Anda di halaman 1dari 25

PRAKTIKUM FITOFARMAKA

TUGAS 4
PENETAPAN KADAR SENYAWA MARKER EPMS DALAM
SEDIAAN KAPSUL
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Praktikum Fitofarmaka

KELOMPOK : 7

KELAS: C

RIZKI SANTI KUSUMANINGTYAS


(201610410311105)

DOSEN PEMBIMBING:
Siti Rofida, M.Farm., Apt.
Amaliyah Dina A., M.Farm., Apt.

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2019
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Saintifikasi jamu yang dilakukan pada jamu di Indonesia mengharuskan bahan
untuk pembuatan jamu yang berupa ekstrak maupun simplisia harus dilakukan uji
praklinis dan standardisasinya untuk memperoleh bahan obat alam yang bermutu. Oleh
karena itu dilakukan Standarisasi obat herbal Indonesia terutama standarisasi simplisia
dan ekstrak mempunyai arti yang penting untuk menjaga mutu obat herbal. Standarisasi
simplisia dilakukan untuk menentukan persyaratan mutu, keamanan, dan khasiat dari
simplisia.
Pada praktikum dilakukan penetapan kadar senyawa marker pada sediaan kapsul
eksrak kencur, dimana senyawa marker (penanda) adalah suatu senyawa yang terdapat
dalam bahan alam dan diseleksi untuk keperluan khusus (contoh untuk tujuan identifikasi
atau standardisasi) melalui penelitian. Syarat senyawa dapat ditetapkan sebagai penanda
apabila bersifat khas, mempunyai struktur kimia yang jelas, dapat diukur kadarnya
dengan metode analisis yang biasa digunakan, bersifat stabil, tersedia dan dapat diisolasi
(Purnomo, 2008). Senyawa marker dibutuhkan sebagai pembanding dalam konfirmasi
keberadaan suatu ekstrak tanaman dalam produk obat bahan alam. Analisis senyawa
marker secara kualitatif dan kuantitatif dapat dijadikan indikator mutu suatu obat herbal.
Studi tentang senyawa marker dapat pula diterapkan pada proses pemastian keaslian
spesies, pencarian sumber baru atau pengganti bahan mentah, optimasi metode ekstraksi,
purifikasi, elusidasi struktur dan penentuan kemurnian.
Tanaman Rimpang kencur mengandung alkaloid, tannin, saponin, kalsium
oksalat, borneol, kamfen, sineol, etil alcohol, minyak atsiri antara 2,4–3,9% terdiri dari
borneol, methyl - p, cumaric acid, cinamicacid ethil ester, pentadecane, cinamic aldehide,
kaemferin dan sineol, p-metoksi sinamat. Kencur telah dimanfaatkan cukup banyak
sebagai tonikum yaitu sebagai obat bengkak-bengkak, reumatik, obat batuk, obat sakit
perut, manghilangkan keringat, penambah nafsu makan, infeksi bakteri, ekspektoran
(memperlancar keluarnya dahak), disentri, karminatif, menghangatkan badan, pelangsing,
penyegar, mengobati luka dan bengkak perut, encok, obat batuk, dan sakit perut.
Rimpang kencur berkhasiat untuk obat batuk, pengompresan bengkak, penambah nafsu
makan dan juga sebagai minuman segar (Rukmana, 1994).
1.2. Tujuan
Mahasiswa mampu menentukan kadar senyawa marker pada sediaan kapsul
ekstrak rimpang kencur (kaemferia galangae).
1.3. Manfaat
1. Mahasiswa mampu menetapkan kadar senyawa marker dalam sediaan kapsul ekstrak
rimpang kencur (kaemferia galangae).
2. Mahasiswa mampu mengetahui kadar senyawa marker dalam sediaan kapsul ekstrak
rimpang kencur (kaemferia galangae).
BAB II
PENDAHULUAN
2.1. Kaempferia galanga L.
Tanaman terna kecil yang siklus hidupnya semusim atau beberapa musim. Akar
rimpang kencur menempel pada umbi akar dan sebagian lagi terletak di atas tanah.
Bentuk rimpang umumnya bulat, bagian tengah berwarna putih dan pinggirnya coklat
kekuningan dan berbau harum. Rimpang kencur terdapat didalam tanah bergerombol dan
bercabang-cabang dengan induk rimpang di tengah. Kulit ari berwarna coklat dan bagian
dalam putih berair dengan aroma yang tajam. Rimpang yang masih muda berwarna putih
kekuningan dengan kandungan air yang lebih banyak dan rimpang yang lebih tua
