diberlakukan bagi industri yang memproduksi Obat Herbal Terstandar dan
Fitofarmaka.
1. Keseragaman Bobot
2. Disolusi
3. Kadar
Penetapan kadar dilakukan untuk memastikan bahwa kandungan zat
berkhasiat yang terdapat dalam kapsul telah memenuhi syarat dan sesuai
dengan yang tertera pada etiket. Metode penetapan kadar yang digunakan
sesuai dengan zat aktif yang terkandung dalam sediaan kapsul. Caranya
ditimbang 10-20 kapsul, isinya di gerus dan bahan aktif yang larut diekstraksi
menggunakan pelarut yang sesuai menurut prosedur yang sudah ditetapkan.
Secara umum rentang kadar bahan aktif yang ditentukan berada diantara 90-
110% dari pernyataan pada label (Agoes, 2008).
4. Waktu hancur
Tabel 4.2 Bobot dan ukuran kapsul (Syamsuni, 2006. Hal. 73)
Alat
Timbangan kasar
Mortir dan stamper
Timbangan analitik
Bahan
Cangkang kapsul
Avicel
Cab-osil
Kertas perkamen
A. Pembuatan kapsul
Masukkan ekstrak
Timbang campuran
ke mortir. Gerus ad Masukkan avicel
dengan dibagi masing-
homogen ke mortir
masing (200 mg)
A. RANCANGAN FORMULA
Kadar Rata-Rata EPMS = 35,12%
(ekstrak murni)
= 20 kapsul = 813,538 mg
1 kapsul (200mg/kapsul)
Bahan pengisi = 200 mg 40,6769 mg = 159,3231 mg
Avicel : Cab-O-Sil = (3:1)
Avicel = x 159,3231 mg
= 39,8308 mg 20 kapsul = 796,616 mg
Cab-O-Sil = x 159,3231 mg
= 119, 4923 mg 20 kapsul = 2389,846 mg
B. KESERAGAMAN BOBOT
Rata-rata = 0,1796 g
Bobot kapsul (g) rata-rata bobot kapsul (g) x 100%
rata-rata bobot kapsul (g)
1. 0,178 g =
2. 0,188 g =
3. 0,169 g =
4. 0,176 g =
5. 0,204 g =
6. 0,179 g =
7. 0,174 g =
8. 0,173 g =
9. 0,147 g =
10. 0,180 g =
11. 0,172 g =
12. 0,192 g =
13. 0,187 g =
14. 0,179 g =
15. 0,185 g =
16. 0,177 g =
17. 0,196 g =
18. 0,186 g =
19. 0,195 g =
20. 0,155 g =
Pada praktikum kali ini dilakukan pembuatan kapsul ekstrak kencur dari
penetapan kadar senyawa marker EPMS dalam kapsul. Dimana pembuatan kapsul ini
digunakan kapsul cangkang keras. Pada formulasi massa kapsul, bila dosis obat atau
jumlah obat yang akan dimasukkan tidak memenuhi untuk mengisi volume kapsul, maka
diperlukan penambahan pengisi yang cocok dalam jumlah yang tepat. Bila jumlah obat
yang diberikan dalam satu kapsul cukup besar untuk mengisi penuh kapsul, bahan pengisi
tidak dibutuhkan (Ansel, 1989).
Langkah pertama yang dilakukan pada praktikum ini adalah menimbang ekstrak
0,813538 g , avicel 0,79661 g, dan Cab-O-Sil 2,3898 g. Setelah semua bahan ditimbang
maka masukkan cab-O-Sil ke dalam mortir gerus ad halus, setelah itu dimasukkan ekstrak
sedikit dei sedikit gerus ad homogen. Dan terakhir masukkan avicel sedikit demi sedikit
ke dalam campuran ekstrak dan Cab-O-Sil tadi lalu gerus ad halus dan homogen. Setelah
itu hasil gerusan ditimbang dan didapatkan berat 3,9999 g setelah itu campuran dibagi
menjadi dua dengan berat masing-masing 1,97 g. Setelah dibagi menjadi dua lalu dibagi
menjadi 20 bagian secara visual. Setelah terbagi menjadi 20 bagian maka masing-masing
dari 20 bagian ekstrak tersebut dimasukan kedalam kapsul satu persatu. Setelah
dimasukkan dalam 20 kapsul lalu masing-masing dari kapsul tersebut dibuka dan
dikeluarkan isinya dan ditimbang satung persatu tanpa menggunakan cangkangnya.
