Anda di halaman 1dari 130

AKTIVITAS ANTITUSIF DAN EKSPEKTORAN EKSTRAK ETANOL,

FRAKSI POLAR-SEMI POLAR HERBA MENIRAN (Phyllanthus niruri L.)


PADA MARMUT (Cavia porcellus)

TESIS

Diajukan untuk memenuhi sebagai persyatan mencapai


derajat Sarjana Strata-2
Program Pascasarjana Ilmu Farmasi
Minat Farmasi Sains

Diajukan oleh :

Fakhruddin
SBF091510119

Kepada
PROGRAM PASCASARJANA
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SETIA BUDI
SURAKARTA
2017
COVER TESIS

AKTIVITAS ANTITUSIF DAN EKSPEKTORAN EKSTRAK ETANOL,


FRAKSI POLAR-SEMI POLAR HERBA MENIRAN (Phyllanthus niruri L.)
PADA MARMUT (Cavia porcellus)

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat mencapai


derajat Magister Farmasi (M. Farm)
Program Studi S2-Farmasi pada Fakultas Farmasi
Universitas Setia Budi

Oleh:

Fakhruddin
SBF091510119

FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SETIA BUDI
SURAKARTA
2017

i
PENGESAHAN TESIS
berjudul :

AKTIVITAS ANTITUSIF DAN EKSPEKTORAN EKSTRAK ETANOL, FRAKSI POLAR-


SEMI POLAR HERBA MENIRAN (Phyllanthus niruri L.)
PADA MARMUT (Cavia porcellus)

Oleh:

Fakhruddin
SBF091510119

Dipertahankan di hadapan Panitia Penguji Tesis


Fakultas Farmasi Universitas Setia Budi
Pada tanggal : April 2017

Pembimbing Utama,

Dr. Arief Nurrochmad, M.Sc., Apt

Pembimbing Pendamping,

Dr. Gunawan Pamudji W., M.Si., Apt

Penguji :

1. Dr. Rina Herowati, M.Si., Apt 1. .....................


2. Prof. Dr. Ediati, S.SE, Apt 2. .....................
3. Dr. Gunawan Pamudji W., M.Si., Apt 3. .....................
4. Dr. Arief Nurrochmad, M.Sc., Apt 4. ................ ....

ii
Sesungguhnya bersama kesukaran itu ada keringanan. Karena itu bila
kau sudah selesai (mengerjakan yang lain). Dan berharaplah kepada
Tuhanmu. (Q.S Al Insyirah : 6-8)

Keberhasilan adalah sebuah proses. Niatmu adalah awal keberhasilan.


Peluh keringatmu adalah penyedapnya. Tetesan air matamu adalah
pewarnanya. Doamu dan doa orang-orang sekitarmu adalah bara api
yang mematangkannya. Kegagalan di setiap langkahmu adalah
pengawetnya. Maka dari itu, bersabarlah! Allah selalu menyertai orang-
orang yang penuh kesabaran dalam proses menuju keberhasilan.
Sesungguhnya kesabaran akan membuatmu mengerti bagaimana cara
mensyukuri arti sebuah keberhasilan

Kebanggaan kita yang terbesar adalah bukan tidak pernah gagal,


tetapi bangkit kembali setiap kali kita jatuh

~Confusius~

Kupersembahkan karya ini untuk :


Allah SWT segala puji syukur atas Berkat dan Rahmatnya
Ibu dan bapakku tercinta
Mba, mas dan seluruh keluarga besarku
Keluarga kecilku yang selama ini menemaniku disolo
Agama bangsa negara dan almamaterku

iii
PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis ini adalah hasil pekerjaan saya

sendiri dan tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar

kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi dan sepanjang pengetahuan saya tidak

terdapat karya orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan

disebutkan dalam daftar pustaka.

Apabila tesis ini merupakan jiplakan dari penelitian/karya ilmiah/tesis

orang lain, maka saya siap menerima sanksi, baik secara akademis maupun

hukum.

Surakarta, April 2017

Fakhruddin

iv
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena atas

Rahmat dan Karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini untuk

memenuhi persyaratan guna mencapai gelar Magister Farmasi (M.Farm) dalam

ilmu farmasi dari Fakultas Farmasi Universitas Setia Budi Surakarta.

Tesis ini berjudul “AKTIVITAS ANTITUSIF DAN EKSPEKTORAN

EKSTRAK ETANOL, FRAKSI POLAR-SEMI POLAR HERBA MENIRAN

(Phyllanthus niruri L.) PADA MARMUT (Cavia porcellus)” dengan harapan

dapat bermanfaat bagi pembaca dan dapat memberikan sumbangan bagi ilmu

farmasi terutama pengobatan tradisional.

Tesis ini dalam penyusunannya tidak lepas dari bantuan, bimbingan dan

dukungan banyak pihak, maka pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak

terima kasih kepada :

1. Dr. Djoni Tarigan, MBA selaku Rektor Universitas Setia Budi, yang telah

memberikan kesempatan dan fasilitas kepada penulis.

2. Prof. Dr. R.A. Oetari, SU., MM., M.Sc., Apt. selaku Dekan Fakultas

Farmasi Universitas Setia Budi.

3. Dr. Arief Nurrochmad, M.Sc., Apt selaku pembimbing utama atas

kesempatan, bimbingan, nasehat serta saran dalam penyusunan tesis ini.

4. Dr. Gunawan PW, M.Si., Apt selaku pembimbing pendamping atas

kesempatan, bimbingan, nasehat serta saran dalam penyusunan tesis ini.

v
5. Tim penguji tesis Dr. Rina Herowati, M.Si., Apt dan Prof. Dr. Ediati, S.

SE., Apt atas masukan, kritik, dan saran demi kesempurnaan tesis ini.

6. Segenap Dosen, Asisten, karyawan serta Staf Laboratorium Farmasi

Universitas Setai Budi Surakarta yang banyak membantu kelancaran

praktek penelitian tesis.

7. Orang tua serta Mbak, Mas yang selalu memberi kekuatan, cinta, doa,

dukungan, semangat, dan motivasi.

8. Segenap pihak yang tidak bisa disebutkan satu demi satu yang telah

membantu penulis dalam menyelesaikan tesis ini.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan ini masih banyak kekurangan dan

masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu kritik dan saran sangat penulis harapkan

demi kesempurnaan skripsi ini. Semoga tesis ini bermanfaat bagi penulis

khususnya dan bagi pembaca pada umumnya serta untuk mengembangkan ilmu

farmasi dan pengobatan.

Surakarta, April 2017

Penulis

vi
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL .................................................................................... i

HALAMAN PENGESAHAN ...................................................................... ii

KATA PENGHANTAR ............................................................................... v

DAFTAR ISI ................................................................................................. vii

DAFTAR GAMBAR .................................................................................... xi

DAFTAR TABEL ........................................................................................ xii

DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................ xiii

INTISARI ..................................................................................................... xiv

BAB I PENDAHULUAN ................................................................. 1

A. Latar Belakang Masalah ................................................... 1


B. Rumusan Masalah ............................................................ 4
C. Tujuan Penelitian .............................................................. 4
D. Keaslian Penelitian ........................................................... 4
E. Kegunaan Penelitian ......................................................... 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ....................................................... 7
A. Batuk ................................................................................ 7
1. Defenisi ...................................................................... 7
2. Klasifikasi ................................................................... 7
3. Terapi.......................................................................... 8
4. Mekanisme ................................................................. 8
5. Mekanisme obat batuk antitusif ................................. 10
5.1. Mekanisme antitusif secara sentral ...................... 10
5.2. Mekanisme antitusif secara periferal ................... 12
6. Mekanisme obat peluruh dahak .................................. 14
6.1. Mukolitik ............................................................. 14
6.2. Ekspektoran ......................................................... 15
B. Metode Antitusif............................................................... 16
1. Rangsangan batuk....................................................... 16
2. Agen tusif ................................................................... 17

vii
2.1. Asam sitrat .......................................................... 17
2.2. Capsaicin ............................................................. 17
C. Metode Ekspektoran ......................................................... 18
D. Tanaman Meniran (Phyllanthus niruri L.) ....................... 19
1. Klasifikasi tanaman .................................................... 19
2. Morfologi tanaman ..................................................... 19
3. Kandungan kimia tanaman ......................................... 20
3.1. Flavonoid............................................................. 20
3.2. Alkaloid ............................................................... 22
3.3. Terpenoid ............................................................ 22
3.4. Saponin ................................................................ 24
4. Khasiat secara tradisional ........................................... 25
E. Simplisia ........................................................................... 25
F. Metode Ekstraksi Simplisia .............................................. 27
1. Ekstraksi ..................................................................... 27
2. Maserasi...................................................................... 28
3. Fraksinasi.................................................................... 29
G. Hewan Uji......................................................................... 30
1. Marmut ....................................................................... 30
1.1. Klasifikasi marmut .............................................. 30
1.2. Karakteristik fisik ................................................ 30
H. Landasan Teori ................................................................. 31
I. Hipotesis ........................................................................... 32
BAB III METODE PENELITIAN .................................................... 33

A. Populasi dan Sampel......................................................... 33


B. Variabel Penelitian ........................................................... 33
1. Identifikasi variabel utama ......................................... 33
2. Klasifikasi variabel utama .......................................... 34
3. Defenisi operasional variabel utama .......................... 35
C. Alat dan Bahan ................................................................. 36
1. Alat ............................................................................. 36
2. Bahan .......................................................................... 36
3. Hewan Percobaan ....................................................... 36
D. Jalannya Penelitian ........................................................... 37
1. Determinasi tanaman .................................................. 37
2. Pembuatan serbuk herba meniran ............................... 37
3. Penetapan susut pengeringan ...................................... 37
4. Pembuatan ekstrak etanol herba meniran ................... 38
5. Pembuatan fraksi F, G ekstrak etanol herba
meniran ....................................................................... 38
6. Identifikasi kandungan kimia ekstrak etanol dan
fraksi herba meniran ................................................... 39

viii
6.1.Flavonoid .............................................................. 38
6.2.Alkaloid ................................................................ 39
6.3.Terpenoid .............................................................. 39
6.4.Saponin ................................................................. 39
7. Pembuatan sedian uji .................................................. 40
7.1.Pembuatan suspensi CMC 0,5%........................... 40
7.2.Asam sitrat ............................................................ 40
7.3.Ekstrak etanol herba meniran ............................... 40
7.4.Fraksi F, G ekstrak etanol herba meniran ............. 40
7.5.Kodein .................................................................. 40
7.6.Glibenklamid ........................................................ 40
7.7.Gliseril guaiakolat ................................................ 40
7.8. Phenol red ............................................................ 41
8. Pembuatan kurva baku phenol red ............................. 41
9. Penentuan dosis .......................................................... 41
9.1 Dosis ekstrak etanol herba meniran ...................... 41
9.2 Dosis fraksi F, G ekstrak etanol herba meniran ... 41
9.3 Dosis kodein ......................................................... 42
9.4 Dosis glibenklamid ............................................... 42
9.5 Dosis gliseril guaiakolat ....................................... 42
9.6 Dosis phenol red ................................................... 42
9.7 Dosis asam sitrat ................................................... 42
10. Pengelompokan hewan percobaan ............................. 43
11. Pengujian in vivo ........................................................ 43
11.1 Pengujian aktivitas ekstrak etanol ...................... 44
11.2 Pengujian aktivitas fraksi F, G ........................... 45
11.3 Pengujian mekanisme supresi batuk ................... 45
E. Analisis Hasil.................................................................... 45
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ................... 47

1. Determinasi dan deskripsi tanaman meniran .............. 48


2. Pembuatan serbuk herba meniran ............................... 48
3. Hasil penetapan susut pengeringan serbuk herba
meniran ....................................................................... 49
4. Hasil pembuatan ekstrak etanol herba meniran .......... 49
5. Hasil fraksinasi ekstrak etanol herba meniran ............ 50
6. Hasil identifikasi kandungan kimia ekstrak dan fraksi
herba meniran ............................................................. 50
6.1 Flavonoid .............................................................. 51
6.2 Alkaloid ................................................................ 51
6.3 Terpenoid .............................................................. 51
6.4 Saponin ................................................................. 52

ix
7. Hasil pengujian aktivitas antitusif herba meniran ...... 52
8. Hasil kurva baku ......................................................... 57
9. Hasil pengujian aktivitas ekspektoran herba meniran 58
10. Hasil pengujian mekanisme aktivitas antitusif herba
meniran ....................................................................... 61
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN............................................. 65

A. Kesimpulan ....................................................................... 65
B. Saran ................................................................................. 65

BAB VI RINGKASAN ........................................................................ 66

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 70

LAMPIRAN .................................................................................................. 76

x
DAFTRA GAMBAR

Gambar Halaman
1 Tanaman Meniran ......................................................................... 19
2 Marmut .......................................................................................... 30
3 Efek antitusif terhadap pemberian ekstrak etanol dan fraksi F, G
4 herba meniran ................................................................................ 55
5 Kurva baku phenol red .................................................................. 57
6 Efek ekspektoran terhadap pemberian ekstrak etanol dan fraksi
F, G herba meniran ........................................................................ 60
7 Grafik rata-rata nilai antitusif sebagai gambaran mekanisme
antitusif .......................................................................................... 63

xi
DAFTRA TABEL

Tabel Halaman
1. Hasil prosentase berat kering terhadap berat basah herba
meniran .......................................................................................... 48
2. Hasil penetapan kadar air dalam serbuk herba meniran ................ 49
3. Prosentase rendemen fraksi-fraksi herba meniran......................... 50
4. Identifikasi kandungan senyawa kimia ekstrak dan fraksi herba
meniran .......................................................................................... 51
5. Hasil pengukuran jumlah batuk herba meniran pada hewan uji
marmut selama 5 hari perlakuan ................................................... 53
6. Hasil pengukuran supresi batuk herba meniran pada hewan uji
marmut selama 5 hari perlakuan ................................................... 53
7. Hasil pengukuran kadar phenol red trakea marmut sebagai
aktivitas ekspektoran herba meniran ............................................. 58
8. Hasil pengukuran jumlah batuk herba meniran sebagai
gambaran mekanisme pada hewan uji marmut selama 5 hari
perlakuan ....................................................................................... 62
9. Hasil pengukuran supresi batuk herba meniran sebagai
gambaran mekanisme pada hewan uji marmut selama 5 hari
perlakuan ....................................................................................... 62

xii
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Surat ethical clearance ................................................................... 77


2. Surat keterangan determinasi ........................................................ 78
3. Skema pembuatan ekstrak etanol dan fraksi F, G herba meniran . 79
4. Prosedur pengujian antitusif dan ekspektoran ekstrak etanol ....... 80
5. Prosedur pengujian antitusif dan ekspektoran fraksi F, G. ........... 81
6. Prosedur pengujian mekanisme penghambatan batuk herba
meniran .......................................................................................... 82
7. Perhitungan dosis ekstrak etanol ................................................... 83
8. Perhitungan rendemen fraksi-fraksi .............................................. 84
9. Perhitungan dosis fraksi F, G ........................................................ 86
10. Hasil identifikasi fraksi-fraksi herba meniran ............................... 87
11. Hasil identifikasi kandungan kimia herba meniran ....................... 88
12. Data uji aktivitas antitusif ............................................................. 91
13. Data uji aktivitas ekspektoran ....................................................... 93
14. Ekstraksi trakea marmut ................................................................ 94
15. Hasil statistik aktivitas antitusif herba meniran ............................ 95
16. Hasil statistik aktivitas konsentrasi phenol red trakea .................. 103
17. Hasil statistik gambaran mekanisme aktivitas antitusif ................ 107

xiii
INTISARI

FAKHRUDDIN, 2017, AKTIVITAS ANTITUSIF DAN EKSPEKTORAN


EKSTRAK ETANOL, FRAKSI POLAR-SEMI POLAR HERBA MENIRAN
(Phyllanthus niruri L.) PADA MARMUT (Cavia porcellus), TESIS, FAKULTAS
FARMASI, UNIVERSITAS SETIA BUDI, SURAKARTA.

Phyllantus niruri L., yang merupakan tanaman liar, memiliki aplikasi yang
luas dalam pengobatan tradisional. Tujuan penelitian ini yaitu mengevaluasi aktivitas
antitusif, ekspektoran, serta gambaran mekanisme antitusif herba meniran.
Hewan uji marmut jantan sebanyak 36 ekor dibagi menjadi 9 kelompok
masing-masing kelompok terdiri dari 4 ekor marmut. Aktivitas antitusif ekstrak
etanol dan fraksi F, G dinilai dengan prosentase supresi batuk menggunakan asam
sitrat 7,5% sebagai penginduksi selama 5 hari. Aktivitas ekspektoran dievaluasi
dengan melihat konsentrasi phenol red pada trakea marmut pada hari ke 7. Gambaran
mekanisme dievaluasi dengan melihat perbandingan pemberian ekstrak herba
meniran tunggal dengan kombinasi ekstrak herba meniran dan kodein gambaran
secara sentral pada reseptor opiod dan glibenklamide secara periferal pada ATP
sensitive K+ channel.
Hasil penelitian menunjukan ekstrak etanol dan fraksi F, G dapat
meningkatkan supresi batuk dan memberikan supresi sekresi mukus dalam evaluasi
ekspektoran. Fraksi F, G 160 mg/kgBB menunjukkan nilai antitusif paling efektif
63,57%. Frasi F, G 80 mg/kgBB menunjukkan penurunan sekresi phenol red sebesar
56,91%. Penelitian ini memberikan bukti bahwa meniran dapat digunakan sebagai
antitusif dan supresi sekresi mukus. Herba meniran tidak memberikan gambaran
mekanisme antitusif pada reseptor opiod atau ATP sensitive K+ channel. Aktivitas
antitusif herba meniran mungkin dimodulasi saraf sistemik atau perifer lainnya.

Kata Kunci Phyllantus niruri L., asam sitrat, antitusif, ekspektoran.

xiv
xv

ABSTRACT

FAKHRUDDIN, 2017, ANTITUSSIVE AND EXPECTORANT ACTIVITY OF


THE ETHANOL EXTRACTS, POLAR-SEMI-POLAR FRACTION
MENIRAN HERBS (Phyllanthus niruri L.) ON GUINEA PIG (Cavia porcellus),
THESIS, PHARMACY FACULTY, ETIA BUDI UNIVERSITY, SURAKARTA.

Phyllantus niruri L., is wild plants, has wide applications in traditional


medicine. The purpose of this study is to evaluated antitussive, expectorant activity,
and description antitussive mechanism of phyllantus herbs.
Test animal male guniea pigs as many as 36 divided into 9 groups each
consisting of 4 guinea pigs. The antitussive activity of ethanol extract and fraction F,
G be observed on percentage cough suppression by giving a citric acid 7.5% for 5
days. The Expectorant activity was evaluated with phenol red concentration in guinea
trachea on 7 days. The mechanism description is evaluated by looking at the
comparison of phyllantus herbs and combination ethanol extract phyllantus herbs and
codeine modulated by the opioid receptor and glibenclamide modulated by the ATP
sensitiv.e K+ channel.
The research showed ethanol extract and fraction F, G increased the
suppression of citric acid induced by citric acid 7.5% and decreased the a supprssant
of mucus secretion on evaluation of expectorant. Fraction F, G 160 mg/kgBB showed
the effective activity antitussive 63,57%. Fraction F, G 80 mg/kgBB showed
decreased phenol red secretion by 56,91%. This study provides evidence that
phyllantus herbs can be used as an antitussive and a suppressant of mucus secretion.
Phyllantus herbs not description on mechanism antitussive modulated by the opioid
receptor and ATP sensitiv.e K+ channel. The antitussive mechanism may be
modulated by other systemic nerves and peripheral nerves.

Keywords: Phyllantus niruri L., citric acid, antittusive, expectorant.

xv
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Batuk merupakan salah satu gejala respiratorik yang sebenarnya merupakan

mekanisme refleks pertahanan tubuh jika frekuensinya tidak berlebih. Batuk berperan

dalam menjaga jalan nafas dengan cara menyingkirkan benda asing dan sekresi lendir

yang telah menumpuk pada jalan nafas. Batuk juga bisa disebabkan karena adanya

iritasi pada jalan nafas atau disebabkan oleh efek samping obat (ACE inhibitor,

captopril) (Tjay & Rahardja, 2002). Mekanisme batuk terbagi atas beberapa fase:

inspirasi dimana udara masuk ke dalam saluran nafas secara cepat, penutupan glotis

(kompresi) untuk menahan udara sebelum terjadinya pembukaan glotis (ekspirasi)

secara tiba-tiba akibat kontaksi aktif otot ekpresi dan mengeluarkan udara untuk

mengeluarkan benda asing atau bahan-bahan lain seperti lendir (Chung &

Widdicombe, 2009).

Batuk tidak akan menjadi masalah jika terjadi hanya beberapa saat, tetapi

akan menjadi masalah jika terjadi selama berminggu-minggu, karena akan

mengurangi kualitas hidup pasien. Berdasarkan durasi, batuk dibagi menjadi 3

kelompok, batuk akut, sub-akut, dan kronik. Batas akut adalah kurang dari 3 minggu,

subakut antara 3-8 minggu, dan kronik 8 minggu atau lebih. Batuk juga dapat dibagi

menjadi 2 kelompok berdasarkan tanda klinis yaitu, batuk non-produktif (batuk

1
2

kering) dan batuk produktif (batuk berdahak) (Tjay & Rahardja, 2007; Irwin &

Madison, 2000).

Pengobatan batuk secara umum dilihat dari jenis batuk yang diderita, dan

secara umum obat batuk dibagi menjadi dua macam yaitu antitusif dan ekspektoran.

Antitusif merupakan obat batuk yang bekerja dengan cara menekan refleks batuk

pada pusat-pusat batuk, seperti kodein, dekstrometorphan, dan lain-lain. Berbeda

dengan antitusif yang bekerja dengan cara menekan refleks batuk, ekspektoran

bekerja dengan cara mempermudah mukus yang tertumpuk pada saluran pernapasan

untuk dikeluarkan, dimana mukus yang berlebih pada saluran pernapasan merupakan

salah satu faktor timbulnya batuk, seperti gliseril guaiakolat, amonium klorida, dan

lain-lain.

