Anda di halaman 1dari 81

Universitas Sumatera Utara

Repositori Institusi USU http://repositori.usu.ac.id


Fakultas Farmasi Skripsi Sarjana

2018

Uji Aktivitas Antelmintik Ekstrak Etanol


Batang Pugun Tanoh (Picria fel-terrae
Lour.) Terhadap Pheretima posthuma

Hutagaol, Annisa Mulia Sari


Universitas Sumatera Utara

http://repositori.usu.ac.id/handle/123456789/5439
Downloaded from Repositori Institusi USU, Univsersitas Sumatera Utara
UJI AKTIVITAS ANTELMINTIK EKSTRAK ETANOL
BATANG PUGUN TANOH (Picria fel-terrae Lour.) TERHADAP
Pheretima posthuma

SKRIPSI

OLEH:
ANNISA MULIA SARI HUTAGAOL
NIM 141501004

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2018

Universitas Sumatera Utara


UJI AKTIVITAS ANTELMINTIK EKSTRAK ETANOL
BATANG PUGUN TANOH (Picria fel-terrae Lour.) TERHADAP
Pheretima posthuma

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh


Gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi
Universitas Sumatera Utara

OLEH:
ANNISA MULIA SARI HUTAGAOL
NIM 141501004

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2018

Universitas Sumatera Utara


Universitas Sumatera Utara
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan

berbagai nikmat dan karunia sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang

berjudul “Uji Aktivitas Antelmintik Ekstrak Etanol Batang Pugun Tanoh (Picria

fel-terrae Lour.) terhadap Pheretima posthuma”. Skripsi ini diajukan sebagai

salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan kali ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu

Prof. Dr. Masfria, M.S., Apt., selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas

Sumatera Utara yang telah memberikan fasilitas sehingga penulis dapat

menyelesaikan pendidikan. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak

Popi Patilaya, S.Si., M.Sc., Apt., selaku dosen pembimbing yang telah

memberikan waktu, bimbingan dan nasehat selama penelitian hingga selesainya

penyusunan skripsi ini. Ucapan terima kasih juga kepada Bapak Dr. Panal Sitorus,

M.Si., Apt., dan Bapak Dadang Irfan Husori, S.Si., M.Sc., Apt., selaku dosen

penguji yang telah memberikan saran, arahan, kritik dan masukan kepada penulis

dalam penyelsaian skripsi ini. IbuDr. Marline Nainggolan, M.S., Apt., selaku

ketua Departemen Biologi Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara yang

memberikan saran kepada penulis untuk menyempurnakan skripsi ini. Bapak Drs.

Fathur Rahman Harun, M.Si., Apt., dan Ibu Khairunnisa, S.Si., M.Pharm., Ph.D.,

Apt., selaku dosen penasehat akademik yang telah membimbing penulis selama

masa pendidikan di Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara sertaBapak dan

Ibu staf pengajar Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara yang telah

mendidik dan membimbing penulis selama masa perkuliahan.

iv
Universitas Sumatera Utara
Penulis juga secara khusus mengucapkan terima kasih dan penghargaan

yang tulus kepada Ayahanda Alm. Gito Hutagaol dan Ibunda Tetty Ermina

Nasution yang selalu memberikan doa, dorongan dan semangat kepada penulis

selama masa perkuliahan hingga selesainya penyusunan skripsi ini.

Penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu

penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan

skripsi ini. Akhir kata penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi ilmu

pengetahuan khususnya bidang Farmasi.

Medan, Agustus 2018


Penulis,

Annisa Mulia Sari H


NIM 141501004

v
Universitas Sumatera Utara
SURAT PERNYATAAN TIDAK PLAGIAT

Saya yang bertanda tangan dibawah ini:


Nama : Annisa Mulia Sari Hutagaol
Nomor Induk Mahasiswa : 141501004
Program Studi : S1- Regular Farmasi
Judul Skripsi : Uji Aktivitas Antelmintik Ekstrak Etanol Batang
Pugun Tanoh (Picria fel-terrae Lour) terhadap
Pheretima posthuma
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi ini ditulis berdasarkan data dari
hasil pekerjaan yang saya lakukan sendiri, dan belum pernah diajukan oleh orang
lain untuk memperoleh gelar kesarjanaan di perguruan tinggi lain, dan bukan
plagiat karena kutipan yang ditulis telah disebutkan sumbernya didalam daftar
pustaka.
Apabila di kemudian hari ada pengaduan dari pihak lain karena di dalam
skripsi ini ditemukan plagiat karena kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia
mendapat sanksi apapun oleh Program Studi Fakultas Farmasi Universitas
Sumatera Utara, dan bukan menjadi tanggung jawab pembimbing.
Demikianlah surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya untuk
dapat digunakan jika diperlukan sebagaimana mestinya.

vi
Universitas Sumatera Utara
UJI AKTIVITAS ANTELMINTIK EKSTRAK ETANOL BATANG PUGUN
TANOH (Picria fel-terrae Lour.) TERHADAP Pheretima posthuma

ABSTRAK

Kecacingan merupakan salah satu penyakit yang paling umum tersebar


dan menjangkiti lebih dari 2 miliar manusia di seluruh dunia. Prevalensi infeksi
cacing yang tinggi berdampak buruk bagi kesehatan. Obat antelmintik yang
digunakan saat ini kebanyakan juga bersifat toksik dan dapat menimbulkan efek
samping serta dalam beberapa kasus telah dilaporkan mengalami resisten terhadap
cacing parasit.Indonesia diketahui banyak memiliki tumbuhan yang berkhasiat
obat diantaranya adalah pugun tanoh (Picria fel-terrae Lour.). Tujuan penelitian
ini adalah untuk mengetahui aktivitas antelmintik ekstrak etanol batang pugun
tanoh terhadap Pheretima posthuma.
Ekstrak disiapkan dengan mengekstraksi serbuk simplisia batang pugun
tanoh dengan etanol secara maserasi. Simplisia dikarakterisasi untuk mengetahui
kadar air, kadar sari larut dalam air, kadar sari larut dalam etanol, kadar abu total,
dan kadar abu tidak larut asam. Simplisia dan ekstrak diskrining fitokimia untuk
mengetahui kandungan senyawa yang terdapat didalamnya. Uji aktivitas
antelmintik dilakukan dengan membagi Pheretima posthuma menjadi 6 kelompok
perlakuan, masing-masing terdiri dari 3 ekor cacing. Kelompok I diberi larutan
NaCl 0,9%. Kelompok II diberi larutan NaCl 0,9% yang mengandung Tween 80
1%. Kelompok III, IV,V dan VI masing-masing diberi suspensi EEBPT
konsentrasi 5, 10, 20, dan 30 mg/ml. Aktivitas antelmintik ditentukan berdasarkan
waktu paralisis dan waktu kematian Pheretima posthuma.
Hasil karakterisasi simplisia adalah kadar air (7,54%), kadar sari larut air
(26,21%), kadar sari larut etanol (11,29%), kadar abu total (10,63%), dan kadar
abu tidak larut asam (2,34%). Skrining serbuk simplisia dan ekstrak etanol batang
pugun tanoh mengandung senyawa flavonoid, saponin, tanin, glikosida, dan
steroid/triterpenoid. Uji aktivitas antelmintik EEBPT terhadap Pheretima
posthumadengan rerata waktu paralisis dan waktu kematian cacing pada
konsentrasi 5 mg/ml adalah 66,33±1,45 menit dan 133,00±5,51 menit; konsentrasi
10 mg/ml adalah 49,67±2,33 menit dan 120,67±4,98 menit; konsentrasi 20 mg/ml
adalah 28,67±0,88 menit dan 34,67±1,76 menit; dan konsentrasi 30 mg/ml adalah
21,67±0,88 menit dan 29,67±0,88 menit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
ekstrak etanol batang pugun tanoh memiliki aktivitas antelmintik terhadap
Pheretima posthuma pada seluruh konsentrasi pengujian.
Kata Kunci :Antelmintik,batang pugun tanoh,cacing,Pheretima posthuma,Picria
fel-terrae Lour, pugun tanoh.

vii
Universitas Sumatera Utara
ANTHELMINTIC ACTIVITY OF STEM OF PUGUN TANOH (Picria fel-
terrae Lour.) ETHANOL EXTRACT AGAINST Pheretima posthuma

ABSTRACT

Helminthiasis is one of the most common diseases spread and infect more
than 2 billion people worldwide. The prevalence of high worm infections is bad
for health. The antelmintic drugs used today are mostly toxic and can cause side
effects and in some cases have been reported to be resistant to parasitic
worms.Indonesia is known to have many medicinal herbs such as pugun tanoh
(Picria fel-terrae Lour.). The purpose of this research is to know the antelmintic
activity of ethanol extract of pugun tanoh stem againstPheretima posthuma.
The extract was prepared by extracting the pugun tanohpowdered stem in
ethanol with maceration. The powdered stem was characterized to determine
water content, water soluble content, soluble ethanol content, total ash content,
and acid soluble ash content. The powder and extract of pugun tanoh stem were
phytochemicaly screened to determine the compounds. The antelmintic activity
testing was performed by dividingPheretima posthuma into 6 treatment groups,
each consisting of 3 worms. Group I was given a 0.9% NaCl solution. Group II
was given a 0.9% NaCl solution containing Tween 80 1%. Groups III, IV, V and
VI were each given EEBPT concentrations of 5, 10, 20, and 30 mg / ml. The
antelmintic activity is determined by the time of paralysis and the time of
Pheretima posthuma's death.
The results of characterization were moisture content (7.54%), water
soluble (26.21%), ethanol soluble (11.29%), total ash content (10.63%), and
insoluble ash content acid (2.34%). The results of screening of dried powder and
ethanol extract of pugun tanoh stem are flavonoid, saponins, tannins, glycosides,
and steroids / triterpenoids. The result of anthelmintic activity of EEBPT against
Pheretima posthuma with a mean time to paralysis and time to death on the
concentration of 5 mg/ml was 66.33±1.45 minutes and 133.00±5.51 minutes;
concentration 10 mg/ml was 49.67±2.33 minutes and 120.67±4.98 minutes;
concentration 20 mg/ml was 28.67±0.88 minutes and 34.67±1.76 minutes; and
concentration 30 mg/ml was 21.67±0.88 minutes and 29.67±0.88 minutes. The
results showed that ethanol extract of pugun tanohstem had antelmintic activity
against Pheretima posthuma in all test concentration.
Keywords: Anthelmintic,Pheretima posthuma,Picria fel-terraeLour,pugun tanoh,
pugun tanoh stem, worm.

viii
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR ISI

Halaman

JUDUL .................................................................................................. i

HALAMAN PENGESAHAN ................................................................ iii

KATA PENGANTAR ........................................................................... iv

SURAT PERNYATAAN ....................................................................... vi

ABSTRAK ............................................................................................ vii

ABSTRACT .......................................................................................... viii

DAFTAR ISI ......................................................................................... ix

DAFTAR TABEL ................................................................................. xiv

DAFTAR GAMBAR ............................................................................. xv

DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................... xvi

BAB I PENDAHULUAN ...................................................................... 1

1.1 Latar Belakang ..................................................................... 1

1.2 Perumusan Masalah .............................................................. 3

1.3 Hipotesis............................................................................... 4

1.4 Tujuan Penelitian .................................................................. 4

1.5 Manfaat Percobaan ............................................................... 4

1.6 Kerangka Pikir ...................................................................... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................ 6

2.1 Epidemiologi Kecacingan ..................................................... 6

2.2 Penyebab Kecacingan ........................................................... 6

2.2.1 Infeksi nematoda ......................................................... 7

2.2.1.1 Askariasis ....................................................... 7

ix
Universitas Sumatera Utara
2.2.1.2 Enterobiasis .................................................... 7

2.2.1.3 Ankilostomiasis .............................................. 8

2.2.1.4 Trikuriasis ....................................................... 8

2.2.1.5 Filariasis ......................................................... 9

2.2.2 Infeksi trematoda ........................................................ 9

2.2.2.1 Skistosomiasis ................................................. 9

2.2.3 Infeksi cestoda ............................................................ 10

2.2.3.1 Taeniasis ......................................................... 10

2.2.3.2 Difilobotriasis ................................................. 10

2.3 Pengobatan Kecacingan ........................................................ 11

2.3.1 Antelmintik untuk infeksi nematoda ............................ 11

2.3.1.1 Albendazol ...................................................... 11

2.3.1.2 Mebendazol .................................................... 12

2.3.1.3 Ivermektin ....................................................... 12

2.3.1.4 Pirantel pamoat ............................................... 12

2.3.1.5 Piperazin ......................................................... 13

2.3.1.6 Levaisol .......................................................... 13

2.3.1.7 Dietilkarbamazin ............................................ 13

2.3.2 Antelmintik untuk infeksi trematoda ........................... 14

2.3.3 Antelmintik untuk infeksi cestoda ............................... 14

2.3.3.1 Niklosamid...................................................... 14

2.3.3.2 Albendazol ...................................................... 14

2.4 Potensi Tumbuhan sebagai Sumber Antelmintik ................... 15

2.5 Golongan Senyawa Kimia yang Berkhasiat Antelmintik ....... 16

2.6 Uraian Tumbuhan ................................................................. 16

x
Universitas Sumatera Utara
2.6.1 Nama daerah ............................................................... 16

2.6.2 Nama asing ................................................................. 16

2.6.3 Sistematika dan morfologi tumbuhan .......................... 16

2.6.4 Khasiat tumbuhan pugun tanoh ................................... 17

2.6.5 Senyawa kimia pugun tanoh ........................................ 17

2.7 Simplisia............................................................................... 18

2.8 Ekstraksi ............................................................................... 19

2.8.1 Ekstraksi cara panas .................................................... 19

2.8.2 Ekstraksi cara dingin ................................................... 20

2.9 Uji Aktivitas Antelmintik...................................................... 20

2.9.1 Uji in vitro ................................................................... 20

2.9.2 Uji in vivo .................................................................... 21

BAB III METODE PENELITIAN ......................................................... 22

3.1 Alat dan Bahan ..................................................................... 22

3.1.1 Alat-alat ...................................................................... 22

3.1.2 Bahan-bahan ............................................................... 22

3.2 Penyiapan Sampel................................................................. 23

3.2.1 Pengambilan sampel ................................................... 23

3.2.2 Identifikasi sampel ...................................................... 23

3.3 Pembuatan Simplisia Batang Pugun Tanoh ........................... 23

3.4 Pembuatan Pereaksi .............................................................. 24

3.4.1 Pereaksi Mayer ........................................................... 24

3.4.2 Pereaksi Dragendorf .................................................... 24

3.4.3 Pereaksi Bouchardat .................................................... 24

3.4.4 Pereaksi Lieberman-Burchard ..................................... 24

xi
Universitas Sumatera Utara
3.4.5 Pereaksi Molisch ......................................................... 25

