Anda di halaman 1dari 113

PENELITIAN TESIS

PENGARUH TERAPI OKSIGEN HIPERBARIK


TERHADAP KADAR SOD, IL-1β DAN Hb
PADA TIKUS BETINA YANG TERPAPAR ASAP KENDARAAN

dr. Dony Irawan Suwardhono

PROGRAM STUDI ILMU KEDOKTERAN DASAR


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2023
PENELITIAN TESIS

PENGARUH TERAPI OKSIGEN HIPERBARIK


TERHADAP KADAR SOD, IL-1β DAN Hb
PADA TIKUS BETINA YANG TERPAPAR ASAP KENDARAAN

dr. Dony Irawan Suwardhono


NIM. 012014153002

PROGRAM STUDI ILMU KEDOKTERAN DASAR


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2023

ii
LEMBAR PENGESAHAN

PENELITIAN YANG TELAH DIUJI


PADA TANGGAL 16 OKTOBER 2023

Oleh
Pembimbing Utama

Dr. Arifa Mustika, dr., M.Si


NIP. 197009151998022001

Pembimbing Kedua

Dr. Titut Harnanik, dr., M.Kes


NIP/NIDK. 02571/8864880018

Mengetahui
Koordinator Program Studi Ilmu Kedokteran
Jenjang Magister Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga

Dr. Arifa Mustika, dr., M.Si


NIP. 197009151998022001

iii
Tesis ini telah disetujui untuk diuji dan dinilai

oleh Panitia Penguji Hasil Penelitian

pada Tanggal 16 Oktober 2023

Panitia penguji :

Ketua : Dr. Lilik Herawati, drh., M.Kes

Anggota : 1. Dr. Arifa Mustika, dr., M.Si

2. Dr. Widati Fatmaningrum, dr., M.Kes, Sp.GK

3. Dr. Titut Harnanik, dr., M.Kes

4. Dr. Siti Khaerunnisa, M.Si

Ditetapkan dengan Surat Keputusan

Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga

Tentang Panitia Penguji Tesis

Nomor: 12023/UN3.FK/I/PK.03.08/2023

Tanggal 9 Oktober 2023

iv
IR- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

PERNYATAAN KEASLIAN PENELITIAN


Yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama : Dony Irawan Suwardhono

NIM : 01201453002

Program Studi : Magister Ilmu Kedokteran Dasar

Judul Tesis :

“PENGARUH TERAPI OKSIGEN HIPERBARIK TERHADAP KADAR SOD, IL-1β DAN Hb PADA

TIKUS BETINA YANG TERPAPAR ASAP KENDARAAN “

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa Tesis saya ini adalah asli (hasil karya sendiri) bukan merupakan hasil

peniruan atau penjiplakan (Plagiarism) dari karya orang lain. Tesis ini belum pernah di ajukan untuk

mendapat kan gelar akademik.

Dalam tesis ini tidak terdapat pendapat yang telah ditulis atau dipublikasikan orang lain kecuali secara

tertulis dengan jelas dicantumkan sebagai acuan dengan disebutkan nama pengarang dan dicantumkan di

dalam daftar pustaka. Demikian , pernyataan ini dibuat tanpa adanya paksaan dari p[ihak manapun, apabila

pernyataan ini tidak benar, maka saaya bersedia menerima sanksi sesuai dengan norma dan peraturan yang

berlaku di Universitas Airlangga.

Surabaya,16 Oktober 2023

Dony Irawan Suwardhono


NIM 01201453002

v
UCAPAN TERIMAKASIH

Puji Syukur saya panjatkan ke hadirat Tuhan YME yang telah

memberikan kemudahan dan kelancaran sehingga disertasi dengan judul ―Penaruh

Oksigen Hiperbarik Terhadap Penurunan Stres Oksidatif Melalui Analisis SOD,

IL-1β dan Hb Pada Tikus Yang Terpapar Asap Kendaraan‖ dapat diselesaikan.

Tesis ini disusun sebagai salah satu syarat kelulusan bagi mahasiswa Program

Studi Ilmu Penyelaman Dan Hiperbarik Magister Ilmu Kedokteran Dasar pada

Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya.

Keberhasilan dalam pelaksanaan penelitian dan penyusunan tesis ini

berkat bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini saya

menyampaikan terima kasih kepada :

Dr. Arifa Mustika, dr., M.Si sebagai Ketua Program Studi Magister Ilmu

Kedokteran Dasar pada Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya

sekaligus sebagai pembimbing I yang telah memberikan asuhan akademik,

bimbingan dan motivasi kepada saya dalam menjalani dan menyelesaikan tahapan

pendidikan saya mulai ujian proposal sampai sekarang. Beliau telah banyak

meluangkan waktu dan tenaga agar saya bisa menyelesaikan penyusunan naskah

disertasi ini. Semoga Tuhan YME selalu memberkati beliau atas jasa dan

kebaikannya kepada saya.

Dr. Titut Harnanik, dr., M.Kes sebagai pembimbing II yang selalu

memberi mendukung dan memotivasi saya untuk menempuh studi S2, selalu

memberi bimbingan, ide dan saran dengan penuh kesabaran mulai tahapan awal

studi sampai sekarang. Beliau menjadi tempat bertanya dan meminta tolong

vi
apabila saya mengalami kesulitan sehingga saya dapat melaksanakan penelitian

dan menyusun naskah disertasi ini. Semoga Tuhan YME selalu memberkati beliau

atas jasa dan kebaikannya kepada saya.

Ucapan terimakasih sebesar-besarnya juga saya haturkan kepada:

Kementerian Pertahanan dan Keamanan Republik Indonesia yang telah

memberikan Beasiswa Pendidikan Pasca Sarjana kepada saya dalam menempuh

pendidikan program Magister ini.

Rektor Universitas Airlangga, Prof. Dr. Mohammad Nasih SE., MT, CMA,

Ak., yang telah memberikan kesempatan pada saya untuk mengikuti pendidikan

pada Program Studi Magister Ilmu Kedokteran Dasar pada Fakultas Kedokteran

Universitas Airlangga Surabaya.

Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Prof. Dr. Budi Santoso,

dr., Sp.OG., Subsp.F.E.R. yang telah memberikan kesempatan pada saya untuk

mengikuti pendidikan pada Program Studi Magister Ilmu Kedokteran Dasar pada

Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya.

Kepala Dinas Kesehatan Angkatan Laut, Laksamana Pertama TNI dr.

Agus Guntoro, SpBS-Subsp Spine (K) yang telah memberikan kesempatan dan

banyak membantu saya dalam menempuh pendidikan magister ini.

Kepala Lembaga Kesehatan Kelautan TNI AL (LAKESLA), Kolonel Laut

(K) dr. Rudi Pandapotan, SpB-KBD yang telah memberikan kesempatan dan

motivasi kepada saya dalam melaksanakan pendidikan program magister ini.

Seluruh tim penguji dari proposal dan penilaian naskah tesis, Dr. Widati

Fatmaningrum, dr., M.Kes, Sp.GK, Dr. Lilik Herawati, drh., M.Kes dan Dr. Siti

Khaerunnisa, M.Si yang telah meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan

vii
yang sangat berharga mulai dari proposal hingga penyusunan tesis ini.

Para dosen pengajar dan seluruh staf administrasi pada Program Magister

Ilmu Kedokteran Dasar pada Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga

Surabaya.

Seluruh anggota Lembaga Kesehatan Kelautan Surabaya, seluruh karyawan

di Laboratorium Ilmu Biokimia Fakultas Kedokteran Universitas Hang Tuah

Surabaya yang telah memberikan saran dan masukan pada rancangan penelitian

yang saya lakukan.

Seluruh teman seperjuangan angkatan 2020/2021 Program Studi Ilmu

Penyelaman Dan Hiperbarik Magister Ilmu Kedokteran Dasar pada Fakultas

Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya. Terimakasih banyak dapat bertemu

dan bersama-sama dengan orang-orang yang bisa saling mendukung, saling

membantu dan saling memotivasi.

Terima kasih banyak saya ucapkan. Ayahanda tercinta Bapak Dody

Sowardhono yang telah memberikan dasar yang kuat untuk menjadi individu yang

tidak mudah menyerah pada keadaan. Terimakasih atas doa, keringat dan air mata

dalam membesarkan dan mendidik saya. Kepada istri tercinta Ny. Devi Kartika

Sari dan Anak-anak saya tercinta Daffa Surya Perdana yang selalu mendukung

dan tidak pernah berhenti memberikan semangat dan kekuatan kepada saya.

Terimakasih juga saya ucapkan kepada adik saya Irmawati dan Rizky Andreanto

beserta keluarga yang telah memberi motivasi dan dukungan kepada saya dalam

menempuh pendidikan ini.

Semua pihak yang tidak mungkin saya sebutkan satu persatu di sini yang

telah banyak membantu saya dalam menyelesaikan studi dan menyusun tesis ini.

viii
Semoga Tuhan YME melimpahkan berkat kepada semua pihak yang telah

membantu penyelesaian tesis ini. Semoga tesis ini dapat memberikan manfaat

bagi masyarakat, khususnya bagi perkembangan ilmu pengetahuan, pendidikan

dan kesehatan. Semoga Tuhan YME senantiasa membimbing dan memberkati

kita sehingga kehidupan di bumi ini menjadi lebih baik lagi. Amin.

Surabaya, September 2023

Penulis

ix
ABSTRAK

PENGARUH TERAPI OKSIGEN HIPERBARIK


TERHADAP PENURUNAN STRES OKSIDATIF
MELALUI ANALISIS SOD, IL-1β DAN Hb
PADA TIKUS YANG TERPAPAR ASAP KENDARAAN

Dony Irawan Suwardhono

Latar belakang: Karena jumlah polusi udara yang semakin meningkat dan dapat
menyebabkan gangguan kesehatan dan kematian,terutama gangguan kesehatan
pada paru.

Material dan Metode: Desain penelitian yang digunakan adalah penelitian true
experimental. Rancangan penelitian ini adalah post test only randomized control
group design. Dua puluh empat tikus Betina berusia 6-8 minggu dengan berat
180-200 gram dibagi menjadi 3 kelompok, kelompok normal (K0), kelompok
terpapar asap kendaraan bermotor yang tidak diberi HBOT (K1) dan kelompok
terpapar asap kendaraan bermotor yang diberi HBOT (K2). HBOT adalah
menghisap O2 100% dengan tekanan 1,7 ATA selama 3x30 menit dengan interval
5 menit selama 10 hari berturut-turut. Stres oksidatif dinilai berdasarkan kadar
aktivitas enzim SOD, IL-1β dan Hb yang diukur dengan enzyme-linked sorbent
assay (ELISA).

Hasil: Ada peningkatan yang signifikan (p < 0,05) pada kadar SOD dan Hb, tidak
ada penurunan yang signifikan (p > 0,05) pada kadar IL-1β pada kelompok
hewan coba model terpapar asap kendaraan bermotor yang diberi HBOT (K2)
dibandingkan dengan hewan coba model terpapar asap kendaraan bermotor yang
tidak diberi HBOT (K1)

Kesimpulan: HBOT memiliki pengaruh terhadap peningkatan aktifitas enzim


x
SOD dan kadar Hb serta penurunan kadar IL-1β pada hewan coba model terpapar
asap kendaraan. HBOT dapat menjadi terapi adjuvant untuk penyakit paru
obstruktif kronik akibat paparan asap kendaraan.

Kata kunci: HBOT, paparan asap kendaraan, SOD, IL-1β, Hb

xi
ABSTRACT

EFFECT OF HYPERBARIC OXYGEN THERAPY


ON REDUCING OXIDATIVE STRESS
THROUGH THE ANALYSIS OF SOD, IL-1β AND Hb
IN RATS EXPOSED TO VEHICLE SMOKE

Dony Irawan Suwardhono

Background: Because the amount of air pollution is increasing and can making health problems
and death, especially lung health problems.

Materials and Method: The research design used is true experimental research. The
research design was a post test only randomized control group design. 24 female rats
aged 6-8 weeks weighing 180-200 grams were divided into 3 groups, the normal group
(K0), the group exposed to vehicle smoke which were not given HBOT (K1) and the
group exposed to vehicle smoke which were given HBOT (K2). HBOT is inhaling
100% O2 with a pressure of 1.7 ATA for 3x30 minutes with 5 minute intervals for 10
consecutive days. Oxidative stress was assessed based on the activity levels of the
enzymes SOD, IL-1β and Hb as measured by the enzyme-linked sorbent assay (ELISA).

Results: There was a significant increase (p <0.05) in SOD and Hb levels, there was no
significant decrease (p > 0.05) in IL-1β levels in the animal model group exposed to
vehicle smoke that were given HBOT (K2) compared to with experimental animal
models exposed to vehicle smoke that were not given HBOT (K1)

Conclusion: HBOT has an effect on reducing oxidative stress through increasing SOD
enzyme activity and Hb levels and decreasing levels of the pro-inflammatory cytokine
IL-1β in animal models exposed to vehicle smoke. HBOT can be an adjuvant therapy
for chronic obstructive pulmonary disease due to exposure to vehicle smoke.

xii
Keywords: HBOT, exposure to vehicle smoke, SOD, IL-1β, Hb

xiii
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL DEPAN............................................................................i


HALAMAN SAMPUL BELAKANG...................................................................ii
LEMBAR PENGESAHAN..................................................................................iii
UCAPAN TERIMA KASIH.................................................................................v
ABSTRAK............................................................................................................ix
ABSTRACT.............................................................................................................x
DAFTAR ISI.........................................................................................................xi
DAFTAR GAMBAR..........................................................................................xvi
DAFTAR TABEL.............................................................................................xvii
DAFTAR SINGKATAN..................................................................................xviii
BAB 1 PENDAHULUAN...................................................................................1
1.1 Latar Belakang..............................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah........................................................................................3
1.3 Tujuan Penelitian..........................................................................................4
1.3.1 Tujuan Umum......................................................................................4
1.3.2 Tujuan Khusus.....................................................................................4
1.4 Manfaat Penelitian........................................................................................4
1.4.1 Akademik............................................................................................4
1.4.2 Praktis..................................................................................................4
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA............................................................................6
2.1 Hyperbaric Oxygen Therapy (HBOT)..........................................................6
2.1.1 Definisi Hyperbaric Oxygen Therapy (HBOT)...................................6
2.1.2 Mekanisme HBOT..............................................................................7
2.1.3 Indikasi HBOT....................................................................................8
2.1.4 Kontraindikasi HBOT.........................................................................9
2.2 Asap Kendaraan..........................................................................................10
2.2.1 Definisi Asap Kendaraan Bermotor..................................................10
2.2.2 Dampak Asap Kendaraan Pada Paru.................................................10
2.3 Stres Oksidatif............................................................................................11
2.3.1 Reactive Oxygen Species (ROS)........................................................12
2.3.2 Antioksidan.......................................................................................16
xiv
2.4 Sitokin........................................................................................................19
2.4.1 Sitokin Pro Inflamasi.........................................................................20
2.5 Hemoglobin (Hb)........................................................................................24
2.6 Hyperbaric Oxygen Therapy terhadap Stres Oksidatif..............................29
2.7 Penyakit – Penyakit Yang Disebabkan Oleh Polusi Udara........................31
2.7.1 Infeksi Saluran Pernafasan (ISPA)....................................................31
2.7.2 Asma..................................................................................................31
2.7.3 Bronkitis............................................................................................31
2.7.4 Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK).........................................32
2.7.5 Kanker Paru-Paru..............................................................................32
2.8 Cara Pencegahan Penyakit Akibat Pencemaran Polusi Udara...................32
BAB 3 KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS.................................34
3.1 Kerangka Konseptual.................................................................................34
3.2 Deskripsi Kerangka Konseptual.................................................................35
3.3 Hipotesis.....................................................................................................36
BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN............................................................37
4.1 Rancangan Penelitian.................................................................................37
4.1.1 Desain Penelitian...............................................................................37
4.1.2 Metode Penelitian..............................................................................38
4.2 Populasi, Sampel, Besar Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel..........38
4.2.1 Populasi.............................................................................................38
4.2.2 Sampel...............................................................................................39
4.2.3 Besar Sampel.....................................................................................39
4.2.4 Teknik Pengambilan Sampel.............................................................41
4.3 Variabel Penelitian.....................................................................................41
4.3.1 Klasifikasi Variabel...........................................................................41
4.3.2 Definisi Operasional..........................................................................41
4.4 Alat dan Bahan Penelitian..........................................................................43
4.4.1 Alat Penelitian...................................................................................43
4.4.2 Bahan Penelitian................................................................................45
4.5 Tempat dan Waktu Penelitian....................................................................52
4.6 Prosedur Pengambilan atau Pengumpulan Data.........................................52

xv
4.6.1 Aklimatisasi.......................................................................................52
4.6.2 Penimbangan Berat Badan Hewan Coba...........................................52
4.6.3 Persyaratan Etik.................................................................................52
4.6.4 Pembuatan Model PPOK...................................................................52
4.6.5 Pelaksanaan Perlakuan HBO.............................................................53
4.6.6 Pembiusan dan Eutanasia..................................................................53
4.6.7 Prosedur Pengambilan Darah............................................................54
4.6.7.1 Pemeriksaan Superoksida dismutase.....................................54
4.6.7.2 Pemeriksaan IL-1β................................................................54
4.6.7.3 Pemeriksaan Hb.....................................................................55
4.6.8 Perlakuan Terhadap Karkas..............................................................55
4.7 Manajemen Data.........................................................................................55
4.7.1 Analisis Data.....................................................................................55
4.8 Kerangka Operasional................................................................................57
BAB 5 ANALISIS HASIL PENELITIAN..........................................................58
5.1 Data Penelitian............................................................................................58
5.2 Hasil Pemeriksaan Kadar SOD..................................................................59
5.2.1 Kadar SOD Pada Kelompok Kontrol Negatif, Kelompok
Kontrol Positif Dan Kelompok Perlakuan.........................................59
5.2.2 Hasil Uji Deskriptif Kadar SOD Pada Kelompok Kontrol
Negatif, Kelompok Kontrol Positif, dan Kelompok Perlakuan.........59
5.2.3 Hasil Uji Normalitas Kadar SOD Pada Kelompok Kontrol
Negatif, Kelompok Kontrol Positif Dan Kelompok Perlakuan..........60
5.2.4 Hasil Uji Homogenitas Kadar SOD Pada Kelompok Kontrol
Negatif, Kelompok Kontrol Positif Dan Kelompok Perlakuan
Dengan Uji Levene‘s.........................................................................60
5.2.5 Hasil Uji Statistika Parametrik One-Way Anova Kadar
SOD pada Kelompok Kontrol Negatif, Kelompok Kontrol Positif,
dan Kelompok Perlakuan...................................................................61
5.2.6 Hasil Uji Post Hoc dengan Teknik Tukey (Honestly
Significant difference) Kadar SOD Kelompok Kontrol Negatif ,
Kelompok Kontrol Positif dan Kelompok Perlakuan........................62