Antitusif golongan opioid memang menjadi pilihan utama dalam pengobatan

batuk, karena sangat efektif dalam mengatasi batuk, tetapi dengan tingginya tingkat

efek samping sampai dengan efek kecanduan, penggunaan obat ini menjadi

pertimbangan dalam penanganan batuk. Sehingga dibutuhkan obat yang tidak hanya

efektif tetapi memiliki efek samping yang rendah.

Pengobatan herbal mungkin menjadi solusi yang tepat dalam mengembangkan

obat yang efektif dan memiliki efek samping yang rendah. Salah satu tanaman yang

digunakan sebagai obat batuk tradisional adalah meniran (Phyllanthus niruri L). Pada

jamu meniran digunakan oleh masyarakat Indonesia untuk mengatasi batuk. Tidak

hanya di Indonesia, Malaysia juga menggunakan meniran atau yang lebih dikenal

dukong anak dalam mengatasi batuk. Meniran juga digunakan pada 175 formulasi
3

Ayurveda selama 2000 tahun (Bagalkotkar et al., 2006). Menurut Thomas (1992)

meniran sebanyak 3-7 batang lengkap (akar, batang, daun, buah) dapat digunakan

dalam mengatasi batuk. Meniran kaya akan kandungan flavonoid, saponin, tanin,

alkaloid, terpenoid dan lignan (Elfahmi et al., 2006; Mangunwardoyo et al., 2009).

Kamferol, quercetin, dan luteolin merupakan senyawa flavonoid yang berpotensi

sebagai antitusif. Quercetin dan kamferol dapat bertindak sebagai antialergen.

Saponin memiliki efek surfaktan sehingga memungkinkan memiliki efek mukolitik

(Ziment, 2002). Flavonoid dan saponin pada umumnya larut dalam pelarut polar,

tetapi senyawa flavonoid bebas akan lebih mudah larut pada pelarut semipolar seperti

isoflavon, flavon, flavanon, dan flavonol (Markham, 1988).

Malaka (Phyllanthus emblica L.) yang merupakan tanaman satu famili dengan

meniran yaitu Euphorbiaceae memiliki aktivitas antitusif. Hasil penelitian Nosál’ová

et al (2003) menunjukkan bahwa buah segar dari Malaka menunjukkan aktivitas

antitusif lebih efektif dibanding dengan obat antitusif non-narkotik dropropizine pada

dosis 200 mg/kgBB dengan menggunakan kucing sebagai hewan uji yang diinduksi

secara mekanik dan diduga juga memiliki efek sekresi mukus pada saluran

pernapasan.

Berdasarkan penelitian terdahulu, dapat diketahui bahwa meniran berpotensi

memiliki aktivitas sebebagai antitusif. Sejauh ini belum pernah dilakukan pengujian

mengenai aktivitas antitusif pada meniran secara in vivo. Oleh karena itu peneliti

tertarik untuk menguji aktivitas ekstrak etanol herba meniran dan fraksi F, G ekstrak

etanol herba meniran. Penelitian ini menggunakan marmut (Cavia porcellus) sebagai
4

hewan uji untuk melihat aktivitas antitusif berdasarkan persentase supresi batuk yang

diinduksi dengan larutan asam sitrat menggunakan compressor nebulizer dan melihat

aktivitas ekspektoran berdasarkan kadar phenol red yang disekresikan pada trakea.

Penelitian ini juga ingin melihat mekanisme supresi batuk pada herba meniran baik

secara sentral maupun periferal.

B. Rumusan Masalah

1. Apakah ekstrak etanol dan fraksi F, G ekstrak etanol herba meniran mempunyai

aktivitas antitusif dan ekspektoran?

2. Bagaimana mekanisme supresi batuk yang diberikan fraksi F, G ekstrak etanol

herba meniran?

C. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui aktivitas antitusif dan ekspektoran dari ekstrak etanol herba meniran

dan fraksi F, G ekstrak etanol herba meniran

2. Mengetahui mekanisme supresi batuk yang diberikan fraksi F, G ekstrak etanol

herba meniran.

D. Keaslian Penelitian

Penelitian mengenai aktivitas ekstrak etanol herba meniran dan fraksi F, G

ekstrak herba etanol meniran sebagai antitusif pada marmut dan ekspektoran pada

marmut yang diinduksi asam sitrat belum pernah dilakukan oleh peneliti lain. Namun
5

peneliti menemukan beberapa penelitian yang membuktikan khasiat serta mendukung

penelitian ini yaitu sebagai beikut:

Meniran (Phyllanthus niruri L) digunakan dalam pengobatan tradisional

dalam mengatasi batuk di beberapa negara, salah satunya di Indonesia. Malaka

(Phyllanthus emblica L.) yang merupakan tanaman satu famili dengan meniran yaitu

Euphorbiaceae memiliki aktivitas sebagai antitusif. Hasil penelitian Nosál’ová et al

(2003) menunjukkan bahwa buah segar dari Phyllanthus emblica L. menunjukkan

aktivitas antitusif lebih efektif dibanding dengan obat antitusif non-narkotik

dropropizine pada dosis 200 mg/kg BB dengan menggunakan kucing sebagai hewan

uji yang diinduksi secara mekanik dan diduga juga memiliki efek sekresi mukus pada

saluran pernapasan. Menurut Thomas (1992), meniran sebanyak 3-7 batang lengkap

(akar, batang, daun, buah) dapat digunakan dalam mengatasi batuk. Mangunwardoyo

et al (2009) melaporkan ekstrak etanol herba meniran mengandung senyawa

golongan saponin. Saponin diduga memiliki efek surfaktan, sehingga mungkin

memiliki efek mukolitik. Stimulasi refleks sekresi lendir dapat mengakibatkan

timbulnya efek antitusif yang menyertai (Ziment, 2002). Sejauh ini penelitian tentang

aktivitas ekstrak etanol dan fraksi F, G ekstrak etanol herba meniran sebagai antitusif

dan ekspektoran belum pernah dilakukan.

E. Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi ilmiah terkait

penggunaan ekstrak etanol dan fraksi F, G ekstrak etanol herba meniran obat antitusif
6

dan ekspektoran. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat menambah informasi

tentang kemungkinan mekanisme kerja herba meniran dalam supresi batuk.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Batuk

1. Definisi

Batuk merupakan mekanisme pertahanan respiratorik dimana refleks ini

bekerja mengeluarkan sejumlah volume udara secara mendadak dari rongga toraks

melalui epiglotis dan mulut. Mekanisme tersebut dipicu oleh benda asing dan sekresi

lendir yang telah menumpuk pada jalan nafas, sehingga material-material yang berada

di sepanjang saluran respiratorik tersebut akan dilontarkan keluar. Selain sebagai

mekanisme pertahanan respiratorik, batuk juga dapat berfungsi sebagai ‘alarm’ yang

memberitahu adanya gangguan pada sistem respiratorik atau sistem organ lainnya

yang terkait (Setyanto, 2004).

2. Klasifikasi

Batuk berdasarkan tanda klinis dibedakan menjadi dua yaitu, batuk produktif

(dengan dahak) dan batuk non-produktif (kering). Batuk produktif merupakan suatu

mekanisme perlindungan dengan fungsi mengeluarkan zat-zat asing (kuman debu,

lembab berlebih, alergi, dan sebagainya) dan mukus berlebih dari batang

tenggorokan. Batuk ini pada hakikatnya tidak boleh ditekan oleh obat pereda batuk

sebab ditujukan untuk mengeluarkan zat-zat asing tersebut. Tetapi seiring frekuensi

batuk yang berlebih dan mengakibatkan kurangnya kualitas hidup pasien, sehingga

beberapa kasus dapat dikecualikan. Batuk non-produktif bersifat “kering”, batuk yang

7
8

tidak menghasilkan lendir ini terjadi misalnya pada batuk rejan (pertussis, kinkhoest),

atau juga karena pengeluarannya memang tidak mungkin, seperti pada tumor. Batuk

ini tidak ada manfatnya, maka haruslah dihentikan (Tjay & Rahardja, 2007).

Batuk berdasarkan durasi dibagi menjadi 3 kelompok, batuk akut, sub-akut,

dan kronik. Batas akut adalah kurang dari 3 minggu, subakut antara 3-8 minggu, dan

kronik 8 minggu atau lebih (Irwin & Madison, 2000).

3. Terapi

Pengobatan yang digunakan untuk batuk bermacam-macam dibedakan dari

tanda klinis atau jenis batuknya. Terdapat beberapa jenis obat batuk yaitu antitusif,

ekspektoran dan mukolitik. Obat antitusif merupakan obat ditujukan untuk menekan

batuk berlebih. Obat-obatan ini diberikan apabila memang sangat di butuhkan, sebab

obat ini tidak memberikan mafaat klinis. Contoh obat-obat antitusif adalah kodein,

dekstrometorfan, dan noskapin. Obat ekspektoran digunakan untuk merangsang

pengeluaran dahak sehingga dapat meningkatkan sekresi lendir. Contoh obat-obatan

ini adalah gliseril guaiakolat, succus liquiriteae dan ammonium chloride. Obat

mukolitik merupakan obat yang berfungsi meningkatkan sekrsi lendir dengan cara

mengurangi viskositas sputum. Contoh obatnya adalah asetilsistein, karbosistein,

ambroxol dan bromhexin (Ikawati, 2009).

4. Mekanisme

Reseptor batuk merupakan suatu rangkaian refleks yang mengawali terjadinya

batuk, dimana batuk terjadi karna adanya informasi dari saraf eferen dari pusat batuk
9

yang diimplus oleh saraf aferen karena adanya rangsangan dari reseptor batuk. Proses

batuk terjadi dalam beberapa fase yang diawali oleh inspirasi, fase ini diperlukan

untuk mendapatkan volume udara sebanyak-banyaknya sehingga terjadi peningkatan

tekanan intratorakal. Fase kedua yaitu penutupan glotis bertujuan mempertahankan

volume paru pada saat tekanan intratorakal besar, pada fase ini terjadi kontraksi otot

ekspirasi karena pemendekan otot ekspirasi sehingga selain tekanan intratorakal

tinggi tekanan intraabdomen pun tinggi. Fase ketiga, setelah tekanan intratorakal dan

intraabdomen meningkat maka glotis akan terbuka yang menyebabkan terjadinya

ekspirasi yang cepat, singkat, dan kuat sehingga terjadi pembersihan bahan-bahan

yang tidak diperlukan seperti mukus dan lain-lain (Rahajoeet al., 2010).

Sejumlah besar reseptor batuk terdapat pada saluran respiratorik, walaupun

sebagian kecil reseptor batuk terdapat di luar saluran respiratorik misalnya gaster.

Lokasi utama reseptor batuk dijumpai pada faring, laring, trakea, karina, dan bronkus

mayor. Lokasi reseptor lainnya adalah bronkus cabang, liang telinga tengah, pleura,

dan gaster (Setyanto, 2004).

Reseptor ini dapat terangsang secara mekanis (sekret, tekanan), kimiawi (gas

yang merangsang), atau secara termal (udara dingin). Mereka juga bisa terangsang

oleh mediator lokal seperti histamin, prostaglandin, leukotrien dan lain-lain, juga oleh

bronkokonstriksi.
10

5. Mekanisme obat batuk antitusif

Secara luas mekanisme obat batuk antitusif dibedakan menjadi dua.

Penekanan secara sentral pada pusat batuk dan penekanan secara periferal.

5.1. Mekanisme obat batuk antitusif secara sentral. Batuk timbul karena

adanya aktivasi pada saraf aferen, yang mengimplus informasi ke saraf-saraf pusat

batuk dan diterima oleh saraf eferen, yang teregulasi oleh aktivitas otak. Saraf-saraf

yang teregulasi berpotensi menjadi target kerja antitusif. Berikut merupakan contoh

obat-obat antitusif:

a. Kodein

Kodein merupakan antitusif golongan narkotik dimana bekerja pada sistem

syaraf pusat (SSP). Kodein yang merupakan sebuah prodrug dimana dimetabolisme

secara in vivo menjadi metabolit aktif setelah melewati metabolisme menjadi morfin

melalui organ hepar. Kodein mengalami proses demetilasi menjadi morfin oleh enzim

yang ada di hepar yaitu enzim CYP2D6 (Cytochrome P450 family 2 subfamily D

member 6). Sekitar 70-80% dosis yang diberikan mengalami glukoronidasi yaitu

membentuk codeine-6-glucoronide. Proses ini dimediasi oleh UDP

glukoronosiltranferase UGT2B7 (UDP-Glucoronyltransferase 2B7) dan UGT2B4

(UDPGlucoronyltransferase 2B4). 5-10% dari dosis mengalami O-demetilasi menjadi

morfin dan 10% lainnya mengalami N-demetilasi membentuk norcodeine. CYP2D6

memfasilitasi biotransformasi menjadi morfin. CYP3A4 (Cytochrome P450 family 3

subfamily A member 4) adalah enzim yang memfasilitasi konversi menjadi

norcodeine. Baik morfin maupun norcodeine dimetabolisme lebih lanjut dan


11

mengalami glukoronidasi. Metabolit glukoronid dari morfin adalah morphine-3-

glucoronide (M3G) dan morphine-6-glucoronide (M6G). Baik morfin maupun M6G

merupakan senyawa aktif dan memiliki aktivitas analgesik. Sedangkan norcodeine

dan M3G tidak memiliki aktivitas analgesik (Vree et al., 2000). Kodein merupakan

golongan opiat yang selektif pada reseptor µ opioid, seperti pada analognya, morfin,

namun dengan afinitas yang jauh lebih kecil. Kemampuan analgesiknya diduga

berasal dari konversi kodein ke morfin. Reseptor µ opioid ini berpasangan dengan G-

protein sebagian regulator transmisi sinaps melalui G-protein yang mengaktifkan

protein efektor. Terikatnya opiate ini dapat menstimulasi pertukaran GTP (Guanosin

Trifosfat) menjadi GDP (Guanosin Difosfat) di G-proteinkompleks. Selain sebagai

sistem efektor adalah adenylate cyclase dan cylcic adenosin monophospate (cAMP)

yang terletak di bagian dalam permukaan membran plasma. Opioid mengurangi

cAMP intraselular dengan cara menghambat adenylate cyclase. Akibatnya, pelepasan

nociceptive neurotransmitter seperti substansi P, GABA (Gamma Amino Butyric

Acid), dopamine, asetilkolin dan noradrenaline ikut terhambat. Opioid juga

menghambat pelepasan vasopressin, somatostatin, insulin dan glukagon. Opioid

menutup N-type voltage operated calcium channels (OP2-receptor agonist) dan

membuka 13 calcium-dependent inwardly rectifying potassium channels (OP3 dan

OP1 receptor agonist). Hal ini mengakibatkan hiperpolarisasi dan mengurangi

sensitivitas neuron (Schroeder &Fahey, 2004). Kodein yang bekerja secara sentral

digunakan sebagai pembanding dari obat antitusif yang baru yang juga bekerja secara
12

sentral. Obat golongan ini memiliki efek analgetik sekaligus antitusif dengan

pemberian peroral (Chung, 2003).

b. Dekstrometorfan

Dekstrometorfan merupakan opioid-like drug yang bekerja dengan reseptor

opioid σ1 dan σ2 sekaligus bekerja sebagai antagonis reseptor α3/β4 nikotinik yang

berkerja fokus pada serotonin reuptake pump (Hernandez et al., 2000). Absorbsi

dekstrometorfan cepat di saluran pencernaan, dimana dekstrometorfan masuk dalam

aliran darah dengan cara melewati blood-brain barrier (BBB). Dekstrometorfan

setelah melewati first-pass hepatic portal diubah menjadi dextrorphan, sebagai

senyawa metabolit yang lebih aktif (Olney & Labruyere, 1989). Dekstrometorfan

adalah obat antitusif golongan non narkotik yang yang bekerja pada SSP yang

disintesis dari derivat morfin. Dektrometorfan memiliki efek antitusif yang sama

besar dengan kodein dengan cara menekan refleks batuk dan bertindak secara

langsung pada pusat batuk dalam medulla di otak, senyawa yang bertindak secara

langsung ini adalah antagonis reseptor NMDA (N-Methyl D-Aspartate) dan bertindak

sebagai non-competitive channel yang memiliki afinitas ikatan yang tinggi pada

beberapa region di otak, termasuk pusat batuk medulla itu sendiri (Hargreaves et al.,

1994).

5.2. Mekanisme obat batuk antitusif secara periferal. Berbeda dengan obat

antitusif SSP yang bekerja di dalam SSP, obat antitusif yang bekerja secara perifer

bekerja di luar SSP dan menekan batuk dengan cara menurunkan satu atau lebih
13

responsitas dari saraf sensorik yang berperan pada reflex (Reynolds et al., 2003).

Contoh obat antitusif yang bekerja pada sistem saraf perifer adalah sebagai berikut:

a. Benzonatate

Benzonatate bekerja dengan cara menekan transmisi dari refleks batuk di

tingkat medulla dimana impuls aferen ditransmisikan ke saraf motorik. Benzonatate

juga memiliki mekanisme kerja yang bertindak secara perifer, dan menganastesi

strech receptors dari serabut vagal aferen dalam alveoli, bronchi, dan pleura.

Reseptor-reseptor inilah yang bertanggung jawab atas terjadinya refleks batuk,

sehingga dengan menganastesi reseptor-reseptor ini dapat mengakibatkan supresi

batuk (Cohen et al., 2009). Benzonatate merupakan agen antitusif non-narkotik

turunan poliglikol rantai panjang yang struktur kimianya mirip dengan tetracaine

anastesi lokal tipe ester lainnya dan secara kimia memiliki hubungan dengan prokain,

dimana bila dikonsumsi secara oral maka target aksinya adalah menghambat strech

receptor. Benzonatate digunakan untuk menekan batuk yang timbul baik batuk akut

maupun kronis yang bekerja secara perifer di saluran pernafasan, paru-paru, dan

pleura sehingga dapat mengurangi aktivitas batuk yang mengakibatkan refleks batuk

berkurang (Cohen et al., 2009).

b. Moguisteine

Moguisteine merupakan antitusif yang bekerja secara perifer dan termasuk ke

dalam golongan non opioid dimana mekanisme kerjanya dengan cara membuka ATP-

sensitive potassium channels sehingga terjadi pengeluaran ion K+ dan menyebabkan

hiperpolarisasi pada membran sel dan menghambat pembengkakan pada serabut Aδ.
14

Obat ini belum secara komersil diperjual belikan karena masih dalam tahap

pengembangan (Morita & Kamei, 2000).

6. Mekanisme obat peluruh dahak

Batuk memiliki peran utama dalam mengeluarkan dahak dan membersihkan

saluran pernafasan, maka batuk yang menghasilkan dahak umumnya tidak disupresi.

Maka dari itu dibutuhkan obat yang mekanisme kerjanya mensupresikan batuk pada

waktu malam untuk mengelakkan dari gangguan tidur. Pengobatan batuk secara

umum dapat diklasifikasikan berdasarkan jenis batuknya berdahak atau tidak (Beers,

2003). Jenis-jenis obat batuk yang terkait dengan batuk yang berdahak adalah sebagai

berikut:

6.1. Mukolitik. Mukolitik merupakan obat yang bekerja dengan cara

mengencerkan sekret saluran pernafasan dengan jalan memecah benang-benang

mukoprotein dan mukopolisakarida dari sputum (Estuningtyas, 2008). Mekanisme

kerja dari agen mukolitik ini berfungsi dengan cara mengubah viskositas sputum

melalui aksi kimia langsung pada ikatan komponen mukoprotein. Contoh obat yang

termasuk ke dalam agen mukolitik adalah sebagai berikut:

a. Ambroksol

Ambroksol merupakan suatu metabolit bromheksin yang memiliki mekanisme

kerja secretolytic agent, yang bekerja dengan cara memecah mukoprotein dan

mukopolisakarida pada sputum sehingga mukus yang kental pada saluran bronkial

menjadi lebih encer, kemudian memfasilitasi ekspektorasi ambroksol sedang diteliti


15

tentang kemungkinan manfaatnya pada keratokonjungtivitis sika dan sebagai

perangsang produksi surfaktan pada anak lahir prematur dengan sindrom pernafasan

(Estuningtyas, 2008).

b. Asetilsistein

Asetilsistein bekerja dengan cara menurunkan viskositas sekret paru.

Mekanisme kerja utama dari asetilsistein adalah melalui pemecahan ikatan disulfida.

Reaksi ini menyebabkan penurunan viskositas dan memudahkan penyingkiran sekret

tersebut. Asetilsistein juga memiliki mekanisme kerja dengan cara menurunkan

viskositas sputum (Estuningtyas, 2008).

6.2. Ekspektoran. Ekspektoran merupakan obat yang mekanisme kerjanya

dapat merangsang pengeluaran dahak dari saluran pernafasan (ekspektorasi). Pada

dasarnya penggunaan ekspektoran ini didasarkan pada pengalaman empiris.

