SKRIPSI
Oleh:
Maria Diyan Monica
NIM : 068114119
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2010
UJI ANGKA LEMPENG TOTAL RIMPANG BASAH, RIMPANG
KERING, DAN EKSTRAK ETANOLIK TEMULAWAK
(Curcuma xanthorrhiza Roxb.)
Dosen Pembimbing
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma:
Uji Angka Lempeng Total Rimpang Basah, Rimpang Kering, dan Ekttrak
Etanolik Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.)
beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan
kepada Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam
bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan
secara terbatas, dan mempublikasikannya di Internet atau media lain untuk
kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan
royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.
Yang menyatakan
Puji Syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat-Nya yang
begitu melimpah penulis telah berhasil menyelesaikan skripsi ini dengan judul
“Uji Angka Lempeng Total Rimpang Basah, Rimpang Kering, dan Ekstrak
Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat bagi penulis dalam
tidak terlepas dari arahan, bimbingan, dan bantuan dari berbagai pihak, yang tanpa
mereka skripsi ini tidak mungkin terwujud. Oleh karena itu, penulis ingin
1. Ibu Erna Tri Wulandari, M.Si., Apt., selaku dosen pembimbing yang telah
2. Ibu Maria Dwi Budi Jumpowati, S.Si., selaku dosen penguji atas bimbingan
dan perhatiannya.
3. Ibu Yustina Sri Hartini, M.Si., Apt., selaku dosen penguji atas bimbingan dan
perhatiannya.
4. Segenap dosen yang telah memberikan bimbingan dan bantuan dalam bentuk
Pangan dan Gizi Universitas Gadjah Mada atas bantuan yang sangat berarti.
6. Mas Sarwanto, Mas Wagiran, dan Mas Sigit serta segenap karyawan Fakultas
Farmasi Sanata Dharma yang telah memberikan begitu banyak bantuan dan
7. Orang tuaku tercinta, mama dan papa atas segala doa, dukungan, dan
selama ini.
Wulan, dan Eka, terimakasih untuk kebersamaan dalam suka dan duka.
10. Teman Kost “Putri Ayu”, terutama Nona, Wiwik, Rinda, Susi, yang banyak
11. Teman, rekan, dan semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu oleh
sehingga skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu kritik dan saran
yang membangun sangat diharapkan. Semoga skripsi ini berguna bagi seluruh
Yogyakarta
Penulis
INTISARI
ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah
disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Penulis
PRAKATA ............................................................................................................... vi
ABSTRACT ............................................................................................................... ix
1. Permasalahan............................................................................................ 4
3. Manfaat Temulawak................................................................................. 7
1. Pencucian ................................................................................................. 8
2. Pengeringan ............................................................................................ 10
3. Ekstraksi ................................................................................................. 11
D. Cemaran Bakteri........................................................................................... 14
G. Hipotesis....................................................................................................... 20
C. Bahan Penelitian........................................................................................... 22
A. Pengumpulan Bahan..................................................................................... 30
1. Pencucian ............................................................................................... 32
2. Perajangan .............................................................................................. 33
3. Pengeringan ............................................................................................ 33
6. Ekstraksi ................................................................................................. 35
Temulawak ............................................................................................. 37
A. Kesimpulan .................................................................................................. 46
B. Saran ............................................................................................................ 46
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 47
LAMPIRAN ............................................................................................................ 50
Tabel I. Hasil Uji ALT Untuk Sampel Rimpang Temulawak Setelah Inkubasi
Selama 48 Jam........................................................................................... 40
Tabel II. Hasil Uji ALT Untuk Sampel Rimpang Kering Temulawak Setelah
Tabel III. Hasil Uji ALT Untuk Sampel Ekstrak Etanolik Temulawak Setelah
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pemanfaatan temulawak ini sangat bervariasi, mulai dari bumbu masak hingga
didukung oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM) yang telah
menetapkan sembilan tanaman obat unggulan yang telah diteliti atau diuji secara
sambiloto, jambu biji, jati belanda, cabe jawa, temulawak, jahe merah, kunyit,
Pemanfaatan temulawak telah ada sejak dahulu sebagai bahan baku jamu
tradisional. Namun saat ini, pemanfaatan temulawak tidak hanya sebatas jamu
yang dibuat secara tradisional tetapi juga telah dimanfaatkan oleh Industri Obat
maupun di luar negeri antara lain di Eropa, Amerika, dan Asia (Sidik, 2006).
1
2
daya tahan tubuh (Sidik, 2006). Manfaat temulawak yang berkhasiat obat
terutama dihasilkan dari kandungan kimia yang ada di dalam rimpang temulawak
1997).
temulawak secara turun menurun juga telah digunakan oleh masyarakat kita untuk
pemeliharaan kesehatan. Saat ini temulawak merupakan bahan obat alam yang
paling banyak digunakan oleh industri obat tradisional dalam negeri untuk
bentuk yang digunakan sebagai bahan baku obat tersebut merupakan hasil olahan
kontaminan, baik yang berasal dari tanah itu sendiri, air, serta udara. Tapi dengan
3
kaidah bahwa sediaan farmasi harus memiliki sifat-sifat aman, berkhasiat, dan
berkualitas tinggi maka diupayakan pula produk yang bahan bakunya memenuhi
tiga kriteria tersebut. Itu sebabnya upaya penanganan pengolahan yang efektif
(Soediro, 1997). Proses pengolahan rimpang merupakan salah satu faktor yang
pembuatan obat tradisional harus memiliki kualitas yang baik agar mutu obat
tradisional yang dihasilkan juga baik. Kualitas yang baik dari bahan obat menjadi
faktor penentu akan kualitas, keamanan, dan khasiat dari obat tradisional yang
dihasilkan. Kualitas bahan baku obat tradisional salah satunya dilihat dari segi
Keamanan bahan baku obat tradisional salah satunya dilihat dari nilai
Angka Lempeng Total (ALT). Nilai ALT bahan baku obat tradisional harus
Persyaratan Obat Tradisional batas nilai ALT untuk obat bentuk rajangan adalah
1994a), dan menurut Monografi Ekstrak Tumbuhan Obat Indonesia batas ALT
pada bahan baku obat tradisional. Keberadaan cemaran bakteri penting artinya
4
(Taufik, 2004). Jumlah cemaran bakteri pada bahan baku obat tradisional perlu
apakah nilai ALT dari bahan baku obat tradisional tersebut memenuhi persyaratan
1. Permasalahan
b. Apakah nilai ALT yang didapat pada rimpang basah temulawak, rimpang
2. Keaslian Penelitian
tentang uji cemaran bakteri yang pernah dilakukan adalah sebagai berikut :
b. Uji angka lempeng total dalam jamu gendong beras kencur yang beredar di
3. Manfaat Penelitian
B. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memeriksa cemaran bakteri dari
digambarkan dengan nilai ALT sehingga dapat ditentukan apakah nilai ALT
(Anonim, 2004).