xvi
5.2.7 Kesimpulan Hasil Penelitian.............................................................64
5.3 Hasil Pemeriksaan Kadar IL-1β.................................................................65
5.3.1 Kadar IL-1β Pada Kelompok Kontrol Negatif, Kelompok Kontrol
Positif Dan Kelompok Perlakuan......................................................65
5.3.2 Hasil Uji Deskriptif Kadar IL-1β Pada Kelompok Kontrol Negatif,
Kelompok Kontrol Positif, dan Kelompok Perlakuan.......................66
5.3.3 Hasil Uji Normalitas Kadar IL-1β Pada Kelompok Kontrol Negatif ,
Kelompok Kontrol Positif Dan Kelompok Perlakuan........................66
5.3.4 Hasil Uji Homogenitas Kadar IL-1β Pada Kelompok Kontrol
Negatif, Kelompok Kontrol Positif Dan Kelompok Perlakuan
Dengan Uji Levene‘s..........................................................................67
5.3.5 Hasil Uji Non-Parametrik dengan Uji Kruskal Wallis......................68
5.3.6 Hasil Uji beda Mann-Whitney U.......................................................69
5.3.7 Kesimpulan Hasil Kadar IL-1β.........................................................72
5.4 Hasil Pemeriksaan Kadar Hb......................................................................73
5.4.1 Kadar Hb Pada Kelompok Kontrol Negatif, Kelompok Kontrol
Positif Dan Kelompok Perlakuan.......................................................73
5.4.2 Hasil Uji Deskriptif Kadar Hb Pada Kelompok Kontrol Negatif,
Kelompok Kontrol Positif, dan Kelompok Perlakuan........................74
5.4.3 Hasil Uji Normalitas Kadar Hb Pada Kelompok Kontrol Negatif ,
Kelompok Kontrol Positif Dan Kelompok Perlakuan........................74
5.4.4 Hasil Uji Non-Parametrik dengan Uji Kruskal Wallis......................75
5.4.5 Hasil Uji beda Mann-Whitney U.......................................................76
5.4.6 Kesimpulan Hasil Kadar Hb..............................................................79
BAB 6 PEMBAHASAN......................................................................................81
6.1 Subyek Penelitian.......................................................................................82
6.2 Pembuatan Model Hewan Coba Terpapar Asap Kendaraan......................82
6.3 Paparan HBOT...........................................................................................83
6.4 Pengaruh HBOT Terhadap SOD................................................................85
6.5 Pengaruh HBOT Terhadap IL-1β...............................................................87
6.6 Pengaruh HBOT Terhadap IL-1β...............................................................89
BAB 7 KESIMPULAN DAN SARAN...............................................................91

xvii
7.1 Kesimpulan.................................................................................................91
7.2 Saran...........................................................................................................91
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................93

xviii
DAFTAR GAMBAR

2.1 Mekanisme ROS Timbal pada paru...............................................................16


2.2 ARE and Nrf2 pathways.................................................................................17
2.3 Model aktivitas fisik mengaktivasi NrF2-Keap1 pathway............................18
2.4 Aktivasi inflamasom pada pasien PPOKy.....................................................21
2.5 Sel-sel spesifik dan sitokin............................................................................23
4.1 Desain penelitian............................................................................................41
4.2 Kerangka operasional penelitian....................................................................56
5.1 Diagram rerata kadar SOD pada kelompok K0, K1 dan K2.........................65
5.2 Diagram rerata kadar IL-1β pada kelompok K0, K1 dan K2........................73
5.3. Diagram rerata kadar Hb pada kelompok K0, K1 dan K2............................80

xix
DAFTAR TABEL

4.1 IL-1 family members .....................................................................................


4.2 Definisi operasional variabel penelitian ........................................................

xx
DAFTAR SINGKATAN/ISTILAH

ATA Atmosphere Absolute


C Carbon
BHT Butylated Hydroxytoluene
CO Carbon Monoxide
COPD Chronic Obstructive Pulmonary Disease
DNA Deoxyribonucleic Acid
EDTA Ethylene Diamine Tetra-acetic acid
eNOS Endothelial nitric oxide synthase
FVC Forced vital capacity
GPx Glutation Peroksidase
H2O2 Hydrogen Peroxide
Hb Hemoglobin
HBOT Hyperbaric Oxygen Therapy
HC Hidrocarbon
HOCl Asam Hipoklorit
IL Interleukine
KNHANES Korean National Health and Nutrition Examination Survey
MDA Malondialdehyde
NO Nitric Oxide
N2O Nitrous Oxide
NO3 Peroxynitrite
NOx Nitrogen Oxides
O2- Superoksida
-OH Radikal Hydroxyl
OHB Oksigen Hiperbarik
Pb Plumbum
PEF Peak Expiratory Flow
PFT Pulmonary Function Tests
PM Particulate Mater
PPOK Chronic Obstructive Pulmonary
RCHO Aldehydes
RNS Reactive Nitrogen species
ROO- Radikal Peroxyl
ROS Reactive Oxygen Spesies
RR Respiratory Rate
RUBT High Pressure Air Chamber
SOD Superoksida Dismutase
SpO2 Pulse Oxygen Saturation
Sox Sulfur Oxides
TNF Tumor Necrosis Factor
WHO World Health Organization

xxi
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Asap kendaraan adalah zat limbah yang ada di dalam mesin akibat

produk oksidasi dan pembakaran tidak sempurna bahan bakar hidrokarbon.

Peradaban manusia yang berkembang dan makin bertambahnya variasi serta

kuantitas dari kendaraan menyebabkan polusi udara yang merupakan salah satu

risiko lingkungan terbesar bagi kesehatan (Kilowasid LMH et al., 2015;

Sassykova LR et al., 2019). Sejumlah besar kendaraan berpotensi untuk

menghasilkan asap atau gas emisi yang buruk karena kurangnya perawatan

kendaraan, jenis bahan bakar dan pembakaran yang kurang baik (Sassykova LR et

al., 2019). Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan kendaraan bermotor

yang dimiliki masyarakat Indonesia menunjukkan peningkatan. Tahun 2016

kendaraan bermotor baik berjenis mobil penumpang, mobil bis, mobil barang,

maupun sepeda motor mencapai 129.281.079 unit dan kepemilikan sepeda motor

mendominasi dengan jumlah mencapai 105.150.082 unit (Ayuningtyas C, 2019)

Paparan polusi udara diperkirakan menyebabkan 7 juta kematian dini

setiap tahun (WHO, 2021). Diperkirakan 91% populasi global terpapar

konsentrasi particulate matter (PM) 2,5 di atas pedoman WHO. PM 2.5 termasuk

polutan seperti sulfat, nitrat dan karbon hitam, yang masuk ke paru-paru dan

sistem kardiovaskular dan dapat berisiko tinggi bagi kesehatan manusia

(Greenpeace Indonesia, 2021). Data polusi udara ambien terbaru tahun 2019 dan

menunjukkan bahwa tingkat rata-rata tahunan PM2.5 di Jakarta dan kota-kota

besar di Indonesia adalah 37,66 g/m3, yang melebihi Pedoman Kualitas Udara
1
2

dari WHO. Pedoman nasional pencemaran udara di Indonesia kurang ketat

dibandingkan dengan kualitas udara WHO (Greenpeace Indonesia, 2021).

Asap kendaraan menyebabkan gangguan fungsi paru (Agustí A et al.,

2019; Brandsma CA et al., 2019) akibat stres oksidatif yaitu ketidak seimbangan

antara antioksidan dan oksidan yang menyebabkan gangguan pensinyalan dan

kontrol redoks dan/atau kerusakan molekuler (Sies H, 2020). Stres oksidatif

dikaitkan dengan inflamasi dan hipoksia yang dapat disebabkan oleh dua

proses patologis, yaitu penyempitan saluran nafas kecil dan destruksi pada

parenkin paru (Barnes PJ, 2016). Superoxide dismutases (SODs) merupakan

pertahanan antioksidan yang sangat penting terhadap stres oksidatif dalam tubuh.

Enzim ini bertindak sebagai agen terapeutik yang baik terhadap penyakit yang

dimediasi oksidan atau spesies oksigen reaktif (Younus H, 2018). Interleukin

(IL)-1 merupakan sitokin pro inflamasi yang paling utama di produksi oleh

makrofag dan epitel pemafasan, dan pelepasannya diikuti dengan IL-6, IL-8

dan TNF-a, dapat menyebabkan neutofilia, aktivasi makrofag dan juga

respon dari sel T (Bent R et al., 2018; Osei ET, et al., 2020). Hipoksia pada

penyakit paru kronis sering terdapat anemia atau kadar hemoglobin (Hb) rendah

sebagai penyebab komorbiditas (Pandey S et al., 2018; Duca L et al, 2021; Webb

KL et al., 2022).

Hyperbaric Oxygen Therapy (HBOT) adalah terapi dengan memberikan

oksigen (O2) ‗100%‘ atau kadar lebih tinggi dari udara biasa di dalam ruang udara

bertekanan tinggi (RUBT) lebih dari 1 atmosphere absolute (ATA). Pengaruh

HBOT terhadap fungsi paru telah dilakukan. HBOT meningkatkan pulse oxygen

saturation (SpO2), mengatasi hipoksia dan menurunkan inflamasi sehingga


3

diharapkan dapat menjadi terobosan baru dalam mencegah terjadinya kerusakan

dan gangguan fungsi paru (Rosario ER et al., 2018). HBOT meningkatkan PEF

(aliran pernapasan maksimum atau peak expiratory flow) dan FVC (Forced vital

capacity) (Hadanny A et al., 2019).

Penelitian yang saya lakukan ini lebih mengkaji pada strategi terapi pada

hewan coba yang terpapar asap kendaraan. Dosis HBOT meliputi kadar oksigen,

tekanan, durasi, interval dan jumlah sesi. Pada penelitian ini, hewan coba diberi

terapi HBOT menghirup O2

‗100%‘ 3x30 menit diselingi 2x5 menit menghirup udara biasa pada tekanan 1,7

ATA selama 10 hari berturut-turut setelah diberi paparan emisi gas kendaraan

bermotor kemudian dilakukan analisis darah dan jaringan paru.

1.2 Rumusan Masalah

Apakah HBOT dapat memberikan pengaruh terhadap Kadar SOD, IL-1β

dan Hb pada tikus Betina yang terpapar asap kendaraan?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Menganalisis perbedaan pengaruh paparan HBOT terhadap kadar SOD,

IL-1β dan Hb pada tikus Betina yang terpapar asap kendaraan.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Membuktikan perbedaan aktivitas enzim SOD pada darah tikus Betina

yang terpapar asap kendaraan setelah diberikan paparan HBOT dan tanpa paparan

HBOT.

2. Membuktikan perbedaan kadar sitokin pro inflamasi IL-1β pada darah


4

tikus Betina yang terpapar asap kendaraan setelah diberikan paparan HBOT dan

tanpa paparan HBOT.

3. Membuktikan perbedaan kadar Hb pada darah tikus B e t i n a yang

terpapar asap kendaraan setelah di berikan paparan HBOT dan tanpa paparan

HBOT.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Akademik

Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk informasi ilmiah dalam

pengembangan ilmu pengetahuan tentang pengaruh dan mekanisme HBOT pada

tikus Betina yang terpapar asap kendaraan sehingga dapat berguna sebagai dasar

bagi penelitian selanjutnya.

1.4.2 Praktis

Sebagai titik awal uji evidence base dan dasar untuk konsensus

Hyperbaric Medicine tentang penggunaan HBOT dalam menurunkan stress


5

oksidatif paru sehingga HBOT dapat digunakan sebagai terapi adjuvant pada

masyarakat yang sering terpapar asap kendaraan untuk mencegah kematian.


BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hyperbaric Oxygen Therapy (HBOT)

2.1.1 Definisi Hyperbaric Oxygen Therapy (HBOT)

Hyperbaric oxygen therapy (HBOT) adalah terapi dengan memberikan

oksigen (O2) 100% atau kadar lebih tinggi dari udara biasa di dalam ruang udara

bertekanan tinggi (RUBT) lebih dari 1 atmosphere absolute (ATA). Dalam

kondisi ini,paru-paru dapat mengumpulkan lebih banyak oksigen dibandingkan

menghirup oksigen di tekanan normal. Kondisi ini membantu untuk melawan

bakteri, juga menstimulasi pelepasan growth factors dan stem sel yang akan

membantu proses penyembuhan. HBOT kini digunakan sebagai terapi untuk

penyakit dekompresi dan juga risiko akibat dari scuba diving (Rosario ER et al.,

2018).

Perawatan HBOT dilakukan di ruang mono (satu orang) atau multi-tempat

(biasanya 2 hingga 14 pasien). Tekanan yang diterapkan saat berada di dalam

ruangan biasanya 2 hingga 3 atmosfer absolut (ATA), jumlah tekanan atmosfer (1

ATA) ditambah tekanan hidrostatik tambahan yang setara dengan satu atau dua

atmosfer (1 atmosfer = tekanan 14,7 pounds per inci persegi atau 101 kPa).

Perawatan biasanya sekitar 1,5 hingga 2 jam, tergantung pada indikasi dan dapat

dilakukan satu hingga tiga kali sehari. Ruang monoplace biasanya dikompresi

dengan O2 murni. Ruang multi-tempat diberi tekanan dengan udara dan pasien

menghirup O2 murni melalui masker wajah yang pas, tudung, atau tabung

endotrakeal. Selama pengobatan, tekanan O2 arteri sering melebihi 2000 mmHg

6
7

dan kadar 200 sampai 400 mmHg terjadi pada jaringan (Suman S and Sheuli S et

al., 2021).

Saat ini ada beberapa pengaplikasian dan indikasi yang dibolehkan untuk

melakukan HBOT. Penggunaan HBOT terhadap fungsi paru juga telah dilakukan.

HBOT meningkatkan statistic PEF (aliran pernapasan maksimum atau peak

expiratory flow) dan FVC (Forced vital capacity) (Hadanny A et al., 2019).

HBOT juga berhasil digunakan sebagai terapi adjuvant untuk penyembuhan luka

seperti luka infeksi seperti myonecrosis clostridial, infeksi jaringan lunak

nekrotikans, gangren Fournier, dan juga untuk luka traumatis seperti sindrom

kompartemen. HBOT juga diterapkan pada luka akibat radiasi, seperti

osteoradionekrosis mandibula, radiasi sistitis, radiasi proktitis. HBOT juga

digunakan sebagai terapi pada luka akibat diabetes (Razdan PS et al., 2019).

2.1.2 Mekanisme HBOT

Terapi HBO didasarkan pada hukum gas fisika yang berkaitan dengan

tekanan dan melibatkan penghirupan oksigen 100% secara intermiten dalam ruang

bertekanan. Sebagian besar penelitian telah melibatkan pemberian oksigen antara

1,5 dan 3,0 atmosfer absolut (ATA), di mana risiko efek samping diminimalkan

sambil memperoleh efek terapeutik. HBO meningkatkan tekanan parsial oksigen

dalam plasma dan jaringan dan digunakan pada pengobatan penyakit dekompresi,

keracunan karbon monoksida, emboli gas arteri, ulkus kulit kronis, trauma

multipel yang parah dengan iskemia dan gangrene diabetik iskemik. Perbedaan

dan keuntungan terapi HBO dari absorpsi oksigen atmosfer adalah sebagai berikut

(Paganini M et al., 2021):

 peningkatan efisiensi difusi oksigen melalui barier alveolar;


8

 kandungan oksigen terlarut fisik yang lebih tinggi dalam darah,

lebih dari kapasitas transpor hemoglobin gabungan;

 peningkatan jarak difusi oksigen. Secara keseluruhan, sifat-sifat ini

memenuhi permintaan metabolisme aerobik di daerah hipoperfusi

tubuh

2.1.3 Indikasi HBOT

The Hyperbaric Oxygen Therapy Committee merekomendasikan beberapa

indikasi terapi HBO berdasarkan penelitian pra-klinis in vitro dan in vivo selain

pengalaman klinis yang mendalam meyakinkan. Sebagai berikut (Alemayehu YH

and Kiwanuka F, 2019):

 Gas emboli

 Keracunan karbon monoksida

 Clostridial myositis

 Crush Injuries, sindrom kompartemen

 Penyakit dekompresi

 Ulkus kaki diabetik

 Anemia berat

 Abses intrakranial

 Infeksi nekrosis

 Osteomielitis

 Osteoradionekrosis rahang

 Acute thermal burn injury


9

2.1.4 Kontraindikasi HBOT

Saat ini hanya ada satu kontraindikasi absolut untuk terapi oksigen

hiperbarik, yaitu pneumotoraks yang tidak diobati. Berikut Ini telah lama

dianggap sebagai kontraindikasi relatif, dan risiko dibanding manfaat harus

ditangani dengan tepat (Gawdi R and Cooper JS, 2021):

 Penyakit paru obstruktif kronik merupakan kontraindikasi relatif

karena risiko hiperkarbia. Fraksi oksigen yang tinggi

meningkatkan tingkat saturasi oksigen darah dapat menyebabkan

hipoventilasi yang diinduksi oksigen dan peningkatan

ketidaksesuaian ventilasi/perfusi (V/Q).

 Asma dapat mengakibatkan terperangkapnya udara dan

berkembangnya barotrauma paru.

 Pasien dengan epidural pain pumps berisiko mengalami deformasi

di bawah tekanan.