Setelah selesai penimbangan esktrak dimasukkan kembali kedalam kapsul dan dibungkus.
Dari hasil kelompok 3, uji keseragaman bobot yang didapatkan yaitu rata-rata
berat bobot kapsul (isi) sebesar 0,1796 g dan jumlah keseluruhan serbuk yaitu 3,94 g.
Penyimpangan tiap kapsul terdapat % kesalahan yaitu pada kapsul no. 9 sebesar 18,15 %
yang melebihi pesyaratan FI III, kerena mengikuti persyartan kapsul >120 mg tabel B,
dimana tidak lebih dari 2 kapsul yang melebihi 15%.
4.8 Kesimpulan
Evaluasi dari pembuatan kapsul pada ekstrak kencur (EPMS) dari praktikum kali
ini adalah keseragaman bobot. Keseragaman bobot merupakan evaluasi untuk menetukan
rata-rata massa volume kapul telah masuk rentang keseragman bobot FI III atau tidak.
Rata-rata berat bobot kapsul (isi) sebesar 0,1796 g dan jumlah keseluruhan serbuk yaitu
3,94 g. Penyimpangan tiap kapsul terdapat % kesalahan yaitu pada kapsul no. 9 sebesar
18,15 % yang melebihi pesyaratan FI III. Sehingga dapat disimpulkan bahwa uji
keseragaman bobot kelompok 3 memenuhi persyaratan kerena mengikuti persyartan
kapsul >120 mg tabel B, dimana tidak lebih dari 2 kapsul yang melebihi 15%.
LAMPIRAN
Praktikum 5
Farmasi B
Kelompok 3 :
2016
5.1 Judul: Penetapan Kadar Senyawa Marker Epms dalam Sediaan Kapsul
5.2 Tujuan: Mahasiswa mampu melakukan penetapan kadar senyawa marker EPMS
dalam kapsul.
a. Klasifikasi Tanaman
Kingdom : Plantae
Subkingdom : Tracheobionta
Super divisi : Spermatophyta
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Liliopsida
Subkelas : Commelinidae
Ordo : Zingiberales
Famili : Zingiberaceae
Genus : Kaempferia
Spesies : Kaempferia galanga
(Plantamor, 2016)
b. Kandungan Tanaman
Kencur merupakan tanaman tropis yang banyak tumbuh di berbagai daerah di
Indonesia. Bagian dari tanaman kencur yang diperdagangkan adalah buah akar yang
tinggal di dalam tanah yang disebut rimpang kencur ataurhizoma (Soeprapto,1986).
Rimpang kencur mengandung minyak atsiri sekitar 2-4% yang terdiri dari 3,7,7-
trimetil-bisiklo-(4,1,0)-hept-3-ena, etil sinamat, etil parametoksi sinamat (EPMS),
para metoksi stirena, n-penta dekana, borneal dan kamper (Suyatno, 2011).
c. Etil Parametoksi Sinamat (EPMS)
Kandungan EPMS di dalam rimpang kencur menjadi bahan yang penting
dalam industri kosmetik. Penelitian telah membuktikan kebenaran pengalaman nenek
moyang bahwa dalam tanaman kencur mengandung senyawa tabir surya yaitu EPMS.
EPMS adalah salah satu senyawa hasil isolasi rimpang kencur yang merupakan bahan
dasar senyawa tabir surya yaitu pelindung kulit dari sinar matahari. EPMS suatu ester
yang mengandung cincin benzene dengan gugus metoksi yang bersifat non polar dan
mengandung gugus karbonil yang mengikat etil yang bersifat agak polar
menyebabkan senyawa ini mampu larut dalam beberapa pelarut dengan kepolaran
(Taufik Hurohmah, 2008).
g. Senyawa Marker
Senyawa marker dibutuhkan sebagai pembanding dalam konfirmasi
keberadaan suatu ekstrak tanaman dalam produk obat. Analisis senyawa marker
secara kuantitatif dan kualitatif dapat dijadikan indikator mutu suatu obat herbal.
