Anda di halaman 1dari 123

KORELASI ANTARA MASSA EOSINOFILIK DENGAN PARTIKEL

COKLAT GELAP DENGAN MYCOBACTERIUM TUBERCULOSIS PADA

SITOLOGI BIOPSI ASPIRASI

DISERTASI

DELYUZAR

088102011

PROGRAM STUDI DOKTOR (S3) ILMU KEDOKTERAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2019

Universitas Sumatera Utara


KORELASI ANTARA MASSA EOSINOFILIK DENGAN PARTIKEL

COKLAT GELAP DENGAN MYCOBACTERIUM TUBERCULOSIS PADA

SITOLOGI BIOPSI ASPIRASI

Untuk Memproleh Gelar Doktor dalam Bidang Ilmu Kedokteran di

Universitas Sumatera Utara dan telah dipertahankan di Hadapan Panitia

Ujian Tertutup Tanggal 20 Agustus 2018

DELYUZAR

088102011

PROGRAM STUDI DOKTOR (S3) ILMU KEDOKTERAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2019

iii
Universitas Sumatera Utara
Promotor:

Prof. dr. M. Nadjib Dahlan Lubis, Sp.PA (K)

Guru Besar Tetap Departemen Patologi Anatomik

Fakultas Kedokteran

Universitas Sumatera Utara

Medan

Co-Promotor:

Prof. dr. Mpu Kanoko, Ph.D, Sp.PA (K)

Guru Besar Tetap Departemen Patologi Anatomik

Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia

Jakarta

Co-Promotor:

Prof. dr. Tamsil Syafiuddin, Sp.P (K)

Guru Besar Tetap Departemen Paru

Fakultas Kedokteran

Universitas Islam Sumatera Utara

Medan

iv
Universitas Sumatera Utara
v
Universitas Sumatera Utara
Telah diuji pada Ujian Tertutup

Tanggal 20 Agustus 2018

TIM PENGUJI DISERTASI

Ketua : Prof. dr. M. Nadjib Dahlan Lubis, Sp.PA (K)

Anggota : Prof. dr. Mpu Kanoko, Ph.D, Sp.PA (K)

Prof. dr. Tamsil Syafiuddin, Sp.P (K)

Prof. dr. Salmiah Agus, Sp.PA (K)

Dr. dr. Rosita Juwita Sembiring, Sp.PK

Dr. Ir. Erna Mutiara, MKM

Dr. dr. Imam Budi Putra, MHA, Sp.KK, FINSDV, FAADV

vi
Universitas Sumatera Utara
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK
KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademika Universitas Sumatera Utara, saya yang bertandatangan


di bawah ini :
Nama Mahasiswa : Delyuzar
NIM : 088102011
Program Studi : Doktor (S3) Ilmu Kedokteran
Jenis Karya : Disertasi
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada
Universitas Sumatera Utara Hak Bebas Royalti Non Eksklusif (Non Exclusive
Royalti Fee Right) atas disertasi saya yang berjudul :

KORELASI ANTARA MASSA EOSINOFILIK DENGAN PARTIKEL


COKLAT GELAP DENGAN MYCOBACTERIUM TUBERCULOSIS PADA
SITOLOGI BIOPSI ASPIRASI

Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan), dengan Hak Bebas Royalti Non
Eksklusif ini, Universitas Sumatera Utara berhak menyimpan, mengalih
media/formatkan, mengelola dalam bentuk data base, merawat dan
mempublikasikan disertasi saya tanpa meminta izin dari saya sebagai penulis dan
sebagai pemilik hak cipta.
Demikian pernyataan ini saya perbuat dengan sebenarnya.

Dibuat di Medan pada 7 Februari 2019


Yang menyatakan,

Delyuzar

vii
Universitas Sumatera Utara
UCAPAN TERIMA KASIH

Puji dan Syukur kita ucapkan kepada Allah SWT atas segala Rahmat dan

Karunia-Nya sehingga saya dapat melaksanakan pendidikan Doktor (S3) Ilmu

Kedokteran dan dapat menyelesaikan Disertasi ini dengan judul “Korelasi Antara

Massa Eosinofilik dengan Partikel Coklat Gelap dengan Mycobacterium

Tuberculosis pada Sitologi Biopsi Aspirasi“. Dengan segala kerendahan hati, saya

mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada yang

terhormat Rektor Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH,

M.Hum, Rektor sebelumnya Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, CTM,

Sp.A(K). Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Dr. dr. Aldy S.

Rambe, Sp.S (K), Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

sebelumnya, Prof. dr. Gontar A. Siregar, Sp.PD–KGEH, Ketua Program Studi

Doktor (S3) Ilmu Kedokteran Prof. Dr. dr. Delfitri Munir, Sp.THT-KL (K) dan

Ketua Program Studi Doktor (S3) Ilmu Kedokteran sebelumnya, Prof. dr.

Chairuddin P. Lubis, DTM&H, Sp.A (K), atas kesempatan dan fasilitas yang

diberikan kepada saya untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan di Program

Studi Doktor (S3) Ilmu Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera

Utara.

Ucapan terima kasih dan salam hormat saya sampaikan kepada Promotor

dan Co-Promotor, Prof. dr. M. Nadjib Dahlan Lubis, Sp.PA (K), Prof. dr. Mpu

Kanoko, Sp.PA(K), PhD dan Prof. Tamsil Syaifuddin. Sp.P(K), atas kesediaan

meluangkan waktunya membimbing, mendorong dan memberikan nasihat serta

perbaikan- perbaikan , untuk menyempurnakan penelitian dan penulisan disertasi

viii
Universitas Sumatera Utara
ini. Semoga Allah SWTakan memberikan Rahmat, perlindungan dan kesehatan

kepada para guru dan pembimbing saya tersebut. Selanjutnya saya juga

mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Tim

Penguji Disertasi ini, Prof. dr. Salmiah Agus, Sp.PA (K), Dr. dr. Rosita Juwita

Sembiring, Sp.PK, Dr. Ir. Erna Mutiara, MKM, Dr. dr. Imam Budi Putra, MHA,

Sp.KK, FINSDV, FAADV, yang telah memberikan penilaian, koreksi,dan

masukan selma proses persiapan penelitian hingga selesainya disertasi ini.Ucapan

terima kasih dan salam hormat juga saya sampaikan kepada seluruh staf pengajar

Program Studi Doktor (S3) Ilmu Kedokteran FK USU, Prof. dr. Chairuddin P.

Lubis, DTM&H, Sp.A (K), Prof. dr. Harun Rasyid Lubis, Sp.PD-KGH, Prof. dr.

Gofar Sastrodiningrat, Sp.BS (K), Dr. Ir. Sumono, MS, Drs. Sutarman, M.Si, Phd,

Almarhum Prof. dr. Iskandar Zulkarnain Lubis Sp.A (K), Prof, Dr. Ir. Harmein

Nasution, MSIE, dr.Adang Bachtiar, MPH, DSc, dr. Gino Tan Sp.PK (K), PhD,

Dr. dr. Rosita Juwita,Sp.PK, atas bimbingan dan saran selama saya mengikuti

pendidikan pada Program Doktor (S3) ini.

Terima Kasih saya ucapkan kepada Kepala Departemen Patologi

Anatomik Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, dr.T.Ibnu Alferally,

M.Ked (PA),Sp.PA,D.Bioet, Kepala Laboratorium Terpadu Fakultas Kedokteran

Universitas Sumatera Utara, dr. Ginanda Putra Siregar, Sp.U dan Kepala

Departemen Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara dr.Lia

Kusumawati M.Biomed, Sp.MK (K),PhD yang telah memberikan fasilitas dan

tempat penelitian saya sehingga disertasi ini bisa diselesaikan. Terima kasih

kepada dr.H.Zainuddin Amir, Sp.P(K) yang juga membantu dalam penelitian

saya tentang tuberkulosis. Juga terima kasih kepada Mrs.Mekkla Thomson,

ix
Universitas Sumatera Utara
MPH,CHES Senior Study Director, Westat USA, Prof.Dr. Angkana Chaiprasert

dari Mahidol University, Prof.Dr.Virasakdi Chongsuvivatwong dari Prince

Songkla University, Prof.Dr.dr.Rizanda Machmud, MPH dari Universitas Andalas

dan Dr.dr.Juliandi Harahap, MA dari Kedokteran Komunitas Fakultas Kedokteran

Universitas Sumatera Utara, atas dorongan, diskusi dan keterlibatan di dalam

penelitian Tuberkulosis. Terima kasih juga kepada Ketua Lembaga Penelitan

Universitas Sumatera Utara Prof. Dr. Erman Munir, M.Sc, yang telah membantu

memfasilitasi penelitian saya yang mendukung Disertasi ini.Terima kasih kepada

Ketua Komite Etik yang telah memberikan izin untuk penelitian ini. Tidak lupa

juga terima kasih kepada Dr.dr.Iqbal, Sp.BA(K) dan seluruh staf dan pegawai

Program Studi Doktor (S3) Ilmu Kedokteran Universitas Sumatera Utara atas

bantuan selesainya disertasi ini.

Terima kasih dan penghargaan yang setinggi tingginya saya ucapkan

kepada guru-guru yang mendidik dan membuka pintu saya untuk bidang Patologi

Anatomik, Prof.dr.M. Nadjib Dahlan Lubis, Sp.PA(K), Almarhum Prof.dr. Gani

W.Tambunan, Sp.PA(K),Almarhum dr.Zahar Taher, Sp.PA, Almarhum

dr.Soegito Husodowidjojo, Sp.PA, Almarhum dr.Harry Panjaitan, Sp.PA,

dr.Marah Ganti Siregar, Sp.PA, dr.Joko S.Lukito, Sp.PA(K), dr.Soekimin,

Sp.PA(K). Juga terima kasih kepada para pembimbing saya selama magang di

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Almarhum Prof.dr. Ahmad Tjarta,

Sp.PA(K), Almarhum Prof.dr. Santoso Cornain, Dsc, dr.Endang Hardjolukito,

MS, Sp.PA(K),Dr.dr.Lisna, Sp.PA(K), dr.Sutjahjo Endardjo, MSc,Sp.PA(K),

dr.Budiana Tanurahardja, Sp.PA(K), semoga Allah akan membalas budi dan jasa

guru-guru saya tersebut.

x
Universitas Sumatera Utara
Ucapan terima kasih dan mohon maaf saya sampaikan kepada para

sejawat saya rekan berjuang mulai dari menjalani program spesialis Patologi

Anatomik, Magister dan Program Doktor (S3) dan teman bekerja, dr. Jamaluddin

Pane, Sp.PA, dr. Sumondang Pardede, Sp.PA beserta seluruh pimpinan dan Staf

Patologi Anatomik di RSUP H. Adam Malik, dr. T. Ibnu Alferraly,

M.Ked(PA),Sp.PA,D.Bioet, dr. Betty, M.Ked(PA), Sp.PA, dr.Lidya Imelda

Laksmi, M.Ked(PA), Sp.PA, dr. Jessy Chrestella, M.Ked(PA), Sp.PA, dr. T.

Kemala Intan M. Pd, M. Biomed, dr. Causa Trisna M.Ked(PA), Sp.PA, dr.Wan

Naemah dan seluruh staf Patologi Anatomik RS Pirngadi Medan, terima kasih

atas kerjasama selama ini.

Saya juga mengucapkan terima kasih kepada dr. Dedy Suryadi, dr. Roza

Rita, dr. Adeodata Lily Wibisono dan seluruh PPDS yang tidak dapat saya

sebutkan satu persatu, Sdr. Husin dan seluruh Staf administrasi dan Laboratorium

yang membantu sehingga terwujudnya tulisan disertasi ini.

Sembah sujud, doa dan terima kasih yang tak terhingga kepada Ibunda

kami Hj.Syamsinar dan Almarhum Papa Harris seorang prajurit yang menjadi

petani demi mewujudkan cita-cita agar saya menjadi seorang dokter yang baik.

Ibunda kami yang telah melahirkan, mengasuh dan mendidik kami dengan

berbagai keterbatasan tapi penuh curahan kasih.Almarhum Papa yang

mengajarkan kami menjadi pejuang yang gigih demi cita-cita tetapi harus jujur

mengambil sikap, istiqomah dan mencintai bangsa ini. Saya tidak bisa membalas

jasa keduanya terutama Papa yang telah berpulang sebelum saya bisa

membahagiakannya. Hanya doa semoga Papa diampuni segala dosanya di

tempatkan di tempat terbaik dan Ibunda tetap sehat dan mendapat lindungan dari

xi
Universitas Sumatera Utara
Allah SWT.

Kepada mertua saya Bapak Drs.H.Abdul Salam Panjaitan dan Ibunda

Hj.Nurlely, saya ucapkan terima kasih yang tak terhingga atas doa, kasih sayang

dan dukungan yang diberikan selama ini.

Ucapan terima kasih beserta ungkapan sayang untuk istri saya terkasih

Hj.Novitasari yang dengan sabar mengikuti perjalanan hidup kami yang penuh

tantangan, tidak hanya mengandung manisnya kehidupan tapi berisi ujian

ketabahan atas perjuangan menempuh pendidikan suami yang seperti tak

berujung. Untuk anak-anakku Devi Nafilah Yuzar, Dini Alfitri Yuzar, Difan

Nasuha Yuzar, Dina Nabila Yuzar dan Dinda Nadila Yuzar, maaf kan kalau Buya

selalu meminta kita bersabar dan terima kasih atas dukungan kalian semua,

semoga ini juga akan memotivasi kalian bahwa belajar adalah sepanjang hayat,

dan hasil tidak akan mengingkari usaha dan perjuangan kita.

Terima kasih atas dukungan yang tulus dari Elly dan Ali dan semua adik

iparku dan seluruh keluarga yang telah memberi semangat, dorongan moril dan

material dan semua doa sehingga saya bisa menyelesaikan pendidikan ini dengan

baik.

Akhirnya untuk semua nama yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu

yang telah memberi pertolongan langsung maupun tidak langsung dari lubuk hati

saya yang paling dalam saya ucapkan terima kasih.

Saya harap semoga disertasi ini akan dapat menyumbangkan hasil bagi

perkembangan Ilmu Kedokteran khususnya untuk penanggulangan tuberkulosis

dan diagnostik Patologi Anatomik. Semoga Allah SubhanahWa Ta’ala akan

memberkahi kita semua. Aaamiiin.

xii
Universitas Sumatera Utara
Medan, 7 Februari 2019

Peneliti

Delyuzar

xiii
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR RIWAYAT HIDUP

A.Identitas diri

1.Nama Lengkap : dr. H. Delyuzar M.Ked(PA), Sp.PA(K)

2. Jenis Kelamin : Laki-laki

3. Pekerjaan : Staf Pengajar Patologi AnatomiK FK USU

3.Jabatan Fungsional : Lektor III D

4.NIP : 19630219 1999003 1001

5.NIDN : 0019026301

6.Tempat dan Tanggal Lahir : Medan, 19 Februari 1963

7.E-mail : dr_delyuzar@yahoo.com

8.No. Telepon/HP : 0811656913

9. Alamat kantor : Departemen Patologi Anatomik FKUSU Jl.

Universitas No. 1 Kompleks USUMedan

10. No. Telepon / Faks : 061–8211746

11. Nama Ayah : Alm. Peltu. Purn. Harris II

Nama Ibu : Hj. Syamsinar

Istri : Hj. Novitasari br. Panjaitan

Anak : 1. dr. Devi Nafilah Yuzar

2. dr. Dini Alfitri Yuzar

3. Difan Nasuha Yuzar, S.Ked

4. Dina Nabila Yuzar

5. Dinda Nadilla Yuzar

xiv
Universitas Sumatera Utara
B. Riwayat Pendidikan

Pendidikan Dasar dan Menengah:

SD Negeri 1 Padang Sidempuan

SMP Negeri Lubuk Sikaping

SMA Negeri 2 Medan

Bidang Ilmu : Sarjana Kedokteran (1982-1989),

Spesialis PA(1991-1996),

Konsultan Uropatologi 2008,

Mengikuti Pendidikan S3 sejak Sejak 2008

Judul Skripsi Tesis / Disertasi:

 Akurasi Diagnostik Sitologi Aspirasi Biopsi

Limpoma

 Pemeriksaan CD20 pada Kasus-Kasus Limfoma

di Departemen Patologi Anatomik Fakultas

Kedokteran USU/RS Haji Adam Malik Medan

Tahun 2011

 Keunggulan Biopsi Aspirasi Jarum Halus

Dibandingkan Pemeriksaan Ziehl-Neelsen Pada

Limfadenitis Tuberkulosis

 Korelasi antara Massa Eosinofilik dengan Partikel

Cokelat Gelap dan Keberadaan M. Tuberkulosis

dalam Jaringan

Nama Pembimbing / Promotor : Prof. dr. H. M Najib Dahlan Lubis, Sp.PA (K)

xv
Universitas Sumatera Utara
C. Pengalaman Penelitian Selama 5 tahunTerakhir

1. 2011. Hubungan Gambaran Bercak-bercak Gelap (Dark Speeks) Pada Latar

Belakang Material Nekrotik Granular Eosinofilik Dengan Kadar CD4

Penderita Limfadenitis Tuberkulosis Servikalis Yang Disertai

HIV/AIDS. PPDS PA

2. 2011. Badan-badan kecil Berbentuk oval Gelap di dalam Kelompokan

Makrofag Dan Bercak-Bercak gelap : Dua Struktur Terabaikan Dalam

Diagnosis Limfadenitis Tuberkulosis. PPDS PA

3. 2012. Karakteristik Penderita Limfadenitis Tuberkulosis Di Sentra Diagnostik

Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatra Utara Tahun

2011. KTI MHS

4. 2012. Pemeriksaan Imunohistokimia CD 20 pada Kasus-kasus Limfoma di

Departemen Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran UniversitasSumatera

Utara /RSUP Haji Adam Malik Medan tahun 2011. Mandiri

5. 2013. Gambaran Sitologi Limfadenopati pada Pasien HIV dengan penurunan

Imunitas di RSUP H. Adam Malik Medan PeriodeJanuari 2010 sampai

Oktober 2012. KTI MHS

6. 2014. Hubungan Pengetahuan Sikap dan Praktek Pengawas Menelan Obat

dengan Keberhasilan Pengobatan Tuberkulosis Paru di Puskesmas

Glugur Darat pada Tahun 2011. KTI MHS

7. 2014. Jumlah Penularan Tuberkulosis Paru Dalam Satu Keluarga dengan

Melakukan Penelusuran Kontak Di Kecamatan Medan Tembung 2013.

KTI MHS

xvi
Universitas Sumatera Utara
D. Pengalaman Pengabdian Kepada Masyarakat Dalam 5 Tahun Terakhir

1. 2011. Program Penanggulangan TB Berbasis Masyarakat. GF ATM.

2. 2013. Advokasi dan Mobilisasi Masyarakat untuk Penanggulangan TB.

CEPAT-USAID

3. 2014. Advokasi, Mobilisasi dan Penanggulangan TB, TB-HIV dan TB-MDR

berbasis Masyarakat di Sumut, Sumbar, dan DKI Jakarta.

CEPAT-USAID

E. Publikasi Artikel Ilmiah dalam Jurnal Dalam 5 Tahun Terakhir

1. Eksperesi Imunohistokimia Ki-67 pada Tumor Payudara tikus Wistar yang

Diinokulasi Kanker Terinduksi Benzoapyrene dengan Pemberian Ekstrak

Benalu.Majalah Patologi Indonesia Vol.43/no.1/maret 2013.

2. Gambaran Hispatologi Tumor Sinonasal di Instalasi Patologi Anatomi Rumah

Sakit Haji Adam Malik Medan Tahun 2009-2011. Majalah Patologi Indonesia

Vol.24/No.2/Mei 2014.

3. Tuberkulosis dengan Massa Eosinofilik Disertai Partikel Coklat Gelap.

Journal Respirologi Indonesia Vol.37 No.3 Juli 2017.

4. Association between Eosinophilic Amorphous Mass in Cytologic Specimens

and Tuberculous Lymphadenitis. Pan African Medical Journal Vol 32 January

2019.

F. Pemakalah Seminar Ilmiah

1. 37th World Confrence on Lung Health of the International Union Against

Tuberculosis and Lung Disease (The Union), Paris, France, 2006.

xvii
Universitas Sumatera Utara
2. Asia-Pacific Searo Confrence, Community Empoerment TB Programe in

Indonesia Jakarta, 2007.

3. TB-Days in National Television in Medan Tuberculosis in North Sumatera

Medan, 2010.

4. Stem Cell Annual Scientific MeetingCancer Stem Cell Medan September

2012.

5. PPI Annual Meeting Up dates Stem Cell Medan October 2013.

6. CEPAT-USAID Annual Meeting JKM Community Empowerment forTB

Jakarta, Agustus 2013.

7. Seminar Milad NA Wilayah SUMUT Pencegahan dan Penanggulangan Kanker

Leher RahimMedan, 17 Mei 2014.

8. 45th Union World Conference on Lung Health, Barcelona, Spain, 2014.

9. 5th Conference of International Union Against Tuberculosis and Lung Disease

Asia Pasific Region, Sydney, Australia 2015.

10. 6th Conference of International Union Against Tuberculosis and Lung Disease

Asia Pasific Region, Tokyo, Japan, 2017.

11. American Thoracic Society International Conference, Washington, USA,

2017.

G. Perhimpunan Profesi :

1. Anggota IDI Cabang Medan.

2. Anggota IAPI (Perhimpunan Spesialis Patologi Indonesia).

3. Member of IAP (International Academic of Pathology).

4. Member of International Union Against Tuberculosis and Lung Disease.

xviii
Universitas Sumatera Utara
5. Anggota Peneliti Subcluster TB Indonesia ICE-IBM.

6. Pengurus PAMALI TB (Perhimpunan Pasien dan Masyarakat Peduli TB)

Nasional.

7. Pengurus KOPI TB (Koalisi Organisasi Profesi Peduli TB) Sumut.

8. Pengurus Pokja Kolaborasi TB HIV Sumut.

9. Pengurus FORPED TB (FORUM PEDULI TB) SUMUT.

10. Chief of Party Program TB CEPAT (Community Empowerment for

Peoples Against Tuberculosis) JKM-USAID Indonesia Tahun 2012-2017.

xix
Universitas Sumatera Utara
PERNYATAAN ORISINALITAS

KORELASI ANTARA MASSA EOSINOFILIK DENGAN PARTIKEL

COKLAT GELAP DENGAN MYCOBACTERIUM TUBERCULOSIS PADA

SITOLOGI BIOPSI ASPIRASI

Dengan ini penulis menyatakan bahwa penulisan disertasi ini disusun

sebagai syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Doktor (S3)

Ilmu Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara adalah benar

hasil karya penulis sendiri.

Adapun pengutipan-pengutipan yang penulis lakukan pada bagian-bagian

tertentu dari karya orang lain dalam penulisan disertasi ini , telah penulis

cantumkan sumbernya secara jelas sesuai norma, kaidah dan etika penulisan

ilmiah.

Apabila di kemudian hari ternyata ditemukan seluruh atau sebagian

disertasi ini bukan hasil karya penulis sendiri atau adanya plagiat dalam bagian-

bagian tertentu, penulis bersedia menerima sanksi akademik dan sanksi-sanksi

lainnya sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.