 Kehamilan secara telah memenuhi syarat sebagai kontraindikasi

relatif karena efek yang tidak diketahui pada janin.

 Demam tinggi atau epilepsi dapat menurunkan threshold kejang,

sehingga keracunan oksigen lebih mungkin terjadi.

 Disfungsi tuba eustachius dapat meningkatkan risiko barotrauma

pada membran timpani. Disarankan agar pasien menjalani

pelatihan pemerataan tekanan atau menerima tabung timpanostomi

sebelum HBOT.
10

2.2 Asap Kendaraan

Dengan berkembangnya peradaban manusia dengan makin bertambahnya

variasi dan kuantitas dari kendaraan (Kilowasid LMH et al., 2015) merupakan

salah satu penyebab banyaknya polusi udara di kota (Sassykova LR et al., 2019).

Sejumlah besar kendaraan berpotensi untuk menghasilkan gas emisi yang buruk,

karena kurangnya perawatan kendaraan ataupun bahan bakar dan pembakaran

yang kurang baik.

2.2.1 Definisi Asap Kendaraan

Asap kendaraan atau gas buang (off-gases) adalah zat limbah yang ada di

dalam mesin, mereka adalah produk oksidasi dan pembakaran tidak sempurna

bahan bakar hidrokarbon. Asap kendaraan adalah alasan utama kelebihan

konsentrasi zat beracun dan karsinogen yang dapat diterima di atmosfer kota-kota

besar, formasi kabut asap yang sering menjadi alasan keracunan di ruang-ruang

mandiri. (Sassykova LR et al., 2019).

Jumlah polutan yang dilepaskan ke atmosfer oleh kendaraan ditentukan

oleh massa dan komposisi gas buang. Asap dapat berupa hasil pembakaran bahan

bakar yang berasal dari fosil seperti minyak, gas alam ataupun batubara yang

terbuang ke udara (Sassykova LR et al., 2019).

2.2.2 Dampak Asap Kendaraan Pada Paru

Sebagian besar gejala dari paparan asap kendaraan terkait pernapasan

adalah sesak dada, batuk, adanya sputum, dan hampir sebagian besar yang

terpapar timbal pada Pulmonary Function Tests (PFT) nya didapatkan penurunan

(He F et al., 2017). Jika terpapar asap kendaraan salah satunya timbal yang cukup

banyak juga dapat menyebabkan gangguan terhadap sistem saraf, sitem


11

reproduksi, ginjal, maupun hematologi (Khalaf MAM, Younis RAA and El-

Fakahany H, 2019). Menurut Global Initiative for Chronic Obstructive Lung

Disease (GOLD), peradangan atau inflamasi berperan dalam perubahan patologis

di semua kompartemen paru yang berbeda dan menyebabkan kerusakan struktur

jaringan paru yang permanen (Yawn BP et al., 2021).

Salah satu contoh asap seperti timbal yang terkandung dalam bahan bakar

akan mengemisikan 0,09 gram timbal tiap 1 km. Timbal yang diemisikan dari

pembakaran sebagai gas buangan kendaraan dapat membahayakan kesehatan dan

juga merusak lingkungan. Timbal dari hasil emisi kendaraan akan terhirup oleh

manusia setiap hari kemudian diserap, disimpan, dan ditampung dalam darah.

Banyak penelitian telah menunjukkan hubungan antara paparan timbal dan

memiliki pengaruh pada perkembangan kesehatan terutama pada gejala

pernapasan (Rosa L et al., 2020).

2.3 Stres Oksidatif

Pergeseran keseimbangan antara oksidan dan antioksidan disebut "stres

oksidatif." Reactive Oxygen Species (ROS) diproduksi oleh organisme hidup

sebagai hasil metabolisme sel normal dan faktor lingkungan, seperti polusi udara

atau asap rokok. Stres oksidatif terjadi ketika radikal bebas dan spesies reaktif

lainnya menguasai ketersediaan antioksidan. Reactive Oxygen Species (ROS),

Reactive Nitrogen Species (RNS) dan agen antioksidan sangat penting untuk

pensinyalan fisiologis dan pertahanan host, serta untuk evolusi dan persistensi

peradangan (Birben E et al., 2012; Domej W et al., 2014).


12

Organisme aerobik memiliki sistem antioksidan terintegrasi, yang

meliputi antioksidan enzimatik dan nonenzimatik yang biasanya efektif dalam

memblokir efek berbahaya dari ROS. Namun, dalam kondisi patologis, sistem

antioksidan dapat kewalahan. Stres oksidatif berkontribusi pada banyak kondisi

dan penyakit patologis, termasuk kanker, gangguan neurologis, aterosklerosis,

hipertensi, iskemia/perfusi, diabetes, sindrom gangguan pernapasan akut, fibrosis

paru idiopatik, PPOK dan asma. Dalam ulasan ini, kami merangkum sistem

oksidan dan anti oksidan seluler dan membahas efek seluler dan mekanisme stres

oksidatif (Birben E et al., 2012).

Stres oksidatif merupakan ketidakseimbangan antara produksi radikal

bebas dan kemampuan sistem biologis untuk segera mendetoksifikasi zat antara

reaktif atau untuk memperbaiki kerusakan yang dihasilkan. Penelitian yang telah

dilakukan melaporkan adanya berbagai mekanisme seluler, intraseluler dan

molekuler di balik manifestasi toksikologi yang disebabkan oleh asap kendaraan

bermotor dalam tubuh ( Leikauf GD et al., 2020).

2.3.1 Reactive Oxygen Species (ROS)

Reactive Oxygen Species (ROS) adalah molekul yang sangat reaktif dan

dapat merusak struktur sel seperti karbohidrat, asam nukleat, lipid, dan protein

serta mengubah fungsinya. Regulasi keadaan reduksi dan oksidasi (redoks) sangat

penting untuk viabilitas sel, aktivasi, proliferasi, dan fungsi organ (Birben E et al.,

2012).

2.3.1.1 Jenis Reactive Oxygen Species


Bentuk umum radikal bebas adalah ROS dan Reactive Nitrogen Species

(RNS) (Marciniak et al., 2009; Kothari et al., 2010). ROS terdiri dari kelompok

radikal dan kelompok bukan radikal. Kelompok radikal bebas diantaranya radikal
13

superoksida (O2-), radikal hidroksil (-OH), radikal peroksil (ROO-), serta alkoksil

(RO-). ROS kelompok bukan radikal diantaranya oksigen singlet (1O2), hidrogen

peroksida (H2O2), dan asam hipoklorit (HOCl) (Suhartono, 2016). Contoh RNS

meliputi nitric oxide (NO), nitrous oxide (N2O), peroxynitrite (NO3), nitroxyl

anion (HNO) dan peroxynitrous acid (HNO3 ) (Marciniak et al., 2009; Kothari et

al., 2010).

2.3.1.2 Pembentukan dan Sumber Radikal Bebas

Radikal bebas pada dasarnya terbentuk melalui dua mekanisme, yaitu

secara endogen (sebagai respon normal proses biokimia intrasel maupun

ekstrasel) dan secara eksogen seperti yang dijabarkan berikut:

A. Sumber endogen

Radikal hidroksil dapat terbentuk dari radiasi pengion (x-ray dan UV) yang

mampu melisiskan air. Ion logam transisi (Cu+, Co2+, Ni2+, dan Fe2+) ketika

bereaksi dengan oksigen atau hidrogen peroksida juga dapat menghasilkan radikal

hidroksil. Nitrat oksida (faktor relaksasi berasal dari endotel) merupakan radikal

yang dapat bereaksi dengan superoksida dan menghasilkan peroksinitrit yang

kemudian terurai

menjadi radikal hidroksil.

Ledakan respiratorik makrofag juga menghasilkan radikal bebas sebagai

agen sitotoksik untuk membunuh mikroorganisme yang difagosit. Proses

pembentukan radikal tersebut adalah dengan meningkatkan penggunaan glukosa

untuk mereduksi NADP+ menjadi NADPH serta meningkatkan penggunaan

oksigen untuk mengoksidasi

NADPH menjadi radikaloksigen dan halogen :


14

NADPH + 2O2

NADP+ + 2O2- + 2H+.

Selain itu, konsumsi oksigen setiap harinya menyumbang sebesar 1,5 mol

tradikal bebas seperti oksigen singlet, hidrogen peroksida, superoksida, perhidroil

dan radikal hidroksil. Hal ini dikarenakan oksigen tersebut tidak mengalami

reduksi sempurna menjadi air (Murray RK et al., 2014).

B. Sumber eksogen

Sumber eksogen radikal bebas menurut Yuslianti E R (2018) diantaranya

adalah:

• Asap kendaraan bermotor : bahan pencemar yang terutama terdapat didalam gas

buang buang kendaraan bermotor adalah karbon monoksida (CO), berbagai

senyawa hindrokarbon, berbagai oksida nitrogen (NOx) dan sulfur (SOx), dan

partikulat debu termasuk timbel (PB) (Haruna et al., 2019).

• Asap rokok : asap rokok mengandung banyak radikal bebas berbahaya seperti

nitrit oksida, radikal peroksil dan radikal berbasis karbon (O2CCL3). Radikal

asap rokok dapat menghabiskan antioksidan intraseluler paru-paru melalui

mekanisme yang terkait dengan tekanan oksidan. Oksidan (aldehida, epoksida,

peroksida) dan radikal bebas lain dapat menyebabkan kerusakan alveoli dan

saluran napas apabila jumlahnya cukup besar.

• Radiasi elektromagnetik sinar X, sinar gamma, dan radiasi partikel elektron,

proton, neutron, alfa dan beta dapat menghasilkan radikal, yang kemudian radikal

tersebut dapat mengalami reaksi sekunder bersama oksigen yang terurai atau

bersama cairan seluler. Reaksi sekunder yang terjadi menyebabkan kerusakan

jaringan.
15

• Senyawa karbontetraklorida (CCl4) : senyawa ini terdapat pada pestisida.

Ketika masuk ke dalam tubuh, CCl4 akan bereaksi dengan sitokrom P450

monooksidase dan menghasilkan triklorometil (CCL3) dan triklorometilperoksil

(CCL3O2).

• Senyawa hasil pemanggangan makanan : makanan yang dipanggang sampai

gosong mengandung senyawa benzo(a)pirene yang bila masuk ke dalam tubuh

akan menghasilkan radikal bebas karsinogenik 7,8-diol-9-10- epoksida.

• Pewarna makanan minuman dan zat aditif lain : Red E120 dan asam karmiat

mampu membentuk senyawa radikal yang berperan dalam peroksidasi lipid dan

menyebabkan kerusakan membran sel serta kematian sel maupun jaringan.

Radikal bebas dalam jumlah normal diperlukan tubuh dalam menjalankan proses

fisiologis. Sel normal membutuhkan radikal bebas (Bonita N, Darusman F and

Prian SE, 2022)

ROS sebagai molekul pemberi sinyal untuk mengatur proses-proses

seperti pembelahan sel, inflamasi, fungsi imunitas, autofagi, dan respon terhadap

stres (Finkel T, 2011). Sifat radikal bebas yang reaktif dalam menarik elektron di

sekililingnya secara agresif mengakibatkan radikal bebas mampu mengubah

molekul menjadi suatu radikal baru yang lain, dan begitu seterusnya sehingga

dinamakan reaksi berantai. Namun, bila dua senyawa radikal bertemu, elektron

yang tidak berpasangan pada masingmasing senyawa radikal akan membentuk

ikatan kovalen stabil.

Pembentukan radikal bebas menurut Winarsi H (2007) terbagi dalam tiga

tahap yang diuraikan sebagai berikut:


16

• Tahap inisiasi : Tahap awal pembentukan radikal bebas yang mana prosesnya

dikatalisis oleh panas, cahaya matahari dan adanya ion logam

Contoh:

Fe++ + H2O2 Fe+++ + OH- + .OH

• Tahap propagasi : Tahap perubahan radikal bebas menjadi radikal bentuk lain

Contoh:

R2-H + R1. R2. + R1-H R3-H + R2. R3. + R2-H26

• Tahap terminasi : Tahap senyawa radikal bereaksi dengan senyawa radikal lain

atau dengan penangkap radikal, sehingga propagasinya rendah.

Radikal bebas oksigen yang disebut anion superoksida (O2-) terbentuk melalui

teraktivasinya oksigen. ROS dapat terbentuk lewat jalur enzimatis maupun

metabolik contohnya proses kaskade asam arakidonat menjadi prostaglandin dan

prostasiklin yang dipicu enzim lipoksigenase, siklooksigenase, dan oksidase yang

hasil akhirnya membentuk anion superoksida atau hidroperoksida. Produksi ROS

juga dapat terjadi dalam kondisi stres maupun tidak stress (Winarsi H, 2007).

2.3.2 Antioksidan

Gambar 2.1 Mekanisme ROS Timbal pada paru


( Leikauf GD, Kim SH and Jang AS, 2020)
17

2.3.2.1 Antioksidan Superoksida Dismutase (SOD)

Sel mengandung sejumlah gen yang mengkode banyak protein untuk

melawan cedera yang disebabkan ROS, RNS, atau elektrofil. Regulasi transkripsi

dari gen ini dikendalikan sebagian melalui Antioxidant Response Elements

(AREs) faktor transkripsi faktor Nuclear Factor NF-E2-related Factor 2 (Nrf2)

memainkan peran penting dalam ekspresi basal dan inducible yang dimediasi

ARE lebih dari 200 gen yang dapat dikelompokkan ke dalam beberapa kategori

termasuk gen antioksidan dan enzim detoksifikasi fase II. Komponen antioksidan

ini termasuk heme oxygenase-1, thioredoxin reduktase, glutathione-S-transferase,

dan NAD(P)H:quinone oxidoreductase (NQO)-1, enzim antioksidan seperti

superoksida dismutase dan katalase, dan scavengers non-enzimatik seperti

glutathione. Stabilitas protein dan aktivitas transkripsi Nrf2 diatur oleh protein

BTB-Kelch, Keap1 yang berfungsi sebagai adaptor substrat untuk kompleks

ligase ubiquitin E3 yang bergantung pada cullin (Cul)3. Keap1 menargetkan Nrf2

dan degradasi selanjutnya oleh proteasome 26S (Chen J, Zhang Z and Cai L,

2014; Vargas-Mendoza N et al., 2019)

Gambar 2.2 ARE and Nrf2 pathways


(Chen J, Zhang Z and Cai L, 2014)
18

Gambar 2.3 Model aktivitas fisik mengaktivasi NrF2-Keap1 pathway


(Vargas-Mendoza N et al., 2019)

Superoksida dismutase (SOD) adalah enzim utama yang membentuk garis

pertahanan pertama melawan radikal bebas yang diturunkan dari oksigen dan

mengkatalisis penghilangan radikal bebas superoksida, dan dalam beberapa

keadaan, paparan stres oksidatif dapat menyebabkan induksi cepat sintesis enzim

(Li J et al., 2019). Superoksida dismutase (SOD) merupakan sekelompok

metaloenzim yang ditemukan di semua kehidupan. SOD merupakan lini depan

pertahanan terhadap cedera yang dimediasi Reactive Oxygen Species (ROS)

(Younus H, 2018).

Protein ini mengkatalisis dismutasi radikal bebas anion superoksida (O2-)

menjadi molekul oksigen dan hidrogen peroksida (H2O2) dan menurunkan kadar

O2- yang merusak sel berlebihan. SOD memiliki efek terapeutik dalam berbagai

kondisi fisiologis dan patologis seperti kanker, penyakit inflamasi, cystic fibrosis,
19

iskemia, penuaan, rheumatoid arthritis, penyakit neurodegeneratif, dan diabetes

(Younus H, 2018).

2.4 Sitokin

Ada beberapa sitokin yang merupakan mediator inflamasi kronis

dan beberapa terlibat pada pasien PPOK. Terdapat peningkatan dari TNF-

alfa pada sputum pasien PPOK yang stabil. TNF-alfa diproduksi dari monosit

pembuluh darah perifer yang juga meningkat pada PPOK dan terlbiat dalam

cachexia dan apoptosis otot rangka ditemukan pada beberapa pasien dengan

kondisi PPOK yang parah. TNF• alfa merupakan activator poten dari NF-

kB dan dapat memperkuat respon inflamasi. (Barnes PJ, 2016; Hikichi M et

al., 2019).

Peradangan saluran napas pada PPOK. Iritan yang dihirup mengaktifkan

sel epitel dan makrofag alveolar, yang memainkan peran sentral dalam

peradangan saluran napas tipe 1 dengan melepaskan sitokin dan kemokin.

Makrofag alveolus dan neutrofil melepaskan protease, seperti MMPs dan neutrofil

elastase, yang menyebabkan degradasi elastin yang mengakibatkan kerusakan

dinding alveolus. Sel dendritik adalah penghubung penting antara imunitas

bawaan dan imunitas adaptif, terletak di dekat permukaan epitel untuk merasakan

masuknya iritasi yang dihirup. ROS, spesies oksigen reaktif; DAMP, pola

molekul terkait kerusakan; PAMP, pola molekuler terkait patogen; TNF-α, faktor

nekrosis tumor-α; IL, interleukin; TGF-β1, mengubah faktor pertumbuhan-β1;

CCL, kemokin motif C-C; CXCL, ligan kemokin (motif C-X-C); sel NK, sel

pembunuh alami; ILC3, sel limfoid bawaan 3; Th, limfosit T pembantu; Tc,

limfosit T sitotoksik; G-CSF, faktor perangsang koloni granulosit; IFN-γ,


20

interferon-gamma; MMP, matriks metaloproteinase; PPOK, penyakit paru

obstruktif kronik (Hikichi M et al., 2019)

2.4.1 Sitokin Pro Inflamasi

lnflamasom adalah kompleks sinyal multiprotein yang

meregulasi ekspresi dari sitokin proinflamasi lL-1 beta dan lL-18

sebagai respon terhadap sinyal bahaya endogen dan ekstemal, yang

mengakibatkan inflamasi. Sebagian besar perhatian difokuskan pada

inflamasom NLRP3, yang teraktivasi pada pasien dengan beberapa

penyak.it paru. Protein adaptor apoptosis-associated speck• likeprotein

containing a CARD (ASC) merupakan komponen penting dari

inflamasom NRLP3, yang merekrut pro-caspase-I menuju protein kompleks

dan meningkat pada paru pasien PPOK. Akumulasi ASC terkait dengan

pembentukan ekstracellular specks, yang terus-rnenerus membentuk IL- I beta

di luar set (Barnes PJ, 2016; Hikichi M et al., 2019).