ditumbuhi akar pada ruas-ruas rimpang berwarna putih kekuningan. Berikut ini adalah
taksonomi dari tanaman kencur :
Kingdom : Plantae (Tumbuh-tumbuhan)
Divisio : Spermatophyta (Tumbuhan berbiji)
Subdivisio : Angiospermae (Berbiji tertutup)
Class : Monocotyledonae (Biji berkeping satu)
Ordo : Zingiberales
Famili : Zingiberaceae
Genus : Kaempferia
Spesies : Kaemferia galanga L.
Tanaman kencur memiliki batang semu yang sangat pendek, terbentuk dari
pelepah-pelepah daun yang saling menutupi. Daun-daun kencur tumbuh tunggal, melebar
dan mendatar hampir rata dengan permukaan tanah. Jumlah daun bervariasi antara 8-10
helai dan tumbuh secara berlawanan satu sama lain. Bentuk daun elip melebar sampai
bundar, ukuran panjang daun 7-12 cm dan lebarnya 3-6 cm, serta berdaging agak lebar.
Bunga kencur keluar dalam bentuk buliran setengah duduk dari ujung tanaman di sela-
sela daun. Warna bunganya putih, ungu hingga lembayung dan tiap tangkai bunga
berjumlah 4-12 kuntum bunga. Bunga kencur berwarna putih berbau harum terdiri dari
empat helai daun mahkota. Tangkai bunga berdaun kecil sepanjang 2–3 cm, tidak
bercabang, dapat tumbuh lebih dari satiu tangkai, panjang tangkai 5–7 cm berbentuk bulat
dan beruas ruas. Putik menonjol keatas berukuran 1–1,5 cm, tangkai sari berbentuk
corong pendek. Buah kencur termasuk buah kotak beruang 3 dengan bakal buah yang
letaknya tenggelam, tetapi sulit sekali menghasilkan biji. Hampir seluruh bagian tanaman
kencur mengandung minyak atsiri. Zat-zat kimia yang telah banyak diteliti adalah pada
rimpangnya, yakni mengandung minyak atsiri 2,4%-3,9%, juga cinnamal, aldehide, asam
motil p-cumarik, etil ester dan pentadekan. Dalam literatur lain disebutkan bahwa
rimpang kencur mengandung sineol, paraeumarin, asam anisic, gom, pati (4,14%) dan
mineral (13,73%). Kandungan kimia tersebut sangat berguna bagi obat-obatan, terutama
obat batuk, sakit perut dan obat pengeluaran keringat (Muhlisah, 1999).
2.2. Sediaan Ekstrak
Simplisia banyak mengandung senyawa aktif yang dapat larut dan senyawa yang
tidak dapat larut, seperti serat, karbohidrat, protein, dan lain-lain. Untuk memisahkan
senyawa aktif tersebut maka perlu dilakukan proses ekstraksi. Ekstraksi merupakan
kegiatan atau proses pemisahan bahan dari campurannya dengan menggunakan pelarut
(Agoes G., 2007). Ekstrak adalah sediaan kering, kental atau cair dibuat dengan penyari
simplisia menurut cara yang cocok, di luar pengaruh cahaya matahari langsung. Ekstrak
kering harus mudah digerus menjadi serbuk (BPOM RI, 2010).
2.3. Senyawa Marker
Senyawa marker (penanda) adalah suatu senyawa yang terdapat dalam bahan
alam dan diseleksi untuk keperluan khusus (contoh untuk tujuan identifikasi atau
standardisasi) melalui penelitian. Syarat senyawa dapat ditetapkan sebagai penanda
apabila bersifat khas, mempunyai struktur kimia yang jelas, dapat diukur kadarnya
dengan metode analisis yang biasa digunakan, bersifat stabil, tersedia dan dapat diisolasi
(Purnomo, 2008).
Senyawa marker (penanda) dapat digolongkan menjadi empat yang didasarkan
pada bioaktifitasnya. Empat golongan ini meliputi senyawa aktif, penanda aktif, penanda
analitik dan penanda negatif.
a. Senyawa aktif adalah senyawa yang diketahui aktifitas secara klinik.
b. Penanda aktif adalah senyawa yang diketahui aktifitas farmakologi dan khasiatnya,
tetapi khasiatnya belum dibuktikan secara klinis.
c. Penanda analitik adalah senyawa yang dipilih untuk determinasi secara kuantitatif.
Senyawa ini dimungkinkan atau tidak aktifitas biologisnya dan dapat membantu
identifikasi positif dari bahan tanaman atau ekstrak tanaman atau digunakan untuk
tujuan standardisasi.
d. Penanda negatif adalah senyawa yang memiliki sifat alergi atau toksik atau
mengganggu bioavailabilitasnya (Patterson, 2006).