Berdasarkan Natural Health Product Pirectorate (NHPD), senyawa marker merupakan
komponen yang terjadi secara alami dalam bahan dan yang dipilih, misalnya untuk
identifikasi dan tujuan standardisasi oleh peneliti atau produsen. Menurut The
European Medicines Agency (EMEA), senyawa marker mempunyai 2 klasifikasi,
yaitu sebagai senyawa identitas yang hanya digunakan untuk tujuan analisis dan
senyawa aktif sebagai senyawa atau sekelompok senyawa yang digunakan untuk
memberikan aktivitas terapi. Marker sangat penting dalam evaluasi jaminan produk.
Senyawa marker tidak harus memiliki aktivitas farmakologi, senyawa marker dapat
digolongkan menjadi 4 kategori berdasarkan bioaktivitasnya :
1. Zat aktif
Merupakan senyawa kimia dengan aktivitas klinik yang diketahui.
Contoh : Epedrin pada Ephedra sinensis dan slimarin pada Sylibum marianum.
2. Marker aktif
Merupakan zat kimia yang memounyai efek farmakologi tapi belum
tentu mempunyai efikasi klinik. Contoh : Allin pada Allium sativum.
3. Marker analisis
Merupakan zat kimia yang dipilih untuk dekriminasi kuantitatif tapi
belum tentu mempunyai aktivitas biologi dan efikasi klinis. Selain itu, marker
ini juga berguna untuk identifikasi positif bahan baku dari ekstrak untuk
standarisasi. Contoh : Alkilamid yang berbeda ditemukan pada akar Echinoceae
angustifolia dan Echinoceae purporeae tetapi tidak ada pada Echinoceae
palida.
4. Marker negatif
Senyawa aktif dengan zat aktif toksik/allergenik. Contoh : asam ginkolat.
d. Kapsul
Definisi kapsul menurut F.I ed III Kapsul adalah bentuk sediaan obat yang
terbungkus cangkang kapsul, keras atau lunak. Macam-macam kapsul, yaitu kapsul
cangkang keras (capsulae durae, hard capsul) contohnya kapsul tetrasiklin, kapsul
kloramfenikol dan kapsul sianokobalamin. Kapsul cangkang lunak (capsulae molles,
soft capsule) contohnya kapsul minyak ikan dan kapsul vitamin. Komponen kapsul
zat aktif obat, cangkang kapsul, zat tambahan. Zat tambahan teriri dari bahan pengisi
contohnya laktosa. Sedangkan untuk obat yang cenderung mencair diberi bahan
pengisi magnesium karbonat, kaolin atau magnesium oksida atau silikon dioksida,
bahan pelicin (magnesium stearat), surfaktan/zat pembasah. (Farmakope Indonesia
ed.III, 1979).
e. Penetapan Kadar
Penetapan kadar dilakukan untuk memastikan bahwa kandungan zat
berkhasiat yang terdapat dalam kapsul telah memenuhi syarat dan sesuai dengan yang
tertera pada etiket. Metode penetapan kadar yang digunakan sesuai dengan zat aktif
yang terkandung dalam sediaan kapsul. Caranya ditimbang 10-20 kapsul, isinya di
gerus dan bahan aktif yang larut diekstraksi menggunakan pelarut yang sesuai
menurut prosedur yang sudah ditetapkan. Secara umum rentang kadar bahan aktif
yang ditentukan berada diantara 90-110% dari pernyataan pada label (Agoes, 2008).
f. Kromatografi Lapis Tipis
Kromatografi lapis tipis adalah salah satu metode pemisahan kromatografi
yang fleksibel dan banyak digunakan. Diantara berbagai jenis teknik kromatografi,
KLT adalah yang paling cocok untuk analisis obat di laboratorium farmasi karena
hanya memerlukan invertasi yang kecil untuk perlengkapan, waktu analisis relatif
singkat, jumlah replikan yang diperlukan sedikit. Selain itu, kebutuhan ruang
minimum, serta penanganannya sederhana.
