Anda di halaman 1dari 11

PRODUKSI ANTIBIOTIK SEBAGAI HASIL METABOLIT SEKUNDER

TEKNOLOGI FERMENTASI

Disusun Oleh :
Dara Oktafaza Rosyadi 240210190049
Olivia Martha Jacobus 240210190050
Angela Ferren Lianna 240210190051
Tiara Azzahra Rusmana 240210190052
Shifa Auliya Yusnia 240210190053

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN


FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN
2021
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Fermentasi didefinisikan sebagai suatu proses terjadinya perubahan kimia pada suatu
substrat organik melalui aktivitas enzim yang dihasilkan oleh mikroorganisme. Fermentasi
dilakukan terhadap suatu bahan makanan untuk mendapatkan produk makanan baru yang dapat
memperpanjang daya simpan. Mikroorganisme yang memfermentasi bahan pangan dapat
menghasilkan perubahan yang menguntungkan (produk - produk fermentasi yang diinginkan)
dan perubahan yang merugikan yang dapat menyebabkan kerusakan bahan pangan. Fermentasi
memiliki manfaat lain diantaranya bahan makanan lebih tahan disimpan dan dapat mengurangi
senyawa racun yang dikandungnya, sehingga nilai ekonomis bahan dasarnya menjadi jauh
lebih baik (Suprihatin, 2010).
Fermentasi memiliki prinsip dasar mengaktifkan aktivitas mikroba tertentu agar dapat
merubah sifat bahan tertentu sehingga dihasilkan produk fermentasi yang bermanfaat. Terdapat
beberapa faktor faktor yang mempengaruhi fermentasi diantaranya adalah mikroorganisme,
substrat (medium), pH (keasaman), oksigen, suhu, dan aktivitas air (Kusuma et al , 2020).
Proses fermentasi memerlukan substrat sebagai media tempat tumbuhnya mikroba yang
mengandung zat-zat nutrisi yang dibutuhkan selama proses fermentasi berlangsung.
Salah satu teknologi yang bisa digunakan untuk meningkatkan mutu bahan pangan
adalah dengan fermentasi. Penggunaan teknologi fermentasi dapat menghasilkan biofuel,
antibiotik, biokimia, protein rekombinan, biomaterial, dan banyak item konsumen lainnya yang
telah menarik minat para peneliti dan industri karena kemanjurannya dalam mengurangi
perubahan iklim, mengurangi ketergantungan tenaga kerja, dan meningkatkan ketahanan
energi (Begum, Rajagopal, & Razak, 2021).
Aplikasi teknologi fermentasi terdiri dari proses hulu (langkah fermentasi) dan hilir
(langkah pemurnian). Proses hulu merupakan bagian terpenting dari fermentasi karena hasil
yang diperoleh bergantung pada jumlah produk. Beberapa contoh teknologi fermentasi yaitu
batch, fed-batch, continuous, biofilm, immobilized bed reactor, dan packed-bed reactor
fermentation. Fermentor/bioreaktor adalah sebuah peralatan atau sistem yang mampu
menyediakan sebuah lingkungan biologis yang dapat menunjang terjadinya reaksi biokimia
dari bahan mentah menjadi bahan yang dikehendaki. Jenis-jenis bioreaktor dikelompokkan
menjadi empat yaitu Tray bioreactor, Packed bed bioreactor, Air pressure pulsation
bioreactor, dan Intermittent or continuously mixed SSF bioreactors (Arora, Rani, & Ghosh,
2018). Parameter yang penting pada penggunaan teknologi fermentasi adalah adalah aerasi,
agitasi, pH awal dan fermentasi, suhu, teknik fermentasi, dan media/substrat yang digunakan
(Yatmaz & Turhan, 2018).
Dalam proses fermentasi memproduksi metabolit primer dan sekunder. Metabolit
primer dihasilkan dari proses menyusun atau menghancurkan makromolekul seperti
karbohidrat, protein, lemak, dan asam nukleat untuk pertumbuhan mikroba. Sedangkan
metabolit sekunder tidak esensial bagi kehidupan mikroba. Metabolit sekunder berasal dari
senyawa antara ataupun produk metabolit primer. Golongan senyawa metabolit sekunder
adalah alkaloid, flavonoid, saponin, tannin, steroid dan triterpenoid (Harborne, 1987).
Metabolit sekunder tidak diperlukan untuk pertumbuhan sel, namun berperan bagi mikroba
untuk menghadapi ancaman atau serangan dari mikroba lain, dan berperan disaat mikroba
dalam kondisi tertekan. Hal ini menyebabkan metabolit sekunder diproduksi pada fase
stasioner. Pada fase ini nutrisi untuk bakteri mulai habis dan akan menghasilkan metabolit
sekunder untuk pertahanan diri.
Bagi manusia, produk metabolit sekunder berguna sebagai antibakteri, inhibitor enzim,
pemacu pertumbuhan, dll. Contoh produk metabolit sekunder adalah antibiotik, toksin, dan
bau-bauan. Antibiotik yang merupakan salah satu produk metabolit sekunder sangat berperan
penting bagi kehidupan manusia terutama dalam bidang farmasi. Jenis antibiotik yang
dihasilkan berbeda-beda dipengaruhi oleh mikroba yang menghasilkannya dan proses
fermentasinya. Selain itu produksi metabolit sekunder dipengaruhi oleh faktor lingkungannya
dan biasanya dihasilkan secara ekstraseluler. Senyawa yang dihasilkan metabolit sekunder
dapat bersifat buruk saat dikonsumsi terus-menerus atau bahkan bersifat toksik. Oleh karena
itu, diperlukan analisis senyawa metabolit sekunder terutama untuk produk konsumsi seperti
antibiotik.