Medan, 7 Februari 2019

Delyuzar

xx
Universitas Sumatera Utara
SUMMARY

Indonesia is listed as the world’s second-largest TB-burderned country. The


ability to accurately detect tuberculosis infection is very important to control the
epidemic. The right and efficient way to detect this disease will help speed up the
early diagnosis and immediately followed by proper management. Therefore,
observations using biopsy aspiration cytology, especially in extrapulmonary TB
need to be done even though there is a picture that is not typically suspected as
TB. This study will prove that eosinophilic amorphous mass with brown particles
is accurately used as a new criterion for the diagnostic cytology of tuberculosis.
As a gold standard is PCR examination in this study.
Of a total of 194 patients with complaints of a lump in the neck, the average age
of positive TB patients confirmed by PCR was 49,29 years (± 10,742) and 48
patients were male. One positive TB person confirmed by PCR was diagnosed
clinically as abscess, 94 patients suspected TB lymphadenitis.
From the analysis of the relationship between eosinophilic amorphous mass and
brown particles confirmed by PCR DNA, mycobacterium tuberculosis found p
<0,01 which showed a significant relationship.
Accuracy assessment obtained 97,94%, sensitivity 98,95%, specificity 96,97%,
positive predictve value 96,91%, negative predictive value 98,97%, positive
likelihood ratio 33, probability negative ratio 0,01. So that the eosinophilic
amorphous mass with brown particles is very accurate to be used as a diagnostic
criterion for stating cytology as tuberculosis.

xxi
Universitas Sumatera Utara
RINGKASAN

Indonesia tercatat sebagai negara dengan penderita tuberkulosis terbanyak kedua


di dunia. Kemampuan untuk mendeteksi secara akurat infeksi tuberkulosis
menjadi sangat penting untuk mengendalikan epidemik tersebut. Cara yang tepat
dan efisien untuk mendeteksi penyakit ini akan membantu mempercepat diagnosis
dini dan segera diikuti penatalaksanaan yang tepat. Oleh karena itu, pengamatan
dengan menggunakan sitologi aspirasi biopsi terutama pada TB di luar paru perlu
dilakukan walaupun ada gambaran yang tidak khas diduga sebagai TB. Penelitian
ini akan membuktikan bahwa massa amorf eosinofilik dengan partikel coklat,
akurat dipakai sebagai kriteria baru untuk diagnostik sitologi tuberkulosis.
Sebagai gold standart pada penelitian ini adalah pemeriksaan PCR.
Dari total 194 pasien dengan keluhan adanya benjolan di leher, rata-rata umur
pasien TB positif yang dikonfirmasi dengan PCR adalah 49,29 tahun (± 10,742)
dan 48 pasien berjenis kelamin laki-laki. Satu orang TB positif yang dikonfirmasi
dengan PCR didiagnosis secara klinis sebagai abses, 94 pasien suspek
limfadenitis TB.
Dari analisis hubungan antara massa amorf eosinofilik dengan partikel coklat
yang dikonfirmasi dengan PCR DNA Mycobacterium tuberculosis didapatkan
p<0,01 yang menunjukkan hubungan yang signifikan.
Untuk penilaian akurasi didapatkan 97,94%, Sensitifitas 98,95%, Spesifisitas
96,97%, Nilai Duga Positif 96,91%, Nilai Duga Negatif 98,97%, Rasio
Kemungkinan Positif 33, Rasio Kemungkinan Negatif 0,01. Sehingga massa
amorf eosinofilik dengan partikel coklat sangat akurat dipakai sebagai kriteria
diagnostik untuk menyatakan sebagai gambaran sitologi sebagai tuberkulosis.

xxii
Universitas Sumatera Utara
ABSTRACT

Background
Examination of AFB sputum and X-ray photos has been used to identify
pulmonary TB sufferers. For extrapulmonary tuberculosis, fine needle aspiration
biopsy cytology is needed, although sometimes there is a picture that is not typical
of an eosinophilic mass with dark brown particles suspected of being TB. This
study will prove that eosinophilic mass with brown particles is accurately used as
a new criterion for TB cytology diagnostics.
Method
Through fine needle aspiration biopsy technique, it was stained with Giemsa,
when there was an eosinophilic mass with dark brown particles, and confirmed by
PCR examination. As a comparison, other inflammation that is not TB is also
confirmed by PCR. Search for a relationship between eosinophilic amorphous
mass containing dark brown particles and M. tuberculosis. To assess the accuracy,
a diagnostic test assessed the sensitivity and specificity of eosinophilic mass with
dark brown particles with gold standard PCR examination.
Results
A significant correlation (p <0,01) was found between eosinophilic amorphous
mass containing dark brown particles and M. tuberculosis. Diagnosis of TB
cytology via eosinophilic amorphous mass containing dark brown particles gave
an accuracy of 97,94% with a sensitivity of 98,95% and specificity of 96,97%
when confirmed by PCR examination using M. tuberculosis DNA.
Conclusion
Eosinophilic mass containing accurate dark brown particles is used as a new
diagnostic criteria for TB cytology with high sensitivity and specificity when
confirmed by PCR examination.
Keywords: eosinophilic mass, brown particles, PCR, TB

xxiii
Universitas Sumatera Utara
ABSTRAK

Latar belakang
Pemeriksaan sputum BTA dan foto ronsen selama ini digunakan untuk
mengidentifikasi penderita TB paru. Untuk TB diluar paru, perlu dilakukan
sitologi biopsi aspirasi jarum halus, walaupun kadang-kadang dijumpai gambaran
yang tidak khas berupa massa eosinofilik dengan partikel coklat gelap yang
diduga sebagai TB. Penelitian ini akan membuktikan bahwa massa eosinofilik
dengan partikel coklat, akurat dipakai sebagai kriteria baru untuk diagnostik
sitologi TB.
Metode
Melalui teknik biopsi aspirasi jarum halus, diwarnai dengan Giemsa, bila dijumpai
massa eosinofilik dengan partikel coklat gelap, dan dikonfirmasi dengan
pemeriksaan PCR. Sebagai pembanding adalah radang lainnya yang bukan TB
juga dikonfirmasi dengan PCR. Dicari hubungan antara massa amorf eosinofilik
yang mengandung partikel coklat gelap dengan M.tuberculosis untuk menilai
akurasi dilakukan uji diagnostik menilai sensitifitas dan spesifisitas massa
eosinofilik dengan partikel coklat gelap dengan baku emas pemeriksaan PCR.
Hasil
Didapatkan hubungan yang signifikan (p<0,01) antara massa amorf eosinofilik
yang mengandung partikel coklat gelap dengan M.tuberculosis. Diagnostik
sitologi TB melalui gambaran massa amorf eosinofilik yang mengandung partikel
coklat gelap memberikan akurasi 97,94%dengan sensitifitas 98,95% dan
spesifisitas 96,97% bila dikonfirmasi dengan pemeriksaan PCR menggunakan
DNA M. tuberculosis.
Kesimpulan
Massa eosinofilik yang mengandung partikel coklat gelap akurat dipakai sebagai
kriteria baru diagnostik sitologi TB dengan sensitifitas dan spesifisitas yang tingi
bila dikonfirmasi dengan pemeriksaan PCR.
Kata kunci : massa eosinofilik, partikel coklat, PCR, TB

xxiv
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR ISI

Halaman
SAMPUL DEPAN ................................................................................................... i
SAMPUL DALAM ................................................................................................. ii
LEMBAR PRASYARAT GELAR ....................................................................... iii
LEMBAR PROMOTOR DAN CO-PROMOTOR ............................................... iv
LEMBAR PENGESAHAN ....................................................................................v
LEMBAR PENGUJI ............................................................................................. vi
LEMBAR PERSETUJUAN……………………………………………………..vii
UCAPAN TERIMA KASIH ................................................................................ viii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ............................................................................. xiv
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ...................................................xx
SUMMARY ......................................................................................................... xxi
RINGKASAN .................................................................................................... xxii
ABSTRACT ...................................................................................................... xxiii
ABSTRAK ......................................................................................................... xxiv
DAFTAR ISI ........................................................................................................xxv
DAFTAR TABEL ............................................................................................. xxvii
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xxviii
DAFTAR SINGKATAN ................................................................................... xxix
BAB I. PENDAHULUAN ......................................................................................1
1.1. Latar Belakang...............................................................................................1
1.2. Rumusan Masalah .........................................................................................7
1.3. Tujuan Penelitian ...........................................................................................7
1.3.1. Tujuan umum ..........................................................................................7
1.3.2. Tujuan khusus .........................................................................................7
1.4. Manfaat Penelitian .........................................................................................8
1.5. Orisinalitas .....................................................................................................9
1.6. Potensi Hak Atas Kekayaan Intelektual .......................................................9
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ...........................................................................10
2.1. Tuberculosis ................................................................................................10
2.1.1. Definisi..................................................................................................10
2.1.2. Epidemiologi .........................................................................................10
2.1.3. Etiologi..................................................................................................11
2.1.4. Patogenesis............................................................................................14
2.1.5. Perjalanan penyakit tuberculosis ..........................................................16
2.1.6. Morfologi ..............................................................................................19
2.1.6.1. Tuberculosis primer ......................................................................20
2.1.6.2. Tuberculosis sekunder ..................................................................22
2.1.7. Pemeriksaan tuberculosis .....................................................................28
2.2. Biopsi Aspirasi Jarum Halus Limfadenitis TB ............................................31

xxv
Universitas Sumatera Utara
2.3. Pemeriksaan Polymerase Chain Reaction ...................................................38
2.3.1. Prinsip umum PCR ...............................................................................38
2.3.2. PelaksanaanPCR ...................................................................................39
2.3.3. OptimasiPCR ........................................................................................45
2.3.4. Ringkasan proses PCR ..........................................................................48
2.3.5. Jenis-jenis PCR .....................................................................................50
2.3.6. Masa depan PCR...................................................................................51
2.3.7. PCR pada tuberculosis ..........................................................................51
2.4. Kerangka Teori ............................................................................................54
2.5. Kerangka Konsep ........................................................................................55
2.6. Variabel .......................................................................................................55
2.7. Definisi Operasional ....................................................................................55
2.8. Hipotesis ......................................................................................................59
BAB III. METODE PENELITIAN........................................................................60
3.1. Desain Penelitian ........................................................................................60
3.2. Tempat dan Waktu Penelitian .....................................................................60
3.3. Populasi dan Sampel....................................................................................60
3.4. Kriteria Seleksi Sampel ...............................................................................60
3.4.1. Kriteria inklusi ......................................................................................60
3.4.2. Kriteria ekslusi ......................................................................................61
3.5. Kerangka Operasional .................................................................................62
3.6. Pengumpulan Data.......................................................................................63
3.6.1. Aspirasi biopsi ......................................................................................63
3.6.2. PCR .......................................................................................................64
3.6.2.1. Ekstraksi DNA ...............................................................................65
3.6.2.2. Proses melakukan PCR .................................................................66
3.7. Pengolahan Data dan Statistik .....................................................................67
3.8. Persyaratan Etik ...........................................................................................68
BAB IV. HASIL PENELITIAN ............................................................................69
BAB V. PEMBAHASAN ......................................................................................73
BAB VI. SIMPULAN DAN SARAN ....................................................................76
6.1. Simpulan ......................................................................................................76
6.2. Saran ............................................................................................................76
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................77
LAMPIRAN

xxvi
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman


4.1. Karakteristik sampel pada pasien dengan pemeriksaan PCR
TB positif dan TB negatif…………………………………... 69
4.2. Hubungan jenis aspirat dengan PCR………………………… 70

xxvii
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman


2.1. Tuberculosis paru primer.…………………………..……… 14
2.2. Spektrum tuberculosis….………………………..……………. 16
2.3. Epiteloid………...………………………………………………... 21
2.4. Tuberkel………………………….………………………….. 22
2.5. Tuberculosis paru sekunder…..……………………………… 23
2.6. Penyebaran bakteri Tuberculosis…...………………………... 24
2.7. Epiteloid yang memanjang…..………………………………. 28
2.8. Sitologi sputum tampak sel Langhan’s…………….………... 28
2.9. Sitologi aspirasi jarum halus tuberculosis……………...……... 29
2.10. Proses PCR………………………………………………………... 49
2.11. Kerangka Teori………………………………………………. 54
2.12. Kerangka Konsep……………………………………………. 55
2.13. Sitologi massa eosinofilik…..…………………………….…. 56
2.14. Sitologi radang akut (abses bukan TB)……………………… 57
2.15. Sitologi giant cell pada TB klasik…………………………… 58
2.16. Sitologi sel epiteloid pada TB ekstra paru…………………. 58
3.1. Kerangka Operasional..……………………………………. 62
3.2. Teknik Biopsi Aspirasi Jarum Halus………………………… 63
4.1. Massa Amorf Eosinofilik yang diduga TB.……………….. 71
4.2. Abses …………………………………………………….….. 71
4.3. Radang Kronik Tidak Spesifik.......………… 71
4.4. PCR M. tuberculosis 165 base pairs……………………………. 72

xxviii
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR SINGKATAN

AFB : Acid-Fast Bacilli


DNA : Deoxyribo Nucleic Acid
FNA : Fine Needle Aspiration /Aspirasi Biopsi Jarum Halus
HIV/AIDS : Human Immunodeficiency Virus/Aquired Immuno Deficiency
Virus
IHC : Immunohistochemy/Imunohistokimia
NRAMP1 : Natural Resistance-Associated Macrophage Protein 1
NTM : Non Tuberculous Mycobacteria
PCR : Polymerase Chain Reaction
TB : Tuberculosis

xxix
Universitas Sumatera Utara
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. LATARBELAKANG

Tuberculosis atau sering disebut TB masih menjadi masalah utama di

Indonesia, sebagai negara kedua yang mempunyai kasus terbanyak di dunia.

Berdasarkan laporan WHO 2017 diperkirakan ada 1.020.000 kasus di Indonesia,

namun baru terlaporkan ke Kementerian Kesehatan sebanyak 420.000 kasus. TB

juga menempati urutan keempat terbanyak dalam penyebab kematian di

Indonesia. Oleh sebab itu perlu diteliti lebih dalam baik untuk diagnostik maupun

terapi. TB kelenjar getah bening (limfadenitis TB) merupakan salah satu bentuk

TB ekstra paru, selain dapat juga mengenai pleura, selaput otak, selaput jantung,

tulang, persendiaan, kulit, usus dan sistem urogenital.(WHO, 2017)

Limfadenitis TB terkait dengan TB paru (Bezabih, 2002). Pada pasien

TB kelenjar getah bening, Reviglione (2008) mendapatkan kurang dari 40%

dijumpai TB paru melalui foto rontgent, sedangkan Barbara (2011) mendapatkan

26,7% pasien TB kelenjar mengalami kelainan TB paru pada foto rontgent-nya.

Diagnosis limfadenitis TB dapat ditegakkan dengan pemeriksaan sitologi

melalui aspirasi biopsi jarum halus/Fine Needle Aspiration Biopsy (Abdissa,

2014). Kriteria diagnostik yang selama ini digunakan untuk menegakkan

diagnosis TB secara sitologi adalah dijumpainya kelompokan sel histiosit tipe

epiteloid dan sel-sel datia berinti banyak dari tipe Langhans (Mittal P et al,,

2011). Sarwar A. et al,, (2004) menyebutkan bahwa pada limfadenitis TB selain

adanya sel datia tipe Langhans juga dijumpai nekrosis kaseosa.

1
Universitas Sumatera Utara
2

Dalam praktek sehari-hari banyak kasus pembesaran kelenjar getah

bening leher terutama pada anak-anak (Fanny, 2012) yang secara klinis

didiagnosis sebagai limfadenitis kronis. Pasien ini biasanya telah mendapat

pengobatan antibiotik biasa dalam waktu yang cukup lama kadang-kadang lebih

dari dua minggu, namun pembengkakan tidak mengecil, malah bertambah besar,

sehingga menyulitkan dokter yang merawat. Pasien seperti ini sering dirujuk ke

laboratorium patologi dan bila pasien ini dilakukan aspirasi, maka secara sitologi

dapat dijumpai struktur berupa massa eosinofilik disertai adanya partikel coklat

gelap. Sebagai studi pendahuluan, peneliti telah memberikan pengobatan spesifik

pada 50 penderita dengan massa ini, dan kesemua penderita dapat disembuhkan.

Di samping itu bila aspirat biopsi kelenjar yang mengadung massa ini dibiakkan,

maka aspirat ini dapat menumbuhkan M.tuberculosis. (Lubis et al,, 2008)

Pada pemeriksaan sitologi tidak selalu dijumpai gambaran yang khas

untuk suatu lesi TB yang klasik (khas seperti adanya epiteloid). Gupta SK et al,,

(1993) menjelaskan tentang gambaran morfologi sitologi TB kelenjar getah

bening, yang dibagi atas: 1. Dominan nekrosis. 2. Granuloma yang mengandung

perkijuan sel epiteloid dan sel datia (giant cell). 3. Granuloma dengan sel

epiteloidnon perkijuan tanpa sel datia. 4. Sel epiteloid yang sangat sedikit

(Hemalatha, 2014). Hasil kultur sering dijumpai positif pada pada tipe 1 dari pada

2, 3 dan 4. Staining Acid-Fast Bacilli (AFB) juga paling tinggi pada tipe 1, diikuti

tipe 2, 3, sedangkan pada tipe 4 staining dan kultur didapati negatif. Dijumpai

juga 7,8% smearAFBpositif tapi kultur negatif. Kultur yang negatif tidak

menyingkirkan adanya tuberculosis, untuk itu perlu teknik lain (Chaudari, 2016)

untuk menjadi gold standart, walaupun selama ini histopatologi menjadi

Universitas Sumatera Utara


3

pegangan tapi tidak dapat menyingkirkan kelainan akibat infeksi yang bukan

tuberculosis (Gupta, 1993). Mitra (2017) juga membagi hasil pemeriksaan

sitologi TB atas granuloma epiteloid tanpa nekrosis, granuloma epiteloid dengan

nekrosis dan nekrosis tanpa granuloma epiteloidsehingga tidak mudah untuk

menegakkan diagnosis TB secara sitologi.

Kemampuan untuk mendeteksi secara akurat infeksi M.tuberculosis

menjadi sangat penting untuk mengendalikan epidemi tersebut (Fadila, 2016).

Diperlukan peningkatan sumberdaya manusia termasuk kemampuan tenaga

kesehatan dalam penemuan kasus dan penanggulangannya agar dapat

menurunkan penularannya. (Delyuzar, 2006)

Cara yang cepat menentukan infeksi M.tuberculosis akan membantu

deteksi dini pada pasien tersangka TB dan segera diikuti penatalaksanaan yang

tepat (Lalvani, 2001). Selain peran pengawas menelan obat, deteksi dini juga

berperan pada keberhasilan penatalaksanaan TB. (Aslam, 2016)

Peneliti tertarik untuk melakukan penelitian ini untuk mendapatkan

informasi dengan adanya gambaran bercak gelap dengan massa eosinofilik pada

pasien yang tidak dapat diobati dengan antibiotik non TB, apakah massa

eosinofilik dengan partikel coklat gelap ini dapat dijadikan sebagai kriteria untuk

menegakkan diagnosis penyakit tuberculosis. Disamping itu sepanjang yang

peneliti ketahui belum pernah massa seperti ini dipakai sebagai kriteria diagnostik

dalam kepustakaan-kepustakaan sebelumnya di tempat lain walaupun peneliti

bersama tim pernah melakukan penelitian tentang gambaran bercak gelap dengan

massa eosinofilik dengan teknik imunohistokimia. (Eliandy et al,, 2010 dan Lubis

et al,, 2010)

Universitas Sumatera Utara


4

Peneliti ingin mengetahui apakah massa eosinofilik dengan partikel

coklat gelap ini merupakan proses tuberculosis yang berhubungan dengan

pengobatan dini, ataukah akibat penurunan sistem imun. Menurut Raviglione dan

O’Brien (2010) pada pasien HIV gambaran granuloma biasanya tidak ditemukan,

padahal granuloma merupakan ciri khas pada lesi TB (Ehlers, 2013).

Penelitian pendahuluan telah dilakukan sebelumnya. Peneliti bersama tim

(Eliandy et al,, 2010) telah meneliti dari 24 sampel penderita limfadenitis TByang

disertai HIV/AIDS dengan memakai teknik aspirasi biopsi dan imunohistokimia.

Ditemukan gambaran dark specks (massa eosinofilik partikel coklat gelap) yang

tidak khas sebagai TB biasa pada 4 sediaan biopsy aspirasi pada kadar CD4

< 200. Ada kecendrungan munculnya dark specks berhubungan dengan turunnya

immunitas pasien, namun setelah diuji secara statistik tidak signifikan, dengan

nilai p>0,05. Didapatkan kesimpulan tidakada hubungan munculnya dark specks

dengan kadar CD4 penderita limfadenitis TB yang disertai HIV/AIDS. Hasil ini

mungkin karena sampel yang masih sedikit.

Penelitian lain mendapatkan dari 51 penderita limfadenitis TB yang

disertai HIV/AIDS di RS Haji Adam Malik dari Januari 2010 sampai Oktober

2012, hanya 56,9% yang mempunyai gambaran khas yaitu adanya epiteloid,

limfosit dan nekrosis.Sedangkan 43,1% ditemui hanya adanya massa amorf

eosinofilik dengan partikel coklat gelap. (Meuthia, Delyuzar, 2012)

Penelitian tentang respon pengobatan pada lesi massa amorf eosinofilik

telah dilakukan sebelumnya. Penelitian dilakukan pada lesi dengan gambaran

bercak-bercak gelap dengan massa amorf eosinofilik dibandingkan dengan baku

emas berupa respon terapi anti tuberculosis, sensitifitas didapatkan sebesar 95%,

Universitas Sumatera Utara


5

spesifisitas 75%, nilai duga positif 95%, nilai duga negatif 75%, nilai duga positif

95%, nilai duga negatif 75% dan prevalensi 84%. (Lubis et al,, 2010)

Menurut Baek (2000) selain pemeriksaan jaringan (histopatologi klasik)

pemeriksaan biologi molekuler untuk TB seperti PCR (Polymerase Chain

Reaction) dan imunohistokimia (IHK) terus berkembang. Ahmad (2003) meneliti

pemeriksaan FNAB dan Elisa dalam menegakkan diagnosis tuberculosis. Krisna,

Singh, et al,, (2000) menguji pemeriksaan histopatologi klasik yang dibandingkan

dengan PCR sebagai baku emas didapatkan sensitifitas 92%, spesifitas 37%, nilai

duga positif 60% dan nilai duga negatif 81%. Pemeriksaan imunohistokimia

mempunyai ketepatan yang lebih akurat daripada histopatologi klasik (Goel et al,,

2007). Purohit (2007) dengan memakai PCR sebagai baku emas mendapatkan

teknik imunohistokimia anti-MPT64 pada TB di abdomen dan kelenjar getah

bening masing-masing sensitifitas, spesifitas, nilai duga positif dan nilai duga

negatifadalah 92%, 97%, 98%, dan 85%, (Purohit et al,, 2007). Imunohistokimia

dengan anti-MPT64 anti serum dapat dilakukan relatif cepat, sensitif, dan spesifik

untuk menetapkan diagnosis TB. (Tubbs et al,, 2009)

Sebelum ini peneliti bersama peneliti lain telah melakukan penelitian

awal untuk massa eosinofilik dengan partikel coklat gelap dengan memakai teknik

imunohistokimia sebagai pembanding diagnosis biopsi aspirasi. Peneliti bersama

tim memakai teknik imunohistokimia dengan sampel penelitian sebanyak 100

kasus yang didiagnosis secara sitologis sebagai suspek limfadenitis TB dengan

gambaran badan-badan kecil berbentuk oval gelap di dalam kelompokan

makrofag dan massa eosinofilik dengan partikel bercak-bercak gelap. Peneliti

kemudian membandingkan gambaran diatas dengan limfadenitis non spesifik

Universitas Sumatera Utara


6

berupa radang kronik dan abses yang jelas bukan merupakan infeksi TB. Semua

sediaan diperiksa tampilan antigennya dengan menggunakan rabbit polyclonal to

Mycobacterium tuberculosis antibody (ab905), AbcaM. Gambaran

Mycobacterium tuberculosis dengan memakai pewarnaan imunohistokimia (IHK)

rabbit polyclonal to Mycobacterium tuberculosis antibody (ab905), Abcam,

terlihat positif pada 14 kasus dengan badan-badan kecil berbentuk oval gelap di

dalam kelompokan makrofag, 21 kasus dengan massa amorf eosinofilik dengan

bercak-bercak gelap, 1 kasus radang kronik non spesifik, dan 7 kasus dengan

abses. Ditemukan adanya perbedaan jumlah tampilan IHK positif pada lesi dengan

badan-badan kecil berbentuk oval gelap di dalam kelompokan makrofag, dengan

radang kronik nonspesifik. Dijumpai juga ada perbedaan proporsi jumlah tampilan

IHK positif pada lesi bercak-bercak gelap dengan massa amorf bergranul halus

eosinofilik dibandingkan dengan abses. (Lubis et al,, 2010)

Pada penelitian ini, untuk menentukan apakah massa eosinofilik dengan

partikel coklat gelap melalui teknik biopsi aspirasi ini memang merupakan proses

tuberculosis. Peneliti memakai teknik PCR (Polymerase Chain Reaction) sebagai

baku emas, yang lebih spesifik dari berbagai metode di atas.