Mekanisme kerjanya diduga berdasarkan stimulasi mukosa lambung dan selanjutnya

secara refleks merangsang sekresi kelenjar saluran pernafasan lewat nervus vagus,

sehingga menurunkan viskositas dan mempermudah pengeluaran dahak. Obat yang

termasuk golongan ini ialah:

a. Ammonium Klorida

Ammonium klorida sendiri jarang digunakan sebagai terapi obat tunggal yang

berperan sebagai ekspektoran tetapi lebih sering dalam bentuk campuran dengan

ekspektoran lain atau antitusif. Apabila digunakan dalam dosis besar dapat

menimbulkan asidosis metabolik yang dapat mengakibatkan pengasaman urin pada


16

keracunan sebab berpotensi membebani fungsi ginjal dan menyebabkan gangguan

keseimbangan elektrolit (Estuningtyas, 2008).

b. Gliseril Guaiakolat

Gliseril Guaiakolat atau disebut juga Guaifenesin merupakan derivate

guaiakol yang banyak digunakan sebagai ekspektoran dimana pada dosis tingi dapat

memberikan efek relaksasi pada otot. Gliseril Guaiakolat termasuk jenis obat batuk

basah. Obat batuk ini digunakan untuk batuk yang memiliki ciri berlendir, dahak

mudah dikeluarkan dan terasa ringan (Tjay & Rahardja, 2007). Gliseril Guaikolat

sendiri memiliki mekanisme kerja dengan cara merangsang reseptor-reseptor di

mukosa lambung yang kemudian meningkatkan kegiatan kelenjar-sekresi dari saluran

lambung-usus dan sebagai refleks memperbanyak sekresi dari kelenjar yang berada di

saluran napas (Tjay & Rahardja, 2007).

B. Metode Antitusif

1. Rangsangan batuk

Mekanisme batuk terdiri atas tiga fase utama yaitu, fase inspirasi, fase

kompresi (penutupan glotis), dan fase ekspirasi (pembukaan glotis). Batuk memiliki

fungsi sebagai mekanisme pertahanan tubuh dalam membersihkan saluran

respiratorik dari benda asing dan mukus yang berlebih. Antitusif merupakan obat

penanganan batuk yang paling efektif, tetapi efek samping yang sering timbul

membuat penggunaannya harus dipertimbangkan. Metode tusif dilakukan dengan


17

cara mengukur sensitivitas refleks batuk dengan menggunakan rangsangan kimia dan

mekanik untuk tujuan mengevaluasi efek terapetik obat antitusif dan menambah studi

epidemiologi batuk. Refleks batuk dengan rangsangan kimia dilakukan dengan

bermacam cara yaitu, secara inhalasi, pemberian senyawa kima secara lokal pada

trakea, dan lain-lainnya. Ada berbagai zat kimia seperti asam, partikulat, gas iritan,

asap rokok, nikotin, capsaicin, bradikin, dan salin hipertonik yang ketika terhirup

akan menyebabkan batuk pada manusia dan hewan (Belvisi, 2006).

2. Agen tusif

Agen penginduksi secara inhalasi dibagi menjadi beberapa metode yaitu,

induksi dengan menggunakan asam dan tidak menggunakan asam. Asam sitrat dan

asam tatrat merupakan penginduksi asam yang paling sering digunakan. Agen batuk

bukan asam seperti bradikin, sulfur oksida, capsaicin, dan asap rokok juga telah

banyak digunakan. Capsaicin dan asam sitrat paling umum digunakan dalam

pengujian terhadap batuk secara in vivo (Belvisi, 2006).

2.1. Asam sitrat. Asam sitrat memiliki keuntungan dalam merespon batuk

pada semua hewan uji karena dapat memproduksi batuk dalam waktu yang singkat

dan lebih responsif. Asam sitrat yang diberikan secara inhalasi secara eksklusif

merangsang serat-c dan serat-Aδ, walaupun tidak sepenuhnya asam sitrat dapat

merangsang serat -Aδ (Tanaka, 2005).

2.2. Capsaicin. Capsaicin (8-metil-N-vanillyl-6-nonenamide) merupakan

senyawa dari buah-buahan cabai yang telah lama digunakan dalam memproduksi
18

batuk secara aman, hanya dapat menyebabkan bronkhokonstriksi pada dosis tertentu.

Capsaicin secara eksklusif dapat merangsang serat-c di mukosa pernapasan melalui

reseptor TRPV1 (Ternesten-Hasse´us, 2014).

C. Metode Ekspetoran

Batuk produktif merupakan batuk yang timbul karena adanya zat-zat asing

(kuman debu, dan sebagainya) dan dahak yang berlebih di batang tenggorokan.

Timbulnya dahak pada batang tenggorokan disebabkan karena terjadi gangguan pada

sekresi lendir sehingga lendir akan berlebih dan memperburuk penyakit. Amonium

klorida, iodida, dan obat yang lain telah digunakan untuk membantu meningkatkan

sekresi dahak. Pengembangan obat baru untuk meningkatkan sekresi lendir masih

menjadi kendala karena kelangkaan metode untuk mempelajari sekresi pada saluran

nafas. Metode sederhana telah ditemukan untuk skrining obat yang mempengaruhi

sekresi trakeobronkial. Larutan phenol red (500 mg/kg) yang diberikan secara intra

peritonial akan memberikan pewarnaan pada lumen trakea. Trakea yang diisolasi

diekstrasi dengan larutan salin dan ditambahkan NaOH, kemudian dihitung

absorbansinya pada panjang gelombang 546 nm (Encler & Szeleny, 1984).


19

D. Tanaman Meniran (Phyllanthus niruri L.)

Gambar 1. Tanaman meniran.

1. Klasifikasi tanaman

Divisi : Spermatophyta

Sub divisi : Angiospermae

Kelas : Dicotyledoneae

Bangsa : Geraniales

Suku : Euphorbiaceae

Marga : Phyllanthus

Jenis : Phyllanthus niruri L. (Depkes RI, 2000)

2. Morfologi tanaman

Meniran merupakan tumbuhan semak atau tumbuhan semusim dengan tinggi

30-100 cm. Batang masif, nulat, licin, tak berambut, diameter ±3 mm dan hijau. Daun

majemuk, berseling, anak daun 15-24, bulat telur, ujung tumpul, pangkal membulat,
20

panjang ±1,5 cm, lebar ±7 mm, tepi rata, dan hijau. Bunga tunggal, dekat tangkai

anak daun, menggantung, putih, daun kelopak bentuk bintang, benang sari dan putik

tidak tampak jelas, mahkota kecil, putih. Buah berbentuk kotak, bulat, pipih diameter

±2 mm, hijau keunguan. Biji kecil, keras dan putih. Akar tunggang dan putih kotor

(Depkes RI, 2000).

3. Kandungan kimia tanaman

Tanaman meniran mengandung 4-methoxy-nor-securinine, nirurine, ent-

norsecurinine, gallic acid, corilagin, ellagic acid, ethyl brevifolin carboxylate,

quercetin, rutin, astragalin, quercitrin, isoquercitrin, kaempferol-49-

rhamnopyranoside, eridictyol-7-rhamnopyranoside, fisetin-4-O-glucoside,

nirurinphyllanthin, hypophyllanthin, niranthin, nirtetralin, phyltetralin, hinokinin,

isolintetralin, ricinoleic acid, phyllester, estradiol, b-sitosterol, isopropyl-24-

cholesterol, geraniin, lupeol acetate, lupeol, phyllanthenol, phyllanthenone,

phyllantheol. Meniran kaya akan kandungan flavonoid, saponin, tanin, alkaloid,

terpenoid dan lignan (Calixto, 1998).

3.1. Flavonoid. Flavonoid merupakan derivat dari senyawa phenol terbesar

yang ditemukan di alam. Senyawa ini merupakan zat yang memberikan warna zat

ungu, merah, biru dan kuning pada tumbuh-tumbuhan (Lenny, 2006). Secara umum,

flavonoid merupakan senyawa dengan 15 atom karbon yang tersusun dalam

konfigurasi C6-C3-C6, yaitu dua cincin aromatik yang dihubungkan oleh tiga karbon

yang dapat atau tidak dapat membentuk cincin ketiga. Gugus hidroksil (-OH) hampir
21

selalu terdapat dalam flavonoid, khususnya pada cincin B di posisi 3’ dan 4’, cincin A

pada posisi 5 dan 7, atau cincin C pada posisi 3. Gugus hidroksil ini merupakan

tempat menempelnya berbagai gula yang dapat meningkatkan kelarutan flavonoid

dalam air. Sebagian besar flavonoid disimpan dalam vakuola tengah yaitu ruang

dalam sel yang berisi cairan, walaupun disintesis di luar vakuola (Salisburry, 1995).

Berdasarkan strukturnya, menggolongkan flavonoid dalam enam kelompok

antara lain aglikon (flavonoid tak terikat gula), flavonoid-Cglikosida (flavonoid yang

terikat gula pada inti benzena), flavonoid -O-glikosida (flavonoid yang terikat gula

pada gugus hidroksilnya), biflavonoid (flavonoid biner), flavonoid sulfat (flavonoid

yang berikatan dengan satu atau lebih gugus sulfat), dan aglikon yang bersifat optis

aktif. Sedangkan menurut fungsi fisiologisnya, flavonoid dikelompokkan menjadi

tiga, yaitu antosianin (flavonoid yang berperan sebagai pigmen warna), flavonol dan

flavon (perlindungan terhadap radiasi UV berlebih dan sebagai sinyal biologis), dan

isoflavon (flavonoid biner yang banyak berperan sebagai senyawa pertahanan).

Walaupun terlihat beragam, namun golongan flavonoid disintesis oleh prekursor yang

sama (fenilalanin, yang merupakan asam amino aromatik) melalui jalur biosintesis

asam sikimat yang khas hanya terdapat pada tumbuhan (Lenny, 2006).

Efek flavonoid terhadap bermacam-macam organisme sangat banyak

macamnya, flavonoid merupakan senyawa yang memberikan efek pereduksi yang

baik, menghambat banyak reaksi oksidasi baik secara enzim maupun non enzim.

Flavonoid bertindak sebagai penampung yang baik bagi radikal hidroksi dan

superoksid dengan demikian melindungi lipid membran terhadap reaksi yang


22

merusak. Flavonoid mengandung sistem aromatis yang terkonjugasi dan karena itu

menunjukkan pita serapan kuat pada daerah spektrum UV sinar tampak

(Robinson,1991). Kamferol, quercetin, dan luteolin merupakan senyawa flavonoid

yang berpotensi sebagai antitusif (Roy, 2013). Quercetin dan kamferol dapat

bertindak sebagai antialergen.

3.2. Alkaloid. Alkaloid adalah senyawa kimia tanaman hasil metabolisme

sekunder, yang terbentuk berdasarkan prinsip pembentukan campuran. Alkaloid dapat

ditemukan pada daun, kuncup muda, akar, pada getah yang diproduksi di tabung-

tabung getah dalam epidermis dan sel-sel yang langsung di bawah epidermis seperti

pada korteks. Oleh sebab itu, untuk simplisia-simplisia alkaloid digunakan akar,

daun, buah, biji dan kulit. Alkaloid juga merupakan golongan zat metabolit sekunder

yang terbesar, yang pada saat ini telah diketahui sekitar 5500 buah. Alkaloid pada

umumnya mempunyai keaktifan fisiologi yang menonjol, sehingga oleh manusia

alkaloid sering dimanfaatkan untuk pengobatan. Alkaloid merupakan senyawa

bersifat basa yang mengandung satu atau lebih atom nitrogen, biasanya dalam

gabungan sebagai bagian dari sistem siklik yang bentuknya bermacam-macam.

Sebagian besar alkaloid merupakan kristal putih yang agak larut dalam air. Alkaloid

sering kali beracun bagi manusia dengan bahaya yang mempunyai aktivitas fisiologi

yang menonjol sehingga digunakan secara luas dalam pengobatan (Sirait, 2007).

3.3. Terpenoid. Terpenoid adalah senyawa dengan keseragaman struktur

yang besar dalam produk alami yang diturunkan dari unit isoprena yang

bergandengan dalam model kepala dan ekor, sedangkan unit isoprena diturunkan dari
23

metabolismr asam asetat oleh jalur asam mevalonat. Terpenoid merupakan komponen

yang biasa ditemukan di alam yang banyak mengandung minyak atsiri. Kata

terpenoid mencakup sejumlah besar senyawa tumbuhan, dan istilah ini digunakan

untuk menunjukkan bahwa secara biosintesis semua senyawa tumbuhan itu berasal

dari senyawa yang sama. Jadi, semua terpenoid berasal dari molekul isoprene

CH2==C(CH3)-CH==CH2 dan kerangka karbonnya dibangun oleh penyambungan 2

atau lebih satuan C5 ini. Kemudian senyawa itu dipilah-pilah menjadi beberapa

golongan berdasarkan jumlah satuan yang terdapat dalam senyawa tersebut, 2 (C10),

3 (C15), 4 (C20), 6 (C30) atau 8 (C40) (Gunawan et al., 2008).

Terpenoid terdiri atas beberapa macam senyawa, mulai dari komponen

minyak atsiri, yaitu monoterpena dan sesquiterepena yang mudah menguap (C10 dan

C15), diterpena menguap, yaitu triterpenoid dan sterol (C30), serta pigmen karotenoid

(C40). Masing-masing golongan terpenoid itu penting, baik dalam pertumbuhan dan

metabolisme maupun pada ekologi tumbuhan. Terpenoid merupakan unit isoprena

(C5H8). Terpenoid merupakan senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari enam

satuan isoprena dan secara biosintesis diturunkan dari hidrokarbon C30 siklik yaitu

skualena. Senyawa ini berstruktur siklik yang terlihat rumit, kebanyakan berupa

alkohol, aldehid atau atom karboksilat. Mereka berupa senyawa berwarna, berbentuk

kristal, seringkali bertitik leleh tinggi dan optik aktif yang umumnya sukar dicirikan

karena tak ada kereaktifan kimianya.

Minyak esensial mint (mentol), eucalyptus (cineole), pinus (pinene), myrtol

(cineole, pinene, dan limonene), anise (anethole), thyme (timol), terpentin (pinenes)
24

dan terapi herbal populer lainnya dapat berefek ketika diberikan melalui mulut karena

mereka diserap ke dalam aliran darah dan dikeluarkan oleh paru-paru, dimana

senyawa tersebut dapat merangsang mukokinesis.

3.4. Saponin. Saponin adalah glikosida triterpenoid dan sterol. Saponin

berasal dari bahasa Latin “sapo” yang berarti sabun, diberi nama demikian karena

sifatnya yang menyerupai sabun. Saponin adalah senyawa aktif permukaan yang kuat

yang menimbulkan busa jika dikocok dalam air dan pada konsentrasi yang rendah

sering menyebabkan hemolisis sel darah merah. Dalam larutan yang sangat encer

saponin sangat beracun untuk ikan, dan tumbuhan yang mengandung saponin telah

digunakan sebagai racun ikan selama beratus-ratus tahun (Harborne,1987; Sirait

2007).

Saponin konsentrasi rendah sering menyebabkan hemolisis sel darah merah

pada tikus. Pada umumnya saponin bereaksi netral (larut dalam air), beberapa ada

yang bereaksi asam (sukar larut dalam air), dan sebagian kecil ada yang bereaksi

basa. Beberapa saponin juga bekerja sebagai antimikroba. Senyawa saponin dapat

bersifat antibakteri dengan merusak membran sel. Rusaknya membran menyebabkan

substansi penting keluar sel dan juga dapat mencegah masuknya bahan-bahan penting

ke dalam sel. Jika fungsi membran sel dirusak maka akan mengakibatkan kematian

sel. Oesman et al (2010) menyatakan bahwa saponin adalah senyawa polar yang

keberadaanya dalam tumbuhan dapat diekstraksi dengan pelarut F, G dan polar.

Saponin memiliki efek surfaktan sehingga memungkinkan memiliki efek mukolitik

(Ziment, 2002).
25

4. Khasiat secara tradisional

Meniran digunakan oleh masyarakat Indonesia untuk mengatasi batuk. Tidak

hanya di Indonesia, di Malaysia juga menggunakan meniran atau yang lebih dikenal

dukong anak untuk mengatasi batuk. Meniran juga digunakan pada 175 formulasi

Ayurveda selama 2000 tahun (Bagalkotkar et al., 2006).

E. Simplisia

Simplisia adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat tradisonal

yang belum mengalami pengolahan kecuali proses pengeringan. Simplisia dapat

dibagi ke dalam dua kelompok, yaitu simplisia tumbuhan dan simplisia hewan.

Kemudahan budidaya dan penanganan membuat simplisia tumbuhan lebih mudah

ditemui bila dibandingkan dengan simplisia hewan. Jenis simplisia tumbuhan yang

bisa ditemui sangat beragam tergantung kepada jenis dan bagian tumbuhan yang

dimanfaatkan seperti daun, bunga, buah, biji, rimpang, batang dan akar (Herawati,

2012).

Simplisia dapat digolongkan dalam tiga kategori, yaitu: (Depkes RI, 1995).

a. Simplisia nabati

Simplisia nabati adalah simplisia yang berupa tanaman utuh, bagian tanaman

atau eksudat tanaman. Eksudat adalah isi sel yang secara spontan keluar dari tanaman

atau isi sel yang dengan cara tertentu dipisahkan dari tanamannya dan belum berupa

zat kimia murni.


26

b. Simplisia hewani

Simplisia hewani adalah simplisia yang berupa hewan atau bagian hewan zat -

zat berguna yang dihasilkan oleh hewan dan belum berupa zat kimia murni.

c. Simplisia pelikan (mineral)

Simplisia pelikan adalah simplisia yang berupa bahan-bahan pelikan (mineral)

yang belum diolah atau telah diolah dengan cara sederhana dan belum berupa zat

kimia murni.

Simplisia telah lama dikenal masyarakat sebagai obat tradisional yang

digunakan untuk mencegah atau mengobati suatu penyakit tertentu. Agar dapat

bermanfaat secara optimal, simplisia selayaknya harus memenuhi syarat sebagai

simplisia yang aman, berkhasiat dan bermutu baik. Simplisia yang aman adalah

simplisia yang tidak mengandung bahaya bagi kesehatan baik bahaya mikrobiologis,

bahaya kimia maupun bahaya fisik. Simplisia yang berkhasiat adalah simplisia yang

masih mengandung bahan aktif yang berkhasiat bagi kesehatan. Simplisia yang

bermutu baik adalah yang dapat diterima secara organoleptik dan layak dikonsumsi

sesuai dengan karakteristik masing-masing jenis simplisia (Herawati, 2012).

Proses pengeringan dilakukan untuk mendapatkan simplisia yang berkualitas.

Ada beberapa cara pengeringan yang sering dilakukan untuk menghasilkan simplisia

tanaman, seperti pengeringan dengan penjemuran sinar matahari, oven maupun

kombinasi antara keduanya. Kandungan bahan aktif yang terdapat pada tanaman

sangat di pengaruhi oleh proses pengeringan. Setiap jenis tanaman mempunyai

respon yang berbeda, ada beberapa tanaman yang peka terhadap penyinaran matahari
27

langsung serta suhu yang terlalu tinggi. Pengeringan yang tepat akan menghasilkan

mutu simplisia yang tahan disimpan lama dan tidak terjadi perubahan bahan aktif

yang dikandungnya. Sebaliknya pengeringan suatu bahan terlalu lama dan suhunya

yang terlalu tinggi dapat menurunkan mutu karena dapat merusak komponen-

komponen yang terdapat di dalamnya (Manoi, 2006). Pengeringan harus disesuaikan

dengan bahan tanaman yang akan dikeringkan. Bahan tanaman seperti akar, daun,

bunga, dan buah, maka suhu dan metode pengeringan harus diperhatikan untuk

menghindari berkurangnya kadar zat berkhasiat. Bahan yang berasal dari bunga dan

daun harus tidak mengubah warna dan aroma aslinya, karena daun dan bunga mudah

mengalami kerusakan selama pengeringan. Daun, herba, dan bunga dapat dikeringkan

dengan kisaran suhu 20- 40°C (Hernani, 2009).

F. Metode Ekstraksi Simplisia

1. Ekstraksi

Ekstraksi merupakan suatu proses pengangkatan unsur-unsur yang terkandung

dalam tanaman atau pemisahan zat yang diinginkan dari bahan tanaman dengan

menggunakan pelarut yang sesuai (Raaman, 2006). Bahan mentah dan bahan yang

sudah dilakukan proses pengeringan dapat digunakan dalam ekstraksi. Hasil ekstraksi

yang sempurna atau mendekati sempurna dapat diperoleh dengan penentuan metode

ekstraksi yang benar, sesuai dengan sifat fisik bahan mentah atau simplisia.
28

2. Maserasi

Maserasi merupakan cara penyarian yang sederhana. Maserasi dilakukan

dengan cara merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari (Depkes RI, 2006).

Cairan penyari akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang

mengandung zat aktif dan zat aktif akan larut. Simplisia yang akan diekstraksi

ditempatkan pada wadah atau bejana yang bermulut lebar bersama larutan penyari

yang telah ditetapkan, bejana ditutup rapat kemudian dikocok berulang–ulang

sehingga memungkinkan pelarut masuk ke seluruh permukaan simplisia. Rendaman

tersebut disimpan terlindung dari cahaya langsung (mencegah 6 reaksi yang

dikatalisis oleh cahaya atau perubahan warna). Waktu maserasi pada umumnya 5

hari, setelah waktu tersebut keseimbangan antara bahan yang diekstraksi pada bagian

dalam sel dengan luar sel telah tercapai. Dengan pengocokan dijamin keseimbangan

konsentrasi bahan ekstraksi lebih cepat dalam cairan. Keadaan diam selama maserasi

menyebabkan turunnya perpindahan bahan aktif (Voight,1994)

Kelemahan dari maserasi adalah prosesnya membutuhkan waktu yang cukup

lama. Ekstraksi secara menyeluruh juga dapat menghabiskan sejumlah besar volume

pelarut yang dapat berpotensi hilangnya metabolit. Beberapa senyawa juga tidak

terekstraksi secara efisien jika kurang terlarut pada suhu kamar (27 oC). Ekstraksi

secara maserasi dilakukan pada suhu kamar (27oC), sehingga tidak menyebabkan

degradasi metabolit yang tidak tahan panas (Voight,1994).


29

3. Fraksinasi

Fraksinasi merupakan proses pemisahan antara zat cair dengan zat cair.

Fraksinasi dilakukan secara bertingkat berdasarkan tingkat kepolarannya yaitu dari

non polar, semi polar, dan polar. Senyawa yang memiliki sifat non polar akan larut

dalam pelarut non polar, yang semi polar akan larut dalam pelarut semi polar, dan

yang bersifat polar akan larut ke dalam pelarut polar (Harborne,1987).