A. Kromatografi Fingerprint
Fingerprint chromatografi merupakan suatu teknik kromatografi yang
membandingkan persamaan dan perbedaan komponen-komponen kimia yang ada dalam
ekstrak tanaman dan produknya. Metode ekstraksi dan persiapan sampel merupakan
tahap yang penting fingerprint obat herbal yang berguna untuk efisiensi evaluasi sebagai
kontrol kualitas (Liang et al., 2004).
Ada 4 teknik kromatografi yang digunakan untuk pemisahan dan pemurnian
kandungan tumbuhan atau bisa juga dilakukan dengan gabungan dari empat teknik
tersebut. Keempat teknik Kromatografi tersebut yaitu kromatografi kertas, kromatografi
lapis tipis, kromatografi gas cair, dan kromatografi cair kinerja tinggi.
B. Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
Diantara berbagai jenis teknik kromatografi, kromatografi lapis tipis adalah yang
paling cocok untuk analisis obat di laboratorium farmasi karena hanya memerlukan
investasi yang kecil untuk perlengkapan, waktu analisis relatif singkat, jumlah cuplikan
yang diperlukan sedikit, selain itu kebutuhan ruang minimum serta penanganannya
sederhana. KLT yang dimaksudkan untuk uji kuantitatif salah satunya dengan
menggunakan densitometer sebagai alat pelacak bila cara penotolanya dilakukan secara
kuantitatif. Prinsip kerja dari densitometer adalah adanya pelacakan pada panjang
gelombang maksimal yang telah ditetapkan sebelumnya. Scanning atau pelacakan
densitometer ada dua metode yaitu dengan cara memanjang dan sistem zig-zag. Pada
umumnya lebih banyak digunakan metode zig-zag karena pengukuranya lebih merata
serta ketelitian pengukuran lebih terjamin dibanding pengamatan secara lurus atau
memanjang.
Kromatografi Lapis Tipis (KLT) merupakan metode pemisahan fitokimia dan
teknik yang paling cocok untuk analisis. Metode ini hanya memerlukan waktu sedikit
untuk analisis dan jumlah cuplikan yang digunakan sangat sedikit. Lapisan yang
memisahkan terdiri atas bahan berbutir-butir yang disebut fase diam, ditempatkan pada
penyangga berupa plat gelas, logam atau lapisan yang cocok. Campuran yang akan
dipisahkan berupa larutan, ditotolkan pada bercak atau pita. Selain itu plat atau lapisan
diletakkan dalam bejana pengembang yang berisi larutan pengembang (fase gerak),
pemisahan terjadi selama perembatan kapiler (pengembangan). Selanjutnya senyawa
yang tidak berwarna harus ditempatkan atau dideteksi dengan pereaksi deteksi (Stahl,
1985).
Identifikasi dari senyawa-senyawa yang terpisah pada lapisan tipis lebih baik
dikerjakan dengan pereaksi lokasi kimia dan reaksi warna. Tetapi lazimnya untuk
identifikasi menggunakan lampu UV 254 nm dan 366 nm dan bercak dihitung harga Rf-
nya. Angka Rf berjangka antara 0,00 dan 1,99 dan hanya dapat ditentukan dua desimal.
hRf adalah angka Rf dikalikan faktor 100 (h), menghasilkan nilai berjangka 0-100 (Stahl,
1985). Sedangkan pereaksi semprot atau penampak bercak digunakan pada deteksi
senyawa tertentu. Misalnya dalam tanaman yang banyak mengandung flavonoid
menggunakan AlCl3 dan minyak atsiri menggunakan vanilin asam sulfat (Markham,
1988).
Penggunaan Kromatografi Lapis Tipis (KLT), yaitu:
a. Analisis Kualitatif Kromatografi Lapis Tipis (KLT) dapat digunakan untuk uji
identifikasi senyawa baku. Parameter pada Kromatografi Lapis Tipis (KLT) yang
digunakan untuk identifikasi adalah nilai Rf. Dua senyawa dikatakan identik jika
mempunyai nilai Rf yang sama diukur pada kondisi Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
yang sama dengan 3 sistem eluen yang berbeda (Gandjar dan Rohman, 2007).
b. Analisis Kuantitatif Ada 2 cara yang digunakan untuk analisis kuantitatif dengan
Kromatografi Lapis Tipis (KLT). Pertama, bercak diukur langsung pada lempeng
dengan menggunakan ukuran luas atau dengan teknik densitometri. Cara kedua adalah
dengan mengerok bercak lalu menetapkan kadar senyawa yang terdapat dalam bercak
tersebut dengan metode analisis yang lain, misalkan dengan metode spektrofotometri
(Gandjar dan Rohman, 2007).
C. Densitometri
Densitometri adalah metode analisis instrumental yang berdasarkan interaksi
radiasi elektromagnetik dengan analit berupa bercak pada KLT. Interaksi radiasi
elektromagnetik dengan noda KLT yang ditentukan adalah absorpsi, transmisi, pantulan
(refleksi) pendar fluor atau pemadaman pendar fluor dari radiasi semula. Penentuan
kualitatif analit KLT-Densitometri dilakukan dengan cara membandingkan nilai Rf analit
dan standart. Penentuan kuantitatif analit dilakukan dengan cara membandingkan luas
area noda analit dengan luas area noda standart pada fase diam yang diketahui
konsentrasinya atau menghitung densitas noda analit dan membandingkannya dengan
densitas noda standart. Densitometri adalah alat yang dilengkapi dengan
spektrofotometeryang panjang gelombangnya dapat diatur dari 200-700 nm.
Densitometri merupakan metode penetapan kadar suatu senyawa pada lempeng
kromatografi menggunakan instrument TLC-scanner. Pengukuran dilakukan dengan cara
mengukur serapan analit (cahaya yang diukur dapat berupa cahaya yang dipantulkan atau
yang diteruskan), pemadaman fluoresensi analit atau hasil reaksi analit (Gandjar dkk,
2007).
2.4. EPMS (etil para-metoksi sinamat)

