Anda di halaman 1dari 123

FORMULASI SEDIAAN SABUN PADAT YANG MENGANDUNG

EKSFOLIAN SIMPLISIA DAUN NANGKA (Artocarpus


heterophyllus Lam.) SEBAGAI PERAWATAN
KULIT TUBUH

SKRIPSI

OLEH:
TRI AYU UTAMI
NIM 151501039

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2019

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


FORMULASI SEDIAAN SABUN PADAT YANG MENGANDUNG
EKSFOLIAN SIMPLISIA DAUN NANGKA (Artocarpus
heterophyllus Lam.) SEBAGAI PERAWATAN
KULIT TUBUH

SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana
Farmasi pada Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara

OLEH:
TRI AYU UTAMI
NIM 151501039

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2019

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur ke hadirat Allah S.W.T yang telah memberikan rahmat

dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul

Formulasi Sediaan Sabun Padat Yang mengandung Eksfolian Simplisia Daun

Nangka (Artocarpus heterophyllus Lam.) sebagai Perawatan Kulit Tubuh. Skripsi

ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi

dari Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.

Daun nangka memiliki cukup banyak khasiat karena memiliki kandungan

flavonoid, glikosida dan saponin, oleh karena itu daun nangka dapat dimanfaatkan

sebagai bahan baku alamiah untuk produk kebersihan dan kecantikan salah

satunya sabun mandi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memformulasikan

simplisia daun nangka dalam bentuk sediaan sabun padat sebagai eksfolian,

menguji efektivitasnya terhadap kulit sukarelawan serta menguji kualitasnya

berdasarkan Standar Nasional Indonesia. Berdasarkan hasil penelitian yang

diperoleh dapat disimpulkan bahwa, sabun ESDN dapat menghaluskan dan

mencerahkan kulit selama 4 minggu perawatan dan sudah memenuhi Standar

Nasional Indonesia. Harapan penulis agar skripsi ini memberikan manfaat di

Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara terkhusus di bidang kosmetologi.

Pada kesempatan kali ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada

ibu Dra. Juanita Tanuwijaya, M.Si., Apt., selaku dosen pembimbing yang telah

banyak memberikan bimbingan, arahan, bantuan serta saran selama masa

penelitian dan penulisan skripsi ini berlangsung. Penulis juga menyampaikan

ucapan terima kasih kepada ibu Dr. Sumaiyah, M.Si., Apt., dan ibu Dra.

iv
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Djendakita Purba, M.Si., Apt., selaku dosen penguji yang telah memberikan kritik

dan saran serta arahan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Ucapan

terima kasih juga kepada Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara,

Prof. Dr. Masfria, M.Si., Apt., yang telah memberikan bantuan dan fasilitas

selama masa pendidikan. Terima kasih kepada Penulis juga ingin mengucapkan

rasa terima kasih kepada Bapak Imam Bagus Sumantri, S.Farm., M.Si., Apt.,

selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan bantuan, bimbingan

serta arahan selama masa penelitian dan pendidikan. Ucapan terima kasih juga

penulis sampaikan kepada Bapak dan Ibu staf pengajar Fakultas Farmasi

Universitas sumatera Utara yang telah mendidik penulis selama masa perkuliahan.

Penulis juga ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya

kepada kedua orangtua, Ayahanda Drs. Kausar Ar dan ibunda Dra. Nurlela S.pd

demikian pula kepada abang-abangku tersayang Yudha Herlambang S.Pdi., Ibnu

Khalid S.pd., dan M. Andry, S.Farm., M.Farm., Apt., yang telah tulus dan ikhlas

memberikan segala dukungan dan motivasi serta mendoakan penulis dalam

menyelesaikan skripsi ini. Tak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada

sahabat tercinta (Laras S.Farm., Ica S.Farm., Amelia, Bening, Mutia, Aida, Ayu,

Suhel, Ika, Zura, Ijid, dan Milatun) yang selalu memberikan semangat, bantuan,

dan menemani penulis dalam proses perkuliahan hingga penulisan skripsi ini.

Akhir kata penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat

kepada masyarakat dan ilmu pendidikan khususnya di bidang kefarmasian.


Medan, 20 September 2019
Penulis,

Tri Ayu Utami


NIM 151501039

v
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
vi
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FORMULASI SEDIAAN SABUN PADAT YANG MENGANDUNG
EKSFOLIAN SIMPLISIA DAUN NANGKA (Artocarpus
heterophyllus Lam.) SEBAGAI PERAWATAN
KULIT TUBUH

ABSTRAK

Latar Belakang: Kulit merupakan bagian penting dari tubuh, maka dari itu
diperlukan perawatan yang tepat untuk kulit. Daun nangka memiliki kandungan
flavonoid, glikosida dan saponin, oleh karena itu daun nangka dapat dimanfaatkan
sebagai bahan alamiah yang dapat digunakan untuk produk kebersihan dan
kecantikan seperti sabun mandi. Serbuk simplisia daun nangka digunakan sebagai
eksfolian pada sabun padat yang berfungsi untuk mengelupas dan mempermudah
dalam pelepasan sel-sel kulit mati.
Tujuan: Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memformulasikan serbuk
simplisia daun nangka dalam bentuk sediaan sabun padat, menguji efektivitas
perawatan kulit terhadap punggung tangan kulit sukarelawan, dan menguji
kualitas mutu sabun padat berdasarkan Standar Nasional Indonesia.
Metode: Penelitian dilakukan secara eksperimental. Penelitian meliputi perolehan
sampel, identifikasi sampel, pembuatan simplisia, pengayakan simplisia
menggunakan mesh 80. Pembuatan sabun padat dimulai dari formula blanko (F0)
dan penambahan konsentrasi simplisia 3% (F1), 5% (F2), dan 7% (F3).
Pemeriksaan stabilitas fisik sediaan meliputi pH, ketinggian busa. Pengujian
iritasi, dan hedonik terhadap sukarelawan. Pengujian efektivitas perawatan kulit
menggunakan alat skin analyzer terhadap kulit punggung tangan sukarelawan
meliputi: kadar air, kehalusan, pori, noda, keriput. Pemeriksaan kualitas sabun
padat berdasarkan Standar Nasional Indonesia yang meliputi; kadar air, total
lemak, bahan tidak larut dalam etanol, alkali bebas, lemak yang tidak tersabunkan
dan kadar klorida.
Hasil: Simplisia daun nangka dapat diformulasikan menjadi sediaan sabun padat,
memiliki pH 9,3-9,9, busa yang stabil, serta tidak mengiritasi kulit sukarelawan.
Dari seluruh formula sabun yang diuji, sabun yang mengandung konsentrasi
eksfolian tertinggi yaitu 7% (F3) memberikan efektivitas perawatan kulit terbaik
yaitu: kadar air meningkat 32,92%, kehalusan meningkat 25,86%, pori-pori
mengecil 25,82%, noda berkurang 21,10%, dan keriput berkurang 45,84%. Sabun
padat juga telah memenuhi Standart Nasional Indonesia yaitu; kadar air 5%, total
lemak 77%, bahan tidak larut dalam etanol 2,32%, alkali bebas 0,08%, lemak
yang tidak tersabunkan 0,4%, dan kadar klorida 0,8%.
Kesimpulan: Sediaan sabun padat yang mengandung eksfolian simplisia daun
nangka dengan konsentrasi 7% menunjukkan efektivitas perawatan kulit yang
paling baik dan telah memenuhi Standart Nasional Indonesia.

Kata Kunci: formulasi, sabun padat, daun nangka, perawatan kulit

vii
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FORMULATION OF SOLID SOAP CONTAINING EXFOLIANT OF
JACKFRUIT LEAVES SIMPLICIA (Artocarpus heterophyllus Lam.) AS
BODY SKIN CARE.

ABSTRACT

Background: Skin is an important part of the body, therefore a proper skin care
is needed. Jackfruit leaves contain flavonoids, glycosides and saponins, therefore
Jackfruit leaves can be used as a natural ingredient for hygiene and beauty
products, like bath soap. Jackfruit leaves simplicia powder that serve as an
exfoliant in solid soap can be used as peeling and easily releasing dead skin cells.
Objective: The aim of this research was to formulate the jackfruit simplicia in
solid soap form, determined its effectiveness to skin care on back of the hand
volunteers’ skin, and the quality assesment of solid soap based on Indonesian
National Standard.
Method: The study was conducted by experimental method. The research
included sampling, identification of the samples, simplicia preparation, sifting the
simplicia using mesh of 80. The preparation of solid soap was started from blank
formula (F0) and the addition of simplicia in various concentrations of 3% (F1),
5% (F2) and 7% (F3). Physical stability testing of preparations included of pH,
foam height. Irritation test and hedonic on volunteers’ skin. The effectiveness of
skin care testing using a skin analyzer on the skins of the backs of volunteers'
hands included moisture, smoothness, pore, stain, wrinkles. Inspection of solid
soap quality based on Indonesian National Standard included; water content, total
fat, insoluble material in ethanol, free alkali, non-soaped fat, and chloride level.
Results: Jackfruit leaves simplicia could be formulated into solid soap
preparations, their pH were 9.3-9.9, stable foam, and did not irritate volunteers’
skin. All of the soap formulas tested, soap containing the highest exfoliant with
7% concentration (F3) gave the best effectiveness of skin care, with 32.92%
moisture increased, 25.86% smoothness increased, 25.82% pores smaller, 21.10%
spot reduced, and 45.84% wrinkles reduced. The solid soap also fulfilled the
Indonesian National Standard, with 5% moisture content, 77% total fat, 2.32%
ethanol insoluble material, 0.08% free alkali, 0.4% non-soaped fat, 0.8% chloride
level.
Conclusion: Solid soap preparations containing jackfruit leaf simplicia exfoliant
with 7% concentration gave the best effectiveness of skin care and had fulfilled
the Indonesian National Standard.

Keywords: formulations, solid soap, jackfruit leaves, skin care

viii
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL .................................................................................... i


HALAMAN JUDUL ....................................................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN ......................................................................... iii
KATA PENGANTAR ..................................................................................... iv
HALAMAN PERNYATAAN ORISINAITAS ............................................... vi
ABSTRAK ...................................................................................................... vii
ABSTRACT .................................................................................................... viii
DAFTAR ISI ................................................................................................... ix
DAFTAR TABEL ........................................................................................... xii
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... xiv
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1
1.1 Latar Belakang .......................................................................................... 1
1.2 Perumusan Masalah .................................................................................. 3
1.3 Hipotesis Penelitian ................................................................................... 3
1.4 Tujuan Penelitian ...................................................................................... 4
1.5 Manfaat Penelitian .................................................................................... 4
1.6 Kerangka Pikir Penelitian ......................................................................... 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................... 6
2.1 Tanaman nangka ....................................................................................... 6
2.1.1 Morfologi tanaman nangka .................................................................... 7
2.1.2 Kandungan daun nangka ........................................................................ 7
2.2 Eksfolian .................................................................................................... 8
2.3 Kulit .......................................................................................................... 8
2.3.1 Fungsi kulit ............................................................................................ 12
2.3.2 Jenis kulit ............................................................................................... 12
2.4 Skin analyzer ............................................................................................. 13
2.5 Simplisia .................................................................................................... 15
2.6 Kosmetik .................................................................................................... 15
2.7 Sabun .......................................................................................................... 15
2.7.1 Metode pembuatan sabun ....................................................................... 17
2.7.2 Komponen sabun .................................................................................... 18
2.7.3 Kegunaan Sabun...................................................................................... 21
2.7.4 Jenis-jenis sabun. .................................................................................... 21
BAB III METODE PENELITIAN .................................................................. 23
3.1 Alat ............................................................................................................ 23
3.2 Bahan ........................................................................................................ 24
3.3 Sukarelawan .............................................................................................. 24
3.4 Pengumpulan dan Pengolahan Sampel ..................................................... 24
3.4.1 Pengumpulan Sampel ............................................................................. 24
3.4.2 Pengolahan Sampel ................................................................................ 24
3.4.3 Pembuatan Simplisia ............................................................................... 25
3.4.4 Identifikasi Sampel ................................................................................. 25
3.5 Pemeriksaan Karateristik Simpilia ............................................................ 25
3.5.1 Pemeriksaan Makroskopik ..................................................................... 25

ix
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
3.5.2 Penetapan Kadar Air ............................................................................. 25
3.5.3 Penetapan Kadar Sari Larut Air ............................................................. 26
3.5.4 Penetapan Kadar Sari Larut Etanol ........................................................ 27
3.5.5 Penetapan Kadar Abu Total ................................................................... 27
3.5.6 Penetapan Kadar Abu Tidak Larut Asam .............................................. 27
3.6 Uji Skrining Fitokimia .............................................................................. 28
3.6.1 Pemeriksaan Alkaloida............................................................................ 28
3.6.2 Pemeriksaan Glikosida ........................................................................... 28
3.6.3 Pemeriksaan Sapoin ............................................................................... 29
3.6.4 Pemeriksaan Flavonoid ........................................................................... 29
3.6.5 Pemeriksaan Antrakuinon ...................................................................... 30
3.6.6 Pemeriksaan Tanin ................................................................................. 30
3.6.7 Pemeriksaan Steroid/Terpenoid ............................................................. 30
3.7 Formulasi Sediaan ...................................................................................... 31
3.7.1 Formula Modifikasi................................................................................. 31
3.8 Pembuatan Sabun Padat ............................................................................ 33
3.9 Pemeriksaan Sifat Fisik Sabun ................................................................... 33
3.10 Pengukuran Ph Sabun .............................................................................. 33
3.11 Pengukuran Ketinggian Busa ................................................................... 33
3.12 Pengelompokan Sukarelawan .................................................................. 34
3.13 Uji Hedonik .............................................................................................. 34
3.14 Iritasi Terhadap Sukarelawan ................................................................... 35
3.15 Pengujian Efektivitas Sabun .................................................................... 35
3.16 Penentuan Syarat Mutu Sabun ................................................................. 36
3.16.1 Penentuan Kadar Air ............................................................................. 36
3.16.2 Penentuan Total Lemak ........................................................................ 36
3.16.3 Bahan Tak Larut Dalam Etanol ............................................................ 37
3.16.4 Penentuan Alkali Bebas/Asam Lemak Bebas ....................................... 38
3.16.5 Lemak Tidak Tersabunkan .................................................................... 39
3.16.6 Kadar Klorida ........................................................................................ 39
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................ 41
4.1 Hasil Identifikasi Sampel .......................................................................... 41
4.2 Hasil Pemeriksaan Makroskopik................................................................ 41
4.3 Hasil Pemeriksaan Karakterisasi . .............................................................. 41
4.4 Hasil Pemeriksaan Skrining Serbuk Simplisia .......................................... 42
4.5 Hasil Pemeriksaan Sifat Fisik Sabun ........................................................ 42
4.6 Hasil Pengukuran pH Sabun ..................................................................... 44
4.7 Pengukuran Ketinggian Busa Sabun ........................................................ 45
4.8 Hasil Uji Hedonik ...................................................................................... 45
4.9 Hasil Uji Iritasi Terhadap Sukarelawan ..................................................... 46
4.10 Pengujian Efektivitas Sabun Padat .......................................................... 47
4.10.1 Kadar Air (Moisture) ........................................................................... 47
4.10.2 Kehalusan ............................................................................................. 50
4.10.3 Pori (pore) ............................................................................................ 52
4.10.4 Noda (spot) ........................................................................................... 54
4.10.5 Keriput (wrinkle) ................................................................................... 57
4.11 Hasil Uji Kualitas Sabun Padat ............................................................... 59
4.11.1 Kadar Air ............................................................................................... 59

x
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
4.11.2 Total Lemak .......................................................................................... 60
4.11.3 Asam Lemak Bebas/ Alkali Bebas ........................................................ 60
4.11.4 Bahan Tidak Larut Etanol ..................................................................... 61
4.11.5 Lemak Tidak Tersabunkan .................................................................... 62
4.11.6 Kadar Klorida ........................................................................................ 63
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN .......................................................... 65
5.1 Kesimpulan ............................................................................................... 65
5.2 Saran .......................................................................................................... 65
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 66

xi
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
DAFTAR TABEL
2.1 Parameter Hasil Pengukuran dengan Skin Analyzer .................................. 14
2.2 Syarat Mutu Sabun Mandi ........................................................................ 17
2.3 Syarat Mutu Minya Vco ............................................................................. 20
3.1 Formula Sediaan Sabun.............................................................................. 32
4.1 Hasil Pemeriksaan Karateristik Serbuk Simplisia Daun Nangka .............. 41
4.2 Hasil Pemeriksaan Skrining Serbuk Simplisia .......................................... 42
4.3 Data Organoleptis Sediaan Sabun yang Dilihat pada Hari 1 ..................... 42
4.4 Data Organoleptis Sediaan Sabun pada Hari ke 28 .................................. 43
4.5 Data Pengukuran pH Sabun Berdasarkan Hari ......................................... 44
4.6 Hasil Pengukuran Ketinggian Busa .......................................................... 45
4.7 Hasil Uji Iritasi Sukarelawan ................................................................... 46
4.8 Data Hasil Pengukuran Kadar Air ............................................................ 47
4.9 Data Hasil Pengukuran Kehalusan ............................................................ 50
4.10 Data Hasil Pengukuran Pori (pore) .......................................................... 52
4.11 Data Hasil Pengukuran Noda (spot)......................................................... 55
4.12 Data Hasil Pengukuran Keriput (wrinkle) ................................................ 57
4.13 Data Hasil Pengukuran Kadar Air............................................................ 59
4.14 Data Hasil Pengukuran Total Lemak ....................................................... 60
4.15 Data Hasil Pengukuran Alkali Bebas ....................................................... 61
4.16 Data Hasil Pengukuran Bahan Tidak Larut Etanol .................................. 61
4.17 Data Hasil Pengukuran Lemak Tidak Tersabunkan................................. 62
4.18 Data Hasil Pengukuran Kadar Klorida ..................................................... 63
4.19 Data Hasil Uji Kualitas Mutu Sabun........................................................ 64

xii
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
DAFTAR GAMBAR
2.1 Tumbuhan Nangka ..................................................................................... 6
2.2 Struktur Kulit ............................................................................................ 10
2.3 Proses Saponifikasi Trigliserida ................................................................. 17
4.1 Grafik Hasil Pengukuran Kadar Air (moisture) ........................................ 49
4.2 Grafik Hasil Pengukuran Kehalusan (evenness) ....................................... 51
4.3 Grafik Hasil Pengukuran Pori (pore) ........................................................ 53
4.4 Grafik Hasil Pengukuran Noda (spot) ....................................................... 56
4.5 Grafik Hasil Pengukuran Keriput (wrinkle) .............................................. 58

xiii
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
DAFTAR LAMPIRAN

1. Hasil Identifikasi Daun Nangka .................................................................. 68


2. Surat Persetujuan Komisi Etik .................................................................... 69
3. Gambar Tanaman Nangka dan Gambar Makroskopik Daun Nangka ........ 70
4. Bagan Kerja Pembuatan Serbuk Simplisia dan Karateristik Simplisia ....... 72
5. Bagan Pembuatan Formula Sabun .............................................................. 73
6. Gambar Alat dan Bahan .............................................................................. 74
7. Perhitungan Pemeriksaan Karateristik Simplisia Daun Nangka ................. 75
8. Perhitungan Penentuan Syarat Mutu Sabun Sediaan Sabun Padat .............. 78
9. Salah Satu Contoh Hasil Uji Efektifitas Sabun Padat ................................. 80
10. Data Hasil Uji Statistik .............................................................................. 85
11. Sabun Padat ............................................................................................... 101
12. Hasil Pemeriksaan Sifat Fisik Sabun ........................................................ 102
13. Hasil Penentuan Syarat Mutu Sabun ......................................................... 103
14. Formulir Uji Hedonik ................................................................................ 104
15. Data Uji Hedonik ...................................................................................... 105
16. Perhitungan Formula. ................................................................................. 107
17. Pemakaian Sabun di Kulit Punggung Tangan.. .......................................... 109

xiv
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kulit adalah bagian tubuh yang terpenting dari tubuh kita yang melindungi

bagian dalam tubuh dari gangguan fisik maupun mekanik, gangguan panas atau

dingin, gangguan sinar radiasi atau sinar ultraviolet, gangguan kuman, bakteri,

jamur, atau virus. Kulit juga berfungsi sebagai tempat keluarnya keringat atau sisa

metabolisme dalam tubuh, fungsi pengindera serta pengatur suhu tubuh (Artha,

2016).

Sabun yang telah berkembang sejak zaman mesir kuno berfungsi sebagai

alat pembersih. Keberadaan sabun yang hanya berfungsi sebagai bahan pembersih

dirasa kurang, mengingat pemasaran dan permintaan masyarakat akan nilai lebih

dari sabun mandi. Oleh karena itu, sebaiknya dikembangkan lagi sabun mandi

yang mempunyai nilai lebih, seperti pelembut kulit, antioksidan, mencegah gatal-

gatal dan mencerahkan kulit dengan penampilan (bentuk, aroma, warna) yang

menarik. Perkembangan tersebut disesuaikan dengan perkembangan zat-zat aditif

yang telah ada (Ken, 2008).