Fraksinasi ini umumnya dilakukan dengan menggunakan metode corong pisah

atau kromatografi kolom. Kromatografi kolom merupakan salah satu metode

pemurnian senyawa dengan menggunakan kolom. Ekstrak yang telah dilarutkan

dalam aquades, nantinya akan dimasukkan ke dalam corong pisah dan dicampur

dengan pelarut berdasarkan tingkat kepolarannya. Setelah itu corong pisah dikocok.

Setelah dikocok, akan terbentuk dua lapisan. Pelarut yang memiliki massa jenis lebih

tinggi akan berada di lapisan bawah, dan yang memiliki massa jenis lebih kecil akan

berada di lapisan atas. Senyawa yang terkandung dalam ekstrak nantinya akan

terpisah sesuai dengan tingkat kepolaran pelarut yang digunakan. Senyawa ini akan

tertarik oleh pelarut yang tingkat kepolarannya sama dengan dengan senyawa tersebut

(Trifany, 2012).
30

G. Hewan Uji

1. Marmut

Gambar 2. Marmut.

1.1 Klasifikasi marmut. Klasifikasi ilmiah marmut adalah sebagai berikut:

Kingdom : Animalia

Phylum : Chordata

Subphylum : Vertebrata

Class : Mammalia

Order : Rodentia

Suborder : Hystricomorpha

Family : Caviidae

Subfamily : Caviinae

Genus : Cavia

Species : Cavia porcellus

1.2. Karateristik fisik. Cavia porcellus adalah binatang pendek gemuk

dengan kaki pendek. Hewan dewasa panjangnya antara 200 sampai 500 mm. Mantel

(rambut) marmut dapat bervariasi dalam warna, panjang, dan tekstur. Beberapa warna
31

yang umum adalah putih, hitam, merah, krem, lilac, dan coklat atau beberapa

kombinasi dari warna-warna ini. Marmut tidak mempunyai ekor eksternal,

mempunyai empat jari pada kaki depan dan tiga jari pada kaki belakang, dan

mempunyai kuku yang tajam pada setiap jarinya. Marmut memiliki tubuh yang kuat

dan bugar, kepala besar, telinga dan kaki pendek, ekor sangat kecil, dan ukuran

tubuhnya kecil dengan panjang dari kepala dan badan 225 sampai 355 mm. Marmut

betina mempunyai sepasang mammae (Schober, 1999).

H. Landasan Teori

Batuk merupakan mekanisme pertahanan resipratorik dimana bekerja dengan

cara mengeluaran sejumlah volume udara secara mendadak dari rongga toraks

melalui epiglotis dan mulut karena adanya benda asing atau zat lain pada saluran

respiratorik (Setyanto, 2004). Batuk diklasifikasikan menjadi dua yaitu, batuk

berdasarkan tanda klinis dan batuk berdasarkan durasi. Batuk berdasarkan tanda

klinis kelompokkan atas batuk produktif dan non-produktif (Tjay & Rahardja, 2007).

Sedangkan batuk berdasarkan durasi dikelompokkan atas tiga bagian, kronik, sub-

akut, dan akut (Irwin & Madison, 2000).

Meniran (Phyllanthus niruri L) digunakan dalam pengobatan tradisional

dalam mengatasi batuk dibeberapa negara, salah satunya di indonesia yaitu pada

jamu. Malaka (Phyllanthus emblica L.) yang merupakan satu famili dengan meniran

yaitu Euphorbiaceae memiliki aktifvitas sebagai antitusif. Hasil penelitian

(Nosál’ová2003) menunjukkan bahwa buah segar dari Phyllanthus emblica L.


32

menunjukan aktivitas antitusif lebih efektif dibanding dengan obat antitusif non-

narkotik dropropizine pada dosis 200 mg/kgBB dengan menggunakan kucing sebagai

hewan uji yang diinduksi secara mekanik dan diduga juga memiliki efek sekresi

mukus pada saluran pernapasan. Meniran kaya akan kandungan flavonoid, saponin,

tannin, alkaloid, terpenoid dan lignan (Calixto, 1998). Kamferol, quercetin, dan

luteolin merupakan senyawa flanonoid yang berpotensi sebagai antitusif (Ziment,

2002). Quercetin dan kamferol dapat bertindak sebagai antialergen. Saponin memiliki

efek surfaktan sehingga memungkinkan memiliki efek mukolitik (Ziment, 2002).

Flavonoid dan saponin pada umumnya larut dalam pelarut polar, tetapi senyawa

flavonoid bebas akan lebih mudah larut pada pelarut semipolar seperti isoflavon,

flavon, flavanon, dan flavonol (Markham, 1988).

I. Hipotesis

Berdasarkan uraian di atas dapat disusun suatu hipotesis dalam

penelitian ini yaitu:

1. Ekstrak etanol herba meniran dan fraksi F, G dari ekstak etanol herba meniran

dapat memberikan supresi batuk dan meningkatkan sekresi mukus pada

marmut.

2. Glibenklamid yang bekerja pada ATP sensitive potassium channel dan

kodein pada reseptor opioid dapat memberikan gambaran terhadap

mekanisme supresi batuk yang diberikan herba meniran.


BAB 3

METODE PENELITIAN

A. Populasi dan Sampel

Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah herba meniran yang

diperoleh dari Kecamatan Tawangmangu, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah.

Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah herba meniran yang

diperoleh dari Kecamatan Tawangmangu, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah,

yang diambil pada pagi hari secara acak, dengan kondisi segar dan hijau yang diambil

pada bulan Agustus 2016.

B. Variabel Penelitian

1. Identifikasi variabel utama

Variabel utama pertama dalam penelitian ini adalah herba meniran. Variabel

utama kedua penelitian ini adalah konsentrasi ekstrak etnaol dan fraksi herba

meniran. Ketiga, nilai antitusif ditetapkan dengan membandingkan jumlah batuk pada

kelompok yang diberi perlakuan dan kelompok yang tidak diberi perlakuan.

Keempat, aktivitas ekspektoran ditetapkan dengan melihat kadar phenol red yang

disekresikan pada trakea marmut (Cavia porcellus). Kelima, gambaran mekanisme

supresi batuk herba meniran.

33
34

2. Klasifikasi variabel utama

Variabel utama yang telah diidentifikasi terlebih dahulu dapat diklasifikasikan

ke dalam berbagai macam variabel yaitu variabel bebas, variabel tergantung dan

variabel terkendali.

Variabel bebas dalam peneliitian ini adalah variabel yang dapat diubah untuk

melihat faktor-faktor yang dapat berpengaruh terhadap variabel tergantung. Variabel

bebas dalam penelitian ini adalah ekstrak etanol dan fraksi F, G ekstrak etanol herba

meniran.

Variabel tergantung adalah variabel yang faktornya diamati dan diukur untuk

menentukan pengaruh yang disebabkan oleh variabel bebas. Variabel tergantung

dalam penelitian ini adalah nilai antitusif, kadar phenol red yang disekresikan pada

trakea, dan mekanisme supresi batuk herba meniran secara ATP sensitive potassium

channel atau pada reptor opioid.

Variabel terkendali adalah variabel yang dapat mempengaruhi variabel

tergantung, yaitu kondisi pengukur atau peneliti, labotatorium dan kondisi fisik dari

hewan uji yang meliputi berat badan, usia, lingkungan tempat hidup, kualitas makan

hewan uji dan pemberian sedian uji pada setiap subjek yang sama, metode uji

antitusif dan ekspektoran yang meliputi cara penyemprotan asam sitrat (jarak

pemberian, lama pemberian, dan jumlah pemberian) dan, isolasi trakea pada marmut.
35

3. Definisi operasional variabel utama

Pertama, ekstrak etanol herba meniran adalah ekstrak yang diperoleh dari

hasil maserasi simplisia herba meniran dengan pelarut etanol 96 %, kemudian

diuapkan hingga diperoleh ekstrak kental.

Kedua, fraksi F, G herba meniran adalah fraksi yang dihasilkan dari ekstrak

etanol 96% herba meniran, kemudian dipisahkan dengan menggunakan pelarut

gradien n-heksan-etil asetat-etanol dengan perbandingan (10:0:0, 7:3:0, 5:5:0, 3:7:0,

0:10:0, 0:7:3, 0:5:5, 0:3:7, 0:0:10) sebanyak 100 ml dengan dua kali pengelusian pada

masing-masing pelarut gradien.

Ketiga, persentase supresi batuk dinyatakan dengan membandingkan

kelompok yang diberi pelakuan (Ct) dengan kelompok yang tidak diberi perlakuan

(Cc) dengan menggunakan rumus [(Cc-Ct)/Ccx100%].

Keempat, pada pengujian antitusif dosis fraksi F, G diperoleh dari dosis

ekstrak etanol yang paling efektif pada pengujian aktivitas antitusif dengan melihat

persentase supresi batuk.

Kelima, mekanisme supresi batuk herba meniran dinyatakan dengan

membandingkan nilai antitusif yang diberikan pada kelompok yang diberi fraksi F, G

tunggal dengan kelompok yang diberi fraksi F, G kombinasi kodein dan

glibenklamid.

Ketujuh, larutan stok phenol red 50 µg/ml dibuat menjadi beberapa seri

konsentrasi 2,5; 5; 10; 15; dan 20 µg/ml dan dibaca absorbansinya pada panjang
36

gelombang 546 nm dengan mengunakan spektrofotometer UV-Vis, kemudian dibuat

kurva dari plot absorbansi vs konsentrasi phenol red.

Kedelapan, persentase sekresi mukus dinyatakan dengan melihat kadar phenol

red yang disekresikan pada trakea marmut yang terisolasi.

C. Alat dan Bahan

1. Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah peralatan maserasi yang

terdiri dari botol maserasi, beaker glass, kain flannel, corong gelas corong, oven,

timbangan listrik AEG-120 Shimadzu, labu takar, batang pengaduk, evaporator, alat

timbang, spektrofotometer UV, alat bedah, nebulizer, kertas saring, corong pisah, plat

KLT.

2. Bahan

Bahan uji yang digunakan adalah herba meniran yang diperoleh dari

Kecamatan Tawangmangu, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah, pelarut etanol

96%, etil asetat, n-heksan, aquadest, asam sitrat, phenol red, kodein fosfat,

glibenklamid, gliseril guaiakolat, natrium hidroksida, NaCl fisiologis, carboxy

methylcellulose, silika gel 60 F254.

3. Hewan percobaan

Hewan uji yang digunakan adalah marmut (Cavia porcellus) dengan bobot

badan 250-400 gram. Pada pengujian aktivitas antitusif dan ekspektoran, marmut
37

yang digunakan sebanyak 32 ekor dan dikelompokkan menjadi 8 kelompok dengan

masing-masing kelompok berjumlah 4.

D. Jalannya Penelitian

1. Determinasi tanaman

Tahap awal penelitian ini melakukan pengadaan dan penyiapan bahan uji,

kemudian melakukan determinasi untuk menetapkan kebenaran bahwa tanaman yang

digunakan merupakan sampel herba meniran.

2. Pembuatan serbuk herba meniran

Bahan dicuci bersih dengan air mengalir untuk menghilangkan kotoran atau

cemaran, setelah itu herba meniran dipotong lalu dikeringkan dengan oven pada suhu

40 ℃. Bahan yang sudah kering diserbukkan dengan menggunakan mesin penyerbuk

dan diayak dengan ayakan 40 mesh, kemudian disimpan dalam tempat kering dan

tertutup rapat.

3. Penetapan susut pengeringan

Penetapan susut pengeringan simplisia herba meniran dalam penelitian ini

menggunakan moisture balance. Herba meniran ditimbang sebanyak 2 gram serbuk

dalam cakram yang sudah ditara. Wadah dimasukkan dalam alat moisture balance.

Pengoperasian alat telah selesai jika alat tersebut berbunyi, kemudian dicatat hasil

susut pengeringan (dalam satuan %) dan dilakukan 3 kali replikasi.


38

4. Pembuatan ekstrak etanol herba meniran

Serbuk herba meniran : etanol 96% dimasukkan ke dalam botol maserasi

dengan perbandingan (1:8). Maserasi dilakukan selama 2 hari dimana rendaman 6

jam pertama sesekali diaduk, kemudian didiamkan selama 18 jam. Proses penyarian

diulangi sekurang-kurangnya satu kali dengan jenis pelarut dan jumlah volume yang

sama. Filtrat yang diperoleh dipekatkan dengan menggunakan evaporator dengan

suhu 50 ºC untuk memperoleh ekstrak kental (Depkes RI, 2013).

5. Pembuatan fraksi F, G ekstrak etanol herba meniran

Kolom kromatografi yang telah dibersihkan dan disiapkan. Selanjutnya silika

gel ditimbang sebanyak 50 gram, dilarutkan dengan pelarut organik nonpolar (n-

heksan) hingga diperoleh silika dengan konsistensi seperti bubur, diaduk hingga

terbentuk suspensi.

Bubur silika dimasukan kedalam kolom sambil diketuk-ketuk serta dialiri

pelarut n-heksan didalam kolom secara berulang hingga silika gel menjadi padat

didalam kolom. Ekstrak etanol ditimbang sebanyak 20 gram dan dibuat serbuk

dengan menambahkan 20 gram silika gel.

Pemisahan ekstrak etanol herba meniran dengan menggunakan pelarut gradien

etil n-heksan-asetat-etanol dengan perbandingan (10:0:0, 7:3:0, 5:5:0, 3:7:0, 0:10:0,

0:7:3, 0:5:5, 0:3:7, 0:0:10) sebanyak 100 ml dengan dua kali pengelusian pada

masing-masing pelarut gradien.


39

6. Identifikasi kandungan kimia ekstrak etanol dan fraksi herba meniran

Identifikasi kandungan senyawa kimia terdiri dari senyawa flavonoid,

alkaloid, terpenoid, dan saponin. Penentuan fase gerak pada uji KLT ekstrak dan

fraksi herba meniran disesuaikan dengan senyawa-senyawa yang terkandung dalam

ekstrak.

6.1. Flavonoid. Profil KLT ekstrak herba meniran dengan fase diam silika gel

60 F254, fase gerak; n-butanol: asam asetat: air (4:1:5), deteksi; Sitroborat. Lempeng

dikeringkan dan diamati pada sinar UV. Setelah dipanaskan selama 5 menit pada

suhu 100°C akan terjadi fluoresensi kuning, kehijauan pada UV 366 nm (Harborne,

1987).

6.2. Alkaloid.Profil KLT ekstrak herba meniran dengan fase diam: silica gel

60 F254, fase gerak; toluen: etil asetat: dietilamin (7:2:1), deteksi: Dragendorff.

Senyawa alkaloid menggunakan Dragendorff memberikan warna orange atau coklat

setelah dipanaskan selama 5-10 menit pada suhu 100°C (Wagner dan Bladt, 1996).

Hasil analisis menunjukkan bercak warna orange (Harborne, 1987).

6.3. Terpenoid. Profil KLT ekstrak herba meniran dengan fase diam: silika

gel 60 F254, fase gerak; n-heksan: etil asetat (93:7), deteksi: Anisaldehid-asam sulfat.

Jika timbul warna ungu-merah atau ungu setelah penyemprotan pereaksi anisaldehid-

asam sulfat menunjukkan adanya senyawa terpenoid (Wagner, 1996).

6.4. Saponin. Ekstrak herba meniran dimasukkan ke dalam tabung reaksi,

ditambahkan 10 ml air panas, didinginkan dan kemudian dikocok kuat-kuat selama

10 detik. Terbentuk buih yang mantap selama tidak kurang dari 10 menit.
40

7. Pembuatan sedian uji

7.1. Pembuatan suspensi CMC 0,5%. Suspensi CMC 0,5% dibuat dengan

cara melarutkan lebih kurang 0,5 g CMC yang telah ditimbang ke dalam air sampai

volume 100 ml.

7.2. Asam Sitrat. Asam sitrat dalam penelitian ini digunakan sebagai

penginduksi batuk. Dibuat larutan asam sitrat 7,5% dengan melarutkan 7,5 gram

asam sitrat ke dalam air sampai volume 100 ml.

7.3. Ekstrak etanol herba meniran. Ekstrak etanol herba meniran digerus

dan ditambahkan CMC sebanyak 5 gram kemudian ditambahkan air sedikit demi

sedikit sampai volume 1000 ml.

7.4. Fraksi F, G ekstrak etanol herba meniran. Fraksi F, G ekstrak etanol

herba meniran digerus dan ditambahkan CMC sebanyak 5 gram kemudian

ditambahkan akuades sedikit demi sedikit sampai volume 1000 ml.

7.5. Kodein. Kodein 200 mg digerus kemudian ditambahkan dengan CMC

0,5% digerus homogen ditambah akuades sedikit demi sedikit kemudian dimasukkan

dalam labu takar sampai volume 100 ml.

7.6. Glibenklamid. Glibenklamid 120 mg digerus kemudian ditambah dengan

CMC 0,5 % digerus homogen ditambah akuades sedikit demi sedikit kemudian

dimasukkan dalam labu takar sampai volume 100 ml.

7.7. Gliseril guaiakolat. Gliseril guaiakolat 7,4 g digerus kemudian ditambah

dengan CMC 0,5 % digerus homogen ditambah akuades sedikit demi sedikit

kemudian dimasukkan dalam labu takar sampai volume 100 ml.


41

7.8. Phenol red. Phenol red dibuat menjadi larutan 5% dengan menimbang

sebanyak 250 mg serbuk phenol red, kemudian ditambahkan 1,42 ml NaOH 1M dan

ditambahkan akuades sampai volume 5 ml.

8. Pembuatan kurva baku phenol red

Dibuat larutan baku phenol red dengan seri konsentrasi 2,5; 5; 10; 15; dan 20

µg/ml. Dibuat konsentrasi phenol red 50 µg/ml dari 10 µg/ml larutan stok phenol red

5% yang diencerkan sampai 10 ml. Selanjutnya diambil larutan stok phenol red 50

µg/ml sejumlah volume tertentu dan diencerkan dengan akuades hingga diperoleh seri

konsentrasi yang sesuai. Masing-masing larutan dibaca absorbansinya pada panjang

gelombang 546 nm dengan mengunakan spektrofotometer UV-Vis. Dibuat kurva dari

plot absorbansi vs konsentrasi phenol red.

9. Penentuan dosis

9.1. Dosis ekstrak etanol herba meniran. Dalam penelitian ini

menggunakan ekstrak etanol herba meniran yang merujuk dari penggunaan secara

empiris yaitu 3-7 batang meniran (Thomas, 1992). Dosis empiris pada manusia

dikonversi ke dalam dosis hewan uji dan hasil konversi pada dosis ekstrak etanol

herba meniran dilakukan variasi dosis, dosis kecil dan dosis besar.

9.2. Dosis fraksi F, G ekstrak etanol herba meniran. Dalam penelitian ini

menggunakan fraksi F, G ekstrak etanol herba meniran dengan dosis hasil konversi

pada dosis ekstrak etanol herba meniran. Dosis fraksi terdiri dari dua variasi dosis,

dosis kecil dan dosis besar.


42

Rendemen Fraksi F,G


Dosis fraksi F, G = 𝑥 Dosis Ekstrak
Total Ekstrak Etanol

9.3. Dosis kodein. Dosis kodein yang digunakan dalam penelitian ini adalah

10 mg/kg yang dikonversikan ke dalam dosis marmut. Konversi dosis marmut dengan

berat badan 400 gram adalah 4 mg/400 gram (Xu, et al., 2007; Šutovská, et al.,

2009).

9.4. Dosis glibenklamid. Dosis glibenklamid yang digunakan dalam

percobaan ini adalah 3 mg/kg yang dikonversikan ke dalam dosis marmut. Konversi

dosis marmut dengan berat badan 400 gram adalah 1,2 mg/400 gram (Xu, et al.,

2007; Kamei, et al., 2003).

9.5. Dosis gliseril guaiakolat. Dosis Gliseril Guaiakolat (GG) yang

digunakan dalam penelitian ini adalah dosis lazim GG pada manusia yang

dikonversikan ke dalam dosis marmut. Konversi dosis manusia dengan berat badan

70 kg ke dosis marmut dengan berat badan 400 gram adalah 0,031. Dosis lazim GG

untuk manusia dewasa dengan berat badan 70 kg adalah 100-400 mg tiap 4 jam

sehari, tidak lebih dari 2,4 g/hari. Diasumsikan dosis GG 2,4 g/hari, jadi dosis untuk

marmut adalah 186 mg/kg BB.

9.6. Dosis phenol red. Dosis phenol red yang digunakan pada penelitian ini

adalah 500 mg/kg BB.

9.7. Dosis asam sitrat. Dosis asam sitrat yang digunakan pada penelitian ini

adalah larutan asam sitrat 7,5% sebanyak 0,5 ml/menit.


43

10. Pengelompokan hewan percobaan

Hewan percobaan yang digunakan untuk uji aktivitas antitusif dan

ekspektoran pada penelitian ini adalah marmut jantan. Hewan percobaan terlebih

dahulu diaklimatisasi selama 1 minggu disesuaikan dengan kondisi kemudian

ditimbang berat badannya. Dalam penelitian ini digunakan marmut sebanyak 36 ekor

dengan 9 kelompok uji, dengan masing-masing kelompok uji terdiri dari 4 ekor

marmut. Pengelompokan hewan uji adalah sebagai berikut:

Kelompok I : Kontrol negatif (lar. CMC 0,5 %) p.o

Kelompok II : Kontrol positif (kodein 10 mg/kg) p.o

Kelompok III : Kontrol positif (GG 186 mg/kg) p.o

Kelompok IV : Ekstrak etanol herba meniran 125 mg/kgBB p.o

Kelompok V : Ekstrak etanol herba meniran 250 mg/kgBB p.o

Kelompok VI : Fraksi F, G herba meinran 80 mg/kgBB p.o

Kelompok VII : Fraksi F, G herba meniran 160 mg/kgBB p.o

Kelompok VIII : Fraksi F, G herba meniran 160 mg/kgBB p.o + kodein (10

mg/kg) p.o

Kelompok IX : Fraksi F, G herba meniran 160 mg/kgBB p.o

+ glibenklamid (3 mg/kg) i.p

11. Pengujian in vivo

Hewan uji dikelompokkan menjadi 9 kelompok uji, masing-masing kelompok

uji terdiri dari 4 ekor marmut. Kelompok kontrol negatif (lar. CMC 0,5%), kontrol
44

positif (kodein 10 mg/kg BB), ekstrak etanol herba meniran dosis 125 mg/kgBB dan

dosis 250 mg/kgBB, fraksi F, G dari ekstrak etanol herba meniran dosis 80 mg/kgBB

dan 160 mg/kgBB, fraksi F, G 160 mg/kgBB kombinasi kodein 10 mg/kgBB dan

fraksi F, G 160 mg/kgBB kombinasi glibenklamid 3 mg/kgBB.