KLT-Densitometri adalah salah satu metode yang banyak digunakan untuk
penetapan kadar bahan aktif. Densitometri adalah metode analisis instrumental yang
berdasarkan interaksi radio elektromagnetik dengan analit yang merupakan noda pada
KLT. Analisis Densitometri dibutuhkan standar dan sampel yang cukup murni.
Penetapan kadar dengan menggunakan kombinasi KLT dan Densitometer cukup
ekonomis, karena menggunakan fase gerak sedikit, waktu yang relatif singkat dan
dapat dilakukan penetapan kadar beberapa sampel secara simultan (Nining, 2012).
KLT yang dimaksudkan untuk uji kuantitatif dengan menggunakan densitometer
sebagai alat pelacak, prinsip kerjanya dengan pelacakan pada panjang gelombang
maksimal yang telah ditetapkan sebelumnya, yatu ada 2 metode, yaitu dengan cara
memanjang dan sistem zig-zag. Pada umumnya lebih banyak digunakan metode zig-
zag karena pengukurannya lebih merata serta ketelitian pengukuran lebih terjamin
dibanding pengamatan secara lurus atau memanjang.
Analisis kuantitatif dengan KLT-Densitometer pada prinsipnya mengarah pada
nilai Rf, yaitu membandingkan Rf analitik dengan Rf baku pembanding atau yang
dikenal dengan faktor Rx. Penentuan kuantitatif dengan Rf harus dilakukan
bersamaan dengan sampel pada alat yang sama. Analisis kuantitatif hampir sama
dengan spektrofotometer. Penentuan kadar analaitik dikorelasikan dengan area bercak
pada plat KLT.
Alat Bahan
Kertas saring
Corong
Plat KLT
Chamber
Batang pengaduk
Vial
Pipet volume
Dipipet 4,0 ml larutan induk I, dimasukan ke dalam labu ukur 10,0 ml.
Ditambah etanol 96% sampai garis tanda, kocok homogen
BK 4
3.Dipipet
larutan Masukkan ke labu (+) etanol 96% ad
induk 1 1,0 ml ukur 10,0ml tanda. Homogenkan
4.
BK 5
5.Dipipet
larutan Masukkan ke labu (+) etanol 96% ad
induk 2 3,0 ml ukur 10,0ml tanda. Homogenkan
6.
BK 6
7.Dipipet
larutan Masukkan ke labu (+) etanol 96% ad
induk 2 4,0 ml ukur 10,0ml tanda. Homogenkan
8.
BK 3
BK 6
9. Dipipet Masukkan ke labu (+) etanol 96% ad
5,0 ml ukur 10,0ml tanda. Homogenkan
10.
BK 2
Dipipet BK 5 Masukkan ke labu (+) etanol 96% ad
5,0 ml ukur 10,0ml tanda. Homogenkan
11.
BK 1
Dipipet BK 3 Masukkan ke labu (+) etanol 96% ad
5,0 ml ukur 10,0ml tanda. Homogenkan
C. Preparasi sampel
cm
20
0,5
cm
cm
10
2,0
cm
1,5
cm
1,5
cm
1,5
cm
E. Cara Kerja Analisis dengan TLC Scanner
1. Penentuan panjang gelombang maksimum
Plat KLT yang sudah discan pada panjang gelombang 254 nm dan 365 nm,
kemudian di scan pada panjang gelombang 200-400nm. Dari sini dapat diketahui
pada panjang gelombang berapa EPMS memberikan absorban maksimal. Panjang
gelombang max tersebut yang akan digunakan untuk pengukuran.
2. Penentuan linieritas
Linieritas ditentukan dari larutan standart EPMS pada lempeng KLT,
kemudian dianalisis dengan KLT-Densitometer pada panjang gelombang
maksimal. Dihitung berapa regresi linier antara kadar dan luas area noda.