Sabun adalah garam logam alkali (biasanya garam natrium) dari asam-

asam lemak. Sabun mengandung terutama garam C16 dan C18, namun dapat juga

mengandung beberapa karboksilat dengan bobot atom lebih rendah. Sabun

dimurnikan dengan mendidihkannya dalam air bersih untuk membuang lindi yang

berlebih, NaCl, dan gliserol (Fessenden dan Fessenden, 1992).

Daun nangka segar yang telah dikeringkan lalu dijadikan serbuk dapat

digunakan sebagai bahan campuran untuk produk kebersihan dan kecantikan salah

1
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
satunya sabun mandi. Serbuk yang berfungsi sebagai eksfolian pada sabun ini

dapat digunakan untuk menggosok, mengelupas dan mempermudah dalam

pelepasan sel-sel kulit mati. Sabun mandi padat yang mengandung eksfolian

sangat diminati oleh masyarakat, hal ini disebabkan karena dipercaya dapat

membersihkan kulit dan mempermudah dalam pelepasan sel-sel kulit mati.

Daun nangka mengandung senyawa flavonoid, saponin dan tanin sebagai

antibakteri dan dapat merangsang sel baru pada kulit. Kandungan lainnya yaitu

karbohidrat, protein, vitamin A, vitamin C, kalsium, zat besi, fosfor dan

antioksidan (Assani, 1994).

Kemampuan flavonoid sebagai antioksidan telah banyak diteliti

belakangan tahun ini, dimana flavonoid memiliki kemampuan untuk merubah atau

mereduksi radikal bebas dan juga sebagai anti radikal bebas serta memperbaiki

jaringan kulit yang rusak. Bekas jerawat, flek hitam atau luka pada bagian tubuh

dapat cepat hilang, selain itu daun nangka bermanfaat untuk meregenerasi dan

mengangkat sel-sel kulit mati pada kulit (Giorgio, 2000).

Oleh karna itu penulis tertarik ingin mengembangkan manfaat daun

nangka tersebut dengan menjadikan simplisianya menjadi eksfolian di sediaan

sabun padat yang bermanfaat sebagai perawatan kulit tubuh.

Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis tertarik untuk

memformulasikan sediaan sabun padat yang mengandung eksfolian simplisia

daun nangka (Artocarpus heterophyllus Lam.) sebagai perawatan kulit tubuh.

2
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka perumusan masalah dalam

penelitian ini adalah:

a. Apakah sediaan sabun padat dapat di formulasikan dengan penambahan

simplisia daun nangka (Artocarpus heterophyllus Lam.) sebagai eksfolian?

b. Apakah sediaan sabun padat dengan penambahan konsentrasi eksfolian

daun nangka (Artocarpus heterophyllus Lam.) dapat memiliki kemampuan

untuk merawat kulit?

c. Apakah sediaan sabun padat dengan penambahan konsentrasi eksfolian

daun nangka (Artocarpus heterophyllus Lam.) memenuhi Standar

Nasioanl Indonesia?

1.3 Hipotesis Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah diatas, maka hipotesis dalam penelitian

ini adalah:

a. Sabun padat dapat diformulasikan dengan penambahan eksfolian simplisia

daun nangka (Artocarpus heterophyllus Lam.).

b. Sediaan sabun padat dengan penambahan konsentrasi eksfolian simplisia

daun nangka (Artocarpus heterophyllus Lam.) memiliki kemampuan untuk

merawat kulit tampak lebih sehat.

c. Sediaan sabun padat dengan penambahan konsentrasi eksfolian simplisia

daun nangka (Artocarpus heterophyllus Lam.) sudah memenuhi Standar

Nasional Indonesia.

3
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
1.4 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah:

a. Untuk memformulasikan sabun padat dengan penambahan eksfolian

simplisia daun nangka (Artocarpus heterophyllus Lam.).

b. Untuk mengetahui kemampuan dalam merawat kulit dari sediaan sabun

padat dengan penambahan konsentrasi simplisia daun nangka (Artocarpus

heterophyllus Lam.).

c. Untuk mengetahui kualitas sediaan sabun padat yang mengandung

eksfolian simplisia daun nangka (Artocarpus heterophyllus Lam.)

berdasarkan Standar Nasional Indonesia.

1.5 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai informasi ilmiah tentang

kegunaan dari simplisia daun nangka (Artocarpus heterophyllus Lam.) sebagai

eksfolian yang diformulasikan dalam sediaan sabun padat.

4
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
1.6 Kerangka Pikir Penelitian

Variabel Bebas Variabel Terikat Parameter

Eksfolian
simplisia
daun nangka

- Organoleptis
Pemerikasaan - Ketinggian busa
sediaan sabun - pH
padat - Hedonik
Konsentrasi
- Iritasi
eksfolian
simplisia
daun nangka - Kadar air
(Artocarpus Efektivitas - Kehalusan
heterophyllus dengan skin - Pori
Lam.) pada analyzer - Noda
sediaan sabun - Keriput
padat.

- Kadar air
Kualitas mutu - Total lemak
sediaan sabun - Bahan tidak larut
dalam etanol
padat
- Alkali bebas
berdasarkan
- Lemak tidak
SNI tersabunkan
- Kadar klorida

5
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tanaman Nangka

Tanaman nangka (Artocarpus heterophyllus Lam.) adalah jenis tanaman

tropis yang banyak tumbuh di Indonesia. Tanaman nangka berbuah sepanjang

tahun jika dirawat dengan baik dan tidak ada kemarau yang terlalu panjang.

Klasifikasi untuk tanaman nangka sebagai berikut:

Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta

Kelas : Dicotyledoneae

Ordo : Rosales

Famili : Moraceae

Genus : Artocarpus

Spesies : Artocarpus heterophyllus Lam.

Gambar 2.1 Tumbuhan nangka (Artocarpus heterophyllus Lam.)


(Manner dan Elevitch, 2006).

6
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2.1.1 Morfologi Tanaman Nangka

Nangka termasuk pohon buah-buahan yang banyak ditanam di

pekarangan, ladang, atau kadang tubuh liar pada tanah yang tidak tergenang air.

Tumbuhan asli Nusa Tenggara ini tumbuhan baik di perbukitan dan dapat

ditemukan dari 50-1.200 m.dpl (Dalimartha, 2008).

Pohon nangka besar, tingginya 8-15 m, bergetah, berbuah terus-menerus.

Daun tebal seperti kulit, letak berseling, panjang tangkai 1-4 cm. Helaian daun

memanjang atau bulat telur sungsang, tepi rata kadang berlekuk 3-5, ujung

meruncing. Pangkal menyempit, permukaan atas mengkilap. Panjang 7-15 cm,

lebar 4,5-10 cm, berwarna hijau tua. Bunga dalam bulir, berkelamin tunggal

dalam satu pohon. Buah besar bergantung pada batang atau cabang utama, bentuk

memanjang atau berbentuk ginjal, panjang 30-90 cm, lebar sekitar 50 cm, berkulit

tebal dengan duri tempel pendek berbentuk piramida, berwarna hijau kekuningan,

dan berbau keras. Berat buah mencapai 20 kg. Daging buah tebal berwarna kuning

di sekeliling biji. Biji lonjong, panjang 2,5-4 cm (Dalimartha, 2008).

2.1.2 Kandungan Daun Nangka

Daun nangka mengandung senyawa flavonoid, saponin dan tanin sebagai

antibakteri dan merangsang sel kulit baru. Kandungan lainnya yaitu karbohidrat,

protein, vitamin A, C, kalsium, zat besi, fosfor dan antioksidan (Giorgio, 2000).

Zat aktif yang terdapat pada daun nangka adalah flavonoid, saponin dan tanin.

Senyawa saponin, flavonoid, dan tanin dapat bekerja sebagai antibakteri dan

merangsang pertumbuhan sel baru pada luka. Senyawa saponin akan merusak

membran sitoplasma dan membunuh sel bakteri (Assani, 1994).

7
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2.2 Eksfolian

Eksfolian merupakan bahan yang dapat membersihkan kulit yang

diakibatkan oleh faktor lingkungan dengan cara mengangkat sel kulit mati dari

epidermis, merangsang pembentukan sel kulit yang baru di permukaan kulit dan

menstimulasi pertumbuhan sel dilapisan subepidermal (Fauziati, 2014).

Ada dua jenis eksfolian yaitu: Manual dan kimiawi. Eksfolian manual

termasuk dalam penggunaan alat abrasif seperti sikat lembut atau scrub lembut.

Sementara eksfolian kimiawi adalah pengelupasan menggunakan zat kimia yang

melarutkan sel-sel kulit mati tanpa scrubbing. Eksfolian cocok dilakukan untuk

semua jenis kulit, bahkan untuk kulit sensitif sekalipun. Scrub yang baik harus

memiliki fungsi-fungsi berikut: membersihkan kulit secara mendalam, menyerap

kelebihan minyak kulit, menghaluskan permukaan kulit, merangsang

pertumbuhan sel-sel baru, mampu memperbaiki aliran darah ke kulit dengan

bantuan stimulasi efek pijatan pada kulit (Fauziati, 2014).

2.3 Kulit

Kulit merupakan “selimut” yang menutupi permukaan tubuh dan memiliki

fungsi utama sebagai pelindung dari berbagai macam gangguan dan rangsangan

luar. Fungsi perlindungan ini terjadi melalui sejumlah mekanisme biologis, seperti

pembentukan lapisan tanduk secara terus-menerus (keratinisasi dan pelepasan sel-

sel yang sudah mati), respirasi dan pengaturan suhu tubuh, produksi sebum dan

keringat serta pembentukan pigmen melanin untuk melindungi kulit dari bahaya

sinar ultraviolet matahari, sebagai peraba dan perasa, serta pertahanan terhadap

tekanan dan infeksi dari luar. Selain itu, kulit merupakan suatu kelenjar holokrin

yang besar (Tranggono dan Latifah, 2007).

8
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Gambar 2.2 Struktur kulit (Kalangi, 2013).

Menurut Tranggono dan Latifah (2007), luas kulit pada manusia rata-

rata ± 2 meter persegi, dengan berat 10 kg jika dengan lemaknya atau 4 kg jika

tanpa lemak. Kulit terbagi atas dua lapisan utama yaitu:

1. Epidermis (kulit ari), sebagai lapisan yang paling luar

2. Dermis (korium, kutis, kulit jangat).

1. Epidermis

Epidermis merupakan lapisan paling luar dari tubuh. Sangat penting

dari sudut pandang kosmetik karena lapisan ini berperan dalam tekstur dan

kelembaban kulit serta warna kulit. Jika permukaan epidermis kering dan kasar

maka kulit akan tampak tua (Baumann, 2009).

Ketebalan epidermis berbeda-beda pada bagian tubuh, yang tebal

berukuran 1 milimeter, misalnya pada telapak kaki dan telapak tangan, dari

lapisan yang tipis berukuran 0,1 milimeter terdapat pada kelopak mata, pipi, dahi

dan perut. Sel-sel epidermis ini disebut keratinosit (Tranggono dan Latifah, 2007).

9
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Para ahli histologi membagi epidermis dari bagian terluar hingga ke

dalam menjadi 5 lapisan, yakni:

1. Lapisan tanduk (Stratum corneum), sebagai lapisan yang paling atas

Stratum corneum terdiri atas beberapa lapis sel yang pipih, mati, tidak

memiliki inti, tidak mengalami proses metabolisme, tidak berwarna dan sangat

sedikit mengandung air. Lapisan ini sebagian besar mengandung keratin, jenis

protein yang tidak larut dalam air dan sangat resisten terhadap bahan-bahan kimia.

Hal ini berkaitan dengan fungsi kulit untuk memproteksi tubuh dari pengaruh luar.

Secara alami, sel-sel yang sudah mati di permukaan kulit akan melepaskan diri

untuk beregenerasi. Fungsi utama stratum corneum adalah untuk mencegah

kehilangan air dan mengatur keseimbangan air di kulit. Dua komponen utama

yang memungkinkannya melakukan peran ini adalah lipid dan faktor pelembab

alami.

2. Lapisan jernih (Stratum lucidum), disebut juga “lapisan barrier”

Stratum lucidum terletak tepat di bawah stratum corneum, merupakan

lapisan yang tipis, jernih, mengandung eleidin, sangat tampak jelas pada telapak

tangan dan telapak kaki. Antara stratum lucidum dan stratum granulosum terdapat

lapisan keratin tipis yang disebut rein’s barrier.

3. Lapisan berbutir-butir (Stratum granulosum)

Stratum granulosum tersusun oleh sel-sel keratinosit yang berbentuk

poligonal, berbutir kasar, berinti mengkerut. Stoughton menemukan bahwa di

dalam butir keratohyalin itu terdapat bahan logam khususnya tembaga yang

menjadi katalisator proses pertandukan kulit.

10
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
4. Lapisan malphigi (Stratum spinosum) yang selnya seperti berduri

Stratum spinosum memiliki sel yang berbentuk kubus dan seperti

berduri. Intinya besar dan oval. Setiap sel berisi filamen-filamen kecil yang terdiri

atas serabut protein. Cairan limfe masih ditemukan mengitari sel-sel dalam

lapisan malphigi ini.

5. Lapisan basal (Stratum germinativum) yang hanya tersusun oleh satu lapis
sel-sel basal

Stratum germinativum adalah lapisan terbawah epidermis. Di dalam

stratum germinativum juga terdapat sel-sel melanosit, yaitu sel-sel yang tidak

mengalami keratinisasi dan fungsinya hanya membentuk pigmen melanin dan

memberikannya kepada sel-sel keratinosit melalui dendrit-dendritnya. Satu sel

melanosit melayani sekitar 36 sel keratinosit. Kesatuan ini diberi nama unit

melanin epidermal (Baumann, 2009; Tranggono dan Latifah, 2007).

2. Dermis

Berbeda dengan epidermis yang tersusun oleh sel-sel dalam berbagai

bentuk dan keadaan, dermis terutama terdiri dari bahan dasar serabut kolagen dan

elastin, yang berada di dalam substansi dasar yang bersifat koloid dan terbuat dari

gelatin mukopolisakarida. Serabut kolagen dapat mencapai 72 persen dari

keseluruhan berat kulit manusia bebas lemak (Tranggono dan Latifah, 2007).

Di dalam dermis terdapat adneksa-adneksa kulit seperti folikel rambut,

papila rambut, kelenjar keringat, saluran keringat, kelenjar sebasea, otot penegak

rambut, ujung pembuluh darah dan ujung saraf, juga sebagian serabut lemak yang

terdapat pada lapisan lemak bawah kulit (subkutis/hipodermis) (Tranggono dan

Latifah, 2007).

11
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2.3.1 Fungsi Kulit

Kulit memiliki berbagai fungsi bagi tubuh, diantaranya adalah:

1. Proteksi ( perlindungan )

Kulit berfungsi untuk melindungi organ-organ tubuh dari pengaruh

lingkungan luar. Misalnya sinar matahari, zat-zat kimia, perubahan suhu,

dan lain-lain.

2. Thermoregulasi (menjaga keseimbangan temperatur tubuh)

Kulit akan menjaga suhu tubuh agar tetap optimal. Keringat yang keluar

saat suhu udara panas berfungsi untuk mendinginkan tubuh. Keluarnya

keringat adalah salah satu mekanisme tubuh untuk menjaga stabilitas

temperature

3. Organ sekresi

Kulit juga berfungsi sebagai organ untuk melepaskan kelebihan air dan

zat-zat lainnya NaCl, ammonia dan lain-lain.

4. Persepsi sensoris (menerima rangsangan)

Sebagai alat perasa, kulit akan bereaksi pada perbedaan suhu, sentuhan,

rasa sakit, dan tekanan.

5. Absorpsi penyerapan

Beberapa zat tertentu bisa diserap masuk kedalam tubuh melalui kulit

(Mulyawan dan Suriana, 2013).

2.3.2 Jenis Kulit

Menurut Noormindhawati (2013), ditinjau dari sudut pandang perawatan,

kulit terbagi atas lima bagian,

12
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
a. Kulit Normal

Merupakan kulit ideal yang sehat, memiliki pH normal, kadar air dan

kadar minyak seimbang, tekstur kulit kenyal, halus dan lembut, pori-pori kulit

kecil.

b. Kulit Berminyak

Merupakan kulit yang memiliki kadar minyak berlebihan di permukaan

kulit sehingga tampak mengkilap, memiliki pori-pori besar, mudah berjerawat.

c. Kulit Kering

Adalah kulit yang tampak kasar, kusam, kulit mudah bersisik, terasa

kaku, tidak elastis, dan mudah berkeriput.

d. Kulit Kombinasi

Merupakan jenis kulit kombinasi yaitu antara kulit wajah kering dan

berminyak. Pada area T cenderung berminyak, sedangkan pada daerah pipi

berkulit kering.

e. Kulit Sensitif

Adalah kulit yang memberikan respons secara berlebihan terhadap

kondisi tertentu, misalnya suhu, cuaca, bahan kosmetik atau bahan kimia lainnya

yang menyebabkan timbulnya gangguan kulit seperti kulit mudah menjadi

iritasi, kulit menjadi lebih tipis dan sangat sensitif.

2.4 Skin Analyzer

Skin analyzer merupakan sebuah perangkat yang dirancang untuk

mendiagnosa keadaan pada kulit. Skin analyzer dapat mendukung diagnosa dokter

yang tidak hanya meliputi lapisan kulit teratas namun mampu memperlihatkan sisi

13
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
lebih dalam dari lapisan kulit, dengan menggunakan mode pengukuran normal

dan polarisasi, dilengkapi dengan rangkaian sensor kamera pada skin analyzer

menyebabkan alat ini dapat menampilkan hasil lebih cepat dan akurat (Aramo,

2012).

Pengukuran kulit dengan menggunakan skin analyzer secara otomatis akan

menampilkan hasil dalam bentuk angka yang didapatkan akan secara langsung

disesuaikan dengan parameter yang telah diatur sedemikian rupa pada alat. Ketika

hasil muncul dalam bentuk angka, secara bersamaan kriteria hasil pengukuran

muncul dan dapat dimengerti dengan mudah oleh operator yang memeriksa

ataupun pasien. Menurut Aramo 2012, parameter hasil pengukuran dengan skin

analyzer dapat dilihat pada Tabel 2.1

Tabel 2.1 Parameter Hasil Pengukuran dengan Skin Analyzer


Pengukuran Parameter

Kadar air Dehidrasi Normal Hidrasi


(Moisture 0-29 30-50 51-100
Kehalusan Halus Normal Kasar
(Evenness) 0-31 32-51 52-100
Pori Kecil Besar Sangat besar
(Pore) 0-19 20-39 40-100
Noda Sedikit Sedang Banyak
(Spot) 0-19 20-39 40-100
Tidak berkeriput Berkeriput Berkeriput parah
Keriput
0-19 20-52 53-100
(Wrinkle)

14
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Menurut Aramo (2012), pengukuran yang dapat dilakukan menggunakan

skin analyzer, yaitu: moisture (kadar air), evenness (kehalusan), pore (pori), spot

(noda), wrinkle (keriput) terdeteksi dengan alat ini.

2.5 Simplisia

Bahan alam yang telah dikeringkan yang digunakan untuk pengobatan dan

belum mengalami pengolahan, kecuali dinyatakan lain suhu pengeringan simplisia

tidak lebih dari 60oC (Depkes RI, 2009).

Simplisia dibedakan, simplisia nabati, simplisia hewani atau simplisia

pelican (mineral). Simplisia nabati adalah simplisia berupa tumbuhan utuh, bagian

tumbuhan atau eksudat tumbuhan (Depkes RI, 2009).

2.6 Kosmetik

Definisi kosmetik dalam peraturan Menteri Kesehatan RI No.

1175/MENKES/PER/VIII/2010 yang menyatakan bahwa kosmetik adalah bahan

atau sediaan yang dimaksudkan untuk digunakan pada bagian luar tubuh manusia

(epidermis, rambut, kuku, bibir, dan organ genital bagian luar) atau gigi dan

membran mukosa mulut terutama untuk membersihkan, mewangikan, mengubah

penampilan, dan atau memperbaiki bau badan atau melindungi, serta memelihara

tubuh pada kondisi baik.

2.7 Sabun

Sabun merupakan hasil hidrolisa dari asam lemak dengan basa. Sabun

dihasilkan dengan mereaksikan lemak dengan basa. Peristiwa ini disebut

penyabunan atau saponifikasi (Amelia, 2010).

15
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Gambar 2.3 proses saponifikasi trigliserida (Ken, 2008).

Sabun adalah garam logam alkali (biasanya garam natrium) dari asam-

asam lemak. Sabun mengandung terutama garam C16 dan C18, namun dapat juga

mengandung beberapa karboksilat dengan bobot atom lebih rendah. Sabun

dimurnikan dengan mendidihkannya dalam air bersih untuk membuang lindi yang

berlebih, NaCl, dan gliserol. Suatu molekul sabun mengandung suatu rantai

hidrokarbon panjang plus ion. Bagian hidrokarbon dari molekul itu bersifat

hidrofobik dan larut dalam zat-zat non polar, sedangkan ujung ion bersifat

hidrofilik dan larut dalam air. Karena adanya rantai hidrokarbon, sebuah molekul

sabun secara keseluruhan tidaklah benar-benar larut dalam air. Namun sabun

mudah tersuspensi dalam air karena membentuk misel, yakni segerombolan (50-

150) molekul yang rantai hidrokarbonnya mengelompok dengan ujung-ujung

ionnya yang menghadap ke air (Fessenden dan Fessenden, 1992).

