TEKNOLOGI FERMENTASI
Disusun Oleh :
Dara Oktafaza Rosyadi 240210190049
Olivia Martha Jacobus 240210190050
Angela Ferren Lianna 240210190051
Tiara Azzahra Rusmana 240210190052
Shifa Auliya Yusnia 240210190053
PEMBAHASAN
Fermentasi dapat diartikan sebagai proses perubahan kimia pada suatu substrat organik
melalui aktivitas enzim yang dihasilkan oleh mikroorganisme seperti bakteri, kapang, khamir.
Untuk mempercepat proses fermentasi dan pertumbuhan mikroorganisme diperlukan nutrien
tambahan (Suryani et al., 2017). Makanan hasil fermentasi adalah makanan yang diolah dengan
menggunakan bantuan mikroorganisme atau komponen biologis lainnya seperti enzim guna
menghasilkan produk yang berguna bagi manusia. Contoh makanan hasil fermentasi adalah
tempe, tapai, oncom, kecap, yoghurt, keju, dan masih banyak lagi (Masdarini, 2011).
Tipe fermentasi dapat diklasifikasikan ke dalam 2 kelompok, yaitu fermentasi
padat/kering (Solid State Fermentations) dan fermentasi cair (Submerged Fermentations). Pada
fermentasi padat, mikroorganisme tumbuh pada padatan lembap dengan sedikit atau tanpa air.
Produk hasil fermentasi solid diantaranya adalah keju, roti, dan kompos. Sedangkan pada
fermentasi cair dapat digunakan substrat terlarut atau substrat padat yang tersuspensi dalam
sejumlah besar air. Produk hasil fermentasi cair diantaranya adalah antibiotik, bir, insulin, dan
sebagainya. Kedua fermentasi tersebut bisa dibagi lagi yaitu fermentasi aerobik dan fermentasi
anaerobik. Produk yang dihasilkan dalam suasana aerobik contohnya adalah antibiotik
penisilinn yang menggunakan jamur Penicillium chrysogenum. Produk yang dihasilkan dalam
suasana anerobik contohnya adalah yoghurt dan salami (Chisti, 2010).
Proses fermentasi di industri dapat berlangsung secara batch, fed batch, dan continuous.
Continuous fermentasi jarang ditemukan dalam industri. Fermentasi secara batch merupakan
proses dimana sekumpulan media kultur dalam fermentor diinokulasi dengan kultur mikroba
yang berlangsung dalam durasi tertentu kemudian produk dipanen. Fermentasi ini umumnya
berjalan selama 4-5 hari, namun ada juga yang berbulan-bulan. Pada fermentasi fed-batch,
media kultur steril ditambahkan secara terus menerus atau berkala ke dalam batch fermentasi
yang diinokulasi sehingga produk fermentasi yang dihasilkan akan semakin meningkat. Produk
dipanen ketika waktu batch selesai. Produksi antibiotik biasanya menggunakan fermentasi
kontinyu dimana media steril diberikan terus menerus ke dalam fermentor dan produk yang
dihasilkan juga dipanen terus menerus sehingga volume fermentasi tetap sama (Stanbury et al.,
2016).
Berdasarkan pernyataan Stanbury et al. (2016), pertumbuhan mikroorganisme
biasanya melalui beberapa fase. Fase pertama adalah fase lag, Fase lag adalah fase adaptasi
mikroorganisme dengan lingkungan baru dan tidak terjadi perbanyakan jumlah sel, Fase
berikutnya adalah fase log (eksponen). Fase lag adalah fase dimana jumlah sel meningkat
secara eksponensial menjadi dua kali lipat. Lama-kelamaan, nutrient akan berkurang sehingga
fase selanjutnya memasuki fase stasioner. Pada fase ini jumlah sel yang hidup tetap konstan.
Metabolit sekunder akan diproduksi di fase ini, dimana kondisi sel tertekan dan sebagai bentuk
pertahanan diri. Fase terakhir adalah fase kematian dimana nutrien sudah habis sehingga
mikroorganisme akan mati.