Aktivasi inflammasome pada pasien PPOK. Inflammasome NLRP3

diaktifkan oleh 2 sinyal. Sinyal priming diaktifkan oleh patogen melalui pola

molekuler yang diaktifkan patogen (PAMPs) dengan generasi pro-lL-113 dan pro-

lL-8 melalui aktivasi NF-KB. Sinyal aktivasi dapat mencakup ATP (melalui

reseptor P2X7) dan pola molekul teraktivasi kerusakan lainnya (DAMPs), seperti

asam urat. Hal ini menyebabkan perekrutan protein adaptor ASC dan pro-caspase-

t untuk menghasilkan caspase-1, yang melepaskan IL-113 dan IL-18 yang aktif

(Barnes PJ, 2016; Hikichi M et al., 2019).


21

Gambar 2.4 Aktivasi inflamasom pada pasien PPOK (Barnes PJ, 2016)

Peran yang minimal dari intlamasom pada pasien dengan PPOK stabil

digarisbawahi oleh kegagalan dari lL-1 beta bloking antibodi canakinumab

dalam memberikan manfaat klinis pada pasien dengan PPOK stabil (Barnes PJ,

2016). Disamping O2 yang dapat mempengaruhi HIF, HIF juga dapat

diinduksi oleh sitokin intlamasi, growth factors, dan produk bakteri pada

kondisi normoxic. Sitokin prointlamasi TNF-alfa dan lL-1 beta telah

menunjukkan akumulasi dan aktivitas transkripsi dari HIF-lalfa. Stimulasi TNF-

alfa untuk menginduksi HIF-I alfa rnembutuhkan NF-kB (D'Ignazio L, Bandarra

D and Rocha S, 2016).

2.4.1.1 IL-1β

IL-1 merupakan regulator utama dalam inflamasi dengan mengontrol variasi

dari sistem imun bawaan. IL-1 memiliki fungsi biologis yang sangat luas,

termasuk leukocytic pyrogen, yang merupakan sebuah mediator dari demam dan

mediator leukositik endogen, serta menginduksi berbagai komponen dari respon

fase akut dan lymphocyte-activating factor (LAF) (Kaneko N et al., 2019).


22

Tabel 2.1 IL-1 family members (Kaneko N et al., 2019)

IL-1 terdapat 2 bentuk yaitu IL-1α dan IL-1β, untuk IL-1β reseptornya

termasuk reseptor-agonis dan sifanya inflammatory. IL-1β produksi precursor

protein 269-AA dan diproses oleh caspase-1 lalu teraktivasi di inflamasom

menuju ke C-terminal 153 AA sebagai IL-1β yang matur. IL-1β diekspresikan

secara luas dalam berbagai jaringan dan berbagai sel, terutama didalam makrofag

pada organ limfoid termasuk timus, limpa, kelenjar getah bening, Peyer patch, dan

sumsum tulang. Pada organ non-limfoid dan IL-1β diekspresikan dalam makrofag

jaringan di paru-paru, saluran pencernaan, dan hati. Mereka juga diekspresikan

dalam jaringan endometrium subepitel seluler rahim, di glomeruli, di area kortikal

luar ginjal, dan dalam berbagai jenis sel yang spesifik, termasuk neutrofil,

keratinosit, sel epitel dan endotel, limfosit, sel otot polos, dan fibroblast (Kaneko

N et al., 2019; Kany S, Vollrath JT and Relja B, 2019).


23

Gambar 2.5 Sel-sel spesifik dan sitokin (Kany S, Vollrath JT and Relja B, 2019).

Lalu sitokin yang merupakan mediator inflamasi kronis dan beberapa

terlibat pada pasien PPOK. Terdapat peningkatan dari TNF-α pada sputum pasien

PPOK yang stabil. TNF-α diproduksi dari monosit pembuluh darah perifer yang

juga meningkat pada PPOK dan terlbiat dalam cachexia dan apoptosis otot rangka

ditemukan pada beberapa pasien dengan kondisi PPOK yang parah. TNF-α

merupakan activator poten dari NF-kβ dan dapat memperkuat respon inflamasi.

Inflamasom adalah kompleks sinyal multiprotein yang meregulasi ekspresi dari

sitokin proinflamasi IL-1β dan IL-18 sebagai respon terhadap sinyal bahaya

endogen dan eksternal, yang mengakibatkan inflamasi. Sebagian besar perhatian

difokuskan pada inflamasom NLRP3, yang teraktivasi pada pasien dengan

beberapa penyakit paru. Protein adaptor apoptosis-associated speck-likeprotein

containing a CARD (ASC) merupakan komponen penting dari inflamasom


24

NRLP3, yang merekrut pro-caspase-1 menuju protein kompleks dan meningkat

pada paru pasien PPOK. Akumulasi ASC terkait dengan pembentukan

ekstracellular specks, yang terus-menerus membentuk IL-1β di luar sel (Barnes

PJ, 2016).

Peran yang minimal dari inflamasom pada pasien dengan PPOK stabil

digarisbawahi oleh kegagalan dari IL-1β bloking antibodi canakinumab dalam

memberikan manfaat klinis pada pasien dengan PPOK stabil (Barnes PJ, 2016).

Disamping O2 yang dapat mempengaruhi HIF, HIF juga dapat diinduksi oleh

sitokin inflamasi, growth factors, dan produk bakteri pada kondisi normoxic.

Sitokin proinflamasi TNF-α dan IL-1β telah menunjukkan akumulasi dan aktivitas

transkripsi dari HIF-1α. Stimulasi TNF-α untuk menginduksi HIF-1α

membutuhkan NF-kβ (Imtiyaz dan Simon, 2010).

2.5 Hemoglobin (Hb)

Hemoglobin merupakan protein yang terdapat dalam sel darah merah

(SDM) dan berfungsi antara lain untuk:

1. Mengikat dan membawa oksigen dari paru ke seluruh jaringan tubuh

2. Mengikat dan membawa karbon dioksida dari seluruh jaringan tubuh ke paru

3. Memberi warna merah pada darah

4. Mempertahankan keadaan asam-basa dari tubuh

Hemoglobin merupakan protein tetramer kompak yang setiap

monomernya terikat pada gugus prostetik hem dan keseluruhannya mempunyai

berat molekul 64.450 Dalton. Darah mengandung 7.8 – 11.2 mmol hemoglobin
25

monomer/L (12.6 – 18.4 gr/dl), tergantung pada jenis kelamin dan umur individu

(Asscalbiass, 2010).

Hemoglobin dapat mengikat 4 atom oksigen per tetramer (satu pada setiap

subunithem), atom oksigen terikat pada atom Fe2+ yang terdapat pada hem pada

ikatan koordinasi ke-5. Hemoglobin yang terikat pada oksigen disebut

hemoglobin teroksigenasi atau oksihemoglobin (HbO2), sedangkan hemoglobin

yang sudah melepaskan oksigen disebut deoksihemoglobin (Hb). Hemoglobin

dapat mengikat suatu gas hasil pembakaran yang tidak sempurna yaitu

karbonmonoksida (CO) dan disebut karbamonoksidahemoglobin (HbCO). Ikatan

Hb dengan CO ini 200 kali lebih kuat daripada ikatan Hb dengan oksigen,

akibatnya Hb tidak dapat lagi mengikat, membawa, dan mendistribusikan oksigen

ke jaringan. Kadar Hb CO 16 % sudah dapat menimbulkan gejala klinis (Hall EJ,

2010; Amin, 2013).

Beberapa derivat dari hemoglobin, misalnya oksiHb Hb, dan HbCO dapat

dibedakan dengan melakukan pengenceran, dan pada pengenceran ini oksiHb

terlihat berwarna merah kekuning-kuningan, Hb berwarna merah kecoklatan, dan

HbCO berwarna merah terang (carmine tint). Untuk lebih jelas lagi setiap derivat

Hb dapat pula dibedakan dengan menggunakan spektroskop. Hemoglobin

merupakan senyawa yang bertanggung jawab akan kemampuan sel untuk

mengangkut oksigen dan karbon dioksida. Hemoglobin memiliki struktur tetramer

yang kompleks. Setiap hemoglobin memiliki dua rantai alpha ( α ) dan dua rantai

beta ( β ). Setiap rantai adalah sebuah subunit protein globular yang menyerupai

myoglobin di rangka dan sel otot jantung.


26

Seperti myoglobin, setiap rantai hemoglobin mengandung molekul heme,

suatu pigmen non-protein kompleks. Setiap unit heme memiliki ion besi sehingga

ion besi tersebut bisa berikatan dengan molekul oksigen, membentuk

oksihemoglobin (HbO2). Darah yang mengandung sel darah merah yang dipenuhi

oleh oksihemoglobin akan berwarna. Setiap sel darah merah mengandung sekitar

280 juta hemoglobin. Karena hemoglobin mengandung 4 unit heme, setiap sel

darah merah bisa mengangkut lebih dari satu milyar molekul oksigen. Secara

kasar 98.5% oksigen diangkut oleh aliran darah ke ikatan hemoglobin di dalam sel

darah merah .

Jumlah ikatan oksigen denga hemoglobin tergantung teruatama pada

kandungan plasma pada oksigen. Ketika level plasma oksigen rendah, hemoglobin

melepas oksigen. Dalam kondisi yang seperti ini, khas pada kapiler di tepi

(peripheral), plasma karbon dioksida meningkat. Rantai alpha dan beta pada

hemoglobin kemudian mengikat karbon dioksida, membentuk

karbaminohemoglobin (HbCO2). Di kapiler paru, level plasma oksigen tinggi dan

level plasma karbon dioksida rendah, maka ketika berada di kapiler paru, sel

darah merah mengikat oksigen (yang kemudian diikat di hemoglobin) dan

melepas ikatan karbon dioksida. Sel–sel darah merah mampu mengonsentrasikan

hemoglobin dalam cairan sel sampai sekitar 34 gram per 100 mililiter sel.

Konsentrasi ini tak akan melebihi nilai tersebut, karena nilai ini merupakan batas

metabolik mekanisme pembentukan hemoglobin sel.

Selanjutnya, pada orang normal, persentase hemoglobin hampir selalu

mendekati nilai maksimum dalam setiap sel. Namun, apabila pembentukan

hemoglobin dalam sumsum tulang berkurang, persentase hemoglobin dalam sel


27

dapat turun sampai di bawah nilai tersebut, dan volume sel darah merah juga

dapat menurun karena jumlah hemoglobin yang mengisi sel menjadi berkurang.

Selain mengangkut oksigen, hemoglobin juga dapat berikatan dengan zat-

zat berikut:

1. Karbon dioksida. Dengan demikian, hemoglobin ikut berperan mengangkut gas

ini dari jaringan kembali ke paru.

2. Bagian ion hidrogen asam (H+) dari asam karbonat yang terionisasi, yang

dibentuk dari karbon dioksida pada tingkat jaringan. Hemoglobin, dengan

demikian, menyangga asam ini, sehingga pH tidak terlalu berpengaruh.

3. Karbon moksida (CO). Gas ini dalam keadaan normal tidak terdapat pada

darah, tetapi, jika terhirup, menempati tempat ikatan oksigen di hemoglobin,

sehingga terjadi keracunan karbon monoksida. Dengan demikian, hemoglobin

berperan penting dalam pengangkutan oksigen sekaligus ikut serta dalam

pengangkutan karbon dioksida dan menentukan kapasitas mencapai kira-kira 100

mmHg; pada tekanan ini, hemoglobin kira-kira 96% jenuh oleh oksigen. Akan

tetapi, di dalam sel-sel otot yang sedang bekerja, tekanan bagian oksigen hanya

kira-kira 26 mmHg karena sel otot menggunakan oksigen pada kecepatan tinggi

dan karenanya, menurunkan konsentrasi lokal oksigen.

Pada saat darah melalui otot kapiler, oksigen akan dibebaskan dari

hemoglobin yang hampir jenuh pada sel darah merah ke dalam plasma darah dan

selanjutnya akan dibawa ke sel otot. Selain membawa oksigen dari paru ke

jaringan, hemoglobin juga membawa dua produk akhir dari respirasi jaringan,

yakni H+ dan CO2, dari jaringan ke paru dan ginjal, dua organ ini terlibat di

dalam ekskresi produk tersebut. Di dalam sel jaringan periferi, bahan bakar
28

organik dioksidasi oleh mitokondria, menggunakan oksigen yang dibawa dari

paru oleh hemoglobin, dengan pembentukan karbondioksida, air, dan produk-

produk lain. Pembentukan CO2 menyebabkan peningkatan dalam konsentrasi H+

(yakni, penurunan pH), di dalam jaringan, karena hidrasi CO2 menghasilkan

H2CO3, suatu asam lemah, yang berdisosiasi membentuk H+ dan bikarbonat.

Selain membawa hampir semua oksigen yang dibutuhkan dari paru ke jaringan,

hemoglobin mengangkut bagian yang cukup besar, kira-kira 20% dari total

karbondioksida dan H+ yang dibentuk di dalam jaringan, ke paru dan ginjal.

Karbon monoksida menyebabkan hipoksia jaringan dengan cara bersaing

dengan oksigen untuk melakukan ikatan pada hemeprotein pembawa oksigen

(hemoglobin, mioglobin, sitokrom C oksidase, sitokrom P-450). Afinitas karbon

monoksida terhadap hemeprotein bervariasi, mulai dari 30 sampai 500 kali lebih

kuat dibandingkan afinitas oksigen, tergantung pada hemeproteinnya. Di samping

itu, lebih kuatnya afinitas hemoglobin terhadap karbon monoksida menyebabkan

dengan adanya karboksihemoglobin mengganggu afinitas oksigen terhadap

hemoglobin dengan menggeser kurva disosiasi oksihemoglobin ke kiri sehingga

mengurangi pelepasan oksigen ke jaringan. Hipoksia jaringan yang dihasilkan

lebih hebat dibandingkan dengan yang akan dihasilkan oleh anemia dengan

derajat yang sama. Diyakini bahwa karbon monoksida memiliki efek toksik

langsung pada tingkat seluler dengan cara mengganggu respirasi mitokondria,

disebabakan karena karbon monoksida terikat pada kompleks sitokrom oksidase.

Berbeda dengan hemoglobin, afinitas sitokrom oksidase lebih kuat terhadap

oksigen. Akan tetapi selama anoksia seluler, karbon monoksida dapat terikat.
29

Pada saat oksigen dari udara kembali ada maka pemindahan karbon monoksida

menjadi lambat.

Penatalaksanaan orang yang terkena keracunan karbonmonoksida adalah

sebagai berikut:

1. Pindahkan dari sumber pajanan gas CO.

2. Pemberian oksigen 100%, merupakan hal yang mendasar dengan masker karet

yang ketat, atau menggunakan endotracheal tube pada pekerja yang tidak sadar

agar oksigen benar-benar masuk, yang akan mengurangi waktu paru (half life)

ikatan COHb secara perlahan-lahan, sehingga memperbaiki hipoksia jaringan.

3. Terapi hiperbarik, dengan oksigen bertekanan 3 atmosfer yang akan cepat

sekali memperpendek waktu paruh HbCO. Masih diperdebatkan mengenai

indikasinya (Hall EJ, 2010; Amin, 2013).

2.6 Hyperbaric Oxygen Therapy Terhadap Stres Oksidatif

Hyperbaric Oxygen Therapy (HBOT) adalah terapi untuk pernapasan

seseorang yang menghirup oksigen 100% atau kadar oksigen lebih tinggi dari

udara biasa di dalam ruang dengan tekanan lebih tinggi dari tekanan udara di

permukaan laut, yaitu > 1 ATA. Awalnya terapi ini ditujukan untuk mengobati

penyakit dekompresi dan emboli gas arteri, namun kini penggunaannya

berkembang di berbagai kasus lainnya. Beberapa hal yang diharapkan dari HBOT

adalah peningkatan produksi enzim antioksidan (SOD) akibat produksi ROS pada

tingkat tertentu, dan penggunaan ROS sebagai second messenger dalam proses

yang diharapkan (Harnanik T et. al., 2020).


30

Pada studi sebelumnya, HBOT meningkatkan aktivitas antioksidan super

oxide dismutase (SOD), menurunkan nilai lipoperoksida, memperbaiki secara

luar biasa indeks erythrocyte sedimentation rate (ESR) dan Lansbury penderita

rheumatoid arthritis (RA) (Kamada T, 1985). HBOT juga secara signifikan

meningkatkan kadar SOD pada tikus model Sindrom Ovarium Polikistik (SOPK)

dengan resistensi insulin (Santoso B et al., 2020).

SOD adalah pertahanan pertama dalam reaksi antioksidan terhadap ROS.

Pada konsentrasi rendah hingga sedang, ROS terlibat dalam peran fisiologis,

termasuk pertahanan terhadap agen infeksi dan beberapa sistem pensinyalan

seluler. Tetapi ketika berlebihan, ROS dapat merusak DNA, lipid seluler, dan

protein, mengganggu fungsi normalnya. HBOT memicu dan meningkatkan enzim

antioksidan sebagai mekanisme pertahanan terhadap oksidatif stres. Peningkatan

oksigenasi jaringan dapat mengaktifkan faktor endogen lain yang mencegah efek

berbahaya dari penyakit itu sendiri (Santoso B et al., 2020).

Bukti dari penelitian hewan terbaru menunjukkan terapi OHB dapat

memperbaiki inflamasi pada decompression sickness yang menginduksi acute

Lung injury (ALI) melalui polarisasi makrofag inflamasi (Ml) menjadi

makrofag anti• inflamasi (M2). HBOT telah menunjukkan polarisasi makrofag

Ml menjadi M2 terkait dengan IL-IO dan menurunkan inflamasi, dan 30

menit HBOT ex vivo menghambat monosit IL-I~ dan TNF-a. HBOT

mengubah konclisi awal yang hipoksik menjadi dalam keadaan terjaga

metabolism selularnya dalam mempertahankan aktivitas mitokondria (Kjellberg

A, De Maio A and Lindholm P, 2020).