Menurut SNI (2016), sabun merupakan sediaan pembersih kulit yang

dibuat dari proses saponifikasi atau netralisasi dari lemak,minyak, wax, rosin atau

asam dengan basa organik atau anorganik tanpa menimbulkan iritasi pada kulit.

Menurut SNI 06-3532-2016 syarat mutu sabun mandi dapat di lihat pada Tabel

2.2

16
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Tabel 2.2 Syarat mutu sabun mandi
No Jenis Uji Satuan Standar
1. Kadar air % Maks 15,0
2. Total lemak % Min 65,0

3. Bahan tak larut dalam etanol % Maks 5,0

4. Alkali bebas (dihitung % Maks 0,1


sebagai NaOH
5. Asam lemak bebas (dihitung Maks 2,5
sebagai asam oleat)
6. Lemak tak tersabunkan % Maks 0,5

7. Kadar klorida % Maks 1,0

2.7.1 Metode Pembuatan Sabun

Sabun dapat dibuat melalui dua proses, yaitu safonifikasi dan netralisasi.

Proses safonifikasi terjadi karena reaksi antara minyak/lemak atau trigliserida

dengan alkali menghasilkan gliserol dan asam lemak (sabun), sedangkan proses

netralisasi terjadi karena minya atau lemak masing –masing diubah menjadi asam

lemak melalui proses splitting/hydrolysis dan menghasilkan asam lemak yang

dapat bereaksi dengan soda kaustik (NaOH) menghasilkan sabun dan air (Rizka,

2017).

Minyak ataupun lemak yang digunakan hanya berbeda dalam segi bentuk

saja. Dimana secara umum berbentuk cair, sedangkan lemak berbentuk padat.

Alkali yang bisa digunakan dalam pembuatan sabun padat adalan natrium

hidroksia sedangkan dalam sediaan sabun cair ataupun shampoo adalah kalium

hidroksida (Rizka, 2017).

17
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2.7.2 Komponen Sabun

1. Natrium Hidroksida (NaOH)

Sabun yang dibuat dari natrium hidroksida dikenal denagn sebutan sabun

keras (hard soap), sedangkan sabun yang dibuat dari KOH dikenal dengan sebutan

sabun lunak (soft soap) (rizka, 2017).

Pada penelitian ini dibuat sabun padat sehingga alkali yang digunakan

adalah NaOH. Natrium hidroksida memiliki berat molekul 40 serta merupakan

basa kuat yang larut dalam air dan etanol. NaOH dapat berbentuk pellet, serpihan,

batang, atau bentuk lain, selain itu juga memiliki warna yang putih dan bersifat

higroskopis, bila dibiarkan diudara akan cepat menyerap CO2 dan lembab

(Depkes RI, 1995).

2. Asam stearat

Asam stearat adalah campuran asam organik padat yang diperoleh dari

lemak, sebagian besar terdiri dari asam oktadekonoat (C18H36O2) dan

heksadekanoat (C18H32O2). Berupa zat padat keras mengkilat menunjukkan

susunan hablur, putih atau kuning pucat, sedikit berbau mirip lemak lilin, larut

dalam 20 bagian etanol (95%) P, dalam 2 bagian kloroform P dan dalam 3 bagian

eter P. Asam stearat berperan memberikan konsistensi dan kekerasan pada sabun

(Depkes, RI 1995).

3. Etanol

Etanol adalah campuran etil alkohol dan air, mengandung tidak kurang

dari 94,7% v/v atau 92,0% dan tidak dari 95,2% v/v atau 92,7% C2H6O7. Sangat

mudah larut dalam air, dalam kloroform P dan dalam eter P. Etanol tidak berbau

dan tidak berasa tetapi memiliki bau yang khas. Bahan ini memabukkan jika

18
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
diminum. Rumus molekul etanol adalah C2H5OH atau rumus empiris C2H6O

(Depkes, 1979).

4. Gliserin

Gliserin berbentuk cairan jernih, tidak berbau dan memiliki rasa manis

diikuti rasa hangat. Gliserin diperoleh dari hasil samping proses pembuatan sabun

atau dari asam lemak tumbuhan dan hewan (Ken, 2008). Gliserin merupakan

humektan yang dapat melembabkan kulit pada kondisi atmosfer sedang atau

kondisi kelembapan tinggi. Gliserin dapat larut dalam iar dan alkohol atau yang

lainnya sehingga dapat dikatakan bahwa gliserin merupakan pelarut yang baik

(Depkes, 1979).

5. Asam sitrat

Asam sitrat atau 2-hydroxy-1,2,3- propanatricarboxylic acid merupakan

asam organik lemah dan digunakan sebagai bahan pengawet alami. Berfungsi

sebagai agen pengelat (chelating agent) yaitu pengikat ion-ion logam pemicu

oksidasi, sehingga mampu mencegah terjadinya oksidasi pada minyak akibat

pemanasan. Asam sitrat juga dapat dimanfaatkan sebagai pengawet dan pengatur

pH (Ken, 2008).

6. Minyak VCO (Virgin Coconut Oil)

Virgin Coconut Oil (VCO) merupakan minyak yang diperoleh dari buah

kelapa tanpa mengalami pemanasan. VCO mempunyai penampilan yang bening

serta mengandung banyak asam laurat. VCO mengandung asam lemak rantai

menengah (Medium Chain Fatty Acid/MCFA) ( Setyoningrum, 2010).

Virgin Coconut Oil (VCO) adalah salah satu produk olahan buah kelapa

yang nilai jualnya sangat tinggi, karena komposisi penyusun VCO terdiri dari

19
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
asam lemak asam lemak rantai sedang yang dapat menjaga kesehatan tubuh dan

menghalangi berbagai serangan penyakit (Amelia, 2010).

Dalam sediaan kosmetik Virgin Coconut Oil (VCO) dapat dipakai secara

langsung sebagai hand body yang berfungsi mencegah kekeringan dan kulit

pecah-pecah, dipakai pada kulit kepala guna menghilangkan ketombe, serta dapat

dioles pada wajah dan kulit untuk mencegah penuaan dini dan menghilangkan

spot yang diakibatkan oleh paparan sinar UV. Di samping itu, VCO juga dapat

digunakan sebagai bahan dasar sabun dan shampoo karena sabun VCO

menghasilkan busa yang cukup baik. Riset dan uji klinis telah membuktikan

keampuhan VCO dalam mendukung keseimbangan kimiawi kulit secara alami,

melembabkan kulit dan mengencangkan kulit serta mencegah keriput dan bercak-

bercak penuaan (Setyoningrum, 2010). Menurut SNI 2008 syarat mutu VCO

dapat di lihat pada Tabel 2.3

Tabel 2.3 Syarat mutu VCO


No Asam lemak Satuan Persyaratan
1. Asam kaproat % 0,7
2. Asam kaprilat % 4,6 – 10,0
3. Asam kaprat % 5,0 - 8,0
4. Asam laurat % 45,1 - 53,2
5. Asam miristat % 16,8 – 21
6. Asam palmitat % 7,5 – 10,2
7. Asam stearate % 2,0 – 4,0
8. Asam oleat % 5,0 – 10,0
9. Asam linoleat % 1,0 – 2,5
10. Asam linolenat % 0,2

Menurut syarat mutu VCO berdasarkan SNI 2008 bahwa asam laurat

memiliki nilai yang paling tinggi. Asam laurat ini berfungsi untuk menghaluskan

20
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
dan melelmbabkan kulit serta penghasil busa yang baik untuk sediaan sabun.

Sehingga VCO cocok dijadikan sebagai bahan baku pembuatan sabun.

2.7.3 Kegunaan Sabun

Kegunaan sabun adalah kemampuannya mengemulsi kotoran berminyak

sehingga dapat dibuang dengan pembilasan. Kemampuan ini disebabkan oleh dua

sifat sabun.

1. Rantai hidrokarbon sebuah molekul sabun larut dalam zat non-polar, seperti

tetesan-tetesan minyak.

2. Ujung anion molekul sabun, yang tertarik pada air, ditolak oleh ujung anion

molekul-molekul sabun yang menyembul dari tetesan minyak lain. Karena tolak

menolak antara tetes sabun-minyak, maka minyak itu tidak dapat saling

bergabung tetapi tetap tersuspensi (Fessenden & Fessenden, 1992).

2.7.4 Jenis - Jenis Sabun

Sabun berdasarkan kegunaanya dapat dibagi berdasarkan:

1. Sabun Transparan

Sabun yang satu ini mempunyai kadar yang sangat ringan, sehingga sabun

ini sangat cocok sekali digunakan untuk semua kulit. Sabun ini juga mempunyai

sifat yang mudah larut, sehingga sangat cocok sekali digunakan dalam kehidupan

sehari-hari. Minyak lemak yang digunakan untuk membuat sabun transparan

memiliki rantai karbon yang tidak terlalu panjang, secara umum dibawah 18.

Bahan minyak untuk membuat sabun transparan yang paling sering dijumpai

adalah minyak kelapa.

21
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2. Sabun Kecantikan

Sabun kecantikan dapat berupa sabun foam yaitu sabun yang mempunyai

manfaat untuk membersihkan wajah secara sempurna. Kemasan sabun ini

sangatlah fleksibel sehingga sangat nyaman untuk dibawa sehari-hari. Sabun ini

mempunyai tekstur scrub yang sedikit kasar. Sabun ini mempunyai manfaat untuk

membersihkan serta mengangkat sel kulit mati, sehingga dapat mencerahkan kulit

wajah. Namun tidak dianjurkan untuk pemakian yang terlalu sering karena dapat

membuat kulit wajah menjadi kering. Selain itu ada sabun Acne sabun ini sangat

cocok untuk kulit yang mengalami masalah jerawat. Karena sabun ini

diformulisasikan secara khusus untuk membunuh sel jerawat.

3. Sabun Natural

Sabun natural mengacu pada proses pembuatannya yang tidak banyak

melibatkan bahan kimia sintetis. Sebuah sabun disebut natural ketika peran SLS

digantikan dengan bahan-bahan alami/natural berupa minyak alami

(nabati/hewani), pembuatannya tanpa melibatkan detergen (SLS/SLES atau

texapon) dan zat kimia sintetis (parabens/pengawet kimia, EDTA, pewarna

sintetis, dll). Penjelasan kali ini akan membahas tentang penggunaan minyak

nabati yang memiliki fungsi spesifik dalam pembuatan sabun, lebih dapat

dipertanggung jawabkan jaminan kehalalannya dan efektif manfaatnya bagi kulit.

Minyak nabati yang biasa digunakan dalam pembuatan sabun natural merupakan

kombinasi dari minyak zaitun, minyak kelapa, dan minyak kelapa sawit.

Kombinasi ketiganya dapat menghasilkan sabun natural dengan kualitas yang

baik, mampu membersihkan kulit serta menjaga kelembaban dan menutrisi kulit

(Nasution, 2017).

22
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
BAB III

METODE PENELITIAN

Metode penelitian ini dilakukan secara eksperimental. Penelitian meliputi

perolehan sampel, identifikasi sampel, pembuatan simplisia. Pembuatan sediaan

sabun padat dimulai dari blanko (F0), penambahan simplisia daun nangka

(Artocarpus heterophyllus Lam.), dengan konsentrasi 3% (F1), 5% (F2), dan 7%

(F3) dengan kehalusan eksfolian menggunakan mesh 80. Pemeriksaan stabilitas

fisik sediaan seperti; organoleptis, pengukuran pH, pengukuran ketinggian busa,

uji iritasi dan uji hedonik. Pengujian efektivitas sabun padat yaitu: kadar air

(moisture), kehalusan (evenness), pori (pore), noda (spot), dan keriput (wrinkle).

Pemeriksaan kualitas mutu sabun meliputi: kadar air, total lemak, asam lemak

bebas/alkali bebas, bahan tidak larut dalam etanol, dan lemak tidak tersabunkan

(SNI, 2016). Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kosmetologi Fakultas

Farmasi USU.

3.1 Alat

Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah: alat alat gelas

laboratorium, cawan porselen, cetakan sabun, moisture checker (Aramo Huvis),

neraca analitik (Boeco Germany), penangas air, pH meter, skin analyzer (Aramo-

SG), dan termometer (Fisons).

23
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
3.2 Bahan

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: Minyak VCO,

asam stearat, propilen glikol, asam sitrat, NaOH, etanol, natrium lauril sulfat,

gliserin, NaCl, TEA, akuadest, parfum.

3.3 Sukarelawan

Pemilihan relawan dilakukan di Fakultas Farmasi USU antara lain 12

orang mahasiswi berusia sekitar 20-23 tahun, tidak memiliki riwayat alergi pada

kulit, untuk lebih memudahkan jalannya penelitian dalam penentuan efektivitas

sabun padat. Adapaun parameter pengujiannya adalah kadar air (moisture),

kehalusan (evenness), pori (pore), noda (spot), dan keriput (wrinkle).

3.4 Pengumpulan dan Pengolahan sampel

3.4.1 Pengumpulan sampel

Pengambilan sampel dilakukan secara purposif, yaitu tanpa

membandingkan dengan tumbuhan yang sama dari daerah lain. Sampel yang

digunakan adalah daun nangka yang diperoleh dari jalan Tanjung Anom Desa

Glugur Rimbun, Medan.

3.4.2 Pengolahan sampel

Sampel yang diuji dalam penelitian ini adalah daun nangka segar yang

diambil secara purposif yaitu tanpa membandingkan dengan tumbuhan yang sama

dari daerah lain. Daun nangka yang masih segar dicuci hingga bersih. Lalu daun

dipisahkan dari tangkainya kemudian ditimbang, diperoleh berat basah sebesar 3

kg. Selanjutnya dikeringkan dalam lemari pengering dengan suhu ±40ºC.

Simplisia yang telah kering diblender menjadi serbuk dan ditimbang.

24
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
3.4.3 Pembuatan Simplisia

Pembuatan simplisia dilakukan setelah daun dikeringkan dilemari

pengering pada suhu 400C selama 3-5 hari yang ditandai dengan warna daun

kecoklatan dan sudah tampak lekang. Setelah itu daun disortasi kering dan di

blender sebanyak 2 kali lalu dilakukan pengayakan dengan mesh 80.

3.4.4 Identifikasi Sampel

Identifikasi sampel dilakukan di Herbarium Medanense, Departemen

Biologi FMIPA USU.

3.5 Pemeriksaan Karakteristik Simplisia

Pemeriksaan karakteristik simplisia meliputi pemeriksaan makroskopik,

penetapan kadar air, kadar sari larut air, kadar sari larut etanol, kadar abu total,

dan kadar abu tidak larut asam (Depkes RI, 1995).

3.5.1 Pemeriksaan Makroskopik

Pemeriksaan makroskopik dilakukan dengan mengamati morfologi

simplisia daun nangka dengan cara memperhatikan warna, bentuk, dan tekstur

sampel.

3.5.2 Penetapan kadar air

Penetapan kadar air dilakukan dengan metode Azeotropi (destilasi toluen).

Alat terdiri dari labu alas bulat 500 ml, alat penampung, pendingin, tabung

penyambung, dan tabung penerima 10 ml.

25
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
a. Penjenuhan toluena

Sebanyak 200 ml toluena dan 2 ml air suling dimasukkan ke dalam labu

alas bulat, dipasang alat penampung dan pendingin, kemudian didestilasi selama

2 jam. Destilasi dihentikan dan dibiarkan dingin selama 30 menit, kemudian

volume air dalam tabung penerima dibaca dengan ketelitian 0,05 ml.

b. Penetapan kadar air simplisia

Kemudian ke dalam labu tersebut dimasukkan 5 gram simplisia yang telah

ditimbang seksama, labu dipanaskan hati-hati selama 15 menit. Setelah toluena

mendidih, kecepatan tetesan diatur 2 tetes untuk tiap detik sampai sebagian besar

air terdestilasi, bagian dalam pendingin dibilas dengan toluena. Destilasi

dilanjutkan selama 5 menit, kemudian tabung penerima dibiarkan mendingin pada

suhu kamar. Setelah air dan toluena memisah sempurna, volume air dibaca

dengan ketelitian 0,05 ml. Selisih kedua volume air yang dibaca sesuai dengan

kandungan air yang terdapat dalam bahan yang diperiksa. Kadar air dihitung

dalam persen.

3.5.3 Penetapan kadar sari larut air

Sebanyak 5 g serbuk yang telah dikeringkan di udara, dimaserasi selama

24 jam dalam 100 ml air-kloroform (2,5 ml kloroform dalam air suling 1000 ml)

dalam labu bersumbat sambil sesekali dikocok selama 6 jam pertama, dibiarkan

selama 18 jam, kemudian disaring. Diuapkan 20 ml filtrat sampai kering

dalam cawan penguap yang berdasar rata yang telah dipanaskan dan ditara. Sisa


dipanaskan pada suhu 105 C sampai bobot tetap. Kadar dalam persen sari yang

26
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
larut dalam air dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan di udara (Depkes

RI, 1995).

3.5.4 Penetapan kadar sari larut etanol

Sebanyak 5 g serbuk simplisia yang telah dikeringkan dimaserasi selama

24 jam dalam100 ml etanol 96% dalam labu bersumbat sambil dikocok sesekali

selama 6 jam pertama, kemudian dibiarkan selama 18 jam. Kemudian disaring, 20

ml filtrat diuapkan sampai kering dalam cawan penguap berdasar rata yang telah


ditara dan sisanya dipanaskan pada suhu 105 C sampai bobot tetap. Kadar sari

larut dalam etanol dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan (Depkes RI,

1995).

3.5.5 Penetapan kadar abu total

Sebanyak 2 g serbuk yang telah digerus dan ditimbang seksama

dimasukkan ke dalam krus platina atau krus silikat yang telah dipijar dan ditara,

kemudian diratakan. Krus dipijar perlahan-lahan sampai arang habis, pemijaran


dilakukan pada suhu 600 C selama 3 jam. Kemudian didinginkan dan ditimbang

sampai diperoleh bobot tetap. Kadar abu dihitung terhadap bahan yang telah

dikeringkan di udara (Depkes RI, 1995).

3.5.6 Penetapan kadar abu tidak larut asam

Abu yang telah diperoleh dalam penetapan abu didinginkan dengan 25 ml

asam klorida encer selama 5 menit, bagian yang tidak larut dalam asam

dikumpulkan, disaring dengan kertas masir atau kertas saring bebas abu, cuci

dengan air panas, dipijarkan sampai bobot tetap, kemudian didinginkan dan

27
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
ditimbang. Kadar abu yang tidak larut dalam asam dihitung terhadap bobot yang

dikeringkan di udara (Depkes RI, 1995).

3.6 Uji Skrining Fitokimia

Skrining fitokimia serbuk simplisia meliputi pemeriksaan senyawa

golongan alkaloida, glikosida, steroida/triterpenoida, flavonoida, saponin, tanin,

dan antrakuinon.

3.6.1 Pemeriksaan Alkaloida

Sebanyak 0,5 g serbuk simplisia ditimbang, kemudian ditambahkan 1 ml

asam klorida 2 N dan 9 ml air suling, dipanaskan di atas penangas air selama 2

menit, didinginkan dan disaring. Filtrat dipakai untuk uji alkaloida sebagai

berikut:

a. Filtrat sebanyak 3 tetes ditambah dengan 2 tetes larutan pereaksi Meyer akan

terbentuk endapan menggumpal berwarna putih atau kuning.

b. Filtrat sebanyak 3 tetes ditambah dengan 2 tetes larutan pereaksi Bouchardat

akan terbentuk endapan berwarna coklat sampai kehitaman.

c. Filtrat sebanyak 3 tetes ditambah dengan 2 tetes larutan pereaksi Dragendorff

akan terbentuk endapan merah atau jingga. Alkaloida positif jika terjadi

endapan atau kekeruhan paling sedikit dua dari tiga percobaan di atas

(Ditjen POM, 1995).

3.6.2 Pemeriksaan Glikosida

Sebanyak 3 g serbuk simplisia ditimbang, lalu disari dengan 30 ml

campuran etanol 95% dengan air (7:3) dan 10 ml asam klorida 2 N, direfluks

selama 30 menit, didinginkan dan disaring. Diambil 20 ml filtrat ditambahkan 25

28
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
ml air suling dan 25 ml timbal (II) asetat 0,4 M, lalu dikocok selama 5 menit dan

disaring. Filtrat disari dengan 20 ml campuran isopropanol dan kloroform (2:3),

dilakukan berulang sebanyak 3 kali. Sari air dikumpulkan dan diuapkan pada


temperatur tidak lebih dari 50 C. Sisanya dilarutkan dalam 2 ml metanol. Larutan

sisa digunakan untuk percobaan berikut, yaitu 0,1 ml larutan percobaan

dimasukkan ke dalam tabung reaksi, diuapkan di penangas air. Sisa dilarutkan

dalam 2 ml air suling dan 5 tetes pereaksi Molish. Kemudian secara perlahan

ditambahkan 2 ml asam klorida pekat. Glikosida positif jika terbentuk cincin ungu

(Depkes RI, 1995).

