Anda di halaman 1dari 72

UJI TOKSISITAS SUBKRONIS EKSTRAK ETANOL KULIT

BATANG Rhizophora apiculata TERHADAP HISTOPATOLOGI HEPAR


TIKUS PUTIH JANTAN (Rattus novergicus)
GALUR Sparague dawley

(Skripsi)

Oleh:
ISNAMURTI CIPTANINGRUM

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDARLAMPUNG
2019
UJI TOKSISITAS SUBKRONIS EKSTRAK ETANOL KULIT BATANG
Rhizophora apiculata TERHADAP HISTOPATOLOGI HEPAR
TIKUS PUTIH JANTAN (Rattus novergicus)
GALUR Sparague dawley

Oleh:

ISNAMURTI CIPTANINGRUM

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar


SARJANA KEDOKTERAN

Pada

Program Studi Pendidikan Dokter


Fakultas Kedokteran Universitas Lampung

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDARLAMPUNG
2019
5

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan dengan sebenarnya, bahwa:

1. Skripsi dengan judul “UJI TOKSISITAS EKSTRAK KULIT BATANG

Rhizophora apiculata TERHADAP HISTOPATOLOGI HEPAR TIKUS

PUTIH JANTAN (Rattus novergicus) GALUR Sparague dawley” adalah hasil

karya saya sendiri dan tidak melakukan penjiplakan atau pengutipan atas karya

penulis lain dengan cara tidak sesuai etika ilmiah yang berlaku dalam

masyarakat akademik atau yang disebut plagiarisme.

2. Hak intelektualitas atas karya ilmiah ini diserahkan sepenuhnya kepada

Universitas Lampung.

Atas pernyataan ini, apabila di kemudian hari ternyata ditemukan adanya

ketidakbenaran, saya bersedia menanggung akibat dan sanksi yang diberikan kepada

saya.

Bandar Lampung, 5 Januari 2020

Pembuat pernyataan,

Isnamurti Ciptaningrum
Judul Skripsi : UJI TOKSISITAS EKSTRAK KULIT BATANG
Rhizophora apiculata TERHADAP
HISTOPATOLOGI HEPAR TIKUS PUTIH
JANTAN (Rattus novergicus) GALUR Sparague
dawley

Nama Mahasiswa : Isnamurti Ciptaningrum

No.Pokok Mahasiswa : 1618011112

Program Studi : Pendidikan Dokter

Fakultas : Kedokteran

MENYETUJUI

1. Komisi Pembimbing

dr. Syazili Mustofa, M.Biomed Sutarto, S.K.M., M. Epid


NIP 19830713 200812 1 003 NIP 1972070 6199503 1 002

2. Dekan Fakultas Kedokteran

Dr. Dyah Wulan S.R. Wardani., S.K.M., M.Kes


NIP 19720628 199702 2 001
RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kota Serang Banten, pada 19 Desember 1997, merupakan anak

kedua dari tiga bersaudara, dari Ayahanda Dr. H. Aceng Hasani., M.Pd dan Ibunda dra.

H. Rohilah., M.Pd. Penulis memiliki kakak perempuan bernama Istimurti

Ciptaningrum., S.E. dan adik laki-laki bernama Muhammad Farhan Ishadi.

Penulis mulai menempuh pendidikan Taman Kanak-Kanak (TK) di TK Putra II Serang

Banten pada tahun 2002, setelah dua tahun menempuh pendidikan Taman Kanak-

Kanak, penulis melanjutkan sekolah di Sekolah Dasar (SD) SDN 2 Kota Serang pada

tahun 2004-2010. Sekolah Menengah Pertama (SMP) diselesaikan di SMPI Al-Azhar

11 Serang pada tahun 2010-2013, dan Sekolah Menengah Atas (SMA) diselesaikan di

SMA 1 Kota Serang pada tahun 2013-2016.

Pada tahun 2016, penulis diterima sebagai mahasiswa di Fakultas Kedokteran

Universitas Lampung melalui jalur Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri

(SBMPTN). Selama menjadi mahasiswa penulis pernah aktif dalam kegiatan

organisasi PMPATD Pakis Rescue Team sejak tahun 2016-2019 sebagai anggota divisi

organisasi.
SANWACANA

Segala puji dan syukur kepada Allah SWT atas rahmat, hidayah, dan karunia-Nya

sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Sholawat dan salam senantiasa

tersanjungkan kepada suri tauladan kita semua Nabi Muhammad SAW beserta

keluarganya, para sahabatnya, dan kita sebagai umatnya hingga akhir zaman semoga

kita mendapatkan syafaatnya di akhirat kelak.

Skripsi berjudul “Uji Toksisitas Subkronis Ekstrak Etanol Kulit Batang Rhizophora

apiculata terhadap Histopatologi Hepar Tikus Putih Jantan (Rattus norvegicus) Galur

Sprague dawley” merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana

Kedokteran di Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran Universitas

Lampung.

Dalam kesempatan ini penulis mendapatkan banyak bimbingan, kritik, saran,

dukungan, dan doa dari berbagai pihak. Maka pada kesempatan ini penulis ingin

mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Karomani, M. Si., selaku Rektor Universitas Lampung.

2. Dr. Dyah Wukan SRW, S.K.M., M.Kes., selaku Dekan Fakultas Kedokteran

Universitas Lampung.
3. dr. Syazili Mustofa, S.Ked., M.Biomed., Dr (cand)., selaku Pembimbing Utama

atas kesediaan waktu, bimbingan, saran, dan arahan yang selalu diberikan untuk

membantu dalam penyusunan dan penyelesaian skripsi.

4. Bapak Sutarto, S.K.M., M. Epid., Dr (cand)., selaku Pembimbing Kedua atas

bimbingan, saran, arahan, dan nasihat yang bermanfaat dalam penyelesaian skripsi.

5. Dr. dr. Khairun Nisa Berawi, S.Ked., M.Kes., AIFO selaku Pembahas atas

kesediaan waktu, semua saran dan masukan dalam menyelesaikan skripsi.

6. Dr. dr. Betta Kurniawan, S.Ked., M. Kes., selaku Pembimbing Akademik yang

telah memberikan bimbingan selama menjalani perkuliahan.

7. Keluarga tercinta Bapak, Mama, Teteh, dan Ahan yang selalu memberikan kasih

sayang, doa, bantuan, dukungan, motivasi, dan semangat kepada penulis.

8. Ibu Nuriah, A.Md., dan Mas Bayu A.Md., laboran Fakultas Kedokteran Universitas

Lampung yang telah membantu, membimbing, dan memberi saran dengan sabar

dalam menggunakan laboratorium.

9. Sahabatku Princesses tersayang Ayu Dinda Fatimah (Ayurora), Neema Putri

Prameswari (Cinderneema), Reyhan Anjani Putri (Reypunzel), Ghaaliya Dyah

Adheline (Ghaariel) dan Wina Nazula Makrufa (Jaswine) yang selalu menemani

dalam keadaan senang maupun sedih dalam keseharian ku di masa-masa

perkuliahan, serta memberikan dukungan, semangat, bantuan, doa, dan saran

selama penelitian dan penyelesaian skripsi.

10. Sahabat-sahabat terbaik ku Sabika Amalina, Sabila Amalia, Ilma Ainayatu Ahlin

dan Aghnia Kiasati yang menjadi penyemangat dalam hari-hari ku sejak putih ijo-

ijo (SMP) hingga sekarang, semoga silaturrahim kita tetap terjalin.


11. Tim penelitian bakau, Caessaria Sinta Zuya, Dwi Sarwinda, Ilma Puteri Hutami,

Rheza Paleva, dan Rifadly Yusril, untuk bantuan dan kerja samanya dalam

menyelesaikan penelitian ini.

12. Teman-teman sepenelitian di animal house atas kekompakan, bantuan, dan

keceriaan yang telah dihadirkan dilingkungan animal house sehingga penelitian ini

dapat tetap berjalan dan terselesaikan.

13. Teman-teman seperjuangan angkatan 2016 Trigeminus untuk kebersamaan,

kekompakan, suka, duka yang telah kita hadapi bersama, semoga kita semua

menjadi dokter yang amanah.

14. PMPATD PAKIS Rescue Team yang menjadi tempat menambah pengalaman dan

relasi dalam berorganisasi.

Semoga semua doa dan bantuan yang telah diberikan kepada penulis mendapat balasan

dari Allah SWT. Demikian skripsi ini dibuat, penulis menyadari masih banyak

kekurangan dan kesalahan dalam penulisan skripsi ini, namun penulis berharap skripsi

ini dapat bermanfaat dan berguna bagi banyak orang. Aamiin.

Bandar Lampung, 17 Desember 2019

Penulis

Isnamurti Ciptaningrum
ABSTRACT

SUBCHRONIC TOXICITY TEST OF Rhizophora apiculata BARK ETHANOL


EXTRACT ON THE LIVER HISTOPATHOLOGY OF MALE WHITE
RATS (Rattus novergicus) Sparague dawley STRAIN

By

Isnamurti Ciptaningrum

Background: Indonesia is the country with the most mangrove species in the world.
Rhizophora apiculata was proven to be an antibacterial, antioxidant, and others.
Considering about the abundant and so many potential and effectiveness in Rhizophora
apiculata, it’s very important to know about the toxicity. From the description above,
the writer wants to know the toxic effects of Rhizophora apiculata bark ethanol extract
on the liver histopathology of white rats (Rattus norvegicus) Sparague dawley strain.
Method: this study used Post Test Only Control Group Design, sample consisted of 25
rats. Divided into 5 groups each group consisting 5 rats pergroup namely control and
test groups given Rhizophora apiculata bark extract orally with a dose of 114, 228,
456, 912mg/kgBW for 28 days.
Results: this study showed average difference in Kruskal-Wallis test between control
and treatment group was 0.001, there was a significant difference in mean (p <0.05).
At a dose of 114 dan 228mg/kgBW was found cloudy swelling while at a dose of 456
and 912mg/kgBW was found necrosis.
Conclusion: there was a toxic effect of Rhizophora apiculata bark ethanol extract on
the liver histopathology of white rats (Rattus novergicus) Sprague dawley strain.

Keywords: Toxicity test, liver histopathology, Rhizophora apiculata.


4

ABSTRAK

UJI TOKSISITAS SUBKRONIS EKSTRAK ETANOL KULIT BATANG


Rhizophora apiculata TERHADAP HISTOPATOLOGI HEPAR
TIKUS PUTIH JANTAN (Rattus novergicus)
GALUR Sparague dawley

Oleh

Isnamurti Ciptaningrum

Latar Belakang: Indonesia merupakan negara dengan spesies bakau terbanyak di


dunia. Bakau jenis Rhizophora apiculata terbukti sebagai antibakteri, antidiare,
antioksidan, dan lain-lain. Melimpahnya serta banyaknya potensi dan efektivitas yang
telah terbukti pada Rhizophora apiculata, maka sangat penting diketahui uji
toksisitasnya. Dari uraian tersebut, penulis ingin mengetahui efek toksik ekstrak kulit
batang Rhizophora apiculata terhadap histopatologi hepar tikus putih jantan (Rattus
norvegicus) galur Sparague dawley.
Metode: penelitian ini menggunakan Post Test Only Control Group Design. Sampel
terdiri dari 25 ekor tikus. Terbagi dalam 5 kelompok yang terdiri dari 5 ekor tikus putih
per kelompok yaitu kelompok kontrol dan 4 kelompok uji yang diberi ekstrak kulit
batang Rhizophora apiculata secara oral dengan dosis 114, 228, 456, 912 mg/kgBB
selama 28 hari.
Hasil: penelitian ini didapatkan hasil perbedaan rerata uji Kruskal-Wallis pada
kelompok kontrol dan kelompok perlakuan adalah 0,001 yang artinya terdapat
perbedaan rerata yang signifikan (p<0,05). Pada dosis 114 dan 228 mg/kgBB
ditemukan degenerasi bengkak keruh sedangkan pada dosis 456 dan 912 mg/kgBB
ditemukan nekrosis.
Kesimpulan: terdapat efek toksik pada pemberian ekstrak etanol kulit batang bakau
Rhizophora apiculata terhadap histopatologi hepar tikus putih (Rattus novergicus)
jantan galur Sprague dawley.

Kata Kunci: Uji toksisitas, histopatologi hepar, Rhizophora apiculata


i

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI .......................................................................................................................... i


DAFTAR TABEL ................................................................................................................ iv
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................................ v

BAB 1 PENDAHULUAN ..................................................................................................... 1


1.1 Latar Belakang ...................................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................................. 4
1.3 Tujuan Penelitian ................................................................................................... 5
1.4 Manfaat Penelitian ................................................................................................. 5
1.4.1 Bagi Peneliti Selanjutnya .............................................................................. 5
1.4.2 Bagi Ilmu Pengetahuan ................................................................................. 6
1.4.3 Bagi Fakultas Kedokteran Universitas Lampung .......................................... 6

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................................... 7


2.1 Tanaman Bakau (Rhizophora apiculata) ............................................................ 7
2.1.1 Taksonomi Rhizophora apiculata .............................................................. 8
2.1.2 Morfologi Rhizophora apiculata ................................................................ 9
2.1.3 Zat Aktif yang Terkandung dalam Rhizophora apiculata ........................ 10
2.2 Uji Toksisitas .................................................................................................... 12
2.3 Hepar ................................................................................................................ 14
2.3.1 Anatomi Hepar ......................................................................................... 14
2.3.2 Fisiologi Hepar......................................................................................... 16
2.3.3 Histologi Hepar ........................................................................................ 19
ii

2.3.4 Histopatologi Hepar .................................................................................. 20


2.4 Tikus Putih ........................................................................................................ 25
2.4.1 Taksonomi Tikus Putih ............................................................................. 25
2.4.2 Biologi Tikus Putih ................................................................................... 26
2.5 Kerangka Teori ................................................................................................. 27
2.6 Kerangka Konsep.............................................................................................. 27
2.7 Hipotesis ........................................................................................................... 28

BAB 3 METODE PENELITIAN ...................................................................................... 29


3.1 Desain Penelitian ................................................................................................ 29
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian ............................................................................. 29
3.3 Populasi dan Sampel........................................................................................... 30
3.3.1 Populasi ..................................................................................................... 30
3.3.2 Sampel ....................................................................................................... 30
3.3.3 Kriteria Penelitian ...................................................................................... 33
3.4 Alat dan Bahan .................................................................................................... 34
3.4.1 Alat ............................................................................................................. 34
3.4.2 Bahan .......................................................................................................... 35
3.5 Identifikasi Variabel dan Definisi Operasional Variabel ..................................... 36
3.5.1 Identifikasi Variabel ................................................................................... 36
3.5.2 Definisi Operasional Variabel ..................................................................... 37
3.6 Prosedur Penelitian ............................................................................................... 38
3.6.1 Adaptasi Hewan Coba ................................................................................. 38
3.6.2 Prosedur Pembuatan Ekstrak Kulit Batang Bakau Minyak a ....................... 38
3.6.3 Terminasi Hewan Coba ............................................................................... 39
3.6.4 Prosedur Pembuatan Preparat ...................................................................... 40
3.6.5 Penilaian Histopatologi Hepar ..................................................................... 42
3.6 Alur Penelitian ..................................................................................................... 44
3.7 Analisis Data ........................................................................................................ 45
3.8 Etik Penelitian ...................................................................................................... 45

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................................... 47


4.1 Hasil Penelitian ................................................................................................... 47
4.1.1 Hepatosit .................................................................................................... 48
iii

4.1.2 Analisis Univariat ...................................................................................... 55


4.1.3 Analisis Bivariat ........................................................................................ 56
4.2 Pembahasan Penelitian ....................................................................................... 58
4.2.2 Jejas Sel Degenerasi Bengkak Keruh pada Hepar ...................................... 58
4.2.3 Jejas Sel Nekrosis pad Hepar ..................................................................... 60

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................................... 67


5.1 Kesimpulan......................................................................................................... 67
5.2 Saran................................................................................................................... 67

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................... 69


LAMPIRAN ........................................................................................................................ 75
iv

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Kelompok Perlakuan ........................................................................................................ 48


2. Definisi Operasional Variabel .......................................................................................... 52
3. Skor Penilaian Derajat Histopatologi Hepatosit ................................................................ 58
4. Pembacaan Preparat Menggunakan Skoring Mordue ....................................................... 64
5. Uji Normalitas Sampel Penelitian ..................................................................................... 70
6. Uji Statistik Sebelum dan Sesudah Pemberian Perlakuan ................................................. 71
7. Hasil Uji Kruskal-Wallis .................................................................................................. 72
8. Hasil Uji Post Hoc Mann Whitney Kelompok Kontrol dan Kelompok Perlakuan ............ 73
v

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Distribusi bakau di Indonesia berdasarkan gambar satelit ................................................ 22


2. Habitus dan daun Rhizophora apiculata ........................................................................... 23
3. Anatomi Hepar ................................................................................................................. 29
4. Histologi hepar dengan pewarnaan HE perbesaran 40x .................................................... 34
5. Peradangan pada hepatosit ................................................................................................ 36
6. Steatosis pada hepatosit .................................................................................................... 37
7. Nekrosis sentrilobularis .................................................................................................... 38
8. Bridging fibrosis ............................................................................................................... 38
9. Makronoduler dan mikronoduler Sirosis .......................................................................... 39
10. Rattus novergicus ........................................................................................................... 40
11. Kerangka Teori ............................................................................................................... 42
12. Kerangka Konsep ........................................................................................................... 42
13. Alur Penelitian ............................................................................................................... 59
14. Kelompok Kontrol .......................................................................................................... 65
15. Kerangka Perlakuan 1..................................................................................................... 66
16. Kerangka Perlakuan 2..................................................................................................... 67
17. Kerangka Perlakuan 3..................................................................................................... 68
18. Kerangka Perlakuan 4..................................................................................................... 69
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bakau merupakan tumbuhan yang sangat banyak dijumpai di pesisir Indonesia.

Spesies bakau di Indonesia ditemukan lebih dari 45 spesies, ini merupakan yang

terbanyak di dunia dengan luas hutan mencapai 4,5 juta hektar (Purnobasuki,

2005; Wiarta, et al., 2017). Bakau mempunyai banyak manfaat, salah satunya

berpotensi sebagai bahan obat. Tumbuhan ini telah terbukti dapat digunakan

sebagai antioksidan, antiinflamasi, antimikroba, antidiare, antidiabetes,

antihepatotoksik, antihiperglikemik, antitumor, spermasida dan lain-lain

(Abdullah., 2011; Purwaningsih et al., 2013).

Hampir semua bagian dari tanaman bakau dapat dimanfaatkan sebagai bahan

obat, di antaranya: ekstrak daun dan kulit akar bakau memiliki aktivitas

antibakteri; ekstrak kulit batang bakau dapat digunakan untuk menyembuhkan

diabetes, kandungan antioksidannya memberikan efek perlindungan pada arteri

koronaria terhadap paparan asap rokok; ekstrak akar bakau juga dapat digunakan
2

sebagai hepatoprotektif, yaitu obat herbal alternatif untuk menangani kerusakan

hepar (Joel dan Bhimba, 2010; Lawag et al., 2012; Mustofa et al., 2019;

Ravikumar dan Gnanadesigan 2012).

Provinsi Lampung mempunyai kawasan hutan bakau yang luas salah satunya

terdapat di wilayah pesisir Kabupaten Lampung Timur dengan luas hutan bakau

mencapai 2700 hektar (Bakosurtanal, 2009). Terdapat beberapa spesies bakau

yang dapat ditemukan di antaranya spesies Rhizophora apiculata, R. stylosa, R.

muncronata, Bruguiera gymnorhiza, Xylocarpus spp., Avicennia officinalis, A.

marina, Sonneratia caseolans, Aegiceras sp., dan Cebera maghas (Rochana,

2011). Rhizophora apiculata merupakan jenis bakau mayor yang dapat ditemukan

di Kabupaten Lampung Timur. Rhizophora apiculata memiliki ciri-ciri daun

berwarna hijau tua dengan pucuk kemerahan dan bunga berwarna merah

kecoklatan dengan formasi 2-4 bunga perkelompok (Hadi et al., 2016). Beberapa

penelitian menyebutkan bahwa Rhizophora apiculata kaya akan kandungan

antioksidan yaitu alkaloid, flavonoid, saponin, dan tanin yang dilaporkan

memiliki aktivitas farmakologis dan juga efek toksik (Abdullah, 2011;

Purnobasuki, 2005). Senyawa antioksidan apabila dikonsumsi dalam jumlah

berlebihan dapat berubah menjadi prooksidan sehingga menyebabkan terjadinya

stres oksidatif (Eghbaliferiz & Iranshahi, 2016; Lim et al., 2006).


3

Uji toksisitas penting bagi keamanan suatu obat baru sebelum dapat digunakan

untuk manusia. Uji toksisitas dilakukan untuk menentukan bahaya atau risiko dari

suatu substansi pada organ atau jaringan tertentu dan juga untuk menentukan no-

observedadverse-affect level (NOAEL) (Yusuf et al., 2018; Purwaningsih et al.,

2015). Uji toksisitas subakut adalah uji yang digunakan untuk mengetahui

toksisitas suatu senyawa yang dilakukan dalam jangka waktu 28 hari atau 90 hari

pada hewan coba dengan sedikitnya tiga tingkatan dosis (Ditjen POM, 2014).