31

Hasil yang lebih baik dari HBOT terkait dengan turunnya

peradangan. HBOT secara signifikan mengurangi sitokin inflamasi melalui

beberapa faktor transkripsi, termasuk Hypoxia Inducible Factor I (HlF-1) dan

nuclear factor kappa-light-chain-enhancer dari sel B teraktivasi (NFkB)

(Kjellberg A, De Maio A and Lindholm P, 2020).

2.7 Penyakit-Penyakit Yang Diakibatkan Polusi Udara

2.7.1 Infeksi Saluran Pernapasan (ISPA)

Infeksi Saluran Pernapasan (ISPA) merupakan salah satu penyakit

akibat polusi udara. Infeksi saluran pernapasan tak melulu disebabkan oleh

infeksi bakteri atau virus di dalam tubuh, tetapi juga dikarenakan polusi

udara.

Bahan beracun seperti karbon monoksida, partikulat, nitrogen dioksida,

dan sulfur dioksida adalah contoh dari komposisi polusi udara yang mampu

dengan mudah menganggu organ pernapasan Anda.

2.7.2 Asma

Penyakit akibat polusi udara lainnya adalah asma. Polusi udara menjadi

salah satu pemicu terjangkitnya asma. Hal ini berbahaya karena asma adalah

salah satu penyakit kronis saluran pernapasan yang diikuti gejala sulit

bernapas, batuk, dan nyeri dada karena adanya penyempitan pada otot dada.

2.7.3 Bronkitis

Gangguan pernapasan ini terjadi karena radang pada lapisan saluran

bronkial. Salah satu penyakit akibat polusi udara ini muncul dengan gejala

batuk berdahak atau tanpa dahak sama sekali. Jika berdahak, umumnya
32

dahak yang dikeluarkan berwarna bening, kehijauan, dan kekuningan.

Biasanya bronkitis disebabkan oleh infeksi virus dan polusi udara mampu

memperparahnya.

2.7.4 Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)

Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) adalah penyakit yang ditandai

dengan adanya gejala pernapasan persisten dan terjadi keterbatasan aliran

udara yang disebabkan oleh kelainan jalan napas atau alveolar biasanya

disebabkan oleh paparan signifikan terhadap partikel atau gas berbahaya dan

dapat dipengaruhi oleh faktor host seperti perkembangan paru-paru yang

tidak normal (Agustí A et al., 2019), gejala lain seperti batuk kronik hilang

timbul ,tidak berdahak, dan batuk kronik berdahak (PDPI, 2011).

2.7.5 Kanker Paru-paru

Polusi udara mengandung 6 zat yang berbahaya bagi kesehatan, salah

satunya karbon monoksida. Di dalam karbon monoksida terdapat karsinogen

yang rentan memicu kanker paru-paru, terutama bagi lansia berusia lebih

dari 40 tahun. Salah satu penyakit akibat polusi udara ini pun berisiko bagi

orang yang sering terkena zat dari industri, maupun sering berada di jalan

atau ruangan.

2.8 Cara Pencegahan Penyakit Akibat Pencemaran Polusi Udara

 Menggunakan masker untuk mengurangi masuknya polusi ke dalam

saluran pernapasan dan paru-paru.

 Hindari aktivitas di area dengan kualitas udara tidak sehat.

 Terapkan pola hidup bersih dan sehat, seperti konsumsi makanan bergizi,

istirahat dengan cukup, cuci tangan, dan tidak merokok.


33

 Apabila berkendara dengan mobil, sebaiknya tutup semua jendela dan

nyalakan AC dengan mode recirculate.

 Jangan menyalakan sumber api dalam ruangan.

 Letakkan tanaman atau peralatan air purifier (pembersih udara) untuk

menjaga kualitas udara dalam ruangan.


BAB 3
KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS

3.1 Kerangka Konseptual

Hewan coba
terpapar asap kendaraan bermotor

Terapi HBO
Hiperoksigenasi

pO2 HbCO

(H2O2)

Nrf2 Activator Keap1

Nrf2

ARE

Antioksidan gen
ekspresi

Bone marrow Hb 
SOD  disfunction

ROS

Inflamasi (IL-1β)

SpO2
Gambar 3.1 Skema Kerangka Konseptual

34
35

Keterangan :

: Variabel yang diteliti. : Variabel yang tidak diteliti

XX : kata merah tebal dalam kotak adalah variabel yang diteliti

3.2 Deskripsi Kerangka Konseptual

HBOT diberikan pada hewan model terpapar asap kendaraan bermotor

sehingga menyebabkan tekanan parsial oksigen meningkat dan ROS H2O2

(Hydrogen peroxida) meningkat. Untuk mengimbangi kondisi tersebut tubuh

mengkompensasi dengan membentuk antioksidan. H2O2 akan ditranskripsi oleh

Nrf2 activator (Nuclear factor-erythroid factor 2-related factor 2) menghasilkan

Nrf2 dan Keap1 (Kelch-like ECH-associated protein 1). Setelah terbentuk Nrf2,

Nrf2 akan dimediasi oleh ARE (antioxidant responsive element) maka

antioksidan gen ekspresi akan meningkat, menghasilkan SOD (Superoxide

dismutase) salah satunya sebagai enzim antioksidan tubuh.

Setelah terbentuk antioksidan SOD yang tinggi, maka tubuh sudah

mempunyai sistem pertahanan untuk melawan kadar ROS yang tinggi, maka

terjadi penurunan kadar ROS. Dengan menurunnya kadar ROS sehingga sel

inflamasi jaringan paru juga menurun maka kadar IL-1β menurun sehingga

terjadi juga penurunan stres oksidatif.

HBOT juga menyebabkan lepasnya ikatan CO dengan Hb dilepas akibat

tekanan parsial oksigen (pO2) yang tinggi. Hal ini berakibat kerusakan Hb

menurun sehingga kadar Hb meningkat. Peningkatan kadar Hb menyebabkan

saturasi oksigen (SpO2) meningkat sehingga stres oksidatif menurun


36

3.3 Hipotesis

1. Adanya perbedaan kadar aktivitas enzim SOD pada darah tikus B e t i n a

yang terpapar asap kendaraan setelah diberikan paparan HBOT.

2. Adanya perbedaan kadar sitokin pro inflamasi IL-1β pada darah tikus

B e t i n a yang terpapar asap kendaraan setelah diberikan paparan HBOT.

3. Adanya perbedaan kadar Hb pada darah tikus yang terpapar asap

kendaraan setelah diberikan paparan HBOT.


BAB 4

METODOLOGI PENELITIAN

4.1 Rancangan Penelitian

4.1.1 Desain Penelitian

Desain penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah penelitian

true experimental. Rancangan penelitian ini adalah post test only randomized

control group design. Gambaran desain penelitian ini secara skematis sebagai

berikut:
K0 O1

P S R K1 P1 O2
P2 O3

K2
Gambar 4.1 Desain penelitian

Keterangan:

P = Populasi

S = Sampel

R = Randomisasi

K0 = kelompok kontrol negatif tanpa diberi HBOT dan tanpa paparan asap

kendaraan bermotor

K1 = Kelompok kontrol positif, tanpa diberi HBOT dan diberi paparan asap

kendaraan bermotor

K2 = Kelompok perlakuan dengan diberi HBOT dan diberi paparan asap

kendaraan bermotor

37
38

P1 = Perlakuan model diberi paparan asap kendaraan bermotor dan tanpa diberi

HBOT

P2 = Perlakuan model diberi paparan asap kendaraan bermotor dan sudah diberi

HBOT

O = Pengamatan

O1 = Pengamatan kelompok K0

O2 = Pengamatan kelompok K1

O3 = Pengamatan kelompok K2

4.1.2 Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode post test only control group design. 24

ekor tikus galur wistar (Rattus novergicus) dibagi dalam 3 kelompok yaitu

kelompok kontrol negatif, kontrol positif, dan kelompok perlakuan. Kelompok

kontrol negatif tidak diberi intervensi HBOT dan tidak diberi paparan asap

kendaraan bermotor. Kelompok kontrol positif tanpa diberi intervensi HBOT

tetapi diberi paparan asap kendaraan bermotor. Kelompok perlakuan diberi

intervensi HBOT dan diberi paparan asap kendaraan bermotor. Pada ketiga

kelompok ini dilakukan pengambilan sampel serum darah untuk menganalisis

aktifitas SOD, kadar IL-1β dan Hb menganalisis stres oksidatif pada semua tikus

pada setiap kelompok.

4.2 Populasi, Sampel, Besar Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel

4.2.1 Populasi

Tikus galur wistar berjenis kelamin betina. Tikus berjenis kelamin betina

dipilih karena pada penelitian lain menunjukkan bahwa perempuan yang merokok
39

punya riwayat lebih tinggi mengalami PPOK dibandingkan dengan laki-laki,

terlepas dari tingkat intensitas merokok. Bukti yang ditemukan dari penelitian

terbaru yang membahas PPOK menunjukkan bahwa produksi lokal dari E2

(Estradiol) di paru telah meningkatkan kadar enzim yang terlibat dalam sintesis

E2 lokal. Estrogen menginduksi sitokin proinflamasi, seperti interleukin-1β, TNF-

α, dan sejumlah gen yang terkait dengan peradangan lainnya (He F et al., 2017;

Assaggaf H and Felty Q, 2017)

4.2.2 Sampel

Sampel yang digunakan adalah tikus galur wistar, berjenis kelamin betina,

berusia 6-8 minggu dengan berat 180-200 gram yang memenuhi kriteria inklusi

dan kriteria eksklusi yang telah ditentukan sehingga diharapkan didapatkan hewan

coba yang mendekati homogen (He F et al., 2017)

Kriteria inklusi:

a. Tikus sehat (struktur anatomi normal, mata jernih, berbulu lebat)

b. Tikus aktif (gerakan lincah)

c. Setelah perlakuan /dipapar asap kendaraan, tikus mengalami batuk-

batuk/sesak nafas pada kelompok K1 dan K2

Kriteria eksklusi:

a. Hewan coba yang cacat secara anatomi (kaki patah, kuping tidak ada, dsb)

b. Hewan coba yang mengalami sakit selama adaptasi (rambut rontok

berlebih, BAB encer dsb)

c. Menderita penyakit lain yang tidak disebabkan oleh perlakuan

Kriteria drop out:

Hewan coba yang mati selama perlakuan


40

4.2.3 Besar Sampel

Besar sampel dihitung dengan menggunakan rumus :

n = 2 (Z 1-α + Z 1-β ) 2 2 (Charan J & Biswas T, 2013)

2
d

Keterangan :

n = besar sampel minimum

Z1- = nilai distribusi baku pada α tertentu = 0,05 atau derajat

kepercayaan 95%

Z 1-β = nilai distribusi baku pada β tertentu = 0,10 atau derajat kepercayaan

90%

 = SD (standar deviasi)

d = perbedaan yang diterima

Dari penelitian pendahuluan didapatkan nilai  Hb adalah 0,57 sedangkan

nilai d adalah 0,89 sehingga

n = 2 (1,645 + 1,282)2 (0,57)2 = 5,567 = 6,97


(0,89)2 0,8

(n dibulatkan menjadi 7)

Faktor koreksi = n (1)


1–f

f = proporsi sampel yang drop out, diperkirakan 10 % atau 0,1

r‘ = 7 (1) = 7,78 = 8

1 – 0,1

Jadi besar sampel minimal masing-masing kelompok sebanyak r‘ atau

replikasi adalah 7 ekor.


41

4.2.4 Teknik Pengambilan Sampel

Teknik pengambilan sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah

simple random sampling, yaitu teknik pengambilan sampel acak sederhana dari

populasi sehingga setiap anggota populasi memiliki kesempatan yang sama untuk

dipilih menjadi sampel penelitian.

4.3 Variabel Penelitian

4.3.1 Klasifikasi Variabel

a. Variabel Bebas (independent variable) : Pemberian terapi HBOT 1,7

ATA 100% O2 3x30 menit interval 5 menit menghirup udara biasa

selama 10 hari berturut-turut.

b. Variabel Terikat (dependent variable): kadar SOD, IL-1β, Hb

c. Variabel Terkontrol:

1. Kondisi lingkungan (suhu, kondisi kandang, dll) dan cara

pemeliharaan hewan coba (makanan, minuman, status

kesehatan dan lain-lain).

2. Teknik paparan asap kendaraan motor.

3. Metode pengambilan dan pemeriksaan darah hewan coba.

4.3.2 Definisi Operasional

Tabel 4.1 Definisi operasional variabel penelitian

Variabel Cara Ukur Skala


Data

- HBOT Pemberian oksigen dengan Nominal


kadar lebih tinggi dari udara
biasa di dalam ruang
bertekanan tinggi (RBT)
42

yang terbuat dari baja


(hyperbaric chamber) pada
suhu ruangan 28oC dan
kelembaban udara 50%.
Dalam hal ini adalah
menghisap O2 100% 1,7
ATA selama 3 x 30 menit
interval 2x 5 menit
menghirup udara biasa 10
kali berturut-turut selama 10
hari di dalam animal
chamber atau RUBT
penelitian yang khusus
untuk hewan coba.

- Superoksida Hasil penghitungan dengan Menggunakan Rasio


Dismutase serum darah menggunakan BioVision
metode ELISA Superoxide
menghasilkan kadar SOD. Dismutase (SOD)
Pengukuran dilakukan
Activity Assay Kit
dengan spektrofotometer
dengan metode kolorimetri
(kadar dinyatakan dalam
µL/mL)

- IL-1β Hasil penghitungan IL-1β ELISA Rasio


dari serum darah yang
didapatkan melalui
pemeriksaan laboratorium
bernama enzyme linked
immune-sorbent assay
(ELISA) Sandwich dan
dibaca oleh ELISA reader
(kadar dinyatakan dalam
ng/L)

- Hb Untuk menghasilkan kadar Metode digital Rasio


Hb dilakukan pengambilan dengan alat Easy
darah vena secara Touch GCHb
Cyanmethemoglobin dengan
43

menggunakan alat
Autoanalizer (Sismex)

- Tikus model Tikus galur wistar betina, Pemeriksaan fisik Nominal


hewan coba usia 6-8 minggu yang eksternal tikus
diberikan paparan asap yaitu peningkatan
kendaraan bermotor Honda pada berat badan
2,5 PM. Lalu pada Hari ke- menggunakan
30 kemudian tikus timbangan (De
mengalami gejala dari Oliveira, 2016)
pemeriksaan fisik eksternal.

- Teknik paparan Teknik paparan asap Nominal


asap dengan menggunakan kendaraan
kendaraan PM 2,5 bermotor Honda PM 2,5
diberikan selama 5 hari
seminggu dengan jarak
waktu 1 jam paparan,
diikuti dengan 30 menit
istirahat sebanyak 4x setiap
jam pk 08.00-09.00 WIB,
10.00-
11.00 WIB, 14.00-15.00
WIB, 16.00-17.00 WIB
selama 2x5 hari ( berturut-
turut 5 hari diselingi istirahat
2 hari) selama 30 hari (He F
et al., 2017)

4.4 Alat dan Bahan Penelitian

4.4.1 Alat PenelitianYang Digunakan

- 6 Kandang hewan coba untuk 3-5 hewan dengan ukuran 25x25x25

cm yang dindingnya dilapisi teflon pada saat pemberian exposure

- Tempat makan dan minum hewan coba


44

- Timbangan merek SF 400

- Mikroskop elektron

- Gelas ukur

- Kain flannel

- Sample container

- Animal chamber merek Hype Animal Chamber produksi PT. Mitra

Rajawali Banjaran

- Gunting

- Stop watch

- Oxymetri
45

4.4.2 Bahan Penelitian

- Tikus galur wistar betina

- Asap kendaraan yang didapat dari kendaraan motor Honda

dengan PM 2,5

- Makanan hewan coba merek Bio Rat produksi PT. Citra Ina

Feedmill

- minum hewan coba merek Aqua produksi PT. Aqua Golden

Mississippi

- Ketamine 10%

- BioVision KIT SOD Acitivity Assay

- BioVision KIT IL-1β Acitivity Assay

- Kit SOD

- Kit IL-1β

- Chamber pengecatan

- Xylol

- Alkohol

- Kertas saring

- Kapas

- Spuit

- Jarum sebesar 23 G

- Objek glass

- Deck glass

- Canada balsam (minyak terpentin / minyak tusam)

- Label
46

4.5 Tempat dan Waktu Penelitian

Lokasi dan waktu penelitian dilakukan di Laboratorium Penelitian Hewan

Hiperbarik Lakesla Drs. Med. R. Rijadi S., Phys Surabaya pada bulan Juli –

Oktober 2022 dan Laboratorium Biokimia Fakultas Kedokteran Universitas Hang

Tuah Surabaya.

4.6 Prosedur Pengambilan atau Pengumpulan Data

4.6.1 Aklimatisasi

Aklimatisasi pada hewan coba dilakukan selama 7 hari terhadap makanan

dan hawa Laboratorium Penelitian Hewan Hiperbarik Lakesla Drs. Med. R. Rijadi

S., Phys Surabaya.

4.6.2 Penimbangan Berat Badan Hewan Coba

Penimbangan berat hewan coba dilakukan sekali sebelum paparan pertama.

Hewan coba ditimbang dengan menggunakan timbangan digital merk SF400.

Penimbangan ditujukan untuk homogenitas berat badan tikus.

4.6.3 Persyaratan Etik

Implikasi etik pada tikus galur wistar sebagai hewan coba mengikuti

animal ethic. Hal yang perlu di laksanakan sesuai etik antara lain perawatan tikus

dalam kendang yaitu pemberian makan dan minum, aliran udara ke dalam ruang

kandang, perlakuan saat penelitian, pengambilan unit analisis penelitian dan

pemusnahannya, dengan No. 06/EC/LKS/VII/2022.