3.6.3 Pemeriksaan Saponin

Sebanyak 0,5 g serbuk simplisia dimasukkan dalam tabung reaksi,

ditambahkan 10 ml air suling panas, didinginkan kemudian dikocok kuat-kuat

selama 10 detik, jika terbentuk buih yang mantap setinggi 1 sampai 10 cm yang

stabil tidak kurang dari 10 menit dan tidak hilang dengan penambahan 1 tetes

asam klorida 2 N, bila buih tidak hilang menunjukkan adanya saponin (Depkes

RI, 1995).

3.6.4 Pemeriksaan Flavonoid

Sebanyak 0,5 g sampel disari dengan 10 ml metanol lalu direfluks selama

10 menit, disaring panas-panas melalui kertas saring berlipat, filtrat diencerkan

dengan 10 ml air suling. Setelah dingin ditambah 5 ml eter minyak tanah, dikocok


hati-hati, didiamkan. Lapisan metanol diambil, diuapkan pada temperatur 40 C.

Sisa dilarutkan dalam 5 ml etil asetat, disaring (larutan percobaan). Sebanyak 1 ml

29
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
larutan percobaan diuapkan hingga kering, sisanya dilarutkan dalam 1 ml etanol

96%, ditambahkan 0,1 g serbuk magnesium dan 10 ml asam klorida pekat, terjadi

warna merah jingga sampai merah ungu menunjukkan adanya flavonoida (Depkes

RI, 1995).

3.6.5 Pemeriksaan Antrakuinon

Sebanyak 0,2 g serbuk simplisia ditambahkan 5 ml asam sulfat 2 N,

dipanaskan sebentar, setelah dingin ditambahkan 10 ml benzen, dikocok dan

didiamkan. Lapisan benzen dipisahkan dan disaring, filtrat berwarna kuning,

menunjukkan adanya antrakuinon. Lapisan benzen dikocok dengan 2 ml natrium

hidroksida 2 N, didiamkan. Lapisan air berwarna merah dan lapisan benzen tidak

berwarna menunjukkan adanya antrakuinon (Depkes RI, 1995).

3.6.6 Pemeriksaan Tanin

Sebanyak 0,5 g sampel disari dengan 10 ml air suling, disaring kemudian

filtratnya diencerkan dengan menggunakan air suling sampai tidak berwarna.

Diambil 2 ml larutan lalu ditambahkan 1 sampai 2 tetes pereaksi besi (III) klorida.

Terjadi warna biru atau hijau kehitaman menunjukkan adanya tanin (Ditjen POM,

1979).

3.6.7 Pemeriksaan Steroid/Terpenoid

Sebanyak 1 g sampel dimaserasi dengan 20 ml eter selama 2 jam, lalu

disaring. Filtrat diuapkan dalam cawan penguap. Pada sisa dalam cawan penguap

ditambahkan 2 tetes asam asetat anhidrat dan 1 tetes asam sulfat pekat. Timbul

warna ungu atau merah kemudian berubah menjadi hijau biru menunjukkan

adanya steroida/triterpenoida (Harborne, 1987).

30
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
3.7 Formulasi Sediaan

Formula Pembuatan Sabun menurut Hambali, dkk, 2005.

R/ Minyak Kelapa 20 g
Asam stearat 7,0 g
NaOH 30% 20 g
Etanol 15 g
Gliserin 13 g
Asam sitrat 3g
NaCl 2g
Gula (sukrosa) 7,5 g
Coco DEA 3g
Akuades 4,5 g
Formula Modifikasi:

R/ Minyak VCO 25 g
Asam stearat 8,0 g
NaOH 5g
Etanol 25 g
Gliserin 15 g
Asam sitrat 5g
NaCl 2g
Propilen glikol 15 g
SLS 2g
TEA 5 tetes
Akuades 60 ml
Simplisia daun nangka X%
Parfum (Essen Nangka) q.s

31
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Tabel 3.1 Formula sediaan sabun padat dengan penambahan konsentrasi
simplisia daun nangka
Nama Bahan Formula

F0 F1 F2 F3
Minyak VCO 25 g 25 g 25 g 25 g

Propilen glikol 15 g 15 g 15 g 15 g

NaCl 2g 2g 2g 2g

NaOH 5g 5g 5g 5g

Asam stearate 8g 8g 8g 8g

Asam sitrat 5g 5g 5g 5g

Etanol 25 g 25 g 25 g 25 g

Gliserin 15 g 15 g 15 g 15 g

TEA 5 tts 5 tts 5 tts 5 tts

SLS 2g 2g 2g 2g

Akuades 60 g 55,14 g 51,9 g 48,66 g

Simplisia daun nangka (%) - 4,86 g 8,1 g 11,34 g

Parfum (Essen nangka) qs qs qs qs

Jumlah 162 162 162 162

Keterangan: Formula F0 : Blanko


Formula F1 : Sabun padat + Simplisia daun nangka 3%
Formula F2 : Sabun padat + Simplisia daun nangka 5%
Formula F3 : Sabun padat + Simplisia daun nangka 7%

32
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
3.8 Pembuatan Sabun Padat

Disiapkan alat dan bahan yang digunakan, ditimbang semua bahan yang

akan digunakan, dimasukkan minyak kelapa, asam stearat, propilen glikol dan 20

ml akuades yang sudah dilarutkan dengan NaCl kedalam wadah, dipanaskan


diatas penangas air dengan suhu 60-70 C selama 30 menit sambil diaduk

homogen (a) dilarutkan NaOH dengan 20 ml akuades (b) dilarutkan juga asam

sitrat dengan 10 ml akuades (c) dilarutkan natrium lauril sulfat dengan 10 ml

akuades (d) dicampurkan bagian a dengan bagian b sambil diaduk homogen

diangkat campuran dan ditambahkan etanol 96% sambil diaduk homogen selama

10 menit dipanaskan kembali campuran tersebut selama 30 menit sambil diaduk

sesekali dituangkan bagian c dan gliserin kedalam campuran sambil diaduk

hingga terbentuk larutan yang transparan ditambahkan bagian d, parfum dan

pewarna serta tea sebanyak 5 tetes kemudian sambil aduk sampai homogen

ditambahkan simplisia daun nangka dan diaduk sampai merata dituangkan

kedalam cetakan silikon dan ditunggu hingga mengeras sabun padat sudah selesai.

3.9 Pemeriksaan Sifat Fisik Sabun

3.10 Pengukuran pH Sabun

Pengukuran pH sabun dilakukan dengan menggunakan pH meter. Alat

terlebih dahulu dikalibrasi dengan menggunakan larutan dapar

standar netral (pH 7,0) dan larutan dapar pH asam (pH 4,0) hingga alat

menunjukkan harga pH tersebut. Kemudian elektroda dicuci dengan akuades, lalu

dikeringkan dengan tissue. Sampel dibuat dalam konsentrasi 1% yaitu ditimbang

1 g sediaan lalu dilarutkan dalam akuades hingga 100 ml dan dipanaskan lalu di

33
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
dinginkan. Kemudian elektroda dicelupkan dalam larutan tersebut. Dibiarkan alat

menunjukkan harga pH sampai konstan. Angka yang ditunjukkan pH meter itu

merupakan pH sediaan (Rawlins, 2003).

3.11 Pengukuran Ketinggian Busa

Sabun yang dihasilkan terlebih dahulu dipotong-potong hingga halus.

Sebanyak 0,01 g sabun yang telah dipotong-potong hingga halus dimasukkan

kedalam gelas ukur 50 ml, kemudian ditambahkan akuades hingga 10 ml

(konsentrasi 0,1%). Larutan sabun tersebut dikocok selama 100 detik sebanyak

200 kali kocokan (dengan dua kali kocokan/detik). Busa yang terbentuk

dibiarkan selama 5 menit dan 10 menit kemudian diukur ketinggian busa yang

dihasilkan (Ernita, 2001).

3.12 Pengelompokan Sukarelawan

Semua sukarelawan ditandai lingkaran pada belakang daun telinga

sukarelawan berdiameter ±3 cm, kemudian sukarelawan dibagi dalam 4 kelompok

yaitu :

a. Kelompok I : 3 orang sukarelawan formula blanko

b. Kelompok II : 3 orang sukarelawan formula 3%

c. Kelompok III : 3 orang sukarelawan formula 5%

d. Kelompok IV : 3 orang sukarelawan formula 7%

3.13 Uji Hedonik

Uji hedonik atau uji kesukaan dilakukan untuk mengetahui tingkat

kesukaan panelis terhadap produk yang dihasilkan. Uji hedonik dilakukan dengan

cara mengukur, menilai atau mengkaji mutu komoditas dengan menggunakan alat

34
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
indra manusia yaitu penglihatan, penciuman, peraba. Parameternya meliputi

warna, aroma, dan tekstur sediaan. Skala hedonik yang dihasilkan berkisar 1-2,

yaitu: 1. Tidak suka, 2. Suka. Uji hedonik yang dilakukan pada penelitian ini

menggunakan panelis sebanyak 30 orang dari kalangan mahasiswi.

3.14 Uji Iritasi Terhadap Sukarelawan

Pengujian ini dilakukan pada 12 orang sukarelawan. Dengan uji tempel

terbuka yaitu tanpa penutup. Sediaan sabun padat yang sudah dilakukan

pengenceran 2% dioleskan di belakang daun telinga sukarelawan dan dibiarkan

lebih kurang 24 jam, hasil pembacaan uji tempel bervariasi antara lemah (+) kuat

(++) dan hebat (+++) terhadap gejala yang timbul berupa iritasi pada kulit, gatal,

dan perkasaran (Wasitaatmaja, 1997).

3.15 Pengujian Efektivitas Sediaan

Pengujian efektivitas sabun padat terhadap punggung tangan sukarelawan

dengan menggunakan skin analyzer Aramo, dimana parameter uji meliputi:

pengukuran kadar air (moisture), pengukuran kehalusan kulit (evenness) dan besar

pori (pore), pengukuran banyaknya noda (spot), pengukuran keriput (wrinkle).

Pengukuran efektivitas sabun padat dimulai dengan mengukur kondisi kulit awal

sebelum dilakukan perawatan, hal ini bertujuan untuk dapat melihat seberapa

besar pengaruh sabun padat yang mengandung eksfolian simplisia daun nangka

yang digunakan dalam memulihkan kulit yang telah mengalami penuaan tersebut.

Hasil pengukuran efektivitas sabun padat akan dibahas per parameter.

35
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
3.16 Penentuan Syarat Mutu Sabun

3.16.1 Penentuan Kadar Air


Pada penentuan syarat mutu sabun terhadap kadar air metode yang

digunakan adalah metode gravimetri.

Cara kerja : Sejumlah 5 g sampel sabun mandi padat dimasukkan ke dalam

cawan petri yang telah dikeringkan dalam oven pada suhu (105 ± 2) oC selama 30

menit. Sampel kemudian dipanaskan dalam oven pada suhu (105 ± 2) oC selama 1

jam. Sampel kering didinginkan dalam desikator sampai suhu ruang (BSN, 2016).

Rumus perhitungan kadar air:

b1  b2
Kadarair  x 100%
b1

Keterangan
bI = Bobot contoh uji dan cawan petri sebelum pemansan, (g)
b2 = Bobot contoh uji dan cawan petri setelah pemanasan, (g)

3.16.2 Penentuan total lemak

Sejumlah 5 g sampel sabun mandi padat dilarutkan dengan 100 mL

akuades panas pada suhu (70-80)oC lalu dimasukkan ke dalam corong pisah.

Kemudian, sampel dalam corong pisah ditambah dengan beberapa tetes larutan

methyl orange dan larutan H2SO4 sebanyak 5 mL berlebih. Sampel diekstraksi

sebanyak 3 kali menggunakan pelarut n-heksana 100 mL, 50 mL, dan 50 mL.

Ekstrak dikumpulkan dalam gelas piala, kemudian dicuci dengan menggunakan

akuades sebanyak 3 kali pencucian. Pelarut n-heksana diuapkan, residu yang

terbentuk dilarutkan dalam 20 mL etanol netral 95% kemudian ditambah beberapa

tetes indikator PP. Larutan dititrasi dengan larutan KOH alkoholis 1N kemudian

dicatat volume yang digunakan. Larutan alkoholis dari hasil titrasi diuapkan,

36
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
residu yang terbentuk kemudian dipanaskan pada oven dengan suhu (103 ± 2)oC

kemudian ditimbang bobotnya sampai mendapatkan bobot tetap (BSN, 2016).

Rumus perhitungan total lemak

Total lemak  b1  (V x N x 0,038) x


100
b0
Keterangan :
Total lemak dalam satuan % fraksi massa
bo = bobot contoh uji, g
b1 = bobot sabun kering, g
V = volume KOH alkoholis yang digunakan untuk titrasi, mL
N = normalitas larutan standar KOH alkoholis
3.16.3 Bahan tak larut dalam etanol
Pada penentuan syarat mutu sabun terhadap bahan tak larut dalam etanol

metode yang digunakan adalah metode gravimetri.

Sejumlah 5 g sampel sabun mandi padat dilarutkan dengan 200 mL etanol

netral dan dipanaskan dalam rangkaian alat refluks sampai sabun larut seluruhnya.

Sampel yang sudah larut disaring menggunakan kertas saring yang sebelumnya

dikeringkan dalam oven pada suhu (100-105) 0C selama 30 menit. Sampel yang

tersisa dalam labu didih dicuci dengan menggunakan larutan etanol netral. Residu

pada kertas saring dicuci dengan menggunakan larutan etanol netral sampai bebas

terhadap sabun. Residu pada kertas saring dikeringkan dalam oven pada suhu

(100-105)0C selama 3 jam kemudian ditimbang (BSN, 2016).

Rumus perhitungan bahan tak larut dalam etanol

b2  b0
Bahan tak larut dalam etanol  x 100
b1

Keterangan :
Bahan tak larut dalam etanol dalam satuan % fraksi massa
bo = bobot kertas saring atau cawan gooch kosong, g
b1 = bobot contoh uji, g
b2 = bobot kertas saring atau cawan gooch kosong dan residu, g

37
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
3.16.4 Penentuan Alkali Bebas/ Asam Lemak Bebas
Filtrat dari penentuan bahan tak larut dalam etanol dipanaskan, masukkan

indikator fenoftalein. Jika larutan tersebut bersifat asam, titrasi dengan larutan

standar KOH sampai timbul warna merah muda yang stabil. Jika larutan tersebut

bersifat alkali, titrasi dengan larutan standar HCl 0,1 N sampai warna merah tepat

hilang. Hitung menjadi NaOH jika alkali atau menjadi asam oleat jika asam (BSN,

2016).

Rumus perhitungnan

- Alkali bebas

40 x V x N
Alkali bebas  x 100
b
Keterangan :
Alkali bebas dalam satuan % fraksi massa
V = volume HCl yang digunakan, mL
N = normalitas HCl yang digunakan
B = bobot contoh uji, mg
40 = berat ekuivalen NaOH

- Asam lemak bebas

282 x V x N
Asam lemak bebas  x 100
b

Keterangan :
Asam lemak bebas dalam satuan % fraksi massa
V = volume KOH yang digunakan, mL
N = normalitas KOH yang digunakan
B = bobot contoh uji, mg
282 = berat ekuivalen asam oleat (C18H34O2)

38
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
3.16.5 Lemak Tidak Tersabunkan

Sampel 5 g ditimbang dan dilarutkan dalam campuran 50 mL etanol netral

dan 50 mL natrium hidrogen karbonat. Larutan sampel dipanaskan di atas

penangas air tidak lebih dari 70oC lalu dinginkan. Larutan diekstraksi dengan 50

mL larutan n-heksana. Residu yang terbentuk setelah diuapkan lalu dikeringkan

dalam oven selama 5 menit. Sampel didinginkan dan ditimbang sampai bobot

tetap. Kedalam 10 mL etanol netral sampel dilarutkan lalu ditambahkan beberapa

tetes indikator PP kemudian dititrasi dengan larutan standar KOH 0,1N. Setelah

titrasi, tambahkan 10 mL larutan standar KOH 2N. Kemudian dipanaskan selama

30 menit. Sampel diekstraksi dengan n-heksana. Residu hasil penguapan pelarut

dikeringkan lalu ditimbang sampai bobot tetap.

Rumus perhitungan Lemak tidak tersabunkan

 V xM  100
Lemak tidak tersabunkan   b1   b2  x
 10000  b0

Keterangan :
Lemak tidak tersabunkan dalam satuan % fraksi massa
b0 = bobot contoh uji, g
b1 = bobot hasil ekstrak pertama, g
b2 = bobot hasil ekstrak kedua, g
M = rata-rata relatif bobot molar dari asam lemak dalam sabun
V = volume larutan standar KOH 0,1 N yang digunakan dalam penentuan
keasaman padaekstraksi pertama, mL

3.16.6 Kadar Klorida

Sejumlah 5 g sampel dilarutkan dengan 300 ml akuades kemudian

ditambah larutan Magnesium Nitrat sebanyak 25 ml larutan di titrasi dengan

39
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
larutan standar AgNO3 dengan indikator K2CrO4 sampai terbentuk warna merah

muda atau jingga dicatat volume yang dibutuhkan.

Keterangan:
Kadar klorida adalah % fraksi massa
V = Volume larutan standar AgNO3 yang dipakai untuk titrasi, ml
N = Normalitas larutan standar AgNO3
5,85 = Bobot ekuivalen NaCl
b = Bobot contoh uji yang digunakan

40
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Identifikasi Sampel

Identifikasi sampel dilakukan di Herbarium Medanense, Departemen

Biologi FMIPA USU. Hasilnya menunjukkan sampel yang digunakan adalah

benar daun nangka (Artocarpus heterophyllus Lam.).

4.2 Hasil Pemeriksaan Makroskopik

Hasil pemeriksaan makroskopik dari daun nangka adalah daun memiliki

bagian tepi rata dan memiliki bentuk telur memanjang, serta memiliki ujung

pangkal pendek meruncing. Daun memiliki permukaan atas berwarna hijau tua

mengkilap, kaku dan juga permukaan bagian bawah memiliki warna hijau muda.

4.3 Hasil Pemeriksaan Karakterisasi

Karakteristik serbuk simplisia daun nangka yang diperoleh, dapat dilihat

pada Tabel 4.1 di bawah ini:

Tabel 4.1 Hasil pemeriksaan karakteristik serbuk simplisia daun nangka


No Parameter Hasil Pemeriksaan (%)
1 Kadar air 7,96

2 Kadar sari larut air 17,46

3 Kadar sari larutan etanol 18,52

4 Kadar abu total 11,23

5 Kadar abu tidak larut asam 0,60

41
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
4.4 Hasil Pemeriksaan Skrining Serbuk Simplisia

Tabel 4.2 Hasil skrining fitokimia serbuk simplisia daun nangka


No Golongan Senyawa Hasil

1 Alkaloid +
2 Glikosida +
3 Saponin +
4 Flavonoid +
5 Antrkuinon -
6 Tanin -
7 Steroid/ Triterpenoid -

Keterangan ( + ) = Positif, ( - ) = Negatif

Berdasarkan hasil pemeriksaan skrining fitokimia dari simplisia daun

nangka menunjukkan hasil yaitu memiliki kandungan senyawa kimia golongan

alkaloid, glikosida, saponin, flavonoid.

4.5 Hasil Pemeriksaan Sifat Fisik Sabun

Hasil organoleptis sediaan sabun dengan eksfolian simplisia daun nangka

yang dibuat dengan berbagai variasi konsentrasi eksfolian dan blanko memiliki

perbedaan kecerahan warna dari masing - masing sediaan.

Perubahan penampilan pada hari pertama dan keduapuluh delapan hari

pembuatan dapat dijelaskan pada Table 4.3 dan 4.4

Tabel 4.3 Data organoleptis sediaan sabun yang dilihat pada hari 1
Penampilan pada hari 1 pembuatan
Formula
Warna Bau Konsistensi
F0 Putih - Padat
F1 Coklat Essen nangka Padat
F2 Coklat kehitaman Essen nangka Padat
F3 Hitam Essen nangka Padat

42
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Tabel 4.4 Data organoleptis sediaan sabun pada hari ke 28
Penampilan pada hari 28 pembuatan
Formula
Warna Bau Konsistensi
F0 Putih - Padat
F1 Coklat kehijauan Essen nangka Padat
F2 Coklat kehitaman Essen nangka Padat
F3 Hitam Essen nangka Padat

Keterangan : F: Formula, F0: blanko, F1: 3%, F2: 5%, F3: 7%

Berdasarkan hasil yang diperoleh pada Tabel 4.5 menunjukkan bahwa

masing-masing formula memberikan warna yang berbeda-beda sesuai dengan

konsentrasi eksfolian simplisia daun nangka yang ditambahkan kedalam sediaan

sabun.

Sabun yang ditambahkan dengan eksfolian simplisia daun nangka yang

lebih banyak memberikan warna yang lebih pekat (hitam). Hal ini disebabkan

eksfolian simplisia daun nangka yang sudah dilarutkan menghasilkan warna

hitam.

Berdasarkan pengamatan yang dilakukan selama 4 minggu seperti

ditunjukkan pada Tabel 4.3 dan 4.4 bahwa adanya perubahan pada warna sediaan

sabun di hari ke dua puluh delapan yaitu dari coklat menjadi coklat kehijauan. Hal

ini disebabkan karena sabun tidak menunjukkan susunan yang homogen selama

masa penyimpanan sehingga menimbulkan warna yang berubah. Namun tidak

terjadi perubahan pada bau dan konsistensinya selama masa penyimpanan.