Kencur (Kaempferia galangal L.) secara empiris telah diketahui


memiliki efek antiinflamasi. Kandungan utama kencur adalah etil p-
metoksisinamat (EPMS) yang merupakan senyawa ester turunan dari p-metoksisinamat
yang di dalam tubuh mengalami hidrolisis menjadi senyawa aktif biologis, asam p-
metoksisinamat (APMS), senyawa ini bekerja dengan menghambat enzim
siklooksigenase, sehingga konversi asam arakhidonat menjadi prostaglandin terganggu.
Selain itu, EPMS termasuk kelompok fenolik alam dari golongan fenil propanoid yang
bermanfaat sebagai tabir surya, senyawa ini memperlihatkan aktifitas serapan maksimum
308nm (daerah UV-B) dan bersifat sebagai UV filter sehingga Etil p-metoksisinamat
mempunyai perlindungan yang baik terhadap sinar matahari yang dapat memantulkan dan
menghamburkan radiasi sinar UV terutama UV-B (290-320 nm) (Soeratri et al, 2014).

2.5. Pemilihan Pelarut


Ekstrak etanol dapat mengidentifikasi senyawa metabolit lebih banyak dari pada
ekstrak air. hal ini dikarenakan ekstrak etanol memiliki kesamaan tingkat kepolaran
dengan senyawa yang didapatkan. Aglikon flavonoid adalah polifenol yang mempunyai
sifat kimia senyawa fenol. Adanya sejumlah gugus hidroksil, flavonoid juga bersifat polar
dan karenanya cukup larut dalam pelarut polar seperti etanol (Markham,1988).
Pemilihan pelarut dipengaruhi oleh :
 Selektivitas, pelarut hanya boleh melarutkan ekstrak yang diinginkan.
 Kelarutan, pelarut sedapat mungkin memiliki kemampuan melarutkan ekstrak yang
besar.
 Kemampuan tidak saling bercampur, pada ekstraksi cair, pelarut tidak boleh larut
dalam bahanekstraksi.
 kerapatan, sedapat mungkin terdapat perbedaan kerapatan yang besar antara pelarut
dengan bahan ekstraksi.
 Keaktiviitas, pelarut tidak boleh menyebabkan perubahan secara kimia pada
komponen bahanekstraksi.
 Titik didih, titik didih kedua bahan tidak boleh terlalu dekat karena ekstrak dan
pelarut dipisahkan dengan cara penguapan, distilasi dan rektifikasi.
 Kriteria lain, sedapat mungkin murah, tersedia dalam jumlah besar, tidak beracun,
tidak mudah terbakar, tidak eksplosif bila bercampur udara, tidak korosif, buaka
emulsifier, viskositas rendah dan stabil secara kimia dan fisik (Sutriani,L, 2008).
2.6. Eluen
 Etil asetat
Etil asetat adalah senyawa organik dengan rumusCH3CH2OC(O)CH3. Senyawa ini
merupakan ester darietanol dan asam asetat. Senyawa ini berwujud cairan tak
berwarna, memiliki aroma khas. Senyawa ini sering disingkat EtOAc, dengan Et
mewakili gugus etil dan OAc mewakili asetat. Etil asetat diproduksi dalam skala
besar sebagai pelarut. Etil asetat adalah pelarut polar menengah yang volatil (mudah
menguap), tidak beracun, dan tidak higroskopis. Etil asetat merupakan penerima
ikatan hidrogen yang lemah, dan bukan suatu donor ikatan hydrogen karena tidak
adanya proton yang bersifat asam (yaitu hidrogen yang terikat pada atom
elektronegatif seperti flor, oksigen, dan nitrogen. Etil asetat dapat melarutkan air
hingga 3%, dan larut dalam air hingga kelarutan 8% pada suhu kamar. Kelarutannya
meningkat pada suhu yang lebih tinggi. Namun demikian, senyawa ini tidak stabil
dalam air yang mengandung basa atau asam (Parmeswaran, 2013).
 N- heksana
n- heksan dibuat dari penyulingan minyak mentah dimana untuk produk industrinya
ialah fraksi yang mendidih pada suhu 65-70 c. Heksana digunakan dilaboratorium
sebagai pelarut minyak atau lemak. (Fessenden dan Fessenden, 1997).
 Asam Formiat
Sifat Fisika Asam Formiat yaitu memiliki rumus molekul HCOOH, merupakan
turunan pertama Asam karboksilat yang paling kuat dengan gugus molekul yang
paling pendek dibandingkan dengan asam karboksilat yang lain. Asam Formiat
termasuk dalam kategori asam organic, tapi bersifat sangat korosif tidak berwarna.
Campuran asam formiat dan air memiliki titik eutetik yang membeku pada suhu
48,5o C dibawah nol dengan komposisi 70% berat asam formiat (Fessenden dan
Fessenden, 1995).
2.7. Standart Deviasi
Standar deviasi atau simpangan baku merupakan ukuran penyebaran data yang
paling sering digunakan. Sebagian besar nilai data cenderung berada dalam satu standar
deviasi dari mean. Standart deviasi data tidak berkelompok dirumuskan sebagai berikut
( Harinaldi, 2005 ).