4.6.4 Pembuatan Model

Tikus galur Wistar sebanyak 24 dilakukan adaptasi selama 7 hari. Teknik

paparan asap menggunakan kendaraan bermotor Honda PM 2,5 yaitu 5 hari

seminggu istirahat 2 hari lalu 5 hari seminggu dengan jarak waktu 1 jam paparan,
47

diikuti dengan 30 menit istirahat sebanyak 4x setiap jam 08.00-09.00 WIB, 10.00-

11.00 WIB, 14.00-15.00 WIB, 16.00-17.00 WIB menggunakan kendaraan

bermotor Honda 2,5 PM selama 2x5 hari ( berturut-turut 5 hari diselingi istirahat

2 hari) selama 30 hari (He F et al., 2017).

Pada hari ke 1, 8, 39, 49 dilakukan pemeriksaan fisik eksternal tikus yaitu

peningkatan pada berat badan yang di ukur menggunakan timbangan, juga di

dapatkan dari pemeriksaan internal dengan pengamatan darah.

4.6.5 Pelaksanaan Perlakuan HBOT

Pelaksanaan perlakuan dilakukan dengan mengambil hewan coba dari

kelompok perlakuan dan dimasukan ke dalam animal chamber atau RUBT

peneitian yang khusus untuk hewan coba. Pemberian oksigen dengan kadar lebih

tinggi dari udara biasa di dalam ruang bertekanan tinggi (RBT) yang terbuat dari

baja (hyperbaric chamber) pada suhu ruangan 28oC dan kelembaban udara 50%.

Dalam hal ini adalah menghisap O2 100% 1,7 ATA selama 3 x 30 menit interval

2x 5 menit menghirup udara biasa 10 kali yaitu selama 10 hari berturut-turut di

dalam animal chamber atau RUBT penelitian yang khusus untuk hewan coba.

Setiap selesai paparan HBOT, tikus dikembalikan ke kandangnya semula pada K2

dan tikus diberi paparan emisi gas pada K3

4.6.6 Pembiusan dan Eutanasia

Pada hari ke-49 pembiusan dilakukan dengan menggunakan Ketamine

10% secara intraperitoneal, tracheotomy, dan intubasi dan diletakkan secara

supinasi (He et al., 2017).


48

4.6.7 Prosedur Pengambilan Darah

Pada hari ke-49 pengambilan sampel darah tikus dilakukan setelah

pembiusan. Darah pada tikus diambil langsung dari jantung pada ventrikel secara

perlahan untuk mencegah collapsing dari jantung dengan menggunakan teknik

cardiac puncture dengan spuit 3 cc dan menggunakan jarum sebesar 23 G (Kumar

M, et al., 2017).

4.6.7.1 Pemeriksaan Superoksida Dismutase

Hasil penghitungan SOD dari serum darah yang didapatkan melalui

pemeriksaan laboratorium dengan Mouse Suoeroxide Dismutase ELISA Kit

produksi dari Bioassay Technology Laboratory, dibaca oleh ELISA. SOD tampak

dengan antibodi anti-SOD spesifik, diikuti dengan antibody sekunder HRP-

conjugated. Konsentrasi SOD dihitung dengan kurva standar (Sureda A et al.,

2016).

Untuk menghasilkan radikal superoksida diperlukan reaksi antara Xanthine dan

Xanthine oksidase. Nitrobule tetrazolium akan direduksi oleh Radikal superoksida

menjadi formazan dan menjadi berwarna ungu. SOD dapat menghambat reduksi

dari Nitrobule tetrazolium melalui reaksi radikal superoksida yang menghasilkan

O2 dan H2O. Pengukuran dilakukan dengan spektrofotometer BioVission Assay

Kit Superoxide Dismutation dengan metode kolorimetri. Data yang diperoleh dari

pemeriksaan kadar serum Superoksida dismutase (SOD) ini selanjutnya akan

diolah menggunakan uji statistik.

4.6.7.2 Pemeriksaan IL-1β

Pengukuran IL-1β dengan sampel serum darah tikus galur wistar dengan

anestesi pentobarbital 3% (1ml/kgBB), tracheotomy dan intubasi dengan


49

melakukan eknik cardiac puncture untuk mengambil sampel serum darah

menggunakan spuit denganjarum sebesar 23G. Paru tikus diambil untuk

pengamatan perubahan gambaran histopatologi paru tikus dengan pembuatan

preparat histologi organ paru dibuat pewarnaan Hematoksilin Eosin (HE) dan

diamati di bawah mikroskop cahaya perbesaran 400x. Pengamatan ini dimulai

dari sudut kiri, kanan, bagian atas, bagian bawah, serta bagian tengah dari preparat

histopatologi paru. Setiap lapangan pandang diamati dan dilakukan perhitungan

terhadap jumlah alveoli yang mengalami destruksi, selanjutnya akan diolah

menggunakan uji statistik.

4.6.7.3 Pemeriksaan Hb

Untuk menghasilkan kadar Hb dilakukan pengambilan darah vena secara

Cyanmethemoglobin dengan menggunakan alat Autoanalizer (Sismex) Metode

digital dengan alat Easy Touch GCHb.

4.6.8 Perlakuan Terhadap Karkas

Sisa tubuh hewan atau karkas dikuburkan.

4.7 Manajemen Data

1. Pengumpulan data

2. Editing dan dilanjutkan pengkodean, kemudian entri data

4.7.1 Analisis Data

Data yang diperoleh dari penelitian ini kemudian akan diolah secara

statistik dengan menggunakan program Statistical Product and Solution (SPSS)

versi 22. Variable terikat yang diuji pada penelitian ini merupakan skala numerik,

sehingga sebelum menentukan uji parametrik atau non-parametrik perlu di


50

lakukan uji analisa deskriptif terlebih dahulu. Pada uji analisa deskritptif, data

akan diuji normalitasnya menggunakan uji Saphiro-Wilk untuk mengetahui

apakah data berdistribusi normal atau tidak. Jika data berdistribusi normal, maka

akan dilanjutkan dengan uji homogenitas Levene untuk mengetahui varian sampel

berbeda atau tidak. Jika data berdistribusi normal dan homogen menggunakan uji

parametrik yaitu Anova. Apabila data tidak berdistribusi normal atau data tidak

homogen, maka data akan diolah menggunakan uji non-parametrik yaitu uji

Mann-Whitney U.
51

4.8 Kerangka Operasional

Adaptasi hewan coba Tikus Betina sejumlah 24 selama 7 hari

Kelompok kontrol (-) Kelompok kontrol (+) Kelompok


(K0) (K1) perlakuan (K2)

Hari-8 dipaparkan asap sepeda motor Honda PM 2,5


bensin premium 5 hari/minggu, pada hari Senin s.d Jumat,
4x/hari setiap jam 08.00-09.00 WIB, 09.30-10.30 WIB,
11.00-12.00 WIB, 12.30-13.30 WIB selama 30 hari

Hari ke-38 tikus ada gejala Batuk, gerak


kurang, nafsu makan menurun yang didapat
pada pemeriksaan fisik eksternal

K1, hari ke-39: K2, hari ke-39: (+) HBOT 1,7


(-) HBOT ATA O2 100% 3x30 menit
interval 2x5 menit menghirup
udara biasa selama 10 hari
berturut-turut

Hari ke-49, 30 menit setelah HBOT: K0, K1 dan K2 dibius dengan


Ketamine 10% tracheotomy dan intubasi

Pengambilan sampel darah sengan metode: Cardiac Puncture, lalu


terminasi dan dikubur

Analisis data

Gambar 4.2 Kerangka operasional penelitian


BAB 5

HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS DATA

5.1 Hasil Penelitian

Penelitian telah dilakukan selama 49 hari di Laboratorium Penelitian Hewan

Hiperbarik LAKESLA Drs. Med. R. Rijadi S., Phys Surabaya. Pengukuran variabel

penelitian dilakukan pada kelompok hewan coba normal atau kelompok kontrol negatif

(K0), hewan coba model terpapar asap kendaraan bermotor yang tidak diberi HBOT atau

kelompok kontrol positif (K1) dan kelompok hewan coba model terpapar asap kendaraan

bermotor yang diberi HBOT atau kelompok perlakuan (K2). Hasil penelitian terhadap

serum darah hewan coba tikus galur wistar betina yang memenuhi kriteria inklusi

sebanyak 24 ekor. Selama proses pembuatan hewan coba model terpapar asap kendaraan

atau proses pengasapan ada 2 (dua) hewan coba yang mati yaitu dari kelompok K1

sebanyak 1 ekor dan pada kelompok K2 sebanyak 1 ekor sebelum dimulai proses HBOT

menghisap O2 100% 3x30 menit interval 2x5 menit menghisap udara biasa pada tekanan

1,7 ATA selama 10x berturut-turut sehingga tikus yang tersisa ada 22 ekor.

5.2 Kadar SOD (Superoxide Dismutase)

Hasil pemeriksaan kadar SOD yang berasal dari serum darah hewan coba

kelompok kontrol negatif (K0), kelompok kontrol positif (K1), dan kelompok perlakuan

(K2). Data hasil pemeriksaan SOD dilakukan uji normalitas menggunakan Saphiro-Wilk

dan dinyatakan data berdistribusi normal. Selanjutnya dilakukan uji homogenitas

Levene’s Test dan dinyatakan data homogen.

Setelah diketahui data berdistribusi normal dan homogen maka dilakukan analisa

data menggunakan uji ANOVA yang hasilnya menunjukkan terdapat perbedaan rata-rata

kadar SOD pada kelompok kontrol negatif, kontrol positif dan kelompok perlakuan. (p =

0,001; p < 0,05) seperti yang ditunjukkan pada tabel 5.1.

52
53

Tabel 5.1 Perbedaan rata-rata kadar SOD


Kadar SOD (µL/mL)
Kelompok
Mean  SD Minimum Maksimum
1. Kontrol negatif (normal) 0,01486  0,001676 0,012 0,017
2. Kontrol positif (asap kendaraan) 0,01229  0,001496 0,010 0,014
3. Perlakuan (asap kendaraan + 0,01529  0,000756 0,014 0,016
HBOT)
Nilai F = 9,839 Signifikansi = 0,001*
Signifikan
Sumber: Data Primer 2023, diolah.
Keterangan : * signifikan pada p=0,05.

Hasil uji Post Hoc Turkey menunjukkan perbedaan rata-rata kadar SOD yang

bermakna antara kelompok kontrol negatif dengan kelompok kontrol positif (p = 0,007; p

<0,05), kelompok kontrol positif dengan kelompok perlakuan (p = 0,002; p < 0,05) dan

tidak terdapat perbedaan antara kelompok kontrol negatif dengan kelompok perlakuan (p

= 0,829; p > 0,05).

5.3 Kadar IL-1β (Interleukin-1 beta)

Hasil pemeriksaan kadar IL-1β yang berasal dari serum darah hewan coba

kelompok kontrol negatif (K0), kelompok kontrol positif (K1) dan kelompok perlakuan

(K2). Data hasil pemeriksaan IL-1β dilakukan uji normalitas menggunakan Saphiro-Wilk

dan dinyatakan data berdistribusi normal. Selanjutnya dilakukan uji homogenitas

Levene’s Test dan dinyatakan data tidak homogen homogen.

Karena data tidak homogen maka dilakukan analisa data menggunakan uji Kruskal

Wallis yang hasilnya menunjukkan terdapat perbedaan rata-rata kadar IL-1β pada

kelompok kontrol negatif, kontrol positif dan kelompok perlakuan (p = 0,004; p <

0,05) seperti yang ditunjukkan pada tabel 5.2.

Tabel 5.2 Perbedaan rata-rata kadar IL-1β


Kadar IL-1β (ng/L)
Kelompok Mean  Minimum Maksimum
SD
1. Kontrol negatif (normal) 0,153860,029002 0,125 0,198
2. Kontrol positif (asap kendaraan) 10,205867,451402 2,921 21,68
3. Perlakuan (asap kendaraan + 6,580433,715129 2,213 9
HBOT) 11,77
4
Nilai F = Signifikansi = 0,001* Signifikan
13.853
54

Sumber: Data Primer 2023, diolah.


Keterangan : * signifikan pada p=0,05.

Hasil uji Mann Whitney menunjukkan perbedaan rata-rata kadar IL-1β yang

bermakna antara kelompok kontrol negatif dengan kelompok kontrol positif (p = 0,002; p

< 0,05), kelompok kontrol negatif dengan kelompok perlakuan (p = 0,002; p < 0,05) dan

tidak terdapat perbedaan antara kelompok kontrol positif dengan kelompok perlakuan (p

= 0,383; p > 0,05).

5.4 Kadar Hemoglobin

Hasil pemeriksaan kadar Hb yang berasal dari serum darah hewan coba pada

kelompok kontrol negatif (K0), kelompok kontrol positif (K1), dan kelompok perlakuan

(K2). Data hasil pemeriksaan Hb dilakukan uji normalitas menggunakan Saphiro-Wilk

dan dinyatakan data tidak berdistribusi normal. Karena data tidak berdistribusi normal

maka dilakukan analisa data menggunakan uji Kruskal Wallis yang hasilnya

menunjukkan terdapat perbedaan rata-rata kadar Hb pada kelompok kontrol negatif,

kontrol positif dan kelompok perlakuan (p = 0,004; p < 0,05) seperti yang

ditunjukkan pada tabel 5.2.

Tabel 5.3 Perbedaan rata-rata kadar Hb


Kadar IL-1β (ng/L)
Kelompok Mean Minimum Maksimum
 SD
1. Kontrol negatif (normal) 13,742861,459289 11,7 16,3
2. Kontrol positif (asap kendaraan) 10,628571,168638 9,1 12,8
3. Perlakuan (asap kendaraan + 11,657140,869592 11 13,4
HBOT)
Nilai F = 12,846 Signifikansi = 0,002* Signifikan
Sumber: Data Primer 2023, diolah.
Keterangan : * signifikan pada p=0,05.

Hasil uji Mann Whitney menunjukkan perbedaan rata-rata kadar ILHb yang

bermakna antara kelompok kontrol negatif dengan kelompok kontrol positif (p = 0,004; p

< 0,05), kelompok kontrol negatif dengan kelompok perlakuan (p = 0,006; p < 0,05) dan

kelompok kontrol positif dengan kelompok perlakuan (p = 0,040; p > 0,05).


55

Gambar 5.1. Grafik perbedaan rata-rata kadar SOD, IL-1 dan hemoglobin antara
kelompok kontrol negatif, kontrol positif dan kelompok perlakuan
BAB 6

PEMBAHASAN

Penelitian ini bertujuan membuktikan pengaruh HBOT terhadap penurunan

stres oksidatif melalui analisis SOD, IL-1β dan Hb pada tikus yang terpapar asap

kendaraan. Penelitian ini merupakan penelitian true eksperimental dengan metode

post test only control group design selama 49 hari yang dilakukan di

Laboratorium Penelitian Hewan Hiperbarik LAKESLA Drs. Med. R. Rijadi S.,

Phys Surabaya dan Laboratorium Biokimia Fakultas Kedokteran Universitang

Hang Tuah Surabaya tentang pengukuran kadar aktifitas enzim SOD, IL-1β dan

Hb pada hewan coba model terpapar asap kendaraan bermotor.

Hasil penelitian terhadap serum darah hewan coba tikus galur wistar betina

yang memenuhi kriteria inklusi sebanyak 24 ekor. Selama penelitian ada 2 (dua)

hewan coba yang mati yaitu dari kelompok hewan coba model terpapar asap

kendaraan tanpa pemberian HBOT atau kelompok kontrol positif (K1) 1 ekor dan

kelompok hewan coba model terpapar asap kendaraan dengan pemberian HBOT

atau kelompok perlakuan (K2) 1 ekor sehingga yang ada tinggal 22 ekor.

Kemudian ketiga kelompok ini dilakukan pengambilan sampel serum darah untuk

mengetahui kadar SOD, IL-1β dan Hb tiap tikus pada tiap kelompok.

Pemeriksaan untuk variabel SOD, IL-1β dan Hb menggunakan teknik ELISA.

56
57

Variabel-variabel ini digunakan untuk membuktikan pengaruh HBOT dalam

menurunkan stress oksidatif pada hewan coba model terpapar asap kendaraan.

Dari hasil pemeriksaan tersebut dievaluasi dengan analisis statistik dan

data yang diperoleh berupa data kuantitatif. Hasil analisis statistik deskriptif

didapatkan bahwa tidak semua data variabel berdistribusi normal dan tidak

semua data mempunyai variasi homogen.

6.1 Subyek Penelitian

Penggunaan tikus sebagai hewan model untuk mempelajari biologi

manusia didasarkan pada keterkaitan filogenetik, kemiripan anatomi, fisiologis

dan perilaku dengan manusia. Tikus lebih dapat diandalkan sebagai model

penyakit manusia, karena jaringan yang menghubungkan gen dengan penyakit

sangat mungkin berbeda antara dua spesies. Pertimbangan lain adalah mudah

didapat, murah, mudah perawatan, mudah bertahan hidup dan beradaptasi dengan

lingkungan, siklus hidup pendek, berukuran kecil sehingga mudah ditempatkan

dan membutuhkan sedikit ruangan, mudah dikembangbiakkan di laboratorium,

mempunyai banyak strain inbrida sehingga berlimpah sumber daya genetik

(Szpirer C, 2020).

6.2 Pembuatan Model Hewan Coba Terpapar Asap Kendaraan

Pembuatan hewan model coba terpapar asap kendaraan ini sesuai dengan

hewan model coba Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) oleh He F dkk pada

tahun 2017. Tikus galur Wistar sebanyak 24 dilakukan adaptasi selama 7 hari.

Sebanyak 16 tikus diberi paparan asap kendaraan. Teknik paparan asap


58

menggunakan kendaraan bermotor Honda PM 2,5 diberikan selama 10 hari yaitu

5 hari seminggu istirahat 2 hari lalu 5 hari seminggu dengan jarak waktu 1 jam

paparan, diikuti dengan 30 menit istirahat sebanyak 4x setiap jam 08.00-09.00

WIB, 10.00-11.00 WIB, 14.00-15.00 WIB, 16.00-17.00 WIB menggunakan

kendaraan bermotor Honda 2,5 PM selama 2x5 hari ( berturut-turut 5 hari

diselingi istirahat 2 hari) selama 30 hari (He F et al., 2017).