4.6 Hasil Pengukuran pH Sabun

Hasil pengukuran pH sabun dengan penambahan konsentrasi eksfolian


simplisia daun nangka yang dilakukan dengan menggunakan pH meter pada

43
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
berbagai konsentrasi, didapat perbedaan ukuran pH yang dapat dilihat pada Tabel
4.5
Tabel 4.5 Data pengukuran pH sabun berdasarkan hari
Nilai pH rata-rata pada hari ke

Formula 0 7 14 21 28

F0 9,9 9,9 9,9 9,9 9,9


F1 9,5 9,5 9,5 9,5 9,6
F2 9,4 9,4 9,4 9,4 9,4
F3 9,3 9,3 9,3 9,3 9,3

Keterangan : F: Formula, F0: blanko, F1: 3%, F2: 5%, F3: 7%

Dilihat dari Tabel 4.5 bahwa terdapat perbedaan ukuran pH yang

dihasilkan dengan variasi konsentrasi eksfolian simplisia daun nangka yang

ditambahkan pada formula sabun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa selama 4

minggu terdapat perubahan pH. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada F1, F2,

dan F3 dengan variasi konsentrasi eksfolian daun nangka 3%, 5% dan 7% pada

hari ke 0 sampai ke 28 menyebabkan pH menurun atau lebih rendah dibandingkan

dengan pH F0 yaitu blanko. Penurunan pH yang dihasilkan dari F0 ke F1 sebesar

4,0 sedangkan dari F1 ke F2 dan F3 penurunannya hanya sebesar 1,0.

Hal ini menunjukkan bahwa semakin banyak konsentrasi eksfolian

simplisia daun nangka yang ditambahkan ke dalam sediaan sabun maka pH

semakin menurun. Tetapi penurunan pH ini masih dalam pH normal untuk kulit

dikarenakan nilai pH larutan sabun padat selalu basa dengan kisaran 9-11

(wasitaatmaja, 1997).

44
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
4.7 Pengukuran ketinggian busa sabun

Tabel 4.6 hasil pengukuran ketinggian busa


Tinggi busa sabun (cm) terhadap menit
Formula
0 (Menit) 5 (Menit) 10 (Menit)
F0 0 cm 5 cm 5 cm
F1 0 cm 9 cm 8 cm
F2 0 cm 10 cm 9.5 cm
F3 0 cm 10,5 cm 10 cm

Keterangan : F: Formula, F0: blanko, F1: 3%, F2: 5%, F3: 7%

Berdasarkan hasil penelitian seperti yang ditunjukkan pada Tabel 4.6

bahwa sabun padat yang memiliki konsentrasi eksfolian simplisia daun nangka

mempunyai busa yang lebih banyak. Hal ini ditunjukkan dari ketinggian busa

pada F3 dengan konsentrasi 7% lebih tinggi busanya pada waktu menit ke 5 dan

menit ke 10 dibanding dengan F0, F1, dan F2 yang masing-masing konsentrasinya

0%, 3%, dan 5%. Hasil ini membuktikan bahwa eksfolian simplisia daun nangka

memiliki kandungan saponin yang dapat mempengaruhi tinggi busa pada sabun.

Menurut Dragon et al (1968), kriteria ketinggian busa yang baik yaitu,

apabila dalam waktu 5 menit diperoleh kisaran ketinggian busa dengan tinggi

lebih dari 9,5 cm. Dilihat dari Tabel 4.6, F3 memperoleh tinggi busa 10,5 cm pada

waktu 5 menit. Hal ini menunjukkan kriteria tinggi busa yang baik.

4.8. Uji hedonik

Pada uji hedonik sediaan sabun padat ESDN dilakukan hanya pada sabun

konsentrasi 7% karena berdasarkan nilai efektivitasnya sediaan ini lebih baik

dibandingkan dengan sediaan sabun ESDN dengan konsentrasi 3%, 5% dan

blanko. Data hasil uji hedonik panelis terhadap indikator fisik sediaan sabun

45
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
ESDN 7% dapat dilihat pada Lampiran 15, halaman 108 dan persentase jumlah

panelis berdasarkan skala penilaian terhadap indikator fisik sediaan dapat dilihat

pada Lampiran 15 halaman 105.

4.9 Hasil uji iritasi terhadap sukarelawan

Berdasarkan hasil uji iritasi sediaan yang dilakukan terhadap 12 orang

sukarelawan dengan uji tempel terbuka tanpa penutup. Sediaan sabun padat yang

sudah dilakukan pengenceran 2% kemudian dioleskan dibelakang daun telinga

sukarelawan dan dibiarkan lebih kurang 24 jam menunjukkan bahwa semua

sukarelawan memberi hasil yang negatif terhadap parameter reaksi yaitu adanya

kulit merah, gatal, dan perkasaran pada kulit. Hal ini menunjukkan bahwa sediaan

sabun padat aman untuk digunaka (Wasitaatmaja, 1997). Hasil uji iritasi

sukarelawan dapat di lihat pada Tabel 4.7.

Tabel 4.7 Hasil uji iritasi sukarelawan

Sukarelawan

Pengamatan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Kemerahan
- - - - - - - - - - - -
Gatal
- - - - - - - - - - - -
pengkasaran kulit
- - - - - - - - - - - -
Keterangan:
(-) : tidak mengiritasi
(+) : kemerahan
(++) : gatal
(+++) : pengkasaran kulit

Dari hasil uji iritasi yang ditunjukkan pada Tabel 4.7 dapat disimpulkan

bahwa sediaan sabun padat yang mengandung eksfolian simplisia daun nangka

yang dibuat aman untuk digunakan ( Wasitaatmaja, 1997).

46
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
4.10 Pengujian efektivitas sabun padat

4.10.1 Kadar air (moisture)

Pengukuran kadar air dilakukan dengan menggunakan alat moisture

checker yang terdapat dalam perangkat skin analyzer Aramo. Hasil pengukuran

dapat dilihat pada Gambar 4.1 dan Tabel 4.8

Tabel 4.8 Data hasil pengukuran kadar air pada kulit punggung tangan sukarelawan

%
Peningkatan
Formula SKR Waktu (Minggu) kadar air
Kondisi Minggu Minggu Minggu Minggu
awal 1 2 3 4
F0 1 29 29 30 31 32 10,34
2 28 29 30 31 32 14,28
3 29 30 30 31 32 11,11
Rata- rata 28,00 29,00 30,00 31,00 32,00 13,32
F1 1 29 30 31 32 34 17,24
2 30 32 33 34 35 16,66
3 30 32 33 34 35 16,66
Rata- rata 29,66 31,66 32,33 33,33 34,66 16,86
F2 1 30 32 34 35 36 20,00
2 29 32 34 35 36 24,13
3 29 32 34 35 37 27,58
Rata- rata 29,33 32,33 34,00 35,00 36,33 23,90
F3 1 28 31 33 35 37 32,14
2 29 34 36 38 39 34,48
3 28 31 33 35 37 32,14
Rata- rata 29,33 32,00 34,00 36,00 37,66 32,92
Keterangan: Dehidrasi: 0-29, Normal: 30-50, Hidrasi: 51-100 (Aramo, 2012)
Formula 0: Blanko (tanpa eksfolian)
Formula 1: Sabun dengan eksfolian simplisia daun nangka 3%
Formula 2: Sabun dengan eksfolian simplisia daun nangka 5%
Formula 3: Sabun dengan eksfolian simplisia daun nangka 7%

Berdasarkan dari hasil pengukuran kadar air dilihat bahwa, kondisi awal

kadar air pada kulit semua kelompok sukarelawan mengalami dehidrasi, tetapi

setelah perawatan menggunakan sabun selama 4 minggu terdapat perbedaan yang

signifikan (p≤0,05) terlihat pada blanko dengan sabun yang mengandung ESDN

47
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
3%, 5% dan 7%. Sediaan sabun yang menghasilkan efek terbesar dalam

meningkatkan kadar air kulit punggung tangan sukarelawan terlihat pada sabun

ESDN 7% (29,0 menjadi 39,0). Sabun yang menghasilkan efek terkecil terlihat

pada sabun blanko (28,0 menjadi 32,0). Hal ini menunjukkan bahwa sabun ESDN

7% yang paling baik dalam meningkatkan kadar air kulit.

Nutrisi dan aktivitas serta lingkungan merupakan faktor yang sangat

mempengaruhi kadar air dalam epidermis dan dermis. Kulit harus mampu

menjaga kadar air untuk mempertahankan fungsinya sebagai kulit yang sehat.

Apabila kadar air menurun secara drastis kulit akan kekurangan nutrisi dan

menyebabkan kulit menjadi kering, kasar, pecah-pecah dan terkelupas (Mitsui,

1997). Tetapi menurut Mulyawan dan Suriana (2013), adanya faktor eksternal

maupun internal seperti iklim, temperatur, kelembaban udara, paparan sinar

matahari, usia dan berbagai penyakit kulit dapat menyebabkan penguapan yang

berlebih pada epidermis kulit. Penguapan yang berlebih akan mengakibatkan

kadar air dalam stratum corneum berkurang hingga 10% sehingga kulit menjadi

kering.

Menurut Prianto (2014), Kelembapan kulit berperan untuk menjaga kadar

air yang berada dalam kulit dan dapat mempertahankan elatisitasnya. Hasil

pengukuran kadar air (moisture) pada kulit punggung tangan sukarelawan dapat

dilihat pada gambar Grafik 4.1

48
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Kadar Air (Moisture)
F0 F1 F2 F3
40
35

% Pemulihan
30
25
20
15
10
5
0
0 1 2 3 4
Lama Pengamatan (Minggu)

Gambar 4.1 Grafik hasil pengukuran kadar air (moisture) pada kulit punggung
tangan sukarelawan.

Keterangan: Formula 0: Blanko (tanpa eksfolian)


Formula 1: Sabun dengan eksfolian simplisia daun nangka 3%
Formula 2: Sabun dengan eksfolian simplisia daun nangka 5%
Formula 3: Sabun dengan eksfolian simplisia daun nangka 7%

Berdasarkan Grafik peningkatan kadar air pada pemakaian sediaan sabun

padat ESDN selama 4 minggu pemakaian pada Gambar 4.1 menunjukkan bahwa

pemakaian sediaan sabun ESDN memberikan efek terhadap kadar air kulit

sukarelawan. Kadar air kulit meningkat setelah penggunaan sediaan sabun ESDN

selama 4 minggu perawatan.

Data selanjutnya dianalisis dengan menggunakan uji non parametric

Kruskal Wallis untuk mengetahui efektivitas formula terhadap kadar air kulit

punggung tangan sukarelawan yang diperoleh nilai (p≤0,05) yaitu adanya

perbedaan yang signifikan antar formula. Data selanjutnya diuji menggunakan

Mann-Whitney untuk mengetahui formula mana yang berbeda. Dari hasil uji

Mann-Whitney dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan peningkatan kadar

air yang signifikan antara F0 dengan F1, F2, dan F3 (nilai p≤0,05). Hasil statistik

dapat dilihat pada Lampiran 10, halaman 85.

49
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
4.10.2 Kehalusan (Evenness)

Pengukuran kehalusan kulit (evenness) dengan menggunakan perangkat

skin analyzer lensa pembesaran 60x dan metode pembacaan normal dengan warna

lampu sensor biru . Hasil pengukuran kehalusan kulit seperti ysng terlihat pada

Tabel 4.9

Tabel 4.9 Data hasil pengukuran kehalusan (evenness) pada kulit punggung
tangan sukarelawan
%
Formula SKR Waktu (Minggu) Pemulihan
Kondisi Minggu Minggu Minggu Minggu
awal 1 2 3 4
F0 1 40 39 38 37 36 10,00
2 38 38 37 36 35 7,89
3 39 39 38 37 36 7,69
Rata- rata 39,00 38,66 37,66 36,66 35,66 8,52
F1 1 40 39 37 35 33 17,50
2 40 39 37 35 34 15,00
3 38 37 35 34 32 15,78
Rata- rata 39,33 38,33 36,33 34,66 33,00 16,09
F2 1 38 36 34 32 30 21,05
2 38 36 34 32 31 18,42
3 38 36 34 33 30 21,05
Rata- rata 40,00 38,00 34,00 32,33 30,33 20,17
F3 1 39 37 35 31 29 25,64
2 39 36 33 31 29 25,64
3 38 35 32 30 28 26,31
Rata- rata 38,66 36,00 33,33 30,66 28,66 25,86

Keterangan: Halus: 0-31, Normal: 32-51, Kasar: 52-100 (Aramo,2012)


Formula 0: Blanko (tanpa eksfolian)
Formula 1: Sabun dengan eksfolian simplisia daun nangka 3%
Formula 2: Sabun dengan eksfolian simplisia daun nangka 5%
Formula 3: Sabun dengan eksfolian simplisia daun nangka 7%

Berdasarkan hasil pengukuran kehalusan menunjukkan bahwa kondisi

awal kulit semua kelompok sukarelawan adalah normal. Pada pemakaian sabun

blanko, ESDN 3% dan 5% selama 4 minggu perawatan kondisi kulit sukarelawan

masih dalam keadaan normal. Namun pada pemakaian sabun ESDN 7% (38,0

50
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
menjadi 28,0) sehingga selama perawatan 4 minggu kondisi kulit sukarelawan

menjadi halus.

Keha lusa n (Even n ess)


F0 F1 F2 F3
45
40
% Pemulihan

35
30
25
20
15
10
5
0
0 1 2 3 4

Lama Pengamatan (Minggu)

Gambar 4.2 Grafik hasil pengukuran kehalusan (Evenness) pada kulit punggung
tangan sukarelawan.

Keterangan: Formula 0: Blanko (tanpa eksfolian)


Formula 1: Sabun dengan eksfolian simplisia daun nangka 3%
Formula 2: Sabun dengan eksfolian simplisia daun nangka 5%
Formula 3: Sabun dengan eksfolian simplisia daun nangka 7%

Berdasarkan grafik pengukuran kehalusan pada pemakaian sediaan sabun

padat ESDN selama 4 minggu pada Gambar 4.2 menunjukkan bahwa pemakaian

sediaan sabun ESDN memberikan efek terhadap kehalusan kulit sukarelawan.

Kehalusan kulit meningkat setelah penggunaan sediaan sabun ESDN selama 4

minggu perawatan.

Data selanjutnya dianalisis dengan menggunakan uji non parametric

Kruskal Wallis. Hasil analisis statistik dari pengukuran kehalusan menunjukkan

adanya perbedaa yang signifikan (p≤0,05) antar formula setelah pemakaian sabun

padat pada minggu ke-4. Data selanjutnya diuji menggunakan Mann-Whitney

untuk mengetahui formula mana yang berbeda. Dari hasil uji Mann-Whitney dapat

51
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
disimpulkan bahwa terdapat perbedaan pengukuran kehalusan yang signifikan

antara F0 dengan F1, F2, dan F3 (nilai p≤0,05). Hasil statistik dapat dilihat pada

Lampiran 10 halaman 88.

4.10.3 Pori (pore)

Pengukuran pori menggunakan perangkat skin analyzer yaitu dengan lensa

60x dengan warna lampu sensor biru. Pada waktu melakukan pengukuran

kehalusan kulit, maka secara otomatis pengukuran pori ikut terbaca. Hasil

pengukuran pori dapat dilihat pada Tabel 4.10.

Tabel 4.10 Data hasil pengukuran pori (pore) pada kulit punggung tangan
sukarelawan
%
Formula SKR Waktu (Minggu) Pemulihan
Kondisi Minggu Minggu Minggu Minggu
awal 1 2 3 4
F0 1 39 38 37 36 35 10,25
2 40 40 39 38 37 7,50
3 40 40 39 38 37 7,50
Rata- rata 40,00 39,66 37,66 37,33 36,33 8,41
F1 1 41 40 38 36 34 17,07
2 40 39 38 36 34 15,00
3 38 38 36 35 33 13,33
Rata- rata 39,66 38,66 37,33 35,66 33,66 15,07
F2 1 40 38 36 34 32 20,00
2 40 38 36 33 31 22,50
3 40 38 36 33 32 20,00
Rata- rata 40,00 38,00 36,00 33,33 31,66 20,83
F3 1 41 38 36 33 30 25,64
2 40 37 34 32 30 25,64
3 39 37 34 32 29 26,31
Rata- rata 40,00 37,33 34,66 32,33 29,66 25,82

Keterangan: Kecil: 0-19, besar: 20-39, sangat besar: 40-100 (Aramo,2012)


Formula 0: Blanko (tanpa eksfolian)
Formula 1: Sabun dengan eksfolian simplisia daun nangka 3%
Formula 2: Sabun dengan eksfolian simplisia daun nangka 5%
Formula 3: Sabun dengan eksfolian simplisia daun nangka 7%

52
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Berdasarkan hasil pengukuran besar pori kulit semua kelompok

sukarelawan pada kondisi awal adalah beberapa besar. Pada pemakaian sabun

blanko, ESDN 3% dan 5% kondisi pori kulit masih beberapa besar. Namun pada

pemakaian sabun ESDN 7% menunujukkan tingkat pemulihan yang lebih baik

(40,0 menjadi 29,0) sehingga selama perawatan 4 minngu tingkat pemulihan pori

sukarelawan menjadi lebih baik.

Menurut Sulastomo (2013), Salah satu ciri kulit yang sehat adalah pori-

pori yang kecil. Pori-pori yang besar menyebabkan kotoran mudah masuk dan

tersumbat sehingga menyebabkan jerawat lebih mudah timbul.

Pori-pori kulit sering kali tampak besar dan umumnya terdapat pada orang

yang memiliki kulit yang lebih terang. Sehingga kulit tampak kusam dan

terkadang terlihat mengelupas (Prianto, 2014).

Pori (Pore)
F0 F1 F2 F3
45
40
% Pemulihan

35
30
25
20
15
10
5
0
0 1 2 3 4
Lama Pengamatan (Minggu)

Gambar 4.3 Grafik hasil pengukuran pori (pore) pada kulit sukarelawan.

Keterangan: Formula 0: Blanko (tanpa eksfolian)


Formula 1: Sabun dengan eksfolian simplisia daun nangka 3%
Formula 2: Sabun dengan eksfolian simplisia daun nangka 5%
Formula 3: Sabun dengan eksfolian simplisia daun nangka 7%

Berdasarkan grafik pengukuran pori sabun padat ESDN selama 4 minggu

pada Gambar 4.3 menunjukkan bahwa pemakaian sediaan sabun ESDN

53
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
memberikan efek terhadap pengecilan pori kulit sukarelawan. Pengecilan pori

meningkat setelah penggunaan sediaan sabun ESDN selama 4 minggu perawatan.

Data selanjutnya dianalisis dengan menggunakan uji non

parametrikKruskal Wallis. Hasil analisis statistik dari pengukuran pori

menunjukkan adanya perbedaa yang signifikan (p≤0,05) antar formula setelah

pemakaian sabun padat pada minggu ke-4. Data selanjutnya diuji menggunakan

Mann-Whitney untuk mengetahui formula mana yang berbeda. Dari hasil uji

Mann-Whitney dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan pengukuran pori

yang signifikan antara F0 dengan F1, F2, dan F3 (nilai p≤0,05). Hasil statistik

dapat dilihat pada Lampiran 10, halaman 91.

4.10.4 Noda (spot)

Pengukuran banyaknya noda menggunakan perangkat skin analyzer lensa

perbesaran 60x dan metode pembacaan polarisasi dengan warna lampu sensor

jingga. Hasil pengukuran banyaknya noda dapat dilihat pada Tabel 4.11.

54
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Tabel 4.11 Data hasil pengukuran Noda (spot) pada kulit punggung tangan
sukarelawan
%
Formula SKR Waktu (Minggu) Pemulihan
Kondisi Minggu Minggu Minggu Minggu
awal 1 2 3 4
F1 1 46 45 44 42 40 13,04
2 47 46 45 43 42 10,63
3 46 46 45 43 42 8,69
Rata- rata 46,66 46,00 44,66 42,66 41,33 10,78
F2 1 45 43 41 39 38 15,55
2 44 42 40 39 38 13,63
3 45 43 41 40 39 13,33
Rata- rata 44,66 42,66 37,33 39,33 38,33 14,17
F3 1 43 42 40 38 37 13,95
2 40 39 37 36 35 12,50
3 43 41 40 37 35 18,60
Rata- rata 42,00 40,66 39,00 37,00 35,66 15,01
F4 1 42 40 38 35 32 23,80
2 40 38 37 35 32 20,00
3 41 39 37 34 33 19,51
Rata- rata 41,00 39,00 37,33 34,66 32,33 21,10

Keterangan: Sedikit noda: 0-19, banyak noda: 20-39, sangat banyak noda: 40-100
(Aramo,2012)
Formula 0: Blanko (tanpa eksfolian)
Formula 1: Sabun dengan eksfolian simplisia daun nangka 3%
Formula 2: Sabun dengan eksfolian simplisia daun nangka 5%
Formula 3: Sabun dengan eksfolian simplisia daun nangka 7%

Berdasarkan hasil pengukuran noda kulit semua sukarelawan pada kondisi

awal adalah banyak. Pada pemakaian sabun blanko dan sabun ESDN 3% kondisi

noda kulit masih beberapa banyak. Namun pada pemakaian sabun ESDN 5% dan

ESDN 7% kondisi noda kulit sudah menunjukkan angka dalam rentang sedang

yaitu (40,0 menjadi 32,0).