Produk yang dihasilkan oleh mikroorganisme dapat diklasifikasikan menjadi metabolit
primer dan sekunder. Metabolit primer penting untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup
mikroba. Contoh metabolit primer adalah asam sitrat dan asam amino. Metabolit sekunder
adalah produk yang tidak digunakan untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup sel tapi
memiliki berbagai manfaat. Metabolit sekunder biasa dihasilkan dari metabolit primer pada
kondisi stress dan dibentuk pada fase stasioner. Contoh metabolit sekunder adalah antibiotic,
pigmen, toksin. Tidak semua mikroorganisme dapat menghasilkan metabolism sekunder.
Mikroorganisme yang umumnya bisa menghasilkan metabolism sekunder adalah bakteri,
jamur berfilamen dan bakteri berspora. Fungsi metabolit sekunder diantaranya adalah sebagai
sistem pertahanan hidup dan pengaktivasi jalur penting untuk pertahanan diri, memperbaiki
kehidupan mikroba penghasil metabolit sekunder. Pembentukan metabolit primer dipengauhi
oleh ketersediaan nutrisi tertentu, penurunan kecepatan pertumbuhan, inaktivasi enzim, dan
induksi enzim (Nofiani, 2008).
Menurut (Stanbury et al., 2016), media untuk fermentasi biasa disebut juga dengan
substrat. Media/substrat yang dipilih akan mempengaruhi desain fermentor yang akan
digunakan nantinya. Setiap mikroorganisme membutuhkan air, sumber energi, karbon,
nitrogen, mineral, dan beberapa membutuhkan vitamin tertentu dan juga udara apabila
fermentasi berjalan secara anaerobik. Media yang dipilih juga harus mudah untuk ditemukan
dan terjangkau. Konstituen pada suatu media harus memenuhi minimal unsur yang dibutuhkan
untuk biomassa sel dan produksi metabolit serta sumber energi yang cukup untuk biosintesis
dan pemeliharaan sel. Dalam produksi antibiotik, kadar glukosa dalam media juga berpengaruh
untuk pembentukan antibiotik terutama untuk mikroorganisme yang pcka terhadap kckurangan
dan kelcbihan kandungan glukosa. Kadar glukosa berpengaruh terhadap jumlah antibiotik yang
dihasilkan. Maka dari itu, penting untuk mengetahui komposisi suatu media untuk proses
fermentasi. Suatu media dapat diketahui dengan pasti komposisi kimianya, namun ada juga
media kompleks yang tidak diketahui komposisi pastinya. Media kompleks ini banyak
ditemukan pada industri karena umumnya memiliki harga yang lebih murah. Sementara media
yang diketahui komposisinya biasa digunakan dalam kultur sel hewani (Chisti, 2010).
Menurut Chisti (2010), dalam fermentasi industri, setiap media dan udara yang
digunakan harus melalui proses sterilisasi untuk menghindari kontaminasi mikroorganisme
yang tidak diinginkan. Sterilisasi udara dilakukan dengan penyaringan melalui membrane filter
hidrofobik. Sterilisasi media kultur dapat dilakukan bersama dengan fermentor dengan cara
pemanasan pada suhu 121°C selama 20-30 menit. Proses sterilisasi juga harus disesuaikan
dengan sifat substrat yang digunakan.
Proses fermentasi dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adal suhu, pH, faktor
lingkungan, komposisi dari medium, oksigen dan karbondioksida terlarut, dan shear rates dari
fermentor. Metode pengoperasian juga mempengaruhi proses fermentasi. Faktor-faktor
tersebut dapat mempengaruhi laju fermentasi, spektrum produk dan hasilnya, sifat organoleptik
produk meliputi penampilan, rasa, bau, dan tekstur, kualitas nutrisi dan sifat fisika kimianya
(Chisti, 2010).
Dalam melakukan fermentasi, diperlukan peralatan yang dapat menunjang kegiatan
fermentasi atau disebut juga dengan fermentor. Menurut Chisti (2010),jenis-jenis fermentor
yang digunakan dalam fermentasi cair adalah stirred tank fermenter, bubble column, airlift
fermenter, fluidized-bed fermenter, dan trickle-bed fermenter. Peralatan fermentasi tipe ini
biasa dirancang untuk kultur monoseptik dan dapat disterilkan dengan uap di bawah tekanan.