1.2. Rumusan Masalah


Dari latar belakang di atas dapat dirumuskan beberapa masalah yaitu :
1. Bagaimana teknologi fermentasi menghasilkan metabolit sekunder antibiotik?
2. Apa metode untuk menganalisis metabolit sekunder?
3. Apa contoh jenis antibiotik hasil teknologi fermentasi?
1.3. Tujuan
Dari rumusan masalah di atas dapat diambil beberapa tujuan diantaranya :
1. Mengetahui tentang teknologi fermentasi menghasilkan metabolit sekunder
antibiotik.
2. Mengetahui metode untuk menganalisis metabolit sekunder.
3. Mengetahui contoh jenis antibiotik hasil teknologi fermentasi.

PEMBAHASAN

Fermentasi dapat diartikan sebagai proses perubahan kimia pada suatu substrat organik
melalui aktivitas enzim yang dihasilkan oleh mikroorganisme seperti bakteri, kapang, khamir.
Untuk mempercepat proses fermentasi dan pertumbuhan mikroorganisme diperlukan nutrien
tambahan (Suryani et al., 2017). Makanan hasil fermentasi adalah makanan yang diolah dengan
menggunakan bantuan mikroorganisme atau komponen biologis lainnya seperti enzim guna
menghasilkan produk yang berguna bagi manusia. Contoh makanan hasil fermentasi adalah
tempe, tapai, oncom, kecap, yoghurt, keju, dan masih banyak lagi (Masdarini, 2011).
Tipe fermentasi dapat diklasifikasikan ke dalam 2 kelompok, yaitu fermentasi
padat/kering (Solid State Fermentations) dan fermentasi cair (Submerged Fermentations). Pada
fermentasi padat, mikroorganisme tumbuh pada padatan lembap dengan sedikit atau tanpa air.
Produk hasil fermentasi solid diantaranya adalah keju, roti, dan kompos. Sedangkan pada
fermentasi cair dapat digunakan substrat terlarut atau substrat padat yang tersuspensi dalam
sejumlah besar air. Produk hasil fermentasi cair diantaranya adalah antibiotik, bir, insulin, dan
sebagainya. Kedua fermentasi tersebut bisa dibagi lagi yaitu fermentasi aerobik dan fermentasi
anaerobik. Produk yang dihasilkan dalam suasana aerobik contohnya adalah antibiotik
penisilinn yang menggunakan jamur Penicillium chrysogenum. Produk yang dihasilkan dalam
suasana anerobik contohnya adalah yoghurt dan salami (Chisti, 2010).
Proses fermentasi di industri dapat berlangsung secara batch, fed batch, dan continuous.
Continuous fermentasi jarang ditemukan dalam industri. Fermentasi secara batch merupakan
proses dimana sekumpulan media kultur dalam fermentor diinokulasi dengan kultur mikroba
yang berlangsung dalam durasi tertentu kemudian produk dipanen. Fermentasi ini umumnya
berjalan selama 4-5 hari, namun ada juga yang berbulan-bulan. Pada fermentasi fed-batch,
media kultur steril ditambahkan secara terus menerus atau berkala ke dalam batch fermentasi
yang diinokulasi sehingga produk fermentasi yang dihasilkan akan semakin meningkat. Produk
dipanen ketika waktu batch selesai. Produksi antibiotik biasanya menggunakan fermentasi
kontinyu dimana media steril diberikan terus menerus ke dalam fermentor dan produk yang
dihasilkan juga dipanen terus menerus sehingga volume fermentasi tetap sama (Stanbury et al.,
2016).