BAB II
PENELAAHAN PUSTAKA
temulawak memiliki bau aromatik yang khas, rasa yang tajam dan pahit.
temulawak merupakan keping tipis, bentuk bundar atau jorong, ringan, keras,
rapuh, garis tengah sampai 6 cm, tebal 2 mm sampai 5 mm, permukaan luar
berkerut, warna coklat kuning sampai coklat, bidang irisan berwarna coklat
kuning buram, melengkung tidak beraturan, tidak rata, sering dengan tonjolan
melingkar pada batas antara silinder pusat dengan korteks, korteks sempit,
parenkimatik, terdiri dari sel parenkim berdinding tipis, berisi butir pati; dalam
parenkim tersebar banyak sel minyak berisi minyak berwarna kuning dan zat
6
7
berbentuk jarum kecil. Butir pati berbentuk pipih, bulat panjang sampai bulat
tebal 3 µm sampai 10 µm, lamela jelas, hilus di tepi. Berkas pembuluh tipe
kolateral, tersebar tidak beraturan pada parenkim korteks dan pada silinder
lingkaran dan letaknya lebih berdekatan satu dengan yang lainnya; pembuluh
didampingi oleh sel sekresi, panjang sampai 200 µm, berisi zat berbutir
berwarna coklat yang dengan besi (III) klorida lp menjadi lebih tua (Anonim,
1979).
kecoklatan. Fragmen pengenal yang khas adalah butir pati, fragmen parenkim
(Anonim, 1979).
senyawa kimia antara lain berupa fellandrean dan turmerol atau yang sering
3. Manfaat Temulawak
obat adalah rimpang untuk dibuat jamu godog. Manfaat temulawak yang
8
berkhasiat obat terutama dihasilkan dari kandungan kimia yang ada di dalam
1997). Rimpang ini dipercaya dapat meningkatkan kerja ginjal dan bekerja
sebagai anti inflamasi. Manfaat lain dari rimpang tanaman ini adalah
meningkatkan nafsu makan, anti kolesterol, anti anemia, anti oksidan, dan
maka mutu produk yang dihasilkan kurang berkhasiat atau kemungkinan dapat
2009b).
1. Pencucian
menggunakan air bersih seperti air dari mata air, sumur atau PAM.
Penggunaan air kotor menyebabkan jumlah mikroba pada bahan tidak akan
berkurang bahkan akan bertambah. Pada saat pencucian perlu diperhatikan air
9
cucian dan air bilasannya, jika masih terlihat kotor maka pencucian atau
pembilasan perlu diulangi satu atau dua kali. Perlu diperhatikan bahwa
antara lain :
a. Perendaman bertingkat
dilakukan beberapa kali pada wadah dan air yang berbeda, pada rendaman
dalam bahan.
b. Penyemprotan
banyak melekat pada bahan seperti rimpang, akar, umbi dan lain-lain.
kuat pada bahan dapat dihilangkan langsung dengan tangan. Proses ini
yang keras/tidak lunak dan kotorannya melekat sangat kuat. Pencucian ini
macam, dalam hal ini perlu diperhatikan kebersihan dari sikat yang
teratur agar tidak merusak bahan. Pembilasan dilakukan pada bahan yang
sudah disikat. Metode pencucian ini dapat menghasilkan bahan yang lebih
bakteri.
2. Pengeringan
rusak sehingga dapat disimpan lebih lama. Penurunan mutu atau kerusakan
simplisia dapat dihambat dengan pengurangan kadar air dengan tujuan untuk
Dari hasil penelitian diketahui bahwa reaksi enzimatik tidak berlangsung bila
suhu dan pengaliran udara yang teratur. Cara pengeringan yang paling
dari metode pengeringan di bawah sinar matahari adalah biaya yang murah,
tetapi memiliki kekurangan yaitu suhu dan kelembaban yang tidak dapat
dikontrol, serta waktu yang relatif lebih lama. Waktu pengeringan tergantung
cuaca dan intensitas penyinaran, serta mudah terkontaminasi oleh bakteri dari
luar, serta pengaruh sinar ultraviolet yang dapat merusak kandungan kimia
dari simplisia. Cara pengeringan yang lain adalah dengan pengering mekanis
pengeringan dapat rata pada tiap bagian dari simplisia. Pengeringan dengan
alat pengering mekanis akan mendapatkan hasil yang lebih baik bila kondisi
dengan baik (Anonim, 1994b). Suhu pengeringan yang ideal adalah 50 – 600C
dan hasil yang baik dari proses pengeringan adalah bahan simplisia yang
3. Ekstraksi
dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair. Pemilihan cairan penyari
dan cara penyarian didasarkan pada zat aktif yang terkandung pada bahan
aktif yang mudah larut dalam cairan penyari. Maserasi dilakukan dengan cara
merendam serbuk simplisia atau bahan dalam cairan penyari. Cairan penyari
akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang
mengandung zat aktif, zat aktif akan larut karena adanya perbedaan
konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam sel dengan di luar sel, maka
larutan yang terpekat didesak keluar (Anonim, 1986). Ekstraksi pelarut adalah
2005).
alam. Beberapa jenis larutan penyari yang biasa digunakan dalam ekstraksi
adalah etanol, air, eter, dan kloroform. Alkohol bagaimanapun juga adalah
pelarut serba guna yang baik untuk ekstraksi pendahuluan. Alkohol dapat
1987).
tumbuhan dalam etanol-air (Harborne, 1987). Kurkumin tidak larut dalam air
pelarut organik, pelarut etanol adalah salah satu pelarut yang cocok untuk
larutan penyari etanol 70%. Etanol dapat memiliki aksi sebagai desinfektan
1992).
minyak atsiri tidak kurang dari 4,6% dan kurkuminoid tidak kurang dari
14,2%. Ektrak temulawak berwarna kuning kecoklatan, dengan bau khas dan
C. Obat Tradisional
kesehatan, obat tradisional adalah bahan atau ramuan yang berupa bahan
tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik) atau campuran
dari bahan tersebut yang secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan
dari bahan sintesis dengan teknik dan prosedur pembuatan yang dapat diproduksi
ulang, produk obat herbal dibuat dari bahan asal tumbuhan yang dapat
terkontaminasi dan terurai, serta memiliki komposisi dan sifat yang bervariasi.