Sebagai baku emas, dalam penelitian ini teknik PCR dipakai karena

peneliti lain sebelumnya membuktikan bahwa diagnosis dengan teknik PCR

sangat diperlukan untuk membuktikan apakah sediaan itu merupakan TB

walaupun staining Acid-Fast Bacilli (AFB) dan kulturnya negatif. (Li et al,, 2001)

Penelitian ini mengikuti referensi American Type Culture Collection

(ATCC; Rockville, Md.) yang menggunakan amplifikasi PCR sesuai dengan

instruksi ATCC: M.tuberculosis ATCC 25177 (Pao, 1990). PCR untuk

Universitas Sumatera Utara


7

tuberculosis mempunyai 2 pasangan target primer yang berbeda yaitu untuk

encoding gen 16S ribosomal RNA (untuk seluruh mycobacteria) dan insersi

sequence (yang spesifik untuk M. tuberculosis complex) dan penelitian ini

memakai primer yang spesifik untuk M. Tuberculosis complex. (Tubbs et al,,

2009)

1.2. RUMUSAN MASALAH

Adanya kesulitan dalam diagnosis sitologi dengan gambaran yang tidak

khas untuk tuberculosis tetapi hanya gambaran massa amorf eosinofilik dengan

partikel gelap, yang tidak dapat diobati dengan antibiotik non spesifik. Perlu

dibuktikan gambaran sitologi massa eosinofilik dengan partikel coklat gelap

mengandung fragmen DNA tuberculosis pada pemeriksaan PCR. Apakah

gambaran massa eosinofilik dengan partikel coklat gelap berhubungan dengan lesi

tuberculosis?

1.3. TUJUAN PENELITIAN

1.3.1. Tujuan Umum

Mendapatkan kriteria baru untuk gambaran sitologi diagnosis tuberculosis dengan

biopsi aspirasi jarum halus.

1.3.2. Tujuan Khusus:

1. Mengetahui karakteristik penderitayang diduga limfadenitis TB dengan

gambaran sitologi massa amorf yang mengandung partikel coklat gelap.

2. Menilai hubungan sitologi limfadenitis massa amorf eosinofilik yang

Universitas Sumatera Utara


8

mengandung partikel coklat gelap dengan mycobacterium tuberculosis

melalui pemeriksaan PCR.

3. Mendapatkan nilai akurasi sitologi pemeriksaan aspirasi biopsi jarum

halus (FNAB) dengan gambaran massa amorf eosinofilik yang diduga

tuberculosis dengan gold standart PCR.

1.4. MANFAAT PENELITIAN

Penelitian ini bermanfaat antara lain :

a. Manfaat Teori

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang

hubungan gambaran sitologi massa amorf eosinofilik dengan keberadaan

M. tuberculosis sebagai ciri lain dalam menegakkan diagnosis TB.

b. Manfaat Aplikatif

Dapat membantu menangani kasus TB kelenjar getah bening

(limfadenitis spesifik tuberculosis) lebih cepat (bisa selesai dalam

beberapa menit), murah (tidak membutuhkan biaya kamar operasi dan

anastesi seperti pada biopsi jaringan melalui pembedahan), mudah (tanpa

persiapan yang rumit seperti operasi) dan akurat (bila dikerjakan oleh

seorang ahli sitologi yang kompeten) untuk keberhasilan pengobatan.

c. Manfaat Bagi Institusi

Untuk mempermudah menegakkan diagnosisTB kelenjar (limfadenitis

spesifik tuberculosis) termasuk dengan gambaran yang tidak khas.

d. Manfaat Bagi Masyarakat

Peningkatan pelayanan kesehatan yang lebih cost effective (karena

Universitas Sumatera Utara


9

biayanya jauh lebih murah daripada biopsi bedah)

e. Manfaat Bagi Pengembangan Ilmu dan Penelitian

Sebagai rujukan penelitian berikutnya berkaitan dengan TB.

1.5. ORISINILITAS

Belum ada penelitian tentang massa eosinofilik dengan partikel coklat

gelap dihubungkan dengan keberadaan M. tuberculosis yang dibuktikan melalui

teknik PCR sebagai baku emas. Sebelumnya peneliti bersama peneliti lain telah

pernah melakukan penelitian tentang massa eosinofilik dengan partikel coklat

gelap dengan teknik imunohistokimia tetapi mendapatkan berbagai kritikan

karena melihat reaksi antigen-antibodi pada sel yang tidak utuh sehingga perlu

dibuktikan lagi dengan teknik PCR.

1.6. POTENSI HAK ATAS KEKAYAAN INTELEKTUAL

Kriteria baru diagnostik sitologi tuberculosis dengan ditemukannya

gambaran massa eosinofilik dengan partikel coklat gelap melalui aspirasi biopsi

jarum halus. Ini mempunyai potensi hak atas kekayaan intelektual terhadap

kriteria baru dalam menegakkan tuberculosis secara sitologi yang tidak khas.

Universitas Sumatera Utara


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. TUBERCULOSIS

2.1.1. Definisi

Menurut Dorland (2002) tuberculosis adalah setiap penyakit menular

pada manusia dan hewan yang disebabkan oleh Mycobacterium sp, dan ditandai

dengan pembentukan tuberkel dan nekrosis kaseosa pada jaringan. Tuberculosis

kelenjar atau limfadenitis TB adalah peradangan satu atau lebih kelenjar getah

bening yang biasanya disebabkan oleh fokus infeksi primer di tempat lain.

Sedangkan Dye et al, (1998) menyebutkan Tuberculosis (TB) adalah

suatu penyakit granulomatosa kronis menular yang disebabkan oleh

Mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini biasanya mengenai paru tetapi mungkin

menyerang semua organ atau jaringan di tubuh. Biasanya bagian tengah

granuloma tuberkuler mengalami nekrosis perkijuan.

2.1.2. Epidemiologi

Pada mereka yang kekurangan secara ekonomis diseluruh dunia

(Glaziou, 2013), penyakit tuberculosis tetap menjadi penyebab utama kematian.

Saat ini diperkirakan sekitar 25.000 kasus baru dengan tuberculosis aktif terjadi di

AS setiap tahun, dan hampir 40% terjadi pada imigran dari negara yang

prevalensi tuberculosisnya tinggi. Tuberculosis tumbuh subur apabila terdapat

kemiskinan, kepadatan penduduk dan penyakit kronis yang menyebabkan

dibilitas. Demikian juga, orang berusia lanjut dengan daya tahan melemah, rentan

10
Universitas Sumatera Utara
11

terjangkit penyakit ini (Dyeet al,,1998). Di dunia dijumpai 10,4 juta kasus baru,

Indonesia menurut estimasi dijumpai 1 juta kasus baru pertahun. (WHO, 2017)

Tuberculosis masih menjadi masalah kesehatan di Indonesia maupun

dunia. Angka kematian dan kesakitan akibat kuman Mycobacterium tuberculosis

ini pun tinggi. Tahun 2009, 1,7 juta orang meninggal karena TB (600.000

diantaranya perempuan) sementara ada 9,4 juta kasus baru TB (3,3 juta

diantaranya perempuan). Sepertiga dari populasi dunia sudah tertular dengan TB

dimana sebagian besar penderita TB adalah usia produktif (15-55 tahun). Setiap

tahunnya jumlah kasus baru TB di Indonesia bertambah 25% dan sekitar 140.000

kematian di Indonesia setiap tahunnya karena TB (Kemenkes RI, 2011).

Diperkirakan bahwa diseluruh dunia 1,7 milyar orang terinfeksi, 8-10 juta kasus

baru dan 3 juta kematian pertahun (Dye et al,, 1999). WHO memperkirakan

tuberculosis menyebabkan 6% dari semua kematian diseluruh dunia, penyebab

tersering kematian akibat infeksi tunggal. (Dye et al,, 1998)

Tuberculosis pada kelenjar getah bening leher di RS Haji Adam Malik

tahun 2009 di dapatkan 147 kasus, atau 34,03% dari 432 kasus limfadenopati.

Ditemukan sebanyak 19,73% dari tuberculosis pada kelenjar getah bening yang

disertai dengan infeksi HIV/AIDS (Eliandy et al,, 2010).

2.1.3. Etiologi

Tuberculosis disebabkan oleh bakteri aerobik berbentuk batang,

Mycobacterium tuberculosis dari famili Mycobacteriaceae dan ordo

Actinomycetales. Mycobacterium adalah organisme berbentuk batang tahan asam

(mengandung banyak lemak kompleks dan mudah mengikat pewarna Ziehl-

Universitas Sumatera Utara


12

Neelsen). M. Tuberculosis hominis merupakan penyebab sebagian besar kasus

tuberculosis, reservoar infeksi biasanya ditemukan pada manusia dengan penyakit

paru aktif. Mikroorganisme lain dalam kompleks Mycobacterium adalah M. bovis,

M. caprae, M. africanum, M. microti, M. Pinnipedii dan M. cannettii.

(Raviglione, 2008). Penularan biasanya langsung, melalui inhalasi organisme di

udara dalam aerosol yang dihasilkan oleh ekspektorasi atau pajanan ke droplet

pasien yang terinfeksi. Tuberculosis orofaring dan usus yang berjangkit melalui

susu yang tercemar oleh M. bovis kini jarang ditemukan di negara berkembang,

tetapi masih ditemukan di negara yang memiliki sapi perah yang mengidap

tuberculosis dan susu yang tidak dipasteurisasi. (Dye et al,, 1999)

Baik spesies M. hominis maupun M. bovis, adalah aerob obligat yang

pertumbuhannya terhambat oleh pH < 6,5 dan asam lemak rantai panjang. Oleh

karena itu, basil tuberculosis sulit ditemukan dibagian tengah lesi perkijuan besar

karena terdapat anaerob, pH rendah dan kadar asam meningkat. Oleh

Mycobacterium lain terutama M. avium-intracellulare, jauh kurang virulen

dibandingkan dengan M. tuberculosis serta jarang menyebabkan penyakit pada

individu imunokompeten. Namun pada pasien dengan AIDS, strain ini sering

ditemukan mengenai 10% - 30% pasien. (Dye et al,, 1999)

Secara umum bukti infeksi jika terjadi adalah nodus fibrokalsifik kecil di

tempat infeksi. Organisme mungkin tetap dorman di fokus tersebut selama

berpuluh tahun dan mungkin seumur hidup host. Orang tersebut tidak mengidap

penyakit aktif sehingga tidak dapat menularkan ke orang lain. Namun jika

pertahanan tubuh menurun, infeksi dapat mengalami reaktivasi dan menyebabkan

penyakit menular yang berpotensi mengancam jiwa. (Reichman, 1996)

Universitas Sumatera Utara


13

Infeksi oleh M. tuberculosis biasanya menimbulkan hipersensitifitas tipe

lambat, yang dapat dideteksi dengan uji tuberkulin (Mantoux). Sekitar 2-4 minggu

setelah infeksi dimulai, penyuntikan intrakutan 0,1 ml PPD memicu terbentuknya

indurasi yang terlihat dan teraba (diameter >5 mm) serta memuncak pada 48-72

jam. Uji tuberkulin positif mengisyaratkan hipersensitifitas tipe lambat terhadap

antigen tuberculosis. Telah banyak diketahui bahwa reaksi negatif palsu dapat

ditimbulkan oleh infeksi virus tertentu, sarkoidosis, malnutrisi, penyakit Hodgkin,

imunosupresi, dan penyakit tuberculosis aktif yang luas. Reaksi positif palsu juga

dapat terjadi akibat infeksi oleh Mycobacterium atipik. (Lalvani et al,, 2001)

Di dinding sel Mycobacterium di temukan lipid, protein dan polisakarida.

Sel Mycobacterium dapat menunda hipersensitifitas dan beberapa diantaranya

resisten terhadap infeksi. Lipid pada Mycobacterium berikatan dengan protein dan

polisakarida, termasuk asam mikolat (asam lemak rantai panjang C78-C90), bahan

lilin dan pospatida. Muramil dipeptida (dari peptidoglikan) yang diperkaya

dengan asam mikolat dapat menyebabkan nekrosis kaseosa. Strain basil tuberkel

yang virulen membentuk korda serpentin mikroskopik. Pembentukan korda

dihubungkan dengan virulensi. Sebuah ”faktor korda” (trehalosa-6,6’-dimikolat)

telah diekstrak dari basil virulen dengan petrolium eter. Ini menghambat sekresi

migrasi leukosit, menyebabkan granuloma kronik dan dapat bertindak sebagai

imunologi ”adjuvant”. Masing-masing tipe mycobacterium berisi beberapa protein

yang mendatangkan reaksi tuberkulin. Mereka juga dapat menyebabkan

hipersensitifitas tipe cepat dan dapat bertindak sebagai antigen dalam reaksi

dengan serum orang yang terinfeksi. (Brooks et al,, 2005)

Universitas Sumatera Utara


14

2.1.4. Patogenesis

Patogenesis TB pada individu yang belum pernah terpajan berpusat pada

pembentukan imunitas seluler yang menimbulkan resistensi terhadap organisme

dan menyebabkan terjadinya hipersensitifitas jaringan terhadap antigen

tuberkular. Gambaran patologik tuberculosis, seperti granuloma perkijuan dan

kavitasi terjadi akibat hipersensitifitas jaringan yang destruktif yang merupakan

bagian penting dari respon imun host. (Robbin, Cotran, 2003)

Gambar 2.1.Tuberculosis paru primer, yang dimulai dari inhalasi strain virulen
Mycobacterium dan memuncak pada terbentuknya imunitas dan hipersensitifitas
tipe lambat terhadap organisme. A.kejadian yang berlangsung dalam 3 minggu
pertama setelah pajanan; B.kejadian sesudahnya. Terbentuknya resistensi terhadap
organisme diikuti oleh uji tuberkulin yang positif (Robbin,Cotran, 2003)

Universitas Sumatera Utara


15

Rangkaian terjadinya tuberculosis primer berturut-turut akan dijelaskan

berikut ini. Setelah strain virulen mikobakteri masuk kedalam endosom makrofag,

organisme mampu menghambat respon mikroba normal dengan memanipulasi pH

endosom dan menghentikan pematangan endosom. Hasil akhir manipulasi

endosom adalah gangguan fagolisosom efektif sehingga mikrobakteri

berproliferasi tanpa terhambat. Telah ditemukan suatu gen yang disebut NRAMP1

(Natural Resistance-Assosiated Macrophage Protein 1) diperkirakan berperan

pada perkembangan TB (Bellamy, 1998). Protein NRAMP1 adalah satu protein

transmembrane di endosom dan lisosom yang memompa kation divalent ke dalam

lisosom. Polimorfisme tertentu pada alel NRAMP1 telah dibuktikan berkaitan

dengan peningkatan insiden tuberculosis (terutama orang Amerika-Afrika). Oleh

karena itu fase dini pada TB primer (<3 minggu) ditandai dengan proliferasi basil

tanpa hambatan dari makrofag alveolus dan rongga udara sehingga terjadi

bakteriemia dan penyebaran di banyak tempat. (Robbin, Cotran, 2003)

Timbulnya imunitas seluler sekitar 3 minggu setelah terpajan. Antigen

mikobakterium yang telah diproses mencapai kelenjar getah bening regional dan

disajikan dalam konteks histokompatibilitas mayor oleh makrofag ke sel T CD4+

incommitted yang memiliki reseptor sel Tαβ. Di bawah pengaruh IL-12 yang

dikeluarkan oleh makrofag, sel THO mengalami pematangan menjadi sel T CD4+

subtipe TH1 yang mampu mengeluarkan IFN-γ. IFN-γ sangat penting untuk

mengaktifkan makrofag yang akan mengeluarkan berbagai mediator dengan efek

penting. TNF berperan merekrut monosit yang pada gilirannya akan

berdiferensiasi menjadi histiosit epiteloid yang menandai respon granulomatosa.

IFN-γ mengaktifkan gen iNOS (inducible Nitric Oxide Synthase/i) yang

Universitas Sumatera Utara


16

menyebabkan meningkatnya kadar Nitrat Oksida di tempat infeksi. NO

menyebabkan terbentuknya zat antara nitrogen reaktif dan radikal bebas lain yang

menimbulkan kerusakan oksidatif pada konsituen mikobakteri. Selain

mengaktifkan makrofag, sel T CD4+ juga mempermudah terbentuknya sel T

sitotoksik CD8+ yang dapat mematikan makrofag yang terinfeksi oleh

tuberculosis (Robbin, Cotran, 2003). Secara singkat imunitas terhadap infeksi

tuberculosis diperantarai oleh sel T dan ditandai dengan pembentukan

hipersensitifitas dan munculnya resistensi terhadap organisme. (Subowo, 2009)

2.1.5. Perjalanan Penyakit Tuberculosis

Berbagai pola tuberculosis diperlihatkan pada gambar dibawah ini :

Gambar 2.2.Spektrum tuberculosis (by Dr. R. K. Kumar, The University of New


South Wales, School of Pathology, Sydney, Australia.)

Universitas Sumatera Utara


17

Tuberculosis primer adalah bentuk penyakit yang terjadi pada orang yang

belum pernah terpajan (sehingga tidak pernah tersensitisasi). Pasien berusia lanjut

dan pengidap imunosupresi berat mungkin kehilangan sensitifitas mereka

sehingga dapat menderita tuberculosis primer lebih dari sekali. Pada tuberculosis

primer sumber organisme adalah eksogen. Sekitar 5% dari mereka yang baru

terinfeksi kemudian memperlihatkan gejala penyakit (Robbin, Cotran, 2003).

Beberapa faktor resiko yang menyebabkan tuberculosis primer yang asimptomatik

menjadi aktif ditentukan oleh faktor usia, status imun, gangguan gizi seperti

malnutrisi, malabsorbsi, paska gastrektomi dan juga peminum alkohol, juga

terjadi pada pemberian pengobatan steroid yang lama, penggunaan kemoterapi

sitotoksik, dan silikosis. Tinggal pada daerah yang terlalu padat dan ventilasi yang

buruk dapat meningkatkan resiko terinfeksi tuberculosis. (Mason, 2005)

Tuberculosis sekunder atau paska primer merupakan pola penyakit yang

terjadi pada host yang telah tersensitisasi. Penyakit ini mungkin terjadi segera

setelah tuberculosis primer, tetapi umumnya muncul karena reaktivasi lesi primer

dorman beberapa dekade setelah infeksi awal, terutama jika resisten pejamu

melemah. Penyakit ini juga dapat terjadi akibat reinfeksi eksogen karena

berkurangnya proteksi yang dihasilkan oleh penyakit primer atau karena besarnya

inokulum basil hidup. Reaktivasi tuberculosis endogen lebih sering terjadi di

daerah dengan prevalensi rendah, sedangkan reinfeksi berperan penting di daerah

yang berprevalensi tinggi. Dari manapun sumber organismenya, hanya beberapa

pasien (<5%) dengan penyakit primer yang kemudian mengalami tuberculosis

sekunder. (Robbin, Cotran, 2003)

Universitas Sumatera Utara


18

Tuberculosis sekunder lokal mungkin asimptomatik. Jika muncul,

manifestasi penyakit biasanya perlahan, secara perlahan timbul gejala sistemik

dan lokal. Gejala sistemik yang mungkin berkaitan dengan sitokin yang

dikeluarkan oleh makrofag aktif (misal TNF dan IL-1), sering muncul pada awal

perjalanan dan mencakup malaise, anoreksia, penurunan berat badan dan demam.

Umumnya demam ringan dan hilang timbul (muncul setiap malam dan kemudian

mereda) dan timbul keringat malam. Seiring dengan keterlibatan paru yang

semakin progresif, muncul sputum yang awalnya mukoid kemudian menjadi

purulen. Sekitar separuh kasus tuberculosis paru terjadi hemoptisis. Nyeri pleura

dapat terjadi akibat perluasan infeksi ke permukaan pleura. Manifestasi

tuberculosis diluar paru sangat banyak (Robbin, Cotran, 2003). Tuberculosis

sekunder harus selalu dipertimbangkan pada pasien positif-HIV yang

memperlihatkan penyakit paru. (Hoshino, 2007)

Perlu dicatat bahwa infeksi HIV berkaitan dengan peningkatan resiko TB

(Diedrich, 2011), manifestasi berbeda bergantung pada derajat imunosupresi.

Sebagai contoh pasien dengan imunosupresi yang tidak terlalu berat (CD4+ >300

sel/mm3) memperlihatkan tuberculosis sekunder biasa (penyakit di apeks dengan

kavitasi). Sebaliknya, pasien dengan imunosupresi tahap lanjut (hitung CD4+

<200 sel/mm3) memperlihatkan gambaran klinis yang mirip tuberculosis primer

progresif (konsolidasi lobus bawah dan tengah, limfadenopati hilus dan tidak ada

kavitas). Tingkat imunosupresi juga menentukan frekuensi keterlibatan jaringan di

luar paru, yang meningkat dari 10%-15% pada pasien dengan imunosupresi ringan

menjadi >50% pada mereka yang mengalami imunodefisiensi berat. Gambaran

atipikal lain pada pasien HIV yang menyebabkan diagnosis tuberculosis menjadi

Universitas Sumatera Utara


19

sulit adalah meningkatnya frekuensi hasil negatif pada apusan sputum dengan

pewarnaan tahan asam dibandingkan dengan kontrol negatif HIV (Iyengar, 2001),

PPD negatif palsu akibat anergi tuberkulin dan tidak adanya granuloma yang khas

di jaringan terutama pada stadium lanjut infeksi HIV (Robbin, Cotran, 2003).

2.1.6. Morfologi

Dua lesi penting pada Mycobacterium: Tipe Eksudat dan produktif. Tipe

eksudat berisi reaksi inflamasi akut, dengan cairan edema, leukosit

polimorfonuklear dan monosit di sekeliling basil tuberkel. Tipe ini nampak

khusus di jaringan paru-paru, dimana mirip dengan bakteri pneumonia. Ini dapat

sembuh dengan resolusi, maka ketika eksudat yang masuk diabsorsi,

menimbulkan nekrosis masif pada jaringan, atau dapat berkembang menjadi tipe

lesi kedua (produktif), Selama fase eksudat, tes tuberkulin menjadi positif. Tipe

produktif, ketika berkembang dengan penuh lesi ini merupakan granuloma kronik

terdiri dari 3 zona: (1) area sentral, sel raksasa (giant cell) multinuklear yang

berisi basil tuberkel. (2) zona sedang, sel epiteloid pucat, sering kali tersusun

radial (3) zona perifer fibroblas, limfosit dan monosit. Kemudian jaringan fibrous

periferal berkembang dan area sentral mengalami nekrosis perkijuan. Seperti lesi

yang dinamakan tuberkel, tuberkel kaseus dapat merusak dalam bronkus,

mengosongkan isinya disana, dan membentuk kavitas. Ini sembuh secara

berangkai dengan fibrosis dan kalsifikas. (Brooks et al,, 2005)

Dikenal 2 jenis tuberculosis berdasarkan waktu infeksinya. Yaitu

tuberculosis primer yang biasanya terjadi pada anak walaupun dapat terjadi pada

dewasa yang terbebas dari infeksi primer sebelumnya dan tuberculosis sekunder

Universitas Sumatera Utara


20

ataupun tipe reaktifasi.