Menurut Harahap (2017), secara normal noda terbentuk dikarenakan kulit

yang terpapar sinar matahari akan menghasilkan lebih banyak pigmentasi yang

berfungsi menyaring sinar matahari yang berlebihan. Noda tersebut timbul dalam

bentu bintik hitam atau coklat yang berkelompok.

55
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Noda (Spot)
F0 F1 F2 F3
50
45
40
35
% Pemulihan

30
25
20
15
10
5
0
0 1 2 3 4
Lama Pengamatan (Minggu)

Gambar 4.4 Grafik hasil pengukuran noda (spot) pada kulit punggung
tangan sukarelawan.

Keterangan: Formula 0: Blanko (tanpa eksfolian)


Formula 1: Sabun dengan eksfolian simplisia daun nangka 3%
Formula 2: Sabun dengan eksfolian simplisia daun nangka 5%
Formula 3: Sabun dengan eksfolian simplisia daun nangka 7%

Berdasarkan Grafik pengukuran noda pada pemakaian sediaan sabun padat

ESDN selama 4 minggu pada Gambar 4.4 menunjukkan bahwa pemakaian

sediaan sabun ESDN mampu mengurangi noda kulit sukarelawan.

Data selanjutnya dianalisis dengan menggunakan uji non

parametrikKruskal Wallis. Hasil analisis statistik dari pengukuran noda

menunjukkan adanya perbedaa yang signifikan (p≤0,05) antar formula setelah

pemakaian sabun padatpada minggu ke-4. Data selanjutnya diuji menggunakan

Mann-Whitney untuk mengetahui formula mana yang berbeda. Dari hasil uji

Mann-Whitney dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan pengukuran noda

yang signifikan antara F0 dengan F1, F2, dan F3 (nilai p≤0,05). Hasil statistik

dapat dilihat pada Lampiran 10, halaman 95.

56
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
4.10.5 Keriput (wrinkle)

Pengukuran keriput dengan menggunakan perangkat skin analyzer lensa

perbesaran 10x dan metode pembacaan normal dengan warna lampu sensor biru.

Hasil pengukuran keriput seperti yang terlihat pada Tabel 4.12 dan Gambar 4.5

menunjukkan hasil kondisi awal kulit semua berkeriput.

Proses penuaan yang gejalanya terlihat jelas pada kulit seperti timbulnya

keriput, kelembutan kulit berkurang, menurunnya elastisitas kulit, tekstur kulit

menjadi kasar, hiperpigmentasi, serta kulit berwarna gelap. Keriput yang timbul

dapat diartikan secara sederhana sebagai penyebab menurunnya jumlah kolagen

dermis (Mulyawan dan Suriana, 2013).

Tabel 4.12 Data hasil pengukuran Keriput (wrinkle) pada kulit punggung tangan
sukarelawan
%
Formula SKR Waktu (Minggu) Pemulihan
Kondisi Minggu Minggu Minggu Minggu
awal 1 2 3 4
F0 1 28 28 27 26 24 14,28
2 29 29 28 27 24 17,24
3 30 29 28 27 25 16,66
Rata- rata 29,00 28,66 27,66 26,66 24,33 16,06
F1 1 27 26 25 24 22 18,51
2 28 28 26 24 22 21,42
3 28 28 26 25 23 17,85
Rata- rata 27,66 27,33 25,66 24,33 22,33 19,26
F2 1 31 28 26 23 18 41,93
2 29 28 26 22 19 34,48
3 30 25 24 21 20 36,66
Rata- rata 30,00 27,00 25,33 22,00 19,00 37,69
F3 1 29 27 23 19 15 48,27
2 28 26 20 18 15 46,42
3 28 27 21 19 16 42,85
Rata- rata 28,33 26,66 21,33 18,66 15,33 45,84

57
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Keterangan: Tidak berkeriput: 0-19, berkeriput: 20-52, berkeriput parah: 53-100
(Aramo, 2012)
Formula 0: Blanko (tanpa eksfolian)
Formula 1: Sabun dengan eksfolian simplisia daun nangka 3%
Formula 2: Sabun dengan eksfolian simplisia daun nangka 5%
Formula 3: Sabun dengan eksfolian simplisia daun nangka 7%

Keriput (Wrinkle)
F0 F1 F2 F3
35
30
% Pemulihan

25
20
15
10
5
0
0 1 2 3 4

Lama Pengamatan (Minggu)

Grafik 4.5 Gafik hasil pengukuran keriput (wrinkle) pada kulit punggung tangan
sukarelawan

Keterangan: Formula 0: Blanko (tanpa eksfolian)


Formula 1: Sabun dengan eksfolian simplisia daun nangka 3%
Formula 2: Sabun dengan eksfolian simplisia daun nangka 5%
Formula 3: Sabun dengan eksfolian simplisia daun nangka 7%

Berdasarkan grafik pengukuran keriput pada pemakaian sediaan sabun

padat ESDN selama 4 minggu pada Gambar 4.5 menunjukkan bahwa pemakaian

sediaan sabun ESDN mampu mengurangi keriput kulit sukarelawan.

Data selanjutnya dianalisis dengan menggunakan uji non parametric

Kruskal Wallis. Hasil analisis statistik dari pengukuran keriput menunjukkan

adanya perbedaa yang signifikan (p≤0,05) antar formula setelah pemakaian sabun

padat pada minggu ke-4. Data selanjutnya di uji menggunakan Mann-Whitney

untuk mengetahui formula mana yang berbeda. Dari hasil uji Mann-Whitney dapat

disimpulkan bahwa terdapat perbedaan pengukuran keriput yang signifikan antara

58
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
F0 dengan F1, F2, dan F3 (nilai p≤0,05). Hasil statistik dapat dilihat pada

Lampiran 10, halaman 98.

4.11 Hasil Uji Kualitas Sabun padat

Sabun kemudian diuji kuliatas berdasarkan Standar Nasional Indonesia

(SNI). Uji kualitas SNI meliputi kadar air, total lemak, bahan tak larut dalam

etanol, alkali bebas dan lemak tak tersabunkan

Sabun di uji berdasarkan SNI 2016 yang dilakukan hanya pada sabun

padat yang mengandung eksfolian simplisia daun nangka dengan konsentrasi 7%.

4.11.1 Kadar air

Penentuan kadar air ini dilakukan untuk mengetahui banyaknya kadar air

dalam sabun. Banyaknya air yang ditambahkan pada produk sabun akan

mempengaruhi kelarutan sabun dalam air saat digunakan. Semakin banyak air

yang terkandung dalam sabun maka sabun akan semakin mudah menyusut atau

habis saat digunakan (Rohdiana, 2016).

Tabel 4.13 Data hasil pengukuran kadar air


No b1 b2 Kadar air %
1 38,4143 36,8762 4,6031

Keterangan:
bI : bobot uji dan cawan petri sebelum pemansan, (g)
b2 : bobot contoh uji dan cawan petri setelah pemanasan, (g)

Pada Tabel dapat dilihat bahwa kadar air sabun padat ESDN menunjukkan

nilai 4,6031%. Nilai kadar air sabun padat diperoleh berada dalam range menurut

SNI (maksimal 15%). Hal ini menunjukkan bahwa kadar air sabun padat

memenuhi Standar Nasioanl Indonesia.

59
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
4.11.2 Total lemak

Penentuan total lemak dilakukan untuk mengetahui total lemak dari sabun

padat.

Tabel 4.14 Data hasil pengukuran total lemak


No Bo b1 V(ml) N Total lemak%

1 5 3,8134 5 1 77,88

Keterangan:
Total lemak dalam satuan % fraksi massa
bo : bobot contoh uji, g
b1 : bobot sabun kering, g
V : volume KOH alkoholis yang digunakan untuk titrasi, mL
N : normalitas larutan standar KOH alkoholis
Hasil pemeriksaan sediaan terhadap total lemak diperoleh sebesar 77,88%.

Nilai total lemak yang diperoleh lebih besar dari batas minimal total lemak

menurut SNI (minimal 65%), sabun padat yang dihasilkan telah memenuhi syarat

total lemak pada sabun. Asam lemak memiliki kemampuan terbatas untuk larut

dalam air. Hal ini akan membuat sabun menjadi lebih tahan lama setelah

digunakan (Hambali, dkk., 2002).

4.11.3 Asam lemak bebas/Alkali bebas

Hasil pemeriksaan sediaan terhadap asam lemak bebas adalah negatif,

artinya sabun padat yang dihasilkan tidak kelebihan asam lemak, melainkan

memiliki basa yang berlebihan. Hal ini juga dapat dilihat pada saat melakukan

pemeriksaan awal, dimana sabun yang berubah warna menjadi merah setelah di

tetesi phenolphthalein menandakan bahwa sabun tersebut kelebihan basa, maka

dilakukan pengujian alkali bebas. Namun apabila tidak terjadi perubahan warna

merah setelah ditetesi phenolphthalein berarti sabun kelebihan asam maka

dilakukan pengujian asam lemak bebas (BSN, 2016).

60
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Tabel 4.15 Data hasil pengukuran alkali bebas
No V(ml) N B(mg) Alkali bebas%
1 0,5 0,1N 2500 0,08%

Keterangan :
Alkali bebas dalam satuan % fraksi massa
V : volume HCl yang digunakan, mL
N : normalitas HCl yang digunakan
B : bobot contoh uji, mg
40 : berat ekuivalen NaOH

Kadar alkali bebas yang diperoleh dari hasil pengujian adalah 0,08%.

Kadar alkali bebas yang diperoleh masih memenuhi persyaratan SNI (maksimal

0,1%).

Penambahan NaOH dengan konsentrasi tinggi akan bereaksi dengan

minyak sehingga mengurangi minyak dan menambah jumlah sabun yang

terbentuk (Ketaren, 2008). Apabila penambahan NaOH terlalu sedikit maka sabun

yang dihasilkan akan mengandung asam lemak bebas tinggi yang mengganggu

proses emulsi sabun dan kotoran (Wijana, dkk., 2005).

4.11.4 Bahan tidak larut dalam etanol

Pengujian bertujuan untuk mengetahui bagian yang tak larut dalam

alkohol digunakan untuk mengetahui seberapa besar bagian dari sabun yang tidak

larut dalam alkohol. Semakin banyak bagian yang tidak larut dalam alkohol maka

semakin sedikit stok sabun yang terdapat dalam sabun.

Tabel 4.16 Data hasil pengukuran bahan tidak larut dalam etanol
No Bo b1 b2 Hasil %
1. 0,454 2,5 0,512 2,32

61
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Keterangan :
Bahan tak larut dalam etanol dalam satuan % fraksi massa
bo : bobot kertas saring atau cawan gooch kosong, g
b1 : bobot contoh uji, g
b2 : bobot kertas saring atau cawan gooch kosong dan residu, g

Hasil pemeriksaan sediaan terhadap bahan tidak larut dalam etanol

diperoleh sebesar 2,32%. Nilai bahan yang tidak larut dalam etanol yang

diperoleh masih memenuhi syarat bahan tidak larut dalam etanol menurut SNI

(maksimal 5%).

4.11.5 Lemak yang tidak tersabunkan

Kadar fraksi tak tersabunkan merupakan jumlah komponen yang tidak

tersabunkan dalam pembuatan sabun. Keberadaan fraksi tak tersabunkan dapat

menurunkan kemampuan detergensi (membersihkan) sabun (Spitz, 1996).

Menurut Ketaren (1986), contoh senyawa yang dapat larut dalam minyak tetapi

tidak dapat disabunkan dengan soda alkali yaitu sterol, zat warna dan

hidrokarbon.

Tabel 4.17 Data hasil pengukuran lemak tidak tersabunkan


No b0 (g) b1 b2 V (ml) M Hasil %
1. 5 0,305 0,189 7 198,68 0,46

Keterangan :
Lemak tidak tersabunkan dalam satuan % fraksi massa
b0 : bobot contoh uji, g
b1 : bobot hasil ekstrak pertama, g
b2 : bobot hasil ekstrak kedua, g
M : rata-rata relatif bobot molar dari asam lemak dalam sabun
V : volume larutan standar KOH 0,1 N yang digunakan dalam penentuan
keasaman padaekstraksi pertama, mL
Hasil pemeriksaan sediaan terhadap lemak yang tidak tersabunkan

diperoleh sebesar 0,46%. Nilai lemak yang tidak tersabunkan yang diperoleh

62
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
masih memenuhi syarat lemak yang tidak tersabunkan menurut SNI (maksimal

0,5%).

4.11.6 Kadar Klorida

Kadar klorida dilakukan pada penelitian untuk melihat berapa % kadar

klorida yang terkandung di dalam sabun padat.

Natrium dalam bentuk logam merupakan wujud penting dalam pembuatan

ester dan dalam perkilangan senyawa organik. Logam alkali ini adalah wujud

dalam natrium klorida (NaCl) dikarenakan sabun pada umumnya merupakan

garam natrium dengan beberapa jenis asam lemak.

Tabel 4.18 Data hasil pengukuran kadar klorida


No V N Ekuivalen NaCl B Hasil %
1. 0,07 0,1 5,85 5g 0,8

Keterangan:
Kadar klorida adalah % fraksi massa
V : volume larutan standar AgNO3 yang dipakai untuk titrasi, ml
N : normalitas larutan standar AgNO3
5,85 : bobot ekuivalen NaCl
b : bobot contoh uji yang digunakan

Hasil pemeriksaan sediaan terhadap kadar klorida diperoleh sebesar 0,8%.

Nilai kadar klorida yang diperoleh masih memenuhi syarat kadar klorida menurut

SNI (maksimal 1,0%).

63
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Tabel 4.18 Uji kualitas sabun berdasarkan SNI
No Analisis SNI % Hasil %

1. Kadar Air Maks 15,0 4,6

2. Total Lemak Min 65,0 77,88

3. Alkali Bebas (dihitung sebagai Maks 0,1 0,08


NaOH)
4. Bahan Tidak Larut dalam Etanol Maks 5,0 2,32

5. Lemak Tidak Tersabunkan Maks 0,5 0,46

6. Kadar Klorida Maks 1,0 0,8

Berdasarkan analisa kualitas sabun menurut SNI diperoleh bahwa sabun

yang mengandung eksfolian simplisia daun nangka 7% mempunyai kualitas mutu

sabun berdasarkan SNI.

64
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5. 1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, dapat disimpulkan bahwa:

1. Simplisia daun nangka dapat diformulasikam dalam sediaan sabun padat

sebagai eksfolian yang berkhasiat untuk perawatan kulit tubuh.

2. Sabun padat yang mengandung ESDN 7% lebih baik memperbaiki kondisi

kulit punggung tangan sukarelawan dari pada sabun blanko, ESDN 3% dan

ESDN 5% selama 4 minggu perawatan. Konsentrasi 7% mampu

meningkatkan kadar air dari 29,0 menjadi 38,0; kehalusan kulit dari 38,0

menjadi 28,0; mengecilkan pori dari 41,0 menjadi 30,0; mengurangi noda

dari 40,0 menjadi 32,0 dan mengurangi keriput dari 28,0 menjadi 16,0.

3. Sabun padat yang mengandung ESDN 7% sudah memenuhi Standar

Nasional Indonesia yaitu kadar air 5%, total lemak 77%, bahan tidak larut

dalam etanol 2,32%, alkali bebas 0,08%, lemak tidak tersabunkan 0,46%

dan kadar klorida 0,8%.

5.2 Saran

Diharapkan pada penelitian selanjutnya untuk dapat memformulasikan

simplisia daun nangka dalam sediaan kosmetik lain seperti krim body scrub

sebagai eksfolian

65
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
DAFTAR PUSTAKA

Amelia, T., Herdiana, E., Sari, T.S. 2010. Pembuatan VCO Dengan Metode
Enzimatis Dan Konversinya Menjadi Sabun Padat. Jurnal Teknik Kimia,
Vol. 17 (3): Halaman 1-2.
Aramo, 2012. Skin and Hair Diagnosis System. Sungnam: Aram Huvis Korea Ltd.
Halaman 1-10.
Artha, A.V., Warnida, H., Sukawaty, Y. 2016. Formulasi Sediaan Sabun Mandi
Padat Estrak Etanol Umbi Bawang Tiwai. Media Farmasi vol. 13(1):
Halaman 15-17.
Assani, S. 1994. Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
Badan Standardisasi Nasional, 2016, Standar Mutu Sabun Mandi Padat, SNI 06-
3532-2016, Departemen Perindustrian Nasional, Jakarta.
Badan Standardisasi Nasional, 2008, Standar Mutu VCO SNI 06-7381-2008,
Departemen Perindustrian Nasional, Jakarta.
Baumann, L. 2009. Cosmetic Dermatology. Second Edition. New York: The
McGraw Hill Companies. Halaman 3-6, 83-91, 273-277.
Dalimartha, S. 2008. Atlas Tumbuhan Obat Indonesia Jilid 5. Jakarta. Pustaka
Bunda. Halaman 118-119.
Ditjen POM. 1979. Farmakope Indonesia. Edisi Ketiga. Jakarta: Departemen
Kesehatan RI. Halaman 9, 33.
Ditjen POM. 2015. Persyaratan Teknis Kosmetika. Jakarta: Departemen
Kesehatan RI. Halaman 3.
Depkes, RI. 1995. Materia Medika Indonesia. Edisi Keempat. Jakarta:
Departeman Kesehatan RI. Halaman 323-325.
Depkes, RI. 2009. Farmakope Herbal. Edisi pertama. Jakarta: Departemen
Kesehatan RI. Halaman 5.
Dragon, S.A., Daley. P.M., Maso, H.F., and Conrad, L.I. (1968). Studies on
Lanolin Derivatives in Shampoo Systems, J. Soc. Chemis’s. Halaman 20.
Ernita. 2001. Pemanfaatan Lemak Kambing Sebagai Bahan Dasar Pembuatan
Sabun. Skripsi. Medan: Jurusan Farmasi. FMIPA USU.
Fauziati. 2014. Pemanfaatan Serbuk Arang Cangkang Sawit Sebagai Scrub Pada
Sabun Mandi. Jurnal Riset Teknologi. 8 (16):132.
Fessenden, R.J., Fessenden, J.S. 1992. Kimia Organik. Jilid 2. Edisi ke-3. Jakarta:
Penerbit Erlangga, Halaman 312.
Giorgio, P. 2000. Flavonoid as Antioxidant. Journal National Product. 63.
Halaman 1035-1045.
Hambali, E., Bunasor, T.K., Suryani, A., dan Kusumah, G.A. 2002. Aplikasi
Diaetanolamida dari Asam Laurat Minyak Inti Sawit Pada Pembuatan
Sabun Transparan, Jurnal Teknologi Industri Pertanian, 15(2).
Hambali, E., Suryani, A., dan Rifai, M. 2005. Membuat Sabun Transparan Untuk
Gift dan Kecantikan, Penebar Swadaya, Jakarta.
Harbone, J.B 1987. Metode Fitokimia, Penuntun Cara Modern Menganalisa
Tumbuhan. Terjemahan Kokasih Padmawinata. Edisi II. Bandung: ITB
Press. Halaman 35.
Kalangi, Sonny. J. R. 2013. Histofisiologi Kulit. Jurnal Biomedik. 5(30) : 17.

66
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Ken, T.K. 2008. Kajian Proses Pembuatan Sabun Scrub Menggunakan Serat
Oyong (Luffa acutangula). Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut
Pertanian Bogor. Bogor
Ketaren. 1986. Penghantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan, 1stEd, 30-60.
Universitas Indonesia, Jakarta.
Mitsui, T. 1997. New Cosmetics Science. Edisi Pertama. Asterdam: Elsevier
Science. Halaman 354-355.
Mulyawan, D., dan Suriana, N. 2013. A-Z Tentang Kosmetik. Jakarta: Elex Media
Komputindo. Halaman 16-17.
Nasution, W.S. (2018). Pemanfaatan Abu Kulit Buah Kelapa Sebagai Sumber
Alkali (Basa) Alami Pada Pembuatan Sabun. Skripsi. Fakultas Farmasi.
Universitas Sumatra Utara. Medan.
Noormindhawati, L. 2013. Melawan Penuaan Dini. Cetakan Pertama. Jakarta: PT
Elex Media Komputindo. Halaman 74-75.
Pearce, E.C. 2011. Anatomi dan Fisiologi Untuk Paramedis. Jakarta: Penerbit
PT Gramedia Pustaka Umum. Halaman 290.
Prakash, Om., K., Rajesh., M., Anurag., and G., Rajiv. 2009. Artocarpus
heterophyllus Jackfruit: An overview. India: Review Article Vol.3 Issue 7.
Halaman 353-358.
Prianto, J. 2014. Cantik: Panduan Lengkap Merawat Kulit dan Wajah. PT.
Gramedia Pustaka Utama. Halaman 117-119, 129-130, 146-147.
Rawlins, E.A. 2003. Bentley’s Textbook of Pharmaceutics. 18th Edition. London:
Bailierre Tindall. Halaman 22,235.
Rizka, R, 2017. Formulasi Sabun Padat Kaolin Penyuci Najis Mughalazah
Dengan Variasi Konsentrasi Minyak Kelapa Dan Asam Stearat. Skripsi.
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan. UIN Syarif Hidayatullah.
Jakarta.
Rohdiana, D., Fardani, L.C., Widyasanti, A. 2016. Pembuatan sabun padat
transparant menggunakan minyak kelapa sawit (Palm oil) dengan
penambahan bahan aktif ekstrak the putih. Lampung: jurnal teknik
pertanian Vol.5, No.3. Halaman 127.
Setyoningrum, E.N.M. 2010. Optimasi Formula Sabun Transparan Dengan Fase
Minyak Virgin Coconut Oil Dan Surfaktan Coco Amidopropyl Betaine:
Aplikasi Desain Faktorial. Skripsi. Fakultas Farmasi. Universitas Sanata
Dharma. Yogyakarta. Halaman 9.
Spitz, L. 1996. Soap and Detergen a Theorical and Practical Review. AOCS
Press, Champaign-illionis: Halaman 2.
Sulastomo, E. 2013. Kulit Cantik dan Sehat. Jakarta: Kompas. Halaman 177.
Tranggono, R.I., dan Latifah, F. (2007). Buku Pegangan Ilmu Pengetahuan
Kosmetik. Jakarta: Penerbit PT.Gramedia Pustaka Utama. Halaman: 76-77.
Wasitaatmaja, S.M. 1997. Penuntun Ilmu Kosmetik Medik. Jakarta: UI-Press.
Halaman 58.
Wijana, S., Arif, H., dan Nur, H. 2005. Teknologi pangan: Mengolah Minyak
Goreng Bekas. Penerbit Trubus Agrisarana, Surabaya.

67
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Lampiran 1. Hasil identifikasi daun nangka

68
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Lampiran 2. Surat persetujuan komisi etik

69
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Lampiran 3. Gambar tanaman nangka dan gambar makroskopik daun nangka

Keterangan:
A. Tanaman nangka
B. Daun nangka

70
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
lampiran 3 (Lanjutan)

E
Keterangan :
C. Daun Nangka Segar
D. Sortasi kering daun nangka
E. Serbuk simplisia daun nangka setelah menggunakan ayakan mesh 80

71
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Lampiran 4. Bagan kerja pembuatan serbuk simplisia dan karakterisasi simplisia
daun nangka

Daun Nangka

Karakterisasi simplisia:

Pemeriksaan makroskopik

Dicuci hingga bersih

Ditiriskan

Dipisahkan dari tangkai dan


ditimbang sebagai berat bersih
(3 kg)

Dikeringkan dalam lemari


pengering para temperatur
±400C

Diserbukkan

Ditimbang sebagai berat


kering

Serbuk simplisia
500 mg

Karakterisasi simplisia
a. Penetapan kadar air
b. Penetapan kadar sari larut etanol
c. Penetapan kadar sari larut air
d. Penetapan kadar abu total
e. Penetapan kadar abu tidak larut asam

72
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Lampiran 5. Bagan pembuatan formula sabun

Minyak Vco (25g) & Asam stearat (8g)


dipanaskan T= 60-70ₒC

Pencampuran 1 T= 60-70ₒC
(Propilen glikol 15g & NaCl 2 g)

Pencampuran 2 T= 60-70ₒC
(Larutan NaOH)

Stok sabun

Diturunkan suhu sampai 55ₒC


(+ Etanol 96%)

Dipanaskan kembali campuran selama 30 menit +Asam


sambil diaduk sesekali sitrat (5g)
+Gliserin
(15g)
Pencampuran 3 T= 60-70ₒC +SLS (2g)
Simplisia +TEA
daun (5tts)
Pencampuran 4 T= 50ₒC
nangka +Parfum
(%)

Pencetakan

Sabun Padat
ESDN

73
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Lampiran 6. Gambar alat dan bahan

A B

Keterangan:
A. Neraca Analitik (Dickson)
B. Skin Analyzer (Aramo)
C. Moisture Checker (Aramo)

74
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Lampiran 7. Perhitungan Pemeriksaan Karakterisasi Simplisia Daun Nangka

1. Penentuan Kadar Air


volume air (ml)
% Kadar air simplisia = berat sampel (g)x 100%

No Berat Sampel (g) Volume Awal (ml) Volume Akhir (ml)


1. 5,0011 2,0 2,4
2. 5,0013 2,4 2,7
3. 5,0010 2,7 3,2

, – ,0
1. Kadar air = x 100% = 7,99%
5,005
, – ,
2. Kadar air = x 100% = 5,99%
5,00
, – ,
3. Kadar air = x 100% = 9,99%
5,00 0
,99 5,99 9,99
% Rata- rata kadar air = = 7,99%
2. Penentuan Kadar Abu Total
berat abu (g)
% Kadar abu total = x100%
berat simplisia (g)

Berat Berat
Berat Berat
No Krus porselen kosong Krus porselen +
Sampel (g) Abu (g)
(g) Abu (g)
1. 2,0031 41,8241 42,0442 0,2201
2. 2,0024 42,0180 42,2501 0,2321
3. 2,0019 39,1082 39,3310 0,2228

0, 0
1. Kadar abu total = x 100% = 10,98%
,00
0,
2. Kadar abu total = x 100% = 11,59%
,00
0,
3. Kadar abu total = x 100% = 11,12%
,00 9
0,9 ,59 ,
% Rata- rata abu total = = 11,23%

3. Penentuan Kadar Abu Tidak Larut Asam


berat abu (g)
% Kadar abu tidak larut dalam asam = x 100%
berat simplisia (g)

75
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Lampiran 7. (Lanjutan)

Berat
Berat Sampel Berat Krus Berat
No Krus porselen
(g) porselen +Abu (g) Abu (g)
kosong (g)
1. 2,0031 41,8241 41,8442 0,0201
2. 2,0024 42,0180 42,0257 0,0095
3. 2,0019 39,1082 39,1154 0,0072

0,0 0
1. Kadar abu tidak larut asam = x 100% = 1,00%
,00

0,0095
2. Kadar abu tidak larut asam = x 100% = 0,47%
,00

0,00
3. Kadar abu tidak larut asam = x 100% = 0,35%
,00 9

,00 0, 0, 5
% Rata- rata tidak larut asam = = 0,60%

4. Penentuan Kadar Sari Larut Air

berat sari (g) 00


% Kadar sari larut dalam air = berat sampel (g) x x100%
0

Berat Sampel Berat Berat Berat


No
(g) Cawan kosong (g) Cawan +Sari (g) Sari (g)
1. 5,0010 48,6123 48,7802 0,1679
2. 5,0012 49,7150 49,8731 0,1626
3. 5,0015 60,2873 60,4810 0,1937

0, 9 00
1. Kadar sari larut air = 5,00 0
x 0
x100% = 16,78%

0, 00
2. Kadar sari larut air = x x100% = 16,25%
5,00 0

0, 9 00
3. Kadar sari larut air = x x 100% = 19,36%
5,00 5 0

, , 5 9,
% Rata- rata sari larut air = = 17,46%

5. Penentuan Kadar Sari Larut Etanol


berat sari (g) 00
% Kadar sari larut dalam etanol = berat sampel (g) x x100%
0

76
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Lampiran 7. (Lanjutan)

Berat Sampel Berat Berat Berat


No
(g) Cawan kosong (g) Cawan +Sari (g) Sari (g)
1. 5,0011 62,4775 62,6563 0,1788
2. 5,0013 64,6402 64,8331 0,1929
3. 5,0009 57,8064 57,9906 0,1842

0, 00
1. Kadar sari larut etanol = 5,00
x 0
x 100% = 17,87%

0, 9 9 00
2. Kadar sari larut etanol = x x 100% = 19,28%
5,00 0

0, 00
3. Kadar sari larut etanol = x x 100% = 18,41%
5,0009 0

% Rata- rata sari larut etanol = = 18,52%

77
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Lampiran 8. Perhitungan penentuan syarat mutu sabun sediaan sabun padat yang
mengandung eksfolian simplisia daun nangka 7%
A. Perhitungan penentuan syarat mutu sabun sediaan sabun padat terhadap
kadar air

b1  b2
Kadarair  x 100%
b1

38,4143  36,8762
Kadar air  x 100%
33,4141
Kadar air  4,6031

B. Perhitungan penentuan syarat mutu sabun sediaan sabun padat terhadap


total lemak

Total lemak  b1  (V x N x 0,038) x


100
b0

Total lemak  3,8134  (0,5ml x 1N x 0,038) x


100
5
Total lemak  3,8134  0,019x 20
Total lemak  77,88

C. Perhitungan penentuan syarat mutu sabun sediaan sabun padat terhadap


bahan tidak larut dalam etanol
b2  b0
Bahan tak larut dalam etanol  x 100
b1

0,512  0,454
Bahan tak larut dalam etanol  x 100
2,5
bahan tak larut dalam etanol  2,32

D. Perhitungan penentuan syarat mutu sabun sediaan sabun padat terhadap


alkali bebas

40 x V x N
Akali bebas  x 100
b

78
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Lampiran 8. (Lanjutan)

40 x 0,5ml x 0,1N
Akali bebas  x 100
2500mg
Alkali bebas  0,08

E. Perhitungan penentuan syarat mutu sabun sediaan sabun padat terhadap


Lemak tidak tersabunkan

 V xM  100
Lemak tidak tersabunkan   b1   b2  x
 10000  b0

 7 x 198,68  100
Lemak tidak tersabunkan   0,305   0,189  x
 10000  5g
Lemak tidak tersabunkan  0,305  0,139  0,189x 20

Lemak tidak tersabunkan  0,46

D. Perhitungan penentuan syarat mutu sabun sediaan sabun padat terhadap


kadar klorida

79
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Lampiran 9. Salah satu contoh hasil uji efektivitas sabun padat pada kulit
punggung tangan sukarelawan

Hasil pengukuran Kadar air (Moisture) pada kulit punggung tangan sukarelawan

A B

C D

E
Keterangan:
A. Kondisi awal
B. Pemulihan (Minggu 1)
C. Pemulihan (Minggu 2)
D. Pemulihan (Minggu 3)
E. Pemulihan (Minggu 4)

80
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Lampiran 9. (Lanjutan)

Hasil pengukuran Kehalusan (Evenness) pada punggung tangan sukarelawan

A B

C D

Keterangan:
A. Kondisi awal
B. Pemulihan (Minggu 1)
C. Pemulihan (Minggu 2)
D. Pemulihan (Minggu 3)
E. Pemulihan (Minggu 4)

81
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Lampiran 9. (Lanjutan)

Hasil pengukuran banyak Pori (pore) pada kulit punggung tangan sukarelawan

A B

C D

E
Keterangan:
A. Kondisi awal
B. Pemulihan (Minggu 1)
C. Pemulihan (Minggu 2)
D. Pemulihan (Minggu 3)
E. Pemulihan (Minggu 4)

82
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Lampiran 9. (Lanjutan)

Hasil pengukuran banyak Noda (spot) pada kulit punggung tangan sukarelawan

A B

C D

E
Keterangan:
A. Kondisi awal
B. Pemulihan (Minggu 1)
C. Pemulihan (Minggu 2)
D. Pemulihan (Minggu 3)
E. Pemulihan (Minggu 4)

83
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Lampiran 9. (Lanjutan)

Hasil pengukuran banyak Keriput (Wrinkle) pada kulit punggung tangan


sukarelawan

A B

C D

E
Keterangan :
A. Kondisi awal
B. Pemulihan (Minggu 1)
C. Pemulihan (Minggu 2)
D. Pemulihan (Minggu 3)
E. Pemulihan (Minggu 4)

84
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Lampiran 10. Data hasil uji statistik

 Kadar air( Moisture )


- Uji Normalitas
Tests of Normalityb,c,d,e,f
Formu Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
la Statistic df Sig. Statistic df Sig.
Minggu_0 F0 .385 3 . .750 3 .000
F1 .385 3 . .750 3 .000
F2 .385 3 . .750 3 .000
F3 .385 3 . .750 3 .000
Minggu_1 F0 .385 3 . .750 3 .000
F1 .385 3 . .750 3 .000
F2 .385 3 . .750 3 .000
F3 .385 3 . .750 3 .000
Minggu_2 F2 .385 3 . .750 3 .000
F3 .385 3 . .750 3 .000
Minggu_3 F2 .385 3 . .750 3 .000
F3 .385 3 . .750 3 .000
Minggu_4 F1 .385 3 . .750 3 .000
F2 .385 3 . .750 3 .000
F3 .175 3 . 1.000 3 1.000
a. Lilliefors Significance Correction
b. Minggu_2 is constant when Formula = F1. It has been omitted.
c. Minggu_2 is constant when Formula = F3. It has been omitted.
d. Minggu_3 is constant when Formula = F1. It has been omitted.
e. Minggu_3 is constant when Formula = F3. It has been omitted.
f. Minggu_4 is constant when Formula = F1. It has been omitted.

- Kruskal wallis
Minggu_0 Minggu_1 Minggu_2 Minggu_3 Minggu_4
Chi-Square 6.111 6.836 9.002 10.368 10.422
Df 3 3 3 3 3
Asymp. Sig. .106 .077 .029 .016 .015

85
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
- Uji Mann-Whitney
F0 dengan F1
Test Statisticsb
Minggu_0 Minggu_1 Minggu_2 Minggu_3 Minggu_4
Mann-Whitney U 1.000 .500 .000 .000 .000
Wilcoxon W 7.000 6.500 6.000 6.000 6.000
Z -1.650 -1.826 -2.121 -2.121 -2.121
Asymp. Sig. (2-tailed) .099 .068 .034 .034 .034
Exact Sig. [2*(1-tailed .200a .100a .100a .100a .100a
Sig.)]
a. Not corrected for ties.
b. Grouping Variable: Formula

F0 dengan F2
Test Statisticsb
Minggu_0 Minggu_1 Minggu_2 Minggu_3 Minggu_4
Mann-Whitney U 2.000 .000 .000 .000 .000
Wilcoxon W 8.000 6.000 6.000 6.000 6.000
Z -1.291 -2.023 -2.236 -2.236 -2.121
Asymp. Sig. (2-tailed) .197 .043 .025 .025 .034
Exact Sig. [2*(1-tailed .400a .100a .100a .100a .100a
Sig.)]
a. Not corrected for ties.
b. Grouping Variable: Formula

F0 dengan F3
Test Statisticsb
Minggu_0 Minggu_1 Minggu_2 Minggu_3 Minggu_4
Mann-Whitney U 3.000 .000 .000 .000 .000
Wilcoxon W 9.000 6.000 6.000 6.000 6.000
Z -.745 -2.023 -2.121 -2.121 -2.087
Asymp. Sig. (2-tailed) .456 .043 .034 .034 .037
Exact Sig. [2*(1-tailed .700a .100a .100a .100a .100a
Sig.)]
a. Not corrected for ties.
b. Grouping Variable: Formula

86
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
F1 dengan F2
Test Statisticsb
Minggu_0 Minggu_1 Minggu_2 Minggu_3 Minggu_4
Mann-Whitney U 3.000 2.000 .000 .000 .000
Wilcoxon W 9.000 8.000 6.000 6.000 6.000
Z -.745 -1.291 -2.121 -2.121 -2.023
Asymp. Sig. (2-tailed) .456 .197 .034 .034 .043
Exact Sig. [2*(1-tailed .700a .400a .100a .100a .100a
Sig.)]
a. Not corrected for ties.
b. Grouping Variable: Formula

F1 dengan F3
Test Statisticsb
Minggu_0 Minggu_1 Minggu_2 Minggu_3 Minggu_4
Mann-Whitney U .500 4.000 2.000 .000 .000
Wilcoxon W 6.500 10.000 8.000 6.000 6.000
Z -1.826 -.225 -1.291 -2.023 -1.993
Asymp. Sig. (2-tailed) .068 .822 .197 .043 .046
Exact Sig. [2*(1-tailed .100a 1.000a .400a .100a .100a
Sig.)]
a. Not corrected for ties.
b. Grouping Variable: Formula

F2 dengan F3
Test Statisticsb
Minggu_0 Minggu_1 Minggu_2 Minggu_3 Minggu_4
Mann-Whitney U 1.000 3.000 3.000 3.000 .500
Wilcoxon W 7.000 9.000 9.000 9.000 6.500
Z -1.650 -.674 -.707 -1.000 -1.798
Asymp. Sig. (2-tailed) .099 .500 .480 .317 .072
Exact Sig. [2*(1-tailed .200a .700a .700a .700a .100a
Sig.)]
a. Not corrected for ties.
b. Grouping Variable: Formula

87
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
 Kehalusan (evennese)
- Uji Normalitas
Tests of Normalityb,c,d

Formu Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk


la Statistic df Sig. Statistic df Sig.
Minggu_0 F1 .175 3 . 1.000 3 1.000
F2 .385 3 . .750 3 .000
F3 .385 3 . .750 3 .000
Minggu_1 F1 .385 3 . .750 3 .000
F2 .385 3 . .750 3 .000
F3 .175 3 . 1.000 3 1.000
Minggu_2 F1 .385 3 . .750 3 .000
F2 .385 3 . .750 3 .000
F3 .253 3 . .964 3 .637
Minggu_3 F0 .385 3 . .750 3 .000
F1 .385 3 . .750 3 .000
F2 .385 3 . .750 3 .000
F3 .385 3 . .750 3 .000
Minggu_4 F0 .385 3 . .750 3 .000
F1 .175 3 . 1.000 3 1.000
F2 .385 3 . .750 3 .000
F3 .385 3 . .750 3 .000
a. Lilliefors Significance Correction
b. Minggu_0 is constant when Formula = F3. It has been omitted.
c. Minggu_1 is constant when Formula = F3. It has been omitted.
d. Minggu_2 is constant when Formula = F3. It has been omitted.

- Uji kruskal Walis

Test Statisticsa,b
Minggu_0 Minggu_1 Minggu_2 Minggu_3 Minggu_4
Chi-Square 3.802 8.509 8.967 10.532 10.495
Df 3 3 3 3 3
Asymp. Sig. .284 .037 .030 .015 .015
a. Kruskal Wallis Test

88
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Test Statisticsa,b
Minggu_0 Minggu_1 Minggu_2 Minggu_3 Minggu_4
Chi-Square 3.802 8.509 8.967 10.532 10.495
Df 3 3 3 3 3
Asymp. Sig. .284 .037 .030 .015 .015
a. Kruskal Wallis Test
b. Grouping Variable: Formula

- Uji Mann-whitney
F0 dengan F1
Test Statisticsb
Minggu_0 Minggu_1 Minggu_2 Minggu_3 Minggu_4
Mann-Whitney U 3.500 4.000 1.000 .000 .000
Wilcoxon W 9.500 10.000 7.000 6.000 6.000
Z -.471 -.258 -1.650 -2.023 -1.993
Asymp. Sig. (2-tailed) .637 .796 .099 .043 .046
Exact Sig. [2*(1-tailed .700a 1.000a .200a .100a .100a
Sig.)]
a. Not corrected for ties.
b. Grouping Variable: Formula

F0 dengan F2
Test Statisticsb
Minggu_0 Minggu_1 Minggu_2 Minggu_3 Minggu_4
Mann-Whitney U 1.500 .000 .000 .000 .000
Wilcoxon W 7.500 6.000 6.000 6.000 6.000
Z -1.549 -2.121 -2.121 -2.023 -2.023
Asymp. Sig. (2-tailed) .121 .034 .034 .043 .043
Exact Sig. [2*(1-tailed .200a .100a .100a .100a .100a
Sig.)]
a. Not corrected for ties.
b. Grouping Variable: Formula

89
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
F0 dengan F3
Test Statisticsb
Minggu_0 Minggu_1 Minggu_2 Minggu_3 Minggu_4
Mann-Whitney U 3.500 .000 .000 .000 .000
Wilcoxon W 9.500 6.000 6.000 6.000 6.000
Z -.471 -1.993 -1.993 -2.023 -2.023
Asymp. Sig. (2-tailed) .637 .046 .046 .043 .043
Exact Sig. [2*(1-tailed .700a .100a .100a .100a .100a
Sig.)]
a. Not corrected for ties.
b. Grouping Variable: Formula

F1 dengan F2
Test Statisticsb
Minggu_0 Minggu_1 Minggu_2 Minggu_3 Minggu_4
Mann-Whitney U 1.500 .000 .000 .000 .000
Wilcoxon W 7.500 6.000 6.000 6.000 6.000
Z -1.581 -2.121 -2.121 -2.023 -1.993
Asymp. Sig. (2-tailed) .114 .034 .034 .043 .046
Exact Sig. [2*(1-tailed .200a .100a .100a .100a .100a
Sig.)]
a. Not corrected for ties.
b. Grouping Variable: Formula

F1 dengan F3
Test Statisticsb
Minggu_0 Minggu_1 Minggu_2 Minggu_3 Minggu_4
Mann-Whitney U 2.500 .500 .500 .000 .000
Wilcoxon W 8.500 6.500 6.500 6.000 6.000
Z -.913 -1.798 -1.798 -2.023 -1.993
Asymp. Sig. (2-tailed) .361 .072 .072 .043 .046
Exact Sig. [2*(1-tailed .400a .100a .100a .100a .100a
Sig.)]
a. Not corrected for ties.
b. Grouping Variable: Formula

90
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
F2 dengan F3
Test Statisticsb
Minggu_0 Minggu_1 Minggu_2 Minggu_3 Minggu_4
Mann-Whitney U 1.500 4.500 3.000 .000 .000
Wilcoxon W 7.500 10.500 9.000 6.000 6.000
Z -1.581 .000 -.696 -2.023 -2.023
Asymp. Sig. (2-tailed) .114 1.000 .487 .043 .043
Exact Sig. [2*(1-tailed .200a 1.000a .700a .100a .100a
Sig.)]
a. Not corrected for ties.
b. Grouping Variable: Formula

 Pori (pore)
- Uji Normalitas

Tests of Normalityb,c,d,e
Formu Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
la Statistic df Sig. Statistic df Sig.
Minggu_0 F1 .385 3 . .750 3 .000
F2 .253 3 . .964 3 .637
F3 .175 3 . 1.000 3 1.000
Minggu_1 F1 .385 3 . .750 3 .000
F2 .175 3 . 1.000 3 1.000
F3 .385 3 . .750 3 .000
Minggu_2 F1 .385 3 . .750 3 .000
F2 .385 3 . .750 3 .000
Minggu_3 F0 .385 3 . .750 3 .000
F1 .385 3 . .750 3 .000
F2 .385 3 . .750 3 .000
F3 .385 3 . .750 3 .000
Minggu_4 F0 .385 3 . .750 3 .000
F1 .385 3 . .750 3 .000
F2 .385 3 . .750 3 .000
F3 .385 3 . .750 3 .000
a. Lilliefors Significance Correction
b. Minggu_0 is constant when Formula = F3. It has been omitted.
c. Minggu_1 is constant when Formula = F3. It has been omitted.
d. Minggu_2 is constant when Formula = F3. It has been omitted.