Selain itu, dalam pembuatan dan pengawasan mutu produk herbal, prosedur dan
teknik yang sering digunakan memiliki perbedaan mendasar dari yang digunakan
pengolahan dianggap sangat penting karena sifat banyak produk obat herbal yang
sering kompleks dan variabel serta jumlah dan kuantitas kecil dari penetapan
yang sangat jelas antara penggunaan obat modern (kimia) dengan obat
tradisional. Utamanya adalah pada obat obat modern sudah memenuhi tiga
paradigma, yaitu Mutu, Aman, dan Manfaat (Quality, Safety, Efficacy (QSE))
(Anonim, 2008).
fitofarmaka maka sediaan tersebut harus dibuat dalam bentuk ekstrak atau fraksi
yang terstandar, serta memenuhi beberapa persyaratan antara lain : (1) jaminan
quality (kualitas), di mana bahan simplisia dan produk akhir harus memenuhi
persyaratan tentang keajegan dari kandungan aktif (senyawa marker), (2) jaminan
safety (keamanan), di mana produk akhir harus aman atau tidak toksik pada hewan
coba yang dipersyaratkan dan (3) jaminan efficacy (manfaat), di mana produk
akhir harus menunjukkan aktivitas biologis pada uji praklinik dengan hewan coba,
dan menunjukkan aktivitas biologis pada uji klinik dengan manusia (Anonim,
2008).
D. Cemaran Bakteri
prokaryota yang bersel satu, berkembang biak dengan membelah diri dan bahan-
bahan genetiknya tidak terbungkus dalam membran inti. Pada umumnya bakteri
pigmen fotosintesis. Oleh karena itu ada bakteria yang bersifat heterotrof dan ada
juga bakteri yang bersifat autotrof. Bakteria heterotrof dapat dibedakan menjadi
bakteria yang hidup sebagai parasit dan saprofit, sedang bakteri heterotrof dapat
saja, ada yang dapat merugikan kehidupan manusia, hewan, maupun tumbuhan
(Pelczar, 1986).
Di setiap tempat seperti dalam tanah, udara maupun air selalu dijumpai
mikroba. Umumnya jumlah mikroba dalam tanah lebih banyak daripada dalam air
ataupun udara. Umumnya bahan organik dan senyawa anorganik lebih tinggi
dan fisika tanah. Komponen penyusun tanah yang terdiri atas pasir, debu,
lempung dan bahan organik maupun bahan penyemen lain akan membentuk
struktur tanah. Struktur tanah akan menentukan keberadaan oksigen dan lengas
dalam tanah. Dalam hal ini akan terbentuk lingkungan mikro dalam suatu struktur
dengan tempat pertumbuhan yang sesuai dengan sifat mikroba dan lingkungan
Tanaman dapat tercemar oleh bakteri patogen dari air irigasi yang
tercemar limbah, tanah, atau kotoran hewan yang digunakan sebagai pupuk.
Cemaran akan semakin tinggi pada bagian tanaman yang ada di dalam tanah atau
16
dekat dengan tanah. Beberapa bakteri patogen yang dapat mencemari tanaman
melalui tanah adalah Bacillus sp., Clostridium sp., dan Listeria monocytogenes
Interaksi antara bakteri dan akar tanaman akan meningkatkan ketersediaan nutrien
adalah selapis tanah yang menyelimuti permukaan akar tanaman yang masih
dipengaruhi oleh aktivitas akar. Tebal tipisnya lapisan rhizosfer antar setiap
saja, di tanah, air, udara, tanaman, binatang, bahan pangan, peralatan untuk
mikroba, yang dapat berasal dari mikroflora alami tanaman, baik yang berasal dari
dalam waktu singkat dan pada kondisi yang sesuai, antara lain tersedianya nutrisi,
pH, suhu, dan kadar air dalam bahan (Djaafar dkk, 2007).
menjadi bakteri psikrofil (tumbuh pada suhu 0-30oC), mesofil (tumbuh pada suhu
kandungan air bebas tertentu untuk hidupnya, biasanya diukur dengan parameter
17
berkisar antara pH 7-8, meskipun ada beberapa bakteri yang tumbuh pada suasana
jaminan bahwa ekstrak tidak boleh mengandung bakteri patogen dan tidak
mengandung mikroba non patogen melebihi batas yang ditetapkan. Uji ALT
berprinsip pada adanya pertumbuhan koloni bakteri aerob mesofil setelah cuplikan
diinokulasikan pada media lempeng agar dengan cara tuang dan diinkubasi pada
(108) sel untuk tiap ml. Sejumlah tertentu bahan yang akan diperiksa diencerkan
Karena hanya sel-sel yang hanya sanggup membentuk koloni saja yang dihitung,
dalam susu, juga digunakan untuk penghitungan jumlah bakteri dalam air,
makanan, produk susu serta spesimen lain. PCA berisi digesti pankreatik kasein,
ekstrak ragi dan glukosa yang penting untuk pertumbuhan dari bakteri yang
Uji ALT merupakan penghitungan jumlah bakteri yang hidup (viable cell
count). Cara ini hanya menggambarkan jumlah sel yang hidup, sehingga
dikatakan lebih tepat bila dibandingkan dengan cara total cell count. Pada metode
ini diasumsikan bahwa setiap sel mikroba hidup dalam suspensi akan tumbuh
menjadi 1 koloni setelah diinkubasikan dalam media biakan dan lingkungan yang
sesuai. Setelah masa inkubasi, jumlah koloni yang tumbuh dihitung, dan
merupakan perkiraan atau dugaan dari jumlah mikroba dalam suspensi tertentu
(Hadioetomo, 1985).
30-300 koloni saja yang digunakan dalam perhitungan. Lempeng agar dengan
penghitungan jumlah yang benar, namun pengenceran yang terlalu tinggi akan
menghasilkan lempeng agar dengan jumlah koloni yang rendah (<30 koloni).
perhitungan (Lay, 1994). Nilai ALT didapatkan dari rata-rata jumlah koloni pada
bakteri melebihi batas karena berpengaruh pada stabilitas bahan dan berbahaya
(Anonim, 2004).