11.1. Pengujian aktivitas ekstrak etanol. Kelompok kontrol negatif hanya

diberi larutan CMC 0,5% secara peroral, kelompok control positif diberi kodein

secara p.o kelompok pemberian ekstrak etanol herba meniran dosis 125 mg/kgBB dan

dosis 250 mg/kgBB secara p.o. Setelah 60 menit masing-masing kelompok diinduksi

dengan larutan asam sitrat 7,5 % dalam camber transparan (dimensi:20x20x20)

menggunakan compressor nebulizer selama 5 menit dan dipulihkan selama 24 jam

untuk dilakukan perlakuan yang sama selama 5 hari. Jumlah batuk yang dihasilkan

dihitung selama 25 menit terhitung dari awal penginduksian asam sitrat. Persentase

supresi batuk dinyatakan dengan membandingkan kelompok yang diberi pelakuan

(Ct) dengan kelompok yang tidak diberi perlakuan (Cc) dengan menggunakan rumus

[(Cc-Ct)/Cc x100%].

Kelompok positif pada pengujian ekspektoran diberikan GG secara p.o. Pada

hari ke 6 dan 7 masing-masing kelompok tetap diinduksi dengan larutan asam sitrat

7,5 % menggunakan compressor nebulizer selama 5 menit dan dipulihkan selama 24

jam. Pada hari terakhir setelah 30 menit pemberian ekstrak masing-masing kelompok

diberi phenol red secara i.p. Setelah 30 menit pemberian phenol red masing-masing

kelompok dilakukan pembedahan untuk mengisolasi trakea. Trakea segera diekstraksi


45

dengan 3 ml larutan salin. Kemudian, larutan ekstrak trakea ditambahkan 0,3 ml 1 M

NaOH dan dihitung absorbansinya pada panjang gelombang 546 nm.

11.2. Pengujian aktivitas antitusif fraksi F, G. Dosis ekstrak etanol herba

meniran yang memberikan supresi batuk paling baik dipilih untuk menentukan dosis

fraksi F, G, yaitu dosis ekstrak etanol 100 mg/kgBB. Dosis fraksi F, G ekstrak etanol

herba meniran divariasikan dosisnya menjadi dosis 80 mg/kgBB dan 160 mg/kgBB.

Kelompok fraksi F, G dosis 80 mg/kgBB dan 160 mg/kgBB kecil diberikan

perlakuan yang sama seperti kelompok ekstrak etanol.

11.3. Pengujian mekanisme supresi batuk. Dosis fraksi F, G herba meniran

yang memberikan supresi batuk paling baik digunakan untuk melihat mekanisme

supresi batuk yang diberikan oleh herba meniran, yaitu dosis fraksi 160 mg/kgBB.

Pada perlakuan ini dibagi menjadi dua kelompok, kelompok yang pertama fraksi F, G

160 mg/kgBB dan kodein diberikan diberikan secara p.o dan kelompok yang kedua

fraksi F, G 160 mg/kgBB p.o dan glibenklamid secara i.p setelah 30 menit pemberian

ekstrak. Masing-masing kelompok diberi perlakuan yang sama seperti kelompok

sebelumnya.

E. Analisis Hasil

Data yang diperoleh dari hasil pengamatan uji antitusif berupa nilai antitusif

dan persentase peningkatan sekresi phenol red pada pengujian ekspektoran.

Persentase data pada kelompok marmut (n=4) dibuat rata-rata ± SEM dan disajikan
46

dalam bentuk grafik. Hasilnya diuji secara statistik dengan menggunakan one-way

ANOVA dengan taraf kepercayaan 95%.


BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

1. Determinasi dan deskripsi tanaman meniran

Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah herba meniran dalam

kondisi baik yang diperoleh dari Sleman, Yogyakarta dan dideterminasi di

Laboratorium Farmasi Universitas Setia Budi, Surakarta. Determinasi tanaman

dilakukan untuk mengetahui kebenaran tanaman yang diambil, mencocokkan ciri

morfologi tanaman yang akan diteliti dengan kunci determinasi dan menghindari

kesalahan pengumpulan bahan. Hasil determinasi menurut pustaka C. A. Backer

(1965) adalah sebagai berikut:

1b - 2b - 3b - 4b – 12b – 13b – 14b – 17b – 18b – 19b – 20b – 21b – 22b –

23b – 24b – 25b – 26b – 27a – 799a – 800b – 802b – 806b – 807b – 809b – 810b –

811b – 825b – 826b – 829b – 830b – 831b – 832b – 833b – 834b – 1041b – 1042b –

1043b – 1044b – 1045b – 1048b – 1049b – 1050b – 1051b – 1052b – 1053b – 1054a

– 1055b – 1057b – 1058b – 1066b – 1072b – 1073b – 1077a – 1078b – 1079a –

1080a – 1081b – 1082a – 1083b – 1084a – 1085a. familia 99. Euphorbiaceae. 1b – 3b

– 4b – 6b – 57a – 58b – 62b – 50

a – 65b –.66a 8. Phyllanthus. 1b – 6c – 10b –13a – 14a. Phyllanthus niruri

L.

47
48

Deskripsi: habitus herba, tegak, tinggi dapat mencapai 1 meter. Batang

berbentuk bulat, basah, masif, berwarna hijau. Daun meniran berbentuk tunggal,

berseling, bangun bulat telur, ujung tumpul, pangkal membulat, panjang 0,7 – 1,2 cm,

lebar 0,4 – 0,5 cm, tepi rata, permukaan atas hijau tua, permukaan bahwa hijau muda.

Bunga berbentuk tunggal, dekat tangkai anak daun, menggantung, putih, daun

kelopak bentuk bintang, mahkota bunga kecil, berwarna putih, benang sari dan putik

tidak tampak jelas. Buah meniran berbentuk kotak, bulat, pipih, garis tengah ± 2 mm,

berwarna hijau. Biji meniran berwarna coklat, kecil, keras, bentuk ginjal. Akar

tanaman meniran tunggang, berwarna putih kotor. Data determinasi tanaman meniran

dapat dilihat pada lampiran 1.

2. Pembuatan serbuk herba meniran

Hasil persentase berat kering terhadap berat basah daun meniran dapat dilihat

pada tabel 1.

Tabel 1. Hasil prosentase berat kering terhadap berat basah herba meniran
No Berat Basah (Kg) Berat kering (Kg) Rendemen (%)
1 23,7 3,5 14,77

Tabel 1 menunjukkan bahwa herba meniran (Phyllanthus niruri L.) dengan

berat basah 23,7 kg dikeringkan dan diperoleh berat kering sebesar 3,5 kg dengan

persentase berat kering terhadap berat basah adalah sebesar 14,77%.

Pembuatan serbuk herba meniran dengan cara seluruh bagian yang telah

dikeringkan kemudian diserbuk di mesin penyerbuk dan diayak dengan pengayak

mesh 40. Serbuk hasil ayakan ini dinamakan serbuk simplisia yang digunakan untuk
49

penyarian. Penyerbukkan ini bertujuan untuk memperluas permukaan partikel bahan

yang kontak dengan pelarut sehingga penyarian berlangsung efektif.

3. Hasil penetapan susut pengeringan serbuk herba meniran

Serbuk herba meniran ditimbang sebanyak 3 gram, kemudian penetapan susut

pengeringan diukur dengan menggunakan alat moiture balance. Kelembapan

simplisia yang terlalu tinggi akan memudahkan pertumbuhan jamur dan bakteri serta

perubahan kimiawi yang dapat merusak simplisia.

Tabel 2. Hasil penetapan kadar air dalam serbuk herba meniran


No Penimbangan (g) Kadar air serbuk (%)
1 2,0 6,0
2 2,0 5,0
3 2,0 5,5
Rata-rata 5,5 ± 0,5

Tabel 2 menunjukkan hasil rata-rata penetapan serbuk herba meniran

memiliki susut pengeringan sebesar 5,5%. Susut pengeringan kurang dari 10%

dimana dapat menghentikan proses enzimatik dalam sel sehingga serbuk juga dapat

lebih awet dalam penyimpanan dalam jangka waktu tertentu. Selain itu

mempermudah difusi pelarut ke dalam sel, karena dengan adanya air dan zat-zat yang

folatil difusi pelarut akan terganggu (DepKes, 1979).

4. Hasil pembuatan ekstrak etanol herba meniran

Hasil prosentase rendemen ekstrak etanol herba meniran dengan bobot serbuk

2200 gram, serta bobot ekstrak 21 gram didapatkan prosentase rendemen sebesar

9,73%.
50

5. Hasil fraksinasi ekstrak etanol herba meniran

Hasil fraksinasi yang diperoleh dapat dilihat pada tabel 3. Hasil rendemen

urutan dari yang paling banyak yaitu 26,8% dari fraksi n-heksan-EtOAc 70:30 dan

hasil rendemen terendah yaitu 3,5% dari fraksi etanol.

Tabel 3. Prosentase rendemen fraksi-fraksi herba meniran


Berat ekstrak (gram) Fraksi Eluen Fraksi kental (gram) Rendemen (%)
A n-Heksan 100% - -
B n-Heksan-EtOAc 70:30 2,68 26,8
C n-Heksan-EtOAc 50:50 1,13 11,3
D n-Heksan-EtOAc 30:70 0,80 8
10 E EtOAc 100% 0,80 8
F EtOAc-Etanol 96 70:30 1,12 11,2
G EtOAc-Etanol 96 50:50 1,83 18,3
H EtOAc-Etanol 96 30:70 0,52 5,2
I Etanol 96 100% 0,35 3,5
Total rendemen J 9,23 92,3

Pemilihan fraksi ditentukan dengan mengidentifikasi senyawa flavonoid pada

masing-masing fraksi dan dikelompokkan berdasarkan noda kromatogram yang

sama.. Hasil identifikasi fraksi fraksi herba meniran menunjukan fraksi F, G

memberikan noda kromatogram yang paling baik. Gambar identifikasi identifikasi

fraksi fraksi herba meniran dapat dilihat pada lampiran 10.

6. Hasil identifikasi kandungan kimia ekstrak dan fraksi herba meniran

Pemeriksaan kandungan kimia ekstrak dan fraksi herba meniran didapatkan

hasil bahwa ekstrak etanol herba meniran mengandung senyawa flavonoid, terpenoid.

Hasil identifikasi senyawa kimia ekstrak dan fraksi herba meniran dapat dilihat pada

tabel 4. Gambar identifikasi senyawa kimia ekstrak dan fraksi herba meniran dapat

dilihat pada lampiran 10.


51

Tabel 4. Identifikasi kandungan senyawa kimia ekstrak dan fraksi herba meniran

Kandungan Sampel
Kimia
Ekstrak
(pereaksi Fraksi F,G
Etanol
warna)
(+) (+)
Flavonoid
Kuning Kuning
(Sitroborat)
berpendar berpendar
Alkaloid (-) (-)
(Dragendroff) orange orange
Terpenoid (+) (+)
(anisaldehid hijau tua hijau tua
asam sulfat) kehitaman kehitaman
(+) (+)
Saponin
Busa Busa
(Uji busa)
stabil stabil

6.1. Flavonoid. Flavonoid merupakan derivat dari senyawa fenol terbesar

yang ditemukan di alam. Senyawa ini merupakan zat yang memberikan warna zat

ungu, merah, biru dan kuning pada tumbuh-tumbuhan. Flavonoid yang terkandung

dalam herba meniran adalah flavonoid golongan quercetin. Quercetin yang dapat

berperan dalam supresi mediator batuk seperti histamin sehingga berpotensi memiliki

aktivitas sebagai antitusif (Roy, 2013).

6.2. Alkaloid. Alkaloid adalah senyawa siklik yang mengandung atom

nitrogen yang penyebarannya terbatas pada organisme hidup. Efek fisiologis yang

kuat dan selektifitas senyawa alkaloid menyebabkan senyawa alkaloid tersebut sangat

bermanfaat dalam pengobatan (Marek, 2007).

6.3. Terpenoid. Terpenoid adalah senyawa dengan keseragaman struktur

yang besar dalam produk alami yang diturunkan dari unit isoprena. Jadi, semua
52

terpenoid berasal dari molekul isoprene CH2==C(CH3)-CH==CH2 dan kerangka

karbonnya dibangun oleh penyambungan 2 atau lebih satuan C5 ini. Kemudian

senyawa itu dipilah-pilah menjadi beberapa golongan berdasarkan jumlah satuan

yang terdapat dalam senyawa tersebut, 2 (C10), 3 (C15), 4 (C20), 6 (C30) atau 8

(C40) (Gunawan et al., 2008). Terpenoid merupakan komponen yang biasa

ditemukan di alam yang banyak mengandung minyak atsiri.

6.4. Saponin. Saponin adalah glikosida triterpenoid dan sterol. Saponin

berasal dari bahasa latin “sapo” yang berarti sabun, diberi nama demikian karena

sifatnya yang menyerupai sabun. Saponin adalah senyawa aktif permukaan yang kuat

yang menimbulkan busa jika dikocok dalam air dan pada konsentrasi yang rendah

sering menyebabkan hemolisis sel darah merah (Harborne,1987; Sirait, 2007).

Saponin memiliki efek surfaktan sehingga memungkinkan memiliki efek mukolitik

(Ziment, 2002).

7. Hasil Pengujian Aktivitas Antitusif Herba Meniran

Pengujian aktivitas antitusif berdasarkan jumlah batuk yang dihasilkan hewan

uji sebelum dan sesudah pemberian obat. Nilai antitusif diperoleh dari data sebelum

dan sesudah perlakuan. Sebanyak 24 ekor marmut jantan dibagi menjadi 6 kelompok

perlakuan. Pengukuran aktivitas antitusif dinyatakan dalam bentuk rata-rata ± SEM.

Daya aktivitas antitusif dapat diketahui dengan membandingkan nilai antitusif

kelompok negatif (CMC 0,5%) dengan kelompok positif (kodein) serta kelompok

yang diberi perlakuan ekstrak etanol herba meniran dosis 125 ; 250 mg/kgBB dan
53

fraksi F, G ekstrak etanol herba meniran dosis 80 ; 160 mg/kgBB. Peningkatan nilai

antitusif menunjukan adanya aktivitas antitusif dari senyawa perlakuan.

Nilai antitusif herba meniran pada marmut yang diinduksi asam sitrat 7,5%

disajikan pada tabel 6 dalam bentuk rata-rata ± SEM. Data antitusif digunakan

sebagai parameter aktivitas antitusif.

Tabel 5. Hasil pengukuran jumlah batuk herba meniran pada hewan uji marmut selama 5 hari
perlakuan
Supresi batuk (hari) Rata-rata ±
No. Kelompok Baseline
h1 h2 h3 h4 h5 SEM
1 Kontrol (-) CMC 0,5% 14 ± 4 9±4 11 ± 3 11 ± 5 8±4 6±2 9±2
2 Kontrol (+) Kodein 10 mg/kg 10 ± 4 4±3 4±1 2±2 2±1 3±2 3±1
3 Ekstrak etanol 125 mg /kgBB 12 ± 5 9±3 8±4 4±4 8±4 5±1 7±2
4 Ekstrak etanol 250 mg /kgBB 11 ± 3 6±2 7±4 6±3 4±4 4±4 5±1
5 Fraksi F, G 80 mg /kgBB 14 ± 4 7±2 4±4 7±3 3±3 2±3 5±2
6 Fraksi F, G 160 mg /kgBB 11 ± 4 6±5 6±6 4±5 2±2 3±1 4±2

Tabel 6. Hasil pengukuran supresi batuk herba meniran pada hewan uji marmut selama 5 hari
perlakuan
Supresi batuk (hari) % Rata-rata (%) ±
No. Kelompok
h1 h2 h3 h4 h5 SEM
1 Kontrol (-) CMC 0,5% 36,71 ± 18 16,94 ± 31 10,35 ± 59 41,75 ± 25 51,36 ± 22 31,42 ± 17,22b
2 Kontrol (+) Kodein 10 mg /kg 62,78 ± 30 53,89 ± 27 81,11 ± 26 83,89 ± 11 76,67 ± 18 71,67 ± 12,83a
3 Ekstrak etanol 125 mg /kgBB 22,18 ± 28 28,78 ± 50 68,52 ± 26 34,62 ± 49 49,70 ± 35 40,76 ± 18,55b
4 Ekstrak etanol 250 mg /kgBB 44,35 ± 4 56,94 ± 57 40,65 ± 36 69,58 ± 6 61,43 ± 14 54,59 ± 12,00
5 Fraksi F, G 80 mg /kgBB 44,80 ± 11 68,79 ± 21 43,09 ± 42 75,26 ± 16 85,94 ± 14 63,57 ± 18,95a
6 Fraksi F, G 160 mg /kgBB 52,29 ± 29 51,40 ± 52 67, 86 ± 34 87,86 ± 20 70,12 ± 25 65,87 ± 14,92a
Keterangan : a Berbeda signifikan terhadap kontrol (-) CMC 0,5%
: b Berbeda signifikan terhadap kontrol (+) Kodein 10 mg/kgBB
54

Berdasarkan tabel 6 menunjukan bahwa kontrol positif kodein memiliki rata-

rata nilai antitusif yang paling efektif yaitu 71,67% ± 12,83%. Penelitian yang

dilakukan Salami et al (2013) menggunakan kodein fosfat sebagai kelompok positif,

menunjukkan aktivitas antitusif sebesar 79,66%. Penelitian juga menggunakan

kelompok positif kodein fosfat dilakukan Guo et al (2016) dengan nilai antitusif

sebesar 75%. Nilai antitusif yang berbeda-beda dikarenakan kondisi biologis yang

berbeda pada masing-masing hewan uji yang digunakan. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa kelompok fraksi F, G dengan variasi dosis 80 ; 160 mg/kgBB

menunjukkan adanya efek antitusif. Kelompok fraksi F, G dosis 160 mg/kgBB

menunjukkan aktivitas paling efektif yaitu sebesar 65,87 ± 14,92%; diikuti kelompok

fraksi F, G dosis 80 mg/kgBB yaitu sebesar 63,57 ± 18,95%.


55

90,00
a a a
80,00

70,00
Antitusif %
60,00
b
50,00 b
40,00

30,00

20,00

10,00

0,00
Kelompok (-) Kelompok Kelompok Kelompok Kelompok Kelompok
CMC 0,5% (+) Kodein Ekstrak Ekstrak Fraksi F, G Fraksi F, G
10 mg/kgBB Etanol 125 Etanol 250 80 mg/kgBB 160
mg/kgBB mg/kgBB mg/kgBB

Keterangan : a Berbeda signifikan terhadap kontrol (-) CMC 0,5%


: b Berbeda signifikan terhadap kontrol (+) Kodein 10 mg/kgBB

Gambar 3. Efek antitusif terhadap pemberian ekstrak etanol dan fraksi F, G herba

meniran

Batuk merupakan serangkaian refleks yang melibatkan berbagai komponen,

diantaranya adalah reseptor batuk, saraf aferen, pusat batuk, saraf motorik dan organ

efektor (Sellapan, 2015). Dengan mengganggu salah satu komponen refleks tersebut,

maka refleks batuk dapat dihambat.

Antitusif adalah golongan obat yang berfungsi untuk menghambat atau

menekan batuk dengan cara menekan pusat batuk serta meningkatkan ambang batas

rangsangan sehingga mengurangi sensitivitas reseptor batuk (Putri et al., 2012).

Histamin merupakan sebuah mediator yang dapat merespon terjadinya batuk. Antigen

merangsang IgE spesifik pada permukaan sel mast di dalam mukosa respiratorik yang
56

menyebabkan pelepasan histamin. Antihistamin generasi pertama bekerja secara non-

selektif sehingga memiliki peran dalam memblokir reseptor muskarinik dengan

demikian memiliki beberapa aktivitas sebagai antikolinergik (Meltzer, 2005).

Antihistamin juga dianjurkan sebagai pengobatan empiris pada orang dewasa dengan

batuk kronis.

Berdasarkan gambar 3 menunjukkan perbandingan aktivitas antitusif rata-rata

pada masing-masing kelompok hewan uji selama 5 hari perlakuan. Adanya perbedaan

yang signifikan (p<0,05) pada aktivitas antitusif kelompok kontrol negatif dan

kelompok ekstrak etanol 125 mg/kgBB terhadap kelompok ekstrak etanol 250

mg/kgBB dan kelompok fraksi F, G 80 ; 160 mg/kgBB menunjukkan adanya efek

dari perlakuan tersebut dan adanya aktivitas antitusif pada ekstrak herba meniran.

Peningkatan aktivitas antitusif ditunjukkan pada kelompok ekstrak etanol dan

fraksi F, G herba meniran. Diduga hal ini terjadi karena adanya senyawa spesifik

yang terkandung dalam fraksi F, G herba meniran. Kandungan flavonoid yang

terkandung dalam fraksi herba meniran diduga memiliki peran dalam aktivitas

antitusif. Penelitian yang dilakukan oleh Cheong (1998) menyatakan diantara 22

senyawa flavonoid, quercetin merupakan salah satu senyawa yang memiliki

aktivitas sebagai antialergi yang lebih baik dilihat berdasarkan nilai IC50 dalam

penhambatan hexosaminidase dari sel RBL-2H3. Astraglin mungkin memiliki

aktivitas antialergi dalam penekanannya terhadap produksi IL-4 dan IL-13.