6.3 Paparan HBOT

Konsep dosis HBOT berasal dari definisi HBOT sebagai obat. Dosis

HBOT meliputi kadar O2, kedalaman tekanan, durasi, interval dan frekuensi.

Penelitian ini menggunakan oksigen 100% pada tekanan 1,7 ATA selama interval

3x30 menit 2x5 menit menghirup udara normal selama 10 kali yaitu selama 5 hari

berturut-turut, diselingi istirahat 2 hari kemudian 5 hari berturut-turut lagi di

dalam animal chamber atau RUBT penelitian yang khusus untuk hewan coba.
59

Dosis tekanan 1,7 ATA ini merupakan dosis yang lebih rendah dari dosis

standar yaitu dosis 2,4 ATA yang sering digunakan oleh LAKESLA untuk

mengobati beberapa penyakit klinis. Kerusakan paru akibat paparan asap

kendaraan akan menimbulkan peradangan sehingga elastisitas jaringan paru akan

menurun (LiY, Dai Y & Guo Y, 2018) . Jika diberi tekanan yang tinggi maka

dapat menimbulkan risiko terjadinya efek samping HBOT yang disebut

barotrauma paru (Heyboer M, 2016; Gawdi R and Cooper JS, 2021). Barotrauma

adalah kerusakan fisik pada jaringan tubuh yang disebabkan oleh perbedaan

tekanan antara ruang gas di dalam, atau bersentuhan dengan tubuh, dan cairan di

sekitarnya. Situasi ini biasanya terjadi ketika organisme terkena perubahan

tekanan ambien yang signifikan, seperti ketika penyelam scuba, penyelam bebas

atau penumpang pesawat terbang naik atau turun, atau selama dekompresi bejana

tekan yang tidak terkendali, tetapi itu juga dapat terjadi karena gelombang kejut.

Barotrauma harus dianggap sebagai komplikasi dari penggunaan tekanan positif

dalam jaringan, di mana pergerakan udara normal sebagian besar bersifat pasif.

Hal ini didefinisikan sebagai keberadaan udara ekstraalveolar di lokasi yang

biasanya tidak ditemukan pada pasien yang menerima ventilasi mekanis.

Penerapan ventilasi tekanan positif mempengaruhi paru-paru yang sudah terkena

menjadi cedera (Ioannidis G et al., 2015).

Kadar O2 yang digunakan lebih tinggi dari udara biasa diharapkan dengan

tekanan pO2 lebih maka faktor transkripsi HIF-1α akan lebih menurun walaupun

berisiko terbentuknya ROS yang lebih tinggi juga, seperti yang dikemukakan

oleh Thom SR yang menyatakan pO 2 tinggi menimbulkan reactive oxygen species

(ROS) (Thom SR, 2011). Bahkan ROS tinggi dapat menstimulasi terjadinya stres
60

oksidatif yang justru menginduksi peradangan (Mateen S et al., 2016). Kedua hal

yang tampaknya bertentangan ini adalah salah satu hal yang membuat peneliti

tertarik untuk meneliti. Tekanan lebih tinggi yang digunakan pada penelitian ini,

sesuai yang dikemukakan oleh Eggleton dkk yaitu tidak melebihi 3 ATA (setara

dengan kedalaman 20 meter di air laut) dan durasi perawatan untuk terapi elektif

umumnya tidak melebihi 2 jam dalam satu sesi masih dianggap aman (Eggleton P,

Bishop AJ dan Smerdon GR, 2015).

6.4 Pengaruh HBOT Terhadap SOD

Pada penelitian ini juga didapatkan peningkatan kadar SOD yang signifikan

pada kelompok perlakuan hewan coba model terpapar asap kendaraan yang di

terapi HBOT (K2) dibandingkan dengan kelompok kontrol positif tanpa di terapi

HBOT (K1). Hal ini dikarenakan paparan HBOT menyebabkan stres oksidatif

yang signifikan pada awal pemberian terapi, namun pada paparan berlanjut stres

oksidatif yang di induksi akan terjadi proses adaptif dan sinyaling dari antioksidan

seperti SOD (Körpınar and Uzun, 2019).

Superoksida dismutase (SOD) merupakan pertahanan antioksidan yang

sangat penting terhadap stres oksidatif dalam tubuh. SOD dibentuk dari regulasi

transkripsi dari gen yang dikendalikan sebagian melalui Antioxidant Response

Elements (AREs) faktor transkripsi faktor Nuclear Factor NF-E2-related Factor 2

(Nrf2) memainkan peran penting dalam ekspresi basal dan inducible yang

dimediasi ARE lebih dari 200 gen yang dapat dikelompokkan ke dalam beberapa

kategori termasuk gen antioksidan dan enzim detoksifikasi fase II (Chen, Zhang

and Cai, 2014). Enzim SOD bertindak sebagain agen terapeutik yang baik

terhadap penyakit yang dimediasi ROS. SOD memliki beberapa efek terapeutik
61

seperti pada kondis fisiologis, patologis seperti kanker, penyakit inflamasi, kistik

fibrosis, dan iskemia. ROS termasuk O2- dan produk reaksinya peroksinitrit

memiliki peran penting dalam cedera endotel dan jaringan yang terkait dengan

iskemia dan reperfusi. Overekspresi SOD mengurangi kerusakan iskemik akibat

iskemia atau reperfusi. Penghapusan O2- dan peroxynitrite oleh SOD mimetic

membantu dalam pencegahan selular energik kegagalan dan kerusakan jaringan

yang terkait dengan iskemia dan perfusi dan memiliki efek yang menguntungkan

dalam situasi ini (Younus, 2018).

Pada penelitian ini, untuk memperbaiki kerusakan jaringan paru hewan coba

model terpapar asap kendaraan yang di akibatkan ROS maka dilakukan terapi

HBOT untuk meningkatkan kadar SOD. Pada penelitian sebelumnya yang

dilakukan pada tikus transgenik yang mengekspresikan SOD ekstraseluler

berlebihan dan mimetik SOD telah menunjukkan bahwa penghambatan O 2- dapat

mencegah infiltrasi neutrofil di lokasi kerusakan. Apoptosis neutrofil juga dapat

menjadi langkah penting dalam resolusi peradangan. SOD dapat berfungsi sebagai

agen penghambat peradangan yang dimediasi neutrofil dan dapat berdiri untuk

pendekatan terapi baru untuk kerusakan jaringan yang bergantung pada ROS yang

disebabkan oleh neutrofil melalui beberapa mekanisme ( Körpınar and Uzun,

2019; Younus, 2018).

Hal ini menunjukkan bahwa pemberian terapi HBOT 1,7 ATA dengan

durasi 3x30 menit, dengan interval 5 menit menghirup udara biasa yang dilakukan

selama 10 hari berturut-turut terbukti memberikan efek yang positif terhadap

inflamasi maupun gejala pada tikus galur wistar betina model terpapar asap

kendaraan melalui penurunan ROS dengan terjadinya peningkatan antioksidan


62

yaitu SOD dengan signifikansi p = 0,000 (p < 0,05) yang dapat mengurangi

kerusakan jaringan akibat ROS pada serum darah tikus galur wistar model PPOK .

Sehinggga dapat disimpulkan tikus galur wistar model terpapar asap kendaraan

mengalami peningkatan SOD dan membaiknya gejala inflamasi setelah menjalani

terapi HBOT 1,7 ATA dengan durasi 3x30 menit, dengan interval 5 menit

menghirup udara biasa yang dilakukan selama 10 hari berturut-turut. Perbaikan

dari segi inflamasi dapat memperbaiki kondisi klinis, dan membantu mengurangi

gejala yang dirasakan.

6.5 Pengaruh HBOT Terhadap IL-1β

Pada penelitian ini juga didapatkan peningkatan kadar sitokin pro-inflamasi

IL-1β yang signifikan pada kelompok perlakuan hewan coba model PPOK yang

tidak di terapi OHB (K1) dengan signifikansi sebesar 0,001 (p < 0,05)

dibandingkan dengan kelompok control tanpa perlakuan maupun intervensi (K0),

dimana sitokin pro inflamasi yang meningkat ini terjadi akibat meningkatnya

transkripsi dari TNF-α dan interleukin yang diregulasi oleh NF-κB selama

inflamasi berlangsung, dimana sitokin utama yang berperan pada PPOK adalah

IL-1β. (He et al., 2017; Barnes, 2016; Imtiyaz & Simon, 2010).

IL-1β merupakan sitokin proinflamasi yang berasal dari keluarga IL-1 yang

merupakan regulator utama dalam inflamasi dengan mengontrol variasi dari

sistem imun bawaan. IL-1 memiliki fungsi biologis yang sangat luas, termasuk

leukocytic pyrogen, yang merupakan sebuah mediator dari demam dan mediator

leukositik endogen, serta menginduksi berbagai komponen dari respon fase akut

dan lymphocyte-activating factor (LAF). Terdapat sebuah Protein adaptor

apoptosis-associated speck-likeprotein containing a CARD (ASC) merupakan


63

komponen penting dari inflamasom NRLP3, yang merekrut pro-caspase-1

menuju protein kompleks dan meningkat pada paru pasien PPOK. Akumulasi

ASC terkait dengan pembentukan ekstracellular specks, yang terus-menerus

membentuk IL-1β di luar sel (Kaneko et al., 2019; Barnes, 2016).

Pada penelitian ini dalam menurunkan reaksi inflamasi yang terjadi pada

hewan coba model PPOK maka dilakukan terapi HBOT, Terapi HBOT memiliki

beberapa efek, kadar CRP yang menurun menyebabkan menurunnya infiltrasi sel

inflamasi seperti monosit pada persinyalan HIF-1α. Terapi OHB juga terlibat

dalam penurunan pelepasan sitokin inflamasi dari sel monosit yang diperantarai

oleh HSP70 (heat shock proteins 70) dan HO-1 (heme oxygenase-1). Terapi OHB

dapat meningkatkan saturasi oksigen serta jaringan yang kemudian dapat

meningkatkan pelepasan ROS (reactive oxygen species) dan RNS (reactive

nitrogen species). Pada saat kondisi hypoxia dengan inflamasi akan diikuti dengan

meningkatnya ROS dan RNS dapat menginduksi HIF-1α (Hypoxia-Inducible

factor - 1α). Persinyalan HIF-1α yang teraktivasi akan mengarah kepada ekspresi

mRNA Catalase (CAT) dan Glutathione peroxidase 1 (GPx1) yang lebih tinggi

sehingga mengurangi stress oksidatif. HIF-1α menuruni oxidative tissue injury

dengan penurunan adhesion neutrofil, monosit, serta limfosit juga infiltrasi ke

jaringan yang mengalami inflamasi (Novak et al., 2016).

Hal ini menunjukkan bahwa pemberian terapi OHB 1,7ATA dengan durasi

3x30 menit, dengan interval 5 menit menghirup udara biasa yang dilakukan

selama 10 hari berturut-turut terbukti memberikan efek yang positif terhadap

inflamasi maupun gejala pada tikus galur wistar model PPOK melalui penurunan

ROS yang dapat menghambat regulasi dari sitokin pada serum darah tikus galur
64

wistar model PPOK, juga meningkatkan kadar sitokin anti inflamasi seperti IL-10.

Sehinggga dapat disimpulkan tikus galur wistar model PPOK mengalami

oenurunan ROS dan membaiknya gejala inflamasi setelah menjalani terapi OHB

1,7 ATA dengan durasi 3x30 menit, dengan interval 5 menit menghirup udara

biasa yang dilakukan selama 10 hari berturut-turut. Perbaikan dari segi inflamasi

dapat memperbaiki kondisi klinis pasien, dan membantu mengurangi gejala yang

dirasakan oleh pasien.

6.6 Pengaruh HBOT Terhadap Hb

Ada perbedaan peningkatan kadar Hb yang signifikan pada kelompok

perlakuan (K2) hewan coba model asap kendaraan yang diberi HBOT

dibandingkan dengan kelompok kontrol positif hewan coba model terpapar asap

kendaraan yang tidak diberi HBOT (K1). Kondisi anemia yang di akibatkan

rendahnya kadar Hb adalah kondisi umum pada pasien dengan PPOK berat.

Menunjukkan bahwa penurunan kadar Hb dapat mempengaruhi laju pengambilan

oksigen melintasi alveolocapillary bed dan mengurangi kapasitas difusi paru (Guo

et al., 2015). Tingginya aktivitas lipid peroksidase (LPO) yang dikarenakan

meningkatnya ROS dapat menurunkan antioksidan eritrosit yang menyebabkan

kerusakan pada membran eritrosit, eritrosit menjadi mudah dilisis, dan jumlah

eritrosit turun maka jumlah Hb turun (Meikawati, Wulandari, 2013). ROS yang

meningkat juga dapat mengakibatkan kerusakan dari sumsum tulang belakang

sehingga produksi eritrosit dan Hb berkurang (Meikawati, Wulandari, 2013;

Richardson, Yan and Vestal, 2015) Dasar dari terapi HBOT adalah tiga faktor

utama: (1) Dengan bernapas 100% O2, gradien positif, sehingga mendukung

difusi paru-paru yang mengalami hiperoksigenasi ke jaringan hipoksia; (2) karena


65

tekanan tinggi, konsentrasi O2 dalam darah timbul sesuai dengan Hukum Henry

(jumlah gas yang terlarut dalam cairan berbanding lurus dengan tekanan parsial),

dan (3) mengurangi ukuran gelembung gas dalam darah dengan Hukum Boyle-

Mariotte dan Hukum Henry. Dengan kata lain, penciptaan lingkungan hiperbarik

dengan oksigen murni memungkinkan peningkatan yang signifikan dari suplai

oksigen ke darah (hiperoksemia) dan ke jaringan (hiperoksia) sehingga dapat

mengatasi hipoksia jaringan dan menyebabkan kadar ROS menurun (Ortega et al.,

2021).

Ketika hemoglobin turun ke tingkat kritis dan mengurangi pengiriman

oksigen, HBOT dapat digunakan sebagai terapi untuk memasok oksigen secara

darurat. Oksigen yang diberikan secara hiperbarik memungkinkan oksigen terlarut

dalam konsentrasi yang meningkat dalam plasma rendah sel darah merah atau

cairan intravaskular yang diencerkan kristaloid/koloid pada pasien yang

diresusitasi. Selain itu pada pasien anemia subakut dan kronis, denyut nadi,

oksigen normobarik atau hiperbarik yang diberikan secara intermiten menginduksi

peningkatan sel darah merah/massa hemoglobin (Van Meter, 2012). Sehingga

pada penelitian ini didapatkan peningkatan hemoglobin yang signifikan pada

kelompok perlakuan hewan coba model terpapar asap kendaraan yang diterapi

HBOT (K2) dibandingkan dengan kelompok kontrol positif hewan coba model

terpapar asap kendaraan yang tidak di terapi HBOT (K1).


BAB 7

KESIMPULAN DAN SARAN

7.1 Kesimpulan

Dari hasil penelitian dan analisis data yang telah dilakukan didapatkan

kesimpulan bahwa:

1. HBOT dapat meningkatkan kadar SOD secara signifikan dalam serum

darah hewan coba model terpapar asap kendaraan.

2. HBOT dapat menurunkan kadar IL-1β meskipun tidak signifikan dalam

serum darah hewan coba model terpapar asap kendaraan.

3. HBOT dapat meningkatkan kadar Hemoglobin secara signifikan dalam

serum darah hewan coba model terpapar asap kendaraan.

Berdasarkan hasil pengamatan dan analisis statistik dapat disimpulkan

bahwa pemberian terapi OHB 1,7 ATA dengan durasi 3x30 menit, dengan

interval 5 menit menghirup udara biasa yang dilakukan selama 10 hari berturut-

turut dapat menurunkan stres oksidatif dan meningkatkan kadar SOD secara

signifikan, meningkatkan kadar Hb meskipun tidak signifikan dan menurunkan

kadar IL-1β pada serum darah hewan coba model terpapar asap kendaraan yang

signifikan, sehingga dapat menurunkan stres oksidatif yang diakibatkan inflamasi

dan hipoksia, maka terjadi perbaikan gejala klinis hewan coba model terpapar

asap kendaraan.

7.2 Saran

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka ada beberapa hal yang

disarankan dan perlu dilakukan penelitian lebih lanjut:

66
67

1. HBOT dapat digunakan sebagai terapi adjuvant bersama dengan terapi

obat standar dalam mencegah progresifitas kerusakan jaringan paru

akibat paparan asap kendaraan.

2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap hewan coba model

terpapar asap kendaraan atau manusia dengan masker, sampel yang

lebih banyak, dosis HBOT yang lebih bervariasi sehingga dapat

diketahui dosis optimal HBOT pada hewan coba model terpapar asap

kendaraan , dan efek samping pemberian HBOT jika diberikan dalam

jangka waktu yang lama.


68

DAFTAR PUSTAKA

Agustí, A, Celli, BR, Chen, R, Criner G, Frith, P & Halvin, D 2019, ‗Pocket
guide to COPD diagnosis, management, and prevention: A guide for health care
professionals‘, Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease, Inc., pp.
1–43

Alemayehu, YH & Kiwanuka, F 2019, ‗Hyperbaric Oxygen Therapy : Indications


,Benefits and Nursing Management Hyperbaric Oxygen Therapy : Indications ,
Benefits and Nursing Management Frank Kiwanuka , MSc Candidate Maryam
Muhamaddi , BSc , MSc Candidate Mesomeeh Imanipour , PhD Sanaz Akhava‘,
International Journal of Caring Sciences, 12(1)

Amin, M 2013, 'Pemeriksaan dan Interpretasi Faal Paru.PKB Pulmonologi dan


Ilmu Kedokteran Respirasi.Surabaya : FK Unair

Ayuningtyas, C 2019, 'Study cross sectional: Kadar HbCO pada arah mekanik
bengkel sepeda motor di surabaya,' Jurnal Kesehatan Lingkungan, 11: 4 ISSN:
1829 - 7285

Barnes, PJ 2016, 'Inflammatory mechanisms in patients with chronic obstructive


pulmonary disease,' Journal of Allergy and Clinical Immunology, 138 (1). pp. 16-
27

Bent, R, Moll, L, Grabbe & Bros, M 2018,' Interleukin-1 Beta—A Friend or Foe
in Malignancies?', Int J Mol Sci. 19(8): 2155.