F. Landasan Teori
merupakan tanaman obat yang paling banyak digunakan sebagai bahan baku
temulawak, didapatkan hasil yang berupa : rimpang basah, rimpang kering, dan
pengolahan yang berbeda. Proses pengolahan merupakan salah satu faktor penting
yang menentukan kualitas olahan rimpang basah, rimpeng kering, maupun ekstrak
pengotor ini diharapkan dapat mengurangi jumlah cemaran mikroba pada rimpang
konsentrasi 70% sampai 90% dapat berfungsi sebagai desinfektan yang dapat
digunakan untuk menghitung jumlah mikroba yang masih hidup dan dapat
batas nilai ALT maksimum adalah 10 koloni/gram bahan, untuk serbuk adalah
G. Hipotesis
ekstraksi mampu mengurangi cemaran bakteri pada bahan sehingga nilai ALT
pada hasil olahan rimpang temulawak berupa rimpang basah, rimpang kering, dan
METODOLOGI PENELITIAN
ada perlakuan terhadap subjek uji. Rancangan penelitian ini adalah penelitian
bakteri pada rimpang basah, rimpang kering, dan ekstrak etanolik temulawak dan
kemudian dibandingkan dengan batas ketentuan nilai ALT yang telah ditetapkan
2004).
1. Variabel Penelitian
temulawak.
21
22
2. Definisi Operasional
pada umur 7-12 bulan, selama bulan Desember 2009, telah dicuci bersih,
penangas air.
d. ALT adalah jumlah koloni bakteri dalam tiap 1 gram atau 1 ml sampel
etanolik temulawak. Nilai ALT dalam penelitian ini didapatkan dari hasil
pengencerannya.
C. Bahan Penelitian
Pasar Beringharjo Yogyakarta. Rimpang dipanen pada umur 7-12 bulan selama
Bahan-bahan lain yang digunakan dalam penelitian ini adalah Plate Count
Agar (PCA), pereaksi Peptone Dilution Fluid (PDF), aquadest, dan etanol 70%.
D. Alat Penelitian
(Pyrex), penangas air, oven (Memmert), hot plate (Heidolph MR 2002), timbangan
cawan petri, hot plate, alat hitung koloni, bunsen, dan Laminar Air Flow (LAF).
yang dipilih adalah rimpang yang tua, berumur 7-12 bulan, yang masih dalam
keadaan segar, tidak busuk, tidak cacat, dan tidak rusak (Anonim, 2006).
hasilnya dengan acuan standar yaitu Materia Medika Indonesia Jilid III
(Anonim, 1979).
debu, tanah, dan kotoran lain yang melekat dengan disikat perlahan,
Rimpang dibiarkan berada dalam oven selama tiga hari berturut-turut. Setelah
genap tiga hari, rimpang kering ditempatkan pada kantung tertutup rapat
tersebut diulangi 2 kali dengan jenis dan jumlah pelarut yang sama. Seluruh
ekstrak pekat.
25
Temulawak
temulawak yang telah dicuci bersih dan ditiriskan, maka rimpang basah
vortex.
b. Pembuatan media
sampai 60oC, kemudian dituangkan dalam wadah yang lebih kecil. Media
15 menit.
Sebanyak 1 gram peptone dilarutkan dalam 1 liter air suling dan diukur
d. Pengenceran sampel
dibuat duplo. Ke dalam tiap cawan petri dituangkan 15-20 ml media PCA
(45±1 0C). Segera cawan petri digoyang dan diputar sedemikian rupa
pengencer dibuat uji kontrol (blangko). Pada satu cawan hanya diisi 1 ml
pengencer dan media agar dan pada cawan yang lain hanya diisi media
agar. Setelah media memadat cawan petri diinkubasi pada suhu 35-370 C
27
selama 24-48 jam dengan posisi terbalik. Dilakukan tiga kali replikasi
koloni antara 30-300. Jumlah koloni rata-rata dari kedua cawan dihitung lalu
Total dalam tiap gram contoh. Bila ditemui jumlah koloni kurang dari 30 atau
1. Bila salah satu dari cawan petri menunjukkan jumlah koloni 30 atau lebih
lebih tinggi didapati jumlah koloni rata-rata lebih besar 2 kali jumlah
terendah.
3. Bila dari seluruh cawan petri tidak satupun yang menunjukkan jumlah
perkiraan.
4. Bila tidak ada pertumbuhan pada semua cawan dan bukan disebabkan
5. Bila jumlah koloni per cawan kurang dari 3000, maka cawan dengan
tingkat pengenceran tertinggi dibagi dalam beberapa sektor (2, 4, atau 8).
Perkiraan.
6. Bila jumlah koloni lebih dari 200 pada 1/8 bagian cawan, maka jumlah
Perkiraan dihitung sebagai lebih besar dari jumlah koloni yang diperoleh.
cawan, maka dihitung koloni yang tumbuh diluar daerah sprader. Jika 75%
diatas, maka dicatat sebagai “Spr”. Untuk keadaan ini harus dicari
F. Analisis Data
Data yang diperoleh dari penelitian ini adalah jumlah koloni bakteri untuk
tiap ml atau gram bahan sampel dari masing-masing hasil pengolahan rimpang
(rimpang basah, rimpang kering, dan ekstrak etanolik). Dari nilai rata-rata tiga
batas keamanan nilai ALT yang telah ditentukan menurut Surat Keputusan
2004).
BAB IV
A. Pengumpulan Bahan
ada di Pasar Beringharjo Yogyakarta, yang berasal dari petani di daerah Cilacap.
Rimpang tersebut dipanen selama bulan Desember 2009 pada saat berumur 7-12
bulan. Dari tahap pengumpulan bahan didapatkan rimpang yang masih dalam
kondisi segar, namun masih terdapat beberapa rimpang yang busuk dan cacat,
serta masih terdapat pengotor berupa tanah dan pasir yang cukup banyak.
tahapan awal untuk memisahkan rimpang temulawak dari rimpang yang busuk
dan cacat, serta bahan-bahan lain yang mungkin masih terikut seperti kerikil, akar,
serangga, atau pengotor lainnya. Sortasi basah perlu dilakukan untuk mengurangi
benda asing yang ikut dalam proses pengolahan selanjutnya (Anonim, 2006).