2.8. Linearitas
Menurut ICH (1995) linearitas merupakan kemampuan dari metode analisis untuk
memperoleh hasil pengujian yang sesuai dengan konsentrasi analit dalam contoh kisaran
konsentrasi tertentu. Parameter linearitas adanya hubungan yang lineardigunakan
koefisien korelasi r pada analisis regresi linier yang ideal dicapai jika b= 0 dan r = +1
atau -1 karena akan terjadi suatu hubungan proporsional antara konsentrasi dan luas area
yang tegandytung dari arah garis (Harmita, 2004).
2.9. Presisi
Presisi merupakan kedekatan hasil dari sederet pengukuran yang diperoleh dari
contoh yang homogen pada kondisi tertentu (ICH, 1995). Pengujian presisi pada awal
validasi metode seringkali menggunakan dua parameter yaitu keterulangan dan presisi
antara. Presisi biasanya dinyatakan dengan SD atau RSD (Standard Deviasi Relatif)
dariserangkaian data. Presisi bisa diukur dari nilai simpangan baku atau simpangan baku
relative (Koefisien Variasi) dengan criteria jika Koefisien Variasi (KV) pada metode
2% atau kurang. Jika nilai KV < 2 % maka bisa disebut metode yang digunakan
memberikan presisi yang baik (Harmita, 2004).
𝑆𝐷
KV = X 100%
𝑋

2.10. Akurasi
Akurasi atau kecermatan merupakan kedekatan hasil yang diterima (baik sebagai
nilai teoritis maupu nilai rujukan yang diterima) dengan nilai yang diperoleh dari hasil
pengukuran (ICH,1995). Akurasi biasanya dinyatakan dengan persen perolehan kembali
(Recovery). Akurasi dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dengan metode simulasi
(spiked-placeo recovery) dan metode penambahan baku (standard addition method).
Pada metode simulasi sejumlah analit bahan murni (senyawa pembanding kimia)
ditambahkan ke dalam campuran bahan pembawa sediaan farmasi atau plasebo
kemudian campuran dianalisis dan hasil yang didapatkan dibandingkan dengan kadar
analit yang ditambahkan (kadar yang sebernarnya). Metode panambahan baku
dilakukan dengan cara sampel yang danalisis kemudian sejumlah tertentu analit yang
diperiksa ditambahkan ke dalam sampel lalu dicampur dan dianalisis lagi. Selisih kedua
hasil tadi dibandigkan dengan kadar yang sebenarnya (hasil yang diharapkan) (Harmita,
2004). Recovery dapat dihitung dengan rumus :
Recovery= (Kadar terukur )/(Kadar teoritis ) 100%
2.11. Linearitas
Linearitas menunjukkan kemampuan suatu metode analisis untuk memperoleh
hasil pengujian yang sesuai dengan konsentrasi analit dalam sampel pada kisaran
konsentrasi tertentu. Sedangkan rentang metode adalah pernyataan batas terendah dan
tertinggi analit yang sudah ditunjukkan dapat ditetapkan dengan kecermatan,
keseksamaan, dan linearitas yang dapat diterima. Rentang dapat dilakukan dengan cara
membuat kurva kalibrasi dari beberapa set larutan standar yang telah diketahui
konsentrasinya (Ermer & Miller 2005).
Persamaan garis yang digunakan pada kurva kalibrasi diperoleh dari metode
kuadrat terkecil, yaitu y = a + bx. Persamaan ini akan menghasilkan koefisien korelasi
(r). Koefisien korelasi inilah yang digunakan untuk mengetahui linearitas suatu metode
analisis. Penetapan linearitas minimum menggunakan lima konsentrasi yang berbeda.
Nilai koefisien korelasi yang memenuhi persyaratan adalah lebih besar dari 0.9970
(ICH, 1995). Linearitas juga dapat diketahui dari kemiringan garis, intersep, dan
residual (Ermer & Miller 2005).
BAB III
PROSEDUR KERJA

3.1. Alat dan bahan

A. Alat B. Bahan
a. Gelas ukur a. Ekstrak kencur
b. Pipet volume b. Etanol 96%
c. Timbangan analitical c. Standar EPMS
d. Labu ukur d. n-heksana
e. Chamber e. etil asetat
f. Ultrasonik f. asam format
g. Plat KLT
h. Densitometri
i. Pipa kapiler

3.2. Prosedur Kerja


1. Pembuatan eluen (Fase gerak)
Eluen yang digunakan adalah n-heksana : etil asetat : asam formiat
(90:10:1).Buatlah eluen sebanyak 101 mL. Masukkan ke dalam chamber. Homogenkan di
dalam chamber dengan cara digoyang-goyang. Apabila volume eluen terlalu banyak,
maka dikurangi. Jangan sampai totolan awal pada lempeng KLT tercelup di dalam
eluen.
2. Pembuatan Larutan Baku
a. Pembuatan Larutan Baku Induk
1. Ditimbang standar EPMS dengan seksama sebanyak 250,0 mg, ditambah dengan 20
mL etanol 96%, diultrasonik selama 5 menit kemudian ditambah dengan etanol
96% sampai tepat 50,0 mL. Diperoleh larutan baku induk 1 dengan konsentrasi
5000 ppm (LI 1).
2. Dipipet 4,0 ml LI 1, dimasukkan ke dalam labu ukur 10,0 ml. ditambahkan etanol
96% sampai garis tanda, kocok ad homogen. Diperoleh larutan baku induk 2
dengan konsentrasi 2000 ppm (LI 2).
b. Pembuatan Baku Kerja
Baku Induk
Larutan Konsentrasi Jumlah yang digunakan
/Baku Kerja yang
Baku
diambil
Baku 1 200 ppm 5,0 ml baku 3 Ditambah etanol ad 10,0 ml
Baku 2 300 ppm 5,0 ml baku 5 Ditambah etanol ad 10,0 ml
Baku 3 400 ppm 5,0 ml baku 6 Ditambah etanol ad 10,0 ml
Baku 4 500 ppm 5,0 ml LI 1 Ditambah etanol ad 50,0 ml
Baku 5 600 ppm 3,0 ml LI 2 Ditambah etanol ad 10,0 ml
Baku 6 800 ppm 4,0 ml LI 2 Ditambah etanol ad 10,0 ml