Berdasarkan pernyataan Stanbury et al. (2016), pertumbuhan mikroorganisme
biasanya melalui beberapa fase. Fase pertama adalah fase lag, Fase lag adalah fase adaptasi
mikroorganisme dengan lingkungan baru dan tidak terjadi perbanyakan jumlah sel, Fase
berikutnya adalah fase log (eksponen). Fase lag adalah fase dimana jumlah sel meningkat
secara eksponensial menjadi dua kali lipat. Lama-kelamaan, nutrient akan berkurang sehingga
fase selanjutnya memasuki fase stasioner. Pada fase ini jumlah sel yang hidup tetap konstan.
Metabolit sekunder akan diproduksi di fase ini, dimana kondisi sel tertekan dan sebagai bentuk
pertahanan diri. Fase terakhir adalah fase kematian dimana nutrien sudah habis sehingga
mikroorganisme akan mati.
Produk yang dihasilkan oleh mikroorganisme dapat diklasifikasikan menjadi metabolit
primer dan sekunder. Metabolit primer penting untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup
mikroba. Contoh metabolit primer adalah asam sitrat dan asam amino. Metabolit sekunder
adalah produk yang tidak digunakan untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup sel tapi
memiliki berbagai manfaat. Metabolit sekunder biasa dihasilkan dari metabolit primer pada
kondisi stress dan dibentuk pada fase stasioner. Contoh metabolit sekunder adalah antibiotic,
pigmen, toksin. Tidak semua mikroorganisme dapat menghasilkan metabolism sekunder.
Mikroorganisme yang umumnya bisa menghasilkan metabolism sekunder adalah bakteri,
jamur berfilamen dan bakteri berspora. Fungsi metabolit sekunder diantaranya adalah sebagai
sistem pertahanan hidup dan pengaktivasi jalur penting untuk pertahanan diri, memperbaiki
kehidupan mikroba penghasil metabolit sekunder. Pembentukan metabolit primer dipengauhi
oleh ketersediaan nutrisi tertentu, penurunan kecepatan pertumbuhan, inaktivasi enzim, dan
induksi enzim (Nofiani, 2008).
Menurut (Stanbury et al., 2016), media untuk fermentasi biasa disebut juga dengan
substrat. Media/substrat yang dipilih akan mempengaruhi desain fermentor yang akan
digunakan nantinya. Setiap mikroorganisme membutuhkan air, sumber energi, karbon,
nitrogen, mineral, dan beberapa membutuhkan vitamin tertentu dan juga udara apabila
fermentasi berjalan secara anaerobik. Media yang dipilih juga harus mudah untuk ditemukan
dan terjangkau. Konstituen pada suatu media harus memenuhi minimal unsur yang dibutuhkan
untuk biomassa sel dan produksi metabolit serta sumber energi yang cukup untuk biosintesis
dan pemeliharaan sel. Dalam produksi antibiotik, kadar glukosa dalam media juga berpengaruh
untuk pembentukan antibiotik terutama untuk mikroorganisme yang pcka terhadap kckurangan
dan kelcbihan kandungan glukosa. Kadar glukosa berpengaruh terhadap jumlah antibiotik yang
dihasilkan. Maka dari itu, penting untuk mengetahui komposisi suatu media untuk proses
fermentasi. Suatu media dapat diketahui dengan pasti komposisi kimianya, namun ada juga
media kompleks yang tidak diketahui komposisi pastinya. Media kompleks ini banyak