Fermenter yang dapat digunakan pada fermentasi padat diantaranya adalah tray fermenter,
static bed fermenter, tunnel fermenter, rotary disk fermenter, rotary drum fermenter, agitated
tank fermenter, dan continuous screw fermenter.
Produk metabolit sekunder merupakan golongan senyawa yang terkandung dalam
tubuh mikroorganisme, flora dan fauna hasil proses metabolisme sekunder yang disintesis dari
banyak senyawa metabolisme primer, seperti asam amino, asetil koenzim A, asam mevalonat
dan senyawa antara dari jalur shikimate (Herbert, 1995). Jenis-jenis produk metabolit sekunder
bermacam-macam, salah satunya yakni antibiotik. Antibiotik dipercaya mampu
menyembuhkan penyakit infeksi seperti malaria, demam berdarah dengue (DBD), diare dan
tuberkulosis (TB) sehingga menyebabkan permintaan antibiotik meningkat. Potensi dari
antibiotik ini salah satunya sebagai antimikroba (Doughari, 2007). Namun sayangnya,
kandungan senyawa sintetik dalam antibiotik berdampak buruk bila dikonsumsi terus-menerus
oleh manusia, oleh karenanya berbagai upaya mulai dilakukan untuk mengurangi dampak
negatif penggunaan antibiotik sintetik seperti pengembangan riset tentang senyawa metabolit
sekunder (Tisnadjaja, 2017). Kebanyakan kandungan senyawa sintetik dalam antibiotik yang
digunakan yakni zat kimia berbahaya dan bersifat tidak aman bagi kesehatan manusia (Nimah
et al., 2012). Selain itu juga dapat menimbulkan resistensi mikroba patogen.
Maka dari itu, diperlukan langkah awal untuk menentukan kadar jenis metabolit
sekunder tersebut. Dalam menentukan jenis metabolit sekunder dapat dilakukan dengan
berbagai metode yang berbeda-beda seperti metode ekstraksi menggunakan instrumen
Kromatografi Gas – Spektroskopi Massa (KG-SM) yang merupakan kombinasikan
kromatografi gas (GC) dan spektrometri massa (MS) untuk mengidentifikasi senyawa yang
berbeda dalam analisis sampel. Kemudian menentukan jenis metabolit sekunder dapat
dilakukan dengan metode fermentasi menggunakan fermentor, dan lain sebagainya.
Antibiotik merupakan salah satu produk hasil metabolit sekunder. Salah satu jenis
antibiotik adalah antibiotik makrolida yang dihasilkan dari Streptomyces sp (Jenie, 2016).
Antibiotik yang dihasilkan memberikan rasa pahit sehingga diberi nama pikromisin
(pikromycin). Antibiotik makrolida banyak digunakan dalam bidang farmasi.
KESIMPULAN
Fermentasi dapat diartikan sebagai proses perubahan kimia pada suatu substrat organik
melalui aktivitas enzim yang dihasilkan oleh mikroorganisme seperti bakteri, kapang, khamir.
Produk yang dihasilkan oleh mikroorganisme dapat diklasifikasikan menjadi metabolit primer
dan sekunder. Metabolit sekunder adalah produk yang tidak digunakan untuk pertumbuhan dan
kelangsungan hidup sel tapi memiliki berbagai manfaat. Metabolit sekunder biasa dihasilkan
dari metabolit primer pada kondisi stress dan dibentuk pada fase stasioner. Antibiotik
merupakan salah satu produk metabolit sekunder dari proses fermentasi mikroorganisme.
Teknologi fermentasi dapat menghasilkan senyawa metabolit antibiotik dengan fermentasi cair
dalam suasana aerobik. Dalam industri produksi antibiotik dilakukan dengan sistem kontinyu.
Metabolit sekundernya akan muncul dalam proses fermentasi pada fase stasioner. Untuk
produksi antibiotik, kadar glukosa dalam medium berpengaruh terhadap jumlah antibiotik yang
dihasilkan. Metabolit sekunder dapat dianalisis dengan metode ekstraksi dengan Kromatografi
Gas – Spektroskopi Massa (KG-SM) atau dengan metode fermentasi. Terdapat antibiotik
makrolida yang dihasilkan dari Streptomyces sp dan antibiotik penisilin yang dihasilkan oleh
Penicillium chrysogenum. Prosedur fermentasi dapat beragam dipengaruhi oleh jenis mikroba,
bahan dasar, peralatan, dan sifat-sifat proses.