3. Preparasi Sampel (Sediaan KapsulEkstrak Kencur)


a. Sampel untuk penetapan kadar sampel
1. Diambil sacara acak 3 buah sediaan kapsul ekstrak kencur.
2. Dikeluarkan isi dari masing-masing cangkang, kemudian masing-masing
dimasukkan ke dalam labu ukur ukuran 10,0 ml.
3. Masing-masing ditambah pelarut masing-masing sebanyak 5 ml,diultrasonik
selama 5 menit, ditambah etanol 96% sampai 10,0 ml diultrasonik selama 10
menit. Kemudian disaring, filtrat ditampung (beri identitas sampel)
4. Hasil No. 3 dipipet sebanyak 1,0 ml, dimasukkan ke dalam vial bersih dan kering.
5. Hasil No. 4 ditambah etanol 96% sebanyak 2,0 ml, di ultrasonic selama 5 menit
b. Sampel untuk penentuan recoveri
1. Diambil secara acak 3 buah sediaan kapsul ekstrak kencur
2. Dikeluarkan isi dari masing-masing cangkang, kemudian masing-masing
dimasukkan ke dalam labu ukur ukuran 10,0 ml.
3. Masing-masing ditambah pelarut masing-masing sebanyak 5 ml,diultrasonik
selama 5 menit.
4. Perlakuan no,3 ditambah standar EPMS 500 ppm sebanyak 1,0 ml.
5. Ditambah etanol 96% sampai 10,0 ml, di ultrasonic selama 10 menit. Kemudian
disaring, filtrate ditampung. (beri identitas sampel)
6. Hasil No. 3 dipipet sebanyak 1,0 ml, dimasukkan ke dalam vial bersih dan kering.
7. Hasil No. 4 ditambah etanol 96% sebanyak 3,0 ml, di ultrasonic selama 5 menit
c. Penotolan sampel dan standar pada plat KLT
Ditotolkan masing-masing sampel (sampel sediaan kapsul dan sampel sediaan kapsul
untuk recoveri) sebanyak 2 µl, sedangkan standar EPMS sebanyak 2 µl pada plat KLT.

20 cm

0,5 cm

10 cm

2 cm 1,5 cm

1 S1 2 S2 3 S3 4 R1 5 R2 6 R3 1,5 cm

Keterangan :

Jarak antarnoda : 1,5 cm

1, 2, 3 dst : standar EPMS

S1, S2, S3 : Sampel 1, 2, dan 3

R1, R2, R3 : sampel recoveri 1, 2, dan 3


4. Cara Kerja analisis dengan Thin Layer Chromatography (TLC) Scanner
A. Penentuan panjang gelombang maksimum
Plat KLT yang sudah di-scan pada panjang gelombang 254 dan 365 nm, kemudian
di-scan pada panjang gelombang 200-400 nm. Dari sini dapat diketahui pada panjang
gelombang berapa EPMS memberikan absorbanmaksimum. Panjang gelombang
maksimum tersebut yang akan digunakan untuk pengukuran.
B. Penentuan linearitas
Linearitas ditentukan dari larutan standart EPMS pada lempeng KLT, kemudian
dianalisis dengan menggunakan KLT-densitometer pada panjang gelombang
maksimum. Dihitung berapa regresi linear antara kadar dan luas area noda.
C. Penentuan presisi
Untuk menghitung presisi, ditotolkan sampel masing-masing 2uL dan larutan standar
EPMS masing-masing 2 𝜇L pada lempeng KLT.Lempeng ini kemudian dieluasi
dengan fase gerak dan dianalisis menggunakan KLT-densitometer pada panjang
gelombang maksimum.Sehingga dapat dihitung berapa standart deviasi (SD) dan
koefisien variasinya (KV).
D. Penentuan akurasi
Untuk menentukan % recovery, ditotolkan sampel recovery masing-masing 2 𝜇L
(lihat preparasi sampel untuk recovery) dan larutan standar EPMS masing-masing 2
𝜇L pada lempeng KLT. yLempeng ini kemudian dieluasi dengan fase gerak dan
dianalisis menggunakan KLT-densitometer pada panjang gelombang maksimum.