Pada penelitian sebelumnya telah dilakukan uji toksisitas ekstrak bakau dengan

menggunakan metode Brine Shrimp Lethality Test (BSLT). Berdasarkan

penelitian Fajarningsih pada tahun 2006, hasil uji toksisitas ekstrak tanaman

bakau menunjukkan 3 dari 9 ekstrak bakau yang diuji terbukti toksik karena

mengandung antioksidan (flavonoid, terpenoid fenol, dan tanin). Uji toksisitas

pada bakau jenis lain telah dilakukan oleh Sri Purwaningsih pada tahun 2015,

ekstrak hipokotil Rhizophora mucronata yang diuji pada tikus galur Sprague

dawley terbukti memiliki efek toksik secara subakut bahwa ekstrak pada dosis 105

mg/kgBB secara histopatologi menyebabkan perubahan gambaran jaringan ginjal,

degenerasi serta dilatasi hepatosit (Purwaningsih et al., 2015). Hepar merupakan

organ yang rentan mengalami kerusakan karena salah satu fungsi hepar sebagai

filter dari bahan-bahan toksik yang masuk ke dalam tubuh, selain itu hepar juga

memiliki sistem sirkulasi ganda, sehingga akumulasi bahan-bahan toksik di hepar

lebih besar. Efek toksik tersebut menjadi penyebab tersering kerusakan pada

hepar (Mustofa et al., 2014; Muliartha et al., 2009).


4

Mengingat melimpahnya jumlah bakau yang terdapat di Indonesia serta

banyaknya potensi dan efektivitas yang telah terbukti pada Rhizophora apiculata,

sangat penting untuk diketahui uji toksisitasnya. Sampai saat ini informasi ilmiah

mengenai uji toksisitas ekstrak etanol kulit batang Rhizophora apiculata belum

banyak diteliti, bahkan belum pernah ada penelitian uji toksisitas ekstrak etanol

kulit batang Rhizophora apiculata yang menggunakan tikus putih sebagai hewan

uji coba. Penelitian sebelumnya membuktikan bahwa antioksidan yang

terkandung dalam tanaman Rhizophora apiculata memberikan efek perlindungan

terhadap arteri koronaria yang terpapar asap rokok pada dosis 113 mg/kgBB,

namun pada penelitian terdahulu belum mencakup pengujian toksisitas ekstrak

kulit batang Rhizophora apiculata (Mustofa et al., 2019). Melihat hal ini, peneliti

tertarik untuk melakukan penelitian mengenai efek toksik ekstrak kulit batang

Rhizophora apiculata terhadap histopatologi hepar tikus putih (Rattus

norvegicus) galur Sparague dawley.

1.2 Rumusan Masalah

Indonesia merupakan negara dengan ekosistem bakau terbanyak di dunia. Namun

tanaman bakau ini belum banyak dimanfaatkan kegunaannya. Padahal tanaman

bakau telah terbukti berpotensi sebagai obat. Beberapa penelitian telah

membuktikan antioksidan yang terkandung dalam tanaman Rhizophora apiculata

memberikan efek perlindungan terhadap organ yang terpapar asap rokok, namun

belum banyak penelitian yang membicarakan tentang efek toksik pada tanaman
5

Rhizophora apiculata ini. Berdasarkan latar belakang tersebut, didapatkan

rumuskan masalah penelitian sebagai berikut:

Berapakah dosis toksik ekstrak etanol kulit batang Rhizophora apiculata terhadap

histopatologi hepar tikus putih (Rattus norvegicus) galur Sparague dawley?

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari diadakannya penelitian ini yaitu:

Mengetahui dosis toksik ekstrak etanol kulit batang Rhizophora apiculata terhadap

gambaran histopatologi hepar tikus putih (Rattus novergicus) galur Sprague

dawley.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat:

1.4.1 Bagi Peneliti Selanjutnya

Dapat mengembangkan penelitian ini lebih lanjut ataupun melakukan

penelitian yang serupa berkaitan dengan efek toksik pemberian ekstrak

etanol kulit batang Rhizophora apiculata terhadap histopatologi organ lain

selain hepar tikus putih (Rattus norvegicus) galur Sparague dawley, atau

hewan coba lainnya.


6

1.4.2 Bagi Ilmu Pengetahuan

Hasil penelitian ini diharapkan mampu menambah informasi ilmiah

mengenai efek toksik pemberian ekstrak etanol kulit batang Rhizophora

apiculata terhadap kerusakan hepar.

1.4.3 Bagi Fakultas Kedokteran Universitas Lampung

Penelitian ini diharapkan dapat mewujudkan visi dan misi Fakultas

Kedokteran Universitas Lampung sebagai Fakultas Kedokteran sepuluh

terbaik di Indonesia pada tahun 2025 dalam bidang agromedicine dengan

melakukan penelitian di bidang agromedicine.


7

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tanaman Bakau (Rhizophora apiculata)


Rhizopora apiculata adalah salah satu tumbuhan bakau yang dapat dengan mudah

ditemukan pada pesisir pantai Kabupaten Lampung Timur (Rochana, 2011; Wiarta

R, 2017). Bakau spesies ini merupakan spesies bakau mayor (true mangrove) yang

berarti memiliki sifat sepenuhnya hidup di kawasan pasang surut atau dapat pula

tumbuh pada daerah berlumpur agak keras, memiliki peranan penting dalam

membentuk struktur komunitas bakau, dan dapat membentuk tegakan murni

Wiarta R, 2017).

Spesies ini merupakan tanaman tropis yang bersifat halophytic atau toleran

terhadap garam. Rhizophora apiculata juga dikenal memiliki nama lain seperti

bakau minyak, bakau tanduk, bakau akik, bakau kacang dan lain-lain (Hadi et al,

2016).
8

Gambar 1. Distribusi bakau di Indonesia berdasarkan gambar satelit (hijau).


(Sumber: Sjahrir & Hutahean, 2015)

2.1.1 Taksonomi Rhizophora apiculata

Adapun taksonomi dari Rhizopora apiculata adalah sebagai berikut:

Kingdom : Plantae

Divisi : Tracheophyta

Kelas : Magnoliopsida

Ordo : Rhizophorales

Familia : Rhizophoraceae

Genus : Rhizophora

Spesies : Rhizophora apiculate (Hadi et al, 2016).


9

2.1.2 Morfologi

Rhizophora apiculata memiliki tinggi mencapai 30 m dengan diameter

batang hingga 50 cm. Batang pokok Rhizopora apiculata ini memiliki

perawakan pohon berkayu (woody, ligneous, lignified), tipe kayu keras dan

kulit kayu berwarna abu-abu tua. Memiliki perakaran khas berupa akar

napas dengan cabang-cabang yang keluar dari batang panjang akarnya dapat

mencapai 5 m, daunnya berwarna hijau tua dengan hijau muda pada bagian

tengah dan kemerahan di bagian bawah daun. Bentuk daun lonjong, tepi

daun rata, serta ujung daun meruncing memiliki duri. Panjang daun berkisar

3-13 cm dengan lebar berkisar 1-6 cm. Panjang tangkai daun berkisar 10-50

cm berwarna coklat keputihan. Disetiap ujung tangkai daun (stipula)

memiliki kuncup dengan bentuk memanjang ke atas berwarna kemerahan.

(Hadi et al, 2016; Purnobasuki, 2005)

Gambar 2. Habitus dan daun Rhizophora apiculata


(Sumber: Hadi, 2016)
10

2.1.3 Zat Aktif yang Terkandung dalam Rhizophora apiculata

Berdasarkan uji fitokimia beberapa zat aktif yang terkandung dalam

Rhizophora apiculata antara lain alkaloid, saponin, flavonoid, dan tanin.

(Abdullah, 2011). Senyawa tersebut merupakan senyawa metabolit

sekunder yang digunakan sebagai chemichal defence dan dilaporkan

memiliki aktivitas farmakologis serta efek toksik. Selain itu, Rhizophora

apiculata juga mengandung zat-zat kimia seperti karbohidrat, karoten,

klorofil, polifenol, protein, dan steroid (Purnobasuki, 2005). Banyak bagian

dari tanaman Rhizophora apiculata yang dapat dimanfaatkan mulai dari

batang, kulit batang, buah hingga akar semuanya mengandung antioksidan.

Pada kulit batang tanaman Rhizophora apiculata diketahui mengandung

senyawa tanin yang kandungannya paling banyak (Rahim et al., 2008).

Tanin merupakan senyawa polifenol yang diketahui mempunyai beberapa

manfaat yaitu sebagai, antioksidan, hepatoprotektif, antidiare, antibakteri

dan antidiabetes. (Gnanadesigan, 2012; Lawag et al., 2012; Purwaningsih

et al., 2013). Tanin memiliki berat molekul yang tinggi (Mr > 500).

Strukturnya terdiri dari gugus flavan-3-ol yang terhubung bersama melalui

ikatan karbon C4-C6 atau C4-C8 (Rahim et al., 2008).


11

Alkaloid adalah golongan senyawa organik yang terbanyak ditemukan di

alam, hampir seluruhnya berasal dari tumbuh-tumbuhan (sebagian besar

dikotil). Semua alkaloid paling sedikit memiliki satu atom nitrogen yang

biasanya besifat basa dan sebagian besar atom nitrogen ini merupakan

bagian dari cincin heterosiklik. Alkaloid memiliki sifat basa (pahit,

toksik), mempunyai efek fisiologis serta aktif optik, dan biasanya

merupakan kristal jernih namun ada juga yang berwarna kuning, tidak

mudah menguap, larut dalam air dan pelarut organik (Kadji et al., 2015).

Saponin termasuk dalam golongan terpenoid dan bagian dari triterpenoid.

Senyawa ini merupakan senyawa aktif yang permukaannya bersifat seperti

sabun dan dapat dideteksi berdasarkan kemampuannya membentuk busa

yang stabil dan menghemolisis sel darah (Purnobasuki, 2005).

Flavonoid merupakan senyawa polifenol yang tersebar luas di alam.

Penggolongan flavonoid dibedakan atas cincin heterosiklik-oksigen

tambahan gugus hidroksil yang tersebar menurut pola yang berlainan pada

rantai C3, sesuai dengan struktur kimianya yang sesuai dengan flavonoid

yaitu flvonol, flavon, flavanon, katekin, antosianidin, dan kalkon (Kadji et

al., 2015).
12

Konsentrasi antioksidan yang terlalu tinggi (antioksidan yang berlebih)

dapat berubah menjadi prooksidan sehingga menyebabkan terjadinya stres

oksidatif. Menurut Tristanto et al (2014) bahwa semakin besar konsentrasi

antioksidan mengakibatkan aktivitas antioksidan semakin kecil.

Antioksidan merupakan senyawa kimia yang dapat menyumbangkan satu

atau lebih elektron kepada radikal bebas, sehingga radikal bebas tersebut

dapat diredam. Semakin tinggi konsentrasi antioksidan semakin padat

molekul, sehingga elektron dari antioksidan tersebut tidak dapat bereaksi

dengan radikal bebas. Besar konsentrasi antioksidan yang ditambahkan

dapat berpengaruh pada laju oksidasi. Aktivitas prooksidan dapat

menurunkan tingkat glutation yang mengakibatkan hepatoksisitas

(Eghbaliferiz & Iranshahi, 2016; Price & Wilson, 2012).

2.2 Uji Toksisitas

Uji toksisitas merupakan suatu pengujian terhadap hewan coba untuk mendeteksi

efek toksik dari suatu zat agar diperoleh data dosis dan efek yang khas dari sediaan

uji. Kemudian akan diperoleh suatu data sebagai informasi mengenai derajat

bahaya dari sediaan uji tersebut bila terjadi pemaparan pada manusia, sehingga

dapat ditentukan dosis penggunaannya demi keamanan. Hasil uji toksisitas tidak

seutuhnya membuktikan keamanan suatu bahan atau sediaan pada manusia, tetapi

dapat memberikan petunjuk adanya toksisitas relatif dan membantu identifikasi

efek toksik bila terjadi pemaparan pada manusia. Terdapat faktor-faktor yang
13

menentukan hasil uji toksisitas secara in vivo antara lain: pemilihan spesies hewan

uji, galur dan jumlah hewan, cara pemberian sediaan uji, pemilihan dosis uji, efek

samping sediaan uji, teknik dan prosedur pengujian termasuk cara penanganan

hewan selama percobaan (Ditjen POM, 2014).

Terdapat beberapa macam jenis uji toksisitas yaitu: uji toksisitas akut, uji toksisitas

subkronis oral, uji toksisitas kronis oral, uji teratogenisitas, uji sensitisasi kulit, uji

iritasi mata, uji iritasi mukosa vagina, uji iritasi akut dermal, uji toksisitas akut

dermal, dan uji toksisitas subkronis dermal. Pemilihan uji toksisitas, dipilih sesuai

dengan tujuan penggunaan sediaan uji. Bila tujuan tersebut sebagai sediaan oral,

maka dilakukan uji toksisitas oral untuk mengetahui efek toksik pada hewan uji.

Uji toksisitas oral berdasarkan waktu dan jenisnya dibagi menjadi tiga kelompok

yaitu; uji toksisitas akut oral, uji toksisitas subkronik oral, dan uji toksisitas kronik

oral (Ditjen POM, 2014; Siswandi & Grace, 2018).

Uji Toksisitas Subkronis Oral

Prinsip uji toksisitas subkronis oral adalah beberapa kelompok hewan uji tiap hari

diberikan sediaan uji dalam minimal tiga tingkat dosis dengan satu dosis per

kelompok selama 28 atau 90 hari dengan dosis maksimal 1000 mg/kgBB. Selama

waktu pemberian sediaan uji, hewan uji diamati setiap hari untuk menentukan

adanya toksisitas (Ditjen POM, 2014; OECD, 2008).


14

Hewan yang mati selama pemberian sediaan uji, bila belum melewati periode rigor

mortis (kaku) segera diotopsi, dan diamati secara makropatologi dan histopatologi

organ serta jaringannya. Di akhir periode pemberian sediaan uji, semua hewan

yang masih hidup di euthanasi kemudian diotopsi serta dilakukan pengamatan

secara makropatologi, hematologi, biokimia klinis dan histopatologi pada setiap

organ dan jaringannya (Lu, 2010). Tujuan uji toksisitas subkronis oral adalah

untuk memperoleh informasi adanya efek toksik zat yang tidak terdeteksi pada uji

toksisitas akut, informasi kemungkinan adanya efek toksik setelah pemaparan

sediaan uji secara berulang dalam jangka waktu tertentu, informasi dosis yang

tidak menimbulkan efek toksik (No Observed Adverse Effect Level /NOAEL), dan

mempelajari adanya efek kumulatif dan efek reversibilitas zat tersebut (OECD,

2008; Lu, 2010)

2.3 Hepar

2.3.1 Anatomi Hepar

Hepar adalah kelenjar terbesar pertama dan organ terbesar kedua pada tubuh

manusia, dimana memiliki massa sekitar 1.500 gram atau senilai 2% dari

massa badan orang dewasa normal. Hepar terletak di bawah diafragma tepat

di bagian atas cavitas abdominalis. Hepar memiliki dua lobus yaitu lobus

dan lobus sinistra, dimana lobus dekstra lebih besar dibandingkan dengan

lobus sinistra (Moore et al., 2013; Snell, 2014)


15

Hepar disuplai oleh dua pembuluh darah yaitu: vena porta hepatika dan

arteri hepatica. Vena porta hepatica berasal dari lambung dan usus yang

kaya akan nutrien dan membawa 75-80% darah ke hepar. Darah yang

dialirkan oleh vena porta hepatica mengandung sekitar 40% oksigen lebih

banyak daripada darah yang kembali ke jantung dari sirkuit sistemik, hal ini

berfungsi untuk mempertahankan hepatosit. Sedangkan arteri hepatika,

cabang dari arteri koliaka, kaya akan oksigen. Arteri hepatika yang

membawa 20-25% darah ke hepar, pada awalnya didistribusikan ke struktur

non-parenkimal terutama duktus biliaris intrahepatik (Moore et al., 2013).

Darah meninggalkan hepar melalui permukaan posteriornya melalui vena

hepatika, yang menyalurkan darah ke vena cava inferior (Paulsen &

Waschke, 2010).

Lig.
Lig. Koronaria Lig. Triangular
Triangular Hepatika sinistra
dekstra

Apendiks
hepatika fibrosa
hepatis

Lobus Hepatika Sinistra

Lig. Falsiform
hepatika

Lobus Hepatika Dekstra Lig. Teres


Hepatika

Margo inferior
hepatika
Vesika
Billiaris

Gambar 3. Anatomi Hepar (Paulsen & Waschke, 2010)


16

Hepar dipersarafi oleh pleksus hepatikus yang merupakan cabang terbesar

dari pleksus koeliacus. Pleksus hepatikus tersusun atas saraf simpatis dari

pleksus koeliacus dan saraf parasimpatis dari trunkus vagalis anterior dan

posterior yang berperan dalam vasokonstriksi pembuluh darah pada trias

hepatikus (Moore et al., 2013).

2.3.2 Fisiologi Hepar

Hepar sangat penting fungsinya untuk metabolik tubuh, hampir setiap

fungsi metabolik merupakan tanggung jawab hepar. Fungsi metabolik yang

hepar antara lain:

a. Metabolisme karbohidrat

Mempertahankan kadar gula darah normal serta menyediakan energi untuk

berjalannya aktivitas tubuh. Karbohidrat dalam hepar akan disimpan dalam

bentuk glikogen dalam jumlah besar. Mengkonversi galaktosa dan fruktosa

menjadi glukosa. Gukoneogenesis, dan membentuk banyak senyawa kimia

yang penting dari hasil perantara metabolisme karbohidrat (Guyton dan

Hall, 2014).

b. Metabolisme lemak

Pada hepar terjadi hidrolisis trigliserida, kolestrol, fosfolipid, dan

lipoprotein menjadi asam lemak dan gliserol. Selain memecah komponen

lemak, hepar juga dapat menyimpan lemak dan mensintesis kolestrol yang
17

sebagian besar akan diekskresi ke dalam empedu. Hepar juga berfungsi

sebagai transporter lipid dari saluran cerna ke hepar dan jaringan, serta

impor kolesterol dari jaringan ke hepar. Berbagai lipoprotein yang berperan

dalam transport lemak adalah kilomikron very low-density lipoprotein

(VLDL), low-density lipoprotein (LDL), serta high-density lipoprotein

(HDL) (Murray et al., 2009; Mustofa, 2019).

c. Metabolisme protein

Hepar dapat mensintesis protein serum seperti albumin serta alfa dan beta

globulin. Hepar berperan penting terhadap penyintesisan faktor

pembekuan, protein pengikat hormon dan obat, dan beberapa hormon

maupun prekursornya. Albumin berfungsi untuk mempertahankan tekanan

onkotik plasma, membantu proses pembekuan darah melalui sintesis dan

modifikasi protein-protein pembekuan darah, membantu pengaturan

tekanan darah dengan memproduksi angiotensinogen, dan berperan penting

dalam proses hormonal, dengan memproduksi Insulin-like growth factor-1

(IGF-1), metabolisme hormon melalui pembentukan steroid hormone-

binding globulin (SHBG) dan thyroid-binding globulin (TBG) (Sheerwood,

2014). Selain itu hepar dapat juga membentuk urea yang berasal dari NH2

yang selanjutnya akan dieksresi melalui kemih dan feses. Hepar berperan

pula dalam penyimpanan protein dalam bentuk asam amino yang akan

membentuk NH3 (amonia) yang berasal dari diseminasi asam amino dan

kerja bakteri usus terhadap asam amino (Price & Wilson, 2012).
18

d. Penyimpanan vitamin dan mineral

Hepar dapat menyimpan vitamin yang larut dalam lemak seperti vitamin A,

D, E, K dan vitamin B12, tembaga, dan besi (Guyton dan Hall, 2014).

e. Metabolisme steroid

Hepar berperan dalam inaktivasi dan sekresi aldosteron, estrogen,

progesteron, testosteron, dan glukokortikoid (Guyton dan Hall, 2014).

f. Pembentukan empedu

Hepar juga memiliki peranan dalam fungsi pembentukan empedu yang akan

dialirkan ke kantung empedu untuk disimpan dan digunakan untuk

penyerapan lemak dalam usus halus (Guyton dan Hall, 2014). Peranan

lainnya adalah pembentukan dan sekresi empedu, memetabolisme garam

empedu, dan memetabolisme pigmen empedu. Sekresi empedu merupakan

fungsi eksokrin dari hepar. Asam empedu berfungsi penting dalam

emulsifikasi lemak pada saluran pencernaan sehingga mempermudah

proses pencernaan oleh lipase dan absorbsi bahan-bahan yang dibutuhkan

(Price & Wilson, 2012).

g. Xenobiotik

Hepar memiliki fungsi penting untuk inaktivasi dan detoksifikasi komponen

dan metabolit xenobiotik. Xenobiotik adalah komponen yang tidak

memiliki nilai gizi dan memiliki potensi toksik (Dorland, 2012). Obat

merupakan contoh komponen xenobiotik, komponen ini di metabolisme


19

untuk menjadi komponen hidrofilik di hepar agar dapat dieksresi melalui

ginjal. Proses konversi ini dapat dibagi menjadi dua tahap, yang pertama

komponen asal di transformasikan menjadi komponen yang lebih polar.

Fase pertama ini melibatkan proses oksidasi dengan enzim-enzim yang

terlibat terletak pada komponen retikulum endoplasma halus, enzim yang

terlibat pada fase ini disebut sebagai sitokrom P450. Pada fase kedua produk

dari fase pertama akan mengalami konjugasi dengan beberapa komponen

katalisator untuk menjadikan produk tersebut menjadi hidrofilik, setelah

komponen tersebut bersifat hidrofilik, maka eksresinya akan baik melalui

ginjal (Murray et al., 2009).

2.3.3 Histologi Hepar

Hepar tersusun atas sel-sel hepar (hepatosit), sel ito (sel penimbun lemak),

sel kupffer (sel makrofag), dan sel endotel. Hepatosit berderet secara radier

dalam lobulus hati dan membentuk lapisan sebesar 1-2 sel serupa dengan

susunan batu bata. Celah diantara susunan hepatosit ini disebut sinusoid

yang berisi kapiler untuk membawa nutrisi ke dalam hepar. Sinusoid juga

mengandung makrofag yang dikenal dengan sel kupffer. Sel-sel makrofag

ini fungsi utamanya adalah memetabolisme eritrosit tua, mencerna

hemoglobin, dan menyekresikan sitokin (Junquiera et al., 2014).


20

Gambar 4. Histologi hepar dengan pewarnaan HE perbesaran 40x


(Sumber: Eroschenko, 2010)

2.3.2 Histopatologi Hepar

Hepar merupakan jembatan penghubung antara saluran cerna dengan organ-

organ lain pada tubuh, karena hepar berperan terhadap pertahanan

homeostasis metabolik tubuh dan detoksikasi bahan toksik. Tidak heran jika

hepar rentan terhadap gangguan metabolik, zat toksik, dan sirkulasi.

Kerusakan hepar dapat disebabkan oleh infeksi, obat-obatan, trauma,

genetik, gangguan imunologis, dan kanker hepar, atau karena bahan kimia

alami maupun sintetik (Anshor et al., 2013; Kumar et al., 2015; Suk & Kim,

2012).

Kerusakan hepar karena zat toksik dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti

jenis zat kimia yang terlibat, dosis yang diberikan, dan lamanya paparan zat

tersebut. Obat-obatan yang menyebabkan kerusakan hepar pada umumnya


21

diklasifikasikan sebagai hepatotoksik yang dapat diduga dan yang tak dapat

diduga, tergantung dari mekanisme patofisiologi kerusakan hepar

(Darmansjah et al., 2007; Molsen, 2001). Ditemukan lima macam respon

umum hepar terhadap cidera, yaitu peradangan, degenerasi, nekrosis,

fibrosis, dan sirosis (Kumar et al., 2015).

1. Inflamasi

Cidera hepatosit karena masuknya sel radang akut atau kronis pada hepar

disebut hepatitis. Jika hepatosit mengalami kerusakan, makrofag akan

dengan cepat memfagosit sel yang mati, dan membentuk gumpalan sel

radang di parenkim normal. Reaksi granulomatosa dapat dipicu oleh benda

asing, organisme, dan berbagai obat (akibat efek toksik) (Kumar et al.,

2015).

Gambar 5. Peradangan pada hepatosit


Sinusoid Infiltrasi sel randang

(Kumar et al., 2015).

Gambar 5. Peradangan pada hepatosit


(Kumar et al., 2015)

2. Degenerasi dan Penimbunan Intraseluler

Kerusakan hepar akibat gangguan toksik atau imunologis dapat

menyebabkan pembengkakan dan edema hepatosit (degenerasi bengkak


22

keruh), dengan sitoplasma iregular bergumpal, dan rongga-rongga jernih

yang lebar. Pada degenerasi hidropik tampak sel-sel yang sitoplasmanya

pucat, bengkak dan timbul vakuola-vakuola di dalam sitoplasma, karena

penimbunan cairan. Selain itu, dapat menyebabkan penimbunan tetesan

lipid (steatosis), secara mikroskopis terlihat gambaran vakuol lemak kecil

dalam sitoplasma di sekitar inti (mikrovesikular steatosis), yang dapat

berlanjut membentuk vakuol besar yang mendesak inti ke tepi sel

(makrovesikular steatosis) oleh karena zat hepatotoksik dan obat. Selain itu,

bahan empedu yang tertahan dapat menyebabkan hepatosit tampak

membengkak seperti berbusa (degenerasi busa) (Kumar et al., 2015).

steatosis

Gambar 6. Steatosis pada hepatosit


(Kumar et al., 2015)

3. Nekrosis sel

Pada nekrosis tersisa hepatosit yang mengalami mumifikasi dan kurang

terwarnai, inti menjadi lebih padat (piknotik) yang dapat hancur bersegmen-

segmen (karioreksis) dan kemudian sel menjadi eosinofilik, umumnya

terjadi akibat iskemia. Kematian sel yang bersifat toksik atau diperantarai
23

sistem imun terjadi melalui apoptosis. Selain itu hepatosit dapat mengalami

pembengkakan osmotik dan pecah (degenerasi hidropik atau nekrosis litik).

Pada iskemia dan sejumlah reaksi obat dan toksin, nekrosis hepatosit

tersebar di sekitar vena sentral (nekrosis sentrilobularis. Kerusakan

keseluruhan lobulus (nekrosis submasif) atau sebagian besar parenkim hati

(nekrosis masif) biasanya disertai oleh gagal hepar. Kerusakan akibat

nekrosis bersivat irreversible (Kumar et al., 2015).

Nekrosis

Gambar 7. Nekrosis (Kumar et al., 2015)

4. Fibrosis

Jaringan fibrosa terbentuk sebagai respon terhadap peradangan atau

gangguan toksik langsung ke hepar. Pada tahap awal, fibrosis mungkin

terbentuk di dalam atau di sekitar saluran porta atau vena sentralis atau

mengendap langsung di dalam sinusoid. Seiring waktu, jarring-jaring

fibrosa menghubungkan region hepar (porta-porta, porta-sentral, sentral-

sentral), suatu proses yang disebut bridging fibrosis. Fibrosis umumnya


24

dianggap sebagai konsekuensi ireversible kerusakan hepar (Kumar et al.,

2015).

Bridging fibrosis

Gambar 8. Bridging fibrosis (Burt et al., 2017)

5. Sirosis

Fibrosis dan cidera parenkim yang berlanjut, membuat hepar terbagi-bagi

menjadi nodus hepatosit yang mengalami regenerasi dan dikelilingi oleh

jaringan parut, yang disebut sirosis. Pada sirosis morfologi hepar tampak

makronoduler, mikronoduler, atau campuran (Kumar et al., 2015).

Gambar 9. Makronoduler dan mikronoduler sirosis


(Burt et al., 2017)
25

2.4 Tikus Putih

2.4.1 Taksonomi Tikus Putih

Kingdom : Animalia

Filum : Chordata

Subfilum : Vertebrata (Craniata)

Kelas : Mamalia

Subkelas : Theria

Infrakelas : Eutharia

Ordo : Rodentia

Subfamili : Murinae

Genus : Rattus

Spesies : Rattus norvegicus (Brekenhout, 1769).

Gambar 10. Rattus norvegicus (Janiver, 2017)


26

2.4.2 Biologi Tikus Putih

Tikus putih memiliki banyak keuntungan bila digunakan sebagai subjek

penelitian seperti: mudah dipelihara dalam jumlah banyak, lebih tenang,

ukurannya lebih besar daripada mencit, dan memiliki kelengkapan organ,

kebutuhan nutrisi, metabolisme biokimia, sistem reproduksi, pernafasan,

peredaran darah, dan sistem ekskresinya yang menyerupai manusia. Secara

fisik, tikus putih memiliki ciri–ciri albino, kepala kecil, telinga tebal dan

pendek dengan rambut halus, dan mata berwarna merah, badannya panjang,

serta yang paling khas adalah ekor yang lebih panjang dibandingkan

badannya. Tikus putih memiliki pertumbuhan yang cepat, tahan terhadap

perlakuan dan kemampuan laktasi yang tinggi (Putra, 2015).

2.5 Kerangka Teori

Hepar rentan terhadap gangguan metabolik, zat toksik, dan sirkulasi karena peran

hepar terhadap pertahanan homeostasis metabolik tubuh dan detoksikasi bahan

toksik. Kerusakan hepar dapat disebabkan berbagai macam hal, salah satunya

bahan alami atau obat-obatan herbal (Anshor et al., 2013; 2015; Suk & Kim, 2012).

Hepar akan menunjukkan berbagai respons terhadap cidera. Terdapat lima macam

respon umum hepar terhadap cidera, yaitu peradangan, degenerasi, nekrosis,

fibrosis, dan sirosis (Kumar et al., 2015).


27

Penyebab kerusakan hepar


akibat bahan alami/obat herbal

Efek toksik

Uji toksisitas:
Subkronis

Perubahan histopatologi hepar:


Infeksi:
- Infiltrasi sel radang
-virus Bahan kimia
- Degenerasi bengkak
-bakteri sintetik
keruh
-parasit
- Nekrosis

Trauma

Gambar 11. Kerangka Teori


(Kumar et al., 2015; Price & wilson 2012)

2.6 Kerangka Konsep

Variabel Inependent
Variabel Dependent
Ekstrak kulit batang bakau Rhizophora
Perubahan gambaran
apiculata yang mengandung antioksidan
histopatologi hepar
(alkaloid, flavonoid, saponin dan tanin)

Gambar 12. Kerangka Konsep


28

2.7 Hipotesis

H0: Tidak terdapat efek toksik kulit batang Rhizophora apiculata terhadap

histopatologi hepar tikus putih jantan (Rattus novergicus) galur Sparague dawley.

Ha: Terdapat efek toksik kulit batang Rhizophora apiculata terhadap histopatologi

hepar tikus putih jantan (Rattus novergicus) galur Sparague dawley.


29

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian eksperimental laboratorium dengan rancangan

penelitian post test only control group design (Notoatmodjo, 2010).

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Fakultas Kedokteran Universitas Lampung.

Pemeliharaan tikus di animal house Fakultas Kedokteran Universitas Lampung.

Terminasi dilakukan di Laboratorium Biomol Fakultas Kedokteran Universitas

Lampung. Pembuatan dan pengamatan preparat Laboratorium Patologi Anatomi

Fakultas Kedokteran Universitas Lampung, dan ekstraksi dilakukan di

Laboratorium Kimia Organik Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

Universitas Lampung. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober 2019

sampai Desember 2019. Pemberian perlakuan pada tikus dilakukan selama 28

hari.
30

3.3 Populasi dan Sampel

3.3.1 Populasi

Populasi yang akan diteliti pada penelitian ini adalah tikus putih (Rattus

norvegicus) galur Sprague dawley dengan jenis kelamin jantan dan berusia

8-12 minggu. Tikus putih ini didapatkan dari Institut Pertanian Bogor.

3.3.2 Sampel

Sampel yang akan digunakan dalam penelitian ini berjumlah 30 ekor tikus

putih jantan (Rattus norvegicus) galur Sprague dawley yang akan dibagi

dalam 5 kelompok. Sampel ini dihitung dengan menggunakan rumus

Federer (Federer, 1963).

Rumus Federer:

(t-1)(n-1) ≥ 15

Keterangan:

t = banyak kelompok perlakuan

n = besar sampel yang dibutuhkan

Berdasarkan rumus tersebut, maka perhitungannya adalah sebagai berikut:

(t-1) (n-1) ≥ 15

(5-1) (n-1) ≥ 15
31

4(n-1) ≥ 15

4n-4 ≥ 15

4n ≥ 19

n ≥ 4,75

n ≥ 5 (pembulatan)

Keterangan:

t = kelompok perlakuan

n = jumlah sampel; untuk 1 kelompok perlakuan

Untuk menghindari drop out, maka jumlah tikus putih ditambah dengan

rumus sebagai berikut:

𝑛
N = 1−𝑓

Keterangan:

N = Besar sampel koreksi

f = Perkiraan drop out sebesar 10%

Berdasarkan rumus tersebut, maka perhitungannya adalah sebagai berikut:

𝑛
N = 1−𝑓
32

5
N = 1−10%

5
N = 1−0,1

5
N = 0,9

N = 5,55

N = 6 (pembulatan)

Besar sampel (N) = t x n

=5x6

= 30 ekor tikus.

Jumlah sampel akhir yang akan digunakan dalam penelitian ini berjumlah

30 ekor tikus putih jantan (Rattus norvegicus) galur Sprague dawley. Terdiri

dari 5 kelompok, masing-masing kelompok terdiri atas 6 ekor tikus.


33

Tabel 1. Kelompok Perlakuan


No Kelompok Perlakuan
1. Kelompok kontrol (K) Kelompok tikus yang tidak diberikan ekstrak
kulit Rhizophora apiculata

2. Kelompok perlakuan Kelompok tikus diberikan ekstrak kulit batang


1 (P1) Rhizophora apiculata dengan dosis 114
mg/kgBB/hari selama 28 hari.
3. Kelompok perlakuan Kelompok tikus diberikan ekstrak kulit batang
2 (P2) Rhizophora apiculata dengan dosis 228
mg/kgBB/hari selama 28 hari.
4. Kelompok perlakuan Kelompok tikus diberikan ekstrak kulit batang
3 (P3) Rhizophora apiculata dengan dosis 456
mg/kgBB/hari selama 28 hari.
5. Kelompok perlakuan Kelompok tikus diberikan ekstrak kulit batang
4 (P4) Rhizophora apiculata dengan dosis 912
mg/kgBB/hari selama 28 hari (Mustofa et al.,
2019).

3.3.2 Kriteria Penelitian

Adapun kriteria inklusi pada penelitian antara lain:

1. Tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur Sprague dawley. Sehat.

2. Berumur 8-12 minggu.

3. Berjenis kelamin jantan.

4. Dipelihara di tempat dan waktu yang sama.

5. Pemberian pakan yang sama.

6. Tikus putih tampak sakit.

7. Tikus putih mati saat penelitian dan pemberian perlakuan.


34

3.4 Alat dan Bahan

Adapun alat dan bahan yang digunakan pada penelitian antara lain:

3.4.1 Alat

3.4.1.1 Alat dalam Pembuatan Ekstrak

a. Kertas saring

b. Mesin penggiling

c. Rotatory evaporator

d. Labu erlemeyere

e. Gelas ukur

f. Pipet ukur

3.4.1.2 Alat selama Perlakuan

a. Kandang tikus

b. Tempat makan dan minum tikus

c. Neraca elektronik

d. Sonde tikus

e. Spuit oral 1 cc

f. Alat bedah minor

g. Spuit 10 cc

h. Handscoon dan masker

i. Gelas ukur dan pengaduk

j. Mikroskop cahaya
35

3.4.1.3 Alat dalam Pembuatan Preparat Histopatologi

a. Cover glass & object glass

b. Tissue cassete

c. Rotary microtome

d. Waterbath

e. Platening table

f. Autotechnicome processor

g. Staining jar

h. Staining jack

i. Kertas saring

j. Histoplast

k. Paraffin dispenser

3.4.2 Bahan

3.4.2.1 Bahan dalam Pembuatan Ekstrak

a. Kulit batang Rhizopora apiculata

b. Etanol 95%

3.4.2.2 Bahan Selama Perlakuan

a. Tikus Putih (Rattus norvegicus) dewasa jantan

b. Pakan tikus

c. Air minum tikus


36

d. Sekam untuk kandang tikus

3.4.2.3 Bahan dalam Pembuatan Preparat Histopatologi

a. Larutan formalin 10 % untuk fiksasi

b. Alkohol 70%

c. Alkohol absolut

d. Xylol

e. Pewarna hematoksilin dan Eosin (H&E)

3.5 Identifikasi Variabel dan Definisi Operasional Variabel

3.5.1 Identifikasi Variabel

a. Variabel independent atau variabel bebas pada penelitian ini adalah

ekstrak etanol kulit batang Rhizopora apiculata.

b. Variabel dependent atau variabel terikat dari penelitian ini adalah

perubahan gambaran histopatologi hepar tikus putih (Rattus novergicus)

galur Sprague dawley yang diberikan ekstrak etanol kulit batang

Rhizopora apiculata.
37

3.5.1 Definisi Operasional Variabel

Tabel 2. Definisi Operasional Variabel

Variabel Definisi Alat Ukur Hasil Ukur Skala Ukur


Operasional
Ekstrak kulit Pemberian Neraca Dosis ekstrak kulit Kategorik
batang bakau ekstrak kulit batang bakau
Rhizophora batang bakau Rhizophora apiculata
apiculata Rhizophora (114 mg/kgBB/hari,
apiculata 228 mg/kgBB/hari, 456
sebanyak 1x mg/kgBB/hari, 912
sehari dengan mg/kgBB/hari)
4 tingkatan
dosis
Histopatologi Gambaran Mikroskop Skoring mordue Numerik
hepar histopatologi cahaya, 1. Skor 0: tidak
hepar tikus Skoring ditemukan
dilihat Mordue degenerasi dan
menggunakan nekrosi
mikroskop 2. Skor 1:
cahaya dan ditemukan 1-
dilakukan 20% degenerasi
pengukuran dan nekrosi
dengan 3. Skor 2:
menggunakan ditemukan 21-
skoring 50% degenerasi
Mordue dan nekrosi
4. Skor 3: 51-
75% degenerasi
dan nekrosi
5. Skor 4:
ditemukan
>75%
degenerasi dan
nekrosis
(Mordue et al.,
2001)
38

3.6 Prosedur Penelitian

3.6.1 Adaptasi Hewan Coba

Tikus putih jantan dibagi secara acak menjadi 5 kelompok tiap

kelompoknya ditempatkan dalam satu kandang. Setiap kelompok berisi 6

ekor tikus putih jantan. Dilakukan penimbangan dan penandaan pada tikus

putih (Mustofa et al., 2014). Tikus ditempatkan pada kandang dengan

ukuran 60 x 30 x 20 cm yang terbuat dari bahan plastik dan tutup berupa

kawat besi. Suhu dan kelembapan dalam ruangan dibiarkan secara kisaran

alamiah. Makanan yang diberikan berupa pakan standar dan air minum

secara ad libitum diberikan secukupnya dalam wadah terpisah dan diganti

setiap hari. Kebersihan kandang dilakukan dengan cara penggantian sekam

setiap tiga hari sekali. Setiap tikus diberi perlakuan setiap hari selama 28

hari. Sebelum diberi perlakuan, tikus diadaptasi selama 7 hari di Animal

House Fakultas Kedokteran Universitas Lampung (Garber et al., 2011;

Widiartini et al., 2013).

3.6.2 Prosedur Pembuatan Ekstrak Kulit Batang Rhizophora apiculata

Pembuatan ekstrak kulit batang Rhizophora apiculata menggunakan kulit

batang Rhizophora apiculata yang dilarutkan dengan etanol. Bahan baku

kulit batang Rhizophora apiculata diperoleh dari Kabupaten Lampung

Timur. Cara pembuatan ekstrak kulit batang Rhizophora apiculata ini mula-

mula dibutuhkan 1500 gram kulit batang Rhizophora apiculata. Kemudian


39

cuci dan keringkan dengan penganginan alami. Kulit batang Rhizophora

apiculata yang telah kering dihaluskan dengan mesin penggiling hingga

menjadi serbuk. Serbuk kulit batang Rhizophora apiculata direndam di

dalam pelarut etanol sebanyak 1,5 L selama 6 jam pertama sambil sesekali

diaduk, kemudian didiamkan selama 18 jam. Hasil campuran dengan

pelarut etanol disaring dengan kertas saring untuk mendapatkan filtrat.

Filtrat yang diperoleh diuapkan pada suhu 50○C dengan rotatory

evaporator. Hasil ekstrak kulit batang Rhizophora apiculata didapatkan

berat jenis 0.8607 gram/ml (Mustofa et al., 2019; Vijayavel et al., 2006).

3.6.3 Terminasi Hewan Coba

Setelah 28 hari diberi perlakuan, masing-masing tikus pada tiap kelompok

diterminasi dengan cara diberi ketamine: xylazine dosis 75-100 mg/Kg : 5-

10 mg/Kg (perbandingan 10:1) secara intraperitoneal supaya tikus tidak

sadar dan untuk mengurangi nyeri, distres atau kecemasan. Setelah itu

dilakukan cervical dislocation dengan meletakan ibu jari dan telunjuk di sisi

leher pada dasar tengkorak untuk memberi tekanan ke posterior tengkorak

dan sumsum tulang belakang, sementara tangan lainnya menarik ekor

dengan cepat sehingga terjadi pemisahan servikal dari tengkorak dan terjadi

pemisahan sumsum tulang belakang dari otak (Anderson et al., 2002;

Mustofa et al., 2018).


40

3.6.4 Prosedur Pembuatan Preparat

Pembuatan preparat histopatologi pada organ hepar dilakukan di

Laboratorium Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Lampung

dilakukan dengan prosedur sebagai berikut:

1) Fixation

Spesimen berupa hepar tikus yang akan dibuat preparat histopatologi

terlebih dahulu difiksasi dengan larutan Buffer Neutral Formalin (BNF)

10% minimal 48 jam hingga matang (mengeras), lalu dicuci dengan air

mengalir sebanyak 3-5 kali.

2) Trimming

Selanjutnya sampel organ yang telah difiksasi dipotong menggunakan

skapel dengan ketebalan ± 0,3 cm lalu potongan tersebut dimasukkan dalam

tissue cassette untuk dimasukkan ke automatic tissue processor.

3) Dehidration

Dehidration dilakukan dengan mengeringkan air dari jaringan sehingga

dapat mencegah pengerutan pada sampel yang diuji. Dehidrasi dilakukan

dengan merendam sampel dalam larutan alkohol dengan konsentrasi

bertingkat (70%, 80%, 95%, alkohol absolut I, dan alkohol absolut II)

masing-masing konsentrasi alkohol dilakukan selama 2 jam. Proses

dehidrasi dilakukan dengan menggunakan mesin otomatis yaitu automatic

tissue processor.
41

4) Clearing

Clearing atau penjernihan dilakukan 2 tahap dengan memasukkan sediaan

ke dalam xylol I dan xylol II. Xylol berfungsi untuk melarutkan alkohol dan

parafit.

5) Impregnasi

Merupakan proses pengisian ke dalam jaringan, dimaksudkan untuk

mengeraskan jaringan agar lebih mudah dipotong dengan pisau mikrotom.

Dilakukan dengan menggunakan parafin cair (parafin histoplast) yang

dituangkan ke dalam pan, selama 1 jam dalam oven suhu 58oC. Parafin yang

berisi potongan hepar dilepaskan dari pan dengan dimasukkan ke dalam suhu

4−6oC beberapa saat kemudian dipotong sesuai dengan letak jaringan yang

ada dengan skalpel. Proses embedding dilakukan dengan menggunakan alat

tissue embedding console.

6) Sectioning

Merupakan proses pemotongan jaringan menggunakan mikrotom dengan

ketebalan 4-5µm. Pemotongan dilakukan dengan alat rotary microtome

spencer. Sediaan kemudian di letakkan pada gelas objek kemudian

dikeringkan dalam suhu ruangan, dan disimpan dalam inkubator dengan suhu

37ºC selama 24 jam.


42

7) Staining

Staining dengan pewarnaan Hematoksilin Eosin (HE) merupakan pewarnaan

umum untuk jaringan. Setelah jaringan melekat sempurna pada slide, dipilih

slide yang terbaik, dan selanjutnya secara berurutan memasukkan ke dalam

zat kimia dibawah ini dengan waktu sebagai berikut:

a. Preparat direndam dalam larutan Mayer’s Hematoxyllin selama 8 menit.

b. Dicuci dengan air mengalir (air kran) selama 30 detik.

c. Dicelupkan ke dalam larutan lithium karbonat selama 15-30 detik.

d. Dicuci dengan air mengalir (air kran) selama 2 menit.

e. Preparat diwarnai dengan larutan eosin, rendam selama 2-3 menit.

f. Cuci dengan air mengalir (air kran) selama 30-60 detik.

g. Preparat dicelupkan ke dalam larutan alkohol 95% dan alkohol absolut

sebanyak 10 kali celupan, alkohol absolut II selama 2 menit, xylol I

selama satu menit dan xylol II selama dua menit.

h. Mounting, setelah tahapan pewarnaan, sediaan ditetesi perekat permount

dan ditutup dengan cover glass.

3.6.5 Penilaian Histopatologi Hepar

Gambaran histopatologi hepar tikus dilihat dengan menggunakan

mikroskop cahaya, dan dilakukan dengan perbesaran 400x pada 5 lapang

pandang (sudut kiri, kanan, bagian atas, bawah, dan tengah) berdasarkan
43

diamati terdapat atau tidak berupa degenerasi dan nekrosis dari masing-

masing perlakuan (Chan et al., 2017; Kubiak et al., 2013).

Penilaian tingkat kerusakan pada hepar berdasarkan degenerasi dan nekrosis

dalam satu lapang pandang dapat menggunakan metode skoring Mordue

(2001) yaitu dengan cara mengamati satu lapang pandang yang dibagi

menjadi 5 bagian. Penilaian skoring ini dapat di lihat pada tabel 3. Skor

Penilaian Derajat Histopatologi Hepatosit (Mordue et al., 2001).

Tabel 3. Skor Penilaian Derajat Histopatologi Hepatosit


(Mordue et al., 2001)

Skor Gambaran Histopatologi


Skor 0 Satu lapang pandang tidak dijumpai degenerasi dan nekrosis pada
bagian yang diamati.
Skor 1 Satu lapang pandang dijumpai 1-20% degenerasi dan nekrosis
pada bagian yang diamati.
Skor 2 Satu lapang pandang dijumpai 21-50% degenerasi dan nekrosis
pada bagian yang diamati.
Skor 3 Satu lapang pandang dijumpai 51-75% degenerasi dan nekrosis
(kerusakan ringan).
Skor 4 Satu lapang pandang dijumpai lebih dari 75% degenerasi dan
nekrosis (kerusakan berat).
44

3.7 Alur Penelitian

Adaptasi Penimbangan Pengelompokan dan


tikus putih tikus putih pemberian perlakuan

K P1 P2 P3 P4
Diberikan Diberikan Diberikan Diberikan Diberikan
pakan pakan pakan pakan pakan
standar dan standar dan standar dan standar dan standar dan
minum minum, minum, minum, minum,
tanpa diberi serta serta serta serta
ekstrak diberikan diberikan diberikan diberikan
etanol kulit ekstrak ekstrak ekstrak ekstrak
batang etanol kulit etanol kulit etanol kulit etanol kulit
Rhizophora batang batang batang batang
apiculata Rhizophora Rhizophora Rhizophora Rhizophora
selama 28 apiculata apiculata apiculata apiculata
hari 114 228 456 912
mg/kgBB mg/kgBB mg/kgBB mg/kgBB
selama 28 selama 28 selama 28 selama 28
hari hari hari hari

Terminasi, pembedahan, dan


pengambilan organ hepar tikus

Pembuatan dan pembacaan preparat

Analisis data

Gambar 13. Alur Penelitian


45

3.8 Analisis Data

Analisis statistik untuk mengolah data yang diperoleh akan menggunakan program

software komputer dengan jenis analisis bivariat. Analisis bivariat adalah analisis

yang digunakan untuk mengetahui hubungan antara variabel bebas dengan

variabel terikat dengan menggunakan uji statistik. Analisis hasil penelitian diawali

dengan melakukan uji normalitas dengan menggunakan uji Shapiro-Wilk karena

jumlah sampel ≤ 50 dan dilakukan untuk melihat sampel terdistribusi normal.

Setelah itu, jika data terdistribusi normal (p > 0,05) maka dilanjutkan dengan uji

parametrik yaitu uji One-Way ANOVA untuk membuktikan hipotesis, selanjutnya

dilakukan uji Post Hoc untuk mengetahui perbedaan rerata antar kelompok. Jika

data tidak terdistribusi normal (p < 0,05) maka dilakukan uji non parametrik yaitu

uji Kruskal-Wallis dengan menggunakan Post Hoc Test Mann Whitney untuk

mengetahui dan menilai perbedaan yang terdapat antara setiap kelompok

perlakuan pada penelitian (Dahlan, 2014).

3.9 Etika Penelitian

Ethical clearance penelitian ini telah disetujui oleh Komisi Etik Penelitian

Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Lampung dengan nomor surat:

3768/UN26.18/PP.05.02.00/2019. Pada saat penelitian, perlu diperhatikan tiga

prinsip etika dalam menggunakan hewan coba harus memenuhi prinsip 3R yaitu:

1. Replacement adalah keperluan memanfaatkan hewan percobaan sudah

diperhitungkan secara seksama baik dari pengalaman terdahulu maupun literatur


46

untuk menjawab pertanyaan penelitian dan tidak dapat digantikan oleh makhluk

hidup lain seperti sel atau biakan jaringan.

2. Reduction adalah pemanfaatan hewan uji dalam penelitian sedikit mungkin,

tetapi tetap mendapatkan hasil yang optimal. Dalam penelitian ini sampel dihitung

berdasar rumus Frederer.

3. Refinment adalah memperlakukan hewan percobaan secara manusiawi dengan

prinsip dasar membebaskan hewan coba dari beberapa kondisi, yaitu: bebas rasa

lapar dan haus, bebas dari ketidaknyamanan, bebas dari rasa takut dan stres, serta

bebas dari nyeri dan penyakit (Ardana, 2015).


BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Pada penelitian ini dapat disimpulkan bahwa ekstrak etanol kulit batang

Rhizophora apiculata mempunyai efek toksik terhadap hepar tikus putih jantan

(Rattus novergicus) galur Sprague dawley.

5.2 Saran

Saran peneliti bagi peneliti selanjutnya adalah agar pada penelitian selanjutnya

dapat dilakukan pemeriksaan terhadap SGOT (Serum Glutamic Oxaloacetic

Transaminase) dan SGPT (Serum Glutamic Pyruvate Transaminase) untuk

mengetahui fungsi hepar dan untuk melihat indikasi kerusakan hepar secara

serologis, melakukan uji fitokimia terlebih dahulu untuk menentukan kandungan

aktif yang spesifik pada ekstrak kulit batang yang berperan sebagai zat

hepatotoksik, serta digunakan pembanding sebagai zat yang sudah terbukti

hepatotoksik seperti parasetamol atau alkohol.


68

Saran bagi institusi yaitu laboratorium Fakultas Kedokteran Universitas Lampung

mempunya alat ekstraksi bahan, supaya proses ekstraksi dapat dilakukan di

Fakultas Kedokteran Universitas Lampung dan juga animal house agar

diperbaharui kembali melihat banyaknya mahasiswa yang melakukan penelitian

menggunakan hewan coba dan juga banyaknya hewan coba yang dibutuhkan untuk

penelitian.
69

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah. 2011. Potensi Bakau Rhizophora apiculata Sebagai Inhibitor Tirosinase dan
Antioksidan. Tesis diterbitkan. Bogor: Institut Pertanian Bogor. hlm. 23.

Anderson L, Ballinger M, Bayne K, Bennet T. 2002. Institutional animal care and use
committee guidebook 2nd ed. M. Pitts, D. Bernhardt, & M. Greene, eds., Maryland:
Office of Laboratory Animal Welfare. hlm. 109-113.

Anshor T, dominius A, Irwanda, Imiawan MI. 2013. Supresi Ekspresi CYP1A1 dan
CYP1A2 pada hepatocelluler carcinoma melalui potensi formula herbal terkombinasi
Gynura procumbens dan kulit jeruk pontianak (Citrus nobilis var. Microcarpa) sebagai
agen kemopreventif keganasan hepar. IMKU. 2(1): 1–11.

Ardana, I. B. K. 2015. Etika Menggunakan Hewan Percobaan Dalam Penelitian


Kesehatan. Bali: Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.

Bakosurtanal. 2009. Peta Mangrove di Indonesia. Jakarta. hlm. 55.

Burt A, Ferrell L, Hubscher S, Portmann B. 2017. MacSween’s Pathology of the Liver.


7th Edition. London: Elsevier. hlm. 506-513.

Dahlan S. 2014. Statistik untuk kedokteran dan kesehatan seri 1 edisi 6. Jakarta:
Epidemiologi Indonesia. hlm. 47-85, 91-118.

Darmansjah I, Wiria MSS. 2007. Dasar toksikologi. In: Gunawan SG, Setiabudy R,
Nafrialdi, Elysabeth. Farmakologi dan terapi. 5th ed. Jakarta: Departemen
Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 820-5.

Ditjen POM. 2014. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik
Indonesia Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Pedoman Uji Toksisitas Non Klinik Secara
In Vivo. Jakarta: Badan Pengawasan Obat dan Makanan Republik Indonesia. hlm. 3-
5, 9, 11-12,28-32.

Dorland WA. 2012. Kamus Kedokteran Dorland. Edisi ke-28. Jakarta: EGC. hlm.
1204.
70

Duke N, Kathiresan K, Salmo S, Fernando, Peras J, Sukardjo S, et al., 2010.


Rhizophora apiculata. Red List, 5(2), pp.1–6.

Eghbaliferiz S & Iranshahi M. 2016. Prooxidant Activity of Polyphenols, Flavonoids,


Anthocyanins and Carotenoids: Updated Review of Mechanisms and Catalyzing
Metals. Phytother. Res.

Eroschenko VP. 2010. Atlas Histologi di Fiore Edisi ke-11. Jakarta: EGC. hlm. 324 6,
331, 342.

Federer, W. 1963. Experimental Design Theory and Application. Oxford: Oxford and
Lbh Publish Hinco.

Garber JC, Wayne B, Bielitzki J, Ann L, Hendriksen C. 2011. Guide for The Car and
Use of Laboratory Animals Eight., Washington D.C: National Resesarch Council.

Gordon MF. 1990. “The Mechanism of Antioxidant Action in Vitro,” In: B. J. F.


Hudson, Ed., Food Antioxidants. London: Elsevier Applied Science. pp, 1-18.

Gnanadesigan M, Ravikumar S. 2012. Hepatoprotective and Antioxidant Properties of


R. mucronata Mangrove Plant in CCl4 Intoxicated Rats. Journal of Experimental dan
Clinical Medicine 4(1):66-72.

Hadi AM, Irawati MH, Suhadi. 2016. Karakteristik morfo-anatomi struktur vegetates
spesises rhizopora apiculata (Rhizoporaciae);1:1688–92.

Harbone, J.B. 1994. Metode Fitokimia. Penerjemah Kosasih Padmawinata. Edisi


Kedua. Bandung: ITB Press. Halaman 147-148, 281.

Hall, J. E. and Guyton, A. C. 2014. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. 12th edn. Jakarta:
Elsevier. Halaman 1028-1031, 1063-1066, 1103-1108.

Janiver Research Models & Associated Service Labs. 2017. Sprague Dawley Rat.
[Internet]. 2017 [diakses tanggal 11 desember 2018]. Tersedia dari: http://janvier-
labs.com.

Jayanegara, A., Ikhsan, & T. Toharmat. 2013. Assessment of methane estimation from
volatile fatty acid stoichiometry in the rumen in vitro. J. Indonesian Trop. Anim. Agric.
38:103-108.

Joel E, Bhimba V. 2010. Isolation and characterization of secondary metabolites from


the Mangrove plant (R. mucronata). Asian Pacific Journal of Tropical Medicine:602-
604.
71

Junquiera LC, Carneiro J. 2014. Histologi dasar: teks dan atlas. Edisi ke-10. Jakarta:
EGC. hlm. 281-291.

Kadji MH, Runtuwene MRJ, Citraningtyas G. 2015. Uji fitokimia dan aktivitas
antioksidan dari ekstrak etanol daun soyogik (saurauia bracteosa DC). Pharmacon,
2(2), 13-17.

Kubiak B, Albert S, Gatto L, Snyder K, Majer K, Christopher J, et al., 2013.


Histological parameters. Departmen of Surgery updtate University Hospital.

Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. 2015. Buku Ajar Patologi Robbins. Edisi 9. Jakarta:
EGC. hlm. 377-391.

Lawag I, Aguinaldo A, Naheed S, Mosihuzzaman M. 2012. “α-Glucosidase inhibitory


activity of selected Philippine plants. Journal of Ethnopharmacology 144:217–219.

Lim SH, Darah I, Jain K. 2006. Antimikrobial Activities of Tannins Extracted From
Rhizophora Apiculata Barks. Journal of Tropical Forest Science 18(1) : 59—65 (2006)

Lu, Frank C. 2010. Toksikologi Dasar, Asas, Organ, Sasaran dan Penilaian Risiko.
Edisi II. Penerjemah Edi Nugroho, UI, Press, Jakarta. hlm. 358, 360-361.

Moslen MT. 2001. Toxic responses of the liver. In: Klaassen, CD, editor. Casarett and
Doull’s toxicology the basic science of poisons. 6th ed. New York: McGraw Hill. 476-
8.

Murray RK, Granner DK, Rodwell VW. 2013. Biokimia Harper. Jakarta: EGC. hlm.
706-707.

Mustofa S. 2019. Lipid; Biokimia, Pencernaan, Penyerapan dan Transfportnya di


dalam tubuh. Bandarlampung: Aura. hlm. 33-46.

Mustofa S, Bahagia W, Kurniawaty E, Rahmanisa S & Audah K. 2018. The effect of


mangrove (Rhizopora apiculata) bark extract ethanol on histopatology pancreas of
male white rats sprague dawley srain exposed to cigarette smoke. Acta Biochimica
Indonesiana. 1(1) :7-12.

Mustofa S, Anindito A, Putri A, Maulana M. 2014. The influence of Piper retrofractum


Vahl (Java’s chili) extract towards lipid profile andhistology of rats coronary artery
with high-fat diet. Fakultas Kedokteran Universitas Lampung. Lampung; Juke Unila.
2(1): 52-59.
72

Mustofa S, Hanif F. 2019. The protective effect of rhizophora apiculata bark extract
tagainst testicular damage induced by cigarette smoke in male rats. Acta Biochimica
Indonesiana. Acta Biochimia Indonesiana. 2(1) :23-31.

Mustofa S, Nicholas A, Wulan A, Rakhmanisa S. 2019. Pengaruh Pemberian Ekstrak


Kulit Batang Bakau Minyak (Rhizophora apiculata) Etanol 95 % terhadap Arteri
Koronaria Tikus Putih (Rattus novergicus) Jantan Galur Sprague dawley yang
Dipaparkan Asap Rokok. Fakultas Kedokteran Universitas Lampung. Lampung; Juke
Unila. 3(1): 28-33.

Moore KL, Dalley AF. 2013. Anatomi Berorientasi Klinis Jilid 1. Edisi 5. Jakarta:
Erlangga. hlm. 105-120.

Mordue DG, Monroy F, Regina ML, Dinarello CA, Sibley LD. 2001. Acute
Toxoplasmosis Leads to Lethal Overproduction of cytokines. The Journal of
Immunology. 167 (8):4574-4584.

Notoatmodjo S. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. hlm.


136.

OECD. 2008. Repeated Dose 28 – Day Oral Toxicity Study in Rodents. Organization
for Economic Cooperation and Development Guidelines for the Testing of Chemicals.
407(1): 1-13.

Paulsen F, Waschke J, 2010. Sobotta Atlas Anatomi Manusia, Jilid 2. Edisi 23. Jakarta:
EGC. hlm. 2-13.

Purwaningsih S, Salamah E, Sukarno AYP, Deskawati E. 2013. Aktivitas antioksidan


dari buah Mangrove (R. mucronata Lamk.) pada suhu yang berbeda. Jurnal
Pengolahan Hasil Perikanan Indonesia 16(3):199-206.

Purwaningsih S, Handharyan E, dan Lestari I. 2015. Pengujian Toksisitas Sub Akut


Ekstrak Hipokotil Bakau Hitam pada Tikus Galur Sprague Dawley. Jurnal Akuatika.
6(1):30–40.

Price SA, Wilson LM. 2012. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit. Edisi
6 Volume 1. Buku Kedokteran EGC. Jakarta. hlm. 1320-1331.

Purnobasuki, H. 2005. Potensi Mangrove Sebagai Tanaman Obat. Journal Biota. 9(1):
125-126.

Putra Y. 2015. Pengaruh rokok terhadap jumlah sel spermatozoa mencit jantan (Mus
Musculus, Strain Jepang). Jurnal Saintek. 4(1):30–42.
73

Rahim AA, Rocca E, Steinmetz J, Kassim MJ, Ibrahim MS, Osman H. 2008.
Antioxidant activity of mangrove Rhizophora apiculata bark extracts. Food Chemistry.
107:200-207.

Ravikumar S, Gnanadesigan M, 2012. Hepatoprotective and Antioxidant Properties of


R. mucronata Mangrove Plant in CCl4 Intoxicated Rats. Journal of Experimental dan
Clinical Medicine 4(1):66-72.

Rochana, Erna. 2011. Ekowisata Mangrove Pesisir Lampung Timur. Lampung:


Lembaga Penelitian Universitas Lampung. Jurnal Hutan Pulau-Pulau Kecil. 1(2):84-
91.

Siswandi, Grace SS. 2018. Uji Toksisitas Akut Ekstrak Etanol Kulit Batang Faloak
(Sterculia quadrifida R.Br) Pada Tikus Sprague-Dawley. Traditional Medicine
Journal. 23(2), p 127-134.

Sherwood L. 2014. Sistem pencernaan dan hepatobilier. Dalam: Fisiologi Manusia


Dari Sel ke Sistem Edisi ke-8. Jakarta: EGC. hlm. 645-652.

Sjahrir K, Hutahean AA. 2015. Sustainable Coastal-Marine Livelihoods in Indonesia:


A Mangrove Management Case Study. Jurnal Manajemen Hutan Tropika. 21(3): 173-
184.

Snell RS. 2014. Anatomi klinik untuk mahasiswa kedokteran. Edisi ke-9. Jakarta:
EGC. hlm. 721-745.

Sudiono J, Kurniadi B, Hendrawan A, Djimantoro B. 2014. Ilmu patologi. Jakarta:


EGC. hlm. 81-96.

Suk KT, Kim DJ. 2012. Drug-induced liver injury: present and future. Clin Mol
Hepatol. 18(3), pp. 249–57.

Suryani N, Endang T, Aulanni'am. 2013. Pengaruh Ekstrak Metanol Biji Mahoni


terhadap Peningkatan Kadar Insulin, Penurunan Ekspresi TNF-α dan Perbaikan
Jaringan Pankreas Tikus Diabetes. Jurnal Kedokteran Brawijaya. 27(3):137- 14.

Vijayavel K, Anbuselvam C, Balasubramanian MP. 2006. Free radical scavenging


activity of the marine mangrove Rhizopora apiculata bark extract with reference to
naphthalene induced mithocondrial dysfungtion. Chem Biol Interact. 1-2 (163):170-
175.

Wiarta R, Astiani D, Indriyani Y, Mulia F. 2017. Pendugaan jumlah karbon tersimpan


pada tegakan jenis bakau (R. apiculata) di IUPHHK PT. bina ovivipari semesta
kabupaten kubu raya. Jurnal Hutan Lestari. 5(2): 356-364.
74

Widiartini W, Siswati E, Setiawan A, Rohmah IM. & Prasetyo E, 2013.


Pengembangan usaha produksi tikus putih (rattus norvegicus) tersertifikasi dalam
upaya memenuhi kebutuhan hewan laboratorium. Dikti, 1(Mei), p.2.

Yusuf ML, Randa W, Haswika, Wahyuni. 2018. Uji Toksisitas Akut dan Gambaran
Histopatologi Hepar Mencit yang Diberi Ekstrak Terpurifikasi Daun Galing (Cayratia
trifolia L. Domin). Jurnal Farmasi, Sains, dan Kesehatan. 4(1): 12-15.

Anda mungkin juga menyukai