91
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Tests of Normalityb,c,d,e
Formu Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
la Statistic df Sig. Statistic df Sig.
Minggu_0 F1 .385 3 . .750 3 .000
F2 .253 3 . .964 3 .637
F3 .175 3 . 1.000 3 1.000
Minggu_1 F1 .385 3 . .750 3 .000
F2 .175 3 . 1.000 3 1.000
F3 .385 3 . .750 3 .000
Minggu_2 F1 .385 3 . .750 3 .000
F2 .385 3 . .750 3 .000
Minggu_3 F0 .385 3 . .750 3 .000
F1 .385 3 . .750 3 .000
F2 .385 3 . .750 3 .000
F3 .385 3 . .750 3 .000
Minggu_4 F0 .385 3 . .750 3 .000
F1 .385 3 . .750 3 .000
F2 .385 3 . .750 3 .000
F3 .385 3 . .750 3 .000
a. Lilliefors Significance Correction
b. Minggu_0 is constant when Formula = F3. It has been omitted.
c. Minggu_1 is constant when Formula = F3. It has been omitted.
d. Minggu_2 is constant when Formula = F3. It has been omitted.
e. Minggu_2 is constant when Formula = F4. It has been omitted.

- Uji kruskal walis

Test Statisticsa,b
Minggu_0 Minggu_1 Minggu_2 Minggu_3 Minggu_4
Chi-Square .434 6.856 9.465 9.911 10.532
Df 3 3 3 3 3
Asymp. Sig. .933 .077 .024 .019 .015
a. Kruskal Wallis Test
b. Grouping Variable: Formula

92
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
- Uji Mann-Whitney
F0 dengan F1
Test Statisticsb
Minggu_0 Minggu_1 Minggu_2 Minggu_3 Minggu_4
Mann-Whitney U 4.000 3.500 2.000 1.000 .000
Wilcoxon W 10.000 9.500 8.000 7.000 6.000
Z -.232 -.471 -1.124 -1.650 -2.023
Asymp. Sig. (2-tailed) .817 .637 .261 .099 .043
Exact Sig. [2*(1-tailed 1.000a .700a .400a .200a .100a
Sig.)]
a. Not corrected for ties.
b. Grouping Variable: Formula

F0 dengan F2
Test Statisticsb
Minggu_0 Minggu_1 Minggu_2 Minggu_3 Minggu_4
Mann-Whitney U 3.000 1.500 .000 .000 .000
Wilcoxon W 9.000 7.500 6.000 6.000 6.000
Z -1.000 -1.581 -2.121 -2.023 -2.023
Asymp. Sig. (2-tailed) .317 .114 .034 .043 .043
Exact Sig. [2*(1-tailed .700a .200a .100a .100a .100a
Sig.)]
a. Not corrected for ties.
b. Grouping Variable: Formula

F0 dengan F3
Test Statisticsb
Minggu_0 Minggu_1 Minggu_2 Minggu_3 Minggu_4
Mann-Whitney U 3.500 .500 .000 .000 .000
Wilcoxon W 9.500 6.500 6.000 6.000 6.000
Z -.471 -1.826 -2.121 -2.023 -2.023
Asymp. Sig. (2-tailed) .637 .068 .034 .043 .043
Exact Sig. [2*(1-tailed .700a .100a .100a .100a .100a
Sig.)]
a. Not corrected for ties.
b. Grouping Variable: Formula

93
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
F1 dengan F2
Test Statisticsb
Minggu_0 Minggu_1 Minggu_2 Minggu_3 Minggu_4
Mann-Whitney U 4.500 1.500 1.500 .000 .000
Wilcoxon W 10.500 7.500 7.500 6.000 6.000
Z .000 -1.549 -1.581 -2.023 -2.023
Asymp. Sig. (2-tailed) 1.000 .121 .114 .043 .043
Exact Sig. [2*(1-tailed 1.000a .200a .200a .100a .100a
Sig.)]
a. Not corrected for ties.
b. Grouping Variable: Formula

F1 dengan F3
Test Statisticsb
Minggu_0 Minggu_1 Minggu_2 Minggu_3 Minggu_4
Mann-Whitney U 4.000 .500 .000 .000 .000
Wilcoxon W 10.000 6.500 6.000 6.000 6.000
Z -.225 -1.798 -2.121 -2.023 -2.023
Asymp. Sig. (2-tailed) .822 .072 .034 .043 .043
Exact Sig. [2*(1-tailed 1.000a .100a .100a .100a .100a
Sig.)]
a. Not corrected for ties.
b. Grouping Variable: Formula

F2 dengan F3
Test Statisticsb
Minggu_0 Minggu_1 Minggu_2 Minggu_3 Minggu_4
Mann-Whitney U 4.500 1.500 .000 1.000 .000
Wilcoxon W 10.500 7.500 6.000 7.000 6.000
Z .000 -1.581 -2.236 -1.650 -2.023
Asymp. Sig. (2-tailed) 1.000 .114 .025 .099 .043
Exact Sig. [2*(1-tailed 1.000a .200a .100a .200a .100a
Sig.)]
a. Not corrected for ties.
b. Grouping Variable: Formula

94
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
 Noda ( Spot )
- Uji Normalitas
Tests of Normality
Formu Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
la Statistic df Sig. Statistic df Sig.
Minggu_0 F0 .385 3 . .750 3 .000
F1 .385 3 . .750 3 .000
F2 .385 3 . .750 3 .000
F3 .175 3 . 1.000 3 1.000
Minggu_1 F0 .385 3 . .750 3 .000
F1 .385 3 . .750 3 .000
F2 .253 3 . .964 3 .637
F3 .175 3 . 1.000 3 1.000
Minggu_2 F0 .385 3 . .750 3 .000
F1 .385 3 . .750 3 .000
F2 .385 3 . .750 3 .000
F3 .385 3 . .750 3 .000
Minggu_3 F0 .385 3 . .750 3 .000
F1 .385 3 . .750 3 .000
F2 .175 3 . 1.000 3 1.000
F3 .385 3 . .750 3 .000
Minggu_4 F0 .385 3 . .750 3 .000
F1 .385 3 . .750 3 .000
F2 .385 3 . .750 3 .000
F3 .385 3 . .750 3 .000
a. Lilliefors Significance Correction

- Uji Kruskal Wallis

Test Statisticsa,b
Minggu_0 Minggu_1 Minggu_2 Minggu_3 Minggu_4
Chi-Square 9.687 9.687 9.486 10.495 10.532
Df 3 3 3 3 3
Asymp. Sig. .021 .021 .023 .015 .015
a. Kruskal Wallis Test
b. Grouping Variable: Formula

95
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
F0 dengan F1
Test Statisticsb
Minggu_0 Minggu_1 Minggu_2 Minggu_3 Minggu_4
Mann-Whitney U .000 .000 .000 .000 .000
Wilcoxon W 6.000 6.000 6.000 6.000 6.000
Z -2.023 -2.023 -2.023 -2.023 -2.023
Asymp. Sig. (2-tailed) .043 .043 .043 .043 .043
Exact Sig. [2*(1-tailed .100a .100a .100a .100a .100a
Sig.)]
a. Not corrected for ties.
b. Grouping Variable: Formula

F0 dengan F2
Test Statisticsb
Minggu_0 Minggu_1 Minggu_2 Minggu_3 Minggu_4
Mann-Whitney U .000 .000 .000 .000 .000
Wilcoxon W 6.000 6.000 6.000 6.000 6.000
Z -2.023 -1.993 -2.023 -1.993 -2.023
Asymp. Sig. (2-tailed) .043 .046 .043 .046 .043
Exact Sig. [2*(1-tailed .100a .100a .100a .100a .100a
Sig.)]
a. Not corrected for ties.
b. Grouping Variable: Formula

F0 dengan F3
Test Statisticsb
Minggu_0 Minggu_1 Minggu_2 Minggu_3 Minggu_4
Mann-Whitney U .000 .000 .000 .000 .000
Wilcoxon W 6.000 6.000 6.000 6.000 6.000
Z -1.993 -1.993 -2.023 -2.023 -2.023
Asymp. Sig. (2-tailed) .046 .046 .043 .043 .043
Exact Sig. [2*(1-tailed .100a .100a .100a .100a .100a
Sig.)]
a. Not corrected for ties.
b. Grouping Variable: Formula

96
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
F1 dengan F2
Test Statisticsb
Minggu_0 Minggu_1 Minggu_2 Minggu_3 Minggu_4
Mann-Whitney U .000 .500 1.000 .000 .000
Wilcoxon W 6.000 6.500 7.000 6.000 6.000
Z -2.023 -1.798 -1.650 -1.993 -2.023
Asymp. Sig. (2-tailed) .043 .072 .099 .046 .043
Exact Sig. [2*(1-tailed .100a .100a .200a .100a .100a
Sig.)]
a. Not corrected for ties.
b. Grouping Variable: Formula

F1 dengan F3
Test Statisticsb
Minggu_0 Minggu_1 Minggu_2 Minggu_3 Minggu_4
Mann-Whitney U .000 .000 .000 .000 .000
Wilcoxon W 6.000 6.000 6.000 6.000 6.000
Z -1.993 -1.993 -2.023 -2.023 -2.023
Asymp. Sig. (2-tailed) .046 .046 .043 .043 .043
Exact Sig. [2*(1-tailed .100a .100a .100a .100a .100a
Sig.)]
a. Not corrected for ties.
b. Grouping Variable: Formula

F2 dengan F3
Test Statisticsb
Minggu_0 Minggu_1 Minggu_2 Minggu_3 Minggu_4
Mann-Whitney U 2.500 1.500 2.000 .000 .000
Wilcoxon W 8.500 7.500 8.000 6.000 6.000
Z -.899 -1.328 -1.179 -1.993 -2.023
Asymp. Sig. (2-tailed) .369 .184 .239 .046 .043
Exact Sig. [2*(1-tailed .400a .200a .400a .100a .100a
Sig.)]
a. Not corrected for ties.
b. Grouping Variable: Formula

97
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
 Keriput( Wrinkle )
- Uji Normalitas
Tests of Normality
Formu Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
la Statistic df Sig. Statistic df Sig.
Minggu_0 F0 .385 3 . .750 3 .000
F1 .385 3 . .750 3 .000
F2 .175 3 . 1.000 3 1.000
F3 .385 3 . .750 3 .000
Minggu_1 F0 .385 3 . .750 3 .000
F1 .385 3 . .750 3 .000
F2 .385 3 . .750 3 .000
F3 .385 3 . .750 3 .000
Minggu_2 F0 .385 3 . .750 3 .000
F1 .385 3 . .750 3 .000
F2 .385 3 . .750 3 .000
F3 .253 3 . .964 3 .637
Minggu_3 F0 .385 3 . .750 3 .000
F1 .385 3 . .750 3 .000
F2 .175 3 . 1.000 3 1.000
F3 .385 3 . .750 3 .000
Minggu_4 F0 .385 3 . .750 3 .000
F1 .385 3 . .750 3 .000
F2 .175 3 . 1.000 3 1.000
F3 .385 3 . .750 3 .000
a. Lilliefors Significance Correction

- Uji Kruskal walis

Test Statisticsa,b
Minggu_0 Minggu_1 Minggu_2 Minggu_3 Minggu_4
Chi-Square 8.399 5.674 9.733 10.495 10.495
Df 3 3 3 3 3
Asymp. Sig. .038 .129 .021 .015 .015
a. Kruskal Wallis Test
b. Grouping Variable: Formula

98
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
- Uji Mann-Whitney
F0 dengan F1
Test Statisticsb
Minggu_0 Minggu_1 Minggu_2 Minggu_3 Minggu_4
Mann-Whitney U .000 1.000 .000 .000 .000
Wilcoxon W 6.000 7.000 6.000 6.000 6.000
Z -2.023 -1.650 -2.023 -2.023 -2.023
Asymp. Sig. (2-tailed) .043 .099 .043 .043 .043
Exact Sig. [2*(1-tailed .100a .200a .100a .100a .100a
Sig.)]
a. Not corrected for ties.
b. Grouping Variable: Formula

F0 dengan F2
Test Statisticsb
Minggu_0 Minggu_1 Minggu_2 Minggu_3 Minggu_4
Mann-Whitney U 2.500 1.000 .000 .000 .000
Wilcoxon W 8.500 7.000 6.000 6.000 6.000
Z -.943 -1.650 -2.023 -1.993 -1.993
Asymp. Sig. (2-tailed) .346 .099 .043 .046 .046
Exact Sig. [2*(1-tailed .400a .200a .100a .100a .100a
Sig.)]
a. Not corrected for ties.
b. Grouping Variable: Formula

F0 dengan F3
Test Statisticsb
Minggu_0 Minggu_1 Minggu_2 Minggu_3 Minggu_4
Mann-Whitney U 1.000 .000 .000 .000 .000
Wilcoxon W 7.000 6.000 6.000 6.000 6.000
Z -1.650 -2.023 -1.993 -2.023 -2.023
Asymp. Sig. (2-tailed) .099 .043 .046 .043 .043
Exact Sig. [2*(1-tailed .200a .100a .100a .100a .100a
Sig.)]
a. Not corrected for ties.
b. Grouping Variable: Formula

99
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
F1 dengan F2
Test Statisticsb
Minggu_0 Minggu_1 Minggu_2 Minggu_3 Minggu_4
Mann-Whitney U .000 4.000 4.000 .000 .000
Wilcoxon W 6.000 10.000 10.000 6.000 6.000
Z -1.993 -.258 -.258 -1.993 -1.993
Asymp. Sig. (2-tailed) .046 .796 .796 .046 .046
Exact Sig. [2*(1-tailed .100a 1.000a 1.000a .100a .100a
Sig.)]
a. Not corrected for ties.
b. Grouping Variable: Formula

F1 dengan F3
Test Statisticsb
Minggu_0 Minggu_1 Minggu_2 Minggu_3 Minggu_4
Mann-Whitney U 2.000 2.500 .000 .000 .000
Wilcoxon W 8.000 8.500 6.000 6.000 6.000
Z -1.291 -.913 -1.993 -2.023 -2.023
Asymp. Sig. (2-tailed) .197 .361 .046 .043 .043
Exact Sig. [2*(1-tailed .400a .400a .100a .100a .100a
Sig.)]
a. Not corrected for ties.
b. Grouping Variable: Formula

F2 dengan F3
Test Statisticsb
Minggu_0 Minggu_1 Minggu_2 Minggu_3 Minggu_4
Mann-Whitney U .500 3.000 .000 .000 .000
Wilcoxon W 6.500 9.000 6.000 6.000 6.000
Z -1.798 -.674 -1.993 -1.993 -1.993
Asymp. Sig. (2-tailed) .072 .500 .046 .046 .046
Exact Sig. [2*(1-tailed .100a .700a .100a .100a .100a
Sig.)]
a. Not corrected for ties.
b. Grouping Variable: Formula

100
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Lampiran 11. Sabun padat

F0 F1 F2 F3

Keterangan;
Formula 0: Blanko (tanpa eksfolian)
Formula 1: Sabun dengan eksfolian simplisia daun nangka 3%
Formula 2: Sabun dengan eksfolian simplisia daun nangka 5%
Formula 3: Sabun dengan eksfolian simplisia daun nangka 7%

101
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Lampiran 12. Pemeriksaan sifat fisik sabun

A B

Keterangan
A. Uji stabilitas busa
B. Uji pH

102
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Lampiran 13. Hasil penentuan syarat mutu sabun padat yang mengandung daun
nangka konsentrasi 7%

A B

C D
Keterangan
A. Kadar air
B. Bahan tak larut dalam
etanol
C. Total lemak
D. Alkali bebas
E. Lemak tidak tersabunkan
E x
c
c
h
A. U
j
103 i
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
k
a
Lampiran 14. Formulir uji hedonik

FORMULIR

UJI HEDONIK (UJI KESUKAAN)

BERDASARKAN UJI INDIKATOR SECARA FISIK

Nama Fanelis :

Umur :

Berilah penilaian suka atau tidak suka pada sediaan sabun padat yang

mengandung eksfolian simplisia daun nangka berdasarkan, warna, aroma dan

tekstur

No Indikator Kategori penilaian

1 Warna

2 Aroma

3 Tekstur

Kartegori penilaian

1. Suka

2. Tidak suka

104
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Lampiran 15. Data uji hedonik panelis terhadap indikator fisik sediaan sabun
padat yang mengandung eksfolian simplisia daun nangka
A. Data hasil uji hedonik panelis terhadap indikator fisik sediaan sabun padat
yang mengandung eksfolian simplisia daun nangka 7%

Indikator
Panelis Warna Aroma Tekstur
1 1 2 1
2 1 2 1
3 1 2 1
4 1 2 1
5 1 2 1
6 1 2 1
7 1 2 1
8 2 2 1
9 2 2 1
10 2 2 1
11 1 2 1
12 1 2 1
13 2 2 1
14 1 2 1
15 1 2 1
16 2 2 1
17 2 2 1
18 2 2 1
19 1 1 1
20 1 1 1
21 1 1 1
22 2 1 1
23 1 1 1
24 2 1 1
25 1 1 1
26 1 1 1
27 2 1 1
28 1 2 1
29 2 1 1
30 1 2 1
Rata- rata 1,3 1,6 1,0
Kategori penilaian:
1. Suka
2. Tidak suka

105
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Lampiran 15. (Lanjutan)
A. Persentasi jumlah panelis berdasarkan skala penilaian indikator fisik
sediaan sabun padat yang mengandung eksfolian simplisia daun nangka
7%

Skala penilaian

Indikator 1 2 Jumlah

Warna 19 11 30

% 60 40 100

Aroma 20 10 30

% 70 30 100

Tekstur 30 0 30

% 100 0 100

Kategori penilaian:
3. Suka
4. Tidak suka

106
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Lampiran 16. Perhitungan Formula
1. Basis sabun (Blanko F0) = 5:1
- Minyak VCO = Bilangan penyabunan: 255-265 mg KOH/g = 260

- NaOH yang dibutuhkan = Nilai saponifikasi x Jumlah minyak yang dibutuhkan


= 0.1853 x 25
= 4,625 gr NaOH atau 5 gr NaOH
- Formula 1 sampai III dilakukan dengan perhitungan yang sama, jumlah NaOH
yang dibutuhkan disesuaikan dengan minyak yang akan digunakan. Dikarenakan
didalam penelitian ini jumlah dari formula 0 sampai III sama, sehingga jumlah
NaOH yang digunakan adalah 5 g di setiap formula. Namun berbeda pada
penambahan akuades dan simplisia daun nangka.

2. F1 ( konsentrasi simplisia 3%)

Simplisia yang dibutuhkan dalam konsentrasi 3% = 4,98 g


Akuades yang dibutuhkan – jumlah simplisia
60 - 4,98 = 55,02
3. F II (konsentrasi simplisia 5%)

Simplisia yang dibutuhkan dalam konsentrasi 5% = 8,3 g


Akuades yang dibutuhkan – jumlah simplisia
60 - 8,3 = 51,7
4. FIII (konsentrasi simplisia 7%)

107
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Simplisia yang dibutuhkan dalam konsentrasi 7% = 11,62 g
Akuades yang dibutuhkan – jumlah simplisia
60 - 11,62 = 48,38

108
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Lampiran 17. Pemakaian Sabun di Kulit Punggung Tangan.

B
Keterangan: A. Pada saat pemakaian sabun
B. Setelah pemakaian sabun

109
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Anda mungkin juga menyukai