2.1.6.1. Tuberculosis Primer

Tuberculosis primer hampir selalu berawal di paru. Biasanya basil yang

terhirup tersangkut di rongga udara distal di bagian bawah lobus atau bagian atas

lobus bawah, umumnya dekat ke pleura. Seiring dengan terbentuknya sensitisasi,

muncul daerah konsolidasi meradang berukuran 1-1,5cm, yaitu fokus Ghon. Pada

sebagian besar kasus, bagian tengah fokus ini mengalami nekrosis perkijuan. Basil

tuberkel baik bebas atau didalam fagosit, mengalir ke kelenjar regional, yang juga

sering mengalami perkijuan. Kombinasi lesi parenkim dan keterlibatan kelenjar

getah bening ini disebut kompleks Ghon. Pada sekitar 95% kasus, terbentuknya

imunitas seluler berhasil mengendalikan infeksi. Oleh karena itu, kompleks Ghon

mengalami fibrosis progresif, sering diikuti oleh kalsifikasi yang terdeteksi secara

radiologis (kompleks Ranke) dan meskipun menyebar ke organ lain, tidak

terbentuk lesi. Secara histologi, tempat keterlibatan aktif ditandai dengan reaksi

peradangan granulomatosa khas yang membentuk tuberkel perkijuan dan non

perkijuan. Setiap tuberkel berukuran mikroskopik, jika menyatu dalam jumlah

banyak, barulah granuloma tersebut terlihat secara makroskopis. Granuloma

biasanya terbungkus dalam satu cincin fibroblastik disertai limfosit, pada

granuloma, ditemukan sel raksasa berinti banyak. (Robbin, Cotran, 2003)

Universitas Sumatera Utara


21

Gambar 2.3. Tuberculosis paru primer, kompleks Ghon. Fokus parenkim abu-abu
putih terletak dibawah pleura di bagian bawah lobus atas. Di sebelah kiri tampak
kelenjar getah bening hilus dengan perkijuan. (Robbin, Cotran, 2003)

Gambar 2.3.Epiteloid yang berasal dari makrofag, Langhans giant cell, dengan
sebukan sel radang limfosit dan fibroblast. (Robbin, Cotran, 2003)

Universitas Sumatera Utara


22

Gambar 2.4. Tuberkel khas pada pembesaran lemah. (A) & (B) menggambarkan
perkijuan granular di tengah yang dikelilingi oleh sel epiteloid dan sel raksasa
berinti banyak. Kadang-kadang, bahkan pada pasien imunokompeten, granuloma
tuberculosis mungkin tidak memperlihatkan perkijuan di bagian tengah (C), oleh
karena itu tanpa melihat ada tidaknya nekrosis perkijuan, pewarnaan khusus untuk
organisme tahan asam harus selalu dilakukan jika dalam sediaan histologik
ditemukan granuloma. Pada orang dengan penekanan kekebalan, tuberculosis
mungkin tidak memicu respon granulomatosa (tuberculosis nonreaktif), namun
yang terlihat adalah lembaran-lembaran histiosit berbusa yang penuh mikobakteri
dan dapat dibuktikan dengan pewarnaan tahan asam (D) (Robbin, Cotran, 2003)

2.1.6.2. Tuberculosis Sekunder

Lesi awal biasanya merupakan suatu fokus kecil konsolidasi, diameter <

2 cm dalam 1-2 cm apeks pleura. Fokus ini berbatas tegas, padat, bewarna abu-

abu putih hingga kuning dengan derajat nekrosis perkijuan dan fibrosis perifer

bervariasi. Pada kasus yang ringan, fokus awal di parenkim mengalami fibrosis

progresif yang membungkus fokus sehingga hanya tertinggal jaringan parut

fibrokalsifik. Secara histologis, lesi aktif memperlihatkan tuberkel yang menyatu

Universitas Sumatera Utara


23

dengan perkijuan di tengah. Meskipun basil tuberculosis dapat dilihat dengan

metode yang tepat pada fase eksudatif dini dan kaseosa pembentukan granuloma,

basil biasanya mustahil ditemukan pada stadium lanjut fibrokalsifikan. (Robbin,,

Cotran, 2003)

Gambar 2.5. Tuberculosis paru sekunder. Tampak daerah nekrosis kaseosa


berwarna putih kecoklatan pada daerah atas paru dan tampak juga kavitasi pada
paru(Robbin, Cotran, 2003)

Universitas Sumatera Utara


24

Gambar 2.6. Penyebaran bakteri Tuberculosis (Widoyono, 2008)

Tuberculosis paru sekunder, lokal, apeks dapat sembuh dengan fibrosis

baik secara spontan atau setelah terapi atau penyakit dapat berkembang dan

meluas melalui beberapa jalur yang berbeda. Dapat terjadi tuberculosis paru

progesif. Lesi di apeks membesar disertai meluasnya daerah perkijuan. Erosi ke

dalam bronkus menyebabkan bagian tengah perkijuan keluar, menciptakan suatu

kavitas iregular yang dilapisi oleh bahan kaseosa yang kurang dibungkus oleh

jaringan fibrosa. Erosi pembuluh darah menyebabkan hemoptisis. Dengan terapi

yang adekuat, proses dapat terhenti, meskipun penyembuhan melalui fibrosis

sering mendistorsi arsitektur paru. Kavitas ireguler yang sekarang bebas dari

nekrosis perkijuan dapat menetap atau kolaps di fibrosis sekitarnya. Jika terapi

kurang memadai atau jika pertahanan host terganggu, infeksi dapat menyebar

secara langsung melalui saluran nafas, limfatik atau sistem vaskuler. Tuberculosis

paru miliaris terjadi jika organisme keluar melalui limfatik ke dalam duktus

Universitas Sumatera Utara


25

limfatikus, yang mengalirkan isinya ke dalam aliran vena menuju jantung dan

kemudian ke dalam arteri paru. Setiap lesi adalah fokus mikroskopik atau fokus

kecil (2mm) konsolidasi yang tersebar di seluruh parenkim paru. Lesi milier dapat

membesar dan menyatu sehingga menyebabkan konsolidasi hampir total lesi besar

atau bahkan lobus keseluruhan di paru. Jika tuberculosis paru progresif terus

berkembang, rongga pleura akan berkembang, rongga pleura akan terkena dan

dapat terjadi efusi pleura serosa, empiema tuberculosis atau pleuritis fibrosa

obliteratif. Dapat terjadi tuberculosis pada endobronkus, endotrakea, dan laring

jika bahan infeksiosa menyebar melalui saluran limfe atau dari bahan infeksiosa

yang dibatukkan. (Robbin, Cotran, 2003)

Tuberculosis milier sistemik terjadi jika fokus infeksi di paru mencemari

aliran balik vena paru ke jantung, organisme kemudian menyebar melalui sistem

arteri sistemik. Hampir setiap organ di tubuh dapat tersebar. Lesi mirip dengan

yang ditemukan di paru. Tuberculosis primer paling jelas di hati, sumsum tulang,

limpa, adrenal, meningen, ginjal, tuba fallopi dan epidermis. Tuberculosis organ

tersendiri dapat terjadi di setiap organ atau jaringan yang tersebar secara

hematogen dan mungkin merupakan manifestasi awal tuberculosis. Limfadenitis

merupakan bentuk tersering tuberculosis ekstra paru, biasanya terjadi di daerah

leher (skrofula). Pada individu negatif HIV, limfadenopati cenderung satu fokus

dan sebagian besar pasien tidak memperlihatkan tanda-tanda penyakit ekstra

nodus. Pasien HIV, di pihak lain hampir selalu memperlihatkan penyakit

multifokus, gejala sistemik dan adanya tuberculosis aktif di paru atau organ lain.

Keterlibatan kelenjar getah bening biasanya dijumpai pembesaran pada daerah

depan atau belakang leher maupun pada daerah supraclavicular. Ciri khas

Universitas Sumatera Utara


26

benjolannya adalah kenyal, tidak lunak dan tidak memerah terlihat di kulit. Pada

permulaan kelenjar ini tidak berfluktuasi, tapi dapat terjadi pernanahan ataupun

pecah dan terjadi lesi perkijuan dan berlanjut menjadi nekrosis. Bila tidak

mendapat pengobatan pembesaran pada kelenjer getah bening leher melunak dan

berfluktuasi, kulit menjadi merah dan dapat terlibat secara bilateral, pada keadaan

ini sering disertai keterlibatan paru-paru. Keterlibatan kelenjar getah bening ini

biasanya terjadi 6-9 bulan setelah terinfeksi oleh bakteri Mycobacterium

tuberculosis (Vandana Batra dan Ulfat Shaikh in Robbin, Cotran, 2003).

Limfadenitis tuberculosis adalah manifestasi lokal dari penyakit sistemik. Dapat

terjadi sebagai manifestasi tuberculosis primer ataupun reaktifasi fokus Ghon

yang dorman atau sebagai kelanjutan fokus Ghon yang aktif. Supraclavicular

lymphadenitis terjadi akibat penyebaran melalui saluran limfatik paru. Cervical

lymphadenitis merupakan manifestasi penyebaran dari infeksi tonsil, sinonasal

adenoid, dan osteomyelitis pada tulang ethmoid. (Mohapatra, 2009)

Gambar 2.8. Miliary tuberculosis pada spleen. Pada pemotongan tampak


granuloma berwarna putih kecoklatan. (Robbin, Cotran, 2003)

Universitas Sumatera Utara


27

Walaupun pada beberapa penelitian hubungan antara TB kelenjar dengan

TB paru masih terjadi perbedaan. Reviglione (2008) mengatakan kurang dari 40%

tuberculosis paru dijumpai pada foto rongent dari tuberculosis kelenjar.

Sedangkan Sonia Barbara OR dan Delyuzar (2011) mendapatkan 26,7% pasien

tuberculosis kelenjar yang mengalami kelainan TB paru melalui foto rontgent.

Abhimanyu (2011) meneliti hubungan genetik dari varian SP110 yang cenderung

menderita TB pada lymph node bukan tuberkulosis paru-paru.

Purba, Putri Gaby Yosephine, Delyuzar meneliti Karakteristik Penderita

Limfadenitis TB di Sentra Diagnostik Patologi Anatomik Fakultas Kedokteran

Universitas Sumatera Utara Tahun 2011. Dari hasil penelitian ini disimpulkan

karakteristik penderita limfadenitis tuberculosis yang dibiopsi aspirasi di Sentra

Diagnostik Patologi Anatomi FK USU adalah mayoritas berusia 20–50 tahun,

berjenis kelamin wanita dan mengeluhkan adanya gejala sistemik, sebagian besar

penderita memiliki pembesaran kelenjar berdiameter ≥2 cm, multiple, konsistensi

kenyal, tidak disertai adanya ulkus dan nyeri.

Menurut Sharma (2004) limfadenitisTB terbagi atas 5 stadium: Stadium

1 pembesaran kelenjar yang berbatas tegas, mobile dan diskret. Stadium 2

pembesaran kelenjar yang kenyal serta terfiksir ke jaringan sekitar oleh karena

adanya periadenitis. Stadium 3 perlunakan di bagian tengah kelenjar (central

softening) akibat pembentukan abses. Stadium 4 pembentukan collar-stud abcess.

Stadium 5 pembentukan traktus sinus.

Universitas Sumatera Utara


28

2.1.7. Pemeriksaan Tuberculosis

Nasiell et al, (1972) yang pertama kali memeriksa sputum dan sekret

bronkus penderita TB paru. Dijumpai komponen sel-sel tuberkel, epiteloid sel dan

Langhans’ giant cell pada sputum. Epiteloid sel biasanya terlihat pada

kelompokan seperti elongated shaped atau terkadang berbentuk spindel atau

carrot shaped dengan salah satu ujungnya lebih luas dari yang lain dan bentuknya

lebih kecil dari sel-sel bronkial. Memiliki eosinophilic sitoplasma dengan batas

sel kurang jelas dan inti yang pucat. (Robbin, Cotran, 2003)

Gambar 2.7. Epiteloid yang memanjang dan juga tampak seperti gambaran cerutu.
(Case Courtesy of the late Dr. Magnus Nasiel, Stockholm) Copyright@2006.
Lippincott Williams and Wilkins (Robbins, Cotran, 2003)

Gambar 2.8. Sitologi sputum tampak sel Langhan’s berinti banyak. (Case
Courtesy of the late Dr. Magnus Nasiel, Stockholm) Copyright@2006. Lippincott
Williams and Wilkins (Robbins, Cotran, 2003)

Universitas Sumatera Utara


29

Gambar 2.9. Sitologi aspirasi jarum halus tuberculosis pada kelenjar limfoid
leher. Tampak sel-sel epiteloid, limfosit dan fibroblast. (Case Courtesy of the late
Dr. Magnus Nasiel, Stockholm) Copyright@2006. Lippincott Williams and
Wilkins (Robbins, Cotran, 2003)

Diagnosis penyakit paru didasarkan sebagian pada anamnesis dan pada

pemeriksaan fisik serta temuan radiologik berupa konsolidasi atau kavitasi di

apeks paru. Namun akhirnya basil tuberculosis harus ditemukan. Harus dilakukan

pemeriksaan apusan tahan asam dan biakan sputum dari pasien yang dicurigai

mengidap tuberculosis. Amplifikasi DNA M. tuberculosis dengan PCR

memungkinkan diagnosis lebih cepat. Pemeriksaan PCR dapat mendeteksi bahkan

hanya 10 organisme dalam sediaan klinis. Namun, biakan merupakan gold

standart karena cara ini memungkinkan kita melakukan uji kepekaan obat.

Prognosis biasanya baik jika infeksi terbatas di paru, kecuali jika infeksi

disebabkan oleh strain resisten obat atau mengalami gangguan kekebalan yang

beresiko tinggi mengalami tuberculosis milier. Percutaneus FNAB biasanya

menunjukkan granular necrotic debris dan campuran sel-sel inflamasi, aspirat

yang kotor, termasuk macrophage mononucleated dan multinucleated dengan sel

epiteloid berbentuk koma (comma-shaped). Kelompokan gambaran mirip

granuloma dari sel epiteloid yang berbentuk spindel (comma-shaped) dan histiosit

Universitas Sumatera Utara


30

pada FNAB harus dipertanyakan tetapi bukan diagnostik. (Robbin, Cotran, 2003)

Untuk menegakkan diagnosis lymphadenitis tuberculosis dapat dilakukan

kultur, smear dengan pewarnaan Ziehl-Neelsen dan gambaran histopatologi baik

klasik maupun imunohistokimia (Geetha, 2012). Teknik terbaru yang

diperkenalkan adalah Radiometric BECTEC system dan Polymerase Chain

Reaction (PCR) untuk cara cepat. Teknik yang lain juga dilakukan pemeriksaan

High performance liquid Chromatography (HPLC), nucleic acid probes untuk

identifikasi mycobacterium dan Retsriction Fragment Length Polymorphism

(RFLP). Penelitian P. Narang pada 1997 mendapatkan sensitifitas dari flourescent

microscopy dijumpai sensitifitas (32,8%), dilanjutkan kultur (20,3%) dan

histopatologi (14,06%). Sedangkan Peremboom et al, (1994) mendiagnosisTB

dengan lymphadenopathy pada pasien HIV mendapatkan Histologi ketepatannya

85%, dengan LJ kultur 88%, pemeriksaan Acid Fast Bacilli (AFB) pada biopsi

53% dan dengan biopsi jarum halus (FNAB) 35%. Makroskopik perkijuan 100%

memprediksi TB dengan sensitifitas 69%. Khatter (2008) dan kawan-kawan

memeriksa pasien HIV dan mendapatkan 57,2% pada kultur tumbuh non

tuberculous mycobacteria (NTM) sehingga pada daerah India sebagai daerah

endemik juga didapatkan NTM yang tentu pengobatannya berbeda dengan

tuberculosis. Kanlikama (2008) dari Turki melaporkan management

lymphadenitis di leher dengan cara pemeriksaan kultur dari bahan biopsi,

pemeriksaan histopatologi dengan pewarnaan Ziehl-Neelsen, dan gambaran

granulomatous nekrosis perkijuan pada histopatologi, mereka mendapatkan fistula

sebanyak 11,5% (Robbin, Cotran, 2003). Ibekwe (1997) meneliti pasien TB

ternyata dijumpai 14% berubah foto rontgent-nya, 92% positif dengan tuberculin

Universitas Sumatera Utara


31

test, 50% kultur positif dan semua biopsi leher yang diduga TB semua positif.

(Robbin, Cotran, 2003)

2.2. BIOPSI ASPIRASI JARUM HALUS LIMFADENITIS

TUBERCULOSIS

Biopsi aspirasi jarum halus (FNAB) dipakai secara luas (Dash, 2017).

FNAB digunakan dalam menegakkan diagnosis TB untuk mendapatkan gambaran

sitologi ataupun untuk pengambilan bahan pemeriksaan lain seperti kultur,

imunohistokimia dan untuk pemeriksaan PCR. (Giri, 2012)

Menurut Diamantis (2009), FNAB telah dilakukan sangat lama. Sejak

tahun 1900 SJ Mixter telah memakai needle untuk mengambil jaringan untuk

memeriksa jaringan otak. Ward tahun 1912 telah melakukan aspirasi lymph node

untuk mempelajari lymphoblastoma dan Guthrie pada 1921 melaporkan hasil

aspirasi Hodgkin disease. Hayes E. Martin dan Edward B. Ellis adalah orang yang

mempopulerkan teknik ini yang telah mereka kerjakan sejak 1926 dan dilaporkan

di tahun 1930 dengan judul Biopsi by Needle Puncture and Aspiration dianggap

sebagai suatu terobosan baru dalam diagnostik. (Martin, Ellis, 1930)

Lau (1988) melakukan aspirasi biopsi pada kelenjar getah bening leher

dan mendapatkan gambaran yang khas untuk TB yaitu lesi granulomatous berupa

ephitheloid dan multinucleated giant cell sebanyak 71%, 53% positif dengan

AFB. Karena Hongkong adalah daerah endemis maka mereka mengganggap

bahwa gambaran sitologi sangat dipertimbangkan sebagai TB. Mereka

merekomendasi bahwa biopsi aspirasi jarum halus sangat efektif, sensitif dan

spesifik untuk diagnosis TB. Raviglione, O’Brien (2010) menjelaskan bahwa

Universitas Sumatera Utara


32

diagnosis pasti TB adalah aspirasi jarum halus atau biopsi bedah, melalui AFB

50% yang positif, kultur 70%-80% dan pegangan histopatologi adalah

dijumpainya lesi granulomatous, tetapi pada pasien HIV gambaran lesi

granulomatous tidak dijumpai. Finfer (1991) melaporkan bahwa gambaran

perkijuan sangat sensitif dan spesifik untuk TB sedangkan granuloma selain pada

kasus TB juga dapat dijumpai pada penyakit lain. Pithie (1992) melaporkan kasus

pasien HIV, sputumnya negatif untuk TB tapi dengan aspirasi biopsi kelenjar

getah bening leher ternyata respon dengan pengobatan TB walaupun ada 3 kasus

yang AFB negatif tapi merujuk pada hasil sitologi limfadenitis juga respon dengan

obat TB.

Handa (2002) juga melaporkan AFB positif 37,4% dan akurasi

diagnostik biospsi jarum halus false negatif-nya hanya 1,7% dan false positif-nya

nol. Ioachim (2003) menyebutkan bahwa sitologi FNAB dapat memeriksa TB

dengan akurasi 94% tetapi hanya 14% untuk cairan fistula.

Mereka menyimpulkan bahwa sitologi biopsi aspirasi sangat mudah,

cepat, murah dan cocok dengan negara yang berkembang dengan fasilitas yang

terbatas (Ioachim Harry, Medeiros, 2003). Singh (1992) memeriksa TB dan

melakukan terapi berdasarkan gambaran sitologi atau AFB positif, dijumpai kasus

sitologi nekrosis tapi AFB negatif. Kesimpulan lain dikemukakan oleh Hafez

(2011) dimana evaluasi FNA pada pasien dengan keganasan yang sebelumnya

tidak terdiagnosis harus diinterpretasikan oleh ahli sitopatologi berpengalaman

dalam konteks temuan klinis.

Gupta (1993) mengelompokan hasil sitologi menjadi 4 kelas dan makin

tinggi kelasnya makin sedikit atau tidak dapat di kultur. Kultur negatif tidak

Universitas Sumatera Utara


33

menyingkirkan adanya TB, tapi kultur perlu untuk sensitifitas obat.

Conde Junior (1993) mendapatkan pada pasien HIV diagnostic yield

FNAB adalah 73% sedangkan AFB 62%. Bem (1993) melaporkan material yang

didapatkan dengan aspirasi TB 95,7% dan gambaran makroskopik perkijuan

dengan mata telanjang dapat menegakkan diagnosis TB 40,8%, AFB positif pada

74,8%, dan direkomendasikan untuk pasien yang di Afrika untuk memakai FNAB

sebelum operasi atau memulai pengobatan. Ellison (1999) melaporkan di

Amerika Serikat biopsi aspirasi sensitifitasnya 46%, spesifitas 100%, PPV 100%

dan NPV 94%, bila dijumpai inflamasi granulomatosa akan meningkat, 53%,

98%, 80%, 95%.

Berbeda dengan penulis sebelumnya Harrison (1999) memberikan

kesimpulan bahwa klinisi harus konsisten untuk melakukan pemeriksaan

mycobacterium tuberculosis untuk pembengkakan di leher dan biopsi jarum halus

tidak dianjurkan untuk kasus TB di Auckland. Ammari (2003) melaporkan bahwa

FNAB dapat mengurangi pembedahan dan dengan pemeriksaan patologi ini

didapatkan angka kesembuhan 83%.

Henny Mulyani dan Aswiyanti Asri dari FK Unand (2008) melakukan

FNAB TB pada anak sebanyak 242 kasus, terdiri dari 163 (67,4%) kasus

limfadenitis tuberculosis, 59 (24,4%) radang tidak khas, 5 (2,1%) limfoma

malignum, 1 (0,4%) metastasis karsinoma dan 14 (5,8%) aspirat tidak

representatif, 26 kasus yang dapat dijadikan sampel. Didapatkan 73,1% kasus

mempunyai pembesaran kelenjar multipel berukuran 1 cm atau lebih. Riwayat

kontak TB tidak jelas pada 17 orang (65,4%), status gizi 17 (65,4%) normal,

riwayat demam dan batuk tidak ada pada 53,8% dan 57,7% penderita. Uji

Universitas Sumatera Utara


34

tuberkulin negatif pada 18 (69,2)%, dan 80,8% foto rontgen thorax positif TB.

Penelitian ini menunjukkan gambaran klinis pada TB tidak selalu sesuai untuk

diagnosis klinis infeksi tuberculosis.

Menurut Bem (1993) meningkatnya kasus HIV/AIDS maka kasus TB

juga meningkat, Ngilimana (1992) melaporkan bahwa pada pasien yang

seropositif menunjukkan gambaran histopatologi yang tidak biasa pada biopsi

limfadenopati yang disebutnya sebagai immature tuberculoid granuloma dengan

gambaran menonjolnya gambaran perkijuan (ceseating) dan sering disertai

granular necrosis dan banyak mengandung acid fast bacilli. Di luar daerah

nekrosis di jumpai sejumlah pembuluh darah dan dijumpai plasmacytosis yang

menonjol. Reaksi granuloma tergantung respon immune seluler, ini dapat

dijadikan pegangan prognostik. Pada daerah yang rentan tertular TB pasien

seropositif HIV dianjurkan untuk limfenode dibiopsi maupun di kultur untuk

mendeteksi tuberculosis yang tersembunyi.. Untuk membedakan lymphadenitis

mycobacterium tuberculosis dan non tuberculous mycobacterial secara

histopatologi Kraus et al, (1999) mendapatkan empat kriteria yaitu: adanya

mikroabses, granuloma yang tidak jelas, granuloma yang non caseating dan giant

cell yang sangat sedikit.

Secara mikroskopik jaringan gambaran yang khas pada lesi

mycobacterium tuberculosis adalah dijumpainya granuloma maupun nekrosis

perkijuan / caseous necrosis (Fagere, 2013). Granuloma adalah kumpulan dari

makrofag (macrophages). Makrofag disebut juga histiosit dapat berfusi

membentuk multinucleated giant cells, magrofag pada granuloma sering disebut

ephiteloid. Epiteloid macrofages berbeda dengan magrofag yang biasanya karena

Universitas Sumatera Utara


35

mempunyai inti yang memanjang mirip dengan sol sepatu, intinya lebih besar dan

sitoplasmanya lebih pink, perubahan ini terjadi akibat magrofag diaktivasi oleh

antigen. Granuloma dapat disertai komponen lain termasuk limfosit, neutrofil,

eosinofil, multinucleted giant cells dan fibroblas. Sebenarnya granuloma tidak

saja disebabkan M. tuberculosis tapi juga akibat leprosy, histoplasmosis,

cryptococcosis, coccidioidomycosis, dan blastomycosis. Granuloma yang bukan

infeksi dapat dijumpai pada sarcoidosis, Crohn”s disiase, berylliosis, Wagener’s

granulomatosis, Churg-Staruss syndroma dan lain-lain. Gambaran sitologi yang

banyak mengandung makrofag merupakan proses reaktif, infeksi dan sarcoidosis

paling banyak dijumpai, keadaan lain dapat terjadi pada carcinoma dengan

pneumonia post obstructive, infarct dan harus dapat dibedakan juga dengan

Langerhan cell histocytosis. (Renshaw Andrew,2005)

Granuloma pada tuberculosis cenderung membentuk nekrosis (caseating

tubercule) walaupun ada yang tidak membentuk nekrosis, disertai adanya

multinucleated giant cells dengan inti di pinggir pada satu sisi membentuk ladam

kuda (Langhans giant cell) (Underwood, 2009). Walaupun jarang TB dapat hanya

mengandung material nekrotik dan neutrofil (Das, 2000 pada Koss, 2006).

Adanya gambaran negatif pada basil mycobacterium pada smear Romanovsky’s

staining pasien lymphadenopathy (Stanley et al,, 1990, Ang et al,, 1993 pada

Koss LG (2006). Terutama pada pasien immunosupresif dapat dijumpai

Mycobacterium avium intracellular jika agregasi histiosit yang banyak mengisi

negatif staining pada daerah sitoplasma. (Shabb et al,, 1991 pada Koss, 2006)

pada lepromatous leprosy yang khas dijumpai syncytial hystiocyte (Virchow atau

globus cell), sering dijumpai multinucleated giant cell dengan sitoplasma

Universitas Sumatera Utara


36

bervakuola berisi basil lepra. (Gupta et al,, 1981 pada Koss, 2006)

Gupta (1993) menjelaskan morfologi sitologi kelenjar getah bening dari

mycobacterium tuberculosis terbagi atas dominan nekrosis, granuloma yang

mengandung perkijuan sel epiteloid dan sel datia (giant cell), granuloma dengan

sel epiteloid non perkijuan tanpa sel datia dan sel epiteloid yang sangat sedikit.

Bersamaan dengan itu The Wright stained sitologi smear membagi smear TB atas

3 kategori, yaitu epiteloid granuloma tanpa nekrosis, epiteloid granuloma dengan

nekrosis dan nekrosis tanpa epiteloid granuloma (Koss, 2006). Bezabih (2002)

mendapatkan bahwa kategori 1: 20%, kategori 2: 61,9%, kategori 3: 69,7%, AFB

positif paling sering dijumpai pada kategori 3.

Apakah ada hubungan rendahnya daya tahan dengan tidak adanya

granuloma? Krisnan (2001) melaporkan adanya gambaran sitologi yang berbeda

pada pasien HIV yang disebutnya dengan negative image dengan menjumpai

adanya negative rod shape dan blue black ground, tanpa gambaran klasik yang

dijumpai pada pasien TB. Apakah gambaran ini sama dengan gambaran massa

eosinofilik dengan partikel gelap yang dijumpai? Lubis et al,, (2008) melihat

adanya dark specks and eosinophylic granular necrotic material pada aspirasi

biopsi jarum halus di lymphadenitis leher, aksila, ingunal, payudara dan abdomen

setelah dilakukan kultur didapatkan bahwa dari 110 ”dark specks” 91 positif pada

kultur dan dari 84 yang tidak ada ”dark specks” hanya 3 yang kultur positif

sebagai TB. Uji diagnostik pada aspirasi biopsi jarum halus lesi di atas yang

dikomfirmasi dengan kultur ini didapatkan sensitifititas 97%, spesifitas 81%, PPV

83%, akurasi 89% dan prevalensi 48%. Penelitian ini perlu dikembangkan dengan

gold standart yang lebih sensitif dan lebih spesifik.

Universitas Sumatera Utara


37

Penelitian Lisdine et al, (2003) dengan memakai reaksi Kudoch

memperoleh massa nekrotik bergranul halus eosinofilik berbercak-bercak dapat

digunakan sebagai dasar untuk menegakkan diagnosis tuberkulosis di luar paru

dengan nilai probabiliti yaitu sensitifitas 97%, spesifisitas 91% dan akurasi 94%.

Dari hasil penelitian ini berarti bercak-bercak yang dijumpai pada pus secara

mikroskopik mempunyai arti bermakna, dimana apabila dijumpainya bercak ini

berarti bahwa penyebab lesi tersebut kuman tuberkulosis, sedang tidak

dijumpainya bercak-bercak ini penyebabnya bukan tuberculosis.

Eliandy et al, (2010), memeriksa tampilan antigen dengan menggunakan

rabbit polyclonal to Mycobacterium tuberculosis antibody (ab905), AbcaM.

Didapatkan tampilan Mycobacterium tuberculosis terlihat pada 14 kasus dengan

badan-badan kecil berbentuk oval gelap di dalam kelompokan makrofag, 21 kasus

dengan bercak-bercak gelap, 1 kasus dengan radang kronik non spesifik, dan 7

kasus dengan abses. Lubis et al, (2010), meneliti adanya perbedaan jumlah

tampilan IHK positif pada lesi dengan badan-badan kecil berbentuk oval gelap di

dalam kelompokan makrofag dan radang kronik nonspesifik dan ada perbedaan

proporsi jumlah tampilan IHK positif pada lesi dengan bercak-bercak gelap

dengan massa amorf bergranul halus eosinofilik dan abses. Tetapi masih ada pro

dan kontra tentang pemakaian Imunositokimia pada sitologi ini sehingga perlu

diperkuat dengan teknik lain yang lebih akurat, peneliti memakai teknik PCR

sebagai gold standart.

Universitas Sumatera Utara


38

2.3. PEMERIKSAAN POLYMERASE CHAIN REACTION (PCR)

2.3.1. Prinsip-prinsip umum PCR

Polymerase Chain Reaction (PCR) adalah suatu teknik sintesis dan

amplifikasi DNA secara in vitro. Teknik ini pertama kali dikembangkan oleh

Karry Mullis pada tahun 1983, penemuannya ini membawa Karry Mullis

mendapat Nobel di tahun 1993. Teknik PCR dapat digunakan untuk

mengamplifikasi segmen DNA dalam jumlah jutaan kali. Dengan diketemukannya

teknik PCR di samping juga teknik-teknik lain seperti sekuensing DNA, telah

merevolusi bidang sains dan teknologi khususnya di bidang diagnosis penyakit

genetik, kedokteran forensik dan evolusi molecular.PCR juga dipakai dalam

pemeriksaan penyakit infeksi dan onkologi. (Maksum, 2011)

Membandingkan molekul DNA merupakan teknik yang dipakai untuk

mencari penyebab infeksi. Jika dua molekul DNA memiliki sekuen basa yang

sama dibanding dengan primer yang diketahui kita dapat mengetahui jenis bakteri

yang kita isolasi. Memakai gel elekroforesis kita dapat memisahkan produk PCR

dan menilai sekuen (urutan) genom bakteri untuk menentukannya. (Karp, 2008)

Komponen- komponen yang diperlukan pada proses PCR adalah templat

DNA; sepasang primer, yaitu suatu oligonukleotida pendek yang mempunyai

urutan nukleotida yang komplementer dengan urutan nukleotida DNA templat;

dNTPs (Deoxynucleotide triphosphates); buffer PCR; magnesium klorida

(MgCl2) dan enzim polimerase DNA.Proses PCR melibatkan beberapa tahap

yaitu: (1) pra-denaturasi DNA templat; (2) denaturasi DNA templat; (3)

penempelan primer pada templat (annealing); (4) pemanjangan primer (extension)

dan (5) pemantapan (post extension). Tahap (2) sampai dengan (4) merupakan

Universitas Sumatera Utara


39

tahapan berulang (siklus), di mana pada setiap siklus terjadi duplikasi jumlah

DNA. (Maksum, 2011)

PCR adalah suatu teknik yang melibatkan beberapa tahap yang berulang

(siklus) dan pada setiap siklus terjadi duplikasi jumlah target DNA untai ganda.

Untai ganda DNA templat (unamplified DNA) dipisahkan dengan denaturasi

termal dan kemudian didinginkan hingga mencapai suatu suhu tertentu untuk

memberi waktu pada primer menempel (anneal primers) pada daerah tertentu dari

target DNA. Polimerase DNA digunakan untuk memperpanjang primer (extend

primers) dengan adanya dNTPs (dATP, dCTP, dGTP dan dTTP) dan buffer yang

sesuai. Umumnya keadaan ini dilakukan antara 20 –40 siklus. Target DNA yang

diinginkan (short ”target” product) akan meningkat secara eksponensial setelah

siklus keempat dan DNA non-target (long product) akan meningkat secara linier.

Umumnya jumlah siklus yang digunakan pada proses PCR adalah 30 siklus.

Penggunaan jumlah siklus lebih dari 30 siklus tidak akan meningkatkan jumlah

amplicon secara bermakna dan memungkinkan peningkatan jumlah produk yang

non-target. Perlu diingat bahwa di dalam proses PCR effisiensi amplifikasi tidak

terjadi 100 %, hal ini disebabkan oleh target templat terlampau banyak, jumlah

polimerase DNA terbatas dan kemungkinan terjadinya reannealing untai target.

(Maksum, 2011)

2.3.2.Pelaksanaan PCR

Untuk melakukan proses PCR diperlukan komponen-komponen seperti

yang telah disebutkan di atas. Pada bagian ini akan dijelaskan secara rinci

kegunaan dari masing komponen tersebut. (Maksum, 2011).

Universitas Sumatera Utara


40

1. Templat DNA

Fungsi DNA templat di dalam proses PCR adalah sebagai cetakan untuk

pembentukan molekul DNA baru yang sama. Templat DNA ini dapat berupa DNA

kromosom, DNA plasmid ataupun fragmen DNA apapun asal di dalam DNA

templat tersebut mengandung fragmen DNA target yang dituju. Untuk

pemeriksaan klinis DNA biasanya diisolasi dari inti atau mitokondria yang fresh,

frozen section, jaringan yang berasal dari blok paraffin yang difiksasi formalin,

darah, sumsum tulang, cairan tubuh, saluran reproduksi, fine needle biopsy

specimens (bahan yang didapat dari aspirasi biopsi jarum halus), sel bukal (pipi)

ataupun mikroorganisme yang didapat dari berbagai teknik. (Maksum, 2011)

Penyiapan DNA templat untuk proses PCR dapat dilakukan dengan

menggunakan metode lisis sel ataupun dengan cara melakukan isolasi DNA

kromosom atau DNA plasmid dengan menggunakan metode standar yang ada.

Pemilihan metode yang digunakan di dalam penyiapan DNA templat tergantung

dari tujuan eksperimen. Pembuatan DNA templat dengan menggunakan metode

lisis dapat digunakan secara umum, dan metode ini merupakan cara yang cepat

dan sederhana untuk mendapatkan DNA kromosom ataupun DNA plasmid.

Prinsip metode lisis adalah perusakan dinding sel tanpa harus merusak DNA yang

diinginkan. (Maksum, 2011)

Oleh karena itu perusakan dinding sel umumnya dilakukan dengan cara

memecahkan dinding sel menggunakan buffer lisis. Komposisi buffer lisis yang

digunakan tergantung dari jenis sampel. Beberapa contoh buffer lisis yang biasa

digunakan mempunyai komposisi sebagai berikut: 5 mM Tris-Cl pH8,5; 0,1 mM

EDTA pH 8,5; 0,5 % Tween-20 dan 100 ug/mL Proteinase-K (ditambahkan

Universitas Sumatera Utara


41

dalam keadaan segar). Buffer lisis ini umumnya digunakan untuk jenis sampel

yang berasal dari biakan, sel-sel epitel dan sel akar rambut. Contoh lain dari

buffer lisis adalah buffer lisis K yang mempunyai komposisi sebagai berikut:

buffer PCR (50mM KCl, 10-20mM Tris-Cl dan 2,5mM MgCl2), 5 % Tween-20

dan 100 ug/mL Proteinase-K (ditambahkan dalam keadaan segar). Buffer lisis K

ini biasanya digunakan untuk melisis sampel yang berasal dari sel darah dan

virus. Selain dengan cara lisis, penyiapan DNA templat dapat dilakukan dengan

cara mengisolasi DNA kromosom ataupun DNA plasmid menurut metode standar

yang tergantung dari jenis sampel asal DNA tersebut diisolasi. Metode isolasi

DNA kromosom atau DNA plasmid memerlukan tahapan yang lebih kompleks

dibandingkan dengan penyiapan DNA dengan menggunakan metode lisis. Prinsip

isolasi DNA kromosom atau DNA plasmid adalah pemecahan dinding sel, yang

diikuti dengan pemisahan DNA kromosom / DNA plasmid dari komponen-

komponen lain. Dengan demikian akan diperoleh kualitas DNA yang lebih baik

dan murni. (Maksum, 2011)

2. Primer

Keberhasilan suatu proses PCR sangat tergantung dari primer yang

digunakan. Di dalam proses PCR, primer berfungsi sebagai pembatas fragmen

DNA target yang akan diamplifikasi dan sekaligus menyediakan gugus hidroksi (-

OH) pada ujung 3’ yang diperlukan untuk proses eksistensi DNA. Perancangan

primer dapat dilakukan berdasarkan urutan DNA yang telah diketahui ataupun

dari urutan protein yang dituju. Data urutan DNA atau protein bisa didapatkan dari

database GenBank. Apabila urutan DNA maupun urutan protein yang dituju

Universitas Sumatera Utara


42

belum diketahui maka perancangan primer dapat didasarkan pada hasil analisis

homologi dari urutan DNA atau protein yang telah diketahui mempunyai

hubungan kekerabatan yang terdekat. Dalam melakukan perancangan primer

harus dipenuhi kriteria-kriteria sebagai berikut:

a. Panjang primer

Di dalam merancang primer perlu diperhatikan panjang primer yang

akan dipilih. Umumnya panjang primer berkisar antara 18 – 30 basa. Primer

dengan panjang kurang dari 18 basa akan menjadikan spesifisitas primer rendah.

Untuk ukuran primer yang pendek kemungkinan terjadinya mispriming

(penempelan primer di tempat lain yang tidak diinginkan) tinggi, ini akan

menyebabkan berkurangnya spesifisitas dari primer tersebut yang nantinya akan

berpengaruh pada efektifitas dan efisiensi proses PCR. Sedangkan untuk panjang

primer lebih dari 30 basa tidak akan meningkatkan spesifisitas primer secara

bermakna dan ini akan menyebabkan lebih mahal. (Maksum, 2011)

b. Komposisi primer.

Dalam merancang suatu primer perlu diperhatikan komposisinya.

Rentetan nukleotida yang sama perlu dihindari, hal ini dapat menurunkan

spesifisitas primer yang dapat memungkinkan terjadinya mispriming di tempat

lain. Kandungan (G+C) (% jumlah G dan C) sebaiknya sama atau lebih besar dari

kandungan (G+C) DNA target. Sebab primer dengan % (G+C) rendah

diperkirakan tidak akan mampu berkompetisi untuk menempel secara efektif pada

tempat yang dituju dengan demikian akan menurunkan efisiensi proses PCR.

Selain itu, urutan nukleotitda pada ujung 3’ sebaiknya G atau C. Nukleotida A

atau T lebih toleran terhadap mismatch dari pada G atau C, dengan demikian akan

Universitas Sumatera Utara


43

dapat menurunkan spesifisitas primer. (Maksum, 2011)

c. Melting temperatur (Tm)

Melting temperatur (Tm) adalah temperatur di mana 50 % untai ganda

DNA terpisah. Pemilihan Tm suatu primer sangat penting karena Tm primer akan

berpengaruh sekali di dalam pemilihan suhu annealing proses PCR. Tm berkaitan

dengan komposisi primer dan panjang primer. Secara teoritis Tm primer dapat

dihitung dengan menggunakan rumus [2 (A+T) + 4 (C+G)]. Sebaiknya Tm primer

berkisar antara 50 – 65o C. (Maksum, 2011)

d. Interaksi primer-primer

Interaksi primer-primer seperti self-homology dan cross-homology harus

dihindari. Demikian juga dengan terjadinya mispriming pada daerah lain yang

tidak dikehendaki, ini semua dapat menyebabkan spesifisitas primer menjadi

rendah dan di samping itu konsentrasi primer yang digunakan menjadi berkurang

selama proses karena terjadinya mispriming. Keadaan ini akan berpengaruh pada

efisiensi proses PCR. (Maksum, 2011)

3. dNTPs (deoxynucleotide triphosphates)

dNTPs merupakan suatu campuran yang terdiri atas dATP

(deoksiadenosin trifosfat), dTTP (deoksitimidin trifosfat), dCTP (deoksisitidin

trifosfat) dan dGTP (deoksiguanosin trifosfat). Dalam proses PCR dNTPs

bertindak sebagai building block DNA yang diperlukan dalam proses ekstensi

DNA. dNTP akan menempel pada gugus –OH pada ujung 3’ dari primer

membentuk untai baru yang komplementer dengan untai DNA templat.

Konsentrasi optimal dNTPs untuk proses PCR harus ditentukan. (Maksum, 2011)

Universitas Sumatera Utara


44

4. Buffer PCR dan MgCl2

Reaksi PCR hanya akan berlangsung pada kondisi pH tertentu. Oleh

karena itu untuk melakukan proses PCR diperlukan buffer PCR. Fungsi buffer di

sini adalah untuk menjamin pH medium. Selain buffer PCR diperlukan juga

adanya ion Mg2+, ion tersebut berasal dari berasal MgCl 2.MgCl2 bertindak sebagai

kofaktor yang berfungsi menstimulasi aktivitas DNA polymerase. Dengan danya

MgCl2 ini akan meningkatkan interaksi primer dengan templat yang membentuk

komplek larut dengan dNTP (senyawa antara). Dalam proses PCR konsentrasi

MgCl2 berpengaruh pada spesifisitas dan perolehan proses. Umumnya buffer

PCR sudah mengandung senyawa MgCl2 yang diperlukan.Tetapi disarankan

sebaiknya antara MgCl2 dan buffer PCR dipisahkan supaya dapat dengan mudah

dilakukan variasi konsentrasi MgCl2 sesuai yang diperlukan. (Maksum, 2011)

5. Enzim Polimerase DNA

Enzim polimerase DNA berfungsi sebagai katalisis untuk reaksi

polimerisasi DNA. Pada proses PCR enzim ini diperlukan untuk tahap ekstensi

DNA. Enzim polimerase DNA yang digunakan untuk proses PCR diisolasi dari

bakteri termofilik atau hipertermofilik oleh karena itu enzim ini bersifat

termostabil sampai temperatur 95oC. Aktivitas polimerase DNA bergantung dari

jenisnya dan dari mana bakteri tersebut diisolasi.Sebagai contoh adalah enzim Pfu

polimerase (diisolasi dari bakteri Pyrococcus furiosus) mempunyai aktivitas

spesifik 10x lebih kuat dibandingkan aktivitas spesifik enzim Taq polymerase

(diisolasi dari bakteri Thermus aquaticus). Penggunaan jenis polimerase DNA

berkaitan erat dengan buffer PCR yang dipakai. Dengan menggunakan teknik

Universitas Sumatera Utara


45

PCR, panjang fragmen DNA yang dapat diamplifikasi mencapai 35 kilo basa.

Amplifikasi fragmen DNA pendek (kurang dari tiga kilo basa) relatif lebih mudah

dilakukan. Untuk mengamplifikasi fragmen DNA panjang (lebih besar dari tiga

kilo basa) memerlukan beberapa kondisi khusus, di antaranya adalah diperlukan

polimerase DNA dengan aktivitas yang kuat dan juga buffer PCR dengan pH dan

kapasitas tinggi (High-salt buffer). (Maksum, 2011)

2.3.3. Optimasi PCR

Untuk mendapatkan hasil PCR yang optimal perlu dilakukan optimasi

proses PCR. Secara umum optimasi proses PCR dapat dilakukan dengan cara

memvariasikan kondisi yang digunakan pada proses PCR tersebut. Optimasi

kondisi berkaitan erat dengan faktor-faktor seperti jenis polimerase DNA; suhu;

konsentrasi, dalam hal ini berkaitan dengan dNTPs, MgCl2 dan DNA polimerase;

buffer PCR dan waktu. (Maksum, 2011)

1. Jenis polimerase DNA

Kemampuan mengkatalisis reaksi polimerasi DNA pada proses PCR

yang terjadi pada tahap ekstensi untuk DNA rantai panjang akan berbeda dengan

untuk DNA rantai pendek. Penggunaan jenis DNA polimerase tergantung pada

panjang DNA target yang akan diamplifikasi. Untuk panjang fragmen DNA lebih

besar dari tiga kilobasa memerlukan jenis polimerase dengan aktivitas tinggi.

(Maksum, 2011)

Universitas Sumatera Utara


46

2. Konsentrasi dNTPs, MgCl2 ; polimerase DNA

Konsentrasi optimal dNTPs ditentukan oleh panjang target DNA yang

diamplifikasi. Untuk panjang target DNA kurang dari satu kilobasa biasanya

digunakan konsentrasi dNTPs sebanyak 100 uM, sedangkan untuk panjang target

DNA lebih besar dari satu kilobasa diperlukan konsentrasi dNTPs sebanyak 200

uM. Umumnya konsentrasi optimal MgCl2 berkisar antara 1,0 – 1,5 mM.

Konsentrasi MgCl2 yang terlalu rendah akan menurunkan perolehan PCR.

Sedangkan konsentrasi yang terlalu tinggi akan menyebabkan akumulasi produk

non target yang disebabkan oleh terjadinya mispriming. Jumlah polimerase DNA

yang digunakan tergantung pada panjang fragmen DNA yang akan diamplifikasi.

Untuk panjang fragmen DNA kurang dari dua kilobasa diperlukan 1,25 – 2 unit

per 50 uL campuran reaksi, untuk panjang fragmen DNA lebih besar dari dua

kilobasa diperlukan 3 – unit per 50 uL campuran reaksi. (Maksum, 2011)

3. Suhu

Pemilihan suhu pada proses PCR sangat penting karena suhu merupakan

salah satu faktor yang menentukan keberhasilan suatu PCR. Dalam hal ini suhu

berkaitan dengan proses denaturasi DNA templat, annealing dan ekstensi primer.

Suhu denaturasi DNA templat berkisar antara 93 – 95oC ini semua tergantung

pada panjang DNA templat yang digunakan dan juga pada panjang fragmen DNA

target. Suhu denaturasi yang terlalu tinggi akan menurunkan aktivitas polimerase

DNA yang akan berdampak pada efisiensi PCR. Selain itu juga dapat merusak

DNA templat, sedangkan suhu yang terlalu rendah dapat menyebabkan proses

denaturasi DNA templat tidak sempurna. Pada umumnya suhu denaturasi yang

Universitas Sumatera Utara


47

digunakan adalah 94o C. Secara umum suhu annealing yang digunakan berkisar

antara 37 - 60o C. Pemilihan suhu annealing berkaitan dengan Tm primer yang

digunakan untuk proses PCR. Suhu annealing yang digunakan dapat dihitung

berdasarkan (Tm– 5) oC sampai dengan (Tm + 5) o C. Dalam menentukan suhu

annealing yang digunakan perlu diperhatikan adanya mispriming pada daerah

target dan nontarget, dan keberhasilan suatu proses PCR akan ditentukan oleh

eksperimen. Proses ekstensi primer pada proses PCR selalu dilakukan pada suhu

72o C karena suhu tersebut merupakan suhu optimum polimerase DNA yang biasa

digunakan untuk proses PCR (Maksum, 2011).