DAFTAR PUSTAKA
Arora, S., Rani, R., & Ghosh, S. (2018). Bioreactors in solid state fermentation technology:
Design, applications and engineering aspects. Journal of Biotechnology, 269(January),
16–34. https://doi.org/10.1016/j.jbiotec.2018.01.010
Begum, P. S., Rajagopal, S., & Razak, M. A. (2021). Emerging trends in microbial
fermentation technologies. In Recent Developments in Applied Microbiology and
Biochemistry. https://doi.org/10.1016/b978-0-12-821406-0.00011-4
Harborne, J.B. 1987. Metode Fitokimia. Terjemahan: Padmawinata, K dan Soediro, I. Institut
Teknologi Bandung, Bandung.
Herbert, R. B., 1995. Biosintesis Metabolit Sekunder. Edisi ke-2. Cetakan ke-1, terjemahan
Bambang Srigandono. Bandung: IKIP Bandung Press.
Jenie, U. A. (2016). Rekayasa Biokimiawi dan Rekayasa Genetika dalam Produksi Antibiotik-
Makrolida Baru. Seminar Nasional XX PBBMI, 87–96. Retrieved from
http://pbbmi.org/wp-content/uploads/2017/09/ok-bgt.pdf#page=94
Kusuma, G. P., Nocianitri, K. A., & Pratiwi, I. D. P. (2020). Pengaruh Lama Fermentasi
Terhadap Karakteristik Fermented Rice Drink Sebagai Minuman Probiotik Dengan Isolat
Lactobacillus sp. F213. Jurnal Ilmu Dan Teknologi Pangan (ITEPA), 9(2), 181.
https://doi.org/10.24843/itepa.2020.v09.i02.p08
Nimah, S., Ruf, W., & Trianto, A. (2012). UJI BIOAKTIVITAS EKSTRAK TERIPANG
PASIR (HOLOTHURIA SCABRA) TERHADAP BAKTERI PSEUDOMONAS
AERUGINOSA DAN BACILLUS CEREUS. Jurnal Pengolahan Dan Bioteknologi
Hasil Perikanan. https://ejournal3.undip.ac.id/index.php/jpbhp/article/view/437
Nofiani, R. (2008). Urgensi dan Mekanisme Biosintesis Metabolit Sekunder Mikroba Laut.
Jurnal Natur Indonesia, 10(2), 120–125. https://doi.org/10.31258/jnat.10.2.120-125
Rachman, S. D., Safari, A., Fazli, Kamara, D. S., Sidik, A., Udin, L. Z., & Ishmayana, S.
(2016). PRODUKSI PENISILIN OLEH Penicillium chrysogenum L112 DENGAN
VARIASI KECEPATAN AGITASI PADA FERMENTOR 1 L. Jurnal Ilmiah Farmasi,
4(2), 1–6. Retrieved from http://kjif.unjani.ac.id/index.php/kjif/article/viewFile/59/50
Stanbury, P. F., Whitaker, A., & Hall, S. J. (2016). Principles of Fermentation Technology
(Second). Butterworth-Heinemann.
Suprihatin.( 2010). Teknologi Fermentasi. UNESA Press. Surabaya.
Suryani, Y., Hernaman, I., & Ningsih, N. (2017). Pengaruh Penambahan Urea Dan Sulfur Pada
Limbah Padat Bioetanol Yang Difermentasi Em-4 Terhadap Kandungan Protein Dan
Serat Kasar. In Jurnal Ilmiah Peternakan Terpadu (Vol. 5, Issue 1).
https://doi.org/10.23960/jipt.v5i1.p13-17
Yatmaz, E., & Turhan, I. (2018). Carob as a carbon source for fermentation technology.
Biocatalysis and Agricultural Biotechnology, 16, 200–208.
https://doi.org/10.1016/j.bcab.2018.08.006