3. Penentuan presisi
Ditotolkan @5 L sampel dan larutan standart EPMS @5 L pada plat
KLT. Plat dieluasi dengan fase gerak. Analisis menggunakan KLT-Densitometer
pada panjang geombang maksimal. Hitung SD dan KV.
4. Penentuan akurasi
Untuk menentukan %recoveri, ditotolkan sampel recoveri @5 L dan
larutan standart EPMS @5 L pada plat KLT. Plat ini kemudian dieluasi dengan
fase gerak dan dianalisis menggunakan KLT-densitometer pada panjang
gelombang maksimal.
% rekorveri = kadar yang diperoleh = Ct x 100%
Kadar sebenarnya Cp + Cst
Dimana Ct = kadar EPMS yang diperoleh
Cp = kadar EPMS dalam sampel
Cst = kadar EPMS yang ditambahkan
Hasil yang diperoleh kemudian dihitung standar deviasi (SD) dan koefisien
variasinya (KV).
A. Penimbangan
Jenis bahan yang Berat isi kapsul Isi kapsul yang ditimbang dalam 60
No.
ditimbang awal (mg) mg (mg)
1 S1 179,5 60,8
2 S2 176,5 61
3 S3 199,5 60,4
4 R1 180,9 60,1
5 R2 177,3 61
6 R3 178,5 60,5
Y = bx+a
3 396,64 19878,2
=18,5414x+12533,61
4 495,80 21858,7
5 594,96 23480,1
6 793,28 26278,4
Penetapan Kadar
5.7 Pembahasan
Pada praktikum kali ini dilakukan penetapan kadar senyawa marker dalam
sediaan kapsul (Kaempferia galanga). Senyawa marker dibutuhkan sebagai
pembanding dalam konfirmasi keberadaan suatu ekstrak tanaman dalam produk obat.
Analisis senyawa marker secara kuantitatif dan kualitatif dapat dijadikan indikator
mutu suatu obat herbal. Senyawa marker merupakan senyawa yang terdapat dalam
bahan alam dan dideteksi untuk keperluan khusus (contoh untuk tujuan identifikasi
atau standarisasi) melalui penelitian (Pattern, 2006).
Kapsul adalah bentuk sediaan obat yang terbungkus cangkang kapsul, keras atau
lunak. Penetapan kadar dilakukan untuk memastikan bahwa kandungan zat berkhasiat
yang terdapat dalam kapsul telah memenuhi syarat dan sesuai dengan yang tertera
pada etiket. Metode penetapan kadar yang digunakan sesuai dengan zat aktif yang
terkandung dalam sediaan kapsul. Tujuan dari penelitian ini adalah mendapatkan
metode yang valid untuk dapat menentukan senyawa marker dalam sediaan kapsul
spesifik dari tanaman yang berada pada jenis yang sama menggunakan KLT-
Densitometer.
Langkah pertama yang dilakukan adalah dengan pembuatan baku induk dan baku
kerja dan larutan standart EPMS. Namun, pada praktikum kali ini baku induk dan
baku kerja yang digunakan menggunakan baku kerja sisa kelompok sebelumnya,
sehingga diperoleh konsentrasi :
5.8 Kesimpulan
Metode KLT densitometer dengan fase diam silika gel, fase gerak N-heksan: etil
asetat: asam formiat (90:10:1) dengan volume penotolan 5,0l memenuhi parameter
linieritas dan presisi untuk senyawa EPMS. Berdasarkan hasil dibawah ini menunjukkan
bahwa metode KLT densitometer mempunyai validitas yang baik dan dapat digunakan
untuk menetapkan kadar senyawa EPMS.
Nilai rata-rata % rekoveri adalah 76,43 % tidak masuk dalam rentang 95-105%
menggambarkan akurasi yang kurang bagus
Adanya hasil yang bervariasi setiap kelompok bisa terjadi karena banyak
faktor, karena dilakukan oleh orang yang berbeda-beda. Melalui praktikum ini, dapat
ditetapkan berapa % kadar EPMS pada ekstrak rimpang kencur, dimana EPMS
merupakan senyawa marker atau senyawa penanda yang menjadi identitas kencur.
LAMPIRAN