3.4.6 Pereaksi asam klorida 2 N ........................................... 25

3.4.7 Pereaksi asam sulfat 2 N ............................................. 25

3.4.8 Pereaksi natrium hidroksida 2 N .................................. 25

3.4.9 Pereaksi timbal (II) asetat 0,4M ................................... 25

3.4.10 Pereaksi besi (III) klorida 1% .................................... 25

3.5 Pembuatan Larutan Kloralhidrat ........................................... 25

3.6 Penyiapan Etanol 96% ......................................................... 25

3.7 Karakterisasi Simplisia Batang Pugun Tanoh ........................ 26

3.7.1 Pemeriksaan organoleptik ........................................... 26

3.7.2 Pemeriksaan mikroskopik ........................................... 26

3.7.3 Penetapan kadar air ..................................................... 26

3.7.4 Penetapan kadar abu total ............................................ 27

3.7.5 Penetapan kadar abu tidak larut asam .......................... 27

3.7.6 Penetapan kadar sari larut air ....................................... 27

3.7.7 Penetapan kadar sari larut etanol ................................. 28

3.8 Skrining Fitokimia Simplisia ................................................ 28

3.8.1 Pemeriksaan alkaloid .................................................. 28

3.8.2 Pemeriksaan flavonoid ................................................ 28

3.8.3 Pemeriksaan tanin ....................................................... 29

3.8.4 Pemeriksaan glikosida ................................................. 29

3.8.5 Pemeriksaan saponin ................................................... 29

3.8.6 Pemeriksaan steroid/triterpenoid ................................. 30

3.9 Pembuatan Ekstrak Etanol Batang Pugun tanoh .................... 30

3.10 Skrining Fitokimia Ekstrak ................................................. 30

xii
Universitas Sumatera Utara
3.11 Uji Aktivitas Antelmintik Batang Pugun Tanoh .................. 30

3.11.1 Hewan percobaan ...................................................... 30

3.11.2 Penyiapan sampel uji ................................................. 31

3.11.3 Uji aktivitas antelmintik ............................................ 31

3.12 Analisis Statistika ............................................................... 32

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................ 33

4.1 Identitas Tumbuhan .............................................................. 33

4.2 Identitas Hewan .................................................................... 33

4.3 Karakteristik Simplisia.......................................................... 33

4.4 Skrining Fitokimia ................................................................ 35

4.5 Ekstraksi Simplisia Batang Pugun Tanoh .............................. 35

4.6 Aktivitas Antelmintik Ekstrak Etanol Batang Pugun Tanoh .. 35

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN.................................................. 38

5.1 Kesimpulan .......................................................................... 38

5.2 Saran .................................................................................... 38

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ 39

LAMPIRAN .......................................................................................... 45

xiii
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR TABEL

Tabel Halaman
3.1 Perlakuan uji antelmintik ............................................................. 31

4.1 Hasil karakterisasi simplisia......................................................... 34

4.2 Hasil skrining fitokimia ............................................................... 35

4.3 Hasil uji aktivitas antelmintik ...................................................... 36

xiv
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman
1.1 Kerangka pikir penelitian .......................................................... 5

xv
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman
1 Identifikasi tanaman ............................................................... 44

2 Surat persetujuan etik penelitian kesehatan............................. 45

3 Identifikasi hewan .................................................................. 46

4 Gambar pugun tanoh .............................................................. 47

5 Gambar hewan percobaan ...................................................... 48

6 Hasil pemeriksaan simplisia batang pugun tanoh ................... 49

7 Hasil pemeriksaan mikroskopik ............................................. 50

8 Bagan prosedur kerja ............................................................. 51

9 Perhitungan rendemen ............................................................ 54

10 Perhitungan karakterisasi simplisia ........................................ 55

11 Gambarpengujian antelmintik ................................................ 58

12 Waku paralisis cacing ............................................................ 59

13 Waktu kematian cacing .......................................................... 60

14 Uji statistika waktu paralisis cacing ........................................ 61

15 Uji statistika waktu kematian cacing ...................................... 63

xvi
Universitas Sumatera Utara
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kecacingan merupakan salah satu penyakit yang paling umum tersebar

dan menjangkiti lebih dari 2 miliar manusia di seluruh dunia (Tjay dan Rahardja,

2007). Laporan terakhir memperkirakan infeksi cacing gelang sebesar 1,221

miliar, cacing cambuk sebesar 795 juta dan cacing tambang sebesar 740 juta (De

silva, et al., 2003). Di Indonesia diperkirakan bahwa lebih dari 60% anak-anak

menderita infeksi cacing (Tjay dan Rahardja, 2007). Infeksi cacing tersebar luas di

daerah tropis dan subtropis dengan jumlah terbesar terjadi di Afrika, Amerika,

Cina dan Asia Timur (WHO, 2018).

Prevalensi infeksi cacing yang tinggi berdampak buruk bagi kesehatan.

Cacing di dalam tubuh manusia akan mengambil sari makanan yang diperlukan

tubuh. Selain itu daya tahan tubuh manusia yang terinfeksi akan melemah

(Gunawan, 2007). Walaupun jarang menyebabkan kematian, namun infeksi

cacing menyebabkan penderita khususnya anak-anak mengalami kekurangan gizi,

kemunduran pertumbuhan fisik, mental, kognitif dan intelektual (Tiwow, dkk.,

2013). Pada orang dewasa menyebabkan menurunnya produktivitas kerja. Dalam

jangka panjang, kecacingan mengakibatkan menurunnya kualitas sumber daya

manusia (Zulkoni, 2010). Kebersihan yang tidak terjaga, lingkungan kotor,

migrasi penduduk, lalu lintas, kepariwisataan menjadi faktor yang dapat

mempermudah penyebaran infeksi cacing (Zulkoni, 2010).

Penanganan terhadap kecacingan adalah dengan pemberian obat

antelmintik yang dapat memusnahkan cacing dalam tubuh manusia dan hewan.

1
Universitas Sumatera Utara
Obat antelmintik yang digunakan saat ini kebanyakan bersifat toksik (Tjay dan

Rahardja, 2007). Obat antelmintik juga dapat menimbulkan efek samping seperti

rasa mual, hilangnya nafsu makan, muntah, sakit kepala dan diare (Vennila and

Nivetha, 2015). Resistensi cacing parasit terhadap obat antelmintik juga telah

banyak dilaporkan. Resistensi terhadap antelmintika golongan benzimidazol,

levamisol, dan Ivermektin telah terjadi hampir di seluruh dunia dan prevalensinya

terus meningkat dari tahun ke tahun. Di Australia 80% peternakan domba

dinyatakan telah resisten terhadap benzimidazol dan levamisol.Efikasi antelmintik

dari Albendazol pada anak sekolah di tujuh negara tropis juga telah dilaporkan

mengsalami penurunan (Haryuningtyas, 2008; Vercruysse, et al., 2011; Waller, et

al., 1995). Oleh karena itu pengembangan antelmintik baru perlu dilakukan

khususnya dari tumbuh-tumbuhan karena kurang menimbulkan efek samping

seperti obat-obatan dari bahan kimia (Apriasari, 2015; Borah, et al., 2013).

Indonesia diketahui banyak memiliki tumbuhan yang berkhasiat obat.

Salah satu yang digunakan sebagai tumbuhan obat berkhasiat adalah pugun tanoh.

Pugun tanoh adalah tumbuhan obat yang terkenal di Asia dan telah diteliti sebagai

antimikroba, antiinflamasi, antiasma dan antidiabetes (Harahap, dkk., 2013;

Kumarasingha, et al., 2016; Tarigan, 2016). Di Maluku dan Filipina tanaman ini

digunakan sebagai obat cacing untuk anak-anak dan dapat juga digunakan untuk

mengobati kolik dan malaria (Prohati, 2015). Menurut penelitian Tarigan (2016)

pugun tanoh mengandung senayawa flavonoid, tanin, glikosida, saponin, dan

steroid/triterpenoid. Metabolit sekunder seperti tanin, flavonoid, glikosida,

saponin, dan steroid/triterpenoid, alkaloid, quinolon, dan lignan diketahui

memiliki potensi aktivitas antelmintik (Patilaya dan Husori, 2015; Vennila and

Nivetha, 2015; Wink, 2012).

2
Universitas Sumatera Utara
Ekstrak etanol daun pugun tanoh yang diekstraksi secara maserasi telah

dilaporkan memiliki aktivitas antelmintik terhadap cacing tanah (Pheretima

posthuma) (Patilaya dan Husori, 2015). Banyak faktor yang mempengaruhi

kualitas ekstrak dan kandungan senyawa bahan aktif bahan tanaman diantaranya

karakteristik tanaman, bagian tanaman, pelarut, dan teknik ekstraksi yang

digunakan (Kumoro, 2015). Pada penelitian ini bagian tanaman yang digunakan

adalah batang pugun tanoh. Batang pugun tanoh memiliki rasa pahit dan belum

diteliti aktivitas antelmintiknya. Metode ekstraksi yang digunakan adalah

maserasi, karena maserasi merupakan salah satu cara ekstraksi yang paling

sederhana hanya dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia dengan

pelarut tanpa pemanasan. Pelarut yang digunakan ialah etanol dikarenakan pelarut

etanol merupakan pelarut yang ideal untuk maserasi (Marjoni, 2016).

Pheretima posthuma digunakan sebagai hewan uji karena memiliki

kemiripan struktur anatomi dan fisiologi dengan cacing parasit yang menginfeksi

manusia. Karena ketersediaan yang mudah, cacing tanah telah digunakan secara

luas untuk evaluasi awal senyawa antelmintik secara in vitro (Dash, et al., 2015

dan Mali, et al., 2008).

Berdasarkan uraian di atas mendorong peneliti melakukan uji aktivitas

antelmintik ekstrak etanol batang pugun tanoh yang diekstraksi dengan metode

maserasi terhadap Pheretima posthuma.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, dapat dirumuskan masalah

penelitian sebagai berikut:

a. Apakah hasil karakteristik simplisia batang pugun tanoh dapat ditentukan?

3
Universitas Sumatera Utara
b. Apa sajakah golongan senyawa kimia yang terdapat pada serbuk simplisia

dan ekstrak etanol batang pugun tanoh?

c. Apakah ekstrak etanol batang pugun tanoh memiliki aktivitas antelmintik

terhadap Pheretima posthuma?

1.3 Hipotesis

Hipotesis yang diajukanpada penelitian ini adalah:

a. Karakteristik simplisia batang pugun tanoh dapat ditentukan.

b. Golongan senyawa kimia simplisia dan ekstrak etanol batang pugun tanoh

adalah flavonoid, tanin, glikosida, saponin dan steroid/triterpenoid.

c. Ekstrak etanol batang pugun tanoh memiliki aktivitas antelmintik terhadap

Pheretima posthuma.

1.4 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah:

a. Mengetahui karakteristik simplisia batang pugun tanoh.

b. Mengetahui golongan senyawa kimia yang terkandung dalam simplisia dan

ekstrak etanol batang pugun tanoh.

c. Mengetahui aktivitas antelmintik ekstrak etanol batang pugun tanoh terhadap

Pheretima posthuma.

1.5 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi bagi masyarakat

tentang karakteristik dan senyawa kimia dari batang pugun tanoh serta aktivitas

antelmintik ekstrak etanol batang pugun tanoh terhadap Pheretima posthuma.

4
Universitas Sumatera Utara
1.6 Kerangka Pikir Penelitian

Penelitian ini meliputi penelitian deskriptif dan eksperimen. Penelitian

deskriptif dilakukan untuk memperoleh karakteristik dan senyawa kimia batang

pugun tanoh. Penelitian eksperimen dilakukan untuk mengetahui pengaruh

variabel bebas konsentrasi ekstrak etanol batang pugun tanoh terhadap variabel

terikat aktivitas antelmintik dengan mengamati waktu paralisis dan waktu

kematian pada cacing uji.

Parameter

Simplisia Karakteristik - Kadar air


batang batang pugun - Kadar sari
pugun tanoh larut air
tanoh - Kadar sari
larut etanol
- Kadar abu
Penelitian total
deskriptif - Kadar abu
tidak larut
asam
Senyawa - Flavonoid
kimia batang - Tanin
pugun tanoh - Glikosida
- Saponin
- Steroid/triter
penoid
Ekstrak
Variabel bebas Variabel terikat Parameter
etanol
batang
pugun Penelitian Konsentrasi Aktivitas - Waktu
tanoh eksperimen EEBPT 5, antelmintik paralisis
n 10, 20, dan - Waktu
30 mg/ml kematian

Gambar 1.1 Kerangka pikir penelitian

5
Universitas Sumatera Utara
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Epidemiologi Kecacingan


Kecacingan merupakan permasalahan kesehatan dunia. Sekitar 1,5 miliar

orang, atau 24% dari populasi dunia khususnya anak-anak mengalami kecacingan.

Lebih dari 267 juta anak usia prasekolah dan lebih dari 588 juta anak usia sekolah

terinfeksi oleh cacing parasit (WHO, 2018). Di Indonesia diperkirakan bahwa

lebih dari 60% anak-anak menderita infeksi cacing (Tjay dan Rahardja, 2007).

Infeksi cacing tersebar luas di daerah tropis dan subtropis dengan jumlah terbesar

terjadi di Afrika, Amerika, Cina, dan Asia Timur (WHO, 2018).

2.2 Penyebab Kecacingan

Kebersihan yang tidak terjaga, lingkungan kotor, migrasi penduduk, lalu

lintas, kepariwisataan menjadi faktor yang dapat mempermudah penyebaran

infeksi cacing (Zulkoni, 2010). Infeksi dapat terjadi melalui telur, larva, atau

cacingnya sendiri melalui mulut atau langsung melalui kulit (Tjay dan Rahardja,

2007 dan Widoyono, 2005).

Cacing yang merupakan parasit manusia dapat dibagi dalam dua kelompok

besar yaitu filum Platyhelminthes dan filum Nemathelminthes. Dalam filum

Platyhelminthes terdapat dua kelas yang penting yaitu kelas Cestoda dan

Trematoda dan dalam filum Nemathelminthes yang penting adalah kelas

Nematoda. Platyhelminthes mempunyai ciri bentuk tubuhnya yang pipih seperti

daun atau pita sedangkan Nemathelminthes bulat memanjang (Ideham, 2007).

Berikut adalah uraian tentang infeksi yang disebabkan oleh nematoda,

cestoda, dan trematoda:

6
Universitas Sumatera Utara
2.2.1 Infeksi nematoda

2.2.1.1 Askariasis

Penyakit ini disebabkan oleh Ascaris lumbricoides atau cacing gelang.

Ascaris lumbricoides adalah cacing berwarna merah berbentuk silinder dengan

panjangnya 10-15 cm. Cacing gelang dapat memproduksi sekitar 200.000 telur

per hari (Widoyono, 2015).

Askariasis adalah penyakit cacing paling besar prevalensinya di antara

penyakit cacing lainnya. Infeksi dapat terjadi karena tertelannya telur cacing yang

mengandung larva infektif melalui makanan dan minuman yang tercemar, sayuran

mentah yang mengandung telur cacing yang berasal dari pupuk kotoran manusia

dan dari vektor serangga seperti lalat yang menularkan telur pada makanan yang

tidak disimpan baik (Widoyono, 2015).

Gejalanya berkisar dari yang ringan sampai yang berat. Gejala yang

ditimbulkan dapat berupa kurangnya nafsu makan, ditemukannya cacing dalam

tinja, demam, batuk mengeluarkan cacing,wheezing, sesak napas, muntah cacing,

perut buncit, nyeri perut, usus tersumbat, dan saluran empedu tersumbat (Zulkoni,

2010).

2.2.1.2 Enterobiasis

Penyakit ini disebabkan oleh Enterobius vermicularis atau cacing kremi.

Enterobius vermicularis adalah cacing kecil berwarna putih dan dapat

menghasilkan 11.000 butir telur setiap bereproduksi.Penyakit ini dipengaruhi oleh

faktor perilaku sehat yang masih rendah. Penderita terbanyak adalah anak-anak

berusia 5-14 tahun (Widoyono, 2015).

Cacing betina yang dewasa biasanya akan bermigrasi pada malam hari ke

daerah sekitar anus untuk bertelur. Hal ini akan menyebabkan rasa gatal di sekitar

7
Universitas Sumatera Utara
anus. Apabila digaruk maka penularan dapat terjadi dari kuku jari tangan ke mulut

(self-infection). Penularan juga dapat terjadi dalam lingkungan yang

terkontaminasi cacing kremi misalnya debu rumah. Gejala yang khas dari infeksi

ini adalah sensasi gatal di sekitar anus yang biasanya diikuti dengan gangguan

tidur (Widoyono, 2005).

2.2.1.3 Ankilostomiasis

Ankilostomiasis adalah infeksi cacing tambang yang disebabkan oleh

Necator americanusyang paling banyak ditemukan di Indonesia dan Ancylostoma

duodenale. Cacing ini disebut cacing tambang karena banyak terdapat di daerah

pertambangan. Cacing ini memiliki ukuran 5-13 mm dan dapat menghasilkan

10.000-25.000 telur sehari (Widoyono, 2015).

Penularannya terjadi oleh larva yang memasuki kulit kaki. Manusia bisa

terinfeksi jika berjalan tanpa alas kaki di atas tanah yang terkontaminasi larva

cacing. Setelah memasuki pembuluh darah, larva sampai ke paru-paru naik ke

saluran nafas dan tertelan lalu masuk ke saluran cerna. Cacing tambang dapat

mengaitkan diri pada mukosa usus dan menghisap darah hingga menimbulkan

anemia yang cukup akut bagi penderita. Gejala yang ditimbulkan yaitu terdapat

keluhan gatal pada kulit akibat masuknya larva, gangguan saluran cerna seperti

kurangnya nafsu makan, mual, muntah, nyeri perut, dan diare. Pada infeksi kronis

dapat terjadi anemia (Tjay dan Rahardja, 2007 dan Widoyono, 2005).

2.2.1.4 Trikuriasis

Penyakit ini disebabkan oleh Trichuris trichiura atau cacing cambuk.

Penyakit ini menyebar lebih sering di daerah beriklim panas dan kurang sanitasi.

Trichuris trichiura adalah cacing kecil yang berbentuk seperti cambuk dengan

bagia depan (kepala) yang mengecil dan bagian belakang yang membesar. Cacing

8
Universitas Sumatera Utara
cambuk dapat menghasilkan 2000-10.000 telur perhari. Cacing cambuk dapat

menghisap darah 0,005 ml/hari. Penularan dapat terjadi dengan cara telur tertelan

melalui mulut dan berkembang di dalam tubuh. Penyakit cacing cambuk biasanya

tanpa gejala tetapi pada infeksi berat bisa menyebabkan anemia dan diare

berdarah sebagai konsekuensi kehilangan darah karena penghisapan oleh cacing

(Widoyono, 2005).

2.2.1.5 Filariasis

Penyakit ini disebabkan oleh Wuchereria bancrofti atau cacing benang

yang merupakan nematoda dari famili Filaria, yang menimbulkan penyakit

elephantiasis (kaki gajah) atau filariasis bancrofti. Cacing ini terdapat antara lain

di Afrika Tengah, Amerika Selatan, India, dan negara tropis lainnya, begitu pula

di Asia Tenggara ( Indonesia, Malaysia, Vietnam, dan Cina Selatan). Infeksi

cacing ini dapat menimbulkan radang pembuluh limfa disusul dengan

penyumbatang oleh cacing dewasa yang panjangnya 8-10 cm. Akibatnya adalah

hipertrofi dari jaringan sel, terutama di bagian kaki. Penularannya ke manusia

terjadi melalui perantara nyamuk Culex fatigans yang menyengat pada waktu

malam (Tjay dan Rahardja, 2007).

2.2.2 Infeksi trematoda

Infeksi trematoda yang sering terjadi diantaranya adalah:

2.2.2.1 Skistosomiasis

Penyakit ini disebabkan oleh Schistosoma mansoni dan Schistosoma

japonicum yang merupakan cacing pipih. Penyakit ini ditularkan melalui sejenis

keong sebagai pembawa larva. Parasit ini menembus kulit manusia dan memasuki

peredaran darah. Skistosomiasis merupakan masalah kesehatan masyarakat yang

disebarkan melalui air yang terinfeksi di beberapa bagian dunia (Tjay dan

9
Universitas Sumatera Utara
Rahardja, 2007). Penularan terjadi melalui kontak langsung dengan air tawar yang

terkontaminasi oleh larva infektif cacing ini (Widoyono, 2005).

2.2.3 Infeksi cestoda

Infeksi cestoda yang sering terjadi diantaranya adalah:

2.2.3.1 Taeniasis

Taeniasis adalah infeksi cacing parasit yang disebabkan oleh cacing pita

dewasa. Cacing pita yang paling umum terdapat adalah Taenia solium dan Taenia

saginata yang banyak terdapat masing-masing pada babi dan sapi.Cacing ini

bersifat hermafrodit, panjangnya mencapai 4-10 cm. Cacing ini terdapat pada

daging yang tidak dimasak atau dimasak tetapi kurang matang (Widoyono, 2015).

Cacing hidup di usus halus untuk menghisap karbohidrat dari lumen usus

dan protein mukosa usus. Telur cacing akan keluar melalui tinja. Apabila telur

termakan oleh babi atau sapi, maka telur akan menetas menjadi larva dalam usus

lalu masuk ke pembuluh darah menuju jaringan otot ke dalam daging. Bila daging

dimakan oleh manusia, maka larva akan menetap dan menjadi dewasa di usus

halus. Gejala yang ditimbulkan adalah gangguan cerna karena adanya masssa

cacing, nyeri otot, lemah dan demam. Anemia dapat terjadi pada tingkat yang

lebih parah (Widoyono, 2005).

2.2.3.2 Difilobotriasis

Penyakit ini disebabkan oleh Diphyllobothrium latum (cacing pita ikan).

Cacing dewasa pada usus penderita dapat sepanjang 15 meter. Penyakit ini

ditularkan oleh larva dalam ikan yang mentah atau kurang matang.

Pencegahannya dengan pengawasan terhadap pengolahan ikan, pemasakan ikan,

dan sanitasi lingkungan. Difilobotriasis didiagnosa melalui deteksi telur yang khas

di dalam feses (Widoyono, 2005).

10
Universitas Sumatera Utara
2.3 Pengobatan Kecacingan

Antelmintika atau obat cacing adalah obat yang dapat memusnahkan

cacing dalam tubuh manusia dan hewan. Banyak antelmintika memiliki khasiat

yang efektif terhadap satu atau dua jenis cacing saja. Hanya beberapa obat yang

memiliki khasiat terhadap lebih banyak jenis cacing (broad spectrum) misalnya

mebendazole. Oleh karena itu pengobatan harus selalu didasarkan atas diagnosa

jenis parasit dengan jalan penelitian mikroskopis. Banyak antelmintika dalam

dosis terapi hanya bersifat melumpuhkan cacing, jadi tidak mematikannya. Guna

mencegah jangan sampai parasit menjadi aktif lagi atau sisa-sisa cacing mati dapat

menimbulkan reaksi alergi, maka harus dikeluarkan secepat mungkin. Oleh sebab

itu beberapa obat cacing perlu diberikan bersama pencahar (Tjay dan Rahardja,

2007).

2.3.1 Antelmintik untuk infeksi nematoda

2.3.1.1 Albendazol

Albendazol adalah suatu benzimidazol berspektrum besar yang diberikan

peroral. Obat ini dapat digunakan untuk pengobatan cacing cambuk, cacing kremi,

cacing tambang dan cacing gelang.Obat ini bekerja dengan cara mengikat area

tubulin sehingga menghambat polimerisasi dan mencegah pembentukan

mikrotubulus. Hilangnya mikrotubulus dalam sitoplasma menyebabkan gangguan

penyerapan glukosa pada larva dan cacing dewasa sehingga kehabisan energi dan

berakhir dengan kematian. Efek sampingnya berupa gangguan lambung-usus,

demam, dan rontok rambut. Wanita hamil dan laktasi tidak boleh menggunakan

albendazol karena terbukti bersifat teratogen pada binatang percobaan. Pada anak

dan dewasa dapat digunakan dosis tunggan 400 mg perhari selama 3 hari(Tjay dan

Rahardja, 2007).

11
Universitas Sumatera Utara
2.3.1.2 Mebendazol

Mebendazol adalah senyawa benzimidazol sintetik, efektif terhadap

berbagai nematoda. Merupakan obat pilihan untuk pengobatan cacing cambuk,

cacing kremi, cacing tambang dan cacing gelang. Obat ini banyak digunakan

sebagai monoterapi untuk penanganan infeksi cacing tunggal maupun infeksi

campuran dengan dua atau lebih cacing. Mekanisme kerjanya melalui perintangan

pemasukan glukosa dan mempercepat penggunaan (glikogen) pada cacing. Efek

samping berupa gangguan saluran cerna seperti sakit perut dan diare. Tidak boleh

digunakan oleh ibu hamil karena memiliki sifat teratogen yang potensial. Dosis

diberikan 100 mg sehari selama 3 hari, bila perlu diulang setelah 3 minggu ( Tjay

dan Rahardja, 2007).

2.3.1.3 Ivermektin

Ivermektin merupakan hasil fementasi bakteriStreptomyces avermitilis

(Tjay dan Rahardja, 2007). Ivermektin sangat efektif terhadap pengobatan

askariasis. Ivermektin bekerja dengan meningkatkan pelepasa GABA pada sitem

saraf yang mengakibatkan paralisis pada parasit. Efek sampingnya berupa gatal-

gatal, ruam kulit, dan perasaan pusing. Tidak dianjurkan bagi wanita hamil. Dosis

di atas 12 tahun diberikan dosis tunggan 150 mcg/kgBB. Bila perlu diulang

sesudah 6 bulan (Tjay dan Rahardja, 2007 dan Tjahyanto dan Salim, 2013).

2.3.1.4 Pirantel pamoat

Pirantel pamoat efektif pada pengobatan infeksi cacing gelang, cacing

kremi dan cacing tambang, tetapi tidak efektif terhadap cacing cambuk.

Mekanisme kerjanya berdasarkan perlumpuhan cacing dengan jalan menghambat

penerusan impuls neuromuskuler. Lalu parasit dikeluarkan oleh peristaltik usus

melalui feses. Efek sampingnya berupa gangguan saluran cerna dan kadang kala

12
Universitas Sumatera Utara
sakit kepala. Tidak dianjurkan untuk wanita hamil dan anak di bawah usia 2

tahun. Dosis dewasa yaitu 2-3 tablet 250 mg dan anak-anak ½-2 tablet (Tjay dan

Rahardja, 2007).

2.3.1.5 Piperazin

Piperazin sangat efektif untuk pengobatan cacing kremi dan cacing gelang.

Mekanisme kerjanya seperti pirantel yaitu menghambat penghantaran impuls pada

neuromuskuler dan dikeluarkan cepat dari usus. Dahulu obat ini banyak

digunakan karena efektif dan murah, tetapi banyak negara barat sejak tahun 1984

tidak menggunakannya lagi terkait efek sampingnya, terutama neurotoksisitasnya.

Efek sampingnya pada overdosis timbul gatal-gatal dan kesemutan serta gejala

neurotoksisitas (rasa kantuk, pikiran kacau, konvulsi, dll). Dosis untuk askariasis

75 mg/kg bb dan enterobiasis 65 mg/kg bb (Tjay dan Rahardja, 2007).

2.3.1.6 Levamisol

Levamisol sangat efektif terhadap cacing gelang dan cacing tambang.

Mekanisme kerjanya dengan cara melumpuhkan cacing parasit. Efek sampingnya

jarang terjadi yaitu alergi (rash). Dosis untuk dewasa 150 mg dan anak-anak 50

mh (Tjay dan Rahardja, 2007).

2.3.1.7 Dietilkarbamazin

Dietilkarbamazin digunakan pada pengobatan filiarisis.Khasiatnya

berdasarkan penurunan kegiatan otot dan kemudian melumpuhkan mikrofilaria.

Obat ini juga dapat menyebakan perubahan permukaan membran pada cacing

sehingga cacing dapat dihancurkan dengan daya tahan tubuh penderita. Efek

sampingnya seperti sakit kepala, pusing, mual, muntah. Obat ini dianggap aman

untuk ibu hamil. Dosisnya 150-500 mg sehari untuk 14 hari (Tjay dan Rahardja,

2007).

13
Universitas Sumatera Utara
2.3.2 Antelmintik untuk infeksi trematoda

Infeksi trematoda, secara umum diobati dengan praziquantel. Obat ini

adalah agen pilihan untuk pengobatan seluruh bentuk skistosomiasis. Mekanisme

kerjanyadengan cara menyebabkan kontraksi serta paralisis otot yang diakhiri

dengan kematian cacing. Efek sampingnya berupa mual, sakit perut, serta jarang

menyebabkan deman dan urtikaria. Dosisnya 600 mg setelah makan malam (Tjay

dan Rahardja, 2007).

2.3.3 Antelmintik untuk infeksi cestoda

2.3.3.1 Niklosamid

Niklosamid adalah obat pilihan untuk sebagian besar infeksi cestoda

(cacing pita). Kerjanya dianggap menghambat fosforalisasi adenosin difosfat

mitokondria parasit, yang menghasilkan energi yang dapat digunakan dalam

bentuk adenosin trifosfat dan metabolisme anaerobik juga dapat dihambat. Efek

sampingnya hampir tidak ada, namun obat ini bersifat sangat toksis sehingga

penggunaannya harus hati-hati. Dosis dewasa dan anak di atas 8 tahun pada pagi

hari hari 2 tablet dikunyah sedangkan pada anak-anak di bawah 8 tahun setengah

dari dosis dewasa (Tjay dan Rahardja, 2007 dan Tjahyanto dan Salim, 2013).

2.3.3.2 Albendazol

Albendazol adalah suatu benzimidazol berspektrum besar yang diberikan

peroral dapat juga mengobati infeksi cacing cestoda(Tjay dan Rahardja, 2007).

Obat antelmintik yang digunakan saat ini kebanyakan bersifat toksik (Tjay

dan Rahardja, 2007). Obat antelmintik juga dapat menimbulkan efek samping

seperti rasa mual, hilangnya nafsu makan, muntah, sakit kepala dan diare (Vennila

and Nivetha, 2015). Resistensi cacing parasit terhadap obat antelmintik juga telah

banyak dilaporkan. Resistensi terhadap antelmintika golongan benzimidazol,

14
Universitas Sumatera Utara
levamisol, dan ivermictin telah terjadi hampir di seluruh dunia dan prevalensinya

terus meningkat dari tahun ke tahun. Di Australia 80% peternakan domba

dinyatakan telah resisten terhadap benzimidazol dan levamisole.Efikasi

antelmintik dari Albendazol pada anak sekolah di tujuh negara tropis juga telah

dilaporkan mengalami penurunan (Haryuningtyas, 2008; Vercruysse, et al., 2011;

Waller, et al., 1995). Oleh karena itu pengembangan antelmintik baru perlu

dilakukan khususnya dari tumbuh-tumbuhan karena kurang menimbulkan efek

samping seperti obat-obatan dari bahan kimia (Apriasari, 2015; Borah, et al.,

2013).

2.4 Potensi Tumbuhan Sebagai Sumber Antelmintik

Indonesia diketahui banyak memiliki tumbuhan yang berkhasiat obat.

Beberapa penelitian telah menunjukkan tumbuh-tumbuhan yang mempunyai

khasiat sebagai antelmintik antara lain kulit batang lengaru (Lamasai, dkk, 2015),

daun ketepeng cina (Supriarti, dkk, 2012), daun pepaya, daun miana, pare, temu

giring, temu hitam, biji pinang (Tiwow, dkk, 2013), putri malu (Ratnawati, 2013),

dan andong ( Asih, 2014).

Berdasarkan studi in vitromenunjukkan bahwa beberapa famili tumbuhan

seperti Amaranthaceae, Apiaceae, Arecaceae, Asteraceae, Crassulaceae,

Dryopteridaceae, Rutaceae, Zingiberaceae(Wink, 2012). Cucurbitaceae,

Valerianaceae (Urban, et al., 2008), Moraceae (Mughal, et al., 2013), dan

Schropulariaceae (Padal, et al., 2014) telah dilaporkan mampu membunuh cacing

parasit yang merupakan penyebab infeksi pada manusia. Di Maluku dan Filipina

tanaman puguntanoh ini digunakan secara tradisional sebagai obat cacing untuk

anak-anak (Prohati, 2015).

15
Universitas Sumatera Utara
2.5 Golongan Senyawa Kimia yang Berkhasiat Sebagai Antelmintik

Metabolit sekunder seperti alkaloid, tanin, flavonoid, glikosida, quinolon,

lignan, saponin, dan steroid/triterpenoid diketahui memiliki potensi aktivitas

antelmintik (Patilaya dan Husori, 2015; Vennila and Nivetha, 2015; Wink, M.,

2012).

2.6 Uraian Tumbuhan

Pugun tanoh terdapat di lereng hutan atau pinggiran hutan, ladang, daerah

lembab dengan ketinggian di atas 900 m di atas permukaan laut (Prohati, 2015).

Pugun tanoh merupakan famili dari Linderniacea. Berdasarkan studi in vitro

dilaporkan bahwa ekstrak etanol daun pugun tanoh yang diekstraksi secara

maserasi telah dilaporkan memiliki aktivitas antelmintik (Patilaya dan Husori,

2015).

2.6.1 Nama daerah

Nama daerah dari tumbuhan ini adalah empedu taneh (Karo), pugun tanoh,

pugun tana, poguntano, pagon tanoh (Dairi), tamah raheut (Sunda), kukurang

(Maluku) dan papaita (Ternate) (Prohati, 2015).

2.6.2 Nama asing

Nama asing dari tumbuhan ini adalah beremi, gelumak susu, empedu

tanah, rumput kerak nasi (Malaysia), sagai-uak (Filipina), ku xuan shen, kum ta

tjao (Cina), longritong (India), kong saden (Laos), thnah (Vietnam) (Globinmed,

2015).

2.6.3 Sistematika dan morfologi tumbuhan

Menurut hasil identifikasi tumbuhan Herbarium Medanense (2018),

sistematika tumbuhan pugun tanoh adalah sebagai berikut:

16
Universitas Sumatera Utara
Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta

Subdivisi : Angiospermae

Kelas : Dicotyledoneae

Ordo : Lamiales

Famili : Linderniaceae

Genus : Picria

Spesies : Picria fel-terrae Lour.

Pugun tanoh merupakan tanaman berbatang basah dan berbaring. Pugun

tanoh tumbuh merambat. Tumbuhan pugun tanoh memiliki tinggi 40 sampai 60

cm. Tandan bunga bewarna merah (Agung dan Tinton, 2008), bunga berupa

tandan di ujung atau di batang, jumlah bunga 2-16. Daunnya berbulu halus,

berbentuk bundar telur dengan panjang 3-6 cm dan lebar 2-3 cm, ujung daun agak

melancip dan tepi daun beringgit (Prohati, 2015).

2.6.4 Khasiat tumbuhan pugun tanoh

Tanaman ini digunakan sebagai obat cacing obat cacing untuk anak-anak,

mengobati kolik dan malaria di Maluku dan Filipina, di Indonesia daun pugun

tanoh dapat menyembuhkan gatal-gatal dan penyakit kulit lainnya (Prohati, 2015).

Beberapa penelitian juga sudah membuktikan khasiat pugun tanoh sebagai

antimikroba, antiinflamasi, antiasma dan antidiabetes (Harahap, dkk., 2013;

Kumarasingha, et al., 2016; Tarigan, 2016).

2.6.5 Senyawa kimia pugun tanoh

Pugun tanoh mengandung curangin dan zat pahit (Agung dan Tinton,

2008), flavonoid (Huang, et al., 1999), saponin (Fang, et al., 2009), tanin,

glikosida (Huang, et al., 1998) serta steroid/terpenoid (Wang, et al., 2006).

17
Universitas Sumatera Utara
2.7 Simplisia

Simplisia adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat yang

belum mengalami pengolahan apapun juga dan kecuali dinyatakan lain, berupa

bahan alam yang telah dikeringkan. Simplisia dibedakan atas simplisia nabati,

simplisia hewani dan simplisia mineral/pelikan. Simplisia nabati adalah simplisia

yang berupa tumbuhan utuh, bagian tumbuhan atau eksudat tumbuhan. Eksudat

tumbuhan ialah isi sel yang secara spontan keluar dari tumbuhan atau isi sel yang

dengan cara tertentu dikeluarkan dari selnya. Simplisia hewani adalah simplisia

yang berupa hewan utuh, bagian hewan atau zat-zat berguna yang dihasilkan oleh

hewan dan belum berupa zat kimia murni. Simplisia pelikan adalah simplisia yang

berupa bahan pelikan yang belum diolah dengan cara sederhana atau belum

berupa zat kimia murni (Ditjen POM, 2000).

Simplisia sebagai produk hasil petanian atau pengumpulan dari tumbuhan

liar memiliki kandungan kimia yang tidak terjamin selalu konstan karena adanya

variabel bibit, tempat tumbuh, iklim, kondisi (umur dan cara) panen, serta proses

pasca panen dan preparasi akhir. Variasi kandungan senyawa dalam produk hasil

panen tumbuhan obat disebabkan oleh beberapa aspek sebagai berikut:

a. Genetik (bibit)

b. Lingkungan (tempat tumbuh, iklim)

c. Rekayasa agronomi (fertilizer, perlakuan selama masa tumbuh)

d. Panen (waktu dan pasca panen)

Proses pemanenan dan preparasi simplisia merupakan proses yang dapat

menentukan mutu simplisia dalam artian, yaitu komposisi senyawa kandungan

kontaminasi dan stabilitas bahan. Simplisia yang bermutu baik akan menghasilkan

produk yang bermutu dan bermanfaat bagi tubuh (Ditjen POM, 2000).

18
Universitas Sumatera Utara
2.8 Ekstraksi

Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut

sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair (Ditjen

POM, 2000). Hasil dari ekstraksi disebut dengan ekstrak yaitu sediaan pekat yang

diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif dari simplisia menggunakan pelarut

yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan hingga

memenuhi baku yang telah ditetapkan (Ditjen POM, 2000).

Faktor yang mempengaruhi kualitas dari ekstrak yaitu faktor biologi dan

faktor kimia. Faktor biologi meliputi: spesies tumbuhan, lokasi tumbuh, waktu

pemanenan, penyimpanan bahan tumbuhan, umur tumbuhan dan bagian yang

digunakan. Faktor kimia yaitu: faktor internal (jenis senyawa aktif, kadar total

rata-rata senyawa aktif) dan faktor eksternal (metode ekstraksi, pelarut yang

digunakan dalam ekstraksi, kandungan logam berat dan kandungan pestisida)

(Ditjen POM, 2000).

Beberapa metode ekstraksi dengan menggunakan pelarut dibagi menjadi

dua cara, yaitu cara panas dan cara dingin. (Ditjen POM, 2000).

2.8.1 Ekstraksi cara panas

a. Refluks

Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya,

selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan

adanya pendingin balik.

b. Sokletasi

Sokletasi adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru yang

umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinu dengan

jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik.

19
Universitas Sumatera Utara
c. Infundasi

Infundasi adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas air

(bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih, temperatur terukur 96-98°C)

selama waktu tertentu (15-20 menit).

d. Digesti

Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu) pada

temperatur yang lebih tinggi dari temperatur kamar (40-50°C).

e. Dekoktasi

Dekoktasi adalah infus pada waktu yang lebih lama (30 menit) dan

temperatur sampai titik didih air.

2.8.2 Ekstraksi cara dingin

a. Maserasi

Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia dengan menggunakan

pelarut dengan beberapa kali pengadukan pada temperatur ruangan.

b. Perkolasi

Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai

sempurna yang umumnya dilakukan pada temperatur ruangan.

2.9 Uji Aktivitas Antelmintik

Secara umum, uji aktivitas antelmintik dapat dilakukan dengan 2 metode,

yaitu metode in vitro dan metode invivo. Penelitian secara in vitrountuk meneliti

dari luar tubuh dan in vivo di dalam tubuh makhluk hidup (Dorland, 2012).

2.9.1 Uji in vitro

Uji in vitro dapat dilakukan dengan metode perendaman. Pengujian ini

dilakukan dengan cara merendam cacing ke dalam ekstrak tanaman yang

20
Universitas Sumatera Utara
memiliki aktivitas antelmintik dengan berbagai konsentrasi dengan parameter

yang diperhatikan yaitu waktu paralisis dan waktu kematian. Perendaman

bertujuan agar terjadi kontak antara larutan antelmintik dengan tubuh cacing, baik

melalui kulit maupun saluran pencernaan, sehingga diharapkan menimbulkan

reaksi yang menyebabkan cacing paralisis dan kemudian mati (Patilaya dan

Husori, 2015).

Uji aktivitas antelmintik secara in vitro dapat menggunakan cacing parasit

pada manusia seperti Ascaris lumbricoides (Tjokropranoto, dkk., 2011) atau dapat

menggunakan cacing tanah Pheretima posthuma sebagai model hewan uji karena

memiliki kemiripan struktur anatomi dan fisiologi dengan parasit cacing gelang

yang menginfeksi usus manusia. Karena ketersediaan yang mudah, cacing tanah

telah digunakan secara luas untuk evaluasi awal senyawa antelmintik (Dash,et al.,

2015 dan Mali,et al., 2008).

2.9.2 Uji in vivo

Uji in vivo dapat dilakukan di dalam tubuh makhluk hidup dengan

menggunakan hewan sebagai percobaan dengan menginfeksi hewan dengan

cacing parasit, lalu setelah mencapai masa prepaten, diberi perlakuan. Pemberian

dilakukan peroral selama beberapa hari yang dibagi dalam beberapa kelompok

perlakuan yaitu kontrol negatif, ekstrak tanaman yang diduga memiliki aktivitas

sebagai antelmintik dan kontrol positif yaitu antelmintik sintetik, kemudian

sampel tinja dikumpulkan untuk kemudian dilakukan perhitungan terhadap jumlah

telur tiap gram tinja. Parameter pengamatan adalah jumlah telur, jumlah larva,

daya tetas telur pada tinja hewan dan sisa telur cacing yang terdapat pada hewan

percobaan. Hewan percobaan dapat berupa kambing, ayam, domba, tikus dan

mencit (Fitri dan Sri, 2005; Sanbayu, 2005).

21
Universitas Sumatera Utara
BAB III

METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental untuk mengamati efek

ekstrak etanol batang pugun tanoh dalam berbagai konsentrasi terhadap waktu

paralisis dan waktu kematian cacing Pheretima posthuma. Penelitian dilakukan

dalam beberapa tahap meliputi penyiapan sampel, penyiapan hewan percobaan,

pembuatan simplisia dan ekstrak etanol batang pugun tanoh beserta karakterisasi

dan skrining fitokimia, uji aktivitas antelmintik ekstrak etanol batang pugun tanoh

dan analisis data.

3.1 Alat dan Bahan

3.1.1 Alat-alat

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi blender

(Panasonik), timbangan (Vibra AJ), mikroskop (Olympus), cawan datar (Coors),

erlenmeyer, beaker glass, corong, labu tentukur (Pyrex), tabung reaksi, pipet ukur

(Iwaki Pyrex), oven (Dynamica), alat destil, mikroskop (Boeco), labu alas bulat

500 ml (Duran), cawan penguap vakum (Stuart), cawan petri (CMSI), pengukur

waktu (Oppo), bola karet (D&N), bejana maserasi, lumpang dan alu, lemari

pengering, penangas air, krus porselin, pengaduk, pipet tetes, kaca arloji, penjepit

tabung, spatula dan cawan alas bulat.

3.1.2 Bahan-bahan

Bahan tumbuhan yang digunakan dalam penelitian ini adalah batang

pugun tanoh. Etanol 96% (Rudang Jaya) berkualitas teknis, bahan kimia lainnya

berkualitas pro analisis seperti raksa (II) klorida, bismut (III) nitrat, asam nitrat

22
Universitas Sumatera Utara
pekat, asam nitrat 0,5 N, kalium iodida, α-naftol, asam sulfat pekat, natrium

hidroksida, timbal (II) asetat, besi (III) klorida, kloralhidrat, asam asetat anhidrida,

toluen, kloroform, asam klorida 2 N, asam klorida pekat, serbuk magnesium,

iodium, metanol, n-heksan, isopropanol (Merck), tween 80 dan air suling (Rudang

Jaya), larutan NaCl 0,9% (Widatarabakti).

3.2 Penyiapan Sampel

Penyiapan sampel meliputi pengambilan sampel dan identifikasi sampel.

3.2.1 Pengambilan sampel

Pengambilan bahan tumbuhan dilakukan secara purposif, yaitu tanpa

membandingkan dengan daerah lain. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini

adalah batang pugun tanoh (Picria fel-terrae Lour.) diperoleh dari Pajak Pancur

Batu, Provinsi Sumatera Utara.

3.2.2 Identifikasi sampel

Identifikasi tumbuhan dilakukan di Herbarium Medanense (MEDA),

Universitas Sumatera Utara. Spesimen hewan percobaan diidentifikasi oleh

Laboratorium Sistematika Hewan Departemen Biologi Fakultas Matematika dan

Ilmu Pengetahuan Alam USU.

3.3 Pembuatan Simplisia Batang Pugun Tanoh

Batang pugun tanoh dipetik dan disortir kemudian dicuci hingga bersih,

ditiriskan dan ditimbang. Diperoleh berat basahsebesar 4350 g. Batang pugun

tanoh dikeringkan dalam lemari pengering pada suhu 30-35ºC untuk memperoleh

simplisia. Simplisia yang telah kering ditimbang, diperoleh berat simplisia 1060 g

kemudian diblender menjadi serbuk hingga agak halus lalu dimasukkan ke dalam

23
Universitas Sumatera Utara
wadah tertutup dan disimpan untuk penelitian lebih lanjut (Oshomoh and Idu,

2012).

3.4 Pembuatan Pereaksi

3.4.1 Pereaksi Meyer

Sebanyak 1,4 g raksa (II) klorida dilarutkan dalam air suling hingga 60 ml.

Pada wadah lain ditimbang sebanyak 5 g kalium iodida lalu dilarutkan dalam 10

ml air suling. Kedua larutan dicampurkan dan ditambahkan air suling hingga 100

ml (Ditjen POM., 1995).

3.4.2 Pereaksi Dragendorff

Sebanyak 0,8 g bismut (III) dilarutkan dalam 20 ml asam nitrat pekat. Pada

wadah lain, sebanyak 27,2 g kalium iodida dilarutkan dalam 50 ml air suling.

Kedua larutan kemudian dicampurkan dan didiamkan sampai memisah sempurna.

Larutan yang jernih diambil dan diencerkan dengan air suling hingga volume

larutan 100 ml (Ditjen POM., 1995).

3.4.3 Pereaksi Bouchardat

Sebanyak 4 g kalium iodida dilarutkan dalam air suling secukupnya, lalu

ditambahkan 2 g iodium kemudian ditambahkan air suling hingga larutan 100 ml

(Ditjen POM., 1995).

3.4.4 Pereaksi Liebermann-Burchard

Sebanyak 5 bagian volume asam sulfat pekat dicampurkan dengan 50

bagian volume etanol 96%. Kemudian ditambahkan dengan hati-hati 5 bagian

volume asam asetat anhidrida ke dalam campuran tersebut dan dinginkan. Asam

asetat anhidrida adalah bentuk anhidrat dari asam asetat yang dapat dibuat dengan

reaksi asetilasi dari asetil klorida dan natrium asetat (Ditjen POM., 1995).

24
Universitas Sumatera Utara
3.4.5 Pereaksi Molish

Sebanyak 3 g α-naftol dilarutkan dalam asam nitrat 0,5 N dan dicukupkan

hingga 100 ml (Ditjen POM, 1995).

3.4.6 Pereaksi asam klorida 2 N

Sebanyak 17 ml larutan asam klorida pekat diencerkan dengan air suling

hingga 100 ml (Ditjen POM., 1995).

3.4.7 Pereaksi asam sulfat 2 N

Sebanyak 5,4 ml larutan asam sulfat pekat diencerkan dengan air suling

sampai 100 ml (Ditjen POM., 1995).

3.4.8 Pereaksi natrium hidroksida 2 N

Sebanyak 8 g kristal natrium hidroksida dilarutkan dengan air suling

sebanyak 100 ml (Ditjen POM., 1995).

3.4.9 Pereaksi timbal (II) asetat 0,4 M

Sebanyak 15,17 g timbal (II) asetat dilarutkan dalam air suling bebas

karbon dioksida sebanyak 100 ml (Ditjen POM., 1995).

3.4.10 Pereaksi besi (III) klorida 1% (b/v)

Sebanyak 1 g besi (III) klorida dilarutkan dalam air secukupnya dan

diencerkan hingga 100 ml (Ditjen POM., 1995).

3.5 Pembuatan Larutan Kloralhidrat

Larutan 50 g kloralhidrat di dalam 20 ml air (Ditjen POM., 1995).

3.6 Penyiapan Etanol 96%

Etanol teknis didestilasi pada suhu 71o-85oC terkondensasi kembali ke fase

cair. Selanjutnya etanol yang sudah mencair ditampung (Marjoni, 2014).

25
Universitas Sumatera Utara
3.7 Karakterisasi Simplisia Batang Pugun Tanoh

Karakterisasi simplisia meliputi pemeriksaan organoleptik, mikroskopik,

penetapan kadar air, penetapan kadar sari larut dalam air, penetapan kadar sari

larut dalam etanol, penetapan kadar abu total dan penetapan kadar abu tidak larut

asam (Ditjen POM., 2000).

3.7.1 Pemeriksaan organoleptik

Pemeriksaan organoleptik dilakukan dengan cara mengamati warna,

bentuk, bau, rasa, dan tekstur simplisia (WHO, 1998).

3.7.2 Pemeriksaan mikroskopik

Pemeriksaan mikroskopik dilakukan terhadap serbuk simplisia batang

pugun tanoh. Serbuk simplisia batang pugun tanoh ditaburkan diatas kaca objek

yang telah ditetesi dengan larutan kloralhidrat dan ditutup dengan kaca penutup,

kemudian diamati di bawah mikroskop (WHO, 1998).

3.7.3 Penetapan kadar air

Sebanyak 200 ml toluen dimasukkan ke dalam labu alas bulat, lalu

ditambahkan 2 ml air suling, setelah alat dipasang, kemudian didestilasi selama 2

jam. Destilasi dihentikan dan dibiarkan dingin selama ± 30 menit, kemudian

volume air dalam tabung penerima dibaca dengan ketelitian 0,05 ml.

Labu berisi toluen tersebut dimasukkan 5 g serbuk simplisia yang telah

ditimbang seksama lalu dipanaskan hati-hati selama 15 menit kemudian setelah

toluen mendidih, kecepatan toluen diatur 2 tetes per detik sampai sebagian besar

air terdestilasi, kemudian kecepatan destilasi dinaikkan sampai 4 tetes per detik.

Air terdestilasi seluruhnya, bagian dalam pendingin dibilas dengan toluen.

Destilasi dilanjutkan selama 5 menit, tabung penerima dibiarkan

mendingin pada suhu kamar, setelah air dan toluen memisah sempurna, volume

26
Universitas Sumatera Utara
air dibaca dengan ketelitian 0,05 ml. Selisih kedua volume air yang dibaca sesuai

dengan kadar air yang terdapat dalam bahan yang diperiksa. Kadar air dihitung

dalam persen (WHO, 1998).

3.7.4 Penetapan kadar abu total

Sebanyak 2 g serbuk yang telah digerus dimasukkan ke dalam krus

porselin yang telah dipijar dan ditara, kemudian diratakan beratnya. Krus porselin

dipijar perlahan-lahan sampai arang habis, pemijaran dilakukan pada suhu 500-

600°C selama 3 jam kemudian didinginkan dan ditimbang sampai diperoleh bobot

tetap. Kadar abu dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan (Ditjen POM.,

1995).

3.7.5 Penetapan kadar abu tidak larut asam

Abu yang telah diperoleh dalam penetapan kadar abu dididihkan dalam 25

ml asam klorida encer selama 5 menit. Bagian yang tidak larut asam

dikumpulkan, disaring melalui kertas saring dan dipijar sampai bobot tetap,

kemudian didinginkan dan ditimbang. Kadar abu yang tidak larut dalam asam

dihitung terhadap bahan yang dikeringkan (Ditjen POM., 1995).

3.7.6 Penetapan kadar sari larut dalam air

Sebanyak 5 g serbuk simplisia batang pugun tanoh, dimaserasi selama 24

jam dalam 100 ml air-kloroform (2,5 ml kloroform dilarutkan di dalam 1 L air

suling) dalam labu tersumbat sambil sesekali dikocok selama 6 jam pertama,

kemudian dibiarkan selama 18 jam, lalu disaring. Sejumlah 20 ml filtrat pertama

diuapkan sampai kering dalam cawan penguap berdasar rata yang telah

dipanaskan dan ditara. Sisa dipanaskan pada suhu 105°C sampai bobot tetap.

Kadar sari yang larut dalam air dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan

(Ditjen POM., 1995).

27
Universitas Sumatera Utara
3.7.7 Penetapan kadar sari larut etanol

Sebanyak 5 g serbuk yang telah dikeringkan di udara dimaserasi selama 24

jam dalam 100 ml etanol 96% dalam labu bersumbat sambil dikocok sesekali

selama 6 jam pertama dan kemudian dibiarkan selama 18 jam dan disaring.

Sejumlah 20 ml filtrat pertama diuapkan sampai kering dalam cawan dangkal

berdasar rata yang telah ditara. Sisa dipanaskan dalam oven pada suhu 105 oC

sampai diperoleh bobot konstan. Kadar sari yang larut dalam etanol dihitung

terhadap bahan yang telah dikeringkan di udara (Ditjen POM., 1995).

3.8 Skrining Fitokimia Simplisia Batang Pugun Tanoh

Skrining fitokimia serbuk simplisia meliputi pemeriksaan senyawa

golongan alkaloid, flavonoid, tanin, glikosida, saponin dan steroid/triterpenoid.

3.8.1 Pemeriksaan alkaloid

Sebanyak 0,5 g serbuk simplisia ditambahkan 1 ml asam klorida 2 N dan

9ml air suling, dipanaskan di atas penangas air selama 2 menit. Setelah dingin lalu

disaring dan filtrat digunakan untuk percobaan berikut:

a. Filtrat sebanyak 3 tetes ditambahkan 2 tetes larutan pereaksi Mayer akan

terbentuk endapan berwarna putih atau kuning menunjukkan reaksi positif.

b. Filtrat sebanyak 3 tetes ditambahkan 2 tetes larutan pereksi Bouchardat akan

terbentuk endapan berwarna coklat-hitam menunjukkan reaksi positif.

c. Filtrat sebanyak 3 tetes ditambahkan 2 tetes larutan pereksi Dragendorff akan

terbentuk endapa jingga menunjukkan reaksi positif (Ditjen POM).

3.8.2 Pemeriksaan flavonoida

Sebanyak 0,5 g serbuk simplisia ditambahkan 20 ml air panas, didihkan

selama 10 menit dan disaring dalam keadaan panas, ke dalam 5 ml filtrat

28
Universitas Sumatera Utara
ditambahkan 0,1 g serbuk magnesium dan 1 ml asam klorida pekat dan 2 ml amil

alkohol, dkocok dan dibiarkan memisah. Flavonoid positif jika terjadi warna

merah, kuning, jingga pada lapisan amil alkohol (Fransworth, 1966).

3.8.3 Pemeriksaan tanin

Sebanyak 0,5 g serbuk simplisia disari dengan 10 ml air suling lalu

disaring. Filtratnya diencerkan dengan air suling sampai tidak berwarna. Ke dalam

2 ml filtrat ditambahkan 1-2 tetes larutan besi (III) klorida. Jika terjadi warna biru

atau hijau kehitaman menunjukkan adanya tanin (Farnsworth, 1966).

3.8.4 Pemeriksaan glikosida

Sebanyak 3 g serbuk simplisia disari dengan 30 ml campuran 7 bagian

volume etanol 96% dan 3 bagian volume air suling. Selanjutnya ditambahkan 10

ml HCl 2 N, direfluks selama 10 menit, didinginkan dan disaring. Pada 30 ml

filtrat ditambahkan 25 ml air suling dan 25 ml timbal (II) asetat 0,4 M, dikocok,

didiamkan selama 5 menit lalu disaring. Filtrat disari sebanyak 3 kali, tiap kali

dengan 20 ml campuran 3 bagian volume kloroform dan 2 bagian volume

isopropanol. Lapisan air diambil kemudian ditambahkan 2 ml air dan 5 tetes

pereaksi Molisch, ditambahkan hati-hati 2 ml asam sulfat pekat. Jika terbentuk

cincin warna ungu pada batas kedua cairan menunjukkan adanya ikatan gula

(Ditjen POM., 1995).

3.8.5 Pemeriksaan saponin

Sebanyak 0,5 g serbuk simplisia dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan

ditambahkan 10 ml air suling panas, didinginkan kemudian dikocok kuat-kuat

selama 10 detik. Timbulnya busa yang mantap setinggi 1-10 cm tidak kurang dari

10 menit yang tidak hilang dengan penambahan 1 tetes larutan asam klorida 2 N

menunjukkan adanya saponin (Ditjen POM., 1995).

29
Universitas Sumatera Utara
3.8.6 Pemeriksaan steroid/triterpenoid

Ditimbang 1 g serbuk simplisia, maserasi dengan n-heksana selama 2 jam,

lalu disaring. Filtrat diuapkan dalam cawan penguap. Pada sisanya ditambahkan

asam asetat anhidrida dan 1 tetes asam sulfat pekat. Timbul warna biru atau hijau

menunjukkan adanya steroid dan timbul warna merah, pink atau ungu

menunjukkan adanya triterpenoida (Farnsworth, 1966).

3.9 Pembuatan Ekstrak Etanol Batang Pugun Tanoh

Serbuk simplisia diekstraksi secara maserasi dengan menggunakan pelarut

etanol 96%. Sebanyak 100 g serbuk simplisia batang pugun tanoh (Picria fel-

terrae Lour.)direndam dalam 600 ml etanol 96%. Hasil rendaman disaring

menggunakan kertas Whatmann No. 1 setelah 48 jam pada temperatur kamar.

Maserat kemudian dipekatkan dengan rotary evaporatorkemudian dimasukkan ke

dalam pendingin sehingga diperoleh ekstrak etanol batang pugun tanoh (Oshomoh

dan Idu, 2012).

3.10 Skrining Fitokimia Ekstrak

Skrining fitokimia ekstrak dilakukan dengan prosedur yang sama dengan

skrining fitokimia pada simplisia batang pugun tanoh.

3.11 Uji Aktivitas Antelmintik Ekstrak Etanol Batang Pugun Tanoh

3.11.1 Hewan percobaan

Hewan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah cacing

tanah dewasa (Pheretima posthuma) dengan ukuran seragam (panjang 12 – 15 cm

dan lebar 0,3 – 0,5 cm). Pheretima posthuma dikumpulkan dari tanah yang

30
Universitas Sumatera Utara
lembab, dicuci dengan larutan salin untuk menghilangkan pengotor (Samanta, et

al., 2012).

3.11.2 Penyiapan sampel uji

Cara pembuatan suspensi ekstrak etanol batang pugun tanoh masing-

masing sebanyak 150, 300, 600, dan 900 mg dimasukkan ke dalam lumpang.

Ditambahkan 0,3 ml Tween 80 sedikit demi sedikit ke dalam lumpang sambil

digerus hingga merata. Ditambahkan larutan NaCl 0,9% secukupnya, digerus

hingga terbentuk suspensi yang merata. Suspensi dipindahkan ke dalam labu

erlenmeyer yang sudah dikalibrasi, dicukupkan dengan larutan NaCl 0,9% sampai

30 ml (Ahamed, et al., 2008).

3.11.3 Uji aktivitas antelmintik

Uji aktivitas antelmintik dilakukan berdasarkan prosedur Patilaya

dan Husori (2015). Hewan percobaan dibagi menjadi 6 kelompok yang

masing- masing terdiri dari 3 ekor cacing Pheretima posthuma dengan perlakuan

seperti pada Tabel 3.1 dan gambar pengujian dapat dilihat pada Lampiran 11,

halaman 59.

Tabel 3.1. Perlakuan uji antelmintik ekstrak etanol daun pugun tanoh terhadap
Pheretima posthuma
Kelompok Perlakuan
I Pemaparan dalam 30 ml larutan NaCl 0,9%
II Pemaparan dalam 30 ml larutan Tween 80 1%
III Pemaparan dalam 30 ml suspensi EEBPT 5 mg/ml
IV Pemaparan dalam 30 ml suspensi EEBPT 10 mg/ml
V Pemaparan dalam 30 ml suspensi EEBPT 20 mg/ml
VI Pemaparan dalam 30 ml suspensi EEBPT 30 mg/ml
Keterangan: EEBPT = Ekstrak etanol batang pugun tanoh

Aktivitas antelmintik ekstrak etanol batang pugun tanoh ditentukan

berdasarkan waktu paralisis dan waktu kematian cacing Pheretima posthuma.

Waktu paralisis ditentukan jika cacing tidak bergerak kecuali apabila diguncang

31
Universitas Sumatera Utara
dengan kuat. Waktu kematian ditentukan apabila cacing tidak bergerak meskipun

jika dicelupkan ke dalam cawan petri ke dalam cawan petri berisi larutan NaCl

0,9% bersuhu 40-50oC dan cacing kehilangan warna tubuhnya.

3.12 Analisis Statistika

Data-data hasil penelitian disajikan dalam nilai rata-rata ± simpangan

baku. Analisis statistika dilakukan menggunakan perangkat lunak SPSS versi 17.0

dengan metode analisis variansi (anava) satu arah, apabila terdapat perbedaan

signifikan, analisis dilanjutkan dengan uji Tukey. Analisis statistika dilakukan

pada taraf kepercayaan 95%.

32
Universitas Sumatera Utara
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Identitas Tumbuhan

Hasil identifikasi yang dilakukan oleh Herbarium Medanense (MEDA)

Universitas Sumatera Utara menunjukkan bahwa tumbuhan yang digunakan

adalah pugun tanoh (Picria fel-terrae Lour.), suku Linderniaceae. Hasil

identifikasi tumbuhan dapat dilihat pada Lampiran 1, halaman 44. Gambar

tumbuhan pada Lampiran 4, halaman 47.

4.2 Identitas Hewan

Hasil identifikasi yang dilakukan oleh Laboratorium Sistematika Hewan

Departemen Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

Universitas Sumatera Utara menunjukkan bahwa hewan yang digunakan adalah

Pheretima posthuma, famili Megascolecidae, yang memiliki kemiripan secara

anatomi dan fisiologi dengan cacing parasit manusia. Hasil identifikasi hewan

dapat dilihat pada Lampiran 3, halaman 46.Rekomendasi persetujuan etik

penelitian menggunakan hewan dapat dilihat pada Lampiran 2, halaman 45 serta

gambar hewan percobaan pada Lampiran 5, halaman 50.

4.3 Karakteristik Simplisia

Karakterisasi simplisia ditentukan dengan melakukan pemeriksaan

organoleptik, pemeriksaan mikroskopik, penetapan kadar air, penetapan kadar sari

larut dalam air, penetapan kadar sari larut dalam etanol, penetapan kadar abu total

dan penetapan kadar abu tidak larut asam simplisia batang pugun tanoh.

33
Universitas Sumatera Utara
Pemeriksaan secara organoleptik menunjukkan bahwa simplisia batang

pugun tanoh berwarna coklat keemasan dan mudah rapuh. Serbuk simplisia

batang pugun tanoh berupa serbuk kering berwarna kuning kecoklatan, berasa

pahit dan tidak berbau (Lampiran 6, halaman 49).

Pemeriksaan secara mikroskopik, simplisia batang pugun tanoh

menunjukkan adanya pembuluh angkut, trikoma, stomata diasitik dan anomositik

(Lampiran 7 halaman 50).

Hasil pemeriksaan kadar air, kadar sari larut dalam air, kadar sari larut

dalam etanol, kadar abu total, dan kadar abu tidak larut asam simplisia batang

pugun tanoh dapat dilihat pada Tabel 4.1 di bawah ini dan data perhitungan dapat

dilihat pada Lampiran 10, halaman 55.

Tabel 4.1Kadar air, sari larut dalam air, sari larut dalam etanol, abu total, dan abu
tidak larut asam simplisia batang pugun tanoh
No. Karakterisasi Simplisia Hasil
1. Kadar air 7,54%
2. Kadar sari larut dalam air 26,21%
3. Kadar sari larut dalam etanol 11,29%
4. Kadar abu total 10,63%
5. Kadar abu tidak larut asam 2,34%

Berdasarakan tabel 4.1 hasil penetapan kadar air simplisia batang pugun

tanoh yang diperoleh yaitu 7,54%. Hal ini memenuhi persyaratan yang ditetapkan

yaitu kadar air tidak lebih dari 10% (Ditjen POM, 1995). Untuk kadar sari larut

dalam air diperoleh sebesar 26,21%, kadar sari larut dalam etanol sebesar 11,29%,

kadar abu total sebesar 10,63%, dan kadar abu tidak larut asam sebesar 2,34%.

Sedangkan hasil karakterisasi simplisia batang Linaria ramosissima

(Wall.) dengan famili yang sama dengan Picria fel-terraeLourdiperoleh kadar air

sebesar 6,20%, kadar sari larut dalam air sebesar 17,67%, kadar sari larut dalam

etanol sebesar 16,17%, kadar abu total sebesar 3,36%, dan kadar abu tidak larut

34
Universitas Sumatera Utara
Asam sebesar 0,42% (Preeti, et al., 2012).

4.4 Skrining Fitokimia

Hasil skrining fitokimia simplisia dan ekstrak dari batang pugun tanoh

dapat dilihat pada Tabel 4.2.

Tabel 4.2 Kandungan metabolit sekunder simplisia dan ekstrak etanol batang
pugun tanoh
No. Golongan metabolit sekunder Simplisia Ekstrak
1 Alkaloid - -
2 Flavonoid + +
3 Tanin + +
4 Glikosida + +
5 Saponin + +
6 Steroid/triterpenoid + +
Keterangan: (+) : Mengandung golongan senyawa
(-) : Tidak mengandung golongan senyawa
Berdasarkan tabel 4.2 diketahui bahwa simplisia dan ekstrak etanol batang

pugun tanoh mengandung senyawa flavonoid, tanin, glikosida, saponin dan

steroid/triterpenoid.

Menurut Patilaya dan Husori (2015) simplisia dan ekstrak etanol daun

pugun tanoh yang diperoleh secara maserasi mengandung senyawa flavonoid,

glikosida, saponin, tanin, dan steroid/triterpenoid. Simplisia dan ekstrak etanol

batang pugun tanoh mengandung senyawa kimia yang sama dengan simplisia dan

ekstrak etanol dari daun pugun tanoh.

4.5 Ekstraksi Simplisia Batang Pugun Tanoh

Hasil maserasi dari 300 g serbuk simplisia batang pugun tanoh dengan

pelarut etanol 96% sebanyak 1800 ml diperoleh ekstrak kental 25 g dengan

perolehan rendemen sebesar 8,33%. Perhitungan rendemen dapat dilihat pada

Lampiran 9, halaman 54.

35
Universitas Sumatera Utara
4.6 Aktivitas Antelmintik Ekstrak Etanol Batang Pugun Tanoh

Aktivitas antelmintik esktrak etanol batang pugun tanoh ditentukan

berdasarkan waktu paralisis dan waktu kematian. Tabel 4.3 menunjukkan bahwa

ekstrak etanol batang pugun tanoh (EEBPT) pada konsentrasi uji menyebabkan

paralisis dan kematian terhadap Pheretima posthuma.

Tabel 4.3 Aktivitas antelmintik EEBPT terhadap Pheretima posthuma (n=3)


Sampel Waktu Paralisis (menit) Waktu Kematian
Larutan NaCl 0,9% 521,00 ±5,51 (menit)
1687,33 ± 6,74
Tween 80 1% 507,33 ± 6,36 1631,67± 8,34
EEBPT 5 mg/ml 66,33 ± 1,45 133,00 ± 5.51
EEBPT 10 mg/ml 49,67 ± 2,33 120,67 ± 4,98
EEBPT 20 mg/ml 28,67 ± 0.88 34,67 ± 1,76
EEBPT 30 mg/ml 21,67 ± 0,88 29,67 ± 0,88
Keterangan: EEBPT = Ekstrak etanol batang pugun tanoh

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ekstrak etanol batang pugun

tanoh memiliki aktivitas antelmintik pada seluruh konsentrasi pengujian. Analisis

statistika dengan uji Anova satu arah menunjukkan bahwa kemampuan EEBPT

pada konsentrasi 30 mg/ml dan 20 mg/ml terhadap paralisis cacing lebih kuat

dibandingkan dengan EEBPT konsentrasi 10 mg/ml dan lebih kuat dari EEBPT

konsentrasi 5 mg/ml. Uji statistika waktu paralisis dapat dilihat pada Lampiran 14,

halaman 62.

Analisis waktu kematian cacing dengan uji Anova satu arah menunjukkan

kemampuan EEBPT pada konsentrasi 30 mg/ml dan 20 mg/ml terhadap kematian

cacing lebih kuat dibandingkan EEBPT konsentrasi 10 mg/ml dan 5 mg/ml ml.Uji

statistika waktu kematian dapat dilihat pada Lampiran 15, halaman 64.

Efek paralisis EEBPT yang diperoleh dengan metode maserasi lebih lemah

dibandingkan efek paralisis ekstrak etanol daun pugun tanoh (EEDPT) dengan

metode maserasi. Menurut Patilaya dan Husori (2015), efek paralisis pemberian

EEDPT yang diperoleh dengan metode maserasi konsentrasi 10, 20 dan 30 mg/ml,

36
Universitas Sumatera Utara
masing-masing terlihat pada 41,28; 23,27; dan 12,18 menit serta efek kematian

EEBPT terhadap Pheretima posthuma yang diperoleh juga terlihat lebih lemah

bila dibandingkan dengan EEDPT. Menurut Patilaya dan Husori (2015) waktu

kematian yang diperoleh dari pemberian EEDPT pada konsentrasi 10, 20, dan 30

mg/ml masing-masing adalah 47,09; 27,41; dan 16,66 menit. Hal tersebut

kemungkinan disebabkan oleh perbedaan bagian tanaman dan ukuran tubuh

Pheretima posthuma yang digunakan.

Aktivitas antelmintik ekstrak etanol batang pugun tanoh kemungkinan

disebabkan karena adanya senyawa tanin, glikosida, steroid, saponin, dan

flavonoid.

Tanin adalah senyawa polifenol yang mampu menganggu metabolisme

cacing melalui reaksi fosforilasi oksidatif. Efek antelmintik tanin mungkin juga

karena kemampuannya mengikat nutrisi protein bebas yang mengakibatkan larva

kelaparan atau interaksinya dengan glikoprotein pada kutikula cacing yang

menyebabkan kematian (Kumar, et al., 2010 dan Patilaya dan Husori, 2015).

Glikosida dan steroid memiliki sifat antioksidan yang mampu menurunkan

produksi nitrat yang digunakan untuk sintesa protein sehingga dapat

menyebabkan terhambatnya perkembangan cacing serta dapat menekan tranfer

glukosa dengan cara melibatkan penghambatan sistem ambil glukosa yang dapat

menyebabkan energi cacing hilang dan berakhir dengan kematian (Borba, et al.,

2010 dan Patilaya dan Husori, 2015).

Saponin dapat mengiritasi membran mukosa saluran pencernaan cacing

sehingga menganggu penyerapan makanannya. Senyawa flavonoid dapat

mengakibatkan terjadinya degenerasi neuron pada tubuh cacing sehingga

mengakibatkan kematian cacing (Tjokropranoto dkk, 2011).

37
Universitas Sumatera Utara
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan

bahwa:

a. Karakteristik simplisia batang pugun tanoh yaitu kadar air 7,54%, kadar sari

larut dalam air 26,21%, kadar sari larut dalam etanol 11,29%, kadar abu total

10,63% dan kadar abu tidak larut asam 2,34%.

b. Simplisia dan ekstrak etanol batang pugun tanoh mengandung senyawa

saponin, glikosida, tanin, flavonoid dan steroid/triterpenoid.

c. Ekstrak etanol batang pugun tanoh memiliki aktivitas antelmintik terhadap

Pheretima posthuma.

5.2 Saran

Berdasarkan penelitian ini peneliti selanjutnya disarankan untuk

melakukan isolasi dan fraksinasi batang pugun tanoh.

38
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR PUSTAKA

Ahamed, S. M., Kumar, S. V., Rao, J. V., Jayaveera, K. N., and Swamy, S. K.
(2008). Anthelmintic Activity of Leaves of Feronia limonius.
Pharmacologyonline. 3. Halaman 220-223.

Agung dan Tinton. (2008). Buku Pintar Tanaman Obat. Cetakan 1, Jakarta:
Agromedia Pustaka. Halaman 64-65.

Apriasari, M.L. (2015). Aktivitas Antifungi Ekstrak Etanol dan Metanol dari
Batang Pisang Mauli 100%. Stomatognatic (J. K. G. Unej). 12 (1).
Halaman 26-29.

Asih, A. (2014). Antelmintik Infusa Daun Andong ( Cordyline fruticosa) terhadap


Ascaridida galli secara in vitro dalam Jurnal Universitas Atma Jaya.
Yogyakarta. Halaman 1-10.

Borah, S., Kakoti, B.B., Mahatto, K., dan Kumar, M. (2013). Investigation of in
vitro Anthelmintic Activity of Calamus leprospadix Griff. Shoot in Adult
Eartworm Pheretima posthuma. J App Sci. 3 (6). Halaman 156-159.

Borba, A. R., Freire, R. B., Albuquerqe, A. C., Cardoso, M., Braga, I. G.,
Almeida, S., et al. (2010). Anthelmintic Comparative Stydy of Solanum
lycocarpum St. Hill Extract in Mice Naturally Infected with Aspiculuris
tetraptera. Nature and Science. 8 (4). Halaman 94-100.

Dash, G.K., Suresh, P., Sahu, S. K., Kar, D. M., Ganapaty, S., et al. (2002).
Evaluation of Evolvulus alsinoides Linn. For Anthelmintic and
Antimicrobial Activities. Journal of Natural Remedies. 2 (2). Halaman182-
185.

Depkes RI. (1995). Farmakope Indonesia. Edisi Keempat. Jakarta: Departemen


Kesehatan RI. Halaman 1030-1031.

Depkes RI. (1995). Materia Medika. Edisi Keenam. Jakarta: Departemen


Kesehatan RI. Halaman 319-320.

De silva, N. R., Brooker, S., Hotez, P. J., Montresor, A., Engels, Dirk., and
Savioli, L. ( 2003). Soil-Transmitted Helminth Infection Updating The
Global Picture. Trends Parasitol. 19. Halaman 547-551.

Ditjen POM. (2000). Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat. Jakarta:
Departemen Kesehatan RI. Halaman 3-11.

Dorland, W. A. N. (2012). Kamus Saku Kedokteran Dorland. Edisi Ke XXVII.


Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Halaman 581.

Fang, H., Ning, D.S., dan Liang, X.Y. (2009). Studies on Technology
Optimizatiofor Extracting Triterpenoid Saponins from Picria fel-terrae by

39
Universitas Sumatera Utara
Multi Target Grading Method.Journal of Chinese Medicinal Material, 32
(12): Halaman 1902-1905.

Farnsworth, N.R. (1966). Biological and Phytochemical Screening of Plants. J


Pharm Sci. 55 (3). Halaman 99; 225-276.

Fitri dan Sri, A. (2005). Uji In Vivo Efek Antelmintik Serbuk Kulit Buah Nanas
Bogor Tua terhadap Cacing Lambung Domba. Seminar Nasional Teknologi
Peternakan dan Veteriner. Halaman 724-731.

Globinmed. (2015). Detil Data Picria fel-terrae. http://www.globinmed.com/


index.php?option=comcontent&view=article&id=62703:picria-fel terrae&
catid=380:p. Diakses tanggal 1 Juni 2018.

Gunawan, F. (2007). Uji Efektivitas Daya Antelmintik Perasan Buah Segar dan
Infus Daun Mengkudu (Marinda citrifolia) terhadap Ascaridia galli
secara In Vitro. Artikel Penelitian. Semarang: Fakultas Kedokteran
niversitas Diponegoro. Halaman 4-5.

Gunawan dan Sulistia (eds). (2011). Farmakologi dan Terapi. Cetakan Kelima.
Jakarta: Badan Penerbit FKUI. Halaman 545-546.

Harahap, U., Patilaya, P., Marianne, Yuliasmi, S., Husori, D. I., dkk. (2013).
Profil Fitokimia Ekstrak Etanol Daun Pugun Tanoh [ Curangan fel-terraeI
(Lour.) Merr.] yang Berpotensi Sebagai Antiasma. Prosiding Seminar
Nasional Sains dan Teknologi V Lembaga Penelitian Universitas
Lampung. Halaman 422-426.

Haryunintyas, D. (2008). Perkembangan Metode Deteksi Resistensi Cacing


Nematoda Gastrointestinal pada Ternak terhadap Antelmintika.
WartazoaI.18 (1). Halaman 25-33.

Huang, Y., De bruyne, T., Apers, S., Ma, Y., Claeys, M., van den Berghe, D.,
Pieters, L., dan Vlietinck, A. (1998). Complement-Inhibiting Cucurbitacin
Glycosides from Picria fel-terrae. Journal of Natural Products. 61(6):
Halaman 757-761.

Huang, Y., De bruyne, T., Apers, S., Ma, Y., Claeys, M., D., Pieters, L., dan
Vlietinck, A. (1999). Flavonoid Glucuroinides from Picria fel-terrae.
Phytochemistry. 62(8): Halaman 1701-1703.

Ideham, B., dan Pusarawati, S. (2007). Helmintologi Kedokteran. Surabaya:


Airlangga University Press. Halaman 1-17.

Kumar, B., Lakshman, K., Jayaveera, K. N., Velmurugan, C., Manoj, B., et al.
(2010). Anthelmintic Activity of Methanol Extract of Amarantus caudatus
Linn. Int Journal of Food Safety. 12. Halaman 127-129.

Kumarasingha, R., Karpe, A., Preston, S., Yeo, T. C., Lim, D. L., et al.(2016).Me

40
Universitas Sumatera Utara
tabolic Profiling and in vitro Assesment of Anthelmintic Fractions of
Picria fel-terrae Lour. International Journal for Parasitology.6. Halaman
171-178.

Kumoro, A.C. (2015). Teknologi Ekstraksi Senayawa Bahan Aktif dari Tanaman
Obat. Cetakan Pertama. Yogyakarta: Plantaxia. Halaman 9-21.

Lamasai, M., Ramadhani, R., dan Anam, S. (2015). Uji Aktivitas Daya
Antelmintik Ekstrak Kulit Batang Lengaru (Alstonia scholaris R.Br)
secara In Vitro. Biocelebes. 9 (2). Halaman 532-549.

Mali, G., and Wadekar, R. (2008). In vitro Anthelmintic Activity of Baliospermun


montanum Muell. Indian J Pharm Sci. 70 (1). Halaman 131-133.

Marjoni, R.M. (2014). Pemurnian Etanol Hasil Fermentasi Kulit Umbi Singkong
(Manihot utilissima Pahl) dari Limbah Industri Kerupuk Sanjai
Berdasarkan Suhu dan Waktu Destilasi.Pharmaciana. 4 (2). Halaman193-
200.

Marjoni, R.M. (2016). Dasar-Dasar Fitokimia untuk Diploma III Farmasi.


Cetakan Pertama. Jakarta: Trans Info Media. Halaman 1, 2, 20, 42-43.

Mughal, T. A., Arsyad, S., and Mahboob, S. (2013). Evaluation of Athelmintic


Activity of Some Members of Family Moraceae. J Med Plants Res. 7 (3).
Halaman 2275-2279.

Oshomoh, E.O., dan Idu, M. (2012). Antimicrobial Activity of Ethanol and


Aqueous Extracts of Parinari curatellifolia (Stem) on Dental Caries
Causing Microbes. IJPSR. 3 (7). Halaman2113-2118.

Padal, S. B., Satyavathi, D., and Deepika. (2014). Ethnomedical Plants Used For
Anthelmintic in Visakhapatnam District, Andhrapradesh, India. Int J
Ethno. 1 (2). Halaman 1-5.

Patilaya, P., dan Husori, D.I. (2015). Preliminary Study on The Anthelmintic
Activity of The Leaf Ethanolic Extract of Indonesian Curanga fel-terrae
(Lour.) Merr. International Journal of Pharmtech Research. 8 (3).
Halaman 347-351.

Prohati. (2015). Detil Data Picria fel-terrae Lour. [diakses pada 12 April 2018);
diambil dari http:/www.proseanet.org/prohati2/browser.php?docsid=459.

Samanta, K., Hossain, E., anf Pal, D.P. (2012). Anthelmintic Acrivity of
Hygrophila diffarmis Blume. Journal of Buffalo Science. 1. Halaman35-
38.

Sanbayu, M. (2005). Efek Antelmintik Ekstrak Air Kulit Buah Delima (Punica
granatum L.) terhadap Cacing Gelang (Ascaris lumbricoides) secara In vi-
tro dan In vivo. Tesis. Universitas Surabaya. Halaman 19.

41
Universitas Sumatera Utara
Supriarti, H., Yamlean, P., dan Lasut, V. ( 2012). Uji Efektivitas Daya
Antelmintik Infus Daun Ketepeng Cina (Cassia alata L.) terhadap Cacing
Gelang (Ascaris lumbricoides) secara In Vitro dalam Pharmacon. 1 (1).
Halaman 56-62.

Tarigan, C. (2016). Isolasi Senyawa Flavonoid dari Herba Pugun Tanoh Curanga
fel-terrae (Lour.) Merr. Skripsi. Universitas Sumatera Utara.

Tiwow, D., Bodhi, W., Kojong, N.S. (2013). Uji Efek Antelmintik Ekstrak Etanol
Biji Pinang ( Areca catechu) terhadap Cacing Ascaris lumbricoidesI dan
Ascaridia galli secara in vitro. Pharmacon Jurnal Ilmiah Farmasi. 2 (2).
Halaman76-80.

Tjay, T.H., dan Rahardja, K. (2002). Obat-Obat Penting Khasiat, Penggunaan


dan Efek-Efek Sampingnya. Edisi Keempat. Jakarta: PT Elexmedia
Komputindo. Halaman 196-205.

Tjahyanto, A., dan Salim, C. (eds). (2013). Farmakologi Ulasan Bergambar.


Jakarta: EGC. Halaman 513-520.

Tjokropranoto, R., Rosnaeni, Nathania, M. Y. (2011). Anthelmintic Effect of


Ethanol Extract of Pare Leaf (Momordica charantia) Against Female
Ascaris Suum Warm in vitro. Jurnal Medika Planta. 1 (4). Halaman 33-39.

Vennila, V., and Nivetha, R. (2015). Screening The In Vitro Anthelmintic


Activity of Alternanthera sessilis Leaves. World Journal of Pharmacy and
Pharmaceutical Science. 4 (4). Halaman 1402-1415.

Vercruysse, J., Behnke, J., Albomico, M., Ame, S. A., Angebault, C., et al.
(2011). Assesment of the Anthelmintic Efficacy of Albendazole in School
Children in Seven Countrieswhere Soil-Transmitted Helminths are
Endemic. P Lo S Negl. Trop Dis. 5 (3). Halaman 1-10.

Waller, P. J., Echevarria, F., Eddi, C., Maciel, S., Nari, A., et al. (1995). The
Prevalence of Anthelmintic Resistence in Nematode Parasites of Sheep in
Shourthern Latin America. Vet Parasitol. 62 (1). Halaman 181-187.

Wang. L.S., Li, S.H., Zou. J.M., Gua, Y.J., dan Sun, H.D. (2006). Two New
Terpenoids from Picria fel-terrae. Journal of Asian Natural Products
Research. 8(6): Halaman 491-494.

WHO. (2018). Soil-Transmitted Helminth Infections. diambil dari


http://www.who.int/mediacentre/facts. Diakses tanggal 29 Mei 2018.

WHO. (1998). Quality Control Methods for Medicinal Plant Materials.


Switzerland: Printed in Malta. Halaman 25-28.

Widoyono. (2005). Penyakit Tropis (Epidemiologi, Penularan, Pencegahan &


Pemberantasannya. Semarang: Penerbit Erlangga. Halaman 127-141.

42
Universitas Sumatera Utara
Wink, M. (2012). Medicinal Plants: A Source of Anti-Parasitic Secondary
Metabolites. Molecules. 17. Halaman 12771-12791.

Zulkoni, H.A. (2010). Parasitologi. Yogyakarta: Nuha Medika. Halaman 71-72.

43
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 1. Hasil identifikasi tanaman

44
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 2. Surat persetujuan etik penelitian kesehatan

45
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 3. Hasil identifikasi hewan

46
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 4. Gambar pugun tanoh

47
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 5. Gambar hewan percobaan

48
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 6. Hasil pemeriksaan simplisia batang pugun tanoh

49
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 7. Hasil pemeriksaan mikroskopik simplisia batang pugun tanoh

3 3 3

4 4 4

5 5 5

Perbesaran 10 x 40
Keterangan:
1: Penebalan pembuluh angkut bentuk spiral
2: Stomata tipe anomositik
3: Trikoma tipe rambut
4: Stomata tipe diasitik
5: Trikoma tipe tanduk

50
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 8. Bagan prosedur kerja
Pembuatan serbuk simplisia batang pugun tanoh

Batang pugun tanoh


dicuci
disortir
ditiriskan lalu ditimbang
dikeringkan di lemari pengering
pada suhu 30-35oC
ditimbang
Simplisia

dihaluskan dengan blender


Serbuk simplisia

Karakterisasi Skrining Fitokimia Ekstraksi

- Organoleptik - Alkaloid Ekstrak


- Mikroskopik - Flavonoid
- Kadar air - Glikosida
- Kadar sari larut air - Saponin
- Kadar sari larut - tanin
etanol - Steroid/triterpe
- Kadar abu total noid
- Kadar abu tidak
larut asam

51
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 8. (lanjutan)
Pembuatan ekstrak etanol batang pugun tanoh

300 g serbuk simplisia batang


pugun tanoh

dimasukkan ke dalam bejana


dimaserasi dengan etanol 96%
sebanyak 1800 ml
ditutup rapat
dibiarkan pada temperatur kamar
selama 48 jam
disaring dengan kertas Whatmann
No. 1

Maserat

dipekatkan dengan rotary evaporator

Ekstrak Kental

Skrining Fitokimia Uji Aktivitas Antelmintik

- Alkaloid Waktu Paralisis dan Kematian


- Flavonoid
- Glikosida
- Saponin
- Tanin Analisis Statistika
- Steroid/triterpenoid

52
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 8. (lanjutan)
Uji aktivitas antelmintik ekstrak etanol batang pugun tanoh
Pheretima posthuma (panjang 12-15
cm dan lebar 0,3-0,5 cm)

dikumpulkan dari tanah yang lembap


dicuci dengan larutan salin untuk
menghilangkan pengotor

Larutan Sampel Uji


ditimbang EEBPT masing-masing
sebanyak 150, 300, 600 dan 900 mg
dimasukkan ke dalam lumpang
ditambahkan 0,2 ml Tween 80
sedikit demi sedikit sambil digerus merata
ditambhakan larutan NaCl 0,9% secukupnya
digerus hingga suspensi merata
dipindahkan suspensi ke dalam labu
erlenmeyer yang sudah dikalibrasi
dicukupkan dengan larutanNaCl 0,9%
Hewan Uji

disiapkan cawan petri


dibagi menjadi 6 kelompok masing-
masing terdiri dari 3 ekor cacing
(1 cacing = 1 cawan)
dimasukkan larutan uji ke dalam
cawan petri

dimasukkan cacing ke dalam cawan


petri
diamati dan dicata waktu paralisis
dan waktu kematian

Hasil

53
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 9. Perhitungan rendemen simplisia dan ekstrak
Berat basah Berat simplisia Berat ekstrak
4350 g 1060 g 25 g

Berat simplisia
% Rendemen simplisa = x 100%
Berat basah
1060 g
= x 100%
4350 g
= 24,36%
Berat ekstrak
% Rendemen ekstrak = x 100%
Berat simplisia
25 g
= x 100%
300 g
= 8,33%
Berat simplisia yang digunakan untuk ekstraksi adalah sebanyak 300 g.

54
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 10. Perhitungan karakterisasi simplisia
a. Penetapan kadar air

Simplisia
No
Berat sampel (g) Kadar Air (ml)
1 5,30 0,4
2 5,30 0,3
3 5,30 0,5

Volume air (ml)


% Kadar air = x 100%
Berat sampel (gram)

0,4
1. % Kadar air I = x 100% = 7,54%
5,30

0,3
2. % Kadar air II = x 100% = 5,66%
5,30

0,5
3. % Kadar air III = x 100% = 9,43%
5,30

(7,54 + 5,66 + 9,43)%


% Kadar air rata-rata= = 7,54%
3

b. Penetapan kadar sari larut dalam air

Simplisia
No
Berat sampel (g) Berat sari (g)
1 5,01 0,27
2 5,04 0,27
3 5,02 0,25

Berat sari 100


% Kadar sari larut air dan etanol = x x 100%
Berat sampel 20

0,27 100
1. % Kadar sari larut air I = x x 100% = 26,94%
5,01 20

55
Universitas Sumatera Utara
0,27 100
2. % Kadar sari larut air II = x x 100% = 26,78%
5,04 20

0,25 100
3. % Kadar sari larut air III = x x 100% = 24,90%
5,02 20

(26,94+26,78+24,90)%
% Kadar sari larut air rata-rata= = 26,21%
3

c. Penetapan kadar sari larut dalam etanol

Simplisia
No
Berat sampel (g) Berat sari (g)
1 5,01 0,15
2 5,02 0,05
3 5,02 0,14

0,15 100
1. % Kadar sari larut etanol I = x x 100% = 14,97%
5,01 20

0,05 100
2. % Kadar sari larut etanol II = x x 100% = 4,98%
5,02 20

0,14 100
3. % Kadar sari larut etanol III = x x 100% = 13,94%
5,02 20

14,97+4,98+13,94%
% Kadar sari larut etanol rata-rata= = 11,29%
3

d. Penetapan kadar abu total

Simplisia
No
Berat sampel (g) Berat Abu (g)
1 2,00 0,22
2 2,01 0,26
3 2,01 0,16

56
Universitas Sumatera Utara
Berat abu (gram)
% Kadar abu total = x 100%
Berat Sampel (gram)

0,22
1. % Kadar abu total I = x 100% = 11%
2,00

0,26
2. % Kadar abu total II = x 100% = 12,93%
2,01

0,16
3. % Kadar abu total III = x 100% = 7,96%
2,01

(11 + 12,93 + 7,96)%


% Kadar abu total rata-rata = = 10,63%
3

e. Penetapan kadar abu tidak larut asam


Simplisia
No
Berat sampel (g) Berat Abu (g)
1 2,01 0,05
2 2,00 0,07
3 2,00 0,02

Berat abu tidak larut asam (gram)


% Kadar abu tidak larut asam = x 100%
Berat Sampel (gram)

0,05
1. % Kadar abu tidak larut asam I = x 100% = 2,48%
2,01

0,07
2. % Kadar abu tidak larut asam II = x 100% = 3,50%
2,00

0,02
3. % Kadar abu tidak larut asam III = x 100% = 1,00%
2,00

2,48% + 3,50% + 1,00%


% Kadar abu tidak larut asam rata-rata = = 2,34%
3

57
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 11. Gambar pengujian antelmintik

g). Pemaparan larutan NaCl 0,9% h). Pemaparan Tween 80 1%

i). Pemaparan EEBPT 5 mg/ml j). Pemaparan EEBPT 10 mg/ml

k). Pemaparan EEBPT 20 mg/ml l). Pemaparan EEBPT 30 mg/ml

58
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 12. Waktu paralisis cacing
Pengujian (menit)
Perlkauan
I II III
Larutan NaCl 0,9% (kontrol negatif) 512 531 520
Tween 80 1% (kontrol pelarut) 496 518 508
EEBPT 5 mg/ml 69 64 66
EEBPT 10 mg/ml 54 46 49
EEBPT 20 mg/ml 30 29 27
EEBPT 30 mg/ml 23 20 22
Keterangan :EEBPT = Ekstrak etanol batang pugun tanoh

59
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 13. Waktu kematian cacing
Pengujian (menit)
Perlkauan
I II III
Larutan NaCl 0,9% (kontrol negatif) 1677 1700 1685
Tween 80 1% (kontrol pelarut) 1598 1688 1609
EEBPT 5 mg/ml 134 123 142
EEBPT 10 mg/ml 130 119 113
EEBPT 20 mg/ml 38 34 32
EEBPT 30 mg/ml 31 28 30

60
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 14. Uji statistika waktu paralisis cacing

Tests of Normality
Kolmogorov-
Smirnova Shapiro-Wilk
perlakuan Statistic Df Sig. Statistic df Sig.
waktu paralisis nacl 0.9% .208 3 . .992 3 .826
tween 1% .191 3 . .997 3 .900
EEBPT 5 mg/ml .219 3 . .987 3 .780
EEBPT 10 .232 3 . .980 3 .726
mg/ml
EEBPT 20 .253 3 . .964 3 .637
mg/ml
EEBPT 30 .253 3 . .964 3 .637
mg/ml

Descriptives

95% Confidence
Interval for
Std. Mean
Deviati Std. Lower Upper
N Mean on Error Bound Bound Min Max
nacl 0.9% 3 521.00 9.539 5.508 497.30 544.70 512 531
tween 1% 3 507.33 11.015 6.360 479.97 534.70 496 518
EEBPT 5 3 66.33 2.517 1.453 60.08 72.58 64 69
mg/ml
EEBPT 10 3 49.67 4.041 2.333 39.63 59.71 46 54
mg/ml
EEBPT 20 3 28.67 1.528 .882 24.87 32.46 27 30
mg/ml
EEBPT 30 3 21.67 1.528 .882 17.87 25.46 20 23
mg/ml
Total 18 199.11 229.811 54.167 84.83 313.39 20 531

Test of Homogeneity of Variances


waktu paralisis
Levene
Statistic df1 df2 Sig.
2.235 5 12 .118

61
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 14. (lanjutan)
ANOVA
waktu paralisis
Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 897344.444 5 179468.889 4492.962 .000
Within Groups 479.333 12 39.944
Total 897823.778 17

waktu paralisis
a
Tukey HSD
Subset for alpha = 0.05
Perlakuan N 1 2 3
EEBPT 30 mg/ml 3 21.67
EEBPT 20 mg/ml 3 28.67
EEBPT 10 mg/ml 3 49.67
EEBPT 5 mg/ml 3 66.33
tween 1% 3 507.33
nacl 0.9% 3 521.00
Sig. .750 .062 .158
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.

62
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 15. Uji statistika waktu kematian cacing

Tests of Normality
Kolmogorov-
Smirnova Shapiro-Wilk
perlakuan Statistic df Sig. Statistic df Sig.
waktu nacl 0.9% .246 3 . .970 3 .668
kematian tween 1% .345 3 . .840 3 .214
EEBPT 5 .208 3 . .992 3 .826
mg/ml
EEBPT 10 .243 3 . .972 3 .679
mg/ml
EEBPT 20 .253 3 . .964 3 .637
mg/ml
EEBPT 30 .253 3 . .964 3 .637
mg/ml
a. Lilliefors Significance Correction

Descriptives
waktu kematian
95% Confidence
Std. Interval for Mean
Deviatio Std. Lower Upper
N Mean n Error Bound Bound Min Max
nacl 0.9% 3 1687.33 11.676 6.741 1658.33 1716.34 1677 1700
tween 1% 3 1631.67 49.095 8.345 1509.71 1753.63 1598 1688
EEBPT 5 mg/ml 3 133.00 9.539 5.508 109.30 156.70 123 142
EEBPT 10 3 120.67 8.622 4.978 99.25 142.08 113 130
mg/ml
EEBPT 20 3 34.67 3.055 1.764 27.08 42.26 32 38
mg/ml
EEBPT 30 3 29.67 1.528 .882 25.87 33.46 28 31
mg/ml
Total 18 606.17 767.841 180.982 224.33 988.00 28 1700

63
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 15. (lanjutan)
Test of Homogeneity of Variances
waktu kematian
Levene
Statistic df1 df2 Sig.
9.080 5 12 .001

ANOVA
waktu kematian
Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 1.002E7 5 2003479.833 4413.491 .000
Within Groups 5447.333 12 453.944
Total 1.002E7 17

waktu kematian
Tukey HSDa
Subset for alpha = 0.05
Perlakuan N 1 2 3
EEBPT 30 3 29.67
mg/ml
EEBPT 20 3 34.67
mg/ml
EEBPT 10 3 120.67
mg/ml
EEBPT 5 mg/ml 3 133.00
tween 1% 3 1631.67
nacl 0.9% 3 1687.33
Sig. 1.000 .977 .065
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.

64
Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai