DISERTASI
DELYUZAR
088102011
FAKULTAS KEDOKTERAN
MEDAN
2019
DELYUZAR
088102011
FAKULTAS KEDOKTERAN
MEDAN
2019
iii
Universitas Sumatera Utara
Promotor:
Fakultas Kedokteran
Medan
Co-Promotor:
Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia
Jakarta
Co-Promotor:
Fakultas Kedokteran
Medan
iv
Universitas Sumatera Utara
v
Universitas Sumatera Utara
Telah diuji pada Ujian Tertutup
vi
Universitas Sumatera Utara
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK
KEPENTINGAN AKADEMIS
Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan), dengan Hak Bebas Royalti Non
Eksklusif ini, Universitas Sumatera Utara berhak menyimpan, mengalih
media/formatkan, mengelola dalam bentuk data base, merawat dan
mempublikasikan disertasi saya tanpa meminta izin dari saya sebagai penulis dan
sebagai pemilik hak cipta.
Demikian pernyataan ini saya perbuat dengan sebenarnya.
Delyuzar
vii
Universitas Sumatera Utara
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji dan Syukur kita ucapkan kepada Allah SWT atas segala Rahmat dan
Kedokteran dan dapat menyelesaikan Disertasi ini dengan judul “Korelasi Antara
Tuberculosis pada Sitologi Biopsi Aspirasi“. Dengan segala kerendahan hati, saya
terhormat Rektor Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH,
M.Hum, Rektor sebelumnya Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, CTM,
Sp.A(K). Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Dr. dr. Aldy S.
Doktor (S3) Ilmu Kedokteran Prof. Dr. dr. Delfitri Munir, Sp.THT-KL (K) dan
Ketua Program Studi Doktor (S3) Ilmu Kedokteran sebelumnya, Prof. dr.
Chairuddin P. Lubis, DTM&H, Sp.A (K), atas kesempatan dan fasilitas yang
Utara.
Ucapan terima kasih dan salam hormat saya sampaikan kepada Promotor
dan Co-Promotor, Prof. dr. M. Nadjib Dahlan Lubis, Sp.PA (K), Prof. dr. Mpu
Kanoko, Sp.PA(K), PhD dan Prof. Tamsil Syaifuddin. Sp.P(K), atas kesediaan
viii
Universitas Sumatera Utara
ini. Semoga Allah SWTakan memberikan Rahmat, perlindungan dan kesehatan
kepada para guru dan pembimbing saya tersebut. Selanjutnya saya juga
Penguji Disertasi ini, Prof. dr. Salmiah Agus, Sp.PA (K), Dr. dr. Rosita Juwita
Sembiring, Sp.PK, Dr. Ir. Erna Mutiara, MKM, Dr. dr. Imam Budi Putra, MHA,
terima kasih dan salam hormat juga saya sampaikan kepada seluruh staf pengajar
Program Studi Doktor (S3) Ilmu Kedokteran FK USU, Prof. dr. Chairuddin P.
Lubis, DTM&H, Sp.A (K), Prof. dr. Harun Rasyid Lubis, Sp.PD-KGH, Prof. dr.
Gofar Sastrodiningrat, Sp.BS (K), Dr. Ir. Sumono, MS, Drs. Sutarman, M.Si, Phd,
Almarhum Prof. dr. Iskandar Zulkarnain Lubis Sp.A (K), Prof, Dr. Ir. Harmein
Nasution, MSIE, dr.Adang Bachtiar, MPH, DSc, dr. Gino Tan Sp.PK (K), PhD,
Dr. dr. Rosita Juwita,Sp.PK, atas bimbingan dan saran selama saya mengikuti
Universitas Sumatera Utara, dr. Ginanda Putra Siregar, Sp.U dan Kepala
tempat penelitian saya sehingga disertasi ini bisa diselesaikan. Terima kasih
ix
Universitas Sumatera Utara
MPH,CHES Senior Study Director, Westat USA, Prof.Dr. Angkana Chaiprasert
Universitas Sumatera Utara Prof. Dr. Erman Munir, M.Sc, yang telah membantu
Ketua Komite Etik yang telah memberikan izin untuk penelitian ini. Tidak lupa
juga terima kasih kepada Dr.dr.Iqbal, Sp.BA(K) dan seluruh staf dan pegawai
Program Studi Doktor (S3) Ilmu Kedokteran Universitas Sumatera Utara atas
kepada guru-guru yang mendidik dan membuka pintu saya untuk bidang Patologi
Sp.PA(K). Juga terima kasih kepada para pembimbing saya selama magang di
dr.Budiana Tanurahardja, Sp.PA(K), semoga Allah akan membalas budi dan jasa
x
Universitas Sumatera Utara
Ucapan terima kasih dan mohon maaf saya sampaikan kepada para
sejawat saya rekan berjuang mulai dari menjalani program spesialis Patologi
Anatomik, Magister dan Program Doktor (S3) dan teman bekerja, dr. Jamaluddin
Pane, Sp.PA, dr. Sumondang Pardede, Sp.PA beserta seluruh pimpinan dan Staf
Kemala Intan M. Pd, M. Biomed, dr. Causa Trisna M.Ked(PA), Sp.PA, dr.Wan
Naemah dan seluruh staf Patologi Anatomik RS Pirngadi Medan, terima kasih
Saya juga mengucapkan terima kasih kepada dr. Dedy Suryadi, dr. Roza
Rita, dr. Adeodata Lily Wibisono dan seluruh PPDS yang tidak dapat saya
sebutkan satu persatu, Sdr. Husin dan seluruh Staf administrasi dan Laboratorium
Sembah sujud, doa dan terima kasih yang tak terhingga kepada Ibunda
kami Hj.Syamsinar dan Almarhum Papa Harris seorang prajurit yang menjadi
petani demi mewujudkan cita-cita agar saya menjadi seorang dokter yang baik.
Ibunda kami yang telah melahirkan, mengasuh dan mendidik kami dengan
mengajarkan kami menjadi pejuang yang gigih demi cita-cita tetapi harus jujur
mengambil sikap, istiqomah dan mencintai bangsa ini. Saya tidak bisa membalas
jasa keduanya terutama Papa yang telah berpulang sebelum saya bisa
tempatkan di tempat terbaik dan Ibunda tetap sehat dan mendapat lindungan dari
xi
Universitas Sumatera Utara
Allah SWT.
Hj.Nurlely, saya ucapkan terima kasih yang tak terhingga atas doa, kasih sayang
Ucapan terima kasih beserta ungkapan sayang untuk istri saya terkasih
Hj.Novitasari yang dengan sabar mengikuti perjalanan hidup kami yang penuh
berujung. Untuk anak-anakku Devi Nafilah Yuzar, Dini Alfitri Yuzar, Difan
Nasuha Yuzar, Dina Nabila Yuzar dan Dinda Nadila Yuzar, maaf kan kalau Buya
selalu meminta kita bersabar dan terima kasih atas dukungan kalian semua,
semoga ini juga akan memotivasi kalian bahwa belajar adalah sepanjang hayat,
Terima kasih atas dukungan yang tulus dari Elly dan Ali dan semua adik
iparku dan seluruh keluarga yang telah memberi semangat, dorongan moril dan
material dan semua doa sehingga saya bisa menyelesaikan pendidikan ini dengan
baik.
Akhirnya untuk semua nama yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu
yang telah memberi pertolongan langsung maupun tidak langsung dari lubuk hati
Saya harap semoga disertasi ini akan dapat menyumbangkan hasil bagi
xii
Universitas Sumatera Utara
Medan, 7 Februari 2019
Peneliti
Delyuzar
xiii
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
A.Identitas diri
5.NIDN : 0019026301
7.E-mail : dr_delyuzar@yahoo.com
xiv
Universitas Sumatera Utara
B. Riwayat Pendidikan
Spesialis PA(1991-1996),
Limpoma
Tahun 2011
Limfadenitis Tuberkulosis
dalam Jaringan
Nama Pembimbing / Promotor : Prof. dr. H. M Najib Dahlan Lubis, Sp.PA (K)
xv
Universitas Sumatera Utara
C. Pengalaman Penelitian Selama 5 tahunTerakhir
HIV/AIDS. PPDS PA
KTI MHS
xvi
Universitas Sumatera Utara
D. Pengalaman Pengabdian Kepada Masyarakat Dalam 5 Tahun Terakhir
CEPAT-USAID
CEPAT-USAID
Sakit Haji Adam Malik Medan Tahun 2009-2011. Majalah Patologi Indonesia
Vol.24/No.2/Mei 2014.
2019.
xvii
Universitas Sumatera Utara
2. Asia-Pacific Searo Confrence, Community Empoerment TB Programe in
Medan, 2010.
2012.
10. 6th Conference of International Union Against Tuberculosis and Lung Disease
2017.
G. Perhimpunan Profesi :
xviii
Universitas Sumatera Utara
5. Anggota Peneliti Subcluster TB Indonesia ICE-IBM.
Nasional.
xix
Universitas Sumatera Utara
PERNYATAAN ORISINALITAS
sebagai syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Doktor (S3)
tertentu dari karya orang lain dalam penulisan disertasi ini , telah penulis
cantumkan sumbernya secara jelas sesuai norma, kaidah dan etika penulisan
ilmiah.
disertasi ini bukan hasil karya penulis sendiri atau adanya plagiat dalam bagian-
Delyuzar
xx
Universitas Sumatera Utara
SUMMARY
xxi
Universitas Sumatera Utara
RINGKASAN
xxii
Universitas Sumatera Utara
ABSTRACT
Background
Examination of AFB sputum and X-ray photos has been used to identify
pulmonary TB sufferers. For extrapulmonary tuberculosis, fine needle aspiration
biopsy cytology is needed, although sometimes there is a picture that is not typical
of an eosinophilic mass with dark brown particles suspected of being TB. This
study will prove that eosinophilic mass with brown particles is accurately used as
a new criterion for TB cytology diagnostics.