4. Buffer PCR

Buffer PCR yang digunakan berkaitan dengan pH dan kapasitas

buffernya. Dalam perdagangan ada dua jenis buffer PCR yaitu “Low-salt buffer”

(pH 8,75 dan kapasitas buffer rendah) dan “High-salt buffer” (pH 9,2 dan

kapasitas buffer tinggi). Umumnya buffer PCR tersedia sesuai dengan jenis

polimerase DNA nya. Penggunaan jenis buffer ini tergantung pada DNA target

yang akan diamplifikasi. Untuk panjang DNA target antara 0 – 5 kilobasa

biasanya diperlukan “low-salt buffer” sedangkan untuk panjang DNA target lebih

besar dari lima kilobasa digunakan “high-salt buffer”. (Maksum, 2011)

5. Waktu

Pemilihan waktu yang digunakan berkaitan dengan proses denaturasi

DNA templat, annealing dan ekstensi primer. Untuk denaturasi DNA templat

umumnya dilakukan selama 30 – 90 detik, ini semua tergantung pada DNA

Universitas Sumatera Utara


48

templat yang digunakan. Waktu denaturasi yang terlalu lama akan merusak

templat DNA dan sekaligus dapat menurunkan aktivitas polimerase DNA. Waktu

denaturasi yang terlalu pendek akan menyebabkan proses denaturasi tidak

sempurna. Penentuan waktu untuk proses annealing berkaitan dengan panjang

primer. Untuk panjang primer 18 – 22 basa cukup dengan 30 detik, sedangkan

untuk panjang primer lebih besar dari 22 basa diperlukan waktu annealing 60

detik. Pemilihan waktu ekstensi primer tergantung pada panjang fragmen DNA

yang akan diamplifikasi. Secara umum untuk mengamplifikasi setiap satu kilo

basa DNA diperlukan waktu 30 – 60 detik. Pada setiap melakukan PCR harus

dilakukan juga kontrol positif, ini diperlukan untuk memudahkan pemecahan

masalah apabila terjadi hal yang tidak diinginkan. Selain itu juga harus dilakukan

terhadap kontrol negatif untuk menghindari kesalahan positif semu. (Maksum,

2011)

2.3.4. Ringkasan proses PCR

1. Tahap peleburan (melting) atau denaturasi. Pada tahap ini (berlangsung

pada suhu tinggi, 94–96 °C) ikatan hidrogen DNA terputus (denaturasi)

dan DNA menjadi berkas tunggal. Biasanya pada tahap awal PCR

dilakukan agak lama (sampai 5 menit) untuk memastikan semua berkas

DNA terpisah. Pemisahan ini menyebabkan DNA tidak stabil dan siap

menjadi templat ("patokan") bagi primer. Durasi tahap ini 1–2 menit.

2. Tahap penempelan atau annealing. Primer menempel pada bagian DNA

templat yang komplementer urutan basanya. Ini dilakukan pada suhu

antara 45–60 °C. Penempelan ini bersifat spesifik. Suhu yang tidak tepat

Universitas Sumatera Utara


49

menyebabkan tidak terjadinya penempelan atau primer menempel di

sembarang tempat. Durasi tahap ini 1–2 menit.

3. Tahap pemanjangan atau elongasi. Suhu untuk proses ini tergantung dari

jenis DNA polimerase (ditunjukkan oleh P pada gambar) yang dipakai.

Dengan Taq-polimerase, proses ini biasanya dilakukan pada suhu 76 °C.

Durasi tahap ini biasanya 1 menit.

Gambar 2.10. Proses PCR (Ringkasan Proses PCR dan gambar diambil dari:
http://porpax.bio.miami.edu/~cmallery/150/gene/Taq.htm)

Universitas Sumatera Utara


50

2.3.5. Jenis-jenis PCR

Sesuai kemajuan ilmu dan teknologi, saat ini dikenal beberapa jenis PCR

: (Hamdani Chairil,Ham, Siregar Nurjati Chairani, 2012)

1. PCR Konvensional

Merupakan teknik PCR yang paling umum dipakai untuk mendeteksi

amplicon (segmen yang diamplifikasi) secara kualitatif atau

semikuntitatif. Berdasarkan ada tidaknya pita hasil PCR, dapat dinilai

positif tidaknya hasil amplifikasi. Secara semikuantitatif dapat dinilai

konsentrasi amplicon berdasarkan tebal tipisnya pita amplicon. Pita

amplicon dapat dilihat, setelah dilakukan elektroforesis gel dan

visualisasinya oleh alat transluminator.

2. Reverse Transcriptase -PCR (RT-PCR)

Pada RT-PCR, mRNA diubah menjadi cDNA dengan bantuan enzim

reverse transcriptase, dilanjutkan dengan reaksi PCR. Berdasarkan jenis

enzim yang tersedia, reaksi reverse transcription (RT) dan reaksi PCR

dapat dilakukan terpisah atau digabungkan dalam satu tabung reaksi.

3. Real TimePCR/Quantitative PCR (qRT-PCR/Q-PCR)

Reaksi PCR jenis ini dapat diketahui jumlah amplicon secara kuantitatif,

pada setiap siklus, berdasarkan perbandingannya terhadap kurva nilai

kontrol. Ini terjadi karena adanya sinar flourofor yang dilepas/berikatan

saat terjadi reaksi, yang kemudian ditangkap dan direkam oleh sensor

mesin Q-PCR, dibutuhkan primer yang telah dikunjugasikan dengan

flourofor (TaqmanR) atau ditambahkan Sybr-green pada primer yang

tidak terkonjugasi flourofor.

Universitas Sumatera Utara


51

4. PCR digital (dPCR)

Seperti real-timePCR amplicon setiap siklus dapat dihitung, tapi pada

dPCR dapat langsung ditentukan kuantitas dalam setiap sampel dengan

menilai berapa ruang (chamber) yang terjadi reaksi amplifikasi dan

didapatkan harga yang mutlak.Oleh karena sifatnya yang khusus

peralatan dan biaya Q-PCR lebih mahal dari konvensional, sedangkan

dPCR jauh lebih mahal dan penggunaannya masih sangat terbatas.

2.3.6. Masa depan PCR

PCR adalah alat gelombang masa depan dalam biologi molekuler.

Teknologi PCR tidak hanya mengatasi proses mempercepat waktu dibandingkan

kultur konvensional dan analisis mikroskopis, tetapi juga telah meningkatkan

sensitifitas, spesifisitas. Melalui sistem komputer reaksi PCR akan membantu

dalam menguraikan seluruh genom berbagai organisme dan menghasilkan

informasi yang lebih lanjut tentang hubungan evolusi antar organisme. (Biswajeet,

2011)

2.3.7. PCR pada tuberculosis

Pada penelitian ini sebagai gold standart dipakai PCR dengan metode

konvensional. Untuk mendeteksi Mycobacterium pemeriksaan PCR sangat

sensitive, reagensia relatif mudah didapatkan pada saat sekarang, spesifik untuk

bakteria tertentu, dapat dipakai untuk analisa post amplifikasi (misal pada DNA

sequencing). Teknik amplifikasi asam nukleat ini merupakan konfirmasi cepat

bila AFB positif tapi juga dipakai untuk AFB negatif pada TB paru dan Ekstra

Universitas Sumatera Utara


52

paru. (Raviglione et al,, 2010)

Tantangan yang potensial adalah kontaminasi yang dapat menimbulkan

false positive. Pemeriksaan PCR untuk Mycobacterium tuberculosis Species-

specific targets yang dipakai adalah insertion sequences for M.Tuberculosis-

specific PCR, atau 16S rRNA sequences (Weaver, Robert, 2008).

Mengidentifikasi bakteri dengan 16S rRNA dipakai karena setiap spesies bakteri

mempunyai porsi urutan yang stabil.Amplifikasi 16S rRNA menggunakan primer

pada derah stabil ini memungkinkan isolasi dan perangkaian berbagai daerah dari

molekul ini. Beragam rangkaian ini merupakan marker spesifik –spesies atau

spesifik genus yang memungkinkan identifikasi mikroorganisme. Patogen yang

sulit atau tidak mungkin dibiakkan dalam laboratorium telah diidentifikasi

memakai teknik ini. (Brooks et al,, 2005)

Li (2000) melakukan pemeriksaan PCR dengan yang mendapatkan hasil

PCR (+) 59% walaupun AFB-nya (-). Hsiao juga melakukan pemeriksaan PCR

pada cutaneus tuberculosis baik yang spesifik untuk TB maupun yang atipik (16S

rRNA). Shaper Mirza (2003) juga melakukan pemeriksaan PCR pada

lymphadenitis TB melalui peripheral blood mononuclear cells. Baek (2000),

Hsiao (2003) juga memakai PCR untuk memeriksa M.TB karena AFB tidak dapat

jadi pegangan. Bahkan Portilio-Gomez (2002) memakai PCR untuk mendiagnosis

M.TB di urine dan cairan tubuh lainnnya.

Penelitian ini mengikuti referensi American Type Culture Collection

(ATCC; Rockville, Md.) yang menggunakan amplifikasi PCR sesuai dengan

instruksi ATCC: M.tuberculosisATCC 25177 (Pao, 1990). Ioachim (2003)

menyebutkan pemeriksaan PCR dapat dipakai untuk sputum, darah, central

Universitas Sumatera Utara


53

nervous system atau sampel jaringan.Pemeriksaan PCR dapat dilakukan dengan

cepat dan dapat memeriksa 4 sampai 5 jam.

Universitas Sumatera Utara


54

2.4 KERANGKA TEORI

Mycobacteria

Alveolar macrophage

N-RAMP1

Polymorphism uncheked bacillaryproliferation

Bacteriemia with seedingof multiple sites

Pulmonary and Extra PulmonaryTuberculosis

ImmuneSystem (?)

Granulomatous Non granulomatous


(epithelioid, giant cells) (eosinophilic mass, dark specks)

Gambar 2.11. Kerangka Teori

Universitas Sumatera Utara


55

2.5. KERANGKA KONSEP

Berdasarkan tujuan penelitian di atas maka kerangka konsep

dalam penelitian ini adalah :

MASSA EOSINOFILIK
TUBERCULOSIS DENGAN
PARTIKEL COKELAT
GELAP
Variabel Independen Variabel Dependen

Gambar 2.12. Kerangka Konsep

2.6. VARIABEL

1. Variabel Independen : Tuberculosis

2. Variabel Dependen : Massa Eosinofilik dengan partikel coklat gelap

2.7. DEFINISI OPERASIONAL

1. Pembesaran kelenjar getah bening dengan adanya massa eosinofilik

dengan partikel coklat..

Definisi: Pembesaran kelenjar getah bening yang tidak spesifik untuk TB

(tidak sembuh dengan antibiotik biasa kecuali anti TB)

Alat ukur : Aspirasi biopsi jarum halus menggunakan jarum 25 G

danspuit 10 ml pada kelenjar getah bening leher yang diwarnai dengan

MGG

Cara ukur : Ditegakkan berdasarkan gejala pembengkakan serta hasil

pemeriksaan sitologi.

Skala Ukur : Gambaran sitologi dengan kriteria:

Universitas Sumatera Utara


56

1.1 Didalam massa eosinofilik ini terlihat sel-sel dengan inti bulat sampai

oval, relatif besar, berwarna kemerah-merahan, nukleoli dapat dikenal,

sitoplasma tidak jelas.

1.2. Massa kecil berwarna hitam kecoklatan, sitoplasma tidak jelas.

Dibandingkan dengan inti limfosit yang biru kemerahan, massa ini

sedikit lebih kecil, berwarna lebih coklat dan lebih gelap. Bentuknya

lebih tidak teratur sedikit memanjang dibandingkan dengan limfosit.

1.3. Partikel-partikel atau garis-garis halus yang tidak teratur berwarna coklat

gelap.

Gambar 2.13. Sitologi massa eosinofilik dengan partikel coklat gelap.

Hasil Ukur : Kategorikal: sebagai Massa eosinofilik dengan

partikel coklat (+).

2. Pembengkakan Kelenjar Getah Bening akibat radang chronik yang tidak

spesifik.

Definisi: Pembesaran kelenjar getah bening yang tidak spesifik

(dalam praktek sembuh dengan antibiotik biasa).

Alat ukur: Aspirasi biopsi jarum halus menggunakan jarum 25 G dan

spuit 10 ml pada kelenjar getah bening leher yang diwarnai denganMGG

Cara ukur: Ditegakkan berdasarkan gejala pembengkakan serta hasil

Universitas Sumatera Utara


57

pemeriksaan sitologi.

Skala Ukur : Gambaran sitologi dengan kriteria:

2.1. Adanya limfosit, fibroblast tanpa nekrosis pada radang kronik.

2.2. Adanya PMN (neutrophil) dengan gambaran abses akut.

Gambar 2.14. Sitologi radang akut (abses yang bukan TB)


Nontuberculous
NontuberculousAbscess
Abscess
Hasil Ukur : Kategorikal,sebagai tidak ada massa eosinofilik

dengan partikel coklat gelap hasil (-).

3. TB Kelenjar Getah Bening Klasik:

Definisi: Pembengkakan pada leher dengan gambaran radang

Granulomatosa.

Alat ukur: Aspirasi biopsi jarum halus menggunakan jarum 25 G dan

spuit 10 ml pada kelenjar getah bening leher yang diwarnai dengan MGG

Cara ukur : Ditegakkan berdasarkan gejala pembengkakan serta hasil

pemeriksaan sitologi.

Skala Ukur : Aspirasi biopsi sitologi yang klasik untuk TB dengan

adanya epiteloid, limfosit, fibroblas, nekrosis kadang-kadang disertai

Universitas Sumatera Utara


58

giant cell Langhans.

Gambar 2.15. Sitologi giant cell pada TB klasik

Giant
GiantCells
Cells

Gambar 2.16. Gambaran sel epiteloid pada TB ekstra paru (payudara)

Hasil Ukur : Tidak dihitung karena sudah jelas Tuberculosis,

dikeluarkan dari sampel.

4. Konfirmasi sebagai mycobacterium tuberculosis bila:

Positif dengan pemeriksaan PCR.

5. Pemeriksaan PCR.

Suatu cara memeriksa DNA dari bakteri yang mengandung

M.Tuberculosis dengan teknik Polymerase Chain Reaction dengan

Universitas Sumatera Utara


59

amplifikasi dan deteksi dalam satu tahapan.

2.8. HIPOTESIS

Hipotesa alternatif adalah terdapat perbedaan hasil PCR terhadap

M.tuberkulosis antara jaringan yang mempunyai massa eosinofilik dengan

partikel coklat gelap dan jaringan yang tidak mempunyai massa tersebut.

Universitas Sumatera Utara


BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. DESAIN PENELITIAN

Penelitian ini adalah penelitian analitik dengan jenis penelitian case

control yaitu suatu penelitian dengan cara membandingkan antara kelompok

kasus dan kelompok kontrol berdasarkan status paparannya.

3.2. TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN

Sampel penelitian sitologi diperoleh dari rumah sakit H Adam Malik, dr.

Pirngadi, rumah sakit ataupun klinik swasta di Kotamadya Medan dan sekitarnya

atau yang datang memeriksakan dirinya di Bagian Patologi Anatomi FK USU

sedangkan pemeriksaan PCR dilakukan di Laboratorium Terpadu FK USU.

Penelitian dilakukan mulai Juli 2016 s/d April 2017.

3.3. POPULASI DAN SAMPEL

Populasi target adalah pasien peradangan kelenjar getah bening

(limfadenitis) yang berobat ke Departemen Patologi Anatomi FK USU /RS H

Adam Malik dan Lab. PA Swasta di Medan. Sampel sitologi limfadenitis diambil

yang memenuhi kriteria.

3.4. KRITERIA SELEKSI SAMPEL

3.4.1. Kriteria inklusi

1. Semua pasienlimfadenitis dengan gambaran sitologi massa amorf

60
Universitas Sumatera Utara
61

eosinofilik dengan partikel coklat gelap, baik laki-laki maupun

perempuan pada semua kelompok usia, pada periode waktu Juli 2016 s/d

April 2017.

2. Sebagai pembanding, diambil sampel pasien dengan pembesaran kelenjar

getah bening yang didiagnosis sebagai radang kronik non spesifik

ataupun radang akut sama banyak jumlahnya dengan pasienlimfadenitis

yang mempunyai gambaran sitologi massa amorf eosinofilik dengan

partikel coklat gelap.

3. Bersedia diikutsertakan dalam penelitian.

3.4.2. Kriteria ekslusi

1. Penderita yang didiagnosis sebagai limfadenitis TB dengan gambaran

yang jelas dan klasik Tuberkulosis : epiteloid,dengan ada atau tidak ada

giant cell, nekrosis, limfosit dan fibroblast tidak dimasukkan sebagai

sampel, karena sudah jelas sebagai lesi TB.

2. Pasien dengan metastasis tumor dan limfoma karena di mungkinkan

adanya ko- insidens dengan TB.

Universitas Sumatera Utara


62

3.5. Kerangka Operasional

Limfadenitis

FNAB

TB Biasa Massa Amorf diduga TB Abses dan


Radang non
Spesifik

Eksklusi

PCR

TB (+) TB (-)

Gambar 3.1. Kerangka Operasional

Universitas Sumatera Utara


63

3.6. PENGUMPULAN DATA

Biopsi aspirasi jarum halus terhadap kelenjar limfe merupakan cara

mendapatkan sample sitologi massa eosinofilik dengan partikel coklat gelap yang

diduga mengandung Mycobacterium tuberculosis, reaksi radang kronik yang non

spesifik dan radang akut.

3.6.1. Aspirasi Biopsi

Cara melakukan biopsi aspirasi pada kelenjar limfe dengan

mempergunakan semprit plastik (disposable syringe) 10 cc dengan jarum halus

no. 23 atau berdiameter 0,65 mm dan panjang 3 atau 9 cm. Semprit plastik

dilekatkan pada handel yang menyerupai pistolyang diproduksi oleh Comeco,

Swedia. Dengan prosedur dan tehnik sebagai yang dianjurkan oleh Franzen dkk,

diambil aspirat pertama dan dibuat sediaan apus. (Franzén S, Zajicek J.,1968).

Sediaan dikeringkan diudara dan diwarnai dengan May Grunewald Giemsa

(M.G.G.). (Romeis,1968 in Boon, Drijver, 1986)

Gambar 3.2. Teknik Biopsi Aspirasi Jarum Halus (Koss LG, 2006)

Sediaan aspirat didiagnosis oleh peneliti utama untuk menentukan

apakah aspirat ini mengandung atau tidak mengandung massa eosinofilik dengan

partikel coklat gelap, dengan menggunakan mikroskop cahaya binokuler.

Universitas Sumatera Utara


64

Adanya massa eosinofilik dengan partikel coklat gelap dinilai berdasarkan kriteria

berikut:

a. Didalam massa eosinofilik ini terlihat sel-sel dengan inti bulat sampai

oval, relatif besar, berwarna kemerah-merahan, nukleoli dapat dikenal,

sitoplasma tidak jelas.

b. Massa kecil berwarna hitam kecoklatan, sitoplasma tidak jelas.

Dibandingkan dengan inti limfosit yang biru kemerahan, massa ini

sedikit lebih kecil, berwarna lebih coklat dan lebih gelap. Bentuknya

lebih tidak teratur sedikit memanjang dibandingkan dengan limfosit.

c. Partikel-partikel halus yang tidak teratur berwarna coklat gelap.

Sebagai sediaan-sediaan tanpa massa eosinofilik dengan partikel coklat

gelap adalah sediaan-sediaan yang didiagnosis sebagai limfadenitis kronis non

spesifik, ataupun radang akut abses dimasukkan sebagai bahan yang akan

diperiksa selanjutnya dengan PCR, sedangkan metastase karsinoma pada kelenjar

limfe, limfoma dan gambaran yang khas sitologi TB tidak dimasukkan sebagai

sampel penelitian.

3.6.2. PCR

Bila sediaan-sediaan ini memenuhi kriteria diatas maka kasus ini

dimasukkan dalam bahan penelitian. Selanjutnya dengan cara yang sama diambil

aspirat kedua dari tempat yang sama dengan aspirat pertama. Dibuat sediaan

untuk PCR dengan metode konvensional dengan insersi sekuens untuk

menentukan M.tuberculosis complex.

Universitas Sumatera Utara


65

3.6.2.1. Ekstraksi DNAdari sampel sel FNAB. (Teknik DNA PrepMate-M

dari Bioneer)

1. Tambahkan 300ul dari SE Buffer (75 mM NaCl, 25 mM EDTA,pH 8,0),

0,5% SDS dan 50ug/ml Proteinase K k sampel dan inkubasi selama 12-

24 jam pada 370 C (atau 2 jam pada 500 C).

2. Tambahkan 400ul phenol/chloroform (1:1) dan vortex dengan baik.

3. Sentrifus pada 13000 rpm selama 15 menit pada 40 C.

4. Pindahkan supernatant ke tabung baru dan tambahkan dengan volume

yang sama dengan chloroform/isoamyl alcohol (24:1) dan campurkan

dengan baik.

5. Sentrifus pada 13000 rpm selama 15 menit pada 40 C.

6. Tambahkan 0,1 Volume dari 3M NaOAc (pH 5,2) dan 2 volume ice-cold

Ethanol, inkubasi selama 1-2 jam pada -200 C.

7. Sentrifus pada 13000 rpm selama 15 menit pada 40 C.

8. Buang supernatant dan cuci dengan 1mL 70% ice-cold ethanol

9. Sentrifus pada 13000 rpm selama 3 menit pada 40 C.

10. Ulangi langkah 8 dan 9.

11. Buang supernatant keringkan pellet dengan vacum concentrator, campur

kembali pellet dengan 50ul dengan TE buffer (10mM Tris-Hcl, pH 8,0,1

mM EDTA pH 8,0) yang mengandung 20ug/ml RNase dan inkubasi

selama 1 jam pada 370 C.

12. Pakai 2-5 ul DNA untuk PCR. DNA yang didapat pada prosedur ini tahan

60 hari pada 40 C. dan lebih dari 1 tahun pada -200 C.

Universitas Sumatera Utara


66

3.6.2.2. Proses melakukan PCR

Alat : Tabung PCR, mikropipet, pipet tips, sarung tangan, vortex, mesin

sentrifugasi, mesin PCR (thermal cycler).

Bahan : PCR buffer sebanyak 2,5 uL, 10 mM dNTP sebanyak 0,5 uL, 25 mM

MgCl2/MgSO4 sebanyak 1,5 uL, primer forward sebanyak 1,65 uL,

primer reverse sebanyak 1,65 uL, aquabides/H2O sebanyak 19,075 uL,

Taq DNA plomerase sebanyak 0,125 uL, template DNA sebanyak 1 uL.

Cara Kerja

1) Buat mastermix dengan mencapurkan bahan-bahan : PCR buffer

sebanyak 2,5 uL, 10 mM, dNTP sebanyak 0,5 uL, 25 mM

MgCl2/MgSO4 sebanyak 1,5 uL, primer forward sebanyak 1,65 uL,

primer reverse sebanyak 1,65 uL, akuabides/ddH2O sebanyak 19,075

uL, Taq DNA polymerase sebanyak 0,125 uL ke dalam tabung.

2) Template DNA dimasukkan kedalam mastermix.

3) Tabung dimasukkan ke dalam PCR/thermal cyler.

4) Kemudian disentrifuse selama 3 menit dengan kecepatan 13.000 rpm

a. Kemudian dimasukkan ke alat PCR dengan kondisi suhu :

b. Hot start 95 C 10 menit 1 cycle.

c. Denaturasi 95 C 45 detik 35 cycle.

d. Annealing 60 C 45 detik.

e. Extensi 72 C 45 detik.

f. Extensi 72 C 7 menit

g. Soaking 4 C.

h. Cycle 35 2 to 4.

Universitas Sumatera Utara


67

5) Sementara menunggu, buat agar 2,5% caranya:

a. Agar 2,5 gram.

b. TBE 0,5 x 100 cc.

c. Lalu dicampur dan dipanaskan baru ditambah ETBR 2 uL.

d. Setelah itu dibiarkan di suhu kamar selama 2 jam.

6) Setelah selesai PCR product bisa langsung di elfo dengan agar 2%, bila

belum sempat bisa di simpan di frezer.

7) Agar dipindahkan ke alat elfo dan dibasahi dengan TBE 0,5 x hingga

seluruhnya terbenaM.PCR product diisikan ke dalam shell sebanyak 0,7

uL dan diatur juga posisinya dibandingkan marker. Marker diambil

sebanyak 20 uL dan diisikan ke dalam shell sebanyak 2 uL.

8) Setelah itu dilakukan elektroforesis 100 mV selama 30 menit dan lalu

diperiksa dibawah kamera uv.

9) Hasilnya dibandingkan dengan Marker.