ditemukan pada industri karena umumnya memiliki harga yang lebih murah. Sementara media
yang diketahui komposisinya biasa digunakan dalam kultur sel hewani (Chisti, 2010).
Menurut Chisti (2010), dalam fermentasi industri, setiap media dan udara yang
digunakan harus melalui proses sterilisasi untuk menghindari kontaminasi mikroorganisme
yang tidak diinginkan. Sterilisasi udara dilakukan dengan penyaringan melalui membrane filter
hidrofobik. Sterilisasi media kultur dapat dilakukan bersama dengan fermentor dengan cara
pemanasan pada suhu 121°C selama 20-30 menit. Proses sterilisasi juga harus disesuaikan
dengan sifat substrat yang digunakan.
Proses fermentasi dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adal suhu, pH, faktor
lingkungan, komposisi dari medium, oksigen dan karbondioksida terlarut, dan shear rates dari
fermentor. Metode pengoperasian juga mempengaruhi proses fermentasi. Faktor-faktor
tersebut dapat mempengaruhi laju fermentasi, spektrum produk dan hasilnya, sifat organoleptik
produk meliputi penampilan, rasa, bau, dan tekstur, kualitas nutrisi dan sifat fisika kimianya
(Chisti, 2010).
Dalam melakukan fermentasi, diperlukan peralatan yang dapat menunjang kegiatan
fermentasi atau disebut juga dengan fermentor. Menurut Chisti (2010),jenis-jenis fermentor
yang digunakan dalam fermentasi cair adalah stirred tank fermenter, bubble column, airlift
fermenter, fluidized-bed fermenter, dan trickle-bed fermenter. Peralatan fermentasi tipe ini
biasa dirancang untuk kultur monoseptik dan dapat disterilkan dengan uap di bawah tekanan.
Fermenter yang dapat digunakan pada fermentasi padat diantaranya adalah tray fermenter,
static bed fermenter, tunnel fermenter, rotary disk fermenter, rotary drum fermenter, agitated
tank fermenter, dan continuous screw fermenter.
Produk metabolit sekunder merupakan golongan senyawa yang terkandung dalam
tubuh mikroorganisme, flora dan fauna hasil proses metabolisme sekunder yang disintesis dari
banyak senyawa metabolisme primer, seperti asam amino, asetil koenzim A, asam mevalonat
dan senyawa antara dari jalur shikimate (Herbert, 1995). Jenis-jenis produk metabolit sekunder
bermacam-macam, salah satunya yakni antibiotik. Antibiotik dipercaya mampu
menyembuhkan penyakit infeksi seperti malaria, demam berdarah dengue (DBD), diare dan
tuberkulosis (TB) sehingga menyebabkan permintaan antibiotik meningkat. Potensi dari
antibiotik ini salah satunya sebagai antimikroba (Doughari, 2007). Namun sayangnya,
kandungan senyawa sintetik dalam antibiotik berdampak buruk bila dikonsumsi terus-menerus
oleh manusia, oleh karenanya berbagai upaya mulai dilakukan untuk mengurangi dampak
negatif penggunaan antibiotik sintetik seperti pengembangan riset tentang senyawa metabolit
sekunder (Tisnadjaja, 2017). Kebanyakan kandungan senyawa sintetik dalam antibiotik yang
digunakan yakni zat kimia berbahaya dan bersifat tidak aman bagi kesehatan manusia (Nimah
et al., 2012). Selain itu juga dapat menimbulkan resistensi mikroba patogen.

Maka dari itu, diperlukan langkah awal untuk menentukan kadar jenis metabolit
sekunder tersebut. Dalam menentukan jenis metabolit sekunder dapat dilakukan dengan
berbagai metode yang berbeda-beda seperti metode ekstraksi menggunakan instrumen
Kromatografi Gas – Spektroskopi Massa (KG-SM) yang merupakan kombinasikan
kromatografi gas (GC) dan spektrometri massa (MS) untuk mengidentifikasi senyawa yang
berbeda dalam analisis sampel. Kemudian menentukan jenis metabolit sekunder dapat
dilakukan dengan metode fermentasi menggunakan fermentor, dan lain sebagainya.

Antibiotik merupakan salah satu produk hasil metabolit sekunder. Salah satu jenis
antibiotik adalah antibiotik makrolida yang dihasilkan dari Streptomyces sp (Jenie, 2016).
Antibiotik yang dihasilkan memberikan rasa pahit sehingga diberi nama pikromisin
(pikromycin). Antibiotik makrolida banyak digunakan dalam bidang farmasi.

Gambar 1. Struktur Antibiotik Makrolida


(Jenie, 2016)

Produksi antibiotik makrolida dilakukan dengan menggunakan teknik fermentasi.


Terdapat beberapa tahap dalam proses produksi antibiotik makrolida dengan teknik fermentasi
yang meliputi pembuatan inokulum, persiapan fermentasi, fermentasi dalam fermentor,
separasi biomassa dan supernatan, ekstraksi antibiotik dari supernatant, purifikasi antibiotik
(pemurnian antibiotik), elusidasi struktur antibiotik, dan uji farmakologi antibiotik.
Gambar 2. Skema Fermentasi Antibiotik
(Jenie, 2016)
Selain itu, antibiotik yang dihasilkan dari proses fermentasi mikroorganisme adalah
penisilin. Antibiotik ini dihasilkan oleh Penicillium chrysogenum. Penisilin dapat digunakan
untuk mengatasi infeksi akibat bakteri. Dalam proses produksinya, seringkali digunakan
fermentor yang dilengkapi dengan pengaduk (stirrer) karena proses agitasi menjadi salah satu
faktor yang berpengaruh bagi produksi penisilin. Seperti pada penelitian yang dilakukan oleh
Rachman et al., (2016), proses agitasi memiliki peran yang penting terhadap kegiatan produksi
penisilin. Media fermentasi yang digunakan memiliki komposisi yang terdiri dari susu skim,
glukosa, ekstrak ragi, bakto pepton, antifoam, dan asam fenil asetat. Proses inkubasi dilakukan
pada suhu 28oC selama 240 jam menggunakan fermentor berkapasitas 1 liter. Dalam
penelitiannya, proses fermentasi penisilin dilakukan dengan 3 variasi kecepatan agitasi, yaitu
100, 150, dan 200 rpm. Dari percobaan yang dilakukan, proses fermentasi dengan kecepatan
agitasi 150 rpm memberikan hasil terbaik yang dibuktikan melalui aktivitas antibiotik tertinggi
bila dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat kecepatan
agitasi tertentu yang dapat memberikan hasil produk fermentasi terbaik.

KESIMPULAN
Fermentasi dapat diartikan sebagai proses perubahan kimia pada suatu substrat organik
melalui aktivitas enzim yang dihasilkan oleh mikroorganisme seperti bakteri, kapang, khamir.
Produk yang dihasilkan oleh mikroorganisme dapat diklasifikasikan menjadi metabolit primer
dan sekunder. Metabolit sekunder adalah produk yang tidak digunakan untuk pertumbuhan dan
kelangsungan hidup sel tapi memiliki berbagai manfaat. Metabolit sekunder biasa dihasilkan
dari metabolit primer pada kondisi stress dan dibentuk pada fase stasioner. Antibiotik
merupakan salah satu produk metabolit sekunder dari proses fermentasi mikroorganisme.
Teknologi fermentasi dapat menghasilkan senyawa metabolit antibiotik dengan fermentasi cair
dalam suasana aerobik. Dalam industri produksi antibiotik dilakukan dengan sistem kontinyu.
Metabolit sekundernya akan muncul dalam proses fermentasi pada fase stasioner. Untuk
produksi antibiotik, kadar glukosa dalam medium berpengaruh terhadap jumlah antibiotik yang
dihasilkan. Metabolit sekunder dapat dianalisis dengan metode ekstraksi dengan Kromatografi
Gas – Spektroskopi Massa (KG-SM) atau dengan metode fermentasi. Terdapat antibiotik
makrolida yang dihasilkan dari Streptomyces sp dan antibiotik penisilin yang dihasilkan oleh
Penicillium chrysogenum. Prosedur fermentasi dapat beragam dipengaruhi oleh jenis mikroba,
bahan dasar, peralatan, dan sifat-sifat proses.
DAFTAR PUSTAKA

Arora, S., Rani, R., & Ghosh, S. (2018). Bioreactors in solid state fermentation technology:
Design, applications and engineering aspects. Journal of Biotechnology, 269(January),
16–34. https://doi.org/10.1016/j.jbiotec.2018.01.010

Begum, P. S., Rajagopal, S., & Razak, M. A. (2021). Emerging trends in microbial
fermentation technologies. In Recent Developments in Applied Microbiology and
Biochemistry. https://doi.org/10.1016/b978-0-12-821406-0.00011-4

Chisti, Y. (2010). Fermentation Technology. In W. Soetaert & E. J. Vandamme (Eds.),


Industrial Technology: Sustainable Growth and Economic Success (Issue 5, pp. 149–
171). Wiley-VCH. https://doi.org/10.1080/00960845.1966.12006119

Doughari, J. H. (2007). Antimicrobial Activity of Tamarindus indica Linn. Tropical Journal


of Pharmaceutical Research. https://doi.org/10.4314/tjpr.v5i2.14637

Harborne, J.B. 1987. Metode Fitokimia. Terjemahan: Padmawinata, K dan Soediro, I. Institut
Teknologi Bandung, Bandung.

Herbert, R. B., 1995. Biosintesis Metabolit Sekunder. Edisi ke-2. Cetakan ke-1, terjemahan
Bambang Srigandono. Bandung: IKIP Bandung Press.

Jenie, U. A. (2016). Rekayasa Biokimiawi dan Rekayasa Genetika dalam Produksi Antibiotik-
Makrolida Baru. Seminar Nasional XX PBBMI, 87–96. Retrieved from
http://pbbmi.org/wp-content/uploads/2017/09/ok-bgt.pdf#page=94

Kusuma, G. P., Nocianitri, K. A., & Pratiwi, I. D. P. (2020). Pengaruh Lama Fermentasi
Terhadap Karakteristik Fermented Rice Drink Sebagai Minuman Probiotik Dengan Isolat
Lactobacillus sp. F213. Jurnal Ilmu Dan Teknologi Pangan (ITEPA), 9(2), 181.
https://doi.org/10.24843/itepa.2020.v09.i02.p08

Masdarini, L. (2011). Manfaat Dan Keamanan Makanan Fermentasi Untuk Kesehatan


(Tinjauan Dari Aspek Ilmu Pangan). Jurnal Pendidikan Teknologi Dan Kejuruan, 8(1),
53–58. https://doi.org/10.23887/jptk.v8i1.2893

Nimah, S., Ruf, W., & Trianto, A. (2012). UJI BIOAKTIVITAS EKSTRAK TERIPANG
PASIR (HOLOTHURIA SCABRA) TERHADAP BAKTERI PSEUDOMONAS
AERUGINOSA DAN BACILLUS CEREUS. Jurnal Pengolahan Dan Bioteknologi
Hasil Perikanan. https://ejournal3.undip.ac.id/index.php/jpbhp/article/view/437

Nofiani, R. (2008). Urgensi dan Mekanisme Biosintesis Metabolit Sekunder Mikroba Laut.
Jurnal Natur Indonesia, 10(2), 120–125. https://doi.org/10.31258/jnat.10.2.120-125

Rachman, S. D., Safari, A., Fazli, Kamara, D. S., Sidik, A., Udin, L. Z., & Ishmayana, S.
(2016). PRODUKSI PENISILIN OLEH Penicillium chrysogenum L112 DENGAN
VARIASI KECEPATAN AGITASI PADA FERMENTOR 1 L. Jurnal Ilmiah Farmasi,
4(2), 1–6. Retrieved from http://kjif.unjani.ac.id/index.php/kjif/article/viewFile/59/50

Stanbury, P. F., Whitaker, A., & Hall, S. J. (2016). Principles of Fermentation Technology
(Second). Butterworth-Heinemann.
Suprihatin.( 2010). Teknologi Fermentasi. UNESA Press. Surabaya.

Suryani, Y., Hernaman, I., & Ningsih, N. (2017). Pengaruh Penambahan Urea Dan Sulfur Pada
Limbah Padat Bioetanol Yang Difermentasi Em-4 Terhadap Kandungan Protein Dan
Serat Kasar. In Jurnal Ilmiah Peternakan Terpadu (Vol. 5, Issue 1).
https://doi.org/10.23960/jipt.v5i1.p13-17

Tisnadjaja, D. (2017). EFEK ANTIBAKTERI SENYAWA METABOLIT SEKUNDER


YANG DIPRODUKSI OLEH KAPANG ENDOFITIK AT 32 DARI Artemisia annua.
Jurnal Sains Natural. https://doi.org/10.31938/jsn.v1i1.14

Yatmaz, E., & Turhan, I. (2018). Carob as a carbon source for fermentation technology.
Biocatalysis and Agricultural Biotechnology, 16, 200–208.
https://doi.org/10.1016/j.bcab.2018.08.006

Anda mungkin juga menyukai