Kadar yang diperoleh Ct


% recovery = = x 100%
Kadar yang sebenarnya Cp + Cst

Dimana : CT = Kadar EPMS yang diperoleh


Cp = Kadar EPMS dalam sampel
Cst = Kadar standar EPMS yang ditambahkan
Hasil yang telah diperoleh kemudian dihitung standar deviasi (SD) dan
koefisen variasinya (KV).
3.3. Bagan Alir
1. Pembuatan Eluen (Fase gerak)

Diukur eluen dari n-heksana : etil asetat : asam formiat (90 : 10 : 1) sebanyak 101 ml

Dimasukkan kedalam chamber, digoyang-goyangkan agar


homogen.

2. Pembuatan Larutan Baku


A. Pembuatan Larutan Induk
a. Pembuatan larutan baku induk 1

Ditimbang 250 mg standar EPMS

Ditambahkan 20 ml etanol 96%

Di Ultrasonik selama 5 menit

Ditambahkan 50 ml etanol 96%

Larutan induk 1 dengan konsentrasi 5000 ppm (LI 1)


b. Pembuatan larutan baku induk 2

Dipipet 4,0 ml larutan induk 1, dimasukkan ke dalam


labu ukur 10,0 ml

Ditambahkan etanol 96% ad garis tanda,


dikocok ad homogen

Larutan induk 2 dengan konsentrasi 2000


ppm (LI 2)

B. Pembuatan Baku Kerja


a. Baku Kerja 6

Dipipet 4,0 ml dari LI 2

Dimasukan ke labu 10,0 ml + ethanol 96% ad tanda. Homogenkan

b. Baku Kerja 5

Dipipet 3,0 ml dari LI 2

Dimasukan ke labu 10,0 ml + ethanol 96% ad tanda. Homogenkan


c. Baku Kerja 4

Dipipet 5,0 ml dari LI 1

Dimasukan ke labu 50,0 ml + ethanol 96% ad tanda. Homogenkan

d. Baku Kerja 3

Dipipet 5,0 ml dari Baku 6

Dimasukan ke labu 10,0 ml + ethanol 96% ad tanda. Homogenkan

e. Baku Kerja 2

Dipipet 5,0 ml dari Baku 5

Dimasukan ke labu 10,0 ml + ethanol 96% ad tanda. Homogenkan

f. Baku Kerja 1

Dipipet 5,0 ml dari Baku 4

Dimasukan ke labu 10,0 ml + ethanol 96% ad tanda. Homogenkan


3. Preparasi Sampel
a. Sampel untuk penetapan kadar sampel
Diambil sacara acak 3 buah sediaan kapsul ekstrak kencur.

Dikeluarkan isi dari masing-masing cangkang, kemudian masing-


masing dimasukkan ke dalam labu ukur ukuran 10,0 ml.

Masing-masing ditambah pelarut masing-masing sebanyak 5 ml,diultrasonik selama 5


menit,

ditambah etanol 96% sampai 10,0 ml diultrasonik selama 10 menit. Kemudian


disaring, filtrat ditampung (beri identitas sampel)

Hasil No. 3 dipipet sebanyak 1,0 ml, dimasukkan ke dalam vial bersih dan
kering.

Hasil No. 4 ditambah etanol 96% sebanyak 2,0 ml, di ultrasonic selama 5
menit

b. Sampel untuk penentuan recoveri


Diambil sacara acak 3 buah sediaan kapsul
ekstrak kencur.
Dikeluarkan isi dari masing-masing cangkang,
kemudian masing-masing dimasukkan ke
dalam labu ukur ukuran 10,0 ml.

Masing-masing ditambah pelarut masing-masing sebanyak 5


ml,diultrasonik selama 5 menit,

Perlakuan no,3 ditambah standar EPMS 500 ppm


sebanyak 1,0 ml.

Ditambah etanol 96% sampai 10,0 ml, di ultrasonic


selama 10 menit. Kemudian disaring, filtrate
ditampung. (beri identitas sampel)

Hasil No. 3 dipipet sebanyak 1,0 ml,


dimasukkan ke dalam vial bersih dan kering.

Hasil No. 4 ditambah etanol 96% sebanyak 3,0 ml, di


ultrasonic selama 5 menit
c. Penotolan sampel dan standar pada plat KLT
Ditotolkan masing-masing sampel (sampel sediaan kapsul dan sampel sediaan kapsul
untuk recoveri) sebanyak 2 µl, sedangkan standar EPMS sebanyak 2 µl pada plat KLT.

20 cm

0,5 cm

10 cm

2 cm 1,5 cm

1 S1 2 S2 3 S3 4 R1 5 R2 6 R3 1,5 cm
Keterangan :

Jarak antarnoda : 1,5 cm

1, 2, 3 dst : standar EPMS

S1, S2, S3 : Sampel 1, 2, dan 3

R1, R2, R3 : sampel recoveri 1, 2, dan 3

4. Cara Kerja analisis dengan Thin Layer Chromatography (TLC) Scanner


A. Penentuan panjang gelombang maksimum
Plat KLT yang sudah di-scan pada panjang gelombang 254 dan 365 nm, kemudian
di-scan pada panjang gelombang 200-400 nm. Dari sini dapat diketahui pada panjang
gelombang berapa EPMS memberikan absorbanmaksimum. Panjang gelombang
maksimum tersebut yang akan digunakan untuk pengukuran.
B. Penentuan linearitas
Linearitas ditentukan dari larutan standart EPMS pada lempeng KLT, kemudian
dianalisis dengan menggunakan KLT-densitometer pada panjang gelombang
maksimum. Dihitung berapa regresi linear antara kadar dan luas area noda.
C. Penentuan presisi
Untuk menghitung presisi, ditotolkan sampel masing-masing 2uL dan larutan standar
EPMS masing-masing 2 𝜇L pada lempeng KLT.Lempeng ini kemudian dieluasi
dengan fase gerak dan dianalisis menggunakan KLT-densitometer pada panjang
gelombang maksimum.Sehingga dapat dihitung berapa standart deviasi (SD) dan
koefisien variasinya (KV).
D. Penentuan akurasi
Untuk menentukan % recovery, ditotolkan sampel recovery masing-masing 2 𝜇L
(lihat preparasi sampel untuk recovery) dan larutan standar EPMS masing-masing 2
𝜇L pada lempeng KLT. yLempeng ini kemudian dieluasi dengan fase gerak dan
dianalisis menggunakan KLT-densitometer pada panjang gelombang maksimum.

Kadar yang diperoleh Ct


% recovery = = x 100%
Kadar yang sebenarnya Cp + Cst

Dimana : CT = Kadar EPMS yang diperoleh


Cp = Kadar EPMS dalam sampel
Cst = Kadar standar EPMS yang ditambahkan
Hasil yang telah diperoleh kemudian dihitung standar deviasi (SD) dan koefisen
variasinya (KV).
DAFTAR PUSTAKA

Agoes. Goeswin, 2007, Teknologi Bahan Alam. ITB Press: Bandung

Badan POM RI, 2010, Acuan Sediaan Herbal: Jakarta.

Departemen Kesehatan RI. 2000. Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat.
Jakarta: Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan

Departemen Pertanian. 1984. Petunjuk Pemakaian Pestisida. Banjarmasin: Balai


Informasi Pertanian.

Ditjen POM, (1986), Sediaan Galenik, Departemen Kesehatan Republik Indonesia:


Jakarta.
Ermer, J., dan Miller, J.H.McB. (2005). Method Validation in Pharmaceutical Analysis.
A Giude to Best Practice. Weinheim: Wiley-VchVerlag GmbH & Co. KGaA.
Fessenden, R.J., J.S Fessenden. 1997. Dasar-Dasar Kimia Organik. Diterjemahkan oleh
Maun, S ., Anas, A& Sally, S. Jakarta: Binarupa Aksara.

Fessenden & Fessenden. 1995. Kimia Organik. Jakarta. Erlangga

Gandjar, I. G. & Rohman, A., 2007, Kimia Farmasi Analisis, 323-346, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta
Hargono, Djoko. dkk, 1986, Sediaan Galenik. Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan
Makanan (BPOM). Departemen Kesehatan Republik Indonesia: Jakarta.

Harinaldi. 2005. Prinsip-Prinsip Statistik Untuk Teknik dan Sains, Erlangga, Jakarta.
Harmita. 2004. ‘Petunjuk Pelaksanaan Validasi Metode dan Cara Perhitungannya’,
Majalah Ilmu Kefarmasian, Vol. I, No. 3, Desember.
Liang, Y., Xieb P., Chan K., 2004, Review : Quality control of herbal medicines,
Journal of Chromatography B, 812 (2004), 53-70

Markham, 1988, Cara Identifikasi Flavonoid, Diterjemahkan oleh Kosasih


Padmawinata, hal 1-20, Penerbit ITB, Bandung.
Muhlisah F, 1999, Temu-temuan dan Empon- empon, Budidaya dan Manfaatnya,
Penerbit Kanisius : Yogyakarta

Patterson, C.A.,2006. Markers and Natural Health Products, Wellness Ewst


Technology Watch, Canada

Prameswaran, Sandhya. 2013. Quantitation estimation of Piperine, 18-beta


Glycyrrhetinic acid and 6-gingerol from Suryacid tablet formulation by HPLTC
method. Int. J. Res. Pharm. Sci 4(3),453-459.

Purnomo, A.D., 2008, Analisis Makroskopik, Mikroskopik, dan Penentuan Senyawa


Identitas dari Simplisia Herba Purwoceng, Skripsi, Fakultas Farmasi Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta.

Rukmana, R, 1994, Kencur, Kanikus : Yogyakarta.

Saifudin, A., Viesa, R., dan Hilwan, Y.T. 2011. Standarisasi Bahan Obat Alam.
Yogyakarta: Graha Ilmu.

Soeratri, W. dan Tutik, P. 2004. Penambahan asam glikolat terhadap efektifitas sediaan
tabir surya kombinasi anti UV-A dan anti UV-B dalam basis gel. Majalah Farmasi
Airlangga: Surabaya
Stahl, E., 1985, Analisis Obat secara Kromatografi dan Mikroskopi, Edisi terjemahan
(diterjemahkan oleh Kosasih Padmawinata, Iwang Soediro), ITB press, Bandung,
3-18.
Sutriani L. 2008. Ektraksi Pelarut. Available online at
http://medicafarma.blogspot.com/2008/11/ekstraksi.html. Diakses : 20 Agustus
2016.

Anda mungkin juga menyukai