Bahan lain tidak boleh terikut karena yang akan diteliti adalah jumlah cemaran
bakteri dari rimpang temulawak. Dari tahap sortasi basah didapatkan rimpang
temulawak yang sudah terpisah dari bahan selain rimpang, tetapi masih terdapat
digunakan dalam penelitian ini adalah rimpang temulawak dari spesies Curcuma
30
31
ciri-ciri rimpang Curcuma xanthorrhiza Roxb. yang ada pada Materia Medika
yang terkumpul memiliki bau khas aromatis temulawak, dengan rasa agak pahit,
pedas, dan kelat di lidah. Rimpang temulawak berwarna kuning orange tua dan
berbentuk pipih bulat. Ciri-ciri organoleptis ini sesuai dengan yang tertera pada
temulawak yang terkumpul berbentuk kepingan bulat agak lonjong, ringan, keras
tapi rapuh, dengan pinggir berkerut, dan berdiameter antara 4-6 cm dengan tebal
antara 1-3 cm. Hasil pengamatan secara makroskopis ini menunjukkan ciri-ciri
Roxb. yang tertera pada Materia Medika Indonesia Jilid III (Anonim, 1979).
terkumpul, didapatkan adanya beberapa bagian sel pada rimpang seperti parenkim
silinder pusat, endodermis, butir minyak, berkas pembuluh kolateral, butir pati,
hipodermis, epidermis, parenkim korteks. Bagian yang merupakan ciri khas dari
rimpang Curcuma xanthorrhiza Roxb. adalah adanya butir pati dan butir minyak.
Curcuma xanthorrhiza Roxb. yang tertera pada Materia Medika Indonesia Jilid III
bahwa bahan rimpang yang digunakan dapat penelitian adalah benar rimpang dari
sebagai bahan penelitian dengan ciri-ciri temulawak pada standar acuan MMI Jilid
1. Pencucian
mengalir sambil disikat perlahan. Tahap ini perlu dilakukan untuk menghilangkan
tanah dan pengotor lain yang masih melekat pada rimpang temulawak (Sembiring,
2008). Setelah semua rimpang selesai dicuci bersih, kemudian rimpang ditiriskan
selama beberapa saat untuk menghilangkan tetesan-tetesan air sisa hasil pencucian
pencucian terjadi kontak rimpang dengan air yang kemungkinan dapat menambah
kandungan air pada permukaan rimpang. Air dari pencucian ini harus dihilangkan
dengan ditiriskan karena adanya air akan menjadi tempat yang baik bagi
pertumbuhan mikroba (Jawetz dkk, 1995). Hal ini dapat mengacaukan hasil
penelitian karena jumlah bakteri yang ada nantinya bukan hanya berasal dari
rimpang seperti yang diharapkan, tetapi juga berasal dari air sisa pencucian.
Dari tahapan ini didapatkan sampel berupa rimpang basah temulawak yang
berfungsi untuk menghindarkan sampel dari kontak dengan udara bebas yang
freezer suhu dapat diturunkan sangat rendah. Suhu yang rendah ini dapat
2. Perajangan
tahap perajangan ini rimpang utuh dipotong menjadi lebih tipis sehingga akan
Meningkatnya luas permukaan yang kontak dengan udara pada rimpang akan
steel yang tajam sehingga didapatkan potongan rimpang dengan tebal yang
seragam. Rajangan tidak boleh terlalu tebal karena akan memperlama proses
(Anonim, 2009b). Pada tahap ini dihasilkan rajangan rimpang basah dengan
3. Pengeringan
dihasilkan simplisia yang siap untuk diserbuk. Berkurangnya kadar air pada
terjadinya reaksi enzimatik (Huda dkk, 2007). Pengurangan kadar air pada
simplisia dapat terjadi karena kandungan air di dalam simplisia akan menguap
34
penguapan air dari simplisia sudah berhenti karena jumlah molekul-molekul air
yang diuapkan dari simplisia sama dengan jumlah molekul-molekul air yang
diserap oleh permukaan simplisia. Simplisia yang sudah kering ditandai dengan
mekanis (oven). Metode ini dipilih karena dengan metode ini suhu pengeringan
dapat diatur dan stabil, tidak tergantung pada cuaca. Selain itu, pada alat
pengering terdapat kipas yang memungkinkan aliran udara pada seluruh bagian
tahap pengeringan ini dihasilkan simplisia rimpang temulawak kering yang siap
4. Sortasi Kering
pengotor yang mungkin masih terikut (Anonim, 2009b). Proses ini perlu
dilakukan supaya pengotor-pengotor yang ada tidak ikut terserbuk sehingga dapat
perlu dihilangkan agar nantinya yang terserbuk adalah hasil dari pengeringan
rimpang saja. Pada tahapan ini dihasilkan sampel berupa rimpang kering
temulawak.
5. Pembuatan Serbuk
35
dalam wadah tertutup rapat dan disimpan dalam freezer. Proses penyerbukan dari
rimpang kering ini perlu dilakukan agar nantinya didapatkan suspensi sampel
yang merata dari rimpang kering temulawak. Hal ini berfungsi agar koloni bakteri
dapat tumbuh menyebar secara merata pada media yang digunakan sehingga akan
penyerbukan maka akan terjadi penghancuran sel dari rimpang temulawak yang
telah dikeringkan sehingga sel bakteri yang ada di dalam rimpang dapat keluar
dan dapat tersuspensi secara merata pada cairan pengencer yang digunakan.
6. Ekstraksi
adalah maserasi. Metode maserasi dipilih karena metode ini merupakan metode
penyari menembus dinding sel simplisia. Dengan cara ini juga semua cemaran
berupa sel bakteri dapat kontak langsung terikut ke dalam cairan penyari. Dengan
demikian diharapkan semua sel bakteri akan ikut tersari. Etanol 70% merupakan
salah satu bahan yang biasa digunakan sebagai cairan desinfektan yang dapat
membunuh mikroba (Jawetz dkk, 1996). Oleh karena itu, pada tahap ini juga
36
terjadi pembunuhan sel bakteri yang ada pada serbuk dari rimpang kering yang
digambarkan dengan menurunnya nilai ALT. Pada tahap ini didapatkan sampel
yang ketiga berupa ekstrak etanolik temulawak yang siap diuji ke tahap
selanjutnya.
1. Penanganan Rimpang
kering, dan ekstrak etalonik perlu disiapkan melalui tahapan penanganan sampel.
Sampel berupa rimpang basah dan rimpang kering dihancurkan terlebih dahulu
basah dan kering ini dilakukan dalam kondisi aseptis baik ruangan maupun
2. Homogenisasi Sampel
dengan distribusi bakteri yang merata dalam tiap bagian contoh uji. Homogenisasi
viabilitas sel bakteri yang ada pada sampel. Pada pengujian ALT, terjadi proses
viabilitas sel bakteri agar tetap dapat hidup dan tumbuh, maka diperlukan suatu
media yang dapat menyediakan nutrisi yang cukup bagi sel bakteri. Pada
penelitian ini digunakan diluent PDF sebagai pengencer sekaligus penyedia nutrisi
bagi sel bakteri yang disuspensikan. PDF mengandung pepton yang merupakan
salah satu jenis protein yang dibutuhkan oleh sel bakteri untuk tetap hidup.
Komponen pepton ini juga berfungsi sebagai buffer yang dapat mempertahankan
3. Pengenceran Sampel
perhitungan jumlah koloni. Dalam satu cawan petri, jumlah koloni yang dihitung
adalah yang memiliki jumlah koloni antara 30-300 koloni. Pengenceran perlu
pertumbuhan bakteri yang terlalu pekat dan tidak dapat dihitung (Lay, 1994). Dari
Temulawak
38
dalam suatu produk yang tumbuh pada media agar pada suhu dan waktu inkubasi
yang ditetapkan. Uji ini disebut juga dengan viable count atau penghitungan
keadaan bahwa setiap sel mikroorganisme hidup dalam suspensi akan tumbuh
Untuk metode ALT jumlah koloni yang layak untuk dihitung pada tiap
cawan petri adalah antara 30-300 koloni. Apabila jumlah koloni pada tiap cawan
petri yang dihitung lebih dari 300 koloni, kondisi ini disebut sebagai Too
Numerous To Count (TNTC) atau terlalu banyak untuk dihitung yang dapat
Sedangkan apabila koloni dalam satu cawan petri berjumlah kurang dari 30
koloni, maka jumlah perhitungan yang dihasilkan kurang absah secara statistik
bakteri dalam bahan baku obat tradisional. Penanaman sampel dalam media pada
penelitian ini menggunakan metode pour plate agar suspensi sampel dapat
tersebar merata pada media. Proses inkubasi dilakukan dengan keadaan cawan
terbalik. Hal ini dimaksudkan supaya uap air yang terkondensasi pada tutup
bakteri.
39
Pada pengujian ALT cara kerja aseptis perlu diperhatikan. Hal ini
sementara bakteri terdapat di mana-mana, bahkan di udara. Cara kerja yang tidak
aseptis dapat mengacaukan hasil pengujian karena bakteri yang tumbuh tidak
hanya berasal dari cuplikan sampel saja tetapi juga dari kontaminan selama
pengerjaan. Jika benar pengerjaan yang dilakukan sudah mengikuti teknik aseptis,
maka pada kontrol media dan pelarut tidak akan tumbuh koloni bakteri.
A B
Dari gambar 1 didapatkan bahwa tidak ada koloni bakteri yang tumbuh
pada cawan kontrol media maupun kontrol pelarut. Hal ini menunjukkan bahwa
40
dalam pengerjaan sudah mengikuti cara kerja yang aseptis dan juga media dan
pelarut yang digunakan sudah benar steril sehingga koloni yang tumbuh pada
cawan sampel benar berasal dari bakteri yang ada pada sampel, bukan dari
mengandung cuplikan suspensi sampel. Dipilih cawan petri yang memiliki jumlah
koloni antara 30-300, dan perhitungan koloni dilakukan menurut ketentuan dari
Tabel I. Hasil Uji Angka Lempeng Total Untuk Sampel Rimpang Basah
Temulawak Setelah Inkubasi Selama 48 Jam
Rata-rata
Jumlah ALT
Replikasi (koloni/gram) ±SD
Koloni (koloni/gram)
1 287
Replikasi I 2,9 x 108
2 293
Replikasi II
1 281
2,8 x 108 2,9 x 108±0,058x108
2 273
1 294
Replikasi III 2,9 x 108
2 282
1 0 0
Kontrol Media 0
2 0
1 0 0
Kontrol Pelarut 0
2 0
Dari tabel I diketahui rata-rata nilai ALT untuk sampel rimpang basah
(SD) yang ada menggambarkan seberapa besar simpangan data dari nilai rata-rata.
Pada sampel rimpang basah, nilai SD yang didapatkan berkisar 2% dari besar nilai
rata-rata ALT. Hal ini menunjukkan bahwa variasi data yang didapat pada sampel
rimpang temulawak tidak terlalu besar yang berarti juga bahwa nilai ALT yang
41
didapat cukup stabil. Dari nilai SD ini dapat dimaknai bahwa proses pencucian
yang dilakukan dapat menghasilkan nilai ALT yang seragam pada sampel.
Nilai ALT yang didapat pada sampel rimpang temulawak ini sangat besar,
yang menunjukkan jumlah cemaran bakteri juga sangat banyak. Hal ini
disebabkan karena pada sampel rimpang basah temulawak, kandungan air yang
ada pada rimpang masih sangat tinggi. Tingginya kandungan air ini dapat
menyebabkan bakteri yang ada dalam sampel akan tetap hidup dan
rimpang tidak dapat ikut dibersihkan. Hal ini menyebabkan sel-sel bakteri yang
ada pada bagian dalam daging rimpang tetap ada, dengan kandungan air yang
masih banyak sehingga menyebabkan nilai ALT yang dihasilkan juga masih
bahwa syarat nilai ALT untuk jenis rajangan adalah tidak lebih dari 10 koloni.
Dari hasil uji ALT pada rimpang temulawak, nilai ALT yang ada jauh melebihi
syarat yang ditetapkan. Hal ini menunjukkan proses pencucian yang telah
dilakukan belum dapat mengurangi bakteri yang ada pada rimpang sesuai dengan
yang diharapkan sehingga rimpang basah yang dihasilkan pada penelitian ini tidak
Tabel II. Hasil Uji Angka Lempeng Total Untuk Sampel Rimpang Kering
Temulawak Setelah Inkubasi Selama 48 Jam
Rata-rata
Jumlah ALT
Replikasi (koloni/gram) ±SD
Koloni (koloni/gram)
1 153
Replikasi I 1,4 x 107
2 129
Replikasi II
1 137
1,4 x 107 1,4 x 107±0,058x107
2 133
1 128
Replikasi III 1,3 x 107
2 136
1 0 0
Kontrol Media 0
2 0
1 0 0
Kontrol Pelarut 0
2 0
Dari tabel II diketahui rata-rata nilai ALT untuk sampel serbuk rimpang
rimpang basah, nilai SD yang didapatkan berkisar 4% dari besar nilai rata-rata
ALT. Hal ini menunjukkan bahwa variasi data yang didapat pada sampel rimpang
temulawak tidak terlalu besar yang berarti juga bahwa variasi data nilai ALT
yang didapat kecil. Dari nilai SD ini dapat dimaknai bahwa proses pengeringan
yang dilakukan dapat menghasilkan nilai ALT yang seragam pada sampel.
temulawak. Penurunan jumlah cemaran bakteri ini dapat terjadi karena sampel
yang diuji. Pengurangan jumlah kandungan air dalam simplisia ini dapat
mengurangi jumlah cemaran bakteri. Dengan berkurangnya jumlah air maka akan
pengeringan juga terjadi proses pemanasan yang juga dapat mengurangi jumlah
43
bakteri yang hidup. Dengan demikian, ketika dilakukan uji ALT pada sampel
rimpang kering temulawak, jumlah bakteri yang hidup telah berkurang sehingga
menghasilkan nilai ALT yang juga mengalami penurunan dibandingkan nilai ALT
pada sampel rimpang basah temulawak. Meskipun demikian, nilai ALT yang
didapatkan pada sampel rimpang kering temulawak masih cukup tinggi. Menurut
Tentang Persyaratan Obat Tradisional menyatakan bahwa syarat nilai ALT untuk
jenis serbuk dari rimpang kering adalah tidak lebih dari 10 koloni. Hasil uji ALT
menunjukkan bahwa nilai ALT rimpang kering temulawak jauh melebihi batas.
namun rimpang kering yang dihasilkan belum memenuhi persyaratan nilai ALT
Tabel III. Hasil Uji Angka Lempeng Total Untuk Sampel Ekstrak Etanolik
Temulawak Setelah Inkubasi Selama 48 Jam
Rata-rata
Jumlah ALT
Replikasi (koloni/gram) ±SD
Koloni (koloni/gram)
1 92
Replikasi I 1,1 x 103
2 130
Replikasi II
1 137
1,1 x 103 1 x 103±0,16x103
2 75
1 88
Replikasi III 8,3 x 102
2 78
1 0 0
Kontrol Media 0
2 0
1 0 0
Kontrol Pelarut 0
2 0
Dari tabel III diketahui bahwa rata-rata nilai ALT untuk sampel ekstrak
standar deviasi yang didapatkan pada sampel ekstrak temulawak adalah yang
44
paling besar dibandingkan pada dua sampel yang lain, yaitu berkisar 16% dari
nilai rata-rata ALT. Hal ini menggambarkan bahwa variasi nilai data pada sampel
ekstrak etanolik adalah yang paling besar. Hal ini menunjukkan bahwa proses
pemekatan ekstrak yang dilakukan dengan penangas air pada penelitian ini dapat
Nilai ALT untuk sampel ekstrak etanolik temulawak ini merupakan nilai
ALT yang paling kecil dibandingkan sampel rimpang basah maupun serbuk
yang lain. Hal ini disebabkan karena proses ekstraksi menggunakan cairan penyari
etanol 70%. Cairan etanol 70% ini merupakan desinfektan yang efektif untuk
1995). Penggunaan etanol 70% sebagai cairan penyari pada proses maserasi akan
membunuh sel-sel bakteri yang ada sehingga terjadi pengurangan nilai ALT.
Bakteri yang masih ada setelah hasil pengujian dimungkinkan berasal dari
atas penangas air. Pada saat proses pemekatan ekstrak, terjadi penguapan pelarut
yaitu etanol yang ada di dalam sampel. Dengan menguapnya etanol ini, maka
dipekatkan terus kontak dengan udara bebas yang tidak steril sehingga ada
sejumlah bakteri yang masuk ke dalam sampel dan terhitung sebagai jumlah
cemaran bakteri pada saat dilakukan uji ALT. Nilai ALT pada sampel ekstrak
Dari tiga jenis sampel hasil olahan rimpang temulawak yang diuji,
semuanya menunjukkan nilai ALT yang masih jauh melebihi batas, meskipun
pengolahan rimpang temulawak (Anonim, 2006). Hal ini selain disebabkan karena
adanya cemaran bakteri yang memang berasal dari sampel, tetapi juga dapat
disebabkan karena ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi nilai ALT yang
pada penelitian ini kurang dapat dikontrol oleh peneliti. Beberapa faktor tersebut
diantaranya adalah lama dan kondisi penyimpanan sampel. Lama dan kondisi
Selain itu, pada penelitian ini masih mungkin yang terhitung sebagai nilai
ALT bukan hanya koloni bakteri saja. Hal ini disebabkan karena pada media yang
memiliki morfologi yang hampir sama dengan bakteri. Adanya khamir yang
masih mungkin tumbuh ini disebabkan karena pada media agar yang digunakan
terdapat kandungan air yang cukup tinggi yang merupakan media yang baik bagi
pertumbuhan khamir.
diperlukan untuk mendapat kualitas hasil olahan yang lebih baik. Apabila proses
bakteri tidak berkurang, tetapi malah bertambah yang dihasilkan dari proses
A. Kesimpulan
1. Nilai ALT yang diperoleh untuk rimpang basah temulawak adalah sebesar
2. Nilai ALT yang didapatkan dari sampel rimpang basah, rimpang kering, dan
ekstrak etanolik melebihi batas persyaratan ALT yang telah ditetapkan pada
Indonesia.
B. Saran
1. Perlu dilakukan penelitian mengenai cara pengolahan rimpang temulawak
jumlah cemaran bakteri yang ada dapat minimal dan dapat memenuhi
pertumbuhan koloni bakteri dengan koloni mikroba lain, salah satunya adalah
kondisi aseptis pada tiap tahapan perlakuan sampel, termasuk lama dan
46
47
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 1979, Materia Medika, jilid III, 63-70, Departemen Kesehatan Republik
Indonesia, Jakarta.
Anonim, 2008, Budidaya dan Pasca Panen Tanaman Obat Untuk Meningkatkan
Kadar Bahan Aktif,
http://balittro.litbang.deptan.go.id/eng/index.php?option=com_content&ta
sk=view&id=88&Itemid=44, diakses tanggal 29 Januari 2010
Atlas, R. M., 1997, Handbook of Micribiological Media, 2nd Edition, 207, 497,
506, 796, CRC Press Inc, New York.
Djaafar, T.F, dan Rahayu S., 2007, “Cemaran Mikroba Pada Produk Pertanian,
Penyakit yang Ditimbulkan, dan Pencegahannya”, Balai Pengkajian
Teknologi Pertanian Yogyakarta, Jurnal Litbang Pertanian.
Fardiaz, S., Mikrobiologi Pangan, Edisi I, 130, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Huda, M. D. K., Cahyono, B., dan Limantara, L., 2006, “Pengaruh Proses
Pengeringan Terhadap Kandungan Kurkuminoid Dalam Rimpang
Temulawak”, Universitas Diponegoro Semarang, Jurnal Teknologi
Pangan.
Jawetz, E. J. I., Melnick and Adelberg, E. A., 1995, Mikrobiologi Untuk Profesi
Kesehatan, 234-240, 286-290, Diterjemahkan oleh Tonang, A., Edisi
XVI, EGC, Jakarta.
Lay, B.W., 1994, Analisis ,Mikroba di Laboratorium, Edisi I, 47-54, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta.
Pelczar, J.R., dan Michael, J., 1986, Microbiology, 20-25, Mc Grawhill Book
Company, New York.
Plantus, 2008, Sembilan Tanaman Obat Unggulan Hasil Uji Klinis Badan POM,
http://anekaplanta.wordpress.com/2008/03/02/sembilan-tanaman-obat-
unggulan-hasil-uji-klinis-badan-pom/, diakses tanggal 11 November
2009
49
Rahardjo, M., dan Otih Rostiana, 2005, Budidaya Tanaman Temulawak, Edisi I,
24-28, Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatika, Jakarta
Voigt, 1994, Buku Pelajaran Teknologi Farmasi, Edisi 5, 579-582 Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta.
50
LAMPIRAN
51
Lampiran 1.
Kontrol Media 0 0 0 0 0 0
Kontrol Pelarut 0 0 0 0 0 0
Kontrol Media 0 0 0 0 0 0
Kontrol Pelarut 0 0 0 0 0 0
Lampiran 2.
Kontrol Media 0 0 0 0 0 0
Kontrol Pelarut 0 0 0 0 0 0
Kontrol Media 0 0 0 0 0 0
Kontrol Pelarut 0 0 0 0 0 0
Lampiran 3.
Kontrol Media 0 0 0 0 0 0
Kontrol Pelarut 0 0 0 0 0 0
Kontrol Media 0 0 0 0 0 0
Kontrol Pelarut 0 0 0 0 0 0
Replikasi I
→ 130+92 x 101 = 111 x 101 = 1.110 koloni/gram sampel
2
→ 1.110 (perbandingan 1 : 1.000)
= 1,1 x 103 koloni/ml sampel
Replikasi II
→ 137+75 x 101 = 106 x 101 = 1.060 koloni/ml sampel
2
→ 1.060 koloni (perbandingan 1 : 1000)
= 1,1 x 103 koloni/gram sampel
Replikasi III
→ 88+78 x 101 = 83 x 101 = 830 koloni/ml sampel
2
→ 830 koloni (perbandingan 1 : 100)
= 8,3 x 102 koloni/gram sampel
Rata-rata
→ (1,1x103)+(1,1x103)+(8,3x102) = 1,0 x 102 koloni/ml sampel
3
Batas nilai ALT = 10 koloni/gram → tidak memenuhi sayarat
57
Lampiran 4.
A B
C D
Keterangan Gambar :
A = Gambar Hasil Uji ALT Sampel Rimpang Basah Temulawak Pada Tingkat
Pengenceran 10-6
B = Gambar Hasil Uji ALT Sampel Rimpang Basah Temulawak Pada Tingkat
Pengenceran 10-5
C = Gambar Hasil Uji ALT Sampel Rimpang Basah Temulawak Pada Tingkat
Pengenceran 10-4
D = Gambar Hasil Uji ALT Sampel Rimpang Basah Temulawak Pada Tingkat
Pengenceran 10-3
58
Lampiran 5.
A B
C D
Keterangan Gambar :
A = Gambar Hasil Uji ALT Sampel Rimpang Kering Temulawak Pada Tingkat
Pengenceran 10-6
B = Gambar Hasil Uji ALT Sampel Rimpang Kering Temulawak Pada Tingkat
Pengenceran 10-5
C = Gambar Hasil Uji ALT Sampel Rimpang Kering Temulawak Pada Tingkat
Pengenceran 10-4
D = Gambar Hasil Uji ALT Sampel Rimpang Kering Temulawak Pada Tingkat
Pengenceran 10-3
Lampiran 6.
A B
59
Keterangan Gambar :
A = Gambar Hasil Uji ALT Sampel Ekstrak Etanolik Temulawak Pada Tingkat
Pengenceran 10-3
B = Gambar Hasil Uji ALT Sampel Ekstrak Etanolik Temulawak Pada Tingkat
Pengenceran 10-2
C = Gambar Hasil Uji ALT Sampel Ekstrak Etanolik Temulawak Pada Tingkat
Pengenceran 10-1
60
Lampiran 7.
Pengamatan
Hasil Pengamatan Standar MMI III
Makroskopis
Kepingan bulat, lonjong, Keping bundar atau
ringan, keras tapi rapuh, jorong, ringan, keras,
Bentuk pinggir berkerut rapuh, pinggir berkerut.
Diameter= 4-6 cm, tebal= Diameter 6 cm, tebal 2
1-3 mm mm-5 mm
Kuning kecoklatan Coklat kuning sampai
sampai coklat, bidang coklat, bidang irisan
Warna
irisan berwarna lebih berwarna coklat kuning
buram buram
61
Hasil
Pengamatan
Keterangan Gambar :
1. dan 4. Parenkim Silinder 5. Berkas Pembuluh
Pusat Kolateral
2. Endodermis 6. Butir Pati
3. Parenkim Korteks 7. Hipodermis
8. Epidermis
Standar MMI
III
Keterangan Gambar :
1: rambut penutup 6 : sklerenkim
2: epidermis 7 : parenkim korteks
3: hipodermis 8 : butir pati
4: periderm 10: endodermis
5: berkas pembuluh kolateral 11: parenkim silinder pusat.
62
BIOGRAFI PENULIS
menengah tingkat atas dilanjutkan di SMA PL Van Lith Muntilan mulai dari
sampai 2010.
panitia Pharmacy Performance and Event Cup tahun 2008. Penulis juga pernah