Perubahan profil sitokin mungkin berkontribusi dalam penghambatan IgE


57

(Kotani, 2000). Xylans merupakan senyawa polisakarida yang memiliki

aktivitas secara biologis yaitu sebagai imunomodulator dan antitusif

(Mellinger, 2005).

Berdasarkan hasil uji aktivitas antitusif yang dilakukan herba meniran

yang mengandung senyawa quercetin, astraglin, xylans mampu memberikan

efek antitusif pada hewan uji marmut jantan yang diinduksi asam sitrat 7,5%.

Dosis optimal yang memberikan efek antitusif adalah fraksi F, G dosis 160

mg/kgBB karena dibandingkan dengan variasi dosis ekstrak etanol 125 ; 250

mg/kgBB menunjukkan peningkatan yang signifikan. Sedangkan bila

dibandingkan dengan fraksi F, G dosis 80 mg/kgBB efek antitusifnya tidak

berbeda signifikan (p<0,05).

8. Hasil Kurva Baku

Dibuat larutan baku phenol red dengan seri konsentrasi 2,5; 5; 10; 15; dan 20

µg/ml.

KURVA BAKU
1,2
1
Absorbansi

0,8
0,6 y = 0,057x - 0,049
R² = 0,998
0,4
0,2
0
2,5 ppm 5 ppm 7,5 ppm 10 ppm 12,5 ppm 15 ppm 17,5 ppm 20 ppm
-0,2

Gambar 4. Kurva baku phenol red


58

Berdasarkan data konsentrasi dan absorbansi pada penelitian ini, dihasilkan

persamaan kurva baku y = 0,074x - 0,124 dimana “y” adalah absorbansi dan “x”

adalah konsentrasi phenol red dalam g/ml.

Nilai koefisen kolerasi (r) tabel untuk 5 data dengan taraf kepercayaan 95%

adalah 0,878 (Soka & Rohlf, 1986). Nilai r hitung pada persamaan tersebut lebih

besar dibandingkan nilai r tabel. Selain itu, berdasarkan analisa SPSS diperoleh nilai

p<0,05. Dengan demikian disimpulkan bahwa terdapat korelasi positif dan signifikan

antara konsentrasi dan absorbandi phenol red.

9. Hasil Pengujian Aktivitas Ekspektoran Herba meniran

Ekstrak etanol dan fraksi-fraksi herba meniran diujikan pada marmut yang

dilakukan selama 5 hari dengan menghitung kadar sekresi phenol red pada trakhea,

setelah hewan uji diberi perlakuan.

Tabel 7. Hasil pengukuran kadar phenol red trakea marmut sebagai aktivitas ekspektoran
herba meniran
No Rata-rata (µg/ml) ± Supresi sekresi
Kelompok
. SEM mukus %
1 Kontrol (-) CMC 0,5% 9,91 ± 2,52 µg/ml -
2 Kontrol (+) GG 186 mg/kgBB 16,35 ± 3,43 µg/ml -64,98a
3 Ekstrak etanol 125 mg/kgBB 8,37 ± 1,71 µg/ml 15,54
4 Ekstrak etanol 250 mg/kgBB 7,02 ± 2,31 µg/ml 29,16
5 Fraksi F, G 80 mg/kgBB 4,27 ± 1,96 µg/ml 56,91
6 Fraksi F, G 160 mg/kgBB 6,82 ± 2,95 µg/ml 31,18
Keterangan : a Berbeda signifikan terhadap control (-) CMC 0,5%
59

Berdasarkan tabel 7 menunjukkan bahwa kontrol positif GG memiliki rata-

rata nilai konsentrasi phenol red trakea yang paling tinggi yaitu 16,35 ± 3,43 µg/ml.

GG merupakan salah satu agen ekspektoran yang banyak digunakan dalam praktik

klinis. GG bekerja dengan merangsang jalur kolinergik dan meningkatkan sekresi

mukus dari kelenjar submukosa napas (Balsamo et al., 2010). Hasil penelitian

menunjukkan bahwa kelompok ekstrak etanol dengan variasi dosis 125 ; 250 mg/

kgBB dan kelompok fraksi F, G dengan variasi dosis 80 ; 160 mg/kgBB

menunjukkan penurunan kadar phenol red trakhea, hal ini mungkin menggambarkan

aktivitas penekanan sekresi pada mukus. Kelompok perlakuan ekstrak etanol 125

mg/kgBB memberikan gambaran kadar phenol red trakhea sebesar 8,37 ± 1,71 µg/ml

diikuti kelompok ekstrak etanol 250 mg/kgBB sebesar 7,02 ± 2,31 µg/ml. Kelompok

fraksi F, G 80 mg/kgBB menunjukan kadar phenol red paling rendah yaitu sebesar

4,27 ± 1,96 µg/ml diikuti kelompok fraksi F, G 160 mg/kgBB yaitu sebesar 6,82 ±

2,95 µg/ml.
60

25,00

20,00
a
Konsentrasi phenol red
15,00

10,00

5,00

0,00
Kelompok (- Kelompok Kelompok Kelompok Kelompok Kelompok
) CMC 0,5% (+) Glyceril Ekstrak Ekstrak Fraksi F, G Fraksi F, G
guaiacolat Etanol 125 Etanol 250 80 mg/kgBB 160
186 mg/kgBB mg/kgBB mg/kgBB
mg/kgBB

Keterangan : a Berbeda signifikan terhadap control (-) CMC 0,5%

Gambar 5. Efek ekspektoran terhadap pemberian ekstrak etanol dan fraksi F, G herba

meniran

Konsentrasi phenol red trakea pada kelompok ekstrak etanol 125 ; 250

mg/kgBB dan kelompok fraksi F, G 160 mg/kgBB tidak memberikan efek stimulasi

maupun penekanan sekresi mukus yang signifikan bila dibandingkan kelompok

negatif. Kelompok fraksi F, G 80 mg/kgBB menyebabkan penurunan kadar phenol

red trakea secara signifikan dibandingkan kelompok negatif. Hal ini diduga pada

dosis tersebut dapat memberikan aktivitas penekanan sekresi mukus pada trakea

marmut. Produksi musin distimulasi oleh sitokin seperti TNF-α IL-4, IL-9, IL-13,

IL1β dan siklooksigenase-2. Dengan demikian senyawa yang berperan dalam

penghambatan produksi sitokin dapat memberikan aktivitas sebagai penghambat

sekresi musin. Quercetin menghambat pelepasan TNF-α dan menghambat ekspresi


61

COX-2 yang secara bersamaan mengurangi konsentrasi PGE-2 (Morikawa, 2003).

Lupeol juga mungkin terlibat dalam penekanan sekresi mukus karena mampu

mencegah produksi beberapa mediator proinflamasi (Fernández, 2001). Phyltetralin,

nirtetralin dan niranthin menunjukkan aktivitas antiinflamasi dengan cara

menghambat peningkatan IL-1β (Kassuya et al., 2005). Efek yang dihasilkan pada

dosis 160 mg/kgBB berkebalikan dengan dosis 80 mg/kgBB. Efek ini mungkin

terjadi karena aktivitas penekanan sekresi mukus telah melewati konsentrasi efektif

minimum (KEM). Namun untuk membuktikan hal teresebut perlu dilakukan

penelitian lebih lanjut mengenai hubungan antara dosis masing-masing ekstrak

terhadap tingkat sekresi mukus.

Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa ekstrak etanol 125 ;

250 mg/kgBB tidak memiliki aktivitas sebagai ekspektoran. Sementra itu, fraksi F, G

dosis 80 mg/kgBB memberikan efek penekanan sekresi mukus pada trakea marmut

setelah diinduksi asam sitrat.

10. Hasil Pengujian Mekanisme Aktivitas Antitusif Herba Meniran

Pengujian mekanisme antitusif berdasarkan jumlah batuk yang dihasilkan

hewan uji pada pemberian obat tunggal dan kombinasi. Pengukuran mekanisme

antitusif dinyatakan dalam bentuk rata-rata ± SEM. Daya mekanisme antitusif dapat

diketahui dengan membandingkan nilai antitusif kelompok fraksi etil asetat dengan

kelompok fraksi F, G dosis 160 mg/kgBB + kodein dan fraksi F, G 160 mg/kgBB +

glibenklamid. Peningkatan dan penurunan nilai antitusif mengambarkan mekanisme

aktivitas antitusif dari senyawa perlakuan. Nilai antitusif herba meniran pada marmut
62

yang diinduksi asam sitrat 7,5% disajikan pada tabel dalam bentuk rata-rata ± SEM.

Data antitusif digunakan sebagai parameter mekanisme antitusif.

Tabel 8. Hasil pengukuran jumlah batuk herba meniran sebagai gambaran mekanisme pada
hewan uji marmut selama 5 hari perlakuan
Supresi batuk (hari) Rata-rata ±
No. Kelompok Baseline
h1 h2 h3 h4 h5 SEM
1 Kodein 10 mg/kgBB 10 ± 4 4±3 4±1 2±2 2±1 3±2 3±1
2 Fraksi F, G 160 mg /kgBB 11 ± 4 6±5 6±6 4±5 2±2 3±1 4±2
3 Fraksi F, G 160 mg /kgBB + 12 ± 4 4±1 4±3 2±2 3±2 2±2 3±1
Kodein 10 mg/kgBB
4 Fraksi F, G 160 mg /kgBB + 12 ± 4 7±2 4±2 4±3 6±3 3±2 5±2
Glibenklamid 3 mg/kgBB

Tabel 9. Hasil pengukuran supresi batuk herba meniran sebagai gambaran mekanisme pada
hewan uji marmut selama 5 hari perlakuan
Supresi batuk (hari) %
Rata-rata (%)
No. Kelompok
h1 h2 h3 h4 h5 ± SEM

1 Kodein 10 mg/kg 62,78 ± 30 53,89 ± 27 81,11 ± 26 83,89 ± 11 76,67 ± 18 71,67 ± 12,83


Fraksi F, G
2 52,29 ± 29 51,40 ± 52 67, 86 ± 34 87,86 ± 20 70,12 ± 25 65,87 ± 14,92
160 mg/kgBB
Fraksi F, G 160 mg /kgBB +
3 62,86 ± 6 58,99 ± 22 72,58 ± 15 87,09 ± 16 78,74 ± 27 72,05 ± 11,47
Kodein 10 mg/kg
Fraksi F, G 160 mg /kgBB +
4 30,69 ± 23 54,17 ± 16 66,25 ± 25 58,61 ± 16 72,08 ± 14 56,36 ± 15,92
Glibenklamid 3 mg/kgBB

Berdasarkan tabel 9 menunjukan bahwa kombinasi fraksi F, G 160 mg/kgBB

dengan kodein memberikan rata-rata nilai antitusif yang sebanding dengan kelompok

kodein artinya tidak ada efek sinergis yang diberikan dengan pemberian secara

kombinasi.

Antitusif yang bekerja secara perifer dan termasuk ke dalam golongan non

opioid dimana mekanisme kerjanya dengan cara membuka ATP-sensitive potassium

channels sehingga menyebabkan hiperpolarisasi pada membran sel dan menghambat


63

pembengkakan pada serabut Aδ (Morita & Kamei, 2000). Glibenklamid bertentangan

dalam mekanisme antitusif non opioid dimana glibenklamid bekerja dengan

menghambat ATP-sensitive potassium channels yang menyebabkan depolarisasi.

Kelompok kombinasi fraksi F, G dosis 160 mg/kgBB dengan glibenklamid

memberikan nilai antitusif yang sebanding dengan kelompok pemberian fraksi F, G

160 mg/kgBB tunggal artinya tidak terdapatnya efek antagonis yang diberikan

dengan pemberian secara kombinasi.

90,00
80,00
70,00
60,00
Antitusif (%)

50,00
40,00
30,00
20,00
10,00
0,00
Kelompok Fraksi Kelompok Fraksi Kelompok Fraksi Kontrol (+)
Semi Polar 160 Semi Polar 160 Semi Polar 160 Kodein 10 mg/kg
mg/kgBB mg/kgBB + mg/kgBB +
Kodein Glibenklamid

Gambar 6. Grafik rata-rata nilai antitusif sebagai gambaran mekanisme antitusif

Mekanisme antitusif dibedakan menjadi dua aksi, secara central dan periferal.

Kelompok fraksi F, G dosis 160 mg/kgBB tunggal tidak berbeda signifikan (p<0,05)

dengan kelompok fraksi F, G dosis 160 mg/kgBB kombinasi kodein dan

glibenklamid. Hal ini mungkin menggambarkan mekanisme yang berbeda pada

aktivitas antitusif herba meniran. Metil brevifolincarboxylate merupakan turunan


64

kumarin yang diisolasi dari daun meniran yang mungkin dapat berperan dalam

aktivitas antitusif karena bekerja dengan cara menurunkan konsentrasi Ca2+ melalui

kanal kalsium (Iizuka et al., 2006).

Penelitian Kamei & Kasuya (1992) menunjukkan antagonis kanal Ca2+ yang

diberikan pada marmut tidak memberikan supresi batuk secara signifikan, akan tetapi

pemberiaan agen antitusif seperti morfin, dihydrocodeine dan dextrometrophan yang

dikombinasikan dengan antagonis kanal Ca2+ memberikan pengaruh yang signifikan

terhadap supresi batuk. Hal ini mungkinkan memberikan gambaran efek antitusif

dapat dimediasi oleh interaksi dengan kanal Ca2+. Hasil ini juga mengkonfirmasi

kemampuan antagonis kanal Ca2+ untuk menghasilkan efek antitusif.

Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa fraksi F, G dosis 160

mg/kgBB tidak memberikan gambaran mekanisme pada reseptor opioid dan ATP-

sensitive potassium channels, mungkin aktivitas antitusif yang diberikan herba

meniran menggambarkan mekanisme aksi antitusif yang berbeda.


BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa:

1. Pemberian fraksi F, G herba meniran (Phyllanthus niruri L) dengan dosis 160

mg/kgBB dapat memberikan aktivitas antitusif paling efektif berdasarkan nilai

antitusif yaitu 65,87 ± 14,92% dan fraksi F, G dengan dosis 80 mg/kgBB

memberikan efek penekanan sekresi mukus yaitu 56,91% berdasarkan

konsentrasi phenol red trakea pada marmut jantan (Cavia porcellus) yang

diinduksi dengan asam sitrat.

2. Pemberian fraksi F, G dosis 160 mg/kgBB tidak menggambarkan mekanisme

pada reseptor opioid dan ATP-sensitive potassium channels.

B. Saran

1. Perlu adanya penelitian lebih lanjut terkait efek dari ekstrak dan berbagai fraksi

herba meniran dengan periode waktu yang lebih panjang.

2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terkait mekanisme aksi antitusif dari

ekstrak dan berbagai fraksi herba meniran.

65
BAB VI

RINGKASAN

Batuk merupakan mekanisme pertahanan respiratorik dimana refleks ini

bekerja mengeluarkan sejumlah volume udara secara mendadak dari rongga toraks

melalui epiglotis dan mulut. Mekanisme tersebut dipicu oleh benda asing dan sekresi

lendir yang telah menumpuk pada jalan nafas, sehingga material-material yang berada

di sepanjang saluran respiratorik tersebut akan dilontarkan keluar. Selain sebagai

mekanisme pertahanan respiratorik, batuk juga dapat berfungsi sebagai ‘alarm’ yang

memberitahu adanya gangguan pada sistem respiratorik atau sistem organ lainnya

yang terkait (Setyanto, 2004).

Penggunaan meniran (Phyllanthus niruri L) sebagai obat batuk tradisional

telah dikenal sejak lama. Pada jamu meniran digunakan oleh masyarakat Indonesia

untuk mengatasi batuk. Tidak hanya di Indonesia, Malaysia juga menggunakan

meniran atau yang lebih dikenal dukong anak dalam mengatasi batuk. Meniran juga

digunakan pada 175 formulasi Ayurveda selama 2000 tahun (Bagalkotkar et al.,

2006). Menurut Thomas (1992) meniran sebanyak 3-7 batang lengkap (akar, batang,

daun, buah) dapat digunakan dalam mengatasi batuk. Meniran kaya akan kandungan

flavonoid, saponin, tanin, alkaloid, terpenoid dan lignan (Elfahmi et al., 2006;

Mangunwardoyo et al., 2009).

66
67

Pada penelitian ini akan dilakukan pengujian aktivitas antitusif ekstrak etanol

dan fraksi F, G dinilai dengan prosentase supresi batuk dengan menggunakan asam

sitrat 7,5% sebagai penginduksi selama 5 hari dan aktivitas ekspektoran dievaluasi

dengan melihat konsentrasi phenol red pada trakea marmut pada hari ke 7. Pengujian

gambaran mekanisme dievaluasi dengan melihat perbandingan pemberian ekstrak

herba meniran tunggal dengan kombinasi ekstrak herba meniran dan kodein

gambaran secara periferal pada reseptor opiod dan glibenklamide secara periferal

pada ATP sensitive K+ channel.

Penelitian ini terdiri dari 9 kelompok uji, masing-masing kelompok uji terdiri

dari 4 ekor marmut. Kelompok kontrol negatif (lar. CMC 0,5%), kontrol positif

(kodein 10 mg/kg BB), ekstrak etanol herba meniran dosis 125 mg/kgBB dan dosis

250 mg/kgBB, fraksi F, G dari ekstrak etanol herba meniran dosis 80 mg/kgBB dan

160 mg/kgBB, fraksi F, G 160 mg/kgBB kombinasi kodein 10 mg/kgBB dan fraksi F,

G 160 mg/kgBB kombinasi glibenklamid 3 mg/kgBB. Kelompok kontrol negatif

hanya diberi larutan CMC 0,5% secara peroral, kelompok control positif diberi

kodein secara p.o kelompok pemberian ekstrak etanol herba meniran dosis 125

mg/kgBB, 250 mg/kgBB dan fraksi F, G dosis 80 mg/kgBB dan 160 mg/kgBB.

Setelah 60 menit masing-masing kelompok diinduksi dengan larutan asam sitrat 7,5

% menggunakan compressor nebulizer selama 5 menit dan dipulihkan selama 24 jam

untuk dilakukan perlakuan yang sama selama 5 hari. Jumlah batuk yang dihasilkan

dihitung selama 25 menit terhitung dari awal penginduksian asam sitrat. Persentase

supresi batuk dinyatakan dengan membandingkan kelompok yang diberi pelakuan


68

(Ct) dengan kelompok yang tidak diberi perlakuan (Cc) dengan menggunakan rumus

[(Cc-Ct)/Cc x100%].

Kelompok positif pada pengujian ekspektoran diberikan GG secara p.o. Pada

hari ke 6 dan 7 masing-masing kelompok tetap diinduksi dengan larutan asam sitrat

7,5 % menggunakan compressor nebulizer selama 5 menit dan dipulihkan selama 24

jam. Pada hari terakhir setelah 30 menit pemberian ekstrak masing-masing kelompok

diberi phenol red secara i.p. Setelah 30 menit pemberian phenol red masing-masing

kelompok dilakukan pembedahan untuk mengisolasi trakea. Trakea segera diekstraksi

dengan 3 ml larutan salin. Kemudian, larutan ekstrak trakea ditambahkan 0,3 ml 1 M

NaOH dan dihitung absorbansinya pada panjang gelombang 546 nm.

Dosis fraksi F, G herba meniran yang memberikan supresi batuk paling baik

digunakan untuk melihat mekanisme supresi batuk yang diberikan oleh herba

meniran, yaitu dosis fraksi 160 mg/kgBB. Pada perlakuan ini dibagi menjadi dua

kelompok, kelompok yang pertama fraksi F, G 160 mg/kgBB dan kodein diberikan

diberikan secara p.o dan kelompok yang kedua fraksi F, G 160 mg/kgBB p.o dan

glibenklamid secara i.p setelah 30 menit pemberian ekstrak. Masing-masing

kelompok diberi perlakuan yang sama seperti kelompok sebelumnya.

Hasil penelitian terhadap aktivitas antitusif menunjukkan fraksi F, G

menunjukkan adanya efek antitusif. Kelompok fraksi F, G dosis 160 mg/kgBB dan

dosis 80 mg/kgBB menunjukkan aktivitas paling efektif karena menunjukan karena

menunjukkan efek setara dengan kontrol positif kodein 10 mg/kg BB.


69

Hasil penelitian terhadap aktivitas ekspektoran menunjukkan ekstrak etanol

fraksi F, G penurunan kadar phenol red trakhea, hal ini mungkin menggambarkan

aktivitas penekanan sekresi pada mukus karena menunjukan perbedaan yang

signifikan terhadap kontrol positif GG 186 mg/kgBB.

Mekanisme antitusif dibedakan menjadi dua aksi, secara central dan periferal.

Antitusif yang bekerja secara perifer dan termasuk ke dalam golongan non opioid

dimana mekanisme kerjanya dengan cara membuka ATP-sensitive potassium

channels sehingga menyebabkan hiperpolarisasi pada membran sel dan menghambat

pembengkakan pada serabut Aδ (Morita & Kamei, 2000). Kelompok fraksi F, G dosis

160 mg/kgBB tunggal tidak berbeda signifikan (p<0,05) dengan kelompok fraksi F,

G dosis 160 mg/kgBB kombinasi kodein dan glibenklamid. Hal ini mungkin

menggambarkan mekanisme yang berbeda pada aktivitas antitusif herba meniran


70

DAFTAR PUSTAKA

[Departemen Kesehatan RI]. 1995. Materi Medika Indonesia. Jilid VI. Jakarta:
Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial Republik Indonesia.

[Departemen Kesehatan RI]. 2001. Inventaris Tanaman Obat Indonesia. Jilid II.
Jakarta: Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial Republik Indonesia.
Hlm. 268-267.

[Departemen Kesehatan RI]. 2006. Farmakope Indonesia. Edisi III.Jakarta:


Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial Republik Indonesia.

[Departemen Kesehatan RI]. 2013. Farmakope Herbal Indonesia. Edisi I. Jakarta:


Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.

Arrington LR. 1972. Introductory Laboratory Animal.The Breeding, Care and


Management of Experimental Animal Science. New York: The Interstate
Printers and Publishing.

Bagalkotkar G, Sagineedu SR, Saad MS, Stanslas J. 2006. Phytochemicals from


Phyllanthus niruri Linn. and their pharmacological properties: a review.
Journal of Pharmacy and Pharmacology. 58:1559-1570.

Bagalkotkar G, Sagineedu SR, Saad MS, Stanslas J. 2006. Phytochemicals from


Phyllanthus niruri Linn. and their pharmacological properties: a review.
Journal of pharmacy and pharmacology, 58(12):1559-1570.

Belvisi MG, Venkatesan P, Barnes PJ, Fox AJ. 1998. A Comparison of


the Chemosensitivity of the Isolated Guinea Pig and Human Vagus
Nerves. Am J Respir Crit Care Med.157. A487.

Calixto JB, Santos AR., Filho VC, Yunes RA. 1998. A review of the plants of the
genus Phyllanthus: their chemistry, pharmacology, and therapeutic potential.
Medicinal research reviews. 18(4):225-258.

Cheong H et al. 1998. Studies of structure activity relationship of flavonoids for the
anti-allergic actions. Archives of pharmacal research, 21(4), pp.478-480.

Chung KF, Widdicombe JG, editor. 2009. Pharmacology and Therapeutics of Cough.
London: Springer. hlm 2-15.
71

Chung KF. 2003. Management of Cough. Di dalam Chung KF, Widdicombe


JG, Boushey HA, editor. Cough: Causes, Mechanisms and Therapy. U.K:
Blackwell Publishing Ltd.

Cohen et.al. 2011. Cardiac Arrest With Residual Blindness After Overdose of
Tessalon® (Benzonatate) Perles. The Journal of Emergency
Medicine, 41(2):166-171.

Dicpinigaitis PV. 2006. Experimentally induced cough. Pulmonary Pharmacology &


Therapeutics. 20:319–324

Elfahmi et al. 2000. Lignans from Cell Suspension Cultures of Phyllanthus niruri, an
Indonesian Medicinal Plant. Journal of Natural Products. 69:55-58.

Fernández M.A, Heras B, Garcia M.D, Sáenz M.T. dan Villar A. 2001. New insights
into the mechanism of action of the anti‐inflammatory triterpene lupeol.
Journal of Pharmacy and Pharmacology, 53(11), pp.1533-1539.

Gunawan IW, Bawa IG, Sutrisnayanti, NL. 2008. Isolasi dan Identifikasi Senyawa
Terpenoid yang Aktif Antibakteri pada Herba Meniran (Phyllanthus niruri
Linn). Journal of Chemistry. 2(1).

Harborne, J, B. 1987. Metode Fitokimia. Edisi II. Padmawinata K, Soediro JI,


penerjemah; Bandung: ITB Bandung. Terjemahan dari Phytocemical
Methods.

Hargreaves RJ, Hill RG, Iversen LL. 1994. Neuroprotective NMDA


antagonists: the controversy over their potential for adverse effects on
cortical neuronal morphology. Di dalam Brain Edema IX. Springer
Vienna. 15-19.

Herawati D, Sumarto LN. 2012. Cara Produksi Simplisia yang Baik. Bogor:Seafast
center.

Hernandez SC et al. 2000, Dextromethorphan and Its Metabolite Dextrorphan


BlockAlpha3 β4 Neuronal Nicotinic Receptors. Journal of Pharmacology
and Experimental Therapeutics. 293 (3):962-7.

Hernani NR. 2009. Aspek pengeringan dalam mempertahankan kandungan metabolit


sekunder pada tanaman obat. Perkembangan Teknologi TRO. 21(2): 33-39.
72

Hosseinzadeh H, Eskandari M, Ziaee T. 2008. Antitussive Effect of Thymoquinone, a


Constituent of Nigella Sativa Seeds, in Guinea Pigs. Pharmacologyonline. 2:
480-484.

Iizuka T, Moriyama H dan Nagai M. 2006. Vasorelaxant effects of methyl


brevifolincarboxylate from the leaves of Phyllanthus niruri. Biological and
Pharmaceutical Bulletin, 29(1), pp.177-179.

Ikawati. Z. 2009. Bahan Ajar Kuliah Materi Batuk. Fakultas Farmasi Universitas
Gadjah Mada. Yogyakarta.

Irwin RS, Madison JM. 2000. The Diagnosis and Treatment of Cough. The New
England Journal of Medicine. 343:1715-1721.

Kamei J dan Kasuya Y. 1992. Antitussive effects of Ca2+ channel antagonists.


European journal of pharmacology. 212(1), pp.61-66.

Kamei J, Nakamura R, Ichiki H, Kubo M. 2003. Antitussive principles of


Glycyrrhizae radix, a main component of the Kampo preparations
Bakumondo-to (Mai-men-dong-tang).European Journal of
Pharmacology.469:159–163.

Kassuya C.A, Leite D.F, de Melo L.V, Rehder, V.L.G dan Calixto J.B. 2005. Anti-
inflammatory properties of extracts, fractions and lignans isolated from
Phyllanthus amarus. Planta Medica, 71(08), pp.721-726.

Lu, FC. 1995. Toksikologi Dasar: Asas, Organ Sasaran dan Penilaian Resiko. Edisi
Ke-2.Nugroho E, penerjemah;Jakarta: UI Pr. hlm 206-223.

Malole MBM, Pramono CSU. 1989. Penggunaan hewan-hewan percobaan di


laboratorium. Bogor:IPB. hlm 10.

Mangunwardoyo W, Cahayaningsih E, Usia T. 2009. Ekstraksi dan dentifkasi


Senyawa Antimikroba Herba Meniran (Phyllanthus niruri L.). Jurnal Ilmu
Kefarmasian Indonesia. 7:57-63.

Manoi F. 2006. Pengaruh cara pengeringan terhadap mutu simplisia sambiloto. Bul
Littro. 17(1): 1-5.

Markham KR. 1988. Cara mengidentifikasi flavonoid. Padmawinata K, penerjemah;


Bandung:ITB.
73

Mellinger C.G, Carbonero E.R, Cipriani T.R, Gorin, P.A dan Iacomini M, 2005.
Xylans from the Medicinal Herb Phyllanthus n iruri. Journal of natural
products, 68(1), pp.129-132.

Morikawa K et al.2003. Inhibitory effect of quercetin on carrageenan-induced


inflammation in rats. Life Sciences, 74(6), pp.709-721.

Morita K, Onodera K, Kamei J. 2000. Involvement of ATP-sensitive Kq channels in


the anti-tussive effect of moguisteine. European Journal of Pharmacology.
395:161–164.

Nosál’ová G, Mokr´y J,Hassan KMT. 2003. Antitussive activity of the fruit extract of
Emblica officinalis Gaertn. (Euphorbiaceae). Phytomedicine. 10:583-589.

Oesman F, Murniana, Khairunnas M, Saidi N. 2010. Antifungal Activity of Alkaloid


From Bark of Cerbera odollam. Jurnal Natural 10(2):18 – 21.

Olney JW, Labruyere J, Price MT. 1989. Pathological Changes Induced in


Cerebrocortical Neurons by Phencyclidine and Related Drugs. Science.
244(4910):1360-2.

Putri C.A, Retorini E, Irdiah, Wardani P.K dan Surtina. 2012. Obat-obatSaluran
Pernafasan. Poltekkes Kemenkes RI Pangkal Pinang. Bangka
Belitung.

Raaman N. 2006. Phytochemical techniques. New delhi :New India Publishing.

Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB. 2010. Buku ajar respirologi anak. Edisi I.
Jakarta: BadanPenerbit IDAI.

Reynolds. SM, Spina D, Page CP. 2003. Pharmacology of PeripherallyActing


Antitussives.Di dalam Chung KF, Widdicombe JG, BousheyHA,
editor.Cough: Causes, Mechanisms and Therapy.U.K: Blackwell
Publishing Ltd. hal 237-246.

Robinson T. 1991. Kandungan Organik Tumbuhan Tingkat Tinggi. Padmawinata K,


penerjemah; Bandung:ITB.

Salisbury FB. 1995.Fisiologi Tumbuhan Jilid 2. Lukman DR, Sumaryono,


penerjemah; Bandung:ITB. Terjemahan dari: Plant Physiology.
74

Schober, M. 1999. Cavia Porcellus. http://animaldiversity.ummz.umich.edu [28 Juli


2016].

Schroeder K, Fahey T. 2004. Over the Counter Medications for Acute


Cough in Children and Adults in Ambulatory Settings. Cochrane
Database System. 18 (4). CD001831.

Sellappan M. 2015. Antitussive Activity of Certain Herbs. MIMS


Pharmacy.School of Pharmacy. Taylor University. Kuala Lumpur.

Setyanto DB. 2004. Batuk Kronik pada Anak: masalah dan tata laksana. Sari
Pediatri.6: 64-70.

Sirait, M. 2007. Penuntun fitokimia dalam farmasi. Bandung: ITB.

Šutovská M et al. 2009. Antitussive activity of polysaccharides isolated from the


Malian medicinal plants. International journal of biological macromolecules.
44(3). 236-239.

ŠutovskáM et al. 2009. Possible mechanisms of dose-dependent cough suppressive


effect of Althaea officinalis rhamnogalacturonan in guinea pigs test system.
International Journal of Biological Macromolecules, 45(1), pp.27-32.

Tanaka, Maruyama. 2005. Mechanisms of Capsaicin and Acid Citric Induced


Cough Reflexes in Guinea pigs. Journal of Pharmacological Sciences.99
(4). 77-85.

Thomas ANS. 2007. Tanaman Obat Tradisional 2. Yogjakarta: Kasinus. hlm 82-84.

Tjay TH, Rahardja K. 2002. Obat-Obat Penting Khasiat, Penggunaan, dan Efek-Efek
Sampingnya. Edisi ke V. Jakarta: PT Elex Media KomputindoTobing.

Tjay TH, Rahardja, K. 2007. Obat-Obat Penting Khasiat, Penggunaan, dan Efek-
Efek Sampingnya. Edisi ke VI. Jakarta: PT Elex Media KomputindoTobing.

Voigt R. 1994. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi. Yogyakarta: Gajah Mada


University Press.

Vree T.B, van Dongen R.T,Koopman-Kimenai P.M. 2000. Codeine


Analgesia is Due to Codeine-6-Glucuronide, not Morphine. International
Journal of Clinical Practice. 54 (6): 395-8.
75

Xu, F. Zet al. 2007. Synthesis and antitussive evaluation of verticinone-cholic


acid salt, a novel and potential cough therapeutic agent. Acta
Pharmacologica Sinica. 28(10). 1591.

Zimen I. 2002. Herbal Antitussives. Pulmonary Pharmacology & Therapeutics.


15:327–333.
77

L
A
M
P
I
R
A
N
78

Lampiran 1. Surat ethical clearance


79

Lampiran 2. Surat keterangan determinasi


80

Lampiran 3. Skema pembuatan ekstrak etanol dan fraksi F, G herba

meniran

Herba Meniran

- Dicuci dengan air mengalir


- Dikeringkan
- Digiling menjadi serbuk
- Diayak dengan ayakan 40 mesh

Serbuk Simplisia

- Ditambahkan etanol 96% dengan perbandingan (1:8)


- Direndam selama 2 hari, kemudian disaring

Filtrat Residu

- Uapkan dengan evaporator pada suhu 50° C

Ekstrak Kental KLT

- Dieluen 100 ml dengan pelarut:


- Fraksi 1 (n-Heksan 100%)
- Fraksi 2 (n-Heksan-EtOAc 70:30)
- Fraksi 3 (n-Heksan-EtOAc 50:50)
- Fraksi 4 (n-Heksan-EtOAc 30:70)
- Fraksi 5 (EtOAc 100%)
- Fraksi 6 (EtOAc-Etanol 96 70:30)
- Fraksi 7 (EtOAc-Etanol 96 50:50)
- Fraksi 8 (EtOAc-Etanol 96 30:70)
- Fraksi 9 (Etanol 96 100%)
- Ditampung masing-masing eluen

Fraksi 1,2,3,4,5,6,7,8,9

- Uapkan dengan evaporator pada suhu 50° C

Ekstrak Kental KLT


81

Lampiran 4. Prosedur pengujian antitusif dan ekspektoran ekstrak etanol

Marmut

Kel (-)
Kel (+) Kel (+) Kel Ekstrak Etanol Kel Ekstrak Etanol
Lar. CMC 0,5%
GG p.o Kodein p.o 125 mg/kgBB p.o 250 mg/kgBB p.o
p.o

- Setelah 60 menit, induksi asam sitrat dengan


compressor nebulizer selama 5 menit
- Hitung jumlah batuk selama 30 menit
- Pemulihan selama 24 jam

Pengukuran
Antitusif
Frekuensi Batuk

Hari ke - 1,2,3,4,5
Perlakuan
Hari ke 7

- Induksi asam sitrat dengan compressor


nebulizer selama 5 menit tanpa menghitung
jumlah batuk
- Setelah 30 menit, diberikan Phenol red i.p
- Setelah 30 menit, trakea diisolasi
Trakea
3, 4
- Trakea diekstraksi dalam 3 ml lar. Saline
- NaOH 1M 0,3 ml
- Absorbansi pada 546 nm spektro UV-VIS
Pengukuran
Kadar phenol red Ekspektoran

Analisis Data

3, 4
82

Lampiran 5. Prosedur pengujian antitusif dan ekspektoran fraksi F, G

Dosis Efektif
Ekstrak Etanol

Kel Fraksi F, G
Kel Fraksi F, G
80 mg/kgBB 160 mg/kgBB

- Setelah 60 menit, induksi asam sitrat


dengan compressor nebulizer selama 5
menit
- Hitung jumlah batuk selama 30 menit
- Pemulihan selama 24 jam
Pengukuran
Frekuensi Batuk Antitusif
Hari ke - 1,2,3,4,5

Perlakuan
Hari ke 7
3, 4

- Induksi asam sitrat dengan compressor


nebulizer selama 5 menit tanpa menghitung
jumlah batuk
- Setelah 30 menit, diberikan Phenol red i.p
- Setelah 30 menit, trakea diisolasi
Trakea

- Trakea diekstraksi dalam 3 ml lar. Saline


- NaOH 1M 0,3 ml
- Absorbansi pada 546 nm spektro UV-VIS

Pengukuran
Kadar phenol red Ekspektoran

Analisis Data

3, 4
83

Lampiran 6. Prosedur pengujian mekanisme penghambatan batuk herba

meniran

Dosis Efektif
Fraksi F, G

Kel Fraksi F, G
Kel Fraksi F, G 160 mg/kgBB
80 g/kgBB

- 30 menit setelah pemberian ekstrak

Kodein p.o Glibenklamid i.p

- Setelah 30 menit, induksi asam sitrat dengan


compressor nebulizer selama 5 menit
- Hitung jumlah batuk selama 30 menit
- Pemulihan selama 24 jam

Pengukuran
Frekuensi Batuk
Hari ke - 1,2,3,4,5

Analisis Data

3, 4
84

Lampiran 7. Perhitungan dosis ekstrak etanol


𝐵
Dosis Ekstrak etanol = 100% 𝑥 𝐴

9,4%
= 100% 𝑥 8,3 𝑔𝑟𝑎𝑚

= 0,805 gram

= 805 mg

Dosis marmut = Dosis manusia x 0,031

= 805 mg x 0,031

= 25 mg/400 g BB

=62,5 mg/kgBB

Dosis empiris 7 batang herba meniran diberikan 2 kali sehari, sehingga diberikan
125 mg/hari

Keterangan

A : 7 batang herba meniran serbuk seberat 8,4 gram.

B : Total maserasi dari 2200 gram serbuk meniran menghasilkan rendemen

sebanyak 214 gram.


85

Lampiran 8. Perhitungan rendemen fraksi-fraksi

𝑏𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑓𝑟𝑎𝑘𝑠𝑖 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑝𝑒𝑟𝑜𝑙𝑒ℎ (𝑔𝑟𝑎𝑚)


Rendemen = 𝑥 100%
𝑏𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑒𝑘𝑠𝑡𝑟𝑎𝑘 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑝𝑎𝑘𝑎𝑖 (𝑔𝑟𝑎𝑚)

a) Fraksi 1
0 𝑔𝑟𝑎𝑚
Rendemen = 10 𝑔𝑟𝑎𝑚 x 100%

= 0%

b) Fraksi 2
2,68𝑔𝑟𝑎𝑚
Rendemen = x 100%
10 𝑔𝑟𝑎𝑚

= 26,8%
c) Fraksi 3
1,13 𝑔𝑟𝑎𝑚
Rendemen = x 100%
10 𝑔𝑟𝑎𝑚

= 11,3%

d) Fraksi 4
0,80 𝑔𝑟𝑎𝑚
Rendemen = x 100%
10 𝑔𝑟𝑎𝑚

= 8%

e) Fraksi 5
0,80 𝑔𝑟𝑎𝑚
Rendemen = x 100%
10 𝑔𝑟𝑎𝑚

= 8%
f) Fraksi 6
1,12 𝑔𝑟𝑎𝑚
Rendemen = x 100%
10 𝑔𝑟𝑎𝑚

= 11,2%
86

g) Fraksi 7
1,83 𝑔𝑟𝑎𝑚
Rendemen = x 100%
10 𝑔𝑟𝑎𝑚

= 18,3%

h) Fraksi 8
0,52 𝑔𝑟𝑎𝑚
Rendemen = x 100%
10 𝑔𝑟𝑎𝑚

= 5,2%

i) Fraksi 9
0,35 𝑔𝑟𝑎𝑚
Rendemen = x 100%
10 𝑔𝑟𝑎𝑚

= 3,5%
Total Rendemen = 92,3%
87

Lampiran 9. Perhitungan dosis fraksi F, G

rendemen fraksi (%)


Rendemen Fraksi = total rendemen fraksi (%) x dosis efektif ekstrak

29,5%
Rendemen = 92,3% x 100 mg/400 g BB marmut

= 31,96 mg ≈ 32 mg
Lampiran 10. Hasil identifikasi fraksi fraksi herba meniran

Hasil identifikasi flavonoid fraksi 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9

UV 366

1 2 3 4 6 7 8 9

UV 254

1 2 3 4 5 6 7 8 9

Cahaya tampak

1 2 3 4 5 6 7 8 9

88
89

Lampiran 11. Hasil identifikasi kandungan kimia herba meniran

Hasil identifikasi flavonoid herba meniran


UV 366 UV 254 Sinar tampak

A B C A B C A B C

D D D

Keterangan :
A : Ekstrak Etanol Herba Meniran
B : Fraksi F, G 6,7 Herba Meniran
C : Fraksi F, G 3,4,5 Herba Meniran
D : Pembanding
90

Hasil identifikasi alkaloid herba meniran


UV 366 UV 254 Sinar tampak

A B C D A B C D A B C D

Keterangan :
A : Ekstrak Etanol Herba Meniran
B : Fraksi F, G 6,7 Herba Meniran
C : Fraksi F, G 3,4,5 Herba Meniran
D : Pembanding
91

Hasil identifikasi terpenoid herba meniran


UV 366 UV 254 Sinar tampak

A B C D A B C D A B C D

Keterangan :
A : Ekstrak Etanol Herba Meniran
B : Fraksi F, G 6,7 Herba Meniran
C : Fraksi F, G 3,4,5 Herba Meniran
D : Pembanding
92

Lampiran 12. Data uji aktivitas antitusif

Jumlah Jumlah batuk (hari)


No. Kelompok batuk
1 2 3 4 5
baseline
12 10 15 13 4 5
19 14 10 4 9 8
1. Kelompok (-) CMC 0,5%
10 5 7 16 6 8
13 6 11 9 12 4
15 6 4 3 3 4
Kelompok (+) Kodein 10 9 7 5 0 2 4
2.
mg/kgBB 5 1 4 0 0 0
9 1 2 5 2 2
7 7 10 4 9 7
Kelompok Ekstrak Etanol 125 19 13 11 9 4 4
3.
mg/kgBB 14 6 4 3 11 5
9 9 5 0 3 4
12 7 4 5 5 6
Kelompok Ekstrak Etanol 250 10 5 9 11 3 9
4.
mg/kgBB 7 4 3 4 0 0
14 8 12 4 7 2
14 8 3 3 3 2
Kelompok Fraksi F, G 80 8 5 2 9 2 0
5.
mg/kgBB 17 7 2 8 1 6
15 9 10 7 7 1
13 5 5 0 1 3
Kelompok Fraksi F, G 160 6 1 1 2 0 4
6.
mg/kgBB 14 12 2 11 0 3
12 6 15 2 5 1
16 4 2 0 3 0
Kelompok Fraksi F, G 160
7 2 2 0 2 4
7. mg/kgBB + Kodein 10
13 5 8 3 5 2
mg/kgBB
11 4 2 3 0 0
9 8 3 0 2 0
Kelompok Fraksi F, G 160
15 9 7 7 9 5
8. mg/kgBB + Glibenklamid 3
12 4 5 7 6 3
mg/kgBB
10 6 7 3 5 2
93

Supresi batuk perhari (%)