3.7. PENGOLAHAN DATA DAN ANALISA STATISTIK

1. Menentukan persentase dari kedua jenis aspirat yang mengandung

kuman tuberkulosis dengan tabel berikut :

Jenis aspirat PCR (+) PCR (-)


Dengan massaeosinofilik dengan A B
partikel coklat gelap
Tanpa massaeosinofilik dengan C D
partikel coklat gelap
Jumlah A+C B+D

2. Menentukan apakah terdapat perbedaan yang bermakna antara negatif

dan positifnya kuman pada PCR dihubungkan dengan ada atau tidaknya

Universitas Sumatera Utara


68

massa eosinofilik dengan partikel coklat gelap, dimana akan diperoleh

sensitifitas dan spesifitas.

3 Sensitifitas = A / (A+C)

4 Spesifitas = D / (B+D)

5 Nilai duga positif = a : (a+b)

6 Nilai duga negatif= d : (c+d)

7 Rasio kemungkinan positif : a/ (a+c) : b/ (b+d)

8 Rasio kemungkinan negatif : c/ (a+c) : d/ (b+d)

3.8. PERSYARATAN ETIK

Implikasi Etik Eksperimentasi pada Manusia

Komplikasi yang berarti umumnya tidak pernah terjadi. Hematom paska

aspirasi jarang ditemui. Komplikasi septik tidak pernah didapatkan. Sebelum

dilakukan penelitian dipersiapkan Ethical Clearence setelah dipersiapkan

informed consent (persetujuan setelah penjelasan) dengan bahasa awam.

Universitas Sumatera Utara


BAB IV

HASIL PENELITIAN

Penelitian dilakukan sejak Juli 2016 sampai April 2017 dengan

pemeriksaan biomolekuler PCR untuk mengkonfirmasi diagnosis dari 97 kasus

radang dengan gambaran massa amorf eosinofik yang diduga limfadenitis TB dan

97 kasus radang tanpa massa amorf eosinofilik yang diduga bukan merupakan

limfadenitis TB setelah melakukan pemeriksaan sitologi Biopsi Aspirasi Jarum

Halus (FNAB).

Analisa statistik menunjukkan bahwa nilai prediktif dan spesifisitas dari

PCR mencapai 100%.Hal ini membuat PCR sebagai kontrol yang sangat baik bila

dibandingkan dengan jenis pemeriksaan lainnya, termasuk Ziehl-Neelsen sebagai

pewarnaan rutin dan pemeriksaan BTA. (Eom, 2015)

Tabel 4.1.Karakteristik sampel pada pasien dengan pemeriksaan PCR TB positif


dan TB negatif.
PCR
Karakteristik
TB positif (n = 95) TB negatif (n = 99)
Umur (SD, tahun) 49,29 (± 10,742) 32,4 (± 16,616)
Jenis kelamin
Laki-laki 48 63
Perempuan 47 36
Diagnosis klinis
Abses 1 35
Limfadenitis non spesifik 0 61
Suspek limfadenitis TB 94 3

Dari total 194 pasien dengan keluhan adanya benjolan di leher, rata-rata

umur pasien TB positif yang dikonfirmasi dengan PCR adalah 49,29 tahun (±

10,742) dan 48 pasien berjenis kelamin laki-laki. Satu orang TB positif yang

dikonfirmasi dengan PCR didiagnosis secara klinis sebagai abses, 94

pasiensuspek limfadenitis TB.

69
Universitas Sumatera Utara
70

Hasil Pemeriksaan PCR pada kelompok kasus radang dengan massa

amorf eosinofik yang diduga limfadenitis TB dan kasus radang tanpa massa amorf

eosinofilik yang diduga bukan merupakan limfadenitis TB.

Tabel 4.2. Hubungan jenis aspirat dengan PCR


Jenis Aspirat PCR (+) PCR (-)
Massa amorf eosinofilik dengan partikel coklat gelap 94 3
Tanpa massa amorf eosinofilik dengan partikel coklat 1 96
gelap

Tabel di atas menunjukkan bahwa 94 kasus dari 97 sediaan aspirat yang

menunjukkan massa amorf eosinofilik dengan partikel coklat gelap dinyatakan

positif pada pemeriksaan PCR, sedangkan 96 kasus dari 97 sediaan aspirat tanpa

massa amorf eosinofilik dengan partikel coklat gelap menunjukkan hasil negatif

pada pemeriksaan PCR. Bila dihubungkan antara massa amorf eosinofilik dengan

partikel coklat gelap dan bakteri tuberculosis pada PCR ,P < 0,001.

Dari tabel dapat dihitung besaran sensitifitas, spesifisitas, nilai duga

positif, nilai duga negatif, rasio kemungkinan positif dan rasio kemungkinan

negatif dari diagnostik sitologi tuberculosis melalui gambaran massa amorf

eosinofilik dengan partikel coklat gelap dengan perbandingan hasil dari

pemeriksaan PCR.

Sensitifitas = 94 x 100% / (1 + 94) = 98,95%

Spesifisitas = 96 x 100% / (3 + 96) = 96,97%

Nilai Duga Positif = 94 x 100% / (94 + 3) = 96,91%

Nilai Duga Negatif = 96 x 100% / (1 + 96) = 98,97%

Rasio Kemungkinan Positif = 94 : 3 / (94 + 1 3 + 96) = 33

Rasio Kemungkinan Negatif = 1 : 96 / (94 + 1 3 + 96) = 0,01

Universitas Sumatera Utara


71

Hal ini menunjukkan bahwa diagnostik sitologi tuberculosis melalui

gambaran massa eosinofilik dengan partikel coklat gelap memberikan sensitifitas

98,95% dan spesifisitas 96,97% bila dikonfirmasi dengan pemeriksaan PCR

menggunakan DNA Mycobacterium tuberculosis.

A 100 x B 400 x

Gambar 4.1.A & B Massa Amorf Eosinofilik yang diduga TB

400 x 400 x
Gambar 4.2. Abses Gambar 4.3. Radang kronik non
spesifik

Universitas Sumatera Utara


72

M P N 1 2 3

165 bp

Gambar 4.4.PCR M. tuberculosis 165 base pairs

Universitas Sumatera Utara


73

BAB V

PEMBAHASAN

Sengal AT (2016) melaporkan dari 155 kasus TB rentang usia penderita

antara 2 tahun sampai 66 tahun, sementara pada penelitian ini rentang usia

penderita limfadenitis TB usia paling muda 31 tahun dan paling tua 78 tahun.

Pada penelitian Patel VK (2016) 50% sampel merupakan limfadenitis non

spesifik, tiga puluh enam persen TB dan sepuluh persen abses, sedangkan dalam

penelitian ini 97 kasus (50%) massa amorf dengan partikel coklat gelap yang

diduga Tuberkulosis. Sebagai kontrol 31,44% limfadenitis non spesifik dan

18,56% abses.

Pada analisis hubungan antara bakteri tuberkulosis dan adanya massa

amorf eosinofilik dengan partikel coklat gelap P < 0,001 menunjukkan hubungan

yang significan. Artinya adanya massa amorf eosinofilik menunjukkan adanya

Tuberkulosis. Pada pemeriksaan PCR sebagai gold standart didapati 95 sampel

positif TB dan 99 sampel negatif TB.Uji diagnostik dilakukan setelah dibuat tabel

distribusi silang antara hasil Biopsi Aspirasi Jarum Halus yang dikonfirmasi

dengan PCR.

Dari penelitian ini didapatkan sensitifitas 98,95%, spesifisitas 96,97%,

Nilai Duga Positif 96,91%, Nilai Duga Negatif 98,97%. Nilai sensitifitas 98,95%

berarti probabilitas hasil positif Biopsi Aspirasi Jarum Halus dapat mendeteksi

pasien TB dengan hasil PCR positif sebesar 98,95%. Nilai spesifisitas 96,97%

berarti probabilitas hasil negatif Biopsi Aspirasi Jarum Halus dapat mendeteksi

pasien TB dengan hasil PCR negatif sebesar 96,97%. Nilai duga positif 96,91%

Universitas Sumatera Utara


74

berarti bahwa kemungkinan seseorang menderita TB dengan PCR positif sebesar

96,91% apabila hasil Biopsi Aspirasi Jarum Halus pasien tersebut positif. Nilai

duga negatif 98,97% berarti bahwa kemungkinan seseorang menderita TB dengan

PCR negatif sebesar 98,97% apabila hasil Biopsi Aspirasi Jarum Halus pasien

tersebut negatif. Sehingga dapat disimpulkan menyatakan gambaran massa amorf

eosinofilik sebagai kriteria baru diagnostik sitologi TB sangat akurat dalam

menegakkan diagnosis seperti juga memakai kriteria yang biasa yaitu adanya

epiteloid, limfosit, fibroblas dan nekrosis.

Hasil ini cenderung searah dengan penelitian Balaji (2009) dimana

sensitifitas, spesifisitas & akurasi diagnostik limfadenitis TB dengan sitologi yang

kriteria biasa masing-masing 98%, 100% & 99%. Nilai Duga Positif& Nilai Duga

Negatif masing-masing adalah 100 & 98. Muyanja (2015) meneliti sensitifitas

Biopsi Aspirasi Jarum Halus pasien TB 93,1% & spesifisitas 100%.Suryadi D

(2018) meneliti akurasi diagnostik sitologi biopsi aspirasi jarum halus pada

limfadenitis TB dikonfirmasi dengan PCR sebagai baku emas pada uji diagnostik

diperoleh nilai sensitifitas 92,50%, spesifisitas 96,49%, akurasi 94,85%, nilai

duga positif 94,87% dan nilai duga negatif 94,83%. Pemeriksaan biopsi aspirasi

jarum halus merupakan pemeriksaan penunjang yang sangat efektif untuk

dilakukan pada limfadenitis TB.Sedangkan penelitian Khan (2013) menyimpulkan

bahwa FNAC adalah tes sensitif dan sangat spesifik untuk diagnosis limfadenitis

tuberculosis dengan sensitifitas 77% dan spesifisitas 98%.

Lubis (2008) meneliti secara sitologi dapat dijumpai struktur berupa

massa eosinofilik disertai adanya partikel coklat gelap pada pasien-pasien yang

secara klinis tidak diobati dengan tatalaksana TB. Raviglione dan O’Brien (2010)

Universitas Sumatera Utara


75

menyebutkan bahwa pada pasien yang terinfeksi HIV gambaran granuloma

biasanya tidak ditemukan, padahal granuloma merupakan ciri khas pada lesi TB.

Rendahnya sistem imun pada pasien HIV dengan kadar CD4 di bawah 200

menyebabkan produksi IFN-γ menurun secara dramatis yang mengarah pada

peningkatan resiko pengembangan reaktifasi atau infeksi ulang oleh M.

tuberculosis pada pasien HIV. Pada saat yang sama dengan menurunnya kekebalan

maka terjadi juga penurunan TNF-α yang menurunkan sensitisasi sel T dalam

membentuk lesi granulomatosa sehingga epiteloid tidak terbentuk, hanya nekrosis

yang menonjol. Pada sitologi gambaran lesi hanya dijumpai struktur massa

eosinofilik dengan partikel coklat gelap, bukan pembentukan histiosit epiteloid

sebagai gambaran lesi granulomatosa. Kemungkinan lain tidak terbentuknya

granuloma adalah oleh karena faktor korda (korda serpentin) yang berbeda pada

lesi massa amorf eosinofilik dengan partikel coklat gelap. Brooks et al,, 2005

menyebutkan bahwa faktor korda juga menentukan virulensi kuman, ini

menghambat sekresimigrasi leukosityang akan menyebabkan granuloma

kronikdan dapat bertindak sebagai imunologi ”adjuvant”.

Universitas Sumatera Utara


76

BAB VI

SIMPULAN DAN SARAN

6.1. SIMPULAN

Gambaran sitologi massa amorf eosinofilik umumnya dijumpai pada

umur 49,29 (± 10,742) tahun dan jenis kelamin yang terbanyak adalah laki-laki.

Massa amorf eosinofilik secara statistik korelatif dengan adanya bakteri

Mycobacterium tuberculosis dengan p < 0,001, dengan kata lain adanya massa

amorf eosinofilik menunjukkan adanya M. tuberculosis pada jaringan.

Akurasi diagnostik massa amorf eosinofilik cukup tinggi 97,94%,

Sensitifitas 98,95%, Spesifitas 96,97%. Nilai Duga Positif 96,91% dan Nilai Duga

Negatif 98,97% sehingga dapat dipakai menjadi kriteria diagnostik untuk

Mycobacterium tuberculosis.

6.2. SARAN

Massa amorf eosinofilik dapat dipakai untuk membuktikan adanya

bakteri Mycobacterium tuberculosis pada yang diduga sebagai lesi tuberculosis

yang dikonfirmasi dengan PCR didapatkan Sensitifitas 98,95% dan Spesifisitas

96,97% serta Akurasi 97,94%. Angka ini cukup akurat untuk dipakai sehingga

disarankan agar Massa amorf eosinofilik menjadi salah satu kriteria diagnosis

limfadenitis tuberculosis dengan memakai biopsi aspirasi jarum halus. Perlunya

penelitian lanjutan tentang kemungkinan adanya polimorfisme gen pada pasien

dengan gambaran lesi massa amorf eosinofilik yang tidak berhubungan dengan

status immunologi penderita.

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR PUSTAKA

Abdissa K, Tadesse M, Bezabih M, Bekele A, Apers L, Rigouts L, Abebe1 G,


2014. Bacteriological methods as add on tests to fine-needle aspiration
cytology in diagnosis of tuberculous lymphadenitis: can they reduce the
diagnostic dilemma? BMC Infectious Diseases; 14 : 720

Abhimanyu, Jha P, Jain A, Arora K, Bose M, 2011. Genetic association study


suggests a role for SP110 variants in lymph node tuberculosis but not
pulmonary tuberculosis in north Indians. Hum Immunol. 2011 Jul;72(7):576-
80. doi: 10.1016/j.humimm.2011.03.014. Epub 2011 Apr 20.

Ahmad Z, Amin SS, 2003. Role of Tuberculin Test, FNAC, and Elisa in the
Diagnosis of Tuberculous Lymphadenitis. JIACM; 4 (4) : 292-295

Ammari FF, Bani Hani AH, Ghariebeh KI, 2003. Tuberculosis of thelymph
glands of the neck: a limited role for surgery.Otolaryngol Head and Neck
Surg; 128 (4): 576-580

Aslam FRA, 2016. Peran Pengawas Menelan Obat (PMO) Terhadap Keberhasilan
Pengobatan TB Paru di Kecamatan Medan Maimun. Available from
:http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/56147 (Accessed on 11
Desember 2017)

Baek CH, Kim Si, Ko YH, Chu KC, 2000. Polymerase chain reaction detection of
Mycobacterium tuberculosis from fine-needle aspirate for the diagnosis of
cervicalTuberculouslymphadenitis. Laryngoscope;110 (1) : 30-34

Balaji J, Sundaram SS, Rathinam SN, 2009.Fine Needle Aspiration Cytology in


Childhood TB Lymphadenitis.Indian J Pediatr 2009; 76 (12) : 1241-1246

Bellamy R, 1998. Variations in the NRAMP1 gene and susceptibility


totuberculosisin WestAfricans. NEJM, 338 (10):640-644

Bem C, Patil PS, Elliott AM, Namaambo KM, Bharucha H, Porter JD, 1993. The
value of wide- needle aspiration in diagnosis of tuberculous lymphadenitis in
Afrika.AIDS; 7 (9): 1221-1225

Bezabih M, Mariam DW, Selasie SG, 2002. Fine needle aspiration cytology of
suspected tuberculous lymphadenitis.Cytophatology; 13 (5) : 284-290

Biswajeet, 2011, Polymerase Chain Reaction- Part III: Variations or Types of


PCR and Future prospects of PCR. Available from
:http://pharmaxchange.info/press/2011/07/polymerase- chain-reaction-part-iii-
variations-or-types-of-PCR-and-future-prospects-of-PCR/ (Accesed on 6
September 2014)

77
Universitas Sumatera Utara
78

Boon ME, Drijver JS, 1986.Routine Cytological Staining Techniques,Macmillan


Education LTD, Houndmills, Basingstoke, Hampshire RG21 2XS and
London

Brooks GF, Butel JS, Morse SA, 2005. Mikobakteria In : Jawetz, Melnick &
Adelberg’s Mikrobiologi Kedokteran. Edisi Pertama Buku 1. Penterjemah dan
Editor : Bagian Mikrobiologi FK Unair. Penerbit Salemba Medika : 453-468

Brooks GF, Butel JS, Morse SA, 2005. Prinsip-prinsip Diagnostik Mikrobiologi
Kedokteran In : Jawetz, Melnick & Adelberg’s Mikrobiologi Kedokteran. Edisi
Pertama Buku 2. Penterjemah : Nani Widorini dan Editor : Dripa Sjabana.
Penerbit Salemba Medika : 411-451

Cardozo PL, 1973. Atlas of Clinical Cytology : The Netherlands

Chaudari S, Batra N, Halwal D, Bhat S, 2016. FNAC of tubercular lymph node –


An alternative to excision biopsy.IndianJournal of Pathology and Oncology;
3 (2) : 237-241

Conde-Junior HM, 1993. Fine needle aspiration biopsy (FNAB) for the diagnosis
of tuberculous lymphadenitis in HIV infected patients. Ints Conf AIDS;11 (9)
:323

Das DK, 2000. Fine-Needle Aspiration Cytology in the Diagnosis of Tuberculous


Lesion.Scientific Communication; 31 (11) : 626-632

Dash SP, Choudhury S, 2017. A Comprehensive Study of Cervical


Lymphadenopathy with special reference to FNAC as a diagnostic Criteria.
JMSCR; 05 (07) : 24567-24570

Delyuzar, Arbaningsih SR, Ruswardi, 2006. Empowerment human resources


against tuberculosis in North Sumatera : a FIDELIS initiative The
International Jornal of Tuberculosis and Lung Disease; 10 (11)

Diamantis A, Magiorkins E, Koutselini H, 2009. Fine-needle aspiration (FNA)


biopsy: historical aspects. Folia Histochem Cytobiol; 47 (2) : 191-197

Diedrich CR, Flynn JAL, 2011. HIV-1/Mycobacterium tuberculosis Coinfection


Immunology: How Does HIV-1 Exacerbate Tuberculosis? INFECTION AND
IMMUNITY; 79 (4) 1407–1417

Dorland, WA, 2002. Kamus Kedokteran Dorland.Edisi 29.Jakarta : EGC

DruryRAB, Wallington EA, 1967. Carleton’s Histological Technique. Fourth


Edition. Oxford University Press, New York

Universitas Sumatera Utara


79

Dye C, Gamett GP, Sleeman K, Williams BG, 1998. Prospect for worldwide
tuberculosis control under the WHO DOTS strategy: directly obserbed short-
course therapy. Lancet;352:18861-18891

Dye C, Scheele S, Dolin P, Pathania V, Reviglione MC, 1999. Global burden of


tuberculosis: estimated incidence, prevalence and motality by country. JAMA;
282:667-686

Ehlers S, Schaible1 UE, 2013. The granuloma in tuberculosis: dynamics of a


host–pathogen collusion. FrontiersinImmunology | Inflammation; 3 (411)

Eliandy S, Delyuzar, Intan TK, 2010. Profil Penderita Limfadenopati Servikalis


yang Dilakukan Tindakan Biopsi Aspirasi Jarum Halus di Instalasi Patologi
Anatomi RSUP H.Adam Malik Malik Tahun 2009. Tesis Program Magister
Kedokteran Klinik.Available from
:http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/16862 (Accessed on 6
September 2014)

Eliandy S, Lubis MND, Delyuzar, 2011. Hubungan Gambaran Bercak-bercak


Gelap (Dark specks) pada Latar Belakang Material Nekrotik Granular
Eosinofilik dengan Kadar CD4 Penderita dengan Kadar CD4 Penderita
Limfadenitis Tuberculosis Servikalis yang Disertai HIV/AIDS. Tesis Program
Dokter Spesialis.Available from
:http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/26585 (Accessed on 6
September 2014)

Ellison E, Lapuerta P, Martin SE, 1999.Fine needle aspiration diagnosis of


mycobacterial lymphadenitis. Sensitivity and predictive value in the United
States. Acta Cytol; 43 (2): 153-157

Fadila A, 2016. Pengaruh Intervensi Program Tuberculosis (TB) Paru Terhadap


Pengetahuan dan Sikap Masyarakat di Kecamatan Medan Maimun.Available
from :http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/56107 (Accessed on 11
Desember 2017)

Fagere M, 2013. Cyto-Morphological Pattern of Tuberculous Lymphadenitis


among Sudanese Patients.IJSR; 4 (8) : 1999-2002

Fanny ML, Beyam N, Gody JC, Zandanga G, Yango F, Manirakiza A, Rigout L,


Pierre-Audigier C, Gicquel B, Bobossi G, 2012. Fine-needle aspiration for
diagnosis of tuberculous lymphadenitis in children in Bangui, Central African
Republic. BMC Pediatrics; 12 : 191

Finfer M, Perchick A, Burstein DE, 1991. Fine needle aspiration biopsy diagnosis
of tuberculous lymphadenitis in patiens with and without the acquired
immune deficiency syndrome. Acta Cytol; 35 (3) : 325-332

Universitas Sumatera Utara


80

Franzen S, Zajicek J, 1968. Aspiration biopsy in diagnosis of palpable lesions of


the breast. Critical review of 3479 consecutive biopsies. Acta Radiol Ther
Phys Biol; 7 (4) : 241-262

Geetha JP, Doddikoppad MM, 2012. Role of immunochromatographic test in the


diagnosis of tuberculous lymphadenitis.Int J Biol Med Res; 3 (4) : 2575-2580

Giri S, Singh K, 2012. Fine Needle Aspiration Cytology For The Diagnostic Of
Tuberculous Lymphadenitis. Int J Cur Res Rev; 4 (24) : 130

Glaziou P, Falzon D, Floyd K, Raviglione M, 2013.Global epidemiology of


tuberculosis.Semin Respir Crit Care Med; 34 (1) : 3-16

Goel MM, Budhwar P, 2007. Immunohistochemical localization of


mycobacterium tuberculosis complex antigen with antibody to 38 kDa antigen
versus Ziehl-Neelsen staining in tissue granulomas of extrapulmonary
tuberculosis.Indian J Tuberc; 54 (1) : 24-29

Goel MM, Budhwar P, 2008. Species-Specific Immunocytochemical Localization


of Mycobacterium tuberculosis Complex in Fine Needle Aspirates of
Tuberculous Lymphadenitis Using Antibody to 38 kDa Immunodominant
Protein Antigen.Acta Cytologica. The Journal of Clinical Cytology and
Cytopathology; 52 (4) : 424-433

Gothi U, Jaswal A, Spalgais S, 2016. Lymph Node Tuberculosis.EC Pulmonology


and Respiratory Medicine; 2 (5) : 194-211

Gupta SK, Chugh TD, Sheikh ZA, al-Rubah NA 1993.Cytodiagnosis of


tuberculous lymphadenitis. A correlative study with microbiologic
examination.Acta Cytol; 37 (3) : 329-332

Hafez NH, Tahoun NS, 2011. Reliability of fine needle aspiration cytology
(FNAC) as a diagnostic tool in cases of cervical lymphadenopathy. Journal of
the Egyptian National Cancer Institute; 23 : 105–114

HarrisonAC, Jayasundera T, 1999. Mycobacterial cervical adenitis inAuckland :


diagnosis by fine needle aspirate. NZ. Med.J; 112 (1080) : 7-9

Hamdani C, Ham MF, Siregar NC, 2012.Patologi Molekuler, Badan Penerbit


Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Handa U, Palta A, Mohan H, Punia RP, 2002. Fine needle aspiration diagnosis of
tuberculous lymphadenitis.Trop Doct; 32 (3) : 147 -149

Handa U, Mundi I, Mohan S, 2012. Nodal tuberculosis revisited: a review. J


Infect Dev Ctries; 6 (1) : 6-12

Universitas Sumatera Utara


81

Harrison AC, Jayasundera T, 1999. Mycobacterial cervical adenitis inAucland :


diagnosis by fine needle aspirate. NZ. Med.J; 112 (1080):7-9

Hemalatha A, Shruti PS, Kumar MU, Bhaskaran A, 2014. Cytomorphological


Patterns of Tubercular Lymphadenitis Revisited. Ann Med Health Sci Res; 4
(3) : 393–396

Hoshino Y, Hoshino S, Gold JA, Raju B, Prabhakar S, Pine R, Rom WN, Nakata
K, Weiden M, 2007. Mechanisms of Polymorphonuclear Neutrophil–
Mediated Induction of HIV-1 Replication in Macrophages during Pulmonary
Tuberculosis. The Journal of Infectious Diseases; 195 : 1303–1310

Hsiao PF, Tzen CY, Chen HC, Su HY, 2003. Polymerase chain reaction based
detection of Mycobacterium tuberculosis in tissues showing granulomatous
inflammation without demonstrable acid-bacilli.Int J Dermatology; 42
(4):281-286

Ioachim, Harry L, Medeiros LJ, 2003. Mycobacterial Lymphadenitis In :Lymph


Node Pathology, Fourth Edition, Lippincot Wiilliam & Wilkins : 130-136

Iyengar KR, Basu D, 2001. Negative Images in the Fine Neddle Aspiration
Cytologic Diagnosis of Mycobacterial Infections. Malaysian J.Pathol; 23 (2) :
89-92

Japan anti-tuberculosis association, 1987.Minimum essentials of laboratory


procedure for tuberculosiscontrol : Japan international cooperation agency.
The research institute of tuberculosis.