Method
Through fine needle aspiration biopsy technique, it was stained with Giemsa,
when there was an eosinophilic mass with dark brown particles, and confirmed by
PCR examination. As a comparison, other inflammation that is not TB is also
confirmed by PCR. Search for a relationship between eosinophilic amorphous
mass containing dark brown particles and M. tuberculosis. To assess the accuracy,
a diagnostic test assessed the sensitivity and specificity of eosinophilic mass with
dark brown particles with gold standard PCR examination.
Results
A significant correlation (p <0,01) was found between eosinophilic amorphous
mass containing dark brown particles and M. tuberculosis. Diagnosis of TB
cytology via eosinophilic amorphous mass containing dark brown particles gave
an accuracy of 97,94% with a sensitivity of 98,95% and specificity of 96,97%
when confirmed by PCR examination using M. tuberculosis DNA.
Conclusion
Eosinophilic mass containing accurate dark brown particles is used as a new
diagnostic criteria for TB cytology with high sensitivity and specificity when
confirmed by PCR examination.
Keywords: eosinophilic mass, brown particles, PCR, TB
xxiii
Universitas Sumatera Utara
ABSTRAK
Latar belakang
Pemeriksaan sputum BTA dan foto ronsen selama ini digunakan untuk
mengidentifikasi penderita TB paru. Untuk TB diluar paru, perlu dilakukan
sitologi biopsi aspirasi jarum halus, walaupun kadang-kadang dijumpai gambaran
yang tidak khas berupa massa eosinofilik dengan partikel coklat gelap yang
diduga sebagai TB. Penelitian ini akan membuktikan bahwa massa eosinofilik
dengan partikel coklat, akurat dipakai sebagai kriteria baru untuk diagnostik
sitologi TB.
Metode
Melalui teknik biopsi aspirasi jarum halus, diwarnai dengan Giemsa, bila dijumpai
massa eosinofilik dengan partikel coklat gelap, dan dikonfirmasi dengan
pemeriksaan PCR. Sebagai pembanding adalah radang lainnya yang bukan TB
juga dikonfirmasi dengan PCR. Dicari hubungan antara massa amorf eosinofilik
yang mengandung partikel coklat gelap dengan M.tuberculosis untuk menilai
akurasi dilakukan uji diagnostik menilai sensitifitas dan spesifisitas massa
eosinofilik dengan partikel coklat gelap dengan baku emas pemeriksaan PCR.
Hasil
Didapatkan hubungan yang signifikan (p<0,01) antara massa amorf eosinofilik
yang mengandung partikel coklat gelap dengan M.tuberculosis. Diagnostik
sitologi TB melalui gambaran massa amorf eosinofilik yang mengandung partikel
coklat gelap memberikan akurasi 97,94%dengan sensitifitas 98,95% dan
spesifisitas 96,97% bila dikonfirmasi dengan pemeriksaan PCR menggunakan
DNA M. tuberculosis.
Kesimpulan
Massa eosinofilik yang mengandung partikel coklat gelap akurat dipakai sebagai
kriteria baru diagnostik sitologi TB dengan sensitifitas dan spesifisitas yang tingi
bila dikonfirmasi dengan pemeriksaan PCR.
Kata kunci : massa eosinofilik, partikel coklat, PCR, TB
xxiv
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR ISI
Halaman
SAMPUL DEPAN ................................................................................................... i
SAMPUL DALAM ................................................................................................. ii
LEMBAR PRASYARAT GELAR ....................................................................... iii
LEMBAR PROMOTOR DAN CO-PROMOTOR ............................................... iv
LEMBAR PENGESAHAN ....................................................................................v
LEMBAR PENGUJI ............................................................................................. vi
LEMBAR PERSETUJUAN……………………………………………………..vii
UCAPAN TERIMA KASIH ................................................................................ viii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ............................................................................. xiv
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ...................................................xx
SUMMARY ......................................................................................................... xxi
RINGKASAN .................................................................................................... xxii
ABSTRACT ...................................................................................................... xxiii
ABSTRAK ......................................................................................................... xxiv
DAFTAR ISI ........................................................................................................xxv
DAFTAR TABEL ............................................................................................. xxvii
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xxviii
DAFTAR SINGKATAN ................................................................................... xxix
BAB I. PENDAHULUAN ......................................................................................1
1.1. Latar Belakang...............................................................................................1
1.2. Rumusan Masalah .........................................................................................7
1.3. Tujuan Penelitian ...........................................................................................7
1.3.1. Tujuan umum ..........................................................................................7
1.3.2. Tujuan khusus .........................................................................................7
1.4. Manfaat Penelitian .........................................................................................8
1.5. Orisinalitas .....................................................................................................9
1.6. Potensi Hak Atas Kekayaan Intelektual .......................................................9
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ...........................................................................10
2.1. Tuberculosis ................................................................................................10
2.1.1. Definisi..................................................................................................10
2.1.2. Epidemiologi .........................................................................................10
2.1.3. Etiologi..................................................................................................11
2.1.4. Patogenesis............................................................................................14
2.1.5. Perjalanan penyakit tuberculosis ..........................................................16
2.1.6. Morfologi ..............................................................................................19
2.1.6.1. Tuberculosis primer ......................................................................20
2.1.6.2. Tuberculosis sekunder ..................................................................22
2.1.7. Pemeriksaan tuberculosis .....................................................................28
2.2. Biopsi Aspirasi Jarum Halus Limfadenitis TB ............................................31
xxv
Universitas Sumatera Utara
2.3. Pemeriksaan Polymerase Chain Reaction ...................................................38
2.3.1. Prinsip umum PCR ...............................................................................38
2.3.2. PelaksanaanPCR ...................................................................................39
2.3.3. OptimasiPCR ........................................................................................45
2.3.4. Ringkasan proses PCR ..........................................................................48
2.3.5. Jenis-jenis PCR .....................................................................................50
2.3.6. Masa depan PCR...................................................................................51
2.3.7. PCR pada tuberculosis ..........................................................................51
2.4. Kerangka Teori ............................................................................................54
2.5. Kerangka Konsep ........................................................................................55
2.6. Variabel .......................................................................................................55
2.7. Definisi Operasional ....................................................................................55
2.8. Hipotesis ......................................................................................................59
BAB III. METODE PENELITIAN........................................................................60
3.1. Desain Penelitian ........................................................................................60
3.2. Tempat dan Waktu Penelitian .....................................................................60
3.3. Populasi dan Sampel....................................................................................60
3.4. Kriteria Seleksi Sampel ...............................................................................60
3.4.1. Kriteria inklusi ......................................................................................60
3.4.2. Kriteria ekslusi ......................................................................................61
3.5. Kerangka Operasional .................................................................................62
3.6. Pengumpulan Data.......................................................................................63
3.6.1. Aspirasi biopsi ......................................................................................63
3.6.2. PCR .......................................................................................................64
3.6.2.1. Ekstraksi DNA ...............................................................................65
3.6.2.2. Proses melakukan PCR .................................................................66
3.7. Pengolahan Data dan Statistik .....................................................................67
3.8. Persyaratan Etik ...........................................................................................68
BAB IV. HASIL PENELITIAN ............................................................................69
BAB V. PEMBAHASAN ......................................................................................73
BAB VI. SIMPULAN DAN SARAN ....................................................................76
6.1. Simpulan ......................................................................................................76
6.2. Saran ............................................................................................................76
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................77
LAMPIRAN
xxvi
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR TABEL
xxvii
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR GAMBAR
xxviii
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR SINGKATAN
xxix
Universitas Sumatera Utara
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. LATARBELAKANG
Indonesia. Oleh sebab itu perlu diteliti lebih dalam baik untuk diagnostik maupun
terapi. TB kelenjar getah bening (limfadenitis TB) merupakan salah satu bentuk
TB ekstra paru, selain dapat juga mengenai pleura, selaput otak, selaput jantung,
epiteloid dan sel-sel datia berinti banyak dari tipe Langhans (Mittal P et al,,
1
Universitas Sumatera Utara
2
bening leher terutama pada anak-anak (Fanny, 2012) yang secara klinis
pengobatan antibiotik biasa dalam waktu yang cukup lama kadang-kadang lebih
dari dua minggu, namun pembengkakan tidak mengecil, malah bertambah besar,
sehingga menyulitkan dokter yang merawat. Pasien seperti ini sering dirujuk ke
laboratorium patologi dan bila pasien ini dilakukan aspirasi, maka secara sitologi
dapat dijumpai struktur berupa massa eosinofilik disertai adanya partikel coklat
pada 50 penderita dengan massa ini, dan kesemua penderita dapat disembuhkan.
Di samping itu bila aspirat biopsi kelenjar yang mengadung massa ini dibiakkan,
untuk suatu lesi TB yang klasik (khas seperti adanya epiteloid). Gupta SK et al,,
perkijuan sel epiteloid dan sel datia (giant cell). 3. Granuloma dengan sel
epiteloidnon perkijuan tanpa sel datia. 4. Sel epiteloid yang sangat sedikit
(Hemalatha, 2014). Hasil kultur sering dijumpai positif pada pada tipe 1 dari pada
2, 3 dan 4. Staining Acid-Fast Bacilli (AFB) juga paling tinggi pada tipe 1, diikuti
tipe 2, 3, sedangkan pada tipe 4 staining dan kultur didapati negatif. Dijumpai
juga 7,8% smearAFBpositif tapi kultur negatif. Kultur yang negatif tidak
menyingkirkan adanya tuberculosis, untuk itu perlu teknik lain (Chaudari, 2016)
pegangan tapi tidak dapat menyingkirkan kelainan akibat infeksi yang bukan
deteksi dini pada pasien tersangka TB dan segera diikuti penatalaksanaan yang
tepat (Lalvani, 2001). Selain peran pengawas menelan obat, deteksi dini juga
informasi dengan adanya gambaran bercak gelap dengan massa eosinofilik pada
pasien yang tidak dapat diobati dengan antibiotik non TB, apakah massa
eosinofilik dengan partikel coklat gelap ini dapat dijadikan sebagai kriteria untuk
peneliti ketahui belum pernah massa seperti ini dipakai sebagai kriteria diagnostik
bersama tim pernah melakukan penelitian tentang gambaran bercak gelap dengan
massa eosinofilik dengan teknik imunohistokimia. (Eliandy et al,, 2010 dan Lubis
et al,, 2010)
pengobatan dini, ataukah akibat penurunan sistem imun. Menurut Raviglione dan
O’Brien (2010) pada pasien HIV gambaran granuloma biasanya tidak ditemukan,
(Eliandy et al,, 2010) telah meneliti dari 24 sampel penderita limfadenitis TByang
Ditemukan gambaran dark specks (massa eosinofilik partikel coklat gelap) yang
tidak khas sebagai TB biasa pada 4 sediaan biopsy aspirasi pada kadar CD4
< 200. Ada kecendrungan munculnya dark specks berhubungan dengan turunnya
immunitas pasien, namun setelah diuji secara statistik tidak signifikan, dengan
dengan kadar CD4 penderita limfadenitis TB yang disertai HIV/AIDS. Hasil ini
disertai HIV/AIDS di RS Haji Adam Malik dari Januari 2010 sampai Oktober
2012, hanya 56,9% yang mempunyai gambaran khas yaitu adanya epiteloid,
emas berupa respon terapi anti tuberculosis, sensitifitas didapatkan sebesar 95%,
spesifisitas 75%, nilai duga positif 95%, nilai duga negatif 75%, nilai duga positif
95%, nilai duga negatif 75% dan prevalensi 84%. (Lubis et al,, 2010)
dengan PCR sebagai baku emas didapatkan sensitifitas 92%, spesifitas 37%, nilai
duga positif 60% dan nilai duga negatif 81%. Pemeriksaan imunohistokimia
mempunyai ketepatan yang lebih akurat daripada histopatologi klasik (Goel et al,,
2007). Purohit (2007) dengan memakai PCR sebagai baku emas mendapatkan
bening masing-masing sensitifitas, spesifitas, nilai duga positif dan nilai duga
negatifadalah 92%, 97%, 98%, dan 85%, (Purohit et al,, 2007). Imunohistokimia
dengan anti-MPT64 anti serum dapat dilakukan relatif cepat, sensitif, dan spesifik
awal untuk massa eosinofilik dengan partikel coklat gelap dengan memakai teknik
berupa radang kronik dan abses yang jelas bukan merupakan infeksi TB. Semua
terlihat positif pada 14 kasus dengan badan-badan kecil berbentuk oval gelap di
bercak-bercak gelap, 1 kasus radang kronik non spesifik, dan 7 kasus dengan
abses. Ditemukan adanya perbedaan jumlah tampilan IHK positif pada lesi dengan
radang kronik nonspesifik. Dijumpai juga ada perbedaan proporsi jumlah tampilan
IHK positif pada lesi bercak-bercak gelap dengan massa amorf bergranul halus
partikel coklat gelap melalui teknik biopsi aspirasi ini memang merupakan proses
Sebagai baku emas, dalam penelitian ini teknik PCR dipakai karena
walaupun staining Acid-Fast Bacilli (AFB) dan kulturnya negatif. (Li et al,, 2001)
encoding gen 16S ribosomal RNA (untuk seluruh mycobacteria) dan insersi
2009)
khas untuk tuberculosis tetapi hanya gambaran massa amorf eosinofilik dengan
partikel gelap, yang tidak dapat diobati dengan antibiotik non spesifik. Perlu
gambaran massa eosinofilik dengan partikel coklat gelap berhubungan dengan lesi
tuberculosis?
a. Manfaat Teori
b. Manfaat Aplikatif
persiapan yang rumit seperti operasi) dan akurat (bila dikerjakan oleh
1.5. ORISINILITAS
teknik PCR sebagai baku emas. Sebelumnya peneliti bersama peneliti lain telah
karena melihat reaksi antigen-antibodi pada sel yang tidak utuh sehingga perlu
gambaran massa eosinofilik dengan partikel coklat gelap melalui aspirasi biopsi
jarum halus. Ini mempunyai potensi hak atas kekayaan intelektual terhadap
kriteria baru dalam menegakkan tuberculosis secara sitologi yang tidak khas.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. TUBERCULOSIS
2.1.1. Definisi
pada manusia dan hewan yang disebabkan oleh Mycobacterium sp, dan ditandai
kelenjar atau limfadenitis TB adalah peradangan satu atau lebih kelenjar getah
bening yang biasanya disebabkan oleh fokus infeksi primer di tempat lain.
2.1.2. Epidemiologi
Saat ini diperkirakan sekitar 25.000 kasus baru dengan tuberculosis aktif terjadi di
AS setiap tahun, dan hampir 40% terjadi pada imigran dari negara yang
dibilitas. Demikian juga, orang berusia lanjut dengan daya tahan melemah, rentan
10
Universitas Sumatera Utara
11
terjangkit penyakit ini (Dyeet al,,1998). Di dunia dijumpai 10,4 juta kasus baru,
Indonesia menurut estimasi dijumpai 1 juta kasus baru pertahun. (WHO, 2017)
ini pun tinggi. Tahun 2009, 1,7 juta orang meninggal karena TB (600.000
diantaranya perempuan) sementara ada 9,4 juta kasus baru TB (3,3 juta
dimana sebagian besar penderita TB adalah usia produktif (15-55 tahun). Setiap
tahunnya jumlah kasus baru TB di Indonesia bertambah 25% dan sekitar 140.000
Diperkirakan bahwa diseluruh dunia 1,7 milyar orang terinfeksi, 8-10 juta kasus
baru dan 3 juta kematian pertahun (Dye et al,, 1999). WHO memperkirakan
tahun 2009 di dapatkan 147 kasus, atau 34,03% dari 432 kasus limfadenopati.
Ditemukan sebanyak 19,73% dari tuberculosis pada kelenjar getah bening yang
2.1.3. Etiologi
udara dalam aerosol yang dihasilkan oleh ekspektorasi atau pajanan ke droplet
pasien yang terinfeksi. Tuberculosis orofaring dan usus yang berjangkit melalui
susu yang tercemar oleh M. bovis kini jarang ditemukan di negara berkembang,
tetapi masih ditemukan di negara yang memiliki sapi perah yang mengidap
pertumbuhannya terhambat oleh pH < 6,5 dan asam lemak rantai panjang. Oleh
karena itu, basil tuberculosis sulit ditemukan dibagian tengah lesi perkijuan besar
individu imunokompeten. Namun pada pasien dengan AIDS, strain ini sering
Secara umum bukti infeksi jika terjadi adalah nodus fibrokalsifik kecil di
berpuluh tahun dan mungkin seumur hidup host. Orang tersebut tidak mengidap
penyakit aktif sehingga tidak dapat menularkan ke orang lain. Namun jika
lambat, yang dapat dideteksi dengan uji tuberkulin (Mantoux). Sekitar 2-4 minggu
indurasi yang terlihat dan teraba (diameter >5 mm) serta memuncak pada 48-72
antigen tuberculosis. Telah banyak diketahui bahwa reaksi negatif palsu dapat
imunosupresi, dan penyakit tuberculosis aktif yang luas. Reaksi positif palsu juga
dapat terjadi akibat infeksi oleh Mycobacterium atipik. (Lalvani et al,, 2001)
resisten terhadap infeksi. Lipid pada Mycobacterium berikatan dengan protein dan
polisakarida, termasuk asam mikolat (asam lemak rantai panjang C78-C90), bahan
dengan asam mikolat dapat menyebabkan nekrosis kaseosa. Strain basil tuberkel
telah diekstrak dari basil virulen dengan petrolium eter. Ini menghambat sekresi
hipersensitifitas tipe cepat dan dapat bertindak sebagai antigen dalam reaksi
2.1.4. Patogenesis
Gambar 2.1.Tuberculosis paru primer, yang dimulai dari inhalasi strain virulen
Mycobacterium dan memuncak pada terbentuknya imunitas dan hipersensitifitas
tipe lambat terhadap organisme. A.kejadian yang berlangsung dalam 3 minggu
pertama setelah pajanan; B.kejadian sesudahnya. Terbentuknya resistensi terhadap
organisme diikuti oleh uji tuberkulin yang positif (Robbin,Cotran, 2003)
berikut ini. Setelah strain virulen mikobakteri masuk kedalam endosom makrofag,
berproliferasi tanpa terhambat. Telah ditemukan suatu gen yang disebut NRAMP1
karena itu fase dini pada TB primer (<3 minggu) ditandai dengan proliferasi basil
tanpa hambatan dari makrofag alveolus dan rongga udara sehingga terjadi
mikobakterium yang telah diproses mencapai kelenjar getah bening regional dan
incommitted yang memiliki reseptor sel Tαβ. Di bawah pengaruh IL-12 yang
dikeluarkan oleh makrofag, sel THO mengalami pematangan menjadi sel T CD4+
subtipe TH1 yang mampu mengeluarkan IFN-γ. IFN-γ sangat penting untuk
menyebabkan terbentuknya zat antara nitrogen reaktif dan radikal bebas lain yang
Tuberculosis primer adalah bentuk penyakit yang terjadi pada orang yang
belum pernah terpajan (sehingga tidak pernah tersensitisasi). Pasien berusia lanjut
sehingga dapat menderita tuberculosis primer lebih dari sekali. Pada tuberculosis
primer sumber organisme adalah eksogen. Sekitar 5% dari mereka yang baru
menjadi aktif ditentukan oleh faktor usia, status imun, gangguan gizi seperti
sitotoksik, dan silikosis. Tinggal pada daerah yang terlalu padat dan ventilasi yang
terjadi pada host yang telah tersensitisasi. Penyakit ini mungkin terjadi segera
setelah tuberculosis primer, tetapi umumnya muncul karena reaktivasi lesi primer
dorman beberapa dekade setelah infeksi awal, terutama jika resisten pejamu
melemah. Penyakit ini juga dapat terjadi akibat reinfeksi eksogen karena
berkurangnya proteksi yang dihasilkan oleh penyakit primer atau karena besarnya
dan lokal. Gejala sistemik yang mungkin berkaitan dengan sitokin yang
dikeluarkan oleh makrofag aktif (misal TNF dan IL-1), sering muncul pada awal
perjalanan dan mencakup malaise, anoreksia, penurunan berat badan dan demam.
Umumnya demam ringan dan hilang timbul (muncul setiap malam dan kemudian
mereda) dan timbul keringat malam. Seiring dengan keterlibatan paru yang
purulen. Sekitar separuh kasus tuberculosis paru terjadi hemoptisis. Nyeri pleura
Sebagai contoh pasien dengan imunosupresi yang tidak terlalu berat (CD4+ >300
progresif (konsolidasi lobus bawah dan tengah, limfadenopati hilus dan tidak ada
luar paru, yang meningkat dari 10%-15% pada pasien dengan imunosupresi ringan
atipikal lain pada pasien HIV yang menyebabkan diagnosis tuberculosis menjadi
sulit adalah meningkatnya frekuensi hasil negatif pada apusan sputum dengan
pewarnaan tahan asam dibandingkan dengan kontrol negatif HIV (Iyengar, 2001),
PPD negatif palsu akibat anergi tuberkulin dan tidak adanya granuloma yang khas
di jaringan terutama pada stadium lanjut infeksi HIV (Robbin, Cotran, 2003).
2.1.6. Morfologi
Dua lesi penting pada Mycobacterium: Tipe Eksudat dan produktif. Tipe
khusus di jaringan paru-paru, dimana mirip dengan bakteri pneumonia. Ini dapat
menimbulkan nekrosis masif pada jaringan, atau dapat berkembang menjadi tipe
lesi kedua (produktif), Selama fase eksudat, tes tuberkulin menjadi positif. Tipe
produktif, ketika berkembang dengan penuh lesi ini merupakan granuloma kronik
terdiri dari 3 zona: (1) area sentral, sel raksasa (giant cell) multinuklear yang
berisi basil tuberkel. (2) zona sedang, sel epiteloid pucat, sering kali tersusun
radial (3) zona perifer fibroblas, limfosit dan monosit. Kemudian jaringan fibrous
periferal berkembang dan area sentral mengalami nekrosis perkijuan. Seperti lesi
tuberculosis primer yang biasanya terjadi pada anak walaupun dapat terjadi pada
dewasa yang terbebas dari infeksi primer sebelumnya dan tuberculosis sekunder
terhirup tersangkut di rongga udara distal di bagian bawah lobus atau bagian atas
muncul daerah konsolidasi meradang berukuran 1-1,5cm, yaitu fokus Ghon. Pada
sebagian besar kasus, bagian tengah fokus ini mengalami nekrosis perkijuan. Basil
tuberkel baik bebas atau didalam fagosit, mengalir ke kelenjar regional, yang juga
getah bening ini disebut kompleks Ghon. Pada sekitar 95% kasus, terbentuknya
imunitas seluler berhasil mengendalikan infeksi. Oleh karena itu, kompleks Ghon
mengalami fibrosis progresif, sering diikuti oleh kalsifikasi yang terdeteksi secara
terbentuk lesi. Secara histologi, tempat keterlibatan aktif ditandai dengan reaksi
Gambar 2.3. Tuberculosis paru primer, kompleks Ghon. Fokus parenkim abu-abu
putih terletak dibawah pleura di bagian bawah lobus atas. Di sebelah kiri tampak
kelenjar getah bening hilus dengan perkijuan. (Robbin, Cotran, 2003)
Gambar 2.3.Epiteloid yang berasal dari makrofag, Langhans giant cell, dengan
sebukan sel radang limfosit dan fibroblast. (Robbin, Cotran, 2003)
Gambar 2.4. Tuberkel khas pada pembesaran lemah. (A) & (B) menggambarkan
perkijuan granular di tengah yang dikelilingi oleh sel epiteloid dan sel raksasa
berinti banyak. Kadang-kadang, bahkan pada pasien imunokompeten, granuloma
tuberculosis mungkin tidak memperlihatkan perkijuan di bagian tengah (C), oleh
karena itu tanpa melihat ada tidaknya nekrosis perkijuan, pewarnaan khusus untuk
organisme tahan asam harus selalu dilakukan jika dalam sediaan histologik
ditemukan granuloma. Pada orang dengan penekanan kekebalan, tuberculosis
mungkin tidak memicu respon granulomatosa (tuberculosis nonreaktif), namun
yang terlihat adalah lembaran-lembaran histiosit berbusa yang penuh mikobakteri
dan dapat dibuktikan dengan pewarnaan tahan asam (D) (Robbin, Cotran, 2003)
Lesi awal biasanya merupakan suatu fokus kecil konsolidasi, diameter <
2 cm dalam 1-2 cm apeks pleura. Fokus ini berbatas tegas, padat, bewarna abu-
abu putih hingga kuning dengan derajat nekrosis perkijuan dan fibrosis perifer
bervariasi. Pada kasus yang ringan, fokus awal di parenkim mengalami fibrosis
metode yang tepat pada fase eksudatif dini dan kaseosa pembentukan granuloma,
Cotran, 2003)
baik secara spontan atau setelah terapi atau penyakit dapat berkembang dan
meluas melalui beberapa jalur yang berbeda. Dapat terjadi tuberculosis paru
kavitas iregular yang dilapisi oleh bahan kaseosa yang kurang dibungkus oleh
sering mendistorsi arsitektur paru. Kavitas ireguler yang sekarang bebas dari
nekrosis perkijuan dapat menetap atau kolaps di fibrosis sekitarnya. Jika terapi
kurang memadai atau jika pertahanan host terganggu, infeksi dapat menyebar
secara langsung melalui saluran nafas, limfatik atau sistem vaskuler. Tuberculosis
paru miliaris terjadi jika organisme keluar melalui limfatik ke dalam duktus
limfatikus, yang mengalirkan isinya ke dalam aliran vena menuju jantung dan
kemudian ke dalam arteri paru. Setiap lesi adalah fokus mikroskopik atau fokus
kecil (2mm) konsolidasi yang tersebar di seluruh parenkim paru. Lesi milier dapat
membesar dan menyatu sehingga menyebabkan konsolidasi hampir total lesi besar
atau bahkan lobus keseluruhan di paru. Jika tuberculosis paru progresif terus
berkembang, rongga pleura akan berkembang, rongga pleura akan terkena dan
dapat terjadi efusi pleura serosa, empiema tuberculosis atau pleuritis fibrosa
jika bahan infeksiosa menyebar melalui saluran limfe atau dari bahan infeksiosa
aliran balik vena paru ke jantung, organisme kemudian menyebar melalui sistem
arteri sistemik. Hampir setiap organ di tubuh dapat tersebar. Lesi mirip dengan
yang ditemukan di paru. Tuberculosis primer paling jelas di hati, sumsum tulang,
limpa, adrenal, meningen, ginjal, tuba fallopi dan epidermis. Tuberculosis organ
tersendiri dapat terjadi di setiap organ atau jaringan yang tersebar secara
leher (skrofula). Pada individu negatif HIV, limfadenopati cenderung satu fokus
multifokus, gejala sistemik dan adanya tuberculosis aktif di paru atau organ lain.
depan atau belakang leher maupun pada daerah supraclavicular. Ciri khas
benjolannya adalah kenyal, tidak lunak dan tidak memerah terlihat di kulit. Pada
permulaan kelenjar ini tidak berfluktuasi, tapi dapat terjadi pernanahan ataupun
pecah dan terjadi lesi perkijuan dan berlanjut menjadi nekrosis. Bila tidak
mendapat pengobatan pembesaran pada kelenjer getah bening leher melunak dan
berfluktuasi, kulit menjadi merah dan dapat terlibat secara bilateral, pada keadaan
ini sering disertai keterlibatan paru-paru. Keterlibatan kelenjar getah bening ini
yang dorman atau sebagai kelanjutan fokus Ghon yang aktif. Supraclavicular
TB paru masih terjadi perbedaan. Reviglione (2008) mengatakan kurang dari 40%
Abhimanyu (2011) meneliti hubungan genetik dari varian SP110 yang cenderung
Universitas Sumatera Utara Tahun 2011. Dari hasil penelitian ini disimpulkan
berjenis kelamin wanita dan mengeluhkan adanya gejala sistemik, sebagian besar
pembesaran kelenjar yang kenyal serta terfiksir ke jaringan sekitar oleh karena
Nasiell et al, (1972) yang pertama kali memeriksa sputum dan sekret
bronkus penderita TB paru. Dijumpai komponen sel-sel tuberkel, epiteloid sel dan
Langhans’ giant cell pada sputum. Epiteloid sel biasanya terlihat pada
carrot shaped dengan salah satu ujungnya lebih luas dari yang lain dan bentuknya
lebih kecil dari sel-sel bronkial. Memiliki eosinophilic sitoplasma dengan batas
sel kurang jelas dan inti yang pucat. (Robbin, Cotran, 2003)
Gambar 2.7. Epiteloid yang memanjang dan juga tampak seperti gambaran cerutu.
(Case Courtesy of the late Dr. Magnus Nasiel, Stockholm) Copyright@2006.
Lippincott Williams and Wilkins (Robbins, Cotran, 2003)
Gambar 2.8. Sitologi sputum tampak sel Langhan’s berinti banyak. (Case
Courtesy of the late Dr. Magnus Nasiel, Stockholm) Copyright@2006. Lippincott
Williams and Wilkins (Robbins, Cotran, 2003)
Gambar 2.9. Sitologi aspirasi jarum halus tuberculosis pada kelenjar limfoid
leher. Tampak sel-sel epiteloid, limfosit dan fibroblast. (Case Courtesy of the late
Dr. Magnus Nasiel, Stockholm) Copyright@2006. Lippincott Williams and
Wilkins (Robbins, Cotran, 2003)
apeks paru. Namun akhirnya basil tuberculosis harus ditemukan. Harus dilakukan
pemeriksaan apusan tahan asam dan biakan sputum dari pasien yang dicurigai
standart karena cara ini memungkinkan kita melakukan uji kepekaan obat.
Prognosis biasanya baik jika infeksi terbatas di paru, kecuali jika infeksi
disebabkan oleh strain resisten obat atau mengalami gangguan kekebalan yang
granuloma dari sel epiteloid yang berbentuk spindel (comma-shaped) dan histiosit
pada FNAB harus dipertanyakan tetapi bukan diagnostik. (Robbin, Cotran, 2003)
Reaction (PCR) untuk cara cepat. Teknik yang lain juga dilakukan pemeriksaan
85%, dengan LJ kultur 88%, pemeriksaan Acid Fast Bacilli (AFB) pada biopsi
53% dan dengan biopsi jarum halus (FNAB) 35%. Makroskopik perkijuan 100%
memeriksa pasien HIV dan mendapatkan 57,2% pada kultur tumbuh non
ternyata dijumpai 14% berubah foto rontgent-nya, 92% positif dengan tuberculin
test, 50% kultur positif dan semua biopsi leher yang diduga TB semua positif.
TUBERCULOSIS
Biopsi aspirasi jarum halus (FNAB) dipakai secara luas (Dash, 2017).
tahun 1900 SJ Mixter telah memakai needle untuk mengambil jaringan untuk
memeriksa jaringan otak. Ward tahun 1912 telah melakukan aspirasi lymph node
aspirasi Hodgkin disease. Hayes E. Martin dan Edward B. Ellis adalah orang yang
mempopulerkan teknik ini yang telah mereka kerjakan sejak 1926 dan dilaporkan
di tahun 1930 dengan judul Biopsi by Needle Puncture and Aspiration dianggap
Lau (1988) melakukan aspirasi biopsi pada kelenjar getah bening leher
dan mendapatkan gambaran yang khas untuk TB yaitu lesi granulomatous berupa
ephitheloid dan multinucleated giant cell sebanyak 71%, 53% positif dengan
merekomendasi bahwa biopsi aspirasi jarum halus sangat efektif, sensitif dan
diagnosis pasti TB adalah aspirasi jarum halus atau biopsi bedah, melalui AFB
perkijuan sangat sensitif dan spesifik untuk TB sedangkan granuloma selain pada
kasus TB juga dapat dijumpai pada penyakit lain. Pithie (1992) melaporkan kasus
pasien HIV, sputumnya negatif untuk TB tapi dengan aspirasi biopsi kelenjar
getah bening leher ternyata respon dengan pengobatan TB walaupun ada 3 kasus
yang AFB negatif tapi merujuk pada hasil sitologi limfadenitis juga respon dengan
obat TB.
diagnostik biospsi jarum halus false negatif-nya hanya 1,7% dan false positif-nya
cepat, murah dan cocok dengan negara yang berkembang dengan fasilitas yang
melakukan terapi berdasarkan gambaran sitologi atau AFB positif, dijumpai kasus
sitologi nekrosis tapi AFB negatif. Kesimpulan lain dikemukakan oleh Hafez
(2011) dimana evaluasi FNA pada pasien dengan keganasan yang sebelumnya
tinggi kelasnya makin sedikit atau tidak dapat di kultur. Kultur negatif tidak
FNAB adalah 73% sedangkan AFB 62%. Bem (1993) melaporkan material yang
dengan mata telanjang dapat menegakkan diagnosis TB 40,8%, AFB positif pada
74,8%, dan direkomendasikan untuk pasien yang di Afrika untuk memakai FNAB
Amerika Serikat biopsi aspirasi sensitifitasnya 46%, spesifitas 100%, PPV 100%
dan NPV 94%, bila dijumpai inflamasi granulomatosa akan meningkat, 53%,
FNAB TB pada anak sebanyak 242 kasus, terdiri dari 163 (67,4%) kasus
kontak TB tidak jelas pada 17 orang (65,4%), status gizi 17 (65,4%) normal,
riwayat demam dan batuk tidak ada pada 53,8% dan 57,7% penderita. Uji
tuberkulin negatif pada 18 (69,2)%, dan 80,8% foto rontgen thorax positif TB.
Penelitian ini menunjukkan gambaran klinis pada TB tidak selalu sesuai untuk
granular necrosis dan banyak mengandung acid fast bacilli. Di luar daerah
mikroabses, granuloma yang tidak jelas, granuloma yang non caseating dan giant
mempunyai inti yang memanjang mirip dengan sol sepatu, intinya lebih besar dan
sitoplasmanya lebih pink, perubahan ini terjadi akibat magrofag diaktivasi oleh
paling banyak dijumpai, keadaan lain dapat terjadi pada carcinoma dengan
pneumonia post obstructive, infarct dan harus dapat dibedakan juga dengan
multinucleated giant cells dengan inti di pinggir pada satu sisi membentuk ladam
kuda (Langhans giant cell) (Underwood, 2009). Walaupun jarang TB dapat hanya
mengandung material nekrotik dan neutrofil (Das, 2000 pada Koss, 2006).
staining pasien lymphadenopathy (Stanley et al,, 1990, Ang et al,, 1993 pada
negatif staining pada daerah sitoplasma. (Shabb et al,, 1991 pada Koss, 2006)
pada lepromatous leprosy yang khas dijumpai syncytial hystiocyte (Virchow atau
bervakuola berisi basil lepra. (Gupta et al,, 1981 pada Koss, 2006)
mengandung perkijuan sel epiteloid dan sel datia (giant cell), granuloma dengan
sel epiteloid non perkijuan tanpa sel datia dan sel epiteloid yang sangat sedikit.
Bersamaan dengan itu The Wright stained sitologi smear membagi smear TB atas
nekrosis dan nekrosis tanpa epiteloid granuloma (Koss, 2006). Bezabih (2002)
pada pasien HIV yang disebutnya dengan negative image dengan menjumpai
adanya negative rod shape dan blue black ground, tanpa gambaran klasik yang
dijumpai pada pasien TB. Apakah gambaran ini sama dengan gambaran massa
eosinofilik dengan partikel gelap yang dijumpai? Lubis et al,, (2008) melihat
adanya dark specks and eosinophylic granular necrotic material pada aspirasi
biopsi jarum halus di lymphadenitis leher, aksila, ingunal, payudara dan abdomen
setelah dilakukan kultur didapatkan bahwa dari 110 ”dark specks” 91 positif pada
kultur dan dari 84 yang tidak ada ”dark specks” hanya 3 yang kultur positif
sebagai TB. Uji diagnostik pada aspirasi biopsi jarum halus lesi di atas yang
dikomfirmasi dengan kultur ini didapatkan sensitifititas 97%, spesifitas 81%, PPV
83%, akurasi 89% dan prevalensi 48%. Penelitian ini perlu dikembangkan dengan
dengan nilai probabiliti yaitu sensitifitas 97%, spesifisitas 91% dan akurasi 94%.
Dari hasil penelitian ini berarti bercak-bercak yang dijumpai pada pus secara
dengan bercak-bercak gelap, 1 kasus dengan radang kronik non spesifik, dan 7
kasus dengan abses. Lubis et al, (2010), meneliti adanya perbedaan jumlah
tampilan IHK positif pada lesi dengan badan-badan kecil berbentuk oval gelap di
dalam kelompokan makrofag dan radang kronik nonspesifik dan ada perbedaan
proporsi jumlah tampilan IHK positif pada lesi dengan bercak-bercak gelap
dengan massa amorf bergranul halus eosinofilik dan abses. Tetapi masih ada pro
dan kontra tentang pemakaian Imunositokimia pada sitologi ini sehingga perlu
diperkuat dengan teknik lain yang lebih akurat, peneliti memakai teknik PCR
amplifikasi DNA secara in vitro. Teknik ini pertama kali dikembangkan oleh
Karry Mullis pada tahun 1983, penemuannya ini membawa Karry Mullis
teknik PCR di samping juga teknik-teknik lain seperti sekuensing DNA, telah
mencari penyebab infeksi. Jika dua molekul DNA memiliki sekuen basa yang
sama dibanding dengan primer yang diketahui kita dapat mengetahui jenis bakteri
yang kita isolasi. Memakai gel elekroforesis kita dapat memisahkan produk PCR
dan menilai sekuen (urutan) genom bakteri untuk menentukannya. (Karp, 2008)
yaitu: (1) pra-denaturasi DNA templat; (2) denaturasi DNA templat; (3)
dan (5) pemantapan (post extension). Tahap (2) sampai dengan (4) merupakan
tahapan berulang (siklus), di mana pada setiap siklus terjadi duplikasi jumlah
PCR adalah suatu teknik yang melibatkan beberapa tahap yang berulang
(siklus) dan pada setiap siklus terjadi duplikasi jumlah target DNA untai ganda.
termal dan kemudian didinginkan hingga mencapai suatu suhu tertentu untuk
memberi waktu pada primer menempel (anneal primers) pada daerah tertentu dari
primers) dengan adanya dNTPs (dATP, dCTP, dGTP dan dTTP) dan buffer yang
sesuai. Umumnya keadaan ini dilakukan antara 20 –40 siklus. Target DNA yang
siklus keempat dan DNA non-target (long product) akan meningkat secara linier.
Umumnya jumlah siklus yang digunakan pada proses PCR adalah 30 siklus.
Penggunaan jumlah siklus lebih dari 30 siklus tidak akan meningkatkan jumlah
non-target. Perlu diingat bahwa di dalam proses PCR effisiensi amplifikasi tidak
terjadi 100 %, hal ini disebabkan oleh target templat terlampau banyak, jumlah
(Maksum, 2011)
2.3.2.Pelaksanaan PCR
yang telah disebutkan di atas. Pada bagian ini akan dijelaskan secara rinci
1. Templat DNA
Fungsi DNA templat di dalam proses PCR adalah sebagai cetakan untuk
pembentukan molekul DNA baru yang sama. Templat DNA ini dapat berupa DNA
kromosom, DNA plasmid ataupun fragmen DNA apapun asal di dalam DNA
pemeriksaan klinis DNA biasanya diisolasi dari inti atau mitokondria yang fresh,
frozen section, jaringan yang berasal dari blok paraffin yang difiksasi formalin,
darah, sumsum tulang, cairan tubuh, saluran reproduksi, fine needle biopsy
specimens (bahan yang didapat dari aspirasi biopsi jarum halus), sel bukal (pipi)
menggunakan metode lisis sel ataupun dengan cara melakukan isolasi DNA
kromosom atau DNA plasmid dengan menggunakan metode standar yang ada.
lisis dapat digunakan secara umum, dan metode ini merupakan cara yang cepat
Prinsip metode lisis adalah perusakan dinding sel tanpa harus merusak DNA yang
Oleh karena itu perusakan dinding sel umumnya dilakukan dengan cara
memecahkan dinding sel menggunakan buffer lisis. Komposisi buffer lisis yang
digunakan tergantung dari jenis sampel. Beberapa contoh buffer lisis yang biasa
dalam keadaan segar). Buffer lisis ini umumnya digunakan untuk jenis sampel
yang berasal dari biakan, sel-sel epitel dan sel akar rambut. Contoh lain dari
buffer lisis adalah buffer lisis K yang mempunyai komposisi sebagai berikut:
buffer PCR (50mM KCl, 10-20mM Tris-Cl dan 2,5mM MgCl2), 5 % Tween-20
dan 100 ug/mL Proteinase-K (ditambahkan dalam keadaan segar). Buffer lisis K
ini biasanya digunakan untuk melisis sampel yang berasal dari sel darah dan
virus. Selain dengan cara lisis, penyiapan DNA templat dapat dilakukan dengan
cara mengisolasi DNA kromosom ataupun DNA plasmid menurut metode standar
yang tergantung dari jenis sampel asal DNA tersebut diisolasi. Metode isolasi
DNA kromosom atau DNA plasmid memerlukan tahapan yang lebih kompleks
isolasi DNA kromosom atau DNA plasmid adalah pemecahan dinding sel, yang
komponen lain. Dengan demikian akan diperoleh kualitas DNA yang lebih baik
2. Primer
DNA target yang akan diamplifikasi dan sekaligus menyediakan gugus hidroksi (-
OH) pada ujung 3’ yang diperlukan untuk proses eksistensi DNA. Perancangan
primer dapat dilakukan berdasarkan urutan DNA yang telah diketahui ataupun
dari urutan protein yang dituju. Data urutan DNA atau protein bisa didapatkan dari
database GenBank. Apabila urutan DNA maupun urutan protein yang dituju
belum diketahui maka perancangan primer dapat didasarkan pada hasil analisis
homologi dari urutan DNA atau protein yang telah diketahui mempunyai
a. Panjang primer
dengan panjang kurang dari 18 basa akan menjadikan spesifisitas primer rendah.
(penempelan primer di tempat lain yang tidak diinginkan) tinggi, ini akan
berpengaruh pada efektifitas dan efisiensi proses PCR. Sedangkan untuk panjang
primer lebih dari 30 basa tidak akan meningkatkan spesifisitas primer secara
b. Komposisi primer.
Rentetan nukleotida yang sama perlu dihindari, hal ini dapat menurunkan
lain. Kandungan (G+C) (% jumlah G dan C) sebaiknya sama atau lebih besar dari
diperkirakan tidak akan mampu berkompetisi untuk menempel secara efektif pada
tempat yang dituju dengan demikian akan menurunkan efisiensi proses PCR.
atau T lebih toleran terhadap mismatch dari pada G atau C, dengan demikian akan
DNA terpisah. Pemilihan Tm suatu primer sangat penting karena Tm primer akan
dengan komposisi primer dan panjang primer. Secara teoritis Tm primer dapat
d. Interaksi primer-primer
dihindari. Demikian juga dengan terjadinya mispriming pada daerah lain yang
rendah dan di samping itu konsentrasi primer yang digunakan menjadi berkurang
selama proses karena terjadinya mispriming. Keadaan ini akan berpengaruh pada
bertindak sebagai building block DNA yang diperlukan dalam proses ekstensi
DNA. dNTP akan menempel pada gugus –OH pada ujung 3’ dari primer
Konsentrasi optimal dNTPs untuk proses PCR harus ditentukan. (Maksum, 2011)
karena itu untuk melakukan proses PCR diperlukan buffer PCR. Fungsi buffer di
sini adalah untuk menjamin pH medium. Selain buffer PCR diperlukan juga
adanya ion Mg2+, ion tersebut berasal dari berasal MgCl 2.MgCl2 bertindak sebagai
MgCl2 ini akan meningkatkan interaksi primer dengan templat yang membentuk
komplek larut dengan dNTP (senyawa antara). Dalam proses PCR konsentrasi
sebaiknya antara MgCl2 dan buffer PCR dipisahkan supaya dapat dengan mudah
polimerisasi DNA. Pada proses PCR enzim ini diperlukan untuk tahap ekstensi
DNA. Enzim polimerase DNA yang digunakan untuk proses PCR diisolasi dari
bakteri termofilik atau hipertermofilik oleh karena itu enzim ini bersifat
jenisnya dan dari mana bakteri tersebut diisolasi.Sebagai contoh adalah enzim Pfu
spesifik 10x lebih kuat dibandingkan aktivitas spesifik enzim Taq polymerase
berkaitan erat dengan buffer PCR yang dipakai. Dengan menggunakan teknik
PCR, panjang fragmen DNA yang dapat diamplifikasi mencapai 35 kilo basa.
Amplifikasi fragmen DNA pendek (kurang dari tiga kilo basa) relatif lebih mudah
dilakukan. Untuk mengamplifikasi fragmen DNA panjang (lebih besar dari tiga
polimerase DNA dengan aktivitas yang kuat dan juga buffer PCR dengan pH dan
proses PCR. Secara umum optimasi proses PCR dapat dilakukan dengan cara
kondisi berkaitan erat dengan faktor-faktor seperti jenis polimerase DNA; suhu;
konsentrasi, dalam hal ini berkaitan dengan dNTPs, MgCl2 dan DNA polimerase;
yang terjadi pada tahap ekstensi untuk DNA rantai panjang akan berbeda dengan
untuk DNA rantai pendek. Penggunaan jenis DNA polimerase tergantung pada
panjang DNA target yang akan diamplifikasi. Untuk panjang fragmen DNA lebih
besar dari tiga kilobasa memerlukan jenis polimerase dengan aktivitas tinggi.
(Maksum, 2011)
diamplifikasi. Untuk panjang target DNA kurang dari satu kilobasa biasanya
digunakan konsentrasi dNTPs sebanyak 100 uM, sedangkan untuk panjang target
DNA lebih besar dari satu kilobasa diperlukan konsentrasi dNTPs sebanyak 200
uM. Umumnya konsentrasi optimal MgCl2 berkisar antara 1,0 – 1,5 mM.
non target yang disebabkan oleh terjadinya mispriming. Jumlah polimerase DNA
yang digunakan tergantung pada panjang fragmen DNA yang akan diamplifikasi.
Untuk panjang fragmen DNA kurang dari dua kilobasa diperlukan 1,25 – 2 unit
per 50 uL campuran reaksi, untuk panjang fragmen DNA lebih besar dari dua
3. Suhu
Pemilihan suhu pada proses PCR sangat penting karena suhu merupakan
salah satu faktor yang menentukan keberhasilan suatu PCR. Dalam hal ini suhu
berkaitan dengan proses denaturasi DNA templat, annealing dan ekstensi primer.
Suhu denaturasi DNA templat berkisar antara 93 – 95oC ini semua tergantung
pada panjang DNA templat yang digunakan dan juga pada panjang fragmen DNA
target. Suhu denaturasi yang terlalu tinggi akan menurunkan aktivitas polimerase
DNA yang akan berdampak pada efisiensi PCR. Selain itu juga dapat merusak
DNA templat, sedangkan suhu yang terlalu rendah dapat menyebabkan proses
denaturasi DNA templat tidak sempurna. Pada umumnya suhu denaturasi yang
digunakan adalah 94o C. Secara umum suhu annealing yang digunakan berkisar
digunakan untuk proses PCR. Suhu annealing yang digunakan dapat dihitung
target dan nontarget, dan keberhasilan suatu proses PCR akan ditentukan oleh
eksperimen. Proses ekstensi primer pada proses PCR selalu dilakukan pada suhu
72o C karena suhu tersebut merupakan suhu optimum polimerase DNA yang biasa
4. Buffer PCR
buffernya. Dalam perdagangan ada dua jenis buffer PCR yaitu “Low-salt buffer”
(pH 8,75 dan kapasitas buffer rendah) dan “High-salt buffer” (pH 9,2 dan
kapasitas buffer tinggi). Umumnya buffer PCR tersedia sesuai dengan jenis
polimerase DNA nya. Penggunaan jenis buffer ini tergantung pada DNA target
biasanya diperlukan “low-salt buffer” sedangkan untuk panjang DNA target lebih
5. Waktu
DNA templat, annealing dan ekstensi primer. Untuk denaturasi DNA templat
templat yang digunakan. Waktu denaturasi yang terlalu lama akan merusak
templat DNA dan sekaligus dapat menurunkan aktivitas polimerase DNA. Waktu
untuk panjang primer lebih besar dari 22 basa diperlukan waktu annealing 60
detik. Pemilihan waktu ekstensi primer tergantung pada panjang fragmen DNA
yang akan diamplifikasi. Secara umum untuk mengamplifikasi setiap satu kilo
basa DNA diperlukan waktu 30 – 60 detik. Pada setiap melakukan PCR harus
masalah apabila terjadi hal yang tidak diinginkan. Selain itu juga harus dilakukan
2011)
pada suhu tinggi, 94–96 °C) ikatan hidrogen DNA terputus (denaturasi)
dan DNA menjadi berkas tunggal. Biasanya pada tahap awal PCR
DNA terpisah. Pemisahan ini menyebabkan DNA tidak stabil dan siap
menjadi templat ("patokan") bagi primer. Durasi tahap ini 1–2 menit.
antara 45–60 °C. Penempelan ini bersifat spesifik. Suhu yang tidak tepat
3. Tahap pemanjangan atau elongasi. Suhu untuk proses ini tergantung dari
Gambar 2.10. Proses PCR (Ringkasan Proses PCR dan gambar diambil dari:
http://porpax.bio.miami.edu/~cmallery/150/gene/Taq.htm)
Sesuai kemajuan ilmu dan teknologi, saat ini dikenal beberapa jenis PCR
1. PCR Konvensional
enzim yang tersedia, reaksi reverse transcription (RT) dan reaksi PCR
Reaksi PCR jenis ini dapat diketahui jumlah amplicon secara kuantitatif,
saat terjadi reaksi, yang kemudian ditangkap dan direkam oleh sensor
informasi yang lebih lanjut tentang hubungan evolusi antar organisme. (Biswajeet,
2011)
Pada penelitian ini sebagai gold standart dipakai PCR dengan metode
sensitive, reagensia relatif mudah didapatkan pada saat sekarang, spesifik untuk
bakteria tertentu, dapat dipakai untuk analisa post amplifikasi (misal pada DNA
bila AFB positif tapi juga dipakai untuk AFB negatif pada TB paru dan Ekstra
Mengidentifikasi bakteri dengan 16S rRNA dipakai karena setiap spesies bakteri
pada derah stabil ini memungkinkan isolasi dan perangkaian berbagai daerah dari
molekul ini. Beragam rangkaian ini merupakan marker spesifik –spesies atau
PCR (+) 59% walaupun AFB-nya (-). Hsiao juga melakukan pemeriksaan PCR
pada cutaneus tuberculosis baik yang spesifik untuk TB maupun yang atipik (16S
Hsiao (2003) juga memakai PCR untuk memeriksa M.TB karena AFB tidak dapat
Mycobacteria
Alveolar macrophage
N-RAMP1
ImmuneSystem (?)
MASSA EOSINOFILIK
TUBERCULOSIS DENGAN
PARTIKEL COKELAT
GELAP
Variabel Independen Variabel Dependen
2.6. VARIABEL
MGG
pemeriksaan sitologi.
1.1 Didalam massa eosinofilik ini terlihat sel-sel dengan inti bulat sampai
sedikit lebih kecil, berwarna lebih coklat dan lebih gelap. Bentuknya
1.3. Partikel-partikel atau garis-garis halus yang tidak teratur berwarna coklat
gelap.
spesifik.
pemeriksaan sitologi.
Granulomatosa.
spuit 10 ml pada kelenjar getah bening leher yang diwarnai dengan MGG
pemeriksaan sitologi.
Giant
GiantCells
Cells
5. Pemeriksaan PCR.
2.8. HIPOTESIS
partikel coklat gelap dan jaringan yang tidak mempunyai massa tersebut.
METODE PENELITIAN
Sampel penelitian sitologi diperoleh dari rumah sakit H Adam Malik, dr.
Pirngadi, rumah sakit ataupun klinik swasta di Kotamadya Medan dan sekitarnya
Adam Malik dan Lab. PA Swasta di Medan. Sampel sitologi limfadenitis diambil
60
Universitas Sumatera Utara
61
perempuan pada semua kelompok usia, pada periode waktu Juli 2016 s/d
April 2017.
yang jelas dan klasik Tuberkulosis : epiteloid,dengan ada atau tidak ada
Limfadenitis
FNAB
Eksklusi
PCR
TB (+) TB (-)
mendapatkan sample sitologi massa eosinofilik dengan partikel coklat gelap yang
no. 23 atau berdiameter 0,65 mm dan panjang 3 atau 9 cm. Semprit plastik
Swedia. Dengan prosedur dan tehnik sebagai yang dianjurkan oleh Franzen dkk,
diambil aspirat pertama dan dibuat sediaan apus. (Franzén S, Zajicek J.,1968).
Gambar 3.2. Teknik Biopsi Aspirasi Jarum Halus (Koss LG, 2006)
apakah aspirat ini mengandung atau tidak mengandung massa eosinofilik dengan
Adanya massa eosinofilik dengan partikel coklat gelap dinilai berdasarkan kriteria
berikut:
a. Didalam massa eosinofilik ini terlihat sel-sel dengan inti bulat sampai
sedikit lebih kecil, berwarna lebih coklat dan lebih gelap. Bentuknya
spesifik, ataupun radang akut abses dimasukkan sebagai bahan yang akan
limfe, limfoma dan gambaran yang khas sitologi TB tidak dimasukkan sebagai
sampel penelitian.
3.6.2. PCR
dimasukkan dalam bahan penelitian. Selanjutnya dengan cara yang sama diambil
aspirat kedua dari tempat yang sama dengan aspirat pertama. Dibuat sediaan
dari Bioneer)
0,5% SDS dan 50ug/ml Proteinase K k sampel dan inkubasi selama 12-
dengan baik.
6. Tambahkan 0,1 Volume dari 3M NaOAc (pH 5,2) dan 2 volume ice-cold
12. Pakai 2-5 ul DNA untuk PCR. DNA yang didapat pada prosedur ini tahan
Alat : Tabung PCR, mikropipet, pipet tips, sarung tangan, vortex, mesin
Bahan : PCR buffer sebanyak 2,5 uL, 10 mM dNTP sebanyak 0,5 uL, 25 mM
Taq DNA plomerase sebanyak 0,125 uL, template DNA sebanyak 1 uL.
Cara Kerja
d. Annealing 60 C 45 detik.
e. Extensi 72 C 45 detik.
f. Extensi 72 C 7 menit
g. Soaking 4 C.
h. Cycle 35 2 to 4.
6) Setelah selesai PCR product bisa langsung di elfo dengan agar 2%, bila
7) Agar dipindahkan ke alat elfo dan dibasahi dengan TBE 0,5 x hingga
dan positifnya kuman pada PCR dihubungkan dengan ada atau tidaknya
3 Sensitifitas = A / (A+C)
4 Spesifitas = D / (B+D)
HASIL PENELITIAN
radang dengan gambaran massa amorf eosinofik yang diduga limfadenitis TB dan
97 kasus radang tanpa massa amorf eosinofilik yang diduga bukan merupakan
Halus (FNAB).
PCR mencapai 100%.Hal ini membuat PCR sebagai kontrol yang sangat baik bila
Dari total 194 pasien dengan keluhan adanya benjolan di leher, rata-rata
umur pasien TB positif yang dikonfirmasi dengan PCR adalah 49,29 tahun (±
10,742) dan 48 pasien berjenis kelamin laki-laki. Satu orang TB positif yang
69
Universitas Sumatera Utara
70
amorf eosinofik yang diduga limfadenitis TB dan kasus radang tanpa massa amorf
positif pada pemeriksaan PCR, sedangkan 96 kasus dari 97 sediaan aspirat tanpa
massa amorf eosinofilik dengan partikel coklat gelap menunjukkan hasil negatif
pada pemeriksaan PCR. Bila dihubungkan antara massa amorf eosinofilik dengan
partikel coklat gelap dan bakteri tuberculosis pada PCR ,P < 0,001.
positif, nilai duga negatif, rasio kemungkinan positif dan rasio kemungkinan
pemeriksaan PCR.
A 100 x B 400 x
400 x 400 x
Gambar 4.2. Abses Gambar 4.3. Radang kronik non
spesifik
M P N 1 2 3
165 bp
BAB V
PEMBAHASAN
antara 2 tahun sampai 66 tahun, sementara pada penelitian ini rentang usia
penderita limfadenitis TB usia paling muda 31 tahun dan paling tua 78 tahun.
spesifik, tiga puluh enam persen TB dan sepuluh persen abses, sedangkan dalam
penelitian ini 97 kasus (50%) massa amorf dengan partikel coklat gelap yang
18,56% abses.
amorf eosinofilik dengan partikel coklat gelap P < 0,001 menunjukkan hubungan
positif TB dan 99 sampel negatif TB.Uji diagnostik dilakukan setelah dibuat tabel
distribusi silang antara hasil Biopsi Aspirasi Jarum Halus yang dikonfirmasi
dengan PCR.
Nilai Duga Positif 96,91%, Nilai Duga Negatif 98,97%. Nilai sensitifitas 98,95%
berarti probabilitas hasil positif Biopsi Aspirasi Jarum Halus dapat mendeteksi
pasien TB dengan hasil PCR positif sebesar 98,95%. Nilai spesifisitas 96,97%
berarti probabilitas hasil negatif Biopsi Aspirasi Jarum Halus dapat mendeteksi
pasien TB dengan hasil PCR negatif sebesar 96,97%. Nilai duga positif 96,91%
96,91% apabila hasil Biopsi Aspirasi Jarum Halus pasien tersebut positif. Nilai
PCR negatif sebesar 98,97% apabila hasil Biopsi Aspirasi Jarum Halus pasien
menegakkan diagnosis seperti juga memakai kriteria yang biasa yaitu adanya
kriteria biasa masing-masing 98%, 100% & 99%. Nilai Duga Positif& Nilai Duga
Negatif masing-masing adalah 100 & 98. Muyanja (2015) meneliti sensitifitas
(2018) meneliti akurasi diagnostik sitologi biopsi aspirasi jarum halus pada
limfadenitis TB dikonfirmasi dengan PCR sebagai baku emas pada uji diagnostik
duga positif 94,87% dan nilai duga negatif 94,83%. Pemeriksaan biopsi aspirasi
bahwa FNAC adalah tes sensitif dan sangat spesifik untuk diagnosis limfadenitis
massa eosinofilik disertai adanya partikel coklat gelap pada pasien-pasien yang
secara klinis tidak diobati dengan tatalaksana TB. Raviglione dan O’Brien (2010)
biasanya tidak ditemukan, padahal granuloma merupakan ciri khas pada lesi TB.
Rendahnya sistem imun pada pasien HIV dengan kadar CD4 di bawah 200
tuberculosis pada pasien HIV. Pada saat yang sama dengan menurunnya kekebalan
maka terjadi juga penurunan TNF-α yang menurunkan sensitisasi sel T dalam
yang menonjol. Pada sitologi gambaran lesi hanya dijumpai struktur massa
granuloma adalah oleh karena faktor korda (korda serpentin) yang berbeda pada
lesi massa amorf eosinofilik dengan partikel coklat gelap. Brooks et al,, 2005
BAB VI
6.1. SIMPULAN
umur 49,29 (± 10,742) tahun dan jenis kelamin yang terbanyak adalah laki-laki.
Mycobacterium tuberculosis dengan p < 0,001, dengan kata lain adanya massa
Sensitifitas 98,95%, Spesifitas 96,97%. Nilai Duga Positif 96,91% dan Nilai Duga
Mycobacterium tuberculosis.
6.2. SARAN
96,97% serta Akurasi 97,94%. Angka ini cukup akurat untuk dipakai sehingga
disarankan agar Massa amorf eosinofilik menjadi salah satu kriteria diagnosis
dengan gambaran lesi massa amorf eosinofilik yang tidak berhubungan dengan
Ahmad Z, Amin SS, 2003. Role of Tuberculin Test, FNAC, and Elisa in the
Diagnosis of Tuberculous Lymphadenitis. JIACM; 4 (4) : 292-295
Ammari FF, Bani Hani AH, Ghariebeh KI, 2003. Tuberculosis of thelymph
glands of the neck: a limited role for surgery.Otolaryngol Head and Neck
Surg; 128 (4): 576-580
Aslam FRA, 2016. Peran Pengawas Menelan Obat (PMO) Terhadap Keberhasilan
Pengobatan TB Paru di Kecamatan Medan Maimun. Available from
:http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/56147 (Accessed on 11
Desember 2017)
Baek CH, Kim Si, Ko YH, Chu KC, 2000. Polymerase chain reaction detection of
Mycobacterium tuberculosis from fine-needle aspirate for the diagnosis of
cervicalTuberculouslymphadenitis. Laryngoscope;110 (1) : 30-34
Bem C, Patil PS, Elliott AM, Namaambo KM, Bharucha H, Porter JD, 1993. The
value of wide- needle aspiration in diagnosis of tuberculous lymphadenitis in
Afrika.AIDS; 7 (9): 1221-1225
Bezabih M, Mariam DW, Selasie SG, 2002. Fine needle aspiration cytology of
suspected tuberculous lymphadenitis.Cytophatology; 13 (5) : 284-290
77
Universitas Sumatera Utara
78
Brooks GF, Butel JS, Morse SA, 2005. Mikobakteria In : Jawetz, Melnick &
Adelberg’s Mikrobiologi Kedokteran. Edisi Pertama Buku 1. Penterjemah dan
Editor : Bagian Mikrobiologi FK Unair. Penerbit Salemba Medika : 453-468
Brooks GF, Butel JS, Morse SA, 2005. Prinsip-prinsip Diagnostik Mikrobiologi
Kedokteran In : Jawetz, Melnick & Adelberg’s Mikrobiologi Kedokteran. Edisi
Pertama Buku 2. Penterjemah : Nani Widorini dan Editor : Dripa Sjabana.
Penerbit Salemba Medika : 411-451
Conde-Junior HM, 1993. Fine needle aspiration biopsy (FNAB) for the diagnosis
of tuberculous lymphadenitis in HIV infected patients. Ints Conf AIDS;11 (9)
:323
Dye C, Gamett GP, Sleeman K, Williams BG, 1998. Prospect for worldwide
tuberculosis control under the WHO DOTS strategy: directly obserbed short-
course therapy. Lancet;352:18861-18891
Finfer M, Perchick A, Burstein DE, 1991. Fine needle aspiration biopsy diagnosis
of tuberculous lymphadenitis in patiens with and without the acquired
immune deficiency syndrome. Acta Cytol; 35 (3) : 325-332
Giri S, Singh K, 2012. Fine Needle Aspiration Cytology For The Diagnostic Of
Tuberculous Lymphadenitis. Int J Cur Res Rev; 4 (24) : 130
Hafez NH, Tahoun NS, 2011. Reliability of fine needle aspiration cytology
(FNAC) as a diagnostic tool in cases of cervical lymphadenopathy. Journal of
the Egyptian National Cancer Institute; 23 : 105–114
Handa U, Palta A, Mohan H, Punia RP, 2002. Fine needle aspiration diagnosis of
tuberculous lymphadenitis.Trop Doct; 32 (3) : 147 -149
Hoshino Y, Hoshino S, Gold JA, Raju B, Prabhakar S, Pine R, Rom WN, Nakata
K, Weiden M, 2007. Mechanisms of Polymorphonuclear Neutrophil–
Mediated Induction of HIV-1 Replication in Macrophages during Pulmonary
Tuberculosis. The Journal of Infectious Diseases; 195 : 1303–1310
Hsiao PF, Tzen CY, Chen HC, Su HY, 2003. Polymerase chain reaction based
detection of Mycobacterium tuberculosis in tissues showing granulomatous
inflammation without demonstrable acid-bacilli.Int J Dermatology; 42
(4):281-286
Iyengar KR, Basu D, 2001. Negative Images in the Fine Neddle Aspiration
Cytologic Diagnosis of Mycobacterial Infections. Malaysian J.Pathol; 23 (2) :
89-92
Karp Gerald, 2008. Cell and Molecular Biology Cocepts and Experiments, John
Wiley& Sons (Asia) Pte Ltd : 765-767
Koo V, Lioe TF, Spence RAJ, 2006. Fine needle aspiration cytology (FNAC) in
the diagnosis of granulomatous lymphadenitis. Ulster Med J; 75 (1) 59-64
Koss LG, Melamed MR, 2006. Koss’ Diagnostic Cytology and its
Histopathologic Bases. Fifth edition. Volume I. Lippincott Williams &
Wilkins : 602-606
Kumar H, Chandanwale SS, Gore CR, Buch AC, Satav VH, Pagaro PM, 2013.
Role of fine needle aspiration cytology in assessment of cervical
lymphadenopathy.Medical Journal of Dr. D.Y. Patil University; 6 (4)
Lalvani A, Pathan AA, McShane H, Wilkinson RJ, Latif M, Conlon CP, Pasvol
G, Hill AV, 2001.Rapid detection of Mycobacterium tuberculosis infection by
enumerationof antigen-spesific T cells. Am J respir Crit Care med;163:824-
828
Lau SK, Wei WI, Hsu C, Engzell UC, 1990. Efficacy of fine needle aspiration
cytology in the diagnosis of tuberculous cervical lymphadenopathy.The
Journal of Laryngology & Otology; 104:24-27
Lubis DM, 2013. Jumlah Penularan Tuberculosis Paru Dalam Satu Keluarga
Dengan Melakukan Penelusuran Kontak Di Kecamatan Medan Tembung
2013.Available from :http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/40194
(Accessed on 9 September 2017)
Lubis HM, Lubis MND, Delyuzar, 2010. Badan-badan Kecil Berbentuk Oval
Gelap di dalam Kelompokan Makrofag dan Bercak-bercak Gelap Dua
Struktur Terabaikan dalam Diagnosis Limfadenitis Tuberculosis.Available
from :http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/26817 (Accesed on 6
September 2014)
Lubis HMND, Lubis HML, Lisdine, Hastuti NW, 2008. Dark specksand
eosinophilic granular necrotic material as differentiating factors between
tuberculous and nontubercolous abcesses.Indonesian Journal of Pathology;
17 (2) : 49-52
Martin, HE, Ellis EB, 1930. Biopsy by needle puncture and aspiration, Ann Surg;
92 (2) : 169-181
: 6-8
Metre MS, Jayaram G, 1987. Acid Fast Bacilli in Aspiration Smears from
Tuberculos Lymph Nodes: Analyis of 255 cases.Acta Cytologica; 31 : 17-19
Mustafa T, Leversen NA, Sviland L, Wiker HG, 2014. Mustafa T, Wiker HG,
Mfinanga SG, Mørkve O, Sviland L, 2006. Immunochemistry using a
Mycobacterium tuberculosis complex specific antibody for improved
diagnosis of tuberculosis lymphadenitis.Modern Pathology; 19 (12)
Orell SR, et al,, 1986. Manual and Atlas of Fine NeedleAspiration Cytology.
Churchill Livingstone, Edinburg
Orell SR, Sterett FG, Whitaker D, 2005. Granulomatous lymphadenitis. In: Fine
Needle Aspiration Cytolology. USA; Elsevier Saunders; p. 93-95
Pandiaraj YA/P, Delyuzar, 2015. Profil Pasien HIV Dengan Tuberculosis Yang
Berobat Ke Balai Pengobatan Paru Provinsi (Bp4), Medan Dari Juli 2011
Hingga Juni 2013. Available from
:http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/50130 (Accessed on 9
September 2017)
Pao CC, Yen TSB, You JB, Maa JS, Fiss EH, Chang CH, 1990. Detection and
Identificationnof Mycobacterium tuberculosis by DNA
Amplification.Journal of Clinical Microbiology; 28 (5) : 1877-1880
Patel VK, Sheth R, Shah K, 2016. A retrospective study on role of fine needle
aspiration cytology in diagnosis of cervical lymphadenopathy. International
Journal of Medical Science and Public Health; 5 (8) : 1588-1591
Putra AK, Delyuzar, 2010. Kejadian Tuberculosis Pada Anggota Keluarga Yang
Raslan WF, Rabaan A, Al-Tawfiq JA, 2014. The predictive value of Gen-Probe's
amplified Mycobacterium tuberculosis direct test compared with culturing in
paraffin-embedded lymph node tissue exhibiting granulomatous
inflammation and negative acid fast stain. J Infect Public Health; 7 (4) : 251-
6
Raviglione MC, O’Brien RJ, 2008. Tuberculosisin : Fauci et al, (eds) Harrison’s
Principle of Internal Medicine. 17th edition. New York : McGraw-Hill : 1006-
1038
Ridley DS, Ridley MJ, 1987. Rationale for the Histological Spectrum of
Tuberculosis.Basis for Classification. Pathology; 19 : 186-192
Robbins SL, Cotran RS, 2015.Tuberculosis in :Pathologic Basis of Disease. 9th ed.
USA: Elsevier. p. 371-376
Saunders BM, Britton WJ, 2007. Life and death in the granuloma:
immunopathology of tuberculosis. Immunology and Cell Biology; 85 : 103–
111
Sengal AT, Mohamedani AA, Hussein HH, Kamal A, 2016.The Role of PCR in
Diagnosis of a Rare Appendicular Tuberculosis and Mini Literature
Review.Hindawi Publishing Corporation Case Report in Gastrointestinal
Medicine; Article ID 8356708