Birben, E, Sahiner, UM, Sackesen, C, Erzurum, S & Kalayci O 2012,'Oxidative


Stress and Antioxidant Defense', World Allergy Organ J. 2012 Jan; 5(1): 9–19.

Bonita, N, Darusman, F & Prian SE 2022, 'Kajian Pustaka Sistem Penghantaran


Etosom untuk Senyawa Bahan Alam yang Berkhasiat Antioksidan', Prosiding
Farmasi 320

Brandsma, CA, Berge, M, Hackett, TL, Brusselle, G & Timens, W 2019, 'Recent
advances in chronic obstructive pulmonary disease pathogenesis: from disease
69

mechanisms to precision medicine' J Pathol 2020; 250: 624–635.

Charan, J & Biswas, T 2013, ‗How to Calculate Sample Size for Different Study
Designs in Medical Research?‘, Indian J Psychol Med, 35(2), pp.121–126.

Chen, J, Zhang, Z & Cai, L 2014, ‗Diabetic cardiomyopathy and its prevention
by Nrf2: Current status‘, Diabetes and Metabolism Journal, 38(5), pp. 337–345.

D'Ignazio, L, Bandarra, D & Rocha, S 2016, ‗NF‐ κB and HIF crosstalk in


immune responses‘, FEBS J. 283(3): 413–424.

Domej, W, Oettl, K & Renner, W 2014, 'Oxidative stress and free radicals in
COPD –implications and relevance for treatment', International Journal of COPD
9(default):1207-1224

Duca, L, Ottolenghi, S, Coppola, S, Rinaldo, R, Dei Cas, M, Rubino, MF, Paroni,


R, Samaja, M, Chiumello, DA & Motta, I 2021, 'Differential Redox State and Iron
Regulation in Chronic Obstructive Pulmonary Disease, Acute Respiratory
Distress Syndrome and Coronavirus Disease 2019', Antioxidants (Basel). 2021
Sep; 10(9): 1460.

Eggleton P, Bishop AJ and Smerdon GR. 2015, ‗Safety and efficacy of


hyperbaric oxygen therapy in chronic wound management: current evidence‘,
Chronic Wound Care Manag Res, 2, pp.81-93

Finkel T 2011, ' Signal transduction by reactive oxygen species', J Cell Biol. 2011
Jul 11;194(1):7-15.

Gawdi, R & Cooper, JS 2022, 'Hyperbaric Contraindications', Text Book.


National Library Of Medicine May 8, 2022.

Ghorani, V, Boskabady, MH, Khazdair,MR & Kianmeher, M 2017, '


Experimental animal models for COPD: a methodological review', Tob Induc Dis.
15:25.

Greenpeace Indonesia 2021, 'The Indonesia and the World Health Organization‘s
Air Quality Guidelines', 22nd September 2021
70

Hadanny, A, Zubari, T, Tamir-Adler, LT, Bechor, Y, Fishlev, G, Lang, E, Polak,


N, Bergan, J, Friedman, M & Efrati, S 2019, ‗Hyperbaric oxygen therapy effects
on pulmonary functions: A prospective cohort study‘, BMC Pulmonary Medicine,
19(1), pp. 1–7.

Hall, EJ 2010, 'Buku Saku Fisiologi Kedokteran Guyton & Hall.Ed.11. Jakarta :
EGC

Haruna, Lahming, Amir F, Asrib AR, 2019, 'Pencemaran Udara Akibat Gas
Buang Kendaraan Bermotor Dan Dampaknya Terhadap Kesehatan', UNM
Environmental Journals Volume 2 Nomor 2 April 2019 Hal. 57 – 61

He, F, Liao, B, Pu, J, Li, C, Zheng, M, Huang, L, Zhou Y, Zhao, D, Li, B & Ran,
P 2017, ' Exposure to Ambient Particulate Matter Induced COPD in a Rat Model
and a Description of the Underlying Mechanism', Scientific Reports | 7:45666

Harnanik, T, Soeroso, J, Suryokusumo, MG & Juliandhy, J 2020, 'Effects of


Hyperbaric Oxygen on T helper 17/regulatory T Polarization in Antigen and
Collagen-induced Arthritis: Hypoxia-inducible Factor-1α as a Target', Oman Med
J. 2020 Jan; 35(1): e90.

Heyboer, M 2016,' Hyperbaric Oxygen Therapy Side Effects – Where Do We


Stand?,'J Am Coll Clin Wound Spec. 8(1-3): 2–3.

Hikichi, M, Mizumura, K, Maruoka, S & Gon, Y 2019, 'Pathogenesis of chronic


obstructive pulmonary disease (COPD) induced by cigarette smoke', J Thorac
Dis. 11(Suppl 17): S2129–S2140.

Imtiyaz, HZ & Simon, MC 2010, 'Hypoxia-inducible factors as essential


regulators of inflammation', Curr Top Microbiol Immunol. 2010; 345: 105–120.

Ioannidis, G, Lazaridis, G, Baka, S, Mpoukovinas, I, Karavasilis, V, Lampaki, S,


Kioumis, I, Pitsiou, G, Papaiwannou, A, Karavergou, A, Katsikogiannis, N,
Sarika, E, Tsakiridis, K, Korantzis, I, Zarogoulidis, K, Zarogoulidis, P
2014,'Barotrauma and Pneumothorax,' Journal of Thoracic Disease Vol 7,
71

Supplement 1

Kaneko, N, Kurata, M, Yamamoto, T, Morikawa, S, Masumoto, J 2019, 'The role


of interleukin-1 in general pathology', Review Inflamm Regen 6;39:12.

Kany S, Vollrath, JT & Relja, B 2019, ' Cytokines in Inflammatory Disease', Int J
Mol Sci. 2019 Dec; 20(23): 6008.

Kilowasid, LMH, Herlina, H, Syaf, LO, Safuan, M, Tufaila, S, Leomo, B & Kim,
JJ, Kim, YS & Kumar, V 2019, ‗Heavy metal toxicity: An update of chelating
therapeutic strategies‘, Journal of Trace Elements in Medicine and Biology,
54(March), pp. 226–231.

Kjellberg, A, De Maio, A & Lindholm, P 2020, 'Can hyperbaric oxygen safely


serve as an anti-inflammatory treatment for COVID-19?', Medical Hypotheses
144

Kothari, S, Thompson, A, Agarwal, A & Du Plessis, SS 2010, 'Free radicals:


Their beneficial and detrimental effects on sperm function', Indian Journal of
Experimental Biology 48(5):425-35

Lee, H, Jhun, BW, Cho, J, Yoo, KH, Lee, JH, Kim, DK, Lee, JD, Jung, K, Lee,
JY & Park, HY 2017, ' Different impacts of respiratory symptoms and
comorbidities on COPD-specific health-related quality of life by COPD severity',
Int J Chron Obstruct Pulmon Dis, 13;12:3301-3310.

Leikauf, GD, Kim, SH & Jang, AS 2020, ‗Mechanisms of ultrafine particle-


induced respiratory health effects‘, Experimental & Molecular Medicine 2020
52:3, 52(3), pp. 329–337.

Li J, Lei J, He L, Fan X, Yi F & Zhang W 2019, 'Evaluation and Monitoring of


Superoxide Dismutase (SOD) Activity and its Clinical Significance in Gastric
Cancer: A Systematic Review and Meta-Analysis', Med Sci Monit. ; 25: 2032–
2042.

Li, Y, Dai, Y & Guo, Y 2018, 'The pulmonary damage caused by smoking: A
longitudinal study', Technol Health Care. 2018; 26(Suppl 1): 501–507.
72

Marciniak, A, Brzeszczynska, J, Gwozdzinski, K, Jegier, A 2009, 'Antioxidant


capacity and physical exercise', Biology of Sport 26(3)

Mateen S, Moin S, Khan AQ, Zafar A, and Fatima N. (2016) ‗Increased


Reactive Oxygen Species Formation and Oxidative Stress in Rheumatoid
Arthritis’, PLoS One, 11(4), pp.e0152925.

Murray, RK, Granner, DK, Mays, PA & Rodwell, VW 2014 'Harper's Illustrated
Biochemistry 26th edition', a Lange Medical Book

Osei, ET, Brandsma, CA, Timens, W, Heijink, IH & Hackett, T 2020, 'Current
perspectives on the role of interleukin-1 signalling in the pathogenesis of asthma
and COPD', European Respiratory Journal 55: 1900563

Paganini, M, Bosco, G, Perozzo, FAG, Kohlscheen, E, Sonda, R, Bassetto, F,


Garetto, G, Camporesi, EM & Thom SR 2021,‗The Role of Hyperbaric Oxygen
Treatment for COVID-19: A Review‘, Advances in Experimental Medicine and
Biology, 1289(July), pp. 27–35.

PDPI 2011, 'PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronik) Pedoman Diagnosa dan
Penatalaksanaan', Perhimpunan Dokter Paru Indonesia 2011

Pandey S, Garg R, Kant S & Gaur P 2018, ' Chronic Obstructive Pulmonary
Disease with Anemia as Comorbidity in North Indian Population', Adv Biomed
Res. 2018; 7: 152.

Quaderi, SA & Hurst, JR 2018, ‗The unmet global burden of COPD‘, Global
Health, Epidemiology and Genomics, 3, pp. 4–6.

Razdan, PS, Buteau, D & Pollock, NW 2019, 'A case of Löfgren‘s syndrome
confused with decompression sickness', Diving Hyperb Med. 2019 Dec; 49(4):
306–310.

Rosa, L, Sinaga, V, Munthe, SA, Siregar, RN & Zamili, M 2020, ‗Relationship of


plumbum levels ( pb ) in the air work environment with hypertension events in
operators ‘, Journal of Healthcare Technology and Medicine, 6(2), pp. 756–766.
73

Rosario, ER, Kaplan, SE, Khonsari, S, Vazquez, G, Solanki, N, Lane, M,


Brownell, H & Rosenberg, SS 2018, 'The Effect of Hyperbaric Oxygen Therapy
on Functional Impairments Caused by Ischemic Stroke', Neurology Research
International 18;12.

Santoso, B, Widjiati, Zuhri, AS & Alkaft, FF 2020, 'Hyperbaric Oxygen Therapy


Effect on Androgen Receptor and Superoxide Dismutase in Insulin-Resistant
Polycystic Ovary Syndrome', Journal of International Dental and Medical
Research, 13 (1). pp. 144-148.

Sassykova, LR, Aubakirov, YA, Sendilvelan, S & Tashmukhambetova, ZK 2019,


‗The Main Components of Vehicle Exhaust Gases and Their Effective Catalytic
Neutralization‘, Oriental Journal of Chemistry, 35(1), pp. 110–127.

Sies, H 2020, 'Oxidative Stress: Concept and Some Practical Aspects',


Antioxidants. 9:9, 852

Szpirer C 2020, 'Rat models of human diseases and related phenotypes: a


systematic inventory of the causative genes', Journal of Biomedical Science,
27:84

Suman S & Sheuli S 2021, ' Therapeutic effects of hyperbaric oxygen: integrated
review', Med Gas Res. 11(1): 30–33.

Sureda, A, Del Mar Bibiloni, M, Martorell, M, Buil-Cosiales, P, Marti, A, Pons,


A, Tur, JA & Martinez-Gonzalez, MA 2016, ' Mediterranean diets supplemented
with virgin olive oil and nuts enhance plasmatic antioxidant capabilities and
decrease xanthine oxidase activity in people with metabolic syndrome: The
Predimed study', Mol Nutr Food Res. 60(12):2654-2664.

Thom SR. 2011, ‗Hyperbaric oxygen – its mechanisms and efficacy. US National
Library of Medicine National Institutes of Health‘, Plast Reconstr Surg, 127(1),
pp.131S–141S.

Vargas-Mendoza, N, Morales-Gonzalez, A, Madrigal-Santillan, EO, Madrigal-


74

Bujaidar, E, 2019, ‗Antioxidant and adaptative response mediated by Nrf2 during


physical exercise‘, Antioxidants, 8(6).

WHO 2021, 'Ambient (outdoor) air pollution', 22 Sept 2021

WHO 2021, 'New WHO Global Air Quality Guidelines aim to save millions of
lives from air pollution', 22 Sept 2021

WHO 2022, 'Chronic obstructive pulmonary disease (COPD)', 19 May 2022

Winarsi H 2027, 'Antioksidan Alami & Radikal Bebas, Potensi dan Aplikasinya
Dalam Kesehatan', Buku. Politeknik Kesehatan Kemenkes RI Padang

Webb, KL, Dominelli, PB, Baker, SE, Klassen, SA, Joyner, MJ, Senefeld, JW &
Wiggins, CC 2022, 'Influence of High Hemoglobin-Oxygen Affinity on Humans
During Hypoxia, Front. Physiol., 14 January 2022

Yawn, BP, Mintz, ML & Doherty, DE 2021, 'GOLD in Practice: Chronic


Obstructive Pulmonary Disease Treatment and Management in the Primary Care
Setting', Int J Chron Obstruct Pulmon Dis. 2021; 16: 289–299.

Younus, H 2018, ‗Therapeutic potentials of superoxide dismutase‘, International


Journal of Health Sciences, 12(3), p. 88.
75

LAMPIRAN 1

JADWAL PELAKSANAAN

N Pelaksanaan Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des
o

1 Menyusun
proposal dan
mengurus
perizinan

2 Melaksanakan
penelitian

3 Analisis data
dan
interpertasi

4 Penyusunan
laporan
76

LAMPIRAN 2 LAIK ETIK PENELITIAN


77

LAMPIRAN 3 STATISTIK PENELITIAN

3.1 Hasil Statistik SOD

Kelompok

Descriptives
Kelompok Statistic Std. Error

SOD K0 Mean .01486 .000634

95% Confidence Interval for Lower Bound .01331


Mean Upper Bound .01641

5% Trimmed Mean .01490


Median .01500
Variance .000
Std. Deviation .001676
Minimum .012
Maximum .017
Range .005
Interquartile Range .002
Skewness -.582 .794
Kurtosis .052 1.587

K1 Mean .01229 .000565

95% Confidence Interval for Lower Bound .01090


Mean Upper Bound .01367

5% Trimmed Mean .01232


Median .01200
Variance .000
Std. Deviation .001496
78

Minimum .010
Maximum .014
Range .004
Interquartile Range .003
Skewness -.256 .794
Kurtosis -.968 1.587
K2 Mean .01529 .000286
95% Confidence Interval for Lower Bound .01459
Mean Upper Bound .01598

5% Trimmed Mean .01532


Median .01500
Variance .000
Std. Deviation .000756
Minimum .014
Maximum .016
Range .002
Interquartile Range .001
Skewness -.595 .794
Kurtosis -.350 1.587
79
80

3.1 Hasil Statistik IL-1β

Descriptives
Kelompok Statistic Std. Error
IL1b K0 Mean .15386 .010962

95% Confidence Interval for Lower Bound .12703


Mean Upper Bound .18068

5% Trimmed Mean .15301


Median .16800
Variance .001
Std. Deviation .029002
Minimum .125
Maximum .198
Range .073
Interquartile Range .043
Skewness .214 .794
Kurtosis -1.444 1.587

K1 Mean 10.20586 2.816365

95% Confidence Interval for Lower Bound 3.31446


Mean Upper Bound 17.09725

5% Trimmed Mean 9.97262


Median 7.76100
Variance 55.523
Std. Deviation 7.451402
Minimum 2.921
Maximum 21.689
Range 18.768
81

Interquartile Range 14.400


Skewness .665 .794
Kurtosis -1.313 1.587
K2 Mean 6.58043 1.404187
95% Confidence Interval for Lower Bound 3.14451
Mean Upper Bound 10.01635

5% Trimmed Mean 6.53453


Median 7.28900
Variance 13.802
Std. Deviation 3.715129
Minimum 2.213
Maximum 11.774
Range 9.561
Interquartile Range 7.082
Skewness .078 .794
Kurtosis -1.745 1.587
82

NPar Tests

Descriptive Statistics
N Mean Std. Deviation Minimum Maximum
IL1b 21 5.64671 6.240040 .125 21.689
Kelompok 21 2.00 .837 1 3

Kruskal-Wallis Test

Ranks
Kelompok N Mean Rank

IL1b K0 7 4.00
K1 7 15.57

K2 7 13.43
Total 21
83

Test Statisticsa,b
IL1b

Chi-Square 13.853
df 2
Asymp. Sig. .001

a. Kruskal Wallis Test


b. Grouping Variable:
Kelompok

NPar Tests
84
85

3.1 Hasil Statistik Hb

Descriptives
Kelompok Statistic Std. Error

Hb K0 Mean 13.743 .5516

95% Confidence Interval for Lower Bound 12.393


Mean Upper Bound 15.092

5% Trimmed Mean 13.714


Median 13.900
Variance 2.130
Std. Deviation 1.4593
Minimum 11.7
Maximum 16.3
Range 4.6
Interquartile Range 1.8
Skewness .441 .794
Kurtosis 1.132 1.587

K1 Mean 10.629 .4417

95% Confidence Interval for Lower Bound 9.548


Mean Upper Bound 11.709

5% Trimmed Mean 10.593


Median 10.300
Variance 1.366
Std. Deviation 1.1686
Minimum 9.1
Maximum 12.8
Range 3.7
86

Interquartile Range 1.1


Skewness .934 .794
Kurtosis 1.607 1.587
K2 Mean 11.657 .3287
95% Confidence Interval for Lower Bound 10.853
Mean Upper Bound 12.461

5% Trimmed Mean 11.597


Median 11.300
Variance .756
Std. Deviation .8696
Minimum 11.0
Maximum 13.4
Range 2.4
Interquartile Range 1.1
Skewness 1.694 .794
Kurtosis 2.524 1.587
87

NPar Tests
88
89
90
91

LAMPIRAN 4 GAMBAR PENELITIAN

Hewan model coba Proses pengasapan

Animal chamber atau RBT Hewan coba dimasukkan dalam chamber

Kit SOD Kit IL-1β


92

Kit ELISA

Alat dan bahan untuk euthanasia hewan coba

Anda mungkin juga menyukai