Karp Gerald, 2008. Cell and Molecular Biology Cocepts and Experiments, John
Wiley& Sons (Asia) Pte Ltd : 765-767

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2011.TBC Masalah Kesehatan


Dunia.Available from
:http://www.bppsdmk.depkes.go.id/index.php?option=com_content&view=art
icle&id=167:TBc-masalah-kesehatan-dunia&catid=38:berita&Itemid=82
(Accessed on 6 September 2014)

Khajuria R, Singh K, 2016. Cytomorphological Features of Tuberculous


Lymphadenitis on FNAC.JK Science; 18 (2)

Khanna A, Khanna M, Manjari M, 2013. Cytomorphological patterns in the


Diagnosis of Tuberculous lymphadenitis. IJMDS; 2 (2) : 182-188

Khanna V, Kumar A, Alexander N, Surendran P, 2017.A case report on


esophageal tuberculosis – A rare entity.Int J Surg Case Rep; 35 : 41–43

Universitas Sumatera Utara


82

Khanacademy.Polymerase Chain Reaction (PCR).Available


from:https://www.khanacademy.org/science/biology/biotech-DNA-
technology/DNA-sequencing-PCR-electrophoresis/a/polymerase-chain-
reaction-PCR (Accessed on 24 November 2016)

Khan MM, MushTaq S, Mamoon N, Ahmad M, Ahmad S, 2013. Morphological


spectrum and accuracy of fine needle aspiration cytology in tuberculous
lymphadenitis. Gomal J Med Sci 2013; 11 : 230-234

Kocjan G. Fine Needle Aspiration Cytology: Diagnostic Principles and Dilemas.


London : Springer ; 2006 : 1-5, 91-95

Koo V, Lioe TF, Spence RAJ, 2006. Fine needle aspiration cytology (FNAC) in
the diagnosis of granulomatous lymphadenitis. Ulster Med J; 75 (1) 59-64

Koss LG, Melamed MR, 2006. Koss’ Diagnostic Cytology and its
Histopathologic Bases. Fifth edition. Volume I. Lippincott Williams &
Wilkins : 602-606

Koss LG, Melamed MR, 2006. Granulomatous lymphadenitis. In: Koss’


Diagnostic Cytology and Its Histopathologic Bases. Philadelphia : Lippincott
Williams & Wilkins : 1193-1197

Kraus M, Benharroch D, Kaplan D, Sion-Vardy N, Leiberman A, Dima H,


Shoham I, Fliss DM, 1999.Mycobacterial cervical lymphadenitis: the
histological features of non-tuberculous mycobacterial
infection.Histopathology; 35 (6) : 534-538

Krishna M, Kumar A, 2016. Tuberculous mycobacteria bacilli fluorescence and


compare with Ziehl- Neelsen stain in fine-needle aspiration cytology of
tubercular lymphnode. Int J Otorhinolaryngol Head Neck Surg; 2 (2) : 66-69

Kumar H, Chandanwale SS, Gore CR, Buch AC, Satav VH, Pagaro PM, 2013.
Role of fine needle aspiration cytology in assessment of cervical
lymphadenopathy.Medical Journal of Dr. D.Y. Patil University; 6 (4)

Lalvani A, Pathan AA, McShane H, Wilkinson RJ, Latif M, Conlon CP, Pasvol
G, Hill AV, 2001.Rapid detection of Mycobacterium tuberculosis infection by
enumerationof antigen-spesific T cells. Am J respir Crit Care med;163:824-
828

Lau SK, Wei WI, Hsu C, Engzell UC, 1990. Efficacy of fine needle aspiration
cytology in the diagnosis of tuberculous cervical lymphadenopathy.The
Journal of Laryngology & Otology; 104:24-27

Li JY, Lo ST, Ng CS, 2001. Molecular detection of Mycobacterium tuberculosis


in tissues showing granulomatous inflammation without demonstrable acid
fast bacilli. Diagn Mol Pathol Mar; 10 (1) : 66-68

Universitas Sumatera Utara


83

Linsk JA, Franzen S, 1983. Clinical Aspiration Cytology. JB.


LippincottCompany, London

Lisdine, Lubis HMND, 2000. Massa Nekrotik Bergranul Halus Eosinofilik


Bercak-bercak sebagai Pembeda Abses Tuberkulosis dan Abses non
Tuberkulosis. Available from
:http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/6302/1/patologi-lisdine.pdf
(Accesed on 6 September 2014)

Lubis DM, 2013. Jumlah Penularan Tuberculosis Paru Dalam Satu Keluarga
Dengan Melakukan Penelusuran Kontak Di Kecamatan Medan Tembung
2013.Available from :http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/40194
(Accessed on 9 September 2017)

Lubis HM, Lubis MND, Delyuzar, 2010. Badan-badan Kecil Berbentuk Oval
Gelap di dalam Kelompokan Makrofag dan Bercak-bercak Gelap Dua
Struktur Terabaikan dalam Diagnosis Limfadenitis Tuberculosis.Available
from :http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/26817 (Accesed on 6
September 2014)

Lubis HMND, Lubis HML, Lisdine, Hastuti NW, 2008. Dark specksand
eosinophilic granular necrotic material as differentiating factors between
tuberculous and nontubercolous abcesses.Indonesian Journal of Pathology;
17 (2) : 49-52

Magnani A, Mahlaoui N, 2016. Managing Inflammatory Manifestations in


Patients with Chronic Granulomatous Disease.Paediatr Drugs; 18 (5) : 335-
345

Maksum Radji, 2011. Rekayasa Genetika Pengantar untuk Profesi Kesehatan :


CV Sagung Seto : 48-73

Martin, HE, Ellis EB, 1930. Biopsy by needle puncture and aspiration, Ann Surg;
92 (2) : 169-181

Masilamani S, Arul P, Akshatha C, 2015. Correlation of cytomorphological


patterns and Acid-Fast Bacilli positivity in tuberculous lymphadenitis in a
rural population of southern India.Journal of Natural Science, Biology and
Medicine; J Nat Sc Biol Med; 6 : S134-138

Mason C, Summer W, 2005. Respiratory Infections : Mycobacterial Diseases. In:


Ali J, Summer W, Levitzky M, (eds) Pulmonary Pathophysiology. 2nd ed. New
York : McGraw-Hill; 182-193

Matee M, Mtei L, Lounasvaara T, Wieland-Alter W, Waddell R, Lyimo J, Bakari


M, Pallangyo K, Reyn CF, 2008. Sputum microscopy for the diagnosis of
HIV-assosiated pulmonary tuberculosis in Tanzania.BMC Public Health; (8)

Universitas Sumatera Utara


84

: 6-8

Meenakshisundaram K, Rajeswari K, Rajalakshmi V, 2016. Diagnostic accuracy


of Fine needle aspiration cytology in lymphadenopathy – our experience in a
tertiary care hospital.Indian Journal of Pathology and Oncology; 3 (1) ; 82-
85

Meghji S, Giddings CE, 2015. What is the optimal diagnostic pathway in


tuberculous lymphadenitis in the face of increasing resistance: Cytology or
histology? Am J Otolaryngol; 36 (6) : 781-785

Metre MS, Jayaram G, 1987. Acid Fast Bacilli in Aspiration Smears from
Tuberculos Lymph Nodes: Analyis of 255 cases.Acta Cytologica; 31 : 17-19

Meuthia R, Delyuzar, 2012. Gambaran Sitologi Limfadenopati pada Pasien HIV


dengan Penurunan Imunitas di RSUP H. Adam Malik Medan Periode Januari
2010 sampai Oktober 2012.Available from
:http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/38681 (Accessed on 6
September 2014)

Miranda MS, Breiman A, Allain S, Deknuydt F, Altare F, 2012. The Tuberculous


Granuloma: An Unsuccessful Host Defence Mechanism Providing a Safety
Shelter for the Bacteria?Hindawi Publishing Corporation Clinical and
Developmental Immunology; Article ID 139127

Misnadiarly, 1997.Frekuensi M.Atipik, M.Tuberculosis dan M.Bovis pada


Limfadenitis TBC Positif PA Positif Biakan. Cermin Dunia Kedokteran;115:
38-40

Mistry Y, Ninama GL, Mistry K, Rajat R, Parmar R, Godhani A, 2011. Efficacy


of Fine Needle Aspiration Cytology, Ziehl-Neelsen Stain and Culture
(Bactec) in Diagnosis of Tuberculosis Lymphadenitis.National Journal of
Medical Research; 2 (1) : 78-80

Mitra SK, Misra RK, Rai P, 2017. Cytomorphological patterns of tubercular


lymphadenitis and its comparison with Ziehl-Neelsen staining and culture in
eastern up. (Gorakhpur region): Cytological study of 400 cases. J Cytol; 34 :
139-143

Mittal P, Handa U, Mohan H, Gupta V, 2011. Comparative Evaluation of Fine


Needle Aspiration Cytology, Culture, and PCR in Diagnosis of Tuberculous
Lymphadenitis.Diagn Cytopathol; 39 (11) : 822-826

Mohapatra PR, Janmeja AK, 2009. Tuberculous Limfadenitis.Journal Association


of Physicians India; 57 : 589-590

Moriaty AT. Lymph Node. In: Renshaw A. Aspiration Cytology : A Pattern


Recognition Approach, Philadelphia, 2005 : 477-533

Universitas Sumatera Utara


85

Mulyani, Henny, Asri, Aswiyanti, 2010. Gambaran Limfadenitis Tuberculosis


Pada Anak yang Didiagnosis dengan FNAB di bagian Patologi Anatomi FK
Unand-RSUP Dr. M. Djamil, Padang. Available from:
http://repository.unand.ac.id/184/1/Makalah_Limf_TB.pdf
(Accessed on 6 September 2014)

Mustafa T, Leversen NA, Sviland L, Wiker HG, 2014. Differential in vivo


expression of mycobacterial antigens in Mycobacterium tuberculosisinfected
lungs and lymph node tissues.BMC Infect Dis; 14 : 535

Mustafa T, Leversen NA, Sviland L, Wiker HG, 2014. Mustafa T, Wiker HG,
Mfinanga SG, Mørkve O, Sviland L, 2006. Immunochemistry using a
Mycobacterium tuberculosis complex specific antibody for improved
diagnosis of tuberculosis lymphadenitis.Modern Pathology; 19 (12)

Mustika SE, 2009. Perbandingan Kuantitatif Morfometri Sitologi Dari Limfoma


Dan Non Neoplasma.Available from
:http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/6300 (Accessed on 6
September 2014)

Muyanja D, Kalyesubula R, Namukwaya E, 2015. Diagnostic accuracy of fine


needle aspiration cytology in providing a diagnosis of cervical
lymphadenopathy among HIV-infected patients.Afr Health Sci; 15 (1) : 107-
116

Narain JP, Lo YR, 2004.Epidemiology of HIV-TB in Asia.Indian J Med Res.


(120) : 277-289

Narayanamurthy C, Swamy CRK, 2012. Study of Cytological Pattern of


Tubercular Lymphadenitis.Global Journal of Medical research; 12 (1)

NCBI.Polymerase Chain Reaction (PCR). Available from


:https://www.ncbi.nlM.nih.gov/probe/docs/techPCR/ (Accessed on 6
November 2016)

Nidhi P, Sapna T, Shalini M, Kumud G, 2012. Fnac In Tuberculous


Lymphadenitis: Experience From A Tertiary Level Referral Centre. Indian J
Tuberc; 58 : 102-107

Ngilimana PJ, Bizimungu D, 1992. Tuberculous lymphadenopathy in patients


with HIV-1 infection: histopathological lesions. Int Conf AIDS; (8) 19-24

Novel SS, Nuswantara, Sukma, Syarif, Supartini, 2010. Genetika Laboratorium,


CV Trans Info Media : 101-107

Orell SR, et al,, 1986. Manual and Atlas of Fine NeedleAspiration Cytology.
Churchill Livingstone, Edinburg

Universitas Sumatera Utara


86

Orell SR, Sterett FG, Whitaker D, 2005. Granulomatous lymphadenitis. In: Fine
Needle Aspiration Cytolology. USA; Elsevier Saunders; p. 93-95

Pandiaraj YA/P, Delyuzar, 2015. Profil Pasien HIV Dengan Tuberculosis Yang
Berobat Ke Balai Pengobatan Paru Provinsi (Bp4), Medan Dari Juli 2011
Hingga Juni 2013. Available from
:http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/50130 (Accessed on 9
September 2017)

Pao CC, Yen TSB, You JB, Maa JS, Fiss EH, Chang CH, 1990. Detection and
Identificationnof Mycobacterium tuberculosis by DNA
Amplification.Journal of Clinical Microbiology; 28 (5) : 1877-1880

Parsons LM, Somoskövi A, Gutierrez C, Lee E, Paramasivan CN, Abimiku A,


Spector S, Roscigno G, Nkengasong J, 2011. Laboratory Diagnosis of
Tuberculosis in Resource-Poor Countries: Challenges and Opportunities.
Clin Microbiol Rev; 24 (2) : 314-350

Patel VK, Sheth R, Shah K, 2016. A retrospective study on role of fine needle
aspiration cytology in diagnosis of cervical lymphadenopathy. International
Journal of Medical Science and Public Health; 5 (8) : 1588-1591

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.Pedoman Penatalaksanaan Tuberculosis


(Konsensus TB). Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia; 2006

Pithie AD, ChicksenB, 1992. Fine-neddle extrathoracic lymph-node aspiration in


HIV–associated sputum-negative tuberculosis. Lancet;3408834-8835:1504-
1505

Pulungan EF, Delyuzar, 2014. Hubungan Pengetahuan Sikap Dan Praktek


Pengawas Menelan Obat Dengan Keberhasilan Pengobatan Tubekkolosis
Paru Di Puskesmas Glugur Darat Pada Tahun 2011. Available from
:http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/40635 (Accessed on 9
September 2017)

Purba PGY, Delyuzar, 2011. Karakteristik Penderita Limfadenitis Tuberculosis


Di Sentra Diagnostik Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara Tahun 2011.Available from
:http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/31369
(Accessed on 6 September 2014)

Purohit MR, Mustafa T, Wiker HG, Mørkve1 O, Sviland L,


2007.Immunohistochemical diagnosis of abdominal and lymph node
tuberculosis by detecting Mycobacterium tuberculosiscomplex specific
antigen MPT64.Diagnostic Pathology;2 : 36

Putra AK, Delyuzar, 2010. Kejadian Tuberculosis Pada Anggota Keluarga Yang

Universitas Sumatera Utara


87

Tinggal Serumah Dengan Penderita TB Paru BTA Positif.Available from


:http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/19500 (Accessed on 6
September 2014)

Ramos JM, Pe´rez-Butraguen M, Tisiano G, Yohannes T, Reyes F, Go´rgolas M,


2013. Evaluation of Ziehl–Neelsen smear for diagnosis of pulmonary
tuberculosis in childhood in a rural hospital in Ethiopia.International
Journal of Mycobacteriology; 2 : 171–173

Raslan WF, Rabaan A, Al-Tawfiq JA, 2014. The predictive value of Gen-Probe's
amplified Mycobacterium tuberculosis direct test compared with culturing in
paraffin-embedded lymph node tissue exhibiting granulomatous
inflammation and negative acid fast stain. J Infect Public Health; 7 (4) : 251-
6

Raviglione MC, O’Brien RJ, 2010. Tuberculosisin :Harrison’s Infectious


Diseases. Editor : Dennis L. Kasper, Anthony S. Fauci. Mc Graw Hill
Companies : 596-617

Raviglione MC, O’Brien RJ, 2008. Tuberculosisin : Fauci et al, (eds) Harrison’s
Principle of Internal Medicine. 17th edition. New York : McGraw-Hill : 1006-
1038

Reichman LB, 1996.How to ensure the continued resurgence of tuberculosis.


Lancet;347:175-177

Renshaw, Andrew, 2005. Macrophage rich pattern In : Aspiration Cytology A


Pattern Recognition Approach, Elsevier Saunders : 47-48

Ridley DS, Ridley MJ, 1987. Rationale for the Histological Spectrum of
Tuberculosis.Basis for Classification. Pathology; 19 : 186-192

Robbins SL, Cotran RS, 2015.Tuberculosis in :Pathologic Basis of Disease. 9th ed.
USA: Elsevier. p. 371-376

Rose CD, Neven B, Wouters C, 2014. Granulomatous inflammation: The overlap


of immune deficiency and inflammation. Best Pract Res Clin Rheumatol; 28
(2) : 191-212

Sakamoto K, 2012. The Pathology of Mycobacterium tuberculosis


Infection.Veterinary Pathology; 49 (3) : 423-439

Sandgren A, Hollo V, van der Werf MJ, 2013. Extrapulmonary TuberculosisIn


The European Union And European Economic Area, 2002-2011.
EuroSurveill;18 (12)

Sarwar A, Haque A, Aftab S, Sani A, 2004. Spectrum of Morphological Changes


in Tuberculous Limfadenitis.International Journal of Pathology;2 : 85-89

Universitas Sumatera Utara


88

Saunders BM, Britton WJ, 2007. Life and death in the granuloma:
immunopathology of tuberculosis. Immunology and Cell Biology; 85 : 103–
111

Sen R, Marwah N, Gupta KB, Marwah S, Arora R, Jain K, 1999.


Cytomorphologic Patterns in Tuberculous Lymphadenitis.Ind. J. Tub; 46
(125)

Sengal AT, Mohamedani AA, Hussein HH, Kamal A, 2016.The Role of PCR in
Diagnosis of a Rare Appendicular Tuberculosis and Mini Literature
Review.Hindawi Publishing Corporation Case Report in Gastrointestinal
Medicine; Article ID 8356708

Serelis J, Papaparaskevas J, Stathi A, Sawides AL, Karagouni AD, Tsakris A,


Pangalis A, 2013. Granulomatous infection of the hand and wrist due to
Azospirillum spp. Diagn Microbiol Infect Dis; 76 (4) : 513-515

Singh KK, Muralidhar M, Kumar A, Chattopadhyaya TK, Kapila K, Singh MK,


Sharma SK, Jain NK, Tyagi JS, 2000. Comparison of in house polymerase
chain reaction with conventional techniques for the detection of
Mycobacterium tuberculosisDNA in granulomatous lymphadenopathy. J Clin
Phatol; 53:335-361

Singh UR, Bhatia A, Gadre DV, Talwar V, 1992.Cytologic diagnosis of


tuberculous lymphadenitis in childrenby fine needle aspiration. Indian
J.Pediatr; 59 (1) : 115-118

Somoskovi A, Gutierrez CM, Salfinger M, 2008. Laboratory diagnosis of


tuberculosis: novel and nonconventional methods. Reviews in Medical
Microbiology; 19 : 19–38

Sonia Barbara RO, Delyuzar, 2011. Hubungan Jumlah Kejadian Tuberculosis


Kelenjar dengan Jumlah Suspek Tuberculosis Paru di Sentra Diagnostik
Patologi Anatomi FK USU. KTI FK USU, Unpublish

Subagyo A, Aditama TY, Sutoyo DK, Partakusuma LG, 2006.Pemeriksaan


Interferon-gamma Dalam Darah Untuk Deteksi Infeksi Tuberculosis. Jurnal
Tuberculosis Indonesi;3 (2):6-19

Subowo, 2009.Immunobiologi. CV Sagung Seto, Edisi 2 : 89-119

Sulis G, Roggi A, Matteelli A, Raviglione MC, 2014. Tuberculosis:


Epidemiology and Control. Mediterr J Hematol Infect Dis; 6 (1) : e2014070

Supiyaphun P, Tumwasorn S, Udomsantisuk N, Keelawat S, Songsrisanga W,


Prasurthsin P, Sawatpanich A, 2010. Diagnostic tests for tuberculous

Universitas Sumatera Utara


89

lymphadenitis: fine needle aspirations using tissue culture in mycobacteria


growth indicator tube and tissue PCR. Asian Biomedicine; 4 : 787-792

Suryadi D, Delyuzar, Soekimin, 2018. Diagnostic accuracy of tuberculous


lymphadenitis fine needle aspiration biopsy confirmed by PCR as gold
standard. IOP Conf. Ser.: Earth Environ. Sci. 125 012048

Swaminathan S, Narendran G, 2008. HIV and Tuberculosis in India.J Biosci; 33


(4) : 527-535

Thakur B, Mehrotra R, Nigam JS, 2013. Correlation of Various Techniques in


Diagnosis of Tuberculous Lymphadenitis on Fine Needle Aspiration
Cytology.Hindawi Publishing Corporation Pathology Research
International; Article ID 824620

Tomashefski JF, Farver CF, 2008. Tuberculosis and Nontuberculous


Mycobacterial Infection. In: Dail and Hammar’s Pulmonary Pathology.
Volume I: Nonneoplastic Lung Disease. 3 rd ed. New York: Springer. p. 316-
348

TubbsRR, Stoler MH, 2009. Molecular Diagnosis of Infectious Agents in Tissue.


Cell and Tissue Based Molecular Pathology. Churchill Livingstone Elsevier
: 182-193

Underwood JCE, Cross SS, 2009. Inflamation In : General and Systemic


Pathology, Fifth Edition, Churchill Livingstone Elsevier : 200-219

Uwimana I, Gatabazi JB1, Mukabayire O, Bigirimana V, Ngendahayo L, Mubako


TVK, Stevens MH, 2016. Mycobact Dis;6 : 200

Vincent V, 2017. Hubungan Tes Tuberkulin Dengan Pasien Limfadenitis


Tuberculosis Anak Di Di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik
Medan Tahun 2012-2015. Available from
:http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/67903 (Accessed on 12
Februari 2018)

Yuzar DN, 2016. Hubungan Kejadian Limfadenitis TB pada Anak dengan


Riwayat TB Paru pada Keluarga di Sentra Diagnostik Patologi Anatomi FK
USU Mei-September 2013.Avalable from
:http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/60895 (Accessed on 9
September 2017)

Weaver RF, 2007.Moleculer Cloning Methods. Molecular Biology, Fourth


Edition : 52-80

Universitas Sumatera Utara


90

Wei OZ, 2011. Gambaran Persepsi Pasien Tuberculosis terhadap Pelayanan


Rawat Inap di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik, Medan.
Available from :http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/21978(
Accessed on 6 September 2014)

Widoyono, 2008. Penyakit Tropis Epidemiologi, Penularan, Pencegahan dan


Pemberantasannya. Surabaya: Erlangga

World Health Organization. Global Tuberculosis Report 2017,


WHO/HTM/TB/2017.13, Switzerland, 2017

World Health Organization. Geneva: Early TB Detection; 2017. Available from:


http://www.who.int/TB/areas-of-work/laboratory/en/ (Accessed on 24
November 2017)

Universitas Sumatera Utara


91

Universitas Sumatera Utara


92

Universitas Sumatera Utara


93

Universitas Sumatera Utara


94
Universitas Sumatera Utara
95

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai