TESIS
OLEH
IRZA DEWI SARTIKA
NIM: 091324153009
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2016
TESIS
OLEH
IRZA DEWI SARTIKA
NIM: 091324153009
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2016
ii
TESIS
Untuk Memperoleh Gelar Megister
Dalam Program Studi Bioteknologi Perikanan dan Kelautan
Pada Program Pascasarjana Universitas Airlangga
OLEH
IRZA DEWI SARTIKA
NIM: 091324153009
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2016
iii
LEMBAR PENGESAHAN
Oleh
Pembimbing Ketua
l\1engctahui,
Koordinator Program Studi Bioteknol a Perikanan Dan Kelautan
Sekolah Pase ar ana
NIM : 091324153009
Bandar Lampung
Menyatakan dengan ini sebenarnya bahwa saya tidak melakukan plagiat dalam
penulisan tesis saya ini. Apabila suatu saat nanti terbukti saya melakukan tindakan
plagiat, maka saya bersedia menerima sanksi yang ditetapkan
.
VJ
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat Rahmat dan
Cu2+”. Tesis ini disusun sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar
Magister pada Program Studi Bioteknologi Perikanan dan Kelautan Pada Program
tahap penyelesaian. Berkat bimbingan, saran serta bantuan baik moral maupun
spiritual serta arahan dan motivasi dari berbagai pihak, segala kesulitan dapat
terlewati dengan baik. Oleh karena itu penulis mengucapkan terimakasih kepada
Ibu Prof. Dr. Noor Erma Nasution S, MS., Apt selaku Pembimbing I, Bapak
Prof. Dr. Moch. Amin Alamsjah Ir., M.Si., Ph.D selaku Pembimbing II, Ibu
Dr. Gunanti Mahasri, Ir., M.Si selaku Dosen Penguji I, Bapak Prof. Dr. Ir.
Agoes Soegianto, DEA selaku Dosen Penguji II, dan Bapak Prof. Dr. Djoko
Agus Purwanto, M.Si.,Apt selaku Dosen Penguji III terima kasih atas
sampaikan kepada :
vii
1. Ibu Prof. Dr. Hj. Sri Iswati, SE, M.Si, Ak selaku Direktur Sekolah
2. Bapak Prof. Dr. Hari Suprapto, Ir. M.Agr selaku Koordinator Program
3. Bapak dan Ibu Dosen Pengajar Program Studi Bioteknologi Perikanan Dan
4. Teristimewa untuk kedua Orang Tuaku Tercinta, Ibu Irma Cicilia dan
keberhasilanku.
bagi penulis.
6. Adik - adikku Agung, Amel, Silfia, Kurniawan dan Aulia yang aku
7. Sahabatku: Dempi, Cinta, Eva, Atta, Mita, Devi, Widya, Ayu, Nesa, El,
Indah, dan lain lain yang telah memberikan doa, semangat dan motivasi.
10. Teman-teman yang tidak dapat peneliti sebutkan satu persatu, terimakasih
berwarna.
viii
11. Laboran di Laboratorium Kimia Analisis pak Kusairi, Mbak Yayu, Mas
12. Semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu yang telah
Penulis menyadari bahwa Tesis ini masih jauh dari kesempurnaan, akan tetapi
penulis berharap semoga Tesis yang sederhana ini dapat berguna dan bermanfaat
ix
ABSTRAK
Tujuan dari penelitian ini adalah isolasi, karakterisasi dan aplikasi kitosan sebagai
adsorben logam berat Cu2+ dari cangkang kerang darah (Barbatia foliata),
cangkang kerang kupang (Modiolus metcalfei), kerang manuk (Atrina pectinata)
dan rajungan (Portunus pelagicus). Kerang merupakan hewan yang termasuk
filum Molusca diantara spesiesnya adalah kerang darah (Barbatia foliata), kerang
kupang (Modiolus metcalfei) dan kerang manuk (Atrina pectinata) sedangkan
rajungan (Portunus pelagicus) merupakan spesies Crustacean. Kedua golongan ini
cangkangnya menimbulkan limbah yang hanya mencemari sehingga perlu diolah
menjadi bahan yang lebih bernilai yaitu kitosan. Dalam penelitian ini telah
diisolasi kitosan dari cangkang kerang darah, kerang kupang, kerang manuk dan
rajungan dan aplikasinya sebagai adsorben logam berat Cu 2+. Metode yang
digunakan adalah eksperimental dengan mengisolasi kitosan dari bahan baku
melalui proses deproteinasi, demineralisasi, depigmentasi dan deasetilasi lalu
dilakukan karakterisasi kitosan dan aplikasinya sebagai adsorben Cu 2+. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa limbah cangkang kerang darah (B. foliate), kerang
kupang (M. metcalfie), kerang manuk (A. pectinata) dan rajungan (P. pelagicus)
dapat diisolasi kitosannya, dengan karakteristik kitosan sebagai berikut nilai
derajat deasetilasi kerang darah (B. foliate) 66,78%, kerang kupang (M. metcalfie)
65,30%, kerang manuk (A. pectinata) 53,43% dan rajungan (P. pelagicus)
70,73%. Kitosan dari hasil derajat deasetilasi tersebut masih memenuhi derajat
deasetilasi untuk kitosan komersial yaitu 58,4% (Sarbon et al., 2014) kecuali
kitosan dari cangkang kerang manuk. Rendemen kitosan kerang darah (B. foliate)
15,3039%, kerang kupang (M. metcalfie) 12,1009%, kerang manuk (A. pectinata)
13,0109%, dan rajungan (P. pelagicus) 13,2724%. Dalam aplikasinya sebagai
adsorben logam Cu2+, kitosan kerang darah, kerang kupang dan rajungan dapat
menyerap sempurna yaitu sebesar 100% sedangkan pada kerang manuk menyerap
81,3407% dari kadar larutan Cu2+ awal. Kitosan yang diisolasi dari cangkang
kerang darah, kerang kupang, kerang manuk dan rajungan menunjukkan
kemampuan yang baik sebagai adsorben logam berat Cu 2+ sehingga diharapkan
dapat dimanfaatkan sebagai bioremediasi logam berat khususnya Cu2+
ABSTRACT
The aims of this study were isolation, characterization and chitosan application as
Cu2+ heavy metal adsorbent from Decussate ark clam’s shells (Barbatia foliata),
Brown mussel’s shells (Modiolus metcalfei ), Pen shell (Atrina pectinata) and
Rajungan (Portunus pelagicus). The Moluscans and the Crustaceans contaminated
environment so shells can be processed into valuable material such chitosan. In
this study the chitosan from shells was isolated and applied as Cu2+ heavy metal
adsorbent. The results showed that chitosan from shells (Barbatia foliata),
(Modiolus metcalfei ), (Atrina pectinata) and (Portunus pelagicus) can be isolated
with the characteristics of chitosan wich isolated from as follows with (B. foliate)
had deacetylation degree 66.78%, kupang (M. metcalfie) 65.30%, manuk (A.
pectinata) 53.43% and rajungan (P. Pelagicus) 70.73% .The isolated chitosan
from the degrees fulfill the deacetylation degree of from chitosan commercial ie
58.4% (Sarbon et al., 2014), except chitosan from (Atrina pectinata). Isolated
chitosan yield were (B. foliate) 15.3039%, (M. metcalfie) 12.1009%, (A.
pectinata) 13.0109%, and (P. pelagicus) 13.2724%. The application as a metal
adsorbent Cu2+ on chitosan isolated from Barbatia foliata, Modiolus metcalfei
and P. pelagicus chitosan can adsorp perfectly concenntration 100%, whilst can
adsorp on A. pectinata 81.3407 % concentration Cu2+.
Chitosan which isolated from Barbatia foliata, Modiolus metcalfei , Atrina
pectinata and Rajungan Portunus pelagicus show good ability as adsorbent of
heavy metal Cu 2+ which is potentially used as bioremediation of heavy metals,
especially Cu 2+ .
xi
RINGKASAN
Kitosan dapat diperoleh melalui proses deasetilasi kitin, dalam penelitian ini
kitosan yang diisolasi berasal dari limbah cangkang kerang darah, kerang kupang,
kerang manuk dan rajungan serta diuji aplikasi nya dalam menurunkan kadar
logam berat Cu2+.
Penelitian ini dilakukan dengan mengisolasi limbah cangkang kerang
menjadi kitosan dan mengaplikasikannya sebagai adsorben logam berat. Kitosan
isolasi dari cangkang kerang yaitu kerang darah, kerang kupang, kerang manuk
dan rajungan digunakan sebagai adsorben pada kolom yang dialiri larutan logam
berat Cu2+ Replikasi dilakukan tiga kali, kadar logam ditetapkan menggunakan
AAS. Rancangan penelitian menggunakan metode eksperimental laboratorik yg di
rancang dengan Rancangan Acak Lengkap (RAK), selanjutnya dianalisis
menggunakan ANOVA untuk melihat beda nyata masing-masing perlakuan.
Hasil penelitian ini menunjukkan kitin dan kitosan dapat diekstraksi dari
cangkang kerang darah, kerang kupang, kerang manuk dan rajungan. Karakteristik
kitosan yang dihasilkan tidak berbau, berbentuk serbuk, derajat deasetilasi dari
kerang darah (B. foliate) 66,78%, kerang kupang (M. metcalfie) 65,30%, kerang
manuk (A. pectinata) 53,43% dan rajungan (P. pelagicus) 70,73% Rendemen
kitosan dari kerang darah (B. foliate) 15,3039%, kerang kupang (M. metcalfie)
12,1009%, kerang manuk (A. pectinata) 13,0109%, dan rajungan (P. pelagicus)
13,2724%. Kadar air kerang darah (B. foliate) 0,6135%, kerang kupang (M.
metcalfie) 0,1654%, kerang manuk (A. pectinata) 0,5927% dan rajungan (P.
pelagicus) 6,5994%, kadar abu kerang darah (B. foliate) 10,9696%, kerang
kupang (M. metcalfie) 10,6418%, kerang manuk (A. pectinata) 11,4401%, dan
rajungan (P. pelagicus) 10,1834%. Dalam aplikasinya kitosan sebagai adsorben
logam Cu2+ pada kerang darah, kerang kupang dan rajungan dapat menyerap
sempurna yaitu sebesar 100% sedangkan pada kerang manuk menyerap
81,3407%.
Kitosan memiliki kemampuan untuk menurunkan kadar logam berat, dalam
hal ini kitosan yang diisolasi dari cangkang juga punya potensi untuk menurunkan
kadar logam berat. Upaya penelitian lebih lanjut dapat dilakukan untuk
mengetahui kandungan yang terdapat pada cangkang kerang yang lainnya yang
dapat digunakan untuk penyerapan logam berat
xii
SUMMARY
xiii
DAFTAR ISI
Halaman
Sampul Depan............................................................................................... i
Sampul Dalam…………………………………………………………….. ii
Prasyarat Gelar ............................................................................................ iii
Lembar Pengesahan ..................................................................................... iv
Penetapan Panitia Penguji .......................................................................... v
Lembar Orisinalitas ..................................................................................... vi
Kata Pengantar............................................................................................. vii
Abstrak .......................................................................................................... x
Abstract ......................................................................................................... xi
Ringkasan...................................................................................................... xii
Summary ....................................................................................................... xiii
DAFTAR ISI ................................................................................................. xiv
DAFTAR TABEL......................................................................................... xvi
DAFTAR GAMBAR .................................................................................... xvii
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................ xix
I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................ 5
1.3 Tujuan Penelitian .............................................................................. 5
1.4 Manfaat Penelitian ............................................................................ 6
II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kerang ............................................................................................... 7
2.1.1 Kerang Darah (Barbatia foliate) .............................................. 8
2.1.2 Kerang Kupang (Modiolus metcalfie) ...................................... 11
2.1.3 Kerang Manuk (Atrina pectinata) ............................................ 11
2.2 Rajungan (Portunus pelagicus)......................................................... 12
2.3 Kitosan .............................................................................................. 16
2.3.1 Sifat – Sifat Kitosan ................................................................. 18
2.3.2 Kegunaan Kitosan .................................................................... 19
2.3.3 Karakterisasi Kitosan ............................................................... 23
2.4 Fourier Transform Infra Red (FTIR) ............................................... 26
2.5 Atomic Absorption Spectrophotometry (AAS) ................................ 29
2.6 Inductively Coupled Plasma-Atomic Emission (ICP-AES) ............. 33
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
xv
DAFTAR TABEL
Tabel 2.5 Aplikasi Kitosan berdasarkan Derajat deasetilasi dan berat molekul .. 25
Tabel 5.1 Berat Sampel Hasil Penimbangan awal hingga Hasil Deasetilasi ........ 46
Tabel 5.2 Serapan FTIR Kitin standar, hasil ekstraksi dibanding Pavia .............. 52
Tabel 5.3 Serapan FTIR Kitosan standar, hasil ekstraksi dibanding Sarbon ....... 57
Tabel 5.4 Hasil Isolasi kitosan dan Karakterisasi berbagai Sampel ..................... 57
Tabel 5.5 Hasil Penurunan Cu2+ setelah penyaringan dengan berbagai sampel .. 58
xvi
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.7 Morfologi Rajungan (Portunus pelagis) Jantan dan Betina .............. 14
Gambar 5.1 Spektrum FTIR Standar Baku Kitin dari BPPT ................................ 47
Gambar 5.2 Spektrum FTIR kitin dari Bahan Baku Rajungan ............................. 48
Gambar 5.3 Spektrum FTIR kitin dari Bahan Baku Kerang Kupang ................... 49
Gambar 5.4 Spektrum FTIR kitin dari Bahan Baku Kerang Manuk .................... 50
Gambar 5.5 Spektrum FTIR kitin dari Bahan Baku Kerang Darah ...................... 51
Gambar 5.6 Spektrum FTIR Standar Baku Kitosan dari BPPT ............................ 52
Gambar 5.7 Spektrum FTIR kitosan dari Bahan Baku Rajungan ......................... 53
Gambar 5.8 Spektrum FTIR kitosan dari Bahan Baku Kerang Manuk ................ 54
xvii
Gambar 5.9 Spektrum FTIR kitosan dari Bahan Baku Kerang Darah .................. 55
Gambar 5.10 Spektrum FTIR kitosan dari Bahan Baku Kerang Kupang ............. 56
xviii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1 Klasifikasi dan Taksonomi Sampel ...................................................
xix
BAB I
PENDAHULUAN
Sumber daya laut yang sangat melimpah dan beragam dapat dimanfaatkan
sebagai bahan berkhasiat. Pandangan ini cukup beralasan, karena lingkungan laut
dicirikan dengan kisaran kondisi yang sangat luas dan beragam, mulai dari suhu,
manusia sebagai sumber protein maupun bahan berkhasiat yang lain. Salah satu
sumber protein hewani yang berasal dari laut adalah kerang dan rajungan,
proteinnya cukup lengkap, karena asam amino esensialnya tinggi, mudah dicerna
tubuh, serta merupakan sumber vitamin yang larut lemak dan air. Di daging
dan K, dan vitamin larut air terutama B-kompleks seperti B-1, B-2, B-6
seperti iodium (I), besi (Fe), seng (Zn), selenium (Se), kalsium (Ca), fosfor (P),
kalium (K), flour (F), dan lain-lain. Bahkan, diketahui mineral dari makanan laut
lebih mudah diserap tubuh dibandingkan yang berasal dari kacang-kacangan dan
serealia. Kerang merupakan sumber lemak yang aman (Furkon, 2009) Kerang
dan rajungan hidup pada semua tipe perairan yaitu air tawar, estuari dan laut.
Kerang dan rajungan terdistribusi dari daerah intertidal, laut dangkal dan
ada yang mendiami perairan laut dalam (Nurdin, 2009). Kerang laut mendapatkan
Secara ekologi, filtrasi yang dilakukan oleh kerang laut digunakan untuk
Indonesia cangkang kerang dan rajungan masih menjadi limbah yang dibuang dan
hanya sebagai bahan penimbunan tanah dan hiasan atau asesorise. Data statistik
sekitar 56.200 ton limbah pertahun (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2000).
Limbah cangkang ini sangat berpotensi menjadi produk yang lebih bernilai, yaitu
kitin dan kitosan dibandingkan pemanfaatan yang selama ini hanya sebagai bahan
Salah satu bahan berkhasiat dari laut adalah kitin dan kitosan. Sumber utama
kitin dan kitosan ialah cangkang Crustaceae sp, yaitu udang, lobster, kepiting,
yang berasal dari laut (Hawab, 2005). Pasar dunia untuk produk turunan kitin
menunjukkan bahwa oligomer kitosan adalah produk yang termahal, yaitu senilai
$ USD 60.000/ton.
Beberapa penggunaan kitosan yang pernah dilaporkan antara lain oleh Dedeh
et al., (2012) dan Zury et al., (2014) yaitu kitosan sebagai carrier untuk elektroda.
Moftah et al., (2013), Akhmad dan Motomizu (2013), Hanandayu et al., (2013),
dan Darjito et al., (2014) menggunakan kitosan dan kitosan termodifikasi sebagai
adsorben logam berat. Dalam penelitian penurunan kadar logam berat yang telah
dilakukan oleh Rahayu (2007) menyatakan bahwa kitosan dari limbah cangkang
rajungan dapat menjadi adsorben pada logam berat merkuri. Hasil penelitian
dalam kadar yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan batu gamping, cangkang
telur, keramik, atau bahan lainnya. Hal ini terlihat dari kekerasan cangkang
kerang. Selain CaCO3 cangkang kerang juga mengandung kitin dan kitosan yang
setelah selulosa, atau biopolimer yang mengandung nitrogen (N) terbanyak yang
ada di alam. Adanya N yang tinggi dalam polimer inilah yang membuat kitin dan
kitosan sangat diminati industri. Adanya atom nitrogen dan oksigen pada kitosan
mengurangi kekeruhan atau sebagai penstabil minyak, rasa dan lemak dalam
kitin yang telah mengalami deasetilasi dan menyisakan gugus asetil tidak lebih
dari 40-45% (Lina et aI., 2001). Namun demikian, di industri lazim digunakan
tiga proses yaitu deproteinasi yang bertujuan untuk menghilangkan sisa protein
pemanasan dalam larutan alkali kuat dengan konsentrasi tinggi (Yunizal et al.,
2001).
Berkaitan dengan hal tersebut diatas pada penelitian ini dikaji apakah
sumber kitin dan kitosan. Sumber untuk isolasi kitin dan kitosan ini diutamakan
logam berat (Sudarmaji et al., 2004 ) untuk itu perlu dicarikan solusi bagaimana
2007 ) untuk itu kitosan yang dihasilkan dari isolasi cangkang Kerang Darah,
Kerang Kupang, Kerang Manuk dan Rajungan juga diuji kemampuannya dalam
1) Apakah dapat diisolasi kitin dan kitosan dari cangkang Kerang Darah
proses adsorbsi oleh kitosan dari cangkang Kerang Darah (Barbatia foliate ),
1.3 Tujuan
1) Isolasi kitin dan kitosan dari cangkang Kerang Darah (Barbatia foliate ),
1.4 Manfaat
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kerang
cangkang yang setangkup tersusun dari zat kapur dengan beragam bentuk dan
ukuran. Kepala kerang tidak ada. Reproduksi kerang bersifat eksternal. Dioecious
Cangkang kerang dibuka tutup dengan otot adduktor dan refraktor. Jenis karang
substrat dasar perairan dan ada juga yang menempel pada substrat keras pada
badan perairan. Faktor biologi yang mempengaruhi kehidupan kerang laut adalah
(Bivalvia) atau jenis binatang lunak (Moluska), baik jenis klam (kerang besar)
atau oister (kerang kecil), pergerakannya sangat lambat di dalam air. Mereka
biasanya hidup menetap di suatu lokasi tertentu di dasar air (Darmono, 2001).
Jenis kerang baik yang hidup di air tawar maupun di air laut banyak digunakan
sebagai indikator pencemaran logam. Hal ini disebabkan karena habitat hidupnya
(Darmono, 2001). Logam berat dapat juga terakumulasi pada jaringan kerang. Kerang
dapat mengakumulasi logam lebih besar daripada hewan air lainnya karena sifatnya
yang menetap, lambat untuk dapat menghindarkan diri dari pengaruh polusi, dan
mempunyai toleransi yang tinggi terhadap konsentrasi logam tertentu. Jenis kerang
ini merupakan indikator yang sangat baik untuk memonitor suatu pencemaran
Cangkang memiliki belahan yang sama melekat satu sama lain pada batas
berukuran sedikit lebih panjang dibanding tingginya tonjolan (umbone) yang sangat
.
Gambar 2.2. Struktur Luar Kerang Darah
Sumber : Dance, 1993
seperti kapak pipih yang dapat dijulurkan ke luar. Kerang bernafas dengan dua buah
insang dan bagian mantel. Insang ini berbentuk lembaran-lembaran (lamela) yang
banyak mengandung batang insang. Sementara itu antara tubuh dan mantel terdapat
rongga mantel. Rongga ini merupakan jalan masuk keluarnya air (Fauzi, 2009 ).
Sistem pencernaan dimulai dari mulut, kerongkongan, lambung, usus dan akhirnya
bermuara pada anus. Anus ini terdapat di saluran yang sama dengan saluran untuk
keluarnya air. Makanan kerang adalah hewan-hewan kecil yang terdapat dalam
perairan berupa protozoa diatom, dll. Makanan ini dicerna di lambung dengan
bantuan getah pencernaan dan hati. Sisa - sisa makanan dikeluarkan melalui anus
(Fauzi, 2009).
Kerang darah (Barbatia foliate) hidup di perairan pantai yang memiliki pasir
berlumpur dan dapat juga ditemukan pada ekosistem estuari, mangrove dan padang
lamun (Marzuki et al., 2006) . Kerang darah hidup mengelompok dan umumnya
banyak ditemukan pada substrat yang kaya kadar organik (Marzuki et al., 2006).
tersaring di dalam insangnya. Dalam prosesnya bakteri dan mikroorganisme lain yang
Kelas : Bivalvia
Subkelas : Pteriomorpha
Ordo : Mytiloida
Familia : Mytilidae
Genus : Modiolus
Spesies : Modiolus metcalfei (Hanley, 1843) seperti di kutip
Abbot and Dance, 2000
Kelas : Bivalvia
Subkelas : Pteriomorpha
Ordo : Mytiloida
Familia : Pinnidae
Genus : Atrina
Spesies : Atrina pectinata (Linnaeus, 1767) seperti di kutip
Abbot and Dance, 2000 )
mempunyai karapas atau cangkang lebar sekali, lebarnya dapat mencapai 2/3 kali
panjangnya. Dahi bergigi empat buah, gigi sebelah luar lebih besar dan lebih
menonjol, gigi ini lebih rendah dan lebih membulat pada individu yang belum
dewasa. Capit memanjang, kokoh, mempunyai duri sebanyak 9, 6, 5, atau 4 pada sisi
depan.
yang beragam tetapi seluruhnya mempunyai kesamaan pada bentuk tubuh. Seluruh
kepiting mempunyai chelipeds dan empat pasang kaki jalan. Pada bagian kaki juga
dilengkapi dengan kuku dan sepasang penjepit, chelipeds terletak di depan kaki
pertama dan setiap jenis kepiting memiliki struktur chelipeds yang berbeda-beda.
membuka kulit kerang dan juga sebagai senjata dalam menghadapi musuh. Di
samping itu, tubuh kepiting juga ditutupi dengan Carapace. Carapace merupakan
kulit yang keras atau dengan istilah lain exoskeleton (kulit luar) berfungsi untuk
Berdasarkan tubuh bagian dalam, mulut kepiting terbuka dan terletak pada
bagian bawah tubuh. Beberapa bagian yang terdapat di sekitar mulut berfungsi dalam
memegang makanan dan juga memompakan air dari mulut ke insang. Kepiting
memiliki rangka luar yang keras sehingga mulutnya tidak dapat dibuka lebar. Hal ini
Gambar 2.7. Morfologi Rajungan Jantan dan Betina (Juwana dan Kasijan, 2000)
Pada abdomen menurut Juwana dan Kasijan (2000), rajungan dan kepiting
sebenarnya satu famili atau satu suku. Karapasnya mempunyai pinggiran samping
depan yang bergerigi dan jumlah giginya sembilan buah. Perutnya atau yang biasa
disebut abdomen terlipat ke depan di bawah karapas. Abdomen jantan sempit dan
meruncing ke depan. Abdomen betina melebar dan membulat penuh dengan embelan,
Menurut Prianto (2007), bagian tubuh kepiting juga dilengkapi bulu dan
rambut sebagai indera penerima. Bulu-bulu terdapat hampir di seluruh tubuh tetapi
menggunakan rangsangan bahan kimia yang dihasilkan oleh organ tubuh. Antena
memiliki indera penciuman yang mampu merangsang kepiting untuk mencari makan.
Ketika alat pendeteksi pada kaki melakukan kontak langsung dengan makanan,
dalam mulut. Mulut kepiting juga memiliki alat penerima sinyal yang sangat sensitif
perasa untuk menemukan makanan, pasangan dan menyelamatkan diri dari predator.
(sectio) Brachyura. Rajungan (Portunus pelagis.) sering berganti kulit secara teratur.
Kulit kerangka tubuhnya terbuat dari bahan berkapur dan karenanya tak dapat terus
tumbuh. Jika ia akan tumbuh lebih besar maka kulitnya akan retak pecah dan dari situ
akan keluar individu yang lebih besar dengan kulit yang masih lunak. Rajungan yang
baru berganti kulit, tubuhnya masih sangat lunak. Masa selama bertubuh lunak ini
sangat lemah.
2.3 Kitosan
struktur molekul yang menyerupai selulosa (serat pada sayur-sayuran dan buah-
buahan) bedanya terletak pada gugus rantai C-2 dimana gugus hidroksi (OH) pada C-
dapat larut dalam sebagian besar larutan organik yang bersifat asam dan memiliki pH
kurang dari 6,5 termasuk format, asetat, tartarat, dan asam sitrat (LeHoux dan
Kitosan tidak larut dalam asam fospat dan asam sulfat. Kelarutan kitosan,
tergantung dari jumlah gugus amino yang terprotonasi dalam rantai polimer, selain
dari perbandingan jumlah unit D-glukosamin yang terasetilasi dan tidak terasetilasi.
Gugus amina (pKa 6,2 – 7,0) akan terprotonasi dalam asam dengan pKa yang lebih
rendah dari 6,2, sehingga kitosan dapat terlarut (Guibal, 2004; Kubota, 2000; Kurita,
Sanghi, 2006). Di dalam asam, gugus amina pada kitosan akan terprotonasi menjadi
Kitosan dipilih sebagai polimer yang baik untuk aplikasi biomedis dan farmasetik
memiliki daya antimikroba, dan tidak toksik. Kitosan ditemukan oleh C. Rouget pada
tahun 1859. Dia menemukan bahwa kitin yang telah dididihkan pada larutan KOH
juga dapat diperlakukan dengan NaOH panas maka akan terjadi pelepasan gugus
asetil (proses deasetilasi) yang terikat pada atom nitrogen menjadi gugus amino bebas
mengandung gugus amino (NH2). Perbedaan gugus ini akan mempengaruhi sifat –
Kitosan adalah padatan amorf putih yang tidak larut dalam alkali dan asam
mineral kecuali pada keadaan tertentu. Keterlarutan kitosan yang paling baik ialah
dalam larutan asam asetat 1%, asam format 10% dan asam sitrat 10%. Kitosan tidak
dapat larut dalam asam piruvat, asam laktat, dan asam-asam anorganik pada pH
tertentu, walaupun setelah dipanaskan dan diaduk dengan waktu yang agak lama.
Keterlarutan kitosan dalam larutan asam format ataupun asam asetat dapat
membedakan kitosan dan kitin karena kitin tidak dapat melarut dalam pelarut asam
tersebut.
deasetilasi kitin serta memiliki karakteristik yang baik dan unik meliputi
sehingga kitosan telah banyak dipelajari dan diteliti untuk penggunaan dalam bidang
2000; Rinaudo, 2006; Shahidi dkk., 1999). Adanya gugus NH2 pada kitosan menjadi
alasan mengapa kitosan memiliki potensi yang lebih baik dibandingkan kitin pada
Pada aplikasi tertentu diperlukan bobot molekul kitosan yang spesifik. Secara
umum, kitosan dengan bobot molekul yang tinggi tidak dapat terlarut dalam air.
Kitosan yang terdegradasi akan memiliki bobot molekul yang lebih rendah sehingga
dapat lebih mudah larut dalam air dan memiliki perbedaan signifikan dalam
dibandingkan kitosan dengan bobot molekul yang lebih tinggi (Hien dkk., 2012).
berdasarkan sifat yang dipunyainya antara lain untuk pengolahan limbah cair
Tabel 2.2 Aplikasi Kitosan dalam berbagai Bidang ditabelkan sebagai berikut
: (Suhartono, 2006) :
Bidang Penggunaan
dengan kadar nitrogen yang tinggi pada rantai polimernya. Kitosan mempunyai satu
kumpulan amino linier bagi setiap unit glukosa. Kumpulan amino ini mempunyai
dengan kation-kation logam. Unsur nitrogen pada setiap monomer kitosan dikatakan
sebagai gugus yang aktif berkoordinasi dengan kation logam. (Hutahahean, 2001)
Isolasi Kitosan yang dilakukan dengan berbagai sumber bahan baku dan proses
Deproteinase NaOH 3,5% NaOH 3,5% NaOH 1 M suhu NaOH 4% NaOH 2,0 N 1:6
10:1 (v/b), 650C 1:10(w/v) 650 C 2 700C, 1 jam 1:10(b/v) suhu (b/v) suhu 800C
jam 1000C 12 jam waktu 1 jam
Demineralisasi HCl 1 N (15:1) HCL 1,0 N 1:15 HCl 1 M suhu HCl 2N 1:4(b/v) HCl 1,5 N 1:12
(v/b), 400C , (w/v) waktu 30I 600C, waktu 1 24 jam padatan (b/v) suhu 20-
301, 600C suhu 20-250C, jam oven suhu 250C 1 jam , di
suhu 600 C waktu 1000C waktu 24 oven suhu 70-
4 jam jam 800C waktu 24
jam
Identifikasi FTIR sebagai FTIR sebagai FTIR sebagai FTIR sebagai FTIR sebagai
kitin kitin kitin kitin kitin
Deasetilasi NaOH 60%, NaOH 50% NaOH 50%, 4 gr kitin+ 80 +NaOH 50%
20:1 (v/b) 100- suhu 1000C, 500 mL NaOH 70% 1:20 (b/v) 70-
1400C, 1jam, Suhu 100-1500C rpm, 1:15, suhu 1000C 1000C waktu
keringkan800C waktu 6 jam waktu 45 menit waktu 9,16,24 30-120I , 70-
waktu 24 jam jam 800C 24 jam
Hasil Hasil kitosan Hasil kitosan DD Hasil kitosan Hasil kitosan Hasil kitosan
DD 74,78% 65,47% DD 52,58% DD 87,96% DD 79,65%
Penggunaan Isolasi Kitosan Adsorben zat Adsorpsi logam Isolasi Kitosan Adsorben ion
sebagai warna biru nikel sebagai logam merkuri
adsorben logam metilena adsorben logam
berat berat
Deproteinase NaOH 2N 1:6 (b/v) NaOH 3% 1:6 2.0 % potassium NaOH 1 M 1:10
900C selama 1 jam, (b/v) hydroxide (KOH) (gr serbuk/ml
keringkan suhu 70- Suhu 850C 1:20 (w/v) 2 jam NaOH) Suhu 60-
800C selama 24 jam waktu 30I 90 °C selama 30I 70°C selama 60I
dikeringkan PH 7 suhu 60 °C
suhu 200C selama 24 jam
selama 24 jam
Demineralisasi HCl 1 N 1:12 (b/v) HCl 1,25N hydrochloric acid HCl 1 M HCl =
suhu 20-250C 1:10 (b/n) (HCl) 2.5 % (w/v) 1:10 120 menit
selama 1 jam , suhu 750C suhu 20 °C waktu 6 suhu 25-30°C
dikeringkan 70- waktu 1 jam, jam 1:20 (w/v) di
800C selama 24 jam dikeringkan oven 60 °C selama
suhu 200C 24 jam
waktu 24 jam
rendeman, kelarutan (Kyoon No et al., 2000), pH dan viskositas. Spektrum infra merah
digunakan untuk penentuan derajat deasetilasi kitosan yang terbentuk. Frekuensi yang
digunakan berkisar antara 4000 cm-1 sampai dengan 400 cm-1. Derajat deasetilasi
kitosan ditentukan dengan metode base line yang ditentukan Domszy dan Robert
FTIR untuk mengetahui Derajat Deasetilasi (DD), dengan metode garis oleh Moore
dan Robert, seperti ditunjukkan dalam persamaan. Sampel dibuat pellet ditambahkan
bubuk KBr kemudian ditentukan spektrumnya (Hanafi, dkk, 1999), spektrum kitosan
dengan FTIR kemudian derajat deasetilasi dapat dihitung dengan metode baseline
dengan cara:
Keterangan :
gugus asetil yang hilang dan berubah menjadi gugus amina. Hasil proses deasetilasi
senyawa kitin adalah senyawa kitosan yang memiliki sifat dapat larut dalam asam
asetat encer. Banyaknya gugus asetil yang berubah menjadi gugus amina ditunjukkan
menghitung serapan pada panjang gelombang 1655 cm-1 dan 3450 cm-1.
70-100%, Kadar air ≤ 10%, Kadar abu ≤ 2% Kadar nitrogen ≤ 5%, tidak berasa, dan
Standar
Parameter
Daiwoo Korea Lab. Protan Jepang
Penampakan Bubuk putih atau kuning Bubuk kuning
Ukuran partikel 25-200 mesh Serpihan sampai serbuk
Kadar air ≤ 10% ≤ 10%
Kadar abu ≤ 0,5% ≤ 2%
Kadar protein ≤ 0,3% -
Derajat deasetilasi (DD) ≥ 70% ≥ 70%
Viskositas 50-500 cps 200-2000 cps
Ketidaklarutan ˂ 1% -
Kadar logam berat. As. ˂ 10 ppm -
Pb
pH 7-9 7-8
Bau Tidak berbau Tidak berbau
Tabel 2.5 Aplikasi kitosan berdasarkan derajat deasetilasi dan berat molekul
(Suhartono, 2006)
Derajat Berat
No. Destilasi Molekul Aplikasi Referensi
(%) (kDa)
85 - Pengikat kation Co, Ni, Lima IS & C.
1.
Ag, Zn Airoldi, 2004
90 390 Kiang T et al.,
2. Transfeksi gen
2004
85 - Wound-healing Min BM et al.,
3.
dressing 2004
80 - Dhiman HK et al.,
4. Antikanker
2004
5. 90 - Antioksidan Je JY et al., 2004
75 150 Antitumor, drug Sakkinen M et al.,
6.
delivery 2003
7. 58 5 Antitumor Qin C et al., 2002
92 87 Juma M et al.,
8. Antimikroba
2002
89 - Stimulator proliferasi Howling GI et al.,
9.
fibroblast kulit manusia 2001
Karakteristik lain dari kitosan yaitu penentuan kadar air. Kadar air dihitung
Sejumlah sampel dikeringkan dalam oven pada suhu 1050C selama 3 jam, kemudian
kitosan dihitung berdasarkan perbandingan antara berat kitosan dengan berat limbah
2000). Kitosan sebanyak 0,5 % (b/v) dilarutkan dalam asam asetat 1 % (v/v), lalu
digunakan dalam deteksi suatu sampel karena spektra tersebut dapat dimanfaatkan
untuk analisis kualitatif dan kuantitatif (Hof, 2003). Saat ini dengan perkembangan
digital, dan komputer. Radiasi muncul dari sumber sinar yang dilewatkan melalui
kuantifikasi, yang berarti bahwa hanya frekuensi (energi) tertentu dari radiasi IR yang
dapat diserap oleh suatu molekul. Absorbsi radiasi IR bersesuaian dengan perubahan
energi yang berkisar antara 2-10 kkal/mol. Radiasi kisaran energi ini dapat
menyebabkan regangan dan uluran suatu ikatan dalam kebanyakan ikatan kovalen
molekul (Pavia dkk., 2001). Daerah inframerah dibagi menjadi 3 bagian, yaitu daerah
inframerah (IR) jauh (400-50 cm-1), daerah IR tengah (4000-400 cm-1), dan daerah IR
sedangkan daerah IR tengah biasa digunakan untuk analisis struktur sistem organik.
Informasi tersebut banyak dimanfaatkan untuk analisis kualitatif (Reid dkk., 2006).
akan memberikan informasi yang menyatu tentang interaksi dan jenis interaksi
molekul yang terlibat, sidik jari, kuantitatif, yang mana intensitas puncak berkorelasi
2012).
Secara garis besar, ada 2 cara memperoleh spektrum IR, yaitu dengan teknik
transmisi dan teknik pantulan (Sasic dan Ozaki, 2010). Metode pantulan digunakan
untuk sampel yang susah dianalisis dengan teknik transmitan. Salah satu
fenomena pemantulan internal total. Berkas radiasi yang memasuki kristal akan
mengalami pemantulan internal total ketika sudut datang pada permukaan antara
sampel dan kristal lebih besar daripada sudut kritisnya. Sudut kritis merupakan fungsi
permukaan yang memantul, dan ketika suatu bahan yang secara selektif mampu
menyerap radiasi berada di atas permukaan kristal ATR, maka berkas sinar akan
kehilangan energy pada panjang gelombang yang sesuai dengan panjang gelombang
yang diserap oleh bahan tersebut. Radiasi yang diperkuat yang dihasilkan diukur dan
itu, spektroskopi IR juga dapat digunakan untuk analisis kuantitatif karena intesitas
sensitivitas yang tinggi, mampu memberikan energi yang lebih tinggi serta mampu
diperkenalkan oleh Welsh (Australia) pada tahun 1955 merupakan suatu metode
analisis yang didasarkan pada proses penyerapan energi radiasi oleh atom-atom yang
dari unsur-unsur logam yang pemakaiannya sangat luas, diberbagai bidang karena
prosedurnya selektif, spesifik, biaya analisa relatif murah, sensitif tinggi (ppm-ppb),
dapat dengan mudah membuat matriks yang sesuai dengan standar, waktu analisa
sangat cepat dan mudah dilakukan. Analisis AAS pada umumnya digunakan untuk
analisa logam. Teknik AAS menjadi alat canggih dalam analisis, ini disebabkan
ditentukan karena kemungkinan penentuan satu unsur logam dengan kehadiran unsur
memiliki masa pakai atau umur pemakaian selama 1000 jam. Lampu
katoda pada setiap unsur yang akan diuji berbeda-beda tergantung unsur
yang akan diuji, seperti lampu katoda Cu, hanya bisa digunakan untuk
pengukuran unsur Cu. Lampu katoda terbagi menjadi dua macam, yaitu
Tabung gas pada AAS yang digunakan merupakan tabung gas yang
berisi gas asetilen. Gas asetilen memiliki kisaran suhu ±20000 K dan ada
juga tabung gas yang berisi gas N2O yang lebih panas dari gas asetilen
berfungsi untuk pengaturan banyaknya gas yang akan dikeluarkan dan gas
2.8.3 Burner
dan dapat terbakar pada pemantik api secara baik dan merata. Lubang yang
2.8.4 Monokromator
2.8.5 Detektor
radiasi yang diserap oleh permukaan yang peka. Detektor AAS tergantung
dipakai untuk analisa alkali, detektor yang digunakan adalah barier layer
cell
2.8.7 Ducting
sisa pembakaran pada AAS, asap yang dihasilkan diolah sedemikian rupa
2.8.1 Keunggulan
dengan kadar ppm hingga ppb, cepat dan pengerjaannya relatif sederhana,
2.8.2 Kekurangan
adalah analisa tidak simultan, larutan cuplikan harus berbentuk larutan siap
ukur dan cukup encer. Keterbatasan lainnya pada jenis lampu katoda
logam dalam suatu sampel. Sampel diberikan suhu yang sangat tinggi dari plasma
diionisasi dan dieksitasikan. Ketika elektron yang sudah tereksitasi di dalam ion ini
sebagai “sidikjari” untuk elemen itu. Berdasarkan data panjang gelombang dan
jumlah cahaya yang dihasilkan kemudian bisa ditentukan elemen apa dan
konsentrasinya.
partikel- partikel elektron pada atom akan mengalami eksitasi, dan pada saat kembali
yang diproses oleh monokromator dan merubahnya menjadi satu garis spektrum
sehingga melalui detektor bisa diketahui kandungan unsur logam dan kadarnya di
dalam sampel.
argon untuk merubah larutan menjadi butir-butir cairan atau aerosol. Setelah
nebulizer, sampel akan masuk ke spray chamber. Spray chamber berfungsi untuk
atau volatisasi yaitu proses penghilangan pelarut sehingga didapatkan aerosol kering
yang bentuknya telah seragam. Kemudian masuk ke daerah plasma untuk atomisasi.
Pada proses atomisasi, digunakan aliran argon sebagai sumber plasma Selain itu
terdapat kumparan magnet yang terus berputar untuk menjaga nyala plasma. Di dekat
Tegangan ini ditransferkan ke plasma melalui load coil, yang mengelilingi puncak
dari obor. Aerosol tadi diuraikan menjadi atom-atom logam, elektron di dalam atom
tersebut mengalami eksitasi ke tingkat energi yang lebih tinggi. Saat elektron
mengalami perubahan dari keadaan tereksitasi ke keadaan dasar, maka akan terpancar
cahaya dengan panjang gelombang tertentu. Panjang gelombang ini merupakan “sidik
jari” atau khas bagi setiap unsur logam. Cahaya ini ditangkap oleh monokromator
dan akan diubah menjadi satu garis cahaya, oleh detektor akan diproses dan
BAB III
lain; sebagai koagulan dalam pengolahan limbah air, bahan pelembab, pelapis benih
yang akan ditanam, adsorben ion logam, bidang farmasi, pelarut lemak, dan pengawet
tetapi cangkang limbah kerang dan rajungan belum termanfaatkan secara optimal,
menjadi kitosan akan menjadikan nilai ekonomis yang lebih tinggi disamping dapat
Pada penelitian ini dilakukan isolasi kitosan dari berbagai cangkang kerang dan
tersebut dapat diisolasi kitosannya dan bagaimana karakterisasi kitosan dari bahan
baku berbagai cangkang tersebut, mengingat sumber bahan baku dan proses
Kitosan dapat berasal dari filum Crustacean seperti rajungan pada cangkang nya
banyak mengandung kalsium karbonat ( CaCO3), protein, kalsium fosfat, dan kitin
36
sedangkan kerang yang berasal dari filum Molusca ini memiliki dua
silica dan juga kitin (No et al., 2003). Pada kerang – kerangan ( Molusca) ini
kadar CaCO3 nya tinggi, juga kandungan silika yang membedakan antara rajungan
(Crustacea) dan kerang ( Molusca) sehingga pada penelitian ini perlu dikaji
Identifikasi dilakukan dengan FTIR (Fourier Transform Infra Red ) sebagai kitin dan
kitosan.
penentuan kadar air, kadar abu, rendemen, pH dan logam berat Pb dan As.
Dalam hal ini perlu juga dikaji aplikasi kitosan yang didapat sebagai adsorben
logam berat sehingga dapat mengatasi pencemaran air khususnya bagi industri
perikanan dalam hal ini logam berat Cu2+ dipilih sebagai model.
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah neraca analitik Ohaus
(A214T), water bath (pemanas air), kertas saring Whatman No 45, pendingin balik,
Hotplate Merck C-MAG Tipe HS4, Spektrofotometer FT-IR Perkin Elmer Spectrum
one, Penyaring Büchner, oven Ventisell MMM Med Center, pompa vakum, alat
gelas, Furnace merk Thermolyne model no S48010-26, kolom merk Pyrex NS 12,5
mm, 2,5 mm diameter dalam 1,75 cm tinggi 15 cm, AAS ContrAA700 Analytikjena
39
pelagis) oleh Drs. Moch. Affandi M.Si dari Fakultas Sains dan Teknologi Universitas
Airlangga.
Bahan kimia yang digunakan pada penelitian ini adalah Hydrochloric acid
(HCl), Sodium hydroxide (NaOH), KBr, CuSO4.5 H2O, CdSO4 (Merck, Darmstadt,
a. Preparasi
Isolasi Kitosan dari cangkang rajungan dan cangkang kerang, dengan mencuci
b. Deproteinasi
protein
c. Demineralisasi
kitin (Sinardi, 2013). Pada proses ini dilakukan pengulangan sebanyak 2 kali
d. Deasetilasi
Sampel ditambahkan NaOH 45% 1:20 (b/v) dipanaskan suhu 140oC dalam
a. Persiapan Kolom
aquadem dan HNO3 1 % lalu diletakkan baker glass yang bersih dan kering di
larutan baku kerja AAS dan dilarutkan dengan aquadem hingga 100 ml
Kelompok (RAK). Penelitian ini terdiri dari 4 (empat) faktor yaitu KD, KK,
Penelitian ini melibatkan empat perlakuan, yaitu : KD, KK, KM, dan RJ yang
4.4.1 Parameter
Parameter Utama
1. Isolasi Kitosan
2. Karakterisasi Kitosan
a. Derajat Deasetilasi
gelombang 1655 cm-1 dan 3450 cm-1. dengan metode base line, sesuai rumus
berikut:
Keterangan :
b. Kadar Air
dalam oven selama empat jam dengan suhu 105 0C, dimasukkan ke
dipanaskan dalam oven dengan suhu 1050C selama empat jam dan
dipanaskan kembali dalam oven selama satu jam dan diulang sampai
c. Kadar abu
kurs yang sudah diketahui beratnya dan di furnace dengan suhu 5500C
d. Rendemen
e. pH
Attribute (Zeleny, 1982) didasarkan pada hasil uji fisik dan kimia terhadap parameter
derajat deasetilisasi, kadar air, rendemen kitin, rendemen kitosan, kadar abu, dan pH
kitosan hasil isolasi. Aplikasinya sebagai adsorben logam berat juga dianalisa. Nilai
ideal dari perlakuan terbaik pada metode ini adalah nilai yang sesuai dengan
pengharapan yaitu merupakan maksimal atau minimal dari suatu parameter serta
BAB V
5.1 Hasil
Hasil penimbangan cangkang sampel awal hingga tahapan hasil deasetilasi
Sampel yang ditimbang pada penelitian ini ± 100 g, setelah mengalami berbagai
Hal ini dikarenakan adanya proses reaksi kimia yang melepaskan kandungan
protein, mineral yang terkandung pada cangkang sampel, dapat dilihat pada tabel sebagai
berikut:
Tabel 5.1. Berat sampel (g) rajungan dan kerang hasil penimbangan awal hingga hasil
deasetilasi
Sampel Penimbangan awal Hasil proses Hasil proses + H2O2 Hasil Deasetilasi
Deproteinasi Demineralsasi
(g) (g) (g) (g) (g)
Rerata RJ ± SD
100,3932 ± 0.18118 90,0425 ±± 0.594965 28,4238 ± 2.938991 16,0768 ± 0.58834 13,3239 ± 1.931389
Rerata KD ± SD 100,1808 ± 0.024752 82,2914 ± 3.175938 40,3339 ± 2.464265 35,3569 ± 0.898981 15,3319 ± 1.434414
Rerata KK ± SD 100,4498 ± 0.209316 88,2808 ± 3.726959 35,7958 ± 5.441642 33,8086 ± 4.167585 12,1594 ± 3.192765
Rerata KM ± SD
100,2790 ± 0.209316 67,9789 ± 1.777201 29,0298 ± 4.158634 24,3190 ± 4.98335 13,0492 ± 1.782608
Keterangan:
Rj : cangkang rajungan
Kd: cangkang kerang darah
Kk : cangkang kerang kupang
Km: cangkang kerang manuk
SD : Standar deviasi
46
47
75.0
70
2345,69
Persentase transmitans
65 1250,67
1323,66 893,66
1420,65 673,64 456,65
1384,64 662,64 520,63
60 1154,63 603,63
1637,61 1085,62 491,64
470,64
55 2926,57
%T
50
45
3458,43
40
35.0
4000.0 3000 2000 1500 1000 450.0
cm-1
Bilangan gelombang
Gambar 5.1 menjelaskan tentang spektrum FTIR standar baku kitin yang
berasal dari BPPT, pada garis vertikal menunjukkan persentase transmitans dan
menunjukkan spektrum karakterisasi kitin pada serapan FTIR untuk kitin standar,
terlihat pita serapan gugus OH ditunjukkan pada puncak 3458,43, pita serapan C-
H ulur terlihat pada puncak 2926,57, pita serapan C=O ulur terlihat pada puncak
1637,61, pita serapan CH3 terlihat pada puncak 1420,65, pita serapan C-O-C
terlihat pada puncak 1085,62 dan pita serapan N-H kibasan terlihat pada puncak
662,64
75.2
74
72
953,72
70 616,71
1261,70
68
Persentase transmitans
1315,69 1156,69
66 1204,70 1030,69
1384,66 1118,68
64 1075,69
62
1639,63
60
%T
58 2928,58
56
54
52
50
48
3468,45
45.3
4000.0 3000 2000 1500 1000 450.0
cm-1
Bilangan gelombang
Gambar 5.2 Spektrum FT-IR kitin dari bahan baku sampel cangkang rajungan
Gambar 5.2 menjelaskan tentang spektrum FTIR kitin dari bahan baku
sampel rajungan pada garis vertikal menunjukkan persentase transmitans dan garis
spektrum karakterisasi kitin pada serapan FTIR untuk kitin hasil isolasi rajungan,
terlihat pita serapan gugus OH ditunjukkan pada puncak 3468,45, pita serapan C-
H ulur terlihat pada puncak 2928,58 pita serapan C=O ulur terlihat pada puncak
1639,63, pita serapan C-O-C terlihat pada puncak 1075,69 dan pita serapan N-H
69.9
65
1199,66 864,67
1272,64
60 1092,63 712,63
1036,63
543,60
Persentase transmitans
50 1467,54
45 1637,47
%T
40 2851,42
2922,40
35
30
25
20 3466,15
15.6
4000.0 3000 2000 1500 1000 450.0
cm-1
Bilangan gelombang
Gambar 5.3 Spektrum FT-IR kitin dari sampel bahan baku kerang kupang
Gambar 5.3 menjelaskan tentang spektrum FTIR yang berasal dari sampel
5.3 menunjukkan spektrum karakterisasi kitin pada serapan FTIR untuk kitin hasil
isolasi cangkang kerang kupang, terlihat pita serapan gugus OH ditunjukkan pada
puncak 34650,30 pita serapan C-H ulur terlihat pada puncak 2924,44, pita serapan
C=O ulur terlihat pada puncak 1637,54, pita serapan CH3 terlihat pada puncak
1467,47 pita serapan C-O-C terlihat pada puncak 1092,63 dan pita serapan N-H
74.8
70 915,72 711,71
872,71 674,72
565,69
468,69
65
1540,65
1466,65 1034,64
Persentase transmitans
1420,65
60 1384,64
1634,61
55
2851,55
%T
2920,53
50
45
40 3467,36
35
33.0
4000.0 3000 2000 1500 1000 450.0
cm-1
Bilangan gelombang
Gambar 5.4 Spektrum FT-IR kitin dari bahan baku sampel cangkang kerang manuk
Gambar 5.4 menjelaskan tentang spektrum FTIR kitin yang berasal dari
bahan baku sampel cangkang kerang manuk, pada garis vertikal menunjukkan
Pada gambar 5.4 menunjukkan spektrum karakterisasi kitin pada serapan FTIR
untuk kitin hasil isolasi dari cangkang kerang manuk, terlihat pita serapan gugus
OH ditunjukkan pada puncak 3467,36 pita serapan C-H ulur terlihat pada puncak
2920,53 pita serapan C=O ulur terlihat pada puncak 1634,61 pita serapan N-H
bengkokan terlihat pada puncak 1540,65, pita serapan CH3 terlihat pada puncak
1466,65 pita serapan C-O-C terlihat pada puncak 1034,64 dan pita serapan N-H
67.0
65
712,64
510,64
863,63
60
Persentase transmitans
1384,58
1746,57
55
1637,54
50
1469,51
%T 45 2853,46
2924,44
40
35
3460,30
30
25.0
4000.0 3000 2000 1500 1000 450.0
cm-1
Bilangan gelombang
Gambar 5.5 Spektrum FT-IR kitin dari bahan baku sampel cangkang kerang darah
Gambar 5.5 menjelaskan tentang spektrum FTIR kitin yang berasal dari
bahan baku sampel cangkang kerang darah, pada garis vertikal menunjukkan
Pada gambar 5.5 menunjukkan karakterisasi spektrum kitin pada serapan FTIR
untuk kitin hasil isolasi dari cangkang kerang darah, terlihat pita serapan gugus
OH ditunjukkan pada puncak 3466,15 pita serapan C-H ulur terlihat pada puncak
2922,40 pita serapan C=O ulur terlihat pada puncak 1637,47 pita serapan CH3
terlihat pada puncak 1469,51 dan pita serapan N-H kibasan terlihat pada puncak
712,64
Tabel 5.2 Serapan FTIR kitin standar, hasil ekstraksi dibandingkan dengan Pavia et al., 2009)
Gugus fungsi Puncak Puncak dari Puncak dari Puncak dari Puncak dari Puncak dari
standar kitin baku kitin cangkang kitin kitin kitin
menurut standar rajungan cangkang cangkang cangkang
Pavia et al., kitin BPPT kerang darah kerang manuk kerang kupang
2009)
OH 3200-3650 3458,43 3468,45 3466,15 3467,36 34650,30
C-H ulur 2891,1 2926,57 2928,58 2922,40 2920,53 2924,44
C=O ulur 1680 – 1640 1637,61 1639,63 1637,47 1634,61 1637,54
N-H 1560 – 1530 - - 1469,51 1540,65 -
bengkokan
CH3 1419,5 1420,65 - 1469,51 1466,65 1467,47
C-O-C 1072,3 1085,62 1075,69 - 1034,64 1092,63
N-H kibasan 750 – 650 662,64 616,71 712,64 711,71 712,63
FTIR kitosan
80.8
78
2339,78
76 2151,78
74
Persentase transmitans
1260,74 898,74
72
1321,72
1423,71 670,72 491,72
70 601,70
1384,69 591,70
68 3850,69 579,70
3836,69 1654,67 566,70
66 3817,69 2921,66 1156,67 535,71
%T 64 521,71
1029,65 503,71
1076,64 478,72
62
462,72
60
58
56
54
3435,54
52
50.0
4000.0 3000 2000 1500 1000 450.0
cm-1
Bilangan gelombang
berasal dari BPPT pada garis vertikal menunjukkan persentase transmitans dan
spektrum karakterisasi serapan FTIR untuk kitosan standar dari BPPT, terlihat
pita serapan gugus N-H amida ditunjukkan pada puncak 3435,54 pita serapan
C≡N nitrit terlihat pada puncak 2339,78 pita serapan N-H amina 1654,67 dan pita
61.0
55 1254,56 893,58
1324,54
50 1423,51
1153,51
Persentase transmitans
1644,40
35
%T
30
25
2925,26
20
15
10
3467,9
5.0
4000.0 3000 2000 1500 1000 450.0
cm-1
Bilangan gelombang
Gambar 5.7 menjelaskan tentang spektrum FTIR kitosan yang berasal dari
bahan baku rajungan pada garis vertikal menunjukkan persentase transmitans dan
menunjukkan spektrum karakterisasi serapan FTIR untuk kitosan hasil isolasi dari
cangkang rajungan, terlihat pita serapan gugus N-H amida ditunjukkan pada
puncak 3435,54 pita serapan C≡N nitrit terlihat pada puncak 2339,78 pita serapan
60.0
55
745,54
912,53
50 872,51 585,52
711,50
2138,50 1797,49 1245,49 1098,50 699,51 536,52
45 1153,50 609,52
2519,45 1552,46
Persentase transmitans
1384,45 455,49
35 2925,38 1637,38
%T 2854,40
30
3736,31
25
20
15 3465,16
10.0
4000.0 3000 2000 1500 1000 450.0
cm-1
Bilangan gelombang
Gambar 5.8 Spektrum FT-IR kitosan dari bahan baku kerang manuk
Gambar 5.8 menjelaskan tentang spektrum FTIR kitosan yang berasal dari
5.8 menunjukkan spektrum karakterisasi serapan FTIR untuk kitosan hasil isolasi
dari cangkang kerang manuk, terlihat pita serapan gugus N-H amida ditunjukkan
pada puncak 3465,16 pita serapan C≡N nitrit terlihat pada puncak 2138,50 pita
serapan N-H amina 1634,44 dan pita serapan C-O alkohol 1027,51.
67.0
65
60
912,62
50
1578,51 1384,52 1033,51 538,51
1539,50 466,51
45
2850,46
1634,44 1471,45
40 2919,43
%T
35
30
25
20
15 3465,17
12.0
4000.0 3000 2000 1500 1000 450.0
cm-1
Bilangan gelombang
Gambar 5.9 Spektrum FT-IR kitosan dari bahan baku kerang darah
Gambar 5.9 menjelaskan tentang spektrum FTIR kitosan yang berasal dari
bahan baku kerang darah pada garis vertikal menunjukkan persentase transmitans
menunjukkan spektrum karakterisasi serapan FTIR untuk kitosan hasil isolasi dari
cangkang kerang darah, terlihat pita serapan gugus N-H amida ditunjukkan pada
puncak 3465,17 pita serapan C≡N nitrit terlihat pada puncak 2350,46 pita serapan
70.0
65 873,67
1261,66
1796,64 1154,65
60 1111,65
1455,61 536,61
55 1384,60
Persentase transmitans
50 1635,52
45 2928,47
%T
40
3735,38
35
3688,37
30
25
20 3465,22
15.0
4000.0 3000 2000 1500 1000 450.0
cm-1
Bilangan gelombang
Gambar 5.10 Spektrum FT-IR kitosan dari bahan baku kerang kupang
dari bahan baku kerang kupang pada garis vertikal menunjukkan persentase
5.10 menunjukkan spektrum karakterisasi serapan FTIR untuk kitosan hasil isolasi
dari cangkang kerang kupang, terlihat pita serapan gugus N-H amida ditunjukkan
pada puncak 3465,22 pita serapan N-H amina 1635,52 dan pita serapan C-O
alkohol 1111,65.
Tabel 5.3 Serapan FTIR kitosan standar, hasil ekstraksi dibandingkan dengan hasil
Gugus fungsi Puncak standar Puncak hasil ekstraksi Puncak Puncak Puncak Puncak Puncak
kitosan Komersial kitosan (Sarbon et al., baku kitosan kitosan kitosan kitosan
(Sarbon et al., 2014) standar RJ KD KM KK
2014) kitosan
BPPT
OH, alkohol 3695,36
N-H amida 3369,11-3413,07 3435,51-3440,48 3435,54 3467,9 3465,17 3465,16 3465,22
C≡N, nitrit 2344,05-2346,50 2318,86 2339,78 - 2350,46 2138,50 -
N-H amina 1639,59-1655,16 1622,76-1623,92 1654,67 1644,40 1637,38 1634,44 1635,52
C-H alkena - 1311,78-1317,46 - - - - -
C-O alkohol 1128,21-1129,02 1076,79 1076,64 1087,50 1033,51 1027,51 1111,65
Tabel 5.4 hasil isolasi kitosan dan karakterisasi dari berbagai sampel
Sampel Rendemen Rendemen DD kitosan (%) Kadar air Kadar abu pH
Kitin (%) Kitosan (%) (%) (%)
Tabel diatas menjelaskan berdasarkan analisis Anova Nilai Sig kurang dari
0,05. Artinya, empat perlakuan yang diberikan memberikan efek yang berbeda
signifikan maka dilanjutnya dengan uji Duncan. Hasilnya Rajungan dan Kerang
Manuk tidak memberikan efek rendemen kitin yang berbeda. Kerang manuk dan
kerang kupang juga tidak memberikan efek yang berbeda pada rendemen kitin.
Rendemen kitin yang diberikan oleh perlakuan kerang darah dan kerang manuk
juga tidak memberikan efek yang berbeda. Juga untuk hasil rendemen Kitosan
kerang kupang, kerang darah dan Rajungan juga memberikan efek perlakuan DD
signifikan dalam memberikan pengaruh pada Kadar abu dan kadar air.
Tabel 5.5 Hasil penurunan kadar logam berat Cu2+ setelah penyaringan dengan
berbagai adsorben
Kadar Cu2+ awal Jenis biosorben Kadar Cu2+ setelah penyaringan % Penurunan
(ppm) kadar Cu2+
1 2 3
Rajungan <LOQ TT TT 100%
Rerata ±SD 100 ± 0 %
Kerang manuk <LOQ 4,4344 ppm <LOQ 81,3407%
100
Persentase penurunan kadar Cu 2+
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0
RJ KD KK KM
Jenis bioadsorben
2+
Tabel 5.5 Menjelaskan tentang hasil aplikasi penurunan logam berat Cu yang
diisolasi dari empat sampel dimana untuk sampel Rajungan, Kerang Darah, dan
5.2 Pembahasan
Diawal penelitian cangkang yang telah kering dan bersih dihaluskan dan
disaring dengan ayakan 100 mesh, (Kusumaningsih et al., 2004). Hal ini bertujuan untuk
memperkecil partikel agar proses reaksi kimia yang selanjutnya dapat berjalan dengan
ikatan antara kitin dan protein yang terkandung dalam cangkang proses ini
pada suhu 85 °C, disertai pengadukan dengan magnetic stirrer (Sinardi, 2013). Hasil
deproteinasi pada setiap sampel berbeda beda. Pada rajungan hasilnya berbentuk
serbuk berwarna coklat muda, pada kerang darah berbentuk serbuk berwarna putih
kekuningan, kerang kupang berbentuk serbuk berwarna coklat tua seperti terdapat
kerlip-kerlip sedang kerang manuk berbentuk serbuk berwarna abu- abu terdapat
kerlip-kerlip.
cangkang. Kandungan mineral utama pada cangkang CaCO3 dan Ca3(PO4)2 dan
Ca hidroksi apatite, dalam hal ini digunakan larutan HCl 1,25 N dengan
perbandingan 1:10 (b/v) pada suhu 750C (Sinardi, 2013). Hasil demineralisasi
dengan terbentuknya gas CO2 dari CaCO3 berupa gelembung udara pada saat
HCl ke dalam sampel dilakukan secara bertahap agar sampel tidak meluap.
demineralisasi yaitu RJ2, RJ3, KD2, KD3 dan KM1. Hal ini disebabkan mineral
utama yang ada pada cangkang adalah CaCO3 dan sedikit Ca3(PO4)2 belum
sempurna larut dalam asam klorida menurut reaksi sebagai berikut: (Hendri, 2008)
Ca3(PO4)2(s)+6HCl(aq) →3CaCl2(aq)+2H3PO4(aq)
dibandingkan dengan Spektra FT-IR standar baku kitin yang diperoleh dari BPPT
menurut literatur Pavia et al, 2009 serapan dari gugus OH berkisar antara puncak
3200 -3650 terlihat pada baku BPPT pada puncak 3458,43 juga terdapat pada
sampel rajungan pada puncak 3468,45 kerang darah pada puncak 3466,15 kerang
manuk pada puncak 3467,36 dan kerang kupang pada puncak 34650,30 adalah
serapan dari gugus OH ( Pavia et al., 2009). Pita serapan pada puncak 2891,1
pada literatur juga didapat dari baku BPPT pada puncak 2926,57 cm-1 juga
ditunjukkan oleh sampel rajungan pada puncak 2928,58, kerang darah pada
puncak 2922,40, kerang manuk pada puncak 2920,53 dan kerang kupang pada
puncak 2924,44 merupakan vibrasi ulur dari gugus C–H metilena (Pavia et al.,
2009)
pada kerang darah 1469,51 dan kerang manuk 1540,65 adalah vibrasi tekuk N-H
yang merupakan ciri khas dari kitin yaitu gugus N-H dalam –NH-CO- (gugus
amin yang terasetilasi). Serapan CH3 pada literatur bernilai 1419,5 pada standar
baku BPPT sebesar 1420,65 cm-1 pada rajungan 1384,66 kerang darah 1469,51
kerang manuk 1466,65 dan kerang kupang 1467,47 saling berimpit dengan
serapan C-N amida di sekitar 1400 cm-1. Serapan gugus amin kitin berada pada
posisi saling berimpit dengan serapan OH karena dalam amin ikatan hidrogen
lebih lemah dan sebagian kurang polar maka serapan ikatan N-H menjadi kurang
intensif jika dibandingkan dengan OH. Serapan lain ada menurut literatur gugus
C-O-C memiliki nilai 1072,3 nilai BPPT sebesar 1085,62 sampel rajungan sebesar
1075,69, kerang manuk sebesar 1034,64 dan kerang kupang sebesar 1092,63
sedangkan untuk pita serapan N-H nilai standar literatur berkisar antara 750-650
ini terdapat pada baku BPPT sebesar 662,64 rajungan 616,71 kerang darah 712,64
kerang manuk 711,71 dan kerang kupang 712,63 (Pavia et al., 2009)
O dalam cincin kitin dan memiliki banyak puncak karena hidroksida dari kitin
yang mengandung ikatan tunggal C–O juga menunjukkan serapan di sini. Pola
warna pengotor pada sampel kerang dalam kitin sedangkan pada sampel rajungan
berbentuk serbuk dan bersih juga penggunaan H2O2 aman bagi sampel (Qin et al.,
Infra Red ) perlakuan dengan H2O2 ini tidak merubah Spektra FT-IR dari masing-
dengan menggunakan larutan alkali agar berubah menjadi gugus amina (-NH2).
Kitin mempunyai struktur kristalin yang panjang dengan ikatan hidrogen yang
kuat antara atom nitrogen dan gugus karboksilat pada rantai yang bersebelahan
(Muzzarelli, 1986).
berikatan dengan gugus amina menggunakan NaOH pekat yaitu lebih dari 45%
dengan suhu 110°C agar ikatan C-N gugus asetamida pada atom C-2 pada
asetamida kitin dapat terputus, sehingga terbentuk gugus amina (-NH2) pada
kitosan (Tsaih, 2003). Penggunaan larutan alkali dengan konsentrasi yang tinggi
serta suhu tinggi selama proses deasetilasi dapat mempengaruhi besarnya derajat
deasetilasi yang dihasilkan (Kim et al., 2004; Odete et al., 2005). Perubahan kitin
menjadi kitosan merupakan reaksi hidrolisa, banyaknya gugus asetil yang hilang
2013)
dikatakan identik bila dibandingkan dengan literatur yang ada serta dari baku
BPPT. Pada literatur terdapat pita serapan dari N-H amida pada sekitar 3369,11-
3413,07 juga terdapat pada baku pada BPPT dengan nilai 3435,54, cangkang
rajungan pada 3467,9, kerang darah pada 3465,17, dan kerang manuk pada
3465,16 yang mana memperlihatkan pita serapan amida yang muncul pada
berbagai sampel (Sarbon et al., 2009). Pita serapan C-O terlihat pada literature
1087,50, kerang darah 1033,51, kerang manuk 1027,51, dan kerang kupang
1111,65 (Sarbon, 2014). Pita serapan N-H pada literatur untuk kitosan komersial
Sarbon, 2014 1622,76-1623,92 cm-1 terlihat pula pada baku BPPT dengan nilai
1654,67, pada rajungan 1644,40, pada kerang darah 1637,38, kerang manuk
1634,44 dan pada kerang kupang 1635,52. Hal ini menunjukkan pita serapan
spesifik N-H (bending) pada rentang 1640-1550 cm-1 (Pavia et al., 2009)
Duarte et al., 2002 menjelaskan kitosan yang berasal dari ekstraksi dan
kitosan komersial dapat menunjukkan puncak yang berbeda pada spektrum FTIR,
sebab kedua kitosan dibuat dari sumber yang berbeda. Kitosan hasil ekstraksi
dibuat dari kepiting bakau (Mud Crab shells) sedangkan kitosan komersial dari
cangkang udang (Duarte et al., 2002), ini bisa berbeda karena sumber asal bahan,
metode isolasi dan proses deasetilasi yang berbeda akan dapat menunjukkan
spektra IR yang berbeda pula. Duarte et al., 2002 menyebutkan kitosan yang
gugus OH. Pita serapan antara 1640-1550 cm-1 yang merupakan gugus amina (N-
H), sedangkan puncak 3500-3100 cm-1 merupakan gugus amida grup yang mana
berasal dari proses deasetilasi kitin yang belum sempurna. Pada proses deasetilasi,
konsentrasi yang berbeda, dan waktu yang optimal akan menghasilkan derajat
perbedaan puncak spektra FTIR yaitu pada pita serapan NH dan OH dimana
(Mohammed, 2013)
yang tinggi dengan cairan sampel menjadi mengental (Tsaih, 2003) hal ini akan
diatas 40% dan suhu 1100 C serta pengadukan yang homogen untuk mendapatkan
isolasi kitosan yang terbaik dengan viskositas yang stabil sehingga cairan tidak
rusak dan mengental. Semakin tinggi konsentrasi NaOH, derajad deasetilasi (DD)
semakin besar, namun hal ini tidak selalu memberikan kenaikan DD yang
Pada tabel 5.4 yang menjelaskan tentang hasil isolasi kitosan dan
karakterisasi mutu kitosan seperti rendemen, kadar air, kadar abu, derajat
deasetilasi (DD), dari berbagai sampel seperti pada sampel kerang darah yang
35,6339%, kerang manuk 27,9791%, dan rajungan 23,9873%. Hasil ini sesuai
rendemen 28,5% dari isolasi kitosan kerang bulu (Hastuti, 2015) Rendemen
derajat deasetilasi untuk kerang darah reratanya sebesar 66,78%, kerang kupang
65,30%, kerang manuk 53,43%, dan rajungan sebesar 70,73%. Hasil ini sesuai
dengan Martino et al, 2005 yang menyebutkan nilai derajat deasetilasi kitosan
dapat berkisar antara 30-95%, perbedaan yang terjadi dipengaruhi oleh sumber
ekstraksi kitosan pada penelitian ini sesuai derajat deasetilasi untuk kitosan
komersial yaitu sebesar 58,4% (p<0,05) (Sarbon et al., 2014) kecuali yang
dihasilkan dari cangkang kerang manuk yaitu 53,43%. Hal ini tampaknya
dipengaruhi oleh kadar abu cangkang kerang manuk yang relatif lebih tinggi
Nilai kadar air hasil isolasi kitosan yang diperoleh pada kerang darah
menurut standar Daiwoo Korea dan Lab. Protan Jepang yang menyatakan
standarisasi kadar air untuk mutu kitosan ≤10%. Hasil ini dipengaruhi oleh proses
pada saat pengeringan, lama pengeringan, jumlah kitosan yang dikeringkan dan
luas permukaan tempat kitosan dikeringkan. Besarnya kandungan air pada kitosan
yang dikehendaki berbeda dalam pemanfaatannya di beberapa bidang, hal ini juga
2004). Hasil kitosan yang diisolasi dari cangkang kerang darah, kerang kupang,
kerang manuk, dan rajungan memenuhi syarat kadar air menurut Daiwo Korea
Hasil kadar abu pada kerang darah reratanya sebesar 10,9696%, kerang
kupang 10,6418%, kerang manuk 11,4401% dan rajungan 10,1834%. Hasil ini
tidak memenuhi standar menurut Daiwoo Korea yang menyebutkan standar mutu
kitosan untuk kadar abu sebesar ≤0,5% dan Lab. Protan Jepang yang menyatakan
dari kulit udang diperoleh nilai kadar abu menurut SNI sebesar 5% (Mulyaningsih
et al., 2015) dalam penggunaan sebagai pengawet makanan, dalam hal ini kitosan
hasil isolasi Cangkang kerang darah, kerang kupang, kerang manuk dan Rajungan
Kadar abu yang tinggi pada kitosan hasil isolasi cangkang kerang darah,
mineral yang tersisa masih ada, khususnya silika yang tidak bisa dihilangkan
dengan HCl mengakibatkan nilai kadar abu ± 10%. Kadar abu yang besar pada
kitosan juga dapat mempengaruhi kelarutan kitosan dalam larutan asam asetat,
nilai kadar abu ini juga berpengaruh terhadap ketajaman puncak spektrum dari
FTIR kitosan yang diperoleh. Untuk nilai pH hasil isolasi kitosan kerang darah
sebesar 7 sedangkan untuk kerang manuk rerata pH sebesar 7,5 hasil ini masih
dari 0,05 menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan pada perlakuan yang
diberikan. Nilai sig pada rendemen kitin adalah sebesar 0,023. Nilai ini kurang
dari 0,05. Artinya, empat perlakuan yang diberikan memberikan efek rendemen
memberikan efek yang signifikan maka dilanjutnya dengan uji Duncan, untuk
hasil Rajungan dan Kerang Manuk tidak memberikan efek rendemen kitin yang
berbeda. Kerang manuk dan kerang kupang juga tidak memberikan efek yang
berbeda pada rendemen kitin. Rendemen kitin yang diberikan oleh perlakuan
kerang darah dan kerang manuk juga tidak memberikan efek yang berbeda. Juga
kerang kupang, kerang darah dan Rajungan juga memberikan efek perlakuan DD
signifikan dalam memberikan pengaruh pada Kadar abu dan kadar air.
Cu2+. Pada penelitian ini adsorben dari kitosan rajungan, kerang darah, kerang
Tabel 5.5 menunjukkan hasil penurunan kadar logam berat Cu2+ setelah
penyaringan dengan berbagai adsorben tersebut. Pada kitosan hasil isolasi dari
darah juga mencapai 100%, pada kitosan kerang kupang penurunannya hingga
81,3407%. Ini menunjukkan penurunan yang baik dalam aplikasi adsorben logam
berat. Hasil Analisa ANOVA tentang penurunan kadar Cu2+ semua perlakuan
dari sejumlah reaksi pertukaran ion sederhana dengan beberapa mineral. Beberapa
faktor seperti pH, sifat dan konsentrasi substrat dan ion teradsorpsi, kekuatan ion
adsorpsi. Menurut Jin dan Bai, 2002 situs aktif pada kitosan diperankan oleh atom
N dari gugus amina (-NH2) dan atom O dari gugus hidroksi (-OH). Kedua atom
tersebut mempunyai elektron bebas yang dapat mengikat proton atau ion logam
lebih kuat daripada antaraksi pasangan elektron bebas pada atom N sehingga atom
Pasangan elektron bebas dari atom N ini, selanjutnya akan berikatan dengan ion
R-NH2 + H+ ↔ R-NH+3.....................................1)
Reaksi ini menunjukkan terjadinya protonasi dan deprotonasi gugus amino dalam
kitosan. Saat kitosan ditambahkan dalam larutan ion logam kemungkinan akan
R adalah komponen selain gugus –NH2 dalam kitosan dan M adalah logam Ketika
reaksi (2) berlangsung, elektron bebas dari atom N berinteraksi dengan ion logam.
Reaksi (3) mempunyai mekanisme yang sama dengan reaksi (2), meskipun gugus
dari lingkungan. Interaksi antara ion logam dengan atom N, pada reaksi (2) lebih
kuat daripada ikatan antara ion H+ dengan aton N pada reaksi (3) (protonasi gugus
elektron bebas dari atom N dengan ion logam polivalen lebih kuat daripada
interaksi elektrostatik antara pasangan elektron bebas dari atom N dengan proton
Pada konsentrasi logam yang sangat tinggi, maka daya desak ion logam
terhadap kitosan sangat besar, akibatnya tidak hanya gugus amina yang berikatan,
tetapi secara simultan gugus hidroksil juga berperan, sehingga tidak lagi terbentuk
dalam kitosan pada pH yang agak tinggi (antara 4 dan 5) kemungkinan akan
R adalah gugus selain NH2 dan OH dalam kitosan, RO- yang terbentuk dapat
berikatan dengan ion logam yang bermuatan positif, sedangkan M adalah logam:
RO- + M+ → RO –M + ...............................................(5)
Hal ini dikuatkan oleh Jean –Pierre, 1994 bahwa gugus –OH pada
(dalam air) membentuk kluster pada permukaan, seperti pada reaksi 5, dengan R
adalah gugus selain –NH2 dalam kitosan, sedangkan n adalah bilangan oksidasi
al., 2006)
adsorbat pada tidak hanya bergantung pada reaktifitas situs aktif permukaan.
2007). Multilayer simultan dapat terbentuk bila jumlah adsorbat demikian banyak
sehingga adsorbat tidak mungkin lagi ‘memilih’ permukaan (situs) untuk tempat
contoh ion logam yang dapat membentuk multilayer adalah Cd(II), Co(II),Mn(II) ,
DAFTAR PUSTAKA
Akbar, Fauzi dkk. 2009. Pengaruh Waktu Simpan Film Plastik Biodegradasi dari Pati
Kulit Singkong Terhadap Sifat Mekanikalnya. Jurnal Teknik Kimia Departemen
Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara. Vol.2, No.2, Hal 37-41.
Ali, Moftah, Ani Mulyasuryani, and Akhmad Sabarudin. 2013. Adsorption of
Cadmium By Silica Chitosan. The Journal of Pure and Applied Chemistry Research,
2 (2) : 62-66.
Albeson., Danny., Nybakken, J.W. 1986. Biologi Laut. Suatu Pendekatan Ekologis.
Gramedia. Jakarta.
Bachok, Z., P. L. Mfilinge , M. Tsuchiya. 2006. Food Sources of Coexisting
Suspension-Feeding Bivalves as Indicated by Fatty Acid Biomarkers, Subjected to the
Bivalves Abundance on a Tidal Flat. Journal of Sustainability Science and
Management. 1 : 92-111.
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), 2007, Air Bersih Bebas Bakteri
dan Zat Kimia . www.walhi.or.id/air . Diakses pada tanggal 22 Februari 2012.
Budi hastuti dan nurina tulus. 2015. Sintesis kitosan dari cangkang kerang bulu
(anadara inflate) sebagai adsorben ion Cu2+. Seminar nasional dan Pendidikan
Kimia VII. Surakarta
Cheman, Y.B., Rohman, A. 2012. Analysis of canola oil in virgin coconut oil using
FTIR spectroscopy and chemometrics. J Food Pharm.Sci (2013), 5-9
Dance, S.P., Abbott Cecilia. 2000. Compendium of Seashells. Odyssey. Rolling Hills,
USA.
Darmono. 2001. Lingkungan Hidup dan Pencemaran : Hubungannya dengan
Toksikologl senyawa Logam.Universitas Indonesia. UI·Press.jakana.
Darjito, D., Purwonugroho, D., & Ningsih, R., 2014, The Adsorption of Cr (VI) Using
Chitosan-Alumina Adsorbent. The Journal of Pure and Applied Chemistry Research,
3 (2)
Debenay, J. P. & D. L. Tack. 1994. Environmental conditions, growth and production
of Anadara senilis (Linnaeus, 1758) in a Senegal Lagoon. Journal Mollusca Study. 60
: 113-121.
Duarte ML, Ferreira MC, Marvao MR, Rocha J (2002) An optimized method to
determine the degree of acetylation of chitin and chitosan by FTIR spectroscopy. Int J
Biol Macromol 31:1–8
Hargono dan M. Djaeni, Pemanfaatan Kitosan dari Kulit Udang sebagai Pelarut
Lemak. Prosiding Seminar Nasional Teknik Kimia Indonesia.
Hawab, H. M. 2005. Kitosan dapat Mengikat Molekul Kholesterol. J Nusa Kimia
2(1): 25-31.
Hendry, J., 2008, Teknik Deproteinasi Kulit Rajungan (Portonus pelagious) secara
Enzimatik dengan Menggunakan Bakteri Pseudomonas aeruginosa untuk Pembuatan
Polimer Kitin dan Deasetilasinya, http://www.fmipa.unila.ac. id/prosiding 2008, 10
November 2014
Hien, V. D., D. Q. Huong, dan P. T. N. Bich. 2010. Study of the Formation of Porous
Hydroxyapatite Ceramics from Corals via Hydrothermal Process. Journal of
Chemistry. Vol. 48 (5). P. 591 - 596.
Knorr D. 1982. Function properties of chitin and chitosan. J Food Sci 47(36).
Kobayashi C.C, De Fernandes, K.C. Miranda, De Sonsa, and Silva Mdo R. 2004.
Candiduria in Hospital Patients: A Study Prospective Mycopathologia 158(1):49-52
Kumar, Ravi, N., V., Majeti. 2000. A review of chitin and chitosan applications.
Reactive & Functional Polymers 46, 1-27.
Kurita, K. 2001. Controlled functionalization of the polysaccharide chitin. Journal of
Polimer Science. 26, 1921–71.
Kubota, N., Tastumoto, N., Sano, T. & Toya, K. (2000). A simple preparation of half
Nacetylated chitosan highly soluble in water and aqueous organic solvents.
Carbohydrate Research, Vol. 324, pp. 268–274.
Kurniasih, D., Atikah, A., & Sulistyarti, H., 2012, The Coated-Wire Ion Selective
Electrode (CWISE) of Chromate Using PVC-Membrane Based on Chitosan as A
Carrier, The Journal of Pure and Applied Chemistry Research, 1 (1) : 33-40.
Kusriningrum, R. S. 2008. Perancangan Percobaan. Universitas Airlangga.
Surabaya. hal. 43-63.
Kyoon No, Meyers SP. 1997. Preparation of Chitin and Chitosan. Di dalam:
Muzzarelli RAA, Peter MG (eds.). Chitin Handbook. European Chitin Society. Italy.
Mali, S., M.V.E. Grossmann, M.A. Garcia, M.N. Martino, and N.E. Zaritzky. 2005.
Micro-structural characterization of yam starch films. J. Carbohydrate Polymer 50:
379−386.
Matheis F. J. D. P. Tanasale, Amos Killay, dan Marsela S. Laratmase, 2011,
Kitosandari Limbah Kulit Kepiting Rajungan (Portunus sanginolentus L.)
sebagaiAdsorben Zat Warna Biru Metilena, Jurnal Natur Indonesia, 14 (2) : 165-171.
Prianto, E. 2007. Peran Kepiting sebagai Spesies Kunci (Keystone Spesies) pada
Ekosistem Mangrove. Prosiding Forum Perairan Umum Indonesia IV. Balai Riset
Perikanan Perairan Umum. Banyuasin
Protan Labortories. 1987. Catioal Polymer for Recovering Valuabe by Products from
Processing Waste Burgges. USA
Peniston, Q.P. and Johnson, E., 1980, Process for the Manufacture of Chitosan, US
Patent 4.195.175
Rahayu, L. H., dan Purnavita, S., (2007), Optimasi Proses Deproteinasi dan
Demineralisasi pada Isolasi Kitin dari Limbah Cangkang Rajungan (Portunus
pelagicus), Prosiding: Teori Aplikasi Teknologi Kelautan, ITS Surabaya, hal. III.8 –
III.11.
Reid, L. M., O„Donnell, C. P., dan Downey, G., 2006, Recent technological advances
for the determination of food authenticity, Trends Food Sci. Technol., 17:344-353
Rinaudo, marguerite. 2006. Chitin and Chitosan. Properties and applications.
Progress in polymer science.Elsevier 31, 603-632
Rismiarti, Z., Atikah, A., & Sulistyarti, H., 2013, Construction and Characterization
of Coated Wire Oxalate Ion Selective Electrode Based on Chitosan, The Journal of
Pure and Applied Chemistry Research, 3 (1) : 19-26
Rismana, E. 2004. Serat Kitosan Mengikat Lemak.
http://www.kompas.com/kompascetak/0301/09/iptek/60155.htm. Diakses tanggal 29
februari 2009.
Sukma Sari, Sri Eva Lusiana, Masruri, Suratmo. 2014. Kitosan dari rajungan lokal
(Portunus pelagicus) asal Probolinggo, Indonesia. Kimia. Student Journal 2(2) :506 –
512
Yunizal dkk, (2001), Ekstraksi Khitosan dari Kepala Udang Putih (Penaeus
merguensis). J. Agric. Vol. 21 (3), hal 113-117
Yen MT, Yang JH, Mau JL (2009) Physicochemical characterization of chitin and
chitosan from crab shells. Carbohydr Polym 75:15–21