No. Kelompok
1 2 3 4 5
17 -25 -8 67 58
26 47 79 53 58
1. Kelompok (-) CMC 0,5%
50 30 -60 40 20
54 15 31 8 69
60 73 80 80 73
Kelompok (+) Kodein 10 22 44 100 78 56
2.
mg/kgBB 80 20 100 100 100
89 78 44 78 78
0 -43 43 -29 0
Kelompok Ekstrak Etanol 125 32 42 53 79 79
3.
mg/kgBB 57 71 79 21 64
0 44 100 67 56
42 67 58 58 50
Kelompok Ekstrak Etanol 250 50 11 -10 70 10
4.
mg/kgBB 43 133 43 100 100
43 17 71 50 86
43 79 79 79 86
Kelompok Fraksi F, G 80 38 75 -13 75 100
5.
mg/kgBB 59 88 53 94 65
40 33 53 53 93
62 62 100 92 77
Kelompok Fraksi F, G 160 83 83 67 100 33
6.
mg/kgBB 14 86 21 100 79
50 -25 83 58 92
75 88 100 81 100
Kelompok Fraksi F, G 160
71 71 100 71 43
7. mg/kgBB + Kodein 10
62 38 77 62 85
mg/kgBB
64 82 73 100 100
11 67 100 78 100
Kelompok Fraksi F, G 160
40 53 53 40 67
8. mg/kgBB + Glibenklamid 3
67 58 42 50 75
mg/kgBB
40 30 70 50 80
94

Lampiran 13. Data uji antivitas ekspektoran

No. Kelompok Absorbansi

1. Kelompok (-) CMC 0,5% 0,404 0,641 0,694 0,717

Kelompok (+) Glyceril Guaiakolat


2. 0,758 0,912 1,220 0,981
186 mg/kgBB
Kelompok Ekstrak Etanol 125
3. 0,523 0,617 0,392 0,526
mg/kgBB
Kelompok Ekstrak Etanol 250
4. 0,619 0,321 0,374 0,449
mg/kgBB

5. Kelompok Fraksi F, G 80 mg/kgBB 0,190 0,246 0,450 0,29

Kelompok Fraksi F, G 160


6. 0,268 0,602 0,320 0,438
mg/kgBB

No. Kelompok Konsentrasi

1. Kelompok (-) CMC 0,5% 6,23 10,39 11,32 11,72

Kelompok (+) Glyceril Guaiakolat


2. 12,44 15,14 20,54 17,28
186 mg/kgBB
Kelompok Ekstrak Etanol 125
3. 8,32 9,96 6,02 9,18
mg/kgBB
Kelompok Ekstrak Etanol 250
4. 10,00 4,77 5,70 7,61
mg/kgBB

5. Kelompok Fraksi F, G 80 mg/kgBB 2,47 3,46 7,04 4,11

Kelompok Fraksi F, G 160


6. 3,84 9,70 4,75 8,96
mg/kgBB
95

Lampiran 14. Ekstraksi trakea marmut


96

Lampiran 15. Hasil statistik aktivitas antitusif herba meniran

 Oneway ANOVA
a. Waktu perlakuan
Descriptives
Jumlah Batuk
95% Confidence Interval for Mean
N Mean Std. Deviation Std. Error Lower Bound Upper Bound Minimum Maximum
h1 24 43,92 23,346 4,765 34,06 53,77 0 89
h2 24 46,04 41,422 8,455 28,55 63,53 -43 133
h3 24 51,92 41,501 8,471 34,39 69,44 -60 100
h4 24 65,46 31,492 6,428 52,16 78,76 -29 100
h5 24 65,92 27,678 5,650 54,23 77,60 0 100
Total 120 54,65 34,619 3,160 48,39 60,91 -60 133

96
Test of Homogeneity of Variances
Jumlah Batuk
Levene Statistic df1 df2 Sig.
2,233 4 115 ,070

ANOVA
Jumlah Batuk
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 10572,883 4 2643,221 2,302 ,063
Within Groups 132042,417 115 1148,195
Total 142615,300 119

97
98

Multiple Comparisons

Dependent Variable: Jumlah Batuk


Tukey HSD

(I) Waktu (J) Waktu Mean Difference 95% Confidence Interval


Perlakuan Perlakuan (I-J) Std. Error Sig. Lower Bound Upper Bound

h1 h2 -2,125 9,782 ,999 -29,24 24,99

h3 -8,000 9,782 ,925 -35,11 19,11

h4 -21,542 9,782 ,186 -48,65 5,57

h5 -22,000 9,782 ,169 -49,11 5,11

h2 h1 2,125 9,782 ,999 -24,99 29,24

h3 -5,875 9,782 ,975 -32,99 21,24

h4 -19,417 9,782 ,280 -46,53 7,69

h5 -19,875 9,782 ,258 -46,99 7,24

h3 h1 8,000 9,782 ,925 -19,11 35,11

h2 5,875 9,782 ,975 -21,24 32,99

h4 -13,542 9,782 ,639 -40,65 13,57

h5 -14,000 9,782 ,609 -41,11 13,11

h4 h1 21,542 9,782 ,186 -5,57 48,65

h2 19,417 9,782 ,280 -7,69 46,53

h3 13,542 9,782 ,639 -13,57 40,65

h5 -,458 9,782 1,000 -27,57 26,65

h5 h1 22,000 9,782 ,169 -5,11 49,11

h2 19,875 9,782 ,258 -7,24 46,99

h3 14,000 9,782 ,609 -13,11 41,11

h4 ,458 9,782 1,000 -26,65 27,57


b. Kempolpok perlakuan

Descriptives
Jumlah Batuk
95% Confidence Interval for Mean
N Mean Std. Deviation Std. Error Lower Bound Upper Bound Minimum Maximum
Kelompok Negatif CMC 0,5% 20 31,45 34,240 7,656 15,43 47,47 -60 79
Kelompok Positif Kodein 10 20 71,65 23,987 5,364 60,42 82,88 20 100
mg/kgBB
Kelompok Etanol 125 mg/kgBB 20 40,75 38,413 8,589 22,77 58,73 -43 100
Kelompok Etanol 250 mg/kgBB 20 54,60 34,059 7,616 38,66 70,54 -10 133
Kelompok Fraksi F, G 80 20 63,60 27,128 6,066 50,90 76,30 -13 100
mg/kgBB
Kelompok Fraksi F, G 160 20 65,85 33,110 7,404 50,35 81,35 -25 100
mg/kgBB
Total 120 54,65 34,619 3,160 48,39 60,91 -60 133

99
Test of Homogeneity of Variances
Jumlah Batuk
Levene Statistic df1 df2 Sig.
,872 5 114 ,502

ANOVA
Jumlah Batuk
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 24519,900 5 4903,980 4,734 ,001
Within Groups 118095,400 114 1035,925
Total 142615,300 119

100
Multiple Comparisons
Dependent Variable: Jumlah Batuk
Tukey HSD
Mean 95% Confidence Interval
Difference (I-
(I) Kelompok Perlakuan (J) Kelompok Perlakuan J) Std. Error Sig. Lower Bound Upper Bound
Kelompok Negatif CMC 0,5% Kelompok Positif Kodein 10 mg/kgBB -40,200* 10,178 ,002 -69,70 -10,70
Kelompok Etanol 125 mg/kgBB -9,300 10,178 ,942 -38,80 20,20
Kelompok Etanol 250 mg/kgBB -23,150 10,178 ,213 -52,65 6,35
Kelompok Fraksi F, G 80 mg/kgBB -32,150* 10,178 ,024 -61,65 -2,65
Kelompok Fraksi F, G 160 mg/kgBB -34,400* 10,178 ,012 -63,90 -4,90
Kelompok Positif Kodein 10 Kelompok Negatif CMC 0,5% 40,200* 10,178 ,002 10,70 69,70
mg/kgBB Kelompok Etanol 125 mg/kgBB 30,900* 10,178 ,034 1,40 60,40
Kelompok Etanol 250 mg/kgBB 17,050 10,178 ,551 -12,45 46,55
Kelompok Fraksi F, G 80 mg/kgBB 8,050 10,178 ,969 -21,45 37,55
Kelompok Fraksi F, G 160 mg/kgBB 5,800 10,178 ,993 -23,70 35,30
Kelompok Etanol 125 mg/kgBB Kelompok Negatif CMC 0,5% 9,300 10,178 ,942 -20,20 38,80
Kelompok Positif Kodein 10 mg/kgBB -30,900* 10,178 ,034 -60,40 -1,40
Kelompok Etanol 250 mg/kgBB -13,850 10,178 ,750 -43,35 15,65
Kelompok Fraksi F, G 80 mg/kgBB -22,850 10,178 ,226 -52,35 6,65
Kelompok Fraksi F, G 160 mg/kgBB -25,100 10,178 ,143 -54,60 4,40

101
Kelompok Etanol 250 mg/kgBB Kelompok Negatif CMC 0,5% 23,150 10,178 ,213 -6,35 52,65
Kelompok Positif Kodein 10 mg/kgBB -17,050 10,178 ,551 -46,55 12,45
Kelompok Etanol 125 mg/kgBB 13,850 10,178 ,750 -15,65 43,35
Kelompok Fraksi F, G 80 mg/kgBB -9,000 10,178 ,950 -38,50 20,50
Kelompok Fraksi F, G 160 mg/kgBB -11,250 10,178 ,878 -40,75 18,25
Kelompok Fraksi F, G 80 Kelompok Negatif CMC 0,5% 32,150* 10,178 ,024 2,65 61,65
mg/kgBB Kelompok Positif Kodein 10 mg/kgBB -8,050 10,178 ,969 -37,55 21,45
Kelompok Etanol 125 mg/kgBB 22,850 10,178 ,226 -6,65 52,35
Kelompok Etanol 250 mg/kgBB 9,000 10,178 ,950 -20,50 38,50
Kelompok Fraksi F, G 160 mg/kgBB -2,250 10,178 1,000 -31,75 27,25
Kelompok Fraksi F, G 160 Kelompok Negatif CMC 0,5% 34,400* 10,178 ,012 4,90 63,90
mg/kgBB Kelompok Positif Kodein 10 mg/kgBB -5,800 10,178 ,993 -35,30 23,70
Kelompok Etanol 125 mg/kgBB 25,100 10,178 ,143 -4,40 54,60
Kelompok Etanol 250 mg/kgBB 11,250 10,178 ,878 -18,25 40,75
Kelompok Fraksi F, G 80 mg/kgBB 2,250 10,178 1,000 -27,25 31,75
*. The mean difference is significant at the 0.05 level.

102
Lampiran 16. Hasil statistik konsentrasi phenol red trakea

 Oneway ANOVA

Descriptives
Konsentrasi Phenol Red
95% Confidence Interval for Mean
N Mean Std. Deviation Std. Error Lower Bound Upper Bound Minimum Maximum
Kelompok Negatif CMC 0,5% 4 9,9150 2,51905 1,25953 5,9066 13,9234 6,23 11,72
Kelompok Positif Glyceril guaiacolat 4 16,3500 3,42409 1,71205 10,9015 21,7985 12,44 20,54
186 mg/kgBB
Kelompok Ekstrak Etanol 125 4 8,3700 1,70384 ,85192 5,6588 11,0812 6,02 9,96
mg/kgBB
Kelompok Ekstrak Etanol 250 4 7,0200 2,31181 1,15591 3,3414 10,6986 4,77 10,00
mg/kgBB
Kelompok Fraksi F, G 80 mg/kgBB 4 4,2700 1,96593 ,98296 1,1418 7,3982 2,47 7,04
Kelompok Fraksi F, G 160 mg/kgBB 4 6,8125 2,94613 1,47307 2,1245 11,5005 3,84 9,70
Total 24 8,7896 4,47633 ,91373 6,8994 10,6798 2,47 20,54

103
Test of Homogeneity of Variances
Konsentrasi Phenol Red
Levene Statistic df1 df2 Sig.
.904 5 18 .500

ANOVA
Konsentrasi Phenol Red
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 344.278 5 68.856 10.631 .000
Within Groups 116.586 18 6.477
Total 460.864 23

104
Multiple Comparisons
Dependent Variable: Konsentrasi Phenol Red
Tukey HSD
Mean Difference 95% Confidence Interval
(I) Kelompok Perlakuan (J) Kelompok Perlakuan (I-J) Std. Error Sig. Lower Bound Upper Bound
Kelompok Negatif CMC 0,5% Kelompok Positif Glyceril guaiacolat 186 -6,43500* 1,79959 ,022 -12,1541 -,7159
mg/kgBB
Kelompok Ekstrak Etanol 125 mg/kgBB 1,54500 1,79959 ,952 -4,1741 7,2641
Kelompok Ekstrak Etanol 250 mg/kgBB 2,89500 1,79959 ,604 -2,8241 8,6141
Kelompok Fraksi F, G 80 mg/kgBB 5,64500 1,79959 ,054 -,0741 11,3641
Kelompok Fraksi F, G 160 mg/kgBB 3,10250 1,79959 ,534 -2,6166 8,8216
Kelompok Positif Glyceril guaiacolat Kelompok Negatif CMC 0,5% 6,43500* 1,79959 ,022 ,7159 12,1541
186 mg/kgBB Kelompok Ekstrak Etanol 125 mg/kgBB 7,98000* 1,79959 ,004 2,2609 13,6991
Kelompok Ekstrak Etanol 250 mg/kgBB 9,33000* 1,79959 ,001 3,6109 15,0491
Kelompok Fraksi F, G 80 mg/kgBB 12,08000* 1,79959 ,000 6,3609 17,7991
Kelompok Fraksi F, G 160 mg/kgBB 9,53750* 1,79959 ,001 3,8184 15,2566
Kelompok Ekstrak Etanol 125 Kelompok Negatif CMC 0,5% -1,54500 1,79959 ,952 -7,2641 4,1741
mg/kgBB Kelompok Positif Glyceril guaiacolat 186 -7,98000* 1,79959 ,004 -13,6991 -2,2609
mg/kgBB
Kelompok Ekstrak Etanol 250 mg/kgBB 1,35000 1,79959 ,972 -4,3691 7,0691
Kelompok Fraksi F, G 80 mg/kgBB 4,10000 1,79959 ,253 -1,6191 9,8191
Kelompok Fraksi F, G 160 mg/kgBB 1,55750 1,79959 ,950 -4,1616 7,2766

105
Kelompok Ekstrak Etanol 250 Kelompok Negatif CMC 0,5% -2,89500 1,79959 ,604 -8,6141 2,8241
mg/kgBB Kelompok Positif Glyceril guaiacolat 186 -9,33000* 1,79959 ,001 -15,0491 -3,6109
mg/kgBB
Kelompok Ekstrak Etanol 125 mg/kgBB -1,35000 1,79959 ,972 -7,0691 4,3691
Kelompok Fraksi F, G 80 mg/kgBB 2,75000 1,79959 ,652 -2,9691 8,4691
Kelompok Fraksi F, G 160 mg/kgBB ,20750 1,79959 1,000 -5,5116 5,9266
Kelompok Fraksi F, G 80 mg/kgBB Kelompok Negatif CMC 0,5% -5,64500 1,79959 ,054 -11,3641 ,0741
Kelompok Positif Glyceril guaiacolat 186 -12,08000* 1,79959 ,000 -17,7991 -6,3609
mg/kgBB
Kelompok Ekstrak Etanol 125 mg/kgBB -4,10000 1,79959 ,253 -9,8191 1,6191
Kelompok Ekstrak Etanol 250 mg/kgBB -2,75000 1,79959 ,652 -8,4691 2,9691
Kelompok Fraksi F, G 160 mg/kgBB -2,54250 1,79959 ,719 -8,2616 3,1766
Kelompok Fraksi F, G 160 mg/kgBB Kelompok Negatif CMC 0,5% -3,10250 1,79959 ,534 -8,8216 2,6166
Kelompok Positif Glyceril guaiacolat 186 -9,53750* 1,79959 ,001 -15,2566 -3,8184
mg/kgBB
Kelompok Ekstrak Etanol 125 mg/kgBB -1,55750 1,79959 ,950 -7,2766 4,1616
Kelompok Ekstrak Etanol 250 mg/kgBB -,20750 1,79959 1,000 -5,9266 5,5116
Kelompok Fraksi F, G 80 mg/kgBB 2,54250 1,79959 ,719 -3,1766 8,2616
*. The mean difference is significant at the 0.05 level.

106
Lampiran 17. Hasil statistik gambaran mekanisme aktivitas antitusif

 Oneway ANOVA
a. Waktu perlakuan

Descriptives
Jumlah Batuk
95% Confidence Interval for Mean
N Mean Std. Deviation Std. Error Lower Bound Upper Bound Minimum Maximum
t1 16 55.6250 24.14367 6.03592 42.7597 68.4903 11.00 89.00
t2 16 56.7500 29.98778 7.49694 40.7706 72.7294 -25.00 88.00
t3 16 75.6250 25.00633 6.25158 62.3001 88.9499 21.00 100.00
t4 16 76.1250 19.67359 4.91840 65.6417 86.6083 40.00 100.00
t5 16 77.3750 20.11591 5.02898 66.6560 88.0940 33.00 100.00
Total 80 68.3000 25.49480 2.85041 62.6264 73.9736 -25.00 100.00

107
Test of Homogeneity of Variances
Jumlah Batuk
Levene Statistic df1 df2 Sig.
.814 4 75 .520

ANOVA
Jumlah Batuk
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 7860.800 4 1965.200 3.389 .013
Within Groups 43488.000 75 579.840
Total 51348.800 79

108
109

Multiple Comparisons
Dependent Variable: Jumlah Batuk
Tukey HSD
(I) Waktu (J) Waktu Mean Difference 95% Confidence Interval
Perlakuan Perlakuan (I-J) Std. Error Sig. Lower Bound Upper Bound
t1 t2 -1.12500 8.51352 1.000 -24.9224 22.6724
t3 -20.00000 8.51352 .141 -43.7974 3.7974
t4 -20.50000 8.51352 .124 -44.2974 3.2974
t5 -21.75000 8.51352 .090 -45.5474 2.0474
t2 t1 1.12500 8.51352 1.000 -22.6724 24.9224
t3 -18.87500 8.51352 .185 -42.6724 4.9224
t4 -19.37500 8.51352 .164 -43.1724 4.4224
t5 -20.62500 8.51352 .121 -44.4224 3.1724
t3 t1 20.00000 8.51352 .141 -3.7974 43.7974
t2 18.87500 8.51352 .185 -4.9224 42.6724
t4 -.50000 8.51352 1.000 -24.2974 23.2974
t5 -1.75000 8.51352 1.000 -25.5474 22.0474
t4 t1 20.50000 8.51352 .124 -3.2974 44.2974
t2 19.37500 8.51352 .164 -4.4224 43.1724
t3 .50000 8.51352 1.000 -23.2974 24.2974
t5 -1.25000 8.51352 1.000 -25.0474 22.5474
t5 t1 21.75000 8.51352 .090 -2.0474 45.5474
t2 20.62500 8.51352 .121 -3.1724 44.4224
t3 1.75000 8.51352 1.000 -22.0474 25.5474
t4 1.25000 8.51352 1.000 -22.5474 25.0474
b. Kelompok perlakuan

Descriptives
Jumlah Batuk
95% Confidence Interval for Mean
N Mean Std. Deviation Std. Error Lower Bound Upper Bound Minimum Maximum
Kelompok Fraksi F, G 160 20 65,8500 33,10951 7,40351 50,3543 81,3457 -25,00 100,00
mg/kgBB
Kelompok Fraksi F, G 160 20 77,1500 18,20143 4,06996 68,6315 85,6685 38,00 100,00
mg/kgBB + Kodein 10
mg/kgBB
Kelompok Fraksi F, G 160 20 58,5500 22,33825 4,99498 48,0954 69,0046 11,00 100,00
mg/kgBB + Glibenklamid 3
mg/kgBB
Kelompok Kodein 10 20 71,6500 23,98744 5,36376 60,4235 82,8765 20,00 100,00
mg/kgBB
Total 80 68,3000 25,49480 2,85041 62,6264 73,9736 -25,00 100,00

110
Test of Homogeneity of Variances
Jumlah Batuk
Levene Statistic df1 df2 Sig.
1.808 3 76 .153

ANOVA
Jumlah Batuk
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 3812.200 3 1270.733 2.032 .117
Within Groups 47536.600 76 625.482
Total 51348.800 79

111
Multiple Comparisons
Dependent Variable: Jumlah Batuk
Tukey HSD
Mean Difference 95% Confidence Interval
(I) Kelompok Perlakuan (J) Kelompok Perlakuan (I-J) Std. Error Sig. Lower Bound Upper Bound
Kelompok Fraksi F, G 160 Kelompok Fraksi F, G 160 mg/kgBB + Kodein 10 mg/kgBB -11,30000 7,90874 ,486 -32,0747 9,4747
mg/kgBB Kelompok Fraksi F, G 160 mg/kgBB + Glibenklamid 3 7,30000 7,90874 ,793 -13,4747 28,0747
mg/kgBB
Kelompok Kodein 10 mg/kgBB -5,80000 7,90874 ,883 -26,5747 14,9747
Kelompok Fraksi F, G 160 Kelompok Fraksi F, G 160 mg/kgBB 11,30000 7,90874 ,486 -9,4747 32,0747
mg/kgBB + Kodein 10 Kelompok Fraksi F, G 160 mg/kgBB + Glibenklamid 3 18,60000 7,90874 ,096 -2,1747 39,3747
mg/kgBB mg/kgBB
Kelompok Kodein 10 mg/kgBB 5,50000 7,90874 ,899 -15,2747 26,2747
Kelompok Fraksi F, G 160 Kelompok Fraksi F, G 160 mg/kgBB -7,30000 7,90874 ,793 -28,0747 13,4747
mg/kgBB + Glibenklamid 3 Kelompok Fraksi F, G 160 mg/kgBB + Kodein 10 mg/kgBB -18,60000 7,90874 ,096 -39,3747 2,1747
mg/kgBB Kelompok Kodein 10 mg/kgBB -13,10000 7,90874 ,354 -33,8747 7,6747
Kelompok Kodein 10 mg/kgBB Kelompok Fraksi F, G 160 mg/kgBB 5,80000 7,90874 ,883 -14,9747 26,5747
Kelompok Fraksi F, G 160 mg/kgBB + Kodein 10 mg/kgBB -5,50000 7,90874 ,899 -26,2747 15,2747
Kelompok Fraksi F, G 160 mg/kgBB + Glibenklamid 3 13,10000 7,90874 ,354 -7,6747 33,8747
mg/kgBB

112

Anda mungkin juga menyukai